Cermin Dunia Kedokteran 1997 International Standard Serial Number: 0125 – 913X Daftar Isi : 114. Kedaruratan Paru Januari 1997 Karya Sriwidodo WS 2. Editorial 4. English Summary Artikel 5. Pengelolaan Pasien dengan Kedaruratan Paru - Zul Dahian 10. Perawatan Intensif Penyakit Gawat Paru di Rumahsakit Kabupaten - Ike Sri Rejeki, Afifi Ruchili, Marsudi Rachman 15. Sepsis pada Infeksi Saluran Napas Bawah Akut – Tinjauan Patogenesis dan Pengelolaannya - Hadi Jusuf, Primal Sudjana 19. Dasar Pengalihan Terapi Antibiotika Intravena ke Oral pada Infeksi Saluran Napas Bawah Akut - Zul Dahlan 24. Kandidiasis Paru - Hamdi S. 28. Penatalaksanaan Penyakit Paru Obstruksi - Faisal Yunus 33. Rehabilitasi pada Penderita Penyakit Paru Obstruksi Menahun - Djoko Mulyono 37. Pemeriksaan Kadar IgG dan IgE pada Penderita Asma Bronkial yang Menggunakan Prednison - Yovita Lisawati, Bie Tjeng, RusdiA. 41. Risiko Relatif Lingkungan Sosial dan Kimia terhadap Kejadian Penyakit ISPA – Pneumonia di Indramayu, Jawa Barat - Sukar, Agustina Lubis, A. Tri Tugaswati, Athena A., Kasnodihardjo 45. Pengobatan Infeksi Saluran Pernapasan Akut pada Balita di Jawa Barat - Enny Muchlastriningsih 48. Keefektifan Paduan Obat Ganda Bifasik Jangka Pendek Anti TB Dinilai Atas Dasar Kegiatan Anti Mikrobial dan Kegiatan Pemulihan Imunitas Protektif. 1 .Khemoterapi Anti Tuberkulosis - RA Handojo, Sandi Agung, Anggraeni Inggrid Handojo 53. Pola Resistensi Bakteri Enteropatogen terhadap Antibiotik Pudjarwoto Triatmodjo 56. Karakteristik Gizi Masyarakat Pedesaan dan Perkotaan Surjaini Jamal 60. Seroepidemiologi Antitoksin Tetanus pada Anak Usia 5-12 tahun di Indonesia - Siti Sundari Yuwono, Dewi P., Farida, Imu R., Sumarno, Deni 62. Abstrak 64. RPPIK Kedaruratan paru atau pernapasan merupakan faktor yang penting diperhitungkan dalam penatalaksanaan gawat darurat pasien, banyak kasus yang gagal bukan akibat penyakit primernya, tetapi karena kegagalan fungsi pernapasan, baik karena gangguan sentral maupun akibat infeksi/sepsis. Masalah-masalah ini akan ditinjau oleh beberapa sejawat di bidang paru; juga mengenai pedoman penggunaan antibiotika untuk infeksi saluran napas. Selain itu juga akan dibahas masalah kandidiasis paru yang patut dipikirkan terutama pada penggunaan antibiotika jangka panjang. Beberapa artikel lain yang masih berhubungan dengan masalah paru, termasuk tindakan rehabilitasi, akan melengkapi edisi ini. Selamat membaca dan Selamat Tahun Baru 1997. Redaksi Selamat Hari Natal 1996 dan Selamat Tahun Baru 1997 Redaksi Bersama Staf 2 Cermin Dunia Kedokteran No. 114, 1997 Cermin Dunia Kedokteran 1997 International Standard Serial Number: 0125 – 913X KETUA PENGARAH Prof. Dr Oen L.H. MSc KETUA PENYUNTING Dr Budi Riyanto W PEMIMPIN USAHA A.M. Tina Andriyanti REDAKSI KEHORMATAN – Prof. DR. Kusumanto Setyonegoro Guru Besar Ilmu Kedokteran Jiwa Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, Jakarta. – Prof. Dr. Sudarto Pringgoutomo Guru Besar Ilmu Patologi Anatomi Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, Jakarta. PELAKSANA Sriwidodo WS TATA USAHA Sigit Hardiantoro – Prof. Drg. Siti Wuryan A. Prayitno SKM, MScD, PhD. ALAMAT REDAKSI Majalah Cermin Dunia Kedokteran, Gedung Enseval, Jl. Letjen Suprapto Kav. 4, Cempaka Putih, Jakarta 10510, P.O. Box 3117 Jkt. Telp. 4208171 NOMOR IJIN 151/SK/DITJEN PPG/STT/1976 Tanggal 3 Juli 1976 PENERBIT Grup PT Kalbe Farma Bagian Periodontologi Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Indonesia, Jakarta – Prof. DR. Hendro Kusnoto Drg.,Sp.Ort Laboratorium Ortodonti Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Trisakti, Jakarta – Prof. DR. Sumarmo Poorwo Soedarmo Staf Ahli Menteri Kesehatan, Departemen Kesehatan RI, Jakarta. – Prof. DR. B. Chandra Guru Besar Ilmu Penyakit Saraf Fakultas Kedokteran Universitas Airlangga, Surabaya. – Prof. Dr. R. Budhi Darmojo Guru Besar Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas Diponegoro, Semarang. – DR. Arini Setiawati Bagian Farmakologi Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, Jakarta, DEWAN REDAKSI – Dr. B. Setiawan Ph.D PENCETAK PT Temprint – Prof. Dr. Sjahbanar Soebianto Zahir MSc. PETUNJUK UNTUK PENULIS Cermin Dunia Kedokteran menerima naskah yang membahas berbagai aspek kesehatan, kedokteran dan farmasi, juga hasil penelitian di bidangbidang tersebut. Naskah yang dikirimkan kepada Redaksi adalah naskah yang khusus untuk diterbitkan oleh Cermin Dunia Kedokteran; bila telah pernah dibahas atau dibacakan dalam suatu pertemuan ilmiah, hendaknya diberi keterangan mengenai nama, tempat dan saat berlangsungnya pertemuan tersebut. Naskah ditulis dalam bahasa Indonesia atau Inggris; bila menggunakan bahasa Indonesia, hendaknya mengikuti kaidah-kaidah bahasa Indonesia yang berlaku. Istilah media sedapat mungkin menggunakan istilah bahasa Indonesia yang baku, atau diberi padanannya dalam bahasa Indonesia. Redaksi berhak mengubah susunan bahasa tanpa mengubah isinya. Setiap naskah harus disertai dengan abstrak dalam bahasa Indonesia. Untuk memudahkan para pembaca yang tidak berbahasa Indonesia lebih baik bila disertai juga dengan abstrak dalam bahasa Inggris. Bila tidak ada, Redaksi berhak membuat sendiri abstrak berbahasa Inggris untuk karangan tersebut. Naskah diketik dengan spasi ganda di atas kertas putih berukuran kuarto/ folio, satu muka, dengan menyisakan cukup ruangan di kanan-kirinya, lebih disukai bila panjangnya kira-kira 6 - 10 halaman kuarto. Nama (para) pengarang ditulis lengkap, disertai keterangan lembaga/fakultas/institut tempat bekerjanya. Tabel/skema/grafik/ilustrasi yang melengkapi naskah dibuat sejelasjelasnya dengan tinta hitam agar dapat langsung direproduksi, diberi nomor sesuai dengan urutan pemunculannya dalam naskah dan disertai keterangan yang jelas. Bila terpisah dalam lembar lain, hendaknya ditandai untuk menghindari kemungkinan tertukar. Kepustakaan diberi nomor urut sesuai dengan pemunculannya dalam naskah; disusun menurut ketentuan dalam Cummulated Index Medicus dan/atau Uniform Requirements for Manuscripts Submitted to Biomedical Journals (Ann Intern Med 1979; 90 : 95-9). Contoh: Basmajian JV, Kirby RL. Medical Rehabilitation. 1st ed. Baltimore. London: William and Wilkins, 1984; Hal 174-9. Weinstein L, Swartz MN. Pathogenetic properties of invading microorganisms. Dalam: Sodeman WA Jr. Sodeman WA, eds. Pathologic physiology: Mechanisms of diseases. Philadelphia: WB Saunders, 1974; 457-72. Sri Oemijati. Masalah dalam pemberantasan filariasis di Indonesia. Cermin Dunia Kedokt. l990 64 : 7-10. Bila pengarang enam orang atau kurang, sebutkan semua; bila tujuh atau lebih, sebutkan hanya tiga yang pertama dan tambahkan dkk. Naskah dikirimkan ke alamat : Redaksi Cermin Dunia Kedokteran, Gedung Enseval, JI. Letjen Suprapto Kav. 4, Cempaka Putih, Jakarta 10510 P.O. Box 3117 Jakarta. Telp. 4208171/4216223 Pengarang yang naskahnya telah disetujui untuk diterbitkan, akan diberitahu secara tertulis. Naskah yang tidak dapat diterbitkan hanya dikembalikan bila disertai dengan amplop beralamat (pengarang) lengkap dengan perangko yang cukup. Tulisan dalam majalah ini merupakan pandangan/pendapat masing-masing penulis dan tidak selalu merupakan pandangan atau kebijakan instansi/lembaga/bagian tempat kerja si penulis. English Summary IgG AND IgE STATUS AMONG ASTHMA BRONCHIALE PATIENTS WHO USED PREDNISON THERAPY Yovita Lisawati, Rusdi A Bie Tjeng, Dept. of Pharmacy Andalas University, Padang. Indonesia This study was done to find out the IgG and IgE status in asthmatic bronchial patients who used prednison. The immunodiagnostic test applied was the precipitation test, The result showed that the average of IgG in asthmatic bronchial patients who used prednison is 1 332,09 mg/dl, less than the average IgG in patients who did not use prednison. The average of IgE in asthmatic bronchial patients who used prednison is 4224,0. 10-5 mg/dl, less than the aver age of IgE in patients who did not use prednison. Yl, Bt, Ra Cermin Dunia Kedokt. 1997, 114:37-40 4 Cermin Dunia Kedokteran No. 114, 1997 SEROEPIDEMIOLOGIC SURVEY ON TETANUS ANTITOXIN TITRE AMONG 5-12 YEAR-OLD GIRLS IN INDONESIA Siti Sundari Yuwono, Dewi P., Farida, Imu R., Sumarno, Dewi Health Research and Development Board, Department of Health, Jakarta. Indonesia A seroepidemiologic survey on tetanus antitoxin level among 5-12 year-old girls was done in several locations in Indonesia. Specimens were taken from 176 girls in Kulon Progo, Yogyakarta, 201 girls in West Lombok and from 192 girls in Lamongan, East Java. The result shows that overall, more than 75% were already have tetanus antitoxin; and among girls who didn’t receive immunization, 65% were al ready have tetanus antitoxin in their sera. brw Cermin Dunia Kedokt. 1997; 114: 59-60 Artikel TINJAUAN KEPUSTAKAAN Pengelolaan Pasien dengan Kedaruratan Paru Zul Dahlan Subunit Pulmonologi Laboratorium/UPF Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas Padjadjaran/ Rumah Sakit Hasan Sadikin, Bandung PENDAHULUAN(1) Berbagai keadaan dapat menimbulkan gangguan respirasi yang serius dan membahayakan jiwa. Keadaan ini berkisar antara: 1) Penyakit primer yang mengenai sistim bronkopulmoner seperti hemoptisis masif, pneumotorak ventil, status asmatikus, dan pneumonia berat. 2) Gangguan fungsi paru yang sekunder terhadap gangguan organ lain seperti keracunan obat yang menimbulkan depresi pusat pernafasan. Pada semua keadaan, perhatian utama harus lebih ditujukan kepada tindakan penyelamatan nyawa daripada penyelidikan diagnostik. Bila tindakan penyelamatan telah berjalan, selanjutnya dilaksanakan evaluasi dan pengelolaan penyakit dasar pasien. Dalam makalah ini akan diuraikan mengenai evaluasi dan pengelolaan kedaruratan penyakit respirasi pada umumnya dan kedaruratan penyakit paru primer pada khususnya. EVALUASI DAN PENGELOLAAN AWAL PENYAKIT RESPIRASI AKUT(1) I. Penilaian pertama untuk tindakan darurat Pada evaluasi awal pasien tersangka penyakit paru akut, keadaan yang merupakan ancaman langsung terhadap jiwa harus segera dikenal dan diatasi. Hal tersebut dapat ditentukan dengan mengamati hal-hal sebagai berikut: A) Keadaan umum pasien Dilihat keadaan tingkat stress, yang merupakan pencerminan keadaan yang mengancam jiwa, misalnya kegelisahan hebat, sianosis berat, kesulitan bernafas yang hebat. B) Keadaan mental Perubahan berupa mudah tersinggung, kebingungan, ngantuk, dan gangguan orientasi. C) Frekuensi dan irama respirasi • Respirasi yang sangat lambat dan dangkal : gangguan pusat respirasi. • Takipnea menandai penyakit paru akut, penyakit sistemik (misalnya sepsis), perdarahan, syok, atau gangguan metabolisme (ketoasidosis). D) Keadaan kardiovaskuler Kelainan tekanan darah, nadi, irama jantung, perfusi jaringan, dan isi sekuncup sering menyertai gangguan fungsi paru. E) Kelelahan otot pernafasan • Gerakan dinding perut ke arah dalam pada saat inspirasi. • Penggunaan otot respirasi tambahan. F) Analisis Gas Darah Untuk mengetahui tingkat keparahan fungsi pernafasan yang memerlukan tindakan segera. II. Pengelolaan darurat medik Pada pasien sakit berat perlu segera dilakukan koreksi gangguan oksigenisasi, ventilasi dan keseimbangan asam basa. A) Oksigenisasi Segera berikan O2 pada pasien dengan tanda hipoksemi (misalnya sianosis). Perlu diingat bahwa O2 tidak akan memperbaiki hipoksi yang disebabkan oleh Cardiac output yang rendah, anemi berat, right to left A-V shunt. Pada pasien penyakit paru obstruktif kronik (PPOK) dan retensi CO2 pemberian O2 yang berlebihan dapat menimbulkan gangguan rasio ventilasi/perfusi (V/Q) lebih lanjut atau menghilangkan rangsang pusat respirasi, meningkatkan CO2 dan asidosis respirasi, dan pemburukan ke-adaan pasien. Pada pasien PPOK berikan O2 terbatas dengan Venturi mask (FIO2 24%–28%). B) Bantuan ventilator Indikasi intubasi dan pemakaian alat bantu pernafasan yaitu bila : • Keadaan memburuk walaupun telah mendapatkan O2 secukupnya. Cermin Dunia Kedokteran No. 114, 1997 5 • Tidak mampu bernafas spontan. Pada penyakit paru akut hal ini ditandai oleh adanya: • Gambaran klinik adanya gangguan perfusi paru, kardiovaskuler dan neurologis yang serius. • Dikonfirmasi dengan hasil analisis gas darah berupa hipoksemi berat (pO2 <55–60 mmHg), peningkatan CO2 akut dan pH yang rendah. C) Asidosis Gangguan keseimbangan asam basa yang ringan sampai berat umum terjadi pada gangguan fungsi respirasi yang akut. Kelainan ini dikoreksi dengan mengingat pengaruh faktor metabolik, respirasi dan penyakit dasar pasien. D) Komplikasi akut Komplikasi akut sering menyertai penyakit paru akut, diakibatkan oleh gangguan oksigenasi atau asam basa, penyakit dasar pasien, dan terapi yang tidak tepat; dapat berupa gangguan respirasi: bronkospasme, infeksi, aspirasi, obstruksi jalan nafas, pneumotorak, tromboemboli, atau gangguan kardiovaskuler, neurologik, dan metabolik. III. Penilaian lengkap Bila tidak ada tindakan segera yang harus dikerjakan, evaluasi yang lebih lengkap perlu dilaksanakan (Diagram 1). A) Anamnesa Mengenai batuk, sputum, nyeri dada, sesak nafas, dan demam. B) Pemeriksaan fisik 1) Umum: sianosis, status mental, tanda umum penyakit yang berat. 2) Respirasi: frekuensi dan pola respirasi; inspeksi toraks, trakea, dan iktus kordis; gerak respirasi, nyeri pleuritik, perkusi torak dan suara pernafasan. 3) Kardiovaskuler, terutama yang berhubungan dengan penyakit paru. Distensi v. jugularis, bunyi jantung, edema, pulsus paradoksus. C) Pemeriksaan lanjutan Untuk menegakkan diagnosis, menegaskan keparahan dan etiologi penyakit atau untuk menilai hasil terapi. Berupa analisis gas darah, torak foto, spirometri, EKG, pemeriksaan sputum. Pemeriksaan lanj utan tergantu ng kepada kebutuhan. IV. Terapi terhadap penyakit dasar 1) Anti biotik Diberikan sebagai terapi empirik menurut pedoman yang berlaku(3). 2) Bronkodilator Pada keadaan dengan bronkospasme yang jelas diberikan B2 agonist per nebulizer, aminophylline per infus/pe. Bila perlu diberikan kortikosteroid pe. 3) Diuretik dan digitalis, bila dijumpai adanya bendungan jantung kongestif. 4) Terapi lanjutan: rehidrasi, fisioterapi. 5) Perawatan lanjut Dilakukan penilaian lanjut gambaran fisiologik dan klinik pasien; bila terdapat pemburukan keadaan perlu dipertimbangkan adanya: • komplikasi penyakit (misa pneumotorak pada pasien 6 Cermin Dunia Kedokteran No. 114, 1997 asma) • komplikasi iatrogenik (misalnya pemberian obat/cairan yang tidak tepat) • kesalahan diagnosis (misalnya edem paru dianggap asma, tromboemboli dianggap pneumonia, sepsis sebagai gagal nafas akut). Pasien dengan hipoksemi berat atau asidopsis respiratorik yang disertai gangguan neurologi atau kardiovaskuler memerlukan perawatan di ruang intensif (ICU). BERBAGAI KEDARURATAN MEDIK PARU PRIMER HEMOPTISIS Pengantar Hemoptisis sering dijumpai pada pasien penyakit paru. Di Sub bagian Pulmonologi Bagian/UPF Ilmu Penyakit Dalam FKUPIRSHS dilaporkan kejadian sebesar 47,5% dari pasien rawat nginap (Guratmana, 1976). Ekspektorasi darah ini sering menunjukkan adanya penyakit dasar yang serius. Bila perdarah an masif dapat terjadi sufokasi dan eksangunisasi/kekurangan darah hingga tindakan pencegahan perlu dilakukan. Hal ini merupakan keadaan darurat. Menurut Busroh (1978) yang disebut hemoptisis masif adalah : • lebih dari 600 ml/24 jam dan perdarahan belum berhenti. • 250–600 ml/24 jam dengan disertai kadar Hb kurang dari/ sama dengan 10 g%, namun hemoptisis berlangsung terus. Penulis lain menyatakan kriteria hemoptisis lebih dari 150 ml/jam dan terus berlangsung. Evaluasi Pasien A) Beratnya hemoptisis Perlu segera ditentukan secara tepat beratnya perdarahan untuk menentukan tindakan yang perlu diambil. Ini didasarkan pada: 1) Pemeriksaan fisik Tanda insufisiensi sirkulasi dan respirasi berupa hipotensi, takikardi atau takipnu, kesulitan bernafas, sianosis atau ronkhi yang difus. 2) Tingkat perdarahan Menghitung jumlah darah yang dibatukkan. Hemoptisis yang banyak dan cepatmenunjukkan keadaan yang mengancam jiwa. 3) Foto toraks Gambaran opak yang difus dan homogen mungkin menunjukkan adanya darah yang teraspirasi dan kapiler ke alveoli. B) Lokasi perdarahan Perlu disingkirkan kemungkinan perdarahan dari hidung, tenggorok, mulut, esofagus dan lambung. • hemoptisis bronkopulmoner: batuk darah berwarna merah terang dan berbusa, pH alkalis. • saluran nafas atas: hipertensi, epistaksis, perdarahan gusi • hematemesis dan lambung: muntah berwarna merah gelap atau hitam dan bercampur makanan, pH asam. Bila perlu dilakukan pemeriksaan langsung nasofaning, orofaring dan laring. C) Etiologi hemoptisis 1) Anamnesis a) Batuk dengan dahak purulen atau mukopurulen: kemungkinan infeksi seperti oleh bronkitis, pneumonia, abses paru atau bronkiektasis terinfeksi. b) Riwayat penyakit katup jantung, mitral stenosis. Darah merah terang, berasal dari anastomosis v. bronkopulmoner pada dinding bronkus. c) Pasca trauma torak; ruptur trakheobronkial atau kista paru. d) Disertai perdarahan berbagai tempat: kemungkinan perdarahan luas oleh diatesa hemoragik atau kelainan darah. e) Perokok berat dan lama atau kontak Tb paru, kemungkinan Ca bronkogenik atau Tb paru. f) Disertai nyeri atau bengkak kaki dan nyeri dada: infark paru. g) Disertai hematuri: granu1oi Wegener, Sindrom Goodpasture atau lupus enitematosus. 2) Pemeriksaan Fisik a) Umum: periksa kulit terhadap adanya petekhiae, ekimosis, spider nevi, aneunisma av; phlebitis. b) Sistim respirasi: tanda-tanda penyakit paru kronik. Ronkhi lokal oleh perdarahan bronkial; ronki umum; sindrom Goodpasture. c) Jantung: stenosis mitral, kardiomegali. d) Ekstremitas: sianosis-kemurigkinan shunt intrakardiak atau fistel AV pulmoner yang besar. Jan tabuh - tumor paru, fibrosis pulmoner interstitial, infeksi paru kronik, atau shunt kardiak. 3) Pemeriksaan Khusus a) Foto toraks PA dari lateral, dan posisi lain bila diperlukan. b) Sputum, untuk pemeriksaan bakteriologik dan patologik. c) Analisis gas darah, dapat membantu dalam hal aneurisma AV. d) Lain-lain - pemeriksaan urine., Hb, hematokrit, lekosit, trombosit, pemeriksaan waktu perdarahan/pembekuan atau lainnya. Bila penlu bronkoskopi, tomografi paru, angiografi atau scanning paru. Pengelolaan Tergantung kepada beratnya perdarahan. A) Perdarahan masif 1) Supportif fungsi vital Mengatasi hipotensi, anemi dan kolaps kandiovaskuler untuk menghindani kerusakan otak, jantung atau ginjal yang ireversibel. Berupa penggantian volume darah dengan transfusi atau volume expander, O2, dan bila perlu mempertahankan keseimbangan hemodinamik dengan dopamin. 2) Pencegahan obstruksi saluran nafas oleh darah Diusahakan dengan posisi kepala ke bawah, untuk menghindari aspirasi; pada keadaan terpaksa: suction dan intubasi endotrakhea 3) Menghentikan perdarahan Bila perlu dilakukan pemasangan balon intrabronkus, kateterisasi dan embolisasi a. bronkial dengan sponge gelatin, atau bedah reseksi. 4) Hemoptisis oleh sindrom immunosupresif, plasmapheresis atau nefrektomi bilateral. B) Perdarahan ringan sampai sedang 1) Hemoptisis ningan Terapi ditujukan terhadap etiologinya. 2) Hemoptisis sedang (20-100 ml) Tirah baring ke sisi lokasi perdarahan, dan secara sangat selektif pada tingkat perdarahan ini dapat diberikan obat penenang ringan dan kodein sulfat. 3) Bila perdarahan berulang dengan jumlah 20 ml atau lebih: • Pasang infus dengan NaCl 0,9%. Bila perlu pasang CVP dan lakukan transfusi sesuai kebutuhan. • Koreksi kelainan faktor perdarahan. • Rawat di ICU bila dip dan lakukan bronkoskopi. • Bila perdanahan> 150 ini/jam, dilakukan pembedahan. Bila tak mungkin melalui bronkoskop dilakukan penutupan bronkus yang menjadi sumber perdarahan dengan menggunakan gas, atau balon, atau embolisasi. Cermin Dunia Kedokteran No. 114, 1997 7 PROGNOSIS Di Sub bagian Pulmonologi Bagian/Lab. Penyakit Dalam FKUP/RSHS pada tahun 1979 terdapat 44,9% pasien dengan perdarahan masif, yang meninggal dunia 27.3%. Dengan tindakan yang cepat dan tepat angka ini dapat dikurangi. PNEUMOTORAK(2) Definisi Pneumotorak adalah terdapatnya udara pada rongga pleura yang menyebabkan kolapsnya paru. Tersering disebabkan oleh ruptur spontan pleura visceralis yang menimbulkan kebocoran udara ke rongga torak. Pneumotorak dapat terjadi berulang kali. Dikenal dua jenis: a) Pneumotorak primer Tanpa penyakit dasar yang jelas. Lebih sering pada laki-laki muda sehat dibandingkan wanita. Timbul akibat ruptur bulla kecil (1–2 cm) subpleural, terutama di bagian puncak paru. b) Pneumotorak sekunder Tersering pada pasien bronkitis dan emfisema yang mengalami ruptur emfisema subpleura atau bulla. Penyakit dasar lain: Tb paru, asma lanjut, pneumonia, abses paru atau Ca paru. Pneumotorak berhubungan dengan peningkatan tekanan intrapulmoner yang meluas sampai ke rongga udara subpleura dan permukaan pleura karena adanya obstruksi jalan nafas, alveoli yang besar, kista paru atau bulla. Tergantung pada kebocoran udara yang terjadi dikenal 3 tipe: a) Pneumotorak tertutup Lubang tertutup spontan dari udara dalam rongga torak diserap kembali. b) Pneumotorak terbuka Lubang pada pleura viseralis tetap terbuka dan paru-paru tetap kuncup. Terkadang terdapat fistel bronkopleura, yaitu adanya hubungan langsung antara bronkus dan rongga torak. c) Pneumotorak ventil Terjadi peningkatan progresif tekanan intrapleural yang menimbulkan kolaps paru yang progresif dan diikuti pendorongan mediastinal dan kompresi paru kontralateral. Pada pneumotorak berat terjadi penurunan ventilasi dan AV shunt diikuti hipoksemi. Hal ini lebih berat dan cepat terjadi pada pneumotorak sekunder yang disertai penyakit paru lain. Diagnosis Anamnesis Sulit bernafas yang timbul mendadak dengan disertai nyeri dada yang terkadang dirasakan menjalar ke bahu. Dapat disertai batuk dan terkadang terjadi hemoptisis. Perlu ditanyakan adanya penyakit paru atau pleura lain yang mendasari pneumotorak, dan menyingkirkan adanya penyakit jantung. Pemeriksaan fisik Sesak nafas dan takikardi yang dapat disertai sianosis pada pneumotorak ventil atau ada penyakit dasar paru. Gerakan torak mungkin tampak tertinggal, deviasi trakhea, ruang interkostal 8 Cermin Dunia Kedokteran No. 114, 1997 melebar, perkusi hipersonor dan penurunan suara pernafasan. Dapat menghilangkan atau mengurangi pekakjantung atau hati. Pada tingkat yang berat terdapat gangguan respirasi/sianosis, gangguan vaskuler/syok. Komplikasi dapat berupa hemopneumotorak, pneumomediastinum dan emfisema kutis, fistel bronkopleural dan empiema. Foto torak:Gambaran paru yang kolaps ke arah hilus dengan radiolusen ke sebelah perifer. Gambaran ini akan membesar pada posisi ekspirasi. Singkirkan kemungkinan bulla yang besar, emfisema paru, kista paru, kaverne yang besar. Terapi a) Pneumotorak ringan non ventil, kurang dari 30%. Pasien di observasi dan disuruh meniup balon. Bila pneumotorak memburuk dapat dipasang water sealed drainage (WSD). b) Pneumotorak besar atau tipe ventil Dipasang WSD.Pada keadaan gawat dapat dilakukan punksi dengan jarum infus sel atau jarum besar, yang kemudian dihubungkan dengan slang ke botol berisi air. Bila perlu sebelum dibuat foto toraks. Bila dalam 24 jam pemasangan kateter paru tidak mengembang slang dapat disambungkan ke alat penghisap. Bila dalam 5 hari tidak berhasil dan keadaan pasien buruk pentu dipikirkan kemungkinan tindakan bedah untuk menutupi kebocoran. Bila paru sudah mengembang sempurna, WSD diklem selama 3 hari. Bila hasil observasi dan torak baik WSD dapat dicabut. c) Pencegahan pneumotorak rekuren, dapat dilakukan dengan menggunakan: • pleurodesis kimia, dengan menggunakan larutan tetrasiklin atau bedak talk. • pleurektomi parietal. Dilakukan pula ligasi atau reseksi bullae atau bleb. Terapi komplikasi • hemopneumotorak: pembedahan. • gangguan fungsi respirasi atau vaskuler: terapi suportif. • emfisema kulit/mediastinal: observasi dan suportif. ASMA AKUT BERAT/STATUS ASMATIKUS Pengantar Berdasarkan patogenesis yang kini dianut, asma merupakan penyakit inflamasi kronik jalan napas yang disebabkan oleh berbagai jenis sel radang termasuk sel mast dan eosinofil. Pada pasien yang peka peradangan ini menimbulkan gejala-gejala yang berhubungan denan obstruksi saluran napas secara umum yang beratnya bervariasi, namun dapat membaik kembali secara spontan atau dengan pengobatan. Juga timbul peningkatan kepekaan bronkus terhadap berbagai perangsangan(2). Eksaserbasi asma (serangan asma) adalah episode progresif peningkatan gejala pendek napas, batuk, mengi, sesak dada atau kombinasi dari gejala-gejala tersebut. Hal ini adalah pertanda kegagalan pengelolaan ama jangka panjang atau adanya pencetus. Tingkat serangan asm berkisar antara ringan sampai mengancam jiwa, yang berkembang dalam beberapa hari atau jam namun kadang-kadang bisa dalam beberapa menit. Morta- litas paling sering berhubungan dengan salah menilai beratnya serangan, kurang cukupnya tindakan pada saat awal serangan dan kurangnya terapi yang diberikan. Asma akut yang berat/ status asmatikus merupakan tingkat penyakit yang berat yang memerlukan penanganan segera. Diagnosis a) Anamnesis * Serangan asma sekarang: – faktor pencetus: infeksi, alergen – terapi awal dan respons dalam 1–2 jam – lamanya serangan * Keadaan asma sebelumnya/risiko tinggi: – penggunaan kortikosteroid – perawatan darurat/RS tahun sebelumnya – intubasi untuk asma – masalah psikososial – kelalaian dalam melaksanakan terapi asma. b) Diagnosis serangan asma akut: Berat Gawat * Sesak napas • saat istirahat • membungkuk ke depan * Kemampuan • sepatah kata bicara * Kesadaran • agitasi • mengantuk/ bingung * Respirasi • > 30/menit * otot respirasi • jelas/retraksi • gerakan tambahan torakoabdominal paradoksal * Mengi • keras • tak ada * Nadi/menit • > 120 • bradikardi * Pulsus • (+), > 25 mmHg • (–), kelelahan paradoksus otot • < 60 mmHg * PaO2 sianosis * PaCO2 • > 45 mmHg * Sat. O2 (udara) • < 90% c) Singkirkan kemungkinan penyakit lain • bronkitis eksaserbasi akut dengan bronkospasme • pneumotorak • edem paru akut d) Diagnosis komplikasi/penyakit penyerta Pasien asma akut berat di ruang perawatan biasa, asma akut gawat langsung ke ICU. Terapi Tujuan terapi adalah untuk: * menghilangkan obstruksi secepat mungkin * menghilangkan hipoksia * mengembalikan fungsi paru normal secepatnya * merencanakan usaha penghindaran relaps di masa depan Terapi awal : 1. O2 4-6 L/menit 2. Inhalasi/nebuliser B2 agonist tiap jam (Atrovent®) 3. Dexamethason 3x2 amp.iv 4. Aminofihin bolus/infus 5. B2 agonis SC/IMIIV kalau perlu. 6. Terapi lain: • antibiotika dan rehidrasi bila diperlukan • catatan : • hindari inhalasi mukolitik • sedativa dilarang • antihistamin tak bermanfaat • hindari fisioterapi pada saat sesak nafas Bila hasil evaluasi setelah 1 jam tak terlihat perbaikan: • Fisik: gejala berat, mengantuk, bingung • Arus Puncak Ekspirasi (APE) < 30% • PCO2 >45 mmHg • PO2 < 60 mmHg Masukkan ke ICU untukperawatan intensif dan kemungkinan intubasi dan ventilasi mekanik. Kriteria memulangkan pasien: • Short Acting B2 agonist inhalasi diperlukan >4 jam sekali • Lancar berjalan sendiri • Tak terbangun malam karena sesak/perlu obat • Keadaan klinis normal/hampir normal • APE atau FEV > 7–80% normal/nilai terbaik setelah pemakaian SA B2 agonist inhalasi, dan variabilitas PEF ≤ 20% • Pasien telah dapat petunjuk cukup mengenai cara penggunaan inhaler dan rencana perawatan/kontrol asma di rumah dan di klinik untuk mencapai fungsi paru terbaik. Prognosis Dengan pengelolaan yang cepat dan adekuat asma jarang menimbulkan kematian. Di RS Dr. Sutomo Surabaya (1980) dilaporkan angka kematian 2,09%. KEPUSTAKAAN 1. 2. 3. Zagelbaum GL, Peter Pare JA. Manual of acute respiratoiy care. Asian Ed. Boston: Little Brown Co. Ltd, 1982; 1–18, 23–127. Sheffer AL. International Consensus Report on Diagnosis and Management of Asthma. Clin Experiment Allergy 1992; 22 (1). Soeria Soemantri E, Dahlan Z. Buku Pedoman Pengelolaan dan Penelitian Infeksi Saluran Pernafasan Bawah Akut. Subunit Pulmonologi Bagian/UPF IP Dalam FK Unpad/RS Hasan Sadikin, Bandung, 1992. Cermin Dunia Kedokteran No. 114, 1997 9 TINJAUAN KEPUSTAKAAN Perawatan Intensif Penyakit Gawat Paru di Rumahsakit Kabupaten Ike Sri Rejeki, Afifi Ruchili, Marsudi Rasman Bagian/UPF Anestesiologi dan Perawatan Intensif Fakultas Kedokteran Universitas Padjadjaran/ Rumah Sakit Umum Hasan Sadikin, Bandung PENDAHULUAN Perawatan Intensif adalah tindakan perawatan dan tindakan medis yang secara aktif dilakukan untuk menunjang fungsi organ vital, memperbaiki dan mencegah kegagalan lain. Dengan demikian kematian dapat dicegah. Kegagalan fungsi organ vital yang dapat menimbulkan kematian dalam waktu singkat adalah fungsi pernafasan, kardiovaskuler dan SSP. Fungsi pernafasan adalah memasukkan oksigen dan udara luar ke dalam darah untuk memenuhi kebutuhan O2 dan mengeluarkan CO2 sebagai hasil metabolisme. Kedua proses ini terjadi melalui paru. Setiap perubahan atau kelainan di paru baik disebabkan oleh penyakit atau bukan akan mempengaruhi proses pertukaran O2 dan CO2 Apabila tidak segera diatasi, kebutuhan O2 jaringan akan tidak terpenuhi sehingga dapat menyebabkan kegagalan fungsi organ vital lain seperti kardiovaskuler, SSP, ginjal, hepar dan lain-lain, selanjutnya menyebabkan kemati- an(1,2,3). Dengan mengetahui patofisiologi gagal nafas diharapkan RSU Kabupaten dengan fasilitas perawatan intensif yang sederhana mampu bertindak lebih awal untuk mencegah terjadinya gagal nafas. DEFINISI Penyakit gawat paru adalah suatu keadaan pertukaran gas dalam paru terganggu, yang bila tidak segera diatasi akan menyebabkan suatu keadaan yang disebut gagal nafas akut; yang ditandai dengan menurunnya kadar oksigen di arteri (hipoksemia) atau naiknya kadar karbondioksida (hiperkarbia) atau kombinasi keduanya. Kriteria diagnosis untuk pasien yang bernafas pada udara kamar adalah: 1) PaO2 kurang daRI 60 mmHg, 2) PaCO2 lebih dari 49 mmHg tanpa ada gangguan alkalosis metabolik primer Gagal nafas dapat disebabkan oleh bermacam-macam Penya- 10 Cermin Dunia Kedokteran No. 114, 1997 kit gawat paru baik akut maupun kronis yang menjadi akut kembali (acute on chronic). Penyebab terjadinya penyakit gawat paru antara lain(1,3-6) : 1) Oleh karena gangguan pada otak baik oleh karena trauma, stroke, obat-obatan (CNS depressant), neoplasma, epilepsi. 2) Oleh karena kelainan medula spinalis dan susunan neuromuskuler seperti pada miastenia gravis, polineuritis, pelumpuh otot, lesi transversa medula spinalis daerah servikal dan lain-lain. 3) Gangguan dinding thoraks, ruptur diafragma. 4) Obstruksi jalan nafas karena benda asing, pembengkakan jalan nafas, konstriksi bronkhiolus, trauma jalan nafas, luka bakar. 5) Kelainan parenkhim paru sendiri, emfisema, infeksi paru, pneumothorax, aspirasi. 6) Gangguan kardiovaskuler yang menyebabkan gangguan perfusi paru. 7) Iskemi intestin yang akut. 8) Kelainan organ-organ lain seperti setelah infark miokard. 9) Gangguan mekanik paru (pemberian PEEP pada ventilasi buatan). PATOFISIOLOGI Ada beberapa mekanisme yang mendasari terjadinya gagal nafas akut: 1) Hipoventi1asi(1,3,4) Hipoventilasi didefinisikan sebagai keadaan dengan kadar CO2 arteri lebih dari 45 mmHg akibat berkurangnya udara yang mencapai alveolus; dengan kata lain ventilasi alveolus menurun. Hipoventilasi ini dapat terjadi karena obstruksi jalan nafas, gangguan neuromuskuler dan depresi pernafasan. 2) Pintasan intrapulmoner, ruang rugi dan gangguan perbandingan ventilasi perfusi (V/O mismatch). Pintasan intrapulmoner diartikan: darah yang memperfusi- paru tidak mengalami pertukaran gas karena alveolusnya tidak terventilasi, misalnya pada atelektasis. Ruang rugi merupakan keadaan alveolus terventilasi tetapi tidak dapat melakukan pertukaran gas karena bagian paru tersebut tidak mendapat perfusi, contohnya pada emboli paru. Pada paru normal perbandingan ventilasi atau perfusi adalah 0,85. Pada gangguan ventilasi atau perfusi perbandingan tersebut dapat menjadi besar. 