program kelas layanan khusus (klk) penyelamat anak putus sekolah

advertisement
PROGRAM KELAS LAYANAN KHUSUS (KLK) PENYELAMAT ANAK
PUTUS SEKOLAH
¹Harni Marisa, ²Achmad Hufad, ³Siti Nurbayani
Mahasiswa Prodi Pendidikan Sosiologi, FPIPS UPI, Jl. Dr. Setiabudi No. 299 Bandung
Dosen FIP/Prodi Pendidikan Sosiologi/Pascasarjana
Dosen MKDU/Prodi Pendidikan Sosiologi/Pascasarjana
E-mail: [email protected]
Abstract: The program Kelas Layanan Khusus (KLK) rescue children drop
out of school. This research is motivated by the high school dropout rates in
urban areas one in the city of Bandung. So to reduce the dropout rate was issued
government policies, one of which is the program Kelas Layanan Khusus (KLK)
held in SDN Luginasari 2 Bandung, with the program Kelas Layanan Khusus
(KLK), then a chance of school dropouts to return to education becom easier and
open. This research aims to find out how the program's existence Kelas Layanan
Khusus (KLK) in assisting the creation of children out of primary school
education in SDN Luginasari 2 Bandung. This study used a qualitative approach
to database collection techniques of observation through in-depth interviews,
document studies, and literature studies. Results: (1) The form of educational
program Kelas Layanan Khusus (KLK) is a form of formal schooling. (2) The
condition of learners Kelas Layanan Khusus (KLK) diverse. (3) The role of
parents overall to help the implementation of program Kelas Layanan Khusus
(KLK). (4) Effort school in overcoming difficulties in the learning process of
Kelas Layanan Khusus (KLK).
Keywords: Children drop out of school, Kelas Layanan Khusus (KLK), School
Abstrak: Program Kelas Layanan Khusus (KLK) penyelamat anak putus
sekolah. Penelitian ini dilatarbelakangi oleh tingginya angka anak putus sekolah
di daerah perkotaan salah satunya di kota Bandung. Alhasil untuk mengurangi
angka putus sekolah dikeluarkanlah kebijakan pemerintah, salah satunya adalah
program Kelas Layanan Khusus (KLK) yang diselenggarakan di SDN
Luginasari 2 Bandung, dengan adanya program Kelas Layanan Khusus (KLK)
maka kesempatan anak putus sekolah untuk kembali mengakses pendidikan
menjadi lebih mudah dan terbuka. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui
bagaimana eksistensi program Kelas Layanan Khusus (KLK) dalam membantu
terciptanya pendidikan anak putus sekolah dasar di SDN Luginasari 2 Bandung.
Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif dengan teknik pengumpulan
data observasi melalui wawancara mendalam, studi dokumentasi, dan studi
literatur. Hasil penelitian: (1) Bentuk pendidikan program Kelas Layanan
Khusus (KLK) merupakan bentuk sekolah formal. (2) Kondisi peserta didik
Kelas Layanan Khusus (KLK) yang beraneka ragam. (3) Peran orang tua secara
keseluruhan membantu terselenggaranya program Kelas Layanan Khusus
(KLK). (4) Upaya pihak sekolah dalam mengatasi kesulitan proses belajar pada
program Kelas Layanan Khusus (KLK).
Kata Kunci: Anak putus sekolah, Kelas Layanan Khusus (KLK), Sekolah
Pada masa sekarang ini pendidikan
merupakan suatu kebutuhan primer, bahwa
pendidikan memegang peranan penting
dalam kehidupan bermasyarakat. Sudah
semestinya memang dalam kenyataan
semua orang-orang berlomba dalam
mengenyam pendidikan yang setinggitingginya, namun disisi lain ada sebagian
masyarakat
yang
tidak
mampu
mengenyam pendidikan secara layak, baik
dari tingkat dasar maupun tingkat yang
lebih tinggi. Selain itu, ada pula
masyarakat yang memang pada awalnya
dapat mengenyam pendidikan sampai pada
tingkat dasar, namun akhirnya di tengah
jalan karena terputus masalah sosial dan
perekonomian terjadilah anak putus
sekolah.
Pada hakikatnya bahwa pendidikan
dapat membantu suatu keteraturan dalam
masyarakat, peraturan yang telah dibuat,
nilai yang telah ada di masyarakat akan
dijalankan dengan baik sehingga tercipta
suatu kehidupan yang selaras, seimbang,
dan harmonis ketika setiap individu
memahaminya, salah satu usaha agar hal
itu terwujud adalah melalui pendidikan.
Pendidikan di daerah perkotaan sudah
selayaknya mendapatkan akses yang
nyaman, mudah, serta memiliki kualitas
dan kuantitas yang baik dari segi
pelayanannya kepada masyarakat maupun
dari segi manajemen di sekolahnya itu
sendiri. Namun, sangat disayangkan
apabila fenomena yang muncul saat ini
bahwa masih saja ada kasus anak putus
sekolah di daerah perkotaan, salah satunya
di daerah Kota Bandung. Bandung adalah
pusat kota yang terdapat di Jawa Barat kini
keberadaannya sudah bersaing dengan
Kota Jakarta maka tak ayal jika dijuluki
sebagai kota metropolitan. Bandung
merupakan
kota
terbesar
jumlah
penduduknya
setelah
Jakarta
dan
Surabaya, maka hal itu menyebabkan
tingginya arus urbanisasi dan padatnya
penduduk di kota Bandung.
Fenomena yang kita lihat pada saat ini
sebenarnya tidak berbanding lurus dengan
harapan
yang
dicita-citakan
oleh
pendidikan nasional, karena dewasa ini
masih banyak anak-anak di daerah
perkotaan memilih putus sekolah atau
dengan kata lain memilih untuk berhenti
dan tidak menamatkan pendidikan di
setiap jenjang terutama di jenjang Sekolah
Dasar. Sungguh sangat ironi ketika zaman
yang telah maju akan perkembangan
sistem arus informasi dan teknologi tetapi
negara kita masih bergelut dengan
masalah-masalah
pendidikan
yang
mendasar. Masalah ini dapat dilihat
melalui kehidupan sehari-hari, masih
banyaknya anak usia sekolah hidup di
jalanan, mencari nafkah dengan cara yang
tidak layak, anak-anak tersebut bergelut
dengan dunia keras demi sesuap nasi.
Anak putus sekolah merupakan proses
berhentinya siswa secara terpaksa dari
suatu lembaga pendidikan tempat dia
belajar. Hal tersebut berarti berhentinya
seorang anak yang sedang mengenyam
pendidikan karena berbagai faktor, salah
satunya faktor ekonomi keluarga yang
kurang
sehingga
membuat
anak
memutuskan untuk berhenti sekolah.
Namun, di daerah perkotaan hal yang
demikian tidak menjadi sumber utama
seorang anak berhenti sekolah. Faktor
keluarga dapat memicu anak untuk
berhenti sekolah, seperti kondisi pekerjaan
kedua orang tua yang tidak menetap
membuat terpaka anak harus ikut pindah
mengikuti tempat orang tuanya bekerja.
Hal tersebut memunculkan sikap malas
pada anak, seorang anak cenderung bosan
akibat kondisi orang tua yang berpindahpindah tempat sehingga perhatian orang
tua kepada anak dalam aspek pendidikan
berkurang yang pada akhirnya terjadilah
DO (drop out).
Fenomena putus sekolah bukanlah
merupakan persoalan yang baru, tak hanya
terjadi di desa namun pada masyarakat
kota besar pun angka putus sekolah masih
terbilang besar. Dalam hal ini, peneliti
lebih berfokus pada faktor sosial ekonomi
dan keluarga menjadi hal sangat penting
yang memicu seorang anak untuk berhenti
mengenyam pendidikan sekolah dasar.
