PROGRAM KELAS LAYANAN KHUSUS (KLK) PENYELAMAT ANAK PUTUS SEKOLAH ¹Harni Marisa, ²Achmad Hufad, ³Siti Nurbayani Mahasiswa Prodi Pendidikan Sosiologi, FPIPS UPI, Jl. Dr. Setiabudi No. 299 Bandung Dosen FIP/Prodi Pendidikan Sosiologi/Pascasarjana Dosen MKDU/Prodi Pendidikan Sosiologi/Pascasarjana E-mail: [email protected] Abstract: The program Kelas Layanan Khusus (KLK) rescue children drop out of school. This research is motivated by the high school dropout rates in urban areas one in the city of Bandung. So to reduce the dropout rate was issued government policies, one of which is the program Kelas Layanan Khusus (KLK) held in SDN Luginasari 2 Bandung, with the program Kelas Layanan Khusus (KLK), then a chance of school dropouts to return to education becom easier and open. This research aims to find out how the program's existence Kelas Layanan Khusus (KLK) in assisting the creation of children out of primary school education in SDN Luginasari 2 Bandung. This study used a qualitative approach to database collection techniques of observation through in-depth interviews, document studies, and literature studies. Results: (1) The form of educational program Kelas Layanan Khusus (KLK) is a form of formal schooling. (2) The condition of learners Kelas Layanan Khusus (KLK) diverse. (3) The role of parents overall to help the implementation of program Kelas Layanan Khusus (KLK). (4) Effort school in overcoming difficulties in the learning process of Kelas Layanan Khusus (KLK). Keywords: Children drop out of school, Kelas Layanan Khusus (KLK), School Abstrak: Program Kelas Layanan Khusus (KLK) penyelamat anak putus sekolah. Penelitian ini dilatarbelakangi oleh tingginya angka anak putus sekolah di daerah perkotaan salah satunya di kota Bandung. Alhasil untuk mengurangi angka putus sekolah dikeluarkanlah kebijakan pemerintah, salah satunya adalah program Kelas Layanan Khusus (KLK) yang diselenggarakan di SDN Luginasari 2 Bandung, dengan adanya program Kelas Layanan Khusus (KLK) maka kesempatan anak putus sekolah untuk kembali mengakses pendidikan menjadi lebih mudah dan terbuka. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui bagaimana eksistensi program Kelas Layanan Khusus (KLK) dalam membantu terciptanya pendidikan anak putus sekolah dasar di SDN Luginasari 2 Bandung. Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif dengan teknik pengumpulan data observasi melalui wawancara mendalam, studi dokumentasi, dan studi literatur. Hasil penelitian: (1) Bentuk pendidikan program Kelas Layanan Khusus (KLK) merupakan bentuk sekolah formal. (2) Kondisi peserta didik Kelas Layanan Khusus (KLK) yang beraneka ragam. (3) Peran orang tua secara keseluruhan membantu terselenggaranya program Kelas Layanan Khusus (KLK). (4) Upaya pihak sekolah dalam mengatasi kesulitan proses belajar pada program Kelas Layanan Khusus (KLK). Kata Kunci: Anak putus sekolah, Kelas Layanan Khusus (KLK), Sekolah Pada masa sekarang ini pendidikan merupakan suatu kebutuhan primer, bahwa pendidikan memegang peranan penting dalam kehidupan bermasyarakat. Sudah semestinya memang dalam kenyataan semua orang-orang berlomba dalam mengenyam pendidikan yang setinggitingginya, namun disisi lain ada sebagian masyarakat yang tidak mampu mengenyam pendidikan secara layak, baik dari tingkat dasar maupun tingkat yang lebih tinggi. Selain itu, ada pula masyarakat yang memang pada awalnya dapat mengenyam pendidikan sampai pada tingkat dasar, namun akhirnya di tengah jalan karena terputus masalah sosial dan perekonomian terjadilah anak putus sekolah. Pada hakikatnya bahwa pendidikan dapat membantu suatu keteraturan dalam masyarakat, peraturan yang telah dibuat, nilai yang telah ada di masyarakat akan dijalankan dengan baik sehingga tercipta suatu kehidupan yang selaras, seimbang, dan harmonis ketika setiap individu memahaminya, salah satu usaha agar hal itu terwujud adalah melalui pendidikan. Pendidikan di daerah perkotaan sudah selayaknya mendapatkan akses yang nyaman, mudah, serta memiliki kualitas dan kuantitas yang baik dari segi pelayanannya kepada masyarakat maupun dari segi manajemen di sekolahnya itu sendiri. Namun, sangat disayangkan apabila fenomena yang muncul saat ini bahwa masih saja ada kasus anak putus sekolah di daerah perkotaan, salah satunya di daerah Kota Bandung. Bandung adalah pusat kota yang terdapat di Jawa Barat kini keberadaannya sudah bersaing dengan Kota Jakarta maka tak ayal jika dijuluki sebagai kota metropolitan. Bandung merupakan kota terbesar jumlah penduduknya setelah Jakarta dan Surabaya, maka hal itu menyebabkan tingginya arus urbanisasi dan padatnya penduduk di kota Bandung. Fenomena yang kita lihat pada saat ini sebenarnya tidak berbanding lurus dengan harapan yang dicita-citakan oleh pendidikan nasional, karena dewasa ini masih banyak anak-anak di daerah perkotaan memilih putus sekolah atau dengan kata lain memilih untuk berhenti dan tidak menamatkan pendidikan di setiap jenjang terutama di jenjang Sekolah Dasar. Sungguh sangat ironi ketika zaman yang telah maju akan perkembangan sistem arus informasi dan teknologi tetapi negara kita masih bergelut dengan masalah-masalah pendidikan yang mendasar. Masalah ini dapat dilihat melalui kehidupan sehari-hari, masih banyaknya anak usia sekolah hidup di jalanan, mencari nafkah dengan cara yang tidak layak, anak-anak tersebut bergelut dengan dunia keras demi sesuap nasi. Anak putus sekolah merupakan proses berhentinya siswa secara terpaksa dari suatu lembaga pendidikan tempat dia belajar. Hal tersebut berarti berhentinya seorang anak yang sedang mengenyam pendidikan karena berbagai faktor, salah satunya faktor ekonomi keluarga yang kurang sehingga membuat anak memutuskan untuk berhenti sekolah. Namun, di daerah perkotaan hal yang demikian tidak menjadi sumber utama seorang anak berhenti sekolah. Faktor keluarga dapat memicu anak untuk berhenti sekolah, seperti kondisi pekerjaan kedua orang tua yang tidak menetap membuat terpaka anak harus ikut pindah mengikuti tempat orang tuanya bekerja. Hal tersebut memunculkan sikap malas pada anak, seorang anak cenderung bosan akibat kondisi orang tua yang berpindahpindah tempat