BAB I PENDAHULUAN BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Sistem imun berfungsi dalam pertahanan tubuh untuk melawan mikroba patogen (Abbas dkk., 2012). Tubuh membutuhkan sistem imun yang kuat agar tetap terlindung dari mikroorganisme penyebab penyakit (Baratawidjaja dan Rengganis, 2010). Tanpa sistem imun yang berfungsi baik, infeksi ringan dapat menjadi fatal (Parham, 2000). Indonesia dikenal memiliki keanekaragaman hayati yang tinggi, termasuk tanaman yang dapat dimanfaatkan sebagai obat. Tanaman tersebut antara lain meniran (Phyllanthus niruri L.), keladi tikus (Typhonium flagelliforme (Lodd.) Blume) dan sirih merah (Piper crocatum Ruiz and Pav). Berdasarkan penelitian sebelumnya diketahui bahwa sirih merah mengandung flavonoid, alkaloid dan tanin (Safithri dan Fahma, 2008). Senyawa-senyawa yang terkandung dalam meniran antara lain flavonoid, alkaloid, terpenoid, lignin, polifenol, tanin, kumarin dan saponin dari berbagai bagian tanaman (Sudarsono dkk., 2006; Paithankar dkk., 2011). Keladi tikus mengandung flavonoid, alkaloid, terpenoid, tanin dan sterol (Singh dkk., 2013). Senyawa alkaloid, kuinon, terpenoid, asam fenol karboksilat, polisakarida dan glikoprotein potensial sebagai imunostimulator (Wagner, 1990). Kandungan flavonoid dan alkaloid pada tanaman meniran, keladi tikus dan sirih merah diduga memiliki efek imunomodulator. Alkaloid dan flavonoid 1 2 meningkatkan proliferasi limfosit dan aktivitas IL-2. Proliferasi limfosit mempengaruhi sel TCD4+ yang kemudian akan mengaktifkan sel Th1 yang mempengaruhi IFN-γ. IFN-γ mengaktifkan makrofag sehingga fagositosis mikroba berlangsung lebih cepat dan efisien (Ukhrowi, 2011). Ekstrak meniran terbukti dapat meningkatkan fagositosis makrofag pada mencit (Ash, 2012; Nworu dkk., 2010). Ekstrak keladi tikus dengan dosis 250 mg/kgBB, 500 mg/kgBB dan 1000 mg/kgBB dapat meningkatkan fagositosis makrofag tikus yang terinduksi cyclophospamide (Sriyanti, 2012). Menurut Apriyanto (2011) pemberian ekstrak etanol daun sirih merah (Piper crocatum) pada dosis 10 mg/kgBB, 100 mg/kgBB dan 300 mg/kgBB dapat menaikkan indeks fagositosis makrofag tikus terinduksi vaksin Hepatitis B. Ketiga ekstrak tersebut dalam penggunaan tunggalnya memiliki efek imunostimulator. Kombinasi ketiga ekstrak ini diharapkan memiliki efek sinergis. Jamu Imuno Gama Herbal® yang diharapkan berefek sebagai imunostimulator terdiri dari kombinasi ketiga ekstrak tersebut. Penelitian in vitro oleh Sagala (2013) dan Difita (Unpublished) menunjukkan bahwa kombinasi EMN, EKT dan ESM dengan konsentrasi 1 µg/ml, 10 µg/ml dan 100 µg/ml dapat meningkatkan kapasitas dan indeks fagositosis makrofag mencit jantan galur Balb/c dengan konsentrasi optimum 10 µg/ml. Oleh karena itu, perlu dilakukan penelitian mengenai aktivitas imunostimulator kombinasi ketiga ekstrak tanaman tersebut secara in vivo dalam rangka pengembangannya sebagai obat herbal. 3 B. 1. Rumusan Masalah Apakah pemberian kombinasi EMN, EKT dan ESM dapat meningkatkan kapasitas fagositosis makrofag mencit jantan galur Balb/c? 2. Apakah pemberian kombinasi EMN, EKT dan ESM dapat meningkatkan indeks fagositosis makrofag mencit jantan galur Balb/c? C. 1. Tujuan Penelitian Untuk mengetahui apakah pemberian kombinasi EMN, EKT dan ESM dapat meningkatkan kapasitas fagositosis makrofag mencit jantan galur Balb/c. 2. Untuk mengetahui apakah pemberian kombinasi EMN, EKT dan ESM dapat meningkatkan indeks fagositosis makrofag mencit jantan galur Balb/c. D. 1. Manfaat Penelitian Memperkaya informasi mengenai potensi imunostimulator kombinasi ekstrak etanolik herba meniran (Phyllanthus niruri L.), umbi keladi tikus (Typhonium flagelliforme (Lodd.) Blume) dan daun sirih merah (Piper crocatum Ruiz and Pav). 2. Memanfaatkan secara optimal keanekaragaman hayati tumbuhan Indonesia sebagai obat herbal. 