9 BAB 2 KAJIAN PUSTAKA, KERANGKA

advertisement
BAB 2
KAJIAN PUSTAKA, KERANGKA PEMIKIRAN, DAN HIPOTESIS
2.1
Kajian Pustaka
2.1.1
Pengertian Manajemen Konflik
Konflik dalam perusahaan terjadi dalam berbagai bentuk dan corak.
Berhadapan dengan orang-orang yang mempunyai pandangan yang
berbeda sering berpotensi terjadinya kesalahpahaman, sakit hati dan lainlain. Sebagai individu sering terjebak dalam kancah konflik yang
berkepanjangan, terutama karyawan yang harus saling berhubungan karena
tugas serta terjadinya konflik peran. Konflik merupakan hal yang tidak
dapat dielakan dalam perusahaan, akan tetapi dapat diselesaikan dan
diredakan pada tahap yang paling minimum dan tidak mengganggu
kelancaran jalannya perusahaan. Konflik yang terjadi dalam perusahaan
dapat menjadi konstruktif namun juga bisa menjadi destruktif. Tentunya
konflik yang konstruktif perlu untuk dikembangan, sedangkan konflik
destruktif sebaiknya dikurangi. Maka dari itu, untuk mengurangi dan
mengatasi terjadinya konflik dekstruktif dalam perusahaan, perlu
dilakukannya manajemen konflik.
Menurut Lynne Irvine dalam Wirawan (2010:131), manajemen
konflik merupakan strategi yang mempekerjakan organisasi dan individu
untuk mengidentifikasi dan mengelola perbedaan, sehingga mengurangi
9
10
beban dan pengeluaran dari konflik yang tidak terkelola, sementara
memanfaatkan konflik sebagai sumber inovasi dan perbaikan.
Menurut Wirawan (2010:129), manajemen konflik sebagai proses
pihak yang terlibat konflik atau pihak ketiga menyusun strategi konflik dan
menerapkannya untuk mengendalikan konflik agar menghasilkan resolusi
yang diinginkan.
Dari berbagai definisi mengenai manajemen konflik di atas, dapat
disimpulkan bahwa manajemen konflik mengidentifikasi dan mengambil
langkah untuk situasi yang berpotensi menghasilkan konfrontasi yang
tidak baik, menyelesaikan konflik dan ketidak setujuan dalam sebuah tata
cara yang positif dan konstruktif untuk meminimalisasi dampak negatif.
2.1.1.1 Tujuan Manajemen Konflik
Berikut ini adalah tujuan dari manajemen konflik menurut Wirawan
(2010:132), antara lain:
a. Mencegah gangguan kepada anggota organisasi untuk memfokuskan diri
pada visi, misi dan tujuan organisasi
b. Memahami orang lain dan menghormati keberagaman
c. Meningkatkan kreativitas
d. Meningkatkan keputusan melalui pertimbangan berdasarkan pemikiran
berbagai informasi dan sudut pandang
e. Memfasilitasi pelaksanaan kegiatan melalui peran serta, pemahaman
bersama dan kerja sama
11
f. Menciptakan prosedur dan mekanisme penyelesaian konflik
g. Menciptakan iklim organisasi konflik dan lingkungan kerja yang
mendukung
2.1.1.2 Gaya Manajemen Konflik
Thomas & Kilmann dalam Wirawan (2010:140) mengemukakan lima
jenis gaya manajemen konflik. Berikut adalah kelima jenis gaya
manajemen konflik tersebut :
1. Kompetisi (competing)
Gaya ini merupakan gaya yang berorientasi pada kekuasaan, dimana
seseorang akan menggunakan kekuasaan yang dimilikinya untuk
memenangkan konflik dengan pihak lawannya.
Alasan pihak yang terlibat konflik menggunakan gaya manajemen
konflik kompetisi :
-
Merasa mempunyai kekuasaan dan sumber-sumber lainnya untuk
memaksakan sesuatu kepada lawan konfliknya.
-
Tindakan dan keputusan perlu diambil dengan cepat, misalnya dalam
keadaan darurat. Keterlambatan mengambil keputusan atau tindakan
akan memberikan akibat yang tidak baik.
-
Dalam tindakan yang tidak populer, terdapat hal yang dilakukan,
seperti mengurangi biaya, peraturan baru, dan pendisiplinan pegawai.
12
-
Melindungi perusahaan dari kebangkrutan dan keadaan yang dapat
merusak citra perusahaan, seperti perilaku pegawai yang tidak
sepatutnya dan pegawai penyebab masalah (biang kerok).
