BAB 2 KAJIAN PUSTAKA, KERANGKA PEMIKIRAN, DAN HIPOTESIS 2.1 Kajian Pustaka 2.1.1 Pengertian Manajemen Konflik Konflik dalam perusahaan terjadi dalam berbagai bentuk dan corak. Berhadapan dengan orang-orang yang mempunyai pandangan yang berbeda sering berpotensi terjadinya kesalahpahaman, sakit hati dan lainlain. Sebagai individu sering terjebak dalam kancah konflik yang berkepanjangan, terutama karyawan yang harus saling berhubungan karena tugas serta terjadinya konflik peran. Konflik merupakan hal yang tidak dapat dielakan dalam perusahaan, akan tetapi dapat diselesaikan dan diredakan pada tahap yang paling minimum dan tidak mengganggu kelancaran jalannya perusahaan. Konflik yang terjadi dalam perusahaan dapat menjadi konstruktif namun juga bisa menjadi destruktif. Tentunya konflik yang konstruktif perlu untuk dikembangan, sedangkan konflik destruktif sebaiknya dikurangi. Maka dari itu, untuk mengurangi dan mengatasi terjadinya konflik dekstruktif dalam perusahaan, perlu dilakukannya manajemen konflik. Menurut Lynne Irvine dalam Wirawan (2010:131), manajemen konflik merupakan strategi yang mempekerjakan organisasi dan individu untuk mengidentifikasi dan mengelola perbedaan, sehingga mengurangi 9 10 beban dan pengeluaran dari konflik yang tidak terkelola, sementara memanfaatkan konflik sebagai sumber inovasi dan perbaikan. Menurut Wirawan (2010:129), manajemen konflik sebagai proses pihak yang terlibat konflik atau pihak ketiga menyusun strategi konflik dan menerapkannya untuk mengendalikan konflik agar menghasilkan resolusi yang diinginkan. Dari berbagai definisi mengenai manajemen konflik di atas, dapat disimpulkan bahwa manajemen konflik mengidentifikasi dan mengambil langkah untuk situasi yang berpotensi menghasilkan konfrontasi yang tidak baik, menyelesaikan konflik dan ketidak setujuan dalam sebuah tata cara yang positif dan konstruktif untuk meminimalisasi dampak negatif. 2.1.1.1 Tujuan Manajemen Konflik Berikut ini adalah tujuan dari manajemen konflik menurut Wirawan (2010:132), antara lain: a. Mencegah gangguan kepada anggota organisasi untuk memfokuskan diri pada visi, misi dan tujuan organisasi b. Memahami orang lain dan menghormati keberagaman c. Meningkatkan kreativitas d. Meningkatkan keputusan melalui pertimbangan berdasarkan pemikiran berbagai informasi dan sudut pandang e. Memfasilitasi pelaksanaan kegiatan melalui peran serta, pemahaman bersama dan kerja sama 11 f. Menciptakan prosedur dan mekanisme penyelesaian konflik g. Menciptakan iklim organisasi konflik dan lingkungan kerja yang mendukung 2.1.1.2 Gaya Manajemen Konflik Thomas & Kilmann dalam Wirawan (2010:140) mengemukakan lima jenis gaya manajemen konflik. Berikut adalah kelima jenis gaya manajemen konflik tersebut : 1. Kompetisi (competing) Gaya ini merupakan gaya yang berorientasi pada kekuasaan, dimana seseorang akan menggunakan kekuasaan yang dimilikinya untuk memenangkan konflik dengan pihak lawannya. Alasan pihak yang terlibat konflik menggunakan gaya manajemen konflik kompetisi : - Merasa mempunyai kekuasaan dan sumber-sumber lainnya untuk memaksakan sesuatu kepada lawan konfliknya. - Tindakan dan keputusan perlu diambil dengan cepat, misalnya dalam keadaan darurat. Keterlambatan mengambil keputusan atau tindakan akan memberikan akibat yang tidak baik. - Dalam tindakan yang tidak populer, terdapat hal yang dilakukan, seperti mengurangi biaya, peraturan baru, dan pendisiplinan pegawai. 12 - Melindungi perusahaan dari kebangkrutan dan keadaan yang dapat merusak citra perusahaan, seperti perilaku pegawai yang tidak sepatutnya dan pegawai penyebab masalah (biang kerok). 