sehingga perhatian orang tua kepada anak dalam aspek pendidikan berkurang yang pada akhirnya terjadilah DO (drop out). Fenomena putus sekolah bukanlah merupakan persoalan yang baru, tak hanya terjadi di desa namun pada masyarakat kota besar pun angka putus sekolah masih terbilang besar. Dalam hal ini, peneliti lebih berfokus pada faktor sosial ekonomi dan keluarga menjadi hal sangat penting yang memicu seorang anak untuk berhenti mengenyam pendidikan sekolah dasar. Berdasarkan pengamatan peneliti dari hasil wawancara bahwa di daerah Sukajadi Bandung terdapat anak putus sekolah yang kemudian sebagian dari mereka tak jarang untuk mengadu nasib di jalanan. Kondisi perekonomian keluarga dan daya pendidikan yang dimiliki oleh orang tua membuat anak dibiarkan untuk turun ke jalan dengan alasan membantu kebutuhan sehari-hari keluarga. Mahalnya pendidikan yang harus diakses pada masyarakat perkotaan membuat mereka para orang tua yang tak mampu menyekolahkan anaknya dan memilih untuk tidak meneruskan anaknya bersekolah. Padahal, di usianya yang masih belia seorang anak wajib mendapatkan pendidikan. Selain latar belakang permasalahan ekomoni, anak mengalami DO (drop out) akibat faktor keluarga. Kurangnya perhatian orang tua yang menyebabkan anak malas untuk pergi ke sekolah, serta kurangnya motivasi dari orang tua mengenai pentingnya pendidikan untuk anak. Hal tersebut dipicu dari sibuknya kedua orang tua dalam bekerja, orang tua tersebut siang dan malam mencari nafkah guna memenuhi kebutuhan sehari-hari. Memang tak dapat dipungkiri semakin tingginya harga kebutuhan pokok di masyarakat menjadikan orang tua banting setir dalam memenuhi kebutuhan sehari-hari, dari sanalah timbul masalah baru yakni kurangnya perhatian kepada anak karena orang tua lebih mementingkan pekerjaannya. Harus kita ketahui bahwa sesungguhnya pendidikan merupakan salah satu institusi penting dalam proses perubahan pada suatu masyarakat. Masyarakat yang memiliki sistem pendidikan yang maju tentu saja dapat mempercepat perubahan sosial dalam masyarakat tersebut dan sebaliknya. Singkatnya bahwa pendidikan memberikan sumbangan pada perubahan sosial yang terjadi pada individu maupun masyarakat. Martono (2011, hlm.193) menegaskan bahwa: Pendidikan sebagai bagian dalam perubahan sosial pada dasarnya memiliki tugas untuk melakukan perubahan sosial dan transformasi menuju dunia yang lebih adil. Posisi ini disebabkan karena realitas atau kondisi masyarakat selalu berubah. Pendidikan mempunyai tugas agar individu mampu menghadapi perubahan sosial tersebut. Pendidikan pada hakikatnya merupakan suatu upaya mewariskan nilai yang akan menjadi penolong dan penentu umat manusia dalam menjalani kehidupan dan sekaligus untuk memperbaiki nasib dan peradaban umat manusia. Martono (2011, hlm.195) menjelaskan juga bahwa: Tanpa pendidikan, maka diyakini bahwa manusia sekarang tidak berbeda dengan generasi manusia masa lampau, yang dibandingkan dengan manusia sekarang, telah sangat tertinggal baik kualitas kehidupan maupun prosesproses pemberdayaannya. Sanaky (dalam Martono, 2011, hlm.195) menegaskan bahwa “Secara ekstrem dapat dikatakan bahwa maju mundurnya atau baik buruknya peradaban suatu masyarakat atau suatu bangsa ditentukan oleh bagaimana pendidikan yang dijalani oleh masyarakat bangsa tersebut”. Pendidikan pada hakikatnya juga dapat didefinisikan sebagai sebuah proses mengubah perilaku individu, tentu saja dalam hal ini adalah perubahan menuju ke arah yang lebih baik. Proses pendidikan itu sendiri menurut Fiere (dalam Martono, 2011, hlm.196) bahwa “Pendidikan dimaknai sebagai sebuah proses untuk membentuk manusia seutuhnya atau proses memanusiakan manusia”. Sedangkan menurut Dewey (dalam Martono, 2011, hlm.196) memberikan definisi bahwa “Pendidikan secara luas sebagai organisasi pengalaman hidup serta pembentukan kembali pengalaman hidup”. Maka dari itu, peneliti menyimpulkan bahwa pendidikan adalah suatu proses perubahan dimana adanya perubahan pola tingkah laku manusia ke arah yang lebih baik dari pengalaman hidup yang diperolehnya. Posisi pendidikan sesungguhnya sangat strategis yakni erat kaitannya dengan fungsi agent of change. Pendidikan merupakan proses transfer ilmu juga sebagai proses penanaman nilai dan norma kepada individu. Pendidikan dapat dikatakan sebagai agent of change karena dapat mengubah pola pikir individu, menjadi pengalaman terbaik, serta melalui pendidikanlah masyarakat akan menjadi terbuka wawasannya dari hal tidak tahu menjadi tahu. Dari proses pendidikan seseorang pula dapat menaikkan status dan kedudukannya di masyarakat, maka pendidikan juga dapat dikatakan sebagai proses mobilitas sosial seseorang ke arah yang lebih baik. Telah dijelaskan mengenai pendidikan di atas, namun sejauh ini bahwa pendidikan di Indonesia adalah hak bagi setiap warga negara dan hal tersebut telah diatur dalam UUD 1945 pasal 31 yang menyatakan secara tegas bahwa tiap-tiap warga negara berhak mendapatkan pengajaran. Namun kita ketahui bersama ternyata keadaan di lapangan masih banyak anak yang tidak bisa mendapatkan pendidikan yang layak mulai dari jenjang Sekolah Dasar, bahkan tidak bersekolah baik karena belum/tidak pernah sekolah, maupun karena putus sekolah atau tidak melanjutkan ke jenjang yang lebih tinggi dengan berbagai macam latar belakang terutama dari faktor lemahnya sosial ekonomi orang tua yang menyebabkan anak putus sekolah. Kebijakan pemerintah tentang program Wajib Belajar 9 tahun didasari konsep “pendidikan dasar untuk semua” yang berarti penyediaan akses pendidikan yang sama harus didapatkan oleh semua anak. Program ini mewajibkan setiap warga negara Indonesia untuk bersekolah selama 9 tahun pada jenjang pendidikan dasar, yaitu tingkat SD dan SMP. Melalui program Wajib Belajar 9 tahun, diharapkan dapat mengembangkan sikap, pengetahuan dan keterampilan dasar yang perlu dimiliki sebagai warga negara untuk bekal dalam hidup bermasyarakat. Selain kebijakan tentang Wajib Belajar 9 tahun, pemerintah juga telah berusaha menanggulangi masalah putus sekolah dengan memberikan program Bantuan Operasional Sekolah (BOS). Tujuan program ini untuk membebaskan biaya pendidikan bagi siswa tidak mampu