2. Kolaborasi (collaborating)
Tujuan dari kolaborasi adalah untuk mencari alternatif, dasar bersama,
dan sepenuhnya memenuhi harapan kedua belah pihak yang terlibat
konflik.
Gaya
manajemen
konflik
kolaborasi
merupakan
upaya
bernegosiasi untuk menciptakan solusi yang sepenuhnya memuaskan
pihak-pihak yang terlibat konflik. Upaya tersebut sering meliputi saling
memahami permasalahan konflik atau saling mempelajari ketidak
sepakatan. Selain itu kreativitas dan inovasi juga digunkaan untuk mencari
alternatif yang dapat diterima kedua belah pihak.
Alasan pihak yang terlibat konflik menggunakan gaya manajemen
konflik kolaborasi :
-
Menciptakan solusi integratif dan tujuan kedua belah pihak terlalu
penting utnuk dikompromikan.
-
Tujuan pihak yang terlibat konflik untuk mempelajari lebih jauh
pandangan dari lawan konfliknya.
-
Kedua belah pihak tidak mempunyai cukup kekuasaan dan sumbersumber untuk memaksakan kehendak demi mencapai tujuannya.
3. Kompromi (compromising)
Gaya
manajemen
konflik
tengah
atau
menengah,
dengan
menggunakan strategi memberi dan mengambil (give and take), kedua
13
belah pihak yang terlibat konflik mencari alternatif titik tengah yang
memuaskan sebagian keinginan mereka. Gaya manajemen konflik
kompromi berada ditengah antara gaya kompetisi dan gaya kolaborasi.
Dalam keadaan tertentu, kompromi dapat berarti membagi perbedaan
diantara dua posisi dan memberikan konsensi untuk mencari titik tengah.
Alasan pihak yang terlibat konflik menggunakan gaya manajemen
konflik kompromi:
-
Pentingnya
tujuan
konflik
tidak
cukup
bernilai
untuk
dipertahankan dengan menggunakan gaya manajemen konflik
kompetisi atau kolaborasi. Akan tetapi, konflik juga terlalu penting
untuk dihindari.
-
Kedua belah pihak mempunyai kekuasaan dan sumber yang sama
serta mempunyai tujuan yang hampir sama.
-
Untuk mencapai solusi sementara atas masalah yang kompleks.
4. Menghindar (avoiding)
Dalam gaya manajemen ini, kedua belah pihak yang terlibat konflik
berusaha menghindari konflik. Menurut Thomas & Kilmann dalam
Wirwan (2010:141) untuk menghindar tersebut dapat berupa: (a)
menjauhkan diri dari pokok masalah, (b) menunda pokok masalah hingga
waktu yang tepat, atau (c) menarik diri dari konflik yang mengancam dan
merugikan.
Alasan pihak yang terlibat konflik menggunakan gaya manajemen
konflik menghindar:
14
-
Kepentingan objek konflik rendah atau ada objek konflik lain yang
sangat penting dan perlu mendapatkan perhatian.
-
Objek konflik tidak mungkin untuk dimenangkan karena memiliki
kekuasaan dan sumber-sumber konflik yang rendah. Atau, tidak
mungkin
untuk
diubah,
seperti
undang-undang,
peraturan
pemerintah, serta peraturan dan kebijakan perusahaan.
-
Potensi biaya yang dibutuhkan untuk memenangkan konflik lebih
besar daripada nilai solusinya.
-
Untuk menenangkan para karyawan dan mengurangi ketegangan,
serta menciptakan suasana kerja yang kondusif dan tenang
sehingga meningkatkan kinerja karyawan.
5. Mengakomodasi (accommodating)
Gaya manajemen konflik ini mengenai seseorang yang mengabaikan
kepentingan dirinya sendiri dan berupaya memuaskan kepentingan lawan
konfliknya.
Dari beberapa gaya manajemen konflik di atas, gaya manajemen
konflik yang paling dominan digunakan dalam perusahaan yang kami teliti
adalah gaya manajemen konflik kompromi.
Berikut adalah indikator mengenai keterampilan yang diperlukan
untuk menggunakan gaya manajemen konflik kompromi yang efektif
menurut Wirawan (2010:142):
a. kemampuan bernegosiasi
b. mendengarkan dengan baik yang dikemukakan oleh lawan konflik
15
c. mengevaluasi nilai
d. menemukan jalan tengah
e. memberikan konsensi
2.1.2
Pengertian Stres dan Stres Kerja
Sebagian besar dari kita menyadari bahwa dalam kehidupan yang
semakin kompleks, manusia akan cenderung mengalami stres ketika ia
kurang mampu mengadaptasikan keinginan-keinginan dengan kenyataan
yang ada di dalam maupun di luar dirinya. Stres dapat dikatakan bagai
“payung” yang menopang tekanan, beban, konflik, keletihan, ketegangan,
panik, perasaan gemuruh, kemurungan dan hilang daya. Orang-orang yang
mengalami stres bisa menjadi nervous dan merasakan kekhawatiran
kronis, atau menunjukkan sikap yang tidak kooperatif.
