kriminalisasi perkawinan di bawah umur

advertisement
KRIMINALISASI PERKAWINAN DI BAWAH UMUR
(Studi Komparatif Undang-Undang Hukum Keluarga di Indonesia dan
Pakistan)
Skripsi
Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh
Gelar Sarjana Hukum (S.H)
Oleh:
JENNY NULADANI
NIM. 1112044200013
PROGRAM STUDI HUKUM KELUARGA
FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI
SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
1437 H / 2016 M
ABSTRAK
Jenny Nuladani, NIM 1112044200013, Kriminalisasi Perkawinan di
Bawah Umur (Studi Komparatif Undang-Undang Hukum Keluarga di
Indonesia dan Pakistan). Konsentrasi Administrasi Keperdataan Islam Program
Studi Hukum Keluarga Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri (UIN)
Syarif Hidayatullah Jakarta, 1437 H/ 2016 M.
Skripsi ini bertujuan untuk mengetahui bagaimana pandangan ahli hukum
Islam terhadap perkawinan di bawah umur menurut hukum perkawinan di Indonesia
dan Pakistan, pandangan hukum Islam terhadap hukum positif dalam kriminalisasi
perkawinan di bawah umur, apa segi-segi persamaan dan perbedaan perkawinan di
bawah umur di Indonesia dan Pakistan.
Penelitian ini merupakan penelitian normative yuridis, dengan meneliti
Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang perkawinan, Kompilasi Hukum Islam,
Child Marriage Restraint Act tahun 1929 sebagaimana diubah dengan Muslim Family
Law Ordinance (MFLO) tahun 1961, berbagai buku, majalah, surat kabar, dan
tulisan-tulisan ilmiah lainnya yang ada hubungannya dengan judul yang di bahas
dalam skripsi ini. Adapun data yang diperoleh dan digunakan serta dianalisis secara
kualitatif.
Hasil penelitian menunjukan adanya perbedaan antara peraturan perkawinan
di bawah umur antara Indonesia dan Pakistan, diantaranya di Pakistan melarang
adanya perkawinan anak (perkawinan di bawah umur) dengan memberikan sanksi
bagi pelaku, calon mempelai, ataupun yang ikut berpartisipasi dalam acara
perkawinan tersebut yaitu dengan hukuman penjara satu bulan serta denda sebesar
seribu rupee atau kedua-duanya. faktor-faktor yang mempengaruhi adanya perbedaan
diantaranya dari segi mazhab Pakistan yang umumnya menganut mazhab Hanafi serta
Indonesia yang umumnya menganut mazhab Syafi’i. dan Negara Pakistan
menjadikan perkawinan sebuah perbuatan kriminalisasi yang adanya sanksi hukum.
Sedangkan di dalam Al-Quran maupun al-hadits tidak ada yang menjelaskan secara
detail pada usia berapa sesorang boleh menikah. Namun, perkawinan boleh dilakukan
apabila keduanya sudah baligh dan dalam hal ini para fuqoha berbeda pendapat dalam
menentukan usia baligh seseorang.
Kata Kunci
: Kriminalisasi Perkawinan di bawah umur
Pembimbing
: Prof. Dr. H. Muhammad Amin Suma, S.H, M.A, M.M.
Daftar Pustaka
: Tahun 1974 sampai tahun 2014
v
KATA PENGANTAR
Bismillahirrahmaanirraahiim
Segala puji hanya milik Allah Rabb Alam Semesta, kepada Allahsubhanahu
wa Ta’ala kita memohon pertolongan atas segala urusan dunia dan agama, shalawat
dan salam semoga senantiasa tercurah atas sebaik-baik Rasul yaitu Nabi Muhammad
SAW, dan atas semua keluarganya, para sahabatnya, para tabi`in, dan semua yang
mengikuti mereka dengan baik sampai hari pembalasan.
Dalam penulisan skripsi ini, sedikit banyak hambatan dan kesulitan yang
penulis hadapi, akan tetapi syukur Alhamdulilah berkat rahmat dan inayah-Nya,
kesungguhan serta dukungan dan bantuan dari berbagai pihak baik langsung maupun
tidak langsung segala hambatan dapat diatasi sehingga pada akhirnya skripsi ini dapat
terselesaikan dengan baik.
Skripsi ini penulis persembahkan untuk pemberi do’a terhebat sepanjang
perjalanan hidup penulis, yaitu kedua orang tua penulis Jiyanto, dan ibunda Masnun,
beserta kakak dan adik-adik terkasih dan tercinta, Zaenal Fachrudin, Siti Aminah, dan
Fachry Tachinardi,yang tiada lelah dan bosan memberikan motivasi, cinta, kasih
sayangnya serta do’a, semoga Allah SWT senantiasa memberikan rahmat dan kasih
sayang kepada mereka semua.
Penulis juga mengucapkan terima kasih yang sedalam-dalamnya kepada:
1. Dr. Asep Saepudin Jahar, MA. Dekan Fakultas Syariah dan Hukum
Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.
2. Dr. H. Abdul Halim, M. Ag dan Arip Purkon, MA sebagai Ketua Program
Studi dan Sekretaris Program Studi Hukum Keluarga Fakultas Syariah dan
Hukum Universitas Islam Negeri Jakarta.
vi
3. Prof. Dr. H. Muhammad Amin Suma, S.H, M.A, M.M. sebagai dosen
pembimbing yang telah meluangkan waktu, tenaga, pikiran untuk
mengarahkan memotivasi selama membimbing penulis semoga Allah SWT
senantiasa memberikan rahmat dan kasih sayangnya kepada beliau.
4. Penguji Munaqasyah I : Dr. Hj. Mesraini, S.H, M.A dan Penguji II
Munaqasyah Hotnidah Nasution, S.Ag, M.A.
5. Segenap Bapak Ibu dosen, pada lingkungan Program Studi Hukum Keluarga
Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, yang telah
memberikan banyak ilmu selama penulis duduk di bangku kuliah.
6. Segenap pimpinan dan staf Perpustakaan Umum dan Perpustakaan Fakultas
Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta atas pelayanan dan
penyediaan
buku-bukkunya
sehingga
memudahkan
penulis
dalam
menyelesaikan skripsi ini.
7. Sahabatku terkasih Zulfah Zurotunnisa, Fathi Taybun, Djulhijah, Reza
Fahlevi, yang senantiasa memberikan semangat, canda, tawanya melewati
suka duka selama di bangku perkuliahan serta kesabaran dan kesetiaannya
menemani dari awal bertemu sampai pada penulis dapat menyelesaikan
skripsi.
8. Sahabat-sahabat rumahku Mayang Claudia, Dyan Purnama Sari, Desi
Ciciliamaharani yang sudah menjadi tempat canda dan tawa penulis semoga
kesuksesan meyertai kita.
vii
9. Seluruh teman-teman Administrasi Keperdataan Islam angkatan 2012 yang
tidak bisa saya sebutkan satu persatu yang telah memberikan warna warni
dalam hidup penulis selama di bangku perkuliahan semoga kita semua
menjadi orang yang sukses.
10. Teman-teman INI KKN, Nurul Farihah, Nur Habibah, yang telah
mengajarkan arti hidup, arti team work yang baik dan pengalamannya selama
KKN sebulan di desa Sukagalih semoga kesuksesan selalu menyertai kita.
Tidak ada yang dapat penulis berikan atas balas jasa dan dukungannya, hanya
doa semoga amal baik mereka dibalas oleh Allah SWT dengan balasan yang berlipat
ganda kepada semua pihak yang telah membantu penulis dalam menyelesaikan
skripsi ini.
Penulis berharap skripsi ini dapat memberikan manfaat bagi penulis
khususnya dan bagi pembaca pada umumnya. Oleh karena itu, kritik dan saran yang
membangun senantiasa penulis harapkan untuk skripsi ini.
Jakarta, 10 Oktober 2016
Penulis
viii
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL ...................................................................................... i
PERSETUJUAN PEMBIMBING................................................................. ii
LEMBAR PENGESAHAN PENGUJI........................................................ iii
LEMBAR PERNYATAAN ........................................................................... iv
ABSTRAK ...................................................................................................... v
KATA PENGANTAR .................................................................................... vi
DAFTAR ISI ................................................................................................... viii
BAB I
PENDAHULUAN
A.Latar Belakang Masalah ........................................................ 1
B.Identifikasi Masalah ............................................................. 7
C.Pembatasan Masalah ............................................................. 7
D.Perumusan Masalah .............................................................. 8
E.Tujuan dan Manfaat Penelitian .............................................. 8
F.Review Studi Terdahulu ........................................................ 9
G.Metode Penelitian.................................................................. 11
H.Sistematika Penulisan............................................................ 13
BAB II
PERKAWINAN DI BAWAH UMUR MENURUT HUKUM
ISLAM DAN POSITIF
A.Tinjauan Hukum Islam Terhadap Perkawinan di
Bawah Umur ........................................................................ 15
B.Dasar Hukum Perkawinan di Bawah Umur di Indonesia
dan Pakistan ......................................................................... 19
C.Faktor Perkawinan di Bawah Umur di Indonesia dan
Pakistan ................................................................................ 24
BAB III
SEJARAH HUKUM KELUARGA DI INDONESIA DAN
PAKISTAN
A.Sejarah Pembentukan Hukum Keluarga di Indonesia
dan Pakistan ......................................................................... 31
B.Pembaharuan Hukum Keluarga di Indonesia dan
Pakistan ................................................................................ 42
C.Peraturan yang Mengatur Hukum Keluarga di Pakistan
dan Indonesia ....................................................................... 50
ix
BAB IV
ANALISIS PERBANDINGAN UNDANG-UNDANG HUKUM
KELUARGA DI INDONESIA DAN PAKISTAN
A. Sejauh Mana Pengaruh Fuqoha Mazhab Terhadap Hukum
Keluarga di Indonesia dan Pakistan………………………. 53
B. Pandangan Hukum Islam Terhadap Hukum Positif dalam
Kriminalisasi Perkawinan di Bawah Umur di Indonesia
Dan Pakistan ....................................................................... 60
C. Persamaan dan Perbedaan Perkawinan di Bawah Umur di
Indonesia dan Pakistan ......................................................... 65
BAB V
PENUTUP
A.Kesimpulan ........................................................................... 74
B.Saran-saran............................................................................ 76
DAFTAR PUSTAKA ..................................................................................... 84
LAMPIRAN………………………………………………………………….89
x
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Perkawinan dalam Islam bukan semata-mata hubungan kontrak
keperdataan biasa. Akan tetapi, lebih dari itu untuk mewujudkan kehidupan
rumah tangga yang sakinah, mawaddah, dan rahmah, serta untuk membentuk
keluarga yang bahagia dan kekal.1Guna mewujudkan kehidupan rumah tangga
yang diharapkan yaitu sakinah dan mawadah, maka kematangan jiwa bagi calon
pasangan pengantin sangat diperlukan. Kematangan yang dimaksud adalah
kematangan umur perkawinan, kematangan dalam berpikir dan bertindak
sehingga tujuan perkawinan tersebut dapat terlaksana dengan baik.2
Di Indonesia, sebagaimana tertuang di dalam Undang-Undang Nomor 1
Tahun 1974 tentang Perkawinan, yang memiliki 7 (tujuh) asas-asas atau prinsipprinsip perkawinan. Salah satunya di dalam asas-asas perkawinan tersebut
membahas tentang asas (prinsip) kedewasaan calon mempelai.3Di mana asas
1
Arso Sosroatmodjo dan H.A. Wasit Aulawi, Hukum Perkawinan di Indonesia, (Jakarta: PT.
Bulan Bintang, 1975), h.102.
2
Abdul Mannan, Aneka Masalah Hukum Perdata di Indonesia, (Jakarta: Prenada Media,
2006), cet.ke-3, h.11.
3
Muhammad Amin Suma, Hukum Keluarga Islam di Dunia Islam, (Jakarta: PT.RajaGrafindo
Persada, 2004),h.157.
11
2
kematangan ini, menjadi salah satu standar yang digunakan dalam penetapan usia
menikah.
Membahasa tentang kedewasaan atau kematangan seseorang untuk
menikah dalam Undang-Undang Perkawinan di dunia Islam memang berbedabeda dalam menetapkan batasan minimal usia perkawinan. Hal ini dapat dilihat
dari kebijakan Negara-negara lain dalam pembatasan usia nikah. Negara yang
menerapkan usia 21 bagi laki-laki adalah Aljazair dan Bangladesh, serta 18 tahun
bagi perempuan. Sementara Tunisia sama dengan Indonesia 19 tahun bagi lakilaki, hanya saja Tunisia membatasi 17 tahun untuk perempuan. Yang cukup
banyak adalah usia 18 tahun bagi laki-laki, yaitu Mesir, Irak, Lebanon, Libya,
Maroko, Pakistan, Somalia, Yaman Selatan, dan Suriah. Sisanya adalah di bawah
18 tahun, yakni Turki yang mematok umur 17 tahun untuk laki-laki, Yordania 17
tahun, dan yang paling rendah adalah Yaman Utara 15 tahun bagi perempuan.4
Perbedaan usia nikah ini terjadi disebabkan, karena Al-Qur‟an maupun
Al-Hadis tidak secara eksplisit menetapkan usia nikah. Namun demikian, baik
Al-Qur‟an maupun Al-Hadis secara implisit tampak mengakui pernikahan
sebagai salah satu ciri bagi kedewasaan seseorang. 5Karena faktor kedewasaan
atau umur merupakan kondisi yang amat penting. Dan layak untuk membina
rumah tangga, kendatipun tidak termasuk ke dalam rukun dan syarat nikah. Di
4
Ahmad Tholabi Kharlie, Hukum Keluarga Indonesia, (Jakarta: Sinar Grafika, 2013), h.202.
5
Muhammad Amin Summa, Hukum Keluarga Islam di Dunia Islam, h.168.
3
dalam hukum Islam menyatakan bahwa seseorang baru boleh menikah apabila
sudah layak untuk menikah.
Penetapan batasan umur perkawinan itu penting karena dimaksudkan
untuk menjaga kesehatan suami istri dan keturunannya. Serta pasangan suami
istri agar mampu menanggung beban tanggung jawab keluarga. Khususnya
tanggung jawab terhadap anak yang dilahirkan, rumah tangga yang selalu kacau
akan berdampak buruk terhadap pembinaan anak, dan hal itu umumnya terjadi
dalam lingkungan keluarga yang kawin sebelum memiliki kematangan berfikir
atau perkawinan di bawah umur.6
Pengertian perkawinan di bawah umur pada dasarnya tidak disebutkan
dalam hukum Islam (kitab fiqih). Hal ini disebabkan karena tidak adanya dalil
yang membatasi secara jelas pada usia berapa seorang boleh menikah. Karena
itu, masalah batasan umur seseorang untuk melaksanakan perkawinan ini
termasuk ke dalam wilayah ijtihadiyyah. Dalam fiqih menyebutkan adanya
perkawinan muda atau kawin belia dengan istilah nikah ash-shaghir/ashshaghirah secara literal berarti kecil, namun yang dimaksudkan dengan
shaghir/shaghirah disini adalah anak laki-laki atau perempuan yang belum
baligh.7Ketentuan baligh antara seorang laki-laki dan seorang perempuan
6Abdi
Koro, Perlindungan Anak Di Bawah Umur Dalam Perkawinan Usia Muda dan
Perkawinan Siri, (Bandung: PT. Alumni, 2012), h. 177.
7
Husein Muhammad, Fiqih Perempuan: Refleksi kiai atas wacana agama dan gender, cet.V,
(Yogyakarta: LKIS, 2009), h.89.
4
berbeda. Pada anak laki-laki, ketentuan baligh tersebut ditandai dengan ihtilam,
yakni mimpi yang mengakibatkan keluarnya sperma (air mani), sedangkan anak
perempuan, ketentuan baligh ditandai dengan menstruasi atau haid.
Zaman modern seperti ini perkawinan di bawah umur marak terjadi tidak
hanya di Indonesia saja, tetapi juga terjadi di dunia Islam lainnya. Seperti, di
Negara Pakistan dan Bangladesh yang melakukan unifikasi pada hukum
keluarga. Maraknya perkawinan di bawah umur di dunia Islam membuat
perubahan besar terhadap Negara tersebut. Unifikasi hukum keluarga yang terjadi
di Negara Pakistan salah satunya yaitu menolak adanya perkawinan di bawah
umur dengan memberikan sanksi hukuman kurungan penjara serta denda kepada
seseorang yang menikahi anak di bawah umur di dalam hukum keluarganya.
Sebagaimana diatur dalam pasal 2 dan 4 dari Child Marriage Restraint Act tahun
1929 sebagaimana diubah dengan Muslim Family Law Ordinance (MFLO) tahun
1961:8
2. In this Act, unless there is anything repugnant in the subject or context,
(a) “child” means a person who, if a male, is under eighteen years of age, and if
a female, is under sixteen years of age; (b) “child marriage” means a marriage
to which either of the parties is child; (c)”contracting party” to a marriage
means either of the parties whose marriage is about to be thereby solemnized;
(d) “minor” means a person of either sex who is under eighteen years of age;…
4. Whoever, being a male above eigthteen years of age, contracts a child
marriage shall be punishable with simple imprisonment which may extend to one
month, or with fine which may extend to one thousand rupees, or with both.
8Tahir
Mahmood, Personal Law in Islamic Countries: History, Text and Comparative
Analisis, h.243-244.
5
Pasal 2 dan 4 di atas, dalam UU itu didefinisikan bahwa anak (child)
adalah seseorang yang berumur di bawah 18 tahun bagi laki-laki dan di bawah 16
tahun bagi perempuan. Adapun perkawinan anak (perkawinan di bawah umur)
ialah perkawinan yang salah satu dari pengantin laki-laki atau perempuan berusia
anak-anak sebagaimana didefinisikan sebagai seseorang, baik laki-laki maupun
perempuan, yang berusia di bawah 18 tahun. Nampaknya UU ini membedakan
anatara “child” dan “minor”. Selanjutnya pada pasal 4 mengatur bahwa seorang
laki-laki berumur lebih dari 18 tahun yang akan melakukan akad nikah dengan
seorang perempuan berumur di bawah 16 tahun, diancam dengan penjara paling
lama satu bulan atau denda setinggi-tingginya seribu Rupee atau kedua-duanya.9
Sedangkan di Indonesia mempunyai pandangan berbeda dengan NegaraNegara muslim lainnya yang telah melakukan pembaharuan di dalam hukum
keluarga. Peraturan hukum keluarga di Indonesia tidak membahas secara rinci
mengenai perkawinan di bawah umur dikarenakan di dalam Undang-Undang No.
1 Tahun 1974 tentang Perkawinan tidak membahas mengenai sanksi terhadap
perkawinan di bawah umur.
Perkawinan di bawah umur merupakan salah satu trend reformasi hukum
keluarga di dunia Islam Modern yang diberlakukannya sanksi hukum
(kriminalisasi). Keberanjakan dari hukum klasik yang cenderung tidak memiliki
9
Tahir Mahmood, Personal Law in Islamic Countries: History, Text and Comparative
Analisis, h.243.
6
sanksi hukum. Misalnya, beralih kepada aturan-aturan dan hukum produk Negara
yang tidak saja membatasi dan mempersulit, namun bahkan melarang dan
mengkategorikan suatu masalah seputar hukum keluarga sebagai perbuatan
kriminal.10
Kriminalisasi perkawinan di bawah umur seperti hal yang diatas belum
menjadi potret umum dari hukum atau Undang-Undang yang berlaku di dunia
Islam lainnya. Namun, keberadaannya semakin dipertimbangkan karena
menjadikan perkawinan di bawah umur suatu perbuatan kriminalisasi. lebih
menarik lagi jika di Indonesia juga bisa melihat lebih dekat serta mentelaah lebih
dalam lagi. Apakah praktik perkawinan di bawah umur itu merupakan suatu
perbuatan kriminalisasi hukum? Kemudian dikomparasikan satu sama lain dalam
konteks doktrin Hukum Islam Konvesional, antar Negara, dan posisinya sebagai
salah satu citra dinamisasi dalam hukum Islam, khusunya hukum keluarga di
dunia Islam. Hal inilah yang penulis anggap sebagai sesuatu yang menarik untuk
diteliti apa sebenarnya factor-faktor dalam pembentukan hukum keluarga
khususnya mengenai “Kriminalisasi Perkawinan di Bawah Umur (Studi
Komparatif Undang-Undang Hukum Keluarga di Indonesia dan Pakistan).”