4 E. 1. Tinjauan Pustaka Sistem Imun Kata imun berasal dari bahasa Latin immunis yang berarti bebas dari beban. Dahulu imunitas diartikan sebagai daya tahan relatif hospes terhadap mikroba tertentu (Bellanti, 1985). Imunitas adalah perlindungan dari penyakit, termasuk penyakit infeksi. Ketika mikroba maupun substansi asing masuk ke dalam tubuh maka terjadilah respon imun (Abbas dkk., 2012). Imunitas yang kurang lebih berarti kekebalan tubuh terbagi menjadi dua macam yaitu innate immunity (imunitas alami atau nonspesifik) dan adaptive immunity (imunitas adaptif atau spesifik). Imunitas nonspesifik tidak memiliki memori dalam mengenali mikroba ataupun substansi asing yang masuk ke dalam tubuh. Imunitas spesifik yang terdiri dari limfosit dan antibodi memiliki memori dalam mengenali mikroba ataupun substansi asing yang masuk sehingga dapat beradaptasi dan mengembangkan respon terhadapnya. Ini berguna apabila tubuh terpapar lagi mikroba atau substansi asing yang pernah dikenali sebelumnya. Substansi asing atau mikroba yang memicu imunitas spesifik disebut antigen (Abbas dkk., 2012). Respon imun di dalam tubuh tidak hanya melawan patogen, tetapi sesungguhnya memiliki 3 fungsi yaitu pertahanan (defense), homeostasis dan pengawasan (surveillance). Fungsi pertama yaitu pertahanan mengandung arti pertahanan terhadap patogen. Homeostasis berarti keseimbangan, berfungsi untuk memusnahkan sel-sel yang sudah tidak berguna dari tubuh. Sel seperti eritrosit dan leukosit di sirkulasi dapat rusak oleh karena waktu hidup normalnya telah 5 berakhir ataupun karena melawan patogen. Agar kondisi di dalam tubuh tetap seimbang maka sel-sel yang rusak ini harus dibersihkan. Pengawasan dini (surveillance) mengenali sel-sel abnormal yang timbul di dalam tubuh dikarenakan virus maupun zat kimia. Sistem imun akan mengenali sel abnormal tersebut dan memusnahkannya (Bellanti, 1985). 2. Imunitas Nonspesifik Imunitas nonspesifik berperan paling awal dalam pertahanan tubuh melawan mikroba patogen (Abbas dkk., 2012). Imunitas nonspesifik berfungsi sejak lahir, tidak memiliki memori dan tidak ditujukan terhadap mikroba tertentu. Imunitas non spesifik memiliki respon yang cepat. Respon langsung terjadi dalam waktu beberapa menit sampai jam dan tidak memerlukan pemejanan sebelumnya di dalam melawan substansi asing. Kelemahannya yaitu dapat berespon berlebihan (Baratawidjaja dan Rengganis, 2010). Imunitas nonspesifik terdiri dari lapisan epitel dan substansi antimikroba di permukaannya sebagai barrier fisik dan kimia terhadap mikroba yang akan masuk. Komponen lain adalah sel fagosit (neutrofil dan makrofag) serta sel NK (natural killer), juga terdapat protein dalam darah, mediator inflamasi dan sistem komplemen. Aktivitas dari sel-sel pada imunitas nonspesifik diatur oleh protein yang disebut sitokin (Abbas dkk., 2012). Sel lain yang penting dalam imunitas nonspesifik adalah basofil, sel mast, eosinofil dan sel dendritik. Neutrofil, monosit dan basofil dapat ditemukan di sirkulasi, sedangkan sel mast dan makrofag terdapat di jaringan (Baratawidjaja dan Rengganis, 2010). 6 Bakteri yang akan masuk melalui kulit akan dihambat oleh bakteri simbiotik yang ada di kulit. Kelenjar keringat akan melepaskan sebum yang di dalamnya terkandung asam laktat sehingga pH menjadi rendah dan menimbulkan suasana asam. Hal tersebut akan menghambat bakteri untuk masuk. Selain itu pada permukaan mukosa terdapat lisozim yang bersifat destruktif terhadap bakteri. Apabila bakteri berhasil masuk ke jaringan di bawahnya maka sel fagosit yaitu makrofag yang akan bekerja (Baratawidjaja dan Rengganis, 2010). 3. Makrofag Sel pluripoten di sumsum tulang adalah sel induk yang akan berdiferensiasi menjadi sel premieloid yang kemudian menjadi sel mieloid, sel induk limfosit dan sel premonosit. Sel premonosit berdiferensiasi menjadi monosit di sirkulasi dan makrofag di jaringan. Monosit mengenali dan menyerang bakteri, memproduksi sitokin, berperan sebagai APC (Antigen Presenting Cell) serta terlibat dalam perbaikan jaringan. Monosit berada di dalam darah selama 1 hari kemudian bermigrasi ke berbagai jaringan dan berdiferensiasi menjadi makrofag jaringan selama 4 – 12 hari hingga jangka waktu bulan. Makrofag dan monosit