Sebenarnya Stres dan Stres Kerja hampir menyerupai satu sama lain,
hanya saja cakupan stres lebih luas dibanding stres kerja karena stres dapat
terjadi di lingkungan kerja maupun di luar lingkungan kerja, sedangkan
stres kerja hanya mencakup pada lingkungan kerja.
Menurut Handoko (2001:200), Stres adalah suatu kondisi ketegangan
yang dinamik yang mempengaruh emosi, proses berpikir dan kondisi
seorang. Stres yang terlalu besar dapat mengancam kemampuan seseorang
untuk menghadapi lingkungan. Pada akhirnya, pada diri para karyawan
dapat berkembang berbagai macam gejala stres yang dapat mengganggu
pelaksanaan kerja mereka.
16
Menurut Robbins (2001:563) Stres juga dapat diartikan sebagai suatu
kondisi yang menekan keadaan psikis seseorang dalam mencapai suatu
kesempatan dimana untuk mencapai kesempatan tersebut terdapat batasan
atau penghalang.
Adapun menurut Beehr dan Franz dalam Bambang Tarupolo
(2002:17), Stres kerja sebagai suatu proses yang menyebabkan orang
merasa sakit, tidak nyaman atau tegang karena pekerjaan, tempat kerja
atau situasi kerja yang tertentu.
Menurut Beehr dan Newman dalam Luthans (2006:441) Stres kerja
sebagai kondisi yang muncul dari interaksi antara manusia dan pekerjaan,
serta dikarakterisasikan oleh perubahan manusia yang memaksa mereka
untuk menyimpang dari fungsi normal mereka
Dari berbagai definisi mengenai stres di atas, dapat dikutip simpulan
bahwa stres adalah dimana seseorang mengalami tekanan-tekanan dalam
hidupnya yang bisa dipengaruhi dari psikis, emosi, proses berpikir, dan
kondisi seseorang. Stres kerja dapat disimpulkan adalah terjadi akibat
adanya ketidakseimbangan antara karakteristik, psikis dan kepribadian
karyawan dengan aspek-aspek pekerjaan, dan lingkungan pekerjaan.
17
2.1.2.1 Faktor Penyebab Stres Kerja pada Karyawan
Kondisi-kondisi yang cenderung menyebabkan stres disebut stressors.
Meskipun stres dapat diakibatkan oleh hanya satu stressors, biasanya
karyawan mengalami stres karena kombinasi stressors.
Menurut Ivancevich dan Matterson dalam Yuli T (2003:56) membagi
sumber stres dalam lingkungan kerja sebagai berikut:
1. Stres yang bersumber dari lingkungan fisik
Sumber stres ini mengacu pada kondisi fisik dalam lingkungan dimana
pekerja harus beradaptasi untuk memelihara keseimbangan dirinya. Stres
yang bersumber dari lingkungan fisik ini, diantaranya adalah:
‐
kondisi penerangan ditempat kerja
‐
tingkat kebisingan
‐
keluasan wilayah kerja.
2. Stres yang bersumber dari tingkatan individu
Yang dimaksud dengan sumber ini adalah stres yang berkaitan dengan
peran yang dimainkan dan tugas-tugas yang harus diselesaikan
sehubungan dengan posisi seseorang di lingkungan kerjanya, yang
termasuk kedalam sumber stres ini adalah:
o Konflik peran (role conflict)
Kombinasi dari harapan dan tuntutan yang diberikan kepada para
pegawai atau anggota lain dalam organisasi yang menimbulkan
tekanan disebut tekanan peran. Jika terdapat dua atau lebih tekanan
peran, maka timbullah konflik. Konflik peran ini dapat bersifat objektif
18
dan subjektif. Disebut objektif jika seseorang menghadapi dua atau
lebih tuntutan yang bertentangan. Disebut subjektif jika seseorang
menghadapi ketidak sesuaian antara keinginan pribadi dengan tujuan
serta nilai dirinya dengan tuntutan perannya. Van Sell, dkk., dan Kahn,
dkk., dalam H. Suwatno dan Donni Juni Priansa (2011:256)
menemukan bahwa tenaga kerja yang menderita konflik peran yang
lebih banyak memiliki kepuasan kerja yang lebih rendah dan
ketegangan pekerjaan yang lebih tinggi.
