1 PEMBERIAN MASASE KAKI TERHADAP PENURUNAN NYERI PADA ASUHAN KEPERAWATAN NY. S DENGAN DIABETES MELITUS TIPE II DI RUANG MELATI I RSUD DR. MOEWARDI SURAKARTA Karya Tulis Ilmiah Untuk Memenuhi Salah Satu Persyaratan Dalam Menyelesaikan Program Diploma III Keperawatan DI SUSUN OLEH : FAJAR SITI SOLIKHA NIM. P.11017 PROGRAM STUDI DIII KEPERAWATAN SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN KUSUMA HUSADA SURAKARTA 2014 1 2 PEMBERIAN MASASE KAKI TERHADAP PENURUNAN NYERI PADA ASUHAN KEPERAWATAN NY. S DENGAN DIABETES MELITUS TIPE II DI RUANG MELATI I RSUD DR. MOEWARDI SURAKARTA DI SUSUN OLEH : FAJAR SITI SOLIKHA NIM. P.11017 PROGRAM STUDI DIII KEPERAWATAN SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN KUSUMA HUSADA SURAKARTA 201 i 2 SURAT PERNYATAAN KEASLIAN TULISAN Saya yang bertandatangan di bawah ini : Nama : Fajar Siti Solikha NIM : P.11017 Program studi : DIII Keperawatan Judul karya tulis ilmiah : Pemberian Masase Kaki Terhadap Penurunan Nyeri Pada Asuhan Keperawatan Ny. S Dengan Diabetes Melitus Tipe II Di Ruang Melati I RSUD Dr. Moewardi Surakarta Menyatakan dengan sebenarnya bahwa tugas akhir yang saya tulis ini benar-benar hasil karya saya sendiri, bukan merupakan pengambilalihan tulisan atau pikiran orang lain yang saya akui sebagai tulisan atau pikiran saya sendiri. Apabila dikemudian hari dapat dibuktikan bahwa tugas akhir ini adalah hasil jiplakan, maka saya bersedia menerima sanksi atas perbuatan tersebut sesuai dengan ketentuan akademik yang berlaku. Surakarta, Mei 2014 Yang membuat pernyataan FAJAR SITI SOLIKHA NIM. P.11017 ii iii LEMBAR PERSETUJUAN Karya Tulis Ilmiah ini diajukan oleh: Nama : Fajar Siti Solikha NIM : P.11017 Jurusan : DIII Keperawatan Judul : PEMBERIAN MASASE KAKI TERHADAP PENURUNAN NYERI PADA ASUHAN KEPERAWATAN NY. S DENGAN DIABETES MELITUS TIPE II DI RUANG MELATI I RSUD DR MOEWARDI SURAKARTA Telah disetujui untuk diujikan dihadapan Dewan Penguji Karya Tulis Ilmiah Prodi DIII Keperawatan STIKes Kusuma Husada Surakarta Ditetapkan di : Surakarta Hari /Tanggal : Kamis, 08 Mei 2014 Pembimbing : Siti Mardiyah, S.Kep., Ns. NIK.201183063 iii (……………….…..) iv iv v KATA PENGANTAR Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Kuasa karena berkat, rahmat dan karunia-Nya, sehingga penulis dapat menyelesaikan Karya Tulis Ilmiah dengan judul “PEMBERIAN MASASE KAKI TERHADAP PENURUNAN NYERI PADA ASUHAN KEPERAWATAN NY. S DENGAN DIABETES MELITUS TIPE II DI RUANG MELATI I RSUD DR. MOEWARDI SURAKARTA”. Dalam penyusunan Karya Tulis Ilmiah ini penulis banyak mendapat bimbingan dan dukungan dari berbagai pihak, oleh karena itu pada kesempatan ini penulis mengucapkan terikasih dan penghargaan yang setinggi-tingginya kepada yang terhormat : 1. Atiek Murhayati, S.Kep.,Ns., M.Kep, selaku ketua program studi DIII Keperawatan yang telah memberikan kesempatan untuk dapat menimba ilmu di Stikes Kusuma Husada Surakarta. 2. Meri Oktariani, S.Kep.,Ns., M.Kep, selaku sekretaris ketua program studi DII Keperawatan yang telah memberikan kesempatan untuk dapat menimba ilmu di Stikes Kusuma Husada Surakarta. 3. Siti Mardiyah, S.Kep.,Ns., selaku dosen pembimbing sekaligus sebagai penguji yang telah membimbing dengan cermat, memberikan masukanmasukan, inspirasi, perasaan nyaman dalam bimbingan serta memfasilitasi demi sempurnanya studi kasus ini. 4. Nurul Devi Ardiani, S.Kep.,Ns., selaku dosen penguji sekaligus sebagai penguji yang telah membimbing dengan cermat, memberikan masukanmasukan, inspirasi, perasaan nyaman dalam bimbingan serta memfasilitasi demi sempurnanya studi kasus ini. 5. Alfyana Nadya Rachmawati, S.Kep.,Ns, M.Kep, selaku dosen penguji sekaligus sebagai penguji yang telah membimbing dengan cermat, v vi memberikan masukan-masukan, inspirasi, perasaan nyaman dalam bimbingan serta memfasilitasi demi sempurnanya studi kasus ini. 6. Semua dosen program studi DIII Keperawatan Stikes Kusuma Husada Surakarta yang telah memebrikan bimbingan dengan sabar dan wawasannya serta ilmu yang bermanfaat. 7. Kedua orangtuaku, yang selalu menjadi inspirasi dan memberikan semangat untuk menyelesaikan pendidikan. 8. Teman-teman mahasiswa program studi DIII Keperawatan Stikes Kusuma Husada Surakarta dan berbagai pihak yang tidak dapat disebutkan satupersatu, yang telah memberikan dukungan moril dan spiritual. Semoga laporan studi kasus ini bermanfaat untuk perkembangan ilmu keperawatan dan kesehatan. Amin. Semoga laporan studi kasus ini bermanfaat untuk perkembangan ilmu keperawatan.Amin. Surakarta,Mei2014 (…………………………) Penulis vi vii DAFTAR ISI Halaman HALAMAN JUDUL.................................................................................. i PERNYATAAN KEASLIAN TULISAN.................................................. ii LEMBAR PERSETUJUAN....................................................................... iii LEMBAR PENGESAHAN ....................................................................... iv KATA PENGANTAR ............................................................................... v DAFTAR ISI .............................................................................................. vii DAFTAR TABEL....................................................................................... ix DAFTAR GAMBAR……………………………………………………… x LAMPIRAN.................................................................................................. xi BAB I BAB II BAB III PENDAHULUAN A. Latar Belakang ................................................................... 1 B. Tujuan Penulisan ................................................................ 4 C. Manfaat Penulisan .............................................................. 5 LANDASAN TEORI A. Diabetes Melitus................................................................. 6 B. Nyeri................................................................................... 39 C. Masase................................................................................ 54 LAPORAN KASUS A. Identitas Pasien .................................................................. 59 B. Pengkajian .......................................................................... 60 vii viii C. Daftar Perumusan Masalah ................................................ 67 D. Intervensi............................................................................ 69 E. Implementasi……………………….. ................................ 71 F. Evaluasi .............................................................................. 79 BAB IV PEMBAHASAN...................................................................... 85 BAB V SIMPULAN DAN SARAN A. Simpulan ............................................................................ 103 B. Saran................................................................................... 109 Dafar Pustaka Lampiran Daftar Riwayat Hidup viii ix DAFTAR TABEL Halaman 1 Tabel 2.1 Respon Fisiologis Terhadap Nyeri ..................................... 47 2 Tabel 2.2 Respon Perilaku Nyeri ........................................................ 48 ix x DAFTAR GAMBAR Halaman 1 Tabel 3.1 Genogram .................................................................................. x 60 xi DAFTAR LAMPIRAN Lampiran 1. Daftar Riwayat Hidup Lampiran 2. Asuhan Keperawatan Lampiran 3. Look Book Lampiran 4. Pendelegasian Lampiran 5. Jurnal Utama Lampiran 6. Lembar konsul xi BAB 1 PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Diabetes Melitus adalah penyakit hiperglikemia yang ditandai dengan ketiadaan absolut insulin atau penurunan relatif insensitivitas sel terhadap insulin (Corwin, 2009). Saat ini angka pasien Diabetes Melitus bertambah banyak, WHO memprediksi bahwa pada tahun 2000 jumlah pengidap Diabetes Melitus diatas umur 20 tahun berjumlah 150 juta orang di dunia dan dalam kurun waktu 25 tahun kemudian, pada tahun 2025 jumlah tersebut akan membengkak menjadi 300 juta orang. Di Indonesia di prediksi kenaikan jumlah pasien dari 8,4 juta pada tahun 2000 menjadi sekitar 21,3 juta pada tahun 2030 (Sudoyo, 2006). Diabetes Melitus tipe II adalah intoleransi karbohidrat yang ditandai dengan resistensi insulin, defisiensi relative (bukan absolut) insulin, kelebihan produksi glukosa hepar dan hiperglikemia (Valentina, 2007). Saat ini angka pasien Diabetes Melitus bertambah banyak, WHO memprediksi bahwa pada tahun 2000 jumlah pengidap Diabetes Melitus diatas umur 20 tahun berjumlah 150 juta orang di dunia dan dalam kurun waktu 25 tahun kemudian, pada tahun 2025 jumlah tersebut akan membengkak menjadi 300 juta orang. Di Indonesia di prediksi kenaikan 1 2 jumlah pasien dari 8,4 juta pada tahun 2000 menjadi sekitar 21,3 juta pada tahun 2030 (Sudoyo, 2006). Data studi global menunjukkan bahwa jumlah penderita Diabetes Melitus pada tahun 2012 telah mencapai 366 juta orang. Jika tidak ada tindakan yang dilakukan, jumlah ini diperkirakan akan meningkat menjadi 552 juta pada tahun 2030 (Indonesia Diabetes Federation, 2011). Neuropati merupakan salah satu komplikasi jangka panjang dari Diabetes Melitus pada pembuluh darah kecil (mikroangiopati). Neuropati terdiri dari neuropati perifer, otonom, proximal, dan vokal. Neuropati dapat bersifat polineuropati dan mononeuropati (Kohnle, 2008). Tingginya kadar glukosa darah menyebabkan penebalan mikrovaskular sehingga akan terjadi iskemia dan penurunan penyaluran oksigen ke jaringan, sehingga menyebabkan ketersediaan oksigen ke jaringan berkurang. Hal tersebut menjadikan afinitas hemoglobin meningkat terhadap oksigen sehingga jaringan teroksigenasi tidak adekuat. Diabetes Melitus merusak sistem saraf perifer, termasuk komponen sensorik dan motorik divisi somatik dan otonom. Penyakit saraf yang di sebabkan Diabetes Melitus di sebut neuropati diabetik (Corwin, 2009). Gejala umum neuropati perifer meliputi distal parastesia, nyeri seperti kesakitan atau terbakar atau seperti tertusuk, dan kaki terasa dingin (Kohnle, 2008). Neuropati dapat menyerang saraf-saraf perifer, saraf-saraf cranial atau sistem saraf otonom (Price, 2005). 3 Tindakan yang dilakukan untuk mencegah dan mengontrol terjadinya neuropati diabetik pada pasien yang mengalami nyeri adalah dengan cara terapi komplementari. Salah satu jenis komplementari terapi yang dapat di gunakan adalah touch teraphy khususnya masase. Selain pengendalian kadar glukosa darah dapat juga dilakukan masase pada daerah kaki secara rutin sertiap hari (Black & Hawks, 2005). Dari studi kasus tersebut di dapatkan data bahwa Ny. S mengeluh nyeri pada kedua telapak kaki saat aktivitas berlebih nyeri seperti di tusuktusuk dengan skala nyeri 4 durasi 5-10 menit intensitas hilang timbul. Hal ini sesuai dengan penelitian yang dilakukan oleh Mulyati (2012) dengan judul penelitian Pengaruh Masase Kaki secara Manual Terhadap Sensasi Proteksi Nyeri dan Ankle Brachial Index (ABI) pada Diabetes Melitus Tipe II Di RSUD Curup Bengkulu. Hasil penelitian menunjukkan bahwa masase kaki secara manual dapat meningkatkan sensasi proteksi dan menurunkan nyeri pada pasien Diabetes Melitus tipe II. Dari studi kasus di dapatkan data bahwa Ny. S mengeluh nyeri pada kedua telapak kaki saat aktivitas berlebih nyeri seperti di tusuk-tusuk dengan skala nyeri 4 intensitas hilang timbul. Berdasarkan uraian diatas maka penulis tertarik untuk menyusun Karya Tulis Ilmiah dengan judul “PEMBERIAN MASASE KAKI TERHADAP PENURUNAN NYERI PADA ASUHAN KEPERAWATAN NY. S DENGAN DIABETES MELITUS TIPE II DI RUANG MELATI I RSUD DR. MOEWARDI SURAKARTA” 4 B. Tujuan Penulisan 1. Tujuan umum : Melaporkan hasil Pemberian Masase Kaki Terhadap Penurunan Nyeri Pada Asuhan Keperawatan Ny.S dengan Diabetes Melitus tipe II di ruang Melati RSUD Dr. Moewardi di Surakarta. 2. Tujuan khusus : a. Penulis mampu melakukan pengkajian pada Ny. S dengan Diabetes Melitus tipe II b. Penulis mampu merumuskan diagnosa keperawatan pada Ny. S dengan Diabetes Melitus tipe II c. Penulis mampu menyusun rencana asuhan keperawatan pada Ny. S dengan Diabetes Melitus tipe II d. Penulis mampu melakukan implementasi pada Ny. S dengan Diabetes Melitus tipe II e. Penulis mampu melakukan evaluasi pada Ny. S dengan Diabetes Melitus tipe II f. Penulis mampu menganalisa hasil pemberian masase kaki terhadap penurunan nyeri pada Ny. S dengan Diabetes Melitus tipe II 5 C. Manfaat Penulisan Manfaat dari penulisan karya tulis ilmiah ini adalah 1. Bagi Penulis Hasil Karya Tulis Ilmiah ini dapat menjadi pengalaman belajar dalam meningkatkan dan ketrampilan penulis dalam memberi Asuhan Keperawatan 2. Institusi a. Rumah Sakit Sebagai bahan masukan dalam meningkatkan pemberian pelayanan kesehatan berkaitan dengan pasien dengan Diabetes Melitus tipe II. b. Pendidikan Hasil Karya Tulis Ilmiah ini dapat menjadi tambahan ilmu bagi institusi keperawatan khususnya keperawatan medikal bedah dalam penanganan kasus Diabetes Melitus tipe II. 3. Pasien dan Keluarga Pasien dan keluarga mendapatkan informasi dan pengetahuan tentang cara mengontrol nyeri pada pasien Diabetes Melitus tipe II. BAB II LANDASAN TEORI A. Diabetes Melitus 1. Pengertian Diabetes Melitus adalah gangguan metabolisme yang secara genetis dan klinis termasuk heterogen dengan manifestasi berupa hilangnya toleransi karbohidrat. Jika telah berkembang penuh secara klinis, maka Diabetes Melitus ditandai dengan hiperglikemia puasa dan postprandial, arterosklerotik, dan penyakit vaskular mikroangiopati, dan neuropati (Price, 2005). Diabetes Melitus adalah penyakit hiperglikemia yang ditandai dengan ketiadaan absolut insulin atau penurunan relatif insensitivitas sel terhadap insulin. Hiperglikemia biasa disebabkan defisiensi insulin, seperti yang dijumpai pada diabetes melitus tipe 1, atau karena penurunan responsivitas sel terhadap insulin, seperti yang dijumpai pada diabetes melitus tipe 2 (Corwin, 2009). Diabetes Melitus merupakan suatu penyakit kronik yang kompleks yang melibatkan kelainan metabolisme karbohidrat, protein dan lemak dan berkembangnya komplikasi makrovaskular dan neurologis (Sujono & Sukarmin, 2008). 6 7 2. Etiologi Menurut Price (2005) penyebab Diabetes Melitus meliputi : a. Diabetes Melitus tipe I adalah penyakit autoimun yang ditentukan secara genetik dengan gejala-gejala yang pada akhirnya menuju proses bertahap perusakan imunologik sel-sel yang meproduksi insulin. Individu yang peka secara genetik tampaknya memberikan respon terhadap kejadian-kejadian pemicu yang diduga berupa infeksi virus, dengan memproduksi autoantibodi terhadap sel-sel beta, yang akan mengakibatkan berkurangnya sekresi insulin yang dirangsang oleh glukosa. Obat-obatan tertentu yang diketahui dapat memicu penyakit autoimun lain juga dapat memulai proses autoimun pada pasienpasien diabetes tipe I. Antibodi sel-sel pulai langerhans memiliki presentase yang tinggi pada pasien dengan Diabetes Melitus tipe I awitan baru dan memberikan bukti yang kuat adanya mekanisme autoimun pada patogenesis penyakit. b. Diabetes Melitus tipe II Transmisi genetik adalah paling kuat dan contoh terbaik terdapat dalam Diabetes awitan dewasa muda (MODY), yaitu subtipe penyakit Diabetes yang diturunkan dengan pola autosomal dominan. 8 Diabetes Melitus tipe II ditandai dengan kelainan sekresi insulin, serta kerja insulin. Kelainan ini dapat disebabkan oleh berkurangnya jumlah tempat reseptor pada membran sel yang selnya responsif terhadap insulin atau akibat ketidaknormalan reseptor insulin intrinsik. Sekitar 80% pasien Diabetes Melitus tipe II mengalami obesitas, karena obesitas berkaitan dengan resistensi insulin maka kelihatannya akan timbul kegagalan toleransi glukosa yang menyebabkan Diabetes tipe II. 3. Klasifikasi Dokumen konsesus tahun 1997 oleh American Diabetes Association’s Expert Committee on the Diagnosis and Classification of Diabetes Melitus, menjabarkan 3 kategori utama Diabetes (Corwin, 2009), yaitu : a. Diabetes Melitus tipe I (Diabetes Melitus Dependen Insulin) Diabetes Melitus tipe I adalah penyakit hiperglikemia akibat ketiadaan absolut insulin. Sebelumnya tipe diabetes ini disebut sebagai Diabetes Melitus dependen insulin, karena individu pengidap penyakit ini harus mendapatkan insulin pengganti. Diabetes Melitus tipe I biasanya dijumpai pada individu yang tidak gemuk berusia kurang dari 30 tahun. Diabetes Melitus tipe I diperkirakan terjadi akibat destruksi otoimun sel-sel beta pulau langerhans. Individu yang memiliki kecenderungan genetik 9 penyakit ini tampaknya menerima faktor pemicu dari lingkungan yang menginisiasi proses otoimun. Sebagai contoh faktor pencetus yang mungkin antara lain infeksi virus seperti gondongan (mumps), rubella, atau sitomegalovirus (CMV) kronis. Pada Diabetes Melitus tipe ini ini diperlukan suntikan insulin untuk mengontrol kadar gula darah. b. Diabetes Melitus tipe II (Diabetes Melitus tidak tergantung insulin atau non insulin dependent diabetes melitus) Hiperglikemia yang disebabkan insensitivitas seluler terhadap insulin. Selain itu, terjadi defek sekresi insulin ketidakmampuan pancreas untuk menghasilkan insulin yang cukup untuk mempertahankan glukosa plasma yang normal. Meskipun kadar insulin mungkin sedikit menurun atau berada dalam rentang normal, jumlah insulin tetap rendah sehingga kadar glukosa plasma meningkat. Karena insulin tetap dihasilkan oleh sel-sel beta pancreas, Diabetes Melitus tipe II yang sebelumnya disebut Diabetes Melitus tidak tergantung insulin atau non insulin dependent Diabetes Melitus, sebenarnya kurang tepat karena banyak individu yang mengidap Diabetes tipe II dapat ditangani dengan insulin. Diabetes Melitus tipe II terjadi paling sering pada individu berusia lebih dari 30 tahun dan berkaitan dengan kegemukan. Diperkirakan juga bahwa terdapat sifat genetik yang 10 belum teridentifikasi yang menyebabkan pankreas mengeluarkan insulin yang berbeda,atau menyebabkan reseptor insulin atau perantara kedua tidak dapat berespons secara adekuat terhadap insulin. c. Diabetes Kehamilan: Gestasional Diabetes Melitus (GDM) Diabetes yang terjadi pada wanita hamil yang sebelumnya tidak mengidap Diabetes. Penyebab Diabetes Gestasional berkaitan dengan peningkatan kebutuhan energi dan kadar estrogen serta hormon pertumbuhan yang terus-menerus tinggi selama kehamilan. 4. Patofisiologi Pada Diabetes Melitus tipe I terdapat ketidakmampuan untuk menghasilkan insulin karena sel-sel beta pankreas telah dihancurkan oleh proses autoimun. Hiperglikemia puasa terjadi akibat produkasi glukosa yang tidak terukur oleh hati. Di samping itu glukosa yang berasal dari makanan tidak dapat disimpan dalam hati meskipun tetap berada dalam darah dan menimbulkan hiperglikemia posprandial (sesudah makan). Jika konsentrasi glukosa dalam darah cukup tinggi maka ginjal tidak dapat menyerap kembali semua glukosa yang tersaring keluar, akibatnya glukosa tersebut muncul dalam urin (glukosuria). Ketika glukosa yang berlebihan di ekskresikan ke dalam urin, ekskresi ini akan disertai pengeluaran cairan dan elektrolit yang berlebihan. 