Berdasarkan pengamatan peneliti dari
hasil wawancara bahwa di daerah Sukajadi
Bandung terdapat anak putus sekolah yang
kemudian sebagian dari mereka tak jarang
untuk mengadu nasib di jalanan. Kondisi
perekonomian
keluarga
dan
daya
pendidikan yang dimiliki oleh orang tua
membuat anak dibiarkan untuk turun ke
jalan dengan alasan membantu kebutuhan
sehari-hari keluarga. Mahalnya pendidikan
yang harus diakses pada masyarakat
perkotaan membuat mereka para orang tua
yang tak mampu menyekolahkan anaknya
dan memilih untuk tidak meneruskan
anaknya bersekolah. Padahal, di usianya
yang masih belia seorang anak wajib
mendapatkan pendidikan. Selain latar
belakang permasalahan ekomoni, anak
mengalami DO (drop out) akibat faktor
keluarga. Kurangnya perhatian orang tua
yang menyebabkan anak malas untuk pergi
ke sekolah, serta kurangnya motivasi dari
orang tua mengenai pentingnya pendidikan
untuk anak. Hal tersebut dipicu dari
sibuknya kedua orang tua dalam bekerja,
orang tua tersebut siang dan malam
mencari nafkah guna memenuhi kebutuhan
sehari-hari. Memang tak dapat dipungkiri
semakin tingginya harga kebutuhan pokok
di masyarakat menjadikan orang tua
banting setir dalam memenuhi kebutuhan
sehari-hari, dari sanalah timbul masalah
baru yakni kurangnya perhatian kepada
anak karena orang tua lebih mementingkan
pekerjaannya.
Harus
kita
ketahui
bahwa
sesungguhnya pendidikan merupakan
salah satu institusi penting dalam proses
perubahan pada suatu masyarakat.
Masyarakat
yang memiliki
sistem
pendidikan yang maju tentu saja dapat
mempercepat perubahan sosial dalam
masyarakat tersebut dan sebaliknya.
Singkatnya bahwa pendidikan memberikan
sumbangan pada perubahan sosial yang
terjadi pada individu maupun masyarakat.
Martono (2011, hlm.193) menegaskan
bahwa:
Pendidikan sebagai bagian dalam
perubahan sosial pada dasarnya
memiliki tugas untuk melakukan
perubahan sosial dan transformasi
menuju dunia yang lebih adil. Posisi
ini disebabkan karena realitas atau
kondisi masyarakat selalu berubah.
Pendidikan mempunyai tugas agar
individu
mampu
menghadapi
perubahan sosial tersebut.
Pendidikan
pada
hakikatnya
merupakan suatu upaya mewariskan nilai
yang akan menjadi penolong dan penentu
umat manusia dalam menjalani kehidupan
dan sekaligus untuk memperbaiki nasib
dan peradaban umat manusia.
Martono (2011, hlm.195) menjelaskan
juga bahwa:
Tanpa pendidikan, maka diyakini
bahwa manusia sekarang tidak berbeda
dengan generasi manusia masa lampau,
yang dibandingkan dengan manusia
sekarang, telah sangat tertinggal baik
kualitas kehidupan maupun prosesproses pemberdayaannya.
Sanaky (dalam Martono, 2011,
hlm.195) menegaskan bahwa “Secara
ekstrem dapat dikatakan bahwa maju
mundurnya atau baik buruknya peradaban
suatu masyarakat atau suatu bangsa
ditentukan oleh bagaimana pendidikan
yang dijalani oleh masyarakat bangsa
tersebut”. Pendidikan pada hakikatnya
juga dapat didefinisikan sebagai sebuah
proses mengubah perilaku individu, tentu
saja dalam hal ini adalah perubahan
menuju ke arah yang lebih baik. Proses
pendidikan itu sendiri menurut Fiere
(dalam Martono, 2011, hlm.196) bahwa
“Pendidikan dimaknai sebagai sebuah
proses untuk membentuk manusia
seutuhnya atau proses memanusiakan
manusia”. Sedangkan menurut Dewey
(dalam
Martono,
2011,
hlm.196)
memberikan definisi bahwa “Pendidikan
secara luas sebagai organisasi pengalaman
hidup
serta
pembentukan
kembali
pengalaman hidup”.
Maka dari itu,
peneliti menyimpulkan bahwa pendidikan
adalah suatu proses perubahan dimana
adanya perubahan pola tingkah laku
manusia ke arah yang lebih baik dari
pengalaman hidup yang diperolehnya.
Posisi pendidikan sesungguhnya sangat
strategis yakni erat kaitannya dengan
fungsi agent of change. Pendidikan
merupakan proses transfer ilmu juga
sebagai proses penanaman nilai dan norma
kepada individu. Pendidikan dapat
dikatakan sebagai agent of change karena
dapat mengubah pola pikir individu,
menjadi pengalaman terbaik, serta melalui
pendidikanlah masyarakat akan menjadi
terbuka wawasannya dari hal tidak tahu
menjadi tahu. Dari proses pendidikan
seseorang pula dapat menaikkan status dan
kedudukannya di masyarakat, maka
pendidikan juga dapat dikatakan sebagai
proses mobilitas sosial seseorang ke arah
yang lebih baik.
Telah dijelaskan mengenai pendidikan
di atas, namun sejauh ini bahwa
pendidikan di Indonesia adalah hak bagi
setiap warga negara dan hal tersebut telah
diatur dalam UUD 1945 pasal 31 yang
menyatakan secara tegas bahwa tiap-tiap
warga negara berhak mendapatkan
pengajaran. Namun kita ketahui bersama
ternyata keadaan di lapangan masih
banyak anak yang tidak bisa mendapatkan
pendidikan yang layak mulai dari jenjang
Sekolah Dasar, bahkan tidak bersekolah
baik karena belum/tidak pernah sekolah,
maupun karena putus sekolah atau tidak
melanjutkan ke jenjang yang lebih tinggi
dengan berbagai macam latar belakang
terutama dari faktor lemahnya sosial
ekonomi orang tua yang menyebabkan
anak putus sekolah.
Kebijakan pemerintah tentang program
Wajib Belajar 9 tahun didasari konsep
“pendidikan dasar untuk semua” yang
berarti penyediaan akses pendidikan yang
sama harus didapatkan oleh semua anak.
Program ini mewajibkan setiap warga
negara Indonesia untuk bersekolah selama
9 tahun pada jenjang pendidikan dasar,
yaitu tingkat SD dan SMP. Melalui
program Wajib Belajar 9 tahun,
diharapkan dapat mengembangkan sikap,
pengetahuan dan keterampilan dasar yang
perlu dimiliki sebagai warga negara untuk
bekal dalam hidup bermasyarakat.
Selain kebijakan tentang Wajib Belajar
9 tahun, pemerintah juga telah berusaha
menanggulangi masalah putus sekolah
dengan memberikan program Bantuan
Operasional Sekolah (BOS). Tujuan
program ini untuk membebaskan biaya
pendidikan bagi siswa tidak mampu dan
meringankan siswa yang lain, agar mereka
memperoleh layanan pendidikan dasar
yang lebih bermutu sampai tamat dalam
rangka penuntasan Wajib Belajar 9 tahun.
Meskipun
usaha
telah
dilakukan
pemerintah, namun kasus anak putus
sekolah masih saja tetap ada.
