Edisi Penulisan - Bank Indonesia

advertisement
ANALISIS TRIWULANAN: Perkembangan Moneter, Perbankan dan Sistem Pembayaran, Triwulan II - 2007
SUSUNAN PENGURUS
BULETIN EKONOMI MONETER DAN PERBANKAN
Direktorat Riset Ekonomi dan Kebijakan Moneter
Bank Indonesia
Pelindung
Dewan Gubernur Bank Indonesia
Dewan Editor
Prof. Dr. Anwar Nasution
Prof. Dr. Miranda S. Goeltom
Prof. Dr. Insukindro
Prof. Dr. Iwan Jaya Azis
Prof. Iftekhar Hasan
Dr. M. Syamsuddin
Dr. Perry Warjiyo
Dr. Halim Alamsyah
Dr. Iskandar Simorangkir
Dr. Solikin M. Juhro
Dr. Haris Munandar
Dr. Andi M. Alfian Parewangi
Pimpinan Editorial
Dr. Perry Warjiyo
Dr. Iskandar Simorangkir
Direktur Eksekutif
Dr. Andi M. Alfian Parewangi
Sekretariat
Toto Zurianto, MBA
MS. Artiningsih, MBA
Buletin ini diterbitkan oleh Bank Indonesia, Direktorat Riset Ekonomi
dan Kebijakan Moneter. Isi dan hasil penelitian dalam tulisan-tulisan
dibuletin ini sepenuhnya tanggung jawab para penulis dan bukan
merupakan pandangan resmi Bank Indonesia.
Kami mengundang semua pihak untuk menulis pada buletin ini
paper dikirimkan dalam bentuk file ke Direktorat Riset Ekonomi dan
Kebijakan Moneter, Bank Indonesia Gedung Sjafruddin Prawiranegara Lt. 20;
Jl. M.H. Thamrin No. 2, Jakarta Pusat, email : [email protected]
Buletin ini diterbitkan secara triwulan pada bulan April, Juli, Oktober dan
Januari, bagi yang ingin memperoleh terbitan ini dapat menghubungi
Seksi Publikasi - Bagian Administrasi, Direktorat Statistik Ekonomi dan Moneter,
Bank Indonesia Gedung Sjafruddin Prawiranegara Lt. 2; Jl. M.H. Thamrin No. 2,
Jakarta Pusat, telp. (021) 381-8206. Untuk permohonan berlangganan:
telp. (021) 3818202, fax. (021) 3802283, email: [email protected].
1
BULETIN EKONOMI MONETER
DAN PERBANKAN
Volume 14, Nomor 2, Oktober 2011
Analisis Triwulanan: Perkembangan Moneter, Perbankan dan Sistem Pembayaran
Triwulan III - 2011
Tim Penulis Laporan Triwulanan, Bank Indonesia
109
Apakah Perkembangan Finansial Meredam atau Memperbesar Dampak Suatu Kejutan?
113
Meily Ika Permata, Ibrahim, Hidayah Dhini Ari
Bank Capital Inflows, Institutional Development and Risk: Evidence from Publicly Traded Banks in Asia
Wahyoe Soedarmono
135
Competitive Conditions in Banking Industry: An empirical Analysis of the Consolidation,
Competition and Concentration in the Indonesia Banking Industry between 2001
and 2009
Tri Mulyaningsih, Anne Daly
151
Relative Effectiveness of Indonesian Policy Choices during Financial Crisis
Tumpak Silalahi, Tevy Chawwa
187
ANALISIS TRIWULANAN: Perkembangan Moneter, Perbankan dan Sistem Pembayaran, Triwulan III - 2011
109
ANALISIS TRIWULANAN:
Perkembangan Moneter, Perbankan dan Sistem Pembayaran,
Triwulan III - 2011
Tim Penulis Laporan Triwulanan, Bank Indonesia
Rapat Dewan Gubernur (RDG) Bank Indonesia pada tanggal 11 Oktober 2011
memutuskan untuk menurunkan BI Rate sebesar 25 bps menjadi 6,50%. Bank Indonesia juga
akan tetap menempuh langkah-langkah stabilisasi nilai tukar rupiah khususnya dari dampak
gejolak pasar keuangan global. Keputusan ini diambil sejalan dengan keyakinan Bank Indonesia
bahwa inflasi pada akhir tahun ini maupun tahun depan akan berada di bawah 5%. Selain itu,
langkah-langkah tersebut ditempuh sebagai antisipasi untuk memitigasi dampak penurunan
kinerja ekonomi dan keuangan global terhadap kinerja perekonomian Indonesia. Ke depan,
Dewan Gubernur akan terus mencermati perkembangan ekonomi dan keuangan global serta
menempuh respons suku bunga serta bauran kebijakan moneter dan makroprudensial lainnya
untuk memitigasi potensi penurunan kinerja perekonomian Indonesia tersebut dengan tetap
mengutamakan pencapaian sasaran inflasi, yaitu 5%±1% pada tahun 2011 dan 4,5%±1%
pada tahun 2012.
Dewan Gubernur terus mewaspadai tingginya risiko dan ketidakpastian di pasar keuangan
global serta kecenderungan menurunnya kinerja perekonomian global akibat permasalahan
utang dan fiskal di Eropa dan AS. Perhatian terutama ditujukan pada dampak jangka pendek
melalui jalur finansial berupa melemahnya bursa saham, meningkatnya indikator risiko utang,
dan tekanan pembalikan arus modal portofolio (capital reversals) oleh investor global dari
emerging economies, termasuk Indonesia. Sementara itu, kinerja perekonomian global terindikasi
melemah seperti tercermin pada perlambatan kegiatan produksi dan penjualan ritel yang disertai
dengan tingkat keyakinan konsumen yang melemah di negara maju dan koreksi sejumlah
harga komoditas internasional. Di sisi lain, tekanan inflasi mulai mereda, meski inflasi negara
emerging markets masih relatif tinggi sehingga terjadi pergeseran respons kebijakan moneter
ke arah netral atau akomodatif. Ke depan, secara keseluruhan Dewan Gubernur melihat
kecenderungan menurunnya pertumbuhan ekonomi negara maju, melambatnya volume
perdagangan dunia, dan menurunnya harga komoditas global. Sementara itu di sektor keuangan,
tingginya ekses likuiditas global dan persespi resiko investor masih akan mendorong tetap
110 Buletin Ekonomi, Moneter dan Perbankan, Oktober 2011
derasnya aliran modal asing masuk ke negara-negara emerging economies, termasuk Indonesia,
baik dalam bentuk PMA maupun investasi portofolio.
Dewan Gubernur menilai bahwa fundamental ekonomi dan perbankan nasional tetap
kuat di tengah meningkatnya kekhawatiran terhadap prospek ekonomi dunia. Pertumbuhan
ekonomi pada triwulan IV 2011 diperkirakan akan lebih tinggi, terutama didukung oleh konsumsi
dan kegiatan investasi sehingga secara keseluruhan tahun 2011 dapat mencapai 6,6%. Sejauh
ini, dampak gejolak ekonomi global lebih dirasakan di pasar keuangan, sementara sektor riil
relatif belum terpengaruh. Namun, perekonomian global yang melemah diperkirakan akan
memengaruhi kinerja ekonomi domestik pada tahun 2012, baik melalui dampaknya pada pasar
keuangan maupun terhadap kegiatan perdagangan internasional. Pertumbuhan ekonomi
domestik tahun 2012 diprakirakan berada di sekitar 6,2%-6,7%. Pertumbuhan tersebut
ditopang oleh konsumsi yang tetap kuat dan investasi yang meningkat, namun ekspor akan
menghadapi tekanan. Secara sektoral, seluruh sektor ekonomi diprakirakan akan tumbuh
dengan baik. Sektor-sektor yang diprakirakan menjadi pendorong utama pertumbuhan ekonomi
ke depan, antara lain sektor industri; sektor perdagangan, hotel dan restoran; dan sektor
transportasi dan komunikasi.
Neraca Pembayaran Indonesia (NPI) pada triwulan IV 2011 diprakirakan akan kembali
surplus setelah mengalami tekanan akibat terjadinya aliran modal keluar pada triwulan
sebelumnya. Secara keseluruhan tahun 2011, NPI diprakirakan akan tetap mencatat surplus
yang cukup besar. Surplus NPI ini diprakirakan akan tetap berlangsung pada tahun 2012 terutama
didukung oleh surplus transaksi modal dan finansial yang terus meningkat, baik dalam bentuk
investasi portofolio maupun investasi langsung. Sejalan dengan itu, cadangan devisa pada
akhir September 2011 tercatat sebesar 114,5 miliar dolar AS, atau setara dengan 6,5 bulan
impor dan pembayaran utang luar negeri Pemerintah. Jumlah cadangan devisa tersebut lebih
dari cukup untuk mendukung kestabilan nilai tukar rupiah.
Nilai tukar rupiah pada triwulan III 2011 mengalami tekanan, khususnya pada bulan
September 2011. Pada triwulan III 2011, nilai tukar rupiah melemah 2,42% (ptp) menjadi
Rp8.790 per dolar AS dengan volatilitas yang meningkat. Namun, pelemahan nilai tukar rupiah
tersebut masih sejalan dengan pergerakan nilai tukar mata uang negara kawasan. Tekanan
terhadap rupiah antara lain dipengaruhi oleh meningkatnya faktor risiko global akibat
kekhawatiran terhadap prospek ekonomi dunia. Selain itu, meningkatnya permintaan valas
untuk memenuhi pembayaran impor turut menekan nilai tukar rupiah. Ke depan, Bank Indonesia
akan terus menjaga stabilitas nilai tukar rupiah guna mendukung terpeliharanya kestabilan
makroekonomi.
ANALISIS TRIWULANAN: Perkembangan Moneter, Perbankan dan Sistem Pembayaran, Triwulan III - 2011
111
Tekanan inflasi terus menurun. Inflasi IHK pada triwulan III 2011 tercatat sebesar 1,89%
(qtq) atau 4,61% (yoy), lebih rendah dari periode yang sama tahun sebelumnya. Penurunan
tekanan inflasi ini berasal dari kelompok volatile food dan administered prices seiring dengan
membaiknya pasokan, turunnya harga komoditas pangan internasional dan minimalnya
kebijakan Pemerintah terkait harga komoditas strategis. Sementara itu, tekanan kelompok inti
di luar kenaikan harga emas juga relatif terjaga baik karena kebijakan apresiasi nilai tukar pada
periode sebelumnya dan masih cukup memadainya pasokan dalam merespons permintaan.
Dengan perkembangan tersebut, inflasi pada tahun 2011 diyakini akan lebih rendah dari 5%.
Tahun 2012, inflasi akan tetap terkendali dan diprakirakan di bawah 5% seiring dengan
terjadinya koreksi harga komoditas global dan melemahnya perekonomian dunia.
Stabilitas sistem perbankan tetap terjaga dengan fungsi intermediasi yang membaik
meskipun terjadi gejolak pasar keuangan akibat pengaruh global. Stabilitas industri perbankan
masih tetap terjaga dengan baik sebagaimana tercermin pada tingginya rasio kecukupan modal
(CAR/Capital Adequacy Ratio) yang berada jauh di atas minimum 8% dan rendahnya rasio
kredit bermasalah (NPL/Non Performing Loan) gross di bawah 5%. Sementara itu, penyaluran
kredit untuk pembiayaan kegiatan perekonomian terus berlanjut, tercermin pada pertumbuhan
kredit yang mencapai 23,8% (yoy) hingga akhir September 2011. Bank Indonesia terus berupaya
menjaga stabilitas sistem perbankan dan mendorong fungsi intermediasi dengan tetap
memperhatikan prinsip kehati-hatian dengan mendorong ke arah pertumbuhan kredit produktif
sehingga perekonomian nasional tetap dapat mencapai pertumbuhan yang optimal di tengah
kondisi perekonomian global yang masih diliputi ketidakpastian.
Kehandalan dan efisiensi sistem pembayaran turut membantu capaian kinerja
makroekonomi Indonesia. Dukungan sistem pembayaran terhadap kinerja perekonomian
Indonesia terlihat dari ketersediaan Sistem Bank Indonesia-Real Time Gross Settlement (BIRTGS), Bank Indonesia-Scripless Security Settlement System (BI-SSSS) serta Sistem Kliring Nasional
Bank Indonesia (SKNBI) yang mencapai 100%. Selain itu, kehandalan sistem pemrosesan Alat
Pembayaran Menggunakan Kartu (APMK) dan Uang Elektronik yang diselenggarakan oleh
pihak di luar Bank Indonesia juga tetap terjaga. Bank Indonesia juga tetap mampu memenuhi
kebutuhan uang kartal meskipun terdapat kenaikan permintaan uang kartal oleh masyarakat
secara signifikan selama Ramadhan dan libur Idul Fitri yang lalu.
112 Buletin Ekonomi, Moneter dan Perbankan, Oktober 2011
halaman ini sengaja dikosongkan
Apakah Perkembangan Finansial Meredam atau Memperbesar Dampak Suatu Kejutan?
113
APAKAH PERKEMBANGAN FINANSIAL MEREDAM ATAU
MEMPERBESAR DAMPAK SUATU KEJUTAN?
Meily Ika Permata
Ibrahim
Hidayah Dhini Ari 1
Abstract
This paper analyzes the role of financial development on economic output in Indonesia. Using
vector autoregressive method, the results confirm the positive impact of financial development on output
growth. The interaction between the financial development and the shock either in financial or real sector
shows that the financial development has a positive role to dampen the negative impact of the shock on
the output growth, while strengthen the positive one. Another variable on the model, which significantly
affect the output growth are excess money, term of trade, and the price. Compare to these variables, the
marginal effect of financial development on output is smaller.
Keywords: Financial development, shock, output volatility, VAR.
JEL Classification: E44, O16
1 Meily Ika Pertama ([email protected]), Ibrahim ([email protected]) and Hidayah Dhini Ari ([email protected]) are researchers in Economic
Research Bureau, Directorate of Economic and Monetary Policy Research. The author thanks to Dr. Noer Azzam, Dr. Perry Warjiyo, Dr.
Iskandar Simorangkir and other colleagues in DKM for the excellent input and suggestion.
114 Buletin Ekonomi, Moneter dan Perbankan, Oktober 2011
I. PENDAHULUAN
Stabilitas makroekonomi merupakan salah satu syarat perlu bagi kesinambungan
pembangunan ekonomi. Oleh karena itu, upaya untuk memahami sumber-sumber instabilitas
kondisi makroekonomi merupakan salah satu tantangan yang senantiasa mendapatkan
perhatian penting dalam ranah ilmu ekonomi.
Peran sektor finansial dikaitkan dengan pertumbuhan ekonomi telah lama menjadi
subyek penelitian, khususnya sejak Schumpeter (1912).2 Sejak itu, studi yang dilakukan
untuk menguji kaitan antara perkembangan sektor finansial dan pertumbuhan ekonomi
terus dilakukan. Berdasarkan kajian terhadap berbagai penelitian yang telah dilakukan,
hubungan antara perkembangan sektor finansial dan pertumbuhan ekonomi cenderung
tidak konklusif.
Beberapa pandangan meyakini bahwa perkembangan sektor finansial akan mendorong
pertumbuhan (diawali oleh Schumpeter, 1911 dan Gurley dan Shaw, 1955) karena sektor
finansial dapat mengatasi permasalahan dalam kendala pembiayaan, berkontribusi pada
pengalokasian sumber dayasecara lebih efisien, menyalurkan pembiayaan serta berbagai
aktivitas lain yang terkait dengan risk sharing dan inovasi finansial,medium bagi transmisi
kebijakan moneter (Cecchetti dan Krause, 2001 dan Krause dan Rioja, 2006), mengatasi
permasalahan ketidaksempurnaan di pasar dana (imperfect capital market) (Bernanke dan
Gertler (1989), Greenwald dan Stiglitz (1993) serta Kiyotaki dan Moore (1997).Pengembangan
sektor finansial diyakini juga bahwa berperan positif dalam menurunkan volatilitas variabelvariabel makroekonomi (Dynan, Elmendorf dan Sichel (2006), Denizer, Iyigun, dan Owen
(2002), Harvey dan Lundblad (2006),Aghion et. al (2005), Aghion et. al (2009), Cecchetti,
Lagunes dan Krause (2006), serta Mendicino (2007)).
Namun, Bacchetta dan Caminal (2000), Easterly et al. (2002) dan Kuneida (2008),
menunjukkan bahwa kendala dalam pembiayaan (financial constraint) dapat menjadi faktor
yang menahan atau justru memperparah dampak kejutan yang terjadi di perekonomian.
Sementara itu, Lopez dan Spiegel (2002), Denizer et al. (2002), Silva (2002), dan Tharavanji
(2007) justru menemukan hubungan negatif antara perkembangan sektor finansial dan
volatilitas pertumbuhan ekonomi. Peneliti lain seperti, Tiryaki (2003), Beck (2006) & Guryal
et al. (2007) tidak menemukan hubungan yang signifikan antara sektor finansial dan volatilitas
pertumbuhan.
2 Schumpeter, J.A., 1911. The Theory of Economic Development.Cambridge, Mass: HarvardUniversity Press.
Apakah Perkembangan Finansial Meredam atau Memperbesar Dampak Suatu Kejutan?
115
8
China
Thailand
7
Indonesia
EU
Brazil
USA
6
5
4
3
2
1
2009Q4
2009Q1
2008Q2
2007Q3
2006Q4
2006Q1
2005Q2
2004Q3
2003Q4
2003Q1
2002Q2
2001Q3
2000Q4
2000Q1
1999Q2
1998Q3
1997Q4
1997Q1
1996Q2
1995Q3
1994Q4
0
Grafik 1. Volatilitas Output
Beberapa Negara Berkembang dan Maju
Berdasarkan gambaran di atas, dirasakan suatu kebutuhan untuk melakukan pengujian
empiris tentang peran sektor finansial dalam stabilitas makroekonomi, khususnya pertumbuhan
PDB, di Indonesia. Sebagai salah satu negara berkembang dengan sektor finansial yang masih
terus berkembang, kajian terhadap peran sektor finansial dalam konteks stabilitas makroekonomi
diharapkan dapat membantu arah perumusan kebijakan moneter yang lebih tepat. Apabila
dibandingkan dengan beberapa negara maju, volatilitas output di beberapa negara emerging
secara umum terlihat lebih tinggi, kecuali mulai periode krisis global (Grafik 1). Sementara itu,
apabila dibandingkan dengan beberapa negara emerging, volatilitas output Indonesia pascakrisis
1997 terlihat relatif lebih kecil.
Secara eksplisit, paper ini mengidentifikasi hubungan antara peran sektor finansial dan
volatilitas output di Indonesia. Indikator yang digunakan untuk mengukur perkembangan sektor
finansial adalah rasio kredit kepada sektor swasta terhadap GDP. Ukuran ini lazim digunakan
dalam penelitian-penelitian yang dilakukan sebelumnya. Pemahaman mengenai hubungan
antara perkembangan sektor finansial dalam peranannya terhadap stabilitas makroekonomi
diharapkan dapat menjadi suatu bahan masukan yang berharga dalam memformulasikan
kebijakan moneter yang lebih baik.
Bagiankeduadari paper ini mengulas teori dan tinjauan literatur, bagian ketiga mengulas
metodologi dan model empiris yang digunakan, sementara hasil dan analisis diuraikan pada
bagian keempat. Kesimpulan, implikasi dan rekomendasi kebijakan akan diberikan pada bagian
penutup.
116 Buletin Ekonomi, Moneter dan Perbankan, Oktober 2011
II. TEORI
Pandangan bahwa perkembangan sektor finansial akan mendorong pertumbuhan (diawali
oleh Schumpeter, 1911 dan Gurley dan Shaw, 1955) disebabkan karena sektor finansial dapat
mengatasi permasalahan dalam kendala pembiayaan. Selain itu, keberadaan sektor finansial
berkontribusi pada pengalokasian sumber daya, baik finansial maupun nonfinansial, secara
lebih efisien. Semakin dalam dan berkembangnya sektor finansial mampu meredam volatilitas
dalam perekonomian, melalui kemampuannya dalam menyalurkan pembiayaan serta berbagai
aktivitas lain yang terkait dengan risk sharing dan inovasi finansial.
Kontribusi sektor finansial dalam menstabilkan kondisi makroekonomi secara umum juga
terjadi melalui kemampuannya untuk menjadi medium bagi transmisi kebijakan moneter
(Cecchetti dan Krause, 2001 dan Krause dan Rioja, 2006). Bernanke dan Gertler (1989),
Greenwald dan Stiglitz (1993) serta Kiyotaki dan Moore (1997) menghasilkan studi yang
mengkorfimasi pandangan di atas, dengan menunjukkan bahwa sektor finansial berkontribusi
mengatasi permasalahan ketidaksempurnaan di pasar dana (imperfect capital market), dan
dengan demikian mengurangi volatilitas output di perekonomian.
Dynan, Elmendorf dan Sichel (2006) dan Denizer, Iyigun, dan Owen (2002) serta Beakaert,
Harvey dan Lundblad (2006) menyajikan hasil studi yang menunjukkan bahwa pengembangan
sektor finansial berperan positif dalam menurunkan volatilitas variabel-variabel makroekonomi.
Aghion et. al (2005) dan Aghion et. al (2009) mengkonfirmasi bahwa kendala dalam pembiayaan
kredit berkontribusi memperbesar dampak kejutan di perekonomian melalui pilihan terhadap
jenis investasi yang dilakukan pelaku usaha. Cecchetti, Lagunes dan Krause (2006) serta
Mendicino (2007) membuktikkan bahwa kredit konsumsi berperan positif dalam mengatasi
kendala likuiditas di tingkat rumah tangga sehingga dapat membantu menurunkan volatilitas
pertumbuhan ekonomi.
Namun, Bacchetta dan Caminal (2000) menunjukkan bahwa kendala dalam pembiayaan
(financial constraint) dapat menjadi faktor yang menahan atau justru memperparah dampak
kejutan yang terjadi di perekonomian, tergantung pada jenis kejutan yang terjadi di
perekonomian. Senada dengan Bacchetta dan Caminal, Easterly et al. (2002) dan Kuneida
(2008) menemukan sifat hubungan antara perkembangan sektor finansial dan pertumbuhan
ekonomi yang cenderung nonlinear. Dalam hal ini, perkembangan sektor finansial akan
menurunkan volatilitas makroekonomi sampai pada titik tertentu, namun melewati titik tersebut
kredit ke sektor swasta yang terlalu banyak justru akan meningkatkan volatilitas.
Sementara itu, Lopez dan Spiegel (2002), Denizer et al. (2002), Silva (2002), dan Tharavanji
(2007) justru menemukan hubungan negatif antara perkembangan sektor finansial dan volatilitas
Apakah Perkembangan Finansial Meredam atau Memperbesar Dampak Suatu Kejutan?
117
pertumbuhan ekonomi. Yang lebih menarik, Tiryaki (2003), Beck (2006) dan Guryay et al.
(2007) tidak menemukan hubungan yang signifikan antara sektor finansial dan volatilitas
pertumbuhan.
Berdasarkan beberapa kesimpulan yang dapat ditarik dari model di atas, maka terlihat
bahwa hubungan antara perkembangan finansial dan volatilitas output akan bersifat ambigu
(tidak konklusif). Sifat hubungan tersebut akan tergantung pada kejutan yang muncul di
perekonomian, apakah berasal dari sektor riil atau moneter, dan bagaimana suatu perekonomian
merespon kejutan yang muncul tersebut.
Salah satu model sederhana tentang perkembangan sektor keuangan dibangun oleh
Bacchetta dan Caminal (2000), dan kemudian dikembangkan dan dimodifikasi oleh Beck (2006).
Dasar pemikiran model dibangun dari asumsi perekonomian yang terdiri dari konsumen
(consumers) dan pengusaha (entrepreneurs). Setiap pengusaha memiliki akses yang sama
terhadap teknologi produksi, yang diwakili oleh f (k), dengan f (0) = 0, f ‘(k) > 0, dan f “ (k) <
0. Meskipun setiap pengusaha memiliki akses yang sama terhadap teknologi produksi, pada
dasarnya pengusaha memiliki tingkat kekayaan (wealth) b yang berbeda-beda. Sebanyak β
rasio dari pengusaha adalah pengusaha dengan kekayaaan tinggi (High). Dan sebanyak (1- β)
rasio dari pengusaha adalah dengan kekayaan rendah (Low). High diasumsikan dapat memenuhi
kebutuhan pembiayaan investasinya dan memiliki kelebihan dana yang disimpan di bank dan
mendapat tingkat bunga rD. High diasumsikan tidak memiliki kendala pembiayaan di pasar
finansial, dan dengan demikian maksimisasi profit High tercapai pada :
(1)
Sementara itu, Low memiliki keterbatasan pembiayaan sehingga harus meminjam dana
dengan tingkat bunga r D. Adanya assymetric information dan potensi moral hazard
menyebabkan Low dikenakan agency cost ϕ. Dengan kondisi ini, maksimisasi profit Low
tercapai pada :
(2)
Dengan demikian, marginal produktivitas relatif antara High dan Low adalah sebagai
berikut :
(3)
118 Buletin Ekonomi, Moneter dan Perbankan, Oktober 2011
Semakin besar perbedaan antara rL dan rD serta ϕ, maka semakin tinggi rasio kH / kL dan
semakin besar perbedaan marginal produktivitas antara Low dan High. Semakin tinggi ϕ,
semakin besar efek realokasi dana antara High dan Low. Realokasi dana ini akan mempengaruhi
produktivitas agregat dan akhirnya output perekonomian secara keseluruhan.
Pihak intermediari finansial, dalam hal ini bank, diasumsikan bekerja dalam kondisi
persaingan sempurna, tanpa biaya, dan hanya memegang aset dalam bentuk pemberian
kredit. Meskipun demikian, deposito dikenakan peraturan reserve requirement dari otoritas
moneter, yaitu τ. Dengan demikian, kredit yang mampu diberikan bank kepada Low adalah
sebesar (1-τ ) dikalikan dengan deposito dari High. Kenaikan dengan demikian akan
menurunkan dana yang tersedia untuk dipinjamkan kepada Low, dan sebaliknya. Agregat
total pinjaman dari bank dengan demikian adalah :
(4)
dimana bH adalah dana internal yang dimiliki High dan kH adalah tingkat investasi yang diinginkan
High. Sedangkan kL dan bL masing-masing adalah tingkat investasi yang diinginkan dan dana
internal Low. Adapun dana internal Low diasumsikan sangat kecil sehingga tidak bisa memenuhi
tingkat investasi yang diinginkan.
Selanjutnya, dengan asumsi tidak adanya kemungkinan gagal bayar, maka rasio dari rL
dan rD hanya dipengaruhi oleh besarnya reserve requirement, τ , sehingga :
(5)
Dengan adanya assymetric information yang menghasilkan agency cost, maka Low secara
natural akan selalu dihadapkan pada kondisi tingkat investasi yang sub-optimal. Hal ini berarti
tingkat investasi yang mampu dilakukan akan selalu dibawah yang diinginkan. Agency cost
dalam hal ini dinyatakan sebagai berikut :
dimana ω adalah fungsi dari sejumlah parameter teknologi yang bersifat eksogen. Hal ini
berarti bahwa agency cost merupakan fungsi negatif linear dari rasio antara dana internal
yang dimiliki dan tingkat investasi yang diinginkan Low. Semakin besar dana internal yang
Apakah Perkembangan Finansial Meredam atau Memperbesar Dampak Suatu Kejutan?
119
dimiliki, maka agency cost yang dibebankan bank kepada Low akan semakin kecil. Selanjutnya
berdasarkan ini, maka :
(6)
Persamaan (6) menunjukkan bahwa Low akan dihadapkan pada kondisi credit-constrained,
sehingga tingkat investasi yang mungkin dicapai akan dibawah yang diinginkan. Tingkat investasi
Low akan menurun dengan kenaikan rL, ω, dan rasio leverage
.
Berdasarkan persamaan-persamaan di atas, maka marjinal produktivitas dari High dan
Low selanjutnya dapat dijabarkan dalam persamaan berikut :
(7)
Dengan demikian, kondisi market clearing di pasar finansial adalah sbb :
(8)
Berdasarkan (7) dan (8) dapat terlihat bahwa investasi relatif kL / kH akan meningkat
sejalan dengan meningkatnya rasio bL / kL dan relatif rasio dana internal bL / bH serta menurunnya
agency cost ω dan reserve requirement τ .
Berdasarkan persamaan-persamaan di atas maka diperoleh beberapa interpretasi hasil
sebagai berikut :
1) Dampak dari kejutan yang terjadi pada sektor riil akan lebih besar pada kondisi assymetric
information di pasar dana. Dampak itu akan makin besar sejalan dengan kenaikan pada
agency cost ω. Hal ini terlihat pada persamaan (7) dimana investasi yang dilakukan High
akan lebih besar dari Low, sehingga menyebabkan marjinal produktivitas di Low lebih tinggi
daripada High. Perbedaan marjinal produktivitas tersebut akan makin besar dengan semakin
tingginya agency cost, suatu kondisi yang terdapat pada kondisi pasar dana yang diwarnai
assymetric information. Dengan makin besarnya perbedaan marginal produktivitas, maka
dampak dari kejutan kepada output perekonomian akan lebih besar.
2) Dampak dari kejutan yang berasal dari kebijakan moneter yang berpengaruh pada supply
of loanable funds akan berdampak lebih kecil pada kondisi dimana terdapat assymetric
120 Buletin Ekonomi, Moneter dan Perbankan, Oktober 2011
information di pasar dana. Pelonggaran kebijakan moneter berupa penurunan tingkat reserve
requirement τ, akan menaikkan jumlah ketersediaan loanable loan yang pada akhirnya
akan menurunkan rL. Meskipun demikian, penurunan tingkat bunga akan menaikkan
leverage dan akhirnya agency cost bagi Low. Hal ini pada akhirnya akan mengurangi sebagian
dari dampak positif penurunan reserve requirement. Sementara itu, turunnya agency cost
sebagai dampak dari semakin berkembangnya sektor finansial akan semakin menguatkan
dampak positif penurunan reserve requirement ke output.
Inilah dasar hipotesis yang akan di uji dalam paper ini.
III. METODOLOGI
Penelitian ini akan menggunakan pendekatan ekonometrik guna menguji testable
hypothesis dengan memanfaatkan metode vector auto regression (VAR). Metode VAR ini
digunakan untuk melakukan pengujian dengan kasus Indonesia.
Model VAR merupakan suatu analisis fungsi linear dari pergerakan data di masa lampau
yang dilakukankumpulanvariabel (variabel endogen) dalam suatu periode waktu yang sama
(t=1,...,T). Suatu model VAR (p) dapat direpresentasikan dalam persamaan sebagai berikut :
xt = A0 + A1 xt-1 + A2 xt-2 + .... + Ap xt-p + et
dimana
et merupakan vektor dari error term yang memenuhi kondisi standar; E(et) = 0, dan
E(et e’t) = Ω .
Model VAR sangat sering digunakan dalam analisa makroekonomi. Namun demikian,
meskipun pendekatan VAR mempunyai keunggulan dalam memodelkan dynamic behaviour
dari variabel ekonomi dan forecasting, namun tak sedikit kritik yang ditujukan terhadap VAR
berkaitan dengan pendekatannya yang cenderung bersifat atheoretical, dimana tidak adanya
restriksi dalam struktur lag model VAR diasosiasikan sebagai tidak adanya struktur yang
mendasari keterkaitan setiap variable dalam system VAR tersebut. Hal ini akan menimbulkan
kesulitan dalam menginterpretasikan hasil.
Model teoritis yang diuraikan sebelumnya telah memberikan hipotesis yang akan diuji.
Namun pengujian yang akan dilakukan tidak didasarkan pada bentuk reduced forms yang
langsung diturunkan secara ekplisit dari model di atas, melainkan lebih bersifat empiris dan
ditetapkan secara ad hoc dengan tujuan agar dapat mengakomodir beberapa variabel kontrol
yang tidak tertangkap secara eksplisit dalam model.
Apakah Perkembangan Finansial Meredam atau Memperbesar Dampak Suatu Kejutan?
121
Beberapa variabel yang akan diikutsertakan dalam model adalah perkembangan PDB
Riil dan pergerakan harga, guna menggambarkan volatilitas variabel makroekonomi. Selain itu
diikutkan juga variabel di sektor riil dan moneter.Untuk sektor riil sebagai contoh dapat
digunakan variabel terms of trade, sementara untuk sektor moneter dapat digunakan
perkembangan excess money. adalah ukuran untuk perkembangan sektor finansial, yang dalam
hal ini rasio kredit terhadap PDB. Sementara itu untuk menangkap adanya market imperfection/
assymetric information akan digunakan variable yang dapat menjelaskan adanya resiko seperti
spread suku bunga kredit dan SBI.
Data yang digunakan pada penelitian ini merupakan data triwulanan dengan Periode
triwulan pertama tahun 1997 sampai dengan triwulan kedua tahun 2010. Adapun rincian
data yang digunakan adalah sebagai berikut :
1. PDB Riil : yang menggambarkan perkembangan output/pertumbuhan ekonomi
2. IHK : yang menggambarkan pergerakan harga
3. TOT : yang mewakili shock dari sektor riil
4. Excess Money : yang mewakili shock dari sektor moneter
5. Kredit/PDB : yang dipakai sebagai ukuran untuk perkembangan sektor finansial
6. Spread Suku Bunga SBI dan Kredit : yang menggambarkan besarnya resiko akibat adanya
market imperfection/assymetric information
IV. HASIL DAN ANALISIS
Secara umum, pergerakan indikator makroeknomi Indonesia pada awal periode
pengamatan mengalami volatilitas yang relatif besar. Periode krisis tahun 1998 yang
menyebabkan pertumbuhan ekonomi terkontraksi lebih dari 13,1% dan inflasi yang melonjak
mencapai 69,8% diikuti oleh berbagai indikator lainnya seperti rasio kredit terhadap PDB,
excess money, dan indikator risiko yang diwakili oleh indikator selisih suku bunga kredit dengan
SBI (Grafik 5). Volatilitas berbagai indikator tersebut semakin membaik sejalan dengan
membaiknya pengelolaan moneter.
122 Buletin Ekonomi, Moneter dan Perbankan, Oktober 2011
80
0,4
Inflasi
0,2
60
0,0
-0,2
40
-0,4
20
-0,6
-0,8
0
PDB
-20
Mar Mar Mar Mar Mar Mar Mar Mar Mar Mar Mar Mar Mar Mar
1997 1998 1999 2000 2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007 2008 2009 2010
-0,10
-0,12
Mar Mar Mar Mar Mar Mar Mar Mar Mar Mar Mar Mar Mar Mar
1997 1998 1999 2000 2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007 2008 2009 2010
Grafik 2.
Perkembangan Indikator Utama
Grafik 3.
Pertumbuhan Finansial (dln FD)
40
20
30
10
20
0
10
-10
0
-20
-10
-30
-20
-40
-30
Mar Mei Jul Sep Nov Jan Mar Mei Jul Sep Nov Jan
1997 1998 1999 2000 2001 2003 2004 2005 2006 2007 2008 2010
-50
Mar Mar Mar Mar Mar Mar Mar Mar Mar Mar Mar Mar Mar Mar
1997 1998 1999 2000 2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007 2008 2009 2010
Grafik 4.
Excess Money
Grafik 5.
Spread Suku Bunga Kredit-SBI
Dari hasil pengamatan lebih detil dengan melihat pergerakan standard deviasi indikator
makroekonomi dan finansial diperoleh gambaran pergerakan yang lebih jelas. Secara umum,
gambaran volatilitas indikator PDB dengan variabel lainnya bergerak searah. Korelasi volatilitas
pertumbuhan dengan rata-rata kredit/PDB mencapai 81% serta korelasi antara volatilitas
pertumbuhan & volatilitas inflasi sebesar 78% (Grafik 6). Volatilitas dalam gambar tersebut di
hitung dengan cara moving standard deviation selama tiga tahun untuk masing-masing
indikator yang kemudian di hitung korelasi dari pasangan indikator yang diamati. Berdasarkan
hipotesa awal adanya hubungan yang bergerak searah tersebut, dilakukan pengolahan data
dengan menggunakan metode VAR.
123
Apakah Perkembangan Finansial Meredam atau Memperbesar Dampak Suatu Kejutan?
10,00
2,50
Average of Credit/GDP (3 years)
2,00
Rolling StDev of GDP
Growth (3 years -yoy) (RHS)
9,00
8,00
7,00
6,00
1,50
10,00
35,00
30,00
25,00
20,00
4,00
3,00
0,00
7,00
5,00
4,00
10,00
3,00
1,00
5,00
0,00
0,00
Mar Mei Jul Sep Nov Jan Mar Mei Jul Sep Nov Jan Mar Mei Jul Sep Nov Jan
1990 1990 1992 1993 1994 1996 1997 1998 1999 2000 2001 2003 2004 2005 2006 2007 2008 2010
8,00
15,00
2,00
0,50
9,00
Rolling StDev of GDP
Growth (3 years -yoy) (RHS)
6,00
5,00
1,00
Rolling StDev of Inflation
(3 years - yoy)
2,00
1,00
0,00
Mar Jun Sep Jan Apr Jul Okt Jan Apr Jul Okt Jan Apr Jul Okt Jan Apr
1990 1991 1992 1994 1995 1996 1997 1999 2000 2001 2002 2004 2005 2006 2007 2009 2010
Grafik 6.
Perkembangan Keterkaitan Indikator Utama
Estimasi VAR diawali dengan melakukan stationary test terhadap setiap variabel dengan
menggunakan Augmented Dickey Fuller (ADF) unit root test. Hasil uji indikator pengamatan
menunjukkan bahwa variabel PDB dan IHK adalah non stationer pada level (tabel 1). Berdasarkan
hasil uji unit root test, tersebut variabel- variabel yang dipilih untuk diikutsertakan dalam model
VAR dalam kajian ini adalah dLnPDB, dLnIHK, dLnTOT, dLnFD, pertumbuhan risiko dan dan
pertumbuhan excess money.
Tabel 1.
