Strategi Dakwah Kultural dalam Konteks Indonesia STRATEGI DAKWAH KULTURAL DALAM KONTEKS INDONESIA Kutbuddin Aibak1 Abstract This paper discusses the cultural propaganda strategy in the context of Indonesia. Cultural propaganda is propaganda activities that take into account all forms of culture that is positive emerging in a society. In the context of Indonesia, which has a very multi-cultural plurality, each islamic scholar proselytizing through cultural strategies needs to master the concepts of cultural propaganda in order to adjust with societies so that the message conveyed by him could be well received by the audiences. Keywords: strategy,cultural propaganda, Indonesia A. Pendahuluan Umat Islam di seluruh dunia memiliki pedoman ajaran yang sama, yaitu Al-Qur’an dan Hadits. Mereka sadar benar terhadap pesan terhadap Rasulullah Saw yang menegaskan bahwa umat Islam tidak akan tersesat selama berpegang kepada Al-Qur’an dan Hadits. Namun demikian ajaran yang terdapat dalam AlQur’an itu dapat dikatakan “belum siap pakai”, dalam arti ayat-ayat Al-Qur’an tidak langsung dapat digunakan dalam memecahkan berbagai masalah, melainkan terlebih dahulu harus diinterpretasikan oleh manusia yang mengimaninya. Oleh karena itu, kehebatan Al-Qur’an tidak dengan sendirinya dapat menimbulkan perubahan sosial tanpa adanya tokoh yang dengan sungguh-sungguh bersedia untuk mensosialisasikan ajaran Al-Qur’an tersebut dan mempraktekkannya. 2 Karena itu, walaupun pada level teks Al-Qur’an dan Hadits, seluruh umat Islam memiliki pedoman yang sama. Namun ketika memasuki level penafsiran terhadap Al-Qur’an dan Hadis, ternyata melahirkan produk pemikiran yang kaya dalam bidang hukum, fikih, teologi, tafsir, filsafat, dan tasawuf. Begitu juga dalam konteks pengamatan kaum muslim yang berbeda-beda antara satu negara 1 Dosen Institut Agama Islam Negeri, Tulungagung, Jawa Timur. Abuddin Nata, Peta Keberagamaan Pemikiran Islam di Indonesia (Jakarta: RajaGrafindo Persada, 2001), hlm. 171. 2 Mawa`izh, Vol. 1, No. 2, Desember 2016 263 Strategi Dakwah Kultural dalam Konteks Indonesia dengan yang lain. Perbedaan tersebut tidak lain disebabkan perbedaan latar belakang sejarah, tradisi, dan budaya masing-masing.3 Disinilah sosialisasi pesan-pesan keagamaan harus bersentuhan dengan kebiasaan, adat istiadat, dan budaya yang berada pada suatu daerah. Dengan demikian, penyampaian nilai-nilai dan prinsip-prinsip agama Islam yang dilakukan oleh seorang ulama, ilmuwan muslim, ataupun dai harus bersikap akomodatif terhadap kebiasaan dan budaya setempat yang bersifat positif, bukan negatif. Dari sinilah lahirnya dakwah kultural yang menggunakan pendekatan kultural. Tulisan ini akan membahas strategi dakwah kultural dalam konteks Indonesia. B. Pengertian Dakwah Kultural Istilah kultural berasal dari bahasa Inggris, culture yang berarti kesopanan, kebudayaan, dan pemerliharaan. Teori lain mengatakan bahwa kata culture ini berasal dari bahasa Latin cultura yang artinya memelihara atau mengerjakan, mengolah.Sementara itu koentjaraningrat membagi kebudayaan dalam tiga wujud, (1) Wujud ideal, yaitu wujud kebudayaan sebagai suatu kompleks ide-ide, gagasan, nilai-nilai, norma-norma, peraturan dan sebagainya, (2) Wujud kelakuan, yaitu wujud kebudayaansebagai suatu kompleks aktivitas kelakuan berpola dari manusia dalam masyarakat, dan (3) Wujud benda, yaitu wujud kebudayaan sebagai benda-benda hasil karya. Dalam pada itu, Nourouzzaman Shiddiqi mengatakan bahwa hingga kini belum ada satu definisi tentang kebudayaan yang disepakati oleh semua orang. Definisi-definisi yang diberikan sangat beragam, tergantung pada minat dan keahlian orang yang merumuskannya. A.L. Kroeber dan Clyde Kluckhon sebagaimana dikutip Nourouzzaman mencatat tidak kurang dari 164 definisi kebudayaan yang telah dikemukakan. Namun demikian, dapat dikemukakan bahwa kebudayaan adalah semua produk aktivitas intelektual manusia untuk memperoleh kesejahteraan dan kebahagiaan hidup duniawi. 3 Khoiruddin Nasution, Pengantar Studi Islam (Yogyakarta: ACAdeMIA+Tazzafa, 2009), hlm. 15-16. Mawa`izh, Vol. 1, No. 2, Desember 2016 264 Strategi Dakwah Kultural dalam Konteks Indonesia Dari beberapa teori definisi kebudayaan tersebut di atas, dapat diketahui bahwa kebudayaan adalah segala bentuk hasil kreativitas manusia dengan menggunakan segala daya dan kemampuan yang dimilikinya dalam rangka mewujudkan kehidupannya yang sejahtera. Dengan demikian dilihat dari segi bentuknya kebudayaan dapat mengambil bentuk yang halus seperti ilmu pengetahuan, kesenian dan filsafat, dan dapat pula mengambil bentuk yang kasar seperti bangunan gedung-gedung, istana, benteng pertahanan, peralatan transfortasi dan lain sebagainya. Berbagai produk kebudayaan yang demikian selanjutnya mengambil bentuk pranata, yaitu aturan-aturan atau konsep-konsep tentang berbagai aspek kehidupan manusia yang dipilih dan digunakan sebagai alat untuk melakukan interaksi sosial. Berbagai produk kebudayaan sebagaimana tersebut di atas selanjutnya digunakan untuk memahami agama Islam, sehingga pemahaman ke-Islaman tersebut dipengaruhi oleh paham atau konsep kebudayaan tersebut. Pemahaman ke-Islaman yang didasarkan atau dipengaruhi oleh pandangan kebudayaan yang demikian itulah yang selanjutnya dapat dikatakan sebagai Islam kultural. Diketahui bersama, bahwa dalam agama Islam antara agama dan kebudayaan sungguhpun sumbernya berbeda, tetapi saling mempengaruhi. Diketahui bahwa Islam adalah bersumber pada wahyu yakni Al-Qur’an yang turun dari langit (Allah Swt) dan Hadits yang merupakan penjabaran dari AlQur’an. Dan sebagai agama, Islam adalah sesuatu yang datang dari Tuhan untuk menjadi pedoman bagi manusia dalam mencapai kesejahteraan duniawi dan kebahagiaan ukhrawi. Sedangkan kebudayaan ialah semua produk aktivitas intelektual manusia untuk memperoleh kesejahteraan dan kebahagiaan hidup duniawi. Namun demikian walaupun antara agama (Islam)dan kebudayaan memiliki identitas sendiri-sendiri, namun antara keduanya bertaut berjalin berkelindan dan saling mempengaruhi. Corak dan warna kebudayaan dipengaruhi oleh agama dan sebaliknya pemahaman agama dipengaruhi oleh tingkat Mawa`izh, Vol. 1, No. 2, Desember 2016 265 Strategi Dakwah Kultural dalam Konteks Indonesia kebudayaan.4Akan tetapi, sebelum memasuki definisi dakwah kultural secara lengkap, kita perlu