BAHAN AJAR HUKUM KELUARGA DAN HARTA KEKAYAAN A. Pengantar Hukum Keluarga dan Harta Kekayaan 1. Pengertian Hukum Keluarga dan Harta Kekayaan Hukum mengatur hak dan kewajiban dalam hidup bermasyarakat dan mengatur bagaimana cara melaksanakan dan mempertahankan hak dan kewajiban itu. Tuhan menciptakan manusia berjenis kelamin pria dan wanita dan sesuai dengan kodrat mereka maka mereka akan hidup saling berpasang-pasangan. Hidup berpasang-pasangan tersebut akan diikat dengan suatu tali perkawinan diantara mereka dan kemudian dalam hubungan tersebut dapat melahirkan anak yang mengakibatkan adanya hubungan antara anak dengan orang tuanya.Dalam hubungan yang demikian ini maka lahirlah Hukum Keluarga. Manusia sebagai mahluk social dalam hidup selalu saling berinteraksi satu sama lain untuk memenuhi kepentingan/kebutuhannya. Untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan hidupnya tersebut manusia mengadakan hubungan hukum dalam bentuk perjanjian-perjanjian seperti jual beli, sewa menyewa, tukar menukar dan lain-lain. Dalam hidup yang demikian itulah maka akan melahirkan Hukum Orang dan Hukum Keluarga; Hukum Benda dan Hukum Perikatan yang tergabung dalam Hukum Harta Kekayaan. Sesuai dengan kodratnya di dunia ini tidak ada yang abadi, begitu juga manusi sebagai mahluk ciptaan Tuhan pada saatnya mereka akan meninggal dunia yang otomatis akan meninggalkan semua yang dimilikinya baik anak keturunan dan harta bendanya. Untuk mengatur harta benda yang ditinggalkan dan mengatur siapa saja yang berhak menerimanya, maka lahirlah Hukum Waris. Dari uraian tersebut diatas dapat disimpulkan bahwa pengertian Hukum Keluarga dan Hukum Harta Kekayaan adalah hukum yang mengatur hubungan mengenai perorangan, baik dalam hubungan keluarga dan dalam masyarakat. 2. Luas Lapangan Hukum Keluarga dan Harta Kekayaan Dalam Hukum Keluarga dan Harta Kekayaan ada empat materi hokum yang dibicarakan, yaitu Hukum Perjanjian, Hukum Jaminan, Hukum Perkawinan beserta akibat-akibatnya dan Hukum Waris. Hukum Perjanjian akan membahas beberapa perjanjian bernama dan perjanjian tidak bernama (perjanjian jenis baru). Perjanjian bernama adalah perjanjian-perjanjian yang sudah dikenal dengan nama-nama tertentu serta telah diatur secara khusus di dalam undang-undang, sedangkan perjanjian tidak bernama (perjanjian jenis baru) adalah perjanjian-perjanjian yang belum diatur secara khusus di dalam undang-undang dan timbulnya karena kebutuhan di dalam masyarakat. Perjanjian tidak bernama jumlahnya lebih banyak dari pada perjanjian bernama. Perjanjian Jaminan adalah perjanjian yang bersifat accesoir (tambahan), artinya Jaminan timbul setelah adanya perjanjian pokok. Berdasarkan sifatnya jaminan dibedakan menjadi dua, yaitu Jaminan Kebendaan dan Jaminan Perorangan. Jaminan Kebendaan masih dapat dibedakan lagi menjadi Jaminan Kebendaan Umum dan Jaminan Kebendaan Khusus. Ada beberapa macam jaminan kebendaan khusus, yaitu gadai, fiducia, hipotik atas kapal dan hak tanggungan. Sedangkan Jaminan Perorangan adalah jaminan yang menimbulkan hubungan langsung pada perorangan tertentu, hanya dapat dipertahankan terhadap debitur tertentu, terhadap harta kekayaan debitur seumumnya. Termasuk jaminan perorangan adalah borgtocht. Perkawinan yang sah dan mempunyai akibat hukum adalah perkawinan yang dilakukan menurut ketentuan undang-undang yang berlaku. Secara garis besar akibat hukum dari perkawinan dapat terjadi pada suami-isteri, anak-anak yang dilahirkan dan harta perkawinanSelanjutnya dalam Hukum Waris akan dibicarakan hukum waris karena undang-undang (ab intestate), yang terdiri dari ahli waris golongan I, II, III dan IV dan hal-hal yang berkenaan dengan pewarisan. B. Hukum Perjanjian 1. Perjanjian Jual Beli Perjajian jual beli diatur dalam bab V buku III Pasal 1457-1540 KUHperdata. Pengertian perjanjian jual beli menurut Pasal 1457 KUHPerdata adalah suatu perjanjian dengan mana pihak yang satu mengikatkan dirinya untuk menyerahkan suatu kebendaan dan pihak yang lain untuk membayar harga yang telah dijanjikan. Dari pengertian perjanjian jual beli tersebut, maka ada beberapa hal pokok dalam perjanjian jual beli: 1. Ada dua pihak Pihak penjual yaitu pihak yang berjanji untuk menyerahkan hak milik atas suatu barang. Pihak pembeli yaitu pihak yang berjanjian untuk membayar harga suatu barang. 2. Adanya unsur essensialia dari perjanjian jual beli yaitu barang dan harga. 3. Perjanjian jual beli merupakan perjanjian timbal balik, artinya kedua belah pihak mempunyai hak dan kewajiban yang saling berhadap-hadapan (bertimbal balik). Selanjutnya disamping hal-hal pokok tersebut dapat dikemukakan sifat-sifat perjanjian jual beli, yaitu : 1. Bersifat Konsensuil (Pasal 1458 KUHPerdata) Artinya perjanjian jual beli telah terjadi dengan adanya kata sepakat diantara para pihak mengenai barang dan harga meskipun barang belum diserahkan. 2. Bersifat Obligatoir Artinya perjanjian jual beli hanya menimbulkan hak dan kewajiban. Perjanjian jual beli tidak mengakibatkan perpindahan hak milik. Hak milik atas suatu benda baru berpindah apabila sudah ada penyerahan (levering). Penyerahan (Levering) adalah suatu perbuatan hukum yang bertujuan untuk memindahkan hak milik. Untuk sahnya levering harus dipenuhi dua syarat : 1. Sahnya title (alas title) yang menjadi dasar dilakukannya levering 2. Levering dilakukan oleh dua orang yang berhak berbuat bebas terhadap barang yang dilever Berkaitan dengan levering, di dalam KUHPerdata dikenal cara levering berdasarkan macam barang, yaitu : Barang bergerak Diatur dalam Pasal 612 KUHPerdata yang menyebutkan bahwa penyerahan kebendaan bergerak, terkecuali yang tak bertubuh dilakukan dengan penyerahan nyata akan kebendaan itu oleh atau atas nama pemilik atau dengan penyerahan kunci-kunci dari bangunan dalam mana kebendaan itu berada. Artinya untuk barang bergerak penyerahannya dari tangan ketangan, akan tetapi dimungkinkan juga penyerahan secara simbolis atau dengan suatu pernyataan saja (traditio brevi manu) Barang tetap Diatur dalam Pasal 616 jo 620 KUHPerdata, dimana penyerahan barang dengan balik nama. Barang tak bertubuh (piutang) ada tiga cara : a. Piutang atas bawa (aan order) dengan penyerahan nyata b. Piutang atas tunjuk (aan toonder) dengan endosemen c. Piutang atas nama dengan cessie. Disebutkan bahwa perjanjian jual beli bersifat konsensual obligatoir, artinya perjanjian jual beli lahir / terbentuk begitu ada sepakat diantara para pihak tentang pokok-pokok perjanjian dan hanya menimbulkan hak dan kewajiban diantara penjual dan pembeli tersebut. Kewajiban Penjual antara lain : 1. Menyerahkan hak milik atas barang yang diperjual belikan 2. Menanggung (vrijwaren), dari : a. Gangguan pihak ketiga dalam hal sipembeli menikmati bendanya (perbuatan melawan hukum) b. Gangguan dari pihak ke tiga yang menyatakan benda tersebut miliknya (wit winning) c. Adanya pembebanan pada barang yang dijual 3. Menanggung cacad tersembunyi, apabila barang tersebut dapat digunakan sebagai mana mestinya atau mengurangi kenikmatan dalam menggunakan barang tersebut. Apabila dalam perjanjian jual beli terdapat cacat tersembunyi, maka pembeli dapat menuntut penjual : a. pengembalian harga pembelian (action redhibitoria) b. pengurangan harga pembelian (action quanti minoris) Hak Penjual dalam perjanjian jual beli ; 1. menerima harga pembelian 2. hak reklame (Pasal 1145 KUHPerdata) yaitu hak penjual untuk menuntut kembali barangnya dari pembeli kalau pembeli melakukan wanprestasi (tidak melaksanakan kewajibannya). Syarat-syarat hak reklame menurut KUHPerdata: a. jual beli harus tunai / kontan. b. barangnya masih ada ditangan pembeli. c. jangka waktunya 30 hari dihitung sejak perjanjian jual beli terjadi. Syarat-syarat hak reklame menurut KUHD: a. jual beli bisa kredit atau tunai b. barangnya bisa ditangan pembeli atau ditangan pihak ketiga c. jangka waktunya 60 hari. 3. Hak untuk membeli kembali barangnya (Pasal 1519 KUHPerdata) 2. Kewajiban Pembeli a. membayar harga pembelian pada waktu dan tempat yang ditentukan dalam perjanjian (Pasal 1513-1514 KUHperdata). b. Menanggung biaya-biaya yang timbul sehubungan dengan perjanjian jual beli, kecuali diperjanjikan sebaliknya. Dalam perjanjian jual beli dapat terjadi gugatan yang diajukan oleh salah satu pihak. Ada tiga macam dasar yang dapat digunakan dalam mengajukan gugatan, yaitu : 1. gugatan berdasarkan wanprestasi, dapat diajukan dalam jangka waktu 30 hari. 2. gugatan berdasarkan kesesatan / paksaan / penipuan dapat diajukan dalam jangka waktu lima tahun. 