Studi perbandingan tentang pengaturan pemberian perlindungan saksi dalam undang-undang tindak pidana pencucian uang di negara indonesia dan malaysia Penulisan Hukum (Skripsi) Disusun dan diajukan untuk Melengkapi Persyaratan Guna Memperoleh Derajad Sarjana dalam Ilmu Hukum Pada Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret Surakarta Oleh : Anita Tiar Kusuma Wardhani E.0004089 FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS SEBELAS MARET SURAKARTA 2008 i PERSETUJUAN PEMBIMBING Penulisan Hukum ( Skripsi ) STUDI PERBANDINGAN TENTANG PENGATURAN PEMBERIAN PERLINDUNGAN SAKSI DALAM UNDANG-UNDANG TINDAK PIDANA PENCUCIAN UANG DI NEGARA INDONESIA DAN MALAYSIA Disusun Oleh : ANITA TIAR KUSUMA WARDHANI NIM : E. 0004089 Disetujui untuk Dipertahankan Dosen Pembimbing BAMBANG SANTOSO, S.H., M.Hum. NIP. 131 863 797 ii PENGESAHAN PENGUJI Penulisan Hukum ( Skripsi ) STUDI PERBANDINGAN TENTANG PENGATURAN PEMBERIAN PERLINDUNGAN SAKSI DALAM UNDANG-UNDANG TINDAK PIDANA PENCUCIAN UANG DI NEGARA INDONESIA DAN MALAYSIA Disusun Oleh : ANITA TIAR KUSUMA WARDHANI NIM : E. 0004089 Telah diterima dan di sahkan oleh Tim Penguji Penulisan Hukum (Skripsi) Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret Hari Tanggal pada : : Selasa : 29 April 2008 TIM PENGUJI 1. .……………………………. ( Edy Herdyanto, S.H., M.H.) Ketua 2. .……………………………. ( Kristiyadi, S.H., M.Hum.) Sekretaris 3. .……………………………. (Bambang Santoso, S.H., M.Hum.) Anggota MENGETAHUI Dekan Mohammad Jamin, S. H., M.Hum NIP 131 570 154 iii MOTTO Allah itu melihat setiap proses yang dilakukan umatnya bukan hasil. ( NN ) Keberhasilan besar dimulai dari hal-hal kecil. ( Nasihat Seorang Ibu) Menjadi tua itu pasti, tapi menjadi dewasa itu suatu pilihan. ( Kecil ) Rasa syukur adalah berkah yang langka ( NN ) Cukup Allah SWT pelindungku di segala suasana. (NN ) Kehidupan yang baik lahir dari cinta kasih dan dipimpin pengetahuan. ( NN ) Carilah jalan yang lurus walaupun jalan itu harus kita tempuh dengn penuh derita. ( NN ) iv PERSEMBAHAN Sebuah pemikiran yang begitu tulus dan sederhana ini penulis persembahkan kepada : Penguasa Alam Semesta, Pencipta Pemikiran dan Ilmu Pengetahuan, serta Pelindung Setiap Makhkluk, Maha Pengasih Lagi Maha Penyayang Allah SWT. Kepada Rasul utusan Allah, tuntutan akhlak bagi manusia, Nabi Muhammad S.A.W. Ayah dan Mama Astuti Dharwati. Atas cinta dan kasih yang tak pernah putus, dan senantiasa mendoakan kebaikan bagi penulis, semoga Allah SWT selalu melindungi dan menyayangi orangtuaku tercinta. Adikku tercinta HiemmaTiar Kusuma Umbara Yang selalu mengisi hari-hariku dengan suka maupun duka Sahabat-sahabatku tersayang, Atas keceriaan dan kebersamaan serta dukungan yang tak pernah putus, tak ada hari yang tak indah selama kalian di sisiku. Some one who love me with his pure heart. & Civitas Akademika Fakultas Hukum UNS v KATA PENGANTAR Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT yang telah melimpahkan rahmat dan nikmat beserta petunjuk-Nya, sehingga penulis akhirnya dapat menyelesaikan penulisan hukum (Skripsi) yang berjudul “STUDI PERBANDINGAN TENTANG PENGATURAN PEMBERIAN PERLINDUNGAN SAKSI DALAM UNDANG-UNDANG TINDAK PIDANA PENCUCIAN UANG DI NEGARA INDONESIA DAN MALAYSIA”. Penulisan Hukum ini disusun dengan tujuan untuk memenuhi syarat memperoleh gelar sarjana (S1) pada Fakultas Hukum Sebelas Maret Surakarta. Penulis mengakui bahwa penulisan hukum ini tidaklah mungkin selesai tanpa dukungan dari berbagai pihak . Oleh karena itu, pada kesempatan ini penulis ingin menyampaikan rasa terima kasih yang sebesar-besarnya kepada : 1. Muhammad Jamin, S.H., M.Hum. selaku Dekan Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret Surakarta. 2. Bapak Edy Herdyanto, S.H., MH, selaku Ketua Bagian Hukum Acara., yang telah membantu menyelesaikan penulisan hukum ini sampai selesai. 3. Bapak Bambang Santoso, S.H., M.Hum, selaku dosen pembimbing penulis yang memberikan bantuan dan arahan untuk membimbing penulis, memberikan bantuan moril kepada penulis agar dapat menjadi sarjana yang cerdas dan pekerja keras, dan selaku pembimbing Moot Court KOMUSEMA, yang telah mencurahkan waktu dan tenaga untuk kelangsungan Moot Court tercinta serta yang memberi Moot Court semangat dan harapan dalam setiap langkahnya, terima kasih banyak untuk bapak, semoga Allah SWT selalu memberikan yang terbaik untuk bapak, Amiin. vi 4. Bapak Pranoto, S.H., M.H., selaku pembimbing akademik penulis selama menuntut ilmu di Fakultas Hukum Hukum Universitas Sebelas Maret Surakarta. 5. Bapak Ibu Dosen Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret Surakarta yang telah memberikan ilmu yang sangat berharga kepada penulis selama menuntut ilmu di Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret Surakarta. 6. Bapak Ibu Karyawan serta staf-staf tata usaha, bagian akademik, bagian kemahasiswaan, bagian transit, bagian keamanan Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret Surakarta. 7. Ayah dan Mama tercinta yang telah memberikan cinta dan kasih sayangnya kepada penulis (Terima kasih mama selalu ada di sampingku n menjadi semangatku buat ngerjain skripsi, yang selalu sabar n bisa membuatku tenang). 8. Hiemma , adiku yang mengajariku menjadi orang yang dewasa. 9. Eyang putri dan Kakung, makasih atas doanya, eyang cepet sembuh ya. 10. Pan8 (Dhaning (Ciiiiillllll ayo temani aku isi babak baru setelah moment ini.makasih selalu disampingku n mendukungku), Feri Basaudik (cepetin digarap skripsinya ya…..fardhu ain lho!!kan biar bisa bareng.makasih ya umi feri yang telah jadi ibu mcc.), Dila ndul (moga bias lancer ama arif. Ho.ho..), Odie jin botol (jadilah mahasiswa yang baik n kembali ke jalan yang benar, dijaga ya abi odie uminya..), Ekaaaa (thank buat editannya, n semangat buat kamu), Fadliiii Boooo (moga cepet dapat jodoh buat pw ya!!nyusul kakakmu tu!!), Mat Juned (dengan tomatnya itu n gaya ngomongnya yang khas juned banget). 11. Keluarga besar Moot Court Community FH UNS, Mas Pethonk (Makasih buat pinjaman bukunya, d best hakim ketua buat kami and vii leader di Moot Court), Mas Aan (honey bear..hee..yang paling bisa buat suasana nyaman n senyum), Mas Boo (yang kukagumi cara bicara n kepandaiannya), Mas Iman (orang yang paling sabar), Heru (makasih ya selalu nemenin aku n memberi semangat saat aku hampir menyerah), sunit (grow up adik besar, moga ngga munajat cinta lagi), desi (rajin belajar ya!!!!!), vita, philo, agus, rekha (thank buat metodologinya, jadi ngerti ni..ayo teruskan mcc), dhea, and semuanya serta official-official terbaik yang selalu menemani kami setiap saat n juga Kang Jack Surana, ayo kang tetep semangat ya dan moga-moga cepet dapat pendamping. 12. Mas Aji, yang meluangkan waktu untuk membimbing Moot Court, dan pemikiran-pemikirannya yang selalu jenius, heeee..terima kasih juga atas pinjaman bukunya. 13. My Best Friend ever after from d beginning n d last : Stevani tepong (Makasih selalu ada buat aku, yang terlalu suka senyum-senyum sendiri, ayo pong tentukan pilihannmu n jangan buat kakak menungggumu.: )), Amik Sudayat binti Mingtiel (yang rela nemenin kemana aja, yang selau membuat cerita kebodohannya saat keluar kos dan membuat kami semua tersenyum), Rika rikong (dengan gaya khasnya yang selalu sok cool.ayo hidupkan citra kartini seperti hari kelahiranmu..he), icha bulat-bulat di mana-mana (moga cepet insaf n kembali ke jalan yang lurus, semoga kami bisa membimbingnya kembali.hee, bul2), Anis, Omeng ,Khusnul (tiga trio macan yang suka kesana sini bareng, hazoo cepet lulus ya!!amin!!), mb Novi (ayo semangat bareng-bareng), Bos Ria, semua anak kos yang lain yang memberika suka duka kehidupan setahun ini di Roterdam, untuk tiwi, astrie, agatha (thank buat masukanny ya..makasih buanyaaaaaaaak ta, yup2 ayo makan2 n kumpul lagi), Fatma, Ria and Galih (ayo kita kumpul-kumpul lagi), Umar (hidup cah Maagelang), Alfan (teruskan viii perjuanganmu ya buat PMII), Widi (afwan wid ngga bisa bantu kamu), Ajie dan semuanya yang sudah mau menjadi teman-temanku. 14. Seluruh keluarga besar Angkatan 2004. 15. Semua pihak yang telah membantu terselesaikannya penulisan hukum ini yang tidak dapat penulis sebutkan satu persatu. Penulis menyadari bahwa dalam penulisan hukum ini masih jauh dari sempurna baik dari segi materi maupun penulisannya. Oleh karena itu, penulis mengharapkan kritik dan saran yang menunjang bagi kesempurnaan penulisan hukum ini. Semoga penulisan hukum ini dapat bermanfaat bagi perkembangan ilmu pengetahuan pada umumnya dan ilmu hukum pada khususnya, sehingga tidak menjadi suatu karya yang sia-sia nantinya. Surakarta, 21April 2008 Penulis ix DAFTAR ISI Halaman Judul …………………………………………………… i Persetujuan ………………………………………………………. ii Pengesahan ………………………………………………………. iii Motto ……………………………………………………………... iv Persembahan ……………………………………………………... v Kata Pengantar ………………………………………………….... vi Daftar Isi …………………………………………………………. x Daftar Lampiran ………………………………………………….. xii Abstrak …………………………………………………………… xiii BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah ………………………………… 1 B. Perumusan Masalah .……………………………………. 5 C. Tujuan Penelitian...……………………………………… 6 D. Manfaat Penelitian ……………………………………… 7 E. Metodologi Penelitian ..…………………………………. 8 F. Sistematika Penulisan …………………………………… 12 BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Kerangka Teori 1. Tinjauan Umum Tentang Perbandingan Hukum a. Istilah dan Definisi Perbandingan Hukum…………. 14 b. Karakteristik Sistem “Common Law” (Anglo Saxon) dan sistem “Civil Law” (Eropa Kontinental).....……. 16 2. Tinjauan Umum Tentang Saksi a. Pengertian Perlindungan Saksi ……………………… 23 b. Lembaga Perlindungan Saksi ….................................. 30 3. Tinjauan Umum Tentang Tindak Pidana Pencucian Uang x a. Pengertian Pencucian Uang ……………………….. 30 b. Tahap-tahap Tindak Pidana Pencucian Uang............ 36 B. Kerangka Pemikiran …………………………………….. 37 BAB III HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN A. Bagaimana perbandingan pengaturan pemberian perlindungan saksi dalam Undang-Undang Tindak Pidana Pencucian Uang di Negara Indonesia dan Malaysia ?................................... 41 B. Bagaimanakah proyeksi ke depan pengaturan pemberian perlindungan saksi dalam perundang-undangan di Indonesia? 80 BAB IV PENUTUP A. Kesimpulan …………………………………………………. 82 B. Saran ………………………………………………………… 83 DAFTAR PUSTAKA LAMPIRAN-LAMPIRAN xi DAFTAR LAMPIRAN Lampiran : Malaysia Anti Money Laundering Act 613.2001 xii ABSTRAK ANITA TIAR KUSUMA WARDHANI. E0004089. 2008. STUDI PERBANDINGAN TENTANG PENGATURAN PEMBERIAN PERLINDUNGAN SAKSI DALAM UNDANG-UNDANG TINDAK PIDANA PENCUCIAN UANG DI NEGARA INDONESIA DAN MALAYSIA. Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret Surakarta. Penulisan Hukum (Skripsi). Penulisan Hukum yang berjudul Studi Perbandingan tentang Pengaturan Pemberian Perlindungan Saksi Dalam Undang-Undang Tindak Pidana Pencucian Uang di Negara Indonesia dan Malaysia bertujuan untuk mengetahui perbandingan pengaturan pemberian perlindungan saksi dalam Undang-Undang Tindak Pidana Pencucian Uang di Negara Indonesia dan Malaysia. Penulisan Hukum ini termasuk dalam jenis penelitian hukum normatif dengan menggunakan sumber data sekunder, berupa Undang-Undang Tindak Pidana Pencucian Uang dan Anti Money Laundering Act 613. 