BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Kerangka Teori 1. Tinjauan Putusan

advertisement
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Kerangka Teori
1. Tinjauan Putusan Hakim
a. Pengertian Putusan Hakim
Putusan hakim merupakan sesuatu yang diinginkan oleh pihakpihak yang berperkara untuk meyelesaikan sengketa mereka dengan
sebaik-baiknya sebab dengan putusan pengadilan tersebut pihak-pihak
yang bersengketa mengharapkan adaya kepastian hukum dan keadilan
dalam perkara yang mereka hadapi. Untuk itu hakim harus benar-benar
mengetahui duduk perkara yang sebenarnya dan peraturan hukum yang
akan diterapkan.
Arti putusan hakim adalah suatu pernyataan yang oleh hakim
sebagai pejabat negara yang diberi wewenang untuk itu, diucapkan
dipersidangan dan bertujuan untuk mengakhiri atau menyelesaikan suatu
perkara atau sengketa antara para pihak. Bukan hanya diucapkan saja
yang disebut putusan, melainkan juga pernyataan yang dituangkan dalam
bentuk tertulis dan kemudian diucapkan oleh hakim dipersidangan.
(Moh.Tufik Makarao, 2009:125).
Putusan pengadilan adalah pernyataan hakim yang diucapkan
pada sidang pengadilan yang terbuka untuk umum untuk menyelesaikan
atau mengakhiri perkara perdata (Riduan Syahrani, 1988:83). Setiap
putusan pengadilan tertuang dalam bentuk tertulis yang harus
ditandatangani oleh hakim ketua sidang dan hakim-hakim anggota yang
ikut serta memeriksa dan memutuskan perkara serta panitera pengganti
yang mengikuti perbersidangan.
Putusan dibedakan menjadi dua macam, yaitu putusan yang
dalam bahasa Belanda disebut vonis dan penetapan hakim yang dalam
bahasa Belanda disebut beschikking. Suatu putusan diambil untuk
11
12
memutus suatu perselisihan atau sengketa (perkara), sedangkan suatu
penetapan diambil berhubungan dengan suatu permohonan. Putusan
harus diucapkan dalam suatu sidang yang terbuka untuk umum, apabila
suatu putusan tidak diucapkan dalam sidang yang terbuka untuk umum
maka putusan tersebut batal, sedangkan suatu penetapan tidak diharuskan
untuk diucapkan didepan umum.
Suatu putusan harus ditanda tangani oleh ketua sidang dan
panitera yang telah memeriksa perkaranya. Apabila ketua pengadilan
berhalangan menadatangani putusan tersebut, maka ditndatangani oleh
hakim anggota tertua yang ikut dalam memeriksa dan memutus perkara
tersebut. Apabila paniteranya yang behalangan hadir maka harus dicatat
dalam berita acara. Mengenai hal penandatanganan ini Undang-Undang
Pokok Kekuasaan Kehakiman tidak mengatur mengenai ketentuan
tersebut dalam suatu pasal (Subekti, 1989:126).
b. Susunan dan isi putusan
Putusan hakim terdiri dari empat bagian yaitu kepala putusan,
identitas para pihak, pertimbangan dan amar (Sudikno Mertokusumo,
1981: 177). Pertama kepala putusan, setiap putusan pengadilan haruslah
mempunyai kepala pada bagian atas putusan yang berbunyi “Demi
Keadilan Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa” kepala tersebut
merupakan tanda bahwa dokumen yang berkepala kata-kata tersebut,
dapat dijalankan dengan paksa. Apabila kepala putusan ini tidak
dibubuhkan pada suatu putusan pengadilan, maka hakim tidak dapat
melaksanakan putusan tersebut.
Isi
putusan
berikutnya
yaitu
identitas
pihak-pihak
yang
berperkara. Sebagaimana biasanya dalam suatu perkara terdapat
sekurang-kurangnya dua pihak yang saling berhadapan yaitu penggugat
dan tergugat, sehingga dalam putusan harus dimuat identitas para pihak
secara lengkap. Pertimbangan dalam putusan hakim terbagi menjadi dua
bagian pertama mengenai pertimbangan tentang duduknya perkara dan
yang kedua pertimbangan mengenai hukumnya. Setiap perkara perdata
13
dalam putusan pengadilannya harus memuat ringkasan dan jawaban
gugatan dengan jelas, alasan dan dasar putusan, pasal-pasal serta hukum
yang tidak tertulis, pokok perkara, biaya perkara, serta hadir tidaknya
pihak yang berperkara ketika putusan pengadilan diucapkan, hal ini
ditentukan dalam pasal 184 HIR/195 RbG. Walaupun ketentuan tersebut
menentukan gugatan dan jawaban gugatan dalam putusan dimuat secara
ringkas, namun dalam kenyataannya seluruh gugatan dan jawaban dimuat
dalam putusan. Apabila putusan didasarkan pada suatu pasal undangundang tertentu, pasal tersebut harus disebutkan. Dasar-dasar yang
dijadikan alasannya dimaksudkan pertimbangan-pertimbangan yang
mendukung putusan tersebut (Subekti, 1989:126).
