BAB III ASAS KONSENSUALITAS DALAM AKAD JUAL BELI PASAL 1458 KUH PERDATA A. Ketentuan Umum tentang Perikatan Hukum Perikatan diatur dalam Buku III KUH Perdata yang memuat azas-azas umum dalam empat bab (titel) dan ketentuan-ketentuan khusus dalam limabelas bab.1 Buku III KUH Perdata berjudul "van verbintenissen". Istilah verbintenis dalam KUH Perdata merupakan salinan istilah obligation dalam Code Civil Perancis, istilah mana diambil dari hukum Romawi yang terkenal dengan istilah obligation.2 Istilah verbintenis dalam KUH Perdata ternyata diterjemahkan berbeda-beda dalam kepustakaan hukum Indonesia. Ada yang menterjemahkan dengan perutangan,3 ada yang menterjemahkan dengan perjanjian,4 dan ada pula yang menterjemahkan dengan perikatan.5 Penggunaan istilah perikatan untuk verbintenis nampaknya lebih umum dipergunakan dalam kepustakaan hukum Indonesia. 1 2 10. RM.Suryodiningrat, Azas-Azas Hukum Perikatan, Bandung: Tarsito, 1985 hlm. 11 R. Soetojo Prawirohamidjojo, Hukum Perikatan, Surabaya: Bina Ilmu, 1979, hlm. 3 Ny. Sri Soedewi M. Sofwan, Hukum Perutangan, terjemahan Verbintenissenrecht bagian dari Inleiding Nederlands Burgerlijk Rccht oleh Mr. Dr. HFA Vollmar, Yogyakarta: Seksi Hukum Perdata Fak. Hukum UGM, 1975, hlm 37 dan lihat buku E. Utrecht, Pengantar Dalam Hukum Indonesia, Jakarta: Ikhtiar, cet. IV, 1957, hlm. 252. 4 Achmad Ichsan , Hukum Perdata IB, Pembimbing Masa, Jakarta, 1969, hlm. 7 dan 14. 5 Subekti dan R. Tjiptasudibio, Kitab Unidang-undang Hukum Perdata terjemahan Burgerlijk Wetboek. Mariam Danu Badrul-zaman, Buku III Hukum Perikatan Dengan Penjelasan, Alumni, Bandung, 1983. 33 34 Menurut ketentuan pasal 1233 UW perikatan bersumber dari perjanjian dan undang-undang. Perikatan yang bersumber dari perjanjian diatur dalam titel II (pasal 1313 s/d 1351) dan titel V s/d XVIII (pasal 1457 s/d 1864) Buku III BW. Scdangkan perikatan yang bersumber dari undangundang diatur dalam titel III (pasal 1352 s/d 1380) Buku III BW. Perikatan yang bersumber dari undang-undang menurut pasal 1352 BW dibedakan atas perikatan yang lahir dari undang-undang saja (uit de wet allen) dan perikatan yang lahir dari undang-undang karena perbuatan manusia (uit de wet door's mensen toedoen). Kemudian perikatan yang lahir dari undang-undang karena perbuatan manusia menurut pasal 1353 BW dibedakan lagi atas perbuatan yang sesuai dengan hukum (rechtmatige) dan perbuatan yang melawan hukum (onrechtmatige). Sumber-sumber perikatan dan pembeda-bedaannya tersebut dapat dischemakan sebagai berikut ini. Perikatan 1233 BW Bersumber dari 1. Perjanjian 1313 BW 2. Undang-undang 1352 BW terbagi dua a. Undang-undang saja b. Undang-undang karena perbuatan manusia 1353 BW terbagi dua: - Perbuatan yang sesuai dengan hukum (rechtmatige) 1354 (zaakwaarneming) dan 1359 (onverschuldigde betaling) 35 - Perbuatan yang melawan hukum (onrechtmatige) (pasal 1365 s/d 1380) Diephuis, Asser dan Suyling sebagaimana dikutip R. Soetojo Prawirohamidjojo dalam Hukum Perikatan mengatakan bahwa antara perikatan yang bersumber pada perjanjian dan perikatan yang bersumber pada undang-undang pada hakikatnya tidak ada perbedaan, sebab semua perikatan meskipun bersumber pada perjanjian pada hakikatnya baru mempunyai kekuatan sebagai perikatan karena diakui oleh undang-undang dan karena mendapat sanksi dari undang- undang.6 Meskipun demikian menurut penulis-penulis yang lebih muda seperti Van Brakel, Losecaat - Vermeer dan Hofmann - Opstaal, kedua macam perikatan itu tetap ada perbedaannya. Pada perikatan yang bersumber dari undang-undang, perikatan itu diciptakan secara langsung karena suatu keadaan tertentu perbuatan atau kejadian dan memikulkan suatu kewajiban dengan tidak menghiraukan kehendak orang yang harus memenuhinya. Sedangkan pada perikatan yang bersumber dari perjanjian, meskipun mendapat sanksi dari undang-undang, tetapi keharusan untuk memenuhi kewajiban barulah tercipta setelah yang bersangkutan yang harus memenuhinya memberikan persetujuannya atau menghendakinya.7 Vollmar, Pitio, H. Drion dan Meyers dalam ajaran