2001. Dalam hal ini sumber data yang digunakan Undang-undang Nomor 25 Tahun 2003 tentang Tindak Pidana Pencucian Uang dan juga bahan-bahan kepustakaan lainnya. Tehnik pengumpulan data yang digunakan yaitu melalui pengumpulan data-data sekunder. Teknik pengumpulan data dilakukan dengan studi kepustakaan untuk mengumpulkan dan menyusun data yang berhubungan dengan masalah yang diteliti, dengan cara menginventarisasi dan mempelajari peraturan perundangundangan, buku-buku, tulisan-tulisan dan dokumen yang berhubungan dengan masalah yang penulis teliti. Tehnik analisis data dengan analisis isi (content). Hasil yang diperoleh dari penelitian ini yaitu bahwa pengaturan perlindungan saksi dalam Undang-Undang Pencucian Uang di Indonesia dan Malaysia adalah berbeda. Dalam hal subyek yang dilindungi (yaitu: saksi, pelapor, keluarga saksi/pelapor) serta pengaturan di Indonesia lebih luas juga dalam pelaksanaannya yang telah dibuat pengaturan perlindungan khusus dalam PP No. 57 Th. 2003 dan Keputusan Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia No. Pol. 17 Th 2005. Perlindungan yang diberikan pada semua tahap pemeriksaan perkara, dalam bentuk perlindungan khusus dan hukum. Sedangkan di Malaysia, pelaksanaanya hanya merujuk pada ketentuan perlindungan saksi dalam Anti Money Laundering Act 613 2001. Perlindungan hanya berupa perlindungan hukum yang diberikan kepada saksi pelapor saja, sehingga dalam selama proses persidangan, seorang saksi tidak mendapat perlindungan. Kata-kata kunci : Perlindungan Saksi, Pencucian Uang. xiii BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Perkembangan pesat di berbagai bidang ikut membawa pengaruh terhadap perkembangan di berbagai sektor. Salah satu yang turut berkembang pesat adalah kejahatan. Perangkat hukum untuk mencegah dan memberantas kejahatan itu sendiri belum memadai dan masih tertinggal jauh, sehingga berbagai jenis kejahatan baik yang dilakukan perseorangan, kelompok atau korporasi dengan mudah terjadi dan menghasilkan harta kekayaan dalam jumlah besar. Kejahatan tersebut tidak hanya dilakukan dalam batas wilayah suatu negara, namun meluas melintasi batas wilayah negara lain, sehingga sering disebut sebagai kejahatan transnasional (transnational crime), dalam kejahatan transnasional harta kekayaan hasil dari kejahatan biasanya oleh pelaku disembunyikan, kemudian dikeluarkan lagi seolah-olah dari hasil legal. Hal tersebut lebih dikenal dalam dunia internasional dengan istilah pencucian uang atau money laundering. Pencucian uang merupakan perbuatan atau upaya dari pelaku kejahatan untuk menyembunyikan atau menyamarkan asal usul harta kekayaan, yang diperoleh dari tindak pidana dengan cara memasukkan harta kekayaan hasil kekahatan ke dalam sistem keuangan, khususnya sistem perbankan baik di dalam atau luar negeri. Hal tersebut bertujuan untuk menghindarkan diri dari tuntutan hukum atas kejahatan yang telah dilakukan dan mengamankan harta kekayaan hasil kejahtan dari sitaan para aparat hukum. Metodemetode pencucian uang yang dilakukan dengan memanfaatkan xiv perkembangan teknologi modern termasuk tindak kejahatan kerah putih atau disebut white collar crime. Bentuk kejahatan kerah putih telah dirasakan semakin canggih serta sangat terorganisasi dengan sangat rapi. Sebagai contoh dalam dunia ekonomi dan perbankan justru digunakan sebagai sebagai pelarian kejahatan yang dengan sengaja ditujukan untuk menghilangkan jejak ataupun asal-usul harta yang dilarikan dan seakan-akan didapat dari hasil yang legal, dan pelaku kejahatan berusaha membersihkan uang hasil kejahatannya dengan berbagai cara yaitu salah satunya dengan metode pencucian uang (money laundering). Telah sama-sama diketahui bahwa dampak yang ditimbulkan oleh pencucian uang atau money laundering yaitu dapat mengganggu sistem keuangan serta berdampak negatif terhadap sistem perekonomian suatu negara. Pada akhirnya pencucian uang akan berdampak luas pada sistem sosial bahkan dapat mengganggu stabilitas suatu negara. Mengingat pencucian uang juga merupakan kejahatan transnasional yang modusnya banyak dilakukan melintasi batas-batas negara (cross border), maka dampak yang ditimbulkan dapat pula berakibat negatif pada stabilitas sistem keuangan dan perekonomian dunia secara keseluruhan. Di sisi lain, oleh karena pencucian uang berkaitan dengan kejahatan asal (predicate crime) yang dilakukan oleh organized crime, maka perkembangan pencucian uang ini akan sangat mempengaruhi tumbuh dan berkembangnya berbagai tindak pidana pemicu pencucian uang seperti korupsi, perdagangan gelap narkotika, penyelundupan, dan illegal memeranginya. xv logging serta upaya untuk Indonesia mengenal pencucian uang (money laundering) sejak dimasukkannya Indonesia ke dalam NCCTs (Non- Cooperatif Cauntries and Territories) oleh FATF (Financial Action Task Force on Money Laundering) pada Juni 2001, sebagai negara yang tidak kooperatif dalam pemberantasan pencucian uang. Dasar pertimbangan dimasukkannya Indonesia ke dalam daftar blacklist FATF disebabkan tidak adanya perangkat yang kuat dan efektif dalam memerangi money laundering yaitu belum adanya peraturan perundang-undangan yang mengkriminalisasikan pencucian uang, loopholes dalam pengaturan lembaga keuangan terutama lembaga keuangan non-bank, terbatasnya sumber daya yang dimiliki, serta minimnya kerjasama internasionl dalam upaya memberantas pencucian uang. Adanya tekanan internasional serta desakan IMF dan dimasukkannya Indonesia ke dalam NCCTs List tersebut, maka Indonesia mau tidak mau, suka atau tidak suka, akhirnya membuat dan mengundangkan undang-undang anti-pencucian uang, yaitu Undang-undang No.15 Tahun 2002 tentang Tindak Pidana Pencucian Uang yang kemudian diamandemen dengan Undang-Undang No. 25 Tahun 2003. Undang-Undang tersebut mempunyai arti penting karena memuat politik hukum nasional yang mengkriminalisasi pencucian uang di Indonesia. UndangUndang juga telah melahirkan Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) sebagai financial intelligence unit dalam memberantas tindak pidana pencucian uang. Dengan adanya UU Tindak Pidana Pencucian Uang terjadi perubahan paradigma, yaitu tidak lagi hanya mengejar pelaku kriminalnya tetapi juga uang hasil kejahatan tersebut. Dengan penggunaan metode yang berbeda dengan penegakan hukum secara xvi konvensional diharapkan dapat menurunkan tingkat kriminalitas dan lebih memberikan kemudahan dalam penanganan perkaranya. Dalam proses pemeriksaan perkara pidana mengenai kasus pencucian uang, saksi adalah salah satu kunci untuk peroleh kebenaran materiil, yang merupakan kebenaran yang benarbenar terjadi. Salah satu alat bukti yang sah dalam proses peradilan pidana adalah keterangan saksi yang mendengar, melihat, atau mengalami sendiri terjadinya suatu tindak pidana dalam upaya mencari dan menemukan kejelasan tentang tindak pidana yang dilakukan oleh pelaku tindak pidana. Secara teori, Pasal 184 dan 185 UU No. 8 Tahun 1981 tentang Kitab UndangUndang Hukum mengambarkan Acara hal Pidana tersebut. (KUHAP) Pasal 184 secara tegas menempatkan keterangan saksi di urutan pertama di atas alat bukti lain. Dapat dikatakan bahwa keberhasilan suatu proses peradilan pidana sangatlah tergantung pada alat bukti yang berhasil dimunculkan dalam pengadilan, yang terutama berkenaan dengan saksi. Dari kasus yang banyak terlihat, tidak sedikit kasus yang kandas di tengah jalan oleh karena ketiadaan saksi untuk menopang tugas jaksa. Dengan demikian keberadaan saksi merupakan suatu elemen yang sangat menentukan dalam sutu proses peradilan pidana. Namun demikian ternyata peran saksi dalam proses peradilan pidana masih jauh dari perhatian masyarakat dan penegak hukum. Sudah cukup sering media massa memberitahukan adanya kasus-kasus yang tidak terungkap dan juga tidak terselesaikan, oleh karena keengganan saksi untuk memberikan informasi kepada pihak yang berwenang. Bahkan sampai saat ini posisi saksi (termasuk saksi korban) dalam proses peradilan di Indonesia hanyalah dipandang sebagai alat xvii yang dapat memperkuat posisi jaksa dalam persidangan. Mereka hanya digunakan untuk melegitimasi keputusan hakim dari keseluruhan rangkaian proses beracara di persidangan. Saksi belum dilihat sebagai manusia yang memerlukan perlindungan, akan tetapi justru dieksploitasi untuk mendukung suatu keputusan yang dikatakan “adil”. Mencermati kondisi yang tampak belum berkesuaian diatas, kita sebenarnya sudah dapat menangkap suatu alur pikir bahwa untuk menciptakan suatu kesaksian yang berkualitas hanya akan dapat diperoleh jika ancaman-ancaman baik yang bersifat fisik maupun psikis terhadap saksi (saksi pelapor, saksi biasa, saksi ahli), kerugian-kerugian materiil dan berbagai masalah lain yang menjadi kendala, dapat dihilangkan. Salah satu cara yang dapat diberlakukan perlindunagn kepada adalah saksi dengan (Bambang memberikan Santoso, 2003), khususnya dalam hal ini adalah saksi yang berkaitan dengan perkara tindak pidana pencucian uang. Di Indonesia memang telah dibuat suatu undang-undang payung yang khusus ditujukan memberikan perlindungan kepada seorang saksi dan korban, yaitu dalan UU No. 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban. Sebelumnya selain dalam peraturan perundang-undangan khusus, belum ada suatu aturan yang mengatur perlindungan saksi. dengan terhadap Pasal 68 KUHAP tersangka Ketentuan Pasal 50 sampai hanya atau mengatur terdakwa perlindungan untuk mendapat perlindungan dari berbagai kemungkinan pelanggaran hak asasi manusia. Namun, sekarang dengan berdasar atas asas kesamaan di depan hukum (equality before the law) yang menjadi salah satu ciri negara hukum, saksi dan korban dalam proses peradilan pidana harus diberi jaminan perlindungan xviii hukum, sebagaimana tertulis dalam Undang Undang Nomor 13 Tahun 2006. Berkaitan dengan adanya perlindungan saksi dalam tindak pidana pencucian uang juga telah diatur dalam Undang-Undang No. 15 Tahun 2002 sebagaiman diubah dengan Undang-Undang No. 25 Tahun 2003 tentang Tindak Pidana Pencucian Uang, yang selanjutnya diatur tersendiri pada Peraturan Pemerintah No. 57 Tahun 2003 tentang Tata Cara Perlindungan Khusus Bagi Pelapor dan Saksi Tindak Pidana Pencucian Uang. Berdasarkan apa yang telah diuraikan di atas jelaslah bahwa masalah perlindungan saksi dalam pemeriksaan perkara pidana mengenai kasus pencucian uang (money laundering) merupakan salah satu kunci agar pengungkapan kasus dapat berjalan sebaik-baiknya. Hal demikian merupakan topik menarik untuk dikaji lebih mendalam melalui kegiatan penelitian hukum seperti yang penulis laksanakan saat ini. Untuk mengkaji masalah tersebut, diperlukan bahan perbandingan yang cukup dari Undang-Undang Tindak Pidana Pencucian Uang dan undang-undang terkait lainnya dari negara yang berbeda sistem hukum dengan Indonesia, yaitu negara yang menganut sistem “Common Law (Anglo Saxon)”. Berdasarkan pertimbangan-pertimbangan tersebut di atas maka penulis tertarik untuk mengadakan penelitian dengan judul: “STUDI PERBANDINGAN TENTANG PENGATURAN PEMBERIAN PERLINDUNGAN SAKSI DALAM UNDANG-UNDANG TINDAK PIDANA PENCUCIAN UANG DI NEGARA INDONESIA DAN MALAYSIA”. B. Perumusan Masalah xix Perumusan masalah dalam suatu penelitian dimaksudkan untuk mempermudah penulis dalam membatasi masalah yang akan diteliti sehingga tujuan dan sasaran yang akan dicapai menjadi jelas, terarah dan mendapatkan hasil seperti yang diharapkan. Dalam penelitian ini perumusan masalah dari masalahmasalah yang diteliti dapat dirumuskan sebagai berikut: 1. Bagaimana perbandingan pengaturan pemberian perlindungan saksi dalam Undang-Undang Tindak Pidana Pencucian Uang di Negara Indonesia dan Malaysia ? 2. Bagaimanakah proyeksi ke depan pengaturan pemberian perlindungan saksi dalam perundang-undangan di Indonesia? C. Tujuan Penelitian Menyadari bahwa setiap penelitian harus mempunyai tujuan tertentu, demikian pula penelitian ini juga mempunyai tujuan obyektif dan subyektif sebagai berikut: 1. Tujuan Obyektif a). Untuk mengetahui perbandingan pengaturan pemberian perlindungan saksi dalam Undang-Undang Tindak Pidana Pencucian Uang di Negara Indonesia dan Malaysia. b). Untuk mengetahui pemberian proyeksi perlindungan undangan di Indonesia. 