3) Gangguan difusi Gangguan difusi gas terjadi akibat penebalan membran alveolus kapiler misalnya pada keadaan fibrosis interstitial, pneumonia interstitial, penyakit kolagen seperti skleroderma, penyakit membran hialin. Kapasitas difusi CO2 20 kali lebih besar daripada kapasitas difusi O2 sehingga pada gangguan difusi, gejala yang pertama timbul adalah hipoksemi, biasanya diikuti oleh kompensasi berupa hiperventilasi, akibatnya PaCO2 menjadi rendah, apabila kompensasi tersebut gagal maka PaCO2 menjadi normal atau tinggi. Jadi keadaan hipoksemi dapat disertai hipokarbi, normokarbi atau hiperkarbo. Sebaliknya apabila hiperkarbi hampir selalu diikuti hipoksemi (pada udara kamar). Selain itu dapat juga terjadi gangguan difusi oleh karena kerusakan mikrovaskuler pada jaringan paru sehingga timbullah edema paru. Permeabilitas mikrovaskuler paru akan meningkat dengan adanya endotoksin, kerusakan jaringan dan bahan kimia tertentu(1) (Diagram 1). Mediator-mediator yang dapat menimbulkan peningkat permeabilitas mikrovaskuler di daerah paru adalah : bradikini leukotrien, tromboksan dan lain-lain. Endotoksin dapat mengaktifkan faktor XII menjadi faktor XIIa untuk koagulasi, fibrin lisis dan pembentukan komplemen. Tetapi selain itu juga menghasilkan perubahan prekallikrein menjadi kallikrein dan kall krein ini mengubah kininogen menjadi bradikinin (Diagram 2). Bradikinin inilah yang dapat menimbulkan edema paru. Komplemen pada bagan di atas berpengaruh terhadap: Sel-sel PMN. Komplemen yang dihasilkan akan menarik sel-sel PMN ke parenkhim paru dan mengeluarkan enzim proteolitik dan oksigen radikal bebas yang akan menyebabkan kerusakan paru. Makrofag: Makrofag yang terdapat di alveolus juga dengan komplemen akan mengeluarkan enzim proteolitik dan oksigen radikal bebas: Makrofag juga mempakan bahan faktor nekrosis pada tumor (tumor necrosis factor) yang juga berperan dalam menyebabkan gagal nafas akut. Trombosit: Peranannya pada gagal nafas akut tidak jelas. Limfosit. Limfosit dapat mengaktifkan interleukin sehingga diduga mempunyai peran untuk menimbulkan gagal nafas akut. Sel Endotel: Endotel pembuluh darah diduga merupakan salah satu faktor yang dapat mencetuskan gagal nafas akut. Endotel melepaskan oksigen radikal bebas bilaberaksi terhadap pemberian endotoksin. Faktor: TNF adalah mediator yang dilepaskan oleh makrofag dan monosit sebagai respon terhadap beberapa zat antara lain endotoksin. Material ini menghasilkan respons seperti penyuntikan endotoksin terhadap manusia. TNF dapat menimbulkan edema paru. TNF terutama dikenal pada kasus-kasus sepsis. 4) Faktor lain yang berpengaruh terhadap timbulnya gagal nafas akut • Interaksi hepatik: Hepar memegang peranan penting pada gagal paru akut. Pada keadaan normal 90% dari fungsi sistim retikuloendotelial terdapat di hepar yaitu di daerah sel Kupfer. Bakteri dan toksinnya (terutama yang dari usus) akan dibersihkan dan sirkulasi di hepar. Jadi hepar berfungsi sebagai filter. Gangguan fungsi hepar akan memperbesar kemungkinan meningkatnya kadar endotoksin dan bakteri dalam darah. sehingga akan mempengaruhi fungsi organ yang lain termasuk paru-paru. Selain itu mediator-mediator yang dapat menyebabkan edema paru juga didetoksifikasi di hepar. • Gangguan intestinal: Cermin Dunia Kedokteran No. 114, 1997 11 Iskemi intestin akut akan menyebabkan peningkatan permeabilitas dinding usus terhadap endotoksin intestin. Endotoksin yang masuk ke sirkulasi dan mencapai paru dapat menimbulkan kerusakan paru. Vasokonstriksi mesenterik merupakan faktor penting yang dapat meningkatkan endotoksemi. Gangguan intestin dapat menyebabkan kerusakan paru dan juga sebaliknya kerusakan paru dapat menyebabkan disfungsi intestin(1). • Gangguan organ lain: Kerusakan organ lain dapat menimbulkan gagal nafas akut melalui proses gagalnya fungsi barier intestin. Contoh: luka bakar yang luas akan menyebabkan vasokonstriksi mesenterik dan translokasi bakteri. Pelepasan bakteri dan kerusakan jaringan di tempat yang bersangkutan akan menghasilkan mediator yang dapat mencetuskan gagal nafas akut. Kejadian serupa ini juga bisa terjadi pada kasus infark miokard. Tekanan atrial kiri akan meningkat akibat depresi miokard juga dapat menyebabkan edema paru. Selain itu jaringan miokard yang rusak akan mengeluarkan enzimproteolitik dan mediator yang terbentuk dari proses inflamasi, masuk kesistim koroner lalu ke sinus koronarius kemudian masuk sirkulasi paru dan akan menyebabkan kerusakan mikrovaskular di paru(1,2,5). GEJALA KLINIS DAN PEMERIKSAAN Gejala klinis penyakit gawat paru biasanya tergantung etio1oginya(1,3,4,6,7). • Penyakit gawat paru yang disebabkan oleh gangguan otak memberikan gejala utama berupa: penurunan kesadaran, depresi nafas: frekuensi nafas kurang dari 12 kali/menit atau apnoe. • Gejala yang timbul kanena gangguan neuromuskulan atau gangguan medulla spinalis adalah berupa tanda-tanda rasa tercekik, retraksi, tracheal tug, sampai apnoe. Yang menonjol adalah gejala hipoksia berupa takhikardi, kulit dingin dan basah. • Gejala yang timbul karena obstruksi saluran nafas bagian atas biasanya terjadi tiba-tiba, afoni, tanda-tanda seperti tercekik, retraksi suprasternal dan epigastrik. • Pada penyakit paru obstruktif, biasanya berlangsung secara kronik. Pada asma timbul berupa serangan sesak nafas, wheezing, sputum yang lengket dan kental. Serangan asma biasanya berhubungan dengan suatu keadaan alergi. Pada penyakit paru obstruktif menahun terjadi kerusakan pada jalan nafas, biasanya selain didapatkan hipoksemi juga disertai hiperkarbi karena retensi CO2 kronik. Hal ini menyebabkan rangsangan terhadap pusat pernafasan tidak lagi oleh keadaan hiperkarbi (hypoxic drive) dari pusat pernafasan menjadi sangat sensitif terhadap obat-obatan yang mendepresi pusat nafas dan terhadap konsentrasi oksigen yang tinggi. Pada emfisema biasanya kadar PaCO2 tidak terlalu tinggi. • Gangguan pada parenkim paru Dapat berupa infeksi, gejala utamanya batuk, demam, dahak yang purulen atau seperti karat dan sebagainya. Aspirasi bahan yang iritatif dapat menyebabkan kerusakan parenkim paru, menimbulkan gejala hipoksi karena pertukaran gas terganggu. Pada kasus-kasus trauma biasanya menyebabkan gangguan 12 Cermin Dunia Kedokteran No. 114, 1997 berupa pneumohematotoraks, gangguan pergerakan dinding thoraks, gangguan mekanik pernafasan. Gejala yang harus diperhatikan antara lain sesak nafas, takikardia oleh karena sakit, hipoksia dan sebagainya. Dapat disertai tanda-tanda takhipnoe atau disertai syok. Semua keadaan-keadaan gawat paru tersebut harus segera diatasi kanena penderita dapat jatuh ke dalam gagal nafas akut. Diagnosa pasti gagal nafas akut biasanya ditegakkan dari hasil pemeriksaan analisis gas darah, tetapi kadang-kadang diagnosis sudah dapat ditegakkan dengan pemeriksaan klinis saja. Seperti pada obstruksi jalan nafas, adanya apnoe dan lainlain(3,4). Pada keadaan seperti ini tidak perlu menunggu hasil analisis gas darah. Pada pemeriksaan analisis gas darah didapatkan kadar O2 arteri yang rendah (PaO2 kurang dari 60 mmHg) atau dan kadar CO2 yang tinggi (PaCO2 lebih dari 49 mmHg). Karena pemeriksaan analisis gas darah ini cukup rumit, maka ada cara untuk menentukan secara kasar PaO2 dan warna darah arterial yang diambil untuk sampel pemeriksaan(4) : – Bila warnanya merah cerah PaO2 53 mmHg – Bila warnanya agak kehitaman PaO2 38 mmHg – Bila warnanya hitam PaO2 30 mmHg Seperti telah diutarakan sebelumnya gagal nafas akut juga dapat terjadi setelah trauma di tempat/organ lain, infeksi atau sepsis, gangguan intestinal(1). Ditandai dengan timbulnya takhipnoe, takhikardi; dalam 24 jam pertama biasanya belum jelas tandatanda hipoksemi dan asidosis. Pada stadium awal biasanya foto toraks tidak menunjukkan adanya kelainan. Secara bertahap timbul edema perivaskuler yang berkembang menjadi edema intraalveolar yang difus. Keadaan ini akan tampak pada gamban radiologi sebagai penambahan gambar corakan paru. Setelah 4–5 hari gambar corakan paru ini makin bertambah sampai menunjukkan gambaran edema paru yang jelas. Kunkel etal menggambarkan cara penilaian pada edema paru dengan membuat gradasi cairan ekstravaskuler dari gambaran radiologis, dari grade 0 sampai dengan grade IV(1). Terapi harus sudah dimulai secepat mungkin yaitu pada grade 1. Selain itu sebaiknya lakukan pemeriksaan EKG untuk melihat ada tidaknya iskemi atau infark jantung. Pada stadium yang lebih lanjut akan terjadi obstruksi nafas yang intermiten pada daerah-daerah yang mengalami atelektasis dan emfisema. Terjadi atelektasis dan terjadilah pintasan intra pulmoner. Keadaan ini menyebabkan hipoksemi dan sesak nafas, biasanya saturasi oksigen kurang dari 80% walaupun dengan FiO2 yang ditinggikan. Paru menjadi semakin kaku sehingga volume udara yang diperlukan untuk mengembangkannya bertambah, yang biasanya 25 ml/cmH2O menjadi 50 ml/cmH2O. Apabila penderita bertahan, pada hari ke-5 – 13 biasanya timbul komplikasi bronkhopneumoni. Secara radiologi akan terlihat jelas gambaran infiltrat. PENATALAKSANAAN DAN PENGOBATAN Dibagi atas non spesifik dan spesifik(4). Pada umumnya di perlukan kombinasi keduanya. 1) Penatalaksanaan dan Pengobatan Spesifik: Pengobatan spesifik ditujukan pada etiologinya, sehingga untuk masing-masing keadaan berbeda-beda. Pada kasus-kasus emergency dan akut pengobatan spesifik dilakukan di tempat kejadian atau di unit gawat darurat. Kasus-kasus kronik, biasa nya kasus-kasus acute on chronic yang berkembang menjadi gagal nafas akut. Penyebab terbanyak dari gagal nafas akut pada kasus-kasus yang kronik adalah pada eksaserbasi akut dan Penyakit Paru Obstruktif Menahun (PPOM atau COPD). Penyakitnya dapat berupa: • Bronchitic Blue Bloater. Kerusakan terbanyak terjadi di jalan nafas. Penderita menunjukkan hipoksemi dan hiperkarbi, dengan retensi cairan, kor pulmonale, polisitemia. Respirasi tergantung pada hypoxic drive. Keadaan ini sangat sensitif terhadap obat-obat yang mendepresi SSP dan kadar O2 yang tinggi. • Emphysematous Pink Puffer Kerusakan terjadi baik pada jalan nafas maupun pada alveolus. Biasanya PaCO2 masih dalam batas-batas normal. Gejala sesak nafasnya lebih menonjol. Faktor-faktor yang mencetuskan terjadinya gagal nafas akut pada kasus-kasus kronik ini antara lain : infeksi virus, cuaca dingin, polusi, pemberian O2 yang terlalu tinggi atau obat-obat depresan SSP. Penanggulangannya antara lain: 1) Terapi oksigen: Diperlukan apabila PaO2 kurang dari 45 mmHg atau saturasinya kurang dari 75%. Pemberian O2 harus diusahakan jangan menyebabkan peningkatan PaCO2. Tujuan ini dapat dicapai dengan menggunakan venturi type mask sehingga kadar oksigen yang diberikan dapat lebih akurat. Pemberian O2 tidak boleh terlalu tinggi dan harus secara kontinu karena pemberian intermiten akan membahayakan. 2) Antibiotik. Kuman penyebab infeksi terbanyak pada kasus ini adalah Haemophilus influensa. 3) Bronkhodilator. Walaupun beberapa bronchioli mengalami kerusakan yang ireversibel tetapi bronkhodilatasi di tempat yang masih reversibel akan sangat membantu. Biasanya diberikan aminophyllin. 4) Pemberian steroid dapat dipertimbangkan walaupun beberapa ahli masih meragukan efektivitasnya. 5) Bantuan nafas/ventilasi biasanya diberikan untuk mencegah CO2 narkosis, pemberian terapi O2 yang tidak dibatasi, dan bila cara-cara konservatif tidak berhasil. 2) Penatalaksanaan dan Pengobatan Non Spesifik Harus dilakukan segera untuk mengatasi gejala-gejala yang timbul pada kasus gawat paru untuk mencegah gagal nafas akut. Sedangkan pada kasus gagal nafas akut sebaiknya berikan terapi untuk mencegah agar pasien tidak jatuh ke dalam keadaan yang lebih buruk, sambil menunggu pengobatan spesifik sesuai dengan etiologi penyakitnya. Pengobatan non spesifik meliputi: • Mengatasi hipoksemia : terapi oksigen • Mengatasi hiperkarbia : terapi ventilasi a) Terapi Oksigen(1,2,5,8) Pada keadaan PaO2 turun secara akut, perlu tindakan secepatnya untuk menaikkan PaO2 sampai normal. Berlainan sekali dengan gagal nafas dan penyakit kronik yang menjadi akut kembali (dimana pasien sudah terbiasa dengan keadaan hiperkarbia sehingga pusat pernafasan tidak terangsang lagi oleh hypercarbic drive melainkan terhadap hypoxemic drive), maka kenaikan PaO2 yang terlalu cepat dapat menyebabkan apnoe. Terapi yang terbaik adalah dengan meningkatkan konsentrasi fraksi inspirasi oksigen (FiO2 dan menurunkan kebutuhan O2 dengan bantuan ventilasi. Apabila penderita akan dibiarkan bernafas spontan, O2 diberikan melalui nasal catheter. Hubungan antara besarnya aliran udara dengan konsentrasi O2 inspirasi (tabel): Kateter nasal Sungkup muka Sungkup muka tipe vent in Ventilator Inkubator 02 (l/mt) Konsentrasi O2 = (%) 2–6 4 – 12 4–8 Bervariasi 3–8 30 – 50 35 – 65 24, 28, 35, 40 Sesuai 30–40 b) Atasi Hiperkarbia – perbaiki ventilasi Memperbaiki ventilasi dan tahap yang paling sederhana sampai pemberian ventilasi buatan. Hiperkarbia yang berat dan akut akan mengakibatkan gangguan pH darah atau asidosis; hal ini harus diatasi segera dengan memperbaiki ventilasi. Pada kasus-kasus acute on chronic yang sudah terbiasa hiperkarbi, hindani penurunan PaCO2 yang terlalu rendah karena akan menyebabkan alkalosis sehingga dapat menyebabkan hipokalemi, aritmi jantung dan sebagainya. Penurunan PaCO2 harus bertahap tidak lebih dari 4 mmHg/jam. Upaya untuk memperbaiki ventilasi antara lain(4,5) : 1) Membebaskan jalan nafas Obstruksi jalan nafas bagian atas karena lidah yang jatuh dapat diatasi dengan hiperekstensi kepala, apabila belum menolong lakukan triple airway manuevre. Apabila terjadi obstruksi karena benda asing atau edema laning lakukan cricothyrotomy atau tracheostomy. Mungkin juga diperlukan pemasangan pipa endotrakheal. 2) Ventilasi bantu Pada keadaan darurat bantuan nafas dapat dilakukan secara mulut ke mulut atau mulut ke hidung. Apabila sarana tersedia dapat dilakukan dengan menggunakan ambubag atau dengan alat IPPB, yang memberikan ventilasi berdasarkan tekanan negatif yang ditimbulkan waktu pasien inspirasi (pada keadaan ini pasien masih sadar dan bernafas spontan). 3) Ventilasi kendali Pasien harus dipasangi pipa endotrakheal yang dihubungkan dengan ventilator. Ventilasi pasien sepenuhnya dikendalikan oleh ventilator. Bantuan ventilasi diperlukan biasanya berdasarkan kriteria(1,5) : • Rasio PaO2/FiO2 < 200 (kadar FiO2 40% tetapi PaO2 ≤ 80 mmHg) • Penurunan compliance paru sampai 50% • Frekuensi respirasi > 30 –40 kali/menit Cermin Dunia Kedokteran No. 114, 1997 13 • Volume ventilasi semenit pada keadaan istirahat ≤ 10 l/ menit. Terapi mula-mula adalah intubasi,berikan O2 dengan kadar 60%. Trakheostomi dilakukan untuk mengganti pipa endotrakheal, bila penderita perlu diventilasi lebih dari 3–4 minggu. Monitoring yang perlu di1akukan(1). Pemeriksaan analisis gas darah setiap 15 menit pada saat baru masuk ventilator sampai kembali ke nilai normal, setelah itu pemeriksaan analisis gas darah dilakukan setiap 6 jam. Indikasi untuk PEEP atau CPAP: Apabila PaO2 < 60 mmHg dengan FiO2 ≥ 50% atau shunt factor > 20%. Pemeriksaan saturasi oksigen dilakukan setiap saat seperti juga EKG, monitor, pemeriksaan tensi dan nadi setiap 1 jam(2). Untuk mempertahankan curah jantung sebaiknya hematokrit dipertahankan 30%, berikan cairan secara adekuat oleh karena penurunan aliran darah pant akan memperburuk permeabilitas mikrovaskuler di paru-paru dan merangsang timbulnya mediator yang toksik. Tetapi terlalu banyak cairan (over load) pun akan menimbulkan edema paru hidrostatik. Kadang-kadang diperlukan antibiotik. Antibiotik broadspectrum diberikan apabila terdapat tanda-tanda sepsis walaupun dari hasil kultur negatif(1). Tanda-tanda sepsis antara lain: 1) Bila temperatur < 36,5°C atau > 38,5°C 2) Frekuensi pernafasan ≥ 30 kali/menit 3) Serum glukosa FiO2 150 mg% 4) Trombosit < 100.000/mm 5) Leukosit ≥ 15.000/m 6) Volume naso gastrik ≥ 200 ml/jam 7) Pneumonia atau kultur urine atau kultur dan daerah luka, didapatkan bakteri lebih dari 100.000/ml. Foto thoraks harus dilakukan setiap hari, udana inspirasi harus dilembabkan atau humidifikasi yang cukup, dan kadangkadang diperlukan mukoliti. Pasien harus diubah-ubah posisinya secara bertahap setiap 2 jam dan nasotracheal suction setiap 2 jam. Lakukan usaha-usaha untuk mengeluarkan sekret dan menepuk dada/punggung (tappotage). Perhatikan gizi dan latihan nafas untuk menjaga kekuatan otot-otot pernafasan. Apabila keadaan penderita membaik lakukan penyapihan dan ventilator secara bertahap. Indikasi untuk ekstubasi: • FiO2 40% dengan PaO2 > 90 mmHg. • Tidal volume >5 ml/kg • Vital capacity> 10 ml/kg • Refleks protektif positif. Setelah ekstubasi sebaiknya penderita tetap diobservasi untuk kemungkinan gangguan nafas pasca ekstubasi. KESIMPULAN Tujuan semua tindakan untuk mengatasi penyakit gawat paru adalah mencegah agar penderita tidak jatuh ke dalam keadaan yang lebih buruk berupa gagal nafas akut dan multiple organ failure. Gagal nafas akut dapat terjadi oleh karena gangguan nafas di otak, gangguan neuromuskuler dan medulla spinalis, obstruksi jalan nafas, gangguan ventilasi, perfusi dan karena kerusakan organ-organ lain seperti infark miokard, iskemi usus atau luka bakar yang luas. Diagnosis pasti didapatkan dari pemeriksaan analisis gas darah. Tetapi seringkali pemeriksaan klinis sangat membantu menentukan tindakan pertama yang harus dilakukan dengan cepat dan tepat. Kadang-kadang tindakan pertama harus dilakukan secepatnya di tempat kejadian atau di unit gawat darurat tergantung etiologinya yang dikenal sebagai penatalaksanaan spesifik. Penatalaksanaan non spesifik meliputi upaya perbaikan oksigenisasi, ventilasi dan sirkulasi. Upaya-upaya ini kadangkadang memerlukan alat-alat yang lebih kompleks dan memerlukan Monitoring dan perawatan khusus. Hal lain yang juga penting adalah evaluasi terhadap keberhasilan terapi dilakukan dari saat ke saat sehingga terapi dapat diberikan sesuai dengan kebutuhan. KEPUSTAKAAN 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. Hemdon DN, Traber DL. Pulmonary Failure and Acute Respiratory Distress Syndrome; Multiple organ failure. 1990; 192–210. TEOH. Respiratory Failure : Intensive Care Manual, 2nd ed, 1985; 67–103. Caroline NL. Energency Care in the street, 2nd ed, 1983; 160–230. Muhiman M. Gagal Nafas Akut : Intensive Care Unit 1st ed, 1989; 1–9. Sibbald WJ. Synopsis of Critical Care, 2nd ed, 1984; 51–105. Evans TR. The Airway at Risk: ABC of Resuscitation, 2nd ed, 1990; 12–28. Shoemaker WC, Ayres S, Grenvink A, Holbrook PR, Thompson WL. Textbook of Critical Care, 2nd ed, 1989; 484–90,491–93. VincentjL. Update in Intensive Care and Emergency Medicine, 1st ed, 1991; 313–29. Better slip with the foot than the tongue 14 Cermin Dunia Kedokteran No. 114, 1997 TINJAUAN KEPUSTAKAAN Sepsis pada Infeksi Saluran Napas Bawah Akut Tinjauan Patogenesis dan Pengelolaannya Hadi Jusuf, Primal Sudjana Sub. Bagian lnfeksi, UPF/Bag. Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas Padjadjaran Rumah Sakit Hasan Sadikin, Bandung Departemen Kesehatan RI, Jakarta PENDAHULUAN Sepsis, sindrom sepsis dan syok septik merupakan penyulit yang paling ditakuti dan suatu penyakit infeksi, dan merupakan masalah besar bagi para klinisi. Di negara majupun dengan pemakaian antimikrobial dan terapi suportif yang tepat, pemberian terapi baru (imunologik) dengan dukungan fasilitas canggih, angka kematian tetap tinggi. Selain itu pemakaian obat imuno supresan (kemoterapi, kortikosteroid) dan penggunaan alat-alat untuk diagnostik dan terapi (kateter, intubasi, endoskopi, bronkhoskopi), telah menyebabkan angka kejadian meninggi. Di USA angka kejadian sepsis adalah 300.000 sampai 500.000 kasus per tahun. Angka kematian syok septik 40 sampai 90% tergantung fasilitas di tiap rumah sakit(1-4). Nidus (tempat asal) infeksi tersering adalah sistim saluran cerna dan kemudian disusul saluran kemih, tetapi tidak jarang saluran nafas juga merupakan nidus infeksi yang penting(4-6). Pada makalah ini akan dibahas patogenesis dan pengelolaan sepsis pada umumnya dan khususnya yang berkaitan dengan infeksi saluran nafas bagian bawah. TERMINOLOGI Istilah dari kriteria yang berkaitan dengan sepsis masih belum sama di setiap tempat(1,4). Hal ini menyebabkan laporan mengenai angka kejadian, kematian dan keberhasilan terapi akan bervariasi. Bone (1991) mengajukan istilah bakteriemia, sepsis, sindrom septik, syok septik. • Bakteriemi: kultur darah positif. • Sepsis: klinis dicurigai infeksi, disertai adanya respons sistemik terhadap infeksi yaitu: takipnea (respirasi di atas 20/ menit), takikardi (HR di atas 90 per menit), hipertermi atau hipotermi (suhu rektal di atas 38.4°C atau di bawah 35.6°C). • Sindrom sepsis: sepsis disertai adanya gangguan perfusi organ yaitu: perubahan akut status mental (kesadaran), oliguria, kadar laktat darah di atas normal, hipoksia (tanpa adanya penyakit paru lainnya atau penyakit kardiovaskuler). • Syok septik: sindrom sepsis disertai hipotensi (tekanan darah sistolik di bawah 90 mmHg atau penurunan 40 mmHg di bawah baseline). Bila berlangsung dalam 1 jam (stadium dini) maka responsif terhadap terapi konvensional (pemberian cairan intravena dan intervensi farmakologik). Terakhir, the American College of Chest Physicians and the Society of Critical Care Medicine membuat suatu konsensus mengenai bermacam istilah yang berkaitan dengan sepsis antara lain • Sepsis adalah respons sistemik terhadap infeksi, yang memenuhi dua atau lebih kriteria: – Suhu di atas 38°C atau di bawah 36°C. – Denyut jantung di atas 90 per menit. – Respirasi di atas 20 per menit atau PaCO di bawah 32 mmHg. – Lekosit di atas 12.000 atau di bawah 4000 per ml atau lebih dari 10% lekosit adalah muda (immature). • SIRS (systemic inflammatory response syndrome) adalah semua bentuk respons inflamasi sistemik baik terhadap adanya infeksi atau bukan infeksi, dengan kriteria sama seperti sepsis di atas. Dengan perkataan lain respons sistemik tubuh atau kaskade yang sama bisa disebabkan kelainan atau penyakit bukan infeksi, dan SIRS yang disebabkan infeksi adalah analog dengan sepsis. Diajukan pada Pertemuan Berkala Ilmiah dan Organisasi Perhimpunan Respirologi Indonesia. September 1994 di Bandung. Cermin Dunia Kedokteran No. 114, 1997 15 PATOFISIOLOGI Patofisiologi sepsis sangat rumit dan belum sepenuhnya diketahui, padahal penting dalam hal penentuan terapi yang tepat(1). Pengetahuan biologi molekuler mengenai ini terus berkembang dengan ditemukannya mediator baru atau peranan mediator yang sudah diketahui; ini membuka kemungkinan terapi baru yang ditujukan untuk memotong proses kaskade dan sepsis. Nidus Infeksi dan Stimulus Sepsis Semua jenis mikroorganisme (bakteri, protozoa, jamur, virus) bisa merupakan stimulus suatu sepsis; sedangkan tempat asal infeksi (nidus infeksi) yang tersering adalah sistim saluran cerna, disusul saluran kemih. Nidus lain adalah saluran nafas dan kulit. Sebagian lainnya tidak diketahui nidusnya(4,5,6). Stimulus dan sepsis adalah mikroorganisme atau substansi (zat) yang dikeluarkannya (seperti eksotoksin, yaitu TSS toksin I, enterotoksin) atau komponen mikroorganisme (seperti endotoksin terutama Lipid A dan bakteri Gram negatif, peptidoglikan dari bakteri Gram positif dan antigen jamur atau virus) yang dikeluarkan bila mikroorganisme tersebut mati(1,5,6). Stimulus di atas akan merangsang dimulainya proses (kaskade sepsis), yang sebetulnya kelanjutan sistemik dan proses inflamasi lokal yang normal terjadi pada setiap infeksi. Beberapa kaskade sepsis tidak jelas nidus infeksinya atau proses inflamasi lokal, dan hal ini mungkin disebabkan translokasi lokal mikroorganisme dan saluran cerna atau pada kejadian luka bakar(8). Tidak setiap infeksi akan berlanjut menjadi sepsis. Beberapa faktor predisposisi untuk sepsis adalah: – tindakan invasif. – pemberian imunosupresif, kortikosteroid, kemoterapi. – penyaldt dasar seperti lekemi, sirosis hepatis. Penyakit Paru sebagai nidus sepsis(8) : 1) Infeksi pleura Sering terjadi setelah operasi toraks, WSD, atau sebagai penyulit dari proses infeksi subdiafragma. Staphylococcus aureus paling sering ditemukan pasca operasi toraks, sedangkan campuran bakteri aerob dan anaerob pada penyulit proses subdiafragma. 2) Pneumonia Ada tiga mekanisme yang perlu dipikirkan. • Atelektasis Terjadi kanena berkurangnya tidal volume pada trauma toraks atau abdomen dan pasca bedah. Mikroorganisme akan terperangkap dalam atelektasis tersebut, selanjutnya berproliferasi dan menyebabkan pnemonia yang akhirnya menyebabkan kaskade sepsis. Bila waktu preoperasi pendek dan penderita belum diberi antibiotika maka bakteri koloni normal trakheobronkhial (Pneumococcus, H. influenza) menjadi penyebabnya, sedangkan bila waktu preoperasi lama dan antibiotika sudah diberikan maka bakteri yang didapatkan di rumah sakit (Pseudomonas Sp, Enterobacter Sp) sebagai penyebab. • Ventilator Associated Pneumoniae Endotracheal tube akan merusak mekanisme pertahanan glottis dan membuka jalan masuk kuman, selanjutnya terjadi pneumonia dan akhirnya sepsis. Bakteri didapat di rumah sakit 16 Cermin Dunia Kedokteran No. 114, 1997 seperti di atas atau Staphylococcus sp dan personil akan ditemukan pada jenis ini. • Pnemoni Aspirasi Disebabkan muntah, antagonis akibat pemberian antasida atau reseptor H2 sehingga sistim pertahanan asam lambung terganggu, dan refluk pada pemakaian NGT. Mikroorganisme Gram negatif koloni saluran makanan atas dan anaerob berperan dalam hal ini. Selain itu pneumoni didapat di masyarakat dengan Pneumococcus sebagai penyebab sering berlanjut menjadi sepsis(9,10). Kaskade Sepsis Pada hakekatnya kaskade ini merupakan kelanjutan proses inflamasi lokal di nidus. Proses ini bersifat self perpetuating; sekali dicetuskan akan terus berlanjut sekalipun stimulusnya hilang atau dihilangkan(7). Berat ringannya kaskade ini tidak tergantung pada mikroorganisme penyebab, mungkin faktor host sendiri yang lebih ber peran pada terjadinya dan beratnya proses dan apakah proses kaskade ini akan berlanjut atau terjadi homeostasis; proses tersebut tidak persis sama setiap kasus(7,10). Walau begitu jalur kaskade yang sama akan dilalui tanpa melihat jenis mikroorganisme(1,4). Kaskade sepsis ini rumit dan belum sepenuhnya diketahui, tetapi pada garis besarnya dapat dilukiskan sebagai berikut: Mikroorganisme, produknya atau substansinya akan mengaktifkan mediator-mediator, sistim kinin, komplemen, koagulasi dan fibrinolitik. Endotel pembuluh darah di perifer akan mengalami perubahan permeabilitas, vasodilatasi/vasokontriksi, kerusakan endotel atau mikroemboli. ini akan menyebabkan gangguan mikrosirkulasi, perfusi jaringan, yang terjadi sebelum syok. Gangguan perfu organ akan mengakibatkan multiple organ failure yang akan diperberat bila terjadi syok. Miokard akan mengalami depresi dan bersama dengan vasodilatasi berat dari perifer akan menyebabkan syok. Selain itu terjadi gangguan metabolisme dan koagulopati(7,10). • Peranan Mediator Peranan mediator sangat kompleks dan belum seluruhnya diketahui, selain itu ada mediator lain yang belum dikenal. Bisa terjadi interaksi di antaranya (antara lain sinergis, antagonis). Stimulans akan merangsang makrofag, monosit dan sel endotel untuk menghasilkan sitokin (TNF, IL1, IL6, PAF). ILl dan IL6 akan merangsang limfosit T untuk mengeluankan interferon, IL2, IL4. Bersamaan ini metabolisme arachidonic akan menghasilkan prostaglandin, tromboxan dan leukotrien. Juga endotel akan mengeluarkan EDRF, Endothelin 1. Hampir semua mediator mempunyai efek pada endotel, inisalnya prostaglandin, bradikinin mempunyai efek vasodilator sedangkan TNF, lekotrien, tromboxan meningkatkan permeabilitas (Bone 1991, Parrilla 19,89). Komplemen, TNF akan meningkatkan aktifitas netrofil terhadap endofel dan mengakibatkan mikroemboli. MDS, TNF dan PAF akan mempengaruhi fungsi miokard. Mediator sentral atau yang berperan kunci pada kaskade belum jelas(1,6). Hasil akhir adalah vasodilatasi, depresi miokard dan gangguan mikrosirkulasi. • Aktivitas komplemen Endotoksin atau TNF akan mengaktifkan sistim komplemen, baik melalui jalur klasik atau alternatif, yang mengakibatkan kerusakan endotel Iangsung atau melalui komp1emen(1,6). • Sistim kinin Endotoksin akan mengaktillan faktor XII (Hageman), selanjutnya terjadi perubahan prekalikrein menjadi kalikrein. Kalikrein ini mengubah kininogen menjadi bradikinin(6). • Sistim koagulasi dan fibrinolisis Endotoksin atau TNF akan mengaktifkan sistim koagulasi, baik melalul jalur intrinsik atau ekstrinsik. Selain itu kerusakan endotel akan mengaktifkan jalur intrinsik° Terjadijuga aktivasi plasminogen activator yang mengubah plasminogen menjadi plasmin, dan plasi ini mengakibatkan fibrino1isis(1). • Perubahan hemodinamik Perubahan vaskuler dan miokard menyebabkan gangguan hemodinamik (hipotensi, peninggian cardiac output, heart rate bertambah). Jantung berdilatasi dan kemudian normal pada hari 10–14. Pooling darah di venaperifer dan splanchnic akan mengurangi preload(4). Oleh karena gangguan di tingkat mikrosirkulasi maka pemakaian oksigen tidak mencapai kebutuhan. • Organ failure dan penyulit lainnya Gangguan organ disebabkan kerusakan mikrosirkulasi dan syok, dan pada saat yang sama tingkat kerusakan tiap organ berbeda. Makin banyak organ yang terkena akan memperburuk keadaan(1). 1) ARDS akibat low pressure lung oedema yang kaya protein, dan relatif refrakter terhadap terapi oksigen. 2) Stress ulcer. 3) Gagal ginjal akut. 4) Gangguan faal hati. 5) Gangguan pada susunan saraf pusat. 6) DIC 7) Hiperkatabolisme. PENGELOLAAN Setiap penderita sepsis harus segera diberi pengobatan yang tepat, dan untuk syok septik sebaiknya dirawat di ICU. Pengenalan stadium dini secara klinis sangat penting. I Diagnosis • Klinis: lihat kriteria • Foto toraks: Penilaian infeksi saluran napas bawah. • Mikrobiologi: Sputum: Gram, kultur dan resistensi. Aspirat: kultur dan resistensi. Bahan diambil sebelum pemberian antibiotika. II Monitoring Harus ketat terutama pada syok septik; secara klinis dengan melihat tanda sindrom sepsis, syok septik. 1) Pemantauan hemodinamik/sirkulasi untuk melihat keefektifan sirkulasi ke jaringan. Parameter yang diperiksa: • Tekanan darah : manual atau tekanan intraarteri. • CVP atau MAWP untuk melihat preload. • CO (Cardiac output) dengan termodilusi,CI (Cardiac index) dihitung Co per m3 luas permukaan badan. Target yang ingin dicapai : CI di atas 3 liter/menit/m2 (di atas angka normal). Beberapa ahli menginginkan di atas 6 liter (di atas supranormal) karena kerusakan di tingkat mikrosirkulasi. 2) Oksigenasi (Analisis gas darah) Untuk melihat oksigenasi jaringan; parameter yang dilihat: DO2 (Delivery oxygen) dan PaO2 dan SaO2 (tekanan O2 dan saturasi O2). Target yang mau dicapai: PaO2 di atas 60 mmHg, SaO2 di atas 90% dan DO2 di atas kira-kira 726 ml/menit/m2. 3) Elektrolit darah. 4) Haemoglobin/haematokrit; diusahakan di atas 10 gram% atau 30%. 5) Fungsi organ : ginjal, jantung dan sebagainya. III. Terapi Pada garis besarnya ada 4 daerah yang akan diintervensi, yaitu: 1) Mengontrol stimulus (membunuh mikroorganisme penyebab). 2) Memotong proses kaskade sepsis karena walaupun penyebab dihilangkan, proses kaskade akan berlangsung terus. 3) Terapi suportif. Mengembalikan dan menjaga sistim sirkulasi dari oksigenisasi di at normal atau supranormal sehingga perfusi organ vital diselamatkan. 4) Terapi penyulit yang timbul untuk mencegah kematian, seperti ARDS, ARF, DIC. Kita berperan di daerah 1, 3 dan 4 sambil memberi kesempatan tubuh penderita menanggulangi sendiri proses kaskade. Pada daerah 2 ini kortikosteroid pernah dicobakan, tetapi saat ini masih kontroversial. Di luar negeri sudah dimulai intervensi imunologik untuk memotong kaskade. Kontrol stimulus Pemberian antibiotik empiris segera diberikan secara intravena dengan pedoman : gambaran Minis; bila ada juga berdasarkan pola kuman dan resistensi setempat. Bila ada hasil bakteriologik, bisa diganti dengan antibiotika yang sesuai. Dipikirkan tindakan drainage pus. Kortiko steroid Ada perbedaan pendapat mengenai pemakaian kortikosteroid pada sepsis. 1) Kortikosteroid bisa digunakan pada stadium awal misalnya pada sindrom sepsis. Diberikan jangka pendek, ada yang 2 hari dan ada yang dosis tunggal. Dosis 3 mg/kgbb diteruskan 1 mg/ kgbb setiap 8 jam. 2) Pendapat lain mengatakan obat ini hanya berguna bila didapatkan insufisiensi adrenal. 3) Dua studi besar telah dilaksanakan, ternyata tidak ada manfaatnya(7). Terapi suportif • Sirkulasi/Hemodinamik(9,10) 1) Pertama kali pemberian cairan untuk memperbaiki preload dengan pedoman CVP atau MAWP, menurut hukum Starling ini akan meninggikan end diastolic volume dan akhirnya stroke volume meninggi; tetapi karena pada pnemoni integritas kapiler Cermin Dunia Kedokteran No. 114, 1997 17 paru rapuh, mudah terjadi edema. Ada peroedaan pendapat mengenai jenis cairan yang digunakan, apakah koloid atau kristaloid. 