SENI : FUNGSI, PERUBAHAN, DAN MAKNA Muhammad Takari (editor) Penerbit: Bartong Jaya Medan 2013 Bartong Jaya Art Design, Publishing & Printing Jalan Pelajar, Gang Buku, No. 19, Medan, Indonesia Telp. 061-8213737; Fax 061-8213737 Kunjungi kami di: http://www.bartongjaya.com Terbitan Pertama 2013 © Bartong Jaya 2013 Hak cipta dilindungi oleh undang-undang; dilarang memperbanyak, menyalin, merekam sebagian atau seluruh bagian buku ini dalam bahasa atau bentuk apapun tanpa izin tertulis dari penerbit. ISBN: 979 3647 07 2 Perpustakaan Nasional: Katalog Dalam Terbitan (KDT) Seni: Fungsi, Perubahan, dan Makna/ Muhammad Takari (editor)— Medan: Bartong Jaya, 2013 x, 208 p. ; ilus. ; 22 cm Bibliografi ISBN: 979-3647-07-2 ii Dari Penyunting Terima kasih yang sebesar-besarnya kami ucapkan kepada Tuhan Yang Maha Esa, atas segala limpahan rahmat, nikmat, dan karunia-Nya, akhirnya kami para penulis dapat menyelesaikan penulisan buku ini. Tanpa campur tangan Tuhan tidaklah mungkin terwujud buku ini. Terima kasih juga diucapkan kepada Drs. Irwansyah, M.A. selaku Ketua Program Studi dan Drs. Torang Naiborhu, M.Hum., selaku Sekretaris Program Studi Magister Penciptaan dan Pengkajian Seni FIB USU, atas dukungannya menerbitkan buku ini. Demikian pula kepada seluruh dosen dan mahasiswa di prodi tersebut, atas kebersamaan dan saling memberikan ilmunya selama ini. Buku ini adalah hasil penyuntingan dari tulisan para penulis yang juga mahasiswa magister (S-2) Penciptaan dan Pengkajian Seni, Fakultas Ilmu Budaya Universitas Sumatera Utara, khususnya Angkatan 2011. Tulisan ini telah dipresentasikan dalam Mata Kuliah Seminar Seni di kelas, yang langsung dikelola oleh pihak Prodi Magister Penciptaan dan Pengkajian Seni, FIB USU. Selain itu, tulisan ini juga telah dimuat dalam prosiding dalam Seminar Nasional Sehari dalam Rangka Advokasi dan Sosialisasi Hak Kekayaan Intelektual yang diselenggarakan oleh Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif di Hotel Tiara Medan pada tanggal 6 Juli 2013. Dalam konteks ini, kami berterima kasih kepada Ibu Juju Masunah, M.Hum., Ph.D., selaku Direktur Jenderal Ekonomi Kreatif pada Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif, serta Dr. Yulianus Limbeng, M.Si., sebagai Kepala Bidang Industri Musik pada Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif, beserta segenap jajarannya, yang telah menyelenggarakan seminar tersebut, sehingga memicu terbitnya buku ini. Terima kasih juga diucapkan kepada Drs. Parlaungan Ritonga, M.Hum., sebagai pimpinan percetakan Bartong Jaya, yang telah sudi menerbitkan buku ini atas nama percetakannya, dan sekaligus memberikan nomor ISBN. Semoga saja di masa yang akan datang kami akan meminta lagi bantuan bapak dalam rangka mempublikasi-kan tulisan-tulisan ilmiah di bidang budaya. Para penulis terdiri dari delapan orang, yaitu satu orang dosen di Prodi Magister Penciptaan dan Pengkajian Seni FIB USU, sekaligus sebagai penyunting (editor) yaitu Muhammad Takari, yang menyoroti tentang polarisasi kajian budaya yang terjadi di berbagai perguruan tinggi di wilayah Aceh dan Sumatera Utara. Berikutnya adalah kajian para mahasiswa Penciptaan dan Pengkajian Seni FIB USU. Dimulai dari Vanesia Amelia Sebayang, yang meneliti dan mengkaji salah satu desa wisata di Tanah Karo Simalem, yaitu Desa Lingga. Di akhir tulisannya beliau menawarkan solusi revitalisasi objek daya tarik wisata ini. Kemudian dilanjutkan oleh Roy J.M. Hutagalung yang meyoroti dengan mendalam tentang trio (bernyanyi tiga orang dengan berdasar kepada pertunjukan homofoni khordal), baik dari dimensi sejarah maupun musikologis. Selepas itu, masih dalam suasana yang sama, Harry Dikana Situmeang, mengkaji keberadaan musik populer Batak Toba, namun secara komprihensif mengkaitkan kajiannya ini dengan dinamika sosial dan kultural masyarakat Batak Toba, baik yang ada di kampung halamannya atau wilayah perantauannya di Kota Medan. Disambung oleh Andry Permana Barus yang mengkaji ritual muncang yaitu upacara tolak bala dalam kebudayaan Karo, khususnya di Desa Guru Kinayan. Beliau banyak menyoroti ritual ini dari sudut upacaranya. Tulisan ini kemudian diteruskan oleh Sopian Loren yang mendeskripsikan garapan lagu tradisional Batak yang bertajuk Dago Inang Sarge sebagai media pembelajaran untuk instrumen biola yang disajikan secara kuartet. Kemudian agak berbeda dengan penulis terdahulu, dua orang penulis dari disiplin tari menuliskan keberadaan tari dalam konteks budaya. Hilma Mithalia Shaliha menulis tari Bharata Natyam yang terdapat dalam kebudayaan India. Sementara Ria Luinne Tabita Pakpahan menulis tari Cakalele yang terdapat dalam kebudayaan masyarakat Bugis di Sulawesi, Indonesia Timur. Tulisan ini disudahi oleh Dindin yang menulis tentang Rapai Geleng di Aceh. 2 Takari, Polarisasi Kajian Budaya Tulisan-tulisan mengenai seni di atas, kemudian dibungkus dalam tajuk yang berjudul Seni: Fungsi, Perubahan, dan Makna. Artinya setiap tulisan dari delapan orang penulis tersebut mengandung unsur fungsi dalam masyarakat, juga dimensi kesejarahan yang berubah dalam ruang dan waktu, serta makna-makna seni yang diciptakan oleh masyarakat pendukungnya. Ketiga besaran proses seni ini, kemudian didekati dengan dua cara yaitu seni sebagai teks dan juga seni dalam konteks. Teks berkait erat dengan aspek struktural dan estetika, sedangkan konteks rapat berkait dengan sumbangannya dalam kehidupan masyarakat yang memungsikannya. Tentu saja ibarat pepatah tak ada gading yang tak retak, buku ini memiliki kelemahan di sana-sini. Oleh karena itu, dengan segala kerendahan hati para penulis yang telah menyumbangkan gagasan keilmuannya di dalam buku ini, mengharapkan kritik dan saran yang konstruktif untuk menyempurnakan buku ini. Dengan tujuan utama, mari bekerjasama agar ilmu-ilmu seni terus maju mengikuti kemajuan zaman, dan menjadi pencerahan batin dan membina humanisme universal, dalam rangka menjalani kehidupan. Medan, Juli 2013 Penyunting, Muhammad Takari 3 Daftar Isi Dari Penyunting .............................................................................. iii Daftar Isi ......................................................................................... vi Daftar Gambar dan Notasi .................................................................x I. BEBERAPA CATATAN TENTANG POLARISASI KAJIAN BUDAYA DI ACEH DAN SUMATERA UTARA Muhammad Takari .....................................................1 1. Pengantar ......................................................................................1 2. Kajian Budaya di Beberapa Perguruan Tinggi di Aceh dan Sumatera Utara ...........................................................3 2.1 Metode Kualitatif ....................................................................4 2.2 Penelitian Lapangan ................................................................7 2.3 Kajian Fungsional ...................................................................8 2.4 Kajian Semiotik ..................................................................... 15 2.5 Kajian Tradisi lisan dan Kearifan Lokal ................................. 16 2.6 Kajian Seni Pertunjukan ......................................................... 18 2.7 Kajian Keilmuan Khusus ........................................................ 20 2.7.1 Resepsi Sastra ............................................................... 21 2.7.2 Heuristik dan Hermeneutik .......................................... 22 2.7.3 Weighted Scale ............................................................. 23 3. Penutup........................................................................................ 24 II. REVITALISASI DESA LINGGA SEBAGAI OBJEK DAN DAYA TARIK WISATA BUDAYA DI KARO Vanesia Amelia Sebayang ...................................... 27 1. Pendahuluan .............................................................................. 27 2. Desa Lingga sebagai Desa Budaya ............................................. 28 2.1 Rumah Adat Siwaluh Jabu, Rumah Tradisional Karo........... 32 2.2 Bentuk, Fungsi, dan Makna Ornamen Rumah Adat Siwaluh Jabu ....................................................................... 33 3. Gendang Guro-Guro Aron: Dari Lokal Menjadi Global .............. 36 4 Takari, Polarisasi Kajian Budaya 4. Revitalisasi Desa Lingga sebagai ODTW Budaya ....................... 38 5. Penutup ...................................................................................... 41 III. TRIO PADA MUSIK POPULER BATAK TOBA Roy J.M. Hutagalung .............................................................. 43 1. Pendahuluan .............................................................................. 44 2. Definisi Trio .............................................................................. 47 3. Musik Populer Batak Toba ......................................................... 49 4. Fenomena Trio pada Musik Populer Batak Toba ........................ 56 5. Perkembangan Trio pada Musik Populer Batak Toba ................. 60 6. Penutup ..................................................................................... 63 IV. MUSIK BATAK TOBA: KAJIAN SEJARAH Harry Dikana Situmeang ........................................................ 66 1. Tinjauan Umum .......................................................................... 66 2. Migrasi Orang Batak Toba (Marserak)........................................ 70 3. Migrasi ke Kota Medan............................................................... 73 4. Situasi Kesenian Sumatera Utara Zaman Kebangkitan Nasional (1900-1942) ................................................................ 76 5. Budaya Lisan dan Musik Vokal Tradisional Batak Toba ............. 78 6. Kontinuitas dan Perubahan terhadap Ende Batak Toba ................ 81 7. Kristen Protestan dan Perubahan Lagu Tradisi Batak Toba .......... 82 8. Dampak terhadap Ekspresi Musik Batak Toba ............................ 82 9. Pertumbuhan Gaya Musik Populer Batak Toba ........................... 84 10 Kesimpulan................................................................................. 92 V. RITUAL MUNCANG (TOLAK BALA) DI DESA GURU KINAYAN KARO Andry Permana Barus................... 96 1. Latar Belakang............................................................................. 96 2. Teori dari Berbagai Disiplin Ilmu ................................................. 98 3. Sejarah Desa Guru Kinayan ....................................................... 101 4. Ritual Muncang ......................................................................... 103 5. Penutup...................................................................................... 105 5 VI. LAGU DAGO INANG SARGE SEBAGAI MATERI PEMBELAJARAN BIOLA IRINGAN KUARTET STRING Sopian Loren ....................................... 107 1. Pendahuuan ............................................................................... 107 2. Pembuatan Biola ........................................................................ 112 3. Makna Lagu Dago Inang Sarge dalam Budaya Batak................. 113 4. Lagu Dago Inang Sarge untuk Pembelajaran Biola .................... 114 4.1 Teknik Tangan Kiri .............................................................. 115 4.2 String Kuartet....................................................................... 118 5. Kesimpulan................................................................................ 119 VII. TARI INDIA BHARATA NATYAM DAN MUSIK IRINGANNYA DALAM KONTEKS BUDAYA Hilma Mithalia Shaliha ......................................... 123 1. Pendahuluan .............................................................................. 123 2. Etnik Tamil ................................................................................ 124 3. Kedatangan Orang Tamil ke Sumatera Utara .............................. 125 4. Agama Hindu............................................................................. 130 5. Tari Bharata Natyam ................................................................. 132 6. Musik Pengiring ........................................................................ 137 7. Penutup...................................................................................... 140 VIII. DESKRIPSI TARI CAKALELE DARI MALUKU Ria Luinne Tabita Pakpahan ............................................... 142 1. Pendahuluan .............................................................................. 142 2. Sejarah Tarian Cakalele ............................................................. 143 3. Makna Gerak ............................................................................. 143 4. Nilai Estetis ............................................................................... 146 5. Tari Cakalele sebagai Kebudayaan Maluku ................................ 148 6. Perlengkpan dan Busana Tari Cakalele ...................................... 149 6 Takari, Polarisasi Kajian Budaya 7. Musik Pengiring Cakalele .......................................................... 150 8. Perubahan Fungsi Tari Cakalele ................................................. 151 9. Kesimpulan................................................................................ 153 VIII. DESKRIPSI TARI CAKALELE DARI MALUKU Ria Luinne Tabita Pakpahan ............................................... 142 1. Pendahuluan .............................................................................. 142 2. Sejarah Tarian Cakalele ............................................................. 143 3. Makna Gerak ............................................................................. 143 4. Nilai Estetis ............................................................................... 146 5. Tari Cakalele sebagai Kebudayaan Maluku ................................ 148 6. Perlengkpan dan Busana Tari Cakalele ...................................... 149 7. Musik Pengiring Cakalele .......................................................... 150 8. Perubahan Fungsi Tari Cakalele ................................................. 151 9. Kesimpulan................................................................................ 153 IX. RAPAI GELENG DI BANDA ACEH: ANALISIS FUNGSI, TEKS, DAN MUSIK Dindin Achmad Nazmudin .................. 155 1. Latar Belakang........................................................................... 155 2. Sejarah Rapai di Aceh................................................................ 165 3. Jenis-jenis Rapai di Aceh ........................................................... 169 4. Rapai Geleng ............................................................................. 171 4.1 Latar Belakang Budaya ........................................................ 171 4.2 Struktur dan Bentuk ............................................................. 174 5. Fungsi Rapai Geleng.................................................................. 194 5.1 Fungsi Pengungkapan Emosional ......................................... 194 5.2 Fungsi Pengungkapan Estetika ............................................. 195 5.3 Fungsi Hiburan .................................................................... 197 5.4 Fungsi Komunikasi .............................................................. 197 5.5 Fungsi Perlambangan ........................................................... 199 5.6 Fungsi Berkaitan dengan Norma Sosial ................................ 200 5.7 Fungsi Kesinambungan Kebudayaan .................................... 201 5.8 Fungsi Pengintegrasian Masyarakat ...................................... 203 6. Kesimpulan dan Saran ............................................................... 204 7 Daftar Gambar dan Notasi a. Gambar 2.1 Pintu Masuk Menuju desa Lingga, Kecamatan Simpang Empat, Kabupaten Karo ........................................................... 29 2.2 Tampak Dalam Rumah Adat Siwaluh Jabu ............................... 32 2.3 Beberapa Rumah Adat Siwaluh Jabu di Desa Lingga, Kabupaten Karo yang Masih Tersisa dengan Kondisi yang Memprihatinkan .............................................................. 33 2.4 Ornamen Bindu Matagah ........................................................ 33 2.5 Ornamen Tapak Raja Sulaiman ................................................ 34 2.6 Ornamen Pengret-ret ................................................................ 35 2.7 Ornamen Tupak Salah Silima-lima ........................................... 35 2.8 Ornamen Embun Sikawiten ...................................................... 36 2.9 Ensambel Gendang Lima Sendalanen ...................................... 36 2.10 Tari Lima Serangkai dengan Melibatkan Penonton .................. 37 2.11 Pemain Gendang Lima Sendalanen (Kiri);Spanduk Gendang Guro-guro Aron (Kanan) ........................................................ 38 7.1 Salah Satu Contoh Pertunjukan Tari Bharata Natyam ............ 134 8.1 Tari Cakalele Dipertujukkan secara Massal ........................... 148 8.2 Tari Cakalele dan Propertinya ................................................ 150 9.1 Posisi Pemain Rapai Geleng dalam Bentuk Bersaf ................. 176 9.2 Pemain Rapai Geleng dalam Posisi Duduk ............................. 177 9.3 Pemain Rapai Geleng dalam Posisi Penghormatan ................. 178 9.4 Gerak Saleum......................................................................... 180 9.5 Gerak Bersalaman ................................................................. 181 9.6 Gerak Gelumbang .................................................................. 181 9.7 Gerak Atas dan Bawah ........................................................... 182 8 Takari, Polarisasi Kajian Budaya 9.8 Gerak Klimaks (Penutup) ....................................................... 183 9.9 Gerak Pukulan Kosong........................................................... 185 9.10 Gerak Kisah Para Nabi .......................................................... 187 9.11 Salah satu Gerak Esra (A) ..................................................... 189 9.12 Salah Satu Gerak Esra (B)..................................................... 190 9.13 Salah Satu Gerak Esra (C)..................................................... 190 9.14 Salah Satu Gerak Esra (D) .................................................... 191 9.15 Hormat kepada Penonton dan Lani Sebagai Penutup.............. 192 b. Notasi 5.1 Notasi Lagu Dago Inang Sarge .............................................. 120 9.1 Seulaweut............................................................................... 177 9.2 Saleum ................................................................................... 185 9.3 Pukulan Kosong ..................................................................... 186 9.4 Kisah (Riwayat) Nabi............................................................. 188 9.5 Esra ....................................................................................... 193 9 satu BEBERAPA CATATAN TENTANG POLARISASI KAJIAN BUDAYA DI ACEH DAN SUMATERA UTARA Muhammad Takari Dosen Magister (S2) Penciptaan dan Pengkajian Seni dan Etnomusikologi Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Sumatera Utara Medan 1. Pengantar Pada dasarnya, semua kegiatan manusia di dunia ini adalah untuk memenuhi kebutuhan hidupnya, yang berupa kebutuhan material dan spiritual. Sebagai contoh, kegiatan belajar mengajar yang dilakukan di sekolah formal seperti Sekolah Dasar, Sekolah Menengah Pertama, Sekolah Menengah Atas, Sekolah Menengah Kejuruan, sampai Perguruan Tinggi, adalah dilakukan dalam konteks memenuhi keingintahuan manusia akan segala aspek ilmu. Begitu pula kegiatan nelayan mencari ikan di laut dengan memanfaatkan teknologi, adalah untuk memenuhi ekonomi keluarganya. Kegiatan kesenian dalam upacara perkawinan misalnya adalah untuk memenuhi upacara tersebut agar meriah dengan melibatkan berbagai keindahan visual dan pendengaran. Masih banyak aktivitas lainnya dalam kebudayaan umat manusia, yang kita temui baik secara berkala, siklus, atau bertahap. Semua ini adalah dalam rangka mengisi kebudayaan yang dianugerahkan Tuhan kepada manusia. Sesuai dengan perkembangan ilmu pengetahuan, maka ilmu-ilmu budaya muncul di dalam sistem pendidikan manusia, untuk mengkaji realitas manusia dan kebudayaannya. Ilmu-ilmu budaya ini sebenarnya telah dimulai sejak sekolah taman kanak-kanak sampai perguruan tinggi. Perbedaan di setiap fase pendidikan ini adalah kedalaman kajian. Bagaimanapun tingkat perguruan tinggilah yang dipandang sebagai lokomotif penggerak kajian ilmu-ilmu budaya. Di perguruan tinggi ini, Seni: Fungsi, Perubahan, dan Makna ilmu-ilmu kebudayaan diaplikasikan ke dalam dimensi pendidikan, penelitian, dan pengabdian kepada masyarakat yang dikenal oleh para sivitas akademika sebagai tridarma perguruan tinggi. Mengkaji budaya adalah sangat kompleks, karena budaya itu sendiri mencakup semua yang dihasilkan manusia, seperti: sistem religi, bahasa, ekonomi, teknologi, organisasi sosial, pendidikan, dan kesenian. Semua unsur ini saling berkait dan saling memberikan warna di dalam sebuah kebudayaan manusia dalam kelompok tertentu. Selain itu, kebudayaan juga dapat berwujud gagasan, kegiatan manusia, serta benda-benda yang dihasilkan. Dengan kompleksnya lingkup kajian budaya yang seperti itu, maka dunia ilmu pengetahuan sendiri pun, dalam mengkaji budaya ini selalu melibatkan berbagai ilmu. Di antaranya adalah untuk mengkaji budaya manusia secara umum digunakan disiplin antropologi. Kemudian untuk mengkaji manusia dan aktivitas-aktivitas sosialnya digunakan ilmu sosiologi. Begitu pula untuk mengkaji eksistensi dan fenomena bahasa dalam kebudayaan digunakan ilmu linguistik. Di sisi lain, untuk mengkaji karya-karya sastra, baik lisan maupun tulisan, digunakan disiplin ilmu sastra. Begitu pula untuk mengkaji kesenian atau seni budaya yang terdapat di dalam masyarakat, digunakan berbagai disiplin ilmu. Untuk mengkaji musik dalam kebudayaan Barat digunakan disiplin musikologi. Selanjutnya untuk mengkaji musik dalam konteks kebudayaan, terutama di luar budaya Barat, digunakan disiplin etnomusikologi. Seterusnya untuk mengkaji tari dalam kebudayaan masyarakat digunakan disiplin etnokoreologi atau antropologi tari. Seterusnya untuk mengkaji seni pertunjukan atau teater digunakan disiplin seni pertunjukan (performing arts study). Demikian pula untuk seni rupa digunakan disiplin seni rupa. Selain itu, sesuai dengan perkembangan zaman, maka kajian terhadap kebudayaan manusia ini lazim menggunakan multidisiplin atau interdisiplin ilmu pengetahuan. Penggunaan berbagai disiplin ini umumnya disesuaikan dengan pertanyaan penelitian atau pokok permasalahan. Namun yang jelas keberadaan budaya dalam kehidupan manusia lazim dikaji sesuai dengan fenomena yang terjadi, dan fokus apa yang diinginkan oleh para ilmuwan atau peneliti. 2 Takari, Polarisasi Kajian Budaya Begitu pula yang terjadi dengan kajian-kajian budaya yang terjadi di berbagai program studi (jurusan atau departemen) di perguruanperguruan tinggi di Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam dan Provinsi Sumatera Utara, baik yang berstatus negeri atau swasta. Umumnya kajian-kajian budaya di berbagai program studi ini selalu mengacu kepada metode dan teori yang lazim digunakan dalam disiplin yang berkait dengan kajian budaya, namun “diselaraskan” dan diolah sesuai dengan kepentingan kawasan ini yaitu Aceh dan Sumatera Utara. Yang paling jelas kawasan ini memiliki budaya dan etnik yang heterogen, yang dapat menyumbang kepada terapan konsep bhinneka tunggal ika yang juga ekspresi dari multikulturalisme di Indonesia. Melalui tulisan ini, penulis akan menggambarkan dan menganalisis polarisasi (tren) kajian-kajian budaya di Aceh dan Sumatera Utara. Fokusnya adalah pada peringkat perguruan tinggi, yang dapat dilacak hasil-hasil kajiannya melalui tulisan-tulisan ilmiah berupa kertas kerja, makalah, publikasi jurnal daerah, nasional, dan internasional, skripsi, tesis, disertasi, buku, laman web, dan sejenisnya. Deskripsi dan analisis kecenderungan saintifik ini, menggunakan metode pengamatan. 2. Kajian Budaya di Berbagai Perguruan Tinggi di Aceh dan Sumatera Utara Sebagaimana diketahui bahwa lokomotif utama penggerak kajian budaya adalah terkonsentrasi di lingkup perguruan tinggi. Namun demikian, ada pula kajian-kajian yang dilakukan oleh para pengkaji di luar intitusi formal ini, walau jumlahnya relatif sedikit. Di Aceh ada 42 Perguruan Tinggi Swasta (7 di antaranya berbentuk universitas), yang lainnya adalah berbentuk akademi, institut, sekolah tinggi, dan lainnya. Di samping itu ada juga Perguruan Tinggi Negeri (PTN), yang tentu saja menjadi barometer perkembangan ilmu di Nanggroe Aceh Darussalam, seperti Universitas Syiah Kuala, Universitas Malikul Saleh, dan Institut Agama Islam Negeri Ar-Raniri. Seterusnya Perguruan Tinggi Swasta (PTS) di Sumatera Utara terdiri dari akademi, institut, politeknik, sekolah tinggi, dan universitas yang jumlahnya menapai 179 (26 di antaranya adalah universitas). Selain itu, 3 Seni: Fungsi, Perubahan, dan Makna Perguruan Tinggi Negeri (PTN) di Sumatera Utara juga menjadi sentra keilmuan dan menjadi barometer pendidikan di Sumatera, Indonesia, bahkan Asia Tenggara dan Dunia. Di antara Perguruan Tinggi Negeri (PTN) di Sumatera Utara adalah: Universitas Sumatera Utara (USU), Universitas Negeri Medan (Unimed, dahulu adalah FKIP USU, kemudian menjadi Institut Keguruan dan Ilmu Pendidikan, terakhir menjadi Unimed), Politeknik Negeri Medan, dan Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Sumatera Utara. Di Perguruan Tinggi Swasta (PTS) dan PTN ini kajian budaya umumnya dilakukan di Fakultas Ilmu Budaya, Fakultas Sastra, dan Fakultas Ilmu Sosial. Namun berbagai program studi ada pula yang memanfaatkan kebudayaan sebagai bahan kajiannya seperti arsitektur, psikologi, hukum adat, ekonomi, dan lain-lain. Ini sesuai dengan perkembangan keilmuan yang kini cenderung menggunakan pendekatan multidisiplin dan interdisiplin ilmu. Selalu melibatkan berbagai bidang ilmu untuk mengkaji fenomena budaya, sosial, dan alam. Demikian pula untuk kajian budaya juga tidak jarang menggunakan ilmu-ilmu bantu sosial dan eksakta. Berikut ini adalah polarisasi kajian budaya di Aceh dan Sumatera Utara menurut pengamatan dan pengalaman keilmuan penulis. Kajian tersebut mencakup metode dan teori yang digunakan. 2.1 Metode Kualitatif Salah satu polarisasi penelitian bidang budaya di Aceh dan Sumatera Utara adalah cenderung dan sebahagaian besar menggunakan metode penelitian kualitatif. Namun demikian, ada pula sedikit pengkaji budaya yang menggunakan metode penelitian kuantitatif. Penelitian kualitatif merupakan bidang antar-disiplin, lintas-disiplin, dan kadang-kadang kontradisiplin. Penelitian kualitatif menyentuh humaniora, ilmu-ilmu sosial, dan ilmu-ilmu fisik. Penelitian ini teguh dengan sudut pandang naturalistik sekaligus kukuh dengan pemahaman interpretif mengenai pengalaman manusia 1 1 Norman K Dendin dan Yvonna S. Lincoln, 2009. Handbook of Qualitative Research. London: Sage Publications, h. 5. 4 Takari, Polarisasi Kajian Budaya Denzin dan Lincoln menyatakan secara eksplisit tentang penelitian kualitatif dalam sejarah ilmu pengetahuan manusia di seluruh belahan bumi ini sebagai berikut. QUALITATIVE [sic.] research has a long and distinguished history in human disiplines. In sociology the work of the "Chicago school" in the 1920s and 1930s established the importance of qualitative research for the study of human group life. In anthropology, during the same period, ... charted the outlines of the field work method, where in the observer went to a foreign setting to study customs and habits of another society and culture. ...Qualitative research is a field of inquiry in its own right. It crosscuts disiplines, fields, and subject matter. A complex, interconnected, family of terms, concepts, and assumtions surround the term qualitative research.2 [Artinya: Penelitian kualitatif telah membentuk masa yang panjang dan memiliki sejarah yang khas dalam disiplin ilmu-ilmu kemanusiaan. Di dalam ilmu sosiologi karya-karya yang dihasilkan oleh “aliran Chichago” pada dasawarsa 1920-an dan 1930-an telah menghasilkan peneltian kualitatif terhadap kelompok manusia yang begitu penting sumbangannya. Di dalam antropologi pula, dalam masa yang sama, ... telah membentuk kerangka kerhja dalam metode kerja lapangannya, yaitu para peneltinya melakukan penelitian terhadap masyarakat asing di luar kelompok peneliti untuk melakukan kajian terhadap adat dan kebiasaan masyarakat dan budaya lain. Penelitian kualitatif adalah sebuah penelitian yang berdasar kepada lapangan penelitian itu sendiri. Penelitian kualitatif adalah berlandaskan kepada silang disiplin ilmu, lapangan, dan lingkup kajian. Istilah-istilah yang kompleks, saling keterhubungan, seperangkat istilah, konsep, dan asumsi, mendukung keberadaan penelitian kualitatif ini]. Lebih jauh Nelson menjelaskan mengenai apa itu penelitian kualitatif menurut keberadaannya di dalam dunia ilmu pengetahuan adalah seperti yang dituliskannya berikut ini. 2 Ibid., h. 1. 5 Seni: Fungsi, Perubahan, dan Makna Qualitative research is an interdisiplinary, transdisiplinary, and sometimes counterdisiplinary field. It crosscuts the humanities and the social and physical sciences. Qualitative research is many things at the same time. It is multiparadigmatic in focus. Its practitioners are sensitive to the value of the multimethod approach. They are commited to the naturalistic perspective, and to the interpretive understanding of human experience. At the same time, the field is inherently political and shaped by multiple ethical and political positions.3 [Artinya: Penelitian kualitatif adalah penelitian lapangan yang bersifat interdisiplin, transdisiplin, dan adakalanya kounterdisiplin. Penelitian ini merupakan hasil persilangan ilmu-ilmu humaniora, sosial, dan alam. Penelitian kualitatif ini menggunakan ilmu-ilmu itu secara bersamaan. Penelitian kualitatif fokus terhadap multiparadigma. Para penggiat penelitian kualitatif biasanya sangat peka terhadap nilai-nilai pendekatan multimetode. Mereka sangat setia kepada pendekatan yang berperspektif alamiah, serta menafsirkan pengetahuan mengenai pengalaman manusia. Pada saat yang sama, lapangan penelitian kualitatif ini inheren dengan politik dan dibentuk oleh berbagai posisi etik dan politis.] Dari kedua kutipan di atas secara garis besar dapat dinyatakan bahwa penelitian kualitatif umumnya ditujukan untuk mempelajari kehidupan kumpulan manusia. Biasanya manusia di luar kelompok peneliti. Penelitian ini melibatkan berbagai jenis disiplin, baik dari ilmu kemanusiaan, sosial, ataupun ilmu alam. Para penelitinya percaya kepada perspektif naturalistik, serta menginterpretasi untuk mengetahui pengalaman manusia, yang oleh karena itu biasanya inheren dan dibentuk oleh berbagai nilai etika posisi politik. Dalam kajian budaya di berbagai PT di Aceh dan Sumatera Utara, metode penelitian ini digunakan di bidang bahasa, sastra, antropologi, sebahagian sosiologi, ilmu komunikasi, hukum, ilmu kepariwisataan, ilmu-ilmu seni seperti (tari, musikologi, etnomusikologi, pengkajian seni, 3 Nelson dan Grossberg, 1992. Qualitative Research. London. MacMillan, h. 4. 6 Takari, Polarisasi Kajian Budaya drama, rupa), dan lain-lain. Di dalam disiplin-disiplin ilmu ini, metode kualitatif yang digunakan diselaraskan dengan pertanyaan penelitian atau pokok permasalahan. Metode penelitian kualitatif ini dipergunakan terutama untuk memahami makna-makna di sebalik kegiatan atau artefak budaya. Makna yang digeluti secara mendalam dan intens dalam metode penelitian ini bertujuan untuk mengupas sedalam-dalamnya gagasan budaya yang terdapat di sebalik yang terlihat. Metode penelitian kualitatif ini sangat memusatkan perhatian dan pengumpulan data lapangan yang diperoleh dari para informan kunci dan pangkal, yang menuju kepada pengungkapan fakta dan fenomena kebudayaan. Dalam penelitian ini, tema dan polarisasi akan dapat berubah sesuai dengan fakta budaya yang ditemui di lapangan. Dengan demikian judul bisa berubah di tengahtengah dilakukannya penelitian. Selain itu, penelitian dengan metode kualitatif ini tidak mesti dibarengi dengan hipotesis, mengalir apa adanya secara natural di lapangan penelitian. Namun demikian dalam penelitian kualitatif ini, data-data yang bersiat kuantitatif juga selalu digunakan. Ini diterapkan dalam mengungkap data etnografis, kependudukan, demografi, bahasa, folklor, dan lain-lainnya. Sehingga penggunaan statistik juga selalu dilakukan di dalam metode penelitian ini. Metode kualitatif biasanya disinergikan dengan teori yang digunakan oleh para peneliti. 2.2 Metode Penelitian Lapangan Salah satu tren dalam mengkaji kebudayaan, para ilmuwan budaya di Aceh dan Sumatera Utara, adalah melakukan penelitian lapangan. Tujuan utama dari penelitian lapangan adalah untuk mengumpulkan datadata tentang kebudayaan langsung dari pelaku masyarakatnya sendiri. Dalam melakukan penelitian lapangan ini, para peneliti budaya melakukan tahapan-tahapan kerja, seperti: pengamatan awal yang bertujuan melihat dalam tahap awal tentang fenomena kebudayaan yang terjadi. Setelah itu para peneliti lapangan ini melakukan perekaman kebudayaan bisa berupa pertunjukan, artefak, kegiatan seperti upacaraupacara, aktivitas sosial, dan lain-lainnya. Mereka selanjutnya melakukan wawancara kepada para informan baik informan kunci atau juga informan pangkal. Tren penelitian budaya ini biasanya sekarang menggunakan 7 Seni: Fungsi, Perubahan, dan Makna teknologi rekaman, baik auditif, visual, ataupun audiovisual, dengan menggunakan teknologi canggih. Dalam analisisnya telah ada perangkatperangkat lunak yang digunakan untuk mengkaji fenomena budaya yang diteliti. Dalam bidang linguistik misalnya, untuk kajian prosodi yaitu sajian teks bahasa atau sastra sudah digunakan perangkat lunak frat. Demikian pula untuk bidang musikologi dan etnomusikologi digunakan perangkat lunak sibellius, untuk mentranskripsi dan menganalisis melodi dan ritme musik. Demikian pula untuk kepentingan statistika digunakan berbagai perangkat lunak untuk mengolah data kebudayaan dengan statistika. Selain itu, untuk menggumuli budaya secara intens di lapangan penelitian, tidak jarang sebagai penerapan konsep being native, para peneliti tinggal bersama-sama dengan masyarakat yang diteliti selama berbulan-bulan atau bertahun-tahun, untuk mengungkap makna-makna di sebalik kegiatan atau kejadian budaya. Dengan cara kerja lapangan yang demikian, maka penggalian makna-makna kebudayaan akan sampai kepada akar terdalam di dalam mesyarakat yang diteliti, tidak superfisial. Namun teknik demikian tentu akan memakan biaya dan menyita waktu yang relatif besar, namun akan mendapatkan data yang baik apalagi diiringi analisis yang tajam, menyeluruh, dan berdasar pada sifat alamiah kebudayaan manusia. Penelitian lapangan dalam kajian ilmu budaya biasanya merujuk langsung kepada informan kunci. Selain itu juga ditentukan lokasi penelitiannya, yang bisa saja satu kampung, desa, kecamatan, nagari, luhak, gampong, kejeruan, dan sejenisnya. Metode pemilihan lokasi penelitian ini biasanya disebutkan dan dideskripsikan oleh para peneliti untuk memverifikasi keabsahan sumber data. Metode-metode seperti sudah diuraikan ini kemudian diterapkan pada berbagai kajian budaya. Menurut penulis, kajian-kajian tersebut adalah seperti berikut. 2.3 Kajian Fungsional Untuk mengkaji apapun dalam dunia ilmiah pastilah menggunakan teori, demikian yang dianut ilmuwan di seluruh dunia. Teori menurut 8 Takari, Polarisasi Kajian Budaya Marckward4 memiliki tujuh pengertian: (1) sebuah rancangan atau skema pikiran, (2) prinsip dasar atau penerapan ilmu pengetahuan, (3) abstrak pengetahuan yang antonim dengan praktik, (4) rancangan hipotesis untuk menangani berbagai fenomena, (5) hipotesis yang mengarahkan seseorang, (6) dalam matematika adalah teorema yang menghadirkan pandangan sistematik dari beberapa subjek, dan (7) ilmu pengetahuan tentang komposisi musik. Jadi dengan demikian, teori berada dalam tataran ide ilmuwan, yang kebenarannya secara empiris dan rasional telah diujicoba. Dalam dimensi waktu teori-teori dari semua disiplin ilmu terus berkembang. Teori-teori yang dipergunakan dalam mengkaji sastra, tari, musik, teater/pertunjukan, diambil dari berbagai disiplin atau dikembangan sendiri secara khas, seperti beberapa contoh yang dikemukakan berikut ini. Untuk mengkaji sejauh apa fungsi budaya, para pengkaji budaya menggunakan teori fungsionalisme. Menurut Lorimer et al., teori fungsionalisme adalah salah satu teori yang dipergunakan pada ilmu sosial, yang menekankan pada saling ketergantungan antara institusiinstitusi dan kebiasaan-kebiasaan pada masyarakat tertentu. Analisis fungsi menjelaskan bagaimana susunan sosial didukung oleh fungsi institusi-institusi seperti: negara, agama, keluarga, aliran dan pasar terwujud. Sebagai contoh, pada masyarakat yang kompleks seperti Amerika Serikat, agama dan keluarga mendukung nilai-nilai yang difungsikan untuk mendukung kegiatan politik demokrasi dan ekonomi pasar. Dalam masyarakat yang lebih sederhana, masyarakat tribal, partisipasi dalam upacara keagamaan berfungsi untuk mendukung solidaritas sosial di antara kelompok-kelompok manusia yang berhubungan kekerabatannya. Meskipun teori ini menjadi dasar bagi para penulis Eropa abad ke-19, khususnya Emile Durkheim, fungsionalisme secara nyata berkembang sebagai sebuah teori yang mengagumkan sejak dipergunakan oleh Talcott Parsons dan Robert Merton tahun 1950-an. 4 Marckward, Albert H. et al. (eds.), 1990. Webster Comprehensive Dictionary (volume 2). Chicago: Ferguson Publishing Company. h. 1302. 9 Seni: Fungsi, Perubahan, dan Makna Teori ini sangat berpengaruh kepada para pakar sosiologi AngloAmerika dalam dekade 1970-an. Bronislaw Malinowski dan RadcliffeBrown, mengembangkan teori ini di bidang antropologi, dengan memusatkan perhatian pada masyarakat bukan Barat. Sejak dekade 1970an, teori fungsionalisme dipergunakan pula untuk mengkaji dinamika konflik sosial. 5 Dalam bidang komunikasi, ada beberapa pakar yang mengemukakan pendapatnya mengenai fungsi komunikasi. Fungsi komunikasi memperlihatkan arus gerakan yang seiring dengan masyarakat atau individu. Komunikasi berfungsi menurut keperluan pengguna atau individu yang berinteraksi. Karena itu fungsi komunikasi bisa dikaitkan dengan ekspresi (emosi), arahan, rujukan, puitis, fatik dan metalinguitik yang berkaitan dengan bahasa. Secara umum fungsi komunikasi terdiri dari empat kategori utama yaitu: (1) fungsi memberitahu, (2) fungsi mendidik, (3) memujuk khalayak mengubah pandangan, dan (4) untuk menghibur orang lain. Fungsi untuk memberi tahu, artinya adalah melalui komunikasi berbagai konsep atau gagasan diberitahukan kepada orang lain (penerima komunikasi), dan penerima ini menerimanya, yang kemudian dampaknya ia tahu tentang gagasan yang dikomunikasikan tersebut. Akhirnya isi komunikasi itu akan dibalas oleh penerima, bisa jadi dalam bentuk prilaku, respons, dan lainnya. Pemberitahuan ini sangat penting dalam konteks sosial kemasyarakatan. Misalnya orang yang diberitahu bahwa salah seorang warganya meninggal dunia, melalui saluran komunikasi, seperti dalam bentuk lisan atau bukan lisan seperti bunyi bedug dengan pukulan dan irama tertentu, atau lambang-lambang, seperti bendera merah atau hijau di depan rumah, dan lainnya. Akibatnya penerima komunikasi akan menafsir pesan komunikasi dalam bentuk lisan dan bukan lisan tadi, kemudian datang bertakziah ke tempat warganya yang meninggal dunia. 5 Lawrence T. Lorimer et al., 1991, Grolier Encyclopedia of Knowledge (volume 120). Danburry, Connecticut: Groller Incorporated. h. 112-113. 10 Takari, Polarisasi Kajian Budaya Fungsi komunikasi lainnya adalah mendidik. Artinya adalah bahwa komunikasi berperan dalam konteks pendidikan manusia. Komunikasi menjadi saluran ilmu dari seseorang kepada orang lainnya. Ilmu pengetahuan dipindahkan dari sesorang yang tahu kepada orang yang belum tahu. Berkat terjadinya komunikasi maka kelestarian kebudayaan akan terus berlanjut antara generasi ke generasi, dan dampak akhirnya masyarakat itu cerdas dan dapat mengelola alam, melalui ilmu pengetahuan. Komunikasi juga berfungsi untuk mengubah pandangan manusia atau memujuk khalayak untuk merubah pandangannya. Melalui komunikasi, pandangan seseorang atau masyarakat bisa diubah, dari satu pandangan ke pandangan lain. Apakah pandangan yang lebih baik atau lebih buruk menurut stadar norma-norma sosial. Dalam konteks bemegara misalnya, pandangan yang tak sesuai dengan ideologi negara akan dapat dibujuk untuk menuruti ideologi yang selaras dengan negara. Dalam konteks ini umumnya suatu kabinet di dalam negara, membentuk departemen komunikasi, informasi, atau penerangan. Tujuan utamanya adalah memujuk masyarakat bangsa itu untuk menurut ideologi dan program-program pembangunan yang dianut dan dilaksanakan oleh pemerintah. Fungsi komunikasi lainnya adalah menghibur orang lain. Maksudnya adalah bahwa melalui komunikasi seorang penyampai atau sumber komunikasi akan menghibur orang lain sebagai penerima komunikasi, yang memang dalam konteks sosial diperlukan. Fungsi komunikasi sebagai sarana hiburan ini akan dapat membantu seseorang atau sekumpulan orang terhibur dari beban sosial budaya yang dialaminya. Hiburan ini dapat berupa rasa simpati sumber kepada penerima. Bentuknya bisa saja seperti ungkapan verbal turut merasakan apa yang dirasakan penerima komunikasi, atau juga seperti bernyanyi, bermain musik, melucu dan lain-lainnya. Dengan demikian, melalui komunikasi terjadi hiburan, yang juga melegakan diri dari himpitan dan tekanan sosial. Teori fungsionalisme dalam ilmu antopologi mulai dikembangkan oleh seorang pakar yang sangat penting dalam sejarah teori antropologi, 11 Seni: Fungsi, Perubahan, dan Makna yaitu Bronislaw Malinowski (1884-1942). Ia lahir di Cracow, Polandia, sebagai putra keluarga bangsawan Polandia. Ayahnya seorang guru besar dalam ilmu sastra Slavik. Jadi tidaklah mengherankan apabila Malinowski memperoleh pendidikan yang kelak memberikannya suatu karir akademik juga. Tahun 1908 ia lulus dari Fakultas Ilmu Pasti dan Alam dari Universitas Cracow. Yang menarik, selama studinya ia gemar membaca buku mengenai folklor dan dongeng-dongeng rakyat, sehingga ia menjadi tertarik kepada ilmu psikologi. Beliau kemudian belajar psikologi kepada Profesor W. Wundt, di Leipzig, Jerman. Perhatiannya terhadap folklor mengarahkan dirinya ia membaca buku J.G. Frazer, bertajuk The Golden Bough, mengenai ilmu gaib, yang menyebabkan ia menjadi tertarik kepada ilmu etnologi. Ia melanjutkan belajar ke London School of Economics, tetapi karena di Perguruan Tinggi itu tidak ada ilmu folklor atau etnologi, maka ia memilih ilmu yang paling dekat kepada keduanya, yaitu ilmu sosiologi empiris. Gurunya ahli etnologi, yaitu C.G. Seligman. Tahun 1916 ia mendapat gelar doktor dalam ilmu itu, dengan menyerahkan dua buah karangan sebagai ganti disertasi, yaitu The Family among the Australian Aborigines (1913) dan The Native of Mailu (1913). Kemudian ia berangkat ke Pulau Trobiand di utara Kepulaun Massim, sebelah tenggara Papua Nugini, untuk melakukan penelitian tahun 1914. Sehabis perang dunia pertama pada tahun 1918, ia pergi ke Inggris karena mendapat pekerjaan sebagai asisten ahli di London School of Economics. Beliau mulai mengembangkan suatu kerangka teori baru untuk menganalisis fungsi dari kebudayaan manusia, yang disebutnya dengan teori fungsional tetang kebudayaan, atau a functional theory of culture. Ia kemudian mengambil keputusan untuk menetap di Amerika Serikat, ketika ia ditawari untuk menjadi guru besar antropologi di University Yale tahun 1942. Sayang tahun itu juga ia meninggal dunia. Buku mengenai teori fungsional yang baru yang telah ditulisnya, diredaksi oleh muridnya H. Caims dan menerbitkannya dua tahun selepas itu.6 6 Lihat lebih jauh, Malinowski, 1987. “Teori Fungsional dan Struktural,” dalam Teori Antroplologi I Koentjaraningrat (ed.). Jakarta: Universitas Indonesia Press. 12 Takari, Polarisasi Kajian Budaya Pemikiran Malinowski mengenai syarat-syarat metode etnografi berinteraksi secara fungsional yang dikembangkannya dalam beberapa kuliahnya. Isinya adalah tentang metode-metode penelitian lapangan. Dalam masa penulisan ketiga buku etnografi mengenai kebudayaan Trobiand selanjutnya, menyebabkan konsepnya mengenai fungsi sosial adat, prilaku manusia, dan pranata-pranata sosial, menjadi lebih mantap. Ia membedakan fungsi sosial dalam tiga tingkat abstraksi, yaitu: (a) fungsi sosial dari suatu adat, pranata sosial atau unsur kebudayaan pada tingkat abstraksi pertama mengenai pengaruh atau efeknya terhadap adat, prilaku manusia dan pranata sosial yang lain dalam masyarakat; (b) Fungsi sosial dari suatu adat, pranata sosial atau usur kebudayaan pada tingkat abstraksi kedua mengenai pengaruh atau efeknya terhadap keperluan suatu adat atau pranata lain untuk mencapai maksudnya, seperti yang dikonsepsikan oleh warga masyarakat yang terlibat; (c) Fungsi sosial dari suatu adat atau pranata sosial pada tingkat abstraksi ketiga mengenai pengaruh atau efeknya terhadap keperluan mutlak untuk berlangsungnya secara terintegrasi dari suatu sistem sosial tertentu. Radcliffe-Brown mengemukakan bahwa fungsi sangat berkait erat dengan struktur sosial masyarakat. Bahwa struktur sosial itu hidup terus, sedangkan individu-individu dapat berganti setiap masa. Dengan demikian, Radcliffe-Brown yang melihat fungsi ini dari sudut sumbangannya dalam suatu masyarakat, mengemukakan bahwa fungsi adalah sumbangan satu bagian aktivitaas kepada keseluruhan aktivitas di dalam sistem sosial masyarakatnya. Tujuan fungsi adalah untuk mencapai tingkat harmoni atau konsistensi internal, seperti yang diuraikannya berikut ini. By the definition here offered ‘function’ is the contribution which a partial activity makes of the total activity of which it is a part. The function of a particular social usage is the contribution of it makes to the total social life as the functioning of the total social system. Such a view implies that a social system ... has a certain kind of unity, which we may speak of as a functional unity. We may define it as a condition in which all parts of the social system work together with a 13 Seni: Fungsi, Perubahan, dan Makna sufficient degree of harmony or internal consistency, i.e., without producing persistent conflicts can neither be resolved not regulated.7 Dalam konteks kajian budaya di Aceh dan Sumatera Utara, teori fungsionalisme atau kajian fungsional ini dipergunakan dalam berbagai bidang ilmu. Di antaranya adalah bidang komunikasi di berbagai universitas. Demikian pula di bidang linguistik dan sastra, yang dikenal dengan kajian linguistic systemic functional (LSF), yang ditokohi oleh Halliday dan kawan-kawan. Demikian pula di bidang seni selalu digunakan teori fungsi ini. Dengan tetap bertolak dari teori fungsi, yang kemudian mencoba menerapkannya dalam disiplin etnomusikologi, lebih lanjut secara tegas Merriam membedakan pengertian fungsi ini dalam dua istilah, yaitu penggunaan dan fungsi. Menurutnya, membedakan pengertian penggunaan dan fungsi adalah sangat penting. Para pakar etnomusikologi pada masa lampau, tidak begitu teliti terhadap perbedaan ini. Jika kita berbicara tentang penggunaan musik, maka kita menunjuk kepada keebiasaan (the ways) musik dipergunakan dalam masyarakat, sebagai praktik yang biasa dilakukan, atau sebagai bagian dari pelaksanaan adatistiadat, baik ditinjau dari aktivitas itu sendiri maupun kaitannya dengan aktivitas-aktivitas lain. Lebih jauh Merriam menjelaskan perbedaan pengertian antara penggunaan dan fungsi sebagai berikut. Music is used in certain situations and becomes a part of them, but it may or may not also have a deeper function. If the lover uses song to w[h]o his love, the function of such music may be analyzed as the continuity and perpetuation of the biological group. When the supplicant uses music to the approach his god, he is employing a particular mechanism in conjunction with other mechanism as such as dance, prayer, organized ritual, and ceremonial acts. The function of music, on the other hand, is enseparable here from the function of religion which may perhaps be interpreted as the establishment of a 7 A.R. Radcliffe-Brown, 1952. Structure and Function in Primitive Society. Glencoe: Free Press. h. 181. 14 Takari, Polarisasi Kajian Budaya sense of security vis-á-vis the universe. “Use” them, refers to the situation in which music is employed in human action; “function” concerns the reason for its employment and perticularly the broader purpose which it serves.8 Di dalam dispilin etnomusikologi, dikenal kajian penggunaan dan fungsi (use and function) musik di dalam kebudayaan. Kajian ini adalah selaras dengan yang ditawarkan oleh Merriam, bahwa musik dalam kebudayaan manusia memiliki: (1) fungsi pengungkapan emosional, (2) fungsi pengungkapan estetika, (3) fungsi hiburan, (4) fungsi komunikasi, (5) fungsi perlambangan, (6) fungsi reaksi jasmani, (7) fungsi yang berkaitan dengan norma sosial, (8) fungsi pengesahan lembaga sosial dan upacara keagamaan, (9) fungsi kesinambungan kebudayaan, dan (10) fungsi pengintregasian masyarakat. 