Cermin Dunia Kedokteran

advertisement
Cermin
Dunia Kedokteran
1997
International Standard Serial Number: 0125 – 913X
Daftar Isi :
114.
Kedaruratan Paru
Januari 1997
Karya Sriwidodo WS
2. Editorial
4. English Summary
Artikel
5. Pengelolaan Pasien dengan Kedaruratan Paru - Zul Dahian
10. Perawatan Intensif Penyakit Gawat Paru di Rumahsakit Kabupaten - Ike Sri Rejeki, Afifi Ruchili, Marsudi Rachman
15. Sepsis pada Infeksi Saluran Napas Bawah Akut – Tinjauan
Patogenesis dan Pengelolaannya - Hadi Jusuf, Primal Sudjana
19. Dasar Pengalihan Terapi Antibiotika Intravena ke Oral pada
Infeksi Saluran Napas Bawah Akut - Zul Dahlan
24. Kandidiasis Paru - Hamdi S.
28. Penatalaksanaan Penyakit Paru Obstruksi - Faisal Yunus
33. Rehabilitasi pada Penderita Penyakit Paru Obstruksi Menahun - Djoko Mulyono
37. Pemeriksaan Kadar IgG dan IgE pada Penderita Asma
Bronkial yang Menggunakan Prednison - Yovita Lisawati,
Bie Tjeng, RusdiA.
41. Risiko Relatif Lingkungan Sosial dan Kimia terhadap Kejadian Penyakit ISPA – Pneumonia di Indramayu, Jawa
Barat - Sukar, Agustina Lubis, A. Tri Tugaswati, Athena
A., Kasnodihardjo
45. Pengobatan Infeksi Saluran Pernapasan Akut pada Balita di
Jawa Barat - Enny Muchlastriningsih
48. Keefektifan Paduan Obat Ganda Bifasik Jangka Pendek Anti
TB Dinilai Atas Dasar Kegiatan Anti Mikrobial dan
Kegiatan Pemulihan Imunitas Protektif. 1 .Khemoterapi Anti
Tuberkulosis - RA Handojo, Sandi Agung, Anggraeni
Inggrid Handojo
53. Pola Resistensi Bakteri Enteropatogen terhadap Antibiotik Pudjarwoto Triatmodjo
56. Karakteristik Gizi Masyarakat Pedesaan dan Perkotaan Surjaini Jamal
60. Seroepidemiologi Antitoksin Tetanus pada Anak Usia 5-12
tahun di Indonesia - Siti Sundari Yuwono, Dewi P., Farida,
Imu R., Sumarno, Deni
62. Abstrak
64. RPPIK
Kedaruratan paru atau pernapasan merupakan faktor yang
penting diperhitungkan dalam penatalaksanaan gawat darurat
pasien, banyak kasus yang gagal bukan akibat penyakit primernya,
tetapi karena kegagalan fungsi pernapasan, baik karena gangguan
sentral maupun akibat infeksi/sepsis.
Masalah-masalah ini akan ditinjau oleh beberapa sejawat di
bidang paru; juga mengenai pedoman penggunaan antibiotika untuk
infeksi saluran napas. Selain itu juga akan dibahas masalah kandidiasis paru yang patut dipikirkan terutama pada penggunaan antibiotika jangka panjang.
Beberapa artikel lain yang masih berhubungan dengan masalah
paru, termasuk tindakan rehabilitasi, akan melengkapi edisi ini.
Selamat membaca dan Selamat Tahun Baru 1997.
Redaksi
Selamat Hari Natal 1996
dan
Selamat Tahun Baru 1997
Redaksi Bersama Staf
2
Cermin Dunia Kedokteran No. 114, 1997
Cermin
Dunia Kedokteran
1997
International Standard Serial Number: 0125 – 913X
KETUA PENGARAH
Prof. Dr Oen L.H. MSc
KETUA PENYUNTING
Dr Budi Riyanto W
PEMIMPIN USAHA
A.M. Tina Andriyanti
REDAKSI KEHORMATAN
– Prof. DR. Kusumanto Setyonegoro
Guru Besar Ilmu Kedokteran Jiwa
Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia,
Jakarta.
– Prof. Dr. Sudarto Pringgoutomo
Guru Besar Ilmu Patologi Anatomi
Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia,
Jakarta.
PELAKSANA
Sriwidodo WS
TATA USAHA
Sigit Hardiantoro
– Prof. Drg. Siti Wuryan A. Prayitno
SKM, MScD, PhD.
ALAMAT REDAKSI
Majalah Cermin Dunia Kedokteran, Gedung
Enseval, Jl. Letjen Suprapto Kav. 4, Cempaka
Putih, Jakarta 10510, P.O. Box 3117 Jkt.
Telp. 4208171
NOMOR IJIN
151/SK/DITJEN PPG/STT/1976
Tanggal 3 Juli 1976
PENERBIT
Grup PT Kalbe Farma
Bagian Periodontologi
Fakultas Kedokteran Gigi
Universitas Indonesia, Jakarta
– Prof. DR. Hendro Kusnoto Drg.,Sp.Ort
Laboratorium Ortodonti
Fakultas Kedokteran Gigi
Universitas Trisakti, Jakarta
– Prof. DR. Sumarmo Poorwo Soedarmo
Staf Ahli Menteri Kesehatan,
Departemen Kesehatan RI,
Jakarta.
– Prof. DR. B. Chandra
Guru Besar Ilmu Penyakit Saraf
Fakultas Kedokteran Universitas Airlangga,
Surabaya.
– Prof. Dr. R. Budhi Darmojo
Guru Besar Ilmu Penyakit Dalam
Fakultas Kedokteran Universitas Diponegoro,
Semarang.
– DR. Arini Setiawati
Bagian Farmakologi
Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia,
Jakarta,
DEWAN REDAKSI
– Dr. B. Setiawan Ph.D
PENCETAK
PT Temprint
– Prof. Dr. Sjahbanar Soebianto
Zahir MSc.
PETUNJUK UNTUK PENULIS
Cermin Dunia Kedokteran menerima naskah yang membahas berbagai
aspek kesehatan, kedokteran dan farmasi, juga hasil penelitian di bidangbidang tersebut.
Naskah yang dikirimkan kepada Redaksi adalah naskah yang khusus untuk
diterbitkan oleh Cermin Dunia Kedokteran; bila telah pernah dibahas atau dibacakan dalam suatu pertemuan ilmiah, hendaknya diberi keterangan mengenai
nama, tempat dan saat berlangsungnya pertemuan tersebut.
Naskah ditulis dalam bahasa Indonesia atau Inggris; bila menggunakan
bahasa Indonesia, hendaknya mengikuti kaidah-kaidah bahasa Indonesia yang
berlaku. Istilah media sedapat mungkin menggunakan istilah bahasa Indonesia
yang baku, atau diberi padanannya dalam bahasa Indonesia. Redaksi berhak
mengubah susunan bahasa tanpa mengubah isinya. Setiap naskah harus disertai dengan abstrak dalam bahasa Indonesia. Untuk memudahkan para pembaca yang tidak berbahasa Indonesia lebih baik bila disertai juga dengan abstrak
dalam bahasa Inggris. Bila tidak ada, Redaksi berhak membuat sendiri abstrak
berbahasa Inggris untuk karangan tersebut.
Naskah diketik dengan spasi ganda di atas kertas putih berukuran kuarto/
folio, satu muka, dengan menyisakan cukup ruangan di kanan-kirinya, lebih
disukai bila panjangnya kira-kira 6 - 10 halaman kuarto. Nama (para) pengarang ditulis lengkap, disertai keterangan lembaga/fakultas/institut tempat
bekerjanya. Tabel/skema/grafik/ilustrasi yang melengkapi naskah dibuat sejelasjelasnya dengan tinta hitam agar dapat langsung direproduksi, diberi nomor
sesuai dengan urutan pemunculannya dalam naskah dan disertai keterangan
yang jelas. Bila terpisah dalam lembar lain, hendaknya ditandai untuk menghindari kemungkinan tertukar. Kepustakaan diberi nomor urut sesuai dengan
pemunculannya dalam naskah; disusun menurut ketentuan dalam Cummulated
Index Medicus dan/atau Uniform Requirements for Manuscripts Submitted
to Biomedical Journals (Ann Intern Med 1979; 90 : 95-9). Contoh:
Basmajian JV, Kirby RL. Medical Rehabilitation. 1st ed. Baltimore. London:
William and Wilkins, 1984; Hal 174-9.
Weinstein L, Swartz MN. Pathogenetic properties of invading microorganisms.
Dalam: Sodeman WA Jr. Sodeman WA, eds. Pathologic physiology: Mechanisms of diseases. Philadelphia: WB Saunders, 1974; 457-72.
Sri Oemijati. Masalah dalam pemberantasan filariasis di Indonesia. Cermin
Dunia Kedokt. l990 64 : 7-10.
Bila pengarang enam orang atau kurang, sebutkan semua; bila tujuh atau lebih,
sebutkan hanya tiga yang pertama dan tambahkan dkk.
Naskah dikirimkan ke alamat : Redaksi Cermin Dunia Kedokteran,
Gedung Enseval, JI. Letjen Suprapto Kav. 4, Cempaka Putih, Jakarta 10510
P.O. Box 3117 Jakarta. Telp. 4208171/4216223
Pengarang yang naskahnya telah disetujui untuk diterbitkan, akan diberitahu
secara tertulis.
Naskah yang tidak dapat diterbitkan hanya dikembalikan bila disertai
dengan amplop beralamat (pengarang) lengkap dengan perangko yang cukup.
Tulisan dalam majalah ini merupakan pandangan/pendapat masing-masing penulis
dan tidak selalu merupakan pandangan atau kebijakan instansi/lembaga/bagian tempat
kerja si penulis.
English Summary
IgG AND IgE STATUS AMONG
ASTHMA BRONCHIALE PATIENTS
WHO USED PREDNISON THERAPY
Yovita Lisawati,
Rusdi A
Bie
Tjeng,
Dept. of Pharmacy Andalas University,
Padang. Indonesia
This study was done to find out
the IgG and IgE status in
asthmatic bronchial patients
who
used
prednison.
The
immunodiagnostic test applied
was the precipitation test,
The result showed that the
average of IgG in asthmatic
bronchial patients who used
prednison is 1 332,09 mg/dl,
less
than
the
average
IgG in patients who did not use
prednison. The average of IgE
in asthmatic bronchial patients
who used prednison is 4224,0.
10-5 mg/dl, less than the aver
age of IgE in patients who did
not use prednison.
Yl, Bt, Ra
Cermin Dunia Kedokt. 1997, 114:37-40
4
Cermin Dunia Kedokteran No. 114, 1997
SEROEPIDEMIOLOGIC SURVEY
ON TETANUS ANTITOXIN TITRE
AMONG 5-12 YEAR-OLD GIRLS
IN INDONESIA
Siti Sundari Yuwono, Dewi P.,
Farida, Imu R., Sumarno, Dewi
Health Research and Development
Board, Department of Health, Jakarta.
Indonesia
A seroepidemiologic survey
on
tetanus
antitoxin
level
among 5-12 year-old girls was
done in several locations in Indonesia. Specimens were taken
from 176 girls in Kulon Progo,
Yogyakarta, 201 girls in West
Lombok and from 192 girls in
Lamongan, East Java.
The result shows that overall,
more than 75% were already
have tetanus antitoxin; and
among girls who didn’t receive
immunization, 65% were al
ready have tetanus antitoxin in
their sera.
brw
Cermin Dunia Kedokt. 1997; 114: 59-60
Artikel
TINJAUAN KEPUSTAKAAN
Pengelolaan Pasien
dengan
Kedaruratan Paru
Zul Dahlan
Subunit Pulmonologi Laboratorium/UPF Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas Padjadjaran/
Rumah Sakit Hasan Sadikin, Bandung
PENDAHULUAN(1)
Berbagai keadaan dapat menimbulkan gangguan respirasi
yang serius dan membahayakan jiwa. Keadaan ini berkisar
antara:
1) Penyakit primer yang mengenai sistim bronkopulmoner
seperti hemoptisis masif, pneumotorak ventil, status asmatikus,
dan pneumonia berat.
2) Gangguan fungsi paru yang sekunder terhadap gangguan
organ lain seperti keracunan obat yang menimbulkan depresi
pusat pernafasan.
Pada semua keadaan, perhatian utama harus lebih ditujukan
kepada tindakan penyelamatan nyawa daripada penyelidikan
diagnostik. Bila tindakan penyelamatan telah berjalan, selanjutnya dilaksanakan evaluasi dan pengelolaan penyakit dasar pasien.
Dalam makalah ini akan diuraikan mengenai evaluasi dan
pengelolaan kedaruratan penyakit respirasi pada umumnya dan
kedaruratan penyakit paru primer pada khususnya.
EVALUASI DAN PENGELOLAAN AWAL PENYAKIT
RESPIRASI AKUT(1)
I.
Penilaian pertama untuk tindakan darurat
Pada evaluasi awal pasien tersangka penyakit paru akut, keadaan yang merupakan ancaman langsung terhadap jiwa harus
segera dikenal dan diatasi. Hal tersebut dapat ditentukan
dengan mengamati hal-hal sebagai berikut:
A) Keadaan umum pasien
Dilihat keadaan tingkat stress, yang merupakan pencerminan keadaan yang mengancam jiwa, misalnya kegelisahan hebat,
sianosis berat, kesulitan bernafas yang hebat.
B) Keadaan mental
Perubahan berupa mudah tersinggung, kebingungan, ngantuk, dan gangguan orientasi.
C) Frekuensi dan irama respirasi
•
Respirasi yang sangat lambat dan dangkal : gangguan pusat
respirasi.
• Takipnea menandai penyakit paru akut, penyakit sistemik
(misalnya sepsis), perdarahan, syok, atau gangguan
metabolisme (ketoasidosis).
D) Keadaan kardiovaskuler
Kelainan tekanan darah, nadi, irama jantung, perfusi jaringan, dan isi sekuncup sering menyertai gangguan fungsi paru.
E) Kelelahan otot pernafasan
• Gerakan dinding perut ke arah dalam pada saat inspirasi.
• Penggunaan otot respirasi tambahan.
F) Analisis Gas Darah
Untuk mengetahui tingkat keparahan fungsi pernafasan
yang memerlukan tindakan segera.
II. Pengelolaan darurat medik
Pada pasien sakit berat perlu segera dilakukan koreksi
gangguan oksigenisasi, ventilasi dan keseimbangan asam basa.
A) Oksigenisasi
Segera berikan O2 pada pasien dengan tanda hipoksemi
(misalnya sianosis). Perlu diingat bahwa O2 tidak akan memperbaiki hipoksi yang disebabkan oleh Cardiac output yang
rendah, anemi berat, right to left A-V shunt. Pada pasien
penyakit paru obstruktif kronik (PPOK) dan retensi CO2
pemberian O2 yang berlebihan dapat menimbulkan gangguan
rasio ventilasi/perfusi (V/Q) lebih lanjut atau menghilangkan
rangsang pusat respirasi, meningkatkan CO2 dan asidosis
respirasi, dan pemburukan ke-adaan pasien. Pada pasien PPOK
berikan O2 terbatas dengan Venturi mask (FIO2 24%–28%).
B) Bantuan ventilator
Indikasi intubasi dan pemakaian alat bantu pernafasan
yaitu bila :
• Keadaan memburuk walaupun telah mendapatkan O2 secukupnya.
Cermin Dunia Kedokteran No. 114, 1997
5
•
Tidak mampu bernafas spontan.
Pada penyakit paru akut hal ini ditandai oleh adanya:
• Gambaran klinik adanya gangguan perfusi paru, kardiovaskuler dan neurologis yang serius.
• Dikonfirmasi dengan hasil analisis gas darah berupa hipoksemi berat (pO2 <55–60 mmHg), peningkatan CO2
akut dan pH yang rendah.
C) Asidosis
Gangguan keseimbangan asam basa yang ringan sampai
berat umum terjadi pada gangguan fungsi respirasi yang akut.
Kelainan ini dikoreksi dengan mengingat pengaruh faktor metabolik, respirasi dan penyakit dasar pasien.
D) Komplikasi akut
Komplikasi akut sering menyertai penyakit paru akut, diakibatkan oleh gangguan oksigenasi atau asam basa, penyakit
dasar pasien, dan terapi yang tidak tepat; dapat berupa gangguan
respirasi: bronkospasme, infeksi, aspirasi, obstruksi jalan nafas,
pneumotorak, tromboemboli, atau gangguan kardiovaskuler,
neurologik, dan metabolik.
III. Penilaian lengkap
Bila tidak ada tindakan segera yang harus dikerjakan, evaluasi yang lebih lengkap perlu dilaksanakan (Diagram 1).
A) Anamnesa
Mengenai batuk, sputum, nyeri dada, sesak nafas, dan
demam.
B) Pemeriksaan fisik
1) Umum: sianosis, status mental, tanda umum penyakit yang
berat.
2) Respirasi: frekuensi dan pola respirasi; inspeksi toraks,
trakea, dan iktus kordis; gerak respirasi, nyeri pleuritik, perkusi
torak dan suara pernafasan.
3) Kardiovaskuler, terutama yang berhubungan dengan penyakit paru. Distensi v. jugularis, bunyi jantung, edema, pulsus
paradoksus.
C) Pemeriksaan lanjutan
Untuk menegakkan diagnosis, menegaskan keparahan dan
etiologi penyakit atau untuk menilai hasil terapi. Berupa analisis
gas darah, torak foto, spirometri, EKG, pemeriksaan sputum.
Pemeriksaan lanj utan tergantu ng kepada kebutuhan.
IV. Terapi terhadap penyakit dasar
1) Anti biotik
Diberikan sebagai terapi empirik menurut pedoman yang
berlaku(3).
2) Bronkodilator
Pada keadaan dengan bronkospasme yang jelas diberikan
B2 agonist per nebulizer, aminophylline per infus/pe. Bila perlu
diberikan kortikosteroid pe.
3) Diuretik dan digitalis, bila dijumpai adanya bendungan
jantung kongestif.
4) Terapi lanjutan: rehidrasi, fisioterapi.
5) Perawatan lanjut
Dilakukan penilaian lanjut gambaran fisiologik dan klinik
pasien; bila terdapat pemburukan keadaan perlu dipertimbangkan adanya:
• komplikasi penyakit (misa pneumotorak pada pasien
6
Cermin Dunia Kedokteran No. 114, 1997
asma)
• komplikasi iatrogenik (misalnya pemberian obat/cairan
yang tidak tepat)
• kesalahan diagnosis (misalnya edem paru dianggap asma,
tromboemboli dianggap pneumonia, sepsis sebagai gagal nafas
akut).
Pasien dengan hipoksemi berat atau asidopsis respiratorik
yang disertai gangguan neurologi atau kardiovaskuler memerlukan perawatan di ruang intensif (ICU).
BERBAGAI KEDARURATAN MEDIK PARU PRIMER
HEMOPTISIS
Pengantar
Hemoptisis sering dijumpai pada pasien penyakit paru. Di
Sub bagian Pulmonologi Bagian/UPF Ilmu Penyakit Dalam
FKUPIRSHS dilaporkan kejadian sebesar 47,5% dari pasien
rawat nginap (Guratmana, 1976). Ekspektorasi darah ini sering
menunjukkan adanya penyakit dasar yang serius. Bila perdarah
an masif dapat terjadi sufokasi dan eksangunisasi/kekurangan
darah hingga tindakan pencegahan perlu dilakukan. Hal ini merupakan keadaan darurat.
Menurut Busroh (1978) yang disebut hemoptisis masif
adalah :
• lebih dari 600 ml/24 jam dan perdarahan belum berhenti.
• 250–600 ml/24 jam dengan disertai kadar Hb kurang dari/
sama dengan 10 g%, namun hemoptisis berlangsung terus.
Penulis lain menyatakan kriteria hemoptisis lebih dari 150
ml/jam dan terus berlangsung.
Evaluasi Pasien
A) Beratnya hemoptisis
Perlu segera ditentukan secara tepat beratnya perdarahan
untuk menentukan tindakan yang perlu diambil. Ini didasarkan
pada:
1) Pemeriksaan fisik
Tanda insufisiensi sirkulasi dan respirasi berupa hipotensi,
takikardi atau takipnu, kesulitan bernafas, sianosis atau ronkhi
yang difus.
2) Tingkat perdarahan
Menghitung jumlah darah yang dibatukkan. Hemoptisis
yang banyak dan cepatmenunjukkan keadaan yang mengancam
jiwa.
3) Foto toraks
Gambaran opak yang difus dan homogen mungkin menunjukkan adanya darah yang teraspirasi dan kapiler ke alveoli.
B) Lokasi perdarahan
Perlu disingkirkan kemungkinan perdarahan dari hidung,
tenggorok, mulut, esofagus dan lambung.
• hemoptisis bronkopulmoner: batuk darah berwarna merah
terang dan berbusa, pH alkalis.
• saluran nafas atas: hipertensi, epistaksis, perdarahan gusi
• hematemesis dan lambung: muntah berwarna merah gelap
atau hitam dan bercampur makanan, pH asam.
Bila perlu dilakukan pemeriksaan langsung nasofaning,
orofaring dan laring.
C) Etiologi hemoptisis
1) Anamnesis
a) Batuk dengan dahak purulen atau mukopurulen: kemungkinan infeksi seperti oleh bronkitis, pneumonia, abses paru atau
bronkiektasis terinfeksi.
b) Riwayat penyakit katup jantung, mitral stenosis. Darah
merah terang, berasal dari anastomosis v. bronkopulmoner
pada dinding bronkus.
c) Pasca trauma torak; ruptur trakheobronkial atau kista paru.
d) Disertai perdarahan berbagai tempat: kemungkinan perdarahan luas oleh diatesa hemoragik atau kelainan darah.
e) Perokok berat dan lama atau kontak Tb paru, kemungkinan
Ca bronkogenik atau Tb paru.
f) Disertai nyeri atau bengkak kaki dan nyeri dada: infark paru.
g) Disertai hematuri:
granu1oi Wegener,
Sindrom
Goodpasture atau lupus enitematosus.
2) Pemeriksaan Fisik
a) Umum: periksa kulit terhadap adanya petekhiae, ekimosis,
spider nevi, aneunisma av; phlebitis.
b) Sistim respirasi: tanda-tanda penyakit paru kronik. Ronkhi
lokal oleh perdarahan bronkial; ronki umum; sindrom Goodpasture.
c) Jantung: stenosis mitral, kardiomegali.
d) Ekstremitas: sianosis-kemurigkinan shunt intrakardiak atau
fistel AV pulmoner yang besar. Jan tabuh - tumor paru, fibrosis
pulmoner interstitial, infeksi paru kronik, atau shunt kardiak.
3) Pemeriksaan Khusus
a) Foto toraks PA dari lateral, dan posisi lain bila diperlukan.
b) Sputum, untuk pemeriksaan bakteriologik dan patologik.
c) Analisis gas darah, dapat membantu dalam hal aneurisma
AV.
d) Lain-lain - pemeriksaan urine., Hb, hematokrit, lekosit,
trombosit, pemeriksaan waktu perdarahan/pembekuan atau lainnya. Bila penlu bronkoskopi, tomografi paru, angiografi atau
scanning paru.
Pengelolaan
Tergantung kepada beratnya perdarahan.
A) Perdarahan masif
1) Supportif fungsi vital
Mengatasi hipotensi, anemi dan kolaps kandiovaskuler
untuk menghindani kerusakan otak, jantung atau ginjal yang
ireversibel. Berupa penggantian volume darah dengan transfusi
atau volume expander, O2, dan bila perlu mempertahankan keseimbangan hemodinamik dengan dopamin.
2) Pencegahan obstruksi saluran nafas oleh darah
Diusahakan dengan posisi kepala ke bawah, untuk menghindari aspirasi; pada keadaan terpaksa: suction dan intubasi
endotrakhea
3) Menghentikan perdarahan
Bila perlu dilakukan pemasangan balon intrabronkus, kateterisasi dan embolisasi a. bronkial dengan sponge gelatin, atau
bedah reseksi.
4) Hemoptisis oleh sindrom immunosupresif, plasmapheresis
atau nefrektomi bilateral.
B) Perdarahan ringan sampai sedang
1) Hemoptisis ningan
Terapi ditujukan terhadap etiologinya.
2) Hemoptisis sedang (20-100 ml)
Tirah baring ke sisi lokasi perdarahan, dan secara sangat
selektif pada tingkat perdarahan ini dapat diberikan obat penenang ringan dan kodein sulfat.
3) Bila perdarahan berulang dengan jumlah 20 ml atau lebih:
• Pasang infus dengan NaCl 0,9%. Bila perlu pasang CVP
dan lakukan transfusi sesuai kebutuhan.
• Koreksi kelainan faktor perdarahan.
• Rawat di ICU bila dip dan lakukan bronkoskopi.
• Bila perdanahan> 150 ini/jam, dilakukan pembedahan.
Bila tak mungkin melalui bronkoskop dilakukan penutupan
bronkus yang menjadi sumber perdarahan dengan menggunakan
gas, atau balon, atau embolisasi.
Cermin Dunia Kedokteran No. 114, 1997
7
PROGNOSIS
Di Sub bagian Pulmonologi Bagian/Lab. Penyakit Dalam
FKUP/RSHS pada tahun 1979 terdapat 44,9% pasien dengan perdarahan masif, yang meninggal dunia 27.3%. Dengan tindakan
yang cepat dan tepat angka ini dapat dikurangi.
PNEUMOTORAK(2)
Definisi
Pneumotorak adalah terdapatnya udara pada rongga pleura
yang menyebabkan kolapsnya paru. Tersering disebabkan oleh
ruptur spontan pleura visceralis yang menimbulkan kebocoran
udara ke rongga torak.
Pneumotorak dapat terjadi berulang kali.
Dikenal dua jenis:
a) Pneumotorak primer
Tanpa penyakit dasar yang jelas. Lebih sering pada laki-laki
muda sehat dibandingkan wanita. Timbul akibat ruptur bulla
kecil (1–2 cm) subpleural, terutama di bagian puncak paru.
b) Pneumotorak sekunder
Tersering pada pasien bronkitis dan emfisema yang mengalami ruptur emfisema subpleura atau bulla. Penyakit dasar lain:
Tb paru, asma lanjut, pneumonia, abses paru atau Ca paru.
Pneumotorak berhubungan dengan peningkatan tekanan
intrapulmoner yang meluas sampai ke rongga udara subpleura
dan permukaan pleura karena adanya obstruksi jalan nafas,
alveoli yang besar, kista paru atau bulla.
Tergantung pada kebocoran udara yang terjadi dikenal 3
tipe:
a) Pneumotorak tertutup
Lubang tertutup spontan dari udara dalam rongga torak diserap kembali.
b) Pneumotorak terbuka
Lubang pada pleura viseralis tetap terbuka dan paru-paru
tetap kuncup. Terkadang terdapat fistel bronkopleura, yaitu adanya hubungan langsung antara bronkus dan rongga torak.
c) Pneumotorak ventil
Terjadi peningkatan progresif tekanan intrapleural yang menimbulkan kolaps paru yang progresif dan diikuti pendorongan
mediastinal dan kompresi paru kontralateral.
Pada pneumotorak berat terjadi penurunan ventilasi dan AV
shunt diikuti hipoksemi. Hal ini lebih berat dan cepat terjadi
pada pneumotorak sekunder yang disertai penyakit paru lain.
Diagnosis
Anamnesis
Sulit bernafas yang timbul mendadak dengan disertai nyeri
dada yang terkadang dirasakan menjalar ke bahu. Dapat disertai
batuk dan terkadang terjadi hemoptisis.
Perlu ditanyakan adanya penyakit paru atau pleura lain yang
mendasari pneumotorak, dan menyingkirkan adanya penyakit
jantung.
Pemeriksaan fisik
Sesak nafas dan takikardi yang dapat disertai sianosis pada
pneumotorak ventil atau ada penyakit dasar paru. Gerakan torak
mungkin tampak tertinggal, deviasi trakhea, ruang interkostal
8
Cermin Dunia Kedokteran No. 114, 1997
melebar, perkusi hipersonor dan penurunan suara pernafasan.
Dapat menghilangkan atau mengurangi pekakjantung atau hati.
Pada tingkat yang berat terdapat gangguan respirasi/sianosis,
gangguan vaskuler/syok.
Komplikasi dapat berupa hemopneumotorak, pneumomediastinum dan emfisema kutis, fistel bronkopleural dan
empiema.
Foto torak:Gambaran paru yang kolaps ke arah hilus dengan
radiolusen ke sebelah perifer. Gambaran ini akan membesar pada
posisi ekspirasi. Singkirkan kemungkinan bulla yang besar,
emfisema paru, kista paru, kaverne yang besar.
Terapi
a) Pneumotorak ringan non ventil, kurang dari 30%. Pasien di
observasi dan disuruh meniup balon. Bila pneumotorak memburuk dapat dipasang water sealed drainage (WSD).
b) Pneumotorak besar atau tipe ventil
Dipasang WSD.Pada keadaan gawat dapat dilakukan punksi
dengan jarum infus sel atau jarum besar, yang kemudian dihubungkan dengan slang ke botol berisi air. Bila perlu sebelum
dibuat foto toraks.
Bila dalam 24 jam pemasangan kateter paru tidak mengembang slang dapat disambungkan ke alat penghisap. Bila dalam
5 hari tidak berhasil dan keadaan pasien buruk pentu dipikirkan
kemungkinan tindakan bedah untuk menutupi kebocoran. Bila
paru sudah mengembang sempurna, WSD diklem selama 3 hari.
Bila hasil observasi dan torak baik WSD dapat dicabut.
c) Pencegahan pneumotorak rekuren, dapat dilakukan dengan
menggunakan:
• pleurodesis kimia, dengan menggunakan larutan tetrasiklin
atau bedak talk.
• pleurektomi parietal. Dilakukan pula ligasi atau reseksi
bullae atau bleb.
Terapi komplikasi
• hemopneumotorak: pembedahan.
• gangguan fungsi respirasi atau vaskuler: terapi suportif.
• emfisema kulit/mediastinal: observasi dan suportif.
ASMA AKUT BERAT/STATUS ASMATIKUS
Pengantar
Berdasarkan patogenesis yang kini dianut, asma merupakan
penyakit inflamasi kronik jalan napas yang disebabkan oleh
berbagai jenis sel radang termasuk sel mast dan eosinofil. Pada
pasien yang peka peradangan ini menimbulkan gejala-gejala
yang berhubungan denan obstruksi saluran napas secara umum
yang beratnya bervariasi, namun dapat membaik kembali secara
spontan atau dengan pengobatan. Juga timbul peningkatan
kepekaan bronkus terhadap berbagai perangsangan(2).
Eksaserbasi asma (serangan asma) adalah episode progresif
peningkatan gejala pendek napas, batuk, mengi, sesak dada atau
kombinasi dari gejala-gejala tersebut. Hal ini adalah pertanda
kegagalan pengelolaan ama jangka panjang atau adanya pencetus. Tingkat serangan asm berkisar antara ringan sampai
mengancam jiwa, yang berkembang dalam beberapa hari atau
jam namun kadang-kadang bisa dalam beberapa menit. Morta-
litas paling sering berhubungan dengan salah menilai beratnya
serangan, kurang cukupnya tindakan pada saat awal serangan
dan kurangnya terapi yang diberikan. Asma akut yang berat/
status asmatikus merupakan tingkat penyakit yang berat yang
memerlukan penanganan segera.
Diagnosis
a) Anamnesis
* Serangan asma sekarang:
– faktor pencetus: infeksi, alergen
– terapi awal dan respons dalam 1–2 jam
– lamanya serangan
* Keadaan asma sebelumnya/risiko tinggi:
– penggunaan kortikosteroid
– perawatan darurat/RS tahun sebelumnya
– intubasi untuk asma
– masalah psikososial
– kelalaian dalam melaksanakan terapi asma.
b) Diagnosis serangan asma akut:
Berat
Gawat
* Sesak napas
• saat istirahat
• membungkuk ke
depan
* Kemampuan • sepatah kata
bicara
* Kesadaran
• agitasi
• mengantuk/
bingung
* Respirasi
• > 30/menit
* otot respirasi • jelas/retraksi
• gerakan
tambahan
torakoabdominal
paradoksal
* Mengi
• keras
• tak ada
* Nadi/menit
• > 120
• bradikardi
* Pulsus
• (+), > 25 mmHg • (–), kelelahan
paradoksus
otot
• < 60 mmHg
* PaO2
sianosis
* PaCO2
• > 45 mmHg
* Sat. O2 (udara) • < 90%
c) Singkirkan kemungkinan penyakit lain
• bronkitis eksaserbasi akut dengan bronkospasme
• pneumotorak
• edem paru akut
d) Diagnosis komplikasi/penyakit penyerta
Pasien asma akut berat di ruang perawatan biasa, asma akut
gawat langsung ke ICU.
Terapi
Tujuan terapi adalah untuk:
* menghilangkan obstruksi secepat mungkin
* menghilangkan hipoksia
* mengembalikan fungsi paru normal secepatnya
* merencanakan usaha penghindaran relaps di masa depan
Terapi awal :
1. O2 4-6 L/menit
2. Inhalasi/nebuliser B2 agonist tiap jam (Atrovent®)
3. Dexamethason 3x2 amp.iv
4. Aminofihin bolus/infus
5. B2 agonis SC/IMIIV kalau perlu.
6. Terapi lain:
• antibiotika dan rehidrasi bila diperlukan
• catatan : • hindari inhalasi mukolitik
• sedativa dilarang
• antihistamin tak bermanfaat
• hindari fisioterapi pada saat sesak nafas
Bila hasil evaluasi setelah 1 jam tak terlihat perbaikan:
• Fisik: gejala berat, mengantuk, bingung
• Arus Puncak Ekspirasi (APE) < 30%
• PCO2 >45 mmHg
• PO2 < 60 mmHg
Masukkan ke ICU untukperawatan intensif dan kemungkinan intubasi dan ventilasi mekanik.
Kriteria memulangkan pasien:
• Short Acting B2 agonist inhalasi diperlukan >4 jam sekali
• Lancar berjalan sendiri
• Tak terbangun malam karena sesak/perlu obat
• Keadaan klinis normal/hampir normal
• APE atau FEV > 7–80% normal/nilai terbaik setelah pemakaian SA B2 agonist inhalasi, dan variabilitas PEF ≤ 20%
• Pasien telah dapat petunjuk cukup mengenai cara penggunaan
inhaler dan rencana perawatan/kontrol asma di rumah dan di
klinik untuk mencapai fungsi paru terbaik.
Prognosis
Dengan pengelolaan yang cepat dan adekuat asma jarang
menimbulkan kematian. Di RS Dr. Sutomo Surabaya (1980) dilaporkan angka kematian 2,09%.
KEPUSTAKAAN
1.
2.
3.
Zagelbaum GL, Peter Pare JA. Manual of acute respiratoiy care. Asian Ed.
Boston: Little Brown Co. Ltd, 1982; 1–18, 23–127.
Sheffer AL. International Consensus Report on Diagnosis and
Management of Asthma. Clin Experiment Allergy 1992; 22 (1).
Soeria Soemantri E, Dahlan Z. Buku Pedoman Pengelolaan dan Penelitian
Infeksi Saluran Pernafasan Bawah Akut. Subunit Pulmonologi Bagian/UPF
IP Dalam FK Unpad/RS Hasan Sadikin, Bandung, 1992.
Cermin Dunia Kedokteran No. 114, 1997
9
TINJAUAN KEPUSTAKAAN
Perawatan Intensif Penyakit
Gawat Paru
di Rumahsakit Kabupaten
Ike Sri Rejeki, Afifi Ruchili, Marsudi Rasman
Bagian/UPF Anestesiologi dan Perawatan Intensif Fakultas Kedokteran Universitas Padjadjaran/
Rumah Sakit Umum Hasan Sadikin, Bandung
PENDAHULUAN
Perawatan Intensif adalah tindakan perawatan dan tindakan
medis yang secara aktif dilakukan untuk menunjang fungsi organ
vital, memperbaiki dan mencegah kegagalan lain. Dengan demikian kematian dapat dicegah. Kegagalan fungsi organ vital
yang dapat menimbulkan kematian dalam waktu singkat adalah
fungsi pernafasan, kardiovaskuler dan SSP.
Fungsi pernafasan adalah memasukkan oksigen dan udara
luar ke dalam darah untuk memenuhi kebutuhan O2 dan
mengeluarkan CO2 sebagai hasil metabolisme. Kedua proses
ini terjadi melalui paru. Setiap perubahan atau kelainan di paru
baik disebabkan oleh penyakit atau bukan akan mempengaruhi
proses pertukaran O2 dan CO2 Apabila tidak segera diatasi,
kebutuhan O2 jaringan akan tidak terpenuhi sehingga dapat
menyebabkan kegagalan fungsi organ vital lain seperti
kardiovaskuler, SSP, ginjal, hepar dan lain-lain, selanjutnya
menyebabkan kemati- an(1,2,3).
Dengan mengetahui patofisiologi gagal nafas diharapkan
RSU Kabupaten dengan fasilitas perawatan intensif yang sederhana mampu bertindak lebih awal untuk mencegah terjadinya
gagal nafas.
DEFINISI
Penyakit gawat paru adalah suatu keadaan pertukaran gas
dalam paru terganggu, yang bila tidak segera diatasi akan menyebabkan suatu keadaan yang disebut gagal nafas akut; yang
ditandai dengan menurunnya kadar oksigen di arteri (hipoksemia) atau naiknya kadar karbondioksida (hiperkarbia) atau
kombinasi keduanya.
Kriteria diagnosis untuk pasien yang bernafas pada udara
kamar adalah: 1) PaO2 kurang daRI 60 mmHg, 2) PaCO2 lebih
dari 49 mmHg tanpa ada gangguan alkalosis metabolik primer
Gagal nafas dapat disebabkan oleh bermacam-macam Penya-
10
Cermin Dunia Kedokteran No. 114, 1997
kit gawat paru baik akut maupun kronis yang menjadi akut
kembali (acute on chronic).
Penyebab terjadinya penyakit gawat paru antara lain(1,3-6) :
1) Oleh karena gangguan pada otak baik oleh karena trauma,
stroke, obat-obatan (CNS depressant), neoplasma, epilepsi.
2) Oleh karena kelainan medula spinalis dan susunan neuromuskuler seperti pada miastenia gravis, polineuritis, pelumpuh
otot, lesi transversa medula spinalis daerah servikal dan lain-lain.
3) Gangguan dinding thoraks, ruptur diafragma.
4) Obstruksi jalan nafas karena benda asing, pembengkakan
jalan nafas, konstriksi bronkhiolus, trauma jalan nafas, luka
bakar.
5) Kelainan parenkhim paru sendiri, emfisema, infeksi paru,
pneumothorax, aspirasi.
6) Gangguan kardiovaskuler yang menyebabkan gangguan
perfusi paru.
7) Iskemi intestin yang akut.
8) Kelainan organ-organ lain seperti setelah infark miokard.
9) Gangguan mekanik paru (pemberian PEEP pada ventilasi
buatan).
PATOFISIOLOGI
Ada beberapa mekanisme yang mendasari terjadinya gagal
nafas akut:
1) Hipoventi1asi(1,3,4)
Hipoventilasi didefinisikan sebagai keadaan dengan kadar
CO2 arteri lebih dari 45 mmHg akibat berkurangnya udara yang
mencapai alveolus; dengan kata lain ventilasi alveolus menurun.
Hipoventilasi ini dapat terjadi karena obstruksi jalan nafas,
gangguan neuromuskuler dan depresi pernafasan.
2) Pintasan intrapulmoner, ruang rugi dan gangguan perbandingan ventilasi perfusi (V/O mismatch).
Pintasan intrapulmoner diartikan: darah yang memperfusi-
paru tidak mengalami pertukaran gas karena alveolusnya tidak
terventilasi, misalnya pada atelektasis.
Ruang rugi merupakan keadaan alveolus terventilasi tetapi
tidak dapat melakukan pertukaran gas karena bagian paru tersebut tidak mendapat perfusi, contohnya pada emboli paru.
Pada paru normal perbandingan ventilasi atau perfusi adalah
0,85. Pada gangguan ventilasi atau perfusi perbandingan tersebut
dapat menjadi besar.
3) Gangguan difusi
Gangguan difusi gas terjadi akibat penebalan membran
alveolus kapiler misalnya pada keadaan fibrosis interstitial,
pneumonia interstitial, penyakit kolagen seperti skleroderma,
penyakit membran hialin.
