KRIMINALISASI PERKAWINAN DI BAWAH UMUR (Studi Komparatif Undang-Undang Hukum Keluarga di Indonesia dan Pakistan) Skripsi Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Hukum (S.H) Oleh: JENNY NULADANI NIM. 1112044200013 PROGRAM STUDI HUKUM KELUARGA FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA 1437 H / 2016 M ABSTRAK Jenny Nuladani, NIM 1112044200013, Kriminalisasi Perkawinan di Bawah Umur (Studi Komparatif Undang-Undang Hukum Keluarga di Indonesia dan Pakistan). Konsentrasi Administrasi Keperdataan Islam Program Studi Hukum Keluarga Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta, 1437 H/ 2016 M. Skripsi ini bertujuan untuk mengetahui bagaimana pandangan ahli hukum Islam terhadap perkawinan di bawah umur menurut hukum perkawinan di Indonesia dan Pakistan, pandangan hukum Islam terhadap hukum positif dalam kriminalisasi perkawinan di bawah umur, apa segi-segi persamaan dan perbedaan perkawinan di bawah umur di Indonesia dan Pakistan. Penelitian ini merupakan penelitian normative yuridis, dengan meneliti Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang perkawinan, Kompilasi Hukum Islam, Child Marriage Restraint Act tahun 1929 sebagaimana diubah dengan Muslim Family Law Ordinance (MFLO) tahun 1961, berbagai buku, majalah, surat kabar, dan tulisan-tulisan ilmiah lainnya yang ada hubungannya dengan judul yang di bahas dalam skripsi ini. Adapun data yang diperoleh dan digunakan serta dianalisis secara kualitatif. Hasil penelitian menunjukan adanya perbedaan antara peraturan perkawinan di bawah umur antara Indonesia dan Pakistan, diantaranya di Pakistan melarang adanya perkawinan anak (perkawinan di bawah umur) dengan memberikan sanksi bagi pelaku, calon mempelai, ataupun yang ikut berpartisipasi dalam acara perkawinan tersebut yaitu dengan hukuman penjara satu bulan serta denda sebesar seribu rupee atau kedua-duanya. faktor-faktor yang mempengaruhi adanya perbedaan diantaranya dari segi mazhab Pakistan yang umumnya menganut mazhab Hanafi serta Indonesia yang umumnya menganut mazhab Syafi’i. dan Negara Pakistan menjadikan perkawinan sebuah perbuatan kriminalisasi yang adanya sanksi hukum. Sedangkan di dalam Al-Quran maupun al-hadits tidak ada yang menjelaskan secara detail pada usia berapa sesorang boleh menikah. Namun, perkawinan boleh dilakukan apabila keduanya sudah baligh dan dalam hal ini para fuqoha berbeda pendapat dalam menentukan usia baligh seseorang. Kata Kunci : Kriminalisasi Perkawinan di bawah umur Pembimbing : Prof. Dr. H. Muhammad Amin Suma, S.H, M.A, M.M. Daftar Pustaka : Tahun 1974 sampai tahun 2014 v KATA PENGANTAR Bismillahirrahmaanirraahiim Segala puji hanya milik Allah Rabb Alam Semesta, kepada Allahsubhanahu wa Ta’ala kita memohon pertolongan atas segala urusan dunia dan agama, shalawat dan salam semoga senantiasa tercurah atas sebaik-baik Rasul yaitu Nabi Muhammad SAW, dan atas semua keluarganya, para sahabatnya, para tabi`in, dan semua yang mengikuti mereka dengan baik sampai hari pembalasan. Dalam penulisan skripsi ini, sedikit banyak hambatan dan kesulitan yang penulis hadapi, akan tetapi syukur Alhamdulilah berkat rahmat dan inayah-Nya, kesungguhan serta dukungan dan bantuan dari berbagai pihak baik langsung maupun tidak langsung segala hambatan dapat diatasi sehingga pada akhirnya skripsi ini dapat terselesaikan dengan baik. Skripsi ini penulis persembahkan untuk pemberi do’a terhebat sepanjang perjalanan hidup penulis, yaitu kedua orang tua penulis Jiyanto, dan ibunda Masnun, beserta kakak dan adik-adik terkasih dan tercinta, Zaenal Fachrudin, Siti Aminah, dan Fachry Tachinardi,yang tiada lelah dan bosan memberikan motivasi, cinta, kasih sayangnya serta do’a, semoga Allah SWT senantiasa memberikan rahmat dan kasih sayang kepada mereka semua. Penulis juga mengucapkan terima kasih yang sedalam-dalamnya kepada: 1. Dr. Asep Saepudin Jahar, MA. Dekan Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta. 2. Dr. H. Abdul Halim, M. Ag dan Arip Purkon, MA sebagai Ketua Program Studi dan Sekretaris Program Studi Hukum Keluarga Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri Jakarta. vi 3. Prof. Dr. H. Muhammad Amin Suma, S.H, M.A, M.M. sebagai dosen pembimbing yang telah meluangkan waktu, tenaga, pikiran untuk mengarahkan memotivasi selama membimbing penulis semoga Allah SWT senantiasa memberikan rahmat dan kasih sayangnya kepada beliau. 4. Penguji Munaqasyah I : Dr. Hj. Mesraini, S.H, M.A dan Penguji II Munaqasyah Hotnidah Nasution, S.Ag, M.A. 5. Segenap Bapak Ibu dosen, pada lingkungan Program Studi Hukum Keluarga Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, yang telah memberikan banyak ilmu selama penulis duduk di bangku kuliah. 6. Segenap pimpinan dan staf Perpustakaan Umum dan Perpustakaan Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta atas pelayanan dan penyediaan buku-bukkunya sehingga memudahkan penulis dalam menyelesaikan skripsi ini. 7. Sahabatku terkasih Zulfah Zurotunnisa, Fathi Taybun, Djulhijah, Reza Fahlevi, yang senantiasa memberikan semangat, canda, tawanya melewati suka duka selama di bangku perkuliahan serta kesabaran dan kesetiaannya menemani dari awal bertemu sampai pada penulis dapat menyelesaikan skripsi. 8. Sahabat-sahabat rumahku Mayang Claudia, Dyan Purnama Sari, Desi Ciciliamaharani yang sudah menjadi tempat canda dan tawa penulis semoga kesuksesan meyertai kita. vii 9. Seluruh teman-teman Administrasi Keperdataan Islam angkatan 2012 yang tidak bisa saya sebutkan satu persatu yang telah memberikan warna warni dalam hidup penulis selama di bangku perkuliahan semoga kita semua menjadi orang yang sukses. 10. Teman-teman INI KKN, Nurul Farihah, Nur Habibah, yang telah mengajarkan arti hidup, arti team work yang baik dan pengalamannya selama KKN sebulan di desa Sukagalih semoga kesuksesan selalu menyertai kita. Tidak ada yang dapat penulis berikan atas balas jasa dan dukungannya, hanya doa semoga amal baik mereka dibalas oleh Allah SWT dengan balasan yang berlipat ganda kepada semua pihak yang telah membantu penulis dalam menyelesaikan skripsi ini. Penulis berharap skripsi ini dapat memberikan manfaat bagi penulis khususnya dan bagi pembaca pada umumnya. Oleh karena itu, kritik dan saran yang membangun senantiasa penulis harapkan untuk skripsi ini. Jakarta, 10 Oktober 2016 Penulis viii DAFTAR ISI HALAMAN JUDUL ...................................................................................... i PERSETUJUAN PEMBIMBING................................................................. ii LEMBAR PENGESAHAN PENGUJI........................................................ iii LEMBAR PERNYATAAN ........................................................................... iv ABSTRAK ...................................................................................................... v KATA PENGANTAR .................................................................................... vi DAFTAR ISI ................................................................................................... viii BAB I PENDAHULUAN A.Latar Belakang Masalah ........................................................ 1 B.Identifikasi Masalah ............................................................. 7 C.Pembatasan Masalah ............................................................. 7 D.Perumusan Masalah .............................................................. 8 E.Tujuan dan Manfaat Penelitian .............................................. 8 F.Review Studi Terdahulu ........................................................ 9 G.Metode Penelitian.................................................................. 11 H.Sistematika Penulisan............................................................ 13 BAB II PERKAWINAN DI BAWAH UMUR MENURUT HUKUM ISLAM DAN POSITIF A.Tinjauan Hukum Islam Terhadap Perkawinan di Bawah Umur ........................................................................ 15 B.Dasar Hukum Perkawinan di Bawah Umur di Indonesia dan Pakistan ......................................................................... 19 C.Faktor Perkawinan di Bawah Umur di Indonesia dan Pakistan ................................................................................ 24 BAB III SEJARAH HUKUM KELUARGA DI INDONESIA DAN PAKISTAN A.Sejarah Pembentukan Hukum Keluarga di Indonesia dan Pakistan ......................................................................... 31 B.Pembaharuan Hukum Keluarga di Indonesia dan Pakistan ................................................................................ 42 C.Peraturan yang Mengatur Hukum Keluarga di Pakistan dan Indonesia ....................................................................... 50 ix BAB IV ANALISIS PERBANDINGAN UNDANG-UNDANG HUKUM KELUARGA DI INDONESIA DAN PAKISTAN A. Sejauh Mana Pengaruh Fuqoha Mazhab Terhadap Hukum Keluarga di Indonesia dan Pakistan………………………. 53 B. Pandangan Hukum Islam Terhadap Hukum Positif dalam Kriminalisasi Perkawinan di Bawah Umur di Indonesia Dan Pakistan ....................................................................... 60 C. Persamaan dan Perbedaan Perkawinan di Bawah Umur di Indonesia dan Pakistan ......................................................... 65 BAB V PENUTUP A.Kesimpulan ........................................................................... 74 B.Saran-saran............................................................................ 76 DAFTAR PUSTAKA ..................................................................................... 84 LAMPIRAN………………………………………………………………….89 x BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Perkawinan dalam Islam bukan semata-mata hubungan kontrak keperdataan biasa. Akan tetapi, lebih dari itu untuk mewujudkan kehidupan rumah tangga yang sakinah, mawaddah, dan rahmah, serta untuk membentuk keluarga yang bahagia dan kekal.1Guna mewujudkan kehidupan rumah tangga yang diharapkan yaitu sakinah dan mawadah, maka kematangan jiwa bagi calon pasangan pengantin sangat diperlukan. Kematangan yang dimaksud adalah kematangan umur perkawinan, kematangan dalam berpikir dan bertindak sehingga tujuan perkawinan tersebut dapat terlaksana dengan baik.2 Di Indonesia, sebagaimana tertuang di dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, yang memiliki 7 (tujuh) asas-asas atau prinsipprinsip perkawinan. Salah satunya di dalam asas-asas perkawinan tersebut membahas tentang asas (prinsip) kedewasaan calon mempelai.3Di mana asas 1 Arso Sosroatmodjo dan H.A. Wasit Aulawi, Hukum Perkawinan di Indonesia, (Jakarta: PT. Bulan Bintang, 1975), h.102. 2 Abdul Mannan, Aneka Masalah Hukum Perdata di Indonesia, (Jakarta: Prenada Media, 2006), cet.ke-3, h.11. 3 Muhammad Amin Suma, Hukum Keluarga Islam di Dunia Islam, (Jakarta: PT.RajaGrafindo Persada, 2004),h.157. 11 2 kematangan ini, menjadi salah satu standar yang digunakan dalam penetapan usia menikah. Membahasa tentang kedewasaan atau kematangan seseorang untuk menikah dalam Undang-Undang Perkawinan di dunia Islam memang berbedabeda dalam menetapkan batasan minimal usia perkawinan. Hal ini dapat dilihat dari kebijakan Negara-negara lain dalam pembatasan usia nikah. Negara yang menerapkan usia 21 bagi laki-laki adalah Aljazair dan Bangladesh, serta 18 tahun bagi perempuan. Sementara Tunisia sama dengan Indonesia 19 tahun bagi lakilaki, hanya saja Tunisia membatasi 17 tahun untuk perempuan. Yang cukup banyak adalah usia 18 tahun bagi laki-laki, yaitu Mesir, Irak, Lebanon, Libya, Maroko, Pakistan, Somalia, Yaman Selatan, dan Suriah. Sisanya adalah di bawah 18 tahun, yakni Turki yang mematok umur 17 tahun untuk laki-laki, Yordania 17 tahun, dan yang paling rendah adalah Yaman Utara 15 tahun bagi perempuan.4 Perbedaan usia nikah ini terjadi disebabkan, karena Al-Qur‟an maupun Al-Hadis tidak secara eksplisit menetapkan usia nikah. Namun demikian, baik Al-Qur‟an maupun Al-Hadis secara implisit tampak mengakui pernikahan sebagai salah satu ciri bagi kedewasaan seseorang. 5Karena faktor kedewasaan atau umur merupakan kondisi yang amat penting. Dan layak untuk membina rumah tangga, kendatipun tidak termasuk ke dalam rukun dan syarat nikah. Di 4 Ahmad Tholabi Kharlie, Hukum Keluarga Indonesia, (Jakarta: Sinar Grafika, 2013), h.202. 5 Muhammad Amin Summa, Hukum Keluarga Islam di Dunia Islam, h.168. 3 dalam hukum Islam menyatakan bahwa seseorang baru boleh menikah apabila sudah layak untuk menikah. Penetapan batasan umur perkawinan itu penting karena dimaksudkan untuk menjaga kesehatan suami istri dan keturunannya. Serta pasangan suami istri agar mampu menanggung beban tanggung jawab keluarga. Khususnya tanggung jawab terhadap anak yang dilahirkan, rumah tangga yang selalu kacau akan berdampak buruk terhadap pembinaan anak, dan hal itu umumnya terjadi dalam lingkungan keluarga yang kawin sebelum memiliki kematangan berfikir atau perkawinan di bawah umur.6 Pengertian perkawinan di bawah umur pada dasarnya tidak disebutkan dalam hukum Islam (kitab fiqih). Hal ini disebabkan karena tidak adanya dalil yang membatasi secara jelas pada usia berapa seorang boleh menikah. Karena itu, masalah batasan umur seseorang untuk melaksanakan perkawinan ini termasuk ke dalam wilayah ijtihadiyyah. Dalam fiqih menyebutkan adanya perkawinan muda atau kawin belia dengan istilah nikah ash-shaghir/ashshaghirah secara literal berarti kecil, namun yang dimaksudkan dengan shaghir/shaghirah disini adalah anak laki-laki atau perempuan yang belum baligh.7Ketentuan baligh antara seorang laki-laki dan seorang perempuan 6Abdi Koro, Perlindungan Anak Di Bawah Umur Dalam Perkawinan Usia Muda dan Perkawinan Siri, (Bandung: PT. Alumni, 2012), h. 177. 7 Husein Muhammad, Fiqih Perempuan: Refleksi kiai atas wacana agama dan gender, cet.V, (Yogyakarta: LKIS, 2009), h.89. 4 berbeda. Pada anak laki-laki, ketentuan baligh tersebut ditandai dengan ihtilam, yakni mimpi yang mengakibatkan keluarnya sperma (air mani), sedangkan anak perempuan, ketentuan baligh ditandai dengan menstruasi atau haid. Zaman modern seperti ini perkawinan di bawah umur marak terjadi tidak hanya di Indonesia saja, tetapi juga terjadi di dunia Islam lainnya. Seperti, di Negara Pakistan dan Bangladesh yang melakukan unifikasi pada hukum keluarga. Maraknya perkawinan di bawah umur di dunia Islam membuat perubahan besar terhadap Negara tersebut. Unifikasi hukum keluarga yang terjadi di Negara Pakistan salah satunya yaitu menolak adanya perkawinan di bawah umur dengan memberikan sanksi hukuman kurungan penjara serta denda kepada seseorang yang menikahi anak di bawah umur di dalam hukum keluarganya. Sebagaimana diatur dalam pasal 2 dan 4 dari Child Marriage Restraint Act tahun 1929 sebagaimana diubah dengan Muslim Family Law Ordinance (MFLO) tahun 1961:8 2. In this Act, unless there is anything repugnant in the subject or context, (a) “child” means a person who, if a male, is under eighteen years of age, and if a female, is under sixteen years of age; (b) “child marriage” means a marriage to which either of the parties is child; (c)”contracting party” to a marriage means either of the parties whose marriage is about to be thereby solemnized; (d) “minor” means a person of either sex who is under eighteen years of age;… 4. Whoever, being a male above eigthteen years of age, contracts a child marriage shall be punishable with simple imprisonment which may extend to one month, or with fine which may extend to one thousand rupees, or with both. 8Tahir Mahmood, Personal Law in Islamic Countries: History, Text and Comparative Analisis, h.243-244. 5 Pasal 2 dan 4 di atas, dalam UU itu didefinisikan bahwa anak (child) adalah seseorang yang berumur di bawah 18 tahun bagi laki-laki dan di bawah 16 tahun bagi perempuan. Adapun perkawinan anak (perkawinan di bawah umur) ialah perkawinan yang salah satu dari pengantin laki-laki atau perempuan berusia anak-anak sebagaimana didefinisikan sebagai seseorang, baik laki-laki maupun perempuan, yang berusia di bawah 18 tahun. Nampaknya UU ini membedakan anatara “child” dan “minor”. Selanjutnya pada pasal 4 mengatur bahwa seorang laki-laki berumur lebih dari 18 tahun yang akan melakukan akad nikah dengan seorang perempuan berumur di bawah 16 tahun, diancam dengan penjara paling lama satu bulan atau denda setinggi-tingginya seribu Rupee atau kedua-duanya.9 Sedangkan di Indonesia mempunyai pandangan berbeda dengan NegaraNegara muslim lainnya yang telah melakukan pembaharuan di dalam hukum keluarga. Peraturan hukum keluarga di Indonesia tidak membahas secara rinci mengenai perkawinan di bawah umur dikarenakan di dalam Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan tidak membahas mengenai sanksi terhadap perkawinan di bawah umur. Perkawinan di bawah umur merupakan salah satu trend reformasi hukum keluarga di dunia Islam Modern yang diberlakukannya sanksi hukum (kriminalisasi). Keberanjakan dari hukum klasik yang cenderung tidak memiliki 9 Tahir Mahmood, Personal Law in Islamic Countries: History, Text and Comparative Analisis, h.243. 