2.4 Kajian Semiotik Pendekatan kajian budaya salah satunya mengambil teori semiotik dalam usaha untuk memahami bagaimana makna diciptakan dan dikomunikasikan melalui sistem simbol yang membangun sebuah peristiwa sastra, seni, dan budaya. Dua tokoh perintis semiotik adalah Ferdinand de Saussure seorang ahli bahasa dari Swiss dan Charles Sanders Pierce, seorang filosof dari Amerika Serikat. Saussure melihat bahasa sebagai sistem yang membuat lambang bahasa itu terdiri dari sebuah imaji bunyi (sound image) atau signifier yang berhubungan dengan konsep (signified). Setiap bahasa mempunyai lambang bunyi tersendiri. Peirce juga menginterpretasikan bahasa sebagai sistem lambang, tetapi terdiri dari tiga bagian yang saling berkaitan: (1) representatum, (2) pengamat (interpretant), dan (3) objek. Dalam kajian sastra dan kesenian berarti kita harus memperhitungkan peranan seniman pelaku dan penonton sebagai pengamat dari lambang-lambang dan usaha kita untuk 8 Alan P. Merriam, 1964. The Anthropology of Music. Chicago Nortwestern University. h. 210. 15 Seni: Fungsi, Perubahan, dan Makna memahami proses pertunjukan atau proses penciptaan. Peirce membedakan lambang-lambang ke dalam tiga kategori: ikon, indeks, dan simbol. Apabila lambang itu menyerupai yang dilambangkan seperti foto, maka disebut ikon. Jika lambang itu menunjukkan akan adanya sesuatu seperti timbulnya asap akan diikuti api, disebut indeks. Jika lambang tidak menyerupai yang dilambangkan, seperti burung garuda melambangkan negara Republik Indonesia, maka disebut dengan simbol. Semiotik atau semiologi adalah kajian teradap tanda-tanda (sign) serta tanda-tanda yang digunakan dalam perilaku manusia. Definisi yang sama pula dikemukakan oleh salah seorang pendiri teori semiotik, yaitu pakar linguistik dari Swiss Ferdinand de Sausurre. Menurutnya semiotik adalah kajian mengenai “kehidupan tanda-tanda dengan masyarakat yang menggunakan tanda-tanda itu.” Meskipun kata-kata ini telah dipergunakan oleh filosof Inggris abad ke-17 yaitu John Locke, gagasan semiotik sebagai sebuah modus interdisiplin ilmu, dengan berbagai contoh fenomena yang berbeda dalam berbagai lapangan studi, baru muncul ke permukaan pada akhir abad ke-19 dan awal abad ke-20, ketika munculnya karya-karya Sausurre dan karya-karya seorang filosof Amerika Serikat, Charles Sanders Peirce. Dalam karya awal Peirce di lapangan semiotik ini, ia menumpukan perhatian kepada pragmatisme dan logika. Ia mendefinisikan tanda sebagai “sesuatu yang mendukung seseorang untuk sesuatu yang lain.” Salah satu sumbangannya yang besar bagi semiotik adalah pengkategoriannya mengenai tanda-tanda ke dalam tiga tipe, yaitu: (a) ikon, yang disejajarkan dengan referennya (misalnya jalan raya adalah tanda untuk jatuhnya bebatuan); (b) indeks, yang disamakan dengan referennya (asap adalah tanda adanya api) dan (c) simbol, yang berkaitan dengan referennya dengan cara penemuan (seperti dengan kata-kata atau signal trafik). Secara saintifik, istilah semiotik berasal dari perkataan Yunani semeion. Panuti Sudjiman dan van Zoest9 menyatakan bahwa semiotik 9 Panuti Sudjiman dan Aart Van Zoest (ed.) 1992. Serba-serbi Semiotik. Jakarta: Penerbit PT Gramedia Pustaka Utama. 16 Takari, Polarisasi Kajian Budaya berarti tanda atau isyarat dalam satu sistem lambang yang lebih besar. Manakala bidang pragmatik mengkaji kesan penggunaan lambang terhadap proses komunikasi. Dengan menggunakan pendekatan semiotik, seseorang dapat menganalisis makna yang tersurat dan tersirat di balik penggunaan lambang dalam kehidupan manusia sehari-hari. Semiotik dapat menjelaskan persoalan yang berkaitan dengan lambang, termasuk: penggunaan lambang, isi pesan, dan cara penyampaiannya.10 2.5 Kajian Tradisi Lisan dan Kearifan Lokal Tradisi lisan dalam berbagai bentuknya sangatlah kompleks. Tradisi ini mengandung berbagai aspek, tidak hanya berupa cerita, mitos, dan dongeng, tetapi juga mengandung berbagai hal yang menyangkut hidup dan kehidupan komunitas pemiliknya seperti kearifan lokal, sistem nilai, sistem kepercayaan dan religi serta berbagai hasil seni. Tradisi lisan mencakup semua kegiatan kebudayaan yang dilestarikan dan diturunkan ke generasi ke generasi secara tidak tertulis. Tradisi lisan mencakupi kearifan lokal, sastra dan bentuk kesenian yang lain, sejarah, obat-obatan, primbon, dan sebagainya. Sesungguhnya membicarakan suatu tradisi baik lisan maupun tulisan adalah suatu pembicaraan yang amat sukar dibatasi. Sebab tradisi dalam arti serangkaian kebiasaan dan nilai-nilai, yang diwariskan dari satu generasi ke generasi berikutnya, boleh dikatakan hampir meliputi semua segi kehidupan suatu masyarakat tertentu. Pada segi lain, kesulitan tampak bagaimana tradisi itu bergeser dan berubah mendapatkan semacam erosi dalam faktor-faktor yang sangat kompleks dan sukar dibatasi batas waktunya. Menurut Endraswara11 tradisi lisan adalah karya yang penyebarannya disampaikan dari mulut ke mulut secara turun temurun. 10 D.K. Berlo, 1960. The Process of Communication. San Francisco: Rinenart Press. h. 54. 11 Lihat lebih jauh Erni Yunita, 2011, Analisis Semiotika Tradisi Bermantra Pagar Diri di Desa Ujung Gading Julu, Kabupaten Padang Lawas Utara, Provinsi Sumatera Utara. Medan: Tesis Sekolah Pascasarjana Program Studi Linguistik Universitas Sumatera Utara. 17 Seni: Fungsi, Perubahan, dan Makna Adapun ciri-ciri dari tradisi lisan, yakni: (1) lahir dari masyarakat yang polos, belum melek huruf, dan bersifat tradisional; (2) menggambarkan budaya milik kolektif tertentu, yang tidak jelas siapa penciptanya; (3) lebih menekankan aspek khayalan, ada sindiran, jenaka dan pesan mendidik; (4) sering melukiskan tradisi kolektif tertentu; (5) tradisi lisan banyak mengungkapkan kata-kata atau ungkapan-ungkapan klise; dan (6) tradisi lisan sering bersifat menggurui. Tradisi lisan memiliki kaitan dengan masyarakat pemilik tradisi lisan tersebut. Pemilik tradisi lisan paling berpengetahuan tentang apa yang diperlukan untuk melestarikan tradisi mereka. Para pemilik tradisi lisan juga adalah orang yang paling mudah dapat menggairahkan orang, apalagi generasi muda dan juga paling memahami pentingnya tradisi mereka. Kearifan lokal atau sering disebut local wisdom dapat dipahami sebagai usaha manusia dengan menggunakan akal budinya (kognisi) untuk bertindak dan bersikap terhadap sesuatu, objek, atau peristiwa yang terjadi dalam ruang tertentu. Pengertian di atas, disusun secara etimologi, di mana wisdom dipahami sebagai kemampuan seseorang dalam menggunakan akal pikirannya dalam bertindak atau bersikap sebagai hasil penilaian terhadap sesuatu, objek, atau peristiwa yang terjadi. Sebagai sebuah istilah wisdom sering diartikan sebagai kearifan. Local secara spesifik menunjuk pada ruang interaksi terbatas dengan sistem nilai yang terbatas pula. Sebagai ruang interaksi yang sudah didesain sedemikian rupa yang di dalamnya melibatkan suatu pola-pola hubungan antara manusia dengan manusia atau manusia dengan lingkungan fisiknya. Pola interaksi yang sudah terdesain tersebut disebut setting. Setting adalah sebuah ruang interaksi tempat seseorang dapat menyusun hubungan-hubungan face to face dalam lingkungannya. Sebuah setting kehidupan yang sudah terbentuk secara langsung akan memproduksi nilai-nilai. Nilai-nilai tersebut yang akan menjadi alasan hubungan mereka atau menjadi acuan tingkah laku mereka (http:// ibda. files.wordpress.com/2008/04/2-landasan-keilmuan-kearifan-lokal.pdf). 18 Takari, Polarisasi Kajian Budaya Kearifan lokal merupakan pengetahuan yang muncul dari periode panjang yang berevolusi bersama-sama masyarakat dan lingkungannya dalam sistem lokal yang sudah dialami bersama-sama. Proses evolusi yang begitu panjang dan melekat dalam masyarakat dapat menjadikan kearifan lokal sebagai sumber energi potensial dari sistem pengetahuan kolektif masyarakat untuk hidup bersama secara dinamis dan damai. Pengertian ini melihat kearifan lokal tidak sekadar sebagai acuan tingkahlaku seseorang, tetapi lebih jauh, yaitu mampu mendinamisasi kehidupan masyarakat penuh peradaban. 2.6 Kajian Seni Pertunjukan Kajian seni pertunjukan (performing art study) adalah disiplin ilmu yang termasuk ke dalam rumpun ilmu-ilmu seni yang mengkaji pertunjukan budaya manusia dari seperti upacara-upacara, prosesi ke kuburan, sirkus, kabaret, film, sinetron, sampai juga kepada musik, tari, dan teater yang menekankan aspek keindahan atau estetis. Di antara pendekatan teoretis dalam kajian seni pertunjukan adalah menggunakan teori semiotik. Dengan mengikuti pendekatan semiotik, maka dua pakar pertunjukan budaya, Tadeuz Kowzan dan Patrice Pavis dari Perancis, mengaplikasikannya dalam pertunjukan. Kowzan menawarkan 13 sistem lambang dari sebuah pertunjukan teater--8 berkaitan langsung dengan pemain dan 5 berada di luarnya. Ketiga belas lambang itu adalah: kata-kata, nada bicara, mimik, gestur, gerak, make-up, gaya rambut, kostum, properti, setting, lighting, musik, dan efek suara. Pavis menyusun daftar pertanyaan yang lebih lugas dan detil untuk mengkaji sebuah pertunjukan. Pertanyaan-pertanyaannya menekankan perlunya dijelaskan bagaimana makna dibangun dan mengapa demikian. Pertanyaan ini menekankan pentingnya sebuah proses pertunjukan. Adapun pertanyaan-pertanyaan itu adalah mencakup: (1) diskusi umum tentang pertunjukan, yang meliputi: (a) unsur-unsur apa yang mendukung pertunjukan, (b) hubungan antara sistem-sistem pertunjukan, (c) koherensi dan inkoherensi, (d) prinsip-prinsip estetis produksi, (e) kendala-kendala apa yang dijumpai tentang produksi seni, apakah 19 Seni: Fungsi, Perubahan, dan Makna momennya kuat, lemah, atau membosankan; (2) skenografi, yang meliputi: (a) bentuk ruang pertunjukan--mencakup: arsitektur, gestural, keindahan, imitasi tata ruang, (b) hubungan. antara tempat penonton dengan panggung pertunjukan, (c) sistem pewarnaan dan konotasinya, (d) prinsip-prinsip organisasi ruang yang meliputi hubungan antara on-stage dan off-stage dan keterkaitan antara ruang yang diperlukan dengan gambaran panggung pada teks drama; (3) sistem tata cahaya; (4) properti panggung: tipe, fungsi, hubungan antara ruang dan para pemain; (5) kostum: bagaimana mereka mengadakannya serta bagaimana hubungan kostum antar pemain; (6) pertunjukan (a) gaya individu atau konvensional, (b) hubungan antara pemain dan kelompok, (c) hubungan antara. teks yang tertulis dengan yang dilakukan, antara pemain dan peran, (d) kualitas gestur dan mimik, (e) bagaimana dialog dikembangkan; (7) fungsi musik dan efek suara; (8) tahapan pertunjukan: (a) tahap keseluruhan dan (b) tahap-tahap tertentu. sebagai sistem tanda seperti tata cahaya, kostum, gestur, dan lain-lain, tahap pertunjukan yang tetap atau berubah tiba-tiba; (9) interpretasi cerita dalam pertunjukan: (a) cerita apa yang akan dipentaskan, (b) jenis dramaturgi apa yang dipilih, (c) apa yang menjadi ambiguitas dalam pertunjukan dan poin-poin apa yang dijelaskan, (d) bagaimana. struktur plot, (e) bagaimana cerita dikonstruksikan oleh para pemain dan bagaimana pementasannya, (f) termasuk genre apakah teks dramanya; (10) teks dalam pertunjukan: (a) terjemahan skenario, (b) peran yang diberikan. teks drama dalam produksi, (c) hubungan antara teks dan imaji; (11) penonton: (a) di mana pertunjukan dilaksanakan, (b) prakiraan penonton tentang apa yang akan terjadi dalam pertunjukan, (c) bagaimana reaksi penonton, dan (d) peran penonton dalam konteks menginterpretasikan makna-makna; (12) bagaimana mencatat produksi pertunjukan secara: (a) teknis dan (b) imaji apa yang menjadi fokus; (13) apa yang tidak dapat diuraikan dari tanda-tanda pertunjukan: (a) apa yang tidak dapat diinterpretasikan dari sebuah pertunjukan, (b) apa yang tidak dapat direduksi tentang tanda dan makna pertunjukan (dan mengapa), (14) apakah ada masalah-masalah khusus yang perlu dijelaskan serta berbagai komentar dan saran lebih 20 Takari, Polarisasi Kajian Budaya lanjut untuk melengkapi sejumlah pertanyaan dan memperbaiki produksi pertunjukan.12 Di Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Sumatera Utara, Medan, sejak tahun 2009 didirikan Program Studi Magaister (S2) Penciptaan dan Pengkajian Seni Pertunjukan. Prodi Magister Seni ini menggunakan berbagai pendekatan yang lintas disiplin, umumnya musik, tari, teater, dan budaya. Hasil-hasil kajiannya yang berbetuk tesis umumnya mengkaji keberadaan seni di Aceh, Sumatera Utara, dan Minangkabau. Ini dapat dilihat dari tema seperti zapin Melayu, tari Shaman Aceh, biola pada Orkes Simfoni Medan, tortor Batak Toba, barongsai Tionghoa Sumatera Utara, talempong Minangkabau, dan lain-lainnya. Ini juga menjadi sebuah tren kajian budaya tersendiri di lingkungan kita. 2.7 Kajian Keilmuan Khusus Selain pendekatan-pendekatan dengan berbagai metode dan teeori yang lebih bersifat umum, maka ada juga tren di berbagai disiplin ilmu budaya yang menggunakan kajian dengan teori-teori khusus. Misalnya di dalam kajian sastra, terdapat teori resepsi sastra, heuristik, hermeneutik, filologis, dan lainnya. Di bidang linguistik ada kajian prosodi, x-bar, transformasi generatif, distribusional, analisis wacana, dan lain-lainnya. Begitu juga di bidang seni terdapat teori weighted scale, kantometrik, koreometrik, redoks pada pembuatan alat musik perunggu, analisis Schenker, dan lain-lainnya. 2.7.1 Resepsi Sastra Penelitian sastra sebagaimana penelitian ilmu-ilmu lainnya haruslah menggunakan kerangka teori yang jelas dan sesuai dengan objek penelitiannya. Teori diperlukan sebagai tuntutan kerja untuk memahami objeknya dalam saat analisis. Dalam ilmu sastra teori yang menekankan kepada aspek pembaca dikenal dengan nama teori resepsi. Pendekatannya disebut dengan 12 Muhammad Takari dan Heristina Dewi, 2008, Budaya Musik dan Tari Melayu Sumatera Utara. Medan: USU Press. 21 Seni: Fungsi, Perubahan, dan Makna pendekatan reseptif. Pendekatan dengan titik berat kepada peranan pembaca sebagai penyambut karya sastra termasuk kepada pendekatan pragmatik. Perhatian kepada peranan pembaca sebagai pemberi makna karya sastra dalam sejarah perjalanan ilmu sastra merupakan perkembangan baru dan baru timbl sesudah tahun 1960. Analisis resepsi adalah satu sarana atau alat dalam proses pemberian makna dan sebagai usaha ilmiah untuk memahami proses itu. Tokoh utama dalam ilmu sastra yang menekankan peranan pembaca adalah Hans Robert Jauss. Pada tahun 1967 ia menulis artikel “Literaturgeschichte als Provokation” (“Sejarah Sastra sebagai Tantangan”) menggemparkan dunia ilmu sastra di Jerman Barat. Tulisan ini kemudian dialihbahasakan ke dalam bahasa Inggris dengan tajuk “Literary History as a Chalenge to Literary Theory.”13 Jauss menyebut pendekatannya terhadap sastra dengan rezeptionsasthetik. Dalam bahasa Indonesia dikenal dengan estetika penerimaan dan kemudian menjadi resepsi sastra. Pembaca dalam konteks ini adalah pembaca yang cakap, mereka itu para pakar dan kritikus sastra yang dipandang dapat mewakili para pembaca pada periodenya dan juga para ahli sejarah.14 Selaku pembaca tempat peneliti adalah sebagai mata terakhir dalam rantai sejarah dan ikut dalam proses penilaian.15 Demikian sekilas tentang teori resepsi sastra yang lazim digunakan oleh para ilmuwan pengkaji sastra, tidak pada disiplin lain. 2.7.2 Heuristik dan Hermeneutik Dalam ilmu sastra untuk memahami makna teks, pertama kali dapat dilakukan dengan heuristik dan hermeneutik atau retoaktif. Pembacaan 13 M.H. Abrams, 1976, The Mirror and the Lamp: Romantic Theoryu and Critical Tradition. London-Oxford-New York: Oxford University Press. h. 155. 14 Rachmat Djoko Pradopo, 1985. "Estetika Resepsi dan Teori Penerapannya" dalam Sulastin Sutrisno, Darusuprapta, Sudaryanto (ed.) Bahasa Sastra Budaya. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press. h. 182-192. 15 A. Teeuw, 1984, Sastra dan Ilmu Sastra: Pengantar Teori Sastra, Cetakan I, Pustaka Jaya, Jakarta. h. 200. 22 Takari, Polarisasi Kajian Budaya heuristik menurut Riffaterre16 merupakan pembacaan tingkat pertama untuk memahami makna secara linguistik, sedangkan pembacaan hermeneutik merupakan pembacaan tingkat kedua untuk menginterpretasi makna secara utuh. Dalam pembacaan ini, pembaca lebih memahami apa yang sudah dia baca untuk kemudian memodifikasi pemahamannya tentang hal itu. Pembacaan heuristik adalah pembacaan yang didasarkan pada konvensi bahasa yang bersifat mimetik (tiruan alam) dan membangun serangkaian arti yang heterogen, berserak-serakan atau tidak gramatikal. HaI ini dapat terjadi karena kajian didasarkan pada pemahaman arti kebahasaan yang bersifat lugas atau berdasarkan arti denotatif dari suatu bahasa. Sedangkan Pradopo17 memberi definisi parnbacaan heuristik yaitu pembacaan berdasarkan struktur bahasanya atau secara semiotik adalah berdasarkan konvensi sistem semiotik tingkat pertama. Pembacaan hermeneutik adalah pembacaan yang bermuara pada ditemukannya satuan makna puisi secara utuh dan terpadu. Sementara itu, Pradopo18 mengartikan pembacaan hermeneutik sebagai pembacaan berdasarkan konvensi sistem semiotik tingkat kedua (makna konotasi). Pada tahap ini, pembaca meninjau kembali dan membandingkan hal-hal yang telah dibacanya pada tahap pembacaan heuristik. Dengan cara demikian, pembaca dapat memodifikasi pemahamannya dengan pemahaman yang terjadi dalam pembacaan hermeneutik. Puisi harus dipahami sebagai sebuah satuan yang bersifat struktural atau bangunan yang tersusun dari berbagai unsur kebahasaan. Oleh karena itu, pembacaan hermeneutik pun dilakukan secara struktural atau bangunan yang tersusun dari berbagai unsur kebahasaan. Artinya, pembacaan itu bergerak secara bolak-balik dari suatu bagian ke keseluruhan dan kembali ke bagian yang lain dan seterusnya. Pembacaan ini dilakukan pada interpretasi hipogram potensial, hipogram aktual, 16 M. Riffaterre, 1978. Semiotics of Poetry. Bloomington: Indiana University Press. R.D. Pradopo, 2005. Pengkajian Puisi. Yogyakarta: Gadjahmada University Press, 17 h. 135. 18 Ibid., h. 137. 23 Seni: Fungsi, Perubahan, dan Makna model, dan matriks. Proses pembacaan yang dimaksudkan oleh Riffaterre dapat diringkas sebagai berikut. (1) Membaca untuk arti biasa. (2) Menyoroti unsur-unsur yang tampak tidak gramatikal dan yang merintangi penafsiran mimetik yang biasa. (3) Menemukan hipogram, yaitu mendapat ekspresi yang tidak biasa dalam teks. (4) Menurunkan matriks dari hipogram, yaitu menemukan sebuah pemyataan tunggal atau sebuah kata yang dapat menghasilkan hipogram dalam teks. 2.7.3 Weighted Scale Untuk mengkaji struktur musik dalam kebudayaan, para ilmuwan etnomusikologi biasanya menggunakan teori weighted scale. Teori ini seperti yang dikemukakan oleh Malm19 yang digunakan untuk mengkaji aspek melodi musik yang terdiri dari: (1) tangga nada, (2) nada dasar (pitch centre), (3) wilayah nada (ambitus), (4) jumlah pemakaian nada, (5) interval yang dipakai, (6) pola kadensa, (7) formula nada, (8) kontur (garis melodi). Teori ini menjadi teori tren dan populer di kalangan para mahasiswa dan sarjana Etnomusikologi FIB USU. sejak tahun 1979 sampai sekarang ini, bisa dikatakan lebih dari 50 persen mahasiswa dan calon sarjana etnomusikologi menggunakan teori ini. Namun walaupun populer teori ini adalah memiliki kekhususan yang hanya bisa diterapkan untuk etnomusikologi saja. Jadi tidak seperti semiotik misalnya yang digunakan lintas disiplin. 3. Penutup Mengacu kepada deskripsi dan analisis di atas, maka pada bahagian penutup ini, penulis aakan menyimpulkan tentang polarisasi kajian budaya di Aceh dan Sumatera Utara, dengan fokus di perguruan tinggi. (i) Bahwa Aceh dan Sumut kaya akan budaya. Kawasan ini dihuni oleh etnik natif seperti Simeulue, Aceh Rayeuk, Aneuk Jamee, Tamiang, Kluet, Alas, Gayo, Karo, Pakpak-Dairi, Simalungun, Batak Toba, Mandailing-Angkola, Pesisir, Nias, dan Melayu. Sementara kawasan ini 19 William P. Malm, 1977. Music Cultures of Pacific, Near East, and Asia. Englewood Cliffs, New Jersey: Prentice Hall. 24 Takari, Polarisasi Kajian Budaya juga menjadi tujuan kehidupan dan daerah tinggal menetap etnik-etnik Nusantara dan pendatang Dunia. Kebudayaan etnik sangatlah beragam, mencakup bahasa, religi, organisasi sosial, sistem pendidikan, teknologi, ekonomi, dan seni budaya. (ii) Kajian budaya digerakkan terutama oleh Perguruan Tinggi (baik Swasta maupun Negeri). Kajian budaya ini terkonsentrasi pada fakultas dan program studi tertentu. Yang utama adalah di Fakultas Ilmu Budaya, selain itu Fakultas Sastra, juga Fakultas Ilmu Sosial, atau yang terintegrasi ke dalam Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik. Kajian ini terutama mencakup bahasa di program studi bahasa asing, bahasa Indonesia, atau bahasa etnik (Batak dan Melayu). Ada juga pengkajian budaya yang bertumpu pada sastra etnik dan asing. Selain itu ada juga Program Studi Antropologi yang menjadi ilmu utama dalam mengkaji budaya umat manusia. Juga terdapat ilmu-ilmu seni budaya seperti etnomusikologi, sendratasik, tari, teater, dan rupa. Kajian ini melibatkan teori dan metode yang diambil dari dunia internasional tetapi ada pula yang diolah oleh para pakar pengkaji budaya secara Indonesia. (iii) Polarisasi atau tren kajian budaya di Aceh dan Sumatera Utara, umumnya dalam menggali makna-makna kebudayaan mempergunakan metode penelitian kualitatif dengan tumpuan pada penelitian lapangan. Kajian budaya ini mencakup yang menelaah secara fungsional, struktural, semiotik, kajian tradisi lisan, kajian kearifan lokal, kajian seni pertunjukan, dan lain-lain. Namun di sisi lain kajian yang bersifat khusus untuk ilmu-ilmu tertentu juga tetap berjalan dan berkembang. Ke depan polarisasi ini perlu mempertimbangkan kebutuhan saintifik di wilayah kita ini yaitu Aceh dan Sumatera Utara, dan terus mengembangkan atau bahkan menemukan teori-teori baru untuk kajian budaya. Jangan mengadopsi mentah-mentah teori dan metode yang berasal dari Dunia Barat. Kita harus bijak memanfaatkan ilmu pengetahuan untuk kemaslahatan dan kesejahteraan masyarakat kita yang berbasis pada kebudayaannya. Insya Allah Tuhan bersama kita. 25 Seni: Fungsi, Perubahan, dan Makna Daftar Pustaka Abrams, M.H., 1976, The Mirror and the Lamp: Romantic Theory and Critical Tradition, London, New York: Oxford University Press. Berlo, D. K., 1960. The Process of Communication. San Francisco: Rinenart Press. Denzin, Norman K, and Yvonna S. Lincoln, 2009. Handbook of Qualitative Research. London: Sage Publications. Lorimer, Lawrence T. et al., 1991, Grolier Encyclopedia of Knowledge (volume 1-20). Danburry, Connecticut: Groller Incorporated. Malinowski, 1987. “Teori Fungsional dan Struktural,” dalam Teori Antroplologi I Koentjaraningrat (ed.), (Jakarta: Universitas Indonesia Press. Malm, William P., 1977. Music Cultures of Pacific, Near East, and Asia. Englewood Cliffs, New Jersey: Prentice Hall. Marckward, Albert H. et al. (eds.), 1990. Webster Comprehensive Dictionary (volume 2). Chicago: Ferguson Publishing Company. Merriam, Alan P., 1964. The Anthropology of Music. Chicago Nortwestern University. Nelson dan Grossberg, 1992. Qualitative Research. London: MacMillan. Pradopo, R.D., 2005. Pengkajian Puisi. Yogyakarta: Gadjahmada University Press. Pradopo, Rachmat Djoko, 1985, "Estetika Resepsi dan Teori Penerapannya" dalam Sutrisno, Sulastin, Darusuprapta, dan Sudaryanto (ed.) Bahasa, Sastra, Budaya. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press. Radcliffe-Brown, A.R., 1952. Structure and Function in Primitive Society. Glencoe: Free Press. Riffaterre, M., 1978. Semiotics of Poetry. Bloomington: Indiana University Press. Takari, Muhammad dan Heristina Dewi, 2008, Budaya Musik dan Tari Melayu Sumatera Utara. Medan: USU Press. Teeuw, A., 1984, Sastra dan Ilmu Sastra: Pengantar Teori Sastra (Cetakan I). Jakarta: Pustaka Jaya. Sudjiman, Panuti dan Aart Van Zoest (peny.) 1992. Serba-serbi Semiotik. Jakarta: Penerbit Gramedia Pustaka Utama. Yunita, Erni, 2011. Analisis Semiotika Tradisi Bermantra Pagar Diri di Desa Ujung Gading Julu, Kabupaten Padang Lawas Utara, Provinsi Sumatera Utara. Medan: Tesis Sekolah Pascasarjana 26 dua REVITALISASI DESA LINGGA SEBAGAI OBJEK DAN DAYA TARIK WISATA BUDAYA DI KARO Vanesia Amelia Sebayang Mahasiswi Magister (S2) Penciptaan dan Pengkajian Seni, Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Sumatera Utara Medan 1. Pendahuluan Kepariwisataan sebagai fenomena ekonomi, dapat diartikan sebagai perjalanan wisata yang dilakukan oleh orang-orang yang ekonominya sudah mapan. Dalam arti ada hubungan antara kemampuan membayar suatu perjalanan wisata dengan kemampuan ekonomi seseorang.1 Resolusi yang diambil oleh Kongres Pariwisata Antar-Amerika (Inter-American Travel Congress) pada sidang tahunannya yang kelima di Panama pada tahun 1954, menyatakan bahwa wisata budaya serta kebudayaan dalam dunia kepariwisataan adalah merupakan unsur yang utama dan memegang peranan yang sangat penting. Demikian pentingnya, sehingga dalam memajukan promosi industri pariwisata, soal-soal penerangan tentang kebudayaan merupakan bahan-bahan pendidikan tambahan, dan karenanya Kongres Pariwisata ini menganggap perlu untuk memberi saran dan rekomendasi kepada badan-badan dan organisasi-organisasi kepariwisataaan untuk bekerja sama dalam bidang penelitian mereka, agar memungkinkan mereka dengan jalan yang paling efektif mempergunakan unsur-unsur kebudayaan ini sebagai materi publisitas yang mengandung pendidikan.2 Pariwisata yang berbasis 1 Hari A. Karyono, 1997. Kepariwisataan. Jakarta: Grasindo. h. 10. Nyoman S. Pendit, 1999. Ilmu Pariwisata-Sebuah Pengantar Perdana. Jakarta: Pradnya Paramita, h. 225. 2 Seni: Fungsi, Perubahan, dan Makna kebudayaan seperti itu, sangat relevan diterapkan di Indonesia, termasuk di Desa Lingga. Desa Lingga adalah sebuah desa yang terletak di Kecamatan Simpang Empat, Kabupaten Karo, Sumatera Utara Indonesia. Desa ini merupakan salah satu desa budaya. Salah satu desa, yang jika potensi budayanya dikemas ulang menjadi objek dan daya tarik wisata (ODTW), dapat menyumbangkan perekonomiannya untuk pembangun-an nasional. Satu yang menonjol dari desa ini adalah artefak yang merupakan ekspresi kearifan lokal, berbentuk rumah adat dengan arsitektur tradisional. Selain arsitektur dan sejarah desa yang menonjol, Lingga juga memiliki atraksi seni lokal yakni gendang guro-guro aron. Secara ciri khas, Desa Lingga telah layak dijadikan sebagai salah satu objek dan daya tarik wisata (ODTW) budaya di Kabupaten Karo. Di Desa Lingga, para wisatawan dapat menemukan kesepuluh komponen ciri-ciri daerah tujuan wisata budaya yakni: (1) kerajinan; (2) tradisi; (3) sejarah suatu tempat/daerah; (4) arsitektur; (5) makanan lokal; (6) seni musik; (7) cara hidup masyarakat; (8) agama; (9) bahasa; dan (10) pakaian tradisional. 3 2. Desa Lingga Sebagai Desa Budaya Desa Lingga sebuah desa yang terletak di Kecamatan Simpang Empat, merupakan salah satu desa budaya yang ada di Kabupaten Karo. Salah satu yang menonjol dari desa ini adalah kearifan lokal berbentuk rumah adat dengan arsitektur tradisionalnya. Desa Lingga merupakan desa yang mata pencaharian masyarakatnya dominan berasal dari sektor pertanian, pedagang, dan sebagian kecil dari mereka berprofesi sebagai pegawai negeri sipil (PNS). 3 Asmyta Surbakti, 2012. ”Strategi Pengembangan Potensi Pariwisata Terhadap Pertumbuhan Ekonomi Kabupaten Nias Utara.” (Makalah pada Musyawarah Perencanaan Pembangunan (MUSRENBANG) RPJMD Kabupaten Nias Utara Tahun 2011-2016), 7 Maret 2012, Gunung Sitoli-Lahewa Km. 42 Lotu. 28 Vanesia Amelia Sebayang, Revitalisasi Desa Lingga sebagai ODTW Karo 2.1 Rumah Adat Siwaluh Jabu, Rumah Tradisional Karo J. Parmudji Suptandar (Guru Besar Fakultas Seni Rupa dan Desain Universitas Trisakti) seperti yang dikutip wartawan harian Kompas (Minggu, 14/03/2004) mengatakan bahwa secara garis besar rumah adat suku Karo banyak dipengaruhi oleh unsur-unsur animisme dan dinamisme yang terkontaminasi Hindu dan Budha, sehingga menjadi lebih terstruktur dalam hal pembangunannya. Rumah adat Karo ini berbeda dengan rumah adat suku lainnya dan kekhasan itulah yang mencirikan rumah adat suku Karo. Proses pendirian sampai kehidupan dalam rumah adat itu diatur oleh adat Karo, dan karena itulah disebut rumah adat.4 Gambar 2.1: Pintu Masuk Menuju Desa Lingga, Kecamatan Simpang Empat, Kabupaten Karo (Sumber: Dokumentasi Vanesia Sebayang, 2013) Keunikan-keunikan dari rumah adat siwaluh jabu ini juga dikemukakan oleh Soehardi Hartono (Direktur Eksekutif Badan Warisan Sumatera) yang dikutip dari harian Kompas (Selasa, 21/12/2004) yang 4 Darwin Prinst, 2004. Adat Karo. Medan: Bina Media Printis. h. 184. 29 Seni: Fungsi, Perubahan, dan Makna mengatakan bahwa orang Karo terkenal dari unsur teknologinya yang berkaitan dengan arsitektur tempat tinggalnya. Rumah adat Karo bernilai tinggi karena merupakan bukti fisik kehebatan nenek moyang dalam membangun rumah. Secara arsitektural, rumah-rumah itu juga memiliki keunikan dan teknik bangunan tinggi. Keunikan tersebut terutama adalah pembangunan rumah tanpa penggunaan paku, sedangkan keunikan lainnya adalah nilai sosial budayanya sebagai sebuah rumah komunal. Menurut Prinst rumah adat biasanya dihuni oleh empat hingga delapan keluarga. Penempatan keluarga-keluarga itu dalam bagian rumah adat (jabu) dilakukan berdasarkan ketentuan adat Karo.5 Adapun susunan jabu dan yang menempatinya adalah sebagai berikut. 1. Jabu Benana Kayu, terletak di jabu jahe. Kalau kita ke rumah dari ture jahe, letaknya di sebelah kiri. Jabu ini dihuni oleh para keturunan si mantek kuta (golongan pendiri kampung) atau sembuyaknya. 2. Jabu Ujung Kayu (Anak Beru), jabu ini arahnya di arah kenjulu rumah adat. Kalau kita masuk ke rumah adat dari pintu kenjulu (hulu), letaknya di sebelah kiri atau diagonal dengan letak jabu benana kayu. Jabu ini ditempati oleh anak beru kuta atau anak beru dari jabu benana kayu. Fungsinya adalah sebagai juru bicara jabu benana kayu. 3. Jabu Lepar Benana Kayu, jabu ini di arah kenjahe (hilir). Kalau kita ke rumah dari pintu kenjahe letaknya di sebelah kanan. Penghuni jabu ini adalah sembuyak dari jabu benana kayu. Fungsinya untuk mendengarkan berita-berita yang terjadi di luar rumah dan menyampaikan hal itu kepada jabu benana kayu. Oleh karena itu, jabu ini disebut juga jabu sungkun berita (sumber informasi). 4. Jabu Lepar Ujung Kayu, letaknya di bagian kenjulu (hulu) rumah adat. Kalau kita masuk dari pintu kenjulu ke rumah adat, letaknya di sebelah kanan. Jabu ini ditempati oleh kalimbubu jabu benana kayu. Oleh karena itu, jabu ini disebut jabu si mangan-minem. 5 Ibid. 30 Vanesia Amelia Sebayang, Revitalisasi Desa Lingga sebagai ODTW Karo 5. Jabu Sedapuren Benana Kayu, jabu ini ditempati oleh anak beru menteri dari si mantek kuta (jabu benana kayu), dan sering pula disebut jabu peninggel-peninggel. 6. Jabu Sidapuren Ujung Kayu, ditempati oleh sembuyak dari ujung kayu, yang sering juga disebut jabu arinteneng. Tugasnya adalah untuk engkapuri belo, menyerahkan belo kinapur (persentabin) kepada tamu jabu benana kayu tersebut. Oleh karena itu, jabu ini disebut juga jabu arinteneng. 7. Jabu Sedapuran Lepar Ujung Kayu, dihuni oleh guru (dukun) atau tabib yang mengetahui berbagai pengobatan. Tugasnya mengobati anggota rumah yang sakit. 8. Jabu Sedapuren Lepar Benana Kayu, dihuni oleh puang kalimbubu dari jabu benana kayu disebut juga jabu pendungi ranan. Karena biasanya dalam runggun adat Karo persetujuan terakhir diberikan oleh puang kalimbubu. Bahan bangunan rumah tradisional ini berasal dari kayu bulat, papan, bambu dan beratap ijuk tanpa menggunakan paku yang dikerjakan oleh tenaga arsitektur masa lalu. Organisasi rumah adat ini berpola ”linear” karena ruangannya menunjukkan bentuk garis. Kedua ujung atapnya terdapat anyaman bambu berbentuk segitiga, disebut ayo-ayo. Rumah adat siwaluh jabu mempunyai dua buah pintu, satu menghadap ke barat dan satu lagi menghadap ke sebelah timur. Di depan masing-masing pintu terdapat serambi, dibuat dari bambu-bambu bulat (disebut ture). Ture ini digunakan untuk tempat bertenun, menganyam tikar atau pekerjaan lainnya, pada malam hari ture atau serambi ini berfungsi sebagai tempat naki-naki atau perkenalan para pemuda dan pemudi untuk memadu kasih. Di tempat ini, siwaluh jabu tidak lain hanya merupakan artefak peninggalan budaya Karo. Aturan-aturan dan adat yang sudah ditinggalkan bersamaan dengan kebutuhan-kebutuhan yang baru di zaman modern. Begitu pula sejarah, simbol-simbol/ornamen-ornamen, 31 Seni: Fungsi, Perubahan, dan Makna dan identitasnya. Semakin renta dan akan mati dimakan waktu yang terus berjalan cepat.6 2.2 Bentuk, Fungsi, dan Makna Ornamen Rumah Adat Siwaluh Jabu Terdapat beberapa ornamen tradisional yang ada pada dinding bagian luar rumah adat siwaluh jabu. Keseluruhan ornamen tradisional tersebut memiliki bentuk, fungsi, dan maknanya masing-masing. Berikut penjelasan lengkap mengenai bentuk, fungsi, dan makna beberapa ornamen. Gambar 2.2: Tampak Dalam Rumah Adat Siwaluh Jabu 6 Terranova Waksman, 2009. Siwaluh Jabu (Majalah Ilmiah Populer Bakosurtanal Ekspedisi Geografi Indonesia-Sumatera Utara), h. 22. 32 Vanesia Amelia Sebayang, Revitalisasi Desa Lingga sebagai ODTW Karo Gambar 2.3: Beberapa Rumah Adat Siwaluh jabu di desa Lingga, Kabupaten Karo yang Masih Tersisa dengan Kondisi yang Memprihatinkan (dokumentasi: Vanesia Sebayang, 2013) 1. Bindu Matagah, dengan motif geometri, melambangkan/ berfungsi untuk pesilah silamehuli (menyingkirkan yang tidak baik). Apabila memasuki hutan ornamen ini berfungsi agar terhindar dari binatang buas seperti harimau, ular, lipan, dan lain-lain dilukiskan Bindu Matagah digambarkan di tanah dan diinjak dengan kaki kanan. Selain dari itu, digunakan juga sebagai ornamen pada ukat, gantang beru-beru, pustaka pada melmelen rumah adat, jambur, dan geriten. Gambar 2.4: Ornamen Bindu Matagah 33 Seni: Fungsi, Perubahan, dan Makna 2. Tapak Raja Sulaiman, dengan motif geometris berupa garis menyimpul membentuk ruang, berfungsi untuk penolak bala, menahan roh-roh jahat, anti racun, gatal-gatal dan juga berfungsi sebagai petunjuk jalan supaya jangan tersesat diperjalanan terutama di hutan. Ragam hias Tapak Raja Sulaiman digunakan pada benda-benda pakai seperti gantang beru-beru dan terdapat juga pada melmelen rumah adat, dan jambur. Gambar 2.5: Ornamen Tapak Raja Sulaiman 3. Pengret-ret, dengan motif hewan menyerupai cicak atau biawak, melambangkan suatu kekuatan penangkal setan, kesatuan keluarga, dan kewaspadaan. Di samping itu memiliki nilai magis yaitu kemakmuran. Ornamen ini terbuat dari tali ijuk yang dirajut kepada papan kayu sebagai dinding rumah (derpih) melalui lubang yang telah diatur sesuai dengan bentuknya sehingga dinding tersebut menjadi bersatu dan kokoh. 34 Vanesia Amelia Sebayang, Revitalisasi Desa Lingga sebagai ODTW Karo Gambar 2.6: Ornamen Pengret-ret 4. Tupak Salah Silima-Lima, dengan motif garis menyilang membentuk gambar menyerupai bintang. Gambaran bintang menunjukkan kekuatan dari alam semesta pada malam hari. Ornamen ini terdapat dalam pintu masuk rumah ada siwaluh jabu yang melambangkan kesatuan merga silima dalam masyarakat Karo. Gambar 2.7: Ornamen Tupak Salah Silima-lima 5. Embun Sikawiten, dengan motif alam dan tumbuh-tumbuhan, berfungsi sebagai penolak bala dan sebagai hiasan. Ornamen ini dapat dijumpai pada melmelen rumah adat. 35 Seni: Fungsi, Perubahan, dan Makna Gambar 2.8: Ornamen Embun Sikawiten 3. Gendang Guro-Guro Aron: Dari Lokal Menjadi Global Gendang guro-guro aron biasanya diadakan pada acara kerja tahun (perwujudan rasa sukacita/gembira atas masa panen). Kerja tahun diadakan di setiap desa dengan jadwal yang hampir berdekatan, dan biasanya tergantung kepada musim panen. Gendang guro-guro aron tidak dapat dipisahkan dari ensambel gendang lima sendalanen yakni sebuah kumpulan alat musik yang terdiri dari 5 (lima) buah alat yakni sarune (pemainnya disebut panarune), gendang singanaki (pemainnya disebut penggual), gendang singindungi, gung (pemainya disebut simalu gung), dan penganak. Gambar 2.9: Ensambel Gendang Lima Sendalanen (dokumentasi: Vanesia Sebayang, 2013) 36 Vanesia Amelia Sebayang, Revitalisasi Desa Lingga sebagai ODTW Karo Perhelatan acara gendang guru-guro aron pada kerja tahun ini didasari atas izin/persetujuan orang-orang tua (tetua adat) di desa yang akan mengadakannya. Kebanyakan dari panitia pengadaan acara kerja tahun gendang guro-guro aron adalah golongan dengan pemahaman adat Karo yang cukup tinggi. Mereka akan mengatur keseluruhan persiapan, konsep dan sarana prasarana acara sesuai dengan adat-isitiadat Karo. Gendang guro-guro aron merupakan sebuah acara yang berbentuk seni pertunjukkan yang diisi dengan musik, tari, dan nyanyian, dimana gendang lima sendalanen menjadi pendukung pelaksanaan acara. Gendang guro-guro aron ini diperuntukkan sebagai ajang pelatihan tari dan bersosialisasi bagi masyarakat desa. Selama latihan untuk persiapan acara, para muda/i dapat saling berinteraksi dan bersosialisasi lebih intensif sehingga memungkinkan adanya rasa saling suka di antara mereka. Gambar 2.10: Tari Lima Serangkai dengan Melibatkan Penonton (dokumentasi: Vanesia Sebayang, 2013) 37 Seni: Fungsi, Perubahan, dan Makna Gambar 2.11: Pemain Gendang Lima Sendalanen (Kiri); Spanduk Gendang Guro-guro Aron (Kanan). (dokumentasi: Vanesia Sebayang, 2013) Fungsi gendang guro-guro aron ini antara lain: (1) fungsi pengungkapan emosional dengan menggugah perasaan hati pendengar/penonton lewat lagu yang sangat menyentuh perasaan, (2) fungsi hiburan, (3) fungsi komunikasi lewat pedah-pedah (nasehat), pengarapen (harapan), dan juga memberikan ajaran tentang adat-istiadat Karo, (3) fungsi kesinambungan kebudayaan, lewat peraturan lisan yaitu pria dan wanita yang ertutur turang (kakak-beradik) dilarang duduk berdekatan, (4) fungsi pengintegrasian masyarakat, lewat syair-syair yang disampaikan dapat menjaga dan membina eksistensi dan kerukunan pada masyarakat.7 4. Revitalisasi Desa Lingga sebagai ODWT Budaya Berbicara mengenai desa Lingga dengan segala kearifan lokal yang terdapat di dalamnya, kita tidak dapat berpaling dari pariwisata dan budaya. Wisata budaya merupakan salah satu jenis perjalanan wisata yang dilakukan seseorang dengan tujuan untuk mempelajari adat-istiadat, 7 Vanesia Amelia Sebayang, 2011. ”Dalan Gendang: Analisis Pola Ritem dalam Gendang Lima Sendalanen oleh Tiga Pemusik Karo.” Medan: Skripsi Sarjana (S1), Departemen Etnomusikologi, Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Sumatera Utara, h. 2728. 38 Vanesia Amelia Sebayang, Revitalisasi Desa Lingga sebagai ODTW Karo budaya, tata cara kehidupan masyarakat dan kebiasaan yang terdapat di daerah atau negara yang dikunjungi. Termasuk dalam jenis pariwisata ini adalah mengikuti misi kesenian ke luar negeri atau untuk menyaksikan festival seni dan kegiatan budaya lainnya. Karyono8 mengatakan pariwisata merupakan fenomena budaya. Dari sisi subjek (wisatawan) sendiri, hal ini terkait dengan motivasi perjalanannya. Motivasi perjalanan yang meliputi aspek-aspek budaya antara lain: (1) ingin melihat adat istiadat bangsa di negara lain, (2) ingin melihat upacara adat, upacara keagamaan, dan upacara tradisional bangsa lain, (3) ingin melihat pertunjukan kesenian, festival seni, festival tari, festival nyanyi, dan festival drama, (4) untuk keperluan studi kebudayan masyarakat yang masih mempunyai kebudayaan primitive atau tradisional dan langka, dan (5) mengunjungi benda-benda bersejarah, monumen, peninggalan nenek moyang, candi, pyramid, serta hasil-hasil budaya lainnya. Fenomena budaya kepariwisataan ditinjau dari segi objek, merupakan daya tarik pariwisata budaya (ODTW Budaya). Dampak positif adanya kegiatan pariwisata, yang terkait dengan kebudayaan adalah dengan semakin dibutuhkannya penampilan dan pelestarian budaya tradisional. Kebudayaan yang sifatnya traidisional yang semula hampir terlupakan pada akhirnya diaktifkan kembali untuk dikemas ulang dan disajikan kepada wisatawan sebagai salah satu atraksi budaya yang menarik. Agar suatu daerah tujuan wisata mempunyai daya tarik, disamping harus ada objek dan atraksi wisata, suatu DTW harus mempunyai 3 (tiga) syarat daya tarik, yaitu: ada sesuatu yang bisa dilihat (something to see), ada sesuatu yang dapat dikerjakan (something to do), dan yang terpenting adalah ada sesuatu yang bisa dibeli (something to buy). Seorang wisatawan yang datang ke suatu DTW memiliki tujuan yakni memperoleh manfaat (benefit) dan kepuasan (satisfactions). Manfaat dan kepuasan akan wisatawan dapatkan jika suatu ODTW 8 Karyono, op. cit., h. 12. 39 Seni: Fungsi, Perubahan, dan Makna memiliki daya tarik, dan menurut penulis segala sesuatu yang terdapat pada desa budaya Lingga adalah daya tarik. Adalah suatu hal yang sangat menonjol bahwa pada waktu diadakan angket oleh PATA (Pasific Area Travel Association) pada tahun 1961 yang diperuntukkan untuk masyarakat Amerika Utara dan hasil yang diperoleh adalah sebagai berikut: “Lebih dari lima puluh persen dari jumlah wisatawan yang ingin mengadakan kunjungan ke Asia dan Daerah Pasifik memilih dan menghendaki untuk melihat rakyat dengan adat istiadat dan cara hidup mereka, kesenian mereka, sejarah, bangunan, candi dan peninggalan barang-barang kuno mereka.”9 Gendang guro-guro aron dapat dijadikan sebuah atraksi seni yang dapat dinikmati di desa Lingga selain rumah-rumah tradisionalnya yang kaya sejarah. Gendang guro-guro aron dapat dijadikan sarana interaksi antara masyarakat desa dengan wisatawan yang berkunjung. Karena pada prinsipnya, wisata budaya merupakan jenis wisata yang karakteristik turisnya tidak biasa. Karakteristik tidak biasa maksudnya wisatawan yang datang melihat objek wisata tidak langsung ingin kembali pulang, melainkan mereka ingin mengetahui kebiasaan sehari-hari (way of life) serta berinteraksi dengan masyarakat, dan desa Lingga memilikinya. Dengan ini, gendang guro-guro beralih dari ranah lokal masyarakat desa menjadi atraksi seni yang dapat dijadikan daya tarik wisata bagi wisatawan lokal dan mancanegara. Namun ada beberapa unsur pokok sebuah daerah tujuan wisata (DTW) dapat dikatakan memenuhi syarat sebagai daerah wisata yakni: Objek dan Daya Tarik Wisata itu sendiri, Sarana dan Prasarana wisata yang mendukung, Infrastruktur, dan terakhir adalah Masyarakat di lingkungan DTW. Tentunya unsur-unsur tersebut harus dipenuhi terlebih dahulu sebelum menjadikan desa Lingga sebagai ODTW Budaya di Kabupaten Karo. 9 Nyoman S. Pendit, op. cit., h. 225. 40 Vanesia Amelia Sebayang, Revitalisasi Desa Lingga sebagai ODTW Karo 5. Penutup Pengembangan Desa Lingga Sebagai Objek dan Daya Tarik Wisata (ODTW) Budaya sebaiknya dilakukan. Secara mikro, aspek ekonomi dalam kepariwisataan dapat dijelaskan bahwa dengan adanya perkembangan pariwisata akan memberi dampak positif bagi keadaan sosiokultural seperti berikut ini. (1) Pendapatan masyarakat sekitar daerah tujuan wisata (DTW) karena dengan meningkatnya arus wisatawan di DTW, masyarakat di sekitar DTW dapat memanfaatkan untuk membuka usaha yang kira-kira dibutuhkan wisatawan. Dampak positif itu dirasakan, antara lain oleh pengusaha akomodasi (home stay), rumah makan, sampai dengan jasajasa yang lain seperti penyewaan peralatan untuk olahraga air, mobil, massage, dan souvenirshop. (2) Pendapatan pemerintah daerah setempat, dengan perolehan pemasukan kas daerah dari pemungutan pajak, restribusi, dan sebagainya. (3) Munculnya pedagang asongan yang beroperasi di sekitar DTW. (4) Meningkatnya permintaan hasil daerah setempat, seperti bahan-bahan mentah atau hasil pertanian dan perkebunan yang dipasok ke hotel dan restoran. Meningkatnya permintaan barang-barang kerajinan, handicraft, souvenir, serta barangbarang yang khas dari suatu daerah, seperti kain tenun, sulaman, minuman khas, dan makanan khas.10 Daftar Pustaka a. Buku dan Artikel Karyono, Hari A. 1997. Kepariwisataan. Jakarta: Grasindo. Koentjaraningrat, 1996. Pengantar Antropologi I. Jakarta: Rineka Cipta. N.N. Fungsi Ornamen Tradisional Rumah Adat Masyarakat Karo Di Desa Lingga, Kecamatan Simpang Empat. Skripsi (S1) Departemen Sastra Daerah, Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Sumatera Utara. Pendit, Nyoman S. 1999. Ilmu Pariwisata-Sebuah Pengantar Perdana. Jakarta: Pradnya Paramita 10 Hari A. Karyono, op. cit., h. 10. 41 Seni: Fungsi, Perubahan, dan Makna Prinst, Darwin. 2004. Adat Karo. Medan: Bina Media Printis. Sebayang, Vanesia Amelia. 2011. ”Dalan Gendang: Analisis Pola Ritem Dalam Gendang Lima Sendalanen oleh Tiga Pemusik Karo”. Skripsi Sarjana (S1), Departemen Etnomusikologi, Fakultas Ilmu Budaya, USU. Surbakti, Asmyta. 2012. ”Strategi Pengembangan Potensi Pariwisata Terhadap Pertumbuhan Ekonomi Kabupaten Nias Utara”. Makalah Pada Musyawarah Perencanaan Pembangunan (MUSRENBANG) RPJMD Kabupaten Nias Utara Tahun 2011-2016, 7 Maret 2012, Gunung Sitoli-Lahewa Km.42 Lotu. Waksman, Terranova. 2009. Siwaluh Jabu. Majalah Ilmiah Populer Bakosurtanal Ekspedisi Geografi Indonesia-Sumatera Utara, p.21-22. ISBN: 978-979-26-6955 b. Internet: www.google.com www.tanah_karo.co.id 42 tiga TRIO PADA MUSIK POPULER BATAK TOBA Roy J.M. Hutagalung Mahasiswa Magister (S2) Penciptaan dan Pengkajian Seni, Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Sumatera Utara 1. Pendahuluan Penyanyi berformat trio sangat banyak dijumpai di Tanah Batak Toba, yang merupakan salah satu suku bangsa (etnik) yang bermukim dan berasal dari Tapanuli Utara, Provinsi Sumatera Utara, Indonesia. Sumatera Utara adalah salah satu provinsi di Indonesia, yang penduduknya terdiri dari berbagai kelompok etnik, yang dapat dikategorikan ke dalam tiga kelompok. Kelompok pertama ialah etnik setempat, yang terdiri dari delapan kelompok etnik, yaitu: Melayu, Karo, Pakpak-Dairi, Batak Toba,1 Simalungun, Mandailing-Angkola, Pesisir Tapanuli Tengah, dan Nias, ditambah etnik Lubu dan Siladang. 2 Kelompok kedua, adalah etnik pendatang Nusantara, seperti: Aceh Rayeuk, Alas, Gayo, Minangkabau, Banjar, Jawa, Sunda, Bugis, dan lainnya. Kelompok ketiga adalah etnik pendatang dunia seperti: Tamil, Punjabi, Hokkian, Hakka, Khek, Kwong Fu, Arab, dan lainnya. Etnik Batak Toba memiliki berbagai kesenian, seperti alat musik perkusi (gondang), sastra (umpasa, tonggo-tonggo, umpama) dan rupa (gorga), tari (tortor), dan lain-lain. Masyarakat Batak Toba ini sejak abad ke-19 telah berinteraksi dengan peradaban Eropa dan agama Kristen 1 Batak Toba yang penulis maksud disini adalah asal-muasal marga dan daerah budayanya meliputi Kabupaten: (a) Tapanuli Utara, (b) Toba Samosir, (c) Samosir, dan (d) Humbang Hasundutan. 2 Muhammad Takari dkk., 2008. Masyarakat Kesenian di Indonesia. Medan: Studia Kultura, Fakultas Sastra Universitas Sumatera Utara, h. 67. Seni: Fungsi, Perubahan, dan Makna Protestan, khususnya dari organisasi Reinische Mission Gesselschaft (RMG) yang kemudian berubah menjadi Verenigte Evangelische Mission (VEM). Pada awalnya agama Kristen Protestan ini berkembang karena usaha gigih seorang misionaris Jerman yaitu Ingwer Ludwig Nommensen. Beliau dalam mengajarkan tata acara peribadahan gereja Huria Kristen Batak Protestan (HKBP) memasukkan berbagai gaya musik Eropa. Di antaranya adalah penggunaan gaya homofoni dalam komposisi empat suara, yaitu sopran, alto, tenor, dan bas (SATB). Kemudian sejalan dengan pesatnya perkembangan teknologi, budaya musik populer Barat juga masuk ke Indonesia, termasuk ke dalam kebudayaan etnik Batak Toba. Masyarakat Batak Toba dengan didasari oleh pengalaman kultural sebelumnya, dan antusias mencipta musik populer Batak Toba, mereka melakukan berbagai kreativitas dan akulturasinya dengan budaya Barat. Musik dalam kebudayaan masyarakat Batak Toba, dapat dikelompokkan ke dalam dua bagian besar, yaitu: (a) musik vokal dan (b) musik instrumental. Menurut Soeharto, trio adalah komposisi musik untuk tiga penyaji, baik vokal maupun instrumental. Pada instrumental, misalnya untuk piano, biola, dan cello.3 Istilah trio pada musik populer Batak Toba adalah tiga orang penyaji vokal, yang dalam pengelompokannya termasuk dalam musik vokal. Karena orang Batak mempunyai kebiasaan bernyanyi, maka terjadi kecenderungan orang Batak memiliki kelebihan4 atau piawai dalam 3 M. Soeharto, 1992. Kamus Musik. Jakarta: Gramedia Widiasarana Indonesia, h. 137. 