3. gugatan berdasarkan adanya cacat tersembunyi dapat diajukan dalam jangka waktu pendek, tergantung dari sifat cacat dan kebiasaan setempat. Selanjutnya menurut Pasal 1471 KUHPerdata apabila terjadi jual beli benda milik orang lain, maka perjanjian jual beli tersebut batal dan dapat digunakan sebagai dasar untuk penggantian biaya, kerugian dan bunga. Berkaitan dengan risiko, artinya siapa yang menanggung kerugian dalam hal terjadi overmacht / force majeur (keadaan memaksa). Ada tiga ketentuan yang mengatur mengenai risiko dalam perjanjian jual beli yaitu : 1. Untuk barang tertentu diatur dalam Pasal 1460 KUHPerdata yang menyebutkan bahwa untuk barang yang sudah tertentu risiko ada pada pembeli begitu barang dibelinya, meskipun belum dilakukan levering. Ketentuan semacam ini adalah pengaruh dari system hukum perdata perancis. Namun ketentuan Pasal 1460 KUHPerdata tersebut oleh MA dengan SEMA No.3 Tahun 1963 dianggap tidak berlaku karena dirasa tidak adil dalam pelaksanaannya. 2. Untuk barang yang dijual menurut berat, jumlah / ukuran berlaku ketentuan Pasal 1461 KUHPerdata, dimana risiko baru beralih kepada pembeli apabila barang sudah ditimbang, dihitung atau diukur (diindividualisir). 3. Untuk barang yang dijual menurut tumpukan berlaku ketentuan Pasal 1462, dimana risiko ada pada pembeli meskipun barang belum diserahkan. 2.Perjanjian Sewa menyewa Pengertian perjanjian sewa menyewa adalah perjanjian dengan mana pihak yang satu mengikatkan dirinya untuk memberikan kepada pihak yang lainnya kenikmatan dari suatu barang, selama suatu waktu tertentu dan dengan pembayaran suatu harga (Pasal 1548 KUHPerdata). Dalam perjanjian sewa menyewa yang diserahkan adalah kenikmatan suatu barang yang meliputi pemakaian dan pemungutan hasil atas barang tersebut. Dari pengertian perjanjian sewa menyewa tersebut dapat disimpulkan adanya beberapa unsure dalam perjanjian sewa menyewa, yaitu : 1. Unsur benda 2. unsur waktu 3. unsur harga Perjanjian sewa menyewa bersifat persoonlijk, artinya perjanjian sewa menyewa hanya berlaku bagi orang tertentu saja, maksudnya perjanjian ini hanya berlaku bagi pihak penyewa dan yang menyewakan saja. Selain itu bersifat hak kebendaan, artinya hak sewa mengikuti bendanya (droit de suit atau zaakgevolg). Hal itu tersimpul dari ketentuan Pasal 1576 KUHPerdata yang menyetakan bahwa dengan dijualnya barang yang disewa, suatu persewaan yang dibuat sebelumnya, tidaklah diputuskan kecuali apabila telah diperjanjikan pada waktu menyewakan barang. Berlakulah asas koop breeks geen huur, artinya jual beli tidak menghentikan sewa menyewa. Kewajiban pokok pihak yang menyewakan adalah : 1. menyerahkan barang yang disewakan kepada penyewa. 2. Memelihara barang yang disewakan sedemikian sehingga barang tersebut dapat dipakai si penyewa. 3. memberikan kenikmatan yang tentram selama masa sewa, artinya pihak yang menyewakan wajib menangkis tuntutan-tuntutan hukum daari pihak ketiga. Sebaliknya kewajiban penyewa adalah : 1. menggunakan barang yang disewa sebagai bapak rumah tangga yang baik (als een goedvader) 2. membayar uang sewa pada waktu yang telah ditentukan dalam perjanjian. 3. mengembalikan barang yang disewanya dalam keadaan baik 4. bertanggung jawab terhadap segala kerusakan yang timbul, kecuali diluar kesalahannya. Lebih lanjut ketentuan Pasal 1561 KUHPerdata menyebutkan bahwa jika penyewa menggunakan barang yang disewanya tidak sesuai dengan tujuan pemakaiannya atau menyebabkan kerugian pada pihak yang menyewakan, maka pihak yang menyewakan dapat minta pembatalan sewanya. Risiko dalam perjanjian sewa menyewa diatur dalam Pasal 1553 KUHPerdata yang menyebutkan jika selama perjanjian sewa menyewa barang yang disewakan musnah karena kejadian yang tidak disengaja, maka perjanjian sewa menyewa gugur demi hukum. Dari pasal ini dapat disimpulkan bahwa jika terjadi keadaan memaksa (overmacht) maka risiko ada pada pihak yang menyewa. Dalam hal berakhirnya perjanjian sewa menyewa, ada dua cara untuk mengetahui berakhirnya perjanjian sewa menyewa tersebut, yaitu: 1. perjanjian sewa menyewa berakhir demi hukum, yaitu lampaunya waktu yang telah ditentukan. 2. Perjanjian sewa menyewa berakhir setelah dihentikan dengan memperhatikan tenggang waktu menurut kebiasaan. 3. Perjanjian Pemberian Kuasa Pemberian kuasa (lastgeving) adalah suatu perjanjian dengan mana seorang memberikan kekuasaan kepada orang lain, yang menerimanya untuk atas namanya menyelenggarakan suatu urusan. Pihak-pihak dalam perjanjian pemberian kuasa adalah pemberi kuasa dan penerima kuasa / juru kuasa. Adapun yang dapat dikuasakan adalah penyelenggaraan suatu urusan (suatu perbuatan hukum). Artinya tidak setiap perbuatan hukum dapat dikuasakan kepada orang lain. Hal yang berkaitan erat dengan pribadi seseorang tidak dapat dikuasakan. Penerima kuasa melakukan suatu perbuatan hukum "atas nama" atau "mewakili" orang yang member kuasa. Bentuk perjanjian pemberian kuasa adalah bebas (Pasal 1793 KUHPerdata), karena perjanjian pemberian kuasa merupakan perjanjian konsensuil. Jadi bentuk perjanjiannya bisa lisan atau tertulis. Ada beberapa macam pemberian kuasa menurut Pasal 1795 KUHPerdata, yang meliputi: 1. Kuasa Umum, hanya memberikan kewenangan untuk melakukan perbuatan-perbuatan pengurusan (beheeren). 2. Kuasa Khusus, memberikan kewenangan untuk melakukan perbuatan-perbuatan tertentu yang harus disebutkan secara tegas, misalnya ketentuan Pasal 123 HIR yang menyatakan surat kuasa untuk beracara dimuka pengadilan disyaratkan suatu kuasa khusus tertulis. Kewajiban si kuasa ada tiga, yaitu : 1. menyelesaikan urusan yang telah dimulai dikerjakannya pada waktu pemberi kuasa meninggal dan menanggung segala biaya, kerugian, bunga yang sekirannya dapat timbul karena tidak dilaksanakannya kuasa tersebut (Pasal 1800 KUHPerdata) 2. membuat laporan tentang apa yang telah diperbuatnya (Pasal 1802 KUHPerdata). 3. bertanggung jawab jika ia menggunakan hak substitusi (hak untuk menunjuk orang lain sebagai penggantinya dalam melaksanakan kuasanya) (Pasal 1803 KUHPerdata). Sedangkan kewajiban pemberi kuasa ada empat, yaitu : 1. memenuhi perikatan-perikatan yang dibuat oleh si kuasa (Pasal 1807 KUHPerdata). 2. mengembalikan persekot-persekot dan biaya-biaya yang telah dikeluarkan oleh si kuasa untuk melaksanakan kuaasnya (Pasal 1808; KUHPerdata). 3. memberikan ganti rugi yang diderita si kuasa sewaktu manjalankan kuasanya (Pasal 1809 KUHPerdata). 4. membayar bunga atas persekot-persekot yang telah dikeluarkan oleh si kuasa (Pasal 1810 KUHPerdata). Di dalam perjanjian kuasa juga dikenal suatu hak yang disebut hak retensi, yaitu hak untuk menahan barang milik pemberi kuasa, sampai pemberi kuasa memenuhi segala kewajibannya terhadap si kuasa. Berakhirnya perjanjian pemberian kuasa diatur dalam Pasal 1813 KUHPerdata. Ada tiga cara untuk berakhirnya perjanjian pemberian kuasa, yaitu : 1. dengan ditariknya kembali kuasanya si kuasa. 2. dengan pemberitahuan penghentian kuasa oleh si kuaas. 