STUDI SOSIALISASI TERHADAP ANAK AUTIS DI YAYASAN PERMATA HATI PEKANBARU Arief Rahman Hakim Dan Basri UNIVERSITAS RIAU Kampus Bina Widya Km. 12,5 Simpang Baru Pekabaru 28293 Telp. (0761) 63266 Fax. (0761) 63279, 65593 [email protected] (085278200345) ABSTRACT Autism is a condition of the child from birth or infancy when the child causing the child is not able to form normal social relationships or communication, resulting in isolation of the other and enter the world of repetitive, obsessive activities and interests. These symptoms begin to appear from birth or childhood, usually before the age of 3 years. As for how to be a "normal" is to therapies. As well as family intervention in the process of socialization in everyday life. Because, the life and behavior of children with autism in daily reflect socialization processes carried out by the family. This study uses qualitative methods. Data collection techniques used were questionnaires as the primary method and observation as a method of support. The number of subjects in this study were 15 respondents who have children with autism attend Permata Hati Foundation Pekanbaru. Results from the study showed that the effect of therapy and family functions determine the development of autistic children. Reception is very diverse family of the condition of children with autism disorder is. The higher the rejection rate, the longer the period of reorganization to do families in the intervention against children. The fewer gaps and diversity issues in the family will be able to help more optimal intervention intensity. To support the increasing socialization of children with autism, parents should be more active in seeking information about autism and how to improve socialization. Keywords: Autism, Therapy, Socialization and The Family 1. Pendahuluan Salah satu kelompok masyarakat adalah anak-anak. Anak merupakan kelompok masayarakat yang tidak lepas dari proses sosial. Mereka juga berinteraksi dengan orang lain, tetapi dalam taraf ini anak masih dalam perkembangan mengenal lingkungannya atau dalam tahap perkembangan sosial, yaitu di lingkungan sekitar rumah atau dengan tetangga, dan juga di sekolah. Lingkungan yang mempengaruhi sosial anak adalah lingkungan sekolah. Sekolah merupakan lingkungan kedua setelah lingkungan keluarga, karena di sekolah anak dalam tahap belajar bersosialisasi dengan teman-teman yang baru dikenal. Sekolah mengharuskan mereka untuk mendapatkan untuk dapat berkomunikasi atau berinteraksi dengan baik di dalam maupun di luar kelas, tetapi tidak semua anak mampu berinteraksi dengan orang lain. Mungkin saja ada anak yang suka menyendiri atau bermain sendiri, atau bisa saja anak yang terlalu impulsif atau hiperaktif. Anak-anak demikian mengalami gangguan pada perkembangan sosialnya. Adanya gangguan pada perkembangan itu, hasilnya anak dapat menjadi terhambat dalam hal komunikasi atau bisa saja berbicara contohnya anak penyandang autisme. Pengertian autis menjadi sebuah informasi yang belum sepenuhnya sampai pada masyarakat. Para orangtua dengan anak penderita autis bahkan tidak mengetahui pengertian autis itu sendiri. Lebih banyak dari mereka yang kebingungan mengenai penyakit apa yang tengah diderita oleh anaknya. Semakin tinggi tingkat penolakan, semakin lama rentang waktu reorganisasi yang dapat dilakukan orangtua dalam intervensi yang dilakukan terhadap anak. Semakin sedikit kesenjangan dan keragaman permasalahan dalam keluarga akan dapat membantu intensitas intervensi yang lebih optimal. Dinamika yang terjadi dalam keluarga sangat berpengaruh ketika menangani anak autistik. Semakin tinggi tingkat penolakan, semakin lama rentang waktu