Jurnal_STUDI SOSIALISASI TERHADAP ANAK

advertisement
STUDI SOSIALISASI TERHADAP ANAK AUTIS
DI YAYASAN PERMATA HATI PEKANBARU
Arief Rahman Hakim Dan Basri
UNIVERSITAS RIAU
Kampus Bina Widya Km. 12,5 Simpang Baru Pekabaru 28293
Telp. (0761) 63266 Fax. (0761) 63279, 65593
[email protected] (085278200345)
ABSTRACT
Autism is a condition of the child from birth or infancy when the child
causing the child is not able to form normal social relationships or
communication, resulting in isolation of the other and enter the world of
repetitive, obsessive activities and interests. These symptoms begin to appear
from birth or childhood, usually before the age of 3 years. As for how to be a
"normal" is to therapies. As well as family intervention in the process of
socialization in everyday life. Because, the life and behavior of children with
autism in daily reflect socialization processes carried out by the family.
This study uses qualitative methods. Data collection techniques used
were questionnaires as the primary method and observation as a method of
support. The number of subjects in this study were 15 respondents who have
children with autism attend Permata Hati Foundation Pekanbaru.
Results from the study showed that the effect of therapy and family
functions determine the development of autistic children. Reception is very
diverse family of the condition of children with autism disorder is. The higher
the rejection rate, the longer the period of reorganization to do families in the
intervention against children. The fewer gaps and diversity issues in the
family will be able to help more optimal intervention intensity. To support the
increasing socialization of children with autism, parents should be more
active in seeking information about autism and how to improve socialization.
Keywords: Autism, Therapy, Socialization and The Family
1. Pendahuluan
Salah satu kelompok masyarakat adalah anak-anak. Anak merupakan
kelompok masayarakat yang tidak lepas dari proses sosial. Mereka juga
berinteraksi dengan orang lain, tetapi dalam taraf ini anak masih dalam
perkembangan mengenal lingkungannya atau dalam tahap perkembangan
sosial, yaitu di lingkungan sekitar rumah atau dengan tetangga, dan juga di
sekolah.
Lingkungan yang mempengaruhi sosial anak adalah lingkungan
sekolah. Sekolah merupakan lingkungan kedua setelah lingkungan
keluarga, karena di sekolah anak dalam tahap belajar bersosialisasi dengan
teman-teman yang baru dikenal. Sekolah mengharuskan mereka untuk
mendapatkan untuk dapat berkomunikasi atau berinteraksi dengan baik di
dalam maupun di luar kelas, tetapi tidak semua anak mampu berinteraksi
dengan orang lain. Mungkin saja ada anak yang suka menyendiri atau
bermain sendiri, atau bisa saja anak yang terlalu impulsif atau hiperaktif.
Anak-anak demikian mengalami gangguan pada perkembangan sosialnya.
Adanya gangguan pada perkembangan itu, hasilnya anak dapat menjadi
terhambat dalam hal komunikasi atau bisa saja berbicara contohnya anak
penyandang autisme.
Pengertian autis menjadi sebuah informasi yang belum sepenuhnya
sampai pada masyarakat. Para orangtua dengan anak penderita autis
bahkan tidak mengetahui pengertian autis itu sendiri. Lebih banyak dari
mereka yang kebingungan mengenai penyakit apa yang tengah diderita
oleh anaknya. Semakin tinggi tingkat penolakan, semakin lama rentang
waktu reorganisasi yang dapat dilakukan orangtua dalam intervensi yang
dilakukan terhadap anak. Semakin sedikit kesenjangan dan keragaman
permasalahan dalam keluarga akan dapat membantu intensitas intervensi
yang lebih optimal. Dinamika yang terjadi dalam keluarga sangat
berpengaruh ketika menangani anak autistik.