dan meringankan siswa yang lain, agar mereka memperoleh layanan pendidikan dasar yang lebih bermutu sampai tamat dalam rangka penuntasan Wajib Belajar 9 tahun. Meskipun usaha telah dilakukan pemerintah, namun kasus anak putus sekolah masih saja tetap ada. Nampaknya persoalan pendidikan perlu kita benahi bersama, tak hanya sebagai kajian dari pakar pendidikan semata atau tugas pemerintah saja, namun harus ada singkornisasi antara pihak pemangku kepentingan dengan semua lapisan masyarakat. Oleh karena itu, diperlukan beberapa kebijakan penting yang harus diambil agar bisa menyelesaikan sederet permasalahan pendidikan yang dihadapi oleh bangsa Indonesia tersebut dalam penanganan anak putus sekolah, salah satunya adalah program Kelas Layanan Khusus (KLK), dengan adanya program Kelas Layanan Khusus (KLK) maka kesempatan anak putus sekolah untuk kembali mengakses pendidikan menjadi lebih mudah dan terbuka. Pada tahun 2008 SDN Luginasari 2 ditunjuk untuk menyelenggarakan Kelas Layanan Khusus (KLK) berdasarkan Surat Keputusan Direktur Jenderal Manajemen Pendidikan Dasar dan Menengah, Depdiknas Nomor 0106.1/023.03.1/-/2009 tanggal 31 Desember 2008 tentang Kelas Layanan Khusus (KLK), karena disekitar lingkungan SDN Luginasari 2 banyak anak-anak yang putus sekolah (DO) bahkan belum bersekolah walau usianya melebihi usia Sekolah Dasar. Hal tersebut terjadi karena sebagian besar dari mereka adalah anak-anak jalanan yang diharuskan bekerja oleh orang tua mereka untuk membantu kebutuhan hidup sehari-hari, sehingga mereka tidak mampu untuk bersekolah. Sedangkan Undang-Undang Sisdiknas RI No.20 tahun 2003 pasal 32 ayat 2 tentang Pendidikan Layanan Khusus dinyatakan bahwa pendidikan khusus merupakan pendidikan bagi peserta didik di daerah tepencil atau terbelakang, masyarakat adat yang terpencil atau terbelakang, masyarakat adat yang terpencil dan atau mengalami bencana alam, bencana sosial dan tidak mampu dari segi ekonomi. Dari tahun ke tahun program Kelas Layanan Khusus (KLK) di SDN Luginasari terus bertambah, hal tersebut dipicu oleh melonjaknya arus urbanisasi yang tinggi serta masyarakat sudah menaruh kepercayaan lebih terhadap SDN Luginasari 2 dalam hal pengelolaan dan proses pembelajarannya. Berikut adalah data peserta didik program Kelas Layanan Khusus (KLK) di SDN Luginasari 2. Namun, walaupun sudah ada program Kelas Layanan Khusus (KLK) di sekolah tidak menutup kemungkinan orang tua mereka mau menyekolahkan kembali anaknya ke bangku pendidikan. Masalahnya adalah walaupun seluruh biaya pendidikan di Kelas Layanan Khusus (KLK) ditanggung pemerintah tetapi orang tua sulit untuk mendorong anak mereka kembali ke sekolah, karena saat anak putus sekolah maka mereka cenderung akan turun ke jalanan atau mereka akan membantu orang tua untuk bekerja. Sehingga masalah yang timbul semakin kompleks, mulai dari anak berhenti untuk mengenyam pendidikan dan lemahnya kontrol sosial dari orang tua karena ada sebagian anak yang diharuskan bekerja untuk membantu kondisi perekonomian keluarga. Selain dari faktor sosial dan ekomoni, perilaku anak yang cenderung malas belajar serta kondisi orang tua yang sering berpindah-pindah lokasi tempat tinggal menjadikan pendidikan anak terbengkalai. Mulai dari kurangnya perhatian orang tua terhadap anak sehingga anak cenderung bermalasmalasan dan kurang terciptanya suasana menyenangkan di lingkungan sekolah. Penelitian ini berfokus pada masalah yang terjadi di dalam kegiatan program Kelas Layanan Khusus (KLK) yang khusus menangani anak-anak yang tidak dapat mengakses pendidikan karena keterbatasan biaya. Sejauh mana orangorang yang terlibat dalam program Kelas Layanan Khusus (KLK) yaitu peran kepala sekolah, guru, serta orang tua murid untuk memaknai hadirnya keberadaan program Kelas Layanan Khusus (KLK) tersebut. Hadirnya program Kelas Layanan Khusus (KLK) membuat SDN Luginasari 2 ini menambah pekerjaan baru untuk guru yang mengajar pada kelas reguler, karena sejatinya anak yang belajar pada program Kelas Layanan Khusus (KLK) ini terpisah dengan kelas reguler. Guru harus mempunyai tenaga ekstra mengajar pada peserta didik program Kelas Layanan Khusus (KLK) di SDN Luginasari 2, karena pembelajaran pada program Kelas Layanan Khusus (KLK) mulai dari siang hari sampai sore hari. Selain itu, pendekatan dari guru terhadap murid yang masuk pada program Kelas Layanan Khusus (KLK) berbeda dengan murid yang ada di kelas reguler, terutama pendekatan terhadap anak yang mempunyai latar belakang anak jalanan. Guru harus mendekati anak dengan perlahan dan kemampuan sosial yang tinggi agar anak secara perlahan merasakan bahwa bersekolah itu sangat penting untuk kebutuhan masa depannya. Dari paparan singkat di atas mengenai program Kelas Layanan Khusus (KLK) yang ada di SDN Luginasari 2 Bandung dirasa banyak memiliki masalah dalam menjalankan programnya. Terlebih dalam pengadaan program ini tentunya membutuhkan dukungan dari berbagai pihak, mulai dari lingkungan sekolah sampai lingkungan keluarga anak yang putus sekolah itu sendiri. Maka dari itu peneliti merasa tertarik untuk mengetahui lebih dalam bagaimana gambaran persoalan yang dihadapi oleh adanya program Kelas Layanan Khusus (KLK) dalam mengupayakan mengentaskan anak putus sekolah yang ada di Kota Bandung kawasan Sukajadi dimana program Kelas Layanan Khusus (KLK) ini telah berlangsung pada salah satu sekolah dasar yang ada di Kota Bandung yakni SDN Luginasari 2. METODE Dalam penelitian ini, peneliti akan melakukan penelitian studi kasus dengan maksud mengetahui lebih dalam tentang eksistensi program Kelas Layanan Khusus (KLK) dalam membantu terciptanya pendidikan untuk anak putus sekolah dasar yang dilaksanakan di SDN Luginasari 2 Kel. Cipedes Kec. Sukajadi Bandung. Penelitian ini dilakukan pada sekolah SDN Luginasari 2 Kel.Cipedes Kec. Sukajadi Bandung. Penelitian yang dilakukan ini merupakan penelitian kualitatif maka subjek penelitian merupakan pihak-pihak yang menjadi sasaran penelitian atau sumber yang dapat memberikan informasi. Subjek dalam penelitian ini agar dapat variasi yang sebanyak-banyaknya maka pemilihan subjek dilakukan terhadap siswa, orang tua siswa, kepala sekolah dan guru yang mengajar pada program Kelas Layanan Khusus (KLK) yang ada di SDN Luginasari 2 Kel. Cipedes Kec. Sukajadi Bandung. Adapun informan pendukung dalam penelitian berupa warga sekolah yang terdiri dari petugas Tata Usaha dan guru lain (kelas reguler). Partisipan dalam penelitian ini yaitu anak-anak yang dibina pada Program Kelas Layanan Khusus (KLK) dan orangtuanya serta para guru yang mengajar di Program Kelas Layanan Khusus (KLK) sebanyak 5 orang. Guru yang mengajar pada program Kelas Layanan Khusus (KLK) sejumlah 3 orang serta beberapa informan pendukung untuk memperkuat hasil penelitian yang dialukan kepada informan kunci. Tempat penelitian dilakukan di SDN Lugnasari 2 yang terletak di Jalan Komplek Polri Kel. Cipedes Kec. Sukajadi Bandung. Partisipan memiliki latar belakang yang berbeda-beda, baik dalam segi pendidikan, daerah asal, dan pekerjaan. 