2. Tujuan Subyektif xx ke saksi depan pengaturan dalam perundang- a). Untuk memperluas pengetahuan dan wawasan penulis di bidang hukum serta pemahaman aspek hukum dalam teori dan praktek dalam lapangan hukum khususnya pemberian perlindungan saksi dalam tindak pidana pencucian uang. b). Untuk melengkapi syarat akademis guna memperoleh gelar kesarjanaan dalam Ilmu Hukum pada Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret Surakarta. c). Menerapkan ilmu dan teori-teori hukum yang telah penulis peroleh agar dapat memberi manfaat bagi penulis sendiri khususnya dan masyarakat pada umumnya. D. Manfaat Penelitian 1. Manfaat Teoritis a). Memberi masukan pemikiran bagi pengembangan ilmu pengetahuan khususnya, dalam ilmu hukum pada umumnya dan khususnya pengaturan hukum pidana yang berkaitan dengan pemberian perlindungan saksi dalam tindak pidana pencucian uang. b). Hasil penelitian ini dapat menambah literatur, referensi dan bahan-bahan informasi ilmiah mengingat perlindungan saksi dalam Undang-Undang Tindak Pidana Pencucian Uang masih merupakan bahasan yang tergolong baru dalam penerapan hukum di Indonesia. 2. Manfaat Praktis a). Memberikan jawaban terhadap permasalahan yang diteliti. xxi b). Guna mengembangkan penalaran dan membentuk pola pikir yang kemampuan dinamis penulis sekaligus dalam untuk menerapkan mengetahui ilmu yang diperoleh. c). Hasil penulisan ini diharapkan dapat membantu dan memberi masukan kepada semua pihak yang membutuhkan pengetahuan terkait masalah yang diteliti dan dapat dipakai sebagai sarana yang efektif dan memadai dalam upaya memulihkan kerugian negara yang ditimbulkan akibat tindak pidana pencucian uang. E. Metode Penelitian Metode merupakan cara yang utama yang digunakan untuk mencapai suatu tujuan, untuk mencapai tingkat ketelitian, jumlah dan jenis yang dihadapi. Akan tetapi dengan mengadakan klasifikasi yang berdasarkan pada pengalaman, dapat ditentukan teratur dan terpikirkannya alur yang runtut dan baik untuk mencapai suatu maksud. (Winarno Surakhmat, 1982:131 ) Penelitian adalah mengembangkan, suatu dan usaha menguji untuk menemukan, kebenaran suatu pengetahuan,gejala atau hipotesa, usaha mana dilakukan dengan menggunakan metode ilmiah (Sutrisno Hadi, 1989:4). Dengan demikian pengertian metode penelitian adalah cara yang teratur dan terpikir secara runtut dan baik dengan menggunakan metode ilmiah yang bertujuan untuk menemukan, mengembangkan maupun guna menguji kebenaran maupun ketidakbenaran dari suatu pengetahuan, gejala atau hipotesa. xxii 1. Jenis Penelitian Mengacu pada judul dan perumusan masalah, maka penelitian ini termasuk ke dalam kategori penelitian normatif atau penelitian kepustakaan, yaitu penelitian yang dilakukan dengan cara meneliti bahan pustaka atau data sekunder yang terdiri dari bahan hukum primer, bahan hukum sekunder dan bahan hukum tersier. Bahan-bahan tersebut disusun secara sistematis, dikaji, kemudian ditarik suatu kesimpulan dalam hubungannya dengan masalah yang diteliti. Senada dengan Soerjono Soekanto bahwa penelitian hukum yang dilakukan dengan cara meneliti bahan pustaka atau data sekunder belaka dapat dinamakan penelitian hukum normatif atau penelitian hukum kepustakaan. Penelitian hukum normatif atau kepustakaan tersebut mencakup: a. Penelitian terhadap asas-asas hukum b. Penelitian terhadap sistematik hukum c. Perbandingan hukum d. Sejarah hukum (Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji, 1990: 15) Penelitian yang di gunakan oleh penulis dalam penelitian normatif ini adalah perbandingan hukum yang membandingkan antara Pengaturan Pemberian Perlindungan Saksi dalam Undang-undang tindak pidana pencucian uang di Negara Indonesia dan Malaysia. 2. Sifat Penelitian Penelitian hukum ini bersifat deskriptif. Penelitian deskriptif adalah penelitian yang bertujuan menggambarkan secara tepat sifat-sifat suatu individu, keadaan, gejala, atau xxiii kelompok tertentu, atau untuk menentukan ada tidaknya hubungan antara suatu gejala dengan gejala lain dalam masyarakat (Amirudin dan Z. Asikin. 2004 : 25). Dalam penelitian ini penulis menggambarkan suatu perbandingan tentang pengaturan pemberian perlindungan saksi dalam tindak pidana pencucian uang di Negara Indonesia dan Malaysia. 3. Pendekatan Penelitian Dalam menjelaskan penelitian ini penulis menggunakan pendekatan normatif/ juridis tentang pengaturan pemberian perlindungan saksi dalam tindak pidana pencucian uang di Negara Indonesia dan Malaysia. 4. Jenis Data Jenis data yang dipergunakan dalam penelitian ini berupa data sekunder, yaitu data atau informasi hasil penelaahan dokumen penelitian serupa yang pemah dilakukan sebelumnya, bahan kepustakaan seperti buku-buku, literatur, koran, majalah, jurnal maupun arsip-arsip yang sesuai dengan penelitian yang akan dibahas. Data sekunder dalam penelitian ini meliputi : a. Bahan Hukum Primer, yaitu bahan-bahan yang mengikat, terdiri dari : 1) Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) xxiv 2) Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2003 tentang Tindak Pidana Pencucian Uang. 3) Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 57 Tahun 2003 tentang Tata Cara Perlindungan Khusus Bagi Pelapor dan Saksi Tindak Pidana Pencucian Uang. 4) Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006 Tentang Perlindungan Saksi dan Korban. 5) Anti Money Laundering Act 613, 2001. (Malaysia) b. Bahan Hukum Sekunder, yang memberikan penjelasan mengenai bahan hukum primer, seperti 1) Hasil karya ilmiah para sarjana yang relevan/terkait dalam penelitian ini 2) Hasil-hasil penelitian yang relevan/terkait dalam penelitian ini. c. Bahan Hukum Tersier atau penunjang, yaitu bahan yang memberikan petunjuk maupun penjelasan terhadap bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder, diantaranya : (Soerjono Soekanto, 2001: 13). 1) Bahan dari media internet yang relevan dengan penelitian ini; 2) Kamus Hukum (Black’s Law Dictionary). 5. Sumber Data Sumber data merupakan tempat di mana dan ke mana data dari suatu penelitian dapar diperoleh. Dalam penelitian ini, sumber data yang digunakan adalah sumber data sekunder berupa dokumen publik atau catatan-catatan resmi, yaitu dokumen peraturan perundang-undangan serta peraturan pelaksanaan yang memuat tentang pengaturan pemberian xxv perlindungan saksi pada umumnya dan khususnya dalam Tindak Pidana Pencucian Uang. Selain sumber data yang berupa undang-undang negara maupun peraturan pemerintah, data juga diperoleh dari makalah-makalah, buku-buku referensi dan artikel media massa yang mengulas tentang pengaturan pemberian perlindungan saksi dalam Tindak Pidana Pencucian Uang di Indonesia dan Malaysia. 6. Teknik Pengumpulan Data Sehubungan dengan jenis penelitian yang merupakan penelitian nonnatif maka untuk memperoleh data yang mendukung, kegiatan pengumpulan data dalam penelitian ini adalah dengan cara pengumpulan (dokumentasi) data-data sekunder. Teknik pengumpulan data dilakukan dengan studi kepustakaan untuk mengumpulkan dan menyusun data yang berhubungan dengan masalah yang diteliti. 7. Teknik Analisis Data Analisis data merupakan langkah selanjutnya untuk mengolah hasil penelitian menjadi suatu laporan. Analisis data adalah proses pengorganisasian dan pengurutan data dalam pola, kategori dan uraian dasar, sehingga akan dapat ditemukan tema dan dapat dirumuskan hipotesis kerja seperti yang disarankan oleh data (Lexy J. Moleong, 1993 : 103). Teknik analis data dalam penelitian ini menggunakan analisis isi (content analysis). Menurut Krippendorf, analisis isi yaitu serangkaian metode untuk menganalisa isi segala bentuk komunikasi dengan mereduksi seluruh isi komunikasi menjadi serangkaian kategori yang mewakili hal-hal yang ingin diteliti. Mengenai kegiatan analisis isi dalam penelitian ini adalah mengklasifikasi pasal-pasal dokumen sampel ke dalam kategori yang tepat. Setelah analisis data selesai, maka hasilnya akan disajikan secara deskriptif yaitu dengan jalan menuturkan dan menggambarkan apa adanya sesuai dengan permasalahan yang diteliti dan data yang diperoleh. F. Sistematika Penulisan Hukum xxvi Untuk memberi gambaran secara menyeluruh mengenai sistematika penulisan hukum yang sesuai dengan aturan baru dalam penulisan hukum maka penulis menggunakan sistematika penulisan hukum. Adapun sistematika penulisan hukum ini terdiri dari empat bab yang tiap-tiap bab terbagi dalam sub-sub bagian yang dimaksudkan untuk memudahkan pemahaman terhadap keseluruhan hasil penelitian ini. Sistematika penulisan hukum tersebut adalah sebagai berikut : BAB I PENDAHULUAN Dalam bab ini diuraikan mengenai latar belakang masalah, perumusan masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian, metodologi penelitian dan sistematika penulisan hukum. BAB II TINJAUAN PUSTAKA Dalam bab ini berisi tentang tinjauan umum tentang perbandingan hukum yang mencakup istilah dan definisi perbandinagn hukum serta karakteristik sistem “Common Law” dan sistem “Civil Law”, perlindungan saksi yang mencakup perlindungan saksi dan lembaganya, serta tindak pidana pencucian uang (money laundering). BAB III HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN Dalam bab ini penulis akan membahas dan menjawab permasalahan yang telah ditentukan sebelumnya yaitu bagaimana perbandingan pengaturan pemberian perlindungan saksi dalam Undang-Undang Tindak Pidana Pencucian Uang di Negara Indonesia dan Malaysia dan bagaimanakah proyeksi ke depan pengaturan pemberian perlindungan saksi dalam perundang-undangan di Indonesia dari hasil yang di dapat dalam perbandingan tersebut. BAB IV PENUTUP Dalam bab ini berisi kesimpulan dari jawaban permasalahan yang menjadi obyek penelitian dan saran-saran DAFTAR PUSTAKA xxvii LAMPIRAN BAB II TINJAUAN PUSTAKA B. Kerangka Teori 1. Tinjauan Umum Tentang Perbandingan Hukum a). Istilah dan Definisi Perbandingan Hukum Istilah perbandingan hukum, dalam bahasa asing, diterjemahkan: comparative law (bahasa Inggris), vergleihende rechstlehre (bahasa Belanda), droit comparé (bahasa Perancis). Istilah ini, dalam pendidikan tinggi hukum di Amerika Serikat, sering diterjemahkan lain, yaitu sebagai conflict law atau dialihbahasakan, menjadi hukum perselisihan, yang artinya menjadi lain bagi pendidikan hukum di Indonesia. (Romli Atmasasmita, 2000 : 6) Istilah yang dipergunakan dalam penulisan hukum ini, adalah perbandingan hukum (pidana). Istilah ini sudah memasyarakat di kalangan teoritikus hukum di Indonesia, dan tampaknya sudah sejalan dengan istilah yang telah dipergunakan untuk hal yang sama di bidang hukum perdata, yaitu perbandingan hukum perdata. Untuk memperoleh bahan yang lebih lengkap, maka perlu dikemukakan definisi perbandingan hukum dari beberapa pakar hukum terkenal. Rudolf B. Schlesinger dalam Romli Atmasasmita mengatakan bahwa, perbandingan hukum merupakan metode penyelidikan dengan tujuan untuk memperoleh pengetahuan yang lebih dalam tentang bahan hukum tertentu. Perbandingan hukum bukanlah perangkat peraturan dan asas-asas hukum dan bukan suatu cabang hukum, xxviii melainkan merupakan teknik untuk menghadapi unsur hukum asing dari suatu masalah hukum. (Romli Atmasasmita, 2000 : 7) Gutteridge dalam Romli Atmasasmita menyatakan bahwa perbandingan hukum adalah suatu metode yaitu metode perbandingan yang dapat digunakan dalam semua cabang hukum. Gutteridge membedakan antara comparative law dan foreign law (hukum asing), pengertian istilah yang pertama untuk membandingkan dua sistem hukum atau lebih, sedangkan pengertian istilah yang kedua, adalah mempelajari hukum asing tanpa secara nyata membandingkannya dengan sistem hukum yang lain. (Winterton, dalam The Am.J.of Comp. L., 1975 : 72 di terjemahkan dalam buku Romli Atmasasmita, 2000 : 7) Lemaire dalam Romli Atmasasmita mengemukakan, perbandingan hukum sebagai cabang ilmu pengetahuan (yang juga mempergunakan metode perbandingan) mempunyai lingkup : (isi dari) kaidah-kaidah hukum, persamaan dan perbedaannya, sebab-sebabnya dan dasar-dasar kemasyarakatannya. (Romli Atmasasmita, 2000 : 9) Orucu dalam Romli Atmasasmita mengemukakan suatu definisi perbandingan hukum sebagai berikut : Comparative law is legal discipline aiming at ascertaining similarities and differences and finding out relationship between various legal sistems, their essence and style, looking at comparable legal institutions and concepts and typing to determine solutions to certain problems in these sistems with a definite goal in