Nampaknya persoalan pendidikan
perlu kita benahi bersama, tak hanya
sebagai kajian dari pakar pendidikan
semata atau tugas pemerintah saja, namun
harus ada singkornisasi antara pihak
pemangku kepentingan dengan semua
lapisan masyarakat. Oleh karena itu,
diperlukan beberapa kebijakan penting
yang
harus
diambil
agar
bisa
menyelesaikan
sederet
permasalahan
pendidikan yang dihadapi oleh bangsa
Indonesia tersebut dalam penanganan anak
putus sekolah, salah satunya adalah
program Kelas Layanan Khusus (KLK),
dengan adanya program Kelas Layanan
Khusus (KLK) maka kesempatan anak
putus sekolah untuk kembali mengakses
pendidikan menjadi lebih mudah dan
terbuka.
Pada tahun 2008 SDN Luginasari 2
ditunjuk untuk menyelenggarakan Kelas
Layanan Khusus (KLK) berdasarkan Surat
Keputusan Direktur Jenderal Manajemen
Pendidikan
Dasar
dan
Menengah,
Depdiknas Nomor 0106.1/023.03.1/-/2009
tanggal 31 Desember 2008 tentang Kelas
Layanan Khusus (KLK), karena disekitar
lingkungan SDN Luginasari 2 banyak
anak-anak yang putus sekolah (DO)
bahkan belum bersekolah walau usianya
melebihi usia Sekolah Dasar.
Hal tersebut terjadi karena sebagian
besar dari mereka adalah anak-anak
jalanan yang diharuskan bekerja oleh
orang tua mereka untuk membantu
kebutuhan hidup sehari-hari, sehingga
mereka tidak mampu untuk bersekolah.
Sedangkan Undang-Undang Sisdiknas RI
No.20 tahun 2003 pasal 32 ayat 2 tentang
Pendidikan Layanan Khusus dinyatakan
bahwa pendidikan khusus merupakan
pendidikan bagi peserta didik di daerah
tepencil atau terbelakang, masyarakat adat
yang
terpencil
atau
terbelakang,
masyarakat adat yang terpencil dan atau
mengalami bencana alam, bencana sosial
dan tidak mampu dari segi ekonomi.
Dari tahun ke tahun program Kelas
Layanan Khusus (KLK) di SDN
Luginasari terus bertambah, hal tersebut
dipicu oleh melonjaknya arus urbanisasi
yang tinggi serta masyarakat sudah
menaruh kepercayaan lebih terhadap SDN
Luginasari 2 dalam hal pengelolaan dan
proses pembelajarannya. Berikut adalah
data peserta didik program Kelas Layanan
Khusus (KLK) di SDN Luginasari 2.
Namun, walaupun sudah ada program
Kelas Layanan Khusus (KLK) di sekolah
tidak menutup kemungkinan orang tua
mereka mau menyekolahkan kembali
anaknya
ke
bangku
pendidikan.
Masalahnya adalah walaupun seluruh
biaya pendidikan di Kelas Layanan
Khusus (KLK) ditanggung pemerintah
tetapi orang tua sulit untuk mendorong
anak mereka kembali ke sekolah, karena
saat anak putus sekolah maka mereka
cenderung akan turun ke jalanan atau
mereka akan membantu orang tua untuk
bekerja. Sehingga masalah yang timbul
semakin kompleks, mulai dari anak
berhenti untuk mengenyam pendidikan dan
lemahnya kontrol sosial dari orang tua
karena ada sebagian anak yang diharuskan
bekerja
untuk
membantu
kondisi
perekonomian keluarga. Selain dari faktor
sosial dan ekomoni, perilaku anak yang
cenderung malas belajar serta kondisi
orang tua yang sering berpindah-pindah
lokasi
tempat
tinggal
menjadikan
pendidikan anak terbengkalai. Mulai dari
kurangnya perhatian orang tua terhadap
anak sehingga anak cenderung bermalasmalasan dan kurang terciptanya suasana
menyenangkan di lingkungan sekolah.
Penelitian ini berfokus pada masalah
yang terjadi di dalam kegiatan program
Kelas Layanan Khusus (KLK) yang
khusus menangani anak-anak yang tidak
dapat mengakses pendidikan karena
keterbatasan biaya. Sejauh mana orangorang yang terlibat dalam program Kelas
Layanan Khusus (KLK) yaitu peran kepala
sekolah, guru, serta orang tua murid untuk
memaknai hadirnya keberadaan program
Kelas Layanan Khusus (KLK) tersebut.
Hadirnya program Kelas Layanan
Khusus (KLK) membuat SDN Luginasari
2 ini menambah pekerjaan baru untuk guru
yang mengajar pada kelas reguler, karena
sejatinya anak yang belajar pada program
Kelas Layanan Khusus (KLK) ini terpisah
dengan kelas reguler. Guru harus
mempunyai tenaga ekstra mengajar pada
peserta didik program Kelas Layanan
Khusus (KLK) di SDN Luginasari 2,
karena pembelajaran pada program Kelas
Layanan Khusus (KLK) mulai dari siang
hari sampai sore hari. Selain itu,
pendekatan dari guru terhadap murid yang
masuk pada program Kelas Layanan
Khusus (KLK) berbeda dengan murid
yang ada di kelas reguler, terutama
pendekatan
terhadap
anak
yang
mempunyai latar belakang anak jalanan.
Guru harus mendekati anak dengan
perlahan dan kemampuan sosial yang
tinggi agar anak secara perlahan
merasakan bahwa bersekolah itu sangat
penting untuk kebutuhan masa depannya.
Dari paparan singkat di atas mengenai
program Kelas Layanan Khusus (KLK)
yang ada di SDN Luginasari 2 Bandung
dirasa banyak memiliki masalah dalam
menjalankan programnya. Terlebih dalam
pengadaan
program
ini
tentunya
membutuhkan dukungan dari berbagai
pihak, mulai dari lingkungan sekolah
sampai lingkungan keluarga anak yang
putus sekolah itu sendiri.
Maka dari itu peneliti merasa tertarik
untuk mengetahui lebih dalam bagaimana
gambaran persoalan yang dihadapi oleh
adanya program Kelas Layanan Khusus
(KLK)
dalam
mengupayakan
mengentaskan anak putus sekolah yang
ada di Kota Bandung kawasan Sukajadi
dimana program Kelas Layanan Khusus
(KLK) ini telah berlangsung pada salah
satu sekolah dasar yang ada di Kota
Bandung yakni SDN Luginasari 2.
METODE
Dalam penelitian ini, peneliti akan
melakukan penelitian studi kasus dengan
maksud mengetahui lebih dalam tentang
eksistensi program Kelas Layanan Khusus
(KLK) dalam membantu terciptanya
pendidikan untuk anak putus sekolah dasar
yang dilaksanakan di SDN Luginasari 2
Kel. Cipedes Kec. Sukajadi Bandung.
Penelitian ini dilakukan pada sekolah
SDN Luginasari 2 Kel.Cipedes Kec.
Sukajadi Bandung. Penelitian yang
dilakukan ini merupakan penelitian
kualitatif
maka
subjek
penelitian
merupakan pihak-pihak yang menjadi
sasaran penelitian atau sumber yang dapat
memberikan informasi. Subjek dalam
penelitian ini agar dapat variasi yang
sebanyak-banyaknya maka pemilihan
subjek dilakukan terhadap siswa, orang tua
siswa, kepala sekolah dan guru yang
mengajar pada program Kelas Layanan
Khusus (KLK) yang ada di SDN
Luginasari 2 Kel. Cipedes Kec. Sukajadi
Bandung. Adapun informan pendukung
dalam penelitian berupa warga sekolah
yang terdiri dari petugas Tata Usaha dan
guru lain (kelas reguler).
