pemberian masase kaki terhadap penurunan nyeri pada asuhan

advertisement
1
PEMBERIAN MASASE KAKI TERHADAP PENURUNAN
NYERI PADA ASUHAN KEPERAWATAN NY. S DENGAN
DIABETES MELITUS TIPE II DI RUANG MELATI I
RSUD DR. MOEWARDI SURAKARTA
Karya Tulis Ilmiah
Untuk Memenuhi Salah Satu Persyaratan
Dalam Menyelesaikan Program Diploma III Keperawatan
DI SUSUN OLEH :
FAJAR SITI SOLIKHA
NIM. P.11017
PROGRAM STUDI DIII KEPERAWATAN
SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN KUSUMA HUSADA
SURAKARTA
2014
1
2
PEMBERIAN MASASE KAKI TERHADAP PENURUNAN
NYERI PADA ASUHAN KEPERAWATAN NY. S DENGAN
DIABETES MELITUS TIPE II DI RUANG MELATI I
RSUD DR. MOEWARDI SURAKARTA
DI SUSUN OLEH :
FAJAR SITI SOLIKHA
NIM. P.11017
PROGRAM STUDI DIII KEPERAWATAN
SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN KUSUMA HUSADA
SURAKARTA
201
i
2
SURAT PERNYATAAN KEASLIAN TULISAN
Saya yang bertandatangan di bawah ini :
Nama
: Fajar Siti Solikha
NIM
: P.11017
Program studi : DIII Keperawatan
Judul karya tulis ilmiah
: Pemberian Masase Kaki Terhadap Penurunan Nyeri
Pada Asuhan Keperawatan Ny. S Dengan Diabetes
Melitus Tipe II Di Ruang Melati I RSUD Dr.
Moewardi Surakarta
Menyatakan dengan sebenarnya bahwa tugas akhir yang saya tulis ini
benar-benar hasil karya saya sendiri, bukan merupakan pengambilalihan tulisan
atau pikiran orang lain yang saya akui sebagai tulisan atau pikiran saya sendiri.
Apabila dikemudian hari dapat dibuktikan bahwa tugas akhir ini adalah
hasil jiplakan, maka saya bersedia menerima sanksi atas perbuatan tersebut sesuai
dengan ketentuan akademik yang berlaku.
Surakarta, Mei 2014
Yang membuat pernyataan
FAJAR SITI SOLIKHA
NIM. P.11017
ii
iii
LEMBAR PERSETUJUAN
Karya Tulis Ilmiah ini diajukan oleh:
Nama
:
Fajar Siti Solikha
NIM
:
P.11017
Jurusan
:
DIII Keperawatan
Judul
:
PEMBERIAN
MASASE
KAKI
TERHADAP
PENURUNAN NYERI PADA ASUHAN KEPERAWATAN
NY. S DENGAN DIABETES MELITUS TIPE II DI
RUANG
MELATI
I
RSUD
DR
MOEWARDI
SURAKARTA
Telah disetujui untuk diujikan dihadapan Dewan Penguji Karya Tulis Ilmiah
Prodi DIII Keperawatan STIKes Kusuma Husada Surakarta
Ditetapkan di : Surakarta
Hari /Tanggal : Kamis, 08 Mei 2014
Pembimbing
: Siti Mardiyah, S.Kep., Ns.
NIK.201183063
iii
(……………….…..)
iv
iv
v
KATA PENGANTAR
Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Kuasa
karena berkat, rahmat dan karunia-Nya, sehingga penulis dapat menyelesaikan
Karya Tulis Ilmiah dengan judul “PEMBERIAN MASASE KAKI TERHADAP
PENURUNAN NYERI PADA ASUHAN KEPERAWATAN NY. S DENGAN
DIABETES MELITUS TIPE II DI RUANG MELATI I RSUD DR.
MOEWARDI SURAKARTA”.
Dalam penyusunan Karya Tulis Ilmiah ini penulis banyak mendapat bimbingan
dan dukungan dari berbagai pihak, oleh karena itu pada kesempatan ini penulis
mengucapkan terikasih dan penghargaan yang setinggi-tingginya kepada yang terhormat :
1. Atiek Murhayati, S.Kep.,Ns., M.Kep, selaku ketua program studi DIII
Keperawatan yang telah memberikan kesempatan untuk dapat menimba ilmu
di Stikes Kusuma Husada Surakarta.
2. Meri Oktariani, S.Kep.,Ns., M.Kep, selaku sekretaris ketua program studi DII
Keperawatan yang telah memberikan kesempatan untuk dapat menimba ilmu
di Stikes Kusuma Husada Surakarta.
3. Siti Mardiyah, S.Kep.,Ns., selaku dosen pembimbing sekaligus sebagai
penguji yang telah membimbing dengan cermat, memberikan masukanmasukan, inspirasi, perasaan nyaman dalam bimbingan serta memfasilitasi
demi sempurnanya studi kasus ini.
4. Nurul Devi Ardiani, S.Kep.,Ns., selaku dosen penguji sekaligus sebagai
penguji yang telah membimbing dengan cermat, memberikan masukanmasukan, inspirasi, perasaan nyaman dalam bimbingan serta memfasilitasi
demi sempurnanya studi kasus ini.
5. Alfyana Nadya Rachmawati, S.Kep.,Ns, M.Kep, selaku dosen penguji
sekaligus sebagai penguji yang telah membimbing dengan cermat,
v
vi
memberikan masukan-masukan, inspirasi, perasaan nyaman dalam bimbingan
serta memfasilitasi demi sempurnanya studi kasus ini.
6. Semua dosen program studi DIII Keperawatan Stikes Kusuma Husada
Surakarta yang telah memebrikan bimbingan dengan sabar dan wawasannya
serta ilmu yang bermanfaat.
7. Kedua orangtuaku, yang selalu menjadi inspirasi dan memberikan semangat
untuk menyelesaikan pendidikan.
8. Teman-teman mahasiswa program studi DIII Keperawatan Stikes Kusuma
Husada Surakarta dan berbagai pihak yang tidak dapat disebutkan satupersatu, yang telah memberikan dukungan moril dan spiritual.
Semoga laporan studi kasus ini bermanfaat untuk perkembangan ilmu
keperawatan dan kesehatan. Amin.
Semoga laporan studi kasus ini bermanfaat untuk perkembangan ilmu
keperawatan.Amin.
Surakarta,Mei2014
(…………………………)
Penulis
vi
vii
DAFTAR ISI
Halaman
HALAMAN JUDUL..................................................................................
i
PERNYATAAN KEASLIAN TULISAN..................................................
ii
LEMBAR PERSETUJUAN.......................................................................
iii
LEMBAR PENGESAHAN .......................................................................
iv
KATA PENGANTAR ...............................................................................
v
DAFTAR ISI ..............................................................................................
vii
DAFTAR TABEL.......................................................................................
ix
DAFTAR GAMBAR………………………………………………………
x
LAMPIRAN..................................................................................................
xi
BAB I
BAB II
BAB III
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang ...................................................................
1
B. Tujuan Penulisan ................................................................
4
C. Manfaat Penulisan ..............................................................
5
LANDASAN TEORI
A. Diabetes Melitus.................................................................
6
B. Nyeri...................................................................................
39
C. Masase................................................................................
54
LAPORAN KASUS
A. Identitas Pasien ..................................................................
59
B. Pengkajian ..........................................................................
60
vii
viii
C. Daftar Perumusan Masalah ................................................
67
D. Intervensi............................................................................
69
E. Implementasi……………………….. ................................
71
F. Evaluasi ..............................................................................
79
BAB IV PEMBAHASAN......................................................................
85
BAB V
SIMPULAN DAN SARAN
A. Simpulan ............................................................................
103
B. Saran...................................................................................
109
Dafar Pustaka
Lampiran
Daftar Riwayat Hidup
viii
ix
DAFTAR TABEL
Halaman
1
Tabel 2.1 Respon Fisiologis Terhadap Nyeri .....................................
47
2
Tabel 2.2 Respon Perilaku Nyeri ........................................................
48
ix
x
DAFTAR GAMBAR
Halaman
1
Tabel 3.1 Genogram ..................................................................................
x
60
xi
DAFTAR LAMPIRAN
Lampiran 1. Daftar Riwayat Hidup
Lampiran 2. Asuhan Keperawatan
Lampiran 3. Look Book
Lampiran 4. Pendelegasian
Lampiran 5. Jurnal Utama
Lampiran 6. Lembar konsul
xi
BAB 1
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Diabetes Melitus adalah penyakit hiperglikemia yang ditandai
dengan ketiadaan absolut insulin atau penurunan relatif insensitivitas sel
terhadap insulin (Corwin, 2009). Saat ini angka pasien Diabetes Melitus
bertambah banyak, WHO memprediksi bahwa pada tahun 2000 jumlah
pengidap Diabetes Melitus diatas umur 20 tahun berjumlah 150 juta orang
di dunia dan dalam kurun waktu 25 tahun kemudian, pada tahun 2025
jumlah tersebut akan membengkak menjadi 300 juta orang. Di Indonesia
di prediksi kenaikan jumlah pasien dari 8,4 juta pada tahun 2000 menjadi
sekitar 21,3 juta pada tahun 2030 (Sudoyo, 2006).
Diabetes Melitus tipe II adalah intoleransi karbohidrat yang
ditandai dengan resistensi insulin, defisiensi relative (bukan absolut)
insulin, kelebihan produksi glukosa hepar dan hiperglikemia (Valentina,
2007). Saat ini angka pasien Diabetes Melitus bertambah banyak, WHO
memprediksi bahwa pada tahun 2000 jumlah pengidap Diabetes Melitus
diatas umur 20 tahun berjumlah 150 juta orang di dunia dan dalam kurun
waktu 25 tahun kemudian, pada tahun 2025 jumlah tersebut akan
membengkak menjadi 300 juta orang. Di Indonesia di prediksi kenaikan
1
2
jumlah pasien dari 8,4 juta pada tahun 2000 menjadi sekitar 21,3 juta pada
tahun 2030 (Sudoyo, 2006).
Data studi global menunjukkan bahwa jumlah penderita Diabetes
Melitus pada tahun 2012 telah mencapai 366 juta orang. Jika tidak ada
tindakan yang dilakukan, jumlah ini diperkirakan akan meningkat menjadi
552 juta pada tahun 2030 (Indonesia Diabetes Federation, 2011).
Neuropati merupakan salah satu komplikasi jangka panjang dari
Diabetes Melitus pada pembuluh darah kecil (mikroangiopati). Neuropati
terdiri dari neuropati perifer, otonom, proximal, dan vokal. Neuropati
dapat bersifat polineuropati dan mononeuropati (Kohnle, 2008).
Tingginya
kadar
glukosa
darah
menyebabkan
penebalan
mikrovaskular sehingga akan terjadi iskemia dan penurunan penyaluran
oksigen ke jaringan, sehingga menyebabkan ketersediaan oksigen ke
jaringan berkurang. Hal tersebut menjadikan afinitas hemoglobin
meningkat terhadap oksigen sehingga jaringan teroksigenasi tidak adekuat.
Diabetes Melitus merusak sistem saraf perifer, termasuk komponen
sensorik dan motorik divisi somatik dan otonom. Penyakit saraf yang di
sebabkan Diabetes Melitus di sebut neuropati diabetik (Corwin, 2009).
Gejala umum neuropati perifer meliputi distal parastesia, nyeri
seperti kesakitan atau terbakar atau seperti tertusuk, dan kaki terasa dingin
(Kohnle, 2008). Neuropati dapat menyerang saraf-saraf perifer, saraf-saraf
cranial atau sistem saraf otonom (Price, 2005).
3
Tindakan yang dilakukan untuk mencegah dan mengontrol
terjadinya neuropati diabetik pada pasien yang mengalami nyeri adalah
dengan cara terapi komplementari. Salah satu jenis komplementari terapi
yang dapat di gunakan adalah touch teraphy khususnya masase. Selain
pengendalian kadar glukosa darah dapat juga dilakukan masase pada
daerah kaki secara rutin sertiap hari (Black & Hawks, 2005).
Dari studi kasus tersebut di dapatkan data bahwa Ny. S mengeluh
nyeri pada kedua telapak kaki saat aktivitas berlebih nyeri seperti di tusuktusuk dengan skala nyeri 4 durasi 5-10 menit intensitas hilang timbul.
Hal ini sesuai dengan penelitian yang dilakukan oleh Mulyati
(2012) dengan judul penelitian Pengaruh Masase Kaki secara Manual
Terhadap Sensasi Proteksi Nyeri dan Ankle Brachial Index (ABI) pada
Diabetes Melitus Tipe II Di RSUD Curup Bengkulu. Hasil penelitian
menunjukkan bahwa masase kaki secara manual dapat meningkatkan
sensasi proteksi dan menurunkan nyeri pada pasien Diabetes Melitus tipe
II. Dari studi kasus di dapatkan data bahwa Ny. S mengeluh nyeri pada
kedua telapak kaki saat aktivitas berlebih nyeri seperti di tusuk-tusuk
dengan skala nyeri 4 intensitas hilang timbul.
Berdasarkan uraian diatas maka penulis tertarik untuk menyusun
Karya Tulis Ilmiah dengan judul “PEMBERIAN MASASE KAKI
TERHADAP
PENURUNAN
NYERI
PADA
ASUHAN
KEPERAWATAN NY. S DENGAN DIABETES MELITUS TIPE II DI
RUANG MELATI I RSUD DR. MOEWARDI SURAKARTA”
4
B. Tujuan Penulisan
1. Tujuan umum :
Melaporkan hasil Pemberian Masase Kaki Terhadap Penurunan Nyeri
Pada Asuhan Keperawatan Ny.S dengan Diabetes Melitus tipe II di
ruang Melati RSUD Dr. Moewardi di Surakarta.
2. Tujuan khusus :
a. Penulis mampu melakukan pengkajian pada Ny. S dengan Diabetes
Melitus tipe II
b. Penulis mampu merumuskan diagnosa keperawatan pada Ny. S
dengan Diabetes Melitus tipe II
c. Penulis mampu menyusun rencana asuhan keperawatan pada Ny. S
dengan Diabetes Melitus tipe II
d. Penulis mampu melakukan implementasi pada Ny. S dengan
Diabetes Melitus tipe II
e. Penulis mampu melakukan evaluasi pada Ny. S dengan Diabetes
Melitus tipe II
f. Penulis mampu menganalisa hasil pemberian masase kaki terhadap
penurunan nyeri pada Ny. S dengan Diabetes Melitus tipe II
5
C. Manfaat Penulisan
Manfaat dari penulisan karya tulis ilmiah ini adalah
1. Bagi Penulis
Hasil Karya Tulis Ilmiah ini dapat menjadi pengalaman
belajar dalam meningkatkan dan ketrampilan penulis dalam memberi
Asuhan Keperawatan
2. Institusi
a. Rumah Sakit
Sebagai bahan masukan dalam meningkatkan pemberian pelayanan
kesehatan berkaitan dengan pasien dengan Diabetes Melitus tipe II.
b. Pendidikan
Hasil Karya Tulis Ilmiah ini dapat menjadi tambahan ilmu bagi
institusi keperawatan khususnya keperawatan medikal bedah
dalam penanganan kasus Diabetes Melitus tipe II.
3. Pasien dan Keluarga
Pasien dan keluarga mendapatkan informasi dan pengetahuan
tentang cara mengontrol nyeri pada pasien Diabetes Melitus tipe II.
BAB II
LANDASAN TEORI
A. Diabetes Melitus
1. Pengertian
Diabetes Melitus adalah gangguan metabolisme yang secara
genetis dan klinis termasuk heterogen dengan manifestasi berupa
hilangnya toleransi karbohidrat. Jika telah berkembang penuh secara
klinis, maka Diabetes Melitus ditandai dengan hiperglikemia puasa dan
postprandial, arterosklerotik, dan penyakit vaskular mikroangiopati,
dan neuropati (Price, 2005).
Diabetes Melitus adalah penyakit hiperglikemia yang ditandai
dengan ketiadaan absolut insulin atau penurunan relatif insensitivitas
sel terhadap insulin. Hiperglikemia biasa disebabkan defisiensi insulin,
seperti yang dijumpai pada diabetes melitus tipe 1, atau karena
penurunan responsivitas sel terhadap insulin, seperti yang dijumpai
pada diabetes melitus tipe 2 (Corwin, 2009).
Diabetes Melitus merupakan suatu penyakit kronik yang
kompleks yang melibatkan kelainan metabolisme karbohidrat, protein
dan lemak dan berkembangnya komplikasi makrovaskular dan
neurologis (Sujono & Sukarmin, 2008).
6
7
2. Etiologi
Menurut Price (2005) penyebab Diabetes Melitus meliputi :
a. Diabetes Melitus tipe I
adalah penyakit autoimun yang ditentukan secara genetik
dengan gejala-gejala yang pada akhirnya menuju proses bertahap
perusakan imunologik sel-sel yang meproduksi insulin.
Individu yang peka secara genetik tampaknya memberikan
respon terhadap kejadian-kejadian pemicu yang diduga berupa
infeksi virus, dengan memproduksi autoantibodi terhadap sel-sel
beta, yang akan mengakibatkan berkurangnya sekresi insulin yang
dirangsang oleh glukosa.
Obat-obatan tertentu yang diketahui dapat memicu penyakit
autoimun lain juga dapat memulai proses autoimun pada pasienpasien diabetes tipe I. Antibodi sel-sel pulai langerhans memiliki
presentase yang tinggi pada pasien dengan Diabetes Melitus tipe I
awitan baru dan memberikan bukti yang kuat adanya mekanisme
autoimun pada patogenesis penyakit.
b. Diabetes Melitus tipe II
Transmisi genetik adalah paling kuat dan contoh terbaik
terdapat dalam Diabetes awitan dewasa muda (MODY), yaitu
subtipe penyakit Diabetes yang diturunkan dengan pola autosomal
dominan.
8
Diabetes Melitus tipe II ditandai dengan kelainan sekresi
insulin, serta kerja insulin. Kelainan ini dapat disebabkan oleh
berkurangnya jumlah tempat reseptor pada membran sel yang
selnya responsif terhadap insulin atau akibat ketidaknormalan
reseptor insulin intrinsik.
Sekitar 80% pasien Diabetes Melitus tipe II mengalami
obesitas, karena obesitas berkaitan dengan resistensi insulin maka
kelihatannya akan timbul kegagalan toleransi glukosa yang
menyebabkan Diabetes tipe II.
3. Klasifikasi
Dokumen
konsesus tahun
1997
oleh
American Diabetes
Association’s Expert Committee on the Diagnosis and Classification of
Diabetes Melitus, menjabarkan 3 kategori utama Diabetes (Corwin,
2009), yaitu :
a. Diabetes Melitus tipe I (Diabetes Melitus Dependen Insulin)
Diabetes Melitus tipe I adalah penyakit hiperglikemia
akibat ketiadaan absolut insulin. Sebelumnya tipe diabetes ini
disebut sebagai Diabetes Melitus dependen insulin, karena individu
pengidap penyakit ini harus mendapatkan insulin pengganti.
Diabetes Melitus tipe I biasanya dijumpai pada individu yang tidak
gemuk berusia kurang dari 30 tahun. Diabetes Melitus tipe I
diperkirakan terjadi akibat destruksi otoimun sel-sel beta pulau
langerhans. Individu yang memiliki kecenderungan genetik
9
penyakit ini tampaknya menerima faktor pemicu dari lingkungan
yang menginisiasi proses otoimun. Sebagai contoh faktor pencetus
yang mungkin antara lain infeksi virus seperti gondongan (mumps),
rubella, atau sitomegalovirus (CMV) kronis. Pada Diabetes
Melitus tipe ini ini diperlukan suntikan insulin untuk mengontrol
kadar gula darah.
b. Diabetes Melitus tipe II (Diabetes Melitus tidak tergantung insulin
atau non insulin dependent diabetes melitus)
Hiperglikemia yang disebabkan insensitivitas seluler
terhadap insulin. Selain itu, terjadi defek sekresi insulin
ketidakmampuan pancreas untuk menghasilkan insulin yang cukup
untuk mempertahankan glukosa plasma yang normal. Meskipun
kadar insulin mungkin sedikit menurun atau berada dalam rentang
normal, jumlah insulin tetap rendah sehingga kadar glukosa plasma
meningkat. Karena insulin tetap dihasilkan oleh sel-sel beta
pancreas, Diabetes Melitus tipe II yang sebelumnya disebut
Diabetes Melitus tidak tergantung insulin atau non insulin
dependent Diabetes Melitus, sebenarnya kurang tepat karena
banyak individu yang mengidap Diabetes tipe II dapat ditangani
dengan insulin.
Diabetes Melitus tipe II terjadi paling sering pada
individu berusia lebih dari 30 tahun dan berkaitan dengan
kegemukan. Diperkirakan juga bahwa terdapat sifat genetik yang
10
belum teridentifikasi yang menyebabkan pankreas mengeluarkan
insulin yang berbeda,atau menyebabkan reseptor insulin atau
perantara kedua tidak dapat berespons secara adekuat terhadap
insulin.
c. Diabetes Kehamilan: Gestasional Diabetes Melitus (GDM)
Diabetes yang terjadi pada wanita hamil yang sebelumnya
tidak
mengidap
Diabetes.
Penyebab
Diabetes
Gestasional
berkaitan dengan peningkatan kebutuhan energi dan kadar estrogen
serta hormon pertumbuhan yang terus-menerus tinggi selama
kehamilan.
4. Patofisiologi
Pada Diabetes Melitus tipe I terdapat ketidakmampuan untuk
menghasilkan insulin karena sel-sel beta pankreas telah dihancurkan
oleh proses autoimun. Hiperglikemia puasa terjadi akibat produkasi
glukosa yang tidak terukur oleh hati. Di samping itu glukosa yang
berasal dari makanan tidak dapat disimpan dalam hati meskipun tetap
berada dalam darah dan menimbulkan hiperglikemia posprandial
(sesudah makan).
Jika konsentrasi glukosa dalam darah cukup tinggi maka
ginjal tidak dapat menyerap kembali semua glukosa yang tersaring
keluar, akibatnya glukosa tersebut muncul dalam urin (glukosuria).
Ketika glukosa yang berlebihan di ekskresikan ke dalam urin, ekskresi
ini akan disertai pengeluaran cairan dan elektrolit yang berlebihan.
11
Keadaan ini dinamakan diuresis osmotik. Sebagai akibat dari
kehilangan cairan berlebihan, pasien akan mengalami peningkatan
dalam berkemih (poliuria) dan rasa haus (polidipsia).
Defisiensi insulin juga akan menggangu metabolisme protein
dan lemak yang menyebabkan penurunan berat badan. Pasien dapat
mengalami peningkatan selera makan (polifagia), akibat menurunnya
simpanan kalori. Gejala lainnya mencakup kelelahan dan kelemahan.
(Smeltzer, 2002).