Hasil Uji Unit Root Test
Variabel
Level (P-value)
PDB
dLnPDB
Pertumbuhan PDB
IHK
dLnIHK
Inflasi
TOT
dLnTOT
Pertumbuhan TOT
FD
dLnFD
Pertumbuhan FD
Risk
Pertumbuhan Resiko
Pertumbuhan Excess Money
1.0000
0.0967
0.0943
0.8050
0.0006
0.3043
0.0258
0.0020
0.0057
0.0163
0.0024
0.2049
0.0000
0.0000
0.0002
124 Buletin Ekonomi, Moneter dan Perbankan, Oktober 2011
Optimum lag order untuk prosedur VAR menunjukkan hasil yang mixed. Berdasarkan
Schwartz Information Criteria lag yang optimal adalah 1, sementara Akaike Information
Criteria dan Hannan Quinn Information Criteria menghasilkan lag optimal 6. Namun demikian,
order lag 6 tidak dipilih dalam prosedur kajian ini mengingat jumlah observasi variabel hanya54.
Kajian ini juga tidak mengikuti Schwart optimum lag dengan lag order 1, melainkan menetapkan
penggunaan lag order 2 untuk dapat lebih baik mencakup dinamika variabel. Berdasarkan uji
Lag Structure, diketahui bahwa estimasi VAR dengan lag order 2 bersifat stabil (stasioner)
karena semua roots lebih kecil daripada 1 dan berada di dalam unit circle (Grafik 7).
Inverse Roots of AR Characteristic Polynomial
1,5
1,0
0,5
0,0
-0,5
-1,0
-1,5
-1,5
-1,0
-0,5
0,0
0,5
1,0
1,5
Grafik 7.
AR Roots Graph
Hasil Granger Causality/Block Exogeneity Test menunjukkan bahwa secara bersamaan
variabel pergerakan harga/inflasi, perkembangan TOT, pergerakan excess money, perkembangan
finansial dan pergerakan resiko merupakan variabel penjelas pergerakan PDB (Tabel 2). Namun
demikian, secara individu variabel perkembangan resiko kurang dapat menjelaskan pergerakan
Tabel 2.
VAR Granger Causality/Block Exogeneity Wald Tests
Excluded
DLNIHK
DLNTOT
EXCMON
DLNFD
GRISK
All
Chi-sq
17.48
11.80
8.52
9.53
1.09
56.73
df
2
2
2
2
2
10
Probability
0.000
0.003
0.014
0.009
0.580
0.000
Apakah Perkembangan Finansial Meredam atau Memperbesar Dampak Suatu Kejutan?
125
PDB, namun tetap dipertahankan dalam model, mengingat variabel resiko menjadi variabel
kontrol yang menggambarkan besarnya resiko akibat adanya market imperfection/assymetric
information.
4.1. Dampak Terhadap Pertumbuhan PDB
Dari hasil impulse response mengenai dampak berbagai variabel terhadap PDB, terlihat
bahwa perkembangan finansial berperan positif dalam meningkatkan pertumbuhan PDB dan
signifikan pada triwulan 2 (Grafik 8). Sementara itu, terlihat bahwa kenaikan inflasi akan
menurunkan pertumbuhan PDB secara signifikan selama 4 triwulan atau selama 1 tahun dari
triwulan 2 sampai dengan triwulan 5. Peningkatan TOT juga secara signifikan akan menurunkan
PDB selama 2 triwulan yaitu dari triwulan 2 sampai dengan triwulan 3. Selain itu, peningkatan
excess money juga akan berdampak menurunkan PDB dan signifikan pada triwulan 2. Namun
demikian, dampak peningkatan resiko akibat adanya market imperfection/assymetric
information terhadap PDB cenderung tidak signifikan.
Response of DLNPDB to Nonfactorized
One Unit DLNIHK Innovation
.6
Accumulated Response of DLNPDB to Nonfactorized
One Unit DLNIHK Innovation
1
.4
0
.2
.0
-1
-.2
-.4
-2
-.6
-.8
2
4
6
8
10
12
14
16
18
20
22
24
Response of DLNPDB to Nonfactorized
One Unit DLNTOT Innovation
.3
-3
2
4
6
8
10
12
14
16
18
20
22
24
22
24
Accumulated Response of DLNPDB to Nonfactorized
One Unit DLNTOT Innovation
0,4
.2
.1
0,0
.0
-.1
-0,4
-.2
-.3
-0,8
-.4
-.5
-1,2
2
4
6
8
10
12
14
16
18
20
22
24
2
4
6
8
10
12
14
16
18
20
Grafik 8. Dampak Shock Inflasi, Perkembangan TOT, Pertumbuhan Excess Money,
Perkembangan Finansial dan Perubahan Resiko Terhadap Pertumbuhan PDB
126 Buletin Ekonomi, Moneter dan Perbankan, Oktober 2011
Response of DLNPDB to Nonfactorized
One Unit EXCMON Innovation
.002
Accumulated Response of DLNPDB to Nonfactorized
One Unit EXCMON Innovation
.004
.000
.001
-.004
.000
-.008
-.001
-.012
-.002
-.016
-.003
-.020
-.024
-.004
2
4
6
8
10
12
14
16
18
20
22
4
6
8
10
12
14
16
18
20
22
24
22
24
22
24
Accumulated Response of DLNPDB to Nonfactorized
One Unit DLNFD Innovation
Response of DLNPDB to Nonfactorized
One Unit DLNFD Innovation
.16
2
24
.8
.12
.6
.08
.4
.04
.2
.00
.0
-.04
-.2
-.4
-.08
2
4
6
8
10
12
14
16
18
20
22
Response of DLNPDB to Nonfactorized
One Unit GRISK Innovation
.000006
2
24
4
8
10
12
14
16
18
20
Accumulated Response of DLNPDB to Nonfactorized
One Unit GRISK Innovation
.00003
.000004
6
.00002
.000002
.000000
.00001
-.000002
.00000
-.000004
-.00001
-.000006
-.00002
-.000008
2
4
6
8
10
12
14
16
18
20
22
24
2
4
6
8
10
12
14
16
18
20
Grafik 8. Dampak Shock Inflasi, Perkembangan TOT, Pertumbuhan Excess Money,
Perkembangan Finansial dan Perubahan Resiko Terhadap Pertumbuhan PDB (lanjutan)
Jika dilihat secara akumulasi, kenaikan inflasi, peningkatan TOT dan pertumbuhan excess
money akan berdampak menurunkan pertumbuhan PDB. Sementara itu, secara akumulasi
perkembangan finansial akan berdampak terhadap kenaikan PDB. Secara kumulatif, kenaikan
perkembangan finansial sebesar 1% akan menyebabkan tambahan kenaikan PDB sebesar 2,4%
Apakah Perkembangan Finansial Meredam atau Memperbesar Dampak Suatu Kejutan?
127
Kumulatif Peningkatan PDB %
0,30
0,20
0,10
Shock Peningkatan 1% Perkembangan Finansial
Shock Penurunan 1% Perkembangan Finansial
0,00
-0,10
-0,20
-0,30
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10 11 12 13 14 15 16 17 18
19 20
Grafik 9. Dampak Perkembangan Finansial
Terhadap Pertumbuhan PDB
dalam kurun waktu 2,5 tahun (Gambar 9). Sebaliknya, penurunan perkembangan finansial
sebesar 1% akan menyebabkan terjadinya akumulasi penurunan PDB sebesar 2,4% dalam
kurun waktu 2,5 tahun.
Lebih lanjut, dengan analisa variance decomposition, terlihat bahwa perkembangan excess
money, perkembangan TOT dan pergerakan harga merupakan variabel yang berperan besar
dalam menjelaskan pergerakan PDB dalam jangka panjang masing-masing sebesar 27%, 11%
dan 9% (Tabel 3). Sementara perkembangan finansial hanya berkontribusi sekitar 2,6%.
Sedangkan faktor resiko hanya berkontribusi kurang dari 1%.
Tabel 3.
Variance Decomposition of DLNPDB
Period
S.E.
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
0,026
0,033
0,040
0,044
0,046
0,048
0,049
0,049
0,050
0,050
DLNPDB
100,000
81,750
70,384
62,215
56,466
52,796
50,784
49,859
49,475
49,281
DLNIHK
0,00
5,535
8,575
9,940
10,170
9,954
9,659
9,440
9,314
9,249
DLNTOT
EXCMON
DLNFD
0,000
11,579
13,504
12,844
11,625
10,869
10,685
10,822
10,998
11,078
0,000
0,623
6,495
13,955
20,609
24,969
27,004
27,481
27,326
27,129
0,000
0,438
0,374
0,423
0,574
0,876
1,308
1,800
2,262
2,629
GRISK
0,000
0,075
0,669
0,622
0,555
0,536
0,560
0,598
0,624
0,633
128 Buletin Ekonomi, Moneter dan Perbankan, Oktober 2011
4.2. Dampak Terhadap Inflasi
Perkembangan finansial dan peningkatan resiko akibat adanya market imperfection/
assymetric information tidak signifikan dalam mempengaruhi inflasi. Faktor yang signifikan
dalam mempengaruhi inflasi adalah peningkatan TOT yang secara signifikan akan menaikkan
inflasi selama 5 triwulan yaitu dari triwulan 2 sampai dengan triwulan 6. Selain itu, peningkatan
excess money juga akan berdampak menurunkan PDB dan signifikan selama 11 triwulan yaitu
dari triwulan 2 sampai dengan triwulan 12. Hasil impulse response yang memperlihatkan
akumulasi dampak, menunjukkan bahwa peningkatan TOT dan pertumbuhan excess money
akan berdampak meningkatkan inflasi.
Response of DLNIHK to Nonfactorized
One Unit DLNPDB Innovation
3
Accumulated Response of DLNIHK to Nonfactorized
One Unit DLNPDB Innovation
12
2
8
1
4
0
0
-1
-4
-2
2
4
6
8
10
12
14
16
18
20
22
24
-8
2
Response of DLNIHK to Nonfactorized
One Unit DLNTOT Innovation
1,2
2
0,4
1
0,0
0
-0,4
-1
-0,8
6
8
10
12
14
16
18
20
22
24
22
24
Cumulated Response of DLNIHK to Nonfactorized
One Unit DLNTOT Innovation
3
0,8
4
-2
2
4
6
8
10
12
14
16
18
20
22
24
2
4
6
8
10
12
14
16
18
20
Grafik 10.
Dampak Shock Pertumbuhan PDB, Perkembangan TOT, Pertumbuhan Excess Money,
Perkembangan Finansial dan Perubahan Resiko Respons Terhadap Inflasi
Apakah Perkembangan Finansial Meredam atau Memperbesar Dampak Suatu Kejutan?
Response of DLNIHK to Nonfactorized
One Unit EXCMON Innovation
.012
129
Accumulated Response of DLNIHK to Nonfactorized
One Unit EXCMON Innovation
.06
.05
.008
.04
.004
.03
.02
.000
.01
-.004
.00
-.008
-.01
2
4
6
8
10
12
14
16
18
20
22
24
2
Response of DLNIHK to Nonfactorized
One Unit DLNFD Innovation
.2
4
6
8
10
12
14
16
18
20
22
24
22
24
22
24
Accumulated Response of DLNIHK to Nonfactorized
One Unit DLNFD Innovation
1,2
0,8
.1
0,4
.0
0,0
-0,4
-.1
-0,8
-.2
-1,2
-.3
2
4
6
8
10
12
14
16
18
20
22
24
-1,6
2
4
Response of DLNIHK to Nonfactorized
One Unit GRISK Innovation
.000016
.00004
.000008
.00002
.000004
.00000
.000000
-.00002
-.000004
-.00004
-.000008
-.00006
-.000012
8
10
12
14
16
18
20
Accumulated Response of DLNIHK to Nonfactorized
One Unit GRISK Innovation
.00006
.000012
6
-.00008
2
4
6
8
10
12
14
16
18
20
22
24
2
4
6
8
10
12
14
16
18
20
Grafik 10.
Dampak Shock Pertumbuhan PDB, Perkembangan TOT, Pertumbuhan Excess Money,
Perkembangan Finansial dan Perubahan Resiko Respons Terhadap Inflasi (lanjutan)
130 Buletin Ekonomi, Moneter dan Perbankan, Oktober 2011
Hasil analisa variance decomposition untuk inflasi menunjukkan bahwa perkembangan
excess money, perkembangan TOT dan pergerakan PDB merupakan variabel yang berperan
besar dalam menjelaskan pergerakan inflasi dalam jangka panjang masing-masing sebesar
33%, 21% dan 19% (Tabel 4). Sementara perkembangan finansial dan faktor resiko hanya
berkontribusi kurang dari 1 %.
Tabel 4.
Variance Decomposition of DLNIHK
Period
S.E.
DLNPDB
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
0,021
0,032
0,040
0,045
0,048
0,049
0,051
0,052
0,053
0,053
22,875
42,434
39,753
29,168
23,780
21,424
20,988
20,345
19,593
19,030
DLNIHK
77,125
38,577
33,418
32,137
31,123
28,777
26,287
25,022
25,173
25,862
DLNTOT
EXCMON
DLNFD
0,000
17,416
18,054
22,651
21,890
19,244
18,068
18,978
20,268
20,954
0,000
1,221
8,582
15,769
22,814
30,189
34,240
35,073
34,112
33,133
0,000
0,058
0,047
0,164
0,171
0,189
0,197
0,197
0,209
0,216
GRISK
0,000
0,293
0,146
0,111
0,202
0,177
0,221
0,385
0,646
0,804
4.3. Dampak Interaksi antara Perkembangan Finansial dengan Shock yang
Terjadi di Sektor Riil (TOT) dan Moneter (Excess Money)
Hasil impulse response yang menggabungkan interaksi antara shock di sektor riil dan
moneter dengan perkembangan finansial menunjukkan bahwa perkembangan finansial
mempunyai peranan positif dalam meredam dampak kejutan yang berpengaruh negatif terhadap
pertumbuhan (Grafik 11 dan 12). Sebaliknya, perkembangan finansial akan membantu
meningkatkan dampak kejutan yang positif terhadap pertumbuhan ekonomi.
Secara kumulatif, kenaikan TOT sebesar 1% akan menurunkan PDB sebesar 0.4% dalam
waktu 4 tahun, namun apabila pada waktu yang bersamaan terjadi peningkatan perkembangan
finansial sebesar 1%, maka dampak kumulatif terhadap penurunan PDB dalam kurun waktu 4
tahun akan cenderung lebih kecil yaitu hanya sebesar 0,17%. Sebaliknya, apabila terjadi
penurunan TOT sebesar 1%, maka secara kumulatif akan memberikan tambahan kenaikan
PDB dalam kurun waktu 4 tahun sebesar 0.4%. Namun apabila penurunan TOT sebesar 1%
tersebut disertai dengan peningkatan perkembangan finansial sebesar 1% maka dampak
kumulatif peningkatan PDB selama kurun waktu 4 tahun akan lebih tinggi lagi yaitu sebesar
0,64%.
Apakah Perkembangan Finansial Meredam atau Memperbesar Dampak Suatu Kejutan?
131
Kumulatif Peningkatan PDB %
1,0
0,8
0,6
0,4
0,2
0,0
-0,2
-0,4
-0,6
-0,8
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20
Shock Peningkatan 1% TOT yang disertai dengan Peningkatan 1% Perkembangan Finansial
Shock Peningkatan 1% TOT
Shock Penurunan 1% TOT yang disertai dengan Peningkatan 1% Perkembangan Finansial
Shock Penurunan 1% TOT
Grafik 11. Dampak Interaksi Shock Perkembangan TOT dan
Perkembangan Finansial Terhadap Pertumbuhan PDB
Secara kumulatif, pertumbuhan 1% excess money akan menurunkan PDB sebesar 1%
dalam waktu 2 tahun, namun apabila pada waktu yang bersamaan terjadi peningkatan
perkembangan finansial sebesar 1%, maka dampak kumulatif terhadap penurunan PDB dalam
kurun waktu 2 tahun akan cenderung lebih kecil yaitu hanya sebesar 0,75%. Sebaliknya, apabila
Kumulatif Peningkatan PDB %
1,50
1,00
0,50
0,00
-0,50
-1,00
-1,50
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20
Shock Peningkatan 1% Excess Money yang disertai dengan Peningkatan 1% Perkembangan Finansial
Shock Peningkatan 1% Excess Money
Shock Penurunan 1% Excess Money yang disertai dengan Peningkatan 1% Perkembangan Finansial
Shock Penurunan 1% Excess Money
Grafik 12. Dampak Interaksi Shock Perkembangan Excess Money
dan Perkembangan Finansial Terhadap Pertumbuhan PDB
132 Buletin Ekonomi, Moneter dan Perbankan, Oktober 2011
terjadi penurunan 1% excess money, maka secara kumulatif akan menaikkan PDB dalam kurun
waktu 2 tahun sebesar 1%. Namun apabila penurunan 1% excess money tersebut disertai
dengan peningkatan perkembangan finansial sebesar 1% maka dampak kumulatif peningkatan
PDB selama kurun waktu 2 tahun akan lebih tinggi lagi yaitu sebesar 1,25%.
V. KESIMPULAN
Perkembangan finansial dan pertumbuhan ekonomi mempunyai hubungan yang positif,
dimana semakin meningkatnya perkembangan finansial akan berdampak positif terhadap
pertumbuhan ekonomi. Namun demikian, dampak dari peningkatan resiko akibat adanya market
imperfection/assymetric information cenderung tidak signifikan terhadap PDB.
Interaksi antara shock di sektor riil dan moneter dengan perkembangan finansial
menunjukkan bahwa perkembangan finansial mempunyai peranan positif dalam meredam
dampak kejutan yang berpengaruh negatif terhadap pertumbuhan. Sementara itu, dampak
kejutan yang positif terhadap pertumbuhan ekonomi akan semakin dikuatkan.
Beberapa faktor yang berpengaruh penting dalam pergerakan pertumbuhan dalam jangka
panjang adalah perkembangan excess money, perkembangan TOT dan pergerakan harga.
Sementara itu meskipun perkembangan finansial mempunyai peranan positif dalam
perkembangan pertumbuhan ekonomi namun kontribusinya cenderung tidak terlalu besar
dibanding faktor di atas. Perkembangan finansial dan peningkatan resiko akibat adanya market
imperfection/assymetric information tidak signifikan dalam mempengaruhi inflasi sejalan dengan
temuan bahwa perkembangan finansial dan faktor resiko tidak berkontribusi besar dalam
menjelaskan pergerakan inflasi dalam jangka panjang.
Apakah Perkembangan Finansial Meredam atau Memperbesar Dampak Suatu Kejutan?
133
DAFTAR PUSTAKA
Bacchetta, Philippe & Ramon Caminal (2000), ≈Do capital market imperfections exacerbate
output fluctuations?∆. European Economic Review, No. 44, pp. 449-468.
Beck, Thorsten, Mattias Lundberg & Giovanni Majnoni (2006), ≈Financial Intermediary
Development and Growth Volatility : Do Intermediaries Dampen or Magnify Shocks?∆. Journal
of International Money and Finance, Volume 25, Issue 7, pp. 1146-1167.
Enders, Walter (2004), Applied Econometric Time Series, Wiley Series in Probability and Statistics.
John Wiley & Sons, Inc.
Greene, William H. (2008), Econometric Analysis. Prentice Hall.
Guryay, Erdal, okan Veli Safakli & Behiye Tuzel. (2007). ≈Financial Development and Economic
Growth: Evidence from Nothern Cyprus∆. International Research Journal of Finance and
Economics, Issue 8.
Kuneida, Takuma (2008). ≈Financial Development and Volatility of Growth Rates : New
Evidence∆. MPRA Paper No. 11341.
Schumpeter, J.A. (1911),The Theory of Economic Development, Cambridge, Mass. Harvard
University Press.
Stock, J.H. dan M.W. Watson (2001), ≈Vector Autoregression∆.Journal of Economic Perspectives,
15, 4.
134 Buletin Ekonomi, Moneter dan Perbankan, Oktober 2011
Halaman ini sengaja dikosongkan
Bank Capital Inflows, Institutional Development and Risk: Evidence from Publicly - Traded Banks in Asia
135
BANK CAPITAL INFLOWS,
INSTITUTIONAL DEVELOPMENT AND RISK:
EVIDENCE FROM PUBLICLY - TRADED BANKS IN ASIA
Wahyoe Soedarmono1
Abstract
This paper examines the relationship between bank capital inflows and financial stability. Using a
sample of publicly-traded commercial banks in Asia over the 2002-2008 period, the empirical results
show that higher capital inflows in banking markets measured by the share of foreign liabilities in banking
reduces systematic risk, but increases bank-specific risk and total risk. A deeper investigation further
suggests that an increase in total risk and bank-specific risk is driven by strong institutional development.
Specifically, higher foreign liabilities in banking exacerbate bank-specific risk and total risk in countries
with greater economic freedom. Hence, the reinforcement of prudential regulations is necessary to
overcome bank-specific risk and total risk, particularly when the countries move to a more liberal economic
environment.
JEL Classification : G21, G28, G38
Keywords: Banking Globalization, Economic Freedom, Capital Market Measures of Risk
1 The author holds a PhD in Economics, specialized in Banking and Finance, from the University of Limoges, France. He currently serves
as an economic policy analyst at the World Bank Office in Jakarta. The views expressed in this paper is the author»s and do not reflect
those of the World Bank. The author can be contacted through the following email: [email protected] or
[email protected]
136 Buletin Ekonomi, Moneter dan Perbankan, Oktober 2011
I. PENDAHULUAN
Dampak partisipasi asing terhadap risiko perbankan, khususnya melalui jalur kepemilikan
atau penetrasi bank asing ke dalam pasar domestik, telah banyak dibahas pada literatur
perbankan terdahulu. Namun, sebagai dampak dari krisis finansial yang terjadi di negara maju
akhir-akhir ini, globalisasi finansial yang semakin meningkat di Asia kembali menyiratkan
pentingnya menganalisis lebih dalam bagaimana partisipasi asing yang bersumber dari negara
maju tersebut berdampak pada stabilitas finansial melalui jalur selain kepemilikan bank atau
penetrasi bank asing. Sebagai contoh, meningkatnya partisipasi asing pada perbankan akibat
globalisasi finansial dapat berupa meningkatnya kehadiran manajer-manajer asing dalam
perbankan domestik, meningkatnya permintaan dari konsumen asing yang membutuhkan
pelayanan dari perbankan domestik, atau meningkatnya utang-utang asing akibat aliran modal
asing yang masuk.
Makalah ini adalah penelitian pertama yang menganalisis hubungan antara partisipasi
asing dan stabilitas perbankan di Asia melalui jalur globalisasi finansial, dimana mitra asing
dapat memainkan peran dalam mempengaruhi perilaku dan risiko perbankan. Peran asing
tersebut dapat diamati dari tingkat liabilitas terhadap pihak asing (foreign liabilities) di dalam
suatu pasar perbankan. Semakin tinggi tingkat liabilitas perbankan terhadap pihak asing berarti
bahwa ruang bagi pihak asing untuk mempengaruhi kinerja bank semakin terbuka dan
berdampak pada stabilitas perbankan secara signifikan. Foreign liabilities yang tinggi juga dapat
dihubungkan dengan inovasi teknologi yang lebih baik di dalam perbankan, sehingga bankbank tersebut dapat mengakses pembiayaan dari pasar keuangan internasional dan
mendapatkan kepercayaan asing untuk memberikan utang.
Meskipun demikian, tingginya foreign liabilities dapat menyebabkan perbankan menjadi
lebih rentan terhadap depresiasi nilai tukar sebagaimana yang terjadi pada krisis Asia 1997.
Sahminan (2007) menganalisis industri perbankan Indonesia dan menunjukkan bahwa bankbank dengan rasio aset dalam mata uang asing (foreign currency asset) terhadap foreign liabilities
yang lebih tinggi, memang memiliki exposure yang lebih kecil terhadap depresiasi nilai tukar,
sehingga memiliki risiko insolvensi yang juga lebih rendah pada saat terjadi krisis.
Makalah ini berada dalam kerangka acuan Sahminan (2007), namun dengan fokus dan
metode analisis yang berbeda. Fokus penelitian ini adalah pada peran foreign liabilities pada
industri perbankan secara keseluruhan (agregat) dalam mempengaruhi stabilitas perbankan.
Sedangkan Sahminan (2007) melihat dari aspek risiko perbankan sebagai dampak dari depresiasi
nilai tukar dengan mempertimbangkan tingat foreign liabilities di masing-masing institusi
perbankan. Lebih lanut, makalah ini memiliki tiga kontribusi.
Bank Capital Inflows, Institutional Development and Risk: Evidence from Publicly - Traded Banks in Asia
137
Pertama, analisis di dalam makalah ini menggunakan kerangka lintas-negara dan berfokus
pada periode setelah krisis Asia 1997, sementara Sahminan (2007) berfokus pada industri
perbankan Indonesia pada periode sebelum krisis Asia 1997. Kedua, aktivitas perbankan saat
ini telah berkembang pesat dan tidak hanya berupa aktivitas intermediasi (simpan-pinjam),
melainkan juga aktivitas-aktivitas yang memiliki keterkaitan erat dengan investasi dan
perdagangan di pasar finansial. Oleh karena itu, makalah ini mempertimbangkan berbagai
risiko berdasarkan data-data dari pasar finansial, sehingga tidak hanya berfokus pada indikator
risiko berbasis neraca bank semata. Ketiga, makalah ini menambahkan analisis terkait dampak
perkembangan institusional (institutional development) dalam mempengaruhi relasi antara
globalisasi dan stabilitas perbankan.
Perkembangan institusional memang telah menjadi suatu dimensi yang penting dalam
menarik partisipasi asing, khususnya melalui penguatan perlindungan terhadap para
pemegang saham dan kebebasan menjalankan aktivitas bisnis di suatu negara. Dalam
konteks Asia, perkembangan institusional juga memainkan peran penting saat krisis Asia
1997, dimana Furman dkk (1998) menunjukkan bahwa negara-negara dengan kualitas
institusional yang lemah adalah negara yang paling terkena dampak paling dalam akibat
krisis Asia 1997.
Penelitian ini menggunakan sampel bank-bank terbuka dari tujuh negara di Asia selama
periode 2002-2008. Negara-negara yang dipilih sebagai sampel adalah negara yang memiliki
data globalisasi perbankan, dan mereka yang mendapatkan perhatian khusus karena
kapasitasnya meningkatkan aliran modal asing masuk (foreign capital inflows) dalam satu dekade
terakhir, dan juga dalam keterbukaannya dalam mengizinkan partisipasi asing dalam perbankan
domestik. Negara-negara tersebut adalah India, Indonesia, Hong Kong, Jepang, Korea Selatan,
Thailand, dan Filipina. Makalah ini disusun sebagai berikut. Bagian 2 memberikan penjelasan
tentang data dan variabel yang digunakan di dalam studi ini, serta statistik deskriptif yang
terkait. Bagian 3 menguraikan hipotesis dan metodologi yang digunakan dalam analisis. Bagian
4 mendiskusikan hasil empiris terkait relasi antara globalisasii finansial, perkembangan
institusional, dan risiko perbankan. Bagian 5 memberikan kesimpulan dan rekomendasi
kebijakan.
II. LANDASAN TEORI
Berkenaan dengan hubungan antara partisipasi pihak asing dan stabilitas bank, literatur
umumnya berfokus pada hubungan langsung akibat meningkatnya kepemilikan asing pada
perbankan.
138 Buletin Ekonomi, Moneter dan Perbankan, Oktober 2011
Demirgüc-Kunt dan Detregiache (1998) menemukan bahwa keberadaan bank-bank asing
mengurangi kemungkinan terjadinya krisis perbankan. Detregiache dan Gupta (2004) juga
mencatat bahwa keberadaan bank-bank asing memberikan efek stabilisasi pasar pada saat
sebelum dan ketika krisis finansial terjadi.
Levy-Yeyati dan Micco (2007) lebih lanjut menunjukkan suatu hubungan positif antara
penetrasi bank asing dan stabilitas finansial di Amerika Latin. Di negara-negara berkembang di
Eropa Tengah dan Timur, Dinger (2009) menemukan bahwa keberadaan bank-bank asing
mengurangi risiko likuiditas secara agregat.
Bank-bank asing memang telah terbukti memiliki posisi yang lebih baik dibandingkan
dengan bank-bank domestik tanpa partisipasi asing sama sekali. Bank-bank asing mempunnyai
inovasi teknologi dan manajemen risiko yang lebih baik, serta akses yang lebih luas ke pasar
finansial (Berger dkk., 2001; Bonin dkk., 2005). Meskipun demikian, terdapat pula bukti empiris
bahwa bank-bank domestik lebih baik daripda bank-bank asing sebab bank-bank domestik
tidak mengalami bias kultural (home-bias) yang dapat menimbulkan masalah-masalah keagenan
antara karyawan asing dengan karyawan lokal (agency problem) akibat perbedaan budaya
kerja. Bank-bank asing juga cenderung mengalami masalah terkait dengan regulasi setempat,
dimana regulasi tersebut tidak selalu harmonis dengan regulasi di negara asal mereka(Berger
dkk., 2001; Lensink dan Naaborg, 2007).
Dampak partisipasi asing juga dapat dilihat dari tingkat kompetisi di dalam pasar
perbankan. Jeon dkk. (2011) mengambil sampel bank-bank di Asia dan Amerika Latin dan
menunjukkan bahwa kepemilikan asing pada perbankan meningkatkan kompetisi dalam pasar
perbankan. Sementara, hasil empiris terkait dampak partisipasi asing melalui jalur kompetisi
bank, terhadap stabilitas finansial belum menemukan sebuah konsensus. Dengan menggunakan
data bank-bank komersial dari negara-negara berkembang sepanjang periode 1999-2005, Ariss
(2010) menemukan bahwa semakin tinggi kekuatan pasar bank, semakin rendah risiko dan
semakin tinggi efisiensi laba dari bank-bank, meskipun kekuatan pasar yang tinggi mengurangi
efisiensi biaya. Sebaliknya, Soedarmono dkk (2011a) berfokus pada industri perbankan Asia
dan menemukan bahwa bank-bank pada pasar yang kurang kompetitif, cenderung memiliki
risiko insolvensi yang tinggi dikarenakan rasio kecukupan modal tidak mencukupi untuk menekan
efek moral hazard bank.
Di dalam makalah ini, digunakan tiga variabel dependen untuk mengukur stabilitas bank
berdasarkan indikator-indikator dari pasar finansial. Indikator tersebut adalah risiko total (TRISK),
risiko sistematik (BETA) dan risiko idiosyncratic (SRISK). Indikator-indikator tersebut didasarkan
pada model market return sebagai berikut 2.
2 Hasil tidak ditampilkan dalam makalah ini, namun dapat diminta melalui penulis.
Bank Capital Inflows, Institutional Development and Risk: Evidence from Publicly - Traded Banks in Asia
139
(1)
Dimana ri,j,t adalah pengembalian saham bank i pada negara j dan pada hari t, sementara
r mj,t adalah tingkat imbal hasil pasar secara harian yang dihitung berdasarkan indeks gabungan
pada pasar domestik di negara j. Sedangkan ri,j,t , dan r mj,t dirumuskan sebagai berikut:
dan
(2)
dimana pi,t dan pm (j),t masing-masing adalah harga saham harian bank dan indeks pasar total.
Dalam menyusun persamaan (1), dipertimbangkan pula kriteria khusus untuk menjamin
reliabilitas sampel, dimana beberapa bank dihapus dari sampel bila jumlah hari perdagangannya
kurang dari 70% dari total jumlah hari-hari perdagangan pasar finansial dimana mereka
beroperasi.
Selama periode 2002-2008, persamaan (1) diestimasi dengan menerapkan metode Panel
Least Squares secara tahunan agar mendapatkan Persamaan (1) untuk tiap bank i per tahun.
Kemudian dari persamaan-persamaan tahunan tersebut, TRISK didefinisikan sebagai standar
deviasi tahunan dari pengembalian saham harian bank selama periode 2002-2008, dimana
pengukuran pengembalian saham harian bank dinyatakan dengan ri,j,t. Sedangkan, BETA
merupakan risiko sistematik atau koefisien β (beta) tahunan yang diperoleh dari Persamaan
(1). Risiko sistematik merupakan suatu risiko yang terkait dengan risiko pasar finansial secara
keseluruhan dan dengan demikian, sering dirujuk sebagai risiko pasar atau risiko yang tidak
dapat didiversifikasi (non-diversifiable risk). Terakhir, SRISK (idiosyncratic risk) merupakan risiko
institusi bank secara invidivual atau risiko yang dapat didiversifikasi melalui beberapa manajemen
risiko pada tingkat institusional di dalam bank. SRISK dihitung dari komponen sesatan (residual)
tahunan yang diperoleh dari Persamaan (1) yang diestimasi tahun per tahun. SRISK adalah
komponen ε sebagaimana yang ditampilkan pada Persamaan (1).
Sementara, variabel independen yang menjadi fokus dalam makalah ini adalah tingkat
globalisasi finansial dalam perbankan, dan derajat kebebasan ekonomi sebagai proxy
perkembangan institusional. Globalisasi finansial dapat dilihat pada bagian posisi investasi
internasional (International Investment Position) dari International Financial Statistics. Secara
khusus, globalisasi finansial direpresentasikan oleh BLIAB atau rasio liabilitas internasional pada
sektor perbankan secara agregat terhadap total liabilitas internasional di suatu negara. BLIAB
140 Buletin Ekonomi, Moneter dan Perbankan, Oktober 2011
yang lebih tinggi menandakan adanya partisipasi asing yang lebih besar dalam sektor perbankan
domestik. Sementara, derajat kebebasan ekonomi dinilai dengan indeks Economic Freedom
(FREEDOM) yang berasal dari Heritage Foundation. FREEDOM merupakan suatu indeks gabungan
dari 10 indikator yang mengurutkan kebijakan pada wilayah perdagangan, keuangan
pemerintah, intervensi pemerintah, kebijakan moneter, aliran modal dan investasi asing,
perbankan dan keuangan, gaji dan harga, hak-hak terkait perlindungan kepemilikan, regulasi
dan pencegahan aktivitas pasar gelap. Skor indeks berada pada interval 0 dan 1, dimana skor
yang lebih tinggi mengindikasikan kebijakan yang lebih kondusif untuk mendorong kompetisi
dan keterbukaan ekonomi.
Beberapa variabel kontrol juga dipertimbangkan di dalam penelitian ini. Pertama, rasio
total pinjaman ke total aset (LOAN) dipertimbangkan untuk memperhitungkan tingkat
transparansi suatu bank (bank opacity). Bank dengan LOAN yang lebih besar cenderung rentan
terhadap masalah informasi asimetris antara bank dengan peminjam dan demikian, LOAN
cenderung berhubungan positif terhadap risiko bank. Kedua, rasio total dana pihak ketiga
terhadap total aset (DEPO) juga dipertimbangkan sebagai variabel kontrol, karena dana pihak
ketiga adalah salah satu sumber utama risiko bank, terutama ketika mekanisme disiplin pasar
tidak berjalan baik. Ketiga, rasio penyisihan aktiva produktif (loan loss reserves) terhadap total
pinjaman bruto (LLR) dimasukkan juga sebagai variabel kontrol sebagai proxy dari risiko kredit.
LLR cenderung berhubungan positif dengan risiko total, risiko sistematik, atau risiko spesifik
bank (Agusman dkk, 2008). Sejalan dengan Agusman dkk. (2008), dipertimbangkan pula rasio
ekuitas terhadap total aset (EQTA) dan rasio aset likuid terhadap total aset (LIQUIDITY), masingmasing sebagai proxy risiko daya ungkit (leverage risk) dan risiko likuiditas. EQTA dan LIQUIDITY
diharapkan berhubungan positif dengan stabilitas bank atau berhubungan negatif dengan
risiko-risiko finansial perbankan.
III. METODOLOGI
Makalah ini pada dasarnya menguji dua hipotesis. Pertama, makalah menguji apakah
terdapat hubungan antara globalisasi perbankan dan stabilitas perbankan. Dan kedua, makalah
melihat lebih dalam apakah hubungan antara keduanya dipengaruhi oleh perkembangan
institusional dimana bank-bank tersebut beroperasi.
Kedua hipotesis tersebut secara berurutan dapat ditampilkan pada Persamaan (3) dan (4)
berikut.
Bank Capital Inflows, Institutional Development and Risk: Evidence from Publicly - Traded Banks in Asia
141
(3)
(4)
RISK terdiri atas TRISK, BETA dan SRISK, sementara Control mewakili sekelompok variabel
kontrol sebagaimana dijelaskan di atas. Indeks i, j, dan s masing-masing merepresentasikan
indeks bank, negara, dan tahun.
Pertama-tama, TRISK, BETA dan SRISK dihitung terlebih dahulu sebagaimana dijelaskan
pada Bagian II di atas. Pada langkah kedua, ketiga variabel tersebut dimasukkan ke dalam
Persamaan (3) dan (4) sebagai variabel dependen yang akan diestimasi melalui model regresi
efek tetap (fixed-effect regression) dengan BLIAB sebagai variabel independen utama di samping
sejumlah variabel-variabel kontrol. Pada akhirnya, langkah ketiga mengulangi langkah kedua,
namun pada langkah ketiga ditambahkan variabel interaksi antara BLIAB dan FREEDOM sebagai
variabel independen.
Makalah ini menggunakan data pada tataran individual bank dan data agregat pada
tataran negara. Untuk data pada tataran bank, indikator-indikator finansial diambil dari Bank
Scope Fitch IBCA selama periode 2002-2008. Sampel awal terdiri dari 189 bank komersial
terbuka pada tujuh negara Asia. Sementara itu, data globalisasi perbankan sebagai data agregat
pada tataran negara berasal dari International Financial Statistics . Sedangkan, data
perkembangan institusional (Economic Freedom) berasal dari Heritage Foundation.
Untuk membuat Persamaan (1) dalam rangka menghitung TRISK, BETA, dan SRISK
digunakan harga saham bank harian dan indeks pasar total harian selama 2002-2008 yang
berasal dari Thomson Datastream International.
Sebelum memulai analisis regresi, semua nilai yang kurang dari nol dan lebih dari 1
untuk LLR, EQTA dan LIQUIDITY telah dihapuskan. Pada Tabel 1, kami menampilkan
statistik deskriptif dari semua variabel yang telah representatif untuk digunakan dalam
penelitian ini.