B. Identifikasi Masalah
10
Zaki Saleh, Kriminalisasi Trend Reformasi Hukum Islam, artikel diakses pada 23
Januari2016 dari http://publik-syariah.blogspot.co.id/2011/04.html.
7
Dari latarbelakang masalah diatas, penulis mengidentifikasikan permasalahan
sebagai berikut :
1. Bagaimana batasan usia nikah dalam Undang-Undang Hukum Keluarga di
dunia Islam pada umumnya.
2. Bagaimana pandangan Al-Qur‟an dan Hadist tentang perkawinan di
bawah umur.
3. Apa saja ciri atau ukuran kedewasaan seseorang untuk melangsungkan
pernikahan.
4. Bagaimana pemberlakuan sanksi perkawinan di bawah umur di dalam
hukum keluarga di Dunia Islam khususnya Indonesia dan Pakistan.
5. Undang-Undang yang mengatur perkawinan di bawah umur di Indonesia
dan Pakistan.
C. Pembatasan Masalah
Meniadakan adanya kajian yang lebih luas dan tidak terbatas, disebabkan
terlalu banyaknya Negara Islam di dunia ini, maka penulis membatasi
permasalhan dan akan menjelaskan mengenai kriminalisasi perkawinan di bawah
umur yang berlaku di Indonesia dan Pakistan. Berdasarkan latar belakang dan
permasalahan di atas maka penulis ingin menelusuri lebih jauh analisis
perbandingan terhadap peraturan perundang-undangan hukum keluraga di
Indonesia dan Pakistan.
8
D. Perumusan Masalah
Adapun perumusan masalah, dibuat dalam bentuk pertanyaan penelitian
sebagai berikut:
1. Bagaimana pandangan ahli hukum Islam (fuqoha) terhadap perkawinan di
bawah umur ?
2. Bagaimana pandangan hukum Islam terhadap hukum positif dalam
kriminalisasi perkawinan di bawah umur di Indonesia dan Pakistan?
3. Apa perbedaan dan persamaan sanksi bagi perkawinan di bawah umur di
Indonesia dan Pakistan?
E. Tujuan dan Manfaat Penelitian
1. Tujuan penelitian
Adapun tujuan dalam penulisan skripsi ini dapat disimpulkan sebagai berikut:
1. Untuk mengetahui pandangan ahli hukum Islam (Fuqoha) mengenai
perkawinan di bawah umur.
2. Untuk mengetahui perkawinan di bawah umur dari sisi hukum Islam
terhadap hukum positif mengenai kriminalisasi.
3. Untuk mengetahui perbedaan dan persamaan sanksi bagi perkawinan di
bawah umur di Indonesia dan Pakistan.
2. Manfaat Penelitian
Adapun manfaat dalam melakukan penelitian ini adalah:
9
1.
Bagi penulis, penelitian ini sangat bermanfaat sebagai wawasan ataupun
pengetahuan mengenai kriminalisasi perkawinan di bawah umur menurut
hukum perkawinan di dunia Islam di Indonesia dan Pakistan.
2. Bagi Masyarakat, penelitian ini dapat dijadikan sebagai pedoman ataupun
pengetahuan untuk mengetahui kriminalisasi perkawinan di bawah umur
menurut hukum perkawinan di dunia Islam di Indonesia dan Pakistan.
3. Bagi Akademik, penelitian ini dapat dijadikan sebagai sumber referensi
dan acuan bagi kalangan akademisi dan praktisi di dalam menunjang
penelitian selanjutnya yang mungkin cangkupannya lebih luas sebagai
bahan perbandingan.
F. Review Studi Terdahulu
Review studi terdahulu berfungsi untuk mengetahui apakah hal yang akan
diteliti tersebut sudah pernah diteliti sebelumnya atau belum sama sekali.
Sekalipun ada akan tetapi terdapat beberapa perbedaan mendasar. Oleh karena
itu, untuk menjaga keaslian dalam penelitian ini, penulis sudah melakukan
review studi terdahulu. Adapun diantara review studi terdahulu yang telah
dilakukan oleh penulis antara lain:
1. Haris Santoso, Batas Minimal Usia Melakukan Perkawinan Di Indonesia
Perspektif Imam Mazhab, (Jurusan peradilan agama UIN Syarif Hidayatullah
Jakarta: 2010). Secara sederhana objek pembahasan dalam skripsi ini adalah
di dalam hukum Islam tidak ditetapkan batas usia perkawina, oleh sebab itu
termasuk ranah ijtihadi yang memberikan kebebasan bagi umat untuk
10
menyelesaikan masalah tersebut. Dan para ulama mahzab berbeda pendapat
dalam menentukan batas usia menikah. oleh sebab itu analisa yang digunakan
dalam skripsi adalah perspektif imam mahzab. Adapun metode penelitian
yang digunakan dalam skripsi ini adalah metode komparatif yaitu
mengkomparasikan perkawinan di bawah umur antara hukum islam dan
hukum positif sebagai bahan acuan penelusuran skripsi ini.
2. Mochammad Abdul Rochim, Kriminalisasi Perkawinan di Bawah Umur,
(Fakultas Syariah dan Hukum, UIN Syarif Hidayatullah Jakarta: 2011).
Pembahasan dalam skripsi ini adalah lebih ditekankan dalam hal pernikahan
di bawah umur di Indonesia yang dianggap menjadi tindakan kriminal atau
eksploitasi terhadap anak. Skripsi ini hanya berfokus terhadap hukum positif
saja. Adapun metode penelitian yang digunakan dalam skripsi ini adalah
metode metode komparatif yaitu dengan cara membandingkan.
3. Muhammad Zaki Saleh, Kriminalisasi dalam hukum keluarga di NegaraNegara Muslim, Artikel Al-risalah volume 11, 2011. Artikel tersebut
membahas tentang perbuatan kriminalisasi tidak hanya perkawinan di bawah
umur saja tetapi praktik poligami, pencatatan nikah dan talak. Artikel ini tidak
menekankan atau tidak fokus terhadap perkawinan di bawah umur saja.
Adapun perbedaan dari ketiga studi review diatas yaitu membahas
tentang batasan usia perkawinan, baik laki-laki dan perempuan ditinjau dari
hukum Islam. Sedangkan perbedaannya adalah skripsi ini hanya membahas
tentang batasan usia perkawinan yang mengakibatkan perkawinan di bawah umur
11
dan dianggap menjadi tindakan kriminalisasi di sebagaian dunia Islam yang
mengakibatkan adanya hukuman baik kurungan penjara maupun denda.
G. Metode Penelitian
Metode penelitian yang digunkan untuk memperoleh data yang valid
dalam penelitian ini menjadi:
1. Pendekatan Penelitian
Dalam penelitian ini penulis menggunakan pendekatan perbandingan
(Comparative Approach) yaitu penelitian yang membandingkan hukum suatu
negara dengan hukum negara lain.
2. Jenis Penelitian
Penelitian
skripsi
ini
sepenuhnya
menggunakan
metode
penelitian
kepustakaan (Library Reseach) yaitu dengan meneliti berbagai buku, majalah,
surat kabar, artikel dan tulisan-tulisan ilmiah lainnya yang ada hubungannya
dengan judul yang dibahas dalam skripsi ini.
3. Data Penelitian
a. Sumber Data
Undang-Undang No.1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, Kompilasi
Hukum Islam. Dan Child Marriage Restraint Act 1929 (Undang-Undang
29 Tahun 1929) dan di Ordonansi No. 8 Tahun 1961 Marriage and
12
Family Law Commission (MFLO). (Pakistan: Kitab Undang-Undang
hukum keluarga).
b. Jenis Data
Ada dua jenis data yang penulis gunakan dalam penulisan skripsi ini.
1) Data Primer: yaitu berasal dari Al-Qur‟an, kitab hadis, dan UndangUndang Perkawinan Nomor 1 tahun 1974, Inpres Kompilasi Hukum
Islam, Child Marriage Restraint Act 1929 (Undang-Undang 29 Tahun
1929) dan di Ordonansi No. 8 Tahun 1961 Marriage and Family Law
Commission (MFLO). (Pakistan: Kitab Undang-Undang hukum keluarga).
2) Data Sekunder: yaitu berasal dari buku-buku, majalah, surat kabar, jurnal
ilmiah, artikel serta sumber lain yang berkaitan dengan judul ini.
4. Teknik Pengumpulan Data
Teknik pengumpulan data sebagai berikut: Library Research (Penelitian
Kepustakaan), yakni dengan melakukan penelitian terhadap berbagai sumber
bacaan, antara lain buku-buku, pendapat para sarjana, dan lain-lain yang
diperoleh dari internet.
Setelah data terkumpul dari berbagai sumber maka penulis akan memaparkan
data tersebut, kemudian penulis analisa. Secara teknis penulisan ini
berpedoman pada buku “Pedoman Penulisan Skripsi Fakultas Syariah dan
Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta tahun 2012”.
13
5. Teknik Pengolahan Data
Metode yang digunakan yaitu deskriptif dengan memaparkan data yang
diperoleh tersebut kemudian dikomparatifkan antara data yang tertera pada
teori yang diambil dari studi pustaka lalu penulis analisa.
6. Metode Analisis Data
Adapun analisis yang dipakai dalam penelitian ini adalah analisis komparatif
yang bersifat membandingkan.Penelitian ini dilakukan untuk membandingkan
persamaan dan perbedaan dua atau lebih fakta-fakta dan sifat-sifat objek yang
diteliti berdasarkan kerangka pemikiran tertentu.
H. Sistematika Penulisan
Skripsi ini disusun dengan sistematika yang terbagi dalam lima bab.
Masing-masing bab terdiri atas beberapa sub-sub guna lebih memperjelas ruang
lingkup dan cakupan permasalahan yang diteliti. Adapun urutan dan tata letak
masing-masing bab serta pokok pembahasannya adalah
Pada bab pertama merupakan bab tentang pendahuluan yang merupakan
suatu pengantar umum pada tulisan berikutnya yang meliputi: latar belakang,
identifikasi masalah, pembatasan masalah, rumusan masalah, tujuan dan manfaat,
metode penelitian, review studi terdahulu, dan sistematika penulisan.
Pada bab Kedua menjelaskan tentang kriminalisasi perkawinan di bawah
umur. Pada bab ini penulis hadirkan tiga pembahasan yaitu Pengertian
Kriminalisasi, Pengertian Perkawinan di bawah umur menurut Hukum Islam dan
14
dasar-dasar perkawinan di bawah umur dalam Hukum keluarga Islam di
Indonesia dan Pakistan.
Pada bab Ketiga menjelaskan tentang sejarah hukum keluarga Islam di
Indonesia dan Pakistan. Serta mendeskripsikan hukum keluarga Islam di Negara
Indonesia dan Pakistan sebagai Negara Muslim, pengaruh Mahzab terhadap
pembentukan hukum keluarga Islam di Negara Indonesia dan Pakistan.
Pada bab Keempat berisi tentang analisis perbandingan mengenai
kriminalisasi perkawinan di bawah umur di Indonesia dan Pakistan. Pada bab ini
penulis hadirkan tiga pembahasan yaitu pandangan ahli hukum Islam (fuqoha)
terhadap perkawinan di bawah umur, dan pandangan hukum Islam terhadap
hukum positif dalam kriminalisasi perkawinan di bawah umur di Indonesia.
Pada bab Kelima adalah penutup, seperti biasa bab ini mencakup
kesimpulan dari pembahasan yang telah dianalisa oleh penulis dan saran dari
penulis ketika melihat substansi skripsi penulis.
15
BAB II
PERKAWINAN DI BAWAH UMUR MENURUT HUKUM ISLAM DAN
HUKUM POSITIF
Kriminalisasi menurut Kamus Bahasa Indonesia adalah proses yang
memperlihatkan perilaku yang semula tidak dianggap sebagai peristiwa pidana,
tetapi kemudian digolongkan sebagai peristiwa pidana oleh masyarakat.11
Sedangkan di dalam kamus hukum lainnya mendefinisikan bahwa kriminalisasi
adalah proses semakin banyaknya sikap yang dianggap sebagai kejahatan oleh
Hukum Pidana atau Perundang-Undangan.12Jadi, pada dasarnya kriminalisasi
praktik perkawinan di bawah umur di sini dipahami sebagai sikap yang
mengategorikan praktik atau perbuatan perkawinan di bawah umur sebuah tindak
pidana (crime), yang diancam dengan bentuk pidana tertentu, baik pidana
kurungan maupun pidana denda.
A. Tinjauan Hukum Islam Terhadap Perkawinan Di bawah Umur
Perkawinan di bawah umur di dalam hukum Islam tidak memberikan
penjelasan mengenai batasan usia minimal atau maksimal dalam menikah.
Karena kedewasaan untuk menikah termasuk masalah ijtihad. Dalam arti kata
diberikan kesempatan untuk berijtihad pada usia berapa seseorang pantas
1
Tim Depdikbud, Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta: Balai Pustaka, 2001), cet.,III,
h.600.
12
Kamus Hukum, (Bandung: Citra Umbara, 2008), h.23.
15
16
menikah. Karena umur atau kedewasaan tidak termasuk dalam syarat rukun
nikah, maka apabila suatu perkawinan sudah memenuhi syarat dan rukun nikah,
maka hukumnya sah.13
Para ulama dalam hal ini masih berbeda pendapat dalam menghadapi
masalah ini, karena faktor kedewasaan atau umur merupakan kondisi yang amat
penting, kendatipun tidak termasuk ke dalam rukun dan syarat nikah. Di dalam
hukum Islam menyatakan bahwa seseorang baru dikenakan kewajiban
melakukan pekerjaan atau perbuatan hukum apabila telah mukallaf, untuk itu
Allah berfirman dalam QS. An-Nisaa (04) ayat 6 :
ِ
ِ
‫وىاإِ ْرَاافًا َوبِ َد ًارا أَ ْن كَ ْكرَ ُاوا‬
َ ُ‫اح فَِإ ْن آنَ ْستُ ْم منْ ُه ْم ُر ْش ًدا فَ ْادفَ ُعوا إِلَيْ ِه ْم أ َْم َوا َلُْوْم َوَ ا أَكْ ُلل‬
َ ‫َوابْتَ لُوا الْيَتَ َام ٰى َح ى َّٰت إ َذا بَلَغُوا النِّ َك‬
ِ ‫ومن َلا َن َغنِيًّا فَلْيست ع ِفف ومن َلا َن فَِقريا فَلْيكْ ُلل بِالْوْمعا‬
‫وف فَِإذَا َدفَ ْعتُ ْم إِلَْي ِه ْم أ َْم َوا َلُ ْم فَكَ ْش ِه ُدوا َعلَْي ِه ْم َوَل َف ٰى بِاللىِو‬
ْ َ َ ْ ْ َْ َ
ْ ََ
ُْ َ ْ َ ً
﴾٦:‫َح ِسيرًا ﴿النساء‬
Artinya: “Dan ujilah anak-anak yatim sampai mereka mencapai usia nikah.
Apabila kalian menemukan kecerdasannya maka serahkanlah harta-harta itu
kepada mereka. Dan janganlah kalian memakannya dengan berlebih-lebihan dan
jangan pula kalian tergesa-gesa menyerahkan sebelum mereka dewasa. Barang
siapa (dari kalangan wali anak yatim itu) berkecukupan, maka hendaklah dia
menahan diri (dari memakan harta anak yatim) dan barang siapa yang miskin
maka dia boleh memakan dengan cara yang baik. Apabila kalian menyerahkan
harta-harta mereka, maka hadrikanlah saksi-saksi.Dan cukuplah Allah sebagai
pengawas”.
Ketika menafsirkan ayat ini, di dalam tafsir al-Misbah, maka kata dasar
rushdan adalah ketepatan dan kelurusan jalan. Dari sini lahir kata rushd yang
13
Kamal Muchtar, Asas-Asas Hukum Islam tentang Perkawinan, (Jakarta: Bulan Bintang,
1974), h.93.
17
bagi manusia adalah kesempurnaan akal dan jiwa yang menjadikannya mampu
bersikap dan bertindak setepat mungkin. Al-Maraghi menafsirkan dewasa
(rushdan), yaitu apabila seseorang mengerti dengan baik cara menggunakan harta
serta membelanjakannya, sedang yang dimaksud balighu al-nikdh ialah jika
umur telah siap untuk menikah. Ini artinya al-Maraghi menginterprestasikan
bahwa orang yang belum dewasa tidak boleh dibebani persoalan-persoalan
tertentu.14
Ayat ini dapat dipahami bahwa perkawinan dilakukan oleh seseorang yang
sudah dewasa. Dalam hukum Islam, usia dewasa dikenal dengan istilah baligh.
Yang pada prinsipnya, seorang lelaki yang telah baligh dapat ditentukan dengan
mimpi dan rushdan, akan tetapi rushdan dan umur kadang-kadang tidak sama
dan sukar ditentukan, seseorang yang telah bermimpi ada kalanya belum rushdan
dalam tindakannya. Begitupun juga dengan perempuan, seorang perempuan
dikatakan baligh apabila sudah menstruasi. Namun, nyatanya sangat sulit
memastikan pada usia berapa seorang perempuan mengalami menstruasi.
Sebagaimana para ulama mazhab berbeda pendapat dalam menetapkan
dan menentukan batasan usia dewasa atau baligh untuk melangsungkan
perkawinan diantaranya: Imammiyah, Maliki, Syafi‟i, dan Hanbali yang
mengatkan:“tumbuhnya bulu-bulu ketiak merupakan bukti balighnya seseorang”.
14
Dedi Supriyadi dan Mustofa, Perbandingan Hukum Perkawinan di Dunia Islam, (Bandung:
Al-Fikriis,2009), h.23.
18
Adapun Hanafi menolaknya sebab bulu ketiak itu tidak ada berbeda dengan bulubulu lain yang ada pada tubuh. Syafi‟i dan Hanbali menyatakan bahwa usia
baligh untuk anak laki-laki dan perempuan adalah 15 tahun, sedangkan Maliki
menetapkan 17 tahun. Sementara itu, Hanafi menetapkan usia baligh bagi anak
laki-laki adalah 18 tahun, sedangkan anak perempuan 17 tahun.15
Perkawinan di bawah umur memang tidak secara terang-terangan di
bahas oleh hukum Islam. Bahkan di dalam kitab-kitab fiqih memperbolehkan
kawin antara laki-laki dan perempuan yang masih kecil, baik kebolehan
tersebut dinyatakan secara jelas seperti ungkapan “boleh terjadi perkawinan
antara anak laki-laki yang masih kecil dan perempuan yang masih kecil” atau
boleh menikahkan laki-laki yang masih kecil dan perempuan yang masih kecil”
sebagaimana pendapat Ibnu al-Humam.16
Para
ulama
yang
membolehkan
perkawinan
di
bawah
umur
beragumentasi dengan beberapa ayat al-Qur‟an yang menjelaskan masalah
perkawinan. Berikut beberapa dasar yang memperbolehkan kawin dalam usia
muda atau perkawinan di bawah umur, adalah firman Allah SWT yang
menyatakan dalam QS. Ath Thalaaq (65):4.
15
Dedi Supriyadi, Fiqih Munakahat Perbandingan, (Bandung: Pustaka Setia.2011), cet ke-I,
16
Amir Syarifuddin, Hukum Perkawinan Islam di Indonesia antara fiqih munakahat dan
h.65.
Undang-Undang Perkawinan, (Jakarta: Kencana, 2006), h.66.
19
ِ ْ ‫ت ْاْل‬
‫ض ِم ْن نِسائِكم إِ ِن ْارأَ ْرتُ ْم فَعِدىأُ ُه ىن ثََّلثَةُ أَ ْش ُه ٍا َو ى‬
ِ ‫الّلئِى كَئِ ْس َن ِم َن الْ َوْم ِحْي‬
‫َجلُ ُه ىن‬
ّ ‫َو‬
ْ ‫الّلئَى ََلْ َِي‬
ُ ‫ض َن َوأُوَ ا‬
ْ ‫َْحَال أ‬
ُ َ
)٤ : ‫ض ْع َن َْحْلَ ُه ىن َوَم ْن كَت ِىق اللَ ََْي َع ْل لَوُ ِم ْن أ َْم ِاِه كُ ْسًاا (الطّلق‬
َ َ‫أَ ْن ك‬
Artinya: “perempun-perempuan yang tidak haid lagi (menopause) di antara
perempuan-perempuanmu jika kamu ragu-ragu (tentang masa iddahnya), maka
masa iddah mereka adalah tiga bulan; dan begitu (pula) perempuan-perempuan
yang belum haid. Dan perempuan-perempuan yang hamil, waktu iddah mereka
ialah sampai mereka melahirkan kandungannya.Siapa siapa yang bertakwa
kepada Allah, niscaya Allah menjadikan baginya kemudahan dalam urusannya”.