reorganisasi yang dapat dilakukan orangtua dalam intervensi yang dilakukan terhadap anak. Semakin sedikit kesenjangan dan keragaman permasalahan dalam keluarga akan dapat membantu intensitas intervensi yang lebih optimal. Dinamika yang terjadi dalam keluarga sangat berpengaruh ketika menangani anak autistik. Orangtua sebagai orang yang paling bertanggung jawab terhadap perkembangan anak perlu mempersiapkan diri untuk memberikan pelayanan yang optimal kepada anaknya. Pada dasarnya setiap orangtua memilih suatu institusi yang memadai dan sesuai dengan karakter anaknya. Yayasan Permata Hati adalah salah satu klinik anak atau lembaga pendidikan yang memberikan pelayanan multi disiplin untuk berbagai jenis terapi bagi anak berkebutuhan khusus. Yayasan Permata Hati terletak di Jalan Palapa Ujung No. 10A Kelurahan Payung Sekaki Kecamatan Labuh Baru Timur Pekanbaru. 1.1 Perumusan Masalah Secara umum berbagai pertanyaan kunci yang akan dijawab dalam penilitian ini adalah: 1. Bagaimana sosialisasi anak autis di Yayasan Permata Hati? 2. Bagaimana pelaksanaan fungsi keluarga terhadap anak autis? 1.2 Tujuan Penelitian Tujuan dari penilitian ini adalah sebagai berikut: 1. Mengetahui sosialisasi anak autis di Yayasan Permata Hati. 2. Mengetahui bagaimana orangtua melaksanakan fungsi keluarga terhadap anak autis. 2. Tinjauan Pustaka Dengan kata lain sosialisasi dapat dikemukakan bahwa sosialisasi adalah proses mempelajari norma, peran, dan semua persyaratan lainnya yang diperlukan untuk memungkinkan partisispasi yang efektif dalam kehidupan sosial. Menurut David Gaslin, sosialisasi adalah proses belajar yang dialami seseorang untuk memperoleh pengetahuan tentang nilai dan norma-norma agar ia dapat berpartisipasi sebagai anggota kelompok masyarakat. (Kun Maryati : 2006). Sebagaimana halnya institusi lain seperti institusi politik, pendidikan, agama, dan ekonomi. Keluarga mempunyai beberapa fungsi untuk dijalankan. Menurut Horton dan Hunt (1984: 238-242), fungsi keluarga meliputi beberapa diantaranya, yaitu fungsi biologis, reproduksi, sosialisasi, afeksi, definisi status, perlindungan, dan ekonomi. 3. Metodologi Penelitian Metode penelitian merupakan unsur yang penting dalam penelitian ilmiah karena metode yang digunakan dalam penelitian dapat menentukan apakah penelitian tersebut dapat dipertanggung jawabkan hasilnya. (Hadi, 2000) Tipe penelitian ini adalah penelitian deskriptif yang bertujuan untuk mendeskripsikan apa-apa yang terjadi. Di dalamnya terdapat upaya mendeskripsikan, mencatat, menganalisis dan menginterpretasikan kondisi-kondisi yang terjadi atau yang ada. Dalam hal penelitian ini, pengambilan sampel dilakukan dengan teknik sampel acak sederhana (simple random sampling) sebanyak 50% atau 15 anak autis di Yayasan Permata Hati. Karena setiap objek penelitian memiliki kemungkinan yang sama untuk dijadikan sampel. Penentuannya ini dilakukan dengan undian. Teknik pengumpulan data yang digunakan adalah obesrvasi dan menggunakan kuesioner. Analisis data dalam penelitian ini menggunakan data kualitatif. Penulis tidak hanya memberikan penilaian terhadap data yang ada, tetapi akan lebih memprioritaskan kepada gambaran situasi atau secara umum. Setelah data-data yang diperlukan terkumpul, penulis memasukkan dan menggambarkan dalam bentuk tabel. Kemudian dijelaskan secara deskriptif kualitatif. 