bahan ajar hukum keluarga dan harta kekayaan

advertisement
BAHAN AJAR
HUKUM KELUARGA DAN HARTA KEKAYAAN
A. Pengantar Hukum Keluarga dan Harta Kekayaan
1. Pengertian Hukum Keluarga dan Harta Kekayaan
Hukum mengatur hak dan kewajiban dalam hidup bermasyarakat dan
mengatur bagaimana cara melaksanakan dan mempertahankan hak dan
kewajiban itu.
Tuhan menciptakan manusia berjenis kelamin pria dan wanita dan sesuai
dengan kodrat mereka maka mereka akan hidup saling berpasang-pasangan.
Hidup berpasang-pasangan tersebut akan diikat dengan suatu tali perkawinan
diantara mereka dan kemudian dalam hubungan tersebut dapat melahirkan anak
yang mengakibatkan adanya hubungan antara anak dengan orang tuanya.Dalam
hubungan yang demikian ini maka lahirlah Hukum Keluarga.
Manusia sebagai mahluk social dalam hidup selalu saling berinteraksi satu
sama lain untuk memenuhi kepentingan/kebutuhannya. Untuk memenuhi
kebutuhan-kebutuhan hidupnya tersebut manusia mengadakan hubungan hukum
dalam bentuk perjanjian-perjanjian seperti jual beli, sewa menyewa, tukar
menukar dan lain-lain. Dalam hidup yang demikian itulah maka akan melahirkan
Hukum Orang dan Hukum Keluarga; Hukum Benda dan Hukum Perikatan yang
tergabung dalam Hukum Harta Kekayaan.
Sesuai dengan kodratnya di dunia ini tidak ada yang abadi, begitu juga
manusi sebagai mahluk ciptaan Tuhan pada saatnya mereka akan meninggal
dunia yang otomatis akan meninggalkan semua yang dimilikinya baik anak
keturunan dan harta bendanya. Untuk mengatur harta benda yang ditinggalkan
dan mengatur siapa saja yang berhak menerimanya, maka lahirlah Hukum Waris.
Dari uraian tersebut diatas dapat disimpulkan bahwa pengertian Hukum
Keluarga dan Hukum Harta Kekayaan adalah hukum yang mengatur hubungan
mengenai perorangan, baik dalam hubungan keluarga dan dalam masyarakat.
2. Luas Lapangan Hukum Keluarga dan Harta Kekayaan
Dalam Hukum Keluarga dan Harta Kekayaan ada empat materi hokum
yang dibicarakan, yaitu Hukum Perjanjian, Hukum Jaminan, Hukum Perkawinan
beserta akibat-akibatnya dan Hukum Waris.
Hukum Perjanjian akan membahas beberapa perjanjian bernama dan
perjanjian tidak bernama (perjanjian jenis baru). Perjanjian bernama adalah
perjanjian-perjanjian yang sudah dikenal dengan nama-nama tertentu serta telah
diatur secara khusus di dalam undang-undang, sedangkan perjanjian tidak
bernama (perjanjian jenis baru) adalah perjanjian-perjanjian yang belum diatur
secara khusus di dalam undang-undang dan timbulnya karena kebutuhan di dalam
masyarakat. Perjanjian tidak bernama jumlahnya lebih banyak dari pada perjanjian
bernama.
Perjanjian Jaminan adalah perjanjian yang bersifat accesoir (tambahan),
artinya Jaminan timbul setelah adanya perjanjian pokok. Berdasarkan sifatnya
jaminan dibedakan menjadi dua, yaitu Jaminan Kebendaan dan Jaminan
Perorangan. Jaminan Kebendaan masih dapat dibedakan lagi menjadi Jaminan
Kebendaan Umum dan Jaminan Kebendaan Khusus. Ada beberapa macam
jaminan kebendaan khusus, yaitu gadai, fiducia, hipotik atas kapal dan hak
tanggungan. Sedangkan Jaminan Perorangan adalah jaminan yang menimbulkan
hubungan langsung pada perorangan tertentu, hanya dapat dipertahankan
terhadap debitur tertentu, terhadap harta kekayaan debitur seumumnya.
Termasuk jaminan perorangan adalah borgtocht.
Perkawinan yang sah dan mempunyai akibat hukum adalah perkawinan
yang dilakukan menurut ketentuan undang-undang yang berlaku. Secara garis
besar akibat hukum dari perkawinan dapat terjadi pada suami-isteri, anak-anak
yang dilahirkan dan harta perkawinanSelanjutnya dalam Hukum Waris akan
dibicarakan hukum waris karena undang-undang (ab intestate), yang terdiri dari
ahli waris golongan I, II, III dan IV dan hal-hal yang berkenaan dengan pewarisan.
B. Hukum Perjanjian
1. Perjanjian Jual Beli
Perjajian jual beli diatur dalam bab V buku III Pasal 1457-1540
KUHperdata. Pengertian perjanjian jual beli menurut Pasal 1457 KUHPerdata
adalah suatu perjanjian dengan mana pihak yang satu mengikatkan dirinya untuk
menyerahkan suatu kebendaan dan pihak yang lain untuk membayar harga yang
telah dijanjikan. Dari pengertian perjanjian jual beli tersebut, maka ada beberapa
hal pokok dalam perjanjian jual beli:
1. Ada dua pihak Pihak penjual yaitu pihak yang berjanji untuk menyerahkan
hak milik atas suatu barang. Pihak pembeli yaitu pihak yang berjanjian
untuk membayar harga suatu barang.
2. Adanya unsur essensialia dari perjanjian jual beli yaitu barang dan harga.
3. Perjanjian jual beli merupakan perjanjian timbal balik, artinya kedua belah
pihak mempunyai hak dan kewajiban yang saling berhadap-hadapan
(bertimbal balik).
Selanjutnya disamping hal-hal pokok tersebut dapat dikemukakan
sifat-sifat perjanjian jual beli, yaitu :
1. Bersifat Konsensuil (Pasal 1458 KUHPerdata)
Artinya perjanjian jual beli telah terjadi dengan adanya kata sepakat
diantara para pihak mengenai barang dan harga meskipun barang belum
diserahkan.
2. Bersifat Obligatoir
Artinya perjanjian jual beli hanya menimbulkan hak dan kewajiban.
Perjanjian jual beli tidak mengakibatkan perpindahan hak milik. Hak milik
atas suatu benda baru berpindah apabila sudah ada penyerahan
(levering).
Penyerahan (Levering) adalah suatu perbuatan hukum yang bertujuan
untuk memindahkan hak milik. Untuk sahnya levering harus dipenuhi dua syarat :
1. Sahnya title (alas title) yang menjadi dasar dilakukannya levering
2. Levering dilakukan oleh dua orang yang berhak berbuat bebas terhadap
barang yang dilever
Berkaitan dengan levering, di dalam KUHPerdata dikenal cara levering
berdasarkan macam barang, yaitu :
Barang bergerak
Diatur dalam Pasal 612 KUHPerdata yang menyebutkan bahwa
penyerahan kebendaan bergerak, terkecuali yang tak bertubuh dilakukan
dengan penyerahan nyata akan kebendaan itu oleh atau atas nama pemilik
atau dengan penyerahan kunci-kunci dari bangunan dalam mana
kebendaan itu berada. Artinya untuk barang bergerak penyerahannya dari
tangan ketangan, akan tetapi dimungkinkan juga penyerahan secara
simbolis atau dengan suatu pernyataan saja (traditio brevi manu)
Barang tetap
Diatur dalam Pasal 616 jo 620 KUHPerdata, dimana penyerahan barang
dengan balik nama.
Barang tak bertubuh (piutang) ada tiga cara :
a. Piutang atas bawa (aan order) dengan penyerahan nyata
b. Piutang atas tunjuk (aan toonder) dengan endosemen
c. Piutang atas nama dengan cessie.
Disebutkan bahwa perjanjian jual beli bersifat konsensual obligatoir, artinya
perjanjian jual beli lahir / terbentuk begitu ada sepakat diantara para pihak tentang
pokok-pokok perjanjian dan hanya menimbulkan hak dan kewajiban diantara
penjual dan pembeli tersebut.
Kewajiban Penjual antara lain :
1. Menyerahkan hak milik atas barang yang diperjual belikan
2. Menanggung (vrijwaren), dari :
a. Gangguan pihak ketiga dalam hal sipembeli menikmati bendanya
(perbuatan melawan hukum)
b. Gangguan dari pihak ke tiga yang menyatakan benda tersebut
miliknya (wit winning)
c. Adanya pembebanan pada barang yang dijual
3. Menanggung
cacad
tersembunyi,
apabila
barang
tersebut
dapat
digunakan sebagai mana mestinya atau mengurangi kenikmatan dalam
menggunakan barang tersebut.
Apabila dalam perjanjian jual beli
terdapat cacat tersembunyi, maka pembeli dapat menuntut penjual :
a. pengembalian harga pembelian (action redhibitoria)
b. pengurangan harga pembelian (action quanti minoris)
Hak Penjual dalam perjanjian jual beli ;
1. menerima harga pembelian
2. hak reklame (Pasal 1145 KUHPerdata) yaitu hak penjual untuk menuntut
kembali barangnya dari pembeli kalau pembeli melakukan wanprestasi
(tidak melaksanakan kewajibannya).
Syarat-syarat hak reklame menurut KUHPerdata:
a. jual beli harus tunai / kontan.
b. barangnya masih ada ditangan pembeli.
c. jangka waktunya 30 hari dihitung sejak perjanjian jual beli terjadi.
