nilai dan pendidikan nilai

advertisement
Tatang M. Amirin, Nilai dan Pendidikan Nilai
706
NILAI DAN PENDIDIKAN NILAI
Tatang M. Amirin
Dosen Fakultas Ilmu Pendidikan UNY
E-mail: [email protected]
Abstract:
There are several definitions about value, most of them define value as a principle, standard, or
quality considered worthwhile or desirable. Value differs from moral, although both speak about
good and bad, right and wrong, should and shouldn’t. Moral is stronger than value; people
usually judge others more strongly on morals than values. Value also differs from character.
Character is the complex of mental and ethical traits marking and often individualizing a person,
group, or nation. So to say, character education is not the same as value education. There are
three stages or periods of value development, i.e. the imprint period, the modeling period, and
the socialization period. The traditional model of values education has placed greater emphasis
on the content of values instead of on the valuer, the one choosing and acting on the values. In
the humanistic model, however, there is a shift. The stress is from content- to process-based,
values- to valuer-focused and teacher- to student-centred orientation. Socio-cultural
environment is the great value educator for the children. Recently we need more moralistic
models performed by public figures.
Key Word:
Value, caracter and value Education.
Dalam bahasa Indonesia istilah nilai itu kadang bisa membuat orang awam bingung, karena
sebutan nilai lazim dipakai untuk ―nilai hasil ujian‖ (skor hasil ujian) dan sejenisnya. Dalam
keseharian istilah nilai itu lazim pula dipergunakan dalam jual-beli (berapa nilai jual sesuatu
barang). Untuk itu harus dibatasi bahwa yang dimaksud nilai dalam paparan ini yang berkaitan
dengan etika (walau ada ragam lainnya).
Nilai yang bahasa Inggrisnya ―value‖ itu dirumuskan orang bermacam-macam, di
antaranya sebagai berikut (dinukil dalam tulisan miring untuk membedakan dari terjemahannya).
Pertama, menurut BusinessDictionary.com, nilai (value) itu adalah “important and enduring
beliefs or ideals shared by the members of a culture about what is good or desirable and what is
not. Values exert major influence on the behavior of an individual and serve as broad guidelines
in all situations.” (Nilai itu adalah suatu keyakinan mendalam yang dipegang oleh warga budaya
tertentu mengenai apa yang baik atau diidamkan dan apa yang tidak. Nilai berpengaruh besar
terhadap perilaku individu dan menjadi pedoman dalam berbagai situasi). Kedua, menurut NSCU
(North Carolina Sates University—Summer Reading 2011; online), nilai (value) ada beberapa
rumusan, yaitu sebagai berikut; 1) Values are those things/ideas/people that are important to us,
central concepts that give meaning to our lives, a set of guiding principles that help us make
706
Tatang M. Amirin, Nilai dan Pendidikan Nilai
707
decisions and chose a path (Nilai adalah sesuatu, atau ide, atau orang yang penting buat kita;
nilai merupakan konsep sentral yang memberi makna bagi kehidupan kita; nilai merupakan asas
pedoman yang membantu kita membut putusan penentuan jalur jalan yang akan kita tempuh); 2)
Values are the things in our lives that shape our behavior and define who we are. The stronger
they are, the less willing we are to change or compromise them (Nilai adalah sesuatu dalam
kehidupan kita yang merekabentuk perilaku kita dan menentukan siapa kita. Semakin kokoh nilai
itu, semakin kita tidak akan pernah merasa perlu untuk mengubahgantinya ataupun menodainya);
3) Values are things (tangible or intangible) that we find of great significance (Nilai adalah
sesuatu—berwujud ataupun tidak—yang kita yakini amat sangat penting); 4) A value is a
principle, standard or quality considered worthwhile or desirable. Values are beliefs that people
have which serve as the basis for their decision-making. Value commits a person to action (Nilai
merupakan kaidah, patokan atau sifat yang dianggap berharga atau perlu sekali. Nilai adalah
keyakinan yang dimiliki orang yang menjadi landasan dalam membuat keputusan. Nilai
mewajibkan orang bertindak);
5) Values are a cohesive system of beliefs, which are freely chosen by the individual,
prized, publicly affirmed, and acted upon. (Nilai merupakan sistem keyakinan yang padu, yang
secara merdeka dipilih seseorang, yang dianggap berharga, yang diterima oleh masyarakat, dan
melakukan tindakan berdasarkannya); 6) A principle, standard, or quality considered worthwhile
or desirable ([Nilai merupakan] suatu kaidah, patokan, atau sifat yang dianggap berharga dan
diidamkan), yakni; a) The Free Dictionary by Farlex merumuskan nilai (value) itu sebagai ―A
principle, standard, or quality considered worthwhile or desirable” (suatu kaidah, patokan, atau
sifat yang dianggap berharga atau diidamkan). Jadi, sama dengan rumusan di atas; b) Kamus
Merriam-Webster merumuskan nilai (value) sebagai “something (as a principle or quality)
intrinsically valuable or desirable” ([Nilai adalah] sesuatu – sebagai suatu kaidah atau sifat –
yang pada dasarnya berharga atau diidamkan); c) ChangingMind.org. merumuskan nilai (value)
itu sebagai “the rules by which we make decisions about right and wrong, should and shouldn't,
good and bad. They also tell us which are more or less important, which is useful when we have
to trade off meeting one value over another ([Nilai adalah] suatu ketentuan (aturan) yang
memedomani kita menetapkan mana yang benar mana yang salah, mana yang pantas mana yang
tidak seyogyanya, dan mana yang baik dan mana yang jelek. Nilai juga menyatakan kepada kita
mana yang lebih penting dan mana yang kurang penting, dan itu sangat bermanfaat ketika kita
harus memilih mana yang lebih bernilai antara sesuatu dengan lainnya).