4 Sugit Nugroho seorang dokter fisiologi, dalam acara Tau Gak Sih di Trans7 mengatakan, “Dari segi medis, bentuk wajah orang Batak, wajahnya sedikit melebar, merupakan salah satu factor juga, karena faktor suara dipengaruhi oleh beberapa factor, dari bentuk rahangnya, dan semuanya itu merupakan suatu kesatuan yang aktif mengahadirkan suatu suara… Ada sebuah penelitian sederhana yang menyimpulkan orang Batak pintar bernyanyi karena mereka memiliki rongga sinuses wajah yang lebih besar. Sinuses adalah rongga yang berisi udara yang letaknya dalam rongga kepala disekitar hidung. Ada 3 pasang rongga sinuses di wajah kita, sinuses frontal di bagian 44 Roy J.M. Hutagalung, Trio pada Musik Populer Batak Toba bernyanyi. Dalam hal ini untuk menyanyikan suatu lagu dalam 4 suara dibutuhkan pengetahuan dan latihan yang menjadi rutinitas atau kebiasaan. Sama halnya dengan bernyanyi trio, pada tingkat kesulitannya bagaimana menjaga keharmonisannya yang tinggi. Dalam penyajiannya, trio di Batak Toba tidak berbeda dengan trio yang ada di luar masyarakat Batak Toba. Contoh trio yang terkenal dalam musik populer dalam peringkat nasional, adalah Lex Trio, Trio Libels, dan lainnya. Dari segi penyajian vokal untuk trio yang umum kita dengar adalah (SATB) disesuaikan penggunaan jenis suara, seperti: “suara satu” untuk menyebut jenis suara sopran, “suara dua” untuk menyebut jenis suara alto, dan “suara tiga” untuk menyebut suara tenor, dan untuk “suara empat” untuk menyebut suara bas/bariton. Mungkin yang membuat trio di Batak Toba sedikit berbeda adalah dalam penyajian vokalnya, dan juga yang menjadi ciri khas adalah suara alto yang sering dinyanyikan 1 oktaf lebih tinggi atau sering disebut parlima5 dalam bahasa Batak Toba (penyanyi yang menyanyikan jenis suara alto tinggi). Istilah parlima muncul untuk menjaga harmonisasi, karena harmonisasi merupakan hal yang sangat penting pada format bernyanyi trio atau bagaimana para personil trio menemukan suatu cara/langkah/solusi untuk menjaga harmonisasi dalam format trio tetap terjaga, struktur musik seperti ini terdapat di Batak Toba. Sepanjang pengetahuan penulis dalam komposisi musik Barat tidak ada sebutan untuk istilah untuk komposisi suara (parlima) akan tetapi jika dikaji dari struktur musik dapat dikatakan dengan alto tinggi (alto dinaikkan satu oktaf) yang aransemennya jarang ditemukan. Padahal istilah-istilah seperti trio, sopran, alto, tenor, dahi, sinuses maxillary di bagian pipi dan sinuses admoid di bagian hidung, salah satu sinuses tersebut berperan penting dalam resonansi pada saat bersuara atau bernyanyi, dibandingkan dengan suku lain rongga sinuses orang Batak lebih besar, hal itulah yang deperkirakan membuat resonansi atau getaran suara didalam rongga tersebut lebih baik, yang membuat suara orang Batak lebih keras dan lebih kuat saat bernyanyi”. 5 Seperti pada lagu Bulu–Sihabuluan, Raphon Ilu-ilu ki Ma Ito, yang dibawakan trio Lasidos. Trio ini beranggotakan: Bunthora Situmorang, Jack Marpaung, dan Hilman Padang. 45 Seni: Fungsi, Perubahan, dan Makna bas/bariton yang dalam aransemennya sangat mudah dijumpai pada musik Barat. Aktivitas bernyanyi trio sering juga kita jumpai pada tata acara peribadahan, acara perkawinan, acara hiburan, festival dan di lapo6 atau kedai tuak. Pada tata acara peribadahan sering kita jumpai penyanyi biduan (berformat trio)7 yang fungsinya untuk memandu para jemaat bernyanyi. Pada acara perkawinan, penyanyi trio yang fungsinya untuk mengisi acara hiburan, diiringi instrumen keyboard. Biasanya yang punya pesta memesan kepada ketua kelompok pemusik, untuk menyediakan partrio (penyanyi trio). Hampir di setiap acara perkawinan (yang diselenggarakan oleh kelompok ekonomi menengah ke atas) akan mengundang penyanyi yang berformat trio, dari ketua kelompok musik. Guna musik trio ini dalam kebudayaan Batak Toba, adalah seperti pada acara hiburan, menghibur pada acara ulang tahun (misalnya ulang tahun Tapanuli Utara atau ulang tahun pribadi), perayaan Natal, dan menghibur masyarakat secara langsung (live) melalui kegiatan seperti pagelaran. Pertunjukan langsung atau tidak langsung, yang biasanya berhubungan dengan hakekat orientasinya yaitu bisnis serta hasil komersial sebagai tujuan produknya. Di dalam bentuk festival dapat kita lihat dari maraknya pengadaan acara ini, baik di café atau festival trio sekabupaten, dan kegiatan bernyanyi yang paling sering kita lihat dan dilakukan untuk kesenangan yaitu di lapo atau kedai tuak. Biasanya lagulagu yang dibawakan adalah lagu-lagu trio yang populer. Ada juga 6 Lapo artinya warung. Lapo di Tapanuli Utara, selain tempat untuk menjual makanan dan minuman, juga memiliki fungsi sosial. Lapo dijadikan tempat berkumpul warga. Warga setempat yang semuanya sudah saling kenal, menghabiskan waktu luangnya di lapo dengan bermain catur, gitar atau sekedar ngobrol-ngobrol sambil minum tuak atau kopi panas dan nonton televisi”. Dikutip dari Edward Siahaan. 2003. “Tapanuli Utara The Beautiful Land.” Seni (Jurnal Pemerintah Kabupaten Tapanuli Utara), h. 82. 7 Yang dimaksud dengan berformat trio atu penyanyi trio atau partrio adalah beranggotakan tiga orang penyanyi. 46 Roy J.M. Hutagalung, Trio pada Musik Populer Batak Toba beberapa trio atau penyanyi trio di musik pesta yang latihannya di lapo 8 dan mereka juga melakukannya untuk kesenangan. 2. Defenisi Trio Menurut Kamus Umum Bahasa Indonesia9 pengertian trio ada 3 yaitu: 1) tiga serangkai (penyanyi, pemain musik, dsb). 2) tiga sekawan yang selalu bersama-sama sehingga di kenal orang kelompoknya itu. 3) lagu musik yang di gubah dengan tiga suara. Dalam musik, trio adalah metode instrumentasi atau vokalisasi oleh tiga suara yang berbeda atau suara untuk membuat musik atau lagu yang merdu, posisi trio ada ditengah antara duo dan kuartet. Jadi dalam hal ini ada tiga orang penyaji instrumen vokal. Ada beberapa perbedaan dan tambahan yang harus dijelaskan tentang pengertian trio pada musik populer Batak Toba di antaranya adalah mengenai penyebutan peristilahannya. Sopran/mezzo sopran (jenis suara anak-anak atau jenis suara tinggi perempuan, alto (jenis suara yang rendah/berat dari kaum perempuan), tenor (jenis suara yang tinggi dari laki-laki) dan bas/baritone (jenis suara yang rendah/berat dari laki-laki) adalah istilah di musik Barat. Berbeda dengan peristilahan di trio pada musik populer Batak Toba. Perbedaan setelah proses adaptasi trio pada musik populer Batak Toba yang mempunyai identitas sendiri atau mempunyai istilah sendiri, dalam bahasa Batak Toba dapat kita lihat pada istilah marsada10 untuk menyebut sopran (suara satu, jenis suara tinggi/rendah laki-laki atau perempuan), mardua untuk menyebut alto 8 Kompas, 3 Februari 2013, h. 13, “Monang Sianipar, pengusaha Batak, yang menjadikan laponya sebagai tempat nongkrong dan latihan para seniman Batak.” 9 Badudu-Zain, 1996. Kamus Umum Bahasa Indonesia. Jakarta: Pustaka Sinar Harapan. 10 Pengertian kata marsada, pada bahasa Batak Toba mengacu pada dua pengertian yang pertama marsada dalam artian bersatu, dan yang kedua marsada dalam artian marsuara sada atau bernyanyi suara satu yang lebih dikenal dengan istilah solo,” berbeda dengan kata mardua, martolu,dan marlima yang berarti suara dua, suara tiga dan suara lima. 47 Seni: Fungsi, Perubahan, dan Makna (jenis suara rendah/berat laki-laki atau perempuan), martolu untuk menyebut tenor (jenis suara tinggi laki-laki atau perempuan), marlima untuk menyebut alto tinggi/oktaf (jenis suara tinggi/falseto laki-laki) yang merupakan tambahan, mengingat istilah dan komposisi ini adanya di trio pada musik populer Batak Toba. Dari segi jumlah penyaji tentu terdapat perbedaan antara bernyanyi dengan format trio dengan duet atau kwartet, trio dengan jumlah tiga penyaji instrumen vokal, sedangkan duet dengan jumlah dua penyaji instrumen vokal dan kwartet dengan jumlah empat penyaji instrumen vokal. Trio pada musik populer Batak Toba yang penulis maksud adalah tiga orang penyaji vokal yang beranggotakan hanya laki-laki atau hanya perempuan atau penggabungan (campuran) laki-laki dan perempuan atau sebaliknya. Dalam penyajiannya masing-masing mempunyai suara tertentu yang membawakan tiga jenis suara yang menekankan perpaduan harmonis, baik antara suara masing-masing penyanyi yang bernyanyi bersama-sama, serta keseimbangan yang serasi antara masing-masing kategori/tipe suara penyanyi (marsada untuk menyebut suara satu atau sopran, mardua untuk menyebut alto atau suara dua, martolu untuk menyebut tenor atau suara tiga, marlima untuk menyebut alto tingi/oktaf atau suara lima). Mereka mempunyai kebiasaan bernyanyi bersama-sama sehingga dikenal orang kelompoknya itu dengan lagu musik yang digubah dengan tiga suara, yang tumbuh dan berkembang di tengahtengah masyarakat Batak Toba. Lirik lagunya menggunakan bahasa Batak Toba dan perpaduan dua ensambel antara musik tradisi Batak Toba dan musik Barat atau mencakup musik tradisional dan musik populer yang dalam perkembangannya dibantu oleh berbagai media massa. Personil trio mempunyai asal-muasal marga dan daerah budayanya meliputi Kabupaten: (a) Tapanuli Utara, (b) Toba Samosir, (c) Samosir, dan (d) Humbang Hasundutan. 48 Roy J.M. Hutagalung, Trio pada Musik Populer Batak Toba 3. Musik Populer Batak Toba Musik merupakan bagian dari kebudayaan atau setiap kebudayaan memiliki musik. Musik adalah bagian dari kebudayaan yang dapat mencerminkan aspek sosial kemasyarakatan, karena musik adalah perilaku sosial yang kompleks dan universal. Dapat dikatakan seperti itu, karena musik mampu mengekspresikan berbagai hal yang terjadi dalam sistem sosial dan mempunyai fungsi yang sangat luas. Contohnya musik yang diadakan untuk menghibur masyarakat seperti pada festival, konser atau pagelaran, untuk upacara pernikahan, untuk upacara yang bersifat ritual, hiburan dan lain-lain tergantung kepada konteks penyajian dan jenis musik yang disajikan dan dibutuhkan. Seiring dengan perkembangan musik saat ini, jenis musik yang paling pesat berkembang adalah jenis musik populer. Musik populer dapat berkembang dengan pesat karena diminati dan dimengerti oleh masyarakat dari berbagai tingkatan sosial misalnya dari kalangan bawah sampai kalangan atas khususnya generasi muda. Selain diminati dan dimengerti, segala sesuatu yang berhubungan dengan musik populer dapat dengan cepat menyebar luas di tengah-tengah masyarakat, yang penyebarluasannya melalui media seperti radio, televisi, surat kabar, majalah, dan lain-lainnya. Istilah populer dari segi arti kata serta kaitannya dengan istilah folklor dapat kita lihat dari kutipan berikut. … Dilihat dari segi arti kata, istilah populer/hiburan harus diartikan dengan musik rakyat, atau musik yang dibuat dan dimiliki rakyat. Defenisi singkat ini langsung menuju pada suatu istilah lain, yaitu “folklor", di mana unsur etnis lebih menonjol. Salah satu kriteria folklor adalah kenyataan bahwa musik itu biasanya bersifat anonim dan bertradisi secara lisan, sehingga kemungkinan besar senantiasa merubah tanpa dirasakan oleh “folk” (masyarakat) yang 11 memilikinya. 11 Dieter Mack, 2002. Sejarah Musik Jilid 4. Yogyakarta: Pusat Musik Liturgi, h. 377. 49 Seni: Fungsi, Perubahan, dan Makna Istilah populer berhubungan dengan musik rakyat, folklor atau lagu rakyat yang dinyanyikan, diterima oleh sekelompok masyarakat dan merupakan nyanyian yang disukai oleh masyarakat tersebut. Lagu pop, jenis lagu yang sedang dan paling populer di masyarakat pada suatu periode waktu tertentu. Biasanya akrab dengan dunia remaja dan cepat menyesuaikan diri dengan perkembangan teknologi.12 Mungkin dari segi keetnisan “musik populer” masa kini yaitu musik pop/rock tidak bisa disebut folklor,13 karena musik populer merupakan karya musik yang diciptakan oleh seorang atau sekelompok orang yang kemudian karya musik tersebut dikenal masyarakat melalui media massa, baik itu media cetak atau media elektronik secara tidak terbatas pada satu kelompok masyarakat. Budaya massa atau budaya populer adalah kebudayaan yang didukung oleh masyarakatnya secara umum, dan biasanya berkaitan erat dengan teknologi dan waktu kontemporer, yang termasuk salah satu budaya populer adalah musik etnik atau musik daerah, yang dalam kasus kajian ini adalah budaya musik populer Batak Toba. Perubahan pada perkembangan jaman merupakan bagian dari sejarah munculnya budaya musik populer Batak Toba, dengan berinteraksinya musik tradisional Batak Toba dengan musik Barat, berinteraksi melalui masuknya lembaga gereja. Munculnya budaya musik populer Batak Toba mempunyai berbagai fungsi seperti hiburan, enkulturasi budaya, ekonomi, estetika dan lain-lainnya. Salah satu jenis musik populer daerah (secara umum) di sebut “pop daerah.” Musik ini merupakan versi daerah (regional) dari musik pop Indonesia. Musik pop daerah dekat (dan kadang-kadang sama) dengan 12 Soeharto, op. cit., h. 100. Dieter Mack, 2004. Musik Kontemporer dan Persoalan Interkultural. Arti, h. 3 “… folklor yang populer selalu merupakan hasil kerjasama masyarakat sendiri. Artinya, masyarakatlah yang aktif dan membuat sesuatu untuk diri sendiri. Dalam musik populer baru yang lahir di Amerika pada awal abad ke-20, bukan masyarakat yang aktif (walaupun ini barangkali sumbernya!), melainkan masyarakat hanya menerimanya secara pasif sebagai hiburan atau kertas dinding sebagai latar belakang saja.” 13 50 Roy J.M. Hutagalung, Trio pada Musik Populer Batak Toba pop Indonesia dari segi melodi, harmoni, instrumentasi dasar, ritem, dan sebagainya. Disebut sebagai musik “pop daerah” yang berasal dari daerah tertentu bukan disebut “pop Indonesia” justru karena musiknya menggunakan bahasa lokal dan kadang-kadang menggunakan instrumen atau timbre yang dianggap khas daerah tersebut.14 Musik populer Batak Toba adalah musik yang tumbuh dan berkembang di tengah-tengah masyarakat Batak Toba. Lirik lagunya menggunakan bahasa Batak Toba dan perpaduan dua ensambel antara musik tradisi Batak Toba dan musik Barat atau mencakup musik tradisional dan musik populer. Dalam perkembangannya dibantu oleh berbagai media massa. Pada masa sekarang ini struktur musik populer Batak Toba cenderung menggunakan tangga-tangga nada diatonik Barat, dengan menggunakan lirik lagu atau syair dalam bahasa daerah Batak Toba. Juga perpaduan dua ensambel antara musik tradisi Batak Toba dan musik Barat. Pengaruh musik Barat yang diadopsi sedikit-banyak mempengaruhi musik Batak Toba, sehingga menimbulkan istilah-istilah atau identitas sendiri pada musik populer Batak Toba, khusunya peristilahan di trio pada musik populer Batak Toba. Perbedaan setelah proses adaptasi trio pada musik populer Batak Toba yang mempunyai identitas sendiri atau mempunyai istilah sendiri. Dalam bahasa Batak Toba dapat kita lihat pada istilah marlima untuk menyebut alto tinggi/oktaf (jenis suara tinggi/falseto laki-laki) yang menjadi identitas pada trio di dalam musik populer Batak Toba. Seiring dengan berkembangan musik populer Batak Toba, maka terjadi kecenderungan usaha untuk menggunakan genre atau gaya-gaya musik yang sedang digemari masyarakat sekarang. Penggunaan musik populer yang lazim misalnya: pop, rock, disco, jazz, country, dangdut dan lain-lain, dapat dilihat dari jenis penjualan kaset di toko-toko kaset. Kaset-kaset musik populer Batak Toba diproduksi dengan berbagai gaya musik. 14 Mauly Purba dan Ben M Pasaribu, op cit, h.74. 51 Seni: Fungsi, Perubahan, dan Makna Perubahan15 musik tradisional Batak Toba terjadi sejak masuknya agama Kristen ke tanah Batak, semenjak kedatangan misionaris asal Jerman yang bernama I.L. Nomensen tepatnya pada 7 November 186316 ke daerah Silindung. Kedatangan misionaris-misionaris khususnya I.L Nomensen yang sukses menyebarkan agama Kristen, berdampak pada masyarakat Batak yang sudah menganut agama Kristen. Mereka mulai menyanyikan lagu-lagu gereja. Hingga sekarang sudah banyak lagu-lagu gereja yang sudah diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia melalui buku-buku nyanyian rohani. Di antaranya Chorale Jerman yang berjudul Ein Feste Burg ciptaan Martin Luther, pada tahun 1529. Pada bagian lampiran 3, lagu Ein Feste Burg telah diaransir kembali oleh J.S Bach pada tahun 1716 yang kemudian diterjemahkan pada buku Kidung Jemaat, yang berjudul Allahmu Benteng Yang Teguh, yang juga terdapat dalam bahasa Batak Toba, pada buku ende yang berjudul Ende Taringot tu Harajaon ni Debata. Perubahan di sektor agama ini, sedikit banyaknya mempengaruhi musik tradisi masyarakat Batak Toba. Dalam musik Batak Toba pengaruh tersebut mulai tampak adanya perubahan gaya disebabkan oleh pengaruh dari lagu-lagu gerejani yang menggunakan harmoni sistem Barat yaitu pada lagu-lagu gereja pada iringan musik saat kebaktian yang menggunakan harmoni Barat. Hal ini dikarenakan para misionaris lebih menekankan pendidikan melalui musik karena mereka menganggap 15 Ibid., “Dengan kedatangan agama Kristen ke Tanah Batak, pokok kebudayaan Batak sangat diubah sekali. Interaksi dengan agama baru ini dan nilai-nilai Barat menggoncangkan kebudayaan tradisi Batak Toba sampai ke akarnya. Menurut gereja Kristen musik gondang berhubungan dengan kesurupan, pemujaan roh nenek moyang, dan agama Batak asli, terlalu bahaya untuk dibolehkan terus dimainkan lagi. Pada awal abad kedua puluh Nommensen minta pemerintah kolonial Belanda untuk melarang upacara bius dan musik gondang. Larangan ini bertahan hampir empat puluh tahun sampai pada tahun 1938. Itu merupakan suatu pukulan utama untuk agama tradisi Batak Toba dan musik gondang yang sangat terkait dengan agama tersebut.” 16 Arifin Pasaribu, 2011. “Tarutung Kota Wisata Penuh Sejarah” Horas, Edisi 142. 10-30 September, h. 39. 52 Roy J.M. Hutagalung, Trio pada Musik Populer Batak Toba orang Batak terkenal suka nyanyian,17 seiring perkembangannya kemudian dengan menggunakan lirik lagunya dalam bahasa Batak Toba. Sistem harmoni Barat itu dibawa oleh para misionaris ke dalam gereja Batak yang diadopsi masyarakat Batak Toba hingga muncul dalam lagu Batak Toba yang wilayah nadanya sudah mulai berkembang. Yang didukung oleh pendapat Hodges bahwa kristenisasi, urbanisasi, modernisasi di kalangan orang Batak Toba lebih kurang terjadi secara bersamaan dengan kecepatan yang luar biasa.18 Perubahan pada musik Batak Toba mengalami perkembangan baik pada insrumen vokal dan instrumental yang juga disesuaikan dengan perkembangan zaman. Penggunaan instrumen yang modern seperti instrument gitar, keyboard memungkinkan pencipta, penikmat dan pemain musik Batak Toba menikmati dari apa yang dikatakan modernisasi musik Batak Toba. Hal ini didukung oleh pernyataan Karl Edmund19 mengatakan bahwa dalam suku Batak Toba umumnya musik tradisional berhubungan dengan gondang, yang artinya merupakan iringan tari (tortor). Sedangkan lagu daerah Toba sudah sedikit menjauh dari pola ini dan berbau Barat. Masuknya kebudayaan modern besar pengaruhnya terhadap pertumbuhan musik Batak Toba. Seni populer dalam keadaan tertentu, membuat perubahan pada bentuk asli seni tradisional dengan berbagai cara: ada yang muncul sebagai tiruan dan kontinuitas dari seni 17 A. Panggabean, 1984. “Dasar Theologia Operational HKBP Bersama Atau Tanpa Nommensen. (Dari mana sumber theologia HKBP?)” dalam HKBP, Benih yang Berbuah: Hari Peringatan 150 Tahun Ompui Ephorus Dr. Ingwer Ludwig Nommensen Almarhum 6 Februari 1834-6 Februari 1984. Pematang Siantar: Bagian Ilmu Gereja dan Perkabaran Injil STT-HKBP bidang Penelitian dan Pengembangan. h. 121-124. 18 William Hodges, 2009. Ganti Andung Gabe Ende. California: (Replacing Lament, Becoming Hymns): The Changing Voice Of Grief In Pre-Funeral Wakes Of Protentant Toba Batak (Nort Sumatra, Indonesia). A Dissertation submitted in partial satisfaction of the requirements for the degree Doctor of Philosophy in Music, Unniversity of California Santa Barbara, h.,10. 19 Karl Edmund, 1999. Inkulturasi Nyanyian Liturgi. Yogyakarta: Pusat Musik Liturgi. 53 Seni: Fungsi, Perubahan, dan Makna tradisional, ada pula yang muncul dalam bentuk baru, seperti pada musik populer Batak Toba. Ada beberapa yang menggabungkan atau memasukkan unsur musik tradisional, dan tidak jarang pula muncul dalam bentuk baru atau hasil kreativitas. Pada umumnya setelah pengaruh adanya persinggungan dengan budaya musik Barat, berbagai elemen baru ini masuk ke dalam musik populer Batak Toba. Perkembangan sistem komunikasi mengambil peran, sehingga seni dapat tersebar dengan meluas dinikmati dan diminati. Setelah ditemukannya media komunikasi seperti radio, televisi, internet, dan peran industri musik populer maka seni musik populer Batak Toba meluas persebarannya. Bahkan seni ini sudah diminati baik oleh masyarakat Batak Toba sebagai pendukungnya, maupun masyarakat bukan Batak Toba yang juga turut mendukung keberadaannya atau minimal sebagai peminat musik populer Batak Toba. Perkembangan dari sektor teknologi tentunya berimbas pada perubahan musik Batak Toba. Terutama sejak hadirnya radio siaran yang resmi berdiri tanggal 16 Juni 1925 di Batavia (sekarang Jakarta).20 Sejak masuknya radio21 di Indonesia yang merupakan titik awal perkembangan musik di tanah air dan tentunya awal perkembangan musik populer Batak Toba. Berbagai jenis irama yang disiarkan melalui siaran radio yang tentunya menghadirkan motivasi bagi pemusik Batak Toba untuk membuat musik Batak Toba menjadi sesuatu yang baru. Para pemusik ini sering mendengar berbagai macam jenis irama seperti: chacha, jazz, rumba, waltz, tango, seriosa, keroncong dan lain-lain. Dampaknya iramairama ini diterapkan dalam praktik musik popular Batak Toba. Itu juga 20 Ivo Panggabean.op. cit., h. 34. S Takdir Alisjahbana, op.cit., h. 112. “… Radio Republik Indonesia berjasa menyebarkan lagu2 dan nyanyian2 dari berbagai daerah, yang amat banyak jumlah dan ragamnya, dan dengan demikian membuka kemungkinan baginya untuk berpadu sesamanya maupun dengan lagu dan nyanyian Indonesia modern …” 21 54 Roy J.M. Hutagalung, Trio pada Musik Populer Batak Toba suatu kesempatan untuk memperkenalkan lagu-lagu Batak Toba kepada masyarakat di tanah air khususnya masyarakat Batak Toba. Pada masa ini di Kota Medan, lagu-lagu Batak yang mulai diperdengarkan melalui radio, dimana untuk pertama kalinya muncul pada tanggal 10 Januari 1939 yang dimainkan oleh musik band Batak Hawaiian Tapiannauli pimpinan F. Toenggoel Hutabarat.22 Akan tetapi tidak ada keterangan yang pasti tentang musik apa yang disiarkan pertama kali. Namun mengacu pada nama grup, penulis berasumsi mereka kemungkinan memainkan musik hawaian dan keroncong. Pada masa ini musik populer Batak Toba mulai diperdengarkan di radio, yang pada awalnya direkam pada bentuk piringan hitam, adalah karya-karya Romulus Lumbantobing23 (ayah dari Gordon Lumbantobing). Dialah orang Batak Toba yang pertama merekam lagu-lagunya ke dalam piringan hitam. Nama-nama seperti Nahum Situmorang dengan lagunya Sitogol, Alusi Au dan Lissoi, Siddik Sitompul (Sdis) O Tano Batak, Ismail Hutajulu, Marihot Hutabarat Dago Inang Sarge, Cornel Simanjuntak O Ale Alogo adalah komponis Batak Toba dari era 1940-an. Mereka dianggap sebagai pelopor lagu populer Batak Toba. Sebagian besar musik mereka memiliki struktur melodi dan harmoni musik Barat. Kebanyakan syair pada lagu-lagu mereka disusun dalam bahasa Batak Toba yang disebut juga dengan gaya Tapanoeli Modern. Hal ini dapat dilihat dari lagu yang berjudul Lissoi, lagu ini digarap oleh Nahum Situmorang dalam irama waltz dengan metrum ¾ yang pada musik klasik Barat, meter ¾ disebut sebagai irama waltz. 22 Ivo Panggabean. op. cit., h. 34. William Hodges. op. cit., h. 15. “Romulus Lumbantobing (1904-1964), yang pada tahun 1926 membentuk sebuah orchestra keroncong dikenal dengan nama Orkes Keroncong Suka Jadi. Bandnya berhasil berkompetisi dalam berbagai kompetisi di Medan selama beberapa tahun, reputasi mereka adalah band keroncong yang pertama dari semua band keroncong Batak.” 23 55 Seni: Fungsi, Perubahan, dan Makna 4. Fenomena Trio pada Musik Populer Batak Toba Penyanyi berformat trio lebih banyak dijumpai di dalam budaya Batak Toba, jika dibandingkan dengan solo atau format bernyanyi berkelompok lainnya, seperti: vokal grup, kwartet, dan lain-lain. Untuk melihat faktor-faktor bagaimana penyanyi yang berformat trio di Batak Toba hingga lahirnya istilah trio yang begitu fenomenal jika dibandingkan dengan daerah di luar Batak Toba, maka menurut asumsi penulis penyebaran agama bukanlah faktor satu-satunya. Misalnya masyarakat Karo yang juga mayoritas Kristen. Akan tetapi penyanyi yang berformat trio pada masyarakat Karo atau di daerah lain tidak sepopuler dan sebanyak di Batak Toba. Menurut Djohan24 secara psikologis penentuan aktivitas musik termasuk persepsi dan kognisi yang ditanggapi secara apriori. Walaupun perilaku musikal juga merupakan salah satu aspek penting dari perilaku manusia. Sejauh ini, penelitian atas perilaku musikal selalu dihubungkan dengan proses kognitif dan persepsi. Neisser25 mengatakan bahwa psikologi kognitif dan disiplin terkait menjadi penting dan secara ekologis merupakan penemuan yang absah dalam proses penggabungan antara disiplin psikologis dan musik. Gaston26 sejak lama mengingatkan bahwa perilaku musikal seharusnya dipelajari melalui psikologi, antropologi, dan sosiologi. Tidak satu pun masyarakat atau budaya yang tidak memiliki musik, atau setiap orang memerlukan musik. Musik adalah perilaku sosial yang kompleks dan universal. Setiap masyarakat memiliki apa yang disebut dengan musik27 dan setiap anggota masyarakatnya adalah musikal. 24 Djohan, 2003, Psikologi Musik, Yogyakarta: Buku Baik, h. 4. Ibid.,h. 4, dikutip dari Neisser, 1997, h..24. 26 E.T. Gaston, 1957. Music Therapy: Factors Contributing to Responses to Music. KS: The Allen Press, Lawrence, h. 23–30. 27 Jhon Blacking, 1995. Music, Culture, and Experience. London: University of Chicago Press. 25 56 Roy J.M. Hutagalung, Trio pada Musik Populer Batak Toba Menurut Abler 28 musik memiliki semua karakter penting dari sistem kimia, genetika, dan bahasa manusia. Kemudian Sloboda29 secara tegas mengatakan bahwa perasaan manusia terikat dengan bentuk musik karena terdapat konsistensi dalam respon musik yang secara relatif memberikan lingkungan yang sama. Dikatakannya bahwa secara mendasar terdapat alasan yang kuat untuk menggunakan pendekatan kognitif dalam mengalami stimuli musik. Interaksi antara musik dan psikologi tidak dapat dihindarkan karena selain psikolog tertarik dengan interpretasi perilaku manusia juga karena musik sebagai bagian dari seni adalah bentuk perilaku manusia yang unik dan memiliki pengaruh yang kuat. Dalam interaksi antar manusia terjadi proses saling meningkatkan pemahaman sebagai suatu budaya yang memainkan peran signifikan dalam mematangkan persepsi dan kognisi. Perkembangan perilaku musik dalam kenyataannya semakin jelas kuat dipengaruhi oleh proses evolusi dalam pikiran. Musik bukan hanya memberikan anak media interaksi sosial, ruang bebas resiko untuk mengeksplorasi perilaku sosial tetapi juga memungkinkan akibat sebaliknya berupa potensi aksi dan transaksi yang pada kenyataannya musik secara signifikan dapat merubah sebuah situasi. Dari perspektif kognitif, musik adalah produk konvensi budaya dan fakta perwujudannya secara seketika dalam kognisi anggota budaya tersebut.30 Budaya adalah sekelompok orang yang menanggung kebutuhan bersama, lingkungan, perhatian dan nilai, teridentifikasi serta terpilih secara teratur oleh dunia suara, sensitivitas manusia terhadap suara, produksi suara saat ini, masa lalu serta yang telah termodifikasi. Kluckohn mengatakan kebudayaan sering diartikan sebagai keseluruhan cara hidup manusia, yaitu warisan sosial yang diperoleh seseorang dari 28 Djohan, 2003. Psikologi Musik. Yogyakarta: Buku Baik, h. 7, dikutip dari Abler Ibid., h. 7 dikutip dari Sloboda, 1988. 30 Djohan, op. cit., h. 13. 29 57 Seni: Fungsi, Perubahan, dan Makna kelompoknya atau kebudayaan dapat dianggap sebagai bagian lingkungan yang diciptakan manusia.31 Musik sangat penting bagi aktivitas masyarakat Batak Toba. Kegiatan bernyanyi bersama-sama dapat dilihat dari pembagian musik vokal Batak Toba,32 khususnya pada Ende Pargaulan dan Ende Tumba,. Dalam menyanyikan ende ini dapat dilihat bagaimana orang Batak menggambarkan suasana hatinya dan menuangkannya lewat tarian dan nyanyian. Dari beberapa penelitian maka musik benar-benar dapat mempengaruhi suasana hati. Seperti penelitian yang dilakukan oleh Chastain dkk, yang menemukan bahwa musik yang mempengaruhi suasana hati memiliki efek mempertajam perhatian, sehingga subjek dapat lebih memberi perhatian pada kata-kata yang cocok dengan suasana musiknya. Pengaruh musik terhadap perhatian ini dapat menjelaskan mengapa kata-kata yang tepat lebih mudah diingat. Menurut Lewis dkk. musik dengan kategori positif menghasilkan peningkatan suasana hati yang positif demikian pula musik yang sedih juga menghasilkan peningkatan suasana hati negatif. Maka disimpulkan bahwa sebuah musik cenderung menimbulkan suasana hati yang sama dalam diri pendengarnya. Sloboda mengatakan, faktor umum pada semua sampel adalah bahwa musik tidak berperan menghasilkan emosi tetapi lebih menyediakan akses bagi seseorang untuk mengalami emosi yang sudah 31 Clyde Kluckohn, “Cermin Bagi Manusia”, dalam Manusia Kebudayaan dan Lingkungannya, (ed. Parsudi Suparlan), tanpa tahun. 32 Ben M. Pasaribu, 1986. “Taganing Batak Toba: Suatu Kajian Konteks Sabangunan” Skripsi Sarjana USU Fakultas Sastra Jurusan Etnomusikologi, Medan, tentang pembagian musik vokal Batak Toba. Ende Pargaulan, adalah musik vokal yang secara umum merupakan “solo-chorus” dan dinyanyikan oleh kaum muda dalam waktu senggang, biasanya malam hari. Ende Tumba, adalah musik vokal yang khusus dinyanyikan sebagai pengiring tarian hiburan (tumba). Penyanyinya sekaligus menari dengan melompat-lompat dan berpegangan tangan sambil bergerak melingkar. Biasanya ende tumba ini dilakukan oleh remaja di alaman (halaman kampung) pada malam terang bulan. 58 Roy J.M. Hutagalung, Trio pada Musik Populer Batak Toba “teragenda.” Pencarian tentang pemahaman persepsi dalam analisis musik dengan pengertian persepsi pada psikologi kognitif masih terus dilakukan, karena pandangan mengenai persepsi sebagai suatu proses yang tidak disengaja dan disadari sebenarnya merupakan domain psikologi. Oleh karenanya pandangan tentang persepsi dalam analisis musik akan gagal bila dihubungkan dengan persepsi dari perspektif kognitif. Menurut Bruner33 “psikologi kerakyatan” adalah “serangkaian deskripsi normatif mengenai bagaimana seseorang ‘menandakan,’ seperti apa pikiran kita, aksi apa yang dapat diperkirakan, kemungkinan gaya hidup seperti apa, atau bagaimana seseorang melakukan sesuatu.” Analisis musik dalam pandangan “psikologi kerakyatan” merupakan suatu persepsi dari subjek dengan maksud mengintervensi dan mengkategorisasikan pengalaman yang secara sadar dipertajam serta diulang dalam suatu penelitian. Bruner menyatakan bahwa “belajar psikologi kerakyatan seperti halnya belajar menggunakan bahasa adalah sama seperti kalau kita belajar melaksanakan transaksi interpersonal dalam kehidupan seharihari.” Sementara ini “psikologi kerakyatan” banyak digunakan dalam menganalisis fenomena musik yang kompleks, walau kenyataannya fenomena tersebut tidak sama bagi pendengar yang hanya ingin menikmati musik. Dari beberapa pernyataan di atas, ditinjau dari segi psikologi musik dan psikologi kerakyatan, penulis berpendapat bahwa hubungan langsung antara kejadian musik34 atau keterlibatan masyarakat Batak Toba dengan kegiatan bernyanyi berkelompok atau bagaimana musik itu, dipelihara dalam masyarakat. Hal ini dapat dilihat dari keberadaan penyanyi trio di Batak Toba saat ini. Karl Edmund35 mengatakan bahwa 33 J. Bruner. 1990. Acts of Meaning. London: Harvard University Press. Shin Nakagawa, op. cit., h. 6, “Untuk menjelaskan musik tersebut kita harus menyadari bahwa musik itu hidup dalam masyarakat; musik dianggap sebagai cerminan system sosial atau sebaliknya.” 35 Karl Edmund, 1999. Inkulturasi Nyanyian Liturgi. Yogyakarta: Pusat Musik Liturgi. 34 59 Seni: Fungsi, Perubahan, dan Makna lagu Batak atau Flores sangat kuat untuk dinyanyikan bersama. Didukung juga oleh trio yang merupakan gambaran suatu tradisi budaya yang masih bertahan dan dinikmati masyarakat Batak Toba. Dapat dibayangkan pengalaman seseorang ketika kepuasan emosi seseorang berhasil dengan musik, bebas dari rasa bosan, secara langsung akan mempengaruhi produktivitas serta menghadirkan kegembiraan. Pengalaman seseorang dalam merespon secara positif menunjukkan bahwa secara umum mereka merasa nyaman. 36 Masyarakat Batak Toba tidak terpisahkan dari kegiatan bernyanyi, baik bernyanyi vokal solo atau berkelompok (pada umumnya trio) baik secara langsung maupun tidak langsung. Selain itu, sejak kecil hingga masa tuanya sering terlibat dalam musik, khususnya musik vokal, dan juga dikarenakan masyarakat Batak Toba sudah terbiasa dengan harmonisasi nyanyian koor di gereja yang kemudian menjadi suatu kebiasaan bernyanyi di luar aktivitas bernyanyi di gereja. Sehingga trio berkembang begitu pesat dan menjadi faktor kenapa trio di Batak relatif kuat. Hal ini menggambarkan bagaimana sifat alami masyarakat Batak Toba dalam mengisi aktivitas masyarakatnya. Hal di atas sedikit banyak menerangkan bagaimana sifat orang Batak yang sering berkumpul. Sehingga memungkinkan adanya kerjasama yang tentunya dalam hal bernyanyi, dan bagaimana masyarakat Batak Toba di dalam kehidupan anggota masyarakat secara individu maupun secara kolektif sering terlibat dalam musik, khususnya musik vokal. 5. Perkembangan Trio pada Musik Populer Batak Toba Setelah perang dunia kedua, muncul Trio Marihot yang beranggotakan Marihot, Saulius, dan Paul Hutabarat. Mereka telah rekaman dengan iringan musik Barat di Jerman oleh Panaphone 36 Djohan, op. cit., h. 206. 60 Roy J.M. Hutagalung, Trio pada Musik Populer Batak Toba Recording Company. Madrotter37 mengatakan: “Here's a beautiful jazz album from trio Marihot and I've been told that this album came out not long after the second World War...” [Berikut adalah album jazz yang indah dari trio Marihot dan saya telah diberitahu bahwa album ini keluar tidak lama setelah Perang Dunia Kedua]. Dari data yang dikumpulkan penulis trio Marihot adalah trio yang pertama muncul di trio pada musik populer Batak Toba sekitar tahun 1940 sampai 1950-an, kemudian pemimpin Trio Marihot, Marihot Hutabarat membentuk Pardolok Tolong Melodi pada era akhir tahun 1950-an. Mereka juga rekaman di Jerman pada tahun 1960-an. Personilnya terdiri dari pemuda-pemuda Batak Toba dipimpin oleh Marihot Hutabarat. Pada akhir 1960-an dimulainya industri kaset dan dengan cepat bekembang sebagai media utama musik populer. Seiring dengan media baru ini muncul fasilitas rekaman lokal, yang juga memunculkan perkembangan musik gaya populer daerah (pop daerah). Lagu populer Batak tersebut memakai gaya populer daerah (lokal), seperti opera Batak, meskipun dimodernisasi dengan instrumen musik elektreik dan struktur harmoni Barat. Perkembangan zaman, khusus masa hadirnya industri rekaman, membuat banyak pemusik orang Batak Toba berpacu untuk rekaman sebagai bentuk penuangan ekspresi musik mereka. Munculnya trio The King tahun 1961 yang dipimpin oleh Bonggas Sitompul, dengan lagu andalan Eme ni Simbolon, dan dua tahun kemudian yaitu 1963, muncul trio Parsito beranggotakan Parlin Pardede, Piet Sitompul, dan Tigor Tobing, membawakan genre musik pop Batak yang pada masa itu. Mereka dalam bernyanyi masih diiringi oleh gitar. Pada awal tahun 1970-an muncul trio Golden Heart merupakan trio yang pertama mengumumkan ke media lewat rekaman, tulis, dan cetak di Indonesia tepatnya di Jakarta. Dengan beranggotakan Dakka Hutagalung, 37 http://madrotter-treasure-hunt.blogspot.com. Halaman ini terakhir diubah 22 Agustus 2012. Henrik Madrotter adalah seorang pengoleksi album-album tempo dulu asal Belanda. 61 Seni: Fungsi, Perubahan, dan Makna Star Pangaribuan, dan Ronal Lumbantobing, yang mengusung genre musik folk country atau lebih tepatnya Batak Country. Trio Golden Heart berperan penting dalam pengenalan istilah trio pada masyarakat Batak Toba. Hal ini dikarenakan kesuksesan yang didapat trio Golden Heart dalam penjualan kaset pada awal tahun 1970an. Sehingga istilah trio semakin dikenal masyarakat Batak Toba. Trio ini semakin disukai ketika munculnya trio Lasidos38 yang beranggotakan Hilman Padang, Bunthora Situmorang, dan Jack Marpaung tahun 1976. Dampaknya memunculkan trio-trio baru seperti Trio Friendship, Melody King Trio, Trio Amsisi, Trio Ambisi, Trio Maduma, Trio Relasi, Rumba Trio, Feeling Trio, Horas Trio, The Star Trio, Trio Lasima, dan lain-lain. Diawali dengan munculnya opera Batak sebagai bentuk kesenian yang semata-mata untuk kebutuhan panggung, yang tidak terkait dengan ritual Batak Toba, ternyata telah mempengaruhi status serta keterlibatan perempuan dalam seni pertunjukan tersebut. Pada masa itu keterlibatan perempuan dalam pertunjukan kesenian ini telah mempengaruhi penilaian masyarakat tradisi dan budaya Batak Toba dalam musiknya. Opera Batak telah menjadi satu wadah dimana berbagai problema gender di dalam kehidupan masyarakat tradisional Batak Toba direfleksikan, baik oleh para seniman pria maupun perempuannya secara langsung di depan publik. Opera Batak mulai memudar eksistensinya sekitar tahun 1970-an. Dalam opera ini peranan perempuan Batak sebelumnya sudah exist dalam pertunjukan. Seiring dengan memudarnya Opera Batak, maka hal itu mempengaruhi peranan wanita dalam kesenian. Sebelum memudarnya opera Batak ini, dalam realitasnya penyanyi berformat trio untuk wanita sudah mulai dikenal masyarakat Batak Toba. Bersamaan dengan eksistensi lahirnya Opera Batak muncul pula trio yang beranggotakan perempuan seperti Trio Sitompul Sister yang beranggotakan Rika 38 Dari data yang dikumpulkan penulis merupakan awal dari lahirnya istilah parlima atau alto yang dinaikkan satu oktaf, istilah parlima muncul untuk menjaga harmonisasi, karena harmonisasi merupakan hal yang sangat penting pada format bernyanyi trio. 62 Roy J.M. Hutagalung, Trio pada Musik Populer Batak Toba Sitompul, Desi Sitompul, dan Mona Sitompul pada tahun 1965. Kemudian muncul trio-trio perempuan lainnya seperti, trio Nainggolan Sister, trio The Heart Simatupang Sister, dan lain-lain. Pada tahun 2003 penyanyi berformat trio semakin berkurang. Hal ini dikarenakan harga kaset tape dan kaset vcd player yang mahal. Hingga pada tahun 1995 muncullah trio Lamtama dengan beranggotakan Nixon Simanjuntak, Hady Rumapea, dan Dumanti (Bobby) Sirait, dan diprakarsai oleh produser Batak kawakan saat itu, Ronald Situmorang. Ia berani mengambil resiko dengan menjual harga kaset vcd player yang original dengan harga murah di bawah label Moment Record. Sehingga trio ini mampu mengembalikan kerinduan masyarakat pecinta musik trio pada musik populer Batak Toba. Pada saat lagu Batak Toba menjadi suatu hal yang sangat langka pada saat itu, trio Lamtama menjadi “pionir” yang menghiasi vcd player pada rumah-rumah orang Batak Toba yang pada saat itu juga terjadi penjualan terbesar vcd player. Trio Lamtama mampu mengembalikan kerinduan masyarakat pecinta musik populer Batak Toba dan juga memberikan semangat pada trio-trio yang lain. Seiring dengan berhasilnya penjualan album trio-trio ini khususnya setelah era trio Lamtama maka muncullah ratusan bahkah ribuan trio-trio39 pada musik populer Batak Toba yang kita kenal sekarang ini. 6. Penutup Penyanyi-penyanyi trio pada musik populer Batak Toba muncul karena banyaknya talenta-talenta dikarenakan kebiasaan orang Batak Toba bernyanyi dan juga karena perkembangan musik Batak Toba sudah banyak mengalami perubahan pada masa kolonialis, kedatangan misionaris, dan perkembangan zaman. Sehingga menimbulkan kontak tradisi antara budaya Barat dan budaya Batak Toba. 39 Akan tetapi ada beberapa trio yang terbentuk karena dari gabungan dari beberapa personil trio yang sudah ada sebelumnya, salah satu penyebabnya dikarenakan sipersonil trio ingin mencari trionya sampai si personil tersebut merasa nyaman di trionya. 63 Seni: Fungsi, Perubahan, dan Makna Kebanyakan penyanyi dalam masyarakat Batak Toba lebih menyukai format bernyanyi trio dari pada format bernyanyi kelompok lainnya atau solo. Hal ini dikarenakan memadukan harmonisasi bernyanyi di trio merupakan tantangan yang memberikan kepuasan tersendiri, baik jika dinyanyikan dengan sederhana atau dengan skill vokal dalam penyampaian makna lagu, dan juga faktor kebiasaan bernyanyi berkelompok yang sulit ditinggalkan penyanyi pada masyarakat Batak Toba. Trio merupakan suatu fenomena pada masyarakat Batak Toba, yang dapat dilihat dari banyaknya trio yang masih eksis, dan terus bermunculan trio-trio baru yang menghiasi musik populer Batak Toba, baik sebagai penyanyi trio dan pendengar lagu trio. Kegunaan trio pada aktivitas masyarakat Batak Toba dapat ditemukan seperti pada acara pesta yang biasanya selalu menyertakan trio, dan bernyanyi di lapo/kedai dengan format trio. Dari segi komersial, penjualan kaset trio lebih banyak kita jumpai pada masyarakat Batak Toba. Kebanyakan masyarakat Batak Toba lebih suka mendengar lagu jika dinyanyikan dengan format trio, hal ini dikarenakan masyarakat Batak Toba sudah terbiasa dengan harmonisasi nyanyian koor di gereja yang menjadi suatu kebiasaan bernyanyi diluar aktivitas bernyanyi di gereja. Daftar Pustaka a. Buku dan Artikel Alisjahbana, S Takdir, 1996. Revolusi Masyarakat dan Kebudayaan Di Indonesia. Kuala Lumpur: Oxford University Press. Badudu-Zain, 1996. Kamus Umum Bahasa Indonesia. Jakarta: Pustaka Sinar Harapan. Blacking J., 1995. Music, Culture and Experience. London: University of Chicago Press. Bruner, J., 1990. Acts of Meaning. London: Harvard University Press, London. Chastain, G., et al., 1995. Mood and Lexical Access of Positive, Negative, and Neutral Words. London: J. General Psychol. Djohan, 2003. Psikologi Musik. Yogyakarta: Buku Baik. Gans, H J., 1966 “Populer Culture in America: Social Problems in a Mass Society or Social Asset in a Pluralist Society?” dalam H.S. Becker (ed.) 1966, Social Problems. New York: A Modern Approach. 64 Roy J.M. Hutagalung, Trio pada Musik Populer Batak Toba Gaston, E.T., 1957. Music Therapy: Factors Contributing to Responses to Music. KS:The Allen Press, Lawrence. Hodges, William, 2009. Ganti Andung Gabe Ende. (Replacing Lament, Becoming Hymns): The Changing Voice Of Grief In Pre-Funeral Wakes Of Protentant Toba Batak (Nort Sumatra, Indonesia). California: A Dissertation Submitted in Partial Satisfaction of the Requirements for the Degree Doctor of Philosophy in Music, University of California Santa Barbara. Kluckohn, Clyde, 1995. “Cermin Bagi Manusia,” dalam Parsudi Suparlan (ed.), Manusia Kebudayaan dan Lingkungannya. Jakarta: UI Press. Mack, Dieter, 2004. Musik Kontemporer dan Persoalan Interkultural. Bandung: Arti. Nakagawa, Shin, 2000. Musik dan Kosmos: Sebuah Pengantar Etnomusikologi. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia. Panggabean, Ivo K.S., 1994. “Musik Populer Batak-Toba Suatu Observasi MusikologiDiskografis.” Medan: Skripsi Fakultas Kesenian, Perpustakaan Universitas HKBP Nommenssen. Pasaribu, Arifin, 2011. “Tarutung Kota Wisata Penuh Sejarah” Horas, Edisi 142.10-30 Septem-ber 2011. Pasaribu, Ben M., 1986. “Taganing Batak-Toba: Suatau Kajian dalam Konteks Gondang Sabangunan.” Medan: Skripsi Sarjana USU Fakultas Sastra Jurusna Etnomusikologi. Purba, Mauly dan Ben M. Pasaribu, 2006. Musik Populer. Jakarta: Lembaga Pendidikan Seni Nusantara. Siahaan, Edward. 2003. “Tapanuli Utara The Beautiful land”.Seni Jurnal Pemerintah Kabupaten Tapanuli Utara. Karl, Edmund, 1999. Inkulturasi Nyanyian Liturgi. Yogtyakarta: Pusat Musik Liturgi. Soeharto, M., 1992. Kamus Musik,PT Gramedia Widiasarana Indonesia. Jakarta: Gramedia. Takari, Muhammad et al., 2008. Masyarakat Kesenian di Indonesia. Medan: Studi Kultura, Fakultas Sastra Universitas Sumatera Utara. b. Internet: http://madrotter-treasure-hunt.blogspot.com. Halaman ini terakhir diubah 22 Agustus 2012. 65 empat MUSIK BATAK TOBA: KAJIAN SEJARAH Harry Dikana Situmeang Mahasiswa Magister (S2) Penciptaan dan Pengkajian Seni, Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Sumatera Utara 1. Tinjauan Umum Sebelum penulis membahas tentang sejarah musik populer Batak Toba, sebaiknya perlu meninjau terlebih dahulu tentang pengaruh gereja terhadap kehidupan sosial budaya masyarakat Batak Toba. Kapan dan dimana pertama sekali pengaruh itu dimulai, hal-hal apa sajakah yang dipengaruhi oleh tradisi gereja dan sejauh mana penerimaan orang Batak Toba terhadap perubahan sosial budaya yang diakibatkan oleh tradisi gereja itu, apa dampaknya terhadap perkembangan sosial budaya pada masyarakat Batak Toba? Dalam kepustakaan tentang suku bangsa dan wilayah budayanya, William Marsden menuliskan mengenai orang Batak, yang dinarasikan dalam buku tersebut berdasarkan sumber atau bahan etnografis yang diperolehnya dari orang-orang yang menjadi narasumber. Para narasumber ini terdiri dari penduduk, pejabat atau pegawai dan staf perusahaan perkapalan dan perdagangan yang berada di Pantai Barat, terutama di sekitar Teluk Sibolga, Barus, dan Padang.1 Di dalam buku tersebut diuraikan tentang posisi tanah Batak, pembagian wilayah, pemerintahan, budaya, perdagangan, kehidupan keseharian, bahasa, dan sistem kepercayaannya orang Batak.2 Tulisan lain yang sangat informatif dalam kaitannya dengan Tanah Batak, walaupun terbatas untuk daerah Tapanuli sekitar Sibolga dan 1 O.H.S. Purba, 1998. Migrasi Spontan Batak Toba (Marserak). Medan. h. 2. William Marsden, 2013. Sejarah Sumatra. Jakarta: Komunitas Bambu. 2 Harry Dikana Situmeang, Musik Batak Toba: Kajian Sejarah Silindung, adalah hasil kunjungan Burton dan Ward tahun 1824. Laporan hasil kunjungan itu ditulis dengan tajuk “Report of Jurney into the Batak Country in the Interior of Sumatera, in the Year 1824” dalam Transactions of the Royal Asiatic Society of Great Britain and Ireland, yang terbit di London tahun 1827. Laporan tersebut memuat gambaran, ciri-ciri, keadaan kehidupan sosial, keramahan, dan keterbukaan masyarakat (orang) Batak. Di samping itu, perihal adat istiadat, agama, dan tata cara kehidupan serta kepadatan penduduk di daerah tersebut.3 Informasi mengenai sosial ekonomi dan tata ruang masyarakat Batak dimuat dalam karya seorang ahli geografi berkebangsaan Jerman, Franz Junghuhn, berjudul Die Battalander auf Sumatra yang diterbitkan tahun 1842. Dalam buku itu disajikan peta wilayah yang merupakan daerah tempat tinggal orang Batak, seperti Mandailing, Angkola, Padang Lawas, Sipirok-Silindung, Pangaribuan, Sipahutar, Sigotom, Bilah, dan Kualuh (Labuhan Batu). Peta yang digambarkan adalah pemetaan daerah sebelum adanya pembagian wilayah menurut tata administrasi pemerintahan kolonial Belanda, yang praktis baru diadakan sesudah sekitar tahun 1900 untuk Tapanuli.4 Karya Junghuhn dan laporan Neubroner van der Tuuk (yang diutus Belanda ke Sumatera pada tahun 1849 untuk mempelajari bahasa Batak) memperkaya khazanah mengenai suku bangsa Batak, terutama bagi bangsa Belanda dan Jerman di daratan Eropa. Karya kedua penulis tersebut, menjadi bahan-bahan yang dengan seksama dipelajari oleh pihak Belanda dan Jerman dalam rangka usaha mereka untuk mengadakan penjajahan di Tanah Batak. Selanjutmya juga Injil di Tanah Batak dikenalkan oleh Jerman beberapa tahun kemudian.5 Akhirnya berdasarkan informasi-informasi tersebut bangsa Jerman sejak 7 0ktober 1861 membuka daerah penginjilan baru di Tanah Batak, melalui misionarisnya Dr. Ingwer Ludwig Nommensen (1834-1908) 3 O.H.S. Purba, 1997. Migran Batak Toba di Luar Tapanuli Utara, Suatu Deskripsi. Medan. h. 2. 4 Ibid., h. 2. 5 Ibid., h. 2-3. 67 Seni: Fungsi, Perubahan, dan Makna yang diutus oleh Rheinische Missions-Gesellschaft (RMG) mempunyai peranan sentral terhadap perkembangan sosial suku bangsa Batak. Nommensen berangkat menuju Hindia Belanda tanggal 24 Desember 1861 dan tiba di Padang tanggal 14 Mei 1862. Dari sana dia kemudian menyisir ke arah barat dan tiba di Barus. Di sinilah ia pertama kali bertemu langsung dengan orang Batak. Dari Barus, Nommensen berangkat ke Sipirok, di sinilah dia bergabung dengan misionaris sebelumnya dan membuka gereja pertama di Parausorat. Kemudian dia diutus ke wilayah pedalaman Tanah Batak yaitu Rura Silindung sebagai basisnya, pada saat Sisingamangaraja XI yang bemarkas di Bakara menjadi raja dan Lambang persatuan di Tanah Batak.6 Perjumpaan dengan agama Kristen dan peradaban Barat membawa berbagai kemajuan bagi penduduk daerah Tanah Batak bagian utara. Kedatangan misionaris Jerman ke Tanah Batak menjadi suatu berkat tersendiri bagi orang Batak umumnya dan Batak Toba khususnya. Metode dan pembawaan misi Nommensen di Tanah Batak diterima oleh masyarakat, meskipun ia beberapa kali direncanakan hendak dilenyapkan dengan cara menyembelih dan meracunnya. Setelah berhasil menjalin persahabatan dengan raja-raja yang paling berpengaruh di Silindung, yaitu Raja Pontas Lumban Tobing dan Raja Amandari, maka pada tanggal 29 Mei 1894, Nommensen mendirikan gereja di Huta Dame, sekitar desa Sahitnihuta Tarutung. Kemudian atas tawaran Raja Pontas, maka turut didirikan jemaat di desa Pearaja, kantor pusat Gereja HKBP sekarang.7 Ada dua pendekatan yang diterapkan Nommensen dalam menjalankan misinya, sehingga lebih cepat dipahami dan diterima orang Batak pada waktu itu. Pertama, Nommensen mengadakan pendekatan humanis (misi kemanusiaan) yakni upaya perbaikan taraf hidup orang Batak waktu itu dengan mengajari orang Batak bercocok tanam, beternak, pelayanan kesehatan, pendidikan, diajarkannya koor/nyanyian yang 6 Hotman J. Lumban Gaol, 2011. Sang Apostel Batak: Dari Munson-Lyman Hingga Nommensen. Jakarta: Permata Aksara. h. 50 7 Ibid, h. 39. 