Syarat-syarat hak reklame menurut KUHD:
a. jual beli bisa kredit atau tunai
b. barangnya bisa ditangan pembeli atau ditangan pihak ketiga
c. jangka waktunya 60 hari.
3. Hak untuk membeli kembali barangnya (Pasal 1519 KUHPerdata)
2. Kewajiban Pembeli
a. membayar harga pembelian pada waktu dan tempat yang ditentukan
dalam perjanjian (Pasal 1513-1514 KUHperdata).
b. Menanggung biaya-biaya yang timbul sehubungan dengan perjanjian jual
beli, kecuali diperjanjikan sebaliknya.
Dalam perjanjian jual beli dapat terjadi gugatan yang diajukan oleh salah satu
pihak. Ada tiga macam dasar yang dapat digunakan dalam mengajukan gugatan,
yaitu :
1. gugatan berdasarkan wanprestasi, dapat diajukan dalam jangka waktu 30
hari.
2. gugatan berdasarkan kesesatan / paksaan / penipuan dapat diajukan
dalam jangka waktu lima tahun.
3. gugatan berdasarkan adanya cacat tersembunyi dapat diajukan dalam
jangka waktu pendek, tergantung dari sifat cacat dan kebiasaan setempat.
Selanjutnya menurut Pasal 1471 KUHPerdata apabila terjadi jual beli
benda milik orang lain, maka perjanjian jual beli tersebut batal dan dapat
digunakan sebagai dasar untuk penggantian biaya, kerugian dan bunga. Berkaitan
dengan risiko, artinya siapa yang menanggung kerugian dalam hal terjadi
overmacht / force majeur (keadaan memaksa). Ada tiga ketentuan yang mengatur
mengenai risiko dalam perjanjian jual beli yaitu :
1. Untuk barang tertentu diatur dalam Pasal 1460 KUHPerdata yang
menyebutkan bahwa untuk barang yang sudah tertentu risiko ada pada
pembeli begitu barang dibelinya, meskipun belum dilakukan levering.
Ketentuan semacam ini adalah pengaruh dari system hukum perdata
perancis. Namun ketentuan Pasal 1460 KUHPerdata tersebut oleh MA
dengan SEMA No.3 Tahun 1963 dianggap tidak berlaku karena dirasa
tidak adil dalam pelaksanaannya.
2. Untuk barang yang dijual menurut berat, jumlah / ukuran berlaku ketentuan
Pasal 1461 KUHPerdata, dimana risiko baru beralih kepada pembeli
apabila barang sudah ditimbang, dihitung atau diukur (diindividualisir).
3. Untuk barang yang dijual menurut tumpukan berlaku ketentuan Pasal
1462, dimana risiko ada pada pembeli meskipun barang belum diserahkan.
2.Perjanjian Sewa menyewa
Pengertian perjanjian sewa menyewa adalah perjanjian dengan mana
pihak yang satu mengikatkan dirinya untuk memberikan kepada pihak yang
lainnya kenikmatan dari suatu barang, selama suatu waktu tertentu dan dengan
pembayaran suatu harga (Pasal 1548 KUHPerdata). Dalam perjanjian sewa
menyewa yang diserahkan adalah kenikmatan suatu barang yang meliputi
pemakaian dan pemungutan hasil atas barang tersebut. Dari pengertian perjanjian
sewa menyewa tersebut dapat disimpulkan adanya beberapa unsure dalam
perjanjian sewa menyewa, yaitu :
1. Unsur benda
2. unsur waktu
3. unsur harga
Perjanjian sewa menyewa bersifat persoonlijk, artinya perjanjian sewa
menyewa hanya berlaku bagi orang tertentu saja, maksudnya perjanjian ini hanya
berlaku bagi pihak penyewa dan yang menyewakan saja. Selain itu bersifat hak
kebendaan, artinya hak sewa mengikuti bendanya (droit de suit atau zaakgevolg).
Hal itu tersimpul dari ketentuan Pasal 1576 KUHPerdata yang menyetakan bahwa
dengan dijualnya barang yang disewa, suatu persewaan yang dibuat sebelumnya,
tidaklah diputuskan kecuali apabila telah diperjanjikan pada waktu menyewakan
barang. Berlakulah asas koop breeks geen huur, artinya jual beli tidak
menghentikan sewa menyewa.
Kewajiban pokok pihak yang menyewakan adalah :
1. menyerahkan barang yang disewakan kepada penyewa.
2. Memelihara barang yang disewakan sedemikian sehingga barang tersebut
dapat dipakai si penyewa.
3. memberikan kenikmatan yang tentram selama masa sewa, artinya pihak
yang menyewakan wajib menangkis tuntutan-tuntutan hukum daari pihak
ketiga.
Sebaliknya kewajiban penyewa adalah :
1. menggunakan barang yang disewa sebagai bapak rumah tangga yang
baik (als een goedvader)
2. membayar
uang
sewa
pada
waktu
yang
telah
ditentukan
dalam perjanjian.
3. mengembalikan barang yang disewanya dalam keadaan baik
4. bertanggung jawab terhadap segala kerusakan yang timbul, kecuali diluar
kesalahannya.
Lebih lanjut ketentuan Pasal 1561 KUHPerdata menyebutkan bahwa jika
penyewa menggunakan barang yang disewanya tidak sesuai dengan tujuan
pemakaiannya atau menyebabkan kerugian pada pihak yang menyewakan, maka
pihak yang menyewakan dapat minta pembatalan sewanya.
Risiko dalam perjanjian sewa menyewa diatur dalam Pasal 1553
KUHPerdata yang menyebutkan jika selama perjanjian sewa menyewa barang
yang disewakan musnah karena kejadian yang tidak disengaja, maka perjanjian
sewa menyewa gugur demi hukum. Dari pasal ini dapat disimpulkan bahwa jika
terjadi keadaan memaksa (overmacht) maka risiko ada pada pihak yang
menyewa.
Dalam hal berakhirnya perjanjian sewa menyewa, ada dua cara untuk
mengetahui berakhirnya perjanjian sewa menyewa tersebut, yaitu:
1. perjanjian sewa menyewa berakhir demi hukum, yaitu lampaunya waktu
yang telah ditentukan.
2. Perjanjian
sewa
menyewa
berakhir
setelah
dihentikan
dengan
memperhatikan tenggang waktu menurut kebiasaan.
3. Perjanjian Pemberian Kuasa
Pemberian kuasa (lastgeving) adalah suatu perjanjian dengan mana
seorang memberikan kekuasaan kepada orang lain, yang menerimanya untuk
atas namanya menyelenggarakan suatu urusan.
Pihak-pihak dalam perjanjian pemberian kuasa adalah pemberi kuasa dan
penerima kuasa / juru kuasa. Adapun yang dapat dikuasakan adalah
penyelenggaraan suatu urusan (suatu perbuatan hukum). Artinya tidak setiap
perbuatan hukum dapat dikuasakan kepada orang lain. Hal yang berkaitan erat
dengan pribadi seseorang tidak dapat dikuasakan. Penerima kuasa melakukan
suatu perbuatan hukum "atas nama" atau "mewakili" orang yang member kuasa.
Bentuk
perjanjian
pemberian
kuasa
adalah
bebas
(Pasal
1793
KUHPerdata), karena perjanjian pemberian kuasa merupakan perjanjian
konsensuil. Jadi bentuk perjanjiannya bisa lisan atau tertulis.
Ada beberapa macam pemberian kuasa menurut Pasal 1795 KUHPerdata,
yang meliputi:
1. Kuasa Umum, hanya memberikan kewenangan untuk melakukan
perbuatan-perbuatan pengurusan (beheeren).
2. Kuasa
Khusus,
memberikan
kewenangan
untuk
melakukan
perbuatan-perbuatan tertentu yang harus disebutkan secara tegas,
misalnya ketentuan Pasal 123 HIR yang menyatakan surat kuasa untuk
beracara dimuka pengadilan disyaratkan suatu kuasa khusus tertulis.
Kewajiban si kuasa ada tiga, yaitu :
1. menyelesaikan urusan yang telah dimulai dikerjakannya pada waktu
pemberi kuasa meninggal dan menanggung segala biaya, kerugian, bunga
yang sekirannya dapat timbul karena tidak dilaksanakannya kuasa
tersebut (Pasal 1800 KUHPerdata)
2. membuat laporan tentang apa yang telah diperbuatnya (Pasal 1802
KUHPerdata).
3. bertanggung jawab jika ia menggunakan hak substitusi (hak untuk
menunjuk orang lain sebagai penggantinya dalam melaksanakan
kuasanya) (Pasal 1803 KUHPerdata).
Sedangkan kewajiban pemberi kuasa ada empat, yaitu :
1. memenuhi perikatan-perikatan yang dibuat oleh si kuasa (Pasal 1807
KUHPerdata).
2. mengembalikan persekot-persekot dan biaya-biaya yang telah dikeluarkan
oleh si kuasa untuk melaksanakan kuaasnya (Pasal 1808; KUHPerdata).
3. memberikan ganti rugi yang diderita si kuasa sewaktu manjalankan
kuasanya (Pasal 1809 KUHPerdata).
4. membayar bunga atas persekot-persekot yang telah dikeluarkan oleh si
kuasa (Pasal 1810 KUHPerdata).
Di dalam perjanjian kuasa juga dikenal suatu hak yang disebut hak retensi,
yaitu hak untuk menahan barang milik pemberi kuasa, sampai pemberi kuasa
memenuhi segala kewajibannya terhadap si kuasa.
Berakhirnya perjanjian pemberian kuasa diatur dalam Pasal 1813
KUHPerdata. Ada tiga cara untuk berakhirnya perjanjian pemberian kuasa, yaitu :
1. dengan ditariknya kembali kuasanya si kuasa.