142 Buletin Ekonomi, Moneter dan Perbankan, Oktober 2011
Tabel 1.
Statistik Deskriptif
Variables
Mean
Median
Maximum
Minimum
Std.Dev.
Obs.
0.00037
0.01215
1181
1181
TRISK
0.024158
0.022083
0.135767
BETA
0.832851
0.876176
1.967998
-0.28694
0.403701
SRISK
0.020088
0.01783
0.134859
0.000369
0.011475
1181
BLIAB
0.191862
0.182324
0.396951
0.021616
0.111458
1323
LOAN
0.58088
0.600438
0.886473
0.032652
0.1294
1219
DEPO
0.867947
0.889310
0.970079
0.073737
0.096575
1225
LLR
0.034881
0.02017
0.80149
5.00E-05
0.05337
1135
EQTA
0.068095
0.05796
0.57868
0.00009
5.089816
1226
LIQUIDITY
0.042605
0.001
0.57
0.0001
0.101373
916
FREEDOM
0.629607
0.637
0.90
0.512
0.094772
1820
Sumber : Perhitungan penulis dari berbagai sumber data
Catatan:
TRISK merupakan indikator risiko total diukur dengan standar deviasi tahunan dari pengembalian saham bank
harian. BETA merupakan koefisien beta tahunan dari model market return standar. SRISK merupakan komponen
sesatan tahunan pada model market return dari data harian. BLIAB merupakan proporsi agregat dari foreign liabilities
pada sektor perbankan terhadap seluruh total foreign liabilities di suatu negara. LOAN merupakan rasio total pinjaman
terhadap total aset. DEPO merupakan rasio total dana pihak ketiga terhadap total aset. LLR merupakan rasio penyisihan
aktiva produktif terhadap total pinjaman bruto. EQTA merupakan rasio total ekuitas terhadap total aset. LIQUIDITY
merupakan rasio aset likuid terhadap total aset. FREEDOM merupakan indeks Economic Freedom yang diambil dari
Heritage Foundation.
IV. HASIL DAN ANALISIS
4.1. Hasil Empiris
Tabel 2 menunjukkan hubungan antara foreign liabilities dalam perbankan dan risiko
total (TRISK). Dapat terlihat bahwa foreign liabilities yang lebih tinggi dalam perbankan cenderung
memperburuk risiko total. Hasil empiris bersifat robust terhadap berbagai modifikasi variabel
kontrol yang ditampilkan pada model 1 hingga model 6. Lebih lanjut, pada model 7 terlihat
bahwa dampak positif foreign liabilities terhadap risiko total tergantung pada perkembangan
institusional. Lebih tepatnya, hanya pada negara-negara dengan kebebasan ekonomi yang
lebih luas, hubungan positif antara globalisasi perbankan dan risiko total dapat bertahan positif.
Sebaliknya, negara-negara dengan kebebasan ekonomi yang rendah, foreign liabilities pada
sektor perbankan justru menurunkan risiko total.
Bank Capital Inflows, Institutional Development and Risk: Evidence from Publicly - Traded Banks in Asia
143
Tabel 2.
Hubungan antara globalisasi perbankan, kebebasan ekonomi dan total risiko
Explanatory
Var.
BLIAB
Dependent Var. : TRISK
Model 1
Model 2
Model 3
0.0129***
(2.083)
0.0131***
(2.152)
-0.0275***
(-5.048)
0.0135***
(2.215)
-0.0258***
(-4.643)
-0.0125*
(-1.655)
1181
0.42
1118
0.42
1118
0.42
LOAN
DEPO
LLR
Model 4
Model 5
Model 6
Model 7
0.0101***
(2.606)
-0.0195
(-1.443)
0.0061
(0.6927)
0.0559***
(3.901)
0.0081**
(2.142)
-0.0194
(-1.451)
-0.0148
(-1.431)
0.0562***
(4.504)
-0.0627***
(-2.909)
0.0143***
(3.499)
-0.0212
(-1.242)
-0.0093
(-0.7805)
0.0541***
(4.316)
-0.0667***
(-2.738)
0.0161
(1.565)
-0.3622***
(-4.369)
-0.0321***
(-4.421)
-0.0126
(-1.179)
0.0505***
(5.147)
-0.0698***
(-3.735)
0.0172**
(2.464)
-0.0354
(-1.079)
0.5964***
(4.944)
1043
0.44
1043
0.45
859
0.44
859
0.51
EQTA
LIQUIDITY
FREEDOM
BLIAB*FREEDOM
Obsevation
Adj R-square
Sumber: Perhitungan penulis.
Catatan:
TRISK merupakan indikator risiko total diukur dengan standar deviasi tahunan dari pengembalian saham bank harian.
BLIAB merupakan proporsi agregat dari foreign liabilities pada sektor perbankan terhadap seluruh total foreign liabilities
di suatu negara. LOAN merupakan rasio total pinjaman terhadap total aset. DEPO merupakan rasio total dana pihak
ketiga terhadap total aset. LLR merupakan rasio penyisihan aktiva produktif terhadap total pinjaman bruto. EQTA
merupakan rasio total ekuitas terhadap total aset. LIQUIDITY merupakan rasio aset likuid terhadap total aset. FREEDOM
merupakan indeks Economic Freedom yang diambil dari Heritage Foundation. Model diestimasi dengan model regresi
efek tetap (Panel Fixed Effect) dengan mempertimbangkan standar kesalahan White»s heteroscedasticity-consistent.
Komponen konstan dimasukkan tapi tidak dilaporkan di dalam tabel. ***,**,* mengindikasikan tingkat signifikansi
masing-masing sebesar 1%, 5% dan 1%. Angka dalam kurung adalah nilai t-test.
Tabel 3 menunjukkan dampak foreign liabilities bank (BLIAB) terhadap risiko sistematik
(BETA). Dengan mengestimasi berbagai spesifikasi model seperti yang ditampilkan pada model
1 hingga model 6, terlihat bahwa foreign liabilities bank memiliki efek stabilisasi dalam hal
menurunkan risiko sistematik. Namun, hubungan antara foreign liabilities bank dan risiko
sistematik tidak lagi bermakna ketika kami memperhitungkan peran perkembangan institusional
seperti yang ditunjukkan pada model 7. Kebebasan ekonomi pada akhirnya tidak berpengaruh
terhadap hubungan antara globalisasi bank dan risiko sistematik.
144 Buletin Ekonomi, Moneter dan Perbankan, Oktober 2011
Tabel 3.
Hubungan antara globalisasi perbankan, kebebasan ekonomi dan risiko sistematik
Explanatory
Var.
BLIAB
Dependent Var. : BETA
Model 1
Model 2
Model 3
Model 4
Model 5
-1.984***
(-11.689)
-2.032***
(-11.924)
-0.6573***
(-4.303)
-2.041***
(-11.972)
-0.6977***
(-4.485)
0.2874
(1.361)
-2.129***
(-12.319)
-0.5690***
(-3.161)
0.1649
(0.6918)
-0.2086
(-0.7807)
-2.163***
(-12.493)
-0.5684***
(-3.164)
-0.1927
(-0.6684)
-0.2051
(-0.7693)
-1.073**
(-2.197)
-2.161***
(-11.786)
-0.4779**
(-2.381)
-0.2190
(-0.7301)
-0.1372
(-0.515)
-1.109**
(-2.134)
-0.1841
(-0.9408)
-3.105
(-1.335)
-0.4672**
(-2.297)
-0.2168
(-0.7216)
-0.0799
(-0.2903)
-1.153**
(-2.198)
-0.1932
(-0.9849)
-0.6407
(-0.6964)
1.245
(0.3679)
1181
0.61
1118
0.61
1118
0.61
1043
0.62
1043
0.62
859
0.64
859
0.64
LOAN
DEPO
LLR
EQTA
LIQUIDITY
Model 6
FREEDOM
BLIAB*FREEDOM
Obsevation
Adj R-square
Model 7
Sumber: Perhitungan penulis.
Catatan:
BETA merupakan koefisien beta tahunan dari model market return standar. BLIAB merupakan proporsi agregat dari foreign
liabilities pada sektor perbankan terhadap seluruh total foreign liabilities di suatu negara. LOAN merupakan rasio total pinjaman
terhadap total aset. DEPO merupakan rasio total dana pihak ketiga terhadap total aset. LLR merupakan rasio penyisihan aktiva
produktif terhadap total pinjaman bruto. EQTA merupakan rasio total ekuitas terhadap total aset. LIQUIDITY merupakan rasio
aset likuid terhadap total aset. FREEDOM merupakan indeks Economic Freedom yang diambil dari Heritage Foundation. Model
diestimasi dengan model regresi efek tetap (Panel Fixed Effect) dengan mempertimbangkan standar kesalahan White»s
heteroscedasticity-consistent. Komponen konstan dimasukkan tapi tidak dilaporkan di dalam tabel. ***,**,* mengindikasikan
tingkat signifikansi masing-masing sebesar 1%, 5% dan 1%. Angka dalam kurung adalah nilai t-test.
Dalam kaitannya tetang hubungan antara foreign liabilities bank (BLIAB) dan risiko spesifik
bank (SRISK), Tabel 4 memperlihatkan temuan empiris untuk sejumlah spesifikasi model. Foreign
liabilities yang lebih tinggi dalam perbankan meningkatkan risiko idiosyncratic, namun sekali
lagi hubungan ini tergantung pada kebebasan ekonomi. Hanya pada negara-negara dengan
kebebasan ekonomi yang lebih luas, foreign liabilities dalam perbankan memperburuk risiko
spesifik bank. Penjelasan terhadap hasil terebut dapat berupa bahwa ketika kebebasan ekonomi
meningkat, foreign liabilities di dalam bank mungkin berlebihan, dikarenakan bank-bank
tersebut mendapatkan kebebasan yang lebih luas untuk menaikkan pendanaan dari pasar
Bank Capital Inflows, Institutional Development and Risk: Evidence from Publicly - Traded Banks in Asia
145
internasional. Oleh karena itu, negara-negara dengan kebebasan ekonomi yang lebih besar
dapat lebih rentan terhadap depresiasi nilai tukar yang pada akhirnya memperburuk risiko
spesifik bank.
Temuan-temuan pada makalah ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Sahminan
(2007), dimana terdapat hubungan positif antara depresiasi nilai tukar dan risiko insolvensi
untuk bank-bank dengan proporsi kewajiban terhadap pihak asing yang lebih tinggi. Bahwa
hanya risiko idiosinkrasi yang memainkan peran yang bermakna dalam menangkap instabilitas
bank di Asia (Agusman dkk, 2008), temuan kami juga konsisten dengan Agusman dkk. tersebut.
Tabel 4. Hubungan antara globalisasi perbankan, kebebasan
ekonomi dan risiko idiosinkrasi (risiko spesifik bank)
Explanatory
Var.
BLIAB
Dependent Var. : SRISK
Model 1
Model 2
Model 3
Model 4
Model 5
Model 6
Model 7
0.0221***
(3.969)
0.0212***
(3.945)
-0.0362***
(-7.515)
0.0216***
(4.019)
-0.0344***
(-7.027)
-0.0125
(-1.885)
0.0174***
(3.204)
-0.0295***
(-5.197)
0.0054
(0.7135)
0.0546***
(6.489)
0.0157***
(2.896)
-0.0294***
(-5.227)
-0.0128
(-1.416)
0.0548***
(6.555)
-0.0545***
(-3.558)
0.0201***
(3.228)
-0.0331***
(-4.876)
-0.0082
(-0.810)
0.0524***
(5.817)
-0.0589***
(-3.347)
0.0131**
(1.969)
-0.1618**
(-2.098)
-0.0386***
(-5.719)
-0.0099
(-0.9901)
0.0503***
(5.519)
-0.0602***
(-3.462)
0.0136**
(2.099)
-0.0141
(-0.4608)
0.2894**
(2.579)
1181
0.47
1118
0.49
1118
0.49
1043
0.52
1043
0.52
859
0.51
859
0.53
LOAN
DEPO
LLR
EQTA
LIQUIDITY
FREEDOM
BLIAB*FREEDOM
Obsevation
Adj R-square
Sumber : Perhitungan penulis.
Catatan :
RISK indikator risiko spesifik bank (idiosyncratic risk) yang merupakan komponen sesatan tahunan dari model market return
harian. BLIAB merupakan proporsi agregat dari foreign liabilities pada sektor perbankan terhadap seluruh total foreign liabilities
di suatu negara. LOAN merupakan rasio total pinjaman terhadap total aset. DEPO merupakan rasio total dana pihak ketiga
terhadap total aset. LLR merupakan rasio penyisihan aktiva produktif terhadap total pinjaman bruto. EQTA merupakan rasio
total ekuitas terhadap total aset. LIQUIDITY merupakan rasio aset likuid terhadap total aset. FREEDOM merupakan indeks
Economic Freedom yang diambil dari Heritage Foundation. Model diestimasi dengan model regresi efek tetap (Panel Fixed
Effect) dengan mempertimbangkan standar kesalahan White»s heteroscedasticity-consistent. Komponen konstan dimasukkan
tapi tidak dilaporkan di dalam tabel. ***,**,* mengindikasikan tingkat signifikansi masing-masing sebesar 1%, 5% dan 1%.
Angka dalam kurung adalah nilai t-test.
146 Buletin Ekonomi, Moneter dan Perbankan, Oktober 2011
Secara khusus, risiko sistematik dalam makalah ini bukan merupakan sebuah sumber instabilitas
yang penting akibat foreign liabilities bank yang lebih tinggi, tanpa memandang tingkat
perkembangan institusional negara. Secara keseluruhan, temuan empiris mengindikasikan
bahwa investor pada negara-negara dengan kebebasan ekonomi yang lebih tinggi lebih
terpengaruhi oleh risiko total dan risiko spesifik bank.
Melihat variabel kontrol, portofolio peminjaman bank yang (LOAN) berhubungan negatif
dengan risiko total, risiko sistematik, dan maupun risiko spesifik bank. Hal ini menyarankan
bahwa aktivitas peminjaman bank bukanlah sumber instabilitas. Hasil ini berlawanan dengan
sifat alami portofolio kredit. Agaknya, bank-bank Asia cenderung mengalami masalah managerial
entrenchment dimana manajer bank-bank cenderung mengarahkan bank-bank untuk menjadi
lebih stabil, dengan menahan portofolio peminjaman berisiko yang lebih sedikit (Bris dan Cantale,
2004; Soedarmono dkk, 2011b). Dana pihak ketiga (DEPO) juga nampaknya bukan merupakan
sumber instabilitas. Sejalan dengan Agusman dkk (2008), rasio loan loss reserves (LLR)
berhubungan positif dengan risiko total dan risiko spesifik bank. Sementara itu, hubungan
antara kapitalisasi bank (EQTA) dan RISK juga memenuhi tanda yang diharapkan. Rasio kapital
bank yang lebih tinggi mengurangi risiko total, risiko sistematik dan risiko spesifik bank.
4.2. Uji Robustness
Dalam rangka memastikan lebih lanjut akan ketahanan dan kemampuan model dalam
memprediksi hubungan antara independen dan dependen variabel, robustness checks perlu
dilakukan2. Pertama, telah diperlihatkan bahwa Model 6 dan 7 dari Tabel 2, 3 dan 4, model
kehilangan jumlah observasi ketika LIQUDITY masuk sebagai variabel kontrol. Untuk memastikan
bahwa hasil empiris diperoleh bukan akibat bias observasi, LIQUIDITY dikeluarkan dari kontrol
variabel dan mengestimasi kembali Model 6 dan 7 pada masing-masing kasus untuk melihat
dampak pada TRISK, BETA, dan SRISK. Namun, spesifikasi ini tidak mengubah hasil empiris
yang telah didiskusikan pada Bagian 4.1. Kedua, dikarenakan bahwa sampel bank dalam makalah
ini berasal dari negara-negara dengan tingkat lingkungan makroekonomi yang berbeda, makalah
ini kemudian mempertimbangkan pengaruh perkembangan ekonomi dan tingkat inflasi untuk
mengontrol perbedaan kinerja perekonomian masing-masing negara. Dengan kata lain, produk
domestik bruto (PDB) riil per kapita dan tingkat inflasi (INF), dimasukkan sebagai variabel kontrol.
Secara keseluruhan, hasil empiris tidak mengubah hubungan antara globalisasi perbankan,
kebebasan ekonomi dan stabilitas finansial sebagaimana yang diukur dengan risiko total, risiko
sistematik dan risiko spesifik bank.
Bank Capital Inflows, Institutional Development and Risk: Evidence from Publicly - Traded Banks in Asia
147
V. KESIMPULAN
Setelah krisis Asia 1997, globalisasi finansial di perbankan Asia dalam bentuk FDI dan
kepemilikan asing, yang mengikuti pertumbuhan aliran modal asing yang memasuki negaranegara Asia akibat krisis kredit 2008 dan krisis utang eropa 2010, memerlukan pemahaman
lebih lanjut apakah tidak partisipasi asing dalam perbankan berdampak pada stabilitas finansial.
Kemudian, peningkatan partisipasi asing sebenarnya juga menunjukkan bahwa negara-negara
Asia telah berada dalam posisi yang lebih baik dalam hal perkembangan institusional. Namun,
belum terdapat penelitian yang menganalisis partisipasi asing dan perkembangan institusional
terhadap stabilitas finansial dalam konteks Asia.
Makalah ini berusaha untuk mengisi ruang tersebut dengan menganalis dampak dari
partisipasi asing terhadap stabilitas finansial melalui saluran selain dari partisipasi asing yang
umumnya digunakan dalam literatur sebelumnya, seperti kepemilikan asing pada bank,
masuknya bank asing, atau kompetisi bank. Dalam makalah saat ini, dipertimbangkan indikator
partisipasi asing yang diukur secara agregat dengan rasio
foreign liabilities dalam perbankan dari seluruh foreign liabilities total di suatu negara.
Dengan menggunakan sampel bank-bank komersial terbuka pada tujuh negara-negara Asia
saat 2002-2009, hasil empiris menunjukkan bahwa foreign liabilities dalam perbankan
menurunkan risiko sistematik, namun memperburuk risiko spesifik bank dan risiko total. Namun,
analisis lebih jauh menunjukkan bahwa temuan ini hanya terjadi untuk negara-negara dengan
kebebasan ekonomi yang lebih luas. Dengan demikian, penguatan regulasi prudensial untuk
perbankan yang berada dalam lingkungan dengan kebebasan ekonomi lebih besar sangat
diperlukan, sebab bank-bank dalam lingkungan tersebut cenderung lebih mudah memperoleh
pendanaan dari pasar finansial internasional. Pada akhirnya, risiko spesifik bank dan risiko total
dapat dikurangi, kegagalan bank dapat dicegah, dan risiko sistemik akibat kegagalan bank
dapat dihindarkan.
148 Buletin Ekonomi, Moneter dan Perbankan, Oktober 2011
DAFTAR PUSTAKA
Agusman, A., Monroe, G.S., Gasbarro, D., Zumwalt, J.K., 2008. Accounting and capital market
measures of risk: Evidence from Asian banks during 1998-2003. Journal of Banking and
Finance 32, 480-488
Ariss, R.T., 2010. On the implications of market power in banking: Evidence from developing
coutnries. Journal of Banking and Finance 34 (4), 765-775
Augier, L., Soedarmono, W., 2011. Intermédiation financière, croissance et effet de seuil. Revue
Economique (forthcoming)
Bautista, C., Rous, P., Tarazi, A., 2009. The determinants of bank stock return»s co-movements
in East Asia.»Economics Bulletin 29(3), 1596-1601
Berger, A.N., DeYoung, R., Genay, H., Udell, G.F., 2001. Globalization of financial institutions:
Evidence from cross-border banking performance. Federal Reserve Bank of Chicago, Working
paper 1999-25
Bonin, J.P., Hasan,I.,Wachtel, P., 2005. Bank performance, efficiency and ownership in transition
countries.Journal of Banking and Finance29, 31-53
Bris, A., Cantale, S., 2004. Bank capital requirement and managerial self-interest. Quarterly
Review of Economics and Finance 44, 77-101.
Demirgüc-Kunt, A., Detregiache, E., 1998.The determinants of banking crises in developing
and developed countries.IMF Staff Papers 45 (1).
Detregiache, E., Gupta, P., 2004. Foreign banks in emerging market crises: Evidence from
Malaysia, IMF Working Paper 04/129
Dinger, V., 2009. Do foreign-owned banks affect banking system liquidity risk?
Journal of Comparative Economics 37, 647-657
Furman, Jason., Joseph E. Stiglitz, Barry P. Bosworth, Steven Radelet. 1998. Economi crisis :
evidence and insights from Asia, Brookings Papers on Economic Activity, Number 2, pages
1-135
Jeon, B.N., Olivero, M.P., Wu, J., 2011. Do foreign banks increase competition? Evidence from
emerging Asian and Latin American banking markets. Journal of Banking and Finance 35,
856-875
Lensink, R.,Naaborg, L., 2007. Does foreign ownership foster bank performance. Applied
Financial Economics17, 881-885
Bank Capital Inflows, Institutional Development and Risk: Evidence from Publicly - Traded Banks in Asia
149
Levy-Yeyati, E., Micco, A., 2007. Concentration and foreign penetration in Latin American
banking sectors: Impact on competition and risk. Journal of Banking and Finance 31, 16331647
Sahminan, S., 2007.Effects of exchange rate depreciation on commercial bank failures in
Indonesia. Journal of Financial Stability 3, 175-193
Soedarmono, W., Machrouh, F., Tarazi, A., 2011a. Bank market power, economic growth and
financial stability: Evidence from Asian banks. Journal of Asian Economicsdoi: 10.1016/
j.asieco.2011.08.003.
Soedarmono, W., Rous, P., Tarazi, A., 2011b. Bank capital and self-interest managers: Evidence
from Indonesia. LAPE Working Paper, Université de Limoges
150 Buletin Ekonomi, Moneter dan Perbankan, Oktober 2011
halaman ini sengaja dikosongkan
Competitive Conditions in Banking Industry: An empirical Analysis of the Consolidation, Competition and
Concentration in the Indonesia Banking Industry between 2001 and 2009
151
COMPETITIVE CONDITIONS IN BANKING INDUSTRY:
AN EMPIRICAL ANALYSIS OF THE CONSOLIDATION,
COMPETITION AND CONCENTRATION IN
THE INDONESIA BANKING INDUSTRY BETWEEN 2001 AND 2009
Tri Mulyaningsih 1
Anne Daly
Abstract
Few large banks dominate the Indonesia banking industry. Furthermore, in the past ten years,
there were a series of mergers and acquisitions in the banking market. The facts cause implications on
competition. In this paper, we examine these issues exploiting an unconsolidated annual financial report
of all commercial banks between 2001 and 2009. The Panzar-Rose method is employed to examine the
banks behavior in competition. Estimates indicate that banks in all three subsamples, large; medium-sized
and small are working in a monopolistically competitive market. The analysis of market concentration
supports the conventional view that concentration impairs competition. The study shows that the most
competitive market was the medium-sized banks because it was least concentrated. In contrast, the large
market was more concentrated thus it was less competitive. The consolidation policies driven by the
Central Bank reduced market concentration because mergers and acquisitions were mostly conducted by
the medium-sized and small banks. Further the improvement of market share distribution and the
increasing capacity of the merging banks enhanced competition in the Indonesia banking industry.
Keywords: Banking, market competition, market structure
JEL Classification: D43, G21
1 Tri Mulyaningsih is Doctoral Student, Faculty of Business and Government, University of Canberra (Corresponding author:
[email protected]). Anne Daly is Professor in Economics, Faculty of Business and Government, University of Canberra;
([email protected]).
152 Buletin Ekonomi, Moneter dan Perbankan, Oktober 2011
I. PENDAHULUAN
Industri perbankan Indonesia mengalami perubahan structural pada tahun 1990 dimana
jumlah bank meningkat secara sifnifikan. Perubahan struktur pasar ini didorong oleh deregulasi
kebijakan sector perbankan pada era 1980-an. Melalui deregulasi Paket Oktober 1988,
pemerintah meringankan persyaratan untuk masuk ke industri perbankan; jumlah modal
minimum yang dipersyaratkan diturunkan dan juga adanya kemudahan untuk mendapatkan
ijin pelaksanaan penukaran valas (McLeod, 1999). Selain itu, ketika lisensi sudah dipegang,
maka seluruh cabang secara otomatis diperbolehkan menyediakan jasa forex.
Tabel 1.
Kebijakan Mikro Perbankan di Indonesia 1983 - 1997
Tahun
Kebijakan
Deregulasi
Juni 1983
Menghilangkan kontrol atas suku bunga deposito bank pemerintah dan tingkat pinjaman
pada perbankan.
Oktober 1988
1. Membuka industri perbankan untuk bank swasta dan joint venture baru dengan
cara menurunkan persyaratan modal minimum.
2. Menghilangkan restriksi dan memberikan kemudahan seperti pembukaan cabang
baru, kemudahan pinajman antar bank, dan membolehkan bank untuk mendisian
produk deposito mereka.
Februari 1992
1. Memperbolehkan investor asing untuk membeli saham perbankan domestk yang
tercatat pada bursa saham.
2. Secara parsial melakukan privatisasi dengan memperbolehkan bank pemerintah untuk
listing di pasar modal.
Regulasi Kembali
1995-1997
1.
2.
3.
4.
5.
Mengontrol kembali peminjaman yang dapat diberikah oleh bank.
Meningkatkan kontrol dalam hal penerbitan surat berharga oleh perbankan;
Meningkatkan pengawasan atas lembaga keuangan non bank;
Memperketat ijin pembukaan cabang baru.
Mengenakan denda bagi bank yang melakukan ekspansi lebih cepat dari yang
diperbolehkan;
6. Meningkatkan rasio cadangan minimum dan memperketat aturan prudensial
perbankan.
Sumber: McLeod (1999, p. 293-295) and Chua, BH (2003)
Setelah serangkaian deregulasi di era 1980-an, otoritas memutuskan untuk memperlambat
ekspansi industri perbankan. Pada tahun 1995 dan 1996, bank sentral memperkenalkan
beberapa kebijakan yang berkaitan dengan aspek prudensial perbankan. McLeod (1999, p.281-
Competitive Conditions in Banking Industry: An empirical Analysis of the Consolidation, Competition and
Concentration in the Indonesia Banking Industry between 2001 and 2009
153
285) menjelaskan bawa selama periode tersebut, Bank Indonesia kembali meregulasi industri
perbankan dengan mengontrol kembali pinjaman bank (pada tahun 1995); meningkatkan
kontrol dalam hal penerbitan surat berharga oleh perbankan (Agustus 1995); meningkatkan
pengawasan atas lembaga keuangan non bank (Desember 1995); memperketat ijin pembukaan
cabang baru (Juni 1996), Meningkatkan rasio cadangan minimum dan memperketat aturan
prudensial perbankan (April 1997). Lebih lanjut, krisis keuangan 1997 telah mempertegas
pentingnya restrukturisasi perbankan dan juga peningkatan aspek prudensial.
Konsolidasi dimulai pada bulan Desember 1997. Krisis keuangan 1997 menyebabkan
distress bagi industri perbankan. Dalam rangka peningkatan kinerja bank pemerintah, bank
sentral memutuskan memerger beberapa bank-bank pemerintah. Otoritas juga menutup 23
bank pada tahun 1997. Kebijakan likuidasi ini berkontribusi dalam mengurangi jumlah bank.
Proses konsolidasi ini dilanjutkan dengan memeperkenalkan Arsitektur Perbankan Indonesia
(API) pada Januari 2004. Pada dasarnya kebijakan ini mendorong bank untuk mencapai skala
ekonomi dan mempercepat penciptaan sistem perbankan yang sehat.
Tabel 2.
Kebijakan Mikro Perbankan periode 1997 - 2010
Tahun
Kebijakan
Konsolidasi
1997
1. Likuidasi 23 bank.
2. Rekapitalisasi bank.
3. Merger 4 bank pemerintah menjadi Bank Mandiri
2003
Privatisasi bank-bank yang di-bailout dibawah skema Indonesia Banking
Restructuring Agency (IBRA)
2004
Pembuatan Arsitektur Perbankan Indonesia (API)
2004 - 2010
Serangkaian merger dan konsolidasi perbankan dilakukan untuk memenuhi Single
Presence Policy dan kebutuhan modal minimum.
Sumber: Chua, BH (2003) dan Central Bank of Indonesia (2010)
Arsitektur perbankan menyediakan arah bagi pengembangan sistem perbankan Indonesia
dalam kurun waktu 10 tahun kedepan. Kebijakan ini ditujukan untuk menciptakan struktur
perbankan yang kuat, sehat dan efisien. Untuk mencapai tujuan ini, bank sentral membuat 6
pilar yakni; menciptakan industri perbankan yang sehat, merumuskan sistem regulasi perbankan
154 Buletin Ekonomi, Moneter dan Perbankan, Oktober 2011
yang efektif berdasarkan standar internasional; meningkatkan fungsi monitoring bank sentral
berdasarkan standar internasional; menciptakan industri perbankan yang kuat, kompetitif
dengan pengelolaan usaha yang baik; mewujudkan infrastuktur yang baik untuk mendukung
penciptaan system perbankan yang sehat; dan meningkatkan proteksi dan pemberdayaan
konsumen (Bank Indonesia, 2010).
Kami menduga bahwa paling tidak terdapat 2 kebijakan dibawah API yang secara langsung
berpengaruh terhadap struktur dan tingkat kompetisi perbankan di Indonesia. Pertama adalah
jumlah modal minimum yang diatur dengan Peraturan Bank Indonesia No. 10/15/PBI/2005.
Kebijakan kedua adalah kebijakan kepemilikan tunggal (single presence policy) yang tertuang
pada Peraturan Bank Sentral No.8/16/PBI/2006.
Dibawah API, bank harus meningkatkan modal untuk mencapai skala usaha. Modal yang
lebih besar memungkinkan bank mempertahankan usaha dan resiko serta melakukan
pengembangan teknologi serta peningkatan kapasitas penyaluran kredit. Modal dapat berupa
modal yang bersumber dari investor (paid-in capital) dan modal yang terungkap (disclosed).
Berdasarkan peraturan ini, semua bank termasuk yang dibuat oleh pemerintah daerah harus
memiliki modal minimum sebesar Rp100 milyar sebelum 31 Desember 2010, atau Bank Indonesia
Modal
(Triliun)
Bank
Internasional
50
Bank
Nasional
10
Bank dengan Fokus tertentu
Lokal
Perusahaan
Ritel
Lain-lain
0.1
Bank Mikro
Bank Usaha Terbatas
Sumber: Bank Sentral Indonesia, (2010), Arsitektur Perbankan Indonesia, www.bi.go.id
Gambar 1.
Visi Kebijakan Arsitektur Perbankan Indonesia 2014
Competitive Conditions in Banking Industry: An empirical Analysis of the Consolidation, Competition and
Concentration in the Indonesia Banking Industry between 2001 and 2009
155
akan mengenakan serangkaian restriksi kepada bank yang bersangkutan. Dalam rangka
meningkatkan modal, bank diperbolehkan menerima tambahan modal dari pemilik lama,
melakukan merger, atau diakuisisi oleh bank yang lebih besar, atau menjual saham pada pasar
modal. Dalam 10 atau 15 tahun kedepan, bank sentral merencanakan menurunkan jumlah
bank menjadi sekitar 60 buah, terdiri dari 2-3 bank internasional, 3-5 bank nasional dan 30-50
bank spesialis (Bank Indonesia, 2010).
Kebijakan kepemilikan tunggal dilakukan untuk mengatur ulang struktur kepemlikan
bank. Kebijakan ini merujuk pada kondisi dimana satu pihak merupakan pemilik saham terbesar
dalam satu bank. Regulasi ini diterapkan bagi pemegang saham lebih dari 25%, atau kurang
dari 25% namun dapat mengontrol bank. Dengan aturan ini, maka harus ada penyesuaian
struktur kepemilikan dengan cara mentransfer sebagian atau semua kepemlikan hanya ke satu
bank. Dengan demikian, mereka menjadi pemegang saham terbesar hanya pada satu bank
saja. Lebih lanjut, bank-bank dengan pemilik yang sama, didorong untuk melakukan merger,
paling tidak membuat Holding Company Bank.
Studi ini bertujuan untuk melakukan penilaian terhadap dampak kebijakan konsolidasi
perbankan terhadap kondisi pasar. Kebijakan konsolidasi ini dimulai sejak krisis keuangan 1997
dan dilanjutkan dengan pembentukan API pada Januari 2004. Tabel 3 menunjukkan bahwa
sejumlah merger dan akusisi dilakukan selama rentang 1997 √ 2010. Satu merger bank besar
dilakukan oleh Bank Niaga dan Bank Lippo untuk memenuhi kebijakan kepemilikan tunggal.
Selain itu, juga terdapat 7 buah merger yang dilakukan oleh bank berukuran sedang dan 7
merger oleh bank berukuran kecil.
Serangkaian merger dan akuisi ini jelas menurunkan jumlah bank. Hal ini memunculkan
isu penting antara lain apakah jumlah bank yang lebih sedikit ini telah menurunkan atau malah
meningkatkan konsentrasi industri perbankan. Selain itu juga menarik untuk menganalisis
dampak konsolidasi tersebut terhadap tingkat kompetisi perbankan.
156 Buletin Ekonomi, Moneter dan Perbankan, Oktober 2011
Table 3.
Daftar Merger dan Akuisis antara tahun 2000 - 2010
Kategori Bank
No
Bank yang Merger
Tahun
Bank Besar
1
2008
PT Bank CIMB Niaga Tbk
Bank ukuran
sedang
1
PT Bank Niaga
PT Bank Lippo
Bank Dai-Ichi Kanggo
Bank IBJ Indonesia
Bank Bali
Bank Artha Media
Bank Universal
Bank Prima Express
Bank Patriot
PT Bank Sumitomo Mitsuo
Indonesia
Sakura Swadarma Bank
UFJ Indonesia Bank
Tokai Lippo Bank
UFJ Indonesia
PT Bank of Tokyo
Mitsubishi
Bank Hagakita
Bank Haga
Bank Rabobank Duta
Bank Buana
Bank UOB Indonesia
Bank Pikko
Bank CIC
Bank Danpac
Bank Artha Graha
Bank Inter-pacific Tbk.
Commonwealth Indonesia
Artha Niaga Kencana
Bank Multicor
Bank Windu Kentjana
Bank Harmoni
International
Bank Index Selindo
Bank Haga
Bank Hagakita
Bank OCBC
Bank NISP
2000
PT Bank Mizuho Indonesia
2001
PT Bank Permata Tbk
2001
PT Bank Sumitomo Mitsuo Indonesia
2001
UFJ Indonesia Bank
2006
PT Bank of Tokyo Mitsubishi UFJ Ltd.
2008
PT Bank Rabobank International
Indonesia Bank
2010
PT Bank UOB Buana Tbk
2001
2001
2004
2005
PT Bank Mutiara Tbk
2
3
4
5
6
7
Bank kecil
1
2
3
4
5
6
7
Sumber: Banks» Annual Financial Report Published by the Central Bank of Indonesia
2007
2007
Nama Bank yang Tebentuk
PT Bank Artha Graha International
Tbk
PT Bank Commonwealth
2008
PT Bank Windu Kentjana
International Tbk.
PT Bank Index Selindo
2008
Rabobank Duta Bank
2009
PT Bank OCBC-NISP Tbk
Competitive Conditions in Banking Industry: An empirical Analysis of the Consolidation, Competition and
Concentration in the Indonesia Banking Industry between 2001 and 2009
157
II. TEORI
Banyak studi yang menganalisis dampak konsolidasi terhadap tingkat konsentrasi dan
kompeitisi. Beberapa lainnya membahas kaitan antara tingkat konsentrasi dan kompetisi.
Terdapat 2 pendekatan terkait dengan isu ini yakni pendekatan struktural dan non-struktural
(Bikker dan Haaf, 2002).
Menurut pendekatan pertama, terdapat hubungan langsung antara struktur pasar, perilaku
perusahaan dan kinerja industri. Pendekatan ini berdasarkan pendekatan tradisional structure-
conduct-performance (SCP). Pendekatan kedua non struktural, sebagaimana dijelaskan oleh
Shaffer (1994a), kondisi yang kompetitif seperti harga yang efisien dapat dicapai dalam kondisi
pasar yang tidak terkonsentrasi maupun yang terkonsentrasi sehingga hubungan antara struktur
pasar dan kinerja adalah tidak linear. Pandangan ini menyarankan untuk lebih fokus pada
competitive conduct dari bank ketimbang pada struktur pasarnya (Biker dan Haaf, 2002).
2.1. Pendekatan Struktural
Dasar dari pendekatan tradisional SCP dibangun oleh Manson (1939). Dia menyimpulkan
bahwa lebih sedikit perusahaan di pasar akan mendorong pasar yang tidak kempetitif, tercermin
dari harga yang lebih tinggi dan jumlah barang yang lebih sedikit, seperti kondisi pasar
monopolistik. Lebih jauh, pasar yang terkonsentrasi akan menghasilkan kinerja kompetitif yang
lebih rendah dimana rasio harga terhadap biaya akan lebih besar, dan mengorbankan
kesejahteraan konsumen. Jumlah perusahaan yang lebih kecil juga dapat mendorong mereka
untuk bekerjasama dengan saingan mereka. Kolusi ini yang akan meningkatkan harga, jauh
lebih besar dari biaya marjinal (Yeyati dan Micco, 2003b).
Pada sisi lain, kompetisi pasar akan menghasilkan kondisi efisien dimana biaya marjinal
akan sama dengan harga. Meningkatnya jumlah perusahaan akan mendorong kondisi yang
lebih kompetitif dengan menurunkan harga dan tingkat keuntungan yang lebih sedikit. Lebih
lanjut, pendekatan SCP percaya bahwa pasar yang kompetitif karena tingkat konsentrasi yang
rendah, akan memberikan kesejahteraan bagi konsumen yang lebih besar (Shaffer, 1994a).
Perusahaan yang efisien akan dapat memproduksi output yang lebih besar pada tingkat harga
yang lebih rendah.