Apabila
suatu
putusan
pengadilan
dalam
memberikan
pertimbangan hukumnya kurang maka dapat dijadikan alasan untuk
kasasi dan putusan tersebut harus dibatalkan. Selain itu putusan yang
pertimbangan hukumnya menyimpang dari dasar gugatan harus
dibatalkan. Mengenai amar atau diktum putusan. Putusan pengadilan
merupakan jawaban atas permintaan atau suatu tuntutan, apakah tuntuan
tersebut dikabulkan atau ditolak. Amar putusan dimuat susatu pernyataan
hukum, penetapan suatu hak, hilang atau timbulnya suatu keadaan hukum
dan isi putusan yang disebut hukuman yang berupa pembebanan suatu
prestasi tertentu. Pokok perkara merupakan yang terpenting dalam suatu
amar putusan. Diktum termuat pihak siapa yang benar atas pokok perkara
perselisihan tersebut.
c. Macam-macam Putusan Hakim
Hukum acara perdata mengenal dua macam putusan yaitu putusan
akhir dan bukan putusan akhir hal ini sesuai dengan pasal 185 ayat (1)
HIR:
1) Putusan akhir
Putusan akhir adalah putusan yang mengakhiri perkara pada
tingkat pemeriksaan pengadilan, meliputi pengadilan tingkat pertama,
pengadilan tingkat tinggi dan Mahkamah Agung (Moh. Taufik
14
makarao, 2009:130). Terdapat dua jenis putusan akhir yaitu putusan
hukum yang telah berkekuatan hukum tetap dan putusan hukum yang
belum mempunyai kekuatan hukum tetap (Soeparmono, 2000:126).
Putusan hakim yang telah berkekuatan hukum tetap adalah putusan
yang menurut ketentuan Undang-Undang, tidak ada kesempatan lagi
untuk menggunakan upaya hukum biasa melawan putusan tersebut
(Moh. Taufik makarao, 2009: 131). Sehingga putusan hakim ini tidak
dapat diganggugat kecuali dengan upaya khusus yaitu upaya hukum
luar biasa. Mengenai kektentuan putusan hakim yang telah
berkekuatan hukum tetap Pasal 180 HIR hanya menyebutkan adanya
suatu putusan yang telah mempunyai kekuatan tetap.
Putusan hakim yang belum mempunyai kekuatan hukum tetap
adalah putusan yang menurut ketentuan Perundang-undangan masih
terbuka kesempatan untuk menggunakan upaya hukum melawan
putusan tersebut (Moh. Taufik makarao, 2009: 131). Terhadap
putusan hakim yang belum mempunyai kekuatan hukum tetap ini
dapat dilakukan upaya hukum perlawanan, banding maupun kasasi.
2) Putusan bukan Putusan Akhir
Putusan bukan putusan akhir atau yang biasa disebut putusan
sela atau putusan sementara adalah putusan yang diajukan sebelum
putusan akhir, pengadilan menjatuhkan putusan sementara yang
berfungsi untuk memungkinkan dan mempermudah kelanjutan
pemeriksaan perkara selanjutnya (Abdulkadir Muhammad, 2008:163).
Pasal 185 HIR menentukan bahwa putusan sela harus diucapkan di
persidangan, tidak dibuat secara tersendiri, melainkan hanya
dituliskan dalam berita acara persidangan saja. Pasal 191 ayat (1) HIR
menentukan bahwa putusan sela hanya dapat dimintakan banding
bersama-sama dengan permintaan banding terhadap putusan akhir
(Dalam buku Moh. Taufik makarao, 2009: 129).
15
d. Kekuatan Putusan Hakim
Mengenai kekuatan putusan hakim dalam hukum acara perdata
terdapat tiga macam kekuatan putusan hakim, yaitu kekuatan mengikat,
kekuatan pembuktian, kekuatan eksekutorial atau kekuatan untuk
dijalankan (Soepomo, 2002: 94). Kekuatan mengikat putusan hakim
merupakan putusan yang pasti atau tetap, terhadap putusan tersebut tidak
dapat ditarik kembali. Apabila terhadap putusan hakim tersebut tidak lagi
diakukan upaya hukum maka putusan tersebut menjadi pasti atau tetap
dan memperoleh kekuatan yang mengikat. Hukum acara perdata dikenal
res judicata pro veritate habetur yang artinya putusan yang telah
memperoleh kekuatan hukum tetap dengan sendirinya mengikat apa yang
diputus pengadilan dianggap benar dan pihak-pihak wajib mematuhi dan
memenuhi putusan tersebut (Abdulkadir Muhammad, 2008: 175).