68 Harry Dikana Situmeang, Musik Batak Toba: Kajian Sejarah sangat menyentuh kehidupan dan proses pencerdasan masyarakat Batak. Kedua, dalam pewartaan Injil di Tanah Batak, ia menggunakan pendekatan budaya dan tradisi. Ia memahami terlebih dahulu karakter, tradisi, budaya, dan mempelajari Bahasa Batak Toba. Nommensen juga yang menciptakan hari pekan sekali seminggu di setiap pasar tradisional di kecamatan-kecamatan. Inilah yang sekarang kita kenal: Senin hari pekan di Laguboti, Selasa di Siborongborong, Rabu di Porsea, Jumat di Balige-Doloksanggul, dan Sabtu di Tarutung. Pada hari Kamis memang tidak ada pekan; hari ini dipakai oleh para pedagang yang dijuluki inang parengge-rengge untuk belajar koor; yang kemudian memunculkan istilah par ari kamis. Selama mengabdikan dirinya di Tanah Batak, Nommensen telah mendirikan 510 sekolah, antara lain di Balige, Tarutung, Siantar, Sidikalang, Samosir, dan Ambarita.8 Salah satu hal yang sangat menarik perhatian penulis adalah perhatian Nommensen yang sangat serius terhadap anak-anak, sehingga ia menciptakan ende meam–meam (nyanyian permainan) untuk diajarkan kepada anak-anak. Di saat anak-anak mulai mengantuk, ngobrol, gelisah dalam kelas, maka ia mengajak anak-anak menyanyi sambil menggerakkan tubuh sesuai dengan syair nyanyian tersebut.9 Selanjutnya Nommensen menambah perbendarahan nyanyiannyanyian jemaat itu melalui nyanyian koor-koor yang sudah ada sebelumnya. Kemudian mengumpulkan dan menterjemahkan nyanyiannyanyian yang diajarkannya tersebut ke dalam bahasa Batak pada tanggal 13 Desember sampai Maret 1872 di Sipirok. Sampai pada tahun 1881 nyanyian jemaat Kristen Batak berjumlah 121, yang telah diterjemahkan ke dalam bahasa Batak. Sebagian besar melodi nyanyian itu awalnya berasal dari nyanyian rohani Jerman dan Belanda. Kemudian pada tahun 1911 nyanyian jemaat tersebut mencapai jumlah 277 dalam bahasa Batak dan sudah dituliskan dalam notasi balok lengkap dengan nomor nyanyian 8 Ibid., h. 44. Boho Pardede, 2011. Koor Di Huria Kristen Batak Protestan HKBP), Analisa, Sejarah, Dan Struktur Musik. Medan: Tesis Program Studi Magister (S2) Penciptaan dan Pengkajian Seni Uviversitas Sumatera Utara. h. 62. 9 69 Seni: Fungsi, Perubahan, dan Makna dan sumber melodi yang dikerjakan oleh Lisette Nieman dari Jerman. Pada tahun 1926 nyanyian jemaat itu telah mencapai jumlah 322 nomor. 10 Sampai pada tanggal 8-13 Oktober 2003 diadakan rapat pendeta yang akan mensahkan Buku Ende HKBP berjudul Mar Haluan Na Gok dohot Sangap Di Jahowa yang berisikan 864 nyanyian, dengan cetakan pertamanya September 2004. Dengan kedatangan agama Kristen Protestan ke Tanah Batak pada pertengahan abad XIX, tidak hanya sistem kepercayaan Batak Toba terpengaruh, namun banyak cara hidup tradisional mengalami perubahan yang cepat dan mendalam. Upaya penginjilan dan program sosial para misionaris Protestan Jerman terbukti berbuah dan segera banyak orang Batak Toba memeluk agama baru tersebut. Kristenisasi, urbanisasi, dan modernnisasi di kalangan orang Batak Toba terjadi dengan kecepatan yang sangat luar biasa. Di bawah ini penulis akan memaparkan migrasi orang Batak Toba ke luar dari wilayah asalnya. 2. Migrasi Orang Batak Toba (Marserak) Pada tahun 1840 berdasarkan perkiraan Junghuns jumlah penduduk Keresidenan Tapanuli sudah mencapai 352.000 jiwa dan sekitar duapertiga dari jumlah tersebut tinggal di wilayah Batak Toba. Sementara Keresidenan Sumatera Timur pertama kali dihitung pada tahun 1880 hanya ada 119.000 jiwa dan dari ini sekitar 30.000 migran baru dan kuli kontrak dari luar Sumatera. Penduduk Pulau Samosir (670 km²) pada tahun 1907 sebesar 74.000 jiwa, dengan kepadatan 110 per km² (tertinggi dibandingkan dengan daerah mana saja di luar Jawa dan Bali). Berdasarkan angka-angka di atas penduduk Keresidenan Tapanuli pada akhir abad ke 19 ke awal abad 20 sudah sangat padat. Akhirnya terjadilah migrasi besar-besaran orang Batak Toba ke dataran rendah ditopang oleh pemerintah kolonial, yang ingin mengembangkan pertanian sawah basah 10 Ibid., h. 64-65 70 Harry Dikana Situmeang, Musik Batak Toba: Kajian Sejarah di daerah Simalungun dan kemudian daerah-daerah lain di wilayah Sumatera Timur.11 Membicarakan perpindahan orang Batak dari Tapanuli tidak dapat dilepaskan dari nilai-nilai filosofisnya. Ada beberapa nilai, sering hanya tiga disebut, yaitu: hagabeon adalah setiap keluarga mendambakan banyak keturunan dan panjang umur, hamoraon kekayaan dan kesejahteraan, hasangapon adalah wibawa sosial, kemampuan berkuasa, serta kemampuan untuk dihormati. Idaman di atas sering secara totalitas sebagai satu kesatuan. Orang yang belum kaya, maupun orang yang belum berketurunan banyak akan berupaya dihormati dan dimuliakan. Dengan perkataan lain nilai-nilai 3h tersebut ingin digapai sekaligus. Idaman dan cita-cita di atas, membekali orang-orang Batak pada umumnya dan Batak Toba pada khususnya, dalam kegiatan dan dalam gerak langkahnya. Pertambahan jumlah penduduk yang pesat bukan hanya menimbulkan tekanan terhadap lahan pertanian, tetapi juga bagi perkampungan. Keluarga-keluarga muda yang baru berdikari, manjae, dapat mendorong pendirian rumah-rumah baru di kampung yang sama bahkan pembukaan kampung baru beserta lahan-lahan pertanian baru. Di kampung yang baru tersebut pendirinya akan mendapat jabatan kepala atau raja huta. Bagi seorang kepala, sahala harajaon dan sahala hasangapon nampak dari ciri khusus perwatakan atau pada kualitas yang menonjol. Kampung pertama merupakan titik tolak dari huta-huta berikutnya. Suatu kampung baru yang merupakan perluasan kampung induk (huta sabungan), disebut dengan lumban atau sosor. Dalam jangka panjang pembentukan kampung-kampung baru akan menciptakan perpencaran dan makin sering berakibat jauh dari kampung asal. Mereka menyebar mula-mula ke daerah sekitar kampung-kampung induk dan akhirnya ke daerah yang lebih jauh di luar batas budaya sendiri. Proses dan kejadian seperti inilah yang disebut dengan marserak. 11 Anthony Reid. 2011. Menuju Sejarah Sumatera, Antara Indonesia dan Dunia. Jakarta: Yayasan Pustaka Obor Indonesia. 71 Seni: Fungsi, Perubahan, dan Makna Dewasa ini perkataan marserak mengandung pengertian yang luas. Selain mengandung arti menyebar (pindah dari kampung halaman keluar wilayah budaya sendiri), marserak juga mengandung arti mobilitas ekonomi dan sosial. Dalam percakapan sehari-hari ditemukan beberapa perkataan yang mengandung maksud seperti yang disebutkan di atas manombang, mangaranto, marjalang, marlompong, mangombo, mangalului jampalan na lomak, atau masiampapaga na lomak. Istilahistilah ini pada umumnya mempunyai tujuan yang sama, yaitu pergi ke daerah lain, di luar kabupaten atau provinsi. Perbedaan istilah yang satu dengan yang lain didasarkan pada siapa, kapan dan bagaimana sifat dari masing-masing perpindahan tersebut. Akhirnya perpindahan itu berkembang menjadi perpindahan spontan untuk mencari kerja dan melanjutkan pendidikan, sebagai bagian yang tidak terpisahkan dari pengertian marserak. Salah satu dampak positif dari Zending Jerman adalah dibangunnya klinik atau gedung pelayanan kesehatan di pekarangan gereja (pargodungan). Akibatnya angka kematian mulai menurun, sedangkan angka kelahiran mulai meningkat. Perkampungan Batak Toba sudah mulai sesak sebagai akibat pertambahan alamiah. Jumlah penduduk bertambah dengan cepat dan sejalan dengan itu tekanan penduduk terhadap lahan pertanian, terutama lahan persawahan menjadi masalah yang pelik di daerah Dataran Tinggi Toba. Berbagai “tantangan” di kampung halaman harus dihadapi. Sementara itu cita-cita untuk selalu mengejar hagabeon, hasangapon, hamoraon, tidak pernah padam dalam diri setiap orang. Berbagai keterbatasan yang dihadapi di wilayah sendiri mendorong mereka meninggalkan kampung halaman. Pendidikan Barat yang diperkenalkan zending dan pemerintah kolonial, membuka tabir keterkungkungan yang selama ini bagaikan menyelimuti Tanah Batak bagian utara. Sistem pendidikan asli pribumi yang terfokus pada pengetahuan praktis, mulai terdesak oleh sistim pendidikan Barat. Pendidikan tersebut membuka cakrawala pemikiran mereka menjadi luas untuk mengenal dunia luar dan perhatian kepada pertanian pun lambat laun berkurang. Sejak permulaan abad XX terbuka berbagai kesempatan lebih baik untuk mendapatkan gaji dan pangkat 72 Harry Dikana Situmeang, Musik Batak Toba: Kajian Sejarah yang tinggi di instansi pemerintah, perkebunan, dan instansi-instansi lain. Terbukanya sekolah-sekolah yang menawarkan keahlian yang lebih beraneka memberikan berbagai peluang untuk itu. Kaum terdidik mengalihkan perhatiannya mencari pekerjaan karena dengan pendidikannya itu mereka hendak keluar lingkaran kemiskinan yang dideritanya.12 Perpindahan tersebut meliputi daerah Simalungun, Pematang Siantar, Dairi, Asahan, Labuhan Batu, Tanah Karo, Deli Serdang, Kota Medan, Langkat, Tapanuli Tengah, Tapanuli Selatan, Nias, Aceh, Riau, Sumatra Brat, Mentawai, Jambi, Enggano, Sumatra Selatan dan Bangka, Lampung, Ibukota Jakarta, kota-kota lain Jawa Barat, kota-kota Jawa Tengah, Jawa Timur, Pulau Bali dan Lombok, Kalimantan, Sulawesi, Kepulauan Maluku dan Iriana Jaya, Malaysia, Singapura, dan Batam. 3. Migrasi ke Kota Medan Khusus perpindahan ke Tanah Deli dan Medan pada masa kolonial, perjalanan dari Tapanuli ke Tanah Deli dan Medan memerlukan waktu sampai puluhan hari dengan menempuh berbagai macam route perjalanan. Tahun 1905 sudah ada 14.250 jiwa penduduk Medan termasuk orang Batak Toba yang jumlahnya hanya beberapa orang saja. Pada tahun 1927 berdasarkan jumlah anggota jemaat Kristen Batak telah berkembang menjadi 1200 orang. Sebaliknya orang-orang Batak Toba yang giat bertani membeli lahan di daerah pinggiran kota, antara lain di distrik Labuhan mereka berhasil mengubah ratusan hektar rawa-rawa menjadi persawahan hanya dalam beberapa tahun. Dalam kurun waktu hampir 3 dasawarsa penduduk Medan melonjak dengan cepat. Medan menjadi kota yang terpenting dan terbesar di luar pulau Jawa dan Madura. Bahkan Medan semakin penting dengan selesainya lapangan terbang Polonia tahun 1928. Dari berbagai penjuru semakin banyak yang 12 O.H.S. Purba, 1997. Migran Batak Toba Di Luar Tapanuli Utara, Suatu Deskripsi. Medan. h. 65. 73 Seni: Fungsi, Perubahan, dan Makna datang ke Medan dan melalui kota ini ada yang menuju Belawan, Binjai, dan daerah lain sekitar Medan. Di Belawan misalnya, pada tahun 1930 telah ada jemaat HKBP dan di Medan sendiri jumlah orang Batak semakin besar. Penduduk kota ini sudah merupakan campuran berbagai suku bangsa. Menurut data sensus 1930 penduduknya sebanyak 76.584 jiwa terdiri dari 41.270 penduduk pribumi dan 35.314 warga asing. Dilihat dari jumlahnya orang Jawa, Minangkabau, Melayu dan Mandailing merupakan penduduk utama dari warga pribumi dan Cina dari warga asing. Pada waktu itu orang Batak Toba hanya 820 orang atau 1% dari seluruhnya.13 Motivasi yang tinggi dalam diri mereka membawa kesadaran bahwa ketertutupan yang dirasakan selama ini akan dapat diatasi secara lambat laun. Memang hal ini jelas dirasakan sebagai batu sandungan, bukan hanya untuk mendapatkan pekerjaan tetapi juga daerah tempat tinggal. Dalam hal mencari pekerjaan, jalinan hubungan antara zending dan pemerintah dan antara zending dengan badan gereja lainnya, bagaimanapun, ada dampak positifnya bagi mereka untuk memperlunak batasan tersebut. Daerah tempat tinggal dan tempat kebaktian, juga mendapat perhatian dari pemerintah. Pada bidang-bidang tertentu, dalam waktu yang tidak singkat mereka mendapat kedudukan yang baik. Jumlah yang mengisi jabatan guru dan pegawai pemerintah bertambah besar karena mereka dapat memenuhi syarat-syarat dibandingkan dengan penduduk setempat.14 Walau jumlah mereka tidak besar, tetapi sesuai dengan pekerjaannya, mereka memegang fungsi penting. Melihat perkembangan itu, sekelompok orang Melayu biasa berpendidikan Belanda mendirikan Persatuan Sumatera Timur (PST) pada April 1938, dengan tokoh utamanya Abdoel Wahab dan Zahari. Persatuan itu dibentuk sebagai awal untuk mengejar ketinggalan mereka dalam berbagai jabatan termasuk di dalam pertanian, perniagaan, dan sebagainya dari kaum pendatang, 13 O.H.S. Purba, 1998. Migrasi Spontan Batak Toba (Marserak). Medan. h. 100- 102. 14 Ibid., h. 102-103. 74 Harry Dikana Situmeang, Musik Batak Toba: Kajian Sejarah terutama orang Batak Toba. Pembentukan organisasi tersebut bukan menjadi tantangan atau hambatan yang berarti bagi mereka untuk meraih cita-citanya, malah semakin memotivasi mereka berusaha lebih giat dalam pendidikan atau pekerjaan. Selama tahun 1930-an jumlah pendatang Batak Toba belum besar tetapi sejak tahun 1940-an mengalami peningkatan. Mereka bertempat tinggal di daerah antara tempat kediaman orang Cina atau Eropa dengan Melayu atau bersama-sama dengan orang Melayu. Daerah tempat tinggal itu bersesuaian dengan lapangan pekerjaan mereka sebagai pegawai dan guru.15 Masa pendudukan Jepang banyak hal-hal yang dialami masyarakat. Pemuda-pemuda dari berbagai suku bangsa yang tinggal di Medan maupun yang baru datang dari luar daerah mengambil peranan masingmasing, pro atau kontra perjuangan Jepang. Tidak sedikit yang meninggalkan pekerjaannya sebagai pegawai atau guru sekolah memasuki barisan semi-militer dan tidak sedikit pula yang diangkat Jepang menjadi pegawai sipil. Dari antara mereka terdapat Pdt. T.S. Sihombing yang tiba di Medan tahun 1942, yang pada waktu itu ditugaskan sebagai pendeta Ressort HKBP Medan. Selama pendudukan itu dia diangkat menjadi pegawai kantor agama di Medan. Memang dalam hal pekerjaan banyak yang berubah haluan baik karena keadaan yang memaksa maupun karena kesadaran sendiri. Pada masa itu sikap nasionalisme mereka semakin jelas. Pada masa beberapa bulan setelah proklamasi kemerdekaan semakin banyak pemuda dari berbagai daerah dan suku bangsa memasuki Kota Medan. Dari Tapanuli, seperti dari Silindung, Humbang, Toba Holbung, Samosir, dan Padang Sidempuan datang ke Medan. Mereka memasuki kota ini melalui Pematang Siantar dan berkumpul dan di sekitar lapangan Merdeka. Arus pemuda dari Tapanuli itu semakin kuat setelah tentara Sekutu memasuki Medan pada Oktober 1945. Muncul kelompokkelompok berani mati dalam pasukan-pasukan kecil, dan kemudian dapat diorganisasi sebagai barisan pejuang yang tangguh. Dalam waktu yang relatif singkat di seluruh pelosok Medan telah hadir badan-badan 15 Ibid., h. 103. 75 Seni: Fungsi, Perubahan, dan Makna perjuangan bersenjata. Tembung merupakan basis laskar rakyat yang terus dipertahankan oleh unsur-unsur laskar Napindo. Pertempuran dipimpin oleh orang-orang yang tidak kenal menyerah seperti Yakup Lubis, Liberty Malau, Timur Pane, dan lain-lain. Selain pemuda-pemuda yang sebelumnya sudah terorganisir, kelompok pemuda lainnya seperti bekas Heiho, Kyugun dan anak-anak muda yang tidak mempunyai yang pekerjaan tetap merupakan unsur yang penting dalam pertempuran tahun 1945 sampai 1947 di Medan. Nama-nama seperti Timur Pane, Mhateus Sihombing, walaupun tidak memiliki tingkat pendidikan yang tinggi, tetapi sangat terkenal dalam pertempuran-pertempuran di Medan Area. Sebagian besar dari pemuda yang mendapat pengalaman dalam organisasi semi-militer pada masa pendudukan Jepang kemudian menjadi anggota Tentara Nasional Indonesia di kemudian hari. 4. Situasi Kesenian Sumatera Utara Zaman Kebangkitan Nasional (1900-1942) Bertemunya pengaruh Barat dan pengaruh Islam di daerah ini memberikan corak tersendiri dalam kebudayaan, contohnya seni tari dan drama. Tari pergaulan Barat dirasa tidak disukai karena tidak diperkenankan menurut kaidah agama, laki-laki dan perempuan berpasangan berpelukan dan bersentuhan. Oleh sebab itu berbagai kesulitan timbul, karena dirasakan pula ingin mencontoh tarian tersebut. Sebagai akibatnya timbul bermacam tari pergaulan di kalangan penduduk, baik penduduk Melayu, Batak maupun pesisir Barat. Pada penduduk pesisir pemakaian alat-alat musik Barat seperti biola, akordion menandai pengaruh itu. Bermacam tarian di kalangan istana seperti tari Kuala Deli, Serampang Dua Belas dan sebagainya. Di Karo tumbuh pula bermacam tarian pergaulan yaitu Guro-guro Aron, di Tapanuli Utara dan Selatan muncul pula Gondang Naposo berupa tari pergaulan. Di desa-desa kesenian asli tetap hidup dan berkembang di tengah masyarakat. Perkembangan agama Kristen di Tapanuli, Simalungun, Karo, dan Dairi tidak merombak tata kehidupan seni dan adat istiadat penduduk. Tor-tor dan landek tetap dilakukan dalam upacara-upacara kematian, perkawinan, dan upacara-upacara penting lain di samping 76 Harry Dikana Situmeang, Musik Batak Toba: Kajian Sejarah upacara Gereja. Lagu-lagu Gereja berdampingan dengan tarian tor-tor dan gondang di kalangan masyarakat, seni suara mengalami perubahan penting, lagu-lagu Gereja berbeda dengan lagu-lagu tradisional. Vokal lebih dipentingkan dari bunyi-bunyian. Alat-alat seperti piano berfungsi mengikuti suara penyanyi, yang penting ialah perluasan isi nyanyian karena memakai kata-kata kudus di dalam bahasa daerah. Sampai sekarang orang Batak terkenal dengan senang bernyanyi.16 Di sisi lain daerah pesisir terdapat berbagai sikap terhadap kesenian. Akibat pengaruh Barat, berbagai kesenian Barat seperti seni musik yang simfoni, jazz, mars, bolero, mulai dikenal dan digemari oleh lapisan masyarakat yang telah memperoleh pendidikan Barat. Di samping itu kesenian yang bernafaskan Islam mulai berkembang pula, seperti gambus, nasyid, dan sebagainya.17 Bentuk lain yang tumbuh di kalangan kaum bangsawan ialah opera yang sebenarnya masih sederhana dan berbentuk operette. Di kalangan masyarakat permainan itu dikenal dengan bangsawan, misalnya Indra Bangsawan. Penerbit-penerbitan yang berkembang pesat mendorong lahirnya karya sastra yang berbentuk novel, pada waktu itu dikenal sebagai roman picisan. Pengarang yang terkenal di zaman itu ialah Yusuf So ‘ib, Emnast (Muchtar Nasution), Si Uma (Usman), Merak Jingga dan Matu Mona. Di samping itu para pemimpin ada pula yang melahirkan roman-roman di Balai Pustaka seperti Or. Mandank, Madong Lubis, Mozasa, Saleh Umar, Adi Negoro, Hamka, Dahlan, dan sebagainya.18 Banyaknya orang-orang Jawa di Sumatera (di daerah perkebunan) memperkenalkan berbagai kesenian, seperti wayang, musik keroncong, ketoprak, gamelan yang membawakan berbagai cerita sebagai contoh Mahabarata, Ramayana, dan tokoh-tokoh seperti Arjuna, Bima, Gatotkaca, mulai dikenal oleh orang-orang Sumatra Utara. Walaupun kebanyakan orang-orang suku lain tidak mengerti ucapan-ucapan dalang, 16 Suwondo, Bambang, 1978. Sejarah Daerah Sumatera Utara. Jakarta. h. 95. Ibid., h. 95 18 Ibid., h. 96. 17 77 Seni: Fungsi, Perubahan, dan Makna namun pertunjukan seperti itu biasanya dilihat juga oleh orang-orang suku lain itu. Orkes keroncong lebih banyak pengaruhnya di tengah masyarakat dan banyak penggemarnya.19 Akhirnya di Medan orkes keroncong juga mempengaruhi orang-orang Batak Toba, hal ini akan kita lihat sejauh mana peranan orang Batak Toba dalam menguasai genre musik tersebut. 5. Budaya Lisan dan Musik Vokal Tradisional Batak Toba Pada umumnya budaya Indonesia sangat diwarnai dengan tradisi lisan. Kita ketahui segala jenis kesenian puisi, cerita, drama, kerajinan tangan, musik, lagu-lagu rakyat disampaikan dari satu generasi ke generasi berikutnya secara lisan. Demikian juga dengan lagu-lagu rakyat di Indonesia sebagai suatu jenis musik yang erat hubungannya dengan kehidupan sosial masyarakatnya sesuai dengan karakter atau sifat dari setiap suku yang menciptakan lagu tersebut, hidup ditengah-tengah masyarakatnya, mencerminkan bagaimana perasaan dan keinginan masyarakatnya yang kesemuanya itu disampaikan secara lisan.20 Sebelum adanya kontak dengan misionaris dan pembentukan Gereja Protestan di Sumatera bagaimanapun musik vokal telah memainkan peranan penting dalam masyarakat Batak Toba. Musik vokal Tradisional di Batak Toba disebut juga dengan “Ende Batak”. Di dalam genre musik Vokal Tradisional Batak Toba ada berbagai jenis dan fungsi masingmasing ende, untuk lebih jelasnya Hodges 21 telah membuat kategorikategori secara luas ende Batak Toba sebagai berikut. 19 Ibid., h. 95-06. Ruth Apollina Sitompul, 1996. Musik Populer Barat Dalam Kehidupan Generasi Muda Di Medan Suatu Kajian Sosiomusikologis. Medan: Skipsi S1 Fakultas Kesenian Universitas HKBP Nommensen Medan. h. 9-11. 21 W.R. Hodges, 2009. Ganti Andung, Gabe Ende” (Replacing Laments, Becoming Hymns): The Changing Voice of Indonesia). A Dissertation Submitted in Partial Satisfaction of the Requirements for the Degree Grief in the Pre-funeral Wakes of Protestant Toba Batak, North Sumatra, Doctor of Philosophy in Music, University of California h. 141-146. 20 78 Harry Dikana Situmeang, Musik Batak Toba: Kajian Sejarah 1. Ende Parorot (lagu pengasuh), meliputi Ende Mandideng (nina bobo)-lagu untuk mendorong anak-anak tidur, serta lagu-lagu yang dinyanyikan sambil bermain dengan anak anak yang masih muda untuk mendorong mereka tumbuh sehat dan kuat. Ende Sipaingot (pesan)-lagulagu yang paling sering dinyanyikan oleh seorang ibu untuk anak perempuannnya yang akan melangsungkan pernikahan. Lirik lagunya menyampaikan rekomendasi untuk tugas sebagai istri kepada suami, orang tua,sikap yang tepat dari istri, cara merawat rumah dan lain-lain. 2. Ende Pargaulan (lagu cinta, pacaran), sering ringan, menggoda hati. Lagu antara kelompok campuran dari orang-orang muda secara “solo chorus.” 3. Ende Tumba/Embas, lagu-lagu yang dinyanyiakan orang muda sebagai iringan untuk tari tumba atau embas, menari sambil membuat lingkaran di halaman kampung (halaman ni huta) pada hari-hari menjelang pernikahan pasangan muda. Gadis remaja membentuk lingkaran dalam dan remaja laki-laki membentuk lingkaran luar sekitar gadis-gadis. Sebuah keranjang beras yang sudah lama difungsikan sebagai gendang dan penari bertepuk tangan bersama di bawah paha mereka sambil bergerak sesuai lingkaran dengan lambat ke kanan dan ke kiri. Nyanyian itu sering merupakan “solo-chorus,” liriknya juga spontan diciptakan, dan penyanyi menggunakan lagu ini sebagai cara memberikan nasehat kepada pasangan yang akan menikah, menggoda satu sama lain, atau sebagai cara mengekspresikan keinginan terbaik dan perpisahan bagi mereka yang statusnya segera berubah. 4. Ende Sibaran (lagu sedih, penderitaan, atau nasib buruk), terdiri dari banyak sub genre yang spesifik untuk keadaan penyanyi, apakah itu nasib buruk, kemiskinan, penyakit, atau kesedihan atas kematian, dinyanyikan secara solo. Melalui lagu-lagu penyanyi akan menceritakan kisah mereka sebagai cara memunculkan simpati dari pendengar tetapi juga sebagai cara untuk mengekspresikan dan melepaskan mereka dari kesedihan. Adalah umum dari lagu ini disertai dengan menangis--baik oleh penyanyi dan mungkin bagi orang-orang yang mendengarkan. 5. Ende Pasu-pasu (lagu berkat), lagu-lagu yang sering dinyanyikan oleh orang tua yang lanjut usia yang ditujukan kepada keturunannya. 79 Seni: Fungsi, Perubahan, dan Makna Mereka menyatakan harapan bahwa para dewa akan memberkati dan melindungi, memperkuat dan meningkatkan generasi sekarang dan masa depan keturunan/marga mereka. 6. Ende Hata (resitatif, lagu kata), permainan lagu, lagu yang dinyanyikan oleh seorang yang lebih dewasa, sering tanpa melodi tetap, penyanyi melafalkan lirik berirama berpasangan dengan makna yang sering tidak berhubungan di antaranya. 7. Ende Andung (lagu ratapan), lagu-lagu terutama (meskipun tidak secara eksklusif) dinyanyikan oleh perempuan digunakan untuk meratapi kematian, menggunakan khusus kosa kata (sebagian besar metaforik) yang dikenal sebagai hata andung (kata ratapan), menceritakan kisah hidup almarhum untuk pelayat yang berkumpul sebelum pemakaman atau disemayamkan. Ende andung melodinya datang secara spontan sehingga penyanyinya haruslah penyanyi yang cepat tanggap dan terampil dalam sastra menguasai beberapa motif-motif lagu yang penting untuk jenis nyanyian ini. Tidak terbatas pada ritual penguburan, lagu ratapan yang dinyanyikan saat mengembala (andung parmahan), bekerja di ladang (andung parbabo), ketika terlibat di dalam menenun ulos (andung martonun), mengnyadap tuak (andung paragat), lagu ratapan saat akan menikah (andung ni boru muli) saat dinyanyikan calon pengantin pada saat menjelang pernikahan, sebagai sebuah keluh kesah, yang ditujukan kepada ibunya dan keluarga pada saat berkumpul, menyatakan kesedihan dia akan meninggalkan keakraban keluarganya untuk memulai hidup baru dengan suaminya. Pada saat ini andung tersebut sudah memudar dari praktik umum dan telah diganti dengan lagu pop Batak Toba yang menyampaikan pesan duka atas kepergian putri yang disayangi. Lagu Andung itu Borhat ma Dainang (Pergilah Sekarang Putriku), sebuah lagu yang ditulis awal abab XX oleh Siddik Sitompul. Di luar genre dari ende tradisional di atas, ada ende yang berhubungan dengan kegiatan mendayung solu bolon (sampan besar tradisional) saat melakukan perjalanan di atas perairan Danau Toba, lagulagu yang dikenal secara kolektif sebagai Ende ni Parluga, dan ende mencari pekerjaan, makanan, dan penginapan (Ende ni Pangardang). 80 Harry Dikana Situmeang, Musik Batak Toba: Kajian Sejarah 6. Kontiunitas dan Perubahan Terhadap Tradisi Ende Batak Toba Seperti dinyatakan sebelumnya genre musik vokal Batak Toba secara luas bervariasi dengan mengacu pada fungsi dan konteksnya. Tekstur melodinya ada yang heterofoni dan monofoni merupakan bukti asal-usul bahwa musik vokal Batak Toba telah ada dan berkembang sebelum masuknya agama Kristen Protestan. Setelah kedatangan Kristen Protestan ke wilayah Batak Toba, orang-orang Batak Toba mempunyai reputasi yang tinggi di dalam menyanyikan lagu-lagu untuk paduan suara homofoni. Akhirnya genre musik vokal tradisional Batak Toba sebagian besar di dalam perubahan sosial budaya diperkenalkan melalui interaksi dengan budaya Barat tersebut. Opera Batak, yaitu tradisi teater rakyat yang terkait dengan musik vokal, tokoh sentralnya adalah Tilhang Oberlin Gultom (1896-1970). Karya awal Tilhang Gultom adalah salah satu kemungkinan untuk menemukan contoh dari musik vokal yang mencerminkan fitur struktural genre Vokal Tradisional pra-Kristen. Seperti disebutkan bahwa Tilhang Gultom adalah komponis produktif opera Batak yang berisi lagu, musik insidental, tarian, dan drama. Dia menciptakan 132 lagu, 23 karya musik instrumental, 15 drama, dan 22 tarian dengan menggunakan iringan ensambel musik tradisional gondang hasapi. Oleh karena itu musik (vokal) yang berhubungan dengan ansambel ini sebagian besar terbatas pada scalar, formal, dan fitur struktural dari ansambel gondang hasapi. Dalam beberapa analisis dari musik vokalnya bahwa bahan scalar dan ambitus musik vokal Gultom cenderung erat berkaitan mengikuti karakteristik struktural dari musik tradisional gondang hasapi, khususnya komposisi sebelum tahun 1920an dan 1930an. Namun kemudian pada tahun 1950an dan 1960an ambitus komposisi vokal Gultom diperluas menjadi sepenuhnya diatonis. Selanjutnya harmoni dan progresi formula kadens mencerminkan pengaruh dari musik populer Barat dari masa itu, seperti lagu pinjaman dari rakyat atau tradisi musik populer menjadi lebih umum, mencerminkan semakin kuatnya pengaruh idiom musik populer Barat.22 Apabila kita meninjau dari segi gaya musik yang pertama sekali 22 Ibid., h. 148. 81 Seni: Fungsi, Perubahan, dan Makna dianggap sebagai corak khas dalam musik Batak yag bersifat populer adalah gaya Tilhang Gultom. Lakon cerita dan lagu lagu yang disajikan biasanya menyangkut kehidupan sehari-hari masyarakat Batak Toba dan sering juga menimbulkan rasa kesukuan serta kebangsaan yang tinggi. 23 7. Kristen Protestan dan Perubahan Lagu Tradisi Batak Toba Pengenalan Kristen Protestan ke Tanah Batak oleh misionaris Jerman sifatnya menyeluruh termasuk bentuk liturgi, pemerintahan gereja, arsitektur, jubah, dan musik. Kemudian ditambah pula dengan masuknya kolonialisme Belanda. Masyarakat Batak Toba Kristen ini diajarkan lagulagu himne Protestan, praktik bernyanyi, paduan suara, pengenalan alat musik (organ pompa dan brass band), serta pengaruh sosial politik, memberikan kontribusi besar terhadap masyarakat Batak Toba. Karena hubungan masyarakat Batak Toba dengan budaya Eropa, pemikiran modern, dan pandangan terhadap dunia berkembang pesat, mengakibatkan perubahan radikal dan cepat terhadap masyarakat Batak Toba. Lembaga-lembaga yang dikembangkan di sekitar mereka, asosiasi brass band, kelompok paduan suara dan lain-lain memberikan kontribusi besar terhadap asimilasi praktik dan gaya musik yang baru. Tidak hanya memperluas batas-batas generik “musik Batak Toba,” tetapi memainkan bagian penting dalam pengembangan identitas Kristen Batak Toba. 8. Dampak terhadap Ekspresi Musik Batak Toba Catatan awal misionaris menyebutkan orang Batak Toba dalam bernyanyi, memainkan harmonika, dan penggunaan brass band memberikan informasi mendalam tentang peran penting diperkenalkan musik ini dalam pembentukan dan pemeliharaan identitas Kristen Batak Toba serta wawasan persepsi misionaris dari kepekaan musikal orang Batak Toba sebelum ada kontak dengan Eropa. Salah satu sumber tersebut ditemukan surat-surat dan jurnal dari Hester Needham (18431897), seorang misionaris Inggris yang diperbantukan RMG, yang 23 Ivo Panggabean, 1994. Musik Populer Batak-Toba Suatu Observasi MusikologiDiskografis. Medan: Sripsi S1 Fakultas Kesenian Universitas HKBP Nommensen. h. 39. 82 Harry Dikana Situmeang, Musik Batak Toba: Kajian Sejarah bekerja selama beberapa tahun (1889-1897) di Sumatera. Di dalam suratnya yang diterbitkan pada jurnal Anumerta pada tahun 1899 Needham mengatakan dalam sebuah perjalanan darat ke Pancur Napitu pada tanggal 16 Desember 1889 ia berhenti di stasiun misi di desa Pearaja (kantor pusat HKBP sekarang), “Sebelum memasuki rumah saya mendengar brass band memainkan lagu, dan kerumunan orang Kristen Pribumi yang berkumpul untuk menyambut kami.” Pernyataan tersebut menegaskan bahwa brass band sudah diajarkan dan digunakan di Gereja Kristen Batak Protestan. Needham juga mengungkapkan sesuatu sikap dari misionaris mengenai kemampuan musik orang Batak Toba, “Kapasitas musikal orang Batak Toba luar biasa.”24 Kisah yang lain dari Needham, “Setiap Selasa malam, Petrus (orang Kristen Batak Toba) guru laki-laki memberikan pelajaran bernyanyi kepada 40 orang gadis, semua gadis yang lebih besar diajarkan suara alto, dan selebihnya suara sopran. Dia (Petrus) mengajarkan itu semua tanpa bantuan instrumen apapun. Sejauh ini, mereka tahu apa itu menyanyi keras dan lembut, telinga yang benar, tetapi tidak ada perasaan.”25 Di tempat lain ia menulis: “Bartimeus dan Konrad (guru Kristen Batak Toba), dengan 28 anak-anak baru sekolah dan 12 orang masuk ke dalam ruangan dan menyanyikan 2 himne Natal, dan itu benar-benar indah mendengar nyanyian kisah kelahiran Yesus dengan hati, dan indah, mengingat tiga bulan lalu mereka tidak pernah mendengar nyanyian (maksudnya nyanyian diatonis).”26 Menyanyikan paduan suara, dan penggunaan brass band yang mapan sebagai ekspresi nyata dari komunal identitas Kristen di kalangan Batak Toba. Mereka tetap demikian sampai hari ini dan mereka bangga dalam paduan suara gereja dan tradisi bernyanyi himne, dengan sangat kompetitif mengikuti festival/kompetisi paduan suara di Gereja HKBP. 24 Hodges, op. cit., h. 148-149. Ibid., h. 150. 26 Ibid., h. 151. 25 83 Seni: Fungsi, Perubahan, dan Makna 9. Pertumbuhan Gaya Musik Populer Batak Toba Musik populer Batak Toba pada abad 20 mencerminkan pengaruh Gereja Protestan dengan gaya bernyanyi himnenya. Bernyanyi 4 suara, brass band, instrumen organ pompa, adalah unsur yang sangat mempengaruhi pertumbuhan dan perkembangan musik pop Indonesia pada umumnya dan pengaruh Anglo-Amerika dan musik populer IndoEropa (terutama keroncong dan stambul yang terkait). Datangnya orangorang Batak Toba berimigrasi (marserak) ke Medan, awalnya untuk tujuan pendidikan dan perbaikan sosial-ekonomi. Salah satu orang Batak Toba yang pertama yang membuat transisi penting dari kinerja musik paduan suara Gereja Protestan untuk musik populer adalah Romulus Lumban Tobing (1902-1964), yang pada tahun 1926 membentuk sebuah orkestra keroncong yang dikenal sebagai Orkes Keroncong Suka Jadi. Band ini berhasil berkompetisi dalam berbagai kompetisi di Medan selama beberapa tahun. Reputasi mereka adalah band keroncong yang pertama dari semua band keroncong Batak.27 Pada tahun 1936 ia berpergian ke Singapura dimana baru terbentuknya band Hot Stompers, merekam lagu-lagu keroncong dan dijual di seluruh Indonesia. Setelah kembali ke Indonesia ia membentuk sebuah band gaya Hawaii (terdiri dari musisi Batak Toba) disebut Syncopators Jolly yang berdomosili di Medan dan berjalan selama beberapa tahun. Seperti Romulus Tobing, banyak artis Batak lainnya pada awal abad 20 menerima gaya musik populer seperti keroncong, tampil bernyanyi dalam bahasa Indonesia, dengan instrumen seperti ukulele, biola, gitar, dan akordeon. Pengecualian utama adalah Opera Batak, yang menggunakan bahasa Batak serta gaya lokal dan instrumen tradisional, dikategorikan juga sebagai musik “rakyat,” “lokal,” selain sebagai gaya musik populer. Munculnya siaran radio di Indonesia pada tahun 1925 juga sangat berperan membawa kepopuleran musik keroncong, orkes gambus, dan gaya Hawaiian. Pendengar radio juga terpengaruh gaya musik populer dari dunia lain terutama Eropa, Amerika, Amerika Latin, dan Karibia. 27 Ibid., h. 151. 84 Harry Dikana Situmeang, Musik Batak Toba: Kajian Sejarah Pada tahun 1939 siaran radio dimulai di Medan, Sumatera Utara. Untuk pertama kalinya band Batak Toba disiarkan pada tanggal 10 Januari 1939 yang dimainkan oleh musik Band Batak Hawaiian Tapiannaoeli, dipimpin oleh F. Toenggoel Hutabarat.28 Laporan ini tidak memberikan keterangan musik apa yang disiarkan pertama kali itu, namun berdasarkan nama group maka kemungkinan mereka memainkan musik hawaiian, keroncong. Gaya musik populer Batak Toba pada masa ini berkembang di sekitar corak lagu-lagu Tilhang Gultom dan beberapa gaya musik populer Eropa dan Amerika, gaya yang menonjol kemudian corak musik populer Amerika Latin.29 Komponis utama musik populer Batak Toba dari era 1940-an adalah Sidik Sitompul (populer dikenal S Dis), Nahum Situmorang, Ismail Hutajulu, Marihot Hutabarat, dan Cornel Simanjuntak. Lagu-lagunya disusun dalam bahasa Batak disebut juga dengan gaya Tapanoeli Moderen. Sebagian besar musik mereka memiliki struktur melodi dan harmoni pada musik bintang populer film-film Amerika dan rekaman para bintang. Era ini adalah era yang luar biasa, karena perubahan sosialpolitik dan pergolakan Perang Dunia II, pendudukan Jepang di Indonesia, Proklamasi Kemerdekaan, Perang Kemerdekaan. Lagu-lagu populer pada masa ini bertemakan tentang cinta, patriotisme, pengorbanan, kesedihan nostalgia, kerinduan terhadap kampung halaman, keindahan alam, dan tentang nasihat.30 Lagu-lagu yang mereka ciptakan antara lain: Nungnga Lao Ro Muse ciptaan Nahum Situmorang dengan irama rumba; Na Ihali Bangkudu dengan gaya andung ciptaan Nahum Situmorang; Sing Sing So ciptaan Siddik Sitompul dengan irama slow beat disesuaikan dengan andung ni parluga; Loas Au Tu Silomo Ni Rohangki, Boasa Ma Gabe Sai Hohom, Unang Be Sai Holan Na Marsak Ho ciptaan Ismail Hutajulu dengan gaya sentimental; Sega Na Ma Ho ciptaan Nahum Situmorang dengan irama country; Sai Tu Dia Ho Marhuta ciptaan Nahum Situmorang dengan irama waltz, Sapata Ni Napuran ciptaan Nahum 28 Panggabean, op.cit., h. 34. Ibid., h. 40. 30 Hodges, op. cit., h. 133-154. 29 85 Seni: Fungsi, Perubahan, dan Makna Situmorang dengan irama keroncong; O Tano Batak ciptaan Sidik Sitompul menggambarkan kecintaan dan kerinduan orang Batak dengan kampung halamannya. Kelompok Tapanoeli Moderen inilah merupakan awal munculnya lagu-lagu populer Batak Toba, meskipun pada masa itu tidak disebutkan demikian tetapi disebut sebagai lagu-lagu Tapanuli. Lagu-lagu Tapanuli dari masa inilah sebagai pengaruh yang sangat kuat terhadap kinerja lagu-lagu Tapanuli pada masa berikutnya dari segi penggarapan melodi, dan syairnya khususnya perkembangan lagu-lagu Tapanuli pada masa 1960-1970an. Selain itu lagu-lagu Tapanoeli Moderen tersebut di atas masih tetap dinyanyikan sampai dengan saat ini, sebagai lagu-lagu nostalgia maupun sebagai lagu hiburan yang dicintai oleh masyarakat Batak Toba sendiri maupun di masyarakat umum di Indonesia. Secara khusus Nahum Situmorang (1908-1969) telah menciptakan sekitar 140 lagu-lagu Tapanuli dalam kurun waktu 30 tahun, yaitu antara tahun 1932-1962. Terutama masa 1950-1960-an merupakan masa yang paling aktif untuk Nahum dalam mencipta. Rura Silindung yang alamnya sangat indah dengan kota Tarutung yang dikelilingi Bukit Barisan memberikan lebih banyak ide dan kesempatan untuk menciptakan lagulagu Tapanuli. Lagu-lagunya masih sangat populer sampai sekarang di kalangan orang Batak Toba maupun masyarakat umum dan menginspirasi banyak pencipta lagu-lagu Tapanuli pada masanya dan para penerusnya saat ini. Musik keroncong juga menarik perhatian Nahum Situmorang. Ini dibuktikan pada masa mudanya mengikuti dan memenangkan beberapa kali sayembara lagu-lagu antara lain Sumatra Krontjong Concours pada tahun 1936 di Medan. Keistimewaan Nahum yang dikagumi pada masa itu adalah dia sanggup menciptakan lagu beserta syair-syairnya dan sekaligus menyanyikannya serta menciptakan lagu-lagu rakyat di tengah-tengah orang banyak (Nahum’s Songs, 2002). Sebagai bukti lagu-lagu kelompok Tapanoeli moderen tersebut digemari oleh masyarakat umum, penulis memiliki piringan hitam Songs From “Tapanuli in Krontjong Beat” Produced Jajasan Seni Suara “Tetap Segar” Arranged and Directed by Brigadier General R. Pirngadie, Recorded Dimita Moulding Industries LTD Djakarta. Di dalam rekaman tersebut 86 Harry Dikana Situmeang, Musik Batak Toba: Kajian Sejarah lagu-lagu yang dinyanyikan antara lain: Ketabo-Ketabo, Lisoi, Rura Silindung ciptaan Nahum Situmorang, Na Sonang Do Hita Na Dua ciptaan Sidik Sitompul, Madekdek Ma Gambiri ciptaan Esau Simanungkalit dan lain-lain. Penyanyi keroncong yang cukup terkenal pada masa itu yaitu Rita Zahara menyanyikan sebagian besar lagu-lagu tersebut dan beberapa penyanyi lain yang terlibat antara lain Nelly Supusepa, Sujudi, M. Rivany, S. Dharmanto, paduan suara Tetap Segar. Selain itu pemain biola Idris Sardi juga terlibat sebagai penyanyi dan asisten teknik dalam rekaman tersebut (Songs From Tapanuli in Krontjong Beat, 1960). Hal ini juga salah satu bukti bahwa lagu-lagu Tapanuli pada masa awalnya cukup dipengaruhi oleh musik keroncong seperti yang sudah di utarakan oleh penulis mengenai Romulus Lumban Tobing di atas. Pada pertengahan tahun 1950an selain pengaruh gaya Tapanoeli Moderen yang masih sangat mendominasi, musik dan irama dari Karibia mulai muncul di dalam lagu-lagu Tapanuli, seperti halnya pengaruh dari Rock and Roll Amerika. Salah satu kelompok orang Batak Toba yang lebih populer dengan vokalnya, kelompok Dolok Martimbang Melodi yang terdiri dari pemuda Batak Toba yang berimigrasi ke luar dari Sumatera Utara ke Jakarta dan tinggal di sana. Sepanjang akhir 1950-an dan awal 1960-an kelompok sebesar 16 anggota membuat berbagai rekaman dan muncul di beberapa film. Mereka terkenal karena gaya bernyanyi calypso, bernyanyi dalam beberapa bahasa, termasuk lagu Batak Toba (A Sing Sing So, Mariam Tomong, Butet, dan lain-lain) dalam bahasa Inggris (Sentimental Journey, Come Back Lisa, dan lain-lain). Era piringan hitam penyebarluasannya mempunyai pengaruh yang besar terhadap perkembangan lagu-lagu Tapanuli, Beberapa perusahanan nasional maupun internasional memproduksi sejumlah lagu-lagu Tapanuli antara lain Lokananta, Odeon, Panaphone, Pusaka, Irama dan yang kemudian muncul Purnama, Musica Flower Sound, dan lain-lain. Di Medan pada tahun 1972 Vokal Group Solu Bolon pimpinan Walter Sirait, merekam lagu-lagu Nahum Situmorang di atas piringan hitam sebanyak dua album sebagai sebuah penghargaan untuk mengenang jasajasa Komponis Nasional Gr. Nahum Situmorang dalam memperkaya 87 Seni: Fungsi, Perubahan, dan Makna perbendarahan seni suara. Album piringan hitam VG Solu Bolon Arga Do Bona Ni Pinasa tertanggal 26 Juni 1972 diiringi oleh Musik Kwartet Hasan Pool. Terdiri dari para penyanyi yaitu; Fernando Hutabarat, Anas Sianturi, Binny Hutapea, Sahat Simanjuntak, Halomoan Sitanggang, Robinson Hutabarat, Amir Hajat S., Frans Manurung, dan Walter Sirait. Piringan hitam ini dicetak dengan kerja sama Pengusaha Toko Nada Ria jalan Semarang No. 83 Medan. Ada dua belas lagu ciptaan Nahum yang direkam antara lain Tarhirim. Dalam lagu ini Nahum mengibaratkan seorang pemuda yang berlagak anak orang berada dan menjadi mahasiswa dengan tujuan untuk memikat dan mempersunting seorang gadis. Nyatanya si pemuda hanya seorang pengangguran dan yang sudah selalu kawin cerai. Begitulah perasaan si gadis dikecewakan. Madapothon Hari Pesta menjelang hari Natal, Nahum dalam menyatakan dalam syair lagunya akan pulang dari merantau tempatnya mencari nafkah, karena keluarganya itulah yang menjadi kebanggaan/kekayaan baginya. Pada Arga Do Bona Ni Pinasa dalam syair lagu ini Nahum mengkisahkan seorang pemuda perantau yang telah lama di negeri orang dan menjadi pemimpin/pengusaha namun demikian bona ni pinasa (kampung halaman) tetap merestuinya dan mengharapkan agar tetap mengingat/membangun tanah tumpah darahnya. Album piringan hitam VG Solu Bolon Silindung Nadjolo tertanggal 25 September 1972 diiringi oleh para pemain musik yaitu; Eddy V. Tambunan (organ/ merangkap vokal tenor), Yoseph Tatarang (melodi gitar), A.M. Rusy (bas gitar), dan Sudaryadi (drum). Terdiri dari para penyanyi Binny Hutapea, Anas Sianturi, Maruhum Simatupang, Helena Br. Gultom, Sahat Simanjuntak, Humisar Siadari, Fernando Hutabarat, Amir Hajat S, Walter Sirait, dan Frans H. Manurung. Dalam album ini pun ada dua belas lagu yang direkam, antara lain Silindung Nadjolo. Nahum mengisahkan tentang keadaan rura Silindung (Tarutung) pada masa dulu, yang memang pada masa mudanya Nahum magodang (pernah tinggal lama) di sana. Teringat tentang teman sepermainan, pesta di sana, begitu senang dan indah pada waktu itu, sampai meneteskan air matapun tidak terasa. Tading Ma Ho Ale Hutangki mengisahkan tentang seseorang yang akan pergi merantau meninggalkan kampung halaman. 88 Harry Dikana Situmeang, Musik Batak Toba: Kajian Sejarah Tading ma ho ale hutangki (tinggallah kampung halamanku) selamat tinggal kepadamu, dan selamat jalan untukku, aku akan cepat pulang kembali. Akhir tahun 1960 di Indonesia hadir industri kaset (cassette), media ini akhirnya sangat berpengaruh besar dalam hal penyebarluasan lagulagu Tapanuli. Industri kaset relatif mudah diproduksi dan pemutar kaset (tape recorder) murah, harag kaset terjangkau oleh masyarakat luas di perkotaan maupun di perdesaan. Perkembangan lagu-lagu Tapanuli pada tahun 1970-an muncul Trio Golden Heart dengan personil Dakka Hutagalung, Star Pangaribuan, dan Ronal Tobing. Lagu-lagu awal mereka direkam di atas pita kaset, dengan dua gitar akustik sebagai iringan dan pembawa melodi. Dalam teknik permainannya gitar pembawa melodi juga berfungsi sebagai bas iringan yang dimainkan oleh para personil tersebut. Rekaman-rekaman awal tersebut tidak seluruhnya ciptaan Trio Golden Heart mereka masih menyanyikan lagu-lagu masa sebelumnya antara lain Sing Sing So, On Ma Hape Tikkina Sirang diadaptasi dari lagu pop barat O Danny Boy, Di Jou Ma Au yang di ambil dari nyanyian jemaat HKBP tentang kematian. Secara keseluruhan lagu-lagu Trio Golden Heart di dalam album-album berikutnya kebanyakan diciptakan oleh Dakka Hutagalung. Lagu-lagu ciptaan Dakka Hutagalung antara lain: Didia Ho (1971), Di Dia Jumpang Au (1971), Anakhon Hu (1974), Huingot Do Pe (1974), Boasa (1974) ciptaan Aut Au Nampuna Bulan (1975), Didia Rokkaphi (1978), Dang Turpukta Hamoraon (1979). Gaya Trio ini merupakan era baru di dalam perkembangan lagu-lagu Tapanuli. Meskipun pada masa sebelumnya tahun 1950-an sudah muncul Trio The King pimpinan Gongga Sitompul yang cukup terkenal pada masa itu tetapi tidak sampai ke dapur rekaman. Trio Golden Heart memperkenalkan praktik harmonisasi vokal 3 suara yang berjalan umumnya paralel (sejajar). Apabila dianalis secara ilmu harmoni lagu-lagu yang dinyanyikan trio Golden Heart pada bagian-bagian lagu yang paralel misalnya di dalam lagu On Ma Hape Tikkina Sirang, suara-suara tersebut dapat dibagi menjadi tenor 1, tenor 2 dan bas 1(Kaset Trio Golden Heart, tanpa tahun). 89 Seni: Fungsi, Perubahan, dan Makna Pada tahun 1978 diselenggarakan Festival Lagu Populer Batak yang pertama. Pada saat itulah istilah lagu-lagu populer Batak mulai digunakan (wawancara penulis dengan Dakka Hutagalung, Mei 2013). Akhir tahun 1970-an dan seterusnya penciptaan musik populer Batak Toba meningkat tajam, era kaset sudah sangat meluas penggunaannya dan pemasarannya. Gelombang meningkatnya kaset komersial dari dalam kelompok penyanyi solo lagu-lagu populer Batak Toba antara lain Eddy Silitonga, Ritha Butar-butar, Charles Hutagalung, Diana Nasution, dan lain-lain, sangat memperluas penyebaran musik populer Batak Toba. Banyak dari penyanyi trio-trio setelah era Trio Golden Heart antara lain trio Friendship, trio The King, trio Rivera, trio Lasidos, Nainggolan Sister, Hutauruk Sister,trio Ambisi, trio Amsisi, trio Relasi, trio Maduma kemudian di era-era selanjutnya penyanyi trio musik populer Batak Toba semakin menjamur khusunya di Jakarta, Medan, dan kota-kota tingkat dua lainnya yaitu Pematang Siantar, Tarutung, dan lain-lain. Trio Lasidos (Jack Marpaung, Bunthora Situmorang, Hilman Padang) memperkenalkan kembali gaya populer ratapan atau andung-andung (salah satu yang lebih awal adalah Nahum Situmorang dengan Lagu Nanihali Bangkudu) yang memanfaatkan beberapa elemen yang dibutuhkan (vokal, instrumen dan tekstual) dalam menyanyikan lagu ratapan tradisional Batak Toba. Gaya ratapan atau andung-andung ini menjadi sangat populer di kalangan orang-orang Batak Toba terutama mereka yang telah berimigrasi ke luar dari tanah air dan perasaan yang kuat untuk “tanah air” dan untuk nostalgia terhadap seseorang. Akhirnya lagu ratapan atau andung-andung itu menjadi genre tersendiri di dalam musik populer Batak Toba. Karya-karya lain dari masa ini: Mulak Do Ahu ciptaan Firman Marpaung, Sinondang Ni Bulan ciptaan Dakka Hutagalung, Diama Ulaning Hu Boto ciptaan Charles Hutagalung. 31 Seperti yang suda diutarakan di atas bahwa andung adalah salah satu genre lagu rakyat tradisional Batak Toba awalnya berkembang terutama di kalangan perempuan (meskipun tidak eksklusif) untuk meratapi kematian. Namun demikian, andung tidak terbatas pada ritual kematian 31 Hodges, ibid., h. 156. 90 Harry Dikana Situmeang, Musik Batak Toba: Kajian Sejarah saja, ada juga andung diperuntukkan kepada andung paragat (menyadap tuak), andung parmahan (mengembalakan ternak), andung parbabo (bekerja di lading/sawah), andung martonun (menenun ulos), andung ni boru muli (pernikahan seseorang perempuan yang akan meninggalkan keluarganya untuk mendampingi calon suami). Akhirnya jenis-jenis andung itu semuanya terekspresi di dalam lagu-lagu opera Tilhang Gultom, Nahum Situmorang, Trio Lasidos dan lain-lain yang disebut juga dengan lagu andung-andung. Andung-andung adalah lagu populer Batak Toba yang sudah dipengaruhi oleh unsur-unsur musik Barat di dalam penyajiannya, meskipun di dalam lagu andung-andung tersebut menggunakan instrumentasi musik tradisionsl Batak Toba, tetapi di dalam harmonisasinya sudah menggunakan harmoni musik Barat, instrumen musik Barat (keyboard, gitar, gitar bas dan lain-lain). Syair andung-andung juga sudah diperluas, tidak terbatas kepada hal-hal yang sudah diutarakan diatas tetapi juga kepada masalah-masalah kehidupan sosial orang Batak Toba, misalnya Siose Padan lagu ciptaan dari dari Tilhang Gultom yang menceritakan tentang kesedihan seorang perempuan yang ditinggalkan tunangannya pada sat acara pernikahan akan berlangsung, Andung-andung Ni Anak Siampudan ciptaan Star Pangaribuan, Putus Sikkola lagu ciptaan Firman Marpaung yang menceritakan tentang kesedihan seseorang yang putus sekolah akibat tidak ada biaya dan berangkat merantau ke luat na dao (ke tempat yang jauh) untuk mengadu nasib. Dalam tahun-tahun terakhir musik populer Batak Toba telah banyak mempertahankan praktek gaya, formal dan instrumental dari munculnya kaset industri. Selain itu ada difusi antara gaya musik populer Batak Toba yang lama dengan musik populer dari dunia lain seperti disko, reggae, country dan rap serta upaya untuk memproduksi dan mempopulerkan gaya musik yang meminjam suara instrumental dan fitur resmi dari musik tradisi di Indonesia, mengabungkan mereka dengan cara-cara baru dan inovatif.32 Proses pemakaian fitur resmi tersebut menurut pengamatan penulis antara lain adalah pengaruh musik dangdut, 32 Ibid., h. 156. 