Kapasitas difusi CO2 20 kali lebih besar daripada kapasitas
difusi O2 sehingga pada gangguan difusi, gejala yang pertama
timbul adalah hipoksemi, biasanya diikuti oleh kompensasi berupa
hiperventilasi, akibatnya PaCO2 menjadi rendah, apabila kompensasi tersebut gagal maka PaCO2 menjadi normal atau tinggi.
Jadi keadaan hipoksemi dapat disertai hipokarbi, normokarbi
atau hiperkarbo. Sebaliknya apabila hiperkarbi hampir selalu
diikuti hipoksemi (pada udara kamar).
Selain itu dapat juga terjadi gangguan difusi oleh karena
kerusakan mikrovaskuler pada jaringan paru sehingga timbullah
edema paru. Permeabilitas mikrovaskuler paru akan meningkat
dengan adanya endotoksin, kerusakan jaringan dan bahan kimia
tertentu(1) (Diagram 1).
Mediator-mediator yang dapat menimbulkan peningkat
permeabilitas mikrovaskuler di daerah paru adalah : bradikini
leukotrien, tromboksan dan lain-lain. Endotoksin dapat mengaktifkan faktor XII menjadi faktor XIIa untuk koagulasi, fibrin
lisis dan pembentukan komplemen. Tetapi selain itu juga menghasilkan perubahan prekallikrein menjadi kallikrein dan kall
krein ini mengubah kininogen menjadi bradikinin (Diagram 2).
Bradikinin inilah yang dapat menimbulkan edema paru.
Komplemen pada bagan di atas berpengaruh terhadap:
Sel-sel PMN.
Komplemen yang dihasilkan akan menarik sel-sel PMN ke
parenkhim paru dan mengeluarkan enzim proteolitik dan oksigen
radikal bebas yang akan menyebabkan kerusakan paru.
Makrofag:
Makrofag yang terdapat di alveolus juga dengan komplemen akan mengeluarkan enzim proteolitik dan oksigen radikal
bebas: Makrofag juga mempakan bahan faktor nekrosis pada
tumor (tumor necrosis factor) yang juga berperan dalam menyebabkan gagal nafas akut.
Trombosit:
Peranannya pada gagal nafas akut tidak jelas.
Limfosit.
Limfosit dapat mengaktifkan interleukin sehingga diduga
mempunyai peran untuk menimbulkan gagal nafas akut.
Sel Endotel:
Endotel pembuluh darah diduga merupakan salah satu faktor
yang dapat mencetuskan gagal nafas akut. Endotel melepaskan
oksigen radikal bebas bilaberaksi terhadap pemberian endotoksin.
Faktor:
TNF adalah mediator yang dilepaskan oleh makrofag dan
monosit sebagai respon terhadap beberapa zat antara lain endotoksin. Material ini menghasilkan respons seperti penyuntikan
endotoksin terhadap manusia.
TNF dapat menimbulkan edema paru. TNF terutama dikenal
pada kasus-kasus sepsis.
4) Faktor lain yang berpengaruh terhadap timbulnya
gagal nafas akut
• Interaksi hepatik:
Hepar memegang peranan penting pada gagal paru akut.
Pada keadaan normal 90% dari fungsi sistim retikuloendotelial
terdapat di hepar yaitu di daerah sel Kupfer. Bakteri dan toksinnya (terutama yang dari usus) akan dibersihkan dan sirkulasi di
hepar. Jadi hepar berfungsi sebagai filter.
Gangguan fungsi hepar akan memperbesar kemungkinan
meningkatnya kadar endotoksin dan bakteri dalam darah. sehingga akan mempengaruhi fungsi organ yang lain termasuk
paru-paru.
Selain itu mediator-mediator yang dapat menyebabkan edema
paru juga didetoksifikasi di hepar.
• Gangguan intestinal:
Cermin Dunia Kedokteran No. 114, 1997
11
Iskemi intestin akut akan menyebabkan peningkatan permeabilitas dinding usus terhadap endotoksin intestin. Endotoksin
yang masuk ke sirkulasi dan mencapai paru dapat menimbulkan
kerusakan paru. Vasokonstriksi mesenterik merupakan faktor
penting yang dapat meningkatkan endotoksemi. Gangguan intestin dapat menyebabkan kerusakan paru dan juga sebaliknya
kerusakan paru dapat menyebabkan disfungsi intestin(1).
• Gangguan organ lain:
Kerusakan organ lain dapat menimbulkan gagal nafas akut
melalui proses gagalnya fungsi barier intestin. Contoh: luka
bakar yang luas akan menyebabkan vasokonstriksi mesenterik
dan translokasi bakteri. Pelepasan bakteri dan kerusakan jaringan di tempat yang bersangkutan akan menghasilkan mediator yang dapat mencetuskan gagal nafas akut.
Kejadian serupa ini juga bisa terjadi pada kasus infark
miokard. Tekanan atrial kiri akan meningkat akibat depresi
miokard juga dapat menyebabkan edema paru. Selain itu jaringan miokard yang rusak akan mengeluarkan enzimproteolitik
dan mediator yang terbentuk dari proses inflamasi, masuk kesistim koroner lalu ke sinus koronarius kemudian masuk sirkulasi
paru dan akan menyebabkan kerusakan mikrovaskular di paru(1,2,5).
GEJALA KLINIS DAN PEMERIKSAAN
Gejala klinis penyakit gawat paru biasanya tergantung etio1oginya(1,3,4,6,7).
• Penyakit gawat paru yang disebabkan oleh gangguan otak
memberikan gejala utama berupa: penurunan kesadaran, depresi
nafas: frekuensi nafas kurang dari 12 kali/menit atau apnoe.
• Gejala yang timbul kanena gangguan neuromuskulan atau
gangguan medulla spinalis adalah berupa tanda-tanda rasa tercekik, retraksi, tracheal tug, sampai apnoe. Yang menonjol adalah gejala hipoksia berupa takhikardi, kulit dingin dan basah.
• Gejala yang timbul karena obstruksi saluran nafas bagian
atas biasanya terjadi tiba-tiba, afoni, tanda-tanda seperti
tercekik, retraksi suprasternal dan epigastrik.
• Pada penyakit paru obstruktif, biasanya berlangsung secara
kronik.
Pada asma timbul berupa serangan sesak nafas, wheezing,
sputum yang lengket dan kental. Serangan asma biasanya berhubungan dengan suatu keadaan alergi.
Pada penyakit paru obstruktif menahun terjadi kerusakan
pada jalan nafas, biasanya selain didapatkan hipoksemi juga
disertai hiperkarbi karena retensi CO2 kronik. Hal ini menyebabkan rangsangan terhadap pusat pernafasan tidak lagi oleh keadaan
hiperkarbi (hypoxic drive) dari pusat pernafasan menjadi sangat
sensitif terhadap obat-obatan yang mendepresi pusat nafas dan
terhadap konsentrasi oksigen yang tinggi. Pada emfisema biasanya kadar PaCO2 tidak terlalu tinggi.
• Gangguan pada parenkim paru
Dapat berupa infeksi, gejala utamanya batuk, demam,
dahak yang purulen atau seperti karat dan sebagainya.
Aspirasi bahan yang iritatif dapat menyebabkan kerusakan
parenkim paru, menimbulkan gejala hipoksi karena pertukaran
gas terganggu.
Pada kasus-kasus trauma biasanya menyebabkan gangguan
12
Cermin Dunia Kedokteran No. 114, 1997
berupa pneumohematotoraks, gangguan pergerakan dinding
thoraks, gangguan mekanik pernafasan. Gejala yang harus diperhatikan antara lain sesak nafas, takikardia oleh karena sakit,
hipoksia dan sebagainya. Dapat disertai tanda-tanda takhipnoe
atau disertai syok.
Semua keadaan-keadaan gawat paru tersebut harus segera
diatasi kanena penderita dapat jatuh ke dalam gagal nafas akut.
Diagnosa pasti gagal nafas akut biasanya ditegakkan dari
hasil pemeriksaan analisis gas darah, tetapi kadang-kadang
diagnosis sudah dapat ditegakkan dengan pemeriksaan klinis
saja. Seperti pada obstruksi jalan nafas, adanya apnoe dan lainlain(3,4). Pada keadaan seperti ini tidak perlu menunggu hasil
analisis gas darah.
Pada pemeriksaan analisis gas darah didapatkan kadar O2
arteri yang rendah (PaO2 kurang dari 60 mmHg) atau dan kadar
CO2 yang tinggi (PaCO2 lebih dari 49 mmHg). Karena pemeriksaan analisis gas darah ini cukup rumit, maka ada cara untuk
menentukan secara kasar PaO2 dan warna darah arterial yang
diambil untuk sampel pemeriksaan(4) :
– Bila warnanya merah cerah
PaO2 53 mmHg
– Bila warnanya agak kehitaman PaO2 38 mmHg
– Bila warnanya hitam
PaO2 30 mmHg
Seperti telah diutarakan sebelumnya gagal nafas akut juga dapat
terjadi setelah trauma di tempat/organ lain, infeksi atau sepsis,
gangguan intestinal(1). Ditandai dengan timbulnya takhipnoe,
takhikardi; dalam 24 jam pertama biasanya belum jelas tandatanda hipoksemi dan asidosis.
Pada stadium awal biasanya foto toraks tidak menunjukkan
adanya kelainan. Secara bertahap timbul edema perivaskuler
yang berkembang menjadi edema intraalveolar yang difus. Keadaan ini akan tampak pada gamban radiologi sebagai penambahan gambar corakan paru. Setelah 4–5 hari gambar corakan paru
ini makin bertambah sampai menunjukkan gambaran edema
paru yang jelas. Kunkel etal menggambarkan cara penilaian pada
edema paru dengan membuat gradasi cairan ekstravaskuler dari
gambaran radiologis, dari grade 0 sampai dengan grade IV(1).
Terapi harus sudah dimulai secepat mungkin yaitu pada
grade 1. Selain itu sebaiknya lakukan pemeriksaan EKG untuk
melihat ada tidaknya iskemi atau infark jantung. Pada stadium
yang lebih lanjut akan terjadi obstruksi nafas yang intermiten
pada daerah-daerah yang mengalami atelektasis dan emfisema.
Terjadi atelektasis dan terjadilah pintasan intra pulmoner.
Keadaan ini menyebabkan hipoksemi dan sesak nafas, biasanya
saturasi oksigen kurang dari 80% walaupun dengan FiO2 yang
ditinggikan. Paru menjadi semakin kaku sehingga volume udara
yang diperlukan untuk mengembangkannya bertambah, yang
biasanya 25 ml/cmH2O menjadi 50 ml/cmH2O.
Apabila penderita bertahan, pada hari ke-5 – 13 biasanya
timbul komplikasi bronkhopneumoni. Secara radiologi akan
terlihat jelas gambaran infiltrat.
PENATALAKSANAAN DAN PENGOBATAN
Dibagi atas non spesifik dan spesifik(4). Pada umumnya di
perlukan kombinasi keduanya.
1)
Penatalaksanaan dan Pengobatan Spesifik:
Pengobatan spesifik ditujukan pada etiologinya, sehingga
untuk masing-masing keadaan berbeda-beda. Pada kasus-kasus
emergency dan akut pengobatan spesifik dilakukan di tempat
kejadian atau di unit gawat darurat. Kasus-kasus kronik, biasa
nya kasus-kasus acute on chronic yang berkembang menjadi
gagal nafas akut. Penyebab terbanyak dari gagal nafas akut pada
kasus-kasus yang kronik adalah pada eksaserbasi akut dan Penyakit Paru Obstruktif Menahun (PPOM atau COPD).
Penyakitnya dapat berupa:
• Bronchitic Blue Bloater.
Kerusakan terbanyak terjadi di jalan nafas. Penderita menunjukkan hipoksemi dan hiperkarbi, dengan retensi cairan, kor
pulmonale, polisitemia. Respirasi tergantung pada hypoxic drive.
Keadaan ini sangat sensitif terhadap obat-obat yang mendepresi SSP dan kadar O2 yang tinggi.
• Emphysematous Pink Puffer
Kerusakan terjadi baik pada jalan nafas maupun pada alveolus. Biasanya PaCO2 masih dalam batas-batas normal. Gejala
sesak nafasnya lebih menonjol.
Faktor-faktor yang mencetuskan terjadinya gagal nafas akut
pada kasus-kasus kronik ini antara lain : infeksi virus, cuaca
dingin, polusi, pemberian O2 yang terlalu tinggi atau obat-obat
depresan SSP.
Penanggulangannya antara lain:
1) Terapi oksigen:
Diperlukan apabila PaO2 kurang dari 45 mmHg atau saturasinya kurang dari 75%. Pemberian O2 harus diusahakan jangan
menyebabkan peningkatan PaCO2. Tujuan ini dapat dicapai
dengan menggunakan venturi type mask sehingga kadar oksigen
yang diberikan dapat lebih akurat.
Pemberian O2 tidak boleh terlalu tinggi dan harus secara
kontinu karena pemberian intermiten akan membahayakan.
2) Antibiotik.
Kuman penyebab infeksi terbanyak pada kasus ini adalah
Haemophilus influensa.
3) Bronkhodilator.
Walaupun beberapa bronchioli mengalami kerusakan yang
ireversibel tetapi bronkhodilatasi di tempat yang masih reversibel akan sangat membantu. Biasanya diberikan aminophyllin.
4) Pemberian steroid dapat dipertimbangkan walaupun beberapa ahli masih meragukan efektivitasnya.
5) Bantuan nafas/ventilasi biasanya diberikan untuk mencegah
CO2 narkosis, pemberian terapi O2 yang tidak dibatasi, dan bila
cara-cara konservatif tidak berhasil.
2) Penatalaksanaan dan Pengobatan Non Spesifik
Harus dilakukan segera untuk mengatasi gejala-gejala yang
timbul pada kasus gawat paru untuk mencegah gagal nafas akut.
Sedangkan pada kasus gagal nafas akut sebaiknya berikan terapi
untuk mencegah agar pasien tidak jatuh ke dalam keadaan yang
lebih buruk, sambil menunggu pengobatan spesifik sesuai dengan etiologi penyakitnya.
Pengobatan non spesifik meliputi:
• Mengatasi hipoksemia : terapi oksigen
• Mengatasi hiperkarbia : terapi ventilasi
a) Terapi Oksigen(1,2,5,8)
Pada keadaan PaO2 turun secara akut, perlu tindakan secepatnya untuk menaikkan PaO2 sampai normal. Berlainan sekali
dengan gagal nafas dan penyakit kronik yang menjadi akut
kembali (dimana pasien sudah terbiasa dengan keadaan hiperkarbia sehingga pusat pernafasan tidak terangsang lagi oleh
hypercarbic drive melainkan terhadap hypoxemic drive), maka
kenaikan PaO2 yang terlalu cepat dapat menyebabkan apnoe.
Terapi yang terbaik adalah dengan meningkatkan konsentrasi fraksi inspirasi oksigen (FiO2 dan menurunkan kebutuhan
O2 dengan bantuan ventilasi. Apabila penderita akan dibiarkan
bernafas spontan, O2 diberikan melalui nasal catheter.
Hubungan antara besarnya aliran udara dengan konsentrasi
O2 inspirasi (tabel):
Kateter nasal
Sungkup muka
Sungkup muka tipe vent in
Ventilator
Inkubator
02 (l/mt)
Konsentrasi O2 = (%)
2–6
4 – 12
4–8
Bervariasi
3–8
30 – 50
35 – 65
24, 28, 35, 40
Sesuai
30–40
b) Atasi Hiperkarbia – perbaiki ventilasi
Memperbaiki ventilasi dan tahap yang paling sederhana
sampai pemberian ventilasi buatan.
Hiperkarbia yang berat dan akut akan mengakibatkan gangguan pH darah atau asidosis; hal ini harus diatasi segera dengan
memperbaiki ventilasi. Pada kasus-kasus acute on chronic yang
sudah terbiasa hiperkarbi, hindani penurunan PaCO2 yang terlalu
rendah karena akan menyebabkan alkalosis sehingga dapat
menyebabkan hipokalemi, aritmi jantung dan sebagainya.
Penurunan PaCO2 harus bertahap tidak lebih dari 4 mmHg/jam.
Upaya untuk memperbaiki ventilasi antara lain(4,5) :
1) Membebaskan jalan nafas
Obstruksi jalan nafas bagian atas karena lidah yang jatuh
dapat diatasi dengan hiperekstensi kepala, apabila belum menolong lakukan triple airway manuevre. Apabila terjadi obstruksi
karena benda asing atau edema laning lakukan cricothyrotomy
atau tracheostomy. Mungkin juga diperlukan pemasangan pipa
endotrakheal.
2) Ventilasi bantu
Pada keadaan darurat bantuan nafas dapat dilakukan secara
mulut ke mulut atau mulut ke hidung. Apabila sarana tersedia
dapat dilakukan dengan menggunakan ambubag atau dengan alat
IPPB, yang memberikan ventilasi berdasarkan tekanan negatif
yang ditimbulkan waktu pasien inspirasi (pada keadaan ini pasien masih sadar dan bernafas spontan).
3) Ventilasi kendali
Pasien harus dipasangi pipa endotrakheal yang dihubungkan dengan ventilator. Ventilasi pasien sepenuhnya dikendalikan oleh ventilator.
Bantuan ventilasi diperlukan biasanya berdasarkan kriteria(1,5) :
• Rasio PaO2/FiO2 < 200 (kadar FiO2 40% tetapi PaO2 ≤ 80
mmHg)
• Penurunan compliance paru sampai 50%
• Frekuensi respirasi > 30 –40 kali/menit
Cermin Dunia Kedokteran No. 114, 1997
13
• Volume ventilasi semenit pada keadaan istirahat ≤ 10 l/
menit.
Terapi mula-mula adalah intubasi,berikan O2 dengan kadar 60%.
Trakheostomi dilakukan untuk mengganti pipa endotrakheal,
bila penderita perlu diventilasi lebih dari 3–4 minggu.
Monitoring yang perlu di1akukan(1).
Pemeriksaan analisis gas darah setiap 15 menit pada saat
baru masuk ventilator sampai kembali ke nilai normal, setelah
itu pemeriksaan analisis gas darah dilakukan setiap 6 jam.
Indikasi untuk PEEP atau CPAP:
Apabila PaO2 < 60 mmHg dengan FiO2 ≥ 50% atau shunt
factor > 20%. Pemeriksaan saturasi oksigen dilakukan setiap
saat seperti juga EKG, monitor, pemeriksaan tensi dan nadi
setiap 1 jam(2).
Untuk mempertahankan curah jantung sebaiknya hematokrit dipertahankan 30%, berikan cairan secara adekuat oleh karena penurunan aliran darah pant akan memperburuk permeabilitas mikrovaskuler di paru-paru dan merangsang timbulnya
mediator yang toksik. Tetapi terlalu banyak cairan (over load)
pun akan menimbulkan edema paru hidrostatik.
Kadang-kadang diperlukan antibiotik. Antibiotik broadspectrum diberikan apabila terdapat tanda-tanda sepsis walaupun dari hasil kultur negatif(1).
Tanda-tanda sepsis antara lain:
1) Bila temperatur < 36,5°C atau > 38,5°C
2) Frekuensi pernafasan ≥ 30 kali/menit
3) Serum glukosa FiO2 150 mg%
4) Trombosit < 100.000/mm
5) Leukosit ≥ 15.000/m
6) Volume naso gastrik ≥ 200 ml/jam
7) Pneumonia atau kultur urine atau kultur dan daerah luka,
didapatkan bakteri lebih dari 100.000/ml.
Foto thoraks harus dilakukan setiap hari, udana inspirasi
harus dilembabkan atau humidifikasi yang cukup, dan kadangkadang diperlukan mukoliti. Pasien harus diubah-ubah posisinya secara bertahap setiap 2 jam dan nasotracheal suction setiap
2 jam. Lakukan usaha-usaha untuk mengeluarkan sekret dan
menepuk dada/punggung (tappotage). Perhatikan gizi dan latihan nafas untuk menjaga kekuatan otot-otot pernafasan.
Apabila keadaan penderita membaik lakukan penyapihan
dan ventilator secara bertahap.
Indikasi untuk ekstubasi:
• FiO2 40% dengan PaO2 > 90 mmHg.
• Tidal volume >5 ml/kg
• Vital capacity> 10 ml/kg
• Refleks protektif positif.
Setelah ekstubasi sebaiknya penderita tetap diobservasi untuk
kemungkinan gangguan nafas pasca ekstubasi.
KESIMPULAN
Tujuan semua tindakan untuk mengatasi penyakit gawat
paru adalah mencegah agar penderita tidak jatuh ke dalam keadaan yang lebih buruk berupa gagal nafas akut dan multiple
organ failure.
Gagal nafas akut dapat terjadi oleh karena gangguan nafas di
otak, gangguan neuromuskuler dan medulla spinalis, obstruksi
jalan nafas, gangguan ventilasi, perfusi dan karena kerusakan
organ-organ lain seperti infark miokard, iskemi usus atau luka
bakar yang luas.
Diagnosis pasti didapatkan dari pemeriksaan analisis gas
darah. Tetapi seringkali pemeriksaan klinis sangat membantu
menentukan tindakan pertama yang harus dilakukan dengan
cepat dan tepat. Kadang-kadang tindakan pertama harus dilakukan secepatnya di tempat kejadian atau di unit gawat darurat
tergantung etiologinya yang dikenal sebagai penatalaksanaan
spesifik.
Penatalaksanaan non spesifik meliputi upaya perbaikan
oksigenisasi, ventilasi dan sirkulasi. Upaya-upaya ini kadangkadang memerlukan alat-alat yang lebih kompleks dan memerlukan Monitoring dan perawatan khusus.
Hal lain yang juga penting adalah evaluasi terhadap keberhasilan terapi dilakukan dari saat ke saat sehingga terapi dapat
diberikan sesuai dengan kebutuhan.
KEPUSTAKAAN
1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.
8.
Hemdon DN, Traber DL. Pulmonary Failure and Acute Respiratory
Distress Syndrome; Multiple organ failure. 1990; 192–210.
TEOH. Respiratory Failure : Intensive Care Manual, 2nd ed, 1985; 67–103.
Caroline NL. Energency Care in the street, 2nd ed, 1983; 160–230.
Muhiman M. Gagal Nafas Akut : Intensive Care Unit 1st ed, 1989; 1–9.
Sibbald WJ. Synopsis of Critical Care, 2nd ed, 1984; 51–105.
Evans TR. The Airway at Risk: ABC of Resuscitation, 2nd ed, 1990; 12–28.
Shoemaker WC, Ayres S, Grenvink A, Holbrook PR, Thompson WL.
Textbook of Critical Care, 2nd ed, 1989; 484–90,491–93.
VincentjL. Update in Intensive Care and Emergency Medicine, 1st ed,
1991; 313–29.
Better slip with the foot than the tongue
14
Cermin Dunia Kedokteran No. 114, 1997
TINJAUAN KEPUSTAKAAN
Sepsis pada
Infeksi Saluran Napas Bawah Akut
Tinjauan Patogenesis dan Pengelolaannya
Hadi Jusuf, Primal Sudjana
Sub. Bagian lnfeksi, UPF/Bag. Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas Padjadjaran
Rumah Sakit Hasan Sadikin, Bandung
Departemen Kesehatan RI, Jakarta
PENDAHULUAN
Sepsis, sindrom sepsis dan syok septik merupakan penyulit
yang paling ditakuti dan suatu penyakit infeksi, dan merupakan
masalah besar bagi para klinisi. Di negara majupun dengan pemakaian antimikrobial dan terapi suportif yang tepat, pemberian
terapi baru (imunologik) dengan dukungan fasilitas canggih,
angka kematian tetap tinggi. Selain itu pemakaian obat imuno
supresan (kemoterapi, kortikosteroid) dan penggunaan alat-alat
untuk diagnostik dan terapi (kateter, intubasi, endoskopi, bronkhoskopi), telah menyebabkan angka kejadian meninggi. Di
USA angka kejadian sepsis adalah 300.000 sampai 500.000
kasus per tahun. Angka kematian syok septik 40 sampai 90% tergantung fasilitas di tiap rumah sakit(1-4). Nidus (tempat asal)
infeksi tersering adalah sistim saluran cerna dan kemudian disusul saluran kemih, tetapi tidak jarang saluran nafas juga merupakan nidus infeksi yang penting(4-6).
Pada makalah ini akan dibahas patogenesis dan pengelolaan
sepsis pada umumnya dan khususnya yang berkaitan dengan
infeksi saluran nafas bagian bawah.
TERMINOLOGI
Istilah dari kriteria yang berkaitan dengan sepsis masih
belum sama di setiap tempat(1,4). Hal ini menyebabkan laporan
mengenai angka kejadian, kematian dan keberhasilan terapi
akan bervariasi. Bone (1991) mengajukan istilah bakteriemia,
sepsis, sindrom septik, syok septik.
• Bakteriemi: kultur darah positif.
• Sepsis: klinis dicurigai infeksi, disertai adanya respons
sistemik terhadap infeksi yaitu: takipnea (respirasi di atas 20/
menit), takikardi (HR di atas 90 per menit), hipertermi atau
hipotermi (suhu rektal di atas 38.4°C atau di bawah 35.6°C).
• Sindrom sepsis: sepsis disertai adanya gangguan perfusi
organ yaitu: perubahan akut status mental (kesadaran), oliguria,
kadar laktat darah di atas normal, hipoksia (tanpa adanya penyakit paru lainnya atau penyakit kardiovaskuler).
• Syok septik: sindrom sepsis disertai hipotensi (tekanan
darah sistolik di bawah 90 mmHg atau penurunan 40 mmHg di
bawah baseline). Bila berlangsung dalam 1 jam (stadium dini)
maka responsif terhadap terapi konvensional (pemberian cairan
intravena dan intervensi farmakologik).
Terakhir, the American College of Chest Physicians and
the Society of Critical Care Medicine membuat suatu
konsensus mengenai bermacam istilah yang berkaitan dengan
sepsis antara lain
• Sepsis adalah respons sistemik terhadap infeksi, yang memenuhi dua atau lebih kriteria:
– Suhu di atas 38°C atau di bawah 36°C.
– Denyut jantung di atas 90 per menit.
– Respirasi di atas 20 per menit atau PaCO di bawah 32
mmHg.
– Lekosit di atas 12.000 atau di bawah 4000 per ml atau
lebih dari 10% lekosit adalah muda (immature).
• SIRS (systemic inflammatory response syndrome) adalah
semua bentuk respons inflamasi sistemik baik terhadap adanya
infeksi atau bukan infeksi, dengan kriteria sama seperti sepsis di
atas. Dengan perkataan lain respons sistemik tubuh atau kaskade
yang sama bisa disebabkan kelainan atau penyakit bukan infeksi,
dan SIRS yang disebabkan infeksi adalah analog dengan sepsis.
Diajukan pada Pertemuan Berkala Ilmiah dan Organisasi Perhimpunan Respirologi Indonesia. September 1994 di Bandung.
Cermin Dunia Kedokteran No. 114, 1997
15
PATOFISIOLOGI
Patofisiologi sepsis sangat rumit dan belum sepenuhnya diketahui, padahal penting dalam hal penentuan terapi yang tepat(1).
Pengetahuan biologi molekuler mengenai ini terus berkembang
dengan ditemukannya mediator baru atau peranan mediator
yang sudah diketahui; ini membuka kemungkinan terapi baru
yang ditujukan untuk memotong proses kaskade dan sepsis.
Nidus Infeksi dan Stimulus Sepsis
Semua jenis mikroorganisme (bakteri, protozoa, jamur, virus)
bisa merupakan stimulus suatu sepsis; sedangkan tempat asal
infeksi (nidus infeksi) yang tersering adalah sistim saluran
cerna, disusul saluran kemih. Nidus lain adalah saluran nafas dan
kulit. Sebagian lainnya tidak diketahui nidusnya(4,5,6). Stimulus
dan sepsis adalah mikroorganisme atau substansi (zat) yang
dikeluarkannya (seperti eksotoksin, yaitu TSS toksin I, enterotoksin) atau komponen mikroorganisme (seperti endotoksin
terutama Lipid A dan bakteri Gram negatif, peptidoglikan dari
bakteri Gram positif dan antigen jamur atau virus) yang dikeluarkan bila mikroorganisme tersebut mati(1,5,6). Stimulus di atas akan
merangsang dimulainya proses (kaskade sepsis), yang sebetulnya kelanjutan sistemik dan proses inflamasi lokal yang normal
terjadi pada setiap infeksi. Beberapa kaskade sepsis tidak jelas
nidus infeksinya atau proses inflamasi lokal, dan hal ini mungkin
disebabkan translokasi lokal mikroorganisme dan saluran cerna
atau pada kejadian luka bakar(8).
Tidak setiap infeksi akan berlanjut menjadi sepsis. Beberapa
faktor predisposisi untuk sepsis adalah:
– tindakan invasif.
– pemberian imunosupresif, kortikosteroid, kemoterapi.
– penyaldt dasar seperti lekemi, sirosis hepatis.
Penyakit Paru sebagai nidus sepsis(8) :
1) Infeksi pleura
Sering terjadi setelah operasi toraks, WSD, atau sebagai
penyulit dari proses infeksi subdiafragma. Staphylococcus
aureus paling sering ditemukan pasca operasi toraks, sedangkan
campuran bakteri aerob dan anaerob pada penyulit proses subdiafragma.
2) Pneumonia
Ada tiga mekanisme yang perlu dipikirkan.
• Atelektasis
Terjadi kanena berkurangnya tidal volume pada trauma
toraks atau abdomen dan pasca bedah. Mikroorganisme akan
terperangkap dalam atelektasis tersebut, selanjutnya berproliferasi dan menyebabkan pnemonia yang akhirnya menyebabkan kaskade sepsis. Bila waktu preoperasi pendek dan penderita
belum diberi antibiotika maka bakteri koloni normal trakheobronkhial (Pneumococcus, H. influenza) menjadi penyebabnya, sedangkan bila waktu preoperasi lama dan antibiotika
sudah diberikan maka bakteri yang didapatkan di rumah sakit
(Pseudomonas Sp, Enterobacter Sp) sebagai penyebab.
• Ventilator Associated Pneumoniae
Endotracheal tube akan merusak mekanisme pertahanan
glottis dan membuka jalan masuk kuman, selanjutnya terjadi
pneumonia dan akhirnya sepsis. Bakteri didapat di rumah sakit
16
Cermin Dunia Kedokteran No. 114, 1997
seperti di atas atau Staphylococcus sp dan personil akan
ditemukan pada jenis ini.
• Pnemoni Aspirasi
Disebabkan muntah, antagonis akibat pemberian antasida
atau reseptor H2 sehingga sistim pertahanan asam lambung terganggu, dan refluk pada pemakaian NGT. Mikroorganisme
Gram negatif koloni saluran makanan atas dan anaerob berperan
dalam hal ini.
Selain itu pneumoni didapat di masyarakat dengan Pneumococcus sebagai penyebab sering berlanjut menjadi sepsis(9,10).
Kaskade Sepsis
Pada hakekatnya kaskade ini merupakan kelanjutan proses
inflamasi lokal di nidus. Proses ini bersifat self perpetuating; sekali dicetuskan akan terus berlanjut sekalipun stimulusnya hilang
atau dihilangkan(7).
Berat ringannya kaskade ini tidak tergantung pada mikroorganisme penyebab, mungkin faktor host sendiri yang lebih ber
peran pada terjadinya dan beratnya proses dan apakah proses
kaskade ini akan berlanjut atau terjadi homeostasis; proses tersebut tidak persis sama setiap kasus(7,10). Walau begitu jalur
kaskade yang sama akan dilalui tanpa melihat jenis mikroorganisme(1,4).
Kaskade sepsis ini rumit dan belum sepenuhnya diketahui,
tetapi pada garis besarnya dapat dilukiskan sebagai berikut:
Mikroorganisme, produknya atau substansinya akan mengaktifkan mediator-mediator, sistim kinin, komplemen, koagulasi
dan fibrinolitik. Endotel pembuluh darah di perifer akan mengalami perubahan permeabilitas, vasodilatasi/vasokontriksi, kerusakan endotel atau mikroemboli. ini akan menyebabkan
gangguan mikrosirkulasi, perfusi jaringan, yang terjadi sebelum
syok. Gangguan perfu organ akan mengakibatkan multiple
organ failure yang akan diperberat bila terjadi syok. Miokard
akan mengalami depresi dan bersama dengan vasodilatasi berat
dari perifer akan menyebabkan syok. Selain itu terjadi gangguan
metabolisme dan koagulopati(7,10).
• Peranan Mediator
Peranan mediator sangat kompleks dan belum seluruhnya
diketahui, selain itu ada mediator lain yang belum dikenal. Bisa
terjadi interaksi di antaranya (antara lain sinergis, antagonis).
Stimulans akan merangsang makrofag, monosit dan sel endotel
untuk menghasilkan sitokin (TNF, IL1, IL6, PAF). ILl dan IL6
akan merangsang limfosit T untuk mengeluankan interferon,
IL2, IL4. Bersamaan ini metabolisme arachidonic akan menghasilkan prostaglandin, tromboxan dan leukotrien. Juga endotel
akan mengeluarkan EDRF, Endothelin 1.
Hampir semua mediator mempunyai efek pada endotel, inisalnya prostaglandin, bradikinin mempunyai efek vasodilator
sedangkan TNF, lekotrien, tromboxan meningkatkan permeabilitas (Bone 1991, Parrilla 19,89). Komplemen, TNF akan
meningkatkan aktifitas netrofil terhadap endofel dan mengakibatkan mikroemboli. MDS, TNF dan PAF akan mempengaruhi fungsi miokard. Mediator sentral atau yang berperan kunci
pada kaskade belum jelas(1,6). Hasil akhir adalah vasodilatasi,
depresi miokard dan gangguan mikrosirkulasi.
•
Aktivitas komplemen
Endotoksin atau TNF akan mengaktifkan sistim komplemen, baik melalui jalur klasik atau alternatif, yang mengakibatkan kerusakan endotel Iangsung atau melalui komp1emen(1,6).
• Sistim kinin
Endotoksin akan mengaktillan faktor XII (Hageman), selanjutnya terjadi perubahan prekalikrein menjadi kalikrein.
Kalikrein ini mengubah kininogen menjadi bradikinin(6).
• Sistim koagulasi dan fibrinolisis
Endotoksin atau TNF akan mengaktifkan sistim koagulasi,
baik melalul jalur intrinsik atau ekstrinsik. Selain itu kerusakan
endotel akan mengaktifkan jalur intrinsik° Terjadijuga aktivasi
plasminogen activator yang mengubah plasminogen menjadi
plasmin, dan plasi ini mengakibatkan fibrino1isis(1).
• Perubahan hemodinamik
Perubahan vaskuler dan miokard menyebabkan gangguan
hemodinamik (hipotensi, peninggian cardiac output, heart rate
bertambah). Jantung berdilatasi dan kemudian normal pada hari
10–14. Pooling darah di venaperifer dan splanchnic akan mengurangi preload(4). Oleh karena gangguan di tingkat mikrosirkulasi
maka pemakaian oksigen tidak mencapai kebutuhan.
• Organ failure dan penyulit lainnya
Gangguan organ disebabkan kerusakan mikrosirkulasi dan
syok, dan pada saat yang sama tingkat kerusakan tiap organ
berbeda. Makin banyak organ yang terkena akan memperburuk
keadaan(1).
1) ARDS akibat low pressure lung oedema yang kaya protein,
dan relatif refrakter terhadap terapi oksigen.
2) Stress ulcer.
3) Gagal ginjal akut.
4) Gangguan faal hati.
5) Gangguan pada susunan saraf pusat.
6) DIC
7) Hiperkatabolisme.
PENGELOLAAN
Setiap penderita sepsis harus segera diberi pengobatan yang
tepat, dan untuk syok septik sebaiknya dirawat di ICU. Pengenalan stadium dini secara klinis sangat penting.
I Diagnosis
• Klinis: lihat kriteria
• Foto toraks: Penilaian infeksi saluran napas bawah.
• Mikrobiologi: Sputum: Gram, kultur dan resistensi. Aspirat:
kultur dan resistensi.
Bahan diambil sebelum pemberian antibiotika.
II Monitoring
Harus ketat terutama pada syok septik; secara klinis dengan
melihat tanda sindrom sepsis, syok septik.
1) Pemantauan hemodinamik/sirkulasi untuk melihat keefektifan sirkulasi ke jaringan. Parameter yang diperiksa:
• Tekanan darah : manual atau tekanan intraarteri.
• CVP atau MAWP untuk melihat preload.
• CO (Cardiac output) dengan termodilusi,CI (Cardiac index)
dihitung Co per m3 luas permukaan badan.
Target yang ingin dicapai : CI di atas 3 liter/menit/m2 (di atas
angka normal). Beberapa ahli menginginkan di atas 6 liter (di atas
supranormal) karena kerusakan di tingkat mikrosirkulasi.
2) Oksigenasi (Analisis gas darah)
Untuk melihat oksigenasi jaringan; parameter yang dilihat:
DO2 (Delivery oxygen) dan PaO2 dan SaO2 (tekanan O2 dan
saturasi O2). Target yang mau dicapai: PaO2 di atas 60 mmHg,
SaO2 di atas 90% dan DO2 di atas kira-kira 726 ml/menit/m2.
3) Elektrolit darah.
4) Haemoglobin/haematokrit; diusahakan di atas 10 gram%
atau 30%.
5) Fungsi organ : ginjal, jantung dan sebagainya.
III. Terapi
Pada garis besarnya ada 4 daerah yang akan diintervensi,
yaitu:
1) Mengontrol stimulus (membunuh mikroorganisme penyebab).
2) Memotong proses kaskade sepsis karena walaupun penyebab dihilangkan, proses kaskade akan berlangsung terus.
3) Terapi suportif.
Mengembalikan dan menjaga sistim sirkulasi dari oksigenisasi di at normal atau supranormal sehingga perfusi organ vital
diselamatkan.
4) Terapi penyulit yang timbul untuk mencegah kematian, seperti ARDS, ARF, DIC.
Kita berperan di daerah 1, 3 dan 4 sambil memberi kesempatan tubuh penderita menanggulangi sendiri proses kaskade.
Pada daerah 2 ini kortikosteroid pernah dicobakan, tetapi saat
ini masih kontroversial. Di luar negeri sudah dimulai intervensi
imunologik untuk memotong kaskade.
Kontrol stimulus
Pemberian antibiotik empiris segera diberikan secara intravena dengan pedoman : gambaran Minis; bila ada juga berdasarkan pola kuman dan resistensi setempat. Bila ada hasil bakteriologik, bisa diganti dengan antibiotika yang sesuai. Dipikirkan
tindakan drainage pus.
Kortiko steroid
Ada perbedaan pendapat mengenai pemakaian kortikosteroid pada sepsis.
1) Kortikosteroid bisa digunakan pada stadium awal misalnya
pada sindrom sepsis. Diberikan jangka pendek, ada yang 2 hari
dan ada yang dosis tunggal. Dosis 3 mg/kgbb diteruskan 1 mg/
kgbb setiap 8 jam.
2) Pendapat lain mengatakan obat ini hanya berguna bila didapatkan insufisiensi adrenal.
3) Dua studi besar telah dilaksanakan, ternyata tidak ada manfaatnya(7).
Terapi suportif
• Sirkulasi/Hemodinamik(9,10)
1) Pertama kali pemberian cairan untuk memperbaiki preload
dengan pedoman CVP atau MAWP, menurut hukum Starling
ini akan meninggikan end diastolic volume dan akhirnya stroke
volume meninggi; tetapi karena pada pnemoni integritas kapiler
Cermin Dunia Kedokteran No. 114, 1997
17
paru rapuh, mudah terjadi edema. Ada peroedaan pendapat mengenai jenis cairan yang digunakan, apakah koloid atau
kristaloid.
2) Bila dengan meninggikan preload masih hipotensi, maka
diberikan vasoaktif atau inotropik. Dicoba dopamin, dimulai
dosis rendah (5 mcg/kgbb/menit) dapat dinaikkan sampai 20
mcg/kgbb/menit. Bila perlu kombinasi dopamin dosis rendah
dengan norephinephrine (0,5–5 mcg/kgbb/menit). Beberapa sentra
memakai norephinephrine sejak awal.
Parameternya adalah CO, CI (di level supranormal), selain
tekanan darah.
• Oksigenasi(2,10)
Pemberian oksigen dengan mask, dengan parameter PaO2
dan SaO2 dan dengan dicapainya CO dan CI yang optimal
dengan perbaikan hemodinamik maka akan dicapai DO2 yang
optimal.
Dalam hal oksigenasi ini perlu diperhatikan kadar Hb atau
hematokrit supaya minimal Hb 10 g% dan Ht 30%. Juga diusahakan SaO2 di atas 90% dengan FiO2 sekecil mungkin.