o Peran yang rancu/tidak jelas (role ambiguity)
Ketidakjelasan seseorang mengenai peran yang harus dilaksanakannya,
baik yang berkaitan dengan tugas yang harus ia lakukan maupun
dengan tanggung jawab sehubungan dengan posisinya. Hal ini juga
terjadi pada saat individu mengalami ketidakpastian mengenai
tindakan apa untuk diambil dalam rangka memenuhi suatu pekerjaan.
o Beban kerja yang berlebihan (work overload)
Beban kerja ini dapat bersifat kuantitatif maupun kualitatif. Disebut
kuantitatif jika seseorang menghayati terlalu banyak pekerjaan yang
harus
diselesaikan,
atau
karena
keterbatasan
waktu
untuk
menyelesaikan pekerjaan yang diberikan. Disebut kualitatif jika
seseorang
menghayati
kurangnya
kemampuan
dirinya
untuk
menyelesaikan pekerjaannya atau pekerjaan yang ia hadapi menuntut
keahlian yang melebihi kemampuannya. Tingkat stres yang optimal
menghadirkan keseimbangan akan tantangan, tanggung jawab, dan
19
rewards. Tanda-tanda beban berlebih di antaranya mudah tersinggung,
kelelahan fisik dan mental.
o Tanggung jawab terhadap orang lain (responsibility for people)
Tanggung jawab disini dapat meliputi tanggung jawab terhadap orang
lain/hal-hal lain. Dalam banyak kasus, tanggung jawab terhadap orang
lain lebih potensial sebagai sumber stres. Karena tanggung jawab ini
akan berkaitan dengan pengambilan keputusan yang dapat memberikan
kepuasan bagi berbagai pihak. Lebih jauh lagi, tanggung jawab ini
dapat mengakibatkan berlebihnya beban kerja, konflik peran atau
kerancuan peran.
o Kesempatan untuk mengembangkan karir (career development)
Yang dimaksud dengan stres ini adalah aspek-aspek sebagai hasil dari
interaksi antara individu dengan lingkungan organisasi yang
mempengaruhi
persepsi
seseorang
terhadap
kualitas
dari
pengembangan karirnya. Stres ini dapat terjadi jika kerja merasakan
kehilangan akan rasa aman terhadap pekerjaannya. Promosi yang
dirasakan tidak sesuai yang secara umum disebabkan karena adanya
ketidak sesuaian antara karir yang diharapkan dengan apa yang
diperoleh selama ini, atau juga tidak ada juga kejelasan perkembangan
karir. Terbatasnya peluang karir tidak akan menimbulkan stres pada
tenaga kerja yang tidak memiliki aspirasi karir.
3. Stres yang bersumber dari kelompok dan organisasi
a) Stres yang bersumber dari kelompok
20
Stres disini bersumber dari hasil interaksi individu-individu dalam
suatu kelompok yang disebabkan perbedaan-perbedaan diantara
mereka, baik perbedaan sosial maupun psikologi. Stres yang
bersumber dari kelompok, antara lain:
‐
Hilangnya kekompakan kelompok (lack of cohesiveness)
Kecenderungan untuk bersatu di antara anggota kelompok disebut
sebagai
kekompakan.
Hilangnya
kekompakan
ini
dapat
mengakibatkan rendahnya moril kerja, tampilan kerja yang buruk
serta perubahan fisik seperti tekanan darah yang meningkat.
‐
Tidak adanya dukungan yang memadai (group support)
Yaitu dukungan dari sesama anggota kelompok, misalnya dalam
membagi masalah. Dukungan kelompok dapat di pandang sebagai
sumber yang dapat membantu seseorang dalam menghadapi stres.
‐
Konflik intra dan inter kelompok.
Dimaksud
konflik
disini
adalah
tindakan-tindakan
yang
bertentangan antara dua orang atau lebih. Konflik dan stres terjadi
jika antara individu atau satu hal terjadi pertentangan. Konflik yang
timbul dalam hal ini dapat dibagi menjadi:
o Intragroup conflict jika terdapat ketidaksesuaian antara anggota
kelompok tentang bagaimana pemecahan suatu masalah.