11 Keadaan ini dinamakan diuresis osmotik. Sebagai akibat dari kehilangan cairan berlebihan, pasien akan mengalami peningkatan dalam berkemih (poliuria) dan rasa haus (polidipsia). Defisiensi insulin juga akan menggangu metabolisme protein dan lemak yang menyebabkan penurunan berat badan. Pasien dapat mengalami peningkatan selera makan (polifagia), akibat menurunnya simpanan kalori. Gejala lainnya mencakup kelelahan dan kelemahan. (Smeltzer, 2002). Rasa lelah dan kelemahan otot akibat katabolisme protein di otot dan ketidakmampuan sebagian besar sel untuk menggunakan glukosa sebagai energi. Aliran darah yang buruk pada pasien Diabetes kronis juga berperan menyebabkan kelelahan (Corwin, 2009). Dalam keadaan normal insulin mengendalikan glikogenolisis (pemecahan glukosa yang disimpan) dan glukoneogenesis (pembentukan glukosa baru dari dari asam-asam amino dan substansi lain), namun pada penderita defisiensi insulin, proses ini akan terjadi tanpa hambatan dan lebih lanjut akan turut menimbulkan hiperglikemia. Disamping itu akan terjadi pemecahan lemak yang mengakibatkan peningkatan produksi badan keton yang merupakan produk samping pemecahan lemak. Badan keton merupakan asam yang menggangu keseimbangan asam basa tubuh apabila jumlahnya berlebihan. Ketoasidosis yang diakibatkannya dapat menyebabkan tanda-tanda dan gejala seperti nyeri abdomen, mual, muntah, 12 hiperventilasi, nafas berbau aseton dan bila tidak ditangani akan menimbulkan perubahan kesadaran, koma bahkan kematian. Pemberian insulin bersama cairan dan elektrolit sesuai kebutuhan akan memperbaiki dengan cepat kelainan metabolik tersebut dan mengatasi gejala hiperglikemi serta ketoasidosis. Diet dan latihan disertai pemantauan kadar gula darah yang sering merupakan komponen terapi yang penting (Smeltzer, 2002) Pada Diabetes Melitus tipe II sering kali memperlihatkan gejala yang tidak spesifik sehingga dugaan dan pemeriksaan Diabetes tipe 2 mungkin terlambat (Corwin, 2009). Menurut Smeltzer (2002) terdapat dua masalah utama yang berhubungan dengan insulin yaitu resistensi insulin dan gangguan sekresi insulin. Normalnya insulin akan terikat dengan reseptor khusus pada permukaan sel. Sebagai akibat terikatnya insulin dengan reseptor tersebut, terjadi suatu rangkaian reaksi dalam metabolisme glukosa di dalam sel. Resistensi insulin pada Diabetes Melitus tipe II disertai dengan penurunan reaksi intrasel ini. Dengan demikian insulin menjadi tidak efektif untuk menstimulasi pengambilan glukosa oleh jaringan. Untuk mengatasi resistensi insulin dan untuk mencegah terbentuknya glukosa dalam darah, harus terdapat peningkatan jumlah insulin yang disekresikan. Pada penderita toleransi glukosa terganggu, keadaan ini terjadi akibat sekresi insulin yang berlebihan dan kadar glukosa akan dipertahankan pada tingkat yang normal atau sedikit 13 meningkat. Namun demikian, jika sel-sel beta tidak mampu mengimbangi peningkatan kebutuhan akan insulin, maka kadar glukosa akan meningkat dan terjadi Diabetes Melitus tipe II. Meskipun terjadi gangguan sekresi insulin yang merupakan ciri khas Diabetes Melitus Melitus tipe II, namun masih terdapat insulin dengan jumlah yang adekuat untuk mencegah pemecahan lemak dan produksi badan keton yang menyertainya. Karena itu ketoasidosis diabetik tidak terjadi pada Diabetes Melitus tipe II. Meskipun demikian Diabetes Melitus tipe II yang tidak terkontrol dapat menimbulkan masalah akut lainnya yang dinamakan Sindrom Hiperglikemik Hiperosmoler Nonketoik (HHNK). Diabetes Melitus tipe II paling sering terjadi pada penderita Diabetes yang berusia lebih dari 30 tahun dan obesitas. Akibat intoleransi glukosa yang berlangsung lambat (selama bertahun-tahun) dan progresif, maka awitan Diabetes Melitus tipe II dapat berjalan tanpa terdeteksi. Jika gejalanya dialami pasien, gejala tersebut sering bersifat ringan dan dapat mencakup kelelahan, iritabilitas, poliuria, polidipsi, luka pada kulit yang lama sembuh-sembuh, infeksi vagina atau pandangan yang kabur (jika kadar glukosanya sangat tinggi). Untuk sebagian besar pasien (kurang-lebih 75%), penyakit Diabetes Melitus tipe II yang dideritanya ditemukan secara tidak sengaja (misalnya, pada saat pasien menjalani pemeriksaan laboratorium yang rutin). Salah satu konsekuensi tidak terdeteksinya 14 penyakit Diabetes selama bertahun-tahun adalah bahwa komplikasi Diabetes jangka panjang (misalnya, kelainan mata, neuropati perifer, kelainan vaskuler perifer) mungkin sudah terjadi sebelum diagnosis ditegakkan. Pandangan kabur pada Diabetes Melitus disebabkan karena komplikasi mikrovaskuler dimana terjadi perubahan pada pembuluhpembuluh darah kecil di retina. Hal ini ditandai dengan adanya penrunan ketajaman penglihatan atau pandangan kabur (Smeltzer, 2002). Selain itu, komplikasi jangka panjang dari Diabetes Melitus adalah gangguan penglihatan yang meliputi retinopati atau kerusakan pada retina karena tidak mendapatkan oksigen (Corwin, 2009). Menurut Corwin (2009) tingginya kadar glukosa darah menyebabkan penebalan mikrovaskular sehingga akan terjadi iskemia dan penurunan penyaluran oksigen ke jaringan, sehingga menyebabkan ketersediaan oksigen ke jaringan berkurang. Hal tersebut menjadikan afinitas hemoglobin meningkat terhadap oksigen sehingga jaringan teroksigenasi tidak adekuat. Diabetes Melitus merusak sistem saraf perifer, termasuk komponen sensorik dan motorik divisi somatik dan otonom. Penyakit saraf yang di sebabkan Diabetes Melitus di sebut neuropati diabetik (Corwin, 2009). Gejala umum neuropati perifer meliputi distal parastesia, nyeri seperti kesakitan atau terbakar atau seperti tertusuk, dan kaki terasa dingin (Kohnle, 2008). Neuropati 15 dapat menyerang saraf-saraf perifer, saraf-saraf cranial atau sistem saraf otonom (Price, 2005). Komplikasi makrovaskular terutama terjadi akibat aterosklerosis (Pengerasan arteri). Komplikasi makrovaskular ikut berperan dan menyebabkan gangguan aliran darah, penyulit komplikasi jangka panjang, dan peningkatan mortalitas. Kerusakan makrovaskular dapat terjadi bahkan tanpa adanya Diabetes Melitus (kadar glukosa plasma kurang dari 126 mg/100mL). Efek vaskular dari diabetes kronis antara lain adalah penyakit arteri koroner, stroke, dan penyakit vascular perifer yang terjadi akibat aterosklerosis (Corwin, 2009). 5. Manifestasi Klinik Menurut Price (2005) manifestasi klinik dari Diabetes Melitus antara lain : a. Glukosuria : adanya kadar glukosa dalam urin. b. Poliuri : sering kencing dan diuresis osmotik. c. Polidipsi : banyak minum akibat dari pengeluaran cairan dan elektrolit yang berlebih. d. Polifagi : banyak makan akibat menurunnya simpanan kalori. e. Penurunan berat badan secara drastis karena defisiensi insulin juga mengganggu metabolisme protein dan lemak. f. Kelelahan g. Pandangan yang kabur 16 6. Komplikasi Menurut Corwin (2009) komplikasi Diabetes Melitus tipe I dan II dapat digolongkan menjadi komplikasi akut dan kronik yaitu : a. Komplikasi akut 1) Ketoasidosis diabetik Komplikasi akut yang ditandai dengan perburukan semua gejala Diabetes, ketoasidosis diabetik dapat terjadi setelah stress fisik seperti kehamilan atau penyakit akut atau trauma. Kadang-kadang ketoasidosis diabetik merupakan gejala adanya Diabetes tipe I. 2) Koma nonketoktik hiperglikemia hiperosmolar Komplikasi akut yang dijumpai pada pengidap Diabetes tipe II karena Diabetes tipe II dapat mengalami hipergikemia berat dengan kadar glukosa darah lebih dari 300mg/dl. Biasanya dijumpai pada lansia pengidap Diabetes setelah mengkonsumsi makanan tinggi karbohidrat. 3) Efek somogyi Komplikasi akut yang ditandai dengan penurunan unik kadar glukosa darah di malam hari, kemudian dipagi hari kadar glukosa kembali meningkat diikuti peningkatan rebound pada paginya. Efek somogyi banyak dijumpai pada anak-anak 17 4) Fenomena fajar Hiperglikemia pada pagi hari (antara jam 5 dan 9 pagi) tampaknya disebabkan oleh peningkatan sirkadian kadar glukosa pada pagi hari. 5) Hipoglikemia Pengidap Diabetes tipe I dapat mengalami komplikasi akibat hipoglikemia setelah injeksi insulin. Gejala yang mungkin terjadi adalah hilangnya kesadaran. b. Komplikasi jangka panjang 1) Sistem kardiovaskuler Terjadinya kerusakan mikrovaskuler di arteriol kecil, kapiler, venula. Kerusakan makrovaskuler terjadi di arteri besar dan sedang. Semua organ dan jaringan ditubuh akan terkena akibat dari gangguan mikro dan makrovaskuler ini. 2) Gangguan penglihatan Meliputi renopati, atau kerusakan pada retina karena tidak mendapatkan oksigen. 3) Kerusakan ginjal Kerusakan kapiler glomelurus akibat hipertensi dan glukosa plasma yang tinggi menyebabkan penebalan membran basal dan pelebaran glomelurus. Lesi-lesi sklerotik nodular, yang disebut nodul Kimmelstiel-Wilson, terbentuk di 18 glomelurus sehingga semakin menghambat aliran darah dan akibatnya merusak nefron. 4) Sistem saraf perifer Diabetes Melitus merusak sistem saraf perifer, termasuk komponen sensorik dan motorik divisis somatik dan otonom. Penyakit saraf yang disebabkan Diabetes Melitus disebut neuropati diabetik. Neuropati diabetik disebabkan hipoksia kronis sel-sel saraf yang kronis serta efek dari hiperglikemi, termasuk hiperglikolosiasi protein yang menyebabkan fungsi saraf. 5) Ulkus/ gangren/ kaki diabetik 7. Data Penunjang Pemeriksaan diagnostik pada Diabetes Melitus menurut Doenges (2002) antara lain : a. Glukosa darah : meningkat 100-200 mg/dl atau lebih. b. Aseton plasma (keton) : positif secara metabolik. c. Asam lemak bebas : kadar lipid dan kolesterol meningkat d. Osmolalitas serum : meningkat tetapi biasanya kurang dari 330 mosm/lt e. Elektrolit 1) Natrium : mungkin normal, meningkat atau menurun. 2) Kalium : normal atau peningkatan semu (perpindahan seluler selanjutnya akan menurun). 19 f. Haemoglobin glikosilat : kadarnya melipat 2-4 dari dari normal. g. Gas darah arteri : biasanya menunjukkan pH rendah dan penurunan pada HCO3 (asidosis metabolik) dengan kompensasi alkalosis respiratorik. h. Trombosit darah : hematokrit mungkin meningkat atau (dehidrasi / leukositosis, hema konsentrasi, merupakan respon terhadap stres atau infeksi). i. Ureum atau kreatinin : mungkin meningkat atau normal (dehidrasi atau penurunan fungsi ginjal). j. Amilase darah : mungkin meningkat yang mengidentifikasikan adanya pankreatitis akut sebagai penyebab dari DKA (Diabetik Keto Asidosis). k. Insulin darah mungkin menurun bahkan sampai tidak ada (tipe I) atau normal sampai tinggi (tipe II) yang mengidentifikasikan infusiensi insulin atau gangguan dalam penggunaannya (endogen atau eksogen). l. Pemeriksaan fungsi tiroid : peningkatan aktivitas hormon tiroid dapat meningkatkan glukosa darah dan kebutuhan akan insulin. m. Urin : gula dan aseton positif berat jenis dan osmolalitas mungkin meningkat. n. Kultur dan sensitivitas : kemungkinan adanya infeksi pada saluran kemih, infeksi pernafasan dan infeksi pada luka. 20 Kriteria diagnostik WHO untuk Diabetes Melitus ada sedikitnya 2 kali pemeriksaan : a. Glukosa plasma sewaktu > 200 mg/dl (11.1 mmol/L) b. Glukosa plasma puasa > 140 mg/dl (7,8 mmol/L) c. Glukosa plasma 2 jam post prandial (pp) > 200 mg/dl 8. Diagnosis Banding Menurut Valentina (2007), diagnosis banding untuk Diabetes Melitus tipe II adalah sebagai berikut : a. Diabetes Melitus tipe 1 b. Diabetes Autoimun Laten Pada Dewasa c. Diabetes Melitus sekunder : gangguan pancreas (hemokromatosis, pancreatitis kronis, pankreatektomi), gangguan hormonal (cushing syndrome, akromegali), dan induksi obat (steroid, tiazid) 9. Penatalaksanaan Menurut Smeltzer (2002), tujuan utama terapi Diabetes adalah mencoba menormalkan aktivitas insulin dan kadar glukosa darah dalam upaya mengurangi terjadinya komplikasi vaskuler serta neuropatik. Terdapat lima komponen dalam penatalaksaan Diabetes, yaitu : a. Diit Diit dan pengendalian berat badan merupakan dasar dari penatalaksanaan diabetes yang diarahkan untuk mencapai tujuan berikut ini : 21 1) Memberikan semua unsur makanan esensial (misalnya vitamin dan mineral) 2) Mencapai dan mempertahankan berat badan yang sesuai 3) Memenuhi kebutuhan energi 4) Mencegah fluktuasi kadar glukosa darah setiap harinya dengan mengupayakan kadar glukosa darah mendekati normal melalui cara-cara yang aman dan praktis 5) Menurunkan kadar lemak darah jika kadar ini meningkat Kebutuhan kalori bagi penderita Diabetes Melitus, diupayakan dalam pengendalian asupan kalori total untuk mencapai dan mempertahankan berat badan yang sesuai dan pengendalian kadar glukosa darah. Kebutuhan karbohidrat diupayakan untuk meningkatkan konsumsi karbohidrat kompleks (khususnya yang berserat tinggi) seperti roti gandum utuh, nasi beras tumbuk, sereal dan pasta/mie yang berasal dari gandum yang masih mengandung bekatul. Disamping itu, penggunaan sukrosa (gula pasir) dengan jumlah yang sedang (tidak berlebihan) kini lebih banyak diterima sepanjang pasien masih dapat mempertahankan kadar glukosa serta lemak yang adekuat dan mampu mengendalikan berat badannya. Meskipun demikian, karbohidrat sederhana (seperti susu dan buah-buahan) tetap harus dikonsumsi dengan jumlah yang tidak berlebihan. 22 Konsumsi lemak dari makanan pada penderita Diabetes dibatasi hingga < 300 mg/hari untuk membentu mengurangi faktor risiko, seperti kenaikan kadar koleterol serum yang berhubungan dengan proses terjadinya penyakit koroner yang menyebabkan kematian pada penderita Diabetes. Asupan protein dapat diperoleh dari konsumsi beberapa makanan sumber protein nabati seperti kacang-kacangan dan biji-bijian yang utuh untuk membantu asupan kolesterol serta lemak jenuh. Perencanaan menu harus mencakup hidangan yang berisikan jenis makanan kelompok pati, sayuran, dan bua, dengan menekankan pada karbohidrat komplek dan membatasi gula sederhana serta lemak. b. Latihan Latihan sangat penting dalam penatalaksanaan Diabetes Melitus karena efeknya dapat menurunkan kadar glukosa darah dan mengurangi faktor risiko menurunkan kadar glukosa kardiovaskuler. darah dengan Latihan akan meningkatkan pengambilan glukosa oleh otot dan memperbaiki pemakaian insulin, sirkulasi darah, dan tonus otot. Latihan sangat bermanfaat pada Diabetes karena dapat menurunkan berat badan, mengurangi stress, dan mempertahankan kesegaran tubuh. Latihan juga akan mengubah kadar lemak darah yaitu meningkatkan kadar high density lipoprotein (HDL) dan menurunkan kadar koleterol serta trigliserida. Meskipun demikian 23 penderita Diabetes dengan kadar glukosa darah lebih dari 250 mg/dl dan menunjukkan adanya keton dalam urin tidak boleh melakukan latihan sebelum pemeriksaan keton urin memperlihatkan hasil negatif dan kadar glukosa telah mendekati normal. Latihan dengan kadar glukosa yang tinggi akan meningkatkan sekresi glucagon, growth hormone, dan katekolamin. Peningkatan hormon ini membuat hati melepas lebih banyak glukosa sehingga terjadi kenaikan kadar glukosa darah. c. Pemantauan Dengan melakukan pemantauan kadar glukosa secara mandiri SMBG (self monitoring of blood glucose), penderita Diabetes kini dapat mengatur terapinya untuk mengendalikan kadar glukosa darah secara optimal. Cara ini memungkinkan deteksi dan pencegahan hipoglikemia serta hiperglikemia, dan berperan dalam menentukan kadar glukosa darah normal yang memungkinkan akan mengurangi komplikasi Diabetes jangka panjang. d. Terapi medikamentosa Terapi medikasmentosa yang digunakan bagi penderita Diabetes Melitus adalah (Smeltzer, 2002) : 1) Agen antidiabetik oral Agen antidiabetik oral sesuai bagi penderita Diabetes Melitus tipe II yang tidak dapat diatasi dengan diet dan 24 latihan, tetapi obat ini tidak dapat digunakan pada kehamilan. Obat anti diabetic oral dibagi menjadi dua golongan yaitu golongan sulfonilurea dan golongan biguanid. 2) Terapi insulin Pada Diabetes Melitus tipe I tubuh kehilangan kemampuan untuk memproduksi insulin sehingga insulin eksogenus harus diberikan dalm jumlah tidak terbatas. Pada Diabetes Melitus tipe II insulin juga mungkin diperlukan sebagai terapi jangka panjang untuk mengendalikan kadar glukosa darah jika diet dan obat antidiabetik oral tidak berhasil mengontrolnya. e. Pendidikan Diabetes Melitus merupakan penyakit kronis yang memerlukan perawatan mandiri yang khusus seumur hidup. Pendekatan umum untuk mengelola pendidikan Diabetes yang harus diajarkan pada penderita diabetes melitus adalah dengan mambagi informasi dan keterampilan. B. Asuhan Keperawatan Diabetes Melitus Pada asuhan keperawatan pasien Diabetes Melitus terdiri dari pengkajian, diagnosa, intervensi, implementasi dan evaluasi. 25 1. Pengkajian Keperawatan Pengkajian adalah pemikiran dasar dari proses keperawatan yang bertujuan untuk mengumpulkan informasi atau data tentang pasien, agar dapat mengidentifikasi, mengenali masalaj-masalah, kebutuhan kesehatan dan keperawatan klien, baik fisik, mental, sosial dan lingkungan (Dermawan, 2012). Menurut Doengoes (2000) fokus pengkajian pada pasien dengan Diabetes Melitus meliputi : a. Aktivitas/ istirahat : terdapat gejala lemah, letih, sulit bergerak/ berjalan, kram otot, tonus otot menurun, gangguan tidur/ istirahat. Ditandai adanya takikardi dan takipnea pada keadaan istirahat atau aktivitas, letargi, disorientasi, koma, penurunan kekuatan otot. b. Sirkulasi : adanya riwayat hipertensi, gejala IMA, kebas, kesemutan pada ekstremitas, ulkus pada kaki, penyembuhan yang lama. Ditandai adanya takikardi, perubahan tekanan darah postural, hipertensi, nadi yang menurun/ tidak ada, distrimia, kulit panas, kering dan kemerahan, bola mata cekung. c. Integritas ego : stress, tergantung pada orang lain, kecemasan, peka rangsang. d. Eliminasi : Poliuria, nokturia, nyeri/ kesulitan berkemih, ISK baru/ berulang, nyeri tekan abdomen, diare. Urine encer, pucat, poliuri, urine berkabut, bau busuk (infeksi), abdomen keras, adanya asites, bising usus lemah dan menurun ; hiperaktif (diare). 26 e. Makanan/cairan : nafsu makan menurun, mual/ muntah, melanggar diet (konsumsi karbohidrat/ glukosa meningkat), haus ditandai kulit kering/ bersisik, turgor jelek, distensi abdomen, muntah, nafas bau aseton. f. Neurosensori : adanya gejala pusing, sakit kepala, kesemutan, kebas kelemahan pada otot, parestesia, gangguan penglihatan. Ditandai adanya disorientaasi, mengantuk, letargi, stupor/ koma (tahap lanjut), gangguan memori, kacau mental, reflek tendon menurun, kejang (tahap lanjut dari DKA). g. Nyeri/kenyamanan : nyeri/tegang abdomen ditandai wajah meringis dengan palpitasi, tampak sangat berhati-hati. h. Pernafasan : merasa kekurangan oksigen, batuk dengan/ tanpa sputum, frekuensi nafas meningkat. i. Keamanan : kulit kering, gatal, ulkus ditandai demam, diaforesis, laserasi, menurunnya rentang gerak, parestesia/paralis otot. j. Seksualitas : infeksi vagina, impoten pada pria, kesulitan orgasme pada wanita. 