Tampak bahwa nilai itu sangat beragam rumusannya. Namun demikian, seperti
dinyatakan Cyril S. Belshaw dalam tulisannya berjudul ―The Identification of Values in
Anthropology‖ yang aslinya dimuat dalam The American Journal of Sociology, May 1959
(ditayangkan online), ada rumusan tokoh Antropologi yang sangat berpengaruh mengenai apa
nilai itu. Antropolog yang bernama Kluckhon itulah yang menyatakan bahwa nilai-nilai itu
berpadu menjadi suatu system nilai, walaupun dalam beberapa kasus abstraksi (menjadi suatu
sistem) yang demikian itu bisa tidak tercapai, dan nilai dianggap sebagai unsure kebudayaan atau
struktur social. Belshaw menuliskan demikian.
The most systematic and influential exponent of a theory of value in anthropology today
is undoubtedly Kluckhohn, who has gone so far as to state that values constitute systems
which should be a subject of inquiry just as are cultures and social structures. In most
cases, however, this degree of systematic abstraction is not achieved, and values are
thought of as elements of culture or of social structure.
Tatang M. Amirin, Nilai dan Pendidikan Nilai
708
Bagian tulisan yang paling penting dari Belshaw adalah yang menyatakan sebagai
berikut.
The essence of the first, the Type A approach, as expressed with great clarity by Nadel, is
that values are ideas about worthwhileness. As Nadel states, the conceptual index may
vary (using scales such as “good—bad,” “desired—not desired”). Such values are
significant because of a relationship to action or potential action. Kluckhohn holds that a
value is a conception relating to a code or standard. It implies the desirable—but just any
kind of desire will not do: it must be justified morally, by reasoning, by aesthetic
judgment, or by some combination of these.8 Kluckhohn’s Type A notion of value is thus
more restricted than Nadel’s; it covers a narrower range of judgments and preferences.
But Kluckhohn does explicitly recognize that value implies choice (“selection”).
Belshaw menganalisis ada beberapa tipe pendekatan dalam mengkaji nilai, salah satunya
adalah tipe A. Belshaw menukil bahwa nilai (value) itu berkaitan dengan ide (buah pikiran)
tentang keberhargaan (worthwhileness), yang (mengutip Nadel) penunjuknya bisa bermacammacam, yaitu menggunakan jenjang semisal ―baik–jelek,‖ ―didambakan–tidak didambakan‖.
Nilai itu, menurut Belshaw, sangat penting sekali karena berkaitan dengan tindakan (perbuatan)
atau kecenderungan bertindak (berbuat). Menurut Kluckhon, demikian nukil Belshaw, nilai itu
merupakan ―pengonsepan‖ (konsepsi, penggambaran) terkait dengan aturan atau patokan.
Jika, di muka sering disebut-sebut nilai itu mengandung ―isi‖ didambakan–tidak
didambakan, menurut penjelasan Belshaw, memang di dalam muatan nilai itu terkandung
―keterdambakan,‖ tetapi, tegas Belshaw, tidak sembarang terdambakan mengandung
keterdambaan, melainkan harus menggunakan pertimbangan moral, nalar, atau estetika, ataupun
perpaduan diantara ketiganya.
Wikipediathe free ensiclopedia (online) merumuskan dan menjelaskan dengan contoh
yang disebut nilai (value) itu sebagai berikut:
Values can be defined as broad preferences concerning appropriate courses of action or
outcomes. As such, values reflect a person’s sense of right or wrong or what “ought” to
be. “Equal rights for all,” “Excellence deserves admiration,” and “People should be
treated with respect and dignity” are representative of values. Values tend to influence
attitudes and behavior. For example, if you value equal rights for all and you go to work
for an organization that treats its managers much better than it does its workers, you may
form the attitude that the company is an unfair place to work; consequently, you may not
produce well or may perhaps leave the company. It is likely that if the company had a
more egalitarian policy, your attitude and behaviors would have been more positive.