2. Kolaborasi (collaborating) Tujuan dari kolaborasi adalah untuk mencari alternatif, dasar bersama, dan sepenuhnya memenuhi harapan kedua belah pihak yang terlibat konflik. Gaya manajemen konflik kolaborasi merupakan upaya bernegosiasi untuk menciptakan solusi yang sepenuhnya memuaskan pihak-pihak yang terlibat konflik. Upaya tersebut sering meliputi saling memahami permasalahan konflik atau saling mempelajari ketidak sepakatan. Selain itu kreativitas dan inovasi juga digunkaan untuk mencari alternatif yang dapat diterima kedua belah pihak. Alasan pihak yang terlibat konflik menggunakan gaya manajemen konflik kolaborasi : - Menciptakan solusi integratif dan tujuan kedua belah pihak terlalu penting utnuk dikompromikan. - Tujuan pihak yang terlibat konflik untuk mempelajari lebih jauh pandangan dari lawan konfliknya. - Kedua belah pihak tidak mempunyai cukup kekuasaan dan sumbersumber untuk memaksakan kehendak demi mencapai tujuannya. 3. Kompromi (compromising) Gaya manajemen konflik tengah atau menengah, dengan menggunakan strategi memberi dan mengambil (give and take), kedua 13 belah pihak yang terlibat konflik mencari alternatif titik tengah yang memuaskan sebagian keinginan mereka. Gaya manajemen konflik kompromi berada ditengah antara gaya kompetisi dan gaya kolaborasi. Dalam keadaan tertentu, kompromi dapat berarti membagi perbedaan diantara dua posisi dan memberikan konsensi untuk mencari titik tengah. Alasan pihak yang terlibat konflik menggunakan gaya manajemen konflik kompromi: - Pentingnya tujuan konflik tidak cukup bernilai untuk dipertahankan dengan menggunakan gaya manajemen konflik kompetisi atau kolaborasi. Akan tetapi, konflik juga terlalu penting untuk dihindari. - Kedua belah pihak mempunyai kekuasaan dan sumber yang sama serta mempunyai tujuan yang hampir sama. - Untuk mencapai solusi sementara atas masalah yang kompleks. 4. Menghindar (avoiding) Dalam gaya manajemen ini, kedua belah pihak yang terlibat konflik berusaha menghindari konflik. Menurut Thomas & Kilmann dalam Wirwan (2010:141) untuk menghindar tersebut dapat berupa: (a) menjauhkan diri dari pokok masalah, (b) menunda pokok masalah hingga waktu yang tepat, atau (c) menarik diri dari konflik yang mengancam dan merugikan. Alasan pihak yang terlibat konflik menggunakan gaya manajemen konflik menghindar: 14 - Kepentingan objek konflik rendah atau ada objek konflik lain yang sangat penting dan perlu mendapatkan perhatian. - Objek konflik tidak mungkin untuk dimenangkan karena memiliki kekuasaan dan sumber-sumber konflik yang rendah. Atau, tidak mungkin untuk diubah, seperti undang-undang, peraturan pemerintah, serta peraturan dan kebijakan perusahaan. - Potensi biaya yang dibutuhkan untuk memenangkan konflik lebih besar daripada nilai solusinya. - Untuk menenangkan para karyawan dan mengurangi ketegangan, serta menciptakan suasana kerja yang kondusif dan tenang sehingga meningkatkan kinerja karyawan. 5. Mengakomodasi (accommodating) Gaya manajemen konflik ini mengenai seseorang yang mengabaikan kepentingan dirinya sendiri dan berupaya memuaskan kepentingan lawan konfliknya. Dari beberapa gaya manajemen konflik di atas, gaya manajemen konflik yang paling dominan digunakan dalam perusahaan yang kami teliti adalah gaya manajemen konflik kompromi. Berikut adalah indikator mengenai keterampilan yang diperlukan untuk menggunakan gaya manajemen konflik kompromi yang efektif menurut Wirawan (2010:142): a. kemampuan bernegosiasi b. mendengarkan dengan baik yang dikemukakan oleh lawan konflik 15 c. mengevaluasi nilai d. menemukan jalan tengah e. memberikan konsensi 2.1.2 Pengertian Stres dan Stres Kerja Sebagian besar dari kita menyadari bahwa