4. Mekanisme Terapi Di Yayasan Permata Hati Sebelum anak di terapi Yayasan Permata Hati, terlebih dahulu si anak didiagnosa untuk membuktikan benar bahwa menderita autis. Ataupun juga bisa mendiagnosa ke Dokter Anak atau Psikolog Anak. P3TABK Yayasan Permata Hati memberikan pelayanan pendidikan yang berkualitas pada semua disiplin ilmu. Pelayanan yang diberikan Yayasan Permata Hati adalah: 1. Terapi Perilaku Gambar 1. Terapi Perilaku Terapi ini yaitu mengajarkan anak autis bagaimana berperilaku satu demi satu sehingga mengembangkan autis menjadi lebih “normal”. Mengajarkan kesiapan pada anak, keterampilan meniru, keterampilan belajar, keterampilan representative, keterampilan bahasa reseptif, keterampilan bahasa ekspresif dan keterampilan akademis. Dari sampel 15 anak autis di Yayasan Permata Hati, hanya 7 anak autis yang mengikuti terapi perilaku. Dari 7 anak autis mengikuti terapi ini hanya 4 anak autis yang ada progresnya, yakni diantaranya adalah Denis, Alif, Jono, dan Safriko. Mereka sudah bisa berperilaku seperti anak normal. Ini terlihat dalam kesehariannya bersosialisasi dengan lingkungannya seperti peduli akan kebutuhannya. 2. Terapi Wicara Gambar 2. Terapi Wicara Terapi wicara merupakan terapi yang wajib diberikan kepada anak autis karena sebagian besar mereka tidak dapat berbicara atau berbahasa. Kecendrungan mereka tak dapat bicara bukan karena bisu, namun karena mereka tidak dapat merespon lingkungan sehingga tidak peduli dan tidak mau belajar apa-apa. Ini memerlukan terapi yang intensif dan kontinyu. Ada 9 anak autis yang mengikuti terapi wicara. Hanya 8 yang mampu untuk bisa berkomunikasi verbal maupun nonverbal, yakni diantaranya adalah Nicool, Josua, Aldo, Ben, Karin, Didan, Sandra, dan Safriko. Ini terlihat sudah bisa diajak komunkasi secara verbal. 3. Terapi Okupasi Gambar 3. Terapi Okupasi Sebagian penyandang kelainan perilaku, terutama autisme juga mempunyai perkembangan motorik yang kurang baik. Gerakgeriknya kasar dan kurang luwes bila dibandingkan dengan anakanak seumurannya. Pada anak-anak ini perlu diberi bantuan terapi okupasi untuk membantu menguatkan, memperbaiki koordinasi dan ketrampilan ototnya. Dari jumlah sampel 15 anak autis di Yayasan Permata Hati, hanya 5 anak autis yang mengikuti terapi okupasi. Diantara 5 anak autis itu adalah Nicool, Josua, Denis, Ben, dan Rasid. Mereka sudah mampu untuk disuruh menulis, berhitung menggunakan tangan, dan memegang benda. 4. Terapi Fisioterapi Gambar 4. Terapi Fisioterapi Melatih kekuatan otot-otot anak baik gross motor maupun fine motor, latihan kemandirian aktifitas keseharian. Penderita autisme biasanya juga mengalami gangguan pada motorik kasarnya-selain motorik halus. Problem yang kerap timbul antara lain anak tidak bisa berjalan dengan menjejakkan telapak kakinya ke lantai (berjalan jinjit). Mengikuti terapi fisioterapi ini hanya 2 orang yakni Didan dan Rasid. Didan sudah bisa bergerak dengan cepat, sedangkan Rasid masih kaku dalam pergerakan. Terlihat ketika ada intruksi nendang bola, berjalan diatas bantal, dan loncat diatas trampolin. 5. Terapi Sensori Integrasi Gambar 5. Terapi Sensori Integrasi Terapi Sensory Integrasi adalah terapi yang dilakukan bila anak mengalami gangguan sensori integrasi yaitu mengalami gangguan dalam penginderaan sentuhan, pergerakan, gaya. Terapi integrasi sensoris meningkatkan kematangan susunan saraf pusat, sehingga ia lebih mampu untuk memperbaiki struktur dan fungsinya. Aktivitas integrasi sensoris merangsang koneksi sinaptik yang lebih kompleks, dengan demikian bisa meningkatkan kapasitas untuk belajar. Memberikan pelatihan untuk menstimulasikan tactice (sensori untuk perabaan, rasan penciuman dan pendengaran) body awareness, postural insecurity dan tahapan gross motor skill yang terarah. Ada 11 anak autis yang mengikuti terapi ini. Ada 6 anak autis yang mampu untuk merespon ketika ada intruksi dari terapis. Diantaranya adalah Josua, Aldo, Alif, Ben, Safriko, dan Jono. 6. Terapi Snoezelen Terapi ini dirancang