mind, such as law reform, unification etc. (Perbandingan hukum merupakan suatu disiplin ilmu hukum yang bertujuan menemukan persamaan dan perbedaan serta menemukan pula hubungan-hubungan erat antara berbagai system-sistem hukum; melihat perbandingan lembaga-lembaga hukum konsep-konsep serta mencoba menentukan suatu penyelesaian atas masalah-masalah tertentu dalam sistem-sistem hukum dimaksud dengan tujuan seperti pembaharuan hukum, unifikasi hukum dan lain-lain). (Romli Atmasasmita, 2000 : 10) Romli Atmasasmita yang berpendapat perbandingan hukum adalah ilmu pengetahuan yang mempelajari secara sistematis xxix hukum (pidana) dari dua atau lebih sistem hukum dengan mempergunakan metode perbandingan. (Romli Atmasasmita, 2000 : 12) b). Karakteristik Sistem “Common Law” (anglo saxon) dan sistem “Civil Law”(Eropa kontinental) Di sini penulis mengambil contoh Negara Inggris dan Belanda, dikarenakan Inggris merupakan penganut sistem Common Law yang murni, sendangkan Belanda merupakan negara yang menurunkan sistem hukum civil law yang digunakan di Indonesia. (1) Karakteristik sistem hukum Inggris pada umumnya, khususnya dalam hukum pidana dan acara pidana. Pertama. Sistem hukum Inggris (Common Law Sistem) bersumber pada : (a) Custom, merupakan sumber hukum yang tertua di inggris. Pada abad ke 14 Custom melahirkan “common law” dan kemudian digantikan dengan precedent. (b) Legislation; berarti undang-undang yang dibentuk melalui parleman dan disebut statutes. (c) Case-law, sebagai salah satu sumber hukum Inggris mempunyai karakteristik yang utama. Seluruh hukum kebiasaan yang berkembang dalam masyarakat tidak melalui Parlemen, akan tetapi dilakukan oleh para hakim, sehingga dikenal dengan istilah ”Judge-made law”. Setiap putusan hakim di inggris merupakan precedent bagi hakim yang akan datang, sehingga lahirlah doktrin Precedent sampai sekarang. xxx Kedua. Sebagai konsekwensi dipergunakannya case-law dengan doktrin precedent yang merupakan ciri utama maka sistem hukum Inggris tidak sepenuhnya menganut asas legalitas. Ketiga. Bertitik tolak dari doktrin precedent tersebut, maka kekuasaan hakim di dalam sistem hukum Common Law sangat luas dalam memberikan penafsiran terhadap suatu ketentuan yang tercantum dalam undang-undang. Bahkan hakim di Inggris diperbolehkan tidak sepenuhnya bertumpu pada ketentuan suatu undang-undang jika diyakini olehnya bahwa ketentuan tersebut tidak dapat diterapkan dalam kasus pidana yang sedang dihadapinya. Dalam hal demikian hakim dapat menjatuhkan putusannya sesuai dengan kebiasaankebiasaan atau melaksanakan asas precedent sepenuhnya. Dilihat dari segi kekuasaan hakim Inggris yang sangat luas dalam memberikan penafsiran tersebut, sehingga dapat membentuk hukum baru, maka nampaknya sistem hukum Common Law kurang memperhatikan kepastian hukum. Keempat. Ajaran Kesalahan dalam sistem hukum Common Law (Inggris) dikenal melalui doktrin Mens-Rea yang dilandaskan pada maxim: “Actus non est reus nisi mens sit rea”, yang berarti: “suatu perbutan tidak mengakibatkan seseorang bersalah kecuali jika pikiran orang itu jahat”. Ajaran Mens-Rea ini dalam sistem hukum Inggris dirumuskan berbeda-beda tergantung dari kwalifikasi delik yang dilakukan seseorang. Pada sistem hukum Common Law, doktrin Mens-Rea secara klasik diartikan setiap perkara pelanggaran hukum yang dilakukan adalah disebabkan karena pada diri orang itu sudah melekat sikap batin yang jahat (evil will), dan karenanya perbuatan tersebut dianggap merupakan dosa. Lord Denning, seorang hakim terkemuka di Inggris memberikan komentar atas doktrin Mens-Rea, dengan mengatakan: “In order that an act should be punishable it must be morally blame-worthy”. Sedangkan Jerome Hall, mengatakan bahwa Means-Rea adalah “a voluntary doing of morally wrong act forbidden by penal law”.(Roeslan Saleh,1982:23 sebagaimana telah dikutip oleh Romli Atmasasmita, 2000: 37) xxxi Kelima. Dalam sistem Common Law (Inggris) pertanggungjawaban pidana tergantung dari ada atau tidaknya: a) actus-reus dan b) mens-rea. Namun demikian unsur “mens-rea” ini adalah merupakan unsur yang mutlak dalam pertanggungjawaban pidana dan harus ada terlebih dulu pada perbuatan tersebut sebelum dilakukan penuntutan (Roeslan Saleh,1982:28). Keenam. Sistem hukum Inggris dan negara-negara yang menganut sistem Common Law tidak mengenal perbedaan antara Kejahatan dan Pelanggaran. Sistem Common Law membedakan tindak pidana (secara klasik) dalam: Kejahatan berat atau “felonies”, kejahatan ringan atau “misdemeanors” dan kejahatan terhadap negara atau “treason”. Setelah dikeluarkannya “Criminal Law Act” (1967) pembedaan sebagai berikut: (a) Indictable Offences, adalah kejahatan-kejahatan berat yang hanya dapat diadili dengan sistem Juri melalui pengadilan yang disebut Crown Court. (b) Summary Offences, adalah kejahatan-kejahatan kurang berat yang hanya dapat diadili oleh suatu pengadilan (magistrate court) tanpa dengan sistem Juri. (c) Arrestable Offence, adalah kejahatan-kejahatan yang diancam dengan hukuman di bawah 5 (lima) tahun kepada seorang pelaku kejahatan yang belum pernah melakukan kejahatan. Penangkapan terhadap pelaku tersebut dilakukan tanpa surat perintah penangkapan. Ketujuh. Sistem hukum acara pidana yang berlaku di negara-negara Common Law pada prinsipnya menganut “sistem Accusatoir” atau yang secara populer dikenal dengan sebutan “Advesary Sistem”. Sistem accusatoir atau Adversary sistem menempatkan tersangka dalam proses pemeriksaan pendahuluan dan pemeriksaan di muka sidang-sidang xxxii pengadilan sebagai subjek hukum yang memiliki hak (asasi) dan kepentingan yang harus dilindungi. Kedelapan. Sistem pemidanaan yang berlaku pada umumnya negara-negara yang menganut sistem Common Law adalah bersifat kumulatif. Sistem pemidanaan tersebut memungkinkan seseorang dituntut dan dijatuhi pidana karena melakukan lebih dari satu tindak pidana. Jika kesemua tuntutan tersebut terbukti di muka sidang pengadilan maka pelaku tindak pidana tersebut dijatuhi sekaligus semua ancaman hukuman yang dikenakan kepadanya. (2) Karakteristik Sistem Hukum Belanda pada umumnya, khususnya dalam hukum pidana dan acara pidana Pertama. Sistem hukum Belanda (Civil Law Sistem) bersumber pada : (a) Undang-Undang Dasar; (b) Undang-undang; (c) Kebiasaan case-law; (d) Doktrin Peraturan perundang-undangan yang mengatur hukum pidana umum adalah sebagai berikut : (a) Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (Penal Code atau Wetboek van Strafrecht). (b) Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (Code of Crime Procedure atau Wetboek van Strafvordering). (c) Undang-Undang tentang Susunan, organisasi, kekuasaan dan tugas-tugas Pengadilan dan Sistem Penuntutan (Judicial Act atau Wet op de Rechterlijke Organisatie). Kedua. Dari sistem hukum Belanda (Civil Law Sistem) adalah dianutnya asas legalitas atau “the principles of legality”. Asas ini mengandung makna sebagi berikut: xxxiii (a) Tiada suatu perbuatan merupakan suatu tindak pidana, kecuali telah ditentukan dalam undang-undang terlebih dahulu. Undang-undang dimaksud adalah hasil dari perundingan Pemerintah Parlemen. (b) Ketentuan undang-undang harus ditafsirkan secara harfiah dan pengadilan tidak diperkenankan memberikan suatu penafsiran analogis untuk menetapkan suatu perbuatan sebagai tindak pidana. (c) Ketentuan undang-undang tidak berlaku surut. (d) Menetapkan bahwa hanya pidana yang tercantum secara jelas dalam undang-undang yang boleh dijatuhkan. Dalam praktik penyelesaian perkara pidana di negeri belanda prinsip legalitas dan penafsiran yang diperbolehkan dari prinsip tersebut diserahkan sepenuhnya kepada para pelaksana / praktisi hukum, seperti, jaksa dan hakim. Mengingat penafsiran yang bersifat kaku terhadap ketentuan undang-undang menurut asas legalitas ini, maka peranan putusan Mahkamah Agung menjadi lebih penting. (Romli Atmasasmita, 2000 : 48) Ketiga. Dianutnya asas legalitas sebagaimana diuraikan dalam butir kedua diatas, sangat berpengaruh terhadap soal pertanggungjawaban pidana (criminal liability atau strafbaarheid). Syarat umum bagi adanya pertanggungjawaban pidana menurut hukum pidana Belanda adalah adanya gabungan antara perbuatan yang dilarang dan pelaku yang diancam dengan pidana. Perbuatan pelanggaran hukum dari pelaku harus memenuhi syarat sebagai berikut : (a) Bahwa perbuatan tersebut (berbuat atau tidak berbuat) dilakukan seseorang. (b) Diatur dalam ketentuan undang-undang termasuk lingkup definisi pelanggaran. (c) Bersifat melawan hukum. xxxiv Ketiga syarat bagi adanya suatu pertanggungjawaban pidana tersebut di atas sesungguhnya merupakan suatu konstruksi gabungan dari syarat-syarat adanya sifat pertanggungjawaban pidana dan kekecualian-kekecualian dari pertanggungjawaban pidana. Dalam soal pertanggungjawaban pidana sistem hukum pidana Belanda (Civil Law) menganut asas kesalahan pada perbuatannya (dodex-strafrecht). Keempat. Dianutnya asas legalitas dalam sistem hukum pidana Belanda mengakibatkan keterikatn hakim terhadap isi ketentuan undang-undang dalam menyelesaikan perkara pidana. Hakim tidak diperbolehkan memperluas penafsiran terhadap isi ketentuan undang-undang sedemikian rupa sehingga dapat membentuk delik-delik baru. Kelima. Sistem hukum pidana belanda mengenal pembedaan antara Kejahatan (Misdrijven) dan Pelanggaran (Overtredingen). Pembedaan antara kejahatan dan pelanggaran tersebut semula didasarkan atas pertimbangan tentang adanya pengertian istilah “rechtedelict” dan ”wetdelict”; namun perbedaan tersebut tidak dianut lagi dalam doktrin. Perbedaan kejahatan dan pelanggaran dewasa ini didasarkan atas ancaman hukumannya; kejahatan memperoleh ancaman hukum yang lebih berat dari pelanggaran. Keenam. Sistem peradilan yang dianut di semua negara yang berlandaskan “Civil Law Sistem” pada umumnya adalah sistem Inquisatoir. Sistem Inquisatoir menempatkan tersangka sebagai objek pemeriksaan baik pada tahap pemeriksaan pendahuluan maupun pada tahap pemeriksaan di muka sidang pengadilan. Ketujuh. Sistem pemidanaan yang dianut pada umumnya di negara-negara yang berlandaskan civil Law Sistem adalah sistem pemidanaan Alternatif dan Alternatif-kumulatif, dengan batas minimum dan maksimum ancaman pidana yang diperkenankan menurut Undang-Undang. xxxv Sesungguhnya apabila kita telusuri karakteristik yang melekat pada kedua sistem hukum sebagaimana telah diuraikan di atas, pendekatan dari segi historis, khususnya mengenai perkembangan hukum pidana di Eropa Continental yang menganut sistem “Civil Law” lebih menonjol dan lebih menampakkan dirinya keluar dari batas wilayah yuridiksi sistem “Common Law”. Perkembangan penerapan sistem “Civil Law” di negara dunia ketiga pada awalnya dipaksakan jika dibandingkan dengan penerapan penggunaan sistem “Common Law” di negara-negara bekas jajahan-jajahannya. Sebagai contoh penggunaan dan pemakaian sistem hukum Belanda di Indonesia dan sestem hukum Inggris dan Malaysia atau Singapura. Satu-satunya karakteristik yang sama antara kedua sistem hukum (legal sistem) tersebut adalah bahwa keduanya menganut falsafah dan doktrin liberalisme. (Romli Atmasasmita, 2000 :50) 2. Tinjauan Umum Tentang Saksi a. Pengertian Perlindungan Saksi Selain dalam peraturan perundang-undangan khusus, belum ada suatu aturan yang mengatur terhadap perlindungan saksi. Ketentuan Pasal 50 sampai dengan Pasal 68 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana hanya mengatur perlindungan terhadap tersangka atau terdakwa untuk mendapat perlindungan dari berbagai kemungkinan Namun, pelanggaran sekarang dengan hak asasi berdasar manusia. atas asas kesamaan di depan hukum (equality before the law) yang menjadi salah satu ciri negara hukum, saksi dan korban dalam proses peradilan pidana harus diberi jaminan perlindungan hukum, yang tertulis dalam Undang Undang Nomor 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban. xxxvi Hingga saat ini pengaturan mengenai saksi sebagai berikut: 1). KUHP (UU No.1 Tahun 1946) Sebagai produk hukum yang mengatur mengenai pidana materiil, di dalam KUHP tidak banyak ditemui pengaturan mengenai perlindungan terhadap saksi. Dalam hal ini hanya terdapat dua pasal yang mengatur mengenai kewajiban seorang saksi dalam proses persidangan pidana, yaitu: a). Pasal 234: Barang siapa yang dipanggil menurut undang-undang akan menjadi saksi, ahli atau juru bahasa, dengan sengaja tidak memenuhi suatu kewajiban yang sepanjang undang-undang harus dipenuhi dalma jabatan tersebut, dihukum: 1.dalam perkara pidana dengan hukuman penjara selama-lamanya sembilan bulan. 