Semakin tinggi tingkat penolakan, semakin lama rentang waktu
reorganisasi yang dapat dilakukan orangtua dalam intervensi yang
dilakukan terhadap anak. Semakin sedikit kesenjangan dan keragaman
permasalahan dalam keluarga akan dapat membantu intensitas intervensi
yang lebih optimal. Dinamika yang terjadi dalam keluarga sangat
berpengaruh ketika menangani anak autistik. Orangtua sebagai orang yang
paling bertanggung jawab terhadap perkembangan anak perlu
mempersiapkan diri untuk memberikan pelayanan yang optimal kepada
anaknya. Pada dasarnya setiap orangtua memilih suatu institusi yang
memadai dan sesuai dengan karakter anaknya.
Yayasan Permata Hati adalah salah satu klinik anak atau lembaga
pendidikan yang memberikan pelayanan multi disiplin untuk berbagai
jenis terapi bagi anak berkebutuhan khusus. Yayasan Permata Hati terletak
di Jalan Palapa Ujung No. 10A Kelurahan Payung Sekaki Kecamatan
Labuh Baru Timur Pekanbaru.
1.1 Perumusan Masalah
Secara umum berbagai pertanyaan kunci yang akan dijawab dalam
penilitian ini adalah:
1. Bagaimana sosialisasi anak autis di Yayasan Permata Hati?
2. Bagaimana pelaksanaan fungsi keluarga terhadap anak autis?
1.2 Tujuan Penelitian
Tujuan dari penilitian ini adalah sebagai berikut:
1. Mengetahui sosialisasi anak autis di Yayasan Permata Hati.
2. Mengetahui bagaimana orangtua melaksanakan fungsi keluarga
terhadap anak autis.
2. Tinjauan Pustaka
Dengan kata lain sosialisasi dapat dikemukakan bahwa sosialisasi
adalah proses mempelajari norma, peran, dan semua persyaratan lainnya
yang diperlukan untuk memungkinkan partisispasi yang efektif dalam
kehidupan sosial. Menurut David Gaslin, sosialisasi adalah proses belajar
yang dialami seseorang untuk memperoleh pengetahuan tentang nilai dan
norma-norma agar ia dapat berpartisipasi sebagai anggota kelompok
masyarakat. (Kun Maryati : 2006).
Sebagaimana halnya institusi lain seperti institusi politik, pendidikan,
agama, dan ekonomi. Keluarga mempunyai beberapa fungsi untuk
dijalankan. Menurut Horton dan Hunt (1984: 238-242), fungsi keluarga
meliputi beberapa diantaranya, yaitu fungsi biologis, reproduksi,
sosialisasi, afeksi, definisi status, perlindungan, dan ekonomi.
3. Metodologi Penelitian
Metode penelitian merupakan unsur yang penting dalam penelitian
ilmiah karena metode yang digunakan dalam penelitian dapat menentukan
apakah penelitian tersebut dapat dipertanggung jawabkan hasilnya. (Hadi,
2000)
Tipe penelitian ini adalah penelitian deskriptif yang bertujuan untuk
mendeskripsikan apa-apa yang terjadi. Di dalamnya terdapat upaya
mendeskripsikan, mencatat, menganalisis dan menginterpretasikan
kondisi-kondisi yang terjadi atau yang ada. Dalam hal penelitian ini,
pengambilan sampel dilakukan dengan teknik sampel acak sederhana
(simple random sampling) sebanyak 50% atau 15 anak autis di Yayasan
Permata Hati. Karena setiap objek penelitian memiliki kemungkinan yang
sama untuk dijadikan sampel. Penentuannya ini dilakukan dengan undian.
Teknik pengumpulan data yang digunakan adalah obesrvasi dan
menggunakan kuesioner.
Analisis data dalam penelitian ini menggunakan data kualitatif. Penulis
tidak hanya memberikan penilaian terhadap data yang ada, tetapi akan
lebih memprioritaskan kepada gambaran situasi atau secara umum. Setelah
data-data yang diperlukan terkumpul, penulis memasukkan dan
menggambarkan dalam bentuk tabel. Kemudian dijelaskan secara
deskriptif kualitatif.
