BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Cacing Eudrilus eugeniae (African Night Crawler /ANC) 1. Klasifikasi cacing Eudrilus eugeniae Kingdom : Animalia Phylum : Annelida Kelas : Clitellata Subkelas : Oligochaeta Ordo : Megadrilacea Famili : Eudrilidae Genus : Eudrilus Spesies : Eudrilus eugeniae (Sumber: Kingberg (1867) dalam Manish Kumar Singh (2014)). Cacing Eudrilus eugeniae satu lagi jenis cacing tanah yang memilki potensi untuk di budidayakan oleh para peternak cacing yaitu Cacing African Night Crawler (ANC) atau dikenal Eudrilus eugeniae . Cacing ini berasal dari dataran tropis hangat benua Afrika yang telah banyak dikembangkan untuk keperluan ternak diberbagai penjuru dunia. Di Indonesia cacing Eudrilus eugeniae adalah cacing lokal yang biasa digunakan untuk campuran pakan ikan karena kandungan proteinnya yang tinggi. Namun pada kenyataanya, di Indonesia cacing ini belum terlalu populer padahal iklim tropis Indonesia bisa sangat mendukung pertumbuhan 8 cacing Eudrilus eugeniae seperti suhu hangat dan udara lembab daripada dataran eropa yang umumnya bersuhu dingin (Jorge Dominguez., dkk., 2001: 341). Cacing Eudrilus eugeniae memiliki ukuran tubuh yang lebih besar dari cacing tanah jenis Lumbricus, panjang tubuhnya dapat mencapai 35 cm pada usia dewasa. Cacing ini memiliki kebiasaan unik dibandingkan dengan jenis cacing yang lain karena pada umumnya cacing Eudrilus eugeniae lebih sering melakukan perkawinan pada permukaan tanah dan dilakukan pada malam hari. Ciri fisik Eudrilus eugeniae yaitu: a. Tubuhnya berwarna keunguan b. Terdapat garis pada bagian tengah perut mulai dari bawah kepala sampai pangkal ekor c. Ukuran tubuhnya besar, bahkan mampu sebesar pensil dengan panjang antara 30-35 cm pada usia dewasa. d. Bentuk pipih dengan ekornya yang tampak lebih runcing dibandingkan kepala e. Klitelum lebih dekat dengan kepala f. Gerakannya bervariasi ada yang cepat ada juga yang lamban Suhu atau temperatur udara 25°C {25°C = 77°F} akan berpengaruh secara signifikan terhadap pertumbuhan, kematangan dan produksi biomassa cacing Eudrilus eugeniae dibandingkan dengan suhu 15°C, 20°C atau 30°C. Jumlah terbesar kokon per minggu dan jumlah individu per kokon diperoleh 9 pada kisaran suhu 25°C, kokon Eudrilus eugeniae akan menetas hanya 12 hari pada suhu 25°C. Setelah menetas, untuk mencapai kematangan seksual (mencapai dewasa) cacing membutuhkan periode waktu ± 35 hari (Jorge Dominguez., dkk., 2001: 343). 2. Struktur tubuh Segmen Anus mulut (Prostomium) Pori-pori pada setiap segmen bagian bawah Rambut (Seta) pada setiap segmen bagian bawah) Klitelum Gambar 1. Struktur Tubuh Cacing Tanah. (Sumber: Rahmat Rukmana, 2008: 16) Gambar 1 merupakan tampilan struktur tubuh cacing tanah. Tubuh cacing tanah dideskripsikan menjadi lima bagian yang terdiri atas bagian depan (anterior), bagian tengah, bagian belakang (posterior), bagian punggung (dorsal), dan bagian bawah atau perut (ventral). Bentuk tubuh cacing tanah umumnya silindris memanjang. Mulut terdapat pada segmen pertama, sedangkan anus pada segmen yang terakhir (Rahmat Rukmana, 2008: 17). 10 Bibir mulut (prostomium) berupa tonjolan daging yang dapat menutup lubang mulut. Bibir mulut dan anus tidak merupakan segmen tubuh, melainkan bagian dari tubuh tersendiri. Cacing tanah dewasa terdapat alat untuk menyiapkan proses perkembangbiakan yang disebut “klitelum”. Klitelum merupakan bagian cacing tanah yang menebal, terletak diantara anterior dan posterior, warnanya lebih terang daripada warna tubuhnya (Rahmat Rukmana, 2008: 17). Tubuh cacing tanah terdiri dari segmen-segmen. Setiap segmen (sumite) terdapat rambut pendek dan keras yang disebut “seta” (setae). Seta berfungsi sebagai pencengkram atau pelekat yang kuat pada tempat cacing tanah itu berada. Apabila cacing tanah bergerak, daya lekat seta diatur secara kuat. Gerakan cacing tanah diatur pula oleh otot memanjang dan otot melingkar. Kontraksi otot longitudinal