2) Bila dengan meninggikan preload masih hipotensi, maka diberikan vasoaktif atau inotropik. Dicoba dopamin, dimulai dosis rendah (5 mcg/kgbb/menit) dapat dinaikkan sampai 20 mcg/kgbb/menit. Bila perlu kombinasi dopamin dosis rendah dengan norephinephrine (0,5–5 mcg/kgbb/menit). Beberapa sentra memakai norephinephrine sejak awal. Parameternya adalah CO, CI (di level supranormal), selain tekanan darah. • Oksigenasi(2,10) Pemberian oksigen dengan mask, dengan parameter PaO2 dan SaO2 dan dengan dicapainya CO dan CI yang optimal dengan perbaikan hemodinamik maka akan dicapai DO2 yang optimal. Dalam hal oksigenasi ini perlu diperhatikan kadar Hb atau hematokrit supaya minimal Hb 10 g% dan Ht 30%. Juga diusahakan SaO2 di atas 90% dengan FiO2 sekecil mungkin. Ada perbedaan pendapat mengenai pemasangan ventilator dini pada syok septik, satu pihak setuju karena dengan mask tidak mungkin tercapai target DO2 yang optimal atau supranormal(2) sedangkan pihak lain cenderung mencoba dulu dengan mask, baru bila terjadi respiratory failure dan ARDS, ventilator segera dipasang. • Nutrisi Nutrisi penting dan berpengaruh terhadap prognosis, apalagi pada sepsis katabolisme meningkat. Sebaiknya diberikan parenteral bila ada ileus yang sering terjadi pada sepsis. Terapi Penyu1it(9,10) • ARF : dicoba furosemid (forced diuresis) baru dianalisis • ARDS : restriksi cairan, concentrated salt poor albumin, ventilator. Kortikosteroid tidak berguna. • Stress Ulcer Berikan antagonis reseptor H2. 18 Cermin Dunia Kedokteran No. 114, 1997 • Asidosis metabolik; pada saat ini banyak pendapat yang menganggap Na-bikarbonat tidak ada gunanya. Biba syok atau perfusi jaringan bisa ditanggulangi maka asidosis akan hilang. TERAPI MASA DEPAN(7) Bertujuan memotong proses kaskade sepsis. Masalahnya proses ini demikian rumit, dan tidak diketahui adanya mediator sentral sehingga ada pendapat yang mengusulkan pemberian kombinasi (cocktail). Pemberian obat harus selektif; sebagai contoh: antibodi monokional untuk endotoksin hanya bisa untuk sepsis Gram negatif. Selain itu timing sangat penting dan memerlukan pemeriksaan yang canggih mengenai mediator yang sudah terlibat; selain terhadap endotoksin juga anti TNF sudah banyak dicoba di luar negeri. RINGKASAN Telah dibahas patogenesis dan pengelolaan sepsis, sindrom sepsis dan syok septik yang juga dikaitkan dengan nidus infeksi di paru (infeksi saluran nafas bawah). KEPUSTAKAAN 1. 2. Bone RC. The Pathogenesis of Sepsis. Ann. intern. Med 1991; 115–469. Fishman AP. Update: Pulmonary Diseases and Disorders. 2nd ed. New York: Mc Graw-Hill Inc. 1992. 3. Hall JB. Principles of Critical Care. New York: McGraw-Hill Inc. 1993. 4. PathlloJE, Pax*erM. Septic Shock in Human. Ann. Intern. Med 1990; 113: 227-42. 5. Rackow BC, Astiz ME. Pathophysiology and Treatment of Septic Shock. JAMA 1991; 46–52. 6. Young Ls. Gram Negative Sepsis. in: Mandel. (ed). Principle and Practice of Infectious Disease. New York, 1990. 611–635. 7. Bone RC. Sepsis and Septic Shock. Consultant Series in Infectious Disease. 1992. 8. Geller Er. Shock and Resuscitation. New York: Mc Graw-Hill Inc. 1993. 9. Schoemaker. Textbook of Critical Care. 2nd ed. Philadelphia: WB Saunders. 1989. 10. TB OH. Intensive Care Manual, 3rd ed. Sydney: Butterworths. 1990. TINJAUAN KEPUSTAKAAN Dasar Pengalihan Terapi Antibiotika Intravena ke Oral pada Infeksi Saluran Napas Bawah Akut Zul Dahlan Bagian/SMF Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas Padjadjaran Rumah Sakit Umum Pusat Dr. Hasan Sadikin, Bandung PENDAHULUAN Infeksi Saluran Pernafasan Bawah Akut (ISPBA) yang terutama berupa pneumonia, baik pneumonia yang didapat di masyarakat (PDDM) maupun pneumonia yang didapat di rumah sakit (PDRS), sering menyebabkan kesakitan dan kematian. Kebanyakan pasien PDDM tidak mencapai tingkat sakit yang memerlukan perawatan di RS, namun pada kelompok yang dirawat nginap terdapat mortalitas sebesar 10–25%. Pasien ini umumnya berusia tua atau dengan dasar penyakit kronik seperti penyakit paru obstruktif kronik (PPOK), DM, penyakit kardiovaskuler. Kuman penyebab pada keadaan ini terutama berupa S. pneumoniae, H. influenzae, S. aureus, M. catarrhalis, K. pneumonia dan Gram negatif lainnya. Di samping itu terdapat peningkatan infeksi oleh kuman penyebab yang menghasilkan B laktamase. Pada 50% kasus tak diketahui kuman penyebabnya walaupun telah dilakukan pemeriksaan yang intensif sampai saat akhir perawatan(1). Pada pasien ISPBA tingkat sakit sedang sampai berat terapi antibiotika (AB) secara empirik yang efektif harus segera dimulai. Cara terapi standar pada pasien mdi RS adalah secara IV selama 7-10 hari atau lebih lama lagi(1). Obat ini kemudian diganti dengan bentuk oral (PO) pada tahap akhir perawatan(2). Pada masa ini pembiayaan pelayanan kesehatan merupakan masalah universal yang dirasakan baik di negara berkembang maupun negara maju. Biaya penggunaan obat AB tinggi, antara lain di Canada penjualan AB menempati urutan ke 2 sesudah obat jantung sebesar Can $307 juta, dan di Vancouver Hospital 1991/ 1992 adalah sebesar 31% dan total Can $ 10,5 juta(3). Harga AB terutama obat intravena (IV) tinggi hingga memberatkan biaya pengobatan. Namun untuk penyembuhan pasien obat ini harus dipakai. Dikenal farmakoekonomik (pharmacoeconomics) yaitu suatu usaha untuk mendapatkan pengobatan dengan biaya yang lebih rendah tetapi efektif (cost effective), dengan mengganti obat hingga biaya berkurang namun tetap mendapatkan hasil klinik yang baik. AB IV diupayakan agar dapat diganti lebih dini setelah pemberian 3-5 hari tanpa terjadi penurunan keadaan pasien(4). Pemberian obat IV pada masa lalu dirasakan lebih baik dari pada PO karena obat AB yang diberikan PO kurang baik terabsorbsi. Pada saat tersedia AB baru dengahn daya mikroba yang ampuh, penyerapan di usus yang baik, kadar serum yang tinggi dan akseptabilitas pasien yang menggembirakan. Obat-obatan ini dapat diberikan sebagai obat pengganti untuk meneruskan terapi ABlY di RS bila dilakukan penghentian lebih dini (stream lining)(2). Hal ini dimungkinkan bila terapi sudah efektif dan infeksi teratasi dengan baik; dengan demikian dapat dibatasi atau dihindani beberapa kerugian pemakalan obat IV. Penerapan cara streamlining AB ini di Hartford Hospital menghemat biaya pemakaian AB sebesar US $ 1.5 juta/tahun(2). Pada makalah ini akan disampaikan prinsip dasar agar maksud di atas tercapai dengan baik. FARMAKOEKONOMIK DAN PERAMPINGAN PENGGUNAAN ANTIBIOTIKA Farmakoekonornik mérupakan metoda baru yang bertujuan untuk mencapai pengeluaran biaya yang efisien dan serendah mungkin dengan mendapatkan hasil yang paling baik dalam merawat penderita (cost effective dengan best clinical outcome). Metoda ini tidak hanyaberhubungan dengan upaya mendapatkan biaya obat yang murah, tetapijuga berhubungan dengan efisiensi Cermin Dunia Kedokteran No. 114, 1997 19 peralatan, penyediaan dan Monitoring obat ataupun proses yang berhubungan dengan pemberian obat-obatan(5). Pemberian AB IV mempunyai tingkat efektifitas yang lebih tinggi daripada PO namun menimbulkan berbagai masalah. Pengalihan Pemakaian Antibiotika (PPA) dan bentuk IV ke PO, memberikan keuntungan: A) Aspek medik: • mengurangi risiko komplikasi RS termasuk thrombophiebitis v. profunda, emboli paru, depresi, efek samping obat, dan infeksi nosokomial antara lain sepsis pada saluran IV. • mengurangi risiko yang dijumpai pada cara penyediaan dan pemberian IV. • Aspek non medik: • peningkatan kepatuhan dankepuasan pasien • peningkatan efektifitas terapi (cost effective) • penurunan biaya obat. Pengalihan obat AB PE ke PO berarti menurunkan biaya dari US $50/hari menjadi US $5/hari (ratio 8:1). • penurunan biaya RS; pemendekan hari perawatan/penggunaan sarana RS, dan pekerjaan pemberian obat Biaya mengatasi infeksi nosokomial akibat pemberian IV ini di RS Hartford berkisar sekitar US $4000 - 5000 pasien PPA dilakukan dengan mengganti AB yang mahal dengan AB yang lebih sederhana dan murah, terutama mengganti AB IV dengan AB PO, tanpa mengurangi efektifitas terapi antimikroba dan obat yang diberikan sebelumnya; hal ini tidak selalu mudah misalnya bila diberikan terapi AB kombinasi. Konvensi ini tentu lebih efisien bila obat IV diganti dengan obat PO yang sejenis (cara sequential). Istilah lain yang berhubungan dengan PPA adalah transitional, switching, stepdown. PRINSIP DASAR PENGALIHAN PENGGUNAAN ANTIBIOTIKA Tahap Periode Terapi Antibiotika Dasar PPA antibiotika dapat dimengerti bila dilihat tahap periode terapi AB pada pasien yang mendapatkan terapi antibiotika intravena. 1) Tahap inisial Pilihan AB berdasarkan kepada data epidemiologi, perhitungan statistik, dan pengalaman. Terapi bersifat empirik dan AB yang diberikan berspektrum luas. Pada saat ini tidak tepat melakukan terapi PO atau terapi yang khusus terhadap kuman tertentu karena penyebab tak diketahui. 2) Tahap kedua Mungkin sudah didapat bukti klinis atau bakteriologis yang menyokong pemberian AB IV spektrum sempit (narrow spectrum) atau PO. 3) Tahap ketiga Pasien mungkin secara klinis sudah stabil. Sasaran tahap ini adalah mempertahankan terapi yang efektif dan menyiapkan penderita untuk berobat jalan. AB PE jangka panjang atau PO dapat diberikan pada saat ini(2). Berbagai faktor harus dipertimbangkan dalam mengevaluasi kemungkinan pelaksanaan PPA yaitu kuman penyebab, aktifitas serta bioavailabilitas AB PO, tingkat infeksi dan keadaan sakit 20 Cermin Dunia Kedokteran No. 114, 1997 PenderitA(7). Dasar llmiah Pengalihan Terapi(4) 1) Konsep terbaru farmakodinamik obat antimikrobial Konsep ini menjelaskan bahwa terapi AB golongan B Laktam akan baik bila time over MIC melebihi 50% interval waktu pemberian dosis dan hasil akan baik bila kadar obat selalu berada di atas MIC. Sedangkan untuk aminoglikosid atau kuinolon diperlukan kadar yang tinggi, hingga diberikan dengan dosis sekali sehari. Berdasarkan hal ini dapat ditentukan dosis dan frekuensi pemberian AB PO yang dapat mempertahankan kadar serum di atas MIC selama jangka waktu terapi. 2) Tersedianya AB PO yang lebih unggul. Banyak AB baru yang memiliki aktifitas in vitro ampuh dan bioavailabilitas lebih baik daripada obat yang lama. Tingkat absorbsi dan toleransinya lebih baik, spektrum yang lebih luas dan aktifitas jaringan lebih tinggi. Namun bila mungkin pertimbangkan lebih dulu pemakaian obat lama kanena harganya lebih murah. Tabel 1 memuat daftar AB yang dapat dipakai sebagai penganti AB IV. Karena pada umumnya ISPBA tidak diketahui kuman penyebab, maka obat AB PO pengganti sekurang-kurangnya harus mempunyai spektrum yang sama dengan obat AB IV yang digantikannya. Jenis AB yang tersedia dalam bentuk IV dan PO merupakan obat yang dapat dipakai secara sekuensial. Tabel 1. Urutan Kuman Penyebab Tersering pada Pneumoni Bakteri(9) Diagnosa 1. PPDM * tipikal * campuran 2. PDRS * ruangan * ICU Street Street Staph Esch KI. Pse Ent Ent Anaerob pne spp aureus coil pn our aer coc 4 2 – – 3 3 1 3 1 4 1 1 – – – – – 1 1 – 2 2 3 4 4 3 4 2 2 2 1 2 1 2 1 2 NB : besarnya angka menunjukkan tingginya frekuensi kejadian. 3) Bukti klinik dan pengalihan cara terapi IV tenhadap PO. Banyak dilaporkan penelitian penggunaan berbagai AB PO baru di luar di RS, dari beberapa laporan pengalihan pemakaian AB IV pada bentuk PO di RS, khususnya cara sekuensial untuk ciprofloxacin. Namun masih diperlukan bukti penelitian lainnya. METODA PENGALIHAN TERAPI 1) Pemilihan pasien Pertimbangan untuk pemilihan pasien untuk PPA adalah: lokasi infeksi, kuman penyebab, beratnya infeksi, comorbidity, usia, respons klinik terhadap AB IV, dan fungsi penyerapan saluran cerna(5). Pada infeksi nosokomial kondisi pasien lebih berat dan keadaan infeksi lebih kompleks, kanena itu pada saat ini PPA pada ISPBA bani dianjurkan pada PDDM. Pada pasien dapat dilakukan pengalihan dini obat IV menjadi PO secara aman bila terdapat perbaikan klinik yang memadai. Hal ini dapat dilihat dari penurunan skor tingkat sakit (Lampiran 1). 2) Pemiihan antibiotika Pemilihan obat PO pada PPA djdasarkan kepada farmako- Lampiran 1. Kriteria Penentuan Klasifikasi Tingkat Berat Sakit Infeksi Saluran Pernafasan Bawah Akut (ISPBA) Nilai / skor 1. Batuk sering/sangat menggangu agak mengganggu jarang/tak ada 2. Sputum purulen mukopurulen mukous 3. Sesak nafas sangat sesak/n.c. hidung jelas sesak agak sesak/tidak sesak 4. Demam > 39°C 38 – 39°C <38°C 5. Respirasi 32 x / menu 24– 32 x / menu <24 x / menu 2 1 0 2 1 0 2 1 0 2 1 0 2 1 0 6. Ronkhi nyaring jelas sekali cukup jelas minimal 7. Gesekan pleura jelas mengganggu kadang–kadang tak ada 8. Sianosis jelas sianosis ringan tak ada 9. Kesadaran jalan menurun agak apatis tak ada 10. Presyok/syok syok presyok tak ada Terapi empirik dapat dilaksanakan dengan membuat diagnosis yang terarah sesuai patogenesis ISPBA dan algonitma penatalaksanaan PN (lihat kepustakaan no. 9). Diagnosis ini mencakup bentuk manifestasi ISPBA, tingkat berat sakit dan kemungkinan kuman penyebab; dan hal ini kemudian dilaksanakan terapi. Berdasarkan evaluasi lanjut ditetapkan penggantian atau penyesuaian terapi, misalnya pelaksanaan PPA dan bentuk IV menjadi bentuk PO. Secara ringkas hal ini dapat dilihat pada Bagan 1. Indek : Jumlah skor > 15 : Berat, 5–15 : Sedang, < 5 : Ringan kinetik dan keampuhan mikrobiologik obat terhadap kuman penyebab. Pemberian PO tidak cocok pada pasien dengan sindrom malabsorbsi(1). PPA lebih sulit bila digunakan obat kombinasi (2 jenis AB atau lebih). Dalam memilih jenis AB yang akan dipakai perlu dipertimbangkan berbagai faktor: a) Faktor penderita Yaitu urgensi/cara pemberian obat berdasarkan tingkat berat sakit dan keadaan umum/kesadaran, mekanisme imunologik, umur, defisiensi genetiklorgan, kehamilan, alergi. Di samping itu dapat diterima (acceptable) oleh penderita baik dari segi biologis, misalnya kemampuan menelan, melarutkan dan menyerap obat dari saluran cerna. b) Faktor antibiotika Keterbatasan keampuhan AB, karena tidak ada satu jenis AB yang ampuh untuk semua jenis kuman. Karena itu penting dipahami berbagai aspek tentang AB untuk efisiensi AB(1). c) Faktor ekonomis Harga harus terjangkau untuk dosis dan jangka waktu pemakaian yang adekuat. Kurang informasi mengenai pilihan AB serta dosis dan kombinasinya, terutama yang berkaitan dengan obat-obat yang lama. Pada prinsipnya pengalihan tidak boleh dilakukan bila dipertimbangkan efeknya akan menurun. PENGALIHAN TERAPI PADA ISPBA Prinsip terapi empirik pada ISPBA Dalam penggunaan AB secara rasional perlu diterapkan pola berpikir PANCA TEPAT yaitu Diagnosis Tepat, pilihan AB yang Tepat, dan Dosis yang Tepat, dalam Jangka Waktu yang Tepat, dan Pengertian Patogenesis penderita secara Tepat(8). Namun pada umumnya situasi memaksakan perlunya terapi empirik yang dini karena etiologi belum diketahui dari hasil bakteriologi. a) Bentuk manifestasi ISPBA Bentuk manifestasi ISPBA berhubungan dengan tingkat berat sakit pasien dan kuman penyebab tertentu, meskipun bisa saja suatu jenis kuman menjadi sebab infeksi pada semua bentuk ISPBA. Bentuk pneumonia paling sering dijumpai dari berbagai kuman penyebabnya telah pernah diuraikan(9). b) Klasifikasi Tingkat Berat Sakit Hal ini dihitung berdasarkan skor sebagaimana tercantum pada Lampiran 1. Skor < 5 Tingkat Sakit Ringan; 5–15 : Tingkat Sakit Sedang; 15 : Tingkat Sakit Berat. Jumlah skor untuk sakit berat mencerminkan adanya kemungkinan adanya sepsis, atau keadaan kritis lainnya. Seperti diketahui sepsis atau syok septik sebagian besar disebabkan oleh infeksi kuman Gram (–), dan umumnya AB untuk Gram (–) adalah dalam bentuk IV. Penderita tingkat sakit sedang dan berat mempunyai indikasi pemakaian AB IV. c) Kuman Penyebab ISPBA Kuman penyebab ISPBA yang tersering, berbeda jenisnya antar negara, dan antara satu daerah dengan daerah lain pada satu Cermin Dunia Kedokteran No. 114, 1997 21 negara; karena itu perlu diketahui epidemiologi kuman dengan baiuk. Pada garis besarnya frekuensi kuman penyebab ISPBA adalah seperti tampak pada Tabel 1. Penelitian di RSHS menunjukkan semakin banyak pasien ISPBA/pneumonia rawat nginap yang disertai penyakit kronik dan gangguan kesehatan lainnya hinggapola kumannya berubah. Pneumonia yang umumnya dalam bentuk tipikal oleh S. pneumonia, saat ini lebih sering dijumpai dalam bentuk yang tidak tipikal/campuran(10). Namun pada umumnya kuman penyebab adalah seperti dilaporkan pada Tabel 1. Pemilihan antibiotika Suatu bentuk manifestasi ISPBA dapat disebabkan oleh berbagai jenis kuman penyebab; karena itu AB yang dipilih didasarkan kepada perkiraan kuman penyebab pada sesuatu bentuk manifestasi ISPBA misalnya berupa pneumonia dan bukannya bentuk ISPBA itu sendiri. Dipilih AB yang secara empirik telah terbukti merupakan obat pilihan utama dalam mengatasi kuman (2) penyebab. ini diketahui dari data antibiogram mikrobiologi dalam 6–12 bulan terakhir(4). Jenis antibiotika Pada Tabel 2 dapat dilihat kemasan IV atau PO yang tersedia dan prototipe berbagai kelompok AB, serta saran pemakai annya pada berbagai keadaan tingkat berat sakit ISPBA. Sedangkan Tabel 3 menunjukkan daftar AB PO pengganti dalam pelaksanaan PPA. Tercantum juga perkiraan bioavailabilitas, kadar serum puncak dan aktifitas klinik terhadap berbagai kuman. Banyak obat-obat yang baru ini mempunyai kelebihan dan yang Tabel 3. Tabel 2. Petunjuk umum saran pemakaian prototipe berbagai kelompok antibiotika pada berbagai tingkat berat sakit ISPBA Tingkat Beret Sakit Jenis Antibiotika Kemasan Ringan Sedang Beret 1. Tetracycline po/pe 2 1 – 2. Erythromycin po 2 1 – 3. Cotrimoxazole po/pe 2 1 – 4. Penicillin G pe 1 2 – 5. Amoksisilin po/pe 1 2 – 6. Amox. + clavulan po/pe l 2 – 7. Cloxacilline po/pe 1 2 1 8. Ticarcilline pe – 2 1 9. Sulbenicilline pe – 2 – 10. Cefaclor po 1 2 1 11. Cefotiam pe – 2 – 12. Cefuroxime po/pe 2 1 – 13. Cefixime po 1 2 2 14. Cefotaxime pe – 1 2 15. Ceftazidime pe – 1 2 16. Cefsulodin pe – 1 2 17. Imipenem pe – 1 2 18. Ciprofloxacin pe/pe – 1 2 19. Amikacin po – 1 2 20. Chloramphenicol po/pe 2 1 0 21. Thiamphenicol po 1 2 – 22. Clindamycine po/pe 1 2 – 23. Metronidazole po/pe – 1 2 Indikasi Pemakaian; 2 : Utama, 1 : sekunder. Antibiotika PO pada Terapi Pengalihan(1) Antibiotika Oral Ampicillin 500 mg/6 jam Amoxicillin 500 mg/8 jam Bacampicillin 800 mg (556 mg ampicillin)/12 jam Amoxicillin 500 mg/ Clavulanic acid 125 mg/8 jam Cloxacillin 500 mg/6 jam Flucloxacillin 500 mg/6 jam Cephalexin 500/6 jam Cefadroxil 500 mg/12 jam Cefaclor 500 mg/6 jam Cefuroxime axetil 500 mg/12 jam l oxacarbef 400 mg/24 jam Cefixime 400 mg/24 jam Erithromycin 500 mg/6 jam Clarithromycin 500 mg/12 jam Azithromycin 500/12–24 jam Ciindamycin 300 mg/6 jam Metronidazole 500 mg/12 jam Chloramphenicol 500 mg/6 jam Cotrimo1 160 mg/800 mg/12 jam Norfloxacin 500 mg/12 jam Ciprofloxacin 500 mg/12 jam Ofloxacin 400 mg/12 jam Doxycyclin 200 mg/24 jam 22 lama antara lain perbaikan absorbsi, spektrum aktivitas yang lebih luas, toleransi yang lebih baik dan perbaikan aktifitas jaringan. 30–50 60–89 95 Aktifitas Antimikroba C Strepto Klebsiela Enterokokus Pseudomonas (µg/mi) MSSA H. influenzae E. coil Anaerob kokus Spec lain aeruginosa 4–6 4 – 3 3 – – – 2 7–10 4 – 3 3 – – – 2 13–16 4 – 3 3 – – – 2 60–89 7–10 4 4 4 4 4 2 – 3 ~ 60–70 ~ 60–80 ~ 90 ~ 90 ~ 90 30–50 ~ 90 40–50 18–45 55 37 75–90 ~ 90 90 85–90 40–50 70–85 95 ~ 90 7–8 11–15 16–18 10–18 14–17 5–8 12–19 2.5–5.0 1–3 2.5–3.0 0.45 4.5 10–11 4–6 2/40 1.5–1.7 2.6–2.9 5.6 4 4 4 3 3 4 4 4 4 4 4 4 4 – 4 3 – – – 3 4 4 3 3 4 4 4 – 4 4 4 4 – 3 3 – 2 3 3 – – 2 2 4 4 4 4 – 3 3 – – 4 4 4 4 4 3 – – 3 3 4 4 4 4 – – – – – 4 4 4 4 4 – – – – – – – 2 – 3 – – – – – 3 3 4 4 4 – – – – – – – – – – – – – – – – 3 4 4 – – – – – – – – – – – – 4 4 4 – – – – – Bioavailabilitas Cermin Dunia Kedokteran No. 114, 1997 3 3 4 4 4 4 – – – – – 4 4 4 4 4 – Penisilin atau sefalosporin merupakan terapi empirik utama pada PDDM yang biasanya tipikal dengan kuman penyebab Streptococcus pneumonia. Bila PDDM mempunyai dasar penyakit paru kronik, pemilihan AB yang juga ampuh terhadap kuman Gram (–) seperti Klebsiella pneumonia perlu dipertimbangkan. Sefalosporin generasi 2 yang baru misalnya cefuroxime axetil memberikan keuntungan tambahan pengalihan terapi in class dan kemasan IV dan secara konsisten aktif terhadap S. aureus, E. coli, Klebsiella spp, dan H. influenza daripada cetalexin. Sefalosporin generasi 3 PO yang bare pada umumnya merupakan obat yang cocok dipakai untuk pengalihan PO pemakaian AB pada PDDM, mengingat spektrumnya yang luas yang umumnya mencakup kuman penyebab yang sering dijumpai(7). Cefixime, cefpodoxime dan ceftibuten spektrumnya terhadap kuman Gram (–) lebih luas (selain Pseudomonas) tetapi aktifitasnya terhadap S. aureus tidak mencukupi. AB ini disarankan sebagai pengganti sefaloseporin generasi 3 IV selain terhadap psudomonas. Sefalosporin generasi 3 merupakan alternatif terhadap penggunaan aminoglikosida yang ampuh terhadap Gram (–) namun bersifat nefrotoksik. Kelebihan Ceftazidime daripada lainnya adalah aktifitasnya terhadap Pseudomonas. Fluoroquinolone memberikan kelebihan yang jelas khususnya pada pengobatan infeksi kuman Gram (–) yang serius. Cliprofloxacin dan ofloxacin harus dipertimbangkan sebagai obat untuk pengalihan terapi terhadap pasien rawat nginap, menggantikan pemakaian terapi aminoglikosida jangka panjang. Fokus penggunaan quinolone haruslah ditunjukkan kepada kuman Gram (–) untuk mengurangi tingkat induksi resistensi. Ciprofloxacin setara dengan ceftazidime dan dapat digunakan sebagai pengganti PO obat ini pada infeksi Gram (–) yang serius, atau sebagai kombinasi pada infeksi Pseudomonas yang memerlukan obat kombinasi(4). Nightingale dkk (1995) mendapatkan adanya like to like phenomenon yang menunjukkan adanya kecenderungan penggantian yang lebih awal AB IV kepada AB PO bila digunakan obat monoterapi (sequential), misalnya ciprofloxacin(2). Perlu diingat bahwa pada penggunaan PO terdapat risiko penurunan bioavailabilitas dan onset kerja yang lebih lambat(3). Hasil pengalihan dan peningkatan waktu pemberian terapi IV ke PO dalam usaha mendapatkan terapi yang cost effective harus dievaluasi lebih lanjut dengan mempertimbangkan hal-hal berikut: resolusi infeksi, lama terapi, lama rawat nginap, frekuensi visitasi dokter, efek samping, interaksi obat, komplikasi IV, kepuasan pasien dan tingkat reinfeksi(6). Piihan antibiotika Dapat berupa: • AB tunggal, yang paling cocok diberikan pada penderita PDDM yang asalnya sehat dan gambaran kliniknya sugestif disebabkan oleh tipe kuman tertentu yang sensitif. • Kombinasi AB, yang dapat mencakup semua kuman yang mungkin menjadi penyebabnya pada penderita PDDM dengan infeksi yang lebih berat atau oleh kuman ganda. Bila perlu diusahakan pula perbaikan penetrasi obat, misalnya drainage sputum pada bronkiektasis terinfeksi. RINGKASAN Pemakaian antibiotika N menjadi beban yang berat bagi RS maupun pasien. Hal ini dapat diringankan bila bisa dilaksanakan Pengalihan Pemakaian Antibiotika dan bentuk N ke PO secara dini tanpa mengurangi efektifitas obat. Dengan adanya AB PO bare yang mempunyai keunggulan dalam keampuhannya, bioavailabilitas dan kadar jaringannya maka hal ini dapat dicapai. Pada ISPBA/pneumonia hal ini bisa dilaksanakan bila dijalankan terapi AB empink yang terarah dan rasional dengan menggunakan algoritma yang menerapkan pola berfikir (PANCA TEPAT, yaitu Pengetahuan Patogenesis Yang Tepat, Diagnosis Empinik Yang Tepat, pilihan AB yang Tepat, dan Dosis yang Tepat, dalam Jangka waktu yang Tepat. Dengan demikian dapat diharapkan akan tercapai terapi yang cost effective dalam perawatan pasien (patient care) dan pelayanan kesehatan (health care) dengan mempertahankan hasil klinik yang terbaik. Berbagai alternatif penggunaan AB IV dan PO telah dihicarakan. KEPUSTAKAAN 1. Chong-Jen You, Pan-Chyr Yang, Kwen-Tay Luh. Oral antibiotic switch therapy for community-acquired pneumonia in adult patients: Experience in Taiwan. JAMA Southeast Asia (suppl.) Dec. 1994; 10(3): 309–312. 2. Nightingale C. Asian Medical News, May 1995: 16. 3. Frighetto L, Martinusen SM, Mamdani F, Jewesson PJ. Ciprofloxacin use underareserved drug and stepdown promotion program. Can 3 Hosp Pharm 1995; 48: 35-42. 4. Louie TJ. Intravenous to oral stepdown antibiotic therapy: another costeffective strategy in an era of shrinking health care dollars. Can J Infect Dis 1994; 5 (Suppl C): 45C–50C 5. Hendrickson JR. Pharmacoeconomic Applications: SHortened and Transitional Therapies. 19th Internatl Congr of Chemotherapy, July 16–21, 1995, Montreal, Quebec. Canada. Can J Infect Dis 1995; 6 (Suppl. C): 0054. 6. Vogel F. Transitional parenteral to oral therapy. 19th Internatl Congr of Chemotherapy, July 16–21, 1995. Montreal, Quebec, Canada. Can J Infect Dis 1995; 6 (Suppl. C): Abs. 0053. 7. Panpit Suwangool, Terapong Tantawichien. Guidelines for swiching from parenteral to oral therapy. 4th Western Pacific Congr on Chemotherapy and Infectious Diseases. JAMA Southeast Asia (suppl.) Dec. 1994; 10(3): 307–308. 8. Hendro Wahjono. Penggunaan antibiotika secara rasional pada penyakit infeksi. Medika 1994; 2: 42–7. 9. ES Soemantri, Zul Dahlan. Buku Pedoman Pengelolaan dan Penelitian lnfeksi Saluran Pernafasan Bawah Akut. Subunit Pulmonologi, Bagian/ UPF IP Dalam FK UNPADIRS Hasan Sadikin, Bandung, 1992. 10. Zul Dahlan. Kumpulan Naskah Lengkap Pertemuan Berkala Ilmiah dan Organisasi Perkumpulan Respirologi Indonesia. Bandung, 2–4 September 1994. TINJAUAN KEPUSTAKAAN Kandidiasis Paru Hamdi S. Rumah Sakit Umum Pusat Persahabatan, Jakarta PENDAHULUAN Infeksi jamur dewasa ini semakin sering terjadi seiring dengan meningkatnya penggunaan antibiotika berspektrum luas, steroid, obat-obat sitostatika, penyakit kronik, keganasan, bayibayi dengan berat badan lahir rendah dan penderita-penderita dengan penurunan daya tahan tubuh(1-5).Antara tahun 1980–1990 dari data rumah sakit di Amerika Serikat yang melakukan surveillance terhadap patogen nosokomial didapati 7,9% (22,200 kasus) disebabkan oleh infeksi jamur, sekitar 79% infeksi jamur ini disebabkan oleh spesies ka dida(6).Sekitar 8,8% bayi prematur (berat kurang dari 1500 gram) yang dirawat di NICU, Universitas Gottingen, dan pemeriksaan mukokutaneus didapati adanya kotoni jamur kandida(7). Spesies jamur yang paling sering dijumpai pada penderita immunokompromi yaitu infeksi kandida(5-8). Jamur kandida merupakan flora mikrobial normal rongga mulut, saluran pencernaan dan vagina, bersifat invasif/patogen bila daya tahan host (pejamu) terganggu(2,4,6,8-10). Infeksi jamur ini umumnya terjadi di daerah mukokutaneus, tetapi dapat pula terjadi pada organorgan lain di dalam tubuh seperti esofagus, ginjal, hati, jantung, mata, otak dan paru(1,2,4,11). Walaupun kasus infeksi nosokomial oleh jamur semakin banyak, tetapi laporan mengenai infeksi jamur di paru baik primer maupun sekunder masih jarang ditemui(8,11).Pada kandidiasis paru sekunder, di Indonesia, penyakit primer yang terpenting ialah tuberkulosis paru dan keganasan paru(11). Diagnosis dan terapi kandidiasis sampai saat ini masih merupakan tantangan besar bagi para klinisi, karena umumnya pasien datang dengan gejala-gejala yang tidak spesifik(2). Tujuan tulisan ini yaitu untuk mengingatkan kembali patogenesis, diagnosis dan tata laksana kandidiasis paru. DEFINISI Kandidiasis (moniliasis, kandidosis) yaitu infeksi yang disebabkan oleh jamur kandida baik primer maupun sekunder terhadap penyakit lain yang telah ada(11). 24 Cermin Dunia Kedokteran No. 114, 1997 ETIOLOGI Sel jamur kandida berbentuk bulat, lonjong, dengan ukuran 2–5µ x 3–6 µ hingga 2–5 µ x 5–28,5 µ Spesies-spesies kandida dapat dibedakan berdasarkan kemampuan fermentasi dan asimilasi terhadap larutan glukosa, maltosa, sakarosa, galaktosa dan Iaktosa. Jamur kandida dapat hidup sebagai saprofit tanpa menyebabkan kelainan apapun di dalam berbagai alat tubuh baik manusia maupun hewan(2,11). Kandida albikan merupakan spesies jamur kandida yang paling sering menyebabkan kandidiasis pada manusia, baik kandidiasis superfisialis maupun sistemik(2,11). Pada media agar khusus akan terlihat struktur hyphae, pseudohyphae dan ragi(8,11). PATOGENESIS Kandida albikan merupakan flora normal rongga mulut, saluran cerna dan vagina pada sekitar 80% individu normal(2,12) dan hanya menginvasi penderita dengan imunokompromi atau keadaan netropenia yang 1ama(2,9,12). Faktor predisposisi terjadinya infeksi kandidiasis sistemik dapat dilihat pada Tabel 1(2). Kandidiasis paru dapat disebabkan oleh invasi langsung infeksi pada sistem bronkopulmoner atau yang tersering terjadi secara endogen karenajamur telah ada di dalam tubuh penderita terutama di usus, selanjutnya mengadakan invasi ke alat-alat dalam di seluruh tubuh melalui aliran darah(2,4,9). Castellani pada awal abad ke-20 telah mempelajari bronkitis oleh kandida pada pemilih daun teh di Srilangka. Pemilih daun teh tersebut mendapatkan penyakit oleh karena mereka setiap hari harus mencium daun teh yang telah disimpan di dalam gudang, untuk melakukan seleksi apakah daun masih baik atau tidak; dengan cara itu spora jamur yang terdapat pada daun teh terhirup dalam jumlah besar secara berulang(11). Perkembangan penyakit disebabkan kandida ditentukan oleh interaksi yang kompleks antara patogenisitas internal organisme tersebut dan mekanisme pertahanan pejamu(2,11). Mekanisme pertahanan pejamu yang berperan selama infeksi kandida merupakan proses yang kompleks dan belum selu- Tabel 1. Faktor predisposisi terhadap infeksi kandida(2) Faktor mekanik Trauma (luka bakar, abrasi, dll) Okiusi lokal, kelembaban dan atau maserasi Faktor nutrisi Avitarninosis Defisiensi besi (kandidiasis mukokutaneus kronik) Malnutrisi Perubahan-perubahan fisiologis Usia tua Kehamilan Menstruasi Penyakit sistemik Sindroma Down, Acrodermatitis enteropathica Diabetes melitus dan beberapa penyakit endokrinopati lain Uremia, keganasan (hematologi, timoma) Keadaan imunodefisiensi intrinsik (DiGeorge’s syndrome dll) Penyebab-penyebab iatrogenik Tindakan yang melemahkan daya tahan (pemakaian kateter, intra vena) Penyinaran sinar-x, obat-obatan, kortikosteroid atau obat-obat imunosupresif Antibiotik (terutama dengan spektrum luas, metronidazole) Trankuiliser Kontrasepsi oral (terutama estrogen dominan) Coichicine, phenilbutason ruhnya dimengerti. Diperkirakan faktor imun dan non-imun turut berperan di sini(2,4,9,11-13). Faktor imun yang berperan dalam pertahanan terhadap jamur yaitu respon imun humoral dan seluler(2,11). Faktor imun seluler diperkirakan mempunyai peranan yang lebih penting. Buktibukti ini didapat dan pengalaman pada kandidiasis mukokutaneus kronik dan infeksi HIV (Human Immunodeficiency Virus), adanya defek imunitas seluler tersebut menyebabkan kandidiasis superfisialis yang luas, walaupun sistem imunitas humoral normal atau sedikit meningkat(2). Pada individu normal dapat juga dijumpai sedikit peningkatan titer produksi antibodi serum terhadap antigen glikoprotein dinding sel utama kandida(2). Faktor non-imun yang berperan antara lain : (1) Interaksi dengan flora-flora mikrobial lain, (2) Integritas stratum korneum, (3) Proses deskuamasi karena proliferasi epidermis oleh adanya peradangan, (4) Opsonisasi dan fagositosis, (5) Faktor-faktor serum lain. Flora mikrobial normal merupakan mekanisme protektif untuk pejamu, karena flora ini mengadakan kompetisi dengan kandida untuk mendapatkan makanan dan tempat perlekatan pada epitelial dan juga flora ini dapat menghasilkan produk-produk toksik terhadap jamur. Kulit yang intact dengan proses regenerasi dan lipid permukaannya merupakan barier yang efektif terhadap kandida. Ketika terjadi infeksi di kulit, maka kulit yang sakit tersebut akan meningkatkan proses deskuamasinya, hal ini membantu menyingkirkan organisme penyebab penyakit(2). Penderita-penderita dengan netropenia yang berlangsung lama sering pula terinfeksi jamur ini, ternyata pada percobaan in vitro terlihat sel-sel netrofil ini dapat membunuh sel ragi kandida dan merusak segmen-segmen pseudohifa, sehingga diperkirakan netrofil ini berperanan dalam mekanisme pertahanan tubuh terhadap jamur ini(4,9). Percobaan-percobaan yang dilakukan pada binatang, menunjukkan antar spesies-spesies kandida mempunyai kemampuan yang berbeda untuk menimbulkan infeksi., Ray dkk (dikutip dari 2) pada penelitiannya menemukan hanya kandida albikan dan kandida stellatoidea yang dapat menimbulkan reaksi peradangan dan dapat menembus stratum korneum yang ditanamkan pada epidermis yang telah dibuat keadaannya menjadi lisis. Faktor lain yang turut mengawali terjadinya infeksi yaitu kemampuan organisme tersebut untuk melekat pada sel-sel epitelial dan selanjutnya mengadakan invasi(2,6). Mekanisme pasti terjadinya invasi masih belum diketahui seluruhnya, diperkirakan karena pengaruh pengeluaran enzim-enzim keratinolitik atau enzim-enzim proteolitik spesifik dan masing-masing strain kandida Secara ultrastruktur, terlihat pseudohifa mengadakan penetrasi intraseluler ke dalam korneosit pada lesi-lesi kandida, juga terlihat rongga-rongga terang di sekitar organisme yang menunjukkan adanya proses lisis jaringan epitelial(11). GEJALA DAN TANDA Kandidiasis paru biasanya terjadi sekunder terhadap penyakit lain dalam stadium lanjut(2). Gejalanya menyerupai penyakit paru oleh sebab lain, yaitu suhu tubuh meninggi, nyeri dada, sesak napas, batuk dengan dahak sangat kental dan dapat