4. Mekanisme Terapi Di Yayasan Permata Hati
Sebelum anak di terapi Yayasan Permata Hati, terlebih dahulu si anak
didiagnosa untuk membuktikan benar bahwa menderita autis. Ataupun
juga bisa mendiagnosa ke Dokter Anak atau Psikolog Anak. P3TABK
Yayasan Permata Hati memberikan pelayanan pendidikan yang berkualitas
pada semua disiplin ilmu.
Pelayanan yang diberikan Yayasan Permata Hati adalah:
1. Terapi Perilaku
Gambar 1. Terapi Perilaku
Terapi ini yaitu mengajarkan anak autis bagaimana berperilaku
satu demi satu sehingga mengembangkan autis menjadi lebih
“normal”. Mengajarkan kesiapan pada anak, keterampilan meniru,
keterampilan belajar, keterampilan representative, keterampilan
bahasa reseptif, keterampilan bahasa ekspresif dan keterampilan
akademis. Dari sampel 15 anak autis di Yayasan Permata Hati,
hanya 7 anak autis yang mengikuti terapi perilaku. Dari 7 anak autis
mengikuti terapi ini hanya 4 anak autis yang ada progresnya, yakni
diantaranya adalah Denis, Alif, Jono, dan Safriko. Mereka sudah bisa
berperilaku seperti anak normal. Ini terlihat dalam kesehariannya
bersosialisasi dengan lingkungannya seperti peduli akan
kebutuhannya.
2. Terapi Wicara
Gambar 2. Terapi Wicara
Terapi wicara merupakan terapi yang wajib diberikan kepada
anak autis karena sebagian besar mereka tidak dapat berbicara atau
berbahasa. Kecendrungan mereka tak dapat bicara bukan karena
bisu, namun karena mereka tidak dapat merespon lingkungan
sehingga tidak peduli dan tidak mau belajar apa-apa. Ini memerlukan
terapi yang intensif dan kontinyu. Ada 9 anak autis yang mengikuti
terapi wicara. Hanya 8 yang mampu untuk bisa berkomunikasi
verbal maupun nonverbal, yakni diantaranya adalah Nicool, Josua,
Aldo, Ben, Karin, Didan, Sandra, dan Safriko. Ini terlihat sudah bisa
diajak komunkasi secara verbal.
3. Terapi Okupasi
Gambar 3. Terapi Okupasi
Sebagian penyandang kelainan perilaku, terutama autisme juga
mempunyai perkembangan motorik yang kurang baik. Gerakgeriknya kasar dan kurang luwes bila dibandingkan dengan anakanak seumurannya. Pada anak-anak ini perlu diberi bantuan terapi
okupasi untuk membantu menguatkan, memperbaiki koordinasi dan
ketrampilan ototnya. Dari jumlah sampel 15 anak autis di Yayasan
Permata Hati, hanya 5 anak autis yang mengikuti terapi okupasi.
Diantara 5 anak autis itu adalah Nicool, Josua, Denis, Ben, dan
Rasid. Mereka sudah mampu untuk disuruh menulis, berhitung
menggunakan tangan, dan memegang benda.
4. Terapi Fisioterapi
Gambar 4. Terapi Fisioterapi
Melatih kekuatan otot-otot anak baik gross motor maupun fine
motor, latihan kemandirian aktifitas keseharian. Penderita autisme
biasanya juga mengalami gangguan pada motorik kasarnya-selain
motorik halus. Problem yang kerap timbul antara lain anak tidak bisa
berjalan dengan menjejakkan telapak kakinya ke lantai (berjalan
jinjit). Mengikuti terapi fisioterapi ini hanya 2 orang yakni Didan
dan Rasid. Didan sudah bisa bergerak dengan cepat, sedangkan
Rasid masih kaku dalam pergerakan. Terlihat ketika ada intruksi
nendang bola, berjalan diatas bantal, dan loncat diatas trampolin.