menyebabkan tubuh cacing tanah bisa memanjang dan memendek. Sedangkan kontraksi otot sirkuler menyebabkan tubuh cacing tanah mengembang dan mengkerut. Sinkronisasi kontraksi kedua jenis otot ini menimbulkan gaya gerak ke depan. Kalau diperhatikan kelihatan lemah, tetapi sebetulnya tidak demikian, cacing tanah relatif kuat karena dengan susunan otot yang melingkar dan memanjang cacing tanah dapat menembus tanah. Bila seekor cacing tanah ditarik dari lubangnya, tubuhnya akan putus. Hal ini disebabkan karena daya lekat seta cacing tanah dapat mendorong suatu benda atau batu kecil yang 60x lebih berat dari tubuhnya sendiri, tetapi bila tidak dapat didorong, tanah itu akan 11 dimakannya dan setelah itu bersama-sama kotoran dikeluarkan atau disembulkan melalui anus (Rahmat Rukmana, 2008: 16-18). Bagian bawah (ventral) terdapat pori-pori yang letaknya tersusun atas segmen dan berhubungan dengan alat ekskresi (nephredia) yang ada dalam tubuh. Nephredia ini mengeluarkan zat-zat sisa yang telah berkumpul di dalam rongga tubuh (rongga selomik) berupa cairan. Fungsi pori-pori adalah untuk menjaga kelembaban kulit cacing tanah agar selalu basah, karena cacing bernapas melalui kulit basah tersebut. Kulit luar (kutikula) selalu dibasahi oleh kelenjar-kelenjar lendir (kelenjar mucus). Lendir ini terusmenerus diproduksi cacing tanah untuk membasahi tubuhnya agar dapat bergerak dan melicinkan tubuhnya supaya lebih mudah bergerak di tempattempat yang kasar, misalnya pada daun-daun dan ranting-ranting tanaman yang gugur. Lendir dipakai untuk memperlicin saluran atau lubang di dalam tanah, sehingga leluasa bergerak di dalam lubang (Rahmat Rukmana, 2008: 16-18). 3. Sistem pencernaan Sistem pencernaan cacing tanah terdiri dari mulut pada segmen pertama, faring, esofagus (kerongkongan), tembolok (crop) yang merupakan pelebaran dari kerongkongan, perut otot, usus, dan anus. Proses pencernaan dibantu oleh enzim - enzim yang dikeluarkan oleh getah pencernaan secara ekstrasel. Makanan cacing berupa daun-daunan serta sampah organik yang sudah lapuk. Cacing tanah dapat mencerna senyawa organik tersebut 12 menjadi molekul yang sederhana yang dapat diserap oleh tubuhnya. Sisa pencernaan makanan dikeluarkan melalui anus. Gambar 2. Struktur Sistem Pencernaan Cacing Tanah. (Sumber: Rahmat Rukmana, 2008: 19) Sistem pencernaan (metabolisme) makanan cacing tanah melalui alur sebagai berikut: a. Makanan dimakan melalui atau oleh bibir mulut atau protomium, lalu dimasukkan ke dalam faring (pharynx), ke esophagus dan selanjutnya ke tembolok (crop). b. Makanan disimpan sementara untuk disalurkan ke lambung otot, di dalam lambung otot (perut otot), makanan dihancurkan oleh gerakan otot lambung dan dibantu pasir serta benda-benda keras yang dimakan 13 cacing tanah. Di samping itu, saluran pencernaan makanan mengeluarkan enzim-enzim untuk mencerna makanan. c. Makanan yang tercerna diserap oleh usus, lalu diproses dari bentuk komplek menjadi sederhana, diabsorbsi oleh dinding usus halus masuk ke dalam pembuluh darah, dan selanjutnya melalui anus sehingga dihasilkan kascing (Rahmat Rukmana, 2008: 18-19). 4. Sistem peredaran darah Cacing tanah mempunyai alat peredaran darah yang terdiri atas pembuluh darah punggung, pembuluh darah perut dan lima pasang lengkung aorta. Lengkung aorta berfungsi sebagai jantung. Darah cacing tanah terdiri dari sel darah putih (leukosit) dan darah merah (hemoglobin). Cacing tanah memiliki sistem peredaran darah tertutup, karena darah dialirkan atau dipompa dari 5 pasang jantung ke saluran darah perut untuk dikirim ke seluruh tubuh. Pada sistem peredaran darah ini, darah diedarkan melewati arteri dan kembali ke jantung melewati vena. Dalam proses peredaran darah terjadi pengangkutan zat makanan dan oksigen (O2) ke selsel atau jaringan tubuh dengan melepaskan CO2 ke udara. Darah yang mengandung oksigen akan masuk kembali ke jantung. Bersama-sama proses peredaran darah terjadi pula