Rasa lelah dan kelemahan otot akibat katabolisme protein di
otot dan ketidakmampuan sebagian besar sel untuk menggunakan
glukosa sebagai energi. Aliran darah yang buruk pada pasien Diabetes
kronis juga berperan menyebabkan kelelahan (Corwin, 2009).
Dalam keadaan normal insulin mengendalikan glikogenolisis
(pemecahan
glukosa
yang
disimpan)
dan
glukoneogenesis
(pembentukan glukosa baru dari dari asam-asam amino dan substansi
lain), namun pada penderita defisiensi insulin, proses ini akan terjadi
tanpa
hambatan
dan
lebih
lanjut
akan
turut
menimbulkan
hiperglikemia. Disamping itu akan terjadi pemecahan lemak yang
mengakibatkan peningkatan produksi badan keton yang merupakan
produk samping pemecahan lemak. Badan keton merupakan asam
yang menggangu keseimbangan asam basa tubuh apabila jumlahnya
berlebihan. Ketoasidosis yang diakibatkannya dapat menyebabkan
tanda-tanda dan gejala seperti nyeri abdomen, mual, muntah,
12
hiperventilasi, nafas berbau aseton dan bila tidak ditangani akan
menimbulkan
perubahan
kesadaran,
koma
bahkan
kematian.
Pemberian insulin bersama cairan dan elektrolit sesuai kebutuhan akan
memperbaiki dengan cepat kelainan metabolik tersebut dan mengatasi
gejala hiperglikemi serta ketoasidosis. Diet dan latihan disertai
pemantauan kadar gula darah yang sering merupakan komponen terapi
yang penting (Smeltzer, 2002)
Pada Diabetes Melitus tipe II sering kali memperlihatkan
gejala yang tidak spesifik sehingga dugaan dan pemeriksaan Diabetes
tipe 2 mungkin terlambat (Corwin, 2009). Menurut Smeltzer (2002)
terdapat dua masalah utama yang berhubungan dengan insulin yaitu
resistensi insulin dan gangguan sekresi insulin. Normalnya insulin
akan terikat dengan reseptor khusus pada permukaan sel. Sebagai
akibat terikatnya insulin dengan reseptor tersebut, terjadi suatu
rangkaian reaksi dalam metabolisme glukosa di dalam sel. Resistensi
insulin pada Diabetes Melitus tipe II disertai dengan penurunan reaksi
intrasel ini. Dengan demikian insulin menjadi tidak efektif untuk
menstimulasi pengambilan glukosa oleh jaringan.
Untuk mengatasi resistensi insulin dan untuk mencegah
terbentuknya glukosa dalam darah, harus terdapat peningkatan jumlah
insulin yang disekresikan. Pada penderita toleransi glukosa terganggu,
keadaan ini terjadi akibat sekresi insulin yang berlebihan dan kadar
glukosa akan dipertahankan pada tingkat yang normal atau sedikit
13
meningkat. Namun demikian, jika sel-sel beta tidak mampu
mengimbangi peningkatan kebutuhan akan insulin, maka kadar
glukosa akan meningkat dan terjadi Diabetes Melitus tipe II. Meskipun
terjadi gangguan sekresi insulin yang merupakan ciri khas Diabetes
Melitus Melitus tipe II, namun masih terdapat insulin dengan jumlah
yang adekuat untuk mencegah pemecahan lemak dan produksi badan
keton yang menyertainya. Karena itu ketoasidosis diabetik tidak terjadi
pada Diabetes Melitus tipe II. Meskipun demikian Diabetes Melitus
tipe II yang tidak terkontrol dapat menimbulkan masalah akut lainnya
yang dinamakan Sindrom Hiperglikemik Hiperosmoler Nonketoik
(HHNK).
Diabetes Melitus tipe II paling sering terjadi pada penderita
Diabetes yang berusia lebih dari 30 tahun dan obesitas. Akibat
intoleransi glukosa yang berlangsung lambat (selama bertahun-tahun)
dan progresif, maka awitan Diabetes Melitus tipe II dapat berjalan
tanpa terdeteksi. Jika gejalanya dialami pasien, gejala tersebut sering
bersifat ringan dan dapat mencakup kelelahan, iritabilitas, poliuria,
polidipsi, luka pada kulit yang lama sembuh-sembuh, infeksi vagina
atau pandangan yang kabur (jika kadar glukosanya sangat tinggi).
Untuk sebagian besar pasien (kurang-lebih 75%), penyakit
Diabetes Melitus tipe II yang dideritanya ditemukan secara tidak
sengaja
(misalnya,
pada
saat
pasien
menjalani
pemeriksaan
laboratorium yang rutin). Salah satu konsekuensi tidak terdeteksinya
14
penyakit Diabetes selama bertahun-tahun adalah bahwa komplikasi
Diabetes jangka panjang (misalnya, kelainan mata, neuropati perifer,
kelainan vaskuler perifer) mungkin sudah terjadi sebelum diagnosis
ditegakkan.
Pandangan kabur pada Diabetes Melitus disebabkan karena
komplikasi mikrovaskuler dimana terjadi perubahan pada pembuluhpembuluh darah kecil di retina. Hal ini ditandai dengan adanya
penrunan ketajaman penglihatan atau pandangan kabur (Smeltzer,
2002). Selain itu, komplikasi jangka panjang dari Diabetes Melitus
adalah gangguan penglihatan yang meliputi retinopati atau kerusakan
pada retina karena tidak mendapatkan oksigen (Corwin, 2009).
Menurut Corwin (2009) tingginya kadar glukosa darah
menyebabkan penebalan mikrovaskular sehingga akan terjadi iskemia
dan penurunan penyaluran oksigen ke jaringan, sehingga menyebabkan
ketersediaan oksigen ke jaringan berkurang. Hal tersebut menjadikan
afinitas hemoglobin meningkat terhadap oksigen sehingga jaringan
teroksigenasi tidak adekuat. Diabetes Melitus merusak sistem saraf
perifer, termasuk komponen sensorik dan motorik divisi somatik dan
otonom. Penyakit saraf yang di sebabkan Diabetes Melitus di sebut
neuropati diabetik (Corwin, 2009). Gejala umum neuropati perifer
meliputi distal parastesia, nyeri seperti kesakitan atau terbakar atau
seperti tertusuk, dan kaki terasa dingin (Kohnle, 2008). Neuropati
15
dapat menyerang saraf-saraf perifer, saraf-saraf cranial atau sistem
saraf otonom (Price, 2005).
Komplikasi
makrovaskular
terutama
terjadi
akibat
aterosklerosis (Pengerasan arteri). Komplikasi makrovaskular ikut
berperan
dan
menyebabkan
gangguan
aliran
darah,
penyulit
komplikasi jangka panjang, dan peningkatan mortalitas. Kerusakan
makrovaskular dapat terjadi bahkan tanpa adanya Diabetes Melitus
(kadar glukosa plasma kurang dari 126 mg/100mL). Efek vaskular dari
diabetes kronis antara lain adalah penyakit arteri koroner, stroke, dan
penyakit vascular perifer yang terjadi akibat aterosklerosis (Corwin,
2009).
5. Manifestasi Klinik
Menurut Price (2005) manifestasi klinik dari Diabetes Melitus
antara lain :
a. Glukosuria : adanya kadar glukosa dalam urin.
b. Poliuri : sering kencing dan diuresis osmotik.
c. Polidipsi : banyak minum akibat dari pengeluaran cairan dan
elektrolit yang berlebih.
d. Polifagi : banyak makan akibat menurunnya simpanan kalori.
e. Penurunan berat badan secara drastis karena defisiensi insulin juga
mengganggu metabolisme protein dan lemak.
f. Kelelahan
g. Pandangan yang kabur
16
6. Komplikasi
Menurut Corwin (2009) komplikasi Diabetes Melitus tipe I
dan II dapat digolongkan menjadi komplikasi akut dan kronik yaitu :
a. Komplikasi akut
1) Ketoasidosis diabetik
Komplikasi akut yang ditandai dengan perburukan
semua gejala Diabetes, ketoasidosis diabetik dapat terjadi
setelah stress fisik seperti kehamilan atau penyakit akut atau
trauma. Kadang-kadang ketoasidosis diabetik merupakan gejala
adanya Diabetes tipe I.
2) Koma nonketoktik hiperglikemia hiperosmolar
Komplikasi akut yang dijumpai pada pengidap
Diabetes tipe II karena Diabetes tipe II dapat mengalami
hipergikemia berat dengan kadar glukosa darah lebih dari
300mg/dl. Biasanya dijumpai pada lansia pengidap Diabetes
setelah mengkonsumsi makanan tinggi karbohidrat.
3) Efek somogyi
Komplikasi akut yang ditandai dengan penurunan unik
kadar glukosa darah di malam hari, kemudian dipagi hari kadar
glukosa kembali meningkat diikuti peningkatan rebound pada
paginya. Efek somogyi banyak dijumpai pada anak-anak
17
4) Fenomena fajar
Hiperglikemia pada pagi hari (antara jam 5 dan 9 pagi)
tampaknya disebabkan oleh peningkatan sirkadian kadar
glukosa pada pagi hari.
5) Hipoglikemia
Pengidap Diabetes tipe I dapat mengalami komplikasi
akibat hipoglikemia setelah injeksi insulin. Gejala yang
mungkin terjadi adalah hilangnya kesadaran.
b. Komplikasi jangka panjang
1) Sistem kardiovaskuler
Terjadinya kerusakan mikrovaskuler di arteriol kecil,
kapiler, venula. Kerusakan makrovaskuler terjadi di arteri
besar dan sedang. Semua organ dan jaringan ditubuh akan
terkena akibat dari gangguan mikro dan makrovaskuler ini.
2) Gangguan penglihatan
Meliputi renopati, atau kerusakan pada retina karena
tidak mendapatkan oksigen.
3) Kerusakan ginjal
Kerusakan kapiler glomelurus akibat hipertensi dan
glukosa plasma yang tinggi menyebabkan penebalan membran
basal dan pelebaran glomelurus. Lesi-lesi sklerotik nodular,
yang
disebut
nodul
Kimmelstiel-Wilson,
terbentuk
di
18
glomelurus sehingga semakin menghambat aliran darah dan
akibatnya merusak nefron.
4) Sistem saraf perifer
Diabetes Melitus merusak sistem saraf
perifer,
termasuk komponen sensorik dan motorik divisis somatik dan
otonom. Penyakit saraf yang disebabkan Diabetes Melitus
disebut neuropati diabetik. Neuropati diabetik disebabkan
hipoksia kronis sel-sel saraf yang kronis serta efek dari
hiperglikemi,
termasuk
hiperglikolosiasi
protein
yang
menyebabkan fungsi saraf.
5) Ulkus/ gangren/ kaki diabetik
7. Data Penunjang
Pemeriksaan diagnostik pada Diabetes Melitus menurut
Doenges (2002) antara lain :
a. Glukosa darah : meningkat 100-200 mg/dl atau lebih.
b. Aseton plasma (keton) : positif secara metabolik.
c. Asam lemak bebas : kadar lipid dan kolesterol meningkat
d. Osmolalitas serum : meningkat tetapi biasanya kurang dari 330
mosm/lt
e. Elektrolit
1) Natrium : mungkin normal, meningkat atau menurun.
2) Kalium : normal atau peningkatan semu (perpindahan seluler
selanjutnya akan menurun).
19
f. Haemoglobin glikosilat : kadarnya melipat 2-4 dari dari normal.
g. Gas darah arteri : biasanya menunjukkan pH rendah dan
penurunan pada HCO3 (asidosis metabolik) dengan kompensasi
alkalosis respiratorik.
h. Trombosit darah : hematokrit mungkin meningkat atau (dehidrasi /
leukositosis, hema konsentrasi, merupakan respon terhadap stres atau
infeksi).
i. Ureum atau kreatinin : mungkin meningkat atau normal (dehidrasi
atau penurunan fungsi ginjal).
j. Amilase darah : mungkin meningkat yang mengidentifikasikan
adanya pankreatitis akut sebagai penyebab dari DKA (Diabetik
Keto Asidosis).
k. Insulin darah mungkin menurun bahkan sampai tidak ada (tipe I)
atau normal sampai tinggi (tipe II) yang mengidentifikasikan
infusiensi insulin atau gangguan dalam penggunaannya (endogen
atau eksogen).
l. Pemeriksaan fungsi tiroid : peningkatan aktivitas hormon tiroid
dapat meningkatkan glukosa darah dan kebutuhan akan insulin.
m. Urin : gula dan aseton positif berat jenis dan osmolalitas mungkin
meningkat.
n. Kultur dan sensitivitas : kemungkinan adanya infeksi pada saluran
kemih, infeksi pernafasan dan infeksi pada luka.
20
Kriteria diagnostik WHO untuk Diabetes Melitus ada sedikitnya 2 kali
pemeriksaan :
a. Glukosa plasma sewaktu > 200 mg/dl (11.1 mmol/L)
b. Glukosa plasma puasa > 140 mg/dl (7,8 mmol/L)
c. Glukosa plasma 2 jam post prandial (pp) > 200 mg/dl
8.
Diagnosis Banding
Menurut Valentina (2007), diagnosis banding untuk Diabetes Melitus
tipe II adalah sebagai berikut :
a. Diabetes Melitus tipe 1
b. Diabetes Autoimun Laten Pada Dewasa
c. Diabetes Melitus sekunder : gangguan pancreas (hemokromatosis,
pancreatitis
kronis,
pankreatektomi),
gangguan
hormonal
(cushing syndrome, akromegali), dan induksi obat (steroid, tiazid)
9.
Penatalaksanaan
Menurut Smeltzer (2002), tujuan utama terapi Diabetes
adalah mencoba menormalkan aktivitas insulin dan kadar glukosa
darah dalam upaya mengurangi terjadinya komplikasi vaskuler serta
neuropatik. Terdapat lima komponen dalam penatalaksaan Diabetes,
yaitu :
a. Diit
Diit dan pengendalian berat badan merupakan dasar dari
penatalaksanaan diabetes yang diarahkan untuk mencapai tujuan
berikut ini :
21
1) Memberikan semua unsur makanan esensial (misalnya vitamin
dan mineral)
2) Mencapai dan mempertahankan berat badan yang sesuai
3) Memenuhi kebutuhan energi
4) Mencegah fluktuasi kadar glukosa darah setiap harinya dengan
mengupayakan kadar glukosa darah mendekati normal melalui
cara-cara yang aman dan praktis
5) Menurunkan kadar lemak darah jika kadar ini meningkat
Kebutuhan kalori bagi penderita Diabetes Melitus,
diupayakan dalam pengendalian asupan kalori total untuk
mencapai dan mempertahankan berat badan yang sesuai dan
pengendalian kadar glukosa darah. Kebutuhan karbohidrat
diupayakan untuk meningkatkan konsumsi karbohidrat kompleks
(khususnya yang berserat tinggi) seperti roti gandum utuh, nasi
beras tumbuk, sereal dan pasta/mie yang berasal dari gandum yang
masih mengandung bekatul. Disamping itu, penggunaan sukrosa
(gula pasir) dengan jumlah yang sedang (tidak berlebihan) kini
lebih
banyak
diterima
sepanjang
pasien
masih
dapat
mempertahankan kadar glukosa serta lemak yang adekuat dan
mampu mengendalikan berat badannya. Meskipun demikian,
karbohidrat sederhana (seperti susu dan buah-buahan) tetap harus
dikonsumsi dengan jumlah yang tidak berlebihan.
22
Konsumsi lemak dari makanan pada penderita Diabetes
dibatasi hingga < 300 mg/hari untuk membentu mengurangi faktor
risiko, seperti kenaikan kadar koleterol serum yang berhubungan
dengan proses terjadinya penyakit koroner yang menyebabkan
kematian pada penderita Diabetes. Asupan protein dapat diperoleh
dari konsumsi beberapa makanan sumber protein nabati seperti
kacang-kacangan dan biji-bijian yang utuh untuk membantu
asupan kolesterol serta lemak jenuh. Perencanaan menu harus
mencakup hidangan yang berisikan jenis makanan kelompok pati,
sayuran, dan bua, dengan menekankan pada karbohidrat komplek
dan membatasi gula sederhana serta lemak.
b. Latihan
Latihan sangat penting dalam penatalaksanaan Diabetes
Melitus karena efeknya dapat menurunkan kadar glukosa darah dan
mengurangi
faktor
risiko
menurunkan
kadar
glukosa
kardiovaskuler.
darah
dengan
Latihan
akan
meningkatkan
pengambilan glukosa oleh otot dan memperbaiki pemakaian
insulin, sirkulasi darah, dan tonus otot.
Latihan sangat bermanfaat pada Diabetes karena dapat
menurunkan berat badan, mengurangi stress, dan mempertahankan
kesegaran tubuh. Latihan juga akan mengubah kadar lemak darah
yaitu meningkatkan kadar high density lipoprotein (HDL) dan
menurunkan kadar koleterol serta trigliserida. Meskipun demikian
23
penderita Diabetes dengan kadar glukosa darah lebih dari 250
mg/dl dan menunjukkan adanya keton dalam urin tidak boleh
melakukan
latihan
sebelum
pemeriksaan
keton
urin
memperlihatkan hasil negatif dan kadar glukosa telah mendekati
normal. Latihan dengan kadar glukosa yang tinggi akan
meningkatkan
sekresi
glucagon,
growth
hormone,
dan
katekolamin. Peningkatan hormon ini membuat hati melepas lebih
banyak glukosa sehingga terjadi kenaikan kadar glukosa darah.
c. Pemantauan
Dengan melakukan pemantauan kadar glukosa secara
mandiri SMBG (self monitoring of blood glucose), penderita
Diabetes kini dapat mengatur terapinya untuk mengendalikan
kadar glukosa darah secara optimal. Cara ini memungkinkan
deteksi dan pencegahan hipoglikemia serta hiperglikemia, dan
berperan dalam menentukan kadar glukosa darah normal yang
memungkinkan akan mengurangi komplikasi Diabetes jangka
panjang.
d. Terapi medikamentosa
Terapi medikasmentosa yang digunakan bagi penderita
Diabetes Melitus adalah (Smeltzer, 2002) :
1) Agen antidiabetik oral
Agen antidiabetik oral sesuai bagi penderita Diabetes
Melitus tipe II yang tidak dapat diatasi dengan diet dan
24
latihan, tetapi obat ini tidak dapat digunakan pada kehamilan.
Obat anti diabetic oral dibagi menjadi dua golongan yaitu
golongan sulfonilurea dan golongan biguanid.
2) Terapi insulin
Pada Diabetes Melitus tipe I tubuh kehilangan
kemampuan untuk memproduksi insulin sehingga insulin
eksogenus harus diberikan dalm jumlah tidak terbatas. Pada
Diabetes Melitus tipe II insulin juga mungkin diperlukan
sebagai terapi jangka panjang untuk mengendalikan kadar
glukosa darah jika diet dan obat antidiabetik oral tidak
berhasil mengontrolnya.
e. Pendidikan
Diabetes Melitus merupakan penyakit kronis yang
memerlukan perawatan mandiri yang khusus seumur hidup.
Pendekatan umum untuk mengelola pendidikan Diabetes yang
harus diajarkan pada penderita diabetes melitus adalah dengan
mambagi informasi dan keterampilan.
B. Asuhan Keperawatan Diabetes Melitus
Pada asuhan keperawatan pasien Diabetes Melitus terdiri dari
pengkajian, diagnosa, intervensi, implementasi dan evaluasi.
25
1. Pengkajian Keperawatan
Pengkajian adalah pemikiran dasar dari proses keperawatan
yang bertujuan untuk mengumpulkan informasi atau data tentang
pasien, agar dapat mengidentifikasi, mengenali masalaj-masalah,
kebutuhan kesehatan dan keperawatan klien, baik fisik, mental, sosial
dan lingkungan (Dermawan, 2012).
Menurut Doengoes (2000) fokus pengkajian pada pasien
dengan Diabetes Melitus meliputi :
a. Aktivitas/ istirahat : terdapat gejala lemah, letih, sulit bergerak/
berjalan, kram otot, tonus otot menurun, gangguan tidur/ istirahat.
Ditandai adanya takikardi dan takipnea pada keadaan istirahat atau
aktivitas, letargi, disorientasi, koma, penurunan kekuatan otot.
b. Sirkulasi : adanya riwayat hipertensi, gejala IMA, kebas,
kesemutan pada ekstremitas, ulkus pada kaki, penyembuhan yang
lama. Ditandai adanya takikardi, perubahan tekanan darah
postural, hipertensi, nadi yang menurun/ tidak ada, distrimia, kulit
panas, kering dan kemerahan, bola mata cekung.
c. Integritas ego : stress, tergantung pada orang lain, kecemasan, peka
rangsang.
d. Eliminasi : Poliuria, nokturia, nyeri/ kesulitan berkemih, ISK baru/
berulang, nyeri tekan abdomen, diare. Urine encer, pucat, poliuri,
urine berkabut, bau busuk (infeksi), abdomen keras, adanya asites,
bising usus lemah dan menurun ; hiperaktif (diare).
26
e. Makanan/cairan : nafsu makan menurun, mual/ muntah, melanggar
diet (konsumsi karbohidrat/ glukosa meningkat), haus ditandai
kulit kering/ bersisik, turgor jelek, distensi abdomen, muntah,
nafas bau aseton.
f. Neurosensori : adanya gejala pusing, sakit kepala, kesemutan,
kebas kelemahan pada otot, parestesia, gangguan penglihatan.
Ditandai adanya disorientaasi, mengantuk, letargi, stupor/ koma
(tahap lanjut), gangguan memori, kacau mental, reflek tendon
menurun, kejang (tahap lanjut dari DKA).
g. Nyeri/kenyamanan
: nyeri/tegang abdomen
ditandai wajah
meringis dengan palpitasi, tampak sangat berhati-hati.
h. Pernafasan : merasa kekurangan oksigen, batuk dengan/ tanpa
sputum, frekuensi nafas meningkat.
i. Keamanan : kulit kering, gatal, ulkus ditandai demam, diaforesis,
laserasi, menurunnya rentang gerak, parestesia/paralis otot.
j. Seksualitas : infeksi vagina, impoten pada pria, kesulitan orgasme
pada wanita.
2. Diagnosa Keperawatan
Menurut NANDA (2011) diagnosa keperawatan merupakan
sebuah label singkat yang menggambarkan kondisi pasien yang di
observasi di lapangan. Ada beberapa diagnosa keperawatan yang
muncul pada pasien Diabetes Melitus adalah sebagai berikut :
27
a. Nyeri kronis berhubungan dengan agen biologis (neuropati
perifer)
b. Kekurangan volume cairan berhubungan dengan diuresis osmotik
(hiperglikemia), kehilangan gastrik berlebih (diare, muntah),
masukan dibatasi (mual, kacau mental)
c. Nutrisi kurang dari kebutuhan berhubungan dengan penyakit
kronis (Diabetes Melitus)
d. Gangguan integritas jaringan berhubungan dengan adanya gangren
pada pada ekstermitas
e. Hambatan
mobilitas
fisik
berhubungan
dengan
perubahan
metabolisme sel
f. Intoleransi aktifitas berhubungan dengan kelemahan fisik : perfusi
jaringan tidak adekuat, proses inflamasi
g. Kurang pengetahuan berhubungan dengan tidak mengenal sumber
informasi.
h. Resiko tinggi infeksi (sepsis) berhubungan dengan kadar glukosa
tinggi, penurunan fungsi leukosit, perubahan pada sirkulasi, infeksi
pernafasan yang ada sebelumnya, atau infeksi saluran kemih
3. Intervensi
Perencanaan adalah suatu proses di dalam pemecahan
masalah yang merupakan keputusan awal tentang sesuatu apa yang
akan dilakukan, bagaimana dilakukan, kapan dilakukan, siapa yang
melakukan dari semua tindakan keperawatan (Dermawan, 2012).