untuk mempengharuhi sistem saraf pusat melalui pemberian ransangan yang cukup pada sistem sensori primer anak, seperti penglihatan, pendengaran, peraba, perasa lidah, pembau, dan yang berhubungan dengan penginderaan. Snoezelen juga mengarahkan anak untuk relaks, mengeksplorasi, dan mengekspresikan dirinya di dalam atmosfer yang terbuka pada faktor kepercayaan dan kesenangan. Fasilitas yang digunakan adalah ruangan yang aman tanpa alat-alat berbahaya dan suara-suara yang menganggu. Sehingga terciptalah suasana yang rileks dan nyaman dengan diiringi suara musik dan warna kerlap-kerlip dari lampu disko. 7. Konsultasi Psikologi, Konseling dan Psikoterapi Memberikan pelayanan konsultasi dan konseling tentang tumbuh kembang anak oleh psikolog anak dan keluarga. 8. Home Visit Therapy Ini memberikan layanan pendidikan atau terapi ke rumah. Terapi dilakukan secara perorangan (satu anak ditangani oleh satu terapis) serta kelompok. Laporan tertulis mengenai terapi yang diberikan berupa format penilaian harian dan buku penghubung antara terapis dengan orangtua. Serta laporan tertulis mengenai perkembangan terapi dalam tempo per 3 bulan, per 6 bulan dan per tahun. 5. Pelaksanaan Fungsi Keluarga terhadap Anak Autis Setelah sebuah keluarga terbentuk, anggota keluarga yang ada di dalamnya memiliki tugas masing-masing. Suatu pekerjaan yang harus dilakukan dalam kehidupan keluarga inilah disebut fungsi. Jadi fungsi keluarga adalah suatu pekerjaan atau tugas yang harus dilakukan di dalam atau di luar keluarga. (Abu Ahmadi : 1991) Mengetahui fungsi keluarga sangat penting, sebab dari sinilah terukur dan terbaca sosok keluarga yang ideal dan harmonis. Munculnya krisis dalam rumah tangga dapat juga sebagai akibat tidak berfungsinya salah satu fungsi keluarga. Dalam tulisan Horton dan Hurt, fungsi keluarga meliputi: fungsi pengaturan seksual, fungsi reproduksi, fungsi sosialisasi, fungsi afeksi, fungsi penentuan status, fungsi perlindungan, dan fungsi ekonomi. (Chester L. Hunt, Paul B. Horton : 1992) Sebuah keluarga dibentuk untuk tidak hanya memenuhi satu fungsi dalam keluarga saja. Tetapi harus mampu memenuhi fungsi-fungsi dalam keluarga yang lain. Seperti hal nya yang akan dibahas di bawah ini adalah beberapa fungsi keluarga yaitu : Fungsi ekonomi, fungsi perlindungan, fungsi sosialisasi, fungsi afeksi dan fungsi penentuan status. 5.1 Fungsi Ekonomi Fungsi ekonomis Meliputi pencarian nafkah, perencanaan serta pembelajarannya. Keadaan ekonomi sekeluarga mempengaruhi pula harapan orangtuaakan masa depan anaknya serta harapan anak itu sendiri. Untuk mengetahui pendapatan responden dapat dilihat pada table berikut: Tabel 5.1 Berdasarkan Tingkat Pendapatan Responden (Ayah & Ibu) No Tingkat Pendapatan Jumlah (N) Persentase 1 Rendah (Rp 1.000.000 – Rp. 4.000.000,-) 3 20% 2 Sedang (Rp. 5.000.000 – Rp. 9.000.000,-) 4 26.67% 3 Tinggi (> Rp. 10.000.000,-) 8 53.33% 15 100% Total Sumber: Data Lapangan 2012 Mempunyai anak autis memerlukan biaya yang besar dalam hal merawatnya, mereka rela mengeluarkan biaya yang cukup besar dalam hal merawat anaknya daripada anak normal. Hal inilah yang membuat pendapatan keluarga sangat menentukan seorang anak autis untuk mendapatkan berbagai hal yang dapat menunjang perkembangannya. Adapun biaya-biaya yang dikeluarkan mencakup biaya terapis atau sekolah, biaya dokter, biaya pembelian suplemen, biaya perawat, dan lain-lain untuk kebutuhan si anak. 5.2 Fungsi Perlindungan Fungsi protektif (perlindungan) dalam keluarga adalah untuk menjaga dan memelihara anak autis serta anggota keluarga lainnya dari tindakan negatif yang mungkin timbul, baik dari dalam maupun dari luar kehidupan keluarga. Fungsi ini pun adalah untuk menangkal pengaruh kehidupan yang seasat pada saat sekarang dan pada masa yang akan datang. 