Nilai itu, menurut Wikipedia, dapat diberi arti sebagai kelebihsukaan dalam arti luas
berkaitan dengan rangkaian tindakan atau hasil perbuatan yang pas (sreg--Jawa). Jadi, nilai itu
mencerminkan perasaan seseorang tentang benar atau salah atau ―yang seyogyanya.‖ Contoh
yang termasuk nilai itu adalah ―kesamaan hak bagi setiap orang,‖ ―perbuatan dan hasil perbuatan
yang sangat bagus itu patut mendapatkan penghargaan,‖ dan ―orang harus diperlakukan secara
terhormat dan bermartabat.‖
Seperti telah disebutkan dalam paparan di muka di muka, menurut Wikipedia pun nilai itu
cenderung mempengaruhi sikap dan perbuatan seseorang. Sebagai contoh, jika kita menilai
semua orang punya hak yang sama dan kita bekerja di sebuah lembaga kerja yang
memperlakukan pimpinannya jauh lebih baik dibandingkan para pekerjanya, dalam diri kita
Tatang M. Amirin, Nilai dan Pendidikan Nilai
709
mungkin akan terbentuk sikap bahwa lembaga itu merupakan tempat kerja yang tak adil;
konsekuensinya kita mungkin tidak akan bekerja baik atau mungkin keluar dari lembaga
tersebut, dan sebaliknya.
Robbins (2002:62) selain menjelaskan apa nilai itu, juga menegaskan bahwa menurut
Rokeach ada dua sifat kelengkapan (atribut) nilai. Nilai, dengan mengutip pendapat Rokeach
(1973:5) tadi dijelaskan Robbins sebagai berikut.
Values represent basic convictions that “a specific mode of conduct or end-state of
existence is personally or socially preferable to an opposite or converse mode of conduct
or end-state of existence.” They contain a judgmental element in that they carry an
individual’s ideas as to what is right, good, or desirable.
Nilai itu, menurut penjelasan Robbins, merupakan keyakinan dasar bahwa cara
berperilaku tertentu atau tujuan berkehidupan itu menurut orang per orang atau masyarakat lebih
disukai dibandingkan cara berperilaku atau tujuan berkehidupan tandingan atau lawannya.‖ Cara
berperilaku atau tujuan berkehidupan itu mengandung unsur penilaian, yaitu bahwa di dalamnya
ada yang dipandang benar, baik, atau dikehendaki.
Yang dimaksud tujuan berkehidupan (the end-state of existence) itu dijelaskan Robbins
(p. 63) sebagai ―the goals that a person would like to achieve during his or her lifetime‖ (tujuantujuan yang ingin dicapai seseorang sepanjang masa hidupnya).
Nilai itu, menurut Robbins, memiliki sifat kelengkapan isi dan kekuatan. ―The content
attribute says that a mode of conduct or end-state of existence is important. The intensity
attribute specifies how important it is.‖ (Sifat kelengkapan isi nilai menyatakan bahwa sesuatu
cara berperilaku atau tujuan berkehidupan itu penting. Sifat kelengkapan kekuatan menegaskan
seberapa penting hal tersebut. Menurut Robbins lagi, jika nilai-nilai individual itu disusun
berdasarkan kekuatan (intensitasnya), maka akan tersusunlah suatu sistem nilai individu. Setiap
orang, lanjut Robbins, memiliki suatu perjenjangan (hirarki) nilai, yang kemudian akan
membentuk sistem nilai orang tersebut. Sistem nilai ini ditandai oleh seberapa relatif pentingnya
nilai-nilai itu kita tetapkan. Nilai-nilai itu misalnya kemerdekaan, kesenangan, harga-diri,
kejujuran, ketaatan, dan kesetaraan.
Jadi, sebagai simpulan, nilai itu adalah kaidah (prinsip), atau aturan (ketentuan), atau sifat
yang kita yakini dan pedomani mengenai apakah sesuatu (perbuatan atau hasil perbuatan) itu
baik atau jelek (buruk), seyogyanya atau tidak seyogyanya, benar atau salah, dan atau diidamkan
atau tidak diidamkan.
Nilai, Moral, Etika, Etiket, dan Hukum
Telah disebut-sebut di muka bahwa nilai terkait dengan etika, bahkan dalam keseharian
sangat sulit membedakan nilai dari norma. Untuk itu berikut dijelaskan perbedaan di antara
ketiganya.
ChangingMind.org. merumuskan perbedaan nilai, moral dan etika, dengan mengutip
rumusan dan contoh penggunaan istilah dari ―dictionary.com‖ sebagai berikut.
Values
Values are the rules by which we make decisions about right and wrong, should and
shouldn't, good and bad. They also tell us which are more or less important, which is
useful when we have to trade off meeting one value over another.
Dictionary.com defines values as:
Tatang M. Amirin, Nilai dan Pendidikan Nilai
710
n : beliefs of a person or social group in which they have an emotional investment
(either for or against something); "he has very conservatives values"
Morals
Morals have a greater social element to values and tend to have a very broad
acceptance. Morals are far more about good and bad than other values. We thus judge
others more strongly on morals than values. A person can be described as immoral, yet
there is no word for them not following values.
Dictionary.com defines morals as:
n : motivation based on ideas of right and wrong
Ethics
You can have professional ethics, but you seldom hear about professional morals. Ethics
tend to be codified into a formal system or set of rules which are explicitly adopted by a
group of people. Thus you have medical ethics. Ethics are thus internally defined and
adopted, whilst morals tend to be externally imposed on other people.