28
Menurut Wilkinson (2006) perencanaan asuhan keperawatan di buat
sesuai dengan ONEC yaitu O (observation), N (nursing), E
(education), C (colaboration).
Tujuan adalah pernyataan pasien dan perilaku keluarga yang
dapat diukur atau diobservasi (NANDA, 2011). Tujuan keperawatan
adalah pernyataan yang menjelaskan suatu tindakan yang dapat diukur
berdasarkan kemampuan dan kewenangan perawat (Dermawan, 2012).
Menurut Dermawan penulisan tujuan dan hasil berdasarkan “SMART”
meliputi Specific yaitu dimana tujuan harus spesifik dan tidak
menimbulkan arti ganda, Measurable yaitu dimana tujuan keperawatan
harus dapat diukur, khususnya tentang perilaku pasien (dapat dilihat,
didengar, dirasakan, dan dibau), Achievable yaitu tujuan harus dapat
dicapai, dan hasil yang diharapkan, ditulis perawat, sebagai standar
mengukur
respon
klien
terhadap
Reasonable/Realistic
yaitu
dimana
asuhan
tujuan
keperawatan,
harus
dapat
dipertanggungjawabkan secara ilmiah, tujuan dan hasil diharapkan
singkat dan realistis dengan cepat memberikan klien dan perawat suatu
rasa pencapaian. Time yaitu batas pencapaian harus dinyatakan dalam
penulisan kriteria hasil dan mempunyai batasan waktu yang jelas.
Berdasarkan diagnosa keperawatan menurut NANDA (2011)
yang muncul pada pasien Diabetes Melitus meliputi :
29
a. Nyeri kronis berhubungan dengan agen biologis (neuropati
perifer)
Tujuan : Nyeri kronis berkurang sampai dengan hilang dengan
Kriteria hasil:
1) Ekspresi wajah rileks
2) Skala nyeri 0-1
3) TTV dalam batas normal
TD: 120/80 mmHg
N : 60-100 x/menit
S: 36-37,50C
RR: 16-20 x/menit
Intervensi:
1) Kaji nyeri P, Q, R, S, T
Rasional: Mempengaruhi pilihan, keefektifan intervensi
serta untuk mengetahui berapa berat nyeri yang dialami
pasien
2) Ajarkan teknik relaksasi
Rasional: Mengurangi rasa nyeri yang dirasakan pasien,
Mengalihkan perhatian terhadap nyeri, dan meningkatkan
kontrol terhadap nyeri yang mungkin berlangsung lama
3) Informasikan pada pasien bila nyeri timbul, ajarkan teknik
relaksasi
30
Rasional: Agar
Pasien
mengetahui bagaimana
cara
mengontrol nyeri
4) Kolaborasi dengan dokter pemberian analgetik
Rasional: Untuk mempercepat penyembuhan melalui terapi
obat
b. Nutrisi kurang dari kebutuhan berhubungan dengan penyakit
kronis (Diabetes Melitus)
Tujuan : Kebutuhan nutrisi terpenuhi dengan
Kriteria hasil:
1) Asupan nutrisi adekuat
2) Nafsu makan meningkat
3) Hb, Albumin dalam batas normal
4) GDS dalam rentang normal
Intervensi:
1) Kaji A, B, C, D
Rasional: Untuk mengetahui BB, Hb, turgor kulit dan tingkat
keadekuatan pemasukan makanan
2) Monitor Hb, hematokrit, dan kadar gula darah
Rasional: Untuk Memantau fluktuasi kadar gula darah
3) Menginformasikan kepada pasien untuk makan diet dari RS
dan makan sedikit tapi sering
Rasional: Agar Pasien mengerti makanan apa saja yang boleh
dimakan dan menambah asupan nutrisi
31
4) Kolaborasi dengan ahli gizi untuk menentukan jumlah dan
nutrisi yang di butuhkan pasien
Rasional: Pemberian Diet yang sesuai dapat mempercepat
penurunan gula darah dan nmencegah komplikasi
c. Kekurangan volume cairan berhubungan dengan diuresis osmotik
(hiperglikemia), kehilangan gastrik berlebih (diare, muntah),
masukan dibatasi (mual, kacau mental).
Tujuan : kebutuhan cairan pasien dapat terpenuhi
Kriteria hasil :
1) Mendemonstrasikan hidrasi adekuat dibuktikan oleh tandatanda vital stabil ( TD: 120/80mmHg. N : 80-100xmenit, S :
36-37Oc)
2) Nadi perifer dapat diraba
3) Turgor kulit dan pengisisan kapiler baik
4) Kadar elektrolit dalam batas normal
Intervensi :
1) Observasi nadi perifer , pengisian kapiler, turgor kulit dan
membran mukosa
Rasional: Merupakan indikator dari tingkat dehidrasi atau
volume sirkulasi yang adekuat
2) Pantau tanda-tanda vital
Rasional: hipovolemia dapat di manifestasikan oleh
hipotensi dan takikardi
32
3) Pantau masukan dan pengeluaran catat berat jenis urin
Rasional:
memberikan
perkiraan
kebutuhan
cairan
pengganti, fungsi ginjal, dan keefektifan dari terapi yang
diberikan
4) Ukur berat badan setiap hari
Rasional: mengetahui status hidrasi dan volume sirkulasi
5) Pertahankan untuk memberikan cairan paling sedikit 2500
ml/hari
Rasional : Mempertahankan hidrasi atau volume sirkulasi
d. Gangguan integritas jaringan berhubungan dengan adanya gangren
pada pada ekstermitas.
Tujuan : tercapainya proses penyembuhan luka
Kriteria hasil :
1) Berkurangnya oedem disekitar luka
2) Pus dan jaringan berkurang
3) Adanya jaringan granulasi
4) Bau busuk luka berkurang
Intervensi :
1) Kaji luas dan keadaan luka serta proses penyembuhan
Rasional: pengkajian yang tepat terhadap luka dan proses
penyembuhan akan membantu dalam menentukan tindakan
selanjutnya
33
2) Rawat luka dengan baik dan benar : membersihkan luka
secara aseptik menggunakan larutan yang tidak iriatif,
angkat sisa balutan yang menempel pada luka dan
nekrotomi jaringan yang mati
Rasional:
merawat
luka
dengan
teknik
aseptik
menggunakan larutan yang tidak iriatif, akan merusak
jaringan granulasi yang timbul, sisa balutan jaringan
nekrosis dapat menghambat proses granulasi.
3) Kolaborasi dengan dokter untuk pemberian insulin,
pemeriksaan kultur pus pemeriksaan gula darah pemberian
antibiotik
Rasional: insulin akan menurunkan kadar gula darah,
pemeriksaan kultur pus untuk mengetahui jenis kuman dan
antibiotik yang tepat untuk pengobatan, pemeriksaan kadar
gula darah untuk mengetahui perkembangan penyakit.
e. Hambatan
mobilitas
fisik
berhubungan
dengan
metabolisme sel.
Tujuan : Hambatan mobilitas fisik dapat teratasi dengan
Kriteria hasil:
1) Melakukan aktifitas sehari-hari secara mandiri
2) Meminta bantuan untuk aktifitas sehari-hari
Intervensi:
1) Kaji kemampuan mobilisasi pasien
perubahan
34
Rasional:
Mengetahui
tingkat
kemampuan
tingkat
mobilisasi pasien
2) Ajarkan pasien dalam latihan ROM aktif maupun pasif
Rasional: Meningkatkan Sirkulasi darah, mempertahankan
tonus otot, mempertahakan
gerak
sendi,
mencegah
kontraktur/atrofi dan mencegah reabsorbsi kalsium karena
imobilisasi
3) Latih pasien dalam memenuhi kebutuhan ADL
Rasional:
Meningkatkan
kemandirian
klien
dalam
perawatan diri sesuai kondisi keterbatasan klien
4) Ubah posisi secara periodik sesuai keadaan klien
Rasional: Menurunkan Insiden komplikasi kulit dan
pernapasan (dekubitus, atelektasis, penumonia)
f. Intoleransi aktifitas berhubungan dengan kelemahan fisik : perfusi
jaringan tidak adekuat, proses inflamasi.
Tujuan : pasien mampu melakukan aktifitas secara mandiri
Kriteria hasil :
1) Pasien mengungkapkan peningkatan energi
2) Pasien dapat beraktifitas secara bertahap
Intervensi :
1) Observasi kemampuan pasien dalam melakukan aktifitas
sehari-hari
Rasional: mempengaruhi pilihan intervensi atau bantuan
35
2) Batasi aktifitas pasien, misal mandi atau sibin ditempat
tidur atau mandi dengan duduk
Rasional: membatasi pengeluaran energi yang berlebihan
3) Anjurkan untuk melakukan aktifitas sesuai kemampuan
pasien
Rasional: membatasi pengeluaran energi yang berlebihan
4) Bantu atau dorong perawatan dan kebersihan pasien
Rasional: meningkatkan sirkulasi dan kebersihan tubuh
5) Ubah posisi pasien sesuai kemampuan
Rasional: menurunkan resiko infeksi
6) Rencanakan bersama keluarga mengurangi energi yang
berlebihan saat melakukan aktifitas harian
Rasional: membantu pasien untuk beristirahat
g. Kurang pengetahuan berhubungan dengan tidak mengenal sumber
informasi.
Tujuan : diharapkan pengetahuan pasien tentang penyakit,
prognosis, dan kebutuhan pengobatan bertambah
Kriteria hasil :
1) Pasien
mampu
mengungkapkan pemahaman
tentang
penyakit, mengidentifikasi hubungan tanda dan gejala
dengan proses penyakit dan menghubungkan gejala dengan
faktor penyebab
36
Intervensi :
1) Ciptakan lingkungan saling percaya dengan mendengarkan
penuh perhatian dan selalu ada untuk pasien
Rasional: memberikan kesempatan untuk mengambil
bagian dalam proses belajar
2) Bekerja sama dengan pasien dalam menata tujuan belajar
yang diharapkan
Rasional: partisipasi perencanaan, meningkatkan antusias
dan kerjasama pasien
3) Beri
pendidikan
kesehatan
mengenai
penyakit
dan
pencegahannya
Rasional: pasien dan keluarga paham tentang hal-hal yang
belum diketahui sehubungan dengan penyakitnya
4) Evaluasi tingkat pemahaman pasien dan keluarga setelah
penyuluhan kesehatan
Rasional: mengetahui pemahaman pasien dan keluarga
setelah diberi pendidikan kesehatan
h. Resiko tinggi infeksi (sepsis) berhubungan dengan kadar glukosa
tinggi, penurunan fungsi leukosit, perubahan pada sirkulasi, infeksi
pernafasan yang ada sebelumnya, atau infeksi saluran kemih.
Tujuan : tidak terjadi infeksi
37
Kriteria hasil :
1) Pasien mampu mendemonstrasikan tekhnik mencegah
infeksi
Intervensi :
1) Observasi tanda-tanda infeksi dan peradangan (demam,
kemerahan, pus, luka)
Rasional:
mengetahui
tanda-tanda
infeksi
dan
mengintervensi segera
2) Tingkatkan upaya pencegahan dengan melakukan cuci
tangan yang baik pada semua orang yang berhubungan
dengan pasien termasuk dengan pasien sendiri
Rasional:
mencegah
timbulnya
infeksi
silang
atau
nosokomial
3) Pertahankan tekhnik maseptik pada prosedur infansif
Rasional: mencegah timbulnya infeksi
4) Pasang kateter atau lakukan perawatan genetalia
Rasional: mengurangi resiko terjadinya penyakit mulut atau
gusi
5) Bantu pasien untuk melakukan oral higiene
Rasional: menurunkan resiko terjadinya penyakit mulut
atau gusi
38
4. Implementasi Keperawatan
Implementasi adalah pelaksanaan rencana keperawatan oleh
perawat
dan pasien, merupakan
tahap
keempat
dari proses
keperawatan yang dimulai setelah perawat menyusun rencana
keperawatan (Dermawan, 2012).
Fokus utama dari komponen implementasi adalah pemberian
asuhan keperawatan yang aman dan individual dengan pendekatan
multifokal, implementasi perencanaan berupa penyelesaian tindakan
yang diperlukan untuk memenuhi kriteria hasil seperti yang
digambarkan dalam rencana tindakan, tindakan dapat dilaksanakan
oleh perawat, anggota keluarga, anggota tim kesehatan lain, atau
kombinasi dari yang disebutkan diatas (Dermawan, 2012).
5. Evaluasi
Tahap evaluasi adalah kegiatan mengukur pencapaian tujuan
klien dan menentukan keputusan dengan cara membandingkan data
yang terkumpul dengan tujuan dan pencapaian tujuan (Nursalam,
2009).
Tipe pernyataan tahapan evaluasi dapat dilakukan secara
evaluasi formatif (evaluasi yang dilakukan selama proses asuhan
keperawatan) dan evaluasi sumatif (evaluasi akhir) (Dermawan, 2012).
Menurut Dermawan (2012) penulisan evaluasi berdasarkan
pada SOAP. S (Subjective data atau data subyektif), O (Objective data
39
atau data obyektif), A (Analysis atau analisis), P (Plan of care atau
rencana asuhan keperawatan)
C. Nyeri
1. Pengertian
Menurut Andarmoyo (2013) dalam Asosiasi Internasional
mendefisikan nyeri sebagai suatu sensori subjektif dan pengalaman
emosional yang tidak menyenangkan berkaitan dengan kerusakan
jaringan yang aktual, potensial, atau yang dirasakan dalam kejadiankejadian saat terjadi kerusakan.
Nyeri merupakan pengalaman pribadi, subjektif, yang
dipengaruhi oleh budaya, persepsi seseorang, perhatian, dan variabelvariabel psikologis lain, yang mengganggu perilaku berkelanjutan dan
memotivasi
setiap
orang
untuk
menghentikan
rasa
tersebut
(Andarmoyo, 2013).
2. Klasifikasi Nyeri
Klasifikasi nyeri menurut Andarmoyo (2013) meliputi :
a. Klasifikasi nyeri berdasarkan durasi
Nyeri dapat diklasifikasikan berdasarkan durasinya
dibedakan menjadi nyeri akut dan nyeri kronik.
1) Nyeri akut
Nyeri akut adalah nyeri yang terjadi setelah cedera
akut, penyakit, atau intervensi bedah dan memiliki awitan yang
40
cepat, dengan intensitas yang bervariasi (ringan sampai berat)
dan berlangsung untuk waktu singkat. Nyeri akut berlangsung
dari beberapa detik hingga enam bulan.
Nyeri akut akan berhenti dengan sendirinya (selflimiting) dan akhirnya menghilang dengan atau tanpa
pengobatan setelah keadaan pulih pada area yang terjadi
kerusakan. Nyeri akut berdurasi singkat (kurang dari enam
bulan), memiliki omset yang tiba-tiba, dan terlokalisasi. Nyeri
ini biasanya disebabkan trauma bedah atau inflamasi.
Kebanyakan orang pernah mengalami nyeri jenis ini, seperti
pada saat sakit kepala, sakit gigi, terbakar, tertusuk duri, pasca
persalinan, pasca pembedahan, dan lain sebagainya.
Nyeri akut terkadang disertai oleh aktivasi sistem
saraf simpatis yang akan memperlihatkan gejala-gejala seperti
peningkatan respirasi, peningkatan tekanan darah, peningkatan
denyut jantung, diaphoresis, dan dilatasi pupil. Secara verbal
pasien yang mengalami nyeri akan melaporkan adanya
ketidaknyamanan berkaitamn dengan nyeri yang dirasakannya.
Pasien
yang mengalami nyeri akut biasanya juga akan
memperlihatkan respons emosi dan perilaku seperti menangis,
mengerang kesakitan, mengerutkan wajah.
41
2) Nyeri kronik
Nyeri kronik adalah nyeri konstan atau intermiten
yang menetap sepanjang suatu periode waktu. Nyeri kronik
berlangsung lama, intensitas yang bervariasi, dan biasanya
berlangsung lebih dari enam bulan. Nyeri kronik dapat tidak
mempunyai awitan yang ditetapkan dengan tepat dan sering
sulit untuk diobati karena biasanya nyeri ini tidak memberikan
respons
terhadap
pengobatan
yang
diarahkan
pada
penyebabnya.
Nyeri kronis adalah pengalaman sensori dan emosi
yang tidak menyenangkan, akibat kerusakan jaringan actual
dan potensial atau digambarkan dengan istilah kerusakan
(international Association for the study of pain); awitan yang
tiba-tiba atau perlahan dengan intensitas ringan sampai berat
dengan akhir yang dapat diantisipasi atau dapat diramalkan dan
durasinya lebih dari enam bulan (NANDA, 2011).
b. Klasifikasi nyeri berdasarkan asal
Nyeri di klasifikasikan berdasrkan asalnya dibedakan menjadi
nyeri nosiseptif dan nyeri neuropatik.
1) Nyeri nosiseptif
Nyeri nosiseptif (nociceptive pain) merupakan nyeri
yang diakibatkan oleh aktivasi atau sensititasi nosiseptor
perifer yang merupakan reseptor khusus yang mengantarkan
42
stimulus noxious. Nyeri nosiseptif perifer dapat terjadi karna
adanya stimulus yang mengenai kulit, tulang, sendi, otot,
jaringan ikat, dan lain-lain. Hal ini dapat terjadi pada nyeri post
operatif dan nyeri kanker.
Dilihat dari sifat nyerinya maka nyeri nosiseptif
merupakan nyeri akut. Nyeri akut merupakan nyeri nosiseptif
yang mengenai daerah perifer dan letaknya lebih terlokalisasi.
2) Nyeri neuropatik
Nyeri neropatik merupakan suatu hasil suatu cidera
atau abnormalitas yang didapat pada struktur saraf perifer
maupun sentral. Berbeda dengan nyeri noseseptif, nyeri
neuropatik bertahan lebih lama dan merupakan proses input
saraf sensorik yang abnormal oleh sistem saraf perifer. Nyeri
ini lebih sulit diobati. Pasien akan mengalami nyeri seperti
terbakar, tingling, shooting, shock like, hypergesia, atau
allodinya. Nyeri neuropatik dari sifat nyerinya merupakan
nyeri kronis
c. Klasifikasi nyeri berdasarkan lokasi
Klasifikasi nyeri berdasarkan dibedakan sebagai berikut :
1) Superficial atau kutaneus
Nyeri superficial adalah nyeri yang disebabkan
stimulasi kulit. Karakteristik dari nyeri berlangsung nyeri dan
terlokalisasi. Nyeri biasanya terasa sebagai sensasi yang tajam.
43
Contohnya tertusuk jarum suntik dan luka potong kecil atau
laserasi.
2) Visceral dalam
Nyeri visceral adalah nyeri yang terjadi akibat
stimulasi organ-organ internal. Karakteristik nyeri bersifat
difus dan dapat menyebar ke beberapa arah. Durasinya
bervariasi tetapi biasanya berlangsung lebih lama daripada
superficial. Pada nyeri ini juga menimbulkan rasa tidak
menyenangkan, dan berkaitan dengan mual dan gejala-gejala
otonom. Nyeri dapat terasa tajam, tumpul, atau unik tergantung
organ yang terlibat. Contoh sensasi pukul (crushing) seperti
angina pectoris dan sensasi terbakar seperti pada ulkus
lambung.
3) Nyeri alih (referred pain)
Nyeri alih merupakan fenomena umum dalam nyeri
visceral karena banyak organ tidak memiliki reseptor nyeri.
Jalan masuk neuron sensori dari organ yang terkena kedalam
segmen medulla spinalis sebagai neuron dari tempat asal nyeri
dirasakan, persepsi nyeri pada daerah yang tidak terkena.
Karakteristik nyeri dapat terasa dibagian tubuh yang terpisah
dalam sumber nyeri dan dapat terasa dengan berbagai
karakteristik. Contoh nyeri yang terjadi pada infark miokard,
44
yang menyebabkan nyeri alih ke rahang, lengan kiri; batu
empedu, yang dapat mengalihkan nyeri ke selangkangan.
4) Radiasi
Nyeri radiasi merupakan sensasi nyeri yang meluas
dari tempat awal cidera ke bagian tubuh yang lain.
Karakteristiknya nyeri terasa seakan menyebar ke bagian tubuh
bawah . nyeri dapat menjadi intermiten atau konstan. Contoh
nyeri punggung bagian bawah akibat diskus intravertebral
yang rupture disertai nyeri yang meradiasi sepanjang tungkai
dari iritasi saraf skiatik.
3. Pengalaman Nyeri
Menurut
Andarmoyo
(2013)
mendeskripsikan
3
fase
pengalaman nyeri. Fase tersebut antara lain fase antipasti, fase sensasi,
dan fase akibat/aftermath.
a. Fase antipasti
Fase antipasti terjadi sebelum nyeri diterima. Fase ini
mungkin bukan merupakan fase yang paling penting karena fase
ini bias mempengaruhi dua fase lain. Pada fase ini memungkinkan
seseorang belajar tentang nyeri dan upaya untuk menghilangkan
nyeri tersebut. Peran perawat dalam fase ini sangat penting,
terutama dalam memberikan informasi yang adekuat kepada klien.
45
b. Fase sensasi
Fase sensasi terjadi pada saat nyeri terasa. Fase ini terjadi
ketika klien merasakan nyeri, karena nyeri itu bersifat subjektif
maka tiap orang dalam menyikapi nyeri juga berbeda-beda.
Toleransi terhadap nyeri juga akan berbeda antara satu orang
dengan orang lain. Orang yang mempunyai tingkat tolerabsi tinggi
terhadap nyeri tidak akan mengeluh nyeri dengan stimulus kecil.
Sebaliknya, orang yang toleransinya bterhadap nyerinya rendah
akan mudah merasa nyeri dengan stimulus nyeri kecil. Klien
dengan tingkat toleransi tinggi terhadap nyeri mampu menahan
nyeri tanpa bantuan. Sebaliknya, orang yang toleransi terhadap
rendah sudah mencari sudah mencari upaya mencegah nyeri,
sebelum nyeri datang.
c. Fase akibat/aftermath
Fase ini terjadi saat nyeri sudah berkurang atau hilang.