6 sanksi hukum. Misalnya, beralih kepada aturan-aturan dan hukum produk Negara yang tidak saja membatasi dan mempersulit, namun bahkan melarang dan mengkategorikan suatu masalah seputar hukum keluarga sebagai perbuatan kriminal.10 Kriminalisasi perkawinan di bawah umur seperti hal yang diatas belum menjadi potret umum dari hukum atau Undang-Undang yang berlaku di dunia Islam lainnya. Namun, keberadaannya semakin dipertimbangkan karena menjadikan perkawinan di bawah umur suatu perbuatan kriminalisasi. lebih menarik lagi jika di Indonesia juga bisa melihat lebih dekat serta mentelaah lebih dalam lagi. Apakah praktik perkawinan di bawah umur itu merupakan suatu perbuatan kriminalisasi hukum? Kemudian dikomparasikan satu sama lain dalam konteks doktrin Hukum Islam Konvesional, antar Negara, dan posisinya sebagai salah satu citra dinamisasi dalam hukum Islam, khusunya hukum keluarga di dunia Islam. Hal inilah yang penulis anggap sebagai sesuatu yang menarik untuk diteliti apa sebenarnya factor-faktor dalam pembentukan hukum keluarga khususnya mengenai “Kriminalisasi Perkawinan di Bawah Umur (Studi Komparatif Undang-Undang Hukum Keluarga di Indonesia dan Pakistan).” B. Identifikasi Masalah 10 Zaki Saleh, Kriminalisasi Trend Reformasi Hukum Islam, artikel diakses pada 23 Januari2016 dari http://publik-syariah.blogspot.co.id/2011/04.html. 7 Dari latarbelakang masalah diatas, penulis mengidentifikasikan permasalahan sebagai berikut : 1. Bagaimana batasan usia nikah dalam Undang-Undang Hukum Keluarga di dunia Islam pada umumnya. 2. Bagaimana pandangan Al-Qur‟an dan Hadist tentang perkawinan di bawah umur. 3. Apa saja ciri atau ukuran kedewasaan seseorang untuk melangsungkan pernikahan. 4. Bagaimana pemberlakuan sanksi perkawinan di bawah umur di dalam hukum keluarga di Dunia Islam khususnya Indonesia dan Pakistan. 5. Undang-Undang yang mengatur perkawinan di bawah umur di Indonesia dan Pakistan. C. Pembatasan Masalah Meniadakan adanya kajian yang lebih luas dan tidak terbatas, disebabkan terlalu banyaknya Negara Islam di dunia ini, maka penulis membatasi permasalhan dan akan menjelaskan mengenai kriminalisasi perkawinan di bawah umur yang berlaku di Indonesia dan Pakistan. Berdasarkan latar belakang dan permasalahan di atas maka penulis ingin menelusuri lebih jauh analisis perbandingan terhadap peraturan perundang-undangan hukum keluraga di Indonesia dan Pakistan. 8 D. Perumusan Masalah Adapun perumusan masalah, dibuat dalam bentuk pertanyaan penelitian sebagai berikut: 1. Bagaimana pandangan ahli hukum Islam (fuqoha) terhadap perkawinan di bawah umur ? 2. Bagaimana pandangan hukum Islam terhadap hukum positif dalam kriminalisasi perkawinan di bawah umur di Indonesia dan Pakistan? 3. Apa perbedaan dan persamaan sanksi bagi perkawinan di bawah umur di Indonesia dan Pakistan? E. Tujuan dan Manfaat Penelitian 1. Tujuan penelitian Adapun tujuan dalam penulisan skripsi ini dapat disimpulkan sebagai berikut: 1. Untuk mengetahui pandangan ahli hukum Islam (Fuqoha) mengenai perkawinan di bawah umur. 2. Untuk mengetahui perkawinan di bawah umur dari sisi hukum Islam terhadap hukum positif mengenai kriminalisasi. 3. Untuk mengetahui perbedaan dan persamaan sanksi bagi perkawinan di bawah umur di Indonesia dan Pakistan. 2. Manfaat Penelitian Adapun manfaat dalam melakukan penelitian ini adalah: 9 1. Bagi penulis, penelitian ini sangat bermanfaat sebagai wawasan ataupun pengetahuan mengenai kriminalisasi perkawinan di bawah umur menurut hukum perkawinan di dunia Islam di Indonesia dan Pakistan. 2. Bagi Masyarakat, penelitian ini dapat dijadikan sebagai pedoman ataupun pengetahuan untuk mengetahui kriminalisasi perkawinan di bawah umur menurut hukum perkawinan di dunia Islam di Indonesia dan Pakistan. 3. Bagi Akademik, penelitian ini dapat dijadikan sebagai sumber referensi dan acuan bagi kalangan akademisi dan praktisi di dalam menunjang penelitian selanjutnya yang mungkin cangkupannya lebih luas sebagai bahan perbandingan. F. Review Studi Terdahulu Review studi terdahulu berfungsi untuk mengetahui apakah hal yang akan diteliti tersebut sudah pernah diteliti sebelumnya atau belum sama sekali. Sekalipun ada akan tetapi terdapat beberapa perbedaan mendasar. Oleh karena itu, untuk menjaga keaslian dalam penelitian ini, penulis sudah melakukan review studi terdahulu. Adapun diantara review studi terdahulu yang telah dilakukan oleh penulis antara lain: 1. Haris Santoso, Batas Minimal Usia Melakukan Perkawinan Di Indonesia Perspektif Imam Mazhab, (Jurusan peradilan agama UIN Syarif Hidayatullah Jakarta: 2010). Secara sederhana objek pembahasan dalam skripsi ini adalah di dalam hukum Islam tidak ditetapkan batas usia perkawina, oleh sebab itu termasuk ranah ijtihadi yang memberikan kebebasan bagi umat untuk 10 menyelesaikan masalah tersebut. Dan para ulama mahzab berbeda pendapat dalam menentukan batas usia menikah. oleh sebab itu analisa yang digunakan dalam skripsi adalah perspektif imam mahzab. Adapun metode penelitian yang digunakan dalam skripsi ini adalah metode komparatif yaitu mengkomparasikan perkawinan di bawah umur antara hukum islam dan hukum positif sebagai bahan acuan penelusuran skripsi ini. 2. Mochammad Abdul Rochim, Kriminalisasi Perkawinan di Bawah Umur, (Fakultas Syariah dan Hukum, UIN Syarif Hidayatullah Jakarta: 2011). Pembahasan dalam skripsi ini adalah lebih ditekankan dalam hal pernikahan di bawah umur di Indonesia yang dianggap menjadi tindakan kriminal atau eksploitasi terhadap anak. Skripsi ini hanya berfokus terhadap hukum positif saja. Adapun metode penelitian yang digunakan dalam skripsi ini adalah metode metode komparatif yaitu dengan cara membandingkan. 3. Muhammad Zaki Saleh, Kriminalisasi dalam hukum keluarga di NegaraNegara Muslim, Artikel Al-risalah volume 11, 2011. Artikel tersebut membahas tentang perbuatan kriminalisasi tidak hanya perkawinan di bawah umur saja tetapi praktik poligami, pencatatan nikah dan talak. Artikel ini tidak menekankan atau tidak fokus terhadap perkawinan di bawah umur saja. Adapun perbedaan dari ketiga studi review diatas yaitu membahas tentang batasan usia perkawinan, baik laki-laki dan perempuan ditinjau dari hukum Islam. Sedangkan perbedaannya adalah skripsi ini hanya membahas tentang batasan usia perkawinan yang mengakibatkan perkawinan di bawah umur 11 dan dianggap menjadi tindakan kriminalisasi di sebagaian dunia Islam yang mengakibatkan adanya hukuman baik kurungan penjara maupun denda. G. Metode Penelitian Metode penelitian yang digunkan untuk memperoleh data yang valid dalam penelitian ini menjadi: 1. Pendekatan Penelitian Dalam penelitian ini penulis menggunakan pendekatan perbandingan (Comparative Approach) yaitu penelitian yang membandingkan hukum suatu negara dengan hukum negara lain. 2. Jenis Penelitian Penelitian skripsi ini sepenuhnya menggunakan metode penelitian kepustakaan (Library Reseach) yaitu dengan meneliti berbagai buku, majalah, surat kabar, artikel dan tulisan-tulisan ilmiah lainnya yang ada hubungannya dengan judul yang dibahas dalam skripsi ini. 3. Data Penelitian a. Sumber Data Undang-Undang No.1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, Kompilasi Hukum Islam. Dan Child Marriage Restraint Act 1929 (Undang-Undang 29 Tahun 1929) dan di Ordonansi No. 8 Tahun 1961 Marriage and 12 Family Law Commission (MFLO). (Pakistan: Kitab Undang-Undang hukum keluarga). b. Jenis Data Ada dua jenis data yang penulis gunakan dalam penulisan skripsi ini. 1) Data Primer: yaitu berasal dari Al-Qur‟an, kitab hadis, dan UndangUndang Perkawinan Nomor 1 tahun 1974, Inpres Kompilasi Hukum Islam, Child Marriage Restraint Act 1929 (Undang-Undang 29 Tahun 1929) dan di Ordonansi No. 8 Tahun 1961 Marriage and Family Law Commission (MFLO). (Pakistan: Kitab Undang-Undang hukum keluarga). 2) Data Sekunder: yaitu berasal dari buku-buku, majalah, surat kabar, jurnal ilmiah, artikel serta sumber lain yang berkaitan dengan judul ini. 4. Teknik Pengumpulan Data Teknik pengumpulan data sebagai berikut: Library Research (Penelitian Kepustakaan), yakni dengan melakukan penelitian terhadap berbagai sumber bacaan, antara lain buku-buku, pendapat para sarjana, dan lain-lain yang diperoleh dari internet. Setelah data terkumpul dari berbagai sumber maka penulis akan memaparkan data tersebut, kemudian penulis analisa. Secara teknis penulisan ini berpedoman pada buku “Pedoman Penulisan Skripsi Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta tahun 2012”. 13 5. Teknik Pengolahan Data Metode yang digunakan yaitu deskriptif dengan memaparkan data yang diperoleh tersebut kemudian dikomparatifkan antara data yang tertera pada teori yang diambil dari studi pustaka lalu penulis analisa. 6. Metode Analisis Data Adapun analisis yang dipakai dalam penelitian ini adalah analisis komparatif yang bersifat membandingkan.Penelitian ini dilakukan untuk membandingkan persamaan dan perbedaan dua atau lebih fakta-fakta dan sifat-sifat objek yang diteliti berdasarkan kerangka pemikiran tertentu. H. Sistematika Penulisan Skripsi ini disusun dengan sistematika yang terbagi dalam lima bab. Masing-masing bab terdiri atas beberapa sub-sub guna lebih memperjelas ruang lingkup dan cakupan permasalahan yang diteliti. Adapun urutan dan tata letak masing-masing bab serta pokok pembahasannya adalah Pada bab pertama merupakan bab tentang pendahuluan yang merupakan suatu pengantar umum pada tulisan berikutnya yang meliputi: latar belakang, identifikasi masalah, pembatasan masalah, rumusan masalah, tujuan dan manfaat, metode penelitian, review studi terdahulu, dan sistematika penulisan. Pada bab Kedua menjelaskan tentang kriminalisasi perkawinan di bawah umur. Pada bab ini penulis hadirkan tiga pembahasan yaitu Pengertian Kriminalisasi, Pengertian Perkawinan di bawah umur menurut Hukum Islam dan 14 dasar-dasar perkawinan di bawah umur dalam Hukum keluarga Islam di Indonesia dan Pakistan. Pada bab Ketiga menjelaskan tentang sejarah hukum keluarga Islam di Indonesia dan Pakistan. Serta mendeskripsikan hukum keluarga Islam di Negara Indonesia dan Pakistan sebagai Negara Muslim, pengaruh Mahzab terhadap pembentukan hukum keluarga Islam di Negara Indonesia dan Pakistan. Pada bab Keempat berisi tentang analisis perbandingan mengenai kriminalisasi perkawinan di bawah umur di Indonesia dan Pakistan. Pada bab ini penulis hadirkan tiga pembahasan yaitu pandangan ahli hukum Islam (fuqoha) terhadap perkawinan di bawah umur, dan pandangan hukum Islam terhadap hukum positif dalam kriminalisasi perkawinan di bawah umur di Indonesia. Pada bab Kelima adalah penutup, seperti biasa bab ini mencakup kesimpulan dari pembahasan yang telah dianalisa oleh penulis dan saran dari penulis ketika melihat substansi skripsi penulis. 15 BAB II PERKAWINAN DI BAWAH UMUR MENURUT HUKUM ISLAM DAN HUKUM POSITIF Kriminalisasi menurut Kamus Bahasa Indonesia adalah proses yang memperlihatkan perilaku yang semula tidak dianggap sebagai peristiwa pidana, tetapi kemudian digolongkan sebagai peristiwa pidana oleh masyarakat.11 Sedangkan di dalam kamus hukum lainnya mendefinisikan bahwa kriminalisasi adalah proses semakin banyaknya sikap yang dianggap sebagai kejahatan oleh Hukum Pidana atau Perundang-Undangan.12Jadi, pada dasarnya kriminalisasi praktik perkawinan di bawah umur di sini dipahami sebagai sikap yang mengategorikan praktik atau perbuatan perkawinan di bawah umur sebuah tindak pidana (crime), yang diancam dengan bentuk pidana tertentu, baik pidana kurungan maupun pidana denda. A. Tinjauan Hukum Islam Terhadap Perkawinan Di bawah Umur Perkawinan di bawah umur di dalam hukum Islam tidak memberikan penjelasan mengenai batasan usia minimal atau maksimal dalam menikah. Karena kedewasaan untuk menikah termasuk masalah ijtihad. Dalam arti kata diberikan kesempatan untuk berijtihad pada usia berapa seseorang pantas 1 Tim Depdikbud, Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta: Balai Pustaka, 2001), cet.,III, h.600. 12 Kamus Hukum, (Bandung: Citra Umbara, 2008), h.23. 15 16 menikah. Karena umur atau kedewasaan tidak termasuk dalam syarat rukun nikah, maka apabila suatu perkawinan sudah memenuhi syarat dan rukun nikah, maka hukumnya sah.13 Para ulama dalam hal ini masih berbeda pendapat dalam menghadapi masalah ini, karena faktor kedewasaan atau umur merupakan kondisi yang amat penting, kendatipun tidak termasuk ke dalam rukun dan syarat nikah. Di dalam hukum Islam menyatakan bahwa seseorang baru dikenakan kewajiban melakukan pekerjaan atau perbuatan hukum apabila telah mukallaf, untuk itu Allah berfirman dalam QS. An-Nisaa (04) ayat 6 : ِ ِ وىاإِ ْرَاافًا َوبِ َد ًارا أَ ْن كَ ْكرَ ُاوا َ ُاح فَِإ ْن آنَ ْستُ ْم منْ ُه ْم ُر ْش ًدا فَ ْادفَ ُعوا إِلَيْ ِه ْم أ َْم َوا َلُْوْم َوَ ا أَكْ ُلل َ َوابْتَ لُوا الْيَتَ َام ٰى َح ى َّٰت إ َذا بَلَغُوا النِّ َك ِ ومن َلا َن َغنِيًّا فَلْيست ع ِفف ومن َلا َن فَِقريا فَلْيكْ ُلل بِالْوْمعا وف فَِإذَا َدفَ ْعتُ ْم إِلَْي ِه ْم أ َْم َوا َلُ ْم فَكَ ْش ِه ُدوا َعلَْي ِه ْم َوَل َف ٰى بِاللىِو ْ َ َ ْ ْ َْ َ ْ ََ ُْ َ ْ َ ً ﴾٦:َح ِسيرًا ﴿النساء Artinya: “Dan ujilah anak-anak yatim sampai mereka mencapai usia nikah. Apabila kalian menemukan kecerdasannya maka serahkanlah harta-harta itu kepada mereka. Dan janganlah kalian memakannya dengan berlebih-lebihan dan jangan pula kalian tergesa-gesa menyerahkan sebelum mereka dewasa. Barang siapa (dari kalangan wali anak yatim itu) berkecukupan, maka hendaklah dia menahan diri (dari memakan harta anak yatim) dan barang siapa yang miskin maka dia boleh memakan dengan cara yang baik. Apabila kalian menyerahkan harta-harta mereka, maka hadrikanlah saksi-saksi.Dan cukuplah Allah sebagai pengawas”. Ketika menafsirkan ayat ini, di dalam tafsir al-Misbah, maka kata dasar rushdan adalah ketepatan dan kelurusan jalan. Dari sini lahir kata rushd yang 13 Kamal Muchtar, Asas-Asas Hukum Islam tentang Perkawinan, (Jakarta: Bulan Bintang, 1974), h.93. 17 bagi manusia adalah kesempurnaan akal dan jiwa yang menjadikannya mampu bersikap dan bertindak setepat mungkin. Al-Maraghi menafsirkan dewasa (rushdan), yaitu apabila seseorang mengerti dengan baik cara menggunakan harta serta membelanjakannya, sedang yang dimaksud balighu al-nikdh ialah jika umur telah siap untuk menikah. Ini artinya al-Maraghi menginterprestasikan bahwa orang yang belum dewasa tidak boleh dibebani persoalan-persoalan tertentu.14 Ayat ini dapat dipahami bahwa perkawinan dilakukan oleh seseorang yang sudah dewasa. Dalam hukum Islam, usia dewasa dikenal dengan istilah baligh. Yang pada prinsipnya, seorang lelaki yang telah baligh dapat ditentukan dengan mimpi dan rushdan, akan tetapi rushdan dan umur kadang-kadang tidak sama dan sukar ditentukan, seseorang yang telah bermimpi ada kalanya belum rushdan dalam tindakannya. Begitupun juga dengan perempuan, seorang perempuan dikatakan baligh apabila sudah menstruasi. Namun, nyatanya sangat sulit memastikan pada usia berapa seorang perempuan mengalami menstruasi. Sebagaimana para ulama mazhab berbeda pendapat dalam menetapkan dan menentukan batasan usia dewasa atau baligh untuk melangsungkan perkawinan diantaranya: Imammiyah, Maliki, Syafi‟i, dan Hanbali yang mengatkan:“tumbuhnya bulu-bulu ketiak merupakan bukti balighnya seseorang”. 14 Dedi Supriyadi dan Mustofa, Perbandingan Hukum Perkawinan di Dunia Islam, (Bandung: Al-Fikriis,2009), h.23. 18 Adapun Hanafi menolaknya sebab bulu ketiak itu tidak ada berbeda dengan bulubulu lain yang ada pada tubuh. Syafi‟i dan Hanbali menyatakan bahwa usia baligh untuk anak laki-laki dan perempuan adalah 15 tahun, sedangkan Maliki menetapkan 17 tahun. Sementara itu, Hanafi menetapkan usia baligh bagi anak laki-laki adalah 18 tahun, sedangkan anak perempuan 17 tahun.15 Perkawinan di bawah umur memang tidak secara terang-terangan di bahas oleh hukum Islam. Bahkan di dalam kitab-kitab fiqih memperbolehkan kawin antara laki-laki dan perempuan yang masih kecil, baik kebolehan tersebut dinyatakan secara jelas seperti ungkapan “boleh terjadi perkawinan antara anak laki-laki yang masih kecil dan perempuan yang masih kecil” atau boleh menikahkan laki-laki yang masih kecil dan perempuan yang masih kecil” sebagaimana pendapat Ibnu al-Humam.16 Para ulama yang membolehkan perkawinan di bawah umur beragumentasi dengan beberapa ayat al-Qur‟an yang menjelaskan masalah perkawinan. Berikut beberapa dasar yang memperbolehkan kawin dalam usia muda atau perkawinan di bawah umur, adalah firman Allah SWT yang menyatakan dalam QS. Ath Thalaaq (65):4. 