1. Daerah asal siswa yang berbeda-beda, seperti Bandung dan Brebes. 2. Pendidikan orang tua siswa, sebagian mengenyam pendidikan secara formal hanya sampai sekolah dasar (SD). 3. Pekerjaan orang tua siswa semuanya adalah buruh. Teknik pengumpulan data adalah cara yang dilakukan untuk mengumpulkan data dalam kegiatan penelitian. Teknik pengumpulan data yang dipergunakan dalam penelitian ini yaitu melalui wawancara, observasi, studi literatur dan studi dokumentasi. Seperti yang dijelaskan oleh Bungin (2010, hlm.107) bahwa: Berdasarkan manfaat empiris bahwa metode pengumpulan data kualitatif yang paling independen terhadap semua metode pengumpulan data dan teknik analisa data adalah metode wawancara mendalam, observasi partisipasi, bahan dokumenter, serta metode-metode baru seperti metode bahan visual dan metode penelusuran bahan internet. Observasi adalah teknik pengumpulan data dengan melakukan pengamatan langsung dan peninjauan secara cermat terhadap subjek penelitian. Dalam kegiatan observasi peneliti mempelajari kehidupan sehari-hari manusia mulai dari bahasanya, melihat dengan mata kepala sendiri apa yang terjadi, mendengarkan dengan telinga sendiri apa yang dikatakan orang. Mencatat apa yang dilihat dan didengar, apa yang mereka katakan, pikirkan dan rasakan. Observasi yang dilakukan peneliti dalam penelitian ini seperti yang dijelaskan di atas, peneliti akan melakukan pengamatan pada orang tua siswa dari mengamati kehidupan sehari-hari terutama dalam hubungannya dengan pihak sekolah, kinerja kepala sekolah serta guru yang mengajar siswa pada program Kelas Layanan Khusus (KLK). Setelah memperolah informasi mengenai hubungan yang terjadi antar pihak-pihak tersebut peneliti akan langsung melakukan pengamatan secara mendalam dan memahami berbagai macam argumentasi yang terlontar dari masing-masing pihak yang memiliki kepentingannya masingmasing. Selain menggunakan teknik pengumpulan data dengan cara observasi, peneliti juga akan melakukan wawancara yang mendalam ke pihak-pihak yang terkait yaitu orang tua siswa, kepala sekolah, dan guru yang menjalankan program Kelas Layanan Khusus (KLK) di SDN Luginasari 2. Studi dokumentasi ini dimaksudkan untuk memperkuat dan melengkapi data hasil observasi dan wawancara yang telah dilaksanakan. Studi dokumentasi yang dilakukan oleh peneliti yaitu dengan melihat data-data mengenai keberadaan siswa dan latar belakang orang tua siswa. Hal tersebut sesuai dengan pernyataan Bungin (2012, hlm. 124) menyebutkan bahwa “Metode dokumenter adalah salah satu metode pengumpulan data yang digunakan dalam metodologi penelitian sosial untuk menelusuri data historis”. Studi litelatur digunakan untuk memperoleh data empiris yang relevan dan berkaitan dengan masalah yang sedang diteliti. Peneliti membaca dan mempelajari sumber-sumber informasi yang berkaitan dengan masalah yang diteliti oleh peneliti, baik sumber buku-buku, jurnal, skripsi, maupun karya tulis ilmiah lainnya yang berkaitan dengan kajian pustaka, seperti kajian mengenai permasalahan pendidikan, anak putus sekolah, serta penelitian terddahulu. Selain itu, sumber litelatur digunakan sebagai sumber memahami metode penelitian dan sebagai pisau analisis peneliti dalam menganalisis hasil temuan dilapangang berkaitan dengan permasalahan yang diteliti. Sedangkan teknik analisis data menggunakan data reduksi (data reduction), Penyajian Data (Data Display), Kesimpulan (Conclusion Drawing Verification). Data yang telah didapatkan akan diolah dan dicek kebenaran datanya, peneliti melalukan pengecekan kebenaran data dengan cara yang dikemukakan oleh Melong (dalam Bungin, hlm. 262) yang terdiri dari “perpanjangan keiikutsertaan, triangulasi, menggunakan bahan referensi, dan pengecekan”. HASIL DAN PEMBAHASAN Bentuk Pendidikan Program Kelas Layanan Khusus (KLK) di SDN Luginasari 2 Bandung Menurut hasil observasi dan wawancara yang dilakukan oleh peneliti bahwa program Kelas Layanan Khusus yang terdapat di SDN Luginasari 2 termasuk ke dalam pendidikan formal. Hal tersebut dibuktikan bahwa Coombs (dalam Yusuf, 1982, hlm. 62) mengemukakan bahwa “Pendidikan formal ialah pendidikan yang bersrtruktur, mempunyai jenjang/tingkat, dalam periode waktu-waktu tertentu, berlangsung dari sekolah dasar sampai ke universitas dan tercakup di samping studi akademis umum, juga berbagai program khusus dan lembaga untuk latihan teknis dan profesional”. Program Kelas Layanan Khusus (KLK) merupakan suatu program yang berlangsung di unit sekolah dasar negeri yakni SDN Luginasari 2 Bandung yang mendapatkan surat langsung dari dinas yakni Nomor 0106.1/023.03.1//2009 tanggal 31 Desember 2008 tentang Kelas Layanan Khusus (KLK), karena disekitar lingkungan SDN Luginasari 2 banyak anak-anak yang putus sekolah (DO) bahkan belum bersekolah walau usianya melebihi usia Sekolah Dasar. Selain dari yang telah dipaparkan diatas, bahwa peneliti juga sempat mewawancarai salah satu narasumber kunci yakni kepala sekolah SDN Luginasari 2 menyakatan anak yang terbina pada program Kelas Layanan Khusus (KLK) adalah siswa yang berprestasi. Sebut saja AP, pada tahun 2011 AP pernah menjuarai lomba lari estafet. Hal tersebut tidaklah mengherankan karena AP memiliki latar belakang sebagai anak jalanan, oleh sebab itu bakat AP yang seringkali melakukan aktifitas berlari di siang