umumnya menyatakan bahwa tidak ada pertentangan (tegenstelling) yang hakiki antara perikatan yang bersumber dari perjanjian dan perikatan yang bersumber dari 6 7 R. Soetojo Prawirohainidjojo, op. cit, hlm. 20 Ibid. 36 undang-undang. Sebab pada akhirnya selalu undang-undang yang memberi sanksinya meskipun yang menjadi sumbernya perjanjian. Namun demikian tidak perlu ada keberatan terhadap pembagian yang diadakan pasal 1233 BW itu.8 Para ahli hukum perdata pada umumnya sependapat bahwa sumber perikatan sebagaimana disebut pasal 1233 BW yaitu perjanjian dan undangundang adalah kurang lengkap. Sumber perikatan yang lain adalah Ilmu Pengetahuan Hukum Perdata, hukum tidak tertulis dan keputusan hakim (yurisprudensi).9 Namun sumber perikatan yang terpenting adalah perjanjian, sebab dengan melalui perjanjian pihak-pihak mempunyai kebebasan untuk membuat segala macam perikatan, baik perikatan yang bernama yang tercantum dalam titel V s/d XVIII Buku III BW maupun perikatan, yang tidak bernama. Hal ini sesuai dengan asas kebebasan berkontrak (contract vrijheid) sebagai salah satu asas yang menjadi dasar lembaga-lembaga hukum yang disebutkan pada titel V s/d XVI II sebagai perjanjian bernama, pun menjadi dasar lembaga-lembaga hukum yang tidak disebutkan di dalam titel-titel itu sebagai perjanjian yang tidak bernama. Asas kebebasan berkontrak adalah suatu asas yang menyatakan bahwa setiap orang pada dasarnya boleh membuat kontrak (perjanjian) yang berisi 8 9 Ibid, hlm 22. Mariam Darus Badrulzaman op. cit, hlm. 10. 37 dan macam apapun asal tidak bertentangan dengan undang-undang, kesusilaan dan ketertiban umum.10 Asas kebebasan berkontrak itu dituangkan oleh pembentuk undangundang dalam pasal 1338 ayat (1) BW. Dalam hukum perdata asas kebebasan berkontrak yang dianut Buku III BW ini merupakan sistim (materiil) terbuka sebagai lawan sistem (materiil) tertutup yang dianut Buku II BW (Hukum Benda).11 Bahwa dengan kebebasan membuat perjanjian tersebut berarti orang dapat menciptakan hak-hak perseorangan yang tidak diatur dalam Buku III BW akan tetapi diatur sendiri dalam pcrjanjian, sebab perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya (pasal 1338 ayat (1) BW). Namun kebebasan berkontrak bukan berarti boleh membuat kontrak (perjanjian) secara-bebas, tetapi kontrak (perjanjian) harus tetap dibuat dengan mengindahkan syarat-syarat untuk sahnya perjanjian, baik syarat umum sebagaimana disebut pasal 1320 BW maupun syarat khusus untuk perjanjian-perjanjian tertentu. Dengan adanya kebebasan berkontrak maka kedudukan rangkaian pasal-pasal Buku III BW khususnya pasal-pasal pada titel V s/d XVIII banyak yang hanya bersifat sebagai hukum pelengkap (nanvallend recht) saja. Artinya pasal-pasal tersebut boleh dikesampingkan sekiranya para pihak pembuat perjanjian menghendakinya, dan para pihak pembuat perjanjian diperbolehkan menciptakan ketentuan sendiri untuk mengatur kepentingan mereka sesuai 10 11 Subekti, Hukum Perjanjian, Jakarta: Intermasa, cet. VI, 1979, hlm. 13 Ibid. 38 dengan apa yang mereka kehendaki. Pasal-pasal tersebut baru mengikat terhadap mereka, jika mereka tidak mengatur sendiri kepentingannya atau mengaturnya dalam perjanjian tetapi tidak lengkap, maka soal-soal yang tidak diatur tersendiri itu diberlakukan pasal-pasal hukum perikatan. Selanjutnya dengan adanya asas kebebasan berkontrak itu maka perjanjian-perjanjian khusus yang disebut pada titel V s/d XVIII yang dikenal dengan sebutan perjanjian-perjanjian bernama itu hanyalah sebagai contoh belaka. Karenanya orang boleh membuat perjanjian yang lain daripada contoh tersebut atau membuatnya secara sama dengan salah satu daripadanya sesuai dengan kebutuhan untuk apa perjanjian termaksud dibuat. Definisi perikatan tidak ada dirumuskan dalam undang-undang, tapi dirumuskan sedemikian rupa dalam ilmu pengetahuan hukum. Perikatan adalah hubungan hukum antara dua pihak di dalam lapangan harta kekayaan, dimana pihak yang satu (kreditur) berhak atas prestasi dan pihak yang lain (debitur) berkewajiban memenuhi prestasi