Pada fase ini klien masih membutuhkan control dari perawat,
karena nyeri bersifat krisis sehingga fdimungkinkan klien
mengalami gejala sisa pasca nyeri. Apabila klien mengalami
episode nyeri berulang, respon akibat (aftermath) dapat menjadi
masalah kesehatan yang berat. Perawat berperan dalam membantu
memperoleh kontrol diri untuk meminimalkan rasa takut akan
kemungkinan nyeri berulang.
46
4. Respon Fisiologis Terhadap Terhadap Nyeri
Menurut Andarmoyo (2013) respon fisiologis terhadap terhadap nyeri
meliputi :
a. Respon Fisiologis
Perubahan atau respon fisiologis dianggap sebagai
indikator nyeri yang lebih akurat dibandingkan laporan verbal
pasien mengungkapkan bahwa respon fisiologis harus digunakan
sebagai pengganti untuk laporan verbal dari nyeri pada pasien
tidak sadar dan jangan digunakan untuk mencoba memvalidasi
laporan verbal dan nyeri individu.
Respon
fisiologis
terhadap
nyeri
dapat
sangat
membahayakan individu. Pada saat impuls nyeri masuk ke medulla
spinalis menuju ke batang otak dan hipotalamus, sistem saraf
otonom menjadi terstimulasi sebagai bagian dari respon stress.
Stimulasi pada cabang simpatis pada sistem saraf otonom
menghasilkan respon fisiologis. Apabila nyeri berlangsung terusmenerus, berat, dalam, dan melibatkan organ-organ dalam visceral
maka sistem saraf simpatis akan menghasilkan suatu aksi.
47
Tabel 2.1 Respon Fisiologis Terhadap Nyeri
Respon
Stimulasi simpatik*
Dilatasi respon bronkheolus dan
peningkatan frekuensi pernafasan
Peningkatan frekuensi denyut
jantung
Vasokontriksi perifer (pucat,
peningkatanmtekanan darah)
Peningkatan kadar glukosa darah
Diaphoresis
Peningkatan ketegangan otot
Dilatasi pupil
Penurunan motilitas saluran cerna
Stimulasi parasimpatik*
Pucat
Penyebab atau efek
Menyebabkan peningkatan
asupan oksigen
Menyebabkan
transport
oksigen
Meningkatkan tekanan darah
diserati perpindahan suplai
darah dari perifer dan visera
ke otot-otot skeletal dan otak
Menghasilkan
energi
tambahan
Mengontrol
temperature
tubuh selama stress
Mempersiapkan otot untuk
melakukan aksi
Memungkinkan penglihatan
yang lebih baik
Membebaskan energi untuk
melakukan aktivitas dengan
lebih cepat
Menyebabkan suplai darah
berpindah ke perifer
Ketegangan otot
Akibat keletihan
Penurunan denyut jantung dan Akibat stimulasi vagal
tekanan darah
Pernafasan yang cepat dan tidak Menyebabkan
pertahanan
teratur
tubuh gagal akibat stress
nyeri yang terlalu lama
Mual dan muntah
Mengembangkan
saluran
cerna
Kelemahan atau kelelahan
Akibat pengeluaran energi
fisik
48
b. Respon Perilaku
Respon perilaku yang ditunjukkan oleh pasien sangat
beragam. Meskipun respon perilaku pasien dapat menjadi indikasi
pertama bahwa ada sesuatu tang tidak beres, respon perilaku
seharusnya tidak boleh digunakan sebagai pengganti untuk
mengukur nyeri kecuali dalam situasi yang tidak lazim dimana
pengukuran tidak memungkinkan (missal orang tersebut menderita
retardasi mental yang berat atau tidak sadar).
Tabel 2.2 Respon Perilaku Nyeri
Respon perilaku nyeri pada pasien
Vokalisasi
Mengaduh, menangis, sesak nafas,
mendekur
Ekspresi wajah
Meringis, menggelutukkan gigi,
mmengernyitkan dahi, menutup
mata atau mulut dengan lebar,
menggigit bibir
Gerakan tubuh
Gelisah, imobilisasi, ketegangan
otot, peningkatan gerakan jari dan
tangan, aktivitas melangkah yang
tanggal ketika
berlari atau
berjalan, gerakan ritmik atau
gerakan menggosok, gerakan
melindungi sebagian tubuh
Interaksi sosial
Menghindari percakapan, focus
hanya pada aktivitas, menghindari
kontak sosial, penurunan rentan
perhatian
49
5. Pengkajian Keperawatan Tentang Nyeri
Menurut Smeltzer (2002) deskripsi verbal tentang nyeri.
Individu merupakan penilaian terbaik dari nyeri yang dialaminya
karenanya harus diminta untuk mengambarkan membuat tingkatnya.
Informasi yang diperlukan harus menggambarkan nyeri individual
dalam berbagai cara:
a. Intensitas nyeri
Indivudu dapat diminta untuk membuat tingkatan nyeri
pada skala verbal (misalnya: tidak nyeri, sedikit nyeri, nyeri hebat,
atau sangat hebat, atau 0-10:0
tidak nyeri. 10 = nyeri sangat
hebat).
b. Karakteristik nyeri
Hal ini termasuk letak dimana nyeri pada berbagai organ
(mungkin merupakan alih), durasi (menit, jam, hari, bulan, dan
sebagainya), irama ( misalnya terus menerus, hilang timbul,
periode bertambah dan berkurangnya intensitas atau keberadaan
dari nyeri), kualitas (misalnya nyeri seperti ditusuk, seperti
terbakar, sakit, nyeri seperti di gencet).
c. Faktor-faktor yang meredakan nyeri
Faktor-faktor yang meredakan nyeri misalnya gerakan,
kurang bergerak, pengerahan tenaga, istirahat, obat-obat bebas.
Apa yang dipercaya pasien dapat membantu mengatasi nyerinya.
Banyak orang yang mempunyai ide-ide tertentu tentang apa yang
50
akan menghilangkan nyerinya. Perilaku ini sering didasarkan pada
pengalaman atau trial and error.
d. Efek nyeri terhadap aktivitas kehidupan sehari-hari
Efek nyeri terhadap aktivitas kehidupan sehari-hari
misalnya tidur, nafsu makan, konsentrasi, interaksi dengan orang
lain, gerakan fisik, bekerja dan aktifitas santai. Nyeri akut sering
berkaitan dengan ansietas dan nyeri kronis dengan depresi.
e. Kekhawatiran individu tentang nyeri
Hal ini meliputi berbagai masalah yang luas, seperti
beban
ekonomi, prognosis,
pengaruh
terhadap
peran
dan
perubahan citra diri.
6. Penilaian Respon Intensitas Nyeri
Menurut Andarmoyo (2013) penilaian respon intensitas nyeri meliputi
sebagai berikut :
a. Skala deskriptif
Skala deskriptif merupakan alat pengukuran tingkat
keparahan nyeri yang lebih objektif. Skala pendeskripsi verbal
(Verbal Descriptor Scale, VDS) merupakan sebuah garis yang
terdiri dari tiga sampai lima kata pendeskripsi yang tersusun
dengan jarak yang sama dengan di sepanjang garis. Pendeskripsi
ini di rangking dari “tidak rasa nyeri” sampai “nyeri yang tidak
tertahankan”. Perawat menunjukkan klien skala tersebut dan
meminta klien untuk memilih intensitas nyeri terbaru yang ia
51
rasakan. Perawat juga menanyakan seberapa jauh nyeri terasa
paling menyakitkan dan seberapa jauh nyeri terasa paling tidak
menyakitkan. Alat VDS ini memungkinkan klien memilih sebuah
kategori untuk mendeskripsikan nyeri.
b. Skala numeric
Skala penilaian numeric (Numerical rating scales, NRS)
lebih digunakan sebagai pengganti alat pendeskripsi kata. Dalam
hal ini, pasien menilai nyeri dengan menggunakan skala 0-10.
Skala paling efektif digunakan saat mengkaji intensitas nyeri
sebelum dan setelah intervensi terapeutik. Apabila digunakan sakla
untuk menilai nyeri, maka di rekomendasikan patokan 10 cm.
Contoh pasien post-appendiktomi hari pertama menunjukkan skala
nyerinya 9, setelah dilakukan intervensi keperawatan, hari ketiga
perawatan pasien menunjukkan skala nyerinya 4.
c. Skala analog visual
Skala analog visual (Visual analog scale, VAS) adalah
suatu garis lurus horizontal sepanjang 10cm, yang mewakili
intensitas nyeri yang terus-menerus dan pendekripsi verbal pada
setiap ujungnya. Pasien diminta untuk menunjuk pada titik pada
garis yang menunjukkan letak nyeri terjadi sepanjang garis
tersebut. Ujung kiri biasanya menandakan “tidak ada” atau “tidak
nyeri”, sedangkan ujung kanan biasanya menandakan “berat” atau
“ nyeri yang paling buruk”. Untuk menilai hasil, sebuah penggaris
52
diletakkan sepanjang garis dan jarak yang dibuat pasien pada garis
dari “tidak ada nyeri” diukur dan ditulis dalam centimeter.
7. Penatalaksanaan Nyeri
Menurut Smeltzer (2002) penatalaksanaan nyeri meliputi :
a. Intervensi Farmakologis
Menangani nyeri yang dialami pasien melalui intervensi
farmakologis dilakukan dalam kolaborasi dengan dokter atau
pemberi perawatan utama lainnya dan pasien. Obat-obat tertentu
untuk penatalaksanaan nyeri mungkin di resepkan atau kateter
epidural dipasang untuk memberikan dosis awal. Namun demikian,
adalah perawat yang mempertahankan analgesia, mengkaji
keefektifannnya, dan melaporkan jika intervensi tersebut tidak
efektif atau menimbulkan efek samping. Penatalaksanaan nyeri
memerlukan kolaborasi erat dan komunikasi yang efektif diantara
pemberi perawatan kesehatan.
b. Tindakan Non Farmakologis
1) Stimulasi dan masase kutaneus
Masase adalah stimulasi kutaneus tubuh secara
umum, masase dapat membuat pasien lebih nyaman karena
masase dapat membuat relaksasi otot.
2) Terapi es dan panas
Terapi es (dingin) dan panas dapat menjadi strategi
pereda nyeri yang efektif pada beberapa keadaan, namun
53
begitu,
ketidakefektifannya
dan
mekanisme
kerjanya
memerlukan study lebih lanjut. Di duga bahwa terapi es dan
panas bekerja dengan menstimulasi reseptor tidak nyeri (nonnosiseptor) dalam bidang reseptor yang sama seperti cidera.
3) Stimulasi saraf elektris transkutan
Stimulasi
saraf
elektris
transkutan
(TENS)
menggunakan unit yang dijalankan oleh batterai dengan
elektroda yang dipasang pada kulit untuk menghasilkan sensasi
kesemutan, menggetar atau mendengung pada area nyeri.
TENS telah digunakan baik pada menghilangkan nyeri akut
atau kronik.
4) Distraksi
Distraksi merupakan teknik memfokuskan pasien
pada sesuatu selain pada nyeri, dapat menjadi strategi yang
sangat berhasil dan mungkin merupakan mekanisme yang
bertanggung jawab terhadap tekhnik kognitif efektif lainnya
5) Teknik relaksasi
Relaksasi otot skeletal dipercaya dapat menurunkan
nyeri dengan merilekskan ketegangan otot yang menunjang
nyeri. Teknik relaksasi yang sederhana terdiri atas nafas
abdomen dengan frekuensi lambat, berirama. Pasien dapat
memejamkan matanya dan bernafas dengan perlahan dan
nyaman. Irama yang konstan dapat dipertahankan dengan
54
menghitung dalam hati dan lambat bersama setiap inhalasi
(“hirup, dua, tiga”) dan ekhalasi (hembuskan, dua, tiga).
6) Imajinasi terbimbing
Imajinasi terbimbing adalah menggunakan imajinasi
seseorang dalam suatu cara yang dirancang secara khusus
untuk mencapai efek positif tertentu.
D. Masase
1. Pengertian
Masase merupakan salah satu seni penyembuhan yang tertua.
Hipocrates
telah
membuat
tulisan
yang
merekomendasikan
penggunaan jenis masase rubbing dan friction untuk masalah sendi
dan sirkulasi. Masase merupakan tehnik manipulasi pada jaringan
lunak tubuh, umumnya di lakukan untuk mengurangi stress dan
kelelahan dan memperbaiki sirkulasi (Associated Bodywork & masase
professional, 2007).
Masase adalah stimulasi kutaneus tubuh secara umum,
masase dapat membuat pasien lebih nyaman karena masase membuat
relaksasi otot. (Smeltzer, 2002).
2. Tujuan
Tujuan masase menurut Kusyati dkk (2006) meliputi :
1)
Mengurangi ketegangan otot
2)
Meningkatkan relaksasi fisik dan psikologis
55
3)
Mengkaji kondisi kulit
4)
Meningkatkan sirkulasi/ peredaran darah pada area yang di
masase
3. Klasifikasi masase
Menurut Prihatin (2013) dalam perkembangannya, masase
dapat dibedakan menjadi beberapa macam, di antaranya adalah sebagai
berikut:
a. Sport masase
Sport masase adalah masase yang khusus diberikan
kepada orang yang sehat badannya, terutama olahragawan karena
pelaksanannya memerlukan terbukanya hampir seluruh tubuh.
Tujuan sport masase adalah:
1) Memperlancar peredaran darah.
2) Merangsang
persarafan
terutama
saraf
tepi
untuk
meningkatkan kepekaan rangsang.
3) Meningkatkan ketegangan otot dan meningkatkan kekenyalan
otot untuk meningkatkan daya kerja otot.
4) Mengurangi atau menghilangkan ketegangan saraf dan
mengurangi rasa sakit.
b. Segment masase
Segment masase adalah masase yang ditujukan untuk
membantu penyembuhan terhadap gangguan atau
kelainan-
kelainan fisik yang disebabkan oleh penyakit tertentu. Ada
56
beberapa macam segment masase salah satunya adalah masase
terapi.
c. Cosmetic masase
Cosmetic masase adalah masase yang khusus ditujukan
untuk memelihara serta meningkatkan kecantikan muka serta
keindahantubuh berserta bagian-bagiannya.
d. Masase yang lain seperti; shiatshu, refleksi, tsubo, dan erotic
masase.
e. Macam-macam manipulasi dalam masase dan pengaruhnya.
Manipulasi yang dimaksud adalah cara menggunakan
tangan untuk melakukan masase pada daerah-daerah tertentu serta
untuk memberikan pengaruh tertentu pula. manipulasi pokok
masase adalah:
1) Effleurage (menggosok), yaitu gerakan ringan berirama yang
dilakukan pada seluruh permukaan tubuh. Tujuannya adalah
memperlancar peredaran darah dan cairan getah bening (limfe).
2) Friction (menggerus), yaitu gerakan menggerus yang arahnya
naik dan turun secara bebas. Tujuannya adalah membantu
menghancurkan
miogelosis,
yaitu
timbuan
sisa-sisa
pembakaran energi (asam laktat) yang terdapat pada otot yang
menyebabkan pengerasan pada otot.
3) Petrissage (memijat), yaitu gerakan menekan kemudian
meremas jaringan. Tujuannya adalah untuk mendorong
57
keluarnya sisa-sisa metabolisme dan mengurangi ketegangan
otot.
4) Tapotemant (memukul), yaitu gerakan pukulan ringan berirama
yang diberikan pada bagian yang berdaging. Tujuannya adalah
mendorong atau mempercepat aliran darah dan mendorong
keluar sisa-sisa pembakaran dari tempat persembunyiannya.
5) Vibration (menggetarkan), yaitu gerakan menggetarkan yang
dilakukan secara manual atau mekanik. Mekanik lebih baik
daripada manual. Tujuannya adalah untuk merangsang saraf
secara halus dan lembut agar mengurangi atau melemahkan
rangsang yang berlebihan pada saraf yang dapat menimbulkan
ketegangan.
4. Indikasi dan Kontraindikasi Masase
Indikasi dan Kontraindikasi Masase menurut Prihatin (2013)
meliputi :
a. Indikasi
Indikasi merupakan suatu keadaan atau kondisi tubuh
dapat diberikan manipulasi masase, serta masase tersebut akan
memberikan pengaruh yang positif terhadap tubuh. Indikasi dalam
masase adalah:
1) Keadaan tubuh yang sangat lelah.
58
2) Kelainan-kelainan tubuh yang diakibatkan pengaruh cuaca
atau kerja yang kelewat batas (sehingga otot menjadi kaku dan
rasa nyeri pada persendian serta gangguan pada persarafan).
b. Kontraindikasi
Kontraindikasi atau pantangan terhadap masase adalah
sebagai keadaan atau kondisi tidak tepat diberikan masase, karena
justru akan menimbulkan akibat yang merugikan bagi tubuh itu
sendiri. Kontra-indikasi dalam masase adalah:
1) Pasien dalam keadaan menderita penyakit menular.
2) Dalam keadaan menderita pengapuran pembuluh darah arteri.
3) Pasien sedang menderita penyakit kulit. Adanya luka-luka
baru atau cedera akibat berolahraga atau kecelakaan.
4) Sedang menderita patah tulang, pada tempat bekas luka, bekas
cedera, yang belum sembuh betul.
5) Pada daerah yang mengalami pembengkakan atau tumor yang
diperkirakan sebagai kanker ganas atau tidak ganas.
49
BAB III
LAPORAN KASUS
Pada bab ini penulis akan menuliskan laporan kasus Pemberian Masase
Kaki Terhadap Penurunan Nyeri Pada Asuhan Keperawatan Ny. S dengan
Diabetes Melitus Tipe II. Pengkajian dilakukan pada tanggal 10 April 2014 pukul
07.00 WIB, pengelolaan Asuhan Keperawatan dilakukan pada tanggal 10-12
April 2014 di Ruang Melati I RSUD Dr. Moewardi Surakarta.
Pada kasus ini data diperoleh dengan cara autoanamnesa atau
pengkajian yang dilakukan secara langsung kepada pasien, dan alloanamnesa atau
pengkajian yang melihat di dasarkan data dalam status pasien dan dari keluarga.
Penulis juga memberikan asuhan keperawatan langsung pada pasien yang akan
disampaikan dalam laporan kasus.
A. Identitas Pasien
Pada pengkajian di peroleh data identitas pasien yaitu Ny. S dengan
umur 55 tahun, jenis kelamin perempuan, beralamat di jebres, pekerjaan ibu
rumah tangga, tingkat pendidikan SMA, tanggal masuk RS 04 April 2014 jam
09.00 WIB, Dokter mendiagnosa bahwa Ny. S menderita Diabetes Melitus
tipe II. Penanggung jawab terhadap Ny. S adalah Tn.P dengan umur 60 tahun,
pekerjaan buruh, beralamat di Jebres, dan hubungan Tn.P dengan pasien
adalah Suami.
59
60
B. Pengkajian
Pengkajian dilakukan pada tanggal 10 April 2014 jam 07.00 WIB di
Ruang Melati I RSUD Dr. Moewardi Surakarta.
Pada pengkajian tanggal 10 April 2014 diperoleh keluhan utama
pasien mengatakan nyeri pada kedua telapak kaki. Kemudian dari pengkajian
riwayat kesehatan sekarang pasien mengatakan 1 minggu sebelum masuk
rumah sakit pasien mengeluh badan terasa lemas, pusing, kedua telapak kaki
terasa kaku serta banyak minum, banyak makan, berat badan menurun dari 55
kg menjadi 50 kg kemudian oleh pihak keluarga dibawa ke IGD RSUD Dr.
Moewardi Surakarta.
Riwayat kesehatan dahulu pasien mengatakan sebelumnya sudah
pernah di rawat di rumah sakit 1 bulan yang lalu di rawat dengan riwayat
penyakit yang sama. Pasien mengetahui bahwa dirinya mempunyai riwayat
penyakit Diabetes Melitus selama 2 tahun, pasien tidak memiliki riwayat
penyakit asma, alergi, ataupun penyakit menular lainnya.
61
Keterangan :
:Laki-Laki
: Perempuan
: Tinggal Satu Rumah
: Pasien
: Riwayat DM
Dalam riwayat kesehatan keluarga, pasien mengatakan di dalam
keluarganya ada yang menderita Diabetes Melitus seperti dirinya yaitu
bapaknya. Pasien mengatakan tidak mempunyai riwayat penyakit jantung,
asma, alergi serta penyakit menular lainnya seperti TBC dan hepatitis. Dalam
riwayat kesehatan lingkungan, pasien mengatakan lingkungannya bersih, tidak
dekat dengan pembuangan sampah, dan sarana kamar mandi lengkap dengan
air bersih.
Pengkajian pola kesehatan fungsional menurut Gordon terdapat 11
pola kesehatan fungsional. Dalam pengkajian tersebut didapatkan data sebagai
berikut : pola persepsi dan pemeliharaan kesehatan diperoleh data, pasien
mengatakan sebelum sakit setiap pasien merasa sakit pasien selalu
memeriksakannya ke dokter atau puskesmas yang ada di sekitarnya. Selama
sakit pasien mengatakan memahami tentang penyakitnya, dan akan mematuhi
diet dan terapi yang telah diberikan.
Dalam pola nutrisi dan metabolisme diperoleh data, pasien
mengatakan sebelum sakit makan dengan frekuensi 3x sehari, jenis makan
nasi, sayur, lauk, dengan porsi 1 piring habis, berat badan pasien 55 kg, tinggi
62
badan pasien 160 cm, pasien minum air putih 1500 cc/hari dan teh tawar 2
gelas/hari. Pola nutrisi pasien selama sakit dengan menggunakan pengkajian
Antropometri,
Biochemical
data,
Clinical
sigh
Dietary
(ABCD).
Antropometri meliputi berat badan sebelum sakit 55 kg, berat badan selama
sakit 50 kg, tinggi badan 160 cm, IMT : 19,53. Biochemical meliputi hasil
laboratorium berupa Hb 12,5 g/dl (Normal 12,0 – 18,0 g/dl ), GDS 200 mg/dl,
GDP 160 mg/dl. Clinical Sign yaitu distribusi rambut merata, rambut lengket,
dan kotor. Kulit kering, turgor kulit elastis, mukosa bibir kering, konjungtiva
tidak anemis, sklera putih, penglihatan tidak kabur, pasien terlihat lemah,
selama sakit pasien mengatakan nafsu makan menurun, badan terasa lemas,
pasien hanya menghabiskan setengah dari porsi menu RS. Dietary history
yaitu pasien mengatakan diberi diit dengan frekuensi 3 kali sehari dengan
menu nasi, sayur, dan lauk, pasien minum air putih 1000 cc/hari, susu
200cc/hari sesuai menu rumah sakit, dan pasien tidak menyukai makanan
bersantan, dulu sebelum mengetahui penyakitnya pasien menyukai manis dan
asin tetapi sekarang pasien mengontrolnya demi kesembuhan sakitnya.