5. Terapi Sensori Integrasi
Gambar 5. Terapi Sensori Integrasi
Terapi Sensory Integrasi adalah terapi yang dilakukan bila anak
mengalami gangguan sensori integrasi yaitu mengalami gangguan
dalam penginderaan sentuhan, pergerakan, gaya. Terapi integrasi
sensoris meningkatkan kematangan susunan saraf pusat, sehingga ia
lebih mampu untuk memperbaiki struktur dan fungsinya. Aktivitas
integrasi sensoris merangsang koneksi sinaptik yang lebih kompleks,
dengan demikian bisa meningkatkan kapasitas untuk belajar.
Memberikan pelatihan untuk menstimulasikan tactice (sensori untuk
perabaan, rasan penciuman dan pendengaran) body awareness,
postural insecurity dan tahapan gross motor skill yang terarah. Ada
11 anak autis yang mengikuti terapi ini. Ada 6 anak autis yang
mampu untuk merespon ketika ada intruksi dari terapis. Diantaranya
adalah Josua, Aldo, Alif, Ben, Safriko, dan Jono.
6. Terapi Snoezelen
Terapi ini dirancang untuk mempengharuhi sistem saraf pusat
melalui pemberian ransangan yang cukup pada sistem sensori primer
anak, seperti penglihatan, pendengaran, peraba, perasa lidah,
pembau, dan yang berhubungan dengan penginderaan. Snoezelen
juga mengarahkan anak untuk relaks, mengeksplorasi, dan
mengekspresikan dirinya di dalam atmosfer yang terbuka pada faktor
kepercayaan dan kesenangan. Fasilitas yang digunakan adalah
ruangan yang aman tanpa alat-alat berbahaya dan suara-suara yang
menganggu. Sehingga terciptalah suasana yang rileks dan nyaman
dengan diiringi suara musik dan warna kerlap-kerlip dari lampu
disko.
7. Konsultasi Psikologi, Konseling dan Psikoterapi
Memberikan pelayanan konsultasi dan konseling tentang tumbuh
kembang anak oleh psikolog anak dan keluarga.
8. Home Visit Therapy
Ini memberikan layanan pendidikan atau terapi ke rumah.
Terapi dilakukan secara perorangan (satu anak ditangani oleh satu
terapis) serta kelompok. Laporan tertulis mengenai terapi yang diberikan
berupa format penilaian harian dan buku penghubung antara terapis
dengan orangtua. Serta laporan tertulis mengenai perkembangan terapi
dalam tempo per 3 bulan, per 6 bulan dan per tahun.
5. Pelaksanaan Fungsi Keluarga terhadap Anak Autis
Setelah sebuah keluarga terbentuk, anggota keluarga yang ada di
dalamnya memiliki tugas masing-masing. Suatu pekerjaan yang harus
dilakukan dalam kehidupan keluarga inilah disebut fungsi. Jadi fungsi
keluarga adalah suatu pekerjaan atau tugas yang harus dilakukan di dalam
atau di luar keluarga. (Abu Ahmadi : 1991)
Mengetahui fungsi keluarga sangat penting, sebab dari sinilah terukur
dan terbaca sosok keluarga yang ideal dan harmonis. Munculnya krisis
dalam rumah tangga dapat juga sebagai akibat tidak berfungsinya salah
satu fungsi keluarga. Dalam tulisan Horton dan Hurt, fungsi keluarga
meliputi: fungsi pengaturan seksual, fungsi reproduksi, fungsi sosialisasi,
fungsi afeksi, fungsi penentuan status, fungsi perlindungan, dan fungsi
ekonomi. (Chester L. Hunt, Paul B. Horton : 1992)
Sebuah keluarga dibentuk untuk tidak hanya memenuhi satu fungsi
dalam keluarga saja. Tetapi harus mampu memenuhi fungsi-fungsi dalam
keluarga yang lain. Seperti hal nya yang akan dibahas di bawah ini adalah
beberapa fungsi keluarga yaitu : Fungsi ekonomi, fungsi perlindungan,
fungsi sosialisasi, fungsi afeksi dan fungsi penentuan status.