itu. Berdasarkan pengertian perikatan di atas ini maka dalam satu perikatan terdapat hak di satu pihak dan kewajiban di pihak lain. Jadi dalam perjanjian timbal-balik dimana hak dan kewajiban di satu pihak saling berhadapan di pihak lain terdapat dua perikatan. Hak dan kewajiban tersebut merupakan akibat hubungan hukum yaitu hubungan yang diatur oleh hukum. Hubungan antara dua orang, misalnya janji untuk bersama-sama pergi ke kampus, meskipun menurut moral atau kesopanan menimbulkan hak dan kewajiban, 39 namun bukanlah perikatan dalam pengertian hukum, sebab hak dan kewajiban tersebut bukan lahir dari hubungan hukum. Namun tidak berarti semua hubungan yang diatur oleh hukum dianggap sebagai perikatan dalam pengertian hukum. Untuk menentukan apakah suatu hubungan hukum merupakan perikatan dalam pengertian hukum atau tidak, pada mulanya para sarjana mempergunakan ukuran "dapat tidaknya dinilai dengan uang". Bilamana suatu hubungan hukum, hak dan kewajiban yang ditimbulkannya dapat dinilai dengan uang, maka hubungan hukum tersebut adalah perikatan.12 Akan tetapi ukuran tersebut lama kelamaan tidak dapat dipertahankan lagi, karena dalam kehidupan masyarakat yang senantiasa berkembang dan berubah, ternyata seringkali terjadi hubungan hukum yang tidak dapat dinilai dengan uang. Misalnya tercemarnya nama baik atau cacat tubuh seseorang karena perbuatan melawan hukum (onrechtmatige daad) orang lain. Sekiranya terhadap hubungan-hubungan hukum yang demikian ini tidak diberi akibat hukum, maka akan dirasakan ketidak-adilan, yang justru bertentangan dengan apa yang menjadi tujuan hukum yaitu ingin mencapai keadilan. Kenyataan inilah yang menyebabkan ukuran "dapat dinilai dengan uang" tidak lagi dipertahankan untuk menyatakan hubungan hukum sebagai perikatan. Namun hal ini tidak berarti bahwa ukuran dapat dinilai dengan uang tidak digunakan, karena hubungan hukum yang dapat dinilai dengan uang 12 R. Soetojo Prawirohainidjojo, op. cit.hlm. 11; Mariam Darus Badruzaman, KUH Perdata Buku III Hukum Perikatan Dengan Penjelasan, Bandung: Alumni, 1983, hlm. 3 40 selalu merupakan perikatan. Akan tetapi hubungan hukum yang tidak dapat dinilai dengan uang tidak dapat dengan pasti dikatakan bukan perikatan. Sebab sekalipun hubungan hukum tersebut tidak dapat dinilai dengan uang, akan tetapi kalau "rasa keadilan masyarakat" menghendaki agar hubungan hukum itu diberi akibat hukum, maka hubungan hukum itupun dapat dikatakan sebagai perikatan yang menimbulkan hak dan kewajiban yang pemenuhannya dapat dipaksakan.13 Bahwa hubungan hukum yang menimbulkan hak dan kewajiban dalam perikatan tersebut adalah antara dua pihak. Pihak yang berhak atas prestasi (pihak yang aktif) adalah kreditur atau orang yang berpiutang. Sedangkan pihak yang berkewajiban memenuhi prestasi (pihak yang pasif) adalah debitur atau orang yang berhutang. Kreditur dan debitur inilah yang disebut subyek perikatan. Dalam hukum perdata" ditentukan bahwa pihak debitur orangnya harus selalu diketahui identitasnya oleh kreditur, karena kreditur tentu tidak dapat menagih pemenuhan prestasi kepada debitur yang tidak dikenal. Sedangkan pihak kreditur orangnya tidak harus diketahui identitasnya oleh debitur. Sehingga oleh karenanya penggantian kreditur dapat terjadi secara sepihak, sedangkan penggantian debitur hanya dapat terjadi dengan sepengetahuan dan persetujuan kreditur. Kalau tidak dengan cara demikian ini bisa saja nanti 13 Ibid. 41 debiturnya justru tidak mampu untuk melaksanakan kewajibannya sehingga menimbulkan kerugian terhadap kreditur.14 Obyek perikatan yang merupakan hak kreditur dan kewajiban debitur biasanya dinamakan "prestasi". Menurut pasal 1234 KUH Perdata prestasi ini dapat berupa "memberi sesuatu", "berbuat sesuatu" dan "tidak berbuat sesuatu". Apa yang dimaksud dengan "sesuatu" di sini tergantung daripada maksud atau tujuan daripada para pihak yang mengadakan hubungan hukum, apa yang akan diberikan, yang harus diperbuat dan tidak boleh diperbuat. Perkataan "sesuatu" tersebut bisa dalam bentuk materiil (berwujud) dan bisa