proses pernapasan (Rahmat Rukmana, 2008: 19). Cacing tanah bernapas dengan kulit. Di atas kulit terdapat lapisan kutikula berfungsi mengambil oksigen langsung dari udara dengan 14 melepaskan CO2 ke udara. Kelebihan sistem peredaran tertutup adalah sistem peredaran tertutup beroperasi dengan tekanan darah yang lebih tinggi. Selain itu, lebih efisien karena menggunakan darah jauh lebih sedikit untuk tingkat yang lebih tinggi dan lebih cepat dari distribusi. Karena darah beroksigen dapat mencapai ekstremitas tubuh jauh lebih cepat dibandingkan dengan sistem terbuka, organisme dengan sistem tertutup dapat memetabolisme lebih cepat, yang memungkinkan mereka untuk bergerak, mencerna dan menghilangkan limbah jauh lebih cepat. Selain itu, karena distribusi yang efisien sehingga antibodi, respon imun yang lebih kuat, membantu tubuh untuk melawan infeksi yang lebih kuat (Rahmat Rukmana, 2008: 19-20). Cacing tanah memiliki dua pembuluh darah utama dorsal dan ventral yang membawa darah menuju kepala atau ekor. Karena epidermis dari cacing tanah yang sangat tipis dan terus-menerus bersifat lembab, ada banyak kesempatan untuk pertukaran gas yang membuat sistem relatif tidak efisien. Ada juga organ khusus dalam cacing tanah untuk menghilangkan limbah nitrogen. Namun, darah dapat mengalir ke belakang dan sistem ini hanya sedikit lebih efisien daripada sistem terbuka serangga. Banyak invertebrata tidak memiliki sistem peredaran darah sama sekali. Sel-sel mereka cukup dekat dengan lingkungan mereka untuk pertukaran oksigen, gas-gas lainnya, nutrisi, dan produk-produk limbah dalam berdifusi keluar dari dan ke dalam sel mereka. Pada hewan dengan beberapa lapisan sel, 15 terutama hewan tanah, sistem peredaran darah ini tidak akan bekerja, karena sel-sel mereka terlalu jauh dari lingkungan eksternal untuk berosmosis dan difusi sederhana (Rahmat Rukmana, 2008: 20). Gambar 3. Bagian Pembuluh Darah Cacing Tanah. (Sumber: Sylvia Mader, 2012) Gambar 4. Letak Pembuluh Darah Cacing Tanah. (Sumber: Sylvia Mader, 2012) Darah cacing tanah mengandung hemoglobin, sehingga berwarna merah. Pembuluh darah yang melingkari esopagus berfungsi memompa darah keseluruh tubuh. Sistem saraf annelida adalah sistem saraf tangga tali. Ganglia otak terletak di depan faring pada anterior (Sylvia Mader, 2012). 16 Ginjal juga terdapat ginjal yang berfungsi mengatur kesimbangan cairan tubuh. Ginjal memfiltrasi hasil metabolism protein berupa nitrogen, lalu sisa-sisa metabolism dibuang ke luar tubuh melalui lubang pelepasan yang terdapat pada kulit (Sylvia Mader, 2012). Semua gerakan atau aktivitas tubuh diatur oleh susunan saraf yang terdiri atas, simpul saraf bagian depan dan bagian perut serta serabutserabutnya. Pada simpul saraf bagian depan terdapat otak. Getaran atau rangsangan yang berasal dari musuh atau kawan dapat diterima oleh ujung serabut-serabut saraf pada kulit, selanjutnya disalurkan ke otak. Cacing tanah tidak tahan terhadap sinar ultraviolet. Bila cacing tanah terkena sinar ultraviolet selama satu menit saja dapat langsung mematikan cacing tersebut (Rahmat Rukmana, 2008: 19-20). 5. Sistem ekskresi Ekskresi dilakukan oleh organ ekskresi yang terdiri dari nefridia, nefrostom, dan nefrotor. Nefridia (tunggal – nefridium) merupakan organ ekskresi yang terdiri dari saluran. Nefrostom merupakan corong bersilia dalam tubuh. Nefrotor merupakan pori permukaan tubuh tempat kotoran keluar. Terdapat sepasang organ ekskresi tiap segmen tubuhnya (Campbell., dkk., 2004: 115). 