Partisipan dalam penelitian ini yaitu
anak-anak yang dibina pada Program Kelas
Layanan Khusus (KLK) dan orangtuanya
serta para guru yang mengajar di Program
Kelas Layanan Khusus (KLK) sebanyak 5
orang. Guru yang mengajar pada program
Kelas Layanan Khusus (KLK) sejumlah 3
orang serta beberapa informan pendukung
untuk memperkuat hasil penelitian yang
dialukan kepada informan kunci.
Tempat penelitian dilakukan di SDN
Lugnasari 2 yang terletak di Jalan
Komplek Polri Kel. Cipedes Kec. Sukajadi
Bandung. Partisipan memiliki latar
belakang yang berbeda-beda, baik dalam
segi pendidikan, daerah asal, dan
pekerjaan.
1. Daerah asal siswa yang berbeda-beda,
seperti Bandung dan Brebes.
2. Pendidikan orang tua siswa, sebagian
mengenyam pendidikan secara formal
hanya sampai sekolah dasar (SD).
3. Pekerjaan orang tua siswa semuanya
adalah buruh.
Teknik pengumpulan data adalah cara
yang dilakukan untuk mengumpulkan data
dalam kegiatan penelitian. Teknik
pengumpulan data yang dipergunakan
dalam penelitian ini yaitu melalui
wawancara, observasi, studi literatur dan
studi dokumentasi. Seperti yang dijelaskan
oleh Bungin (2010, hlm.107) bahwa:
Berdasarkan manfaat empiris bahwa
metode pengumpulan data kualitatif
yang paling independen terhadap semua
metode pengumpulan data dan teknik
analisa data adalah metode wawancara
mendalam, observasi partisipasi, bahan
dokumenter, serta metode-metode baru
seperti metode bahan visual dan metode
penelusuran bahan internet.
Observasi adalah teknik pengumpulan
data dengan melakukan pengamatan
langsung dan peninjauan secara cermat
terhadap subjek penelitian. Dalam kegiatan
observasi peneliti mempelajari kehidupan
sehari-hari manusia mulai dari bahasanya,
melihat dengan mata kepala sendiri apa
yang terjadi, mendengarkan dengan telinga
sendiri apa yang dikatakan orang.
Mencatat apa yang dilihat dan didengar,
apa yang mereka katakan, pikirkan dan
rasakan.
Observasi yang dilakukan peneliti
dalam penelitian ini seperti yang
dijelaskan di atas, peneliti akan melakukan
pengamatan pada orang tua siswa dari
mengamati kehidupan sehari-hari terutama
dalam hubungannya dengan pihak sekolah,
kinerja kepala sekolah serta guru yang
mengajar siswa pada program Kelas
Layanan
Khusus
(KLK).
Setelah
memperolah
informasi
mengenai
hubungan yang terjadi antar pihak-pihak
tersebut peneliti akan langsung melakukan
pengamatan secara mendalam dan
memahami berbagai macam argumentasi
yang terlontar dari masing-masing pihak
yang memiliki kepentingannya masingmasing.
Selain
menggunakan
teknik
pengumpulan data dengan cara observasi,
peneliti juga akan melakukan wawancara
yang mendalam ke pihak-pihak yang
terkait yaitu orang tua siswa, kepala
sekolah, dan guru yang menjalankan
program Kelas Layanan Khusus (KLK) di
SDN Luginasari 2.
Studi dokumentasi ini dimaksudkan
untuk memperkuat dan melengkapi data
hasil observasi dan wawancara yang telah
dilaksanakan. Studi dokumentasi yang
dilakukan oleh peneliti yaitu dengan
melihat data-data mengenai keberadaan
siswa dan latar belakang orang tua siswa.
Hal tersebut sesuai dengan pernyataan
Bungin (2012, hlm. 124) menyebutkan
bahwa “Metode dokumenter adalah salah
satu metode pengumpulan data yang
digunakan dalam metodologi penelitian
sosial untuk menelusuri data historis”.
Studi
litelatur digunakan untuk
memperoleh data empiris yang relevan dan
berkaitan dengan masalah yang sedang
diteliti. Peneliti membaca dan mempelajari
sumber-sumber informasi yang berkaitan
dengan masalah yang diteliti oleh peneliti,
baik sumber buku-buku, jurnal, skripsi,
maupun karya tulis ilmiah lainnya yang
berkaitan dengan kajian pustaka, seperti
kajian mengenai permasalahan pendidikan,
anak putus sekolah, serta penelitian
terddahulu. Selain itu, sumber litelatur
digunakan sebagai sumber memahami
metode penelitian dan sebagai pisau
analisis peneliti dalam menganalisis hasil
temuan dilapangang berkaitan dengan
permasalahan yang diteliti.
Sedangkan
teknik
analisis
data
menggunakan
data
reduksi
(data
reduction), Penyajian Data (Data Display),
Kesimpulan
(Conclusion
Drawing
Verification). Data yang telah didapatkan
akan diolah dan dicek kebenaran datanya,
peneliti melalukan pengecekan kebenaran
data dengan cara yang dikemukakan oleh
Melong (dalam Bungin, hlm. 262) yang
terdiri dari “perpanjangan keiikutsertaan,
triangulasi, menggunakan bahan referensi,
dan pengecekan”.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Bentuk Pendidikan Program Kelas
Layanan Khusus (KLK) di SDN
Luginasari 2 Bandung
Menurut hasil observasi dan wawancara
yang dilakukan oleh peneliti bahwa
program Kelas Layanan Khusus yang
terdapat di SDN Luginasari 2 termasuk ke
dalam pendidikan formal. Hal tersebut
dibuktikan bahwa Coombs (dalam Yusuf,
1982, hlm. 62) mengemukakan bahwa
“Pendidikan formal ialah pendidikan yang
bersrtruktur, mempunyai jenjang/tingkat,
dalam periode waktu-waktu tertentu,
berlangsung dari sekolah dasar sampai ke
universitas dan tercakup di samping studi
akademis umum, juga berbagai program
khusus dan lembaga untuk latihan teknis
dan profesional”. Program Kelas Layanan
Khusus (KLK) merupakan suatu program
yang berlangsung di unit sekolah dasar
negeri yakni SDN Luginasari 2 Bandung
yang mendapatkan surat langsung dari
dinas yakni Nomor 0106.1/023.03.1//2009 tanggal 31 Desember 2008 tentang
Kelas Layanan Khusus (KLK), karena
disekitar lingkungan SDN Luginasari 2
banyak anak-anak yang putus sekolah
(DO) bahkan belum bersekolah walau
usianya melebihi usia Sekolah Dasar.
Selain dari yang telah dipaparkan
diatas, bahwa peneliti juga sempat
mewawancarai salah satu narasumber
kunci yakni kepala sekolah SDN
Luginasari 2 menyakatan anak yang
terbina pada program Kelas Layanan
Khusus (KLK) adalah siswa yang
berprestasi. Sebut saja AP, pada tahun
2011 AP pernah menjuarai lomba lari
estafet.
Hal
tersebut
tidaklah
mengherankan karena AP memiliki latar
belakang sebagai anak jalanan, oleh sebab
itu bakat AP yang seringkali melakukan
aktifitas berlari di siang hari disalurkan
oleh guru Penjas Orkes agar lebih
bermanfaat.
Dari pemaparan singkat di atas telah
membuktikan bahwa bentuk pendidikan
yang diberikan oleh tenaga pendidik di
SDN Luginasari 2 telah maksimal. Selain
yang terjadi pada AP, beberapa siswa
Kelas Layanan Khusus (KLK) menjuarai
lomba menari dan bernyanyi. Namun,
seiring berkembangnya zaman bahwa anak
yang ditampung oleh program Kelas
Layanan Khusus (KLK) sedikit bergeser,
dari latar belakang anak jalanan berubah
menjadi anak korban DO (drop out).