dalam bentuk immateriil (tidak berwujud). Perikatan untuk "memberi sesuatu" diatur dalam Buku III titel II bagian kedua. Sedangkan perikatan untuk "berbuat sesuatu" dan "tidak berbuat sesuatu" diatur dalam Buku III titel I bagian ketiga. Prestasi dari suatu perikatan harus memenuhi syarat- syarat sebagai berikut di bawah ini: a. Harus diperkenankan, artinya tidak boleh bertentangan dengan undangundang, ketertiban umum dan kesusilaan (pasal 1335 dan 1337 KUH Perdata). b. Harus tertentu atau dapat ditentukan, artinya harus terang dan jelas (pasal 1320 ayat (3) dan 1333 KUH Perdata). c. Harus mungkin dilakukan, artinya mungkin dilaksanakan menurut kemampuan manusia. Jika prestasinya secara obyektif tidak mungkin dilaksanakan maka tidak akan timbul perikatan. Sedangkan jika 14 Riduan Syahrani, Seluk Beluk dan Asas-Asas Hukum Perdata, Bandung: alumni 1992, hlm. 205 42 prestasinya secara subyektif tidak mungkin dilaksanakan maka tidaklah demikian. Perbedaan akibat yang terjadi karena ketidakmungkinan obyektif dan subyektif teriletak pada dasar pemikiran bahwa ketidakmungkinan obyektif dapat diketahui oleh semua orang, sehingga kreditur tidak dapat mengharapkan prestasi itu. Sedangkan ketidak-mungkinan subyektif tidak diketahui oleh semua orang, sehingga debitur yang dengan janjinya menimbulkan kepercayaan bahwa ia mampu melaksanakan prestasi, harus bertanggung jawab dan bilamana kemudian ternyata wanprestasi maka ia harus membayar ganti kerugian yang terjadi.15 B. Jual Beli Menurut KUH Perdata Jual beli adalah suatu perjanjian di mana pihak pihak yang satu menyanggupi akan menyerahkan hak milik atas sesuatu barang, sedang pihak lainnya menyanggupi akan membayar sejumlah uang sebagai harganya.16 Perkataan jual-beli menunjukkan bahwa dari satu pihak perbuatan dinamakan menjual, sedangkan dari pihak yang lain dinamakan membeli. Istilah yang mencakup dua perbuatan yang bertimbal-balik itu adalah sesuai dengan istilah Belanda "koop en verkoop" yang juga mengandung pengertian bahwa pihak yang satu "verkoopt" (menjual) sedang yang lainnya "koopt" (membeli). Dalam bahasa Inggeris jual-beli disebut dengan hanya "sale" saja yang berarti "penjualan" (hanya dilihat dari sudutnya si penjual), begitu pula 15 R. Setiawan SH, Pokok-pokok Hukum Perikatan, Bandung: Alumni, 1977, hlm. 5. Subekti, Pokok-Pokok Hukum Perdata, Jakarta. PT.Intermasa, 1987, hlm. 161 16 43 dalam bahasa Perancis disebut hanya dengan "vente" yang juga berarti "penjualan", sedangkan dalam bahasa Jerman dipakainya perkataan "Kauf" yang berarti "pembelian". Barang yang menjadi obyek perjanjian jual-beli harus cukup tertentu, setidak-tidaknya dapat ditentukan ujud dan jumlahnya pada saat ia akan diserahkan hak miliknya kepada si pembeli. Dengan demikian adalah sah menurut hukum misalnya jual-beli mengenai panenan yang akan diperoleh pada suatu waktu dari sebidang tanah tertentu.17 Jual-beli yang dilakukan dengan percobaan atau mengenai barangbarang yang biasanya dicoba terlebih dahulu, selalu dianggap telah dibuat dengan suatu syarat-tangguh (pasal 1463 B.W.). Dengan demikian maka jualbeli mengenai sebuah lemari es, meskipun barang dan harga sudah disetujui, baru jadi kalau barangnya sudah dicoba dan memuaskan. Begitu pula halnya dengan jual-beli sebuah pesawat radio atau televisi. C. Asas Konsensualitas dalam KUH Perdata Unsur-unsur pokok ("essentialia") perjanjian jual-beli adalah barang dan harga. Sesuai dengan azas "konsensualitas" yang menjiwai hukum perjanjian B.W., perjanjian jual-beli itu sudah dilahirkan pada detik tercapainya "sepakat" mengenai barang dan harga. Begitu kedua pihak sudah setuju tentang barang dan harga, maka lahirlah perjanjian jual-beli yang sah. 17 Subekti, Aneka Perjanjian, Bandung: Alumni, 1981, hlm. 14 44 Sifat konsensuil dari jual beli tersebut ditegaskan dalam pasal 1458 yang berbunyi: "Jual-beli dianggap sudah terjadi antara kedua belah pihak seketika setelah mereka mencapai sepakat tentang barang dan harga, meskipun barang itu belum diserahkan maupun harganya belum dibayar". Apakah