Ada perbedaan pendapat mengenai pemasangan ventilator
dini pada syok septik, satu pihak setuju karena dengan mask tidak
mungkin tercapai target DO2 yang optimal atau supranormal(2)
sedangkan pihak lain cenderung mencoba dulu dengan mask,
baru bila terjadi respiratory failure dan ARDS, ventilator segera
dipasang.
• Nutrisi
Nutrisi penting dan berpengaruh terhadap prognosis, apalagi
pada sepsis katabolisme meningkat. Sebaiknya diberikan parenteral bila ada ileus yang sering terjadi pada sepsis.
Terapi Penyu1it(9,10)
• ARF : dicoba furosemid (forced diuresis) baru dianalisis
• ARDS : restriksi cairan, concentrated salt poor albumin,
ventilator. Kortikosteroid tidak berguna.
• Stress Ulcer Berikan antagonis reseptor H2.
18
Cermin Dunia Kedokteran No. 114, 1997
• Asidosis metabolik; pada saat ini banyak pendapat yang
menganggap Na-bikarbonat tidak ada gunanya. Biba syok atau
perfusi jaringan bisa ditanggulangi maka asidosis akan hilang.
TERAPI MASA DEPAN(7)
Bertujuan memotong proses kaskade sepsis. Masalahnya
proses ini demikian rumit, dan tidak diketahui adanya mediator
sentral sehingga ada pendapat yang mengusulkan pemberian
kombinasi (cocktail). Pemberian obat harus selektif; sebagai
contoh: antibodi monokional untuk endotoksin hanya bisa untuk
sepsis Gram negatif. Selain itu timing sangat penting dan memerlukan pemeriksaan yang canggih mengenai mediator yang
sudah terlibat; selain terhadap endotoksin juga anti TNF sudah
banyak dicoba di luar negeri.
RINGKASAN
Telah dibahas patogenesis dan pengelolaan sepsis, sindrom
sepsis dan syok septik yang juga dikaitkan dengan nidus infeksi
di paru (infeksi saluran nafas bawah).
KEPUSTAKAAN
1.
2.
Bone RC. The Pathogenesis of Sepsis. Ann. intern. Med 1991; 115–469.
Fishman AP. Update: Pulmonary Diseases and Disorders. 2nd ed. New
York: Mc Graw-Hill Inc. 1992.
3. Hall JB. Principles of Critical Care. New York: McGraw-Hill Inc. 1993.
4. PathlloJE, Pax*erM. Septic Shock in Human. Ann. Intern. Med 1990; 113:
227-42.
5. Rackow BC, Astiz ME. Pathophysiology and Treatment of Septic Shock.
JAMA 1991; 46–52.
6. Young Ls. Gram Negative Sepsis. in: Mandel. (ed). Principle and Practice
of Infectious Disease. New York, 1990. 611–635.
7. Bone RC. Sepsis and Septic Shock. Consultant Series in Infectious
Disease. 1992.
8. Geller Er. Shock and Resuscitation. New York: Mc Graw-Hill Inc. 1993.
9. Schoemaker. Textbook of Critical Care. 2nd ed. Philadelphia: WB Saunders. 1989.
10. TB OH. Intensive Care Manual, 3rd ed. Sydney: Butterworths. 1990.
TINJAUAN KEPUSTAKAAN
Dasar Pengalihan Terapi Antibiotika
Intravena ke Oral pada Infeksi
Saluran Napas Bawah Akut
Zul Dahlan
Bagian/SMF Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas Padjadjaran
Rumah Sakit Umum Pusat Dr. Hasan Sadikin, Bandung
PENDAHULUAN
Infeksi Saluran Pernafasan Bawah Akut (ISPBA) yang terutama berupa pneumonia, baik pneumonia yang didapat di masyarakat (PDDM) maupun pneumonia yang didapat di rumah
sakit (PDRS), sering menyebabkan kesakitan dan kematian.
Kebanyakan pasien PDDM tidak mencapai tingkat sakit
yang memerlukan perawatan di RS, namun pada kelompok yang
dirawat nginap terdapat mortalitas sebesar 10–25%. Pasien ini
umumnya berusia tua atau dengan dasar penyakit kronik seperti
penyakit paru obstruktif kronik (PPOK), DM, penyakit kardiovaskuler. Kuman penyebab pada keadaan ini terutama berupa
S. pneumoniae, H. influenzae, S. aureus, M. catarrhalis, K.
pneumonia dan Gram negatif lainnya. Di samping itu terdapat
peningkatan infeksi oleh kuman penyebab yang menghasilkan
B laktamase. Pada 50% kasus tak diketahui kuman penyebabnya
walaupun telah dilakukan pemeriksaan yang intensif sampai saat
akhir perawatan(1).
Pada pasien ISPBA tingkat sakit sedang sampai berat terapi
antibiotika (AB) secara empirik yang efektif harus segera dimulai. Cara terapi standar pada pasien mdi RS adalah secara IV
selama 7-10 hari atau lebih lama lagi(1). Obat ini kemudian diganti
dengan bentuk oral (PO) pada tahap akhir perawatan(2).
Pada masa ini pembiayaan pelayanan kesehatan merupakan
masalah universal yang dirasakan baik di negara berkembang
maupun negara maju. Biaya penggunaan obat AB tinggi, antara
lain di Canada penjualan AB menempati urutan ke 2 sesudah obat
jantung sebesar Can $307 juta, dan di Vancouver Hospital 1991/
1992 adalah sebesar 31% dan total Can $ 10,5 juta(3). Harga AB
terutama obat intravena (IV) tinggi hingga memberatkan biaya
pengobatan. Namun untuk penyembuhan pasien obat ini harus
dipakai.
Dikenal farmakoekonomik (pharmacoeconomics) yaitu suatu
usaha untuk mendapatkan pengobatan dengan biaya yang lebih
rendah tetapi efektif (cost effective), dengan mengganti obat
hingga biaya berkurang namun tetap mendapatkan hasil klinik
yang baik. AB IV diupayakan agar dapat diganti lebih dini setelah pemberian 3-5 hari tanpa terjadi penurunan keadaan pasien(4).
Pemberian obat IV pada masa lalu dirasakan lebih baik dari
pada PO karena obat AB yang diberikan PO kurang baik terabsorbsi. Pada saat tersedia AB baru dengahn daya mikroba yang
ampuh, penyerapan di usus yang baik, kadar serum yang tinggi
dan akseptabilitas pasien yang menggembirakan. Obat-obatan
ini dapat diberikan sebagai obat pengganti untuk meneruskan
terapi ABlY di RS bila dilakukan penghentian lebih dini (stream
lining)(2). Hal ini dimungkinkan bila terapi sudah efektif dan
infeksi teratasi dengan baik; dengan demikian dapat dibatasi atau
dihindani beberapa kerugian pemakalan obat IV. Penerapan cara
streamlining AB ini di Hartford Hospital menghemat biaya pemakaian AB sebesar US $ 1.5 juta/tahun(2).
Pada makalah ini akan disampaikan prinsip dasar agar
maksud di atas tercapai dengan baik.
FARMAKOEKONOMIK DAN PERAMPINGAN PENGGUNAAN ANTIBIOTIKA
Farmakoekonornik mérupakan metoda baru yang bertujuan
untuk mencapai pengeluaran biaya yang efisien dan serendah
mungkin dengan mendapatkan hasil yang paling baik dalam
merawat penderita (cost effective dengan best clinical outcome).
Metoda ini tidak hanyaberhubungan dengan upaya mendapatkan
biaya obat yang murah, tetapijuga berhubungan dengan efisiensi
Cermin Dunia Kedokteran No. 114, 1997
19
peralatan, penyediaan dan Monitoring obat ataupun proses yang
berhubungan dengan pemberian obat-obatan(5).
Pemberian AB IV mempunyai tingkat efektifitas yang lebih
tinggi daripada PO namun menimbulkan berbagai masalah.
Pengalihan Pemakaian Antibiotika (PPA) dan bentuk IV ke PO,
memberikan keuntungan:
A) Aspek medik:
• mengurangi risiko komplikasi RS termasuk thrombophiebitis v. profunda, emboli paru, depresi, efek samping obat, dan
infeksi nosokomial antara lain sepsis pada saluran IV.
• mengurangi risiko yang dijumpai pada cara penyediaan dan
pemberian IV.
• Aspek non medik:
• peningkatan kepatuhan dankepuasan pasien
• peningkatan efektifitas terapi (cost effective)
• penurunan biaya obat. Pengalihan obat AB PE ke PO berarti
menurunkan biaya dari US $50/hari menjadi US $5/hari (ratio
8:1).
• penurunan biaya RS; pemendekan hari perawatan/penggunaan sarana RS, dan pekerjaan pemberian obat Biaya
mengatasi infeksi nosokomial akibat pemberian IV ini di RS
Hartford berkisar sekitar US $4000 - 5000 pasien
PPA dilakukan dengan mengganti AB yang mahal dengan
AB yang lebih sederhana dan murah, terutama mengganti AB IV
dengan AB PO, tanpa mengurangi efektifitas terapi antimikroba
dan obat yang diberikan sebelumnya; hal ini tidak selalu mudah
misalnya bila diberikan terapi AB kombinasi. Konvensi ini tentu
lebih efisien bila obat IV diganti dengan obat PO yang sejenis
(cara sequential). Istilah lain yang berhubungan dengan PPA
adalah transitional, switching, stepdown.
PRINSIP DASAR PENGALIHAN PENGGUNAAN ANTIBIOTIKA
Tahap Periode Terapi Antibiotika
Dasar PPA antibiotika dapat dimengerti bila dilihat tahap
periode terapi AB pada pasien yang mendapatkan terapi antibiotika intravena.
1) Tahap inisial
Pilihan AB berdasarkan kepada data epidemiologi, perhitungan statistik, dan pengalaman. Terapi bersifat empirik dan
AB yang diberikan berspektrum luas. Pada saat ini tidak tepat
melakukan terapi PO atau terapi yang khusus terhadap kuman
tertentu karena penyebab tak diketahui.
2) Tahap kedua
Mungkin sudah didapat bukti klinis atau bakteriologis
yang menyokong pemberian AB IV spektrum sempit (narrow
spectrum) atau PO.
3) Tahap ketiga
Pasien mungkin secara klinis sudah stabil. Sasaran tahap
ini adalah mempertahankan terapi yang efektif dan menyiapkan
penderita untuk berobat jalan. AB PE jangka panjang atau PO
dapat diberikan pada saat ini(2).
Berbagai faktor harus dipertimbangkan dalam mengevaluasi
kemungkinan pelaksanaan PPA yaitu kuman penyebab, aktifitas
serta bioavailabilitas AB PO, tingkat infeksi dan keadaan sakit
20
Cermin Dunia Kedokteran No. 114, 1997
PenderitA(7).
Dasar llmiah Pengalihan Terapi(4)
1) Konsep terbaru farmakodinamik obat antimikrobial
Konsep ini menjelaskan bahwa terapi AB golongan B Laktam
akan baik bila time over MIC melebihi 50% interval waktu pemberian dosis dan hasil akan baik bila kadar obat selalu berada di
atas MIC. Sedangkan untuk aminoglikosid atau kuinolon diperlukan kadar yang tinggi, hingga diberikan dengan dosis sekali
sehari. Berdasarkan hal ini dapat ditentukan dosis dan frekuensi
pemberian AB PO yang dapat mempertahankan kadar serum di
atas MIC selama jangka waktu terapi.
2) Tersedianya AB PO yang lebih unggul.
Banyak AB baru yang memiliki aktifitas in vitro ampuh dan
bioavailabilitas lebih baik daripada obat yang lama. Tingkat
absorbsi dan toleransinya lebih baik, spektrum yang lebih luas
dan aktifitas jaringan lebih tinggi. Namun bila mungkin pertimbangkan lebih dulu pemakaian obat lama kanena harganya lebih
murah. Tabel 1 memuat daftar AB yang dapat dipakai sebagai
penganti AB IV. Karena pada umumnya ISPBA tidak diketahui
kuman penyebab, maka obat AB PO pengganti sekurang-kurangnya harus mempunyai spektrum yang sama dengan obat AB
IV yang digantikannya. Jenis AB yang tersedia dalam bentuk IV
dan PO merupakan obat yang dapat dipakai secara sekuensial.
Tabel 1. Urutan Kuman Penyebab Tersering pada Pneumoni Bakteri(9)
Diagnosa
1. PPDM
* tipikal
* campuran
2. PDRS
* ruangan
* ICU
Street Street Staph Esch KI. Pse Ent Ent
Anaerob
pne spp aureus coil pn our aer coc
4
2
–
–
3
3
1
3
1
4
1
1
–
–
–
–
–
1
1
–
2
2
3
4
4
3
4
2
2
2
1
2
1
2
1
2
NB : besarnya angka menunjukkan tingginya frekuensi kejadian.
3) Bukti klinik dan pengalihan cara terapi IV tenhadap PO.
Banyak dilaporkan penelitian penggunaan berbagai AB PO
baru di luar di RS, dari beberapa laporan pengalihan pemakaian
AB IV pada bentuk PO di RS, khususnya cara sekuensial untuk
ciprofloxacin. Namun masih diperlukan bukti penelitian lainnya.
METODA PENGALIHAN TERAPI
1) Pemilihan pasien
Pertimbangan untuk pemilihan pasien untuk PPA adalah:
lokasi infeksi, kuman penyebab, beratnya infeksi, comorbidity,
usia, respons klinik terhadap AB IV, dan fungsi penyerapan saluran cerna(5).
Pada infeksi nosokomial kondisi pasien lebih berat dan
keadaan infeksi lebih kompleks, kanena itu pada saat ini PPA
pada ISPBA bani dianjurkan pada PDDM. Pada pasien dapat
dilakukan pengalihan dini obat IV menjadi PO secara aman bila
terdapat perbaikan klinik yang memadai. Hal ini dapat dilihat
dari penurunan skor tingkat sakit (Lampiran 1).
2) Pemiihan antibiotika
Pemilihan obat PO pada PPA djdasarkan kepada farmako-
Lampiran 1. Kriteria Penentuan Klasifikasi Tingkat Berat Sakit Infeksi
Saluran Pernafasan Bawah Akut (ISPBA)
Nilai / skor
1. Batuk
sering/sangat menggangu
agak mengganggu
jarang/tak ada
2. Sputum
purulen
mukopurulen
mukous
3. Sesak nafas
sangat sesak/n.c. hidung
jelas sesak
agak sesak/tidak sesak
4. Demam
> 39°C
38 – 39°C
<38°C
5. Respirasi
32 x / menu
24– 32 x / menu
<24 x / menu
2
1
0
2
1
0
2
1
0
2
1
0
2
1
0
6. Ronkhi nyaring
jelas sekali
cukup jelas
minimal
7. Gesekan pleura
jelas mengganggu
kadang–kadang
tak ada
8. Sianosis
jelas sianosis
ringan
tak ada
9. Kesadaran
jalan menurun
agak apatis
tak ada
10. Presyok/syok
syok
presyok
tak ada
Terapi empirik dapat dilaksanakan dengan membuat diagnosis yang terarah sesuai patogenesis ISPBA dan algonitma penatalaksanaan PN (lihat kepustakaan no. 9). Diagnosis ini mencakup bentuk manifestasi ISPBA, tingkat berat sakit dan kemungkinan kuman penyebab; dan hal ini kemudian dilaksanakan
terapi. Berdasarkan evaluasi lanjut ditetapkan penggantian atau
penyesuaian terapi, misalnya pelaksanaan PPA dan bentuk IV
menjadi bentuk PO.
Secara ringkas hal ini dapat dilihat pada Bagan 1.
Indek : Jumlah skor > 15 : Berat, 5–15 : Sedang, < 5 : Ringan
kinetik dan keampuhan mikrobiologik obat terhadap kuman
penyebab. Pemberian PO tidak cocok pada pasien dengan sindrom malabsorbsi(1). PPA lebih sulit bila digunakan obat kombinasi (2 jenis AB atau lebih).
Dalam memilih jenis AB yang akan dipakai perlu dipertimbangkan berbagai faktor:
a) Faktor penderita
Yaitu urgensi/cara pemberian obat berdasarkan tingkat berat
sakit dan keadaan umum/kesadaran, mekanisme imunologik,
umur, defisiensi genetiklorgan, kehamilan, alergi. Di samping
itu dapat diterima (acceptable) oleh penderita baik dari segi
biologis, misalnya kemampuan menelan, melarutkan dan menyerap obat dari saluran cerna.
b) Faktor antibiotika
Keterbatasan keampuhan AB, karena tidak ada satu jenis
AB yang ampuh untuk semua jenis kuman. Karena itu penting
dipahami berbagai aspek tentang AB untuk efisiensi AB(1).
c) Faktor ekonomis
Harga harus terjangkau untuk dosis dan jangka waktu pemakaian yang adekuat.
Kurang informasi mengenai pilihan AB serta dosis dan
kombinasinya, terutama yang berkaitan dengan obat-obat yang
lama. Pada prinsipnya pengalihan tidak boleh dilakukan bila dipertimbangkan efeknya akan menurun.
PENGALIHAN TERAPI PADA ISPBA
Prinsip terapi empirik pada ISPBA
Dalam penggunaan AB secara rasional perlu diterapkan
pola berpikir PANCA TEPAT yaitu Diagnosis Tepat, pilihan AB
yang Tepat, dan Dosis yang Tepat, dalam Jangka Waktu yang
Tepat, dan Pengertian Patogenesis penderita secara Tepat(8). Namun pada umumnya situasi memaksakan perlunya terapi empirik
yang dini karena etiologi belum diketahui dari hasil bakteriologi.
a) Bentuk manifestasi ISPBA
Bentuk manifestasi ISPBA berhubungan dengan tingkat
berat sakit pasien dan kuman penyebab tertentu, meskipun bisa
saja suatu jenis kuman menjadi sebab infeksi pada semua bentuk
ISPBA. Bentuk pneumonia paling sering dijumpai dari berbagai
kuman penyebabnya telah pernah diuraikan(9).
b) Klasifikasi Tingkat Berat Sakit
Hal ini dihitung berdasarkan skor sebagaimana tercantum
pada Lampiran 1. Skor < 5 Tingkat Sakit Ringan; 5–15 :
Tingkat Sakit Sedang; 15 : Tingkat Sakit Berat. Jumlah skor
untuk sakit berat mencerminkan adanya kemungkinan adanya
sepsis, atau keadaan kritis lainnya. Seperti diketahui sepsis atau
syok septik sebagian besar disebabkan oleh infeksi kuman
Gram (–), dan umumnya AB untuk Gram (–) adalah dalam bentuk IV. Penderita tingkat sakit sedang dan berat mempunyai
indikasi pemakaian AB IV.
c) Kuman Penyebab ISPBA
Kuman penyebab ISPBA yang tersering, berbeda jenisnya
antar negara, dan antara satu daerah dengan daerah lain pada satu
Cermin Dunia Kedokteran No. 114, 1997
21
negara; karena itu perlu diketahui epidemiologi kuman dengan
baiuk. Pada garis besarnya frekuensi kuman penyebab ISPBA
adalah seperti tampak pada Tabel 1.
Penelitian di RSHS menunjukkan semakin banyak pasien
ISPBA/pneumonia rawat nginap yang disertai penyakit kronik
dan gangguan kesehatan lainnya hinggapola kumannya berubah.
Pneumonia yang umumnya dalam bentuk tipikal oleh S. pneumonia, saat ini lebih sering dijumpai dalam bentuk yang tidak
tipikal/campuran(10). Namun pada umumnya kuman penyebab
adalah seperti dilaporkan pada Tabel 1.
Pemilihan antibiotika
Suatu bentuk manifestasi ISPBA dapat disebabkan oleh
berbagai jenis kuman penyebab; karena itu AB yang dipilih didasarkan kepada perkiraan kuman penyebab pada sesuatu bentuk
manifestasi ISPBA misalnya berupa pneumonia dan bukannya
bentuk ISPBA itu sendiri. Dipilih AB yang secara empirik telah
terbukti merupakan obat pilihan utama dalam mengatasi kuman
(2) penyebab. ini diketahui dari data antibiogram mikrobiologi
dalam 6–12 bulan terakhir(4).
Jenis antibiotika
Pada Tabel 2 dapat dilihat kemasan IV atau PO yang tersedia dan prototipe berbagai kelompok AB, serta saran pemakai
annya pada berbagai keadaan tingkat berat sakit ISPBA. Sedangkan Tabel 3 menunjukkan daftar AB PO pengganti dalam pelaksanaan PPA. Tercantum juga perkiraan bioavailabilitas, kadar
serum puncak dan aktifitas klinik terhadap berbagai kuman.
Banyak obat-obat yang baru ini mempunyai kelebihan dan yang
Tabel 3.
Tabel 2.
Petunjuk umum saran pemakaian prototipe berbagai kelompok
antibiotika pada berbagai tingkat berat sakit ISPBA
Tingkat Beret Sakit
Jenis Antibiotika
Kemasan
Ringan
Sedang
Beret
1. Tetracycline
po/pe
2
1
–
2. Erythromycin
po
2
1
–
3. Cotrimoxazole
po/pe
2
1
–
4. Penicillin G
pe
1
2
–
5. Amoksisilin
po/pe
1
2
–
6. Amox. + clavulan
po/pe
l
2
–
7. Cloxacilline
po/pe
1
2
1
8. Ticarcilline
pe
–
2
1
9. Sulbenicilline
pe
–
2
–
10. Cefaclor
po
1
2
1
11. Cefotiam
pe
–
2
–
12. Cefuroxime
po/pe
2
1
–
13. Cefixime
po
1
2
2
14. Cefotaxime
pe
–
1
2
15. Ceftazidime
pe
–
1
2
16. Cefsulodin
pe
–
1
2
17. Imipenem
pe
–
1
2
18. Ciprofloxacin
pe/pe
–
1
2
19. Amikacin
po
–
1
2
20. Chloramphenicol
po/pe
2
1
0
21. Thiamphenicol
po
1
2
–
22. Clindamycine
po/pe
1
2
–
23. Metronidazole
po/pe
–
1
2
Indikasi Pemakaian; 2 : Utama, 1 : sekunder.
Antibiotika PO pada Terapi Pengalihan(1)
Antibiotika Oral
Ampicillin 500 mg/6 jam
Amoxicillin 500 mg/8 jam
Bacampicillin 800 mg
(556 mg ampicillin)/12 jam
Amoxicillin 500 mg/
Clavulanic acid 125 mg/8 jam
Cloxacillin 500 mg/6 jam
Flucloxacillin 500 mg/6 jam
Cephalexin 500/6 jam
Cefadroxil 500 mg/12 jam
Cefaclor 500 mg/6 jam
Cefuroxime axetil 500 mg/12 jam
l oxacarbef 400 mg/24 jam
Cefixime 400 mg/24 jam
Erithromycin 500 mg/6 jam
Clarithromycin 500 mg/12 jam
Azithromycin 500/12–24 jam
Ciindamycin 300 mg/6 jam
Metronidazole 500 mg/12 jam
Chloramphenicol 500 mg/6 jam
Cotrimo1 160 mg/800 mg/12 jam
Norfloxacin 500 mg/12 jam
Ciprofloxacin 500 mg/12 jam
Ofloxacin 400 mg/12 jam
Doxycyclin 200 mg/24 jam
22
lama antara lain perbaikan absorbsi, spektrum aktivitas yang
lebih luas, toleransi yang lebih baik dan perbaikan aktifitas jaringan.
30–50
60–89
95
Aktifitas Antimikroba
C
Strepto
Klebsiela Enterokokus Pseudomonas
(µg/mi)
MSSA H. influenzae E. coil
Anaerob
kokus
Spec
lain
aeruginosa
4–6
4
–
3
3
–
–
–
2
7–10
4
–
3
3
–
–
–
2
13–16
4
–
3
3
–
–
–
2
60–89
7–10
4
4
4
4
4
2
–
3
~ 60–70
~ 60–80
~ 90
~ 90
~ 90
30–50
~ 90
40–50
18–45
55
37
75–90
~ 90
90
85–90
40–50
70–85
95
~ 90
7–8
11–15
16–18
10–18
14–17
5–8
12–19
2.5–5.0
1–3
2.5–3.0
0.45
4.5
10–11
4–6
2/40
1.5–1.7
2.6–2.9
5.6
4
4
4
3
3
4
4
4
4
4
4
4
4
–
4
3
–
–
–
3
4
4
3
3
4
4
4
–
4
4
4
4
–
3
3
–
2
3
3
–
–
2
2
4
4
4
4
–
3
3
–
–
4
4
4
4
4
3
–
–
3
3
4
4
4
4
–
–
–
–
–
4
4
4
4
4
–
–
–
–
–
–
–
2
–
3
–
–
–
–
–
3
3
4
4
4
–
–
–
–
–
–
–
–
–
–
–
–
–
–
–
–
3
4
4
–
–
–
–
–
–
–
–
–
–
–
–
4
4
4
–
–
–
–
–
Bioavailabilitas
Cermin Dunia Kedokteran No. 114, 1997
3
3
4
4
4
4
–
–
–
–
–
4
4
4
4
4
–
Penisilin atau sefalosporin merupakan terapi empirik utama
pada PDDM yang biasanya tipikal dengan kuman penyebab
Streptococcus pneumonia. Bila PDDM mempunyai dasar penyakit paru kronik, pemilihan AB yang juga ampuh terhadap kuman
Gram (–) seperti Klebsiella pneumonia perlu dipertimbangkan.
Sefalosporin generasi 2 yang baru misalnya cefuroxime
axetil memberikan keuntungan tambahan pengalihan terapi in
class dan kemasan IV dan secara konsisten aktif terhadap S.
aureus, E. coli, Klebsiella spp, dan H. influenza daripada cetalexin.
Sefalosporin generasi 3 PO yang bare pada umumnya merupakan obat yang cocok dipakai untuk pengalihan PO pemakaian AB pada PDDM, mengingat spektrumnya yang luas yang
umumnya mencakup kuman penyebab yang sering dijumpai(7).
Cefixime, cefpodoxime dan ceftibuten spektrumnya terhadap
kuman Gram (–) lebih luas (selain Pseudomonas) tetapi aktifitasnya terhadap S. aureus tidak mencukupi. AB ini disarankan
sebagai pengganti sefaloseporin generasi 3 IV selain terhadap
psudomonas.
Sefalosporin generasi 3 merupakan alternatif terhadap penggunaan aminoglikosida yang ampuh terhadap Gram (–) namun
bersifat nefrotoksik. Kelebihan Ceftazidime daripada lainnya
adalah aktifitasnya terhadap Pseudomonas.
Fluoroquinolone memberikan kelebihan yang jelas khususnya pada pengobatan infeksi kuman Gram (–) yang serius.
Cliprofloxacin dan ofloxacin harus dipertimbangkan sebagai
obat untuk pengalihan terapi terhadap pasien rawat nginap,
menggantikan pemakaian terapi aminoglikosida jangka panjang.
Fokus penggunaan quinolone haruslah ditunjukkan kepada kuman Gram (–) untuk mengurangi tingkat induksi resistensi.
Ciprofloxacin setara dengan ceftazidime dan dapat digunakan
sebagai pengganti PO obat ini pada infeksi Gram (–) yang serius,
atau sebagai kombinasi pada infeksi Pseudomonas yang memerlukan obat kombinasi(4). Nightingale dkk (1995) mendapatkan adanya like to like phenomenon yang menunjukkan adanya
kecenderungan penggantian yang lebih awal AB IV kepada AB
PO bila digunakan obat monoterapi (sequential), misalnya
ciprofloxacin(2).
Perlu diingat bahwa pada penggunaan PO terdapat risiko
penurunan bioavailabilitas dan onset kerja yang lebih lambat(3).
Hasil pengalihan dan peningkatan waktu pemberian terapi
IV ke PO dalam usaha mendapatkan terapi yang cost effective
harus dievaluasi lebih lanjut dengan mempertimbangkan hal-hal
berikut: resolusi infeksi, lama terapi, lama rawat nginap, frekuensi
visitasi dokter, efek samping, interaksi obat, komplikasi IV, kepuasan pasien dan tingkat reinfeksi(6).
Piihan antibiotika
Dapat berupa:
• AB tunggal, yang paling cocok diberikan pada penderita
PDDM yang asalnya sehat dan gambaran kliniknya sugestif
disebabkan oleh tipe kuman tertentu yang sensitif.
• Kombinasi AB, yang dapat mencakup semua kuman yang
mungkin menjadi penyebabnya pada penderita PDDM dengan
infeksi yang lebih berat atau oleh kuman ganda. Bila perlu
diusahakan pula perbaikan penetrasi obat, misalnya drainage
sputum pada bronkiektasis terinfeksi.
RINGKASAN
Pemakaian antibiotika N menjadi beban yang berat bagi
RS maupun pasien. Hal ini dapat diringankan bila bisa dilaksanakan Pengalihan Pemakaian Antibiotika dan bentuk N ke PO
secara dini tanpa mengurangi efektifitas obat. Dengan adanya
AB PO bare yang mempunyai keunggulan dalam keampuhannya, bioavailabilitas dan kadar jaringannya maka hal ini dapat
dicapai.
Pada ISPBA/pneumonia hal ini bisa dilaksanakan bila dijalankan terapi AB empink yang terarah dan rasional dengan
menggunakan algoritma yang menerapkan pola berfikir (PANCA
TEPAT, yaitu Pengetahuan Patogenesis Yang Tepat, Diagnosis
Empinik Yang Tepat, pilihan AB yang Tepat, dan Dosis yang
Tepat, dalam Jangka waktu yang Tepat. Dengan demikian dapat
diharapkan akan tercapai terapi yang cost effective dalam perawatan pasien (patient care) dan pelayanan kesehatan (health
care) dengan mempertahankan hasil klinik yang terbaik. Berbagai alternatif penggunaan AB IV dan PO telah dihicarakan.
KEPUSTAKAAN
1.
Chong-Jen You, Pan-Chyr Yang, Kwen-Tay Luh. Oral antibiotic switch
therapy for community-acquired pneumonia in adult patients: Experience
in Taiwan. JAMA Southeast Asia (suppl.) Dec. 1994; 10(3): 309–312.
2. Nightingale C. Asian Medical News, May 1995: 16.
3. Frighetto L, Martinusen SM, Mamdani F, Jewesson PJ. Ciprofloxacin use
underareserved drug and stepdown promotion program. Can 3 Hosp Pharm
1995; 48: 35-42.
4. Louie TJ. Intravenous to oral stepdown antibiotic therapy: another costeffective strategy in an era of shrinking health care dollars. Can J Infect
Dis 1994; 5 (Suppl C): 45C–50C
5. Hendrickson JR. Pharmacoeconomic Applications: SHortened and
Transitional Therapies. 19th Internatl Congr of Chemotherapy, July 16–21,
1995, Montreal, Quebec. Canada. Can J Infect Dis 1995; 6 (Suppl. C):
0054.
6. Vogel F. Transitional parenteral to oral therapy. 19th Internatl Congr of
Chemotherapy, July 16–21, 1995. Montreal, Quebec, Canada. Can J Infect
Dis 1995; 6 (Suppl. C): Abs. 0053.
7. Panpit Suwangool, Terapong Tantawichien. Guidelines for swiching from
parenteral to oral therapy. 4th Western Pacific Congr on Chemotherapy
and Infectious Diseases. JAMA Southeast Asia (suppl.) Dec. 1994; 10(3):
307–308.
8. Hendro Wahjono. Penggunaan antibiotika secara rasional pada penyakit
infeksi. Medika 1994; 2: 42–7.
9. ES Soemantri, Zul Dahlan. Buku Pedoman Pengelolaan dan Penelitian
lnfeksi Saluran Pernafasan Bawah Akut. Subunit Pulmonologi, Bagian/
UPF IP Dalam FK UNPADIRS Hasan Sadikin, Bandung, 1992.
10. Zul Dahlan. Kumpulan Naskah Lengkap Pertemuan Berkala Ilmiah dan
Organisasi Perkumpulan Respirologi Indonesia. Bandung, 2–4 September
1994.
TINJAUAN KEPUSTAKAAN
Kandidiasis Paru
Hamdi S.
Rumah Sakit Umum Pusat Persahabatan, Jakarta
PENDAHULUAN
Infeksi jamur dewasa ini semakin sering terjadi seiring
dengan meningkatnya penggunaan antibiotika berspektrum luas,
steroid, obat-obat sitostatika, penyakit kronik, keganasan, bayibayi dengan berat badan lahir rendah dan penderita-penderita
dengan penurunan daya tahan tubuh(1-5).Antara tahun 1980–1990
dari data rumah sakit di Amerika Serikat yang melakukan surveillance terhadap patogen nosokomial didapati 7,9% (22,200
kasus) disebabkan oleh infeksi jamur, sekitar 79% infeksi jamur
ini disebabkan oleh spesies ka dida(6).Sekitar 8,8% bayi prematur
(berat kurang dari 1500 gram) yang dirawat di NICU, Universitas
Gottingen, dan pemeriksaan mukokutaneus didapati adanya kotoni jamur kandida(7).
Spesies jamur yang paling sering dijumpai pada penderita
immunokompromi yaitu infeksi kandida(5-8). Jamur kandida merupakan flora mikrobial normal rongga mulut, saluran pencernaan dan vagina, bersifat invasif/patogen bila daya tahan host
(pejamu) terganggu(2,4,6,8-10). Infeksi jamur ini umumnya terjadi
di daerah mukokutaneus, tetapi dapat pula terjadi pada organorgan lain di dalam tubuh seperti esofagus, ginjal, hati, jantung,
mata, otak dan paru(1,2,4,11). Walaupun kasus infeksi nosokomial
oleh jamur semakin banyak, tetapi laporan mengenai infeksi
jamur di paru baik primer maupun sekunder masih jarang ditemui(8,11).Pada kandidiasis paru sekunder, di Indonesia, penyakit
primer yang terpenting ialah tuberkulosis paru dan keganasan
paru(11).
Diagnosis dan terapi kandidiasis sampai saat ini masih merupakan tantangan besar bagi para klinisi, karena umumnya pasien
datang dengan gejala-gejala yang tidak spesifik(2).
Tujuan tulisan ini yaitu untuk mengingatkan kembali patogenesis, diagnosis dan tata laksana kandidiasis paru.
DEFINISI
Kandidiasis (moniliasis, kandidosis) yaitu infeksi yang disebabkan oleh jamur kandida baik primer maupun sekunder terhadap penyakit lain yang telah ada(11).
24
Cermin Dunia Kedokteran No. 114, 1997
ETIOLOGI
Sel jamur kandida berbentuk bulat, lonjong, dengan ukuran
2–5µ x 3–6 µ hingga 2–5 µ x 5–28,5 µ Spesies-spesies kandida
dapat dibedakan berdasarkan kemampuan fermentasi dan asimilasi terhadap larutan glukosa, maltosa, sakarosa, galaktosa dan
Iaktosa. Jamur kandida dapat hidup sebagai saprofit tanpa menyebabkan kelainan apapun di dalam berbagai alat tubuh baik
manusia maupun hewan(2,11).
Kandida albikan merupakan spesies jamur kandida yang paling sering menyebabkan kandidiasis pada manusia, baik kandidiasis superfisialis maupun sistemik(2,11). Pada media agar khusus
akan terlihat struktur hyphae, pseudohyphae dan ragi(8,11).
PATOGENESIS
Kandida albikan merupakan flora normal rongga mulut, saluran cerna dan vagina pada sekitar 80% individu normal(2,12)
dan hanya menginvasi penderita dengan imunokompromi atau
keadaan netropenia yang 1ama(2,9,12). Faktor predisposisi terjadinya infeksi kandidiasis sistemik dapat dilihat pada Tabel 1(2).
Kandidiasis paru dapat disebabkan oleh invasi langsung
infeksi pada sistem bronkopulmoner atau yang tersering terjadi
secara endogen karenajamur telah ada di dalam tubuh penderita
terutama di usus, selanjutnya mengadakan invasi ke alat-alat
dalam di seluruh tubuh melalui aliran darah(2,4,9). Castellani pada
awal abad ke-20 telah mempelajari bronkitis oleh kandida pada
pemilih daun teh di Srilangka. Pemilih daun teh tersebut mendapatkan penyakit oleh karena mereka setiap hari harus mencium
daun teh yang telah disimpan di dalam gudang, untuk melakukan
seleksi apakah daun masih baik atau tidak; dengan cara itu spora
jamur yang terdapat pada daun teh terhirup dalam jumlah besar
secara berulang(11).
Perkembangan penyakit disebabkan kandida ditentukan oleh
interaksi yang kompleks antara patogenisitas internal organisme
tersebut dan mekanisme pertahanan pejamu(2,11).
Mekanisme pertahanan pejamu yang berperan selama infeksi kandida merupakan proses yang kompleks dan belum selu-
Tabel 1.
Faktor predisposisi terhadap infeksi kandida(2)
Faktor mekanik
Trauma (luka bakar, abrasi, dll)
Okiusi lokal, kelembaban dan atau maserasi
Faktor nutrisi
Avitarninosis
Defisiensi besi (kandidiasis mukokutaneus kronik)
Malnutrisi
Perubahan-perubahan fisiologis
Usia tua
Kehamilan
Menstruasi
Penyakit sistemik
Sindroma Down, Acrodermatitis enteropathica
Diabetes melitus dan beberapa penyakit endokrinopati lain
Uremia, keganasan (hematologi, timoma)
Keadaan imunodefisiensi intrinsik (DiGeorge’s syndrome dll)
Penyebab-penyebab iatrogenik
Tindakan yang melemahkan daya tahan (pemakaian kateter, intra
vena)
Penyinaran sinar-x, obat-obatan, kortikosteroid atau obat-obat
imunosupresif
Antibiotik (terutama dengan spektrum luas, metronidazole)
Trankuiliser
Kontrasepsi oral (terutama estrogen dominan)
Coichicine, phenilbutason
ruhnya dimengerti. Diperkirakan faktor imun dan non-imun turut
berperan di sini(2,4,9,11-13).
Faktor imun yang berperan dalam pertahanan terhadap jamur
yaitu respon imun humoral dan seluler(2,11). Faktor imun seluler
diperkirakan mempunyai peranan yang lebih penting. Buktibukti ini didapat dan pengalaman pada kandidiasis mukokutaneus kronik dan infeksi HIV (Human Immunodeficiency
Virus), adanya defek imunitas seluler tersebut menyebabkan kandidiasis superfisialis yang luas, walaupun sistem imunitas humoral normal atau sedikit meningkat(2). Pada individu normal dapat
juga dijumpai sedikit peningkatan titer produksi antibodi serum
terhadap antigen glikoprotein dinding sel utama kandida(2).
Faktor non-imun yang berperan antara lain : (1) Interaksi
dengan flora-flora mikrobial lain, (2) Integritas stratum korneum,
(3) Proses deskuamasi karena proliferasi epidermis oleh adanya
peradangan, (4) Opsonisasi dan fagositosis, (5) Faktor-faktor
serum lain. Flora mikrobial normal merupakan mekanisme
protektif untuk pejamu, karena flora ini mengadakan kompetisi
dengan kandida untuk mendapatkan makanan dan tempat perlekatan pada epitelial dan juga flora ini dapat menghasilkan
produk-produk toksik terhadap jamur. Kulit yang intact dengan
proses regenerasi dan lipid permukaannya merupakan barier yang
efektif terhadap kandida. Ketika terjadi infeksi di kulit, maka
kulit yang sakit tersebut akan meningkatkan proses deskuamasinya, hal ini membantu menyingkirkan organisme penyebab penyakit(2).
Penderita-penderita dengan netropenia yang berlangsung
lama sering pula terinfeksi jamur ini, ternyata pada percobaan
in vitro terlihat sel-sel netrofil ini dapat membunuh sel ragi
kandida dan merusak segmen-segmen pseudohifa, sehingga diperkirakan netrofil ini berperanan dalam mekanisme pertahanan
tubuh terhadap jamur ini(4,9).
Percobaan-percobaan yang dilakukan pada binatang, menunjukkan antar spesies-spesies kandida mempunyai kemampuan yang berbeda untuk menimbulkan infeksi., Ray dkk (dikutip
dari 2) pada penelitiannya menemukan hanya kandida albikan
dan kandida stellatoidea yang dapat menimbulkan reaksi peradangan dan dapat menembus stratum korneum yang ditanamkan pada epidermis yang telah dibuat keadaannya menjadi lisis.