Bain (1951) menguji hipotesa SCP untuk indusri di Amerika Serikat selama periode 19361940. Ia mengkonfirmasi hipotesa SCP tersebut. Dengan menggunakan uji skor Z, dia
membandingkan profit antara group perusahaan dengan tingkat konsentrasi yang tinggi dan
yang rendah. Dia menemukan bahwa keuntungan pada perusahaan dengan tingkat konsentrasi
158 Buletin Ekonomi, Moneter dan Perbankan, Oktober 2011
penjualan yang tinggi, secara rata-rata lebih besar dibandingkan pada group dengan tingkat
konsentrasi yang rendah.
Calem dan Carlino (1991) menemukan korelasi yang kuat antara konsentrasi pasar dengan
kinerja pada industri perbankan. Bain menggunakan profit untuk mengukur kinerja pasar,
sementara Calem dan Carlino menggunakan harga. Kesimpulan mereka mendukung
pendekatan SCP tradisional bahwa tingkat konsentrasi pasar dapat berkontribusi pada perilaku
kolusif. Lebih jauh, penelitian ini mengklaim bahwa pasar yang terkonsentrasi tidak efisien
karena harga lebih besar dari biaya marjinal, dan juga tidak adil karena pasar yang terkonsentrasi
menghasilkan profit yang lebih tinggi dengan biaya yang dibebankan ke konsumen (Berger
dan Hanna, 1989).
Pendekatan struktural sudah menjadi dasar dari kebijakan antitrust di berbagai negara.
Departemen Kehakiman AS mengacu pada pandangan ini dengan mempertahankan kebijakan
eksplisit yang menentang merger antara perusahaan yang saling bersaing yang menimbulkan
tingkat konsentrasi yang lebih tinggi dari threshold (Shaffer, 1994b). Undang-undang No.5
tahun 1999 menganut pendekatan struktural untuk menentukan tindakan perusahaan yang
melawan hukum berdasarkan dampaknya terhadap tingkat persaingan usaha. Hukum ini berlaku
untuk seluruh sektor. Lebih jauh, berdasarkan Peraturan Pemerintah No.28/ 1999 pasal 8(2),
bank yang melakukan merger tidak boleh memiliki aset melebihi 20% dari total aset perbankan.
Angka 20% ini dijadikan threshold.
2.2. Pendekatan Non Struktural
Argumen Pertama bertentangan dengan pandangan tradisional SPC dari Demzet (1973)
dan Pelzman (1977). Menurut mereka, sumber konsentrasi adalah efisiensi dan bukan kekuatan
pasar. Temuan mereka diberi nama hipotesis Efisiensi √ Struktur. Mereka menjelaskan bahwa
perbedaan efisiensi lintas perusahaan dalam suatu pasar dapat menciptakan market share yang
berbeda dan tingkat konsentrasi yang tinggi. Perbedaan efisiensi dapat berasal dari manajemen
dan teknologi produksi yang lebih baik (Neuberger, 1977).
Manson secara eksplisit mengasumsikan bahwa tingkat konsentrasi pasar mendorong
perusahaan untuk meningkatkan harga. Dengan demikian ketika harga meningkat lebih besar
dibandingkan biaya marjinal, dianggap sebagai kondisi yang kurang efisien. Shaffer (1994b)
mengatakan bahwa harga yang lebih rendah bukan indikator yang baik untuk mengukur efisiensi
pasar. Dia mempertahankan ide tersebut dengan menjelaskan bahwa efisiensi yang lebih besar
diantara perusahaan besar dalam pasar yang kompetitif, cenderung mendorong harga yang
lebih rendah, dan bukan lebih tinggi.
Competitive Conditions in Banking Industry: An empirical Analysis of the Consolidation, Competition and
Concentration in the Indonesia Banking Industry between 2001 and 2009
159
SCP mengasumskan hubungan satu arah antara struktur, perilaku dan kinerja. Dengan
demikian, struktur pasar mempengaruhi perilaku perusahaan yang akhirnya mempengaruhi
kinerja pasar. Hubungan kausalitas menjadi tidak jelas karena keputusan perusahaan untuk
memasuki pasar mungkin dipengaruhi oleh ekspektasi tingkat kompetisi pasar (Vesalla, 1995).
Pendekatan non struktural menyatakan bahwa baik struktur pasar maupun perilaku
perusahaan bersifat endogen karena terdapat feedback dari perilaku terhadap struktur pasar.
Lebih lanjut, kinerja perusahaan dapat mempengaruhi keputusan perusahaan untuk masuk
ke pasar.
Pendekatan non struktural menyatakan bahwa profit merupakan indikator yang lemah
atas kekuatan pasar. Vesalla (1995) menyatakan bahwa kekuatan pasar dan profit tidak harus
berkorelasi positif. Perusahaan monopolis cenderung kurang efisien dan mempengaruhi
keuntungan perusahaan, dan perilaku inefisiensi ini justru akan menurunkan keuntungan.
Setelah perkembangan ini, beberapa peneliti mencoba menggunakan Learner Index untuk
mengukur kinerja pasar. Shaffer (1994b) mengevalusi penggunaan Learner Index dan
menemukan bahwa indeks ini lemah dalam menunjukkan kesejahteraan sosial karena keterkaitan
antara indeks dan total kesejahteraan tidak bersifat monotonic. Penurunan jumlah perusahaan
dapat mengurangi surplus konsumen namun dapat meningkatkan surplus produsen. Dengan
demikian, merger dapat meningkatkan total surplus jika dampak terhadap peningkatan surplus
produsen lebih besar dari penurunan surplus konsumen. Lebih lanjut, Shaffer menyarankan
pengukuran struktur biaya sebagai dampak kebijakan konsolidasi; dalam hal ini apakah struktur
biaya menjadi lebih efisien atau tidak.
Argumen pendekatan non struktural menyatakan bahwa hubungan antara konsentrasi
dan kompetisi adalah tidak linear karena tergantung pada berbagai faktor. Teori contestable
market yang dicetuskan Baumol et.al (1982) dirujuk oleh beberapa peneliti untuk menjelaskan
penetapan harga yang kompetitif pada pasar yang terkonsentrasi. Karakteristik utama dari
teori contestable market ini adalah kebebasan untuk masuk dan keluar dari pasar. Dalam pasar
seperti ini, perusahaan yang masuk akan menarik pelanggan dengan harga yang lebih rendah
dan masih tetap dapat menutupi biaya entry; dan ketika perusahaan lama membalas dengan
menurunkan harga, maka dia akan meninggalkan pasar. Karena terdapat kebebasan untuk
masuk ke dan keluar dari pasar, maka pasar dapat menciptakan harga yang kompetitif karena
perusahaan yang tidak efisien akan keluar dan digantikan dengan yang lebih efisien.
Pendekatan non struktural berfokus pada informasi yang diperoleh dari perilaku kompetitif
perusahaan. Mereka percaya bahwa dalam mempelajari pasar, kita harus berkonsentrasi pada
perilaku perusahaan daripada konsentrasi pasar. Dalam hal kompetisi, Panzar dan Rose (1987)
160 Buletin Ekonomi, Moneter dan Perbankan, Oktober 2011
mengembangkan model berdasarkan struktur biaya perusahaan2. Metode ini mencoba
membedakan tingkat kompetisi pasar dengan melihat hubungan antara pendapatan dengan
perubahan harga input. Mereka memberikan implikasi terukur yang dapat diuji terkait dengan
perilaku maksimisasi profit perusahaan. Model ini fokus pada penjumlahan elastisitas input
dari persamaan pendapatan yang sudah tereduksi (reduced form). Elastisitas ini menangkap
efek pergerakan proporsional dari biaya marginal, biaya rata-rata dan biaya total bahkan ketika
data biaya ini sendiri tidak tersedia.
Pendekatan ini menyimpulkan bahwa pada pasar monopoli, elastisitas akan bernilai negatif
karena kenaikan harga input akan meningkatkan biaya marjinal, menurunkan output
keseimbangan dan akhirnya mengurangi pendapatan; akibatnya elastisitas akan bernilai nol
atau negatif (Bikker dan Haaf, 2002). Dalam kondisi persaingan sempurna, nilai elastisitas adalah
satu karena biaya rata-rata akan bergerak secara proporsional dengan harga input.
Banyak studi yang sudah menggunakan metode Panzar-Rose (PR) untuk mengukur
dampak kebijakan konsolidasi terhadap kompetisi pada industri perbankan. Awal era 1980-an,
deregulasi suku bunga deposito pada beberapa negara berkembang telah meningkatkan
kompetisi dan menggiring pada gelombang merger dan akuisisi. Shaffer (1982), Molyneux et
al (1994), Bikker and Haaf (2002) dan Bandt dan Davis (2000) menganalisa dampak konsolidasi
perbankan terhadap tingkat kompetisi di wilayah AS dan negara Eropa.
Konsolidasi di perbankan AS hampir sepenuhnya digiring oleh pasar, sebagaimana merger
yang dianggap sebagai satu jalan untuk meningkatkan diversifikasi, efisiensi serta kekuatan
pasar, (Shaffer, 1994). Dengan menggunakan sampel bank di beberapa negara bagian AS
selang periode 1979-1980, Shaffer (1982) membuktikan bahwa pasar perbankan bersifat
kompetitif. Studi ini menemukan bahwa hampir di setiap pasar, uji signifikansi atas elastisitas
menolak adanya kekuatan pasar.
Lebih lanjut, perbankan Eropa juga menghadapi perubahan struktural setelah implementasi
pasar bersama Eropa, termasuk pasar keuangan. Dalam kondisi itu, tidak ada batasan sama
sekali untuk memasuki pasar anggota negara lain (Molyneux et.al., 1994). Molyneux meneliti
dampak konsolidasi terhadap tingkat persaingan pada periode awal implementasi, dengan
fokus periode 1986-1989. Hasilnya mirip dengan Shaffer (1982) bahwa lingkungan yang
kompetitif pada industri perbankan terpelihara dengan baik. Kondisi monopolistic competition
ditemukan di Jerman, Inggris, Perancis dan Spanyol. Meskipun demikian, kondisi pasar perbankan
di Itali memiliki bentuk monopoli atau diduga berbentuk oligopoli variasi jangka pendek.
2 Panzer, J.C., Rose, J.N., (1987) mengembangkan ukuran tingkat kompetisi berdasarkan perilaku bank. Statik-H menunjukkan elastisitas
harga input terhadap pendapatan bank.
Competitive Conditions in Banking Industry: An empirical Analysis of the Consolidation, Competition and
Concentration in the Indonesia Banking Industry between 2001 and 2009
161
Data yang lebih baru digunakan oleh Bandt dan Davis (2000). Hampir sama dengan
temuan Molynuex et.al. (1994). Mereka mengukur tingkat kompetisi lintas beberapa kelompok
bank yakni besar, sedang dan kecil selama periode 1992-1996. Menurut mereka, bank-bank
besar di Jerman dan Perancis bekerja dalam kondisi monopolistic competition, sementara bank
yang lebih kecil berbentuk monopoli. Untuk Italia, baik bank kecil dan besar berada dalam
kondisi pasar monopoli.
Dengan sampel negara yang lebih besar, Bikker dan Haaf (2002) menginvestigasi perilaku
kompetisi perbankan di 23 negara maju selang periode 1989-1998. Pasar perbankan di 23
negara ini diindikasikan berbentuk monopolistic competition. Temuan ini didukung oleh De
Band dan Davis (2000) dimana kompetisi diantara bank besar lebih kuat dibandingkan kelompok
bank sedang dan kecil.
Terdapat sedikit studi yang dilakukan untuk negara berkembang, dan Gelos dan Roldos
(2002), Claessens dan Laeven (2004), dan Yeyati dan Micco (2007) merupakan beberapa
diantaranya. Penelitian tentang perilaku bank di negara berkembang menjadi penting karena
kondisinya berbeda dengan pasar yang sudah mapan. Negara Amerika Latin juga mengalami
konsolidasi dengan jumlah merger dan akuisisi yang signifikan. Konsolidasi ini dimulai oleh
pemerintah melalui bank sentral dan selanjutnya mengikuti kekuatan pasar. Gelos dan Roldos
menjelaskan bahwa tiga bank umum di Brazil memulai konsolidasi untuk meningkatkan daya
saing mereka. Di Argentina, lima bank besar memperoleh market share yang signifikan melalui
kombinasi antara pertumbuhan organik dan akuisisi.
Konsolidasi terbukti meningkatkan konsentrasi pada pasar Amerika Latin.Meskipun
demikian, pasar yang terkonsentrasi ini tidak mendorong kondisi kompetitif. Kesimpulan ini
diperoleh oleh Gelos dan Roldon, Claessnes dan Laeven serta Yeyati dan Micco.Prinsip contestable
market mungkin dapat menjelaskan situasi ini. Menghilangkan restriksi untuk masuk ke pasar,
menjamin lingkungan yang kompetitif (Classens dan Laeven, 2004).
Pada sisi lain, konsolidasi yang didorong oleh pemerintah sebagaimana yang terjadi di
negara Asia, terlihat memberikan hasil yang berbeda. Bukannya peningkatan konsentrasi,
gelombang merger dan akuisisi ini justru menurunkan tingkat konsentrasi (Gelos dan Roldos,
2002). Terkait dengan kompetisi, tingkat konsentrasi yang lebih rendah ini dapat dianggap
sebagai kompetitif.
Ilustrasi temuan-temuan di atas jelas mendukung pandangan non-struktural bahwa
hubungan antara konsentrasi, perilaku dan kinerja pasar tidak berhubungan linear. Konsolidasi
ini sendiri dengan berbagai variasi bentuk kebijakan, dapat menyebabkan peningkatan atau
justru penurunan tingkat konsentrasi pasar. Lebih lanjut, kompetisi dalam pasar yang
terkonsentrasi dapat diperoleh dengan mengurangi hambatan untuk masuk ke pasar.
162 Buletin Ekonomi, Moneter dan Perbankan, Oktober 2011
2.3. Pendekatan Panzar dan Rose
Sebagaimana telah diilustrasikan sebelumnya, kita tidak dapat bergantung pada informasi
struktur pasar untuk menentukan tingkat kompetisi pada pasar perbankan. Kemungkinan
kesimpulan berbaga studi yang membuktikan adanya hubungan linear antara struktur pasar
dan kompetisi, adalah menyesatkan. Lebih lanjut, Bikker dan Haaf (2002) membuktikan bahwa
indeks konsentrasi seperti concentration ratio (CR) dan Herfindahl-Hirschman Index (HHI)
tampaknya berhubungan terbalik dengan jumlah perusahaan. Negara dengan jumlah bank
yang sedikit, cenderung memiliki tingkat konsentrasi yang lebih tinggi.
Dalam upaya mengukur tingkat kompetisi pasar, studi ini menggunakan metode yang
digunakan oleh Panzar dan Rose (1987). Metode ini didasarkan pada bentuk reduksi dari
persamaan penerimaan, dengan menggunakan data pendapatan perusahaan dan harga.
Metode ini menilai perilaku kompetitif bank untuk menentukan struktur pasar. Metode PanzarRose menghitung penjumlahan elastisitas pendapatan terhadap harga input. Jumlah ini diberi
symbol H (Vesalla, 1995). Nilai elastisitas ini mengandung informasi tentang perilaku bank
yang akan menentukan struktur pasar.
Properti H memungkinkan secara empiris membedakan proses pembentukan harga dalam
teori persaingan tidak sempurna untuk perbankan Indonesia, yakni apakah dari monopoli/
kolusi sempurna, kompetisi monopolistik atau dari persaingan sempurna (Bikker dan Raaf,
2002).
Model empiris Panzar-Rose ini mengasumsikan bahwa bank memiliki fungsi pendapatan
dan biaya yang berbentuk log linear,
(1)
(2)
Dimana OUT adalah output, n adalah jumlah bank, FIP adalah harga input dan EXIRevenue
dan EXICost masing-masing menunjukkan variabel yang mempengaruhi penerimaan dan fungsi
biaya bank. Pendekatan aplikasi empiris Panzar dan Rose mengasumsikan fungsi log-linear
marginal cost untuk bank i (Bikker and Haaf, 2002).
Competitive Conditions in Banking Industry: An empirical Analysis of the Consolidation, Competition and
Concentration in the Indonesia Banking Industry between 2001 and 2009
163
Selanjutnya, model Rose Panzar mengasumsikan maksimisasi keuntungan masing-masing
bank. Bank yang memaksimalkan keuntungan ini akan berproduksi pada level dimana marginal
cost sama dengan marginal revenue, menghasilkan nilai ekuilibrium untuk output:
(3)
Dalam analisis empiris, bentuk reduksi dari persamaan pendapatan ini yang digunakan
(Bikker dan Haaf, 2002, p.2196):
(4)
Dimana, TIR adalah rasio pendapatan bunga terhadap neraca total, AFR adalah harga
pendanaan; HALE adalah biaya tenaga kerja (tingkat upah); PCE adalah harga dari pengeluaran
modal; OI adalah rasio dari pendapatan lain terhadap neraca total, dan BSF adalah faktorfaktor spesifik bank yang bersifat eksogen, seperti komponen risiko, perbedaan deposit mix
dan ukuran aset riil bank (Yeyati dan Micco, 2007, p.1637) .
Dalam kondisi ini, H menunjukkan jumlah dari elastisitas pada persamaan reduksi
penerimaan yang digambarkan oleh faktor harga.
(5)
Tingkat persaingan menentukan nilai dari H, apakah monopoli/kolusi sempurna,
persaingan monopolistik atau persaingan sempurna. Di bawah ini adalah rumus untuk
menghitung H, di mana H adalah jumlah elastisitas, yang terdiri dari elastisitas pendapatan
terhadap perubahan biaya pendanaan ( β ), elastisitas pendapatan terhadap perubahan
pengeluaran sumber daya manusia ( γ ) dan elastisitas pendapatan terhadap perubahan harga
modal ( δ ).
H = β + γ +δ
(6)
Panzar dan Rose membuktikan bahwa dengan monopoli, kenaikan harga input akan
meningkatkan marginal cost, mengurangi output ekuilibrium dan kemudian mengurangi
pendapatan; maka H akan menjadi nol atau negatif (Bikker dan Haaf, 2002). Dengan kata lain,
164 Buletin Ekonomi, Moneter dan Perbankan, Oktober 2011
pasar di mana terdapat kekuatan monopoli akan menghasilkan hubungan negatif antara kedua
variabel, karena pendapatan kotor akan bergerak berlawanan arah dari perubahan unit cost
(Vesala, 1995).
Hasil yang sama juga ditemukan dalam persaingan monopolistik tanpa adanya ancaman
entry, yaitu dengan jumlah bank yang tetap. Pasar terdiri dari beberapa bank, namun ada
hambatan untuk memasuki pasar, sehingga jumlah bank tidak berubah. Vesalla (1995)
membuktikan bahwa di pasar seperti tersebut H adalah nol atau negatif, mirip dengan temuan
Rose-Panzar di pasar monopoli.
Dalam menganalisis persaingan monopolistik, pendekatan Panzar-Rose didasarkan pada
analisis statika komparatif dari model kesimbangan persaingan monopolistis Chamberlinian
(Bikker dan Haaf, 2002). Dalam kasus model persaingan monopolistik, dimana produk bank
dianggap sebagai substitusi yang sempurna satu sama lain, model Chamberlinian menghasilkan
solusi kompetisi yang sempurna, karena elastisitas permintaan mendekati tak terhingga (Bikker
& Haff: 2002: hal 2195). Dalam pasar kompetitif sempurna, peningkatan harga input akan
meningkatkan rata-rata biaya secara proporsional. Keluarnya beberapa bank akan meningkatkan
permintaan yang dihadapi oleh bank-bank yang tersisa, yang menyebabkan kenaikan harga
dan pendapatan yang setara dengan kenaikan biaya (Bikker dan Haaf, 2002). Akhirnya, nilai H
di pasar persaingan sempurna adalah sama dengan satu.
P1 AC
P1
AC1 (W1)
P0
AC0 (W0)
y*
Gambar 2.
H dalam Persaingan Sempurna
y
Competitive Conditions in Banking Industry: An empirical Analysis of the Consolidation, Competition and
Concentration in the Indonesia Banking Industry between 2001 and 2009
165
Dalam kasus model persaingan monopolistik dimana terdapat diferensiasi produk, maka
nilai H akan positif tetapi kurang dari satu. Seperti ditunjukkan pada gambar 3, persaingan
monopolistik merupakan kasus antara kondisi pasar monopoli dan persaingan sempurna.
Persaingan monopolistik menghasilkan «kapasitas berlebih» di mana output yi* diproduksi
pada biaya rata-rata (titik A) yang lebih tinggi daripada biaya rata-rata minimum (titik B).
Selain itu, harga pi* melebihi marginal cost (MC), dibandingkan dengan solusi kompetitif pc
(Vesalla, 1995).
P1 AC
P1
AC1 (W1)
P0
AC0 (W0)
y*
y
Gambar 3.
Keseimbangan Free entry (Chamberlinian) Pasar Monopolistik
Bank dalam ekuilibrium Chamberlinian tidak terlepas dari kekuatan pasar tetapi mereka
tidak dapat memperoleh keuntungan supernormal, karena harga sama dengan biaya rata-rata
(Vesalla, 1995). Oleh karena itu, nilai dari H dalam kondisi ini adalah positif tetapi kurang dari
satu. Ini berarti perubahan harga input positif mempengaruhi pendapatan tetapi kurang dari
satu.
Model ini lebih konsisten dengan pengamatan bahwa bank cenderung untuk melakukan
diversifikasi dengan serangkaian variasi kualitas produk dan iklan, meskipun layanan inti yang
mereka sediakan sesungguhnya homogen (Vesalla, 1995, hlm 50). Diferensiasi produk sangat
penting untuk menciptakan permintaan yang tidak begitu elastis (Tirole, 1988). Jika produk
kurang terdiferensiasi, maka kekuatan menentukan pasar akan kecil sehingga nilai H akan
166 Buletin Ekonomi, Moneter dan Perbankan, Oktober 2011
lebih tinggi. Tingginya biaya untuk beralih (switching) juga merupakan sumber kekuatan pasar.
Pemegang rekening bank menanggung switching cost yang tinggi untuk berpindah dari satu
bank ke bank yang lainnya. Jika pelanggan merencanakan untuk berpindah bank, maka mereka
harus membuat nomor rekening baru. Ini mengisyaratkan banyak dokumen. Selain itu,
pelanggan harus menginformasikan tentang perubahan hubungan bisnis mereka (Canoy et.al,
2001).
Akhirnya, di pasar oligopoli, nilai H dapat juga bernilai positif, yakni ketika terdapat
interaksi strategis antara sejumlah bank dengan jumlah yang tetap (Bikker dan Haaf, 2002).
Namun, dalam kasus kolusi yang sempurna dalam oligopoli, metode Rose dan Panzar
menghasilkan nilai negatif untuk H, mirip dengan model monopoli.
Tabel 4.
Ringkasan Kekuatan Diskrimminasi
Nilai H
Lingkungan yang kompetitif
H<0
Keseimbangan Monopoli: masing-masing bank beroperasi secara independen dan
maksimisasi keuntungan layaknya di bawah kondisi monopoli ( H adalah fungsi menurun
dari elastisitas permintaan ) atau kartel sempurna.
0<H<1
Keseimbangan persaingan monopolistikdengan kondisi free entry ( H merupakan fungsi
menaikdari elastisitas permintaan ).
H=1
Persaingan sempurna. Ekuilibrium free entry dengan utilisasi kapasitas penuh yang efisien.
Sumber: Bikker dan Haaf (2002, p. 2195)
Ada lima asumsi yang perlu diterapkan dalam metode Panzar-Rose. Pertama, bank
diperlakukan sebagai perusahaan dengan produk tunggal yang bertindak sebagai perantara
keuangan. Oleh karena itu bank menghasilkan pendapatan bunga dengan menggunakan
dana, tenaga kerja dan modal sebagai input (De Bandt dan Davis, 2000). Kedua, kita harus
mengasumsikan bahwa harga input yang lebih tinggi tidak berhubungan dengan kualitas
layanan yang lebih tinggi yang menghasilkan pendapatan yang lebih tinggi. Gelos dan Roldós
(2001) menjelaskan bahwa jikalaupun ada korelasi, mungkin ada bias dalam menafsirkan H.
Asumsi ketiga adalah bahwa pasar berada dalam kondisi ekuilibrium dalam jangka panjang.
Asumsi keempat dan kelima mempertimbangkanbank sebagai lembaga yang memaksimalkan
laba dan mereka biasanya memiliki fungsi pendapatan dan biaya (Gelos dan Roldós, 2002,
hal 13-14)
Competitive Conditions in Banking Industry: An empirical Analysis of the Consolidation, Competition and
Concentration in the Indonesia Banking Industry between 2001 and 2009
167
3. METODOLOGI
3.1. Model Empiris
Dalam mengukur persaingan di pasar perbankan Indonesia antara 2001 dan 2009, kami
akan menggunakan model regresi untuk menghitung bentuk reduksi persamaan pendapatan
berikut. Dalam persamaan berikut, empat variabel penjelas diluar tanda kurung mewakili faktor
spesifik bank.
(7)
Tabel lima memberikan informasi yang detail tentang spesifikasi variabel. Dijelaskan
jugadefinisi dan proksi yang digunakan untuk mengukur setiap variabel.
Tabel 5.
Spesifikasi Variabel
Spesifikasi Variabel
Variabel
TIR (pendapatan)
Rasio pendapatan bunga terhadap total aset tahunan
AFR (tk. pendanaan)
Rasio pengeluaran bunga terhadap total deposito tahunan
HALE (tingkat upah)
Rasio pengeluaran upah dan gaji terhadap total aset tahunan
PCE (tk. modal)
Rasio pengeluaran lain terhadap aset tetap
OI (Pendapatan lain)
Rasio pendapatan lain (pendapatan operasional dan non-operasional) terhadap
total aset
EQ (resiko modal)
Ekuitas dibagi dengan total aset
LO (resiko pinjaman)
Pinjaman dibagi dengan total aset
BDEP (deposit mix)
Rasio deposito interbank terhadap total deposito
DDC (deposit mix)
Rasio demand deposit terhadap total deposito dan pembiayaan jangka pendek
Penelitian ini akan menggunakan regresi panel, khususnya fixed effect model (FEM). Ada
beberapa alasan yang mendasari penerapan model regresi panel, pertama, karena penerapan
regresi cross section secara implisit mengasumsikan bahwa semua bank memiliki akses ke faktor
pasar yang sama maka dari itu mereka hanya berbeda dalam skala operasi (De Bandt dan
Davis, 2000, hal 1050). Dengan kata lain, regresi cross section tidak mampu menangkap dinamika
lintas waktu variable ke dalam model.
Vesalla (1995) menyimpulkan bahwa sulit untuk melakukan pengujian inferensial atas
perubahan tingkat kompetisi dari waktu ke waktu jika kita bergantung pada estimasi H dengan
168 Buletin Ekonomi, Moneter dan Perbankan, Oktober 2011
menggunakan regresi cross section untuk setiap tahunnya. Beberapa studi seperti Vesalla (1995)
dan Yeyati dan Micco (2003) menyarankan untuk pengkonsolidasian data individu bank menjadi
kumpulan data panel. Estimasi yang disurvei akan menghasilkan perkiraan H yang lebih akurat
karena pengujian dapat dilakukan terhadap perilaku bank-bank dari waktu ke waktu.
Pertimbangan kedua adalah bahwa studi ini juga akan mengeksplorasi hubungan antara tingkat
konsentrasi dan persaingan sepanjang waktu. Oleh karena itu kami menekankan dimensi yang
dinamis, yang tidak dapat dimasukkan dalam regresicross section (Yeyati dan Micco, 2003a).
Manfaat ketiga dari penggunaanmetode regresi panel bergantung pada kemampuan untuk
menangkap penentu pendapatan bank yang tidak berubah lintas waktu. Penerapan Fixed effect
model memungkinkan dimasukkannya efek tetap bank yang dapat digunakan untuk mengontrol
heterogenitas antara bank yang tidak termasuk dalam model. Fixed effect modelmemungkinkan
untuk memasukkan kondisi spesifik bank yang dapat digunakan untuk mengontrol heterogenitas
antar bank yang tidak tertangkap dalam model. Ini dilakukan oleh dengan memperkenalkan
intersep yang berbeda lintas bank untuk menangkap variabel bank tertentu yang tidak tertangkap
secara eksplisit dalam spesifikasi regresi (De Bandt dan Davis, 2000).
Untuk melihat dampak dari kebijakan konsolidasi terhadap perilaku bank, penelitian ini
menguji perubahan pada koefisien input harga. Mengacu kepadaGelos dan Roldós (2002)
pengujian dapat dilakukan dengan membagi periode pengamatan menjadi dua sub-periode
dan dengan menginteraksikan input variabel harga (ln (AFR), ln (HALE) dan ln (PCE)) dengan
variabel dummy yang bernilai satu pada sub-periode kedua. Variabel interaksi akan menunjukkan
apakah kebijakan konsolidasi secara signifikan mengubah perilaku bank; jika variabel interaksi
menghasilkan nilai-nilai yang signifikan, maka akan nampak patahan struktural dalam hubungan
statistik antara pendapatan dan harga input (Gelos dan Roldós, 2002, hal 15). Selain itu, nilai
variabel interaksi akan menentukan arah perubahan tingkat persaingan. Jika mereka positif,
kita dapat menyimpulkan bahwa konsolidasi telah meningkatkan persaingan atau justru
sebaliknya. Lebih lanjut jika H-statistik adalah positif dan bernilai antara 0 dan 1 dan secara
kumulatif nilai variabel interaksi positif, maka ini mengisyaratkan sebuah kompetisi yang lebih
kuat (Vesala, 1995, hlm 56)3.
Periode pertama adalah 2001-2003 dan periode kedua dimulai dari tahun 2004. Penelitian
ini memilih 2004 sebagai tahun terjadinya patahan struktural karena mulai dari 2004, Bank
Sentral Indonesia secara resmi memberlakukan proses konsolidasi dengan memperkenalkan
kebijakan Arsitektur Perbankan Indonesia (API).
3 Merujuk kepada Bikker dan Haaf (2002, p. 2203). Mereka menjelaskan bahwa hasil Vesala (1995) mengimplikasikan interpretasi
H-statistik antara 0 and 1 adalah pengukuran level kompetisi yang kontinu. Selanjutnya Bikker dan Haaf (2002) menggambarkan
nilai H yang lebih tinggi dapat digunakan sebagai indikasi tingkat kompetisi yang lebih kuat (hal. 2203).
Competitive Conditions in Banking Industry: An empirical Analysis of the Consolidation, Competition and
Concentration in the Indonesia Banking Industry between 2001 and 2009
169
Salah satu asumsi berdasarkan metode Panzar dan Rose adalah pasar berada dalam kondisi
keseimbangan (Claessens dan Laeven, 2003). Kita harus menguji apakah asumsi ini terpenuhi.
Mengacu pada beberapa studi, pengujian keseimbangan pasar harus dapat memvalidasi bahwa
statistik Panzar-Rose dapat memberikan hasil yang akurat (De Bandt dan Davis, 2000).
Untuk menguji keseimbangan, beberapa studi mencoba sebuah pengujian apakah harga
input berkaitan dengan pendapatan industri. Di sini, kita akan memodifikasi bentuk reduksi
persamaan penerimaan dengan mengganti variabel dependen dengan rasio laba bersih terhadap
total aset sebagai variabel endogen (De Bandt dan Davis, 2000).
(8)
Ekuilibrium didefinisikan sebagai suatu kondisi dimana nilai ekuilibrium E-statistik adalah
nol. E-statistik didefinisikan sebagai penjumlahan dari β, γ, dan δ. Selanjutnya, kita dapat
menggunakan F-test untuk memastikan signifikansi statistik uji apakah E = 0 (Claessens dan
Laeven, 2003).
3.2. D a t a
Data diperoleh dari Bank Indonesia yang terdiri dari neraca tahunan (unconsolidated)
dan laporan pendapatan bank-bank komersial. Sampel tersebut terdiri dari kurang lebih 128
bank untuk setiap tahun, namun jumlah sampel untuk setiap tahunnya bervariasi. Variasi tahunan
pada jumlah bank disebabkan oleh merger, akuisisi, likuidasi bank dan masuknya bank-bank
baru selama periode observasi. Dalam kasus merger dan akuisisi, database hanya menyimpan
data dari lembaga baru yang biasanya merupakan bank yang lebih besar.
Tabel 6 memberikan informasi detail tentang jumlah bank untuk setiap kategori. Menurut
database, Bank Sentral membagi bank komersial menjadi enam kategori. Saat ini Indonesia
memiliki 4 bank milik negara, 68 bank swasta lokal yang terdiri dari bank-bank dengan layanan
valuta asing dan yang tidak. Meskipun Bank Sentral telah mengelompokkan 68 bank-bank ke
bank lokal, sebenarnya beberapa dari mereka dibeli oleh investor luar negeri selama kebijakan
privatisasi pada 1990-an. Ada 20 bank patungan, di mana pemiliknya adalah investor asing
dan lokal. Ada 11 bank asing yang biasanya merupakan cabang-cabang dari bank asing. Terakhir,
terdapat 25 bank regional yang biasanya beroperasi di provinsi mereka. Para pemegang saham
bank-bank daerah adalah pemerintah provinsi dan kotamadya.
170 Buletin Ekonomi, Moneter dan Perbankan, Oktober 2011
Tabel 6.
Ukuran Sampel
Jumlah Bank
Tipe Bank (berdasarkan kategorisasi Bank Sentral)
Bank Pemerintah
4
Bank Swasta - Valuta asing
39
Bank Swasta - Tidak melayani valuta asing
29
Bank Patungan
20
Bank Asing
11
Bank Daerah
25
Total
128
Sumber: Statistik Perbankan Indonesia, 2009, Bank Sentral Indonesia
Dibandingkan dengan negara-negara berkembang lainnya di Asia Tenggara, jumlah
bank di Indonesia lebih banyak. Namun, pasar terkonsentrasi menjadi beberapa bank besar
yang mendominasi. Neraca bank menunjukkan bahwa rata-rata 3 dari 113 bank mengontrol
lebih dari empat puluh persen industri antara 2001 dan 2009. Informasi statistik deskriptif
tentang distribusi aset dan modal mendukung gagasan tentang pasar yang sangat
terkonsentrasi ini. Tabel 7 menggambarkan distribusi aset dan ekuitas dari semua bank
pada 2009. Untuk aset, seperempat pasar didominasi oleh bank tunggal yang adalah Bank
Mandiri dengan aset 370 trilyunRupiah dan ekuitas lebih dari 35 triliun rupiah. Aset Bank
Mandiri adalah 15 kali lebih besar dari rata-rata dan ekuitasnya 17 kali lebih besar dari
rata-rata.
Tabel 7.
Statistik Deskriptif Aset dan Ekuitas di Tahun 2009 (dalam Juta Rupiah)
Statistics
Mean
Median
Asset
22.158.195
Equity
2.267.144
3.978.396
547.938
Q4 (100% data)
370.310.994
35.108.769
Q3 (75% data)
13.356.445
1.370.931
Q2 (50% data)
3.923.234
539.862
Q1 (25% data)
1.523.057
164.954
4,44
4,16
Skewness
Kurtosis
Jarque-Bera
Probability of JB
23,26
21,00
2.242,80
1.803,03
0,00
0,00
Competitive Conditions in Banking Industry: An empirical Analysis of the Consolidation, Competition and
Concentration in the Indonesia Banking Industry between 2001 and 2009
171
Karena bentuk distribusi pasar condong ke kanan (positively skewed), maka median adalah
ukuran tendensi sentral yang dipilih. Tabel 7 menunjukkan bahwa semua statistik yangtidak
mendukung kondisi distribusi normal data. Nilai-nilai kemiringan baik untuk aset dan ekuitas,
menunjukkanbentuk distribusi yang condong ke kanan. Nilai JB positif dan berbeda dari satu
secara signifikan,menunjukkan bahwa data menolak asumsi normalitas. Mengacu pada data,
setengah dari bank (56 bank) memiliki ekuitas kurang dari 550 miliar rupiah. Selain itu, lebih
dari 66 persen (85 bank) memiliki ekuitas kurang dari 1.371 miliar rupiah. Di sisi lain, terdapat
porsi yang sangat kecil √yakni kurang dari 1 persen atau hanya 7 bank, yang memiliki ekuitas
lebih dari 10 miliar.
Angka-angka di atas akan digunakan untuk menghitung break point untuk membagi
sampel berdasarkan ukuran. Pembagian sampel menjadi kelompok bank besar, menengah dan
kecil penting untuk mengamati perilaku riil bank dalam bersaing dengan bank lain dalam kategori
mereka. Bank-bank besar diasumsikan bekerja di tingkat nasional bahkan internasional,
sementara bank-bank berkecil fokus pada industri lokal atau spesifik dan sering tidak memiliki
pelanggan di luar pangsa pasar mereka.
Tabel 8.
Tiga Kategori Bank Berdasarkan Nilai Ekuitas
Kategori
Ekuitas (IDR)
Ukuran Sampel 4
Bank Besar
> 10 trilliun
7
Bank Menengah
1 - 10 trilliun
36
Bank Kecil
< 1 trilliun
70
Total
113
Nilai ekuitas pada tahun 2009 akan digunakan sebagai dasar untuk membagi sampel
menjadi bank besar, menengah, dan kecil. Bank-bank besar adalah mereka dengan ekuitas
lebih dari 10 triliun rupiah. Bank menengah bekerja dengan modal dari 1 sampai 10 triliun
rupiah.Yang terakhir, bank-bank kecil adalah yang ekuitasnya kurang dari 1 triliun rupiah. Dalam
hal jumlah bank, kategori bank kecil mendominasi pasar, namun pasar dikendalikan oleh
kelompok yang lebih besar.