Maka, bentuk pendidikan pun disesuaikan
dengan karakter anak tersebut. Pada anak
yang memiliki latar belakang anak jalanan,
proses pembelajaran dilaksanakan dengan
mengkolaborasikan kemampuan minat dan
bakatnya. Sedangkan pada anak korban
DO guru cenderung untuk memahami anak
dari segi psikologis terlebih dahulu, karena
anak korban DO cenderung pemalas. Pada
akhirnya guru harus memutar otak dua kali
supaya
menciptakan
suasana
menyenangkan berada di lingkungan
sekolah.
Setiap kelas reguler pasti memiliki
jadwal pelajaran yang berbeda-beda, hal
itu pun terjadi pada program Kelas
Layanan Khusus (KLK) di SDN
Luginasari 2. Kelas Layanan Khusus
(KLK) ini sengaja proses pembelajarannya
dilakukan di siang hari karena guru yang
mengajar di Kelas Layanan Khusus (KLK)
pada pagi harinya harus melakukan proses
pembelajaran di kelas reguler. Selain hal
itu, pelajaran pada Kelas Layanan Khusus
(KLK) muatannya tidak terlalu banyak
seperti yang terjadi pada kelas reguler. Hal
ini disesuaikan dengan kondisi psikologis
siswa.
Bisa ditarik kesimpulan bahwa bentuk
pendidikan yang dilaksanakan oleh
program Kelas Layanan Khusus (KLK) di
SDN Luginasari 2 telah seimbang. Artinya
kebutuhan akan pengetahuan, sikap/budi
pekerti luhur, pengembangan minat bakat,
dan kesehatan jasmani pun diberikan
kepada anak-anak putus sekolah yang
terbina dalam program Kelas Layanan
Khusus (KLK). Kepala sekolah SDN
Luginasari 2 itu berharap bahwa dengan
adanya pengembangan bakat minat bisa
menggali potensi anak-anak yang notabene
adalah anak jalanan dan DO sehingga pada
saat anak di transfer ke kelas reguler anak
tersebut bisa menyesuaikan diri dengan
iklim kelas reguler yang heterogen. Lebih
jauh dari itu, harapannya bahwa anak
tersebut
bisa
mengembangkan
keterampilannya di dunia luar dan
menambah semangat untuk mengenyam
pendidikan.
Pada akhirnya setelah anak tersebut
berhasil seminimalnya bisa membaca,
menulis, dan berhitung serta bisa
menyesuaikan kondisi dengan temanteman sepermainannya anak tersebut di
transfer ke kela reguler. Inilah dunianya
yang sesungguhnya, peserta didik Kelas
Layanan Khusus (KLK) yang tadinya
hanya beberapa orang saja, kini dia bisa
mengekspresikan dirinya dan bergaul
dengan siswa lainnya yang berbeda-beda
karakter.
Kondisi Peserta Didik Program Kelas
Layanan Khusus (KLK) di SDN
Luginasari 2 Bandung
Pada awalnya Program Kelas Layanan
Khusus (KLK) di dirikan pada bulan Mei
2008, SDN Luginasari 2 ditunjuk langsung
oleh Dinas Pendidikan Kota Bandung yang
bertujuan menjaring anak-anak putus
sekolah (DO) ataupun yang belum
bersekolah yang usianya berkisar antara 814 tahun, mereka diharapkan mau
bersekolah kembali bagi yang di DO dan
bagi yang belum bersekolah karena faktor
ekonomi untuk mau bersekolah dan orang
tuanya
mau
menyekolahkan
putra
putrinya. Pihak sekolah berusaha untuk
memberikan pengertian kepada calon
siswa tersebut akan pentingnya pendidikan
bagi masa yang akan datang.
Dimulai dengan kerjasama antara
sekolah, RT, RW sampai kelurahan
setempat untuk merekrut anak-anak yang
belum bersekolah atau yang DO untuk
mau kembali bergabung di sekolah hingga
akhirnya tercapai beberapa calon siswa
untuk mau bersekolah di SDN Luginasari
2. Peserta didik tersebut yang tergabung
dalam program Kelas Layanan Khusus
(KLK) mendapatkan fasilitas yang
memuaskan,
mulai
dari
uang
pembangunan dan SPP gratis, seragam dan
buku sekolah gratis, bantuan tas dan alat
tulis yang juga gratis, serta adanya
pembinaan orang tua siswa yang berkala.
Hal tersebut dilakukan agar membangun
kesadaran pentingnya pendidikan bagi
orang tua siswa.
Namun seiring berjalannya waktu
kondisi peserta didik yang ada di program
Kelas
Layanan
Khusus
(KLK)
mengundurkan diri dan memilih kembali
ke kehidupan awalnya akibat tuntutan
perekonomian keluarga. Tantangan berat
dari kondisi perekonomian keluarga yang
lemah mengharuskan anak harus kembali
bekerja, walau memang pihak sekolah
memaparkan tidak semua orang tua
menekankan anaknya harus bekerja, tetapi
pola pikir anak yang sudah berorientasi
materil yang kadang susah dinasehati.
Akibatnya anak lebih memilih untuk
bekerja daripada sekolah. Selain hal itu,
kurangnya pemahaman dan perhatian dari
keluarga menyebabkan anak dibirakan
untuk tidak bersekolah.
Meskipun dari sekian banyak siswa
yang keluar akibat seleksi alam, masih ada
siswa yang berhasil bertahan di program
Kelas Layanan Khusus (KLK) sampai
akhirnya mereka di transfer ke kelas
reguler.
Peserta didik pada program Kelas
Layanan Khusus (KLK) mengalami
perubahan. Anak mulai bisa membaca,
berhitung, dan menulis. Hal ini sejalan
bahwa pendidikan berkenaan dengan
perkembangan dan perubahan perilaku
peserta didik. Bahwa menurut Nasution,
2009, hlm.10 menegaskan:
Pendidikan bersinggungan dengan
transmisi
pengetahuan,
sikap,
kepercayaan, keterampilan, dan aspek-
aspek kelakuan lainnya kepada generasi
muda. Pendidikan adalah proses
mengajar dan belajar pola-pola
kelakuan manusia menurut apa yang
diharapkan oleh masyarakat.
Siswa yang ada di program Kelas
Layanan
Khusus
(KLK)
memiliki
hubungan sosial yang cenderung kurang
aktif. Mereka lebih senang bermain dengan
sesama siswa dari program Kelas Layanan
Khusus (KLK), karena mereka cenderung
tidak percaya diri bergaul dengan siswa
reguler. Perilaku manusia pada hakikatnya
hampir secara keseluruhan bersifat sosial,
yakni dipelajari dalam interaksi dengan
manusia lainnya. Bahwasannya menurut
Nasution (2009, hlm.10)
Hampir segala sesuatu yang kita
pelajari merupakan hasil hubungan kita
dengan orang lain, baik itu di rumah,
sekolah, tempat bermain, pekerjaan,
dsb. Bahan pelajaran atau isi
pendidikan ditentukan oleh kelompok
atau masyarakat.
Menurut Nasution (2009, hlm.11)
bahwa “Belajar adalah sosialisasi yang
berlanjut. Setiap individu dapat menjadi
murid dan menjadi guru. Individu belajar
dari lingkungan sosialnya dan juga
mengajar dan mempengaruhi orang lain”.
Sejalan dengan teori tersebut telah peneliti
paparkan dalam bahasan mengenai
penemuan tentang kondisi peserta didik
program Kelas Layanan Khusus (KLK)
mereka
kurang
pandai
dalam
bersosialisasi. Meskipun pada akhirnya
ada juga siswa yang bertahan di Kelas
Layanan Khusus (KLK) dan memiliki
kecerdasan emosional yang baik.