termasuk dalam sel fagosit mononuklear (Baratawidjaja dan Rengganis, 2010). Sel fagosit mononuklear adalah sel efektor yang penting baik di dalam imunitas nonspesifik maupun spesifik, yang paling dominan adalah makrofag. Pada imunitas nonspesifik peran sel fagosit mononuklear adalah memfagositosis mikroba dan memproduksi sitokin yang selanjutnya akan mengaktifkan mediatormediator inflamasi. Dalam imunitas spesifik, makrofag memiliki beberapa peran 7 efektor, selain berfungsi dalam fagositosis mikroba juga dapat mempresentasikannya pada sel T. Sel T akan menstimulasi makrofag untuk menghancurkan mikroba tersebut. Pada permukaan makrofag terdapat reseptor untuk antibodi yang apabila diduduki oleh antibodi akan memicu fagositosis mikroba (Abbas dkk., 2012). Makrofag adalah sel utama dari sistem imun nonspesifik, berfungsi untuk fagositosis, menangkap antigen dan mempresentasikannya, melepaskan sitokin dan protein komplemen serta mediator inflamasi. Makrofag memiliki ukuran 5 – 10 kali lebih besar daripada monosit, terdiri dari 3 organel yaitu lisosom, endosom dan mitokondria dengan organel paling banyak adalah lisosom. Lisosom berada di dalam sitoplasma, memiliki membran dan mengandung enzim hidrolitik yang dapat keluar dari sel. Endosom merupakan vesikel intraseluler berukuran 0,1 – 0,2 µm, memiliki pH asam dan mengandung enzim proteolitik yang memecah protein menjadi peptida untuk selanjutnya dapat diproses sebagai antigen. Endosom terbentuk jika ada proses endositosis. Mitokondria berada di sitoplasma untuk metabolisme sel, respirasi, transport elektron, fosforilasi oksidatif dan siklus asam sitrat (Baratawidjaja dan Rengganis, 2010). Makrofag dapat mengalami perubahan morfologi yang berbeda karena rangsangan dari substansi asing ataupun mikroba. Ada makrofag yang memiliki sitoplasma yang melimpah menyerupai sel epitel kulit. Makrofag yang teraktivasi dapat membentuk multinucleate giant cells yaitu sel besar dengan banyak inti (Abbas dkk., 2012). 8 Makrofag teraktivasi oleh lipopolisakarida (LPS) yang dihasilkan bakteri, sitokin dan mediator inflamasi. Aktivasi makrofag oleh LPS akan menghasilkan sitokin yaitu IL-1 yang merupakan pirogen endogen yang dapat memicu demam. Makrofag melepaskan lisozim, komplemen, interferon dan sitokin yang nantinya akan berperan baik di dalam sistem imun non spesifik dan spesifik (Baratawidjaja dan Rengganis, 2010). Selain di jaringan, makrofag juga berada di cairan rongga peritoneal di sepanjang kapiler untuk menangkap antigen dan kemudian mempresentasikannya ke sel T. Makrofag memiliki nama yang spesifik dibedakan berdasar jaringan dimana makrofag berada (Tabel I). Tabel I. Jenis-jenis makrofag spesifik dalam jaringan (Baratawidjaja dan Rengganis, 2010) Jaringan Nama Usus Makrofag intestinal Kulit Sel dendritik, sel Langerhans Paru Makrofag alveolar, sel Langhans Jaringan ikat Histiosit Hati Sel Kuppfer Ginjal Sel mesangial Otak Sel mikroglia Tulang Osteoklas Imunitas nonspesifik memerlukan reseptor berupa PRR (Pattern Recognition Receptor) untuk mengenali mikroba yang memicu sinyal untuk fagositosis maupun penghancuran bakteri oleh komplemen. Reseptor terdiri dari dua macam yaitu reseptor larut dalam darah dan cairan jaringan serta reseptor tak larut yang terikat oleh membran makrofag, neutrofil dan sel dendritik (Baratawidjaja dan Rengganis, 2010). 9 Reseptor larut diproduksi lokal di tempat terjadi infeksi dan juga di tempat lain yang selanjutnya dibawa oleh sirkulasi darah ke jaringan sasaran. Contoh dari reseptor larut adalah SAP (Serum Amyloid A Protein) yang merupakan reseptor untuk fagosit dengan cara mengikat LPS dinding sel bakteri dan CRP (C Reactive Protein) yang mengaktifkan komplemen melalui jalur klasik dengan mengikat polisakarida C dari bakteri dan jamur (Baratawidjaja dan Rengganis, 2010). Reseptor tidak larut diekspresikan oleh makrofag dan monosit, terdapat 4 macam reseptor tidak larut yaitu TLR (Toll-like Receptor), SRs (Scavenger Receptors), NOD (Nucleotide-binding Oligomerization Domain) dan FcR (Fragmen crystallizable Receptor). TLR (Toll-like Receptor) diduga merupakan reseptor terpenting karena mengenali sejumlah besar patogen dengan PAMPs (Pathogen Associated Molecular Patterns). Contoh dari PAMPs antara lain komponen dari virus, bakteri, jamur dan LPS yang diproduksi oleh bakteri Gram negatif. Makrofag, sel dendritik, neutrofil dan eosinofil mengekspresikan TLR. TLR spesifik pada LPS, peptidoglikan, glukan, teichoic acid dan arabinomanan. Sampai saat ini diketahui ada 9 macam TLR yang memiliki sasaran masingmasing yaitu TLR1, TLR2, TLR3, TLR4, TLR5, TLR6, TLR7, TLR8 dan TLR9 (Baratawidjaja dan Rengganis, 2010). Lipopolisakarida bakteri memberikan sinyal transduksi melalui TLR dan reseptor untuk sitokin makrofag terpenting yaitu IFN-γ. Makrofag teraktivasi oleh sinyal dari TLR sehingga respon imun nonspesifik aktif dan memproduksi protein dan sitokin yang berperan dalam fungsi makrofag (Baratawidjaja dan Rengganis, 2010). 10 SRs (Scavenger Receptors) diekspresikan pada makrofag dan sel dendritik, spesifik terhadap karbohidrat dan lipid. SRs berperan membantu makrofag dalam mengikat bakteri baik Gram positif maupun negatif, fagositosis, pencernaan mikroba, apoptosis sel yang terinfeksi dan endositosis partikel lipoprotein berdensitas rendah yang terasetilasi. NOD (Nucleotide-binding Oligomerization Domain) berada di sitosol, terdiri dari NOD1 dan NOD2 yang mengenali produk peptidoglikan bakteri. Makrofag dapat mengikat patogen dengan reseptor CD14 yang spesifik untuk LPS bakteri. FcR (Fragmen crystallizable Receptor) terdapat pada permukaan limfosit, makrofag dan sel mast untuk mengikat Fc (Fragmen crystallizable) imunoglobulin. FcR ada 2 macam yaitu Fcγ-R untuk IgG dan FcεR untuk IgE (Baratawidjaja dan Rengganis, 2010). Makrofag yang teraktivasi adalah makrofag yang memiliki kemampuan membunuh mikroba yang lebih berkembang dibandingkan dengan makrofag yang tidak aktif (Colligan, 2010). Aktivasi makrofag didefinisikan sebagai respon terhadap stimulus lingkungan yang akan mengubah bentuk dan fisiologinya (Cohn, 1978 cit Colligan, 2008). Makrofag dapat teraktivasi oleh IFN-γ yang diproduksi oleh sel NK (Natural Killer) dan aktivasi TLR (Toll-like Receptor) oleh ligan. Ligan tersebut dikenal dengan nama PAMPs (Pathogen Associated Molecular Patterns). Makrofag yang teraktivasi akan menghasilkan NO (Nitric Oxide) untuk membunuh mikroba, TNF (Tumor Necrosis Factor) dan IL-12 (Colligan, 2008). 11 4. Fagositosis Fagositosis merupakan proses ingesti partikel yang dilakukan oleh sel fagosit. Fagositosis terdiri dari beberapa fase yaitu gerakan ke arah objek (kemotaksis), pengenalan dan pengikatan, endositosis, fusi fagosom-lisosom, pemusnahan dan pencernaan (Baratawidjaja dan Rengganis, 2010). Gerakan sel dapat diklasifikasikan menjadi tiga yaitu motilitas, lokomosi dan kemotaksis. Gerakan dari sel itu sendiri disebut motilitas, namun jika sel tersebut bergerak dari satu tempat ke tempat yang lain maka disebut lokomosi. Jika sel bergerak ke suatu arah karena adanya rangsangan kimia yaitu adanya kemoatraktan maka itu disebut kemotaksis. MAF (Macrophage Activating Factor) adalah kemoatraktan untuk makrofag (Bellanti, 1985). Pada proses fagositosis, kemotaksis terjadi karena ada pelepasan faktor kemotaktik atau kemoatraktan seperti produk bakteri dan produk biokimiawi yang dilepaskan saat aktivasi komplemen. Jaringan yang rusak juga memicu pelepasan faktor kemotaktik dan menyebabkan inflamasi. Sel-sel fagosit berturut-turut neutrofil, makrofag dan monosit bergerak ke daerah inflamasi karena kemotaksis dan kemudian membunuh bakteri. Neutrofil berperan dalam fagositosis dini sementara makrofag berperan dalam fagositosis efisien dan mensekresikan sitokin yang merangsang inflamasi, tetapi kedua sel tersebut sama-sama dapat membunuh bakteri (Baratawidjaja dan Rengganis, 2010). Makrofag dalam aksinya sama cepat dengan neutrofil tetapi berada lebih lama di daerah inflamasi (Abbas dkk., 2012). 