3. dengan meninggalnya, pengampuan atau pailitnya pemberi kuasa maupun si si kuasa. 4. Perjanjian Pemborongan Perjanjian pemborongan di dalam KUHPerdata Pasal 1601 b disebut dengan istilah Pemborongan Pekerjaan, yaitu perjanjian dengan mana pihak yang satu, si pemborong mengikatkan diri untuk menyelesaikan suatu pekerjaan bagi pihak lainnya, pihak yang memborongkan, dengan menerima suatu harga yang ditentukan. Perjanjian pemborongan di atur dalam Buku III Bab 7A Pasal 1601 b, Pasal 1604- Pasal 1616 KUHPerdata. Perjanjian Pemborongan merupakan salah satu macam perjanjian dari perjanjian melakukan pekerjaan. Pihak-pihak dalam perjanjian pemborongan ada dua, pihak pertama disebut sebagai pihak yang memborongkan / principal / bouwheer / aan bestencter / pemberi tugas, sedangkan pihak ke-dua disebut pemborong / kontraktor / rekanan / annemer / pelaksana.Adapun obyek pemborongan adalah pembuatan suatu karya (het maken van werk). Perjanjian pemborongan selain diatur dalam KUHperdata juga diatur dalam Keppres No. 16 Tahun 1994 tentang pelaksanaan APBN jo. Keppres No.24 Tahun 1995 perubahan atas Keppres No.16 Tahun 1994, serta AV 1941 (Algemene voorwaarden voorde uitvoering bij aanneming van openbare werken in Indonesia, artinya syarat-syarat umum untuk pelaksanaan pemborongan pekerjaan umum di Indonesia). AV terdiri dari tiga bagian, yaitu: 1. Bagian ke-1 memuat syarat-syarat administrasi 2. Bagian ke-2 memuat syarat-syarat bahan 3. Bagian ke-3 memuat syarat-syarat teknis Perjanjian pemborongan bersifat konsensuil dan bentuknya bebas (vormvrij) artinya dapat dibuat secara lisan atau tertulis. Namun demikian perjanjian pemborongan pada proyek-proyek pemerintah harus dibuat secara tertulis dan dalam bentuk standar. Adapun macam dan isi perjanjian pemborongan di dalam KUHPerdata dikenal ada dua macam perjanjian pemborongan : 1. Perjanjian pemborongan dimana pemborong hanya melakukan pekerjaan saja. 2. Perjanjian Pemborongan dimana pemborong selain melakukan pekerjaan juga menyediakan bahan-bahan / materialnya. Isi dari perjanjian pemborongan tidak ditentukan dalam KUHPerdata, hal ini sesuai dengan asas kebebasan berkontrak (Pasal 1338 ayat (1) ), sedangkan di dalam Keppres No. 16 Tahun 1994 isi perjanjian pemborongan ditentukan sebagai berikut : 1. Akta dibawah tangan, isinya terserah pada pihak yang memborongkan (tidak diatur dalam Keppres No. 16 Tahun 1994). 2. Surat Perintah Kerja (SPK) isinya sekurang-kurangnya harus memuat sebagaimana diatur dalam Pasal 22 ayat (1) Keppres No. 16 Tahun 1994. 3. Surat perjanjian pemborongan kontrak, isinya sekurang-kurangnya harus memuat sebagaimana diatur pada Pasal 22 ayat (2) Keppres No.16 Tahun 1994. Perjanjian pemborongan berakhir apabila : 1. Pekerjaan tidak diselesaikan oleh pemborong setelah masa pemeliharaan selesai atau dengan akta lain pada penyerahan kedua dan harga borongan telah dibayar oleh pihak yang memborongkan. 2. Pembatalan perjanjian pemborongan (Pasal 1611 KUHPerdat). 3. Kematian pemborong (Pasal 1612 KUHPerdata) 4. Kepailitan. 5. Pemutusan perjanjian pemborongan. Disamping perjanjian bernama, di dalam KUHPerdata juga dikenal perjanjian-perjanjian yang tidak bernama. Hal ini tampak pada ketentuan Pasal 1319 KUHPerdata yang menyatakan bahwa semua perjanjian, baik yang mempunyai suatu nama khusus, maupun yang tidak terkenal dengan suatu nama tertentu, tunduk pada peraturan-peraturan umum, yang termuat didalam bab ini dan bab yang lalu. Artinya, KUHPerdata berlaku bagi semua bentuk perjanjian dengan kata lain baik perjanjian bernama maupun yang tidak bernama tunduk pada ketentuan umum, yaitu Bab I - IV Buku III KUHPerdata. Ada dua macam perjanjian tidak bernama : 1. Perjanjian Campuran, yaitu perjanjian yang didalamnya terkandung unsur dari berbagai perjanian bernama. Misalnya : Perjanjian Beli-Sewa. 2. Perjanjian Jenis Baru Mandiri, yaitu perjanjian yang di dalamnya terdapat berbagai unsure perjanjian bernama yang bercampur menjadi satu sehingga tidak dapat dipilah-pilah dan sifat yang demikian memberi karakter yang khusus dalam perjanjian tersebut.Misalnya: Perjanjian Beli Sewa, Perjanjian Leasing, Perjanjian Kredit Sindikasi. 1. Perjanjian Beli-Sewa Perjanjian beli sewa adalah suatu perjanjian jual beli dimana pada saat perjanjian diadakan hak milik barang belum beralih. Hak milik baru akan beralih setelah sewa terakhir dibayar. Jadi tujuan akhir dari perjanjian beli sewa adalah peralihan hak milik, selama pembayaran belum lunas, maka status barang adalah barang sewa dan pembeli masih berstatus sebagai penyewa karena barang masih milik penjual. Hak Milik berpindah tangan apabila angsuran lunas. Jika angsuran tidak selesai maka barang dapat diambil kembali oleh si penjual dan uang angsuran yang telah dibayarkan dianggap sebagai uang sewa. 2. Perjanjian Leasing Pengertian leasing menuirut Keputusan Menteri Keuangan Rl No. 1169/KMK/.01/1991 adalah kegiatan pembiayaan dalam bentuk penyediaan barang modal baik secara sewa guna usaha dengan hak opsi (financial lease) maupun sewa guna usaha tanpa hak opsi (operating lease) untuk digunakan lesee selama jangka waktu tertentu berdasarkan pembayaran secara berkala. Dari pengertian tersebut diketahui ada beberapa unsur perjanjian leasing, yaitu : 1. Pihak Lessor, yaitu pihak yang memiliki suatu benda yang bersedia memberikan hak pakai atas benda-benda miliknya kepada pihak lain untuk suatu jangka waktu tertentu, dengan pembayaran sejumlah uang yang disepakati bersama. 2. Pihak Lessee, yaitu pihak yang bermaksud untuk memakai benda milik orang lain untuk jangka waktu tertentu, dengan pembayaran sejumlah uang yang besarnya telah disepakati bersama. 3. Ada benda yang menjadi obyek perjanjian tersebut. 4. Ada suatu jangka waktu tertentu. 5. Ada sejumlah uang yang merupakan harga lease yang besarnya telah disepakati bersama. Selanjutnya setelah unsur-unsur dari perjanjian leasing diketahui, maka dapat ditinjau ciri-ciri dasar suatu leasing, yaitu : 1. Benda yang menjadi obyek leasing adalah alat produksi atau barang modal dalam lalu lintas ekonomi yang mewakili nilai tertentu. 2. Para pihak yang terikat dalam perjanjian leasing badan usaha dan/atau perorangan yang melakukan usaha. 3. Jangka waktu leasing selalu berkaitan dengan umur ekonomis obyek leasing. 4. Ada pemisahan antara hak milik yang tetap ada pada lessor dan hak pakai ada pada lessee. Dalam perjanjian leasing dikenal beberapa jenis leasing yang dibedakan berdasarkan kriteria-kriteria tertentu, yaitu: 1.berdasarkan risiko ekonomis, ada dua jenis leasing a. Financial Leasing b. Operational Leasing 2.berdasarkan pembagian Obyek Leasing, ada dua jenis leasing: a. leasing benda tetap b. Leasing benda bergerak Perjanjian leasing merupakan perjanjian timbal balik, karena menimbulkan hak dan kewajiban diantara kedua belah pihak, meskipun ketentuan dalam perjanjian telah ditentukan oleh salah satu pihak yaitu lessor dalam suatu formulir yang siap ditanda tangani oleh lessee, oleh karenanya perjanjian leasing juga merupakan perjanjian standar. Obyek perjanjian leasing adalah barang modal dan harga leasing. Barang modal adalah setiap aktiva tetap yang berwujud termasuk tanah sepanjang diatas tanah tersebut melekat aktiva tetap berupa bangunan (plant) dan tanah serta aktiva dimaksud merupakan satu kesatuan kepemilikan, yang mempunyai masa manfaat lebih dari satu tahun dan digunakan secara langsung untuk menghasilkan atau meningkatkan ataupun memperlancar produksi barang atau jasa oleh lessee (Pasal 1 b. Kepmenkeu Rl No.1169/KMK.01/1991 tentang Kegiatan Sewa Guna Usaha (leasing)). Berakhirnya perjanjian leasing dapat terjadi secara normal dan tidak normal. Perjanjian leasing berakhir secara normal jika kewajiban-kewajiban semua pihak telah dilaksanakan sebagaimana mestinya menurut perjanjian leasing, yaitu sejak lessee melunasi pembayaran uang sewa terakhir ditambah biaya-biaya lain jika ada. Sedangkan suatu perjanjian leasing berakhir secara tidak normal apabila jangka waktu berlakunya perjanjian leasing belum berakhir, tetapi kewajiban salah astu pihak terhenti karena adanya suatu peristiwa tertentu. Perjanjian leasing berakhir secara tidak normal baik karena consensus, wanprestasi maupun overmacht. 