2. dengan pemberitahuan penghentian kuasa oleh si kuaas.
3. dengan meninggalnya, pengampuan atau pailitnya pemberi kuasa maupun
si si kuasa.
4. Perjanjian Pemborongan
Perjanjian pemborongan di dalam KUHPerdata Pasal 1601 b disebut
dengan istilah Pemborongan Pekerjaan, yaitu perjanjian dengan mana pihak yang
satu, si pemborong mengikatkan diri untuk menyelesaikan suatu pekerjaan bagi
pihak lainnya, pihak yang memborongkan, dengan menerima suatu harga yang
ditentukan.
Perjanjian pemborongan di atur dalam Buku III Bab 7A Pasal 1601 b, Pasal
1604- Pasal 1616 KUHPerdata. Perjanjian Pemborongan merupakan salah satu
macam perjanjian dari perjanjian melakukan pekerjaan.
Pihak-pihak dalam perjanjian pemborongan ada dua, pihak pertama
disebut sebagai pihak yang memborongkan / principal / bouwheer / aan bestencter
/ pemberi tugas, sedangkan pihak ke-dua disebut pemborong / kontraktor /
rekanan / annemer / pelaksana.Adapun obyek pemborongan adalah pembuatan
suatu karya (het maken van werk).
Perjanjian pemborongan selain diatur dalam KUHperdata juga diatur
dalam Keppres No. 16 Tahun 1994 tentang pelaksanaan APBN jo. Keppres No.24
Tahun 1995 perubahan atas Keppres No.16 Tahun 1994, serta AV 1941
(Algemene voorwaarden voorde uitvoering bij aanneming van openbare werken in
Indonesia, artinya syarat-syarat umum untuk pelaksanaan pemborongan
pekerjaan umum di Indonesia). AV terdiri dari tiga bagian, yaitu:
1. Bagian ke-1 memuat syarat-syarat administrasi
2. Bagian ke-2 memuat syarat-syarat bahan
3. Bagian ke-3 memuat syarat-syarat teknis
Perjanjian pemborongan bersifat konsensuil dan bentuknya bebas
(vormvrij) artinya dapat dibuat secara lisan atau tertulis. Namun demikian
perjanjian pemborongan pada proyek-proyek pemerintah harus dibuat secara
tertulis dan dalam bentuk standar.
Adapun macam dan isi perjanjian pemborongan di dalam KUHPerdata
dikenal ada dua macam perjanjian pemborongan :
1. Perjanjian pemborongan dimana pemborong hanya melakukan pekerjaan
saja.
2. Perjanjian Pemborongan dimana pemborong selain melakukan pekerjaan
juga menyediakan bahan-bahan / materialnya.
Isi dari perjanjian pemborongan tidak ditentukan dalam KUHPerdata, hal
ini sesuai dengan asas kebebasan berkontrak (Pasal 1338 ayat (1) ), sedangkan di
dalam Keppres No. 16 Tahun 1994 isi perjanjian pemborongan ditentukan sebagai
berikut :
1. Akta dibawah tangan, isinya terserah pada pihak yang memborongkan
(tidak diatur dalam Keppres No. 16 Tahun 1994).
2. Surat Perintah Kerja (SPK) isinya sekurang-kurangnya harus memuat
sebagaimana diatur dalam Pasal 22 ayat (1) Keppres No. 16 Tahun 1994.
3. Surat perjanjian pemborongan kontrak, isinya sekurang-kurangnya harus
memuat sebagaimana diatur pada Pasal 22 ayat (2) Keppres No.16 Tahun
1994.
Perjanjian pemborongan berakhir apabila :
1. Pekerjaan tidak diselesaikan oleh pemborong setelah masa pemeliharaan
selesai atau dengan akta lain pada penyerahan kedua dan harga borongan
telah dibayar oleh pihak yang memborongkan.
2. Pembatalan perjanjian pemborongan (Pasal 1611 KUHPerdat).
3. Kematian pemborong (Pasal 1612 KUHPerdata)
4. Kepailitan.
5. Pemutusan perjanjian pemborongan.
Disamping perjanjian bernama, di dalam KUHPerdata juga dikenal
perjanjian-perjanjian yang tidak bernama. Hal ini tampak pada ketentuan Pasal
1319 KUHPerdata yang menyatakan bahwa semua perjanjian, baik yang
mempunyai suatu nama khusus, maupun yang tidak terkenal dengan suatu nama
tertentu, tunduk pada peraturan-peraturan umum, yang termuat didalam bab ini
dan bab yang lalu. Artinya, KUHPerdata berlaku bagi semua bentuk perjanjian
dengan kata lain baik perjanjian bernama maupun yang tidak bernama tunduk
pada ketentuan umum, yaitu Bab I - IV Buku III KUHPerdata. Ada dua macam
perjanjian tidak bernama :
1. Perjanjian Campuran, yaitu perjanjian yang didalamnya terkandung unsur
dari berbagai perjanian bernama. Misalnya : Perjanjian Beli-Sewa.
2. Perjanjian Jenis Baru Mandiri, yaitu perjanjian yang di dalamnya terdapat
berbagai unsure perjanjian bernama yang bercampur menjadi satu
sehingga tidak dapat dipilah-pilah dan sifat yang demikian memberi
karakter yang khusus dalam perjanjian tersebut.Misalnya: Perjanjian Beli
Sewa, Perjanjian Leasing, Perjanjian Kredit Sindikasi.
1. Perjanjian Beli-Sewa
Perjanjian beli sewa adalah suatu perjanjian jual beli dimana pada saat
perjanjian diadakan hak milik barang belum beralih. Hak milik baru akan beralih
setelah sewa terakhir dibayar. Jadi tujuan akhir dari perjanjian beli sewa adalah
peralihan hak milik, selama pembayaran belum lunas, maka status barang adalah
barang sewa dan pembeli masih berstatus sebagai penyewa karena barang masih
milik penjual. Hak Milik berpindah tangan apabila angsuran lunas. Jika angsuran
tidak selesai maka barang dapat diambil kembali oleh si penjual dan uang
angsuran yang telah dibayarkan dianggap sebagai uang sewa.
2. Perjanjian Leasing
Pengertian leasing menuirut Keputusan Menteri Keuangan Rl No.
1169/KMK/.01/1991 adalah kegiatan pembiayaan dalam bentuk penyediaan
barang modal baik secara sewa guna usaha dengan hak opsi (financial lease)
maupun sewa guna usaha tanpa hak opsi (operating lease) untuk digunakan lesee
selama jangka waktu tertentu berdasarkan pembayaran secara berkala. Dari
pengertian tersebut diketahui ada beberapa unsur perjanjian leasing, yaitu :
1. Pihak Lessor, yaitu pihak yang memiliki suatu benda yang bersedia
memberikan hak pakai atas benda-benda miliknya kepada pihak lain untuk
suatu jangka waktu tertentu, dengan pembayaran sejumlah uang yang
disepakati bersama.
2. Pihak Lessee, yaitu pihak yang bermaksud untuk memakai benda milik
orang lain untuk jangka waktu tertentu, dengan pembayaran sejumlah
uang yang besarnya telah disepakati bersama.
3. Ada benda yang menjadi obyek perjanjian tersebut.
4. Ada suatu jangka waktu tertentu.
5. Ada sejumlah uang yang merupakan harga lease yang besarnya telah
disepakati bersama.
Selanjutnya setelah unsur-unsur dari perjanjian leasing diketahui, maka
dapat ditinjau ciri-ciri dasar suatu leasing, yaitu :
1. Benda yang menjadi obyek leasing adalah alat produksi atau barang modal
dalam lalu lintas ekonomi yang mewakili nilai tertentu.
2. Para
pihak
yang
terikat
dalam
perjanjian
leasing
badan
usaha dan/atau perorangan yang melakukan usaha.
3. Jangka waktu leasing selalu berkaitan dengan umur ekonomis obyek
leasing.
4. Ada pemisahan antara hak milik yang tetap ada pada lessor dan hak pakai
ada pada lessee.
Dalam perjanjian leasing dikenal beberapa jenis leasing yang dibedakan
berdasarkan kriteria-kriteria tertentu, yaitu:
1.berdasarkan risiko ekonomis, ada dua jenis leasing
a. Financial Leasing
b. Operational Leasing
2.berdasarkan pembagian Obyek Leasing, ada dua jenis leasing:
a. leasing benda tetap
b. Leasing benda bergerak
Perjanjian
leasing
merupakan
perjanjian
timbal
balik,
karena
menimbulkan hak dan kewajiban diantara kedua belah pihak, meskipun ketentuan
dalam perjanjian telah ditentukan oleh salah satu pihak yaitu lessor dalam suatu
formulir yang siap ditanda tangani oleh lessee, oleh karenanya perjanjian leasing
juga merupakan perjanjian standar.
Obyek perjanjian leasing adalah barang modal dan harga leasing.
Barang modal adalah setiap aktiva tetap yang berwujud termasuk tanah
sepanjang diatas tanah tersebut melekat aktiva tetap berupa bangunan (plant) dan
tanah serta aktiva dimaksud merupakan satu kesatuan kepemilikan, yang
mempunyai masa manfaat lebih dari satu tahun dan digunakan secara langsung
untuk menghasilkan atau meningkatkan ataupun memperlancar produksi barang
atau jasa oleh lessee (Pasal 1 b. Kepmenkeu Rl No.1169/KMK.01/1991 tentang
Kegiatan Sewa Guna Usaha (leasing)).