Pada dasarnya Allah menetapkan perempuan dengan predikat: wa al-la‟I
lam yahidhna (yang belum haid) dengan „iddah selama 3 bulan, sementara
„iddah 3 bulan tersebut hanya berlaku bagi perempuan yang ditalak atau
difasakh, maka ayat ini menjadi dalalah iltizam, bahwa perempuan yang
disebutkan tadi sebelumnya telah dinikah, kemudian ditalak atau difasakh.Husein
Muhammad memberikan alasan lain terhadap ayat ini, didalam kata lam yahid
menunjukkan bahwa yang belum menstruasi, jika diceraikan harus menunggu
tiga bulan untuk melangsungkan perkawinannya yang kedua kalinya.
Muhammad menjelaskan bahwa secara tidak langsung ayat ini mengandung
pengertian bahwa perkawinan dapat dilaksanakan bagi perempuan belia (belum
mengalami menstruasi), karena iddah hanya dapat dikenakan bagi seorang yang
telah melangsungkan perkawinan.17
17
Husein Muhammad, Fiqih Perempuan: Refleksi Kiai atas Wacana Agama dan Gender,
cet.V, (Yogyakarta: LkiS, 2009), h.91.
20
Selain itu ada golongan ahli Fiqih yang melarang dan tidak
memperbolehkan perkawinan usia muda seperti Ibnu Syubrumah, dengan
berdalilkan sebagai berikut:
1)
Sadduz Al-Dzari‟at, artinya menutup jalan yang bisa membawa malapetaka,
karena perkawinan di bawah umur dapat membawa malapetaka bagi kedua
pasangan tersebut dan akibat-akibat yang negative, maka dari itu wajib
dengan menunda jalannya perkawinan.18
2) kaidah-kaidah Fiqih
(Mudharat atau Malapetaka itu harus dihilangkan).Walaupun perkawinan di
bawah umur terdapat manfaat dan maslahatnya. Namun, mudharat dan
resikonya jauh lebih besar dari manfaat dan kemaslahatannya. Oleh karena
itu sudah seharusnya perkawinan di bawah umur itu ditunda hingga orang
tersebut mencapai usia dewasa matang baik secara fisik, psikis maupun
mentalnya.19
Sementara pandangan ahli hukum Islam (Fuqaha) terhadap perkawinan di
bawah umur. Dalam keputusan Ijtima „Ulama Komisi Fatwa Se Indonesia III
Tahun 2009 dinyatakan bahwa dalam literature fikih Islam, tidak terdapat
ketentuan secara eksplisit mengenai batas usia perkawinan, baik batas usia
18
Rachmat Syafe‟I, Ilmu Ushul Fiqih, (Bandung: CV. Pustaka Setia, 1999), Cet-1, h.132.
19
Jaih Mubarok, Kaidah Fiqih, secara kaidah-kaidah Azasi, (Jakarta: PT. Gaja Grafindo
Persada, 2002), h. 105.
21
minimal maupun maksimal. Walaupun demikian, hikmah tasyri dalam
perkawinan adalah menciptakan keluarga yang sakinah, serta dalam rangka
memperoleh keturunan (hifz al-nasl) dan hal ini bisa tercapai pada usia dimana
calon mempelai telah sempurna akal pikirannya serta siap melakukan proses
reproduksi.20Berdasarkan hal tersebut, komisi fatwa menetapkan beberapa
ketentuan hukum yaitu:
a. Islam pada dasarnya tidak memberikan batasan usia minimal perkawinan
secara defintif, usia kelayakan perkawinan adalah usia kecakapan berbuat dan
menerima hak (ahliyatul ada „wa al wujud) sebagai ketentuannya.
b. Perkawinan di bawah umur hukumnya sah sepanjang telah terpenuhinya
syarat dan rukun nikah tetapi haram jika mengakibatkan mudharat.
c. Kedewasaan merupakan salah satu indikator bagi tercapainya tujuan
perkawinan, yaitu kemaslahatan hidup berumahtangga dan bermasyarakat
serta jaminan keamanan bagi kehamilan.
d. Guna merealisasikan kemaslahatan ketentuan perkawinan dikembalikan pada
standardisasi usia sebagaimana ditetapkan dalam Undang-Undang Nomor 1
Tahun 1974 sebagai pedomannya.
Dilihat dari argument-argumen yang telah disampaikan oleh para ulama
tersebut diatas, baik yang memperbolehkan perkawinan seorang gadis yang
belum dewasa (usia muda) dan yang tidak memperbolehkannya, maka Secara
20
Kharron Sirin, Fikih Perkawinan Di Bawah Umur, (Jakarta: Ghalia Indonesia, 2009), h.35.
22
umum dalam hukum Islam mengenai perkawinan di bawah umur pendapat dari
para fuqaha dikategorikan dalam tiga kelompok yaitu:21
1. Pandangan jumhur fuqaha, yang membolehkan pernikahan usia dini walaupun
demikian kebolehan pernikahan dini ini tidak serta merta membolehkan
adanya hubungan badan. Jika hubungan badan akan mengakibatkan adanya
dlarar maka hal itu terlarang, baik pernikahan dini maupun pernikahan
dewasa.
2. Pandangan Ibnu Syubrumah dan Abu Bakr al-Asham, menyatakan bahwa
pernikahan di bawah umur hukumnya terlarang secara mutlak.
3. Pandangan Ibnu Hazm, beliau memilih antara pernikahan anak lelaki kecil
dengan anak perempuan kecil. Pernikahan anak perempuan yang masih kecil
oleh bapaknya dibolehkan, sedangkan anak lelaki yang masih kecil dilarang.
Argument yang dijadikan dasar adalah Zhahir hadits pernikahan Aisyah
dengan Nabi Muhammad Saw.
Jadi, dalam diskursus fikih (Islamic Jurisprudence), tidak ditemukan
kaidah yang sifatnya menentukan batas usia menikah. Karenanya, menurut fikih
semua tingkatan umur dapat melangsungkan perkawinan dengan dasar bahwa
telah mampu secara fisik, biologis dan mental.
21
Heru Susteyo, Perkawinan Di Bawah Umur Tantangan Legislasi dan Haronisasi Hukum
Islam, (Jakarta: PT. Bumi Aksara, 2009), h.22.
23
B. Dasar Hukum Perkawinan di Bawah Umur di Indonesia dan Pakistan.
1. Perkawinan di Bawah Umur Menurut Undang-Undang Indonesia.
Perkawinan di bawah umur tidak luput dari batasan minimum usia
seseorang untuk melakukan perkawinan. Sebagaimana di Indonesia diatur ke
dalam Undang-Undang No. 1 tahun 1974 tentang Perkawinan pada Pasal 7 ayat
(1) yang berbunyi : “perkawinan hanya diizinkan jika pihak pria sudah mencapai
umur 19 (Sembilan belas) tahun dan pihak wanita sudah mencapai umur 16
(enam belas) tahun”. Namun, nyatanya dalam pelaksanaan pasal tersebut tidak
terdapat keharusan mutlak karena dalam ayat yang lain yaitu Pasal 7 ayat (2)
menerangkan: ”bahwa dapat meminta dispensasi kepada Pengadilan atau
pejabat lain yang ditunjuk oleh kedua orang tua pihak pria maupun pihak
wanita”.22 Di dalam Pasal itu menjelaskan apabila mereka yang belum
mencapai umur 19 (Sembilan belas) tahun bagi laki-laki dan 16 (enam belas)
tahun bagi wanita diperbolehkan “menikah” apabila terjadi kasus yang
mengharuskan mereka menikah. Pernikahan tersebut boleh dilangsungkan
apabila ada ijin dari Pengadilan yang ditunjuk oleh kedua orang tua pihak pria
maupun pihak wanita.
Sebagaimana di dalam Kompilasi Hukum Islam (KHI) menyebutkan
“untuk dapat melangsungkan Perkawinan bagi seorang calon mempelai yang
belum mencapai usia 21 (dua puluh satu) tahun bagi pria dan 16 (enam belas)
22
Dedi Supriyadi dan Mustofa, Perbandingan Hukum Perkawinan di Dunia Islam, h. 49-50.
24
tahun bagi wanita maka harus mendapat izin kedua orang tua”. Namun, jika
orang tua tidak mampu menyatakan kehendaknya maka dapat dilakukan oleh
wali, atau orang yang merawatnya atau keluarga sedarah dalam garis keturunan
ke atas di dalam Pasal 7 ayat (3) UU No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan. 23
Sementara di dalam Undang-Undang No.23 Tahun 2002 tentang
Perlindungan Anak menyatakan secara tegas, “Anak adalah seseorang yang
belum berusia 18 (delapan belas) tahun, termasuk anak yang masih dalam
kandungan” dan di dalam (Pasal 1) dan Pasal 26 ayat 1 poin c disebutkan,
keluarga dan orang tua berkewajiban untuk mencegah terjadinya perkawinan di
usia anak-anak (dibawah umur).24
Menurut kitab Undang-Undang Hukum Perdata (Burgerlijk Wetboek)
pada Pasal 330 yaitu “Yang belum dewasa adalah mereka yang belum mencapai
umur genap dua puluh satu tahun dan tidak kawin sebelumnya”.25
Dari berbagai ketentuan tersebut diketahui bahwa tidak ada keseragamaan
dalam pengertian kedewasaan, khususnya mengenai batasan minimum pada usia
berapa seseorang boleh menikah. Tetapi, di Indonesia secara umum di dalam
Undang-Undang tidak mengatur mengenai Perkawinan di bawah umur. Hanya
23
Hilman Hadikusuma, Hukum Perkawinan Indonesia Menurut Perundangan, Hukum Adat,
Hukum Agama, (Bandung: Mandar Maju, 1990), h. 7.
24
Ahmad Sofian, Perlindungan Anak Di Indonesia Dilema & Solusinya, (Medan: PT.
Sofmedia, 2012), h. 130.
25
Asrorun Niam Sholeh, Detik-Detik Perlindungan Anak, (Depok: PENA NUSANTARA,
2013), h. 222.
25
saja di Indonesia mengatur tentang batasan minimum usia perkawinan di dalam
Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan. Dari uraian di atas dapat
diambil satu pengertian bahwa perkawinan di bawah umur adalah perkawinan
yang dilangsungkan oleh salah satu pihak atau kedua mempelai yang batasan usia
menikah tidak sesuai dengan Undang-Undang yang berlaku di Indonesia.
Apabila batasan usia menikah belum cukup umur maka diperlukan dispensasi
kawin dari Pengadilan Agama dengan memenuhi syarat yang telah ditentukan.
Berapapun usia seseorang untuk melangsungkan perkawinan, pada dasarnya
harus memiliki kematangan fisik dan psikis sebelum mengarungi bahtera rumah
tangga. Gunanya untuk dapat mewujudkan tujuan perkawinan.
2. Perkawinan di Bawah Umur Menurut Undang-Undang Pakistan.
Perkawinan di bawah umur di dalam hukum keluarga di Pakistan
dikeluarkan pada tahun 1937 dan 1939 di dalam Undang-Undang tentang Child
Marriage Restraint Act (Undang-Undang Larangan Perkawinan Anak di Bawah
Umur) tahun 1929. Namun, tahun 1961 Undang-Undang ini di amandemen ke
dalam Muslim Family Law Ordinance (MFLO) No.8 tahun 1961 diatur ke dalam
batas minimum usia menikah pada Pasal 2, 4, yang berbunyi :
In this Act, unless there is anything repugnant in the subject or context,
(a) “child” means a person who, if a male, is under eighteen years of age, and if
a female, is under sixteen years of age; (b) “child marriage” means a marriage
to which either of the parties is child; (c)”contracting party” to a marriage
means either of the parties whose marriage is about to be thereby solemnized;
(d) “minor” means a person of either sex who is under eighteen years of age;…
26
4. Whoever, being a male above eigthteen years of age, contracts a child
marriage shall be punishable with simple imprisonment which may extend to one
month, or with fine which may extend to one thousand rupees, or with both.
Pasal 2 dan 4 di atas, dalam UU itu didefinisikan bahwa anak (child)
adalah seseorang yang berumur di bawah 18 tahun bagi laki-laki dan di bawah 16
tahun bagi perempuan. Adapun perkawinan anak (perkawinan di bawah umur)
ialah perkawinan yang salah satu dari pengantin laki-laki atau perempuan berusia
anak-anak sebagaimana didefinisikan sebagai seseorang, baik laki-laki maupun
perempuan, yang berusia di bawah 18 tahun. Nampaknya UU ini membedakan
anatara “child” dan “minor”. Selanjutnya pada pasal 4 mengatur bahwa seorang
laki-laki berumur lebih dari 18 tahun yang akan melakukan akad nikah dengan
seorang perempuan berumur di bawah 16 tahun, diancam dengan penjara paling
lama satu bulan atau denda setinggi-tingginya seribu Rupee atau kedua-duanya.26
Selanjutnya di dalam Pasal 5 dan 6 dari Child Marriage Restraint Act
tahun 1929 sebagaimana diubah dengan MFLO tahun 1961:
5.Whoever performs, conducts or directs any child marriage, shall be
punishable with simple imprisonment which may extend to one thousand rupees,
or with both, unless he proves that he had reason to believe that the marriage
was not a child marriage. 6. (1). Where a minor contracts a child marriage, any
person having change of the minor, whether as parent or guardian or in any
other capcity, lawful or unlawful, who does any act to promote the marriage or
permits it to be solemnized, or negligently fails to prevent it from being
solemnized, shall be punishable with simple imprisonment which may extend to
one thousand rupees, or with both; provided that no woman shall be punishable
26
Tahir Mahmood, Personal Law in Islamic Countries: History, Text and Comparative
Analisis, h.243.
27
with imprisonment. (2) for the purpose of this section, it shall be presumed,
unless and until the contrary is proved, that where a minor has contracted a
child marriage, the person having charge of such minor has negligently failed to
prevent the marriage from being solemnized.27
Artinya: “ seorang laki-laki berumur lebih dari 18 tahun yang melakukan
akad nikah dengan seorang perempuan berumur di bawah 16 tahun, dianam
dengan hukuman penjara paling lama satu bulan atau denda setinggi-tingginya
seribu Rupee atau kedua-duanya, kecuali ia mempunyai bukti-bukti yang
meyakinkan dirinya bahwa apa yang dilakukannya bukanlah perkawinan di
bawah umur (child marriage). Kemudian jika seseorang dalam kategori “minor”
(berumur kurang dari 18 tahun) melakukan akad nikah dengan seorang di bawah
umur, maka orang tua anak itu atau walinya, yang mendorong terjadinya
perkawinan itu, atau karena kelalaian mereka, diancam dengan hukuman penjara
paling lama satu bulan, atau denda paling banyak seribu Rupee, atau keduaduanya, dengan pengecualian bahwa wanita tidak dihukum penjara, jika
perkawinan anak itu dilangsungkan juga, padahal Pengadilan telah
memperingatkan para wali untuk tidak melangsungkan perkawinan itu, baik atas
inisiatif pengadilan sendiri ataupun atas pengaduan pihak-pihak tertentu, maka
para orang tua atau wali itu diancam dengan hukuman penjara paling lama tiga
bulan atau denda 1000 Rupee atau kedua-duanya.28
Berbeda dengan Indonesia, di Pakistan hukum keluarga lebih melindungi
kepada hak-hak perempuan di dalam Undang-Undangnya. Tidak hanya pelaku
perkawinan di bawah umur saja yang terkena sanksi melainkan kepada pihak
yang menyelenggarakan, memerintahkan, atau memimpin pernikahan di bawah
umur (nikah). Demikian pula terhadap mereka (setiap pria baik sebagai orang tua
atau wali atau pihak lain yang punya kapasitas atau berhak menurut hukum atau
tidak) yang menganjurkan; atau mengizinkan dilangsungkannya pernikahan; atau
lalai mencegah terjadinya pernikahan di bawah umur. Sedangkan terhadap setiap
27
Tahir Mahmood, Personal Law in Islamic Countries: History, Text and Comparative
Analisis, h.242-243.
28 Tahir Mahmood, Personal Law in Islamic Countries: History, Text and Comparative
Analisis, h.242-243.
28
pihak (pria) yang enggan mematuhi keputusan yang dikeluarkan Pengadilan
(terkait pernikahan di bawah umur) sementara ia tahu keputusan tersebut
melarang perbuatan yang dilakukannya dapat dijatuhi hukuman penjara
maksimal 3 bulan. Semua ini diatur ke dalam Child Marriage Restraint Act 1929
dan Amandemennya (Ordonansi MFLO No. 8 Tahun 1961).29
Kesimpulan sikap hukumnya adalah bahwa walaupun di dunia Islam
berbeda-beda dalam menentukan batasan usia menikah tetapi hukum
mensyaratkan kedewasaan ketika menikah. Jadi, perkawinan di bawah umur
ialah perkawinan yang dilakukan oleh seseorang yang batasan usianya tidak
sesuai dengan Undang-Undang yang berlaku di Negara tersebut yang pada
hakekatnya kurang mempunyai persiapan atau kematangan baik secara mental
dan kedewasaan.Dan di Pakistan perkawinan di bawah umur memiliki kekuatan
hukum bagi pelaku dan yang mendukung perkawinan tersebut, baik hukuman
kurungan maupun denda atau kedua-duanya.
C. Faktor Penyebab Perkawinan Di Bawah Umur Di Indonesia dan Pakistan
1. Faktor Penyebab Perkawinan di Bawah Umur Di Indonesia
Pernikahan dini (di bawah umur) merupakan praktik pernikahan yang
dilakukan oleh pasangan yang salah satu atau keduanya berusia masih muda
dalam pandangan kekinian. Praktik pernikahan ini dipandang perlu memperoleh
29Zaki
Saleh, “Kriminalisasi Trend Reformasi Hukum Islam”, artikel diakses pada 23
Januari2016 dari http://publik-syariah.blogspot.co.id/2011/04.html.
29
perhatian yang jelas. Di Indonesia khususnya perkawinan di bawah umur sudah
marak terjadi di beberapa daerah.
Bentuk perkawinan di bawah umur ini hanyalah sepenggal realitas social
yang dihadapi masyarakat saat ini. Pada kalangan remaja, pernikahan di usia dini
(bawah umur) ini dianggap sebagai jalan keluar untuk menghindari seks bebas.
Ada juga yang melakukannya karena terpaksa dan karena hamil di luar nikah.
Dorongan seksual remaja yang tinggi karena didorong oleh lingkungan pergaulan
remaja yang mulai permisif (suka memperbolehkan atau mengizinkan) dan nyaris
tanpa batas mengakibatkan tingginya perkawinan di bawah umur.30
Berdasarkan survei yang dilakukan oleh Plan Internasional tahun 2015, di
Indonesia masih banyak terjadi pernikahan pada anak dan remaja. Sebanyak 38%
anak perempuan di bawah usia 18 (delapan belas) tahun sudah menikah.
Sementara persentase laki-laki yang menikah di bawah umur hanya
3,7%.31Ternyata, ada beberapa penyebab yang mendorong mereka melakukan
pernikahan di bawah umur, diantaranya:
1. Faktor Pergaulan bebas
2. Faktor Ekonomi
30
Umi Nurhasanah, “Perkawinan Usia Muda Dan Perceraian Di Kampung Kota Baru
Kecamatan PadangRatu Kabupaten Lampung Tengah”, artikel diakses pada 16 April 2016 dari Jurnal
Sosiologi http://publikasi.fisip.unila.ac.id/index.php/sosiologi/articel/view/164.
31Ini
Penyebab Maraknya Pernikahan Dini, Liputan6.com, 16 April 2016, Diakses dari
http://www.liputan6.com/news/read/2363627/ini-penyebab-maraknya-pernikahan-dini.
30
3. Faktor Pendidikan
4. Dorongan Orang tua
5. Faktor Adat
Perkawinan di bawah umur juga berdampak buruk untuk kesehatan
reproduksi wanita. Seperti survey yang dilakukan oleh Deputi Keluarga Sejahtera
dan Pembangunan Keluarga Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana
Nasional (BKKBN), Sudibyo Alimoeso menyebutkan batas usia minimal dalam
UU Perkawinan saat ini menjadi peluang terjadinya pernikahan dini.