If you accuse someone of being unethical, it is equivalent of calling them unprofessional
and may well be taken as a significant insult and perceived more personally than if you
called them immoral (which of course they may also not like).
Dictionary.com defines ethics as: a theory or a system of moral values: “An ethic of
service is at war with a craving for gain" The rules or standards governing the conduct
of a person or the members of a profession.
Rumusannya sedikit agak membingungkan dan samar-samar untuk dipahami. Intinya
moral itu jauh lebih kuat daripada nilai dalam penerapannya di masyarakat, walau sama-sama
terkait dengan baik dan jelek atau buruk. Masyarakat menilai perbuatan seseorang lebih dari kaca
mata moral dibandingkan nilai. Oleh karena itu ada sebutan orang tak bermoral (immoral), tapi
tidak ada sebutan orang tak bernilai. Dictionary.com merumuskan moral itu sebagai motivasi
(dorongan untuk melakukan perbuatan) berlandaskan buah pikiran mengenai baik benar dan
salah.
Istilah etika, di sisi lain, lazim dikenal terkait dengan etika profesi (dan, tentu saja, tidak
ada moral profesi; itu bedan etika dari moral). Etika lazimnya dirumuskan secara formal sebagai
aturan yang diikuti oleh sekelompok orang. Oleh karena itu maka ada etika dokter, etika
akademik (lazimnya untuk para dosen dan mahasiswa), etika guru dsb. Jadi, etika lazimnya
dirumuskan dan dipedomani secara internal (dalam kelompok orang tertentu), sementara moral
secara eksternal diterapkan kepada orang lain. Dengan demikian jika kita mengatakan seseorang
tidak etis, itu sebenarnya mengacu pada bahwa orang itu tidak profesional. Akan tetapi dalam
bahasa Indonesia sehari-hari sebutan etika/etis itu kerap mengacu pada moral (termasuk
tatakrama atau etiket—mungkin aslinya dari ―etiket‖ ini). Misalnya jika seorang Kepala Daerah
menyebut-sebut seseorang (staf Pemda) telah melakukan kesalahan di muka umum (dalam rapat
atau apel), maka pejabat tersebut digerutui orang sebagai tidak etis. Arti sebenarnya tidak
beretiket, tidak santun.
Tamu.edu (online, tidak jelas alamat) mencoba menjelaskan perbedaan nilai, etika, moral,
etiket, dan juga hukum seperti tertera dalam beberapa nukilan berikut:
Tatang M. Amirin, Nilai dan Pendidikan Nilai
711
. . . the term morals is taken to refer to generally accepted standards of right and wrong
in a society and the term ethics is taken to refer to more abstract principles which might
appear in a code of professional ethics or in a textbook in ethical theory.
Moral, menurut ―tamu.edu‖ merupakan istilah untuk menyebut patokan yang diikuti oleh
masyarakat umum mengenai benar dan salah, sementara istilah etika digunakan untuk menyebut
kaidah yang lebih abstrak yang bisa tertampakkan dalam kode etik profesi atau dalam buku
pelajaran teori etika.
Moral and ethical statements must be distinguished from two other types of statements,
namely those in etiquette and those in law. Referring to a rule of etiquette, we might say,
"You should compliment your host or hostess after a good meal." Here we have used the
word should, and this suggests that we have made an ethical judgment. However, there
are at least two important differences between statements of etiquette and statements of
ethics. First, moral and ethical statements are generally thought to have greater
importance than statements of etiquette. Most of us probably feel that a violation of a rule
such as "An engineer should protect the safety of the public" is much more serious than a
violation of a rule such as "You should not eat peas with your knife." A second difference
between ethics and etiquette is that ethical norms cannot be changed by books of rules or
by authoritative bodies, but rules of etiquette may be.
Pada intinya, pernyataan etis dan moral itu jauh lebih penting dibandingkan pernyataan
etiket (tatakrama). Contohnya (tampaknya ―tamu.edu‖ ini blog orang teknik) ―Insinyur harus
melindungi keselamatan umum‖ itu jauh lebih serius dibandingkan ―jangan makan kacang
polong menggunakan pisau‖ (adat Barat makan buah menggunakan pisau—Pen.). Perbedaan
lainnya, menurut ―tamu.edu‖ adalah jika norma etika tidak bisa diubah oleh buku atau aturan,
atau oleh penguasa, sementara aturan etiket bisa.
Selanjutnya mengenai perbedaan etika dengan hukum (aturan formal) ―tamu.edu.‖
menjelaskannya sebagai berikut.
Moral and ethical statements should also be distinguished from laws. The fact that an
action is legally permissible does not establish that it is morally and ethically
permissible. Suppose an engineer discovers that her company is emitting a substance into
the atmosphere that is not currently regulated by the Environmental Protection Agency
(EPA). Suppose further that the engineer reads some scientific literature that indicates
the pollutant causes respiratory problems and may cause other more serious health
problems. Should she reveal this information to the EPA? Whatever your views on this
matter, it is clear that the mere fact that emitting the substance is legally permissible does
not also mean it is morally permissible to do so. It does not settle the question as to what
the engineer should do.