2.dalam perkara lain, dengan hukuman penjara selama-lamanya enam bulan. b). Pasal 522: Barang siapa dengan melawan hak tidak datang sesudah dipanggil menurut undang-undang untuk menjadi saksi, ahli atau juru bahasa, dihukum dengan denda paling banyak enam puluh rupiah. Dalam KUHP sama sekali tidak diatur hak-hak yang dimiliki oleh seorang saksi, sedangkan di lain sisi saksi tersebut dibebani kewajiban untuk memberikan kesaksiannya terhadap suatu tindak xxxvii pidana. Dengan kata lain, karena tidak diaturnya hak-hak saksi dalam KUHP dan yang diatur justru mengenai ketentuan-ketentuan yang mewajibkan seorang saksi untuk perundang-undangan, memenuhi hal ketentuan ini sebenarnya melemahkan posisi saksi itu sendiri. 2). KUHAP (UU No.8 Tahun 1981) a). Subyek yang Dilindungi KUHAP tidak secara jelas mengatur mengenai perlindungan saksi. Namun secara implisit sebagi subyek yang dilindungi dalam KUHAP adalah saksi, yang dalam hal ini mencakup saksi biasa, saksi korban dan saksi ahli. Yang dimaksud saksi menurut pasal 1 angka 26 KUHAP adalah “orang yang dapat memberikan keterangan guna kepentingan penyidikan, penuntutan dan peradialn tentang suatu perkara pidana yang ia dengar sendiri, ia lihat sendiri dan ia alami sendiri”. b). Hak dan Alternatif Perlakuan Bagi Saksi Secara implisit dapat kita temukan dalam beberapa pasal KUHAP yang mengatur bagaimana perlindungan hukum bagi saksi diberikan, antara lain : (1) Pasal 117 ayat (1) : Keterangan tersangka dan atau saksi kepada penyiudik diberikan xxxviii tanpa tekanan dari siapapun, dan atau dalam bentuk apapun. (2) Pasal 118 : keterangan tersangka dan atau saksi dicatat dalam berita acara ynag ditandatangani oleh penyidik, oleh yang memberikan keterangan itu setealh mereka menyetujui. (3) Pasal 166 : Pertanyaan yang bersifat menjerat tidak boleh dianjurkan kepada terdawa maupun kepada saksi. (4) Pasal 173 : Hakim ketua sidang dapat mendengar keterangna saksi mengenai hal tertentu tanpa hadirnya terdakwa, untuk itu ia minta terdakwa keluar dari sidang akan tetapi sesudah itu pemeriksaaan perkara tidak boleh diteruskan sebelum kepada terdakwa diberitahukan semua hal pad awaktu ia tidak hadir. Penjelasan Pasal 173: Apabila menurut pendapat hakim seorang saksi itu akan merasa tertekan atau tidak bebas dalam memberikan keterangan apabila terdakwa hadir di sidang, maka untuk menjaga hal nag tidak diinginkan hakim dapat menyuruh terdakwa keluar untuk sementara dari persidangan selama hakim mengajukan saksi. xxxix pertanyaan kepada (5) Pasal 177 (1) : jika terdakwa atau saksi tidak paham bahsa Indonesia, hakim ketua sidang menunjuk seorang bersumpah juru atau bahasa berjanji yang akan menterjemahkan dengan benar semua yang harus diterjemahkan (6) Pasal 178 (1) : Jika terdakwa atau saksi bisu atau tuli serta tidak dapat membaca dan menulis, hakim ketua sidang mengangkat penerjemah orang yang pandai bergaul dengan terdakwa atau saksi itu. (7) Pasal 178 (2) : Jika terdakwa atau saksi bisu atau tuli tetapi dapat menulis, hakim ketua sidang menyampaikan semua pertanyaan atau teguran kepadanay secara tertulis dan kepada terdakwa atau saksi tersebut diperintahkan untuk menulis jawabannay dan selanjutnya semua pertanyaan serta jawaban harus dibacakan. (8) Pasal 227 (1) : Semua jenis pemberitahuan atua pangilan oleh pihak yang berwenang dalam semua tingkat pemeriksaan kepada terdakwa, saksi atau selambat-lambatnya ahli tiga disampaikan hari sebelum tanggal hadir yang ditentukan di tempat tinggal mereka atau di tempat kediaman mereka terakhir. (9) Pasal 229 (1) : Saksi atau ahli ynag telah hadir memenuhi panggilan dalam rangka memberikan keterangan di semua tingkat pemeriksaan berhak mendapat penggantian xl biaya menurut aturan perundang-undangan yang berlaku. Adakalanya seorang saksi juga merupakan korban dalam suatu tindak pidana, sehingga selain hak-hak tersebut diatas, seorang saksi juga berhak meminta ganti kerugian. Kapasitas saksi dalam hal ini adalah sebagai saksi korban, yaitu seorang korban dari suatu tindak pidana yang juga melakukan kesaksian. Mengenai hal ini diatur dalam pasal 98 ayat (1), yaitu: “Jika suatu tindak pidana yang menjadi dasar dakwaan di dalam suatu pemeriksaan perkara pidana oleh pengadilan negeri menimbulkan kerugian bagi orang lain maka hakim ketua sidang atas permintaan orang itu dapat menetapkan untuk menggabungkan perkara gugatan kerugian kepada perkara pidana itu ”. Dalam penjelasan pasal 98 tersebut disebutkan bahwa “kerugian bagi orang lain” termasuk kerugian bagi korban. Maka jika seorang saksi juga sekaligus menjadi korban, di dapat meminta ganti kerugian dengan cara menggabungkan gugatan ganti kerugian kepada perkara pidana yang bersangkutan. Disamping Pasal 98 diatas, dapat juga dilihat pada Pasal 81 KUHAP mengenai praperadilan, yaitu: “Permintaan ganti kerugian dan atau rehabilitasi akibat tidak sahnya penangkapan atau penahanan xli atau akibat sahnya penghentian penyidikan atau penuntutan diajukan oleh tersangka atau pihak ketiga ynag berkepentingan kepada Ketua Penngadilan Negeri dengan menyebut alasannya”. Kapasitas saksi disini juga merupakan saksi korban, dalam hal ini seorang korban dapat merupakan pihak ketiga yang mempunyai kepentingan jika sebuah perkara dihentikan. c). Kewajiban Saksi Seorang saksi tidak hanya memiliki hak-hak saja, namun juga terdapat beberapa kewajiban seperti yang diatur dalam pasal 159 ayat (2), 161 dan 174 KUHAP sebagai berikut: (1) Pasal 159 ayat (2): “Dalam hal saksi tidak hadir, meskipun telah dipanggil dengan sah dan hakim ketua sidang mempunyai cukup alasan untuk menyangka bahwa saksi itu tidak mau akan hadir, maka hakim ketua sidang dapat memerintahkan supaya saksi tersebut dihadapkan ke persidangan”. (2) Pasal 161 ayat (1): “Dalam hal saksi atau ahli tanpa alasan yang sah menolak untuk bersumpah atua berjanji sebgaiman adimaksud dalma pasal 160 ayat (3) dan (4), maka pemeriksaan terhadapnya tetap ia dengan surat sidang dapat dilakukan, sedang penetapan hakim ketua dikenakan sandera di tempat tahanan negara paling lama empat belas hari”. xlii (3) Pasal 174 ayat (2): “Apabila saksi tetap pada keterangannya itu, hakim ketua sidang karena jabatannya atau perminaan jaksa penuntut umum atau terdakwa dapat memberi perintah supaya saksi itu ditahan untuk selanjutnya dituntut perkara dengan dakwaan sumpah palsu”. 3). UU No.13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban. Menurut ketentuan Pasal 1 Ketentuan Umum Undang- Undang Nomor 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban, perlindungan adalah segala upaya pemenuhan hak dan pemberian bantuan untuk memberikan rasa aman kepada Saksi dan/atau Korban yang wajib dilaksanakan oleh Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) atau lembaga lainnya sesuai dengan ketentuan Undang-Undang ini. Perlindungan kepada Saksi dan Korban diberikan dalam semua tahap proses peradilan pidana dalam lingkungan peradilan, dari awal penyelidikan sampai penyelidikan itu berakhir sesuai dengan ketentuan sebagaimana diatur dalam undangundang ini. Hak saksi diatur dalam ketentuan pasal 5 yaitu: (1) memperoleh perlindungan atas keamanan pribadi, keluarga, dan harta bendanya, serta bebas dari ancaman yang berkenaan dengan xliii kesaksian yang akan, sedang atau telah diberikannya; yang diberikan dalam kasuskasus tertentu sesuai dengan keputusan LPSK. (2) ikut serta menentukan dalam proses bentuk memilih perlindungan dan dan dukungan keamanan; (3) memberikan keterangan tanpa tekanan; (4) mendapat penerjemah; (5) bebas dari pertanyaan yang menjerat; (6) mendapatkan informasi mengenai perkembangan kasus; (7) mendapatkan informasi mengenai putusan pengadilan; (8) mengetahui dalam hal terpidana dibebaskan; (9) mendapat identitas baru; (10) mendapatkan tempat kediaman baru; (11) memperoleh penggantian biaya transportasi sesuai dengan kebutuhan; (12) mendapat nasihat hukum; dan/atau (13) memperoleh bantuan biaya hidup sementara sampai batas waktu perlindungan berakhir. b. Lembaga Perlindungan Saksi Pengaturan mengenai Lembaga perlindungan saksi telah diatur dalam Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban, yaitu pada ketentuan BAB III Pasal 11 s.d. Pasal 27. Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban, yang selanjutnya disingkat LPSK, adalah lembaga yang xliv bertugas dan berwenang untuk memberikan perlindungan dan hak-hak lain kepada Saksi dan/atau Korban sebagaimana diatur dalam Undang-Undang ini. Sampai sekarang pembentukan LPSK terlihat sangatlah lambat dan baru mencapai tahap seleksi calon anggota LPSK. 3. Tinjauan Umum Tentang Tindak Pidana Pencucian Uang a. Pengertian Pencucian Uang Sebenarnya tidak ada definisi yang universal dan komprehensif mengenai pencucian uang. Pihak penuntut dan lembaga penyidik kejahatan, kalangan perusahaan dan pengusaha, negara maju ataupun berkembang, atau negara negara dunia ketiga masing masing mempunyai definisi atau pengertian tersendiri berdasarkan pemikiran, prioritas, dan perspektif yang berbeda. Definisi untuk tujuan penuntutan lebih sempit dibandingkan dengan definisi untuk tujuan penyidikan. Dalam hal ini, a). Welling dalam Sutan Remy Sjahdeini mengemukakan bahwa, Money laundering is the process by which one conceals the existence, illegal source, or illegal application of income, and than disguises that income to make it appear legitimate (Pencucian Uang adalah suatu proses di mana. seseorang menyembunyikan keberadaan dari sumber yang tidak sah, atau mengubah uang yang tidak sah tersebut dengan menjadikannya seolah-olah uang tersebut berasal dari pendapatan yang sah). (Sutan Remy Sjahdeini, 2004: 2) xlv b). Fraser dalam Sutan Remy Sjahdeini mengemukakan bahwa, Money Laundering is quite simply the process through which dirty money (proceed of crime), is washed through dean or legitimate sources and interprices so that the bad guys may more safety enjoy their ill'golten gains (Pencucian Uang adalah suatu proses di mana seseorang menyembunyikan atau menyimpan uang yang kotor (berasal dari kejahatan) kemudian dicuci menjadi bersih, atau dalam hal ini menjadikan atau merubah sumber yang tidak sah menjadi bersih atau sah, sehingga mereka bisa menikmati keuntungan yang mereka peroleh dari itu). (Sutan Remy Sjahdeini, 2004: 2) c). Dalam Statement on prevention of criminals use of the banking sistem for the purpose of money laundering yang dikeluarkan oleh Bassle Committee dalam Sutan Remy Sjahdeini, tidak memberikan definisi akan tetapi menjelaskan mengenai apa yang dimaksud dengan pencucian uang dengan memberikan contoh perbuatan yang tergolong pencucian uang. Dikemukakan dalam statement Criminal and their associates use the financial sistem to make payment and transfer of funds from one account to another, to hide the source and beneficial ownership of money and to provide storage for bank notes through a safe deposite facility. This activities are commenly reffered to as money laundering (Para pelaku kejahatan pencucian uang beserta kelompoknya menggunakan sistem keuangan untuk memindahkan atau melakukan transaksi uang dari satu pihak kepada pihak lainnya, guna menyembunvikan sumber ataupun kepemilikan xlvi uang tersebut menggunakan fasilitas deposito, aktivitas tersebutlah yang dinamakan sebagai kegiatan pencucian uang). (Sutan Remy Sjahdeini, 2004: 4) d). Departemen Kehakiman Kanada dalam Sutan Remy Sjahdeini menyatakan