Konflik
ini
dapat
disebabkan
oleh
adanya
persepsi,
pengalaman, nilai atau sumber, informasi yang berbeda di
21
antara mereka. Interaction conflict timbul jika terdapat
pertentangan di antara anggota kelompok.
o Intergroup conflict terjadi karena kurang adanya koordinasi
yang baik diantara beberapa kelompok, padahal kelompokkelompok tersebut didalam melaksanakan tugasnya tergantung
dan berkomunikasi satu dengan yang lainnya.
b) Stres yang bersumber dari organisasi
Stres di sini timbul dari keinginan-keinginan organisasi atau
lembaga sehubungan dengan pencapaian tujuan organisasi atau
lembaga
tersebut.
Macam-macam
stres
yang
bersumber
dari
organisasi, antara lain:
‐
Iklim organisasi
Interaksi di antara individu, stuktur kebijaksanaan dan tujuan
organisasi
secara
umum
disebut
iklim
organisasi
yang
bersangkutan. Iklim dapat mempengaruhi tingkah laku di antara
individu-individunya atau di antara kelompoknya dan juga
interaksi di antara mereka.
‐
Struktur organisasi
Stres yang timbul oleh bentuk struktur organisasi yang berlaku di
lembaga yang bersangkutan. Apabila bentuk dan struktur
organisasi kurang jelas dan dalam jangka waktu yang lama tidak
ada perubahan atau pembaharuan, maka hal tersebut dapat menjadi
22
sumber stres. Posisi individu dalam suatu struktur organisasi dapat
juga menggambarkan bagaimana stres yang dialami.
‐
Teritorial organisasi
Istilah yang menggambarkan ruang pribadi atau arena kegiatan
seseorang, tempat dimana mereka bekerja, berpikir atau bergurau.
Setiap orang mengembangkan rasa memiliki terhadap ruang
pribadi mereka, antara lain terhadap ruang kerja, teritorial
organisasi ini berkaitan dengan bagian-bagian organisasi yang
dirasakan akrab, di luar itu sebagai wilayah yang asing.
Sehubungan dengan teritori organisasi ini maka dapat dikatakan
bahwa perubahan pada pola keakraban dapat menjadi pemicu bagi
timbulnya stres pada seseorang.
‐
Teknologi
Sumber daya yang digunakan organisasi untuk mengubah sumber
input menjadi output yang diinginkan dapat melalui individu yaitu
kemampuan atau pengetahuan teknis yang dimiliki atau melalui
peralatan yang tersedia, di mana nantinya akan menghasilkan
output yang diinginkan lembaga. Jika peralatan yang diperlukan
tersebut kurang menunjang pekerjaan maka hal tersebut bisa
menimbulkan stres.
‐
Pengaruh pimpinan
Salah satu faktor yang dapat mempengaruhi aktivitas pekerjaan,
iklim dan kelompok adalah bagaimana pimpinannya. Sering kali
23
pimpinan mempunyai pengaruh yang lebih kuat dibandingkan
dengan aspek-aspek lain dalam pekerjaan, salah satunya bersumber
dari tingkat kewenangan dan kekuasaan. Berkaitan dengan
kekuasaan yang dimilikinya entah itu dalam memberikan reward
atau punishment yang dilakukan pimpinan kepada bawahannya,
pada dasarnya setiap pimpinan dibentuk sama. Ada yang nampak
lebih memperhatikan dan mampu bekerja sama dengan pekerjanya
dan ada yang menggunakan pengetahuannya tentang politis untuk
kepentingan pribadinya dan lain-lain. Pengaruh pimpinan dapat
dipandang sebagai sumber stres tergantung bagaimana individu
dan situasi saat itu.
2.1.2.2 Dampak Stres
Mobilisasi dari mekanisme pertahanan tubuh bukanlah satu-satunya
konsekuensi yang mungkin timbul dari adanya kontak dengan sumber
stres. Akibat dari stres banyak dan bermacam-macam. Ada sebagian yang
positif seperti meningkatkan motivasi, terangsang untuk bekerja lebih giat,
atau mendapat inspirasi untuk hidup lebih baik lagi. T. Cox (2005:92)
telah mengidentifikasikan efek dari stres yang mungkin muncul, yaitu:
1.
Dampak Subjektif (subjective effect)
Kekhawatiran/kegelisahan, kelesuan, kebosanan, depresi, keletihan,
frustasi, kehilangan kesabaran, perasaan terkucil dan merasa kesepian.
2. Dampak Perilaku (behavioral effect)
24
Akibat stres yang berdampak pada prilaku pekerja dalam bekerja di
antaranya peledakan emosi dan perilaku impulsif.