Berakhirnya perjanjian leasing dapat terjadi secara normal dan tidak
normal. Perjanjian leasing berakhir secara normal jika kewajiban-kewajiban
semua pihak telah dilaksanakan sebagaimana mestinya menurut perjanjian
leasing, yaitu sejak lessee melunasi pembayaran uang sewa terakhir ditambah
biaya-biaya lain jika ada. Sedangkan suatu perjanjian leasing berakhir secara tidak
normal apabila jangka waktu berlakunya perjanjian leasing belum berakhir, tetapi
kewajiban salah astu pihak terhenti karena adanya suatu peristiwa tertentu.
Perjanjian leasing berakhir secara tidak normal baik karena consensus,
wanprestasi maupun overmacht.
3.Perjanjian Kredit Sindikasi
Pengertian Perjanjian Kredit Sindikasi menurut Stanley Hum seperti dikutip
oleh Remy Sjahdeini adalah suatu pinjaman yang dibuat oleh dua atau lebih
lembaga keuangan, berdasarkan syarat-syarat yang sama bagi masing-masing
peserta Sindikasi, menggunakan dokumen kredit tunggal dan diadministrasikan
oleh satu agen yang sama untuk semua peserta Sindikasi tujuannya untuk
membiayai suatu obyek fasilitas kredit milik debitur dan dalam jangka waktu yang
disepakati oleh para pihak.
Ada dua cara terbentuknya kredit Sindikasi, yang pertama atas permintaan
nasabah dan yang kedua atas inisiatif bank yang memandang perlu untuk
membiayai suatu proyek milik nasabah dalam bentuk Sindikasi.
Ada beberapa tahap pembentukan kredit Sindikasi, yaitu (1) penawaran
(offer) bisa dari bank atau dari pihak debitur yang memerlukan dana, (2)
pembentukan arrangers yang terdiri dari bank-bank yang akan menjadi bagian dari
kredit Sindikasi yang tidak harus menjadi peserta Sindikasi, (3) Pembentukan lead
manager dan managing group, (4) Penyampaian penawaran (offer) dan
Penerimaan Mandat, (5) Penyiapan information memorandum dan Perjanjian
Kredit, (6) Penunjukan Agen Bank yang dilakukan sebelum perjanjian kredit
sindikasi ditanda tangani, (7) Upacara penandatanganan perjanjian kredit
sindikasi yang disebut loan signing ceremony, (8) Perlaksanaan pubiisitas yang
tujuannya untuk transparansi agar masyarakat dapat mengukur tingkat risiko dari
debitur.
Perjanjian kredit sindikasi adalah perjanjian pokok dimana sebagai
perjanjian pokok selalu diikuti dengan perjanjian-perjanjian tambahan, yaitu
Perjanjian Pembagian Hasil Jaminan (Security Sharing Agreement) dan Perjanjian
Pengikatan jaminan.
Berakhirnya perjanjian kredit sindikasi terjadi apabila debitur telah
melaksanakan kewajiban-kewajibannya yaitu melakukan pembayaran, baik
pembayaran utang pokok, bunga, denda dan biaya-biaya lain yang timbul akibat
perjanjian tersebut.
C. HUKUM JAMINAN
1. Pengertian Jaminan
Pengertian jaminan tidak dijumpai dalam undang-undang, namun dalam
literature dijumpai istilah zackerheidsrechten yang lazim diterjemahkan sebagai
hukum jaminan. Pitlo seorang ahli hukum mengartikan zackerheidsrechten
sebagai hak (een recht) yang memberikan kepada seorang kreditur kedudukan
yang lebih baik dari pada kreditur-kreditur lainnya. Recht dalam istilah
zackerheidsrechten diartikan sebagai hak dan bukan hukum.
Namun demikian meskipun undang-undang tidak memberikan pengertian
tentang hukum jaminan, dalam KUHPerdata dapat dijumpai pasal yang mengatur
tentang jaminan secara umum yaitu Pasal 1131 dan Pasal 1132 KUHPerdata.
Pasal 1131 KUHPerdata menyebutkan bahwa semua barang milik debitur
baik yang bergerak maupun tetap, yang sudah ada maupun yang masih akan ada
menjadi tanggungan/jaminan untuk seluruh utang debitur. Jadi ada dua macam
unsur, yaitu schuld (utang) dan haftung (tanggung jawab) yang ada pada diri
debitur.
Sedang Pasal 1132 KUHPerdata menyebutkan bahwa kebendaan tersebut
menjadi jaminan bersama-sama bagi semua orang yang mengutangkan padanya,
pendapatan penjual dari benda-benda itu dibagi-bagi menurut keseimbangan,
yaitu menurut besar kecilnya piutang-piutang, kecuali apabila diantara para
berpiutang itu ada alasan-alasan yang sah untuk didahulukan. Jadi hasil dari
penjualan seluruh kebendaan milik debitur digunakan untuk membayar kreditur
secara berimbang menurut besar kecil piutangnya, kecuali apabila ada hak
didahulukan.
Oleh karena itu seseorang yang akan meminjam uang, tidak hanya wajib
mengembalikan uang yang dipinjamnya itu saja, akan tetapi diapun wajib
menyediakan harta bendanya sebagai jaminan pelunasan hutang. Hal ini disebut
sebagai jaminan yang bersifat umum, artinya seluruh harta benda milik debitur
baik benda yang bergerak maupun tetap, yang sudah ada maupun yang masih
akan ada dijadikan sebagai jaminan.
Disamping jaminan umum dikenal pula jaminan khusus, dimana untuk
adanya jaminan itu harus diperjanjikan terlebih dahulu oleh para pihak. Jaminan
khusus ini dapat berupa jaminan yang bersifat perorangan (persoonlijke) maupun
bersifat kebendaan (zakelijke).
Jaminan terhadap harta benda milik debitur ini merupakan jaminan yang
bersifat kebendaan, sedangkan jaminan perorangan adalah adanya pihak ketiga
baik badan pribadi maupun badan hukum yang sanggup menjamin pemenuhan
hutang debitur apabila debitur wanprestasi.
Jaminan yang dilembagakan sebagai jaminan khusus yang bersifat
kebendaan di dalam KUHPerdata adalah gadai dan hipotik, sedangkan yang diluar
KUHPerdata adalah fiducia dan credit verband. Namun setelah berlakunya UU
Nomor 4 Tahun 1996, hipotik dan credit verband atas tanah diganti menjadi hak
tanggungan.
2. Gadai
Pengertian gadai menurut Pasal 1150 KUHPerdata adalah suatu hak yang
diperoleh seorang berpiutang atas suatu barang bergerak, yang diserahkan
kepadanya oleh seorang berutang atau oleh seorang lain atas namanya, dan yang
memberikan kekuasaan kepada siberpiutang itu untuk mengambil pelunasan dari
barang tersebut secara didahulukan dari pada orang-orang berpiutang lainnya;
dengan perkecualian biaya yang telah dikeluarkan untuk menyelamatkannya
setelah barang itu digadaikan. Jadi menurut pasal tersebut gadai adalah hak.
Syarat gadai adalah benda gadai harus ditaruh dibawah kekuasaan
pemegang gadai (inbezitstelling).
Tidak semua benda
dapat digadaikan. Beberapa contoh benda yang
tidak dapat digadaikan, yaitu: binatang ternak, benda yang mudah rusak dan
mudah busuk, benda yang harganya tidak stabil, benda milik negara dan lain-lain
Adapun hak pemegang gadai, yaitu:
1. Menjual benda gadai
2. Menahan benda gadai mendapat pembayaran lebih dahulu Sedangkan
kewajiban pemegang gadai:
1. Bertanggung jawab atas hilangnya benda jaminan
2. Memberitahukan kepada pemberi gadai jika benda akan dijual ulang
3. Memperhitungkan hasil penjualan benda gadai
Hapusnya gadai atau berakhirnya hak gadai karena beberapa cara, yaitu:
1. Hapusnya perikatan pokok
2. Benda gadai keluar dari kekuasaan pemegang gadai
3. Musnahnya benda gadai
4. Penyalahgunaan benda gadai (Pasal 1159 ayat (1) KUHPerdata)
5. Pelaksanaan eksekusi
6. Kreditur melepaskan benda gadai secara sukarela (Pasal
1152
ayat(2) KUHPerdata)
3. Fiducia
Pengertian fiducia adalah hak kreditur untuk mengambil pelunasan
piutangnya dari benda bergerak yang hak miliknya diserahkan kepada pihak
debitur.
Penyerahan hak milik dalam fiducia ini adalah penyerahan secara
kepercayaan, tidak bermaksud memindahkan hak milik tetapi hanya sebagai
jaminan.
Perbedaan antara fiducia dan gadai, yaitu dalm fiducia yang diserahkan
oleh debitur kepada kreditur adalah hak miliknya dan fisik bendanya masih pada
debitur, sedangkan pada gadai yang diserahkan oleh debitur kepada kreditur
adalah fisik bendanya dan hak miliknya masih ada pada debitur.
Benda-benda yang dapat difiduciakan menurut Pasal 1 ayat (2) UU Nomor
42 Tahun 1999 adalah benda-benda bergerak baik yang berwujud maupun yang
tidak berwujud dan benda yang tidak bergerak khususnya bangunan yang tidak
dapat dibebani hak tanggungan.
Perjanjian fiducia harus dibuat dengan akta fiducia oleh notaris. Setelah
dibuat akta fiducia oleh notaris kemudian harus di adakan pendaftaran jaminan
fiducia pada kantor pendaftaran fiducia yang berada di bawah departemen
kehakiman. Fiducia dapat hapus atau berakhir karena :
1. Hapusnya hutang pokok
2. Musnahnya benda fiducia
3. Keluarnya benda fiducia dari pemegang fiducia karena hilang atau dicuri
orang
4. Hak Tanggungan
pengertian hak tanggungan adalah hak jaminan yang dibebankan pada
hak atas tanah, untuk pelunasan hutang tertentu, yang memberikan kedudukan
yang diutamakan kepada kreditur tertentu daripada kreditur lain.