5.1 Fungsi Ekonomi
Fungsi ekonomis Meliputi pencarian nafkah, perencanaan serta
pembelajarannya. Keadaan ekonomi sekeluarga mempengaruhi pula
harapan orangtuaakan masa depan anaknya serta harapan anak itu
sendiri. Untuk mengetahui pendapatan responden dapat dilihat pada
table berikut:
Tabel 5.1 Berdasarkan Tingkat Pendapatan Responden (Ayah &
Ibu)
No
Tingkat Pendapatan
Jumlah (N) Persentase
1
Rendah (Rp 1.000.000 – Rp. 4.000.000,-)
3
20%
2
Sedang (Rp. 5.000.000 – Rp. 9.000.000,-)
4
26.67%
3
Tinggi (> Rp. 10.000.000,-)
8
53.33%
15
100%
Total
Sumber: Data Lapangan 2012
Mempunyai anak autis memerlukan biaya yang besar dalam hal
merawatnya, mereka rela mengeluarkan biaya yang cukup besar dalam
hal merawat anaknya daripada anak normal. Hal inilah yang membuat
pendapatan keluarga sangat menentukan seorang anak autis untuk
mendapatkan berbagai hal yang dapat menunjang perkembangannya.
Adapun biaya-biaya yang dikeluarkan mencakup biaya terapis atau
sekolah, biaya dokter, biaya pembelian suplemen, biaya perawat, dan
lain-lain untuk kebutuhan si anak.
5.2 Fungsi Perlindungan
Fungsi protektif (perlindungan) dalam keluarga adalah untuk
menjaga dan memelihara anak autis serta anggota keluarga lainnya
dari tindakan negatif yang mungkin timbul, baik dari dalam maupun
dari luar kehidupan keluarga. Fungsi ini pun adalah untuk menangkal
pengaruh kehidupan yang seasat pada saat sekarang dan pada masa
yang akan datang.
5.3 Fungsi Sosialisasi
Peranan orangtua dalam mendidik atau mensosialisasikan anak
autis untuk mampu mengetahui dan mematuhi nilai-nilai dan normanorma yang dijunjung tinggi dan merupakan pedoman tingkah laku
pada setiap individu untuk hidup bermasyarakat. Keberhasilan dari
proses sosialisasi tersebut dapat dilihat pada tindakan yang dilakukan
oleh anak autis dalam kehidupan sehari-hari. Kehidupan dan perilaku
anak autis dalam keseharian mencerminkan proses sosialisasi yang
dilakukan oleh orangtua. Hal ini bisa dilihat tabel dibawah ini
sosialisasi ibu dalam mendidik anak autis pada tingkat
keberhasilannya.
Tabel 5.2 Sosialisasi Ibu Dalam Mendidik Anak Autis Pada
Tingkat Keberhasilannya.
Tingkat Keberhasilan
Jumlah
Persentase
No
1
2
Baik
- Sudah
bisa
membaca,
menulis dan berdoa.
- Sudah bisa bergaul dengan
lingkungan terdekat.
Tidak baik
- Belum
mampu
untuk
membaca, menulis dan
berdoa.
- Kurang peduli dengan
lingkungan sekitar.
Total
Sumber : Data Lapangan 2012
10
66.67%
5
33.33%
15
100%
Sosialisasi yang diterapkan oleh ibu dalam mendidik anak autis
seperti membaca, menulis, berdoa serta bisa bergaul dengan
lingkungannya sudah bisa dilakukan oleh anak autis sebanyak 10
anak.