juga mengetahui perbedaan antara agama dan budaya, meskipun keduanya tidak dapat dipisahkan. Menurut Nurcholish Madjid, antara agama dan budaya tidaklah dapat dipisahkan. Tetapi juga sebagaimana telah diinsafi oleh banyak ahli, agama dan budaya itu, meskipun tidak dapat dipisahkan namun dapat dibedakan, dan tidaklah dibenarkan mencampur aduk antara keduanya. Agama an sich bernilai mutlak, tidak berubah menurut perubahan waktu dan tempat. Tetapi budaya, sekalipun yang berdasarkan agama, dapat berubah dari waktu ke waktu dan dari tempat ke tempat. Sementara kebanyakan budaya berdasarkan agama, namun tidak pernah terjadi sebaliknya, yaitu agama berdasarkan budaya. Sekurangnya begitulah menurut keyakinan berdasarkan kebenaran wahyu Tuhan kepada para Nabi dan para Rasul. Oleh karena itu, agama adalah primer, dan budaya adalah sekunder. Budaya dapat merupakan ekspresi hidup keagamaan, karena itu sub-ordinate terhadap agama, dan tidak pernah sebaliknya. Maka sementara agama adalah absolut, berlaku untuk setiap ruang dan waktu, budaya adalah relatif, terbatasi oleh ruang dan waktu. Pembicaraan di atas itu membawa kita kepada masalah agama dan budaya yang sangat penting. Yaitu, sekali lagi, bahwa antara keduanya, dalam banyak hal, mungkin tidak terpisahkan, namun tetap ada perbedaan. Dan cara berpikir yang benar, dalam kaitannya dengan masalah tradisi dan inovasi, menghendaki kemampuan untuk membedakan antara keduanya itu. Tapi masalahnya ialah, seperti telah disinggung, bagi kebanyakan orang sulit sekali, atau cukup sulit, membedakan mana yang agama yang multak, dan mana budaya yang menjadi wahana ekpresinya dan yang nisbi itu. Kekurangjelasan itu dapat mengakibatkan kekacauan dalam pengertian tentang susunan atau hirarki nilai, yaitu berkenaan dengan persoalan mana nilai yang lebih tinggi dan mana yang lebih rendah. Dan kekacauan ini dapat, dan amat sering, berakibat sulitnya membuat kemajuan, akibat resistensi orang terhadap perubahan. 4 Nata, Peta Keberagamaan, hlm. 172-175. Mawa`izh, Vol. 1, No. 2, Desember 2016 266 Strategi Dakwah Kultural dalam Konteks Indonesia Sebagai sebuah contoh, suatu kasus sederhana di negeri kita, dan yang kini sudah menjadi sebuah cerita klasik, dapat diajukan di sini: soal bedug (dan kentungan). Sebelum orang Indonesia mampu membuat menara yang tinggi sehingga suara azan dapat terdengar cukup jauh, panggilan kepada sembahyang dengan memukul bedug dan kentungan yang merupakan pinjaman dari budaya Hindu-Budha itu adalah yang paling mungkin. Dan harus kita perhatikan juga bahwa radius jangkauan suara azan dalam lingkungan daerah tropis yang subur dan penuh pepohonan, seperti di Tanah Air ini, adalah jauh lebih pendek dan sempit daripada dalam lingkungan padang pasir yang tidak bertetumbuhan. Tetapi ketika orang sudah dapat membuat menara tinggi, dan apalagi setelah adanya pengeras suara (meskipun “made in Japan!”), maka bedug sebenarnya menjadi tidak relevan, dan harus di-”evaluasi” dan “desakralisasi” (dicopot dari nilai kesuciannya dengan ditegaskan bahwa semua itu tidak termasuk agama, melainkan masalah budaya belaka). Gerakan reformasi Islam di negeri kita awal abad ini, seperti Muhammadiyah, Persis dan al-Irsyad, umumnya menganut pandangan demikian itu, dalam kerangka tema besar mereka untuk “memurnikan” agama dan memerangi “bid’ah” dan “khurafat”. Namun kenyataannya, upaya “pemurnian” tersebut tidaklah bisa diterima secara mudah. Bagi kebanyakan orang di masyarakat kita, bedug merupakan bagian integral dari masjid, dan masjid tanpa bedug bagi mereka hampir tidak masuk akal, bagaikan “sayur tanpa garam”. Dan ini memberi ilustrasi sederhana namun cukup substantif tentang bagaimana sulitnya orang umum menempatkan nilai-nilai hidup dalam susunan atas-bawah, tinggi-rendah, primer-sekunder, universal-partikular yang tepat dan benar, dan bagaimana kekacauan itu dapat berakibat pembelengguan mental, sampai kepada sikap menghadapi hal-hal yang amat sederhana seperti bedug dan kentungan. Bagi mereka simbol menjadi lebih penting daripada fungsi atau substansi, dan makna telah digantikan oleh kerangka. Sekali lagi, persoalan kita bukanlah pada isu-isu ad hoc seperti kubah, bedug dan kentungan, dan lain-lain. Persoalan sederhana itu hanya melambangkan sesuatu yang lebih besar, yang hendak dicoba bahas di sini. Adanya arsitektur Mawa`izh, Vol. 1, No. 2, Desember 2016 267 Strategi Dakwah Kultural dalam Konteks Indonesia “neo-modern”, “neo-klasik” atau “pasca-modern” serta konsep estetiknya yang terkait, melambangkan kemungkinan solusi atas problema itu, yaitu kemungkinan tetap dapat diterimanya kehadiran kelembagaan tradisional seperti kubah, bedug, kentungan, dan lain-lain, meskipun, demi konsistensi dalam beragama, diperlukan kesadaran yang tegas akan kenisbian nilainya. Maka masjid Istiqlal, misalnya, bukan saja merupakan masjid terbesar di Asia Timur, tetapi juga masjid dengan kubah terbesar di dunia serta menara yang menjulang amat tinggi dan, sungguh menarik, juga dengan bedug yang ukurannya rekor di dunia, mungkin di seluruh jagad raya yang kasat mata (syahadah, bukan yang gaib)—jika memang di planetplanet lain juga ada bedug!. Persoalan kita dengan contoh-contoh tadi ialah adanya kecenderungan orang Islam untuk memutlakkan sesuatu yang nilai sesungguhnya adalah nisbi belaka, meskipun sesuatu itu memang memiliki arti penting dilihat dari sudut pandang kultural dan historis. Jika soal kubah, bedug dan kentungan tidak terlalu nyaring menggetarkan gendang telinga kita (karena sederhananya fenomena itu terkesan dalam pikiran), maka gantilah itu semua dengan hal-hal yang lebih abstrak dan “prinsipil”, yang sangat banyak mempengaruhi kehidupan masyarakat Islam seperti konsep-konsep, ajaran-ajaran, dan paham-paham tertentu, malah “akidah-akidah” tertentu pula. Banyak dari hal-hal itu yang sesungguhnya tidak lebih daripada hasil interaksi dan dialog antara Islam yang universal dengan situasi nyata ruang dan waktu yang partikular. Sudut pandang persoalan itu dapat ditukar: Apakah setiap ekspresi keagamaan (biarpun dibatasi hanya kepada yang bersifat lahiriah saja seperti cara berpakaian tertentu, misalnya) yang datang dari tempat lain, apalagi dari Timur Tengah, harus dianggap sebagai ekspresi keagamaan yang serta-merta mesti bernilai mutlak sehingga mesti pula berlaku di semua tempat? Bagaimana