“Dari segi masalah kesehatan reproduksi pada ibu, organ-organ
reproduksi belum siap dan bahkan cenderung membuat angka kematian ibu
melahirkan meningkat, selain itu juga akan melahirkan bayi dengan kualitas
kesehatan yang rendah. Serta meningkatkan angka perceraian yang mencapai
50% dan itu menimbulkan persoalan baru”.32
Perkawinan di bawah umur memang cukup besar di Negara Indonesia.
Walaupun di dalam hukum Islam tidak adanya batasan usia untuk menikah tetapi
tingkat kedewasaan seseorang harus sudah terpenuhi. Namun, nyatanya
perkawinan di bawah umur mempunyai sisi negative, sebagai berikut:
32
“Pernikahan Dini, BBC.com, 16 April 2016, Diakses dari ://www.bbc.com/pernikahandini
31
1. Dari sisi kesehatan, kehamilan atau melahirkan anak di bawah usia 20 tahun
lebih rentan bagi kematian bayi dan ibunya, melahirkan yang sehat menurut
ilmu kedokteran adalah antara usia 20-35 tahun.
2. Dari segi fisik, pasangan usia belia masih belum mampu dibebani suatu
pekerjaan yang memerlukan ketrampilan fisik untuk mendatangkan
pendapatan yang mencukupi kebutuhan keluarga.
3. Dari segi mental, pasangan yang masih belia masih belum siap bertanggung
jawab secara moral mengenai apa saja yang menjadi tanggung jawabnya.
4. Dari segi pendidikan, usaha pendewasaan usia pernikahan dimaksudkan buat
mendapatkan pendidikan yang lebih tinggi yang lebih berguna buat
menyiapkan masa depannya.
5. Dari segi kependudukan, perkawinan usia dini adalah masa yang tingkat
kesuburannya tinggi sehingga kurang mendukung pembangunan di bidang
kesejahteraan.
6. Dari segi kelangsungan rumah tangga, pernikahan dini lebih rentan dan rawan
perceraian mengingat mereka belum stabil, tingkat kemandiriannya masih
rendah.33
Kesimpulannya, Di Indonesia bentuk perkawinan di bawah umur
bermacam-macam sebabnya salah satunya kurangnya factor pendidikan
33
Siti Musdah Mulia, dkk, Meretas Jalan Kehidupan Awal Manusia; Modul Pelatihan
untuk Pelatih Hak-Hak Reproduksi dalam Perspektif Pluralisme, Cet-1, (Jakarta: LKAJ, 2003), h.7980.
32
dikalangan anak Indonesia menyebabkan pergaulan bebas yang membuat anak
Indonesia banyak yang melakukan hubungan seks sebelum waktunya.Sebab dari
itu banyak yang melakukan perkawinan di bawah umur dan menciptakan angka
perceraian cukup tinggi.
2. Faktor Penyebab Perkawinan di Bawah Umur Di Pakistan
Pakistan adalah Negara yang tinggi akan perkawinan di bawah umur.
Berdasarkan survei yang dilakukan oleh Plan Internasional 2015 dimana 34,8%
anak perempuan usia di bawah 18 tahun yang menikah, dengan laki-laki 15,2 %
menikah di bawah usia 15 tahun.34Perkawinan di bawah umur di Pakistan diatur
kedalam UU No. 29 Tahun 1929 tentang larangan pernikahan anak (Child
Marriage Restraint Act) sebagaimana diamandemen oleh Ordonansi No. 8 Tahun
1961 (MFLO). Di mana didalam Undang-Undang tersebut memberikan hukuman
terhadap pelaku perkawinan dibawah umur dengan hukuman penjara paling lama
satu bulan atau denda setinggi-tingginya seribu rupee atau kedua-keduanya.35
Seperti Kasus yang terjadi di Paksitan yang dilansir Emirates, menurut
Mehr Raiz kepolisian Pakistan yang menangkap enam orang yang diduga
melakukan perkawinan di bawah umur.
34Ini
Penyebab Maraknya Pernikahan Dini, Liputan6.com, 16 April 2016, Diakses dari
http://www.liputan6.com/news/read/2363627/ini-penyebab-maraknya-pernikahan-dini.
35Tahir
Mahmood, Personal Law in Islamic Countries: History, Text and Comparative
Analisis, h.243-244.
33
“Polisi telah menangkap enam orang yang diduga mengatur pernikahan
bocah laki-laki usia tujuh tahun dan bocah perempuan usia enam tahun itu. Yang
di lakukan oleh kedua orang tua dari dua bocah Pakistan, berusia tujuh dan enam
tahun ini. Terungkap sebuah video kedua bocah di bawah umur itu
dinikahkan.Dengan itu kepala polisi setempat, Mehr Riaz Hussain menangkap
enam orang yang diduga mengatur pernikahan bocah tersebut.Mereka didakwa
melakukan pernikahan di bawah umur, dan dihukum penjara selama enam bulan,
serta denda 50 ribu rupee”.36
Meskipun pelarangan perkawinan di bawah umur (Child Marriage) itu
telah diberlakukan sejak tahun 1929 di Pakistan, problemnya masih berlangsung
hingga sekarang. Masalah ini terkait dengan sejumlah masalah kemasyarakatan
dan adat yang telah mengakar dalam masyarakat, seperti adat barter perkawinan,
adat kawin paksa atau adat perkawinan yang diatur sepenuhnya oleh orang tua,
adat penyerahan perempuan dan anak-anak sebagai akibat konflik antar suku,dan
lain-lain.
Menurut Dewan Ideologi Islam (CII) salah satu lembaga keagamaan dan
konstitusional yang paling berpengaruh di Pakistan, mengumumkan bahwa
gadis-gadis di Pakistan hanya boleh menikah ketika mereka sudah mencapai
36
“Di Pakistan, Orangtua Dibui Nikahkan Anak di Bawah Umur”, Viva.co.id, 16 April 2016,
diakses dari http://www.viva.co.id/news/read/733289-di-pakistan-orangtua-dibui-nikahkan-anak-dibawah-umur.
34
masa pubertas. Dan perkawinan di bawah umur di Pakistan bisa dihapuskan
apabila mengimplementasikan hukuman dengan baik, seperti yang dilansir dari
the Guardian, menurutnya “…Jika hukum ini diimplementasikan dengan baik,
maka hak-hak anak perempuan di Pakistan untuk tetap bersekolah dan menikah
setelah mereka dewasa akan terpenuhi.Budaya atau adat Pakistan yang
membolehkan pernikahan anak dikenal dengan sebutan vani atau swara, dimana
anak-anak perempuan dinikahkan untuk mengurangi risiko kejahatan dari
anggota keluarga mereka yang laki-laki...”37
Jadi, Perkawinan di bawah umur di Pakistan marak terjadi karena faktor
adat yang cukup tinggi. Walaupun, di Pakistan sudah melakukan pembaharuan
hukum keluarga mengenai perkawinan anak tetapi kenyataannya sampai
sekarang perkawinan di bawah umur masih marak terjadi.
37
2016,
“Dewan Ideologi Islam Pakistan Larang Keras Pernikahan anak”, Republika.co.id, 20 Mei
diakses
dari
www.republika.co.id/berita/dunia-islam/islam-mancanegara/14/06/03/n6k2v6-
dewan-ideologi-islam-pakistan-larang-keras-budaya-pernikahan-anak
35
BAB III
SEJARAH HUKUM KELUARGA ISLAM DI INDONESIA DAN PAKISTAN
A. Pembentukan Hukum Keluarga Islam di Indonesia dan Pakistan
1. Sejarah Hukum Keluarga di Indonesia
Indonesia merupakan Negara kepulauan terbesar di dunia, Negara ini
memiliki letak geografis yang unik sekaligus menjadikannya strategis. Hal ini
dapat dilihat dari letak Indonesia yang berada diantara dua samudera (Samudera
Hindia dan Samudera Pasifik) dan dua benua (benua Asia dan Australia)
Indonesia juga memiliki perairan yang menjadi salah satu urat nadi perdagangan
Internasional. Letak Astronomis wilayah Indonesia yaitu 6 O LU – 11O. 08‟LS
dan 95o BT-141O. 45‟ BT.38 Indonesia terdiri dari 360 suku bangsa, mereka
mendiami pulau dan memiliki adat dan kebudayaannya sendiri. Pada tanggal 01
Juli 2015 jumlah penduduk Indonesia sebanyak 255.461.700 jiwa. 39 Indonesia
adalah Negara dengan jumlah penduduk muslim terbesar di dunia.
a. Hukum Keluarga Indonesia Prakolonial
Sejarah hukum keluarga di Indonesia dimulai pada zaman Prakolonia
yang juga bisa kita sebut Hukum Keluarga Masa Kerajaan. Pada masa ini ada
beberapa hal yang perlu diperhatikan seperti agama dan budaya masyarakat.
38
M. Thayeb, Pengetahuan Sosial Terpadu untuk kelas SD kelas V, (Jakarta: Erlangga, 2004),
39
Arsyad Umar, Pengetahuan Sosial Terpadu untuk SD kelas IV, (Jakarta: Erlangga, 2007),
h.8.
h.10.
35
36
Hukum tidak bisa terlepas dari budaya masayarakat dan agama. Seperti yang
dijelaskan dalam beberapa literature, jauh sebelum datangnya penjajah dari
Eropa, masyarakat Indonesia telah mengenal beberapa macam hukum seperti
hukum adat dan hukum Islam (pasca datangnya Islam). Hukum adat misalnya,
telah dikenal oleh masyarakat jauh sebelum penjajah bahkan Islam datang.
Setelah Islam datang terjadi akulturasi budaya lokal dengan ajaran Islam yang
kemudian terjadi adaptasi serta adopsi ajaran Islam oleh masyarakat adat
setempat, sehingga pada perkembangannya ajaran Islam dan budaya lokal
menyatu dan tumbuh bersama sehingga melahirkan budaya baru (perpaduan
antara tradisi local dan ajaran Islam). Hal ini dapat dibuktikan di beberapa
daerah seperti yang terjadi pada masyarakat Minangkabau dengan ungkapan
yang terkenal “hukum adat bersendikan Syara‟ dan Syara‟ bersendikan
kitabullah (Al-Qur‟an).40
Selain itu, bukti eksistensi hukum adat dan hukum Islam sebelum
datangnya penjajah hingga datangnya penjajah adalah adanya lembaga peradilan
klasik yang terbentuk kala itu, seperti lembaga tahkim, kemudian dalam
perkembangannya Peradilan Swapraja (disebut juga Peradilan Serambi atau juga
Peradilan Mesjid dan sejenisnya) pada masa kerajaan-kerajaan Islam kemudian
menjadi Peradilan Agama hingga sekarang. Hal ini telah menunjukan pengaruh
40
Abdulkadir Muhammad, Hukum Perdata Indonesia, (Bandar Lampung: PT Citra Aditya
Bakti, 2010), h.57.
37
kuat Islam di Indonesia dalam aspek hukum perdata, terutama dalam bidang
hukum perkawinan atau keluarga.41
b. Hukum Keluarga Indonesia Zaman Kolonial
Zaman Kolonial dimulai dari masuknya kompi-kompi pedagang Eropa ke
Indonesia, mulai dari Portugis, Belanda, Inggris, dan ditambah lagi dari Asia
yaitu Jepang.Hasil dari penjajahan kolonialis Belanda telah mengusik
keharmonisan sistem hukum yang dianut oleh penduduk pribumi, berupa hukum
yang hidup ditengah-tengah masyarakat (Living Law) atau berupa Hukum Adat
(customary law), maupun hukum Islam. Kehadiran para kolonialis inilah yang
mengakibatkan terjadinya pluralitas sistem hukum yang dianut oleh masyarakat
pribumi
yang
dikuasai
oleh
pemerintah
kolonialis
Belanda,
hingga
diberlakukanlah sistem Hukum Adat, Hukum Islam, dan sistem Hukum Belanda
atau sering disebut sebagai Hukum Barat berupa hukum sipil (civil law).42
Kemudian, pemerintahan Hindia Belanda dalam menjalankan roda
kekuasaannya mereka memanfaatkan beberapa macam instruksi Gubernur
Jenderal yang ditunjukan kepada para Bupati, khususnya disebelah utara pantai
Jawa, yang intinya adalah agar memberi kesempatan kepada para ulama untuk
41
Ali Sodikin, Fiqh Ushul Fiqh: Sejarah,Metodologi dan Impementasinya di Indonesia,
(Yogyakarta: Beranda, 2012), h.182.
42
A Qodri Azizy,Hukum Nasional “Elektisisme Hukum Islam dan Hukum Umum”,
(Bandung: Teraju, 2004), h.137-139.
38
menyelesaikan perselisihan perdata di kalangan penduduk menurut ajaran Islam.
Bahkan, konon keputusan Raja Belanda (Koninkelijk Besluit) No. 19 tanggal 24
Januari 1882 yang kemudian diumumkan dalam Staatsblad tahun 1882 No.152
tentang pembentukan Pristerraad (Pengadilan Agama), walaupun hal ini
didasarkan atas pengaruh dari teori Van den Berg yang menganut paham
reception in complex, yang berarti bahwa hukum yang berlaku bagi masyarakat
pribumi adalah hukum agama yang dipeluknya. 43Melalui kantor dagang Belanda
(VOC),
dikeluarkanlah
Resolute
de
Indieshe
Regeering
yang
berisi
pemberlakuan hukum waris dan hukum perkawinan Islam pada pengadilan VOC
bagi orang Indonesia. resolusi ini dikenal dengan nama Compendium Freijer,
yang merupakan legislasi Hukum Islam pertama Indonesia.44
Berdasarkan Stbl Nomor 55 tahun 1982, Compendium Freijer yang
sebagian diperbaharui itu kemudian dicabut secara berangsur-angsur pada abad
ke-19. Dengan demikian, berakhirlah riwayat hukum perkawinan Islam yang
tertulis dan dicukupkan dengan menumpang pada pasal 131 ayat [2] sub b IS
[indische Staatsregeling] yang merupakan kelanjutan dari Pasal 75 redaksi lama
Regelings Regrement [RR] tahun 1854, yang hanya mengatur masalah
pendaftaran perkawinan, sedangkan dasar perkawinan adalah hukum adat.
43
Amrullah Ahmad,dkk,Dimensi Hukum Islam dalam Sistem Hukum Nasional, (Jakarta:
Gema Insani Press, 1996), h.55.
44
Idris Ramulyo, Azaz-azaz Hukum Islam: Sejarah Timbul dan Berkembangnya, (Jakarta:
Raja Grafindo Persada, 1993), h.189.
39
Dengan dicabutnya Compendium Frijer tanggal 3 Agustus 1828, secara tekstual
hukum perkaiwnan yang berlaku adalah Hukum Adat, kecuali agama Kristen
berlaku HOCI [Huwelijk Ordonantie Christen Indonesiers Java Minahasa an
Amboina] yakni UU Perkawinan Kristen Jawa, Minahasa dan Ambon.45
Pada waktu pemerintahan Belanda masuk ke Indonesia pada tahun 1596
melalui VOC, kebijakan yang telah dilaksanakan oleh para sultan tetap
dipertahankan pada daerah-daerah kekuasaanya sehingga kedudukan hukum
(keluarga) islam telah ada dimasyarakat sehingga pada saat itu diakui
sepenuhnya oleh penguasa VOC. Bahkan dalam banyak hal VOC memberikan
kemudahan dan fasilitas agar hukum Islam dapat terus berkembang sebagaimana
mestinya. Pada awalnya Belanda melalui VOC masuk ke Indonesia dengan
membawa serta hukum negaranya untuk menyelesaikan masalah diantara
mereka sendiri.
Masa VOC berakhir dengan masuknya Inggris pada tahun 18001811.Setelah Inggris menyerahkan kembali kekuasaannya kepada pemerintahan
Belanda, pemerintah kolonial Belanda kembali berupaya mengubah dan
mengganti hukum di Indonesia dengan hukum Belanda. Namun, melihat
kenyataan yang berkembang pada masyarakat Indonesia, muncul pendapat
dikalangan orang Belanda yang dipelopori oleh L.W.C Van Den Berg bahwa
45
Yayan Sopyan,Islam-Negara, Transformasi Hukum Perkawinan Islam dalam Hukum
Nasional, (Jakarta: UIN Sayarif Hidayatullah, 2011), h. 79-80.
40
hukum yang berlaku bagi orang Indonesia asli adalah undang-undang agama
mereka, yaitu Islam.
c. Hukum Keluarga Pasca Kemerdekaan
Masa awal kemerdekaan, keinginan membuat hukum dan peraturan
perundang-undangan yang berciri khas ke-Indonesiaan tetap ada [UU No.
22/1946]. Undang-undang ini hanya berlaku untuk Jawa dan Madura.Uniknya,
justru UU inilah yang pertama kali dibuat oleh bangsa Indonesia.sayangnya UU
perkawinan ini hanya berlaku untuk wilayah Jawa dan Madura saja. Kemudian
Undang-undang pertama tentang perkawinan yang lahir setelah Indonesia
merdeka ini diperluas wilayah berlakunya untuk Indonesia dengan UU No. 32
Tahun 1954, yakni Undang-undang tentang Pencatatan Nikah, Talak dan Rujuk.
Keberadaan Undang-undang No. 22 Tahun 1946 ini adalah sebagai kelanjutan
dari Stbl. No. 198 Tahun 1895.46
Sebagai pengganti dari Huwelijks Ordonantie Stbl. No. 348 Tahun 1929
jo. Stbl. No.467 Tahun 1931, dan Vorstenlandse Huwelijks Ordonantie Stbl. No.
98 Tahun 1933. Aulawi mencatat seyogianya Undang-undang UU No. 22 Tahun
1946 ini berlaku untuk seluruh Indonesia, tetapi karena keadaan belum
memungkinkan maka diberlakukan untuk Jawa dan Madura. Kemudian
diberlakukan di seluruh Indonesia pada tahun 1954 dengan diundangkannya UU
46
Arso Sosroatmodjo & A. Wasit Aulawi, Hukum Perkawinan di Indonesia, cet.II, (Jakarta:
Bulan Bintang, 1978), h.21.
41
No. 32 Tahun 1954, yang isinya memperlakukan UU No. 22 Tahun 1946 di
seluruh Indonesia.47Kemudian, Departemen Agama melalui menteri agama
mengeluarkan Peraturan Menteri Agama mengenai wali hakim dan tatacara
pemeriksaan perkara fasid nikah, talak, dan rujuk di Pengadilan Agama.
Kemudian pada tahun 1974 terbentuklah Undang-Undang No. 1 Tahun
1974 tentang Perkawinan merupakan Undang-undang pertama yang terbentuk
pada masa Orde Baru. Kehadiran UU No. 1 Tahun 1974 ini disusul dengan
lahirnya beberapa peraturan pelaksana.Pertama, PP No. 9 Tahun 1975 yang
diundangkan tanggal 1 April 1975. Kedua Peraturan Menteri Agama dan Menteri
Dalam Negeri. Ketiga Petunjuk Mahkamah Agung R.I. pada tahun 1983 lahir
pula Peraturan Pemerintah No. 10 yang mengatur tentang Izin Perkawinan dan
Perceraian bagi Pegawai Negeri Sipil (PNS). Peraturan yang ditetapkan tanggal
21 April 1983 ini, berisi 23 Pasal.Kemudian pada tahun 1989 lahir UU No. 7
Tahun 1989 tentang Peradilan Agama.48Kemudian pada tahun 1990 keluar PP
No. 45 yang berisi perubahan PP No. 10 Tahun 1983, yang isinya memuat
beberapa pasal yang ada dalam PP No. 10 Tahun 1983. PP No.45 Tahun 1990 ini
hanya berisi dua Pasal.Kemudian satu tahun sesudahnya pada tahun 1991
47
A. Wasit Aulawi,“Sejarah Perkembangan Hukum Islam di Indonesia”.Dalam Amrullah
Ahmad, ed.,Dimensi Hukum Islam dalam Sistem Hukum Nasional, (Jakarta: Gema Insani Press,
1966), h.57.
48
25-26.
Atho Muzdhar, Hukum Keluarga di Dunia Islam Modern, (Jakarta: Ciputat Press, 2003), h.
42
berhasil disusun Kompilasi Hukum Islam (KHI) mengenai perkawinan,
pewarisan, dan perwakafan.49
2.
Sejarah Pembentukan Hukum Keluarga Islam di Pakistan
Semula Pakistan adalah bagian dari India dan berdirinya Negara Pakistan
merupakan jawaban atas tuntutan orang-orang Islam yang berada di India yang
ketika
itu
berada
di
bawah
penjajahan
Inggris.