tercampur darah(2,8,9). Kelainan menyerupai bronkopneumoni dengan lekositosis sering pula dijumpai(2,14). Kandidiasis paru ini dapat disertai dengan kandidiasis mukokutaneus atau kandidiasis alat-alat dalam tubuh lainnya(6). DIAGNOSIS Sangat sulit untuk menentukan infeksi jamur di paru oleh karena sebagian besar gejalanya mula-mula tidak mencolok dan sering sekali seperti gejala flu biasa atau infeksi paru oleh sebab lain(1,2,9). Permasalahan lain dalam mendiagnosis infeksi oleh jamur yaitu kita harus dapat menentukan apakah jamur tersebut hanya bersifat koloni atau telah terjadi infeksi/patogenik(14,15). Hal ini perlu dipastikan oleh karena pengobatan dengan antijamur dapat menimbulkan beberapa efek toksik(2,14), sehingga sedapat mungkin dibuat sediaan biopsi jaringan dan kultur untuk konfirmasi diagnosis(4,8,9,12). Pada sediaan jaringan, jamur dapat ditemukan dalam bentuk ragi, pseudohifa dan hifa(8). Kecungaan adanya kandidiasis paru perlu dipertimbangkan bila dijumpai pneumonia yang tidak sembuh dengan pengobatan yang umum atau pada penderita-penderita imunokompromi(5,14). Kandidiasis paru ini dapat dengan atau tanpa kandidiasis oral atau kandidiasis di tempat lain, bila hal ini didapati maka akan lebih menyokong ke arah diagnosis(8,10). Lesi kandidiasis paru secara radiologi umumnya memberikan gambaran berupa bronkopneumonia, tetapi dapat pula memberikan gambaran berupa infiltrat bulat seperti cotton ball, singel atau multipel, gambanam atau abses pan’ (Gambar 1 dan 2)(2,6,15). Didapatinya jamur kandida di dalam sputum bukan diagnostik pasti, karena hal ini dapat terjadi juga pada pasien normal(9,16). Kultur kandida dan darah menunjukkan hasil-hasil yang tidak memuaskan. Pada penderita dengan gambaran klinis cukup Cermin Dunia Kedokteran No. 114, 1997 25 jelas ternyata sering menunjukkan kultur darah yang negatif dan hampir 50% pasien dengan kandidiasis luas yang diotopsi tidak pernah menghasilkan kultur darah yang positif sebelum meninggal. Tes-tes serologi terhadap antibodi dan antigen kandida menunjukkan hasil sensitifitas yang rendah dan kurang bermakna untuk menetapkan suatu diagnosis(8,17). koreksi faktor-faktor predisposisi yang ada(2). Obat-obatan yang dapat digunakan antara lain yaitu: amfoterisin-B, obat ini termasuk golongan antibiotik polyene(18,19). Obat ini tidak dapat diberikan secara oral, harus diberikan secara intravena(18). Dosis yang dapat diberikan antara 0,3–I mg/kgBB/hari dibagi dalam 6 dosis(18). Obat ini sering menimbulkan efek samping antara lain : toksik terhadap ginjal, sering menimbulkan demam, muntah-muntah, takikardi ventrikel, kadang-kadang hipokalemi dan anemi(18). Lama terapi bervariasi tergantung respon klinik penderita dan umumnya antara 6–12 minggu(19). Obat lain yang dapat digunakan yaitu flucytosine atau 5fluorocytosine, yaitu suatu derivat pirimidin, pada awalnya obat ini digunakan untuk kemoterapi kanker(18). Oleh karena obat ini selain menimbulkan efek toksik terhadap fungsi ginjal, hati, sumsum tulang dan kadang-kadang menyebabkan muntahmuntah dan diare serta cepat menimbulkan resistensi maka obat ini tidak dianjurkan lagi untuk pengobatan tunggal, obat ini hanya diberikan dengan kombinasi amfoterisin-B(18). Kombinasi amfoterisin-B dengan flucytosin mempunyai sifat sinergistik, lebih efektif daripada pemberian masing-masing obat dan dapat mengurangi kemungkinan timbulnya resistensi. Dosis kombinasi yang dapat diberikan yaitu amfoterisin-B 0,25–0,5 mg/kgBB/ hari secara intravena dan flucytosine 150 mg/kgBB/hari peroral dibagi 4 dosis(9,13,18,19). Suatu obat baru, fluconazole, dikatakan mempunyai aktifitas anti kandida(9,20).Keuntungan obat ini antata lain: dapat diberikan secara oral dan intravena, ikatan dengan protein plasma minimal, konsentrasinya tinggi di dalam plasma, urin, saliva, sputum, cairan serebrospinal dan cairan vagina(20). Beberapa kepustakaan menyebutkan pada penelitian-penelitian awal yang dilakukan, fluconazole sama efektifnya dengan pemberian kombinasi amfoteris in-B dengan flucytosine dan aman untuk anak-anak di atas usia 3 tahun dengan dosis 3–6 mg/kgbb/hari dosis tunggal, tetapi penelitian-penelitian yang lebih luas masih perlu dilaku kan(12,13,20). PROGNOSIS Kandidiasis sistemik biasanya sekunder terhadap penyakit lainnya, bila penyakit yang mendasarinya dapat diatasi umumnya memberikan prognosis yang baik sedangkan sistem pertahanan tubuh yang rendah sering menyebabkan kegagalan terapi(3). Rekurensi jarang ditemukan bila sistim imunitas pejamu telah membaik dan penyakit yang mendasarinya telah diatasi(3,4,21). PENGOBATAN Aspek terpenting dalam pengobatan kandidiasis adalah meng- 26 Cermin Dunia Kedokteran No. 114, 1997 PENUTUP Dari uraian di atas beberapa hal yang dapat diambil disimpulkan antara lain : 1) Sangat sulit menegakkan diagnosis kandidiasis paru karena penyakit ini dapat menyerupai segala macam penyakit paru lain. 2) Diagnosis pasti kandidiasis paru yaitu dengan melakukan biopsi dan kultur jaringan dan tempat lesi. 3) Dalam pengobatan kandidiasis paru selain pemberian obat antijamur, perlu dicari dan diatasi faktor predisposisi timbulnya penyakit tersebut. KEPUSTAKAAN 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. Mangunnegoro H, Suryatenggara W. Infeksi nosokomial oleh jamur pada paru. Dalam: Yunus F, Rasmin M, Hudoyo A. Mulawarman A, Swidarmoko B, penyunting. Pulmonologi Klinik. Jakarta: Balai Penerbit FKUI, 1992; 109-11. Martin AG, Kobayashi Os. Yeast infections: Candidiasis, Pityriasis (tinea) versicolor. Dalam: Fitzpatrick TB, Eisen AZ, Woift K, Freedberg IM, Austen KF, penyunting. Dermatology in general medicine; edisi ke-4. New York: McGraw-Hill, 1993; 2452-65. DeMuri OP. Hostetter MK. Resistance to antifungal agents. Ped Clin N Am 1995; 42: 665-81. Hollander H. Infectious diseases: mycotic. Dalam: Tierney LM, McPhee SJ, Papadakis MA, penyunting. Current medical diagnosis & treatment; edisi ke-34. Connecticut: Prentice-Hall International, 1995; 1276-7. Tampubolon OE. lnfeksi jamur di l.C.U. Disampaikan pada simposium infeksi jamur sistemik, Jakarta, 4 Juli, 1995. Edward JE. Invasive candida infections: evolution of a fungal pathogen. N EngI J Med 1991; 324: 1060-2. Harms K, Herting E, Schiffman JH, Speer CP. Candida infections in premature infants weighing less than 1,500 g. Mucocutaneous colonization and incidence of systemic infections (abstract). Monatsschr-Kinderheilkd 1992; 140: 633-8. Edwards JE. Opportunistic fungal infections. Dalam: Kelly WN, penyunting. Textbook of internal medicine; edisi ke-2. Philadelphia: JB Lippincott, 1992; 1458-9. Hughes WT. Pneumonia in the immunosuppressed host. Dalam: Human BC, penyunting. Pediatric respiratory disease, diagnosis and treatment. Philadelphia: WB Saunders, 1993; 296-303. 10. Lange S. Stark P. Radiology of chest diseases. New Yor: Thieme Med. 1990; 78-9. 11. Suprihatin SD. Kandida dan kandidiasis pada manusia. Jakarta: Balm Penerbit FKUI, 1982; 3-22. 12. Rivera MP, Jules-Elysee KM, Stover DE. Immunocompromised patients: nontransplant chemotherapy immunosuppression. Dalam: Niederman MS. Sarosi GA, Glasroth J, penyunting. Respiratory infections, a scientific basis for management. Philadelphia: WB Saunders, 1994; 168-70. 13. Pizzo PA, Walsh TJ. Fungal infections in the pediatric cancer patient (abstract). Semin-Oncol 1990; 17: 6-9. 14. Schiffrnan RL, Johnson TS, Weinberger SE, Weiss ST. Schwartz A. Candida lung abscess: successful treatment with Amphotericin B and 5Flucytosine. Am Rev Respir Dis 1982; 125: 766-8. 15. Linder J, Rennard SL. Bronchoalveolar lavage. Chicago: ASCP Press, 1988; 78-81. 16. Murray PR, Scoy REV, Roberts GD. Should yeast in respiratory secretions be identified?. Mayo Clin Proc 1977; 52: 42-5. 17. Bennet JE. Candidiasis. Dalam: Isselbacher Ki, Braunweld E, Wilson JD, Martin JB, Fauci AS, Kasper DL, penyunting. Harrison’s Principle of internal medicine; edisi ke-13. New York: McGraw-Hill, 1994; 860-1. 18. Cauwenbergh 0. Current drugs for the treatment of deep fungal infections. Presented at the 3rd Western Pacific Congress on chemotherapy and infectious diseases, Bali, June, 1992. l9. Bennet JE. Antifungal agents. Dalam: Goodman and Oilman, penyunting. The pharmacological basis of therapeutics; edisi ke-8. New York: McGraw-Hill, 1993; 1165-70. 20. Grant SM, Clissold SP. Fluconazole: A review of its pharmacodynamic and pharmacokinetic properties and therapeutic potential in superficial and systemic mycoses. Drugs 1990; 39: 877-9 12. 21. Daries SF. Fungal pneumonia. Med Clin N Am 1994; 78: 1049-51. Cermin Dunia Kedokteran No. 114, 1997 27 TINJAUAN KEPUSTAKAAN Penatalaksanaan Penyakit Paru Obstruksi Faisal Yunus Bagian Pulmonologi Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia Unit Paru RSUP Persahabatan, Jakarta PENDAHULUAN Penyakit paru obstruksi adalah penyakit atau gangguan paru yang memberikan kelainan ventilasi berupa gangguan obstruksi saluran napas. Penyakit dengan kelainan tersebut antara lain adalah asma bronkial, penyakit paru obstruksi kronik (PPOK) dan sindrom obstruksi pasca Tb (SOPT). Meskipun semuanya memberikan kelainan berupa obstruksi saluran napas, tetapi mekanisme terjadinya kelainan itu berbeda pada masing-masing penyakit. Gangguan obstruksi yang terjadi menimbulkan dampak buruk terhadap penderita karena menimbulkan gangguan oksigenisasi dengan segala dampaknya. Obstruksi saluran napas yang terjadi bisa bertambah berat jika ada gangguan lain seperti infeksi saluran napas dan eksaserbasi akut penyakitnya. Pemberian bronkodilator yang bertujuan mengatasi obstruksi yang terjadi, merupakan suatu tindakan yang bersifat simptoma tis, karena pengobatan ini tidak mengobati etiologi obstruksi; walaupun demikian pengobatan ini perlu dilakukan untuk mengatasi gejala serta menghindari perburukan penyakit dan komplikasi. Terdapat berbagai golongan bronkodilator dan cara pemberian yang berbeda. Pemilihan bronkodilator yang tepat dan cara pemberian yang akurat perlu dilakukan agar diperoleh efek pengobatan yang optimal dengan efek samping yang minimal. MEKANISME OBSTRUKSI SALURAN NAPAS Obstruksi saluran napas difus yang terjadi pada asma terdiri dari empat unsur, yaitu(1) : 1. Hipertrofi otot polos bronkus 2. Peningkatan sekresi muk ke dalam lumen bronkus 3. Edema mukosa bronkus 4. Infiltrasi sel inflamasi oleh eosinofil dan netrofil pada dinding saluran napas dan lumen. 28 Cermin Dunia Kedokteran No. 114, 1997 Mekanisme obstruksi saluran napas yang terjadi pada asma sangat kompleks, tetapi interaksi dengan hiperaktivitas bronkus merupakan faktor utama(1,2). Pada bronkitis kronik obstruksi saluran napas terjadi melalui mekanisme lain. Faktor pencetus penyakit ini adalah suatu iritasi kronik yang disebabkan oleh asap rokok dan polusi. Asap rokok merupakan campuran partikel dan gas. Pada tiap hembusan asap rokok terdapat l014 radikal bebas yaitu radikal hidroksida (OH-). Sebagian besar radikal bebas ini akan sampai di alveolus waktu menghisap rokok. Partikel ini merupakan oksidan yang dapat merusak paru. Parenkim paru yang rusak oleh oksidan terjadi karena rusaknya dinding alveolus dan timbulnya modifikasi fungsi anti elastase pada saluran napas. Anti elastase berfungsi menghambat netrofil. Oksidan menyebabkan fungsi ini terganggu, sehingga timbul kerusakan jaringan intersititial alveolus(3,4). Partikulat dalam asap rokok dan udara terpolusi mengendap pada lapisan mukus yang melapisi mukosa bronkus, sehingga menghambat aktivita silia. Pergerakan cairan yang melapisi mukosa berkurang, sehingga iritasi pada sel epitel mukosa meningkat. Hal ini akan lebih merangsang kelenjar mukosa. Keadaan ini dit dengan gangguan aktifitas silia menimbulkan gejala batuk kronik dan ekpektorasi. Produk mukus yang berlebihan memudahkan timbulnya infeksi serta menghambat proses penyembuhan, keadaan ini merupakan suatu lingkaran dengan akibat terjadi hipersekresi(5). Bila iritasi dan oksidasi di saluran napas terus berlangsung maka terjadi erosi epitel serta pembentukan jaringan parut. Selain itu terjadi pula metaplasi skuamosa dan penebalan lapisan skuamosa. Hal ini menimbulkan stenosis dan obstruksi saluran napas yang bersifat irreversibel(6,7). Emfisema adalah keadaan terdapatnya pelebaran abnormal alveoli yang permanen dan destruksi dinding alveoli. Dua jenis emfisema yang relevan dengan penyakit paru obstruksi kronik (PPOK) yaitu emfisema pan acinar dan emfisema sentri-acinar(6,7,8). Pada jenis pan-acinar kerusakan acinar relatif difus dan dihubungkan dengan proses menua serta pengurangan permukaan alveolar. Keadaan ini menyebabkan berkurangnya elastic recoil paru sehingga timbul obstruksi saluran napas. Pada jenis sentri-acinar kelainan terjadi pada bronkiolus dan daerah perifer acinar, kelainan ini sangat erat hubungannya dengan asap rokok dan penyakit saluran napas perifer(8). Pada sindrom obstruksi pasca Tb (SOPT) mekanisme obstruksi terjadi oleh karena rusaknya parenkim paru akibat penyakit tuberkulosis(9). Timbulnya fibrosis mengakibatkan saluran napas yang tidak teratur, serta emfisema kompensasi karena proses fibrosis dan atelektasis mungkin mempunyai peran dalam terjadinya obstruksi saluran napas pada penyakit ini. TUJUAN PENATALAKSANAAN Penatalaksanaan pada penyakit paru obstruksi bertujuan untuk menghilangkan atau mengurangi obstruksi yang terjadi seminimal mungkin dan secepatnya agar oksigenisasi dapat kembali normal; keadaan ini dipertahankan dan diusahakan menghindari perburukan penyakit atau timbulnya obstruksi kembali pada kasus dengan obstruksi yang reversibel. Dasardasar penatalaksanaan ini pada PPOK adalah(10) : 1) Usaha mencegah perburukan penyakit 2) Mobilisasi lendir 3) Mengatasi bronkospasme 4) Memberantas infeksi 5) Penanganan terhadap komplikasi 6) Fisioterapi, terapi inhalasi dan rehabilitasi. Pada asma dan PPOK, suatu serangan akut atau eksaserbasi akut memerlukan penatalaksanaan yang tepat agar obstruksi yang terjadi dapat diatasi seoptimal mungkin sehingga risiko komplikasi dan perburukan penyakit dapat dihindari sedapat mungkin. Pada obstruksi kronik yang terdapat pada PPOK dan SOPT penatalaksanaan bertujuan untuk memperlambat proses perburukan faal paru dengan menghindari eksaserbasi akut dan faktor-faktor yang memperburuk penyakit. Pada penderita PPOK penurunan faal paru lebih besar dibandingkan orang normal. Penelitian di RSUP Persahabatan menunjukkan bahwa nilai volume ekspirasi paksa detik pertama (VEP1) pada penderita PPOK menurun sebesar 52 ml setiap tahunnya(11). Penatalaksanaan penyakit paru obstruksi secara umum terdiri dari(12) : I. Penatalaksanaan umum II. Pemberian obat-obatan III. Terapi oksigen IV. Rehabilitasi PENATALAKSANAAN UMUM Termasuk dalam penatalaksanaan umum ini adaIah(12) : 1) Pendidikan terhadap penderita dan keluarga. Mereka hendaklah mengetahui penyakitnya, yang meliputi berat penyakit, faktor-faktor yang dapat mencetuskan eksaserbasi serta faktor yang bisa memperburuk penyakit. Perlu peranan aktif penderita untuk usaha pencegahan dan pengobatan. 2) Menghindani rokok dan zat-zat inhalasi yang bersifat iritasi. Rokok merupakan faktor utama yang dapat memperburuk perjalanan penyakit. Penderita harus berhenti merokok. Di samping itu zat-zat inhalasi yang bersifat iritasi harus dihindari, karena zat itu juga dapat menimbulkan eksaserbasi/memperburuk perjalanan penyakit. 3) Menghindan infeksi Infeksi saluran napas sedapat mungkin dihindan oleh karena dapat menimbulkan suatu eksaserbasi akut penyakit. 4) Lingkungan sehat Perubahan cuaca yang mendadak, udara terlalu panas atau dingin dapat meningkatkan produksi sputum dan obstruksi saluran napas. Tempat ketinggian dengan kadar oksigen rendah dapat menurunkan tekanan oksigen dalam arteri. Pada penderita PPOK terjadinya hipertensi pulmonal dan kor pulmonale dapat diperlambat bila penderita pindah dari dataran tinggi ke tempat di permukaan laut. 5) Mencukupkan kebutuhan cairan Hal ini penting untuk mengencerkan sputum sehingga mudah dikeluarkan. Pada keadaan dekompesasi kordis, pemakaian kortikosteroid dan hiponatremi memperbesar kemungkinan terjadinya kelebihan cairan. 6) Nutrien yang cukup Pemberian makanan yang cukup perlu dipertahankan oleh karena penderita sering mengalami anoreksia oleh karena sesak napas, dan pemakaian obat-obatan yang menimbulkan rasa mual. PEMBERIAN OBAT-OBATAN 1) Bronkodilator Bronkodilator merupakan obat utama untuk mengatasi atau mengurangi obstruksi saluran napas yang terdapat pada penyakit paru obstruksi. Ada 3 golongan bronkodilator utama yaitu golongan simpatomimetik, golongan antikolinergik dan golongan xanthin; ke tiga obat ini mempunyai cara kerja yang berbeda dalam mengatasi obstruksi saluran napas. Dalam otot saluran napas persarafan langsung simpatometik hanya sedikit; meskipun banyak terdapat adenoreseptor beta dalam otot polos bronkus, reseptor ini terutama adalah beta-2. Pemberian beta agonis menimbulkan bronkodilatasi. Reseptor beta berhubungan erat dengan adenilsiklase, yaitu substansi penting yang menghasilkan siklik AMP yang menyebabkan bronkodilatasi(13). Persarafan bronkus berasal dan sistem parasimpatis melalui nervus vagus Pada asma aktifitas refleks vagal dianggap sebagai komponen utama bronkokonstriksi; tetapi peranan vagus yang pasti tidak diketahui. Substansi penghantar saraf tersebut adalah asetilkolin yang dapat menimbulkan bronkokonstniksi. Atropin adalah zat antagonis kompetitif dan asetilkolin dan dapat menimbulkan relaksasi otot polos bronkus sehingga timbul bronkodilatasi(13). Obat golongan xanthin bekerja sebagai bronkodilator melalui mekanisme yang belum diketahui dengan jelas. Beberapa mekanisme yang diduga menyebabkan terjadinya bronkodilator, adalah(13) : Cermin Dunia Kedokteran No. 114, 1997 29 • Blokade reseptor adenosin • Rangsangan pelepasan katekolamin endogen • Meningkatkan jumlah dan efektivitas sel T supresor • Meningkatkan ambilan kalsium ke dalam sel otot polos dan penghambatan penglepasan mediator dan sel mast. Pada gambar 1 dapat dilihat skema cara kerja obat-obat bronkodilator untuk menimbulkan bronkodilatasi. Obat golongan simpatomimetik seperti adrenalin dan efedrin selain memberikan efek bronkodilatasi juga menimbulkan takikardi dan palpitasi; pemakaian obat-obat yang selektif terhadap reseptor beta mengurangi efek samping ini. Golongan agonis beta-2 yang dianggap selektif antara lain adalah terbutalin, feneterol, salbutamol, orsiprenalin dan salmeterol. Di samping bersifat sebagai bronkodilator, bila diberikan secara inhalasi dapat memobilisasi lendir. Pemberian beta-2 dapat menimbulkan tremor tetapi bila terus diberikan maka gejala akan berkurang(13-15). Pemberian salbutamol lepas lambat juga dapat diberikan. Pada penderita asma obat ini mungkin bisa mengurangi timbulnya serangan asma malam. Dosis salbutamol lepas lambat 2 x 4 mg mempunyai manfaat yang sama dengan dosis 2 x 8 mg dengan efek samping yang lebih minima1(16). Antikolinergik seperti ipratropium bromide merupakan bronkodilator utama pada PPOK, kanena pada PPOK obstruksi saluran napas yang terjadi lebih dominan disebabkan oleh komponen vagal. Kombinasi obat antikolinergik dengan golongan bronkodilator lain seperti agonis beta-2 dan xanthin memberikan 30 Cermin Dunia Kedokteran No. 114, 1997 efek bronkodilatasi yang lebih baik, sehingga dosis dapat di turunkan sehingga efek samping juga menjadi sedikit(15,17,18). Pada penderita asma akut pemberian antikolinergik tidak direkomendasikan oleh karena efeknya lebih rendah dibandingkan golongan agonis beta-2; tetapi penambahan obat antikolinergik dapat meningkatkan efek bronkodilatasi(19). Pada asma kronik antikolinergik cukup aman,bronkodilatasi terjadi melalui blokade reseptor muskaninik non spesifik. Meskipun efeknya kurang dari gonis beta-2 tapi penambahan obat ini memberikan efek tambahan terutama pada penderita asma yang lebih tua(20). Golongan xanthin mempunyai efek bronkodilator yang lebih rendah, selain bersifat bronkodilator obat ini juga berperan dalam meningkatkan kekuatan otot diafragma. Pada penderita emfisema dan bronkitis kronik metabolisme obat golongan xanthin ini dipengaruhi oleh faktor uimur, merokok, gagal jantung, infeksi bakteri dan penggunaan obat simetidin dan eitromisin. Oleh karena itu penggunaan obat xanthin pada PPOK membutuhkan pemantauan yang ketat(15). Pemberian bronkodilator secara inhalasi sangat dianjur kan- oleh kanena cara ini memberikan berbagai keuntungan yaitu(21,22) : • Obat bekerja langsung pada saluran napas • Onset kerja yang cepat • Dosis obat yang kecil • Efek samping yang minimal karena kadar obat dalam darah rendah. • Membantu mobilisasi lendir. Ada berbagai cara pemberian obat inhalasi yaitu dengan inhalasi dosis terukur, alat bantu spacer, nebuhaler, turbuhaler, dischaler, rotahaler dan nebuliser. Hal yang perlu diperhatikan adalah cara pemakaian yang tepat dan benar sehingga obat dapat mencapai saluran napas dengan dosis yang cukup.Pada orang tua dan anak-anak serta pada suatu serangan akut yang berat mungkin obat tidak bisa dihisap dengan baik sehingga sukar mendapatkan bronkodilatasi yang optimal pada pemakaian inhalasi dosis terukur. Pemberian inhalasi fenoterol 1 ml konsentrasi 0,1% dengan nebuliser pada serangan asma memberikan perbaikan faal paru yang sangat bermakna pada 32 penderita asma yang berobat ke poli Asma RSUP Persahabatan; tetapi pada 19 orang penderita PPOK dengan eksaserbasi akut, inhalasi ini memberikan perbaikan subjektif sedangkan peningkatan faal paru tidak bermakna(23). Pada penderita PPOK pemberian bronkodilator harus selalu dicoba, meskipun tidak terdapat perbaikan faal paru. Apabila selama 2–3 bulan pemberian obat tidak terlihat perubahan secara objektif maupun secara subjektif maka tidaklah tepat untuk meneruskan pemberian obat. Tetapi pemberian bronkodilator tetap diindikasikan pada suatu serangan akut(12). Pemberian bronkodilator jangka lama pada penderita sebaiknya diberikan dalam bentuk kombinasi, untuk mendapatkan efek yang optimal dengan efek samping yang minimal(15). 2) Ekspektorans dan mukolitik Pemberian cairan yang cukup dapat mengencerkan sekret, tetapi pada beberapa keadaan seperti gagal jantung perlu dilakukan pembatasan cairan. Obat yang menekan batuk seperti kodein tidak dianjurkan karena dapat mengganggu pembersihan sekret dan menyebabkan gangguan pertukaran udara; di samping itu obat ini dapat menekan pusat napas. Tetapi bila batuk sangat mengganggu seperti batuk yang menetap, iritasi saluran napas dan gangguan tidur obat ini dapat diberikan. Ekspektorans dan mukolitik lain seperti bromheksin, dan karboksi metil sistein diberikan pada keadaan eksaserbasi. Asetil sistem selain bersifat mukolitik juga mempunyai efek anti oksidans yang melindungi saluran napas dan kerusakan yang disebabkan oleh oksidans(4,12,24,25). 3) Antibiotika Infeksi sangat berperan pada perjalanan penyakit paru obstruksi, terutama pada keadaan eksaserbasi., Infeksi virus paling sering menimbulkan eksaserbasi diikuti oleh infeksi bakteri. Bila infeksi berlanjut maka perjalanan penyakit akan makin memburuk.Penanganan infeksi yang cepat dan tepat sangat perlu dalam penatalaksanaan penyakit. Pemberian antibiotika dapat mengurangi lama dan beratnya eksaserbasi.Perubahan warna sputum dapat merupakan indikasi infeksi bakteri. Antibiotika yang biasanya bermanfaat adalah golongan penisilin, eritromisin dan kotrimoksasol, biasanya diberikan selama 7–10 hari. Apabila antibiotika tidak memberikan perbaikan maka perlu dilakukan pemeriksaan mikroorganisme(12,26,27). 4) Kortikosteroid Pemberian kortikosteroid pada suatu serangan akut baik pada asma maupun PPOK memberikan perbaikan penyakit yang nyata. Steroid dapat diberikan intravena selama beberapa hari, dilanjutkan dengan prednison oral 60 mg selama 4–7 hari, kemudian diturunkan bertahap selama 7–10 hari. Pemberian dosis tinggi kurang dari 7 hari dapat dihentikan tanpa turun bertahap(12,28). Pada penderita dengan hipereaktivitas bronkus pemberian kortikosteroid inhalasi menunjukkan perbaikan fungsi paru dari gejala penyakit. Pemberian kortikosteroid jangka lama memperlambat progresivitas penyakit(29,30,31). TERAPI OKSIGEN Pada penderita dengan hipoksemi, yaitu Pa 02 < 55 mmHg pemberian oksigen konsentrasi rendah 1–3 liter/menit secara terus menerus memberikan perbaikan psikis, koordinasi otot, toleransi beban kerja dan pola tidur. Hipoksemi dapat mencetuskan dekompensatio kordis pada penderita PPOK terutama pada saat adanya infeksi saluran napas(12,26). Gejala gangguan tidur, gelisah dan sakit kepala mungkin merupakan petunjuk perlunya oksigen tambahan(12,26). Pada penderita dengan infeksi saluran napas akut dan dekompensasi kordis pemberian Inspiratory Positive Pressure Breathing (IPPB) bermanfaat untuk mencegah dan menyembuhkan atelektasis(12). REHABILITASI Rehabilitasi meliputi tindakan fisioterapi, rehabilitasi psikis dan pekerjaan. Fisioterapi bertujuan memobilisasi dahak dan mengendalikan kondisi fisik penderita ke tingkat yang optimal. Berbagai cara fisioterapi dapat dilakukan yaitu latihan relaksasi, latihan napas, perkusi dinding dada, drainase postural dan program uji latih. Rehabilitasi psikis berguna untuk menenangkan penderita yang cemas dan mempunyai rasa tertekan akibat penyakitnya. Sedangkan rehabilitasi pekerjaan dilakukan untuk memotivasi penderita melakukan pekerjaan yang sesuai dengan kemampuan fisiknya. Secara umum rehabilitasi ini bertujuan agar penderita dapat mengurus diri sendiri dan melakukan aktivitas yang bermanfaat sesuai dengan kemampuan penderita(12,15,26). PENUTUP Penyakit paru obstruksi saluran napas yang sering didapatkan adalah asma bronkial, PPOK dan SOPT. Mekanisme terjadi obstruksi saluran napas berbeda pada tiap penyakit. Penatalaksanaan bertujuan mengatasi dan menghilangkan obstruksi, mempertahankan bronkodilatasi dan mencegah atau mengurangi perburukan penyakit. Bronkodilator merupakan obat utama pada penatalaksanaan penyakit. Obat yang teri bronkodilator ini adalah golongan simpatoinimetik, antikolinergik dan xanthin. Pemberian obat secara inhalasi merupakan pilihan karena mempunyai beberapa keuntungan. Pemberian bronkodil ator secara kombinasi memberikan efek yang lebih baik kanena bronkodilatasi yang terjadi lebih besar dan efek samping obat lebih rendah. Obat antibiotika diberikan pada infeksi atas indikasi dan dipakai secara tepat. Kortikosteroid bermanfaat pada keadaan eksaserbasi dan pemberian secara inhalasi memperbaiki perjalanan penyakit. Pemberian kortikosteroid inhalasi jangka lama mengurangi progresivitas penyakit. Terapi oksigen pada penderita hipoksemi dapat memperbaiki perjalanan penyakit. Tindakan rehabilitasi yang meliputi fisioterapi, rehabilitasi psikis dan pekerjaan bertujuan mengoptimalisasi kemampuan dan aktivitas penderita. KEPUSTAKAAN 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10. 11. 12. 13. 14. Holgate ST. Bronchoconstriction. In: Bronchodilator Therapy. ed. Clark Till. Auckland: Adis Press Limited, 1984: 1–16. Dalil R. Pathophysiology of bronchial asthma, ed. Gross NJ. London: Franklin Scient PubI 1993 : 81–7. Cantin A, Crystal RG. Oxidants, Antioxidant and the pathogenesis of emphysema. Eur J Respir Dis 1985; 66: 7–12. Flenley DC. What should an ideal antioxidant do (and not do) ? Bull Eur Physiopatol Respir 1987; 23: 279–85. Cherniack RM, Cherniack L. Airway disease. In: Respiration in Health and Disease. Philadelphia: WB Saunders Co. 1983 : 269–98. Bates PV. Chronic bronchitis and emphysema. In: The Lung in Transition between Health and Disease. Eds. Macklem PT, Permutt S. New York: Marcel Dekker mc, 1979: 1–3. Rodman T, Sterling HF. Pulmonary emphysema and related lung disease. St Louis: CV Mosby Co 1969 : 3–23 and 156–200. Calverley PMA. Pathophysiology of chronic obstructive pulmonary disease. In: Anticholinergic therapy in obstructive pulmonary disease. Scient PubI 1993 : 61–80. Bromerg PA, Robin ED. Abnormalities of lung function in tuberculosis. Adv Tuberc Res 1963; 12: 1–27. Hadiaxto Mangunnegoro. Penatalaksanaan Penyakit Paru Obstruktif Me nahun, Hasil pengamatan selama 5 tahun di Bagian Pulmonologi FKUI/ Unit Paru RSUP Persahabatan. Dalam: Penyakit Paru Obstruksi Menahun eds. Faisal Yunus, Anwar Jusuf. Jakarta: Penerbit FKUI 1989 : 5 1–9. Faisal Yunus. Peranan faal paru pada penyakit paru obstruktif menahun. Dalam: Penyakit Paru Obstruktif Menahun. eds. Faisal Yunus, Anwar Jusuf. Jakarta: Penerbit FKUI 1989 : 33–44. Hodkin JE. Comprehensive Respiratory Care Program. In: Chronic Obstenctive Pulmonary Disease. Park Ridge: The Am Coil Chest Physi cians 1979 : 34–101. Shenfleld GM, Brogden RN, Ward A. Pharmacology of bronchodilators. In: Bronchodilator Therapy. ed. Clark TJH Auckland: Adis Press Limited, 1984:17-46. Tobin MJ. Use of bronchodilator aerosol. Arch Intern Med 1985; 145: 1659–63. 15. Cochrane GM, Prior 1G. The role of bronchodilator in the management of chronic bronchitis and emphysema. In: Bronchodilator therapy. ed. Clark TJH. Auckland: Adis Press Limited 1984: 188–202. 16. Yulino Amrie, Faisal Yunus, Hadiarto Mangunnegoro. Perbandingan efek klinik salbutamol lepas lambat 4mg dan 8 mg pada penderita asma bronkial. Paru 1992; 12: 27–35. 17. Handergen JJ, Bone RC. The role of anticholinergic drugs in chronic obstruktive airway disease. ed. Gross NJ. London: Franklin Scient Publ 1993: 128–44. 18. Gross NJ. Manfaat that antikolinergik pada pengobatan penyakit pare obstniktif menahun. Dalam: Penyakit Pare Obstruktif Menahun. Jakarta: Penethit FKUI 1989 : 45–50. 19. Ward MJ. The role of anticholinergic drugs in acute asthma. In: Anticho linergic therapy in obstructive airways disease. ed. Gross NJ. London: Franklin Scient PubI 1993: 155–62. 20. Woltstenholme RJ. The role of anticholinergic drugs in chronic asthma. In: Anticholinergic therapy in obstructive airways disease. London: Franklin Scient PubI 1993: 163–8. 21. Simonsson BG. Anatomical and pathophysiological considerations in aerosol therapy. Eur J Respir Dis Suppl 1952; 119: 7–14. 22. Newhouse MT. Principles of aerosol therapy. Chest 1982; 82 suppl : 39 S – 41 S. 23. Faisal Yunus. Prinsip dasar dan peranan terapi inhalasi. Medika 1992; 18: 25–31. 24. Amstrong M. Double blind cross over trial (15) of bromhexin (Bisolvon) in the treatment of chronic bronchitis. Med J Austral 1976; 1: 612–7. 25. Moldeus P, Berggren M, Graftstrom R. N-acetylcysteine protection against the toxicity of cigarette smoke and cigarette smoke condensates in various tissues and cell in vitro. Eur J Respir Dis 1985; 66 (suppl) 139: 123–9. 26. American Thoracic Society, Medical section of the American Lung Association. Standards for the diagnosis and care of patients with chronic obstructive pulmonary disease (COPD) and asthma. Am Rev Respir Dis 1987; 136: 225–43, 27. Crofton J. The John Barnwell Lecture, The chemotherapy of bacterial respiratory infections. Am Rev Respir Dis. 1970; 101: 841–59. 28. Miller WF, Geumel AM. Respiratory and pharmacological therapy in COPD. In: Chronic Obstructive Pulmonary Disease. ad. Petty ii. New York: Marcel Dekker Inc, 1985 : 205–338. 29. DompelingE, Van Schayc CP, MolemaJ, Folgering H, Van Grunsven PM, Van Wheel C. Inhaled beclomethasone improves the course of asthma and COPD. Eur Respir J 1992; 5: 954–62. 30. Hadiarto Mangunnegoro, Faisal Yunus, Achmad Hudoyo, Johannes R Sulamet, Ernst J Manuhutu. Usaha menurunkan hipereaktivitas bronkus pada penderita “Exercise-induces asthma”. Suatu penelitian dengan menggunakan inhalasi budesonide. Medika 1990; 16(9): 729–42. 