5.4 Fungsi Afeksi
Mempunyai anak autis merupakan suatu ujian yang luar biasa
besar bagi seorang ibu. Ibu tidak henti-hentinya memberikan kasih
sayang, kehangatan serta perlindungan pada anaknya. Salah satu
kelemahan anak autis adalah kurangnya kepekaan terhadap
lingkungannya. Kelemahan anak autis ini dapat ditanggulangi dengan
pemberian kehangatan dari keluarganya. Agar kehangatan antara ibu
atau anggota keluarga lainnya dengan anak autis tercipta adalah
dengan selalu mendekatkan diri kepada anak, memeluk, mencium dan
membelai anak autis serta memujinya. Hal tersebut dapat mengajarkan
kepada anak autis bahwa ada orang-orang disekelilingnya
menyayanginya. Anak autis membutuhkan kasih sayang serta
kehangatan dari orang sekitarnya sehingga ia tidak tenggelam dalam
dunianya sendiri.
5.5 Fungsi Penentuan Status
Status sosial yang diberikan oleh anggota keluarga terhadap anak
autis adalah dengan memberikan kesempatan yang sama dalam
memperoleh seluruh bentuk fungsi keluaraga yang dijalankan oleh
orangtua. Status sosial terhadap anak autis bersifat warisan artinya,
status sosial anak autis dalam keluarga akan berlanjut dari waktu
kewaktu yang diperolehnya dari anggota keluarga yang lain. Jadi baik
atau pun buruknya status sosial yang diperoleh oleh anak autis
tergantung dari kepada siapa warisan itu diberikan, bisa dari abang,
kakak, adik ataupun dari keluarga semisal paman atau bibi.
6. Kesimpulan
Dari hasil penelitian yang dilakukan, maka dapat diambil kesimpulan
sebagai berikut :
1. Semakin tinggi tingkat penolakan, semakin lama rentang waktu
reorganisasi yang dapat dilakukan orangtua dalam intervensi yang
dilakukan terhadap anak. Semakin sedikit kesenjangan dan keragaman
permasalahan dalam keluarga akan dapat membantu intensitas
intervensi yang lebih optimal.
2. Dengan pelaksanaan terapi perilaku, wicara, okupasi, fisioterapi dan
sensori integrasi, anak autis mampu untuk bersosialisasi dengan
lingkungannya.
3. Dalam keluarga autis pelaksanaan fungsi keluarga meliputi:
a) Fungsi ekonomis meliputi pencarian nafkah, perencanaan serta
pembelajarannya. Keadaan ekonomi sekeluarga mempengaruhi
b)
c)
d)
e)
pula harapan orangtua akan masa depan anaknya serta harapan
anak itu sendiri.
Fungsi perlindungan Keluarga merupakan tempat-tempat yang
nyaman bagi para anggotanya. Fungsi ini bertujuan untuk menjaga
dan memelihara anak autis serta anggota keluarga lainnya dapat
terhindar dari hal-hal yang negatif.
Fungsi sosialisasi keluarga bagi anak autis adalah mendidik si anak
untuk mampu mengetahui dan mematuhi nilai-nilai dan normanorma yang dijunjung tinggi dan merupakan pedoman ting+kah
laku pada setiap individu untuk hidup bermasyarakat. Keberhasilan
dari proses sosialisasi tersebut dapat dilihat pada tindakan yang
dilakukan oleh anak autis dalam kehidupan sehari-hari. Kehidupan
dan perilaku anak autis dalam keseharian mencerminkan proses
sosialisasi yang dilakukan oleh orangtua.
Fungsi afeksi terhadap anak autis yakni dengan selalu mendekatkan
diri kepada anak, mencium, memeluk dan membelai serta
memujinya. Hal tersebut dapat mengajarkan kepada anak autis
bahwa ada orang-orang di sekelilingnya menyayanginya. Anak
autis membutuhkan kasih sayang serta kehangatan dari orang
sekitarnya sehingga ia tidak tenggelam dalam dunianya sendiri.