5.3 Fungsi Sosialisasi Peranan orangtua dalam mendidik atau mensosialisasikan anak autis untuk mampu mengetahui dan mematuhi nilai-nilai dan normanorma yang dijunjung tinggi dan merupakan pedoman tingkah laku pada setiap individu untuk hidup bermasyarakat. Keberhasilan dari proses sosialisasi tersebut dapat dilihat pada tindakan yang dilakukan oleh anak autis dalam kehidupan sehari-hari. Kehidupan dan perilaku anak autis dalam keseharian mencerminkan proses sosialisasi yang dilakukan oleh orangtua. Hal ini bisa dilihat tabel dibawah ini sosialisasi ibu dalam mendidik anak autis pada tingkat keberhasilannya. Tabel 5.2 Sosialisasi Ibu Dalam Mendidik Anak Autis Pada Tingkat Keberhasilannya. Tingkat Keberhasilan Jumlah Persentase No 1 2 Baik - Sudah bisa membaca, menulis dan berdoa. - Sudah bisa bergaul dengan lingkungan terdekat. Tidak baik - Belum mampu untuk membaca, menulis dan berdoa. - Kurang peduli dengan lingkungan sekitar. Total Sumber : Data Lapangan 2012 10 66.67% 5 33.33% 15 100% Sosialisasi yang diterapkan oleh ibu dalam mendidik anak autis seperti membaca, menulis, berdoa serta bisa bergaul dengan lingkungannya sudah bisa dilakukan oleh anak autis sebanyak 10 anak. 5.4 Fungsi Afeksi Mempunyai anak autis merupakan suatu ujian yang luar biasa besar bagi seorang ibu. Ibu tidak henti-hentinya memberikan kasih sayang, kehangatan serta perlindungan pada anaknya. Salah satu kelemahan anak autis adalah kurangnya kepekaan terhadap lingkungannya. Kelemahan anak autis ini dapat ditanggulangi dengan pemberian kehangatan dari keluarganya. Agar kehangatan antara ibu atau anggota keluarga lainnya dengan anak autis tercipta adalah dengan selalu mendekatkan diri kepada anak, memeluk, mencium dan membelai anak autis serta memujinya. Hal tersebut dapat mengajarkan kepada anak autis bahwa ada orang-orang disekelilingnya menyayanginya. Anak autis membutuhkan kasih sayang serta kehangatan dari orang sekitarnya sehingga ia tidak tenggelam dalam dunianya sendiri. 5.5 Fungsi Penentuan Status Status sosial yang diberikan oleh anggota keluarga terhadap anak autis adalah dengan memberikan kesempatan yang sama dalam memperoleh seluruh bentuk fungsi keluaraga yang dijalankan oleh orangtua. Status sosial terhadap anak autis bersifat warisan artinya, status sosial anak autis dalam keluarga akan berlanjut dari waktu kewaktu yang diperolehnya dari anggota keluarga yang lain. Jadi baik atau pun buruknya status sosial yang diperoleh oleh anak autis tergantung dari kepada siapa warisan itu diberikan, bisa dari abang, kakak, adik ataupun dari keluarga semisal paman atau bibi. 6. Kesimpulan Dari hasil penelitian yang dilakukan, maka dapat diambil kesimpulan sebagai berikut : 1. Semakin tinggi tingkat penolakan, semakin lama rentang waktu reorganisasi yang dapat dilakukan orangtua dalam intervensi yang dilakukan terhadap anak. Semakin sedikit kesenjangan dan keragaman permasalahan dalam keluarga akan dapat membantu intensitas intervensi yang lebih optimal. 2. Dengan pelaksanaan terapi perilaku, wicara, okupasi, fisioterapi dan sensori integrasi, anak autis mampu untuk bersosialisasi dengan lingkungannya. 