31. Hadiarto Mangunnegoro, Tamsil Syafiuddin, Faisal Yunus, Wiwien Heruwiyono. Upaya menurunkan hiperaktivitas bronkus pads penderita asma, perbandingan efek budesonid dan ketotifen. Pare 1992; 12: 10–8. An opportunity is often lost through deliberation 32 Cermin Dunia Kedokteran No. 114, 1997 TINJAUAN KEPUSTAKAAN Rehabilitasi pada Penderita Penyakit Paru Obstruksi Menahun Djoko Mulyono PPDS I Ilmu Penyakit Paru Fakultas Kedokteran Universitas Airlangga Rumah Sakit Umum Daerah Dr. Sutomo, Surabaya PENDAHULUAN Penyakit paru obstruktif menahun (PPOM) kini mulai diperhitungkan sebagai salah satu masalah kesehatan yang menyebabkan tingginya angka kesakitan, kecacatan pada paru dan meningkatnya biaya pengobatan dan tahun ke tahun. Pada tahun 1986 lebih dan 20 juta penduduk AS menderita emfisema dan sekitar 11,2 juta menderita bronkitis kronis, terutama disebabkan oleh paparan asap rokok. Rerata angka kejadian PPOM di Jawa Timur 6,1%, perokok menunjukkan angka 3 kali lebih tinggi dibandingkan dengan bukan perokok(1). Penderita PPOM kebanyakan berusia lanjut, terdapat gangguan mekanis dan pertukaran gas pada sistim pernapasan dan menurunnya aktivitas fisik pada kehidupan sehari-hari. Peningkatan volume paru dan tahanan aliran udara dalam saluran napas pada penderita emfisema akan meningkatkan kerja pernapasan. Penyakit ini bersifat kronis dan progrresif, makin lama kemampuan penderita akan menurun bahkan penderita akan kehilangan stamina fisiknya(2). Dalam mengelola penderita PPOM, di samping pemberian obat-obatan dan penghentian merokok juga diperlukan terapi tambahan yang ditujukan untuk mengatasi masalah tersebut yakni rehabilitasi medis, khususnya fisioterapi pernapasan. Fisioterapi pernapasan adalah suatu tindakan dalam rehabilitasi medis yang bertujuan mengurangi cacat atau ketidak mampuan penderita, dan diharapkan penderita merasa terbantu untuk mengatasi ketidak mampuannya sehingga mereka dapat mengurus diri sendiri tanpa banyak tergantung pada orang 1ain(3,4). Namun sayangnya upaya ini kurang diminati oleh para dokter bahkan sering kali dilupakan orang. TUJUAN REHABILITASI PARU Rehabilitasi didefinisikan sebagai : memulihkan individu ke arah potensi fisik, medik, mental, emosional, ekonomi sosial dan vokasional sepenuhnya menurut kemampuannya(5). Maka jelaslah bahwa tingkat pemenuhan tujuan program rehabilitasi paru tergantung pada derajat insufisiensi pernapasan, dan tindakan yang ditempuh tergantung pula pada faktorfaktor yang berpengaruh pada penderita. Meskipun demikian, tiap usaha harus dilakukan untuk membawa penderit. ke arah perbaikan fisik yang maksimal dan pemakaian energi yang optimal tetapi efisien, sehingga penderita dapat melakukan pekerjaannya sehari-hari. Jika hal ini tidak mungkin, harus diusahakan latihan kerja yang lebih ringan. Harus ditekankan agar penderita mempunyai percaya diri dan mengurangi ketergantungan pada keluarga dan masyarakat(4,6). PERUBAHAN PARU PADA USIA LANJUT Pada usia lanjut terjadi perubahan berupa kekakuan dinding dada akibat perubahan tulang belakang dan sendi kostovertebral sehingga compliance dinding dada berkurang. Terdapat penurunan elastisitas parenkim paru, bertambahnya kelenjar mukus pada bronkus dan penebalan pada mukosa bronkus. Akibatnya terjadi peningkatan tahanan saluran napas, terlihat dan penurunan faal paru antara lain: kapasitas vital paksa (FVC), volume ekspirasi paksa detik pertama (FEV1), Force expiratory flow, midexpiratory phase (FEF25%-75%) dan forced expirator flow between 200 and 1200 mL of FVC (FEF200-1200). Terdapat peningkatan volume residu akibat kehilangan elastic recoil paru(7,8). REHABILITASI PARU PADA PPOM Dalam mengelola penderita PPOM, rehabilitasi medis pada paru (rehabilitasi pulmonal) mempunyai 2 aspek yakni: 1) Rehabilitasi fisik, terdiri dari: 1.1. Latihan relaksasi 1.2. Terapi fisik dada 1.3. Latihan pernapasan 1.4. Latihan meningkatkan kemampuan fisik 2) Rehabilitasi psikososial dan vokasional, terdiri dari: Cermin Dunia Kedokteran No. 114, 1997 33 2.1. Pendidikan perseorangan dan keluarga 2.2. Latihan pekerjaan 2.3. Penempatan tugas 2.4. Latihan merawat diri sendiri Kedua aspek rehabilitasi medis tersebut diterapkan dalam mengelola semua penderita PPOM tanpa memandang etiologi dan derajat penyakitnya(9). Rehabilitasi fisik dapat dilakukan pada stadium dini atau stadiun lanjut dari penyakitnya. Penderita dilatih untuk memakai cadangan napasnya seefektif mungkin dengan mengubah pola bernapas untuk memperoleh potensi yang optimal bagi kegiatan fisiknya(2). Rehabilitasi psikososial dan vokasional dipertimbangkan bila penderita tidak dapat mencapai keinginan fisik-psikologis untuk melakukan kegiatan seperti biasanya. Bila pendidikan pada tingkat tersebut tidak mungkin, rehabilitasi ditujukan untuk memberi kesempatan pada penderita untuk dapat melakukan kegiatan minimal termasuk mengurus diri sendiri(2). I. Latihan relaksasi Tujuan latihan relaksasi adalah: 1) Menurunkan tegangan otot pernapasan, terutama otot bantu pernapasan. 2) Menghilangkan rasa cemas karena sesak napas. 3) Memberikan sense of well being. Penderita PPOM yang mengalami insufisiensi pernapasan selalu merasa tegang, cemas dan takut mati tersumbat(10). Untuk mengatasi keadaan ini penderita berusaha membuat posisi yang menguntungkan terutama bagi gerakan diafragmanya. Sikap ini dicapai dengan memutar bahu ke depan dan membungkukkan badan ke depan pula. Sikap ini selalu diambil setiap akan memulai rehabilitasi fisik (drainase postural, latihan pernapasan). Agar penderita memahami, latihan ini harus diperagakan. Latihan relaksasi hendaknya dilakukan di ruangan yang tenang, posisi yang nyaman yaitu telentag dengan bantal menyangga kepala dan guling di bawah lutut atau sambil duduk(11). II. Terapi fisik dada Timbunan sekret yang sangat kental jika tidak dikeluarkan akan menyumbat saluran napas dan merupakan media yang baik bagi pertumbuhan kuman. Infeksi mengakibatkan radang yang menambah obstruksi saluran napas. Bila berlangsung terus sehingga mengganggu mekanisme batuk dan gerakan mukosilier, maka timbunan sekret merupakan penyulit yang cukup serius(12). Terapi fisik (fisioterapi) dada ditujukan untuk melepaskan dan membantu menggerakkan sekret dan saluran napas kecil ke trakea; dapat dilakukan dengan cara drainase postural, perkusi dinding dada, vibrasi menggunakan tangan (manual) atau dengan bantuan alat (mekanik)(11,12). Perkusi dengan vibrasi cepat, ketukan dengan telapak tangan (clapping), atau memakai rompi perkusi listrik serta latihan batuk akan memperbaiki mobilisasi dan klirens sekret bronkus dan fungsi paru terutama pada penderita PPOM dengan produksi sputum yang meningkat (>30 ml/ hari), bronkluektasis, fibrosis kistik, dan atelektasis. Pada penderita dengan serangan asma akut, pneumonia akut, gagal napas, penderita yang memakai ventilator, dan penderita PPOM dengan produksi sputum yang minimal (<30 ml/hari), fisioterapi dada 34 Cermin Dunia Kedokteran No. 114, 1997 tidak berefek dan bahkan membahayakan(13,14). Dalam melakukan drainase postural harus diperhatikan posisi penderita yang disesuaikan dengan anatomi percabangan bronkus. Tindakan ini dilakukan 2 kali sehani selama 5 menit. Sebelum dilakukan drainase postural sebaiknya penderita minum banyak atau diberikan mukolitik, bronkodilator perinhalasi untuk memudahkan pengal Iran sekret(11,12). III. Latihan pernapasan Latihan pernapasan dilakukan setelah latihan relaksasi dikuasai penderita. Tujuan latihan pernapasan adalah untuk: 1) Mengatur frekuensi dan pola napas sehingga mengurangi air trapping 2) Memperbaiki fungsi diafragma 3) Memperbaiki mobilitas sangkar toraks 4) Memperbaiki ventilasi alveoli untuk memperbaiki pertukaran gas tanpa meningkatkan kerja pernapasan 5) Mengatur dan mengkoordinir kecepatan pernapasan sehingga bernapas lebih efektif dan mengurangi kerja pernapasan. Diafragma dan otot interkostal merupakan otot-otot pernapasan yang paling penting. Pada orang normal dalam keadaan istirahat, pengaruh gerakan diafragma sebesar 65% dan volume tidal. Bila ventilasi meningkat barulah digunakan otot-otot bantu pernapasan (seperti skalenus, sternokleidomastoideus, otot penyangga tulang belakang); ini terjadi bila ventilasi melampaui 50 l/menit(15). Pada penderita PPOM sering kali terdapat pernapasan yang tidak sinkron gerakannya (panadoksal), yaitu pada waktu akhir inspinasi tiba-tiba dinding perut bergerak ke dalam dan kemudian bergerak keluar waktu ekspirasi. Penderita dengan keadaan demikian mempunyai prognosis yang kurang baik(2). Selain itu pada penderita PPOM tendapat hambatan aliran udara terutama pada waktu ekspirasi. Pada umumnya letak diafragma rendah dan posisi sangkar toraks sangat tinggi sehingga secara mekanis otot-otot pernapasan bekerja kurang efektif. Pada umumnya fungsi diafragma penderita PPOM kurang dan 35% volume tidal, akibatnya penderita selalu menggunakan otot-otot bantu pernapasan(15). Latihan otot-otot pernapasan akan meningkatkan kekuatan otot pernapasan, meningkatkan tekanan ekspirasi (PE max) sekitar 37%(16). Latihan pernapasan meliputi: a) Latihan pernapasan diafrag Tujuan latihan pernapasan diafragma adalah : menggunakan diafragma sebagai usaha pernapasan, sementara otot-otot bantu pernapasan mengalami relaksasi. Manfaat pernapasan diafragma: 1) Mengatur pernapasan pada waktu serangan sesak napas dan waktu melakukan pekerjaan/latihan. 2) Memperbaiki ventilasi ke arah basal paru. 3) Melepaskan sekret yang melalui saluran napas. Dengan pernapasan diafragma maka akan terjadi peningkatan volume tidal, penununan kapasitas residu fungsional dan peningkatan ambilan oksigen optimal(15). Latihan ini dapat dilakukan dengan prosedur berikut(2,12) : 1) Sebelum melakukan latihan, bila terdapat obstruksi saluran napas yang reversibel dapat diberi bronkodilator. Bila terdapat hipersekresi mukus dilakukan drainase postural dan latihan batuk. Pemberian oksigen bila penderita mendapat terapi oksigen di rumah. 2) Posisi penderita bisa duduk, telentang, setengah duduk, tidur miring ke kiri atau ke kanan, mendatar atau setengah duduk. 3) Penderita meletakkan salah satu tangannya di atas perut bagian tengah, tangan yang lain di atas dada. Akan dirasakan perut bagian atas mengembang dan tulang rusuk bagian bawah membuka. Penderita perlu disadarkan bahwa diafragma memang turun pada waktu inspirasi. Saat gerakan (ekskursi) dada minimal. Dinding dada dan otot bantu napas relaksasi. 4) Penderita menarik napas melalui hidung dan saat ekspirasi pelan-pelan melalui mulut (pursed lips breathing), selama inspirasi, diafragma sengaja dibuat aktif dan memaksimalkan protrusi (pengembangan) perut. Otot perut bagian depan dibuat berkontraksi selama inspirasi untuk memudahkan gerakan diafragma dan meningkatkan ekspansi sangkar toraks bagian bawah. 5) Selama ekspirasi penderita dapat menggunakan kontraksi otot perut untuk menggerakkan diafragma lebih tinggi. Beban seberat 0,5–1 kg dapat diletakkan di atas dinding perut untuk membantu aktivitas ini. Latihan pernapasan pernapasan diafragma sebaiknya dilakukan bersamaan dengan latihan berjalan atau naik tangga(11). Selama latihan,penderita harus diawasi untuk mencegah kesalahan yang sering terjadi seperti(2) : • Ekspirasi paksa: Hal ini akan memperberat obstruksi saluran napas, meningkatkan tekanan intrapleura dan terjadi air trapping jika saluran napas yang rusak dan mudah kolaps ditekan oleh tekanan intrapleura. • Perpanjangan ekspirasi: Menyebabkan pernapasan berikutnya tidak teratur dan tidak efisien, pola pernapasan kembali ke pernapasan dada bagian atas yang tidak teratur disertai dengan aktifnya otot bantu pernapasan. • Gerakan tipuan abdomen: Otot perut berkontraksi dan relaksasi tetapi tidak ada perbaikan dan ventilasi. • Penggunaan dada bagian atas secara berlebihan: Hal ini dapat mengganggu gerakan diafragma, kebutuhan O2 meningkat karena otot bantu pernapasan bekerja lebih keras. b) Pursed lips breathing Pursed lips breathing (PLB) dilakukan dengan cara menarik napas (inspirasi) secara biasa beberapa detik melalui hidung (bukan menarik napas dalam) dengan mulut tertutup, kemudian mengeluarkan napas (ekspirasi) pelan-pelan melalui mulut dengan posisi seperti bersiul, lamanya ekspirasi 2–3 kali lamanya inspirasi, sekitar 4–6 detik. Penderita tidak diperkenankan mengeluarkan napas terlalu keras(12). PLB dilakukan dengan atau tanpa kontraksi otot abdomen selama ekspirasi. Selama PLB tidak ada udara ekspirasi yang mengalir melalui hidung, karena terjadi elevasi involunter dari palatum molle yang menutup lubang nasofaring. Dengan pursed lips breathing (PLB) akan terjadi peningkatan tekanan pada rongga mulut, kemudian tekanan ini akan diteruskan melalui cabang-cabang bronkus sehingga dapat mencegah air trapping dan kolaps saluran napas kecil pada waktu ekspirasi. Hal ini akan menurunkan volume residu, kapasitas vital meningkat dan distribusi ventilasi merata pada paru sehingga dapat memperbaiki pertukaran gas di alveol(17). Selain itu PLB dapat menurunkan ventilasi semenit, frekuensi napas, meningkatkan volume tidal, PaO2 saturasi oksigen darah, menurunkan PaCO2 dan memberikan keuntungan subjektif karena mengurangi rasa sesak napas pada penderita(17,18,19). Pursed lips breathing akan menjadi lebih efektif bila dilakukan bersama-sama dengan pernapasan diafragma(18). Ventilasi alveoler yang efektif terlihat setelah latihan berlangsung lebih dari 10 menit(20). c) Latihan batuk Batuk merupakan cara yang efektif untuk membersihkan benda asing atau sekret dan saluran pernapasan. Batuk yang efektif harus memenuhui kriteria: 1) Kapasitas vital yang cukup untuk mendorong sekret. 2) Mampu menimbulkan tekanan intra abdominal dan intratorakal yang cukup untuk mendorong udara pada fase ekspulsi. Cara melakukan batuk yang baik: Posisi badan membungkuk sedikit ke depan sehingga memberi kesempatan luas kepada otot dinding perut untuk berkontraksi, sehingga menimbulkan tekanan intratorak Tungkai bawah fleksi pada paha dan lutut, lengan menyilang di depan perut. Penderita diminta menarik napas melalui hidung, kemudian menahan napas sejenak, disusul batuk dengan mengkontraksi kan otot-otot dinding perut serta badan sedikit membungkuk ke depan. Cara ini diulangi dengan satu fase inspirasi dan dua tahap fase ekspulsi. Latihan diulang sampai penderita menguasai. Penderita yang mengeluh sesak napas saat latihan batuk, diistirahatkan dengan melakukan Iatihan pernapasan diantara dim latihan batuk. Bila penderita tidak mampu batuk secara efektif, dilakukan rangsangan dengan alat penghisap (refleks batuk akan terangsang oleh kateter yang masuk trakea) atau menekan trakea dari satu sisi ke sisi yang 1ain(2,12). IV. Latihan meningkatkan kemampuan fisik Bertujuan meningkatkan toleransi penderita terhadap aktivitas dan meningkatkan kemampuan fisik, sehingga penderita hidup lebih aktif dan lebih produktif. Pengaturan tingkat latihan dimulai dengan tingkat berjalan yang disesuaikan dengan kemampuan awal tiap penderita secara individual, yang kemudian secara bertahap ditingkatkan ke tingkat toleransi yang paling besar. Jarak maksimum dalam latihan berjalan yang dicapai oleh penderita merupakan batas untuk mulai meningkatkan latihan dengan menaiki tangga. Selama latihan penderita harus dibantu dengan pemberian oksigen untuk menghindari penununan saturasi oksigen secara drastis yang dapat membahayakan jantung. Penderita harus diawasi dengan baik, secara berkala gas darah arteri diukur tenutama pada penderita dengan hipoventilasi alveoler, untuk mencegah retensi Cermin Dunia Kedokteran No. 114, 1997 35 CO2 yang berlebihan. Pemberian oksigen selama latihan harus diteruskan sampai penderita mendapat manfaat yang maksimal, setelah itu lambat laun dapat disapih(2). 6. 7. 8. RINGKASAN Rehabilitasi medik paru (rehabilitasi pulmonal) merupakan salah satu tindakan penting dalam pengelolaan penderita PPOM, di samping pemberian obat-obatan. Penderita yang berusia lanjut dengan gangguan pernapasan akibat obstruksi saluran napas karena sekret atau kolaps saluran napas bagian tepi serta pola napas paradoksal semuanya akan membuat pernapasan tidak efektif. Terapi fisik (fisioterapi) dada dilakukan pada semua penderita PPOM dengan harapan dapat mengurangi rasa cemas, membersihkan saluran napas dan sekret, dan menggunakan otototot pernapasan secara optimal. Dengan demikian penderita akan terlatih untuk bernapas secara efektif dan tidak cemas pada saat terjadi serangan akut serta dapat melakukan tugasnya tanpa tergantung pada orang lain. Sehingga tercapai tujuan untuk meningkatkan kualitas hidup penderita. Selain tersebut di atas, tak kalah pentingnya adalah penghentian merokok dan menghindari paparan asap rokok. 2. 3. 4. 5. 10. 11. 12. 13. 14. 15. KEPUSTAKAAN 1. 9. Thomas Kardjito, Selamat Hariadi. Epidemiologi penyakit patti obstruktif menahun. Dalam: Simposium dan Kursus Penyakit Paru Obstruktif Menahun. Surabaya Juni 1991, hal 1–17. Abdul Mukty, Djati Sampoerno. Rehabilitasi padapenyakitparu obstruktif menahun. Dalam: Simposium dan Kursus Penyakit Paru Obstruktif Menahun, SurabayaJuni 1991. hal. 163–181. Fishman AP. Pulmonary rehabilitation research. Am J Respir Crit Care Med. 1994; 149: 825–833. Moser KM, Bokinsky GE, Savage RT et al. Results of a comprehensive rehabilitation program. Physiologic and functional effects on patients with chronic obstructive pulmonary disease. Arch Intern Med. 1980; 140: 15961601. American Thoracic Society. Pulmonary rehabilitation. Am Rev Respor Dis. 1981; 124: 663–666. 16. 17. 18. 19. 20. Petty TL. Pulmonary rehabilitation in perspective: historical roots, present status, and future projections. Thorax 1993; 48: 855–862. Frownfelter DL. Chest physical therapy and airway care in: Core Textbook of Respiratory Care Practice. Editor: Barnes TA. 1st edition. Mosby Yearbook inc. 1994: 199–222. Zadai CF. Rehabilitation of the patient with chronic obstructive pulmonary disease. In: Cardiopulmonary Physical Therapy. Editor: Irwin S and Tecklin is. 2nd edition CV Mosby Co. 1990: 491–504. Corsello PR. Rehabilitation of the chronic obstructive pulmonary disease patient: General principles. In: Pulmonary Therapy and Rehabilitation. Principles and Practice. Editor: Haas F, Axen K. 2nd edition. Baltimore, London: Williams and Wilkins, 1991: 196–212. Emery CF, Leatherman NE, Burker EJ, Maclntyre NR. Psychological outcomes of a pulmonary rehabilitation program. Chest 1991; 100: 613– 617. Garntan SL. Chest physical therapy treatment of the patient with chronic obstructive pulmonary disease. In: Pulmonary Therapy and Rehabilitation, Principles and Practice. Editor: Haas F, Axen K. 2nd edition. Baltimore, London: Williams and Wilkins, 1991: 213–236. Faling Li. Controlled breathing techniques and chest physical therapy in chronic obstructive pulmonary disease and allied conditions. In: Principles and Practice of Pulmonary Rehabilitation. Editor: Casabury R, Petty TL. 1st edition. WB Saunders Co. 1993: 167–182. Donner CF, Howard P. Pulmonary rehabilitation in chronic obstructive pulmonary disease (COPD) with recommendations for its use. Eur Resp I. 1992; 5: 266–275. Ferguson CT, Cherniack RM. Management of chronic obstructive pulmo nary disease. N EngI I Med. 1993; 328: 1017–22. Brashear RE, Rhodes ML. Pulmonary physiotherapy in: Chronic Obstruc tive Lung Disease. Clinical Treatment and Management. The CV Mosby Co. Saint Louis 1978: 196–207. Rochester DF. Effects of COPD on the respiratory muscles. In: Chronic Obstructive Pulmonary Disease. Editor: Chemiack NS. 1st edition. Phila delphia: WBSaunders Co. 1991: 134–57. Thoman RL, Stoker GL, Ross IC. The efficacy of Pursed lips breathing in patients with chronic obstructive pulmonary disease. Am Rev Respir Dis. 1966; 93: 100–105. Casciari RI, Fairshter RD, Harrison A. et al. Effects of breathing retraining in patients with chronic obstructive pulmonary disease. Chest 1981; 79: 393–398. Mueller RE, Petty TL, Filley GF. Ventilation and arterial blood gas changes induced by Pursed lips breathing. I AppI Physiol. 1970; 28: 784–789. Ingram RH, Schilder DP. Effect ofpursed lips expiration on the pulmonary pressure flow relationship in obstructive lung disease. Am Rev Respir Dis. 1967; 96: 381–388. A word may be recalled, a life never (Schiller) 36 Cermin Dunia Kedokteran No. 114, 1997 HASIL PENELITIAN Pemeriksaan Kadar IgG dan IgE pada Penderita Asma Bronkial yang Menggunakan Prednison Yovita Lisawati, Bie Tjeng, Rusdi A Bagian Farmasi Universitas Andalas, Padang ABSTRAK Telah dilakukan penelitian untuk mengetahui kadar IgG dan IgE pada penderita asma bronkhial yang menggunakan prednison. Tes imunodiagnostik yang digunakan adalah tes presipitasi. Hasil penelitian menunjukkan bahwa kadar rata-rata IgG penderita asma bronkhial yang menggunakan prednison 1332,09 mg/dl, lebih kecil dibandingkan kadar rata-rata IgG penderita yang tidak menggunakan prednison. Kadar rata-rata 1gE penderita asma bronkhial yang menggunakan prednison 4224,0.10-5 mg/dl, lebih kecil dibanding kadar rata-rata IgE penderita yang tidak menggunakan prednison. PENDAHULUAN Seseorang yang pernah berkontak dengan antigen tertentu, maka pada kontak herikutnya dengan antigen yang sama akan menyebabkan respon imunologik sekunder; hal ini merupakan reaksi alami tubuh untuk mempertahankan diri. Pada keadaan tertentu, reaksi imunologik itu berlangsung berlebihan atau tidak wajar sehingga menimbulkan kerusakan jaringan. Reaksi ini disebut reaksi hipersensitifitas(1,2,3). Salah satu jenis reaksi hipersensitifitas adalah reaksi anafiiaktik. Faktor terpenting yang berperan pada reaksi anafilaktik ini adalah imunoglobulin E (IgE). Jika molekul antigen berikatan dengan molekul-molekul 1gB yang terikat pada sel-sel mastosit atau basofil, dapat mengakibatkan degranulasi sehingga dilepaskan berbagai mediator yang aktif secara farmakologik. Mediator-mediator yang dibebaskan ini akan mempunyai dampak langsung pada jaringan. Salah satu rnanifestasinya adalah asma bronkhial(1,4). Glukokortikoid adalah golongan obat yang paling efektif untuk asma bronkhial, meskipun mekanisme kerjanya dalam mengobati asma belum diketahui. Diperkirakan efeknya sebagai antiinflamasi, antieosinofilia serta mempertinggi respon reseptor beta sebagai faktor-faktor yang menunjang keefektifannya(5,6,7). Prednison merupakan salah satu obat golongan glukokortikoid, biasanya diberikan peroral untuk pengobatan asma bronkhia1(7). Obat ini selain mempunyai efek terapeutik juga bekerja menekan respon imun yaitu menekan respon sel B dan sel T terhadap antigen karena akan menyebabkan kerusakan imunitas humoral dan seluler(6). Akhir-akhir ini diperoteh laporan bahwa infeksi virus meningkat pada penderita yang mendapat pengobatan dengan obat ini(8). Mengingat hal di atas maka kadar IgG dan IgE penderita asma bronkhial yang menggunakan prednison sebagai terapi perlu diperiksa dengan metoda presipitasi dengan alat imun difusi radial. CARA KERJA A. Pemilihan sampel 1) Sampet diambil dan penderita yang tetah didiagnosis mendenita penyakit asma bronkhiat murni dan berusia antara 30-40 tahun; Dan hasil pemilihan diperoleh 20 sampel yang memenuhi syarat. 2) Sampel yang telah menggunakan prednison berjumtah 11 orang. Prednison yang digunakan dalam bentuk tablet dengan Cermin Dunia Kedokteran No. 114, 1997 37 dosis 5 mg dan diberikan dalam bentuk campuran dengan efedrin, CTM (Chiorphenyramini maleas), dan gliseril guaiakolat. Sampel telah menggunakan prednison dalam pengobatan selama lebih kurang 1 tahun. 3) Sampel yang digunakan sebagai pembanding diambil dari penderita asma bronkhial yang tidak pernah mendapatkan prednison atau obat-obat golongan imunosupresan lainnya. Sampel pembanding berjumlah 9 orang dan mendapatkan campuran obat-obat yang sama selain prednison yaitu efedrin, CTM, dan gliseril guaiakolat. B. Pengambilan sampel • Darah pasien asma bronkhial diambil secara intravena sebanyak 2 ml dengan menggunakan jarum suntik. • Darah tersebut dimasukkan ke dalam tabung reaksi, kemudian disentrifus selama 10 menit dengan kecepatan 2000 rpm. • Serum diambil menggunakan pipet, kemudian dimasukkan ke dalam tabung reaksi lain; tabung ditutup dengan nesco film dan disimpan dalam lemari pendingin padasuhu 2°C-8°C. C. Penentuan kadar IgG 1) Pembuatan larutan kontrol untuk plat NOR-Partigen lgG. Sebagai kontrol untuk plat NOR-Partigen IgG digunakan Kontrollogen® L and LU. • Akuades sebanyak 5 ml dimasukkan ke dalam vial kemudian dibiarkan pada suhu kamar selama 5 menit. • Kemudian vial digerakkan secara melingkar dengan hatihati untuk melarutkan dan mencampur material kontrol yang masih menempel pada dinding dan tutup vial. 2) Penentuan kadar IgG • Tutup plastik dan plat NOR-Partigen IgG dibuka dan plat dibiarkan terbuka kira-kira 5 menit pada temperatur kamar. • Kontrollogen® dipipet sebanyak 5 µ1 dan dimasukkan ke dalam sumur pertama pada plat NOR-Partigen IgG secara tegak lurus. • Serum sampel dipipet sebanyak 5 µl dan dimasukkan pada sumur-sumur selanjutnya pada plat NOR-Partigen secara tegak lurus. • Plat ditutup dengan tutup plastik dan diinkubasikan selama 2 hari pada temperatur kamar. • Diameter presipitasi yang terbentuk diukur dengan menggunakan rol Behring dan kadar IgG ditentukan dengan menggunakan tabel kalibrasi. D. Penentuan kadar IgE 1) Pembuatan larutan standar untuk plat LC-Partigen IgE Sebagai standar digunakan IgE standard serum (7700-IU/ml). • IgE standard serum yang terdapat dalam vial dilarutkan dengan 0,5 ml akuades. • Dibuat pengenceran larutan IgE standard serum sesuai dengan instruksi yang tertera pada plat imunodifusi LC-Partigen IgE yaitu dengan perbandingan 1:4, 1:2, 1:1. 2) Penentuan kadar IgE • Tutup plastik dan plat LC-Partigen IgE dibuka dan plat dibiarkan terbuka kira-kira 5 menit pada temperatur kamar. • Pada sumur satu sampai tiga dimasukkan larutan IgE stan- 38 Cermin Dunia Kedokteran No. 114, 1997 dard serum dengan perbandingan 1:4, 1:2, 1:1 dan sumursumur selanjutnya diisi dengan serum sampel. • Larutan standar dan serum sampel masing-masing dipipet sebanyak 20 µ1 dan dimasukkan ke dalam sumur secara tegak lurus. • Plat dibiarkan terbuka selama 30 menit (sampai serum berdifusi). • Kemudian dipipet kembali 20 µ1 larutan standar dan serum sampel tadi dan dimasukkan ke dalam masing-masing sumur secara tegak lurus. • Plat dibiarkan terbuka kira-kira 10 sampai 20 menit, kemudian ditutup dengan tutup plastik dan diinkubasikan selama 5 hari pada temperatur kamar. • Diameter presipitasi yang terbentuk diukur dengan menggunakan rol Behring dan kadar IgE ditentukan dengan menggunakan kurva kalibrasi. HASIL-HASIL PENELITIAN Tabel 1. Hasil penentuan kadar IgG penderita asma bronkhial pada plat NOR.Partigen IgG Nomor lubang Plat 1 2 3 4 5 6 I 7 8 9 10 11 12 1 2 3 4 5 II 6 7 8 9 10 Keterangan : mm = mg/dl = Tabel 2. Nomor sampel Diameter (mm) Kadar IgG (mg/dl) 5,6 6,7 7,0 6,3 5,5 6,4 6,7 7,5 6,6 6,7 6,6 6,5 5,6 6,3 5,9 6,2 5,8 6,2 5,9 6,4 5,9 6,3 1020 1690 1900 1430 963 1500 1690 2260 1630 1690 1630 1560 1020 1430 1190 1370 1130 1370 1190 1500 1190 1430 Kontrol 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 Kontrol 12 13 14 15 16 17 18 19 20 milimeter miligram/desiliter Kadar IgG penderita asma bronkhial yang menggunakan prednison sebagai terapi No. Nomor sampel Diameter (mm) Kadar IgG (mg/dl) 1 2 3 4 5 6 7 8 9 3 4 8 10 11 13 14 15 16 6,3 5,5 6,6 6,6 6,5 5,9 6,2 5,8 6,2 1430 963 1630 1630 1560 1190 1370 1130 1370 10 11 17 19 5,9 5,9 6,13 Rata-rata Tabel 3. 1190 1190 1332,09 Kadar IgG penderita asma bronkhial yang tidak menggunakan prednison 4 16 5,6 2181,6 5 17 6,4 5894,4 6,04 4224,0 Rata-rata TabeI 6. Kadar IgE penderita asma bronkhial yang tidak menggunakan prednison No. Nomor sampel Diameter (mm) Kadar IgG (mg/dl) No. 1 2 3 4 5 6 7 8 9 1 2 5 6 7 9 12 18 20 6,7 7,0 6,4 6,7 7,5 6,7 6,3 6,4 6,3 1690 1900 1500 1690 2260 1690 1430 1500 1430 Nomor sampel Diameter (mm) Kadar IgE (10-5 mg/dl) 1 2 3 4 5 6 7 8 1 5 6 7 9 12 18 20 6,8 6,5 6,5 5,9 5,9 7,0 7,5 7,2 7752,0 6360,0 6360,0 3573,6 3573,6 8680,8 11001,6 9607,2 6,67 1676,67 6,66 7113,6 Rata-rata Tabel 4. Hasil penentuan kadar IgE penderita asma bronkhial pads plat LC-Partigen IgE Plat I II III Nomor lubang Nomor sampel Diameter (mm) Kadar IgE (IU/ml) Kadar IgE (10–5 mg/dl) 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 Standar 1 Standar 2 Standar 3 1 2 3 4 5 6 7 8 9 5,9 6,5 7,1 6,8 – – – 6,5 6,5 5,9 – 5,9 3230 – – – 2650 2650 1489 – 909 7752,0 – – – 6360,0 6360,0 3573,6 – 2181,6 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 Standar 1 Standar 2 Standar 3 10 11 12 13 14 15 16 17 18 5,9 6,5 7,1 6,4 – 7,0 – 6,2 – 5,6 6,4 7,5 2456 – 3617 – 2070 – 909 2456 4584 5894,4 – 8680,8 – 4968,0 – 2181,6 5894,4 11001,6 1 2 3 4 5 Standar 1 Standar 2 Standar 3 19 20 5,9 6,5 7,! 5,6 7,2 909 4003 2181,6 9607,2 Keterangan : 1 IU/ml IgE setara dengan 2,4 ng/ml (24) Tabel 5. Kadar IgE penderita asma bronkhial yang menggunakan prednison sebagai terapi No. Nomor sampel Diameter (mm) Kadar IgE (10-5 mg/dl) 1 2 3 10 11 14 6,4 5,6 6,2 5894,4 2181,6 4968,0 Rata-rata Tabel 7. Hasil pengukuran diameter presipitasi IgE standar serum pada plat LC-Partigen IgE Diameter presipitasi (mm) No. A B C 1 2 3 14 1:2 II 1540 2567 3850 3696 6160 9240 Plat I Plat II Plat III 5,9 6,5 7,1 5,9 6,5 7,1 5,9 6,5 7,1 Keterangan : Kadar larutan IgE standar serum = 7700 IU/ml A = Perbandingan pengenceran IgE standar serum B = Kadar IgE standar serum (IU/ml) C = Kadar IgE standar serum (JO-5 mg/dl) Gambar 1. Kurva kalibrasi IgE standar serum KESIMPULAN 1) Kadar IgG rata-rata penderita asma bronkhial yang menggunakan prednison sebagal terapi 1332,09 mg/dl, lebih kecil dibanding dengan kadar IgG rata-rata penderita asma bronkhial yang tidak menggunakan pednison (p < 0,0 1). 2) Kadar IgE rata-rata penderita asma bronkhial yang menggunakan prednison sebagai ter 4224,0.10-5 mg/dl lebih kecil dibanding dengan kadar 1gB rata-rata penderita asma bronkhial Cermin Dunia Kedokteran No. 114, 1997 39 yang tidak menggunakan prednison (p < 0,05). 3) Penggunaan prednison sebagai terapi asma bronkhial mengakibatkan penurunan kadar IgG, tetapi penurunan yang terjadi masih dalam batas normal IgG manusia. SARAN Disarankan kepada peneliti selanjutnya untuk meneliti pengaruh penggunaan prednison terhadap kadar imunoglobulin lainnya. KEPUSTAKAAN 1. 2. 3. 40 Roitt IM. Essential Immunology, 2nd ed. Oxford: Black Well Scient Publ, 1974. Kresna SB. Imunologi, Diagnosis dan Prosedur Laboratorium. Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 1984. Bratawijaya KG. Imunologi Dasar. Jakarta: Fakultas Kedokteran Uni- Cermin Dunia Kedokteran No. 114, 1997 versitas Indonesia, 1988. Mutschler E. Dinamika Obat (Arzneimittelwirkungen), cetakan ke-5, diterjemahkan oleh MB. Widianto dan AS. Ranti. Bandung: Penerbit ITB, 1991. 5. Miyamoto T, Okuda M. Progress in Allergy and Clinical Immunology, Volume 2, Kyoto, Proc XlVth Intemat Congr Allergology and Clinical Immunology. Kyoto, October 13-18, 1991. Gottingen: Hogrefe & Huber PubI, 1992. 6. Bowman WC, Rand Ini. Textbook of Pharmacology, 2nd ed. Oxford: Blackwell Publ, 1983. 7. Price SA, Mc Carty Wilson. Patofisiologi, Konsep Klinik Proses-Proses Penyakit (Pathophysiology Clinical Concepts of Disease Process) Bagian I, edisi ke-2, cetakan VII, alih bahasa: Adji Dharma, Penerbit Buku Kedokteran (EGC), Oktober 1989. 8. World Health Organization. Corticosteroids : Danger of Immunosuppression. WHO Drug Information 1992; 6(1): 15. 9. Montefort S, Holgate T. Asthma as an Immunological Disease. Medicine Intemat, 1991; 4: 3699. 10. Behrman RE, Vaughan VC. Ilmu Kesehatan Anak (Textbook of Pediatrics), Bagian I, edisi ke-12, Penerbit Buku Kedokteran (EGC), Jakarta, 1988. 11. Arsyad Z. Asma Bronkhial pada Orang Dewasa, Kumpulan Naskah Temu Ilmiah Hidup Dengan Alergi Dan Asma, Padang, 27 Mel 1989. 