yang dinamakan "konsensualitas" itu ? Konsensualitas berasal dari perkataan "konsensus" yang berarti kesepakatan. Dengan kesepakatan dimaksudkan bahwa diantara pihak-pihak yang bersangkutan tercapai suatu persesuaian kehendak, artinya: apa yang dikehendaki oleh yang satu adalah pula yang dikehendaki oleh yang lain. Kedua kehendak itu bertemu dalam "sepakat" tersebut. Tercapainya sepakat ini dinyatakan oleh kedua belah pihak dengan mengucapkan perkataan-perkataan, misalnya:"setuju", "accoord", "oke" dan lain-lain sebagainya ataupun dengan bersama-sama menaruh tandatangan di bawah pernyataan-pernyataan tertulis sebagai tanda (bukti) bahwa kedua belah pihak telah menyetujui segala apa yang tertera diatas tulisan itu. Bahwa apa yang dikehendaki oleh yang satu itu adalah juga yang dikehendaki oleh yang lain atau bahwa kehendak mereka adalah "sama", sebenarnya tidak tepat. Yang betul adalah bahwa yang mereka kehendaki adalah "sama dalam kebalikannya".18 Hal ini dapat dicontohkan, yang satu ingin melepaskan hak miliknya atas suatu barang asal diberi sejumlah uang tertentu sebagai gantinya, sedang yang lain ingin memperoleh hak inilik atas barang tersebut dan bersedia memberikan sejumlah uang yang disebutkan itu sebagai gantinya kepada si 18 Ibid, hlm. 15 45 peinilik barang. Sebagaimana diketahui, hukum perjanjian dari B.W. menganut azas konsensualitas. Artinya ialah: hukum perjanjian dari B.W. itu menganut suatu azas bahwa untuk melahirkan perjanjian dengan sepakat saja dan bahwa perjanjian itu (dan dengan demikian "perikatan" yang ditimbulkan karenanya) sudah dilahirkan. ada saat atau detik tercapainya konsensus sebagaimana dimaksudkan di atas. Dari mana dapat kita ketahui atau kita simpulkan bahwa Hukum perjanjian KUH Perdata, menganut azas konsensualitas itu? Menurut pendapat Subekti, azas tersebut harus kita simpulkan dari pasal 1320, yaitu pasal yang mengatur tentang syarat-syarat sahnya suatu perjanjian dan tidak dari pasal 1338 (1) seperti diajarkan oleh beberapa penulis. Bukankah oleh pasal 1338 (1) yang berbunyi: "Semua perjanjjaan yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya" itu dimaksudkan untuk menyatakan tentang kekuatan perjanjian, yaitu kekuatan yang sama dengan suatu undang-undang. Kekuatan seperti itu diberikan kepada "semua perjanjian yang dibuat secara sah".19 Apakah yang dinamakan "perjanjian yang (dibuat secara) sah" itu ? Jawabannya diberikan oleh pasal 1320 yang menyebutkan satu persatu syaratsyarat untuk perjanjian yang sah itu. Syarat-syarat itu adalah: 1. sepakat, 2. kecakapan, 3. hal tertentu dan 4. causa (sebab, isi) yang halal. Dengan hanya disebutkannya "sepakat" saja tanpa dituntutnya sesuatu bentuk-cara (formalitas) apapun, sepertinya tulisan, pemberian tanda atau panjer dan lain 19 Ibid 46 sebagainya, dapat kita simpulkan bahwa bilamana sudah tercapai sepakat itu, maka sahlah sudah perjanjian itu atau mengikatlah perjanjian itu atau berlakulah ia sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya.20 Adanya yang dinamakan perjanjian-perjanjian "formil" atau pula yang dinamakan perjanjian-perjanjian "riil" itu merupakan kekecualian. Perjanjian forinil adalah misalnya perjanjian perdamaian" yang menurut pasal 1851 (2) KUH Perdata. harus diadakan secara tertulis (kalau tidak maka ia tidak sah), sedangkan perjanjian riil adalah misalnya perjanjian "pinjam-pakai" yang menurut pasal 1740 baru tercipta dengan diserahkannya barang yang menjadi obyeknya atau perjanjian "penitipan" yang menurut pasal 1694 baru terjadi dengan diserahkannya barang yang dititipkan.21 Untuk perjanjian-perjanjian ini tidak cukup dengan adanya sepakat saja, tetapi disamping itu diperlukan suatu formalitas atau suatu perbuatan yang nyata riil). Sudah jelaslah kiranya bahwa azas konsensualitas itu harus kita simpulkan dari pasal 1320 dan bukannya dan pasal 1338 (1). Dari pasal yang terakhir ini lazimnya disimpulkan suatu azas lain dari hukum perjanjian B.W., yaitu adanya atau dianutnya sistim terbuka atau azas kebebasan berkontrak (beginsel der contractsvrijheid). Adapun