dengan kemungkinannya melihat bahwa itu semua adalah tidak lebih daripada hasil dialog Islam yang universal (yang datang dari Tuhan dan diperuntukkan bagi seluruh umat manusia di mana saja dan sepanjang zaman) dengan situasi kongkret budaya dalam konteks ruang dan waktu tertentu yang relevan dan partikular (seperti Mawa`izh, Vol. 1, No. 2, Desember 2016 268 Strategi Dakwah Kultural dalam Konteks Indonesia partikularitas Jazirah Arabia, kawasan Timur Tengah, dan abad ke-7 sampai ke-8 Masehi)?. Barangkali masih harus ditegaskan lagi di sini bahwa persoalan yang dicoba kemukakan itu bukanlah perkara apakah suatu hasil dialog kultural antara keuniversalan Islam dan kekhasan suatu kawasan dan zaman itu absah atau tidak. Justru alur argumen yang hendak dicobakembangkan dalam pembahasan ini diarahkan kepada kesimpulan bahwa setiap dialog kultural dari kedua aspek, universal-partikular atau kulli-juz’i tidak saja absah, tapi juga merupakan kreatifitas kultural yang amat berharga. Dengan kreatifitas itulah suatu sistem ajaran universal seperti agama menemukan relevansinya dengan tuntutan khusus dan nyata para pemeluknya, menurut ruang dan waktu, dan dengan begitu menemukan dinamika dan vitalitasnya.5 Dari berbagai uraian tentang kebudayaan di atas, lalu apa yang dimaksud dengan dakwah kultural? Terminologi Dakwah kultural memberikan penekanan makna yang berbeda dari dakwah konvensional yang disebut juga dengan dakwah struktural. Dakwah kultural memiliki makna dakwah Islam yang cair dengan berbagai kondisi dan aktivitas masyarakat. Sehingga bukan dakwah verbal, yang sering dikenal dengan dakwah bil lisan (atau tepatnya dakwah bi lisan al-maqal), tetapi dakwah aktif dan praktis melalui berbagai kegiatan dan potensi masyarakat sasaran dakwah, yang sering dikenal dengan dakwah bil hal (atau tepatnya dakwah bi lisan al-hal).6 Menurut Syamsul Hidayat, dakwah kultural merupakan kegiatan dakwah yang memperhatikan potensi dan kecenderungan manusia sebagai makhluk berbudaya, guna menghasilkan budaya alternatif yang Islami, yakni berkebudayaan dan berperadaban yang dijiwai oleh pemahaman, penghayatan dan pengamalan ajaran Islam yang bersumber dari Al-Qur’an dan al-Sunnah serta melepaskan diri dari budaya yang dijiwai oleh kemusyrikan, takhayul, bid’ah dan khurafat. Sementara menurut Hussein Umar, mantan Sekjen Dewan Dakwah 5 Nurcholish Madjid, Islam Agama Kemanusiaan (Jakarta: Paramadina, 2003), hlm. 36- 39. 6 Dikutip dari artikel online Syamsul Hidayat, Dakwah Kultural dan Pemurnian Ajaran Islam. Diakses pada tanggal 29 November 2016. Mawa`izh, Vol. 1, No. 2, Desember 2016 269 Strategi Dakwah Kultural dalam Konteks Indonesia Islamiyah Indonesia (DDII), dakwah kultural lebih merupakan refleksi pemahaman, pendekatan, dan metodologi tentang medan dakwah. Oleh karenanya, cara yang ditempuh lebih banyak mengakomodir budaya setempat, serta lebih menyatu dengan kondisi lingkungan setempat. Dari dua pendapat di atas, ada dua kata kunci utama dalam memahami dakwah kultural yaitu: pertama, dakwah kultural merupakan dakwah yang memperhatikan audiens atau manusia sebagai makhluk yang berbudaya. Pada pemahaman yang pertama ini sesuai dengan hadits nabi “Ajaklah manusia sesuai dengan kemampuan akalnya”. Kedua, dakwah kultural merupakan sebuah cara atau metodologi untuk mengemas Islam sehingga mudah dipahami oleh manusia. Hal ini tentu sejalan dengan metodologi hikmah yang dijelaskan dalam Al-Qur’an surat An-Nahl 16: 125 “Ajaklah ke jalan Tuhanmu dengan cara hikmah (bijaksana)”. Dengan demikian, dakwah kultural merupakan sebuah strategi penyampaian misi Islam yang terbuka, toleran, dan mengakomodir budaya dan adat masyarakat setempat di mana dakwah tersebut dilakukan.7 Dalam bahasa yang lain, dakwah kultural dapat dipahami sebagai sebuah strategi perubahan sosial bertahap sesuai dengan kondisi empirik yang diarahkan kepada pengembangan kehidupan Islami yang betumpu kepada pemurnian pemahaman dan pengamalan ajaran Islam dengan menghidupkan ijtihad dan tajdid. Dengan demikian, dakwah model ini menggunakan pendekatan kepada budaya lokal, kultur masyarakat, serta nilai-nilai yang telah mapan, tetapi tetap mempunyai semangat kepada ijtihad dan tajdid dalam rangka purifikasi. Secara teknis, dakwah kultural dapat juga dimaknai sebagai dialog antara idealitas nilai-nilai agama dan realitas kultur masyarakat yang multi. Interaksi dengan pluralitas budaya tersebut, terlebih khusus seni budaya dan komunitasnya telah melahirkan sejumlah ketegangan, baik yang berupa kreatif maupun destruktif. Ketegangan itu bersumber pada realitas historis-sosiologis, bahwa banyaknya kebudayaan dan seni budaya pada khususnya yang dikembangkan berasal dari ritual-ritual keagamaan sebelum kedatangan Islam. Sehingga banyak 7 Abdul Basit, Filsafat Dakwah (Jakarta: Rajawali Pers, 2013), hlm. 170. Mawa`izh, Vol. 1, No. 2, Desember 2016 270 Strategi Dakwah Kultural dalam Konteks Indonesia di antaranya mengandung nilai-nilai atau norma-norma yang bertentangan dengan akidah Islam. Dalam tataran ini,dakwah kultural menemukan relevansinya dengan realitas sosial, yakni dalam rangka untuk mengubah kebudayaan dan seni budaya yang bertentangan dengan akidah Islam tanpa perlu menimbulkan resistensi terutama dari para pengusung kebudayaan tersebut. Oleh karena itu, dakwah kultural sebenarnya hanya sebentuk strategi dakwah yang berperan untuk menjembatani ketegangan yang terjadi antara agama dan doktrin budaya lokal masyarakat. Ini mungkin yang dimaksud dengan pengertian gagasan pemurnian dan kebangkitan Islam dalam paradigma ijtihad sebagaimana dipahami oleh Abdul Munir Mulkhan, bahwa dakwah kultural merupakan jawaban atas persoalan peran sejarah dan peradaban dalam alam modernitas. Pemurnian dan purifikasi ajaran Islam dari budaya-budaya yang bertentangan dengan akidah justru memerlukan pendekatan budaya. Perlu sebuah penyikapan yang akomodatif dengan menghilangkan sifat resistensi yang represif terhadap pluralitas budaya dimana hal tersebut hanya ditemukan di dalam konsep dakwah kultural. Selain itu, dakwah kultural juga dapat menjadi semacam tenda besar bagi bangsa karena mempertimbangkan dan menyantuni realitas masyarakat Indonesia yang plural dan multikultural-mutlireligi dalam wacana dan gerakan dakwah. Tenda besar bagi umat Islam kerena mengusung semangat kebersamaan