Peran Orang Tua dalam Mendukung
Keberlangsungan
Program
Kelas
Layanan Khusus (KLK) di SDN
Luginasari 2
Berdasarkan hasil wawancara, secara
keseluruhan pihak orang tua mendukung
keberlangsungan program Kelas Layanan
Khusus (KLK). Mereka dengan senang
hati dan mempercayakan sepenuhnya
proses pendidikan kepada pihak sekolah di
SDN Luginasari 2. Adapun perihal
pemberian motivasi pendidikan kepada
anak dirasa masih kurang akibat latar
belakang pendidikan yang rendah, serta
beban ekonomi yang sangat berat harus
dipikul oleh orang tua sehingga mereka
cenderung untuk lebih banyak bekerja
ketimbang memperhatikan kondisi proses
pendidikan anak.
Peran orang tua sangat penting dan
mempengaruhi kondisi anak secara primer.
Maka dari itu anak yang terbina pada
program Kelas Layanan Khusus (KLK)
harus mendapatkan dukungan dari pihak
orang tua demi keberlangsungannya
program tersebut. Adapun faktor-faktor
yang sangat mempengaruhi perkembangan
anak itu dikemukakan oleh para ahli dalam
Ahmadi, 2007, hlm.91 menyatakan:
1. Status Sosial Ekonomi Keluarga
Keadaan sosial ekonomi keluarga
mempunyai
peranan
terhadap
perkembangan anak-anak, misalnya
keluarga yang perekonomiannya cukup
menyebabkan lingkungan materil yang
dihadapi oleh anak di dalam
keluarganya akan lebih luas sehingga
ia dapat kesempatan yang lebih luas
dalam memperkenalkan bermacammacam kecakapan, yang mana
kecakapan-kecakapan tersebut tidak
mungkin dapat dikembangkan jika tida
alat yang mendukung. Hubungan sosial
antara anak-anak dan orang tuanya itu
ternyata berlainan juga coraknya.
Misalnya, keluarga yang ekonominya
cukup hubungan antara orang tua dan
anak akan lebih baik, sebab orang tidak
ditekankan di dalam mencukupi
kebutuhan-kebutuhan
hidupnya,
sehingga
perhatiannya
dapat
dicurahkan kepada anak mereka.
Secara umum pendapat di atas itu
adalah benar, tetapi perlu diingat
bahwa sebenarnya status sosial
ekonomi bukanlah satu-satunya faktor
mutlak menceritakan perkembangan
anak. Sejalan dengan kondisi orang tua
pada anak yang dibina oleh program
Kelas Layanan Khusus (KLK) berada
pada tahap menengah ke bawah
sehingga mempengaruhi pola asuh
kepada anak. Orang tua cenderung
lebih mementingkan untuk bekerja dan
memenuhi
kebutuhan
keluarga
dibanding memperhatikan kondisi
pendidikan anak. Kesibukan orang tua
ternyata benar berpengaruh besar
terhadap kondisi anak. Orang tua
cenderung secara penuh menitipkan
anaknya pada pihak sekolah sehingga
mereka kurang memberikan motivasi
sekolah kepada anaknya. Hal tersebut
dipengaruhi juga oleh latar belakang
pendidikan orang tua yang rendah.
Namun, ada benarnya juga bahwa
status sosial ekonomi bukanlah satusatunya
mutlak
mendorong
perkembangan anak, walau orang tua
kurang mendukung proses belajar anak
tetap saja mereka mengharapkan kelak
nantinya menjadi anak yang sukses.
2. Faktor Keutuhan Keluarga
Salah satu faktor utama lain yang
memepengaruhi perkembangan sosial
anak adalah faktor keutuhan keluarga.
Perihal yang dimaksud dangan faktor
keutuhan kelaurga itu terutama yang
masih lengkap, ada ayah ibu dan anak.
Di samping keutuhan keluarga yang
berbentuk struktur-struktur tersebut
yang diperlukan pula ialah keutuhan
interaksi hubungan antara anggota
keluarga dengan anggota yang lainnya.
Orang tua siswa program Kelas
Layanan Khusus (KLK) melakukan
hubungan interaksi yang baik dengan
anaknya, mereka tetap memberikan
kasih sayang dan selalu berusaha
memberikan yang terbaik, meski
sebagian waktu yang dimiliki oleh
orang tua mereka dihabiskan untuk
bekerja.
Kelengkapan dari anggota keluarga
juga memang berpengaruh kepada
anak, akibat dari interaksi antara orang
tua terbatasi oleh pekerjaan sehingga
anak cenderung dibebaskan oleh orang
tuanya dan lebih percaya menitipkan
anaknya kepada tetangga.
3. Sikap dan Kebiasaan-kebiasaan
Orang Tua
Peranan
keaadaan
keluarga
terhadap perkembangan sosial anakanak tidak hanya terbatas kepada
situasi sosial ekonominya, atau
kebutuhan struktur dan interaksinya,
tetapi cara-cara dan sikap-sikap dalam
pergaulannya memegang peranan
penting di dalam perkembangan sosial
anak-anak mereka. Jadi misalnya orang
tua yang bersikap otoriter yaitu
memaksakan kehendaknya kepada
anak-anak mereka, maka anak-anak
akan berkembang menjadi manusia
pasif, tak berinisiatif, kurang percaya
diri, ragu-ragu dan memiliki asa takut.
Akhrinya ahli penemuan lain mengenai
cara pemeliharaan anak yaitu Maccoby
dan Gibs (dalam Ahmadi, 2007, hlm.111)
menunjukkan kesimpulan yang lain
daripada di atas tadi. Dikatakan bahwa
pada midle class sifatnya lebih bebas
mengasuh anak atau lebih bersifat
mengizinkan/membebaskan terhadap anak.
Hal yang terjadi pada pengasuhan anak
yang dibina pada program Kelas Layanan
Khusus
(KLK)
orang
tua
lebih
membebaskan anak, orang tua kurang
mengontrol tugas-tugas anak di sekolah,
mereka cenderung membiarkan anaknya
bermain dan belajar sesuka hatinya (tidak
dikekang). Fakta dari teori diatas sudah
dibuktikan bahwa anak cenderung
mempunyai sikap kurang percaya diri
dalam bergaul serta faktor orang tua
bekerja hingga pola pengasuhan yang
diberikan oleh orang tua cenderung bebas.
Upaya yang Dilakukan Guru dalam
Mengatasi
Kesulitan
Proses
Pembelajaran Program Kelas Layanan
Khusus (KLK) di SDN Luginasari 2
Berdasarkan studi wawancara dan
dokumentasi bahwa upaya yang dilakukan
oleh guru semua menjawab sama. Artinya
setiap guru mengupayakan agar anak yang
belajar pada program Kelas Layanan
Khusus (KLK) untuk dapat mencintai
suasana sekolah terlebih dahulu. Guru
dituntut untuk lebih sabar dalam
menghadapi setiap karakter siswa yang
berbeda-beda. Guru mengupayakan agar
setiap pembelajaran yang diberikan disukai
oleh anak-anak, guru memberikan model
pembelajaran yang menarik.