Lahirnya hak tanggungan pada hari tanggal buku tanah hak tanggungan,
yaitu pada tanggal hari ke-7 (tujuh) setelah penerimaan secara lengkap surat-surat
yang diperlukan bagi pendaftarannya.
Peringkat hak tanggungan ditentukan oleh tanggal pendaftarannya, tetapi jika hak
tanggungan didaftarkan pada tanggal yang sama, peringkatnya ditentukan oleh
tanggal pembuatan akta pemberian hak tanggungan.
Janji-janji yang dapat dicantumkan dalam akta pemberian hak tanggungan
meliputi:
1. Janji tentang sewa hak tanggungan
2. Janji mengubah objek hak tanggungan
3. Janji untuk mengelola hak tanggungan
4. Janji untuk menyelamatkan hak tanggungan
5. Janji untuk menjual hak tanggungan
6. Janji untuk membersihkan hak tanggungan
7. Janji untuk tidak melepaskan objek hak tanggungan
8. Janji untuk memperoleh ganti rugi dari objek hak tanggungan
9. Janji untuk memperoleh uang asuransi
10. Janji untuk mengosongkan objek hak tanggungan pada waktu eksekusi
hak tanggungan
11. Janji bahwa sertifikat hak atas tanah yang telah diberi catatan
pembebanan hak tanggungan dipegang oleh penerima hak tanggungan.
Sedangkan cara hapus atau berakhirnya hak tanggungan karena:
1. Hapusnya hutang yang dijamin dengan hak tanggungan
2. Dilepas oleh pemegangnya
3. Pembersihan hak tanggungan
4. Hapusnya hak atas tanah
5. Borgtocht
Pengertian borgtocht menurut Pasal 1820 KUHPerdata adalah suatu
perjanjian dimana seorang pihak ketiga guna kepentingan siberhutang,
meghikatkan diri untuk memenuhi perikatan siberhutang manakala si berhutang itu
wanprestasi.
Sari beberapa ketentuan undang-undang dapat disimpulkan bahwa
perjanjian penanggungan (borgtocht) bersifat accesoir, dalam arti selalu dikaitkan
dengan perjanjian pokok. Adapun ciri-ciri borgtoch:
1. Tidak ada penanggungan tanpa adanya perikatan pokok yang sah
2. Besarnya penanggungan tidak akan melebihi besarnya perikatan
pokok
3. Penanggung
berhak
mengajukan
tangkisan-tangkisan
yang
bersangkutan dengan perikatan pokok
4. Beban
pembuktian
yang
tertuju
pada
siberhutang
dalam
batas-batas tertentu mengikat juga si penanggung
5. Penggung pada umumnya akan hapus dengan hapusnya perikatan
pokok
Dalam kedudukannya sebagai perjanjian yang bersifat accesoir maka
perjanjian penanggungan seperti halnya perjanjian-perjanjian accesoir yang lain
akan memperoleh akibat-akibat:
1. Adanya perjanjian penggungan tergantung pada perjanjian pokok
2. Jika perjanjian pokok batal maka perjanjian penanggungan juga ikut
batal
3. Jika perjanjian pokok hapus maka perjanjian penaggungan juga ikut
hapus
4. Dengan beralihnya piutang pada perjanjian pokok maka semua
perjanjian accesoir yang melekat pada piutang tersebut akan ikut
beralih
Hak-hak dari seorang borg adalah:
1. Hak untuk menuntut lebih dahulu
2. Hak untuk membagi hutang
3. Hak untuk mengajukan tangkisan gugat
4. Hak untuk diberhentikan dari penanggungan (karena terhalang melakukan
subrogasi sebagai akibat kesalahan kreditur).
Penanggung juga mempunyai hak regres dan hak subrogasi dalam
hubungan hukum antara penanggung dengan debitur. Hak regres adalah hak
menuntut kembali pembayaran tersebut dari si debitur, baik penanggungan itu
terjadi dengan sepengetahuan atau tanpa sepengetahuan debitur.
D. HUKUM HARTA PERKAWINAN
1. Pengertian, tempat pengaturan dan sifat hukum harta perkawinan
Pengertian perkawinan menurut Pasal 1 UU No.1 Tahun 1974 tentang
Perkawinan (UUP) adalah ikatan lahir bathin antara seorang pria dengan seorang
wanita sebagai suami isteri dengan tujuan membentuk keluarga yang bahagia dan
kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. Jadi perkawinan yang sah dan
mempunyai akibat hukum hanya perkawinan yang dilakukan menurut ketentuan
perundang-undangan yang berlaku.
Akibat hukum adanya perkawinan bersifat komplek, artinya tidak hanya
berakibat bagi suami dan isteri yang melangsungkan perkawinan itu saja, akan
tetapi juga menimbulkan akibat bagi anak-anak yang dilahirkan dan harta
perkawinan.
Akibat perkawinan bagi suami dan isteri adalah timbulnya hak dan
kewajiban diantara mereka diatur dalam Pasal 103-118 KUHPerdata (dengan
mengingat SEMA No.3 Tahun 1963 yang menghimbau kepada hakim di seluruh
Indonesia agar tidak menggunakan Pasal 108 dan 110 KUHPerdata), serta Pasal
30 - 34 UUP.
Akibat hukum adanya perkawinan terhadap anak yaitu timbulnya hak dan
kewajiban yang bersifat timbal balik antara orang tua dan anak yang disebut
dengan kewajiban alimentasi, yang diatur dalam Pasal 298 -319 KUHPerdata dan
Pasal 45 - 49 UUP. Yang dimaksud kewajiban alimentasi misalnya kewajiban anak
untuk menghormati orang tuanya sebaliknya kewajiban orang tua adalah mendidik
dan memberikan nafkah kepada anak yang belum dewasa sesuai dengan
kemampuannya.
Sedangkan akibat perkawinan bagi harta perkawinan diatur dalam Pasal
119 - 198 KUHPerdata dan Pasal 29 - 37 UUP. Akibat adanya perkawinan
menimbulkan beberapa macam harta, yaitu harta bawaan suami, harta bawaan
isteri dan harta bersama. Timbulnya bermacam-macam harta tersebut dapat
menimbulkan konflik yang berkaitan dengan harta perkawinan. Agar konflik itu
dapat diselesaikan maka diperlukan Hukum Harta Kekayaan.
Hukum Harta Kekayaan di dalam KUHPerdata diatur dalam Buku I Tentang
Orang, Bab VI dan IX, Pasal 119 - 198. Ketentuan tentang Hukum Harta Kekayaan
dalam KUHPerdata bersifat pelengkap (Pasal 119 ayat (1) ), artinya ketentuan itu
hanya berlaku apabila suami-isteri tidak membuat perjanjian kawin, apabila
mereka membuat janji kawin maka perjanjian kawin itulah yang berlaku.
Sedangkan dalam UUP Hukum Harta Kekayaan diatur dalam Pasal 35 ayat (1)
dan (2) dan bersifat sebagai hukum pelengkap juga.
2. Terbentuknya hukum harta perkawinan dan macamnya
Menurut KUHPerdata ada beberapa cara terbentuknya hukum harta
perkawinan, yaitu;
1. Apabila tidak diperjanjikan dan menurut ketentuan KUHPerdata, maka
demi hukum terjadi Persatuan Bulat antara harta kekayaan suami dan
isteri.
2. Apabila diperjanjikan ada 2 (dua) hal:
a. ekstrem (sama sekali tidak ada persatuan), artinya dalam hal ini
harta suami dan isteri terpisah sama sekali.
b. tidak
ekstrem
(ada
persatuan
tetapi
terbatas),
banyak
sekali variasi persatuan terbatas akan tetapi yang diatur dalam
KUHPerdata hanya 2 (dua) yaitu persatuan terbatas untung dan
rugi, persatuan terbatas hasil dan pendapatan.
Menurut UUP, hukum harta perkawinan diatur dalam Pasal 35 ayat (1) dan
(2) yang meliputi:
1. Tidak diperjanjikan ada 3 (tiga) macam harta, yaitu
a. harta suami
b. harta isteri
c. harta bersama
2. Diperjanjikan ada 2 macam hukum harta perkawinan, yaitu:
a. tidak diperjanjikan terjadi persatuan secara bulat
b. diperjanjikan secara ekstrim dan tidak ekstrim
3. Tidak diperjanjikan terjadi Persatuan Secara Bulat
Persatuan secara bulat diatur dalam Pasal 119 – 138 KUHPerdata.
Pengertian Persatuan Bulat terdapat dalam Pasal 119 ayat (1) KUHPerdata yang
menyatakan bahwa mulai saat perkawinan dilangsungkan, demi hukum berlakulah
persatuan bulat antara harta kekayaan suami dan isteri, sekedar mengenai itu
dengan perjanjian kawin tidak diadakan ketentuan lain. Selanjutnya ayat (2)
menyatakan bahwa persatuan harta secara bulat ini tidak dapat dirubah atau
ditiadakan dengan persetujuan suami isteri.
Adapun rincian harta persatuan diatur dalam Pasal 120 dan Pasal 121
KUHPerdata yang meliputi:
1. Segala harta kekayaan dari suami dan isteri, bergerak ataupun tidak
bergerak (tetap) sebelum dan pada waktu perkawinan dilangsungkan.