17 Gambar 5. Sistem Ekskresi Pada Cacing Tanah. (Sumber: Campbell., dkk., 2004: 115) Metanefridium memiliki dua lubang. Lubang yang pertama berupa corong, disebut nefrostom (di bagian anterior) dan terletak pada segmen yang lain. Nefrostom bersilia dan bermuara di rongga tubuh (pseudoselom). Rongga tubuh ini berfungsi sebagai sistem pencernaan. Corong (nefrostom) akan berlanjut pada saluran yang berliku-liku pada segmen berikutnya. Bagian akhir dari saluran yang berliku-liku ini akan membesar seperti gelembung. Kemudian gelembung ini akan bermuara ke bagian luar tubuh melalui pori yang merupakan lubang (corong) yang ke dua disebut nefridiofor. Cairan tubuh ditarik ke corong nefrostom masuk ke nefridium oleh gerakan silia dan otot. Saat cairan tubuh mengalir lewat celah panjang nefridium, bahan-bahan yang berguna seperti air, molekul makanan, dan ion akan diambil oleh sel-sel tertentu dari tabung. Bahan-bahan ini lalu menembus sekitar kapiler dan disirkulasikan lagi. Sampah nitrogen dan 18 sedikit air tersisa di nefridium dan kadang diekskresikan keluar. Metanefridium berlaku seperti penyaring yang menggerakkan sampah dan mengembalikan substansi yang berguna ke sistem sirkulasi. Cairan dalam rongga tubuh cacing tanah mengandung substansi dan zat sisa. Zat sisa ada dua bentuk, yaitu amonia dan zat lain yang kurang toksik, yaitu ureum. Inilah salah satu alasan mengapa cacing tanah memiliki habitat di lingkungan yang lembab karena cacing tanah mendifusikan sisa amoniaknya pada tanah tetapi ureum diekskresikan lewat sistem ekskresi (Campbell., dkk., 2004: 115). 6. Sistem Pernapasan / Respirasi Cacing bernapas menggunakan kulit. Tubuh cacing tertutup oleh selaput bening dan tipis yang disebut kutikula. Kutikula ini selalu lembab dan basah. Melalui selaput inilah terjadi difusi oksigen dan CO2 yang kemudian diteruskan ke dalam pembuluh darah sehingga kebutuhan oksigen tubuh terpenuhi. Karena ternyata di bawah kulit itu terdapat kapiler-kapiler darah. Melalui kapiler ini, oksigen berdifusi masuk ke dalam kulit, lalu ditangkap dan diedarkan oleh sistem peredaran darah. Sebaliknya, karbon dioksida yang terkandung dalam darah dilepaskan dan berdifusi keluar tubuh. Cara respirasi cacing ini berbeda dengan serangga, karena pada serangga oksigen bisa langsung menuju ke sel-sel tubuh, sedang pada cacing harus masuk ke pembuluh darah sehingga pengangkutan oksigen secara tertutup mengingat peredaran oksigen berada di dalam pembuluh darah. 19 Kulit yang digunakan untuk proses difusi yaitu bagian dorsal / sisi punggung (Khairulman & Amri, 2009: 6). 7. Pertumbuhan Pertumbuhan cacing Eudrilus eugeniae cukup cepat, sesuai ukurannya cacing ini juga makan lebih banyak dibandingkan cacing tiger maupun cacing merah, namun tetap saja faktor makan, suhu dan kelembaban udara sangat berpengaruh meskipun cacing Eudrilus eugeniae mentolerir suhu hingga 32℃. Biomassa Eudrilus eugeniae meningkat secara total jauh lebih cepat daripada Eudrilus Fetida, sebagian besar spesies tumbuh relatif baik di limbah organik. Selain itu, Eudrilus eugeniae mencapai kematangan seksual dalam waktu 35 hari, lebih cepat dibandingkan dengan Eudrilus Fetida yang mencapai 48-56 hari untuk menghasilkan kepompong pertama (Edwards, 1988). Hal ini menyatakan bahwa perkembangan Eudrilus eugeniae lebih cepat daripada spesies cacing tanah yang telah diteliti sampai saat ini. Tabel 1. Data berat spesies cacing mg/minggu (Jorge Dominguez., dkk., 2001: 347-349) Spesies Berat mg/minggu Eudrilus eugeniae 280 Eudrilus fetida 60-80 Eudrilus andrei 80-90 Lumbricus rubellus 55-60 20 Tabel 1 menunjukkan berat beberapa jenis cacing tanah dari beberapa sumber dalam Jorge Dominguez., dkk., (2001), terlihat maksimal berat badan Eudrilus eugeniae adalah 280 mg/ minggu, dan untuk Eudrilus fetida berat tertinggi 60-80 mg per minggu (Graff 1974; Watanabe dan Tsukamoto 1976), 80-90 mg per minggu untuk Eudrilus andrei (Elvira dkk. 1996a), 55-60 mg per minggu untuk Lumbricus rubellus (Elvira dkk., 1996b). Berat cacing tanah untuk spesies lain menurut tabel 1 lebih sedikit daripada Eudrilus eugeniae. Eudrilus eugeniae akan menjadi spesies yang baik untuk produksi protein cacing tanah sebagai pakan ternak (Jorge Dominguez., dkk., 2001: 347-349). 