antargolongan di kalangan internal dan eksternal umat menuju tercapainya masyarakat madani. Setiap kebijakan dakwah yang berwawasan kultural dan multikultural diharapkan mampu mendorong lahirnya sikap apresiatif, toleransi, prinsip kesetaraan antar budaya, kesetaraan gender, kesetaraan antarpelbagai kelompok etnik, kesetaraan bahasa, agama, dan sebagainya. Demikian juga, pilihan-pilihan tema dakwah yang kultural dan multikultural adalah pilihanpilihan yang secara tidak langsung, menangkap komitmen sosial untuk secara bersama-sama mengusung persoalan kemajemukan dan untuk kemaslahatan bangsa itu sendiri. Karena bagaimanapun kegiatan dakwah yang berhasil adalah Mawa`izh, Vol. 1, No. 2, Desember 2016 271 Strategi Dakwah Kultural dalam Konteks Indonesia yang selalu mempertimbangkan sisi kultural sekaligus multikultural dalam masyarakat.8 C. Pijakan Normatif Dakwah Kultural “Dan hendaklah ada di antara kamu segolongan umat yang mengajak kepada kebajikan, menyuruh kepada yang ma’ruf dan mencegah yang munkar, merekalah orang-orang beruntung”. (QS. Ali-Imran 3: 104).9 Dalam ayat di atas, terdapat tiga istilah kunci yakni al-khayr, ‘amar ma’ruf dan nahy munkar yang memiliki makna yang berbeda di antara ketiganya. Pertamaal-khayr. Al-khayr berarti kebaikan universal: suatu nilai yang menjadi titik temu semua agama yang benar, yaitu agama Allah yang disampaikan kepada umat manusia lewat wahyu Ilahi. “Menyeru kepada al-khayr ini, bersama dengan ‘amar ma’ruf dan nahyi munkar merupakan tingkatan-tingkatan”. Begitu kata Rasyid Ridla dalamTafsir al-Manar (4:27). “Tingkat pertama ialah ajakan umat ini (umat Islam) kepada semua umat yang lain kepada al-khayr dan agar mereka menyertai umat ini dalam cahaya dan hidayah.” Oleh Rasyid Ridla di sini, ditekankan bahwa yang dimaksud dengan alkhayr ialah al-islam. “Al-islam…ialah agama Allah melalui lisan semua para Nabi kepada semua umat, yaitu (ajaran) keikhlasan kepada Allah Ta’ala dan meninggalkan hawa nafsu menuju kepada hukum-Nya. Ini dituntut dari kita sebagai konsekuensi dijadikannya kita umat tengah (wasath) dan saksi atas sekalian umat manusia”.Di sini Rasyid Ridla menekankan “kebajikan universal” yaitu nilai-nilai moral dan etis (akhlak al-karimah) yang merupakan tujuan Nabi Muhammad diutus Allah kepada umat manusia. Dalam sebuah hadits yang terkenal diungkapkan, “Sesungguhnya aku diutus hanyalah untuk menyempurnakan berbagai keluhuran budi”. Kedua,‘amar ma’ruf. Ungkapan ini memerlukan sedikit kejelasan. Meskipun kita semua merasa sudah tahu maksud ungkapan itu, namun untuk penajaman permahaman ada baiknya kita lakukan tinjauan sekilas dari segi kebahasaan atau etimologisnya. Secara kebahasaan al-ma’ruf berarti “yang telah 8 9 Ibid., hlm. 174-175. M. Quraish Shihab, Al-Qura’an dan Maknanya (Jakarta: Lentera Hati, 2010 ), hlm. 63. Mawa`izh, Vol. 1, No. 2, Desember 2016 272 Strategi Dakwah Kultural dalam Konteks Indonesia diketahui” yakni “yang telah diketahui sebagai baik” dalam pengalaman manusia menurut ruang dan waktu tertentu. Karena itu, secara etimologis pula perkataan itu berkaitan dengan perkataan al-‘urf yang berarti “adat”, dalam hal ini adat yang baik. Dalam pengertiannya sebagai adat yang baik itulah al-‘urf diakui eksistensi dan fungsinya dalam Islam, sehingga dalam teori pokok yurisprudensi disebutkan bahwa adat dapat dijadikan hukum (al-‘adah al-muhakkamah). Dalam pengertiannya yang lebih luas dan mendalam lagi, perkataan al-ma’ruf dapat berarti kebaikan yang “diakui” atau “diketahui” hati nurani, sebagai kelanjutan dari kebaikan universal tersebut di atas (al-islam adalah agama fitrah yang suci— lihat QS. Al-Rum 30: 30). Karena itu al-ma’ruf dalam pengertian ini merupakan lawan dari al-munkar.10Sebab al-munkar yang menjadi poin ketiga, berarti apa saja yang “diingkari”, yakni oleh fitrah, atau ditolak oleh hati nurani. Mengacu kepada sosiologi, pada dasarnya keduanya al-ma’ruf dan almunkar menunjuk kepada kenyataan bahwa kebaikan dan keburukan itu ada dalam masyarakat. Umat Islam dituntut untuk mampu mengenali kebaikan dan keburukan yang ada dalam masyarakat itu, kemudian mendorong, memupuk dan memberanikan diri kepada tindakan-tindakan kebaikan, dan pada waktu yang sama mencegah, menghalangi dan menghambat tindakan-tindakan keburukan. Trilogi menyeru kepada al-khayr, ‘amar ma’ruf dan nahy munkar merupakan pusat perjuangan umat Islam sepanjang sejarah. Trilogi inilah yang menjadi dasar keunggulan umat Islam atas umat yang lain, sehingga mereka pun disebut sebagai “yang beruntung, yang menang atau yang bahagia” (al-muflihun, dalam ayat di atas). Namun semua ini tidak dapat disikapi secara taken for granted. Karena yang pertama dari trilogi itu, yaitu seruan kepada al-khayr, menuntut kemampuan umat Islam—melalui para pemimpinnya—untuk dapat memahami nilai-nilai etis dan moral yang universal, yang berlaku di setiap zaman dan tempat. Inilah yang dikatakan Rasyid Ridla di atas. Tanpa kemampuan ini, kita tidak akan mempunyai pedoman yang jelas, yang menjadi tuntunan dan bimbingan kita dalam menghadapi masa depan. 10 Nurcholish Madjid, Cendikiawan & Religiusitas Masyarakat (Jakarta: Paramadina, 1999), hlm. 112-113; Nurcholish Madjid, Tradisi islam (Jakarta: Paramadina, 1997), hlm. 90-93. Mawa`izh, Vol. 1, No. 2, Desember 2016 273 Strategi Dakwah Kultural dalam Konteks Indonesia Sedangkan yang kedua dari trilogi itu, yaitu ‘amar ma’ruf, menuntut kemampuan memahami lingkungan hidup sosial, politik dan kultural—lingkungan yang menjadi wadah terwujudnya al-khayr secara konkret, dalam konteks ruang dan waktu (contohnya yang sedikit karikatural: dahulu celana panjang sebagai sarana penutup aurat pernah merupakan barang munkar, namun sekarang sudah dapat diterima sebagai “baik-baik” saja—yakni, ma’ruf—dan yang serupa? Celana? Itu cukup banyak analognya sekarang ini). Disini juga perlu diperhatikan lingkungan dalam konteks ruang dan waktu yang menjadi wadah bagi terjadinya keburukan nyata, yang beroperasi dalam masyarakat. Lingkungan buruk akan menjadi wadah bagi al-munkar, sehingga masyarakat bersangkutan mungkin akan terkena wabah dosa dan kezaliman. Kerena itu, yang ketiga dari trilogi perjuangan Islam adalah nahyi munkar yang menuntut kemampuan kita umat Islam mengidentifikasi faktorfaktor lingkungan hidup kultural, sosial dan politik, juga ekonomi, yang kiranya