cara menyimpulkannya ialah dengan jalan menekankan pada perkataan "semua" yang ada di muka perkataan "perjanjian". Dikatakan bahwa pasal 1338 (1) itu seolah-olah membuat suatu pernyataan (proklamasi) bahwa kita diperbolehkan membuat perjanjian apa 20 21 Ibid, hlm. 16 Subekti, Hukum Perjanjian, Jakarta, PT. Intermasa, 1996, hlm. 19 47 saja dan itu akan mengikat kita sebagaimana mengikatnya undang-undang. Pembatasan terhadap kebebasan itu hanya berupa apa yang dinamakan "ketertiban dan kesusilaan umum". Sebab apa hukum perjanjian mengambil azas konsensualitas itu? Diambilnya azas konsensualitas tersebut yang berarti “perkataan sudah mengikat" adalah menurut Prof. Eggens suatu tuntutan kesusilaan (zedelijke eis).22 Dikatakan bahwa itu merupakan suatu puncak peningkatan martabat manusia yang tersimpul didalam pepatah "een man een man, een woord een woord". Yang dimaksudkan adalah bahwa dengan diletakkannya kepercayaan pada perkataan orang, si orang ini ditingkatkan martabatnya setinggi-tingginya sebagai manusia. Memanglah benar apa yang dikatakan oleh Prof. Eggens itu, bahwa ketentuan bahwa orang harus dapat dipegang perkataannya itu adalah suatu tuntutan kesusilaan, memang benar bahwa kalau orang ingin dihargai sebagai manusia ia harus dapat dipegang perkataannya atau ucapannya, namun bagi Hukum yang ingin menyelenggarakan ketertiban dan menegakkan keadilan dalam masyarakat, azas konsensualitas itu merupakan suatu tuntutan kepastian hukum. Bahwa orang yang hidup dalam masyarakat yang teratur harus dapat dipegang perkataan atau ucapannya (dipegang "mulutnya") itu merupakan suatu tuntutan kepastian hukum yang merupakan satu sendi yang mutlak dari suatu tata-hukum yang baik. Pasal 1338 (1) yang menyatakan bahwa perjanjian mengikat sebagai undang-undang tidak memberikan kriterium 22 Abdul Kadir Muhammad, Hukum Perjanjian, Teluk Betung: Anggota IKAPI, 1980, hlm. 243. 48 untuk apa yang dinamakannya perjanjian itu. Apakah untuk perjanjian itu sudah cukup apabila sudah dicapai sepakat ataukah masih diperlukan syaratsyarat lain ? Jawaban diberikan oleh pasal l320: cukup apabila sudah tercapai sepakat (konsensus).23 Inilah yang dinamakan konsensualitas. Kesepakatan berarti persesuaian kehendak. Namun kehendak yaitu keinginan ini harus dinyatakan. Kehendak atau keinginan yang disimpan di dalam hati, tidak mungkin diketahui pihak lain dan karenanya tidak mungkin melahirkan sepakat yang diperlukan untuk melahirkan suatu perjanjian. Menyatakan kehendak ini tidak terbatas pada mengucapkai perkataan-perkataan, ia dapat dicapai pula dengan memberikan tanda-tanda apa saja yang dapat menterjemahkan kehendak itu, baik oleh pihak yang mengambil prakarsa yaitu pihak yang "menawarkan" (melakukan "offerte") maupun oleh pihak yang menerima penawaran tersebut. Dengan demikian maka yang akan menjadi alat pengukur tentang tercapainya persesuaian kehendak tersebut adalah pernyataan-pernyataan yang telah dilakukan oleh kedua belah pihak. Undang-undang berpangkal pada azas konsensualitas, namun untuk menilai apakah telah tercapai konsensus (dan ini adalah maha penting karena merupakan saat lahirnya perjanjian yang mengikat laksana suatu undang-undang), kita terpaksa berpijak pada pernyataan-pernyataan yang telah dilakukan oleh kedua belah pihak. Dan ini pula merupakan suatu tuntutan' kepastian hukum. 23 Subekti, Aneka Perjanjian, Op. Cit, hlm. 17. 49 Bukankah dari ketentuan bahwa kita harus berpijak pada apa yang telah dinyatakan itu timbul perasaan aman pada setiap orang yang telah membuat suatu perjanjian bahwa ia tidak mungkin dituntut memenuhi kehendak-kehendak pihak lawan yang tidak pernah dinyatakan kepadanya. Dan apabila timbul perselisihan tentang apakah terdapat konsensus atau tidak (yang berarti apakah telah dilahirkan suatu perjanjian atau tidak) maka Hakim atau Pengadilanlah yang akan menetapkannya. Pernyataan timbal-balik dari kedua belah pihak merupakan sumber untuk menetapkan hak dan kewajiban bertimbal-balik di antara mereka. Apakah semua pernyataan dapat dipertanggung-jawabkan