15 Dedi Supriyadi, Fiqih Munakahat Perbandingan, (Bandung: Pustaka Setia.2011), cet ke-I, 16 Amir Syarifuddin, Hukum Perkawinan Islam di Indonesia antara fiqih munakahat dan h.65. Undang-Undang Perkawinan, (Jakarta: Kencana, 2006), h.66. 19 ِ ْ ت ْاْل ض ِم ْن نِسائِكم إِ ِن ْارأَ ْرتُ ْم فَعِدىأُ ُه ىن ثََّلثَةُ أَ ْش ُه ٍا َو ى ِ الّلئِى كَئِ ْس َن ِم َن الْ َوْم ِحْي َجلُ ُه ىن ّ َو ْ الّلئَى ََلْ َِي ُ ض َن َوأُوَ ا ْ َْحَال أ ُ َ )٤ : ض ْع َن َْحْلَ ُه ىن َوَم ْن كَت ِىق اللَ ََْي َع ْل لَوُ ِم ْن أ َْم ِاِه كُ ْسًاا (الطّلق َ َأَ ْن ك Artinya: “perempun-perempuan yang tidak haid lagi (menopause) di antara perempuan-perempuanmu jika kamu ragu-ragu (tentang masa iddahnya), maka masa iddah mereka adalah tiga bulan; dan begitu (pula) perempuan-perempuan yang belum haid. Dan perempuan-perempuan yang hamil, waktu iddah mereka ialah sampai mereka melahirkan kandungannya.Siapa siapa yang bertakwa kepada Allah, niscaya Allah menjadikan baginya kemudahan dalam urusannya”. Pada dasarnya Allah menetapkan perempuan dengan predikat: wa al-la‟I lam yahidhna (yang belum haid) dengan „iddah selama 3 bulan, sementara „iddah 3 bulan tersebut hanya berlaku bagi perempuan yang ditalak atau difasakh, maka ayat ini menjadi dalalah iltizam, bahwa perempuan yang disebutkan tadi sebelumnya telah dinikah, kemudian ditalak atau difasakh.Husein Muhammad memberikan alasan lain terhadap ayat ini, didalam kata lam yahid menunjukkan bahwa yang belum menstruasi, jika diceraikan harus menunggu tiga bulan untuk melangsungkan perkawinannya yang kedua kalinya. Muhammad menjelaskan bahwa secara tidak langsung ayat ini mengandung pengertian bahwa perkawinan dapat dilaksanakan bagi perempuan belia (belum mengalami menstruasi), karena iddah hanya dapat dikenakan bagi seorang yang telah melangsungkan perkawinan.17 17 Husein Muhammad, Fiqih Perempuan: Refleksi Kiai atas Wacana Agama dan Gender, cet.V, (Yogyakarta: LkiS, 2009), h.91. 20 Selain itu ada golongan ahli Fiqih yang melarang dan tidak memperbolehkan perkawinan usia muda seperti Ibnu Syubrumah, dengan berdalilkan sebagai berikut: 1) Sadduz Al-Dzari‟at, artinya menutup jalan yang bisa membawa malapetaka, karena perkawinan di bawah umur dapat membawa malapetaka bagi kedua pasangan tersebut dan akibat-akibat yang negative, maka dari itu wajib dengan menunda jalannya perkawinan.18 2) kaidah-kaidah Fiqih (Mudharat atau Malapetaka itu harus dihilangkan).Walaupun perkawinan di bawah umur terdapat manfaat dan maslahatnya. Namun, mudharat dan resikonya jauh lebih besar dari manfaat dan kemaslahatannya. Oleh karena itu sudah seharusnya perkawinan di bawah umur itu ditunda hingga orang tersebut mencapai usia dewasa matang baik secara fisik, psikis maupun mentalnya.19 Sementara pandangan ahli hukum Islam (Fuqaha) terhadap perkawinan di bawah umur. Dalam keputusan Ijtima „Ulama Komisi Fatwa Se Indonesia III Tahun 2009 dinyatakan bahwa dalam literature fikih Islam, tidak terdapat ketentuan secara eksplisit mengenai batas usia perkawinan, baik batas usia 18 Rachmat Syafe‟I, Ilmu Ushul Fiqih, (Bandung: CV. Pustaka Setia, 1999), Cet-1, h.132. 19 Jaih Mubarok, Kaidah Fiqih, secara kaidah-kaidah Azasi, (Jakarta: PT. Gaja Grafindo Persada, 2002), h. 105. 21 minimal maupun maksimal. Walaupun demikian, hikmah tasyri dalam perkawinan adalah menciptakan keluarga yang sakinah, serta dalam rangka memperoleh keturunan (hifz al-nasl) dan hal ini bisa tercapai pada usia dimana calon mempelai telah sempurna akal pikirannya serta siap melakukan proses reproduksi.20Berdasarkan hal tersebut, komisi fatwa menetapkan beberapa ketentuan hukum yaitu: a. Islam pada dasarnya tidak memberikan batasan usia minimal perkawinan secara defintif, usia kelayakan perkawinan adalah usia kecakapan berbuat dan menerima hak (ahliyatul ada „wa al wujud) sebagai ketentuannya. b. Perkawinan di bawah umur hukumnya sah sepanjang telah terpenuhinya syarat dan rukun nikah tetapi haram jika mengakibatkan mudharat. c. Kedewasaan merupakan salah satu indikator bagi tercapainya tujuan perkawinan, yaitu kemaslahatan hidup berumahtangga dan bermasyarakat serta jaminan keamanan bagi kehamilan. d. Guna merealisasikan kemaslahatan ketentuan perkawinan dikembalikan pada standardisasi usia sebagaimana ditetapkan dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 sebagai pedomannya. Dilihat dari argument-argumen yang telah disampaikan oleh para ulama tersebut diatas, baik yang memperbolehkan perkawinan seorang gadis yang belum dewasa (usia muda) dan yang tidak memperbolehkannya, maka Secara 20 Kharron Sirin, Fikih Perkawinan Di Bawah Umur, (Jakarta: Ghalia Indonesia, 2009), h.35. 22 umum dalam hukum Islam mengenai perkawinan di bawah umur pendapat dari para fuqaha dikategorikan dalam tiga kelompok yaitu:21 1. Pandangan jumhur fuqaha, yang membolehkan pernikahan usia dini walaupun demikian kebolehan pernikahan dini ini tidak serta merta membolehkan adanya hubungan badan. Jika hubungan badan akan mengakibatkan adanya dlarar maka hal itu terlarang, baik pernikahan dini maupun pernikahan dewasa. 2. Pandangan Ibnu Syubrumah dan Abu Bakr al-Asham, menyatakan bahwa pernikahan di bawah umur hukumnya terlarang secara mutlak. 3. Pandangan Ibnu Hazm, beliau memilih antara pernikahan anak lelaki kecil dengan anak perempuan kecil. Pernikahan anak perempuan yang masih kecil oleh bapaknya dibolehkan, sedangkan anak lelaki yang masih kecil dilarang. Argument yang dijadikan dasar adalah Zhahir hadits pernikahan Aisyah dengan Nabi Muhammad Saw. Jadi, dalam diskursus fikih (Islamic Jurisprudence), tidak ditemukan kaidah yang sifatnya menentukan batas usia menikah. Karenanya, menurut fikih semua tingkatan umur dapat melangsungkan perkawinan dengan dasar bahwa telah mampu secara fisik, biologis dan mental. 21 Heru Susteyo, Perkawinan Di Bawah Umur Tantangan Legislasi dan Haronisasi Hukum Islam, (Jakarta: PT. Bumi Aksara, 2009), h.22. 23 B. Dasar Hukum Perkawinan di Bawah Umur di Indonesia dan Pakistan. 1. Perkawinan di Bawah Umur Menurut Undang-Undang Indonesia. Perkawinan di bawah umur tidak luput dari batasan minimum usia seseorang untuk melakukan perkawinan. Sebagaimana di Indonesia diatur ke dalam Undang-Undang No. 1 tahun 1974 tentang Perkawinan pada Pasal 7 ayat (1) yang berbunyi : “perkawinan hanya diizinkan jika pihak pria sudah mencapai umur 19 (Sembilan belas) tahun dan pihak wanita sudah mencapai umur 16 (enam belas) tahun”. Namun, nyatanya dalam pelaksanaan pasal tersebut tidak terdapat keharusan mutlak karena dalam ayat yang lain yaitu Pasal 7 ayat (2) menerangkan: ”bahwa dapat meminta dispensasi kepada Pengadilan atau pejabat lain yang ditunjuk oleh kedua orang tua pihak pria maupun pihak wanita”.22 Di dalam Pasal itu menjelaskan apabila mereka yang belum mencapai umur 19 (Sembilan belas) tahun bagi laki-laki dan 16 (enam belas) tahun bagi wanita diperbolehkan “menikah” apabila terjadi kasus yang mengharuskan mereka menikah. Pernikahan tersebut boleh dilangsungkan apabila ada ijin dari Pengadilan yang ditunjuk oleh kedua orang tua pihak pria maupun pihak wanita. Sebagaimana di dalam Kompilasi Hukum Islam (KHI) menyebutkan “untuk dapat melangsungkan Perkawinan bagi seorang calon mempelai yang belum mencapai usia 21 (dua puluh satu) tahun bagi pria dan 16 (enam belas) 22 Dedi Supriyadi dan Mustofa, Perbandingan Hukum Perkawinan di Dunia Islam, h. 49-50. 24 tahun bagi wanita maka harus mendapat izin kedua orang tua”. Namun, jika orang tua tidak mampu menyatakan kehendaknya maka dapat dilakukan oleh wali, atau orang yang merawatnya atau keluarga sedarah dalam garis keturunan ke atas di dalam Pasal 7 ayat (3) UU No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan. 23 Sementara di dalam Undang-Undang No.23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak menyatakan secara tegas, “Anak adalah seseorang yang belum berusia 18 (delapan belas) tahun, termasuk anak yang masih dalam kandungan” dan di dalam (Pasal 1) dan Pasal 26 ayat 1 poin c disebutkan, keluarga dan orang tua berkewajiban untuk mencegah terjadinya perkawinan di usia anak-anak (dibawah umur).24 Menurut kitab Undang-Undang Hukum Perdata (Burgerlijk Wetboek) pada Pasal 330 yaitu “Yang belum dewasa adalah mereka yang belum mencapai umur genap dua puluh satu tahun dan tidak kawin sebelumnya”.25 Dari berbagai ketentuan tersebut diketahui bahwa tidak ada keseragamaan dalam pengertian kedewasaan, khususnya mengenai batasan minimum pada usia berapa seseorang boleh menikah. Tetapi, di Indonesia secara umum di dalam Undang-Undang tidak mengatur mengenai Perkawinan di bawah umur. Hanya 23 Hilman Hadikusuma, Hukum Perkawinan Indonesia Menurut Perundangan, Hukum Adat, Hukum Agama, (Bandung: Mandar Maju, 1990), h. 7. 24 Ahmad Sofian, Perlindungan Anak Di Indonesia Dilema & Solusinya, (Medan: PT. Sofmedia, 2012), h. 130. 25 Asrorun Niam Sholeh, Detik-Detik Perlindungan Anak, (Depok: PENA NUSANTARA, 2013), h. 222. 25 saja di Indonesia mengatur tentang batasan minimum usia perkawinan di dalam Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan. Dari uraian di atas dapat diambil satu pengertian bahwa perkawinan di bawah umur adalah perkawinan yang dilangsungkan oleh salah satu pihak atau kedua mempelai yang batasan usia menikah tidak sesuai dengan Undang-Undang yang berlaku di Indonesia. Apabila batasan usia menikah belum cukup umur maka diperlukan dispensasi kawin dari Pengadilan Agama dengan memenuhi syarat yang telah ditentukan. Berapapun usia seseorang untuk melangsungkan perkawinan, pada dasarnya harus memiliki kematangan fisik dan psikis sebelum mengarungi bahtera rumah tangga. Gunanya untuk dapat mewujudkan tujuan perkawinan. 2. Perkawinan di Bawah Umur Menurut Undang-Undang Pakistan. Perkawinan di bawah umur di dalam hukum keluarga di Pakistan dikeluarkan pada tahun 1937 dan 1939 di dalam Undang-Undang tentang Child Marriage Restraint Act (Undang-Undang Larangan Perkawinan Anak di Bawah Umur) tahun 1929. Namun, tahun 1961 Undang-Undang ini di amandemen ke dalam Muslim Family Law Ordinance (MFLO) No.8 tahun 1961 diatur ke dalam batas minimum usia menikah pada Pasal 2, 4, yang berbunyi : In this Act, unless there is anything repugnant in the subject or context, (a) “child” means a person who, if a male, is under eighteen years of age, and if a female, is under sixteen years of age; (b) “child marriage” means a marriage to which either of the parties is child; (c)”contracting party” to a marriage means either of the parties whose marriage is about to be thereby solemnized; (d) “minor” means a person of either sex who is under eighteen years of age;… 26 4. Whoever, being a male above eigthteen years of age, contracts a child marriage shall be punishable with simple imprisonment which may extend to one month, or with fine which may extend to one thousand rupees, or with both. Pasal 2 dan 4 di atas, dalam UU itu didefinisikan bahwa anak (child) adalah seseorang yang berumur di bawah 18 tahun bagi laki-laki dan di bawah 16 tahun bagi perempuan. Adapun perkawinan anak (perkawinan di bawah umur) ialah perkawinan yang salah satu dari pengantin laki-laki atau perempuan berusia anak-anak sebagaimana didefinisikan sebagai seseorang, baik laki-laki maupun perempuan, yang berusia di bawah 18 tahun. Nampaknya UU ini membedakan anatara “child” dan “minor”. Selanjutnya pada pasal 4 mengatur bahwa seorang laki-laki berumur lebih dari 18 tahun yang akan melakukan akad nikah dengan seorang perempuan berumur di bawah 16 tahun, diancam dengan penjara paling lama satu bulan atau denda setinggi-tingginya seribu Rupee atau kedua-duanya.26 Selanjutnya di dalam Pasal 5 dan 6 dari Child Marriage Restraint Act tahun 1929 sebagaimana diubah dengan MFLO tahun 1961: 5.Whoever performs, conducts or directs any child marriage, shall be punishable with simple imprisonment which may extend to one thousand rupees, or with both, unless he proves that he had reason to believe that the marriage was not a child marriage. 6. (1). Where a minor contracts a child marriage, any person having change of the minor, whether as parent or guardian or in any other capcity, lawful or unlawful, who does any act to promote the marriage or permits it to be solemnized, or negligently fails to prevent it from being solemnized, shall be punishable with simple imprisonment which may extend to one thousand rupees, or with both; provided that no woman shall be punishable 26 Tahir Mahmood, Personal Law in Islamic Countries: History, Text and Comparative Analisis, h.243. 27 with imprisonment. (2) for the purpose of this section, it shall be presumed, unless and until the contrary is proved, that where a minor has contracted a child marriage, the person having charge of such minor has negligently failed to prevent the marriage from being solemnized.27 Artinya: “ seorang laki-laki berumur lebih dari 18 tahun yang melakukan akad nikah dengan seorang perempuan berumur di bawah 16 tahun, dianam dengan hukuman penjara paling lama satu bulan atau denda setinggi-tingginya seribu Rupee atau kedua-duanya, kecuali ia mempunyai bukti-bukti yang meyakinkan dirinya bahwa apa yang dilakukannya bukanlah perkawinan di bawah umur (child marriage). Kemudian jika seseorang dalam kategori “minor” (berumur kurang dari 18 tahun) melakukan akad nikah dengan seorang di bawah umur, maka orang tua anak itu atau walinya, yang mendorong terjadinya perkawinan itu, atau karena kelalaian mereka, diancam dengan hukuman penjara paling lama satu bulan, atau denda paling banyak seribu Rupee, atau keduaduanya, dengan pengecualian bahwa wanita tidak dihukum penjara, jika perkawinan anak itu dilangsungkan juga, padahal Pengadilan telah memperingatkan para wali untuk tidak melangsungkan perkawinan itu, baik atas inisiatif pengadilan sendiri ataupun atas pengaduan pihak-pihak tertentu, maka para orang tua atau wali itu diancam dengan hukuman penjara paling lama tiga bulan atau denda 1000 Rupee atau kedua-duanya.28 Berbeda dengan Indonesia, di Pakistan hukum keluarga lebih melindungi kepada hak-hak perempuan di dalam Undang-Undangnya. Tidak hanya pelaku perkawinan di bawah umur saja yang terkena sanksi melainkan kepada pihak yang menyelenggarakan, memerintahkan, atau memimpin pernikahan di bawah umur (nikah). Demikian pula terhadap mereka (setiap pria baik sebagai orang tua atau wali atau pihak lain yang punya kapasitas atau berhak menurut hukum atau tidak) yang menganjurkan; atau mengizinkan dilangsungkannya pernikahan; atau lalai mencegah terjadinya pernikahan di bawah umur. Sedangkan terhadap setiap 27 Tahir Mahmood, Personal Law in Islamic Countries: History, Text and Comparative Analisis, h.242-243. 28 Tahir Mahmood, Personal Law in Islamic Countries: History, Text and Comparative Analisis, h.242-243. 28 pihak (pria) yang enggan mematuhi keputusan yang dikeluarkan Pengadilan (terkait pernikahan di bawah umur) sementara ia tahu keputusan tersebut melarang perbuatan yang dilakukannya dapat dijatuhi hukuman penjara maksimal 3 bulan. Semua ini diatur ke dalam Child Marriage Restraint Act 1929 dan Amandemennya (Ordonansi MFLO No. 8 Tahun 1961).29 Kesimpulan sikap hukumnya adalah bahwa walaupun di dunia Islam berbeda-beda dalam menentukan batasan usia menikah tetapi hukum mensyaratkan kedewasaan ketika menikah. Jadi, perkawinan di bawah umur ialah perkawinan yang dilakukan oleh seseorang yang batasan usianya tidak sesuai dengan Undang-Undang yang berlaku di Negara tersebut yang pada hakekatnya kurang mempunyai persiapan atau kematangan baik secara mental dan kedewasaan.Dan di Pakistan perkawinan di bawah umur memiliki kekuatan hukum bagi pelaku dan yang mendukung perkawinan tersebut, baik hukuman kurungan maupun denda atau kedua-duanya. C. Faktor Penyebab Perkawinan Di Bawah Umur Di Indonesia dan Pakistan 1. Faktor Penyebab Perkawinan di Bawah Umur Di Indonesia Pernikahan dini (di bawah umur) merupakan praktik pernikahan yang dilakukan oleh pasangan yang salah satu atau keduanya berusia masih muda dalam pandangan kekinian. Praktik pernikahan ini dipandang perlu memperoleh 29Zaki Saleh, “Kriminalisasi Trend Reformasi Hukum Islam”, artikel diakses pada 23 Januari2016 dari http://publik-syariah.blogspot.co.id/2011/04.html. 29 perhatian yang jelas. Di Indonesia khususnya perkawinan di bawah umur sudah marak terjadi di beberapa daerah. Bentuk perkawinan di bawah umur ini hanyalah sepenggal realitas social yang dihadapi masyarakat saat ini. Pada kalangan remaja, pernikahan di usia dini (bawah umur) ini dianggap sebagai jalan keluar untuk menghindari seks bebas. Ada juga yang melakukannya karena terpaksa dan karena hamil di luar nikah. Dorongan seksual remaja yang tinggi karena didorong oleh lingkungan pergaulan remaja yang mulai permisif (suka memperbolehkan atau mengizinkan) dan nyaris tanpa batas mengakibatkan tingginya perkawinan di bawah umur.30 Berdasarkan survei yang dilakukan oleh Plan Internasional tahun 2015, di Indonesia masih banyak terjadi pernikahan pada anak dan remaja. Sebanyak 38% anak perempuan di bawah usia 18 (delapan belas) tahun sudah menikah. Sementara persentase laki-laki yang menikah di bawah umur hanya 3,7%.31Ternyata, ada beberapa penyebab yang mendorong mereka melakukan pernikahan di bawah umur, diantaranya: 1. Faktor Pergaulan bebas 2. Faktor Ekonomi 30 Umi Nurhasanah, “Perkawinan Usia Muda Dan Perceraian Di Kampung Kota Baru Kecamatan PadangRatu Kabupaten Lampung Tengah”, artikel diakses pada 16 April 2016 dari Jurnal Sosiologi http://publikasi.fisip.unila.ac.id/index.php/sosiologi/articel/view/164. 