Money laundering is the conversion of transfer of property knowing that such property is derived from criminal activity for the purpose of concealing the illicit nature and origin of the property from govemment authorities (Pencucian Uang merupakan suatu kegiatan berupa upaya perpindahan ataupun perputaran uang atau harta di mana diketahui harta tersebut diperoleh dari tindak kejahatan, baik dengan cara merahasiakan sumber asal usul uang tersebut oleh pejabat negara). (Sutan Remy Sjahdeini, 2004: 4) e). Sedangkan Konvensi Perserikatan Bangsa bangsa, The United Nation Convention Against Illicit Trafic in Narcotics, Drugs, and Psychotropic Substances of 1988 yang kemudian diratifikasi di Indonesia dengan UU No.7 Tahun 1997, mengartikan tindak pidana pencucian uang sebagai The convention or transfer of property, knowing that such property is derived from any serious offence or offences, or from act of perticipation in such offence or offences, for the purpose of concealing or disguising the illicit of the property or of assisting any person who is involved in the commission of such and offence or offences to evade the legal consequences of his action, or the concealment or disguise of the true neture, source, location, xlvii disposition, movement, right with respect to or ownership of property, knowing that such property is derived from a serious (indictable) offence or offences or from an act of participation in such an offence or offences (Pencucian Uang adalah suatu proses penyerahan maupun perpindahan harta kekayaan, di mana kekayaan tersebut diketahui bahwa harta didapatkan dari tindak kejahatan atau dalam hal ini diperoleh dari keikutsertaan dalam tindak kejahatan tersebut, dengan tujuan untuk menyembunyikan baik merahasiakan sumber atau ataupun pihak pihak yang terlibat dari adanya konsekuensi atas undang undang atas tindakannya itu, maupun dengan cara penyamaran dari sumber aslinya, asal usul, dengan penempatan, pergerakan yang berkenaan dengan dengan diketahui harta kekayaan sebelumnya tersebut, bahwa harta kekayaan tersebut diperoleh dari tindak kejahatan, maupun keikutsertaan dalam tindak kejahatan tersebut). f). Financial Action Task Force on Money Laundering atau FATF yang dibentuk oleh G 7 Summit di Paris tahun 1982 mengenai juga tidak pencucian memberikan uang, akan definisi tetapi memberikan uraian mengenai pencucian uang sebagai : The goal of the large number of criminal act is to generate ofprofilfor the individual or group that carries out the act. Money Laundering is the processing. of this criminals proceeds to disguise xlviii their illegal origin. This process is of critical importance, as it enables that criminals to enjoy this profits whitout the joepardissing their course. Illegal arm sales, smugling, and the activities of organized crime induding for example drug traficking and prostitution rings can generate huge sums. Embezlement, insider trading, bribery, and computer fraud schems can also produce large profits and create the intensive to legitimise the ill'gotten through money laundering (Pencucian Uang adalah suatu proses yang merupakan perbuatan atau aktivitas menyembunyikan atau merahasiakan, sebagian atau besar menyimpan tindak hasil kejahatan, dari dengan menyembunyikan sumber ataupun asal usul uang kotor atau tidak sah, adanya perdagangan gelap, penyelundupan, ataupun tindak kejahatan terorganisasi lainnya seperti halnya penjualan dan peredaran narkoba, jaringan prostitusi, sehingga memang dapat menghasilkan sejumlah uang yang sangat besar dari kegiatan tersebut). g). Sutan Remy Sjahdeini mengemukakan bahwa, When a criminals activity generate substancial profits, the individuals or groups involved must find away to control the fund whitout attracting attention to the underlaying activity or the persons involved Criminals do this by disguising the source, changing the form, or moving the funds to a place where they are les fikely to attract attention (Ketika aktivitas ataupun tindak kejahatan tersebut menghasilkan sebuah keuntungan, baik secara individu maupun kolektif terlibat ternyata keberadaannya tidak dapat terdeteksi. Tindak xlix kejahatan pencucian uang dapat dilakukan dengan berbagai macam metode antara lain dengan menyembunyikan sumber, merubah format, maupun dengan cara memutar dana atau uang kotor tersebut dari suatu tempat ke tempat yang lain sehingga tidak dapat terdeteksi). (Sutan Remy Sjahdeini, 2004: 3) Black’s h). Menurut Law Dictionary, Money Laundering is term used to describe invesement or other transfer of money flowing from racketeering, drug transaction and other illegal sources into legitimate channels so that its originals source can not be traced (Pencucian Uang adalah istilah yang digunakan dalam menjelaskan aktivitas, dalam hal menguraikan atau memindahkan asal usul yang tidak sah menjadi seolah olah sah, sehingga sumber asalnya tidak dapat diusut ataupun dideteksi). i). Hal demikian berbeda dengan Undang undang Pencucian Uang Malaysia atau Anti Money Laundering Act of 2001, yang menyebutkan bahwa money laundering means the act of a person who : (1) engages, directly or indirectly, in a transaction that involves proceeds of any unlawful activity; (2) acquires, receives, possesses, disguises, transfers, converts, exchanges, carries, disposes, uses, removes from or brings into Malaysia proceeds of any unlawful activity; or (3) conceals, disguises or impedes the establishment of the true nature, origin, location, movement, disposition, title of, rights with respect to, or ownership of, proceeds of any unlawful activity; l (Pencucian Uang adalah perbuatan seseorang yang : (1) melakukan/terlibat (langsung/tidak) dalam suatu transaksi harta kekayaan yang berasal dari perbutan melawan hukum (2) Memperoleh, menerima, memiliki, menyemnyikan, mentransfer, mengubah, menukar, membawa, menyimpan, menggunakan, memindahkan dari atau membawa ke Malaysia, harta kekayaan yang berasal dari perbuatan yang melawan hukum (3) Menyembunyikan, menyamarkan atau merintangi penentuan asal usul, tempat, penyaluran, penempatan, hak-hak yang terkait dengan atau kepemilikan dari harta kekayaan yang berasal dari perbuatan yang melawan hukum). j). Kemudian dalam Pasal 1 Undang Undang No. 25 Tahun 2003 tentang Perubahan Atas Undang Undang No. 15 Tahun 2002 tentang Tindak Pidana Pencucian Uang, definisi pencucian uang adalah perbuatan menempatkan, membayarkan, membelanjakan, mentransfer, menghibahkan, menyumbangkan, menitipkan, membawa keluar negeri, atau perbuatan lainnya atas harta kekayaan yang diketahuinya atau patut diduga merupakan hasil tindak pidana dengan maksud untuk menyembunyikan, mengaburkan, atau menyamarkan asal usul harta kekayaan sehingga seolah olah menjadi harta kekayaan yang sah. k). Menurut Johnny Ibrahim, money laundering adalah suatu proses untuk melegitimasi sejumlah uang yang diperoleh dari sumber-sumber yang tidak sah. Dengan kata lain adalah suatu proses perubahan uang tunai yang li diperoleh dari hasil kegiatan yang tidak sah menjadi suatu bentuk atau sarana yang dapat digunakan dalam perdagangan ketika asal usul dana tersebut tidak lagi diketahui. Agar asalusulnya tidak mudah dilacak, uang hasil kejahatan tersebut dicuci antara lain melalui perbankan sehingga uang tersebut menjadi halal. (Johnny Ibrahim, 2005: 388) Sehingga dari beberapa definisi tersebut di atas bahwa yang dimaksud sebagai pencucian uang dapat disimpulkan sebagai berikut: Pencucian uang adalah rangkaian kegiatan yang merupakan proses yang dilakukan oleh seseorang atau organisasi terhadap uang yang berasal dari kegiatan dengan maksud untuk menyembunyikan atau menyamarkan asal-usul uang tersebut dari pemerintah atau otoritas yang berwenang melakukan penindakan terhadap tindak pidana dengan cara memasukkan uang tersebut kedalam sistem keuangan sehingga uang tersebut kemudian dapat dikeluarkan dari sistem keuangan itu sebagai uang yang halal.(N.H.T Siahaan, 2005: 6-7) b. Tahap-tahap Tindak Pidana Pencucian Uang Sebenamya tidak mudah untuk membuktikan adanya suatu tindakan pencucian uang yang sangat kompleks, namun para pakar telah berhasil menggolongkan proses pencucian uang menjadi tiga tahap, yaitu: 1) Placement, yakni dengan mengubah uang tunai hasil kejahatan menjadi aset yang legal, dimana ini merupakan suatu tahapan atau proses menempatkan uang hasil kejahatan kedalam sistem keuangan. Dalam tahapan ini perbuatan yang dilakukan berupa pergerakan fisik dari uang tunai dengan lii maksud untuk mengaburkan atau memisahkan sejauh mungkin uang hasil kejahatan dari sumber perolehannya. 2) Layering, yaitu suatu proses yang dilakukan para pelaku kejahatan setelah uang hasil kejahatan itu masuk kedalam sistem keuangan (bank) dengan cara melakukan transaksi lebih lanjut dengan maksud untuk menutupi asal usul uang. Proses ini juga dapat berupa penggunaan uang baik di dalam negeri ataupun di negeri manapun di luar negeri melalui electronic funds transfer. 3) Integration, yakni pelaku menggunakan uang hasil kejahatan tersebut untuk kegiatan ekonomi yang sah karena merasa aman bahwa kegiatan yang dilakukannya seolah tanpa berhubungan dengan aktivitas ilegal sebelumnya. C. Kerangka Pemikiran Berdasarkan proposisi-proposisi yang disusun dalam kerangka teoritik tinjauan pustaka diatas, dalam hubungannya dengan masalah pokok yang dikaji dalam penelitian ini, dapat disusun bagan kerangka pikir sebagai liii Kejahatan (crime) Kejahatan kerah putih Kemajuan Iptek (white Collar Crime) Transnasional crimes Tindak Pidana Pencucian Uang (Money Laundering) Upaya pencegahan Pelaksanaan UU Tindak Pidana Pencucian Uang Pengaturan Perlindungan Saksi Civil Law (Indonesia) UU No.15 Th. 2002 sebagaimana dirubah dengan UU No.25 Th.2003 tentang Tindak Pidana Pencucian Uang Common Law (Malaysia) UU No. 13 Th. 2006 Perlindungan Saksi dan Korban Anti Money Laundering Act 613, 2001 Gambar kerangka pemikiran liv Perkembangan pesat berbagai bidang yaitu antara lain kemajuan teknologi, komunikasi, informatika, transportasi, membawa pengaruh terhadap perkembangan di berbagai sektor, serta salah satu yang turut berkembang pesat adalah kriminalitas hukum, namun perangkat hukum untuk mencegah dan memberantas kriminalitas itu sendiri belum memadai dan masih tertinggal jauh, sehingga berbagai jenis kejahatan dengan mudah terjadi dan menghasilkan harta kekayaan dalam jumlah besar. Kejahatan-kejahatan tersebut tidak hanya dilakukan dalam batas wilayah suatu negara, namun meluas melintasi batas wilayah negara lain sehingga sering disebut sebagai kejahatan transnasional (transnational crime), dalam kejahatan transnasional harta kekayaan hasil dari kejahatan biasanya oleh pelaku disembunyikan, kemudian dikeluarkan lagi seolaholah dari hasil legal. Hal tersebut lebih dikenal dalam dunia internasional dengan istilah pencucian uang atau money laundering. Metode-metode pencucian uang yang dilakukan dengan memanfaatkan perkembangan teknologi termasuk tindak kejahatan kerah putih atau disebut White collar crime. Bentuk kejahatan kerah putih telah dirasakan semakin canggih serta sangat terorganisasi dengan sangat rapi. Sebagai contoh dalam dunia ekonomi dan perbankan justru digunakan sebagai sebagai pelarian kejahatan yang dengan sengaja ditujukan untuk menghilangkan jejak ataupun asal-usul harta yang dilarikan dan seakan-akan didapat dari hasil yang legal, yang salah satunya dengan metode pencucian uang. Mengingat pencucian uang juga merupakan kejahatan transnasional yang modusnya banyak dilakukan melintasi batas-batas negara (cross border), maka dampak yang ditimbulkan dapat pula berakibat negatif pada stabilitas sistem keuangan dan perekonomian dunia secara keseluruhan. Di sisi lain, oleh karena pencucian uang berkaitan dengan kejahatan asal (predicate crime) yang dilakukan oleh organized crime, maka berkembang pencucian uang ini akan sangat mempengaruhi tumbuh dan berkembangnya berbagai tindak pidana pemicu pencucian uang