2. Segala harta kekayaan suami dan isteri, bergerak ataupun tidak bergerak
(tetap) selama perkawinan berlangsung.
3. Segala harta kekayaan suami dan isteri bergerak ataupun tidak bergerak
(tetap) yang diperoleh secara Cuma-Cuma kecuali pewaris atau pemberi
melarang pemberian itu dimasukkan pada persatuan
4. Segala beban yang dapat berupa kerugian dan hutang dari suami dan isteri
sebelum dan sesudah perkawinan dilangsungkan.
Dalam persatuan bulat dimungkinkan terjadi hutang pesatuan. Pengertian
hutang persatuan adalah hutang-hutang yang dibuat oleh suami atau isteri selama
perkawinan untuk keperluan rumah tangga dan hutang tersebut merupakan beban
persatuan.
Selain hutang persatuan, didalam persatuan bulat juga dimungkinkan
hutang pribadi. Hutang pribadi adalah hutang yang melekat pada benda pribadi
suami atau isteri. Hutang pribadi terjadi ketika pemberian barang yang oleh
pemberinya dilarang dimasukkan dalam persatuan tersebut dibebani hak
tanggungan.
Pembayaran hutang persatuan dibayar dari harta persatuan, jika harta
persatuan tidak cukup maka hutang persatuan dibayar dengan harta pribadi orang
yang membuat hutang. Sedangkan hutang pribadi dibayar dengan harta pribadi,
jika harta pribadi tidak mencukupi maka dibayar dengan harta persatuan karena
baik suami atau isteri berhak atas separo harta persatuan.
Dalam UU No. 1 Tahun 1974 tentang perkawinan, dikenal ada 3 (tiga)
macam harta, yaitu harta suami, harta isteri (diatur dalam Pasal 35 ayat (1), (2)
UUP) dan harta bersama (Pasal 36 ayat (1), (2) UUP).
Pengurusan harta persatuan menurut KUHPerdata diatur dalam Pasal 124
ayat (1) KUHPerdata, dilakukan oleh suami. Hal ini berpangkal pada Pasal 105
ayat (1) KUHPerdata yang menyebutkan bahwa suami adalah kepala harta
persatuan. Pengertian pengurusan meliputi menjual, memindah tangankan,
membebani hutang harta kekayaan tanpa campur tangan isteri termasuk juga
memutuskan/menetapkan (beschikken). Namun demikian ada pembatasan hak
pengurusan suami terhadapa harta persatuan baik yang diatur dalam UU maupun
yang diperjanjikan. Pembatasan yang diberikan oleh UU diatur dalam Pasal 124
ayat (3), (4), Pasal 125 dan pembatasan yang diperjanjikan diatur dalam Pasal 140
ayat (3). Sedangkan pengurusan harta persatuan menurut UUP diatur dalam
Pasal 35 - 37 UUP.
Upaya hukum isteri untuk menghadapi penyalahgunaan kekuasaan yang
dilakukan
ayat
oleh
suami
diatur
dalam
Pasal
186,
243
dan
434
(3) KUHPerdata. Pasal 186 KUHPerdata mengatur bahwa:
"Isteri dapat menuntut suami agar supaya diadakan pemisahan harta
kekayaan. Penuntutan di pengadilan ini dapat dilakukan apabila:
a. suami melakukan pemborosan.
b. suami tidak mengurus harta kekayaan sendiri dengan baik sehingga
mengkhawatirkan pekerjaan isteri.
Pasal 243 KUHPerdata mengatur bahwa:
"Apabila telah terjadi
putusan
hakim tentang perpisahan meja dan
ranjang maka berakibat perpisahan harta persatuan dengan sendirinya."
Pasal 434 ayat (3) KUHPerdata mengatur bahwa:
"Isteri dapat menuntut agar suami diletakkan di bawah pengampuan
(kuratele)."
Setelah perkawinan bubar, seorang bekas isteri masih mempunyai upaya
hukum dalam menghadapi bekas suami yang kurang bertanggung jawab terhadap
tuntutan kreditur selama masa perkawinan (Pasal 132 ayat (1) dan (2)
KUHPerdata).
Hak isteri untuk melepaskan haknya atas persatuan dapat gugur dalam hal
dipenuhinya ketentuan Pasal 133,136 dan 137 KUHPerdata. Harta persatuan juga
dapat bubar karena adanya beberapa peristiwa:
1. Kematian
2. Keadaan tidak hadir
3. Perceraian
4. Perpisahan meja dan ranjang
5. Perpisahan harta kekayaan
Akibat bubarnya persatuan maka terjadi pembagian harta antara suami
dan isteri masing-masing setengah bagian. Apabila bubarnya persatuan
disebabkan karena kematian, maka berlakulah ketentuan mengenai hukum waris.
4. Perjanjian Kawin
Pengertian perjanjian kawin adalah perjanjian yang dibuat oleh calon suami
isteri untuk mengatur akibat perkawinan dalam hal harta perkawinan. Perjanjian
kawin diatur dalam Bab VII Pasal 139 - 165 KUHPerdata.
Tujuan diadakannya perjanjian kawin adalah untuk membatasi atau
meniadakan persatuan bulat menurut UU, selain itu perjanjian kawin juga untuk
membatasi kekuasaan suami yang begitu besar terhadap harta persatuan seperti
yang diatur dalam Pasal 124 ayat (2) KUHPerdata.
Selain diatur dalam KUHPerdata, perjanjian kawin juga diatur dalam UUP.
Ada 5 (lima) perbedaan pokok perjanjian kawin antara KUHPerdata dengan UUP
yang meliputi pengaturan, bentuk, saat atau waktu dibuat, saat mulai berlaku dan
dapat / tidak diubah perjanjian kawin tersebut.
Yang dapat membuat perjanjian kawin adalah orang sudah dewasa dan
cakap, karena perjanjian kawin merupakan perbuatan hukum. Dalam KUHPerdata
tidak ada satu pasalpun yang memberikan definisi tentang batas dewasa, namun
Pasal 330 KUHPerdata memberikan definisi tentang belum dewasa yaitu mereka
yang belum mecapai umur genap duapuluh satu tahun dan tidak lebih dahulu telah
kawin. Dari Pasal 330 tersebut dapat disimpulkan bahwa seseorang dikatakan
dewasa apabila ia telah berusia 21 tahun atau telah kawin (KUHPerdata batas
minimal usia untuk kawin laki-laki 19 tahun, wanita 15 tahun, sedangkan UUP
laki-laki 19 tahun, wanita 16 tahun). Namun dalam Pasal 153 yang merupakan
perkecualian diatur tentang anak yang belum dewasa tetapi sudah memenuhi
syarat-syarat kawin dapat membuat perjanjian kawin dibantu oleh orang yang
memberi ijin kawin.
Apabila dalam perkawinan diadakan perjanjian kawin yang ekstrim, maka
sama sekali tidak ada persatuan. Perjanjian kawin semacam ini diadakan
kemungkinan untuk menghindari kesulitan dalam menentukan apa yang dianggap
sebagai keuntungan dan kerugian (lihat Pasal 144 jo 140 ayat (2) KUHPerdata).
Sedangkan dalam perjanjian kawin yang tidak ekstrirn terjadi persatuan
harta kekayaan terbatas. Didalam KUHPerdata dikenal ada 2 (dua) macam
persatuan terbatas, yaitu:
1. Persatuan harta kekayaan Terbatas Untung dan Rugi
2. Persatuan harta kekayaan Terbatas Hasil dan Pendapatan
5. Persatuan harta kekayaan Terbatas Untung dan Rugi
Pengertian persatuan untung dan rugi adalah perjanjian kawin yang
menghendaki supaya tidak semua harta kekayaan dari suami dan isteri dicampur
menjadi satu (menjadi milik bersama), melainkan hanya sebagian harta
perkawinan saja yaitu segala untung dan rugi.
Untung adalah setiap bertambahnya kekayaan sepanjang perkawinan
karena hasil harta kekayaan dan pendapatan suami isteri masing-masing dan
kerugian adalah setiap berkurangnya kekayaan karena pengeluaran yang
melampaui pendapatan.
Dalam hal ini yang bercampur hanya keuntungan dan kerugian saja,
sedangkan harta kekayaan lainnya menjadi milik pribadi, misalnya:
1. Barang-barang yang dibawa sebelum perkawinan
2. Warisan
3. Hibah wasiat
4. Naik turunnya nilai harta milik pribadi
5. Perbaikan dan kerusakan dari milik pribadi
Cara membuat perjanjian terbatas untung dan rugi:
1. Dengan tegas diperjanjikan bahwa mereka menghendaki persatuan
untung dan rugi (Pasal 155 KUHPerdata).
2. Dengan memperjanjikan bahwa mereka meniadakan persatuan harta
kekayaan secara bulat (Pasal 154 KUHPerdata).
6. Persatuan Terbatas Hasil dan Pendapatan
Persatuan Hasil dan Pendapatan diatur dalam Pasal 164, 165-167
KUHPerdata. Pasal 164 KUHPerdata menyatakan bahwa apabila diperjanjikan
persatuan hasil dan pendapatan maka tidak ada persatuan kekayaan secara bulat
dan persatuan untung dan rugi.
Didalam persatuan terbatas hasil dan pendapatan, persatuan hanya
keuntungannya saja, sedangkan kerugian ditanggung oleh suami sebagai kepala
keluarga, kecuali hutang itu dibuat oleh suami atau isteri untuk kepentingan
pribadi. Dalam hal terjadi hal demikian, maka tanggung jawab ada pada pribadi
masing-masing suami atau isteri.