8. Siklus Hidup Siklus hidup cacing tanah dimulai dari kokon, cacing muda (juvenile), cacing dewasa (produktif) dan cacing tua. Saat dewasa kelamin cacing tanah akan menghasilkan kokon dari perkawinanannya yang berlangsung 6-10 hari (Rony Palungkun, 2008: 11). Kokon akan menetas setelah 14-21 hari dipengaruhi oleh kondisi lingkungan sekitar, menurut Jorge Dominguez., dkk., (2001) kokon cacing Eudrilus eugeniae akan menetas hanya dalam 12 hari pada suhu 25ºC. Menurut Reinecke dkk., (1992) dalam Jorge Dominguez., dkk., (2001) Waktu yang diperlukan cacing Eudrilus eugeniae dari menetas sampai ke kematangan seksual adalah 35 hari dan waktu dari menetas hingga memproduksi kokon sekitar 47 hari. Waktu ini lebih pendek 46-56 hari dibandingkan dengan catatan yang dikutip untuk E.fetida oleh 21 Hartenstein dkk., (1979) dalam Jorge Dominguez., dkk., (2001). Kelangsungan hidup cacing tanah sangat baik, dengan angka kematian terjadi pada suhu lebih dari 30ºC yang dikemukakan oleh Reinecke dkk., (1992) dalam (Jorge Dominguez., dkk., 2001: 349). 9. Sistem Reproduksi Cacing tanah bereproduksi secara seksual dan bersifat hermaprodit, artinya pada setiap ekor cacing tanah terdapat alat kelamin jantan dan alat kelamin betina. Meskipun bersifat hermaprodit, tetapi cacing tidak melakukan pembuahan sendiri melainkan secara silang. Sebagai ilustrasi: 2 cacing yang melakukan kawin silang menempelkan tubuhnya dengan ujung kepala berlawanan. Masing-masing akan mengeluarkan sperma dan diterima oleh klitelium cacing pasangannya. Dalam posisi perkawinan (kopulasi), klitelum masing-masing cacing tanah akan mengeluarkan lendir yang berfungsi melindungi sel-sel sperma yang dikeluarkan oleh lubang alat kelamin jantan masing-masing. Gambar 6. Sepasang Cacing Pada Posisi Kawin (bertukar spermatozoid). (Sumber: Rahmat Rukmana, 2008: 20) 22 Perkawinan silang (cross fertilization) dilakukan dengan cara saling bertukar spermatozoid. Sel-sel sperma yang keluar dari masing-masing cacing tanah akan bergerak kearah belakang (posterior), lalu masuk ke dalam lubang penerima sperma masing-masing. Setelah beberapa jam berkopulasi (kawin) dan masing-masing kantung ovarium yang berisi sel-sel telur menerima sel-sel sperma maka masing-masing kantung ovarium saling berpisah. Tahap selanjutnya terjadi pembentukan selubung kokon (mucous band). Proses pembentukan selubung kokon terjadi pada klitelium. Masingmasing sel telur yang telah menerima sel-sel sperma bergerak ke arah mulut dan bertemu dengan lubang saluran sel-sel telur, lalu masuk ke dalam selubung kokon, dari selubung kokon, sel-sel telur yang telah dibuahi sel-sel sperma tadi akan bergerak ke arah mulut, sehingga terjadi pelepasan kokon (cocoon) dari masing-masing cacing tanah bersama-sama dengan selubung kokonnya. Proses pembentukan dan pelepasan selubung kokon disajikan pada gambar berikut : Gambar 7. Proses Pembentukan dan Pelepasan Selubung Kokon. (Sumber: Rahmat Rukmana, 2008: 21) 23 Keterangan : A = Pembentukan selubung kokon B = Selubung kokon yang berisi kokon bergerak menuju arah mulut C = Selubung kokon bersama dengan kokonnya terlepas D = Kapsul dan kokon Selubung kokon yang berisi beberapa telur (capsule) akan dilepaskan dalam liang tanah. Setiap butir telur (kokon) berisi bakal anak-anak cacing bahkan dapat menetas lebih dari 10 ekor anak-anak cacing. Meski demikian dari setiap kokon umumnya menetas 3-5 ekor cacing. Ukuran kokon tergantung kepada jenis cacing tanah (Rahmat Rukmana, 2008: 20-21). Kokon Eudrilus eugeniae menetas hanya dalam 12 hari pada suhu 25ºC (Jorge Dominguez., dkk., 2001: 341). 10. Manfaat Cacing Tanah Cacing tanah memiliki berbagai manfaat bagi kehidupan manusia. Hanya saja masih banyak yang belum menyadari akan manfaat cacing tanah sendiri. Kandungan gizi cacing tanah cukup tinggi, terutama kandungan proteinnya yang mencapai 64-76%. Kandungan protein cacing tanah ini ternyata lebih tinggi dari sumber protein lainnya. Itulah sebabnya cacing tanah sangat potensial dijadikan bahan pakan ternak, terutama unggas (Rony Palungkun, 2008: 12). Selain protein, kandungan gizi lainnya yang terdapat dalam tubuh cacing tanah antara lain lemak 7-10%, kalsium 0,55%, fosfor 1%, dan serat kasar 1,08%. Selain itu, cacing tanah mengandung auxin yang merupakan zat perangsang tumbuh untuk tanaman (Rony Palungkun, 2008: 12-13). 