91 Seni: Fungsi, Perubahan, dan Makna beberapa kaset album yaitu Dangdut Batak Masa Kini yang didominasi oleh kelompok perempuan seperti Siska Sianturi, Juli Manurung, Hani Sihotang, Dora N., Melina Simbolon; Disco Dangdut Trendy oleh penyanyi Rani Simbolon dan Trio Ambisi. Gabungan keroncong dan reggae dengan contoh album kaset Keroncong Reggae oleh Jhonny S. Manurung dan kawan-kawan. Pada saat sekarang ini banyak dari album-album yang terkenal sebelumnya diproduksi ke dalam CD, beberapa dari album Trio Lasidos, Trio Ambisi, Trio Ambisi, dan lain-lain. Pada masa era tahun 2000-an muncul Viky Sianipar dengan mengangkat lagu-lagu populer Batak Toba (Arga do Bona ni Pinasa, Sinanggar Tullo, Di Jou Au Mulak, O Tao Toba), Karo (Kacang Koro), Simalungun (Pos ni Uhur), yang diaransemen kembali dengan gaya yang kontemporer dengan banyak pengembangan motif-motif dari lagu yang diaransemen, tempo yang rubato dengan gaya eksperimen yang berdasarkan pengamatan penulis masih jarang dilakukan oleh pemusik-pemusik Batak saat ini. Kecenderungan kembali pemakaian instrumen akustik dengan vokal grup juga muncul saat ini, diwakili oleh gaya Marsada Band. Mereka menyanyikan kembali lagu-lagu populer Batak Toba era Tapanoeli Moderen antara lain lagu-lagu Nahum Situmorang dengan iringan instrumen gitar akustik, bas akustik. Dalam album Maria mereka juga menampilkan/merekam uning-uningan Batak antara lain Sihutur Sanggul, Silambiak Ni Pinasa, Sirait Na Bolon. Marsada Band adalah salah satu grup musik dari Tano Batak (Pulau Samosir) yang telah melakukan tour kebudayaan ke dunia luar. Album Maria ini adalah salah satu eksistensi mereka dalam menggali kembali musik dan lagu populer Batak Toba. 10. Kesimpulan Masyarakat Batak secara umum dipengaruhi oleh Gereja Protestan Jerman di dalam sosial-budayanya, yang berakibat timbulnya kristenisasi, urbanisasi, dan modernisasi. Hal ini didasari mayoritas orang Batak Toba beragama Protestan. Berbagai pemikiran kebudayaan dan agama ini 92 Harry Dikana Situmeang, Musik Batak Toba: Kajian Sejarah diadopsi oleh orang-orang Batak Toba dan diaplikasikan ke dalam kehidupan mereka, termasuk dalam musik. Urbanisasi Batak Toba ke berbagai daerah di Sumatera Utara, khususnya kota Medan. Medan pada masa 1920-an menuju 1930an pada waktu itu dapat disebut sebagai melting pot yaitu tempat bercampur baurnya budaya-budaya suku bangsa baik Cina, Eropa, India dan sukusuku yang ada di Sumatera yaitu Batak Toba, Simalungun, Karo, Mandailing, Pakpak, Jawa, Melayu, dan lain-lain. Di lihat dari situasi ini, suasana semacam ini (temu antar budaya serta perkembangan awal dari ide “cross cultural”) menjadikan kota Medan kaya akan kesenian. Kedudukan orang-orang Batak Toba sangat terbantu oleh karena hubungan zending dengan pemerintah atau hubungan zending dengan organisasi-organisasi gereja yang ada sangat kondusif. Kemampuan orang-orang Batak Toba pada masa awal di Medan cukup dibanggakan karena filosofinya yang selalu dipegang kuat yaitu: hamoraon, hagabeon, hasangapon, tetap dijalankan. Hal ini terbukti bahwa orang-orang Batak salah satu pertama yang menguasai musik yang sedang trend pada masa itu yaitu musik keroncong yang datang dari Jawa, dan tetap selalu menonjol di dalam segala pertunjukanpertunjukannya. Selalu mampu menguasai aliran-aliran musik yang datang khususnya dari Eropa, Amerika, Karibia dan lain-lain. Akhirnya melahirkan musik populer Batak Toba. Perkembangan musik populer Batak Toba selalu dinamis dari dekade ke dekade, banyak kader bermunculan dari generasi ke generasi, sehingga musik populer Batak Toba tetap eksis di masyarakat. Pada satu titik gaya lama akan selalu kembali--misalnya, diminatinya penggunaan-penggunaan lagu-lagu rakyat baik syair maupun melodinya. Pada dasarnya akar dari budaya populer adalah folklor. Cukup menarik dan masih banyak lagu-lagu tradisi rakyat Batak Toba yang belum diangkat, bahkan dikenal oleh masyarakatnya sekarang untuk dijadikan sesuatu yang berbobot. Hanya memang fenomena yang terjadi sepertinya, kemampuan dari pencipta itu sendiri akhir-akhir ini yang pas-pasan tanpa ada pertimbangan estetis untuk menentukan ritem, 93 Seni: Fungsi, Perubahan, dan Makna melodi dan syair yang estetis juga. Ada sebuah ungkapan atau penegasan dari komponis Georg Katzer: “membuat komposisi pada masa kini mudah sekali karena semua mungkin. Namun, membikin komposisi pada masa kini sulit sekali, karena semua mungkin.” Terlebih lagi sepertinya para pencipta lagu-lagu Batak Toba sekarang kehabisan ide terhadap misalnya melodi, juga sepertinya terlalu mengandalkan teknologi tanpa memikirkan bagaimana sebuah musik populer yang benar-benar estetis. Syair lagu-lagu sekarang juga sudah kurang bobotnya, syair lagu kebanyakan terfokus kepada percintaan dengan penggunaan bahasa Batak Toba yang dicampur aduk sedemikian rupa dengan bahasa-bahasa yang lain. Gejala ini memang sudah lama diprediksi oleh penulis, kemudian teks yang asal jadi tanpa memikirkan keindahan penyusunannya. Sebagai saran dari penulis adalah penulis sangat tertarik dengan syair-syair dari lagu rakyat, melodinya juga pasti banyak yang bisa dikomposisi secara baik. Bukan harus kayanya sebuah progresi harmoni atau melodi yang juga harus kaya, tetapi terletak kepada keseimbangan antara melodi, syair, dan irama dengan tetap selalu mempertimbangkan nilai-nilai estetis keindahan dari keseluruhannya. Daftar Pustaka Hodges, W.R. 2009. Ganti Andung, Gabe Ende (Replacing Laments, Becoming Hymns): The Changing Voice of Indonesia). A Dissertation Submitted in partial Satisfaction of the Requirements for the Degree Grief in the Pre-funeral Wakes of Protestant Toba Batak, North Sumatra, Doctor of Philosophy in Music, University of California. Lumban Gaol, Hotman J., 2011. Sang Apostel Batak: Dari Munson-Lyman Hingga Nommensen. Jakarta: Permata Aksara. Marck, Dieter.1995. Sejarah Musik Jilid 3. Yogyakarta: Pusat Musik Liturgi. Marck, Dieter. 2004. Sejarah Musik Jilid 4. Yogyakarta: Pusat Musik Liturgi. Marsden, William. 2013. Sejarah Sumatra. Jakarta: Komunitas Bambu. Pardede, Boho. 2011. Koor di Huria Kristen Batak Protestan (HKBP), Analisa, Sejarah, dan Struktur Musik. Medan: Tesis Program Studi Magister (S2) Penciptaan Dan Pengkajian Seni Uviversitas Sumatera Utara. Panggabean, Ivo, 1994. Musik Populer Batak-Toba Suatu Observasi MusikologiDiskografis. Medan: Sripsi S1 Fakultas Kesenian Universitas HKBP Nommensen. Purba, O.H.S., 1997. Migran Batak Toba Di Luar Tapanuli Utara, Suatu Deskripsi. Medan. 94 Harry Dikana Situmeang, Musik Batak Toba: Kajian Sejarah Purba, O.H.S., 1998. Migrasi Spontan Batak Toba (Marserak). Medan. Sitompul, Ruth Apollina, 1996. Musik Populer Barat Dalam Kehidupan Generasi Muda di Medan Suatu Kajian Sosiomusikologis. Medan: Skipsi S1 Fakultas Kesenian Universitas HKBP Nommensen. Reid, Anthony, 2011.Menuju Sejarah Sumatera, Antara Indonesia dan Dunia. Jakarta: Yayasan Pustaka Obor Indonesia. Suwondo, Bambang, 1978. Sejarah Daerah Sumatera Utara. Jakarta: Depdikbud. Yayasan Pewaris Nahum Situmorang, 2002. Nahum’s Songs Kumpulan lagu-lagu Tapanuli ciptaan Nahum Situmorang Jakarta: Yayasan Pewaris Nahum Situmorang. 95 lima RITUAL MUNCANG (TOLAK BALA) DI DESA GURU KINAYAN KARO Andry Permana Barus Mahasiswi Magister (S2) Penciptaan dan Pengkajian Seni, Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Sumatera Utara 1. Latar Belakang Kebudayaan merupakan suatu kebutuhan yang sebagai identitas bangsa Indonesia sebagai bangsa yang kaya akan keragaman yang dimiliki masing-masing etnik tersebut. Sehingga unsur kebudayaan masing-masing etnik (suku) yang ada tetap harus dipertahankan keberadaannya. Karo adalah salah satu suku bangsa dari banyak etnis yang ada di Kepulauan Nusantara. Sebagai suku bangsa, mereka mempunyai kebudayaan yang berbeda dengan yang dimiliki oleh suku bangsa lain. Secara geografis, yang menjadi wilayah orang Karo adalah: Kabupaten Karo (meliputi Tanah Karo Simalem dan sekitarnya), Kabupaten Langkat, Kabupaten Deli Serdang, Simalungun, dan Dairi. Selain itu, orang Karo juga banyak menetap di beberapa wilayah di Kota Medan sebagai ibukota Provinsi Sumatera Utara, mereka bermukim di kota ini terutama di Deli Tua, Padang Bulan, Sunggal, dan lain-lain. Hal ini dibuktikan dengan adanya bangunan jambur1 di tempat tersebut. Gambaran tentang daerah domisili masyarakat Karo dapat pula dilihat seperti apa yang digambarkan oleh J.H. Neuman dalam buku Lentera Kehidupan Orang Karo dalam Berbudaya yang ditulis Sarjani Tarigan, sebagai berikut. 1 Dalam konteks kebudayaan Karo, ada dua pengertian dari istilah jambur. Yang pertama, pada masa dahulu, jambur adalah sebagai tempat anak perana (pemuda desa) tinggal. Sementara pada masa berikutnya setelah berkembangnya orang Karo di perkotaan, jambur ini dapat diartikan sebagai tempat berlangsungnya kegiatan adat Karo. Andry Permana Barus, Ritual Muncang Wilayah yang didiami oleh suku Karo dibatasi sebelah timur oleh pinggir jalan yang memisahkan dataran tinggi dari Serdang. Di sebelah Selatan kira-kira dibatasi oleh sungai Biang (yang diberi nama sungai Wampu, apabila memasuki Langkat), di sebelah Barat dibatasi oleh gunung Sinabung dan di sebelah Utara wilayah itu meluas sampai kedataran rendah Deli dan Serdang.2 Dari gambaran luas daerahnya di atas, domisili masyarakat Karo ini memang tidak dapat dibantah, bahwa ada beberapa kelompok yang berdomisili di daerah pantai dan hidup berdampingan dengan penduduk Melayu, dan secara bertahap kedua suku tersebut saling berbaur dan berakulturasi antara sesamanya. Pada dasarnya berekspresi estetik merupakan salah satu kebutuhan manusia yang tergolong kedalam kebutuhan integratif. Kebutuhan integratif ini muncul karena adanya dorongan dalam diri manusia yang secara hakiki senantiasa ingin merefleksikan keberadaannya sebagai mahluk yang bermoral, berakal, dan berperasaan. Berekspresi melalui kesenian dalam konteks kebudayaan merupakan salah satu aktivitas manusia yang sangat umum dalam setiap kelompok masyarakat pada umumnya. Dengan demikian kesenian budaya merupakan suatu kebutuhan yang penting dalam masyarakat untuk mengekspresikan dirinya sebagai manusia yang memiliki perasaan indah, senang, gembira maupun perasaan sedih. Masyarakat Karo mempunyai kebudayaan yang sangat kaya yang mereka peroleh dari leluhurnya secara turun-temurun. Warisan budaya tersebut antara lain seperti upacara adat (ritual), sastra, (cerita rakyat, pantun), tari, ukir (pahat). Salah satu budaya yang diwariskan pada masyarakat Karo adalah ritual muncang (tolak bala). Fungsi musik dalam masyarakat Karo sangat penting, contohnya, dalam upacara adat perkawinan orang Karo. Setiap orang yang memberi petuah kepada pengantin akan diakhiri dengan bernyanyi dan menari bersama sebagai ungkapan kebahagiaan,doa dan mengucap syukur kepada 2 Sarjani Tarigan, 2009. Lentera Kehidupan Orang Karo Dalam Berbudaya. Medan: Perwira. h. 36. 97 Seni: Fungsi, Perubahan, dan Makna Tuhan. Fungsi musik dapat ditemui dalam setiap upacara ritual, antara lain erpangir ku lau, perumah begu,3 dan muncang. Musik dijadikan sebagai alat untuk memanggil roh nenek moyang sehingga acara ritual tersebut dapat diteruskan ke bagian berikutnya. Dalam upacara cawir metua (penguburan orang yang sudah lanjut usianya dengan ketentuan anak yang ditinggalkan sudah berumah tangga). Dalam masyarakat Karo, aktivitas musik dikenal dengan 2 (dua) istilah yaitu rende atau ergendang. Kata rende yaitu berarti bernyanyi. Kata gendang dalam masyarakat Karo memiliki beberapa pengertian. Gendang dapat berarti salah satu alat musik, satu upacara ritual, atau judul komposisi. Orang Karo menyebut musik dengan istilah gendang, dan dalam masyarakat Karo gendang itu memiliki beberapa pengertian, antara lain: 1. Gendang, sebagai pengertian untuk menunjukkan jenis musik tertentu (Gendang Karo, gendang Melayu), 2. Gendang sebagai sebuah nama intrumen musik (Gendang Singindungi, Gendang Singanaki), 3. Gendang untuk menunjukkan jenis lagu atau komposisi tertentu (Gendang Simalungun Rayat, Gendang Peselukken), 4. Gendang untuk menunjukkan ensambel musik tertentu (gendang lima sendalanen, gendang telu sendalanen), 5. Gendang untuk mengartikan sebuah upacara tertentu (gendang cawir metua, gendang guro-guro aron). Ergendang dapat diartikan bermain musik atau melaksanakan suatu pertunjukan musik sedangkan rende yaitu bernyanyi. Musik tradisional Karo berkaitan erat dengan adat-istiadat Karo, sistem kepercayaan tradisional Karo, sekaligus sebagai hiburan pada masyarakat Karo itu sendiri. Sebagai putra Karo, penulis merasa penting untuk menuliskan tentang adat istiadat masyarakat Karo agar tetap terjaga. Maka pada kesempatan ini penulis mengangkat salah satu upacara yang ada pada masyarakat Karo, yaitu ritual muncang (tolak bala) yang dilaksanakan masyarakat Karo. 3 Erpangir ku lau adalah salah satu ritual berdasarkan kepercayaan tradisional Karo, dengan tujuan utama menyucikan diri atau buang sial. Di lain sisi, perumah begu adalah upacara pemanggilan roh orang yang telah meninggal dunia, untuk memanggil arwah kepala keluarga (suami atau bapak) yang telah lama tidak pulang ke rumah. 98 Andry Permana Barus, Ritual Muncang Dalam pembahasan ini penulis mengangkat upacara ritual muncang (tolak bala) di Desa Gurukinayan. Desa ini berada di Kecamatan Payung Kabupaten Tanah Karo. 2. Teori dari Berbagai Disiplin Ilmu Berdasarkan hasil studi pustaka, dan dari pengamatan terhadap ritual muncang berdasarkan analisis sejarah dan makna upacara adat membersihkan desa dari penyakit, maka dalam penelitian ini diupayakan mengungkap pertunjukan ritual muncang yang difungsikan dalam upacara adat yang ada di Desa Gurukinayan Tanah karo sebagai sebuah peristiwa seni budaya masyarakat. Oleh karena pertanyaan mengapa dan bagaimana cukup kompleks dan tidak cukup diamati dengan ”mata telanjang,” maka penelitian ini merupakan penelitian kualitatif dengan meminjam teori dari berbagai disiplin ilmu4 dengan pendekatan antropologi. Bahwa sistem dan upacara dalam suatu religi berwujud aktivitas dan tindakan manusia dalam melaksanakan kebaktian terhadap Tuhan, dewa-dewa, roh nenek moyang, atau mahluk lain, dan dalam usahanya untuk berkomunikasi dengan Tuhan dan penghuni dunia gaib lainnya. Upacara religi itu biasanya berlangsung berulang-ulang, baik setiap hari, setiap musim, atau kadang-kadang saja. Upacara religi biasanya terdiri dan suatu kombinasi yang merangkaikan satu dua atau beberapa tindakan, seperti berdoa, bersujud, bersaji, berkorban, makan bersama, menari dan menyanyi, berprosesi, dan lain-lain.5 Pernyataan di atas dilengkapi oleh R.M. Soedarsono yang mengungkapkan uraian tentang seni pertunjukan yang berfungsi sebagai sarana ritual, menyatakan sebagai berikut. Secara garis besar seni pertunjukan ritual memiliki ciri-ciri khas yaitu: (1) diperlukan tempat pertunjukan yang terpilih yang kadang-kadang dianggap sakral; (2) diperlukan pemilihan hari serta saat yang terpililih yang biasanya juga 4 R.M. Sodedarsono, 2001. Metodologi Penelitian Seni Pertunjukan dan Seni Rupa: Dengan Contoh-contoh untuk Tesis dan Disertasi. Bandung: Masyarakat Seni Pertunjukan Indonesia. h. 46. 5 Koentjaraningrat, 1987. Ritus Peralihan di Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka. h.44. 99 Seni: Fungsi, Perubahan, dan Makna dianggap sakral; (3) diperlukan pemain yang terpilih, biasanya mereka yang dianggap suci atau yang telah membersihkan diri secara spiritual; (4) diperlukan seperangkat sesaji yang kadang-kadang sangat banyak jenis dan macamnya; (5) tujuan lebih dipentingkan dari pada penampilan secara estetis; dan (6) diperlukan busana yang khas.6 Ritual agama diselenggarakan pada beberapa tempat, waktu yang khusus perbuatan yang luar biasa, dan berbagai peralatan ritus lain yang bersifat sakral.7 Pendapat tersebut sesuai dengan konteks pada ritual muncang yang dilakukan oleh masyarakat Karo, dalam aktivitasnya banyak hal yang harus dipersiapkan serta syarat yang dijalankan sebelum melaksanakan ritual tersebut hingga sampai upacara dijalankan. Hal tersebut merupakan bukti sebagai ungkapan rasa hormat yang luhur dalam arti merupakan pengalaman yang suci. Dalam menganalisis sejarah pada kajian ini maka penulis menggunakan teori sejarah. Menurut Pitirim Sorokin8 yang menyatakan tentang adanya cultural universe atau alam kebudayaan dan didalam alam kebudayaan itu terdapat masyarakat-masyarakat dan aliran-aliran kebudayaan. Dalam alam yang seluas itu, terdapatlah tiga corak (types) tertentu yaitu: 1. Ideational yaitu mengenai kerohaniaan, ketuhanan, keagamaan, kepercayaan. 2. Sensate yaitu yang serba jasmaniah, mengenai keduniawian, berpusatkan pada pancaindra. 3. Perpaduan antara ideational dan sensate ialah idealistik yaitu suatu kompromis. Tiga corak di atas itu adalah suatu cara untuk menghargai atau untuk menentukan nilai suatu kebudayaan. Ia hanya melukiskan perubahanperubahan dalam tubuh kebudayaan yang menentukan sifatnya untuk sementara waktu. Sorokin dalam menafsirkan gerak sejarah tidak mencari pangkal-gerak-sejarah atau muara-gerak-sejarah, ia hanya melukiskan prosesnya atau jalannya karena itulah yang menentukan sifat-sifatnya. 6 R.M. Soedarsono, 1998. Seni Pertunjukan Indonesia di Era Globalisasi. Jakarta: Direktorat Jendral Pendidikan Tinggi P dan K. h. 60. 7 Mudji Sutrisno dan Hendar Putranto, 2005. Teori-teori Kebudayaan. Jakarta: Kanisius. h. 96-97. 8 Ibid., h. 97. 100 Andry Permana Barus, Ritual Muncang Untuk melihat seperti apa fungsi musik dalam upacara ritual muncang maka penulis menggunakan teori Merriam. 9 Ia menyebutkan bahwa ada 10 fungsi seni musik dalam kehidupan manusia yang telah berlangsung dari dulu hingga kini.Salah satunya berfungsi sebagai pendukung kegiatan ritual religius. Menurut Merriam sedikitnya ada 10 fungsi musik, yaitu: 1. Sebagai pengungkapan emosional, 2. Sebagai hiburan, 3. Sebagai penghayatan estetis, 4. Sebagai komunikasi, 5. Sebagai reaksi jasmani, 6. Sebagai perlambangan, 7. Sebagai suatu yang berkaitan dengan normanorma sosial, 8.Sebagai perlambangan pengesahan lembaga sosial dan upacara keagamaan, 9. Sebagai kesinambungan budaya, 10. Sebagai pengintegrasian masyarakat. Kegiatan ritual memiliki bermacam-macam maksud serta tujuan, antara lain ritual untuk penyembuhan, kesejahteraan, serta kesuburan. Mengenai fungsi musik pada ritual penyembuhan, Djohan10 mengutip pernyataan Kenny menyatakan sebagai berikut: Biasanya berupa penggunaan musik ritual milik suatu komunitas tertentu (baik komunitas religius, sosial atau kultural) untuk tujuan penyembuhan. Pada umumnya, ritus upacara sudah ada tetapi dapat juga diciptakan dan dikembangkan musik tertentu untuk tujuan khusus atau memenuhi kebutuhan kelompok tertentu ”. Lebih lanjut seperti yang ditulis Djohan disebutkan bahwa musik seringkali digunakan komunikasi dan ekspresi emosi. Struktur musik dapat dikonsepkan sebagai bagian-bagian dari komposisi musik yang terintegrasi menjadi suatu bentuk yang estetik. Struktur musik yang penulis maksudkan disini adalah mencakup aspek ritme dan melodi. Kedua hal ini didukung oleh tangga nada, nada dasar, 9 Alan P. Merriam, 1964. The Anthropology of Music. Chicago: Northwestern university. h. 225-267. 10 Djohan, 2006. Terapi Musik. Yogyakarta: Gelanggang Grup. h. 57. 101 Seni: Fungsi, Perubahan, dan Makna wilayah nada, persebaran nada-nada, interval, pola kadens, kontur dan lainnya.11 3. Sejarah Desa Gurukinayan Desa Gurukinayan pertama sekali dibangun oleh seorang dukun (guru mbelin) bernama Guru Nayan yang berasal dari desa/ kampung Kubucolia. Beliau sering meninggalkan kampung Kubucolia menelusuri kaki gunung Sinabung untuk melakukan pengobatan ke berbagai tempat mengingat dia mempunyai ilmu atau kemampuan untuk mengobati (sebagai guru mbelin).Orang tua dari Guru Nayan bernama Colia, dan di masyarakat keturunannya mengikuti garis keturunan ayah maka semua diberi marga Sembiring Colia. Bapak Colia mempunyai 3 orang anak yang semua laki-laki dan dikenal dengan "Nini Sitelu (3)" atau tiga kakek leluhur yaitu bernama: 1. Guru Nayan Sembiring Colia (akhirnya mendirikan kampung Gurukinayan). 2. Guru Nebek Sembiring Colia (meninggalkan Kubucolia menuju kampung Seberaya). 3. Guru Pagar Batak Sembiring Colia (tetap tinggal di Kubucolia). Guru Nayan Sembiring Colia yang mendirikan desa Gurukinayan bersama merga Sitepu dan Ginting, keturunannya tetap memakai merga Sembiring Colia sebagai penghormatan dan agar generasinya akan tetap mengingat dan mengenang bahwa mereka berasal dari desa Kubucolia, sehingga sampai dengan tahun 1960 semua merga Sembiring di desa Gurukinayan tetap memakai merga Sembiring Colia. Salah satu contoh adalah Alm. Kueteh Sembiring (Pa Bas Ukurta) yang tamatan Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia pada Tahun 1960 dalam ijazahnya namanya tercantum Kueteh Sembiring Colia. Walupun jarak desa antara desa Kubu Colia dengan desa Guruknayan cukup jauh untuk ukuran genersi perintis tersebut karena sarana hubungan antar desa tersebut dahulu kala hanya dengan berjalan kaki dan melewati 11 William P. Malm, 1977. Music Cultures of the Pacific, Near East, and Asia. Englewood Cliffs, New Jersey: Prentice Hall. 102 Andry Permana Barus, Ritual Muncang hutan lebat, hubungan kekerabatan tersebut sampai saat ini tetap terjaga dan berjalan dengan baik, dalam arti apabila ada hajatan di desa Kubu Colia mereka masih tetap mengundang saudaranya dari desa Gurukinayan dan demikian juga sebaliknya. Akan tetapi semenjak tahun 1970, karena pertambahan penduduk desa Gurukinayan semakin besar dengan tingkat kelahiran yang cukup tinggi dimana antara lain setiap keluarga memiliki anak paling tidak 5 (lima) anak maka semua penduduknya yang tadinya memakai merga Sembiring Colia berubah menjadi Sembiring Gurukinayan yang berarti menunjukkan bahwa mereka memang berasal dari desa Gurukinayan. Dalam adat istiadat masyarakat suku Karo, hal tersebut sahsah saja dan merupakan hal yang biasa dilakukan untuk lebih menunjukkan identitas diri atau kelompok desanya yang juga merupakan kebanggaan tersendiri bagi desanya, walaupun demikian dalam acara adat istiadat mereka tetap bersatu dan bersama dalam satu kelompok dengan sub merga asal (leluhur) merganya.Hal ini dapat di lihat dengan merga Surbakti yang merupakan bagian dari merga Karo-karo, karena telah membentuk / membangun desa Surbakti dan berkembang membuat mereka membentuk submerga sendiri berdasarkan asal desanya menjadi merga Surbakti, yang walaupun demikian tetap merupakan bagian dari kelompok besar merga Karo-karo. 4. Ritual Muncang Masyarakat Desa Gurukinayan melaksanakan upacara ritual muncang (tolak bala) setelah Gunung Sinabung meletus. Menurut kepercayaan mereka, Nini Raja Nangkih (Gunung Sinabung) marah disebabkan oleh perbuatan-perbuatan orang yang tidak bertanggung jawab. Untuk meredakan amarah Nini Raja Nangkih12 (Gunung Sinabung) maka masyarakat di desa tersebut harus melakukan ritual muncang (tolak bala) agar Gunung Sinabung berhenti meletus. 12 Nini Raja Nangkih adalah sebutan atas penguasa Gunung Sinabung yang diyakini keberadaannya dan kekuasaannya oleh masyarakat Karo setempat. 103 Seni: Fungsi, Perubahan, dan Makna Upacara ritual muncang (tolak bala) sudah dilakukan sejak jaman prakristen atau yang disebut dengan kepercayaan Pemena.13 Dalam kepercayaan Pemena pemikiran manusia sangat erat dengan alam. Akhirnya mereka menganggap semua yang ada di alam ini mempunyai roh sehingga mereka menyembah atau mendewa-dewakannya. Pemujaan-pemujaan yang dilakukan oleh masyarakat pemena diiringi dengan musik dan juga memberikan sesajen-sesajen. Dalam pemikiran mereka dewa-dewa akan senang dengan nyayian dan tari-tarian mereka sehingga permintaan mereka bisa dikabulkan oleh dewa yang mereka sembah. Adapun ensambel musik yang digunakan dalam upacara ritual muncang di Desa Gurukinayan yaitu ensambel musik tradisi gendang telu sendalanen. Dalam hal ini, penulis merasa tertarik untuk meneliti dan menulis tentang ritual muncang (tolak bala), karena ritual ini merupakan salah satu warisan kebudayaan suku Karo yang harus dilestarikan. Penulis juga merasa tertarik untuk mengetahui fungsi musik dalam upacara ritual muncang (tolak bala) dan bagaimana proses upacara ritual muncang (tolak bala) dilaksanakan, karena upacara ritual ini jarang dilaksanakan oleh masyarakat Karo. Bentuk seni pertunjukan dalam sebuah masyarakat sangat ditentukan oleh kebutuhan masyarakat tersebut.Hal ini menyebabkan bentuk seni pertunjukan di berbagai daerah di Indonesia berbeda-beda.Ada beberapa fungsi seni pertunjukan dalam masyarakat yang dapat dibagi menjadi dua bagian besar yakni seni yang berfungsi primer dan sekunder.14 Seiring dengan perkembangan zaman telah terbentuk beberapa fungsi seni dalam masyarakat Indonesia, Soedarsono menjelaskan fungsi seni sebagai berikut: Setiap zaman, setiap kelompok etnis, serta setiap lingkungan masyarakat, setiap bentuk seni pertunjukan memiliki fungsi primer dan sekunder yang berbeda. Namun demikian secara garis besar seni 13 Secara harfiah, Pemena berarti yang pertama sekali atau yang mula-mula. Dalam pengertian yang lebih luas, Pemena adalah salah satu sistem religi tradisional masyarakat Karo, yang memiliki konsep dan sistem nilainya tersendiri. 14 Soedarsono, op. cit., 1998, h. 57. 104 Andry Permana Barus, Ritual Muncang pertunjukan memiliki tiga fungsi primer, yaitu (1) sebagai sarana ritual; (2) sebagai hiburan pribadi; dan (3) sebagai presentase estetis. Seni pertunjukan memiliki fungsi ritual yang beragam sesuai dengan nilai kehidupan budaya masyarakatnya, hal ini memperlihatkan bahwa ritual merupakan ungkapan yang lebih bersifat logis dari pada hanya bersifat psikologis. Ritual memperlihatkan tatanan atau simbol-simbol yang diobjekkan. Faktor utama dalam ritual muncang bukan semata keindahan, melainkan mencari kekuatan yang dapat mempengaruhi atau mengatur alam sekitarnya sesuai dengan yang dikehendakinya. Upacara muncang yaitu upacara memberi sesajen kepada leluhur agar terbebas darisuatu musibah.Pada konteks ritual muncangyang dilakukan di desa Gurukinayan karena salah satu orang yang dituakan mendapat petuah dari leluhur mereka melalui mimpi yang mengatakan bahwa mereka harus melaksanakan upacara ritual muncang sehingga desa mereka bisa terhindar dari bencana letusan gunung Sinabung. Maka berkumpulah tokoh desa dan pemuka adat untuk membicarakan niat mereka untuk melaksanakan ritual ini, dengan bantuan Guru Siniktik Wari (dukun yang bisa meramal hari baik untuk melaksanakan suatu upacara ). Upacara ritual merupakan kearifan lokal melalui kegiatan sosial yang padat dengan nilai-nilai dan norma-norma kehidupan masyarakat pendukungnya.Hal itu dikarenakan upacara ritual berkaitan dengan sistem kepercayaan atau religi yang pada umumnya dilakukan untuk menghormati, mensyukuri karunia Tuhan serta berusaha menjaga keseimbangan semesta dan isinya termasuk makhluk halus dan leluhurnya. 5. Penutup Masyarakat Desa Gurukinayan melaksanakan upacara ritual muncang dilatarbelakangi oleh bencana yang mereka alami yaitu meletusnya gunung sinabung, dalam kepercayaan mereka dan yang masih mempercayai kepercayaan leluhur, gunung Sinabung telah marah akibat dari perlakuanperlakuan manusia yang tidak bertanggung jawab di gunung sinabung. Agar bencana pun tidak semakin besar maka masyarakat melaksanakan upacara ritual Muncang. 105 Seni: Fungsi, Perubahan, dan Makna Pada ritual Muncang di desa Gurukinayan, musik berfungsi merangsang reaksi jasmani sehingga mengalami kesurupan (kemasukan roh). Selain itu musik juga berfungsi sebagai media komunikasi antara leluhur dengan masyarakat desa Gurukinayan. Kemudian musik juga berfungsi sebagai sarana pengungkapan emosional dan hiburan. Daftar Pustaka Bangun, Roberto, 2006. Mengenal Manusia Karo. Jakarta: Balai Pustaka. Bangun, Tridah, 1986. Manusia Batak Karo. Jakarta: Inti Indayu Press. Djohan, 2006. Terapi Musik. Yogyakarta: Gelanggang Grup. Ginting, J.R., 1990. “Karo Guru and His Practices.” Artikel untuk Katalog Museum Stuttgard-Jerman. Koentjaraningrat, 1987. Ritus Peralihan di Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka. Malm, William P. Malm, 1977. Music Cultures of the Pacific, Near East, and Asia. Englewood Cliffs, New Jersey: Prentice Hall. Merriam, Allan P., 1964. The Anthropology of Music. Chicago: Northwestern University Press. Prints, Darwan, 1984. Sejarah Dan Kebudayaan Karo. Jakarta: Yraama. Sibeth, Achim. “The Batak: People of the Island of Sumatera with Contributions” by Uli Kozok dan Juara R.Ginting. London: Thames and Hudson Ltd, 1991. Soedarsono, R.M., 1998. Seni Pertunjukan Indonesia di Era Globalisasi. Jakarta: Direktorat Jendral Pendidikan Tinggi P dan K. Soedarsono, R.M., 2001. Metodologi Penelitian Seni Pertunjukan dan Seni Rupa: Dengan Contoh-contoh untuk Tesis dan Disertasi. Bandung: Masyarakat Seni Pertunjukan Indonesia. Sutrisno, Mudji dan Hendar Putranto, 2005. Teori-teori Kebudayaan. Jakarta: Kanisius. Tambun, P., 1955. Sejarah Kebudayaan Karo. Kaban Jahe: Toko Bukit. Tarigan, H.G. Percikan Budaya Karo.Yayasan Merga Silima, Bandung, 1990. Tarigan, Sarjani, 2009. Lentera Kehidupan Orang Karo Dalam Berbudaya. Medan: Perwira. 106 enam LAGU DAGO INANG SARGE SEBAGAI MATERI PEMBELAJARAN BIOLA IRINGAN KUARTET STRING Sopian Loren Mahasiswa Magister (S2) Penciptaan dan Pengkajian Seni, Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Sumatera Utara 1. Pendahuluan Lagu merupakan syair-syair yang dinyanyikan dengan irama dan nada yang harmonis sehingga menarik untuk diperdengarkan. Lagu bisa menjadi media curahan hati seorang komposer yang mengkomposisi lagu tersebut. Sehingga lagu yang dinyanyikan bisa bernuansa sedih, senang, maupun jenaka. Namun tidak sedikit juga para komposer membuat sebuah lagu ingin menceritakan sebuah hal dalam kehidupan baik secara kebudayaan maupun sosial, seperti lagu-lagu daerah. Lagu daerah adalah lagu atau komposisi musik yang berasal dari suatu daerah tertentu dan menjadi populer dinyanyikan baik oleh rakyat daerah tersebut maupun rakyat lainnya. Bentuk lagu ini sangat sederhana dan menggunakan bahasa daerah atau bahasa setempat. Lagu daerah banyak yang bertemakan kehidupan sehari-hari sehingga mudah untuk dipahami dan mudah diterima dalam berbagai kegiatan rakyat. Pada umumnya pencipta atau komposer lagu daerah ini tidak diketahui noname (NN). Menurut sifat dan keberasalannya lagu daerah dibedakan menjadi dua. Lagu rakyat dan Lagu klasik. Lagu rakyat yaitu lagu yang berasal dari rakyat di suatu daerah. Lagu rakyat tersebar secara alami yang disampaikan secara lisan turun-temurun. Hal ini sering kita jumpai didalam kehidupan kita sehari-hari. Contoh-contoh lagu daerah nusantara sangat banyak sekali yang terdapat pada masing masing daerahnya, mengingat Indonesia memiliki Seni: Fungsi, Perubahan, dan Makna banyak daerah sehingga banyak kebudayaan yang timbul di setiap-setiap daerah, Mulai dari Sabang sampai Merauke. Salah satu contoh yang dekat adalah lagu dago inang sarge. Lagu daerah Dago Inang Sarge adalah sebuah lagu rakyat yang terdapat pada daerah tapanuli, lagu ini sering sekali diperdengarkankan dalam acara adat-istiadat suku batak pada masanya. Tidak hanya suku batak lagu ini juga sering dibawakan oleh suku-suku lain karena nadanya yang gampang diingat dan mudah untuk dimainkan. Lagu daerah Dago Inang Sarge menggambarkan sebuah budaya dari suku batak yang sangat unik. Lagu daerah ini juga membuat sebuah nasehat yang didalam lagunya berbentuk pantun, kemudian lagu tersebut digubah untuk kepentingan pembelajaran biola dengan iringan sebuah kuartet string yang terdiri dari 2 biola, 1 biola alto, dan 1 violoncello. Biola adalah alat musik yang memiliki 4 senar terdiri dari senar yang paling rendah adalah G atau sol, kemudian D atau re, A atau la, serta E atau mi senar yang register nadanya paling tertinggi di instrumen biola. Biola sering sekali disebut dengan violin, biola juga memiliki kesamaaan dengan instrumen biola alto (viola), cello (violoncello), dan contrabass (contrabasso). Jarak stem dari seluruh intrumen ini terdiri dari interval (kwint) atau jarak 3 1/2 laras dan teknik memainkannya melalui gesekan, perbedaannya adalah pada ukuran (size) dan register nada dari setiap instrumen. Biola salah satu alat musik yang sangat berperan penting untuk sebuah orkestra, yang memainkan karya-karya musik maupun komposisi musik klasik. Banyaknya pemain biola yang dibutuhkan untuk sebuah orkestra dapat mencapai 16 sampai 28 musisi yang dapat memainkan instrumen biola untuk membentuk sebuah harmonisasi yang baik. Pemain biola di dalam sebuah orkestra dibagi menjadi dua sampai tiga bagian yang disebut dengan pemain biola 1, 2, dan 3. Pemain biola 1 memainkan melodi, sedangkan pemain biola 2 memainkan harmoni dengan nada 1 oktaf di bawah biola 1, biola 3 juga memainkan harmoni 1 oktaf di bawah biola 2, agar mendapatkan suara yang baik dan harmoni yang seimbang. 108 Sopian Loren, Dago Inang Sarge untuk Biola Selain dalam orkestra, pemain biola juga sering tampil dalam sebuah kelompok-kelompok kecil seperti string kuartet yang dimainkan sebanyak 4 orang pemain instrumental yang terdiri dari biola 1, biola 2, alto, dan cello, dan dapat juga menghilangkan biola 2 dan menambahkan contrabass. Begitu juga dengan duet yang dimainkan 2 orang pemain instrumen seperti biola dengan biola atau biola dengan instrumen yang lain seperti flute, cello, biola alto, atau contrabass. Biola juga sering sekali digunakan dalam format musik yang lain seperti jazz, pop, blues, sampai pada musik tradisi atau lagu-lagu rakyat seperti Melayu, keroncong dan jenis musik tradisi lainnya. Terlebih lagi biola juga sering dilakukan dalam bentuk solo dengan iringan orkestra, piano, maupun kelompok-kelompok kecil lainnya seperti ansambel dan string kuartet. Hal ini sering terdapat pada karya-karya musik klasik untuk sebuah aplikasi dalam pembelajaran instrumen biola. Musik klasik adalah salah satu jenis musik diatonis di antara sekian banyak jenis atau bentuk musik yang sering sekali dimainkan oleh instrumen biola dalam bentuk Partita, Sonata, Concerto, Pieces, musik kamar, dan sebagainya. Di dalam karya-karya inilah terdapat karakterkarakter musik seperti riang, lirih, dan juga dramatik, yang sering dimunculkan dengan indah melalui suara biola yang sesuai dengan bentuk karya-karya tersebut ketika memainkan instrumen biola. Selain interpretasi pemain biola juga harus memiliki teknik yang baik serta pemilihan repertoar yang tepat dan sesuai dengan tingkat kemampuan pemain biola, agar dapat memainkan karya tersebut dengan indah dan sempurna. Namun, permasalahan yang sering terjadi ketika memainkan bentuk karya tersebut adalah teknik tangan kiri pada penjarian seperti posisi jari dan perpindahan posisi dan tangan kanan pada gesekan seperti teknik legato, staccato, detache, spiccato, serta artikulasi lainnya. Permasalahan teknik tangan kiri seperti posisi jari dan perpindahan posisi dan tangan kanan pada gesekan seperti teknik legato, staccato, detache, spiccato, serta artikulasi sering sekali terdapat pada sebuah pembelajaran praktik instrumen biola. Ini dilakukan baik pada sebuah universitas atau institut seni jurusan musik, sekolah musik, maupun 109 Seni: Fungsi, Perubahan, dan Makna instansi musik. Ketika pelajar biola memilih sebuah reportoar atau karya musik klasik yang akan dimainkan seorang pelajar untuk kepentingan ujian atau sebuah pertunjukan selalu merubah teknik penjarian dan gesekan yang ada pada karya instrumental tersebut agar dapat mempermudah pelajar dalam memainkan karya atau reportoar musik tersebut. Perubahan yang dilakukan pelajar biola pada teknik tangan kanan seperti gesekan legato, staccato, detache, spiccato, dan tangan kiri seperti penjarian, posisi jari, perpindahan posisi serta artikulasi lainnya sering sekali lebih menyulitkan pelajar biola dalam memainkannya bukan mempermudah ketika memainkan karya tersebut. Hal ini terjadi karena seorang pelajar biola tidak mengerti akan persoalan setelah merubah teknik-teknik yang ada pada karya tersebut. Kemudian Permasalahan ketika seorang pelajar biola mengikuti tulisan atau simbol yang ada pada sebuah reportoar atau buku panduan pelajar juga mendapatkan kesulitan dalam memainkannya dikarenakan pemain yang telah merubah teknik dan artikulasi pada karya tersebut adalah pemain musik atau musisi yang sangat hebat, bukan mengacu pada proses pembelajaran, maka penulisan teknik dan gesekan seperti legato, staccato, detache, spiccato, dan masalah penjarian, yang ada pada karya atau buku panduan akan selalu menurut kemampuan dan kehebatan musisi yang telah merubahnya. Akibatnya perubahan-perubahan teknik tersebut sering sekali kurang sesuai untuk pemain biola pada tahap pembelajaran, bahkan cendrung lebih sulit secara teknik baik dari penjarian, gesekan dan artikulasi lainnya. Siswa sekolah musik dan peserta didik biola yang ada pada sebuah sekolah dan instansi atau lembaga musik maupun universitas dan sebuah institut, dimana pelajar biola sering sekali lebih memfokuskan kepada sebuah pembelajaran praktik instrumen yang proses pembelajaran bahan lagu dan teknik yang akan diujiankan sudah dilatih oleh pelajar biola dan dibimbing oleh instruktur violin 6 (enam) bulan sebelum bahan tersebut diujiankan. Permasalahannya adalah siswa atau pelajar biola yang memainkan lagu, teknik dan tangga nada yang selalu berpanduan pada buku panduan akan selalu mempelajari, mencari serta mempermudah 110 Sopian Loren, Dago Inang Sarge untuk Biola semua yang akan dimainkan pada lagu maupun teknik yang akan diujiankan oleh pelajar atau pemain biola tersebut. Terlebih lagi permasalahan pada peserta didik ketika mempelajari biola pada tahap awal pembelajaran, adalah banyaknya guru yang mengajarkan peserta didik tidak melalui buku panduan, namun lagu yang diajarkan seorang guru terdapat pada sebuah buku panduan, proses tersebut dilakukan guru praktik dikarenakan sulitnya peserta didik untuk membaca not balok yang kemudian diaplikasikan pada biola. Akibatnya peserta didik akan dapat memainkan beberapa lagu saja yang mana proses memainkan lagu tersebut melalui hafalan dan tidak membaca buku panduan yang ada melalui not balok. Buku panduan yang memfokuskan pada sebuah lagu, banyak memiliki kesamaan yang terdapat pada beberapa buku panduan yang membuat pelajar maupun pemain biola akan memilih edisi mana yang akan dipakai pada buku panduan tersebut. Perbedaannya adalah pada teknik tangan kanan seperti gesekan legato, speccato, staccato dan tangan kiri seperti penjarian, posisi. Permasalahan lain adalah bahwa setiap edisi yang ada pada buku panduan memiliki teknik yang berbeda-beda pada titik kesulitan dan kemudahannya. Hal ini membuat pelajar dan pemain biola sering sekali merubah teknik yang ada pada sebuah lagu menurut kepentingan pelajar maupun pemain biola. Kemudian banyaknya metode pembelajaran biola yang diambil melalui lagu-lagu rakyat yang ada pada buku panduan seperti German Folk Song, French Folk Song, dan lagu-lagu rakyat Eropa lainnya untuk kebutuan kurikulum dalam pembelajaran instrumen biola. Hal ini sering sekali terdapat untuk sebuah pembelajaran awal ketika mempelajari praktik instrumen biola yang selalu memainkan sebuah lagu dalam pembelajarannya melalui penjarian dan gesekan. Melalui permasalahan ini, maka guru harus mengerti serta mengetahui hal dasar apa yang harus dimengerti oleh pemula ketika mengajarkan dan memainkan sebuah lagu pada instrumen biola untuk seorang pelajar. Maka dalam hal ini, penulis tertarik untuk mengangkat proses pembelajaran instrumen musik, khususnya biola. Melalui sebuah 111 Seni: Fungsi, Perubahan, dan Makna penciptaan bahan ajar melalui lagu daerah dago inang sarge yang bahan dasarnya diambil melalui lagu-lagu daerah yang ada di Negara Indonesia. Kemudian lagu daerah tersebut diaransemen ulang untuk kebutuhan teknik biola pada tangan kanan seperti gesekan dan tangan kiri seperti penjarian. Hal ini dilakukan penulis dikarenakan lagu daerah adalah bagian dari kesenian sebuah budaya yang hampir dilupakan oleh masyarakat Indonesia dan banyak di klaim oleh Negara-negara lain. Proses belajar-mengajar yang dilakukan penulis pada sebuah metode pembelajaran musik praktik instrumen biola dengan mengaplikasikan teori musik barat terhadap sebuah kurikulum musik. Banyaknya metode dalam pembelajaran instrumen biola yang terdapat pada sebuah kurikulum atau buku panduan untuk praktik instrumen biola diambil dari lagu-lagu rakyat Eropa seperti German Folk Song, French Folk Song, dan lagu-lagu rakyat Eropa lainnya untuk kebutuan kurikulum dalam pembelajaran instrumen musik. Hal ini menjadi sebuah contoh untuk penulis memperkenalkan musik daerah di Negara Indonesia melalui teknik dan bunyi suara instrumen biola. 2. Pembuatan Biola Instrumen sekitar 300 tahun, terutama yang dibuat oleh Stradivari dan Guarneri del Gesù, adalah yang paling dicari setelah instrumen (untuk kedua kolektor dan penyanyi). Selain keterampilan dan reputasi pembuatnya, usia alat juga dapat mempengaruhi baik harga dan kualitas. Pembuat biola paling terkenal, yang disebut luthiers, antara abad ke-16 dan awal abad ke-18, adalah sebagai berikut. 1. Micheli keluarga pembuat biola Italia, Zanetto Micheli 1490 - 1560, Pellegrino Micheli 1520 - 1607, Giovanni Micheli 1562 - 1616, Francesco Micheli 1579 - 1615, dan saudara dalam hukum Battista Doneda 1529 – 1610. 2. Bertolotti da Salo (Gasparo da Salo) keluarga biola Italia, pemain double bass dan pembuat: Francesco 1513-1563 dan Agostino 1510 1584 Bertolotti, Gasparo Bertolotti 1540-1609 disebut Gasparo da Salo. 3. Giovanni Paolo Maggini 1580 - 1630 murid dari Gasparo da Salo. 112 Sopian Loren, Dago Inang Sarge untuk Biola 4. Amati keluarga pembuat biola Italia, Andrea Amati (1500-1577), Antonio Amati (1540-1607), Hieronymous Amati I (1561-1630), Nicolo Amati (1596-1684), Hieronymous Amati II (1649-1740). 5. Guarneri keluarga pembuat biola Italia, Andrea Guarneri (1626-1698), Pietro dari Mantua (1655-1720), Giuseppe Guarneri ( Joseph Filius Andreae ) (1666-1739), Pietro Guarneri (Venice) (1695-1762), dan Giuseppe (del Gesu) (1698-1744). 6. Antonio Stradivari (1644-1737) dari Cremona. 7. Jacob Stainer (1617-1683) dari Absam di Tyrol. 3. Makna Lagu Dago Inang Sarge dalam Budaya Batak Lagu daerah Dago Inang Sarge memiliki sebuah nasehat untuk suku Batak, dimana orang tua harus selalu menganjurkan anak laki-lakinya untuk menikah dengan putri pamannya. kedua orang tua dari putra dan putri akan selalu menjodohkan anaknya. Terlebih kepada orang tua putra yang selalu lebih agresif menjadikan putri iparnya menjadikan menantunya. Namun hal ini bukanlah menjadi sebuah paksaan seperti cerita Siti Nurbaya. Nasehat ini sebagai sebuah anjuran agar mempererat tali persaudaraan dan tidak harus di ikuti. Namun hal ini menjadi sebuah kerinduan antar orang tua putra dan putri. Selengkapnya teks atau syair lagu Dago Inang Sarge adalah sebagai berikut. Syair Lagu Dago Inang Sarge Dago inang sarge dago inang sarge Dago inang sarge da songoni do ho hape Bidang bulung ni rimbang Umbidangan bulung ni dulang Pondok kon ni dainang Daingkon marboru ni tulang Dago inang sarge dago inang sarge Dago inang sarge da songoni do ho hape Mandurung ho di pahu Dua dua insor tu batu Pondok kon ni bagian Dua dua ilu madabu 113 Seni: Fungsi, Perubahan, dan Makna Dago inang sarge dago inang sarge Dago inang sarge dasongoni do ho hape Ketika seorang pria tidak bisa menikah dengan putri pamannya dan menikah dengan orang lain. Maka pria tersebut harus berpamitan dengan pamannya dan membuat sebuah hidangan makanan sebelum meminta izin kepada pamannya karena wanita yang ingin ia nikahi keponakannya bukan putri pamannya. Pamannya harus bebesar hati menerimanya dan menganggap wanita yang dinikahi keponakannya harus menjadi putrinya secara adat-istiadat. Maka dalam hal ini penulis tertarik untuk membuat sebuah bentuk edukasi musik dalam sebuah pembelajaran biola melalui lagu daerah yang ada di indonesia. Khususnya lagu daerah Sumatra Utara kota Tapanuli yaitu lagu dago inang sarge. Melalui lagu tersebut penulis membuat sebuah metode pembelajaran istrumen biola melalui lagu dago inang sarge dan membuat sebuah pertunjukan musik dengan solois pelajar biola. Dengan menggunakan teori Barat dan gaya musik klasik yang berteorikan musik Barat. 4. Lagu Dago Inang Sarge untuk Pembelajaran Biola Dalam lagu Dago Inang Sarge terdapat sebuah motif yang menjadi pengulangan frase Tanya jawab dengan pengulangan yang ada dalam lagu tersebut. Hal ini menjadi analisis yang sangat menarik untuk para pelajar dalam menganalisisnya, selain keharmonisan nadanya, akordnya juga tidak terlalu sulit untuk dipahami dan dipraktikkan. Sehingga sangat membantu dalam memainkan lagu Dago Inang Sarge Dalam pembelajaran biola nada ini mengajarkan seorang pelajar biola seperti: posisi penjarian, teknik shifting, dan tri suara. 114 Sopian Loren, Dago Inang Sarge untuk Biola Dalam pembelajaran biola nada ini mengajarkan seorang pelajar biola seperti: bentuk jari dan produksi nada dalam penjarian. 4.1 Teknik Tangan Kiri a. Perpindahan posisi dengan glissando. Perpindahan posisi adalah suatu gerakan dari seluruh lengan dan tangan termasuk semua jari dan ibu jari. Fleksibelitas ibu jari yang penting untuk semua segi teknik tangan kiri adalah lebih penting dari perpindahan posisi. Dalam menunjukan atau menampilkan perpindahan posisi dari posisi bawah keposisi tinggi, ibu jari bergerak bersaman dengan tangan dan ibu jari di lakukan seperti yang disinggung sebelumnya, garis tangan dalam perpindahan pada fingerboard harus tetap sama paling kurang sampai pada kira-kira posisi 6 atau 7. Tetapi susunan tangan secara bertahap akan menjadi lebih kecil sebagaimana perpendekan ukuran string. Ukuran jarak dari dari posisi 8 sama dengan setengah dari posisi 1, untuk melakukan perpindahan posisi dari posisi yang rendah ke posisi lebih tinggi ibu jari akan segera bertahap bergeser di bawah neck violin, sebagaimana tangan kiri meluncur dari sepanjang posisi 3 dan 4 keposisi yang lebih tinggi. Hal ini menyebabkan siku agak berputar ke kanan, semua gerakan ini dapat dilaksanakan dalam suatu gerakan yang halus dan lembut. Pada posisi yang yang sangat tinggi di atas posisi 7 jari-jari dapat dengan mudah mencapai beberapa posisi tanpa memindahkan posisi tangan untuk posisi yang sangat tinggi, apabila jari pemain pendek dia dapat membiarkan ibu jari keluar dari bawah leher biola dan menemukan suatu tempat yang nyaman pada rib violin dan kepala pemain harus lebih erat memegang instrumen biola. 115 Seni: Fungsi, Perubahan, dan Makna Gerakan perpindahan posisi ketiga ke posisi satu ibu jari dengan lembut mendahului tangan. Dalam suatu gerakan dari posisi 5 ke posisi 1 prinsip yang sama di terapkan. Tetapi bila perpindahan posisi dari yang lebih tinggi keposisi 3 adalah lebih baik menggunakan teknik perpindahan posisi setengah dengan cara membiarkan ibu jari tetap berada di tempat sedangkan jari dan tangan bergerak turun dan setelah perpindahan tangan biarkan ibu jari menempatkan posisi yang baru. Ibu jari dengan demikian bertindak sebagai pusat dan melengkung selama perpindahan dan tidak berpindah posisi sampai setelah perpindahan selesai. Kecepatan dalam penyesuaian posisi Ibu jari tergantung karakter lintasan terutama pada kecepatan nilai nada dalam perpindahan yang paling cepat, gerakannya hampir bersamaan. Dalam skala turun dari not yang tertinggi pada senar E ke posisi pertama, seorang pemain dengan ibu jari akan menyentuh pusat pertemuan antara leher dan badan biola (neck and body violin). Ketika skalanya turun ibu jari akan melakukan sedikit tekanan bertindak sebagai pusat dan menarik tangan kembali keposisi kelima, dengan bertindak demikian ibu jari yang pada mulanya rentan secara bertahap akan melengkung. Untuk perpindahan selanjutnya sekitar posisi 3 atau 4 ibu jari tetap pada posisinya melengkung agak sedikit jauh dengan membiarkan tangan mendahului sebagai mana perpindahan posisi setengah. Ketika tangan selesai berpindah ibu jari kembali di rentangkan. Ibu jari harus di buat demikian untuk selalu siap membuat perpindahan posisi dengan mendahului tangan dalam bergerak turun ke posisi 1. Tangan yang ibu jarinya pendek tidak akan mudah melakukan perpindahan yang panjang dengan cara demikian. Ibu jari yang pendek akan lebih cepat mencapai batas yang nyaman dari lengkungan karena itu harus menyesuaikan posisi lebih sering. Suatu perpindahan turun dengan suatu pergeseran dari posisi yang tertinggi ke posisi 1 atau 2 harus dilakukan dalam sutu gerakan lengan yang meluncur mendahului tangan dan menarik tangan. Tekanan jari untuk berpindah harus lembut terutama pada bagian pertama. 116 Sopian Loren, Dago Inang Sarge untuk Biola Ada empat jenis utama dalam perpindahan posisi penjarian pada instrumen biola yaitu: 1. Jari satu dan tiga dalam memainkan nada sebelum perpindahan posisi yang terdapat pada contoh a.1. (contoh a.1) 2. Perpindahan posisi naik dan posisi turun dengan glisando yang terdapat pada contoh a.2. (contoh a.2) 3. Perpindahan posisi dengan glissando yang terdapat di jari 3 pada contoh a.3. (contoh a.3) 4. Perpindahan posisi yang diperlambat ( retarded Shift.). pada contoh a.4. (contoh a.4) 117 Seni: Fungsi, Perubahan, dan Makna b. Perpindahan posisi tanpa glissando. Penjarian adalah masalah individual yang cukup penting bagi tangan kiri dalam memainkan biola, kekuatan jari sangat menentukan apakah satu permainan tersebut mudah atau sulit. Permainan jari yang mungkin mudah untuk sesorang, belum tentu mudah untuk orang lain. Karena alasan ini, maka para ahli permainan biola yang merevisi dan mengedit karya-karya biola harus mempertimbangkan standarisasi ukuran tangan dari para pemain biola agar dapat memainkan karya-karya biola secara baik.1 contoh b.1 contoh b.2 contoh b.3 contoh b.4 4.2 String Kuartet String artinya tali atau senar. String yang dimaksud disini yaitu alat musik berdawai yang dimainkan dengan cara di gesek, contohnya viola (biola alto), violin (biola sopran), cello dan contrabass. Sedangkan Quartet 1 Leoporld Auer, 1960. Violin Playing As I Teach It, New York: Dover Publications, Inc. h. 40-41. 118 Sopian Loren, Dago Inang Sarge untuk Biola artinya empat (4). Dengan demikian string Kuartet artinya adalah sebuah komposisi musik yang dimainkan oleh grup ansambel terdiri dari empat pemain string section (alat musik gesek) biasanya terdiri dari 2 violin, 1 viola dan 1 cello. String kuartet adalah bagian penting dari bentuk chamber ensembel pada musik klasik hampir-hampir menjadi komposisi wajib bagi setiap komposer-komposer besar pada abad ke-18. Beethoven, Mozart dan komposer besar lainnya pasti menciptakan komposisi musik khusus dalam bentuk string kuartet. 5. Kesimpulan Dalam pembelajaran ini guru dituntut untuk mengerti dan dapat menyampaikan teknik-teknik yang terdapat pada biola. Melalui lagu ini pelajar biola di tuntut untuk dapat memainkan lagu secara primavista ketika berhadapan dengan lagu lainnya dan dapat dipertunjukan. Dalam sebuah pembelajaran melalui lagu daerah tapanuli dago inang sarge penulis membuat sebuah aransemen yang berharmonikan teori barat dan lagu tersebut berbentuk karya klasik dengan seorang solois violin dan di iringi piano dan string kuartet. Agar anak dapat bermain dengan sungguh-sungguh karena melibatkan banyak pemain. 