3.Perjanjian Kredit Sindikasi Pengertian Perjanjian Kredit Sindikasi menurut Stanley Hum seperti dikutip oleh Remy Sjahdeini adalah suatu pinjaman yang dibuat oleh dua atau lebih lembaga keuangan, berdasarkan syarat-syarat yang sama bagi masing-masing peserta Sindikasi, menggunakan dokumen kredit tunggal dan diadministrasikan oleh satu agen yang sama untuk semua peserta Sindikasi tujuannya untuk membiayai suatu obyek fasilitas kredit milik debitur dan dalam jangka waktu yang disepakati oleh para pihak. Ada dua cara terbentuknya kredit Sindikasi, yang pertama atas permintaan nasabah dan yang kedua atas inisiatif bank yang memandang perlu untuk membiayai suatu proyek milik nasabah dalam bentuk Sindikasi. Ada beberapa tahap pembentukan kredit Sindikasi, yaitu (1) penawaran (offer) bisa dari bank atau dari pihak debitur yang memerlukan dana, (2) pembentukan arrangers yang terdiri dari bank-bank yang akan menjadi bagian dari kredit Sindikasi yang tidak harus menjadi peserta Sindikasi, (3) Pembentukan lead manager dan managing group, (4) Penyampaian penawaran (offer) dan Penerimaan Mandat, (5) Penyiapan information memorandum dan Perjanjian Kredit, (6) Penunjukan Agen Bank yang dilakukan sebelum perjanjian kredit sindikasi ditanda tangani, (7) Upacara penandatanganan perjanjian kredit sindikasi yang disebut loan signing ceremony, (8) Perlaksanaan pubiisitas yang tujuannya untuk transparansi agar masyarakat dapat mengukur tingkat risiko dari debitur. Perjanjian kredit sindikasi adalah perjanjian pokok dimana sebagai perjanjian pokok selalu diikuti dengan perjanjian-perjanjian tambahan, yaitu Perjanjian Pembagian Hasil Jaminan (Security Sharing Agreement) dan Perjanjian Pengikatan jaminan. Berakhirnya perjanjian kredit sindikasi terjadi apabila debitur telah melaksanakan kewajiban-kewajibannya yaitu melakukan pembayaran, baik pembayaran utang pokok, bunga, denda dan biaya-biaya lain yang timbul akibat perjanjian tersebut. C. HUKUM JAMINAN 1. Pengertian Jaminan Pengertian jaminan tidak dijumpai dalam undang-undang, namun dalam literature dijumpai istilah zackerheidsrechten yang lazim diterjemahkan sebagai hukum jaminan. Pitlo seorang ahli hukum mengartikan zackerheidsrechten sebagai hak (een recht) yang memberikan kepada seorang kreditur kedudukan yang lebih baik dari pada kreditur-kreditur lainnya. Recht dalam istilah zackerheidsrechten diartikan sebagai hak dan bukan hukum. Namun demikian meskipun undang-undang tidak memberikan pengertian tentang hukum jaminan, dalam KUHPerdata dapat dijumpai pasal yang mengatur tentang jaminan secara umum yaitu Pasal 1131 dan Pasal 1132 KUHPerdata. Pasal 1131 KUHPerdata menyebutkan bahwa semua barang milik debitur baik yang bergerak maupun tetap, yang sudah ada maupun yang masih akan ada menjadi tanggungan/jaminan untuk seluruh utang debitur. Jadi ada dua macam unsur, yaitu schuld (utang) dan haftung (tanggung jawab) yang ada pada diri debitur. Sedang Pasal 1132 KUHPerdata menyebutkan bahwa kebendaan tersebut menjadi jaminan bersama-sama bagi semua orang yang mengutangkan padanya, pendapatan penjual dari benda-benda itu dibagi-bagi menurut keseimbangan, yaitu menurut besar kecilnya piutang-piutang, kecuali apabila diantara para berpiutang itu ada alasan-alasan yang sah untuk didahulukan. Jadi hasil dari penjualan seluruh kebendaan milik debitur digunakan untuk membayar kreditur secara berimbang menurut besar kecil piutangnya, kecuali apabila ada hak didahulukan. Oleh karena itu seseorang yang akan meminjam uang, tidak hanya wajib mengembalikan uang yang dipinjamnya itu saja, akan tetapi diapun wajib menyediakan harta bendanya sebagai jaminan pelunasan hutang. Hal ini disebut sebagai jaminan yang bersifat umum, artinya seluruh harta benda milik debitur baik benda yang bergerak maupun tetap, yang sudah ada maupun yang masih akan ada dijadikan sebagai jaminan. Disamping jaminan umum dikenal pula jaminan khusus, dimana untuk adanya jaminan itu harus diperjanjikan terlebih dahulu oleh para pihak. Jaminan khusus ini dapat berupa jaminan yang bersifat perorangan (persoonlijke) maupun bersifat kebendaan (zakelijke). Jaminan terhadap harta benda milik debitur ini merupakan jaminan yang bersifat kebendaan, sedangkan jaminan perorangan adalah adanya pihak ketiga baik badan pribadi maupun badan hukum yang sanggup menjamin pemenuhan hutang debitur apabila debitur wanprestasi. Jaminan yang dilembagakan sebagai jaminan khusus yang bersifat kebendaan di dalam KUHPerdata adalah gadai dan hipotik, sedangkan yang diluar KUHPerdata adalah fiducia dan credit verband. Namun setelah berlakunya UU Nomor 4 Tahun 1996, hipotik dan credit verband atas tanah diganti menjadi hak tanggungan. 2. Gadai Pengertian gadai menurut Pasal 1150 KUHPerdata adalah suatu hak yang diperoleh seorang berpiutang atas suatu barang bergerak, yang diserahkan kepadanya oleh seorang berutang atau oleh seorang lain atas namanya, dan yang memberikan kekuasaan kepada siberpiutang itu untuk mengambil pelunasan dari barang tersebut secara didahulukan dari pada orang-orang berpiutang lainnya; dengan perkecualian biaya yang telah dikeluarkan untuk menyelamatkannya setelah barang itu digadaikan. Jadi menurut pasal tersebut gadai adalah hak. Syarat gadai adalah benda gadai harus ditaruh dibawah kekuasaan pemegang gadai (inbezitstelling). Tidak semua benda dapat digadaikan. Beberapa contoh benda yang tidak dapat digadaikan, yaitu: binatang ternak, benda yang mudah rusak dan mudah busuk, benda yang harganya tidak stabil, benda milik negara dan lain-lain Adapun hak pemegang gadai, yaitu: 1. Menjual benda gadai 2. Menahan benda gadai mendapat pembayaran lebih dahulu Sedangkan kewajiban pemegang gadai: 1. Bertanggung jawab atas hilangnya benda jaminan 2. Memberitahukan kepada pemberi gadai jika benda akan dijual ulang 3. Memperhitungkan hasil penjualan benda gadai Hapusnya gadai atau berakhirnya hak gadai karena beberapa cara, yaitu: 1. Hapusnya perikatan pokok 2. Benda gadai keluar dari kekuasaan pemegang gadai 3. Musnahnya benda gadai 4. Penyalahgunaan benda gadai (Pasal 1159 ayat (1) KUHPerdata) 5. Pelaksanaan eksekusi 6. Kreditur melepaskan benda gadai secara sukarela (Pasal 1152 ayat(2) KUHPerdata) 3. Fiducia Pengertian fiducia adalah hak kreditur untuk mengambil pelunasan piutangnya dari benda bergerak yang hak miliknya diserahkan kepada pihak debitur. Penyerahan hak milik dalam fiducia ini adalah penyerahan secara kepercayaan, tidak bermaksud memindahkan hak milik tetapi hanya sebagai jaminan. Perbedaan antara fiducia dan gadai, yaitu dalm fiducia yang diserahkan oleh debitur kepada kreditur adalah hak miliknya dan fisik bendanya masih pada debitur, sedangkan pada gadai yang diserahkan oleh debitur kepada kreditur adalah fisik bendanya dan hak miliknya masih ada pada debitur. Benda-benda yang dapat difiduciakan menurut Pasal 1 ayat (2) UU Nomor 42 Tahun 1999 adalah benda-benda bergerak baik yang berwujud maupun yang tidak berwujud dan benda yang tidak bergerak khususnya bangunan yang tidak dapat dibebani hak tanggungan. Perjanjian fiducia harus dibuat dengan akta fiducia oleh notaris. Setelah dibuat akta fiducia oleh notaris kemudian harus di adakan pendaftaran jaminan fiducia pada kantor pendaftaran