hari disalurkan oleh guru Penjas Orkes agar lebih bermanfaat. Dari pemaparan singkat di atas telah membuktikan bahwa bentuk pendidikan yang diberikan oleh tenaga pendidik di SDN Luginasari 2 telah maksimal. Selain yang terjadi pada AP, beberapa siswa Kelas Layanan Khusus (KLK) menjuarai lomba menari dan bernyanyi. Namun, seiring berkembangnya zaman bahwa anak yang ditampung oleh program Kelas Layanan Khusus (KLK) sedikit bergeser, dari latar belakang anak jalanan berubah menjadi anak korban DO (drop out). Maka, bentuk pendidikan pun disesuaikan dengan karakter anak tersebut. Pada anak yang memiliki latar belakang anak jalanan, proses pembelajaran dilaksanakan dengan mengkolaborasikan kemampuan minat dan bakatnya. Sedangkan pada anak korban DO guru cenderung untuk memahami anak dari segi psikologis terlebih dahulu, karena anak korban DO cenderung pemalas. Pada akhirnya guru harus memutar otak dua kali supaya menciptakan suasana menyenangkan berada di lingkungan sekolah. Setiap kelas reguler pasti memiliki jadwal pelajaran yang berbeda-beda, hal itu pun terjadi pada program Kelas Layanan Khusus (KLK) di SDN Luginasari 2. Kelas Layanan Khusus (KLK) ini sengaja proses pembelajarannya dilakukan di siang hari karena guru yang mengajar di Kelas Layanan Khusus (KLK) pada pagi harinya harus melakukan proses pembelajaran di kelas reguler. Selain hal itu, pelajaran pada Kelas Layanan Khusus (KLK) muatannya tidak terlalu banyak seperti yang terjadi pada kelas reguler. Hal ini disesuaikan dengan kondisi psikologis siswa. Bisa ditarik kesimpulan bahwa bentuk pendidikan yang dilaksanakan oleh program Kelas Layanan Khusus (KLK) di SDN Luginasari 2 telah seimbang. Artinya kebutuhan akan pengetahuan, sikap/budi pekerti luhur, pengembangan minat bakat, dan kesehatan jasmani pun diberikan kepada anak-anak putus sekolah yang terbina dalam program Kelas Layanan Khusus (KLK). Kepala sekolah SDN Luginasari 2 itu berharap bahwa dengan adanya pengembangan bakat minat bisa menggali potensi anak-anak yang notabene adalah anak jalanan dan DO sehingga pada saat anak di transfer ke kelas reguler anak tersebut bisa menyesuaikan diri dengan iklim kelas reguler yang heterogen. Lebih jauh dari itu, harapannya bahwa anak tersebut bisa mengembangkan keterampilannya di dunia luar dan menambah semangat untuk mengenyam pendidikan. Pada akhirnya setelah anak tersebut berhasil seminimalnya bisa membaca, menulis, dan berhitung serta bisa menyesuaikan kondisi dengan temanteman sepermainannya anak tersebut di transfer ke kela reguler. Inilah dunianya yang sesungguhnya, peserta didik Kelas Layanan Khusus (KLK) yang tadinya hanya beberapa orang saja, kini dia bisa mengekspresikan dirinya dan bergaul dengan siswa lainnya yang berbeda-beda karakter. Kondisi Peserta Didik Program Kelas Layanan Khusus (KLK) di SDN Luginasari 2 Bandung Pada awalnya Program Kelas Layanan Khusus (KLK) di dirikan pada bulan Mei 2008, SDN Luginasari 2 ditunjuk langsung oleh Dinas Pendidikan Kota Bandung yang bertujuan menjaring anak-anak putus sekolah (DO) ataupun yang belum bersekolah yang usianya berkisar antara 814 tahun, mereka diharapkan mau bersekolah kembali bagi yang di DO dan bagi yang belum bersekolah karena faktor ekonomi untuk mau bersekolah dan orang tuanya mau menyekolahkan putra putrinya. Pihak sekolah berusaha untuk memberikan pengertian kepada calon siswa tersebut akan pentingnya pendidikan bagi masa yang akan datang. Dimulai dengan kerjasama antara sekolah, RT, RW sampai kelurahan setempat untuk merekrut anak-anak yang belum bersekolah atau yang DO untuk mau kembali bergabung di sekolah hingga akhirnya tercapai beberapa calon siswa untuk mau bersekolah di SDN Luginasari 2. Peserta didik tersebut yang tergabung dalam program Kelas Layanan Khusus (KLK) mendapatkan fasilitas yang memuaskan, mulai dari uang pembangunan dan SPP gratis, seragam dan buku sekolah gratis, bantuan tas dan alat tulis yang juga gratis, serta adanya pembinaan orang tua siswa yang berkala. Hal tersebut dilakukan agar membangun kesadaran pentingnya pendidikan bagi orang tua siswa. Namun seiring berjalannya waktu kondisi peserta didik yang ada di program Kelas Layanan Khusus (KLK) mengundurkan diri dan memilih kembali ke kehidupan awalnya akibat tuntutan perekonomian keluarga. Tantangan berat dari kondisi perekonomian keluarga yang lemah mengharuskan anak harus kembali bekerja, walau memang pihak sekolah memaparkan tidak semua orang tua menekankan anaknya harus bekerja, tetapi pola pikir anak yang sudah berorientasi materil yang kadang susah dinasehati. Akibatnya anak lebih memilih untuk bekerja daripada sekolah. Selain hal itu, kurangnya pemahaman dan perhatian dari keluarga menyebabkan anak dibirakan untuk tidak bersekolah. Meskipun dari sekian banyak siswa yang keluar akibat seleksi alam, masih ada siswa yang berhasil bertahan di program Kelas Layanan Khusus (KLK) sampai akhirnya mereka di transfer ke kelas reguler. Peserta didik pada program Kelas Layanan Khusus (KLK) mengalami perubahan. Anak mulai bisa membaca, berhitung, dan menulis. Hal ini sejalan bahwa pendidikan berkenaan dengan perkembangan dan perubahan perilaku peserta didik. Bahwa menurut Nasution, 2009, hlm.10 menegaskan: Pendidikan bersinggungan dengan transmisi pengetahuan, sikap, kepercayaan, keterampilan, dan aspek- aspek kelakuan lainnya kepada generasi muda. Pendidikan adalah proses mengajar dan belajar pola-pola kelakuan manusia menurut apa yang diharapkan oleh masyarakat. Siswa yang ada di program Kelas Layanan Khusus (KLK) memiliki hubungan sosial yang cenderung kurang aktif. Mereka lebih senang bermain dengan sesama siswa dari program Kelas Layanan Khusus (KLK), karena mereka cenderung tidak percaya diri bergaul dengan siswa reguler. Perilaku manusia pada hakikatnya hampir secara keseluruhan bersifat sosial, yakni dipelajari dalam interaksi dengan manusia lainnya. Bahwasannya menurut Nasution (2009, hlm.10) Hampir segala sesuatu yang kita pelajari merupakan hasil hubungan kita dengan orang lain, baik itu di rumah, sekolah, tempat bermain, pekerjaan, dsb. Bahan pelajaran atau isi pendidikan ditentukan oleh kelompok atau masyarakat. Menurut Nasution (2009, hlm.11) bahwa “Belajar adalah sosialisasi yang berlanjut. Setiap individu dapat menjadi murid dan menjadi guru. Individu belajar dari lingkungan sosialnya dan juga mengajar dan mempengaruhi orang lain”. Sejalan dengan teori tersebut telah peneliti paparkan dalam bahasan mengenai penemuan tentang kondisi peserta didik program Kelas Layanan Khusus (KLK) mereka kurang pandai dalam bersosialisasi. Meskipun pada akhirnya ada juga siswa yang bertahan di Kelas Layanan Khusus (KLK) dan memiliki kecerdasan emosional yang baik. Peran Orang Tua dalam Mendukung Keberlangsungan Program Kelas Layanan Khusus (KLK) di SDN Luginasari 2 Berdasarkan hasil wawancara, secara keseluruhan pihak orang tua mendukung keberlangsungan program Kelas Layanan Khusus (KLK). Mereka dengan senang hati dan mempercayakan sepenuhnya proses pendidikan kepada pihak sekolah di SDN Luginasari 2. Adapun perihal pemberian motivasi pendidikan kepada anak dirasa masih kurang akibat latar belakang pendidikan yang rendah, serta beban ekonomi yang sangat berat harus dipikul oleh orang tua sehingga mereka cenderung untuk lebih banyak bekerja ketimbang memperhatikan kondisi proses pendidikan anak. Peran orang tua sangat penting dan mempengaruhi kondisi anak secara primer. Maka dari itu anak yang terbina pada program Kelas Layanan Khusus (KLK) harus mendapatkan dukungan dari pihak orang tua demi keberlangsungannya program tersebut. Adapun faktor-faktor yang sangat mempengaruhi perkembangan anak itu dikemukakan oleh para ahli dalam Ahmadi, 2007, hlm.91 menyatakan: 1. Status Sosial Ekonomi Keluarga Keadaan sosial ekonomi keluarga mempunyai peranan terhadap perkembangan anak-anak, misalnya keluarga yang perekonomiannya cukup menyebabkan lingkungan materil yang dihadapi oleh anak di dalam keluarganya akan lebih luas sehingga ia dapat kesempatan yang lebih luas dalam memperkenalkan bermacammacam kecakapan, yang mana kecakapan-kecakapan tersebut tidak mungkin dapat dikembangkan jika tida alat yang mendukung. Hubungan sosial antara anak-anak dan orang tuanya itu ternyata berlainan juga coraknya. Misalnya, keluarga yang ekonominya cukup hubungan antara orang tua dan anak akan lebih baik, sebab orang tidak ditekankan di dalam mencukupi kebutuhan-kebutuhan hidupnya, sehingga perhatiannya dapat dicurahkan kepada anak mereka. Secara umum pendapat di atas itu adalah benar, tetapi perlu diingat bahwa sebenarnya status sosial ekonomi bukanlah satu-satunya faktor mutlak menceritakan perkembangan anak. Sejalan dengan kondisi orang tua pada anak yang dibina oleh program Kelas Layanan Khusus (KLK) berada pada tahap menengah ke bawah sehingga mempengaruhi pola asuh kepada anak. Orang tua cenderung lebih mementingkan untuk bekerja dan memenuhi kebutuhan keluarga dibanding memperhatikan kondisi pendidikan anak. Kesibukan orang tua ternyata benar berpengaruh besar terhadap kondisi anak. Orang tua cenderung secara penuh menitipkan anaknya pada pihak sekolah sehingga mereka kurang memberikan motivasi sekolah kepada anaknya. Hal tersebut dipengaruhi juga oleh latar belakang pendidikan orang tua yang rendah. Namun, ada benarnya juga bahwa status sosial ekonomi bukanlah satusatunya mutlak mendorong perkembangan anak, walau orang tua kurang mendukung proses belajar anak tetap saja mereka mengharapkan kelak nantinya menjadi anak yang sukses. 2. Faktor Keutuhan Keluarga Salah satu faktor utama lain yang memepengaruhi perkembangan sosial anak adalah faktor keutuhan keluarga. Perihal yang dimaksud dangan faktor keutuhan kelaurga itu terutama yang masih lengkap, ada ayah ibu dan anak. Di samping keutuhan keluarga yang berbentuk struktur-struktur tersebut yang diperlukan pula ialah keutuhan interaksi hubungan antara anggota keluarga dengan anggota yang lainnya. Orang tua siswa program Kelas Layanan Khusus (KLK) melakukan hubungan interaksi yang baik dengan anaknya, mereka tetap memberikan kasih sayang dan selalu berusaha memberikan yang terbaik, meski sebagian waktu yang dimiliki oleh orang tua mereka dihabiskan untuk bekerja. Kelengkapan dari anggota keluarga juga memang berpengaruh kepada anak, akibat dari interaksi antara orang tua terbatasi oleh pekerjaan sehingga anak cenderung dibebaskan oleh orang tuanya dan lebih percaya menitipkan anaknya kepada tetangga. 3. Sikap dan Kebiasaan-kebiasaan Orang Tua Peranan keaadaan keluarga terhadap perkembangan sosial anakanak tidak hanya terbatas kepada situasi sosial ekonominya, atau kebutuhan struktur dan interaksinya, tetapi cara-cara dan sikap-sikap dalam pergaulannya memegang peranan penting di dalam perkembangan sosial anak-anak mereka. Jadi misalnya orang tua yang bersikap otoriter yaitu memaksakan kehendaknya kepada anak-anak mereka, maka anak-anak akan berkembang menjadi manusia pasif, tak berinisiatif, kurang percaya diri, ragu-ragu dan memiliki asa takut. Akhrinya ahli penemuan lain mengenai cara pemeliharaan anak yaitu Maccoby dan Gibs (dalam Ahmadi, 2007, hlm.111) menunjukkan kesimpulan yang lain daripada di atas tadi. Dikatakan bahwa pada midle class sifatnya lebih bebas mengasuh anak atau lebih bersifat mengizinkan/membebaskan terhadap anak. Hal yang terjadi pada pengasuhan anak yang dibina pada program Kelas Layanan Khusus (KLK) orang tua lebih membebaskan anak, orang tua kurang mengontrol tugas-tugas anak di sekolah, mereka cenderung membiarkan anaknya bermain dan belajar sesuka hatinya (tidak dikekang). Fakta dari teori diatas sudah dibuktikan bahwa anak cenderung mempunyai sikap kurang percaya diri dalam bergaul serta faktor orang tua bekerja hingga pola pengasuhan yang diberikan oleh orang tua cenderung bebas. Upaya yang Dilakukan Guru dalam Mengatasi Kesulitan Proses Pembelajaran Program Kelas Layanan Khusus (KLK) di SDN Luginasari 2 Berdasarkan studi wawancara dan dokumentasi bahwa upaya yang dilakukan oleh guru semua menjawab sama. Artinya setiap guru mengupayakan agar anak yang belajar pada program Kelas Layanan Khusus (KLK) untuk dapat mencintai suasana sekolah terlebih dahulu. Guru dituntut untuk lebih sabar dalam menghadapi setiap karakter siswa yang berbeda-beda. Guru mengupayakan agar setiap pembelajaran yang diberikan disukai oleh anak-anak, guru memberikan