akan menjadi wadah bagi munculnya perangai, tindakan dan perbuatan yang berlawanan dengan hati nurani (tindakan yang tidak ma’ruf), kemudian diusahakan untuk mencegah dan menghambat pertumbuhan lingkungan itu. 11 Dalam perspektif tafsir, sebenarnya bukan hanya ketiga istilah al-khayr, ‘amar ma’ruf dan nahy munkar saja yang berbeda, tapi juga menggunakan dua kata yang berbeda dalam rangka perintah berdakwah dalam ayat tersebut. Pertama, adalah kata yad’unyakni mengajak, dan kedua adalah ya’murun yakni memerintahkan. Sayyid Quthub dalam tafsirnya mengemukakan bahwa penggunaan dua kata yang berbeda itu menunjukkan keharusan adanya dua kelompok dalam masyarakat Islam. Kelompok pertama yang bertugas mengajak dan kelompok kedua yang bertugas memerintah dan melarang. Kelompok kedua ini tentulah memiliki kekuasaan di bumi. “Ajaran Ilahi di bumi bukan sekedar nasehat, petunjuk dan penjelasan. Ini adalah salah satu sisi, sedang sisinya yang kedua adalah melaksanakan kekuasaan memerintah dan melarang, agar ma’ruf dapat wujud, dan kemungkaran dapat sirna” demikian antara lain Sayyid Quthub. 11 Ibid., hlm. 113-114. Mawa`izh, Vol. 1, No. 2, Desember 2016 274 Strategi Dakwah Kultural dalam Konteks Indonesia Perlu dicatat bahwa apa yang diperintahkan oleh ayat di atas— sebagaimana terbaca—berkaitan pula dengan dua hal; mengajak dikaitkan dengan al-khair, sedang memerintah jika berkaitan dengan perintah melakukan dikaitkan dengan al-ma’ruf, sedang perintah untuk tidak melakukan yakni melarang dikaitkan dengan al-munkar.Ini berarti mufassir tersebut mempersamakan kandungan al-khayr dengan al-ma’ruf, dan bahwa lawan dari al-khayr adalah alma’ruf. Padahal menurut Quraish Shihab, tidak ada dua kata yang berbeda, walau sama akar katanya kecuali mengandung pula perbedaan makna. Tanpa mendiskusikan perlu tidaknya ada kekuasaan yang menyuruh kepada kebaikan dan mencegah kemungkaran, ia mempunyai tinjauan lain. Kita semua tahu bahwa Al-Qur’an dan Sunnah melalui dakwahnya mengamanatkan nilai-nilai. Nilai-nilai itu ada yang bersifat mendasar, universal dan abadi, dan ada juga yang bersifat praksis, lokal, dan temporal, sehingga dapat berbeda antara satu tempat/waktu dengan tempat/waktu yang lain. Perbedaan, perubahan, dan perkembangan nilai itu dapat diterima oleh Islam selama tidak bertentangan dengan nilai-nilai universal. Al-Qur’an mengisyaratkan kedua nilai di atas dalam firmannya ini dengan kata al-khayr/kebajikan dan al-ma’ruf. Al-khayr adalah nilai universal yang diajarkan oleh Al-Qur’an dan Sunnah. Al-khayr menurut Rasul Saw sebagaimana dikemukakan oleh Ibnu Katsir dalam tafsirnya adalah “mengikuti Al-Qur’an dan Sunnahku”.12 Sedang al-ma’ruf adalah “sesuatu yang baik menurut pandangan umum satu masyarakat selama sejalan dengan al-khayr”. Adapun almunkar, maka ia dalah “sesuatu yang dinilai buruk oleh suatu masyarakat serta bertentangan dengan nilai-nilai Ilahi”. Karena itu, ayat di atas menekankan perlunya mengajak kepada al-khayr/kebaikan, memerintahkan yang ma’ruf dan mencegah yang munkar. Jelas terlihat betapa mengajak kepada al-khayr didahulukan, kemudian memerintahkan kepada ma’ruf dan melarang melakukan yang munkar. 12 Lihat Ibnu Katsir, Tafsir Al-Quran Al-‘Adzim, Juz. I (Beirut: Darul Fikr, 2006), hlm. 502. Mawa`izh, Vol. 1, No. 2, Desember 2016 275 Strategi Dakwah Kultural dalam Konteks Indonesia Paling tidak ada dua hal yang harus digarisbawahi berkaitan dengan ayat di atas. Pertama, nilai-nilai Ilahi tidak boleh dipaksakan, tetapi disampaikan secara persuasif dalam bentuk ajakan yang baik. Sekedar mengajak yang dicerminkan antara oleh kata mengajak oleh firman-Nya: “Ajaklah ke jalan Tuhanmu dengan cara yang bijaksana, nasehat (yang menyentuh hati) serta berdiskusilah dengan mereka dengan cara yang lebih baik”(QS. An-Nahl 16: 125). Perhatikam bil-lati hiya ahsanu/dengan cara yang lebih baik, bukan sekedar baik. Selanjutnya setelah mengajak siapa yang akan beriman silahkan beriman, dan siapa yang kufur silahkan pula, masing-masing mempertanggungjawabkan pilihannya. Hal kedua yang harus digarisbawahi adalah al-ma’ruf, yang merupakan kesepakatan umum masyarakat. Ini sewajarnya diperintahkan, demikian juga almunkar seharusnya dicegah, baik yang memerintahkan dan mencegah itu pemilik kekuasaan maupun bukan. “Siapapun di antara kamu melihat kemunkaran maka hendaklah dia mengubahnya (menjadikannya ma’ruf) dengan tangan/kekuasaannya, kalau tidak mampu (tidak memiliki kekuasaan) maka dengan lidah/ucapannya, kalaupun (yang inipun) dia tidak mampu maka dengan hatinya, dan itulah selemah-lemah iman” demikian sabda Nabi Saw yang diriwayatkan oleh sejumlah perawi hadis antara lain Imam Muslim, at-Tirmidzi, dan Ibnu Majah melalui sahabat Nabi Saw Abu Sa’id al-Khudri. Di sisi lain, karena keduanya merupakan kesepakatan satu masyarakat, maka kesepakatan itu bisa berbeda antara satu masyarakat muslim dengan masyarakat muslim yang lain, bahkan antara satu waktu dan waktu lain dalam satu masyarakat tertentu.13Dengan konsep “ma’ruf”, Al-Qur’an membuka pintu yang cukup lebar guna menampung perubahan nilai-nilai akibat perkembangan positif masyarakat. Hal ini agaknya ditempuh Al-Qur’an, karena idea/nilai yang dipaksakan atau tidak sejalan dengan perkembangan budaya masyarakat tidak akan dapat diterapkan. Karena itu Al-Qur’an, di samping memperkenalkan dirinya sebagai pembawa ajaran yang sesuai dengan fitrah manusia, ia juga melarang 13 M. Quraish Shihab, Tafsir Al-Misbah Vol. 2 (Jakarta: Lentera Hati, 2000), hlm. 163- 164. Mawa`izh, Vol. 1, No. 2, Desember 2016 276 Strategi Dakwah Kultural dalam Konteks Indonesia pemaksaan nilai-nilainya walau merupakan nilai yang amat mendasar, seperti keyakinan akan keesaan Allah Swt. Perlu dicatat bahwa konsep “ma’ruf” hanya membuka pintu bagi perkembangan posistif masyarakat, bukan perkembangan negatifnya. Dari sini, filter “al-khair” harus benar-benar difungsikan. Demikian juga halnya dengan “munkar” yang pada gilirannya dapat mempengaruhi pandangan tentang “muru’ah”, identitas, integritas seseorang. Karena itu sungguh tepat—khususnya pada era yang ditandai oleh pesatnya informasi serta tawaran nilai-nilai— berpegang teguh pada kaidah:Al-muhafazhatu ‘alal qadimis-shalih wal akhdzu bil jadidil ashlah “mempertahankan nilai lama yang baik, dan mengambil nilai baru yang lebih baik.14 Berdasarkan uraian