Status sosial yang diberikan oleh anggota keluarga terhadap anak
autis adalah dengan memberikan kesempatan yang sama dalam
memperoleh seluruh bentuk fungsi keluaraga yang dijalankan oleh
orangtua. Status sosial terhadap anak autis bersifat warisan artinya,
status sosial anak autis dalam keluarga akan berlanjut dari waktu
kewaktu yang diperolehnya dari anggota keluarga yang lain. Jadi
baik atau pun buruknya status sosial yang diperoleh oleh anak autis
tergantung dari kepada siapa warisan itu diberikan, bisa dari abang,
kakak, adik ataupun dari keluarga semisal paman atau bibi.
7. Saran
1. Anak autis harus diajarkan berhubungan sosial secara kontinyu, baik
orangtua maupun terapis. Hal inilah yang dimaksudkan agar anak autis
tidak hanyut dalam dunianya sendiri. Selain itu ajarkan kemandirian
dalam mengatur diri, ajarkan tentang bersosialisasi agar kelak ketika
dewasa anak autis dapat hidup mandiri.
2. Bagi pemerintah diharapkan dapat memberikan sosialisasi mengenai
autis ke semua kalangan masyarakat, sehingga tidak hanya kaum
tertentu saja yang mengetahui informasi mengenai autis. Selain itu
diharapkan agar pemerintah lebih memperhatikan anak-anak special
need dengan cara mendirikan fasilitas-fasilitas penunjang
perkembangannya sehingga dapat dijangkau oleh kalangan manapun.
8. Daftar pustaka
Abdulsyani. 1994. Sosiologi, Sistematika, Teoridan Terapan. Jakarta: PT
Bumi Aksara.
Ahmadi, Abu. 1991. Ilmu Sosial Dasar. Jakarta: Rineka Cipta.
Bimo,walgito. 2002. Psikologi sosial. Yogyakarta: Andi Offset.
Budiman, Melly. 1998. Makalah Simposium Pentingnya Diagnosis Dini
Dan Penatalaksanaan Terpadu Pada Autisme. Surabaya.
Bungin, Burhan. 2009. Sosiologi Komunikasi: Teori, Paradigma, dan
Diskursus Teknologi
Komunikasi Di Masyarakat. Jakarta:
Kencana.
Chester L. Hunt, Paul B. Horton. 1992. Sosiologi Jilid 1. Jakarta:
Erlangga.
__________________________. 1989. Sosiologi. Jakarta: Erlangga.
Faisal, Yatim. 2003. Suatu Gangguan Jiwa Pada Anak-Anak. Jakarta:
Pustaka Popular Obor.
Ginanjar, Adriana S. 2008. Menjadi Orangtua Istimewa. Jakarta: Dian
Rakyat
Hadi, S. 2000. Methodological Research.Yogyakarta: Penerbit Andi.
Handoyo, Y. 2003. Autisme. Jakarta: PT. Buana ILmu Populer.
Hariwijaya. 2008. Pedoman Penulisan Ilmiah Proposal Dan Skripsi.
Yogyakarta: Oryza.
Johnson, Doyle Paul dan Lawang, Robert M.Z. 1988. Teori Sosiologi
Klasik dan Modern. Jakarta: PT. Gramedia.
Maryati, Kun. 2007. Sosiologi Untuk SMA Dan MA Kelas X. Jakarta:
Erlangga.
Peeters, Theo. 2004. Autisme :Hubungan pengetahuan Teoritis dan
Intervensi Pendidikan Bagi penyandang Autis. Jakarta: Dian
Rakyat.
Rohman, Arif, dkk. 2003. Sosiologi Untuk Kelas 2 Smu. Klaten: Intan
Pariwara.
Soekanto, Soerjono. 1982. Sosiologi Suatu Pengantar. Jakarta: Rajawali
Pers.
Download