12 Inflamasi melibatkan sel darah putih (leukosit) dan pengeluaran protein plasma ke tempat terjadinya infeksi di mana kemudian leukosit dan protein plasma akan mengeliminasi mikroba kemudian memperbaiki jaringan yang rusak (Abbas dkk., 2012). A B C D Gambar 1. Tahapan fagositosis (Abbas dkk., 2012). Pada tahapan A, mikroba berikatan dengan reseptor makrofag. Selanjutnya terjadi pembentukan fagosom (B) yang diikuti oleh fusi antara fagosom dan lisosom (C). Tahapan D menunjukkan mikroba yang dihancurkan oleh enzim lisosom, ROS (Reactive Oxygen Species) dan nitrit oksida. Fagositosis menelan partikel berukuran besar yang diameternya >0,5 µm (Abbas dkk., 2012). Reseptor di permukaan makrofag maupun neutrofil dapat menangkap dan menelan mikroba. Ketika mikroba sudah ditelan maka membran menutup dan mikroba digerakkan ke sitoplasma sel membentuk fagosom. Fagosom adalah vesikel intraselular yang mengandung mikroba atau partikel 13 ekstraselular. Sel fagosit memiliki lisosom yang berisi enzim destruktif (Baratawidjaja dan Rengganis, 2010). Fagosom dan lisosom bergabung membentuk fagolisosom yang selanjutnya akan menjadi tempat degradasi mikroba yang sudah ditelan oleh makrofag. Enzim dalam lisosom akan mencerna bakteri dalam fagolisosom. Penghancuran mikroba dapat melalui proses yang oksigen dependen maupun oksigen independen. Proses yang oksigen independen adalah proses yang melibatkan lisozim, laktoferin dan enzim proteolitik (Baratawidjaja dan Rengganis, 2010). Proses yang oksigen dependen membutuhkan ROI (Reactive Oxygen Intermediate). Ketika fagolisosom terbentuk, reseptor pengikat mikroba mengaktifkan beberapa enzim yaitu enzim oksidase fagosit, INOS (Inducible Nitric Oxid Synthase) dan protease lisosom. Enzim oksidase fagosit mengubah molekul oksigen menjadi ROI yaitu anion superoksid, radikal bebas dan H2O2. ROI sangat toksik terhadap mikroba dan jaringan, namun sangat tidak stabil. ROI dipecah menjadi H2O2 yang kemudian dipecah lagi oleh katalase. INOS mengubah arginin menjadi NO (nitrit oksida) yang bersifat bakterisidal. Protease lisosom akan memecah protein mikroba. Bahan-bahan penghancur mikroba di lisosom tidak merusak sel fagosit, namun jika terjadi inflamasi kuat maka enzim-enzim tadi akan dilepas ke rongga ekstraselular sehingga jaringan rusak (Baratawidjaja dan Rengganis, 2010). Fagositosis berinteraksi dengan komplemen dan sistem imun spesifik untuk fagositosis yang efektif agar infeksi bisa dicegah. Patogen dikenali oleh reseptor pada permukaan makrofag yang kemudian akan memicu produksi sitokin 14 proinflamasi (IL-1, IL-6 dan TNF), kemoatraktan kuat neutrofil (IL-8), aktivator sel NK dan pengarah diferensiasi sel Th1 (IL-12) serta mediator lainnya seperti prostaglandin, radikal oksigen dan nitrogen. IL-12 diketahui dapat meningkatkan imunitas spesifik. Fagositosis dapat ditingkatkan oleh antibodi IgG yang dikenali oleh Fcγ-R (Baratawidjaja dan Rengganis, 2010). 5. Imunostimulator Imunostimulator adalah bahan-bahan yang dapat meningkatkan sistem imun (Baratawidjaja dan Rengganis, 2010). Imunostimulator memiliki peranan dalam pencegahan maupun pengobatan penyakit, oleh karena itu pemberian imunostimulator menjadi penting ketika sistem imun melemah (Sherwood, 1996 cit Sriningsih dan Wibowo, 2009). Menurut Bellanti (1985), mekanisme peningkatan respon imun yang dilakukan oleh suatu imunostimulan antara lain adalah : a. Mempersingkat waktu yang diperlukan sampai terjadi respon b. Meningkatkan respon tertentu secara menyeluruh c. Memperpanjang durasi respon yang terjadi d. Memperlambat terjadinya penghentian respon e. Mengembangkan respon baru terhadap antigen yang sebelumnya tidak menimbulkan respon 15 6. Meniran (Phyllanthus niruri L.) a. Klasifikasi Menurut Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan Departemen Kesehatan Republik Indonesia (2001), klasifikasi tanaman meniran adalah sebagai berikut : Divisi : Spermatophyta Subdivisi : Angiospermae Kelas : Dicotyledonae Bangsa : Geraniales Suku : Euphorbiaceae Marga : Phyllanthus Jenis : Phyllanthus niruri L. Gambar 2. Tanaman meniran (Phyllanthus niruri) (Tanner, C., 2010) b. Nama Daerah Nama daerah dari meniran adalah meniran ijo (Jawa) dan memeniran (Sunda) (Departemen Kesehatan Republik Indonesia, 1978). 