Just as legality does not imply morality, illegality does not imply immorality. It would be
illegal to introduce very small amounts of a chemical into the atmosphere if doing so
violates EPA standards, but one might make a good argument that there are cases in
which it is not immoral to do so and that in fact the EPA standards in this case are too
strict and fail to balance costs and benefits in a rational way.
Jadi, mungkin saja ada yang dalam aturan hukum tidak diatur, akan tetapi secara moraletika perbuatan atau tindakan itu tidak baik. Oleh karena contoh yang dikemukakan ―tamu.edu.‖
berkaitan dengan keteknikan (insinyur), mungkin bisa dicontohkan dengan yang lebih umum.
Tatang M. Amirin, Nilai dan Pendidikan Nilai
712
Memarkir kendaraan (mobil) di tepi jalan di depan warung (warung di pinggir jalan desa yang
tidak punya trotoar) bisa tidak ada aturan hukum yang melarang (tidak ada tanda dilarang parkir
atau berhenti), tetapi ―tidak etis‖ dilakukan karena menutupi warung tersebut, andaikata tukang
warung ―tidak berani‖ melarang sekalipun, walau sebenarnya merasa dirugikan.
Nilai dan Karakter
Antara nilai dan karakter (serta moral) kerap kali tercampur aduk, khususnya jika dikaitkan
dengan pendidikan (pendidikan nilai dianggap sama dengan pendidikan nilai). Apakah karakter
itu? Berikut dinukilkan beberapa rumusan pengertiannya.
Kamus Merriam-Webster (online) merumuskan karakter (yang terkait dengan barang dan
orang) itu sebagai berikut (khusus yang ada kaitannya dengan orang sengaja dicetak tebal)
a : one of the attributes or features that make up and distinguish an individual
b (1) : a feature used to separate distinguishable things into categories; also : a group or
kind so separated <advertising of a very primitive character> (2) : the detectable
expression of the action of a gene or group of genes (3) : the aggregate of distinctive
qualities characteristic of a breed, strain, or type <a wine of great character>
c : the complex of mental and ethical traits marking and often individualizing a person,
group, or nation <the character of the American people>
d : main or essential nature especially as strongly marked and serving to distinguish
<excess sewage gradually changed the character of the lake>
Jadi, karakter itu, menurut Kamus Mirriam-Webster merupakan: (a) sifat atau ciri
keistimewaan yang membentuk dan membedakan seseorang dari orang lainnya, (b) sejumlah
sifat mental dan etik yang menandai kekhasan dan bahkan sering membedakan seseorang,
sesuatu kelompok atau bangsa dari yang lainnya.
Hyrum Smith (akses online 2011) merumuskan bahwa ―Character is the ability to carry
out a worthy decision after the emotion of making that decision has past.‖ (Karakter adalah
kemampuan untuk membuat keputusan yang berharga tanpa bersifat emosional). Definisi ini
belum menggambarkan apa karakter itu.
Kids.Net.Au. (akses online 2011) merrumuskan karakter sebagai ―the inherent complex of
attributes that determine a persons moral and ethical actions and reactions‖ (sejumlah sifat yang
melekat pada diri seseorang yang mewarnai tindakan dan reaksinya terhadap tindakan orang lain
yang bermoral dan etis).
Jadi, karakter itu merupakan sifat tabiat mentalistik dan etik seseorang yang khas yang
membentuk kediriannya (pribadinya; ―persona‖-nya) yang membedakannya dari orang lain.
Dengan kata lain, di dalam karakter seseorang itu terkandung nilai-nilai yang dia yakini dan
pedomani dalam kehidupannya.
Ragam Nilai
Ada beberapa cara orang merumuskan macam-macam (ragam) nilai. Robbins (p. 63)
menjelaskan bahwa Milton Rokeach yang menciptakan Rokeach Value Survey (RVS)
membedakan nilai itu menjadi dua macam, yaitu nilai terminal (terminal values) dan nilai
instrumental (instrumental values). Nilai terminal merujuk pada tujuan berkehidupan (end-state
of existence), yaitu tujuan-tujuan yang diharapkan bisa dicapai seseorang sepanjang masa
hidupnya, sementara nilai instrumental merujuk pada cara berperilaku yang lebih disukai, atau
Tatang M. Amirin, Nilai dan Pendidikan Nilai
713
sarana pencapaian nilai terminal. Tabel berikut menunjukkan contoh nilai yang paling umum
terdapat dalam dua kelompok dimaksud.
Tabel 1.