Faktor lain yang turut mengawali terjadinya infeksi yaitu
kemampuan organisme tersebut untuk melekat pada sel-sel
epitelial dan selanjutnya mengadakan invasi(2,6). Mekanisme pasti
terjadinya invasi masih belum diketahui seluruhnya, diperkirakan
karena pengaruh pengeluaran enzim-enzim keratinolitik atau
enzim-enzim proteolitik spesifik dan masing-masing strain
kandida Secara ultrastruktur, terlihat pseudohifa mengadakan
penetrasi intraseluler ke dalam korneosit pada lesi-lesi kandida,
juga terlihat rongga-rongga terang di sekitar organisme yang menunjukkan adanya proses lisis jaringan epitelial(11).
GEJALA DAN TANDA
Kandidiasis paru biasanya terjadi sekunder terhadap penyakit lain dalam stadium lanjut(2). Gejalanya menyerupai
penyakit paru oleh sebab lain, yaitu suhu tubuh meninggi, nyeri
dada, sesak napas, batuk dengan dahak sangat kental dan dapat
tercampur darah(2,8,9). Kelainan menyerupai bronkopneumoni dengan lekositosis sering pula dijumpai(2,14). Kandidiasis paru ini
dapat disertai dengan kandidiasis mukokutaneus atau kandidiasis
alat-alat dalam tubuh lainnya(6).
DIAGNOSIS
Sangat sulit untuk menentukan infeksi jamur di paru oleh
karena sebagian besar gejalanya mula-mula tidak mencolok dan
sering sekali seperti gejala flu biasa atau infeksi paru oleh sebab
lain(1,2,9). Permasalahan lain dalam mendiagnosis infeksi oleh
jamur yaitu kita harus dapat menentukan apakah jamur tersebut
hanya bersifat koloni atau telah terjadi infeksi/patogenik(14,15).
Hal ini perlu dipastikan oleh karena pengobatan dengan antijamur
dapat menimbulkan beberapa efek toksik(2,14), sehingga sedapat
mungkin dibuat sediaan biopsi jaringan dan kultur untuk konfirmasi diagnosis(4,8,9,12). Pada sediaan jaringan, jamur dapat ditemukan dalam bentuk ragi, pseudohifa dan hifa(8).
Kecungaan adanya kandidiasis paru perlu dipertimbangkan
bila dijumpai pneumonia yang tidak sembuh dengan pengobatan
yang umum atau pada penderita-penderita imunokompromi(5,14).
Kandidiasis paru ini dapat dengan atau tanpa kandidiasis oral
atau kandidiasis di tempat lain, bila hal ini didapati maka akan
lebih menyokong ke arah diagnosis(8,10).
Lesi kandidiasis paru secara radiologi umumnya memberikan gambaran berupa bronkopneumonia, tetapi dapat pula memberikan gambaran berupa infiltrat bulat seperti cotton ball, singel
atau multipel, gambanam atau abses pan’ (Gambar 1 dan
2)(2,6,15). Didapatinya jamur kandida di dalam sputum bukan diagnostik pasti, karena hal ini dapat terjadi juga pada pasien normal(9,16).
Kultur kandida dan darah menunjukkan hasil-hasil yang
tidak memuaskan. Pada penderita dengan gambaran klinis cukup
Cermin Dunia Kedokteran No. 114, 1997
25
jelas ternyata sering menunjukkan kultur darah yang negatif dan
hampir 50% pasien dengan kandidiasis luas yang diotopsi tidak
pernah menghasilkan kultur darah yang positif sebelum meninggal. Tes-tes serologi terhadap antibodi dan antigen kandida
menunjukkan hasil sensitifitas yang rendah dan kurang bermakna
untuk menetapkan suatu diagnosis(8,17).
koreksi faktor-faktor predisposisi yang ada(2). Obat-obatan yang
dapat digunakan antara lain yaitu: amfoterisin-B, obat ini
termasuk golongan antibiotik polyene(18,19). Obat ini tidak dapat
diberikan secara oral, harus diberikan secara intravena(18). Dosis
yang dapat diberikan antara 0,3–I mg/kgBB/hari dibagi dalam
6 dosis(18). Obat ini sering menimbulkan efek samping antara
lain : toksik terhadap ginjal, sering menimbulkan demam, muntah-muntah, takikardi ventrikel, kadang-kadang hipokalemi dan
anemi(18). Lama terapi bervariasi tergantung respon klinik penderita dan umumnya antara 6–12 minggu(19).
Obat lain yang dapat digunakan yaitu flucytosine atau 5fluorocytosine, yaitu suatu derivat pirimidin, pada awalnya obat
ini digunakan untuk kemoterapi kanker(18). Oleh karena obat ini
selain menimbulkan efek toksik terhadap fungsi ginjal, hati,
sumsum tulang dan kadang-kadang menyebabkan muntahmuntah dan diare serta cepat menimbulkan resistensi maka obat
ini tidak dianjurkan lagi untuk pengobatan tunggal, obat ini hanya
diberikan dengan kombinasi amfoterisin-B(18). Kombinasi
amfoterisin-B dengan flucytosin mempunyai sifat sinergistik,
lebih efektif daripada pemberian masing-masing obat dan dapat
mengurangi kemungkinan timbulnya resistensi. Dosis kombinasi
yang dapat diberikan yaitu amfoterisin-B 0,25–0,5 mg/kgBB/
hari secara intravena dan flucytosine 150 mg/kgBB/hari peroral
dibagi 4 dosis(9,13,18,19).
Suatu obat baru, fluconazole, dikatakan mempunyai aktifitas
anti kandida(9,20).Keuntungan obat ini antata lain: dapat diberikan
secara oral dan intravena, ikatan dengan protein plasma minimal,
konsentrasinya tinggi di dalam plasma, urin, saliva, sputum, cairan serebrospinal dan cairan vagina(20). Beberapa kepustakaan
menyebutkan pada penelitian-penelitian awal yang dilakukan,
fluconazole sama efektifnya dengan pemberian kombinasi
amfoteris in-B dengan flucytosine dan aman untuk anak-anak
di atas usia 3 tahun dengan dosis 3–6 mg/kgbb/hari dosis tunggal,
tetapi penelitian-penelitian yang lebih luas masih perlu dilaku
kan(12,13,20).
PROGNOSIS
Kandidiasis sistemik biasanya sekunder terhadap penyakit
lainnya, bila penyakit yang mendasarinya dapat diatasi umumnya
memberikan prognosis yang baik sedangkan sistem pertahanan
tubuh yang rendah sering menyebabkan kegagalan terapi(3).
Rekurensi jarang ditemukan bila sistim imunitas pejamu telah
membaik dan penyakit yang mendasarinya telah diatasi(3,4,21).
PENGOBATAN
Aspek terpenting dalam pengobatan kandidiasis adalah meng-
26
Cermin Dunia Kedokteran No. 114, 1997
PENUTUP
Dari uraian di atas beberapa hal yang dapat diambil disimpulkan antara lain :
1) Sangat sulit menegakkan diagnosis kandidiasis paru karena
penyakit ini dapat menyerupai segala macam penyakit paru lain.
2) Diagnosis pasti kandidiasis paru yaitu dengan melakukan
biopsi dan kultur jaringan dan tempat lesi.
3) Dalam pengobatan kandidiasis paru selain pemberian obat
antijamur, perlu dicari dan diatasi faktor predisposisi timbulnya
penyakit tersebut.
KEPUSTAKAAN
1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.
8.
9.
Mangunnegoro H, Suryatenggara W. Infeksi nosokomial oleh jamur pada
paru. Dalam: Yunus F, Rasmin M, Hudoyo A. Mulawarman A, Swidarmoko B, penyunting. Pulmonologi Klinik. Jakarta: Balai Penerbit FKUI,
1992; 109-11.
Martin AG, Kobayashi Os. Yeast infections: Candidiasis, Pityriasis (tinea)
versicolor. Dalam: Fitzpatrick TB, Eisen AZ, Woift K, Freedberg IM,
Austen KF, penyunting. Dermatology in general medicine; edisi ke-4. New
York: McGraw-Hill, 1993; 2452-65.
DeMuri OP. Hostetter MK. Resistance to antifungal agents. Ped Clin N
Am 1995; 42: 665-81.
Hollander H. Infectious diseases: mycotic. Dalam: Tierney LM, McPhee
SJ, Papadakis MA, penyunting. Current medical diagnosis & treatment;
edisi ke-34. Connecticut: Prentice-Hall International, 1995; 1276-7.
Tampubolon OE. lnfeksi jamur di l.C.U. Disampaikan pada simposium
infeksi jamur sistemik, Jakarta, 4 Juli, 1995.
Edward JE. Invasive candida infections: evolution of a fungal pathogen. N
EngI J Med 1991; 324: 1060-2.
Harms K, Herting E, Schiffman JH, Speer CP. Candida infections in premature infants weighing less than 1,500 g. Mucocutaneous colonization
and incidence of systemic infections (abstract). Monatsschr-Kinderheilkd
1992; 140: 633-8.
Edwards JE. Opportunistic fungal infections. Dalam: Kelly WN, penyunting. Textbook of internal medicine; edisi ke-2. Philadelphia: JB
Lippincott, 1992; 1458-9.
Hughes WT. Pneumonia in the immunosuppressed host. Dalam: Human
BC, penyunting. Pediatric respiratory disease, diagnosis and treatment.
Philadelphia: WB Saunders, 1993; 296-303.
10. Lange S. Stark P. Radiology of chest diseases. New Yor: Thieme Med.
1990; 78-9.
11. Suprihatin SD. Kandida dan kandidiasis pada manusia. Jakarta: Balm
Penerbit FKUI, 1982; 3-22.
12. Rivera MP, Jules-Elysee KM, Stover DE. Immunocompromised patients:
nontransplant chemotherapy immunosuppression. Dalam: Niederman MS.
Sarosi GA, Glasroth J, penyunting. Respiratory infections, a scientific
basis for management. Philadelphia: WB Saunders, 1994; 168-70.
13. Pizzo PA, Walsh TJ. Fungal infections in the pediatric cancer patient
(abstract). Semin-Oncol 1990; 17: 6-9.
14. Schiffrnan RL, Johnson TS, Weinberger SE, Weiss ST. Schwartz A. Candida lung abscess: successful treatment with Amphotericin B and 5Flucytosine. Am Rev Respir Dis 1982; 125: 766-8.
15. Linder J, Rennard SL. Bronchoalveolar lavage. Chicago: ASCP Press,
1988; 78-81.
16. Murray PR, Scoy REV, Roberts GD. Should yeast in respiratory secretions be identified?. Mayo Clin Proc 1977; 52: 42-5.
17. Bennet JE. Candidiasis. Dalam: Isselbacher Ki, Braunweld E, Wilson JD,
Martin JB, Fauci AS, Kasper DL, penyunting. Harrison’s Principle of
internal medicine; edisi ke-13. New York: McGraw-Hill, 1994; 860-1.
18. Cauwenbergh 0. Current drugs for the treatment of deep fungal infections.
Presented at the 3rd Western Pacific Congress on chemotherapy and
infectious diseases, Bali, June, 1992.
l9. Bennet JE. Antifungal agents. Dalam: Goodman and Oilman, penyunting.
The pharmacological basis of therapeutics; edisi ke-8. New York:
McGraw-Hill, 1993; 1165-70.
20. Grant SM, Clissold SP. Fluconazole: A review of its pharmacodynamic
and pharmacokinetic properties and therapeutic potential in superficial and
systemic mycoses. Drugs 1990; 39: 877-9 12.
21. Daries SF. Fungal pneumonia. Med Clin N Am 1994; 78: 1049-51.
Cermin Dunia Kedokteran No. 114, 1997
27
TINJAUAN KEPUSTAKAAN
Penatalaksanaan Penyakit Paru
Obstruksi
Faisal Yunus
Bagian Pulmonologi Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia
Unit Paru RSUP Persahabatan, Jakarta
PENDAHULUAN
Penyakit paru obstruksi adalah penyakit atau gangguan paru
yang memberikan kelainan ventilasi berupa gangguan obstruksi
saluran napas. Penyakit dengan kelainan tersebut antara lain
adalah asma bronkial, penyakit paru obstruksi kronik (PPOK)
dan sindrom obstruksi pasca Tb (SOPT). Meskipun semuanya
memberikan kelainan berupa obstruksi saluran napas, tetapi
mekanisme terjadinya kelainan itu berbeda pada masing-masing
penyakit.
Gangguan obstruksi yang terjadi menimbulkan dampak
buruk terhadap penderita karena menimbulkan gangguan oksigenisasi dengan segala dampaknya. Obstruksi saluran napas
yang terjadi bisa bertambah berat jika ada gangguan lain seperti
infeksi saluran napas dan eksaserbasi akut penyakitnya.
Pemberian bronkodilator yang bertujuan mengatasi obstruksi
yang terjadi, merupakan suatu tindakan yang bersifat simptoma
tis, karena pengobatan ini tidak mengobati etiologi obstruksi;
walaupun demikian pengobatan ini perlu dilakukan untuk mengatasi gejala serta menghindari perburukan penyakit dan komplikasi.
Terdapat berbagai golongan bronkodilator dan cara pemberian yang berbeda. Pemilihan bronkodilator yang tepat dan
cara pemberian yang akurat perlu dilakukan agar diperoleh efek
pengobatan yang optimal dengan efek samping yang minimal.
MEKANISME OBSTRUKSI SALURAN NAPAS
Obstruksi saluran napas difus yang terjadi pada asma terdiri
dari empat unsur, yaitu(1) :
1. Hipertrofi otot polos bronkus
2. Peningkatan sekresi muk ke dalam lumen bronkus
3. Edema mukosa bronkus
4. Infiltrasi sel inflamasi oleh eosinofil dan netrofil pada dinding saluran napas dan lumen.
28
Cermin Dunia Kedokteran No. 114, 1997
Mekanisme obstruksi saluran napas yang terjadi pada asma
sangat kompleks, tetapi interaksi dengan hiperaktivitas bronkus
merupakan faktor utama(1,2).
Pada bronkitis kronik obstruksi saluran napas terjadi melalui
mekanisme lain. Faktor pencetus penyakit ini adalah suatu iritasi
kronik yang disebabkan oleh asap rokok dan polusi. Asap rokok
merupakan campuran partikel dan gas. Pada tiap hembusan asap
rokok terdapat l014 radikal bebas yaitu radikal hidroksida (OH-).
Sebagian besar radikal bebas ini akan sampai di alveolus waktu
menghisap rokok. Partikel ini merupakan oksidan yang dapat
merusak paru. Parenkim paru yang rusak oleh oksidan terjadi
karena rusaknya dinding alveolus dan timbulnya modifikasi
fungsi anti elastase pada saluran napas. Anti elastase berfungsi
menghambat netrofil. Oksidan menyebabkan fungsi ini terganggu, sehingga timbul kerusakan jaringan intersititial alveolus(3,4).
Partikulat dalam asap rokok dan udara terpolusi mengendap
pada lapisan mukus yang melapisi mukosa bronkus, sehingga
menghambat aktivita silia. Pergerakan cairan yang melapisi
mukosa berkurang, sehingga iritasi pada sel epitel mukosa meningkat. Hal ini akan lebih merangsang kelenjar mukosa. Keadaan ini dit dengan gangguan aktifitas silia menimbulkan
gejala batuk kronik dan ekpektorasi. Produk mukus yang berlebihan memudahkan timbulnya infeksi serta menghambat proses
penyembuhan, keadaan ini merupakan suatu lingkaran dengan
akibat terjadi hipersekresi(5). Bila iritasi dan oksidasi di saluran
napas terus berlangsung maka terjadi erosi epitel serta pembentukan jaringan parut. Selain itu terjadi pula metaplasi skuamosa
dan penebalan lapisan skuamosa. Hal ini menimbulkan stenosis
dan obstruksi saluran napas yang bersifat irreversibel(6,7).
Emfisema adalah keadaan terdapatnya pelebaran abnormal
alveoli yang permanen dan destruksi dinding alveoli. Dua jenis
emfisema yang relevan dengan penyakit paru obstruksi kronik
(PPOK) yaitu emfisema pan acinar dan emfisema sentri-acinar(6,7,8). Pada jenis pan-acinar kerusakan acinar relatif difus dan
dihubungkan dengan proses menua serta pengurangan permukaan alveolar. Keadaan ini menyebabkan berkurangnya elastic
recoil paru sehingga timbul obstruksi saluran napas. Pada jenis
sentri-acinar kelainan terjadi pada bronkiolus dan daerah perifer
acinar, kelainan ini sangat erat hubungannya dengan asap rokok
dan penyakit saluran napas perifer(8).
Pada sindrom obstruksi pasca Tb (SOPT) mekanisme
obstruksi terjadi oleh karena rusaknya parenkim paru akibat
penyakit tuberkulosis(9). Timbulnya fibrosis mengakibatkan
saluran napas yang tidak teratur, serta emfisema kompensasi
karena proses fibrosis dan atelektasis mungkin mempunyai peran
dalam terjadinya obstruksi saluran napas pada penyakit ini.
TUJUAN PENATALAKSANAAN
Penatalaksanaan pada penyakit paru obstruksi bertujuan
untuk menghilangkan atau mengurangi obstruksi yang terjadi
seminimal mungkin dan secepatnya agar oksigenisasi dapat
kembali normal; keadaan ini dipertahankan dan diusahakan
menghindari perburukan penyakit atau timbulnya obstruksi
kembali pada kasus dengan obstruksi yang reversibel. Dasardasar penatalaksanaan ini pada PPOK adalah(10) :
1) Usaha mencegah perburukan penyakit
2) Mobilisasi lendir
3) Mengatasi bronkospasme
4) Memberantas infeksi
5) Penanganan terhadap komplikasi
6) Fisioterapi, terapi inhalasi dan rehabilitasi.
Pada asma dan PPOK, suatu serangan akut atau eksaserbasi
akut memerlukan penatalaksanaan yang tepat agar obstruksi
yang terjadi dapat diatasi seoptimal mungkin sehingga risiko
komplikasi dan perburukan penyakit dapat dihindari sedapat
mungkin. Pada obstruksi kronik yang terdapat pada PPOK dan
SOPT penatalaksanaan bertujuan untuk memperlambat proses
perburukan faal paru dengan menghindari eksaserbasi akut dan
faktor-faktor yang memperburuk penyakit. Pada penderita PPOK
penurunan faal paru lebih besar dibandingkan orang normal.
Penelitian di RSUP Persahabatan menunjukkan bahwa nilai
volume ekspirasi paksa detik pertama (VEP1) pada penderita
PPOK menurun sebesar 52 ml setiap tahunnya(11).
Penatalaksanaan penyakit paru obstruksi secara umum terdiri dari(12) :
I. Penatalaksanaan umum
II. Pemberian obat-obatan
III. Terapi oksigen
IV. Rehabilitasi
PENATALAKSANAAN UMUM
Termasuk dalam penatalaksanaan umum ini adaIah(12) :
1) Pendidikan terhadap penderita dan keluarga.
Mereka hendaklah mengetahui penyakitnya, yang meliputi
berat penyakit, faktor-faktor yang dapat mencetuskan eksaserbasi serta faktor yang bisa memperburuk penyakit. Perlu peranan aktif penderita untuk usaha pencegahan dan pengobatan.
2) Menghindani rokok dan zat-zat inhalasi yang bersifat iritasi.
Rokok merupakan faktor utama yang dapat memperburuk
perjalanan penyakit. Penderita harus berhenti merokok. Di samping itu zat-zat inhalasi yang bersifat iritasi harus dihindari,
karena zat itu juga dapat menimbulkan eksaserbasi/memperburuk perjalanan penyakit.
3) Menghindan infeksi
Infeksi saluran napas sedapat mungkin dihindan oleh karena dapat menimbulkan suatu eksaserbasi akut penyakit.
4) Lingkungan sehat
Perubahan cuaca yang mendadak, udara terlalu panas atau
dingin dapat meningkatkan produksi sputum dan obstruksi saluran napas. Tempat ketinggian dengan kadar oksigen rendah
dapat menurunkan tekanan oksigen dalam arteri. Pada penderita
PPOK terjadinya hipertensi pulmonal dan kor pulmonale dapat
diperlambat bila penderita pindah dari dataran tinggi ke tempat
di permukaan laut.
5) Mencukupkan kebutuhan cairan
Hal ini penting untuk mengencerkan sputum sehingga mudah
dikeluarkan. Pada keadaan dekompesasi kordis, pemakaian
kortikosteroid dan hiponatremi memperbesar kemungkinan terjadinya kelebihan cairan.
6) Nutrien yang cukup
Pemberian makanan yang cukup perlu dipertahankan oleh
karena penderita sering mengalami anoreksia oleh karena sesak
napas, dan pemakaian obat-obatan yang menimbulkan rasa mual.
PEMBERIAN OBAT-OBATAN
1) Bronkodilator
Bronkodilator merupakan obat utama untuk mengatasi atau
mengurangi obstruksi saluran napas yang terdapat pada penyakit
paru obstruksi. Ada 3 golongan bronkodilator utama yaitu golongan simpatomimetik, golongan antikolinergik dan golongan
xanthin; ke tiga obat ini mempunyai cara kerja yang berbeda
dalam mengatasi obstruksi saluran napas.
Dalam otot saluran napas persarafan langsung simpatometik
hanya sedikit; meskipun banyak terdapat adenoreseptor beta
dalam otot polos bronkus, reseptor ini terutama adalah beta-2.
Pemberian beta agonis menimbulkan bronkodilatasi. Reseptor
beta berhubungan erat dengan adenilsiklase, yaitu substansi
penting yang menghasilkan siklik AMP yang menyebabkan
bronkodilatasi(13).
Persarafan bronkus berasal dan sistem parasimpatis melalui
nervus vagus Pada asma aktifitas refleks vagal dianggap sebagai
komponen utama bronkokonstriksi; tetapi peranan vagus yang
pasti tidak diketahui. Substansi penghantar saraf tersebut adalah
asetilkolin yang dapat menimbulkan bronkokonstniksi. Atropin
adalah zat antagonis kompetitif dan asetilkolin dan dapat menimbulkan relaksasi otot polos bronkus sehingga timbul bronkodilatasi(13).
Obat golongan xanthin bekerja sebagai bronkodilator melalui mekanisme yang belum diketahui dengan jelas. Beberapa
mekanisme yang diduga menyebabkan terjadinya bronkodilator,
adalah(13) :
Cermin Dunia Kedokteran No. 114, 1997
29
• Blokade reseptor adenosin
• Rangsangan pelepasan katekolamin endogen
• Meningkatkan jumlah dan efektivitas sel T supresor
• Meningkatkan ambilan kalsium ke dalam sel otot polos
dan penghambatan penglepasan mediator dan sel mast.
Pada gambar 1 dapat dilihat skema cara kerja obat-obat bronkodilator untuk menimbulkan bronkodilatasi.
Obat golongan simpatomimetik seperti adrenalin dan
efedrin selain memberikan efek bronkodilatasi juga menimbulkan takikardi dan palpitasi; pemakaian obat-obat yang selektif
terhadap reseptor beta mengurangi efek samping ini. Golongan
agonis beta-2 yang dianggap selektif antara lain adalah terbutalin, feneterol, salbutamol, orsiprenalin dan salmeterol. Di
samping bersifat sebagai bronkodilator, bila diberikan secara
inhalasi dapat memobilisasi lendir. Pemberian beta-2 dapat
menimbulkan tremor tetapi bila terus diberikan maka gejala akan
berkurang(13-15). Pemberian salbutamol lepas lambat juga dapat
diberikan. Pada penderita asma obat ini mungkin bisa mengurangi timbulnya serangan asma malam. Dosis salbutamol lepas
lambat 2 x 4 mg mempunyai manfaat yang sama dengan dosis
2 x 8 mg dengan efek samping yang lebih minima1(16).
Antikolinergik seperti ipratropium bromide merupakan
bronkodilator utama pada PPOK, kanena pada PPOK obstruksi
saluran napas yang terjadi lebih dominan disebabkan oleh komponen vagal. Kombinasi obat antikolinergik dengan golongan
bronkodilator lain seperti agonis beta-2 dan xanthin memberikan
30
Cermin Dunia Kedokteran No. 114, 1997
efek bronkodilatasi yang lebih baik, sehingga dosis dapat di
turunkan sehingga efek samping juga menjadi sedikit(15,17,18).
Pada penderita asma akut pemberian antikolinergik tidak direkomendasikan oleh karena efeknya lebih rendah dibandingkan
golongan agonis beta-2; tetapi penambahan obat antikolinergik
dapat meningkatkan efek bronkodilatasi(19). Pada asma kronik
antikolinergik cukup aman,bronkodilatasi terjadi melalui blokade
reseptor muskaninik non spesifik. Meskipun efeknya kurang dari
gonis beta-2 tapi penambahan obat ini memberikan efek tambahan terutama pada penderita asma yang lebih tua(20).
Golongan xanthin mempunyai efek bronkodilator yang lebih
rendah, selain bersifat bronkodilator obat ini juga berperan dalam
meningkatkan kekuatan otot diafragma. Pada penderita emfisema dan bronkitis kronik metabolisme obat golongan xanthin
ini dipengaruhi oleh faktor uimur, merokok, gagal jantung,
infeksi bakteri dan penggunaan obat simetidin dan eitromisin.
Oleh karena itu penggunaan obat xanthin pada PPOK membutuhkan pemantauan yang ketat(15).
Pemberian bronkodilator secara inhalasi sangat dianjur
kan- oleh kanena cara ini memberikan berbagai keuntungan
yaitu(21,22) :
• Obat bekerja langsung pada saluran napas
• Onset kerja yang cepat
• Dosis obat yang kecil
• Efek samping yang minimal karena kadar obat dalam
darah rendah.
•
Membantu mobilisasi lendir.
Ada berbagai cara pemberian obat inhalasi yaitu dengan
inhalasi dosis terukur, alat bantu spacer, nebuhaler, turbuhaler,
dischaler, rotahaler dan nebuliser. Hal yang perlu diperhatikan
adalah cara pemakaian yang tepat dan benar sehingga obat dapat
mencapai saluran napas dengan dosis yang cukup.Pada orang tua
dan anak-anak serta pada suatu serangan akut yang berat mungkin
obat tidak bisa dihisap dengan baik sehingga sukar mendapatkan
bronkodilatasi yang optimal pada pemakaian inhalasi dosis terukur.
Pemberian inhalasi fenoterol 1 ml konsentrasi 0,1% dengan
nebuliser pada serangan asma memberikan perbaikan faal paru
yang sangat bermakna pada 32 penderita asma yang berobat ke
poli Asma RSUP Persahabatan; tetapi pada 19 orang penderita
PPOK dengan eksaserbasi akut, inhalasi ini memberikan perbaikan subjektif sedangkan peningkatan faal paru tidak bermakna(23).
Pada penderita PPOK pemberian bronkodilator harus selalu
dicoba, meskipun tidak terdapat perbaikan faal paru. Apabila
selama 2–3 bulan pemberian obat tidak terlihat perubahan secara
objektif maupun secara subjektif maka tidaklah tepat untuk
meneruskan pemberian obat. Tetapi pemberian bronkodilator
tetap diindikasikan pada suatu serangan akut(12). Pemberian
bronkodilator jangka lama pada penderita sebaiknya diberikan
dalam bentuk kombinasi, untuk mendapatkan efek yang optimal
dengan efek samping yang minimal(15).
2) Ekspektorans dan mukolitik
Pemberian cairan yang cukup dapat mengencerkan sekret,
tetapi pada beberapa keadaan seperti gagal jantung perlu dilakukan pembatasan cairan. Obat yang menekan batuk seperti
kodein tidak dianjurkan karena dapat mengganggu pembersihan
sekret dan menyebabkan gangguan pertukaran udara; di samping
itu obat ini dapat menekan pusat napas. Tetapi bila batuk sangat
mengganggu seperti batuk yang menetap, iritasi saluran napas
dan gangguan tidur obat ini dapat diberikan. Ekspektorans dan
mukolitik lain seperti bromheksin, dan karboksi metil sistein
diberikan pada keadaan eksaserbasi. Asetil sistem selain bersifat
mukolitik juga mempunyai efek anti oksidans yang melindungi
saluran napas dan kerusakan yang disebabkan oleh oksidans(4,12,24,25).
3) Antibiotika
Infeksi sangat berperan pada perjalanan penyakit paru
obstruksi, terutama pada keadaan eksaserbasi., Infeksi virus paling sering menimbulkan eksaserbasi diikuti oleh infeksi bakteri.
Bila infeksi berlanjut maka perjalanan penyakit akan makin
memburuk.Penanganan infeksi yang cepat dan tepat sangat perlu
dalam penatalaksanaan penyakit. Pemberian antibiotika dapat
mengurangi lama dan beratnya eksaserbasi.Perubahan warna
sputum dapat merupakan indikasi infeksi bakteri. Antibiotika
yang biasanya bermanfaat adalah golongan penisilin, eritromisin
dan kotrimoksasol, biasanya diberikan selama 7–10 hari. Apabila antibiotika tidak memberikan perbaikan maka perlu dilakukan pemeriksaan mikroorganisme(12,26,27).
4) Kortikosteroid
Pemberian kortikosteroid pada suatu serangan akut baik
pada asma maupun PPOK memberikan perbaikan penyakit
yang nyata. Steroid dapat diberikan intravena selama beberapa
hari, dilanjutkan dengan prednison oral 60 mg selama 4–7 hari,
kemudian diturunkan bertahap selama 7–10 hari. Pemberian
dosis tinggi kurang dari 7 hari dapat dihentikan tanpa turun bertahap(12,28). Pada penderita dengan hipereaktivitas bronkus pemberian kortikosteroid inhalasi menunjukkan perbaikan fungsi
paru dari gejala penyakit. Pemberian kortikosteroid jangka lama
memperlambat progresivitas penyakit(29,30,31).
TERAPI OKSIGEN
Pada penderita dengan hipoksemi, yaitu Pa 02 < 55 mmHg
pemberian oksigen konsentrasi rendah 1–3 liter/menit secara
terus menerus memberikan perbaikan psikis, koordinasi otot,
toleransi beban kerja dan pola tidur. Hipoksemi dapat mencetuskan dekompensatio kordis pada penderita PPOK terutama pada
saat adanya infeksi saluran napas(12,26).
Gejala gangguan tidur, gelisah dan sakit kepala mungkin
merupakan petunjuk perlunya oksigen tambahan(12,26).
Pada penderita dengan infeksi saluran napas akut dan dekompensasi kordis pemberian Inspiratory Positive Pressure Breathing (IPPB) bermanfaat untuk mencegah dan menyembuhkan
atelektasis(12).
REHABILITASI
Rehabilitasi meliputi tindakan fisioterapi, rehabilitasi
psikis dan pekerjaan. Fisioterapi bertujuan memobilisasi dahak
dan mengendalikan kondisi fisik penderita ke tingkat yang optimal. Berbagai cara fisioterapi dapat dilakukan yaitu latihan
relaksasi, latihan napas, perkusi dinding dada, drainase postural
dan program uji latih. Rehabilitasi psikis berguna untuk menenangkan penderita yang cemas dan mempunyai rasa tertekan
akibat penyakitnya. Sedangkan rehabilitasi pekerjaan dilakukan
untuk memotivasi penderita melakukan pekerjaan yang sesuai
dengan kemampuan fisiknya. Secara umum rehabilitasi ini bertujuan agar penderita dapat mengurus diri sendiri dan melakukan
aktivitas yang bermanfaat sesuai dengan kemampuan penderita(12,15,26).
PENUTUP
Penyakit paru obstruksi saluran napas yang sering didapatkan adalah asma bronkial, PPOK dan SOPT. Mekanisme terjadi
obstruksi saluran napas berbeda pada tiap penyakit.
Penatalaksanaan bertujuan mengatasi dan menghilangkan
obstruksi, mempertahankan bronkodilatasi dan mencegah atau
mengurangi perburukan penyakit.
Bronkodilator merupakan obat utama pada penatalaksanaan
penyakit. Obat yang teri bronkodilator ini adalah golongan
simpatoinimetik, antikolinergik dan xanthin. Pemberian obat
secara inhalasi merupakan pilihan karena mempunyai beberapa
keuntungan. Pemberian bronkodil ator secara kombinasi memberikan efek yang lebih baik kanena bronkodilatasi yang terjadi
lebih besar dan efek samping obat lebih rendah.
Obat antibiotika diberikan pada infeksi atas indikasi dan
dipakai secara tepat. Kortikosteroid bermanfaat pada keadaan
eksaserbasi dan pemberian secara inhalasi memperbaiki perjalanan penyakit. Pemberian kortikosteroid inhalasi jangka lama
mengurangi progresivitas penyakit.
Terapi oksigen pada penderita hipoksemi dapat memperbaiki perjalanan penyakit. Tindakan rehabilitasi yang meliputi
fisioterapi, rehabilitasi psikis dan pekerjaan bertujuan mengoptimalisasi kemampuan dan aktivitas penderita.
KEPUSTAKAAN
1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.
8.
9.
10.
11.
12.
13.
14.
Holgate ST. Bronchoconstriction. In: Bronchodilator Therapy. ed. Clark
Till. Auckland: Adis Press Limited, 1984: 1–16.
Dalil R. Pathophysiology of bronchial asthma, ed. Gross NJ. London:
Franklin Scient PubI 1993 : 81–7.
Cantin A, Crystal RG. Oxidants, Antioxidant and the pathogenesis of
emphysema. Eur J Respir Dis 1985; 66: 7–12.
Flenley DC. What should an ideal antioxidant do (and not do) ? Bull Eur
Physiopatol Respir 1987; 23: 279–85.
Cherniack RM, Cherniack L. Airway disease. In: Respiration in Health and
Disease. Philadelphia: WB Saunders Co. 1983 : 269–98.
Bates PV. Chronic bronchitis and emphysema. In: The Lung in Transition
between Health and Disease. Eds. Macklem PT, Permutt S. New York:
Marcel Dekker mc, 1979: 1–3.
Rodman T, Sterling HF. Pulmonary emphysema and related lung disease.
St Louis: CV Mosby Co 1969 : 3–23 and 156–200.
Calverley PMA. Pathophysiology of chronic obstructive pulmonary
disease. In: Anticholinergic therapy in obstructive pulmonary disease.
Scient PubI 1993 : 61–80.
Bromerg PA, Robin ED. Abnormalities of lung function in tuberculosis.
Adv Tuberc Res 1963; 12: 1–27.
Hadiaxto Mangunnegoro. Penatalaksanaan Penyakit Paru Obstruktif Me
nahun, Hasil pengamatan selama 5 tahun di Bagian Pulmonologi FKUI/
Unit Paru RSUP Persahabatan. Dalam: Penyakit Paru Obstruksi Menahun
eds. Faisal Yunus, Anwar Jusuf. Jakarta: Penerbit FKUI 1989 : 5 1–9.
Faisal Yunus. Peranan faal paru pada penyakit paru obstruktif menahun.
Dalam: Penyakit Paru Obstruktif Menahun. eds. Faisal Yunus, Anwar
Jusuf. Jakarta: Penerbit FKUI 1989 : 33–44.
Hodkin JE. Comprehensive Respiratory Care Program. In: Chronic
Obstenctive Pulmonary Disease. Park Ridge: The Am Coil Chest Physi
cians 1979 : 34–101.
Shenfleld GM, Brogden RN, Ward A. Pharmacology of bronchodilators.
In: Bronchodilator Therapy. ed. Clark TJH Auckland: Adis Press Limited,
1984:17-46.
Tobin MJ. Use of bronchodilator aerosol. Arch Intern Med 1985; 145:
1659–63.
15. Cochrane GM, Prior 1G. The role of bronchodilator in the management of
chronic bronchitis and emphysema. In: Bronchodilator therapy. ed. Clark
TJH. Auckland: Adis Press Limited 1984: 188–202.
16. Yulino Amrie, Faisal Yunus, Hadiarto Mangunnegoro. Perbandingan efek
klinik salbutamol lepas lambat 4mg dan 8 mg pada penderita asma
bronkial. Paru 1992; 12: 27–35.
17. Handergen JJ, Bone RC. The role of anticholinergic drugs in chronic
obstruktive airway disease. ed. Gross NJ. London: Franklin Scient Publ
1993: 128–44.
18. Gross NJ. Manfaat that antikolinergik pada pengobatan penyakit pare
obstniktif menahun. Dalam: Penyakit Pare Obstruktif Menahun. Jakarta:
Penethit FKUI 1989 : 45–50.
19. Ward MJ. The role of anticholinergic drugs in acute asthma. In: Anticho
linergic therapy in obstructive airways disease. ed. Gross NJ. London:
Franklin Scient PubI 1993: 155–62.
20. Woltstenholme RJ. The role of anticholinergic drugs in chronic asthma. In:
Anticholinergic therapy in obstructive airways disease. London: Franklin
Scient PubI 1993: 163–8.
21. Simonsson BG. Anatomical and pathophysiological considerations in
aerosol therapy. Eur J Respir Dis Suppl 1952; 119: 7–14.
22. Newhouse MT. Principles of aerosol therapy. Chest 1982; 82 suppl : 39 S
– 41 S.
23. Faisal Yunus. Prinsip dasar dan peranan terapi inhalasi. Medika 1992; 18:
25–31.
24. Amstrong M. Double blind cross over trial (15) of bromhexin (Bisolvon)
in the treatment of chronic bronchitis. Med J Austral 1976; 1: 612–7.
25. Moldeus P, Berggren M, Graftstrom R. N-acetylcysteine protection against
the toxicity of cigarette smoke and cigarette smoke condensates in various
tissues and cell in vitro. Eur J Respir Dis 1985; 66 (suppl) 139: 123–9.
26. American Thoracic Society, Medical section of the American Lung
Association. Standards for the diagnosis and care of patients with chronic
obstructive pulmonary disease (COPD) and asthma. Am Rev Respir Dis
1987; 136: 225–43,
27. Crofton J. The John Barnwell Lecture, The chemotherapy of bacterial
respiratory infections. Am Rev Respir Dis. 1970; 101: 841–59.
28. Miller WF, Geumel AM. Respiratory and pharmacological therapy in
COPD. In: Chronic Obstructive Pulmonary Disease. ad. Petty ii. New
York: Marcel Dekker Inc, 1985 : 205–338.
29. DompelingE, Van Schayc CP, MolemaJ, Folgering H, Van Grunsven PM,
Van Wheel C. Inhaled beclomethasone improves the course of asthma and
COPD. Eur Respir J 1992; 5: 954–62.
30. Hadiarto Mangunnegoro, Faisal Yunus, Achmad Hudoyo, Johannes R
Sulamet, Ernst J Manuhutu. Usaha menurunkan hipereaktivitas bronkus
pada penderita “Exercise-induces asthma”. Suatu penelitian dengan
menggunakan inhalasi budesonide. Medika 1990; 16(9): 729–42.
31. Hadiarto Mangunnegoro, Tamsil Syafiuddin, Faisal Yunus, Wiwien
Heruwiyono. Upaya menurunkan hiperaktivitas bronkus pads penderita
asma, perbandingan efek budesonid dan ketotifen. Pare 1992; 12: 10–8.
An opportunity is often lost through deliberation
32
Cermin Dunia Kedokteran No. 114, 1997
TINJAUAN KEPUSTAKAAN
Rehabilitasi pada Penderita
Penyakit Paru Obstruksi Menahun
Djoko Mulyono
PPDS I Ilmu Penyakit Paru Fakultas Kedokteran Universitas Airlangga
Rumah Sakit Umum Daerah Dr. Sutomo, Surabaya
PENDAHULUAN
Penyakit paru obstruktif menahun (PPOM) kini mulai diperhitungkan sebagai salah satu masalah kesehatan yang menyebabkan tingginya angka kesakitan, kecacatan pada paru dan
meningkatnya biaya pengobatan dan tahun ke tahun. Pada tahun
1986 lebih dan 20 juta penduduk AS menderita emfisema dan
sekitar 11,2 juta menderita bronkitis kronis, terutama disebabkan oleh paparan asap rokok. Rerata angka kejadian PPOM di
Jawa Timur 6,1%, perokok menunjukkan angka 3 kali lebih
tinggi dibandingkan dengan bukan perokok(1).
Penderita PPOM kebanyakan berusia lanjut, terdapat
gangguan mekanis dan pertukaran gas pada sistim pernapasan
dan menurunnya aktivitas fisik pada kehidupan sehari-hari. Peningkatan volume paru dan tahanan aliran udara dalam saluran
napas pada penderita emfisema akan meningkatkan kerja pernapasan. Penyakit ini bersifat kronis dan progrresif, makin lama
kemampuan penderita akan menurun bahkan penderita akan
kehilangan stamina fisiknya(2).
Dalam mengelola penderita PPOM, di samping pemberian
obat-obatan dan penghentian merokok juga diperlukan terapi
tambahan yang ditujukan untuk mengatasi masalah tersebut
yakni rehabilitasi medis, khususnya fisioterapi pernapasan.