Sifat mengikat putusan pengadilan bertujuan untuk menetapkan
suatu hak atau suatu hubungan hukum antara pihak-pihak yang
berperkara. Akibat dari kekuatan mengikat suatu putusan adalah apa
yang telah diperiksa dan diputus oleh pengadilan tidak boleh diajukan
lagi kepengadilan yang kedudukannya sama untuk yang kedua kalinya
atau yang dikenal dengan asas ne bis in idem.
Putusan hakim yang telah berkekuatan hukum tetap dapat
dijadikan sebagai alat bukti oleh pihak yang berperkara asalkan putusan
tersebut sejalan dengan peristiwa yang terjadi. Karena putusan
pengadilan merupakan pembentukan hukum sehingga putusan yang telah
ditetapkan tersebut dianggap benar sehingga memperoleh kekuatan bukti
sempurna (Abdulkadir Muhammad, 2008: 176). Putusan hakim sebagai
dokumen merupakan suatu akta otentik menurut undang-undang yang
dibuat oleh pejabat yang berwenang, oleh karena itu putusan pengadilan
mempunyai kekuatan pembuktian yang lengkap dan sempurna. Karena
putusan hakim tersebut dituangkan dalam bentuk akta otentik maka
putusan hakim tersebut dapat dijadikan sebagai alat bukti.
16
Putusan hakim mempunyai kekuatan executorial yaitu kekuatan
memaksa, hal ini berarti apa yang ditentukan dalam putusan tersebut
dapat dijalankan dengan paksaan oleh-alat-alat negara (R.soepomo,
2002:107). Kekuatan executorial suatu putusan hakim ini pada dasarnya
tidak dapat dihilangkan kecuali apabila apa yang telah ditentukan dalam
putusan tersebut dijalankan secara sukarela oleh para pihak. Kekuatan
untuk dilaksanakan (eksekutorial) suatu putusan terletak pada kepala
putusan
yang
berbunyi
“DEMI
KEADILAN
BERDASARKAN
KETUHANAN YANG MAHA ESA”.
e. Sifat Putusan
Ditinjau dari segi sifatnya, dalam hukum acara perdata terdapat
beberapa jenis putusan yang dapat dijalankan, yaitu:
1) Putusan deklaratoir
Merupakan putusan yang sifatnya hanya menerangkan atau
menegaskan tentang sesuatu keadaan atau kedudukan hukum sematamata (M. Yahya Harahap, 2012:876). Putusan yang bersifat
deklarator, amar atau diktum putusannya hanya mengandung
pernyataan hukum tanpa dibarengi dengan penghukuman. Putusan ini
pada umumnya terdapat pada perkara volunter yakni perkara
permohonan secara sepihak yang tidak mengandung sengketa dengan
pihak lain. Putusannya hanya mengikat pada diri pemohon sehingga
tidak mengandung kekuatan eksekutorial.
2) Putusan Constitutief
Putusan constitutief atau konstitutif yaitu putusan yang
memastikan suatu keadaan hukum, baik yang bersifat meniadakan
suatu keadaan hukum atau menimbulkan suatu keadaan hukum yang
baru (M. Yahya Harahap, 2012:876). Putusan konstitutif tidak
memerlukan eksekusi karena ketika putusan dibacakan maka seketika
itu juga hilang suatu keadaan hukum dan muncul suatu keadaan
hukum baru.
3) Putusan Condemnatoir
17
Putusan condemnatoir atau kondemnator adalah putusan yang
bersifat menghukum pihak yang dikalahkan untuk memenuhi prestasi
(M.Taufik Makarao, 2009:130). Amar dari putusan kondemnator
adalah menghukum salah satu pihak yang berperkara. Hanya putusan
kondemnator yang memiliki kekuatan eksekutorial, sehingga apabila
para pihak tidak mau memenuhi amar suatu putusan maka dapat
dijalankan eksekusi.
2. Tinjauan Putusan Serta Merta (Uitvoerbarr bij voorrad)
a. Pengertian Putusan Serta-merta
Uitvoerbarr bij voorrad atau putusan serta-merta adalah putusan
pengadilan yang bisa dijalankan terlebih dahulu, meskipun terhadap
putusan tersebut dilakukan upaya hukum banding, kasasi atau
perlawanan oleh pihak yang kalah atau pihak ketiga yang merasa berhak
(Muhammad Husni, dkk. 2013: 32).
b. Dasar Hukum Putusan Serta Merta
Putusan Serta Merta diatur dalam Pasal 180 ayat (1) HIR.