Nilai-nilai Terminal dan Instrumental dalam Rokeach Value Survey
Nilai Terminal
Nilai Instrumental
Hidup nyaman (kehidupan yang sejahtera)
Ambisius (kerja keras, cita-cita tinggi)
Hidup yang menggairahkan ( kehidupan yang Wawasan-luas (pikiran terbuka)
merangsang, yang aktif)
Rasa berhasil (ajeg berandil)
Berkemampuan (kompeten, efektif)
Dunia yang damai (bebas dari perang dan
Ceria (suka cita, senang)
konflik)
Dunia yang indah (keindahan alam dan seni)
Bersih (rapih, tertib)
Kesetaraan (persaudaraan, kesetaraan
Teguh hati (kokoh keyakinan)
kesempatan bagi semua)
Keamanan keluarga (merawat orang yang
Pemaaf (ikhlas memaafkan orang lain)
dicintai)
Kemerdekaan (bebas memilih, berdaulat)
Suka membantu (bergiat untuk kesejahteraan
orang lain)
Kebahagiaan (kepuasan)
Jujur (tulus, bisa dipercaya)
Keselarasan jiwa (bebas dari konflik batin)
Imajinatif (kreatif, berani)
Kematangan cinta (keintiman seksual dan
Mandiri (swasembada)
spiritual)
Keamanan negara (perlindungan dari
Intelektual (intelijen, reflektif)
serangan)
Kesenangan (hidup nikmat, hidup lapang)
Logik (konsisten, rasional)
Keselamatan (aman, panjang umur)
Mencintai (kasih sayang)
Harga diri (prestise)
Taat (patuh, hormat)
Pengakuan sosial (respek, kebanggaan))
Sopan-santun (tahu adat, beradab)
Persahabatan sejati (pertemanan yang akrab)
Tanggung jawab (bisa dipercaya/diandalkan)
Bijak (matang wawasan kehidupan)
Kendali-diri (disiplin diri, menahan diri)
Unesco (2002) menjabarkan berbagai nilai dari berbagai aspek kehidupan individu dalam
masyarakat yang digambarkan sebagai berikut.
Tatang M. Amirin, Nilai dan Pendidikan Nilai
714
Tatang M. Amirin, Nilai dan Pendidikan Nilai
715
Pada gambar pertama (aslinya Figure 3) ditunjukkan bahwa pribadi manusia sebagai
individu dan sebagai anggota masyarakat berada dalam lingkungan keluarga, bangsa, kawasan
regional, dan dunia. Ia berada pula dalam lingkungan berbagai sistem (pranata) sosial (subsistem
dari sistem sosial) yang meliputi: (1) politik, (2) ekonomi, (3) sosio-budaya, (4) estetika, (5)
moral/etik, (6) intelektual, (7) jasmaniah, dan (8) spiritual.
Pada masing-masing pranata (subsistem sosial) tersebut (gambar kedua—figure 4)
terdapat nilai utama (core values) yang terdiri atas: (1) persatuan negara dan solidaritas dunia
(national unity & global solidarity), (2) perkembangan insani yang berkelanjutan (sustainable
human development), (3) perdamaian dan keadilan (peace and justice), (4) kreativitas dan
menghargai keindahan (creativity & appreciation of beauty), (5) cinta dan kasih-sayang (love &
compassion), (6) kebenaran dan kebijakan (truth & wisdom), (7) kesehatan & hidup laras
dengan alam (health & harmony with nature), dan (8) spiritual global (global spiritual).
Sudah barang tentu akan sangat banyak nilai bisa dirumuskan. Rokeach dan Unesco di
atas tidak menyebut-sebut satu nilai penting dan mendasar bagi bangsa Indonesia, yaitu nilainilai keagamaan (walau dalam Unesco bisa dimasukkan ke dalam nilai spiritual global).
Pembentukan dan Pendidikan Nilai
Pembentukan atau proses perkembangan nilai di/ke dalam diri seseorang terjadi secara
bertahap. ChangingMind.org. menjelaskan sebagai tertera dalam beberapa nukilan berikut.
Pertama-tama, katanya, kita (manusia) itu tidaklah terlahir dengan sudah membawa nilai, nilai
itu dibentuk lewat pengalaman, dan itu (menukil ahli Sosiologi Morris Masey) melalui tiga fase
atau tahap (periode) serempak dengan tumbuh-kembang kita sebagai manusia.
Tulis
ChangingMind.org:
We are not born with values, so how do people develop their values? There are three
periods during which values are developed as we grow.
Periods of development
Sociologist Morris Massey has described three major periods during which values are
developed.
Periode-periode pembentukan nilai itu sebagai berikut.
Periode pertama disebut sebagai Periode Perekaman (Penyerapan). Pada periode ini
(sampai umur tujuh tahun) kita (manusia) ibarat busa (spon) yang menyerap begitu saja secara
membuta segala sesuatu yang ada di sekitar kita, khususnya yang berasal dari orang tua, sebagai
sesuatu yang benar. Kemembutaan dan kebingungan pada masa ini bisa membawa pada
pembentukan kondisi traumatik dan berbagai masalah lainnya. Pada masa ini anak belajar
memahami mana yang benarmana yang salah, mana yang baik mana yang buruk (jelek).
ChangingMind.org menulis sebagai berikut.