kepada (menimbulkan kewajiban-kewajiban bagi) pihak yang melakukan pernyataan itu? Karena mengenai hal ini tidak kita ketemukan sesuatu ketentuan dalam undang-undang, maka persoalan itu telah dipecahkan oleh para sarjana dan oleh yurisprudensi.24 Tuntutan akan adanya sungguh-sungguh suatu perjumpaan kehendak, memang tidak dapat dipertahankan lagi dalam zaman modern sekarang ini dimana transaksi transaksi yang besar lazimnya diadakan tanpa hadlirnya para pihak berhadapan muka, tetapi lewat korespondensi atau lewat perantaraperantara. Oleh karena itu maka sudah tepatlah bahwa adanya perjumpaan kehendak (konsensus) itu diukur dengan pernyataan pernyataan yang secara bertimbal-balik telah dikeluarkan. Adanya konsensus itu malahan sebenarnya sering "dikonstruksikan" oleh Hakim.25 24 25 Ibid, hlm, 18. Ibid, hlm. 19 50 Berdasarkan pernyataan-pernyataan bertimbal-balik itu dianggap bahwa sudah dilahirkan sepakat yang sekaligus melahirkan perjanjian (yang mengikat seperti undang-undang). Dan sekali sepakat itu dianggap ada, maka Hakimlah lagi yang akan menafsirkan apa yang telah disetujui, perjanjian apa yang telah dilahirkan dan apa saja hak dan kewajiban para pihak. Azas konsensualitas yang terkandung dalam pasal 1320 KUH Perdata. (kalau dikehendaki: pasal 1320 dihubungkan dengan pasal 1338 ayat 1), tampak jelas pula dari Perumusan-perumusan Berbagai Macam perjanjian. Kalau kita ambil perjanjian yanq utama, yaitu jual beli, maka konsensualitas itu menonjol sekali dari perumusannya dalam pasal 1458 B.W. yang berbunyi: “Jual beli itu dianggap telah terjadi antara kedua pihak, seketika setelahnya orang-orang ini mencapai sepakat tentang barang tersebut dan harganya, meskipun barang itu belum diserahkan, maupun harganya belum dibayar" Jadi suatu persetujuan jual beli itu baru terjadi, jika antara kedua pihak itu terdapat kata sepakat tentang benda dan harganya. Mengenai benda setidaknya harus ditentukan macamnya (kualitas) dahulu. Mengenai harganya mesti ditentukan dengan uang, sebab kalau pembayaran itu dilakukan dengan benda lain, maka undang-undang menetapkan bahwa hal itu dinamakan penukaran. Untuk sahnya persetujuan jual beli itu tidak diperlukan bahwa benda itu telah diserahkan atau harga itu telah dibayar. Perbuatan-perbuatan ini akibat dari terjadinya persetujuan itu, dan dapat dilakukan kemudian.26 26 Ibid, hlm. 69. 51 D. Studi Pasal Jual Beli Dalam KUH Perdata Dalam pasal 1457 KUH Perdata ditegaskan jual beli adalah suatu persetujuan, dengan mana pihak yang satu mengikatkan dirinya untuk menyerahkan suatu kebendaan, dan pihak yang lain untuk membayar harga yang telah dijanjikan. Dari pasal tersebut menunjukkan adanya kewajiban pembeli dan penjual. Kewajiban penjual, bagi pihak penjual ada dua kewajiban utama yaitu a. menyerahkan hak milik atas barang yang diperjual-belikan. b. menanggung kenikmatan tenteram atas barang tersebut dan menanggung terhadap cacad-cacad yang tersembunyi. Kewajiban menyerahkan hak milik. Kewajiban menyerahkan hak milik meliputi segala perbuatan yang menurut hukum diperlukan untuk mengalihkan hak milik atas barang yang diperjual-belikan itu dari si penjual kepada si pembeli. Oleh karena KUH Perdata mengenal tiga macam barang, yaitu: barang bergerak, barang tetap dan baranq "tak bertubuh" (dengan mana dimaksudkan piutang penagihan atau claim''), maka menurut B.W. juga ada tiga macam penyerahan hak inilik yang masing-masing berlaku untuk masing-masing macam barang itu."27 a. Untuk barang bergerak cukup dengan penyerahan kekuasaan atas barang itu; lihat pasal 612 yang berbunyi sebagai berikut: "Penyerahan kebendaan bergerak, terkecuali yang tak bertubuh dilakukan dengan penyerahan yang 27 Ibid, hlm. 20-21 52 nyata akan kebendaan itu oleh atau atas nama peinilik, atau dengan penyerahan kunci-kunci dari bangunan dalam mana kebendaan itu berada. Penyerahan tak perlu dilakukan, apabila kebendaan yang harus diserahkan, dengan alasan hak lain, telah dikuasai oleh orang yang hendak menerimanya". Dari ketentuan tersebut diatas dapat kita lihat adanya