Ketentuan Pasal 180 ayat (1) HIR mengatur bahwa:
Ketua Pengadilan Negeri dapat memerintahkan supaya keputusan
itu dijalankan dahulu biarpun ada perlawanan atau bandingan, jika
ada surat yang sah, suatu surat tulisan yang menurut aturan yang
berlaku dapat diterima sebagai bukti atau jika ada hukuman lebih
dahulu dengan keputusan yang sudah mendapat kekuasaan pasti
demikian juga jika dikabulkan tuntutan dahulu, lagi pula di dalam
perselisihan tentang hak kepunyaan.
Berdasarkan
ketentuan
tersebut
hakim
berwenang
untuk
menjatuhkan putusan yang berisi diktum memerintahkan pelaksanaan
lebih dahulu putusan meskipun belum mempunyai kekuatan hukum tetap,
namun hal ini bersifat eksepsional. Penerapan Pasal 180 HIR dimaksud
harus berdasarkan syarat-syarat yang sangat khusus. Syarat yang harus
dipenuhi, yaitu:
1) Ada surat yang sah (akta otentik) atau tulisan di bawah tangan yang
menurut Undang-Undang mempunyai kekuatan bukti,
18
2) Putusan didasarkan atas putusan terdahulu yang sudah mempunyai
kekuatan hukum yang tetap,
3) Dikabulkannya tuntutan dahulu (Provisionil) dalam sengketa tentang
hak milik (M.Taufik Makarao, 2009: 132).
Apabila suatu putusan pengadilan didasarkan pada salah satu di
antara syarat yang telah ditentukan tersebut, maka majelis hakim
pengadilan dapat memerintahkan supaya putusan tersebut dapat
dijalankan terlebih dahulu, namun selain harus memenuhi syarat tersebut
juga harus memenuhi syarat yang terdapat dalam SEMA Nomor 3 Tahun
2000 tentang putusan serta merta dan provisionil
c. Pelaksanaan Putusan Serta Merta
Pada prinsipnya suatu putusan dapat dilaksanakan setelah putusan
tersebut berkekuatan hukum tetap, namun terdapat penegecualian yaitu
terhadap putusan serta-merta dapat dilaksanakan eksekusi walaupun
belum berkekuatan hukum tetap. Pelaksanaanya dilakukan dengan
mengindahkan ketentuan yang telah ditentukan dalam Pasal 180 ayat (1)
HIR dan SEMA Nomor 3 Tahun 2000 dan SEMA Nomor 4 Tahun 2001.
d. SEMA yang mengatur Putusan Serta Merta
Mahkamah Agung sebagai pengawas tertinggi penyelenggaraan
peradilan, menerbitkan Surat Edaran Mahkamah Agung yang berlaku
kepada semua pengadilan atau hakim di Indonesia, yang berisi petunjuk,
saran maupun peringatan dalam penyelenggaraan peradilan. Berikut ini
SEMA yang diterbitkan oleh Mahkamah Agung:
1) SEMA Nomor 3 Tahun 2000 Tentang Putusan Serta Merta dan
Provisionil
SEMA Nomor 3 Tahun 2000 yang diterbitkan oleh Mahkamah
Agung yang pada intinya mencabut SEMA Nomor 16 Tahun 1969,
SEMA Nomor 3 Tahun 1971, SEMA Nomor 3 Tahun 1978 serta
semua SEMA yang terkait dengan putusan serta merta. SEMA ini
juga melarang hakim menjatuhkan putusan sera merta, kecuali dalam
hal:
19
a) Gugatan didasarkan pada bukti surat otentik atau surat tulisan
tangan yang tidak dibantah kebenaran tentang isi dan tanda
tangannya.
b) Gugatan tentang utang piutang yang jumlahnya sudah pasti dan
tidak dibantah.
c) Gugatan tentang sewa-menyewa tanah, rumah, gedung, dan lainlain dimana hubungan sewa menyewanya sudah habis atau
penyewa tebukti melalaikan kewajibannya sebagai penyewa
yang beriktikad baik.
d) Pokok gugatan mengenai tuntutan pembagian harta perkawinan
setelah putusan mengenai gugatan cerai mempunyai kekuatan
hukum tetap.
e) Dikabulkannya gugatan provisionil dengan mempertimbangkan
hukum yang tegas.
f) Gugatan berdasarkan putusan yang telah mempunyai kekuatan
hukum tetap dan mempunyai hubungan dengan pokok gugatan
yang diajukan.
g) Pokok sengketa mengenai sengketa hak milik (Sarwono,
2014:124).