119 Seni: Fungsi, Perubahan, dan Makna Notasi 6.1: 120 Sopian Loren, Dago Inang Sarge untuk Biola 121 Seni: Fungsi, Perubahan, dan Makna Daftar Pustaka Adler, Samuel, 1989. The Study of Orchestration. New York: W.W. Norton and Company. Auer, Leoport,1960. Violin Playing As I Teach It. New York: Dover Publications. Arthur, Hucthing, 2002. “Concerto,” dalam The New Grove Dictionary of Musik and Musicians (ed. Stanley Sadie), Vol. 4, London: Mcmillan. Carlson, Betty, Jane Stuart Smith, 2003. Karunia Musik. Surabaya: Penerbit Momentum. Dale, B.J., Jacob & Anson, H.V., 1940, Harmony, counterpoint & Improvisation, Book 1, Borough Green Sevenoaks, Kent, 1940. Ivan, Galamian, 1964. Principles of violin Playing and Teaching. London. Jens, Peter Larsen, 2002. The New Grove Dictionary of Music & Musicians, Vol. 8. London: H-Hyporchema. Lamb, Norman, 1990. Guide to Teaching Strings. United States of America: C. Brown Publishers, 1990. Mack, Dieter, 1995. Ilmu melodi, Diatinjau dari Segi Budaya Musik Barat. Yokyakarta: Pusat Musik Liturgi. Mack, Dieter, 1995. Sejarah Musik Jilid 3. Yokyakarta: Pusat Musik Liturgi. Mack, Dieter, 1995. Sejarah Musik Jilid 4. Yokyakarta, Pusat Musik Liturgi. Messiaen,Oliver, 1966. The Technique of My Musical Language. Paris: Rue Saint-Honore. Miller, M. Hugh, 1975. History of Music. New York. Nicolas, Slonimsky, Baker’s Biographical Dictionary of Musicians, G. Schirmer, London 1971. Ottoman, Robert W., 1962. Elementary Harmony, Theory and Practice-hall. Englewood Cliffs: Prentice Hall. Ottoman, Robert W., 1971. Advanced Harmony, Theory and Practice-hall. Englewood Cliffs: Prentice Hall. Persichetti, Vincent, 1978. Twentieth Century Harmony, Creative Aspect and Practice, London: Faber and Faber Limited. Rhoderick, McNeill J., 1998. Sejarah Musik II, Jakarta: BPK Gunung Mulia. Roeder, Thomas Michael, 1994. A History of the Concerto. London: Amadeus Press. Roger, Kamian, (Terj: Triyono Bramantyo), 1998. Pengantar Apresiasi Musik. Terjemahan dari buku Introduction to Music a Guide to Good. Yogyakarta: Institut Seni Indonesia. Scholes, A. Percy, 1972. The Oxford Companion to Music. London: Oxford University Press. Stein, Leon, 1979. Structure and Style. New Jersey: University of Music. Wiryawan, Budhiana I Gusti Ngurah, 2001. Eksplorasi Idiom Musik Bali dalam Konserto Biola. Yogyakarta: Tesis S2. 122 tujuh TARI INDIA BARATHA NATYAM DAN MUSIK IRINGANNYA DALAM KONTEKS BUDAYA Hilma Mithalia Shaliha Mahasiswi Magister (S2) Penciptaan dan Pengkajian Seni, Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Sumatera Utara 1. Pendahuluan Pada masa sekarang ini, India merupakan sebuah negara bangsa yang terletak di Asia Selatan, khususnya di Semenanjung India, yang berbatasan langsung dengan Samudera Hindia. Sebelumnya pada saat merdeka, wilayah India mencakup Pakistan dan Bangladesh sekarang ini. India dan nasionalismenya dibentuk baik oleh kalangan Hindu maupun Islam. Selepas merdeka, maka untuk kepentingan politik Pakistan memisahkan diri dari India. Kemudian Bangladesh memisahkan diri pula dari Pakistan. Bagi kita bangsa Indonesia, orang India dan kebudayaannya, sudah memiliki hubungan sejak berabad-abad yang lampau. Bahkan Kerajaan Majapahit yang berpusat di Jawa Timur pun adalah kerajaan nasional yang bercorak Hindu. Begitu juga dengan peninggalan-peninggalannya di berbagai kawasan Nusantara. Misalnya candi Hindu Portibi di Tapanuli Bahagian Selatan. Selain itu, dalam konteks Sumatera Utara misalnya, ada sekitar 20.000 warga negara keturunan India. Di antara mereka ada yang beragama Hindu, Islam, Budha, dan lainnya. Secara etnisitas warga negara keturunan India di Sumatera Utara ini maayoritasnya adalah etnik Tamil, ditambah juga etnik Hindustan, dan lainnya. Di Sumatera Utara, mereka ini tetap melanjutkan kebudayaan dan tradisi yang dibawa dari India, seperti bahasa, agama, organisasi sosial, dan juga kesenian, seperti musik Karnatak dan tarian-tariannya. Kebudayaan India sangat kaya dengan berbagai jenis tarian. Tarian India biasanya dikelompokkan kepada gaya klasik dan tradisional. Dari sejumlah tarian Seni: Fungsi, Perubahan, dan Makna India, tujuh gaya tari klasiknya paling dikenal secara luas dan cukup populer, baik di lingkungan keturunan India maupun pencinta tari India. Ketujuh tarian tersebut adalah: Bharata Natyam, Odissi, Mohiniattam, Khatak, Kathakali, Kuchupuddi, dan Manipuri. Ketujuh tari teraebut adalah ekspresi kultural agama Hindu, dan juga berdasar kepada tulisan purba berbahasa Sanskerta yang bertajuk Natyasastra. Dalam artikel ini, penulis akan mendeskripsikan tari Bharata Natyam dan musik iringannya di kalangan masdyarakat Tamil, di mana pun mereka berada di seluruh dunia. Termasuk di kawasan kita ini Sumatera Utara. Tarian ini mengandung makna-makna budaya dan agama Hindu, terdapat filsafat hidup di dalamnya. Namun sebelum mendeskripsikan tari Bharata Natyam ini, elok terlebih dahulu kita kaji etnik Tamil, sebagai etnik pendukung eksistensi tari tersebut. 2. Etnik Tamil Berdasarkan kajian-kajian historis, orang Tamil merupakan rumpun bangsa Dravida. Disebutkan bahwa bangsa Dravida mendiami negeri India kira-kira 100 tahun Seb. M.1 Kulit mereka berwarna gelap (hitam). Kemudian kurang lebih 3.500 tahun yang lampau negeri itu kedatangan bangsa dari Persia yang disebut bangsa Aria.2 Kedatangan mereka diperkirakan melalui Barat Laut India, yaitu melalui Selat Khaibar. Bangsa Aria ini berkulit putih dan berbahasa Sanskerta. Kemudian bangsa Aria menyerang bangsa Dravida dan berhasil menaklukkan bangsa Dravida sehingga akhirnya bangsa Dravida terdesak ke sebelah selatan India. Dari adanya ras berkulit putih yaitu Aria dan berkulit hitam Dravida, maka penduduk India sampai sekarang ini adalah hasil percampuran keduanya. Warna kulit ini selanjutnya dijadikan dasar penggolongan masyarakat yang disebut kasta. Semakin terang warna kulitnya maka semakin tinggi kastanya, demikian pula sebaliknya. Mengapa rumpun bangsa Dravida dan satu lagi Wedda (di Pulau Sailan) berkulit hitam, 1 Ramakrishnan, Majalah Kuriea UNESCO, No. 5., 1984, h. 5. N. Daldjoeni, 1991. Ras-ras Umat Manusia: Biografis, Kulturhistoris, Sosiopolitis. Bandung: Citra Aditya Bakti. h. 131. 2 124 Hilma, Bharata Natyam masih menjadi misteri bagi para ilmuwan antropologi fisik (ragawi) dan terus dipelajari asal-usulnya.3 Pada masa sekarang terdapat empat nagara bahagian di India Selatan yang penduduknya mayoritas termasuk ke dalam rumpun bangsa Dravida. Keempat negara bagian itu masing-masing memiliki kebudayaan yang khas, termasuk bahasa dan aksara. Namun agama mereka umumnya Hindu. Keempat negara bagian itu adalah: (1) Tamil Nadu, bahasa yang digunakan adalah bahasa Tamil; (2) Andhra Pradesh, bahasa yang dipakai adalah bahasa Telugu; (3) Karnataka, bahasa yang dipakai adlaah bahasa Kannada atau Kanaresse; dan (4) Kerala, bahasa yang dipakai adalah bahasa Malayalam. 3. Kedatangan Orang Tamil ke Sumatera Utara Ada beberapa tulisan mengenai gelombang sejarah kedatangan orang Tamil ke Deli Serdang. Tulisan mengenai kedatangan tersebut dimulai oleh datangnya bangsa India ke Deli Serdang sebenarnya sudah terjadi. Menurut sejarah, ekspansi Raja Iskandar Zulkarnain dari Masedonia ke India pada tahun 334-326 Seb.M., mengakibatkan bangsa India cerai-berai dan banyak yang melarikan diri karena ketakutan. Penduduk di daerah sungai Indus lari ke bagian selatan India, dan banyak yang terus lari ke Nikobar, Andaman, dan pulau Sumatera.4 Pada dadasrnya keterangan tersebut tidak menjelaskan mengenai bangsa India beretnik Tamil. Namun yang pasti kedatangan mereka ke ke pulau Sumatera banyak mempengaruhi budaya setempat seperti adat-istiadat, religi, bahasa, dan kesenian. Dari keterangan tersebut di atas dapat diduga bahwa kedatangan bangsa India dan masuknya agama yang mereka anut yaitu Hindu di Sumatera Timur sudah terjadi pada abad keempat Seb. M.5 Sejarah mengenai kedatangan orang Tamil ke Deli Serdang dapat dipastikan pada abad pertama M. Keterangan tersebut didapati dari buku 3 Ibid. h. 131. Brahma Putro, 1981. Karo dari Jaman ke Jaman. Medan: Yayasan Massa. h.43. 5 Tengku Luckman Sinar, 1988. Sejarah Deli Serdang. Deli Serdang: BPPD Tingkat II. h. 5. 4 125 Seni: Fungsi, Perubahan, dan Makna tua yang berjudul Manimegelei karangan pujangga Sitenar yang aslinya terbit pada abad pertama Masehi dan sangat populer di India.6 Dalam buku tersebut disebutkan bahwa orang-orang India beretnik Tamil bersama rombongannya di sebuah kampung yang bernama Haru (sekarang menjadi Karo). Gelombang berikutnya mengenai kedatangan orang Tamil yaitu pada abad ke-14 adalah ketika seorang resi7 bernama Megit dari kaum Brahmana tersebut datang dari India dengan mengharungi laut menggunakan perahu layar dan mendarat di pantai Sumatera Timur atau Pantai Barat Sumatera Utara dan masuk ke pedalaman di Talun Kaban (sekarang Kabanjahe Kabupaten Karo). Resi Megit Brahmana mengembangkan agama Hindu ajaran Maharesi Brgu Sekte Siwa. Kemudian Resi Brahmana mengawini seorang gadis dari penduduk setempat Bru Purba. Dari perkawinan tersebut mereka mendapat tiga orang anak. Yang laki-laki bernama Si Mecu dan Si Mbaru, yang perempuan bernama Si Mbulan. Ketiga anak mereka inilah keturunan merga Sembiring Brahmana di Tanah Karo.8 Dari beberapa kutipan sejarah, mengenai gelombang kedatangan orang Tamil di Sumatera Utara, hanya gelombang terakhirlah yang menyebutkan bagaimana proses kedatangan masyarakat Tamil ke Kota Medan. Gelombang terakhir kedatangan orang Tamil ke Deli Serdang yaitu pada tahun 1872 sebagai kuli kontrak perkebunan bersamaan dengan orang-orang Jawa yang dipekerjakan waktu itu sekitar ratusan orang jumlahnya dengan penghasilan rata-rata 96 dolar per bulan.9 6 Brahma Putro, op. cit.h. 38 Resi adalah orang yang memiliki keahlian dan pengetahuan dalam agama Hindu dan bertugas menyebarkan agamanya ke seluruh dunia ini. Dalam konteks penyebaran agama Hindu di Nusantara, yang dimulai sejak awal abad pertama Masehi, resi ini mula-mula datang dari India, kemudian mengangkat resi-resi di kalangan pribumi Nusantara dan saling bekerjasama. 8Brahma Putro, op.cit., h. 44. 9 Ibid. 7 126 Hilma, Bharata Natyam Mereka ini didatangkan dari India Selatan, Malaysia, dan Singapura untuk menutupi kekurangan tenaga kerja pada perkebunan-perkebunan milik Belanda. Sebahagian orang Tamil yang bekerja di perkebunan banyak melarikan diri ke Medan untuk mencari perlindungan di kala Jepang berkuasa. Kemudian tahun 1946 sebahagian orang-orang Tamil kembali ke negara asalnya. Bagi orang-orang Tamil yang sudah menetap di Sumatera Utara, khususnya Medan, mereka tetap menjalankan kegiatan-kegiatan yang berhubungan dengan budayanya. Untuk melaksanakan kegiatan keagamannya, orang-orang Tamil kemudian mendirikan Perhimpunan Shri Mariamman Kuil sebagai kuil yang pertama di Kota Medan. Pada masa sekarang ini jumlah kuil yang tersebar di Kota Medan ada sekitar 30-an. Hubungan antara orang-orang Tamil dengan berbagai etnik di Sumatera Utrara telah berlangsung sejak abad ketiga Masehi. Menurut Luckman Sinar kedatangan berbagai etnik dari India ke pantai timur dan barat Sumatera Utara sudah berlangsung sebelum abad pertama Masehi. Mereka ini membawa agama Hindu dan kemudian agama Budha. Kedatangan orang-orang India ke kawasan ini terutama terjadi ketika terjadinya arus angin dari India ke Barus pada bulan November dan Desember. Pakar sejarah lainnya, Coomalaswamy menulis bahwa Sumatera adalah kawasan yang paling awal menerima pendatang Hindu dan Budha beberapa masa sebelum Masehi. Selepas itu, sejak abad ketiga M., transportasi perdagangan di Kepulauan Nusantara berada di dalam kekuasaan orang-orang Cola dari India ini. Namun kemudian pusat politis mereka di Tamil dikuasai oleh orang Pallava, dan kemudian direbut kembali oleh orang Cola pada bada kesembilan. Awalnya orang Pallava beragama Budha, namun kemudian masuk menjadi Hindu kembali. Pada tahun 717 M. pendeta Tamil yang bernama Wajabodhi membawa aliran Tantraisme Mahayana Budha ke kawasan Melayu, seperti yang dapat dikaji sejarahnya dari artefak candi di Padang Lawas dan patung Adityawarman di Pagaruyung Minangkabau. Mereka juga membawa aksara palawa. 127 Seni: Fungsi, Perubahan, dan Makna Selain itu ada juga orang India yang membawa agama Islam ke kawasan ini, terutama dari Malabar yang bermazhab Syafi’i.10 Lebih lanjut, Luckman Sinar menyatakan bahwa bersama para pedagang India, turut pula para seniman pengukir candi dan pendeta Hindu. Di antara aktivitasnya adalah perkawinan antara orang India pendatang dengan pribumi Sumatera Utara, terutama wanita Batak. Menurut Hikayat Sianjur Mula-mula, aksara Batak diciptakan dari kawasan ini, memiliki kesamaan dengan aksara yang lazim digunakan dalam bahasa Sanskerta. Aksara Batak ini diciptakan oleh Datu Tala Dibabana yang bermarga Borbor. Lebih jauh pengaruh India di kawasan ini adalah pada nama hari seperti: aditya atau ariria (Toba) juga aditia (Karo); soma, anggara, budalia, brhaspati (boraspati), sampai ke merga-merga Karo seperti Brahmana, Pandia, Meliala, Depari, Pelawi, Colia, Tekang, dan lain-lainnya.11 Dari sisi historis ini menunjukkan bahwa orang-orang India, khususnya etnik Tamil, telah melakukan kontak budaya dengan penduduk di Sumatera, khususnya yang menjadi Sumatera Utara sekarang ini. Mereka datang dengan tujuan berdagang, penyebaran agama, dan budaya. dalam ilmu antropologi proses seperti ini disebut dengan akulturasi.12 Pada masa penjajahan Belanda yang terpenting adalah datangnya imigran buruh Tamil ke Residensi Sumatera Timur abad ke-19. Ini digambarkan oleh Luckman Sinar sebagai berikut. Pada tanggal 7 Juli 1863, mendaratlah para pedagang (pengusaha) tembakau dari Jawa yaitu 10Tuanku Luckman Sinar Basharsyah II, 2008. Orang India di Sumatera Utara (The Indians in North Sumatra). Medan: Forkala Sumatera Utara. h. 1. 11 Ibid., h. 6. 12 Akulturasi adalah proses bercampurnya dua atau lebih kebudayaan dan membentuk suatu kebudayaan baru. Ciri utamanya kebudayaan baru hasil bentukan tersebut tetap mengandung kepribadian atau identitas masing-masing budaya yang bercampur. Dalam kesenian misalnya, kita memiliki genre keroncong yang merupakan akulturasi antara budaya musik Jawa, Sunda, dan Portugis. Unsur musik Jawa dan Sunda terdapat dalam permainan singkopasi dan Portugis pada instrumen dan harmoni. Demikian pula musik dangdut adalah akulturasi dari kebudayaan musical Melayu, Betawi, Sunda, Batak, India, Arab, Eropa, dan lainnya. 128 Hilma, Bharata Natyam antara lain Kuypers dan Nienhuys. Mereka mendapat hak konsesi tanah di Martubung dari Sultan Deli yaitu Mahmud Perkasa Alamsyah, untuk menanam tembakau Deli yang kualitasnya baik dan harum baunya sebagai bahan cerutu. Selepas itu Nienhuys mendapatkan konrak tanah di Tanjung Sepassai dari Sultan Deli untuk jangka waktu 99 tahun. Dalam konteks membangun perusahaan tembakau Deli ini, Nienhuys mendatangkan 88 pekerja beretnik Tionghoa dari Pulaupinang dan penduduk tempatan Melayu. Pada saat itu diperoleh keuntungan yang relatif besar, sehingga datanglah para investor asing ke Sumatera Timur. Oleh P.W. JanssenClemen-Nienhuys serta Cremer dibentuklah maskapai tembakau yang diberi nama N.V. Deli Maatschappij, yang menguasai hampir seluruh tanah perkebunan tembakau di Kesultanan Deli. Berbal-bal tembakau dibawa dengan perahu yang dikerjakan oleh kuli yang sebahagian besarnya etnik Tamil melalui Sungai Deli dan Sungai Babura dan kedua sungai tersebut bertemu di Kampung Medan Puteri. Kemudian melapor ke Kantor Besar Deli Mij, dan dari sini dibawa berlayar menyusuri hilir Sungai Deli di Labuhan Deli untuk diekspor dengan tongkang China ke Penang, dan kemudian ke Eropa. Untuk urusan transportasi ini oleh perusahaan dipekerjakanlah orang-orang Tamil. Statistik di Srilanka mencatat bahwa tahun 1887 sekitar FL. 350 juta sudah dibayarkan sebagai gaji kepada kuli dari India Selatan. Mereka senang bekerja di Sumatera Timur yang pantainya panas sesuai dengan cuaca di kawasan Tanjore, Madura, dan Tinnelly. Jika di Srilanka buruh Tamil harus menyesuaikan diri dengan udara pegunungan untuk menanam kopi, maka sebaliknya di Sumatera Timur mereka tidak perlu lagi menyesuaikan diri dengan lingkungan, mereka menanam coklat, padi, kelapa, dan tembakau.13 Dengan keadaan produksi dan distribusi tembakau Deli yang begitu pesat ditinjau dari sisi ekonomi, maka ini berdampak pula terhadap perkembangan etnografi di Sumatera Timur. Paling tidak etniketnik natif seperti Melayu, Simalungun, Karo, dan Batak Toba di kawasan ini, keberadaannya diperkaya dengan etnik-etnik pendatang Nusantara 13 Ibid. h. 10. 129 Seni: Fungsi, Perubahan, dan Makna seperti Jawa dan Sunda serta pendatang Dunia terutama Tamil dan Hokkian. Kemudian komposisi kependudukan yang sedemikian rupa akan berkembang menjadi masyarakat Sumatera yang multikultur. Nilai-nilai ini juga diserap dan dihayati oleh etnik Tamil di Kota Medan dan Sumatera Utara. Demikian sekilas sejarah orang Tamil di kawasan ini. Selanjutnya mari kita lihat agama Hindu yang umum dianut etnik Tamil dan juga menjadi dasar dalam tari Bharata Natyam. 4. Agama Hindu Orang Tamil umumnya beragama Hindu, namun ada pula yang beragama Islam, Budha, dan Kristen. Kata Hindu berasal dari sebutan orang Persia 14 yang datang ke India. Mereka menyebut sungai Sindhu yang mengalir dari daerah Barat India sampai sungai Hindu. Ketika agama Islam masuk ke India, kata Hindu muncul kembali dalam bentuk istilah Hindustan. Untuk orang-orang India yang memeluk agama asalnya mereka disebut orang Hindu. Jadi perkataan Hindu muncul dari perkataan orangorang asing untuk menamakan bangsa Dharma atau Thirta. Bagi agama Hindu, baik Hindu Tamil, Hindu Bali, Hindu Jawa, dan Hindu Karo, sumber dari agama mereka adalah Kitab Suci Weda. Weda berasal dari bahasa India yang berarti pengetahuan suci. Menurut agama Hindu, kitab suci Weda merupakan Wahyu Sang Hyang Wasa (Tuhan Yang Maha Esa) kepada para Maharesi lebih dari 4.000 tahun yang lalu.15 Kitab Suci Weda memiliki empat bahagian: (a) Rig Weda, (2) Sama Weda, (3) Yajur Weda, dan (4) Atharva Weda. 14 Pada masa sekarang ini, orang Persia (Parsi) terintegrasi dalam negara bangsa yang disebut Iran. Mereka mayoritas beragama Islam sekte Syiah (Syi’i). Bentuk pemerintahannya adalah republik dengan asas agama Islam. Sebelum datangnya agama Islam, orang Persia ini beragama Zoroaster, yang menyembah api. Agak berbeda dengan tetangga-tetangganya yang sebahagian besar merupakan orang Arab keturunan Nabi Ibrahim, orang Iran termasuk bangsa Aria, Indogermanik, dan rasnya kaukasoid. 15 Cudamani, 1990. Pengantar Agama Hindu untuk Perguruan Tinggi. Jakarta: Yayasan Dharma Sarathy. h. 1. 130 Hilma, Bharata Natyam Agama Hindu berintikan ajaran percaya kepada Tuhan Yang Maha Kuasa. Pemujaan kepada Tuhan diwujudkan dalam nama-nama dewa seperti: Brahma, Wisnu, Syiwa, Murugen, Ganesha, Mahadewa, Iswara, dan sebagainya menurut peranan dan fungsinya. Di dalam Kitab Suci Weda ada ratusan nama dewa yang disebutkan. Istilah dewa berasal dari akar kata dev yang berarti sinar. Jadi dewa merupakan sinar kekuatan Tuhan dan Dewa sendiri adalah Tuhan. Di dalam Tri Sandhya16 bait II dan III dijelaskan sebagai berikut: II. Om narayad ewedam sarewan, yad Bhutan yaccu bhawyam, niskalo nirjano nirwikalpa, viraksatah cuddho dewa eko, narayanah na dwitiyo asti kaccit. II. Om twah ciwah, twam mahadewa, Ichwara, Paramecwara, Brahma, Wisnucah, Rudracca, Purusah parikirtitah. [II. Om Sanghyang Widhi yang diberi gelar Narayana, semua makhluk yang ada berasal dariMu, Dikau bersifat gaib, tak berwujud, tak terbatas oleh waktu, mengatasi segala kebingungan, tak termusnahkan, Dikau Maha Cemerlang, Maha Suci, Maha Esa, tidak ada duanya, disebut Narayana dipuja semua makhluk. II. Om Hyang Widhi yang disebut pula dengan nama Ciwa, Mahadewa, Iswara, Parameswara, Brahma, Wisnu dan Rudra, Hyang Widhi adalah asal mula dari semua yang ada. Tuhan dimanifestasikan seperti matahari, sedangkan dewa dimanifestasikan sinarnya (Jothi). Tanpa adanya matahari maka sinarnya tidak mungkin ada. Dari ratusan jumlah dewa dalam kepercayaan Hindu, maka ada tiga dewa yang terpenting, yaitu: (i) Dewa Brahma, bertugas sebagai pencipta alam semesta; (ii) Dewa Wisnu bertugas sebagai pemelihara alam semesta; dan (iii) Dewa Ciwa (Syiwa) bertugas sebagai pelebur alam semesta. Dalam menjalankan tugasnya Dewa-dewa tersebut dibantu oleh masing-masing pasangannya yang diasosiasikan sebagai istrinya. 16Tri Sandhya adalah doa pemujaan kepada Tuhan oleh umat Hindu setiap harinya, selama tiga waktu, yaitu: pagi, siang, dank ala senja. Ini berarti bahwa setiap umat Hindu harus menajalankan kewajibannya memuja Tuhan dan mendekatkan diri kepada Tuhan dalam rangka menjalani kehidupan ini. Sumber data Tri Sandhya ini adalah dari Bapak Naga Linggam (Ketua Shri mariamman Kuil Medan), tahun 1996. 131 Seni: Fungsi, Perubahan, dan Makna Pasangannya disebut Dewi atau Sakhti. Pasangan untuk masing-masing Dewa Brahma, Wisnu, dan Syiwa adalah Shri Saraswathi, Shri Mahalecemi, dan Shri Parwathi. Kehidupan para dewa dan dewi ini dilukiskan seperti kehiduan manusia. Mereka juga memiliki keturunan. Ketiga dewa ini disimbolkan dengan tiga aksara. Dewa Brahma disimbolkan dengan huruf A, Wisnu U, dan Syiwa M. Jika digabung menjadi AUM, yang mengandung arti keesaan Tuhan yang disebut dalam nama ketiga dewa. Pada dinding atas kuil Hindu Tamil, selalu tertera simbol AUM dalam aksara Tamil. Di antara ketiga tiga dewa dan tiga sakthi tersebut terdapat dua dewa lagi yaitu Dewa Murughen dan Ganisha. Dewa Murugen merupakan simbol cahaya dan Ganisha simbol suara. Dengan suara AUM inilah maka alam semesta terjadi, dan cahaya memberi kehidupan terpelihara. Di antara upacara-upacara Hindu Tamil di Kota Medan adalah Ciwaratri yaitu malam penyembahan kepada Dewa Syiwa. Kemudian ada juga upacara Adhimasem yaitu arti harfiahnya bulan panas. Upacara ini dilakukan pada bulan Juli sampai Agustus setiap tahunnya. Salah satu kuil Hindu yang terkenal di Medan adalah Shri Mariamman Kuil. Bangunannya telerletak di Jalan Teuku Umar No. 8, Kelurahan Petisah Tengah, Medan. Kuil ini dibangun tahun 1884 oleh masyarakat Tamil Hindu di Medan. Berdasarkan maknanya, Shri Mariamman adalah nama lain untuk Dewi Parwethi (Sakthi Dewa Syiwa). Menurut keterangan narasumber, Naga Linggam, ini menunjukkan bahwa umat Hindu Tamil sangat mengagumi figur seorang ibu yang memiliki kasih sayang yang begitu agung. 5. Tari Bharata Natyam Terminologi Bharata Natyam berasal dari empt akar kata, yaitu: (a) bha berarti ekspresi; (b) ra adalah musik; (c) ta, irama; dan (d) natyam, tariaan. Maka dari sisi etimologis, Bharata Natyam adalah tari yang diekspresikan melalaui musik dan irama. Namun dalam makna kebudayaan, tarian ini bukan saja seperti arti etimologis tersebut, tetapi 132 Hilma, Bharata Natyam lebih luas, kompleks, mendalam, dan mengandung nilai-nilai filsafat hidup kebudayaan tempoat hidup dan berkembangnya tarian ini. Dalam kajian difusi kesejarahan, tari Bharata Natyam berasal dari kawasan Tamil Nadu di sebelah selatan India. Tari ini pada masa sekarang dikenal juga sebagai tari nasional India. (Seperti bangsa Indonesia memiliki tarian nasional yaitu Serampang Dua Belas, Shaman, Bedhaya, dan lainnya). Baratha natyam adalah tari abad ke-20 yang rekonstruksi dari tarian bergaya Cathir, yaitu tarian para penari di candi-candi. Di lain sisi gaya tari Cathir adalah turunan (derivat) dari bentuk-bentuk tarian India kuno. Tarian ini adalah gaya tarian klasik India yang paling banyak dipraktikkan di India Selatan. Bharata Natyam sebagai bentuk pertunjukan tari dan musik Karnatik biasanya digunakan dalam upacara yang disebut bhakti. Bharata Natyam merupakan pertujukan tari dan musik dalam bentuk visual, upacara, dan sesuatu tindakan ketaatan. Secara tradisional, tarian ini ditampilkan secara solo oleh seorang penari wanita. Tari Bharata Naatyam dan musik Karnatak menjadi satu kesatuan yang tidak terpisahkan dalam pertunjukan. Pertunjukan Bharata Natyam ini dalam filsafat Hindu di India Selatan adalah salah satu dari unsur tubuh manusia yang mencakup: (1) odissi yaitu unsur air, (2) mohiniattam iaitu unsur udara, dan (3) gerakan penari Bharata Natyam adalah mimisis gerakan api. Di banyak tempat di dunia termasuk Malaysia dan Singapura, Bharata Natyam sering disebut sebagai Tarian Api. Ini merupakan manifestasi mistik dari elemen metafisik api dalam tubuh manusia. Tari klassik Bharata Natyam merupakan salah satu tarian yang penuh dengan unusr tradisi India. Untuk menguasainya seorang penari biasanya memakan waktu bertahun-tahun. Ini disebabkan oleh karena terdapat berbagai gerakan tangan, kaki, dan mata yang harus dipelajari secara detil dan lancar. 133 Seni: Fungsi, Perubahan, dan Makna Gambar 7.1: Salah Satu Contoh Pertunjukan Tari Bharata Natyam (sumber: www.sridevithyalaya.org) Pertunjukan tari Bharata Natyam merupakan perwujudan dari gagasan budaya masa India Lama, yaitu berupa perayaan alam semesta yang abadi melalui perayaan terhadap keindahan tubuh manusia, yang diciptakan Tuhan. Beberapa teknik tari dalam Bharata Natyam bisa ditelusuri kembali pada gaya tari Kaisiki. Pada saat zaman pertengahan, raja-raja di India Selatan sering mengundang penari-penari di candi, yang dikenal sebagai devadasi untuk menari di istananya. Peristiwa ini lambat laun melahirkan penari-penari kategori baru yaitu rajanarthakis. 134 Hilma, Bharata Natyam Seorang penari devadasi berkewajiban memenuhi jiwanya sendiri pada waktu menari. Ia menyerahkan aktivitas dan kehidupannay secara totalitas kepada Tuhan. Sebaliknya seorang rajanarthaki melakukan aktivitas tariamn untuk tujuan hiburan saja. Walaupun sebagian besar penari Bharata Natyam adalah menari untuk tujuan hiburan, namum begitu, tarian ini yang berasal dari gaya Natya Sastra adalah tarian suci dalam upacara Hindu. Tujuaan utamanya adalah untuk memberikan pencerahan rohani kepada para penontonnya. Bharata Natyam merupakan tari yang ditampilkan oleh seorang penari wanita secara solo. Dalam tariannya ada dua karakter yang ditampilkan. Karakter yang pertama disebut lasya yaitu wanita yang lemah lembut. Karakrter yang kedua adalah tandava yaitu karakter maskulin. Dalam filsafat Hindu, keduanya saling melengkapi atau komplimeter. Runtuhnya kerajaan-kerajaan bertipe Hindu di India Selatan menyebabkan tergerusnya tari gaya Natya Sastra. Namun diteruskan dalam bentuk Baratha natyam, yang hidup terus sampai sekarang ini. Sebuah pertunjukan Tari Bharata Naatyam yang lengkap, mencakup tujuh tahapan. yang pertama disebut Ganapati vandana, yaitu doa tradisional kepada dewa Hindu Ganesha, yang menepiskan halangan pertunjukan. Yang kedua dikenal sebagai Alarippu (pertunjukan ritmis tala dengan ucapan ringkas oleh penari, merupakan seruan kepada Tuhan untuk memberkati pertunjukan). Yang ketiga adalah jatiswaram (tarian abstrak, gendang tabla dan baya mengatur rentak). Dalam bahagian ini, penari menampilkan kemahiran gerak kaki yang rumit dan gerak-gerik tubuh yang sopan. Tahap kelima adalah sabdam, yaitu tari yang diiringi oleh puisi atau lagu yang bersifat kebaktian atau tema cinta kasih. Tahap keenam disebut varnam (merupakan inti pertunjukan, yaitu bagian pertunjukan yang paling lama dan melibatkan gerakan yang kompleks, rumit, dan sangat detil). Posisi tangan dan tubuh mengungkapkan cerita. Temanya biasanya adalah cinta dan kerinduan untuk kasih sayang. Selanjutnya yang kelima, adalah padam (bagian pertunjukan yang paling seksi yang memerlukan penari mengekspresikan secara totalitas beberapa aspek cinta, seperti: kecintaan 135 Seni: Fungsi, Perubahan, dan Makna kepada Yang Maha Kuasa; atau kasih ibu untuk anak; atau kasih dan cinta untuk sang kekasih). Di tahapan ketujuh adalah thillana, yaitu bagian terakhir berupa bagian pertama adalah tarian nritta (hanya mengutamakan gerak tanpa menghubungkannya dengan perasaan atau emosi). Gerak ini menampilkan kemahiran penari secara musikal, dicerminkan dalam pergerakan kaki yang kompleks dan gerakan penari dengan virtuoso tinggi. Setelah itu pada bagian terakhir adalah menggabungkan nritta dengan nritya (yaitu gerak yang penuh emosi dan ekspresif). Bharata Natyam secara estetika merupakan perpaduan dari sistem estetika paradoks, artinya ada dua unsur keindahan yang dipasangkan. Misalnya nritta dipasangkan dengan nritya. Di lain sisi, nritta didukung pula oleh adavus, yang merupakan gerak tarian dasar Bharata Natyam. Setiap adavus mempunyai 3 elemen penting, yaitu posisi berdiri dasar (sthanaka), gerakan kaki (chari) dan gerakan tangan yang distilisasi dengan estetika tari India (nritta-hasta). Dalam sejarah tari di India, tercatat seorang tokoh tari yaitu E. Krishna Iyer merupakan orang yang menaikkan status sosial Bharata Natyam dan mempopulerkannya. Selain itu, Rukmini Devi Arundale sangat menarik perhatian para seniman dan pengkaji seni dari Barat pada tari Bharata Natyam. Setelah belajar Bharata Natyam selama tiga tahun, pada tahun 1936 Rukmini Devi Arundale mendirikan sekolah Kalakshetra di luar kota Madras, untuk mengajar dan untuk mengenalkan secara meluas seni tari dan musik dan India. Tercatat dalam sejarah beliaulah salah seorang guru yang pertama memberikan latihan kepada beberapa orang penari laki-laki untuk menampilkan tari Bharata Natyam, yang dalam periode sebelumnya hanya ditarikan oleh perempuan. Berdasarkan data-data dari dokumen seni India yang terkompilasi dalam Abhinayadarpanam, dinyatakan bahwa seorang penari profesional Bharata Natyam wajib memiliki sepuluh sifat utama. Sifat-sfat itu adalah: javaha (tangkas), sthirathvam (mantap), rekha (bentuk badan yang cantik), bhramari (keseimbangan dalam gerakan berputar), drishti (pandangan mata), shramaha (rajin), medha (bijaksana), shraddha (setia), vacho (santun dalam berbahasa), dan geetam (mampu bernyanyi). 136 Hilma, Bharata Natyam Dalam pertumbuhan awalnya, pakaian yang dikenakan penari Bharata Natyam tidak menutupi seluruh badan penari. Pada zaman pertengahan, atas anjuran para guru agama Hindu, para penari devadasi memakai pakaian sari yang khusus dan berat yang sangat membatasi gerakan penari. Ada dua jenis pakaian penari Bharata Natyam. Yang pertama adalah yang tidak membatasi gerakan penari, yang kedua adalah sebaliknya. 6. Musik Pengiring Menurut Malm17 musik seni India biasanya selalu dikatakan dimulai dengan himne yang dilatarbelakangi oleh tradisi Veda, yaitu berupa teks suci masyarakat Arya, dan materi-materi lainnya yang dapat ditambahkan dan berkembang selama beberapa abad. Rig Veda adalah bentuk tradisi Veda yang paling awal dan tetap dipertahankan hingga kini. Beberapa teksnya dirancang kembali dalam bentuk yang disebut Yajur Veda. Sementara itu Sama Veda terdiri dari teks-teks pilihan dari sumber yang sama dengan yang dipergunakan pada upacara keagamaan. Di sisi lain Atharva Veda adalah sekumpulan teks-teks yang berbeda, diturunkan dari magik keagamaan rakyat dan mantera-mantera. Tradisi Veda dianggap hanya untuk budaya kasta yang lebih tinggi, dan disebabkan alam kegamaannya, yang memiliki tulisan-tulisan singkat yang begitu kuat mengkoreksi pertunjukan. Musik iringan untuk tari Bharata Natyam ialah musik Karnatik, yaitu musik gaya India Selatan. Biasanya kelompok pemain musik Karnataka ini menggunakan alat-alat musik: mridangam (gendang panjang), nagaswaram (musik tiup berupa pipa panjang berbentuk tanduk yang dibuat dari kayu), seruling, biola, dan veena (alat musik dengan tali yang dimainkan dengan menggesek tali-tali dengan penggesek, alat musik ini secara kultural dikaitkan dengan Saraswati, Dewi dalam agama Hindu. 17 William P. Malm, 1977. Music Cultures of the Pacific, Near East, and Asia. Englewood Cliffs, New Jersey: Prentice Hall; serta terJemahannya dalam bahasa Indonesia, William P. Malm, 1993. Kebudayaan Musik Pasiflk, Timur Tengah, dan Asia, dialihbahasakan oleh Muhammad Takari. Medan: Universitas Sumatera Utara Press. 137 Seni: Fungsi, Perubahan, dan Makna Adapun teks nyanyian untuk mengiringi tari Bharata natyam ini menggunakan bahasa Tamil, Telugu, Kannada dan Sanskrit. Dalam musik India, termasuk Karnatik, secara metafisis, getaran fisik yang menghasilkan suara musikal yang disebut nada, tidak akan terselasaikan dengan cara menghubungkannya dengan dunia spiritual. Hukum-hukum nyanyian Rig Veda dilekatkan kepada nyanyian silabik dengan memperhatikan aksentuasi pada kata-kata. Walaupun seluruh tradisi Veda agak jarang dipertunjukan pada masyarakat India pada masa sekarang ini, berbagai istilah dan beberapa padangan musikalnya digunakan untuk pertunjukan religius dan epos (syair kepahlawanan) sekuler, yang diperuntukkan kepada kasta-kasta yang lebih rendah di India. Natya Sastra dianggaap sebagai cerita jenis sage yang dikarang oleh Bharata (sekitar abad kelima Masehi). Ia mengatakan bahwa ada sejenis karya yang menghasilkan bentuk-bentuk teater dalam tradisi ini, yang disebut dengan Veda. Buku-buku ini paling banyak dijumpai pada abad kelima, meskipun di beberapa tempat ditemui pada awal abad kedua Seb. M. Sisa-sisa dari tradisi ini memperlihatkan adanya hubungan antara musik India Lama dan musik klasik sampai sekarang ini, musik dan tariannya dikatakan mempunyai berbagai variasi unsur dramatis. Berbagai sumber teori penting lainnya untuk musik India adalah karya Matanga, yang bertajuk Brhaddesi pada abad kesepuluh. Juga karya Sangaradewa, yang bertajuk Sangita Ratnakara, pada abad ketiga belas, ditulis sejak datangnya ide-ide musik dari Timur Tengah yang dibawa oleh pemerintahan Moghul. Ahli-ahli teori musik India dari abad keenam belas sampai abad kedua puluh secara kontinu mencoba mensintesis kedua budaya ini dan kemudian menstandardisasinya. Kalau kita berbicara musik India maka yang paling menonjol adalah ide dan terapan dimensi waktu yang disebut tala, juga dimensi ruang yang disebut dengan raga. Baik praktik musik lama dan modern, secara umum menghasilkan tujuh svara, pada sebuah oktaf (saptaka). Ketujuh svara tersebut mempunyai nama-nama khusus, tetapi hanya silabis pertamanya dari tiap-tiap namanya yang umum dipergunakan untuk menuliskan nadanada ini. Silabis sa, ri, ga, ma, pa, dha, ni, seperti do, re, mi pada musik 138 Hilma, Bharata Natyam Barat, datang dari sebuah istilah dasar untuk mendiskusikan atau menyanyikan musik India. Pada teori lama, tujuh svara dimainkian bersama-sama dengan sebuah grama, sebuah tangga nada. Tiga tangga nada induk (sadjagrama, madhyamagrama, dan gandharagrama) dikatakan sebagai dasar tangga nada “induk,” pada musik India, tetapi pada masa Natya Sastra hanya dau tangga nada pertama yang disebutkan. dalam konsep musik India, maka terdapat beberapa istilah sebagai berikut: (a) nada yaitu getaran suara, (b) sruti yaitu interval-interval mikroton dengan berbagai ukuran, (c) svara yaitu interval-interval musik nyata yang dibentuk dari kombinasikombinasi sruti, (d) grama yaitu perbendaharaan tonal dasar, yang dibentuk dari tujuh svara terdiri dari sa, ga, dan ma grama, (e) murchana yaitu tangga nada yang dibentuk dari dua buah tangga nada induk; (f) jati yaitu modus-modus dasar, klasifikasi akhir dari sebuah modus oleh nomornomor nadanya, (g) raga adalah bentuk melodi dari tangga nada, didasari oleh berbagai jati, (h) melakarta dan that yaitu kelompok-kelompok nada yang berhubungan dengan raga. Istilah raga (rag di India Utara atau ragam dalam bahasa Tamil) dapat didefinisikan sebagai suatu bentuk pengukur (scalar) melodi, yang mencakup baik itu tangga nada dasar atau struktur melodi dasar. Istilah ini diambil dari akar kata bahasa Sanskerta, ranj, yang berarti mewarnai dengan emosi. Selanjutnya istilah itu mempengaruhi keadaan dalam mewujudkan nada-nada yang sebenarnya. Karena itu, aspek-aspek ekstramusikal menjadi penting untuk beberapa ahli musik dalam mempertunjukan raga. Selanjutnya dimensi waktu dalam musik India disebut dengan tala. Biasanya berkait erat dengan siklus birama. Hal ini dapat dikatakan siklus sebab karakteristik dasarnya adalah terus menerus memunculkan garapan waktu. Tempo atau laya musik India dapat dibentuk dari yang sangat cepat (druta), sampai yang sedang (madhya), dan yang lambat (vilambita). Pada sistem tala ini, kelompok-kelompok ritmik disebut dengan anga yang dapat dikategorikan kepada tiga tipe. Yang pertama adalah anudruta, yang biasanya hanya terdiri dari satu ketukan. Kedua druta yang terdiri dari dua 139 Seni: Fungsi, Perubahan, dan Makna ketukan. Yang ketiga adalah laghu, yang terdiri dari salah satu ketukan ini yaitu 3, 4, 5, 7, atau 9 ketukan. Dimensi ruang yang disebut raga dan dimensi waktu yang disebut tala atau taal itu, menjadi dasar dalam penggarapan melodi dan ritme musik yang digunakan untuk mengiringi tari Bharata natyam. Musik ini menyautu dalam dimensi ruang dan waktu mengikuti tarinya. Seorang penari bharata Natyam harus memahami musik. Sebaliknya pemusik pengiring tarian ini juga harus tahu tahap-tahap tari dan gerakan-gerakan yang dilakukkan oleh penari Bharata natyam. 7. Penutup Bharata Natyam adalah salah satu tari klasik India, yang dikenal juga sebagai tari nasional India. Tari ini berakar dari Natya Sastra yaitu sage yang ditulis oleh Bharata pada abad kelima Masehi. Bharata Natyam awalnya adalah tarian ritual yang kemudian berkembang menjadi profan. Tarian ini berasal dari wilayah Tamil Nadu di India Selatan. Tarian ini pada masa perkembangan awalnya berasal dari gaya tari yang ditarikan devadasi, yaitu penari di kuil-kuil. Ada tahapan-tahapan yang harus dilalui dalam sebuah tarian Bharata Natyam. Tarian ini adalah bentuk penjelmaan tari-tari istana Hindu di India Selatan, seiring memudarnya kerajaankerajaan Hindu di kawasan tersebut. Alat-alat musik pengiringnya adalah ensambel musik bergaya Karnatik India Selatan, yaitu alat musik mrdanggam, nagasvaram, seruling, biola, dan veena. Alat-alat musik ini dimainkan dalam bentuk ensambel, yang berdasar kepada sistem ruang yang disebut raga, dan waktu yang disebut tala. Jadi dengan demikian dapat disimpulkan bahwa tari Bharata Natyam adalah hasil dari proses sejarah yang panjang dalam kesenian di India. Tarian ini juga menyebar ke seluruh penjuru dunia, seiring penyebaran migran dari India, termasuk ke Sumatera Utara. 140 Hilma, Bharata Natyam Bibliografi a. Buku dan Artikel Basharsyah II, Tuanku Luckman Sinar, 2008. Orang India di Sumatera Utara (The Indians in North Sumatra). Medan: Forkala Sumatera Utara. Cudamani, 1990. Pengantar Agama Hindu untuk Perguruan Tinggi. Jakarta: Yayasan Dharma Sarathy. Daldjoeni, N. 1991. Ras-ras Umat Manusia: Biografis, Kulturhistoris, Sosiopolitis. Bandung: Citra Aditya Bakti. Putro, Brahma, 1981. Karo dari Jaman ke Jaman. Medan: Yayasan Massa/ Sinar, Tengku Luckman, 1988. Sejarah Deli Serdang. Deli Serdang: BPPD Tingkat II. Malm, William P., 1977. Music Cultures of the Pacific, Near East, and Asia. Englewood Cliffs, New Jersey: Prentice Hall; serta terJemahannya dalam bahasa Indonesia, William P. Malm, 1993. Kebudayaan Musik Pasiflk, Timur Tengah, dan Asia, dialihbahasakan oleh Muhammad Takari. Medan: Universitas Sumatera Utara Press. b. Intermet www.wikipedia.org 141 delapan DESKRIPSI TARI CAKALELE DARI MALUKU Ria Luinne Tabita Pakpahan Mahasiswi Magister (S2) Penciptaan dan Pengkajian Seni, Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Sumatera Utara 1. Pendahuluan Tarian Cakalele merupakan salah satu jenis tarian yang sampai sekarang masih tetap dilestarikan dari beberapa tarian yang ada di Maluku. Kawasan yang disebut Maluku ini dikenal pula dengan sebutan Moluccas, merupakan salah satu provinsi di Indonesia. Tarian Cakalele sama dengan tarian tradisional lainnya di lndonesia, yang biasanya diiringi oleh ensambel musik, dan memakai pakaian tradisional dengan asesori dan atributrya yang saling berhubungan. Juga terkandung makna-makna di dalamnya. Lebih umum lagi, tarian adalah suatu bentuk interaksi antar manusia, dan dapat memberikan pengalaman estetis yang bersifat spiritual. Tarian mempunyai dampak atau pengaruh tertentu terhadap batin seseorang. Manusia tidak dapat melepaskan diri dari tuntutan kebutuhannya terhadap seni, karena dengan seni manusia akan dapat mengekspresikan perasaan jiwanya ke dalam suatu nuansa keindahan atau estetis. Selain itu, karena seni maka sebuah kelompok masyarakat akan mempunyai jati dirinya secara khas. Tari adalah suatu ungkapan kehidupan manusia yang dituangkan ke dalam suatu gerakan dengan nilai estetis dan simbolik. Tari berhubungaa erat dengan kebudayaan, norma, sejarah, dan lainnya. Dengan demikian suatu gerakan tarian adalah desakan perasaan manusia dalam dirinya yang mendorong untuk mencari ungkapan yang berupa gerak-gerak ritmis. Dari setiap tari yang ada, maka masyarakat pendukungnya pasti mempunyai suatu tujuan untuk mempertahankan kesenian tersebut dan Hilma, Bharata Natyam memperkenalkan kepada generasi muda sebagai kekayaau budaya dalam konteks pendidikan. Karena tarian tradisional ada, bukan semata-mata karena berkembangnya teknologi, melainkan juga karena cara pandang, adat istiadat dan sejarah suatu komunitas suku yang ingin menciptakan statusnya yang dituangkan ke dalam bentuk karya seni. Oleh sebab itu setiap seni Indonesia yang ada harus memiliki perlakuan khusus. Dengan mengetahui keberadaannya saja, sudah menjadi kekayaan pengetahuan dan berujung kepada kelestarian seni tersebut. Apalagi disertai dengan penelitian mendalam dan kajian secara saintifik yang ilmiah, maka akan memberi dampak fungsional dan keilmuan bagi masyarakat pendukungnya atau di kalangan ilmuwan. Di Maluku sangat banyak karya sani terutama tarian. Di antaranya adalah tari Cakalete, tari Tifa, tari Poco-poco, tari Sarinande, tari Timba Laur (tari obor), tari Kipas Kai, dan masih ada beberapa lainnya. Tarian Cakalele merupakan tarian tradisional Maluku yang dimainkan oleh sekitar 30 laki-laki. Para penari Cakalele pria biasaaya menggunakan properti parang dan salawaku (tameng). Tari Cakalele ditampilkan dengan penari laki-laki mengenakan pakaian perang yang didominasi oleh warna merah dan kuning tua. Kedua tangan penari, menggenggam senjata pedang (parang) di sisi kanan dan tameng (salawaku) di sisi kiri. Mereka mengenakan topi yang terbuat dari alumunium yang diselipkan bulu ayam berwarna putih. Para penari Cakalele yang berpasangan ini, menari dengan diiringi musik beduk (tifa), suling, dan kulit kerang besar (bia) yang ditiup. 2. Sejarah Tariau Cakalele Sejak masa terbentuknya masyarakat pertama di Ternate, Cakalele sudah menjadi tradisi masyarakat di kepulauan ini. Seperti halnya di tempat lain di kepulauan Maluku dan sekitarnya, Cakalele merupakan bentuk tradisi atau kebiasaan dalam masyarakat tradisional di daerah ini. Tradisi Cakalele sebenarnya bermula dari daerah Maluku Utara yang kemudian menyebar meluas ke daerah-daerah pengaruh kerajaan Ternate, hingga sampai ke daerah Maluku Tengah (Ambon dan Seram). Termasuk 143 Seni: Fungsi, Perubahan, dan Makna juga ke wilayah Semenanjung Sulawesi bagian Utara. Di Minahasa juga ada tradisi Cakalele ini, dan juga di kawasan sepanjang pantai timur pulau Sulawesi. Mereka masih tetap menggunakan istilah Cakalete ini sebagaimana sebutan asal yang berasal dari kosa kata bahasa Ternate. Menurut budayawan asal Ternate, Abdul Hamid Hasan, dalam bukunya yang bertajuk Aroma Sejarah dan Budaya Ternate (1999), bahwa pengertian Cakalele secara etimologis dalam bahasa Ternate, terdiri atas dua suku kata, yaitu caka artinya setan atau roh, dan lele artinya mengamuk. Hingga saat ini masyarakat Maluku pada umumnya masih menggunakan istilah caka untuk menyebut roh jahat. Istilah sejenis yang memiliki makna yang sama, namun jarang digunakan adalah suwanggi. Dengan demikian, pengertan kata Cakatele secara harfiah berarti "setan atau roh yang mengamuk.” Bila jiwa seseorang telah dirasuki setan atau roh, maka ia tidak takut kepada siapapun yang dihadapi dan ia telah haus akan darah manusia. Dengan demikian, menurut Abdul Hamid Hasan atraksi Cakale di dalam peperangan ataupun uji coba ketahanan jiwa raga seseorang dalam Legu Kie se Gam [lagu untuk perang yang sesungguhnya] berbeda dengan Cakalele yang sekedar ditampilkan pada upacara resmi lain. Pada upacara resmi lain, penampilan atraksi serupa Cakalele biasanya disebut Hasa. Cara pertarungannya sama dengan Cakalele, sehingga disering disebut orang sebagai Cakalele. Hasa hanya merupakan atraksi menyerupai Cakalele. Bedanya para pelaku atraksi Hasa tersebut berada dalam keadaan sadar (termasuk dalam atraksi pertarungan, karena jiwanya tidak terasuk oleh roh atau jin). Tidak demikian hal dengan Cakalele, karena jiwa pelaku dari kedua belah pihak yang sedang atraksi (bertarung) telah dirasuki setan atau roh, maka semua gerakan yang dilakukan adalah di bawah alam sadar. 3. Makna Gerak Kesenian adalah bagian dari budaya dan merupakan sarana yang digunakan untuk mengekspresikan rasa keindahan dari dalam jiwa manusia. Selain mengekspresikan rasa keindahan dari dalam jiwa manusia, 144 Hilma, Bharata Natyam kesenian juga mempunyai fungsi lain. Misalnya, mitos dalam kesenian berfungsi menentukan norma untuk perilaku yang teratur serta meneruskan adat dan nilai-nilai kebudayaan. Secara umum, kesenian dapat mempererat ikatan solidaritas suatu masyarakat. Kesenian adalah suatu kompleks dari ide-ide, gagasan, nilai-nilai, norma-norma, dan peraturan dimana kcmpleks aktivitas dari tindakan berpola dari manusia dalam masyarakat dan biasanya berwujud benda-benda hasil manusia. Hal ini menunjukkan betapa eratnya hubungan antara kebudayaan manusia itu dengan simbolsimbol sebingga manusia dapat pula disebut sebagai makhluk bersimbol. Dalam hal ini simbol atau lambang adalah sesuatu hal atau keadaan yang menjadi perantara pemahaman terhadap objek. Simbol sangat menonjol peranannya apalagi dalam kegiatan kebudayaan. Penggunaan simbol dalam suatu karya seni, dilaksanakan dengan penuh kesadaran, pemahaman, dan penghayatan yang tinggi serta dianut secara tradisional dari satu generasi ke generasi berikutnya, yang tetap berkaitan dengan kontak sejarah budaya tersebut. Simbol adalah gambaran dari suatu objek nyata atau khayal yung menggugah perasaan atau digugah oleh perasaan. Perasaan-perasaan berhubungan dengan objek satu sama lain, dan dengan subjek. Bentuk dasar dari tarian ini adalah sembilan jurus pedang (santi) atau sembilan jurus tombak (wengkouw) dengan langkah kuda-kuda 4/4 yang terdiri dari dua langhah ke kiri, dan dua langkah ke kanan. Tiap penari kabasaran memiliki satu senjata tajam yang merupakan warisan dari leluhumya yang terdahulu, karena penari kabasaran adalah penari yang turun-temurun. Tarian ini umumnya terdiri dari tiga babak (sebenarnya ada lebih dari tiga, hanya saja gerakan yang lain sudah sangat jarang dilakukan). Babak-babak tersebut terdiri dari ragam gerak sebagai berikut. 1. Cakalele, yang berasal deri kata saka yang artinya berlaga dan lele artinya berkejaran melompat-lompat. Babak ini dahulunya ditarikan ketika para prajurit akan pergi berperaag alau sekembalinya deri perang. Atau, babak ini menunjukkan keganasan berperang pada tamu agung, untuk memberikan rasa aman pada tamu agung yang datang berkunjung bahwa 145 Seni: Fungsi, Perubahan, dan Makna setan pun takut mengganggu tamu agung dari pengawalan penari kabasaran. 2. Babak kedua ini disebut kumoyak, yang berasal dari kata koyak. Artinya, mergayunkan senjata tajam pedang atau tombak turun naik, maju mundur untuk menenteramkan diri dari rasa amarah ketika berperang, Kata koyak sendiri, bisa berarti membujuk roh dari pihak musuh atau lawan yang telah dibunuh dalam peperangan. 3. Lalaya'an, pada bagian ini para penari menari bebas riang gembira melepaskan diri dari rasa berang seperti menari Lionda dengan tangan di pinggang dan tarian riang gernbira lainnya. Keseluruhan tarian ini berdasarkan aba-aba atau komando pemimpin tari yang disebut tumutuzuk atau juga kapitan (tombulu) atau sarian (tonsea). Aba-aba diberikan dalam bahasa sub-etnik Tombulu, Tonsea Tondano, Totemboan, Ratahan, Tombatu, dan Bantik. Pada tarian ini, seluruh penari harus berekspresi garang tanpa boleh tersenyum, kecuali pada babak lalayaan, dimana para penari diperbolehkan mengumbar senyum riang. Mengingat tarian Cakalele ini adalah tarian perang, maka gerakannya dilakukan bersama-sama seperti gerombolan orang yang ingin sepertinya menyerbu meminta keadilan seperti di zaman peperangan dahulu, membawa pedang yang mengarah ke depan sambil berlari dan berteriak. Ketika tari Cakalele ditampilkan masyarakat Maluku pcrcaya bahwa terkadang arwah leluhur masuk ke dalam raga penari, dan kehadiran arwah leluhur tesebut hanya bisa dirasakan oleh penduduk asli Maluku. 