Pada pengkajian pola eliminasi diperoleh data, pasien mengatakan
sebelum sakit buang air besar 1 kali sehari dengan konsistensi lunak, berbau
khas, dan berwarna kuning, ketika buang air besar pasien tidak ada keluhan,
pasien mengatakan buang air kecil sehari 5-6 kali sebanyak 1500 cc/24 jam,
bau amoniak, dan berwarna kuning jernih. Pasien mengatakan selama sakit
buang air besar 1 kali sehari dengan konsistensi lunak, berbau khas, dan
63
berwarna kuning, pasien terpasang DC dengan jumlah urine 1000 cc/24 jam,
berbau amoniak, dan berwarna Kuning jernih.
Pada pengkajian pola aktivitas dan latihan diperoleh data, pasien
mengatakan sebelum sakit dapat beraktivitas secara mandiri. Pasien
mengatakan selama sakit aktivitas seperti makan dan minum, toileting,
berpakaian, mobilitas ditempat tidur, berpindah, ambulasi Range Of Motion di
bantu oleh keluarga dengan nilai scoring 2 (di bantu orang lain).
Pada pengkajian pola istirahat dan tidur diperoleh data, pasien
mengatakan sebelum sakit tidur siang 2 jam sedangkan tidur malam 9 jam.
pasien tidak menggunakan obat tidur, dan tidak terdapat gangguan tidur.
Pasien mengatakan selama sakit tidur siang 1 jam sedangkan tidur malam 7
jam. Pasien tidak menggunakan obat tidur, dan tidak terdapat gangguan tidur.
Pada pengkajian pola kognitif dan perceptual diperoleh data, Ny. S
mengeluh nyeri pada kedua telapak kaki saat aktivitas berlebih nyeri seperti di
tusuk-tusuk dengan skala nyeri 4 durasi 5-10 menit intensitas hilang timbul.
Pasien mengatakan sebelum sakit 5 panca inderanya berfungsi dengan baik,
penglihatan pasien baik, pendengaran baik, indera pembau baik, dan tidak
menggunakan alat bantu pendengaran dan penglihatan. Pasien mengatakan
selama sakit juga tidak ada gangguan panca indera, pasien mampu melihat
dengan baik, indera pembau baik, dan selalu menjawab ketika di ajak
berbicara.
Pada pengkajian pola persepsi dan konsep diri diperoleh data, pada
pengkajian body image yaitu pasien mengatakan kurang mampu melakukan
64
aktivitas karena keadaan tubuhnya yang lemah. Pada pengkajian ideal diri
yaitu pasien mengatakan menerima penyakitnya dengan ikhlas, dan berharap
agar dirinya cepat sembuh dan segera pulang. Dalam peran diri pasien
mengatakan tidak bisa melakukan perannya secara maksimal sebagai seorang
ibu rumah tangga. Pada pengkajian identitas diri yaitu pasien mengatakan
sebagai ibu rumah tangga dan pasien mampu mengenali dirinya sendiri. Pada
pengkajian harga diri yaitu pasien mengatakan tidak merasa malu sehubungan
dengan kondisi fisiknya saat berhubungan dengan orang lain.
Pada pengkajian pola hubungan dan Peran diperoleh data, pasien
mengatakan sebelum sakit memiliki hubungan baik dengan keluarga, anak,
dan masyarakat. Pasien mengatakan selama sakit keluarganya menjadi lebih
perhatian dan merasa memiliki hubungan yang lebih erat.
Pada pengkajian pola seksualitas dan Reproduksi diperoleh data,
pasien mengatakan sebelum sakit tidak ada gangguan dalam hubungan seksual
dengan suaminya. Selama sakit pasien mengatakan tidak melakukan hubungan
suami istri selama sakit.
Pada pengkajian pola mekanisme koping diperoleh data, pasien
mengatakan sebelum sakit tidak mempunyai masalah dengan keluarga dan
apabila mempunyai masalah dengan keluarga dan apabila mempunyai masalah
selalu dimusyawarahkan dengan baik. Pasien mengatakan selama sakit tidak
mempunyai masalah dengan keluarga dan menerima sakitnya dengan ikhlas.
Pada pengkajian pola Nilai dan Keyakinan diperoleh data, pasien
mengatakan beragama Islam dan sebelum sakit pasien menjalankan sholat
65
lima waktu dan selalu berdoa. Selama sakit pasien mengatakan menjalankan
shalat lima waktu diatas tempat tidur dan selalu berdoa.
Dari pemeriksaan fisik didapatkan data meliputi keadaan umum
pasien lemah, kesadaran composmentis. Tanda-tanda vital (tekanan darah
145/80 mmHg, nadi 90 x/menit, pernafasan 20 x/menit, suhu 36OC). Bentuk
kepala mesochepal, tidak ada luka pada kulit kepala, rambut tampak hitam,
lengket dan kotor. Mata berdiameter kanan dan kiri sama, palpebra normal,
konjungtiva tidak anemis, sklera putih, pupil isokor, reflek terhadap cahaya
positif, dan tidak menggunakan alat bantu penglihatan. Hidung simetris, tidak
ada polip,dan tidak ada secret. Mulut tampak kotor, mukosa bibir kering, bau
tidak sedap, gigi tampak kotor, tidak ada gigi berlubang, dan tidak ada carries
gigi. Telinga kotor, bau, dan ada sedikit serumen. Leher tidak ada pembesaran
kelenjar tiroid.
Pada pemeriksaan fisik paru-paru meliputi Inspeksi yaitu bentuk
dada kanan dan kiri simetris, tidak terdapat luka dan lesi, pergerakan dada
kanan dan kiri sama, tidak terdapat pernafasan cuping hidung dan penggunaan
otot bantu pernafasan, regular, dan RR 20 x/menit. Palpasi yaitu tidak terdapat
nyeri tekan, vocal fremitus kanan dan kiri teraba sama. Perkusi yaitu suara
sonor pada area ICS I-VI dextra, redup pada ICS III-V sinistra. Auskultasi
yaitu suara nafas dasar vesikuler, tidak ada whezing.
Pada pemeriksaan fisik jantung didapatkan data meliputi pengkajian
inspeksi diperoleh data ictus cordis tidak tampak. Palpasi diperoleh data ictus
cordis teraba pada ICS V medial linea midclavicula sinistra, tidak kuat angkat.
66
Pemeriksaan auskultasi jantung diperoleh data suara jantung S1 dan S2
reguler, tidak terdapat suara jantung tambahan, suara jantung dan denyut nadi
perifer sama. Pemeriksaan perkusi jantung didapatkan data pekak mulai dari
ICS II linea parasternal dextra sampai ICS IV linea parasternal dextra, ICS II
linea parasternal sinistra sampai ICS IV medial linea midclavicula sinistra.
Pemeriksaan fisik abdomen meliputi inspeksi yaitu simetris, tidak
asites, dan tidak terdapat lesi. Pengkajian auskultasi yaitu bising usus
13x/menit. Pengkajian palpasi yaitu tidak terdapat nyeri tekan, hepar tidak
teraba. Pengkajian perkusi yaitu suara timpani pada kuadran II, III, IV, serta
pekak pada kuadran I. pemeriksaan fisik genetalia yaitu genetalia bersih, tidak
ada edema, terpasang DC ukuran 16 sejak 10 April 2014, Rectum bersih, dan
tidak ada pembesaran hemoroid.
Pemeriksaan fisik ekstermitas meliputi ekstremitas atas tangan kanan
tidak ada edema, terpasang infus Nacl 20 tpm dan dapat bergerak bebas,
kekuatan otot 5, capillary reffile < 2 detik, tidak ada perubahan bentuk tulang,
perabaan akral hangat. Ekstremitas atas tangan kiri tidak ada edema, kekuatan
otot 5, capillary reffile < 2 detik, tidak ada perubahan bentuk tulang, perabaan
akral hangat. Pengkajian pemeriksaan ekstermitas bawah meliputi pasien
mengeluh nyeri pada kedua kaki saat aktivitas, nyeri seperti di tusuk-tusuk,
skala nyeri 4 dengan kriteria sedang, nyeri hilang timbul dengan frekuensi
kadang-kadang.
Pemeriksaan penunjang pada pemeriksaan laboratorium pada tanggal
07 April 2014 adalah kimia urine berat jenis 1,006 (Normal 1,015-1,025), PH
67
7,0 (Normal 4,5-8,0), leukosit negatif, nitrit negatif, protein 25 mg/dl, glukosa
200 mg/dl, keton negatif, urobilinogen negative, bilirubin negatif, eritrosit 10
juta/ul (Normal 0-87 juta/ul ). Pemeriksaan hematologi meliputi Hb 12,5
(Normal 12,0 – 18,0 g/dl ), hematokrit 40% (Normal 33-45%), leukosit 10
103/ul (Normal 4,5-11 103/ul), trombosit 197 103/ul (Normal 150-450 103/ul),
eritrosit 4,76 106/ul (Normal 4,5-5,9 106/ul), GDS 300 mg/dl (Normal 60140), creatinin 0,8 mg/dl (Normal 0,8-1,3 mg/dl), ureum 38 mg/dl (Normal
<50 mg/dl), Natrium 138 mmol/l (Normal 136-145 mmol/l), kalium 4,5
mmol/l (Normal 3,7-5,4 mmol/l), klorida 99 mmolo/l (Normal 98-106
mmol/l), dan GDP 129 mg/dl (Normal 70-110 mg/dl), kolestrol total 151
mg/dl (Normal 50-200 mg/dl), LDL 90 mg/dl (Normal 88-201 mg/dl), HDL
40 mg/dl (Normal 37-92 mg/dl), trigliserida 155 mg/dl (Normal < 150 mg/dl).
Pemeriksaan laboratorium pada tanggal 10 April 2014 jam 07.00 WIB yaitu
GDP 160 mg/dl (Normal 70-110 mg/dl) dan GDS 200 mg/dl.
Program terapi tanggal 10 April 2014 adalah infus Nacl 0,9% 1500
cc/24 jam dengan dosis tetesan 20 tetes per menit, injeksi novorapid dosis 8-88 IU (SC), injeksi ceftriaxone 2gr/24jam (IV) (tanggal 4-6 April 2014), injeksi
omeprazole 40mg/12jam (IV), captopril tablet 3x25mg (peroral) dan
paracetamol tablet 3x500mg (peroral), diet DM 1700 kkal.
C. Daftar Perumusan Masalah
Pada kasus Ny.S hasil pengkajian didapatkan data subyektif dan data
obyektif. Data subyektif yaitu pasien mengatakan nyeri pada kedua telapak
kaki, nyeri bertambah saat beraktifitas, nyeri seperti ditusuk-tusuk, nyeri
68
hilang timbul dengan skala nyeri 4, durasi 5-10 menit, dengan frekuensi hilang
timbul. Data obyektif diperoleh data pasien tampak meringis menahan nyeri,
pemeriksaan tanda-tanda vital (tekanan darah 145/80 mmHg, nadi 90
kali/menit, suhu 36oC, dan respirasi 20 x/menit), Ny. S memiliki riwayat
Diabetes Melitus sejak 2 tahun yang lalu. Berdasarkan data fokus tersebut
penulis melakukan analisa data dan merumuskan prioritas keperawatan utama
yaitu nyeri kronis. Berdasarkan hasil perumusan masalah tersebut, penulis
menegakkan diagnosa keperawatan utama nyeri kronis berhubungan dengan
agen injury biologis (neuropati perifer).
Pada kasus Ny. S hasil pengkajian didapatkan data subyektif dan
data obyektif. Data subyektif yaitu pasien mengatakan nafsu makan berkurang
dan pasien mengatakan badan terasa lemas. Data obyektif diperoleh data
pasien tampak lemah, pasien terlihat menghabiskan setengah porsi dari menu
rumah sakit, pasien terlihat kurangnya minat pada makanan, berat badan
sebelum sakit 55 kg, berat badan selama sakit 50 kg, tinggi badan 160 cm,
IMT : 19,53, Hb 12,5 ( Normal 12,0 – 18,0 g/dl ), Hematokrit 40% (33-45%),
GDP 160 mg/dl, GDS 200 mg/dl, kulit kering, turgor kulit elastis, mukosa
bibir kering. Konjungtiva tidak anemis, sclera putih, badan terlihat lemah.
Berdasarkan data fokus tersebut penulis melakukan analisa data dan
merumuskan diagnosa keperawatan kedua yaitu ketidakseimbangan nutrisi
kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan penyakit kronis ( DM ).
Pada kasus Ny. S hasil pengkajian didapatkan data subyektif dan
data obyektif. Data subyektif yaitu pasien mengatakan badan terasa lelah dan
69
lemas, pasien mengatakan aktivitas dan kemampuan untuk merawat diri,
makan minum, toileting, berpakaian, mobilitas di tempat tidur, berpindah, dan
ambulasi dibantu oleh keluarga. Data obyektif diperoleh data pasien terlihat
lemah, terpasang infuse NACL 0,9% 20 tpm pada tangan kanan. GDS 200
mg/dl. Pemeriksaan tanda-tanda vital (tekanan darah 145/80 mmHg, nadi 90
kali/menit, suhu 36oC, dan respirasi 20 x/menit). Berdasarkan data fokus
tersebut penulis melakukan analisa data dan merumuskan diagnosa
keperawatan ketiga yaitu hambatan mobilitas fisik berhubungan dengan
perubahan metabolisme sel.
D. Intervensi
Perencanaan yang di lakukan untuk diagnosa pertama nyeri kronis
berhubungan dengan agen injury biologis (neuropati perifer). Setelah
dilakukan tindakan keperawatan selama 3x24 jam diharapkan nyeri dapat
berkurang atau teratasi dengan kriteria hasil yaitu ekspresi wajah rileks, skala
nyeri 1, TTV dalam batas normal (Tekanan darah : 120/80 mmHg, nadi 60100 kali/menit, suhu 36oC, dan respirasi 16-20 x/menit). Intervensi untuk
diagnosa ini antara lain kaji nyeri ( P, Q, R, S, T ) (rasional : mempengaruhi
pilihan, keefektifan intervensi serta untuk mengetahui berapa berat nyeri yang
dialami pasien), berikan teknik relaksasi masase (rasional : mengurangi rasa
nyeri yang dirasakan pasien, mengalihkan perhatian terhadap nyeri, dan
meningkatkan kontrol terhadap nyeri yang mungkin berlangsung lama),
informasikan kepada pasien bila nyeri timbul lakukan teknik relaksasi nafas
dalam (rasional : agar pasien mengetahui bagaimana cara mengontrol nyeri),
70
kolaborasi dengan dokter pemberian analgetik (rasional : untuk mempercepat
penyembuhan melalui terapi obat).
Perencanaan
yang
dilakukan
untuk
diagnosa
kedua
ketidakseimbangan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan
penyakit kronis ( DM ). Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 3x24
jam diharapkan tidak terjadi gangguan nutrisi dengan kriteria hasil yaitu
asupan nutrisi adekuat, nafsu makan meningkat, Hb, Albumin, Hematokrit
dalam batas normal, GDS dalam rentang normal (80-110 mg/dl). Intervensi
untuk diagnosa ini antara lain kaji pola nutrisi ( A, B, C, D ) (Rasional : untuk
mengetahui BB, Hb, turgor kulit dan tingkat keadekuatan pemasukan
makanan), monitor kadar gula darah sewaktu (rasional : untuk menmantau
fluktuasi kadar gula darah), menginformasikan kepada pasien untuk makan
diet dari rumah sakit dan makan sedikit tapi sering (rasional: agar pasien
mengerti makanan apa saja yang boleh dimakan dan menambah asupan
nutrisi), kolaborasi dengan ahli gizi untuk menentukan jumlah dan nutrisi
yang dibutuhkan pasien (rasional : pemberian diet yang sesuai dapat
mempercepat penurunan gula darah dan nmencegah komplikasi).
Perencanaan yang dilakukan untuk diagnosa ketiga hambatan
mobilitas fisik berhubungan dengan perubahan metabolisme sel. Setelah
dilakukan tindakan keperawatan selama 3x24 jam diharapkan hambatan
mobilitas fisik dapat teratasi dengan kriteria hasil badan tidak terasa lelah dan
lemas, melakukan aktivitas sehari-hari dengan mandiri. Intervensi untuk
diagnosa ini antara lain kaji kemampuan mobilisasi pasien (rasional :
71
mengetahui tingkat kemampuan tingkat mobilisasi pasien), ajarkan pasien
dalam latihan ROM aktif dan ROM pasif (rasional : Meningkatkan sirkulasi
darah muskuloskeletal, mempertahankan tonus otot, mempertahakan gerak
sendi, mencegah kontraktur/atrofi dan mencegah reabsorbsi kalsium karena
imobilisasi), latih pasien dalam kebutuhan aktivitas sehari-hari (rasional :
Meningkatkan kemandirian klien dalam perawatan diri sesuai kondisi
keterbatasan klien). Ubah posisi secara periodik sesuai keadaan klien (rasional
: Menurunkan insiden komplikasi kulit dan pernapasan (dekubitus, atelektasis,
pneumonia)).
E. Implementasi
Untuk mencapai tujuan dari kriteria hasil diatas, pada tanggal 10
April 2014 pukul 07.00 WIB sampai dengan 12 April 2014 pukul 14.00 WIB
dilakukan implementasi sebagai berikut :
Pada tanggal 10 April 2014 diagnosa pertama nyeri kronis
berhubungan dengan agen injury biologis (neuropati perifer) yaitu pukul
07.00 WIB melakukan perkenalan kemudian pengkajian. Pukul 07.30 WIB
memonitor tanda-tanda vital pasien, respon Ny. S mengatakan bersedia untuk
diukur tanda-tanda vitalnya, tekanan darah 145/80 mmHg, nadi 90 x/menit,
pernafasan 20 x/menit, suhu 36OC. Pukul 07.40 WIB mengkaji nyeri, respon
pasien pasien mengatakan nyeri pada kedua telapak kaki, nyeri bertambah
saat beraktifitas berlebih, nyeri seperti ditusuk-tusuk, nyeri hilang timbul
dengan skala nyeri 4, durasi 5-10 menit, dengan frekuensi kadang-kadang,
pasien tampak meringis menahan nyeri. Pukul 09.30 WIB memberikan obat
72
oral paracetamol 500 mg dan captopril 25 mg, obat masuk peroral. Pukul
10.00 WIB melakukan teknik relaksasi berupa masase kaki, respon pasien
mengatakan nyeri sudah berkurang dengan skala nyeri dari 4 menjadi 3, nyeri
dirasakan ketika aktifitas, nyeri seperti di tusuk-tusuk, nyeri hilang timbul
durasi 5-10 menit dengan frekuensi kadang-kadang, pasien mengatakan kaki
terasa lebih nyaman setelah dipijat, pasien tampak rileks.
Pada tanggal 10 April 2014 diagnosa kedua ketidakseimbangan
nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan penyakit kronis
(DM) yaitu pukul 08.00 WIB memberikan injeksi omeprazole 40 mg, obat
masuk melalui intravena. Pukul 08.10 WIB mengkaji intake nutrisi pasien,
Antropometri berupa berat badan sebelum sakit 55 kg, berat badan selama
sakit 50 kg, tinggi badan 160 cm, IMT : 19,53. Biochemical data yaitu Hb
12,5 ( Normal 12,0 – 18,0 g/dl ), Hematokrit 40% (33-45%), GDS 200 mg/dl,
GDP 160 mg/dl. Clinical Sign yaitu distribusi rambut merata, lengket, kotor.
kulit kering, turgor kulit elastis, mukosa bibir kering, konjungtiva anemis,
sklera putih, badan terlihat lemah, pasien mengatakan selama sakit nafsu
makan berkurang, badan terasa lemas, pasien terlihat kurangnya minat pada
makanan, pasien hanya menghabiskan setengah dari porsi menu RS. Dietary
history yaitu pasien mengatakan diberi diit makan nasi, sayur, dan lauk, pasien
minum air putih 1000 cc/hari, susu 200cc/hari sesuai menu rumah sakit, dan
pasien tidak menyukai makanan bersantan, dulu sebelum mengetahui
penyakitnya pasien menyukai manis dan asin tetapi sekarang pasien
mengontrolnya demi kesembuhan sakitnya. Pukul 08.30 WIB melakukan
73
pemeriksaan kadar gula darah dan memberikan insulin 8 UI, respon pasien
mengatakan bersedia untuk dilakukan pemeriksaan kadar gula darah, GDS
200 mg/dl, dan injeksi insulin masuk lewat sub cutan. Pukul 09.15 WIB
menginformasikan kepada pasien untuk mematuhi diet dari RS dan
memberikan diit sesuai program, respon pasien mengatakan nafsu makan
pasien berkurang tetapi akan mematuhi diit dari RS, diit rumah sakit habis
setengah porsi dari porsi menu RS. Pukul 12.00 WIB melakukan pemeriksaan
kadar gula darah dan memberikan insulin 8 UI, respon pasien mengatakan
bersedia untuk dilakukan pemeriksaan kadar gula darah, GDS 190 mg/dl, dan
insulin masuk 8 UI melalui sub cutan. Pukul 12.45 WIB memberikan diet
sesuai program, pasien terlihat kurangnya minat terhadap makan, pasien
terlihat lemah, dan menu diit RS hanya dihabiskan setengah porsi.
Pada tanggal 10 April 2014 diagnosa ketiga hambatan mobilitas fisik
berhubungan dengan perubahan metabolisme sel yaitu pukul 08.50 WIB
mengkaji kemampuan mobilisasi pasien, respon pasien mengatakan aktivitas
dan kemampuan untuk merawat diri, makan minum, toileting, berpakaian,
mobilitas di tempat tidur, berpindah, dan ambulasi dibantu oleh keluarga,
pasien terlihat lemah, terpasang infuse NACL 0,9% 20 tpm pada tangan kanan
dan kekuatan otot 5. Pukul 09.20 WIB membatu pasien makan, respon pasien
bersedia dibantu oleh perawat, pasien terlihat lemah. Pukul 12.45 WIB
membatu pasien makan (feeding), respon pasien bersedia dibantu oleh
perawat, pasien terlihat lemah. Pukul 14.00 WIB membantu mengubah posisi
pasien sesuai keadaan klien, respon pasien mengatakan badan masih terasa
74
lemas dan lelah terkadang untuk mengubah posisi masih dibantu oleh
keluarga, pasien terlihat lemah, posisi pasien miring kiri.