fiducia yang berada di bawah departemen kehakiman. Fiducia dapat hapus atau berakhir karena : 1. Hapusnya hutang pokok 2. Musnahnya benda fiducia 3. Keluarnya benda fiducia dari pemegang fiducia karena hilang atau dicuri orang 4. Hak Tanggungan pengertian hak tanggungan adalah hak jaminan yang dibebankan pada hak atas tanah, untuk pelunasan hutang tertentu, yang memberikan kedudukan yang diutamakan kepada kreditur tertentu daripada kreditur lain. Lahirnya hak tanggungan pada hari tanggal buku tanah hak tanggungan, yaitu pada tanggal hari ke-7 (tujuh) setelah penerimaan secara lengkap surat-surat yang diperlukan bagi pendaftarannya. Peringkat hak tanggungan ditentukan oleh tanggal pendaftarannya, tetapi jika hak tanggungan didaftarkan pada tanggal yang sama, peringkatnya ditentukan oleh tanggal pembuatan akta pemberian hak tanggungan. Janji-janji yang dapat dicantumkan dalam akta pemberian hak tanggungan meliputi: 1. Janji tentang sewa hak tanggungan 2. Janji mengubah objek hak tanggungan 3. Janji untuk mengelola hak tanggungan 4. Janji untuk menyelamatkan hak tanggungan 5. Janji untuk menjual hak tanggungan 6. Janji untuk membersihkan hak tanggungan 7. Janji untuk tidak melepaskan objek hak tanggungan 8. Janji untuk memperoleh ganti rugi dari objek hak tanggungan 9. Janji untuk memperoleh uang asuransi 10. Janji untuk mengosongkan objek hak tanggungan pada waktu eksekusi hak tanggungan 11. Janji bahwa sertifikat hak atas tanah yang telah diberi catatan pembebanan hak tanggungan dipegang oleh penerima hak tanggungan. Sedangkan cara hapus atau berakhirnya hak tanggungan karena: 1. Hapusnya hutang yang dijamin dengan hak tanggungan 2. Dilepas oleh pemegangnya 3. Pembersihan hak tanggungan 4. Hapusnya hak atas tanah 5. Borgtocht Pengertian borgtocht menurut Pasal 1820 KUHPerdata adalah suatu perjanjian dimana seorang pihak ketiga guna kepentingan siberhutang, meghikatkan diri untuk memenuhi perikatan siberhutang manakala si berhutang itu wanprestasi. Sari beberapa ketentuan undang-undang dapat disimpulkan bahwa perjanjian penanggungan (borgtocht) bersifat accesoir, dalam arti selalu dikaitkan dengan perjanjian pokok. Adapun ciri-ciri borgtoch: 1. Tidak ada penanggungan tanpa adanya perikatan pokok yang sah 2. Besarnya penanggungan tidak akan melebihi besarnya perikatan pokok 3. Penanggung berhak mengajukan tangkisan-tangkisan yang bersangkutan dengan perikatan pokok 4. Beban pembuktian yang tertuju pada siberhutang dalam batas-batas tertentu mengikat juga si penanggung 5. Penggung pada umumnya akan hapus dengan hapusnya perikatan pokok Dalam kedudukannya sebagai perjanjian yang bersifat accesoir maka perjanjian penanggungan seperti halnya perjanjian-perjanjian accesoir yang lain akan memperoleh akibat-akibat: 1. Adanya perjanjian penggungan tergantung pada perjanjian pokok 2. Jika perjanjian pokok batal maka perjanjian penanggungan juga ikut batal 3. Jika perjanjian pokok hapus maka perjanjian penaggungan juga ikut hapus 4. Dengan beralihnya piutang pada perjanjian pokok maka semua perjanjian accesoir yang melekat pada piutang tersebut akan ikut beralih Hak-hak dari seorang borg adalah: 1. Hak untuk menuntut lebih dahulu 2. Hak untuk membagi hutang 3. Hak untuk mengajukan tangkisan gugat 4. Hak untuk diberhentikan dari penanggungan (karena terhalang melakukan subrogasi sebagai akibat kesalahan kreditur). Penanggung juga mempunyai hak regres dan hak subrogasi dalam hubungan hukum antara penanggung dengan debitur. Hak regres adalah hak menuntut kembali pembayaran tersebut dari si debitur, baik penanggungan itu terjadi dengan sepengetahuan atau tanpa sepengetahuan debitur. D. HUKUM HARTA PERKAWINAN 1. Pengertian, tempat pengaturan dan sifat hukum harta perkawinan Pengertian perkawinan menurut Pasal 1 UU No.1 Tahun 1974 tentang Perkawinan (UUP) adalah ikatan lahir bathin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami isteri dengan tujuan membentuk keluarga yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. Jadi perkawinan yang sah dan mempunyai akibat hukum hanya perkawinan yang dilakukan menurut ketentuan perundang-undangan yang berlaku. Akibat hukum adanya perkawinan bersifat komplek, artinya tidak hanya berakibat bagi suami dan isteri yang melangsungkan perkawinan itu saja, akan tetapi juga menimbulkan akibat bagi anak-anak yang dilahirkan dan harta perkawinan. Akibat perkawinan bagi suami dan isteri adalah timbulnya hak dan kewajiban diantara mereka diatur dalam Pasal 103-118 KUHPerdata (dengan mengingat SEMA No.3 Tahun 1963 yang menghimbau kepada hakim di seluruh Indonesia agar tidak menggunakan Pasal 108 dan 110 KUHPerdata), serta Pasal 30 - 34 UUP. Akibat hukum adanya perkawinan terhadap anak yaitu timbulnya hak dan kewajiban yang bersifat timbal balik antara orang tua dan anak yang disebut dengan kewajiban alimentasi, yang diatur dalam Pasal 298 -319 KUHPerdata dan Pasal 45 - 49 UUP. Yang dimaksud kewajiban alimentasi misalnya kewajiban anak untuk menghormati orang tuanya sebaliknya kewajiban orang tua adalah mendidik dan memberikan nafkah kepada anak yang belum dewasa sesuai dengan kemampuannya. Sedangkan akibat perkawinan bagi harta perkawinan diatur dalam Pasal 119 - 198 KUHPerdata dan Pasal 29 - 37 UUP. Akibat adanya perkawinan menimbulkan beberapa macam harta, yaitu harta bawaan suami, harta bawaan isteri dan harta bersama. Timbulnya bermacam-macam harta tersebut dapat menimbulkan konflik yang berkaitan dengan harta perkawinan. Agar konflik itu dapat diselesaikan maka diperlukan Hukum Harta Kekayaan. Hukum Harta Kekayaan di dalam KUHPerdata diatur dalam Buku I Tentang Orang, Bab VI dan IX, Pasal 119 - 198. Ketentuan tentang Hukum Harta Kekayaan dalam KUHPerdata bersifat pelengkap (Pasal 119 ayat (1) ), artinya ketentuan itu hanya berlaku apabila suami-isteri tidak membuat perjanjian kawin, apabila mereka membuat janji kawin maka perjanjian kawin itulah yang berlaku. Sedangkan dalam UUP Hukum Harta Kekayaan diatur dalam Pasal 35 ayat (1) dan (2) dan bersifat sebagai hukum pelengkap juga. 2. Terbentuknya hukum harta perkawinan dan macamnya Menurut KUHPerdata ada beberapa cara terbentuknya hukum harta perkawinan, yaitu; 1. Apabila tidak diperjanjikan dan menurut ketentuan KUHPerdata, maka demi hukum terjadi Persatuan Bulat antara harta kekayaan suami dan isteri. 2. Apabila diperjanjikan ada 2 (dua) hal: a. ekstrem (sama sekali tidak ada persatuan), artinya dalam hal ini harta suami dan isteri terpisah sama sekali. b. tidak ekstrem (ada persatuan tetapi terbatas), banyak sekali variasi persatuan terbatas akan tetapi yang diatur dalam KUHPerdata hanya 2 (dua) yaitu persatuan terbatas untung dan rugi, persatuan terbatas hasil dan pendapatan. Menurut UUP, hukum harta perkawinan diatur dalam Pasal 35 ayat (1) dan (2) yang meliputi: 1. Tidak diperjanjikan ada 3 (tiga) macam harta, yaitu a. harta suami b. harta isteri c. harta bersama 2. Diperjanjikan ada 2 macam hukum harta perkawinan, yaitu: a. tidak diperjanjikan terjadi persatuan secara bulat b. diperjanjikan secara ekstrim dan tidak ekstrim 3. Tidak diperjanjikan terjadi Persatuan Secara Bulat Persatuan secara bulat diatur dalam Pasal 119 – 138 KUHPerdata. Pengertian Persatuan Bulat terdapat dalam Pasal 119 ayat (1) KUHPerdata yang menyatakan bahwa mulai saat perkawinan dilangsungkan, demi hukum berlakulah persatuan bulat antara harta kekayaan suami dan isteri, sekedar mengenai itu dengan perjanjian kawin tidak diadakan ketentuan lain. Selanjutnya ayat (2) menyatakan bahwa persatuan harta secara bulat ini tidak dapat dirubah atau ditiadakan dengan persetujuan suami isteri. Adapun rincian harta persatuan diatur dalam Pasal 120 dan Pasal 121 KUHPerdata yang meliputi: 1. Segala harta kekayaan dari suami dan isteri, bergerak ataupun tidak bergerak (tetap) sebelum dan pada waktu perkawinan dilangsungkan. 