2. Diagnosa Keperawatan Menurut NANDA (2011) diagnosa keperawatan merupakan sebuah label singkat yang menggambarkan kondisi pasien yang di observasi di lapangan. Ada beberapa diagnosa keperawatan yang muncul pada pasien Diabetes Melitus adalah sebagai berikut : 27 a. Nyeri kronis berhubungan dengan agen biologis (neuropati perifer) b. Kekurangan volume cairan berhubungan dengan diuresis osmotik (hiperglikemia), kehilangan gastrik berlebih (diare, muntah), masukan dibatasi (mual, kacau mental) c. Nutrisi kurang dari kebutuhan berhubungan dengan penyakit kronis (Diabetes Melitus) d. Gangguan integritas jaringan berhubungan dengan adanya gangren pada pada ekstermitas e. Hambatan mobilitas fisik berhubungan dengan perubahan metabolisme sel f. Intoleransi aktifitas berhubungan dengan kelemahan fisik : perfusi jaringan tidak adekuat, proses inflamasi g. Kurang pengetahuan berhubungan dengan tidak mengenal sumber informasi. h. Resiko tinggi infeksi (sepsis) berhubungan dengan kadar glukosa tinggi, penurunan fungsi leukosit, perubahan pada sirkulasi, infeksi pernafasan yang ada sebelumnya, atau infeksi saluran kemih 3. Intervensi Perencanaan adalah suatu proses di dalam pemecahan masalah yang merupakan keputusan awal tentang sesuatu apa yang akan dilakukan, bagaimana dilakukan, kapan dilakukan, siapa yang melakukan dari semua tindakan keperawatan (Dermawan, 2012). 28 Menurut Wilkinson (2006) perencanaan asuhan keperawatan di buat sesuai dengan ONEC yaitu O (observation), N (nursing), E (education), C (colaboration). Tujuan adalah pernyataan pasien dan perilaku keluarga yang dapat diukur atau diobservasi (NANDA, 2011). Tujuan keperawatan adalah pernyataan yang menjelaskan suatu tindakan yang dapat diukur berdasarkan kemampuan dan kewenangan perawat (Dermawan, 2012). Menurut Dermawan penulisan tujuan dan hasil berdasarkan “SMART” meliputi Specific yaitu dimana tujuan harus spesifik dan tidak menimbulkan arti ganda, Measurable yaitu dimana tujuan keperawatan harus dapat diukur, khususnya tentang perilaku pasien (dapat dilihat, didengar, dirasakan, dan dibau), Achievable yaitu tujuan harus dapat dicapai, dan hasil yang diharapkan, ditulis perawat, sebagai standar mengukur respon klien terhadap Reasonable/Realistic yaitu dimana asuhan tujuan keperawatan, harus dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah, tujuan dan hasil diharapkan singkat dan realistis dengan cepat memberikan klien dan perawat suatu rasa pencapaian. Time yaitu batas pencapaian harus dinyatakan dalam penulisan kriteria hasil dan mempunyai batasan waktu yang jelas. Berdasarkan diagnosa keperawatan menurut NANDA (2011) yang muncul pada pasien Diabetes Melitus meliputi : 29 a. Nyeri kronis berhubungan dengan agen biologis (neuropati perifer) Tujuan : Nyeri kronis berkurang sampai dengan hilang dengan Kriteria hasil: 1) Ekspresi wajah rileks 2) Skala nyeri 0-1 3) TTV dalam batas normal TD: 120/80 mmHg N : 60-100 x/menit S: 36-37,50C RR: 16-20 x/menit Intervensi: 1) Kaji nyeri P, Q, R, S, T Rasional: Mempengaruhi pilihan, keefektifan intervensi serta untuk mengetahui berapa berat nyeri yang dialami pasien 2) Ajarkan teknik relaksasi Rasional: Mengurangi rasa nyeri yang dirasakan pasien, Mengalihkan perhatian terhadap nyeri, dan meningkatkan kontrol terhadap nyeri yang mungkin berlangsung lama 3) Informasikan pada pasien bila nyeri timbul, ajarkan teknik relaksasi 30 Rasional: Agar Pasien mengetahui bagaimana cara mengontrol nyeri 4) Kolaborasi dengan dokter pemberian analgetik Rasional: Untuk mempercepat penyembuhan melalui terapi obat b. Nutrisi kurang dari kebutuhan berhubungan dengan penyakit kronis (Diabetes Melitus) Tujuan : Kebutuhan nutrisi terpenuhi dengan Kriteria hasil: 1) Asupan nutrisi adekuat 2) Nafsu makan meningkat 3) Hb, Albumin dalam batas normal 4) GDS dalam rentang normal Intervensi: 1) Kaji A, B, C, D Rasional: Untuk mengetahui BB, Hb, turgor kulit dan tingkat keadekuatan pemasukan makanan 2) Monitor Hb, hematokrit, dan kadar gula darah Rasional: Untuk Memantau fluktuasi kadar gula darah 3) Menginformasikan kepada pasien untuk makan diet dari RS dan makan sedikit tapi sering Rasional: Agar Pasien mengerti makanan apa saja yang boleh dimakan dan menambah asupan nutrisi 31 4) Kolaborasi dengan ahli gizi untuk menentukan jumlah dan nutrisi yang di butuhkan pasien Rasional: Pemberian Diet yang sesuai dapat mempercepat penurunan gula darah dan nmencegah komplikasi c. Kekurangan volume cairan berhubungan dengan diuresis osmotik (hiperglikemia), kehilangan gastrik berlebih (diare, muntah), masukan dibatasi (mual, kacau mental). Tujuan : kebutuhan cairan pasien dapat terpenuhi Kriteria hasil : 1) Mendemonstrasikan hidrasi adekuat dibuktikan oleh tandatanda vital stabil ( TD: 120/80mmHg. N : 80-100xmenit, S : 36-37Oc) 2) Nadi perifer dapat diraba 3) Turgor kulit dan pengisisan kapiler baik 4) Kadar elektrolit dalam batas normal Intervensi : 1) Observasi nadi perifer , pengisian kapiler, turgor kulit dan membran mukosa Rasional: Merupakan indikator dari tingkat dehidrasi atau volume sirkulasi yang adekuat 2) Pantau tanda-tanda vital Rasional: hipovolemia dapat di manifestasikan oleh hipotensi dan takikardi 32 3) Pantau masukan dan pengeluaran catat berat jenis urin Rasional: memberikan perkiraan kebutuhan cairan pengganti, fungsi ginjal, dan keefektifan dari terapi yang diberikan 4) Ukur berat badan setiap hari Rasional: mengetahui status hidrasi dan volume sirkulasi 5) Pertahankan untuk memberikan cairan paling sedikit 2500 ml/hari Rasional : Mempertahankan hidrasi atau volume sirkulasi d. Gangguan integritas jaringan berhubungan dengan adanya gangren pada pada ekstermitas. Tujuan : tercapainya proses penyembuhan luka Kriteria hasil : 1) Berkurangnya oedem disekitar luka 2) Pus dan jaringan berkurang 3) Adanya jaringan granulasi 4) Bau busuk luka berkurang Intervensi : 1) Kaji luas dan keadaan luka serta proses penyembuhan Rasional: pengkajian yang tepat terhadap luka dan proses penyembuhan akan membantu dalam menentukan tindakan selanjutnya 33 2) Rawat luka dengan baik dan benar : membersihkan luka secara aseptik menggunakan larutan yang tidak iriatif, angkat sisa balutan yang menempel pada luka dan nekrotomi jaringan yang mati Rasional: merawat luka dengan teknik aseptik menggunakan larutan yang tidak iriatif, akan merusak jaringan granulasi yang timbul, sisa balutan jaringan nekrosis dapat menghambat proses granulasi. 3) Kolaborasi dengan dokter untuk pemberian insulin, pemeriksaan kultur pus pemeriksaan gula darah pemberian antibiotik Rasional: insulin akan menurunkan kadar gula darah, pemeriksaan kultur pus untuk mengetahui jenis kuman dan antibiotik yang tepat untuk pengobatan, pemeriksaan kadar gula darah untuk mengetahui perkembangan penyakit. e. Hambatan mobilitas fisik berhubungan dengan metabolisme sel. Tujuan : Hambatan mobilitas fisik dapat teratasi dengan Kriteria hasil: 1) Melakukan aktifitas sehari-hari secara mandiri 2) Meminta bantuan untuk aktifitas sehari-hari Intervensi: 1) Kaji kemampuan mobilisasi pasien perubahan 34 Rasional: Mengetahui tingkat kemampuan tingkat mobilisasi pasien 2) Ajarkan pasien dalam latihan ROM aktif maupun pasif Rasional: Meningkatkan Sirkulasi darah, mempertahankan tonus otot, mempertahakan gerak sendi, mencegah kontraktur/atrofi dan mencegah reabsorbsi kalsium karena imobilisasi 3) Latih pasien dalam memenuhi kebutuhan ADL Rasional: Meningkatkan kemandirian klien dalam perawatan diri sesuai kondisi keterbatasan klien 4) Ubah posisi secara periodik sesuai keadaan klien Rasional: Menurunkan Insiden komplikasi kulit dan pernapasan (dekubitus, atelektasis, penumonia) f. Intoleransi aktifitas berhubungan dengan kelemahan fisik : perfusi jaringan tidak adekuat, proses inflamasi. Tujuan : pasien mampu melakukan aktifitas secara mandiri Kriteria hasil : 1) Pasien mengungkapkan peningkatan energi 2) Pasien dapat beraktifitas secara bertahap Intervensi : 1) Observasi kemampuan pasien dalam melakukan aktifitas sehari-hari Rasional: mempengaruhi pilihan intervensi atau bantuan 35 2) Batasi aktifitas pasien, misal mandi atau sibin ditempat tidur atau mandi dengan duduk Rasional: membatasi pengeluaran energi yang berlebihan 3) Anjurkan untuk melakukan aktifitas sesuai kemampuan pasien Rasional: membatasi pengeluaran energi yang berlebihan 4) Bantu atau dorong perawatan dan kebersihan pasien Rasional: meningkatkan sirkulasi dan kebersihan tubuh 5) Ubah posisi pasien sesuai kemampuan Rasional: menurunkan resiko infeksi 6) Rencanakan bersama keluarga mengurangi energi yang berlebihan saat melakukan aktifitas harian Rasional: membantu pasien untuk beristirahat g. Kurang pengetahuan berhubungan dengan tidak mengenal sumber informasi. Tujuan : diharapkan pengetahuan pasien tentang penyakit, prognosis, dan kebutuhan pengobatan bertambah Kriteria hasil : 1) Pasien mampu mengungkapkan pemahaman tentang penyakit, mengidentifikasi hubungan tanda dan gejala dengan proses penyakit dan menghubungkan gejala dengan faktor penyebab 36 Intervensi : 1) Ciptakan lingkungan saling percaya dengan mendengarkan penuh perhatian dan selalu ada untuk pasien Rasional: memberikan kesempatan untuk mengambil bagian dalam proses belajar 2) Bekerja sama dengan pasien dalam menata tujuan belajar yang diharapkan Rasional: partisipasi perencanaan, meningkatkan antusias dan kerjasama pasien 3) Beri pendidikan kesehatan mengenai penyakit dan pencegahannya Rasional: pasien dan keluarga paham tentang hal-hal yang belum diketahui sehubungan dengan penyakitnya 4) Evaluasi tingkat pemahaman pasien dan keluarga setelah penyuluhan kesehatan Rasional: mengetahui pemahaman pasien dan keluarga setelah diberi pendidikan kesehatan h. Resiko tinggi infeksi (sepsis) berhubungan dengan kadar glukosa tinggi, penurunan fungsi leukosit, perubahan pada sirkulasi, infeksi pernafasan yang ada sebelumnya, atau infeksi saluran kemih. Tujuan : tidak terjadi infeksi 37 Kriteria hasil : 1) Pasien mampu mendemonstrasikan tekhnik mencegah infeksi Intervensi : 1) Observasi tanda-tanda infeksi dan peradangan (demam, kemerahan, pus, luka) Rasional: mengetahui tanda-tanda infeksi dan mengintervensi segera 2) Tingkatkan upaya pencegahan dengan melakukan cuci tangan yang baik pada semua orang yang berhubungan dengan pasien termasuk dengan pasien sendiri Rasional: mencegah timbulnya infeksi silang atau nosokomial 3) Pertahankan tekhnik maseptik pada prosedur infansif Rasional: mencegah timbulnya infeksi 4) Pasang kateter atau lakukan perawatan genetalia Rasional: mengurangi resiko terjadinya penyakit mulut atau gusi 5) Bantu pasien untuk melakukan oral higiene Rasional: menurunkan resiko terjadinya penyakit mulut atau gusi 38 4. Implementasi Keperawatan Implementasi adalah pelaksanaan rencana keperawatan oleh perawat dan pasien, merupakan tahap keempat dari proses keperawatan yang dimulai setelah perawat menyusun rencana keperawatan (Dermawan, 2012). Fokus utama dari komponen implementasi adalah pemberian asuhan keperawatan yang aman dan individual dengan pendekatan multifokal, implementasi perencanaan berupa penyelesaian tindakan yang diperlukan untuk memenuhi kriteria hasil seperti yang digambarkan dalam rencana tindakan, tindakan dapat dilaksanakan oleh perawat, anggota keluarga, anggota tim kesehatan lain, atau kombinasi dari yang disebutkan diatas (Dermawan, 2012). 5. Evaluasi Tahap evaluasi adalah kegiatan mengukur pencapaian tujuan klien dan menentukan keputusan dengan cara membandingkan data yang terkumpul dengan tujuan dan pencapaian tujuan (Nursalam, 2009). Tipe pernyataan tahapan evaluasi dapat dilakukan secara evaluasi formatif (evaluasi yang dilakukan selama proses asuhan keperawatan) dan evaluasi sumatif (evaluasi akhir) (Dermawan, 2012). Menurut Dermawan (2012) penulisan evaluasi berdasarkan pada SOAP. S (Subjective data atau data subyektif), O (Objective data 39 atau data obyektif), A (Analysis atau analisis), P (Plan of care atau rencana asuhan keperawatan) C. Nyeri 1. Pengertian Menurut Andarmoyo (2013) dalam Asosiasi Internasional mendefisikan nyeri sebagai suatu sensori subjektif dan pengalaman emosional yang tidak menyenangkan berkaitan dengan kerusakan jaringan yang aktual, potensial, atau yang dirasakan dalam kejadiankejadian saat terjadi kerusakan. Nyeri merupakan pengalaman pribadi, subjektif, yang dipengaruhi oleh budaya, persepsi seseorang, perhatian, dan variabelvariabel psikologis lain, yang mengganggu perilaku berkelanjutan dan memotivasi setiap orang untuk menghentikan rasa tersebut (Andarmoyo, 2013). 2. Klasifikasi Nyeri Klasifikasi nyeri menurut Andarmoyo (2013) meliputi : a. Klasifikasi nyeri berdasarkan durasi Nyeri dapat diklasifikasikan berdasarkan durasinya dibedakan menjadi nyeri akut dan nyeri kronik. 1) Nyeri akut Nyeri akut adalah nyeri yang terjadi setelah cedera akut, penyakit, atau intervensi bedah dan memiliki awitan yang 40 cepat, dengan intensitas yang bervariasi (ringan sampai berat) dan berlangsung untuk waktu singkat. Nyeri akut berlangsung dari beberapa detik hingga enam bulan. Nyeri akut akan berhenti dengan sendirinya (selflimiting) dan akhirnya menghilang dengan atau tanpa pengobatan setelah keadaan pulih pada area yang terjadi kerusakan. Nyeri akut berdurasi singkat (kurang dari enam bulan), memiliki omset yang tiba-tiba, dan terlokalisasi. Nyeri ini biasanya disebabkan trauma bedah atau inflamasi. Kebanyakan orang pernah mengalami nyeri jenis ini, seperti pada saat sakit kepala, sakit gigi, terbakar, tertusuk duri, pasca persalinan, pasca pembedahan, dan lain sebagainya. Nyeri akut terkadang disertai oleh aktivasi sistem saraf simpatis yang akan memperlihatkan gejala-gejala seperti peningkatan respirasi, peningkatan tekanan darah, peningkatan denyut jantung, diaphoresis, dan dilatasi pupil. Secara verbal pasien yang mengalami nyeri akan melaporkan adanya ketidaknyamanan berkaitamn dengan nyeri yang dirasakannya. Pasien yang mengalami nyeri akut biasanya juga akan memperlihatkan respons emosi dan perilaku seperti menangis, mengerang kesakitan, mengerutkan wajah. 41 2) Nyeri kronik Nyeri kronik adalah nyeri konstan atau intermiten yang menetap sepanjang suatu periode waktu. Nyeri kronik berlangsung lama, intensitas yang bervariasi, dan biasanya berlangsung lebih dari enam bulan. Nyeri kronik dapat tidak mempunyai awitan yang ditetapkan dengan tepat dan sering sulit untuk diobati karena biasanya nyeri ini tidak memberikan respons terhadap pengobatan yang diarahkan pada penyebabnya. Nyeri kronis adalah pengalaman sensori dan emosi yang tidak menyenangkan, akibat kerusakan jaringan actual dan potensial atau digambarkan dengan istilah kerusakan (international Association for the study of pain); awitan yang tiba-tiba atau perlahan dengan intensitas ringan sampai berat dengan akhir yang dapat diantisipasi atau dapat diramalkan dan durasinya lebih dari enam bulan (NANDA, 2011). b. Klasifikasi nyeri berdasarkan asal Nyeri di klasifikasikan berdasrkan asalnya dibedakan menjadi nyeri nosiseptif dan nyeri neuropatik. 1) Nyeri nosiseptif Nyeri nosiseptif (nociceptive pain) merupakan nyeri yang diakibatkan oleh aktivasi atau sensititasi nosiseptor perifer yang merupakan reseptor khusus yang mengantarkan 42 stimulus noxious. Nyeri nosiseptif perifer dapat terjadi karna adanya stimulus yang mengenai kulit, tulang, sendi, otot, jaringan ikat, dan lain-lain. Hal ini dapat terjadi pada nyeri post operatif dan nyeri kanker. Dilihat dari sifat nyerinya maka nyeri nosiseptif merupakan nyeri akut. Nyeri akut merupakan nyeri nosiseptif yang mengenai daerah perifer dan letaknya lebih terlokalisasi. 2) Nyeri neuropatik Nyeri neropatik merupakan suatu hasil suatu cidera atau abnormalitas yang didapat pada struktur saraf perifer maupun sentral. Berbeda dengan nyeri noseseptif, nyeri neuropatik bertahan lebih lama dan merupakan proses input saraf sensorik yang abnormal oleh sistem saraf perifer. Nyeri ini lebih sulit diobati. Pasien akan mengalami nyeri seperti terbakar, tingling, shooting, shock like, hypergesia, atau allodinya. Nyeri neuropatik dari sifat nyerinya merupakan nyeri kronis c. Klasifikasi nyeri berdasarkan lokasi Klasifikasi nyeri berdasarkan dibedakan sebagai berikut : 1) Superficial atau kutaneus Nyeri superficial adalah nyeri yang disebabkan stimulasi kulit. Karakteristik dari nyeri berlangsung nyeri dan terlokalisasi. Nyeri biasanya terasa sebagai sensasi yang tajam. 43 Contohnya tertusuk jarum suntik dan luka potong kecil atau laserasi. 2) Visceral dalam Nyeri visceral adalah nyeri yang terjadi akibat stimulasi organ-organ internal. Karakteristik nyeri bersifat difus dan dapat menyebar ke beberapa arah. Durasinya bervariasi tetapi biasanya berlangsung lebih lama daripada superficial. Pada nyeri ini juga menimbulkan rasa tidak menyenangkan, dan berkaitan dengan mual dan gejala-gejala otonom. Nyeri dapat terasa tajam, tumpul, atau unik tergantung organ yang terlibat. Contoh sensasi pukul (crushing) seperti angina pectoris dan sensasi terbakar seperti pada ulkus lambung. 3) Nyeri alih (referred pain) Nyeri alih merupakan fenomena umum dalam nyeri visceral karena banyak organ tidak memiliki reseptor nyeri. Jalan masuk neuron sensori dari organ yang terkena kedalam segmen medulla spinalis sebagai neuron dari tempat asal nyeri dirasakan, persepsi nyeri pada daerah yang tidak terkena. Karakteristik nyeri dapat terasa dibagian tubuh yang terpisah dalam sumber nyeri dan dapat terasa dengan berbagai karakteristik. Contoh nyeri yang terjadi pada infark miokard, 44 yang menyebabkan nyeri alih ke rahang, lengan kiri; batu empedu, yang dapat mengalihkan nyeri ke selangkangan. 4) Radiasi Nyeri radiasi merupakan sensasi nyeri yang meluas dari tempat awal cidera ke bagian tubuh yang lain. Karakteristiknya nyeri terasa seakan menyebar ke bagian tubuh bawah . nyeri dapat menjadi intermiten atau konstan. Contoh nyeri punggung bagian bawah akibat diskus intravertebral yang rupture disertai nyeri yang meradiasi sepanjang tungkai dari iritasi saraf skiatik. 3. Pengalaman Nyeri Menurut Andarmoyo (2013) mendeskripsikan 3 fase pengalaman nyeri. Fase tersebut antara lain fase antipasti, fase sensasi, dan fase akibat/aftermath. a. Fase antipasti Fase antipasti terjadi sebelum nyeri diterima. Fase ini mungkin bukan merupakan fase yang paling penting karena fase ini bias mempengaruhi dua fase lain. Pada fase ini memungkinkan seseorang belajar tentang nyeri dan upaya untuk menghilangkan nyeri tersebut. Peran perawat dalam fase ini sangat penting, terutama dalam memberikan informasi yang adekuat kepada klien. 