31Ini Penyebab Maraknya Pernikahan Dini, Liputan6.com, 16 April 2016, Diakses dari http://www.liputan6.com/news/read/2363627/ini-penyebab-maraknya-pernikahan-dini. 30 3. Faktor Pendidikan 4. Dorongan Orang tua 5. Faktor Adat Perkawinan di bawah umur juga berdampak buruk untuk kesehatan reproduksi wanita. Seperti survey yang dilakukan oleh Deputi Keluarga Sejahtera dan Pembangunan Keluarga Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional (BKKBN), Sudibyo Alimoeso menyebutkan batas usia minimal dalam UU Perkawinan saat ini menjadi peluang terjadinya pernikahan dini. “Dari segi masalah kesehatan reproduksi pada ibu, organ-organ reproduksi belum siap dan bahkan cenderung membuat angka kematian ibu melahirkan meningkat, selain itu juga akan melahirkan bayi dengan kualitas kesehatan yang rendah. Serta meningkatkan angka perceraian yang mencapai 50% dan itu menimbulkan persoalan baru”.32 Perkawinan di bawah umur memang cukup besar di Negara Indonesia. Walaupun di dalam hukum Islam tidak adanya batasan usia untuk menikah tetapi tingkat kedewasaan seseorang harus sudah terpenuhi. Namun, nyatanya perkawinan di bawah umur mempunyai sisi negative, sebagai berikut: 32 “Pernikahan Dini, BBC.com, 16 April 2016, Diakses dari ://www.bbc.com/pernikahandini 31 1. Dari sisi kesehatan, kehamilan atau melahirkan anak di bawah usia 20 tahun lebih rentan bagi kematian bayi dan ibunya, melahirkan yang sehat menurut ilmu kedokteran adalah antara usia 20-35 tahun. 2. Dari segi fisik, pasangan usia belia masih belum mampu dibebani suatu pekerjaan yang memerlukan ketrampilan fisik untuk mendatangkan pendapatan yang mencukupi kebutuhan keluarga. 3. Dari segi mental, pasangan yang masih belia masih belum siap bertanggung jawab secara moral mengenai apa saja yang menjadi tanggung jawabnya. 4. Dari segi pendidikan, usaha pendewasaan usia pernikahan dimaksudkan buat mendapatkan pendidikan yang lebih tinggi yang lebih berguna buat menyiapkan masa depannya. 5. Dari segi kependudukan, perkawinan usia dini adalah masa yang tingkat kesuburannya tinggi sehingga kurang mendukung pembangunan di bidang kesejahteraan. 6. Dari segi kelangsungan rumah tangga, pernikahan dini lebih rentan dan rawan perceraian mengingat mereka belum stabil, tingkat kemandiriannya masih rendah.33 Kesimpulannya, Di Indonesia bentuk perkawinan di bawah umur bermacam-macam sebabnya salah satunya kurangnya factor pendidikan 33 Siti Musdah Mulia, dkk, Meretas Jalan Kehidupan Awal Manusia; Modul Pelatihan untuk Pelatih Hak-Hak Reproduksi dalam Perspektif Pluralisme, Cet-1, (Jakarta: LKAJ, 2003), h.7980. 32 dikalangan anak Indonesia menyebabkan pergaulan bebas yang membuat anak Indonesia banyak yang melakukan hubungan seks sebelum waktunya.Sebab dari itu banyak yang melakukan perkawinan di bawah umur dan menciptakan angka perceraian cukup tinggi. 2. Faktor Penyebab Perkawinan di Bawah Umur Di Pakistan Pakistan adalah Negara yang tinggi akan perkawinan di bawah umur. Berdasarkan survei yang dilakukan oleh Plan Internasional 2015 dimana 34,8% anak perempuan usia di bawah 18 tahun yang menikah, dengan laki-laki 15,2 % menikah di bawah usia 15 tahun.34Perkawinan di bawah umur di Pakistan diatur kedalam UU No. 29 Tahun 1929 tentang larangan pernikahan anak (Child Marriage Restraint Act) sebagaimana diamandemen oleh Ordonansi No. 8 Tahun 1961 (MFLO). Di mana didalam Undang-Undang tersebut memberikan hukuman terhadap pelaku perkawinan dibawah umur dengan hukuman penjara paling lama satu bulan atau denda setinggi-tingginya seribu rupee atau kedua-keduanya.35 Seperti Kasus yang terjadi di Paksitan yang dilansir Emirates, menurut Mehr Raiz kepolisian Pakistan yang menangkap enam orang yang diduga melakukan perkawinan di bawah umur. 34Ini Penyebab Maraknya Pernikahan Dini, Liputan6.com, 16 April 2016, Diakses dari http://www.liputan6.com/news/read/2363627/ini-penyebab-maraknya-pernikahan-dini. 35Tahir Mahmood, Personal Law in Islamic Countries: History, Text and Comparative Analisis, h.243-244. 33 “Polisi telah menangkap enam orang yang diduga mengatur pernikahan bocah laki-laki usia tujuh tahun dan bocah perempuan usia enam tahun itu. Yang di lakukan oleh kedua orang tua dari dua bocah Pakistan, berusia tujuh dan enam tahun ini. Terungkap sebuah video kedua bocah di bawah umur itu dinikahkan.Dengan itu kepala polisi setempat, Mehr Riaz Hussain menangkap enam orang yang diduga mengatur pernikahan bocah tersebut.Mereka didakwa melakukan pernikahan di bawah umur, dan dihukum penjara selama enam bulan, serta denda 50 ribu rupee”.36 Meskipun pelarangan perkawinan di bawah umur (Child Marriage) itu telah diberlakukan sejak tahun 1929 di Pakistan, problemnya masih berlangsung hingga sekarang. Masalah ini terkait dengan sejumlah masalah kemasyarakatan dan adat yang telah mengakar dalam masyarakat, seperti adat barter perkawinan, adat kawin paksa atau adat perkawinan yang diatur sepenuhnya oleh orang tua, adat penyerahan perempuan dan anak-anak sebagai akibat konflik antar suku,dan lain-lain. Menurut Dewan Ideologi Islam (CII) salah satu lembaga keagamaan dan konstitusional yang paling berpengaruh di Pakistan, mengumumkan bahwa gadis-gadis di Pakistan hanya boleh menikah ketika mereka sudah mencapai 36 “Di Pakistan, Orangtua Dibui Nikahkan Anak di Bawah Umur”, Viva.co.id, 16 April 2016, diakses dari http://www.viva.co.id/news/read/733289-di-pakistan-orangtua-dibui-nikahkan-anak-dibawah-umur. 34 masa pubertas. Dan perkawinan di bawah umur di Pakistan bisa dihapuskan apabila mengimplementasikan hukuman dengan baik, seperti yang dilansir dari the Guardian, menurutnya “…Jika hukum ini diimplementasikan dengan baik, maka hak-hak anak perempuan di Pakistan untuk tetap bersekolah dan menikah setelah mereka dewasa akan terpenuhi.Budaya atau adat Pakistan yang membolehkan pernikahan anak dikenal dengan sebutan vani atau swara, dimana anak-anak perempuan dinikahkan untuk mengurangi risiko kejahatan dari anggota keluarga mereka yang laki-laki...”37 Jadi, Perkawinan di bawah umur di Pakistan marak terjadi karena faktor adat yang cukup tinggi. Walaupun, di Pakistan sudah melakukan pembaharuan hukum keluarga mengenai perkawinan anak tetapi kenyataannya sampai sekarang perkawinan di bawah umur masih marak terjadi. 37 2016, “Dewan Ideologi Islam Pakistan Larang Keras Pernikahan anak”, Republika.co.id, 20 Mei diakses dari www.republika.co.id/berita/dunia-islam/islam-mancanegara/14/06/03/n6k2v6- dewan-ideologi-islam-pakistan-larang-keras-budaya-pernikahan-anak 35 BAB III SEJARAH HUKUM KELUARGA ISLAM DI INDONESIA DAN PAKISTAN A. Pembentukan Hukum Keluarga Islam di Indonesia dan Pakistan 1. Sejarah Hukum Keluarga di Indonesia Indonesia merupakan Negara kepulauan terbesar di dunia, Negara ini memiliki letak geografis yang unik sekaligus menjadikannya strategis. Hal ini dapat dilihat dari letak Indonesia yang berada diantara dua samudera (Samudera Hindia dan Samudera Pasifik) dan dua benua (benua Asia dan Australia) Indonesia juga memiliki perairan yang menjadi salah satu urat nadi perdagangan Internasional. Letak Astronomis wilayah Indonesia yaitu 6 O LU – 11O. 08‟LS dan 95o BT-141O. 45‟ BT.38 Indonesia terdiri dari 360 suku bangsa, mereka mendiami pulau dan memiliki adat dan kebudayaannya sendiri. Pada tanggal 01 Juli 2015 jumlah penduduk Indonesia sebanyak 255.461.700 jiwa. 39 Indonesia adalah Negara dengan jumlah penduduk muslim terbesar di dunia. a. Hukum Keluarga Indonesia Prakolonial Sejarah hukum keluarga di Indonesia dimulai pada zaman Prakolonia yang juga bisa kita sebut Hukum Keluarga Masa Kerajaan. Pada masa ini ada beberapa hal yang perlu diperhatikan seperti agama dan budaya masyarakat. 38 M. Thayeb, Pengetahuan Sosial Terpadu untuk kelas SD kelas V, (Jakarta: Erlangga, 2004), 39 Arsyad Umar, Pengetahuan Sosial Terpadu untuk SD kelas IV, (Jakarta: Erlangga, 2007), h.8. h.10. 35 36 Hukum tidak bisa terlepas dari budaya masayarakat dan agama. Seperti yang dijelaskan dalam beberapa literature, jauh sebelum datangnya penjajah dari Eropa, masyarakat Indonesia telah mengenal beberapa macam hukum seperti hukum adat dan hukum Islam (pasca datangnya Islam). Hukum adat misalnya, telah dikenal oleh masyarakat jauh sebelum penjajah bahkan Islam datang. Setelah Islam datang terjadi akulturasi budaya lokal dengan ajaran Islam yang kemudian terjadi adaptasi serta adopsi ajaran Islam oleh masyarakat adat setempat, sehingga pada perkembangannya ajaran Islam dan budaya lokal menyatu dan tumbuh bersama sehingga melahirkan budaya baru (perpaduan antara tradisi local dan ajaran Islam). Hal ini dapat dibuktikan di beberapa daerah seperti yang terjadi pada masyarakat Minangkabau dengan ungkapan yang terkenal “hukum adat bersendikan Syara‟ dan Syara‟ bersendikan kitabullah (Al-Qur‟an).40 Selain itu, bukti eksistensi hukum adat dan hukum Islam sebelum datangnya penjajah hingga datangnya penjajah adalah adanya lembaga peradilan klasik yang terbentuk kala itu, seperti lembaga tahkim, kemudian dalam perkembangannya Peradilan Swapraja (disebut juga Peradilan Serambi atau juga Peradilan Mesjid dan sejenisnya) pada masa kerajaan-kerajaan Islam kemudian menjadi Peradilan Agama hingga sekarang. Hal ini telah menunjukan pengaruh 40 Abdulkadir Muhammad, Hukum Perdata Indonesia, (Bandar Lampung: PT Citra Aditya Bakti, 2010), h.57. 37 kuat Islam di Indonesia dalam aspek hukum perdata, terutama dalam bidang hukum perkawinan atau keluarga.41 b. Hukum Keluarga Indonesia Zaman Kolonial Zaman Kolonial dimulai dari masuknya kompi-kompi pedagang Eropa ke Indonesia, mulai dari Portugis, Belanda, Inggris, dan ditambah lagi dari Asia yaitu Jepang.Hasil dari penjajahan kolonialis Belanda telah mengusik keharmonisan sistem hukum yang dianut oleh penduduk pribumi, berupa hukum yang hidup ditengah-tengah masyarakat (Living Law) atau berupa Hukum Adat (customary law), maupun hukum Islam. Kehadiran para kolonialis inilah yang mengakibatkan terjadinya pluralitas sistem hukum yang dianut oleh masyarakat pribumi yang dikuasai oleh pemerintah kolonialis Belanda, hingga diberlakukanlah sistem Hukum Adat, Hukum Islam, dan sistem Hukum Belanda atau sering disebut sebagai Hukum Barat berupa hukum sipil (civil law).42 Kemudian, pemerintahan Hindia Belanda dalam menjalankan roda kekuasaannya mereka memanfaatkan beberapa macam instruksi Gubernur Jenderal yang ditunjukan kepada para Bupati, khususnya disebelah utara pantai Jawa, yang intinya adalah agar memberi kesempatan kepada para ulama untuk 41 Ali Sodikin, Fiqh Ushul Fiqh: Sejarah,Metodologi dan Impementasinya di Indonesia, (Yogyakarta: Beranda, 2012), h.182. 42 A Qodri Azizy,Hukum Nasional “Elektisisme Hukum Islam dan Hukum Umum”, (Bandung: Teraju, 2004), h.137-139. 38 menyelesaikan perselisihan perdata di kalangan penduduk menurut ajaran Islam. Bahkan, konon keputusan Raja Belanda (Koninkelijk Besluit) No. 19 tanggal 24 Januari 1882 yang kemudian diumumkan dalam Staatsblad tahun 1882 No.152 tentang pembentukan Pristerraad (Pengadilan Agama), walaupun hal ini didasarkan atas pengaruh dari teori Van den Berg yang menganut paham reception in complex, yang berarti bahwa hukum yang berlaku bagi masyarakat pribumi adalah hukum agama yang dipeluknya. 43Melalui kantor dagang Belanda (VOC), dikeluarkanlah Resolute de Indieshe Regeering yang berisi pemberlakuan hukum waris dan hukum perkawinan Islam pada pengadilan VOC bagi orang Indonesia. resolusi ini dikenal dengan nama Compendium Freijer, yang merupakan legislasi Hukum Islam pertama Indonesia.44 Berdasarkan Stbl Nomor 55 tahun 1982, Compendium Freijer yang sebagian diperbaharui itu kemudian dicabut secara berangsur-angsur pada abad ke-19. Dengan demikian, berakhirlah riwayat hukum perkawinan Islam yang tertulis dan dicukupkan dengan menumpang pada pasal 131 ayat [2] sub b IS [indische Staatsregeling] yang merupakan kelanjutan dari Pasal 75 redaksi lama Regelings Regrement [RR] tahun 1854, yang hanya mengatur masalah pendaftaran perkawinan, sedangkan dasar perkawinan adalah hukum adat. 43 Amrullah Ahmad,dkk,Dimensi Hukum Islam dalam Sistem Hukum Nasional, (Jakarta: Gema Insani Press, 1996), h.55. 44 Idris Ramulyo, Azaz-azaz Hukum Islam: Sejarah Timbul dan Berkembangnya, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1993), h.189. 39 Dengan dicabutnya Compendium Frijer tanggal 3 Agustus 1828, secara tekstual hukum perkaiwnan yang berlaku adalah Hukum Adat, kecuali agama Kristen berlaku HOCI [Huwelijk Ordonantie Christen Indonesiers Java Minahasa an Amboina] yakni UU Perkawinan Kristen Jawa, Minahasa dan Ambon.45 Pada waktu pemerintahan Belanda masuk ke Indonesia pada tahun 1596 melalui VOC, kebijakan yang telah dilaksanakan oleh para sultan tetap dipertahankan pada daerah-daerah kekuasaanya sehingga kedudukan hukum (keluarga) islam telah ada dimasyarakat sehingga pada saat itu diakui sepenuhnya oleh penguasa VOC. Bahkan dalam banyak hal VOC memberikan kemudahan dan fasilitas agar hukum Islam dapat terus berkembang sebagaimana mestinya. Pada awalnya Belanda melalui VOC masuk ke Indonesia dengan membawa serta hukum negaranya untuk menyelesaikan masalah diantara mereka sendiri. Masa VOC berakhir dengan masuknya Inggris pada tahun 18001811.Setelah Inggris menyerahkan kembali kekuasaannya kepada pemerintahan Belanda, pemerintah kolonial Belanda kembali berupaya mengubah dan mengganti hukum di Indonesia dengan hukum Belanda. Namun, melihat kenyataan yang berkembang pada masyarakat Indonesia, muncul pendapat dikalangan orang Belanda yang dipelopori oleh L.W.C Van Den Berg bahwa 45 Yayan Sopyan,Islam-Negara, Transformasi Hukum Perkawinan Islam dalam Hukum Nasional, (Jakarta: UIN Sayarif Hidayatullah, 2011), h. 79-80. 40 hukum yang berlaku bagi orang Indonesia asli adalah undang-undang agama mereka, yaitu Islam. c. Hukum Keluarga Pasca Kemerdekaan Masa awal kemerdekaan, keinginan membuat hukum dan peraturan perundang-undangan yang berciri khas ke-Indonesiaan tetap ada [UU No. 22/1946]. Undang-undang ini hanya berlaku untuk Jawa dan Madura.Uniknya, justru UU inilah yang pertama kali dibuat oleh bangsa Indonesia.sayangnya UU perkawinan ini hanya berlaku untuk wilayah Jawa dan Madura saja. Kemudian Undang-undang pertama tentang perkawinan yang lahir setelah Indonesia merdeka ini diperluas wilayah berlakunya untuk Indonesia dengan UU No. 32 Tahun 1954, yakni Undang-undang tentang Pencatatan Nikah, Talak dan Rujuk. Keberadaan Undang-undang No. 22 Tahun 1946 ini adalah sebagai kelanjutan dari Stbl. No. 198 Tahun 1895.46 Sebagai pengganti dari Huwelijks Ordonantie Stbl. No. 348 Tahun 1929 jo. Stbl. No.467 Tahun 1931, dan Vorstenlandse Huwelijks Ordonantie Stbl. No. 98 Tahun 1933. Aulawi mencatat seyogianya Undang-undang UU No. 22 Tahun 1946 ini berlaku untuk seluruh Indonesia, tetapi karena keadaan belum memungkinkan maka diberlakukan untuk Jawa dan Madura. Kemudian diberlakukan di seluruh Indonesia pada tahun 1954 dengan diundangkannya UU 46 Arso Sosroatmodjo & A. Wasit Aulawi, Hukum Perkawinan di Indonesia, cet.II, (Jakarta: Bulan Bintang, 1978), h.21. 