2. Segala harta kekayaan suami dan isteri, bergerak ataupun tidak bergerak (tetap) selama perkawinan berlangsung. 3. Segala harta kekayaan suami dan isteri bergerak ataupun tidak bergerak (tetap) yang diperoleh secara Cuma-Cuma kecuali pewaris atau pemberi melarang pemberian itu dimasukkan pada persatuan 4. Segala beban yang dapat berupa kerugian dan hutang dari suami dan isteri sebelum dan sesudah perkawinan dilangsungkan. Dalam persatuan bulat dimungkinkan terjadi hutang pesatuan. Pengertian hutang persatuan adalah hutang-hutang yang dibuat oleh suami atau isteri selama perkawinan untuk keperluan rumah tangga dan hutang tersebut merupakan beban persatuan. Selain hutang persatuan, didalam persatuan bulat juga dimungkinkan hutang pribadi. Hutang pribadi adalah hutang yang melekat pada benda pribadi suami atau isteri. Hutang pribadi terjadi ketika pemberian barang yang oleh pemberinya dilarang dimasukkan dalam persatuan tersebut dibebani hak tanggungan. Pembayaran hutang persatuan dibayar dari harta persatuan, jika harta persatuan tidak cukup maka hutang persatuan dibayar dengan harta pribadi orang yang membuat hutang. Sedangkan hutang pribadi dibayar dengan harta pribadi, jika harta pribadi tidak mencukupi maka dibayar dengan harta persatuan karena baik suami atau isteri berhak atas separo harta persatuan. Dalam UU No. 1 Tahun 1974 tentang perkawinan, dikenal ada 3 (tiga) macam harta, yaitu harta suami, harta isteri (diatur dalam Pasal 35 ayat (1), (2) UUP) dan harta bersama (Pasal 36 ayat (1), (2) UUP). Pengurusan harta persatuan menurut KUHPerdata diatur dalam Pasal 124 ayat (1) KUHPerdata, dilakukan oleh suami. Hal ini berpangkal pada Pasal 105 ayat (1) KUHPerdata yang menyebutkan bahwa suami adalah kepala harta persatuan. Pengertian pengurusan meliputi menjual, memindah tangankan, membebani hutang harta kekayaan tanpa campur tangan isteri termasuk juga memutuskan/menetapkan (beschikken). Namun demikian ada pembatasan hak pengurusan suami terhadapa harta persatuan baik yang diatur dalam UU maupun yang diperjanjikan. Pembatasan yang diberikan oleh UU diatur dalam Pasal 124 ayat (3), (4), Pasal 125 dan pembatasan yang diperjanjikan diatur dalam Pasal 140 ayat (3). Sedangkan pengurusan harta persatuan menurut UUP diatur dalam Pasal 35 - 37 UUP. Upaya hukum isteri untuk menghadapi penyalahgunaan kekuasaan yang dilakukan ayat oleh suami diatur dalam Pasal 186, 243 dan 434 (3) KUHPerdata. Pasal 186 KUHPerdata mengatur bahwa: "Isteri dapat menuntut suami agar supaya diadakan pemisahan harta kekayaan. Penuntutan di pengadilan ini dapat dilakukan apabila: a. suami melakukan pemborosan. b. suami tidak mengurus harta kekayaan sendiri dengan baik sehingga mengkhawatirkan pekerjaan isteri. Pasal 243 KUHPerdata mengatur bahwa: "Apabila telah terjadi putusan hakim tentang perpisahan meja dan ranjang maka berakibat perpisahan harta persatuan dengan sendirinya." Pasal 434 ayat (3) KUHPerdata mengatur bahwa: "Isteri dapat menuntut agar suami diletakkan di bawah pengampuan (kuratele)." Setelah perkawinan bubar, seorang bekas isteri masih mempunyai upaya hukum dalam menghadapi bekas suami yang kurang bertanggung jawab terhadap tuntutan kreditur selama masa perkawinan (Pasal 132 ayat (1) dan (2) KUHPerdata). Hak isteri untuk melepaskan haknya atas persatuan dapat gugur dalam hal dipenuhinya ketentuan Pasal 133,136 dan 137 KUHPerdata. Harta persatuan juga dapat bubar karena adanya beberapa peristiwa: 1. Kematian 2. Keadaan tidak hadir 3. Perceraian 4. Perpisahan meja dan ranjang 5. Perpisahan harta kekayaan Akibat bubarnya persatuan maka terjadi pembagian harta antara suami dan isteri masing-masing setengah bagian. Apabila bubarnya persatuan disebabkan karena kematian, maka berlakulah ketentuan mengenai hukum waris. 4. Perjanjian Kawin Pengertian perjanjian kawin adalah perjanjian yang dibuat oleh calon suami isteri untuk mengatur akibat perkawinan dalam hal harta perkawinan. Perjanjian kawin diatur dalam Bab VII Pasal 139 - 165 KUHPerdata. Tujuan diadakannya perjanjian kawin adalah untuk membatasi atau meniadakan persatuan bulat menurut UU, selain itu perjanjian kawin juga untuk membatasi kekuasaan suami yang begitu besar terhadap harta persatuan seperti yang diatur dalam Pasal 124 ayat (2) KUHPerdata. Selain diatur dalam KUHPerdata, perjanjian kawin juga diatur dalam UUP. Ada 5 (lima) perbedaan pokok perjanjian kawin antara KUHPerdata dengan UUP yang meliputi pengaturan, bentuk, saat atau waktu dibuat, saat mulai berlaku dan dapat / tidak diubah perjanjian kawin tersebut. Yang dapat membuat perjanjian kawin adalah orang sudah dewasa dan cakap, karena perjanjian kawin merupakan perbuatan hukum. Dalam KUHPerdata tidak ada satu pasalpun yang memberikan definisi tentang batas dewasa, namun Pasal 330 KUHPerdata memberikan definisi tentang belum dewasa yaitu mereka yang belum mecapai umur genap duapuluh satu tahun dan tidak lebih dahulu telah kawin. Dari Pasal 330 tersebut dapat disimpulkan bahwa seseorang dikatakan dewasa apabila ia telah berusia 21 tahun atau telah kawin (KUHPerdata batas minimal usia untuk kawin laki-laki 19 tahun, wanita 15 tahun, sedangkan UUP laki-laki 19 tahun, wanita 16 tahun). Namun dalam Pasal 153 yang merupakan perkecualian diatur tentang anak yang belum dewasa tetapi sudah memenuhi syarat-syarat kawin dapat membuat perjanjian kawin dibantu oleh orang yang memberi ijin kawin. Apabila dalam perkawinan diadakan perjanjian kawin yang ekstrim, maka sama sekali tidak ada persatuan. Perjanjian kawin semacam ini diadakan kemungkinan untuk menghindari kesulitan dalam menentukan apa yang dianggap sebagai keuntungan dan kerugian (lihat Pasal 144 jo 140 ayat (2) KUHPerdata). Sedangkan dalam perjanjian kawin yang tidak ekstrirn terjadi persatuan harta kekayaan terbatas. Didalam KUHPerdata dikenal ada 2 (dua) macam persatuan terbatas, yaitu: 1. Persatuan harta kekayaan Terbatas Untung dan Rugi 2. Persatuan harta kekayaan Terbatas Hasil dan Pendapatan 5. Persatuan harta kekayaan Terbatas Untung dan Rugi Pengertian persatuan untung dan rugi adalah perjanjian kawin yang menghendaki supaya tidak semua harta kekayaan dari suami dan isteri dicampur menjadi satu (menjadi milik bersama), melainkan hanya sebagian harta perkawinan saja yaitu segala untung dan rugi. Untung adalah setiap bertambahnya kekayaan sepanjang perkawinan karena hasil harta kekayaan dan pendapatan suami isteri masing-masing dan kerugian adalah setiap berkurangnya kekayaan karena pengeluaran yang melampaui pendapatan. Dalam hal ini yang bercampur hanya keuntungan dan kerugian saja, sedangkan harta kekayaan lainnya menjadi milik pribadi, misalnya: 1. Barang-barang yang dibawa sebelum perkawinan 2. Warisan 3. Hibah wasiat 4. Naik turunnya nilai harta milik pribadi 5. Perbaikan dan kerusakan dari milik pribadi Cara membuat perjanjian terbatas untung dan rugi: 1. Dengan tegas diperjanjikan bahwa mereka menghendaki persatuan untung dan rugi (Pasal 155 KUHPerdata). 2. Dengan memperjanjikan bahwa mereka meniadakan persatuan harta kekayaan secara bulat (Pasal 154 KUHPerdata). 