Fisioterapi pernapasan adalah suatu tindakan dalam rehabilitasi
medis yang bertujuan mengurangi cacat atau ketidak mampuan
penderita, dan diharapkan penderita merasa terbantu untuk
mengatasi ketidak mampuannya sehingga mereka dapat mengurus diri sendiri tanpa banyak tergantung pada orang 1ain(3,4).
Namun sayangnya upaya ini kurang diminati oleh para dokter
bahkan sering kali dilupakan orang.
TUJUAN REHABILITASI PARU
Rehabilitasi didefinisikan sebagai : memulihkan individu
ke arah potensi fisik, medik, mental, emosional, ekonomi sosial
dan vokasional sepenuhnya menurut kemampuannya(5).
Maka jelaslah bahwa tingkat pemenuhan tujuan program
rehabilitasi paru tergantung pada derajat insufisiensi pernapasan, dan tindakan yang ditempuh tergantung pula pada faktorfaktor yang berpengaruh pada penderita. Meskipun demikian,
tiap usaha harus dilakukan untuk membawa penderit. ke arah
perbaikan fisik yang maksimal dan pemakaian energi yang
optimal tetapi efisien, sehingga penderita dapat melakukan
pekerjaannya sehari-hari. Jika hal ini tidak mungkin, harus diusahakan latihan kerja yang lebih ringan. Harus ditekankan agar
penderita mempunyai percaya diri dan mengurangi ketergantungan pada keluarga dan masyarakat(4,6).
PERUBAHAN PARU PADA USIA LANJUT
Pada usia lanjut terjadi perubahan berupa kekakuan dinding
dada akibat perubahan tulang belakang dan sendi kostovertebral
sehingga compliance dinding dada berkurang. Terdapat penurunan elastisitas parenkim paru, bertambahnya kelenjar mukus pada
bronkus dan penebalan pada mukosa bronkus. Akibatnya terjadi
peningkatan tahanan saluran napas, terlihat dan penurunan faal
paru antara lain: kapasitas vital paksa (FVC), volume ekspirasi
paksa detik pertama (FEV1), Force expiratory flow, midexpiratory phase (FEF25%-75%) dan forced expirator flow between 200
and 1200 mL of FVC (FEF200-1200). Terdapat peningkatan
volume residu akibat kehilangan elastic recoil paru(7,8).
REHABILITASI PARU PADA PPOM
Dalam mengelola penderita PPOM, rehabilitasi medis pada
paru (rehabilitasi pulmonal) mempunyai 2 aspek yakni:
1) Rehabilitasi fisik, terdiri dari:
1.1. Latihan relaksasi
1.2. Terapi fisik dada
1.3. Latihan pernapasan
1.4. Latihan meningkatkan kemampuan fisik
2) Rehabilitasi psikososial dan vokasional, terdiri dari:
Cermin Dunia Kedokteran No. 114, 1997
33
2.1. Pendidikan perseorangan dan keluarga
2.2. Latihan pekerjaan
2.3. Penempatan tugas
2.4. Latihan merawat diri sendiri
Kedua aspek rehabilitasi medis tersebut diterapkan dalam
mengelola semua penderita PPOM tanpa memandang etiologi
dan derajat penyakitnya(9).
Rehabilitasi fisik dapat dilakukan pada stadium dini atau
stadiun lanjut dari penyakitnya. Penderita dilatih untuk memakai
cadangan napasnya seefektif mungkin dengan mengubah pola
bernapas untuk memperoleh potensi yang optimal bagi kegiatan
fisiknya(2).
Rehabilitasi psikososial dan vokasional dipertimbangkan
bila penderita tidak dapat mencapai keinginan fisik-psikologis
untuk melakukan kegiatan seperti biasanya. Bila pendidikan
pada tingkat tersebut tidak mungkin, rehabilitasi ditujukan untuk
memberi kesempatan pada penderita untuk dapat melakukan
kegiatan minimal termasuk mengurus diri sendiri(2).
I. Latihan relaksasi
Tujuan latihan relaksasi adalah:
1) Menurunkan tegangan otot pernapasan, terutama otot bantu
pernapasan.
2) Menghilangkan rasa cemas karena sesak napas.
3) Memberikan sense of well being.
Penderita PPOM yang mengalami insufisiensi pernapasan
selalu merasa tegang, cemas dan takut mati tersumbat(10). Untuk
mengatasi keadaan ini penderita berusaha membuat posisi yang
menguntungkan terutama bagi gerakan diafragmanya. Sikap ini
dicapai dengan memutar bahu ke depan dan membungkukkan
badan ke depan pula. Sikap ini selalu diambil setiap akan memulai rehabilitasi fisik (drainase postural, latihan pernapasan).
Agar penderita memahami, latihan ini harus diperagakan. Latihan relaksasi hendaknya dilakukan di ruangan yang tenang,
posisi yang nyaman yaitu telentag dengan bantal menyangga
kepala dan guling di bawah lutut atau sambil duduk(11).
II. Terapi fisik dada
Timbunan sekret yang sangat kental jika tidak dikeluarkan
akan menyumbat saluran napas dan merupakan media yang baik
bagi pertumbuhan kuman. Infeksi mengakibatkan radang yang
menambah obstruksi saluran napas. Bila berlangsung terus sehingga mengganggu mekanisme batuk dan gerakan mukosilier,
maka timbunan sekret merupakan penyulit yang cukup serius(12).
Terapi fisik (fisioterapi) dada ditujukan untuk melepaskan
dan membantu menggerakkan sekret dan saluran napas kecil ke
trakea; dapat dilakukan dengan cara drainase postural, perkusi
dinding dada, vibrasi menggunakan tangan (manual) atau dengan bantuan alat (mekanik)(11,12). Perkusi dengan vibrasi cepat,
ketukan dengan telapak tangan (clapping), atau memakai rompi
perkusi listrik serta latihan batuk akan memperbaiki mobilisasi
dan klirens sekret bronkus dan fungsi paru terutama pada penderita PPOM dengan produksi sputum yang meningkat (>30 ml/
hari), bronkluektasis, fibrosis kistik, dan atelektasis. Pada penderita dengan serangan asma akut, pneumonia akut, gagal napas,
penderita yang memakai ventilator, dan penderita PPOM dengan
produksi sputum yang minimal (<30 ml/hari), fisioterapi dada
34
Cermin Dunia Kedokteran No. 114, 1997
tidak berefek dan bahkan membahayakan(13,14).
Dalam melakukan drainase postural harus diperhatikan posisi
penderita yang disesuaikan dengan anatomi percabangan bronkus.
Tindakan ini dilakukan 2 kali sehani selama 5 menit. Sebelum
dilakukan drainase postural sebaiknya penderita minum banyak
atau diberikan mukolitik, bronkodilator perinhalasi untuk memudahkan pengal Iran sekret(11,12).
III. Latihan pernapasan
Latihan pernapasan dilakukan setelah latihan relaksasi dikuasai penderita. Tujuan latihan pernapasan adalah untuk:
1) Mengatur frekuensi dan pola napas sehingga mengurangi
air trapping
2) Memperbaiki fungsi diafragma
3) Memperbaiki mobilitas sangkar toraks
4) Memperbaiki ventilasi alveoli untuk memperbaiki pertukaran gas tanpa meningkatkan kerja pernapasan
5) Mengatur dan mengkoordinir kecepatan pernapasan sehingga bernapas lebih efektif dan mengurangi kerja pernapasan.
Diafragma dan otot interkostal merupakan otot-otot pernapasan yang paling penting. Pada orang normal dalam keadaan
istirahat, pengaruh gerakan diafragma sebesar 65% dan volume
tidal. Bila ventilasi meningkat barulah digunakan otot-otot bantu
pernapasan (seperti skalenus, sternokleidomastoideus, otot penyangga tulang belakang); ini terjadi bila ventilasi melampaui
50 l/menit(15).
Pada penderita PPOM sering kali terdapat pernapasan yang
tidak sinkron gerakannya (panadoksal), yaitu pada waktu akhir
inspinasi tiba-tiba dinding perut bergerak ke dalam dan kemudian
bergerak keluar waktu ekspirasi. Penderita dengan keadaan
demikian mempunyai prognosis yang kurang baik(2). Selain itu
pada penderita PPOM tendapat hambatan aliran udara terutama
pada waktu ekspirasi. Pada umumnya letak diafragma rendah
dan posisi sangkar toraks sangat tinggi sehingga secara mekanis
otot-otot pernapasan bekerja kurang efektif. Pada umumnya
fungsi diafragma penderita PPOM kurang dan 35% volume
tidal, akibatnya penderita selalu menggunakan otot-otot bantu
pernapasan(15). Latihan otot-otot pernapasan akan meningkatkan
kekuatan otot pernapasan, meningkatkan tekanan ekspirasi (PE
max) sekitar 37%(16).
Latihan pernapasan meliputi:
a) Latihan pernapasan diafrag
Tujuan latihan pernapasan diafragma adalah : menggunakan
diafragma sebagai usaha pernapasan, sementara otot-otot bantu
pernapasan mengalami relaksasi.
Manfaat pernapasan diafragma:
1) Mengatur pernapasan pada waktu serangan sesak napas dan
waktu melakukan pekerjaan/latihan.
2) Memperbaiki ventilasi ke arah basal paru.
3) Melepaskan sekret yang melalui saluran napas.
Dengan pernapasan diafragma maka akan terjadi peningkatan volume tidal, penununan kapasitas residu fungsional dan peningkatan ambilan oksigen optimal(15).
Latihan ini dapat dilakukan dengan prosedur berikut(2,12) :
1) Sebelum melakukan latihan, bila terdapat obstruksi saluran
napas yang reversibel dapat diberi bronkodilator. Bila terdapat
hipersekresi mukus dilakukan drainase postural dan latihan batuk. Pemberian oksigen bila penderita mendapat terapi oksigen
di rumah.
2) Posisi penderita bisa duduk, telentang, setengah duduk, tidur
miring ke kiri atau ke kanan, mendatar atau setengah duduk.
3) Penderita meletakkan salah satu tangannya di atas perut
bagian tengah, tangan yang lain di atas dada. Akan dirasakan
perut bagian atas mengembang dan tulang rusuk bagian bawah
membuka. Penderita perlu disadarkan bahwa diafragma memang turun pada waktu inspirasi. Saat gerakan (ekskursi) dada
minimal. Dinding dada dan otot bantu napas relaksasi.
4) Penderita menarik napas melalui hidung dan saat ekspirasi
pelan-pelan melalui mulut (pursed lips breathing), selama
inspirasi, diafragma sengaja dibuat aktif dan memaksimalkan
protrusi (pengembangan) perut. Otot perut bagian depan dibuat
berkontraksi selama inspirasi untuk memudahkan gerakan
diafragma dan meningkatkan ekspansi sangkar toraks bagian
bawah.
5) Selama ekspirasi penderita dapat menggunakan kontraksi
otot perut untuk menggerakkan diafragma lebih tinggi. Beban
seberat 0,5–1 kg dapat diletakkan di atas dinding perut untuk
membantu aktivitas ini.
Latihan pernapasan pernapasan diafragma sebaiknya dilakukan bersamaan dengan latihan berjalan atau naik tangga(11).
Selama latihan,penderita harus diawasi untuk mencegah kesalahan yang sering terjadi seperti(2) :
• Ekspirasi paksa:
Hal ini akan memperberat obstruksi saluran napas, meningkatkan tekanan intrapleura dan terjadi air trapping jika
saluran napas yang rusak dan mudah kolaps ditekan oleh tekanan intrapleura.
• Perpanjangan ekspirasi:
Menyebabkan pernapasan berikutnya tidak teratur dan tidak
efisien, pola pernapasan kembali ke pernapasan dada bagian atas
yang tidak teratur disertai dengan aktifnya otot bantu pernapasan.
• Gerakan tipuan abdomen:
Otot perut berkontraksi dan relaksasi tetapi tidak ada perbaikan dan ventilasi.
• Penggunaan dada bagian atas secara berlebihan:
Hal ini dapat mengganggu gerakan diafragma, kebutuhan O2
meningkat karena otot bantu pernapasan bekerja lebih keras.
b) Pursed lips breathing
Pursed lips breathing (PLB) dilakukan dengan cara menarik
napas (inspirasi) secara biasa beberapa detik melalui hidung
(bukan menarik napas dalam) dengan mulut tertutup, kemudian
mengeluarkan napas (ekspirasi) pelan-pelan melalui mulut dengan posisi seperti bersiul, lamanya ekspirasi 2–3 kali lamanya
inspirasi, sekitar 4–6 detik. Penderita tidak diperkenankan
mengeluarkan napas terlalu keras(12).
PLB dilakukan dengan atau tanpa kontraksi otot abdomen
selama ekspirasi. Selama PLB tidak ada udara ekspirasi yang
mengalir melalui hidung, karena terjadi elevasi involunter dari
palatum molle yang menutup lubang nasofaring. Dengan pursed
lips breathing (PLB) akan terjadi peningkatan tekanan pada
rongga mulut, kemudian tekanan ini akan diteruskan melalui
cabang-cabang bronkus sehingga dapat mencegah air trapping
dan kolaps saluran napas kecil pada waktu ekspirasi. Hal ini
akan menurunkan volume residu, kapasitas vital meningkat dan
distribusi ventilasi merata pada paru sehingga dapat memperbaiki pertukaran gas di alveol(17). Selain itu PLB dapat menurunkan ventilasi semenit, frekuensi napas, meningkatkan volume
tidal, PaO2 saturasi oksigen darah, menurunkan PaCO2 dan
memberikan keuntungan subjektif karena mengurangi rasa sesak
napas pada penderita(17,18,19). Pursed lips breathing akan menjadi
lebih efektif bila dilakukan bersama-sama dengan pernapasan
diafragma(18). Ventilasi alveoler yang efektif terlihat setelah
latihan berlangsung lebih dari 10 menit(20).
c) Latihan batuk
Batuk merupakan cara yang efektif untuk membersihkan
benda asing atau sekret dan saluran pernapasan. Batuk yang
efektif harus memenuhui kriteria:
1) Kapasitas vital yang cukup untuk mendorong sekret.
2) Mampu menimbulkan tekanan intra abdominal dan intratorakal yang cukup untuk mendorong udara pada fase ekspulsi.
Cara melakukan batuk yang baik:
Posisi badan membungkuk sedikit ke depan sehingga
memberi kesempatan luas kepada otot dinding perut untuk berkontraksi, sehingga menimbulkan tekanan intratorak Tungkai
bawah fleksi pada paha dan lutut, lengan menyilang di depan
perut.
Penderita diminta menarik napas melalui hidung, kemudian
menahan napas sejenak, disusul batuk dengan mengkontraksi
kan otot-otot dinding perut serta badan sedikit membungkuk ke
depan.
Cara ini diulangi dengan satu fase inspirasi dan dua tahap
fase ekspulsi. Latihan diulang sampai penderita menguasai.
Penderita yang mengeluh sesak napas saat latihan batuk,
diistirahatkan dengan melakukan Iatihan pernapasan diantara
dim latihan batuk. Bila penderita tidak mampu batuk secara
efektif, dilakukan rangsangan dengan alat penghisap (refleks
batuk akan terangsang oleh kateter yang masuk trakea) atau
menekan trakea dari satu sisi ke sisi yang 1ain(2,12).
IV. Latihan meningkatkan kemampuan fisik
Bertujuan meningkatkan toleransi penderita terhadap
aktivitas dan meningkatkan kemampuan fisik, sehingga penderita hidup lebih aktif dan lebih produktif.
Pengaturan tingkat latihan dimulai dengan tingkat berjalan
yang disesuaikan dengan kemampuan awal tiap penderita secara
individual, yang kemudian secara bertahap ditingkatkan ke tingkat toleransi yang paling besar. Jarak maksimum dalam latihan
berjalan yang dicapai oleh penderita merupakan batas untuk
mulai meningkatkan latihan dengan menaiki tangga. Selama
latihan penderita harus dibantu dengan pemberian oksigen untuk
menghindari penununan saturasi oksigen secara drastis yang
dapat membahayakan jantung. Penderita harus diawasi dengan
baik, secara berkala gas darah arteri diukur tenutama pada penderita dengan hipoventilasi alveoler, untuk mencegah retensi
Cermin Dunia Kedokteran No. 114, 1997
35
CO2 yang berlebihan.
Pemberian oksigen selama latihan harus diteruskan sampai
penderita mendapat manfaat yang maksimal, setelah itu lambat
laun dapat disapih(2).
6.
7.
8.
RINGKASAN
Rehabilitasi medik paru (rehabilitasi pulmonal) merupakan
salah satu tindakan penting dalam pengelolaan penderita PPOM,
di samping pemberian obat-obatan. Penderita yang berusia lanjut
dengan gangguan pernapasan akibat obstruksi saluran napas
karena sekret atau kolaps saluran napas bagian tepi serta pola
napas paradoksal semuanya akan membuat pernapasan tidak
efektif. Terapi fisik (fisioterapi) dada dilakukan pada semua
penderita PPOM dengan harapan dapat mengurangi rasa cemas,
membersihkan saluran napas dan sekret, dan menggunakan otototot pernapasan secara optimal. Dengan demikian penderita akan
terlatih untuk bernapas secara efektif dan tidak cemas pada saat
terjadi serangan akut serta dapat melakukan tugasnya tanpa
tergantung pada orang lain. Sehingga tercapai tujuan untuk meningkatkan kualitas hidup penderita.
Selain tersebut di atas, tak kalah pentingnya adalah penghentian merokok dan menghindari paparan asap rokok.
2.
3.
4.
5.
10.
11.
12.
13.
14.
15.
KEPUSTAKAAN
1.
9.
Thomas Kardjito, Selamat Hariadi. Epidemiologi penyakit patti obstruktif
menahun. Dalam: Simposium dan Kursus Penyakit Paru Obstruktif
Menahun. Surabaya Juni 1991, hal 1–17.
Abdul Mukty, Djati Sampoerno. Rehabilitasi padapenyakitparu obstruktif
menahun. Dalam: Simposium dan Kursus Penyakit Paru Obstruktif Menahun, SurabayaJuni 1991. hal. 163–181.
Fishman AP. Pulmonary rehabilitation research. Am J Respir Crit Care
Med. 1994; 149: 825–833.
Moser KM, Bokinsky GE, Savage RT et al. Results of a comprehensive
rehabilitation program. Physiologic and functional effects on patients with
chronic obstructive pulmonary disease. Arch Intern Med. 1980; 140: 15961601.
American Thoracic Society. Pulmonary rehabilitation. Am Rev Respor
Dis. 1981; 124: 663–666.
16.
17.
18.
19.
20.
Petty TL. Pulmonary rehabilitation in perspective: historical roots, present
status, and future projections. Thorax 1993; 48: 855–862.
Frownfelter DL. Chest physical therapy and airway care in: Core Textbook
of Respiratory Care Practice. Editor: Barnes TA. 1st edition. Mosby
Yearbook inc. 1994: 199–222.
Zadai CF. Rehabilitation of the patient with chronic obstructive pulmonary
disease. In: Cardiopulmonary Physical Therapy. Editor: Irwin S and
Tecklin is. 2nd edition CV Mosby Co. 1990: 491–504.
Corsello PR. Rehabilitation of the chronic obstructive pulmonary disease
patient: General principles. In: Pulmonary Therapy and Rehabilitation.
Principles and Practice. Editor: Haas F, Axen K. 2nd edition. Baltimore,
London: Williams and Wilkins, 1991: 196–212.
Emery CF, Leatherman NE, Burker EJ, Maclntyre NR. Psychological
outcomes of a pulmonary rehabilitation program. Chest 1991; 100: 613–
617.
Garntan SL. Chest physical therapy treatment of the patient with chronic
obstructive pulmonary disease. In: Pulmonary Therapy and Rehabilitation,
Principles and Practice. Editor: Haas F, Axen K. 2nd edition. Baltimore,
London: Williams and Wilkins, 1991: 213–236.
Faling Li. Controlled breathing techniques and chest physical therapy in
chronic obstructive pulmonary disease and allied conditions. In: Principles
and Practice of Pulmonary Rehabilitation. Editor: Casabury R, Petty TL.
1st edition. WB Saunders Co. 1993: 167–182.
Donner CF, Howard P. Pulmonary rehabilitation in chronic obstructive
pulmonary disease (COPD) with recommendations for its use. Eur Resp I.
1992; 5: 266–275.
Ferguson CT, Cherniack RM. Management of chronic obstructive pulmo
nary disease. N EngI I Med. 1993; 328: 1017–22.
Brashear RE, Rhodes ML. Pulmonary physiotherapy in: Chronic Obstruc
tive Lung Disease. Clinical Treatment and Management. The CV Mosby
Co. Saint Louis 1978: 196–207.
Rochester DF. Effects of COPD on the respiratory muscles. In: Chronic
Obstructive Pulmonary Disease. Editor: Chemiack NS. 1st edition. Phila
delphia: WBSaunders Co. 1991: 134–57.
Thoman RL, Stoker GL, Ross IC. The efficacy of Pursed lips breathing in
patients with chronic obstructive pulmonary disease. Am Rev Respir Dis.
1966; 93: 100–105.
Casciari RI, Fairshter RD, Harrison A. et al. Effects of breathing retraining
in patients with chronic obstructive pulmonary disease. Chest 1981; 79:
393–398.
Mueller RE, Petty TL, Filley GF. Ventilation and arterial blood gas changes
induced by Pursed lips breathing. I AppI Physiol. 1970; 28: 784–789.
Ingram RH, Schilder DP. Effect ofpursed lips expiration on the pulmonary
pressure flow relationship in obstructive lung disease. Am Rev Respir Dis.
1967; 96: 381–388.
A word may be recalled, a life never
(Schiller)
36
Cermin Dunia Kedokteran No. 114, 1997
HASIL PENELITIAN
Pemeriksaan Kadar IgG dan IgE
pada Penderita Asma Bronkial
yang Menggunakan Prednison
Yovita Lisawati, Bie Tjeng, Rusdi A
Bagian Farmasi Universitas Andalas, Padang
ABSTRAK
Telah dilakukan penelitian untuk mengetahui kadar IgG dan IgE pada penderita
asma bronkhial yang menggunakan prednison. Tes imunodiagnostik yang digunakan
adalah tes presipitasi.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa kadar rata-rata IgG penderita asma bronkhial
yang menggunakan prednison 1332,09 mg/dl, lebih kecil dibandingkan kadar rata-rata
IgG penderita yang tidak menggunakan prednison. Kadar rata-rata 1gE penderita asma
bronkhial yang menggunakan prednison 4224,0.10-5 mg/dl, lebih kecil dibanding kadar
rata-rata IgE penderita yang tidak menggunakan prednison.
PENDAHULUAN
Seseorang yang pernah berkontak dengan antigen tertentu, maka pada kontak herikutnya dengan antigen yang sama
akan menyebabkan respon imunologik sekunder; hal ini merupakan reaksi alami tubuh untuk mempertahankan diri. Pada
keadaan tertentu, reaksi imunologik itu berlangsung berlebihan
atau tidak wajar sehingga menimbulkan kerusakan jaringan.
Reaksi ini disebut reaksi hipersensitifitas(1,2,3).
Salah satu jenis reaksi hipersensitifitas adalah reaksi anafiiaktik. Faktor terpenting yang berperan pada reaksi anafilaktik
ini adalah imunoglobulin E (IgE). Jika molekul antigen berikatan
dengan molekul-molekul 1gB yang terikat pada sel-sel mastosit
atau basofil, dapat mengakibatkan degranulasi sehingga dilepaskan berbagai mediator yang aktif secara farmakologik.
Mediator-mediator yang dibebaskan ini akan mempunyai
dampak langsung pada jaringan. Salah satu rnanifestasinya
adalah asma bronkhial(1,4).
Glukokortikoid adalah golongan obat yang paling efektif
untuk asma bronkhial, meskipun mekanisme kerjanya dalam
mengobati asma belum diketahui. Diperkirakan efeknya sebagai
antiinflamasi, antieosinofilia serta mempertinggi respon reseptor
beta sebagai faktor-faktor yang menunjang keefektifannya(5,6,7).
Prednison merupakan salah satu obat golongan glukokortikoid, biasanya diberikan peroral untuk pengobatan asma
bronkhia1(7). Obat ini selain mempunyai efek terapeutik juga
bekerja menekan respon imun yaitu menekan respon sel B dan
sel T terhadap antigen karena akan menyebabkan kerusakan
imunitas humoral dan seluler(6).
Akhir-akhir ini diperoteh laporan bahwa infeksi virus meningkat pada penderita yang mendapat pengobatan dengan obat
ini(8). Mengingat hal di atas maka kadar IgG dan IgE penderita
asma bronkhial yang menggunakan prednison sebagai terapi
perlu diperiksa dengan metoda presipitasi dengan alat imun
difusi radial.
CARA KERJA
A. Pemilihan sampel
1) Sampet diambil dan penderita yang tetah didiagnosis
mendenita penyakit asma bronkhiat murni dan berusia antara
30-40 tahun; Dan hasil pemilihan diperoleh 20 sampel yang
memenuhi syarat.
2) Sampel yang telah menggunakan prednison berjumtah 11
orang. Prednison yang digunakan dalam bentuk tablet dengan
Cermin Dunia Kedokteran No. 114, 1997
37
dosis 5 mg dan diberikan dalam bentuk campuran dengan efedrin,
CTM (Chiorphenyramini maleas), dan gliseril guaiakolat. Sampel
telah menggunakan prednison dalam pengobatan selama lebih
kurang 1 tahun.
3) Sampel yang digunakan sebagai pembanding diambil dari
penderita asma bronkhial yang tidak pernah mendapatkan
prednison atau obat-obat golongan imunosupresan lainnya.
Sampel pembanding berjumlah 9 orang dan mendapatkan
campuran obat-obat yang sama selain prednison yaitu efedrin,
CTM, dan gliseril guaiakolat.
B. Pengambilan sampel
• Darah pasien asma bronkhial diambil secara intravena
sebanyak 2 ml dengan menggunakan jarum suntik.
• Darah tersebut dimasukkan ke dalam tabung reaksi, kemudian disentrifus selama 10 menit dengan kecepatan 2000 rpm.
• Serum diambil menggunakan pipet, kemudian dimasukkan
ke dalam tabung reaksi lain; tabung ditutup dengan nesco film
dan disimpan dalam lemari pendingin padasuhu 2°C-8°C.
C. Penentuan kadar IgG
1) Pembuatan larutan kontrol untuk plat NOR-Partigen lgG.
Sebagai kontrol untuk plat NOR-Partigen IgG digunakan
Kontrollogen® L and LU.
• Akuades sebanyak 5 ml dimasukkan ke dalam vial
kemudian dibiarkan pada suhu kamar selama 5 menit.
• Kemudian vial digerakkan secara melingkar dengan hatihati untuk melarutkan dan mencampur material kontrol yang
masih menempel pada dinding dan tutup vial.
2) Penentuan kadar IgG
• Tutup plastik dan plat NOR-Partigen IgG dibuka dan plat
dibiarkan terbuka kira-kira 5 menit pada temperatur kamar.
• Kontrollogen® dipipet sebanyak 5 µ1 dan dimasukkan ke
dalam sumur pertama pada plat NOR-Partigen IgG secara tegak
lurus.
• Serum sampel dipipet sebanyak 5 µl dan dimasukkan pada
sumur-sumur selanjutnya pada plat NOR-Partigen secara tegak
lurus.
• Plat ditutup dengan tutup plastik dan diinkubasikan selama
2 hari pada temperatur kamar.
• Diameter presipitasi yang terbentuk diukur dengan menggunakan rol Behring dan kadar IgG ditentukan dengan menggunakan tabel kalibrasi.
D. Penentuan kadar IgE
1) Pembuatan larutan standar untuk plat LC-Partigen IgE
Sebagai standar digunakan IgE standard serum (7700-IU/ml).
• IgE standard serum yang terdapat dalam vial dilarutkan
dengan 0,5 ml akuades.
• Dibuat pengenceran larutan IgE standard serum sesuai
dengan instruksi yang tertera pada plat imunodifusi LC-Partigen
IgE yaitu dengan perbandingan 1:4, 1:2, 1:1.
2) Penentuan kadar IgE
• Tutup plastik dan plat LC-Partigen IgE dibuka dan plat
dibiarkan terbuka kira-kira 5 menit pada temperatur kamar.
• Pada sumur satu sampai tiga dimasukkan larutan IgE stan-
38
Cermin Dunia Kedokteran No. 114, 1997
dard serum dengan perbandingan 1:4, 1:2, 1:1 dan sumursumur selanjutnya diisi dengan serum sampel.
• Larutan standar dan serum sampel masing-masing dipipet
sebanyak 20 µ1 dan dimasukkan ke dalam sumur secara tegak
lurus.
• Plat dibiarkan terbuka selama 30 menit (sampai serum
berdifusi).
• Kemudian dipipet kembali 20 µ1 larutan standar dan serum
sampel tadi dan dimasukkan ke dalam masing-masing sumur
secara tegak lurus.
• Plat dibiarkan terbuka kira-kira 10 sampai 20 menit, kemudian ditutup dengan tutup plastik dan diinkubasikan selama
5 hari pada temperatur kamar.
• Diameter presipitasi yang terbentuk diukur dengan menggunakan rol Behring dan kadar IgE ditentukan dengan menggunakan kurva kalibrasi.
HASIL-HASIL PENELITIAN
Tabel 1.
Hasil penentuan kadar IgG penderita asma bronkhial pada plat
NOR.Partigen IgG
Nomor
lubang
Plat
1
2
3
4
5
6
I
7
8
9
10
11
12
1
2
3
4
5
II
6
7
8
9
10
Keterangan : mm =
mg/dl =
Tabel 2.
Nomor
sampel
Diameter
(mm)
Kadar IgG
(mg/dl)
5,6
6,7
7,0
6,3
5,5
6,4
6,7
7,5
6,6
6,7
6,6
6,5
5,6
6,3
5,9
6,2
5,8
6,2
5,9
6,4
5,9
6,3
1020
1690
1900
1430
963
1500
1690
2260
1630
1690
1630
1560
1020
1430
1190
1370
1130
1370
1190
1500
1190
1430
Kontrol
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
Kontrol
12
13
14
15
16
17
18
19
20
milimeter
miligram/desiliter
Kadar IgG penderita asma bronkhial yang menggunakan
prednison sebagai terapi
No.
Nomor
sampel
Diameter
(mm)
Kadar IgG
(mg/dl)
1
2
3
4
5
6
7
8
9
3
4
8
10
11
13
14
15
16
6,3
5,5
6,6
6,6
6,5
5,9
6,2
5,8
6,2
1430
963
1630
1630
1560
1190
1370
1130
1370
10
11
17
19
5,9
5,9
6,13
Rata-rata
Tabel 3.
1190
1190
1332,09
Kadar IgG penderita asma bronkhial yang tidak menggunakan
prednison
4
16
5,6
2181,6
5
17
6,4
5894,4
6,04
4224,0
Rata-rata
TabeI 6. Kadar IgE penderita asma bronkhial yang tidak menggunakan
prednison
No.
Nomor
sampel
Diameter
(mm)
Kadar IgG
(mg/dl)
No.
1
2
3
4
5
6
7
8
9
1
2
5
6
7
9
12
18
20
6,7
7,0
6,4
6,7
7,5
6,7
6,3
6,4
6,3
1690
1900
1500
1690
2260
1690
1430
1500
1430
Nomor
sampel
Diameter
(mm)
Kadar IgE
(10-5 mg/dl)
1
2
3
4
5
6
7
8
1
5
6
7
9
12
18
20
6,8
6,5
6,5
5,9
5,9
7,0
7,5
7,2
7752,0
6360,0
6360,0
3573,6
3573,6
8680,8
11001,6
9607,2
6,67
1676,67
6,66
7113,6
Rata-rata
Tabel 4.
Hasil penentuan kadar IgE penderita asma bronkhial pads plat
LC-Partigen IgE
Plat
I
II
III
Nomor
lubang
Nomor
sampel
Diameter
(mm)
Kadar IgE
(IU/ml)
Kadar IgE
(10–5 mg/dl)
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
12
Standar 1
Standar 2
Standar 3
1
2
3
4
5
6
7
8
9
5,9
6,5
7,1
6,8
–
–
–
6,5
6,5
5,9
–
5,9
3230
–
–
–
2650
2650
1489
–
909
7752,0
–
–
–
6360,0
6360,0
3573,6
–
2181,6
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
12
Standar 1
Standar 2
Standar 3
10
11
12
13
14
15
16
17
18
5,9
6,5
7,1
6,4
–
7,0
–
6,2
–
5,6
6,4
7,5
2456
–
3617
–
2070
–
909
2456
4584
5894,4
–
8680,8
–
4968,0
–
2181,6
5894,4
11001,6
1
2
3
4
5
Standar 1
Standar 2
Standar 3
19
20
5,9
6,5
7,!
5,6
7,2
909
4003
2181,6
9607,2
Keterangan : 1 IU/ml IgE setara dengan 2,4 ng/ml (24)
Tabel 5.
Kadar IgE penderita asma bronkhial yang menggunakan
prednison sebagai terapi
No.
Nomor
sampel
Diameter
(mm)
Kadar IgE
(10-5 mg/dl)
1
2
3
10
11
14
6,4
5,6
6,2
5894,4
2181,6
4968,0
Rata-rata
Tabel 7.
Hasil pengukuran diameter presipitasi IgE standar serum pada
plat LC-Partigen IgE
Diameter presipitasi (mm)
No.
A
B
C
1
2
3
14
1:2
II
1540
2567
3850
3696
6160
9240
Plat I
Plat II
Plat III
5,9
6,5
7,1
5,9
6,5
7,1
5,9
6,5
7,1
Keterangan : Kadar larutan IgE standar serum = 7700 IU/ml
A = Perbandingan pengenceran IgE standar serum
B = Kadar IgE standar serum (IU/ml)
C = Kadar IgE standar serum (JO-5 mg/dl)
Gambar 1. Kurva kalibrasi IgE standar serum
KESIMPULAN
1) Kadar IgG rata-rata penderita asma bronkhial yang menggunakan prednison sebagal terapi 1332,09 mg/dl, lebih kecil
dibanding dengan kadar IgG rata-rata penderita asma bronkhial
yang tidak menggunakan pednison (p < 0,0 1).
2) Kadar IgE rata-rata penderita asma bronkhial yang menggunakan prednison sebagai ter 4224,0.10-5 mg/dl lebih kecil
dibanding dengan kadar 1gB rata-rata penderita asma bronkhial
Cermin Dunia Kedokteran No. 114, 1997
39
yang tidak menggunakan prednison (p < 0,05).
3) Penggunaan prednison sebagai terapi asma bronkhial
mengakibatkan penurunan kadar IgG, tetapi penurunan yang
terjadi masih dalam batas normal IgG manusia.
SARAN
Disarankan kepada peneliti selanjutnya untuk meneliti
pengaruh penggunaan prednison terhadap kadar imunoglobulin
lainnya.
KEPUSTAKAAN
1.
2.
3.
40
Roitt IM. Essential Immunology, 2nd ed. Oxford: Black Well Scient Publ,
1974.
Kresna SB. Imunologi, Diagnosis dan Prosedur Laboratorium. Jakarta:
Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 1984.
Bratawijaya KG. Imunologi Dasar. Jakarta: Fakultas Kedokteran Uni-
Cermin Dunia Kedokteran No. 114, 1997
versitas Indonesia, 1988.
Mutschler E. Dinamika Obat (Arzneimittelwirkungen), cetakan ke-5,
diterjemahkan oleh MB. Widianto dan AS. Ranti. Bandung: Penerbit ITB,
1991.
5. Miyamoto T, Okuda M. Progress in Allergy and Clinical Immunology,
Volume 2, Kyoto, Proc XlVth Intemat Congr Allergology and Clinical
Immunology. Kyoto, October 13-18, 1991. Gottingen: Hogrefe & Huber
PubI, 1992.
6. Bowman WC, Rand Ini. Textbook of Pharmacology, 2nd ed. Oxford:
Blackwell Publ, 1983.
7. Price SA, Mc Carty Wilson. Patofisiologi, Konsep Klinik Proses-Proses
Penyakit (Pathophysiology Clinical Concepts of Disease Process) Bagian
I, edisi ke-2, cetakan VII, alih bahasa: Adji Dharma, Penerbit Buku
Kedokteran (EGC), Oktober 1989.
8. World Health Organization. Corticosteroids : Danger of Immunosuppression. WHO Drug Information 1992; 6(1): 15.
9. Montefort S, Holgate T. Asthma as an Immunological Disease. Medicine
Intemat, 1991; 4: 3699.
10. Behrman RE, Vaughan VC. Ilmu Kesehatan Anak (Textbook of Pediatrics),
Bagian I, edisi ke-12, Penerbit Buku Kedokteran (EGC), Jakarta, 1988.
11. Arsyad Z. Asma Bronkhial pada Orang Dewasa, Kumpulan Naskah Temu
Ilmiah Hidup Dengan Alergi Dan Asma, Padang, 27 Mel 1989.
4.
HASIL PENELITIAN
Risiko Relatif Lingkungan Sosial
dan Kimia terhadap Kejadian
Penyakit ISPA – Pneumonia
di Indramayu, Jawa Barat
Sukar, Agustina Lubis, A. Tri Tugaswati, Athena A, Kasnodihardjo
Pusat Penelitian Ekologi Kesehatan, Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan
Departemen Kesehatan RI, Jakarta
PENDAHULUAN
Lingkungan dalam ruang (indoor) meliputi lingkungan
psikososial, lingkungan fisik, lingkungan kimia dan lingkungan
biologi. Lingkungan psikososial berkaitan erat dengan masalahmasalah perilaku dan hubungan antar keluarga. Sedangkan
lingkungan kimia berkaitan erat dengan pencemaran udara
dalam ruang seperti debu dan gas(1).
Manusia merupakan bagian integral dan ekosistem, sehingga perubahannya akan mempengaruhi komponen lingkungan dan selanjutnya akan mempengaruhi kesehatan manusia.
Perubahan kondisi Iingkungan tersebut akan menyebabkan
terjadinya transisi demografi, sosial ekonomi dan budaya. Dalam
proses interaksi ini, manusia walaupun dilengkapi dengan mekanisme adaptasi, namun prosesnya, di samping berjalan relatif
lambat, juga mengenal batas toleransi. Di luar batas itu manusia
akan jatuh sakit. Keadaan sehat (kecuali keadaan kelainan
bawaan sejak lahir) merupakan resultante (hasil) interaksi antara
manusia dan lingkungannya; selama interaksi tersebut seimbang,
tidak akan timbul masalah kesehatan. Mengingat kondisi sehat
dan sakit amat dipengaruhi oleh keadaan lingkungan, maka bila
terjadi perubahan lingkungan akan terjadi pula perubahan proses
interaksi yang akan mempengaruhi pola kesehatan/penyakit
sekelompok masyarakat yang berada di dalamnya. Penyakitpenyakit akibat lingkungan akan meningkat di masa mendatang
seperti penyakit-penyakit karena polusi udara dan pencemaran
oleh limbah industri(2). Gangguan penyakit akibat lingkungan
yang tidak memenuhi syarat bisa memiliki gejala jelas atau
spesifik, maupun keluhan-keluhan non spesifik seperti sindrom.
Salah satu gangguan tersebut adalah infeksi saluran pernapasan
akut (ISPA)(2,3).
Penelitian dampak pencemaran dalam ruang terhadap kesehatan telah dilakukan di Cina, sampai akhir tahun 1970 telah
dipublikasi lebih dan 100 makalah. Studi epidemiologi secara
bertahap tersebut dilakukan untuk mengevaluasi dampak
pencemaran udara dalam ruang (indoor) terhadap kesehatan
manusia. Pada studi ini pemakai bahan bakar gas dianggap sebagai kontrol dan sebagai kasus peinakai bahan bakar batubara.
Dan pengamatan beberapa parameter fungsi imunologik anak
sekolah tingkat pertama pada pemakai bahan bakar batubara
terlihat beberapa penurunan seperti penurunanjumlah sel darah
putih (13%) (p < 0,05), penurunan Iisoenzim saliva 13% dan
perubahan limposit 50%; sedang kadar COHb darah wanita pada
pemakai bahan bakar batubara yang menggunakan cerobong
3% dan tanpa cerobong 4,3%(4,5).
Dalam penelitian ini akan dilihat besarnya risiko relatif
aktifitas memasak, asap rokok dan pencemaran udara dalam
ruang terhadap kejadian penyakit ISPA. Tujuan dilakukan
penelitian ini untuk mengetahui dampak pemakai bahan bakar
kayu terhadap kejadian ISPA-pnemonia.