Mencegah timbulnya kerugian pada salah satu pihak maka
Mahkamah Agung dalam SEMA ini mengeluarkan ketentuan bahwa
dalam mengabulkan putusan serta merta dan provisionil diharuskan
adanya suatu jaminan yang nilainya sama dengan nilai barang atau
objek eksekusi, jika ternyata di kemudian hari putusan serta merta
yang dijatuhkan pengadilan tingkat pertama dibatalkan oleh
pengadilan yang lebih tinggi.
2) SEMA Nomor 4 Tahun 2001 Tentang Permasalahan Putusan Serta
Merta dan Provisionil
SEMA Mahkamah Agung ini menegaskan kembali kepada ketua
pengadilan negeri dan pengadilan agama di Indonesia dalam
pelaksanakan putusan serta merta harus disertai pemberian jaminan
20
yang nilainya sama dengan nilai objek eksekusi, Sehingga tidak
menimbulkan kerugian pada pihak lain apabila ternyata dikemudian
hari putusan pengadilan Negeri dibatalkan oleh putusan pengadilan
tinggi. Tanpa adanya jaminan tersebut, tidak boleh ada pelaksanaan
putusan serta merta. Hal ini sesuai dengan butir 7 SEMA Nomor 3
Tahun 2000 yang menyebutkan:
Adanya pemberian jaminan yang nilainya sama dengan
nilai barang/obyek eksekusi sehingga tidak menimbulkan
kerugian pada pihak lain apabila ternyata dikemudian hari
dijatuhkan putusan yang membatalkan putusan Pengadilan
tingkat pertama. (Dalam buku Hari Sasangka dan Ahmad
Rifai, 2005: 347).
3. Tinjauan Tentang Eksekusi
a. Pengertian Eksekusi
Pengertian ekseksi atau pelaksanaan putusan pengadilan, tidak lain
dari pada melaksanakan secara paksa putusan pengadilan dengan bantuan
kekuatan umum apabila pihak yang kalah tidak mau menjalankannya
secara sukarela (Depri Liber Sonata, 2012: 3).
b. Sumber Aturan Eksekusi
Eksekusi merupakan tindakan hukum yang dilakukan oleh
pengadilan terhadap pihak yang dinyatakan kalah dalam suatu perkara,
eksekusi merupakan lanjutan dari pemeriksaan perkara. Eksekusi
merupakan suatu kesatuan dari pelaksanaan tata tertib beracara yang
terdapat dalam HIR atau RBg.
Cara-cara menjalankan putusan pengadilan atau yang biasa disebut
eksekusi diaatur dalam Pasal 195 sampai dengan Pasal 224 HIR atau
Pasal 206 sampai Pasal 258 RBG, namun tidak semua ketentuan tersebut
masih berlaku efektif, yang masih berlaku efektif adalah Pasal 195
sampai Pasal 208 dan Pasal 224 HIR atau Pasal 206 sampai Pasal 240
dan Pasal 258 RBg. Sedangkan Pasal 209 sampai dengan Pasal 223 HIR
atau Pasal 242 sampai Pasal 257 RBg yang mengatur tentang sandera
tidak lagi berlaku secara efektif (M.Yahya Harahap, 2009:2).
21
Penghapusan pasal-pasal eksekusi yang berkenaan dengan aturan
sandera dilakukan oleh Mahkamah Agung melalui Surat Edaran Nomor
2/1964 pada tanggal 22 januari 1964 yang telah direduksi oleh PERMA
No. 1 Tahun 2000. Menurut PERMA terhadap debitur tertentu dapat
dijadikan penyanderaan apabila terpenuhi syarat-syarat yang disebut di
dalamnya.
Pasal 225 HIR atau Pasal 259 RBg ini mengatur eksekusi tentang
putusan pengadilan yang menghukum Tergugat untuk melakukan suatu
perbuatan hukum. Pasal 180 HIR atau Pasal 191 RBG yang mengatur
tentang pelaksanaan putusan serta-merta. Undang-Undang Nomor 48
Tahun 2009 Pasal 54 ayat (3) tentang kekuasaan kehakiman, SEMA
Nomor 4 Tahun 2001 tentang putusan serta-merta dan provisi, UndangUndang Nomor 4 tahun 1996 tentang hak tanggugan (Hipotik), UndangUndang Nomor 42 tahun 1999 tentang fiducia eigendom overdracht dan
peraturan lelang Nomor 189 tahun 1908.
c. Asas-asas Eksekusi
1) Putusan Telah Berkekuatan Hukum Tetap
Tidak semua putusan pengadilan mempunyai kekuatan
eksekutorial, artinya tidak semua putusan pengadilan dapat
dieksekusi. Putusan yang dapat dieksekusi pada prinsipnya hanya
putusan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap (inkracht van
gewijsde) yang dapat dijalankan.