dalam kehidupan yang semakin kompleks, manusia akan cenderung mengalami stres ketika ia kurang mampu mengadaptasikan keinginan-keinginan dengan kenyataan yang ada di dalam maupun di luar dirinya. Stres dapat dikatakan bagai “payung” yang menopang tekanan, beban, konflik, keletihan, ketegangan, panik, perasaan gemuruh, kemurungan dan hilang daya. Orang-orang yang mengalami stres bisa menjadi nervous dan merasakan kekhawatiran kronis, atau menunjukkan sikap yang tidak kooperatif. Sebenarnya Stres dan Stres Kerja hampir menyerupai satu sama lain, hanya saja cakupan stres lebih luas dibanding stres kerja karena stres dapat terjadi di lingkungan kerja maupun di luar lingkungan kerja, sedangkan stres kerja hanya mencakup pada lingkungan kerja. Menurut Handoko (2001:200), Stres adalah suatu kondisi ketegangan yang dinamik yang mempengaruh emosi, proses berpikir dan kondisi seorang. Stres yang terlalu besar dapat mengancam kemampuan seseorang untuk menghadapi lingkungan. Pada akhirnya, pada diri para karyawan dapat berkembang berbagai macam gejala stres yang dapat mengganggu pelaksanaan kerja mereka. 16 Menurut Robbins (2001:563) Stres juga dapat diartikan sebagai suatu kondisi yang menekan keadaan psikis seseorang dalam mencapai suatu kesempatan dimana untuk mencapai kesempatan tersebut terdapat batasan atau penghalang. Adapun menurut Beehr dan Franz dalam Bambang Tarupolo (2002:17), Stres kerja sebagai suatu proses yang menyebabkan orang merasa sakit, tidak nyaman atau tegang karena pekerjaan, tempat kerja atau situasi kerja yang tertentu. Menurut Beehr dan Newman dalam Luthans (2006:441) Stres kerja sebagai kondisi yang muncul dari interaksi antara manusia dan pekerjaan, serta dikarakterisasikan oleh perubahan manusia yang memaksa mereka untuk menyimpang dari fungsi normal mereka Dari berbagai definisi mengenai stres di atas, dapat dikutip simpulan bahwa stres adalah dimana seseorang mengalami tekanan-tekanan dalam hidupnya yang bisa dipengaruhi dari psikis, emosi, proses berpikir, dan kondisi seseorang. Stres kerja dapat disimpulkan adalah terjadi akibat adanya ketidakseimbangan antara karakteristik, psikis dan kepribadian karyawan dengan aspek-aspek pekerjaan, dan lingkungan pekerjaan. 17 2.1.2.1 Faktor Penyebab Stres Kerja pada Karyawan Kondisi-kondisi yang cenderung menyebabkan stres disebut stressors. Meskipun stres dapat diakibatkan oleh hanya satu stressors, biasanya karyawan mengalami stres karena kombinasi stressors. Menurut Ivancevich dan Matterson dalam Yuli T (2003:56) membagi sumber stres dalam lingkungan kerja sebagai berikut: 1. Stres yang bersumber dari lingkungan fisik Sumber stres ini mengacu pada kondisi fisik dalam lingkungan dimana pekerja harus beradaptasi untuk memelihara keseimbangan dirinya. Stres yang bersumber dari lingkungan fisik ini, diantaranya adalah: ‐ kondisi penerangan ditempat kerja ‐ tingkat kebisingan ‐ keluasan wilayah kerja. 2. Stres yang bersumber dari tingkatan individu Yang dimaksud dengan sumber ini adalah stres yang berkaitan dengan peran yang dimainkan dan tugas-tugas yang harus diselesaikan sehubungan dengan posisi seseorang di lingkungan kerjanya, yang termasuk kedalam sumber stres ini adalah: o Konflik peran (role conflict) Kombinasi dari harapan dan tuntutan yang diberikan kepada para pegawai atau anggota lain dalam organisasi yang menimbulkan tekanan disebut tekanan peran. Jika terdapat dua atau lebih tekanan peran, maka timbullah konflik. Konflik peran ini dapat bersifat objektif 18 dan subjektif. Disebut objektif jika seseorang menghadapi dua atau lebih tuntutan yang bertentangan. Disebut subjektif jika seseorang menghadapi ketidak