di atas, pijakan dakwah kultural terletak pada konsep atau istilah ma’ruf yakni nilai-nilai luhur serta adat istiadat yang diakui oleh suatu masyarakat selama tidak bertentangan dengan nilai-nilai ilahiyah. Implemantasi dakwah kultural perlu mempertimbangkan kebiasaan, kesepakatan, dan budaya dalam arti seluas-luasnya pada suatu masyarakat yang menjadi objek dakwah. Selama budaya dalam suatu masyarakat bersifat positif dan tidak melanggar prinsip-prinsip ilahiyah, seorang da’i yang menggunakan strategi dakwah kultural mesti bersikap akomodatif terhadap kebudayaan setempat. Bahkan idealnya, perintah dakwah dalam ayat 104 surat Ali-Imran tersebut tidak dapat dipisah-pisahkan antara satu aspek dengan aspek yang lainnya, apalagi jangan hanya diambil salah satu saja dengan mengabaikan yang lainnya. Sebab jika hanya konsep al-khayr yang diambil tanpa ma’ruf dan munkar, maka konsep dakwah Islam hanya akan bersifat normatif belaka dan tidak realistis, sehingga mandul tidak ada efek yang berarti secara sosial. Jika konsep ma’ruf sengaja diambil tanpa al-khayr dan munkar, maka akan menyebabkan dakwah seorang dai terlalu bersifat pragmatis, sehingga terperangkap dalam kepentingan jangka pendek di sini dan kini semata. Dan yang paling kurang tepat ialah jika dai hanya mengambil konsep munkar saja tanpa alkhayr dan ma’ruf, niscaya akan membuat seorang penganjur hanya mengetahui 14 Ibid., hlm. 165. Mawa`izh, Vol. 1, No. 2, Desember 2016 277 Strategi Dakwah Kultural dalam Konteks Indonesia apa yang tidak disetujuinya, pandai melarang tanpa memberi jalan keluar, malah mungkin anjurannya akan tidak lebih dari makian-makian dan kutukan-kutukan semata.15 Dengan demikian, ketiga konsep tersebut sebagai tripologi perjuangan umat Islam yang disuarakan oleh para da’i-da’i profesional tidak dapat dipisahkan antara yang satu dengan yang lainnya. Ketiganya menjadi satu kesatuan yang bersifat integralistik dan disampaikan sesuai dengan kontek dan kebutuhan mad’unya. D. Strategi Dakwah Kultural Secara global, ada dua macam strategi dakwah dalam konteks bangsa Indonesia. Pertama, strategi struktural. Dakwah dengan strategi struktural disebut juga strategi politik, karena kebanyakan strategi struktural menggunakan sarana politik. Meskipun secara resmi tidak ada lagi partai Islam dan aspirasi Islam dianggap dapat ditampung dalam partai-partai yang ada. Mengenai cara parlementer, yang berusaha mempengaruhi legislasi dan pelaksanaannya, kiranya terlalu jelas dan tidak perlu dibicarakan di sini. Cara yang biasa ditempuh ialah dengan duduk di lembaga-lembaga legislatif, DPR, dan MPR. Atau, mempengaruhi pelaksanaan legislasi melalui pengawasan pada birokrasi dan ABRI. Kita harus realistis, bahwa sering komunikasi politik itu tersumbat di sana-sini sehingga sebuah strategi politik ekstra-parlementer diperlukan. Strategi ini diperlukan karena pihak eksekutif sering menunjukkan ketidakadilan dalam penertiban, pilih-kasih dalam penerapan hukum, memberikan toleransi pelaksanaan legislasi berupa penangguhan UMR dan lainnya, toleransi pada pelanggar lingkungan, penggusuran yang sewenang-wenang, dan sebagainya. Strategi inilah yang sering digunakan oleh LSM, sekalipun tidak semua LSM bersifat politis. Banyak LSM yang bergerak dalam advokasi wanita, feminisme, peningkatan kesejahteraan dan sebagainya, tidak bisa dikategorikan sebagai gerakan politik. 15 Nurcholish Madjid, Islam Kerakyatan dan Keindonesiaan (Bandung: Mizan, 1996), hlm. 201. Mawa`izh, Vol. 1, No. 2, Desember 2016 278 Strategi Dakwah Kultural dalam Konteks Indonesia Kata kunci dalam strategi struktural ialah pemberdayaan (empowerment), artinya melalui penjelasan mengenai hak-hak warga negara/buruh/tani/pembantu/wanita, diharapkan ada persamaan persepsi yang mampu melahirkan aksi bersama. Tentu saja dalam strategi struktural akan dibentuk aliansi-aliansi antara berbagai kepentingan yang mempunyai persepsi sama. Biasanya para penguasa (politik, ekonomi, ketertiban) alergi terhadap strategi ini. Seolah-olah strategi struktural menganjurkan revolusi. Tentu saja tidak benar, sebab ada strategi struktural yang memilih reformasi, evolusi, gradualisme.Juga ada tuduhan bahwa strategi struktural cenderungg kepada anarki, yang akan memporak-porandakan semua tatanan. Anarki, ketidaktertiban, kekacauan bukan suatu strategi, tetapi sebuah anti-strategi. Pemberdayaan itu sifatnya kolektif, artinya harus dikerjakan bersamasama. Misalnya sebuah perusahaan menunda pelaksanaan UMR. Hal ini tentu saja merugikan pekerja. Strategi apa yang paling tepat kalau bukan strategi struktural? Demonstrasi, mimbar bebas, apel, tabligh akbar, pemogokan (sit-in dan sit-out), petisi, dan aksi solidaritas ialah cara-cara yang biasa digunakan dalam strategi struktural.Keberhasilan strategi struktural hanya berjangka pendek, jika tidak ada usaha berkelanjutan dalam jangka panjang akan sia-sia. Sayangnya, strategi struktural ini sering dikotori oleh orang-orang yang tidak sabaran, tidak berpikir sistematis, dan tidak berencana sehingga gerakan bisa terseok-seok, mudah terpuruk, dan tampak amatiran. Kiranya, dalam strategi struktural, persistensi amat diperlukan. Misalnya tuntutan pekerja untuk pelaksanaan UMR akan tidak ada gunanya jika ada inflasi. Karena itu, perlu ada tuntutan yang lain, misalnya, industrial democracy, yaitu duduknya wakil-wakil pekerja dalam Dewan Perusahaan, atau pemilikan kolektif. Tentu untuk itu gerakan pekerja perlu SDM yang memadai. Sekarang keadaannya memang belum kondusif untuk gerakan pekerja, hingga perlu campur tangan pihak non-pekerja, yang ternyata sering membuat tujuan pekerja yang sederhana menjadi complicated. Siapa tahu di masa yang akan datang, pekerja menjadi lebih terdidik, terutama dengan bergabungnya white collar workers dalam gerakan pekerja. Sekarang ini, kaum eksekutif tidak pernah merasa dirinya sebagai bagian Mawa`izh, Vol. 1, No. 2, Desember 2016 279 Strategi Dakwah Kultural dalam Konteks Indonesia dari pekerja, meskipun mereka sebenarnya adalah pekerja, bukan pemilik modal. Jaminan hukum kita begitu lemah, sehingga kaum eksekutif enggan bergabung dengan gerakan pekerja. Tujuan dari strategi struktural ialah mengubah struktur. Kalau struktur itu berupa perusahaan maka perubahan dalam perusahaan itu diusahakan lewat legislasi. Para pelaku diharapkan akan mengubah perilakunya