4. Nilai Estetis Nilai estetis timbul dari seberapa indah suatu objek yang dilihat oleh kita. Estetis berasal dari kata estetika yang berarti salah satu cabang dari filsafat, dan estetika adalah ilmu yang memperajari tentang keindahan dari suatu objek yang indah. Jadi nilai estetik sendiri mempunyai arti nilai dari suatu keindahan yang kita rasakan. Setelah kita rasakan maka kita pun akan menilai seberapa indah objek tersebut. Nilai estetika biasanya ada pada bidang dunia seni, karena seni merupakan salah satu dunia yang selalu menghadirkan keindahan dalam 146 Hilma, Bharata Natyam setiap kali kita merasakannya. Pada seni nilai estetik sangat dibutuhkaa agar para seniman dapat menyajikan keindahan ketika mereka menampilkan dan menyajikan kepada para penonton dan juga bisa di gunakan untuk layak atau tidaknya suatu seni untuk di pertontonkan ke masyarakat. Bidang seni erat kaitannya dengan nilai estetik. Sebagai contoh bidang pada seni yarg membutuhkan nilai estetik yaitu bidang tari. Di bidang tari sangat dibutuhkan keindahan agar keindahan dari pertunjukan tarian yang diselenggarakan oleh para penari, ketika tarian ditampilkan barulah pertunjukan ini dinilai dan memiliki nilai estetik. Emmanuel Kant meninjau keindahan dari 2 segi. Pertama dari segi arti yang subyektif, dan kedua dari segi arti yang obyekif. Dari segi subjektif, keindahan adalah sesuatu yang tanpa direnungkan dan tanpa sangkut paut dengan kegunaan praktis, tetapi mendatangkan raa senang pada si penghayat. Dari sisi objektif, keserasian dari suatu obyek terhadap tujuan yang dikandungnya, sejauh obyek ini tidak ditinjau dari segi gunanya. Uraian-uraian di atas menjadi pedoman dalam membahas makna simbolis serta nilai estetis yang terdapat dalam bentuk sebuah tari tradisi Cakalele. Begitu pula hal-hal ynag menyangkut dengan tarian ini akan dikupas lebih mendalam dengan berlandaskan teori-teori yang dikemukakan oleh pakar-pakar yang mengerti tentang nilai estetis serta simbol-simbol yang terdapat pada masyarakat. Tari Cakalele merupakan tarian tradisional Maluku yang dimainkan oleh sekitar 30 laki-laki dan perempuan. Para penari leki-laki mengenakan pakaiaa perang yang didominasi oleh warna merah dan kuning tua. Kedua tangan peaari menggenggam senjata pedang (parang) di sisi kanan dan tameng (salawaku) di sisi kiri, mengenakan topi terbuat dari aluminium yang diselipkan bulu ayam berwarna putih. Sedangkan penari perempuan mengenakan pakaian warna putih sembari menggenggam sapu tangan (lenso) di kedua tangannya. Para penari Cakalele yang berpasangan ini, menari dengan diiringi musik beduk (tifa), suling, dan kerang besar (bia) yang ditiup. Tari Cakalele disebut juga dengan tari kebesaran, karena digunakan untuk 147 Seni: Fungsi, Perubahan, dan Makna penyambutan para tamu agung seperti tokoh agama dan pejabat pemerirrtah yang berkunjung ke bumi Maluku. 5. Tarian Cakalele sebagai Kebudayaan Maluku Daerah Maluku terkenal dengan kebudayaan pelagandong yaitu hubungan kekerabatan yang sangat erat pada sorang Maluku. Sangking eratnnya hubungan inipun kadang menyebabkan suatu masalah baru. Masalah yang sejak dulu tidak hilang dari daerah Maluku. Masalahnya adalah ketika seorang warga suatu kampung atau suatu suku membuat masalah, tidak perduli entah dia benar atau salah, maka sukunya atau desanya akan langsung menyerang suku lawan tanpa konfirmasi terlebih dahulu. Gambar 8.1: Tari Cakalele Dipertunjukkan secara Massal (Sumber: kidnesia.com) Beberapa contoh nilai-nilai budaya Maluku yang lain yaitu sasi. Konsepnya adalah upaya pelestarian alam dan lingkungan. Masohi adalah kerjasama kemanusiaan yang menguntungkan, dan ada juga kebudayaan laut yang memiliki nilai penting bagi masyarakat seperti kehidupan nelayan yang dapat digolongkan dalam unsur budaya. Namun saat ini 148 Hilma, Bharata Natyam pengaruh globalisasai merupakan ancaman serius terhadap ketahanan budaya warisan leluhur. Untuk itu perlunya pelestarian nilai-nilai kebudayaan yang ada. Orang Maluku yang sudah pindah ke daerah Sumatera Utara juga masih menggunakan tarian Cakalele ini untuk ditampilkan pada acara kebesaran Maluku. Misalnya pada hari ulang tahun Kota Ambon, ulang tahun PMIP (Pemuda Maluku Indonesia Bersatu), dan acara hari kepahlawanan, hari kemerdekaan, hari kebangkitan nasional, dan lainnya. 6. Perlengkapan dan Busana Tari Cakalele Tarian Cakalele merupakan tarian yang bertema tentang kegiatan berperang dimana pelakunya adalah para pria. Busana dan perlengkapan yang digunakan dalam tari Cakalele adalah sebagai berikut. 1. Kain merah: yang diikatkan pada kepala, selempang pada celana namun karena adanya perkembangan zaman maka ada beberapa perubahan pada busana taris Cakalele yaitu terletak pada kelengkapan kostum. Kalau pada zaman dulu busana yang dipakai oleh pria bertelanjang dada hanya dilempangkan kain saja namun sekarang ada yang memakai kain seperti baju biasa. 2. Kain hitam sebagai simbol seorang pejuaug yang kuat dan perkasa. 3. Kain kunirg: sebagai lambang keagungaa dimana tarian ini juga ditampilkan pada penyambutan para tamu yang menunjukkan kehormatan. 4. Pedang (parang): digenggam pada tangan kanan penari laki-laki. Selain itu 5. Tameng (salawaku): dipegang pada tangan kiri penari laki-laki. Sebagaimana Cakalele, pelaku Hasa juga menggunakan parang dan salawaku dan menari-nari seperti orang kerasukan dan haus akan perang sambil tangan kanannya diangkat ke atas melambai-lambaikan parang yang digenggamnya. Di sisi lain, tangan kiri biasanya memegang salawaku yaitu perisai yang dilipat ke depan dadanya. Ritual pengobatan biasanya dilakukan setelah pelakunya dirasuki roh sahabatnya gaibnya, barulah si pelaku itu dapat mengobati warga yang sakit ataupun orangorang yang datang minta pertolongan dan pengobatan kepadanya pada saat itu. Salawaku biasanya dihiasi dengan pecahan porselen piring atau kerang 149 Seni: Fungsi, Perubahan, dan Makna yang berbentuk angka kembang sesuai angka perhitungan. 6. Topi yang terbuat dari aluminium dan diselipkan bulu ayam berwarna putih. Gambar 8.2: Tari Cakalele dan Propertinya (Sumber: kidnesia.com) 7. Jimat dan mantra dalam peperangan yang sesungguhnya, apabila seseorang yang menghadapi perang dan telah siap dengan parang atau tombak atau salawaku dengan mata terbelalak berlari menuju musuh serta merta petaku biasanya berteriak: “Aulee... Aulee... Aulee...” yang berarti "darah membanjir...” dan terjadilah bunuh-membunuh dalam peperangan tersetut. Kemungkinan kara Aulee ini berasal dari gabungan dua kata yaitu au yang berarti darah, dan leo yang berarti mengalir atau membanjir. Kebiasaan pelaku apabila mencapai kemenaugan, harus meminum darah salah satu musuhnya sebagai imbalan kepada roh gaib sahabat yang merasuki dalam dirinya. Ini dibuat sebagai simbolik saja pada tarian saat ini. 7. Musik Pengiring Cakalele Bagi masyarakat Maluku musik pengiring untuk tarian Cakalele dinamakan Tepe-Tepe yang peralatannya terdiri dari dua buah tifa dan bia (kulit kerang yang besar), dan satu buah gendang, serta sebuah gong 150 Hilma, Bharata Natyam tembaga yang dijadikan alat memukul untuk mengeluarkan suara yatrg menambah suasana hiruk-pikuk, dan membawakan lagu Legu Kie se Gam. (1) Kulit bia ditiup, yang menjadi simbol seperti ajakan atau seruan, sebelum penari memasuki ruangan pertunjukan. (2) Saat penari memasuki ruangan pertunjukan mereka datang dengan gerombolan seperti perang dan musik dimainkan dengan pukulan gong yang pertama sekali sebagai tanda dimulainya peperangan. (3) Sambil penari mengangkat pedang maka pukulan gendang dan tifa dibuat seperti bunyi gemunuh. Setelah penari masuk untuk melakukan gerakan yang bersama-sama tifa dan gendang berperan penting rmtuk mangatur tempo dalam tarian. 8. Perubahan Fungsi Tari Cakalele Tari tradisional kerakyatm adalah tari yang tumbuh secara turuntemurun dalam lingkungan adat masyarakat etnis, atau berkembang dalam tradisi masyarakat desa. Istilah asing dari jenis tari kerakyatan adalah folkdance. Soedarsono1 mengemukakan bahwa jenis tari kcrakyatan dapat diamati dari sisi koreografinya, yang dijelaskan sebagai berikut: Tari-tarian rakyat ialah tarian yang sudah mengalami perkembangan sejak jaman masyarakat primitiF sampai sekarang. Tarian ini sangat sederhana dan tidak begitu mengindahkan norma-norma keindahan dan bentuk yang berstandar. Gerak-gerak tarinya sangat sederhana, sebab yang dipentingkan adalah keyakinan yang teletak di belakang tarian tersebut. Misalnya tarian untuk meminta hujan, untuk mempengaruhi musuh yang akan dibunuhnya, dan sebagainya. Tari rakyat ini pada jaman masyarakat feodal (400-1945) masih berkembang di kalangan rakyat jelata. Sebagian merupakan kelanjutaa dari tarian rakyat dari jaman masymakat primitif yang bersifat magis-sakral dan sebagian merupakan tarian hiburan. Selanjutnya dikaji lebih mendalam tentang fungsi tari mengingat bahwa fungsi tari dalam masyarakat sangat beragam. Menumt beberapa 1 Soedarsono, 1972. Jawa dan Bali: Dua Pusat Perkembangan Drama Tari Tradisional di Indonesia. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press. h. 20. 151 Seni: Fungsi, Perubahan, dan Makna pakar seni pertunjukan yang mencermati tentang fungsi tari sebagai berikut. Curt Sachs seorang ahli musik dan tari dari Belanda mengemukakan dalam bukunya yang berjudul World History of the Dance2 mengutarakan sebagai berikut. Fungsi tari secara mendasar ada dua, yaitu (1) Tari berfungsi untuk tujuan magis, dan (2) Tari berfungsi sebagai media hiburan atau tontonan. Gertrude Prokosch Kurath yang mengemukakan adanya 14 fungsi tari dalam masyarakat, yaitu (1) sebagai media inisiasi (upacara pendewasaan), (2) sebagai media percintaan, (3) sebagai media persahabatan atau kontak sesial, (4) sarana untuk perkawinan atau pernikahan, (5) sebagai pekerjaan atau matapencaharian, (6) sebagai mcdia untnk sarana kesuburan atas pcrtanian, (7) sebagai sarana untuk perbintangan, (8) sebagai sarana untuk ritual perburuan, (9) sebagai imitasi satwa, (10) sebagai imitasi peperangaa, (11) sebagai sarana pengobatan, (12) sebagai ritual kematian, (13) sebagai bentuk media untuk pemanggilan roh, dan (14) sebagai komedian (lawak). Anthony V. Shay dalam disertasinya yang berjudul: The Function of Dance in Human Society. Tari dibedakan dalam 6 fungsi, yaitu (1) sebagai refleksi dari organisasi sosial, (2) sebagai sarana ekspresi sekuler serta ritual keagamaan, (3) sebagai aktivitas rekreasi atau hiburan, (4) sebagai ungkapan serta pembebasan psikologis, (5) sebagai refleksi nilai-nilai estetik atau murni sebagai aktivitas estetis, dan (6) sebagai refleksi dari kegiatan ekonomi. Sementara pakar tari lndonesia yaitu R.M. Soedarsono membedakan fungsi tari menjadi dua, yaitu (1) kategori fungsi tari yang besifat primer, yang dibedakaa menjadi tiga, yaitu: (a) fungsi tari sebagai sarana ritual, (b) fungsi tari sebagai ungkapan pribadi, dan (c) fungsi tari sebagai presentasi estetik, dan (2) kategori fungsi tari yang bersifat sekunder, yaitu lebih mengarah pada aspek komersial atau sebagai lapangan mata pencaharian.3 Maka dapat disimpulkan pada kedua pendapat di atas bahwa tari Cakalele yang awalnya merupakan tarian kerakyatan yang bersifat ritual sebagai 2 Sachs, Curt, 1963. World History of the Dance. California: University of California. h. 5. 3 Tati Narawati dan R.M. Soedarsono, 2005. Tari Sunda: Dulu, Kini, dan Esok. Bandung: Pusat Penelitian dan Pengembangan Pendidikan Seni Tradisional Universitas Pendidikan Indonesia. h. 15-16. 152 Hilma, Bharata Natyam perlawanan masyarakat Maluku untuk merlrmpas penjajahan pada zamannya seperti kemasukan roh jahat. Kini tampilan itu telah berubah karena adanya faktor yang tidak memungkinkan bila tarian Cakalele ditampilkan dengan 30 orang pria yang mungkin bila di wilayah di luar Maluku tidak dapat dihadirkan. Pada saat tari Cakalele ini ditampilkan untuk komoditas parawisata yang membutuhkan ruangan yang sangat besar seperti di dalam hutan dengan durasi yang lumayan lama sampai pemain kemasukan roh leluhur dan ini dibuat dalam tarian kreasi. Fungsi tarian Cakalele ini hampir sama dengan beberapa tari kerakyatan yang ada di Indonesia. Pada umumnya tari kerakyatan sangat erat hubungaunya dengan magis yarg berupa upacara ritual. Namuu untuk fungsi hiburan dan tontonan sangat banyak elemen-elemen tari yang dihilangkan. Menurut J.A. Ferdinandus yang merupakan sesepuh Ambon di Medan mengatakan bahwa: “Tarian Cakalele ini sangat penting keberadaannya bagimasyarakat Indonesia Timur terkhusus bagi orang Ambon. Tarian ini sebagai simbol pemberontakan untuk mendapatkan hak yang sama dengan wilayah lainnya. Bila dahulu tari ini ada karena penjajahan Belanda maka pada zaman sekarang dapat disimbolkan dengan pergolakan rakyat Maluku meminta keadilan yang sama. Dalam istilah orang Ambon ada ale rasa beta rasa yang menyatakan bahwa “jika kamu merasakan sesuatu maka saya juga rasa." Inilah yang membuat di manapun orang Ambon ada tetap memegang teguh persamaannya. Begitu juga untuk tarian Cakalele tetap dijadikan bagian penting walaupun orang Ambon tersebut telah berpindah ke wilayah lain tetap mempertahankan dan ditampilkannya tarian ini di setiap acara kesukuan Ambon. 9. Kesimpulan Tarian Cakalele merupakan salah satu jenis tarian yang sampai sekarang masih tetap dilestarikan dari beberapa tarian yang ada di Maluku yang dikenal dengan Moluccas adalah salah satu provinsi tertua di Indonesia. Tarian Cakalele sama dengan tarian tradisional di Indonesia yang diiringi oleh musik dan memakai pakaian tradisional dengan 153 Seni: Fungsi, Perubahan, dan Makna atributnya yang saling berhubungan. Untuk itu perlunya pelestarian nilainilai kebudayaan yang ada. Cakalele merupakan salah satu tarian yang masih dilestarikan oleh masyarakat Maluku. Cakalele terdiri atas dua suku kata, yaitu caka yang artinya setan atau roh dan lele yang artinya mengamuk. Hingga saat ini masyarakat Maluku masih menggunakan istilah caka untuk menyebt roh jahat. Istilah serupa adalah sawanggi. Jadi pengertian Cakalele secara harfiah adalah setan atau roh yang mengamuk. Bila jiwa seseorang telah dirasuki setan atau roh, maka ia tidak takur kepada siapa pun yang dihadapi dan ia akan haus darah manusia. Musik pengiring tari Cakalele adalah ensambel yang dinamakan tepetepe. Kumpulan ini terdiri dari pemain alat-alat musik dua buah tifa, bia, dan satu buah gendang, serta sebuah gong tembaga yang dijadikan alat memukul untuk mengeluarkan suara yang menambah suasana hiruk-pikuk. Daftar Pustaka a. Buku dan Artikel Narawati, Tati dan R.M. Soedarsono, 2005. Tari Sunda: Dulu, Kini, dan Esok. Bandung: Pusat Penelitian dan Pengembangan Pendidikan Seni Tradisional Universitas Pendidikan Indonesia. Sachs, Curt, 1963. World History of the Dance. California: University of California. Soedarsono, 1972. Jawa dan Bali: Dua Pusat Perkembangan Drama Tari Tradisional di Indonesia. Yogyakarta: Gdjah Mada University Press. Soedarsono, 1974. Dances in Indonesia. Jakarta: Gunung Agung. Soedarsono, 1986. “Notasi Laban: Suatu Kemungkinan Sistem Notasi Tari bagi Indonesia.” Pengetahuan Elementer Tari dan Beberapa Masalah Tari. F.X. Sutopo Cokrohamijoyo (ed.). Jakarta: Direktorat Kesenian Proyek Pengembangan Kesenian Jakarta, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan b. Internet: tarian-indonesia.blogspot.com id.wikipedia.org/wiki/Maluku www.kidnesia.com/Kidnesia/Potret-Negeriku 154 sembilan RAPAI GELENG DI BANDA ACEH: ANALISIS FUNGSI, TEKS, DAN MUSIK Dindin Achmad Nazmudin Mahasiswi Magister (S2) Penciptaan dan Pengkajian Seni, Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Sumatera Utara 1. Latar Belakang Kebudayaan sebagai hasil dari karya cipta, karsa, dan rasa merupakan suatu integritas yang dimiliki oleh manusia dan bersifat dinamis. Artinya selalu berubah mengikuti setiap perkembangan dan daya nalar manusia pada zamannya. Linton dalam bukunya yang berjudul the Cultural Ground of Personality1 mengatakan bahwa kebudayaan adalah konfigurasi dari tingkah laku dan hasil laku, yang unsur-unsur pembentuknya didukung serta diteruskan oleh anggota masyarakat tertentu. Dilihat dari wujudnya kebudayaan dapat berupa ide atau gagasan ataupun wujud material sebagai benda-benda hasil karya manusia. Secara umum, wujud kebudayaan dapat dibagi menjadi menjadi empat yaitu: (1) wujud kebudayaan sebagai suatu ide, gagasan, rencana, keinginan; (2) wujud kebudayaan sebagai nilai nilainilai, norma, peraturan, yang mengendalikan tingkah laku manusia (hukum); (3) wujud kebudayaan yang mengatur dan menata aktivitasaktivitas manusia dalam interaksi dan pergaulan atau sistem sosial, dan (4) wujud kebudayaan yang bersifat benda, seperti pedang, mobil, komputer, lukisan, dan lain-lain.2 Agama Islam merupakan suatu manifestasi pandangan hidup manusia yang diyakini bersumber dari Allah Subhanahu Wa Ta’ala (SWT) sebagai Tuhan pencipta dan penguasa alam semesta. Agama Islam bagi seorang 1 Sujarwa, 2001. Manusia dan Fenomena Budaya. Jakarta: Pustaka Pelajar. h.8 Muhammad Takari dkk. 2008. Masyarakat Kesenian Indonesia. Medan: Studia Kultura. 2 Seni: Fungsi, Perubahan, dan Makna muslim sebagai pemeluknya, yang disampaikan melalui seorang rasul atau utusan-Nya yaitu Nabi Muhammad Salallahu Alaihi Wassalaam (SAW), merupakan ajaran tauhid (keesaan Tuhan), syari’ah (aturan dalam kehidupan) dan muamaalah (tingkah laku dalam pergaulan), bagi kehidupan umat manusia di muka bumi. Kebudayaan Islam adalah cerminan dari peradaban dan perkembangan kebudayaan masyarakat pemeluk ajarannya, yang pada awalnya bersumber di Jazirah Arab. Kebudayaan ini dibawa oleh Nabi Muhammad SAW yang diteruskan kepada para keluarga, sahabatnya, dan para pengikutnya. Kemudian meluas wilayah penyebarannya hingga sampai pada wilayah Nusantara, seperti wilayah Aceh. Kawasan ini merupakan yang paling depan sebagai gerbang pintu masuk agama Islam di wilayah Nusantara, melaluicara perniagan pada masa lalu melalui Selat Melaka. Kemudian kebudayaan Islam tersebut menyebar dan mengakar pada kebudayan masyarakat Aceh. Penyebaran agama Islam di Nusantara dengan mudah dapat diterima oleh masyarakat Aceh yang disebabkan salah satunya melalui unsur-unsur kesenian sebagai media dakwah (penyampaiannya). Bukti penyebaran agama Islam di Aceh terlihat dalam beberapa bentuk keseniannya seperti dalam karya seni sastra Hikayat Prang Sabi yang menggambarkan semangat para pejuang Aceh untuk berjihad menegakkan agama Allah, dan berperang di jalan Allah. Perang ini adalah sebagai bentuk perlawanan terhadap penjajahan Belanda yang akan menghancurkan peradaban Islam di Aceh dengan merebut wilayah kekuasaan kerajaan Aceh pada saat itu. Dalam karya seni rupa terlihat ukuran-ukiran dalam batu nisan atau pedang yang bertuliskan huruf Arab yang menuliskan keagungan Allah. Dalam karya seni tari terlihat busana yang dipakai selalu tertutup dan tidak menampakan aurat (anggota badan yang tidak boleh dinampakkan) baik bagi laki-laki maupun perempuan baik dalam kehidupan sehari-hari maupun dalam pertunjukan kesenian. Contohnya dalam tari seudati, meuseukat, ratouh duek, dan sebagainya. Dalam karya musik lagu-lagu yang dibawakannya cenderung mempunyai kesamaan dengan tangga nada di daerah Timur Tengah, dan syair-syairnya 156 Dindin, Rapai Geleng pun banyak yang mengangkat tentang pemujaan kepada Allah dan memuliakan Nabi Muhammad sebagai Rasul-Nya. Salah satu contoh adalah jenis kesenian Rapai Geleng yang akan penulis angkat sebagai kajian dalam tulisan ini. Kesenian Rapai Geleng merupakan salah satu dari bentuk kesenian yang merupakan wujud kebudayaan terhadap hasil olah pikir, ide, atau pun gagasan masyarakat Aceh melalui ajaran agama Islam. Dalam sedni ini terkandung rasa keindahan (estetika) yang ditimbulkan dari gerak dan musik sebagai sumber bunyi. Di dalamnya juga terkandung makna, isi pesan tentang norma-norma sosial, nilai-nilai hukum, dan sebagai wujud kebudayaan yang mengatur sistem sosial masyarakatnya. Setiap daerah tentunya memiliki jenis kesenian yang khas yang mencerminkan dan menunjukan eksisitensi budayanya masing-masing. Demikian juga halnya dengan Aceh. Kawasan ini adalah sebuah provinsi paling barat yang ada di gugusan paling depan di antara provinsi lainya di Indonesia. Aceh memiliki kekayaan khasanah berbagai bentuk kesenian, baik dari unsur seni rupa, tari, musik, dan sastra. Salah satu bentuk kesenian yang paling populer saat ini adalah tari Saman sebagai budaya tari pada masyarakat Aceh yang kemudian berkembang menjadi beberapa jenis bentuk kesenian yang salah satunya yang menggunakan alat musik Rapai. Ada berbagai macam Rapai yang digunakan oleh masyarakat Aceh, di antaranya Rapai Pase, Rapai Daboh, Rapai Geurimpheng, Rapai Pulot, Rapai Geleng, dan Rapai Aneuk/ Tingkah. Dari semua jenis Rapai ini mempunyai berbagai bentuk ukuran (organologis), dan kegunaan yang berbeda, disesuaikan dengan bentuk seni pertunjukannya. Demikian juga halnya dengan pola ritmisnya. Rapai mempunyai berbagai jenis irama yang dinamis. hal ini dapat dilihat dalam hasil penelitian seorang etnomusikolog asal Australia, Margaret Kartomi, beliau menuliskan pendapatnya sebagai berikut. The Rapa’i family of musical instruments occur in a large number of artistic genres, both secular and religious. In the secular genres, between eight and twenty men play a single rapa’i each, while one or two play in a vocal and/or instrumental ensamble, religious genres such as rapa’i daboh, sixty or more a 157 Seni: Fungsi, Perubahan, dan Makna man of a village and surrounding repeteadly play asimple rhythm, mainly focusing on the down beats while another (or another group) plays more – complex interlocking rhythms,k focusing on a syncopated rhythmic commentary. The latter ere called the rapa’i tingkah (interlocking rapa’i) 3 players. Ditinjau dari suku katanya Rapai Geleng mempunyai pengertian yang terdiri dari Rapai dan Geleng, Rapai adalah salah satu bentuk alat musik tradisional yang ada di daerah Aceh, khususnya di daerah masyarakat pesisir yang meliputi wilayah Aceh Timur (Langsa, Idi, dan sekitarnya), wilayah Aceh Utara (Panton labu, Lhoksukon, Lhokseumawe, Bireun, Jeunib, dan sekitarnya), wilayah Aceh Pidie (Pidie Jaya, Sigli, Beureunun, Tangse, Tiro, dan sekitarnya), Aceh Rayeuk (Aceh Besar, Banda Aceh, dan sekitarnya), Aceh Barat (Lamno, Calang, Daya, Meulaboh dan sekitarnya), serta Aceh Selatan (Tapak Tuan, Nagan Raya, Blang Pidie, dan sebagainya). Alat musik ini termasuk ke dalam kelompok membranophone, sejenis rebana dengan permukaan satu sisi, berbentuk lingkaran dan berbahan dasar kayu tualang atau nangka dengan membrane (permukaan) yang terbuat dari kulit lembu atau kerbau. Geleng artinya gerakan kepala yang dilakukan ke kiri dan ke kanan. Gerakan ini biasa dilakukan oleh masyarakat Aceh khususnya ataupun masyarakat muslim di Indonesia umunya pada saat melakukan ritual dzikir untuk selalu mengingat Allah Subhanahu Wata’ala sebagai Tuhan penguasa alam yang diajarkan dalam agama Islam. Gerakan ini bersifat spontan sesuai dengan kalimat yang diucapkannya yaitu kalimat Laa ilaaha ilaaallah yang artinya tiada Tuhan selain Allah. Dalam perkembangannya sebagai bentuk kesenian. Gerakan Rapai Geleng telah mengalami penataan gerak dan musik sehingga menjadi sebuah bentuk seni pertunjukan tari dan musik yang dimiliki oleh masyarakat Aceh. Kesenian Rapai Geleng biasanya dimainkan oleh laki-laki, dengan jumlah pemain antara 9 sampai lebih dari 12 orang, pada awal 3 Margaret J. Kartomi, 2012. Musical Journey In Sumatera. Illinois: University of Illionis Press. 158 Dindin, Rapai Geleng diciptakannya kesenian ini biasanya ditampilkan oleh laki-laki dewasa. Namun dalam perkembangannya saat ini kesenian Rapai Geleng banyak dimainkan oleh anak-anak dan remaja. Hal ini disebabkan karena gerakannya yang atraktif dan dinamis sehingga menarik untuk dipelajari khususnya oleh kalangan pelajar dan mahasiswa. Latar belakang penulis memilih kesenian Rapai Geleng sebagai objek penelitian ini karena ketertarikan penulis terhadap kesenian ini baik dari bentuk seni pertunjukannya maupun dari bentuk musikalnya yang saat ini sedang populer di Banda Aceh. Selain itu ketertarikan penulis di bidang penelitian dan pengembangan alat musik perkusi (alat musik pukul) di Nusantara yang banyak jenis dan ragamnya sehingga ingin menggali lebih dalam tentang alat musik perkusi tersebut. Dalam penelitian ini penulis mengangkat topik Rapai Geleng ini sebagai kekayaan khasanah budaya bangsa Indonesia sebagai bentuk seni pertunjukan yang memiliki fungsi sosial budaya terhadap masyarakat Kota Banda Aceh. Penggunaan alat musik Rapai dalam konteks seni pertunjukan adalah sebagai musik pengiring pada beberapa tarian seperti Ranup Lampuan, Peumulia Jamee (persembahan untuk menyambut tamu), Daboh (pertunjukan Debus), dan sebagai instrumen perkusi dalam sebuah Iringan Lagu-lagu Aceh. 4 Dalam konteks sosial, Rapai sering digunakan untuk ritual keagamaan, upacara penyambutan tamu, acara seremonial pada sosialisasi program-program pemerintah, dan sebagai komoditas industri pariwisata budaya. Pada fungsinya terhadap budaya masyarakat Kota Banda Aceh, Rapai Geleng memiliki fungsi ibadah, komunikasi, pendidikan, hiburan, dan pengintegrasian masyarakat. Lokasi penelitian dalam objek penelitian kesenian Rapai Geleng ini adalah terfokus pada wilayah Banda Aceh. Hal ini penulis lakukan disebabkan Banda Aceh sebagai pusat ibu kota Provinsi Aceh, pusat pendidikan, dan sebagai pusat kegiatan kesenian bagi masyarakat Aceh. Hal ini memudahkan penulis untuk mengumpulkan informasi dan mendapatkan berbagai sumber sebagai bahan penelitian kesenian Rapai 4 Murtala. 2009. “Tari Aceh,Yuslizar dan Kreasi yang Mentradisi.” Makalah. 159 Seni: Fungsi, Perubahan, dan Makna Geleng ini. Selain itu Kota Banda Aceh merupakan kota bersejarah yang mengawali masuknya perkembangan peradaban Islam di Aceh. Secara geografis Aceh merupakan salah satu provinsi yang ada di wilayah Barat Negara Kesatuan Republik Indonesia, terletak di ujung utara Pulau Sumatera. Letak geografisnya pada 95–98 derajat Bujur Timur, dan 2–6 derajat Lintang Utara. Daerah Aceh berbatasan dengan Selat Melaka di bagian utaranya, dan berbatasan dengan Sumatera Utara di bagian selatannya. Sebelah barat berbatasan dengan Samudera Hindia, dan sebelah timur berbatasan dengan Selat Melaka. Selain sebagai daerah perlintasan untuk jalur perniagaan, Aceh mempunyai jalur strategis untuk lintas budaya dan agama dan kolonialisasi bagi berbagai Negara Eropa dengan luas keseluruhan 5.7.365.57 km atau 5.736.557 ha.5 Saat ini, Provinsi Aceh terbagi menjadi 23 Kabupaten, yang terdiri dari Kabupaten Aceh Selatan (ibukota, Tapak Tuan), Kabupaten, Aceh Besar (ibukota Jantho), Kabupaten Pidie (ibukota Sigli), Kabupaten Aceh Utara (ibukota, Lhoksukon), Kabupaten Aceh Timur (ibukota, Idi), Kabupaten Aceh Barat (ibukota, Meulaboh), Kabupaten Aceh Tengah (ibukota, Takengon), Kabupaten Aceh Tenggara (ibukota, Kutacane), Kabupaten Aceh Singkil (ibukota, Singkil), Kabupaten Aceh Barat Daya atau Abdya (ibukota, Blang Pidie), Kabupaten Pidie Jaya (Kabupaten, Meureudu), Kabupaten Aceh Bireun, Kota Lhokseumawe, Kota Langsa, Kota Sabang, Kabupaten Aceh Tamiang (ibukota, Kuala Simpang), Kabupaten Aceh Jaya (ibukota, Calang), Kabupaten Simeulu (ibukota, Sinabang), Kabupaten Nagan Raya (ibukota, Jeuram), Kabupaten Bener Meriah (ibukota, Redelong), Kabupaten Gayo Lues (Blangkejeren), Kota Subulussalaam (ibukota, Subulussalaam), dan Kota Banda Aceh. Sistem pemerintahan di provinsi Aceh dari tingkat provinsi, kabupaten, kecamatan dan desa pada umumnya hampir sama seperti di wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia. Namun ada kekhasan dalam sistem pemerintahan adat di tingkat mayarakat di Aceh. Hal ini merupakan hasil dari warisan sistem kerajaan pada masa lalu yang diterapkan melalui 5 Murtala, 2009. Tari Aceh, Yusrizal, dan Kreasi yang Mentradisi. Banda Aceh. 160 Dindin, Rapai Geleng Qanun pemerintah Aceh sebagai bentuk keistimewaan atau hak otonomi khusus di Aceh, yaitu dengan adanya Mukim, Imeum, Keuchik, dan Tuha Peut. Hal ini dikarenakan mayoritas penduduk Aceh masih menggunakan sistem pemerintahan yang dianut pada masa kerajaan Islam (kesultanan). 6 Sejarah masuknya Islam di Aceh seiring dengan berdirinya kerajaan Islam di Aceh bahkan di Nusantara yang dikenal dengan kerajaan Islam Samudera Pasai. Kepastian tentang waktu berdirinya belum ada satu pendapat pun yang dapat memastikannya. Namun ada beberapa catatan sejarah yang bersumber sementara yang diperoleh dari para kalangan sarjana Barat, khususnya Belanda sebagai sebuah referensi hasil dari catatan pada masa kolonial Belanda selama invasi di Aceh. Di antaranya yaitu Prof. Snouck Hugronje, J.P Mouquette, J.L Moens, J.Hushoff Poll, G.P Roufer, H.K.J Cowan, dan lain-lain. Mereka menyebutkan bahwa berdirinya Kerajaan Samudera Pasai beriri pada abad XIII, dan sebagai pendiri kerajaan adalah Sultan Malikul Saleh yang meninggal pada tahun 1297. 7 Seperti diketahui, Samudera Pasai adalah sebuah kerajaan yang bercorak Islam dan sebagai pimpinan tertinggi kerajaan berada di tangan sultan yang biasanya memerintah secara turun temurun. Lazimnya kerajaan-kerajaan pantai atau kerajaan yang berdasarkan pada kehidupan atau kejayaan maritim yang termasuk dalam struktur kerajaan tradisional kerajaan-kerajaan Melayu, seperti kerajaan Islam Samudera Pasai. Di samping terdapat seorang sultan sebagai pimpinan kerajaan, terdapat pula beberapa jabatan lain, seperti menteri besar (perdana menteri atau orang kaya besar), seorang bendahara, seorang komandan militer atau panglima Angkatan Laut yang lebih dikenal dengan laksamana, seorang sekretaris kerajaan, seorang kepala mahkamah agama yang dinamakan qadi, dan beberapa orang syahbandar yang mengepalai dan mengawasi pedagangpedagang asing di kota-kota pelabuhan yang berada di bawah pengaruh 6 Sumber; wawancara dengan Marzuki Hasan. Depdikbud, 1997/1998. Sejarah daerah, Propinsi Daerah Istimewa Aceh. Proyek penelitian dan pencatatan kebudayaan daerah. Jakarta: Depdikbud. h. 38. 7 161 Seni: Fungsi, Perubahan, dan Makna kerajaan itu. Biasanya para syahbandar ini juga menjabat sebagai penghubung antara sultan dan pedagang-pedagang asing. Sebagaimana lazimnya sebuah kerajaan maritim, Kerajaan Islam Samudera Pasai dapat berkembang karena mempunyai suatu kekuatan angkatan laut yang cukup besar menurut ukuran masa itu dan mutlak diperlukan untuk mengawasi perdagangan di wilayah kekuasaannya. Oleh karena sebagai kerajaan maritim, maka kerajaan ini sedikit sekali mempunyai basis agraris yang hanya diperkirakan berada sekitar sebelah– menyebelah sungai Pasai dan sungai Peusangan saja. Di tempat ini terdapat sejumlah kampung (meunasah-meunasah) yang merupakan unit daripada bentuk masyarakat terkecil di wilayah Samudera Pasai pada waktu itu. Selain itu meunasah-meunasah ini merupakan lembaga-lembaga pemerintahan terkecil pula dari Kerajaan Samudera Pasai pada waktu itu. Dengan melihat Samudera Pasai sebagai pusat studi dan pertemuan para ulama seperti tersebut di atas, maka banyak sekali tokoh dan para ahli dari berbagai disiplin pengetahuan yang datang dari luar seperti dari Persia (bagian dari Daulah Abbasiyah) untuk membantu kerajaan Islam Samudera Pasai. Oleh karena itu, dapat dipastikan bahwa sistem dan organisasi pemerintahan di kerajaan itu, tentunya seirama dengan sistem yang dianut oleh pemerintahan Daulah Abbasiyah. Menurut catatan Ibnu Batutah, di antara pejabat tinggi Kerajaan Islam Samudera Pasai yang ikut melepaskan sultan meninggalkan mesjid di hari Jumat yaitu al-wuzara (para menteri) dan ak-kuttab (para sekretaris), dan para pembesar lainnya. Selain itu menurut catatan M. Yunus Jamil, bahwa pejabat-pejabat Kerajaan Islam Samudera Pasai terdiri dari orang-orang alim dan bijaksana. Adapun namanama dan jabatan-jabatan mereka adalah sebagai berikut: Seri Kaya Saiyid Ghiyasyuddin, sebagai Perdana Menteri; Saiyid Ali bin Ali Al Makaarani, sebagai Syaikhul Islam; dan Bawa Kayu Ali Hisamuddin Al Malabari, sebagai Menteri Luar Negeri. Demikian halnya seiring masuknya agama Islam di Aceh, maka pengaruh kebudayaan Islam menyebar melalui berbagai cara termasuk kesenian seperti karya sastra dalam syair maupun kebudayaan musik. Rapai sebagai salah satu alat musik hasil penyebaran agama Islam yang 162 Dindin, Rapai Geleng dibawa dari hasil kebudayaan Timur Tengah melalui India yang kemudian menjadi media dakwah dalam penyebaran agama Islam pada masa kerajaan Islam pertama tersebut. Kemudian membawa pengaruh budaya yang berkembang menjadi suatu bentuk kesenian yang mempunyai fungsi sosial budaya pada masa pemerintahan kerajaan Islam di Aceh yang pada saat itu dipimpin oleh Sultan Iskandar Muda, yang terus berlanjut hingga saat ini. Penyebaran Islam melalui alat musik Rapai berawal dari seorang ulama besar Islam yaitu Syekh Abdul Qadir Zailani. Beliau meneruskan ajaran Islam dari seorang ulama ahli tasawuf dari Baghdad Irak yang bernama, Syekh Ahmad Rifa’i 8 yang mengajarkan agama Islam dengan ajaran tasawuf yang dikenal dengan aliran Rifaiyyah. Pada zaman pemerintahan Sultan Iskandar Muda, alat musik ini sering digunakan untuk keperluan penyambuatan tamu kerajaan. Alat musik Rapai ini merupakan hasil akulturasi budaya Islam yang masuk ke daerah Aceh sekitar abad XIII, yang dibawa oleh para ulama dan saudagar Islam dari Timur Tengah melalui jalur perdagan dunia yang melintasi Asia Tengah dan Selatan seperti Pakistan, India, dan lainnya. Kemudian menjadi sarana penyebaran agama Islam di seluruh Aceh dan Nusantara. Selanjutnya menjadi budaya masyarakat Islam di Indonesia. Hal ini dapat kita lihat pada banyaknya ragam alat musik perkusi sejenis Rebana di Nusantara ini yang bentuknya hampir menyerupai Rapai. Bahkan hampir semua instrumen tersebut digunakan untuk mengiringi shalawat Nabi yang tujuannya untuk memuliakan Nabi Muhammad, pada peringatan hari besar keagamaan Islam. Dalam perkembangannya saat ini, Rapai di Aceh banyak digunakan sebagai pengiring tarian termasuk Rapai Geleng. Alat musik ini juga ditampilkan pada upacara penyambutan pengantin pada pesta pernikahan, khitanan, dan penyambutan tamu kehormatan, atraksi daboh (debus) atau pertunjukan bela diri, perlombaan Rapai (Rapai Tunang). Selain itu juga 8 Margaret J. Kartomi, 2013. The Musical Journey of Sumatera. Canberra: Monash University Press. 163 Seni: Fungsi, Perubahan, dan Makna digunakan sebagai identitas alat musik Aceh dalam beberapa garapan karya musik modern, sebagai suatu dampak proses globalisasi yang banyak mewarnai jenis world music (musik etnik di dunia), yang menunjukan identitas budaya etnik Aceh oleh para seniman di bidang musik di Aceh. Keyakinan dan kepercayaan masyarakat Aceh dalam tatanan sosial budayanya menempatkan agama sebagai pilar kehidupan dan kebudayaanya, sehingga dalam setiap perilaku dan aturan kehidupan selalu dikaitkan dengan nilai-nilai kandungan ajaran agama yang dianutnya, yaitu agama Islam. Masuknya agama Islam mempunyai pengaruh yang sangat besar bagi masyarakat Aceh hingga mempengarui aspek-aspek sosial budaya terutama dalam berkesenian. Hal ini tidak terlepas dari suatu produk kebudayaan yang menjadi sumber ide atau gagasan yang diterapkan dalam suatu tatanan atau peraturan dalam pranata sosial. Hal ini tercermin pada pola pikir masayarakat Aceh yang dituangkan ke dalam pepatah para orang tua di Aceh yang dikenal dengan ungkapan sebagai berikut: “Adat bak potmeureuhom, hukom bak Syiah Kuala” jika ditafsirkan makna bahasa tersebut akan mempunyai arti “Peraturan adat ada di tangan raja, dan hukum ada di tangan ulama (dalam hal ini orang yang menguasai ilmu agama Islam).” Kemudian hal ini diperjelas dalam hadih madja (ungkapan adat) bahwa: “Hukom ngon adat, lagee zat ngon sifeut” yang artinya: “Hukum (Islam) dan adat seperti zat dan sifatnya.” Makna yang tersirat dalam ungkapan tersebut sebagai berikut: “… Islam dan rakyat Aceh ibarat darah dan daging. Hal itu berlaku dalam segala cabang kehidupan politik, ekonomi, keuangan, sosial budaya, dan tata susila. Segala macam ajaran dan sistem kemasyarakatan tidak boleh berlawanan dengan ajaran Islam.” Untuk itu masyarakat Aceh menganggap pentingnya adat dalam kehidupan sosial budaya untuk mengatur tatanan kehidupan masyarakatnya, karena itudalam beberapa syair Aceh dalam karya sastra dan musiknya sering mengungkapkan pepatah bahwa ”mate aneuk mepat jerat gadoh adat han meho mita” yang artinya: “mati anak jelas kuburnya, hilang adat ke mana di cari.” Oleh sebab itu dapat kita lihat di hampir setiap produk budaya masyarakat Aceh, khususnya di bidang seni tari seperti dalam bentuk Tari Saman, Tari Rapai Geleng, Tari Seudati, Tari 164 Dindin, Rapai Geleng Meuseukat, Likok Pulo,Tari Laweut,Tari Ratoh Duek, yang semuanya mencerminkan nilai-nilai yang terkandung dalam ajaran Islam. Kemudian syair-syair yang dilantunkannya sebagai doa, yang digabungkan berdasarkan sumbernya dari Al-Qur’an dan Sunah Nabi dengan menggunakan bahasa Arab dan bahasa daerah Aceh sebagai penyampai isi pesan yang disampaikannya sebagai fungsi komunikasi dalam penyebarannya. Hal ini mengisyaratkan bahwa adat merupakan pedoman yang bersifat abstrak, yang seharusnya tersimpan dalam pikiran anggota masyarakat Aceh. Bentuk-bentuk kesenian yang mempunyai ideology semacam ini hampir mempunyai kesamaan dengan daerah lain yang ada di Indonesia sebagai keberhasilan pengaruh budaya Islam di Nusantara. Bagi masyarakat Aceh, Islam menjadi pemersatu dari setiap suku-suku yang mendiami Provinsi Aceh yang memiliki perbedaan baik dari segi suku, bahasa, adat istiadat, bahkan dengan berbagai kontur alamnya. Hal ini menunjukan fungsi integritas terhadap masyarakat Islam di Aceh. Sebagai contoh, di Aceh ada beberapa suku etnik yang mendiaminya seperti Aceh Rayeuk, Gayo, Alas, Tamiang, Kluet, Aneuk Jamee, Singkil, Simeulue, yang mempunyai adat dan bahasa yang berbeda namun dengan masuknya Islam melalui kebudayaan suku-suku yang ada di masyarakat Aceh, manjadikan masyarakat Aceh bersatu dalam sistem kebudayaan keagaamaan yaitu agama Islam. Hal ini sangat berpengaruh terhadap perkembangan kesenian di Aceh khusunya seni tari dan musik. Berdasarkan latar belakang masalah di atas, maka dapat dirumuskan masalah dalam penelitian ini, yaitu bagaimana fungsi, teks, dan musik pada kesenian Rapai Geleng dalam kehidupan sosial budaya masyarakat kota Banda Aceh?“ Penekanan utama masalah penelitian ini adalah tentang fungsi, yang juga berkait dengan guna. 2. Sejarah Rapai di Aceh Sejarah masuknya alat musik Rapai ini telah ada sekitar abad XIII seiring masuknya agama Islam di aceh yang kemudain menjadi media dakwah dalam penyebaran agama Islam dimasa kerajaan Islam pertama di Nusantara yaitu Samudera Pasai yang dipimpin Raja Islam pertama yaitu 165 Seni: Fungsi, Perubahan, dan Makna Sultan Malikul Saleh di daerah Pasai (Pase, Aceh Utara). Rapai ini kemudian berkembang menjadi suatu kesenian yang mempunyai fungsi sosial budaya pada masa pemerintahan Sultan Iskandar Muda. Alat musik rapai ini merupakan hasil akulturasi budaya Islam yang masuk ke daerah Aceh sekitar abad XIII, yang dibawa oleh para ulama dan saudagar Islam dari Timur Tengah melalui jalur perdagan dunia yang melintasi Asia tengah dan selatan seperti Pakistan, India dan sebagainya dan, kemudian menjadi alat penyebaran Agama Islam di seluruh Aceh dan Nusantara. Pada awalnya budaya alat musik Rapai dibawa oleh seorang ulama besar Islam Syekh Abdul Qadir Zailani, yang meneruskan ajaran Islam dari seorang ulama ahli tasawuf dari Baghdad Irak yang bernama Syekh Ahmad Rifa’i, yang kemudian ulama ini terkenal dengan aliran tasawuf Rifaiyyah.9 Pada zaman pemerintahan Sultan Iskandar Muda, alat musik ini sering digunakan untuk keperluan penyambuatan tamu kerajaan, sehingga menjadi budaya masyarakat Islam di Indonesia. Hal ini dapat kita lihat pada banyaknya ragam alat musik perkusi sejenis rebana di Nusantara ini yang bentuknya hampir menyerupai Rapai. Bahkan hampir semua instrumen tersebut digunakan untuk mengiringi perayaan hari besar keagamaan Islam seperti maulid Nabi (hari kelahiran Nabi Muhammad), Isra Mi’raj (peringatan perjalanan Nabi Muhammad dari Masjidil Haram ke Masjdil Aqsa, hingga Sidratul Munthaha atau langit ke tujuh untuk menerima perintah shalat dari Allah SWT), dan lain-lain. Dalam hal tersebut selalu dilantunkan shalawat Nabi (memuliakan dan mendoakan) terhadap Nabi Muhammad beserta keluarganya. Nama Rapai sendiri diambil dari seorang ulama besar di Arab yang mensyiarkan Islam melalui dakwah yang cara berdakwahnya menggunakan alat musik berbentuk frame drum (perkusi sejenis rebana dengan satu permukaan yang dimainkan dengan cara dipukul atau ditepuk) yang kemudian disebarkan oleh para pengikut aliran tasawuf Rifa’iyah.10 Dalam sebuah panton Aceh disebutkan bahwa Rapai diperkenalkan oleh seorang 9 Wawancara dengan Marzuku Hasan di taman budaya Banda Aceh. Kartomi, op. cit. 10 166 Dindin, Rapai Geleng ulama besar Islam kelahiran Persia, yaitu Syekh Abdul Qadir Zailani. Beliau lebih dikenal dengan sebutan Bandar Khalifah (1077-1166). Ia pertama kali datang ke Aceh mendiami sebuah kampung yaitu Kampong Pande, yang sekarang letaknya berada sekitar kecamatan Masjid Raya, wilayah kabupaten Aceh Besar. Bentuk Rapai di Aceh pada awalnya mirip seperti alat musik rebana dengan satu permukaan yang terbuat dari kayu yang dilapisi oleh kulit kambing atau kerbau yang digunakan sebagai pengiring meudike (berdzikir) untuk menyemangati para pengikut ajaran Islam agar selalu ingat kepada Allah sebagai Tuhan yang menguasai seluruh alam dan sebagai sosialisasi ajaran agama Islam pada masa itu. Hal ini dapat terlihat pada penyebaran Islam di kerjaan Islam pertama di Nusantara yaitu Samudera Pasai yang berada di daerah Lhokseumawe Aceh bagian Utara. Rajanya yang bernama Sultan Malikul Saleh. Maka sebagai bentuk kebudayaan penyebaran Islam tersebut dinamailah Rapai Pasee karena berada di sekitar daerah Pasee. Dahulu terkenal dengan nama Samudera Pasai, sebuah Kerajaan Islam pertama di Nusantara, sebagai media dakwah yang dianut oleh aliran tarekat sufi sebagai jalan untuk mendekatkan diri terhadap Allah Subhanahu Wataala, Tuhan yang menguasai alam semesta dalam masyarakat Islam dalam setiap lantunan dzikir dengan bentuk nyanyian yang diiringi oleh tabuhan Rapai tersebut. Tentang Rapai juga dituliskan dalam beberapa karya sastra Aceh yang dituliskan oleh beberapa ulama yang datang dan menetap di Aceh pada sekitar abad 16 dan abad 17. Salah satunya adalah ulama dan sastrawan besar Melayu yaitu Hamzah Fansuri. Beliau mempelajari Islam dengan aliran Qadiriyah yang ada di Arab yang kemudian disebarkan di Aceh. Kemudian aliran ini diikuti oleh ulama-ulama lain seperti Ahmad Qushashi dan Muhammad Saman yang berdakwah sekitar tahun 1661.11 Kemudian penyebaran Islam dilanjutkan oleh seorang ulama yang masih keluarganya yaitu Syekh Abdurrauf Assingkili. Kemudian ulama ini terkenal di Aceh dengan sebutan Syiah Kuala (nama tersebut sampai sekarang dipakai sebagai nama sebuah universitas di Banda Aceh). Syekh Abdurrauf tidak 11 Ibid., h. 216. 167 Seni: Fungsi, Perubahan, dan Makna saja menghasilkan suatu ajaran yang memberikan masukan bagi petunjuk hukum di Aceh akan tetapi juga memberikan suatu bentuk kebudayaan seni Islam di Aceh yang dikenal dengan dike (dzikir). Dalam salah satu syair sastra Aceh tentang Rapai dijelaskan sebagai berikut. Di langet manyang bintang meuble-meuble Cahya ban kande leumah u bumoi Asai Rapai bak Syekh Abdul Kade Masa nyan lahe peutreun u bumoi [Di langit tinggi bintang berbinar-binar Cahaya bak lilin memancar ke bumi Asal rapai dari Syekh Abdul Kadir Inilah yang sah penciptanya lahir ke bumi]12 Dalam syair teks ini mengandung makna bahwa Rapai mempunyai peran yang sangat penting sebagai kesenian yang saat itu populer di masyarakat sebagai media dakwah syiar Islam, yang menerangi masyarakat Aceh saat itu berada pada masa kebodohan menjadi masyarakat yang cerdas dan menjadikan sebuah bangsa yang gemilang dengan sinar Islam. Dijelaskan pula bahwa asal Rapai dibawa oleh ulama Syekh Abdul Qadir Zailani sebagai penciptanya dan mengenalkannya kepada seluruh dunia. Kata Rapai sendiri mengandung beberapa pengertian yang dipahami oleh masyarakat Aceh sebagai berikut: a. Rapai diartikan sebagai alat musik pukul yang dibuat dari kayu nangka atau kayu merbau, sedang kulitnya dari kulit kambing yang telah diolah. Badan Rapai sendiri sisebut paloh atau baloh . Dilihat dari perangkat besar kecilnya ukuran rapai, ini dapat dibedakan menjadi beberapa jenis. b. Rapai diartikan sebagai grup permainan yang terdiri dari antara 8 sampai 12 orang atau lebih yang 12 Depdikbud, 1980-1981. Dampak Pengembangan Pariwisata terhadap Kehidupan Sosial di Daerah Istimewa Aceh. Banda Aceh: Direktorat Jendral Kebudayaan Daerah Istimewa Aceh. h. 5. 168 Dindin, Rapai Geleng disebut awak Rapai. c. Rapai diartikan sebagai bentuk permainan kesenian rapai itu sendiri.13 Pada abad 17 para ulama memilih cara berdakwah dengan bentuk kesenian dan menerapkan budaya Islam yang egaliter dan demokratis. Hal ini menjadikan agama Islam lebih mudah difahami dan diterima oleh masyarakat Islam di Aceh pada masa itu. Salah satu ulama besar yaitu Syekh Muhammad Saman berdakwah dengan memperkenalkan seni meurateb. Cara berdakwah ini mengajarkan pada umatnya untuk selalu mengingat Allah, dalam melakukan meurateb ini sambil melakukan gerakan badan dan kepala dengan mengangguk-angguk sambil berdzikir sebagai bentuk totalitas untuk mengingat Allah Subhanahuwata’ Ala. Kemudian cara ini berkembang menjadi suatu jenis tarian yang sangat dikenal sebagai Ratouh Duek (yang menyebar di daerah Aceh Pesisir) dan Saman (yang menyebar di dataran tinggi Gayo). Pada awalnya kedua jenis tarian ini tidak menggunakan alat musik Rapai sebagai pengiring tariannya. Namun seiring perkembangannya mendapat pengaruh iringan Rapai di sekitar Aceh Barat dan Selatan sebagai pengaruh Rapai Pasee dari Aceh Utara. Kemudian penyebarannya di daerah Aceh bagian Barat dan Selatan melahirkan jenis kesenian campuran antara seni tari dan musik yang dikenal dengan seni Rapai Saman.14 3. Jenis-jenis Rapai di Aceh Menurut beberapa pendapat dari para informan yang penulis wawancara dan dapatkan informasinya, bahwa secara garis besar ada enam jenis Rapai yang berkembang di Aceh. Hal ini sesuai dengan pendapat seorang etnomusikolog Australia Margaret Kartomi dalam hasil penelitiannya menuliskan bahwa beberapa jenis Rapai di Aceh di antaranya adalah sebagai berikut. 13 Ibid Wawancara dengan pak Hasan Basri dan Pak Riza, seniman (syekh) Seudati, Rapai Saman, dan Rapai Geleng, yang bekerja di Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Provinsi Aceh. 14 169 Seni: Fungsi, Perubahan, dan Makna Tabel 9.1 Jenis-jenis Rapai di Aceh No Jenis Rapai Ukuran 1. Besar (70 cm, diameter 18 cm) 2. Sangat Besar (1.3 m, diameter 32 cm) 1. Sedang besar (50 cm, diameter 12 cm) 2. Sedang (48 cm, diameter 12 Asal daerah (di Aceh) Pasee, Aceh Utara 1 Rapai Pase 2 Rapai Daboh 3 Rapai Geurimpheng 1. Sedang (35-38 cm, diameter 8-10 cm) Bireun 4 Rapai Pulot Pidie jaya, Pidie 5 Rapai Geleng Sedang (38 cm, diameter 10 cm) Sedang (35 cm, diameter 8 cm) 6 Rapai Aneuk/Tingkah Kecil (6-8 cm), diameter 4 cm) Bireun Aceh Selatan Aceh Selatan, Banda Aceh. Digunakan didaerah Lhokseumawe, Aceh utara, Pidie, Banda Aceh, Aceh besar. Digunakan dihampir seluruh wilayah Aceh timur dan utara,pidie, Aceh besar, banda Aceh, Aceh Barat dan Selatan. Aceh utara, lhokseumawe, pidie, pidie jaya, Banda aceh. Pidie dan Pidie jaya Hampir diseluruh daerah pesisir Timur, Aceh Utara,sampai Barat selatan aceh. Kecuali simeulu,singkil dan gayo. Aceh Utara, lhokseumawe dan Bireun . (Sumber: Margaret Kartomi: Musical Journey in Sumatera,2005) 170 Dindin, Rapai Geleng 4. Rapai Geleng 4.1 Latar Belakang Budaya Pada Awalnya sebelum berkembang kesenian Rapai Geleng di Kota Banda Aceh, kesenian berasal dari daaerah Aceh Selatan, dengan ibukotanya Tapak Tuan, kira kira 6 jam perjalanan kendaraan mobil dari kota Banda Aceh. Dasar dari seni Rapai Geleng sendiri adalah berasal dari antara tari Saman yang berada di dataran tinggi Gayo yang yang berdifusi dengan kesenian yang menggunakan alat musik Rapai dari daerah pesisir Aceh bagian barat dan selatan. Kemudian berkembang menjadi Rapai Saman dan Seudati Saman yang berada di daerah Nagan Raya sebagai ibu kota derah Aceh Barat Selatan (sekarang Aceh Jaya). Perbedaannya dengan tari Saman Gayo adalah tari Saman Gayo tidak menggunakan alat musik Rapai, sedangkan Rapai Saman ini menggunakan Rapai sebagai alat musik, maka kesenian ini termasuk ke dalam jenis tari dan musik. Rapai Saman sebelumnya berkembang di daerah Kecamatan Seunagan, Kabupaten Aceh Barat. Setelah terjadi pemekaran pada sekitar tahun 2002, menjadi Kabupaten Nagan Raya, dengan nama Rapai Anggok. Kemudian dikembangkan oleh seorang seniman tradisional Rapai yaitu Syeh Syafi-e yang tinggal di Gampong Suak Bilie Suka Makmue Kabupaten Nagan Raya sekitar tahun 1960-an.15 Dalam bentuk penampilannya Rapai Saman membentuk barisan bulat dengan tanpa penyair (syeh) yang khusus. Akan tetapi syair (yang berbentuk pantun) dibawakan oleh semua pemain saat itu formasi Rapai Saman masih sangat sederhana hanya dengan duduk melingkar pada setiap penampilannya. Dimulai dari Salam Rakan sampai selesai penampilannya dan diiringi oleh kerip jari dan pukul dada sambil melantunkan syair sebagai berikut. Allah Salam Oe Da Eman-eman Salam” (diulangi 2x) Salamualaikom Wareh lon Alaikum laikom Salam 15 Syafi’e, 2010. “Asal-usul Rapai Saman.” Makalah. 