41 No. 32 Tahun 1954, yang isinya memperlakukan UU No. 22 Tahun 1946 di seluruh Indonesia.47Kemudian, Departemen Agama melalui menteri agama mengeluarkan Peraturan Menteri Agama mengenai wali hakim dan tatacara pemeriksaan perkara fasid nikah, talak, dan rujuk di Pengadilan Agama. Kemudian pada tahun 1974 terbentuklah Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan merupakan Undang-undang pertama yang terbentuk pada masa Orde Baru. Kehadiran UU No. 1 Tahun 1974 ini disusul dengan lahirnya beberapa peraturan pelaksana.Pertama, PP No. 9 Tahun 1975 yang diundangkan tanggal 1 April 1975. Kedua Peraturan Menteri Agama dan Menteri Dalam Negeri. Ketiga Petunjuk Mahkamah Agung R.I. pada tahun 1983 lahir pula Peraturan Pemerintah No. 10 yang mengatur tentang Izin Perkawinan dan Perceraian bagi Pegawai Negeri Sipil (PNS). Peraturan yang ditetapkan tanggal 21 April 1983 ini, berisi 23 Pasal.Kemudian pada tahun 1989 lahir UU No. 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama.48Kemudian pada tahun 1990 keluar PP No. 45 yang berisi perubahan PP No. 10 Tahun 1983, yang isinya memuat beberapa pasal yang ada dalam PP No. 10 Tahun 1983. PP No.45 Tahun 1990 ini hanya berisi dua Pasal.Kemudian satu tahun sesudahnya pada tahun 1991 47 A. Wasit Aulawi,“Sejarah Perkembangan Hukum Islam di Indonesia”.Dalam Amrullah Ahmad, ed.,Dimensi Hukum Islam dalam Sistem Hukum Nasional, (Jakarta: Gema Insani Press, 1966), h.57. 48 25-26. Atho Muzdhar, Hukum Keluarga di Dunia Islam Modern, (Jakarta: Ciputat Press, 2003), h. 42 berhasil disusun Kompilasi Hukum Islam (KHI) mengenai perkawinan, pewarisan, dan perwakafan.49 2. Sejarah Pembentukan Hukum Keluarga Islam di Pakistan Semula Pakistan adalah bagian dari India dan berdirinya Negara Pakistan merupakan jawaban atas tuntutan orang-orang Islam yang berada di India yang ketika itu berada di bawah penjajahan Inggris. Pada tahun 1974 memproklamirkan diri sebagai Negara Islam. Pakistan terletak antara 20 o LU-37o LU dan 66o BT – 75O BT. Jumlah penduduk Pakistan pada tanggal 01 Juli 2015 sebanyak 188.925.000 jiwa. Pakistan terletak secara strategis diantara daerahdaerah penting di Asia Selatan, Asia Tengah dan Asia Timur.50 Pakistan berbatasan dengan Iran di Barat, Afganistan di Barat Laut, di Tenggara dan Kashmir di Timur Laut. Pakistan merupakan Negara federal dengan system parlamen yang terdiri dari 4 provinsi dan 4 daerah federal. Jumlah penduduk Pakistan lebih dari 170 juta orang. Pakistan menjadi salah satu Negara terpadat di dunia dan memiliki penduduk muslim terbanyak di Indonesia. mayaoritas 49 Khoiruddin Nasution, Hukum Perdata (keluarga) Islam Indonesia Dan Perbandingan Hukum Perkawinan Di Dunia Muslim: Studi Sejarah, Metode Pembaharuan, Dan Materi & Status Perempuan Dalam Hukum Perkawinan/Keluarga Islam,(Yogyakarta: Academia & Tazzafa, 2009),h.49. 50 h.133. Benazir Bhuto, Rekonsilasi, Islam Demokrasi & Barat, (Jakarta: PT. Bhuana Ilmu, 2003), 43 masyarakat Pakistan 97% beragama muslim, dan minoritas dari mereka beragama non muslim termasuk beragama Kristen, Hindu, dan Persia.51 Kemerdekaan Negara baru Islam bernama Pakistan itu tidak dengan sendirinya memutus dirinya dari hukum yang berlaku pada zaman penjajahan Inggris, karena semua hukum yang berlaku di India pada zaman penjajahan Inggris berlaku di Pakistan dan tetap berlaku pada zaman kemerdekaan sampai ada hukum baru yang memperbarui atau menggantikannya. Sejak sebelum merdeka, semasa masih berada di bawah jajahan Inggris, orang-orang Islam di India itu telah memiliki sebuah UU tentang hukum keluarga yaitu UU Penerapan Hukum Status Pribadi Muslim (Muslim Personal Law Application Act) tahun 1937. Kecuali soal-soal yang terkait tanah dan pertanian yang diatur secara hukum adat, UU tahun 1937 itu mengatur mengenai persoalanpersoalan keluarga dan waris. UU kedua yang mengatur hukum keluarga bagi orang-orang Islam di India ialah UU Perceraian Orang-orang Islam (Dissolution of Muslim Marriages Act) tahun 1939 yang juga memberikan kedudukan hukum lebih baik kepada perempuan dengan memberikan kesempatan kepada mereka untuk mengajukan gugatan perceraian ke pengadilan dengan alasan-alasan yang dibenarkan. Kiranya perlu dicatat bahwa dalam mazhab Hanafiah yang dianut 51 Muhammad Atho Mudzhar, “Hukum Keluarga Di Pakistan (Antara Islamisasi Dan Tekanan Adat)”, artikel diakses pada 27 Maret 2016 dari http://ejournal.iainradenintan.ac.id. 44 oleh kebanyakan orang Islam India, inisiatif perceraian tidak boleh diambil oleh pihak istri. Tidak hanya perceraian saja tetapi Negara Pakistan mengatur di dalam Undang-Undangnya tentang fasakh (bubarnya perkawinan otomatis karena terjadinya perbedaan agama), meskipun setelah itu ia menyatakan kembali masuk Islam. itulah sebabnya, didalam UU tahun 1939 Pasal 4 yang berusaha menutupnya dengan mengatur bahwa “the renunciation of Islam by a married Muslim woman on her conversion to a faith other than Islam shall not by itself operate to dissolve her marriage”. (Pernyataan keluar dari Islam oleh seorang perempuan Muslim bersuami untuk menganut agama lain tidak dengan sendirinya berakibat putusnya (bubarnya) perkawinannya atau fasakh). Para politisi Hindu ketika itu menyetujui juga pasal itu dan aturan ini memang menarik, karena di dalam aturan tentang hukum keluarga Islam itu ternyata terdapat juga tarikmenarik antara kelompok-kelompok Islam dan kelompok Hindu di India ketika itu.52 Setelah itu pada tahun 1947, Negara Pakistan merdeka dan menegaskan dirinya sebagai Negara Islam maka untuk islamisasi hukum keluarga pada dasarnya diatur dengan Muslim Family Law Ordinance (MFLO) tahun 1961, 52 Maratin Lau, “Sharia and National Law in Pakistan”, dalam Jan Michiel Otto, ed.,Sharia Incorporated: A Comprehensive Overview of the Legal Systems of Twelve Muslim Countries in Past and Present, (Leiden University Press, 2010),h.386-387. 45 diterbitkan pada zaman pemerintahan Presiden Ziaul Haq, dengan segala perubahannya. Ketika MFLO diberlakukan pada tahun 1961 berarti Negara Pakistan telah berumur 14 tahun.Selama periode itu (1947-1961) Pakistan sibuk mempersiapkan naskah UUD-nya (konstitusi).Pada 1956 barulah Pakistan memiliki UUD yang pertama, setelah tiga buah rancangan UUD sebelumnya ditolak pada tahun 1949, 1950, dan 1952. Semangat dari UUD 1956 itu ialah bahwa semua hukum warisan zaman penjajahan Inggris yang masih berlaku akandiganti dengan hukum baru yang berdasarkan atau berorientasi kepada hukum Islam.53 Praktis UUD 1956 itu hanya dipersiapkan dalam dua tahun yaitu tahun 1953 dan 1954. Penyiapan UUD pertama Pakistan itu memakan waktu demikian lama, karena adanya perdebatan dikalangan elite Pakistan di sekitar persoalan apakah Pakistan itu akan menjadi Negara Sekuler bagi orang-orang Islam. sebagian kelompok non-Muslim Pakistan beralasan bahwa Mohammad Ali Jinnah sendiri, pendiri Pakistan yang meninggal dunia pada 11 September 1948, berpendapat yang pertama. Dalam UUD 1956 itu pilihan telah diambil, Pakistan adalah Negara Islam berbentuk republic dan presidennya harus orang beragama Islam. UUD tahun 1956 itu ternyata tidak berlaku lama, karena pada 7 Oktober 1956 dinyatakan tidak berlaku dan ketika konstitusi 1956 dicabut, Komisi 53M.Atho Mudzhar, “Hukum Keluarga Di Pakistan (Antara Islamisasi Dan Tekanan Adat)”, artikel diakses pada 23 Maret 2016 dari http://ejournal.iainradenintan.ac.id. 46 Nasional Negara itu merekomendasikan beragam masalah keluarga bagi penyempurna UU Hukum Keluarga yang ada. Atas dasar rekomendasi yang dibuat komisi itu, suatu ordinansi yang dikenal sebagai Ordinansi Hukum Keluarga Islam disahkan pada 1961 yang dikenal dengan Muslim Family Law Ordinance (MFLO).54 B. Pembaharuan Hukum Keluarga Islam di Indonesia dan Pakistan 1. Pembaharuan Hukum Keluarga Islam di Indonesia Hukum keluarga Islam menurut Prof. Daud Ali,”…hukum keluarga Islam menarik dikaji karena di dalam hukum keluarga itulah terdapat jiwa wahyu ilahi dan Sunnah Rasulullah SAW. Sedang dalam lapangan hukum Islam lain, jiwa itu telah hilang akibat berbagai sebab yang diantaranya adalah karena penjajahan Negara-negara barat di Negara-negara muslim…”.55 Mengingat begitu sentral dan mendasarnya hukum keluarga Islam di kalangan umat muslim, maka dari itu, setiap upaya untuk memodifikasi, merubah apalagi mengganti hukum keluarga Islam bisa dipastikan akan menimbulkan gejolak, protes dan keberatan dari umat Islam. kasus pengesahan RUU Perkawinan tahun 1974 kiranya menjadi bukti terang dari pernyataan ini, sehingga pembaruan yang diusung oleh sebagian kalangan, hanya sebagian (kecil) 54 M.Atho Mudzhar, ESAI-ESAI Sejarah Sosial Hukum Islam, (Yogyakarta: PUSTAKA PELAJAR, 2014), h.29-30. 55 h.359. Jazuni, Legislasi Hukum Islam di Indonesia, cet-1, (Bandung: Citra Aditya Bakti, 2005), 47 saja yang relative berhasil, itupun di lapangan tidak sepenuhnya ditaati dan dilaksanakan. Pembaharuan hukum keluarga di Indonesia bukan tanpa upaya awal dari beberapa ahli hukum, baik ahli hukum Islam maupun adat, yang telah memperkenalkan beberapa ide mereka.Adapun yang menjadi factor penyebab terjadinya pembaharuan hukum ialah untuk mengisi kekosongan hukum karena norma-norma yang ada dalam kitab fiqih tidak mengaturnya, sedangkan kebutuhan masyarakat terhadap hukum, terhadap masalah yang baru terjadi itu sangat mendesak untuk diterapkan. Pembaharuan hukum keluarga islam disebabkan karena adanya perubahan kondisi, situasi, tempat dan waktu sebagai akibat dari factor-faktor di atas. Dan adapun beberapa orang pembaharuan keluarga Islam di Indonesia yang banyak memberi kontribusi dalam perkembangan hukum keluarga Islam, diantaranya: Hasbi ash-Shiddieqy, Hasan Bangil, Harun Nasution, Hazairin, Ibrahim Husen, Munawir Syadzali, Busthanul Arifin dan pembaru lainnya. Ide-ide mereka kemudian mengantarkan pemerintah melakukan upaya pembaharuan lewat apa yang menjadi trendsejak abad ke-19 di berbagai Negara Muslim di dunia, yaitu kodifikasi hukum.56Keinginan pemerintah untuk melakukan pembaruan terhadap hukum keluarga dibidang perkawinan selalu menemui kegagalan, berhubung 56 Asep Saepudin, dkk, HUKUM KELUARGA PIDANA & BISNIS Kajian Perundang- undangan Indonesia, Fikih dan Hukum Internasional, (Jakarta: KENCANA, 2013), h.12. 48 subjek dan objek yang diatur hukum perkawinan berkaitan erat dengan kehidupan social keagamaan, yang tidak mudah untuk disatupadukan.Ini berarti pembaruan hukum perkawinan harus dilakukan dengan penuh hati-hati jangan sampai menimbulkan kekecewaan golongan penduduk lainnya. Adanya pembaruan hukum perkawinan sebagaimana tertuang dalam UUP di Indonesia, jika dibandingkan dengan ketentuan dalam fikih madzhab Syafi‟i terdapat empat hubungan yakni:57 1. Ketentuan UUP sepenuhnya selaras dengan ketentuan dalam fikih munakahat, seperti dalam hal larangan pernikahan dan masa iddah. 2. Ketentuan UUP tidak terdapat dalam fikih madzhab manapun, namun karena bersifat administrasi dan tidak menyangkut hal yang substansial dapat diterima seperti dalam hal pencatatan pernikahan. 3. Ketentuan UUP tidak terdapat dalam aliran hukum manapun dalam Islam, namun karena pertimbang kemaslahatan dapat diterima, misalnya dalam hal pembatasan usia nikah. 4. Ketentuan UUP secara lahirlah dan sepintas tidak sesuai dengan ketentuan fikih, namun demi kemaslahatan dan penggunaan reinterpretasi dan diterima seperti dalam hal perceraian di muka pengadilan dengan alasan-alasan tertentu, serta pengetatan poligami. 57 Amir Syarifuddin, Hukum Perkawinan Islam di Indonesia, Antara Fiqih Munakahat dan Undang-Undang Perkawinan, Cet-1, (Jakarta: Prenada, 2006), h.29. 49 Pembaharuan terhadap hukum keluarga Islam dibarengi dengan upaya pemerintah dalam Negara-negara tertentu untuk mengatur dan menertibkan aturan-aturan terkait dengan masalah keluarga. Upaya kodifikasi hukum ini dilakukan dengan beberapat tujuan dari pembaharuan yaitu: 1. Untuk membuat unifikasi hukum, sehingga kepastian hukum bisa tercapai; 2. Untuk memecahkan permasalahan kontemporer yang disebabkan oleh perubahan kondisi zaman/memenuhi tuntutan zaman, dan; 3. Untuk memenuhi, secara spesifik, tuntutan kaum wanita terkait dengan status hukum merdeka yang mengangkat derajat dan martabat wanita.58 Adanya usaha-usaha untuk memperbarui atau modernisasi hukum keluarga islam khususnya hukum perkawinan Islam tidak selamanya mendapat dukungan luas dari masyarakat muslim itu sendiri. Kasus sebelum disahkannya UU perkawinan memberikan bukti, betapa tarik-menarik kepentingan dan ideologi amat kental terjadi. Pertarungan ideologi kelompok sekuler dengan muslim tak terelakan sehingga kemudian terjadi kompromi-kompromi politik.59 Secara umum respon ulama maupun cendekiawan muslim terhadap usaha pembaruan hukum Islam termasuk di dalamnya bidang perkawinan terbagi 58 Muhammad Ayub, Understanding Islamic Finance, (England: John Wiley and Sons, Ltd, 2007), h.11. 59 50 menjadi dua kelompok besar yakni kelompok menolak dan menerima. Kelompok yang menerima pembaruan dapat dibagi menjadi kelompok yang menerima secara penuh dan kelompok yang menerima secara terbatas serta belakangan muncul kelompok yang menginginkan pembaruan yang lebih radikal lagi. Tak hanya Indonesia yang melakukan pembaharuan hukum keluar melainkan Negara Pakistan yang juga melakukan pembaharuan pada hukum keluarga. Tujuan usaha pembaharuan hukum keluarga berbeda antara satu dengan Negara lain, yang secara umum dapat dikelompokkan menjadi tiga kelompok. Pertama, Negara yang bertujuan untuk unifikasi hukum keluarga. Alasan pembaharuan untuk unifikasi ini adalah karena adanya sejumlah mazhab yang diikuti di Negara tersebut. Yang boleh jadi terdiri dari mazhab masih dikalangan sunni, namun boleh juga antara Sunni dan Shi‟i. Seperti untuk kasus di Tunisia. Unifikasi hukum keluarga ditunjukan bukan hanya untuk kaum muslimin, tetapi juga untuk semua warga Negara tanpa memandang perbedaan agama.60 Kedua, usaha pembaharuan Hukum Islam adalah untuk pengangkatan status wanita. Ketiga, untuk merespon perkembangan dan tuntutan zaman karena konsep fiqih tradisional dianggap kurang mampu menjawabnya. 2. Pembaharuan Hukum Keluarga Islam di Pakistan 60 Dawoed El Alami dan Doreen Hincheliffe,Islamic Marriage and Divorce Law of The Arab World,(London:the Hague,Boston Kluwer Law International,1996), h.4 51 Pembaharuan hukum keluarga pada tingkat bagian, parlemen Punjab adalah Negara bagian yang pertama menyusun rancangan peraturan pembaharuan tentang perkawinan. Secara nasional, langkah pertama kearah pembaruan hukum keluarga itu dilakukan dengan pembentukan suatu komisi yang disebut Komisi Hukum Perkawinan dan Keluarga (Marriage and Family Law Commission) pada 1955 yang diketuai oleh seorang hakim bernama Badur Rashid dengan keanggotaan tujuh orang, termasuk tiga orang tokoh perempuan dan seorang filsuf, Khalifa Abdul Hakim. Pada Juni 1956 komisi telah menyelesaikan pekerjaannya dan menyampaikan laporan untuk dijadikan bahan penyusunan UU Hukum Keluarga. Seorang anggota komisi dari kelompok ulama konservatif, Maulana Ihteshamul Haq, membuat pernyataan dissenting opinion karena isi laporan komisi itu dianggap bertentangan dengan ajaran agama Islam atau sekurang-kurangnya Negara telah melakukan intervensi yang tidak perlu terhadap hukum Islam. memang sedikit aneh, karena terhadap Mesir yang melakukan pembaharuan hukum keluarga pada 1929, ulama konsevatif Pakistan Maulana Maududi mendukungnya, tetapi ketika pembaruan serupa hendak diberlakukan di Pakistan, ia menentangnya. Ketika MFLO diberlakukan pada 1961 ternyata tidak semua rekomendasi komisi tersebut ditampung di dalamnya, sehingga membuat orang berkesimpulan bahwa MFLO 1961 adalah hasil kompromi antara kelompok- 52 kelompok Muslim modernis dan konservatif di Pakistan. 61Dalam MFLO 1961 dan berbagai peraturan perundangan terkait, termasuk beberapa amandemennya (pembaharuan), terdapat sejumlah hal penting yang diatur tentang hukum keluarga di Pakistan, yaitu: 1. Batasan usia minimum perkawinan; 2. Kewajiban pencatatan perkawinan; 3. Kewajiban memperoleh izin Dewan Arbitrasi bagi pria untuk melakukan poligami; 4. Kewajiban melaporkan peristiwa talak kepada pejabat berwenang agar ia dapat segera membentuk Dewan Arbitrasi selaku Dewan Hakam; 5. Ancaman sanski atas pelanggaran batas maksimal nilai maskawin dan biaya perkawinan serta pelanggaran lainnya; 6. Kehadiran ahli waris pengganti; 7. Penyelesaian sengketa keluarga melalui pengadilan keluarga (family court); dan 8. Pemberlakuan kembali hukum Islam tentang hak pemilikan harta terkait orang murtad. Contohnya pembaharuan hukum keluarga yaitu: mengenai batas usia minimum kawin yang diatur dalam UU No. 29 Tahun 1929 tentang larangan 61 Rubya Mehdi, The Islamization of the Law in Pakistan, (Nordic Institute of Asian Studies, Curzon Press, UK, 1994), h. 157-158. 