Hutang bersama termasuk hutang persatuan, sehingga harus dibayar
dengan harta persatuan. Jika harta persatuan tidak cukup maka sisanya harus
dibayar oleh suami.
E. HUKUM WARIS
1. Pengertian dan Persyaratan Pewarisan
Pengertian hukum waris menurut Mr.A.Pittlo adalah suatu rangkaian
ketentuan
dimana
berhubungan
dengan
meninggalnya
seseorang,
akiobat-akibatnya di dalam bidang kebendaan diatur, yaitu akibat dari beralihnya
harta peninggalan dari seseorang yang meninggal dunia kepada ahli warisnya
baik dalam hubungannya antara mereka sendiri maupun dengan pihak ketiga. Dari
pengertian tersebut tampak ada tiga macam hubungan, yaitu:
a. Hubungan antara pewaris dengan ahli waris.
b. Hubungan antara sesama ahli waris.
c. Hubungan antara ahli waris dengan pihak ketiga.
Melihat pengertian diatas tampak bahwa didalam hukum waris ada
peristiwa yang disebut pewarisan. Pengertian pewarisan adalah peristiwa
peralihan hak dan kewajiban dari pewaris kepada orang-orang yang masih hidup
(ahli waris). Dari pengertian pewarisan ada tiga unsur pewarisan, yaitu:
a. Adanya pewaris
b. Adanya ahli waris
c. Adanya hak dan kewajiban yang beralih
Unsur-unsur tersebut harus memenuhi persyaratan:
Ad a. Pewaris
Persyaratan untuk pewaris ada dalam Pasal 830 KUHPerdata yang
menyatakan bahwa pewaris harus sudah meninggal dunia. Pasal 830
KUHPerdata ini berlaku baik bagi hukum waris ab intestate maupun
testamenter
Ad b. Ahli Waris
Ada tiga macam persyaratan bagi seorang ahli waris, yaitu:
1) Ahli waris harus sudah ada dan masih ada pada saat pewaris meninggal
dunia, dengan mengingat Pasal 2 KUHPerdata.
2) Calon ahli waris harus mempunyai hak atas harta peninggalan
pewaris. Hak ini timbul karena dua hal:
a. Adanya hubungan darah antara ahli waris dengan pewaris (ahli
waris ab intestate)
b. Adanya pemberian melalui surat wasiat atau testamen (ahli
waris testamenter).
3) Calon ahli waris tersebut bukan orang yang dinyatakan tidak patut untuk
mewaris (onwaardig), tidak cakap untuk mewaris ataupun orang yang
menolak warisan.
Ad c. Harta Warisan
Hak dan kewajiban yang akan beralih adalah hak dan kewajiban yang
bersumber pada hukum harta kekayaan, akan tetapi ada perkecualiannya,
yaitu:
a. Adanya hak-hak yang bersumber pada hukum harta kekayaan yang
dengan tegas dinyatakan tidak dapat diwariskan
b. Adanya hak-hak yang tidak bersumber pada hukum harta kekayaan
tetapi justru dinyatakan dapat diwariskan.
Hak-hak utama ahli waris ada tiga, yaitu:
1. Hak Saisine
Hak saisine adalah perpindahan hak dan kewajiban dari seorang yang
meninggal dunia kepada ahli warisnya yang terjadi secara otomatis/demi
hukum tanpa si ahli waris wajib melakukan sesuatu. Hak ini diatur dapam
Pasal 833 dan Pasal 955 KUHPerdata.
2. Hak menuntut pembagian harta warisan
Hak ini diatur dalam Pasal 1066 KUHPerdata yang merupakan sendi
penting hukum waris barat, karena menunjukkan karakteristik hukum
perdata barat yang individualistis kapitalistik.
3. Hak Hereditatis Petitio
Hak Hereditatis Petitio adalah hak untuk mengajukan gugat guna
mempertahankan
barang-barang
yang
dikuasai
oleh
orang
lain
dimasukkan kembali dalam boedel warisannya. Hak ini diatur dalam Pasal
834 dan Pasal 955 ayat (2) KUHPerdata. Hak ini ditujukan kepada:
a. Sesama ahli waris
b. Orang yang tanpa alas hak apapun menguasai seluruh/sebagian
harta warisan
c. Orang yang secara licik telah menghentikan penguasaan ahli waris
terhadap benda-benda warisan.
2. Tempat Pengaturan Hukum Waris
Hukum waris diatur dalam Buku II Bab 12-18 KUHPerdata. Hukum waris
dibedakan menjadi dua bagian, yaitu:
a. Hukum Waris menurut ketentuan UU disebut juga Hukum Waris Ab
intestate, artinya hukum waris tanpa testamen/wasiat. Diatur dalam Buku II
Bab 12 KUHPerdata.
b. Hukum waris testamenter, artinya hukum waris menurut ketentuan
wasiat/testamen. Diatur dalam Buku II Bab 13 KUHPerdata.
Ada dua pendapat yang menyatakan alasan mengapa hukum waris diatur dalam
Buku II KUHPerdata:
Menurut Vollmar
Penempatan hukum waris dalam buku II tidak salah, karena hukum waris
dianggap sebagai hak kebendaan.
Pembentuk UU memang menganggap bahwa hukum hak waris adalah hak
kebendaan. Dasarnya beberapa ketentuan yang ada dalam KUHPerdata,
yaitu Pasal 1537 dan Pasal 957 KUHPerdata.
Menurut Pitlo
Dimasukkannya hukum waris dalam buku II dan dengan demikian
dianggap sebagai hak kebendaan, hal itu terjadi karena adanya kerancuan
antara dua prinsip yang berasal dari dua sistem hukum yang berbeda yang
mempengaruhi KUHPerdata pada saat pembentukannya, yaitu:
a. Sistem Hukum Romawi
Hak waris termasuk hak kebendaan karena warisan dipandang
sebagai suatu barang yang berdiri sendiri terhadap mana para ahli
waris mempunyai
hak milik bersama yang
bebas (vrije mede
eigendom), sehingga hukum waris diatur bersama-sama dengan
hukum kebendaan yang lain.
b. Hukum Germanic Kuno
Warisan bukan suatu hak yang mandir. Para ahli waris mempunyai
hak milik bersama atas warisan dan hak milik bersama itu
merupakan hak milik yang terikat (gebonde mede eigendom).
Dilihat dari sistematikanya, hukum waris mengikuti hukum Romawi
sehingga dianggap hukum benda, akan tetapi berdasarkan substansinya (materi)
hukum waris lebih menyerupai hukum Germania Kuno.
3. Hukum Waris Menurut Ketentuan UU
Menurut ketentuan UU, siapa yang berhak mewarisi seseorang ditentukan
dalam Pasal 832 KUHPerdata, yang menyatakan bahwa jika pewaris meninggal
dunia maka yang menjadi ahli waris adalah orang yang mempunyai hubungan
darah. Hubungan darah ada dua macam:
1. Hubungan darah yang sah
Yaitu hubungan darah yang terjadi sebagai akibat adanya perkawinan
yang sah.
2. Hubungan darah yang tidak sah
Yaitu hubungan darah yang timbul sebagai akibat terjadinya hubungan
diluar perkawinan.
Menurut doktrin ukuran untuk menentukan siapa yang dapat menjadi ahli
waris digunakan adagium de naaste in het blood, erft net goed ( yang mempunyai
hubungan darah terdekatlah yang mewarisi barang-barang).
Maksudnya adalah keluarga sedarah yang berhak mewarisi si meninggal dunia
adalah mereka yang mempunyai hubungan darah terdekat dengan si mati.
Untuk mengukur jauh dekatnya hubungan seseorang dipakai ukuran
hubungan
perderajatan
dan
cara
yang
lebih
mudah
adalah
dengan
mengelompokkan ahli waris kedalam golongan-golongan ahli waris. Golongan ahli
waris adaqlah sekelompok orang yang pada saat bersamaan tampil mewaris
bersama-sama. Ada empat golongan ahli waris, yaitu:
1. Ahli waris golongan I
Terdiri dari suami/isteri yang hidup terlebih lama dan anak-anak beserta
keturunan mereka ke bawah tanpa batas, dengan syarat perderajatan
yang lebih dekatlah yang berhak mewaris terlebih dahulu.
2. Ahli Waris Golongan II
Terdiri dari ayah, ibu beserta saudara-saudara dan keturunnnya sampai
batas yang diperkenankan oleh undang-undang. Batasan ini disebut dalam
Pasal 861 KUHPerdata, yaitu pada derajad keenam kecuali dalam hal
terjadi pewarisan karena pergantian tempat.
3. Ahli Waris Golongan III
Terdiri dari kakek, nenek dari garis ayah dan/atau ibu ke atas tanpa batas.
Pada pewarisan untuk golongan III terjadi pembelahan (kloving/splitsing).
4. Ahli Waris Golongan IV
Terdiri dari paman dan bibi baik dari garis ayah dan/atau ibu dan
keturunannya dalam batas yang diperkenankan oleh undang-undang
(Pasal 861 KUHPerdata).
4. Pembagian Warisan Untuk Golongan I
Hak Bagian golongan I diatur dalam dua Pasal, yaitu:
1. Pasal 852 ayat (1) dan (2) KUHPerdata ketentuan untuk anak-anak dan
keturunannya terus kebawah.
2. Pasal 852a KUHPerdata ketentuan untuk suami atau isteri yang hidup
terlebih lama.