Pada tanggal 11 April 2014 melanjutkan implementasi pada hari
kedua, dilakukan implementasi sebagai berikut :
Pada tanggal 11 April 2014 diagnosa pertama nyeri kronis
berhubungan dengan agen injury biologis (neuropati perifer) yaitu pukul
07.30 WIB melakukan pengkajian nyeri, diperoleh data pasien mengatakan
nyeri pada kedua telapak kaki sudah berkurang, dirasakan nyeri apabila
beraktivitas, dengan skala nyeri masih 3, nyeri seperti ditusuk-tusuk, nyeri
hilang timbul dengan durasi 5 menit dan frekuensi jarang-jarang, wajah pasien
terlihat sedikit tegang. Pukul 07.35 WIB memonitor tanda-tanda vital,
diperoleh data objektif TD : 140/80 mmhg, nadi 89 x/menit, respirasi 18
x/menit, suhu 36,5OC. Pukul 08.45 WIB mengajarkan pasien teknik relaksasi
nafas dalam dan menginformasikan kepada pasien untuk melakukan teknik
relaksasi nafas dalam bila nyeri timbul, respon pasien mengatakan sudah
mengerti tentang teknik relaksasi nafas dalam dan akan melakukan teknik
relaksasi nafas dalam apabila nyeri dirasakan, pasien tampak aktif dalam
perawatan. Pukul 09.50 WIB memberikan obat captopril 25 mg, obat masuk
melalui oral. Pukul 10.00 WIB melakukan teknik relaksasi masase kaki,
respon pasien mengatakan nyeri pada kedua telapak kaki sudah berkurang
dengan skala nyeri 3, nyeri dirasakan saat aktivitas berlebih, nyeri seperti
ditusuk-tusuk, nyeri hilang timbul dengan durasi 5 menit dengan frekuensi
75
jarang, pasien mengatakan kaki terasa lebih nyaman setelah dipijat, pasien
tampak rileks.
Pada tanggal 11 April 2014 diagnosa kedua ketidakseimbangan
nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan penyakit kronis
(DM) yaitu pukul 08.00 WIB mengkaji intake pasien dengan melakukan
pengkajian A,B,C,D, meliputi Antropometri yaitu berat badan sebelum sakit
55 kg, berat badan selama sakit 50 kg, tinggi badan : 160 cm, IMT : 19,53.
Biochemical data meliputi Hb 12,5 ( Normal 12,0 – 18,0 g/dl ), Hematokrit
40% (33-45%), GDS 180 mg/dl, GDP 160 mg/dl. Clinical Sign yaitu distribusi
rambut merata, lengket, kotor. kulit kering, turgor kulit elastis, mukosa bibir
kering, konjungtiva tidak anemis, sclera putih, badan terlihat masih lemah,
penglihatan tidak kabur, pasien terlihat kurangnya minat pada makanan,
pasien mengatakan akan mematuhi diet sesuai diet dari RS, badan terasa
lemas, porsi RS hanya sisa 3 sendok. Dietary history yaitu pasien mengatakan
diberi diit makan nasi, sayur, dan lauk, pasien minum air putih 1000 cc/hari,
susu 200cc/hari sesuai menu rumah sakit, dan pasien tidak menyukai makanan
bersantan.
Pukul 08.15 WIB memberikan injeksi omeprazole 40 mg, obat
masuk melalui intravena. Pukul 08.30 WIB melakukan pemeriksaan kadar
gula darah dan memberikan injeksi insulin 8 UI, respon pasien mengatakan
bersedia untuk dilakukan pemeriksaan kadar gula darah, GDS 180 mg/dl, dan
insulin masuk 8 UI melalui sub cutan. Pukul 09.15 WIB memberikan diet
kepada pasien, respon pasien mengatakan akan mematuhi diet sesuai diet dari
76
RS, porsi RS hanya sisa 3 sendok. Pukul 12.00 WIB melakukan pemeriksaan
kadar gula darah dan memberikan injeksi insulin 8 UI, respon pasien
mengatakan bersedia untuk dilakukan pemeriksaan kadar gula darah, GDS
185 mg/dl, dan insulin masuk 8 UI melalui subcutan. Pukul 12.30 WIB
memberikan diit kepada pasien, respon pasien mengatakan akan mematuhi diit
sesuai diit dari RS, porsi RS dihabiskan oleh pasien.
Pada tanggal 11 April 2014 diagnosa ketiga hambatan mobilitas fisik
berhubungan dengan perubahan metabolisme sel yaitu pukul 07.00 WIB
membantu pasien dalam memenuhi kebutuhan ADL (bersama keluarga mandi
dan membantu cuci rambut pasien), respon pasaien mengatakan badan terasa
segar setelah sibin dan mandi, pasien tampak rileks, rambut bersih tidak
lengket, badan bersih, pasien tampak aktif dalam perawatan dan berusaha
untuk memenuhi kebutuhannya sendiri meskipun dibantu keluarga dan
perawat. Pukul 09.30 mengkaji kemampuan mobilisasi pasien, respon pasien
mengatakan kemampuan untuk merawat diri, toileting, berpakaian, mobilitas
di tempat tidur, berpindah, dan ambulasi dibantu oleh keluarga, untuk makan
dan minum pasien sudah mandiri, pasien tampak menghabiskan 1 porsi menu
dari RS, pasien terlihat lemah, terpasang infuse NACL 0,9% 20 tpm pada
tangan kanan dan kekuatan otot 5. Pukul 13.00 mengajarkan pasien dalam
latihan ROM, respon pasien mengatakan bersedia untuk dilakukan latihan
ROM, pasien tampak aktif dalam tindakan keperawatan.
Pada tanggal 12 April 2014 melanjutkan implementasi pada hari
ketiga, dilakukan implementasi sebagai berikut :
77
Pada tanggal 12 April 2014 diagnosa pertama nyeri kronis
berhubungan dengan agen injury biologis (neuropati perifer) yaitu pukul
07.35 WIB melakukan pengkajian nyeri, respon pasien mengatakan nyeri pada
kedua telapak kaki, nyeri timbul hanya saat melakukan aktivitas berlebih, jika
nyeri timbul terasa seperti ditusuk-tusuk dengan skala nyeri 3, nyeri dirasakan
hilang timbul dengan durasi 5 menit dan frekuensi jarang, wajah pasien
tampak rileks. Pukul 07.45 memonitor tanda-tanda vital, respon pasien
mengatakan bersedia untuk ditensi dan diperiksa, tekanan darah 120/80
mmHg, nadi 90 x/menit, suhu 36,8 OC, respirasi 18 x/menit. Pukul 10.00 WIB
melakukan teknik relaksasi berupa masase kaki, respon pasien mengatakan
nyeri pada kedua telapak kaki sudah berkurang, nyeri timbul hanya saat
melakukan aktivitas berlebih, nyeri terasa seperti ditusuk-tusuk dengan skala
nyeri dari 3 menjadi 2, nyeri dirasakan hilang timbul dengan durasi 5 menit
dan frekuensi jarang, wajah pasien tampak rileks.
Pada tanggal 12 April 2014 diagnosa kedua ketidakseimbangan
nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan penyakit kronis
(DM) yaitu pukul 08.00 WIB melakukan pemeriksaan kadar gula darah dan
memberikan injeksi insulin 8 UI, respon pasien mengatakan bersedia untuk
dilakukan pemeriksaan kadar gula darah, GDS 175 mg/dl, dan insulin masuk 8
UI melalui sub cutan. Pukul 08.10 WIB memberikan injeksi omeprazole 40
mg, obat masuk melalui intravena. Pukul 08.20 WIB memonitor intake nutrisi
pasien, Antropometri meliputi berat badan sebelum sakit 55 kg, berat badan
selama sakit 50 kg, tinggi badan 160 cm, IMT : 19,53. Biochemical data yaitu
78
Hb 12,5 ( Normal 12,0 – 18,0 g/dl ), Hematokrit 40% (33-45%), GDS 175
mg/dl, GDP 160 mg/dl. Clinical Sign yaitu distribusi rambut merata, bersih,
tidak kotor, kulit kering, turgor kulit elastis, mukosa bibir lembab,
konjungtiva tidak pucat, sclera putih, badan tampak rileks dan bertenaga,
penglihatan tidak kabur, pasien mengatakan nafsu makan sudah meningkat,
pasien mengatakan akan mematuhi dietnya sesuai program, pasien
mengatakan badan terasa segar, pasien menghabiskan semua porsi menu RS.
Dietary history yaitu pasien mengatakan diberi diit makan nasi, sayur, dan
lauk, pasien minum air putih 1000 cc/hari, susu 200cc/hari sesuai menu rumah
sakit. Pukul 09.30 WIB memberikan diet kepada pasien, respon pasien
mengatakan akan mematuhi diit sesuai program, semua porsi dihabiskan
sesuai menu RS. Pukul 12.00 WIB melakukan pemeriksaan kadar gula darah
dan memberikan injeksi insulin 8 UI, respon pasien mengatakan bersedia
untuk dilakukan pemeriksaan kadar gula darah, GDS 160 mg/dl, dan insulin
masuk 8 UI melalui sub cutan. Pukul 12.50 WIB memberikan diet kepada
pasien, respon pasien mengatakan akan mematuhi diet sesuai program, semua
porsi dihabiskan sesuai menu RS.
Pada tanggal 12 April 2014 diagnosa ketiga hambatan mobilitas fisik
berhubungan dengan perubahan metabolisme sel yaitu pukul 07.00 WIB
membantu pasien dalam memenuhi kebutuhan ADL (perawatan diri mandi)
dibantu juga oleh keluarga pasien, respon pasien mengatakan badan terasa
segar setelah sibin dan mandi, pasien tampak rileks, rambut bersih tidak
lengket, badan bersih, pasien tampak aktif dalam perawatan dan berusaha
79
untuk memenuhi kebutuhannya sendiri meskipun dibantu keluarga dan
perawat. Pukul 09.45 WIB mengkaji tingkat kemampuan mobilisasi pasien,
respon pasien mengatakan kemampuan untuk merawat diri, toileting,
berpakaian, berpindah, dan ambulasi dibantu oleh keluarga, untuk aktivitas di
tempat tidur seperti merubah posisi miring kanan atau kiri sudah bias mandiri,
makan dan minum pasien sudah mandiri, pasien mengtaakan sebagian
kegiatan pemenuhan kebutuhan masih diabntu keluarga, pasien mengatakan
badan terasa segar dan sudah tidak lemas, pasien tampak menghabiskan 1
porsi menu dari RS, pasien terlihat rileks, terpasang infuse NACL 0,9% 20
tpm pada tangan kanan dan kekuatan otot 5. Pukul 11.00 WIB membantu
pasien dalam mobilisasi duduk, pasien terlihat rileks dan aktif dalam
perawatan. Pukul 13.30 membantu pasien dalam ROM, respon pasien
mengatakan bersedia untuk melakukan latihan ROM, pasien tampak aktif
dalam tindakan keperawatan dan lebih bertenaga.
F. Evaluasi
Evaluasi hasil pada tanggal 10 April 2014 pukul 14.00 WIB yaitu :
Untuk diagnosa pertama nyeri kronis berhubungan dengan agen
injury biologis (neuropati perifer) pasien mengatakan nyeri pada kedua
telapak kaki, nyeri bertambah saat beraktifitas, nyeri seperti ditusuk-tusuk,
nyeri hilang timbul dengan skala nyeri dari 4 menjadi 3, durasi 5-10 menit,
dengan frekuensi kadang-kadang, pasien tampak meringis menahan nyeri,
tekanan darah 145/80 mmHg, nadi 90 x/menit, pernafasan 20 x/menit, suhu
36OC, masalah belum teratasi, intervensi dilanjutkan yaitu lakukan pengkajian
80
nyeri, ajarkan tekhnik relaksasi, monitor TTV, kolaborasi dengan dokter
dalam pemberian analgetik.
Untuk diagnosa kedua ketidakseimbangan nutrisi kurang dari
kebutuhan tubuh berhubungan dengan penyakit kronis (DM) pasien
mengatakan nafsu makan berkurang dan pasien mengatakan badan terasa
lemas, pasien tampak lemah, pasien terlihat menghabiskan setengah porsi dari
menu rumah sakit, pasien terlihat kurangnya minat pada makanan, berat badan
sebelum sakit 55 kg, berat badan selama sakit 50 kg, tinggi badan 160 cm,
IMT : 19,53. Pemeriksaan laboratorium tanggal 07 April 2014 meliputi Hb
12,5 g/dl, Hematokrit 40%, GDP 160 mg/dl, GDS tanggal 10 April 2014 190
mg/dl, kulit kering, turgor kulit elastis, mukosa bibir kering. konjungtiva tidak
anemis, sclera putih, badan terlihat lemah, masalah belum teratasi, intervensi
dilanjutkan yaitu monitor intake nutrisi, monitor kadar Hb, Ht, dan GDS,
informasikan kepada pasien untuk mematuhi dietnya, kolaborasi dengan ahli
gizi pemberian diet.
Untuk diagnosa ketiga hambatan mobilitas fisik berhubungan dengan
perubahan metabolisme sel pasien mengatakan badan terasa lelah dan lemas,
pasien mengatakan aktivitas dan kemampuan untuk merawat diri, makan
minum, toileting, berpakaian, mobilitas di tempat tidur, berpindah, dan
ambulasi dibantu oleh keluarga, pasien terlihat lemah, terpasang infuse NACL
0,9% 20 tpm pada tangan kanan, tekanan darah 145/80 mmHg, nadi 90
kali/menit, suhu 36oC, respirasi 20 kali/menit, dan kekuatan otot 5, masalah
belum teratasi, intervensi dilanjutkan yaitu kaji kemampuan mobilisasi pasien,
81
ajarkan pasien dalam latihan ROM aktif dan pasif, latih pasien dalam
kebutuhan aktivitas dan latihan, ubah posisi secara periodik sesuai keadaan
pasien.
Evaluasi hasil pada tanggal 11 April 2014 pukul 14.00 WIB yaitu :
Untuk diagnosa pertama nyeri kronis berhubungan dengan agen
injury biologis (neuropati perifer) pasien mengatakan nyeri pada kedua
telapak kaki sudah berkurang, dirasakan nyeri apabila beraktivitas, dengan
skala nyeri masih 3, nyeri seperti ditusuk-tusuk, nyeri hilang timbul dengan
durasi 5 menit dan frekuensi jarang-jarang, wajah pasien terlihat sedikit
tegang, tekanan darah 140/80 mmHg, nadi 89 x/menit, respirasi 18 x/menit,
suhu 36,5OC, masalah teratasi sebagian, intervensi dilanjutkan yaitu lakukan
pengkajian nyeri, ajarkan tekhnik relaksasi, monitor TTV, kolaborasi dengan
dokter dalam pemberian analgetik.
Untuk diagnosa kedua ketidakseimbangan nutrisi kurang dari
kebutuhan tubuh berhubungan dengan penyakit kronis (DM) pasien terlihat
kurangnya minat pada makanan, pasien mengatakan akan mematuhi diet
sesuai diet dari RS, badan terasa lemas, porsi RS hanya sisa 3 sendok, berat
badan sebelum sakit 55 kg, berat badan selama sakit 50 kg, tinggi badan 160
cm, IMT : 19,53. Pemeriksaan laborat tanggal 07 April 2014 meliputi Hb 12,5
g/dl, Hematokrit 40%, GDP 160 mg/dl, GDS tanggal 11 April 2014 180
mg/dl, turgor kulit elastis, mukosa bibir kering, konjungtiva tidak anemis,
sclera putih, badan terlihat masih lemah, masalah teratasi sebagian, intervensi
dilanjutkan yaitu monitor intake nutrisi, monitor kadar Hb, HT, dan GDS,
82
informasikan kepada pasien untuk mematuhi diitnya, kolaborasi dengan ahli
gizi pemberian diit.
Untuk diagnosa ketiga hambatan mobilitas fisik berhubungan dengan
perubahan metabolisme sel pasien mengatakan mengatakan kemampuan untuk
merawat diri, toileting, berpakaian, mobilitas di tempat tidur, berpindah, dan
ambulasi dibantu oleh keluarga, untuk makan dan minum pasien sudah
mandiri pasien tampak rileks, rambut bersih tidak lengket, badan bersih,
pasien tampak aktif dalam perawatan dan berusaha untuk memenuhi
kebutuhannya sendiri meskipun dibantu keluarga dan perawat, pasien terlihat
rileks, terpasang infuse NACL 0,9% 20 tpm pada tangan kanan dan kekuatan
otot 5, masalah teratasi sebagian, intervensi dilanjutkan yaitu kaji kemampuan
mobilisasi pasien, ajarkan pasien dalam latihan ROM aktif dan pasif, latih
pasien dalam kebutuhan aktivitas dan latihan, ubah posisi secara periodik
sesuai keadaan pasien.
Evaluasi hasil pada tanggal 12 April 2014 pukul 14.00 WIB yaitu :
Untuk diagnosa pertama nyeri kronis berhubungan dengan agen
injury biologis (neuropati perifer) pasien mengatakan nyeri pada kedua
telapak kaki sudah berkurang, nyeri timbul hanya saat melakukan aktivitas
berlebih, jika nyeri timbul terasa seperti ditusuk-tusuk dengan skala nyeri dari
3 menjadi 2, nyeri dirasakan hilang timbul dengan durasi 5 menit dan
frekuensi jarang, pasien mengatakan kaki terasa nyaman setelah di masase,
dan akan melakukan teknik relaksasi nafas dalam apabila nyeri timbul, wajah
pasien tampak rileks, tekanan darah 120/80 mmHg, nadi 90 x/menit, suhu 36,8
83
O
C, respirasi 18 x/menit, masalah teratasi sebagian, intervensi dilanjutkan
yaitu lakukan pengkajian nyeri, ajarkan tekhnik relaksasi, monitor TTV.
Untuk diagnosa kedua ketidakseimbangan nutrisi kurang dari
kebutuhan tubuh berhubungan dengan penyakit kronis (DM) pasien
mengatakan nafsu makan sudah meningkat, pasien mengatakan akan
mematuhi dietnya sesuai program, pasien mengatakan badan terasa segar,
berat badan sebelum sakit 55 kg, berat badan selama sakit 50 kg, tinggi badan
160 cm, IMT : 19,53. Pemeriksaan laborat tanggal 07 April 2014 meliputi Hb
12,5 g/dl, Hematokrit 40%, GDP 160 mg/dl, GDS tanggal 12 April 2014 160
mg/dl, kulit kering, turgor kulit elastis, mukosa bibir lembab, konjungtiva
tidak pucat, sclera putih, pasien menghabiskan semua porsi menu RS, masalah
teratasi sebagian, intervensi dilanjutkan yaitu monitor intake nutrisi, monitor
kadar Hb, Ht, dan GDS.
Untuk diagnosa ketiga hambatan mobilitas fisik berhubungan dengan
perubahan metabolisme sel pasien mengatakan kemampuan untuk merawat
diri, toileting, berpakaian, berpindah, dan ambulasi dibantu oleh keluarga,
untuk aktivitas di tempat tidur seperti merubah posisi miring kanan atau kiri
sudah bias mandiri, makan dan minum pasien sudah mandiri, pasien
mengtaakan sebagian kegiatan pemenuhan kebutuhan masih diabntu keluarga,
pasien mengatakan badan terasa segar dan sudah tidak lemas, pasien tampak
menghabiskan 1 porsi menu dari RS, pasien tampak rileks, rambut bersih tidak
lengket, badan bersih, pasien tampak aktif dalam perawatan dan berusaha
untuk memenuhi kebutuhannya sendiri meskipun dibantu keluarga dan
84
perawat, terpasang infuse NACL 0,9% 20 tpm pada tangan kanan dan
kekuatan otot 5, masalah teratasi sebagian, intervensi dilanjutkan yaitu kaji
kemampuan mobilisasi pasien, ajarkan pasien dalam latihan ROM aktif dan
pasif, latih pasien dalam kebutuhan aktivitas dan latihan.
BAB IV
PEMBAHASAN
Pada bab ini penulis akan membahas tentang Pemberian Masase Kaki
Terhadap Penurunan Nyeri Pada Asuhan Keperawatan Ny. S Dengan Diabetes
Melitus Tipe II Di Ruang Melati I Rsud Dr. Moewardi Surakarta. Disini penulis
akan membahas prioritas diagnosa keperawatan yang utama yaitu nyeri kronis
berhubungan dengan agen injuri biologis (neuropati perifer). Hal ini dilakukan
dengan alasan bahwa penulis membahas diagnosa tersebut sesuai aplikatif jurnal
pada penelitian yang telah dilakukan oleh Mulyati (2012) dengan judul “Pengaruh
Masase Kaki Secara Manual Terhadap Sensasi Proteksi, Nyeri, Dan Ankle
Brachial Index (ABI) Pada Diabetes Melitus Tipe II di RSUD Curup Bengkulu
2012”. Prinsip dari pembahasan ini dengan memperhatikan aspek tahapan proses
keperawatan
antara
lain
pengkajian,
diagnosa
keperawatan,
intervensi
keperawatan, implementasi, dan evaluasi.
Pengkajian adalah pemikiran dasar dari proses keperawatan yang
bertujuan untuk mengumpulkan informasi atau data tentang pasien, agar dapat
mengidentifikasi,
mengenali
masalah-masalah,
kebutuhan
kesehatan
dan
keperawatan klien, baik fisik, mental, sosial dan lingkungan (Dermawan, 2012).
Pengkajian dalam kasus ini dilaksanakan tanggal 10 April 2014 jam
07.00 WIB. Dalam pengambilan kasus ini penulis mengumpulkan data dengan
menggunakan metode Autoanamnesa yaitu pengkajian yang dilakukan secara
85
86
langsung kepada pasien. metode Alloanamnesa yaitu pengkajian yang melihat di
dasarkan data dalam status pasien dan dari keluarga.
Pada pengkajian yang didapatkan Ny. S mengeluh nyeri pada kedua
telapak kaki, nyeri bertambah saat beraktifitas, nyeri seperti ditusuk-tusuk, nyeri
hilang timbul dengan skala nyeri 4, durasi 5-10 menit, dengan frekuensi kadangkadang.
Nyeri pada pasien DM disebabkan karna tingginya kadar glukosa dalam
darah menyebabkan penebalan mikrovaskular sehingga akan terjadi iskemia dan
penurunan penyaluran oksigen ke jaringan. Diabetes Melitus merusak sistem saraf
perifer, termasuk komponen sensorik. Penyakit saraf yang menyerang diabetes
melitus disebut neuropati diabetik (Corwin, 2009). Gejala umum neuropati
perifer meliputi distalparastesia, nyeri seperti kesakitan atau terbakar atau seperti
tertusuk, dan kaki terasa dingin (Kohnle, 2008).
Pada kasus Ny. S ditemukan bahwa pasien mengalami penurunan berat
badan. Pasien mengatakan BB turun sebelumnya 55 kg menjadi 50 kg. Hal ini
disebabkan karena defisiensi insulin menganggu metabolisme protein dan lemak
sehingga menyebabkan penurunan berat badan (Price, 2005).
Pada kasus Ny. S mengeluh badan terasa lelah dan lemas, pasien
mengatakan aktivitas dan kemampuan untuk merawat diri, makan minum,
toileting, berpakaian, mobilitas di tempat tidur, berpindah, dan ambulasi dibantu
oleh keluarga. Hal ini disebabkan karena defisiensi insulin akan menggangu
metabolisme protein dan lemak yang akan menyebabkan menurunnya simpanan
kalori sehingga terjadi kelelahan dan kelemahan (Smeltzer, 2002). Rasa lelah dan
87
kelemahan otot akibat katabolisme protein di otot dan ketidakmampuan sebagian
besar sel untuk menggunakan glukosa sebagai energi. Aliran darah yang buruk
pada pasien diabetes kronis juga berperan menyebabkan kelelahan (Corwin,
2009).