sesuai dengan struktur yang baru. Jadi perubahan dari luar.16 Strategi struktural hanya berlaku dalam jangka pendek, terutama untuk menangani masalah-masalah aktual. Kasuskasus Monitor, Permadi, dan Timor-Timur hanya terletak di permukaan, dalam jangka pendek, mendesak, dan kolektif. Kasus-kasus semacam itu tentulah memerlukan strategi struktural, jadi ada kebutuhan yang sungguh-sungguh akan strategi ini. Bukan karena Islam mempunyai tradisi struktural semata-mata. Kriteria kita ialah pemberdayaan, kolektif, legislatif, dan eksekutif, sehingga kita akan memasukkan ormas, seperti Gemuis, KAHMI, dan HMI di sini. Bahkan, misalnya, sebuah masjid atau kelompok dapat dikatakan memakai strategi struktural bila mengadakan tabligh akbar (yang berkonotasi politik).17Sayangnya, selama ini strategi struktural dalam Islam hanya peka dengan isu-isu abstrak. Orang hanya peka dengan isu-isu, seperti amar ma’ruf nahi munkar, tetapi tidak peka dengan isu-isu konkret, seperti kemiskinan, kesenjangan, dan keterbelakangan. Agama hanya dipahami sebagai isu-isu abstrak, karena itu dalam contoh, dimasukkan kasus-kasus konkret, seperti UMR, dengan maksud supaya isu itu juga dianggap sebagai isu Islam, jadi tidak hanya yang khas Islam.18 Kedua, strategi dakwah kultural. Perbedaan yang sering muncul dalam media massa ialah Islam politik dan Islam kultural. Setiap ada demonstrasi, misalnya kasus Monitor atau Permadi, mereka yang berdemonstrasi selalu dimasukkan dalam “Islam politik”. Mungkin ada empowerment dan perilaku kolektif, tetapi kriteria yang lain, yaitu legislatif dan eksekutif tidak terpenuhi, 16 Kuntowijoyo, Muslim Tanpa Masjid (Bandung: Mizan, 2001), hlm. 113-115. Ibid., hlm. 116-117. 18 Ibid., hlm. 117. 17 Mawa`izh, Vol. 1, No. 2, Desember 2016 280 Strategi Dakwah Kultural dalam Konteks Indonesia sehingga diragukan apakah demonstrasi-demonstrasi itu hanya dilakukan oleh “Islam politik”. Perbedaan yang penting antara strategi struktural dan kultural, ialah strategi struktural berusaha mempengaruhi struktur politik (legislatif, eksekutif) dan strategi kultural berusaha mempengaruhi perilaku sosial (cara berpikir masyarakat). Cara utama strategi kultural ialah penyadaran (simposium, seminar, penerbiatan, dakwah, lobi, media massa) dan sifatnya individual (mempengaruhi perorangan).Jangan dibayangkan antara satu strategi dengan strategi yang lain itu mutually exclusive, tetapi komplementer. Kadang-kadang satu organisasi menggunakan strategi ganda. MUI dan DII misalnya, menggunakan strategi struktural dan strategi kultural sekaligus. Kata kunci dalam strategi kultural ialah agama sebagai moral force atau inspirational (moral, etika, intelektual). Pernyataan bahwa agama adalah kekuatan moral berarti tidak ada paksaan, semuanya harus datang dari dalam. Agama adalah sumber inspirasi, dalam arti ajaran-ajaran agama dapat menjadi petunjuk untuk perilaku, misalnya perilaku politik, bisnis, birokrasi, dan industri budaya (media cetak, media elektronik). Kita juga akan menunjuk perorangan dan lembaga yang menggunakan strategi kultural. Untuk kategori perorangan kita akan menyebut nama-nama Nurcholish Madjid, M. Dawam Rahardjo, dan Emha Ainun Nadjib. Tentu saja masih banyak nama-nama lain, tetapi tak termuat di sini. Ketiga orang itu telah berusaha lewat penerbitan-penerbitan, untuk mengubah cara berpikir umat dan cara merasa umat. Nurcholish Madjid berjasa besar dalam mengubah cara berpikir budaya politik dari exclusive (semata-mata orang sendiri, “kita” vs “mereka”) menjadi inclusive (serba masuk, ngerengkuh). M. dawam Rahardjo telah berusaha keras supaya umat berpikir secara intelektual berdasar sumber-sumbernya sendiri (lembaga pesantern, tafsir Al-Qur’an, ekonomi Islam), dan Emha Ainun Nadjib dalam kesenian menunjukkan bahwa Islam itu universal. Mawa`izh, Vol. 1, No. 2, Desember 2016 281 Strategi Dakwah Kultural dalam Konteks Indonesia Ketiga orang itu kita sebut memakai strategi kultural karena menginginkan perubahan dari dalam.19 Kita sebut kultural juga karena berupa “tawaran” yang sukarela, tanpa law enforcement seperti pada strategi struktural. Dalam strategi kultural juga dihindari segala bentuk hegemoni, dominasi, dan paksaan. Konflik-konflik dapat dihindari dengan strategi ini. Cacatnya hanya orang lain sering meremehkan strategi kultural, karena dianggap sebagai tanda sebuah kelumpuhan, “tanpa gigi”, sehingga mudah dimanfaatkan oleh “musuh”, seperti sering terjadi dalam sejarah Indonesia, sengaja atau tidak. Kadang-kadang realitas itu kasar, tidak halus seperti harapan semua orang. Karena itu, strategi struktural, suka atau tidak, tetap diperlukan. Tujuan dari strategi kultural ialah mengubah cara berpikir perorangan, tidak berusaha mengubah kolektivitas. Pendekatan individual ini lebih awet daripada kolektif, karena kesadaran kolektif itu mudah dipengaruhi dari luar, politik, ekonomi, informasi, atau budaya. Kalau kondisi luar berubah, pasti berubahlah kesadaran kolektif. Contohnya ialah busana jilbab. Kalau itu memang berangkat dari kesadaran individual pasti lebih awet ketimbang mode, yang sifatnya kolektif. Mengenai lembaga, kita hanya sempat menyebut dua, yaitu NU dan Muhammadiyah. Harus diakui bahwa kedua lembaga itu muncul dalam suasana sektarianisme (Ahlus Sunnah wal Jamaah vs ijtihad), kemudian keduanya juga mempunyai latar belakang sosial yang berbeda (pedesaan dan agraris vs urban dan pedagang/pegawai). Cara menyatukannya ialah dengan menyadari fungsinya masing-masing, dan dengan mendekatnya secara sosiologis antara desa dan kota, ada tanda-tanda jelas ke arah konvergensi. Kedua lembaga itu telah berjasa besar dalam dakwah. Dengan dakwah mereka ikut menyumbang (faktor lain adalah pendidikan agama di sekolah dan universitas umum) dalam hilangnya apa yang dulu disebut abangan dan santri. Di masa yang lalu NU banyak menghasilkan ulama, Muhammadiyah memasok kaum intelektual. Konvergensi telah mengaburkan produk-produk keduanya, sehingga 19 Strategi kultural ini disebut juga dengan strategi kebudayaan. Lihat Agus Sunyoto, Atlas Wali Songo (Depok: Pustaka Iman, 2014), hlm. viii-xi. Mawa`izh, Vol. 1, No. 2, Desember 2016 282 Strategi Dakwah Kultural dalam Konteks Indonesia berbicara “perbedaan” makin terasa artifisial. Jadi, sekarang ini kita dalam budaya agama telah mengalami dua macam konvergensi, yaitu konvergensi antara abangan dengan santri dan konvergensi antara tradisional dengan modernis. 