sesuaian antara keinginan pribadi dengan tujuan serta nilai dirinya dengan tuntutan perannya. Van Sell, dkk., dan Kahn, dkk., dalam H. Suwatno dan Donni Juni Priansa (2011:256) menemukan bahwa tenaga kerja yang menderita konflik peran yang lebih banyak memiliki kepuasan kerja yang lebih rendah dan ketegangan pekerjaan yang lebih tinggi. o Peran yang rancu/tidak jelas (role ambiguity) Ketidakjelasan seseorang mengenai peran yang harus dilaksanakannya, baik yang berkaitan dengan tugas yang harus ia lakukan maupun dengan tanggung jawab sehubungan dengan posisinya. Hal ini juga terjadi pada saat individu mengalami ketidakpastian mengenai tindakan apa untuk diambil dalam rangka memenuhi suatu pekerjaan. o Beban kerja yang berlebihan (work overload) Beban kerja ini dapat bersifat kuantitatif maupun kualitatif. Disebut kuantitatif jika seseorang menghayati terlalu banyak pekerjaan yang harus diselesaikan, atau karena keterbatasan waktu untuk menyelesaikan pekerjaan yang diberikan. Disebut kualitatif jika seseorang menghayati kurangnya kemampuan dirinya untuk menyelesaikan pekerjaannya atau pekerjaan yang ia hadapi menuntut keahlian yang melebihi kemampuannya. Tingkat stres yang optimal menghadirkan keseimbangan akan tantangan, tanggung jawab, dan 19 rewards. Tanda-tanda beban berlebih di antaranya mudah tersinggung, kelelahan fisik dan mental. o Tanggung jawab terhadap orang lain (responsibility for people) Tanggung jawab disini dapat meliputi tanggung jawab terhadap orang lain/hal-hal lain. Dalam banyak kasus, tanggung jawab terhadap orang lain lebih potensial sebagai sumber stres. Karena tanggung jawab ini akan berkaitan dengan pengambilan keputusan yang dapat memberikan kepuasan bagi berbagai pihak. Lebih jauh lagi, tanggung jawab ini dapat mengakibatkan berlebihnya beban kerja, konflik peran atau kerancuan peran. o Kesempatan untuk mengembangkan karir (career development) Yang dimaksud dengan stres ini adalah aspek-aspek sebagai hasil dari interaksi antara individu dengan lingkungan organisasi yang mempengaruhi persepsi seseorang terhadap kualitas dari pengembangan karirnya. Stres ini dapat terjadi jika kerja merasakan kehilangan akan rasa aman terhadap pekerjaannya. Promosi yang dirasakan tidak sesuai yang secara umum disebabkan karena adanya ketidak sesuaian antara karir yang diharapkan dengan apa yang diperoleh selama ini, atau juga tidak ada juga kejelasan perkembangan karir. Terbatasnya peluang karir tidak akan menimbulkan stres pada tenaga kerja yang tidak memiliki aspirasi karir. 3. Stres yang bersumber dari kelompok dan organisasi a) Stres yang bersumber dari kelompok 20 Stres disini bersumber dari hasil interaksi individu-individu dalam suatu kelompok yang disebabkan perbedaan-perbedaan diantara mereka, baik perbedaan sosial maupun psikologi. Stres yang bersumber dari kelompok, antara lain: ‐ Hilangnya kekompakan kelompok (lack of cohesiveness) Kecenderungan untuk bersatu di antara anggota kelompok disebut sebagai kekompakan. Hilangnya kekompakan ini dapat mengakibatkan rendahnya moril kerja, tampilan kerja yang buruk serta perubahan fisik seperti tekanan darah yang meningkat. ‐ Tidak adanya dukungan yang memadai (group support) Yaitu dukungan dari sesama anggota kelompok, misalnya dalam membagi masalah. Dukungan kelompok dapat di pandang sebagai sumber yang dapat membantu seseorang dalam menghadapi stres. ‐ Konflik intra dan inter kelompok. Dimaksud konflik disini adalah tindakan-tindakan yang bertentangan antara dua orang atau lebih. Konflik dan stres terjadi jika antara individu atau satu hal terjadi pertentangan. Konflik yang timbul dalam hal ini dapat dibagi menjadi: o Intragroup conflict jika terdapat ketidaksesuaian antara anggota kelompok tentang bagaimana pemecahan suatu masalah. Konflik ini dapat disebabkan oleh adanya persepsi, pengalaman, nilai atau sumber, informasi yang berbeda di 21 antara mereka. Interaction conflict timbul jika terdapat pertentangan di antara anggota kelompok. o Intergroup conflict terjadi karena kurang adanya koordinasi yang baik diantara beberapa kelompok, padahal kelompokkelompok tersebut didalam melaksanakan tugasnya tergantung dan berkomunikasi satu dengan yang lainnya. b) Stres yang bersumber dari organisasi Stres di sini timbul dari keinginan-keinginan organisasi atau lembaga sehubungan dengan pencapaian tujuan organisasi atau lembaga tersebut. Macam-macam stres yang bersumber dari organisasi, antara lain: ‐ Iklim organisasi Interaksi di antara individu, stuktur kebijaksanaan dan tujuan organisasi secara umum disebut iklim organisasi yang bersangkutan. Iklim dapat mempengaruhi tingkah laku di antara individu-individunya atau di antara kelompoknya dan juga interaksi di antara mereka. ‐ Struktur organisasi Stres yang timbul oleh bentuk struktur organisasi yang berlaku di lembaga yang bersangkutan. Apabila bentuk dan struktur organisasi kurang jelas dan dalam jangka waktu yang lama tidak ada perubahan atau pembaharuan, maka hal tersebut dapat menjadi 22 sumber stres. Posisi individu dalam suatu struktur organisasi dapat juga menggambarkan bagaimana stres yang dialami. ‐ Teritorial organisasi Istilah yang menggambarkan ruang pribadi atau arena kegiatan seseorang, tempat dimana mereka bekerja, berpikir atau bergurau. Setiap orang mengembangkan rasa memiliki terhadap ruang pribadi mereka, antara lain terhadap ruang kerja, teritorial organisasi ini berkaitan dengan bagian-bagian organisasi yang dirasakan akrab, di luar itu sebagai wilayah yang asing. Sehubungan dengan teritori organisasi ini maka dapat dikatakan bahwa perubahan pada pola keakraban dapat menjadi pemicu bagi timbulnya stres pada seseorang. ‐ Teknologi Sumber daya yang digunakan organisasi untuk mengubah sumber input menjadi output yang diinginkan dapat melalui individu yaitu kemampuan atau pengetahuan teknis yang dimiliki atau melalui peralatan yang tersedia, di mana nantinya akan menghasilkan output yang diinginkan lembaga. Jika peralatan yang diperlukan tersebut kurang menunjang pekerjaan maka hal tersebut bisa menimbulkan stres. ‐ Pengaruh pimpinan Salah satu faktor yang dapat mempengaruhi aktivitas pekerjaan, iklim dan kelompok adalah bagaimana pimpinannya. Sering kali 23 pimpinan mempunyai pengaruh yang lebih kuat dibandingkan dengan aspek-aspek lain dalam pekerjaan, salah satunya bersumber dari tingkat kewenangan dan kekuasaan. Berkaitan dengan kekuasaan yang dimilikinya entah itu dalam memberikan reward atau punishment yang dilakukan pimpinan kepada bawahannya, pada dasarnya setiap pimpinan dibentuk sama. Ada yang nampak lebih memperhatikan dan mampu bekerja sama dengan pekerjanya dan ada yang menggunakan pengetahuannya tentang politis untuk kepentingan pribadinya dan lain-lain. Pengaruh pimpinan dapat dipandang sebagai sumber stres tergantung bagaimana individu dan situasi saat itu. 2.1.2.2 Dampak Stres Mobilisasi dari mekanisme pertahanan tubuh bukanlah satu-satunya konsekuensi yang mungkin timbul dari adanya kontak dengan sumber stres. Akibat dari stres banyak dan bermacam-macam. Ada sebagian yang positif seperti meningkatkan motivasi, terangsang untuk bekerja lebih giat, atau mendapat inspirasi untuk hidup lebih baik lagi. T. Cox (2005:92) telah mengidentifikasikan efek dari stres yang mungkin muncul, yaitu: 1. Dampak Subjektif (subjective effect) Kekhawatiran/kegelisahan, kelesuan, kebosanan, depresi, keletihan, frustasi, kehilangan kesabaran, perasaan terkucil dan merasa kesepian. 