Pada
tahun
1974
memproklamirkan diri sebagai Negara Islam. Pakistan terletak antara 20 o LU-37o
LU dan 66o BT – 75O BT. Jumlah penduduk Pakistan pada tanggal 01 Juli 2015
sebanyak 188.925.000 jiwa. Pakistan terletak secara strategis diantara daerahdaerah penting di Asia Selatan, Asia Tengah dan Asia Timur.50 Pakistan
berbatasan dengan Iran di Barat, Afganistan di Barat Laut, di Tenggara dan
Kashmir di Timur Laut. Pakistan merupakan Negara federal dengan system
parlamen yang terdiri dari 4 provinsi dan 4 daerah federal. Jumlah penduduk
Pakistan lebih dari 170 juta orang. Pakistan menjadi salah satu Negara terpadat di
dunia dan memiliki penduduk muslim terbanyak di Indonesia. mayaoritas
49
Khoiruddin Nasution, Hukum Perdata (keluarga) Islam Indonesia Dan Perbandingan
Hukum Perkawinan Di Dunia Muslim: Studi Sejarah, Metode Pembaharuan, Dan Materi & Status
Perempuan Dalam Hukum Perkawinan/Keluarga Islam,(Yogyakarta: Academia & Tazzafa,
2009),h.49.
50
h.133.
Benazir Bhuto, Rekonsilasi, Islam Demokrasi & Barat, (Jakarta: PT. Bhuana Ilmu, 2003),
43
masyarakat Pakistan 97% beragama muslim, dan minoritas dari mereka beragama
non muslim termasuk beragama Kristen, Hindu, dan Persia.51
Kemerdekaan Negara baru Islam bernama Pakistan itu tidak dengan
sendirinya memutus dirinya dari hukum yang berlaku pada zaman penjajahan
Inggris, karena semua hukum yang berlaku di India pada zaman penjajahan
Inggris berlaku di Pakistan dan tetap berlaku pada zaman kemerdekaan sampai
ada hukum baru yang memperbarui atau menggantikannya.
Sejak sebelum merdeka, semasa masih berada di bawah jajahan Inggris,
orang-orang Islam di India itu telah memiliki sebuah UU tentang hukum keluarga
yaitu UU Penerapan Hukum Status Pribadi Muslim (Muslim Personal Law
Application Act) tahun 1937. Kecuali soal-soal yang terkait tanah dan pertanian
yang diatur secara hukum adat, UU tahun 1937 itu mengatur mengenai persoalanpersoalan keluarga dan waris. UU kedua yang mengatur hukum keluarga bagi
orang-orang Islam di India ialah UU Perceraian Orang-orang Islam (Dissolution
of Muslim Marriages Act) tahun 1939 yang juga memberikan kedudukan hukum
lebih baik kepada perempuan dengan memberikan kesempatan kepada mereka
untuk mengajukan gugatan perceraian ke pengadilan dengan alasan-alasan yang
dibenarkan. Kiranya perlu dicatat bahwa dalam mazhab Hanafiah yang dianut
51
Muhammad Atho Mudzhar, “Hukum Keluarga Di Pakistan (Antara Islamisasi Dan
Tekanan Adat)”, artikel diakses pada 27 Maret 2016 dari http://ejournal.iainradenintan.ac.id.
44
oleh kebanyakan orang Islam India, inisiatif perceraian tidak boleh diambil oleh
pihak istri.
Tidak hanya perceraian saja tetapi Negara Pakistan mengatur di dalam
Undang-Undangnya tentang fasakh (bubarnya perkawinan otomatis karena
terjadinya perbedaan agama), meskipun setelah itu ia menyatakan kembali masuk
Islam. itulah sebabnya, didalam UU tahun 1939 Pasal 4 yang berusaha
menutupnya dengan mengatur bahwa “the renunciation of Islam by a married
Muslim woman on her conversion to a faith other than Islam shall not by itself
operate to dissolve her marriage”. (Pernyataan keluar dari Islam oleh seorang
perempuan Muslim bersuami untuk menganut agama lain tidak dengan sendirinya
berakibat putusnya (bubarnya) perkawinannya atau fasakh). Para politisi Hindu
ketika itu menyetujui juga pasal itu dan aturan ini memang menarik, karena di
dalam aturan tentang hukum keluarga Islam itu ternyata terdapat juga tarikmenarik antara kelompok-kelompok Islam dan kelompok Hindu di India ketika
itu.52
Setelah itu pada tahun 1947, Negara Pakistan merdeka dan menegaskan
dirinya sebagai Negara Islam maka untuk islamisasi hukum keluarga pada
dasarnya diatur dengan Muslim Family Law Ordinance (MFLO) tahun 1961,
52
Maratin Lau, “Sharia and National Law in Pakistan”, dalam Jan Michiel Otto, ed.,Sharia
Incorporated: A Comprehensive Overview of the Legal Systems of Twelve Muslim Countries in Past
and Present, (Leiden University Press, 2010),h.386-387.
45
diterbitkan pada zaman pemerintahan Presiden Ziaul Haq, dengan segala
perubahannya. Ketika MFLO diberlakukan pada tahun 1961 berarti Negara
Pakistan telah berumur 14 tahun.Selama periode itu (1947-1961) Pakistan sibuk
mempersiapkan naskah UUD-nya (konstitusi).Pada 1956 barulah Pakistan
memiliki UUD yang pertama, setelah tiga buah rancangan UUD sebelumnya
ditolak pada tahun 1949, 1950, dan 1952. Semangat dari UUD 1956 itu ialah
bahwa semua hukum warisan zaman penjajahan Inggris yang masih berlaku
akandiganti dengan hukum baru yang berdasarkan atau berorientasi kepada
hukum Islam.53
Praktis UUD 1956 itu hanya dipersiapkan dalam dua tahun yaitu tahun
1953 dan 1954. Penyiapan UUD pertama Pakistan itu memakan waktu demikian
lama, karena adanya perdebatan dikalangan elite Pakistan di sekitar persoalan
apakah Pakistan itu akan menjadi Negara Sekuler bagi orang-orang Islam.
sebagian kelompok non-Muslim Pakistan beralasan bahwa Mohammad Ali Jinnah
sendiri, pendiri Pakistan yang meninggal dunia pada 11 September 1948,
berpendapat yang pertama. Dalam UUD 1956 itu pilihan telah diambil, Pakistan
adalah Negara Islam berbentuk republic dan presidennya harus orang beragama
Islam. UUD tahun 1956 itu ternyata tidak berlaku lama, karena pada 7 Oktober
1956 dinyatakan tidak berlaku dan ketika konstitusi 1956 dicabut, Komisi
53M.Atho
Mudzhar, “Hukum Keluarga Di Pakistan (Antara Islamisasi Dan Tekanan Adat)”,
artikel diakses pada 23 Maret 2016 dari http://ejournal.iainradenintan.ac.id.
46
Nasional Negara itu merekomendasikan beragam masalah keluarga bagi
penyempurna UU Hukum Keluarga yang ada. Atas dasar rekomendasi yang
dibuat komisi itu, suatu ordinansi yang dikenal sebagai Ordinansi Hukum
Keluarga Islam disahkan pada 1961 yang dikenal dengan Muslim Family Law
Ordinance (MFLO).54
B. Pembaharuan Hukum Keluarga Islam di Indonesia dan Pakistan
1. Pembaharuan Hukum Keluarga Islam di Indonesia
Hukum keluarga Islam menurut Prof. Daud Ali,”…hukum keluarga Islam
menarik dikaji karena di dalam hukum keluarga itulah terdapat jiwa wahyu ilahi
dan Sunnah Rasulullah SAW. Sedang dalam lapangan hukum Islam lain, jiwa itu
telah hilang akibat berbagai sebab yang diantaranya adalah karena penjajahan
Negara-negara barat di Negara-negara muslim…”.55
Mengingat begitu sentral dan mendasarnya hukum keluarga Islam di
kalangan umat muslim, maka dari itu, setiap upaya untuk memodifikasi, merubah
apalagi mengganti hukum keluarga Islam bisa dipastikan akan menimbulkan
gejolak, protes dan keberatan dari umat Islam. kasus pengesahan RUU
Perkawinan tahun 1974 kiranya menjadi bukti terang dari pernyataan ini,
sehingga pembaruan yang diusung oleh sebagian kalangan, hanya sebagian (kecil)
54
M.Atho Mudzhar, ESAI-ESAI Sejarah Sosial Hukum Islam, (Yogyakarta: PUSTAKA
PELAJAR, 2014), h.29-30.
55
h.359.
Jazuni, Legislasi Hukum Islam di Indonesia, cet-1, (Bandung: Citra Aditya Bakti, 2005),
47
saja yang relative berhasil, itupun di lapangan tidak sepenuhnya ditaati dan
dilaksanakan.
Pembaharuan hukum keluarga di Indonesia bukan tanpa upaya awal dari
beberapa ahli hukum, baik ahli hukum Islam maupun adat, yang telah
memperkenalkan beberapa ide mereka.Adapun yang menjadi factor penyebab
terjadinya pembaharuan hukum ialah untuk mengisi kekosongan hukum karena
norma-norma yang ada dalam kitab fiqih tidak mengaturnya, sedangkan
kebutuhan masyarakat terhadap hukum, terhadap masalah yang baru terjadi itu
sangat mendesak untuk diterapkan.
Pembaharuan hukum keluarga islam disebabkan karena adanya perubahan
kondisi, situasi, tempat dan waktu sebagai akibat dari factor-faktor di atas. Dan
adapun beberapa orang pembaharuan keluarga Islam di Indonesia yang banyak
memberi kontribusi dalam perkembangan hukum keluarga Islam, diantaranya:
Hasbi ash-Shiddieqy, Hasan Bangil, Harun Nasution, Hazairin, Ibrahim Husen,
Munawir Syadzali, Busthanul Arifin dan pembaru lainnya. Ide-ide mereka
kemudian mengantarkan pemerintah melakukan upaya pembaharuan lewat apa
yang menjadi trendsejak abad ke-19 di berbagai Negara Muslim di dunia, yaitu
kodifikasi hukum.56Keinginan pemerintah untuk melakukan pembaruan terhadap
hukum keluarga dibidang perkawinan selalu menemui kegagalan, berhubung
56
Asep Saepudin, dkk, HUKUM KELUARGA PIDANA & BISNIS Kajian Perundang-
undangan Indonesia, Fikih dan Hukum Internasional, (Jakarta: KENCANA, 2013), h.12.
48
subjek dan objek yang diatur hukum perkawinan berkaitan erat dengan kehidupan
social keagamaan, yang tidak mudah untuk disatupadukan.Ini berarti pembaruan
hukum perkawinan harus dilakukan dengan penuh hati-hati jangan sampai
menimbulkan kekecewaan golongan penduduk lainnya.
Adanya pembaruan hukum perkawinan sebagaimana tertuang dalam UUP
di Indonesia, jika dibandingkan dengan ketentuan dalam fikih madzhab Syafi‟i
terdapat empat hubungan yakni:57
1. Ketentuan UUP sepenuhnya selaras dengan ketentuan dalam fikih munakahat,
seperti dalam hal larangan pernikahan dan masa iddah.
2. Ketentuan UUP tidak terdapat dalam fikih madzhab manapun, namun karena
bersifat administrasi dan tidak menyangkut hal yang substansial dapat
diterima seperti dalam hal pencatatan pernikahan.
3. Ketentuan UUP tidak terdapat dalam aliran hukum manapun dalam Islam,
namun karena pertimbang kemaslahatan dapat diterima, misalnya dalam hal
pembatasan usia nikah.
4. Ketentuan UUP secara lahirlah dan sepintas tidak sesuai dengan ketentuan
fikih, namun demi kemaslahatan dan penggunaan reinterpretasi dan diterima
seperti dalam hal perceraian di muka pengadilan dengan alasan-alasan
tertentu, serta pengetatan poligami.
57
Amir Syarifuddin, Hukum Perkawinan Islam di Indonesia, Antara Fiqih Munakahat dan
Undang-Undang Perkawinan, Cet-1, (Jakarta: Prenada, 2006), h.29.
49
Pembaharuan terhadap hukum keluarga Islam dibarengi dengan upaya
pemerintah dalam Negara-negara tertentu untuk mengatur dan menertibkan
aturan-aturan terkait dengan masalah keluarga. Upaya kodifikasi hukum ini
dilakukan dengan beberapat tujuan dari pembaharuan yaitu:
1. Untuk membuat unifikasi hukum, sehingga kepastian hukum bisa
tercapai;
2. Untuk memecahkan permasalahan kontemporer yang disebabkan oleh
perubahan kondisi zaman/memenuhi tuntutan zaman, dan;
3. Untuk memenuhi, secara spesifik, tuntutan kaum wanita terkait dengan
status hukum merdeka yang mengangkat derajat dan martabat wanita.58
Adanya usaha-usaha untuk memperbarui atau modernisasi hukum
keluarga islam khususnya hukum perkawinan Islam tidak selamanya mendapat
dukungan luas dari masyarakat muslim itu sendiri. Kasus sebelum disahkannya
UU perkawinan memberikan bukti, betapa tarik-menarik kepentingan dan
ideologi amat kental terjadi. Pertarungan ideologi kelompok sekuler dengan
muslim tak terelakan sehingga kemudian terjadi kompromi-kompromi politik.59
Secara umum respon ulama maupun cendekiawan muslim terhadap usaha
pembaruan hukum Islam termasuk di dalamnya bidang perkawinan terbagi
58
Muhammad Ayub, Understanding Islamic Finance, (England: John Wiley and Sons, Ltd,
2007), h.11.
59
50
menjadi dua kelompok besar yakni kelompok menolak dan menerima. Kelompok
yang menerima pembaruan dapat dibagi menjadi kelompok yang menerima secara
penuh dan kelompok yang menerima secara terbatas serta belakangan muncul
kelompok yang menginginkan pembaruan yang lebih radikal lagi.
Tak hanya Indonesia yang melakukan pembaharuan hukum keluar
melainkan Negara Pakistan yang juga melakukan pembaharuan pada hukum
keluarga. Tujuan usaha pembaharuan hukum keluarga berbeda antara satu dengan
Negara lain, yang secara umum dapat dikelompokkan menjadi tiga kelompok.
Pertama, Negara yang bertujuan untuk unifikasi hukum keluarga. Alasan
pembaharuan untuk unifikasi ini adalah karena adanya sejumlah mazhab yang
diikuti di Negara tersebut. Yang boleh jadi terdiri dari mazhab masih dikalangan
sunni, namun boleh juga antara Sunni dan Shi‟i. Seperti untuk kasus di Tunisia.
Unifikasi hukum keluarga ditunjukan bukan hanya untuk kaum muslimin, tetapi
juga untuk semua warga Negara tanpa memandang perbedaan agama.60 Kedua,
usaha pembaharuan Hukum Islam adalah untuk pengangkatan status wanita.
Ketiga, untuk merespon perkembangan dan tuntutan zaman karena konsep fiqih
tradisional dianggap kurang mampu menjawabnya.
2. Pembaharuan Hukum Keluarga Islam di Pakistan
60
Dawoed El Alami dan Doreen Hincheliffe,Islamic Marriage and Divorce Law of The Arab
World,(London:the Hague,Boston Kluwer Law International,1996), h.4
51
Pembaharuan hukum keluarga pada tingkat bagian, parlemen Punjab
adalah
Negara
bagian
yang
pertama
menyusun
rancangan
peraturan
pembaharuan tentang perkawinan. Secara nasional, langkah pertama kearah
pembaruan hukum keluarga itu dilakukan dengan pembentukan suatu komisi
yang disebut Komisi Hukum Perkawinan dan Keluarga (Marriage and Family
Law Commission) pada 1955 yang diketuai oleh seorang hakim bernama Badur
Rashid dengan keanggotaan tujuh orang, termasuk tiga orang tokoh perempuan
dan seorang filsuf, Khalifa Abdul Hakim.
Pada Juni 1956 komisi telah menyelesaikan pekerjaannya dan
menyampaikan laporan untuk dijadikan bahan penyusunan UU Hukum Keluarga.
Seorang anggota komisi dari kelompok ulama konservatif, Maulana Ihteshamul
Haq, membuat pernyataan dissenting opinion karena isi laporan komisi itu
dianggap bertentangan dengan ajaran agama Islam atau sekurang-kurangnya
Negara telah melakukan intervensi yang tidak perlu terhadap hukum Islam.
memang sedikit aneh, karena terhadap Mesir yang melakukan pembaharuan
hukum keluarga pada 1929, ulama konsevatif Pakistan Maulana Maududi
mendukungnya, tetapi ketika pembaruan serupa hendak diberlakukan di Pakistan,
ia menentangnya. Ketika MFLO diberlakukan pada 1961 ternyata tidak semua
rekomendasi komisi tersebut ditampung di dalamnya, sehingga membuat orang
berkesimpulan bahwa MFLO 1961 adalah hasil kompromi antara kelompok-
52
kelompok Muslim modernis dan konservatif di Pakistan. 61Dalam MFLO 1961
dan berbagai peraturan perundangan terkait, termasuk beberapa amandemennya
(pembaharuan), terdapat sejumlah hal penting yang diatur tentang hukum
keluarga di Pakistan, yaitu:
1. Batasan usia minimum perkawinan;
2. Kewajiban pencatatan perkawinan;
3. Kewajiban memperoleh izin Dewan Arbitrasi bagi pria untuk melakukan
poligami;
4. Kewajiban melaporkan peristiwa talak kepada pejabat berwenang agar ia
dapat segera membentuk Dewan Arbitrasi selaku Dewan Hakam;
5. Ancaman sanski atas pelanggaran batas maksimal nilai maskawin dan
biaya perkawinan serta pelanggaran lainnya;
6. Kehadiran ahli waris pengganti;
7. Penyelesaian sengketa keluarga melalui pengadilan keluarga (family
court); dan
8. Pemberlakuan kembali hukum Islam tentang hak pemilikan harta terkait
orang murtad.
Contohnya pembaharuan hukum keluarga yaitu: mengenai batas usia
minimum kawin yang diatur dalam UU No. 29 Tahun 1929 tentang larangan
61
Rubya Mehdi, The Islamization of the Law in Pakistan, (Nordic Institute of Asian Studies,
Curzon Press, UK, 1994), h. 157-158.
53
pernikahan anak (Child Marriage Restraint Act) sebagaimana diamandemen oleh
Ordonansi No. 8 Tahun 1961 (MFLO). Dalam UU itu didefinisikan bahwa anak
(child) adalah seorang yang berumur di bawah 18 tahun bagi laki-laki dan di
bawah 16 tahun bagi perempuan. Adapun perkawinan anak (perkawinan di
bawah umur) ialah perkawinan yang salah satu dari pengantin laki-laki atau
perempuan berusia anak-anak sebagaimana didefinisikan tersebut. Kemudian
“minor” didefinisikan sebagai seorang, baik laki-laki maupun perempuan, yang
berusia di bawah 18 tahun. Tampaknya UU ini membedakan antara “child” dan
“minor”.62
Selanjutnya MFLO mengatur bahwa seorang laki-laki berumur kurang
dari 18 tahun yang melakukan akad nikah dengan seorang perempuan di bawah
16 tahun, diancam dengan hukuman penjara paling lama satu bulan atau denda
setinggi-tingginya seribu Rupee atau kedua-duanya, kecuali ia mempunyai buktibukti yang meyakinkan dirinya bahwa apa yang dilakukannya bukanlah
perkawinan di bawah umur (child marriage). Kemudian jika seseorang dalam
kategori “minor” (berumur kurang dari 18 tahun) melakukan akad nikah dengan
seorang di bawah umur, maka orang tua anak itu atau walinya, yang mendorong
terjadinya perkawinan itu, atau karena kelalaian mereka, diancam dengan hukum
penjara paling lama satu bulan, atau denda paling banyak seribu Rupee atau
62
Tahir Mahmood, Personal Law in Islamic Countries: History, Text and Comparative
Analisis,(Academy of Law and Religion, New Delhi,1987), h.243.
54
kedua-duanya, dengan pengecualian bahwa wanita tidak dihukum penjara. Jika
perkawinan
anak
itu
dilangsungkan
juga,
padahal
Pengadilan
telah
memperingatkan para wali untuk tidak melangsungkan perkawinan itu, baik
inisiatif pengadilan sendiri ataupun atas pengaduan pihak-pihak tertentu, maka
para orang tua atau wali itu diancam dengan hukuman penjara paling lama tiga
bulan atau denda 1.000 Rupee atau dua-duanya.63
C. Peraturan yang Mengatur Hukum Keluarga di Pakistan dan Indonesia
1. Undang-Undang yang Mengatur Hukum Keluarga di Indonesia
Adapun yang sudah menjadi peraturan perundang-undangan negara yang
mengatur perkawinan yang ditetapkan setelah Indonesia merdeka adalah:
1.