Putusan yang masih ada pihak yang mengajukan upaya
hukum berupa banding atau kasasi putusan belum berkekuatan
hukum tetap. Selama putusan belum memperoleh kekuatan hukum
tetap, upaya dan tindakan eksekusi belum berfungsi. Eksekusi baru
berfungsi sebagai tindakan hukum yang sah dan memaksa, terhitung
sejak tangal putusan memperoleh kekuatan hukum tetap dan pihak
tergugat atau pihak yang kalah tidak mau menaati dan memenuhi
putusan secara sukarela.
22
Terhadap asas tersebut diatas terdapat pegecualian dalam
kasus-kasus tertentu undang-undang memperbolehkan eksekusi
terhadap putusan yang belum memperoleh kekuatan hukum tetap.
Terhadap pengecualian tersebut eksekusi dapat dijalankan sesuai
dengan aturan tatacara eksekusi atas putusan yang telah memperoleh
kekuatan hukum tetap. Ada beberapa bentuk pengecualian yang
dibenarkan oleh Undang-Undang, yaitu putusan pengadilan yang
dapat dijalankan lebih dulu, pelaksanaan putusan provisi, akta
perdamaian, eksekusi terhadap Gros Akta dan eksekusi atas hak
tanggungan dan fidusia (M. Yahya Harahap, 2009: 8).
Pertama pelaksanaan putusan yang dapat dijalankan lebih
dulu diatur dalam Pasal 180 ayat (1) HIR/ 191 ayat (1) RBg yang
memberikan hak kepada penggugat untuk mengajukan permintaan
agar putusan dapat dijalankan lebih dahulu, sekalipun terhadap
putusan itu pihak tergugat mengajukan banding atau kasasi.
Terhadap permintaan tersebut hakim dapat menjatuhkan putusan
yang memuat amar putusan dapat dilaksanakan lebih dahulu, yang
biasanya disebut dengan putusan serta-merta (Yahya Harahap,
2009:9)
Pengecualian yang kedua pelaksanaan putusan provisi yaitu
pengecualian eksekusi terhadap putusan yang telah berkekuatan
hukum tetap. Pasal 180 ayat (1) HIR/ 191 ayat (1) RBg terdapat
gugatan provisi. Apabila hakim mengabulkan gugatan provisi
tersebut, putusan tesebut dapat dijalankan meskipun perkara
pokoknya belum diputus. Hal ini berarti diperbolehkan menjalankan
pelaksanaan putusan provisi mendahului pemeriksaan dan putusan
pokok perkara.
Bentuk pengecualian yang ketiga adalah akta perdamaian
yang diatur dalam Pasal 130 HIR/154 RBg, menurut pasal tersebut
selama proses persidangan kedua belah pihak yang berperkara dapat
berdamai baik atas inisiatif sendiri maupun atas anjuran hakim. Jika
23
tercapai perdamaian maka hakim akan membuat akta perdamaian
yang amarnya menghukum kedua belah pihak untuk memenuhi isi
akta perdamaian. Sifat akta perdamaian tersebut mempunyai
kekuatan eksekusi seperti putusan yang telah memperoleh kekuatan
hukum tetap (Yahya Harahap, 2009:10)
Terhadap akta perdamain yang dibuat dipersidangan oleh
hakim boleh dijalankan eksekusi. Undang-Undang menempatkan
akta perdamaian yang dibuat oleh hakim sebagai putusan yang telah
memperoleh kekuatan hukum tetap sehingga sejak lahirnya tanggal
perdamaian melekat kekuatan eksekutorial. Padahal akta perdamaian
bukan putusan pengadilan, namun Pasal 130 HIR/154 RBg
mensejajarkannya dengan putusan yang telah mempnyai kekuatan
hukum tetap.
Pengecualian keempat yang diatur dalam Undang-Undang
adalah menjalankan eksekusi terhadap Gros Akta yang diatur dalam
Pasal 224 HIR/258 RBg. Menurut pasal ini eksekusi yang dijalankan
adalah memenuhi isi perjanjian yang dibuat oleh para pihak. Hal ini
merupakan pengecualian eksekusi terhadap putusan yang telah
berkekuatan
hukum
tetap.
Pasal
224
HIR
/258
RBg
memperkenankan eksekusi terhadap perjanjian asalkan perjanjian
tersebut berbentuk Gros Akta, karena perjanjian ini sama dengan
putusan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap sehingga
melekat kekuatan eksekutorial.