16 c. Habitat dan Penyebaran Meniran tumbuh tersebar pada hampir seluruh wilayah Indonesia yang daerahnya memiliki ketinggian 1 – 1000 m di atas permukaan laut. Meniran tumbuh liar di tempat terbuka, antara lain di ladang, tepi sungai, pantai dan tanah gembur yang berpasir. Tanaman ini selain terdapat di Indonesia juga terdapat di Malaysia, Filipina, Australia, India dan Cina (Departemen Kesehatan Republik Indonesia, 1978). d. Morfologi Tanaman meniran adalah terna yang memiliki tinggi 50 – 100 cm dan memiliki batang yang berwarna hijau pucat atau hijau kemerahan (Departemen Kesehatan Republik Indonesia, 1978). Akarnya adalah jenis akar tunggang dan berwarna putih kotor (Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan Departemen Kesehatan Republik Indonesia, 2001). Cabangnya berpencar memiliki daun tunggal yang tumbuh mendatar dari batang pokok. Daunnya berbentuk bulat telur hingga bulat memanjang, berujung bundar atau runcing, panjang 5 – 10 mm, lebar 2,5 – 5 mm (Departemen Kesehatan Republik Indonesia, 1978). Daun meniran berwarna hijau dan bertepi rata (Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan Departemen Kesehatan Republik Indonesia, 2001). Permukaan bawah daun memiliki bintik-bintik kelenjar (Departemen Kesehatan Republik Indonesia, 1978). Bunga meniran terdiri dari bunga jantan dan bunga betina yang letaknya berbeda namun sama-sama muncul dari ketiak daun. Bunga jantan berada di 17 bawah ketiak daun, gagangnya berdiameter 0,5 – 1 mm, mahkota bunga berwarna merah pucat dan berbentuk bundar telur terbalik dengan panjang 0,75 – 1 mm. Bunga betina berada di atas ketiak daun, gagang bunga berdiameter 0,75 – 1 mm, mahkota bunga bertepi hijau muda berbentuk bundar telur sampai bundar memanjang dengan panjang 1,25 – 2,5 mm (Departemen Kesehatan Republik Indonesia, 1978). Buah meniran berwarna hijau keunguan (Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan Departemen Kesehatan Republik Indonesia, 2001), licin, berdiameter 2 – 2,5 mm dan gagang buahnya memiliki panjang 1,5 – 2 mm (Departemen Kesehatan Republik Indonesia, 1978). Meniran memiliki biji yang berbentuk ginjal, kecil, keras dan berwarna coklat (Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan Departemen Kesehatan Republik Indonesia, 2001). Bagian dari meniran yang dimanfaatkan adalah herbanya yaitu seluruh bagian di atas tanah dari tanaman (Departemen Kesehatan Republik Indonesia, 2008). e. Kandungan Senyawa Senyawa-senyawa yang terkandung dalam meniran antara lain kuersetin, kuersitrin, isokuersitrin, astragalin, rutin, alkaloid, terpenoid, lignin, polifenol, tanin, kumarin dan saponin (Sudarsono, dkk, 2006; Paithankar dkk, 2011). f. Kegunaan Meniran digunakan untuk mengobati berbagai penyakit seperti disentri influenza, vaginitis, diabetes, tumor, jaundice, batu ginjal, dyspepsia juga sebagai 18 diuretik, antiviral, antibakteri dan antihepatitis B (Paithankar, 2011). Di Indonesia sendiri, meniran merupakan tumbuhan obat yang digunakan turun-temurun untuk mengobati infeksi dan batu pada saluran kencing, kencing nanah, diare, rabun senja, rematik, sakit kuning dan sebagai diuretik, pelancar haid, ekspektoran (Hutapea dan Syamsuhidayat, 1991). g. Penelitian Sebelumnya Menurut Sriningsih dan Wibowo (2009), ekstrak etanol 80% herba meniran pada dosis 40 mg/200 g BB dapat meningkatkan aktivitas fagositosis makrofag peritoneum tikus. Pemberian ekstrak meniran terbukti meningkatkan aktivitas fagositosis makrofag mencit Balb/c (Ash, 2012; Nworu dkk., 2010). 