The Imprint Period
Up to the age of seven, we are like sponges, absorbing everything around us and
accepting much of it as true, especially when it comes from our parents. The confusion
and blind belief of this period can also lead to the early formation of trauma and other
deep problems.
Tatang M. Amirin, Nilai dan Pendidikan Nilai
716
The critical thing here is to learn a sense of right and wrong, good and bad. This is a
human construction which we nevertheless often assume would exist even if we were not
here (which is an indication of how deeply imprinted it has become.
Periode kedua disebut Periode Peniruan. Ini berlangsung antara umur delapan sampai 13
tahun. Pada masa ini anak mengkopi orang tuanya dan orang lain, tetapi tidak secara membuta,
melainkan sudah mulai mencoba-coba, misalnya mencoba mengenakan pakaian, pas ataukah
tidak, pantas ataukah tidak. Peran orang yang lebih tua, misalnya guru, sangat mengesan di hati
anak.
The Modeling Period
Between the ages of eight and thirteen, we copy people, often our parents, but also other
people. Rather than blind acceptance, we are trying on things like suit of clothes, to see
how they feel.
We may be much impressed with religion or our teachers. You may remember being
particularly influenced by junior school teachers who seemed so knowledgeable--maybe
even more so than your parents.
Periode ketiga disebut Periode Sosialisasi (menjadikan anak sebagai waga masyarakat).
Ini terjadi antara umur 13 tahun sampai dengan 21 tahun. Pada masa ini yang paling berpengaruh
adalah kelompok sebaya, dan juga media. Jadi, nilai-nilai yang dianut lebih banyak nilai-nilai
kelompok sebaya itu.
The Socialization Period
Between 13 and 21, we are very largely influenced by our peers. As we develop as
individuals and look for ways to get away from the earlier programming, we naturally
turn to people who seem more like us.
Other influences at these ages include the media, especially those parts which seem to
resonate with our […?] the values of our peer groups.
Periode-periode berikutnya (masa dewasa) sudah merupakan periode mapan. Pada masa
ini nilai sudah menjadi bagian integral dari diri seseorang dan tercermin dalam perilaku
kehidupannya sehari-hari.
Berkaitan dengan pendidikan nilai ini, Unesco (2002) memberikan komentar dan
pernyataan sebagai berikut.
The traditional model of values education has placed greater emphasis on the content of
values instead of on the valuer, the one choosing and acting on the values. The approach
is more teacher-centred, where the educator is seen as both the possessor of knowledge
(an expert) and the model of values (an idol). The responsibility therefore, largely rests
on the educator. The learner simply adopts a more passive role, merely absorbing the
material being handed down.
In the humanistic model however, there is a shift. The stress is from content- to processbased, values- to valuer-focused and teacher- to student-centred orientation. The greater
Tatang M. Amirin, Nilai dan Pendidikan Nilai
717
part of the learning this time will involve the valuing process where a dynamic
interaction within the individual learner (and educator) and between each other occurs.
Pendidikan nilai tradisional selama ini, menurut Unesco, menempatkan isi materi nilai
(value) itu sebagai pokok, bukan orang yang ―penilai‖ (valuer), orang yang memilih dan
bertindak berdasarkan nilai tersebut (dalam hal ini tegasnaya murid). Pendekatannya lebih
bersifat memusat guru (teacher-centered) dengan pendidik dianggap sebagai pengolah
pengetahuan (seorang ahli) dan teladan nilai (sebagai idola). Jadi, tanggung jawab utama berada
pada pundak pendidik. Pelajar hanya bersikap pasif dan menerima begitu saja materi yang
disampaikan.
Pendekatan sekarang (diharapkan), yaitu pendekatan humanistik akan (harus) terjadi
pergeseran. Tekannya bergeser dari “berbasis materi -- ke berbasis proses”, dari “memusat
nilai -- ke memusat penilai” dan tentu saja dari “memusat guru – ke memusat murid”.
Kegiatannya jadinya lebih banyak pada proses ―menilai‖ (valuing), yaitu pelajarlah yang aktif
menilai ―nilai‖ itu akan dimiliki dan dihati serta dilakukan atau tidak. Gambarannya menurut
Unesco seperti tertera dalam gambar berikut.
Pada diri individu ada unsur kognitif, afektif, dan perilaku (lingkaran di dada). Di
sekeliling individu ―penilai’ ada sekian banyak nilai, terdiri atas: (1) nilai-nilai kekeluargaan
(family values), (2) nilai-nilai sekolah dan gereja (pusat keagamaan), (3) nilai-nilai masyarakat
kerja, dan bangsa, (4) nilai-nilai masyarakat dunia, dan (5) nilai-nilai lingkungan kosmik.
Proses belajar-mengajar nilai, menurut Unesco, mengutip Quisumbing (1999) akan
terjadi sebagai suatu kumparan (siklus) TAHU – PAHAM – MENILAI – MELAKUKAN yang
digambarkan sebagai berikut (dalam proses bisa menjadi: MENILAI – TAHU – PAHAM –
MENILAI – MELAKUKAN).