METODOLOGI
1) Daerah Penelitian
Penelitian kasus-telaah” ini dilakukan di Kabupaten
Indramayu, Jawa Barat. Laporan Dinas Kesehatan Indramayu
tahun 1992/1993 menunjukkan bahwa prevalensi ISPA pada
bayi/anak balita 10,7% dan menempati urutan pertama dalam hal
penyakit ISPA di Propinsi Jawa Barat. Lokasi studi di
Kecamatan Sliyeg dan Gabus Wetan. Ke dua daerah tersebut
menempati urutan teratas dalam hal penyakit ISPA.
2) Sasaran Penelitian
Sasaran penelitian adalah bayilanak balita yang menderita
ISPA-pnemonia berdasarkan pelaporan puskesmas setempat.
Pelaporan berdasarkan hasil pencatatan yang dilakukan oleh
petugas paramedis dan puskesmas kecamatan dan puskesmas
pembantu terhadap bayi/anak balita yang menderita ISPApnemonia. Kniteria petugas ygng melakukan pencatatan adalah
mereka yang telah mendapat pendidikan/pelatihan tentang ISPA.
Cermin Dunia Kedokteran No. 114, 1997
41
3) Jumlah Sampel
Berdasarkan pelaporan/pencatatan yang dilakukan Puskesmas Kecamatan Sliyeg bulan Februari 1993, jumlah penderita
ISPA di daerah tersebut 30 bayi/anak balita. Dan jumlah tersebut
ditentukan kasus meliputi 30 bayi/anak balita pnemonia dan 30
bayi anak balita ISPA. Selanjutnya sebagai kontrol dipakai bayi/
anak balita sehat yang bertempat tinggal di daerah yang sama.
Untuk setiap kasus penderita pnemonia diambil kontrol 2 bayi/
anak balita yang sehat. Sedang untuk setiap kasus penderita ISPA
diambil 1 bayi/balita yang sehat. Dengan demikian jumlah
sampel setiap wilayah puskesmas dapat diperinci sebagai berikut; 30 kasus pnemonia + 60 kontrol + 30 kasus ISPA + 30
kontrol = 150 bayi/balita. Untuk dua wilayah puskesmas = 300
bayi/balita.
4) Jenis Data
Data yang dikumpulkan adalah aktifitas di dapur dan beban
pencemaran dalam ruang. Data aktifitas di dapur meliputi: lama
tinggal, adanya ventilasi, adanya perokok dalam rumah dan
aktifitas memasak (memasak sendiri, lama dan frekuensi memasak) serta kebiasaan membawa bayi/anak balitanya ke dapur
sambil memasak. Data tentang beban pencemaran di dalam ruang
meliputi; kadar debu dan gas-gas (seperti : SO2, NO2, CO,
HCHO, dan NH3).
5) Metode dan Alat Pengumpul Data
Data aktifitas di dapur dikumpulkan melalui wawancara
menggunakan kuesioner. Wawancara dilakukan dengan cara
Inengunjungi rumah responden. Data beban pencemaran dalam
ruang dalam hal ini debu dan gas didapat melalui pengambilan
sampel menggunakan vacuum pump; selanjutnya analisis debu
dengan metode gravimetri dan analisis gas dengan metode
spektrofotometri(6).
6) Pengolahan dan Analisis Data
Pengolahan data dan analisis data dikerjakan dengan modul tabulasi rnenggunakan paket program D base dan analisis
risiko relatif (RR) menggunakan tabel 2 x 2(7,8,9).
HASIL
Hasil penelitian tentang aktifitas memasak dapat dilihat pada
Tabel 1. Tabel tersebut selain menyajikari aktifitas memasak
(memasak sendiri, frekuensi dan lama meinasak serta kebiasaan
membawa bayi/anak balitanya ke dapur sambil memasak) juga
menyajikan parameter lain yang menunjang informasi aktifitas
memasak yaitu meliputi lama tinggal, adanya ventilasi di dapur,
adanya perokok di dalam rumah.
Lama tinggal yang dapat digunakan sebagai indikator lama
pajanan di lokasi penelitian menunjukkan bahwa ibu-ibu atau
responden baik mereka termasuk kelompok kasus maupun kelompok kontrol telah tinggal di daerah penelitian relatif cukup
lama yaitu sekitar 5 tahun bahkan ada yang lebih. Adanya
ventilasi di dapur yang dapat digunakan sebagai indikator
pergerakan udara di dalam ruang menunjukkan bahwa pada
kelompok rumah kasus 57,4% dan rumah kelompok kontrol
52,8%. Asap rokok yang diperkirakan dapat menimbulkan risiko relatif terhadap penyakit ISPA-pnemonia, menunjukkan
42
Cermin Dunia Kedokteran No. 114, 1997
Tabel 1.
Keterangan responden yang berhubungan dengan aktifitas di
dapur
Status
Total
Keterangan
Kasus
n
Lama tinggal
> 5 tahun
≤ 5 tahun
Ada perokok dalam rumah
Ya
Tidak
Ada ventilasi dapur
Ya
Tidak
Memasak sendiri
Ya
Tidak
Frekuensi masak
Satu kali
z 2 kali
Lama memasak
< 1 jam
≥ 1 jam
Anak dibawa ke dapur
Selah
Tidak selalu
Tidak pemah
%
Kontrol
n
%
n
%
59 40,7% 120 52,9% 179
86 59,3% 107 47,1% 193
48 1%
51,8%
31 27 4% 52 30,1% 83
91 72,6% 121 69,9% 212
28,8%
71,9%
64 57,4% 103 52,8% 167
48 42,6% 92 47,2% 140
544%
456%
138 99,3% 217 99,1% 355
1
07%
2 0,9%
3
99,2%
0,8%
42 294%
56 24,7% 98
101 70,6% 171 75,3% 272
26,5%
73,5%
13 9,2% 12 5,4% 25
128 90,8% 209 94,6% 337
6,9%
93,1%
50 35 7%
50 35,7%
40 28,6%
50 22,9% 100
76 34,9% 126
92 42,2% 132
27,9%
35,2%
36,9%
bahwa rumah kelompok kásus terdapat 27% perokok (smoker)
dan rumah kelompok kontrol 30%, yang tidak merokok (non
smoker) di ruang dapur dan ruang tamu lebih tinggi baik di kelompok kasus maupun kelompok kontrol.
Secara umum dapat dikatakan bahwa kegiatan memasak
dilakukan sendiri oleh responden; hal ini terlihat dan sejumlah
139 responden pada kelompok kasus hanya 1 (satu) yang tidak
melakukan memasak sendiri, sedangkan pada kelompok kontrol
dan 219 responden hanya 2 (dua) yang tidak melakukan memasak sendiri. Sebagian besar responden dalam satu hari
memasak dua kali. Sewaktu memasak responden yang selalu
membawa bayi/anak balitanya ke dapur pada kelompok kasus
sebanyak 35,7% dan pada kelompok kontrol 22,9%. Sedangkan
responden yang tidak pernah membawa bayi/anak balita ke dapur
pada kelompok kasus sebanyak 28,6% dan kelompok kontrol
42,2%. Lama waktu memasak yang dapat digunakan sebagai
indikator lama pajanan di dalam ruang,menunjukkan bahwa pada
umumnya hanya sebagian kecil responden dengan lama memasak < 1 jam. Lama memasak dalam waktu ≥ 1 jam pada kelompok kasus sebanyak 90,8% dan kelompok kontrol 94,6%.
Hal ini menunjukkan bahwa lama memasak (pajanan) telah
cukup untuk bahan evaluasi.
Hasil analisis kualitas udai dalam ruang disajikan pada
Tabel 2. Kualitas udara dalam ruang yang dianalisis pada penelitian ini meliputi parameter karbon monoksida (CO), nitrogen dioksida (NO2) debu respirable suspended particulate
(RSP), sulfur dioksida (SO2) formaldehida (HCHO), amonia
(NH3) kelembaban dan suhu.
Tabel 2.
Kadar rata-rata beberapa pencemar, suhu dan kelembaban dalam dapur dan
ruang tamu rumah responden di Kecamatan Gabus Wetan dan Kecamatan Sliyeg,
Indramayu
Dapur
No.
1
2
3
4
5
6
7
8
CO (ppm)
NO2 (pg/m3)
Debu (pg/m3)
SO, (pg/m3)
HCHO (ppm)
NH3 (ppm)
Kelembaban (%)
Suhu (°C)
n
Kasus
n Kontrol n
69
45
84
32
3
8
91
91
2.39 95 2.19
6.75 66 6.00
742.6 80 609.5
8.53 47 8.69
0 005 3 0.036
11.44 15 2 86
78.98 111 78.85
30
111 30.2
Analisis parameter CO, NO2 dan debu RSP dilakukan di
ruang dapur dan ruang tamu, baik kelompok kasus maupun kelompok kontrol. Hasil analisis menunjukkan adanya perbedaan
antara kelompok kasus dan kelompok kontrol, baik di ruang tamu
maupun ruang dapur. Hal ini menunjukkan adanya penyebaran
CO ke tuar rumah.
Analisis parameter SO2, NH3 dan HCHO dilakukan pada
kelompok kasus dan kelompok kontrol, namun hanya di ruang
dapur karena keterbatasan alat dan bahan kimia.
Pengukuran kelembaban dan suhu yang merupakan indikator cuaca dalam ruang dilakukan di ruang dapur dan ruang
tamu pada rumah kelompok kasus dan kelompok kontrol,
masing-masing rata-rata 78,89% dan 78,85%. Sedangkan kelenibaban di ruang tamu rumah kelompok kasus dan kelompok
kontrol masing-masing rata-rata 79,4% dan 79,8%. Suhu ratarata di ruang dapur dan ruang tamu pada rumah kelompok kasus
dan kelompok kontrol tidak berbedajauh yaitu antara 29–30°C.
Analisis statistik risiko relatif (RR) untuk beberapa para
meter aktifitas memasak dan kadar pencemar dalam ruang dapur
dan ruang tamu disajikan pada Tabel 3. Hasil perhitungan menunjukkan bahwa untuk parameter lama tinggal dan adanya
perokok dalam ruang nitai RR < I. Sedangkan untuk parameter
memasak sendiri, frekuensi memasak, lama memasak dan kebiasaan selalu dan tidak selalu membawa bayi/anak balitanya
ke dapur sambil memasak menunjukkan nilai RR> 1.
Tabel 3.
Ruang Thmu
Parameter
Analisis statistik perhitungan risiko retatif
Parameter
Lama tinggai
Ada perokok di rumah
Ada ventilasi dapur
Memasak sendiri
Frekuensi masak
Lama memasak
Selalu membawa anak ke dapur
Tidak selalu membawa anak ke dapur
CO
NO,
Debu RSP
Risiko Relatif
Kasus
Kontrol
0,61
1
0,78
1
1,2
1
1,3
1
1,3
1
1,8
1
2,3
1
1,5
1
0,97
1
1,10
1
0,80
1
Analisis ketiga parameter kualitas udara dalam ruang
meliputi parameter CO, NO dan debu RSP. Hasil perhitungan
Kasus
Rekomendasi
n Kontrol WHOUOIH
34 1 15 69
44 2.20 67
78 213.70 78
–
–
–
–
–
–
–
–
–
91 79.4 91
91 29.0 91
1.02
1.97
137,1
–
–
–
79.8
29.1
10
150
60 – 90
40 – 60
100 – 150
–
–
–
menunjukkan bahwa parameter NO2 nilai RR> 1, sedangkan
parameter CO dan debu RSP < 1.
PEMBAHASAN
Infeksi saluran pernapasan meliputi infeksi sa1ur pernapasan bagian atas (riasopharyngitis, otitis media, pharingotonsilitis dan epiglottitis) dan saluran pernapasan bagian bawah
(laryngitis, tracheobronchitis, bronchiolitis dan pneumonia).
Pneumonia adalah suatu penyakit paru-paru bagian bawah
yang terjadi pada alveoli dan menyebar ke bagian lain paru-paru.
Secara klinis pneumonia pada lanjut usia (>65 tahun) hampir
selalu disertai batuk dan napas cepat (tachypnea) dan tarikan
dada ke dalam. Sedangkan pada bayi dan anak balita sering
tidak disertai batuk(12,13).
Pneumonia umumnya disebabkan oleh bakteria (Pneumococcus, Hemophilus influenzae) dan virus (respiratory syncytial
virus, influenza, parainfluenza, measles dan adenovirus).Di negara sedang berkembang dinyatakan bahwa lebih dan 75%
ISPA pneumonia menyebabkan kematian(13).
Faktor risiko pneumonia antara lain umur < 5 tahun (khususnya bayi/anak umur < 2 tahun) dan orang tua umur ≥ 65
tahun (laki-laki), gizi kurang, lahir dengan berat badan rendah,
tidak mendapat ASI sewaktu kecil, asap rokok dan pencemaran
udara (indoor maupun outdoor), kepenuh sesakan (crowding),
imunisasi kurang lengkap, dan kekurangan vitamin A(12). Dari
beberapa faktor risiko tersebut yang akan diamati di sini adalah
risiko relatiflingkungan psikososial (aktifitas memasak) dan lingkungan kimia (asap rokok dan pencemaran udara dalam ruang).
Analisis data tentang Iama tinggal RR = 0,61, hal ini menunjukkan bahwa responden pada kelompok kasus belum
nienerima risiko dibandingkan kelompok kontrol. Begitu juga
faktor anggota rumah tangga yang perokok (smoker) RR = 0,78.
Dua data tersebut menunjukkan bahwa pada penelitian ini belum ada hubungan antara lama tinggal di lokasi dan adanya
perokok dalam ruang terhadap kejadian penyakit ISPA-pneumonia. Di Amerika Serikat telah ditetapkan bahwa rokok dengan
asapnya merupakan penyebab kanker paru dan kanker laring.
Kenaikan risiko terjadinya kanker laning berhubungan langsung
dengan jumlah rokok dan lama merokok. Dengan mengetahui
jumlah rokok yang dihisap, akan dapat diperkirakan jumah
nikotin atau klelet yang melekat di selaput paru atau mukosa
laring. Sebenarnya nikotin (polisklik aromatik hidrokarbon =
Cermin Dunia Kedokteran No. 114, 1997
43
PAH) dan rokok bukan merupakan zat karsinogenik secara
langsung, tetapi masih ada zat lain yang sangat berpengaruh
terhadap proses terjadinya kanker, yaitu zat yang berasal dari
tubuh sendiri. Zat tersebut adaah enzirn Aril Hidrokarbon
Hidroksilase (AHH). Enzirn inilah yang dapat mengubah dan
mengaktifkan PAR menjadi zat yang karsinogen(14,15,16).
Hampir seluruh responden ibu rumah tangga baik kelompok
kasus maupun kelompok kontrol melakukan kegiatan mernasak
sendiri sehingga, selama mernasak responden telah terpajan oleh
pencernar yang dihasilkan dan hasil pembakaran kayu. Kebiasaan mernasak di dapur sambil membawa bayi/anak balita,
pada kelompok kasus rata-rata 35,7% dan di rurnah kelompok
kontrol 22,9%, sedangkan responden yang tidak selalu membawa
bayi/anak balitanya ke dapur sambil memasak pada kelompok
kasus sebanyak 35,7% dan pada kelompok kontrol 34,9%.
Walaupun lama memasak antara responden kelompok kasus dan
kelompok kontrol tidak ada perbedaan yang bermakna, akan
tetapi seringnya membawa anak ke dapur, dapat menyebabkan
bayl/balita menenima risiko terkena penyakit ISPA lebih tinggi.
Pada penelitian ini ditemukan bahwa pada kelompok kasus
kebiasaan responden selalu dan tidak selalu membawa bayi/anak
balitanya ke dapur sambil memasak lebih tinggi dibandingkan
dengan kelompok kontrol. Hal tersebut rnenunjukkan adanya
hubungan kenaikan risiko antara kebiasaan memasak dengan
kejadian penyakit ISPA-pneumonia. Selain itu hasil perhitungan
risiko relatif bahwa RR> 1. Hal ini menunjukkan bahwa bayi/
anak balita yang selalu dibawa ke dapur sambil memasak menerima risiko sebesar 2,3 kali dan bayi/anak balita yang tidak
selalu dibawa ke dapur sambil memasak menerima risiko sebesar
1,5 kali dibandingkan dengan bayi/anak balita yang tidak pernah sama sekali dibawa ke dapur sambil memasak.
Membandingkan hasil analisis kualitas udara dalam ruang
dengan kadar yang direkomentasikan oleh WHO hanya kadar
debu RSP yang telah jauh melampaui. Namun terukurnya beberapa pencemar udara seperti CO, NO2, SO2, NH3 dan formal
dehida dalarn ruang mengindikasikan tidak adanya pergerakan
udara, dengan kata lain ventilasi kurang memenuhi syarat. Hal
ini dapat memberikan kontribusi terhadap terjadinya penyakit
ISPA. Hasil pengukuran debu RSP di ruang dapur pada kelompok
kasus rata-rata 742,6 µg/m3 dan kelompok kontrol 609,5 µg/m3.
Sedangkan di ruang tamu kelompok kasus didapatkan kadar
rata-rata debu RSP sebesar 213 µg/m dan kelompok kontrol
131 µg/m3 Kadar debu RSP yang direkomendasikan WHO
adalah antara 60–90 µg/m3
Analisis risiko relatif untuk parameter NO2 telah memberikan risiko relatif, walaupun masih kecil. Yaitu kelompok kasus
menenima risiko relatif 1,1 kali dibandingkan kelompok kontrol.
Namun untuk parameter CO dan debu RSP juga telah meminta
perhatian karena nilai RR telah mendekati 1.
Suhu dan kelembaban di ruang dapur dan ruang tamu antara
rumah kelompok kasus dan kontrol yang ditemukan rata-rata
44
Cermin Dunia Kedokteran No. 114, 1997
sama, hal ini menunjukkan bahwa tidak terdapat penbedaan
cuaca pada lokasi tersebut.
KESIMPULAN DAN SARAN
Dari hasil perhitungan statistik dan pembahasan dapat disimpulkan bahwa untuk parameter lama tinggal di lokasi dan
adanya perokok dalam ruang yang merupakan kontribusi dan
informasi tentang aktifitas memasak pada penelitian ini belum
memberikan risiko relatif yang berarti. Namun adanya ventilasi
di dapur dan aktifitas memasak telah memberikan risiko relatif,
walaupun masih kecil, terutama kebiasaan membawa bayi/anaknya ke dapur sambil memasak. Walaupun pencemaran udara
dalam ruang (indoor) belum memberikan risiko relatif namun
dengan terdeteksinya pencemaran tersebut telah membuktikan
ada toksisitas di dapur. Kelihatannya ada hubungan antara
kebiasaan membawa bayi/anak balitanya ke dapur sambil memasak dengan beban pencemaran udara dalam ruang.
KEPUSTAKAAN
1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.
8.
9.
10.
11.
12.
13.
14.
15.
16.
Kusnoputranto H. (Ed). Kesehatan Lingkungan. Fakultas Kesehatan
Masyarakat. Univ. Indonesia, Jakarta, 1983.
Achmadi UF. Lingkungan Kerjadan Produktivitas tujuan Utama terhadap
Sindroma Pencakar Langit (Sick Building), Fakultas Kesehatan Masyarakat, Univ. Indonesia, Jakarta, 1992.
Perry R. The Role of Indoor Air Quality in The Environmental Equation.
Seminar Indoor Air International (tAt).
GEMSIUNEP. Indoor Air Pollution. Urban Air Pollution, Environment
Library, 4. Geneva, 1992,
Chen BH, Hong CJ, Pandey MR, Smith KR. Indoor Air Pollution in Developing Countries in: World Health Statistics 1990; 43(3).
Yanagisawa Y, Nishimura M. A Badge-Type Personal Sampler For
Measurement of Personal Exposure to NO, and NO in Ambient Air. Environment International 1982, Vol. 8.
Beaglehole R, Bonita R, Kjellstrom T. Basic Epidemiology, World Health
Organization, Geneva, 1993.
WHO. Health Research Methodology, WHO Regional PublicationsWestern Pacific Education in Series No. 5, Manila, 1992.
Wawolumava C. Metodologi Epidemiologi Penelitian Lingkungan, Maj
Kes Masyindon 1991;XIX: 11.
WHO. World Health Statistics. 1990; 43 (3).
WHO. World Health Statistics. 1991; 44 (3).
Stansfield SK, Shepard DS. Acute Respiratory Infection, in: Disease
Control Priorities in Developing Countries, Published for the World Bank.
Oxford University, Press.
DitJen PPM & PLP. Pedoman Pemberantasan Penyakit Infeksi Saluran
Pernapasan-Akut (ISPA). Departemen Kesehatan RI, Jakarta, 1992.
Surjadi C. Respiratory Diseases of Mothers and Children and Environ mental Factors among Households in Jakarta. Environment and Urbanization, 1993; 5 (2).
Sears MR. in: Kalmer MA, Barnes PJ, Persson CGA. Asthma its pathology and treatment, Marcel De Inc. New York, 1991.
Bambang SS. Beberapa Aspek Pencegahan Kanker Laring, Wahana Medik
1994; VI (23).
HASIL PENELITIAN
Pengobatan Infeksi Saluran
Pernapasan Akut pada Balita
di Jawa Barat
Enny Muchlastriningsih SKM
Pusat Penelitian Penyakit Menular, Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan
Departemen Kesehatan RI, Jakarta
PENDAHULUAN
Infeksi Saluran Pernapasan Akut (selanjutnya disingkat
ISPA) masih merupakan masalah kesehatan masyarakat yang
penting di Indonesia karena menyebabkan kematian bayi dan
balita yang cukup tinggi. Dan seluruh kematian balita, proporsi
kematian karena ISPA mencakup 20–30% dan sebagian besar
disebabkan karena pneumonia. Hasil Survei Kesehatan Rumah
Tangga (selanjutnya disingkat SKRT) 1986 menunjukkan 42,2%
bayi dan 40,6% balita yang sakit disebabkan ISPA. Data Puskesmas (1986) menunjukkan bahwa 5 1,0% bayi dan 43,1% balita
pengunjung puskesmas menderita ISPA. Pada SKRT 1992 ditemukan bahwa proporsi kematian bayi akibat ISPA adalah
36,0% di golongan 1–4 tahun adalah 13,0% sedang pada kelompok umur balita berkisar 20–30%, sebagian besar disebabkan
oleh pneumonia.
Untuk membantu menurunkan angka kematian balita karena pneumonia, Sub. Dit. P2ISPA Dit. Jen. PPM-PLP telah
membuat Buku Pedoman Pemberantasan Penyakit ISPA. Dalam
buku tersebut disebutkan salah satu tujuan program ISPA yaitu
menurunkan penggunaan antibiotik dan obat batuk yang kurang
tepat pada pengobatan penyakit ISPA.
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui obat-obatan yang
dipakai dalam pengobatan ISPA di Jawa Barat.
• Jumlah responden : 400 ibu balita (200 orang daerah pelatihan dan 200 orang daerah kontrol).
• Daerah : untuk daerah pelatihan diambil Kabupaten Cianjur
dan Kabupaten Sumedang sebagai daerah kontrol. Kedua daerah
ini dipilih karena mempunyai angka pneumonia tinggi untuk
daerah Jawa Barat.
• Sampling: untuk ibu balita dipilih secara acak sederhana
dan 4 puskesmas (2 dan daerah pelatihan dan 2 dail daerah
kontrol); diwawancarai secara house to house mengenai pengobatan yang dilakukan terhadap anaknya yang menderita ISPA,
baik pengobatan tradisional maupun modern, yang dibeli sendiri
maupun didapat dan puskesmas.
Kriteria pneumonia menurut Buku Pedoman ISPA Dit. Jen.
PPM-PLP adalah sebagai berikut:
• Pneumonia : Penderita ISPA yang disertai napas cepat
(umur 2–12 bulan: 50 kali per menit atau lebih, umur 1–4
tahun; 40 kali per menit).
• Pneumonia berat : PenderitalSPA yang disertai napas
sesak yaitu adanya tarikan dinding dada ke dalam.
Variabel yang diukur dalam penelitian ini adalah variabel
tindakan ibu dalam memberi pengobatan pada anaknya.
Penelitian dilakukan dua kali yaitu sebelum pelatihan dan
3 bulan sesudah pelatihan.
BAHAN DAN CARA KERJA
Penelitian deskniptif mencakup data yang dikumpulkan melalui kuesioner terhadap ibu balita.
Cara sampling:
• Kriteria: Ibu yang mempunyai anak balita (selanjutnya disebut ibu balita); diperkirakan 10% dan masyarakat mempunyai
anak balita.
HASIL DAN DISKUSI
Ditemukan 48 macam obat tradisional yang dipakai ibu balita dalam usaha untuk mengatasi demam anaknya, baik berupa
bahan tunggal (misalnya bawang merah) maupun bahan campuran (bawang merah + minyak kelapa). Sedang untuk mengatasi batuk ada 32 macam, baik berupa bahan tunggal (misalnya
madu), maupun bahan campuran (misalnya madu + kencur).
Cermin Dunia Kedokteran No. 114, 1997
45
Dalam hal pengobatan modern (dalam hal ini obat keluaran
pabrik) ditemukan 50 macam obat untuk mengatasi demam dan
55 macam obat untuk mengatasi batuk.
Obat tradisional yang dipakai untuk pengobatan demam
dapat dilihat pada Tabel 1.
Tabel 1.
Persentase 10 macam obat tradisional yang terbanyak dipakai
ibu balita dalam mengatasi demam anaknya di Kabupaten
Cianjur dan Sumedang, 1992–1993.
Cianjur (%)
Sumedang (%)
Macam obat
I (n=64) II (n=117) I (n=27) II (n=29)
Bawang mesh + minyak
26,56
28,20
29,63
31,03
kelapa
Bawang mesh + asam
3,12
3,41
22,22
10,34
Bawang mesh
4,68
–
14,81
13,79
Daun simugu
14,06
2,56
–
–
Bawang mesh + asam +
9,37
–
–
17,24
minyak kelapa
Bawang mesh + minyak
4,69
2,56
–
–
kayu putih
Labu slam
1,56
4,27
–
–
Daun paria + dawn cengek
–
13,67
–
–
Lulur putih telur
–
14,06
–
3,45
Jeruk nipis + kecap
–
5,98
–
3,45
Lain–lain*
35,96
25,29
33,34
20,70
Total
100,00
100,00
100,00
100,00
Catatan :
I = Penelitian pertama, II = Penelitian kedua
Lain-lain* : bahan lain, di antaranya: kunyit, daunkatuk, daun dadap, kuning
telur, kentang, garam, dan lain-lain baik sebagai bahan tunggal
maupun campuran.
Terlihat bahwa Bodrexin® banyak dipakai sebagai penurun
demam, baik pada penelitian pertama maupun kedua di kedua
kabupaten, menyusul parasetamol dan Inzana®. Di sini juga
terlihat pemakaian antibiotik (Kemicetin®, ampisilin dan kotrimoksasol); tidak diketahui apakah balita itu hanya demam atau
disertai gejala lainnya sehingga memerlukan antibiotik, tentu
hal ini memerlukan penelitian lebih lanjut.
Tabel 3.
Persentase 10 macam obat tradisional yang dipakai ibu balita
dalam pengobatan batuk anaknya, di Kabupaten Cianjur dan
Kabupaten Sumedang, 1992–1993.
Cianjur (%)
Sumedang (%)
Macam obat
I (n=38) H (n=171) I (n=4)
II (n=37)
Jeruk nipis + kecap
21,05
57,31
–
78,38
Madu + jeruk nipis + kecap
–
13,45
–
–
Madu +jeruk nipis
–
5,26
–
16,22
Daun sirih
5,26
7,60
–
–
Daun karuk + daun katuk
–
6,43
–
–
Daun karuk
13,16
1,75
–
–
Daun dadap
18,42
–
–
–
Bawang putih
–
3,51
–
–
Madu + kencur
7,89
–
–
–
Daunkatuk
–
1,17
–
–
Lain–lain
34,22
3,52
100,00
5,40
Total
100,00
100,00
100,00
100,00
Catatan:
I = Penelitian pertama, II = Penelitian kedua
Lain-lain = bahan lainnya misalnya : daun paria, garam, bawang merah,
asam, akar hajere, baik sebagai bahan tunggal maupun campuran
Ternyata bawang merah + minyak kelapa paling banyak
dipakai di kedua daerah baik pada penelitian pertama maupun
kedua dibanding bahan Iainnya (Tabel 1), mungkin memang
cainpuran dua bahan tersebut efektif untuk pengobatan demam;
hal ini tentu menarik untuk diteliti lebih lanjut.
Pada Tabel 2 dapat dilihat jenis obat modern yang banyak
dipakai ibu balita dalam mengobati demam anaknya.
Dari Tabel 3 terlihat jeruk nipis + kecap mempunyai persentase terbesar di kedua kabupaten dalam pengobatan batuk oleh
ibu balita; untuk mengetahui secara jelas khasiat campuran keduanya tentu diperlukan penelitian lebih lanjut, sehingga dapat
menolong masyarakat luas dengan obat batuk yang relatif lebih
murah.
Tabel 4 menunjukkan pemakaian obat modern dalam
peng-obatan batuk oleh ibu balita.
Tabel 2.
Tabel 4.
Persentase 10 macam obat modern terbanyak yang dipakai ibu
balita dalam pengobatan demam anaknya, di Kabupaten
Cianjur dan Kabupaten Sumedang, 1992–1993.
Cianjur (%)
Persentase 10 macam obat modern yang dipakai ibu balita dalam
pengobatan batuk anaknya, di Kabupaten Cianjur dan Kabupaten Sumedang, tahun 1992–1993.
Cianjur (%)
Sumedang (%)
Macam obat
I (n=194) II (n=200) I (n=200) II (n=200)
Bodrexin®
Inzana®
Parasetamol
Kemicetin®
Contrexin®
Ampisilin
Termorex®
Kotrimoksasol
Fiutamol®
Panadol®
Lain–lain
Total
24,74
22,16
9,00
8,76
7,22
4,64
4,12
1,04
1,03
–
17,29
100,00
10,50
6,00
58,00
3,00
7,50
4,00
6,00
2,50
–
–
2,50
100,00
13,50
14,00
38,00
–
6,00
3,50
1,00
1,50
4,00
5,50
13,00
100,00
10,50
8,50
63,00
–
3,00
1,00
–
0,50
2,00
6,50
5,00
100,00
Catatan :
I = Penelitian pertama, II = Penelitian kedua
Lain-lain = obat lain: Komix®, Cafenol®, Tarakol®, Anak Sumang®,
Procold®, Laserin®, Aspilet®, Hongsam®, dan lain-lain.
46
Sumedang (%)
Macam obat
Cermin Dunia Kedokteran No. 114, 1997
I (n=136) II (n=168) I (n=177) II (n=184)
Obat Batuk Putih
Laserin®
Obat Batuk Hitam
Ampisilin
Komix®
Parasetamol
OBB
Konidin®
Kotrimoksasol
Kemicetin
Lain-lain
Total
16,91
21,32
13,24
4,41
7,35
1,47
4,41
5,15
1,47
6,62
17,65
100,00
22,02
16,67
7,74
11,90
5,95
13,10
6,55
3,57
4,76
2,38
5,36
100,00
42,94
15,82
4,52
5,08
2,82
1,69
1,13
2,26
1,69
–
22,05
100,00
55,98
13,59
7,07
1,63
0,54
2,17
2,17
1,09
2,17
–
13,59
100,00
Catatan:
I = Penelitian pertama, II = Penelitian kedua
Lain-lain = Di sini termasuk obat-obatan lainnya, misalnya: Vick Formula
44®, Cohistan®, Ikadril®, Decolsin®, Bisolvon®, dan lain-lain.
Pada Tabel 4 terlihat Obat Batuk Putih, Laserin®, dan Obat
Batuk Hitam, merupakan obat-obatan yang terbanyak dipakai
ibu balita dalam menangani batuk anaknya, hal ini tentu menarik
diteliti lebih lanjut mengenai efektifitas dan nilai ekonomisnya
untuk masyarakat. Di sini terlihat juga pemakaian antibiotik,
tidak jelas apakah khusus untuk pengobatan batuknya atau ada
komplikasi lainnya yang memerlukan antibiotik.
Pada penelitian ini juga ditemukan, ibu balita terbanyak
mendapat pengobatan/obat dari Puskesmas (untuk ISPA
ringan : 52,2–74,7%, untuk pneumonia: 29,6–59,4%), Dokter
praktek (ISPA ringan : 7,3–19,3%, pneumonia: 17,3–59,7%),
Rumah Sakit (ISPA ringan: 1,0–5,8%, pneumonia: 1,0–24,7%).
Selain itu ibu balita juga mendapatkan obat dan toko/warung
obat, bidan, perawat, dan kader kesehatan. Melihat hal ini maka
Puskesmas masih merupakan ujung tombak pelayanan kesehatan bagi masyarakat luas, semua ini harus diimbangi dengan
prasarana dan sarana yang memadai.
KESIMPULAN DAN SARAN
1) Di samping obat-obatan modern, obat tradisional juga masih
banyak digunakan masyarakat, hal ini perlu diteliti efektifitas-
nya lebih lanjut untuk kesejahteraan masyarakat.
2) Ditemukan 27 macam obat modem untuk pengobatan batuk,
dan 26 macam obat modern untuk mengatasi demam. Perlu
penelitian lebih lanjut obat-obatan modern yang efektifitasnya
tinggi, efek samping rendah, dan harga terjangkau masyarakat
banyak.
3) Puskesmas masih merupakan ujung tombak pelayanan kesehatan terutama dalam hal pemberian obat-obatan.
UCAPAN TERIMA KASIH
Ucapan terima kasih kami tujukan kepada Dr. Suriadi Gunawan DPH,
Kapuslit Penyakit Menular Badan Litbangkes, Dr. Cholid Rasyidi DSA beserta
Staf dan SubDit ISPA PPM-PLP, Kakanwil DepKes. Jawa Barat beserta Staf
Kepala DinKes. Dati 11 Cianjur dan Sumedang beserta Staf rekan sejawat, dan
pihak-pihak lain yang telah membantu kami sampai terlaksananya penelitian ini.
KEPUSTAKAAN
1.
2.
3.
Departemen Kesehatan RI, Pusat Data Kesehatan (1991). Profit Kesehatan
Indonesia, Jakarta.
Ditjen PPM-PLP Departemen Kesehatan RI (1992). Pedoman Pemberazi
tasan Penyakit ISPA, Jakarta.
Dit. Jen PPM-PLP Departemen Kesehatan RI (1990). Bimbingan Keteram
pilan dan Penatalaksanaan ISPA pada Anak, Jakarta.
Cermin Dunia Kedokteran No. 114, 1997
47
TINJAUAN KEPUSTAKAAN
Keefektifan Paduan Obat Ganda
Bifasik Jangka Pendek Anti TB
Dinilai Atas Dasar Kegiatan Anti
Mikrobial dan Kegiatan Pemulihan
Imunitas Protektif
1. Khemoterapi Anti Tuberkulosis
R.A. Handojo, Sandi Agung, Anggraeni Inggrid Handojo
Malang, Indonesia
Khemoterapi anti TB diberikan melalui paduan obat anti
TB, yang berarti melalui paduan obat yang terdiri sedikitnya dari
dua obat anti TB individual yang dikenal sebagai paduan obat
ganda (dual drug treatment). Paduan obat anti TB yang terdiri
dari tiga atau lebih obat-obat disebut paduan obat multi-terapi
(multi-drug treatment).
Khemoterapi anti TB melalui pemberian obat tunggal (single
drug treatment), dalam hal ini pengobatan tunggal dengan
isoniazid (INH, H) (JNH single drug treatment) pernah populer
pada sekitar tahun 1960(1), namun setelah diperoleh pengetahuan
lebih banyak tentang penganih pengobatan tunggal INH terhadap terjadinya resistensi basil TB terhadap INH, pengobatan
yang dimaksud tidak lagi dapat dibenarkan.
Obat-obat anti TB ada yang bekerja intraseluler dalam lingkungan asam, danlatau ekstraseluler dalam Iingkungan netral
atau alkalis. Obat-obat anti TB yang bekerja hanya intra- atau
ekstraseluler saja mempunyai nilai kegiatan bakterisidal (NKB)
sebesar ½; yang bekerja intra- maupun ekstraseluler mempunyai
NKB sebesar ½+ ½=1
Isoniazid (INH, H) dan nifampisin (RMP, R) adalah obat
anti TB individual yang bekerja intra- maupun ekstraseluler dan
mempunyai NKB sebesar 1. Ethambutol (EMB, E) dan streptomycin (SM, S) bekerja hanya ekstraseluler dan mempunyai
NKB sebesar ½. Pyrazinamide (PZA, Z) bekerja hanya intraseluler sepanjang kurun waktu pengobatan dengan PZA dan
mempunyai NKB sebesar ½. Pada fase permulaan pengobatan,
lingkungan di lokasi kelainan histo-patologis TB aktif adalah
asam yang memungkinkan PZA juga bekerja ekstraseluler selama fase permulaan pengobatan(2,3).
Populasi basil TB pada manusia sebagian besar berada di
lingkungan luar sel(2). Kerja intraseluler obat anti TB diperlukan untuk mencegah terjadinya kekambuhan (relapse) sesudah
pengobatan yang berhasil dihentikan.
Terjadinya kekambuhan dikaitkan terutama dengan keber-
48
Cermin Dunia Kedokteran No. 114, 1997
adaan the persisters di dalam sel-sel makrofag. Karena tingkat
pertumbuhannya rendah, the persisters ini tidak mudah dimusnahkan oleh obat-obat anti TB. Sewaktu-waktu sesudah
dihentikannya pengobatan yang berhasil, the persisters dapat
keluar dan sel-sel makrofag. Dalam hal imunitas protektif (protective immunity) yang diperankan terutama oleh sel-sel makrofag (imuno-fagosit) tidak mampu memusnahkan the persisters
yang berada di lingkungan luar sel, the persisters ini meningkatkan pertumbuhan dan terjadilah kekambuhan.
Dari segi daya antimikrobial (DAM), obat-obat anti TB
individual dibagi menjadi
1) Obat anti TB yang bekerja bakterisidal dan mempunyai
DAM yang tinggi untuk inemusnahkan basil TB (INH, RMP,
PZA).
2) Obat-obat anti TB individual yang bekerja bakteriostatis dan
mempunyai DAM rendah yang hanya mampu menghambat pertumbuhan basil TB (SM, EMB).
Atas dasar kurun waktu khemoterapi (treatment period),
paduan obat anti TB dibagi menjadi:
1) Paduan obat jangka panjang 1 – 1½ tahun yang dikenal
sebagai paduan obat anti TB konvensional.
Paduan obatjangka panjang 12 – 18 bulan terdiri dari obatobat anti TB individual yang mempunyai NKB sebesar 1½,
misalnya I2HS dan I2HE.
2) Paduan obatjangka pendek 6 –9 bulan.
Paduan obat ini terdiri dari obat-obat anti TB individual yang
mempunyai NKB sebesar sedikitnya 2, misalnya 6HR, 6HZE,
6HZS.
Atas dasar riwayat pengobatan, paduan obat anti TB dibagi
menjadi:
1) Paduan obat anti TB primer (primary anti- TB regimen).
2) Paduan obat anti TB sekunder (secondary anti-TB regimen)
atau paduan obat ulang (retreatment regimen).
Isoniazid sebagai obat individual dengan NKB sebesar 1,
merupakan tonggak (mainstay) dan tiap paduan obat anti TB
primer. Paduan obat anti TB primer diberikan kepada kasuskasus TB yang melalui temu wicara yang cermat diketahui sebelumnya tidak pernah memperoleh obat-obat anti TB. Paduan
obat anti TB sekunder diberikan kepada kasus-kasus TB yang
mengalami kegagalan pengobatan (treatment failure) atau kekambuhan (relapse).
Makna pemeriksaan kepekaan strain-strain basil TB terhadap obat-obat anti TB yang pernah digunakan adalah menonjol
sekali. Strain basil TB yang menunjukkan resistensi sekunder
terhadap obat anti TB tidak lagi dapat dimusnahkan oleh obat
anti TB yang bersangkutan.
Atas dasar tahap-tahap pengobatan (treatment phases), kurun waktu pemberian paduan obat anti TB dibagi menjadi:
1) Fase permulaan (initial phase) yang berlangsung selama 1–
3 bulan.
Apabila pada fase permulaan, paduan obat anti TB mengandung lebih banyak obat anti TB individual dan pada fase
lanjutan, fase permulaan disebut fase permulaan intensif, misalnya paduan obat 2HRE/5HR.