model pembelajaran yang menarik. Kendala yang dihadapi oleh guru bahwa seringkali anak melakukan bolos sekolah, perangai yang terkadang menjengkelkan guru tersebut. Hal yang memang menjadi dilematis bahwa ketika anak membolos lama, guru memberikan toleransi yang penuh. Segala upaya telah guru lakukan demi keberlangsungannya program Kelas Layanan Khusus (KLK) ini oleh karena itu kepala sekolah SDN Luginasari 2 dengan bijak memaparkan bahwasannya target yang dicapai dari program Kelas Layanan Khusus (KLK) ini bukanlah kualitas namun lebih kepada kualitas siswa itu sendiri. Semua guru dengan sukarela membantu para wali kelas yang memang dirasa kewalahan saat mengajar di program Kelas Layanan Khusus (KLK). Hal ini juga dipengaruhi oleh situasi ruangan kelas yang ada di Kelas Layanan Khusus (KLK) dimana kondisi sarana dan prasarana ternyata mendukung proses pembelajarandi Kelas Layanan Khusus (KLK). Salah satu upaya yang bisa dilakukan oleh guru adanya perilaku dominatif di kelas. Seperti yang dikemukakan oleh Damsar, 2012, hlm.104 bahwa “Pendekatan interaksi memperhatiakan bagaimana pengaruh perilaku dominatif yang diperbandingkan dengan perilaku integratif terhadap anak.” Artinya bahwa guru dalam kategori ini dipandang memiliki perilaku yang berbeda dalam memperlakukan peserta didiknya di dalam ruangan kelas. Pada program Kelas Layanan Khusus (KLK) seorang guru tentunya tercermin sebagai pusatnya ilmu pengetahuan dan orang yang paling tahu. Guru adalah sosok yang dianggap sebagai penentu benar atau salahnya sesuatu hal sementara peserta didik dianggap sebagai sosok yang tidak tahu apa-apa sehingga perlu bimbingan dari guru. Upaya selanjutnya bahwa guru tidak boleh mengecap siswa yang memiliki keterlambatan dalam menyerap materi pelajaran dengan julukan yang tidak baik. Hal itu sejalan dengan pandangan Damsar, 2012, hlm.108 dikatakan bahwa “Teori radikal mengartikan bahwa ia mempertanyakan sesuatu yang dipandang memang seharusnya demikian dan memberikan alternatif cara pandang dalam melihat sesuatu.” Artinya teori labeling memberikan penekanan nama atau label kepada seseorang, oleh sebab itu label dipandang menjadi konsep diri seseorang yang membawa seseorang itu kepada prasangka atau suatu penyimpangan tertentu yang dikenakan pada dirinya. Sebagai contoh, pada Kelas Layanan Khusus (KLK) seorang anak apalagi dengan kondisi latar belakang putus sekolah akibat DO atau anak jalanan di cap negatif, seperti dengan julukan bodoh atau nakal. Hal tersebut justru akan membuat kondisi peserta didik malah semakin terpuruk. Oleh sebab itu guru harus ekstra sabar agar hal-hal yang demikian tidak terjadi. Ditakutkan konsekuensi dari pemberian label tersebut akan memberikan suatu prasangka atau penyimpangan tertentu yang dikenakan pada diri siswa tersebut, dimana label akan membuat kita untuk melihat hal tertentu dan menutup mata untuk melihat hal yang lain, meskipun pada akhirnya apa yang dilabelkan oleh guru terhadap muridnya itu salah. Sementara itu, kurangnya pilihan menyebabkan siswa yang dilabel lamakelamaan memandang dirinya sendiri sebagaimana orang lain memandangnya. Pada akhirnya jika hal tersebut terjadi siswa yang dilabelkan negatif itu lamakelamaan akan sesuai dengan apa yang kita labelkan, oleh sebab itu upaya yang harus benar-benar dilakukan adalah adanya pelatihan guru yang mengajar di program Kelas Layanan Khusus (KLK) supaya dari berbagai pelatihan tersebut, kondisi psikis dan pengetahuan guru semakin bertambah. KESIMPULAN Bentuk pendidikan yang dilaksanakan oleh program Kelas Layanan Khusus (KLK) meliputi bentuk pemberian pendidikan secara formal yang meliputi aspek kognitif, afektif, dan psikomotor. Namun, pada program Kelas Layanan Khusus (KLK) guru lebih menekankan pada pembinaan akhlak mulia dan motivasi pentingnya belajar di sekolah bagi anak. Setiap guru tidak memaksakan bahwa anak harus menyelesaikan tugas yang diberikan atau mencapai KKM (Kriteria Ketuntasan Minimal) yang dicapai, asalkan anak duduk manis serta mau mendengarkan guru menyampaikan materi maka sudah suatu keberhasilan yang di raih. Bentuk pendidikan yang dilaksanakan oleh program Kelas Layanan Khusus (KLK) di SDN Luginasari 2 telah seimbang. Artinya kebutuhan akan pengetahuan, sikap/budi pekerti luhur, pengembangan minat bakat, dan kesehatan jasmani pun diberikan kepada anak-anak putus sekolah yang terbina dalam program Kelas Layanan Khusus (KLK). Kepala sekolah SDN Luginasari 2 itu berharap bahwa dengan adanya pengembangan bakat minat bisa menggali potensi anak- anak yang notabene adalah anak jalanan dan DO sehingga pada saat anak di transfer ke kelas reguler anak tersebut bisa menyesuaikan diri dengan iklim kelas reguler yang heterogen. Lebih jauh dari itu, harapannya bahwa anak tersebut bisa mengembangkan keterampilannya di dunia luar dan menambah semangat untuk mengenyam pendidikan. Kondisi peserta didik program Kelas Layanan Khusus (KLK) sedikit demi sedikit berkurang, namun tetap ada yang bertahan. Anak sudah pandai menulis, berhitung, dan membaca. Namun, masih saja ada sifat malas dan terkadang membolos sekolah. bahwa secara keseluruhan kondisi peserta didik yang ada di program Kelas Layanan Khusus (KLK) mengundurkan diri dan memilih kembali ke kehidupan awalnya akibat tuntutan perekonomian keluarga. Tantangan berat dari kondisi perekonomian keluarga yang lemah mengharuskan anak harus kembali bekerja, walau memang pihak sekolah memaparkan tidak semua orang tua menekankan anaknya harus bekerja, tetapi pola pikir anak yang sudah berorientasi materil yang kadang susah dinasehati. Akibatnya anak lebih memilih untuk bekerja daripada sekolah. Selain hal itu, kurangnya pemahaman dan perhatian dari keluarga menyebabkan anak dibirakan untuk tidak bersekolah. Meskipun dari sekian banyak siswa yang keluar akibat seleksi alam, masih ada siswa yang berhasil bertahan di program Kelas Layanan Khusus (KLK) sampai akhirnya mereka di transfer ke kelas reguler. Peran orang tua secara keseluruhan pihak orang tua mendukung keberlangsungan program Kelas Layanan Khusus (KLK). Mereka dengan senang hati dapat menitipkan anaknya di SDN Luginasari 2. Mereka dengan senang hati dan mempercayakan