seperti korupsi, perdagangan lv gelap narkotika, penyelundupan, dan illegal logging serta upaya untuk memeranginya. Pentingnya implementasi Undang-Undang No. 15 Tahun 2002 sebagaimana diubah dengan Undang-Undang No. 25 Tahun 2003 tentang Tindak Pidana Pencucian Uang bertujuan agar berbagai predicate crime yang merupakan sumber uang haram yang dicuci dalam proses pencucian uang ikut dapat diberantas atau dikurangi. Pengkriminalisasian pencucian uang merupakan upaya Indonesia untuk membangun rezim anti-pencucian uang yang efektif. paradigma, Adanya yaitu UU tidak TPPU lagi hanya terjadi perubahan mengejar pelaku kriminalnya tetapi juga uang hasil kejahatan tersebut, dengan demikian diharapkan dapat menurunkan tingkat kriminalitas. Di dalam Undang-Undang No.25 Tahun 2003 di Indonesia juga diatur mengenai perlindungan saksi khusus pada tindak pidana pencucian uang. Hal itu kemudian diatur lagi dalam aturan pelaksanaan, yaitu PP No. 57 Tahun 2003 tentang Tata Cara Perlindungan Khusus bagi Pelapor dan Saksi Tindak Pidana Pencucian Uang. Payung Hukum perlindungan saksi baru diatur dalam Undang Undang Nomor 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban. Masalah perlindungan saksi dalam pemeriksaan perkara pidana mengenai kasus pencucian uang merupakan salah satu kunci agar pengungkapan kasus dapat berjalan sebaik-baiknya. Untuk mengkaji masalah tersebut, diperlukan bahan perbandingan yang cukup dari Undang-Undang Tindak Pidana Pencucian Uang dan undang-undang terkait lainnya dari negara yang berbeda sistem hukum dengan Indonesia, yaitu negara yang menganut sistem “Common Law (Anglo Saxon)” dalam penelitian ini penulis menggunakan Negara Malaysia sebagai perbandingan. lvi BAB III HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN A. Perbandingan Tentang Pengaturan Pemberian Perlindungan Saksi dalam Undang-Undang Tindak Pidana Pencucian Uang di Negara Indonesia dan Malaysia Telah sangat dikenal bahwa pencucian uang (money laundering) yang merupakan white collar crime adalah perbuatan memindahkan, menggunakan atu melakukan perbuatan lainnya atas hasil dari suatu tindak pidana yang kerap dilakukan oleh organized crime, maupun individu yang melakukan tindakan korupsi, perdagangan narkotika, dan tindak pidana lainnya dengan tujuan menyembunyikan atau mengaburkan asal-usul uang yang berasal dari tindak pidana tersebut, sehingga dapat digunakan seolah-olah sebagai uang yang sah tanpa terdeteksi bahwa aset tersebut berasal dari kejahatan yang ilegal. Adapun yang melatarbelakangi para pelaku pencucian uang melakukan aksinya adalah dengan maksud memindahkan atau menjauhkan para pelaku itu dari kejahatan yang menghasilkan proceeds of crime dari kejahatan ynag dilakukan, menikmati hasil kejahatan tanpa adanya kecurigaan kepada pelakunya, serta melakukan reinvestasi hasil kejahatan untuk aksi kejahatan selanjutnya atau ke dalam bisnis yang sah. Dampak yang ditimbulkan oleh money laundering dapat mengganggu sistem keuangan serta berdampak negatif terhadap sistem perekonomian suatu negara. Pada akhirnya pencucian uang akan berdampak luas pada sistem sosial bahkan dapat mengganggu stabilitas suatu negara. Mengingat money laundering juga merupakan kejahatan transnasional (transnational crime) yang modusnya banyak dilakukan melintasi batas-batas negara (cross border), maka dampak yang ditimbulkan dapat pula berakibat negatif pada stabilitas sistem keuangan dan perekonomian dunia secara keseluruhan. Di sisi lain, oleh karena pencucian uang berkaitan dengan kejahatan asal lvii (predicate crime) yang dilakukan oleh organized crime, maka berkembang pencucian uang ini akan sangat mempengaruhi tumbuh dan berkembangnya berbagai tindak pidana pemicu money laundering seperti korupsi, perdagangan gelap narkotika, penyelundupan, dan illegal logging serta upaya untuk memeranginya. Money laundering merupakan sarana bagi pelaku kejahatan untuk melegalkan uang hasil kejahatan dalam rangka menghilangkan jejak. Selain itu jumlah uang yang dicuci sangatlah besar, yang artinya hasil kejahatan tersebut telah mempengaruhi neraca keuangan nasional maupun global dan menimbulkan kerugian yang sangat besar. Bahaya selanjutnya dari money laundering membuat para pelaku kejahatan terutama organized crime mengembangkan jaringan dengan uang yang telah dicuci tersebut. Selain itu membuat para pelaku kejahatan seperti korupsi, narkotika, kejahatan perbankan mudah untuk menggunakannya dan dengan demikian kejahatankejahatan tersbut akan semakin marak. Pada akhirnya bahaya dan kerugian secara nasional maupun internasional akan semakin meningkat manakala para pelaku menggunakan cara-cara yang sangat canggih dengan memanfaatkan sarana perbankan yang juga menggunakan teknologi tinggi. Dalam proses pemeriksaan perkara pidana mengenai kasus pencucian uang (money laundering), saksi adalah salah satu kunci untuk peroleh kebenaran materiil, yang merupakan kebenaran yang benar-benar terjadi. Dalam Pasal 184 s.d. 185 KUHAP secara tegas menggambarkan hal tersebut. Pasal 185 ayat (2) menyatakan, “Keterangan seorang saksi saja tidak cukup untuk membuktikan bahwa terdakwa bersalah terhadap perbuatan yang didakwakan kepadanya”. Sedangkan pada Pasal 185 ayat (3) berbunyi “ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) tidak berlaku apabila disertai alat bukti yang sah lainnya.” Hal ini dapat diartikan bahwa keterangan dari satu orang saksi saja tanpa disertai alat bukti yang lain, belum cukup untuk dapat membuktikan apakah seseorang terdakwa bersalah atau tidak. Bahwa salah satu alat bukti yang sah dalam proses peradilan pidana adalah keterangan saksi yang mendengar, melihat, atau mengalami sendiri terjadinya suatu tindak pidana dalam upaya mencari dan menemukan kejelasan tentang lviii tindak pidana yang dilakukan oleh pelaku tindak pidana. Secara teori, Pasal 184 s.d. 185 KUHAP secara tegas mengambarkan hal tersebut. Pasal 184 menempatkan keterangan saksi di urutan pertama di atas alat bukti lain berupa keterangan ahli, surat, petunjuk, dan keterangan terdakwa. Dapat dikatakan bahwa keberhasilan suatu proses peradilan pidana sangatlah tergantung pada alat bukti yang berhasil dimunculkan dalam pengadilan, yang terutama berkenaan dengan saksi. Dari kasus yang banyak terlihat, tidak sedikit kasus yang kandas di tengah jalan oleh karena ketiadaan saksi untuk menopang tugas jaksa. Dengan demikian keberadaan saksi merupakan suatu elemen ynag sangat menentukan dalam sutu proses peradilan pidana. Namun demikian ternyata peran saksi dalam proses peradilan pidana masih jauh dari perhatian masyarakat dan penegak hukum. Sudah cukup sering media massa memberitahukan adanya kasus-kasus yang tidak terungkap dan juga tidak terselesaikan, oleh karena keengganan saksi untuk memberikan informasi kepada pihak yang berwenang. Bahkan sampai saat ini posisi saksi (termasuk saksi korban) dalam proses peradilan di Indonesia hanyalah dipandang sebagai alat yang dapat memperkuat posisi jaksa dalam persidangan. Mereka hanya digunakan untuk melegitimasi keputusan hakim dari keseluruhan rangkaian proses beracara di persidangan. Saksi belum dilihat sebagia manusia yang memerlukan perlindungan, akan tetapi justru dieksploitasi untuk mendukung suatu keputusan yang dikatakan “adil”. Mencermati kondisi yang tampak belum berkesuaian diatas, kita sebenarnya sudah dapat menangkap suatu alur pikir bahwa untuk menciptakan suatu kesaksian yang berkualitas hanya akan dapat diperoleh jika ancamanancaman baik yang bersifat fisik maupun psikis terhadap saksi (saksi pelapor, saksi biasa, saksi ahli), kerugian-kerugian materiil dan berbagai masalah lain yang menjadi kendala, dapat dihilangkan. Salah satu cara yang dapat diberlakukan adalah dengan memberikan perlindungan kepada saksi (Bambang Santoso, 2003), khususnya dalam hal ini adalah saksi yang berkaitan dengan perkara money laundering. Di Indonesia akhir-akhir ini memang telah dibuat payung hukum yang memberikan perlindungan kepada seorang saksi dan korban, yaitu dalam Undang-Undang No. 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban. Namun sebelum Undang-Undang No. 13 Tahun 2006 disyahkan, berkaitan dengan adanya perlindungan saksi khususnya dalam tindak pidana pencucian uang telah diatur terlebih dahulu dalam Undang-Undang No. 15 Tahun 2002 sebagaimana diubah dengan Undang-Undang No. 25 Tahun 2003 tentang Tindak Pidana Pencucian Uang. Pengaturan selanjutnya diatur pada Peraturan Pemerintah No. 57 Tahun 2003 tentang Tata Cara Perlindungan Khusus bagi Pelapor dan Saksi Tindak Pidana lix Pencucian Uang. Di dalam penanganan beberapa kasus yang telah berjalan, peraturan pemerintah ini telah dijalankan oleh instansi terkait, yakni dengan merahasiakan identitas pelapor dengan membuat berita acara penyamaran sehingga jati diri pelapor tidak diketahui oleh pihak yang dilaporkan atau kuasa hukumnya. Berdasarkan apa yang telah diuraikan di atas jelaslah bahwa masalah perlindungan saksi dalam pemeriksaan perkara pidana mengenai kasus pencucian uang (money laundering) merupakan salah satu kunci agar pengungkapan kasus dapat berjalan sebaik-baiknya. Anggapan yang salah mengenai saksi sudah selayaknya diakhiri, dan guna memperoleh suatu gambaran yang menyeluruh mengenai perlindungan saksi dalam pencucian uang, langkah praktis yang dapat ditempuh adalah belajar dari negara-negara lain. Dalam subbab ini akan dibahas mengenai perbandingan hal-hal pokok yang menjadi isi ketentuan pemberian perlindungan hukum bagi saksi dalam undang-undang pencucian uang di Indonesia dan di negara yang berbeda sistem hukum dengan Indonesia, yaitu negara yang menganut sistem “Common Law (Anglo Saxon)” yang dalam penelitian ini mengambil perbandingan dengan Negara Malaysia. Berikut ini akan dibahas mengenai perbandingan pengaturan pemberian perlindungan saksi dalam peraturan perundangan pencucian uang di Indonesia dan Malaysia. 1. INDONESIA Perkembangan masalah pencucian uang (money laundering) saat ini dirasa telah begitu cepatnya, apalagi jika dikaitkan dengan besarnya dana yang ditransaksikan. Praktek money laundering dari hasil kejahatan diusahakan untuk diproses melalui kegiatan bisnis normal sehingga akan dapat memasuki (diterima) oleh pasar yang sah, sistem dan/atau aktivitas perkonomian yang wajar. Money laundering dianggap dapat memberikan dampak negatif bagi sebagian besar masyarakat di belahan bumi ini. Perang terhadap praktek money laundering merupakan suatu agenda utama para petinggi dan pembuat kebijakan: berbagai organisasi internasional menempatkan masalah money laundering sebagai agenda yang perlu mendapat prioritas utama penanganannya, agenda pembangunan perangkat hukum dan upaya lx lain dalam pencegahan dan penjatuhan hukuman kepada pelaku money laundering terus diupayakan baik secara nasional, regional dan internasional. Pada dekade terakhir ini langkah-langkah pemberantasan praktek money laundering mengalami kemajuan yang cukup signifikan, namun demikian money laundering merupakan “sasaran yang terus bergerak”; para pelaku mengembangkan teknik-teknik baru, seperti cyber laundering, pengembangan penggunaan jalur pencucian melalui nonlembaga keuangan, memasuki segmen-segmen baru seperti bisnis real estate, bursa saham dan barang-barang seni bernilai tinggi. Masalah money laundering sepertinya belum menjadi masalah yang dianggap serius di Indonesia. Bisa jadi ada kepentingan-kepentingan pihak tertentu yang berusaha agar masalah ini tetap berada dibawah permukaan sehingga walaupun sering terjadi dan mungkin sudah sampai tahap sangat serius tetap tidak terungkap dan tetap dapat berjalan wajar. Di Indonesia money laundering sendiri memang relatif baru, walaupun isu ini sudah bergulir lama di dunia internasional. Indonesia baru mengkriminalisasikan money laundering ketika di masukkan ke dalam daftar negara non-cooperatif dengan pencucian uang (NCCTc) oleh FATF pada 2001. Dari beberapa kelemahan yang dinilai FATF pada Indonesia sebagai negara