2) Fase lanjutan (continuation phase) yang berlangsung 3–5
bulan untuk paduan obat jangka pendek enam bulan dan 9–11
bulan untuk paduan obatjangka panjang 12 bulan.
Atas dasar ritme pengobatan, pemberian paduan obat anti
TB dibagi menjadi:
1) Ritme pengobatan tiap hari.
Pengobatan tiap hari diberikan selama fase perinulaan pengobatan yang berlangsung selama 1–3 bulan.
2) Ritme pengobatan berkala 2 kali seminggu.
Pengobatan berkala 2 kali seminggu diberikan selama fase
lanjutan pengobatan.
Tujuan pemberian pengobatan melalui ritme berkala 2 kali
seminggu adalah:
a) mengurangi biaya pengobatan.
b) mempermudah case-holding.
c) memudahkan pelaksanaan pengobatan secara terawasi penuh (fully supervised treatment).
Ritme pengobatan berkala 2 kali seminggu dimungkinkan
oleh karena adanya lag phase pada pertumbuhan basil TB sesudah penyentuhan oleh obat anti TB. Basil TB yang tersentuh obat
anti TB, dicuci dan dibiakkan kembali pada medium pembiakan
tidak menunjukkan pertumbuhan selama 2–3 hari. Di samping
itu ritme pengobatan berkala dua kali seminggu dimungkinkan
berdasarkan kenyataan bahwa obat anti TB diserap dan dipertahankan dalam jaringan patologis spesifik selama kurun waktu
lebih lama dari pada di serum darah(4).
Atas dasar peranannya sebagai komponen paduan obat anti
TB, obat-obat anti TB individual dibagi menjadi:
1) Obat pokok (main drug), yaitu NH, RMP, PZA.
Ketiga obat tersebut di atas bekerja dalam lingkungan asam
(intraseluler).
Tiap paduan obat anti TB sebagaiu paduan obat primer
maupun sebagai paduan obat sekunder, harus mengandung
sedikitnya satu obat anti TB yang bekerja intraseluler.
Obat pokok diberikan selama seluruh kurun waktu peng-
obatan.
2) Obatpelengkap (complementary drug), yaitu EMB dan SM.
Obat pelengkap diberikan untuk:
a) Meningkatkan NKB paduan obat anti TB.
Penambahan EMB pada paduan obat jangka panjang 12HZ
dengan NKB sebesar 1½ membentuk paduan obat jangka
pendek 6HZE dengan NKB sebesar 2.
Penambahan EMB pada paduan obat jangka pendek 6HR
dengan NKB sebesar 2, membentuk paduan obatjangka pendek
6HRE dengan NKB sebesar 2½.
b) Menambah DAM paduan obat anti TB.
Penambahan EMB pada paduan obat jangka panjang 12HS
dengan NKB sebesar 1½, membentuk paduan obatjangka panjang 12HSE dengan NKB sebesar 1 ‘p2; dengan DAM yang lebih tinggi dan padapaduan obat 1 2HS.
Ethambutol dan SM keduanya bekerja dalam Iingkungan
ekstraseluler, gabungan EMB dan SM mempunyai NKB
sebesar ½.
c) Memungkinkan diabaikan pengadaan pemeriksaan kepekaan basil TB terhadap obat anti TB.
Penambahan EMB pada paduan obat jangka pendek 6HR
dengan NKB sebesar 2, membentuk paduan obatjangka pendek
6HRE dengan NKB sebesar 2½ disertai DAM yang lebih tinggi,
sehingga dapat diabaikan pengadaan pemeriksaan kepekaan basil TB terhadap obat-obat anti TB, apabila digunakan sebagai
paduan obat anti TB primer di daerah-daerah endemis TB.
Obat pelengkap diberikan selama seluruh kurun waktu pengobatan.
3) Obat ke-3 (the third drug), yaitu EMB dan SM.
Penambahan EMB selama fase permulaan pengobatan pada
paduan obatjangka pendek 6HR dengan NKB sebesar 2, membentuk paduan obat jangka pendek HRE/5HR dengan fase permulaan intensif dan dengan NKB sebesan 2½ pada fase permulaan intensif dan sebesar 2 pada fase lanjutan.
Penambahan EMB pada fase permulaan pengobatan pada
paduan obat jangka panjang 12HS dengan NKB sebesar 1½
membentuk paduan obat jangka panjang HSE/11 HS dengan fase
permulaan intensif dan dengan NKB sebesan 1½ selama fase
permulaan intensif maupun selama fase lanjutan.
Obat ke-3 diberikan hanya selama fase permulaan pengobatan dan diperlukan untuk meningkatkan DAM paduan obat
anti TB selama fase permulaan pengobatan; fase permulaan intensif ini diperlukan untuk meningkatkan upaya the early kill.
Dari segi pemeriksaan bakteriologi dahak, hasil penggunaan paduanobat anti TB dinilai atas dasar:
1) Angka keberhasilan pengobatan (successful treatment) pada
akhir bulan pengobatan.
2) Angka kejadian relaps bakteriologis (bacteriologic relapse)
sesudah dihentikan pengobatan yang berhasil.
Keberhasilan pengobatan atas dasar pemeriksaan bakteriologi dahak dikerjakan melalui pemeriksaan dahak mikroskopis
(M) dan pemeriksaan dahak biakan (B). Dan segi kegiatan
bakterisidal, obat-obat anti TB bekerja hanya selama kurun
waktu pengobatan 6 bulan. Oleh karena itu, penilaian keberha-
Cermin Dunia Kedokteran No. 114, 1997
49
silan pengobatan anti TB atas dasar bakteriologi dahak dikerjakan paling lambat pada akhir bulan pengobatan ke enam(5). Penentuan keberhasilan pengobatan pada akhir bulan pengobatan
pada penggunaan paduan obat yang mengandung RMP atau
tidak, dapat dikerjakan melalui pemeriksaan dahak mikroskopis.
Keberhasilan pengobatan ditentukan atas dasar ditemukan dahak
mikroskopis negatif (M–) selama tiga kali berturut-turut pada
pemeriksaan dahak sekali sebulan, yaitu:
• M– pada akhir bulan pengobatan ke-4, ke-5 dan ke-6, atau:
• M– pada akhir bulan pengobatan ke-5, ke-6 dan pada akhir
bulan ke-7 sesudah dimulai pengobatan, atau:
• M– pada akhir bulan pengobatan ke-6, akhir bulan ke-7
dan akhir bulan ke-8 sesudah dimulai pengobatan.
Penentuan kegagalan pengobatan (treatment failure) pada
akhir bulan pengobatan pada penggunaan paduan obat yang
mengandung RMP, dikerjakan melalui pemeriksaan dahak
biakan. Kegagalan pengobatan ditentukan atas dasar ditemukan
dahak biakan positif (B÷) selama tiga bulan berturut-turut pada
pemeriksaan sekali sebulan, yaitu:
• B+ pada akhir bulan pengobatan ke-4, ke-5 dan ke-6, atau:
• B+ pada akhir bulan pengobatan ke-5, ke-6 dan pada akhir
bulan ke-7 sesudah dimulai pengobatan, atau:
• B+ pada akhir bulan pengobatan ke-6, pada akhir bulan ke7 dan pada akhir bulan ke-8 sesudah dimulai pengobatan.
Keberadaan kuman mati (dead bacilli; M+B–) pada pemeriksaan bakteriologi dahak pada penggunaan paduan obat
yang mengandung RMP menimbulkan masalah pada penentuan
kegagalan pengobatan pada akhir bulan pengobatan. Sebanyak
50% dan dahak yang M+ pada akhir bulan pengobatan ke pada
penggunaan paduan obat yang mengandung RMP, disebabkan
oleh keberadaan “kuman mati” pada dahak(6).
Kejadian kekambuhan bakteriologis (bacteriologic relapse)
atas dasar pemeriksaan bakteriologi dahak pada penggunaan
paduan obat yang mengandung RMP atau tidak, dikerjakan
melalui pemeriksaan dahak biakan. Kejadian kekambuhan bakteriologis ditentukan atas dasar ditemukan dahak biakan positif
(B+) selama tiga bulan berturut-turut pada pemeriksaan dahak
sebulan sekali(7,8).
Resistensi basil TB terhadap obat-obat anti TB merupakan
kendala pada upaya memperoleh keberhasilan pengobatan secara maksimal pada penggunaan paduan obat anti TB. Resistensi
strain basil TB terhadap obat-obat anti TB dibagi menjadi:
1) Resistensi primer.
2) Resistensi sekunder.
Resistensi primer ditemukan pada kasus-kasus TB yang
sebelumnya tidak pernah memperoleh obat-obat anti TB. Resistensi ini timbul sesudah terjadi transmisi basil TB yang resisten
terhadap obat anti TB pada kasus TB yang sebelumnya tidak
pernah memperoleh obat-obat anti TB.
Di daerah-daerah tempat TB masih endemis, populasi basil
TB dinyatakan sebagai populasi yang heterogen dari segi kepekaan
basil terhadap obat-obat anti TB. Dalam hal terdapat resistensi
primer terhadap obat anti TB, ditemukan subpopulasi basil TB
yang resisten dan subpopulasi basil TB yang sensitif terhadap
obat yang dimaksud(9,10). Dengan demikian, kasus TB yang me-
50
Cermin Dunia Kedokteran No. 114, 1997
nunjukkan adanya strain basil TB yang resisten primer terhadap
obat anti TB, masih dapat memanfaatkan obat yang dimaksud
karena masih efektif terhadap strain basil yang sensitif.
Resistensi primer terhadap INH meningkat dan tahun ke
tahun. Ditemukan angka resistensi primer terhadap INH sebesar
7% di Kotamadya Yogyakarta pada tahun 1962(1), 0% di daerah
pedusunan Malang pada tahun 1964(11), 15% di Jakarta pada
tahun 1975(12), dan sebesar 44% di Kotamadya Malang pada
tahun 1975-1977(13) dan sebesar 40% di Jawa Timur pada tahun
1979(14).
Penggunaan RMP menyertai INH pada kasus-kasus TB paru
dengan angka resistensi primer terhadap INH sebesar 40%, menunjukkan keberhasilan pengobatan (cure rate) pada akhir bulan
pengobatan sebç 96%. Dengan lain perkataan, penggunaan
RMP menyertai INH pada kasus-kasus di daerah TB masih
endemis, dapat mengabaikan pengadaan pelaksanaan pemeriksaan kepekaan basil TB terhadap obat-obat anti TB terutama dari
segi pengobatan lapangan (field treatment)(15).
Resistensi sekunder ditemukan pada kasus-kasus TB yang
menunjukkan kegagalan pengobatan atau kekambuhan sesudah
dihentikan pengobatan yang berhasil. Populasi basil Th pada
kasus-kasus TB yang menunjukkan resistensi sekunder terhadap
obat anti TB adalah populasi yang homogen dan segi kepekaan
basil TB terhadap obat-obat anti TB. Dengan lain perkataan,
strain basil yang resisten sekunder terhadap obat anti TB tidak
dapat dimusnahkan oleh obat anti TB yang dimaksud(9). Resistensi sekunder timbul pada akhir bulan pengobatan ke-2 (hasil
observasi yang tidak dipublikasikan).
Resistensi sekunder terjadi oleh karena:
1) Penggunaan paduan obat anti TB yang tidak adekuat.
2) Pengobatan yang tidak teratur.
3) Putus berobat (drop-out).
Resistensi sekunder terhadap INH ditemukan sekitan 60%
pada kasus-kasus TB yang kambuh dan sekitar 90% pada
kasus- kasus kegagalan pengobatan (hasil observasi yang tidak
dipublikasikan).
Mutasi kembali (back mutation) tidak terjadi pada strain
basil TB yang resisten sekunder atau primer terhadap obat anti
TB; yang terjadi adalah fenomena pembalikan (reversal phenomenon) yang ditemukan hanya pada kasus-kasus TB dengan
strain basil TB yang resisten primer terhadap obat anti TB(9).
Multinesistensi basil TB terhadap obat-obat anti TB menimbulkan masalah pengobatan yang lebih serius daripada resistensi
tunggal (mono-resistance). Multiresistensi ini dikaitkan dengan
adanya kombinasi penyakit TB dan penyakit yang dibangkitkan
oleh H1V- 1 (the Human Immunodeficiency virus type 1) terutama
pada fase khronik lanjut yang biasa disebut sebagai AIDS
(Acquired Immuno Deficiency Syndrome).
Multiresistensi berarti adanya resistensi primer maupun
sekunder terhadap sedikitnya dua obat-obat anti TB individual
yang tengolong obat pokok.
Multiresistensi basil TB terhadap obat-obat anti TB dibagi
menjadi:
1) Multiresistensi yang ditemukan pada Mycobacterium tuberculosis (M. tuberculosis).
2) Multiresistensi yang ditemukan pada Mycobacterium atypic
(M. atipik).
Multiresistensi pada M. tuberculosis adalah resistensi yang bersifat tetap yang dibangkitkan oleh karena kegagalan atau kekambuhan pada penggunaan paduan obat anti TB yang mengandung
sedikitnya dua obat-obat pokok, atau telah terjadi transmisi M.
tuberculosis yang multiresisten terhadap obat anti TB. Mycobacterium tuberculosis yang multiresisten terhadap obat-obat
anti TB tidak dapat dimusnahkan oleh obat-obat anti TB yang
bersangkutan, yang berarti obat-obat anti TB yang bersangkutan
tidak lagi berguna.
Multiresistensi pada M. atypic adalah resistensi yang bersifat tidak-tetap (temporer). Mycobacterium tuberculosis adalah
dimorphic(16), yang berarti terdiri dua bentuk yaitu bentuk yang
tahan-asam (acid-fast form) dan bentuk yang tidak tahan-asam
(non-acid-fast form). Bentuk yang tahan-asam adalah M.
atypic(17,18), yang bersifat non-patogenik namun menunjukkan
multiresistensi terhadap obat-obat anti TB. Bentuk yang tahanasam ini dapat dilihat di bawah mikroskop melalui pengecatan
metode Ziehl-Neelsen atau pengecatan metode Tan Thiam Hok.
Bentuk yang tidak tahan-asam tidak dapat dilihat di bawah
mikroskop melalui pengecatan metode-metode tersebut di atas.
Dalam keadaan terpisah (split), bentuk yang tahan-asam
mengembangkan sifat-sifat M. atypic. Sewaktu-waktu kedua
bentuk yang terpisah ini bergabung kembali, membentuk M.
tuberculosis dan mengembangkan sifat-sifat sebagai M. tuberculosis, yaitu bersifat patogenik dan terdapat sensitif terhadap obatobat anti TB. Sewaktu dalam keadaan bergabung, M. tuberculosis ini dapat dimusnahkan oleh obat-obat anti TB yang tidak
menunjukkan resistensi (hasil observasi yang tidak dipublikasikan). Dalam hal ini dapat dikemukakan bahwa RMP adalah
obat pilihan (drug of choice), karena RMP hanya memerlukan
waktu sentuhan selama satu jam untuk memusnahkan basil TB
yang sensitif, sedangkan INH membutuhkan waktu sentuhan selama 24 jam(19). Mycobacterium atypic ditemukan pada sebanyak
0,2–2% dan kasus-kasus TB dengan dahak positif sebelum dimulai pengobatan dengan khemoterapi anti TB(17,20). Pada akhir
pengobatan yang berhasil (successful treatment), M. atypic
ditemukan pada sebanyak 15% dan kasus-kasus TB yang menyelesaikan pengobatan(20). Peningkatan angka penemuan M. atypic
ini disebabkan oleh keadaan keletihan dari sel-sel makrofag
(fatigue macrophages). Mycobacterium atypic ditemukan pada
sebanyak 25–53% dan pasien-pasien yang mendenita penyakit
tuberkulosis dan penyakit HIV pada fase khronis lanjut
(AIDS)(21,22). Pada pasien-pasien yang menderita lepra lepromatosa, M. atypic ditemukan pada sebanyak 96% dan pasien
pasien yang dimaksud, sebagian besan tergolong M. scrophulaceum(23). Tingginya angka penemuan M. atypic pada pasienpasien yang menderita lepra lepromatosa dan pada pasien-pasien
yang menderita penyakit HIV dan penyakit tuberkulosis, disebabkan oleh adanya kerusakan pada fungsi sel-sel makrofag
(detective function of the macrophages). Upaya pengolahan
antigen (antigen processing) oleh sel-sel makrofag hanya menghasilkan pembelahan (splitting) dan basil tuberkulosis menjadi
bentuk yang tahan-asam (M. atypic) dan bentuk yang tidak-tahan
asam. Upaya meningkatkan keberhasilan paduan obat antituberkulosis dikerjakan melalui upaya meningkatkan kegiatan bakterisidal sel-sel makrofag melalui:
1) Pemberian imuno-modulator (cimetidine) pada fase permulaan khemoterapi anti TB(24,25).
2) Pemberian imuno-terapi dengan BCG pada saat sesudah
dihentikan khemoterapi yang berhasil(24,25).
Pemberian imuno-modulator pada fase permulaan pengobatan
anti TB mempercepat (accerelate) pemulihan kedudukan imunologis pada kasus TB khronis dan kedudukan imunologis tipe K
(TB khronis) menjadi kedudukan imunologis tipe L (TB akut).
Pemberian imuno-terapi dengan BCG pada saat sesudah dihentikan khemoterapi anti TB pada kasus TB khronis, memperkuat
(strengthen) pemulihan kedudukan imunolohgis dan tipe K menjadi kedudukan imunologis tipe L.
Pada hakekatnya, pada pertarungan melawan basil TB di
dalam jaringan tubuh “tuan rumah” (host), daya tahan imunologis memainkan peran utama; pemberian khemoterapi anti TB
dimaksud untuk memulihkan (restore) dan mendukung (back
up) daya tahan imunologis dengan tujuan untuk meningkatkan
imunitas protektif (enhancement of protective immunity) yang
esensial untuk stabilisasi kesembuhan (stabilization of cure).
Keberadaan daya tahan imunologis yang berfungsi secara optimal, merupakan conditio sine qua non untuk dapatnya khemoterapi anti TB berkhasiat secara maksimal.
KEPUSTAKAAN
1.
WHO Regionaj Office: The TB Pilot Project in Yogyakarta. 1962; Reports
on WHO Projects, 1968.
2. Mitchison DA, Nunn AJ. Influence of initial drug resistance on the
response to short-course chemotherapy of pulmonary tuberculosis. Am.
Rev, of Respir. Dis. 1986; 133: 423.
3. East Africa/BMRC. Controlled clinical trial of five short-course chemotherapy regimens in pulmonary tuberculosis. Am. Rev, of Respir. Dis.
1981; 123: 165.
4. Handojo RA. Drug-induced elevation of SGPT related to the extent of
disease during anti TB treatment. The 10th Asia Pacific Congress on
Diseases of the Chest in Taipei in 1987, p (Abstract).
5. Wibisono J. The duration of augmentation of protective immunity during
anti-tuberculosis therapy. Joint International Congress, 2nd Asia Pacific
Society of Respirology, 5th Indonesian Association of Pulmonologists,
1990, 233 (Abstract).
6. Handojo RA. Permasalahan “kuman mati” pada pengelolaan pengobatan
terhadap kasus tuberkulosis paru. Kumpulan Naskah Kongres Nasional ke
III Ikatan Dokter Paru Indonesia di Medan 1983, 162–1 69.
7. Handojo RA. Short-Course chemotherapy in Indonesia. Proc. the Eastern
Regional Tuberculosis Conference of the International Union Against
Tuberculosis, Jakarta 1983, 133–147.
8. Handojo RA, Liunanda S. The determination of a bacteriological relapse
after ariti-tuberculosis treatment. Proc. International Academy of Chest
Physicians. PL. Nandy, WK. Lam (eds). The 7th Asia Pacific Congress on
Diseases of the Chest Hong Kong 1981, p 202–204.
9. Handojo RA. Stability of isoniazide-susceptibility during anti-tuberculosis
chemotherapy in pulmonary tuberculosis. I. the occurrence of a reversal
phenomenon. The 11th Aata Pacific Congr on Diseases of the Chest,
Bangkok 1989, p 182.
10. Agung S. Stability of isoniazide-susceptibility during anti-tuberculosis
chemotherapy in pulmonary tuberculosis. 2. the emergence of transient
isoniazide-resistance. The 11th Asia Pacific Congr Diseases of the Chest,
Bangkok 1989, p 303.
11. WHO Regional Office. The Rural Sample Survey, Malang, 1964. Tubercu-
Cermin Dunia Kedokteran No. 114, 1997
51
losis Control in Indonesia, 1952–1965. Reports on WHO Projects, 1969.
12. Peetosutan E, Lanibey W. Primary resistance oftubercle bacilli to isoniazide,
streptomycin and PAS in Jakarta and its influence on the result of chemotherapy. J. lndon. Medical Assoc. 1975.
13. Susilo AW. The significance of primary resistance to anti-tuberculosis
drugs. Proc. II of the Eastern Regional Tuberculosis Conference of the
International Union Against Tuberculosis in Jakarta 1983, p 68–71.
14. Sri Prihatini. Khemoterapi jangka pendek di puskesmas di Jawa Timur.
Simposium Penyakit Menular di Surabaya, 1979.
15. Handojo Al. The influence of a high prevalence rate of primary isoniazideresistance on the outcome of treatment using dual drug two phase regimens.
The 11th Asia Pacific Congress on Diseases of the Chest in Bangkok, p 187.
16. Csillag A. J. Gem. Microbiol. 1961, 26, 97. quoted from: Warsa, The Kie
Sing. Maj. Kedokt. Indon. 1969; 7: 237–239.
17. Handojo RA. The emergence of atypical mycobacteria in pulmonary
tuberculosis related to the use of anti-tuberculosis chemotherapy. Proc. of
the VIIth Asia Pacific Congress on Diseases of the Chest in Tokyo Japan,
1983, p 176.
18. Handojo RA. The significance of the emergence of atypical mycobacteria
in pulmonary tuberculosis related to the use of anti-tuberculosis chemotherapy. Paru 1987; 7: 28–36.
52
Cermin Dunia Kedokteran No. 114, 1997
19. Mitchison DA, Dickinson JM. Bactericidal mechanisms in short-course
chemotherapy. Bull. International Union Against Tuberculosis 1978; 53:
254–259.
20. Handojo RA. Review hasil-hasil penelitian mengenai tuberkulosis paru.
Laporan ke Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan, DepKes. RI,
1970.
21. Schneider MME, van der Wiel A. Wierma J et al. Len patient met een
gedissemineerde M. avium infecti en een gestoorde afweer apparaat.
Nederl. Tijdschr. v. Geneesk. 1988; 132: I 1611-62.
22. Weits J, Sprenger HG, Ilic Pet al. M. avium ziekte bij AIDS patienten.;
diagnostiek en therapie. Nederl. Tijdschr. v. Geneesk. 1991; 130:2485–89.
23. Warsa R. The Kie SIng. Isolation of acid-fast organisms from leprosy
patients (preliminary report). Maj. Kedokt. Indon. 1969; 7: 237–239.
24. Lusiana D, Adhinata K, Henny CK. How pattern of tuberculin reaction
may elucidate the mechanism of action of immuno-therapy with BCG.
Joint International Congress, 2nd Asia Pacific Siciety of Respirologists,
5th Indonesian Association of Pulmonologist in Denpasar Indonesia, 1990,
p 234 (Abstract).
25. Lusiana D. Pengaruh penggunaan imuno-modulator dan imuno-terapi
terhadap keberhasilan khemoterapi anti-tuberkulosis. Paru 1987; 1–2;
24–27.
HASIL PENELITIAN
Pola Resistensi Bakteri
Enteropatogen terhadap
Antibiotik
Pudjarwoto Triatmodjo, Catra Oktarina
Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan, Departemen Kesehatan RI, Jakarta
ABSTRAK
Penggunaan antibiotik secara tidak rasional pada penyakit diare telah menimbulkan
resistensi kuman terhadap antibiotik. Perkembangan resistensi kuman terhadap antibiotik
perlu dipantau agar dalam pengobatan penyakit diare dengan antibiotik dapat dilakukan
pemilihan antibiotik secara tepat.
Untuk menambah informasi tentang pola resistensi kuman-kuman penyebab diare
terhadap antibiotik, telah dilakukan penelitian uji resistensi kuman Salmonella, Shigella
dan Vibrio-Cholera yang diperoleh dan penderita diare terhadap antibiotik khloram
fenikol, ampisilin, tetrasiklin, kanamisin dan kotrimoxazol. Uji resistensi dilakukan
secara Disk Diffusion (Kir Bauer, 1966).
Hasil penelitian menunjukkan, Shigella masih sensitif terhadap kotrimoxazol (SXT);
namun terhadap antibiotik alternatif ampisilin (Amp) menunjukkan tingkat resistensi
50%. Salmonella menunjukkan tingkat resistensi sebesar 42% terhadap ampisilin, 57%
terhadap khloramfenikol dan 71% terhadap kotrimoxazol.
Disimpulkan bahwa Shigella masih sensitif terhadap SXT, namun Salmonella telah
menunjukkan resistensi yang cukup tinggi terhadap SXT, C dan Ampisilin.
PENDAHULUAN
Penggunaan antibiotik secara tidak rasional pada penyakit
diare di samping menimbulkan bahaya efek samping, pemborosan biaya dan gagalnya upaya penurunan morbiditas dan mortilitas, juga dapat berisiko timbulnya resistensi kuman penyebab
diare terhadap antibiotik. Hal ini telah banyak dilaporkan oleh
pakar-pakar antibiotik baik di luar negeri maupun dalam negeri.
Di Indonesia, informasi mengenai pola resistensi kumankuman penyebab diare terhadap antibiotik terpilih maupun antibiotik alternatif masih sangat terbatas.
Dalam makalah ini disajikan hasil penelitian mengenai pola
resistensi beberapa jenis bakteri enteropatogen penyebab diare
terhadap berbagai jenis antibiotik terpilih, yakni untuk mendapatkan gambaran/informasi resistensi kuman-kuman penyebab
diare terhadap antibiotik.
Dari hasil penelitian ini diharapkan diperoleh informasi
mengenai jenis antibiotik yang masih efektif dan yang kurang
efektifuntuk pengobatan diare, sehingga pemilihan obat (drug
of choice) pada penyakit diare dapat dilakukan secara tepat.
BAHAN DAN CARA
Penelitian dilakukan di RS Tangerang dan laboratorium
Puslit Penyakit Menular. Badan Litbangkes, dimulai pada
bulan Juni 1995 dan selesai pada bulan Maret 1996.
Kegiatan penelitian d RSU Tangerang meliputi pemilihan
penderita, yaitu penderita diare golongan umur balita yang berobat ke bagian Poli Anak, RSU Tangerang. Terhadap penderita
terpilih kemudian dilakukan pengambilan rectal swab dan wawancara dengan orangtua penderita untuk mendapatkan informasi
tentang upaya pengobatan yang dilakukan sebelum berobat ke
Cermin Dunia Kedokteran No. 114, 1997
53
rumah sakit.
Penelitian di laboratorium Puslit Penyakit Menular meliputi
identifikasi bakteri enteropatogen terutama Vibrio cholera, Salmonella dan Shigella secara konversional. Kemudian dilakukan
uji resistensi terhadap kuman-kuman yang terdeteksi dengan
antibiotik Khloramphenikol (C). Ampisilin (Amp), Kanamisin
(K), Tetrasiklin (Te) dan Sulfametoxazol - Trimetoprim (SXT).
Uji resistensi ini dilakukan secara in vitro dengan metode disk
diffusion (Kirby Bauer, 1966). Tidak ada analisis statistik terhadap hasil penelitian ini.
Tabel 3.
Jenis bakteri
Jumlah penderita penyakit menular tertentu yang berobat ke
RSU Tangerang Th. 1995 (Januari – Desember 1995)
No.
Jenis penyakit
1
2
3
Diare
Demam tifoid
TB Paru (BTA +)/
TB Pam lain
Tetanus
Hepatitis Virus
D.B. Dengue
Bronchitis
Pneumonia
Tetanus Neunatorum
ISPA
Jumlah pasien
berobat
Jumlah pasien
keluar coati
2255
855
30
32
1,3
3,7
476
199
40
392
50
313
25
45
57
38
0
11
3
68
12
0
12,0
20,0
0,0
2,9
6,0
21,0
48,0
Hasil identifikasi kuman-kuman penyebab diare dan sampel
rectal swab penderita diare balita
Organisme
V. Cholera
Salmonella
Shigella
NAG
%
0
5,5
2,0
0,7
Klasifikasi bakteri penyebab diare yang berhasil diidentifikasi adalah tercantum dalam Tabel 3.
54
Cermin Dunia Kedokteran No. 114, 1997
Antibiotik
Jenis kuman
Shigella sonnei
Shigella flexneri
Shigella flexneri
Keterangan :
R : Resisters
Tabel 5.
Masih tingginya jumlah pasien diare yang meninggal dunia
berkaitan erat dengan pola tatalaksana penderita diare yang salah, antara lain adalah penggunaan antibiotik yang tidak rasional
pada kasus-kasus diare tersebut.
Dari 124 sampel rectal swab yang berhasil diperiksa terhadap kuman-kuman patogen penyebab diare, hasil positif kuman
patogen yang berhasil diidentifikasi dapat dilihat dalam Tabel 2.
Hasil positif
(N =124)
0
8
3
1
Pola resistensi kuman Shigella penyebab diare terhadap 5 jenis
antibiotik, berdasarkan basil uji resisters secara disk diffussion
C
Te
K
Amp
SxT
R
R
R
R
S
I
S
S
R
R
R
R
S
S
S
I : Intermediate
S : Sensitif
%
Sumber data: Medical record RSU Tangerang, 1995.
Tabel 2.
1
1
2
1
1
2
1
1
1
0
Salmonella typhi
Salmonella group A
Salmonella group B
Salmonella group C
Salmonella group D
Salmonella group E
Shigella_flexneri
Shigella boydii
Shigella dysenteri
Shigella sonnei
Tabel 4.
Berdasarkan data medical recordtentang penderitapenyakit
menular tertentu yang berobat ke RSU Tangerang tahun 1995,
diperoleh informasi bahwa jumlah pasien terbanyak adalah dan
penyakit diare (Tabel 1).
4
5
6
7
8
9
10
Jumlah
Hasil uji resistensi kuman Shigella dan Salmonella terhadap
lima jenis antibiotik dapat dilihat pada Tabel 4 dan 5.
HASIL
Tabel 1.
Jenis kuman patogen yang ditemukan dan berhasil diisolasi
dari rectal swab penderita diare di RSU Tangerang
Pola resistensi Salmonella penyebab diare terhadap lima jenis
antibiotik berdasarkan basil uji secara disk diffussion
Antibiotik
Jenis kuman .
Salmonella Group D
Salmonella Group E
Salmonella Group A
Salmonella typhi
Salmonella Group C
Salmonella Group B
Salmonella Group E
Salmonella Group B
Salmonella Group D
Keterangan :
R : Resisters
C
Te
K
Amp
SxT
S
S
R
S
R
S
R
S
S
S
R
R
S
R
I
R
S
S
S
S
S
S
R
R
S
S
S
S
R
S
S
R
S
S
S
R
S
R
S
S
R
R
R
S
R
I : Intermediate
S : Sensitif
Derajat resistensi dan multiresistensi kuman Shigella terhadap antibiotik dapat dilihat pada Tabel 6 dan 7.
Tabel 6.
Persentase besarnya resistensi kuman Shigella penyebab diare
terhadap lima jenis antibiotik berdasarkan hasil uji secara disk
difussion
Antibiotik
C
Te
K
Amp
SxT
(30µg)
(30µg)
(30µg)
(10µg)
(25 µg)
Keterangan
C : Chloramphenicol
Te : Tetracyclin
K : Kanamycin
Jumlah isolat Shigella
yang resisters (n = 3)
3
1
1
3
0
%
100
33,3
33,3
100
0
Amp : Ampicillin
SxT : Sulfametoxazol-Trimetoprim
Tabel 7.
Multi resistensi kuman Shigella penyebab diare terhadap lima
jenis antibiotik berdasarkan uji secara disk difussion
Antibiotik
C, Te, Amp
C, K, Amp
C, Amp
Jumlah isolat
resisters (n = 3)
1
1
1
%
33,3
33,3
33,3
Persentase derajat resistensi dan multiresistensi kuman
Salmonella terhadap antibiotik disajikan dalam Tabel 8 dan 9.
Tabel 8.
Persentase besarnya resistensi kuman Salmonella terhadap lima
jenis antibiotik berdasarkan uji secara disk difussion
Antibiotik
C
Te
K
Amp
SxT
Tabel 9.
(30 µg)
(30 µg)
(30 µg)
(10 µg)
(25 µg)
Jumlah isolat Salmonella
yang resisters (n = 7)
%
4
5
3
3
5
57,1
71,4
42,8
42,8
71,4
Multiresistensi kuman Salmonella penyebab diare terhadap lima
jenis antibiotik berdasarkan hasil uji secara disk difussion
Antibiotik
Jumlah isolat yang
resisters (n = 7)
%
C, Te, K, Amp, SxT
Te, Amp, SxT
C, Te, SxT
K, SxT
C, Te
2
1
1
1
1
28,5
14,2
14,2
14,2
14,2
PEMBAHASAN
Diare masih menduduki peringkat teratas di antara penyakit
menular lainnya berdasarkan jumlah penderita yang berkunjung
ke RSU Tangerang. Hal ini memberikan indikasi bahwa perilaku
hidup bersih dan sehat masih belum membudaya di sebagian
masyarakat luas daerah Tangerang.
Dalam periode tahun 1995 kasus kolera tidak ditemukan;
hasil pemeriksaan terhadap 124 sampel rectal swab penderita
diare umur balita menunjukkan hasil negatif. Sedangkan infeksi
Salmonella pada kasus diare cukup menonjol yakni sebesar 5,5%
dan infeksi Shigella relatif kecil (2,0%).
Hasil uji resistensi kuman Shigella terhadap beberapa jenis
antibiotik terpilih dan antibiotik alternatif menunjukkan bahwa
antibiotik SxT masih cukup efektif untuk diare yang disebabkan
oleh infeksi kuman Shigella, sedangkan untuk antibiotik Amp
sudah menunjukkan efektifitas yang berkurang yakni sebesar
50%.
Pada kasus-kasus diare yang disebabkan oleh infeksi Salmonella, efektifitas antibiotik sudah berkurang. ini berarti bahwa
tingkat resistensi kuman Salmonella terhadap antibiotik terpilih
maupun antibiotik alternatif sudah cukup tinggi. Sebagaimana
tercantum dalam Tabel 8 dan 9 resistensi kuman Salmonella
terhadap antibiotik Chioramphenicol sudah mencapai 57%,
sedangkan terhadap SxT mencapai 71,4%.
Tingkat multiresistensi kuman Shigella mencapai 3 jenis
antibiotik sedangkan pada kuman Salmonella telah didapatkan
I isolat Salmonella group C yang telah resisten terhadap semua
jenis antibiotik yang diujikan yaitu C, Te, K, Amp dan SxT. Keadaan ini dapat menimbulkan kekhawatiran di kalangan medis
karena bila terjadi wabah (outbreak) diare yang disebabkan oleh
infeksi kuman yang telah resisten tersebut akan sulit ditanggulangi dengan pengobatan antibiotik.
Pola resistensi kuman V. cholera terhadap antibiotik Te
berdasarkan hasil pemeriksaan tahun 1990 di Jakarta menunjukkan sensitifitas kuman yang masih cukup tinggi yakni sebesar
90%. Diduga efektifitas antibiotik Te untuk daerah Tangerang
tidak jauh berbeda dengan daerah Jakarta (data tidak ditampilkan).
KESIMPULAN
Kotrimoxazol/SxT masih efektif untuk pengobatan diare
yang disebabkan oleh infeksi Shigella. Efektifitas ampisilin
sebagai antibiotik alternatif sudah berkurang.
Beberapa isolat Salmonella yang berasal dari penderita diare
menunjukkan gejala multiresisten terhadap limajenis antibiotik
secara in vitro yakni : C, Te, K, Amp dan SxT.
KEPUSTAKAAN
1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.
Anonymous. Performance Standard For Anti Microbial Disk Susceptibility
Test. National Committee for Clinical Laboratory Standard, 1976.
Dwi Prahasto I. Antibiotika tidak rasional mulai menjamur, 1995.
Suryaatmaja S. Peranan obat pada Penatalaksanaan Diare, Medika 1992; 7:
79–82.
Simanjuntak CH. Aspek Mikrobiologi Penyakit Diare (Review).
Procceding Pertemuan Ilmiah Penelitian Penyakit Diare di Indonesia.
Badan Litbangkes, Depkes RI Jakarta, 21–23 Oktober 1982.
Sunoto. Rangkuman masalah Diare. Maj Kes Masy Indon 1995; XXIII (9):
615–6.
Setiabudi R. Pemilihan Antibiotik secara Rasional. Maj Farmakol dan
Terap. Indon 1988; (5(1): 79–36.
WHO,CDD. Program For Control Diarhoeal Diseases.Manual For Laboratory lnvestigation of Acute Enteric Infection, 1987.
Bear the inevitable with dignity
(Streckfuss)
Cermin Dunia Kedokteran No. 114, 1997
55
ANALISIS
Karakteristik Gizi Masyarakat
Pedesaan dan Perkotaan
Sarjaini Jamal
Pusat Penelitian dan Pengembangan Farmasi, Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan
Departemen Kesehatan RI, Jakarta
PENDAHULUAN
Di bidang gizi, keberhasilan pembangunan dapat ditunjukkan dengan semakin menurunnya persentase balita yang bergizi
kurang dan buruk penurunan prevalensi gizi kurang dan buruk(1);
ini adalah sebagai dampak komplementer berbagai program
pembangunan sosial-ekonomi(2). Beberapa masalah gizi pada
awal-awal Pelita pertama adalah defisiensi Vitamin A, anemia,
kekurangan kalori protein (KKP) dan gangguan akibat kurang
lodium (GAKI); sekarang keadaan jauh lebih baik walaupun
masalah di atas masih belum dapat dihilangkan secara keseluruhan.
Gizi yang baik merupakan salah satu prasyarat untuk menghasilkan sumber daya manusia (SDM) yang berkualitas. SDM
yang berkualitas dibutuhkan sebagai modal pembangunan menuju era tinggal landas PJPT II. Karena itu status gizi masyarakat selalu dipantau dan mendapat perhatian khusus pada setiap
Pelita.
Di sementara penduduk kelebihan gizi yang dikaitkan
dengan kegemukan (obesity) dan risiko kesehatan individu merupakan pula masalah baru. Menurut penelitian skala terbatas
yang dilakukan tahun 1983, sebanyak 8,4% para ibu rumah
tangga/isteri mengalami obesitas(3). Demikian juga penelitian
lain menunjukkan bahwa 22,8% karyawan perusahaan dan para
manager yang pernah diteliti menderita obesitas(4).
Desa dan kota selalu mendapat sorotan dalam analisis pembangunan di berbagai bidang, terutama dalam hal issue pemerataan dan kemiskinan; keduanya mempunyai keunikan sendiri
baik dalam masalah demografi dan geografi maupun dalam
masalah sosial ekonomi. Daerah pedesaan luasnya lebih dari dua
kali daerah perkotaan dengan penduduk yang jarang. Perkotaan
mempunyai daerah yang sempit dengan penduduk yang rapat.
56
Cermin Dunia Kedokteran No. 114, 1997
Masyarakat pedesaan pada umumnya mempunyai status ekonomi yang lebih rendah dibandingkan perkotaan; sebagian besar
penduduk pedesaan bekerja di bidang pertanian/perikanan dan
yang berhubungan dengan itu. Karena sifatnya yang berkaitan
dengan alam menyebabkan tingkat ketergantungan masyarakat
pedesaan pada perubahan cuaca dan iklim sangat tinggi.
Kondisi kesehatan dan gizi banyak dipengaruhi oleh pola
makan dan keragaman gizi individu dan ini sangat tergantung
pada kondisi ekonomi keluarga. Keluarga dengan status sosialekonomi lebih baik besar kemungkinan mempunyai anggota
keluarga dengan status gizi yang lebih baik pula, demikian pula
sebaliknya.
Apakah perbedaan antara daerah pedesaan dan perkotaan
akan berpengaruh pula pada status gizi penduduk di daerah itu?
Analisis yang dilakukan secara deskriptif ini akan mencoba
menjawab pertanyaan tersebut.
METODOLOGI
Data dicuplik dan berbagai hasil penelitian yang pernah
dilakukan di Indonesia seperti survei kesehatan rumah tangga
(SKRT), Susenas, survei demografi dan kesehatan Indonesia
dan penelitian lain yang selaras.
Data kemudian dikelompokkan dalam tabel-tabel distribusi
frekuensi sesuai dengan kebutuhan.