4. HASIL PENELITIAN Risiko Relatif Lingkungan Sosial dan Kimia terhadap Kejadian Penyakit ISPA – Pneumonia di Indramayu, Jawa Barat Sukar, Agustina Lubis, A. Tri Tugaswati, Athena A, Kasnodihardjo Pusat Penelitian Ekologi Kesehatan, Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan Departemen Kesehatan RI, Jakarta PENDAHULUAN Lingkungan dalam ruang (indoor) meliputi lingkungan psikososial, lingkungan fisik, lingkungan kimia dan lingkungan biologi. Lingkungan psikososial berkaitan erat dengan masalahmasalah perilaku dan hubungan antar keluarga. Sedangkan lingkungan kimia berkaitan erat dengan pencemaran udara dalam ruang seperti debu dan gas(1). Manusia merupakan bagian integral dan ekosistem, sehingga perubahannya akan mempengaruhi komponen lingkungan dan selanjutnya akan mempengaruhi kesehatan manusia. Perubahan kondisi Iingkungan tersebut akan menyebabkan terjadinya transisi demografi, sosial ekonomi dan budaya. Dalam proses interaksi ini, manusia walaupun dilengkapi dengan mekanisme adaptasi, namun prosesnya, di samping berjalan relatif lambat, juga mengenal batas toleransi. Di luar batas itu manusia akan jatuh sakit. Keadaan sehat (kecuali keadaan kelainan bawaan sejak lahir) merupakan resultante (hasil) interaksi antara manusia dan lingkungannya; selama interaksi tersebut seimbang, tidak akan timbul masalah kesehatan. Mengingat kondisi sehat dan sakit amat dipengaruhi oleh keadaan lingkungan, maka bila terjadi perubahan lingkungan akan terjadi pula perubahan proses interaksi yang akan mempengaruhi pola kesehatan/penyakit sekelompok masyarakat yang berada di dalamnya. Penyakitpenyakit akibat lingkungan akan meningkat di masa mendatang seperti penyakit-penyakit karena polusi udara dan pencemaran oleh limbah industri(2). Gangguan penyakit akibat lingkungan yang tidak memenuhi syarat bisa memiliki gejala jelas atau spesifik, maupun keluhan-keluhan non spesifik seperti sindrom. Salah satu gangguan tersebut adalah infeksi saluran pernapasan akut (ISPA)(2,3). Penelitian dampak pencemaran dalam ruang terhadap kesehatan telah dilakukan di Cina, sampai akhir tahun 1970 telah dipublikasi lebih dan 100 makalah. Studi epidemiologi secara bertahap tersebut dilakukan untuk mengevaluasi dampak pencemaran udara dalam ruang (indoor) terhadap kesehatan manusia. Pada studi ini pemakai bahan bakar gas dianggap sebagai kontrol dan sebagai kasus peinakai bahan bakar batubara. Dan pengamatan beberapa parameter fungsi imunologik anak sekolah tingkat pertama pada pemakai bahan bakar batubara terlihat beberapa penurunan seperti penurunanjumlah sel darah putih (13%) (p < 0,05), penurunan Iisoenzim saliva 13% dan perubahan limposit 50%; sedang kadar COHb darah wanita pada pemakai bahan bakar batubara yang menggunakan cerobong 3% dan tanpa cerobong 4,3%(4,5). Dalam penelitian ini akan dilihat besarnya risiko relatif aktifitas memasak, asap rokok dan pencemaran udara dalam ruang terhadap kejadian penyakit ISPA. Tujuan dilakukan penelitian ini untuk mengetahui dampak pemakai bahan bakar kayu terhadap kejadian ISPA-pnemonia. METODOLOGI 1) Daerah Penelitian Penelitian kasus-telaah” ini dilakukan di Kabupaten Indramayu, Jawa Barat. Laporan Dinas Kesehatan Indramayu tahun 1992/1993 menunjukkan bahwa prevalensi ISPA pada bayi/anak balita 10,7% dan menempati urutan pertama dalam hal penyakit ISPA di Propinsi Jawa Barat. Lokasi studi di Kecamatan Sliyeg dan Gabus Wetan. Ke dua daerah tersebut menempati urutan teratas dalam hal penyakit ISPA. 2) Sasaran Penelitian Sasaran penelitian adalah bayilanak balita yang menderita ISPA-pnemonia berdasarkan pelaporan puskesmas setempat. Pelaporan berdasarkan hasil pencatatan yang dilakukan oleh petugas paramedis dan puskesmas kecamatan dan puskesmas pembantu terhadap bayi/anak balita yang menderita ISPApnemonia. Kniteria petugas ygng melakukan pencatatan adalah mereka yang telah mendapat pendidikan/pelatihan tentang ISPA. Cermin Dunia Kedokteran No. 114, 1997 41 3) Jumlah Sampel Berdasarkan pelaporan/pencatatan yang dilakukan Puskesmas Kecamatan Sliyeg bulan Februari 1993, jumlah penderita ISPA di daerah tersebut 30 bayi/anak balita. Dan jumlah tersebut ditentukan kasus meliputi 30 bayi/anak balita pnemonia dan 30 bayi anak balita ISPA. Selanjutnya sebagai kontrol dipakai bayi/ anak balita sehat yang bertempat tinggal di daerah yang sama. Untuk setiap kasus penderita pnemonia diambil kontrol 2 bayi/ anak balita yang sehat. Sedang untuk setiap kasus penderita ISPA diambil 1 bayi/balita yang sehat. Dengan demikian jumlah sampel setiap wilayah puskesmas dapat diperinci sebagai berikut; 30 kasus pnemonia + 60 kontrol + 30 kasus ISPA + 30 kontrol = 150 bayi/balita. Untuk dua wilayah puskesmas = 300 bayi/balita. 4) Jenis Data Data yang dikumpulkan adalah aktifitas di dapur dan beban pencemaran dalam ruang. Data aktifitas di dapur meliputi: lama tinggal, adanya ventilasi, adanya perokok dalam rumah dan aktifitas memasak (memasak sendiri, lama dan frekuensi memasak) serta kebiasaan membawa bayi/anak balitanya ke dapur sambil memasak. Data tentang beban pencemaran di dalam ruang meliputi; kadar debu dan gas-gas (seperti : SO2, NO2, CO, HCHO, dan NH3). 5) Metode dan Alat Pengumpul Data Data aktifitas di dapur dikumpulkan melalui wawancara menggunakan kuesioner. Wawancara dilakukan dengan cara Inengunjungi rumah responden. Data beban pencemaran dalam ruang dalam hal ini debu dan gas didapat melalui pengambilan sampel menggunakan vacuum pump; selanjutnya analisis debu dengan metode gravimetri dan analisis gas dengan metode spektrofotometri(6). 6) Pengolahan dan Analisis Data Pengolahan data dan analisis data dikerjakan dengan modul tabulasi rnenggunakan paket program D base dan analisis risiko relatif (RR) menggunakan tabel 2 x 2(7,8,9). HASIL Hasil penelitian tentang aktifitas memasak dapat dilihat pada Tabel 1. Tabel tersebut selain menyajikari aktifitas memasak (memasak sendiri, frekuensi dan lama meinasak serta kebiasaan membawa bayi/anak balitanya ke dapur sambil memasak) juga menyajikan parameter lain yang menunjang informasi aktifitas memasak yaitu meliputi lama tinggal, adanya ventilasi di dapur, adanya perokok di dalam rumah. Lama tinggal yang dapat digunakan sebagai indikator lama pajanan di lokasi penelitian menunjukkan bahwa ibu-ibu atau responden baik mereka termasuk kelompok kasus maupun kelompok kontrol telah tinggal di daerah penelitian relatif cukup lama yaitu sekitar 5 tahun bahkan ada yang lebih. Adanya ventilasi di dapur yang dapat digunakan sebagai indikator pergerakan udara di dalam ruang menunjukkan bahwa pada kelompok rumah kasus 57,4% dan rumah kelompok kontrol 52,8%. Asap rokok yang diperkirakan dapat menimbulkan risiko relatif terhadap penyakit ISPA-pnemonia, menunjukkan 42 Cermin Dunia Kedokteran No. 114, 1997 Tabel 1. Keterangan responden yang berhubungan dengan aktifitas di dapur Status Total Keterangan Kasus n Lama tinggal > 5 tahun ≤ 5 tahun Ada perokok dalam rumah Ya Tidak Ada ventilasi dapur Ya Tidak Memasak sendiri Ya Tidak Frekuensi masak Satu kali z 2 kali Lama memasak < 1 jam ≥ 1 jam Anak dibawa ke dapur Selah Tidak selalu Tidak pemah % Kontrol n % n % 59 40,7% 120 52,9% 179 86 59,3% 107 47,1% 193 48 1% 51,8% 31 27 4% 52 30,1% 83 91 72,6% 121 69,9% 212 28,8% 71,9% 64 57,4% 103 52,8% 167 48 42,6% 92 47,2% 140 544% 456% 138 99,3% 217 99,1% 355 1 07% 2 0,9% 3 99,2% 0,8% 42 294% 56 24,7% 98 101 70,6% 171 75,3% 272 26,5% 73,5% 13 9,2% 12 5,4% 25 128 90,8% 209 94,6% 337 6,9% 93,1% 50 35 7% 50 35,7% 40 28,6% 50 22,9% 100 76 34,9% 126 92 42,2% 132 27,9% 35,2% 36,9% bahwa rumah kelompok kásus terdapat 27% perokok (smoker) dan rumah kelompok kontrol 30%, yang tidak merokok (non smoker) di ruang dapur dan ruang tamu lebih tinggi baik di kelompok kasus maupun kelompok kontrol. Secara umum dapat dikatakan bahwa kegiatan memasak dilakukan sendiri oleh responden; hal ini terlihat dan sejumlah 139 responden pada kelompok kasus hanya 1 (satu) yang tidak melakukan memasak sendiri, sedangkan pada kelompok kontrol dan 219 responden hanya 2 (dua) yang tidak melakukan memasak sendiri. Sebagian besar responden dalam satu hari memasak dua kali. Sewaktu memasak responden yang selalu membawa bayi/anak balitanya ke dapur pada kelompok kasus sebanyak 35,7% dan pada kelompok kontrol 22,9%. Sedangkan responden yang tidak pernah membawa bayi/anak balita ke dapur pada kelompok kasus sebanyak 28,6% dan kelompok kontrol 42,2%. Lama waktu memasak yang dapat digunakan sebagai indikator lama pajanan di dalam ruang,menunjukkan bahwa pada umumnya hanya sebagian kecil responden dengan lama memasak < 1 jam. Lama memasak dalam waktu ≥ 1 jam pada kelompok kasus sebanyak 90,8% dan kelompok kontrol 94,6%. Hal ini menunjukkan bahwa lama memasak (pajanan) telah cukup untuk bahan evaluasi. Hasil analisis kualitas udai dalam ruang disajikan pada Tabel 2. Kualitas udara dalam ruang yang dianalisis pada penelitian ini meliputi parameter karbon monoksida (CO), nitrogen dioksida (NO2) debu respirable suspended particulate (RSP), sulfur dioksida (SO2) formaldehida (HCHO), amonia (NH3) kelembaban dan suhu. Tabel 2. Kadar rata-rata beberapa pencemar, suhu dan kelembaban dalam dapur dan ruang tamu rumah responden di Kecamatan Gabus Wetan dan Kecamatan Sliyeg, Indramayu Dapur No. 1 2 3 4 5 6 7 8 CO (ppm) NO2 (pg/m3) Debu (pg/m3) SO, (pg/m3) HCHO (ppm) NH3 (ppm) Kelembaban (%) Suhu (°C) n Kasus n Kontrol n 69 45 84 32 3 8 91 91 2.39 95 2.19 6.75 66 6.00 742.6 80 609.5 8.53 47 8.69 0 005 3 0.036 11.44 15 2 86 78.98 111 78.85 30 111 30.2 Analisis parameter CO, NO2 dan debu RSP dilakukan di ruang dapur dan ruang tamu, baik kelompok kasus maupun kelompok kontrol. Hasil analisis menunjukkan adanya perbedaan antara kelompok kasus dan kelompok kontrol, baik di ruang tamu maupun ruang dapur. Hal ini menunjukkan adanya penyebaran CO ke tuar rumah. Analisis parameter SO2, NH3 dan HCHO dilakukan pada kelompok kasus dan kelompok kontrol, namun hanya di ruang dapur karena keterbatasan alat dan bahan kimia. Pengukuran kelembaban dan suhu yang merupakan indikator cuaca dalam ruang dilakukan di ruang dapur dan ruang tamu pada rumah kelompok kasus dan kelompok kontrol, masing-masing rata-rata 78,89% dan 78,85%. Sedangkan kelenibaban di ruang tamu rumah kelompok kasus dan kelompok kontrol masing-masing rata-rata 79,4% dan 79,8%. Suhu ratarata di ruang dapur dan ruang tamu pada rumah kelompok kasus dan kelompok kontrol tidak berbedajauh yaitu antara 29–30°C. Analisis statistik risiko relatif (RR) untuk beberapa para meter aktifitas memasak dan kadar pencemar dalam ruang dapur dan ruang tamu disajikan pada Tabel 3. Hasil perhitungan menunjukkan bahwa untuk parameter lama tinggal dan adanya perokok dalam ruang nitai RR < I. Sedangkan untuk parameter memasak sendiri, frekuensi memasak, lama memasak dan kebiasaan selalu dan tidak selalu membawa bayi/anak balitanya ke dapur sambil memasak menunjukkan nilai RR> 1. Tabel 3. Ruang Thmu Parameter Analisis statistik perhitungan risiko retatif Parameter Lama tinggai Ada perokok di rumah Ada ventilasi dapur Memasak sendiri Frekuensi masak Lama memasak Selalu membawa anak ke dapur Tidak selalu membawa anak ke dapur CO NO, Debu RSP Risiko Relatif Kasus Kontrol 0,61 1 0,78 1 1,2 1 1,3 1 1,3 1 1,8 1 2,3 1 1,5 1 0,97 1 1,10 1 0,80 1 Analisis ketiga parameter kualitas udara dalam ruang meliputi parameter CO, NO dan debu RSP. Hasil perhitungan Kasus Rekomendasi n Kontrol WHOUOIH 34 1 15 69 44 2.20 67 78 213.70 78 – – – – – – – – – 91 79.4 91 91 29.0 91 1.02 1.97 137,1 – – – 79.8 29.1 10 150 60 – 90 40 – 60 100 – 150 – – – menunjukkan bahwa parameter NO2 nilai RR> 1, sedangkan parameter CO dan debu RSP < 1. PEMBAHASAN Infeksi saluran pernapasan meliputi infeksi sa1ur pernapasan bagian atas (riasopharyngitis, otitis media, pharingotonsilitis dan epiglottitis) dan saluran pernapasan bagian bawah (laryngitis, tracheobronchitis, bronchiolitis dan pneumonia). Pneumonia adalah suatu penyakit paru-paru bagian bawah yang terjadi pada alveoli dan menyebar ke bagian lain paru-paru. Secara klinis pneumonia pada lanjut usia (>65 tahun) hampir selalu disertai batuk dan napas cepat (tachypnea) dan tarikan dada ke dalam. Sedangkan pada bayi dan anak balita sering tidak disertai batuk(12,13). Pneumonia umumnya disebabkan oleh bakteria (Pneumococcus, Hemophilus influenzae) dan virus (respiratory syncytial virus, influenza, parainfluenza, measles dan adenovirus).Di negara sedang berkembang dinyatakan bahwa lebih dan 75% ISPA pneumonia menyebabkan kematian(13). Faktor risiko pneumonia antara lain umur < 5 tahun (khususnya bayi/anak umur < 2 tahun) dan orang tua umur ≥ 65 tahun (laki-laki), gizi kurang, lahir dengan berat badan rendah, tidak mendapat ASI sewaktu kecil, asap rokok dan pencemaran udara (indoor maupun outdoor), kepenuh sesakan (crowding), imunisasi kurang lengkap, dan kekurangan vitamin A(12). Dari beberapa faktor risiko tersebut yang akan diamati di sini adalah risiko relatiflingkungan psikososial (aktifitas memasak) dan lingkungan kimia (asap rokok dan pencemaran udara dalam ruang). Analisis data tentang Iama tinggal RR = 0,61, hal ini menunjukkan bahwa responden pada kelompok kasus belum nienerima risiko dibandingkan kelompok kontrol. Begitu juga faktor anggota rumah tangga yang perokok (smoker) RR = 0,78. Dua data tersebut menunjukkan bahwa pada penelitian ini belum ada hubungan antara lama tinggal di lokasi dan adanya perokok dalam ruang terhadap kejadian penyakit ISPA-pneumonia. Di Amerika Serikat telah ditetapkan bahwa rokok dengan asapnya merupakan penyebab kanker paru dan kanker laring. Kenaikan risiko terjadinya kanker laning berhubungan langsung dengan jumlah rokok dan lama merokok. Dengan mengetahui jumlah rokok yang dihisap, akan dapat diperkirakan jumah nikotin atau klelet yang melekat di selaput paru atau mukosa laring. Sebenarnya nikotin (polisklik aromatik hidrokarbon = Cermin Dunia Kedokteran No. 114, 1997 43 PAH) dan rokok bukan merupakan zat karsinogenik secara langsung, tetapi masih ada zat lain yang sangat berpengaruh terhadap proses terjadinya kanker, yaitu zat yang berasal dari tubuh sendiri. Zat tersebut adaah enzirn Aril Hidrokarbon Hidroksilase (AHH). Enzirn inilah yang dapat mengubah dan mengaktifkan PAR menjadi zat yang karsinogen(14,15,16). Hampir seluruh responden ibu rumah tangga baik kelompok kasus maupun kelompok kontrol melakukan kegiatan mernasak sendiri sehingga, selama mernasak responden telah terpajan oleh pencernar yang dihasilkan dan hasil pembakaran kayu. Kebiasaan mernasak di dapur sambil membawa bayi/anak balita, pada kelompok kasus rata-rata 35,7% dan di rurnah kelompok kontrol 22,9%, sedangkan responden yang tidak selalu membawa bayi/anak balitanya ke dapur sambil memasak pada kelompok kasus sebanyak 35,7% dan pada kelompok kontrol 34,9%. Walaupun lama memasak antara responden kelompok kasus dan kelompok kontrol tidak ada perbedaan yang bermakna, akan tetapi seringnya membawa anak ke dapur, dapat menyebabkan bayl/balita menenima risiko terkena penyakit ISPA lebih tinggi. Pada penelitian ini ditemukan bahwa pada kelompok kasus kebiasaan responden selalu dan tidak selalu membawa bayi/anak balitanya ke dapur sambil memasak lebih tinggi dibandingkan dengan kelompok kontrol. Hal tersebut rnenunjukkan adanya hubungan kenaikan risiko antara kebiasaan memasak dengan kejadian penyakit ISPA-pneumonia. Selain itu hasil perhitungan risiko relatif bahwa RR> 1. Hal ini menunjukkan bahwa bayi/ anak balita yang selalu dibawa ke dapur sambil memasak menerima risiko sebesar 2,3 kali dan bayi/anak balita yang tidak selalu dibawa ke dapur sambil memasak menerima risiko sebesar 1,5 kali dibandingkan dengan bayi/anak balita yang tidak pernah sama sekali dibawa ke dapur sambil memasak. Membandingkan hasil analisis kualitas udara dalam ruang dengan kadar yang direkomentasikan oleh WHO hanya kadar debu RSP yang telah jauh melampaui. Namun terukurnya beberapa pencemar udara seperti CO, NO2, SO2, NH3 dan formal dehida dalarn ruang mengindikasikan tidak adanya pergerakan udara, dengan kata lain ventilasi kurang memenuhi syarat. Hal ini dapat memberikan kontribusi terhadap terjadinya penyakit ISPA. Hasil pengukuran debu RSP di ruang dapur pada kelompok kasus rata-rata 742,6 µg/m3 dan kelompok kontrol 609,5 µg/m3. Sedangkan di ruang tamu kelompok kasus didapatkan kadar rata-rata debu RSP sebesar 213 µg/m dan kelompok kontrol 131 µg/m3 Kadar debu RSP yang direkomendasikan WHO adalah antara 60–90 µg/m3 Analisis risiko relatif untuk parameter NO2 telah memberikan risiko relatif, walaupun masih kecil. Yaitu kelompok kasus menenima risiko relatif 1,1 kali dibandingkan kelompok kontrol. Namun untuk parameter CO dan debu RSP juga telah meminta perhatian karena nilai RR telah mendekati 1. Suhu dan kelembaban di ruang dapur dan ruang tamu antara rumah kelompok kasus dan kontrol yang ditemukan rata-rata 44 Cermin Dunia Kedokteran No. 114, 1997 sama, hal ini menunjukkan bahwa tidak terdapat penbedaan cuaca pada lokasi tersebut. KESIMPULAN DAN SARAN Dari hasil perhitungan statistik dan pembahasan dapat disimpulkan bahwa untuk parameter lama tinggal di lokasi dan adanya perokok dalam ruang yang merupakan kontribusi dan informasi tentang aktifitas memasak pada penelitian ini belum memberikan risiko relatif yang berarti. Namun adanya ventilasi di dapur dan aktifitas memasak telah memberikan risiko relatif, walaupun masih kecil, terutama kebiasaan membawa bayi/anaknya ke dapur sambil memasak. Walaupun pencemaran udara dalam ruang (indoor) belum memberikan risiko relatif namun dengan terdeteksinya pencemaran tersebut telah membuktikan ada toksisitas di dapur. Kelihatannya ada hubungan antara kebiasaan membawa bayi/anak balitanya ke dapur sambil memasak dengan beban pencemaran udara dalam ruang. KEPUSTAKAAN 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10. 11. 12. 13. 14. 15. 16. Kusnoputranto H. (Ed). Kesehatan Lingkungan. Fakultas Kesehatan Masyarakat. Univ. Indonesia, Jakarta, 1983. Achmadi UF. Lingkungan Kerjadan Produktivitas tujuan Utama terhadap Sindroma Pencakar Langit (Sick Building), Fakultas Kesehatan Masyarakat, Univ. Indonesia, Jakarta, 1992. Perry R. The Role of Indoor Air Quality in The Environmental Equation. Seminar Indoor Air International (tAt). GEMSIUNEP. Indoor Air Pollution. Urban Air Pollution, Environment Library, 4. Geneva, 1992, Chen BH, Hong CJ, Pandey MR, Smith KR. Indoor Air Pollution in Developing Countries in: World Health Statistics 1990; 43(3). Yanagisawa Y, Nishimura M. A Badge-Type Personal Sampler For Measurement of Personal Exposure to NO, and NO in Ambient Air. Environment International 1982, Vol. 8. Beaglehole R, Bonita R, Kjellstrom T. Basic Epidemiology, World Health Organization, Geneva, 1993. WHO. Health Research Methodology, WHO Regional PublicationsWestern Pacific Education in Series No. 5, Manila, 1992. Wawolumava C. Metodologi Epidemiologi Penelitian Lingkungan, Maj Kes Masyindon 1991;XIX: 11. WHO. World Health Statistics. 1990; 43 (3). WHO. World Health Statistics. 1991; 44 (3). Stansfield SK, Shepard DS. Acute Respiratory Infection, in: Disease Control Priorities in Developing Countries, Published for the World Bank. Oxford University, Press. DitJen PPM & PLP. Pedoman Pemberantasan Penyakit Infeksi Saluran Pernapasan-Akut (ISPA). Departemen Kesehatan RI, Jakarta, 1992. Surjadi C. Respiratory Diseases of Mothers and Children and Environ mental Factors among Households in Jakarta. Environment and Urbanization, 1993; 5 (2). Sears MR. in: Kalmer MA, Barnes PJ, Persson CGA. Asthma its pathology and treatment, Marcel De Inc. New York, 1991. Bambang SS. Beberapa Aspek Pencegahan Kanker Laring, Wahana Medik 1994; VI (23). HASIL PENELITIAN Pengobatan Infeksi Saluran Pernapasan Akut pada Balita di Jawa Barat Enny Muchlastriningsih SKM Pusat Penelitian Penyakit Menular, Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan Departemen Kesehatan RI, Jakarta PENDAHULUAN Infeksi Saluran Pernapasan Akut (selanjutnya disingkat ISPA) masih merupakan masalah kesehatan masyarakat yang penting di Indonesia karena menyebabkan kematian bayi dan balita yang cukup tinggi. Dan seluruh kematian balita, proporsi kematian karena ISPA mencakup 20–30% dan sebagian besar disebabkan karena pneumonia. Hasil Survei Kesehatan Rumah Tangga (selanjutnya disingkat SKRT) 1986 menunjukkan 42,2% bayi dan 40,6% balita yang sakit disebabkan ISPA. Data Puskesmas (1986) menunjukkan bahwa 5 1,0% bayi dan 43,1% balita pengunjung puskesmas menderita ISPA. Pada SKRT 1992 ditemukan bahwa proporsi kematian bayi akibat ISPA adalah 36,0% di golongan 1–4 tahun adalah 13,0% sedang pada kelompok umur balita berkisar 20–30%, sebagian besar disebabkan oleh pneumonia. Untuk membantu menurunkan angka kematian balita karena pneumonia, Sub. Dit. P2ISPA Dit. Jen. PPM-PLP telah membuat Buku Pedoman Pemberantasan Penyakit ISPA. Dalam buku tersebut disebutkan salah satu tujuan program ISPA yaitu menurunkan penggunaan antibiotik dan obat batuk yang kurang tepat pada pengobatan penyakit ISPA. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui obat-obatan yang dipakai dalam pengobatan ISPA di Jawa Barat. • Jumlah responden : 400 ibu balita (200 orang daerah pelatihan dan 200 orang daerah kontrol). • Daerah : untuk daerah pelatihan diambil Kabupaten Cianjur dan Kabupaten Sumedang sebagai daerah kontrol. Kedua daerah ini dipilih karena mempunyai angka pneumonia tinggi untuk daerah Jawa Barat. • Sampling: untuk ibu balita dipilih secara acak sederhana dan 4 puskesmas (2 dan daerah pelatihan dan 2 dail daerah kontrol); diwawancarai secara house to house mengenai pengobatan yang dilakukan terhadap anaknya yang menderita ISPA, baik pengobatan tradisional maupun modern, yang dibeli sendiri maupun didapat dan puskesmas. Kriteria pneumonia menurut Buku Pedoman ISPA Dit. Jen. PPM-PLP adalah sebagai berikut: • Pneumonia : Penderita ISPA yang disertai napas cepat (umur 2–12 bulan: 50 kali per menit atau lebih, umur 1–4 tahun; 40 kali per menit). • Pneumonia berat : PenderitalSPA yang disertai napas sesak yaitu adanya tarikan dinding dada ke dalam. Variabel yang diukur dalam penelitian ini adalah variabel tindakan ibu dalam memberi pengobatan pada anaknya. Penelitian dilakukan dua kali yaitu sebelum pelatihan dan 3 bulan sesudah pelatihan. BAHAN DAN CARA KERJA Penelitian deskniptif mencakup data yang dikumpulkan melalui kuesioner terhadap ibu balita. Cara sampling: • Kriteria: Ibu yang mempunyai anak balita (selanjutnya disebut ibu balita); diperkirakan 10% dan masyarakat mempunyai anak balita. HASIL DAN DISKUSI Ditemukan 48 macam obat tradisional yang dipakai ibu balita dalam usaha untuk mengatasi demam anaknya, baik berupa bahan tunggal (misalnya bawang merah) maupun bahan campuran (bawang merah + minyak kelapa). Sedang untuk mengatasi batuk ada 32 macam, baik berupa bahan tunggal (misalnya madu), maupun bahan campuran (misalnya madu + kencur). Cermin Dunia Kedokteran No. 114, 1997 45 Dalam hal pengobatan modern (dalam hal ini obat keluaran pabrik) ditemukan 50 macam obat untuk mengatasi demam dan 55 macam obat untuk mengatasi batuk. Obat tradisional yang dipakai untuk pengobatan demam dapat dilihat pada Tabel 1. Tabel 1. Persentase 10 macam obat tradisional yang terbanyak dipakai ibu balita dalam mengatasi demam anaknya di Kabupaten Cianjur dan Sumedang, 1992–1993. Cianjur (%) Sumedang (%) Macam obat I (n=64) II (n=117) I (n=27) II (n=29) Bawang mesh + minyak 26,56 28,20 29,63 31,03 kelapa Bawang mesh + asam 3,12 3,41 22,22 10,34 Bawang mesh 4,68 – 14,81 13,79 Daun simugu 14,06 2,56 – – Bawang mesh + asam + 9,37 – – 17,24 minyak kelapa Bawang mesh + minyak 4,69 2,56 – – kayu putih Labu slam 1,56 4,27 – – Daun paria + dawn cengek – 13,67 – – Lulur putih telur – 14,06 – 3,45 Jeruk nipis + kecap – 5,98 – 3,45 Lain–lain* 35,96 25,29 33,34 20,70 Total 100,00 100,00 100,00 100,00 Catatan : I = Penelitian pertama, II = Penelitian kedua Lain-lain* : bahan lain, di antaranya: kunyit, daunkatuk, daun dadap, kuning telur, kentang, garam, dan lain-lain baik sebagai bahan tunggal maupun campuran. Terlihat bahwa Bodrexin® banyak dipakai sebagai penurun demam, baik pada penelitian pertama maupun kedua di kedua kabupaten, menyusul parasetamol dan Inzana®. Di sini juga terlihat pemakaian antibiotik (Kemicetin®, ampisilin dan kotrimoksasol); tidak diketahui apakah balita itu hanya demam atau disertai gejala lainnya sehingga memerlukan antibiotik, tentu hal ini memerlukan penelitian lebih lanjut. Tabel 3. Persentase 10 macam obat tradisional yang dipakai ibu balita dalam pengobatan batuk anaknya, di Kabupaten Cianjur dan Kabupaten Sumedang, 1992–1993. Cianjur (%) Sumedang (%) Macam obat I (n=38) H (n=171) I (n=4) II (n=37) Jeruk nipis + kecap 21,05 57,31 – 78,38 Madu + jeruk nipis + kecap – 13,45 – – Madu +jeruk nipis – 5,26 – 16,22 Daun sirih 5,26 7,60 – – Daun karuk + daun katuk – 6,43 – – Daun karuk 13,16 1,75 – – Daun dadap 18,42 – – – Bawang putih – 3,51 – – Madu + kencur 7,89 – – – Daunkatuk – 1,17 – – Lain–lain 34,22 3,52 100,00 5,40 Total 100,00 100,00 100,00 100,00 Catatan: I = Penelitian pertama, II = Penelitian kedua Lain-lain = bahan lainnya misalnya : daun paria, garam, bawang merah, asam, akar hajere, baik sebagai bahan tunggal maupun campuran Ternyata bawang merah + minyak kelapa paling banyak dipakai di kedua daerah baik pada penelitian pertama maupun kedua dibanding bahan Iainnya (Tabel 1), mungkin memang cainpuran dua bahan tersebut efektif untuk pengobatan demam; hal ini tentu menarik untuk diteliti lebih lanjut. Pada Tabel 2 dapat dilihat jenis obat modern yang banyak dipakai ibu balita dalam mengobati demam anaknya. Dari Tabel 3 terlihat jeruk nipis + kecap mempunyai persentase terbesar di kedua kabupaten dalam pengobatan batuk oleh ibu balita; untuk mengetahui secara jelas khasiat campuran keduanya tentu diperlukan penelitian lebih lanjut, sehingga dapat menolong masyarakat luas dengan obat batuk yang relatif lebih murah. Tabel 4 menunjukkan pemakaian obat modern dalam peng-obatan batuk oleh ibu balita. Tabel 2. Tabel 4. Persentase 10 macam obat modern terbanyak yang dipakai ibu balita dalam pengobatan demam anaknya, di Kabupaten Cianjur dan Kabupaten Sumedang, 1992–1993. Cianjur (%) Persentase 10 macam obat modern yang dipakai ibu balita dalam pengobatan batuk anaknya, di Kabupaten Cianjur dan Kabupaten Sumedang, tahun 1992–1993. Cianjur (%) Sumedang (%) Macam obat I (n=194) II (n=200) I (n=200) II (n=200) Bodrexin® Inzana® Parasetamol Kemicetin® Contrexin® Ampisilin Termorex® Kotrimoksasol Fiutamol® Panadol® Lain–lain Total 24,74 22,16 9,00 8,76 7,22 4,64 4,12 1,04 1,03 – 17,29 100,00 10,50 6,00 58,00 3,00 7,50 4,00 6,00 2,50 – – 2,50 100,00 13,50 14,00 38,00 – 6,00 3,50 1,00 1,50 4,00 5,50 13,00 100,00 10,50 8,50 63,00 – 3,00 1,00 – 0,50 2,00 6,50 5,00 100,00 Catatan : I = Penelitian pertama, II = Penelitian kedua Lain-lain = obat lain: Komix®, Cafenol®, Tarakol®, Anak Sumang®, Procold®, Laserin®, Aspilet®, Hongsam®, dan lain-lain. 46 Sumedang (%) Macam obat Cermin Dunia Kedokteran No. 114, 1997 I (n=136) II (n=168) I (n=177) II (n=184) Obat Batuk Putih Laserin® Obat Batuk Hitam Ampisilin Komix® Parasetamol OBB Konidin® Kotrimoksasol Kemicetin Lain-lain Total 16,91 21,32 13,24 4,41 7,35 1,47 4,41 5,15 1,47 6,62 17,65 100,00 22,02 16,67 7,74 11,90 5,95 13,10 6,55 3,57 4,76 2,38 5,36 100,00 42,94 15,82 4,52 5,08 2,82 1,69 1,13 2,26 1,69 – 22,05 100,00 55,98 13,59 7,07 1,63 0,54 2,17 2,17 1,09 2,17 – 13,59 100,00 Catatan: I = Penelitian pertama, II = Penelitian kedua Lain-lain = Di sini termasuk obat-obatan lainnya, misalnya: Vick Formula 44®, Cohistan®, Ikadril®, Decolsin®, Bisolvon®, dan lain-lain. Pada Tabel 4 terlihat Obat Batuk Putih, Laserin®, dan Obat Batuk Hitam, merupakan obat-obatan yang terbanyak dipakai ibu balita dalam menangani batuk anaknya, hal ini tentu menarik diteliti lebih lanjut mengenai efektifitas dan nilai ekonomisnya untuk masyarakat. Di sini terlihat juga pemakaian antibiotik, tidak jelas apakah khusus untuk pengobatan batuknya atau ada komplikasi lainnya yang memerlukan antibiotik. Pada penelitian ini juga ditemukan, ibu balita terbanyak mendapat pengobatan/obat dari Puskesmas (untuk ISPA ringan : 52,2–74,7%, untuk pneumonia: 29,6–59,4%), Dokter praktek (ISPA ringan : 7,3–19,3%, pneumonia: 17,3–59,7%), Rumah Sakit (ISPA ringan: 1,0–5,8%, pneumonia: 1,0–24,7%). Selain itu ibu balita juga mendapatkan obat dan toko/warung obat, bidan, perawat, dan kader kesehatan. Melihat hal ini maka Puskesmas masih merupakan ujung tombak pelayanan kesehatan bagi masyarakat luas, semua ini harus diimbangi dengan prasarana dan sarana yang memadai. KESIMPULAN DAN SARAN 1) Di samping obat-obatan modern, obat tradisional juga masih banyak digunakan masyarakat, hal ini perlu diteliti efektifitas- nya lebih lanjut untuk kesejahteraan masyarakat. 2) Ditemukan 27 macam obat modem untuk pengobatan batuk, dan 26 macam obat modern untuk mengatasi demam. Perlu penelitian lebih lanjut obat-obatan modern yang efektifitasnya tinggi, efek samping rendah, dan harga terjangkau masyarakat banyak. 3) Puskesmas masih merupakan ujung tombak pelayanan kesehatan terutama dalam hal pemberian obat-obatan. UCAPAN TERIMA KASIH Ucapan terima kasih kami tujukan kepada Dr. Suriadi Gunawan DPH, Kapuslit Penyakit Menular Badan Litbangkes, Dr. Cholid Rasyidi DSA beserta Staf dan SubDit ISPA PPM-PLP, Kakanwil DepKes. Jawa Barat beserta Staf Kepala DinKes. Dati 11 Cianjur dan Sumedang beserta Staf rekan sejawat, dan pihak-pihak lain yang telah membantu kami sampai terlaksananya penelitian ini. KEPUSTAKAAN 1. 2. 3. Departemen Kesehatan RI, Pusat Data Kesehatan (1991). Profit Kesehatan Indonesia, Jakarta. Ditjen PPM-PLP Departemen Kesehatan RI (1992). Pedoman Pemberazi tasan Penyakit ISPA, Jakarta. Dit. Jen PPM-PLP Departemen Kesehatan RI (1990). Bimbingan Keteram pilan dan Penatalaksanaan ISPA pada Anak, Jakarta. Cermin Dunia Kedokteran No. 114, 1997 47 TINJAUAN KEPUSTAKAAN Keefektifan Paduan Obat Ganda Bifasik Jangka Pendek Anti TB Dinilai Atas Dasar Kegiatan Anti Mikrobial dan Kegiatan Pemulihan Imunitas Protektif 1. Khemoterapi Anti Tuberkulosis R.A. Handojo, Sandi Agung, Anggraeni Inggrid Handojo Malang, Indonesia Khemoterapi anti TB diberikan melalui paduan obat anti TB, yang berarti melalui paduan obat yang terdiri sedikitnya dari dua obat anti TB individual yang dikenal sebagai paduan obat ganda (dual drug treatment). Paduan obat anti TB yang terdiri dari tiga atau lebih obat-obat disebut paduan obat multi-terapi (multi-drug treatment). Khemoterapi anti TB melalui pemberian obat tunggal (single drug treatment), dalam hal ini pengobatan tunggal dengan isoniazid (INH, H) (JNH single drug treatment) pernah populer pada sekitar tahun 1960(1), namun setelah diperoleh pengetahuan lebih banyak tentang penganih pengobatan tunggal INH terhadap terjadinya resistensi basil TB terhadap INH, pengobatan yang dimaksud tidak lagi dapat dibenarkan. Obat-obat anti TB ada yang bekerja intraseluler dalam lingkungan asam, danlatau ekstraseluler dalam Iingkungan netral atau alkalis. Obat-obat anti TB yang bekerja hanya intra- atau ekstraseluler saja mempunyai nilai kegiatan bakterisidal (NKB) sebesar ½; yang bekerja intra- maupun ekstraseluler mempunyai NKB sebesar ½+ ½=1 Isoniazid (INH, H) dan nifampisin (RMP, R) adalah obat anti TB individual yang bekerja intra- maupun ekstraseluler dan mempunyai NKB sebesar 1. Ethambutol (EMB, E) dan streptomycin (SM, S) bekerja hanya ekstraseluler dan mempunyai NKB sebesar ½. Pyrazinamide (PZA, Z) bekerja hanya intraseluler sepanjang kurun waktu pengobatan dengan PZA dan mempunyai NKB sebesar ½. Pada fase permulaan pengobatan, lingkungan di lokasi kelainan histo-patologis TB aktif adalah asam yang memungkinkan PZA juga bekerja ekstraseluler selama fase permulaan pengobatan(2,3). Populasi basil TB pada manusia sebagian besar berada di lingkungan luar sel(2). Kerja intraseluler obat anti TB diperlukan untuk mencegah terjadinya kekambuhan (relapse) sesudah pengobatan yang berhasil dihentikan. Terjadinya kekambuhan dikaitkan terutama dengan keber- 48 Cermin Dunia Kedokteran No. 114, 1997 adaan the persisters di dalam sel-sel makrofag. Karena tingkat pertumbuhannya rendah, the persisters ini tidak mudah dimusnahkan oleh obat-obat anti TB. Sewaktu-waktu sesudah dihentikannya pengobatan yang berhasil, the persisters dapat keluar dan sel-sel makrofag. Dalam hal imunitas protektif (protective immunity) yang diperankan terutama oleh sel-sel makrofag (imuno-fagosit) tidak mampu memusnahkan the persisters yang berada di lingkungan luar sel, the persisters ini meningkatkan pertumbuhan dan terjadilah kekambuhan. Dari segi daya antimikrobial (DAM), obat-obat anti TB individual dibagi menjadi 1) Obat anti TB yang bekerja bakterisidal dan mempunyai DAM yang tinggi untuk inemusnahkan basil TB (INH, RMP, PZA). 2) Obat-obat anti TB individual yang bekerja bakteriostatis dan mempunyai DAM rendah yang hanya mampu menghambat pertumbuhan basil TB (SM, EMB). Atas dasar kurun waktu khemoterapi (treatment period), paduan obat anti TB dibagi menjadi: 1) Paduan obat jangka panjang 1 – 1½ tahun yang dikenal sebagai paduan obat anti TB konvensional. Paduan obatjangka panjang 12 – 18 bulan terdiri dari obatobat anti TB individual yang mempunyai NKB sebesar 1½, misalnya I2HS dan I2HE. 2) Paduan obatjangka pendek 6 –9 bulan. Paduan obat ini terdiri dari obat-obat anti TB individual yang mempunyai NKB sebesar sedikitnya 2, misalnya 6HR, 6HZE, 6HZS. Atas dasar riwayat pengobatan, paduan obat anti TB dibagi menjadi: 1) Paduan obat anti TB primer (primary anti- TB regimen). 2) Paduan obat anti TB sekunder (secondary anti-TB regimen) atau paduan obat ulang (retreatment regimen). Isoniazid sebagai obat individual dengan NKB sebesar 1, merupakan tonggak (mainstay) dan tiap paduan obat anti TB primer. Paduan obat anti TB primer diberikan kepada kasuskasus TB yang melalui temu wicara yang cermat diketahui sebelumnya tidak pernah memperoleh obat-obat anti TB. Paduan obat anti TB sekunder diberikan kepada kasus-kasus TB yang mengalami kegagalan pengobatan (treatment failure) atau kekambuhan (relapse). Makna pemeriksaan kepekaan strain-strain basil TB terhadap obat-obat anti TB yang pernah digunakan adalah menonjol sekali. Strain basil TB yang menunjukkan resistensi sekunder terhadap obat anti TB tidak lagi dapat dimusnahkan oleh obat anti TB yang bersangkutan. Atas dasar tahap-tahap pengobatan (treatment phases), kurun waktu pemberian paduan obat anti TB dibagi menjadi: 1) Fase permulaan (initial phase) yang berlangsung selama 1– 3 bulan. Apabila pada fase permulaan, paduan obat anti TB mengandung lebih banyak obat anti TB individual dan pada fase lanjutan, fase permulaan disebut fase permulaan intensif, misalnya paduan obat 2HRE/5HR. 2) Fase lanjutan (continuation phase) yang berlangsung 3–5 bulan untuk paduan obat jangka pendek enam bulan dan 9–11 bulan untuk paduan obatjangka panjang 12 bulan. Atas dasar ritme pengobatan, pemberian paduan obat anti TB dibagi menjadi: 1) Ritme pengobatan tiap hari. Pengobatan tiap hari diberikan selama fase perinulaan pengobatan yang berlangsung selama 1–3 bulan. 