Ad.a. Bagian Anak-anak dan Keturunannya
Didalam Pasal 852 ayat (1) mengandung asas-asas penting dalam hukum waris
perdata, yaitu:
1. Sistem pewarisan bilateral
2. Sistem pewarisan individual
3. Sistem pewarisan dalam KUHPerdata tidak membedakan anak-anak
berdasarkan:
a. Jenis kelamin
b. Saat kelahiran
c. Asal kelahiran
Pasal 852 ayat (2) menggambarkan dua macam pewarisan yang mungkin terjadi
dalam golongan I, yaitu:
1. Pewarisan karena haknya sendiri
a. Hubungan antara pewaris dengan ahli waris adalah hubungan yang
langsung.
b. Ahli waris terpanggil untuk mewaris karena haknya sendiri.
2. Pewarisan karena pergantian tempat, terjadi apabila:
a. Hubungan antara pewaris dan ahli waris adalah hubungan yang
tidak langsung, artinya hubungan yang diantarai oleh orang lain
b. Adanya ahli waris pengganti.
Ad.b. Bagian Suami atau Isteri yang Hidup Terlebih Lama
Bagian suami atau isteri yang hidup terlebih lama diatur dalam Pasal 852a. Pasal
ini mengatur tentang dua hal, yaitu:
1. Pasal 852a ayat (1) kalimat I mengatur bagian suami/isteri dalam
perkawinan yang pertama, bagiannya sama dengan bagian anak yang
sah.
2. Pasal 852a ayat (1) kalimat II mengatur bagian suami.isteri dalam
perkawinan kedua dan selanjutnya jika dari perkawinan yang terdahulu
ada anak atau keturunannya. Dalam hal ini bagian suami/isteri dalam
perkawinan kedua tersebut ada ukurannya:
a. Sama dengan bagian terkecil yang akan diterima anak dari
perkawinan terdahulu menunjuk pada legitieme portie
b. Maksimal yang boleh diterima adalah
1
4
dari harta peninggalan si
mati.
Kalau tidak ada anak atau keturunan, maka ketentuan kalimat kedua tidak berlaku.
Persamaan kedudukan suami/isteri yang hidup terlebih lama hanya berlaku dalam
melaksanakan ketentuan-ketentuan dalam Bab XII saja (hukum waris ab intestate
saja). Dalam hukum waris testamenter kedudukan anak sebagai legitimaris,
sedangkan ayah/ibu bukan legitimaris.
5. Pembagian Warisan Untuk Golongan II
Ketentuan pembagian warisan untuk ahli waris golongan II diatur dalam
empat pasal (Pasal 854, 855, 856 dan 857 KUHPerdata). Termasuk dalam
golongan II adalah ayah, ibu, saudara-saudara dan keturunannya. Terjadi
penyalahan prinsip de naaste in het Bloed erft het goed. Namum demikian dalam
menentukan bagian masing-masing ahli waris dalam golongan II prinsip de naaste
in het bloed erft het goed tetap diperhatikan sehingga orang tua diberi prioritas di
atas saudara-saudara dan keturunannya.
Empat pasal yang mengatur pembagian warisan untuk golongan II adalah
sebagai berikut:
1. Pasal 854 KUHPerdata
Mengatur pewarisan golongan II dalam hal kedua orang tuanya masih
hidup
sehingga
ahli
waris
terdiri
dari
ayah
dan
ibu
beserta
saudara-saudaranya.
2. Pasal 855 KUHPerdata
Mengatur pewarisan golongan II dalam hal hanya salah satu dari kedua
orang tua yang masih hidup sehingga ahli waris itu bisa ayah dan
saudara-saudara atau ibu dan saudara-saudara.
3. Pasal 856 KUHPerdata
Mengatur pewarisan golongan II dalam hal kedua orang tua sudah tidak
ada lagi sehingga ahli waris hanya tinggal saudara-saudara saja.
4. Pasal 857 KUHPerdata mengatur dua hal:
a. Bagian
warisan
yang
akan
diperoleh
saudara-saudara
yang berasal dari perkawinan yang sama.
b. Bagian warisan yang akan diperoleh saudara-saudara yang
berasal dari perkawinan yang berlainan.
6. Pembagian Warisan Untuk Golongan III
Ahli waris golongan III terdiri dari kakek, nenek baik dari garis ayah maupun
dari garis ibu lurus ke atas tanpa batas. Dasar pembagian warisan untuk golongan
III diatur dalam Pasal 853 KUHPerdata.
Pasal 853 ayat (1) mengatur bahwa jika seseorang meninggal dunia tanpa
meninggalkan ahli waris golongan I dan II, maka yang tampil mewaris adalah
golongan III dan sebelum warisan dibagi diadakan pembelahan (kloving/splitsing)
terlebih dahulu.
Pasal 853 ayat (2) merupakan indikator bahwa dalam pewarisan golongan
III prinsip yang terdekat hubungan darahnya yang berhak mewaris dipegang
teguh. Sedangkan ayat (3) menyatakan bahwa keluarga yang derajatnya sama
berbagi rata kepala demi kepala.
Untuk golongan III ini tidak dikenal pewarisan karena pergantian tempat,
hal ini disebutkan secara tegas dalam Pasal 843 KUHPerdata.
7. Pembagian Warisan Untuk Golongan IV
Ahli waris golongan IV adalah keluarga sedarah dalam garis kesamping
yang lebih jauh (paman.bibi), baik dari garis ayah maupun garis ibu (Pasal 858
KUHPerdata).
Setelah terjadi Moving, keluarga sedarah yang derajatnya sama membagi
kepala demi kepala.
Pewarisan karena pergantian tempat diperbolehkan dalam hak-hal yang
disebutkan dengan tegas dalam undang-undang:
1. Pergantian tempat dalam pewarisan golongan I (Pasal 842 KUHPerdata)
terjadi secara otomatis dan berlangsung tanpa batas.
2. Pergantian tempat dalam garis menyimpang (Pasal 844 KUHPerdata)
diperbolehkan, pergantian tempat terjadi secara otomatis.
3. Pergantian
tempat
dalam
pewarisan
golingan
IV
(Pasal
845 KUHPerdata) tidak terjadi secara otomatis, hanya terjadi jika dipenuhi
dua syarat:
a. Ada keluarga sedarah garis menyamping yang merupakan de
naaste in het bloed.
b. Ada keturunan dari saudara laki-laki dan perempuan dari orang
yang merupakan de naaste in het bloed.
8. Pewarisan Dalam Hal Ada Anak Luar Kawin
Pengertian anak luar kawin adalah anak yang dilahirkan di luar perkawinan
yang sah. Ada tiga macam anak luar kawin, yaitu:
1. Anak alami
Anak yang dilahirkan di luar perkawinan oleh kedua orang tua yang
masing-masing tidak berada dalam ikatan perkawinan dengan orang lain.
2. Anak Zinah
Anak yang dilahirkan di luar perkawinan antara kedua orang tua yang salah
satu atau kedua-duanya terikat perkawinan dengan orang lain.
3. Anak Sumbang
Anak yang lahir dari hubungan di luar perkawinan antara seorang pria
dengan seorang wanita yang menurut ketentuan undang-undang dilarang
kawin satu sama lain.
Tidak semua anak luar kawin dapat diakui, yang dapat diakui hanya anak
alami, sedang anak zinah sama sekali tidak boleh diakui oleh ayah/ibunya. Anak
sumbang juga tidak dapat diakui, kecuali anak yang dilahirkan dari hubungan
semenda dimana orang tua dapat mengajukan dispensasi. Pengakuan
mengakibatkan timbulnya hubungan hukum antara anak dan orang tua yang
mengakui:
1. Si anak berhak memakai nama keluarga ayah yang mengakuinya.
2. Timbul hubungan saling mewaris antara anak dengan orang tua yang
mengakuinya (title XII bagian III buku II KUHPerdata).
Pewarisan dalam hal adanya anak luar kawin diatur dalam Pasal 862 -873
KUHPerdata, tidak menjadi satu dengan pengaturan bagi anak-anak sah, karena
pengakuan bersifat persoonlijk.
Anak luar kawin diakui hanya mempunyai hubungan dalam garis lurus ke
atas sampai dengan ayah/ ibu yang mengakuinya, ke bawah, ke samping tidak
mempunyai keluarga sedarah kecuali ada anak yang sama-sama anak luar kawin.
Oleh karena itu ketentuan pewarisan bagi anak sah (Pasal 852) tidak dapat
diberlakukan bagi anak-anak luar kawin.
Hak waris anak luar kawin (Pasal 862 KUHPerdat) dibagi menjadi dua,
yaitu:
1. Hak waris aktif, yaitu satu pewarisan dimana anak luar kawin itu
berkedudukan selaku ahli waris (Pasal 862 - 866 KUHPerdata).
2. Hak waris pasif, yaitu suatu pewarisan dimana anak luar kawinlah yang
bertindak selaku pewaris.
Hak Waris Aktif
Bagian anak luar kawin diatur dalam Pasal 863 KUHPerdata, yaitu:
1. Anak luar kawin mewaris bersama golongan I bagiannya 1/3 andaikata
mereka anak-anak sah (dihitung secara individual).
2. Anak luar kawin mewaris bersama golongan II dan III bagiannya adalah 1/2
warisan (bagian maksimal).
3. Anak luar kawin mewaris bersama golongan IV bagiannya adalah ¾
warisan (kalau lebih dari satu mereka berbagi 1/2 atau 3/4).
Hak Waris Pasif
Kalau anak luar kawin meninggal dunia, maka ahli waris yang utama
adalah anak-anaknya yang sah dan isterinya. Namun jika anak luar kawin
meninggal dunia tanpa ada anak atau isteri maka berlakulah ketentuan
Pasal 870 KUHPerdata. Kalau ayah dan ibu tidak ada maka berlakulah
Pasal 871 KUHPerdata.
Download
Study collections