53 pernikahan anak (Child Marriage Restraint Act) sebagaimana diamandemen oleh Ordonansi No. 8 Tahun 1961 (MFLO). Dalam UU itu didefinisikan bahwa anak (child) adalah seorang yang berumur di bawah 18 tahun bagi laki-laki dan di bawah 16 tahun bagi perempuan. Adapun perkawinan anak (perkawinan di bawah umur) ialah perkawinan yang salah satu dari pengantin laki-laki atau perempuan berusia anak-anak sebagaimana didefinisikan tersebut. Kemudian “minor” didefinisikan sebagai seorang, baik laki-laki maupun perempuan, yang berusia di bawah 18 tahun. Tampaknya UU ini membedakan antara “child” dan “minor”.62 Selanjutnya MFLO mengatur bahwa seorang laki-laki berumur kurang dari 18 tahun yang melakukan akad nikah dengan seorang perempuan di bawah 16 tahun, diancam dengan hukuman penjara paling lama satu bulan atau denda setinggi-tingginya seribu Rupee atau kedua-duanya, kecuali ia mempunyai buktibukti yang meyakinkan dirinya bahwa apa yang dilakukannya bukanlah perkawinan di bawah umur (child marriage). Kemudian jika seseorang dalam kategori “minor” (berumur kurang dari 18 tahun) melakukan akad nikah dengan seorang di bawah umur, maka orang tua anak itu atau walinya, yang mendorong terjadinya perkawinan itu, atau karena kelalaian mereka, diancam dengan hukum penjara paling lama satu bulan, atau denda paling banyak seribu Rupee atau 62 Tahir Mahmood, Personal Law in Islamic Countries: History, Text and Comparative Analisis,(Academy of Law and Religion, New Delhi,1987), h.243. 54 kedua-duanya, dengan pengecualian bahwa wanita tidak dihukum penjara. Jika perkawinan anak itu dilangsungkan juga, padahal Pengadilan telah memperingatkan para wali untuk tidak melangsungkan perkawinan itu, baik inisiatif pengadilan sendiri ataupun atas pengaduan pihak-pihak tertentu, maka para orang tua atau wali itu diancam dengan hukuman penjara paling lama tiga bulan atau denda 1.000 Rupee atau dua-duanya.63 C. Peraturan yang Mengatur Hukum Keluarga di Pakistan dan Indonesia 1. Undang-Undang yang Mengatur Hukum Keluarga di Indonesia Adapun yang sudah menjadi peraturan perundang-undangan negara yang mengatur perkawinan yang ditetapkan setelah Indonesia merdeka adalah: 1. Undang-Undang No. 32 Tahun 1954 tentang Penetapan berlakunya UndangUndang Republik Indonesia Tanggal 21 November 1956, No. 22 Tahun 1946 tentang Pencatatan Nikah, Talak, dan Rujuk di seluruh daerah Luar Jawa dan Madura. Sebagaimana bunyinya UU ini hanya mengatur tata cara pencatatan nikah, talak dan rujuk, tidak materi perkawinan secara keseluruhan. Oleh karena itu, tidak dibicarakan dalam bahasan ini. 2. Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, yang merupakan hukum materil dari perkawinan, dengan sedikit menyinggung acaranya. 63 Tahir Mahmood, Personal Law in Islamic Countries: History, Text and Comparative Analisis, h.243-244. 55 3. Peraturan Pemerintah No. 9 Tahun 1975 tentang Pelaksanaan UndangUndang No. 1 Tahun 1974, tentang Perkawinan. PP ini hanya memuat pelaksanaan dari beberapa ketentuan yang terdapat dalam UU No. 1 Tahun 1974. 4. Undang-Undang No. 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama. Sebagian dari materi undang-undang ini memuat aturan yang berkenaan dengan tata cara (hukum formil) penyelesaian sengketa perkawinan di Pengadilan Agama. 5. Kompilasi Hukum Islam (KHI). 64Proses penyusunan KHI dari awal sampai akhir dengan segala tahapan dan sumber rujukannya tidak lepas dari kitabkitab fiqih dari berbagai mazhab, meskipun yang terbanyak adalah mazhab Syafi‟i dan tak luput juga penyusunannya melibatkan hukum adat. 2. Undang-Undang yang Mengatur Hukum Keluarga di Pakistan Pakistan sejarah hukumnya hingga 14 Agustus 1947 berbagi dengan India.Pada saat pembentukan Negara ini pada tanggal tersebut, Ia mewarisi dari Negara induknya. India, Undang-Undang Hukum Keluarga, seperti berikut ini: 1. Cast Disabilities Removal Act 1850; 2. Divorce Act 1869; 3. Christian Marriage 1872; 4. Majority Act 1875; 64 Rachmadi Usman, Aspek-Aspek Hukum Perorangan & Kekeluargaan di Indonesia, (Jakarta: Sinar Grafika, 2006),h. 234. 56 5. Guardians and Wards Act 1890; 6. Child Marriage Restraint Act 1929; 7. Dissolution of Muslim Marriage Act 1939; 8. (West Pakistan) Muslim Personal Law (Shariat) Application Act 1962; 9. (West Pakistan) Family Court Act 1964; 10. Offence of Zina (Enforcement of Hudood) Order 1979; 11. Law of Evidence (Qanun-e-Shahadat) Order 1984; 12. Enforcement of Sharia Act 1991; 13. Dowry and Bridal Gifts (Restriction) Act 1976; 14. Prohibition (Enforcement of Hudood) Order 1979; 15. Offence of Oazf (Enforcement of Hudood) Order 1979; 16. Execution of Punishment of Wiping Ordinance 1979.65 Kemudian pada tahun 1961 Pakistan melakukan pembaharuan atas Undang-Undang yang mengatur tentang Hukum Keluarga kedalam Muslim Family Laws Ordinance (MFLO). 65 “Muslim Family Law Pakistna”, artikel diakses pada 23 Mei 2016 dari http://www. Ashraflawfirm.com/family.html. 57 BAB IV ANALISIS PERBANDINGAN UNDANG-UNDANG HUKUM KELUARGA DI INDONESIA DAN PAKISTAN A. Sejauh Mana Pengaruh Fuqoha Mahzab yang Membedakan Hukum Keluarga di Indonesia dan Pakistan. Pengaruh aliran mahzab terlihat dari perbedaan mahzab yang dianut antara Negara Indonesia dan Negara Pakistan. Indonesia merupakan Negara muslim yang sebagian terbesar penduduk Muslim itu penganut ahli Sunnah wal Jamaah dengan Mazhab Syafi‟i. Sedangkan Negara Pakistan merupakan Negara Muslim terbesar kedua di dunia setelah Indonesia. Sebanyak 97% penduduknya beragama Islam, selebihnya beragama Kristen, Hindu dan Parsian. Sebagian terbesar penduduk Muslim itu penganut ahli Sunnah wal Jamaah dengan Mazhab Hanafi, hanya sekitar 10-15 persen penganut Syiah.66 Adanya perbedaan pendapat antara ulama (khilafiyah) dan tidak ada consensus di dalamnya menunjukkan bahwa itu adalah persoalan yang bersifat ijtihadi. Artinya, tidak ada ketegasan tekstual yang bersifat pasti. Karenanya keputusan diserahkan pada para ulama untuk memutuskan melalui penggalian dan penalaran rasionalitasnya berdasarkan kaedah dan metode yang mereka 66Muhammad Atho Mudzhar, “Hukum Keluarga Di Pakistan (Antara Islamisasi Dan Tekanan Adat)”, artikel diakses pada 27 Maret 2016 dari http://ejournal.iainradenintan.ac.id. 57 58 pilih.Karenanya perbedaan latarbelakang teriorial, sosio-kultur, sosio-ekonomi dan sosio-politik dapat mempengaruhi keputusan ulama dalam berijtihad. Konteks dimana ulama berbeda dan mengembangkan pemikirannya serta konteks social politiknya niscaya berpengaruh kepada pendapatnya. Golongan Jumhur dalam menetapkan hukum terbagi menjadi dua golongan:67 1) Ahl al-Hadits Golongan ini berkembang di Hajz.Dalam menetapkan hukum, mazhab ini pertama-tama sangat terikat kepada teks-teks al-Qur‟an dan Sunnah. Bila dalam menetapkan hukum suatu masalah tidak ditemukan hukumnya dalam nash al-Qur‟an dan al-Sunnah, mereka berpaling kepada praktek dan pendapat para sahabat. Mereka menggunakan rayu hanya dalam keadaan terpaksa.Tokoh-tokoh aliran ini yang termasyhur adalah Sa‟id Ibn alMusaiyyab al-Mahzumy.Ia diikuti oleh al-Zuhry, al-Tsaury, Malik, Syafi‟I, Ahmad Ibn Hanbal dan Dawud Al-Zhahiry. 2) Ahl al-Ra‟yi Golongan ini berkembang di kufah (Irak). Dalam menetapkan hukum, mazhab ini banyak terpengaruh dengan cara berpikir ulama-ulama Irak. Dalam menetapkan hukum, mazhab ahli ra‟yi ini berlandaskan pada beberapa asumsi dasar, antara lain: nash-nash syari‟ah sifatnya terbatas, sedangkan 67 Huzaemah Tahido Yanggo, Pengantar Perbandingan Mazhab, (Ciputat: Logos Wacana Ilmu, 2003), Cet-III, h.32. 59 peristiwa-peristiwa hukum selalu baru dan senantiasa berkembang. Dan setiap hukum syara‟ dikaitkan dengan „illat tertentu dan ditunjukan untuk tujuan tertentu. Di Indonesia mazhab yang dianut ialah mazhab Imam as-Syafi‟I, seorang ulama asli bangsa/suku Arab.Bahkan nasabnya diklaim nyambung sampai ke Nabi Muhammad SAW. Sejak kecil hingga dewasa hidup dalam kultur Arab. Masa pengembaraan pencarian ilmunya juga di semenanjung Arab.Latar belakang cultural dan sosialnya yang mengkonstruksi intelektualitas ke faqih-an al-Syafi‟I adalah Arab.Setelah pindah ke Irak, pendapat-pendapatnya didengar dan diikuti pengikut setia.Di Irak lahir pendapat-pendapatnya yang disebut sebagai qaul qadim (pendapat lama). Dari Irak ia pindah ke Mesir. Di Mesir, setelah melihat kultur dan budaya Mesir yang berbeda dengan Arab dan Irak, serta budaya agraris yang berbeda dengan budaya gurun pasir, ia kemudian merevisi pandangan-padangannya terdahulu.68Pemerintah kerajaan Islam di Indonesia, selama zaman Islam mengesahkan dan menetapkan mazhab Syafi‟I menjadi haluan hukum di Indonesia.Beliau membina mazhabnya antara Ahli alRa‟yi dan Ahli al-Hadits (moderat), meskipun pegangan Imam Syafi‟I dalam menetapkan hukum adalah al-Qur‟an, Sunnah, Ijma dan Qiyas.Mazhab Syafi‟I berkembang tidak hanya di Indonesia saja, tetapi di Mesir, Siria, Saudi Arabia, India Selatan, Muangtai, Malaysia dan Pilipina. 68 Huzaemah Tahido Yanggo, Pengantar Perbandingan Mazhab, Cet-III, h.123-125. 60 Sebaliknya, di Pakistan menganut mazhab Hanifah.Ulama yang berasal dari Persia.Sebagian besar hidupnya dihabiskan untuk bergaul dan berinteraksi di tengah-tengah masyarakat kosmopolitan. Tak mengherankan karena ia juga seorang saudagar. Sehari-harinya ia bergaul dengan orang pasar, yang meniscayakan bertemu dengan banyak orang dari berbagai latar belakang. Selain itu, di Persia filsafat tumbuh subur.Abu Hanifah dikenal sebagai ulama Ahl alRa‟yi.Dalam menetapkan hukum Islam, baik yang diistinbathkan dari al-Qur‟an ataupun hadits, beliau banyak menggunakan nalar.Beliau mengutamakan ra‟yi dari khabar ahad.Apabila terdapat hadits yang bertentangan, beliau menetapkan hukum dengan jalan qiyas dan istihsan.Menurut Shubhy Mahmasany, pengetahuan Abu Hanifah yang mendalam di bidang ilmu hukum (fiqh) dan profesinya sebagai saudagar, memberi peluang baginya untuk memperlihatkan hubungan-hubungan hukum secara praktis. Karena mazhab Hanafi ini berdasarkan pada al-Qur‟an, Hadits, Ijma, Qiyas dan Istihsan, maka bidangbidang ijtihad menjadi luas, sehingga suatu ketentuan hukum-hukum dapat ditetapkan sesuai dengan keadaan masyarakat tanpa keluar dari prinsip-prinsip dan aturan pokok Islam.69Mazhab ini tidak hanya berkembang di Pakistan saja.Tetapi di Turki, Afghanistan, Asia Tenggara, India, Irak, Brazil, Amerika Latin dan Mesir. 69 Huzaemah Tahido Yanggo, Pengantar Perbandingan Mazhab, Cet-III, h.97-101. 61 Contoh perbedaan pendapat dikalangan arilan dualisme mazhab tersebut terjadi dalam hukum keluarga di Indonesia dan Pakistan. Dimana perbedaan tersebut terlihat didalam “batasan usia menikah” yang berlaku di Negara tersebut. Seperti pada batasan usia menikah, di Indonesia batasan usia menikah diatur kedalam Undang-Undang No.1 Tahun 1974 pada Pasal 7 ayat (1) tentang Perkawinan telah menetapkan batas usia nikah adalah perkawinan hanya diizinkan jika pihak pria sudah mencapai umur 19 (Sembilan belas) tahun dan pihak wanita sudah mencapai umur 16 (enam belas) tahun.Sedangkan di Pakistan Undang-Undang tentang Child Marriage Restraint Act (UndangUndang Larangan Perkawinan Anak di Bawah Umur) tahun 1929. Namun, tahun 1961 Undang-Undang ini di amandemen kedalam Muslim Family Law Ordinance (MFLO) No.8 tahun 1961 diatur kedalam batas minimum usia menikah pada Pasal 2 yang berbunyi: “Batasan umur pria yang dibolehkan dalam melaksanakan perkawinan berumur 18(delapan belas) tahun sedangkan perempuan adalah 16 (enam belas) tahun”.70 Perbedaan batasan usia tersebut di dalam hukum keluarga Indonesia dan Pakistan tidak luput dari pandangan imam mazhab yang dianut oleh masingmasing Negara. Karena hukum keluarga mengikuti hukum syariah yang harus dipatuhi oleh seluruh rakyat terkhusus umat Islam.Hukum dan Undang-Undang Negara yang telah ditetapkan mengandung kemaslahatan bagi rakyat.Mengenai 70 Muhammad Atho Mudzhar, “Hukum Keluarga Di Pakistan (Antara Islamisasi Dan Tekanan Adat)”, artikel diakses pada 27 Maret 2016 dari http://ejournal.iainradenintan.ac.id. 62 batasan usia dewasa, ulama pada umumnya terbelah ke dalam dua pendapat yang berbeda. Pertama, Imammiyah, Maliki, Syafi‟I, dan Hanbali mengatakan: Tumbuhnya bulu-bulu ketiak merupakan bukti balighnya seseorang. Adapun kedua, Hanafi menolaknya sebab bulu ketiak itu tidak ada berbeda dengan bulubulu lain yang ada pada tubuh. Syafi‟I dan Hanbali menyatakan bahwa usia baligh untuk anak laki-laki dan perempuan adalah 15 tahun, sedangkan Maliki menetapkan 17 tahun. Sementara itu, Hanafi menetapkan usia baligh bagi anak laki-laki adalah 18 tahun, sedangkan anak perempuan 17 tahun. (Ibn Qudamah, Al-mughni, Jilid IV).71 Hal inilah penyebab perbedaan perkembangan pemikiran hukum di Kufah (Irak) dengan di Madinah (Hijaz).Ulama di Madinah banyak memakai Sunnah dalam menyelesaikan problema-problema yang muncul dimasyarakat. Sedangkan di Kufah, Sunnah hanya sedikit yang diketahui disamping banyak terjadi pemalsuan hadits, sehingga Abu Hanifah menyelesaikan masalah yang actual banyak menggunakan ra‟yi. Dampak perbedaan pendapat tersebut bagi dunia muslim bisa kita lihat dalam memaknai batasan umur itu. Kita bisa lihat dalam sejarah pendapat Abu Hanifah yang menetapkan usia baligh lelaki 18 tahun dan bagi perempuan 17 tahun pernah diterapkan pada zaman Turki Ottoman. Bahkan madzhab Abu 71 hlm. 57. Dedi Supriyadi, Fiqih Munakahat Perbandingan, (Bandung: Pustaka Setia.2011), cet ke-I, 63 Hanifah adalah madzhab resmi Turki Ottoman. Pada Abad ke-14 M, Turki Ottoman menerapkan undang-undang pembatasan usia perkawinan dengan standar tersebut, yaitu usia 18 tahun ke atas bagi laki-laki dan 17 tahun ke atas bagi perempuan. Demikian halnya ketika menentukan batas aurat perempuan, di mana pendapat Abu Hanifah lebih moderat dan cocok bagi kaum pekerja yang membutuhkan mobilitas cepat. Sementara di Indonesia sendiri mayoritas muslim menganut madzhab Syafi‟i. Sebagai mana di sebutkan bahwa usia baligh menurut Syafi‟i adalah 15 tahun. Sehingga dalam undang-undang perkawinan No. 1, tahun 1974 diterapkan batas usia kawin adalah 16 tahun. Ini jelas merupakan pengaruh dari pandangan al-Syafi‟i yang menyatakan bahwa baligh adalah setelah usia 15 tahun.72 Dalam satu kaidah fikih dikatakan, “ketetapan pemerintah menghapus perbedaan pendapat”. Kalau kaidah ini dikontekskan dalam persoalan kawin anak, maka pro-kontra batasan usia dan berbagai perbedaan pendapat di kalangan ulama terhapuskan dengan sendirinya oleh ketetapan hukum dan undang-undang pemerintah. Dinasti Turki Ottoman saja menggunakan undang-undang usia nikah di usia 18 tahun ke atas bagi laki-laki dan di 17 tahun ke atas bagi perempuan, itu mengadopsi pendapat Imam Abu Hanifah. Kalau dilihat dari latar kultur dan sosiologis yang berbeda di antara keduanya, yaitu Imam Al72 Lies Marcoes Natsir, “Dewasa Itu Aqil Baligh, Bukan Hanya Baligh: Opini 2 Edisi 49”, Artikel diakses pada: 22 Mei 2016, dari http://www.rahima.or.id/dewasa-itu-aqil-baligh-bukan-hanyabaligh-opini-2-edisi-49-&catid=33. 64 Syafii tumbuh kembang dalam kultur Arab dan Imam Abu Hanifah dalam kultur Persia, maka bisa dimengerti jika keduanya memiliki pandangan yang berbeda dalam memahami definisi dan makna baligh itu. Bias kultural itu bisa terlihat dalam pendapat-pendapatnya. Dari catatan sejarah, secara umum dapat disimpulkan beberapa factor yang menyebabkan timbulnya dua aliran tersebut, yaitu: (1) Hadits-hadits Nabi SAW. Dan fatwa-fatwa para sahabat di Irak tidak sebanyak di Hijaz. Karena itu, fuqaha‟Irak harus memeras otak dan berusaha keras untuk memahami pengertian nash dan „illat dalam rangka penetapan dari syara‟. (2) Irak merupakan pusat pergolokan politik dan pusat pertahanan golongan Syi‟ah dan Khawarij yang salah satu akibat negatifnya ialah adanya pemalsuan terhadits-hadits Rasulullah. (3) Karena factor lingkungan hidup yang berbeda. Irak pernah lama dikuasai Persia, sehingga mempengaruhi hubungan keperdataan dan adat kebiasaan orang Irak, yang sama sekali tidak dikenal di Hijaz. Sementara di Hijaz sejak masa Rasulullah, Sahabat, Tabi‟in dan Tabi‟tabi‟in (para Imam Mujtahidin) hamper tidak ada perubahan yang berarti, sehingga setiap kejadian hampir 65 ditemukan hukumnya dalam sunnah Rasulullah atau fatwa Sahabat dan Tabi‟in.73 Jadi, hukum keluarga di Indonesia dan Pakistan mengalami perbedaan. Dikarenakan perbedaan mazhab diantara dua Negara tersebut. Jelas saja sangat berpengaruh dikarekan Perbedaan metode yang digunakan dalam mengistinbath hukum, membawa perbedaan pendapat dikalangan para Imam Mazhab. Tidak hanya dalam batasan usia saja tetapi masih banyak Undang-undang yang berbeda antara Indonesia dan Pakistan didalam hukum keluarga. B. Pandangan Hukum Islam Terhadap Aturan Kriminalisasi Perkawinan di Bawah Umur di Indonesia dan Pakistan Kriminalisasi merupakan suatu kebijakan dalam menetapkan suatu perbuatan yang semula bukan tindak pidana menjadi suatu tindak pidana. 