2. Dampak Perilaku (behavioral effect) 24 Akibat stres yang berdampak pada prilaku pekerja dalam bekerja di antaranya peledakan emosi dan perilaku impulsif. 3. Dampak Kognitif (cognitive effect) Ketidak mampuan mengambil keputusan yang sehat, daya konsentrasi menurun, kurang perhatian/rentang perhatian pendek, sangat peka terhadap kritik/kecaman dan hambatan mental. 4. Dampak Fisiologis (physiological effect) Kecanduan glukosa darah meninggi, denyut jantung dan tekanan darah meningkat, mulut kering, berkeringat, bola mata melebar, dan tubuh panas dingin. 5. Dampak Kesehatan (health effect) Sakit kepala dan migran, mimpi buruk, sulit tidur, dan lain-lain. 6. Dampak Organisasi (organizational effect) Produktivitas menurun/rendah, terasing dari mitra kerja, ketidak puasan kerja, menurunnya keikatan kerja dan loyalitas terhadap instansi. 2.1.2.3 Pendekatan Stres Kerja Terdapat dua pendekatan pada stres kerja, yaitu pendekatan individu dan perusahaan menurut Veithzal Rivai dan Ella Jauvani Sagala (2010:1008). Bagi individu penting dilakukan pendekatan karena stres dapat mempengaruhi penghasilan. Bagi kehidupan, perusahaan kesehatan, bukan saja produktivitas, hanya karena dan alasan 25 kemanusiaan, tetapi juga karena pengaruhnya terhadap prestasi semua aspek dan efektivitas dari perusahaan secara keseluruhan. Perbedaan pendekatan individu dengan pendekatan perusahaan tidak dibedakan secara tegas, pengurangan stres dapat dilakukan pada tingkat individu, organisasi maupun kedua-duanya. a) b) Pendekatan Individu • Meningkatkan keimanan • Melakukan meditasi dan pernapasan • Melakukan kegiatan olahraga • Melakukan relaksasi • Dukungan sosial dari teman-teman dan keluarga • Menghindari kegiatan rutin yang membosankan Pendekatan Perusahaan • Melakukan perbaikan iklim organisasi • Melakukan perbaikan terhadap lingkungan fisik • Menyediakan sarana olahraga • Melakukan analisis dan kejelasan tugas • Meningkatkan partisipasi dalam proses pengambilan keputusan • Melakukan restrukturisasi tugas • Menerapkan konsep Manajemen Berdasarkan Sasaran 26 2.1.3 Pengertian Kinerja Di sebagian besar organisasi, kinerja para karyawan individual merupakan faktor utama yang menentukan keberhasilan organizational. Prestasi kerja atau kinerja berasal dari kata job performance (prestasi kerja atau prestasi sesungguhnya yang pernah dicapai seseorang). Pengertian kinerja adalah hasil secara kualitas dan kuantitas yang di capai oleh seorang pegawai dalam melaksanakan tugasnya sesuai dengan tanggung jawab yang diberikan kepadanya. Menurut Mathis (2006:113), kinerja pada dasarnya adalah apa yang dilakukan atau tidak dilakukan karyawan. Kinerja karyawan pada umumnya untuk kebanyakan pekerjaan meliputi beberapa elemen yaitu kuantitas dari hasil, kualitas dari hasil, ketepatan waktu dari hasil, kehadiran, kemampuan bekerja sama. Menurut Wibowo (2007:7), kinerja merupakan hasil pekerjaan yang mempunyai hubungan kuat dengan tujuan strategis organisasi, kepuasan konsumen, dan memberikan kontribusi pada ekonomi. Dengan demikian kinerja adalah tentang melakukan pekerjaan dan hasil yang dicapai dari pekerjaan tersebut. Kinerja adalah tentang apa yang dikerjakan dan bagaimana cara mengerjakannya. Kinerja adalah suatu tampilan keadaan secara utuh atas perusahaan selama periode waktu tertentu, merupakan hasil atau prestasi yang dipengaruhi oleh kegiatan operasional perusahaan dalam memanfaatkan sumber-sumber daya yg dimiliki. Helfert dalam Rivai & Sagala (2010:604) 27 Dari berbagai definisi kinerja di atas, maka disimpulkan bahwa kinerja merupakan hasil atau prestasi yang mempunyai hubungan kuat dengan tujuan strategis organisasi. 