3. Dampak Kognitif (cognitive effect)
Ketidak mampuan mengambil keputusan yang sehat, daya konsentrasi
menurun, kurang perhatian/rentang perhatian pendek, sangat peka
terhadap kritik/kecaman dan hambatan mental.
4. Dampak Fisiologis (physiological effect)
Kecanduan glukosa darah meninggi, denyut jantung dan tekanan
darah meningkat, mulut kering, berkeringat, bola mata melebar, dan
tubuh panas dingin.
5. Dampak Kesehatan (health effect)
Sakit kepala dan migran, mimpi buruk, sulit tidur, dan lain-lain.
6. Dampak Organisasi (organizational effect)
Produktivitas menurun/rendah, terasing dari mitra kerja, ketidak
puasan kerja, menurunnya keikatan kerja dan loyalitas terhadap
instansi.
2.1.2.3 Pendekatan Stres Kerja
Terdapat dua pendekatan pada stres kerja, yaitu pendekatan individu
dan perusahaan menurut Veithzal Rivai dan Ella Jauvani Sagala
(2010:1008). Bagi individu penting dilakukan pendekatan karena stres
dapat
mempengaruhi
penghasilan.
Bagi
kehidupan,
perusahaan
kesehatan,
bukan
saja
produktivitas,
hanya
karena
dan
alasan
25
kemanusiaan, tetapi juga karena pengaruhnya terhadap prestasi semua
aspek dan efektivitas dari perusahaan secara keseluruhan.
Perbedaan pendekatan individu dengan pendekatan perusahaan tidak
dibedakan secara tegas, pengurangan stres dapat dilakukan pada tingkat
individu, organisasi maupun kedua-duanya.
a)
b)
Pendekatan Individu
•
Meningkatkan keimanan
•
Melakukan meditasi dan pernapasan
•
Melakukan kegiatan olahraga
•
Melakukan relaksasi
•
Dukungan sosial dari teman-teman dan keluarga
•
Menghindari kegiatan rutin yang membosankan
Pendekatan Perusahaan
•
Melakukan perbaikan iklim organisasi
•
Melakukan perbaikan terhadap lingkungan fisik
•
Menyediakan sarana olahraga
•
Melakukan analisis dan kejelasan tugas
•
Meningkatkan partisipasi dalam proses pengambilan keputusan
•
Melakukan restrukturisasi tugas
•
Menerapkan konsep Manajemen Berdasarkan Sasaran
26
2.1.3 Pengertian Kinerja
Di sebagian besar organisasi, kinerja para karyawan individual
merupakan faktor utama yang menentukan keberhasilan organizational.
Prestasi kerja atau kinerja berasal dari kata job performance (prestasi kerja
atau prestasi sesungguhnya yang pernah dicapai seseorang). Pengertian
kinerja adalah hasil secara kualitas dan kuantitas yang di capai oleh seorang
pegawai dalam melaksanakan tugasnya sesuai dengan tanggung jawab yang
diberikan kepadanya.
Menurut Mathis (2006:113), kinerja pada dasarnya adalah apa yang
dilakukan atau tidak dilakukan karyawan. Kinerja karyawan pada umumnya
untuk kebanyakan pekerjaan meliputi beberapa elemen yaitu kuantitas dari
hasil, kualitas dari hasil, ketepatan waktu dari hasil, kehadiran, kemampuan
bekerja sama.
Menurut Wibowo (2007:7), kinerja merupakan hasil pekerjaan yang
mempunyai hubungan kuat dengan tujuan strategis organisasi, kepuasan
konsumen, dan memberikan kontribusi pada ekonomi. Dengan demikian
kinerja adalah tentang melakukan pekerjaan dan hasil yang dicapai dari
pekerjaan tersebut. Kinerja adalah tentang apa yang dikerjakan dan
bagaimana cara mengerjakannya.
Kinerja adalah suatu tampilan keadaan secara utuh atas perusahaan
selama periode waktu tertentu, merupakan hasil atau prestasi yang
dipengaruhi oleh kegiatan operasional perusahaan dalam memanfaatkan
sumber-sumber daya yg dimiliki. Helfert dalam Rivai & Sagala (2010:604)
27
Dari berbagai definisi kinerja di atas, maka disimpulkan bahwa kinerja
merupakan hasil atau prestasi yang mempunyai hubungan kuat dengan tujuan
strategis organisasi.