20 Strategi kultural itu juga memakai strategi jangka panjang, karena keberhasilannya baru dapat dirasakan dalam jangka panjang. Kita baru dapat betul-betul merasakan hasil usaha pendidikan NU, Muhammadiyah, Persis, Perti, dan sebagainya ketika pada tahun 1990 terjadi boom kelas menengah muslim.21Dengan kata lain, strategi kultural menitikberatkan pada individu untuk keperluan jangka panjang. Metode yang sering dipakai ialah penyadaran. Pendidikan dipakai oleh beberapa ormas, tetapi pendidikan dikerjakan dalam rangka dakwah dan mengikuti kemajuan zaman.22 Strategi dakwah kultural juga berpendapat, sejarah dakwah Islam dari kelahirannya saat ini selalu diwarnai dengan proses akulturasi timbal balik. Pada saat dakwah Islam hadir dalam suatu pola budaya tertentu, suatu kali, Islam memberikan corak dominan dalam budaya ini, dan pada saat yang lain, budaya ini memberikan warna terhadap suatu pemahaman Islam tertentu. Dari sini kemudian lahir akulturasi budaya dan Islam pada waktu terjadi “perkawinan” di antara keduanya. Juga lahir kulturisasi, yaitu ketika Islam menginspirasi untuk membentuk suatu model budaya baru dari budaya lokal yang sudah ada. Karena itu, sekalipun Islam itu tunggal, namun wujudnya dapat bermacam-macam, dan kesemuanya itu tidak boleh dianggap sebagai tidak orisinal. Karena jika demikian, maka kita akan kesulitan mencari suatu entitas Islam yang orisinal. Masing-masing bentuk Islam ini syarat dipengaruhi oleh konteks kultural-situasional di mana ia hadir. Banyak pakar, baik dari kalangan orientalis maupun Islam itu sendiri yang berpendapat bahwa karakter keluwesan Islam dalam berdialog dengan budaya lokal itulah yang membawa kesuksesan dakwah Islam di Timur dan di Barat. Menurut mazhab kultural, Islam tidak boleh didakwahkan kecuali dengan karakter yang indegenous, artinya kedatangan dakwah Islam di suatu lokasi harus 20 Ibid., hlm. 118-121. Ibid., hlm. 121. 22 Ibid., hlm. 125. 21 Mawa`izh, Vol. 1, No. 2, Desember 2016 283 Strategi Dakwah Kultural dalam Konteks Indonesia dihadirkan dengan pendekatan-pendekatan yang familier. Pendukung mazhab ini berpendapat, bahwa dakwah semua Rasul tidak pernah lepas dari proses dialog dengan kultural setempat di mana mereka di utus. Dengan mengutip firman Allah QS. Ibrahim 14: 4, “…dan tidak kami utus seorang Rasul pun kecuali dengan lisan kaumnya…”, mereka menafsirkan kata lisanu qaumihi sebagai budaya lokal suatu kaum atau adat istiadat setempat termasuk bahasa.23 Dakwah yang dilakukan dengan pendekatan dialog antara Islam dan budaya ini, bagi mereka, memiliki beberapa keunggulan dibanding dakwah ideologis seperti yang dilakukan mazhab harakah. Pertama, kehadiran dakwah Islam tidak akan dipandang sebagai ancaman terhadap eksistensi budaya lokal. Kedua, dengan menerima dakwah Islam, tidak berarti suatu kaum terputus dari tradisi masa lampaunya. Ketiga, universalisme Islam tidak hanya dianggap sebagai wacana, karena kehadiran Islam tidak dirasakan sebagai sesuatu yang lain, tetapi bagian yang integral dengan budaya lokal. Kehadiran dakwah tidak akan dipandang sebagai ancaman untuk budaya lokal, karena dakwah Islam tidak hadir sebagai “imperialis” yang memusnahkan keseluruhan budaya lokal. Sebaliknya, dakwah Islam dengan pendekatan kulturalnya itu justru hadir untuk mengukuhkan kearifan-kearifan lokal yang ada pada suatu pola budaya tertentu dengan cara memisahkannya dari unsur-unsur yang bertentangan dengan nilai-nilai kemanusiaan universal di satu sisi, dan memberikan inspirasi inovatif di sisi yang lain. Dengan pendekatan kultural ini, hadirnya dakwah Islam bukan hanya akan menumbuhkembangkan budya lokal, tetapi menyadarkan rasa butuh yang ada pada setiap sanubari manusia terhadap wahyu dan petunjuk Ilahi.24 E. Penutup Melalui paparan di atas, kita dapat menarik kesimpulan bahwa dakwah kultural merupakan kegiatan dakwah yang mempertimbangkan segala bentuk 23 Abdul Munir Mulkhan, Manusia Alquran (Yogyakarta: Kanisius, 2007), hlm. 189. Abdullah YusufAli,Qur’an Terjemahan dan Tafsirnya,Terj. Ali Audah(Jakarta: Pustaka Firdaus, 1993), hlm 620. 24 A. ilyas Ismail& Prio Hotman, Filsafat Dakwah (Jakarta: Kencana, 2011), hlm. 246- 248. Mawa`izh, Vol. 1, No. 2, Desember 2016 284 Strategi Dakwah Kultural dalam Konteks Indonesia budaya yang bersifat positif yang tengah berkembang dalam suatu masyarakat. Setiap dai yang melakukan dakwah melalui strategi kultural perlu menguasai konsep-konsep dakwah kultural agar dapat menyesuaikan diri dan pesan yang disampaikan olehnya dapat diterima dengan baik oleh mad’u. Dakwah kultural pun memiliki pijakan normatif di mana ayat-ayat Al-Quran mengisyaratkan agar setiap pesan-pesan yang hendak disampaikan oleh seorang ulama atau dai harus mempertimbangkan kebiasaan, adat istiadat, dan budaya yang bersifat positif dalam suatu masyarakat. Dengan demikian, strategi dakwah kultural merupakan salah satu strategi dakwah yang harus dikuasai oleh para dai dalam menghadapi beragama budaya masyarakat yang sangat kompleks supaya dakwah mereka berhasil. Mawa`izh, Vol. 1, No. 2, Desember 2016 285 Strategi Dakwah Kultural dalam Konteks Indonesia DAFTAR PUSTAKA Ali, Abdullah Yusuf. Qur’an Terjemahan dan Tafsirnya. Terj. Ali Audah. Jakarta: Pustaka Firdaus, 1993. Basit, Abdul. Filsafat Dakwah. Jakarta: Rajawali Pers, 2013. Ismail, A. ilyas & Prio Hotman. Filsafat Dakwah. Jakarta: Kencana, 2011. Kuntowijoyo. Muslim Tanpa Masjid. Bandung: Mizan, 2001. Katsir,Ibnu.Tafsir Al-Quran Al-‘Adzim, Juz. I.Beirut: Darul Fikr, 2006. Madjid, Nurcholish. Islam Agama Kemanusiaan. Jakarta: Paramadina, 2003. ______. Cendekiawan & Religiusitas Masyarakat. Jakarta: Paramadina, 1999. ______. Islam Kerakyatan dan Keindonesiaan. Bandung: Mizan, 1996. ______. Tradisi Islam. Jakarta: Paramadina, 1997. Mulkhan, Abdul Munir. Manusia Al-Qur’an. Yogyakarta: Kanisius, 2007. Nasution, Khoiruddin. Pengantar Studi Islam. Yogyakarta: ACAdeMIA+Tazzafa, 2009. Nata, Abuddin. Peta Keberagamaan Pemikiran Islam di Indonesia. Jakarta: RajaGrafindo Persada, 2001. Sunyoto, Agus. Atlas Wali Songo.Depok: Pustaka IIMaN, 2014. Shihab, M. Quraish. Al-Qur’an dan Maknanya. Jakarta: Lentera Hati, . ______. Tafsir Al-Misbah Vol. 2. Jakarta: Lentera Hati, 2000. Mawa`izh, Vol. 1, No. 2, Desember 2016 286