171 Seni: Fungsi, Perubahan, dan Makna Kemudian diakhiri dengan duduk berbaris sambil mengambil Rapai yang telah disiapkan, dengan menggoyang kepala dan menggelengkan badan ke kiri dan ke kanan sambil memukul Rapai dan melantunkan syair sebagai berikut. Sallu Alika Allah Huyan A’leme Hudan Wa Muhammadun Wamuhamaddun Yahu-Yahu Kemudian diikuti dengan berbalas panton sebagai berikut: Meubak meuraksa timoh lam buleun Patah saboh dheun yoh gempa raya Bak lon na saboh si dada limpeun Ban lheuh lon teumeung malam baroksa Setelah melantunkan panton tersebut, selanjutnya diiringi oleh setiap pemain yang berpantun satu persatu dan meunasib (syahi panyang) dengan contoh panton sebagai berikut. Takoh iboh gle laya keu umpang Tokoh iboh blang laya keu tika Nibak malam nyo tanyo meu tunang Adab dan sopan bek peugah haba Bentuk panton dalam Rapai Saman ini biasanya digunakan dalam pertandingan Rapai (Rapai Tunang).16 Kemudian pada tahun 1981 Syeh Syafi’e ingin mengembangkan Rapai Anggok ini dengan berdiskusi bersama seorang seniman tari lainnya yaitu Syeh Sabirin. Kemudian mereka sepakat untuk mengembangkan tarian rapai Anggok tersebut hingga akhirnya menjadi Rapai Saman. Ia membuat bentuk penampilan yang berbeda, dan mempunyai bentuk dengan diawali Seulaweut Nabi yang syairnya sebgai berikut. 16 Ibid. 172 Dindin, Rapai Geleng Bismillah alhamdulliah, ya Allah yang Po Kuasa Seulaweut keu Rasulullah, ya Allah yang that Mulia Keu Muhammad, aneuk Abdullah ibunya Siti Aminah [Dengan nama Allah, ya Allah yang Maha Kuasa Shalawat dan salam kepada Rasulullah, ya Allah yang sangat mulia Kepada Muhamad, anak Abdullah, ibunya Siti Aminah]. Kemudian dilanjutkan dengan saleum (bersalaman) dengan menjabat tangan kiri dan kanan, dan membentuk gelumbang (gelombang). Kemudian dilanjutkan dengan memainkan Rapai dengan melakukan gerakan Tangan Saman. Yang pada akhirnya gerakan-gerakan tersebut menjadi bentuk penampilan kesenian Rapai Geleng seperti saat ini. Dalam perjalanannya, tim Rapai Saman ini mendapat kesempatan untuk melakukan pementasan di Negara Spanyol pada pameran EXPO di tahun 1992, yang kemudian tim kesenian yang dipimpin Syeh Syafi’e yang berasal dari Aceh Barat digabungkan dengan tim kesenian dari Aceh Selatan dipimpin oleh tokoh seniman asal Aceh Selatan yang juga staf Taman Budaya Aceh yaitu Ceh Wan (Drs A. Marwan Daud). Beliau dibantu oleh seorang syeh yaitu Pak Johor dari daerah Manggeng, dan seorang tokoh pemain Rapai yaitu Ceh Nas yang sekarang tinggal di Blang Pidie, Aceh Barat Daya. Menurut keterangan seorang tokoh seniman tari yang masih adik kandung Ceh Wan yaitu Zulfi Hermi, atau yang dikenal dengan panggilan Bang Emi, pimpinan sanggar Leumpia Kota Banda Aceh, bentuk penampilan Rapai Saman hampir mirip dengan tari Saman dan nama tersebut telah dimiliki oleh daerah Nagan Raya Aceh Barat. Maka akhirnya digantilah dengan nama Rapai Geleng. Alasannya karena dalam tarian tersebut terdapat unsur gerak tari menggelengkan kepala (dari pengaruh Rapai Anggok) dan sekaligus menggunakan alat musik Rapai yang dimainkan oleh para pemainnya. Sebelum berangkat ke Spanyol, kesenian Rapai Geleng ini ditampilkan di sebuah festival Pekan Kebudayaan Aceh (PKA) III di Taman Sri Ratu Syafiatudin dan di Taman Budaya Aceh (di Banda Aceh). Oleh karena bentuk gerak dan struktur musiknya yang energik dan 173 Seni: Fungsi, Perubahan, dan Makna dinamis, serta penghayatan yang tinggi dari setiap pemainnya, maka Rapai Geleng mendapat sambutan yang sangat luar biasa dari penontonnya. Sejak saat itu Rapai Geleng banyak diminati masyarakat Aceh, khususnya masyarakat Kota Banda Aceh. Faktornya karena penampilannya yang energik dan dinamis, dan bersifat religius, dan sampai sekarang berkembang di Banda Aceh. Kesenian ini juga diajarkan di sekolahsekolah tingkat SD, SMP, SMA, bahkan di Perguruan tinggi di Banda Aceh. 17 4.2 Struktur dan Bentuk Seperti yang telah dijelaskan di atas bahwa bentuk dan struktur kesenian Rapai Geleng terbentuk berdasarkan penggabungan antara dua jenis kesenian dari dua daerah yaitu Aceh Barat dan Aceh Selatan. Dalam pola permainanya, kesenian ini terbagi atas dua jenis, bentuk yang pertama adalah Rapai Geleng sebagai seni tari, dan yang kedua sebagai seni musik. Sebagai seni tari, Rapai Geleng mempunyai lima unsur struktur gerakan sebagai berikut: 1. Seulaweut; 2. Saleum; 3. Pukulan Kosong; 4. Kisah Shalawat Nabi (sebagai tema); dan 5. Esra atau lani (lagu atau syair yang dibawakan sebagai penutup). Struktur pertunjukan Rapai Geleng pada prinsipnya tidak terlepas dari pengaruh tari Saman. Posisi para pemain Rapai Geleng melakukan gerakannya dengan duduk berbanjar (seperti shaf dalam shalat). Dimainkan paling sedikit oleh 12 orang pemain Rapai, dengan susunan personil 9 orang awak rapai (pemain rapai), 1 orang syeh/syahi (sebagai pemimpin dan vokal utama), dan 2 orang aneuk syahi (vokal pembantu) seperti ilustrasi gambar di bawah ini. 17 Wawancara dengan Bapak Zulfi Hermi (Bang Emi), seorang tokoh seniman tari, pimpinan Sanggar Leumpia, Kota Banda Aceh. 174 Dindin, Rapai Geleng Syekh Aneuk syahi Sebagai bentuk musik dalam Rapai Geleng terdapat bermacam jenis motif pukulan yang dimainkan yang bersumber dari jenis bunyi Rapai. Bunyi ini disesuaikan dengan kelima struktur gerak dan syair dalam Rapai Geleng tersebut. Apabila kita perdalam struktur dan bentuk gerak dan struktur musiknya, maka akan kita jelaskan secara terperinci dengan penjelasan sebagai berikut. a. Seulaweut mengawali dimulainya kesenian Rapai Geleng ini, di sini para pemain memasuki pentas dengan berjalan sambil melantunkan shalawat. Adapaun shalawat adalah sebuah bentuk pemujaan terhadap Nabi Muhammad Shalallahu Aalaihi Wasssalaam sebagai Nabi yang diutus oleh Allah Subhanahu Wata’ala. Bershalawat ini adalah suatu kewajiban yang diperintahkan Allah bagi orang Islam. Hal ini ditegaskan dalam AlQuran Surat Al-Ahzab ayat 56, yang artinya: Sesungguhnya Allah dan para malaikat bershalawat kepada Nabi Muhammad. Hai orang-orang yang beriman bershalawatlah kamu (kepada Nabi Muhammad) dan ucapkanlah salam (sebagai) penghormatan kepadanya. Setelah masuk dengan melantunkan shalawat dengan dua kali pengulangan lagunya, kemudian membentuk satu shaf (berbaris berbanjar seperti shalat). Kemudian setelah merapikan shaf tadi maka semuanya pemain duduk berbanjar (lihat Gambar 9.1). 175 Seni: Fungsi, Perubahan, dan Makna Gambar 9.1 Posisi Pemain Rapai Geleng dalam Bentuk Bersaf (Dokumentasi: Dindin, 2013) Syair shalawat awalnya dibawakan oleh syeh (pemimpin) yang berada di tengah, kemudian disaot (sahut) oleh pemain lainnya dengan mengulangi lantunan shalawat tadi. Syair shalawat yang dibawakan biasanya seperti di bawah ini. Allah yaa Nabi salaamualaika, Ya Rasul salaammu alaika Yaa habib salamualaika, Sahalawatullah alaika [Salam sejahtera kepadmu wahai Nabi, Salam sejahtera kepadamu wahai Rasul Salam kepadamu wahai yang mulia Shalawat kami sampaikan kepadamu] Bentuk notasinya seperti di bawah ini. 176 Dindin, Rapai Geleng Notasi 9.1: Sambil berjalan dan bershalawat tadi kemudian pemain mengambil posisi duduk berbanjar ataupun membentuk pola lantai yang sudah dikreasikan (lihat Gambar 9.2) Gambar 9.2 Pemain Rapai Geleng dalam Posisi Duduk (Dokumentasi: Dindin, 2013) Kemudian dilanjutkan dengan melantunkan syair Arab yaitu, “Lam yaa Thalib” dengan diawalai dengan tempo perlahan yang kemudian setelah 177 Seni: Fungsi, Perubahan, dan Makna delapan kali tempo berubah semakin cepat dan berakhir pada posisi penghormatan awal seperti terlihat pada gambar di bawah ini. Gambar 9.3 Pemain Rapai Geleng dalam Posisi Penghormatan (Dokumentasi: Dindin, 2013) Syair yang di lantunkan adalah sebagai berikut. Lam yaa thalib ka tuka Ahmud laa daa abada Wa man tasya aba’at Lam fi maa dza zamani Wa man tasyaa aba’at Lam fi maa dza zamani Dalam syair Aceh: Na bak hantom ji meulum po Malam uro selama-lama Neuseu meungeut Nabi pitan Uro .alam spanjang masa [Nabi tidak pernah bermimpi Baik siang maupun malam Dan Nabi tidak pernah menipu umatnya Siang malam sepanjang masa] 178 Dindin, Rapai Geleng b. Saleum, dalam posisi gerakan saleum biasanya hanya duduk berbanjar seperti pada awal masuk. Atau dapat dikreasikan dengan pola lantai. Saleum adalah sebagai bentuk pembukaannya dimana pada setiap akan dimualinya suatu pertunjukan maka maka para pemain menyapa penontonnya dengan salam. Hal ini sesuai dengan budaya yang Islami, apabila bertemu seorang muslim dengan muslim lainnya maka wajib mengucapkan salam, yaitu: “Assalaamualaikum warrahmatullahi wabarakatuh” atau dapat diperpendek dengan mengucapkan “Assalaamualikum” saja. Hal ini dijelaskan dalam Al-Qur’an sebagai pedoman hidup umat Islam sebagai berikut yang artinya: Hai sekalian orang-orang yang beriman, jangan lah kamu masuk ke dalam rumah orang lain, hingga kamu minta izin dan memberi salam kepada penduduk rumah itu, yang demikian itu agar kamu (selalu) menjadi ingat (Q.S. Annur, ayat 27). Selain itu, dijelaskan pula dalam sebuah hadist sebagai sunah Nabi Muhammad dalam kitab Riadhus Sahlihin sebagai berikut, yang artinya: Dari Abdullah bin Amru bin Al Ash r.a berkata: “Seorang bertanya kepada Rasulullah SAW, Apakah yang terbaik didalam Islam? Jawab Nabi: memberi makan dan memberi salam terhadap orang yang kau kenal atau tidak kau kenal.” (H.R Buchary dan Muslim)18 Demikian pentingnya ucapan salam ini sehingga diterapkan dalam bentuk kesenian Rapai Geleng sebagai awal pembukanya. Hal ini sangat jelas bahwa Rapai Geleng mempunyai fungsi dakwah (penyebaran agama Islam). Hal ini menunjukan budaya Islam yang melekat dalam masyarakat Aceh, Khususnya masyarakat kota Banda Aceh. Dalam gerakan saleum tersebut ada beberapa jenis gerakan yang terbagi dalam beberapa bagian gerak saleum, seperti terlihat dalam susunan Gambar 9.4 gerakan 1: 18 Salim Bahresy, 1986. Kitab Terjemahan Riyadhus Shalihin. Bandung: Al-Ma’Arif,. h.33-34. 179 Seni: Fungsi, Perubahan, dan Makna Gambar 9.4 Gerak Saleum (Dokuemntasi: Dindin, 2013) Kemudian dilanjutkan dengan gerakan bersalaman antar setiap pemain sebagai simbol ukhuwah (persatuan) dan silaturrahmi (persaudaraan) dalam budaya masyarakat Islam seperti terlihat dalam gambar 9.5 gerakan 2. Gambar 9.5 Gerak Bersalaman (Dokumentasi: Dindin, 2013) 180 Dindin, Rapai Geleng Kemudian dilanjutkan dengan konfigurasi gerakan kreasi, seperti kreasi bentuk gelumbang (gelombang) seprti pada Gambar 9.6 gerakan 3: Gambar 9.6 Gerak Gelumbang (Dokumentasi: Dindin, 2013) Kemudian, masih dalam lantunan saleum, gerakan dilanjutkan dengan memainkan konfigurasi bermain rapai dengan membentuk gerak ke atas dan kebawah secara bergantian, seperti terlihat dalam Gambar 9.7 gerakan 4 berikut ini: 181 Seni: Fungsi, Perubahan, dan Makna Gambar 9.7 Gerak Atas dan Bawah (Dokumentasi: Dindin, 2013) Semua perubahan mengikuti dua kali pengulangan lagu (2 x 8 hitungan), dan kemudian ditutup dengan tempo yang semakin cepat sampai pada irama klimaks dan ditutup dengan berhenti secara serempak. Gerakan seperti gerakan di bawah ini. 182 Dindin, Rapai Geleng Gambar 9.8 Gerak Klimaks (Penutup) (Dokumentasi: Dindin, 2013) Adapun syair dalam saleum yang biasa dilantunkan adalah sebagi berikut. Salaamualikum, warrahmatullah Jaroe dua blah ateuh jeumala Jaroe lon sipluh diateuh ubun Meuah lon lake keu wareh dum na [Selamat dan Sejahtera kepada Semua, dan Ra dengan rahmat Allah Dua Belas jari diatas kepala Jari kami sepuluh diatas ubun Maafkan tingka klaku kami, kepada semua] Karena saleum Nabi keu sunah Jaroe ta mumat syarat mulia Mulia rakan ranoup lampuan Mulia rakan mameh suara [Karena Salam adalah Sunah nabi Tangan bersalaman tanda mulia Mulia kawan semua, karena sirih dalam puan 183 Seni: Fungsi, Perubahan, dan Makna Mulia sahabat, manis suara] Tameung jak piyouh, keu no u dalam Ranup Lampuan kaleuh sedia Jaroe lon sipluh di ateuh ulee Meueah lon lake keu wareh lingka [Para tamu dipersilahkan masuk ke dalam Sirih sudah kami siapkan Sepuluh Jari diatas kepala Maaf kan tingkah laku kami kepada semua] Jaroe lon sipluh, lon beu ut sikureung Syarat u leuengkeun tanda mulia Jaroe sikureung, lon beu ut lapan Keuganto timpan ngon asekaya [Jari kami sepuluh, kami angkat sembilan Sebagai tanda hormat dan mulia Jari sembilan kami angkat delapan Pengganti timpan dan isi kelapa] Jaroe loen lapan, loen beu ut tujuh Ranup lam bungkuh, loen juh keu gata Ranup nu pajoh, bungkoh na pulang Bek ruh teu utang bak akhir masa [Jari delapan, diangkat tujuh Sirih dalam bungkus, kami kasih kepada kawan Sirih dimakan, bungkus dikembalikan Jangan jadi utang, diakhir masa (akhirat)] Pada beberapa kelompok Rapai Geleng syair yang banyak dikenal biasanya sering digunakan adalah sebagai berikut. Nanggroe Aceh nyoe, tempat loen lahee, Bak ujoung pante pulau Sumatera, Dilee baro kon, lam jaroe kaphe, Jino hana lee, aman sentosa [Negeri Aceh ini, tempat saya lahir Di ujung pante pulau sumatera, Dulu dijajah dalam kekuasaan kafir (Belanda) Sekarang tidak lagi, dudah aman sentosa] 184 Dindin, Rapai Geleng Bentuk melodi lagu saleum adalah sebagai berikut. Notasi 9.2 c. Pukulan kosong, dalam pukulan kosong ini, bukan berarti tidak ada bunyi tetapi yang berbunyi hanya rapai saja dan gerak, tanpa diiringi lantunan syair, di sini motif pukulannya yang menjadikan kekhasan dan ciri kesenian Rapai Geleng. Pemain dalam gerakan ini menganggukanggukan kepala dan menggelengkan kepala sebagai kekhasan gerak Rapai Geleng mengikuti motif pukulan dari pola pukulan rapainya. Gambar 9.9 Gerak Pukulan Kosong (Dokumentasi: Dindin, 2013) 185 Seni: Fungsi, Perubahan, dan Makna Adapun motif pukulannya adalah sebagai berikut: Notasi 9.3: c. Kisah Nabi, pada bagian ini, syair yang dilantunkan adalah menceritakan tentang kisah kelahiran nabi Muhamad, atau keluarga dan sahabat nabi, sampai nabi wafat. Dalam bagian ini pemain mulai memainkan rapai dengan iramanya yang mengiringi syair tentang kisahkisah Nabi Muhammad. Fungsi dari dilantunkannya kisah Nabi Mahammad ini adalah sebagai pelajaran sejarah kehidupan dan riwayat nabi Muhammad SAW, sebagai nabi yang terakhir pemimpin umat Islam. Hal ini menunjukan betapa penting peranan Nabi Muhammad dalam kehidupan masyarakat Islam sehingga setiap umat Islam wajib mengetahui riwayat dan sejarah kehidupan nabinya. Di sini menunujkan pentingnya pendidikan sejarah yang disampaikan kepada generasi penerusnya baik secara langsung maupun melalui media seni dan budaya. Salah satunya melalui penampilan kesenian Rapai Geleng ini sebagai media penyampaian pendidikan. 186 Dindin, Rapai Geleng Adapun salah satu contoh syair yang dilantunkan dalam kisah nabi adalah sebagai berikut: Salam yaa salaam ya Rasulullah, ya Rasulllah, Yang di, yang di yang di, yang di tanoh Mekah, di tanoh Mekah. Wafat, wafat nabi, wafat di Madinah, wafat di Madinah Yang ditinggai aneuk Siti Fatimah, Siti Fatimah ... [Salam wahai Rasulullah, Yang ada di tanah Mekah, Wafat nabi di kota Madinah Yang mennggalkan anak siti Fatimah] Gerakan yang dimainkan seperti yang terlihat dalam gambar di bawah ini: Gambar 9.10 Gerak Kisah Para Nabi (Dokumentasi: Dindin, 2013) Bentuk melodi lagu kisah (riwayat nabi) adalah sebagai berikut. 187 Seni: Fungsi, Perubahan, dan Makna Notaasi 9.4: d. Esra (lagu atau syair yang dibawakan sesuai tema acara) atau lani (sebagai penutup). Pada bagian ini gerak dan syair adalah merupakan pengembangan dari inti gerakan dan syair kesenian Rapai Geleng yang sudah baku seperti halnya struktur gerak yang sudah dijeleskan di atas. Pengembangan tersebut merupakan bentuk kreativitas dari koreografer (peñata gerak) dan syair yang dikarang disesuaikan dengan tema acara pada saat tampil misalnya memperingati acara ulang tahun atau peringatan suatu peristiwa, contohnya menjelaskan keberhasilan pembangunan, memperingati hari pendidikan nasional, memperingati maulid Nabi, memperingati hari kemerdekaan, atau memperingati peristiwa tsunami yang sering dilaksanakan di Banda Aceh setiap tahunnya, ataupun pembukaan sebuah kantor, atau instansi, misalnya peresmian kantor pemerintah, kantor PLN, dan peresmian kantor lainnya, atau sosialisasi program pemerintah umpanya, tema tentang pentingnya menjaga kebersihan, keluarga berencana, siaga bencana, cara hidup yang sehat, dan lainnya. Bahkan dalam mengkampanyekan suatu partai politik tertentu. Biasanya syair pada bagian esra ini lebih menitikberatkan pada fungsi hiburan, karena disi para pemain terutama syeh diberi kebebasan untuk menyisipkan atau menyampaikan isi dan tema sebagai “pesanan” dari penyelenggara acara, atau bisa dalam bentuk candaan yang menghibur ataupun kritikan. Setelah selesai melakukan bagian ini maka penampilan Rapai Geleng diakhiri dengan penutupan gerak dan ritme musik yang 188 Dindin, Rapai Geleng semakin cepat namun tetap kompak, dan berakhir debgan berhenti secara serentak, maka pada bagian penutupan inilah yang disebut yang disebut lani.19 Biasanya dalam esra ini merupakan hal yang sangat penting apabila penampilan Rapai Geleng diperlombakan (tunang). Pada bagian ini penilaian terhadap masing-masing kelompok sangat dinentukan oleh kreativitas baik pengolahan syair maupun variasi geraknya. Berikut beberapa contoh gambar sebagai salah satu bentuk kreativitas gerak dalam Rapai Geleng. Gambar 9.11 Salah Satu Gerak Esra (A) (Dokumentasi: Dindin, 2013) 19 Wawancara, dengan Bang Emi tokoh seniman Banda Aceh pimpinan Sanggar Lempia Bnada Aceh. 189 Seni: Fungsi, Perubahan, dan Makna Gambar 9.12 Salah Satu Gerak Esra (B) (Dokumentasi: Dindin, 2013) Gambar 9.13 Salah Satu Gerak Esra (C) (Dokumentasi: Dindin, 2013) 190 Dindin, Rapai Geleng Gambar 9.14 Salah Satu Gerak Esra (D) (Dokumentasi: Dindin, 2013) Sebagai penutup dalam Rapai Geleng ini biasanya dilakukan gerakan seperti dalam saleum dengan melodi lagu sama seperti saleum juga namun dengan syair yang berbeda, seperti contoh syair di bawah ini. Alhamdulillah, pujo ke Tuhan Nyang peujeut Alam, langit ngon dunya [Alhamdulilah, puji kepada Tuhan Yang menguasai langit dan dunia] 191 Seni: Fungsi, Perubahan, dan Makna Gambar 9.15 Hormat kepada Penonton dan Lani sebagai Penutup (Dokumentasi: Dindin, 2013) Adapun syair dalam bagian Esra adalah sebagai berikut. Piasan raya ta pukong adat Ta pulang tungkat bak aneuk muda Oh mate aneuk ta tu phat jirat Oh gadoh adat han ta pa mita [Perayaan pesta memperkuat adat Memberi tongkat kepada anak muda Jika meninggal anak tahu kuburnya Jika hilang adat tak tahu mencari kemana] Berikut salah satu contoh syair dalam Esra dengan tema pembangunan: Nanggroe Aceh nyo jino kah aman Hase ni bak nyan ekspor u lua Pala ngon Kupi kirim u medan Aceh hai rakan jino kah jaya Negeri Aceh sekarang sudah aman Hasil dari daerah sudah di ekspor ke Medan 192 Dindin, Rapai Geleng Pala dan kopi sudah dikirim ke Medan Aceh sekarang sudah berjaya Ngon Aspal buton jalan neu tata Ngon BKIA KB cukup na SKB tudong tipi kah rata Rast lam desa listrik meu banja [Dengan aspal buton jalan tertata Dengan BKIA (Rumah sakit ibu dan anak) KB cukup ada SKB (sanggar kegiatan belajar) sudah didirikan, televisi sudah menyala Merata di desa, listrik sudah menyala] Pu got irigasi pu e ie blang Supaya senang rakyat lam desa Talake do’a bak sidroe Tuhan Supaya aman rakyat lam desa [Buat irigasi untuk mengairi sawah Supaya senang rakyat di desa Kita berdo’a kepada Allah Supaya aman rakyat di pedesaan] Bentuk melodi lagu piasan raya dalam bagian esra adalah sebagai berikut. Notasi 9.5: 193 Seni: Fungsi, Perubahan, dan Makna 5. Fungsi Rapai Geleng Merujuk pada pendapat Merriam bahwa dalam disiplin etnomusikologi dikenal kajian penggunaan dan fungsi (use and function) musik di dalam kebudayaan. Kajian ini adalah selaras dengan pendapat Merriam bahwa ada sepuluh fungsi musik dalam kebudayaan manusia dalam kebudayaannya, yaitu (1) fungsi pengungkapan emosional, (2) fungsi pengungkapan estetika, (3) fungsi hiburan, (4) fungsi komunikasi, (5) fungsi perlambangan, (6) fungsi reaksi jasmani, (7) fungsi yang berkaitan dengan norma sosial, (8) fungsi pengesahan lembaga sosial dan upacara keagamaan, (9) fungsi kesinambungan kebudayaan, dan (10) fungsi pengintegrasian masyarakat. Maka dalam tulisan ini penulis mencoba mengaplikasikan teori ini sebagai pembahsan masalah dalam mengkaji fungsi sosial budaya kesenian Rapai Geleng terhadap masyarakat kesenian di Kota Banda Aceh. Dari sepuluh fungsi yang dirumuskan oleh Merriam, penulis hanya menemukan delapan fungsi kesenian Rapai Geleng bagi masyarakat kota Banda Aceh, yaitu sebagai berikut. 5.1 Fungsi Pengungkapan Emosional Menurut Merriam, musik mempunyai daya yang besar sebagai sarana untuk mengungkapkan rasa atau emosi para penyanyi dan pemain yang dapat menimbulkan perasaan atau emosi kepada para pendengarnya. Rasa yang diungkapkan sangat beraneka ragam. Termasuk rasa kagum pada dunia ciptaan Tuhan, rasa sedih, rasa rindu, rasa birahi (seksual) rasa bangga, rasa tenang, dan lain lain. Kadang-kadang pengungkapan emosi tersebut perlu untuk kesehatan jiwa, karena emosi negatif yang tidak tersalurkan dalam kehidupan sehari-hari dapat dituangkan dalam bentuk nyanyian. Dalam hal ini fungsi Rapai Geleng menunjukan pengungkapan perasaan bangga terhadap sejarah dan budaya Aceh yang dimiliki oleh masyarakat Aceh dan Islam sebagai agama dan pedoman hidupnya sehingga digambarkan dalam dinamika gerak dan musiknya termasuk pengungkapan syair yang dilantunkan melalui kekhasan vokal Aceh yang unik. Kemudian kebersamaan dalam sahut-sahutan dalam merespon apa 194 Dindin, Rapai Geleng yang dilantunkan oleh seorang syahi sehingga menimbulkan semangat yang bergelora baik bagi pemainnya sebagai penyajinya maupun penonton sebagai penikmatnya. Oleh karena itu Rapai Geleng sering dijadikan sebagai pertunjukan andalan (selain tari saman) untuk dibawa dan ditampilkan di luar negeri sebagai salah satu duta kesenian dan budaya Indonesia. Akhirnya perasaan bangga ini tidak hanya dimiliki oleh Masyarakat kota Banda Aceh saja, akan tetapi masyarakat Aceh secara umum dan bangsa Indonesia secara luas. 5.2 Fungsi Pengungkapan Estetika Estetika atau yang dikenal dengan teori keindahan adalah salah satu cabang filsafat. Menurut Alexander Baumgarten, secara sederhana estetika adalah ilmu yang membahas keindahan, yang merupakan keseluruhan yang tersusun secara teratur dari bagian-bagian yang saling berhubungan antara satu dengan yang lain (beauty is an order of parts in their manual relations and in their relation on the whole). 20 Pembahasan lebih lanjut mengenai estetika adalah sebuah filosofi yang mempelajari nilai-nilai sensoris, yang kadang dianggap sebagai penilaian terhadap sentimen dan rasa. Estetika merupakan cabang yang sangat dekat dengan filosofi seni. 21 Seperti dijelaskan dalam ilmu budaya dasar bahwa meskipun awalnya sesuatu yang indah dinilai dari aspek teknis dalam membentuk suatu karya, namun perubahan pola pikir dalam masyarakat akan turut mempengaruhi penilaian terhadap keindahan. Misalnya pada masa romantisme di Perancis, keindahan berarti kemampuan menyajikan sebuah keagungan. Pada masa realisme, keindahan berarti kemampuan menyajikan sesuatu dalam keadaan apa adanya. Pada masa maraknya de stijl di Belanda, keindahan berarti kemampuan mengkomposisikan warna dan ruang dan kemampuan mengabstraksi benda. Manusia pada umumnya menyukai sesuatu yang indah, baik terhadap keindahan alam maupun keindahan seni. Keindahan alam adalah 20 Sujarwa, 2005. “Manusia dan Fenomena Budaya” Jakarta: Pustaka Pelajar. h.54. Alexander Baumgarten, “Aestethic of Philosopy”, disadur dari wikipedia.org. 21 195 Seni: Fungsi, Perubahan, dan Makna keharmonisan yang menakjubkan dari hukum-hukum alam yang dibukakan untuk mereka yang mempunyai kemampuan untuk menerimanya. Sedangkan keindahan seni adalah keindahan hasil cipta manusia (seniman) yang memiliki bakat untuk menciptakan sesuatu yang indah. Pada umumnya manusia mempunyai perasaan keindahan. Rata-rata manusia yang melihat sesuatu yang indah akan terpesona. Namun pada hakikatnya tidak semua orang memiliki kepekaan terhadap keindahan itu sendiri. Keindahan tentang seni telah lama menarik perhatian para filosof mulai dari zaman Plato sampai zaman modern sekarang ini. Teori tentang keindahan muncul karena mereka menganggap bahwa seni adalah pengetahuan perspektif perasaan yang khusus. Keindahan juga telah memberikan warna tersendiri dalam sejarah peradaban manusia. Oleh karena itu, dalam makalah ini penulis akan membahas pengertian estetika, sejarah perkembangan estetika, serta hubungan antara manusia dengan estetika. Konsep the beauty and the ugly, berkembang lebih lanjut menyadarkan bahwa keindahan tidak selalu memiliki rumusan tertentu. Ia berkembang sesuai penerimaan masyarakat terhadap ide yang dimunculkan oleh pembuat karya. Karena itulah selalu dikenal dua hal dalam penilaian keindahan, yaitu the beauty, suatu karya yang memang diakui banyak pihak memenuhi standar keindahan. Selain itu the ugly, suatu karya yang sama sekali tidak memenuhi standar keindahan dan oleh masyarakat banyak biasanya dinilai buruk, namun jika dipandang dari banyak hal ternyata memperlihatkan keindahan. Keindahan seharusnya sudah dinilai begitu karya seni pertama kali dibuat. Namun rumusan keindahan pertama kali yang terdokumentasi adalah oleh filosof Plato yang menentukan keindahan dari proporsi, keharmonisan, dan kesatuan. Sementara Aristoteles menilai keindahan datang dari aturan-aturan, kesimetrisan, dan keberadaan.22 Sebagai sebuah bentuk seni pertunjukan, Rapai Geleng mempunyai nilai keindahan, baik yang disajikan melalui seni gerak dalam tariannya 22 Ibid. 196 Dindin, Rapai Geleng yang diciptakan oleh para seniman di Aceh. Dalam hal ini nilai estetis sebagai ungkapan perasaan keindahan yang diungkapkan oleh masyarakat kesenian khsusnya di Kota Banda Aceh melalui seni vokal dalam pengungkapan syairnya memiliki kekhasan pada vokal Aceh yang dipengaruhi oleh tangga nada musik Arabic. Selain itu musik dalam motifmotif tabuhannya sebagai pengolahan bunyi ritmis perkusi sebagai iringannya yang dibawakan secara khidmat dan berubah menjadi cenderung cepat sehingga menimbulkan konsep kontras dalam sebuah wujud karya seni. Dalam penataan busana sebagai pengungkapan lambang sosial yang diwakili oleh perpaduan warna yang didominasi warna kuning keemasan yang melambangkan kejayaan Aceh masa lalu dalam pertunjukannya. Dalam estetika gerak, pemain Rapai Geleng dituntut untuk bergerak secara dinamis, cepat dan saling menjaga kekompakan dengan tingkat konsentrasi yang tinggi. Sehingga struktur geraknya mempunyai makna yang terkandung di dalamnya. 5.3 Fungsi Hiburan Pada setiap masyarakat di dunia, musik berfungsi sebagai alat hiburan. Hal ini dapat dilihat dalam setiap penampilan kesenian tentunya selalu ada unsur-unsur hiburan agar jenis kesenian tersebut dapat menarik penontonnya. Demikian juga halnya dengan penampilan Rapai Geleng. Ada beberapa hal yang dapat dijadikan masyarakat yang penontonnya merasa terhibur seperti halnya dalam Rapai Tunang (Rapai yang dilombakan). Selain syairnya yang saling berbalas, juga penonton dapat terhibur dengan gerak yang enerjik dan variatif dari penampilannya. Kemudian ditambah penataan kostum yang mencolok, dan intensitas musikal yang dinamis, bahkan syair yang disampaikan oleh seorang syahi (vokalis) yang khas dan unik. 5.4 Fungsi Komunikasi Seperti yang telah dijelaskan di atas, dalam teori fungsionalisme bahwa musik mempunyai fungsi komunikasi. Fungsi komunikasi ini 197 Seni: Fungsi, Perubahan, dan Makna meliputi empat kategori utama yaitu: (1) fungsi memberitahu, (2) fungsi mendidik, (3) membujuk khalayak mengubah pandangan, dan (4) untuk memberikan kenyamanan terhadap orang lain. Dalam hal fungsi pertama yaitu fungsi memberi tahu, maka dalam hal ini bentuk kesenian Rapai Geleng ini sebagai mana awal terbentuknya, mempunyai isi pesan yang disampaikan oleh para ulama kepada umatnya, untuk menjelaskan tentang ajaran Islam sebagai sarana dakwah. Maka dalam setiap penampilan seni Rapai Geleng saat ini pun tidak jauh berbeda. Rapai Geleng mempunyai isi pesan dan makna di dalam penyajiannya. Adapun pesan yang disampaikannya adalah berupa syair yang isinya untuk mengajak umat Islam agar selalu bershalawat kepada Nabi Muhammad SAW. Kemudian mengajak umat Islam untuk menjalankan syariat Islam, dan nasihat-nasihat dari endatu (nenek moyang) tentang kebaikan dalam hidup. Juga dalam beberapa penampilan yang sifatnya komersial, tema yang diusung dapat dijadikan suatu ajakan untuk berpromosi baik itu pada sebuah produk industri atau pun, untuk memilih suatu pemimpin dan partai politik tertentu. Dalam fungsi kedua yaitu fungsi mendidik, sangat jelas syair yang dilantunkan banyak berisi pesan-pesan moral dan norma-norma adat yang mendidik masyarakat untuk dapat menjalan kan kebaikan-kebaikan dalam kehidupannya. Seperti bersikap sopan santun dalam ber etika, menjaga kebersihan dan kesehatan dilingkungannya, bersikap baik pada tetangga, tidak berbuat maksiat yang melanggar aturan agama dan adat istiadat, dan sebagainya. Sebagai fungsi ketiga dalam komunikasi yaitu membujuk khalayak untuk mengubah pandangannya, maka Rapai Geleng berfungsi sebagai media persuasif terhadap pola pikir dan cara pandang masyarakat terhadap situasi dan kondisi tertentu. Misalnya, bagi pemerintah melalaui kesenian Rapai Geleng difungsikan sebagai penyampai pesan dalam situasi konflik politik yang terjadi di Aceh. Bahwa masyarakat Aceh diharapkan dapat kembali berintegrasi dengan Negara Kesatuan Republik Indonesia,dan mengurungkan niatnya untuk memisahkan diri (disintegrasi) sebagai negara Aceh merdeka yang situasi ini menimbulkan konflik politik politik 198 Dindin, Rapai Geleng yang berkepanjangan di Aceh selama puluhan tahun dan banyak memakan korban jiwa baik di kalangan aparat militer maupun masyarakat sipil. Hal ini tentunya sangat merugikan bangsa, maka Rapai Geleng berfungsi untuk membujuk masyarakat terutama yang tergabung dalam Gerakan Aceh Merdeka (GAM) untuk dapat kembali ke pangkuan negara Republik Indonesia. Fungsi komunikasi keempat yaitu untuk memberikan kenyamanan terhadap orang lain. Dalam hal ini penampilan kesenian Rapai Geleng mampu menghibur penontonnya dengan gerakan-gerakan yang dinamis dan atraktif. Juga didukung oleh lantunan syair yang riang, dengan isi pesan dari syair yang dibawakan membawa pesan-pesan perdamaian yang dibawakan dalam bentuk lelucon, atau lawakan. Bahkan berbalas pantun dengan pihak lawan jika Rapai Geleng ini dipertandingkan (tunang). Sehingga respon penonton begitu antusias terhadap penampilannya dan menjadikan rasa nyaman bagi yang menyaksikannya. 5.5 Fungsi Perlambangan Pada semua masyarakat, musik berfungsi sebagai lambang dari hal-hal, ide-ide, dan tingkah laku sehingga dapat diaplikasikan dalam sebuah karya yang mempunyai makna. Ide-ide yang dapat difungsikan sebagai fungsi komunikasi yang dapat ditangkap oleh penontonnya. Dalam penampilan Rapai Geleng, ide-ide dan gagasan tertuang dalam bentuk syair yang dibawakan oleh seorang syahi dan gerak yang memiliki simbol-simbol yang melambangkan suatu makna tertentu yang ingin disampaikan oleh penyajinya. Dalam hal ini penulis merujuk pada teori semiotik. Menurut Peirce seorang tokoh teori semiotik mengemukakan teori segi tiga makna atau triangle meaning yang terdiri dari tiga elemen utama, yakni tanda (sign), object, dan interpretant. Tanda adalah sesuatu yang berbentuk fisik yang dapat ditangkap oleh panca indera manusia dan merupakan sesuatu yang merujuk (merepresentasikan) hal lain di luar tanda itu sendiri. Tanda menurut Peirce terdiri dari simbol (tanda yang muncul dari kesepakatan), ikon (tanda yang muncul dari perwakilan fisik), dan indeks (tanda yang muncul dari hubungan sebab-akibat). Sedangkan acuan 199 Seni: Fungsi, Perubahan, dan Makna tanda ini disebut objek. Objek atau acuan tanda adalah konteks sosial yang menjadi referensi dari tanda atau sesuatu yang dirujuk tanda (Santosa, 1993:10) dan (Pudentia, 2008:323). Seorang tokoh teori semiotik lainnya Ferdinand de Saussure (18571913) mengemukakan dalam teori semiotik dibagi menjadi dua bagian (dikotomi) yaitu penanda (signifier) dan pertanda (signified). Penanda dilihat sebagai bentuk atau wujud fisik dapat dikenal melalui wujud karya arsitektur atau seni rupa. Sedang pertanda dilihat sebagai makna yang terungkap melalui konsep, fungsi dan atau nilai-nlai yang terkandung di dalam karya arsitektur. Eksistensi semiotik Saussure adalah relasi antara penanda dan petanda berdasarkan konvensi, biasa disebut dengan signifikasi. Semiotika signifikasi adalah sistem tanda yang mempelajari relasi elemen tanda dalam sebuah sistem berdasarkan aturan atau konvensi tertentu. Kesepakatan sosial diperlukan untuk dapat memaknai tanda tersebut (Culler, 1996:7). Bagan berikut tentang tanda (sign) yang dikemukakan oleh Ferdinand de Saussure (dalam Djajasudarma, 1993:23). Dari kedua teori diatas dapat disimpulkan bahwa kaitannya pembahasan ini Rapai Geleng adalah mempunyai fungsi perlambangan, yang diungkapkan oleh penciptanya yang disampaikan penyajinya melalui bentuk seni vokal yang melantunkan syair yang memuat pantun-pantun yang melambangkan suatu gagasan-gagasan terhadap suatu objek peristiwa. Hal ini termuat dalam bagian Esra dalam struktur teks dan makna syairnya. Demikian halnya dengan penggarapan gerak tari dari Rapai Geleng ini terdapat simbol-simbol yang melambangkan ide dan gagasan yang mempunyai makna dalam penyajiannya. 5.6 Fungsi yang Berkaitan dengan Norma Sosial Dalam beberapa masyarakat, terdapat lagu-lagu yang bertujuan untuk pengendalian sosial dengan mengkritik orang-orang menyeleweng dari kebiasaan-kebiasaan setempat. Selain itu teks nyanyian yangg dipakai untuk lagu upacara inisiasi seringkali berupa nasehat bagi kaum muda untuk menaati peraturan-peraturan adat. Fungsi ini adalah salah satu fungsi musik yang utama dalam kajian musik dan teks syair yang ada pada 200 Dindin, Rapai Geleng kesenian Rapai Geleng. Dalam struktur musik Rapai Geleng yang terdiri dari: (1) Seulawaeut, pada bagian ini pemain diarahkan untuk memuliakan dan memuji Nabi Muhammad Rasullullah SAW sebagai pemimpin umat Islam, (2) Saleum, pada bagian ini baik pemain maupun penonton diarahkan untuk saling memberi salam tanda saling mendoakan antar sesame umat Islam sebagai bentuk jalinan silaturahmi dan persaudaraan diantara masyarakat Islam. (3) Pukulan kosong, menandakan kreativitas dan kebersaman dari para pemainnya. (4) Kisah, memberikan pendidikan sejarah tentang riwayat Nabi Muhammad dan para sahabatnya serta keluarganya. (4) Esra dan Lani, pada bagian ini lah pesan-pesan yang bersifat ketauladanan dan perilaku terpuji Nabi Muhammad disampaikan kepada penontonnya, dengan tujuan memberikan pendidikan tentang nilainilai sosial kemasyarakatan dan adat yang dapat diamalkan dalam kehidupan masyarakat Aceh, terutama bagi generasi mudanya. 5.7 Fungsi Kesinambungan Kebudayaan Menurut Merriam musik adalah sebagai wahana mitos, legenda, dan cerita sejarah. Musik ikut menyambungkan sebuah masyarakat dengan masa lampaunya. Sebagai wahana pengajaran adat, musik menjamin kesinambungan dan stabilitas kebudayaan sampai generasi penerus. Dalam hal ini musik dapat diwariskan kepada generasi penerusnya sebagai upaya mempertahankan nila-nilai yang dibangun oleh suatau pranata sosial masyarakat, kejayaan, dan kemasyhuran suatu bangsa. Merujuk pada pendapat tersebut, jika dikaitkan dengan sikap masyarakat Aceh pada umumnya, Junus Melalatoa mempunyai pandangan sebagai berikut: Masyarakat Aceh pada umumnya sangat bangga akan nilai-nilai kegemilangan sejarah masa lalunya, orang Aceh khususnya dan kelompok masyarakat “asal” lainnya dalam komunitas Nanggroe Aceh Darussalaam umumnya memiliki kesadaran sejarah amat kuat. Mereka cenderung mengingat dan membanggakan masa lalu yang pernah gemilang, makmur, sejahtera, maju meskipun dibumbui pengalaman-pengalaman pahit. Semua itu telah melahirkan tonggak-tonggak sejarah bermakna besar bagi mereka dan bahkan bagi bangsa Indonesia umumnya.Tonggak sejarah dan pemahaman yang amat berharga bagi mereka adalah pengetahuan dan nilai-nilai yang bertumbuh kembang setelah 201 Seni: Fungsi, Perubahan, dan Makna masuknya ajaran Islam ke Aceh. Melalui proses enkulturasi semua itu merasuk dan terinternalisasi ke dalam diri mereka yang kemudian mengalir ke dalam berbagai aspek kehidupannya yang pada akhirnya mereka merasa memilikinya sebagai unsur identitas.23 Dari pandangan tersebut dapat kita simpulkan bahwa dengan berkembangnya musiknya Rapai Geleng di Kota Banda Aceh, adalah suatu bukti bahwa kesenian tersebut mempunyai fungsi sebagai kesinambungan kebudayaan. Pada bagian “kisah” dalam penampilan Rapai Geleng dapat kita cermati bahwa penjelasan kisah Riwayat nabi Muhammad sebagai Rasulullah penyampai ajaran Islam yang mengajak umatnya untuk bertauhid hanya kepada Allah SWT, sebagai satu-satunya Tuhan penguasa alam. Tuhan memerinbtahkan manusia untuk menjalankan apa yang diperintahkan dan menjauhi apa yang dilarang-Nya. Pesan-pesan ini telah sampai secara kesinambungan melalui berbagai cara dalam dakwah melalui para sahabat dan keluarga Nabi Muhammad, para ulama hingga hal ini tersampaikan kepada masyarakat Aceh. Meskipun Islam lahir dari waktu lampau (20 abad yang lalu) dan dari Tanah Mekkah (Jazirah Arab) mampu menyebar dan bertahan di bumi Serambi Mekah ini, sehingga berkembang melalui bentuk kesenian Rapai Geleng saat ini. Kesenian ini telah ditampilkan melewati beberapa generasi, baik yang bersumber dari Jazirah Arab sampai akhirnya berkembang di daerah Aceh Selatan hingga berkembang di Kota Banda Aceh. Sejak pertama kali ditampilkan di Kota banda Aceh (tahun 90-an di Taman Budaya Banda Aceh), lalu penampilan di Amerika Serikat, hingga sekarang Rapai Geleng terus diminati dan dipelajari oleh generasi muda, baik pelajar, mahasiswa, dan masyarakat umum tanpa meninggalkan isi dan bentuk syair tentang ajaran Islam sebagai kewajiban setiap muslim untuk belakukan syiar dengan cara berdakwah dengan cara apapun. 23 Junus Melalatoa, 2005. Aceh Kembali ke Masa Depan: Memahami Aceh Sebuah Perspektif Budaya. Jakarta: Aksara. h. 220-221. 202 Dindin, Rapai Geleng 5.8 Fungsi Pengintegrasian Masyarakat Dalam fungsi pengintegrasian masyarakat, kesenian Rapai Geleng adalah sebagai sebuah bentuk pemersatu antar kelompok masyarakat baik dalam tatanan lingkungan sosial seperti gampong-gampong maupun mukim. Hal ini Rapai Geleng disajikan dalam bentuk perlombaan (tunang) dengan teknik penampilan berbalas pantun melalui isi pesan dan makna teks. Sehingga denga adanya pertandingan rapai tunang ini masyarakat antar gampong saling berdatangan dan bertemu yang kemudian melakukan permainan kesenian Rapai Geleng ini sacara bergantuan yang disaksikan oleh masyarakat dari daerah masing-masing sebagai pendukungnya. Hal ini menunjukan pengintegrasian masyarakat Aceh melalui kesenian Rapai Geleng yang menonjolkan kekhasan budayanya. Pada saat ini perkembangan Rapai Geleng tidak saja dimainkan oleh kelompok sosial kemsyarakatan yang ada di gampong-gampong saja, akan tetapi seni Rapai Geleng saat ini dimainkan oleh setiap kalangan baik dikalangan pelajar (usia SD, SMP, SMA), mahasiswa, TNI/POLRI, dan para pegawai kantor. Bahkan dalam program tahun kunjungan wisata kota Banda Aceh (Visit Banda Aceh Years) pada tahun 2011, Rapai Geleng ditampilkan secara masal. Hal ini menunjukan dukungan kebersamaan masyarakat Kota Banda Aceh dalam menyambut tahun kunjungan wisata sebagai upaya pemerintah kota Banda Aceh melalui Dinas Kebudyaan dan Pariwisata sebagai upaya pemberdayaan masyarakat melalui budaya dan peningkatan kesejahteraan masyarakat dalam bidang pariwisata. Aceh dikenal dalam sejarahnya sebagai daerah yang sering mengalami konflik sosial dan politik. Sejak zaman kerajaan Sultan Iskandar Muda berkuasa, hingga perebutan tahta di kesultanan, disusul dengan penjajahan kolonial Belanda, Jepang, yang dilanjutkan dengan konflik horizontal (cumbok),dan disintegrasi antara Pemerintah Republik Indonesia (pada masa Orde Lama dan Orde Baru), hingga masa reformasi (2000-2005). Aktivitas kesenian mengalami kemunduran akibat konflikkonflik tersebut. Hingga munculnya peristiwa tragedi kemanusiaan yaitu bencana gempa dan tsunami yang melanda sebagian besar wilayah pesisir Barat, Utara, dan Selatan Aceh. Bencana ini menimbulkan kerusakan yang 203 Seni: Fungsi, Perubahan, dan Makna dahsyat dan ratusan ribu korban jiwa menjadi korban. Maka dunia pun turut berempati memberikan uluran tangan untuk membantu merehabilitasi dan merokonstruksi Aceh yang mengalami kerusakan tersebut. Hingga hal ini menjadi momentum bagi perdamaian antara Tentara Nasional Indonesia (TNI) dan Gerakan Aceh Merdeka (GAM) dengan menandatangani perjanjian damai di kota Helsinky, Finlandia, pada tanggal 15 Agustus 2005. Dalam mensosialisasikan perdamaian kepada rakyat Aceh maka pendekatan kebudayaanlah sebagai media sosialisasi tersebut. Maka seni Rapai khususnya Rapai Urouh yang berasal dari daerah Pase Aceh Utara menjadi simbol perdamaian dalam kampanye damai yang dilakukan oleh Pemerintah RI dan GAM. Masyarakat Aceh menyambutnya di sepanjang jalan dengan menabuh Rapai secara masal di setiap daerah rawan konflik yang dilewati oleh tim kampanye damai tersebut. Sejak dimulainya masa damai di Aceh, maka Kota Banda Aceh sebagai ibu kota provinsi bangkit dari keterpurukan akibat bencana gempa dan tsunami. Pembangunan infrastruktur dan budaya di Kota Banda Aceh mulai bergerak termasuk aktivitas kesenian, hampir disetiap acara ditampilkan Rapai Geleng sebagai peresmian acara pemerintahan dalam rangka pembangunan, dan dalam sosialisasi perdamaian yang difasilitasi oleh negara-negara donor Non Government Organization (NGO), sepanjang tahun 2005 hingga 2010. Maka di ini sangat jelas fungsi dan peranan Rapai Geleng sebagai local wisdom (kearifan lokal) untuk mewakili kebudaya masyarakat Aceh khususnya Kota Banda Aceh sebagai ibukota provinsi untuk menenangkan hati masyarakat bahwa perdamaian telah dicapai di Tanah Rencong ini. Maka jelas sudah terlihat disini seni Rapai Geleng mempunyai fungsi sosial politik dalam perkembangannya. 6. Kesimpulan dan Saran Setelah penulis menjelaskan secara rinci maka di dalam bahagian ini penulis akan menarik kesimpulan-kesimpulan, terutama tiga hal seperti yang dikemukakan dalam pokok permasalahan penelitian ini, yaitu: analisis fungsi sosiobudaya terhadap kesenian Rapai Geleng dalam 204 Dindin, Rapai Geleng masyarakat kota Banda Aceh. Kesimpulan ini juga menjadi hasil penelitian yang penulis lakukan dalam mengkaji kesenian Rapai Geleng dalam kebudayaan masyarakatkota Banda Aceh, Provinsi Aceh. (A) Dari dimensi fungsi sosial budaya, gerak-geraknya mengandung nilai-nilai ajaran Islam, yang sesuai dengan pola hidup masyarakat Aceh khususnya kota Banda Aceh yang pluralisme yang menjadikan masyarkat Kota Banda Aceh yang terdiri dari berbagai multietnis dan agama sebagai sebuah masyrakat urban tentunya bergandengan tangan dalam membangun. Apalagi setelah peristiwa gempa dan tsunami sangat jelas terlihat semua kalangan tanpa memandang suku dan ras membangun kembali kota Banda Aceh yang porak poranda akibat bencana tersebut. Hal ini dilambangkan dengan gerak saleum yang bergandengan tangan dan bersalaman, dan filosofi ini semata-mata untuk menjalin nilai-nilai ukhuwah yang diperintahkan oleh Allah Subhana Wataala. Gerak-gerak Rapai Geleng didasari oleh pengaruh gerak tari Saman yang mengandung faham-faham sufisme khususnya Tarikat Shamaniah yang berkembang di Aceh dan Dunia Islam secara lebih universal. Dari segi strukturalnya ada kesatuan sosiobudaya antara parapemain Rapai Geleng. Para pemain Rapai Geleng ini mencerminkan kebersamaan sosial budaya dalam rangka menjabarkan ajaran Islam habluminannas (hubungan antara sesama manusia yang terdiri dari berbagai suku bangsa dan agama). (B) Dari sisi teks, syair Rapai Geleng yang dilantunkan oleh para syahi ataupun syeh mengungkapkan ajaran-ajaran Islam yang telah menyatu dengan konsep-konsep budaya Islam tentang hidup dan kehidupan ini. Teks dalam syair Rapai Geleng, biasanya mengekspresikan tema yang akan dikomunikasikan oleh pencipta, seniman, kepada para penontonnya. Teks ini ada yang sifatnya eksplisit, yaitu mudah dicerna dan ditafsir secara langsung,. Oleh sebab itu, teks dalam syair Rapai Geleng ini perlu diresapi, dipahami, dan ditafsir oleh penonton berdasarkan nilai-nilai budaya Islam yang hidup di dalam kebudayaan masyarakat Aceh. Syair yang dilantunkan, memiliki makna dan peran dalam budaya masyarakat kota Banda Aceh sebagai Ibukota Aceh. Sehingga dapat dikatakan bahwa syair dalam pertunjukan Rapai Geleng mengutamakan sajian teks, yang 205 Seni: Fungsi, Perubahan, dan Makna dalam studi etnomusikologi lazim disebut dengan logogenik. Teks dalam pertunjukan seni Rapai Geleng terdiri dari kata-kata nasehat, yang penuh makna falsafah dan berserah diri pada Allah. Kemudiaan ada juga teks yang merupakan bentuk-bentuk pantun tradisional dalam bahAsa Aceh yang penuh dengan makna perlambangan. Kata-kata yang digunakan sering merujuk kepada nama-nama tempat dan situasi alam sekitar, dan tentu saja tidak lupa konteks ajaran agama Islam. (C) Struktur musik Rapai Geleng umumnya menggunakan tanggatangga nada diatonik yang mempunyai pengaruh dengan ciri tangga nada khas Timur Tengah. Tempo yang digunakan umumnya sedang sampai cepat sekitar 90 sampai 140 ketukan dasar per menitnya. Selain itu wilayah nada yang umum digunakan adalah wilayah nada suara tenor, yang umum menjadi identitas khas Rapai Geleng ini. Harapan penulis, semoga para seniman di Aceh khusunya Kota Banda Aceh dapat bersinergi dengan pemerintah, melalui Departemen Budaya dan Pariwisata, dalam menggalakkan aktivitas kesenian sebagai bentuk pemberdayaan masyarakat kesenian dan potensi wisata budaya di Kota Banda Aceh sebagai ibukota dan pusat pemerintahan yang tentunya akan diikuti oleh daerah lain. Dalam program kunjungan wisata nasional sebagai kota bersejarah terertua di Asia dan tertutama setelah bencana gempa dan tsunami yang mencengangkan dunia. Agar kesenian tradisi ini hidup dan terus berkembang perlu lebih dikembangkan terhadap fungsi secara intens di dalam masyarakat. Untuk itu Dinas Budaya dan Pariwisata perlu melakukan dokumentasi akademis dan saintifik, menyelenggarakan seminar tentang kesenian Rapai Geleng secara kontinu dan berkala, serta mempertunjukkan kesenian tersebut sesuai dengan fungsinya di masyarakat atau difungsikan untuk kepentingan dunia wisata. Selain perguruan tinggi yang ada dalam mengelola ilmu seni, seperti Departemen Etnomusikologi, Universitas Sumatera Utara, Sendratasik Universitas Negeri Medan, Universitas Syah Kuala Banda Aceh, Universitas Malikussaleh Lhokseumawe, pemerintah perlu membangun sebuah Institut Seni di Banda Aceh sebagai sebagai lembaga yang akan mengkaji, meneliti, mendokumentasikan kesenian-kesenian yang ada di 206 Dindin, Rapai Geleng kawasan ini. Tujuannya adalah sebagai upaya melestarikan kekayaan khasanah seni budaya Aceh dan sebagai bahan literatur bagi perkembangan kesenian Aceh selanjutnya. Dengan demikian masyarakat Aceh khususnya akan sadar budaya, dan menjadi insan yang seutuhnya, yang diridhai Allah keberadaannya di dunia ini. Daftar Pusataka Alfian,Teuku Haji Ibrahim, 2005. Refleksi Gempa-Tsunami: Kegemilangan dalam Sejarah Aceh. Yogyakarta: UGM Press. BPS Kota Banda Aceh, 2012. Aceh dalam Angka. Banda Aceh. Christomy dan Untung Yuwono, 2004. Semiotika Budaya. Jakarta: Bentang. Depdikbud, 1988. Dampak Pengembangan Pariwisata terhadap Kehidupan Sosial di Daerah Istimewa Aceh. Jakarta: Direktorat Jendral Kebudayaan Daerah Istimewa. Dewi, Rita, 1996. Rapai Pasee pada Masyarakat Aceh di desa Lam Awe Kecamatan Syamtalira Aron: Analisis Musik dalam konteks pertunjukan.(Skripsi Sarjana), Jurusan Etnomusikoligi, Fakultas Sastra, Universitas Sumatera Utara, Hadi, Abdul, 2005. Aceh dan Kesusastraan Melayu, Kembali ke Masa Depan, Jakarta: SMK Grafika Desa Putera. Hanafiah, Ridwan, 2013. Local Wisdom: Understanding of Saman Dance. Makalah Seminar Nasional Budaya Ethnik ke-5 , FIB USU, ,30 April. Kawilarang, Harry, “ Aceh, dari Sultan Iskandar Muda ke Helsinky” Bandar Publishing: 2010. Majelis Ulama Propinsi Daerah Istimewa Aceh, Banda Aceh, 1972. Bagaimana Islam Memandang Kesenian. Banda Aceh: MUI Aceh. Malinowski, 1928. “Teori Fungsional dan Struktural.” (e book: internet). Melalatoa, M. Junus, 2005. Memahami Aceh Sebuah perspektif Budaya,Aceh Kembali ke Masa Depan. Jakarta: SMK Grafika Desa Putera. Margaret Kartomi, 2013. Musical Journey in Sumatera. Monash: Monash University Press. Merriam, Allan P., 1964. The Anthropology of Music. Chicago: North Western University Press. Murtala, 2009. Tari Aceh, Yusrizal & Kreasi yang Mentradisi. Banda Aceh. Pirous, A.D, 2005. Tiga Percakapan Aceh Kembali ke Masa Depan. Jakarta:SMK Grafika Desa Putera. Prier, Karl Edmund,S.J., 1990. Ilmu Bentuk Musik. Yogyakarta: Pusat Liturgy Musik. Putriani, Nuning, 2012. Pertunjukan Saman Di Blangkejeren Aceh: Analisis Makna Gerak Tari dan Teks, Fungsi Sosiobudaya, Serta Struktur Musik. Tesis , Program Studi Magister (S2) Penciptaan dan Pengkajian Seni, Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Sumatera Utara. Said, Mohammad, 2007. Aceh Sepanjang Abad (Jilid I). Medan: Hasmar. 207 Seni: Fungsi, Perubahan, dan Makna Said., Mohammad, 2007. Aceh Sepanjang Abad (Jilid II). Medan: Hasmar. Soedarsono, R.M., 2000. Melacak Jejak Perkembangan Seni Di Indonesia (terjemahan dari Buku Art In Indonesia: Continuity and Changes karya Claire Holt, 1967, Bandung: Masyarakat Seni Pertunjukan Indonesia. Sujarwa, 2001. Manusia dan Fenomena Budaya. Jakarta: Pustaka Pelajar. Takari, Muhammad, Fadlin, Heristina Dewi, Frida Deliana Harahap, Torang Naiborhu, dan Arifin Netiroza, 2008. Masyarakat Kesenian di Indonesia. Medan: Studia Kultura, Fakultas Sastra, Universitas Sumatera Utara. Takari, Muhammad, 2010. “Mengenal Teori Fungsionalisme.” dalam Studia Kultura. Medan: Studia Kultura. 208