45 b. Fase sensasi Fase sensasi terjadi pada saat nyeri terasa. Fase ini terjadi ketika klien merasakan nyeri, karena nyeri itu bersifat subjektif maka tiap orang dalam menyikapi nyeri juga berbeda-beda. Toleransi terhadap nyeri juga akan berbeda antara satu orang dengan orang lain. Orang yang mempunyai tingkat tolerabsi tinggi terhadap nyeri tidak akan mengeluh nyeri dengan stimulus kecil. Sebaliknya, orang yang toleransinya bterhadap nyerinya rendah akan mudah merasa nyeri dengan stimulus nyeri kecil. Klien dengan tingkat toleransi tinggi terhadap nyeri mampu menahan nyeri tanpa bantuan. Sebaliknya, orang yang toleransi terhadap rendah sudah mencari sudah mencari upaya mencegah nyeri, sebelum nyeri datang. c. Fase akibat/aftermath Fase ini terjadi saat nyeri sudah berkurang atau hilang. Pada fase ini klien masih membutuhkan control dari perawat, karena nyeri bersifat krisis sehingga fdimungkinkan klien mengalami gejala sisa pasca nyeri. Apabila klien mengalami episode nyeri berulang, respon akibat (aftermath) dapat menjadi masalah kesehatan yang berat. Perawat berperan dalam membantu memperoleh kontrol diri untuk meminimalkan rasa takut akan kemungkinan nyeri berulang. 46 4. Respon Fisiologis Terhadap Terhadap Nyeri Menurut Andarmoyo (2013) respon fisiologis terhadap terhadap nyeri meliputi : a. Respon Fisiologis Perubahan atau respon fisiologis dianggap sebagai indikator nyeri yang lebih akurat dibandingkan laporan verbal pasien mengungkapkan bahwa respon fisiologis harus digunakan sebagai pengganti untuk laporan verbal dari nyeri pada pasien tidak sadar dan jangan digunakan untuk mencoba memvalidasi laporan verbal dan nyeri individu. Respon fisiologis terhadap nyeri dapat sangat membahayakan individu. Pada saat impuls nyeri masuk ke medulla spinalis menuju ke batang otak dan hipotalamus, sistem saraf otonom menjadi terstimulasi sebagai bagian dari respon stress. Stimulasi pada cabang simpatis pada sistem saraf otonom menghasilkan respon fisiologis. Apabila nyeri berlangsung terusmenerus, berat, dalam, dan melibatkan organ-organ dalam visceral maka sistem saraf simpatis akan menghasilkan suatu aksi. 47 Tabel 2.1 Respon Fisiologis Terhadap Nyeri Respon Stimulasi simpatik* Dilatasi respon bronkheolus dan peningkatan frekuensi pernafasan Peningkatan frekuensi denyut jantung Vasokontriksi perifer (pucat, peningkatanmtekanan darah) Peningkatan kadar glukosa darah Diaphoresis Peningkatan ketegangan otot Dilatasi pupil Penurunan motilitas saluran cerna Stimulasi parasimpatik* Pucat Penyebab atau efek Menyebabkan peningkatan asupan oksigen Menyebabkan transport oksigen Meningkatkan tekanan darah diserati perpindahan suplai darah dari perifer dan visera ke otot-otot skeletal dan otak Menghasilkan energi tambahan Mengontrol temperature tubuh selama stress Mempersiapkan otot untuk melakukan aksi Memungkinkan penglihatan yang lebih baik Membebaskan energi untuk melakukan aktivitas dengan lebih cepat Menyebabkan suplai darah berpindah ke perifer Ketegangan otot Akibat keletihan Penurunan denyut jantung dan Akibat stimulasi vagal tekanan darah Pernafasan yang cepat dan tidak Menyebabkan pertahanan teratur tubuh gagal akibat stress nyeri yang terlalu lama Mual dan muntah Mengembangkan saluran cerna Kelemahan atau kelelahan Akibat pengeluaran energi fisik 48 b. Respon Perilaku Respon perilaku yang ditunjukkan oleh pasien sangat beragam. Meskipun respon perilaku pasien dapat menjadi indikasi pertama bahwa ada sesuatu tang tidak beres, respon perilaku seharusnya tidak boleh digunakan sebagai pengganti untuk mengukur nyeri kecuali dalam situasi yang tidak lazim dimana pengukuran tidak memungkinkan (missal orang tersebut menderita retardasi mental yang berat atau tidak sadar). Tabel 2.2 Respon Perilaku Nyeri Respon perilaku nyeri pada pasien Vokalisasi Mengaduh, menangis, sesak nafas, mendekur Ekspresi wajah Meringis, menggelutukkan gigi, mmengernyitkan dahi, menutup mata atau mulut dengan lebar, menggigit bibir Gerakan tubuh Gelisah, imobilisasi, ketegangan otot, peningkatan gerakan jari dan tangan, aktivitas melangkah yang tanggal ketika berlari atau berjalan, gerakan ritmik atau gerakan menggosok, gerakan melindungi sebagian tubuh Interaksi sosial Menghindari percakapan, focus hanya pada aktivitas, menghindari kontak sosial, penurunan rentan perhatian 49 5. Pengkajian Keperawatan Tentang Nyeri Menurut Smeltzer (2002) deskripsi verbal tentang nyeri. Individu merupakan penilaian terbaik dari nyeri yang dialaminya karenanya harus diminta untuk mengambarkan membuat tingkatnya. Informasi yang diperlukan harus menggambarkan nyeri individual dalam berbagai cara: a. Intensitas nyeri Indivudu dapat diminta untuk membuat tingkatan nyeri pada skala verbal (misalnya: tidak nyeri, sedikit nyeri, nyeri hebat, atau sangat hebat, atau 0-10:0 tidak nyeri. 10 = nyeri sangat hebat). b. Karakteristik nyeri Hal ini termasuk letak dimana nyeri pada berbagai organ (mungkin merupakan alih), durasi (menit, jam, hari, bulan, dan sebagainya), irama ( misalnya terus menerus, hilang timbul, periode bertambah dan berkurangnya intensitas atau keberadaan dari nyeri), kualitas (misalnya nyeri seperti ditusuk, seperti terbakar, sakit, nyeri seperti di gencet). c. Faktor-faktor yang meredakan nyeri Faktor-faktor yang meredakan nyeri misalnya gerakan, kurang bergerak, pengerahan tenaga, istirahat, obat-obat bebas. Apa yang dipercaya pasien dapat membantu mengatasi nyerinya. Banyak orang yang mempunyai ide-ide tertentu tentang apa yang 50 akan menghilangkan nyerinya. Perilaku ini sering didasarkan pada pengalaman atau trial and error. d. Efek nyeri terhadap aktivitas kehidupan sehari-hari Efek nyeri terhadap aktivitas kehidupan sehari-hari misalnya tidur, nafsu makan, konsentrasi, interaksi dengan orang lain, gerakan fisik, bekerja dan aktifitas santai. Nyeri akut sering berkaitan dengan ansietas dan nyeri kronis dengan depresi. e. Kekhawatiran individu tentang nyeri Hal ini meliputi berbagai masalah yang luas, seperti beban ekonomi, prognosis, pengaruh terhadap peran dan perubahan citra diri. 6. Penilaian Respon Intensitas Nyeri Menurut Andarmoyo (2013) penilaian respon intensitas nyeri meliputi sebagai berikut : a. Skala deskriptif Skala deskriptif merupakan alat pengukuran tingkat keparahan nyeri yang lebih objektif. Skala pendeskripsi verbal (Verbal Descriptor Scale, VDS) merupakan sebuah garis yang terdiri dari tiga sampai lima kata pendeskripsi yang tersusun dengan jarak yang sama dengan di sepanjang garis. Pendeskripsi ini di rangking dari “tidak rasa nyeri” sampai “nyeri yang tidak tertahankan”. Perawat menunjukkan klien skala tersebut dan meminta klien untuk memilih intensitas nyeri terbaru yang ia 51 rasakan. Perawat juga menanyakan seberapa jauh nyeri terasa paling menyakitkan dan seberapa jauh nyeri terasa paling tidak menyakitkan. Alat VDS ini memungkinkan klien memilih sebuah kategori untuk mendeskripsikan nyeri. b. Skala numeric Skala penilaian numeric (Numerical rating scales, NRS) lebih digunakan sebagai pengganti alat pendeskripsi kata. Dalam hal ini, pasien menilai nyeri dengan menggunakan skala 0-10. Skala paling efektif digunakan saat mengkaji intensitas nyeri sebelum dan setelah intervensi terapeutik. Apabila digunakan sakla untuk menilai nyeri, maka di rekomendasikan patokan 10 cm. Contoh pasien post-appendiktomi hari pertama menunjukkan skala nyerinya 9, setelah dilakukan intervensi keperawatan, hari ketiga perawatan pasien menunjukkan skala nyerinya 4. c. Skala analog visual Skala analog visual (Visual analog scale, VAS) adalah suatu garis lurus horizontal sepanjang 10cm, yang mewakili intensitas nyeri yang terus-menerus dan pendekripsi verbal pada setiap ujungnya. Pasien diminta untuk menunjuk pada titik pada garis yang menunjukkan letak nyeri terjadi sepanjang garis tersebut. Ujung kiri biasanya menandakan “tidak ada” atau “tidak nyeri”, sedangkan ujung kanan biasanya menandakan “berat” atau “ nyeri yang paling buruk”. Untuk menilai hasil, sebuah penggaris 52 diletakkan sepanjang garis dan jarak yang dibuat pasien pada garis dari “tidak ada nyeri” diukur dan ditulis dalam centimeter. 7. Penatalaksanaan Nyeri Menurut Smeltzer (2002) penatalaksanaan nyeri meliputi : a. Intervensi Farmakologis Menangani nyeri yang dialami pasien melalui intervensi farmakologis dilakukan dalam kolaborasi dengan dokter atau pemberi perawatan utama lainnya dan pasien. Obat-obat tertentu untuk penatalaksanaan nyeri mungkin di resepkan atau kateter epidural dipasang untuk memberikan dosis awal. Namun demikian, adalah perawat yang mempertahankan analgesia, mengkaji keefektifannnya, dan melaporkan jika intervensi tersebut tidak efektif atau menimbulkan efek samping. Penatalaksanaan nyeri memerlukan kolaborasi erat dan komunikasi yang efektif diantara pemberi perawatan kesehatan. b. Tindakan Non Farmakologis 1) Stimulasi dan masase kutaneus Masase adalah stimulasi kutaneus tubuh secara umum, masase dapat membuat pasien lebih nyaman karena masase dapat membuat relaksasi otot. 2) Terapi es dan panas Terapi es (dingin) dan panas dapat menjadi strategi pereda nyeri yang efektif pada beberapa keadaan, namun 53 begitu, ketidakefektifannya dan mekanisme kerjanya memerlukan study lebih lanjut. Di duga bahwa terapi es dan panas bekerja dengan menstimulasi reseptor tidak nyeri (nonnosiseptor) dalam bidang reseptor yang sama seperti cidera. 3) Stimulasi saraf elektris transkutan Stimulasi saraf elektris transkutan (TENS) menggunakan unit yang dijalankan oleh batterai dengan elektroda yang dipasang pada kulit untuk menghasilkan sensasi kesemutan, menggetar atau mendengung pada area nyeri. TENS telah digunakan baik pada menghilangkan nyeri akut atau kronik. 4) Distraksi Distraksi merupakan teknik memfokuskan pasien pada sesuatu selain pada nyeri, dapat menjadi strategi yang sangat berhasil dan mungkin merupakan mekanisme yang bertanggung jawab terhadap tekhnik kognitif efektif lainnya 5) Teknik relaksasi Relaksasi otot skeletal dipercaya dapat menurunkan nyeri dengan merilekskan ketegangan otot yang menunjang nyeri. Teknik relaksasi yang sederhana terdiri atas nafas abdomen dengan frekuensi lambat, berirama. Pasien dapat memejamkan matanya dan bernafas dengan perlahan dan nyaman. Irama yang konstan dapat dipertahankan dengan 54 menghitung dalam hati dan lambat bersama setiap inhalasi (“hirup, dua, tiga”) dan ekhalasi (hembuskan, dua, tiga). 6) Imajinasi terbimbing Imajinasi terbimbing adalah menggunakan imajinasi seseorang dalam suatu cara yang dirancang secara khusus untuk mencapai efek positif tertentu. D. Masase 1. Pengertian Masase merupakan salah satu seni penyembuhan yang tertua. Hipocrates telah membuat tulisan yang merekomendasikan penggunaan jenis masase rubbing dan friction untuk masalah sendi dan sirkulasi. Masase merupakan tehnik manipulasi pada jaringan lunak tubuh, umumnya di lakukan untuk mengurangi stress dan kelelahan dan memperbaiki sirkulasi (Associated Bodywork & masase professional, 2007). Masase adalah stimulasi kutaneus tubuh secara umum, masase dapat membuat pasien lebih nyaman karena masase membuat relaksasi otot. (Smeltzer, 2002). 2. Tujuan Tujuan masase menurut Kusyati dkk (2006) meliputi : 1) Mengurangi ketegangan otot 2) Meningkatkan relaksasi fisik dan psikologis 55 3) Mengkaji kondisi kulit 4) Meningkatkan sirkulasi/ peredaran darah pada area yang di masase 3. Klasifikasi masase Menurut Prihatin (2013) dalam perkembangannya, masase dapat dibedakan menjadi beberapa macam, di antaranya adalah sebagai berikut: a. Sport masase Sport masase adalah masase yang khusus diberikan kepada orang yang sehat badannya, terutama olahragawan karena pelaksanannya memerlukan terbukanya hampir seluruh tubuh. Tujuan sport masase adalah: 1) Memperlancar peredaran darah. 2) Merangsang persarafan terutama saraf tepi untuk meningkatkan kepekaan rangsang. 3) Meningkatkan ketegangan otot dan meningkatkan kekenyalan otot untuk meningkatkan daya kerja otot. 4) Mengurangi atau menghilangkan ketegangan saraf dan mengurangi rasa sakit. b. Segment masase Segment masase adalah masase yang ditujukan untuk membantu penyembuhan terhadap gangguan atau kelainan- kelainan fisik yang disebabkan oleh penyakit tertentu. Ada 56 beberapa macam segment masase salah satunya adalah masase terapi. c. Cosmetic masase Cosmetic masase adalah masase yang khusus ditujukan untuk memelihara serta meningkatkan kecantikan muka serta keindahantubuh berserta bagian-bagiannya. d. Masase yang lain seperti; shiatshu, refleksi, tsubo, dan erotic masase. e. Macam-macam manipulasi dalam masase dan pengaruhnya. Manipulasi yang dimaksud adalah cara menggunakan tangan untuk melakukan masase pada daerah-daerah tertentu serta untuk memberikan pengaruh tertentu pula. manipulasi pokok masase adalah: 1) Effleurage (menggosok), yaitu gerakan ringan berirama yang dilakukan pada seluruh permukaan tubuh. Tujuannya adalah memperlancar peredaran darah dan cairan getah bening (limfe). 2) Friction (menggerus), yaitu gerakan menggerus yang arahnya naik dan turun secara bebas. Tujuannya adalah membantu menghancurkan miogelosis, yaitu timbuan sisa-sisa pembakaran energi (asam laktat) yang terdapat pada otot yang menyebabkan pengerasan pada otot. 3) Petrissage (memijat), yaitu gerakan menekan kemudian meremas jaringan. Tujuannya adalah untuk mendorong 57 keluarnya sisa-sisa metabolisme dan mengurangi ketegangan otot. 4) Tapotemant (memukul), yaitu gerakan pukulan ringan berirama yang diberikan pada bagian yang berdaging. Tujuannya adalah mendorong atau mempercepat aliran darah dan mendorong keluar sisa-sisa pembakaran dari tempat persembunyiannya. 5) Vibration (menggetarkan), yaitu gerakan menggetarkan yang dilakukan secara manual atau mekanik. Mekanik lebih baik daripada manual. Tujuannya adalah untuk merangsang saraf secara halus dan lembut agar mengurangi atau melemahkan rangsang yang berlebihan pada saraf yang dapat menimbulkan ketegangan. 4. Indikasi dan Kontraindikasi Masase Indikasi dan Kontraindikasi Masase menurut Prihatin (2013) meliputi : a. Indikasi Indikasi merupakan suatu keadaan atau kondisi tubuh dapat diberikan manipulasi masase, serta masase tersebut akan memberikan pengaruh yang positif terhadap tubuh. Indikasi dalam masase adalah: 1) Keadaan tubuh yang sangat lelah. 58 2) Kelainan-kelainan tubuh yang diakibatkan pengaruh cuaca atau kerja yang kelewat batas (sehingga otot menjadi kaku dan rasa nyeri pada persendian serta gangguan pada persarafan). b. Kontraindikasi Kontraindikasi atau pantangan terhadap masase adalah sebagai keadaan atau kondisi tidak tepat diberikan masase, karena justru akan menimbulkan akibat yang merugikan bagi tubuh itu sendiri. Kontra-indikasi dalam masase adalah: 1) Pasien dalam keadaan menderita penyakit menular. 2) Dalam keadaan menderita pengapuran pembuluh darah arteri. 3) Pasien sedang menderita penyakit kulit. Adanya luka-luka baru atau cedera akibat berolahraga atau kecelakaan. 4) Sedang menderita patah tulang, pada tempat bekas luka, bekas cedera, yang belum sembuh betul. 5) Pada daerah yang mengalami pembengkakan atau tumor yang diperkirakan sebagai kanker ganas atau tidak ganas. 49 BAB III LAPORAN KASUS Pada bab ini penulis akan menuliskan laporan kasus Pemberian Masase Kaki Terhadap Penurunan Nyeri Pada Asuhan Keperawatan Ny. S dengan Diabetes Melitus Tipe II. Pengkajian dilakukan pada tanggal 10 April 2014 pukul 07.00 WIB, pengelolaan Asuhan Keperawatan dilakukan pada tanggal 10-12 April 2014 di Ruang Melati I RSUD Dr. Moewardi Surakarta. Pada kasus ini data diperoleh dengan cara autoanamnesa atau pengkajian yang dilakukan secara langsung kepada pasien, dan alloanamnesa atau pengkajian yang melihat di dasarkan data dalam status pasien dan dari keluarga. Penulis juga memberikan asuhan keperawatan langsung pada pasien yang akan disampaikan dalam laporan kasus. A. Identitas Pasien Pada pengkajian di peroleh data identitas pasien yaitu Ny. S dengan umur 55 tahun, jenis kelamin perempuan, beralamat di jebres, pekerjaan ibu rumah tangga, tingkat pendidikan SMA, tanggal masuk RS 04 April 2014 jam 09.00 WIB, Dokter mendiagnosa bahwa Ny. S menderita Diabetes Melitus tipe II. Penanggung jawab terhadap Ny. S adalah Tn.P dengan umur 60 tahun, pekerjaan buruh, beralamat di Jebres, dan hubungan Tn.P dengan pasien adalah Suami. 59 60 B. Pengkajian Pengkajian dilakukan pada tanggal 10 April 2014 jam 07.00 WIB di Ruang Melati I RSUD Dr. Moewardi Surakarta. Pada pengkajian tanggal 10 April 2014 diperoleh keluhan utama pasien mengatakan nyeri pada kedua telapak kaki. Kemudian dari pengkajian riwayat kesehatan sekarang pasien mengatakan 1 minggu sebelum masuk rumah sakit pasien mengeluh badan terasa lemas, pusing, kedua telapak kaki terasa kaku serta banyak minum, banyak makan, berat badan menurun dari 55 kg menjadi 50 kg kemudian oleh pihak keluarga dibawa ke IGD RSUD Dr. Moewardi Surakarta. Riwayat kesehatan dahulu pasien mengatakan sebelumnya sudah pernah di rawat di rumah sakit 1 bulan yang lalu di rawat dengan riwayat penyakit yang sama. Pasien mengetahui bahwa dirinya mempunyai riwayat penyakit Diabetes Melitus selama 2 tahun, pasien tidak memiliki riwayat penyakit asma, alergi, ataupun penyakit menular lainnya. 