24 Protein yang sangat tinggi pada tubuh cacing tanah terdiri dari setidaknya sembilan macam asam amino esensial dan empat macam asam amino non-esensial. Asam amino esensial antara lain arginin, histidin, leusin, isoleusin, valin, metionin, fenilalanin, lisin, dan treonin. Sementara asam amino non-esensial ialah sistin, glisin, serin, dan tirosin. Ke-13 asam amino ini sangat dibutuhkan unggas dalam perkembangannya (Rony Palungkun, 2008: 13). Banyaknya asam amino yang terkandung dalam tubuh cacing tanah dapat memberikan indikasi bahwa tubuhnya pun mengandung berbagai jenis enzim yang sangat berguna bagi kesehatan manusia. dari berbagai penelitian diperoleh cacing tanah mengandung enzim lumbrokinase, peroksidase, katalase, dan selulosa. Enzim-enzim ini sangat berkhasiat untuk pengobatan. Selain itu, cacing tanah pun mengandung asam arhidonat yang dikenal dapat menurunkan panas tubuh yang disebabkan infeksi (Abdul Aziz, 2015: 5-8). Dalam Khairulman dan Amri (2009:18-21) menyebutkan beberapa manfaat cacing tanah antara lain : a. Penyubur Lahan Pertanian Hasil penelitian modern terhadap tanah, seperti yang dilaporkan dalam publikasi Dr.Ni Luh Kartini, seorang ahli tanah dan penemu pupuk “kascing” dari Universitas Udayana Bali, mengungkapkan bahwa lahan pertanian yang mengandung cacing tanah pada umumnya memang lebih subur. Sebab, tanah yang bercampur dengan kotoran cacing memberikan 25 banyak manfaat bagi tanaman. Proses perubahan kondisi tanah dapat dijelaskan secara ilmiah. Awalnya cacing tanah membuat lubang dan mendesak massa tanah atau memakan langsung massa tanah (Minnich 1997). Setelah dicerna, sisia-sisa bahan tersebut dilepaskan kembali sebagai buangan padat (kotoran) (Edward dan Lofty, 1997), penulis buku yang mengupas biologi tentang cacing tanah, “Biologi of Earthworm” di New York (1997) yang menyatakan, sebagian besar bahan mineral yang dicerna cacing tanah dikembalikan dalam tanah dalam bentuk nutrisi yang mudah dimanfaatkan oleh tanaman. Namun, produksi alami kotoran cacing tanah di alam bergantung pada spesies, musim dan kondisi populasi yang sehat. Selain itu kotoran cacing tanah juga kaya akan unsur hara. Pasalnya aktivitas cacing tanah mampu meningkatkan ketersediaan unsur hara N, P dan K di dalam tanah. Unsur-unsur tersebut merupakan unsur pokok bagi tanaman. Penelitian terhadap tanah-tanah gundul di bekas tambang di Ohio, Amerika Serikat, menunjukkan cacing tanah dapat meningkatkan kadar K tersedia 19%. b. Memperbaiki Drainase dan Aerasi Tanah Selain menyuburkan tanah, lubang bekas jalan cacing tanah berada juga berfungsi memperbaiki aerasi dan drainase tanah, sehingga tanah menjadi gembur. Di samping itu, cacing tanah juga membantu pengangkutan sejumlah lapisan tanah dari bahan organik dan 26 memperbaiki struktur tanah. Richard (1978) seorang ahli tanah yang pernah merangkum penelitiannya dalam buku yang berjudul “Introduction to The Soil Ecosystem” menyatakan, cacing tanah mampu melakukan penggalian lubang hingga kedalaman 1 meter, sehingga dapat meresapkan air dalam volume yang lebih besar, serta mengurangi aliran permukaan dan erosi tanah. Dengan begitu selain mencegah erosi, cacing tanah juga mampu meningkatkan ketersediaan air tanah. c. Pengolah Sampah dan Penghasil Kascing Menurut Khairulman dan Amri (2009: 21), 1 kg cacing tanah mampu mengolah 1 kg sampah dapur setiap hari, serta menghasilkan 0,5 kg limbah cacing tanah. Hal ini dimungkinkan karena pencernaan cacing tanah berisi berbagai macam jenis enzim yang mampu mengurai sampah, bahkan menghilangkan zat beracun. Namun perlu ditegaskan, limbah yang dapat diurai oleh cacing tanah hanya limbah organik yang tidak mengandung garam dapur, deterjen, atau