Analisis dilakukan dengan membandingkan daerah pedesaan dan perkotaan dalam hal:
1. Balita yang pernah disusui dan lama rata-rata diberi ASI
2. Status gizi balita
3. Hasil persalinan, keguguran dan lahir mati
4. Jumlah anggota rumah tangga
5. Pengeluaran rumah tangga untuk makan
6. Anemia di kalangan ibu hamil.
Tabel 4.
Distribusi persentase jumlah anggota rumah tangga di pedesaan
dan perkotaan
HASIL
Pedesaan Perkotaan
(%)
(%)
No.
Karakteristik
1
2
3
4
5
6
7
8
9
Jumlah anggota rumah tangga
1
2
3
4
5
6
7
8
9+
Rata-rata anggota rumah tangga
1) Persentase balita yang pernah disusui
Tabel 1.
Persentase balita pernah disusui dan lama mendapat ASI di
pedesaan dan perkotaan
No.
Karakteristik
1
2
Persentase pernah disusui
Rata-rata lama dapat ASI
(dalam baton)
Pedesaan
(%)
Perkotaan
(%)
Nasional
(%)
98,47
17,50
96,63
15,68
97,92
16,96
Sumber : BPS, Statistik Kesehatan Rumah Tangga, BPS, Jakarta, 1992
Di daerah pedesaan rata-rata bayi disusui lebih lama dibandingkan dengan di daerah perkotaan. Juga persentase bayi
yang pernah disusui sedikit lebih banyak di daerah pedesaan
dibandingkan perkotaan.
No.
Tabel 5.
1
2
3
4
Baik
Sedang
Kurang
Buruk
Perkotaan
(%)
63,68
27,01
7,38
1,93
Nasional
(%)
55,53
31,42
10,56
2,49
100
100
100
Total
Persentase balita dengan gizi baik lebih banyak di perkotaan
dibandingkan di pedesaan. Sedangkan persentase balita dengan
status gizi sedang, kurang dan buruk lebih banyak ditemukan di
pedesaan.
3) Hasil persalinan/keguguran
No .
I
2
3
Persentase persalinan/keguguran dipedesaan dan perkotaan
Karakteristik
Lahir hidup
Lahir mall
Keguguran
Total
Pedesaan
(%)
87,85
3,82
8,33
Perkotaan
(%)
88,04
2,99
8,97
Nasional
(%)
87,91
3,56
8,53
100
100
100
Sumber : BPS, Statistik Kesehatan Rumah Tangga, BPS, Jakarta, 1992
Persentase lahir mati di pedesaan sedikit lebih banyak dibandingkan di perkotaan, sedangkan persentase lahir hidup atau
keguguran di kedua daerah tidak banyak berbeua. Secara nasional lebih dan 10 persen kehamilan disudahi dengan lahir
mati atau keguguran.
4) Distribusi persentase jumlah anggota rumah tangga
Jumlah anggota rumah tangga 3 dan 4 lebih banyak di pedesaan sedangkan persentase anggota rumah tangga yang lebih
dari 5 lebih banyak di perkotaan.
Perkotaan (%)
No.
Jenis pengeluaran
Jawa Barat
UK! Jakarta
Jawa Timur
1
2
3
4
5
6
Makanan
Pakaian
Pendidikan
Kesehatan
Transportasi
Lain-lain (listrik,
air, kontrak rumah,
hajatan dll)
69,4
3,7
1,4
2,6
0,2
22,7
57,3
3,2
4,7
4,7
3,4
26,7
60,4
4,1
8,1
8,1
2,3
17,0
Jumlah
100
100
100
Sumber : BPS, Statistik Kesehatan Rumah Tangga, BPS, Jakarta, 1992
Tabel 3.
Persentase pengeluaran rumah tangga berpenghasilan rendah
atas dasar kebutuhan sehari-hari di pedesaan dan perkotaan
Pedesaan (%)
Pedesaan
(%)
52,07
33,29
11,91
2,73
4,7
10,3
17,1
20,4
17,4
12,8
7,9
4,3
5,2
4,6
5) Pengeluaran rumah tangga penduduk berpenghasilan
rendah di perkotaan dan pedesaan
Status gizi balita di pedesaan dan perkotaan
Karakteristik
5,3
9,2
14,9
18,4
17,0
13.6
9,0
5,0
7,6
4,9
Sumber : BPS, Survei Demografi dan Kesehatan Indonesia, BPS, Jakarta, 1991
2) Persentase balita menurut status gizi
Tabel 2.
4,5
10,7
18,0
21,2
17,5
12,5
7,5
4,0
4,2
4,5
Nasional
(%)
Sumber: Joko Susanto. Ciri lapisan masyarakat berpenghasilan rendah di perkotaan dan pedesaan dan kaitannya dengan gizi pangan dan kesehatan, Puslitbang Gizi, Bogor, 1992.
Lebih dari separuh penghasilan penduduk berpenghasilan
rendah dibelanjakan untuk kebutuhan makan, sedangkan untuk
kesehatan hanya sebagian kecil saja.
6) Persentase anemia di kalangan ibu hamil
Tabel 6.
Persentase anemia di kalangan ibu hamil di pedesaan dan perkotaan
No.
Karakteristik
1981
1
Pedesaan
58,3 %
2
Perkotaan
48,0 %
DISKUSI
Beberapa indikator yang biasa digunakan dalam mengukur
status gizi masyarakat di antaranya adalah : persentase penduduk
dengan body mass index (BMI) di bawah standar WHO dan
persentase bayi yang lahir dengan berat badan lebih rendah dari
2,5 kg (BBLR). Pengukuran indikator pertama sudah banyak dilakukan, di antaranya adalah melalui survei status gizi masyarakat di enam propinsi (1984). Pengukuran indikator yang kedua
Cermin Dunia Kedokteran No. 114, 1997
57
melalui SDKI–1991 menghasilkan angka 2,7%, sedangkan penelitian pada 2457 ibu hamil di Kabupaten Bogor dan Kodya Bogor
menemukan angka BBLR sebesar 10,4%(5). BBLR juga dapat
dipantau melalui sistim pelaporan RS (SPRS) dan Puskesmas
(SP2TP) untuk bayi yang dilahirkan di kedua pelayanan kesehatan tersebut.
Status gizi seorang individu banyak dipengaruhi oleh konsumsi makanan sehari-hari; pada bayi dan anak-anak misalnya,
masukan gizi ditentukan oleh orang tuanya. Sedangkan kon–
sumsi niakanan keluarga ditentukan pula oleh tingkat sosio
ekonomi keluarga. Tingkat sosio ekonomi suatu keluarga secara
terbatas dapat dibandingkan dengan yang lainnya melalui besarnya persentase penghasilan sebulan yang digunakan untuk
makan oleh tiap keluarga.
Penduduk di pedesaan tampaknya berpenghasilan lebih
rendah dibandingkan dengan di perkotaan; ini dapat dilihat dari
lebih tingginya porsi pendapatan mereka yang digunakan untuk
makan dibandingkan dengan di daerah perkotaan(6). Hal yang
samajuga terjadi pada penduduk berpenghasilan rendah (Tabel
5). Jumlah anggota keluarga diduga turut menentukan tingkat
konsumsi makanan. Jumlah anggota rumah tangga yang besar
bila tidak diimbangi dengan peningkatan pendapatan akan
memperburuk status gizi keluarga secara keseluruhan. Di kalangan pegawai negeri misalnya, tiap penambahan anak dalam
batas tertentu mendapatkan tunjangan yang dapat menambah
penghasilan keluarga; walaupun demikian, sampai pada umur
tertentu kenaikan penghasilan itu tidak seimbang lagi dengan
kenaikan kebutuhan anggota keluarga. Keadaan ini akan lebih
buruk pada keluarga berpenghasilan rendah yang bukan pegawai
negeri.
Keluarga dengan dua orang anak merupakan persentase terbanyak, baik di perkotaan maupun di pedesaan, demikian juga
rata-rata keluarga adalah sekitar 4 orang (Tabel 4). ini menunjukkan bahwa program KB selama ini cukup berhasil dalam
menekan kelahiran penduduk. Bagaimana pengaruhnya pada
status gizi masyarakat penlu dianalisis lebih lanjut secara tersendiri.
Sekarang jumlah penduduk dalam katagori miskin (15%)
jauh berkurang dibandingkan beberapa tahun yang 1a1u(7). Artinya telah terjadi peningkatan pendapatan di kalangan penduduk
miskin yang ada selama ini;fenomena ini tentu akan berpengaruh
pula pada status gizi masyarakat.
Kualitas manusia ditentukan sejak masa-masa awal pertumbuhan janin dalam kandungan. Kekurangan gizi semasa hamil
dapat menghambat pertumbuhan sang bayi bahkan menimbulkan berbagai kelainan atau cacat bawaan pada anak. Keracunan
logam beratdan pemakaian obat-obat tertentu selama kehamilan
juga dapat berpengaruh buruk pada janin(8).
Dalam masa bayi pemberian air susu ibu (ASI) merupakan
salah satu yang mendapat perhatian khusus dalam pencegahan
diare dan kaitannya pada penurunan angka kematian bayi (IMR).
Pemberian ASI eksklusif merupakan cara yang dianjurkan karena di samping mempunyai susunan gizi yang lengkap,ASI juga
dapat menunda terjadinya kehamilan berikutnya sehingga mendukung program keluarga berencana. Dari hasil SKRT 1992
58
Cermin Dunia Kedokteran No. 114, 1997
diketahui bahwa hanya sekitar dua pertiga anak-anak yang mendapatkan ASI saja sampai usia 3 bulan, sedangkan yang diberi
ASI sampai usia 11 bulan hanya 32,5%(1).
Keadaan gizi juga dapat ditentukan melalul pengukuran
antropometri, yaitu dengan cara membandingkan berat badan
dan tinggi badan (BMI) menurut standar WHO. Gizi baik apabila
BMI lebih dari 90% dan standar, gizi kurang bila angka tersebut
70–90% dan gizi buruk bila angka tersebut di bawah 70%. Ternyata persentase anak balita dengan gizi yang baik lebih banyak
di perkotaan (Tabel 2). Di kalangan ibu hamil diamati BMI
semakin baik dengan semakin bertambahnya umur kehamilan
(SKRT- 1992). Anemia diderita hampir 70% ibu hamil. Distribusi ibu hamil yang mengalami anemia tersebut 47% bekerja di
bidang pertanian, 21% di bidang jasa dan 18% di bidang perdagangan (SKRT- 1992). Prevalensi anemia gizi pada wanita pekerja berkisar antara 20-70%(9).
Masalah gizi merupakan masalah multisektor dengan berbagai dimensi. Karena itu pendekatan pemecahannya memerlukan pendekatan multisektor pula. Berbagai upaya telah dilakukan
untuk memperbaiki gizi masyarakat melalui program upaya
peningkatan gizi keluarga (UPGK) yang tidak saja melibatkan
pemerintah tetapi juga organisasi PKK dan lain-lain.Penyuluhan,
percontohan dan pembinaan telah dilakukan dalam berbagai
tingkat dan kesempatan. Berbagai upaya meningkatkan status
gizi masyarakat telah dipadukan melalui kegiatan posyandu.
Persentase rata-rata anemia pada balita adalah 55,5% (SKRT92), sedangkan pada ibu hamil adalah 63,5%. Bila dibandingkan
dengan tahun 1986 (73,3%) nampaknya angka tersebut telah
mengalami penurunan. Tetapi bila dibandingkan dengan data
lain pada tahun 1981(48–58%) dan di daerah pedesaan lebih
banyak dibandingkan dengan di daerah perkotaan (Tabel 6)
tampaknya angka tersebut masih belum banyak berubah. Program distribusi tablet besi kelihatannya belum banyak membawa
hasil. Berbagai kemungkinan bisa terjadi, misalnya masih
banyak ibu-ibu hamil yang karena berbagai sebab tidak mendapatkan obat tersebut. Dugaan ini diperkuat oleh hasil penelitian UPGK yang menemukan bahwa hanya 25% wanita hamil
yang mendapatkan pil besi. Kemungkinan lain adalah obat yang
diterima tidak dimakan karena berbagai alasan (tidak enak,
membuat pedih lambung dan lain-lain). Pemberian tablet besi
tiap hari selama dua bulan hanya mampu meningkatkan kadar
Hb sebesar 0,67%(10).
Bila ditelusuri lebih lanjut banyak faktor yang menyebabkan
terjadinya anemia. Di samping yang telah disebutkan di atas juga
bisa karena absorbsi besi pada saluran pencernaan yang buruk
serta karena infeksi malaria dan cacing.
Hubungan anemia dengan rendahnya produktifitas telah dibuktikan melalui penelitian yang dilakukan pada pemetik teh di
Bandung pada tahun 1991(11). Diperkirakan 30–40% tenaga kerja
menderita anemia besi sehing tak mampu bekerja optimal(12).
Fenomena ini secara nasional tentu akan mengurangi produksi
yang sebenarnya dapat ditingkatkan.
Lahir mati di pedesaan lebih tinggi dibandingkan di perkotaan (Tabel 3). ini menunjukkan bahwa melahirkan di pedesaan lebih berisiko dibandingkan di perkotaan. Hal ini dapat
dimaklumi karena di samping dukun lebih banyak berperan
dalam menolong kelahiran di desa dibandingkan di kota, juga
karena masihjarangnya dilakukan pemeriksaan yang kontinu ke
pelayanan kesehatan selama kehamilan oleh ibu-ibu di pedesaan.
Anemia yang tinggi di kalangan ibu hamil juga berperan dalam
masih tingginya kematian thu hamil di Indonesia karena perdarahan sewaktu partus. Anemia berat dapat menaikkan risiko
terhadap persalinan prematur tiga kali lipat. Sedangkan anemia
berat dengan kadar Hb kurang dari 6 g/dl cenderung menyebabkan tingginya angka lahir mati.
Hipertensi yang diderita ibu hamil sangat berpengaruh terjadinya eklamsia. Eklamsia merupakan salah satu faktor risiko
terjadinya kematian di kalangan ibu hamil sewaktu melahirkan.
Sebanyak 4,8% ibu hamil memiliki tekanan diastolik 90 mmHg
atau lebih; insidens ibu hamil dengan hipertensi lebih tinggi di
daerah pedesaan dibandingkan di perkotaan (5,4% banding 3,9%
– SKRT-1992).
Sebanyak 15% penduduk Indonesia belum tersentuh pelayanan kesehatan, yaitu yang tinggal di daerah pedesaan pedalaman, terpencil dan perbatasan. Hal ini diatasi dengan melakukan
penempatan bidan desa. Tindakan ini dilakukan di samping
sebagai terobosan juga diharapkan dapat menurunkan angka
kematian bayi (IMT)(13).
Demikian juga penyakit gangguan jiwa dalam kaitan dengan
kemiskinan perlu pula mendapat perhatian. Penyakit ini lebih
tinggi di daerah perkotaan dibandingkan pedesaan(14). Karena
persaingan yang kuat menyebabkan tekanan jiwa dan konflik
sering lebih banyak dialami oleh orang-orang yang hidup di
kota. ini menunjukkan bahwa kehidupan kota jauh lebih keras
dibandingkan di pedesaan, terutama bagi para pendatang dari
desa yang tidak siap fisik dan mental.
4) Persentase keluarga dengan 3 atau 4 anak lebih banyak di
pedesaan,sedangkan yang lebih dari 5 lebih banyak di perkotaan.
5) Persentase pengeluaran rata-rata keluarga untuk makanan
di pedesaan lebih tinggi dibandingkan dengan di perkotaan.
6) Persentase ibu hamil yang menderita anemia lebih tinggi di
pedesaan dibandingkan di perkotaan.
KESIMPULAN
1) Persentase balita yang pernah disusui sedikit lebih banyak
di pedesaan, demikian juga rata-rata balita disusui lebih lama di
pedesaan dibandingkan di perkotaan.
2) Persentase balita dengan gizi kurang dan buruk lebih
banyak di pedesaan dibandingkan di perkotaan.
3) Persentase lahir mati di pedesaan lebih banyak dibandingkan di perkotaan.
10.
SARAN
Status gizi berkaitan dengan rendahnya pendapatan keluarga.
Sebagian besar masyarakat berpendapatan rendah berada di pedesaan. Untuk meningkatkan status gizi masyarakat pedesaan
tersebut disarankan agar kesempatan kerja lebih banyak diberikan kepada masyarakat pedesaan melalui berbagai pendirian
pabrik atau usaha terpadu yang mengikutsertakan mereka.
KEPUSTAKAAN
1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.
8.
9.
11.
12.
13.
14.
Badan Litbang Kesehatan. Survei Kesehatan Rumah Tangga (SKRT),
1992, Jakarta, 1994.
Soekirman. Dampak pembangunan terhadap keadaan gizi masyarakat.
Pidato penerimaan jabatan Guru Besar Luar Biasa Ilmu Gizi di IPB.
Bogor, 1991.
Jajah K. Husaini etal. Partisipasi wanita dalam memperbaiki perilaku gizi
dan kesehatan kelompok berpenghasilan rendah. Puslitbang Gizi, Bogor,
1993.
Hermana, Mien Karmini. Penelitian kebiasaan makan para manager dan
karyawan perusahaan dan penyakit degeneratif yang mungkin diderita.
Dep. Kes. RI. Jakarta, 1993.
Husaini YK et al. Keadaan kesehatan dalam hubungannya dengan keadaan gizi pada wanita hamil. Puslitbang Gizi. Bogor.
BPS. Statistik Indonesia. Jakarta, 1992.
Bank Dunia. L.aporan Perkembangan Dunia, Washington DC, 1990.
EbrahimGi. Perinatal neglect, dalam Wilson SJ. Disability prevention, The
global challengeLondon: Oxford University Press, 1983.
Husaini MA et al. Studi kompilasi informasi dalam menunjang kebijaksanaan nasional dan pengembangan program.Dep. Kes. RI, Jakarta, 1989.
Sandjaja. Sistim distribusi preparat besi pada wanita hamil dan anak prasekolah untuk mengatasi anemia gizi. Puslitbang Gizi, Bogor. 1985.
Husaini MA et al. Penelitian penanggulangan anemia gizi pada wanita
pekerja untuk pengembangan program. Dep. Kes. RI, Jakarta, 1989.
Husaini MA et al. Functional consequences of iron deficiency: Results of
the study in the Java tea plantation, 1987.
Suyudi. Pidato pada tatap muka dengan paramedis teladan. Jakarta, Agustus, 1993.
Soewadi et al. Epidemiologi gangguan mental di Yogyakarta. FK-UGM,
Yogyakarta. 1981.
A little too late is much too late
Cermin Dunia Kedokteran No. 114, 1997
59
HASIL PENELITIAN
Seroepidemiologi Antitoksin Tetanus
pada Anak Usia 5-12 tahun
di Indonesia
Siti Sundari Y, Dewi P, Farida, Imu R, Sumarno, Deni
Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan
Departemen Kesehatan RI, Jakarta
PENDAHULUAN
Penelitian sero epidemiologi antitoksin terhadap tetanus
sudah banyak dilakukan tetapi angka kematian bayi sebagai
salah satu faktor indikator derajat kesehatan di Indonesia, menunjukkan angka yang relatif tinggi, berkisar 70 bayi per 1000
kelahiran hidup, kurang lebih 40% di antaranya disebabkan oleh
tetanus neonatorum.
Pemberantasan tetanus neonatorum dilakukan dengan
vaksinasi toksoid tetanus pada ibu hamil, mengingat adanya
kemainpuan sang ibu untuk mewariskan kekebalan imunologi
kepada bayi dalam kandungan. Berdasarkan pertimbangan
operasional toxoid tetanus diberikan pada calon pengantin, anak
SD kelas 6. Toxoid tetanus diberikan kepada bayi dan anak
kelas satu SD sebagai vaksin polivalen bersama toxoid difteri
dan vaksin batuk rejan, 3 dosis DPT waktu bayi, 2 dosis kelas 1
SD, 2 dosis TT pada kelas enam SD sehingga cakupan kekebalan imunologis terhadap tetanus semakin tinggi.
Maksud dan tujuan penelitian ini mengukur proporsi individu yang secara serologis telah terbukti memiliki kekebalan
terhadap tetanus di kelompok umur 5–12 tahun dan memberikan
informasi status kekebalan imunologis terhadap tetanus di masyarakat.
BAHAN DAN CARA KERJA
Lokasi penelitian
Dilakukan Kabupaten Lamongan, Jawa Timur; Kabupaten
Kulon Progo, DI Yogyakarta dan Lombok Barat, Nusa Tenggara
Barat.
Sasaran penelitian : kelompok umur 5–12 tahun.
Pemilihan sampel menurut teknik WHO EPI Cluster
Sampling Method: 30 cluster masing-masing 7 sampel.
Penelitian dilakukan di tiga kabupaten, diambil yang dapat
mewakili kriteria vaksinasi TT tinggi, sedang dan rendah yaitu
kabupaten Lamongan, Kulon Progo dan Lombok Barat. Di setiap
60
Cermin Dunia Kedokteran No. 114, 1997
kabupaten dipilih 6 kecamatan dengan jumlah penduduk padat,
dari masing-masing kecamatan dipilih 5 desa dan setiap desa
diambil 7 anak perempuan berumur 5–12 tahun. Dari setiap
sampel diambil 1 ml darah vena dilakukan hanya satu kali. Pemilihan sampel mengikuti teknik WHO EPI Cluster Sampling
Technique.
Pemeriksaan serologis atas kekebalan imunologis terhadap
tetanus masing-masing individu diukur dengan teknik Passive
Haemagglutination Assay. Pengolahan data kadar antitoksin
tetanus dalam spesimen dinyatakan dalam Geometric Mean Titre
(GMT). Pendekatan ini telah umum dilakukan dalam menyatakan hasil-hasil pemeriksaan laboratorium yang didasarkan atas
teknik titrasi dengan pengenceran serial.
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
Tabel 1.
Jumlah spesimen kelompok umur 5–12 tahun
Tempat
Jumlah specimen
Kulon Progo
Lombok Barat
Lamongan
176
201
192
Jumlah spesimen Kulon Progo paling sedikit dibandingkan
dengan yang lain (Tabel 1); sebagian besar memiliki tingkat
pendidikan SD (Tabel 2).
Tabel 2.
Tingkat pendidikan kelompok umur 5–12 tahun
Pendidikan
Kulonprogo
Lamongan
Lombok Barat
Tak sekolah
Tamat SD
Tak tamat SD
SLIP
–
167
3
6
1
180
5
6
18
168
15
–
Dalam Tabel 3 terlihat bahwa cakupan program imunisasi
DT pada anak SD cukup tinggi mendekati 90%, namun masih
banyak anak hanya dapat satu dosis DT seperti di -Kulon Progo
dan Lombok Barat.
Tabel 3.
Status Vaksinasi DT (program anak sekolah SD) pada kelompok
umur 5–12 tahun
Daerah
Belum
pernah
Satu dosis
Dua dosis
Total
n
%
n
%
n
%
n
%
Kulon Progo
Kab. Lamongan
Kab. Lombok Barat
28
13
88
15,9
6,8
43,8
86
21
63
48,9
10,9
31,3
62
158
50
35,2
82,3
24,9
176
192
201
100
100
100
Total
129
22,7
170
29,9
270
475
569
100
Tabel 4.
Tabel 5.
Status DT
Belum pernah
(%)
(GMT)
(bawah)
(atas)
1 dosis
(%)
(GMT)
(bawah)
(atas)
2 dosis
(%)
(GMT)
(bawah)
(alas)
Total
(%)
(GMT)
(bawah)
(atas)
Kadar antitoksin tetanus dari kelompok umur 5-12 tahun
Daerah
Negatif
Positif
Total
Kab Kulon Progo
Kab Lamongan
Kab Lombok Barat
n
46
28
56
%
261
146
279
n
130
164
145
%
73,9
85,4
72,1
n
176
192
201
%
100,0
100,0
1000
Total
130
22 8
439
77,2
569
100,0
Proporsi sampel yang memiliki antitoksin terhadap tetanus
pada kelompok umur 5–12 tahun di tiap kabupaten cukup tinggi,
terlihat semakin banyak dosis tetanus toksoid yang diterima
makin sedikit proporsi anak yang tidak memiliki antitoksin
terhadap tetanus.
Pada Tabel 5 terlihat bahwa pada sampel anak SD yang
belum pernah divaksinasi DT sebagian telah memiliki antitoksin
terhadap tetanus, hal ini mungkin didapat dan waktu anak masih
bayi atau infeksi alam. Kadar antitoksin terhadap tetanus ternyata
meningkat sejalan dengan jumlah dosis toksoid tetanus yang diterima.
KESIMPULAN
1) Pelaksanaan vaksinasi (program kelas SD) di Kabupaten
Kulon Progo, Lamongan dan Lombok Barat, telah terlaksana
baik, tetapi di Kabupaten Lombok Barat banyak anak SD yang
hanya mencnima 1 dosis vaksin DT.
2) Anak wanita umur 5–12 tahun lebih dan 75% di antaranya
telah memiliki antitoksin terhadap tetanus; kadar ini berhubungan erat dengan status vaksinasi DT yang dimilikinya.
Hubungan antara status vaksinasi DT-anak SD dengan kadar
antitoksin pada sample 5–12 tahun
Antitoksin (negatip)
44
34,1
45
26,5
41
15,2
130
22,8
Antitoksin (positip)
85
65,9
0,3112
0,0311
3,1193
125
73,5
0,8139
0,1317
5,0311
229
84,8
0,8262
0,1341
5,0942
439
77,2
0,6196
0,0738
5,2027
Total
129
100,0
0,0646
0,0036
1,1482
170
100,0
0,1861
0,0101
3,4451
270
100,0
0,4889
0,0372
6,4186
569
100,0
0,2315
0,0131
4,1313
3) Sebanyak 65% anak wanita umur 5–12 tahun yang tidak
menerima vaksinasi DT ternyata juga memiliki antitoksin terhadap tetanus.
UCAPAN TERIMA KASIH
Kami ucapkan terima kasih kepada Bapak Eko Supri yanto yang membantu
penelitian ini dan dalam penyelesaian penulisan makalah ini.
KEPUSTAKAAN
1.
2.
3.
4.
Determination of immunity against tetanus infection by passive haemaglutination assay. P. Marconi; Pitzurra; F. Bistoni Ball 1st. Scriter Milar 62 (6)
1983. p 567–574
Varanym Sangpetchsong et al. Transfer rate of transplacental immunity to
tetanus from non immunizefd and immunized mothers. SEA J. Trop Med
PubilHealth 1984; 15(3): 275–280.
Model for Eradication of Diptheria and Tetanus Evaluation of Immunological
and Experimental Epidemiological Investigation between 1952–1977 L.
Recthy: 37–51.
Agrawal K, Pendit K, Kannan AT. Single dose tetanus toxoid a-review of
trials in India with special Reference to control of tetanus neonatorium. Indian
J Pediatr 1984; 51: 283–85.
Friends are ourselves
(Donne)
Cermin Dunia Kedokteran No. 114, 1997
61
ABSTRAK
EFEK BERHENTI MEROKOK
Anda tak pernah terlambat untuk berhenti merokok, perbaikan tingkat kesehatan tetap akan dirasakan kapanpun
anda memutuskan untuk berhenti.
Dalam 20 menit setelah anda berhenti merokok, tekanan darah akan
kembali ke tingkat awal; dalam 8 jam
kadar CO darah kembali normal. Setelah 48 jam daya kecap dan daya cium
akan membaik dan dalam 1–9 bulan keluhan-keluhan batuk, gangguan sinus,
nafas pendek dan kelelahan akan menghilang, kemampuan cilia dalam bronkhi
akan pulih kembali.
Setelah 5 tahun risiko kanker paru
turun 50% dan setelah 15 tahun baik
risiko kanker ataupun risiko kardiovaskuler akan kembali sama dengan
bukan perokok.
MCHL 1996/ (Jan); 14(6): 2
hk
OBAT ANTI IMPOTEN
Pfizer saat ini sedang mengembangkan preparat oraluntuk gangguan ereksi;
sildenafil –suatu vasodilator yang mulamula diselidiki untuk mengatasi angina
pektoris, dicoba dengan dosis tunggal
satu jam sebelum hubungan seksual.
Pada percobaan atas 351 pria, dosis
10 mg., 25 mg. dan 50 mg. masingmasing memperbaiki ereksi pada 65%,
79% dan 88% populasi, dibandingkan
dengan 39% di kalangan plasebo. Pada
percobaan lain atas 43 pria selama 28
hari, obat ini memperbaiki ereksi pada
92%, sedangkan plasebo hanya berhasil
pada 27%.
Obat ini mempunyai harapan besar
mengingat dapat digunakan per oral, dibandingkan dengan Caverject® yang
saat ini beredar, yang harus disuntikkan
intrakavernosal.
NIMODIPIN DAN STROKE
Publikasi dalam Stroke edisi April
1996 menyebutkan bahwa studi penggunaan nimodipin pada pasien yang
menjalani operasi jantung harus dihentikan karena peningkatan mortalitas di
kalangan pengguna obat tersebut.
Studi ini dimaksudkan untuk meneliti efek nimodipin terhadap risiko stroke
dan gangguan konsentrasi akibat mikroemboli yang mungkin terjadi selama
pembedahan. Ternyata defisit neuropsikologik terjadi pada 77% pasien dibandingkan dengan 72% di kalangan
plasebo; setelah 6 bulan, 8 (10,7%) pasien meninggal dibandingkan dengan
1 (1,3%) pasien di kalangan plasebo,
sedangkan perdarahan terjadi pada 10
(13,3%) pasien dibandingkan dengan 3
(4,1%) di kalangan plasebo.
Scrip 1996: 2121: 5
brw
PEROKOK Dl CINA
Populasi perokok di Cina merupakan
segmen terbesar perokok di dunia; pria
di Cina merupakan 10% populasi dunia,
tetapi mengkonsumsi 30% rokok di
dunia; konsumsi perkapita orang dewasa meningkat dan 890 sigaret/tahun
pada 1965 menjadi 1960 sigaret/tahun
di tahun 1990.
Pada usia pertengahan, 75% pria dan
5% wanita perokok dan frekuensi merokok meningkat dan rata-rata 1 sigaret/
hari di tahun 1952 menjadi 4 sigaret/
hari di tahun 1972, dan menjadi 10
sigaret/ hari di tahun 1992.
Produksi rokok di Cina pada 1992
sebesar 1650 miliar batang sigaret,
merupakan 31% dan produksi total
dunia.
JAMA 1996; 275(21): 1683
hk
Marketletter 1996: 23(19): 23
hk
62
Cermin Dunia Kedokteran No. 114, 1997
ANTIB1OTIK PROFILAKTIK
Manfaat profilaksis antibiotik pada
operasi terhadap fraktur tertutup telah
diselidiki di Belanda; sebanyak 2195
pasien berusia 18 tahun ke atas dengan
fraktur anggota gerak tertutup menjalani operasi reposisi, 1090 pasien menerima plasebo, 1105 menerima 2 g.
ceftriaxone dosis tunggal sebelum operasi. Ternyata infeksi luka (superfisial
maupun dalam) terjadi pada 8,3% di kelompok plasebo, dibandingkan dengan
hanya 3,6% di kelompok ceftriaxone
(p ≤ 0,001). Infeksi nosokomial pada
bulan pertama terjadi pada 10,2% di
kelompok plasebo dan 2,3% di kelompok ceftriaxone (p ≤ 0,001).
Kuman Gram + ditemukan pada
74,5% infeksi luka dan pada 13,4%
infeksi nosokomial.
Penggunaan antibiotik profilaksis
dosis tunggal telah menurunkan kejadian
infeksi luka dan infeksi nosokomial di
kalangan pasien fraktur tertutup yang
menjalani operasi reposisi.
Lancet 1996; 347: 1133–37
brw
TEKANAN DARAH DAN DEMENSIA
Data dan Longitudinal Population
Study di Goteborg, Swedia dianalisis
untuk mencari kaitan antara tekanan darah dengan munculnya gejala demensia.
Sejumlah 382 orang berusia 70 tahun
tanpa gejala demensia diamati selama
15 tahun; ternyata para manula yang
menunjukkan gejala demensia pada usia
79–85 tahun mempunyai tekanan sistolik pada usia 70 tahun yang lebih tinggi
(rata-rata 178vs. 164mmHg., p = 0,034),
juga tekanan diastoliknya di usia 70
tahun (rata-rata 101 vs. 92 mmHg, p=
0,004), dan di usia 75 tahun (97 vs.90
mmHg, p = 0,022) dibandingkan dengan kelompok yang tanpa gejala demensia. Pasien Alzheimer juga mempunyai tekanan diastolik di usia 70 tahun yang lebih tinggi(101mmHg, p =
0,019), sedangkan pasien demensia
vaskuler tekanan diastolik di usia 75
tahun lebih tinggi (101 mmHg, p=0,015)
ABSTRAK
dibandingkan dengan kelompok tanpa
gejala demensia.
Tingginya tekanan darah agaknya
menyebabkan meningkatkan risiko demensia melalui lesi pembuluh darah
kecil dan kerusakan substansia alba.
Lancet 1996; 347: /141–45
brw
MANFAAT BETA KAROTEN
Sejumlah 22.071 dokter pria di AS
yang berusia 40–84 tahun di tahun 1982
tanpa riwayat kanker, infark miokard
atau CVD mengikuti percobaan acak
buta ganda untuk mempelajari manfaat
beta-karoten; 11.036 orang mendapat
50 mg. beta karoten selang sehari dan
11.035 lainnya mendapat plasebo.
Setelah 12 tahun, di kelompok betakaroten terdapat 1.273 kasus kanker ganas (kecuali kanker kulit non melanoma)
dibandingkan dengan 1.293 kasus di
kelompok plasebo (RR: 0,98, 95%CI:
0,91 – 1,06). Selain itu juga terdapat perbedaan tak bermakna dalam hal kasus
kanker paru (82 di kelompok beta-karoten vs. 88 di kelompok plasebo), kematian akibat kanker (386 vs. 380), kematian akibat sebab apapun (979 vs. 968)
ataupun akibat kardiovaskular (338 vs.
313), kasus infark miokard (468vs. 489),
kasus stroke (367vs.382). Di antara perokok ataupun bukan perokok, tidak
terdapat perbedaan.
Hasil percobaan ini menunjukkan
bahwa suplementasi tersebut tidak mempunyai efek menguntungkan ataupun
merugikan.
N. Engl. J. Med. 1996; 334: 1145–9
tertulis yang berisi pertanyaan mengenai
masalah euthanasia tersebut. Sebanyak
1.139(71%) perawat memberi jawaban,
852 di antaranya bertugas hanya di ruang
intensif; dan 852 orang tersebut, 141
(17%) pernah diminta oleh pasien atau
keluarganya untuk melakukan euthanasia, 129 (16%) pernah melakukannya
dan 35 (4%) lainnya mempercepat kematian dengan harlya berpura-pura melaksanakan instruksi dokter.
Cara yang tersering dilakukan ialah
pemberian opiat dosis tinggi.
N. Engl. J. Med. 1996; 334: 13 74–9
brw
N. Engl. J. Med. /996; 334: 1441–7
FAMOTIDIN UNTUK PROFILAKSIS
Famotidin diteliti efektivitasnya untuk mencegah ulkus peptik di kalangan
pengguna NSAID. Sejumlah 285 pasien
(82% artritis rematoid, 18% osteoartritis) yang mendapat NSAlDjangka panjang diberi 2 dd 20 mg. famotidin, atau
2 dd 40 mg. famotidin, atau plasebo;
kemudian dievaluasi secara endoskopik
pada awal percobaan dan setelah 4, 12
dan 24 minggu pengobatan.
Kejadian kumulatif ulkus gaster sebesar 20% di kalangan plasebo, 13% di
kalangan famotidin 2 dd 20 mg. (p =
0,24) dan 8% di kalangan famotidin 2
dd 40 mg. (p = 0,03), sedangkan ulkus
duodeni didapatkan pada 13% di kalangan plasebo. 4% di kalangan famotidin 2 dd 20mg. (p = 0,04) dan 2% di kalangan famotidin 2 dd 40mg. (p = 0,01).
N. Engl. J. Med. 1996; 334: 1435-9
brw
brw
EUTHANASIA
Euthanasia merupakan masalah yang
sering ditemukan dalam perawatan intensif.
Sejumlah 1.600 perawat yang bertugas di ruang tersebut dikirimi survai
pelayanan di 9 Veterans Affairs Medical Centre di AS. Pasien tersebut
meliputi 504 pasien payah jantung
kongestif, 751 pasien diabetes dengan
komplikasi dan 583 pasien paru obstruktif menahun yang memerlukan kortikosteroid dan oksigen.
Meskipun mereka menerima perawatan primer yang lebih intensif, mereka
lebih sering dirawat di rumah sakit (0,19
vs.0,14 perbulan, p=0,005) dan tinggal
di rumahsakit lebih lama (10,2 vs. 8,8
hari, p≤0,001); meskipun tidak terdapat
perbedaan bermakna dalam hal kualitas
hidup yang keduanya rendah (p=0,53).
MANFAAT PERAWATAN PRIMER
Kemudahan mendapatkan perawatan
primer setelah keluar dan rumahsakit
ternyata justru meningkatkan kejadian
perawatan ulang; hal ini ternyata dari
penelitian atas pasien yang mendapat
brw
PENYEBAB PALPITASI
Untuk mengetahui penyebab palpitasi, 190 pasien dengan keluhan tersebut
yang datang ke satu pusat pendidikan
di AS, diwawancara dan diperiksa,
termasuk pemeriksaan psikiatrik, 96%
di antaranya dapat diikuti sampai 1
tahun.
Penyebab palpitasi dapat ditentukan
pada 84% pasien; penyebab kardiak
pada 43%, penyebab psikiatrik pada
31%, lain-lain 10% dan pada 16% tidak
diketahui. Di antara etiologi yang ditemukan, 40% dapat ditentukan hanya
dengan anamnesis, pemeriksaan fisik,
EKG dan/atau pemeriksaan laboratorium.
Angka mortalitas 1 tahun 1,6%
(05%CI: 0-3,4%) sedangkan angka kejadian stroke 1 tahun 1,1% (95%CI:
0-2,6%). Dalam tahun pertama, 75%
mengalami palpitasi rekuren. Pada
wawancara ulang setelah I tahun, 89%
merasa kesehatannya sama atau lebih
baik, 19% terganggu pekerjaannya, 12%
kehilangan hari kerja dan 33% merasa
kemampuan bekerja di rumah berkurang.
Am J Med 1996; 100: 138-48
hk
Cermin Dunia Kedokteran No. 114, 1997
63
Ruang
Penyegar dan Penambah
Ilmu Kedokteran
Dapatkah saudara menjawab
pertanyaan-pertanyaan di bawah ini?
1. Salah satu pedoman indikasi penggunaan ventilator ialah
bila pO2 kurang dari:
a) 35 - 40 mmHg
b) 45 - 50 mmHg
c) 55 - 60 mmHg
d) 65 - 70 mmHg
e) 75 - 80 mmHg
2. Jenis pneumotoraks yang paling akut dan merupakan
keadaan gawat darurat:
a) Pneumotoraks Akut
b) Pneumotoraks terbuka
c) Pneumotoraks tertutup
d) Pneumotoraks Ventil
e) Semua merupakan keadaan gawat darurat
3. Sifat hemoptitis yang berbeda dan hematemesis ialah sebagai berikut, kecuali:
a) Darah merah
b) Darah berbusa
c) Bersifat asam
d) Tidak bercampur makanan
e) Semua salah
4. Salah satu kriteria hemoptitis masif ialah bila dalam 24
jam perdarahan lebih dari:
a) 300 m1
b) 600 ml
c) 900 ml
d) 1200 m1
e) 1500 m1
1.C
5.A
2.D
6.C
3.C
7.C
4.B
8.A
Cermin Dunia Kedokteran No. 114, 1997
Jawaban RPPIK :
64
5. Pleurodesis menggunakan zat:
a) Tetrasiklin
b) Kortikosteroid
c) Beta agonis
d) Aminofihin
e) Semua salah
6. Keadaan hipoventilasi ialah bila pCO2 lebih dari:
a) 35mmHg
b) 40 mmHg
c) 45 mmHg
d) 50mmHg
e) 55mmHg
7. Konsentrasi oksigen inspirasi maksimum yang dapat
diperoleh melalui kateter nasal ialah:
a) 30%
b) 40%
c) 50%
d) 60%
e) 80%
8. Kandidiasis paru umumnya membentuk gambaran:
a) Bronkopneumoni
b) Atetelektasis
c) Abses
d) Emfisema
e) Nodul
Download