74Dalam hukum Islam memang tidak ada pembahasan secara mandiri tentang kriminalisasi namun substansi dari kriminalisasi dalam hukum pidana Islam sudah ada, dengan adanya salah satu konsep penting dan fundamental dari hukum Islam yaitu konsep dari maqasid al-syari‟ah yang menegaskan bahwa hukum Islam disyari‟atkan untuk mewujudkan dan memelihara maslahat umat manusia. Maslahah mursalah 73 74 h.600. Huzaemah Tahido Yanggo, Pengantar Perbandingan Mazhab, Cet-III, h.35. Tim Depdikbud, Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta: Balai Pustaka, 2011), cet., III, 66 adalah metode penetapan hukum berdasarkan kemaslahatan universal sebagai tujuan syara‟ tanpa berdasar secara langsung pada teks atau makna nas tertentu.75 Pada dasarnya perkawinan di bawah umur dalam hukum Islam tidak ada ketentuan yang melarang perkawinan yang pelakunya masih di bawah umur. Bahkan ada hadist yang dijadikan dalil yang membolehkan perkawinan di bawah umur yang dituturkan oleh Aisyah yang diriwayatkan oleh Bukhori Muslim.76 ِ ِ ِ ِّ اَ ىن النِىِب صلىى الل علَي ِو ورلىم أَزىوجها وِىي بِنْت ِر: عن عائِ َشةَ ر ِضى الل عنْ ها ت َعلَْي ِو َوِى َي ْ َْي َو ْادخل َْ ت رن ُ َ َ ََ َ َ َ َ ْ َ ُ َ ى َ َ ُ َ َ َ َْ ِ ِ ِ ِ ِ بِْن )ت عْن َدهُ أ ْس ًعا (رواه خبارى و مسلم ْ ْي َوَم َك َس َْ ت أ ْس ِع رن ُ Artinya: “Dari Aisyah ra, bahwa Rasulullah menikahinya sedang ia masih berumur enam tahun dan ia diserahkan kepada Rasul ketika umurnya sembilan tahun dan ia tinggal bersama Rasul selama sembilan tahun.(HR. Bukhori Muslim).” Para fuqoha sepakat bahwa seorang ayah boleh memaksa kawin terhadap anak perempuannya yang masih gadis dan belum dewasa, tanpa dimintai pendapatnya. Seperti Abu Bakar ra telah mengawinkan „Aisyah dengan Rasulullah SAW sewaktu masih anak-anak tanpa persetujuannya terlebih dahulu. Sebab pada umur demikian persetujuannya tidak dapat dianggap sempurna. Namun, mengenai perkawinan „Aisyah ra. dengan Nabi Muhammad SAW, sebagian ulama berpendapat bahwa hal itu merupakan perkecualian atau 75 Hamka Haq, Al-Syatibi Aspek Teologi Konsep Maslahah dalam Kitab al-Muwafaqat, (Jakarta: Erlangga, 2007), h.80. 76 Bukhari, Shahih al-Bukhari, hadits no. 3681; Muslim, Shahih Muslim, hadits no. 1422.Lihat, Ibn Qudamah, ibid, juz II, h. 1600. 67 kekhususan bagi Rasulullah SAW sendiri sebagaimana Rasulullah SAW dibolehkan beristeri lebih dari empat orang yang tidak boleh diikuti oleh umatnya.77 Pendapat lain menyatakan bahwa perkawinan Rasulullah SAW dengan „Aisyah lebih bermotif dakwah dan memberikan kebebasan bagi Abu Bakar ra. memasuki rumah tangga Rasulullah SAW. 78 Berbeda dengan pendapat Ibnu Hazm dari kalangan ulama ahli Zhahir dan Ibnu Syubrumah yang menyatakan bahwa seorang ayah tidak boleh menikahkan anak perempuannya yang masih kecil dan berusia muda. Tetapi kalau anak perempuannya itu sudah baligh maka seorang ayah dibolehkan menikahkannya dengan syarat harus minta persetujuan terlebih dahulu kepada anak yang bersangkutan.79 Lebih lanjut menurut Ibnu Syubrumah dan al-Batti berpendapat sebagaimana yang dikutip oleh Peunoh Daly dalam bukunya yang berjudul Hukum Perkawinan Islam Suatu Studi Perbandingan dalam kalangan Ahlus-Sunnah dan Negara-Negara Islam, bahwa tidak sah sama sekali mengawinkan anak yang masih kecil. Akad nikah yang dilakukan oleh wali sebagai ganti dari anak yang masih kecil itu dianggap batal. Penulis menyatakan bahwa hikmah hukum perkawinan dalam Islam memperkuat pandangan Ibnu Syubrumah itu, karena tidak ada kemaslahatan bagi anak kecil dalam 77 Mahmud Yunus, Hukum Perkawinan dalam Islam, (Jakarta : Hidakarya Agung, 1985), h. 78 Amir Syarifuddin, Ushul Fiqh, Jilid I, (Jakarta : Prenada Media, 2008),Cet. III, h.67. 79 Mohammad Asmawi, NIKAH dalam Perbincangan dan Perbedaan, (Yogyakarta: 69. Darussalam, 2004), Cet-1, h. 87. 68 perkawinan yang serupa itu (perkawinan dibawah umur), bahkan akan mendatangkan kemudharatan.80 Perkawinan menurut madzhab Syafi‟I termasuk bagi yang sudah dewasa, menjadi makruh jika yang bersangkutan tidak mampu memenuhi kewajibankewajiban yang harus dipikul sebagai suami isteri, sedangkan ia masih bisa menahan diri untuk tidak berbuat zina. Demikian pula, Makruh kawin bagi lakilaki yang tidak berkeinginan menikah dan tidak pula mempunyai kemampuan memberikan mas kawin dan nafkah bagi istrinya. Apabila dia mempunyai kemampuan atas biaya-biaya tersebut namun pada saat yang sama dia tidak mempunyai alasan yang mengharuskannya untuk kawin, bahkan sebenarnya dia lebih menyukai ibadah maka sebaiknya dia tidak kawin agar ibadahnya tidak tergangu.81 Dan Ulama Syafi‟iyah (para pengikut imam asy-Syafi‟i) juga mengatakan bahwa untuk bisa mengawinkan anak laki-laki di bawah umur disyaratkan adanya kemaslahatan (kepentingan yang baik). Sedangkan untuk anak perempuan diperlukan beberapa syarat, antara lain: 1. Tidak ada permusuhan yang nyata antara si anak perempuan dengan walinya, yaitu ayah dan kakek; 80 Peunoh Daly, Hukum Perkawinan Islam Suatu Studi Perbandingan Dalam Kalangan Ahlus- Sunnah dan Negara-Negara Islam, (Jakarta: Bulan Bintang,1988),h.131. 81 Al-Muthi‟I, Takmilat al-Majmu, Juz XV, (Jeddah: Maktabah al-Irsyad, t.t), h.58 69 2. Tidak ada permusuhan (kebencian) yang nyata antara dia dengan calon suaminya; 3. Calon suami harus kufu‟ (sesuai/setara), 4. Calon suami mampu memberikan maskawin yang pantas. 5. Calon suami bukan orang yang akan merepotkan calon isterinya, seperti orang buta atau seorang kakek pikun.82 Pada hakikatnya, pandangan madzhab Syafi‟I tersebut menjadi komitmen para madzhab fiqih yang lain. Semuanya sepakat bahwa perkawinan dimaksudkan untuk suatu kemaslahatan (kebaikan) semua pihak yang terkait. Mazhab Maliki dan Hanafi mengharamkan perkawinan laki-laki yang bisa menjaga dirinya dari zina, tapi tidak mampu memberikan nafkah untuk isterinya dari harta yang halal. Demikian juga Mazhab Hanafi menyatakan hal yang sama. Katanya: Ia menjadi haram jika dia meyakini bahwa perkawinannya akan membawa akibat pada perbuatan yang diharamkan, misalnya menzhalimi orang lain. Karena sebenarnya pernikahan dianjurkan oleh agama untuk menjaga kemaslahatan jiwa (hifzh al-nafs) dan keselamatan fungsi reproduksi (hifzh al-nasl) serta mengharapkan pahala dari Allah. Maka apabila perkawinan itu justeru akan membawanya pada perbuatan yang haram karena menzhalimi orang berarti dia telah melakukan perbuatan dosa sebab, kemaslahatan yang ingin dicapai justeru berbalik menjadi kemudaratan. 83 82 Wahbah az-Zuhaili, al-Fiqh al-Islami, juz IX, (Damaskus: Dar al-Fikr, 1997), h. 6685-6686. 83 Abdurrahman al-Jaziri, Al-Fidi ala Madzahih al-arba‟ah, juz 4, (Darus Kutub Al-Ilmiyah, Beirut-Lebanon, 2003), h.4-7. 70 Terlepas dari pandangan fuqoha mengenai perkawinan di bawah umur di Indonesia dan Pakistan menjadi fenomena yang tidak asing lagi. Seperti di Pakistan yang menjadikan perkawinan di bawah umur sesuatu perbuatan yang dilarang bahkan memberikan sanksi pidana di dalam hukum keluarganya. Di dalam hukum Islam tidak ada aturan yang menyatakan bahwa perkawinan di bawah umur itu sesuatu tindakan yang dapat di berikan hukuman. Pada dasarnya perkawinan di bawah umur diperbolehkan apabila lebih banyak kemaslahatannya dibanding kemudaratan. Namun, dalam hukum pidana Islam ketentuan criminal dapat dikategorikan menjadi beberapa macam jenis sesuai dengan aspek berat dan ringannya hukuman yang ditegaskan atau tidaknya oleh al-Qur‟an dan al-Hadis. Atas dasar itu, para ulama membaginya menjadi tiga, yaitu (1) jarimah hudud, (2) jarimah qiyas/diyat, dan (3) Jarimah ta‟zir. Jarimah hudud mencangkup sejumlah tindak pidana yakni pencurian, perzinaan, qadzaf (tuduhan palsu zina), konsumsi khamar, hirabah (perampokan), dan riddah (murtad).Nass-nass jarimah hudud ini sudah jelas dan tegas, baik menyangkut tindak pidananya maupun sanksi pidananya. Sedangkan jarimah qisas/diyat meliputi tindak pidana pembunuhan (penghilangan nyawa) dengan kesengajaan, pembunuhan (penghilangan nyawa) semi sengaja, pembunuhan karena kesalahan atau kealpaan, pelukaan dengan kesengajaan, pelukaan semi sengaja, dan pelukaan karena kesalahan atau kealpaan. Nass-nass jarimah 71 qisas/diyat ini juga sudah jelas dan tegas, baik tindak pidananya maupun sanksi pidananya.84 Adapun jarimah ta‟zir mencakup semua tindak pidana yang tidak termasuk dalam jarimah hudud dan jarimah qiyas/diyat. Kerangka acuan identifikasi tindak pidana jarimah ta‟zir merujuk pada salah satu dari empat acuan berikut ini:85 1. Perbuatan pidana yang masuk jarimah hudud tetapi dalam proses terjadinya mengandung unsur syubhat; 2. Perbuatan yang dikualifisir maksiat oleh agama; 3. Perbuatan yang tidak dilarang agama tetapi dikualifisir oleh ulil amri yang mendatangkan mafsadah/madarrah atau merusak maslahah; 4. Perbuatan yang dikualifisir oleh ulil amri melanggar peraturan perundangundangan (siyasah syar‟iyyah) yang diterbitkan olehnya. Dari keterangan ini, tampak jelas bahwa di dalam hukum pidana Islam mengenai perkawinan di bawah umur bukan perbuatan yang criminal dan tidak dapat dijatuhkan hukuman, sebab di dalam fiqih dan hukum Islam tidak ada larangan melaksanakan perkawinan di bawah umur. Persoalan paling krusial tentang kawin di bawah umur dalam pandangan para ahli fiqh: pertama, adalah faktor ada-tidaknya 84 H. A. Djazuli, Fiqih Jinayah: Upaya Menanggulangi Kejahatan Dalam Islam, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2000), Cet-III, h.12-13 85 Asmawi, M.A. “Kriminalisasi Poligami dalam Hukum Keluarga di dunia Islam Kontemporer”,artikel diakses pada 23 Mei 2016 darihttp://www.pdfreference.com/KriminalisasiPoligami-dalam-Hukum-Keluarga-di-Dunia-Islam-Kontemporer 72 unsur kemaslahatan atau ada tidaknya kekhawatiran terhadap kemungkinan terjadinya hubungan seksual yang tidak dibenarkan oleh agama. Apabila perkawinan belia itu dapat menimbulkan kemudaratan, kerusakan, atau keburukan, padahal saat yang sama factor-faktor kekhawatiran akan terjerumus ke dalam pergaulan seksual yang dilarang agama tidak dapat dibuktikan maka perkawinan tersebut tidak dapat dibenarkan. Maka dari itu pengaturan hukum keluarga dan usaha-usaha menjaga kesehatan reproduksi menjadi suatu ikhtiar yang harus mendapat perhatian serius dari semua pihak, termasuk di dalamnya adalah pengaturan tentang batas usia perkawinan yang dapat menjamin terpenuhinya kesehatan reproduksi dan kemaslahatan. Jelasnya dengan dicantumkannya secara aksplisit batasan umur, menunjukkan langkah penerobosan hukum adat dan kebiasaan yang dijumpai di dalam masyarakat Indonesia. Di dalam masyarakat jawa misalnya sering kali dijumpai perkawinan anak perempuan yang masih muda usianya. Anak perempuan Jawa dan Aceh seringkali dikawinkan meskipun umurnya masih kurang dari 15 tahun, walaupun mereka belum diperkenankan hidup bersama sampai batas umur yang pantas. Biasanya ini disebut dengan kawin gantung.86 C. Analisis Perbandingan Sanksi Perkawinan di Bawah Umur Antara Indonesia dan Pakistan Indonesia dan Pakistan adalah dua Negara yang berbeda satu sama lain. Tidak hanya dari aspek geografis, dari aspek-aspek yang lainpun keduanya 86 R. Wirjono Prodjodikoro, Hukum Perkawinan di Indonesia, (Bandung: Sumur, 1960), h. 41 73 berbeda.Namun, Negara Indonesia dan Pakistan memiliki beberapa kesamaan di dalam hukum keluarganya yaitu sama-sama melakukan pembaharuan di dalam hukum keluarga. Berikut ini adalah komparasi sanksi perkawinan di bawah umur antara Indonesia dan Pakistan: Tabel Komparasi Perkawinan di Bawah Umur Di Indonesia dan Pakistan Persamaan Perbedaan 1. Indonesia dan Pakistan sama- 1. Adanya perbedaan mazhab antara sama Negara Muslim. 2. Hukum keluarga di Indonesia Indonesia dan Pakistan.Indonesia umumnya menganut mazhab dan Pakistan sama-sama di Syafi‟i dan Pakistan umumnya rancang dan dibuat sesuai menganut mazhab Hanafi. dengan hukum Islam. 3. Negara Indonesia dan Pakistan 2. Adanya perbedaan dalam batasan usia menikah, di Indonesia diatur sama-sama melakukan di dalam Undang-Undang No. 1 pembaharuan dalam hukum Tahun 1974 pada Pasal 7 ayat (1) keluarga Islam. tentang Perkawinan yang 4. DalamUndang-Undang hukum menyatkan batasan seseorang keluarga keduanya sama-sama untuk menikah yaitu pihak pria mengatur tentang batasan sudah mencapai 19 tahun dan usiamenikah. pihak wanita 16 tahun. 5. Hukum keluarga di Indonesia Sedangkan di Pakistan diatur ke 74 dan Pakistan masih kental dalam UU No. 29 Tahun 1929 akan hukum adat. Ordonansi No. 8 Tahun 1961 6. Perkawinan di bawah umur di (MFLO) pada Pasal 2 Indonesia dan Pakistan sama- menyatakan bahwa batasan usia sama tinggi. menikah untuk perempuan 16 tahun dan 18 tahun untuk lakilaki. 3. Di Indonesia tidak ada ketentuan larangan perkawinan di bawah umur sedangkan di Pakistan ada ketentuan untuk larangan perkawinan di bawah umur. 4. Hukum keluarga di Indonesia tidak mengatur tentang sanksi untuk perkawinan di bawah umur. Tetapi apabila akan melangsungkan perkawinan di bawah batasan usia menikah akan diberikan dispensasi oleh Pengadilan yang diatur di dalam Undang-Undang No. 1 Tahun 75 1974 Pasal 7 ayat (2) tentang Perkawinan. Sedangkan di Pakistan memberikan sanksi hukuman penjara 1 bulan sampai 3 bulan dan denda sebesar 1000 rupee atau kedua-duanya. baik pihak mempelai laki-laki, maupun pihak orang tua serta yang ikut dalam perkawinan di bawah umur akan dikenakan sanksi. Diatur ke dalam Child Marriage Restraint Act) UU No. 29 Tahun 1929 yang kemudian diamandemen oleh Ordonansi No. 8 Tahun 1961 (MFLO) Pasal 2,4,5, dan 6. 5. Di Pakistan dalam pembaharuan hukum keluarganya memasuki sanski pidana ke dalam hukum perdata. Sedangkan di Indonesia tidak demikian. 76 Dari uraian diatas dapat dipahami bahwa aturan mengenai sanksi perkawinan di bawah umur di Pakistan lebih progresif dibandingkan dengan Indonesia. Hal ini berdasarkan adanya peraturan larangan perkawinan di bawah umur di Negara Pakistan yang diatur dalam UU No. 29 Tahun 1929 yang diamandemen oleh Ordonansi No. 8 Tahun 1961 (MFLO) yang diatur kedalam batas minimum usia menikah pada Pasal 2, 4, yang berbunyi : In this Act, unless there is anything repugnant in the subject or context, (a) “child” means a person who, if a male, is under eighteen years of age, and if a female, is under sixteen years of age; (b) “child marriage” means a marriage to which either of the parties is child; (c)”contracting party” to a marriage means either of the parties whose marriage is about to be thereby solemnized; (d) “minor” means a person of either sex who is under eighteen years of age;… 4. Whoever, being a male above eigthteen years of age, contracts a child marriage shall be punishable with simple imprisonment which may extend to one month, or with fine which may extend to one thousand rupees, or with both. Pasal 2 dan 4 di atas, dalam UU itu didefinisikan bahwa anak (child) adalah seseorang yang berumur di bawah 18 tahun bagi laki-laki dan di bawah 16 tahun bagi perempuan. Adapun perkawinan anak (perkawinan di bawah umur) ialah perkawinan yang salah satu dari pengantin laki-laki atau perempuan berusia anak-anak sebagaimana didefinisikan sebagai seseorang, baik laki-laki maupun perempuan, yang berusia di bawah 18 tahun. Nampaknya UU ini membedakan anatara “child” dan “minor”. Selanjutnya pada pasal 4 mengatur bahwa seorang laki-laki berumur lebih dari 18 tahun yang akan melakukan akad nikah dengan 77 seorang perempuan berumur di bawah 16 tahun, diancam dengan penjara paling lama satu bulan atau denda setinggi-tingginya seribu Rupee atau kedua-duanya.87 Selanjutnya di dalam Pasal 5 dan 6 dari Child Marriage Restraint Act tahun 1929 sebagaimana diubah dengan MFLO tahun 1961: 5.Whoever performs, conducts or directs any child marriage, shall be punishable with simple imprisonment which may extend to one thousand rupees, or with both, unless he proves that he had reason to believe that the marriage was not a child marriage. 