Tatang M. Amirin, Nilai dan Pendidikan Nilai
718
KESIMPULAN DAN SARAN
Kesimpulan
Adapun kesimpulan artikel ini sebagai berikut: Pertama, nilai merupakan prinsip, standar
(patokan) atau sifat yang dianggap berharga (dinilai tinggi, dianggap ―baik‖) atau yang
diharapkan masyarakat; Kedua, kendati nilai sebenarnya lebih tinggi daripada moral, akan tetapi
dalam praktik kehidupan keseharian kedudukan moral jauh lebih kuat dibandingkan nilai.
Masyarakat lebih menilai seseorang dari moralnya, bukan nilai yang dipegangnya; Ketiga, nilai
berbeda dari karakter. Karakter merupakan sifat-sifat mental dan etik yang merupakan ciri khas
seseorang, kelompok orang (masyarakat), atau bangsa. Oleh karenanya maka pendidikan
karakter tidak sama dengan pendidikan nilai; Keempat, ada tiga periode perkembangan nilai
(nilai meniadi bagian dari diri seseorang), yaitu periode pengikutan (―imprint period‖)—orang
mengikuti secara mekanis nilai yang ada pada masyarakat, periode peniruan (―modeling
period‖)—orang meniru contoh nilai yang ditunjukkan masyarakat, dan periode penjiwaaan
(―socialization period)—orang sudah menjadikan nilai sebagai jiwa dan kepribadiannya; Kelima,
pendidikan nilai secara tradisional lebih menekankan pada mengajarkan isi nilai (materi ajaran
nilai), kurang memperhatikan orang yang kepadanya diajarkan nilai. Pada model pendidikan
yang lebih humanistik, pendidikan nilai menjadi lebih menekankan pada prosesnya bukan pada
materinya, lebih memperhatikan individu penerima nilai dibandingkan pada nilai itu sendiri, dan
lebih memusat pada anak (dalam pendidikan anak) dibandingkan memusat pada guru; Keenam,
Lingkungan sosial-budaya lebih berperan besar dalam pendidikan nilai bagi anak-anak
dibandingkan sekolah. Oleh karenanya diperlukan model keteladanan dari para tokoh masyarakat
(―public figures‖), jelasnya para tokoh masyarakat mempertunjukkan perilaku yang
mencerminkan nilai-nilai (konkritnya moral) yang baik.
Tatang M. Amirin, Nilai dan Pendidikan Nilai
719
Saran
Berdasarkan kajian tersebut di atas, maka pendidikan nilai (yang konkritnya berupa
pendidikan moral dan pendidikan karakter), perlu: (1) memperhatikan periode-periode
pembentukan nilai, karena itu terkait dengan perkembangan sosio-psikologis, (2) pendidikan
nilai dilakukan lebih humanis, tidak memfokus pada mengajarkan materi (ajaran-ajaran tentang
nilai), melainkan lebih memperhatikan proses, tidak memfokus pada materi substansi nilai,
melainkan memfokus pada yang mempelajari nilai, dan tidak memfokus pada si pendidik,
melainkan banyak memperhatikan anak sesuai perkembangan psikologisnya. Pendidikan nilai
lebih efektif dengan prinsip ―ing ngarsa sung tulada,‖ dengan contoh dan teladan, karena peran
lingkungan sosial-budaya sangat besar dalam pendidikan nilai, pendidikan moral dan etika, dan
pembentukan karakter. Lingkungan yang moralis sangat diperlukan dewasa ini, terutama iklim
sosial-budaya yang dibentuk oleh para tokoh masyarakat, karena terutama bagi anak dan remaja,
apa yang terjadi dan berlaku dalam masyarakat dianggap itu merupakan sesuatu yang baik,
setidaknya dianggap wajar. Melakukan demonstrasi dengan menutup akses publik, contoh yang
kerap dilakukan masyarakat dewasa ini, akan dianggap sesuatu yang wajar dan tidak salah (sama
dengan baik) sebagai cara untuk menyelesaikan masalah oleh generasi berikut.
Tatang M. Amirin, Nilai dan Pendidikan Nilai
720
DAFTAR PUSTAKA
Belshaw, Cyril S. 1959. ―The Identification of Values in Anthropology‖ The American Journal
of Sociology. Akses internet 2011
BusinessDictionary.com. Akses internet 2011.
ChangingMind.org. Akses internet 2011.
Kids.Net.Au. (Akses internet 2011)
Marriam-Webster. Akses internet. 2011
NSCU (North Carolina Sates University—Summer Reading 2011; Akses internet
Robbins, Stephen P. 2001. Organizational behavior. New Jersey: Prentice Hall International,
Inc.
Smith, Hyrum. Akses internet 2011
Tamu.edu. Akses internet 2011
The Free Dictionary by Farlex. Akses internet 2011
Unesco. 2002. Learning to Be a Holistic Appraoch to Values Education for Human
Development. Bangkok: Unesco Asia Pasific Regional Bureau for Education. Akses
internet 2011.
Wikipedia the free encyclopedia. Akses internet 2011.
Download