4 Kategorisasi berdasarkan data perbankan Indonesia 2009.
172 Buletin Ekonomi, Moneter dan Perbankan, Oktober 2011
IV. HASIL DAN ANALISIS
4.1. Kompetisi Pada Industri Perbankan
Temuan dalam paper ini robust dengan penggunaan dua pengukuran pendapatan yang
berbeda sehubungan dengan tingkat persaingan di industri perbankan Indonesia. Beberapa
studi menggunakan rasio pendapatan bunga terhadap aset total untuk mengukur pendapatan
bank. Bikker dan Haaf (2002) menjelaskan bahwa proksi ini lebih konsisten dengan asumsi
yang mendasari metode Panzar dan Rose, di mana bank-bank diasumsikan menjadi perusahaan
produk tunggal yang bertindak sebagai perantara keuangan. Oleh karena itu bisnis utama
bank adalah intermediasi keuangan.
Di sisi lain, De Bandt dan Davis (2000) berpendapat bahwa sebagai respon terhadap
kompetisi yang semakin ketat, bank-bank meningkatkan minat mereka terhadap kegiatan nonpendapatan bunga - termasuk pendapatan manajemen aset, reksa dana dan asuransi (hal.
1047). Mereka mengusulkan untuk menggunakan kedua pengukuran pada rasio pendapatan
bunga terhadap aset dan rasio total pendapatan terhadap aset sebagai metode validasi untuk
menguji apakah model tersebut kuat.
Secara keseluruhan kedua spesifikasi menghasilkan hasil yang serupa. Namun spesifikasi
pendapatan bunga menunjukkan beberapa koefisien yang lebih besar. Kami memilih untuk
menggunakan proksi pertama karena industri perbankan Indonesia masih sangat bergantung
pada pendapatan berbasis bunga. Data dari laporan keuangan tahunan dari semua bank
antara 2001 dan 2009 menunjukkan 88 persen dari pendapatan bank «itu berasal dari
pendapatan bunga. Oleh karena itu proksi pertama akan melihat potret nyata dari persaingan
di industri perbankan Indonesia. Selain itu, penelitian ini juga memasukkan penghasilan lainnya
yang berarti penghasilan yang berasal dari kegiatan non-bunga juga merupakan salah satu
variabel penjelas untuk melihat pertumbuhan tren pendapatan berbasis non-bunga pada
pendapatan bank.
Salah satu asumsi kritis dengan metode Panzar-Rose adalah apakah pengamatan berada
dalam ekuilibrium jangka panjang. Seperti dijelaskan pada bagian sebelumnya, kami telah
melakukan tes ekuilibrium dengan menggunakan regresi dari bentuk reduksi persamaan
pendapatan dengan mengganti variabel dependen dengan pendapatan ekuitas. Kami
menerapkan metode yang diperkenalkan oleh Claessens dan Laeven (2003) untuk menurunkan
Return on Asset (ROA). Karena ROA dapat digunakan dengan nilai yang (negatif) kecil, mereka
menyarankan untuk menghitung variabel dependen ROA dengan menggunakan rumus Ln
(1 + ROA) (hal. 11). Estimasi menunjukkan bahwa gabungan koefisien β, γ dan δ tidak secara
signifikan berbeda dari nol (silakan lihat lampiran untuk hasil estimasi yang lengkap). Oleh
Competitive Conditions in Banking Industry: An empirical Analysis of the Consolidation, Competition and
Concentration in the Indonesia Banking Industry between 2001 and 2009
173
karena itu, metode Panzar-Rose cocok untuk mengukur persaingan di pasar perbankan Indonesia
antara 2001 dan 2009.
Model Panzar-Rose telah diterapkan untuk sekitar 128 bank antara 2001 dan 2009.
Redundant test digunakan untuk menguji apakah penggunaan intercept yang berbeda untuk
setiap unit cross section untuk mengukur heterogenitas lintas bank adalah signifikan. Uji Fterestriksi dan uji χ2 untuk fixed effect terbukti. Mereka memperlihatkan bahwa fixed effect
model lebih handal memperlihatkan informasi tentang apa yang berkontribusi terhadap
perbedaan lintas bank, (Lihat Lampiran).
Table 9.
Hasil Empiris dengan menggunakan Fixed effect model Pendapatan Bunga sebagai Variabel
Dependen, Seluruh Bank between 2001 dan 2009
Tingkat Pendanaan
Tingkat Upah
Harga Modal
Resiko Pinjaman
Resiko Modal
Seluruh Bank
Bank Besar
Bank Menengah
Bank Kecil
0.46***
0.49***
0.51***
0.46***
(34.74)
(18.56)
(28.52)
(24.50)
0.21***
0.08***
0.26***
0.19***
(11.52)
(2.53)
(10.10)
(7.50)
0.02
0.01
0.03***
0.018
(1.50)
(0.40)
(2.12)
(0.88)
0.45***
0.17
0.52***
0.457***
(14.04)
(1.20)
(11.51)
(9.41)
0.002
0.18***
0.10***
-0.028
(0.19)
(2.68)
(4.02)
(-1.83)
0.03***
0.025
0.007
0.02
(2.06)
(0.81)
(0.33)
(1.29)
Deposit Mix -
-0.001
-0.021***
-0.003
0.001
Deposito Interbank
(-0.60)
(-2.17)
(-0.97)
(0.40)
Deposito Mix Permintaan Deposito
Pendapatan Lain
-0.008
0.04
-0.022
-0.010
(-0.83)
(1.54)
(-1.64)
(-0.77)
Jumlah Pengamatan
892
63
309
520
R2
0.89
0.94
0.94
0.87
H (kompetisi)
0.69a
0.59a
0.80a
0.66a
Struktur Pasar
Kompetisi
Kompetisi
Kompetisi
Kompetisi
Monopolistik
Monopolistik
Monopolistik
Monopolistik
a) Nilai F test menunjukkan bahwa H tidak secara signifikan berbeda dari 0 dan 1 (level confidence 99%) Nilai dalam
kurung adalah t-statistic;
*** Signifikan pada 99% confidence level;
** signifikan pada95% confidence level;
* signifikan padat 90% confidence level
174 Buletin Ekonomi, Moneter dan Perbankan, Oktober 2011
Tabel 9 menyediakan informasi lengkap tentang hasil estimasi persamaan bentuk reduksi
pendapatan. H-statistik untuk semua bank adalah 0,69. Uji F menunjukkan bahwa nilai secara
signifikan berbeda dari nol sehingga menolak hipotesis bentuk pasar monopoli. Hal ini juga
secara signifikan berbeda dari satu, sehingga juga menolak hipotesis persaingan sempurna.
Berdasarkan ini, kami dapat menyimpulkan bahwa sektor perbankan bekerja pada persaingan
monopolistis. Perubahan faktor harga akan meningkatkan pendapatan kurang dari proporsional
karena produk terdiferensiasi dan biaya switching tinggi. Selanjutnya, kompetisi telah meningkat
dari waktu ke waktu. Kesimpulan ini didasarkan pada perbandingan antara temuan kami dengan
studi yang dilakukan oleh Classens dan Laeven (2003). Menurut mereka, dari 1994 sampai
2001, nilai H-statistik untuk perbankan Indonesia adalah 0,62.
Analisis antar kelompok memberikan pemahaman pasar yang lebih luas. H-statistik yang
bervariasi dari 0,59-0,80 menunjukkan bahwa pasar perbankan di semua kelompok bekerja
dalam bentuk persaingan monopolistik. Kelompok bank besar adalah pasar paling tidak
kompetitif, dengan H-statistik 0,59. Kelompok bank menengah adalah pasar yang paling
kompetitif. H-statistik untuk kelompok bank menengah cukup tinggi (0,80), dan itu sebanding
dengan pasar perbankan di negara maju dan berkembang lainnya seperti Bank Amerika Latin
(Yeyati dan Micco, 2007). Hal ini cukup mengejutkan karena di negara lain termasuk Eropa,
pasar perbankan bank yang lebih besar lebih kompetitif dibandingkan dengan bank-bank kecil
yang biasanya melayani pasar lokal (Bikker dan Haaf, 2002).
Seperti yang diperkirakan, deposito atau dana adalah input yang paling penting. Koefisien
untuk tingkat pendanaan adalah kontributor utama dari elastisitas. Angka ini konsisten di
seluruh kelompok yang berbeda. Sumber daya manusia merupakan input utama kedua di
industri perbankan. Tanda koefisien juga positif menunjukkan bahwa kenaikan tingkat upah
ditransmisikan ke pendapatan. Input penting selanjutnya adalah modal. Koefisien pada harga
modal bernilai kecil, dan dalam beberapa estimasi, mereka tidak signifikan.
Risiko kredit adalah penjelas penting dari pola pendapatan. Koefisien positif untuk risiko
kredit mengimplikasikan bank dengan proporsi pinjaman yang lebih tinggi di neraca mereka
menghasilkan pendapatan bunga yang lebih tinggi per aset rupiah. Kesimpulan yang sama
juga berlaku pada variabel risiko modal. Koefisien bernilai positif bagi bank-bank besar dan
menengah. Jadi untuk bank yang lebih besar, dapat disimpulkan bahwa semakin tinggi proporsi
ekuitas terhadap aset maka akan semakin tinggi pendapatan. Variabel deposito campuran
tidak signifikan dalam menjelaskan pergerakan pendapatan, kecuali proporsi deposito antar
bank terhadap total simpanan pada pasar bank-bank besar. Tanda koefisien yang negatif
menunjukkan bahwa semakin besar porsi deposito antar bank terhadap total deposito, maka
semakin kecil pendapatan .
Competitive Conditions in Banking Industry: An empirical Analysis of the Consolidation, Competition and
Concentration in the Indonesia Banking Industry between 2001 and 2009
175
4.2. Kompetisi dan Struktur Pasar
Bagian ini akan menjelaskan hubungan antara konsentrasi dan persaingan. Penelitian ini
menggunakan dua jenis tipe indeks yang sering diterapkan sebagai proksi konsentrasi pasar.
Indeks pertama disebut rasio konsentrasi k-bank ( CRk ) yang mengambil pangsa pasar dari k
bank terbesar di pasar, dan mengabaikan bank-bank yang tersisa. Indeks kedua adalah indeks
Herfindahl-Hirschman (HHI), yang mengambil saham pasar sebagai bobot, dan menekankan
pentingnya bank yang lebih besar dengan memberi mereka bobot yang lebih besar daripada
bank kecil (Bikker dan Haaf, 2002)5.
Pengukuran konsentrasi ini dapat dianggap akurat untuk mengukur konsentrasi pasar,
karena semua proksi menghasilkan hasil yang serupa. Data menunjukkan bahwa pasar
perbankan di Indonesia menjadi kurang terkonsentrasi. Temuan ini mengejutkan. Berbeda
dengan negara maju di mana konsolidasi meningkatkan konsentrasi6 pasar, perubahan kebijakan
justru mengurangi konsentrasi di pasar perbankan Indonesia.
Temuan kami selaras dengan studi yang dilakukan oleh Gelos dan Roldós (2002). Mereka
berpendapat bahwa konsolidasi tidak meningkatkan konsentrasi pasar di negara-negara Asia
0,7
0,6
0,5
0,4
CR3
CR4
CR5
HHI
0,3
0,2
0,1
0
2001
2002 2003
2004
2005
2006 2007
2008 2009
Gambar 4.
Konsentrasi Perbankan dengan Menggunakan
Empat Pengukuran yang Berbeda, Seluruh Bank, 2001 √ 2009
5 Dibawah ini adalah formula untuk menghitung konsentrasi rasio (CR) danindeks Herfindahl-Hirschman dimana s adalah pangsa
pasar bank.
CRk = Σki = 1 si
HHI = Σmi = 1 si2
6 Silahkan lihat De Bandt dan Davis (2000) dan Bikker dan Haaf (2002).
176 Buletin Ekonomi, Moneter dan Perbankan, Oktober 2011
karena perubahan struktural sebagian besar didorong oleh pemerintah. Sementara di negaranegara maju dan pasar yang lebih matang negara-negara berkembang di Amerika Latin, merger
dan akuisisi didorong oleh pasar.
Dalam pasar tersebut, persaingan ketat memaksa bank-bank besar untuk bergabung
untuk meningkatkan daya saing mereka. Sebaliknya, merger dan akuisisi di perbankan Indonesia,
kebanyakan dilakukan oleh bank-bank menengah dan kecil dalam rangka untuk mematuhi
kebijakan kepemilikan tunggal dan kebutuhan modal minimum. Konsolidasi ini meningkatkan
skala ekonomi bank yang bergabung. Namun tidak meningkatkan konsentrasi industri karena
merger didominasi oleh bank-bank kecil dan menengah. Ini menyiratkan bahwa konsolidasi di
pasar perbankan Indonesia ini tidak menciptakan pasar lebih terkonsentrasi tetapi meningkatkan
distribusi pangsa pasar.
Dalam kasus bank-bank besar, aturan kepemilikan telah secara efektif mengurangi
konsentrasi dengan berkonsolidasinya PT Bank Niaga Tbk. dan Bank Lippo pada tahun 2008.
Pangsa pasar bank merger, PT. CIMB Niaga, meningkat sekitar 3 persen. Merger ini secara
signifikan mengurangi konsentrasi pasar karena bank yang baru bergabung tersebut bukan
merupakan tiga bank besar. Oleh karena itu sebagai bagian dari meningkatnya penggabungan
bank, distribusi pangsa pasar berubah di mana saham terbesar tiga bank menurun dari 74
persen pada tahun 2001 menjadi 66 persen pada 2009.
Merger dan akuisisi di pasar bank-bank menengah dan kecil bertujuan untuk
meningkatkan kinerja bank setelah krisis ekonomi tahun 1997 atau untuk menyesuaikan diri
dengan kebijakan single presence dan kebutuhan modal minimum. Ada tujuh merger dalam
Tabel 10.
Konsentrasi Perbankan antar Group 2001 - 2009
Tahun
2001
2002
2003
2004
2005
2006
2007
2008
2009
Rata-rata
Seluruh Bank
Bank Besar
Bank Menengah
Bank Kecil
CR3
HHI
CR3
HHI
CR3
HHI
CR3
HHI
0,47
0,46
0,45
0,42
0,38
0,36
0,37
0,37
0,39
0,41
0,10
0,10
0,09
0,08
0,07
0,06
0,07
0,06
0,07
0,08
0,74
0,74
0,73
0,71
0,67
0,65
0,64
0,64
0,66
0,69
0,24
0,23
0,22
0,21
0,20
0,17
0,18
0,18
0,18
0,20
0,30
0,30
0,27
0,26
0,25
0,23
0,23
0,23
0,24
0,26
0,06
0,06
0,05
0,05
0,05
0,05
0,04
0,04
0,05
0,05
0,35
0,30
0,30
0,29
0,33
0,29
0,30
0,32
0,28
0,31
0,05
0,04
0,04
0,05
0,05
0,05
0,05
0,06
0,05
0,05
Competitive Conditions in Banking Industry: An empirical Analysis of the Consolidation, Competition and
Concentration in the Indonesia Banking Industry between 2001 and 2009
177
kategori bank-bank menengah antara tahun 2001 dan 2009. Jumlah bank dalam kelompok
kecil juga berkurang. Konsolidasi bank-bank kecil di pasar didominasi oleh likuidasi bank dengan
kinerja yang buruk dan konsolidasi untuk mematuhi kebijakan Kebutuhan Modal Minimum.
Silahkan lihat tabel 3 untuk daftar rinci merger antara 2001 dan 2009.
Dibandingkan dengan bank-bank besar, bank-bank menengah dan kecil memiliki tingkat
konsentrasi yang jauh lebih rendah. Mereka memiliki distribusi pangsa pasar yang lebih baik,
karena tiga bank terbesar dalam kelompok tersebut hanya mengontrol kurang dari 35 persen
pangsa pasar.
Analog dengan bank besar, tingkat konsentrasi untuk bank menegah dan bank kecil
juga berkurang. Tetapi jika kita membandingkan nilai perubahan konsentrasi, perubahan tingkat
konsentrasi bank menengah dan bank kecil relatif kecil, terutama jika kita merujuk pada indeks
Herfindahl-Hirschman. Informasi dari konsentrasi dan persaingan pasar pada bank menengah
dan bank kecil membantu dalam memahami fenomena ini. Pasar bank-bank menengah dan
kecil sangat kompetitif dan kurang terkonsentrasi, sehingga merger dan akuisisi hanya sedikit
mengurangi konsentrasi pasar.
Ada konsistensi antara konsentrasi dan persaingan pasar dalam tiga kelompok yang
berbeda. Bank-bank besar memiliki tingkat persaingan terendah karena pasar lebih terkonsentrasi
(CR3rata-rata = 0,69; HHIrata-rata = 0,20). Di sisi lain, pasar bank menengah adalah yang paling
kompetitif karena lebih terkonsentrasi (CR3rata-rata = 0,26; HHIrata-rata= 0,05). Bank-bank kecil juga
bekerja di lingkungan yang cukup kompetitif karena setiap bank memiliki pangsa yang kecil
dari total pasar (CR3rata-rata= 0,31; HHI rata-rata= 0,05).
Hasil fixed effect model yang menggunakan variabel interaksi untuk semua bank
menunjukkan bahwa gelombang kedua konsolidasi melalui pengenalan Arsitektur Perbankan
Tabel 11. Hasil Empiris dengan menggunakan Metode Efek Tetap dengan Variabel Interaksi
(Seluruh Bank antara 2001 dan 2009)
Rincian
H (Level Kompetisi)
0.68
∆H (Setelah Kebijakan Konsolidasi 2004)
0.027
Significance test on ∆H , F test¡
3.5074240.0615*
Uji pada perubahan H
Tidak dapat menolak peningkatan H-statistics
Struktur Pasar
Persaingan Monopolistik
N (Jumlah Pengamatan)
892
Catatan: *** signifikan padat 99% confidence level; ** signifikat pada 95% confidence level;
* Signifikan pada 90% confidence level
178 Buletin Ekonomi, Moneter dan Perbankan, Oktober 2011
Indonesia meningkatkan nilai dari H-statistik. Peningkatan terjadi sekitar 0,027 dari 0,68
pada periode pertama sampai 0,70 pada periode kedua. Uji signifikansi dengan menggunakan
uji F menunjukkan bahwa peningkatan persaingan signifikan pada tingkat kepercayaan 90
persen. Hasilnya menegaskan bahwa kebijakan konsolidasi meningkatkan persaingan di
industri perbankan Indonesia. Kebijakan konsolidasi efektif untuk mendorong bank-bank
menengah dan kecil untuk bergabung dalam rangka untuk memenuhi kewajiban penyediaan
modal minimum dan kebijakan single presence. Secara signifikan ini meningkatkan skala
ekonomi bank yang bergabung dan memiliki kapasitas yang lebih besar untuk bersaing dengan
bank lain. Selanjutnya merger bank kecil meningkatkan distribusi pangsa pasar. Peningkatan
distribusi pangsa pasar mengurangi konsentrasi pasar dan meningkatkan kompetisi.
V. KESIMPULAN
Ada beberapa temuan menarik dalam studi ini. Pertama, data menunjukkan bahwa
struktur pasar perbankan Indonesia cukup rentan. Dibandingkan dengan negara-negara Asia
Timur, jumlah bank di Indonesia lebih besar. Namun, pasar terkonsentrasi pada beberapa bank.
Bank-bank besar mengontrol pangsa pasar yang substansial. Di sisi lain, ada lebih dari setengah
bank-bank berskala kecil dengan modal kurang dari 1 triliun rupiah. Selain itu, konsentrasi
pasar pada kelompok bank besar jauh lebih tinggi daripada di bank-bank kecil.
Kedua, pasar perbankan menjadi kurang terkonsentrasi selama pelaksanaan kebijakan
konsolidasi. Temuan ini menunjukkan bahwa kebijakan konsolidasi di Indonesia memiliki pola
yang sama dengan yang diterapkan di negara-negara Asia lainnya. Sebaliknya, konsolidasi
kebijakan di negara Amerika Latin dan negara-negara maju lainnya meningkatkan konsentrasi
pasar. Seperti dijelaskan oleh Gelos dan Roldós (2002), kebijakan konsolidasi yang didorong
oleh pasar akan meningkatkan konsentrasi. Di sisi lain, kebijakan konsolidasi di Indonesia
didorong oleh otoritas pemerintahan melalui likuidasi bank, merger bank milik negara dan
pemberlakuan Arsitektur Perbankan Indonesia. Mereka telah secara efektif mendorong bankbank menengah dan kecil untuk berkonsolidasi. Hal ini meningkatkan distribusi pangsa pasar
dan mengurangi konsentrasi pasar.
Ketiga, selama pelaksanaan kebijakan konsolidasi, industri perbankan bekerja pada bentuk
pasar persaingan monopolistis. H-statistik adalah 0,69. Jika kita bandingkan dengan nilai Hdata statistik pada 1994-2001 yang dihitung oleh Claessen dan Laven (2003), kompetisi telah
meningkat dari waktu ke waktu. Analisis persaingan sub-kelompok menunjukkan bahwa bankbank besar bekerja di pasar paling tidak kompetitif sedangkan bank menengah bekerja di
Competitive Conditions in Banking Industry: An empirical Analysis of the Consolidation, Competition and
Concentration in the Indonesia Banking Industry between 2001 and 2009
179
pasar yang paling kompetitif. Pola persaingan perbankan di Indonesia berbeda dengan negaranegara maju di mana bank-bank besar lebih kompetitif (Bikker dan Haaf, 2002).
Temuan berikutnya adalah membahas dampak dari kebijakan konsolidasi pada persaingan.
Estimasi menunjukkan bahwa industri perbankan menjadi lebih kompetitif dalam periode kedua
dari pelaksanaan kebijakan konsolidasi. Meningkatnya skala ekonomi bank yang bergabung
dan peningkatan distribusi pangsa pasar meningkatkan kompetisi.
Akhirnya studi ini menunjukkan bahwa pasar yang terkonsentrasi memberikan kontribusi
pada lingkungan yang kurang kompetitif. Ini mungkin merupakan alasan mengapa bank-bank
besar di Indonesia bekerja di pasar yang kurang kompetitif dibandingkan bank-bank kecil.
Bank-bank besar memiliki kekuatan monopoli yang memungkinkan mereka untuk berperilaku
monopolis atau oligopolis.
180 Buletin Ekonomi, Moneter dan Perbankan, Oktober 2011
DAFTAR PUSTAKA
Bain, Joe E. (1951). Relation of Profit Rate to Industri Competition: American Manufacturing,
1936 √ 1940. The Quarterly Journal of Economics 65.hal. 293-324
Bain, Joe E. (1956). Barriers to New Competition. Cambridge. Mass: Harvard University Press.
Berger, Allen N., dan Timothy H. Hannan. (1989). The Price-Concentration Relationship in
Banking. Review of Economics and Statistics 71.Hal.291-99.
Bikker, Jacob A., dan Katharina Haaf. (2002). Competition, concentration, dan their relationship:
An empirical analysis of the banking industri. Journal of Banking and Finance 26.hal. 21912214.
Boumol, William, John C. Panzar, dan Robert D. Willig.(1982). Contestable Markets and the
Theory of Industri Structure. San Diego: Harcourt Brace Jovanovich.
Buletin Bisnis. (2007). Daftar Akuisis dan Merger Bank di Indonesia. Retrieved from website:
http://buletinbisnis.wordpress.com/2007/12/11/daftar-akuisisi-dan-merger-bank-diindonesia/.
Calem, Paul, dan Gerald Carlino. (1991). The Concentration/ Conduct Relationship in Bank
Deposit Market. Review of Economics and Statistics 73.hal. 268-76.
Canoy, Marcel, Machiel van Dijk, dan Jan Lemmen. (2001). Competition and Stability in Banking.
CPB Netherland Bureau for Economic Analysis. Netherland.
Bank Sentral Indonesia.(2010). Arsitektur Perbankan Indonesia. dikutip dari website:
www.bi.go.id.
Aturan Bank Sentral Indonesia Republik Indonesia Nomor 10/15/PBI/2008 Tentang Kebutuhan
Modal Minimum
Aturan Bank Sentral Indonesia Republik Indonesia Nomor 8/16/PBI/2006 Tentang Kebijakan
Single Presence.
Central Bank of Indonesia.(2009). Indonesia Banking Statistics 2009.
Chan, Donald, Christopher Schumacher, dan David Tripe.(2007). Bank Competition in New
Zealand and Australia.Finsia_MCFS.The Melbourne Center for Financial Studies. Retrieved
from website: http://www.melbournecentre.com.au/
Chua, H.B. (2003). FDI in financial sector: the experience of ASEAN countries over the last
decade, in CGFS (2004), the Central Bank paper submitted by Working Group members.
Retrieved from website: www.bis.org/publ/cgfs22mas.pdf
Competitive Conditions in Banking Industry: An empirical Analysis of the Consolidation, Competition and
Concentration in the Indonesia Banking Industry between 2001 and 2009
181
Claessens, Stijn, Asli Demirhuc-Kunt, dan Harry Huizinga.(1998). How Does Foreign Entry
Affect the Domestic Banking Market. Policy Research Working Paper. The World Bank.
Claessens, Stijn, dan Luc, Laeven. (2004). What Drives Bank Competition? Some International
Evidence.World Bank Policy Research Paper. No.3113, August.
De Bandt, O., dan Davis, E.P., (2000). Competition, contestability and market structure in
European banking sectors on the eve of EMU. Journal of Banking and Finance 24, 1045√
1066.
Demsetz, Harold. 1973. Industry Structure, Market Rivalry, and Public Policy. Journal of Law
and Economics 16 (April).hal. 1-10.
Gelos, Gaston., R dan Jorge Roldos. (2002). Consolidation and Market Structure in Emerging
Market Banking Systems.IMF Working Paper WP/02/186.
Legislation number 5/ 1999 Regarding the Indonesian Competition Regulation
Legislation of Republic of Indonesia Number 7/1998 Regarding Banking Sector.
McLeod, Ross. (1999). Control and competition: Banking deregulation and re-regulation in
Indonesia. Journal of the Asia Pacific Economy, No 4(2), p. 258-297.
Molyneux, Phillip, John Thornton, dan D. Michael Llyod-Williams.(1991). Competition and
Market Contestability in Japanese Commercial Banking.Mimeo. Washington, D,C.
International Monetary Fund.
Molyneux, Phillip, John Thornton, dan D. Michael Llyod-Williams.(1994). Competition condition
in European Banking. Journal of Banking and Finance 18. hal.445-459.
Nathan, Ali, dan Edwin H. Neave. (1989). Competition and Contestability in Canada»s Financial
System: Empirical Results. Canadian Journal of Economics 22 (June).Hal.576-94.
Nueberger, Doris. (1997). Structure, Conduct and Performance in Banking Markets.University
Rostock, Working Paper No. 12.
Panzer, John C., dan James N. Ross. (1987). Testing for ≈Monopoly Equilibrium∆. The Journal
of Industrial Economics.hal.443-456.
Pelzman, Samuel. (1977). The Gains and Losses from Industrial Concentration. Journal of Law
and Economics 20.hal. 229-63.
Shaffer, Sherrill. (1982). A Nonstructural Test for Competition in Financial Markets. Proceedings
of a Conference on Bank Structure and Competition (Federal Reserve Banks of Chicago)
on May. hal.225-43.
Shaffer, Sherrill. (1994a). Bank Competition in Concentrated Market.Business Review.March/
April.
Shaffer, Sherrill. (1994b). Structure, Conduct, Performance, and Welfare.Review of Industrial
Organization 9.hal. 435-450.
182 Buletin Ekonomi, Moneter dan Perbankan, Oktober 2011
Tirole, J. (1987). The Theory of Industrial Organization.MIT Press, Cambridge, MA.
Vesala. (1995). Testing Competition in Banking: Behavioral Evidence from Finland. Bank of
Finland Studies Working Paper No. E1.
Yeyati, Eduardo, Levy dan Micco, Alejandro. (2003a). Concentration and Foreign Penetration
in Latin American Banking Sectors: Impact on Competition and Risk. Inter-American
Development Bank.Retrieved from website: http://www.oecd.org/dataoecd.
Yeyati, Eduardo Levy dan Micco Alejandro.(2003b). Banking Competition in Latin America.
Latin-American Competition Forum. Retrived from website: http://www.oecd.org/dataoecd.
Yeyati, Eduardo, Levy dan Micco, Alejandro. (2007). Concentration and Foreign Penetration in
Latin American Banking Sectors: Impact on Competition and Risk. Journal of Banking and
Finance 31.hal. 1633-1647.
Competitive Conditions in Banking Industry: An empirical Analysis of the Consolidation, Competition and
Concentration in the Indonesia Banking Industry between 2001 and 2009
183
Appendix A.
Spesifikasi Alternatif, Hasil Empiris Model Panel dengan Fixed Effect, Total Pendapatan
sebagai Variabel Dependen (Seluruh Bank antara 2001 dan 2009)
Tingkat Pendanaan
Tingkat Upah
Harga Modal
Resiko Pinjaman
Resiko Modal
Deposito Mix Permintaan Deposito
Deposit Mix Deposito Interbank
Pendapatan Lain
Jumlah Observasi
Seluruh Bank
Bank Besar
Bank Menengah
Bank Kecil
0.43***
0.43***
0.40***
0.46***
(35.05)
(19.02)
(23.65)
(29.85)
0.17***
0.065***
0.21***
0.14***
(10.30)
(2.13)
(8.91)
(6.93)
0.067***
0.01
0.04***
0.05***
(5.32)
(0.58)
(2.60)
(3.01)
0.39***
0.08
0.41***
0.41***
(13.34)
(0.66)
(10.50)
(10.21)
0.037***
0.16***
0.09***
0.02
(3.10)
(2.69)
(4.00)
(1.52)
0.03***
0.04
0.001
0.02
(2.61)
(1.22)
(0.08)
(1.63)
-0.005***
-0.022***
-0.008***
-0.003
(-2.52)
(-2.66)
(-2.55)
(-1.26)
0.12***
0.16***
0.15***
0.08***
(13.19)
(7.85)
(11.90)
(7.48)
892
63
309
520
R2
0.87
0.94
0.93
0.86
H (Competition)
0.66a
0.51a
0.65a
0.66a
a) Nilai F test menunjukkan bahwa H tidak secara signifikan berbeda dari 0 dan 1 (level confidence 99%) Nilai dalam
kurung adalah t-statistic;
*** Signifikan pada 99% confidence level;
** signifikan pada 95% confidence level;
* signifikan pada 90% confidence level
184 Buletin Ekonomi, Moneter dan Perbankan, Oktober 2011
Appendix B.
Uji Ekuilibrium √ Return on Asset
sebagai variable dependen
Seluruh Bank
Tingkat Pendanaan
-0.067
(-1.55)
Tingkat Upah
0.16
(2.63)
Harga Modal
-0.074
(-1.52)
Resiko Pinjaman
-0.70
(-6.16)
Resiko Modal
0.004
(0.095)
Deposito Mix - Permintaan Deposito
0.093
(2.06)
Deposit Mix - Deposito Interbank
-0.028
(-3.26)
Pendapatan Lain
0.19
(5.61)
Jumlah Observasi
R2
862
0.75
H (Kompetisi)
0.024a
Uji Ekuilibrium
F test
0.072
ρ (1,742)
0.789
H = 0 tak dapat ditolak (level confidence 99.9%)
Nilai dalam tanda kurung adalah t-statistik.
Competitive Conditions in Banking Industry: An empirical Analysis of the Consolidation, Competition and
Concentration in the Indonesia Banking Industry between 2001 and 2009
Appendix C.
Uji RedundantModel Fixed Effect
Seluruh Bank
F-test
df (degree of freedom)
χ2 statistics
Bank Besar
Bank Menengah
Bank Kecil
13.73
9.42
20.27
9.42
(112;771)
(6;48)
(35;265)
(69;442)
978.28
49.04
NA
470.23
df (degree of freedom)
(112)
(6)
(NA)
(69)
Jumlah Observasi
892
63
309
520
H = 0 adalah (level confidence 99.9%)
Appendix D.
Hasil Empiris Fixed Effect Modeldengan Dummy Waktu
Seluruh Bank antara 2001 dan 2009
Tingkat Pendanaan
Tingkat Upah
Harga Modal
Resiko Pinjaman
Resiko Modal
Seluruh Bank
Bank Besar
Bank Menengah
Bank Kecil
0.43***
0.53***
0.41***
0.48***
(24.73)
(9.62)
(17.87)
(17.61)
0.23***
0.033
0.28***
0.18***
(12.62)
(0.61)
(9.96)
(7.18)
0.028***
-0.0025
0.06***
0.015***
(2.1)
(-0.063)
(3.34)
(0.76)
0.42***
0.0008
0.40***
0.46***
(12.70)
(0.0061)
(9.51)
(9.15)
0.016
0.21***
0.19***
-0.024
(1.25)
(2.30)
(6.73)
(-1.56)
Deposito Mix -
0.0009
0.03
-0.046
0.011
Permintaan Deposito
(0.069)
(0.77)
(-1.94)
(0.62)
Deposit Mix -
0.00045
-0.028***
0.0005
0.002
Deposito Interbank
(0.178)
(-2.75)
(0.124)
(0.70)
Pendapatan Lain
-0.0004
0.064
-0.042***
-0.015
(0.177)
(1.66)
(-2.82)
(0.70)
892
63
309
520
Jumlah Observasi
R2
0.90
0.95
0.94
0.87
H (Kompetisi)
0.69a
0.55a
0.76a
0.68a
a) Nilai F test menunjukkan bahwa H tidak secara signifikan berbeda dari 0 dan 1 (level confidence 99%) Nilai dalam
kurung adalah t-statistic;
*** Signifikan pada 99% confidence level;
** signifikan pada 95% confidence level;
* signifikan pada 90% confidence level
185
186 Buletin Ekonomi, Moneter dan Perbankan, Oktober 2011
Halaman ini sengaja dikosongkan
Relative Effectiveness of Indonesian Policy Choices during Financial Crisis
187
RELATIVE EFFECTIVENESS OF INDONESIAN POLICY CHOICES
DURING FINANCIAL CRISIS1
Tumpak Silalahi2 and Tevy Chawwa3
Abstract
The objective of this paper is to review the impact of crisis and policy measures taken during the
crisis, to evaluate the effectiveness of those measures and to analyze the exit strategy in Indonesia. The
econometric model was used to evaluate the impact of monetary and fiscal policy to economic output
using quarterly data from 1990 - 2010. The result shows that monetary and fiscal policies have significant
impact to economic output. In the short run the changes in real GDP is significantly affected by changes
in real monetary supply in the previous three quarter and real fiscal expenditures. The lesson learned from
this research among other are that cooperation and coordination among the policy makers and the timely
responses are very important in tackling the crisis; an effective conventional monetary policy in normal
times may become less effective in a crisis thus unconventional monetary policy indeed necessary as
timely policy response and the improvement for more timely disbursement of government expenditure is
important to increase the effectiveness of this policy to stimulate economic output. Moreover, several
Indonesian exit strategy and policies to face future challenges are very important to reach the ultimate
objective of sustainable economic growth while maintaining macroeconomic stability.
JEL Classification: E52, E62, E63
Keywords: monetary policy, fiscal policy, financial sector policy, global financial crisis.
1 This is a collaborative research project with several central banks coordinated by SEACEN Research and Training Centre.
2 Associate Senior Economist at Directorate of Economic Research and Monetary Policy - Bank Indonesia, email : [email protected]
3 Junior Economist at Directorate of Economic Research and Monetary Policy - Bank Indonesia, email : [email protected] . The views
expressed in this paper are those of the authors and do not reflect the views of Bank Indonesia
188 Buletin Ekonomi, Moneter dan Perbankan, Oktober 2011
I. PENDAHULUAN
Sebelum krisis global, khususnya selama tahun 2007, harapan optimis tentang
perekonomian Indonesia merupakan pola pikir yang umum bagi para forecaster. Harapan ini
didukung oleh berbagai indikator makroekonomi yang menunjukkan prestasi luar biasa dari
perekonomian Indonesia pada tahun 2007 setelah krisis Asia pada tahun 1997. Tren
pertumbuhan PDB Indonesia terus meningkat sejak tahun 2005 dan untuk pertama kalinya
setelah krisis, pertumbuhan PDB mencapai lebih dari 6% pada tahun 2007. Pada dasarnya,
pertumbuhan pada tahun 2007 didorong oleh konsumsi domestik yang kuat dan permintaan
eksternal yang menyebabkan surplus neraca berjalan. Selain itu, sentimen positif disertai dengan
imbal hasil yang menarik pada investasi portofolio rupiah yang membantu mendorong arus
masuk modal. Pergeseran dana ke aset pasar berkembang berkontribusi pada apresiasi positif
mata uang di kawasan itu. Surplus neraca berjalan saat ini dan kenaikan arus masuk modal
portofolio pada tahun 2007 telah meningkatkan cadangan mata uang asing Indonesia sampai
13% dari PDB atau cukup untuk menutupi impor barang dan jasa untuk rata-rata tujuh bulan.
Pasar finansial Indonesia dan lembaga keuangan juga dalam kondisi lebih kuat didasarkan
pada indikator keuangan. Pelajaran dari krisis 1997 menghasilkan implementasi yang cukup
ketat dari peraturan prudensial di sektor korporasi dan perbankan sebagai akibat dari yang
memimpin industri perbankan Indonesia menjadi lebih sehat dengan dasar yang lebih kuat
untuk menyerap berbagai guncangan dalam perekonomian. Permintaan tekanan pada tahun
2007 relatif tinggi ditunjukkan oleh output gap yang positif, meskipun masih jauh di bawah
output gap pada tahun 1996. Selain itu, pemerintah telah mencoba untuk mengurangi
ketergantungannya pada utang luar negeri, baik jangka pendek dan jangka panjang. Semua
perbaikan ini mengakibatkan Indonesia telah dinilai sebagai negara berisiko rendah dan mencapai
skor ICRG (International Country Risk Guide) tertinggi sejak tahun 1997.