6. (1). Where a minor contracts a child marriage, any person having change of the minor, whether as parent or guardian or in any other capcity, lawful or unlawful, who does any act to promote the marriage or permits it to be solemnized, or negligently fails to prevent it from being solemnized, shall be punishable with simple imprisonment which may extend to one thousand rupees, or with both; provided that no woman shall be punishable with imprisonment. (2) for the purpose of this section, it shall be presumed, unless and until the contrary is proved, that where a minor has contracted a child marriage, the person having charge of such minor has negligently failed to prevent the marriage from being solemnized.88 Penjelasan tentang pasal 5 dan 6 MFLO mengatur bahwa seorang laki-laki berumur kurang dari 18 (delapan belas) tahun yang melakukan akad nikah dengan seorang perempuan di bawah 16 (enam belas) tahun, diancam dengan hukuman penjara paling lama satu bulan atau denda setinggi-tingginya seribu Rupee atau kedua-duanya, kecuali ia mempunyai bukti-bukti yang meyakinkan dirinya bahwa apa yang dilakukannya bukanlah perkawinan di bawah umur (child marriage). Kemudian jika seseorang dalam kategori “minor” (berumur kurang dari 18 tahun) 87Tahir Mahmood, Personal Law in Islamic Countries: History, Text and Comparative Analisis, h.243. 88Tahir Mahmood, Personal Law in Islamic Countries: History, Text and Comparative Analisis, h.242-243. 78 melakukan akad nikah dengan seorang di bawah umur, maka orang tua anak itu atau walinya, yang mendorong terjadinya perkawinan itu, atau karena kelalaian mereka, diancam dengan hukum penjara paling lama satu bulan, atau denda paling banyak seribu Rupee atau kedua-duanya, dengan pengecualian bahwa wanita tidak dihukum penjara. Jika perkawinan anak itu dilangsungkan juga, padahal Pengadilan telah memperingatkan para wali untuk tidak melangsungkan perkawinan itu, baik inisiatif pengadilan sendiri ataupun atas pengaduan pihakpihak tertentu, maka para orang tua atau wali itu diancam dengan hukuman penjara paling lama tiga bulan atau denda 1.000 Rupee atau dua-duanya.89 Beberapa faktor penyebab Negara Pakistan memiliki hukum keluarga yang lebih progresif dibandingkan dengan Indonesia adalah karena adanya perbedaan mazhab yang dianut.Seperti larangan perkawinan di bawah umur, di Pakistan dalam hukum keluarganya menerapkan sanksi pidana bagi pelaku perkawinan di bawah umur.Berbeda dengan Negara Indonesia yang belum menerapkan sanksi bagi pelaku perkawinan di bawah umur. Walaupun nyatanya tingkat angka pernikahan di bawah umurnya cukup tinggi, di dalam UndangUndang Perkawinan No. 1 Tahun 1974 tidak menjelaskan adanya hukuman bagi perkawinan di bawah umur. Melainkan mengijinkan apabila terjadi hal-hal yang tidak diinginkan yang mengharuskan terjadinya perkawinan walaupun masih kecil 89 Tahir Mahmood, Personal Law in Islamic Countries: History, Text and Comparative Analisis, h.243-244. 79 atau di bawah batasan usia menikah yang sudah ditentukan dalam Undangundang. Dengan carameminta ijin terlebih dahulu kepada pengadilan. Hal tersebut diatur di dalam Undang-Undang Perkawinan No.1 Tahun 1974 pada Pasal 7 ayat (2) yang berbunyi: “Dalam hal penyimpangan terhadap ayat (1) pasal ini dapat meminta dispensasi kepada Pengadilan atau Pejabat lain yang ditunjuk oleh ke dua orang tua pihak pria maupun pihak wanita”.Di Indonesia tidak secara tegas melarang perkawinan di bawah umur dan tidak adanya sanksi bagi perkawinan di bawah umur. Dikarena di dalam Al-Qur‟an maupun Al-Hadits tidak secara eksplisit membahas pada usia berapa seseorang boleh menikah. Namun, para ulama sepakat syarat kebalighan harus sudah terpenuhi pada mempelai.Dan perkawinan boleh dilakukan apabila sudah sesuai dengan rukun dan syarat perkawinan. Kesimpulan dari uraian di atas dapat diperoleh pemahaman bahwa pengetahuan mengenai perbandingan hukum keluarga Islam ini sangat penting di Indonesia, karena seringkali kita memperdebatkan sesuatu hal yang orang lain di Negara lain telah menyelesaikan masalah itu puluhan tahun sebelumnya. Sebagai Salah satu langkah reformasi Hukum Keluarga di Negara-negara Muslim modern adalah meninjau kembali sejumlah ketentuan hukum Islam klasik yang dianggap sudah tidak relevan dengan kondisi social dan tuntutan perubahan modern. 80 BAB V PENUTUP A. Kesimpulan Dari keterangan-keterangan yang dikemukakan dalam bab-bab terdahulu dapat diambil beberapa kesimpulan diantaranya: Pertama, Pengaruh aliran mahzab terlihat dari perbedaan mahzab yang dianut antara Negara Indonesia dan Negara Pakistan. Indonesia merupakan Negara muslim yang sebagian terbesar penduduk Muslim itu penganut ahli Sunnah wal Jamaah dengan Mazhab Syafi‟i. Sedangkan Negara Pakistan merupakan Negara Muslim terbesar kedua di dunia. Sebagian terbesar penduduk Muslim itu penganut ahli Sunnah wal Jamaah dengan Mazhab Hanafi, hanya sekitar 10-15 persen penganut Syiah. Di Indonesia mazhab yang dianut ialah mazhab Imam as-Syafi‟I, seorang ulama asli bangsa/suku Arab. Pemerintah kerajaan Islam di Indonesia, selama zaman Islam mengesahkan dan menetapkan mazhab Syafi‟I menjadi haluan hukum di Indonesia. Beliau membina mazhabnya antara Ahli al-Ra‟yi dan Ahli al-Hadits (moderat), meskipun pegangan Imam Syafi‟I dalam menetapkan hukum adalah al-Qur‟an, Sunnah, Ijma dan Qiyas. Sedangkan Abu Hanifah dikenal sebagai ulama Ahl al-Ra‟yi. Dalam menetapkan hukum Islam, baik yang diistinbathkan dari al-Qur‟an ataupun hadits, beliau banyak menggunakan nalar. Beliau mengutamakan ra‟yi dari khabar ahad. 80 81 hukum keluarga di Indonesia dan Pakistan mengalami perbedaan. Dikarenakan perbedaan mazhab diantara dua Negara tersebut. Jelas saja sangat berpengaruh dikarekan Perbedaan metode yang digunakan dalam mengistinbath hukum, membawa perbedaan pendapat dikalangan para Imam Mazhab. Tidak hanya dalam batasan usia saja tetapi masih banyak Undang-undang yang berbeda antara Indonesia dan Pakistan didalam hukum keluarga. Kedua, Dalam hukum Islam memang tidak ada pembahasan secara mandiri tentang kriminalisasi namun substansi dari kriminalisasi dalam hukum pidana Islam sudah ada. Walaupun para fuqoha berbeda pendapat dalam mengartikan perkawinan di bawah umur. Seperti perkawinan menurut madzhab Syafi‟I termasuk bagi yang sudah dewasa, menjadi makruh jika yang bersangkutan tidak mampu memenuhi kewajiban-kewajiban yang harus dipikul sebagai suami isteri, sedangkan ia masih bisa menahan diri untuk tidak berbuat zina. Demikian pula, Makruh kawin bagi laki-laki yang tidak berkeinginan menikah dan tidak pula mempunyai kemampuan memberikan mas kawin dan nafkah bagi istrinya. Sedangkan Mazhab Maliki dan Hanafi mengharamkan perkawinan laki-laki yang bisa menjaga dirinya dari zina, tapi tidak mampu memberikan nafkah untuk isterinya dari harta yang halal. Namun, dalam hukum pidana Islam ketentuan criminal dapat dikategorikan menjadi beberapa macam jenis sesuai dengan aspek berat dan ringannya hukuman yang ditegaskan atau tidaknya oleh al-Qur‟an dan al-Hadis. Atas dasar itu, para ulama membaginya menjadi tiga, yaitu (1) jarimah 82 hudud, (2) jarimah qiyas/diyat, dan (3) Jarimah ta‟zir. Dari keterangan ini, tampak jelas bahwa di dalam hukum pidana Islam mengenai perkawinan di bawah umur bukan perbuatan yang criminal dan tidak dapat dijatuhkan hukuman, sebab di dalam fiqih dan hukum Islam tidak ada larangan melaksanakan perkawinan di bawah umur. Perkawinan boleh dilakukan apabila mengandung kemaslahatan walaupun berapapun usianya. Ketiga, Indonesia dan Pakistan adalah dua Negara yang berbeda satu sama lain. Tidak hanya dari aspek geografis, dari aspek-aspek yang lainpun keduanya berbeda. Namun, Negara Indonesia dan Pakistan memiliki beberapa kesamaan di dalam hukum keluarganya yaitu sama-sama melakukan pembaharuan di dalam hukum keluarga. Perbedaan hukum keluarga di Indonesia dan Pakistan itu ialah mengenai perkawinan di bawah umur. Dimana di Pakistan dengan tegas melarang perkawinan di bawah umur yang diatur ke dalam Child Marriage Restraint Act) UU No. 29 Tahun 1929 yang kemudian diamandemen oleh Ordonansi No. 8 Tahun 1961 (MFLO) Pasal 2,4,5, dan 6. Dimana pelaku perkawinan di bawah umur, orang tua, wali, serta yang ikut serta dalam pelaksanaan perkawinan di bawah umur dikenakan sanksi hukuman penjara satu bulan sampai dengan tiga bulan kurungan penjara serta denda sebesar 1000 rupee atau kedua-duanya. Sedangkan di Indonesia tidak memberlakukan sanksi bagi pelaku perkawinan di bawah umur. Tetapi apabila perkawinan dilakukan dibawah batasan usia menikah maka pihak wanita maupun pria diperbolehkan meminta dispensasi kepada 83 pengadilan yang diatur di dalam Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 Pasal 7 ayat (2) Tentang Perkawinan. Dimana tujuan melakukan pembaharuan di dalam hukum keluarganya ialah untuk mengangkat derajat wanita serta lebih melindungi wanita. B. Saran-saran Sebagai catatan akhir maka penulis akan memberikan saran: Aturan batasan usia menikah di Indonesia lebih di pertegas lagi, dalam hal ini supaya aturan batas usia perkawinan ke depan diharapkan bisa mensejahterakan dan melindungi berbagai pihak terutama pihak perempuan. Masalah denda atau hukuman bagi perkawinan di bawah umur perlu ditinjau kembali, seperti Negara-negara muslim di dunia modern lainnya yang sudah memberlakukan dan melakukan perubahan hukum keluarga. Karena dampak dari perkawinan di bawah umur banyak sisi negatifnya yang merugikan pihak wanita. Pembaharuan hukum keluarga mengenai perlindungan terhadap hak perempuan lebih ditingkatkan lagi. Serta pengetahuan perbandingan hukum keluarga Islam ini sangat penting di Indonesia untuk menjadikan sebuah acuan untuk memajukan Negara-negara muslim lainnya khususnya Indonesia. 84 DAFTAR PUSTAKA Ahmad, Amrullah, dkk. Dimensi Hukum Islam Nasional.Jakarta: Gema Insani Press, 1996 dalam Sistem Hukum Al-Jaziri, Abdurrahman. Al-Fidi ala Madzahih al-arba‟ah, juz 4, Darus Kutub Al-Ilmiyah, Beirut-Lebanon, 2003. Al-Muthi‟I, Takmilat al-Majmu, Juz XV, Jeddah: Maktabah al-Irsyad, t.t. Arief, Kapita Selekta Hukum Pidana, Bandung: Citra Aditya Bhukti, 2003. Asmawi, M.A. “Kriminalisasi Poligami dalam Hukum Keluarga di dunia Islam Kontemporer”,artikel diakses pada 23 Mei 2016 dari http://www.pdfreference.com/Kriminalisasi-Poligami-dalam-HukumKeluarga-di-Dunia-Islam-Kontemporer. Asmawi, Mohammad. NIKAH dalam Perbincangan dan Perbedaan.Yogyakarta: Darussalam, 2004. Aulawi, A,Wasit, Sejarah Perkembangan Hukum Islam di Indonesia. Dalam Amrullah Ahmad, ed., Dimensi Hukum Islam dalam Sistem Hukum Nasional. Jakarta: Gema Insani Press, 1966. Ayub, Muhammad. Understanding Islamic Finance, England: John Wiley and Sons, Ltd, 2007. Azizy, A Qodir. Hukum Nasional “Elektisisme Hukum Islam dan Hukum Umum”. Bandung: Teraju, 2004. Az-Zuhaili, Wahbah. al-Fiqh al-Islami, juz IX, Damaskus: Dar al-Fikr, 1997. Bukhari, Shahih al-Bukhari.hadits no. 3681; Muslim. Shahih Muslim. hadits no. 1422. Lihat, Ibn Qudamah. Daly, Puenoh. Hukum Perkawinan Islam Suatu Studi Perbandingan Dalam Kalangan Ahlus-Sunnah dan Negara-Negara Islam.Jakarta: Bulan Bintang,1988. Di Pakistan, Orangtua Dibui Nikahkan Anak di Bawah Umur”, Viva.co.id, 16 April 2016, diakses dari http://www.viva.co.id/news/read/733289-di-pakistanorangtua-dibui-nikahkan-anak-di-bawah-umur. 84 85 Dewan Ideologi Islam Pakistan Larang Keras Pernikahan anak”, Republika.co.id,20 Mei 2016, diakses dari www.republika.co.id/berita/dunia-islam/islammancanegara/14/06/03/n6k2v6-dewan-ideologi-islam-pakistan-larang-kerasbudaya-pernikahan-anak Djazuli, H A. Fiqih Jinayah: Upaya Menanggulangi Kejahatan Dalam Islam. cetIII.Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2000. El Alami, Dawood dan Doreen Hincheliffe, Islamic Marriage and Divorce Law of the Arab World, The Hague Boston Kluwer Law International, (London 1996). Hadikusuma, Hilman. Hukum Perkawinan Indonesia Menurut Perundangan, Hukum Adat, Hukum Agama. Bandung: Mandar Maju, 1990. Hamzah, Andi.KUHP & KUHAP.Jakarta: RINEKA CIPTA, 2005. Haq, Hamka Haq. Al-Syatibi Aspek Teologi Konsep Maslahah dalam Kitab alMuwafaqat, Jakarta: Erlangga, 2007. Ini Penyebab Maraknya Pernikahan Dini, Liputan6.com, 16 April 2016, Diakses dari http://www.liputan6.com/news/read/2363627/ini-penyebab-maraknyapernikahan-dini. Jazuni, Legislasi Hukum Islam di Indonesia.cet-1. Bandung: Citra Aditya Bakti, 2005. Kharlie, Ahmad Tholabi. Hukum Keluarga Indonesia.Jakarta: Sinar Grafika, 2013. Koro, Abdi. Perlindungan Anak Di Bawah Umur Dalam Perkawinan Usia Muda dan Perkawinan Siri, Bandung: PT. Alumni, 2012. Lau, Maratin. Sharia and National Law in Pakistan.dalam Jan Michiel Otto, ed., Sharia Incorporated: A Comprehensive Overview of the Legal Systems of Twelve Muslim Countries in Past and Present. Leiden University Press, 2010. Mahmood, Tahir, Personal Law in Islamic Countries: History, Text and Comparative Analisis. Academy of Law and Religion, New Delhi,1987. Mannan, Abdul.Aneka Masalah Hukum Perdata di Indonesia.Cet-III.Jakarta: Prenada Media, 2006. Mehdi, Rubya. The Islamization of the Law in Pakistan.Nordic Institute of Asian Studies,Curzon Press, UK, 1994. 86 Mubarok, Jaih. Kaidah Fiqih, secara kaidah-kaidah Azasi. Jakarta: PT. Gaja Grafindo Persada, 2002. Muchtar, Kamal.Asas-Asas Hukum Islam tentang Perkawinan.Jakarta: Bulan Bintang, 1974. Muzdhar, Atho. Hukum Keluarga di Dunia Islam Modern.Jakarta: Ciputat Press, 2003. . ESAI-ESAI Sejarah Sosial Hukum Islam.Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2014. .“Hukum Keluarga Di Pakistan (Antara Islamisasi Dan Tekanan Adat)”.artikel diakses 27 Maret 2016 darihttp://ejournal.iainradenintan.ac.id. Muhammad, Abdulkadir. Hukum Perdata Indonesia.Bandar Lampung: PT Citra Aditya Bakti, 2010 Muhammad, Husein. Fiqih Perempuan: Refleksi kiai atas wacana agama dan gender, cet.v. Yogyakarta: LKIS, 2009. Mulia, Siti Musdah, dkk. Meretas Jalan Kehidupan Awal Manusia; Modul Pelatihan untuk Pelatih Hak-Hak Reproduksi dalam Perspektif Pluralisme.Cet-1. Jakarta: LKAJ, 2003. Nasution, Khoiruddin. Hukum Perdata (keluarga) Islam Indonesia Dan Perbandingan Hukum Perkawinan Di Dunia Muslim: Studi Sejarah, Metode Pembaharuan, Dan Materi & Status Perempuan Dalam Hukum Perkawinan/Keluarga Islam. Yogyakarta: Academia & Tazzafa, 2009. Natsir, Lies Marcoes. “Dewasa Itu Aqil Baligh, Bukan Hanya Baligh: Opini 2 Edisi 49”, Artikel diakses pada: 22 Mei 2016, dari http://www.rahima.or.id/dewasaitu-aqil-baligh-bukan-hanya-baligh-opini-2-edisi-49-&catid=33. Nurhasanah,Umi.“Perkawinan Usia Muda & Perceraian Di Kampung Kota Baru Kecamatan Padang Ratu Kabupaten Lampung”.Artikel diakses pada 16 April 2016. www.publikasi.fisip.unila.ac.id/index.php/sosiologi/articel/view/164. Prodjodikoro, R. Wirjono. Hukum Perkawinan di Indonesia, Bandung: Sumur, 1960. Ramulyo, Idris. Azaz-azaz Hukum Islam: Sejarah Timbul dan Berkembangnya. Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1993. 87 Saepudin, Asep, dkk. HUKUM KELUARGA PIDANA & BISNIS Kajian Perundangundangan Indonesia, Fikih dan Hukum Internasional. Jakarta: KENCANA, 2013. Saleh, Zaki. Kriminalisasi Trend Reformasi Hukum Islam, artikel diakses pada 23 Januari 2016 dari http://publik-syariah.blogspot.co.id/2011/04.html. Shihab, M, Quraish. Tafsir al Misbah, Vol. IX. Jakarta : Lentera Hati, 2005. Simorangkir, dkk.Kamus Hukum. Bandung: Citra Umbara, 2008. Sirin, Kharron. Fikih Perkawinan Di Bawah Umur. Jakarta: Ghalia Indonesia, 2009. Sodikin, Ali. Fiqh Ushul Fiqh: Sejarah, Metodologi dan Impementasinya di Indonesia. Yogyakarta: Beranda, 2012. Sofian, Ahmad. Perlindungan Anak Di Indonesia Dilema & Solusinya.Medan: PT. Sofmedia, 2012. Sopyan, Yayan. Islam-Negara, Transformasi Hukum Perkawinan Islam dalam Hukum Nasional.Jakarta: UIN Sayarif Hidayatullah, 2011. Sosroatmodjo, Arso, & Aulawi, A, Wasit, Hukum Perkawinan di Indonesia.cet.II. Jakarta: Bulan Bintang, 1978. Subekti, R, dan Tjitrosudibio, R. Kitab Undang-Undang Hukum Perdata. Jakarta: Pradnya Paramita, 2006. Suma, Muhammad Amin. Hukum Keluarga Islam di Dunia Islam.Jakarta: PT.RajaGrafindo Persada, 2004. Supriyadi, Dedi, dan Mustofa. Perbandingan Hukum Perkawinan di Dunia Islam.Bandung: Al-Fikriis,2009. Susteyo, Heru. Perkawinan Di Bawah Umur Tantangan Legislasi dan Haronisasi Hukum Islam.Jakarta: PT. Bumi Aksara, 2009. Syafe‟I, Rachmat. Ilmu Ushul Fiqih. Bandung: CV. Pustaka Setia, 1999. Syarifuddin, Amir. Hukum Perkawinan Islam di Indonesia antara fiqih munakahat dan Undang-Undang Perkawinan.Jakarta: Kencana, 2006. . Ushul Fiqh, Jilid I. Jakarta : Prenada Media, 2008. 88 Thayeb, M. Pengetahuan Sosial Terpadu untuk SD kelas V.Jakarta: Erlangga, 2004. Tim Depdikbud, Kamus Besar Bahasa Indonesia.cet.III.Jakarta: Balai Pustaka, 2001. Umar, Arsyad. Pengetahuan Sosial Terpadu SD kelas IV. Jakarta: Erlangga, 2007. Usman, Rachmadi. Aspek-Aspek Hukum Perorangan & Kekeluargaan di Indonesia. Jakarta: Sinar Grafika, 2006. Yanggo, Huzaemah Tahido. Pengantar Perbandingan Mazhab. Cet.III.Ciputat: Logos Wacana Ilmu, 2003 Yunus, Mahmud. Hukum Perkawinan dalam Islam.Jakarta : Hidakarya Agung, 1985.