sepenuhnya proses pendidikan kepada pihak sekolah di SDN Luginasari 2. Adapun perihal pemberian motivasi pendidikan kepada anak dirasa masih kurang akibat latar belakang pendidikan yang rendah, serta beban ekonomi yang sangat berat harus dipikul oleh orang tua sehingga mereka cenderung untuk lebih banyak bekerja ketimbang memperhatikan kondisi proses pendidikan anak. Kendala yang dihadapi oleh guru bahwa seringkali anak melakukan bolos sekolah, perangai yang terkadang menjengkelkan guru tersebut. Hal yang memang menjadi dilematis bahwa ketika anak membolos lama, guru memberikan toleransi yang penuh. Segala upaya telah guru lakukan demi keberlangsungannya program Kelas Layanan Khusus (KLK) ini oleh karena itu kepala sekolah SDN Luginasari 2 dengan bijak memaparkan bahwasannya target yang dicapai dari program Kelas Layanan Khusus (KLK) ini bukanlah kualitas namun lebih kepada kualitas siswa itu sendiri. Semua guru dengan sukarela membantu para wali kelas yang memang dirasa kewalahan saat mengajar di program Kelas Layanan Khusus (KLK). Upaya yang dilakukan oleh guru dalam mengatasi kesulitan setiap guru mengupayakan agar anak yang belajar pada program Kelas Layanan Khusus (KLK) untuk dapat mencintai suasana sekolah terlebih dahulu. Guru dituntut untuk lebih sabar dalam menghadapi setiap karakter siswa yang berbeda-beda. Guru mengupayakan agar setiap pembelajaran yang diberikan disukai oleh anak-anak, serta guru memberikan model pembelajaran yang menarik. Implikasi penelitian ini terhadap dunia sosiologi pendidikan maupun pendidik sosiologi bahwa Kelas Layanan Khusus (KLK) merupakan kajian dari pendidikan. Hal ini membuktikan adanya masalah dalam praksis pendidikan dimulai dari fenomena putus sekolah, latar belakang mengapa anak putus sekolah, sampai kepada ranah keluarga merupakan bagian yang tak kalah pentingnya dalam mempengaruhi proses pendidikan seorang individu di sekolah ataupun di masyarakat. Maka dengan ini dinyatakan hadirnya Kelas Layanan Khusus (KLK) dirasa mempunyai implikasi terhadap proses pendidikan. Hal tersebut sejalan dengan banyaknya fenomena yang harus dikaji melalui pisau analisis Sosiologi Pendidikan. Penelitian ini pula dapat memperkaya khazanah kajian dari Sosiologi Pendidikan itu sendiri. Dimana dalam kajian sosiologi pendidikan terdapat pola hubungan pendidikan dan masyarakat, hubungan antara pendidikan dan sumber daya manusia, interaksi antara guru dan murid, proses sosialisasi dan keluarga, serta pendidikan yang kaitannya dengan proses perubahan sosial dimana hal tersebut merupakan ruang lingkup dari sosiologi. Melalui penelitian ini, kajian sosiologi pendidikan sangat kental tersaji dari mulai awal latar belakang munculnya peneliti menarik masalah ini hingga pada bagian pembahasan. Hal ini pula akan menjadi pekerjaan besar bagi pendidik sosiologi, dimana melalui penelitian ini seorang pendidik sosiologi (guru sosiologi) akan mengaitkan serta menambah wawasan supaya ketika menyampaikan materi pelajaran di kelas tak hanya berjejal dengan text book, namun penelitian ini dapat diangkat ke dalam suatu materi sosiologi yang disesuaikan dengan jenjang kelasnya agar sosiologi dipandang oleh peserta didik bukan hanya sebuah mata pelajaran yang penuh dengan teori dan hafalan, melainkan sosiologi merupakan pelajaran yang aplikasinya secara nyata kita lakukan setiap hari karena menyangkut proses interaksi dan sosialisasi. DAFTAR RUJUKAN Sumber Buku Ardiwinata & Hufad. (2007). Sosiologi Antropologi Pendidikan. Bandung: UPI PRESS. Ahmadi, A. (2007). Sosiologi Pendidikan. Jakarta: Rineka Cipta. Alwasilah, A Chaedar. (2008). Pokoknya Kualitatif. Jakarta: Dunia Pustaka Jaya. Bungin, B. (2007). Penelitian Kualitatif. Jakarta: Kencana Prenada Media Group. Damsar. (2012). Pengantar Sosiologi Pendidikan. Jakarta: Kencana. Gunawan, Ary H. (2010). Sosiologi Pendidikan. Jakarta: Rineka Cipta. Hasbullah. (2009). Dasar-dasar ilmu Pendidikan. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada. Hamidi. (2001). Metode Penelitian Kualitatif. Malang: UMM Press. Idi, A. (2011). Sosiologi Pendidikan. Jakarta:Rajawali Pers. Idrus, M. (2009). Metode Penelitian Ilmu Sosial. Jakarta: Erlangga. Ihsan, F. (2010). Dasar-dasar Kependidikan Komponen MKDK. Jakarta: Rineka Cipta. Kamil, M. (2009). Pendidikan Nonformal. Bandung: Alfabeta. Martono, N. (2011). Sosiologi Perubahan Sosial. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada. Marzuki, S. (2010). Pendidikan Nonformal. Bandung: PT Remaja Rosdakarya. Miles, M & Huberman, AM. (2007). Analisis Data Kualitatif: Buku Sumber tentang Metode-Metode Baru. Jakarta: Universitas Indonesia Press. Moleong, J.L. (2007). Metodologi Penelitian Kualitatif. Bandung: Remaja Rosdakarya. Mudyahardjo, R. (2012). Pengantar Pendidikan. Jakarta: PT.Grafindo Persada. Yusuf, M. (1982). Pengantar Ilmu Pendidikan. Jakarta: Yudhistira Nasution, S. (2003). Metode Penelitian Naturalistik Kualitatif. Bandung: Tarsito. Peraturan Perundangan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 Nasution, S. (2009). Sosiologi Pendidikan. Jakarta: Bumi Aksara. Undang-Undang No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional Rasyidin, dkk. (2010). Landasan Pendidikan. Tim Dosen MKDP Landasan Pendidikan UPI. Undang-Undang Sisdiknas RI No.20 tahun 2003 pasal 32 ayat 2 tentang Pendidikan Layanan Khusus Salim, A. (2008). Pengantar Sosiologi Makro. Yogyakarta: Pustaka Belajar. Skripsi, Tesis, atau Desertasi Purwani, Indang. (2015). Faktor Penyebab Anak Putus Sekolah Pada Masyarakat Desa Nelayan Desa Pabean Udik Kecamatan Indramayu Kabupaten Indarmayu. (Skripsi). Bandung: Universitas Pendidikan Indonesia. Sugiyono. (2010). Metode Penelitian Pendidikan, Pendekatan Kuantitatif, Kualitatif dan R&D. Bandung: Alfabeta. Sukardjo & Komarudin. (2009). Landasan Pendidikan, konsep dan aplikasinya. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada. Suryosubroto, B. (2010). Manajemen Pendidikan di Sekolah. Jakarta: Rineka Cipta. Tim Dosen Administrasi Pendidikan Universitas Pendidikan Indonesia. (2009). Manajemen Pendidikan. Bandung: Alfabeta. Wirartha, I, M. (2006). Metodologi Penelitian Sosial Ekonomi. Yogyakarta: Penerbit Andi.