2.1.3.1 Faktor-faktor yang mempengaruhi kinerja Menurut Mathis (2006:113) ada tiga faktor utama yang mempengaruhi bagaimana individu melakukan pekerjaannya, tiga faktor utama tersebut adalah : a. Kemampuan individual ‐ Bakat ‐ Minat ‐ Faktor kepribadian b. Tingkat usaha yang dicurahkan ‐ Motivasi ‐ Etika kerja ‐ Kehadiran ‐ Rancangan tugas c. Dukungan organisasi ‐ Pelatihan dan pengembangan ‐ Peralatan dan teknologi ‐ Standar kinerja ‐ Manajemen dan rekan kerja 28 2.1.4 Kajian Penelitian Terdahulu 2.1.4.1 Hubungan Stres Kerja dengan Kinerja Karyawan Menurut pendapat dari Zainur Rozikin (2006), adanya faktor stres kerja yang besar pada karyawan berakibat pada penurunan kinerja karyawan. Dan tingkat stres kerja yang rendah akan berdampak pada peningkatan kinerja karyawan. 2.1.4.2 Hubungan Manajemen Konflik dengan Kinerja Karyawan Penelitian menunjukan bahwa dengan adanya manajemen konflik kompromi dalam penyelesaian masalah akan membantu meningkatkan kinerja karyawan. Menurut Huey Wen Chou dan Ying Jung Yeh (2007). 2.2 Kerangka Pemikiran Menurut Lynne Irvine dalam Wirawan (2010:131), manajemen konflik merupakan strategi yang mempekerjakan organisasi dan individu untuk mengidentifikasi dan mengelola perbedaan, sehingga mengurangi beban dan pengeluaran dari konflik yang tidak terkelola, sementara memanfaatkan konflik sebagai sumber inovasi dan perbaikan. Menurut Wirawan (2012:129), manajemen konflik sebagai proses pihak yang terlibat konflik atau pihak ketiga menyusun strategi konflik dan menerapkannya untuk mengendalikan konflik agar menghasilkan resolusi yang diinginkan. 29 Thomas & Kilmann dalam Wirawan (2010:140) mengemukakan lima jenis gaya manajemen konflik. Berikut adalah kelima jenis gaya manajemen konflik tersebut : 1. Kompetisi (competing) 2. Kolaborasi (collaborating) 3. Kompromi (compromising) 4. Menghindar (avoiding) 5. Mengakomodasi (accommodating) Dari beberapa gaya manajemen konflik di atas, gaya manajemen konflik yang paling dominan digunakan dalam perusahaan yang kami teliti adalah gaya manajemen konflik kompromi. Berikut adalah indikator mengenai keterampilan yang diperlukan untuk menggunakan gaya manajemen konflik kompromi yang efektif menurut Wirawan (2010:142): a. kemampuan bernegosiasi b. mendengarkan dengan baik yang dikemukakan oleh lawan konflik c. mengevaluasi nilai d. menemukan jalan tengah e. memberikan konsensi Menurut Beehr dan Newman dalam Luthans (2006:441) Stres kerja sebagai kondisi yang muncul dari interaksi antara manusia dan pekerjaan, 30 serta dikarakterisasikan oleh perubahan manusia yang memaksa mereka untuk menyimpang dari fungsi normal mereka. Adapun menurut Beehr dan Franz dalam Bambang Tarupolo (2002:17), Stres kerja sebagai suatu proses yang menyebabkan orang merasa sakit, tidak nyaman atau tegang karena pekerjaan, tempat kerja atau situasi kerja yang tertentu. Menurut Ivancevich dan Matterson dalam Yuli T (2003:56), sumber stres dalam lingkungan kerja dibagi menjadi beberapa dimensi, yaitu: 1. 2. Stres yang bersumber dari lingkungan fisik ‐ kondisi penerangan ditempat kerja ‐ tingkat kebisingan ‐ keluasan wilayah kerja. Stres yang bersumber dari tingkatan individu o Konflik peran (role conflict) o Peran yang rancu/tidak jelas (role ambiguity) o Beban kerja yang berlebihan (work overload) o Tanggung jawab terhdap orang lain (responsibility for people) o Kesempatan untuk mengembangkan karir (career development) 3. Stres yang bersumber dari kelompok dan organisasi a) Stres yang bersumber dari kelompok ‐ Hilangnya kekompakan kelompok (lack of cohesiveness) ‐ Tidak adanya dukungan yang memadai (group support) ‐ Konflik intra dan inter kelompok. 