2.1.3.1 Faktor-faktor yang mempengaruhi kinerja
Menurut Mathis (2006:113) ada tiga faktor utama yang mempengaruhi
bagaimana individu melakukan pekerjaannya, tiga faktor utama tersebut
adalah :
a. Kemampuan individual
‐ Bakat
‐ Minat
‐ Faktor kepribadian
b. Tingkat usaha yang dicurahkan
‐ Motivasi
‐ Etika kerja
‐ Kehadiran
‐ Rancangan tugas
c. Dukungan organisasi
‐ Pelatihan dan pengembangan
‐ Peralatan dan teknologi
‐ Standar kinerja
‐ Manajemen dan rekan kerja
28
2.1.4 Kajian Penelitian Terdahulu
2.1.4.1 Hubungan Stres Kerja dengan Kinerja Karyawan
Menurut pendapat dari Zainur Rozikin (2006), adanya faktor stres kerja
yang besar pada karyawan berakibat pada penurunan kinerja karyawan. Dan
tingkat stres kerja yang rendah akan berdampak pada peningkatan kinerja
karyawan.
2.1.4.2 Hubungan Manajemen Konflik dengan Kinerja Karyawan
Penelitian menunjukan bahwa dengan adanya manajemen konflik
kompromi dalam penyelesaian masalah akan membantu meningkatkan
kinerja karyawan. Menurut Huey Wen Chou dan Ying Jung Yeh (2007).
2.2
Kerangka Pemikiran
Menurut Lynne Irvine dalam Wirawan (2010:131), manajemen konflik
merupakan strategi yang mempekerjakan organisasi dan individu untuk
mengidentifikasi dan mengelola perbedaan, sehingga mengurangi beban dan
pengeluaran dari konflik yang tidak terkelola, sementara memanfaatkan
konflik sebagai sumber inovasi dan perbaikan.
Menurut Wirawan (2012:129), manajemen konflik sebagai proses pihak
yang terlibat konflik atau pihak ketiga menyusun strategi konflik dan
menerapkannya untuk mengendalikan konflik agar menghasilkan resolusi
yang diinginkan.
29
Thomas & Kilmann dalam Wirawan (2010:140) mengemukakan lima jenis
gaya manajemen konflik. Berikut adalah kelima jenis gaya manajemen
konflik tersebut :
1.
Kompetisi (competing)
2.
Kolaborasi (collaborating)
3.
Kompromi (compromising)
4.
Menghindar (avoiding)
5.
Mengakomodasi (accommodating)
Dari beberapa gaya manajemen konflik di atas, gaya manajemen konflik
yang paling dominan digunakan dalam perusahaan yang kami teliti adalah
gaya manajemen konflik kompromi.
Berikut adalah indikator mengenai keterampilan yang diperlukan untuk
menggunakan gaya manajemen konflik kompromi yang efektif menurut
Wirawan (2010:142):
a. kemampuan bernegosiasi
b. mendengarkan dengan baik yang dikemukakan oleh lawan konflik
c. mengevaluasi nilai
d. menemukan jalan tengah
e. memberikan konsensi
Menurut Beehr dan Newman dalam Luthans (2006:441) Stres kerja
sebagai kondisi yang muncul dari interaksi antara manusia dan pekerjaan,
30
serta dikarakterisasikan oleh perubahan manusia yang memaksa mereka
untuk menyimpang dari fungsi normal mereka.
Adapun menurut Beehr dan Franz dalam Bambang Tarupolo (2002:17),
Stres kerja sebagai suatu proses yang menyebabkan orang merasa sakit, tidak
nyaman atau tegang karena pekerjaan, tempat kerja atau situasi kerja yang
tertentu.
Menurut Ivancevich dan Matterson dalam Yuli T (2003:56), sumber stres
dalam lingkungan kerja dibagi menjadi beberapa dimensi, yaitu:
1.
2.
Stres yang bersumber dari lingkungan fisik
‐
kondisi penerangan ditempat kerja
‐
tingkat kebisingan
‐
keluasan wilayah kerja.
Stres yang bersumber dari tingkatan individu
o Konflik peran (role conflict)
o Peran yang rancu/tidak jelas (role ambiguity)
o Beban kerja yang berlebihan (work overload)
o Tanggung jawab terhdap orang lain (responsibility for people)
o Kesempatan untuk mengembangkan karir (career development)
3.
Stres yang bersumber dari kelompok dan organisasi
a) Stres yang bersumber dari kelompok
‐
Hilangnya kekompakan kelompok (lack of cohesiveness)
‐
Tidak adanya dukungan yang memadai (group support)
‐
Konflik intra dan inter kelompok.