2) Ritme pengobatan berkala 2 kali seminggu. Pengobatan berkala 2 kali seminggu diberikan selama fase lanjutan pengobatan. Tujuan pemberian pengobatan melalui ritme berkala 2 kali seminggu adalah: a) mengurangi biaya pengobatan. b) mempermudah case-holding. c) memudahkan pelaksanaan pengobatan secara terawasi penuh (fully supervised treatment). Ritme pengobatan berkala 2 kali seminggu dimungkinkan oleh karena adanya lag phase pada pertumbuhan basil TB sesudah penyentuhan oleh obat anti TB. Basil TB yang tersentuh obat anti TB, dicuci dan dibiakkan kembali pada medium pembiakan tidak menunjukkan pertumbuhan selama 2–3 hari. Di samping itu ritme pengobatan berkala dua kali seminggu dimungkinkan berdasarkan kenyataan bahwa obat anti TB diserap dan dipertahankan dalam jaringan patologis spesifik selama kurun waktu lebih lama dari pada di serum darah(4). Atas dasar peranannya sebagai komponen paduan obat anti TB, obat-obat anti TB individual dibagi menjadi: 1) Obat pokok (main drug), yaitu NH, RMP, PZA. Ketiga obat tersebut di atas bekerja dalam lingkungan asam (intraseluler). Tiap paduan obat anti TB sebagaiu paduan obat primer maupun sebagai paduan obat sekunder, harus mengandung sedikitnya satu obat anti TB yang bekerja intraseluler. Obat pokok diberikan selama seluruh kurun waktu peng- obatan. 2) Obatpelengkap (complementary drug), yaitu EMB dan SM. Obat pelengkap diberikan untuk: a) Meningkatkan NKB paduan obat anti TB. Penambahan EMB pada paduan obat jangka panjang 12HZ dengan NKB sebesar 1½ membentuk paduan obat jangka pendek 6HZE dengan NKB sebesar 2. Penambahan EMB pada paduan obat jangka pendek 6HR dengan NKB sebesar 2, membentuk paduan obatjangka pendek 6HRE dengan NKB sebesar 2½. b) Menambah DAM paduan obat anti TB. Penambahan EMB pada paduan obat jangka panjang 12HS dengan NKB sebesar 1½, membentuk paduan obatjangka panjang 12HSE dengan NKB sebesar 1 ‘p2; dengan DAM yang lebih tinggi dan padapaduan obat 1 2HS. Ethambutol dan SM keduanya bekerja dalam Iingkungan ekstraseluler, gabungan EMB dan SM mempunyai NKB sebesar ½. c) Memungkinkan diabaikan pengadaan pemeriksaan kepekaan basil TB terhadap obat anti TB. Penambahan EMB pada paduan obat jangka pendek 6HR dengan NKB sebesar 2, membentuk paduan obatjangka pendek 6HRE dengan NKB sebesar 2½ disertai DAM yang lebih tinggi, sehingga dapat diabaikan pengadaan pemeriksaan kepekaan basil TB terhadap obat-obat anti TB, apabila digunakan sebagai paduan obat anti TB primer di daerah-daerah endemis TB. Obat pelengkap diberikan selama seluruh kurun waktu pengobatan. 3) Obat ke-3 (the third drug), yaitu EMB dan SM. Penambahan EMB selama fase permulaan pengobatan pada paduan obatjangka pendek 6HR dengan NKB sebesar 2, membentuk paduan obat jangka pendek HRE/5HR dengan fase permulaan intensif dan dengan NKB sebesan 2½ pada fase permulaan intensif dan sebesar 2 pada fase lanjutan. Penambahan EMB pada fase permulaan pengobatan pada paduan obat jangka panjang 12HS dengan NKB sebesar 1½ membentuk paduan obat jangka panjang HSE/11 HS dengan fase permulaan intensif dan dengan NKB sebesan 1½ selama fase permulaan intensif maupun selama fase lanjutan. Obat ke-3 diberikan hanya selama fase permulaan pengobatan dan diperlukan untuk meningkatkan DAM paduan obat anti TB selama fase permulaan pengobatan; fase permulaan intensif ini diperlukan untuk meningkatkan upaya the early kill. Dari segi pemeriksaan bakteriologi dahak, hasil penggunaan paduanobat anti TB dinilai atas dasar: 1) Angka keberhasilan pengobatan (successful treatment) pada akhir bulan pengobatan. 2) Angka kejadian relaps bakteriologis (bacteriologic relapse) sesudah dihentikan pengobatan yang berhasil. Keberhasilan pengobatan atas dasar pemeriksaan bakteriologi dahak dikerjakan melalui pemeriksaan dahak mikroskopis (M) dan pemeriksaan dahak biakan (B). Dan segi kegiatan bakterisidal, obat-obat anti TB bekerja hanya selama kurun waktu pengobatan 6 bulan. Oleh karena itu, penilaian keberha- Cermin Dunia Kedokteran No. 114, 1997 49 silan pengobatan anti TB atas dasar bakteriologi dahak dikerjakan paling lambat pada akhir bulan pengobatan ke enam(5). Penentuan keberhasilan pengobatan pada akhir bulan pengobatan pada penggunaan paduan obat yang mengandung RMP atau tidak, dapat dikerjakan melalui pemeriksaan dahak mikroskopis. Keberhasilan pengobatan ditentukan atas dasar ditemukan dahak mikroskopis negatif (M–) selama tiga kali berturut-turut pada pemeriksaan dahak sekali sebulan, yaitu: • M– pada akhir bulan pengobatan ke-4, ke-5 dan ke-6, atau: • M– pada akhir bulan pengobatan ke-5, ke-6 dan pada akhir bulan ke-7 sesudah dimulai pengobatan, atau: • M– pada akhir bulan pengobatan ke-6, akhir bulan ke-7 dan akhir bulan ke-8 sesudah dimulai pengobatan. Penentuan kegagalan pengobatan (treatment failure) pada akhir bulan pengobatan pada penggunaan paduan obat yang mengandung RMP, dikerjakan melalui pemeriksaan dahak biakan. Kegagalan pengobatan ditentukan atas dasar ditemukan dahak biakan positif (B÷) selama tiga bulan berturut-turut pada pemeriksaan sekali sebulan, yaitu: • B+ pada akhir bulan pengobatan ke-4, ke-5 dan ke-6, atau: • B+ pada akhir bulan pengobatan ke-5, ke-6 dan pada akhir bulan ke-7 sesudah dimulai pengobatan, atau: • B+ pada akhir bulan pengobatan ke-6, pada akhir bulan ke7 dan pada akhir bulan ke-8 sesudah dimulai pengobatan. Keberadaan kuman mati (dead bacilli; M+B–) pada pemeriksaan bakteriologi dahak pada penggunaan paduan obat yang mengandung RMP menimbulkan masalah pada penentuan kegagalan pengobatan pada akhir bulan pengobatan. Sebanyak 50% dan dahak yang M+ pada akhir bulan pengobatan ke pada penggunaan paduan obat yang mengandung RMP, disebabkan oleh keberadaan “kuman mati” pada dahak(6). Kejadian kekambuhan bakteriologis (bacteriologic relapse) atas dasar pemeriksaan bakteriologi dahak pada penggunaan paduan obat yang mengandung RMP atau tidak, dikerjakan melalui pemeriksaan dahak biakan. Kejadian kekambuhan bakteriologis ditentukan atas dasar ditemukan dahak biakan positif (B+) selama tiga bulan berturut-turut pada pemeriksaan dahak sebulan sekali(7,8). Resistensi basil TB terhadap obat-obat anti TB merupakan kendala pada upaya memperoleh keberhasilan pengobatan secara maksimal pada penggunaan paduan obat anti TB. Resistensi strain basil TB terhadap obat-obat anti TB dibagi menjadi: 1) Resistensi primer. 2) Resistensi sekunder. Resistensi primer ditemukan pada kasus-kasus TB yang sebelumnya tidak pernah memperoleh obat-obat anti TB. Resistensi ini timbul sesudah terjadi transmisi basil TB yang resisten terhadap obat anti TB pada kasus TB yang sebelumnya tidak pernah memperoleh obat-obat anti TB. Di daerah-daerah tempat TB masih endemis, populasi basil TB dinyatakan sebagai populasi yang heterogen dari segi kepekaan basil terhadap obat-obat anti TB. Dalam hal terdapat resistensi primer terhadap obat anti TB, ditemukan subpopulasi basil TB yang resisten dan subpopulasi basil TB yang sensitif terhadap obat yang dimaksud(9,10). Dengan demikian, kasus TB yang me- 50 Cermin Dunia Kedokteran No. 114, 1997 nunjukkan adanya strain basil TB yang resisten primer terhadap obat anti TB, masih dapat memanfaatkan obat yang dimaksud karena masih efektif terhadap strain basil yang sensitif. Resistensi primer terhadap INH meningkat dan tahun ke tahun. Ditemukan angka resistensi primer terhadap INH sebesar 7% di Kotamadya Yogyakarta pada tahun 1962(1), 0% di daerah pedusunan Malang pada tahun 1964(11), 15% di Jakarta pada tahun 1975(12), dan sebesar 44% di Kotamadya Malang pada tahun 1975-1977(13) dan sebesar 40% di Jawa Timur pada tahun 1979(14). Penggunaan RMP menyertai INH pada kasus-kasus TB paru dengan angka resistensi primer terhadap INH sebesar 40%, menunjukkan keberhasilan pengobatan (cure rate) pada akhir bulan pengobatan sebç 96%. Dengan lain perkataan, penggunaan RMP menyertai INH pada kasus-kasus di daerah TB masih endemis, dapat mengabaikan pengadaan pelaksanaan pemeriksaan kepekaan basil TB terhadap obat-obat anti TB terutama dari segi pengobatan lapangan (field treatment)(15). Resistensi sekunder ditemukan pada kasus-kasus TB yang menunjukkan kegagalan pengobatan atau kekambuhan sesudah dihentikan pengobatan yang berhasil. Populasi basil Th pada kasus-kasus TB yang menunjukkan resistensi sekunder terhadap obat anti TB adalah populasi yang homogen dan segi kepekaan basil TB terhadap obat-obat anti TB. Dengan lain perkataan, strain basil yang resisten sekunder terhadap obat anti TB tidak dapat dimusnahkan oleh obat anti TB yang dimaksud(9). Resistensi sekunder timbul pada akhir bulan pengobatan ke-2 (hasil observasi yang tidak dipublikasikan). Resistensi sekunder terjadi oleh karena: 1) Penggunaan paduan obat anti TB yang tidak adekuat. 2) Pengobatan yang tidak teratur. 3) Putus berobat (drop-out). Resistensi sekunder terhadap INH ditemukan sekitan 60% pada kasus-kasus TB yang kambuh dan sekitar 90% pada kasus- kasus kegagalan pengobatan (hasil observasi yang tidak dipublikasikan). Mutasi kembali (back mutation) tidak terjadi pada strain basil TB yang resisten sekunder atau primer terhadap obat anti TB; yang terjadi adalah fenomena pembalikan (reversal phenomenon) yang ditemukan hanya pada kasus-kasus TB dengan strain basil TB yang resisten primer terhadap obat anti TB(9). Multinesistensi basil TB terhadap obat-obat anti TB menimbulkan masalah pengobatan yang lebih serius daripada resistensi tunggal (mono-resistance). Multiresistensi ini dikaitkan dengan adanya kombinasi penyakit TB dan penyakit yang dibangkitkan oleh H1V- 1 (the Human Immunodeficiency virus type 1) terutama pada fase khronik lanjut yang biasa disebut sebagai AIDS (Acquired Immuno Deficiency Syndrome). Multiresistensi berarti adanya resistensi primer maupun sekunder terhadap sedikitnya dua obat-obat anti TB individual yang tengolong obat pokok. Multiresistensi basil TB terhadap obat-obat anti TB dibagi menjadi: 1) Multiresistensi yang ditemukan pada Mycobacterium tuberculosis (M. tuberculosis). 2) Multiresistensi yang ditemukan pada Mycobacterium atypic (M. atipik). Multiresistensi pada M. tuberculosis adalah resistensi yang bersifat tetap yang dibangkitkan oleh karena kegagalan atau kekambuhan pada penggunaan paduan obat anti TB yang mengandung sedikitnya dua obat-obat pokok, atau telah terjadi transmisi M. tuberculosis yang multiresisten terhadap obat anti TB. Mycobacterium tuberculosis yang multiresisten terhadap obat-obat anti TB tidak dapat dimusnahkan oleh obat-obat anti TB yang bersangkutan, yang berarti obat-obat anti TB yang bersangkutan tidak lagi berguna. Multiresistensi pada M. atypic adalah resistensi yang bersifat tidak-tetap (temporer). Mycobacterium tuberculosis adalah dimorphic(16), yang berarti terdiri dua bentuk yaitu bentuk yang tahan-asam (acid-fast form) dan bentuk yang tidak tahan-asam (non-acid-fast form). Bentuk yang tahan-asam adalah M. atypic(17,18), yang bersifat non-patogenik namun menunjukkan multiresistensi terhadap obat-obat anti TB. Bentuk yang tahanasam ini dapat dilihat di bawah mikroskop melalui pengecatan metode Ziehl-Neelsen atau pengecatan metode Tan Thiam Hok. Bentuk yang tidak tahan-asam tidak dapat dilihat di bawah mikroskop melalui pengecatan metode-metode tersebut di atas. Dalam keadaan terpisah (split), bentuk yang tahan-asam mengembangkan sifat-sifat M. atypic. Sewaktu-waktu kedua bentuk yang terpisah ini bergabung kembali, membentuk M. tuberculosis dan mengembangkan sifat-sifat sebagai M. tuberculosis, yaitu bersifat patogenik dan terdapat sensitif terhadap obatobat anti TB. Sewaktu dalam keadaan bergabung, M. tuberculosis ini dapat dimusnahkan oleh obat-obat anti TB yang tidak menunjukkan resistensi (hasil observasi yang tidak dipublikasikan). Dalam hal ini dapat dikemukakan bahwa RMP adalah obat pilihan (drug of choice), karena RMP hanya memerlukan waktu sentuhan selama satu jam untuk memusnahkan basil TB yang sensitif, sedangkan INH membutuhkan waktu sentuhan selama 24 jam(19). Mycobacterium atypic ditemukan pada sebanyak 0,2–2% dan kasus-kasus TB dengan dahak positif sebelum dimulai pengobatan dengan khemoterapi anti TB(17,20). Pada akhir pengobatan yang berhasil (successful treatment), M. atypic ditemukan pada sebanyak 15% dan kasus-kasus TB yang menyelesaikan pengobatan(20). Peningkatan angka penemuan M. atypic ini disebabkan oleh keadaan keletihan dari sel-sel makrofag (fatigue macrophages). Mycobacterium atypic ditemukan pada sebanyak 25–53% dan pasien-pasien yang mendenita penyakit tuberkulosis dan penyakit HIV pada fase khronis lanjut (AIDS)(21,22). Pada pasien-pasien yang menderita lepra lepromatosa, M. atypic ditemukan pada sebanyak 96% dan pasien pasien yang dimaksud, sebagian besan tergolong M. scrophulaceum(23). Tingginya angka penemuan M. atypic pada pasienpasien yang menderita lepra lepromatosa dan pada pasien-pasien yang menderita penyakit HIV dan penyakit tuberkulosis, disebabkan oleh adanya kerusakan pada fungsi sel-sel makrofag (detective function of the macrophages). Upaya pengolahan antigen (antigen processing) oleh sel-sel makrofag hanya menghasilkan pembelahan (splitting) dan basil tuberkulosis menjadi bentuk yang tahan-asam (M. atypic) dan bentuk yang tidak-tahan asam. Upaya meningkatkan keberhasilan paduan obat antituberkulosis dikerjakan melalui upaya meningkatkan kegiatan bakterisidal sel-sel makrofag melalui: 1) Pemberian imuno-modulator (cimetidine) pada fase permulaan khemoterapi anti TB(24,25). 2) Pemberian imuno-terapi dengan BCG pada saat sesudah dihentikan khemoterapi yang berhasil(24,25). Pemberian imuno-modulator pada fase permulaan pengobatan anti TB mempercepat (accerelate) pemulihan kedudukan imunologis pada kasus TB khronis dan kedudukan imunologis tipe K (TB khronis) menjadi kedudukan imunologis tipe L (TB akut). Pemberian imuno-terapi dengan BCG pada saat sesudah dihentikan khemoterapi anti TB pada kasus TB khronis, memperkuat (strengthen) pemulihan kedudukan imunolohgis dan tipe K menjadi kedudukan imunologis tipe L. Pada hakekatnya, pada pertarungan melawan basil TB di dalam jaringan tubuh “tuan rumah” (host), daya tahan imunologis memainkan peran utama; pemberian khemoterapi anti TB dimaksud untuk memulihkan (restore) dan mendukung (back up) daya tahan imunologis dengan tujuan untuk meningkatkan imunitas protektif (enhancement of protective immunity) yang esensial untuk stabilisasi kesembuhan (stabilization of cure). Keberadaan daya tahan imunologis yang berfungsi secara optimal, merupakan conditio sine qua non untuk dapatnya khemoterapi anti TB berkhasiat secara maksimal. KEPUSTAKAAN 1. WHO Regionaj Office: The TB Pilot Project in Yogyakarta. 1962; Reports on WHO Projects, 1968. 2. Mitchison DA, Nunn AJ. Influence of initial drug resistance on the response to short-course chemotherapy of pulmonary tuberculosis. Am. Rev, of Respir. Dis. 1986; 133: 423. 3. East Africa/BMRC. Controlled clinical trial of five short-course chemotherapy regimens in pulmonary tuberculosis. Am. Rev, of Respir. Dis. 1981; 123: 165. 4. Handojo RA. Drug-induced elevation of SGPT related to the extent of disease during anti TB treatment. The 10th Asia Pacific Congress on Diseases of the Chest in Taipei in 1987, p (Abstract). 5. Wibisono J. The duration of augmentation of protective immunity during anti-tuberculosis therapy. Joint International Congress, 2nd Asia Pacific Society of Respirology, 5th Indonesian Association of Pulmonologists, 1990, 233 (Abstract). 6. Handojo RA. Permasalahan “kuman mati” pada pengelolaan pengobatan terhadap kasus tuberkulosis paru. Kumpulan Naskah Kongres Nasional ke III Ikatan Dokter Paru Indonesia di Medan 1983, 162–1 69. 7. Handojo RA. Short-Course chemotherapy in Indonesia. Proc. the Eastern Regional Tuberculosis Conference of the International Union Against Tuberculosis, Jakarta 1983, 133–147. 8. Handojo RA, Liunanda S. The determination of a bacteriological relapse after ariti-tuberculosis treatment. Proc. International Academy of Chest Physicians. PL. Nandy, WK. Lam (eds). The 7th Asia Pacific Congress on Diseases of the Chest Hong Kong 1981, p 202–204. 9. Handojo RA. Stability of isoniazide-susceptibility during anti-tuberculosis chemotherapy in pulmonary tuberculosis. I. the occurrence of a reversal phenomenon. The 11th Aata Pacific Congr on Diseases of the Chest, Bangkok 1989, p 182. 10. Agung S. Stability of isoniazide-susceptibility during anti-tuberculosis chemotherapy in pulmonary tuberculosis. 2. the emergence of transient isoniazide-resistance. The 11th Asia Pacific Congr Diseases of the Chest, Bangkok 1989, p 303. 11. WHO Regional Office. The Rural Sample Survey, Malang, 1964. Tubercu- Cermin Dunia Kedokteran No. 114, 1997 51 losis Control in Indonesia, 1952–1965. Reports on WHO Projects, 1969. 12. Peetosutan E, Lanibey W. Primary resistance oftubercle bacilli to isoniazide, streptomycin and PAS in Jakarta and its influence on the result of chemotherapy. J. lndon. Medical Assoc. 1975. 13. Susilo AW. The significance of primary resistance to anti-tuberculosis drugs. Proc. II of the Eastern Regional Tuberculosis Conference of the International Union Against Tuberculosis in Jakarta 1983, p 68–71. 14. Sri Prihatini. Khemoterapi jangka pendek di puskesmas di Jawa Timur. Simposium Penyakit Menular di Surabaya, 1979. 15. Handojo Al. The influence of a high prevalence rate of primary isoniazideresistance on the outcome of treatment using dual drug two phase regimens. The 11th Asia Pacific Congress on Diseases of the Chest in Bangkok, p 187. 16. Csillag A. J. Gem. Microbiol. 1961, 26, 97. quoted from: Warsa, The Kie Sing. Maj. Kedokt. Indon. 1969; 7: 237–239. 17. Handojo RA. The emergence of atypical mycobacteria in pulmonary tuberculosis related to the use of anti-tuberculosis chemotherapy. Proc. of the VIIth Asia Pacific Congress on Diseases of the Chest in Tokyo Japan, 1983, p 176. 18. Handojo RA. The significance of the emergence of atypical mycobacteria in pulmonary tuberculosis related to the use of anti-tuberculosis chemotherapy. Paru 1987; 7: 28–36. 52 Cermin Dunia Kedokteran No. 114, 1997 19. Mitchison DA, Dickinson JM. Bactericidal mechanisms in short-course chemotherapy. Bull. International Union Against Tuberculosis 1978; 53: 254–259. 20. Handojo RA. Review hasil-hasil penelitian mengenai tuberkulosis paru. Laporan ke Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan, DepKes. RI, 1970. 21. Schneider MME, van der Wiel A. Wierma J et al. Len patient met een gedissemineerde M. avium infecti en een gestoorde afweer apparaat. Nederl. Tijdschr. v. Geneesk. 1988; 132: I 1611-62. 22. Weits J, Sprenger HG, Ilic Pet al. M. avium ziekte bij AIDS patienten.; diagnostiek en therapie. Nederl. Tijdschr. v. Geneesk. 1991; 130:2485–89. 23. Warsa R. The Kie SIng. Isolation of acid-fast organisms from leprosy patients (preliminary report). Maj. Kedokt. Indon. 1969; 7: 237–239. 24. Lusiana D, Adhinata K, Henny CK. How pattern of tuberculin reaction may elucidate the mechanism of action of immuno-therapy with BCG. Joint International Congress, 2nd Asia Pacific Siciety of Respirologists, 5th Indonesian Association of Pulmonologist in Denpasar Indonesia, 1990, p 234 (Abstract). 25. Lusiana D. Pengaruh penggunaan imuno-modulator dan imuno-terapi terhadap keberhasilan khemoterapi anti-tuberkulosis. Paru 1987; 1–2; 24–27. HASIL PENELITIAN Pola Resistensi Bakteri Enteropatogen terhadap Antibiotik Pudjarwoto Triatmodjo, Catra Oktarina Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan, Departemen Kesehatan RI, Jakarta ABSTRAK Penggunaan antibiotik secara tidak rasional pada penyakit diare telah menimbulkan resistensi kuman terhadap antibiotik. Perkembangan resistensi kuman terhadap antibiotik perlu dipantau agar dalam pengobatan penyakit diare dengan antibiotik dapat dilakukan pemilihan antibiotik secara tepat. Untuk menambah informasi tentang pola resistensi kuman-kuman penyebab diare terhadap antibiotik, telah dilakukan penelitian uji resistensi kuman Salmonella, Shigella dan Vibrio-Cholera yang diperoleh dan penderita diare terhadap antibiotik khloram fenikol, ampisilin, tetrasiklin, kanamisin dan kotrimoxazol. Uji resistensi dilakukan secara Disk Diffusion (Kir Bauer, 1966). Hasil penelitian menunjukkan, Shigella masih sensitif terhadap kotrimoxazol (SXT); namun terhadap antibiotik alternatif ampisilin (Amp) menunjukkan tingkat resistensi 50%. Salmonella menunjukkan tingkat resistensi sebesar 42% terhadap ampisilin, 57% terhadap khloramfenikol dan 71% terhadap kotrimoxazol. Disimpulkan bahwa Shigella masih sensitif terhadap SXT, namun Salmonella telah menunjukkan resistensi yang cukup tinggi terhadap SXT, C dan Ampisilin. PENDAHULUAN Penggunaan antibiotik secara tidak rasional pada penyakit diare di samping menimbulkan bahaya efek samping, pemborosan biaya dan gagalnya upaya penurunan morbiditas dan mortilitas, juga dapat berisiko timbulnya resistensi kuman penyebab diare terhadap antibiotik. Hal ini telah banyak dilaporkan oleh pakar-pakar antibiotik baik di luar negeri maupun dalam negeri. Di Indonesia, informasi mengenai pola resistensi kumankuman penyebab diare terhadap antibiotik terpilih maupun antibiotik alternatif masih sangat terbatas. Dalam makalah ini disajikan hasil penelitian mengenai pola resistensi beberapa jenis bakteri enteropatogen penyebab diare terhadap berbagai jenis antibiotik terpilih, yakni untuk mendapatkan gambaran/informasi resistensi kuman-kuman penyebab diare terhadap antibiotik. Dari hasil penelitian ini diharapkan diperoleh informasi mengenai jenis antibiotik yang masih efektif dan yang kurang efektifuntuk pengobatan diare, sehingga pemilihan obat (drug of choice) pada penyakit diare dapat dilakukan secara tepat. BAHAN DAN CARA Penelitian dilakukan di RS Tangerang dan laboratorium Puslit Penyakit Menular. Badan Litbangkes, dimulai pada bulan Juni 1995 dan selesai pada bulan Maret 1996. Kegiatan penelitian d RSU Tangerang meliputi pemilihan penderita, yaitu penderita diare golongan umur balita yang berobat ke bagian Poli Anak, RSU Tangerang. Terhadap penderita terpilih kemudian dilakukan pengambilan rectal swab dan wawancara dengan orangtua penderita untuk mendapatkan informasi tentang upaya pengobatan yang dilakukan sebelum berobat ke Cermin Dunia Kedokteran No. 114, 1997 53 rumah sakit. Penelitian di laboratorium Puslit Penyakit Menular meliputi identifikasi bakteri enteropatogen terutama Vibrio cholera, Salmonella dan Shigella secara konversional. Kemudian dilakukan uji resistensi terhadap kuman-kuman yang terdeteksi dengan antibiotik Khloramphenikol (C). Ampisilin (Amp), Kanamisin (K), Tetrasiklin (Te) dan Sulfametoxazol - Trimetoprim (SXT). Uji resistensi ini dilakukan secara in vitro dengan metode disk diffusion (Kirby Bauer, 1966). Tidak ada analisis statistik terhadap hasil penelitian ini. Tabel 3. Jenis bakteri Jumlah penderita penyakit menular tertentu yang berobat ke RSU Tangerang Th. 1995 (Januari – Desember 1995) No. Jenis penyakit 1 2 3 Diare Demam tifoid TB Paru (BTA +)/ TB Pam lain Tetanus Hepatitis Virus D.B. Dengue Bronchitis Pneumonia Tetanus Neunatorum ISPA Jumlah pasien berobat Jumlah pasien keluar coati 2255 855 30 32 1,3 3,7 476 199 40 392 50 313 25 45 57 38 0 11 3 68 12 0 12,0 20,0 0,0 2,9 6,0 21,0 48,0 Hasil identifikasi kuman-kuman penyebab diare dan sampel rectal swab penderita diare balita Organisme V. Cholera Salmonella Shigella NAG % 0 5,5 2,0 0,7 Klasifikasi bakteri penyebab diare yang berhasil diidentifikasi adalah tercantum dalam Tabel 3. 54 Cermin Dunia Kedokteran No. 114, 1997 Antibiotik Jenis kuman Shigella sonnei Shigella flexneri Shigella flexneri Keterangan : R : Resisters Tabel 5. Masih tingginya jumlah pasien diare yang meninggal dunia berkaitan erat dengan pola tatalaksana penderita diare yang salah, antara lain adalah penggunaan antibiotik yang tidak rasional pada kasus-kasus diare tersebut. Dari 124 sampel rectal swab yang berhasil diperiksa terhadap kuman-kuman patogen penyebab diare, hasil positif kuman patogen yang berhasil diidentifikasi dapat dilihat dalam Tabel 2. Hasil positif (N =124) 0 8 3 1 Pola resistensi kuman Shigella penyebab diare terhadap 5 jenis antibiotik, berdasarkan basil uji resisters secara disk diffussion C Te K Amp SxT R R R R S I S S R R R R S S S I : Intermediate S : Sensitif % Sumber data: Medical record RSU Tangerang, 1995. Tabel 2. 1 1 2 1 1 2 1 1 1 0 Salmonella typhi Salmonella group A Salmonella group B Salmonella group C Salmonella group D Salmonella group E Shigella_flexneri Shigella boydii Shigella dysenteri Shigella sonnei Tabel 4. Berdasarkan data medical recordtentang penderitapenyakit menular tertentu yang berobat ke RSU Tangerang tahun 1995, diperoleh informasi bahwa jumlah pasien terbanyak adalah dan penyakit diare (Tabel 1). 4 5 6 7 8 9 10 Jumlah Hasil uji resistensi kuman Shigella dan Salmonella terhadap lima jenis antibiotik dapat dilihat pada Tabel 4 dan 5. HASIL Tabel 1. Jenis kuman patogen yang ditemukan dan berhasil diisolasi dari rectal swab penderita diare di RSU Tangerang Pola resistensi Salmonella penyebab diare terhadap lima jenis antibiotik berdasarkan basil uji secara disk diffussion Antibiotik Jenis kuman . Salmonella Group D Salmonella Group E Salmonella Group A Salmonella typhi Salmonella Group C Salmonella Group B Salmonella Group E Salmonella Group B Salmonella Group D Keterangan : R : Resisters C Te K Amp SxT S S R S R S R S S S R R S R I R S S S S S S R R S S S S R S S R S S S R S R S S R R R S R I : Intermediate S : Sensitif Derajat resistensi dan multiresistensi kuman Shigella terhadap antibiotik dapat dilihat pada Tabel 6 dan 7. Tabel 6. Persentase besarnya resistensi kuman Shigella penyebab diare terhadap lima jenis antibiotik berdasarkan hasil uji secara disk difussion Antibiotik C Te K Amp SxT (30µg) (30µg) (30µg) (10µg) (25 µg) Keterangan C : Chloramphenicol Te : Tetracyclin K : Kanamycin Jumlah isolat Shigella yang resisters (n = 3) 3 1 1 3 0 % 100 33,3 33,3 100 0 Amp : Ampicillin SxT : Sulfametoxazol-Trimetoprim Tabel 7. Multi resistensi kuman Shigella penyebab diare terhadap lima jenis antibiotik berdasarkan uji secara disk difussion Antibiotik C, Te, Amp C, K, Amp C, Amp Jumlah isolat resisters (n = 3) 1 1 1 % 33,3 33,3 33,3 Persentase derajat resistensi dan multiresistensi kuman Salmonella terhadap antibiotik disajikan dalam Tabel 8 dan 9. Tabel 8. Persentase besarnya resistensi kuman Salmonella terhadap lima jenis antibiotik berdasarkan uji secara disk difussion Antibiotik C Te K Amp SxT Tabel 9. (30 µg) (30 µg) (30 µg) (10 µg) (25 µg) Jumlah isolat Salmonella yang resisters (n = 7) % 4 5 3 3 5 57,1 71,4 42,8 42,8 71,4 Multiresistensi kuman Salmonella penyebab diare terhadap lima jenis antibiotik berdasarkan hasil uji secara disk difussion Antibiotik Jumlah isolat yang resisters (n = 7) % C, Te, K, Amp, SxT Te, Amp, SxT C, Te, SxT K, SxT C, Te 2 1 1 1 1 28,5 14,2 14,2 14,2 14,2 PEMBAHASAN Diare masih menduduki peringkat teratas di antara penyakit menular lainnya berdasarkan jumlah penderita yang berkunjung ke RSU Tangerang. Hal ini memberikan indikasi bahwa perilaku hidup bersih dan sehat masih belum membudaya di sebagian masyarakat luas daerah Tangerang. Dalam periode tahun 1995 kasus kolera tidak ditemukan; hasil pemeriksaan terhadap 124 sampel rectal swab penderita diare umur balita menunjukkan hasil negatif. Sedangkan infeksi Salmonella pada kasus diare cukup menonjol yakni sebesar 5,5% dan infeksi Shigella relatif kecil (2,0%). Hasil uji resistensi kuman Shigella terhadap beberapa jenis antibiotik terpilih dan antibiotik alternatif menunjukkan bahwa antibiotik SxT masih cukup efektif untuk diare yang disebabkan oleh infeksi kuman Shigella, sedangkan untuk antibiotik Amp sudah menunjukkan efektifitas yang berkurang yakni sebesar 50%. Pada kasus-kasus diare yang disebabkan oleh infeksi Salmonella, efektifitas antibiotik sudah berkurang. ini berarti bahwa tingkat resistensi kuman Salmonella terhadap antibiotik terpilih maupun antibiotik alternatif sudah cukup tinggi. Sebagaimana tercantum dalam Tabel 8 dan 9 resistensi kuman Salmonella terhadap antibiotik Chioramphenicol sudah mencapai 57%, sedangkan terhadap SxT mencapai 71,4%. Tingkat multiresistensi kuman Shigella mencapai 3 jenis antibiotik sedangkan pada kuman Salmonella telah didapatkan I isolat Salmonella group C yang telah resisten terhadap semua jenis antibiotik yang diujikan yaitu C, Te, K, Amp dan SxT. Keadaan ini dapat menimbulkan kekhawatiran di kalangan medis karena bila terjadi wabah (outbreak) diare yang disebabkan oleh infeksi kuman yang telah resisten tersebut akan sulit ditanggulangi dengan pengobatan antibiotik. Pola resistensi kuman V. cholera terhadap antibiotik Te berdasarkan hasil pemeriksaan tahun 1990 di Jakarta menunjukkan sensitifitas kuman yang masih cukup tinggi yakni sebesar 90%. Diduga efektifitas antibiotik Te untuk daerah Tangerang tidak jauh berbeda dengan daerah Jakarta (data tidak ditampilkan). KESIMPULAN Kotrimoxazol/SxT masih efektif untuk pengobatan diare yang disebabkan oleh infeksi Shigella. Efektifitas ampisilin sebagai antibiotik alternatif sudah berkurang. Beberapa isolat Salmonella yang berasal dari penderita diare menunjukkan gejala multiresisten terhadap limajenis antibiotik secara in vitro yakni : C, Te, K, Amp dan SxT. KEPUSTAKAAN 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. Anonymous. Performance Standard For Anti Microbial Disk Susceptibility Test. National Committee for Clinical Laboratory Standard, 1976. Dwi Prahasto I. Antibiotika tidak rasional mulai menjamur, 1995. Suryaatmaja S. Peranan obat pada Penatalaksanaan Diare, Medika 1992; 7: 79–82. Simanjuntak CH. Aspek Mikrobiologi Penyakit Diare (Review). Procceding Pertemuan Ilmiah Penelitian Penyakit Diare di Indonesia. Badan Litbangkes, Depkes RI Jakarta, 21–23 Oktober 1982. Sunoto. Rangkuman masalah Diare. Maj Kes Masy Indon 1995; XXIII (9): 615–6. Setiabudi R. Pemilihan Antibiotik secara Rasional. Maj Farmakol dan Terap. Indon 1988; (5(1): 79–36. WHO,CDD. Program For Control Diarhoeal Diseases.Manual For Laboratory lnvestigation of Acute Enteric Infection, 1987. Bear the inevitable with dignity (Streckfuss) Cermin Dunia Kedokteran No. 114, 1997 55 ANALISIS Karakteristik Gizi Masyarakat Pedesaan dan Perkotaan Sarjaini Jamal Pusat Penelitian dan Pengembangan Farmasi, Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan Departemen Kesehatan RI, Jakarta PENDAHULUAN Di bidang gizi, keberhasilan pembangunan dapat ditunjukkan dengan semakin menurunnya persentase balita yang bergizi kurang dan buruk penurunan prevalensi gizi kurang dan buruk(1); ini adalah sebagai dampak komplementer berbagai program pembangunan sosial-ekonomi(2). Beberapa masalah gizi pada awal-awal Pelita pertama adalah defisiensi Vitamin A, anemia, kekurangan kalori protein (KKP) dan gangguan akibat kurang lodium (GAKI); sekarang keadaan jauh lebih baik walaupun masalah di atas masih belum dapat dihilangkan secara keseluruhan. Gizi yang baik merupakan salah satu prasyarat untuk menghasilkan sumber daya manusia (SDM) yang berkualitas. SDM yang berkualitas dibutuhkan sebagai modal pembangunan menuju era tinggal landas PJPT II. Karena itu status gizi masyarakat selalu dipantau dan mendapat perhatian khusus pada setiap Pelita. Di sementara penduduk kelebihan gizi yang dikaitkan dengan kegemukan (obesity) dan risiko kesehatan individu merupakan pula masalah baru. Menurut penelitian skala terbatas yang dilakukan tahun 1983, sebanyak 8,4% para ibu rumah tangga/isteri mengalami obesitas(3). Demikian juga penelitian lain menunjukkan bahwa 22,8% karyawan perusahaan dan para manager yang pernah diteliti menderita obesitas(4). Desa dan kota selalu mendapat sorotan dalam analisis pembangunan di berbagai bidang, terutama dalam hal issue pemerataan dan kemiskinan; keduanya mempunyai keunikan sendiri baik dalam masalah demografi dan geografi maupun dalam masalah sosial ekonomi. Daerah pedesaan luasnya lebih dari dua kali daerah perkotaan dengan penduduk yang jarang. Perkotaan mempunyai daerah yang sempit dengan penduduk yang rapat. 