6. Persatuan Terbatas Hasil dan Pendapatan Persatuan Hasil dan Pendapatan diatur dalam Pasal 164, 165-167 KUHPerdata. Pasal 164 KUHPerdata menyatakan bahwa apabila diperjanjikan persatuan hasil dan pendapatan maka tidak ada persatuan kekayaan secara bulat dan persatuan untung dan rugi. Didalam persatuan terbatas hasil dan pendapatan, persatuan hanya keuntungannya saja, sedangkan kerugian ditanggung oleh suami sebagai kepala keluarga, kecuali hutang itu dibuat oleh suami atau isteri untuk kepentingan pribadi. Dalam hal terjadi hal demikian, maka tanggung jawab ada pada pribadi masing-masing suami atau isteri. Hutang bersama termasuk hutang persatuan, sehingga harus dibayar dengan harta persatuan. Jika harta persatuan tidak cukup maka sisanya harus dibayar oleh suami. E. HUKUM WARIS 1. Pengertian dan Persyaratan Pewarisan Pengertian hukum waris menurut Mr.A.Pittlo adalah suatu rangkaian ketentuan dimana berhubungan dengan meninggalnya seseorang, akiobat-akibatnya di dalam bidang kebendaan diatur, yaitu akibat dari beralihnya harta peninggalan dari seseorang yang meninggal dunia kepada ahli warisnya baik dalam hubungannya antara mereka sendiri maupun dengan pihak ketiga. Dari pengertian tersebut tampak ada tiga macam hubungan, yaitu: a. Hubungan antara pewaris dengan ahli waris. b. Hubungan antara sesama ahli waris. c. Hubungan antara ahli waris dengan pihak ketiga. Melihat pengertian diatas tampak bahwa didalam hukum waris ada peristiwa yang disebut pewarisan. Pengertian pewarisan adalah peristiwa peralihan hak dan kewajiban dari pewaris kepada orang-orang yang masih hidup (ahli waris). Dari pengertian pewarisan ada tiga unsur pewarisan, yaitu: a. Adanya pewaris b. Adanya ahli waris c. Adanya hak dan kewajiban yang beralih Unsur-unsur tersebut harus memenuhi persyaratan: Ad a. Pewaris Persyaratan untuk pewaris ada dalam Pasal 830 KUHPerdata yang menyatakan bahwa pewaris harus sudah meninggal dunia. Pasal 830 KUHPerdata ini berlaku baik bagi hukum waris ab intestate maupun testamenter Ad b. Ahli Waris Ada tiga macam persyaratan bagi seorang ahli waris, yaitu: 1) Ahli waris harus sudah ada dan masih ada pada saat pewaris meninggal dunia, dengan mengingat Pasal 2 KUHPerdata. 2) Calon ahli waris harus mempunyai hak atas harta peninggalan pewaris. Hak ini timbul karena dua hal: a. Adanya hubungan darah antara ahli waris dengan pewaris (ahli waris ab intestate) b. Adanya pemberian melalui surat wasiat atau testamen (ahli waris testamenter). 3) Calon ahli waris tersebut bukan orang yang dinyatakan tidak patut untuk mewaris (onwaardig), tidak cakap untuk mewaris ataupun orang yang menolak warisan. Ad c. Harta Warisan Hak dan kewajiban yang akan beralih adalah hak dan kewajiban yang bersumber pada hukum harta kekayaan, akan tetapi ada perkecualiannya, yaitu: a. Adanya hak-hak yang bersumber pada hukum harta kekayaan yang dengan tegas dinyatakan tidak dapat diwariskan b. Adanya hak-hak yang tidak bersumber pada hukum harta kekayaan tetapi justru dinyatakan dapat diwariskan. Hak-hak utama ahli waris ada tiga, yaitu: 1. Hak Saisine Hak saisine adalah perpindahan hak dan kewajiban dari seorang yang meninggal dunia kepada ahli warisnya yang terjadi secara otomatis/demi hukum tanpa si ahli waris wajib melakukan sesuatu. Hak ini diatur dapam Pasal 833 dan Pasal 955 KUHPerdata. 2. Hak menuntut pembagian harta warisan Hak ini diatur dalam Pasal 1066 KUHPerdata yang merupakan sendi penting hukum waris barat, karena menunjukkan karakteristik hukum perdata barat yang individualistis kapitalistik. 3. Hak Hereditatis Petitio Hak Hereditatis Petitio adalah hak untuk mengajukan gugat guna mempertahankan barang-barang yang dikuasai oleh orang lain dimasukkan kembali dalam boedel warisannya. Hak ini diatur dalam Pasal 834 dan Pasal 955 ayat (2) KUHPerdata. Hak ini ditujukan kepada: a. Sesama ahli waris b. Orang yang tanpa alas hak apapun menguasai seluruh/sebagian harta warisan c. Orang yang secara licik telah menghentikan penguasaan ahli waris terhadap benda-benda warisan. 2. Tempat Pengaturan Hukum Waris Hukum waris diatur dalam Buku II Bab 12-18 KUHPerdata. Hukum waris dibedakan menjadi dua bagian, yaitu: a. Hukum Waris menurut ketentuan UU disebut juga Hukum Waris Ab intestate, artinya hukum waris tanpa testamen/wasiat. Diatur dalam Buku II Bab 12 KUHPerdata. b. Hukum waris testamenter, artinya hukum waris menurut ketentuan wasiat/testamen. Diatur dalam Buku II Bab 13 KUHPerdata. Ada dua pendapat yang menyatakan alasan mengapa hukum waris diatur dalam Buku II KUHPerdata: Menurut Vollmar Penempatan hukum waris dalam buku II tidak salah, karena hukum waris dianggap sebagai hak kebendaan. Pembentuk UU memang menganggap bahwa hukum hak waris adalah hak kebendaan. Dasarnya beberapa ketentuan yang ada dalam KUHPerdata, yaitu Pasal 1537 dan Pasal 957 KUHPerdata. Menurut Pitlo Dimasukkannya hukum waris dalam buku II dan dengan demikian dianggap sebagai hak kebendaan, hal itu terjadi karena adanya kerancuan antara dua prinsip yang berasal dari dua sistem hukum yang berbeda yang mempengaruhi KUHPerdata pada saat pembentukannya, yaitu: a. Sistem Hukum Romawi Hak waris termasuk hak kebendaan karena warisan dipandang sebagai suatu barang yang berdiri sendiri terhadap mana para ahli waris mempunyai hak milik bersama yang bebas (vrije mede eigendom), sehingga hukum waris diatur bersama-sama dengan hukum kebendaan yang lain. b. Hukum Germanic Kuno Warisan bukan suatu hak yang mandir. Para ahli waris mempunyai hak milik bersama atas warisan dan hak milik bersama itu merupakan hak milik yang terikat (gebonde mede eigendom). Dilihat dari sistematikanya, hukum waris mengikuti hukum Romawi sehingga dianggap hukum benda, akan tetapi berdasarkan substansinya (materi) hukum waris lebih menyerupai hukum Germania Kuno. 3. Hukum Waris Menurut Ketentuan UU Menurut ketentuan UU, siapa yang berhak mewarisi seseorang ditentukan dalam Pasal 832 KUHPerdata, yang menyatakan bahwa jika pewaris meninggal dunia maka yang menjadi ahli waris adalah orang yang mempunyai hubungan darah. Hubungan darah ada dua macam: 1. Hubungan darah yang sah Yaitu hubungan darah yang terjadi sebagai akibat adanya perkawinan yang sah. 2. Hubungan darah yang tidak sah Yaitu hubungan darah yang timbul sebagai akibat terjadinya hubungan diluar perkawinan. Menurut doktrin ukuran untuk menentukan siapa yang dapat menjadi ahli waris digunakan adagium de naaste in het blood, erft net goed ( yang mempunyai hubungan darah terdekatlah yang mewarisi barang-barang). Maksudnya adalah keluarga sedarah yang berhak mewarisi si meninggal dunia adalah mereka yang mempunyai hubungan darah terdekat dengan si mati. Untuk mengukur jauh dekatnya hubungan seseorang dipakai ukuran hubungan perderajatan dan cara yang lebih mudah adalah dengan mengelompokkan ahli waris kedalam golongan-golongan ahli waris. Golongan ahli waris adaqlah sekelompok orang yang pada saat bersamaan tampil mewaris bersama-sama. Ada empat golongan ahli waris, yaitu: 1. Ahli waris golongan I Terdiri dari suami/isteri yang hidup terlebih lama dan anak-anak beserta keturunan mereka ke bawah tanpa batas, dengan syarat perderajatan yang lebih dekatlah yang berhak mewaris terlebih dahulu. 2. Ahli Waris Golongan II Terdiri dari ayah, ibu beserta saudara-saudara dan keturunnnya sampai batas yang diperkenankan oleh undang-undang. Batasan ini disebut dalam Pasal 861 KUHPerdata, yaitu pada derajad keenam kecuali dalam hal terjadi pewarisan karena pergantian tempat. 3. Ahli Waris Golongan III Terdiri dari kakek, nenek dari garis ayah dan/atau ibu ke atas tanpa batas. Pada pewarisan untuk golongan III terjadi pembelahan (kloving/splitsing). 4. Ahli Waris Golongan IV Terdiri dari paman dan bibi baik dari garis ayah dan/atau ibu dan keturunannya dalam batas yang diperkenankan oleh undang-undang (Pasal 861 KUHPerdata). 4. Pembagian Warisan Untuk Golongan I Hak Bagian golongan I diatur dalam dua Pasal, yaitu: 1. Pasal 852 ayat (1) dan (2) KUHPerdata ketentuan untuk anak-anak dan keturunannya terus kebawah. 