Kendala yang dihadapi oleh guru
bahwa seringkali anak melakukan bolos
sekolah,
perangai
yang
terkadang
menjengkelkan guru tersebut. Hal yang
memang menjadi dilematis bahwa ketika
anak membolos lama, guru memberikan
toleransi yang penuh. Segala upaya telah
guru lakukan demi keberlangsungannya
program Kelas Layanan Khusus (KLK) ini
oleh karena itu kepala sekolah SDN
Luginasari 2 dengan bijak memaparkan
bahwasannya target yang dicapai dari
program Kelas Layanan Khusus (KLK) ini
bukanlah kualitas namun lebih kepada
kualitas siswa itu sendiri. Semua guru
dengan sukarela membantu para wali kelas
yang memang dirasa kewalahan saat
mengajar di program Kelas Layanan
Khusus (KLK).
Hal ini juga dipengaruhi oleh situasi
ruangan kelas yang ada di Kelas Layanan
Khusus (KLK) dimana kondisi sarana dan
prasarana ternyata mendukung proses
pembelajarandi Kelas Layanan Khusus
(KLK). Salah satu upaya yang bisa
dilakukan oleh guru adanya perilaku
dominatif di kelas. Seperti yang
dikemukakan oleh Damsar, 2012, hlm.104
bahwa
“Pendekatan
interaksi
memperhatiakan bagaimana pengaruh
perilaku dominatif yang diperbandingkan
dengan perilaku integratif terhadap anak.”
Artinya bahwa guru dalam kategori ini
dipandang memiliki perilaku yang berbeda
dalam memperlakukan peserta didiknya di
dalam ruangan kelas. Pada program Kelas
Layanan Khusus (KLK) seorang guru
tentunya tercermin sebagai pusatnya ilmu
pengetahuan dan orang yang paling tahu.
Guru adalah sosok yang dianggap sebagai
penentu benar atau salahnya sesuatu hal
sementara peserta didik dianggap sebagai
sosok yang tidak tahu apa-apa sehingga
perlu bimbingan dari guru.
Upaya selanjutnya bahwa guru tidak
boleh mengecap siswa yang memiliki
keterlambatan dalam menyerap materi
pelajaran dengan julukan yang tidak baik.
Hal itu sejalan dengan pandangan Damsar,
2012, hlm.108 dikatakan bahwa “Teori
radikal
mengartikan
bahwa
ia
mempertanyakan sesuatu yang dipandang
memang seharusnya demikian dan
memberikan alternatif cara pandang dalam
melihat sesuatu.” Artinya teori labeling
memberikan penekanan nama atau label
kepada seseorang, oleh sebab itu label
dipandang menjadi konsep diri seseorang
yang membawa seseorang itu kepada
prasangka atau suatu penyimpangan
tertentu yang dikenakan pada dirinya.
Sebagai contoh, pada Kelas Layanan
Khusus (KLK) seorang anak apalagi
dengan kondisi latar belakang putus
sekolah akibat DO atau anak jalanan di cap
negatif, seperti dengan julukan bodoh atau
nakal. Hal tersebut justru akan membuat
kondisi peserta didik malah semakin
terpuruk. Oleh sebab itu guru harus ekstra
sabar agar hal-hal yang demikian tidak
terjadi.
Ditakutkan konsekuensi dari pemberian
label tersebut akan memberikan suatu
prasangka atau penyimpangan tertentu
yang dikenakan pada diri siswa tersebut,
dimana label akan membuat kita untuk
melihat hal tertentu dan menutup mata
untuk melihat hal yang lain, meskipun
pada akhirnya apa yang dilabelkan oleh
guru terhadap muridnya itu salah.
Sementara
itu,
kurangnya
pilihan
menyebabkan siswa yang dilabel lamakelamaan memandang dirinya sendiri
sebagaimana orang lain memandangnya.
Pada akhirnya jika hal tersebut terjadi
siswa yang dilabelkan negatif itu lamakelamaan akan sesuai dengan apa yang
kita labelkan, oleh sebab itu upaya yang
harus benar-benar dilakukan adalah adanya
pelatihan guru yang mengajar di program
Kelas Layanan Khusus (KLK) supaya dari
berbagai pelatihan tersebut, kondisi psikis
dan pengetahuan guru semakin bertambah.
KESIMPULAN
Bentuk pendidikan yang dilaksanakan
oleh program Kelas Layanan Khusus
(KLK) meliputi bentuk pemberian
pendidikan secara formal yang meliputi
aspek kognitif, afektif, dan psikomotor.
Namun, pada program Kelas Layanan
Khusus (KLK) guru lebih menekankan
pada pembinaan akhlak mulia dan
motivasi pentingnya belajar di sekolah
bagi anak. Setiap guru tidak memaksakan
bahwa anak harus menyelesaikan tugas
yang diberikan atau mencapai KKM
(Kriteria Ketuntasan Minimal) yang
dicapai, asalkan anak duduk manis serta
mau mendengarkan guru menyampaikan
materi maka sudah suatu keberhasilan
yang di raih. Bentuk pendidikan yang
dilaksanakan oleh program Kelas Layanan
Khusus (KLK) di SDN Luginasari 2 telah
seimbang. Artinya kebutuhan akan
pengetahuan, sikap/budi pekerti luhur,
pengembangan minat bakat, dan kesehatan
jasmani pun diberikan kepada anak-anak
putus sekolah yang terbina dalam program
Kelas Layanan Khusus (KLK). Kepala
sekolah SDN Luginasari 2 itu berharap
bahwa dengan adanya pengembangan
bakat minat bisa menggali potensi anak-
anak yang notabene adalah anak jalanan
dan DO sehingga pada saat anak di
transfer ke kelas reguler anak tersebut bisa
menyesuaikan diri dengan iklim kelas
reguler yang heterogen. Lebih jauh dari
itu, harapannya bahwa anak tersebut bisa
mengembangkan keterampilannya di dunia
luar dan menambah semangat untuk
mengenyam pendidikan.
Kondisi peserta didik program Kelas
Layanan Khusus (KLK) sedikit demi
sedikit berkurang, namun tetap ada yang
bertahan. Anak sudah pandai menulis,
berhitung, dan membaca. Namun, masih
saja ada sifat malas dan terkadang
membolos
sekolah.
bahwa
secara
keseluruhan kondisi peserta didik yang ada
di program Kelas Layanan Khusus (KLK)
mengundurkan diri dan memilih kembali
ke kehidupan awalnya akibat tuntutan
perekonomian keluarga. Tantangan berat
dari kondisi perekonomian keluarga yang
lemah mengharuskan anak harus kembali
bekerja, walau memang pihak sekolah
memaparkan tidak semua orang tua
menekankan anaknya harus bekerja, tetapi
pola pikir anak yang sudah berorientasi
materil yang kadang susah dinasehati.
Akibatnya anak lebih memilih untuk
bekerja daripada sekolah. Selain hal itu,
kurangnya pemahaman dan perhatian dari
keluarga menyebabkan anak dibirakan
untuk tidak bersekolah. Meskipun dari
sekian banyak siswa yang keluar akibat
seleksi alam, masih ada siswa yang
berhasil bertahan di program Kelas
Layanan Khusus (KLK) sampai akhirnya
mereka di transfer ke kelas reguler.
Peran orang tua secara keseluruhan
pihak
orang
tua
mendukung
keberlangsungan program Kelas Layanan
Khusus (KLK). Mereka dengan senang
hati dapat menitipkan anaknya di SDN
Luginasari 2. Mereka dengan senang hati
dan mempercayakan sepenuhnya proses
pendidikan kepada pihak sekolah di SDN
Luginasari 2. Adapun perihal pemberian
motivasi pendidikan kepada anak dirasa
masih kurang akibat latar belakang
pendidikan yang rendah, serta beban
ekonomi yang sangat berat harus dipikul
oleh orang tua sehingga mereka cenderung
untuk lebih banyak bekerja ketimbang
memperhatikan kondisi proses pendidikan
anak.