Pengecualian
yang terakhir
yaitu eksekusi
atas hak
tanggungan berdasarkan Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996
tentang Hak Tanggungan dan eksekusi atas jaminan fidusia
berdasarkan Undang-Undang Nomor 42 tentang Jaminan Fidusia.
Terhadap keduanya pihak kreditor dapat langsung meminta eksekusi
apabila debitur wanprestasi. Kreditor juga dapat melakukan eksekusi
penjualan
lelang
tanpa
campur
tangan
diperjanjikan klausul kuasa menjul sesuatu.
pengadilan
apabila
24
2) Putusan Tidak Dijalankan Secara Sukarela
Pada
prinsipnya
pelaksanaan
putusan
pengadilan
dilaksanakan pihak tergugat atau pihak yang kalah secara sukarela.
Namun, apabila pihak tersebut tidak mau menjalankannya, maka
pelaksanaan putusan pengadilan dilakukan dengan upaya paksa.
Dengan demikian eksekusi tidak diperlukan jika pihak Tergugat
sudah menjalankan putusan secara sukarela disertai itikad baik.
Eksekusi dalam suatu perkara berfungsi apabila pihak yang
kalah tidak bersedia menaati dan menjalankan putusan secara
sukarela. Karena tidak dijalankan secara sukarela menimbulkan
konsekuensi hukum berupa tindakan paksa yang disebut eksekusi.
Dengan demikian salah satu prinsip yang melekat pada eksekusi
menjalankan putusan secara paksa merupakan tindakan yang timbul
apabila pihak tergugat tidak menjalankan putusan secara sukarela.
3) Putusan yang dapat dieksekusi bersifar Condemnatoir
Prinsip yang harus dipenuhi dalam eksekusi yaitu suatu
putusan tersebut memuat amar condemnatoir. Hanya putusan yang
bersifat condemnatoir yang bisa dieksekusi yaitu putusan yang
amarnya mengandung unsur penghukuman. Hukum acara perdata
hanya putusan yang bersifat menghukum saja yang dapat dilakukan
eksekusi secara paksa, apabila perlu dengan menggunakan bantuan
kekuatan umum.
4) Eksekusi Atas Perintah dan di bawah Pimpinan Ketua Pengadilan
Negeri
Mengenai asas ini diatur dalam Pasal 195 ayat (1) HIR/ Pasal
206 ayat (1) RBg. Jika terdapat putusan yang dalam tingkat pertama
diperiksa dan diputus oeh pengadilan negeri, maka eksekusi atas
putusan tersebut berada di bawah perintah dan pimpinan ketua
Pengadilan Negeri yang bersangkutan. Sebagaimana ketentuan Pasal
195 Ayat (1)/ 206 Ayat (1) Rbg menyatakan bahwa “Dalam Hal
mejalankan putusan pengadilan negeri, dalam perkara yang pada
25
tingkat pertama diperiksa oleh pengadilan negeri maka dilakukan
atas perintah dan dengan pimpinan ketua pengadilan negeri yang
pada tingkat pertama memeriksa perkara itu”.
d. Bentuk-bentuk Eksekusi
Sudikno Mertokusumo berpendapat bahwa eksekusi perdata
diklasifikasikan menjadi tiga jenis, yaitu:
1) Pembayaran sejumlah uang yang diatur dalam Pasal 196 HIR/208
RBg;
2) Melakukan suatu perbuatan diatur dalam Pasal 225 HIR/259 RBg;
3) Eksukusi riil atau pengosongan benda tetap diatur dalam Pasal 1033
Rv (Sudikno Mertokusumo, 1998: 240).
Sedangkan M.Yahya Harahap berpendapat bahwa jenis eksekusi
ada dua yaitu eksekusi Riil dan eksekusi pembayaran sejumlah uang.
Eksekusi melakukan sesuatu atau tidak melakukan sesuatu termasuk
kedalam eksekusi riil. Eksekusi pembayaran sejumlah uang obyek
eksekusinya adalah sejumlah uang yang harus dibayarkan, dengan amar
putusan hakim yang berisi perintah penghukuman pembayaran
sejumlah uang. Eksekusi ini diperlukan syarat dan tatacara yang tertib
dan rinci, agar tidak terjadi penyalahgunaan yang dapat merugikan
salah satu pihak. Ditinjau dari segi praktek eksekusi pembayaran
sejumlah uang ini pada umumnya tetap melalui proses penjualan lelang
terhadap harta benda kekayaan tergugat, sehingga diperlukan tatacara
yang cermat dalam pelaksanaan eksekusinya dimana eksekusi harus
melalui tahap executorial beslag dan dilanjutkan dengan penjualan
lelang yang melibatkan jawatan lelang.