2. Pasal 852a KUHPerdata ketentuan untuk suami atau isteri yang hidup terlebih lama. Ad.a. Bagian Anak-anak dan Keturunannya Didalam Pasal 852 ayat (1) mengandung asas-asas penting dalam hukum waris perdata, yaitu: 1. Sistem pewarisan bilateral 2. Sistem pewarisan individual 3. Sistem pewarisan dalam KUHPerdata tidak membedakan anak-anak berdasarkan: a. Jenis kelamin b. Saat kelahiran c. Asal kelahiran Pasal 852 ayat (2) menggambarkan dua macam pewarisan yang mungkin terjadi dalam golongan I, yaitu: 1. Pewarisan karena haknya sendiri a. Hubungan antara pewaris dengan ahli waris adalah hubungan yang langsung. b. Ahli waris terpanggil untuk mewaris karena haknya sendiri. 2. Pewarisan karena pergantian tempat, terjadi apabila: a. Hubungan antara pewaris dan ahli waris adalah hubungan yang tidak langsung, artinya hubungan yang diantarai oleh orang lain b. Adanya ahli waris pengganti. Ad.b. Bagian Suami atau Isteri yang Hidup Terlebih Lama Bagian suami atau isteri yang hidup terlebih lama diatur dalam Pasal 852a. Pasal ini mengatur tentang dua hal, yaitu: 1. Pasal 852a ayat (1) kalimat I mengatur bagian suami/isteri dalam perkawinan yang pertama, bagiannya sama dengan bagian anak yang sah. 2. Pasal 852a ayat (1) kalimat II mengatur bagian suami.isteri dalam perkawinan kedua dan selanjutnya jika dari perkawinan yang terdahulu ada anak atau keturunannya. Dalam hal ini bagian suami/isteri dalam perkawinan kedua tersebut ada ukurannya: a. Sama dengan bagian terkecil yang akan diterima anak dari perkawinan terdahulu menunjuk pada legitieme portie b. Maksimal yang boleh diterima adalah 1 4 dari harta peninggalan si mati. Kalau tidak ada anak atau keturunan, maka ketentuan kalimat kedua tidak berlaku. Persamaan kedudukan suami/isteri yang hidup terlebih lama hanya berlaku dalam melaksanakan ketentuan-ketentuan dalam Bab XII saja (hukum waris ab intestate saja). Dalam hukum waris testamenter kedudukan anak sebagai legitimaris, sedangkan ayah/ibu bukan legitimaris. 5. Pembagian Warisan Untuk Golongan II Ketentuan pembagian warisan untuk ahli waris golongan II diatur dalam empat pasal (Pasal 854, 855, 856 dan 857 KUHPerdata). Termasuk dalam golongan II adalah ayah, ibu, saudara-saudara dan keturunannya. Terjadi penyalahan prinsip de naaste in het Bloed erft het goed. Namum demikian dalam menentukan bagian masing-masing ahli waris dalam golongan II prinsip de naaste in het bloed erft het goed tetap diperhatikan sehingga orang tua diberi prioritas di atas saudara-saudara dan keturunannya. Empat pasal yang mengatur pembagian warisan untuk golongan II adalah sebagai berikut: 1. Pasal 854 KUHPerdata Mengatur pewarisan golongan II dalam hal kedua orang tuanya masih hidup sehingga ahli waris terdiri dari ayah dan ibu beserta saudara-saudaranya. 2. Pasal 855 KUHPerdata Mengatur pewarisan golongan II dalam hal hanya salah satu dari kedua orang tua yang masih hidup sehingga ahli waris itu bisa ayah dan saudara-saudara atau ibu dan saudara-saudara. 3. Pasal 856 KUHPerdata Mengatur pewarisan golongan II dalam hal kedua orang tua sudah tidak ada lagi sehingga ahli waris hanya tinggal saudara-saudara saja. 4. Pasal 857 KUHPerdata mengatur dua hal: a. Bagian warisan yang akan diperoleh saudara-saudara yang berasal dari perkawinan yang sama. b. Bagian warisan yang akan diperoleh saudara-saudara yang berasal dari perkawinan yang berlainan. 6. Pembagian Warisan Untuk Golongan III Ahli waris golongan III terdiri dari kakek, nenek baik dari garis ayah maupun dari garis ibu lurus ke atas tanpa batas. Dasar pembagian warisan untuk golongan III diatur dalam Pasal 853 KUHPerdata. Pasal 853 ayat (1) mengatur bahwa jika seseorang meninggal dunia tanpa meninggalkan ahli waris golongan I dan II, maka yang tampil mewaris adalah golongan III dan sebelum warisan dibagi diadakan pembelahan (kloving/splitsing) terlebih dahulu. Pasal 853 ayat (2) merupakan indikator bahwa dalam pewarisan golongan III prinsip yang terdekat hubungan darahnya yang berhak mewaris dipegang teguh. Sedangkan ayat (3) menyatakan bahwa keluarga yang derajatnya sama berbagi rata kepala demi kepala. Untuk golongan III ini tidak dikenal pewarisan karena pergantian tempat, hal ini disebutkan secara tegas dalam Pasal 843 KUHPerdata. 7. Pembagian Warisan Untuk Golongan IV Ahli waris golongan IV adalah keluarga sedarah dalam garis kesamping yang lebih jauh (paman.bibi), baik dari garis ayah maupun garis ibu (Pasal 858 KUHPerdata). Setelah terjadi Moving, keluarga sedarah yang derajatnya sama membagi kepala demi kepala. Pewarisan karena pergantian tempat diperbolehkan dalam hak-hal yang disebutkan dengan tegas dalam undang-undang: 1. Pergantian tempat dalam pewarisan golongan I (Pasal 842 KUHPerdata) terjadi secara otomatis dan berlangsung tanpa batas. 2. Pergantian tempat dalam garis menyimpang (Pasal 844 KUHPerdata) diperbolehkan, pergantian tempat terjadi secara otomatis. 3. Pergantian tempat dalam pewarisan golingan IV (Pasal 845 KUHPerdata) tidak terjadi secara otomatis, hanya terjadi jika dipenuhi dua syarat: a. Ada keluarga sedarah garis menyamping yang merupakan de naaste in het bloed. b. Ada keturunan dari saudara laki-laki dan perempuan dari orang yang merupakan de naaste in het bloed. 8. Pewarisan Dalam Hal Ada Anak Luar Kawin Pengertian anak luar kawin adalah anak yang dilahirkan di luar perkawinan yang sah. Ada tiga macam anak luar kawin, yaitu: 1. Anak alami Anak yang dilahirkan di luar perkawinan oleh kedua orang tua yang masing-masing tidak berada dalam ikatan perkawinan dengan orang lain. 2. Anak Zinah Anak yang dilahirkan di luar perkawinan antara kedua orang tua yang salah satu atau kedua-duanya terikat perkawinan dengan orang lain. 3. Anak Sumbang Anak yang lahir dari hubungan di luar perkawinan antara seorang pria dengan seorang wanita yang menurut ketentuan undang-undang dilarang kawin satu sama lain. Tidak semua anak luar kawin dapat diakui, yang dapat diakui hanya anak alami, sedang anak zinah sama sekali tidak boleh diakui oleh ayah/ibunya. Anak sumbang juga tidak dapat diakui, kecuali anak yang dilahirkan dari hubungan semenda dimana orang tua dapat mengajukan dispensasi. Pengakuan mengakibatkan timbulnya hubungan hukum antara anak dan orang tua yang mengakui: 1. Si anak berhak memakai nama keluarga ayah yang mengakuinya. 2. Timbul hubungan saling mewaris antara anak dengan orang tua yang mengakuinya (title XII bagian III buku II KUHPerdata). Pewarisan dalam hal adanya anak luar kawin diatur dalam Pasal 862 -873 KUHPerdata, tidak menjadi satu dengan pengaturan bagi anak-anak sah, karena pengakuan bersifat persoonlijk. Anak luar kawin diakui hanya mempunyai hubungan dalam garis lurus ke atas sampai dengan ayah/ ibu yang mengakuinya, ke bawah, ke samping tidak mempunyai keluarga sedarah kecuali ada anak yang sama-sama anak luar kawin. Oleh karena itu ketentuan pewarisan bagi anak sah (Pasal 852) tidak dapat diberlakukan bagi anak-anak luar kawin. Hak waris anak luar kawin (Pasal 862 KUHPerdat) dibagi menjadi dua, yaitu: 1. Hak waris aktif, yaitu satu pewarisan dimana anak luar kawin itu berkedudukan selaku ahli waris (Pasal 862 - 866 KUHPerdata). 2. Hak waris pasif, yaitu suatu pewarisan dimana anak luar kawinlah yang bertindak selaku pewaris. Hak Waris Aktif Bagian anak luar kawin diatur dalam Pasal 863 KUHPerdata, yaitu: 1. Anak luar kawin mewaris bersama golongan I bagiannya 1/3 andaikata mereka anak-anak sah (dihitung secara individual). 2. Anak luar kawin mewaris bersama golongan II dan III bagiannya adalah 1/2 warisan (bagian maksimal). 3. Anak luar kawin mewaris bersama golongan IV bagiannya adalah ¾ warisan (kalau lebih dari satu mereka berbagi 1/2 atau 3/4). Hak Waris Pasif Kalau anak luar kawin meninggal dunia, maka ahli waris yang utama adalah anak-anaknya yang sah dan isterinya. Namun jika anak luar kawin meninggal dunia tanpa ada anak atau isteri maka berlakulah ketentuan Pasal 870 KUHPerdata. Kalau ayah dan ibu tidak ada maka berlakulah Pasal 871 KUHPerdata.