kemungkinan menyerahkan kunci saja kalau yang dijual adalah barang-barang yang berada dalam suatu gudang, hal mana merupakan suatu penyerahan kekuasaan secara simbolis sedangkan Apabila barangnya sudah berada dalam kekuasaan Penyerahan cukup dilakukan cara yang terakhir ini terkenal dengan nama "traditio brevimanu" (bahasa Latin) yang berarti "penyerahan dengan tangan pendek" b. Untuk barang tetap (tak bergerak) dengan perbuatan yang dinamakan "balik nama" (bahasa Belanda: "overschrijving") di muka Pegawai Kadaster yang juga dinamakan Pegawai Balik-nama atau Pegawai Penyimpan hipotik (barang tak bergerak), yaitu menurut pasal 616 dihubungkan dengan pasal 620, pasal-pasal mana berbunyi sebagai berikut: Pasal 616: "Penyerahan atau penunjukan akan kebendaan Tak bergerak dilakukan dengan pengumuman akan akta yang bersangkutan dengan cara seperti ditentukan dalam pasal 620".28 28 Ibid, hlm. 21. 53 Pasal 620: "Dengan mengindahkan ketentuan-ketentuan termuat dalam tiga pasal yang lalu, pengumuman termaksud diatas dilakukan dengan meinindahkan sebuah salinan otentik yang lengkap dari akta otentik atau keputusan yang bersangkutan ke kantor penyimpan hipotik, yang mana dalam lingkungannya barang-barang tak bergerak yang harus diserahkan berada, dan dengan membukukannya dalam register. Bersama-sama dengan pemindahan tersebut, pihak yang berkepentingan harus menyampaikan juga kepada penyimpan hipotik sebuah salinan otentik yang kedua atau sebuah petikan dari akta atau keputusan itu, agar penyimpan mencatat di dalamnya hari pemindahan beserta bagian dan nomor dari register yang bersangkutan". c. Barang tak bertubuh dengan perbuatan yang dinamakan "cessie" sebagaimana diatur dalam pasal 613 B.W. yang berbunyi: "Penyerahan akan piutang-piutang atas nama dan kebendaan tak bertubuh lainnya dilakukan dengan membuat sebuah akta otentik atau dibawahtangan, dengan mana hak-hak atas kebendaan itu dilimpahkan kepada orang lain”. E. Peralihan Resiko Dalam KUH Perdata Resiko berarti kemungkinan yang berbahaya, kejadian yang tidak disengaja, kejadian di luar kesalahan.29 Dengan kata lain resiko ialah kewajiban memikul kerugian yang disebabkan oleh suatu kejadian (peristiwa) diluar kesalahan salah satu pihak. Misalnya : barang yang diperjual- belikan musnah di perjalanan karena kapal laut yang mengangkutnya keram ditengah 29 Hartono Soerjopratiknyo, Aneka Perjanjian Jual Beli, Yogyakarta: Fakultas hukum UGM, 1982, hlm. 18 54 laut akibat serangan badai. Atau sebuah rumah yang sedang dipersewakan terbakar habis karena “korsluiting” aliran listrik. Siapakah yang (menurut hukum) harus memikul kerugian-kerugian tersebut? Inilah persoalan yang dengan suatu istilah hukum dinamakan persoalan “resiko”itu. Pihak yang menderita karena barang yang menjadi obyek perjanjian ditimpa oleh kejadian yang tak disengaja tersebut dan diwajibkan memikul kerugian itu tanpa adanya keharusan bagi pihak lawannya untuk mengganti kerugian itu, dinamakan pihak yang memikul resiko atas barang tersebut. Persolan tentang resiko itu berpokok pangkal pada terjadinya suatu peristiwa di luar salah satu pihak. Peristiwa semacam itu dalam hukum perjanjian dengan suatu istilah hukum dinamakan “keadaan memaksa” (“ overmacht”, “force majeur”). Dengan demikian maka persoalan tentang resiko itu merupakan buntut dari persoalan tentang keadaan memaksa, suatu kejadian yang tak sengaja dan tak dapat diduga.30 Sekarang persolannya adalah: Bagaimanakah diaturnya masalah resiko itu dalam perjanjian jual- beli? Mengenai resiko dalam jual-beli ini dalam B.W. ada tiga peraturan, yaitu : a. Mengenai barang tertentu (pasal 1460); b. Mengenai barang yang dijual menurut berat, jumlah atau ukuran (pasal 1461); 30 Ibid, 18-20 55 c. Mengenai barang-barang yang dijual menurut tumpukan (pasal 1462).31 Mengenai barang tertentu ditetapkan (oleh pasal 1460) bahwa barang itu saat pembelian (saat dituntut perjanjian) adalah atas tanggungan si pembeli, meskipun penyerahannya belum dilakukan dan si penjual berhak menuntut harganya. 31 Subekti, Op. Cit, hlm.37.