Pada tahun 2007, kebijakan fiskal ditargetkan menjaga stabilitas harga untuk energi dan
kebutuhan pokok, sementara juga memberikan stimulus ekonomi. Meningkatnya harga minyak
dunia dalam kombinasi dengan lifting target bawah minyak domestik menyebabkan tekanan
yang cukup besar dalam defisit anggaran pemerintah. Dalam kebijakan moneter, sikap BI dapat
dibagi menjadi 2 periode, periode penurunan suku bunga BI (Januari-Juli 2007) dan periode
pergerakan datar ditingkat kebijakan suku bunga (Agustus-November 2007). Bank Indonesia
juga menerapkan kebijakan nilai tukar yang fleksibel, yang memungkinkan rupiah untuk bergerak
sejalan dengan fundamental ekonomi. Untuk mengelola volatilitas dalam rupiah, Bank Indonesia
melakukan intervensi pasar valuta asing pada skala terbatas. Meskipun banyak perbaikan, seperti
koordinasi fiskal dan moneter yang lebih baik, diperkenalkan untuk memperkuat efektivitas
pilihan kebijakan di Indonesia, gangguan dari guncangan eksternal seperti kenaikan komoditas/
Relative Effectiveness of Indonesian Policy Choices during Financial Crisis
189
harga minyak dan guncangan internal seperti kegagalan panen atau peristiwa musiman
merupakan faktor penting yang mempengaruhi kondisi makroekonomi Indonesia.
Krisiskeuangan globalpada tahun 2008 telahmembalikkanpola pikiroptimissebelumnya
dari para peramalekonomi. Tekanan likuiditas global telah menyebabkan arus keluar modal
portofolio jangka pendek besar-besaran diikuti dengan penurunan kinerja pasar keuangan
Indonesia. Disektor riil, yang mencerminkan masukan dari perlambatan global, terjadi penurunan
ekspor dan berdampak tidak langsung terhadap pendapatan rumah tangga dan sektor swasta,
yang menyebabkan penurunan konsumsi dan investasi Indonesia. Akibatnya, pertumbuhan
PDB Indonesia pada 2009 menurun menjadi 4,5% (yoy).
Beberapa langkah kebijakan diterapkan di sektor moneter, fiskal dan finansial untuk
menangani krisis keuangan global. Bank Indonesia telah menerapkan kebijakan moneter
yang akomodatif dalam rangka untuk menjaga pencapaian pertumbuhan yang cukup
setidaknya dengan mempertahankan likuiditas pasar keuangan yang difasilitasi oleh inflasi
yang relatif rendah. Tingkat suku bunga kebijakan turun pada bulan Desember 2008 dengan
maksud untuk menurunkan suku bunga kredit bank. Beberapa langkah-langkah kebijakan
moneter yang tidak konvensional seperti penyempitan koridor suku bunga deposito dan
fasilitas pinjaman juga telah diambil untuk mengatasi masalah likuiditas. Di sisi fiskal,
pemerintah memberikan respon kebijakan untuk menjaga permintaan domestik dengan
beberapa stimulus fiskal dan kebijakan perdagangan. Ada juga koordinasi antara Departemen
Keuangan, Bank Sentral dan lembaga lain dalam rangka menjaga stabilitas keuangan dan
makroekonomi.
Dengan latar belakang ini, paper ini bertujuan untuk meninjau langkah-langkah
kebijakan yang diambil selama krisis, mengevaluasi efektivitas dan menganalisis strategi
penyelesaian untuk mencapai tujuan akhir dari pertumbuhan ekonomi yang berkelanjutan
dengan tetap menjaga stabilitas makroekonomi di Indonesia. Pada gilirannya ini diharapkan
untuk membuat kontribusi untuk sebuah evaluasi menyeluruh terhadap efektivitas langkahlangkah kebijakan dalam ekonomi SEACEN. Untuk menangani isu-isu yang luas di media
cetak, dua metodologi digunakan, pertama, dengan analisis deskriptif menggunakan statistik
sederhana dan grafis, dan kedua, dengan model ekonometrik untuk menganalisis efektivitas
relatif dari pilihan-pilihan kebijakan. Bagian kedua dari paper ini mengulas teori dan kondisi
empiris dampak krisis, bagian ketiga membahas metodologi yang digunakan, sementara
bagian keempat membahas hasil dan analisis. Kesimpulan akan diberikan pada bagian akhir
dan menutup uraian dari paper ini.
190 Buletin Ekonomi, Moneter dan Perbankan, Oktober 2011
II. TEORI
Sebagai perekonomian terbuka yang kecil, Indonesia tidak bisa kebal dari dampak
guncangan eksternal. Integrasi di sektor keuangan telah menempatkan banyak negara terutama
untuk perekonomian terbuka, menghadapi risiko penularan. Sebuah studi empiris oleh Santoso
et.al. (2009 ) menunjukkan bahwa Indonesia memiliki hubungan penularan dengan beberapa
negara di Asia, seperti Jepang, Taiwan, Korea, Hong Kong dan India. Pasar keuangan domestik
bergerak erat dengan gerakan di pasar keuangan global. Penelitian juga menunjukkan bahwa
tidak ada pengaruh penularan langsung antara bursa saham Indonesia dan indeks Dow Jones
dan indeks NASDAQ. Jadi, jika Indonesia terpengaruh oleh krisis global, bukan efek langsung
dari pasar AS tetapi lebih kepada efek tidak langsung dari pasar modal di Asia yang memiliki
hubungan langsung dengan pasar modal AS. Selanjutnya, penelitian menunjukkan bahwa
Indonesia lebih merupakan shock absorber ketimbang transmitter, khususnya berkaitan dengan
negara maju (Jepang, Australia, Jerman, Inggris dan AS).
Di sektor riil, ekspor Indonesia juga dipengaruhi oleh kondisi eksternal. Penelitian
oleh Kurniati et al (2008) menunjukkan bahwa ekspor Indonesia yang paling sensitif
terhadap pertumbuhan ekonomi Singapura (1,19), diikuti oleh AS (0,84), Jepang (0,81)
dan China (0,3).
Terkait dengan krisis keuangan global saat ini, Kurniati dan Permata (2009) menemukan
bahwa kejutan dalam penghindaran risiko global (global risk aversion) mempunyai dampak
negatif yang cepat terhadap aliran modal ke Indonesia, terutama dari investasi portofolio yang
menyebabkan depresiasi rupiah. Dampak melalui saluran keuangan pada variabel keuangan
bersifat sementara dan relatif pulih lebih cepat (self-market correction). Efek putaran kedua
krisis global terjadi melalui saluran perdagangan. Kejutan negatif dari pertumbuhan PDB AS
menyebabkan penurunan kontemporer pada ekspor Indonesia yang selanjutnya berakibat pada
penurunan pertumbuhan PDB domestik riil, arus modal dan depresiasi rupiah. Dampak pada
ekspor tampaknya persisten dan perlu respon kebijakan dari yang berwewenang.
Efektivitas kebijakan moneter tergantung pada lingkungan ekonomi domestik dan
gangguan dari guncangan eksternal. Studi yang dilakukan oleh Arifin (1998) yang menganalisis
efektivitas kebijakan suku bunga untuk stabilisasi rupiah selama krisis 1997/1998 di Indonesia
menyimpulkan bahwa kebijakan suku bunga efektif untuk stabilisasi rupiah hanya jika tidak
ada gangguan dari faktor non-ekonomi lainnya, seperti rumor negatif, mobilisasi dan kerusuhan
masa. Dengan demikian, kebijakan tingkat suku bunga menjadi kurang efektif untuk
mengurangi tingkat inflasi karena inflasi juga dipengaruhi oleh tekanan faktor penawaran seperti
produksi dan distribusi.
Relative Effectiveness of Indonesian Policy Choices during Financial Crisis
191
Penelitian yang dilakukan oleh Simorangkir dan Adamanti (2010) meneliti dampak dari
stimulus fiskal dan pemotongan suku bunga pada perekonomian Indonesia selama krisis
keuangan global dengan menggunakan pendekatan Financial Computable General Equilibrium
(FCGE). Hasil simulasi menunjukkan bahwa kombinasi dari ekspansi fiskal dan ekspansi moneter
meningkatkan pertumbuhan ekonomi Indonesia secara efektif. Dibandingkan dengan efektivitas
hanya ekspansi fiskal tanpa ekspansi kebijakan moneter atau hanya ekspansi moneter tanpa
ekspansi fiskal, maka kombinasi dari dua kebijakan ini akan lebih efektif.
Hasil lain dari paper ini menunjukkan bahwa melihat ke dalam komponen PDB, kombinasi
dari ekspansi fiskal dan moneter memiliki efek multiplier yang besar, mendorong permintaan
agregat melalui peningkatan konsumsi, investasi, pengeluaran pemerintah, ekspor dan impor.
Sementara itu, dari sisi produksi, kombinasi ekspansi fiskal dan moneter memiliki efek positif
pada peningkatan produksi semua sektor ekonomi. Efek ini berasal dari insentif fiskal (pajak
yang lebih rendah, bea masuk rendah, dll) dalam meningkatkan investasi. Selain itu, peningkatan
permintaan agregat juga mendorong perusahaan untuk meningkatkan produksi mereka. Paper
ini juga menemukan bahwa pelonggaran stimulus fiskal dan moneter secara institusional telah
meningkatkan pendapatan dan daya beli rumah tangga miskin dan kaya di daerah pedesaan
dan perkotaan. Peningkatan ini pada gilirannya mendorong konsumsi semua jenis rumah tangga
yang lebih tinggi.
Beberapa penelitian lain yang terkait dengan efektivitas kebijakan fiskal selama krisis
mencatat bahwa hal yang penting untuk diperhatikan ketika pemerintah memberikan stimulus
fiskal adalah: (i) koordinasi antara pemerintah pusat dan daerah dan (ii) kemampuan pemerintah
daerah dan pusat untuk mencairkan uang dengan cepat. Untuk mencapai ini, proses pengadaan
dan praktek administrasi yang rumit perlu disederhanakan dan dibuat lebih transparan.
Survei yang dilakukan oleh Lembaga Penelitian SMERU pada tahun 2009 menyelidiki
peran program Jaring Pengaman Sosial dan Program Stimulus Fiskal (terutama infrastruktur
dan program padat karya) dalam memitigasi dampak krisis keuangan global (GFC) dan
menemukan bahwa:
-
Terdapat beberapa masalah yang terkait dengan pelaksanaan program-program Jaring
pengaman sosial yang mengganggu efektivitasnya:(i) sebagian pejabat pemerintah daerah
kurang memiliki informasi spesifik tentang dampak GFC terhadap masyarakat, (ii) tidak ada
sistem informasi mengenai kondisi sosial ekonomi masyarakat yang tersedia secara hirarkis,
periodik dan sistematis, (iii) kurang responsif terhadap perubahan harga atau tanda-tanda
lain dari krisis.
192 Buletin Ekonomi, Moneter dan Perbankan, Oktober 2011
-
Terkait dengan program stimulus fiskal (FSP), beberapa masalah yang terjadi yaitu: (i)
Pemerintah pusat tidak mensosialisasikan FSP secara formal kepada pemerintah daerah, (ii)
Tidak ada hubungan antara tingkat dampak GFC dan alokasi dana untuk daerah, (iii) Tidak
ada hubungan antara sektor yang terkena dampak dan proyek-proyek sektor yang didanai,
(iv) Terdapat peran penting dari pemerintah pusat untuk menginformasikan pemerintah lokal
tentang ketersediaan proyek yang akan didanai, (v) Dana yang dialokasikan ke daerah juga
tergantung pada peran aktif dari upaya pemerintah daerah untuk melobi pemerintah pusat.
Masalah ini juga menunjuk pada analisis Yudo et.al. (2009) tentang program jaring
pengaman sosial, yang dikenal sebagai JPS (Jaring Pengaman Sosial) yang diperkenalkan
pemerintah Indonesia untuk menanggapi krisis 1997/1998. Evaluasi program anti-kemiskinan
yang meliputi keamanan pangan, pekerjaan dan pemeliharaan pendapatan, dan menyediakan
akses terhadap pendidikan dan kesehatan menunjukkan bahwa dalam banyak kasus terjadi
salah sasaran dan juga terdapat variasi tingkat efektivitas lintas program dan wilayah. Hal ini
menunjukkan bahwa beberapa kabupaten lebih baik daripada yang lain dalam melaksanakan
program umum nasional, yang mengisyaratkan perlunya perbaikan besar dalam pelaksanaan
program, khususnya dalam menargetkan penerima manfaat dari program tertentu dan
peningkatan cakupan dalam kelompok-kelompok sasaran. Penelitian lebih lanjut menegaskan
kembali kesimpulan awal bahwa terdapat heterogenitas kinerja baik lintas program maupun
lintas wilayah. Hal ini bisa terjadi karena desain diprogram, alokasi anggaran di seluruh program
dan wilayah, dan kapasitas daerah untuk mengimplementasikan program. Satu pelajaran utama
yang dapat ditarik dari penilaian ini adalah bahwa penargetan membutuhkan bimbingan
administrasi yang rinci dan juga keterlibatan masyarakat jika keduanya dapat efektif dan dapat
diterima secara sosial dan politik. Terlebih, penargetan administrasi yang statis, tidak akan
mampu mendata rumah tangga miskin yang baru atau yang terkena shok.
Sebagai bagian dari ekonomi pasar yang berkembang, Indonesia dipengaruhi oleh krisis
keuangan global yang mengakibatkan mendadak berhentinya aliran modal ke negara-negara
pasar berkembang dan penurunan pertumbuhan ekonomi global. Dampak indikator
makroekonomi dapat dikelompokkan ke dalam efek putaran pertama dan kedua yang dijelaskan
pada bagian berikut.
2.1 Efek Bagian Pertama Krisis Keuangan Global
2.1.1 Dampak Terhadap BOP dan Pergerakan Nilai Tukar
Selama kuartal III Tahun 2008, perkembangan ekonomi global memberikan tekanan pada
keseimbangan pembayaran Indonesia. Prospek pesimis untuk ekonomi global pada tahun 2008
Relative Effectiveness of Indonesian Policy Choices during Financial Crisis
193
ditandai oleh lembaga-lembaga internasional yang diperkuat pesimisme di kalangan pelaku
pasar. Investor melihat prospek suram dan risiko lebih tinggi pada penempatan dana dipasar
yang sedang berkembang, termasuk Indonesia. Persepsi risiko tinggi terhadap pasar Indonesia
dapat terlihat pada indikator seperti Credit Default Swap (CDS) dan Bond Yield Government
yang meningkat secara signifikan (Grafik 1 dan 2). Kemudian, dalam rangka untuk menghindari
risiko, investor memindahkan dana mereka ketempat yang aman dalam bentuk US Treasuries.
1400
25
1 YR
5YR
1200
20
1000
10YR
800
15
600
400
10
200
0
Jan FebMarApr Mei Jun Jul Ags Sep Okt Nov Des Jan FebMarApr Mei Jun Jul Ags Sep Okt Nov Des Jan FebMarApr Mei Jun
2008
2009
Sumber : Bloomberg
Grafik 1.
CDS (Credit Default Swap)
2010
5
Jan Feb MarApr Mei Jun Jul Ags Sep Okt Nov Des Jan Feb MarApr Mei Jun Jul Ags Sep Okt Nov Des Jan Feb MarApr Mei Jun
2008
2009
2010
Sumber : Bloomberg
Grafik 2.
Hasil Saham Pemerintah
Sebuah sentimen negatif yang disebabkan oleh turbulensi di pasar keuangan global
memicu gelombang arus keluar modal seperti yang terlihat pada Grafik 3. Pada saat itu, investor
asing mengurangi kepemilikan mereka atas sekuritas pemerintah Indonesia sebesar Rp4,4 triliun
atau sekitar US$ 387 juta. Perilaku investor asing untuk mengakhiri investasi portofolio mereka
kemudian diikuti oleh investor domestik menarik aset mereka dan tindakan ini membawa
investasi portofolio pada triwulan IV-2008 mengalami net outflow. Selanjutnya, para agen
domestik memindahkan account mereka dari dalam ke bank luar negeri dan beberapa dari
mereka gagal mendapatkan pembiayaan luar negeri yang baru sebagaimana ditunjukkan oleh
komponen investasi lain yang tercatat defisit. Defisit peningkatan investasi lain juga dapat
dijelaskan dengan garis kredit perusahaan yang lebih tinggi, yang didorong oleh permintaan
valuta asing korporasi yang besar untuk membayar impor pada tahun 2008. Sebaliknya, investasi
langsung masih tercatat sebagai surplus bersih karena kegiatan akuisisi bank domestik oleh
investor asing.
Krisis keuangan global juga melemahkan kinerja neraca berjalan Indonesia pada kuartal
I sampai kuartal IV tahun 2008 (Grafik 4). Eskalasi dalam defisit neraca berjalan ini terutama
194 Buletin Ekonomi, Moneter dan Perbankan, Oktober 2011
bn US$
bn US$
12,0
6,0
2009 :
10,75
CA Balance (Quarterly)
CA Balance (Annual)
10,0
4,0
8,0
2,0
6,0
0,0
4,0
-2,0
2,0
-4,0
0,0
-6,0
Mar
-2,0
Mar
Jun
Sep
2008
Dec
Mar
Jun
Sep
2009
Dec
Mar
Jun
2010
2008 :
0,13
Jun
Sep
2008
Des
Mar
Jun
Sep
2009
Des
Mar
Jun
2010
Sumber : Bank Indonesia
Portfolio Investment
Direct Investment
Other Investment
Capital Account Balance (Quarterly)
Sumber : Bank Indonesia
Grafik 4.
Neraca Berjalan
Grafik 3.
Neraca Keuanganl/Modal
disebabkan penurunan ekspor akibat kontraksi ekonomi global dan jatuhnya harga komoditas
ekspor. Transfer berjalan terpengaruh oleh remitansi pekerja yang juga menurun meskipun
tetap positif. Pada tahun 2008, transfer masuk dari remitansi pekerja menghasilkan surplus
US$ 5,2 miliar kemudian menurun menjadi US$ 4,8 miliar pada 2009.
Menurunnya BOP pada gilirannya memicu depresiasi nilai tukar yang kuat disertai dengan
volatilitas tinggi. Tekanan permintaan untuk mata uang asing yang berasal dari aliran modal
portofolio asing dan penurunan penawaran mata uang asing karena turunnya ekspor juga
menyebabkan tekanan depresiasi besar pada nilai tukar. Tekanan penurunan juga dialami oleh
mata uang regional yang melemah akibat dari efek spillover turbulensi eksternal. Selain itu,
13000
12500
12000
11500
11000
October :
- Several exchange rate
stabilization policy : RR
Ratio, Daily Balance
Position, FX Swap tenor,
Foreign currency provision
-Policy governing
lowering rupiah RR ratio
December :
Policy governing the
transaction of foreign
currency against
rupiah & prohibition of
structured product
transaction
10500
10000
9500
November :
Policy governing the
purchase of foreign
currency through bank
9000
8500
8000
Jan Feb MarApr Mei Jun Jul Ags Sep Okt Nov Des Jan Feb MarApr Mei Jun Jul Ags Sep Okt Nov Des Jan Feb MarApr Mei Jun
2008
2009
Sumber : Bank Indonesia
Grafik 5.
Pergerakan Nilai Tukar
2010
Relative Effectiveness of Indonesian Policy Choices during Financial Crisis
195
efek samping dari kebijakan Bank Indonesia dalam menurunkan persyaratan rasio cadangan
juga memberikan efek kelebihan likuiditas rupiah di pasar dan menyebabkan rupiah terdepresiasi.
Perkembangan ini menyebabkan Rupiah jatuh kelevel terendah Rp12.400 per US$ pada bulan
November 2008 (Grafik 5).
Bank Indonesia merespon dengan mengeluarkan serangkaian kebijakan untuk mengurangi
tekanan dan mencegah volatilitas nilai tukar rupiah yang berlebihan, seperti kebijakan stabilisasi
nilai tukar, kebijakan yang mengatur pembelian valuta asing melalui bank, kebijakan yang
mengatur transaksi valuta asing terhadap rupiah dan larangan produk transaksi yang terstruktur.
Kebijakan ini akan dibahas secara rinci pada bagian berikutnya.
2.1.2 Dampak Terhadap Pasar Saham
Perilaku investor untuk menarik dana mereka dari negara-negara berkembang selama
krisis global menyebabkan jatuhnya indeks pasar saham dari pasar berkembang termasuk
Indonesia. Jatuhnya harga komoditas pertambangan dan pertanian di pasar dunia juga
mempengaruhi indeks pasar saham secara berlawanan. Bursa Efek Indonesia (BEI) terus menurun
tajam dan ditutup pada 1,355 saat akhir periode 2008, turun 50,64% dibandingkan dengan
triwulan II 2008 (Grafik 6). Dengan kinerja buruk ini, Bursa Efek Indonesia ditempatkan pada
level 5 di Asia dan Pasifik, setelah Vietnam, Shanghai, Shenzhen dan Mumbai.
Kinerja yang mengecewakan dari BEI telah menyebabkan jatuhnya volume dan nilai
transaksi di pasar saham terutama dikuartal keempat tahun 2008 (Grafik 7). Jumlah perusahaan
yang sudah memegang izin prinsip untuk mengeluarkan saham juga memutuskan untuk
menunda emisi saham mereka.
3500
300.000
3000
250.000
Trading Volume (mn)
Trading Value (IDR bn)
200.000
2500
150.000
2000
100.000
1500
50.000
1000
Jan FebMarAprMei Jun JulAgsSepOktNovDesJan FebMarAprMei Jun JulAgsSepOktNovDesJan FebMarAprMei Jun
2008
2009
Sumber : CEIC
0
Jan FebMarAprMei Jun Jul Ags SepOkt NovDes Jan FebMarAprMei Jun Jul Ags SepOkt NovDes Jan FebMarAprMei Jun
2010
2008
2009
2010
Sumber : CEIC
Grafik 6.
Indeks Bursa Saham Jakarta
Grafik 7.
Nilai dan Volume Perdagangan
196 Buletin Ekonomi, Moneter dan Perbankan, Oktober 2011
Untuk menghindari jatuh lebih lanjut dikinerja pasar saham, pemerintah memutuskan
untuk menghentikan perdagangan BEI pada tanggal 9 dan 10 Oktober 2008, menerbitkan
peraturan tentang pembelian kembali, larangan short selling dan perdagangan marjin terbatas.
Kebijakan-kebijakan ini dimaksudkan untuk memberikan waktu bagi investor untuk berpikir
rasional di tengah gejolak pasar finansial yang disebabkan oleh krisis.
2.1.3
Dampak Terhadap Likuiditas Pasar
Tekanan keuangan global juga menyebabkan kekurangan likuiditas dipasar uang domestik,
yang tercermin dalam laju yang lebih lambat dari pertumbuhan uang sempit (M1) dan broad
money (M2) (Grafik 8). Pada triwulan IV-2008 rata-rata pertumbuhan M1 dan M2 lebih lambat
sebesar 1,5% (yoy) dan 14,9% (yoy), menurun dari 19,9% (yoy) dan 17,2% (yoy) pada triwulan
sebelumnya.
Persepsi yang kuat dari ketatnya likuiditas perbankan dan spillover dari kondisi global
juga tercermin dalam premi peningkatan likuiditas, yang semakin melebar untuk tenor yang
lebih panjang. Dengan kondisi yang ketat di pasar uang, beberapa bank yang biasanya memasok
likuiditas, kini meninjau ulang garis kredit dan batas kredit kepada rekananan mereka. Hal ini
mengakibatkan distribusi likuiditas yang lebih tidak merata dan menyebabkan kecenderungan
pasar yang lebih besar untuk tersegmentasi, karena hilangnya kepercayaan dalam transaksi.
Pergerakan suku bunga antar bank masih di atas suku bunga kebijakan (BI rate) selama JuliOktober 2008, bersamaan dengan volume transaksi yang berkurang drastis dan peningkatan
selisih suku bunga overnight tertinggi dan yang terendah (Grafik 9). Setelah kondisi ini, bank
dengan posisi jangka panjang di pasar uang lebih memilih untuk mengalihkan likuiditas mereka
ke Bank Indonesia untuk investasi jangka pendek.
Billion Rp
%
40000
25,0
M2 Growth (yoy)
M1 Growth (yoy)
20,0
35000
30000
25000
15,0
20000
10,0
15000
10000
5,0
5000
0,0
Mar
0
Jun
Sep
2008
Des
Mar
Jun
Sep
2009
Des
Mar
Jun
2010
Sumber : IFS, IMF
Grafik 8. Pertumbuhan M1 dan M2
Jan FebMarAprMei Jun JulAgsSepOktNovDesJan FebMarAprMei Jun JulAgsSepOktNovDesJan FebMarAprMei Jun
2008
2009
2010
Sumber : Bank Indonesia
Grafik 9. Volume Pasar Antar Bank per hari
Relative Effectiveness of Indonesian Policy Choices during Financial Crisis
197
2.1.4 Dampak Terhadap Lembaga-Lembaga Keuangan
Dampak krisis keuangan pada lembaga-lembaga keuangan Indonesia tidak separah di
negara lain karena bank-bank di Indonesia dan juga lembaga keuangan nasional tidak
terpengaruh besar akibat dari subprime mortgage. Salah satu faktor penyumbang dalam hal
ini adalah karakteristik dari bank-bank dan lembaga keuangan Indonesia, yang masih bersandar
pada instrumen investasi konvensional. Faktor lain adalah peningkatan kualitas pengawasan
disektor perbankan dan lembaga keuangan non-perbankan sebaik di pasar modal. Pelajaran
dari krisis Asia 1997 telah menyebabkan Bank Indonesia untuk memperkuat struktur perbankan
Indonesia di bawah Arsitektur Perbankan Indonesia sebagai bagian dari sektor keuangan.
Lagi pula, bank-bank dengan disiplin tinggi dalam mengikuti prinsip kehati-hatian, telah
membatasi eksposur mereka terhadap masalah-masalah yang lebih besar terkait dengan
produk derivatif.
Namun, likuiditas yang ketat di pasar uang membuat sulit bagi bank untuk mengelola
dananya. Pada bulan Oktober 2008, tiga bank pemerintah mengusulkan dukungan likuiditas
dari pemerintah sebesar Rp15 triliun (sekitar US$ 1,36 miliar). Bank kecil dan menengah juga
mempunyai masalah lebih berat akibat penyetor pemindahan dana penyetor ke bank yang
lebih besar karena adanya kekhawatiran kemungkinan likuidasi bank seperti yang dialami pada
tahun 1997. Saat itu, bank bersaing untuk menarik deposito dengan menawarkan suku bunga
deposito yang tinggi. Akibatnya, suku bunga kredit juga meningkat. Kondisi ini menyebabkan
penurunan kinerja bank seperti yang ditunjukkan oleh Rasio Kecukupan Modal (CAR) dan
Kredit Bermasalah (NPL) (Grafik 10).
%
%
4,1
21
CAR (RHS)
NPL Ratio
3,9
20
3,7
19
3,5
18
3,3
17
3,1
16
2,9
2,7
2,5
Mar
15
.
14
Jun
Sep
2008
Des
Mar
Jun
Sep
2009
Des
Sumber : CEIC
Grafik 10.
Kinerja Bank Komersial
Mar
Jun
2010
.
198 Buletin Ekonomi, Moneter dan Perbankan, Oktober 2011
2.2 Efek Bagian Kedua dari Krisis Keuangan Global
2.2.1 Dampak Terhadap Ekspor
Melemahnya permintaan global dan keterpurukan harga komoditas dunia memperburuk
pendapatan ekspor Indonesia secara signifikan, khususnya pada quarter I tahun 2009 (Grafik
11). Pertumbuhan ekspor menurun drastis ke -18.73% (yoy) dari 13.64% (yoy) pada kuarter
yang sama di Tahun 2008 (Grafik 12).
bn US$
25
40,0
Import
Export
35,0
19,99
20
14,60
15 13,64 12,36
10,63
10
30,0
25,0
5
20,0
0
3,67
1,99
-5
15,0
-10
10,0
-7,79
-15
5,0
-20
0,0
Mar
-25
Jun
Sep
2008
Des
Mar
Jun
Sep
2009
Des
Sumber : IFS, IMF
Grafik 11. Ekspor dan Impor
Mar
Jun
2010
-15,52
-18,73
Q1
Q2
Q3
2008
Q4
Q1
Q2
Q3
2009
Q4
Q1
Q2
2010
Sumber : IFS, IMF
Grafik 12. Pertumbuhan Ekspor (yoy)
Sekalipun ada pergeseran dalam tujuan pokok ekspor Indonesia ke China sejak 5 tahun
yang lalu, tetapi pasar Jepang dan Amerika masih menjadi tujuan utama ekspor Indonesia.
Awal krisis tahun 2007, berdasarkan negara tujuan, proporsi ekspor Indonesia ke Jepang sebesar
21,71% dan ke Amerika sebesar 10,67% dari total ekspor (Grafik 13). Tujuan berikutnya adalah
Singapura (9,65%), China (8,89%) dan Korea Selatan (6,97%). Implikasi dari konsentrasi ini
merupakan akibat beberapa perlambatan pertumbuhan ekonomi di tujuan ekspor besar yang
dialami pada krisis global yang berdampak buruk terhadap ekspor Indonesia.
Tidak seperti negara maju lainnya yang ekspornya didominasi oleh peralatan elektronik
dan perlengkapan kantor, struktur ekspor Indonesia didominasi oleh minyak dan gas
sebagaimana halnya produksi industri berteknologi rendah. Jadi, sektor utama khususnya minyak,
gas alam, nilai komoditas pertambangan dan pertanian ini yang banyak memiliki proporsi yang
besar dalam ekspor Indonesia. Ketergantungan pada sektor primer ini membuat ekspor Indonesia
lebih mudah terpengaruh oleh kejutan eksternal khususnya fluktuasi pada harga komoditas
internasional.
199
Relative Effectiveness of Indonesian Policy Choices during Financial Crisis
%
Others, 19,92%
Japan, 21.71%
Germany,
2,13%
60
50
40
Taiwan,
2.39%
30
Netherlands,
2,53%
USA,
10,67%
Thailand,
2,81%
20
10
0
Australia,
3,12%
-10
India,
4,54%
Malaysia,
4,68%
China,
8,89%
South Korea,
6,97%
Singapore,
9,65%
Agriculture, Hunting And Fishing
-20
Mining And Quarrying
-30
Manufacturing
-40
2001
2002
2003
2004
2005
2006
2007
2008
2009
Sumber : Bank Indonesia
Grafik 14. Pertumbuhan
Volume Eksporberdasarkan Sektor
Grafik 13. Negara Tujuan
Ekspor Indonesia pada 2007
Pertumbuhan volume ekspor di seluruh sektor utama mengalami penurunan (Grafik 14).
Pertumbuhan ekspor dari sektor pertambangan tiap tahun menurun dengan tajam dari 47.83%
pada 2006 ke 7.98% pada 2007 dan menjadi -0.43% pada 2008. Pertumbuhan sektor pertanian
dan manufaktur terus negatif pada 2009, tetapi ekspor sektor pertambangan berubah positif
dan mencatat pertumbuhan sebesar 13,79%.
2.2.2 Dampak Terhadap Sektor Industri, Pengangguran dan Kemiskinan
Jatuhnya ekspor selama krisis memberikan pengaruh yang buruk pada sektor tradable.
Selama kuarter I tahun 2008 sampai kuarter III tahun 2009, pertumbuhan sektor manufaktur
menurun dari rata-rata di atas 4% ke 1,5% (yoy) sejalan dengan penurunan ekspor produk
Rubber And Plastics Products
-6%
-8%
Textiles
-9%
Furniture
Coke, Refined Petroleum Products
-13%
Office, Accounting And Computing
-14%
Wood And Of Products Of Wood And
-21%
-22%
Chemicals And Chemical Products
-31%
-36,20%
-44.25%
Other Non-Metallic Mineral Products
-35 -30 -25 -20 -15 -10
%
-5
0
Sumber : Bank Indonesia
Grafik 15 Volume Penurunan Ekspor
dalam Subsektor Manufaktur 2008
Tobacco Products
Other Non-Metallic Mineral Products
Paper And Paper Products
Tanning And Dressing Of Leather
Furniture
Medical, Precision And Optical
Electrical Machinery And Apparatus
Basic Metals
Fabricated Metal Products
Wearing Apparel; Dressing And Dyeing
Other Transport Equipment
Chemicals And Chemical Products
Motor Vehicles, Trailers
Machinery And Equipment N.E.C.
-1,83%
-2,77%
-3,99%
-6,30%
-9,03%
-9,54%
-11,50%
-19,40%
-19,85%
-21,66%
-25,07%
-25,90%
Basic Metals
-8%
-50
%
-40
-30
-20
-10
0
Sumber : Bank Indonesia
Grafik 16 Volume Penurunan Ekspor
dalam Subsektor Manufaktur 2009
200 Buletin Ekonomi, Moneter dan Perbankan, Oktober 2011
manufaktur. Subsektor yang terkena dampak mendalam pada 2008 adalah produk non-logam
lainnya, produk bahan kimia dan produk kayu, yang volume ekspornya menurun sebesar 20 √
30% dari tahun sebelumnya. Pada 2009, volume ekspor pada perlengkapan dan kendaraan
bermotor menurun sebesar 44% dan 36% dibandingkan dengan ekspor tahun 2008 (Grafik
15 dan 16).
Kemunduran kinerja sektor tradable pada saatnya menyebabkan penurunan serapan
kerja. Tekanan dari krisis global mendorong beberapa perusahaan membuat perubahan dalam
operasi dan menaikkan efisiensi bisnisnya. Akibatnya, beberapa pabrik ditutup atau mulainya
pemberhentian karyawan, yang menyebabkan penurunan daya beli pada tahun 2008. Menurut
Departemen Transmigrasi, jumlah pekerja yang secara temporer diberhentikan sebanyak 10.306
sampai Desember 2008. Analisis Bank Indonesia yang menggunakan Tabel Output Input
Indonesia menunjukkan bahwa untuk setiap 1% penurunan ekspor Indonesia mengakibatkan
0,42% pengurangan pekerjaan industri (Tabel 1).
Tabel 1.
Dampak Kemunduran Ekspor terhadap Penyerapan Tenaga Kerja
Penyerapan Tenaga Kerja (%)
Skenario
Total ekspor menurun sebesar 1%
Ekspor Agrikultur menurun sebesar 1 %
Ekspor tambang menurun sebesar 1 %
Ekspor Manufaktur turun sebesar 1 %
Semua Sektor
Sektor Industri
-0.166
-0.009
-0.005
-0.091
-0.416
-0.001
-0.002
-0.400
Sumber: Indonesia Economic Outlook, Januari 2008
Merosotnya sektor yang memiliki ketergantungan ekspor saat krisis keuangan global,
memberikan tekanan yang signifikan terhadap tingkat kesejahteraan. Dampak penurunan pada
jam kerja dan pemecatan di beberapa perusahaan menyebabkan banyak rumah tangga yang
kehilangan pendapatannya. Selain itu, pendapatan petani di sektor pusat mulai menderita
pada Oktober 2008, mengikuti jatuhnya harga komoditas. Tekanan inflasi yang tinggi pada
2008 juga membuat penurunan tingkat gaji riil untuk para pekerja. Untungnya, pertumbuhan
ekonomi pada kuartal III tahun 2008 membantu perbaikan di berbagai indikator kesejahteraan
seperti kemiskinan dan pengangguran. Program pemerintah dirancang untuk memberantas
pengangguran, seperti Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat (PNPM) untuk memberikan
bantuan, pembayaran Kredit Usaha Rakyat (KUR), Gerakan Pengurangan Pengangguran dan
distribusi Bantuan Langsung Tunai juga terlihat mempunyai beberapa pengaruh positif dalam
peningkatan indikator kesejahteraan.
201
Relative Effectiveness of Indonesian Policy Choices during Financial Crisis
2.2.3
Pengaruh pada Pertumbuhan GDP
Penurunan pada ekspor, semakin buruknya pada produksi dan pendapatan yang lebih
rendah secara serentak tercermin pada penurunan pertumbuhan ekonomi Indonesia dari
6.3% ditahun 2007 ke 6.0 di tahun 2008 dan 4.55% di tahun 2009.Dibandingkan negara
lain di dunia, kinerja GDP Indonesia selama krisis secara relatif luar biasa. Pertumbuhan GDP
di tahun 2009 adalah yang ke tiga terbesar di dunia setelah China dan India. Prestasi ini di
dukung oleh kinerja dari beberapa sektor yang tak terkait dengan perkembangan eksternal
seperti elektrisitas, gas dan kebutuhan air, konstruksi, transportasi dan komunikasi, dan sektor
jasa. Pertumbuhan pada sektor listrik, gas dan air bersih mencapai 13,78% dan pertumbuhan
pada sektor transportasi dan komunikasi mencapai 15,53%, secara berturut - turut (Tabel 2).
Pada sisi permintaan, ekspansi ekonomi pada tahun 2009 di dorong oleh permintaan domestik
yang kuat, terutama konsumsi rumah tangga dan pemerintah yang tumbuh sebesar 6,21%
(Tabel 3).
Tabel 2.
Pertumbuhan GDP Growth pada Sektor (% yoy)
2008
2009
Q1
Q2
Q3
Q4
6,44
4,81
3,25
Total
Q1
Q2
Q3
2010
Q4
Total
Pertanian
Pertambangan dan Galian
Manufaktur
Listrik, Gas dan Air Bersih
(1,62) -0,37 2,32
4,28 4,23 4,31
12,34 11,77 10,41
5,12 4,83 5,91
2,43 0,68 2,61
1,85 3,66 1,50
9,34 10,92 11,25
2,95 3,29 4,61 4,13
3,37 6,20 5,22 4,37
1,53 1,28 4,16 2,11
15,29 14,47 13,99 13,78
Konstruksi
Perdagangan, Hotel dan Restoran
Transportasi dan Komunikasi
Keuangan, Sewa dan Jasa Perusahaan
8,20 8,31 7,76 5,88 7,51 6,25
6,75 7,68 7,59 5,47 6,87 0,63
18,12 16,57 15,64 16,12 16,57 16,78
8,34 8,66 8,60 7,42 8,24 6,26
-0,02 -0,23 4,17 1,14
17,03 16,45 12,22 15,53
5,33 4,90 3,77 5,05
Jasa
PDB
5,52
6,21
6,51
6,30
6,95
6,25
5,93
5,27
6,23
6,01
6,70
4,53
6,09
7,73
7,19
4,08
6,04
4,16
8,03
5,69
5,43
7,05
6,40
4,55
Q1
Q2
3,00
3,08
3,70
8,18
3,08
3,77
4,29
4,76
7,05
7,18
9,36 9,63
11,92 12,91
5,34 6,10
4,62
5,69
5,25
6,17
Sumber: Bank Indonesia
Tabel 3.