61 Keterangan : :Laki-Laki : Perempuan : Tinggal Satu Rumah : Pasien : Riwayat DM Dalam riwayat kesehatan keluarga, pasien mengatakan di dalam keluarganya ada yang menderita Diabetes Melitus seperti dirinya yaitu bapaknya. Pasien mengatakan tidak mempunyai riwayat penyakit jantung, asma, alergi serta penyakit menular lainnya seperti TBC dan hepatitis. Dalam riwayat kesehatan lingkungan, pasien mengatakan lingkungannya bersih, tidak dekat dengan pembuangan sampah, dan sarana kamar mandi lengkap dengan air bersih. Pengkajian pola kesehatan fungsional menurut Gordon terdapat 11 pola kesehatan fungsional. Dalam pengkajian tersebut didapatkan data sebagai berikut : pola persepsi dan pemeliharaan kesehatan diperoleh data, pasien mengatakan sebelum sakit setiap pasien merasa sakit pasien selalu memeriksakannya ke dokter atau puskesmas yang ada di sekitarnya. Selama sakit pasien mengatakan memahami tentang penyakitnya, dan akan mematuhi diet dan terapi yang telah diberikan. Dalam pola nutrisi dan metabolisme diperoleh data, pasien mengatakan sebelum sakit makan dengan frekuensi 3x sehari, jenis makan nasi, sayur, lauk, dengan porsi 1 piring habis, berat badan pasien 55 kg, tinggi 62 badan pasien 160 cm, pasien minum air putih 1500 cc/hari dan teh tawar 2 gelas/hari. Pola nutrisi pasien selama sakit dengan menggunakan pengkajian Antropometri, Biochemical data, Clinical sigh Dietary (ABCD). Antropometri meliputi berat badan sebelum sakit 55 kg, berat badan selama sakit 50 kg, tinggi badan 160 cm, IMT : 19,53. Biochemical meliputi hasil laboratorium berupa Hb 12,5 g/dl (Normal 12,0 – 18,0 g/dl ), GDS 200 mg/dl, GDP 160 mg/dl. Clinical Sign yaitu distribusi rambut merata, rambut lengket, dan kotor. Kulit kering, turgor kulit elastis, mukosa bibir kering, konjungtiva tidak anemis, sklera putih, penglihatan tidak kabur, pasien terlihat lemah, selama sakit pasien mengatakan nafsu makan menurun, badan terasa lemas, pasien hanya menghabiskan setengah dari porsi menu RS. Dietary history yaitu pasien mengatakan diberi diit dengan frekuensi 3 kali sehari dengan menu nasi, sayur, dan lauk, pasien minum air putih 1000 cc/hari, susu 200cc/hari sesuai menu rumah sakit, dan pasien tidak menyukai makanan bersantan, dulu sebelum mengetahui penyakitnya pasien menyukai manis dan asin tetapi sekarang pasien mengontrolnya demi kesembuhan sakitnya. Pada pengkajian pola eliminasi diperoleh data, pasien mengatakan sebelum sakit buang air besar 1 kali sehari dengan konsistensi lunak, berbau khas, dan berwarna kuning, ketika buang air besar pasien tidak ada keluhan, pasien mengatakan buang air kecil sehari 5-6 kali sebanyak 1500 cc/24 jam, bau amoniak, dan berwarna kuning jernih. Pasien mengatakan selama sakit buang air besar 1 kali sehari dengan konsistensi lunak, berbau khas, dan 63 berwarna kuning, pasien terpasang DC dengan jumlah urine 1000 cc/24 jam, berbau amoniak, dan berwarna Kuning jernih. Pada pengkajian pola aktivitas dan latihan diperoleh data, pasien mengatakan sebelum sakit dapat beraktivitas secara mandiri. Pasien mengatakan selama sakit aktivitas seperti makan dan minum, toileting, berpakaian, mobilitas ditempat tidur, berpindah, ambulasi Range Of Motion di bantu oleh keluarga dengan nilai scoring 2 (di bantu orang lain). Pada pengkajian pola istirahat dan tidur diperoleh data, pasien mengatakan sebelum sakit tidur siang 2 jam sedangkan tidur malam 9 jam. pasien tidak menggunakan obat tidur, dan tidak terdapat gangguan tidur. Pasien mengatakan selama sakit tidur siang 1 jam sedangkan tidur malam 7 jam. Pasien tidak menggunakan obat tidur, dan tidak terdapat gangguan tidur. Pada pengkajian pola kognitif dan perceptual diperoleh data, Ny. S mengeluh nyeri pada kedua telapak kaki saat aktivitas berlebih nyeri seperti di tusuk-tusuk dengan skala nyeri 4 durasi 5-10 menit intensitas hilang timbul. Pasien mengatakan sebelum sakit 5 panca inderanya berfungsi dengan baik, penglihatan pasien baik, pendengaran baik, indera pembau baik, dan tidak menggunakan alat bantu pendengaran dan penglihatan. Pasien mengatakan selama sakit juga tidak ada gangguan panca indera, pasien mampu melihat dengan baik, indera pembau baik, dan selalu menjawab ketika di ajak berbicara. Pada pengkajian pola persepsi dan konsep diri diperoleh data, pada pengkajian body image yaitu pasien mengatakan kurang mampu melakukan 64 aktivitas karena keadaan tubuhnya yang lemah. Pada pengkajian ideal diri yaitu pasien mengatakan menerima penyakitnya dengan ikhlas, dan berharap agar dirinya cepat sembuh dan segera pulang. Dalam peran diri pasien mengatakan tidak bisa melakukan perannya secara maksimal sebagai seorang ibu rumah tangga. Pada pengkajian identitas diri yaitu pasien mengatakan sebagai ibu rumah tangga dan pasien mampu mengenali dirinya sendiri. Pada pengkajian harga diri yaitu pasien mengatakan tidak merasa malu sehubungan dengan kondisi fisiknya saat berhubungan dengan orang lain. Pada pengkajian pola hubungan dan Peran diperoleh data, pasien mengatakan sebelum sakit memiliki hubungan baik dengan keluarga, anak, dan masyarakat. Pasien mengatakan selama sakit keluarganya menjadi lebih perhatian dan merasa memiliki hubungan yang lebih erat. Pada pengkajian pola seksualitas dan Reproduksi diperoleh data, pasien mengatakan sebelum sakit tidak ada gangguan dalam hubungan seksual dengan suaminya. Selama sakit pasien mengatakan tidak melakukan hubungan suami istri selama sakit. Pada pengkajian pola mekanisme koping diperoleh data, pasien mengatakan sebelum sakit tidak mempunyai masalah dengan keluarga dan apabila mempunyai masalah dengan keluarga dan apabila mempunyai masalah selalu dimusyawarahkan dengan baik. Pasien mengatakan selama sakit tidak mempunyai masalah dengan keluarga dan menerima sakitnya dengan ikhlas. Pada pengkajian pola Nilai dan Keyakinan diperoleh data, pasien mengatakan beragama Islam dan sebelum sakit pasien menjalankan sholat 65 lima waktu dan selalu berdoa. Selama sakit pasien mengatakan menjalankan shalat lima waktu diatas tempat tidur dan selalu berdoa. Dari pemeriksaan fisik didapatkan data meliputi keadaan umum pasien lemah, kesadaran composmentis. Tanda-tanda vital (tekanan darah 145/80 mmHg, nadi 90 x/menit, pernafasan 20 x/menit, suhu 36OC). Bentuk kepala mesochepal, tidak ada luka pada kulit kepala, rambut tampak hitam, lengket dan kotor. Mata berdiameter kanan dan kiri sama, palpebra normal, konjungtiva tidak anemis, sklera putih, pupil isokor, reflek terhadap cahaya positif, dan tidak menggunakan alat bantu penglihatan. Hidung simetris, tidak ada polip,dan tidak ada secret. Mulut tampak kotor, mukosa bibir kering, bau tidak sedap, gigi tampak kotor, tidak ada gigi berlubang, dan tidak ada carries gigi. Telinga kotor, bau, dan ada sedikit serumen. Leher tidak ada pembesaran kelenjar tiroid. Pada pemeriksaan fisik paru-paru meliputi Inspeksi yaitu bentuk dada kanan dan kiri simetris, tidak terdapat luka dan lesi, pergerakan dada kanan dan kiri sama, tidak terdapat pernafasan cuping hidung dan penggunaan otot bantu pernafasan, regular, dan RR 20 x/menit. Palpasi yaitu tidak terdapat nyeri tekan, vocal fremitus kanan dan kiri teraba sama. Perkusi yaitu suara sonor pada area ICS I-VI dextra, redup pada ICS III-V sinistra. Auskultasi yaitu suara nafas dasar vesikuler, tidak ada whezing. Pada pemeriksaan fisik jantung didapatkan data meliputi pengkajian inspeksi diperoleh data ictus cordis tidak tampak. Palpasi diperoleh data ictus cordis teraba pada ICS V medial linea midclavicula sinistra, tidak kuat angkat. 66 Pemeriksaan auskultasi jantung diperoleh data suara jantung S1 dan S2 reguler, tidak terdapat suara jantung tambahan, suara jantung dan denyut nadi perifer sama. Pemeriksaan perkusi jantung didapatkan data pekak mulai dari ICS II linea parasternal dextra sampai ICS IV linea parasternal dextra, ICS II linea parasternal sinistra sampai ICS IV medial linea midclavicula sinistra. Pemeriksaan fisik abdomen meliputi inspeksi yaitu simetris, tidak asites, dan tidak terdapat lesi. Pengkajian auskultasi yaitu bising usus 13x/menit. Pengkajian palpasi yaitu tidak terdapat nyeri tekan, hepar tidak teraba. Pengkajian perkusi yaitu suara timpani pada kuadran II, III, IV, serta pekak pada kuadran I. pemeriksaan fisik genetalia yaitu genetalia bersih, tidak ada edema, terpasang DC ukuran 16 sejak 10 April 2014, Rectum bersih, dan tidak ada pembesaran hemoroid. Pemeriksaan fisik ekstermitas meliputi ekstremitas atas tangan kanan tidak ada edema, terpasang infus Nacl 20 tpm dan dapat bergerak bebas, kekuatan otot 5, capillary reffile < 2 detik, tidak ada perubahan bentuk tulang, perabaan akral hangat. Ekstremitas atas tangan kiri tidak ada edema, kekuatan otot 5, capillary reffile < 2 detik, tidak ada perubahan bentuk tulang, perabaan akral hangat. Pengkajian pemeriksaan ekstermitas bawah meliputi pasien mengeluh nyeri pada kedua kaki saat aktivitas, nyeri seperti di tusuk-tusuk, skala nyeri 4 dengan kriteria sedang, nyeri hilang timbul dengan frekuensi kadang-kadang. Pemeriksaan penunjang pada pemeriksaan laboratorium pada tanggal 07 April 2014 adalah kimia urine berat jenis 1,006 (Normal 1,015-1,025), PH 67 7,0 (Normal 4,5-8,0), leukosit negatif, nitrit negatif, protein 25 mg/dl, glukosa 200 mg/dl, keton negatif, urobilinogen negative, bilirubin negatif, eritrosit 10 juta/ul (Normal 0-87 juta/ul ). Pemeriksaan hematologi meliputi Hb 12,5 (Normal 12,0 – 18,0 g/dl ), hematokrit 40% (Normal 33-45%), leukosit 10 103/ul (Normal 4,5-11 103/ul), trombosit 197 103/ul (Normal 150-450 103/ul), eritrosit 4,76 106/ul (Normal 4,5-5,9 106/ul), GDS 300 mg/dl (Normal 60140), creatinin 0,8 mg/dl (Normal 0,8-1,3 mg/dl), ureum 38 mg/dl (Normal <50 mg/dl), Natrium 138 mmol/l (Normal 136-145 mmol/l), kalium 4,5 mmol/l (Normal 3,7-5,4 mmol/l), klorida 99 mmolo/l (Normal 98-106 mmol/l), dan GDP 129 mg/dl (Normal 70-110 mg/dl), kolestrol total 151 mg/dl (Normal 50-200 mg/dl), LDL 90 mg/dl (Normal 88-201 mg/dl), HDL 40 mg/dl (Normal 37-92 mg/dl), trigliserida 155 mg/dl (Normal < 150 mg/dl). Pemeriksaan laboratorium pada tanggal 10 April 2014 jam 07.00 WIB yaitu GDP 160 mg/dl (Normal 70-110 mg/dl) dan GDS 200 mg/dl. Program terapi tanggal 10 April 2014 adalah infus Nacl 0,9% 1500 cc/24 jam dengan dosis tetesan 20 tetes per menit, injeksi novorapid dosis 8-88 IU (SC), injeksi ceftriaxone 2gr/24jam (IV) (tanggal 4-6 April 2014), injeksi omeprazole 40mg/12jam (IV), captopril tablet 3x25mg (peroral) dan paracetamol tablet 3x500mg (peroral), diet DM 1700 kkal. C. Daftar Perumusan Masalah Pada kasus Ny.S hasil pengkajian didapatkan data subyektif dan data obyektif. Data subyektif yaitu pasien mengatakan nyeri pada kedua telapak kaki, nyeri bertambah saat beraktifitas, nyeri seperti ditusuk-tusuk, nyeri 68 hilang timbul dengan skala nyeri 4, durasi 5-10 menit, dengan frekuensi hilang timbul. Data obyektif diperoleh data pasien tampak meringis menahan nyeri, pemeriksaan tanda-tanda vital (tekanan darah 145/80 mmHg, nadi 90 kali/menit, suhu 36oC, dan respirasi 20 x/menit), Ny. S memiliki riwayat Diabetes Melitus sejak 2 tahun yang lalu. Berdasarkan data fokus tersebut penulis melakukan analisa data dan merumuskan prioritas keperawatan utama yaitu nyeri kronis. Berdasarkan hasil perumusan masalah tersebut, penulis menegakkan diagnosa keperawatan utama nyeri kronis berhubungan dengan agen injury biologis (neuropati perifer). Pada kasus Ny. S hasil pengkajian didapatkan data subyektif dan data obyektif. Data subyektif yaitu pasien mengatakan nafsu makan berkurang dan pasien mengatakan badan terasa lemas. Data obyektif diperoleh data pasien tampak lemah, pasien terlihat menghabiskan setengah porsi dari menu rumah sakit, pasien terlihat kurangnya minat pada makanan, berat badan sebelum sakit 55 kg, berat badan selama sakit 50 kg, tinggi badan 160 cm, IMT : 19,53, Hb 12,5 ( Normal 12,0 – 18,0 g/dl ), Hematokrit 40% (33-45%), GDP 160 mg/dl, GDS 200 mg/dl, kulit kering, turgor kulit elastis, mukosa bibir kering. Konjungtiva tidak anemis, sclera putih, badan terlihat lemah. Berdasarkan data fokus tersebut penulis melakukan analisa data dan merumuskan diagnosa keperawatan kedua yaitu ketidakseimbangan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan penyakit kronis ( DM ). Pada kasus Ny. S hasil pengkajian didapatkan data subyektif dan data obyektif. Data subyektif yaitu pasien mengatakan badan terasa lelah dan 69 lemas, pasien mengatakan aktivitas dan kemampuan untuk merawat diri, makan minum, toileting, berpakaian, mobilitas di tempat tidur, berpindah, dan ambulasi dibantu oleh keluarga. Data obyektif diperoleh data pasien terlihat lemah, terpasang infuse NACL 0,9% 20 tpm pada tangan kanan. GDS 200 mg/dl. Pemeriksaan tanda-tanda vital (tekanan darah 145/80 mmHg, nadi 90 kali/menit, suhu 36oC, dan respirasi 20 x/menit). Berdasarkan data fokus tersebut penulis melakukan analisa data dan merumuskan diagnosa keperawatan ketiga yaitu hambatan mobilitas fisik berhubungan dengan perubahan metabolisme sel. D. Intervensi Perencanaan yang di lakukan untuk diagnosa pertama nyeri kronis berhubungan dengan agen injury biologis (neuropati perifer). Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 3x24 jam diharapkan nyeri dapat berkurang atau teratasi dengan kriteria hasil yaitu ekspresi wajah rileks, skala nyeri 1, TTV dalam batas normal (Tekanan darah : 120/80 mmHg, nadi 60100 kali/menit, suhu 36oC, dan respirasi 16-20 x/menit). Intervensi untuk diagnosa ini antara lain kaji nyeri ( P, Q, R, S, T ) (rasional : mempengaruhi pilihan, keefektifan intervensi serta untuk mengetahui berapa berat nyeri yang dialami pasien), berikan teknik relaksasi masase (rasional : mengurangi rasa nyeri yang dirasakan pasien, mengalihkan perhatian terhadap nyeri, dan meningkatkan kontrol terhadap nyeri yang mungkin berlangsung lama), informasikan kepada pasien bila nyeri timbul lakukan teknik relaksasi nafas dalam (rasional : agar pasien mengetahui bagaimana cara mengontrol nyeri), 70 kolaborasi dengan dokter pemberian analgetik (rasional : untuk mempercepat penyembuhan melalui terapi obat). Perencanaan yang dilakukan untuk diagnosa kedua ketidakseimbangan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan penyakit kronis ( DM ). Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 3x24 jam diharapkan tidak terjadi gangguan nutrisi dengan kriteria hasil yaitu asupan nutrisi adekuat, nafsu makan meningkat, Hb, Albumin, Hematokrit dalam batas normal, GDS dalam rentang normal (80-110 mg/dl). Intervensi untuk diagnosa ini antara lain kaji pola nutrisi ( A, B, C, D ) (Rasional : untuk mengetahui BB, Hb, turgor kulit dan tingkat keadekuatan pemasukan makanan), monitor kadar gula darah sewaktu (rasional : untuk menmantau fluktuasi kadar gula darah), menginformasikan kepada pasien untuk makan diet dari rumah sakit dan makan sedikit tapi sering (rasional: agar pasien mengerti makanan apa saja yang boleh dimakan dan menambah asupan nutrisi), kolaborasi dengan ahli gizi untuk menentukan jumlah dan nutrisi yang dibutuhkan pasien (rasional : pemberian diet yang sesuai dapat mempercepat penurunan gula darah dan nmencegah komplikasi). Perencanaan yang dilakukan untuk diagnosa ketiga hambatan mobilitas fisik berhubungan dengan perubahan metabolisme sel. Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 3x24 jam diharapkan hambatan mobilitas fisik dapat teratasi dengan kriteria hasil badan tidak terasa lelah dan lemas, melakukan aktivitas sehari-hari dengan mandiri. Intervensi untuk diagnosa ini antara lain kaji kemampuan mobilisasi pasien (rasional : 71 mengetahui tingkat kemampuan tingkat mobilisasi pasien), ajarkan pasien dalam latihan ROM aktif dan ROM pasif (rasional : Meningkatkan sirkulasi darah muskuloskeletal, mempertahankan tonus otot, mempertahakan gerak sendi, mencegah kontraktur/atrofi dan mencegah reabsorbsi kalsium karena imobilisasi), latih pasien dalam kebutuhan aktivitas sehari-hari (rasional : Meningkatkan kemandirian klien dalam perawatan diri sesuai kondisi keterbatasan klien). Ubah posisi secara periodik sesuai keadaan klien (rasional : Menurunkan insiden komplikasi kulit dan pernapasan (dekubitus, atelektasis, pneumonia)). E. Implementasi Untuk mencapai tujuan dari kriteria hasil diatas, pada tanggal 10 April 2014 pukul 07.00 WIB sampai dengan 12 April 2014 pukul 14.00 WIB dilakukan implementasi sebagai berikut : Pada tanggal 10 April 2014 diagnosa pertama nyeri kronis berhubungan dengan agen injury biologis (neuropati perifer) yaitu pukul 07.00 WIB melakukan perkenalan kemudian pengkajian. Pukul 07.30 WIB memonitor tanda-tanda vital pasien, respon Ny. S mengatakan bersedia untuk diukur tanda-tanda vitalnya, tekanan darah 145/80 mmHg, nadi 90 x/menit, pernafasan 20 x/menit, suhu 36OC. Pukul 07.40 WIB mengkaji nyeri, respon pasien pasien mengatakan nyeri pada kedua telapak kaki, nyeri bertambah saat beraktifitas berlebih, nyeri seperti ditusuk-tusuk, nyeri hilang timbul dengan skala nyeri 4, durasi 5-10 menit, dengan frekuensi kadang-kadang, pasien tampak meringis menahan nyeri. Pukul 09.30 WIB memberikan obat 72 oral paracetamol 500 mg dan captopril 25 mg, obat masuk peroral. Pukul 10.00 WIB melakukan teknik relaksasi berupa masase kaki, respon pasien mengatakan nyeri sudah berkurang dengan skala nyeri dari 4 menjadi 3, nyeri dirasakan ketika aktifitas, nyeri seperti di tusuk-tusuk, nyeri hilang timbul durasi 5-10 menit dengan frekuensi kadang-kadang, pasien mengatakan kaki terasa lebih nyaman setelah dipijat, pasien tampak rileks. Pada tanggal 10 April 2014 diagnosa kedua ketidakseimbangan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan penyakit kronis (DM) yaitu pukul 08.00 WIB memberikan injeksi omeprazole 40 mg, obat masuk melalui intravena. Pukul 08.10 WIB mengkaji intake nutrisi pasien, Antropometri berupa berat badan sebelum sakit 55 kg, berat badan selama sakit 50 kg, tinggi badan 160 cm, IMT : 19,53. Biochemical data yaitu Hb 12,5 ( Normal 12,0 – 18,0 g/dl ), Hematokrit 40% (33-45%), GDS 200 mg/dl, GDP 160 mg/dl. Clinical Sign yaitu distribusi rambut merata, lengket, kotor. kulit kering, turgor kulit elastis, mukosa bibir kering, konjungtiva anemis, sklera putih, badan terlihat lemah, pasien mengatakan selama sakit nafsu makan berkurang, badan terasa lemas, pasien terlihat kurangnya minat pada makanan, pasien hanya menghabiskan setengah dari porsi menu RS. Dietary history yaitu pasien mengatakan diberi diit makan nasi, sayur, dan lauk, pasien minum air putih 1000 cc/hari, susu 200cc/hari sesuai menu rumah sakit, dan pasien tidak menyukai makanan bersantan, dulu sebelum mengetahui penyakitnya pasien menyukai manis dan asin tetapi sekarang pasien mengontrolnya demi kesembuhan sakitnya. Pukul 08.30 WIB melakukan 73 pemeriksaan kadar gula darah dan memberikan insulin 8 UI, respon pasien mengatakan bersedia untuk dilakukan pemeriksaan kadar gula darah, GDS 200 mg/dl, dan injeksi insulin masuk lewat sub cutan. Pukul 09.15 WIB menginformasikan kepada pasien untuk mematuhi diet dari RS dan memberikan diit sesuai program, respon pasien mengatakan nafsu makan pasien berkurang tetapi akan mematuhi diit dari RS, diit rumah sakit habis setengah porsi dari porsi menu RS. Pukul 12.00 WIB melakukan pemeriksaan kadar gula darah dan memberikan insulin 8 UI, respon pasien mengatakan bersedia untuk dilakukan pemeriksaan kadar gula darah, GDS 190 mg/dl, dan insulin masuk 8 UI melalui sub cutan. Pukul 12.45 WIB memberikan diet sesuai program, pasien terlihat kurangnya minat terhadap makan, pasien terlihat lemah, dan menu diit RS hanya dihabiskan setengah porsi. Pada tanggal 10 April 2014 diagnosa ketiga hambatan mobilitas fisik berhubungan dengan perubahan metabolisme sel yaitu pukul 08.50 WIB mengkaji kemampuan mobilisasi pasien, respon pasien mengatakan aktivitas dan kemampuan untuk merawat diri, makan minum, toileting, berpakaian, mobilitas di tempat tidur, berpindah, dan ambulasi dibantu oleh keluarga, pasien terlihat lemah, terpasang infuse NACL 0,9% 20 tpm pada tangan kanan dan kekuatan otot 5. Pukul 09.20 WIB membatu pasien makan, respon pasien bersedia dibantu oleh perawat, pasien terlihat lemah. Pukul 12.45 WIB membatu pasien makan (feeding), respon pasien bersedia dibantu oleh perawat, pasien terlihat lemah. Pukul 14.00 WIB membantu mengubah posisi pasien sesuai keadaan klien, respon pasien mengatakan badan masih terasa 74 lemas dan lelah terkadang untuk mengubah posisi masih dibantu oleh keluarga, pasien terlihat lemah, posisi pasien miring kiri. Pada tanggal 11 April 2014 melanjutkan implementasi pada hari kedua, dilakukan implementasi sebagai berikut : Pada tanggal 11 April 2014 diagnosa pertama nyeri kronis berhubungan dengan agen injury biologis (neuropati perifer) yaitu pukul 07.30 WIB melakukan pengkajian nyeri, diperoleh data pasien mengatakan nyeri pada kedua telapak kaki sudah berkurang, dirasakan