7. Keladi Tikus (Typhonium flagelliforme (Lodd.) Blume) a. Klasifikasi Klasifikasi tanaman keladi tikus menurut Backer dan van Den Brink (1968) adalah sebagai berikut : Divisi : Spermatophyta Subdivisi : Angiospermae Kelas : Monocotyledonae Ordo : Arales Famili : Araceae Genus : Typhonium Spesies : Typhonium flagelliforme (Lodd.) Blume 19 Gambar 3. Tanaman keladi tikus (Typhonium flagelliforme (Lodd.) Blume) (Institute Of Sustainable Agrotechnology University Malaysia Perlis, 2011) b. Nama Daerah Keladi tikus (Typhonium flagelliforme (Lodd.) Blume) memiliki banyak nama daerah, antara lain bira kecil, daun panta susu, ileus, kalamayong, ki babi dan trenggiling mentik (Widyaningrum dkk., 2011). c. Habitat dan Penyebaran Tanaman keladi tikus tumbuh di dataran tinggi maupun dataran rendah yang tanahnya subur, lembab dan teduh. Pada musim kemarau tanaman ini menghilang tetapi umbinya masih berada di dalam tanah yang kemudian akan tumbuh menjadi tanaman keladi tikus pada musim hujan. Umbi untuk keperluan pengobatan lebih baik diambil pada akhir musim penghujan sampai pertengahan musim kemarau, karena setelah lewat waktu itu umbi akan mulai membusuk, sedangkan pada awal musim penghujan umbi baru terbentuk. Bagian yang digunakan adalah umbi yang 20 berdiameter 1 – 2 cm. Bunga tanaman ini kelopaknya mirip dengan ekor tikus, oleh karena itu dinamakan keladi tikus (Widyaningrum dkk., 2011). d. Morfologi Tanaman keladi tikus termasuk golongan rerumputan yang berbentuk menyerupai talas. Tanaman dewasa dapat mencapai tinggi 10 – 20 cm dan memiliki berat 10 – 20 gram setiap rumpunnya. Daun tanaman yang baru tumbuh berbentuk bulat sedikit lonjong, sementara daun dewasa berwarna hijau, halus, berbentuk meruncing seperti ujung anak panah. Bunga tanaman keladi tikus berwarna putih kekuningan. Akarnya berwarna putih dan akan membesar membentuk umbi yang berbentuk bulat lonjong (Widyaningrum dkk., 2011). e. Kandungan Senyawa Menurut Singh dkk (2013) senyawa yang terkandung dalam keladi tikus adalah flavonoid, alkaloid. terpenoid, tanin dan sterol. f. Kegunaan Keladi tikus dipercaya dapat mengobati kanker payudara dan mengatasi efek samping dari kemoterapi yaitu rambut rontok, perasaan tidak nyaman dan berkurangnya nafsu makan (Widyaningrum dkk., 2011). 21 g. Penelitian Sebelumnya Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Zhong dkk (2001) ekstrak air, alkohol dan ester keladi tikus memiliki efek meredakan batuk berdahak dan berkhasiat sebagai antiasmatik, analgesik, antiperadangan dan sedatif. Ekstrak etanolik keladi tikus memiliki efek sitotoksik terhadap sel kanker payudara T47D dengan harga IC50 sebesar 632 µg/ml (Nurrochmad dkk., 2011). Ekstrak keladi tikus dengan dosis 250 mg/kgBB, 500 mg/kgBB dan 1000 mg/kgBB dapat meningkatkan fagositosis makrofag tikus yang terinduksi cyclophospamide (Sriyanti, 2012). 8. Sirih Merah (Piper crocatum Ruiz and Pav) a. Klasifikasi Klasifikasi sirih merah menurut Backer dan van Der Brink (1965) adalah : Divisi : Magnoliophyta Kelas : Magnoliopsida Subkelas : Magnolidae Ordo : Piperales Famili : Piperaceae Genus : Piper Spesies : Piper crocatum Ruiz and Pav 22 Gambar 4. Tanaman sirih merah (Piper crocatum Ruiz and Pav) (Pratama, 2012) b. Nama Daerah Nama daerah dari sirih merah adalah suruh (Jawa); seureuh (Sunda); base (Bali); dontile, parigi, gamnjeng (Sulawesi); gies, bido (Maluku); leko, kowak, malo dan malu (Nusa Tenggara) (Redaksi Agromedia, 2008). c. Habitat dan Penyebaran Tanaman sirih merah tumbuh lebih baik di daerah pegunungan, berhawa sejuk dan teduh dengan sinar matahari 60 – 75%. Sirih merah juga dapat tumbuh di daerah panas yang terkena sinar matahari langsung tetapi batangnya cepat mengering dan warna merah daunnya akan pudar (Juliantina dkk., 2009). d. Morfologi Tanaman sirih merah adalah tanaman menjalar atau merambat yang panjangnya dapat mencapai 5 – 10 m. Batangnya berwarna hijau keunguan dan 23 berbentuk bulat, beruas dengan panjang 3 – 8 cm, pada setiap buku tumbuh 1 daun. Daun muda dan daun dewasa memiliki bentuk yang agak berbeda, daun muda bentuknya menjantung – membulat telur sedangkan daun dewasa bentuk daun menjadi lonjong. Daun sirih merah adalah daun tunggal yang duduknya berseling, kaku, panjang daun 6,1 – 14,6 cm, lebar 4 – 9,4 cm, tangkainya memiliki panjang 2,1 – 6,2 cm dan berwarna hijau merah keunguan. Daun bagian atas berwarna hijau dengan