3. Dalam keluarga autis pelaksanaan fungsi keluarga meliputi: a) Fungsi ekonomis meliputi pencarian nafkah, perencanaan serta pembelajarannya. Keadaan ekonomi sekeluarga mempengaruhi b) c) d) e) pula harapan orangtua akan masa depan anaknya serta harapan anak itu sendiri. Fungsi perlindungan Keluarga merupakan tempat-tempat yang nyaman bagi para anggotanya. Fungsi ini bertujuan untuk menjaga dan memelihara anak autis serta anggota keluarga lainnya dapat terhindar dari hal-hal yang negatif. Fungsi sosialisasi keluarga bagi anak autis adalah mendidik si anak untuk mampu mengetahui dan mematuhi nilai-nilai dan normanorma yang dijunjung tinggi dan merupakan pedoman ting+kah laku pada setiap individu untuk hidup bermasyarakat. Keberhasilan dari proses sosialisasi tersebut dapat dilihat pada tindakan yang dilakukan oleh anak autis dalam kehidupan sehari-hari. Kehidupan dan perilaku anak autis dalam keseharian mencerminkan proses sosialisasi yang dilakukan oleh orangtua. Fungsi afeksi terhadap anak autis yakni dengan selalu mendekatkan diri kepada anak, mencium, memeluk dan membelai serta memujinya. Hal tersebut dapat mengajarkan kepada anak autis bahwa ada orang-orang di sekelilingnya menyayanginya. Anak autis membutuhkan kasih sayang serta kehangatan dari orang sekitarnya sehingga ia tidak tenggelam dalam dunianya sendiri. Status sosial yang diberikan oleh anggota keluarga terhadap anak autis adalah dengan memberikan kesempatan yang sama dalam memperoleh seluruh bentuk fungsi keluaraga yang dijalankan oleh orangtua. Status sosial terhadap anak autis bersifat warisan artinya, status sosial anak autis dalam keluarga akan berlanjut dari waktu kewaktu yang diperolehnya dari anggota keluarga yang lain. Jadi baik atau pun buruknya status sosial yang diperoleh oleh anak autis tergantung dari kepada siapa warisan itu diberikan, bisa dari abang, kakak, adik ataupun dari keluarga semisal paman atau bibi. 7. Saran 1. Anak autis harus diajarkan berhubungan sosial secara kontinyu, baik orangtua maupun terapis. Hal inilah yang dimaksudkan agar anak autis tidak hanyut dalam dunianya sendiri. Selain itu ajarkan kemandirian dalam mengatur diri, ajarkan tentang bersosialisasi agar kelak ketika dewasa anak autis dapat hidup mandiri. 2. Bagi pemerintah diharapkan dapat memberikan sosialisasi mengenai autis ke semua kalangan masyarakat, sehingga tidak hanya kaum tertentu saja yang mengetahui informasi mengenai autis. Selain itu diharapkan agar pemerintah lebih memperhatikan anak-anak special need dengan cara mendirikan fasilitas-fasilitas penunjang perkembangannya sehingga dapat dijangkau oleh kalangan manapun. 8. Daftar pustaka Abdulsyani. 1994. Sosiologi, Sistematika, Teoridan Terapan. Jakarta: PT Bumi Aksara. Ahmadi, Abu. 1991. Ilmu Sosial Dasar. Jakarta: Rineka Cipta. Bimo,walgito. 2002. Psikologi sosial. Yogyakarta: Andi Offset. Budiman, Melly. 1998. Makalah Simposium Pentingnya Diagnosis Dini Dan Penatalaksanaan Terpadu Pada Autisme. Surabaya. Bungin, Burhan. 2009. Sosiologi Komunikasi: Teori, Paradigma, dan Diskursus Teknologi Komunikasi Di Masyarakat. Jakarta: Kencana. Chester L. Hunt, Paul B. Horton. 1992. Sosiologi Jilid 1. Jakarta: Erlangga. __________________________. 1989. Sosiologi. Jakarta: Erlangga. Faisal, Yatim. 2003. Suatu Gangguan Jiwa Pada Anak-Anak. Jakarta: Pustaka Popular Obor. Ginanjar, Adriana S. 2008. Menjadi Orangtua Istimewa. Jakarta: Dian Rakyat Hadi, S. 2000. Methodological Research.Yogyakarta: Penerbit Andi. Handoyo, Y. 2003. Autisme. Jakarta: PT. Buana ILmu Populer. Hariwijaya. 2008. Pedoman Penulisan Ilmiah Proposal Dan Skripsi. Yogyakarta: Oryza. Johnson, Doyle Paul dan Lawang, Robert M.Z. 1988. Teori Sosiologi Klasik dan Modern. Jakarta: PT. Gramedia. Maryati, Kun. 2007. Sosiologi Untuk SMA Dan MA Kelas X. Jakarta: Erlangga. Peeters, Theo. 2004. Autisme :Hubungan pengetahuan Teoritis dan Intervensi Pendidikan Bagi penyandang Autis. Jakarta: Dian Rakyat. Rohman, Arif, dkk. 2003. Sosiologi Untuk Kelas 2 Smu. Klaten: Intan Pariwara. Soekanto, Soerjono. 1982. Sosiologi Suatu Pengantar. Jakarta: Rajawali Pers.