31
b) Stres yang bersumber dari organisasi
‐
Iklim organisasi
‐
Struktur organisasi
‐
Teritorial organisasi
‐
Teknologi
‐
Pengaruh pimpinan
Menurut Mathis (2006:113), kinerja pada dasarnya adalah apa yang
dilakukan atau tidak dilakukan karyawan. Kinerja karyawan pada umumnya
untuk kebanyakan pekerjaan meliputi beberapa elemen yaitu kuantitas dari
hassil, kualitas dari hasil, ketepatan waktu dari hasil, kehadiran, kemampuan
bekerja sama.
Menurut Wibowo (2007:7), kinerja merupakan hasil pekerjaan yang
mempunyai hubungan kuat dengan tujuan strategis organisasi, kepuasan
konsumen, dan memberikan kontribusi pada ekonomi. Dengan demikian
kinerja adalah tentang melakukan pekerjaan dan hasil yang dicapai dari
pekerjaan tersebut. Kinerja adalah tentang apa yang dikerjakan dan
bagaimana cara mengerjakannya.
Menurut Mathis (2006:113) ada tiga faktor utama yang mmpengaruhi
bagaimana individu melakukan pekerjaannya, tiga faktor utama tersebut
adalah :
a) Kemampuan individual
‐ Bakat
‐ Minat
32
‐ Faktor kepribadian
b) Tingkat usaha yang curahkan
‐
Motivasi
‐
Etika kerja
‐
Kehadiran
‐
Rancangan tugas
c) Dukungan organisasi
‐
Pelatihan dan pengembangan
‐
Peralatan dan teknologi
‐
Standar kinerja
‐
Manajemen dan rekan kerja
Menurut pendapat dari Zainur Rozikin (2006), adanya faktor stres kerja
yang besar pada karyawan berakibat pada penurunan kinerja karyawan. Dan
tingkat stres kerja yang rendah akan berdampak pada peningkatan kinerja
karyawan. Begitu juga sebaliknya stres kerja dapat memicu meningkatnya
kinerja tergantung dari bobot dan penangannya.
Menurut Huey Wen Chou dan Ying Jung Yeh (2007), dengan adanya
manajemen konflik kompromi dalam penyelesaian masalah akan membantu
meningkatkan kinerja karyawan.
33
Mathis:
a) Kemampuan individual
‐ Bakat
‐ Minat
‐ Faktor kepribadian
b) Tingkat usaha yang curahkan
‐ Motivasi
‐ Etika kerja
‐ Kehadiran
‐ Rancangan tugas
c) Dukungan organisasi
‐ Pelatihan & pengembangan
‐ Peralatan dan teknologi
‐ Standar kinerja
‐ Manajemen dan rekan kerja
Wirawan
Manajemen Konflik Kompromi:
1. Kemampuan bernegosiasi
2. Dengarkan dengan baik lawan
konflik
3. Mengevaluasi nilai
4. Menemukan jalan tengah
5. Memberikan konsensi
Gaya
Manajemen
Konflik
(X1)
Ivancevich dan Matterson:
1. Stres dari lingkungan fisik:
‐ kondisi penerangan ditempat kerja
‐ tingkat kebisingan
‐ keluasan wilayah kerja.
2. Stres dari tingkatan individu:
‐ konflik peran
‐ ketidak jelasan peran
‐ beban kerja yang berlebihan
‐ tanggung jawab
‐ pengembangan karir
3. Stres dari kelompok & orgz.:
a. Kelompok:
‐ Hilangnya kekompakkan
‐ Dukungan grup
‐ Konflik intra dan inter grup
b. Organisasi:
‐ Iklim organisasi
‐ Struktur organisasi
‐ Territorial organisasi
‐ Teknologi
‐ Pengaruh pimpinan
Kinerja
Karyawan
(Y)
Stres
Kerja
(X2)
Gambar 2.2 Paradigma Penelitian
34
2.3
Hipotesis
Hipotesis untuk penelitian ini berdasarkan identifikasi masalah yang ada
adalah sebagai berikut :
1)
T-1
Ho = Manajemen konflik tidak berpengaruh secara signifikan
terhadap variabel kinerja karyawan.
Ha = Manajemen konflik berpengaruh secara signifikan terhadap
variabel kinerja karyawan.
2)
T-2
Ho = Stres kerja tidak berpengaruh secara signifikan terhadap
variabel kinerja karyawan.
Ha = Stres kerja berpengaruh secara signifikan terhadap variabel
kinerja karyawan.
3)
T-3
Ho = Manajemen konflik dan stres kerja tidak berpengaruh secara
signifikan terhadap variabel kinerja karyawan.
Ha = Manajemen konflik dan stres kerja berpengaruh secara
signifikan terhadap variabel kinerja karyawan.
Download