nyeri apabila beraktivitas, dengan skala nyeri masih 3, nyeri seperti ditusuk-tusuk, nyeri hilang timbul dengan durasi 5 menit dan frekuensi jarang-jarang, wajah pasien terlihat sedikit tegang. Pukul 07.35 WIB memonitor tanda-tanda vital, diperoleh data objektif TD : 140/80 mmhg, nadi 89 x/menit, respirasi 18 x/menit, suhu 36,5OC. Pukul 08.45 WIB mengajarkan pasien teknik relaksasi nafas dalam dan menginformasikan kepada pasien untuk melakukan teknik relaksasi nafas dalam bila nyeri timbul, respon pasien mengatakan sudah mengerti tentang teknik relaksasi nafas dalam dan akan melakukan teknik relaksasi nafas dalam apabila nyeri dirasakan, pasien tampak aktif dalam perawatan. Pukul 09.50 WIB memberikan obat captopril 25 mg, obat masuk melalui oral. Pukul 10.00 WIB melakukan teknik relaksasi masase kaki, respon pasien mengatakan nyeri pada kedua telapak kaki sudah berkurang dengan skala nyeri 3, nyeri dirasakan saat aktivitas berlebih, nyeri seperti ditusuk-tusuk, nyeri hilang timbul dengan durasi 5 menit dengan frekuensi 75 jarang, pasien mengatakan kaki terasa lebih nyaman setelah dipijat, pasien tampak rileks. Pada tanggal 11 April 2014 diagnosa kedua ketidakseimbangan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan penyakit kronis (DM) yaitu pukul 08.00 WIB mengkaji intake pasien dengan melakukan pengkajian A,B,C,D, meliputi Antropometri yaitu berat badan sebelum sakit 55 kg, berat badan selama sakit 50 kg, tinggi badan : 160 cm, IMT : 19,53. Biochemical data meliputi Hb 12,5 ( Normal 12,0 – 18,0 g/dl ), Hematokrit 40% (33-45%), GDS 180 mg/dl, GDP 160 mg/dl. Clinical Sign yaitu distribusi rambut merata, lengket, kotor. kulit kering, turgor kulit elastis, mukosa bibir kering, konjungtiva tidak anemis, sclera putih, badan terlihat masih lemah, penglihatan tidak kabur, pasien terlihat kurangnya minat pada makanan, pasien mengatakan akan mematuhi diet sesuai diet dari RS, badan terasa lemas, porsi RS hanya sisa 3 sendok. Dietary history yaitu pasien mengatakan diberi diit makan nasi, sayur, dan lauk, pasien minum air putih 1000 cc/hari, susu 200cc/hari sesuai menu rumah sakit, dan pasien tidak menyukai makanan bersantan. Pukul 08.15 WIB memberikan injeksi omeprazole 40 mg, obat masuk melalui intravena. Pukul 08.30 WIB melakukan pemeriksaan kadar gula darah dan memberikan injeksi insulin 8 UI, respon pasien mengatakan bersedia untuk dilakukan pemeriksaan kadar gula darah, GDS 180 mg/dl, dan insulin masuk 8 UI melalui sub cutan. Pukul 09.15 WIB memberikan diet kepada pasien, respon pasien mengatakan akan mematuhi diet sesuai diet dari 76 RS, porsi RS hanya sisa 3 sendok. Pukul 12.00 WIB melakukan pemeriksaan kadar gula darah dan memberikan injeksi insulin 8 UI, respon pasien mengatakan bersedia untuk dilakukan pemeriksaan kadar gula darah, GDS 185 mg/dl, dan insulin masuk 8 UI melalui subcutan. Pukul 12.30 WIB memberikan diit kepada pasien, respon pasien mengatakan akan mematuhi diit sesuai diit dari RS, porsi RS dihabiskan oleh pasien. Pada tanggal 11 April 2014 diagnosa ketiga hambatan mobilitas fisik berhubungan dengan perubahan metabolisme sel yaitu pukul 07.00 WIB membantu pasien dalam memenuhi kebutuhan ADL (bersama keluarga mandi dan membantu cuci rambut pasien), respon pasaien mengatakan badan terasa segar setelah sibin dan mandi, pasien tampak rileks, rambut bersih tidak lengket, badan bersih, pasien tampak aktif dalam perawatan dan berusaha untuk memenuhi kebutuhannya sendiri meskipun dibantu keluarga dan perawat. Pukul 09.30 mengkaji kemampuan mobilisasi pasien, respon pasien mengatakan kemampuan untuk merawat diri, toileting, berpakaian, mobilitas di tempat tidur, berpindah, dan ambulasi dibantu oleh keluarga, untuk makan dan minum pasien sudah mandiri, pasien tampak menghabiskan 1 porsi menu dari RS, pasien terlihat lemah, terpasang infuse NACL 0,9% 20 tpm pada tangan kanan dan kekuatan otot 5. Pukul 13.00 mengajarkan pasien dalam latihan ROM, respon pasien mengatakan bersedia untuk dilakukan latihan ROM, pasien tampak aktif dalam tindakan keperawatan. Pada tanggal 12 April 2014 melanjutkan implementasi pada hari ketiga, dilakukan implementasi sebagai berikut : 77 Pada tanggal 12 April 2014 diagnosa pertama nyeri kronis berhubungan dengan agen injury biologis (neuropati perifer) yaitu pukul 07.35 WIB melakukan pengkajian nyeri, respon pasien mengatakan nyeri pada kedua telapak kaki, nyeri timbul hanya saat melakukan aktivitas berlebih, jika nyeri timbul terasa seperti ditusuk-tusuk dengan skala nyeri 3, nyeri dirasakan hilang timbul dengan durasi 5 menit dan frekuensi jarang, wajah pasien tampak rileks. Pukul 07.45 memonitor tanda-tanda vital, respon pasien mengatakan bersedia untuk ditensi dan diperiksa, tekanan darah 120/80 mmHg, nadi 90 x/menit, suhu 36,8 OC, respirasi 18 x/menit. Pukul 10.00 WIB melakukan teknik relaksasi berupa masase kaki, respon pasien mengatakan nyeri pada kedua telapak kaki sudah berkurang, nyeri timbul hanya saat melakukan aktivitas berlebih, nyeri terasa seperti ditusuk-tusuk dengan skala nyeri dari 3 menjadi 2, nyeri dirasakan hilang timbul dengan durasi 5 menit dan frekuensi jarang, wajah pasien tampak rileks. Pada tanggal 12 April 2014 diagnosa kedua ketidakseimbangan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan penyakit kronis (DM) yaitu pukul 08.00 WIB melakukan pemeriksaan kadar gula darah dan memberikan injeksi insulin 8 UI, respon pasien mengatakan bersedia untuk dilakukan pemeriksaan kadar gula darah, GDS 175 mg/dl, dan insulin masuk 8 UI melalui sub cutan. Pukul 08.10 WIB memberikan injeksi omeprazole 40 mg, obat masuk melalui intravena. Pukul 08.20 WIB memonitor intake nutrisi pasien, Antropometri meliputi berat badan sebelum sakit 55 kg, berat badan selama sakit 50 kg, tinggi badan 160 cm, IMT : 19,53. Biochemical data yaitu 78 Hb 12,5 ( Normal 12,0 – 18,0 g/dl ), Hematokrit 40% (33-45%), GDS 175 mg/dl, GDP 160 mg/dl. Clinical Sign yaitu distribusi rambut merata, bersih, tidak kotor, kulit kering, turgor kulit elastis, mukosa bibir lembab, konjungtiva tidak pucat, sclera putih, badan tampak rileks dan bertenaga, penglihatan tidak kabur, pasien mengatakan nafsu makan sudah meningkat, pasien mengatakan akan mematuhi dietnya sesuai program, pasien mengatakan badan terasa segar, pasien menghabiskan semua porsi menu RS. Dietary history yaitu pasien mengatakan diberi diit makan nasi, sayur, dan lauk, pasien minum air putih 1000 cc/hari, susu 200cc/hari sesuai menu rumah sakit. Pukul 09.30 WIB memberikan diet kepada pasien, respon pasien mengatakan akan mematuhi diit sesuai program, semua porsi dihabiskan sesuai menu RS. Pukul 12.00 WIB melakukan pemeriksaan kadar gula darah dan memberikan injeksi insulin 8 UI, respon pasien mengatakan bersedia untuk dilakukan pemeriksaan kadar gula darah, GDS 160 mg/dl, dan insulin masuk 8 UI melalui sub cutan. Pukul 12.50 WIB memberikan diet kepada pasien, respon pasien mengatakan akan mematuhi diet sesuai program, semua porsi dihabiskan sesuai menu RS. Pada tanggal 12 April 2014 diagnosa ketiga hambatan mobilitas fisik berhubungan dengan perubahan metabolisme sel yaitu pukul 07.00 WIB membantu pasien dalam memenuhi kebutuhan ADL (perawatan diri mandi) dibantu juga oleh keluarga pasien, respon pasien mengatakan badan terasa segar setelah sibin dan mandi, pasien tampak rileks, rambut bersih tidak lengket, badan bersih, pasien tampak aktif dalam perawatan dan berusaha 79 untuk memenuhi kebutuhannya sendiri meskipun dibantu keluarga dan perawat. Pukul 09.45 WIB mengkaji tingkat kemampuan mobilisasi pasien, respon pasien mengatakan kemampuan untuk merawat diri, toileting, berpakaian, berpindah, dan ambulasi dibantu oleh keluarga, untuk aktivitas di tempat tidur seperti merubah posisi miring kanan atau kiri sudah bias mandiri, makan dan minum pasien sudah mandiri, pasien mengtaakan sebagian kegiatan pemenuhan kebutuhan masih diabntu keluarga, pasien mengatakan badan terasa segar dan sudah tidak lemas, pasien tampak menghabiskan 1 porsi menu dari RS, pasien terlihat rileks, terpasang infuse NACL 0,9% 20 tpm pada tangan kanan dan kekuatan otot 5. Pukul 11.00 WIB membantu pasien dalam mobilisasi duduk, pasien terlihat rileks dan aktif dalam perawatan. Pukul 13.30 membantu pasien dalam ROM, respon pasien mengatakan bersedia untuk melakukan latihan ROM, pasien tampak aktif dalam tindakan keperawatan dan lebih bertenaga. F. Evaluasi Evaluasi hasil pada tanggal 10 April 2014 pukul 14.00 WIB yaitu : Untuk diagnosa pertama nyeri kronis berhubungan dengan agen injury biologis (neuropati perifer) pasien mengatakan nyeri pada kedua telapak kaki, nyeri bertambah saat beraktifitas, nyeri seperti ditusuk-tusuk, nyeri hilang timbul dengan skala nyeri dari 4 menjadi 3, durasi 5-10 menit, dengan frekuensi kadang-kadang, pasien tampak meringis menahan nyeri, tekanan darah 145/80 mmHg, nadi 90 x/menit, pernafasan 20 x/menit, suhu 36OC, masalah belum teratasi, intervensi dilanjutkan yaitu lakukan pengkajian 80 nyeri, ajarkan tekhnik relaksasi, monitor TTV, kolaborasi dengan dokter dalam pemberian analgetik. Untuk diagnosa kedua ketidakseimbangan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan penyakit kronis (DM) pasien mengatakan nafsu makan berkurang dan pasien mengatakan badan terasa lemas, pasien tampak lemah, pasien terlihat menghabiskan setengah porsi dari menu rumah sakit, pasien terlihat kurangnya minat pada makanan, berat badan sebelum sakit 55 kg, berat badan selama sakit 50 kg, tinggi badan 160 cm, IMT : 19,53. Pemeriksaan laboratorium tanggal 07 April 2014 meliputi Hb 12,5 g/dl, Hematokrit 40%, GDP 160 mg/dl, GDS tanggal 10 April 2014 190 mg/dl, kulit kering, turgor kulit elastis, mukosa bibir kering. konjungtiva tidak anemis, sclera putih, badan terlihat lemah, masalah belum teratasi, intervensi dilanjutkan yaitu monitor intake nutrisi, monitor kadar Hb, Ht, dan GDS, informasikan kepada pasien untuk mematuhi dietnya, kolaborasi dengan ahli gizi pemberian diet. Untuk diagnosa ketiga hambatan mobilitas fisik berhubungan dengan perubahan metabolisme sel pasien mengatakan badan terasa lelah dan lemas, pasien mengatakan aktivitas dan kemampuan untuk merawat diri, makan minum, toileting, berpakaian, mobilitas di tempat tidur, berpindah, dan ambulasi dibantu oleh keluarga, pasien terlihat lemah, terpasang infuse NACL 0,9% 20 tpm pada tangan kanan, tekanan darah 145/80 mmHg, nadi 90 kali/menit, suhu 36oC, respirasi 20 kali/menit, dan kekuatan otot 5, masalah belum teratasi, intervensi dilanjutkan yaitu kaji kemampuan mobilisasi pasien, 81 ajarkan pasien dalam latihan ROM aktif dan pasif, latih pasien dalam kebutuhan aktivitas dan latihan, ubah posisi secara periodik sesuai keadaan pasien. Evaluasi hasil pada tanggal 11 April 2014 pukul 14.00 WIB yaitu : Untuk diagnosa pertama nyeri kronis berhubungan dengan agen injury biologis (neuropati perifer) pasien mengatakan nyeri pada kedua telapak kaki sudah berkurang, dirasakan nyeri apabila beraktivitas, dengan skala nyeri masih 3, nyeri seperti ditusuk-tusuk, nyeri hilang timbul dengan durasi 5 menit dan frekuensi jarang-jarang, wajah pasien terlihat sedikit tegang, tekanan darah 140/80 mmHg, nadi 89 x/menit, respirasi 18 x/menit, suhu 36,5OC, masalah teratasi sebagian, intervensi dilanjutkan yaitu lakukan pengkajian nyeri, ajarkan tekhnik relaksasi, monitor TTV, kolaborasi dengan dokter dalam pemberian analgetik. Untuk diagnosa kedua ketidakseimbangan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan penyakit kronis (DM) pasien terlihat kurangnya minat pada makanan, pasien mengatakan akan mematuhi diet sesuai diet dari RS, badan terasa lemas, porsi RS hanya sisa 3 sendok, berat badan sebelum sakit 55 kg, berat badan selama sakit 50 kg, tinggi badan 160 cm, IMT : 19,53. Pemeriksaan laborat tanggal 07 April 2014 meliputi Hb 12,5 g/dl, Hematokrit 40%, GDP 160 mg/dl, GDS tanggal 11 April 2014 180 mg/dl, turgor kulit elastis, mukosa bibir kering, konjungtiva tidak anemis, sclera putih, badan terlihat masih lemah, masalah teratasi sebagian, intervensi dilanjutkan yaitu monitor intake nutrisi, monitor kadar Hb, HT, dan GDS, 82 informasikan kepada pasien untuk mematuhi diitnya, kolaborasi dengan ahli gizi pemberian diit. Untuk diagnosa ketiga hambatan mobilitas fisik berhubungan dengan perubahan metabolisme sel pasien mengatakan mengatakan kemampuan untuk merawat diri, toileting, berpakaian, mobilitas di tempat tidur, berpindah, dan ambulasi dibantu oleh keluarga, untuk makan dan minum pasien sudah mandiri pasien tampak rileks, rambut bersih tidak lengket, badan bersih, pasien tampak aktif dalam perawatan dan berusaha untuk memenuhi kebutuhannya sendiri meskipun dibantu keluarga dan perawat, pasien terlihat rileks, terpasang infuse NACL 0,9% 20 tpm pada tangan kanan dan kekuatan otot 5, masalah teratasi sebagian, intervensi dilanjutkan yaitu kaji kemampuan mobilisasi pasien, ajarkan pasien dalam latihan ROM aktif dan pasif, latih pasien dalam kebutuhan aktivitas dan latihan, ubah posisi secara periodik sesuai keadaan pasien. Evaluasi hasil pada tanggal 12 April 2014 pukul 14.00 WIB yaitu : Untuk diagnosa pertama nyeri kronis berhubungan dengan agen injury biologis (neuropati perifer) pasien mengatakan nyeri pada kedua telapak kaki sudah berkurang, nyeri timbul hanya saat melakukan aktivitas berlebih, jika nyeri timbul terasa seperti ditusuk-tusuk dengan skala nyeri dari 3 menjadi 2, nyeri dirasakan hilang timbul dengan durasi 5 menit dan frekuensi jarang, pasien mengatakan kaki terasa nyaman setelah di masase, dan akan melakukan teknik relaksasi nafas dalam apabila nyeri timbul, wajah pasien tampak rileks, tekanan darah 120/80 mmHg, nadi 90 x/menit, suhu 36,8 83 O C, respirasi 18 x/menit, masalah teratasi sebagian, intervensi dilanjutkan yaitu lakukan pengkajian nyeri, ajarkan tekhnik relaksasi, monitor TTV. Untuk diagnosa kedua ketidakseimbangan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan penyakit kronis (DM) pasien mengatakan nafsu makan sudah meningkat, pasien mengatakan akan mematuhi dietnya sesuai program, pasien mengatakan badan terasa segar, berat badan sebelum sakit 55 kg, berat badan selama sakit 50 kg, tinggi badan 160 cm, IMT : 19,53. Pemeriksaan laborat tanggal 07 April 2014 meliputi Hb 12,5 g/dl, Hematokrit 40%, GDP 160 mg/dl, GDS tanggal 12 April 2014 160 mg/dl, kulit kering, turgor kulit elastis, mukosa bibir lembab, konjungtiva tidak pucat, sclera putih, pasien menghabiskan semua porsi menu RS, masalah teratasi sebagian, intervensi dilanjutkan yaitu monitor intake nutrisi, monitor kadar Hb, Ht, dan GDS. Untuk diagnosa ketiga hambatan mobilitas fisik berhubungan dengan perubahan metabolisme sel pasien mengatakan kemampuan untuk merawat diri, toileting, berpakaian, berpindah, dan ambulasi dibantu oleh keluarga, untuk aktivitas di tempat tidur seperti merubah posisi miring kanan atau kiri sudah bias mandiri, makan dan minum pasien sudah mandiri, pasien mengtaakan sebagian kegiatan pemenuhan kebutuhan masih diabntu keluarga, pasien mengatakan badan terasa segar dan sudah tidak lemas, pasien tampak menghabiskan 1 porsi menu dari RS, pasien tampak rileks, rambut bersih tidak lengket, badan bersih, pasien tampak aktif dalam perawatan dan berusaha untuk memenuhi kebutuhannya sendiri meskipun dibantu keluarga dan 84 perawat, terpasang infuse NACL 0,9% 20 tpm pada tangan kanan dan kekuatan otot 5, masalah teratasi sebagian, intervensi dilanjutkan yaitu kaji kemampuan mobilisasi pasien, ajarkan pasien dalam latihan ROM aktif dan pasif, latih pasien dalam kebutuhan aktivitas dan latihan. BAB IV PEMBAHASAN Pada bab ini penulis akan membahas tentang Pemberian Masase Kaki Terhadap Penurunan Nyeri Pada Asuhan Keperawatan Ny. S Dengan Diabetes Melitus Tipe II Di Ruang Melati I Rsud Dr. Moewardi Surakarta. Disini penulis akan membahas prioritas diagnosa keperawatan yang utama yaitu nyeri kronis berhubungan dengan agen injuri biologis (neuropati perifer). Hal ini dilakukan dengan alasan bahwa penulis membahas diagnosa tersebut sesuai aplikatif jurnal pada penelitian yang telah dilakukan oleh Mulyati (2012) dengan judul “Pengaruh Masase Kaki Secara Manual Terhadap Sensasi Proteksi, Nyeri, Dan Ankle Brachial Index (ABI) Pada Diabetes Melitus Tipe II di RSUD Curup Bengkulu 2012”. Prinsip dari pembahasan ini dengan memperhatikan aspek tahapan proses keperawatan antara lain pengkajian, diagnosa keperawatan, intervensi keperawatan, implementasi, dan evaluasi. Pengkajian adalah pemikiran dasar dari proses keperawatan yang bertujuan untuk mengumpulkan informasi atau data tentang pasien, agar dapat mengidentifikasi, mengenali masalah-masalah, kebutuhan kesehatan dan keperawatan klien, baik fisik, mental, sosial dan lingkungan (Dermawan, 2012). Pengkajian dalam kasus ini dilaksanakan tanggal 10 April 2014 jam 07.00 WIB. Dalam pengambilan kasus ini penulis mengumpulkan data dengan menggunakan metode Autoanamnesa yaitu pengkajian yang dilakukan secara 85 86 langsung kepada pasien. metode Alloanamnesa yaitu pengkajian yang melihat di dasarkan data dalam status pasien dan dari keluarga. Pada pengkajian yang didapatkan Ny. S mengeluh nyeri pada kedua telapak kaki, nyeri bertambah saat beraktifitas, nyeri seperti ditusuk-tusuk, nyeri hilang timbul dengan skala nyeri 4, durasi 5-10 menit, dengan frekuensi kadangkadang. Nyeri pada pasien DM disebabkan karna tingginya kadar glukosa dalam darah menyebabkan penebalan mikrovaskular sehingga akan terjadi iskemia dan penurunan penyaluran oksigen ke jaringan. Diabetes Melitus merusak sistem saraf perifer, termasuk komponen sensorik. Penyakit saraf yang menyerang diabetes melitus disebut neuropati diabetik (Corwin, 2009). Gejala umum neuropati perifer meliputi distalparastesia, nyeri seperti kesakitan atau terbakar atau seperti tertusuk, dan kaki terasa dingin (Kohnle, 2008). Pada kasus Ny. S ditemukan bahwa pasien mengalami penurunan berat badan. Pasien mengatakan BB turun sebelumnya 55 kg menjadi 50 kg. Hal ini disebabkan karena defisiensi insulin menganggu metabolisme protein dan lemak sehingga menyebabkan penurunan berat badan (Price, 2005). Pada kasus Ny. S mengeluh badan terasa lelah dan lemas, pasien mengatakan aktivitas dan kemampuan untuk merawat diri, makan minum, toileting, berpakaian, mobilitas di tempat tidur, berpindah, dan ambulasi dibantu oleh keluarga. Hal ini disebabkan karena defisiensi insulin akan menggangu metabolisme protein dan lemak yang akan menyebabkan menurunnya simpanan kalori sehingga terjadi kelelahan dan kelemahan (Smeltzer, 2002). Rasa lelah dan 87 kelemahan otot akibat katabolisme protein di otot dan ketidakmampuan sebagian besar sel untuk menggunakan glukosa sebagai energi. Aliran darah yang buruk pada pasien diabetes kronis juga berperan menyebabkan kelelahan (Corwin, 2009). Rasa lelah muncul karena menurunnya simpanan kalori, sebagai akibat dari