31 b) Stres yang bersumber dari organisasi ‐ Iklim organisasi ‐ Struktur organisasi ‐ Teritorial organisasi ‐ Teknologi ‐ Pengaruh pimpinan Menurut Mathis (2006:113), kinerja pada dasarnya adalah apa yang dilakukan atau tidak dilakukan karyawan. Kinerja karyawan pada umumnya untuk kebanyakan pekerjaan meliputi beberapa elemen yaitu kuantitas dari hassil, kualitas dari hasil, ketepatan waktu dari hasil, kehadiran, kemampuan bekerja sama. Menurut Wibowo (2007:7), kinerja merupakan hasil pekerjaan yang mempunyai hubungan kuat dengan tujuan strategis organisasi, kepuasan konsumen, dan memberikan kontribusi pada ekonomi. Dengan demikian kinerja adalah tentang melakukan pekerjaan dan hasil yang dicapai dari pekerjaan tersebut. Kinerja adalah tentang apa yang dikerjakan dan bagaimana cara mengerjakannya. Menurut Mathis (2006:113) ada tiga faktor utama yang mmpengaruhi bagaimana individu melakukan pekerjaannya, tiga faktor utama tersebut adalah : a) Kemampuan individual ‐ Bakat ‐ Minat 32 ‐ Faktor kepribadian b) Tingkat usaha yang curahkan ‐ Motivasi ‐ Etika kerja ‐ Kehadiran ‐ Rancangan tugas c) Dukungan organisasi ‐ Pelatihan dan pengembangan ‐ Peralatan dan teknologi ‐ Standar kinerja ‐ Manajemen dan rekan kerja Menurut pendapat dari Zainur Rozikin (2006), adanya faktor stres kerja yang besar pada karyawan berakibat pada penurunan kinerja karyawan. Dan tingkat stres kerja yang rendah akan berdampak pada peningkatan kinerja karyawan. Begitu juga sebaliknya stres kerja dapat memicu meningkatnya kinerja tergantung dari bobot dan penangannya. Menurut Huey Wen Chou dan Ying Jung Yeh (2007), dengan adanya manajemen konflik kompromi dalam penyelesaian masalah akan membantu meningkatkan kinerja karyawan. 33 Mathis: a) Kemampuan individual ‐ Bakat ‐ Minat ‐ Faktor kepribadian b) Tingkat usaha yang curahkan ‐ Motivasi ‐ Etika kerja ‐ Kehadiran ‐ Rancangan tugas c) Dukungan organisasi ‐ Pelatihan & pengembangan ‐ Peralatan dan teknologi ‐ Standar kinerja ‐ Manajemen dan rekan kerja Wirawan Manajemen Konflik Kompromi: 1. Kemampuan bernegosiasi 2. Dengarkan dengan baik lawan konflik 3. Mengevaluasi nilai 4. Menemukan jalan tengah 5. Memberikan konsensi Gaya Manajemen Konflik (X1) Ivancevich dan Matterson: 1. Stres dari lingkungan fisik: ‐ kondisi penerangan ditempat kerja ‐ tingkat kebisingan ‐ keluasan wilayah kerja. 2. Stres dari tingkatan individu: ‐ konflik peran ‐ ketidak jelasan peran ‐ beban kerja yang berlebihan ‐ tanggung jawab ‐ pengembangan karir 3. Stres dari kelompok & orgz.: a. Kelompok: ‐ Hilangnya kekompakkan ‐ Dukungan grup ‐ Konflik intra dan inter grup b. Organisasi: ‐ Iklim organisasi ‐ Struktur organisasi ‐ Territorial organisasi ‐ Teknologi ‐ Pengaruh pimpinan Kinerja Karyawan (Y) Stres Kerja (X2) Gambar 2.2 Paradigma Penelitian 34 2.3 Hipotesis Hipotesis untuk penelitian ini berdasarkan identifikasi masalah yang ada adalah sebagai berikut : 1) T-1 Ho = Manajemen konflik tidak berpengaruh secara signifikan terhadap variabel kinerja karyawan. Ha = Manajemen konflik berpengaruh secara signifikan terhadap variabel kinerja karyawan. 2) T-2 Ho = Stres kerja tidak berpengaruh secara signifikan terhadap variabel kinerja karyawan. Ha = Stres kerja berpengaruh secara signifikan terhadap variabel kinerja karyawan. 3) T-3 Ho = Manajemen konflik dan stres kerja tidak berpengaruh secara signifikan terhadap variabel kinerja karyawan. Ha = Manajemen konflik dan stres kerja berpengaruh secara signifikan terhadap variabel kinerja karyawan.