Pertumbuhan GDP Pada Sisi Permintaan
2008
Konsumsi
2009
Q1
Q2
Q3
Q4
5,47
5,49
6,34 6,42
Total
Q1
Q2
Q3
2010
Q4
Total
Q1
Q2
2,52
3,12
5,94
7,28
6,27
5,44 5,91
6,21
Investasi
13,88 12,16 12,30 9,40 11,86
3,46
2,37
3,24 4,18
3,32 12,45 10,13
Ekspor
13,64 12,36 10,63 1,99
9,53 -18,73 -15,52
-7,79 3,67
-9,70 19,99 14,60
Impor
17,99 16,11 11,10 -3,73 10,00 -24,42 -21,04 -14,67 1,62 -14,97 22,60 17,74
PDB
Sumber: Bank Indonesia
6,21
6,30
6,25 5,27
6,01
4,53
4,08
4,16 5,43
4,55
5,69
6,17
202 Buletin Ekonomi, Moneter dan Perbankan, Oktober 2011
2.3. Perbandingan antara Krisis Tahun 1997/1998 dan Krisis Tahun 2007/2008
Selama sepuluh tahun terakhir, Indonesia dan kebanyakan negara Asia lainya telah
mengalami dua krisis keuangan. Yang pertama adalah krisis Asia yang terjadi di tahun 1997
dan yang kedua yaitu krisis yang dikenal sebagai krisis keuangan global yang terjadi 10 tahun
berikutnya di tahun 2008. Dalam hal skala dan besaran, terdapat kesamaan antara kedua krisis
tersebut. Perhitungan durasi, amplitudo, skala dan slope kerugian kumulatif akan menunjukan
gambaran kedua kejadian tersebut.4
Dibandingkan krisis tahun 1997/1998, pengaruh krisis 2007/2008 terhadap sektor riil
relatif lebih kecil. Pada krisis tahun 1997/1998 crisis, pertumbuhan GDP terus mengalami
penurunan selama 8 triwulan dengan total sebesar -28,53%. Faktanya pertumbuhan GDP
pada saat itu negatif selama 5 triwulan. Pada krisis 2008/2009, penurunan pertumbuhan GDP
hanya terjadi selama 3 triwulan dengan amplitudo sebesar 2,16%.
Tabel 4.
Durasi, Periode, Amplitude, Slope dan Kerugian Kumulatif pada Krisis Saat Ini dan Krisis
1997/1998 Crisis
Economic Growth Recession (% yoy)
Duration
Period
Amplitude
Slope
Cummulative Losses
Domestic Credit Growth (% yoy)
Duration
2008/2009 Crisis
8 quarters
3 quarters
Q1 1997 √ Q4 1998
Q4 2008 √ Q2 2009
28,53%
2,2%
4%
0,72%
115,16%
4,86%
4 quarters
4 quarters
Q3 1998 √ Q2 1999
Q4 2008 √ Q3 2009
Amplitude
150,4%
25,2%
Slope
37,6%
6,3%
Cummulative Losses
Stock Prices (Index)
370,8%
56,8%
5 quarters
Q3 1997 √ Q3 1998
4 quarters
Q1 2008 √ Q4 2008
Period
Duration
Period
Amplitude
448
1390
Slope
90
348
1411
2999
Cummulative Losses
Sumber: CEIC, dihitung
4 Penjelasan lebih mengenai persamaan dan perbedaan krisis tahun 1997 dan krisis tahun 2008 dapat dilihat pada lembar lampiran.
Relative Effectiveness of Indonesian Policy Choices during Financial Crisis
%
%
GDP Growth Indonesia (yoy)
100,0
15
10
203
Dec-96, 10.28%
Sep-08, 6.25%
Jun-10, 6.17%
Dec-99, 5.36%
5
Jun-09, 4.08%
0
80,0
Jun-98, 90.5%
60,0
Sep-08, 34.8%
40,0
Sep099.6%
20,0
0,0
-5
-20,0
-10
-40,0
-15
-60,0
Dec-98, -18.26%
-20
Jun-99, -59.9%
-80,0
Mar Jul NovMarJulNovMarJulNovMarJulNovMarJulNovMarJulNovMarJulNovMarJulNovMarJulNovMarJulNovMarJulNovMarJulNovMarJulNovMarJulNovMarJulNovMar
1995 1996 1997 1998 1999 2000 2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007 2008 2009 2010
Sumber: CEIC,diperkirakan
Mar Jul NovMarJulNovMarJulNovMarJulNovMarJulNovMarJulNovMarJulNovMarJulNovMarJulNovMarJulNovMarJulNovMarJulNovMarJulNovMarJulNovMarJulNovMar
1995 1996 1997 1998 1999 2000 2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007 2008 20092010
Sumber: CEIC,diperkirakan
Grafik 17b. Puncak dan Palung
Pertumbuhan Kredit
Grafik 17a. Puncak dan Palung
Pertumbuhan PDB
3500
Dec-07, 2,746
3000
2500
2000
1500
Dec-08, 1,355
Jun-97, 725
1000
Sep-98, 276
500
Mar Jul NovMarJulNovMarJulNovMarJulNovMarJulNovMarJulNovMarJulNovMarJulNovMarJulNovMarJulNovMarJulNovMarJulNovMarJulNovMarJulNovMarJulNovMar
1995 1996 1997 1998 1999 2000 2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007 2008 20092010
Sumber: CEIC,diperkirakan
Grafik 17c. Puncak dan Palung
Indeks Bursa Saham
Sebagaimana di indikasikan oleh kerugian kumulatif, pengaruh dari krisis finansial saat
ini pada kredit domestik lebih kecil dari pada krisis pada tahun 1997/1998. Gambar menunjukan
bahwa kerugian kumulatif adalah masing-masing 370,8% dan 56,8%. Meskipun durasi
penurunan kredit hampir sama yakni selama 4 triwulan, amplitudo krisis tahun 2008/2009
lebih kecil (25,2%) dari pada krisis tahun 1997/1998 (150,4%).
Pada pasar uang, meski secara absolut pengaruh krisis saat ini lebih besar terhadap indeks
pasar saham yang menurun 1390 poin, namun secara relatif persentase penurunan tersebut
lebih rendah (50,6%) daripada krisis pada tahun 1997 (61,9%). Begitu juga dengan durasi-nya
yang lebih pendek.
204 Buletin Ekonomi, Moneter dan Perbankan, Oktober 2011
III. METODOLOGI
Dalam menganalisis efektifitas kebijakan moneter dan fiskal terhadap pertumbuhan
ekonomi, kita menggunakan prosedur 2 langkah estimasi Engle and Granger yang
memungkinkan pengujian kointegrasi dan spesifikasi Error Correction Model (ECM) secara
eksplisit.
Model empiris pada paper ini dimaksudkan untuk menguji hubungan pertumbuhan
ekonomi dengan kebijakan moneter, kebijakan fiskal dan variabel kontrol lainya.
(1)
Dimana Y adalah ukuran aktivitas ekonomi, MP, adalah kebijakan moneter, FP ukuran
kebijakan fiskal dan Z adalah variabel kontrol lain yang dapat mempengaruhi aktifitas ekonomi.
Pada akhirnya, bentuk umum dari spesifikasi Error Correction Model (ECM) pada paper ini
adalah:
(2)
Dimana:
Y
= variabel bergantung/dependen (economic output)
X
= variable bebas/independen, terdiri dari variabel moneter, variabel fiskal, dan variabel
kontrol lainya.
ECM = sisa/residuals dari bentuk persamaan jangka panjang
n
= jumlah variable penjelas pada model
p
= jumlah lag yang digunakan untuk mewakili dinamika berjalan pendek
pada model
Terdapat beberapa variabel yang dapat digunakan sebagai proxy aktifitas ekonomi,
kebijakan fiskal, kebijakan moneter, dan variabel kontrol sebagaimana diurakan pada tabel
dibawah. Kita menggunakan data triwulan dari tahun 1990 Q1 hingga 2010 Q2. Untuk
menangkap efek periode krisis finansial terhadap efektifitas pilihan - pilihan kebijakan, kami
menambahkan variabel interaksi dari dummy resesi dan variabel √ variabel kebijakan. Beberapa
variabel diatur untuk seasonalitas menggunakan metode sensus X12.
Relative Effectiveness of Indonesian Policy Choices during Financial Crisis
205
Tabel 5.
Daftar Variabel
Indikator
Pertumbuhan
Fiskal
Moneter
Efek Inflasi
Sektor eksternal
Dummy resesi
Variabel
Sumber
GDP Riil
GDP Nominal
Keseimbangan fiskal
Pendapatan pemerintah
Pembelanjaan pemerintah
Pembelanjaan primer
IFS, estimasi staff
IFS
BI
BI
BI
1.1.4.1.1.1
Saldo Primer
M1
M2
Suku bunga Kebijakan
BI
IFS
IFS
BI
Penurun GDP/ GDP
Deflator
CPI
Exchange Rate
Current Account Balance
Resesi 1997/1998
Resesi 2008/2009
IFS, estimasi staff
BI
IFS
IFS
Ter estimasi
Ter estimasi
Catatan
Pembelanjaan pemerintah pembayaran bunga
Sebelum Q3 2005, kami
menggunakan SBI 1 bulan
sebagai proksi untuk suku
bunga kebijakan
Q1 1997 √ Q4 1998
Q4 2008 √ Q2 2009
Catatan :
Semua variabel dalam logaritma, kecuai keseimbangan fiskal, saldo primer, neraca berjalan (karena terdiri dari nilai-nilai negatif) dan dummy resesi (biner 1/0)
IV. HASIL DAN ANALISIS
4.1. Hasil Empiris
Untuk melihat karakteristik runtut waktu dari setiap variabel , kami menggunakan metode
Augmented Dickey-Fuller (ADF) danPhillips Perron (PP). Pendekatan PP ini lebih sesuai
dibandingkan ADF karena data menunjukan patahan struktural/structural break sebagai effek
dari krisis 1997/1998. Baik tes ADF dan PP mengindikasikan kebanyakan series bersifat nonstasioner dalam level, kecuali keseimbangan fiskal, saldo primer, suku kebijakan, dan neraca
berjalan. Namun first-differencing series tersebut menghilangkan komponen non-stasioner
dalam semua kasus dan hipotesis nol yang menyatakan non stasioner dapat ditolak pada tingkat
signifikansi 5%, mengindikasikan bahwa semua variabel dapat terintegrasi pada I(1). Dengan
demikian, langkah pengujian untuk hubungan ko-intergrasi hanya akan dilakukan dengan I(1).
206 Buletin Ekonomi, Moneter dan Perbankan, Oktober 2011
Tabel 6.
Uji Stasioneritas untuk Variabel
Variables
Abbreviation
ADF Test Result
Phillips Perron Test Result
1st difference
Level of
Level
1st difference
Level of
t-stat p-values integration t-stat p-values t-stat p-values integration
-2.139
0.032
I(1)
-2.327 0.415
-8.320
0.000
I(1)
-5.929 0.000
I(1)
-2.117 0.529
-5.491
0.000
I(1)
Real GDP
Nominal GDP
RGDP
NGDP
Level
t-stat p-values
-2.631 0.268
-2.038 0.572
Real GDP_Adjusted
Nominal GDP_Adjusted
Fiscal Balance
Government Revenue
Government Expenditure
Primary Expenditure
Primary Balance
Fiscal Balance_Adjusted
Government Revenue_Adjusted
Government Expenditure_Adjusted
Primary Expenditure_Adjusted
Primary Balance_Adjusted
RGDP_SA
NGDP_SA
FB
GR
GE
PRIM_GE
PB
FB_SA
GR_SA
GE_SA
PRIM_GE_SA
PB_SA
-2.214
-1.913
-4.231
5.943
5.327
5.137
-5.436
-3.074
4.040
3.562
4.400
-1.843
0.475
0.639
0.006
1.000
1.000
1.000
0.000
0.003
1.000
1.000
1.000
0.063
-5.216
-1.957
-6.526
-17.544
-20.666
-20.657
-6.289
-12.525
-15.234
-10.192
-11.337
-12.502
0.000
0.049
0.000
0.000
0.000
0.000
0.000
0.000
0.000
0.000
0.000
0.000
I(1)
I(1)
I(0)
I(1)
I(1)
I(1)
I(0)
I(0)
I(1)
I(1)
I(1)
I(0)
-1.921
-1.869
-9.025
2.972
2.100
1.976
-7.132
-8.552
3.211
4.154
3.046
-7.297
0.634
0.661
0.000
0.999
0.991
0.988
0.000
0.000
1.000
1.000
0.999
0.000
-5.159
-2.939
-29.488
-42.299
-36.833
-42.757
-26.702
-20.894
-15.292
-18.761
-18.449
-23.681
0.000
0.004
0.000
0.000
0.000
0.000
0.000
0.000
0.000
0.000
0.000
0.000
I(1)
I(1)
I(0)
I(1)
I(1)
I(1)
I(0)
I(0)
I(1)
I(1)
I(1)
I(0)
M1
M2
M1_Adjusted
M2_Adjusted
Policy Rate
GDP Deflator
GDP Deflator_Adjusted
CPI
Exchange Rate
Current Account Balance
GDP US
GDP Japan
M1
M2
M1_SA
M2_SA
PR
GDPDEFL
GDPDEFL_SA
CPI
ER
CAB
USGDP
JPGDP
-2.348
-0.933
-1.496
-0.864
-3.265
-2.125
-2.271
-2.402
-1.845
-3.021
-0.215
1.014
0.404
0.947
0.823
0.955
0.020
0.524
0.444
0.376
0.673
0.003
0.992
0.917
-1.880
-8.250
-3.371
-6.885
-7.633
-4.443
-3.798
-3.049
-5.637
-11.764
-2.199
-3.321
0.058
0.000
0.001
0.000
0.000
0.000
0.000
0.003
0.000
0.000
0.028
0.001
I(1)
I(1)
I(1)
I(1)
I(0)
I(1)
I(1)
I(1)
I(1)
I(0)
I(1)
I(1)
-2.369
-0.933
-1.641
-0.941
-3.000
-1.871
-1.849
-2.208
-1.221
-3.021
-0.249
1.351
0.393
0.947
0.768
0.946
0.039
0.661
0.672
0.478
0.899
0.003
0.991
0.955
-7.610
-8.248
-5.250
-3.738
-7.646
-4.293
-3.798
-4.278
-6.479
-16.024
-3.144
-16.482
0.000
0.000
0.000
0.000
0.000
0.000
0.000
0.000
0.000
0.000
0.002
0.000
I(1)
I(1)
I(1)
I(1)
I(0)
I(1)
I(1)
I(1)
I(1)
I(0)
I(1)
I(1)
Merunut pada metode two step Engle and Granger, pada langkah selanjutnya kami
mengestimasi hubungan ekuilibrium jangka panjang antar variabel dengan menggunakan uji
stasioner terhadap galat, menggunakan nilai kritis untuk uji ko-integrasi Engle - Granger yang
disajikan pada Enders (2004). Setelah mengestimasi beberapa model alternatif, ditemukan
persamaan ko-integrasi yang paling baik sebagai berikut:5
RGDP_SA =
5.13
+
(0.05)***
0.88 RM1_SA
(0.03) ***
+ 0.20 RGE_SA
(0.25) ***
(3)
R2 = 0.94
5 RM1_SA di definisikan sebagai real seasonally adjusted M1 yang sebanding dengan nominal M1/ Deflator GDP . RGE_SA
didefinisikan sebagai pembelanjaan pemerintah yang sebanding dengan nominal pembelanjaan pemerintah /GDP Deflator.Nilai
di dalam ( ) menunjukan standar error. *** signifikan padaα = 1%, ** signifikan padaα = 5%, * signifikan padaα = 10%. Kami
menyadari bahwa mungkin terdapat hubungan endogenitas antara RM1_SA dan GDP_SA, namun untuk sejalan dengan
metodologi yang disetujui, kami mengasumsikan hanya terdapat hubungan satu jalur/one-way relationshipantara mereka dan
menggunakan ECM. Untuk uji robust, kami juga menggunakan VECM dan menemukan hubungan jangka panjang antara variabel
tersebut.
Relative Effectiveness of Indonesian Policy Choices during Financial Crisis
207
Nilai kritis dari pengujian unit rootresidual persamaan ini adalah -6.61,dan dengan nilai
kritis uji Engle - Granger Cointegration untuk 2 variabel yakni -4.123 pada signifikansi1%,
maka variable GDP riil, M1 riil dan pembelanjaan pemerintah riil dikatakan ter ko-integrasi.
Kami selanjutnya berganti pada model jangka pendek dengan mekanisme koreksi
kesalahan:
(4)
Dimana X terdiri dari M1 riil, pembelanjaan pemerintah riil dan variabel kontrol lain,
sementara itu ECM adalah residual/sisa dari persamaan (3). Untuk mengidentifikasi dampak
dari krisis, kami juga menggunakan variabel dummy resesi CR97 dan CR08 dan variabel interaksi
antara resesi di tahun dan ukuran √ ukuran kebijakan. Secara umum diantara beberapa kombinasi
kami menemukan model terbaik sebagai berikut:
Tabel 7.
Model Koreksi Kesalahan
Variabel
Dependen : GDP Riil
Koefisien
M1 Riil(-3)
0.06
t-stat
1.83
*
Pembelanjaan Pemerintah Riil
0.03
3.80
***
ECM(-1)
-0.07
-2.04
**
Nilai Tukar (-1)
-0.05
-3.00
***
Inflasi(-1)
-0.29
-5.47
***
Krisis 1997
-0.01
-2.04
**
Krisis 2008
0.01
0.75
3
M1 Riil(-3) *Krisis 2008
0.14
0.51
4
Pembelanjaan Pemerintah Riil * Krisis 2008
0.08
0.42
5
Konstanta
0.02
11.36
***
R2
0.66
6
7
DW-Stat
1.98
8
9
SIC
-5.40
10
11
*** signifikan pada α = 1%, ** signifikan pada α = 5%, * signifikan pada α = 10%
Hasil √ hasil empiris menunjukan bahwa GDP Riil ter ko-integrasi dengan M1 riil dan√
belanja fiskal riil. Mengacu pada informasi ini, dikembangkan sebuah model koreksi kesalahan
208 Buletin Ekonomi, Moneter dan Perbankan, Oktober 2011
yang sebelumnya telah ditunjukkan terspesifikasi relatif lebih baik dan secara parsimoni dapat
mewakili set data.
Dari model √ model koreksi kesalahan, kita dapat menyimpulkan bahwa pada jangka
pendek, perubahan pada GDP riil sangat dipengaruhi secara signifikan oleh belanja fiskal riil
dan perubahan moneter riil. Perubahan GDP riil sebelumnya tidak signifikan untuk
mempengaruhi perubahan GDP riil. Krisis di tahun 1997 menurunkan GDP riil secara signifikan,
sementara itu efek krisis di tahun 2008/2009 tidak signifikan. Model tersebut menunjukan
bahwa pada periode krisis di tahun 2008, pengaruh perubahan M1 dan belanja fiskal terhadap
output secara relatif serupa dengan pengaruh pada periode normal. Meskipun begitu, kedua
variabel tersebut masih signifikan dalam mempengaruhi outuput meskipun dalam periode krisis.
Hasil tersebut juga menunjukkan error term yang terdefinisikan dengan baik, dan
mengindikasikan umpan balik sebesar 7% dari diseqilibrium triwulan sebelumnya dari pasokan
uang jangka panjang dan belanja fiskal terhadap aktifitas ekonomi. Untuk mengevaluasi kinerja
model, kami melakukan beberapa prakiraan sampel dan membandingkan hasilnya dengan
data aktual. Hasilnya cukup baik sebagaimana ditunjukan oleh grafik 20. The root mean square
error (RMSE) pada prakiraan hanya sebesar 0,01.
13,4
LRGDP_SAF
LRGDP_SA
13,2
13,0
12,8
12,6
12,4
12,2
1990 1992 1994 1996 1998 2000 2002 2004 2006 2008 2010
Grafik 18.
Evaluasi Model
Efektifitas relatif dari kebijakan-kebijakan yang dilakukan, ditentukan oleh ukuran dari
sumbangan instrument kebijakan yang dilaksanakan tersebut untuk membatasi dampak atas
kondisi yang memburuk, dalam rangka mendapatkan hasil positif yang lebih besar. Sementara
beberapa ekonom berpendapat bahwa kebijakan moneter sebaiknya berada pada garis pertama
dalam pertahanan selama turbulensi, yang lain menentang dan menyatakan bahwa kebijakan
Relative Effectiveness of Indonesian Policy Choices during Financial Crisis
209
fiskal memiliki peran yang lebih penting terutama ketika ukuran kebijakan moneter konvensional
tidak cukup untuk mengatasi kerugian pada output dalam kondisi ekonomi yang melemah.
Meskipun tidak secara spesifik mengacu periode krisis, hasil estimasi menunjukkan bahwa
lag yang dibutuhkan oleh kebijakan moneter relatif lebih cepat dibandingkan kebijakan fiskal
(tabel 6); ini menunjukan bahwa pengaruh kebijakan fiskal terhadap GDP lebih cepat daripada
kebijakan moneter.
Hasil ini sejalan dengan Elmendorf and Furman (2008) yang menyatakan bahwa kunci
keuntungan potensial stimulus fiskal dibandingkan stimulus moneter, adalah bahwa dia dapat
meningkatkan aktifitas ekonomi dengan lebih cepat, dan stimulus fiskal yang di implementasikan
secara langsung dan benar, dapat menyediakan daya pendorong ekonomi jangka pendek yang
lebih besar dibandingkan kebijakan moneter.
4.2. Analisis
Pada model empiris diatas, kami menggunakan M1 untuk indikator kebijakan moneter
dan pembelanjaan pemerinah riil untuk indikator kebijakan fiskal. Sementara itu, setelah
penerapan Inflation Targeting Framework (ITF), pada Juli 2005, Bank Indonesia telah mengubah
fokus operasi moneter kepada tingkat suku bunga jangka pendek, menggantikan target operasi
jumlah uang beredar.
Pada level operasi ITF, stance kebijakan moneter tercermin pada suku bunga kebijakan
(BI rate) yang diharapkan dapat mempengaruhi suku bunga pasar uang dan selanjutnya terhadap
suku bunga deposito dan suku bunga kredit dalam sistem perbankan. Pada tingkatan yang
lebih awal dari penerapannya, suku bunga BI dimaksudkan hanya tercermin pada tingkat diskon
surat berharga Bank Indonesia berternor satu bulan (SBI 1 bulan). Sejak akhir Januari 2008,
beberapa langkah bertahap telah dilakukan untuk lebih mem-fokuskan pada pengaturan suku
bunga pasar jangka pendek sekitar level suku bunga BI. Efektif sejak 9 Juni, 2008, BI telah
secara resmi mengganti target operasi dari suku bunga SBI 1 bulan ke suku bunga overnight
pasar uang antar bank (PUAB O/N). Perubahan pada tingkat suku bunga ini akan mempengaruhi
output dan inflasi.
Selain suku bunga kebijakan tersebut, terdapat juga beberapa instrumen moneter yang
digunakan dalam mengendalikan agregat permintaan dekonomi. Mengingat hal tersebut, pada
bagian ini, analisis kebijakan moneter dan kebijakan fiskal yang telah dilakukan akan di perluas,
tidak hanya M1 dan pembelanjaan pemerintahan. Karena nilai tukar juga signifikan dalam
mempengaruhi output, akan ada analisis mengenai kebijakan devisa.
210 Buletin Ekonomi, Moneter dan Perbankan, Oktober 2011
4.2.1 Kebijakan Moneter
Bank Indonesia mengambil serangkaian kebijakan sebagai respon terhadap ketidakstabilan
keuangan global. Pada umumnya kebijakan moneter ditentukan dengan mempertimbangkan
keadaan ekonomi dan karakteristik makroekonomi. Sebagaimana ditunjukan oleh gambar
dibawah, selama periode Januari 2008 hingga November 2008, Bank Indonesia meningkatkan
suku bunga kebijakan dari 8% ke 9.50% dalam rangka meredam tekanan naiknya IHK. Meski
tekanan dari sudut pandang stabilitas keuangan lebih tinggi sebagaimana ditunjukan oleh
tinginya suku bunga overnight, suku bunga bank dan tingkat yield dari surat berharga
pemerintah yang meningkat karena kurangnya likuiditas global pada saat itu. Meski demikian,
saat itu BI memutuskan untuk meningkatkan suku bunga kebijakan terkait kekhawatiran pada
inflasi. Sejalan dengan melambatnya pertumbuhan ekonomi, inflasi juga menurun selama tahun
2008 √ 2009. Untuk itu, suku bunga kebijakan, juga diturunkan sejak Desember 2008.
Lebih jauh, sebagai respon terhadap krisis finansial global, Bank Indonesia mengambil
bebarapa kebijakan untuk mengatasi isu likuiditas dalam sektor finansial. Akibat, diumumkannya
kebangkrutan Lehman Brothers pada September 2008, pasar antar bank meroket tajam dari
6.98% ke nilai 9.37% Q-1 hingga Q-III 2008. Selain itu, volume transaksi Rupiah antar bank
menurun 41% selama periode tersebut dikarenakan jatuhnya kepercayaan pasar terhadap
institusi perbankan. Tujuan utama dari kebijakan non-konvensional tersebut sebagai mana
ditunjukkan pada Tabel 4 adalah untuk membawa suku bunga antar bank agar konvergen
menuju tingkat suku bunga kebijakan. Dalam rangka mengurangi guncangan yang berlebihan
di pasar keuangan antar bank, koridor suku bunga dipersempit pada 4 September 2008 dan
pada 16 September 2008.
Seperti halnya pada bank sentral lain, Bank Indonesia juga merespon masalah likuiditas
dalam sektor keuangan dengan mengurangi reserve requirement, diikuti dengan penyediaan
fasilitas likuiditas dalam rangka mengalirkan dana pada pasar uang. Selanjutnya, terdapat
koordinasi antara bank sentral dan pemerintah untuk mengatasi isu kepercayaan dan juga
menjawab ledakan harga asset. Beberapa kebijakan juga telah diambil untuk mengatasi isu
kepercayaan dan juga menjawab ledakan harga aset. Penjelasan kebijakan √ kebijakan yang
diambil oleh √ Bank Indonesia selama krisis global dapat dilihat pada lembar lampiran.
a. Evaluasi Kebijakan Suku Bunga
Terdapat perbedaan yang signifikan antara pergerakan suku bunga kebijakan saat krisis
tahun 1997/1998 dengan krisis yang baru saja terjadi. Mengantisipasi tekanan inflasi yang sangat
tinggi pada krisis tahun 1997/1998 (hampir 83% pada Q-IV 1998), bank sentral meningkatkan
Jan-08
Feb-09
BI Rate
8.25%
Jan-09
BI Rate
8.75%
Jan-09
Mar-08
Feb-09
Jan-08 - Apr-08
BI Rate
8%
Feb-08
BI Rate
7.75%
Mar-09
Mar-09
BI Rate
7.50%
Apr-09
Apr-09
BI Rate
7.00%
Jun-09
BI Rate
6.75%
Jul-09
Jul-09
Aug-09
Nov-08
Sep-09
23-Oct-08
Dec-08
BI Rate
9.25%
Dec-08
Oct-09
Dec-08
BI Rate
6.50%
Nov-09
Dec-09
Implementation of 2.5% secondary
reserve requirement
Aug-09 - Dec-09
Oct-09
9-Des-08
Dec-08
- Open window repo of 2-14
day tenure
Lowering Reserve Requirement
Rupiah Deposit to 5%
Oct-08 - Nov-08
BI Rate
9.50%
Oct-08
Gambar 1
Kebijakan Moneter Pada Tahun 2008 dan 2009
BI Rate
7.25%
May-09
May-09
Jun-09
14-Oct-08
Sep-08
BI Rate
9.25%
Sep-08
Lowering Reserve Requirement
Rupiah Deposit to 7.5%
Foreign Deposit to 1%
Aug-08
BI Rate
9%
Aug-08
Sep-09
Jul-08
BI Rate
8.75%
Jul-08
23-Sep-08
4-Des-08
Fasbi Corridor : BI Rate - 50 bps
Repo Corridor : BI Rate + 50 bps
Expanding time period of
FTO from 14 days to 3 month
Open window repo of 3 month tenure
Jun-08
BI Rate
8.5%
Jun-08
Fasbi Corridor : BI Rate - 200 bps
Repo Corridor : BI Rate + 300 bps
4-Sep-08
Apr-09
May-08
BI Rate
8.25%
May-08
16-Sep-08
Fasbi Corridor : BI Rate - 100 bps
Repo Corridor : BI Rate + 100 bps
Open window repo of 1 month tenure
Apr-08
O/N interbank rate replaced the 1 month
SBI rate as the operational target
- Fasbi Corridor : BI Rate - 300 bps
Repo Corridor : BI Rate + 300 bps
3-Apr-08
Relative Effectiveness of Indonesian Policy Choices during Financial Crisis
211
212 Buletin Ekonomi, Moneter dan Perbankan, Oktober 2011
suku bunga SBI secara signifikan ke nilai 68% dan secara bertahap menurunkan ke 11,03%
pada Q-I 2000. Pada sisi lain, sebelum krisis 2008 terjadi, tekanan inflasi tidak terlalu tinggi,
dan meskipun begitu, suku bunga kebijakan dinaikan hingga 9,25%. Pada saat itu, kebijakan
BI untuk meningkatkan suku bunga kebijakan pada triwulan II, III dan IV tahun 2008 sangat
bertentangan dengan bank sentral lainya di negara lain yang justru menurunkan suku bunga
Tabel 8.
Durasi, Periode, Amplitude dan Slopedari Suku Bunga dan Inflasi
Policy Rate (%)
Duration
Period
Amplitude
Slope
Lending Rate (%)
Duration
Period
Amplitude
Slope
Inflation (% yoy)
Duration
Period
Krisis 1997/1998
Krisis 2008/2009
6 kuartal
lebih dari 6 kuartal
Q4 1998 √ Q1 2000
Q1 2009 √ Q2 2010 (belum meningkat)
57.73%
2.75%
10%
0.46%
9 kuartal
lebih dari 6 kuartal
Q4 1998 √ Q4 2000
Q1 2009 √ Q2 2010
18.1%
2.0%
2.0%
0.3%
6 kuartal
5 kuartal
Q4 1998 - Q1 2000
Q4 2008 - Q4 2009
Amplitude
83.6%
9.36%
Slope
13.9%
1.9%
Sumber : CEIC, diperkirakan
%
80
70
Policy Rate
Working Capital Lending Rate
Sep-98, 68.76
50,0
Sep-98, 35.7
40,0
30
10
0
Sep-98, 82.4%
60,0
50
20
80,0
70,0
60
40
90,0
30,0
Dec-00, 17.65
Dec-08, 15.22 Jun-10, 13.26
20,0
Mar-00, -1.2%
10,0
Mar-00, 11.03
Jun-10, 6.5
0,0
Mar Jul NovMarJulNovMarJulNovMarJulNovMarJulNovMarJulNovMarJulNovMarJulNovMarJulNovMarJulNovMarJulNovMarJulNovMarJulNovMarJulNovMarJulNovMar
-10,0
Dec-08, 9.25
1995 1996 1997 1998 1999 2000 2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007 2008 2009 2010
Grafik 19a
Puncak Pergerakan Suku Bunga
Sep-08
12.1% Dec-09
2.8%
Mar Jul NovMarJulNovMarJulNovMarJulNovMarJulNovMarJulNovMarJulNovMarJulNovMarJulNovMarJulNovMarJulNovMarJulNovMarJulNovMarJulNovMarJulNovMar
1995 1996 1997 1998 1999 2000 2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007 2008 20092010
Grafik 19b
Puncak Pergerakan Inflasi
Relative Effectiveness of Indonesian Policy Choices during Financial Crisis
213
mereka untuk mengatasi isu likuiditas dan mengurangi aktifitas ekonomi. BI memulai mengurangi
suku bunga kebijakannya secara bertahap pada QI 2009 dan bertahan pada nilai 6,5% hingga
sekarang.
Selama kedua periode krisis tersebut, besarnya penurunan suku bunga pinjaman ratarata sektor perbankan, ternyata lebih kecil daripada penurunan suku bunga BI. Hal ini terefleksi
pada spread suku bunga pinjaman dan BI rate. Dari perspektif mikro bank, terdapat beberapa
faktor yang menyumbang terhadap pergerakan tingkat pinjaman termasuk biaya dari dana
dan resiko premi yang condong meningkat selama krisis, dan profit margin. Sebuah studi
sebelumnya menunjukan bahwa penurunan agregat biaya dana perbankan tahun 2009 condong
lebih lambat daripada penurunan suku bunga BI. Lebih lanjut, resiko premi pada ekonomi pada
saat itu masih dianggap tinggi dan terdapat indikasi bahwa industri perbankan lebih suka
mempertahankan profit margin. Kesemua ini berkontribusi dalam mengurangi efektifitas
pengaruh kebijakan suku bunga terhadap tingkat suku bunga pinjaman.
Tabel 9.
Rata- Rata Selisih BI Rate dengan Suku Bunga Pinajaman Selama Periode Ekspansi
Non - Krisis
Krisis
Q2 1996 - Q1 1997
Q2 1999 - Q1 2000
6,12 %
8,23 %
Q1 2006 - Q4 2006
Q1 2009 - Q4 2009
4,29 %
7,41 %
b. Evaluasi Penurunan Cadangan Minimum
Kebijakan cadangan minimal dipergunakan untuk menyediakan likuiditas Rupiah yang
lebih banyak dalam sistem perbankan untuk mengimbangi desakan likuiditas dan mengurangi
volatilitas di pasar antar bank. Pengaruhnya dapat dilihat pada suku bunga pasar antar bank
yang menurun setelah pengumuman kebijakan tersebut. Volatilitas suku bunga antar bank
juga berkurang. Sebagaimana diukur melalui standar deviasi, selama periode 1 bulan sebelum
penerapan kebijakan, volatilitas suku bunga antar bank adalah 0,22% dan berkurang menjadi
0,08% setelah penerapan kebijakan tersebut.
Volume transaksi antar bank juga meningkat meskipun peningkatannya lebih rendah
dan pengaruhnya tidak tiba √ tiba layaknya suku bunga. Salah satu alasan peningkatan yang
lebih rendah pada transaksi pasar antar bank adalah ekspansi pada fine tuning operation yang
dilakukan bank sentral pada saat itu, yang meningkatkan akses terhadap likuiditas dari sentral
bank, dengan demikian mengurangi kebutuhan peminjaman dari pasar antar bank. Hal ini
214 Buletin Ekonomi, Moneter dan Perbankan, Oktober 2011
Billion Rp
10,20
Lowering RR
Policy, 23 Oct '08
10,00
35000
30000
9,80
25000
9,60
20000
9,40
15000
9,20
10000
9,00
5000
8,80
0
1 11 21 31 10 20 30 10 20 30 9 19 29 9 19 29
Aug Aug Aug Aug Sep Sep Sep Oct Oct Oct Nov Nov Nov Des Des Des
2008
Lowering RR
Policy, 23 Oct '08
1 11 21 31 10 20 30 10 20 30 9
19 29 9
19 29
Aug Aug Aug Aug Sep Sep Sep Oct Oct Oct Nov Nov Nov Des Des Des
2008
Sumber : Bank Indonesia
Grafik 20. Suku Bunga Pasar Antar Bank
Grafik 21. Volume Transaksi Pasar Antar Bank
juga di dukung oleh perubahan fasilitas likuiditas untuk bank komersil dari bank sentral, yang
aksesnya lebih luas dan lebih lama dibandingkan fasilitas inter-day biasa. Alasan lain pada saat
itu adalah untuk mengurangi pembayaran pinjaman oleh bank komersil yang sejalan dengan
permintaan kredit yang lebih rendah dikarenakan krisis global dan meskipun kebutuhan yang
lebih rendah untuk meminjam dana.
Perlu dicatat bahwa terdapat efek samping dari kebijakan ini. Meningkatnya pasokan
rupiah telah membawa naiknya peredaran uang di pasar (M0), dan hal ini dapat menyebabkan
depresiasi terhadap Rupiah.
c. Evaluasi Penyempitan Koridor Suku Bunga untuk Standing Deposit
Facility/ Lending Facility (Repo)
Kebijakan ini di arahkan untuk mengurangi volatilitas yang merebak di pasar uang antar
bank dan meningkatkan kredibilitas Bank Indonesia. Semakin rendahnya spread suku bunga
antar bank dan suku bunga kebijakan, mengindikasikan semakin tingginya derajat kredibilitas
bank sentral.
Dari grafik 22, kita dapat melihat bahwa setelah pengaturan koridor yang pertama dan
kedua, penyebaran suku pasar antar bank dan suku kebijakan relatif lebih tinggi dan hal tersebut
kontradiktif dengan tujuan dari kebijakan tersebut. Salah satu alasan bisa saja meningkatnya
tekanan likuiditas karena persepsi resiko yang lebih tinggi pada bulan September menyusul
kebangkrutan dari Lehman Brother. Sementara itu pengaturan ketiga berhasil mengurangi
spread suku bunga (Tabel 10). Sebagai perbandingan, praktek yang paling baik pada penyebaran
ini di beberapa negara ITF yaitu sekitar 20 bps.
Relative Effectiveness of Indonesian Policy Choices during Financial Crisis
13,0
215
Adjustment of Corridor of
Overnight Interest Rate
12,0
11,0
10,0
9,0
8,0
7,0
Adjustment of
Corridor of O/N
Interest Rate
Interbank O/N Rate
BI Rate
Operational Corridor
6,0
5,0
1 11 21 31 10 20 30 10 20 30 9
19 29 9
19 29
Aug Aug Aug Aug Sep Sep Sep Oct Oct Oct Nov Nov Nov Des Des Des
2008
Sumber : Bank Indonesia
Grafik 22. Koridor Suku Bunga (%)
Tabel 10.