insektisida. Bukan juga limbah plastik, karet, kaca, logam, dan besi. Selain itu, berdasarkan hasil uji laboratorium oleh pembudidaya cacing tanah di Bandung diketahui, kandungan mikroorganik pada kascing lebih baik 3-4 kali lipat dibandingkan dengan pupuk kandang biasa. Pada kenyataannya proses pengomposan menjadi kascing merupakan kerjasama antara cacing dengan mikroorganisme lain. Walaupun sebagian besar proses penguraian dilakukan mikroorganisme, kehadiran cacing tanah dapat 27 membantu proses tersebut, karena bahan-bahan yang diurai oleh mikroorganisme akan diurai kembali oleh cacing dan mikroba dalam perut cacing tanah. Bakteri dan fungi akan mengurai senyawa organik di dalam tanah yang kemudian dimakan kembali oleh cacing tanah. Dengan demikian, kerja mikroorganisme menjadi lebih efektif dan lebih cepat. Fungsi lain dari cacing tanah yaitu: - Pakan Ayam - Pakan Ikan Konsumsi dan Ikan Hias - Pakan Burung Berkicau - Umpan Pancing 11. Habitat Habitat cacing tanah adalah tanah yang gembur, tempat yang lembab dan gelap, terhindar dari sinar matahari. Oleh karena itu cacing tanah banyak kita jumpai di kebun-kebun yang penuh dengan daun-daun di sekitar kandang ternak, dibawah pohon pisang, dibawah tumpukan sampah, dan sebagainya. Cacing tanah lebih aktif dimalam hari, berkeliaran dari satu tempat ke tempat-tempat yang lain. Dengan demikian dalam upaya membudidayakan cacing tanah yang pertama harus dilakukan ialah lingkungan yang sesuai dengan habitatnya. Menurut Rahmat Rukmana (2008) yang dimaksud lingkungan yang baik adalah kondisi media/sarana memenuhi persyaratan, antara lain: 28 a. Kelembaban Kelembaban sangat diperlukan untuk menjaga agar kulit cacing tanah berfungsi dengan normal, bila udara terlalu kering akan merusak keadaan kulit cacing tanah tersebut. Tetapi bila kelembaban terlalu tinggi atau terlalu banyak air, cacing tanah akan segera lari mencari tempat pertukaran udaranya lebih baik, karena cacing tanah mengambil oksigen dari udara bebas bukan dari oksigen yang ada dalam air. Kelembaban yang baik untuk perkembangbiakkan cacing tanah berkisar antara 15-50%, namun kelembaban optimumnya adalah antara 42%60%. b. Keasaman/pH Salah satu faktor penting yang perlu diperhatikan dalam pertumbuhan cacing tanah adalah keasaman/pH tanah antara 6,0-7,2. Keasaman yang tinggi mengakibatkan cacing akan mati. Karena jika kondisi media terlalu asam maka tembolok cacing tanah akan pecah karena keracunan protein dan kulit cacing tanah juga akan mengalami luka yang serius. c. Temperatur /suhu Suhu yang terlalu rendah maupun suhu yang terlalu tinggi akan mempengaruhi proses fisiologi seperti pernapasan, pertumbuhan, perkembangbiakkan dan metabolisme. Suhu yang hangat akan menyebabkan telur cacing tanah akan cepat menetas. Suhu yang ideal adalah 20-30ºC (Rahmat Rukmana, 2008: 28). 29 B. Media Pemeliharaan 1. Klasifikasi Pohon Aren (Arenga pinnata, Merr.) Divisi : Spermatophyta Subdivisi : Angiospermae Kelas : Monocotyledoneae Ordo : Arecales Famili : Aracaceae Genus : Arenga Spesies : Arenga pinnata, Merr. Pohon aren adalah salah satu jenis tumbuhan palma yang memproduksi buah, nira dan pati atau tepung di dalam batang. Hasil produksi aren ini semuanya dapat dimanfaatkan dan memiliki nilai ekonomi. Akan tetapi hasil produksi aren yang banyak diusahakan oleh masyarakat adalah nira yang diolah untuk menghasilkan gula aren (Mody Lempang, 2012: 38). Aren merupakan salah satu sumber daya alam di daerah tropis, distribusinya tersebar luas, sangat diperlukan dan mudah didapatkan untuk keperluan sehari-hari oleh masyarakat setempat sebagai sumber daya yang berkesinambungan. Di Indonesia pohon aren sebagian besar secara nyata digunakan untuk bahan bangunan, keranjang, kerajinan tangan, atap rumah, gula, manisan buah dan lain sebagainya (Mody Lempang, 2012: 39). 