Undang-Undang No. 32 Tahun 1954 tentang Penetapan berlakunya UndangUndang Republik Indonesia Tanggal 21 November 1956, No. 22 Tahun
1946 tentang Pencatatan Nikah, Talak, dan Rujuk di seluruh daerah Luar
Jawa dan Madura. Sebagaimana bunyinya UU ini hanya mengatur tata cara
pencatatan nikah, talak dan rujuk, tidak materi perkawinan secara
keseluruhan. Oleh karena itu, tidak dibicarakan dalam bahasan ini.
2.
Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, yang merupakan
hukum materil dari perkawinan, dengan sedikit menyinggung acaranya.
63
Tahir Mahmood, Personal Law in Islamic Countries: History, Text and Comparative
Analisis, h.243-244.
55
3. Peraturan Pemerintah No. 9 Tahun 1975 tentang Pelaksanaan UndangUndang No. 1 Tahun 1974, tentang Perkawinan. PP ini hanya memuat
pelaksanaan dari beberapa ketentuan yang terdapat dalam UU No. 1 Tahun
1974.
4. Undang-Undang No. 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama. Sebagian dari
materi undang-undang ini memuat aturan yang berkenaan dengan tata cara
(hukum formil) penyelesaian sengketa perkawinan di Pengadilan Agama.
5. Kompilasi Hukum Islam (KHI). 64Proses penyusunan KHI dari awal sampai
akhir dengan segala tahapan dan sumber rujukannya tidak lepas dari kitabkitab fiqih dari berbagai mazhab, meskipun yang terbanyak adalah mazhab
Syafi‟i dan tak luput juga penyusunannya melibatkan hukum adat.
2. Undang-Undang yang Mengatur Hukum Keluarga di Pakistan
Pakistan sejarah hukumnya hingga 14 Agustus 1947 berbagi dengan
India.Pada saat pembentukan Negara ini pada tanggal tersebut, Ia mewarisi dari
Negara induknya. India, Undang-Undang Hukum Keluarga, seperti berikut ini:
1. Cast Disabilities Removal Act 1850;
2. Divorce Act 1869;
3. Christian Marriage 1872;
4. Majority Act 1875;
64
Rachmadi Usman, Aspek-Aspek Hukum Perorangan & Kekeluargaan di Indonesia,
(Jakarta: Sinar Grafika, 2006),h. 234.
56
5. Guardians and Wards Act 1890;
6. Child Marriage Restraint Act 1929;
7. Dissolution of Muslim Marriage Act 1939;
8. (West Pakistan) Muslim Personal Law (Shariat) Application Act 1962;
9. (West Pakistan) Family Court Act 1964;
10. Offence of Zina (Enforcement of Hudood) Order 1979;
11. Law of Evidence (Qanun-e-Shahadat) Order 1984;
12. Enforcement of Sharia Act 1991;
13. Dowry and Bridal Gifts (Restriction) Act 1976;
14. Prohibition (Enforcement of Hudood) Order 1979;
15. Offence of Oazf (Enforcement of Hudood) Order 1979;
16. Execution of Punishment of Wiping Ordinance 1979.65
Kemudian pada tahun 1961 Pakistan melakukan pembaharuan atas
Undang-Undang yang mengatur tentang Hukum Keluarga kedalam Muslim
Family Laws Ordinance (MFLO).
65
“Muslim Family Law Pakistna”, artikel diakses pada 23 Mei 2016 dari http://www.
Ashraflawfirm.com/family.html.
57
BAB IV
ANALISIS PERBANDINGAN UNDANG-UNDANG HUKUM KELUARGA DI
INDONESIA DAN PAKISTAN
A. Sejauh Mana Pengaruh Fuqoha Mahzab yang Membedakan Hukum
Keluarga di Indonesia dan Pakistan.
Pengaruh aliran mahzab terlihat dari perbedaan mahzab yang dianut antara
Negara Indonesia dan Negara Pakistan. Indonesia merupakan Negara muslim
yang sebagian terbesar penduduk Muslim itu penganut ahli Sunnah wal Jamaah
dengan Mazhab Syafi‟i. Sedangkan Negara Pakistan merupakan Negara Muslim
terbesar kedua di dunia setelah Indonesia. Sebanyak 97% penduduknya beragama
Islam, selebihnya beragama Kristen, Hindu dan Parsian. Sebagian terbesar
penduduk Muslim itu penganut ahli Sunnah wal Jamaah dengan Mazhab Hanafi,
hanya sekitar 10-15 persen penganut Syiah.66
Adanya perbedaan pendapat antara ulama (khilafiyah) dan tidak ada
consensus di dalamnya menunjukkan bahwa itu adalah persoalan yang bersifat
ijtihadi. Artinya, tidak ada ketegasan tekstual yang bersifat pasti. Karenanya
keputusan diserahkan pada para ulama untuk memutuskan melalui penggalian dan
penalaran rasionalitasnya berdasarkan kaedah dan metode yang mereka
66Muhammad
Atho Mudzhar, “Hukum Keluarga Di Pakistan (Antara Islamisasi Dan Tekanan
Adat)”, artikel diakses pada 27 Maret 2016 dari http://ejournal.iainradenintan.ac.id.
57
58
pilih.Karenanya perbedaan latarbelakang teriorial, sosio-kultur, sosio-ekonomi
dan sosio-politik dapat mempengaruhi keputusan ulama dalam berijtihad.
Konteks dimana ulama berbeda dan mengembangkan pemikirannya serta
konteks social politiknya niscaya berpengaruh kepada pendapatnya. Golongan
Jumhur dalam menetapkan hukum terbagi menjadi dua golongan:67
1) Ahl al-Hadits
Golongan ini berkembang di Hajz.Dalam menetapkan hukum, mazhab
ini pertama-tama sangat terikat kepada teks-teks al-Qur‟an dan Sunnah. Bila
dalam menetapkan hukum suatu masalah tidak ditemukan hukumnya dalam
nash al-Qur‟an dan al-Sunnah, mereka berpaling kepada praktek dan
pendapat para sahabat. Mereka menggunakan rayu hanya dalam keadaan
terpaksa.Tokoh-tokoh aliran ini yang termasyhur adalah Sa‟id Ibn alMusaiyyab al-Mahzumy.Ia diikuti oleh al-Zuhry, al-Tsaury, Malik, Syafi‟I,
Ahmad Ibn Hanbal dan Dawud Al-Zhahiry.
2) Ahl al-Ra‟yi
Golongan ini berkembang di kufah (Irak). Dalam menetapkan hukum,
mazhab ini banyak terpengaruh dengan cara berpikir ulama-ulama Irak.
Dalam menetapkan hukum, mazhab ahli ra‟yi ini berlandaskan pada beberapa
asumsi dasar, antara lain: nash-nash syari‟ah sifatnya terbatas, sedangkan
67
Huzaemah Tahido Yanggo, Pengantar Perbandingan Mazhab, (Ciputat: Logos Wacana
Ilmu, 2003), Cet-III, h.32.
59
peristiwa-peristiwa hukum selalu baru dan senantiasa berkembang. Dan setiap
hukum syara‟ dikaitkan dengan „illat tertentu dan ditunjukan untuk tujuan
tertentu.
Di Indonesia mazhab yang dianut ialah mazhab Imam as-Syafi‟I, seorang
ulama asli bangsa/suku Arab.Bahkan nasabnya diklaim nyambung sampai ke
Nabi Muhammad SAW. Sejak kecil hingga dewasa hidup dalam kultur Arab.
Masa pengembaraan pencarian ilmunya juga di semenanjung Arab.Latar
belakang cultural dan sosialnya yang mengkonstruksi intelektualitas ke faqih-an
al-Syafi‟I adalah Arab.Setelah pindah ke Irak, pendapat-pendapatnya didengar
dan diikuti pengikut setia.Di Irak lahir pendapat-pendapatnya yang disebut
sebagai qaul qadim (pendapat lama). Dari Irak ia pindah ke Mesir. Di Mesir,
setelah melihat kultur dan budaya Mesir yang berbeda dengan Arab dan Irak,
serta budaya agraris yang berbeda dengan budaya gurun pasir, ia kemudian
merevisi pandangan-padangannya terdahulu.68Pemerintah kerajaan Islam di
Indonesia, selama zaman Islam mengesahkan dan menetapkan mazhab Syafi‟I
menjadi haluan hukum di Indonesia.Beliau membina mazhabnya antara Ahli alRa‟yi dan Ahli al-Hadits (moderat), meskipun pegangan Imam Syafi‟I dalam
menetapkan hukum adalah al-Qur‟an, Sunnah, Ijma dan Qiyas.Mazhab Syafi‟I
berkembang tidak hanya di Indonesia saja, tetapi di Mesir, Siria, Saudi Arabia,
India Selatan, Muangtai, Malaysia dan Pilipina.
68
Huzaemah Tahido Yanggo, Pengantar Perbandingan Mazhab, Cet-III, h.123-125.
60
Sebaliknya, di Pakistan menganut mazhab Hanifah.Ulama yang berasal
dari Persia.Sebagian besar hidupnya dihabiskan untuk bergaul dan berinteraksi di
tengah-tengah masyarakat kosmopolitan. Tak mengherankan karena ia juga
seorang saudagar. Sehari-harinya ia bergaul dengan orang pasar, yang
meniscayakan bertemu dengan banyak orang dari berbagai latar belakang. Selain
itu, di Persia filsafat tumbuh subur.Abu Hanifah dikenal sebagai ulama Ahl alRa‟yi.Dalam menetapkan hukum Islam, baik yang diistinbathkan dari al-Qur‟an
ataupun hadits, beliau banyak menggunakan nalar.Beliau mengutamakan ra‟yi
dari khabar ahad.Apabila terdapat hadits yang bertentangan, beliau menetapkan
hukum dengan jalan qiyas dan istihsan.Menurut Shubhy Mahmasany,
pengetahuan Abu Hanifah yang mendalam di bidang ilmu hukum (fiqh) dan
profesinya sebagai saudagar, memberi peluang baginya untuk memperlihatkan
hubungan-hubungan hukum secara praktis. Karena mazhab Hanafi ini
berdasarkan pada al-Qur‟an, Hadits, Ijma, Qiyas dan Istihsan, maka bidangbidang ijtihad menjadi luas, sehingga suatu ketentuan hukum-hukum dapat
ditetapkan sesuai dengan keadaan masyarakat tanpa keluar dari prinsip-prinsip
dan aturan pokok Islam.69Mazhab ini tidak hanya berkembang di Pakistan
saja.Tetapi di Turki, Afghanistan, Asia Tenggara, India, Irak, Brazil, Amerika
Latin dan Mesir.
69
Huzaemah Tahido Yanggo, Pengantar Perbandingan Mazhab, Cet-III, h.97-101.
61
Contoh perbedaan pendapat dikalangan arilan dualisme mazhab tersebut
terjadi dalam hukum keluarga di Indonesia dan Pakistan. Dimana perbedaan
tersebut
terlihat didalam “batasan usia menikah” yang berlaku di Negara
tersebut. Seperti pada batasan usia menikah, di Indonesia batasan usia menikah
diatur kedalam Undang-Undang No.1 Tahun 1974 pada Pasal 7 ayat (1) tentang
Perkawinan telah menetapkan batas usia nikah adalah perkawinan hanya
diizinkan jika pihak pria sudah mencapai umur 19 (Sembilan belas) tahun dan
pihak wanita sudah mencapai umur 16 (enam belas) tahun.Sedangkan di
Pakistan Undang-Undang tentang Child Marriage Restraint Act (UndangUndang Larangan Perkawinan Anak di Bawah Umur) tahun 1929. Namun, tahun
1961 Undang-Undang ini di amandemen kedalam Muslim Family Law
Ordinance (MFLO) No.8 tahun 1961 diatur kedalam batas minimum usia
menikah pada Pasal 2 yang berbunyi: “Batasan umur pria yang dibolehkan
dalam melaksanakan perkawinan berumur 18(delapan belas) tahun sedangkan
perempuan adalah 16 (enam belas) tahun”.70
Perbedaan batasan usia tersebut di dalam hukum keluarga Indonesia dan
Pakistan tidak luput dari pandangan imam mazhab yang dianut oleh masingmasing Negara. Karena hukum keluarga mengikuti hukum syariah yang harus
dipatuhi oleh seluruh rakyat terkhusus umat Islam.Hukum dan Undang-Undang
Negara yang telah ditetapkan mengandung kemaslahatan bagi rakyat.Mengenai
70
Muhammad Atho Mudzhar, “Hukum Keluarga Di Pakistan (Antara Islamisasi Dan Tekanan
Adat)”, artikel diakses pada 27 Maret 2016 dari http://ejournal.iainradenintan.ac.id.
62
batasan usia dewasa, ulama pada umumnya terbelah ke dalam dua pendapat yang
berbeda. Pertama, Imammiyah, Maliki, Syafi‟I, dan Hanbali mengatakan:
Tumbuhnya bulu-bulu ketiak merupakan bukti balighnya seseorang. Adapun
kedua, Hanafi menolaknya sebab bulu ketiak itu tidak ada berbeda dengan bulubulu lain yang ada pada tubuh. Syafi‟I dan Hanbali menyatakan bahwa usia
baligh untuk anak laki-laki dan perempuan adalah 15 tahun, sedangkan Maliki
menetapkan 17 tahun. Sementara itu, Hanafi menetapkan usia baligh bagi anak
laki-laki adalah 18 tahun, sedangkan anak perempuan 17 tahun. (Ibn
Qudamah, Al-mughni, Jilid IV).71
Hal inilah penyebab perbedaan perkembangan pemikiran hukum di Kufah
(Irak) dengan di Madinah (Hijaz).Ulama di Madinah banyak memakai Sunnah
dalam menyelesaikan problema-problema yang muncul dimasyarakat. Sedangkan
di Kufah, Sunnah hanya sedikit yang diketahui disamping banyak terjadi
pemalsuan hadits, sehingga Abu Hanifah menyelesaikan masalah yang actual
banyak menggunakan ra‟yi.
Dampak perbedaan pendapat tersebut bagi dunia muslim bisa kita lihat
dalam memaknai batasan umur itu. Kita bisa lihat dalam sejarah pendapat Abu
Hanifah yang menetapkan usia baligh lelaki 18 tahun dan bagi perempuan 17
tahun pernah diterapkan pada zaman Turki Ottoman. Bahkan madzhab Abu
71
hlm. 57.
Dedi Supriyadi, Fiqih Munakahat Perbandingan, (Bandung: Pustaka Setia.2011), cet ke-I,
63
Hanifah adalah madzhab resmi Turki Ottoman. Pada Abad ke-14 M, Turki
Ottoman menerapkan undang-undang pembatasan usia perkawinan dengan
standar tersebut, yaitu usia 18 tahun ke atas bagi laki-laki dan 17 tahun ke atas
bagi perempuan. Demikian halnya ketika menentukan batas aurat perempuan, di
mana pendapat Abu Hanifah lebih moderat dan cocok bagi kaum pekerja yang
membutuhkan mobilitas cepat. Sementara di Indonesia sendiri mayoritas muslim
menganut madzhab Syafi‟i. Sebagai mana di sebutkan bahwa usia baligh menurut
Syafi‟i adalah 15 tahun. Sehingga dalam undang-undang perkawinan No. 1, tahun
1974 diterapkan batas usia kawin adalah 16 tahun. Ini jelas merupakan pengaruh
dari pandangan al-Syafi‟i yang menyatakan bahwa baligh adalah setelah usia 15
tahun.72
Dalam satu kaidah fikih dikatakan, “ketetapan pemerintah menghapus
perbedaan pendapat”. Kalau kaidah ini dikontekskan dalam persoalan kawin
anak, maka pro-kontra batasan usia dan berbagai perbedaan pendapat di kalangan
ulama terhapuskan dengan sendirinya oleh ketetapan hukum dan undang-undang
pemerintah. Dinasti Turki Ottoman saja menggunakan undang-undang usia
nikah di usia 18 tahun ke atas bagi laki-laki dan di 17 tahun ke atas bagi
perempuan, itu mengadopsi pendapat Imam Abu Hanifah. Kalau dilihat dari latar
kultur dan sosiologis yang berbeda di antara keduanya, yaitu Imam Al72
Lies Marcoes Natsir, “Dewasa Itu Aqil Baligh, Bukan Hanya Baligh: Opini 2 Edisi 49”,
Artikel diakses pada: 22 Mei 2016, dari http://www.rahima.or.id/dewasa-itu-aqil-baligh-bukan-hanyabaligh-opini-2-edisi-49-&catid=33.
64
Syafii tumbuh kembang dalam kultur Arab dan Imam Abu Hanifah dalam kultur
Persia, maka bisa dimengerti jika keduanya memiliki pandangan yang berbeda
dalam memahami definisi dan makna baligh itu. Bias kultural itu bisa terlihat
dalam pendapat-pendapatnya.
Dari catatan sejarah, secara umum dapat disimpulkan beberapa factor
yang menyebabkan timbulnya dua aliran tersebut, yaitu:
(1) Hadits-hadits Nabi SAW. Dan fatwa-fatwa para sahabat di Irak tidak
sebanyak di Hijaz. Karena itu, fuqaha‟Irak harus memeras otak dan berusaha
keras untuk memahami pengertian nash dan „illat dalam rangka penetapan
dari syara‟.
(2) Irak merupakan pusat pergolokan politik dan pusat pertahanan golongan
Syi‟ah dan Khawarij yang salah satu akibat negatifnya ialah adanya
pemalsuan terhadits-hadits Rasulullah.
(3) Karena factor lingkungan hidup yang berbeda. Irak pernah lama dikuasai
Persia, sehingga mempengaruhi hubungan keperdataan dan adat kebiasaan
orang Irak, yang sama sekali tidak dikenal di Hijaz. Sementara di Hijaz sejak
masa Rasulullah, Sahabat, Tabi‟in dan Tabi‟tabi‟in (para Imam Mujtahidin)
hamper tidak ada perubahan yang berarti, sehingga setiap kejadian hampir
65
ditemukan hukumnya dalam sunnah Rasulullah atau fatwa Sahabat dan
Tabi‟in.73
Jadi, hukum keluarga di Indonesia dan Pakistan mengalami perbedaan.
Dikarenakan perbedaan mazhab diantara dua Negara tersebut. Jelas saja sangat
berpengaruh dikarekan Perbedaan metode yang digunakan dalam mengistinbath
hukum, membawa perbedaan pendapat dikalangan para Imam Mazhab. Tidak
hanya dalam batasan usia saja tetapi masih banyak Undang-undang yang berbeda
antara Indonesia dan Pakistan didalam hukum keluarga.
B. Pandangan Hukum Islam Terhadap Aturan Kriminalisasi Perkawinan di
Bawah Umur di Indonesia dan Pakistan
Kriminalisasi merupakan suatu kebijakan dalam menetapkan suatu
perbuatan yang semula bukan tindak pidana menjadi suatu tindak pidana. 74Dalam
hukum Islam memang tidak ada pembahasan secara mandiri tentang kriminalisasi
namun substansi dari kriminalisasi dalam hukum pidana Islam sudah ada, dengan
adanya salah satu konsep penting dan fundamental dari hukum Islam yaitu konsep
dari maqasid al-syari‟ah yang menegaskan bahwa hukum Islam disyari‟atkan
untuk mewujudkan dan memelihara maslahat umat manusia. Maslahah mursalah
73
74
h.600.
Huzaemah Tahido Yanggo, Pengantar Perbandingan Mazhab, Cet-III, h.35.
Tim Depdikbud, Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta: Balai Pustaka, 2011), cet., III,
66
adalah metode penetapan hukum berdasarkan kemaslahatan universal sebagai
tujuan syara‟ tanpa berdasar secara langsung pada teks atau makna nas tertentu.75
Pada dasarnya perkawinan di bawah umur dalam hukum Islam tidak ada
ketentuan yang melarang perkawinan yang pelakunya masih di bawah umur.