56 Cermin Dunia Kedokteran No. 114, 1997 Masyarakat pedesaan pada umumnya mempunyai status ekonomi yang lebih rendah dibandingkan perkotaan; sebagian besar penduduk pedesaan bekerja di bidang pertanian/perikanan dan yang berhubungan dengan itu. Karena sifatnya yang berkaitan dengan alam menyebabkan tingkat ketergantungan masyarakat pedesaan pada perubahan cuaca dan iklim sangat tinggi. Kondisi kesehatan dan gizi banyak dipengaruhi oleh pola makan dan keragaman gizi individu dan ini sangat tergantung pada kondisi ekonomi keluarga. Keluarga dengan status sosialekonomi lebih baik besar kemungkinan mempunyai anggota keluarga dengan status gizi yang lebih baik pula, demikian pula sebaliknya. Apakah perbedaan antara daerah pedesaan dan perkotaan akan berpengaruh pula pada status gizi penduduk di daerah itu? Analisis yang dilakukan secara deskriptif ini akan mencoba menjawab pertanyaan tersebut. METODOLOGI Data dicuplik dan berbagai hasil penelitian yang pernah dilakukan di Indonesia seperti survei kesehatan rumah tangga (SKRT), Susenas, survei demografi dan kesehatan Indonesia dan penelitian lain yang selaras. Data kemudian dikelompokkan dalam tabel-tabel distribusi frekuensi sesuai dengan kebutuhan. Analisis dilakukan dengan membandingkan daerah pedesaan dan perkotaan dalam hal: 1. Balita yang pernah disusui dan lama rata-rata diberi ASI 2. Status gizi balita 3. Hasil persalinan, keguguran dan lahir mati 4. Jumlah anggota rumah tangga 5. Pengeluaran rumah tangga untuk makan 6. Anemia di kalangan ibu hamil. Tabel 4. Distribusi persentase jumlah anggota rumah tangga di pedesaan dan perkotaan HASIL Pedesaan Perkotaan (%) (%) No. Karakteristik 1 2 3 4 5 6 7 8 9 Jumlah anggota rumah tangga 1 2 3 4 5 6 7 8 9+ Rata-rata anggota rumah tangga 1) Persentase balita yang pernah disusui Tabel 1. Persentase balita pernah disusui dan lama mendapat ASI di pedesaan dan perkotaan No. Karakteristik 1 2 Persentase pernah disusui Rata-rata lama dapat ASI (dalam baton) Pedesaan (%) Perkotaan (%) Nasional (%) 98,47 17,50 96,63 15,68 97,92 16,96 Sumber : BPS, Statistik Kesehatan Rumah Tangga, BPS, Jakarta, 1992 Di daerah pedesaan rata-rata bayi disusui lebih lama dibandingkan dengan di daerah perkotaan. Juga persentase bayi yang pernah disusui sedikit lebih banyak di daerah pedesaan dibandingkan perkotaan. No. Tabel 5. 1 2 3 4 Baik Sedang Kurang Buruk Perkotaan (%) 63,68 27,01 7,38 1,93 Nasional (%) 55,53 31,42 10,56 2,49 100 100 100 Total Persentase balita dengan gizi baik lebih banyak di perkotaan dibandingkan di pedesaan. Sedangkan persentase balita dengan status gizi sedang, kurang dan buruk lebih banyak ditemukan di pedesaan. 3) Hasil persalinan/keguguran No . I 2 3 Persentase persalinan/keguguran dipedesaan dan perkotaan Karakteristik Lahir hidup Lahir mall Keguguran Total Pedesaan (%) 87,85 3,82 8,33 Perkotaan (%) 88,04 2,99 8,97 Nasional (%) 87,91 3,56 8,53 100 100 100 Sumber : BPS, Statistik Kesehatan Rumah Tangga, BPS, Jakarta, 1992 Persentase lahir mati di pedesaan sedikit lebih banyak dibandingkan di perkotaan, sedangkan persentase lahir hidup atau keguguran di kedua daerah tidak banyak berbeua. Secara nasional lebih dan 10 persen kehamilan disudahi dengan lahir mati atau keguguran. 4) Distribusi persentase jumlah anggota rumah tangga Jumlah anggota rumah tangga 3 dan 4 lebih banyak di pedesaan sedangkan persentase anggota rumah tangga yang lebih dari 5 lebih banyak di perkotaan. Perkotaan (%) No. Jenis pengeluaran Jawa Barat UK! Jakarta Jawa Timur 1 2 3 4 5 6 Makanan Pakaian Pendidikan Kesehatan Transportasi Lain-lain (listrik, air, kontrak rumah, hajatan dll) 69,4 3,7 1,4 2,6 0,2 22,7 57,3 3,2 4,7 4,7 3,4 26,7 60,4 4,1 8,1 8,1 2,3 17,0 Jumlah 100 100 100 Sumber : BPS, Statistik Kesehatan Rumah Tangga, BPS, Jakarta, 1992 Tabel 3. Persentase pengeluaran rumah tangga berpenghasilan rendah atas dasar kebutuhan sehari-hari di pedesaan dan perkotaan Pedesaan (%) Pedesaan (%) 52,07 33,29 11,91 2,73 4,7 10,3 17,1 20,4 17,4 12,8 7,9 4,3 5,2 4,6 5) Pengeluaran rumah tangga penduduk berpenghasilan rendah di perkotaan dan pedesaan Status gizi balita di pedesaan dan perkotaan Karakteristik 5,3 9,2 14,9 18,4 17,0 13.6 9,0 5,0 7,6 4,9 Sumber : BPS, Survei Demografi dan Kesehatan Indonesia, BPS, Jakarta, 1991 2) Persentase balita menurut status gizi Tabel 2. 4,5 10,7 18,0 21,2 17,5 12,5 7,5 4,0 4,2 4,5 Nasional (%) Sumber: Joko Susanto. Ciri lapisan masyarakat berpenghasilan rendah di perkotaan dan pedesaan dan kaitannya dengan gizi pangan dan kesehatan, Puslitbang Gizi, Bogor, 1992. Lebih dari separuh penghasilan penduduk berpenghasilan rendah dibelanjakan untuk kebutuhan makan, sedangkan untuk kesehatan hanya sebagian kecil saja. 6) Persentase anemia di kalangan ibu hamil Tabel 6. Persentase anemia di kalangan ibu hamil di pedesaan dan perkotaan No. Karakteristik 1981 1 Pedesaan 58,3 % 2 Perkotaan 48,0 % DISKUSI Beberapa indikator yang biasa digunakan dalam mengukur status gizi masyarakat di antaranya adalah : persentase penduduk dengan body mass index (BMI) di bawah standar WHO dan persentase bayi yang lahir dengan berat badan lebih rendah dari 2,5 kg (BBLR). Pengukuran indikator pertama sudah banyak dilakukan, di antaranya adalah melalui survei status gizi masyarakat di enam propinsi (1984). Pengukuran indikator yang kedua Cermin Dunia Kedokteran No. 114, 1997 57 melalui SDKI–1991 menghasilkan angka 2,7%, sedangkan penelitian pada 2457 ibu hamil di Kabupaten Bogor dan Kodya Bogor menemukan angka BBLR sebesar 10,4%(5). BBLR juga dapat dipantau melalui sistim pelaporan RS (SPRS) dan Puskesmas (SP2TP) untuk bayi yang dilahirkan di kedua pelayanan kesehatan tersebut. Status gizi seorang individu banyak dipengaruhi oleh konsumsi makanan sehari-hari; pada bayi dan anak-anak misalnya, masukan gizi ditentukan oleh orang tuanya. Sedangkan kon– sumsi niakanan keluarga ditentukan pula oleh tingkat sosio ekonomi keluarga. Tingkat sosio ekonomi suatu keluarga secara terbatas dapat dibandingkan dengan yang lainnya melalui besarnya persentase penghasilan sebulan yang digunakan untuk makan oleh tiap keluarga. Penduduk di pedesaan tampaknya berpenghasilan lebih rendah dibandingkan dengan di perkotaan; ini dapat dilihat dari lebih tingginya porsi pendapatan mereka yang digunakan untuk makan dibandingkan dengan di daerah perkotaan(6). Hal yang samajuga terjadi pada penduduk berpenghasilan rendah (Tabel 5). Jumlah anggota keluarga diduga turut menentukan tingkat konsumsi makanan. Jumlah anggota rumah tangga yang besar bila tidak diimbangi dengan peningkatan pendapatan akan memperburuk status gizi keluarga secara keseluruhan. Di kalangan pegawai negeri misalnya, tiap penambahan anak dalam batas tertentu mendapatkan tunjangan yang dapat menambah penghasilan keluarga; walaupun demikian, sampai pada umur tertentu kenaikan penghasilan itu tidak seimbang lagi dengan kenaikan kebutuhan anggota keluarga. Keadaan ini akan lebih buruk pada keluarga berpenghasilan rendah yang bukan pegawai negeri. Keluarga dengan dua orang anak merupakan persentase terbanyak, baik di perkotaan maupun di pedesaan, demikian juga rata-rata keluarga adalah sekitar 4 orang (Tabel 4). ini menunjukkan bahwa program KB selama ini cukup berhasil dalam menekan kelahiran penduduk. Bagaimana pengaruhnya pada status gizi masyarakat penlu dianalisis lebih lanjut secara tersendiri. Sekarang jumlah penduduk dalam katagori miskin (15%) jauh berkurang dibandingkan beberapa tahun yang 1a1u(7). Artinya telah terjadi peningkatan pendapatan di kalangan penduduk miskin yang ada selama ini;fenomena ini tentu akan berpengaruh pula pada status gizi masyarakat. Kualitas manusia ditentukan sejak masa-masa awal pertumbuhan janin dalam kandungan. Kekurangan gizi semasa hamil dapat menghambat pertumbuhan sang bayi bahkan menimbulkan berbagai kelainan atau cacat bawaan pada anak. Keracunan logam beratdan pemakaian obat-obat tertentu selama kehamilan juga dapat berpengaruh buruk pada janin(8). Dalam masa bayi pemberian air susu ibu (ASI) merupakan salah satu yang mendapat perhatian khusus dalam pencegahan diare dan kaitannya pada penurunan angka kematian bayi (IMR). Pemberian ASI eksklusif merupakan cara yang dianjurkan karena di samping mempunyai susunan gizi yang lengkap,ASI juga dapat menunda terjadinya kehamilan berikutnya sehingga mendukung program keluarga berencana. Dari hasil SKRT 1992 58 Cermin Dunia Kedokteran No. 114, 1997 diketahui bahwa hanya sekitar dua pertiga anak-anak yang mendapatkan ASI saja sampai usia 3 bulan, sedangkan yang diberi ASI sampai usia 11 bulan hanya 32,5%(1). Keadaan gizi juga dapat ditentukan melalul pengukuran antropometri, yaitu dengan cara membandingkan berat badan dan tinggi badan (BMI) menurut standar WHO. Gizi baik apabila BMI lebih dari 90% dan standar, gizi kurang bila angka tersebut 70–90% dan gizi buruk bila angka tersebut di bawah 70%. Ternyata persentase anak balita dengan gizi yang baik lebih banyak di perkotaan (Tabel 2). Di kalangan ibu hamil diamati BMI semakin baik dengan semakin bertambahnya umur kehamilan (SKRT- 1992). Anemia diderita hampir 70% ibu hamil. Distribusi ibu hamil yang mengalami anemia tersebut 47% bekerja di bidang pertanian, 21% di bidang jasa dan 18% di bidang perdagangan (SKRT- 1992). Prevalensi anemia gizi pada wanita pekerja berkisar antara 20-70%(9). Masalah gizi merupakan masalah multisektor dengan berbagai dimensi. Karena itu pendekatan pemecahannya memerlukan pendekatan multisektor pula. Berbagai upaya telah dilakukan untuk memperbaiki gizi masyarakat melalui program upaya peningkatan gizi keluarga (UPGK) yang tidak saja melibatkan pemerintah tetapi juga organisasi PKK dan lain-lain.Penyuluhan, percontohan dan pembinaan telah dilakukan dalam berbagai tingkat dan kesempatan. Berbagai upaya meningkatkan status gizi masyarakat telah dipadukan melalui kegiatan posyandu. Persentase rata-rata anemia pada balita adalah 55,5% (SKRT92), sedangkan pada ibu hamil adalah 63,5%. Bila dibandingkan dengan tahun 1986 (73,3%) nampaknya angka tersebut telah mengalami penurunan. Tetapi bila dibandingkan dengan data lain pada tahun 1981(48–58%) dan di daerah pedesaan lebih banyak dibandingkan dengan di daerah perkotaan (Tabel 6) tampaknya angka tersebut masih belum banyak berubah. Program distribusi tablet besi kelihatannya belum banyak membawa hasil. Berbagai kemungkinan bisa terjadi, misalnya masih banyak ibu-ibu hamil yang karena berbagai sebab tidak mendapatkan obat tersebut. Dugaan ini diperkuat oleh hasil penelitian UPGK yang menemukan bahwa hanya 25% wanita hamil yang mendapatkan pil besi. Kemungkinan lain adalah obat yang diterima tidak dimakan karena berbagai alasan (tidak enak, membuat pedih lambung dan lain-lain). Pemberian tablet besi tiap hari selama dua bulan hanya mampu meningkatkan kadar Hb sebesar 0,67%(10). Bila ditelusuri lebih lanjut banyak faktor yang menyebabkan terjadinya anemia. Di samping yang telah disebutkan di atas juga bisa karena absorbsi besi pada saluran pencernaan yang buruk serta karena infeksi malaria dan cacing. Hubungan anemia dengan rendahnya produktifitas telah dibuktikan melalui penelitian yang dilakukan pada pemetik teh di Bandung pada tahun 1991(11). Diperkirakan 30–40% tenaga kerja menderita anemia besi sehing tak mampu bekerja optimal(12). Fenomena ini secara nasional tentu akan mengurangi produksi yang sebenarnya dapat ditingkatkan. Lahir mati di pedesaan lebih tinggi dibandingkan di perkotaan (Tabel 3). ini menunjukkan bahwa melahirkan di pedesaan lebih berisiko dibandingkan di perkotaan. Hal ini dapat dimaklumi karena di samping dukun lebih banyak berperan dalam menolong kelahiran di desa dibandingkan di kota, juga karena masihjarangnya dilakukan pemeriksaan yang kontinu ke pelayanan kesehatan selama kehamilan oleh ibu-ibu di pedesaan. Anemia yang tinggi di kalangan ibu hamil juga berperan dalam masih tingginya kematian thu hamil di Indonesia karena perdarahan sewaktu partus. Anemia berat dapat menaikkan risiko terhadap persalinan prematur tiga kali lipat. Sedangkan anemia berat dengan kadar Hb kurang dari 6 g/dl cenderung menyebabkan tingginya angka lahir mati. Hipertensi yang diderita ibu hamil sangat berpengaruh terjadinya eklamsia. Eklamsia merupakan salah satu faktor risiko terjadinya kematian di kalangan ibu hamil sewaktu melahirkan. Sebanyak 4,8% ibu hamil memiliki tekanan diastolik 90 mmHg atau lebih; insidens ibu hamil dengan hipertensi lebih tinggi di daerah pedesaan dibandingkan di perkotaan (5,4% banding 3,9% – SKRT-1992). Sebanyak 15% penduduk Indonesia belum tersentuh pelayanan kesehatan, yaitu yang tinggal di daerah pedesaan pedalaman, terpencil dan perbatasan. Hal ini diatasi dengan melakukan penempatan bidan desa. Tindakan ini dilakukan di samping sebagai terobosan juga diharapkan dapat menurunkan angka kematian bayi (IMT)(13). Demikian juga penyakit gangguan jiwa dalam kaitan dengan kemiskinan perlu pula mendapat perhatian. Penyakit ini lebih tinggi di daerah perkotaan dibandingkan pedesaan(14). Karena persaingan yang kuat menyebabkan tekanan jiwa dan konflik sering lebih banyak dialami oleh orang-orang yang hidup di kota. ini menunjukkan bahwa kehidupan kota jauh lebih keras dibandingkan di pedesaan, terutama bagi para pendatang dari desa yang tidak siap fisik dan mental. 4) Persentase keluarga dengan 3 atau 4 anak lebih banyak di pedesaan,sedangkan yang lebih dari 5 lebih banyak di perkotaan. 5) Persentase pengeluaran rata-rata keluarga untuk makanan di pedesaan lebih tinggi dibandingkan dengan di perkotaan. 6) Persentase ibu hamil yang menderita anemia lebih tinggi di pedesaan dibandingkan di perkotaan. KESIMPULAN 1) Persentase balita yang pernah disusui sedikit lebih banyak di pedesaan, demikian juga rata-rata balita disusui lebih lama di pedesaan dibandingkan di perkotaan. 2) Persentase balita dengan gizi kurang dan buruk lebih banyak di pedesaan dibandingkan di perkotaan. 3) Persentase lahir mati di pedesaan lebih banyak dibandingkan di perkotaan. 10. SARAN Status gizi berkaitan dengan rendahnya pendapatan keluarga. Sebagian besar masyarakat berpendapatan rendah berada di pedesaan. Untuk meningkatkan status gizi masyarakat pedesaan tersebut disarankan agar kesempatan kerja lebih banyak diberikan kepada masyarakat pedesaan melalui berbagai pendirian pabrik atau usaha terpadu yang mengikutsertakan mereka. KEPUSTAKAAN 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 11. 12. 13. 14. Badan Litbang Kesehatan. Survei Kesehatan Rumah Tangga (SKRT), 1992, Jakarta, 1994. Soekirman. Dampak pembangunan terhadap keadaan gizi masyarakat. Pidato penerimaan jabatan Guru Besar Luar Biasa Ilmu Gizi di IPB. Bogor, 1991. Jajah K. Husaini etal. Partisipasi wanita dalam memperbaiki perilaku gizi dan kesehatan kelompok berpenghasilan rendah. Puslitbang Gizi, Bogor, 1993. Hermana, Mien Karmini. Penelitian kebiasaan makan para manager dan karyawan perusahaan dan penyakit degeneratif yang mungkin diderita. Dep. Kes. RI. Jakarta, 1993. Husaini YK et al. Keadaan kesehatan dalam hubungannya dengan keadaan gizi pada wanita hamil. Puslitbang Gizi. Bogor. BPS. Statistik Indonesia. Jakarta, 1992. Bank Dunia. L.aporan Perkembangan Dunia, Washington DC, 1990. EbrahimGi. Perinatal neglect, dalam Wilson SJ. Disability prevention, The global challengeLondon: Oxford University Press, 1983. Husaini MA et al. Studi kompilasi informasi dalam menunjang kebijaksanaan nasional dan pengembangan program.Dep. Kes. RI, Jakarta, 1989. Sandjaja. Sistim distribusi preparat besi pada wanita hamil dan anak prasekolah untuk mengatasi anemia gizi. Puslitbang Gizi, Bogor. 1985. Husaini MA et al. Penelitian penanggulangan anemia gizi pada wanita pekerja untuk pengembangan program. Dep. Kes. RI, Jakarta, 1989. Husaini MA et al. Functional consequences of iron deficiency: Results of the study in the Java tea plantation, 1987. Suyudi. Pidato pada tatap muka dengan paramedis teladan. Jakarta, Agustus, 1993. Soewadi et al. Epidemiologi gangguan mental di Yogyakarta. FK-UGM, Yogyakarta. 1981. A little too late is much too late Cermin Dunia Kedokteran No. 114, 1997 59 HASIL PENELITIAN Seroepidemiologi Antitoksin Tetanus pada Anak Usia 5-12 tahun di Indonesia Siti Sundari Y, Dewi P, Farida, Imu R, Sumarno, Deni Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan Departemen Kesehatan RI, Jakarta PENDAHULUAN Penelitian sero epidemiologi antitoksin terhadap tetanus sudah banyak dilakukan tetapi angka kematian bayi sebagai salah satu faktor indikator derajat kesehatan di Indonesia, menunjukkan angka yang relatif tinggi, berkisar 70 bayi per 1000 kelahiran hidup, kurang lebih 40% di antaranya disebabkan oleh tetanus neonatorum. Pemberantasan tetanus neonatorum dilakukan dengan vaksinasi toksoid tetanus pada ibu hamil, mengingat adanya kemainpuan sang ibu untuk mewariskan kekebalan imunologi kepada bayi dalam kandungan. Berdasarkan pertimbangan operasional toxoid tetanus diberikan pada calon pengantin, anak SD kelas 6. Toxoid tetanus diberikan kepada bayi dan anak kelas satu SD sebagai vaksin polivalen bersama toxoid difteri dan vaksin batuk rejan, 3 dosis DPT waktu bayi, 2 dosis kelas 1 SD, 2 dosis TT pada kelas enam SD sehingga cakupan kekebalan imunologis terhadap tetanus semakin tinggi. Maksud dan tujuan penelitian ini mengukur proporsi individu yang secara serologis telah terbukti memiliki kekebalan terhadap tetanus di kelompok umur 5–12 tahun dan memberikan informasi status kekebalan imunologis terhadap tetanus di masyarakat. BAHAN DAN CARA KERJA Lokasi penelitian Dilakukan Kabupaten Lamongan, Jawa Timur; Kabupaten Kulon Progo, DI Yogyakarta dan Lombok Barat, Nusa Tenggara Barat. Sasaran penelitian : kelompok umur 5–12 tahun. Pemilihan sampel menurut teknik WHO EPI Cluster Sampling Method: 30 cluster masing-masing 7 sampel. Penelitian dilakukan di tiga kabupaten, diambil yang dapat mewakili kriteria vaksinasi TT tinggi, sedang dan rendah yaitu kabupaten Lamongan, Kulon Progo dan Lombok Barat. Di setiap 60 Cermin Dunia Kedokteran No. 114, 1997 kabupaten dipilih 6 kecamatan dengan jumlah penduduk padat, dari masing-masing kecamatan dipilih 5 desa dan setiap desa diambil 7 anak perempuan berumur 5–12 tahun. Dari setiap sampel diambil 1 ml darah vena dilakukan hanya satu kali. Pemilihan sampel mengikuti teknik WHO EPI Cluster Sampling Technique. Pemeriksaan serologis atas kekebalan imunologis terhadap tetanus masing-masing individu diukur dengan teknik Passive Haemagglutination Assay. Pengolahan data kadar antitoksin tetanus dalam spesimen dinyatakan dalam Geometric Mean Titre (GMT). Pendekatan ini telah umum dilakukan dalam menyatakan hasil-hasil pemeriksaan laboratorium yang didasarkan atas teknik titrasi dengan pengenceran serial. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN Tabel 1. Jumlah spesimen kelompok umur 5–12 tahun Tempat Jumlah specimen Kulon Progo Lombok Barat Lamongan 176 201 192 Jumlah spesimen Kulon Progo paling sedikit dibandingkan dengan yang lain (Tabel 1); sebagian besar memiliki tingkat pendidikan SD (Tabel 2). Tabel 2. Tingkat pendidikan kelompok umur 5–12 tahun Pendidikan Kulonprogo Lamongan Lombok Barat Tak sekolah Tamat SD Tak tamat SD SLIP – 167 3 6 1 180 5 6 18 168 15 – Dalam Tabel 3 terlihat bahwa cakupan program imunisasi DT pada anak SD cukup tinggi mendekati 90%, namun masih banyak anak hanya dapat satu dosis DT seperti di -Kulon Progo dan Lombok Barat. Tabel 3. Status Vaksinasi DT (program anak sekolah SD) pada kelompok umur 5–12 tahun Daerah Belum pernah Satu dosis Dua dosis Total n % n % n % n % Kulon Progo Kab. Lamongan Kab. Lombok Barat 28 13 88 15,9 6,8 43,8 86 21 63 48,9 10,9 31,3 62 158 50 35,2 82,3 24,9 176 192 201 100 100 100 Total 129 22,7 170 29,9 270 475 569 100 Tabel 4. Tabel 5. Status DT Belum pernah (%) (GMT) (bawah) (atas) 1 dosis (%) (GMT) (bawah) (atas) 2 dosis (%) (GMT) (bawah) (alas) Total (%) (GMT) (bawah) (atas) Kadar antitoksin tetanus dari kelompok umur 5-12 tahun Daerah Negatif Positif Total Kab Kulon Progo Kab Lamongan Kab Lombok Barat n 46 28 56 % 261 146 279 n 130 164 145 % 73,9 85,4 72,1 n 176 192 201 % 100,0 100,0 1000 Total 130 22 8 439 77,2 569 100,0 Proporsi sampel yang memiliki antitoksin terhadap tetanus pada kelompok umur 5–12 tahun di tiap kabupaten cukup tinggi, terlihat semakin banyak dosis tetanus toksoid yang diterima makin sedikit proporsi anak yang tidak memiliki antitoksin terhadap tetanus. Pada Tabel 5 terlihat bahwa pada sampel anak SD yang belum pernah divaksinasi DT sebagian telah memiliki antitoksin terhadap tetanus, hal ini mungkin didapat dan waktu anak masih bayi atau infeksi alam. Kadar antitoksin terhadap tetanus ternyata meningkat sejalan dengan jumlah dosis toksoid tetanus yang diterima. KESIMPULAN 1) Pelaksanaan vaksinasi (program kelas SD) di Kabupaten Kulon Progo, Lamongan dan Lombok Barat, telah terlaksana baik, tetapi di Kabupaten Lombok Barat banyak anak SD yang hanya mencnima 1 dosis vaksin DT. 2) Anak wanita umur 5–12 tahun lebih dan 75% di antaranya telah memiliki antitoksin terhadap tetanus; kadar ini berhubungan erat dengan status vaksinasi DT yang dimilikinya. Hubungan antara status vaksinasi DT-anak SD dengan kadar antitoksin pada sample 5–12 tahun Antitoksin (negatip) 44 34,1 45 26,5 41 15,2 130 22,8 Antitoksin (positip) 85 65,9 0,3112 0,0311 3,1193 125 73,5 0,8139 0,1317 5,0311 229 84,8 0,8262 0,1341 5,0942 439 77,2 0,6196 0,0738 5,2027 Total 129 100,0 0,0646 0,0036 1,1482 170 100,0 0,1861 0,0101 3,4451 270 100,0 0,4889 0,0372 6,4186 569 100,0 0,2315 0,0131 4,1313 3) Sebanyak 65% anak wanita umur 5–12 tahun yang tidak menerima vaksinasi DT ternyata juga memiliki antitoksin terhadap tetanus. UCAPAN TERIMA KASIH Kami ucapkan terima kasih kepada Bapak Eko Supri yanto yang membantu penelitian ini dan dalam penyelesaian penulisan makalah ini. KEPUSTAKAAN 1. 2. 3. 4. Determination of immunity against tetanus infection by passive haemaglutination assay. P. Marconi; Pitzurra; F. Bistoni Ball 1st. Scriter Milar 62 (6) 1983. p 567–574 Varanym Sangpetchsong et al. Transfer rate of transplacental immunity to tetanus from non immunizefd and immunized mothers. SEA J. Trop Med PubilHealth 1984; 15(3): 275–280. Model for Eradication of Diptheria and Tetanus Evaluation of Immunological and Experimental Epidemiological Investigation between 1952–1977 L. Recthy: 37–51. Agrawal K, Pendit K, Kannan AT. Single dose tetanus toxoid a-review of trials in India with special Reference to control of tetanus neonatorium. Indian J Pediatr 1984; 51: 283–85. Friends are ourselves (Donne) Cermin Dunia Kedokteran No. 114, 1997 61 ABSTRAK EFEK BERHENTI MEROKOK Anda tak pernah terlambat untuk berhenti merokok, perbaikan tingkat kesehatan tetap akan dirasakan kapanpun anda memutuskan untuk berhenti. Dalam 20 menit setelah anda berhenti merokok, tekanan darah akan kembali ke tingkat awal; dalam 8 jam kadar CO darah kembali normal. Setelah 48 jam daya kecap dan daya cium akan membaik dan dalam 1–9 bulan keluhan-keluhan batuk, gangguan sinus, nafas pendek dan kelelahan akan menghilang, kemampuan cilia dalam bronkhi akan pulih kembali. Setelah 5 tahun risiko kanker paru turun 50% dan setelah 15 tahun baik risiko kanker ataupun risiko kardiovaskuler akan kembali sama dengan bukan perokok. MCHL 1996/ (Jan); 14(6): 2 hk OBAT ANTI IMPOTEN Pfizer saat ini sedang mengembangkan preparat oraluntuk gangguan ereksi; sildenafil –suatu vasodilator yang mulamula diselidiki untuk mengatasi angina pektoris, dicoba dengan dosis tunggal satu jam sebelum hubungan seksual. Pada percobaan atas 351 pria, dosis 10 mg., 25 mg. dan 50 mg. masingmasing memperbaiki ereksi pada 65%, 79% dan 88% populasi, dibandingkan dengan 39% di kalangan plasebo. Pada percobaan lain atas 43 pria selama 28 hari, obat ini memperbaiki ereksi pada 92%, sedangkan plasebo hanya berhasil pada 27%. Obat ini mempunyai harapan besar mengingat dapat digunakan per oral, dibandingkan dengan Caverject® yang saat ini beredar, yang harus disuntikkan intrakavernosal. NIMODIPIN DAN STROKE Publikasi dalam Stroke edisi April 1996 menyebutkan bahwa studi penggunaan nimodipin pada pasien yang menjalani operasi jantung harus dihentikan karena peningkatan mortalitas di kalangan pengguna obat tersebut. Studi ini dimaksudkan untuk meneliti efek nimodipin terhadap risiko stroke dan gangguan konsentrasi akibat mikroemboli yang mungkin terjadi selama pembedahan. Ternyata defisit neuropsikologik terjadi pada 77% pasien dibandingkan dengan 72% di kalangan plasebo; setelah 6 bulan, 8 (10,7%) pasien meninggal dibandingkan dengan 1 (1,3%) pasien di kalangan plasebo, sedangkan perdarahan terjadi pada 10 (13,3%) pasien dibandingkan dengan 3 (4,1%) di kalangan plasebo. Scrip 1996: 2121: 5 brw PEROKOK Dl CINA Populasi perokok di Cina merupakan segmen terbesar perokok di dunia; pria di Cina merupakan 10% populasi dunia, tetapi mengkonsumsi 30% rokok di dunia; konsumsi perkapita orang dewasa meningkat dan 890 sigaret/tahun pada 1965 menjadi 1960 sigaret/tahun di tahun 1990. Pada usia pertengahan, 75% pria dan 5% wanita perokok dan frekuensi merokok meningkat dan rata-rata 1 sigaret/ hari di tahun 1952 menjadi 4 sigaret/ hari di tahun 1972, dan menjadi 10 sigaret/ hari di tahun 1992. Produksi rokok di Cina pada 1992 sebesar 1650 miliar batang sigaret, merupakan 31% dan produksi total dunia. JAMA 1996; 275(21): 1683 hk Marketletter 1996: 23(19): 23 hk 62 Cermin Dunia Kedokteran No. 114, 1997 ANTIB1OTIK PROFILAKTIK Manfaat profilaksis antibiotik pada operasi terhadap fraktur tertutup telah diselidiki di Belanda; sebanyak 2195 pasien berusia 18 tahun ke atas dengan fraktur anggota gerak tertutup menjalani operasi reposisi, 1090 pasien menerima plasebo, 1105 menerima 2 g. ceftriaxone dosis tunggal sebelum operasi. Ternyata infeksi luka (superfisial maupun dalam) terjadi pada 8,3% di kelompok plasebo, dibandingkan dengan hanya 3,6% di kelompok ceftriaxone (p ≤ 0,001). Infeksi nosokomial pada bulan pertama terjadi pada 10,2% di kelompok plasebo dan 2,3% di kelompok ceftriaxone (p ≤ 0,001). Kuman Gram + ditemukan pada 74,5% infeksi luka dan pada 13,4% infeksi nosokomial. Penggunaan antibiotik profilaksis dosis tunggal telah menurunkan kejadian infeksi luka dan infeksi nosokomial di kalangan pasien fraktur tertutup yang menjalani operasi reposisi. Lancet 1996; 347: 1133–37 brw TEKANAN DARAH DAN DEMENSIA Data dan Longitudinal Population Study di Goteborg, Swedia dianalisis untuk mencari kaitan antara tekanan darah dengan munculnya gejala demensia. Sejumlah 382 orang berusia 70 tahun tanpa gejala demensia diamati selama 15 tahun; ternyata para manula yang menunjukkan gejala demensia pada usia 79–85 tahun mempunyai tekanan sistolik pada usia 70 tahun yang lebih tinggi (rata-rata 178vs. 164mmHg., p = 0,034), juga tekanan diastoliknya di usia 70 tahun (rata-rata 101 vs. 92 mmHg, p= 0,004), dan di usia 75 tahun (97 vs.90 mmHg, p = 0,022) dibandingkan dengan kelompok yang tanpa gejala demensia. Pasien Alzheimer juga mempunyai tekanan diastolik di usia 70 tahun yang lebih tinggi(101mmHg, p = 0,019), sedangkan pasien demensia vaskuler tekanan diastolik di usia 75 tahun lebih tinggi (101 mmHg, p=0,015) ABSTRAK dibandingkan dengan kelompok tanpa gejala demensia. Tingginya tekanan darah agaknya menyebabkan meningkatkan risiko demensia melalui lesi pembuluh darah kecil dan kerusakan substansia alba. Lancet 1996; 347: /141–45 brw MANFAAT BETA KAROTEN Sejumlah 22.071 dokter pria di AS yang berusia 40–84 tahun di tahun 1982 tanpa riwayat kanker, infark miokard atau CVD mengikuti percobaan acak buta ganda untuk mempelajari manfaat beta-karoten; 11.036 orang mendapat 50 mg. beta karoten selang sehari dan 11.035 lainnya mendapat plasebo. Setelah 12 tahun, di kelompok betakaroten terdapat 1.273 kasus kanker ganas (kecuali kanker kulit non melanoma) dibandingkan dengan 1.293 kasus di kelompok plasebo (RR: 0,98, 95%CI: 0,91 – 1,06). Selain itu juga terdapat perbedaan tak bermakna dalam hal kasus kanker paru (82 di kelompok beta-karoten vs. 88 di kelompok plasebo), kematian akibat kanker (386 vs. 380), kematian akibat sebab apapun (979 vs. 968) ataupun akibat kardiovaskular (338 vs. 313), kasus infark miokard (468vs. 489), kasus stroke (367vs.382). Di antara perokok ataupun bukan perokok, tidak terdapat perbedaan. Hasil percobaan ini menunjukkan bahwa suplementasi tersebut tidak mempunyai efek menguntungkan ataupun merugikan. N. Engl. J. Med. 1996; 334: 1145–9 tertulis yang berisi pertanyaan mengenai masalah euthanasia tersebut. Sebanyak 1.139(71%) perawat memberi jawaban, 852 di antaranya bertugas hanya di ruang intensif; dan 852 orang tersebut, 141 (17%) pernah diminta oleh pasien atau keluarganya untuk melakukan euthanasia, 129 (16%) pernah melakukannya dan 35 (4%) lainnya mempercepat kematian dengan harlya berpura-pura melaksanakan instruksi dokter. Cara yang tersering dilakukan ialah pemberian opiat dosis tinggi. N. Engl. J. Med. 1996; 334: 13 74–9 brw N. Engl. J. Med. /996; 334: 1441–7 FAMOTIDIN UNTUK PROFILAKSIS Famotidin diteliti efektivitasnya untuk mencegah ulkus peptik di kalangan pengguna NSAID. Sejumlah 285 pasien (82% artritis rematoid, 18% osteoartritis) yang mendapat NSAlDjangka panjang diberi 2 dd 20 mg. famotidin, atau 2 dd 40 mg. famotidin, atau plasebo; kemudian dievaluasi secara endoskopik pada awal percobaan dan setelah 4, 12 dan 24 minggu pengobatan. Kejadian kumulatif ulkus gaster sebesar 20% di kalangan plasebo, 13% di kalangan famotidin 2 dd 20 mg. (p = 0,24) dan 8% di kalangan famotidin 2 dd 40 mg. (p = 0,03), sedangkan ulkus duodeni didapatkan pada 13% di kalangan plasebo. 4% di kalangan famotidin 2 dd 20mg. (p = 0,04) dan 2% di kalangan famotidin 2 dd 40mg. (p = 0,01). N. Engl. J. Med. 1996; 334: 1435-9 brw brw EUTHANASIA Euthanasia merupakan masalah yang sering ditemukan dalam perawatan intensif. Sejumlah 1.600 perawat yang bertugas di ruang tersebut dikirimi survai pelayanan di 9 Veterans Affairs Medical Centre di AS. Pasien tersebut meliputi 504 pasien payah jantung kongestif, 751 pasien diabetes dengan komplikasi dan 583 pasien paru obstruktif menahun yang memerlukan kortikosteroid dan oksigen. Meskipun mereka menerima perawatan primer yang lebih intensif, mereka lebih sering dirawat di rumah sakit (0,19 vs.0,14 perbulan, p=0,005) dan tinggal di rumahsakit lebih lama (10,2 vs. 8,8 hari, p≤0,001); meskipun tidak terdapat perbedaan bermakna dalam hal kualitas hidup yang keduanya rendah (p=0,53). MANFAAT PERAWATAN PRIMER Kemudahan mendapatkan perawatan primer setelah keluar dan rumahsakit ternyata justru meningkatkan kejadian perawatan ulang; hal ini ternyata dari penelitian atas pasien yang mendapat brw PENYEBAB PALPITASI Untuk mengetahui penyebab palpitasi, 190 pasien dengan keluhan tersebut yang datang ke satu pusat pendidikan di AS, diwawancara dan diperiksa, termasuk pemeriksaan psikiatrik, 96% di antaranya dapat diikuti sampai 1 tahun. Penyebab palpitasi dapat ditentukan pada 84% pasien; penyebab kardiak pada 43%, penyebab psikiatrik pada 31%, lain-lain 10% dan pada 16% tidak diketahui. Di antara etiologi yang ditemukan, 40% dapat ditentukan hanya dengan anamnesis, pemeriksaan fisik, EKG dan/atau pemeriksaan laboratorium. Angka mortalitas 1 tahun 1,6% (05%CI: 0-3,4%) sedangkan angka kejadian stroke 1 tahun 1,1% (95%CI: 0-2,6%). Dalam tahun pertama, 75% mengalami palpitasi rekuren. Pada wawancara ulang setelah I tahun, 89% merasa kesehatannya sama atau lebih baik, 19% terganggu pekerjaannya, 12% kehilangan hari kerja dan 33% merasa kemampuan bekerja di rumah berkurang. Am J Med 1996; 100: 138-48 hk Cermin Dunia Kedokteran No. 114, 1997 63 Ruang Penyegar dan Penambah Ilmu Kedokteran Dapatkah saudara menjawab pertanyaan-pertanyaan di bawah ini? 1. Salah satu pedoman indikasi penggunaan ventilator ialah bila pO2 kurang dari: a) 35 - 40 mmHg b) 45 - 50 mmHg c) 55 - 60 mmHg d) 65 - 70 mmHg e) 75 - 80 mmHg 2. Jenis pneumotoraks yang paling akut dan merupakan keadaan gawat darurat: a) Pneumotoraks Akut b) Pneumotoraks terbuka c) Pneumotoraks tertutup d) Pneumotoraks Ventil e) Semua merupakan keadaan gawat darurat 3. Sifat hemoptitis yang berbeda dan hematemesis ialah sebagai berikut, kecuali: a) Darah merah b) Darah berbusa c) Bersifat asam d) Tidak bercampur makanan e) Semua salah 4. Salah satu kriteria hemoptitis masif ialah bila dalam 24 jam perdarahan lebih dari: a) 300 m1 b) 600 ml c) 900 ml d) 1200 m1 e) 1500 m1 1.C 5.A 2.D 6.C 3.C 7.C 4.B 8.A Cermin Dunia Kedokteran No. 114, 1997 Jawaban RPPIK : 64 5. Pleurodesis menggunakan zat: a) Tetrasiklin b) Kortikosteroid c) Beta agonis d) Aminofihin e) Semua salah 6. Keadaan hipoventilasi ialah bila pCO2 lebih dari: a) 35mmHg b) 40 mmHg c) 45 mmHg d) 50mmHg e) 55mmHg 7. Konsentrasi oksigen inspirasi maksimum yang dapat diperoleh melalui kateter nasal ialah: a) 30% b) 40% c) 50% d) 60% e) 80% 8. Kandidiasis paru umumnya membentuk gambaran: a) Bronkopneumoni b) Atetelektasis c) Abses d) Emfisema e) Nodul