defisiensi insulin yang menggangu metabolisme protein dan lemak menurun akibat dari berkurangnya glukosa dalam sel/jaringan. Kadar gula yang tinggi menyebabkan glukosa tidak bisa secara optimal masuk ke dalam sel sehingga pasien kekurangan energi dan mengalami kelemahan. Menurut NANDA (2011) diagnosa keperawatan merupakan sebuah label singkat yang menggambarkan kondisi pasien yang di observasi di lapangan. Setelah penulis mendapatkan data-data dari pengkajian Ny. S tanggal 10 April 2014 pukul 07.00 WIB, penulis dapat merumuskan beberapa diagnosa keperawatan. Berdasarkan pengkajian yang telah dilakukan oleh penulis dapat ditegakkan prioritas diagnosa keperawatan utama adalah nyeri kronis berhubungan dengan agen biologis (neuropati perifer). Menurut NANDA (2011) Nyeri kronis adalah pengalaman sensori dan emosi yang tidak menyenangkan, akibat kerusakan jaringan aktual dan potensial atau digambarkan dengan istilah kerusakan (international association for the study of pain), awitan yang tiba-tiba atau perlahan dengan intensitas ringan sampai berat dengan akhir yang dapat diantisipasi atau dapat diramalkan dan durasinya lebih dari enam bulan. Diagnosa ini dapat dimunculkan apabila terdapat 88 batasan karakteristik berupa pasien mengeluh nyeri baik secara verbal maupun isyarat, wajah meringis (topeng), perilaku melindungi, perilaku protektif yang dapat diamati (NANDA, 2011). Menurut Andarmoyo (2013) dalam Asosiasi Internasional mendefisikan nyeri sebagai suatu sensori subjektif dan pengalaman emosional yang tidak menyenangkan berkaitan dengan kerusakan jaringan yang aktual, potensial, atau yang dirasakan dalam kejadian-kejadian saat terjadi kerusakan. Nyeri pada pasien DM disebabkan karna tingginya kadar glukosa dalam darah menyebabkan penebalan mikrovaskular sehingga akan terjadi iskemia dan penurunan penyaluran oksigen ke jaringan. Diabetes Melitus merusak sistem saraf perifer, termasuk komponen sensorik. Penyakit saraf yang menyerang Diabetes Melitus disebut neuropati diabetik (Corwin, 2009). Gejala umum neuropati perifer meliputi distal parastesia, nyeri seperti kesakitan atau terbakar atau seperti tertusuk, dan kaki terasa dingin (Kohnle, 2008). Diagnosa keperawatan kedua yang bisa ditegakkan adalah ketidakseimbangan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan penyakit kronis (DM). Nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh suatu keadaan dimana asupan nutrisi tidak mencukupi untuk memenuhi kebutuhan metabolik (NANDA, 2011). Hal ini disebabkan karena ketidakcukupan insulin, penurunan masukan makanan oral, status hipermetabolisme (Doengoes, 2000). Diagnosa ini dapat dimunculkan apabila terdapat batasan karakteristik berupa asupan makanan yang tidak adekuat, berat badan dibawah berat badan 89 ideal ditandai dengan pasien menolak makan, melaporkan kurangnya nafsu makan, adanya bukti asupan makanan yang kurang, kurangnya minat terhadap makanan, membran mukosa pucat, kelemahan (NANDA, 2011). Pada Diabetes Melitus tipe II defisiensi insulin dapat menganggu metabolisme protein dan lemak sehingga dapat menyebabkan penurunan berat badan (Price, 2005). Diagnosa keperawatan ketiga yang bisa ditegakkan adalah hambatan mobilitas fisik berhubungan dengan perubahan metabolisme sel. Hambatan mobilitas fisik adalah keterbatasan dalam, pergerakan fisik mandiri dan terarah pada tubuh atau satu ekstremitas atau lebih (NANDA, 2011). Hal ini disebabkan karena defisiensi insulin akan menggangu metabolisme protein dan lemak yang akan menyebabkan menurunnya simpanan kalori sehingga terjadi kelelahan dan kelemahan (Smeltzer, 2002). Diagnosa ini dapat dimunculkan apabila terdapat batasan karakteristik berupa hambatan kemampuan untuk merubah posisi, keterbatasan rentang pergerakan sendi, keterbatasan kemampuan untuk melakukan pergerakan fisik, kelemahan otot, mobilitas yang memuaskan, ketidakstabilan postur tubuh saat melakukan aktivitas sehari-hari, dispnea saat beraktivitas (NANDA, 2011). Rasa lelah dan kelemahan otot akibat katabolisme protein di otot dan ketidakmampuan sebagian besar sel untuk menggunakan glukosa sebagai energi. Aliran darah yang buruk pada pasien Diabetes kronis juga berperan menyebabkan kelelahan (Corwin, 2009). 90 Perencanaan adalah suatu proses di dalam pemecahan masalah yang merupakan keputusan awal tentang sesuatu apa yang akan dilakukan, bagaimana dilakukan, kapan dilakukan, siapa yang melakukan dari semua tindakan keperawatan (Dermawan, 2012). Tujuan adalah pernyataan pasien dan perilaku keluarga yang dapat diukur atau diobservasi (NANDA, 2011). Tujuan keperawatan adalah pernyataan yang menjelaskan suatu tindakan yang dapat diukur berdasarkan kemampuan dan kewenangan perawat (Dermawan, 2012). Menurut Dermawan (2012) penulisan tujuan dan hasil berdasarkan “SMART” meliputi specific yaitu dimana tujuan harus spesifik dan tidak menimbulkan arti ganda, measurable yaitu dimana tujuan keperawatan harus dapat diukur, khususnya tentang perilaku pasien (dapat dilihat, didengar, dirasakan, dan dibau), achievable yaitu tujuan harus dapat dicapai, dan hasil yang diharapkan, ditulis perawat, sebagai standar mengukur respon klien terhadap asuhan keperawatan, reasonable/realistic yaitu dimana tujuan harus dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah, tujuan dan hasil diharapkan singkat dan realistis dengan cepat memberikan klien dan perawat suatu rasa pencapaian. time yaitu batas pencapaian harus dinyatakan dalam penulisan kriteria hasil dan mempunyai batasan waktu yang jelas. Berdasarkan prioritas diagnosa keperawatan utama yaitu nyeri kronis berhubungan dengan agen biologis (neuropati perifer). Tujuan dan intervensinya adalah setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 3x24 jam diharapkan nyeri dapat berkurang atau teratasi dengan kriteria hasil yaitu ekspresi wajah rileks, 91 skala nyeri 0, TTV dalam batas normal (Tekanan darah : 120/80 mmHg, nadi 60100 kali/menit, suhu 36oC, dan respirasi 16-20 x/menit). Intervensi yang akan dilakukan pada prioritas diagnosa nyeri kronis berhubungan dengan agen injury biologis (neuropati perifer) adalah kaji nyeri P (provokatif atau paliatif), Q (kualitas atau kuantitas), R (regional atau area), S (skala keparahan) ,T (time atau waktu) rasional : untuk mengetahui berapa berat nyeri yang dialami pasien, ajarkan teknik relaksasi nafas dalam rasional : mengurangi rasa nyeri yang dirasakan pasien, mengalihkan perhatian terhadap nyeri, dan meningkatkan kontrol terhadap nyeri yang mungkin berlangsung lama, informasikan kepada pasien bila nyeri timbul lakukan teknik relaksasi nafas dalam rasional : agar pasien mengetahui bagaimana cara mengontrol nyeri, lakukan teknik relaksasi masase rasional : mengurangi nyeri, kolaborasi dengan dokter pemberian analgetik rasional : untuk mempercepat penyembuhan melalui terapi obat. Berdasarkan prioritas diagnosa keperawatan yang kedua ketidakseimbangan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan penyakit kronis (DM). Tujuan dan intervensinya adalah setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 3x24 jam diharapkan Kebutuhan nutrisi terpenuhi dengan kriteria hasil Asupan nutrisi adekuat, nafsu makan meningkat, Hb, Albumin dalam batas normal, GDS dalam rentang normal. Intervensi yang akan dilakukan pada diagnosa keperawatan kedua ketidakseimbangan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan penyakit kronis (DM) adalah kaji pola nutrisi ( A, B, C, D) rasional : untuk 92 mengetahui BB, Hb, turgor kulit dan tingkat keadekuatan pemasukan makanan, monitor kadar gula darah sewaktu rasional : untuk menmantau fluktuasi kadar gula darah, menginformasikan kepada pasien untuk makan diet dari rumah sakit dan makan sedikit tapi sering rasional: agar pasien mengerti makanan apa saja yang boleh dimakan dan menambah asupan nutrisi, kolaborasi dengan ahli gizi untuk menentukan jumlah dan nutrisi yang dibutuhkan pasien rasional : pemberian diet yang sesuai dapat mempercepat penurunan gula darah dan mencegah komplikasi. Berdasarkan prioritas diagnosa keperawatan yang ketiga hambatan mobilitas fisik berhubungan dengan perubahan metabolisme sel. Tujuan dan intervensinya adalah setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 3x24 jam diharapkan hambatan mobilitas fisik dapat teratasi dengan kriteria hasil melakukan aktifitas sendiri secara mandiri, meminta bantuan untuk aktifitas sehari-hari. Intervensi yang akan dilakukan pada diagnosa keperawatan hambatan mobilitas fisik berhubungan dengan perubahan metabolisme sel adalah kaji kemampuan mobilisasi pasien rasional : mengetahui tingkat kemampuan tingkat mobilisasi pasien, ajarkan pasien dalam latihan ROM aktif dan ROM pasif rasional : Meningkatkan sirkulasi darah muskuloskeletal, mempertahankan tonus otot, mempertahakan gerak sendi, mencegah kontraktur/atrofi dan mencegah reabsorbsi kalsium karena imobilisasi, latih pasien dalam kebutuhan aktivitas sehari-hari rasional : Meningkatkan kemandirian klien dalam perawatan diri sesuai kondisi keterbatasan klien. Ubah posisi secara periodik sesuai keadaan 93 klien rasional : Menurunkan insiden komplikasi kulit dan pernapasan dekubitus, atelektasis, penumonia. Implementasi adalah pelaksanaan rencana keperawatan oleh perawat dan pasien, merupakan tahap keempat dari proses keperawatan yang dimulai setelah perawat menyusun rencana keperawatan (Dermawan, 2012). Implementasi keperawatan dilakukan mulai dari tanggal 10-12 April 2014. Implementasi yang akan dibahas pada pembahasan ini adalah tentang masase kaki pada pasien untuk menurunkan nyeri. Tindakan keperawatan yang telah dilaksanakan dengan diagnosa nyeri kronis berhubungan dengan agen injury biologis (neuropati perifer) adalah mengkaji nyeri dalam hal ini untuk mengetahui berapa berat nyeri yang dialami pasien. Tindakan keperawatan selanjutnya yaitu mengajarkan dan menginformasikan teknik relaksasi nafas dalam, teknik relaksasi nafas dalam dilakukan apabila nyeri timbul, hal ini bertujuan untuk mengurangi rasa nyeri yang dirasakan pasien dan mengetahui bagaimana cara mengontrol nyeri. Teknik relaksasi lain yang digunakan penulis adalah dengan melakukan masase yang bertujuan untuk mengurangi rasa nyeri yang dirasakan pasien. Pemberian teknik masase yang dilakukan pada pasien ini sesuai dengan penelitian yang dilakukan oleh Mulyati (2012) dengan judul “Pengaruh Masase Kaki Secara Manual Terhadap Sensasi Proteksi, Nyeri, Dan Ankle Brachial Index (ABI) Pada Diabetes Melitus Tipe II di RSUD Curup Bengkulu 2012”. Berdasarkan dari hasil penelitian tersebut menunjukkan bahwa dimana masase kaki secara manual dapat menurunkan nyeri kaki pada pasien DM tipe II. 94 Tindakan yang dilakukan untuk mencegah dan mengontrol terjadinya neuropati diabetik pada pasien yang mengalami nyeri adalah dengan cara terapi komplementari. Salah satu jenis komplementari terapi yang dapat di gunakan adalah touch teraphy khususnya masase. Selain pengendalian kadar glukosa darah dapat juga dilakukan masase pada daerah kaki secara rutin sertiap hari (Black & Hawks, 2005). Masase tersebut akan memberikan pengaruh yang positif terhadap tubuh, dalam hal ini diindikasikan untuk keadaan tubuh yang sangat lelah, otot yang kaku dan rasa nyeri pada persendian serta gangguan pada persarafan (Prihatin, 2013). Masase merupakan teknik manipulasi pada jaringan lunak tubuh, umumnya di lakukan untuk mengurangi stress dan kelelahan dan memperbaiki sirkulasi (Associated Bodywork & masase professional, 2007). Masase adalah stimulasi kutaneus tubuh secara umum, masase dapat membuat pasien lebih nyaman karena masase membuat relaksasi otot. (Smeltzer, 2002). Menurut Kusyati dkk (2006) tujuan masase meliputi yaitu mengurangi ketegangan otot, meningkatkan relaksasi fisik dan psikologis, mengkaji kondisi kulit, meningkatkan sirkulasi atau peredaran darah pada area yang di masase. Maka dari itu dalam hal ini teknik relaksasi berupa masase kaki diterapkan dalam pengimplementasian untuk megnurangi nyeri. Menurut Tappan dan Benjamin (1998) dalam jurnal penelitian Mulyati (2012) masase mempunyai manfaat langsung baik secara fisiologis maupun psikologis. Masase dapat menciptakan respon relaksasi, meningkatkan proses 95 metabolisme, meningkatkan fungsi jaringan lympatik, mempercepat penyembuhan dan relaksasi otot, mengurangi tegangan otot, dan tingkat stress. Masase dapat memperbaiki sirkulasi darah, dan limfe, dengan cara meningkatkan hantaran oksigen dan zat makanan kedalam sel tubuh, sekaligus juga meningkatkan pengeluaran sampah metabolisme dari tubuh sehingga dapat mengurangi nyeri. Menurut Badawi (2009) dalam jurnal penelitian Laksmi (2012) pada pasien Diabetes Melitus terjadi perubahan elastisitas kapiler pembuluh darah, penebalan dinding pembuluh darah, dan pembentukkan plak atau thrombus yang menyebabkan vaskularisasi ke perifer terhambat. Foot massage dapat mempengaruhi hormon tubuh yaitu dapat meningkatkan sekresi endorfin. Menurut Ganong (2008) dalam jurnal penelitian Laksmi (2012) endorfin memiliki efek narkotika alami yaitu mengurangi rasa sakit dan meningkatkan kegembiraan. Impuls saraf yang dihasilkan diteruskan menuju hipotalamus untuk menghasilkan carticotropin releasing factor (CRF). CRF merangsang kelenjar pituitary melalui medulla adrenal sehingga produksi hormon endorfin meningkat. Endorfin yang disekresikan kedalam peredaran darah mempengaruhi suasana hati menjadi rileks, endorfin juga menyebabkan vasodilatasi pembuluh darah sehingga dapat mengurangi rasa sakit atau nyeri. Tindakan selanjutnya yang dilakukan untuk Ny. S dengan pemberian terapi analgetik yaitu pemberian paracetamol 3x1 pemberian paracetamol kalau perlu saja. Menurut ISO (2012) pemberian paracetamol diindikasikan juga untuk nyeri. Menurut Salma (2011) paracetamol bekerja sebagai inhibitor prostaglandin lemah dengan menghalangi produksi prostaglandin yang merupakan zat kimia 96 yang terlibat dalam proses pengiriman pesan rasa sakit ke otak, dengan mengurangi jumlah prostaglandin, paracetamol membantu mengurangi rasa sakit. Maka dalam hal ini paracetamol diberikan dalam pengimplementasian untuk mengatasi nyeri pada Ny. S. Skala nyeri pasien 3 (nyeri ringan), hanya timbul saat beraktivitas sehingga berdasasrkan advice dokter paracetamol diberikan jika perlu saja. Implementasi yang dilakukan untuk diagnosa yang kedua Nutrisi kurang dari kebutuhan berhubungan dengan penyakit kronis (DM) adalah kaji pola nutrisi A, B, C, D rasional : untuk mengetahui BB, Hb, turgor kulit dan tingkat keadekuatan pemasukan makanan, monitor kadar gula darah sewaktu rasional : untuk memantau fluktuasi kadar gula darah, menginformasikan kepada pasien untuk makan diet dari rumah sakit dan makan sedikit tapi sering rasional : agar pasien mengerti makanan apa saja yang boleh dimakan dan menambah asupan nutrisi, kolaborasi dengan ahli gizi untuk menentukan jumlah dan nutrisi yang dibutuhkan pasien rasional : pemberian diet yang sesuai dapat mempercepat penurunan gula darah dan mencegah komplikasi. Implementasi yang dilakukan untuk diagnosa yang ketiga Hambatan mobilitas fisik berhubungan dengan perubahan metabolisme sel adalah Kaji kemampuan mobilisasi pasien Rasional: mengetahui tingkat kemampuan tingkat mobilisasi pasien, Ajarkan pasien dalam latihan ROM aktif maupun pasif Rasional : meningkatkan sirkulasi darah, mempertahakan gerak sendi, mempertahankan tonus otot, mencegah kontraktur/atrofi dan mencegah reabsorbsi kalsium karena imobilisasi, Latih pasien dalam memenuhi kebutuhan 97 ADL Rasional : meningkatkan kemandirian klien dalam perawatan diri sesuai kondisi keterbatasan klien, Ubah posisi secara periodik sesuai keadaan klien Rasional : menurunkan insiden komplikasi kulit dan pernapasan (dekubitus, atelektasis, penumonia). Tahap evaluasi adalah kegiatan mengukur pencapaian tujuan klien dan menentukan keputusan dengan cara membandingkan data yang terkumpul dengan tujuan dan pencapaian tujuan (Nursalam, 2009). Evaluasi yang diterapkan dalam proses asuhan keperawatan yang diberikan pada Ny. S ini dilakukan dalam bentuk catatan perkembangan, dengan membandingkan tujuan yang ingin dicapai dan kenyataan yang ada secara obyektif serta rasional. Menurut Dermawan (2012) penulisan evaluasi berdasarkan pada SOAP. S (Subjective data atau data subyektif), O (Objective data atau data obyektif), A (Analysis atau analisis), P (Plan of care atau rencana asuhan keperawatan). Evaluasi hasil pada tanggal 10 April 2014 pukul 14.00 WIB yaitu Untuk diagnosa pertama nyeri kronis berhubungan dengan agen injury biologis (neuropati perifer). S : pasien mengatakan nyeri pada kedua telapak kaki, nyeri bertambah saat beraktifitas, nyeri seperti ditusuk-tusuk, nyeri hilang timbul dengan skala nyeri 4, durasi 5-10 menit, dengan frekuensi kadang-kadang. O : pasien tampak meringis menahan nyeri, tekanan darah 145/80 mmHg, nadi 90 x/menit, pernafasan 20 x/menit, suhu 36OC. A : masalah belum teratasi. P : intervensi dilanjutkan yaitu lakukan pengkajian nyeri, ajarkan tekhnik relaksasi, monitor TTV, kolaborasi dengan dokter dalam pemberian analgetik. 98 Untuk diagnosa kedua ketidakseimbangan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan penyakit kronis (DM). S : pasien mengatakan pasien mengatakan nafsu makan berkurang dan pasien mengatakan badan terasa lemas. O : pasien tampak lemah, pasien terlihat menghabiskan setengah porsi dari menu rumah sakit, pasien terlihat kurangnya minat pada makanan, berat badan sebelum sakit 55 kg, berat badan selama sakit 50 kg, IMT : 19,53, tinggi badan 160 cm, pemeriksaan laboratorium tanggal 07 April 2014 meliputi Hb 12,5 ( Normal 12,0 – 18,0 g/dl ), Hematokrit 40% (33-45%), GDP 160 mg/dl, GDS tanggal 10 April 2014 190 mg/dl, kulit kering, turgor kulit elastis, mukosa bibir kering. konjungtiva tidak anemis, sclera putih, badan terlihat lemah. A : masalah belum teratasi. P : intervensi dilanjutkan yaitu monitor intake nutrisi, monitor kadar Hb, HT, dan GDS, informasikan kepada pasien untuk mematuhi diitnya, kolaborasi dengan ahli gizi pemberian diet. Untuk diagnosa ketiga hambatan mobilitas fisik berhubungan dengan perubahan metabolisme sel. S : pasien mengatakan badan terasa lelah dan lemas, pasien mengatakan aktivitas dan kemampuan untuk merawat diri, makan minum, toileting, berpakaian, mobilitas di tempat tidur, berpindah, dan ambulasi dibantu oleh keluarga. O : pasien terlihat lemah, terpasang infuse NACL 0,9% 20 tpm pada tangan kanan, tekanan darah 145/80 mmHg, nadi 90 kali/menit, suhu 36oC, respirasi 20 kali/menit, dan kekuatan otot 5. A : masalah belum teratasi. P : intervensi dilanjutkan yaitu kaji kemampuan mobilisasi pasien, ajarkan pasien dalam latihan ROM aktif dan pasif, latih pasien dalam kebutuhan aktivitas dan latihan, ubah posisi secara periodik sesuai keadaan pasien. 