Bahkan ada hadist yang dijadikan dalil yang membolehkan perkawinan di bawah
umur yang dituturkan oleh Aisyah yang diriwayatkan oleh Bukhori Muslim.76
ِ
ِ ِ ِّ ‫ اَ ىن النِىِب صلىى الل علَي ِو ورلىم أَزىوجها وِىي بِنْت ِر‬: ‫عن عائِ َشةَ ر ِضى الل عنْ ها‬
‫ت َعلَْي ِو َوِى َي‬
ْ َ‫ْي َو ْادخل‬
َْ ‫ت رن‬
ُ َ َ ََ َ َ َ َ ْ َ ُ َ ‫ى‬
َ َ ُ َ َ َ َْ
ِ
ِ
ِ ِ ِ ‫بِْن‬
)‫ت عْن َدهُ أ ْس ًعا (رواه خبارى و مسلم‬
ْ ‫ْي َوَم َك َس‬
َْ ‫ت أ ْس ِع رن‬
ُ
Artinya: “Dari Aisyah ra, bahwa Rasulullah menikahinya sedang ia masih
berumur enam tahun dan ia diserahkan kepada Rasul ketika umurnya sembilan
tahun dan ia tinggal bersama Rasul selama sembilan tahun.(HR. Bukhori
Muslim).”
Para fuqoha sepakat bahwa seorang ayah boleh memaksa kawin terhadap
anak perempuannya yang masih gadis dan belum dewasa, tanpa dimintai
pendapatnya. Seperti Abu Bakar ra telah mengawinkan „Aisyah dengan
Rasulullah SAW sewaktu masih anak-anak tanpa persetujuannya terlebih dahulu.
Sebab pada umur demikian persetujuannya tidak dapat dianggap sempurna.
Namun, mengenai perkawinan „Aisyah ra. dengan Nabi Muhammad SAW,
sebagian ulama berpendapat bahwa hal itu merupakan perkecualian atau
75
Hamka Haq, Al-Syatibi Aspek Teologi Konsep Maslahah dalam Kitab al-Muwafaqat,
(Jakarta: Erlangga, 2007), h.80.
76
Bukhari, Shahih al-Bukhari, hadits no. 3681; Muslim, Shahih Muslim, hadits no. 1422.Lihat,
Ibn Qudamah, ibid, juz II, h. 1600.
67
kekhususan bagi Rasulullah SAW sendiri sebagaimana Rasulullah SAW
dibolehkan beristeri lebih dari empat orang yang tidak boleh diikuti oleh
umatnya.77 Pendapat lain menyatakan bahwa perkawinan Rasulullah SAW
dengan „Aisyah lebih bermotif dakwah dan memberikan kebebasan bagi Abu
Bakar ra. memasuki rumah tangga Rasulullah SAW. 78
Berbeda dengan pendapat Ibnu Hazm dari kalangan ulama ahli Zhahir
dan Ibnu Syubrumah yang menyatakan bahwa seorang ayah tidak boleh
menikahkan anak perempuannya yang masih kecil dan berusia muda. Tetapi
kalau anak perempuannya itu sudah baligh maka seorang ayah dibolehkan
menikahkannya dengan syarat harus minta persetujuan terlebih dahulu kepada
anak yang bersangkutan.79 Lebih lanjut menurut Ibnu Syubrumah dan al-Batti
berpendapat sebagaimana yang dikutip oleh Peunoh Daly dalam bukunya yang
berjudul Hukum Perkawinan Islam Suatu Studi Perbandingan dalam kalangan
Ahlus-Sunnah dan Negara-Negara Islam, bahwa tidak sah sama sekali
mengawinkan anak yang masih kecil. Akad nikah yang dilakukan oleh wali
sebagai ganti dari anak yang masih kecil itu dianggap batal. Penulis menyatakan
bahwa hikmah hukum perkawinan dalam Islam memperkuat pandangan Ibnu
Syubrumah itu, karena tidak ada kemaslahatan bagi anak kecil dalam
77
Mahmud Yunus, Hukum Perkawinan dalam Islam, (Jakarta : Hidakarya Agung, 1985), h.
78
Amir Syarifuddin, Ushul Fiqh, Jilid I, (Jakarta : Prenada Media, 2008),Cet. III, h.67.
79
Mohammad Asmawi, NIKAH dalam Perbincangan dan Perbedaan, (Yogyakarta:
69.
Darussalam, 2004), Cet-1, h. 87.
68
perkawinan yang serupa itu (perkawinan dibawah umur), bahkan akan
mendatangkan kemudharatan.80
Perkawinan menurut madzhab Syafi‟I termasuk bagi yang sudah dewasa,
menjadi makruh jika yang bersangkutan tidak mampu memenuhi kewajibankewajiban yang harus dipikul sebagai suami isteri, sedangkan ia masih bisa
menahan diri untuk tidak berbuat zina. Demikian pula, Makruh kawin bagi lakilaki yang tidak berkeinginan menikah dan tidak pula mempunyai kemampuan
memberikan mas kawin dan nafkah bagi istrinya. Apabila dia mempunyai
kemampuan atas biaya-biaya tersebut namun pada saat yang sama dia tidak
mempunyai alasan yang mengharuskannya untuk kawin, bahkan sebenarnya dia
lebih menyukai ibadah maka sebaiknya dia tidak kawin agar ibadahnya tidak
tergangu.81 Dan Ulama Syafi‟iyah (para pengikut imam asy-Syafi‟i) juga
mengatakan bahwa untuk bisa mengawinkan anak laki-laki di bawah umur
disyaratkan adanya kemaslahatan (kepentingan yang baik). Sedangkan untuk anak
perempuan diperlukan beberapa syarat, antara lain:
1. Tidak ada permusuhan yang nyata antara si anak perempuan dengan walinya,
yaitu ayah dan kakek;
80
Peunoh Daly, Hukum Perkawinan Islam Suatu Studi Perbandingan Dalam Kalangan Ahlus-
Sunnah dan Negara-Negara Islam, (Jakarta: Bulan Bintang,1988),h.131.
81
Al-Muthi‟I, Takmilat al-Majmu, Juz XV, (Jeddah: Maktabah al-Irsyad, t.t), h.58
69
2. Tidak ada permusuhan (kebencian) yang nyata antara dia dengan calon
suaminya;
3. Calon suami harus kufu‟ (sesuai/setara),
4. Calon suami mampu memberikan maskawin yang pantas.
5. Calon suami bukan orang yang akan merepotkan calon isterinya, seperti orang
buta atau seorang kakek pikun.82
Pada hakikatnya, pandangan madzhab Syafi‟I tersebut menjadi komitmen
para madzhab fiqih yang lain. Semuanya sepakat bahwa perkawinan dimaksudkan
untuk suatu kemaslahatan (kebaikan) semua pihak yang terkait. Mazhab Maliki
dan Hanafi mengharamkan perkawinan laki-laki yang bisa menjaga dirinya dari
zina, tapi tidak mampu memberikan nafkah untuk isterinya dari harta yang halal.
Demikian juga Mazhab Hanafi menyatakan hal yang sama. Katanya:
Ia menjadi haram jika dia meyakini bahwa perkawinannya akan
membawa akibat pada perbuatan yang diharamkan, misalnya menzhalimi
orang lain. Karena sebenarnya pernikahan dianjurkan oleh agama untuk
menjaga kemaslahatan jiwa (hifzh al-nafs) dan keselamatan fungsi reproduksi
(hifzh al-nasl) serta mengharapkan pahala dari Allah. Maka apabila
perkawinan itu justeru akan membawanya pada perbuatan yang haram karena
menzhalimi orang berarti dia telah melakukan perbuatan dosa sebab,
kemaslahatan yang ingin dicapai justeru berbalik menjadi kemudaratan. 83
82
Wahbah az-Zuhaili, al-Fiqh al-Islami, juz IX, (Damaskus: Dar al-Fikr, 1997), h. 6685-6686.
83
Abdurrahman al-Jaziri, Al-Fidi ala Madzahih al-arba‟ah, juz 4, (Darus Kutub Al-Ilmiyah,
Beirut-Lebanon, 2003), h.4-7.
70
Terlepas dari pandangan fuqoha mengenai perkawinan di bawah umur di
Indonesia dan Pakistan menjadi fenomena yang tidak asing lagi. Seperti di
Pakistan yang menjadikan perkawinan di bawah umur sesuatu perbuatan yang
dilarang bahkan memberikan sanksi pidana di dalam hukum keluarganya. Di
dalam hukum Islam tidak ada aturan yang menyatakan bahwa perkawinan di
bawah umur itu sesuatu tindakan yang dapat di berikan hukuman. Pada dasarnya
perkawinan di bawah umur diperbolehkan apabila lebih banyak kemaslahatannya
dibanding kemudaratan.
Namun, dalam hukum pidana Islam ketentuan criminal dapat dikategorikan
menjadi beberapa macam jenis sesuai dengan aspek berat dan ringannya hukuman
yang ditegaskan atau tidaknya oleh al-Qur‟an dan al-Hadis. Atas dasar itu, para
ulama membaginya menjadi tiga, yaitu (1) jarimah hudud, (2) jarimah qiyas/diyat,
dan (3) Jarimah ta‟zir.
Jarimah hudud mencangkup sejumlah tindak pidana yakni pencurian,
perzinaan, qadzaf (tuduhan palsu zina), konsumsi khamar, hirabah (perampokan),
dan riddah (murtad).Nass-nass jarimah hudud ini sudah jelas dan tegas, baik
menyangkut tindak pidananya maupun sanksi pidananya. Sedangkan jarimah
qisas/diyat meliputi tindak pidana pembunuhan (penghilangan nyawa) dengan
kesengajaan, pembunuhan (penghilangan nyawa) semi sengaja, pembunuhan
karena kesalahan atau kealpaan, pelukaan dengan kesengajaan, pelukaan semi
sengaja, dan pelukaan karena kesalahan atau kealpaan. Nass-nass jarimah
71
qisas/diyat ini juga sudah jelas dan tegas, baik tindak pidananya maupun sanksi
pidananya.84
Adapun jarimah ta‟zir mencakup semua tindak pidana yang tidak termasuk
dalam jarimah hudud dan jarimah qiyas/diyat. Kerangka acuan identifikasi tindak
pidana jarimah ta‟zir merujuk pada salah satu dari empat acuan berikut ini:85
1. Perbuatan pidana yang masuk jarimah hudud tetapi dalam proses terjadinya
mengandung unsur syubhat;
2. Perbuatan yang dikualifisir maksiat oleh agama;
3. Perbuatan yang tidak dilarang agama tetapi dikualifisir oleh ulil amri yang
mendatangkan mafsadah/madarrah atau merusak maslahah;
4. Perbuatan yang dikualifisir oleh ulil amri melanggar peraturan perundangundangan (siyasah syar‟iyyah) yang diterbitkan olehnya.
Dari keterangan ini, tampak jelas bahwa di dalam hukum pidana Islam
mengenai perkawinan di bawah umur bukan perbuatan yang criminal dan tidak dapat
dijatuhkan hukuman, sebab di dalam fiqih dan hukum Islam tidak ada larangan
melaksanakan perkawinan di bawah umur. Persoalan paling krusial tentang kawin di
bawah umur dalam pandangan para ahli fiqh: pertama, adalah faktor ada-tidaknya
84
H. A. Djazuli, Fiqih Jinayah: Upaya Menanggulangi Kejahatan Dalam Islam, (Jakarta: PT.
Raja Grafindo Persada, 2000), Cet-III, h.12-13
85
Asmawi, M.A. “Kriminalisasi Poligami dalam Hukum Keluarga di dunia Islam
Kontemporer”,artikel diakses pada 23 Mei 2016 darihttp://www.pdfreference.com/KriminalisasiPoligami-dalam-Hukum-Keluarga-di-Dunia-Islam-Kontemporer
72
unsur kemaslahatan atau ada tidaknya kekhawatiran terhadap kemungkinan terjadinya
hubungan seksual yang tidak dibenarkan oleh agama. Apabila perkawinan belia itu
dapat menimbulkan kemudaratan, kerusakan, atau keburukan, padahal saat yang sama
factor-faktor kekhawatiran akan terjerumus ke dalam pergaulan seksual yang dilarang
agama tidak dapat dibuktikan maka perkawinan tersebut tidak dapat dibenarkan.
Maka dari itu pengaturan hukum keluarga dan usaha-usaha menjaga kesehatan
reproduksi menjadi suatu ikhtiar yang harus mendapat perhatian serius dari semua
pihak, termasuk di dalamnya adalah pengaturan tentang batas usia perkawinan yang
dapat menjamin terpenuhinya kesehatan reproduksi dan kemaslahatan.
Jelasnya dengan dicantumkannya secara aksplisit batasan umur, menunjukkan
langkah penerobosan hukum adat dan kebiasaan yang dijumpai di dalam masyarakat
Indonesia. Di dalam masyarakat jawa misalnya sering kali dijumpai perkawinan anak
perempuan yang masih muda usianya. Anak perempuan Jawa dan Aceh seringkali
dikawinkan meskipun umurnya masih kurang dari 15 tahun, walaupun mereka belum
diperkenankan hidup bersama sampai batas umur yang pantas. Biasanya ini disebut
dengan kawin gantung.86
C. Analisis Perbandingan Sanksi Perkawinan di Bawah Umur Antara
Indonesia dan Pakistan
Indonesia dan Pakistan adalah dua Negara yang berbeda satu sama lain.
Tidak hanya dari aspek geografis, dari aspek-aspek yang lainpun keduanya
86
R. Wirjono Prodjodikoro, Hukum Perkawinan di Indonesia, (Bandung: Sumur, 1960), h. 41
73
berbeda.Namun, Negara Indonesia dan Pakistan memiliki beberapa kesamaan di
dalam hukum keluarganya yaitu sama-sama melakukan pembaharuan di dalam
hukum keluarga. Berikut ini adalah komparasi sanksi perkawinan di bawah umur
antara Indonesia dan Pakistan:
Tabel Komparasi Perkawinan di Bawah Umur Di Indonesia dan Pakistan
Persamaan
Perbedaan
1. Indonesia dan Pakistan sama-
1. Adanya perbedaan mazhab antara
sama Negara Muslim.
2. Hukum keluarga di Indonesia
Indonesia dan Pakistan.Indonesia
umumnya menganut mazhab
dan Pakistan sama-sama di
Syafi‟i dan Pakistan umumnya
rancang dan dibuat sesuai
menganut mazhab Hanafi.
dengan hukum Islam.
3. Negara Indonesia dan Pakistan
2. Adanya perbedaan dalam batasan
usia menikah, di Indonesia diatur
sama-sama melakukan
di dalam Undang-Undang No. 1
pembaharuan dalam hukum
Tahun 1974 pada Pasal 7 ayat (1)
keluarga Islam.
tentang Perkawinan yang
4. DalamUndang-Undang hukum
menyatkan batasan seseorang
keluarga keduanya sama-sama
untuk menikah yaitu pihak pria
mengatur tentang batasan
sudah mencapai 19 tahun dan
usiamenikah.
pihak wanita 16 tahun.
5. Hukum keluarga di Indonesia
Sedangkan di Pakistan diatur ke
74
dan Pakistan masih kental
dalam UU No. 29 Tahun 1929
akan hukum adat.
Ordonansi No. 8 Tahun 1961
6. Perkawinan di bawah umur di
(MFLO) pada Pasal 2
Indonesia dan Pakistan sama-
menyatakan bahwa batasan usia
sama tinggi.
menikah untuk perempuan 16
tahun dan 18 tahun untuk lakilaki.
3. Di Indonesia tidak ada ketentuan
larangan perkawinan di bawah
umur sedangkan di Pakistan ada
ketentuan untuk larangan
perkawinan di bawah umur.
4. Hukum keluarga di Indonesia
tidak mengatur tentang sanksi
untuk perkawinan di bawah
umur. Tetapi apabila akan
melangsungkan perkawinan di
bawah batasan usia menikah
akan diberikan dispensasi oleh
Pengadilan yang diatur di dalam
Undang-Undang No. 1 Tahun
75
1974 Pasal 7 ayat (2) tentang
Perkawinan. Sedangkan di
Pakistan memberikan sanksi
hukuman penjara 1 bulan sampai
3 bulan dan denda sebesar 1000
rupee atau kedua-duanya. baik
pihak mempelai laki-laki,
maupun pihak orang tua serta
yang ikut dalam perkawinan di
bawah umur akan dikenakan
sanksi. Diatur ke dalam Child
Marriage Restraint Act) UU No.
29 Tahun 1929 yang kemudian
diamandemen oleh Ordonansi
No. 8 Tahun 1961 (MFLO) Pasal
2,4,5, dan 6.
5. Di Pakistan dalam pembaharuan
hukum keluarganya memasuki
sanski pidana ke dalam hukum
perdata. Sedangkan di Indonesia
tidak demikian.
76
Dari uraian diatas dapat dipahami bahwa aturan mengenai sanksi
perkawinan di bawah umur di Pakistan lebih progresif dibandingkan dengan
Indonesia. Hal ini berdasarkan adanya peraturan larangan perkawinan di bawah
umur di Negara Pakistan yang diatur dalam UU No. 29 Tahun 1929 yang
diamandemen oleh Ordonansi No. 8 Tahun 1961 (MFLO) yang diatur kedalam
batas minimum usia menikah pada Pasal 2, 4, yang berbunyi :
In this Act, unless there is anything repugnant in the subject or context,
(a) “child” means a person who, if a male, is under eighteen years of age, and if
a female, is under sixteen years of age; (b) “child marriage” means a marriage
to which either of the parties is child; (c)”contracting party” to a marriage
means either of the parties whose marriage is about to be thereby solemnized;
(d) “minor” means a person of either sex who is under eighteen years of age;…
4. Whoever, being a male above eigthteen years of age, contracts a child
marriage shall be punishable with simple imprisonment which may extend to one
month, or with fine which may extend to one thousand rupees, or with both.
Pasal 2 dan 4 di atas, dalam UU itu didefinisikan bahwa anak (child)
adalah seseorang yang berumur di bawah 18 tahun bagi laki-laki dan di bawah 16
tahun bagi perempuan. Adapun perkawinan anak (perkawinan di bawah umur)
ialah perkawinan yang salah satu dari pengantin laki-laki atau perempuan berusia
anak-anak sebagaimana didefinisikan sebagai seseorang, baik laki-laki maupun
perempuan, yang berusia di bawah 18 tahun. Nampaknya UU ini membedakan
anatara “child” dan “minor”. Selanjutnya pada pasal 4 mengatur bahwa seorang
laki-laki berumur lebih dari 18 tahun yang akan melakukan akad nikah dengan
77
seorang perempuan berumur di bawah 16 tahun, diancam dengan penjara paling
lama satu bulan atau denda setinggi-tingginya seribu Rupee atau kedua-duanya.87
Selanjutnya di dalam Pasal 5 dan 6 dari Child Marriage Restraint Act
tahun 1929 sebagaimana diubah dengan MFLO tahun 1961:
5.Whoever performs, conducts or directs any child marriage, shall be
punishable with simple imprisonment which may extend to one thousand rupees,
or with both, unless he proves that he had reason to believe that the marriage
was not a child marriage. 6. (1). Where a minor contracts a child marriage, any
person having change of the minor, whether as parent or guardian or in any
other capcity, lawful or unlawful, who does any act to promote the marriage or
permits it to be solemnized, or negligently fails to prevent it from being
solemnized, shall be punishable with simple imprisonment which may extend to
one thousand rupees, or with both; provided that no woman shall be punishable
with imprisonment. (2) for the purpose of this section, it shall be presumed,
unless and until the contrary is proved, that where a minor has contracted a
child marriage, the person having charge of such minor has negligently failed to
prevent the marriage from being solemnized.88
Penjelasan tentang pasal 5 dan 6 MFLO mengatur bahwa seorang laki-laki
berumur kurang dari 18 (delapan belas) tahun yang melakukan akad nikah dengan
seorang perempuan di bawah 16 (enam belas) tahun, diancam dengan hukuman
penjara paling lama satu bulan atau denda setinggi-tingginya seribu Rupee atau
kedua-duanya, kecuali ia mempunyai bukti-bukti yang meyakinkan dirinya bahwa
apa yang dilakukannya bukanlah perkawinan di bawah umur (child marriage).
Kemudian jika seseorang dalam kategori “minor” (berumur kurang dari 18 tahun)
87Tahir
Mahmood, Personal Law in Islamic Countries: History, Text and Comparative
Analisis, h.243.
88Tahir Mahmood, Personal Law in Islamic Countries: History, Text and Comparative
Analisis, h.242-243.