Rasa lelah muncul karena menurunnya simpanan kalori, sebagai akibat
dari defisiensi insulin yang menggangu metabolisme protein dan lemak menurun
akibat dari berkurangnya glukosa dalam sel/jaringan. Kadar gula yang tinggi
menyebabkan glukosa tidak bisa secara optimal masuk ke dalam sel sehingga
pasien kekurangan energi dan mengalami kelemahan.
Menurut NANDA (2011) diagnosa keperawatan merupakan sebuah label
singkat yang menggambarkan kondisi pasien yang di observasi di lapangan.
Setelah penulis mendapatkan data-data dari pengkajian Ny. S tanggal 10 April
2014 pukul 07.00 WIB, penulis dapat merumuskan beberapa diagnosa
keperawatan.
Berdasarkan pengkajian yang telah dilakukan oleh penulis dapat
ditegakkan prioritas diagnosa
keperawatan
utama
adalah
nyeri kronis
berhubungan dengan agen biologis (neuropati perifer).
Menurut NANDA (2011) Nyeri kronis adalah pengalaman sensori dan
emosi yang tidak menyenangkan, akibat kerusakan jaringan aktual dan potensial
atau digambarkan dengan istilah kerusakan (international association for the
study of pain), awitan yang tiba-tiba atau perlahan dengan intensitas ringan
sampai berat dengan akhir yang dapat diantisipasi atau dapat diramalkan dan
durasinya lebih dari enam bulan. Diagnosa ini dapat dimunculkan apabila terdapat
88
batasan karakteristik berupa pasien mengeluh nyeri baik secara verbal maupun
isyarat, wajah meringis (topeng), perilaku melindungi, perilaku protektif yang
dapat diamati (NANDA, 2011).
Menurut Andarmoyo (2013) dalam Asosiasi Internasional mendefisikan
nyeri sebagai suatu sensori subjektif dan pengalaman emosional yang tidak
menyenangkan berkaitan dengan kerusakan jaringan yang aktual, potensial, atau
yang dirasakan dalam kejadian-kejadian saat terjadi kerusakan.
Nyeri pada pasien DM disebabkan karna tingginya kadar glukosa dalam
darah menyebabkan penebalan mikrovaskular sehingga akan terjadi iskemia dan
penurunan penyaluran oksigen ke jaringan. Diabetes Melitus merusak sistem saraf
perifer, termasuk komponen sensorik. Penyakit saraf yang menyerang Diabetes
Melitus disebut neuropati diabetik (Corwin, 2009). Gejala umum neuropati
perifer meliputi distal parastesia, nyeri seperti kesakitan atau terbakar atau seperti
tertusuk, dan kaki terasa dingin (Kohnle, 2008).
Diagnosa
keperawatan
kedua
yang
bisa
ditegakkan
adalah
ketidakseimbangan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan
penyakit kronis (DM).
Nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh suatu keadaan dimana asupan
nutrisi tidak mencukupi untuk memenuhi kebutuhan metabolik (NANDA, 2011).
Hal ini disebabkan karena ketidakcukupan insulin, penurunan masukan makanan
oral, status hipermetabolisme (Doengoes, 2000).
Diagnosa ini dapat dimunculkan apabila terdapat batasan karakteristik
berupa asupan makanan yang tidak adekuat, berat badan dibawah berat badan
89
ideal ditandai dengan pasien menolak makan, melaporkan kurangnya nafsu
makan, adanya bukti asupan makanan yang kurang, kurangnya minat terhadap
makanan, membran mukosa pucat, kelemahan (NANDA, 2011).
Pada Diabetes Melitus tipe II defisiensi insulin dapat menganggu
metabolisme protein dan lemak sehingga dapat menyebabkan penurunan berat
badan (Price, 2005).
Diagnosa keperawatan ketiga yang bisa ditegakkan adalah hambatan
mobilitas fisik berhubungan dengan perubahan metabolisme sel. Hambatan
mobilitas fisik adalah keterbatasan dalam, pergerakan fisik mandiri dan terarah
pada tubuh atau satu ekstremitas atau lebih (NANDA, 2011). Hal ini disebabkan
karena defisiensi insulin akan menggangu metabolisme protein dan lemak yang
akan menyebabkan menurunnya simpanan kalori sehingga terjadi kelelahan dan
kelemahan (Smeltzer, 2002).
Diagnosa ini dapat dimunculkan apabila terdapat batasan karakteristik
berupa hambatan kemampuan untuk merubah posisi, keterbatasan rentang
pergerakan sendi, keterbatasan kemampuan untuk melakukan pergerakan fisik,
kelemahan otot, mobilitas yang memuaskan, ketidakstabilan postur tubuh saat
melakukan aktivitas sehari-hari, dispnea saat beraktivitas (NANDA, 2011).
Rasa lelah dan kelemahan otot akibat katabolisme protein di otot dan
ketidakmampuan sebagian besar sel untuk menggunakan glukosa sebagai energi.
Aliran darah yang buruk pada pasien Diabetes kronis juga berperan menyebabkan
kelelahan (Corwin, 2009).
90
Perencanaan adalah suatu proses di dalam pemecahan masalah yang
merupakan keputusan awal tentang sesuatu apa yang akan dilakukan, bagaimana
dilakukan, kapan dilakukan, siapa yang melakukan dari semua tindakan
keperawatan (Dermawan, 2012).
Tujuan adalah pernyataan pasien dan perilaku keluarga yang dapat
diukur atau diobservasi (NANDA, 2011). Tujuan keperawatan adalah pernyataan
yang menjelaskan suatu tindakan yang dapat diukur berdasarkan kemampuan dan
kewenangan perawat (Dermawan, 2012).
Menurut Dermawan (2012) penulisan tujuan dan hasil berdasarkan
“SMART” meliputi specific yaitu dimana tujuan harus spesifik dan tidak
menimbulkan arti ganda, measurable yaitu dimana tujuan keperawatan harus
dapat diukur, khususnya tentang perilaku pasien (dapat dilihat, didengar,
dirasakan, dan dibau), achievable yaitu tujuan harus dapat dicapai, dan hasil yang
diharapkan, ditulis perawat, sebagai standar mengukur respon klien terhadap
asuhan keperawatan, reasonable/realistic yaitu dimana tujuan harus dapat
dipertanggungjawabkan secara ilmiah, tujuan dan hasil diharapkan singkat dan
realistis dengan cepat memberikan klien dan perawat suatu rasa pencapaian. time
yaitu batas pencapaian harus dinyatakan dalam penulisan kriteria hasil dan
mempunyai batasan waktu yang jelas.
Berdasarkan prioritas diagnosa keperawatan utama yaitu nyeri kronis
berhubungan dengan agen biologis (neuropati perifer). Tujuan dan intervensinya
adalah setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 3x24 jam diharapkan nyeri
dapat berkurang atau teratasi dengan kriteria hasil yaitu ekspresi wajah rileks,
91
skala nyeri 0, TTV dalam batas normal (Tekanan darah : 120/80 mmHg, nadi 60100 kali/menit, suhu 36oC, dan respirasi 16-20 x/menit).
Intervensi yang akan dilakukan pada prioritas diagnosa nyeri kronis
berhubungan dengan agen injury biologis (neuropati perifer) adalah kaji nyeri P
(provokatif atau paliatif), Q (kualitas atau kuantitas), R (regional atau area), S
(skala keparahan) ,T (time atau waktu) rasional : untuk mengetahui berapa berat
nyeri yang dialami pasien, ajarkan teknik relaksasi nafas dalam rasional :
mengurangi rasa nyeri yang dirasakan pasien, mengalihkan perhatian terhadap
nyeri, dan meningkatkan kontrol terhadap nyeri yang mungkin berlangsung lama,
informasikan kepada pasien bila nyeri timbul lakukan teknik relaksasi nafas dalam
rasional : agar pasien mengetahui bagaimana cara mengontrol nyeri, lakukan
teknik relaksasi masase rasional : mengurangi nyeri, kolaborasi dengan dokter
pemberian analgetik rasional : untuk mempercepat penyembuhan melalui terapi
obat.
Berdasarkan
prioritas
diagnosa
keperawatan
yang
kedua
ketidakseimbangan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan
penyakit kronis (DM). Tujuan dan intervensinya adalah setelah dilakukan
tindakan keperawatan selama 3x24 jam diharapkan Kebutuhan nutrisi terpenuhi
dengan kriteria hasil Asupan nutrisi adekuat, nafsu makan meningkat, Hb,
Albumin dalam batas normal, GDS dalam rentang normal.
Intervensi yang akan dilakukan pada diagnosa keperawatan kedua
ketidakseimbangan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan
penyakit kronis (DM) adalah kaji pola nutrisi ( A, B, C, D) rasional : untuk
92
mengetahui BB, Hb, turgor kulit dan tingkat keadekuatan pemasukan makanan,
monitor kadar gula darah sewaktu rasional : untuk menmantau fluktuasi kadar
gula darah, menginformasikan kepada pasien untuk makan diet dari rumah sakit
dan makan sedikit tapi sering rasional: agar pasien mengerti makanan apa saja
yang boleh dimakan dan menambah asupan nutrisi, kolaborasi dengan ahli gizi
untuk menentukan jumlah dan nutrisi yang dibutuhkan pasien rasional :
pemberian diet yang sesuai dapat mempercepat penurunan gula darah dan
mencegah komplikasi.
Berdasarkan prioritas diagnosa keperawatan yang ketiga hambatan
mobilitas fisik berhubungan dengan perubahan metabolisme sel. Tujuan dan
intervensinya adalah setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 3x24 jam
diharapkan hambatan mobilitas fisik dapat teratasi dengan kriteria hasil
melakukan aktifitas sendiri secara mandiri, meminta bantuan untuk aktifitas
sehari-hari.
Intervensi yang akan dilakukan pada diagnosa keperawatan hambatan
mobilitas fisik berhubungan dengan perubahan metabolisme sel adalah kaji
kemampuan mobilisasi pasien rasional : mengetahui tingkat kemampuan tingkat
mobilisasi pasien, ajarkan pasien dalam latihan ROM aktif dan ROM pasif
rasional : Meningkatkan sirkulasi darah muskuloskeletal, mempertahankan tonus
otot, mempertahakan gerak sendi, mencegah kontraktur/atrofi dan mencegah
reabsorbsi kalsium karena imobilisasi, latih pasien dalam kebutuhan aktivitas
sehari-hari rasional : Meningkatkan kemandirian klien dalam perawatan diri
sesuai kondisi keterbatasan klien. Ubah posisi secara periodik sesuai keadaan
93
klien rasional : Menurunkan insiden komplikasi kulit dan pernapasan dekubitus,
atelektasis, penumonia.
Implementasi adalah pelaksanaan rencana keperawatan oleh perawat dan
pasien, merupakan tahap keempat dari proses keperawatan yang dimulai setelah
perawat menyusun rencana keperawatan (Dermawan, 2012).
Implementasi keperawatan dilakukan mulai dari tanggal 10-12 April
2014. Implementasi yang akan dibahas pada pembahasan ini adalah tentang
masase kaki pada pasien untuk menurunkan nyeri.
Tindakan keperawatan yang telah dilaksanakan dengan diagnosa nyeri
kronis berhubungan dengan agen injury biologis (neuropati perifer) adalah
mengkaji nyeri dalam hal ini untuk mengetahui berapa berat nyeri yang dialami
pasien.
Tindakan
keperawatan
selanjutnya
yaitu
mengajarkan
dan
menginformasikan teknik relaksasi nafas dalam, teknik relaksasi nafas dalam
dilakukan apabila nyeri timbul, hal ini bertujuan untuk mengurangi rasa nyeri
yang dirasakan pasien dan mengetahui bagaimana cara mengontrol nyeri.
Teknik relaksasi lain yang digunakan penulis adalah dengan melakukan
masase yang bertujuan untuk mengurangi rasa nyeri yang dirasakan pasien.
Pemberian teknik masase yang dilakukan pada pasien ini sesuai dengan penelitian
yang dilakukan oleh Mulyati (2012) dengan judul “Pengaruh Masase Kaki Secara
Manual Terhadap Sensasi Proteksi, Nyeri, Dan Ankle Brachial Index (ABI) Pada
Diabetes Melitus Tipe II di RSUD Curup Bengkulu 2012”. Berdasarkan dari hasil
penelitian tersebut menunjukkan bahwa dimana masase kaki secara manual dapat
menurunkan nyeri kaki pada pasien DM tipe II.
94
Tindakan yang dilakukan untuk mencegah dan mengontrol terjadinya
neuropati diabetik pada pasien yang mengalami nyeri adalah dengan cara terapi
komplementari. Salah satu jenis komplementari terapi yang dapat di gunakan
adalah touch teraphy khususnya masase. Selain pengendalian kadar glukosa darah
dapat juga dilakukan masase pada daerah kaki secara rutin sertiap hari (Black &
Hawks, 2005).
Masase tersebut akan memberikan pengaruh yang positif terhadap tubuh,
dalam hal ini diindikasikan untuk keadaan tubuh yang sangat lelah, otot yang
kaku dan rasa nyeri pada persendian serta gangguan pada persarafan (Prihatin,
2013).
Masase merupakan teknik manipulasi pada jaringan lunak tubuh,
umumnya di lakukan untuk mengurangi stress dan kelelahan dan memperbaiki
sirkulasi (Associated Bodywork & masase professional, 2007). Masase adalah
stimulasi kutaneus tubuh secara umum, masase dapat membuat pasien lebih
nyaman karena masase membuat relaksasi otot. (Smeltzer, 2002).
Menurut Kusyati dkk (2006) tujuan masase meliputi yaitu mengurangi
ketegangan otot, meningkatkan relaksasi fisik dan psikologis, mengkaji kondisi
kulit, meningkatkan sirkulasi atau peredaran darah pada area yang di masase.
Maka dari itu dalam hal ini teknik relaksasi berupa masase kaki diterapkan dalam
pengimplementasian untuk megnurangi nyeri.
Menurut Tappan dan Benjamin (1998) dalam jurnal penelitian Mulyati
(2012) masase mempunyai manfaat langsung baik secara fisiologis maupun
psikologis. Masase dapat menciptakan respon relaksasi, meningkatkan proses
95
metabolisme, meningkatkan fungsi jaringan lympatik, mempercepat penyembuhan
dan relaksasi otot, mengurangi tegangan otot, dan tingkat stress. Masase dapat
memperbaiki sirkulasi darah, dan limfe, dengan cara meningkatkan hantaran
oksigen dan zat makanan kedalam sel tubuh, sekaligus juga meningkatkan
pengeluaran sampah metabolisme dari tubuh sehingga dapat mengurangi nyeri.
Menurut Badawi (2009) dalam jurnal penelitian Laksmi (2012) pada
pasien Diabetes Melitus terjadi perubahan elastisitas kapiler pembuluh darah,
penebalan dinding pembuluh darah, dan pembentukkan plak atau thrombus yang
menyebabkan vaskularisasi ke perifer terhambat. Foot massage dapat
mempengaruhi hormon tubuh yaitu dapat meningkatkan sekresi endorfin.
Menurut Ganong (2008) dalam jurnal penelitian Laksmi (2012) endorfin memiliki
efek narkotika alami yaitu mengurangi rasa sakit dan meningkatkan kegembiraan.
Impuls saraf yang dihasilkan diteruskan menuju hipotalamus untuk menghasilkan
carticotropin releasing factor (CRF). CRF merangsang kelenjar pituitary melalui
medulla adrenal sehingga produksi hormon endorfin meningkat. Endorfin yang
disekresikan kedalam peredaran darah mempengaruhi suasana hati menjadi rileks,
endorfin juga menyebabkan vasodilatasi pembuluh darah sehingga dapat
mengurangi rasa sakit atau nyeri.
Tindakan selanjutnya yang dilakukan untuk Ny. S dengan pemberian
terapi analgetik yaitu pemberian paracetamol 3x1 pemberian paracetamol kalau
perlu saja. Menurut ISO (2012) pemberian paracetamol diindikasikan juga untuk
nyeri. Menurut Salma (2011) paracetamol bekerja sebagai inhibitor prostaglandin
lemah dengan menghalangi produksi prostaglandin yang merupakan zat kimia
96
yang terlibat dalam proses pengiriman pesan rasa sakit ke otak, dengan
mengurangi jumlah prostaglandin, paracetamol membantu mengurangi rasa sakit.
Maka dalam hal ini paracetamol diberikan dalam pengimplementasian untuk
mengatasi nyeri pada Ny. S. Skala nyeri pasien 3 (nyeri ringan), hanya timbul saat
beraktivitas sehingga berdasasrkan advice dokter paracetamol diberikan jika perlu
saja.
Implementasi yang dilakukan untuk diagnosa yang kedua Nutrisi kurang
dari kebutuhan berhubungan dengan penyakit kronis (DM) adalah kaji pola nutrisi
A, B, C, D rasional : untuk mengetahui BB, Hb, turgor kulit dan tingkat
keadekuatan pemasukan makanan, monitor kadar gula darah sewaktu rasional :
untuk memantau fluktuasi kadar gula darah, menginformasikan kepada pasien
untuk makan diet dari rumah sakit dan makan sedikit tapi sering rasional : agar
pasien mengerti makanan apa saja yang boleh dimakan dan menambah asupan
nutrisi, kolaborasi dengan ahli gizi untuk menentukan jumlah dan nutrisi yang
dibutuhkan pasien rasional : pemberian diet yang sesuai dapat mempercepat
penurunan gula darah dan mencegah komplikasi.
Implementasi yang dilakukan untuk diagnosa yang ketiga Hambatan
mobilitas fisik berhubungan dengan perubahan metabolisme sel adalah Kaji
kemampuan mobilisasi pasien Rasional: mengetahui tingkat kemampuan tingkat
mobilisasi pasien, Ajarkan pasien dalam latihan ROM aktif maupun pasif
Rasional :
meningkatkan
sirkulasi darah,
mempertahakan gerak sendi,
mempertahankan tonus otot,
mencegah kontraktur/atrofi dan mencegah
reabsorbsi kalsium karena imobilisasi, Latih pasien dalam memenuhi kebutuhan
97
ADL Rasional : meningkatkan kemandirian klien dalam perawatan diri sesuai
kondisi keterbatasan klien, Ubah posisi secara periodik sesuai keadaan klien
Rasional : menurunkan insiden komplikasi kulit dan pernapasan (dekubitus,
atelektasis, penumonia).
Tahap evaluasi adalah kegiatan mengukur pencapaian tujuan klien dan
menentukan keputusan dengan cara membandingkan data yang terkumpul dengan
tujuan dan pencapaian tujuan (Nursalam, 2009).
Evaluasi yang diterapkan dalam proses asuhan keperawatan yang
diberikan pada Ny. S ini dilakukan dalam bentuk catatan perkembangan, dengan
membandingkan tujuan yang ingin dicapai dan kenyataan yang ada secara
obyektif serta rasional.
Menurut Dermawan (2012) penulisan evaluasi berdasarkan pada SOAP.
S (Subjective data atau data subyektif), O (Objective data atau data obyektif), A
(Analysis atau analisis), P (Plan of care atau rencana asuhan keperawatan).
Evaluasi hasil pada tanggal 10 April 2014 pukul 14.00 WIB yaitu Untuk
diagnosa pertama nyeri kronis berhubungan dengan agen injury biologis
(neuropati perifer). S : pasien mengatakan nyeri pada kedua telapak kaki, nyeri
bertambah saat beraktifitas, nyeri seperti ditusuk-tusuk, nyeri hilang timbul
dengan skala nyeri 4, durasi 5-10 menit, dengan frekuensi kadang-kadang. O :
pasien tampak meringis menahan nyeri, tekanan darah 145/80 mmHg, nadi 90
x/menit, pernafasan 20 x/menit, suhu 36OC. A : masalah belum teratasi. P :
intervensi dilanjutkan yaitu lakukan pengkajian nyeri, ajarkan tekhnik relaksasi,
monitor TTV, kolaborasi dengan dokter dalam pemberian analgetik.
98
Untuk diagnosa kedua ketidakseimbangan nutrisi kurang dari kebutuhan
tubuh berhubungan dengan penyakit kronis (DM). S : pasien mengatakan pasien
mengatakan nafsu makan berkurang dan pasien mengatakan badan terasa lemas.
O : pasien tampak lemah, pasien terlihat menghabiskan setengah porsi dari menu
rumah sakit, pasien terlihat kurangnya minat pada makanan, berat badan sebelum
sakit 55 kg, berat badan selama sakit 50 kg, IMT : 19,53, tinggi badan 160 cm,
pemeriksaan laboratorium tanggal 07 April 2014 meliputi Hb 12,5 ( Normal 12,0
– 18,0 g/dl ), Hematokrit 40% (33-45%), GDP 160 mg/dl, GDS tanggal 10 April
2014 190 mg/dl, kulit kering, turgor kulit elastis, mukosa bibir kering. konjungtiva
tidak anemis, sclera putih, badan terlihat lemah. A : masalah belum teratasi. P :
intervensi dilanjutkan yaitu monitor intake nutrisi, monitor kadar Hb, HT, dan
GDS, informasikan kepada pasien untuk mematuhi diitnya, kolaborasi dengan ahli
gizi pemberian diet.
Untuk diagnosa ketiga hambatan mobilitas fisik berhubungan dengan
perubahan metabolisme sel. S : pasien mengatakan badan terasa lelah dan lemas,
pasien mengatakan aktivitas dan kemampuan untuk merawat diri, makan minum,
toileting, berpakaian, mobilitas di tempat tidur, berpindah, dan ambulasi dibantu
oleh keluarga. O : pasien terlihat lemah, terpasang infuse NACL 0,9% 20 tpm
pada tangan kanan, tekanan darah 145/80 mmHg, nadi 90 kali/menit, suhu 36oC,
respirasi 20 kali/menit, dan kekuatan otot 5. A : masalah belum teratasi. P :
intervensi dilanjutkan yaitu kaji kemampuan mobilisasi pasien, ajarkan pasien
dalam latihan ROM aktif dan pasif, latih pasien dalam kebutuhan aktivitas dan
latihan, ubah posisi secara periodik sesuai keadaan pasien.
99
Evaluasi hasil pada tanggal 11 April 2014 pukul 14.00 WIB yaitu untuk
diagnosa pertama nyeri kronis berhubungan dengan agen injury biologis
(neuropati perifer). S : pasien mengatakan nyeri pada kedua telapak kaki sudah
berkurang, dirasakan nyeri apabila beraktivitas, dengan skala nyeri 3, nyeri seperti
ditusuk-tusuk, nyeri hilang timbul dengan durasi 5 menit dan frekuensi jarangjarang. O : wajah pasien terlihat sedikit tegang, tekanan darah 140/80 mmHg, nadi
89 x/menit, respirasi 18 x/menit, suhu 36,5OC. A : masalah teratasi sebagian. P :
intervensi dilanjutkan yaitu lakukan pengkajian nyeri, ajarkan tekhnik relaksasi,
monitor TTV, kolaborasi dengan dokter dalam pemberian analgetik.