30 a. Persebaran Pohon Aren Salah satu tanaman yang paling penting dan umumnya tumbuh jauh di daerah pedalaman adalah aren. Jenis tanaman ini tumbuh menyebar secara alami di negara-negara kepulauan bagian tenggara, antara lain Malaysia, India, Myanmar, Laos, Vietnam Kepulauan Ryukyu, Taiwan dan Philipina (Hadi (1991) dalam Mody Lempang 2012). Di Indonesia tanaman aren banyak terdapat dan tersebar hampir di seluruh wilayah Nusantara, khususnya di daerah-daerah perbukitan yang lembab (Sunanto (1993) dalam Mody Lempang 2012), dan tumbuh secara individu maupun secara berkelompok (Alam dan Suhartati, 2000) dalam Mody Lempang 2012). Heyne (1950) dalam Mody Lempang (2012) melaporkan bahwa tanaman aren sering tumbuh mulai dari permukaan laut sampai ketinggian 1.300 m dari permukaan laut. Tetapi tanaman ini lebih menyukai tempat dengan ketinggian 500-1.200 m (Lutony (1993) dalam Mody Lempang 2012) dan bila dibudidayakan pada tempat-tempat dengan ketinggian 500-700 mdpl akan bisa meneruskan kelebihan air, seperti tanah yang gembur, tanah vulkanis di lereng gunung, dan tanah yang berpasir di sekitar tepian sungai merupakan lahan yang ideal untuk pertumbuhan aren. Suhu lingkungan yang terbaik rata-rata 25ºC dengan curah hujan setiap tahun rata-rata 1.200 mm (Mody Lempang, 2012: 43). 31 b. Kandungan Serbuk Gergaji Aren Serbuk gergaji aren memiliki kandungan zat-zat yang bermanfaat bagi cacing tanah dalam pertumbuhannya, antara lain tertera pada tabel 2 menurut Dyah Febry Wulandari (2008) sebagai berikut. Tabel 2. Kandungan Nutrien Serbuk Gergaji Aren (Dyah Febry Wulandari, 2008: 19) Jenis Nutrisi Bahan Organik Selulosa Protein kasar Serat kasar Lemak kasar Karbohidrat Komposisi (%) 76,58 95,34 6,78 20,92 0,48 37,00 2. Rumput Manila (Zoysia matrella) Kingdom : Plantae Filum : Angiospermae Divisi : Embryophyta Subdivisi : Phanaerogama Kelas : Monocotyledon Ordo : Poales Famili : Poaccac (Graminae) Genus : Zoysia Spesies : Zoysia matrella Rumput manila mempunyai daun berbentuk jarum dengan permukaan rata lebar 2-4 mm dan panjangnya 2- 11 mm. panjang rambut-rambut 32 halusnya 0,02 cm yang terdapat pada ligula (beard, 1973) dalam Charlie Sastro Siregar (2005: 3-4). Persebaran rumput manila ini tumbuh di daerah tropis dan subtropis, di Indonesia rumput manila banyak ditumbuhkan pada lapangan sepakbola. Rumput manila toleran terhadap naungan bila ditumbuhkan di daerah lembab dan panas. Daya tahannya sangat baik terhadap kekeringan dan panas. Rumput ini mempunyai daya adaptasi terhadap tanah yang berdrainase baik. Bertekstur halus dan subur dengan pH 6-7 serta mempunyai toleransi terhadap tipe tanah (Charlie sastro Siregar, 2003: 4). Rumput manila berpeluang menjadi media tumbuh cacing tanah karena mengandung beberapa zat seperti protein dan lemak yang dibutuhkan oleh cacing tanah dalam pertumbuhannya. Tabel 3. Kandungan Nutrien Rumput Manila (Zoysia Matrella) (Gartesiasih, R. dan Nina Herlina. 2005: 37) Jenis nutrisi Komposisi (%) Kadar air 64,20 Protein 14,38 Serat kasar 32,11 Lemak 0,40 Bahan ekstrak tanpa nitrogen 34,48 Fosfor 0,61 33 Kerangka Berfikir Kerangka berfikir dalam penelitian ini yaitu tertera pada gambar berikut. Jenis cacing Eudrilus eugeniae adalah jenis cacing tanah bermanfaat Kandungan Protein 64-76% lemak 7-10%, kalsium 0,55%, fosfor 1%, dan serat kasar 1,08% Bermanfaat bagi kesehatan dan sebagai pakan ternak Membudidayakan cacing Eudrilus eugeniae Mencari media yang paling baik meningkatkan produksi Pemanfaatan limbah Rumput manila Kandungan: Kadar air 64,2 % Protein 14,38 % Lemak 0,4% Pemanfaatan limbah serbuk gergaji aren Dibutuhkan cacing tanah dalam pertumbuhannya Kandungan: Bahan organik 76,58 % Protein kasar 6,78 % Lemak 0,48 % Karbohidrat 37 % Pertumbuhan dan produksi kokon Gambar 8. Bagan Alur Kerangka Berfikir. 34 C. Hipotesis Penelitian 1. Kombinasi media serbuk gergaji aren dan rumput manila berpengaruh baik terhadap pertumbuhan cacing Eudrilus eugeniae. 2. Kombinasi media serbuk gergaji aren dan rumput manila berpengaruh baik terhadap produksi kokon cacing Eudrilus eugeniae. 35