99 Evaluasi hasil pada tanggal 11 April 2014 pukul 14.00 WIB yaitu untuk diagnosa pertama nyeri kronis berhubungan dengan agen injury biologis (neuropati perifer). S : pasien mengatakan nyeri pada kedua telapak kaki sudah berkurang, dirasakan nyeri apabila beraktivitas, dengan skala nyeri 3, nyeri seperti ditusuk-tusuk, nyeri hilang timbul dengan durasi 5 menit dan frekuensi jarangjarang. O : wajah pasien terlihat sedikit tegang, tekanan darah 140/80 mmHg, nadi 89 x/menit, respirasi 18 x/menit, suhu 36,5OC. A : masalah teratasi sebagian. P : intervensi dilanjutkan yaitu lakukan pengkajian nyeri, ajarkan tekhnik relaksasi, monitor TTV, kolaborasi dengan dokter dalam pemberian analgetik. Untuk diagnosa kedua ketidakseimbangan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan penyakit kronis (DM). S : pasien kurangnya minat pada makanan, badan terasa lemas, pasien mengatakan akan mematuhi diit sesuai diet dari RS. O : porsi RS hanya sisa 3 sendok, berat badan sebelum sakit 55 kg, berat badan selama sakit 50 kg, tinggi badan 160 cm, IMT : 19,53. Pemeriksaan laborat tanggal 07 April 2014 meliputi Hb 12,5 ( Normal 12,0 – 18,0 g/dl ), Hematokrit 40% (33-45%), GDP 160 mg/dl, GDS tanggal 11 April 2014 180 mg/dl, turgor kulit elastis, mukosa bibir kering. konjungtiva tidak anemis, sclera putih, badan terlihat masih lemah. A : masalah teratasi sebagian. P : intervensi dilanjutkan yaitu monitor intake nutrisi, monitor kadar Hb, Ht, dan GDS, informasikan kepada pasien untuk mematuhi dietnya, kolaborasi dengan ahli gizi pemberian diet. Untuk diagnosa ketiga hambatan mobilitas fisik berhubungan dengan perubahan metabolisme sel S : pasien mengatakan mengatakan kemampuan untuk 100 merawat diri, toileting, berpakaian, mobilitas di tempat tidur, berpindah, dan ambulasi dibantu oleh keluarga, untuk makan dan minum pasien sudah mandiri. O : pasien tampak rileks, rambut bersih tidak lengket, badan bersih, pasien tampak aktif dalam perawatan dan berusaha untuk memenuhi kebutuhannya sendiri meskipun dibantu keluarga dan perawat, pasien terlihat rileks, terpasang infuse NACL 0,9% 20 tpm pada tangan kanan dan kekuatan otot 5. A : masalah teratasi sebagian. P : intervensi dilanjutkan yaitu kaji kemampuan mobilisasi pasien, ajarkan pasien dalam latihan ROM aktif dan pasif, latih pasien dalam kebutuhan aktivitas dan latihan, ubah posisi secara periodik sesuai keadaan pasien. Evaluasi hasil pada tanggal 12 April 2014 pukul 14.00 WIB yaitu untuk diagnosa pertama nyeri kronis berhubungan dengan agen injury biologis (neuropati perifer). S : pasien mengatakan nyeri pada kedua telapak kaki sudah berkurang, nyeri timbul hanya saat melakukan aktivitas berlebih, jika nyeri timbul terasa seperti ditusuk-tusuk dengan skala nyeri 2, nyeri dirasakan hilang timbul dengan durasi 5 menit dan frekuensi jarang, pasien mengatakan kaki terasa nyaman setelah di masase, dan akan melakukan teknik relaksasi nafas dalam apabila nyeri timbul. O : wajah pasien tampak rileks, tekanan darah 120/80 mmHg, nadi 90 x/menit, suhu 36,8 OC, respirasi 18 x/menit. A : masalah teratasi sebagian. P : intervensi dilanjutkan yaitu lakukan pengkajian nyeri, ajarkan tekhnik relaksasi, monitor TTV. Dalam melaksanakan implementasi sesuai aplikatif jurnal yang telah dilakukan Mulyati (2012) dengan judul “Pengaruh Masase Kaki Secara Manual Terhadap Sensasi Proteksi, Nyeri, Dan Ankle Brachial Index (ABI) Pada Diabetes 101 Melitus Tipe II di RSUD Curup Bengkulu 2012”, hasil evaluasi akhir masalah teratasi sebagian karena mengingat keterbatasan waktu pengelolaan pada asuhan keperawatan hanya dilakukan selama 3 hari, sedangkan pada jurnal penelitian pengelolaan dilakukan selama 10 hari. Untuk diagnosa kedua ketidakseimbangan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan penyakit kronis (DM). S : pasien mengatakan nafsu makan sudah meningkat, pasien mengatakan akan mematuhi diitnya sesuai program, pasien mengatakan badan terasa segar, berat badan sebelum sakit 55 kg, berat badan selama sakit 50 kg, tinggi badan 160 cm, IMT : 19,53. O : Pemeriksaan laborat tanggal 07 April 2014 meliputi Hb 12,5 ( Normal 12,0 – 18,0 g/dl ), Hematokrit 40% (33-45%), GDS tanggal 12 April 2014 160 mg/dl, kulit kering, turgor kulit elastis, mukosa bibir lembab, konjungtiva tidak pucat, pasien menghabiskan semua porsi menu RS. A : masalah teratasi sebagian. P : intervensi dilanjutkan yaitu monitor intake nutrisi, monitor kadar Hb, HT, dan GDS. Untuk diagnosa ketiga hambatan mobilitas fisik berhubungan dengan perubahan metabolisme sel. S : pasien mengatakan mengatakan kemampuan untuk merawat diri, toileting, berpakaian, berpindah, dan ambulasi dibantu oleh keluarga, untuk aktivitas di tempat tidur seperti merubah posisi miring kanan atau kiri sudah bias mandiri, makan dan minum pasien sudah mandiri, pasien mengtakan sebagian kegiatan pemenuhan kebutuhan masih diabntu keluarga, pasien mengatakan badan terasa segar dan sudah tidak lemas. O : pasien tampak menghabiskan 1 porsi menu dari RS, pasien tampak rileks, rambut bersih tidak lengket, badan bersih, pasien tampak aktif dalam perawatan dan berusaha untuk 102 memenuhi kebutuhannya sendiri meskipun dibantu keluarga dan perawat, terpasang infuse NACL 0,9% 20 tpm pada tangan kanan dan kekuatan otot 5. A : masalah teratasi sebagian. P : intervensi dilanjutkan yaitu kaji kemampuan mobilisasi pasien, ajarkan pasien dalam latihan ROM aktif dan pasif, latih pasien dalam kebutuhan aktivitas dan latihan. BAB V SIMPULAN DAN SARAN Dalam bab ini penulis akan menguraikan tentang kesimpulan dan saran dari Pemberian Masase Kaki Terhadap Penurunan Nyeri Pada Asuhan Keperawatan Ny. S Dengan Diabetes Melitus Tipe II Di Ruang Melati I Rsud Dr. Moewardi Surakarta. A. Simpulan 1. Pengkajian Pada kasus Ny. S hasil pengkajian didapatkan data subyektif yaitu pasien mengatakan nyeri pada kedua telapak kaki, nyeri bertambah saat beraktifitas, nyeri seperti ditusuk-tusuk, nyeri hilang timbul dengan skala nyeri 4, durasi 5-10 menit, dengan frekuensi kadang-kadang. Data obyektif diperoleh data pasien tampak meringis menahan nyeri, pemeriksaan tanda-tanda vital (tekanan darah 145/80 mmHg, nadi 90 kali/menit, suhu 36oC, dan respirasi 20 x/menit), Ny. S mempunyai riwayat Diabetes Melitus sejak 2 tahun yang lalu. Pada kasus Ny. S hasil pengkajian didapatkan data subyektif dan data obyektif. Data subyektif yaitu pasien mengatakan nafsu makan berkurang dan pasien mengatakan badan terasa lemas. Data obyektif diperoleh data pasien tampak lemah, pasien terlihat menghabiskan setengah porsi dari menu rumah sakit, pasien terlihat kurangnya minat pada makanan, berat badan sebelum sakit 55 kg, berat badan selama sakit 103 104 50 kg, tinggi badan 160 cm, IMT : 19,53, Hb 12,5 ( Normal 12,0 – 18,0 g/dl ), Hematokrit 40% (33-45%), GDP 160 mg/dl, GDS 200 mg/dl, kulit kering, turgor kulit elastis, mukosa bibir kering. Konjungtiva tidak anemis, sclera putih, badan terlihat lemah. Berdasarkan data fokus tersebut penulis melakukan analisa data dan merumuskan diagnosa keperawatan kedua yaitu ketidakseimbangan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan penyakit kronis ( DM ). Pada kasus Ny. S hasil pengkajian didapatkan data subyektif dan data obyektif. Data subyektif yaitu pasien mengatakan badan terasa lelah dan lemas, pasien mengatakan aktivitas dan kemampuan untuk merawat diri, makan minum, toileting, berpakaian, mobilitas di tempat tidur, berpindah, dan ambulasi dibantu oleh keluarga. Data obyektif diperoleh data pasien terlihat lemah, terpasang infuse NACL 0,9% 20 tpm pada tangan kanan. pemeriksaan tanda-tanda vital (tekanan darah 145/80 mmHg, nadi 90 kali/menit, suhu 36oC, dan respirasi 20 x/menit), dan kekuatan otot 5. Berdasarkan data fokus tersebut penulis melakukan analisa data dan merumuskan diagnosa keperawatan ketiga yaitu hambatan mobilitas fisik berhubungan dengan perubahan metabolisme sel. 2. Diagnosa keperawatan Dari data pengkajian yang didapatkan maka dapat dirumuskan diagnosa keperawatan utama adalah nyeri kronis berhubungan dengan agen injury biologis (neuropati perifer). Diagnosa keperawatan yang kedua ketidakseimbangan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh 105 berhubungan dengan penyakit kronis ( DM ). Diagnosa keperawatan yang ketiga hambatan mobilitas fisik berhubungan dengan perubahan metabolisme sel. 3. Intervensi Perencanaan yang di lakukan selama 3x24 jam untuk diagnosa pertama nyeri kronis berhubungan dengan agen injury biologis (neuropati perifer) antara lain kaji nyeri ( P, Q, R, S, T ) (rasional : Mempengaruhi pilihan, keefektifan intervensi serta untuk mengetahui berapa berat nyeri yang dialami pasien), memberikan teknik relaksasi masase (rasional : mengurangi rasa nyeri yang dirasakan pasien, Mengalihkan perhatian terhadap nyeri, dan meningkatkan kontrol terhadap nyeri yang mungkin berlangsung lama), informasikan kepada pasien bila nyeri timbul lakukan teknik relaksasi nafas dalam (rasional : agar pasien mengetahui bagaimana cara mengontrol nyeri), kolaborasi dengan dokter pemberian analgetik (rasional : untuk mempercepat penyembuhan melalui terapi obat). Perencanaan yang dilakukan selama 3x24 jam untuk diagnosa kedua ketidakseimbangan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan penyakit kronis (DM) antara lain kaji pola nutrisi ( A, B, C, D ) (Rasional: untuk mengetahui BB, Hb, turgor kulit dan tingkat keadekuatan pemasukan makanan), monitor kadar gula darah sewaktu (rasional: untuk memantau fluktuasi kadar gula darah), menginformasikan kepada pasien untuk makan diet dari rumah sakit dan makan sedikit tapi sering (rasional: agar pasien mengerti makanan apa saja yang boleh 106 dimakan dan menambah asupan nutrisi), kolaborasi dengan ahli gizi untuk menentukan jumlah dan nutrisi yang dibutuhkan pasien (rasional: pemberian diet yang sesuai dapat mempercepat penurunan gula darah dan nmencegah komplikasi). Perencanaan yang dilakukan selama 3x24 jam untuk diagnosa hambatan mobilitas fisik berhubungan dengan perubahan metabolisme sel antara lain kaji kemampuan mobilisasi pasien (rasional: mengetahui tingkat kemampuan tingkat mobilisasi pasien), ajarkan pasien dalam latihan ROM aktif dan ROM pasif (rasional: Meningkatkan sirkulasi darah muskuloskeletal, mempertahankan tonus otot, mempertahakan gerak sendi, mencegah kontraktur/atrofi dan mencegah reabsorbsi kalsium karena imobilisasi), latih pasien dalam kebutuhan aktivitas sehari-hari (rasional:Meningkatkan kemandirian klien dalam perawatan diri sesuai kondisi keterbatasan klien). Ubah posisi secara periodik sesuai keadaan klien (rasional:Menurunkan insiden komplikasi kulit dan pernapasan (dekubitus, atelektasis, penumonia)). 4. Implementasi Implementasi yang di lakukan selama 3x24 jam untuk diagnosa pertama nyeri kronis berhubungan dengan agen injury biologis (neuropati perifer) antara lain kaji nyeri ( P, Q, R, S, T ) (rasional : Mempengaruhi pilihan, keefektifan intervensi serta untuk mengetahui berapa berat nyeri yang dialami pasien), memberikan teknik relaksasi masase (rasional : mengurangi rasa nyeri yang dirasakan pasien, Mengalihkan perhatian 107 terhadap nyeri, dan meningkatkan kontrol terhadap nyeri yang mungkin berlangsung lama), informasikan kepada pasien bila nyeri timbul lakukan teknik relaksasi nafas dalam (rasional : agar pasien mengetahui bagaimana cara mengontrol nyeri), kolaborasi dengan dokter pemberian analgetik (rasional : untuk mempercepat penyembuhan melalui terapi obat). Implementasi yang dilakukan selama 3x24 jam untuk diagnosa kedua ketidakseimbangan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan penyakit kronis (DM) antara lain kaji pola nutrisi ( A, B, C, D ) (Rasional: untuk mengetahui BB, Hb, turgor kulit dan tingkat keadekuatan pemasukan makanan), monitor kadar gula darah sewaktu (rasional: untuk memantau fluktuasi kadar gula darah), menginformasikan kepada pasien untuk makan diet dari rumah sakit dan makan sedikit tapi sering (rasional: agar pasien mengerti makanan apa saja yang boleh dimakan dan menambah asupan nutrisi), kolaborasi dengan ahli gizi untuk menentukan jumlah dan nutrisi yang dibutuhkan pasien (rasional: pemberian diet yang sesuai dapat mempercepat penurunan gula darah dan nmencegah komplikasi). Implementasi yang dilakukan selama 3x24 jam untuk diagnosa hambatan mobilitas fisik berhubungan dengan perubahan metabolisme sel antara lain kaji kemampuan mobilisasi pasien (rasional: mengetahui tingkat kemampuan tingkat mobilisasi pasien), ajarkan pasien dalam latihan ROM aktif dan ROM pasif (rasional: Meningkatkan sirkulasi darah muskuloskeletal, mempertahankan tonus otot, mempertahakan gerak 108 sendi, mencegah kontraktur/atrofi dan mencegah reabsorbsi kalsium karena imobilisasi), latih pasien dalam kebutuhan aktivitas sehari-hari (rasional:Meningkatkan kemandirian klien dalam perawatan diri sesuai kondisi keterbatasan klien). Ubah posisi secara periodik sesuai keadaan klien (rasional:Menurunkan insiden komplikasi kulit dan pernapasan (dekubitus, atelektasis, pneumonia)). 5. Evaluasi Hasil evaluasi pada tanggal 12 April 2014 masalah keperawatan utama dengan diagnosa nyeri kronis berhubungan dengan agen injury biologis (neuropati perifer) masalah teratasi sebagian. Masalah keperawatan kedua dengan diagnosa ketidakseimbangan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan penyakit kronis ( DM ) masalah teratasi sebagian. Masalah keperawatan ketiga dengan diagnosa hambatan mobilitas fisik berhubungan dengan perubahan metabolisme sel masalah teratasi sebagian. 6. Analisa Hasil evaluasi akhir masalah keperawatan dengan diagnosa utama nyeri kronis berhubungan dengan agen injury biologis (neuropati perifer) sesuai aplikatif jurnal yang telah dilakukan Mulyati (2012) dengan judul “Pengaruh Masase Kaki Secara Manual Terhadap Sensasi Proteksi, Nyeri, Dan Ankle Brachial Index (ABI) Pada Diabetes Melitus Tipe II di RSUD Curup Bengkulu 2012”, pada awal pengkajian didapatkan data bahwa pasien mengatakan nyeri pada kedua telapak kaki, nyeri bertambah 109 saat beraktifitas, nyeri seperti ditusuk-tusuk, nyeri hilang timbul dengan skala nyeri dari 4, durasi 5-10 menit, dengan frekuensi kadang-kadang, pasien tampak meringis menahan nyeri, sedangkan pada evaluasi akhir setelah dilakukan masase didapatkan data pasien mengatakan nyeri pada kedua telapak kaki sudah berkurang, nyeri timbul hanya saat melakukan aktivitas berlebih, jika nyeri timbul terasa seperti ditusuk-tusuk dengan skala nyeri 2, nyeri dirasakan hilang timbul dengan durasi 5 menit dan frekuensi jarang, pasien mengatakan kaki terasa nyaman setelah di masase, dan akan melakukan teknik relaksasi nafas dalam apabila nyeri timbul, wajah pasien tampak rileks sehingga hasil evaluasi akhir yaitu masalah teratasi sebagian tetapi hal ini belum sesuai dengan jurnal penelitian karena mengingat keterbatasan waktu pengelolaan pada asuhan keperawatan hanya dilakukan selama 3 hari, sedangkan pada jurnal penelitian dilakukan selama 10 hari. B. Saran Setelah penulis melaksanakan Pemberian Masase Kaki Terhadap Penurunan Nyeri Pada Asuhan Keperawatan Ny. S Dengan Diabetes Melitus Tipe II Di Ruang Melati I RSUD Dr. Moewardi Surakarta, penulis ingin menyampaikan saran sebagai berikut : 1. Bagi penulis Diharapkan dapat menjadi pengalaman belajar meningkatkan ketrampilan pemberian asuhan keperawatan. dalam 110 2. Bagi instansi rumah sakit Diharapkan dapat meningkatkan pemberian pelayanan kesehatan yang berkaitan dengan Diabetes melitus tipe II dengan melakukan masase kaki pada pasien Diabetes Melitus tipe II. 3. Bagi institusi pendidikan Diharapkan dapat menjadikan bahan referensi khususnya keperawatan medikal bedah dalam penanganan kasus Diabetes Melitus tipe II. 4. Bagi pasien dan keluarga Diharapkan dengan informasi dan pengetahuan tentang cara mengontrol nyeri pada pasien Diabetes Melitus tipe II, pasien dan keluarga dapat menerapkan teknik masase dalam perawatan mandiri di RS maupun perawatan di rumah. DAFTAR PUSTAKA Andarmoyo, Sulistyo. (2013). Konsep & Proses Keperawatan Nyeri. Jogjakarta : Ar-Ruzz Media. Associated bodywork & Massage professional. 2007. Learn about Massage. http://www.massagetherapy.com/learnmore/index.php diakses tanggal 13 april 2014. Black, J, & hawks, J. 2005. Medical surgical Nursing (7 th ed) St Louis:Elsevier Saunders Booya et al. Potential risk Factors For Diabetic neuropathy : a case control study. http://wwww.biomedcentral.com/1471 diakses tanggal 13 April 2014. Brashers, Valentina L. (2007). Aplikasi Klinis Patofisiologi. Jakarta : EGC. Corwin, J.E. (2009). Buku Saku Patofisiologi Edisi Revisi 3. Jakarta : EGC. Dermawan, deden. (2012). Proses Keperawatan. Yogyakarta : Gosyen Publishing. Doenges, M.E., Moorhouse, M.F., and Gelssler, A.C. (2000). Rencana Asuhan Keperawatan: Pedoman untuk Perencanaan dan pendokumentasian Edisi 3 Alih Bahasa: I Made Sumarwati. Jakarta: EGC. International diabetes Federation. 2011. Diabetes Evidence Demands real action From The Un summit On non-communicable Diseases. http:// www.idf.org / diabetes-evidence- demands-real-action-un- summit-non-communicablediseases Diakses tanggal 13 April 2014. Kohnle. 2008. Sysmtom of diabetic neuropathy. http: //diabetes.noddk .nih.gov/ dm/pubs/neuropathies diakses tanggal 13 April 2014. Kusyati, Eni, dkk. (2006). Ketrampilan dan Prosedure Laboratorium. Jakarta : EGC. Laksmi, dkk. (2012). “Pengaruh Foot Massage Terhadap Ankle Brachial Index (ABI) Pada Pasien DM Tipe 2 Di Puskesmas II Denpasar Barat Tahun 2012”. Skripsi Universitas Udayana Fakultas Kedokteran Program Studi Ilmu Keperawatan. Mulyati, Leli. (2012). “Pengaruh Masase Kaki secara Manual Terhadap Sensasi Proteksi, Nyeri, dan Ankle Brachial Index (ABI) pada Diabetes Melitus Tipe II Di RSUD Curup Bengkulu tahun 2012”. Skripsi Akademi Kesehatan Sapta Bakti Bengkulu Program Studi Ilmu Keperawatan. NANDA. (2012). Diagnosis Keperawatan. Jakarta : EGC. Nursalam. (2009). Proses dan Dokumentasi Keperawatan. Jakarta : Salemba Medika. Price & Wilson. (2005). Patofisiologi Konsep Klinis Proses-Proses Penyakit. Jakarta: EGC. Prihatin, Pipin Tresna. 2013. Masase. http : // file.upi.edu/Direktori /FPTK? JUR.PEND. KESEJAHTERAAN KELUARGA/ 1 96310161990012PIPIN TRESNA PRIHATIN/BG 123 Dasar Rias (Pipin)/Bahan ajar 4 Dasar Rias.pdf. diakses tanggal 14 april 2014. Salma. 2011. Paracetamol Analgesik dan Antipiretik Terpopuler. http:/majalahkesehatan.com/paracetamol-analgesik-danantipiretikterpopuler/ diakses tanggal 14 april 2014. Smeltzer, S.C&Bare, B.G. (2001). Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah Brunner&Suddarth, Edisi 8. Jakarta : EGC. Sudoyo. (2006). Buku Ajar Penyakit Ilmu dalam (edisi 3). Jakarta : pusat Penerbit Departemen penyakit Dalam FKUI. Sujono & Sukarmin. (2008). Asuhan Keperawatan pada Pasien dengan Gangguan Eksokrin & Endokrin pada Pankreas. Yogyakarta : Graha Ilmu. Wilkinson, mJudith M. (2006). Buku saku Diagnosis Keperawatan dengan Intervensi NIC dan Kriteria Hasil NOC. Jakarta : EGC.