Eksekusi pembayaran sejumlah uang tidak hanya didasarkan
atas putusan pengadilan tetapi dapat juga didasarkan atas bentuk akta
tertentu yang oleh undang-undang disamakan nilainya dengan putusan
yang memperoleh kekuatan hukum tetap antara lain teridri dari gross
akta pengakuan hutang, gros akta hipotek, crediet verband, hak
tanggungan dan jaminan fidusia (M.Yahya Harahap, 2009:26).
26
Eksekusi putusan yang menghukum orang untuk melakukan
suatu perbuatan diatur dalam Pasal 225 HIR. Seseorang tidak dapat
dipaksakan untuk memenuhi prestasi yang berupa melakukan suatu
perbuatan. Akan tetapi pihak yang dimenangkan dapat meminta kepada
hakim agar kepentingan yang akan diperolehnya dinilai dengan uang
(Sudikno Mertokusumo, 1998: 240).
Mengenai eksekusi rill atau eksekusi pengosongan benda tetap
dalam Undang-Undang tidak mengatur secara terperinci, karena
eksekusi riil memiliki sifat yang mudah dan sederhana sehingga tidak
diperlukan prosedur dan formalitas yang rumit. Pasal yang mengatur
eksekusi riil yaitu pasal 1033 Rv, merumuskan bahwa
Kalau putusan hakim menghukum (memerintahkan)
pengosongan barang yang tidak bergerak dan putuan itu tidak
dijalankan (secara sukarela) oleh pihak yang kalah (tergugat),
ketua Pengadilan megeluarkan surat perintah kepada juru sita
untuk melaksanakan pengosongan atas barang tersebut.
Pengosongan itu meliputi diri orang yang dihukum
(dikalahkan), keluarga, serta seluruh barang-barangnya dan
pelaksanaan pengosongan dapat dilakukan dengan bantuan
kekuatan umum.
Eksekusi riil hanya mungkin terjadi dan diterapkan
berdasarkan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan
hukum tetap, bersifat dijalankan lebih dulu, berbentuk provisi dan
berbentuk akta perdamaian disidang pengadilan (M.Yahya Harahap,
2009:26).
27
B. Kerangka Pemikiran
Gugatan
Putusa Nomor
08/Pdt.G/PN.Pwr
Banding
180 ayat (1) HIR/
pasal 191 (1) RBG
Putusan Serta merta Nomor
08/Pdt.G/PN.Pwr
SEMA Nomor 3
tahun 2000
tentang putusan
serta-merta dan
provisionil
Eksekusi Putusan Serta
Merta Nomor
08/Pdt.G/PN.Pwr
Prosedur Pelaksanaan
Eksekusi Putusan Serta
Merta
Hambatan Pelaksanaan Eksekusi
Putusan Serta Merta Nomor
08/Pdt.G/PN.Pwr
Gambar 2: Skema Kerangka Pemikiran
28
Keterangan:
Kerangka pemikiran tersebut menggambarkan alur pemikiran peneliti
mengenai eksekusi putusan serta-merta. Penelitian ini menyajikan mengenai
gugatan yang diputus oleh Pengadilan Negeri Purworejo dengan Nomor
08/Pdt.G/2011/PN.Pwr.
Terhadap
putusan
tersebut
pihak
yang
menang
mengajukan permohonan putusan serta-merta. Hakim Pengadilan Negeri
Purworejo mengabulkan permohonan putusan serta merta tersebut dengan
pertimbangan hukum berdasarkan pada ketentuan dan syarat-syarat yang terdapat
dalam Pasal 180 ayat (1) HIR / Pasal 191 (1) RBG dan SEMA Nomor 3 Tahun
2000 tentang Putusan Serta-merta dan provisi. Pihak yang menang dalam perkara
ini mengajukan permohonan pelaksanaan eksekusi Putusan serta merta. Jika
permohonan dikabulkan maka eksekusi terhadap objek sengketa sudah dapat
dilaksanakan. Eksekusi dapat dijalankan apabila ada permohonan eksekusi dari
pihak yang menang. Dalam proses penjatuhan putusan sampai pelaksanaan atau
eksekusinya tidaklah mudah harus memenuhi prosedur yang telah ditentukan,
selain itu ketua Pengadilan Negeri juga mengalami hambatan dalam
melaksanakan putusan serta merta.
Dari alur pemikiran tersebut, maka yang menjadi penelitian penulis adalah
mengenai bagaimana prosedur pelaksanaan eksekusi putusan serta-merta dan apa
hambatan yang dihadapi dalam pelaksanaan eksekusi putusan serta merta nomor
08/Pdt.G/PN.Pwr.
Download