Penyebaran Suku Kebijakan dan Suku Pasar Interbank
Periode
Penyebaran
Catatan
1 bulan sebelum pengaturan pertama
9.08 bps
1 bulan setelah pengaturan pertama
11.72 bps
Lebih tinggi
1 bulan setelah pengaturan kedua
27.42 bps
Lebih tinggi
1 bulan sebelum pengaturan ketiga
35.57 bps
Ω
1 bulan setelah pengaturan ketiga
17.59 bps
Lebih tinggi
Catatan: pertama : 4 September 2008; kedua : 16 September 2008; ketiga : 4 Desember 2008
Sumber: Bank Indonesia, diperkirakan dari data harian
4.2.2 Kebijakan Fiskal
Seperti negara √ negara lainya, Indonesia meluncurkan kebijakan fiskal sebagai kebijakan
counter-cyclical untuk melawan melambatnya efek langsung pada agregat permintaan. Dalam
rangka mengurangi pengaruh krisis yang baru saja terjadi, pemerintah Indonesia mengambil
sepuluh langkah untuk tujuan stabilitas perekonomian dan menyelamatkan anggaran negara.
Sebagai tambahan, pemerintah menawarkan paket stimulus fiskal sebesar Rp.73,3 triliun atau
US$7,56 milliar (2,6% dari GDP) dengan tujuan sebagai berikut,
a. Mempertahankan daya beli rumah tangga untuk menjaga pertumbuhan konsumsi diatas 4%.
b. Meningkatkan kekuatan dan daya saing sektor riil untuk menghindari lebih banyaknya PHK
perkerja .
c. Pemerintah mengeluarkan beberapa kebijakan perdagangan.
d. Menciptakan kesempatan kerja bagi penganggur/pekerja yang di PHK, dengan meluncurkan
proyek infrastruktur pada karya.
e. Perlindungan sosial dan penurunan kemiskinan yang anggarannya telah diputuskan tahun 2009.
216 Buletin Ekonomi, Moneter dan Perbankan, Oktober 2011
% of GDP
% of GDP
% of GDP
2,50
25,0
25,0
20,0
20,0
20,0%
2,00
1,50
1,7%
1,5%
1,8%
0,8%
1,7%
0,3%
0,1%
0,00
-0,1%
-0,50
-1,00
15,0
15,0
2,7%
-1,0%
10,0
10,0
5,0
5,0
0,0
0,0
4,0%
-1,3%
-1,50
-1,6%
-1,6%
-2,00
2004
2005
2006
Fiscal Balance
Expenditure (RHS)
Poly, (Fiscal Balance)
2007
2008
2009
2010*
Primary Balance
Revenue (RHS)
2,0%
2,4%
2,4%
3,2%
-0,5%
-0,9%
18,4%
2,2%
2,3%
1,00
0,50
18,6%
4,4%
2,7%
1,2%
5,7%
5,4%
2004
2005
1,6%
19,2%
2,3%
2,0%
3,8%
19,9%
17,1%
2,3%
2,3%
1,8%
1,7%
5,6%
2,9%
1,6%
1,5%
1,3%
6,8%
6,4%
5,9%
5,5%
2006
2007
2008
2009
Transfer to Region
Capital Expenditure
Material
Other Routines
Subsidy
Personnel
Social Assistance
Interest Payment
Total Expenditure
Sumber : Kementerian Keuangan
Sumber : Kementerian Keuangan
Grafik 24.
Total Komponen Pembelanjaan
Grafik 23.
Operasi Keuangan Negara
Meski pada periode krisis realisasi keseimbangan fiskal pada akhir 2008 mengalami
peningkatan secara signifikan dengan defisit yang kecil. Pada tahun 2009, karena stimulus
fiskal dan rendahnya penerimaan pemerintah karena melambatnya perekonomian, membuat
defisit fiskal yang lebih tinggi yaitu 1,6% dari GDP (Grafik 23). Berdasarkan pada komponennya,
belanja terbesar pemerintah pada tahun 2008 dan 2009 adalah untuk transfer ke daerah dan
subsidi (Grafik 24).
Tabel 11.
Rencana dan Realisasi Stimulus Fiskal
No
1
2
3
Description
Tax Savings
Reductions in Income Tax Rates
Lower Corporate Tax Rate
Lower Personal Income Tax Rate
Income tax-free band raised to IDR 15.8 million
Tax/Import Duty Subsidies for Business/Targeted Households
VAT on oil/gas exploration, cooking oil
Import duties on raw materials and capital goods
Payroll tax
Geothermal tax
Pro-business/Jobs subsidies + budget expenditures
Reduced price for automotive diesel
Discounted electricity billing rates for industrial users
Additional infrastructure expenditures+subsidies+government equity injection
Upscaling of Community Block Grants (PNPM)
TOTAL
Notes : 1) Realization until October 2009, more updated data is not available
2) Realization until December 2009
Plan
Realization
(IDR Trillion)
43.0
32
18.5
13.5
11
13.3
3.5
2.5
6.5
0.8
17
2.8
(IDR Trillion)
20.5
18
12.8
5.2
2.5
3.7
2.5
0.3
0.1
0.8
14.0
2.8
1.4
12.2
0.6
73.3
1
10.18
n/a
38.2
Sumber: Departemen Keuangan dan sumber lain
% of
Realization
1)
47.7%
1)
56.3%
1)
69.2%
1)
38.5%
1)
22.7%
1)
27.8%
1)
71.4%
1)
12.0%
1)
1.5%
1)
100.0%
82.2%
1)
100.0%
1)
71.4%
2)
83.4%
52.1%
Relative Effectiveness of Indonesian Policy Choices during Financial Crisis
217
Keberhasilan pemerintah memperoleh kondisi fiskal yang berkelanjutan pada tahun 2008
disebabkan oleh, (1) selama sepuluh tahun terakhir, kebijakan fiskal telah mengurangi rasio
utang publik. (ii) Pemerintah telah mengambil langkah-langkah yang signifikan untuk
mengurangi subsidi bahan bakar yang memungkinkan untuk meningkatkan pengeluaran baik
di tingkat pemerintah pusat dan daerah. (iii) Pemerintah telah meningkatkan total pengeluaran
untuk pendidikan.
Namun, dalam kasus Indonesia, permasalahan stimulus fiskal terjadi di mana kemampuan
pemerintah daerah untuk dapat menyelesaikan anggaran mereka tepat pada waktunya sangat
terbatas. Oleh karena itu, paket stimulus tersebut tidak digunakan secara optimal seperti yang
Tabel 12.
Prinsip Evaluasi Stimulus Fiskal Efektif
Prinsip
Penjelasan
Langkah Untuk Stimulus Fiskal Indonesia
Tepat Waktu
FS tidak seharusnya diberlakukan
secara prematur, tertunda terlalu
lama, atau terdiri dari pemotongan
pajak atau peningkatan pengeluaran
yang akan memakan waktu terlalu
lama untuk dilakukan atau untuk
meningkatkan produksi
Meskipun pemerintah segera memberi instruksi untuk FS,
ada permasalahn yang menyebabkan penundaan
pelaksanaan pencairan dana.
Pengeluaran pemerintah itu sebagian besar disalurkan pada
Q-4 (Grafik 26). Ini akan lebih baik jika pencairan di setiap
kuartal cukup seimbang. Jadi dalam hal prinsip-prinsip tepat
waktu, stimulus fiskal Indonesia adalah kurang efektif
Ditargetkan
Pemotongan pajak dan kenaikan
belanja harus diarahkan sehingga
dapat memberikan manfaat yang
besar bagi orang-orang yang paling
terkena dampak negatif dari
perlambatan ekonomi
Proporsi terbesar dari FS adalah pengurangan pajak. Hal ini
bisa menstimulus output ekonomi dari investasi dan secara
tidak langsung akan meningkatkan lapangan kerja dan upah.
Kemudianakan ada peningkatan dalam konsumsi dan output
ekonomi.
Selain itu, pengeluaran besar di infrastruktur akan baik
karena meningkatkan pertumbuhan yang berkelanjutan
jangka panjang dan bukan hanya jangka pendek.
Dengan demikian dari prinsip-prinsip yang ditargetkan,
stimulus fiskal Indonesia cukup efektif.
Sementara
FS seharusnya tidak meningkatkan
defisit anggaran dalam jangka
panjang
Sumber dana untuk stimulus fiskal berasal dari kelebihan
penggunaan anggaran (SILPA 7) tahun 2008 dan utang.
Dana dari kelebihan penggunaan anggaran tidak akan
mempengaruhi anggaran pemerintah berikutnya tetapi
penggunaan utang, dalam jangka panjang dapat
mempengaruhi defisit anggaran.
Selain itu, defisit rencana anggaran tahun 2010 masih relatif
tinggi (1,6% PDB) (Tabel 15). Jadi dari prinsip-prinsip
sementara, stimulus fiskal di Indonesia cukup efektif
7 SILPA: Sisa Lebih Pembiayaan dan Anggaran tahun lalu
218 Buletin Ekonomi, Moneter dan Perbankan, Oktober 2011
Trillion Rp
400000
1.400
Q1
Q2
Q3
Q4
300000
Change of Tax Revenue (yoy)
1.200
Change of GDP (yoy)
1.000
800
200000
600
400
100000
200
0
90
92
94
96
98
00
02
04
06
08
10
2003
2004
2005
2005
2007
2008
2009
2010*
Sumber : CEIC
Grafik 25.
Pengeluaran Pemerintah Triwulanan
Grafik 26.
Penerimaan Pajak versus Perubahan PDB
dapat di intepretasikan dari data bulan Oktober dan Desember 2009 yang menunjukkan bahwa
hanya 52,1% dari rencana stimulus fiskal yang dapat diwujudkan. Kurangnya sosialisasi,
pengeluaran yang hemat, dan implementasi regulasi yang lambat menyebabkan rendahnya
penyerapan dari stimulus fiskal tersebut. Jadi, untuk meningkatkan efektivitas kebijakan fiskal,
diperlukan suatu konfigurasi standar prosedur operasi yang efektif dan mudah dipahami untuk
pelaksanaan kebijakan fiskal, baik di daerah maupun pusat.
Untuk menganalisis efektivitas kebijakan fiskal dalam meningkatkan kegiatan ekonomi
setelah krisis bukanlah hal yang mudah, sehingga kami mencoba untuk mengadopsi evaluasi
stimulus fiskal (FS) berdasarkan prinsip-prinsip Elmendorf dan Furman (2008) sebagai
berikut:
Tabel 13.
Dampak Kebijakan Fiskal Terhadap Anggaran Pemerintah
Periode
Jumlah Fiskal Dalam%
dari PDB
Jumlah Primer Dalam
% dari PDB
1990-1996 Rata-rata
0,26%
2,05%
1997-1998 Rata-rata
-1,45%
1,13%
1999
-2,84%
1,05%
2001-2008 Rata-rata
-1,16%
1,92%
2009
-1,56%
0,12%
2010 Perkiraan
-1,59%
0,28%
Sumber: Kementrian Keuangan
Relative Effectiveness of Indonesian Policy Choices during Financial Crisis
219
4.2.3 Kebijakan Devisa
Untuk menghindari penurunan nilai tukar dari rupiah yang lebih rendah, Bank Indonesia
memperkenalkan langkah-langkah kebijakan fiskal seperti FX swap tenor yang diperluas,
mengeluarkan aturan mengenai pembelian devisa oleh bank, dll (rincian dapat dilihat pada
Appendix). Langkah-langkah kebijakan devisa cukup efektif untuk mengurangi guncangan
nilai tukar selama krisis. Walaupun nilai mata uang Rupiah melemah secara terus menerus
setelah diberlakukannya beberapa kebijakan devisa di bulan Oktober dan November 2008
dikarenakan adanya aliran modal keluar secara besar-besaran, guncangan nilai tukar menjadi
relatif lebih kecil setelah dikeluarkannya kebijakan baru.
13000
Prohibition of
structured
product
transaction
12500
12000
- Abolishing the limit of daily
balance position of short term
foreign loan
- Foreign Exchange Provision for
Domestic Corporation
- The extension of FX Swap tenor
11500
11000
10500
Tabel 14. Guncangan Devisa
Setelah Berlakunya Kebijakan
FX Policies
15 October's policies
Regulation governing
the purchase of
Foreign Exchange
by Banks
10000
9500
9000
8500
Std Deviation of Rp/US$
1 week
1 week Result
before
after
94.58
69.61
Lower
13 November's policies
349.90
244.21
Lower
16 December's policies
338.22
73.40
Lower
8000
1 11 21 31 10 20 30 10 20 30 9 19 29 9 19 29
Aug Aug Aug Aug Sep Sep Sep Oct Oct Oct Nov Nov Nov Des Des Des
2008
Sumber : CEIC, diperkirakan
Grafik 27
Dampak dari Kebijakan Devisa
4.2.4 Kondisi Ekonomi Indonesia setelah Krisis
Banyak pekembangan yang terjadi pada ekonomi Indonesia selama 2009 dan 2010 yang
meningkatkan optimisme atas sustainabilitas proses pemulihan ekonomi. Kinerja ekonomi yang
positif mencakup peningkatan indikator-indikator resiko, kinerja di pasar saham, neraca,
penguatan Rupiah, dan pertumbuhan ekonomi yang cukup baik.
Pertumbuhan ekonomi di triwulan II pada thaun 2010 meningkat sebesar 6,17% yang
lebih tinggi 2,07% poin dibandingkan pertumbuhan ekonomi pada triwulan yang sama di
tahun sebelumnya. Dari sisi permintaan, kontribusi terbesar terhadap pertumbuhan ekonomi
adalah permintaan domestik khususnya yang berasal dari investasi sebesar 2,35% dan konsumsi
sebesar 2,06%. Dari perspektif sektoral, kontributor terbesar adalah sektor Transportasi dan
220 Buletin Ekonomi, Moneter dan Perbankan, Oktober 2011
Tabel 15. Kontribusi Sektoral
Terhadap Pertumbuhan PDB 2010
Sektor
Pertanian
Pertambangan dan Galian
Manufaktur
Listrik, Gas dan Air Bersih
Konstruksi
Perdagangan, Hotel dan Restoran
Transportasi dan Komunikasi
Keuangan, Sewa dan Jasa Perusahaan
Jasa
PDB
Tabel 16. Kontribusi dari sisi Permintaan
Terhadap Pertumbuhan PDB
2010
Q1
Q2
0,42
0,25
0,97
0,06
0,45
1,55
1,02
0,52
0,44
5,69
0,43
0,31
1,12
0,04
0,45
1,61
1,13
0,58
0,50
6,17
Permintaan
Konsumsi
Investasi
Ekspor (net)
Ekspor
Impor
Statistic Discrepancy
PDB
2010
Q1
1,65
2,82
1,18
7,85
6,67
0,04
5,69
Q2
2,06
2,35
0,42
6,02
5,60
1,34
6,17
Sumber: Bank Indonesia
Komunikasi (1,13%); Perdagangan, Hotel, dan Restoran (1,61%) dan sektor Manufaktur
(1,12%).
Indikasi bahwa pemulihan global berproses lebih cepat dari perkiraan telah meningkatkan
optimisme terhadap masa depan ekonomi Indonesia. Optimisme tersebut juga didukung oleh
pemulihan ekonomi domestik yang lebih cepat dan juga bertahan dari dampak krisis global.
Meningkatnya optimisme terhadap gambaran ekonomi Indonesia juga didukung oleh naiknya
peringkat Indonesia yang dilakukan oleh agen pemeringkat internasional di awal tahun 2010.
Kondisi positif ini mendukung hasil empiris dari penelitian ini dimana kebijakan moneter dan
fiskal memberikan dampak yang signifikan terhadap output.
Akan tetapi, ada beberapa tantangan untuk perkembangan ekonomi Indonesia. Dari sisi
eksternal, tantangan tersebut utamanya berhubungan dengan dampak dari strategi-strategi
negara maju dalam merespon krisis global, termasuk pelonggaran moneter dan trend ekspansi
fiskal, polarisasi tren perdagangan global dan ketimpangan yang cukup besar dalam kinerja
ekonomi global.
Dari sisi domestik, tantangan yang paling utama berkaitan dengan beberapa isu yang
dapat mengganggu efektifitas kebijakan moneter, seperti likuiditas bank yang berlebihan,
dominasi arus masuk modal jangka pendek dalam struktur arus modal masuk, potensi
penggelembungan harga aset, pasar modal yang tidak stabil, dan serangkaian permasalahan
struktural pada sektor riil.
Relative Effectiveness of Indonesian Policy Choices during Financial Crisis
221
V. KESIMPULAN
Indonesia telah terpengaruh oleh dampak dari tertahannya aliran modal di negara-negara
emerging ekonomi dan mengalami penurunan pertumbuhan ekonomi akibat krisis keuangan
global. Paper ini telah mengidentifikasi dampak putaran pertama dan kedua dari krisis terhadap
indikator makroekonomi. Pelajaran pertama dari krisis yang terjadi baru-baru ini adalah Indonesia
sebagai negara berkembang secara jelas telah menunjukkan efektifitas dari kebijakan moneter,
fiskal, dan kebijakan sektor keuangan yang telah membantu pemulihan ekonomi Indonesia.
Indonesia dan beberapa negara Asia telah mengalami dua krisis keuangan selama 10 tahun
terakhir ini. Krisis Asia yang pertama terjadi pada tahun 1997, yang mengakibatkan reformasi
yang begitu signifikan pada kebijakan dan institusi di sektor keuangan. Namun, pada krisis
kedua di 10 tahun berikutnya yang dikenal sebagai krisis global yang terjadi di tahun 2008,
reformasi yang terjadi tergolong lebih kecil dan tidak signifikan dibandingkan krisis pertama.
Pelajaran kedua adalah kerjasama dan koordinasi yang lebih erat antar para pembuat
kebijakan sangat penting dalam mengidentifikasi dan menangani tantangan yang ditimbulkan
oleh krisis global. Selaku otoritas moneter, Bank Indonesia telah menerapkan kebijakan moneter
yang akomodatif untuk mendukung pertumbuhan yang cukup moderat dengan inflasi yang
relatif rendah. Kebijakan suku bunga mulai diluncurkan pada Desember 2008 dengan maksud
untuk menurunkan tingkat suku bunga kredit bank. Beberapa langkah dan kebijakan moneter
yang tidak konvensional juga telah diambil untuk mengatasi masalah likuiditas. Di sisi fiskal,
pemerintah berupaya menjaga permintaan domestik dengan beberapa stimulus fiskal dan
kebijakan perdagangan. Ada juga koordinasi antar Departemen Keuangan, Bank Sentral dan
lembaga lainnya dalam rangka mempertahankan pasar keuangan dan stabilitas makroekonomi.
Langkah-langkah kebijakan yang diambil selama krisis telah dirumuskan secara tepat
waktu dengan tujuan akhir pertumbuhan ekonomi yang berkelanjutan dengan tetap menjaga
stabilitas makroekonomi di Indonesia. Berdasarkan model koreksi error, kami menyimpulkan
bahwa dalam jangka pendek perubahan GDP riil secara signifikan dipengaruhi oleh perubahan
penawaran uang riil pada kuartal ketiga sebelumnya dan pengeluaran fiskal yang riil. Ini
menunjukkan bahwa dampak kebijakan fiskal terhadap PDB relatif lebih cepat daripada kebijakan
moneter.
Merujuk pada kesimpulan dari penelitian ini, implikasi kebijakan yang harus diperhatikan
di masa depan adalah sebagai berikut:
1. Kerjasama dan koordinasi antar pembuat kebijakan dan respon yang tepat waktu sangat
penting dalam mengatasi krisis. Dengan demikian, dalam menangani krisis, kebijakan
222 Buletin Ekonomi, Moneter dan Perbankan, Oktober 2011
moneter tidak bisa berdiri sendiri tetapi membutuhkan koordinasi dengan kebijakan fiskal
dan kebijakan di sektor lainnya.
2. Kebijakan moneter konvensional yang efektif dalam kondisi normal dapat menjadi kurang
efektif dalam krisis karena tingginya tingkat ketidakpastian terutama tekanan yang berasal
dari luar. Dengan demikian, kebijakan moneter yang khusus memang diperlukan sebagai
respon kebijakan yang tepat waktu.
3. Sehubungan dengan kebijakan fiskal, pencairan pengeluaran pemerintah yang lebih tepat
waktu sangat penting untuk meningkatkan efektivitas kebijakan ini agar dapatmerangsang
output perekonomian.
Relative Effectiveness of Indonesian Policy Choices during Financial Crisis
223
DAFTAR PUSTAKA
Arifin, Syamsul, (1998), ≈Effectiveness of Interest Rate Policy for Rupiah Stability during Crisis,
Bank Indonesia Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan, December 1998. (Available on
Bahasa).
Bank Indonesia, Indonesian Economic Outlook 2009-2014, ≈Global Financial Crisis dan the
Impact on Indonesian Economy∆
Enders, Walter, (2004), ≈Applied Econometric Time Series∆, John Wiley & Sons, Inc, USA
Elmendorf, Douglas dan Furman Jason, (2008), ≈If, When, How: A Primer on Fiscal Stimulus∆,
Bookings Institution, The Hamilton Project Strategy Paper
Kurniati Y, et all, (2008), ≈Sensitivity of Mainstay Export Commodities to Slowing Trading Partner
Growth dan Changing International Prices∆, Bank Indonesia Research Notes: October.
(Available on Bahasa)
Kurniati Y dan Meily Ika Permata, (2009), ≈Transmission of External Shock to Indonesian
Economy∆.Bank Indonesia Working Paper.(Available on Bahasa).
Santoso et all, (2009), ≈Impact of Contagion Risk on the Indonesian Capital Market∆.∆Bank
Indonesia Financial Stability Report No 12: March.
Simorangkir, Iskdanar dan JustinaAdamanti, (2010), ≈The Role of Fiscal Stimulus dan Monetary
Easing in Indonesian Economy during Global Financial Crisis: Financial Computable General
Equilibrium Approach∆, Presented at Call for Papers - EcoMod2010, Istanbul, July 7-10,
2010.
Yehoue, Etienne B et all, (2009), ≈ Unconventional Central Bank Measures for Emerging
Economies∆. IMF Working Paper No. 09/226
Yudo, Teguhet all, (2009), ≈The Impact Of The Global Financial Crisis On Indonesia»s Economy∆.
Centre for Strategic dan International Studies (CSIS)
Bank Indonesia (2008) Economic Report On Indonesia. Bank Indonesia Annual Publication
Bank Indonesia (2009) Economic Report On Indonesia. Bank Indonesia Annual Publication
224 Buletin Ekonomi, Moneter dan Perbankan, Oktober 2011
APPENDIX
Tabel A. 1 Indikator Kunci: Mengukur Kerentanan Ekonomi
Terhadap Guncangan Resesi Eksternal √ 1997/98 dan 2008/09
Indikator
1996
1997
US $ Miliar % dari PDB US $ Miliar % dari PDB
227.37
432.04
-
22%
118.01
27%
17.82
8%
54.74
13%
44.24
19%
85.26
20%
Rata-rata impor bulanan
3.69
-
7.10
-
Impor Bulanan Yang Terpenuhi
4.83
-
7.70
-
PDB (nominal)
Ekspor Barang dan Jasa
50.19
Cadangan Devisa
Impor Barang dan Jasa
Saldo Rekening Koran
Total Hutang Pemerintah
Hutang Luar Negeri
Komposisi kewajiban Eksternal
Ω
-7.80
Ω
-3%
Ω
110.17
Ω
48%
10.49
2.4%
147.51
34.1%
141.18
Ω
Ω
32.7%
Ω
Jangka Pendek
22.03
9.7%
27.49
6.4%
Jangka Panjang
88.14
38.8%
113.69
26.3%
Debt Service Payment (asing)
2.82
1.24%
2.8
0.7%
Keseimbangan Primer
4.55
2.00%
3.3
0.8%
Defisit Fiskal
1.73
0.76%
-5.5
-1.3%
Indikator
Rasio Pinjaman terhadap Deposito Bank
1996
109,26
1997
69,22
4,64
Kredit macet %
Rasio Kecukupan Modal Bank
11,82
19,30
ICRG
70,00
70,50
Indeks harga Saham
637,43
2.745,83
Pertumbuhan PDB (yoy)
7,8%
6,3%
5,12%
5,60%
149.293
10.852
S & P Rating
Inflasi
Output Gap*
BB -
Catatan : * dihitung menggunakan metode HP Filter yang menggunakan data tahunan PDB riil dalam miliar rupiah
Sumber : IFS, CEIC, Bank Indonesia dan estimasi staf
Relative Effectiveness of Indonesian Policy Choices during Financial Crisis
225
Table A. 2 Persamaan dan Perbedaan antara Krisis 1997/1998
dan Krisis Global 2008 di Indonesia
Persamaan
Keduanya merupakan konsekuensi dari
krisis ekonomi global, karena saling
ketergantungan ekonomi dan keuangan
antara negara-negara;
Dampak krisis menyebabkan turunnya nilai
rupiah terhadap mata uang asing;
Dampak krisis akan mempengaruhi sektor
ekonomi yang mengakibatkan kerugian
bagi masyarakat
Perbedaan
krisis 1998 adalah krisis multi dimensi
antara ekonomi, politik, sosial, ideologi,
pertahanan dan keamanan, sementara itu
krisis global cenderung disebabkan oleh
krisis keuangan dan ekonomi;
krisis 1998 dimulai dari krisis mata uang
Bath-Thail dan sedangkan krisis global
dimulai dari akibat dari Sub-Prime Mortgage di AmerikaSerikat;
1998 Krisis ekonomi menyebabkan aksi
anarkis masyarakat sedangkan krisis global
tidak;
krisis 1998 menyebabkan penuntutan
perubahan kepemimpinan negara,
sedangkan krisis global tidak;
Fokus kebijakan moneter pada tahun 1998
krisis adalah pengetatan, sementara dalam
krisis global adalah pengenduran.
226 Buletin Ekonomi, Moneter dan Perbankan, Oktober 2011
Table A. 3
Kebijakan Moneter ysng Diambil Selama Krisis Keuangan 2008 - 2009
Kebijakan Moneter Konvensional
Kebijakan
Hasil
Tingkat suku bunga kebijakan meningkat hingga
9.25 % pada September 2008
BI Rate meningkat menjadi9,5% (Oktober dan
November2008),menurun menjadi 9,25%
(Desember2008) dan kemudian menurun secara
bertahap menjadi 6,75% pada bulan Juli 2009
Menurunkan Reserve Requirement untuk mata
uang Rupiah dari 9,1% menjadi 7,5% yang terdiri
dari 5% cadangan primer (cadangan kas) dan 2,5%
(23Oktober 2008) cadangan sekunder
Menurunkan Reserve Requirement untuk mata
uang asing dari 3% menjadi 1% (23 Oktober 2008)
Untuk mencegah tekanan inflasi seperti efek
putaran kedua dari kenaikan harga BBM dan
makanan serta harga dibarang-barang lain.
Untuk mempertahankan momentum bisnis di
tengah pelambatan ekonomi global sambil
menjaga stabilitas makroekonomi
Untuk menyediakan lebih banyak likuiditas rupiah
di sistem perbankan
Untuk meningkatkan ketersediaan likuiditas USD
untuk digunakan oleh bank-bank dalam transaksi
mereka dengan pelanggan.
Kebijakan Moneter Tidak Konvensional
Kebijakan
Mempersempit koridor suku bunga untuk Staanding
Deposit Facilities (Fasbi) untuk BI Rate-200bps (dari BI
Rate-300bps dan mempertahankan Fasilitas Pinjaman
(Repo) pada BI Rate+300bps (4 September 2008)
Mempersempit koridor suku bunga untuk Standing
Deposit Facilities (Fasbi) untuk BI Rate - 100 bps dan
Fasilitas Pinjaman (Repo) untuk BI Rate + 100 bps (16
September 2008)
Memperpanjang periode waktu untuk operasi Fine
Tuning dari 14 hari sampai 3 bulan (23 September 2008)
Perubahan Peraturan mengenai Fasilitas Likuiditas bagi
Bank Umum (18 November 2008).
Fasilitas Open Standing (repo) tenor 2-14 hari (9
Desember 2008)
Peraturan tentang Fasilitas Likuiditas Bank Perkreditan
Rakyat (BPR) (10 Desember 2008)
Mempersempit koridor suku bunga untuk Standing
Deposit Facilities (Fasbi) untuk BI Rate - 50 bps dan
Fasilitas Pinjaman (Repo) untuk BI Rate + 50 bps (4
Desember 2008)
Open Window repo 1 bulan (FTE) (17 April 2009)
Hasil
• Untuk mengurangi volatilitas yang berlebihan di pasar
uang antar bank.
Untuk mengurangi tekanan berlebihan dipasar Uang
antar Bank dan menjaga kecukupan likuiditas di
Industri Perbankan dengan baik.
Untuk menyediakan fleksibilitas yang lebih luas bagi
manajemen likuiditas dipasar uang antar bank
Untuk memperlancar pengoperasian sistem
pembayaran yang didukung oleh agunan bernilai
tinggi dan likuid
Untuk memberikan akses lebih luas kepada
bankdengan menawarkan pendanaan dengan
horison waktu lebih lama dibandingkan fasilitas
pendanaan harian (inter day)
Untuk memungkinkan agar bank yang menderita
kesulitan likuiditas untuk solven dan menghindari
dampak sistemik
Untuk memfasilitasi kebutuhan likuiditas jangka
panjang bank
Untuk memberikan kesempatan yang sama bagi bank
pedesaan untuk memanfaatkan fasilitas pendanaan
jika terjadi kekurangan likuiditas jangka pendek
Untuk mengatasi masalah segmentasi di pasar uang
antar bank
Untuk memfasilitasi kebutuhan likuiditas jangka
panjang bank
Relative Effectiveness of Indonesian Policy Choices during Financial Crisis
227
Table A. 4
Kebijakan Yang Diambil Untuk Isu Kepercayaan dan Lonjakan Harga Aset
Kebijakan Bersama
Hasil
Melaksanakan pembelian kembali Obligasi
Pemerintah dan mempersiapkan Program
pembelian kembali saham perusahaan milik
negara
Untuk mengurangi persepsi risiko yang tinggi
diportofolio keuangan Indonesia yang dapat
mendistorsi mekanisme transmisi kebijakan
moneter, Menteri Keuangan telah membeli kembali
Obligasi senilai IDR41 miliar (US $ 3.890.000)
Pemerintah menggunakan dana pemerintah di
rekening bank sentral.
Memperbolehkan penggunaan alternatif teknik
evaluasi surat berharga seperti arus kas terdiskonto
disamping marked to market value (siaran pers
bersama -Bank Indonesia, Bapepam - LK dan
Ikatan Akuntan).
Memperbolehkan bank komersial untuk menukar
portofolio obligasi dari kategori tersedia dan
diperdagangkan ke kategori held to maturity.
Untuk memberikan kepercayaan pasar untuk obligasi
pemerintah terutama ketika tidak ada harga pasar
yang tersedia.
Untuk meminimalkan dampak guncangan Keuangan
Indonesia dengan memberikan kesempatan kepada
bank komersial untuk mengatur kategori portofolio.
Mempertahankan tingkat cadangan devisa yang
cukup.
Untuk mendukung rupiah dan lebih berfokus pada
pencegahan gerakan rupiah yang terlalu besar.
Menempatkan beberapa pembatasan short selling
di pasar modal. Pembatasan pembelian mata uang
asing tanpa mendasari transaksi hingga US $
100,000 untuk mencegah terjadinya spekulasi
Untuk mengurangi persepsi risiko yang tinggi
Melarang perdagangan pada produk bank
terstruktur / produk derivatif yang memberikan
kesempatan bagi nasabah bank untuk membeli
mata uang asing termasuk deposito mata uang
dana yang dapat ditarik kembali.
Untuk mengurangi spekulasi dan volatilitas nilai tukar
yang diharapkan.
228 Buletin Ekonomi, Moneter dan Perbankan, Oktober 2011
Table A. 5
Kebijakan Devisa
Kebijakan Bersama
Hasil
Menghapus batas harian posisi saldo pinjaman luar
negeri jangka pendek (13 Oktober 2008)
Untuk mengurangi tekanan pembelian USD di
karenakan transfer rekening rupiah ke rekening
mata uang asing oleh nasabah asing.
Penyediaan Valuta Asing untuk Korporasi Domestik
melalui Bank (15 Oktober 2008)
Untuk meningkatkan jaminan dalam memenuhi
permintaan mata uang asing oleh perusahaanperusahaan dalam negeri
Perpanjangan tenor FX Swap dari maksimal 7 hari
menjadi maksimal 1 bulan (15Oktober 2008)
Untuk memenuhi permintaan sementara mata
uang USD dan dalam rangka memberikan waktu
penyesuaian yang lebih panjang bagi bank/pelaku
pasar sebelum benar-benar menyesuaikan
komposisi portofolio mereka
Peraturan yang mengatur pembelian Valuta Asing
oleh Bank (13 November 2008).
Untuk mendukung keseimbangan kondisi pasokan
dan permintaan valuta asing di pasar domestik
Untuk mengakomodir tekanan yang berlebihan
pada nilai tukar rupiah
Untuk mengurangi pembelia nmata uang asing
untuktujuan spekulatif
Untuk mendukung tindakan kehati-hatian bank
melalui Prinsip Mengenal Nasabah (KYC).
Perubahan atas Peraturan Bank Indonesia tentang
Transaksi Derivatif (larangan transaksi structured
product) (16 Desember 2008)
Untuk meminimalkan transaksi spekulatif valuta
asing
Koordinasi dengan Bank Sentral lainnya, seperti:
- Penandatanganan Kesepakatan Swap Mata
Uang (BCSA) antara Bank Indonesia dan Bank
Rakyat China (23 Maret 2009)
- Penandatanganan perjanjian untuk peningkatan
jumlah Bilateral Swap Arrangements maksimum
antara Jepang dan Indonesia dalam Chiang Mai
Initiative (6 April 2009)
Untuk meningkatkan perdagangan dan investasi
langsung antar kedua negara
Untuk membantu menyediakan likuiditas jangka
pendek untuk stabilisasi pasar keuangan dan
membantu Indonesia mengatasi ketatnya likuiditas
internasional
PETUNJUK PENULISAN
1. Naskah harus merupakan karya asli penulis (perorangan, kelompok atau institusi) yang tidak
melanggar hak cipta. Naskah yang dikirimkan, belum pernah diterbitkan dan tidak sedang
dikirimkan ke penerbit lain pada waktu yang bersamaan. Hak cipta atas naskah yang diterima,
TETAP menjadi hak penulis.
2. Setiap naskah yang disetujui untuk diterbitkan, akan mendapatkan kompensasi finansial
sebesar Rp 2.500.000,-.
3. Naskah dapat dikirimkan dalam bentuk softcopy (file). Sangat disarankan untuk mengirimkan
softcopy anda ke:
[email protected] (Cc. to: [email protected].)
Jika tidak memungkinkan, file tersebut dapat disimpan dalam disket atau CD dan dikirimkan
melalui pos ke alamat redaksi berikut:
BULETIN EKONOMI MONETER DAN PERBANKAN
Direktorat Riset Ekonomi dan Kebijakan Moneter, Bank Indonesia
Gedung B, Lt. 20, JI. M. H. Thamrin No.2
Jakarta Pusat, INDONESIA Telpon: 62-21-3818202, Fax: 62-21-3800394
4. Naskah dibatasi.+ 25 halaman berukuran A4, spasi satu (1), font Times New Roman dengan
ukuran font 12.
5. Persamaan matematis dan simbol harap ditulis dengan mempergunakan Microsoft Equation.
6. Setiap naskah harus disertai abstraksi, maksimal satu (1) halaman ukuran A4. Untuk naskah
yang ditulis dalam bahasa Indonesia, abstraksi-nya ditulis dalam Bahasa Inggris, dan
sebaliknya.
7. Naskah harus disertai dengan kata kunci (Keyword) dan dua digit nomor Klasifikasi Journal
of Economic Literature (JEL). Lihat klasifikasi JEL pada, http:// www.aeaweb.org/journal/
jel_class_system.html.
8. Naskah ditulis dengan penyusunan BAB secara konsisten sebagai berikut,
230 Buletin Ekonomi, Moneter dan Perbankan, Oktober 2011
I. JUDUL BAB
I.1. Sub Bab
I.1.1. Sub Sub Bab
9. Rujukan dibuat dalam footnote (catatan kaki) dan bukan endnote.
10.Sistem referensi dibuat mengikuti aturan berikut,
a. Publikasi buku:
John E. Hanke dan Arthur G. Reitsch
Reitsch, (1940), Business Forecasting, PrenticeHall, New
Jersey.
b. Artikel dalam jurnal:
Rangazas, Peter. ≈Schooling and Economic Growth: A King-Rebelo Experiment with
Human Capital∆, Journal of Monetary Economics, Oktober 2000,46(2), hal. 397-416.
c. Artikel dalam buku yang diedit orang lain: Frankel, Jeffrey A. dan Rose, Andrew K.
≈Empirical Research on Nominal Exchange Rates∆, dalam Gene Grossman dan Kenneth
Rogoff, eds., Handbook of International Economics. Amsterdam: North-Holland, 1995,
hal. 397-416.
d. Kertas kerja (working papers):
Kremer, Michael dan Chen, Daniel
Daniel. ≈Income Distribution Dynamics with Endogenous
Fertility∆. National Bureau of Economic Research (Cambridge, MA) Working Paper
No.7530, 2000.
John. ≈Can Parental Decision Explain
e. Mimeo dan karya tak dipublikasikan: Knowles, John
U.S. Income Inequality?∆, Mimeo, University of Pennsylvania, 1999.
f. Artikel dari situs WEB dan bentuk elektronik lainnya: Summers, Robert dan Heston
Heston, Alan
W. ≈Penn World Table, Version 5.6∆ http:// pwtecon.unpenn.edu/, 1997.
g. Artikel di koran, majalah dan periodicals sejenis: Begley, Sharon. ≈Killed by Kindness∆,
Newsweek, April 12, 1993, hal. 50-56.
11.Naskah harus disertai dengan biodata penulis, lengkap dengan alamat, telepon, rekening
Bank dan e-mail yang dapat dihubungi. Disarankan untuk menulis biodata dalam bentuk
CV (curriculum vitae) lengkap.
Download