Kendala yang dihadapi oleh guru
bahwa seringkali anak melakukan bolos
sekolah,
perangai
yang
terkadang
menjengkelkan guru tersebut. Hal yang
memang menjadi dilematis bahwa ketika
anak membolos lama, guru memberikan
toleransi yang penuh. Segala upaya telah
guru lakukan demi keberlangsungannya
program Kelas Layanan Khusus (KLK) ini
oleh karena itu kepala sekolah SDN
Luginasari 2 dengan bijak memaparkan
bahwasannya target yang dicapai dari
program Kelas Layanan Khusus (KLK) ini
bukanlah kualitas namun lebih kepada
kualitas siswa itu sendiri. Semua guru
dengan sukarela membantu para wali kelas
yang memang dirasa kewalahan saat
mengajar di program Kelas Layanan
Khusus (KLK). Upaya yang dilakukan
oleh guru dalam mengatasi kesulitan setiap
guru mengupayakan agar anak yang
belajar pada program Kelas Layanan
Khusus (KLK) untuk dapat mencintai
suasana sekolah terlebih dahulu. Guru
dituntut untuk lebih sabar dalam
menghadapi setiap karakter siswa yang
berbeda-beda. Guru mengupayakan agar
setiap pembelajaran yang diberikan disukai
oleh anak-anak, serta guru memberikan
model pembelajaran yang menarik.
Implikasi penelitian ini terhadap dunia
sosiologi pendidikan maupun pendidik
sosiologi bahwa Kelas Layanan Khusus
(KLK) merupakan kajian dari pendidikan.
Hal ini membuktikan adanya masalah
dalam praksis pendidikan dimulai dari
fenomena putus sekolah, latar belakang
mengapa anak putus sekolah, sampai
kepada ranah keluarga merupakan bagian
yang tak kalah pentingnya dalam
mempengaruhi proses pendidikan seorang
individu di sekolah ataupun di masyarakat.
Maka dengan ini dinyatakan hadirnya
Kelas Layanan Khusus (KLK) dirasa
mempunyai implikasi terhadap proses
pendidikan. Hal tersebut sejalan dengan
banyaknya fenomena yang harus dikaji
melalui
pisau
analisis
Sosiologi
Pendidikan.
Penelitian ini pula dapat memperkaya
khazanah kajian dari Sosiologi Pendidikan
itu sendiri. Dimana dalam kajian sosiologi
pendidikan terdapat pola hubungan
pendidikan dan masyarakat, hubungan
antara pendidikan dan sumber daya
manusia, interaksi antara guru dan murid,
proses sosialisasi dan keluarga, serta
pendidikan yang kaitannya dengan proses
perubahan sosial dimana hal tersebut
merupakan ruang lingkup dari sosiologi.
Melalui penelitian ini, kajian sosiologi
pendidikan sangat kental tersaji dari mulai
awal latar belakang munculnya peneliti
menarik masalah ini hingga pada bagian
pembahasan. Hal ini pula akan menjadi
pekerjaan besar bagi pendidik sosiologi,
dimana melalui penelitian ini seorang
pendidik sosiologi (guru sosiologi) akan
mengaitkan serta menambah wawasan
supaya ketika menyampaikan materi
pelajaran di kelas tak hanya berjejal
dengan text book, namun penelitian ini
dapat diangkat ke dalam suatu materi
sosiologi yang disesuaikan dengan jenjang
kelasnya agar sosiologi dipandang oleh
peserta didik bukan hanya sebuah mata
pelajaran yang penuh dengan teori dan
hafalan, melainkan sosiologi merupakan
pelajaran yang aplikasinya secara nyata
kita
lakukan
setiap
hari
karena
menyangkut
proses
interaksi
dan
sosialisasi.
DAFTAR RUJUKAN
Sumber Buku
Ardiwinata & Hufad. (2007). Sosiologi
Antropologi Pendidikan. Bandung:
UPI PRESS.
Ahmadi, A. (2007). Sosiologi Pendidikan.
Jakarta: Rineka Cipta.
Alwasilah, A Chaedar. (2008). Pokoknya
Kualitatif. Jakarta: Dunia Pustaka Jaya.
Bungin, B. (2007). Penelitian Kualitatif.
Jakarta: Kencana Prenada Media
Group.
Damsar. (2012). Pengantar Sosiologi
Pendidikan. Jakarta: Kencana.
Gunawan, Ary H. (2010). Sosiologi
Pendidikan. Jakarta: Rineka Cipta.
Hasbullah. (2009). Dasar-dasar ilmu
Pendidikan. Jakarta: PT Raja
Grafindo Persada.
Hamidi. (2001). Metode Penelitian
Kualitatif. Malang: UMM Press.
Idi, A. (2011). Sosiologi Pendidikan.
Jakarta:Rajawali Pers.
Idrus, M. (2009). Metode Penelitian Ilmu
Sosial. Jakarta: Erlangga.
Ihsan, F. (2010). Dasar-dasar
Kependidikan Komponen MKDK.
Jakarta: Rineka Cipta.
Kamil, M. (2009). Pendidikan Nonformal.
Bandung: Alfabeta.
Martono, N. (2011). Sosiologi Perubahan
Sosial. Jakarta: PT Raja Grafindo
Persada.
Marzuki, S. (2010). Pendidikan
Nonformal. Bandung: PT Remaja
Rosdakarya.
Miles, M & Huberman, AM. (2007).
Analisis Data Kualitatif: Buku Sumber
tentang Metode-Metode Baru. Jakarta:
Universitas Indonesia Press.
Moleong, J.L. (2007). Metodologi
Penelitian Kualitatif. Bandung:
Remaja Rosdakarya.
Mudyahardjo, R. (2012). Pengantar
Pendidikan. Jakarta: PT.Grafindo
Persada.
Yusuf, M. (1982). Pengantar Ilmu
Pendidikan. Jakarta: Yudhistira
Nasution, S. (2003). Metode Penelitian
Naturalistik Kualitatif. Bandung:
Tarsito.
Peraturan Perundangan
Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945
Nasution, S. (2009). Sosiologi Pendidikan.
Jakarta: Bumi Aksara.
Undang-Undang No. 20 Tahun 2003
tentang Sistem Pendidikan Nasional
Rasyidin, dkk. (2010). Landasan
Pendidikan. Tim Dosen MKDP
Landasan Pendidikan UPI.
Undang-Undang Sisdiknas RI No.20 tahun
2003 pasal 32 ayat 2 tentang
Pendidikan Layanan Khusus
Salim, A. (2008). Pengantar Sosiologi
Makro. Yogyakarta: Pustaka Belajar.
Skripsi, Tesis, atau Desertasi
Purwani, Indang. (2015). Faktor Penyebab
Anak Putus Sekolah Pada
Masyarakat Desa Nelayan Desa
Pabean Udik Kecamatan Indramayu
Kabupaten Indarmayu. (Skripsi).
Bandung: Universitas Pendidikan
Indonesia.
Sugiyono. (2010). Metode Penelitian
Pendidikan, Pendekatan Kuantitatif,
Kualitatif dan R&D. Bandung:
Alfabeta.
Sukardjo & Komarudin. (2009). Landasan
Pendidikan, konsep dan aplikasinya.
Jakarta: PT Raja Grafindo Persada.
Suryosubroto, B. (2010). Manajemen
Pendidikan di Sekolah. Jakarta:
Rineka Cipta.
Tim Dosen Administrasi Pendidikan
Universitas Pendidikan Indonesia.
(2009). Manajemen Pendidikan.
Bandung: Alfabeta.
Wirartha, I, M. (2006). Metodologi
Penelitian Sosial Ekonomi.
Yogyakarta: Penerbit Andi.
Download