Untuk diagnosa kedua ketidakseimbangan nutrisi kurang dari kebutuhan
tubuh berhubungan dengan penyakit kronis (DM). S : pasien kurangnya minat
pada makanan, badan terasa lemas, pasien mengatakan akan mematuhi diit sesuai
diet dari RS. O : porsi RS hanya sisa 3 sendok, berat badan sebelum sakit 55 kg,
berat badan selama sakit 50 kg, tinggi badan 160 cm, IMT : 19,53. Pemeriksaan
laborat tanggal 07 April 2014 meliputi Hb 12,5 ( Normal 12,0 – 18,0 g/dl ),
Hematokrit 40% (33-45%), GDP 160 mg/dl, GDS tanggal 11 April 2014 180
mg/dl, turgor kulit elastis, mukosa bibir kering. konjungtiva tidak anemis, sclera
putih, badan terlihat masih lemah. A : masalah teratasi sebagian. P : intervensi
dilanjutkan yaitu monitor intake nutrisi, monitor kadar Hb, Ht, dan GDS,
informasikan kepada pasien untuk mematuhi dietnya, kolaborasi dengan ahli gizi
pemberian diet.
Untuk diagnosa ketiga hambatan mobilitas fisik berhubungan dengan
perubahan metabolisme sel S : pasien mengatakan mengatakan kemampuan untuk
100
merawat diri, toileting, berpakaian, mobilitas di tempat tidur, berpindah, dan
ambulasi dibantu oleh keluarga, untuk makan dan minum pasien sudah mandiri. O
: pasien tampak rileks, rambut bersih tidak lengket, badan bersih, pasien tampak
aktif dalam perawatan dan berusaha untuk memenuhi kebutuhannya sendiri
meskipun dibantu keluarga dan perawat, pasien terlihat rileks, terpasang infuse
NACL 0,9% 20 tpm pada tangan kanan dan kekuatan otot 5. A : masalah teratasi
sebagian. P : intervensi dilanjutkan yaitu kaji kemampuan mobilisasi pasien,
ajarkan pasien dalam latihan ROM aktif dan pasif, latih pasien dalam kebutuhan
aktivitas dan latihan, ubah posisi secara periodik sesuai keadaan pasien.
Evaluasi hasil pada tanggal 12 April 2014 pukul 14.00 WIB yaitu untuk
diagnosa pertama nyeri kronis berhubungan dengan agen injury biologis
(neuropati perifer). S : pasien mengatakan nyeri pada kedua telapak kaki sudah
berkurang, nyeri timbul hanya saat melakukan aktivitas berlebih, jika nyeri timbul
terasa seperti ditusuk-tusuk dengan skala nyeri 2, nyeri dirasakan hilang timbul
dengan durasi 5 menit dan frekuensi jarang, pasien mengatakan kaki terasa
nyaman setelah di masase, dan akan melakukan teknik relaksasi nafas dalam
apabila nyeri timbul. O : wajah pasien tampak rileks, tekanan darah 120/80
mmHg, nadi 90 x/menit, suhu 36,8 OC, respirasi 18 x/menit. A : masalah teratasi
sebagian. P : intervensi dilanjutkan yaitu lakukan pengkajian nyeri, ajarkan
tekhnik relaksasi, monitor TTV.
Dalam melaksanakan implementasi sesuai aplikatif jurnal yang telah
dilakukan Mulyati (2012) dengan judul “Pengaruh Masase Kaki Secara Manual
Terhadap Sensasi Proteksi, Nyeri, Dan Ankle Brachial Index (ABI) Pada Diabetes
101
Melitus Tipe II di RSUD Curup Bengkulu 2012”, hasil evaluasi akhir masalah
teratasi sebagian karena mengingat keterbatasan waktu pengelolaan pada asuhan
keperawatan hanya dilakukan selama 3 hari, sedangkan pada jurnal penelitian
pengelolaan dilakukan selama 10 hari.
Untuk diagnosa kedua ketidakseimbangan nutrisi kurang dari kebutuhan
tubuh berhubungan dengan penyakit kronis (DM). S : pasien mengatakan nafsu
makan sudah meningkat, pasien mengatakan akan mematuhi diitnya sesuai
program, pasien mengatakan badan terasa segar, berat badan sebelum sakit 55 kg,
berat badan selama sakit 50 kg, tinggi badan 160 cm, IMT : 19,53. O :
Pemeriksaan laborat tanggal 07 April 2014 meliputi Hb 12,5 ( Normal 12,0 – 18,0
g/dl ), Hematokrit 40% (33-45%), GDS tanggal 12 April 2014 160 mg/dl, kulit
kering, turgor kulit elastis, mukosa bibir lembab, konjungtiva tidak pucat, pasien
menghabiskan semua porsi menu RS. A : masalah teratasi sebagian. P : intervensi
dilanjutkan yaitu monitor intake nutrisi, monitor kadar Hb, HT, dan GDS.
Untuk diagnosa ketiga hambatan mobilitas fisik berhubungan dengan
perubahan metabolisme sel. S : pasien mengatakan mengatakan kemampuan
untuk merawat diri, toileting, berpakaian, berpindah, dan ambulasi dibantu oleh
keluarga, untuk aktivitas di tempat tidur seperti merubah posisi miring kanan atau
kiri sudah bias mandiri, makan dan minum pasien sudah mandiri, pasien
mengtakan sebagian kegiatan pemenuhan kebutuhan masih diabntu keluarga,
pasien mengatakan badan terasa segar dan sudah tidak lemas. O : pasien tampak
menghabiskan 1 porsi menu dari RS, pasien tampak rileks, rambut bersih tidak
lengket, badan bersih, pasien tampak aktif dalam perawatan dan berusaha untuk
102
memenuhi kebutuhannya sendiri meskipun dibantu keluarga dan perawat,
terpasang infuse NACL 0,9% 20 tpm pada tangan kanan dan kekuatan otot 5. A :
masalah teratasi sebagian. P : intervensi dilanjutkan yaitu kaji kemampuan
mobilisasi pasien, ajarkan pasien dalam latihan ROM aktif dan pasif, latih pasien
dalam kebutuhan aktivitas dan latihan.
BAB V
SIMPULAN DAN SARAN
Dalam bab ini penulis akan menguraikan tentang kesimpulan dan saran
dari Pemberian Masase Kaki Terhadap Penurunan Nyeri Pada Asuhan
Keperawatan Ny. S Dengan Diabetes Melitus Tipe II Di Ruang Melati I Rsud Dr.
Moewardi Surakarta.
A. Simpulan
1. Pengkajian
Pada kasus Ny. S hasil pengkajian didapatkan data subyektif
yaitu pasien mengatakan nyeri pada kedua telapak kaki, nyeri bertambah
saat beraktifitas, nyeri seperti ditusuk-tusuk, nyeri hilang timbul dengan
skala nyeri 4, durasi 5-10 menit, dengan frekuensi kadang-kadang. Data
obyektif diperoleh data pasien tampak meringis menahan nyeri,
pemeriksaan tanda-tanda vital (tekanan darah 145/80 mmHg, nadi 90
kali/menit, suhu 36oC, dan respirasi 20 x/menit), Ny. S mempunyai
riwayat Diabetes Melitus sejak 2 tahun yang lalu.
Pada kasus Ny. S hasil pengkajian didapatkan data subyektif dan
data obyektif. Data subyektif yaitu pasien mengatakan nafsu makan
berkurang dan pasien mengatakan badan terasa lemas. Data obyektif
diperoleh data pasien tampak lemah, pasien terlihat menghabiskan
setengah porsi dari menu rumah sakit, pasien terlihat kurangnya minat
pada makanan, berat badan sebelum sakit 55 kg, berat badan selama sakit
103
104
50 kg, tinggi badan 160 cm, IMT : 19,53, Hb 12,5 ( Normal 12,0 – 18,0
g/dl ), Hematokrit 40% (33-45%), GDP 160 mg/dl, GDS 200 mg/dl, kulit
kering, turgor kulit elastis, mukosa bibir kering. Konjungtiva tidak anemis,
sclera putih, badan terlihat lemah. Berdasarkan data fokus tersebut penulis
melakukan analisa data dan merumuskan diagnosa keperawatan kedua
yaitu ketidakseimbangan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan
dengan penyakit kronis ( DM ).
Pada kasus Ny. S hasil pengkajian didapatkan data subyektif dan
data obyektif. Data subyektif yaitu pasien mengatakan badan terasa lelah
dan lemas, pasien mengatakan aktivitas dan kemampuan untuk merawat
diri, makan minum, toileting, berpakaian, mobilitas di tempat tidur,
berpindah, dan ambulasi dibantu oleh keluarga. Data obyektif diperoleh
data pasien terlihat lemah, terpasang infuse NACL 0,9% 20 tpm pada
tangan kanan. pemeriksaan tanda-tanda vital (tekanan darah 145/80
mmHg, nadi 90 kali/menit, suhu 36oC, dan respirasi 20 x/menit), dan
kekuatan otot 5. Berdasarkan data fokus tersebut penulis melakukan
analisa data dan merumuskan diagnosa keperawatan ketiga yaitu hambatan
mobilitas fisik berhubungan dengan perubahan metabolisme sel.
2. Diagnosa keperawatan
Dari data pengkajian yang didapatkan maka dapat dirumuskan
diagnosa keperawatan utama adalah nyeri kronis berhubungan dengan
agen injury biologis (neuropati perifer). Diagnosa keperawatan yang
kedua
ketidakseimbangan
nutrisi
kurang
dari
kebutuhan
tubuh
105
berhubungan dengan penyakit kronis ( DM ). Diagnosa keperawatan yang
ketiga
hambatan
mobilitas fisik berhubungan
dengan perubahan
metabolisme sel.
3. Intervensi
Perencanaan yang di lakukan selama 3x24 jam untuk diagnosa
pertama nyeri kronis berhubungan dengan agen injury biologis (neuropati
perifer) antara lain kaji nyeri ( P, Q, R, S, T ) (rasional : Mempengaruhi
pilihan, keefektifan intervensi serta untuk mengetahui berapa berat nyeri
yang dialami pasien), memberikan teknik relaksasi masase (rasional :
mengurangi rasa nyeri yang dirasakan pasien, Mengalihkan perhatian
terhadap nyeri, dan meningkatkan kontrol terhadap nyeri yang mungkin
berlangsung lama), informasikan kepada pasien bila nyeri timbul lakukan
teknik relaksasi nafas dalam (rasional : agar pasien mengetahui bagaimana
cara mengontrol nyeri), kolaborasi dengan dokter pemberian analgetik
(rasional : untuk mempercepat penyembuhan melalui terapi obat).
Perencanaan yang dilakukan selama 3x24 jam untuk diagnosa
kedua
ketidakseimbangan
nutrisi
kurang
dari
kebutuhan
tubuh
berhubungan dengan penyakit kronis (DM) antara lain kaji pola nutrisi (
A, B, C, D ) (Rasional: untuk mengetahui BB, Hb, turgor kulit dan tingkat
keadekuatan pemasukan makanan), monitor kadar gula darah sewaktu
(rasional: untuk memantau fluktuasi kadar gula darah), menginformasikan
kepada pasien untuk makan diet dari rumah sakit dan makan sedikit tapi
sering (rasional: agar pasien mengerti makanan apa saja yang boleh
106
dimakan dan menambah asupan nutrisi), kolaborasi dengan ahli gizi untuk
menentukan jumlah dan nutrisi yang dibutuhkan pasien (rasional:
pemberian diet yang sesuai dapat mempercepat penurunan gula darah dan
nmencegah komplikasi).
Perencanaan yang dilakukan selama 3x24 jam untuk diagnosa
hambatan mobilitas fisik berhubungan dengan perubahan metabolisme sel
antara lain kaji kemampuan mobilisasi pasien (rasional: mengetahui
tingkat kemampuan tingkat mobilisasi pasien), ajarkan pasien dalam
latihan ROM aktif dan ROM pasif (rasional: Meningkatkan sirkulasi darah
muskuloskeletal, mempertahankan tonus otot, mempertahakan gerak
sendi, mencegah kontraktur/atrofi dan mencegah reabsorbsi kalsium
karena imobilisasi), latih pasien dalam kebutuhan aktivitas sehari-hari
(rasional:Meningkatkan kemandirian klien dalam perawatan diri sesuai
kondisi keterbatasan klien). Ubah posisi secara periodik sesuai keadaan
klien (rasional:Menurunkan insiden komplikasi kulit dan pernapasan
(dekubitus, atelektasis, penumonia)).
4. Implementasi
Implementasi yang di lakukan selama 3x24 jam untuk diagnosa
pertama nyeri kronis berhubungan dengan agen injury biologis (neuropati
perifer) antara lain kaji nyeri ( P, Q, R, S, T ) (rasional : Mempengaruhi
pilihan, keefektifan intervensi serta untuk mengetahui berapa berat nyeri
yang dialami pasien), memberikan teknik relaksasi masase (rasional :
mengurangi rasa nyeri yang dirasakan pasien, Mengalihkan perhatian
107
terhadap nyeri, dan meningkatkan kontrol terhadap nyeri yang mungkin
berlangsung lama), informasikan kepada pasien bila nyeri timbul lakukan
teknik relaksasi nafas dalam (rasional : agar pasien mengetahui bagaimana
cara mengontrol nyeri), kolaborasi dengan dokter pemberian analgetik
(rasional : untuk mempercepat penyembuhan melalui terapi obat).
Implementasi yang dilakukan selama 3x24 jam untuk diagnosa
kedua
ketidakseimbangan
nutrisi
kurang
dari
kebutuhan
tubuh
berhubungan dengan penyakit kronis (DM) antara lain kaji pola nutrisi (
A, B, C, D ) (Rasional: untuk mengetahui BB, Hb, turgor kulit dan tingkat
keadekuatan pemasukan makanan), monitor kadar gula darah sewaktu
(rasional: untuk memantau fluktuasi kadar gula darah), menginformasikan
kepada pasien untuk makan diet dari rumah sakit dan makan sedikit tapi
sering (rasional: agar pasien mengerti makanan apa saja yang boleh
dimakan dan menambah asupan nutrisi), kolaborasi dengan ahli gizi untuk
menentukan jumlah dan nutrisi yang dibutuhkan pasien (rasional:
pemberian diet yang sesuai dapat mempercepat penurunan gula darah dan
nmencegah komplikasi).
Implementasi yang dilakukan selama 3x24 jam untuk diagnosa
hambatan mobilitas fisik berhubungan dengan perubahan metabolisme sel
antara lain kaji kemampuan mobilisasi pasien (rasional: mengetahui
tingkat kemampuan tingkat mobilisasi pasien), ajarkan pasien dalam
latihan ROM aktif dan ROM pasif (rasional: Meningkatkan sirkulasi darah
muskuloskeletal, mempertahankan tonus otot, mempertahakan gerak
108
sendi, mencegah kontraktur/atrofi dan mencegah reabsorbsi kalsium
karena imobilisasi), latih pasien dalam kebutuhan aktivitas sehari-hari
(rasional:Meningkatkan kemandirian klien dalam perawatan diri sesuai
kondisi keterbatasan klien). Ubah posisi secara periodik sesuai keadaan
klien (rasional:Menurunkan insiden komplikasi kulit dan pernapasan
(dekubitus, atelektasis, pneumonia)).
5. Evaluasi
Hasil evaluasi pada tanggal 12 April 2014 masalah keperawatan
utama dengan diagnosa nyeri kronis berhubungan dengan agen injury
biologis
(neuropati
perifer)
masalah
teratasi
sebagian.
Masalah
keperawatan kedua dengan diagnosa ketidakseimbangan nutrisi kurang
dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan penyakit kronis ( DM )
masalah teratasi sebagian. Masalah keperawatan ketiga dengan diagnosa
hambatan mobilitas fisik berhubungan dengan perubahan metabolisme sel
masalah teratasi sebagian.
6. Analisa
Hasil evaluasi akhir masalah keperawatan dengan diagnosa
utama nyeri kronis berhubungan dengan agen injury biologis (neuropati
perifer) sesuai aplikatif jurnal yang telah dilakukan Mulyati (2012) dengan
judul “Pengaruh Masase Kaki Secara Manual Terhadap Sensasi Proteksi,
Nyeri, Dan Ankle Brachial Index (ABI) Pada Diabetes Melitus Tipe II di
RSUD Curup Bengkulu 2012”, pada awal pengkajian didapatkan data
bahwa pasien mengatakan nyeri pada kedua telapak kaki, nyeri bertambah
109
saat beraktifitas, nyeri seperti ditusuk-tusuk, nyeri hilang timbul dengan
skala nyeri dari 4, durasi 5-10 menit, dengan frekuensi kadang-kadang,
pasien tampak meringis menahan nyeri, sedangkan pada evaluasi akhir
setelah dilakukan masase didapatkan data pasien mengatakan nyeri pada
kedua telapak kaki sudah berkurang, nyeri timbul hanya saat melakukan
aktivitas berlebih, jika nyeri timbul terasa seperti ditusuk-tusuk dengan
skala nyeri 2, nyeri dirasakan hilang timbul dengan durasi 5 menit dan
frekuensi jarang, pasien mengatakan kaki terasa nyaman setelah di
masase, dan akan melakukan teknik relaksasi nafas dalam apabila nyeri
timbul, wajah pasien tampak rileks sehingga hasil evaluasi akhir yaitu
masalah teratasi sebagian tetapi hal ini belum sesuai dengan jurnal
penelitian karena mengingat keterbatasan waktu pengelolaan pada asuhan
keperawatan hanya dilakukan selama 3 hari, sedangkan pada jurnal
penelitian dilakukan selama 10 hari.
B. Saran
Setelah penulis melaksanakan Pemberian Masase Kaki Terhadap
Penurunan Nyeri Pada Asuhan Keperawatan Ny. S Dengan Diabetes Melitus
Tipe II Di Ruang Melati I RSUD Dr. Moewardi Surakarta, penulis ingin
menyampaikan saran sebagai berikut :
1. Bagi penulis
Diharapkan
dapat
menjadi
pengalaman
belajar
meningkatkan ketrampilan pemberian asuhan keperawatan.
dalam
110
2. Bagi instansi rumah sakit
Diharapkan dapat meningkatkan pemberian pelayanan kesehatan
yang berkaitan dengan Diabetes melitus tipe II dengan melakukan masase
kaki pada pasien Diabetes Melitus tipe II.
3. Bagi institusi pendidikan
Diharapkan dapat menjadikan bahan referensi khususnya
keperawatan medikal bedah dalam penanganan kasus Diabetes Melitus
tipe II.
4. Bagi pasien dan keluarga
Diharapkan dengan informasi dan pengetahuan tentang cara
mengontrol nyeri pada pasien Diabetes Melitus tipe II, pasien dan keluarga
dapat menerapkan teknik masase dalam perawatan mandiri di RS maupun
perawatan di rumah.
DAFTAR PUSTAKA
Andarmoyo, Sulistyo. (2013). Konsep & Proses Keperawatan Nyeri. Jogjakarta :
Ar-Ruzz Media.
Associated bodywork & Massage professional. 2007. Learn about Massage.
http://www.massagetherapy.com/learnmore/index.php diakses tanggal 13
april 2014.
Black, J, & hawks, J. 2005. Medical surgical Nursing (7 th ed) St Louis:Elsevier
Saunders Booya et al. Potential risk Factors For Diabetic neuropathy : a
case control study. http://wwww.biomedcentral.com/1471 diakses tanggal
13 April 2014.
Brashers, Valentina L. (2007). Aplikasi Klinis Patofisiologi. Jakarta : EGC.
Corwin, J.E. (2009). Buku Saku Patofisiologi Edisi Revisi 3. Jakarta : EGC.
Dermawan, deden. (2012). Proses Keperawatan. Yogyakarta : Gosyen
Publishing.
Doenges, M.E., Moorhouse, M.F., and Gelssler, A.C. (2000). Rencana Asuhan
Keperawatan: Pedoman untuk Perencanaan dan pendokumentasian Edisi
3 Alih Bahasa: I Made Sumarwati. Jakarta: EGC.
International diabetes Federation. 2011. Diabetes Evidence Demands real action
From The Un summit On non-communicable Diseases. http:// www.idf.org
/ diabetes-evidence- demands-real-action-un- summit-non-communicablediseases Diakses tanggal 13 April 2014.
Kohnle. 2008. Sysmtom of diabetic neuropathy. http: //diabetes.noddk .nih.gov/
dm/pubs/neuropathies diakses tanggal 13 April 2014.
Kusyati, Eni, dkk. (2006). Ketrampilan dan Prosedure Laboratorium. Jakarta :
EGC.
Laksmi, dkk. (2012). “Pengaruh Foot Massage Terhadap Ankle Brachial Index
(ABI) Pada Pasien DM Tipe 2 Di Puskesmas II Denpasar Barat Tahun
2012”. Skripsi Universitas Udayana Fakultas Kedokteran Program Studi
Ilmu Keperawatan.
Mulyati, Leli. (2012). “Pengaruh Masase Kaki secara Manual Terhadap Sensasi
Proteksi, Nyeri, dan Ankle Brachial Index (ABI) pada Diabetes Melitus
Tipe II Di RSUD Curup Bengkulu tahun 2012”. Skripsi Akademi
Kesehatan Sapta Bakti Bengkulu Program Studi Ilmu Keperawatan.
NANDA. (2012). Diagnosis Keperawatan. Jakarta : EGC.
Nursalam. (2009). Proses dan Dokumentasi Keperawatan. Jakarta : Salemba
Medika.
Price & Wilson. (2005). Patofisiologi Konsep Klinis Proses-Proses Penyakit.
Jakarta: EGC.
Prihatin, Pipin Tresna. 2013. Masase. http : // file.upi.edu/Direktori /FPTK?
JUR.PEND. KESEJAHTERAAN KELUARGA/ 1 96310161990012PIPIN TRESNA PRIHATIN/BG 123 Dasar Rias (Pipin)/Bahan ajar 4
Dasar Rias.pdf. diakses tanggal 14 april 2014.
Salma.
2011.
Paracetamol
Analgesik
dan
Antipiretik
Terpopuler.
http:/majalahkesehatan.com/paracetamol-analgesik-danantipiretikterpopuler/ diakses tanggal 14 april 2014.
Smeltzer, S.C&Bare, B.G. (2001). Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah
Brunner&Suddarth, Edisi 8. Jakarta : EGC.
Sudoyo. (2006). Buku Ajar Penyakit Ilmu dalam (edisi 3). Jakarta : pusat Penerbit
Departemen penyakit Dalam FKUI.
Sujono & Sukarmin. (2008). Asuhan Keperawatan pada Pasien dengan
Gangguan Eksokrin & Endokrin pada Pankreas. Yogyakarta : Graha
Ilmu.
Wilkinson, mJudith M. (2006). Buku saku Diagnosis Keperawatan dengan
Intervensi NIC dan Kriteria Hasil NOC. Jakarta : EGC.
Download