garis-garis merah jambu kemerahan, permukaannya rata hingga agak cembung dan mengkilat. Daun bagian bawah berwarna hijau merah tua keunguan dengan pertulangan daun yang menonjol dan permukaan mencekung (Astuti dan Munawaroh, 2011). e. Kandungan Senyawa Menurut Safithri dan Fahma (2008) dan Juliantina dkk (2009) sirih merah mengandung flavonoid, alkaloid dan tanin dan minyak atsiri. Flavonoid mempengaruhi aktivitas makrofag dengan cara mempengaruhi produksi nitrit oksida (Nijveldt dkk., 2001) dan mempengaruhi ekspresi IL-10 (Comalada dkk., 2006). f. Kegunaan Sirih merah dipercaya dapat mengobati penyakit diabetes, hipertensi, kanker payudara, hepatitis, peradangan, wasir dan maag (Juliantina dkk., 2009). Tanaman ini juga dapat menyembuhkan keputihan, juga dapat digunakan sebagai obat kumur (Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian, 2010). 24 g. Penelitian Sebelumnya Pemberian ekstrak etanol daun sirih merah (Piper crocatum) pada dosis 10 mg/kgBB, 100 mg/kgBB dan 300 mg/kgBB dapat menaikkan indeks fagositosis makrofag tikus terinduksi vaksin Hepatitis B (Apriyanto, 2011). Ekstrak nheksana daun sirih merah dosis 100 mg/kgBB dan 300 mg/kgBB dapat meningkatkan indeks dan rasio fagositosis makrofag tikus terinduksi vaksin Hepatitis B (Indriyani, 2011). Menurut Werdyani (2012) fraksi n-heksana daun sirih merah dapat meningkatkan fagositosis makrofag tikus pada dosis 10 mg/kgBB, 50 mg/kgBB dan 100 mg/kgBB. F. Landasan Teori Tubuh membutuhkan sistem imun yang kuat agar terlindung dari penyakit. Sistem imun yang lemah akan membuat tubuh lebih mudah terserang infeksi. Agar sistem imun tubuh kuat maka dibutuhkan senyawa yang dapat meningkatkan sistem imun yaitu imunostimulator. Indonesia memiliki keanekaragaman hayati tumbuhan yang tinggi, sehingga potensial untuk mencari imunostimulator dari tumbuhan yang ada. Tanaman meniran, keladi tikus dan sirih merah mengandung senyawa yang potensial berperan sebagai imunostimulator. Menurut Safithri dan Fahma (2008) sirih merah mengandung flavonoid, alkaloid dan tanin. Kandungan senyawa dari keladi tikus adalah flavonoid, alkaloid, terpenoid, tanin dan sterol (Singh dkk, 2013). Senyawa-senyawa yang terkandung dalam meniran antara lain kuersetin, kuersitrin, isokuersitrin, astragalin, rutin, alkaloid, terpenoid, lignin, polifenol, 25 tanin, kumarin dan saponin (Sudarsono, dkk, 2006; Paithankar dkk, 2011). Senyawa alkaloid, kuinon, terpenoid, asam fenol karboksilat, polisakarida dan glikoprotein potensial sebagai imunostimulator (Wagner, 1990). Penelitian sebelumnya menunjukkan bahwa dalam penggunaan tunggalnya ekstrak meniran dapat meningkatkan aktivitas fagositosis makrofag peritoneum tikus pada dosis 40 mg/200 g BB (Sriningsih dan Wibowo, 2009) dan aktivitas fagositosis makrofag mencit Balb/c (Ash, 2012; Nworu dkk., 2010). Ekstrak keladi tikus dengan dosis 250 mg/kgBB, 500 mg/kgBB dan 1000 mg/kgBB dapat meningkatkan fagositosis makrofag tikus yang terinduksi cyclophospamide (Sriyanti, 2012). Menurut Apriyanto (2011) pemberian ekstrak etanol daun sirih merah (Piper crocatum) pada dosis 10 mg/kgBB, 100 mg/kgBB, 300 mg/kgBB dapat menaikkan indeks fagositosis makrofag tikus terinduksi vaksin Hepatitis B. Dengan dikombinasikannya ketiga ekstrak itu maka diharapkan efek yang terjadi adalah sinergis. Jamu Imuno Gama Herbal® mengandung kombinasi ketiga ekstrak ini. Penelitian in vitro oleh Sagala (2013) dan Difita (Unpublished) menunjukkan bahwa kombinasi EMN, EKT dan ESM dengan konsentrasi 1 µg/ml, 10 µg/ml dan 100 µg/ml dapat meningkatkan kapasitas dan indeks fagositosis makrofag mencit jantan galur Balb/c dengan konsentrasi optimum 10 µg/ml. Oleh karena itu perlu dilakukan penelitian mengenai aktivitas imunostimulator kombinasi ketiga ekstrak tersebut secara in vivo. 26 G. 1. Hipotesis Pemberian kombinasi EMN, EKT dan ESM dapat meningkatkan kapasitas fagositosis makrofag mencit jantan galur Balb/c. 2. Pemberian kombinasi EMN, EKT dan ESM dapat meningkatkan indeks fagositosis makrofag mencit jantan galur Balb/c.