78
melakukan akad nikah dengan seorang di bawah umur, maka orang tua anak itu
atau walinya, yang mendorong terjadinya perkawinan itu, atau karena kelalaian
mereka, diancam dengan hukum penjara paling lama satu bulan, atau denda
paling banyak seribu Rupee atau kedua-duanya, dengan pengecualian bahwa
wanita tidak dihukum penjara. Jika perkawinan anak itu dilangsungkan juga,
padahal Pengadilan telah memperingatkan para wali untuk tidak melangsungkan
perkawinan itu, baik inisiatif pengadilan sendiri ataupun atas pengaduan pihakpihak tertentu, maka para orang tua atau wali itu diancam dengan hukuman
penjara paling lama tiga bulan atau denda 1.000 Rupee atau dua-duanya.89
Beberapa faktor penyebab Negara Pakistan memiliki hukum keluarga
yang lebih progresif dibandingkan dengan Indonesia adalah karena adanya
perbedaan mazhab yang dianut.Seperti larangan perkawinan di bawah umur, di
Pakistan dalam hukum keluarganya menerapkan sanksi pidana bagi pelaku
perkawinan di bawah umur.Berbeda dengan Negara Indonesia yang belum
menerapkan sanksi bagi pelaku perkawinan di bawah umur. Walaupun nyatanya
tingkat angka pernikahan di bawah umurnya cukup tinggi, di dalam UndangUndang Perkawinan No. 1 Tahun 1974 tidak menjelaskan adanya hukuman bagi
perkawinan di bawah umur. Melainkan mengijinkan apabila terjadi hal-hal yang
tidak diinginkan yang mengharuskan terjadinya perkawinan walaupun masih kecil
89
Tahir Mahmood, Personal Law in Islamic Countries: History, Text and Comparative
Analisis, h.243-244.
79
atau di bawah batasan usia menikah yang sudah ditentukan dalam Undangundang. Dengan carameminta ijin terlebih dahulu kepada pengadilan. Hal tersebut
diatur di dalam Undang-Undang Perkawinan No.1 Tahun 1974 pada Pasal 7 ayat
(2) yang berbunyi: “Dalam hal penyimpangan terhadap ayat (1) pasal ini dapat
meminta dispensasi kepada Pengadilan atau Pejabat lain yang ditunjuk oleh ke
dua orang tua pihak pria maupun pihak wanita”.Di Indonesia tidak secara tegas
melarang perkawinan di bawah umur dan tidak adanya sanksi bagi perkawinan di
bawah umur. Dikarena di dalam Al-Qur‟an maupun Al-Hadits tidak secara
eksplisit membahas pada usia berapa seseorang boleh menikah. Namun, para
ulama sepakat syarat kebalighan harus sudah terpenuhi pada mempelai.Dan
perkawinan boleh dilakukan apabila sudah sesuai dengan rukun dan syarat
perkawinan.
Kesimpulan dari uraian di atas dapat diperoleh pemahaman bahwa
pengetahuan mengenai perbandingan hukum keluarga Islam ini sangat penting
di Indonesia, karena seringkali kita memperdebatkan sesuatu hal yang orang lain
di Negara lain telah menyelesaikan masalah itu puluhan tahun sebelumnya.
Sebagai Salah satu langkah reformasi Hukum Keluarga di Negara-negara Muslim
modern adalah meninjau kembali sejumlah ketentuan hukum Islam klasik yang
dianggap sudah tidak relevan dengan kondisi social dan tuntutan perubahan
modern.
80
BAB V
PENUTUP
A. Kesimpulan
Dari keterangan-keterangan yang dikemukakan dalam bab-bab terdahulu dapat
diambil beberapa kesimpulan diantaranya:
Pertama, Pengaruh aliran mahzab terlihat dari perbedaan mahzab yang
dianut antara Negara Indonesia dan Negara Pakistan. Indonesia merupakan
Negara muslim yang sebagian terbesar penduduk Muslim itu penganut ahli
Sunnah wal Jamaah dengan Mazhab Syafi‟i. Sedangkan Negara Pakistan
merupakan Negara Muslim terbesar kedua di dunia. Sebagian terbesar penduduk
Muslim itu penganut ahli Sunnah wal Jamaah dengan Mazhab Hanafi, hanya
sekitar 10-15 persen penganut Syiah. Di Indonesia mazhab yang dianut ialah
mazhab Imam as-Syafi‟I, seorang ulama asli bangsa/suku Arab. Pemerintah
kerajaan Islam di Indonesia, selama zaman Islam mengesahkan dan menetapkan
mazhab Syafi‟I menjadi haluan hukum di Indonesia. Beliau membina mazhabnya
antara Ahli al-Ra‟yi dan Ahli al-Hadits (moderat), meskipun pegangan Imam
Syafi‟I dalam menetapkan hukum adalah al-Qur‟an, Sunnah, Ijma dan Qiyas.
Sedangkan Abu Hanifah dikenal sebagai ulama Ahl al-Ra‟yi. Dalam menetapkan
hukum Islam, baik yang diistinbathkan dari al-Qur‟an ataupun hadits, beliau
banyak menggunakan nalar. Beliau mengutamakan ra‟yi dari khabar ahad.
80
81
hukum keluarga di Indonesia dan Pakistan mengalami perbedaan. Dikarenakan
perbedaan mazhab diantara dua Negara tersebut. Jelas saja sangat berpengaruh
dikarekan Perbedaan metode yang digunakan dalam mengistinbath hukum,
membawa perbedaan pendapat dikalangan para Imam Mazhab. Tidak hanya
dalam batasan usia saja tetapi masih banyak Undang-undang yang berbeda antara
Indonesia dan Pakistan didalam hukum keluarga.
Kedua, Dalam hukum Islam memang tidak ada pembahasan secara mandiri
tentang kriminalisasi namun substansi dari kriminalisasi dalam hukum pidana
Islam sudah ada. Walaupun para fuqoha berbeda pendapat dalam mengartikan
perkawinan di bawah umur. Seperti perkawinan menurut madzhab Syafi‟I
termasuk bagi yang sudah dewasa, menjadi makruh jika yang bersangkutan tidak
mampu memenuhi kewajiban-kewajiban yang harus dipikul sebagai suami isteri,
sedangkan ia masih bisa menahan diri untuk tidak berbuat zina. Demikian pula,
Makruh kawin bagi laki-laki yang tidak berkeinginan menikah dan tidak pula
mempunyai kemampuan memberikan mas kawin dan nafkah bagi istrinya.
Sedangkan Mazhab Maliki dan Hanafi mengharamkan perkawinan laki-laki yang
bisa menjaga dirinya dari zina, tapi tidak mampu memberikan nafkah untuk
isterinya dari harta yang halal. Namun, dalam hukum pidana Islam ketentuan
criminal dapat dikategorikan menjadi beberapa macam jenis sesuai dengan aspek
berat dan ringannya hukuman yang ditegaskan atau tidaknya oleh al-Qur‟an dan
al-Hadis. Atas dasar itu, para ulama membaginya menjadi tiga, yaitu (1) jarimah
82
hudud, (2) jarimah qiyas/diyat, dan (3) Jarimah ta‟zir. Dari keterangan ini, tampak
jelas bahwa di dalam hukum pidana Islam mengenai perkawinan di bawah umur
bukan perbuatan yang criminal dan tidak dapat dijatuhkan hukuman, sebab di
dalam fiqih dan hukum Islam tidak ada larangan melaksanakan perkawinan di
bawah umur. Perkawinan boleh dilakukan apabila mengandung kemaslahatan
walaupun berapapun usianya.
Ketiga, Indonesia dan Pakistan adalah dua Negara yang berbeda satu sama
lain. Tidak hanya dari aspek geografis, dari aspek-aspek yang lainpun keduanya
berbeda. Namun, Negara Indonesia dan Pakistan memiliki beberapa kesamaan di
dalam hukum keluarganya yaitu sama-sama melakukan pembaharuan di dalam
hukum keluarga. Perbedaan hukum keluarga di Indonesia dan Pakistan itu ialah
mengenai perkawinan di bawah umur. Dimana di Pakistan dengan tegas melarang
perkawinan di bawah umur yang diatur ke dalam Child Marriage Restraint Act)
UU No. 29 Tahun 1929 yang kemudian diamandemen oleh Ordonansi No. 8
Tahun 1961 (MFLO) Pasal 2,4,5, dan 6. Dimana pelaku perkawinan di bawah
umur, orang tua, wali, serta yang ikut serta dalam pelaksanaan perkawinan di
bawah umur dikenakan sanksi hukuman penjara satu bulan sampai dengan tiga
bulan kurungan penjara serta denda sebesar 1000 rupee atau kedua-duanya.
Sedangkan di Indonesia tidak memberlakukan sanksi bagi pelaku perkawinan di
bawah umur. Tetapi apabila perkawinan dilakukan dibawah batasan usia menikah
maka pihak wanita maupun pria diperbolehkan meminta dispensasi kepada
83
pengadilan yang diatur di dalam Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 Pasal 7 ayat
(2) Tentang Perkawinan. Dimana tujuan melakukan pembaharuan di dalam hukum
keluarganya ialah untuk mengangkat derajat wanita serta lebih melindungi wanita.
B. Saran-saran
Sebagai catatan akhir maka penulis akan memberikan saran:

Aturan batasan usia menikah di Indonesia lebih di pertegas lagi, dalam hal ini
supaya
aturan
batas
usia
perkawinan
ke
depan
diharapkan
bisa
mensejahterakan dan melindungi berbagai pihak terutama pihak perempuan.

Masalah denda atau hukuman bagi perkawinan di bawah umur perlu ditinjau
kembali, seperti Negara-negara muslim di dunia modern lainnya yang sudah
memberlakukan dan melakukan perubahan hukum keluarga. Karena dampak
dari perkawinan di bawah umur banyak sisi negatifnya yang merugikan pihak
wanita.

Pembaharuan hukum
keluarga
mengenai
perlindungan
terhadap
hak
perempuan lebih ditingkatkan lagi. Serta pengetahuan perbandingan hukum
keluarga Islam ini sangat penting di Indonesia untuk menjadikan sebuah acuan
untuk memajukan Negara-negara muslim lainnya khususnya Indonesia.
84
DAFTAR PUSTAKA
Ahmad, Amrullah, dkk. Dimensi Hukum Islam
Nasional.Jakarta: Gema Insani Press, 1996
dalam
Sistem
Hukum
Al-Jaziri, Abdurrahman. Al-Fidi ala Madzahih al-arba‟ah, juz 4, Darus Kutub Al-Ilmiyah,
Beirut-Lebanon, 2003.
Al-Muthi‟I, Takmilat al-Majmu, Juz XV, Jeddah: Maktabah al-Irsyad, t.t.
Arief, Kapita Selekta Hukum Pidana, Bandung: Citra Aditya Bhukti, 2003.
Asmawi, M.A. “Kriminalisasi Poligami dalam Hukum Keluarga di dunia Islam
Kontemporer”,artikel
diakses
pada
23
Mei
2016
dari
http://www.pdfreference.com/Kriminalisasi-Poligami-dalam-HukumKeluarga-di-Dunia-Islam-Kontemporer.
Asmawi, Mohammad. NIKAH dalam Perbincangan dan Perbedaan.Yogyakarta:
Darussalam, 2004.
Aulawi, A,Wasit, Sejarah Perkembangan Hukum Islam di Indonesia. Dalam
Amrullah Ahmad, ed., Dimensi Hukum Islam dalam Sistem Hukum Nasional.
Jakarta: Gema Insani Press, 1966.
Ayub, Muhammad. Understanding Islamic Finance, England: John Wiley and Sons,
Ltd, 2007.
Azizy, A Qodir. Hukum Nasional “Elektisisme Hukum Islam dan Hukum Umum”.
Bandung: Teraju, 2004.
Az-Zuhaili, Wahbah. al-Fiqh al-Islami, juz IX, Damaskus: Dar al-Fikr, 1997.
Bukhari, Shahih al-Bukhari.hadits no. 3681; Muslim. Shahih Muslim. hadits no.
1422. Lihat, Ibn Qudamah.
Daly, Puenoh. Hukum Perkawinan Islam Suatu Studi Perbandingan Dalam Kalangan
Ahlus-Sunnah dan Negara-Negara Islam.Jakarta: Bulan Bintang,1988.
Di Pakistan, Orangtua Dibui Nikahkan Anak di Bawah Umur”, Viva.co.id, 16
April 2016, diakses dari http://www.viva.co.id/news/read/733289-di-pakistanorangtua-dibui-nikahkan-anak-di-bawah-umur.
84
85
Dewan Ideologi Islam Pakistan Larang Keras Pernikahan anak”, Republika.co.id,20
Mei 2016, diakses dari www.republika.co.id/berita/dunia-islam/islammancanegara/14/06/03/n6k2v6-dewan-ideologi-islam-pakistan-larang-kerasbudaya-pernikahan-anak
Djazuli, H A. Fiqih Jinayah: Upaya Menanggulangi Kejahatan Dalam Islam. cetIII.Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2000.
El Alami, Dawood dan Doreen Hincheliffe, Islamic Marriage and Divorce Law of the
Arab World, The Hague Boston Kluwer Law International, (London 1996).
Hadikusuma, Hilman. Hukum Perkawinan Indonesia Menurut Perundangan, Hukum
Adat, Hukum Agama. Bandung: Mandar Maju, 1990.
Hamzah, Andi.KUHP & KUHAP.Jakarta: RINEKA CIPTA, 2005.
Haq, Hamka Haq. Al-Syatibi Aspek Teologi Konsep Maslahah dalam Kitab alMuwafaqat, Jakarta: Erlangga, 2007.
Ini Penyebab Maraknya Pernikahan Dini, Liputan6.com, 16 April 2016,
Diakses dari http://www.liputan6.com/news/read/2363627/ini-penyebab-maraknyapernikahan-dini.
Jazuni, Legislasi Hukum Islam di Indonesia.cet-1. Bandung: Citra Aditya Bakti,
2005.
Kharlie, Ahmad Tholabi. Hukum Keluarga Indonesia.Jakarta: Sinar Grafika, 2013.
Koro, Abdi. Perlindungan Anak Di Bawah Umur Dalam Perkawinan Usia Muda dan
Perkawinan Siri, Bandung: PT. Alumni, 2012.
Lau, Maratin. Sharia and National Law in Pakistan.dalam Jan Michiel Otto, ed.,
Sharia Incorporated: A Comprehensive Overview of the Legal Systems of
Twelve Muslim Countries in Past and Present. Leiden University Press, 2010.
Mahmood, Tahir, Personal Law in Islamic Countries: History, Text and Comparative
Analisis. Academy of Law and Religion, New Delhi,1987.
Mannan, Abdul.Aneka Masalah Hukum Perdata di Indonesia.Cet-III.Jakarta: Prenada
Media, 2006.
Mehdi, Rubya. The Islamization of the Law in Pakistan.Nordic Institute of Asian
Studies,Curzon Press, UK, 1994.
86
Mubarok, Jaih. Kaidah Fiqih, secara kaidah-kaidah Azasi. Jakarta: PT. Gaja
Grafindo Persada, 2002.
Muchtar, Kamal.Asas-Asas Hukum Islam tentang Perkawinan.Jakarta: Bulan
Bintang, 1974.
Muzdhar, Atho. Hukum Keluarga di Dunia Islam Modern.Jakarta: Ciputat Press,
2003.
. ESAI-ESAI Sejarah Sosial Hukum Islam.Yogyakarta: Pustaka Pelajar,
2014.
.“Hukum Keluarga Di Pakistan (Antara Islamisasi Dan Tekanan
Adat)”.artikel diakses 27 Maret 2016 darihttp://ejournal.iainradenintan.ac.id.
Muhammad, Abdulkadir. Hukum Perdata Indonesia.Bandar Lampung: PT Citra
Aditya Bakti, 2010
Muhammad, Husein. Fiqih Perempuan: Refleksi kiai atas wacana agama dan
gender, cet.v. Yogyakarta: LKIS, 2009.
Mulia, Siti Musdah, dkk. Meretas Jalan Kehidupan Awal Manusia; Modul Pelatihan
untuk Pelatih Hak-Hak Reproduksi dalam Perspektif Pluralisme.Cet-1.
Jakarta: LKAJ, 2003.
Nasution, Khoiruddin. Hukum Perdata (keluarga) Islam Indonesia Dan
Perbandingan Hukum Perkawinan Di Dunia Muslim: Studi Sejarah, Metode
Pembaharuan, Dan Materi & Status Perempuan Dalam Hukum
Perkawinan/Keluarga Islam. Yogyakarta: Academia & Tazzafa, 2009.
Natsir, Lies Marcoes. “Dewasa Itu Aqil Baligh, Bukan Hanya Baligh: Opini 2 Edisi
49”, Artikel diakses pada: 22 Mei 2016, dari http://www.rahima.or.id/dewasaitu-aqil-baligh-bukan-hanya-baligh-opini-2-edisi-49-&catid=33.
Nurhasanah,Umi.“Perkawinan Usia Muda & Perceraian Di Kampung Kota Baru
Kecamatan Padang Ratu Kabupaten Lampung”.Artikel diakses pada 16 April
2016. www.publikasi.fisip.unila.ac.id/index.php/sosiologi/articel/view/164.
Prodjodikoro, R. Wirjono. Hukum Perkawinan di Indonesia, Bandung: Sumur, 1960.
Ramulyo, Idris. Azaz-azaz Hukum Islam: Sejarah Timbul dan Berkembangnya.
Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1993.
87
Saepudin, Asep, dkk. HUKUM KELUARGA PIDANA & BISNIS Kajian Perundangundangan Indonesia, Fikih dan Hukum Internasional. Jakarta: KENCANA,
2013.
Saleh, Zaki. Kriminalisasi Trend Reformasi Hukum Islam, artikel diakses pada 23
Januari 2016 dari http://publik-syariah.blogspot.co.id/2011/04.html.
Shihab, M, Quraish. Tafsir al Misbah, Vol. IX. Jakarta : Lentera Hati, 2005.
Simorangkir, dkk.Kamus Hukum. Bandung: Citra Umbara, 2008.
Sirin, Kharron. Fikih Perkawinan Di Bawah Umur. Jakarta: Ghalia Indonesia, 2009.
Sodikin, Ali. Fiqh Ushul Fiqh: Sejarah, Metodologi dan Impementasinya di
Indonesia. Yogyakarta: Beranda, 2012.
Sofian, Ahmad. Perlindungan Anak Di Indonesia Dilema & Solusinya.Medan: PT.
Sofmedia, 2012.
Sopyan, Yayan. Islam-Negara, Transformasi Hukum Perkawinan Islam dalam
Hukum Nasional.Jakarta: UIN Sayarif Hidayatullah, 2011.
Sosroatmodjo, Arso, & Aulawi, A, Wasit, Hukum Perkawinan di Indonesia.cet.II.
Jakarta: Bulan Bintang, 1978.
Subekti, R, dan Tjitrosudibio, R. Kitab Undang-Undang Hukum Perdata. Jakarta:
Pradnya Paramita, 2006.
Suma, Muhammad Amin. Hukum Keluarga Islam di Dunia Islam.Jakarta:
PT.RajaGrafindo Persada, 2004.
Supriyadi, Dedi, dan Mustofa. Perbandingan Hukum Perkawinan di Dunia
Islam.Bandung: Al-Fikriis,2009.
Susteyo, Heru. Perkawinan Di Bawah Umur Tantangan Legislasi dan Haronisasi
Hukum Islam.Jakarta: PT. Bumi Aksara, 2009.
Syafe‟I, Rachmat. Ilmu Ushul Fiqih. Bandung: CV. Pustaka Setia, 1999.
Syarifuddin, Amir. Hukum Perkawinan Islam di Indonesia antara fiqih munakahat
dan Undang-Undang Perkawinan.Jakarta: Kencana, 2006.
. Ushul Fiqh, Jilid I. Jakarta : Prenada Media, 2008.
88
Thayeb, M. Pengetahuan Sosial Terpadu untuk SD kelas V.Jakarta: Erlangga, 2004.
Tim Depdikbud, Kamus Besar Bahasa Indonesia.cet.III.Jakarta: Balai Pustaka, 2001.
Umar, Arsyad. Pengetahuan Sosial Terpadu SD kelas IV. Jakarta: Erlangga, 2007.
Usman, Rachmadi. Aspek-Aspek Hukum Perorangan & Kekeluargaan di Indonesia.
Jakarta: Sinar Grafika, 2006.
Yanggo, Huzaemah Tahido. Pengantar Perbandingan Mazhab. Cet.III.Ciputat:
Logos Wacana Ilmu, 2003
Yunus, Mahmud. Hukum Perkawinan dalam Islam.Jakarta : Hidakarya Agung, 1985.
Download