yang tidak mau bekerjasama dalam upaya global memerangi kejahatan money laundering, ketiadaan peraturan perundang-undangan yang persoalan mengkriminalisasi pencucian uang merupakan kelemahan yang paling mendasar, karena dengan demikian perbuatan menyembunyikan atau mengaburkan hasil kejahatan masih dianggap sebagai perbuatan yang sah menurut sistem hukum Indonesia. Sebenarnya pada Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1997, Indonesia telah meratifikasi United Nations Convention Against Illicit Traffic in Narcotic drugs and Psychotropic Subtances 1988 pada tahun 1997. Konvensi yang dikenal sebagai Konvensi Wina tahun 1988 itu secara tegas meyatakan bahwa hasil kejahatan perdagangan gelap lxi narkotika sebagai money laundering dan memerintahkan setiap negra untuk meratifikasi konvensi ini sekaligus menetapkan langkah-langkah pencegahan dan pemberantasannya. Namun sebenarnya, wacana penyusunan peraturan perundangundangan yang mengatur masalah money laundering sesungguhnya telah lama ada sejak disusunnya rancangan KUHP. Rancangan KUHP yang pembahasannya terkatung-katung sejak lebih dari lima belas tahun lalu, dalam Pasal 610 dan 611 pada RUU KUHP yang pertama kali diajukan oleh pemerintah tahun 1991, telah mengakomodir masalah money laundering ini dengan memuat unsur-unsur tindak pidana pencucian uang (money laundering). Rancangan KUHP Pasal 610 berbunyi sebagai berikut: Barangsiapa menyimpan uang di bank atau di tempat lain, mentransfer, menitipkan, memindahkan, menginvestasikan, membayar uang atau kertas bernilai uang, yang diketahuinya atau sepatutnya harus diduganya, diperoleh dari perdagangan narkotika yang tidak sah atau tindak pidana ekonomi atau tindak pidana korupsi, diancam dengan pidana penjara paling lama lima belas tahun dan denda paling banyak kategori V. Selanjutnya Pasal 611 RUU KUHP berbunyi: Barangsiapa menerima untuk disimpan atau sebagia titipan, menerima transfer, menerima hibah modal investasi, menerima sebagai pembayaran uang atau kertas bernilai uang yang diketahuinya atau sepatutnya harus diduganya diperoleh dari perdagangan narkotika yang tidak sah atau tindak pidana ekonomi atau tindak pidana korupsi, diancam dengan pidana penjara paling lama sepuluh tahun dan denda paling banyak kategori V. Sayangnya hingga dimasukknanya Indonesia ke dalam “black list” oleh FATF pada tahun 2001, Rancangan KUHP tersebut tidak pernah memperoleh kejelasan penyelesainnya. Sementara itu hasil review FATF justru memberi darah baru bagi pemerintah untuk segera menyampaikan rancangan undang-undang (RUU) yang mengatur Tindak Pidana Pencucian Uang ke DPR. Guna lxii mempercepat proses pembahasannya, Pemerintah dan DPR kemudian menyepakati agar pembahasan RUU menggunakan “fast track approach”. DPR dan Pemerintah sepakat pembahasan RUU dilakukan secara marathon, yang dilakukan tidak lebih dari dua bulan. Akhirnya pada tanggal 17 April 2002, RUU disahkan menjadi Undang-Undang No. 15 Tahun 2002 tentang Tindak Pidana Pencucian Uang melalui Lembaran Negara RI Tahun 2002 Nomor 30. Meskipun telah memperhatikan rekomendasi FATF, sayangnya Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2002 dinilai memiliki beberapa kelemahan mendasar. Adanya sorotan dari sebagian pihak dalam negeri tidak dengan dimasukkannya perjudian di dalam pasal 2 dan besaran (threshold) Rp. 500 juta dalam laporan transaksi tunai (pasal 13). Sementara FATF mengomentari batasan (threshold) Rp. 500 juta pada definisi hasil kejahatan (proceeds of crime) yang bisa menyebabkan Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2002 tidak efektif (Pasal 2). FATF menganggap bahwa Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2002 belum sepenuhnya memenuhi standar internasional. Concern negara-negara FATF terhadap kekurangan Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2002, kemudian dirasakan sebagai desakan untuk mengamandemen undangundang itu berkaitan dengan hampir tiga tahun Indonesia berada di dalam list NCCTs dan kemungkinan diterapkannya counter measures oleh FATF kepada Indonesia. RUU tentang Perubahan Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2002 telah disahkan pada tanggal 13 Oktober 2003 lalu menjadi Undang Nomor 25 Tahun 2003 melalui Lembaran Negara RI Tahun 2003 Nomor 108. Dalam penyusunan kembali undang-undang pencucian uang, lebih diperhatikan mengenai ketentuan Forty Recomendations dan 8 Special Recomendations (sekarang telah menjadi 9 Special Recomendations) serta best practices yang berlaku di negaranegara lain. Selain dikarenakan undang-undang No. 15 Tahun 2002 dirasa belum memenuhi standar internasional tetapi juga dikarenakan lambatnya lxiii perkembangan proses peradilan tindak pidana money laundering sehingga perlu diubah, agar upaya pencegahan dan pemberantasan money laundering dapat berjalan secara efektif. Upaya pemerintah dalam pelaksanaan dan penegakan UndanngUndang Pencucian Uang dalam legalitas selanjutnya adalah dengan membuat peraturan-peraturan pelaksanaan Undang-Undang Pencucian Uang. Ketentuan itu diantaranya adalah Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 82 Tahun 2003 tentang Tata Cara Pelaksanaan Kewenangan Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan; Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 57 Tahun 2003 tentang Tata Cara Perlindungan Khusus bagi Pelapor dan Saksi Tindak Pidana Pencucian Uang; Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 73 Tahun 2003 tentang Pembentukan Panitia Seleksi Calon Pipinan Komisi Pemberantasan Korupsi; serta Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 01 Tahun 2004 tentang Komite Koordinasi Nasional Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang dan yang terbaru adalah Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 7 Tahun 2007 tentang Pembentukan Panitia Seleksi dan Pemilihan Calon Anggota Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban. Sehubungan dengan adanya upaya pemerintah melawan money laundering, salah satunya dengan memberikan perlindungan kepada saksi kasus money laundering yang juga diatur dalam ketentuan undang-undang pencucian uang ini. Dengan adanya suatu perlindungan orang tak akan ragu menjadi saksi dalam kasus money laundering, bahkan akan mau bekerja sama dalam pengungkapan tindak pidana money laundering. Keterangan yang diberikan akan lebih bebas tanda adanya tekanan maupun ancaman dari tersangka/terdakwa maupun pihak terkait, maka tidak akan terjadi penarikan keterangan oleh seorang saksi yang tentunya akan menghambat pengungkapan delik pencucian uang. Bahkan yang lebih parah lagi, seorang saksi akan merubah keterangan untuk lxiv meringankan pelaku pencucian uang. Dalam Undang-Undang Tindak Pidana Pencucian Uang menganut perlindungan khusus terhadap seseorang yang melaporkan suatu kejahatan kepada yang berwenang, yang sering disebut sebagai whistle blower. Demikian juga terhadap seseorang yang mengetahui suatu perbuatan kejahatan dan dijadikan sebagai saksi dalam kasus perbuatan pidana itu. Walaupun pengaturan perlindungan saksi dalam tindak pidana pencucian uang telah diatur terlebih dahulu sebelumnya dalam ketentuan undang-undang pencucian uang, namun sekarang dalam pelaksanaannya tetap harus melihat payung hukum pengaturan perlindungan saksi karena pengaturannya sudah dibuat yaitu pada Undang-Undang No. 13 Th. 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban yang telah diundang dan mulai berlaku pada 11 Agustus 2006. Peraturan perlindungan saksi dalam undang-undang money laundering akan dinyatakan tetap berlaku sepanjang tidak bertentangan dengan Undang-Undang Perlindungan Saksi dan Korban, sebagimana diatur dalam Ketentuan Peralihan Bab VI Pasal 44 UU No. 13 Th. 2006. UU No. 13 Th. 2006 mengatur ketentuan umum tentang hak-hak dan kewajiban seorang saksi. Dalam hal ini subyek yang dilindungi dalam Undang-Undang No.13 Tahun 2006 meliputi, saksi, korban, pealpor, dan keluarga saksi/korban adalah sebgai berikut : a). Pasal 1 ayat (1): Saksi adalah orang yang memberikan keterangan guna kepentingan penyelidikan, penyidikan, penuntutan dan pengadilan tentang tindak pidana yang ia dengar sendiri, ia lihat sendiri, ia alami sendiri, atau hal-hal yang ia ketahui berkenaan dengan suatu perkara pidana. Penjelasan : Kata “ketahui” di sini tidak termasuk mengetahui karena informasi yang diperoleh dari orang lain. lxv b). Pasal 1 ayat (2): Korban adalah seseorang yang mengalami penderitaan fisik maupun mental serta kerugian ekonomi yang diakibatkan oleh suatu tindak pidana. Penjelasan : Termasuk dalam pengertian korban adalah keluarga batin korban. c). Pasal 1 ayat (5): keluarga saksi adalah orang-orang yang mempunyai hubungan darah atau semenda dalam garis lurus dan kesamping sampai derajat ketiga, dan atau orang-orang yang menjadi tanggungan saksi, serta orang lain yang menurut Lembaga Perlindungan Saksi layak dilindungi. KOMENTAR : Dapat disimpulakan bahwa saksi korban adalah orang-orang yang memberi kesaksian karena mereka menjadi korban tindak pidana yang bersangkutan. Secara umum hak-hak seorang saksi diatur dalam Undang-Undang No.13 Tahun 2006 yaitu dalam Bab II tentang Perlindungan Dan Hak Saksi Dan Korban pada Pasal 5 yang diberikan berdasarkan keputusan Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK), hak-hak saksi tersebut meliputi : a). memperoleh perlindungan atas keamanan pribadi, keluarga, dan harta bendanya, serta bebas dari Ancaman yang berkenaan dengan kesaksian yang akan, sedang, atau telah diberikannya; Penjelasan : Perlindungan semacam ini merupakan perlindungan utama yang diperlukan saksi dan korban. Apabila perlu, saksi dan korban harus ditempatkan dalam suatu lokasi yang dirahasiakan dari siapa pun untuk menjamin agar Saksi dan Korban aman. b). ikut serta dalam proses memilih dan menentukan bentuk perlindungan dan dukungan keamanan; c). memberikan keterangan tanpa tekanan; lxvi d). mendapat penerjemah; Penjelasan : Hak ini diberikan kepada saksi dan korban yang tidak lancar berbahasa Indonesia untuk memperLancar persidangan. e). bebas dari pertanyaan yang menjerat; f). mendapatkan informasi mengenai perkembangan kasus; Penjelasan : Seringkali saksi dan korban hanya berperan dalam pemberian kesaksian di pengadilan, tetapi saksi dan korban tidak mengetahui perkembangan kasus yang bersangkutan. Oleh karma itu, sudah seharusnya informasi mengenai perkembangan kasus diberikan kepada Saksi dan Korban. g). mendapatkan informasi mengenai putusan pengadilan; Penjelasan : Informasi ini penting untuk diketahui saksi dan korban sebagai tanda penghargaan atas kesediaan saksi dan korban dalam proses peradilan tersebut. h). mengetahui dalam hal terpidana dibebaskan; Penjelasan : Ketakutan saksi dan korban akan adanya balas dendam dari terdakwa cukup beralasan dan is berhak diberi tahu apabila seorang terpidana yang dihukum penjara akan dibebaskan. i). mendapat identitas baru; Penjelasan : Dalam berbagai kasus, terutama yang menyangkut kejahatan terorganisasi, saksi dan korban dapat terancam walaupun terdakwa sudah dihukum. Dalam kasus-kasus tertentu, saksi dan korban dapat diberi identitas baru. j). mendapatkan tempat kediaman baru; Penjelasan : lxvii Apabila keamanan saksi dan korban sudah sangat mengkhawatirkan, pemberian tempat baru pada saksi dan korban harus dipertimbangkan agar saksi dan korban dapat meneruskan kehidupannya tanpa ketakutan. Yang dimaksud dengan "tempat kediaman baru" adalah tempat tertentu yang bersifat sementara dan dianggap aman. k). memperoleh penggantian biaya transportasi sesuai dengan kebutuhan; Penjelasan : Saksi dan korban yang tidak mampu membiayai dirinya untuk mendatangi lokasi, perlu mendapat bantuan biaya dari negara. l). mendapat nasihat hukum; dan/atau Penjelasan : Yang dimaksud dengan "nasihat hukum" adalah nasihat hukum yang dibutuhkan oleh saksi dan korban apabila diperlukan. m). memperoleh bantuan biaya hidup sementara sampai batas waktu perlindungan berakhir. Penjelasan : Yang dimaksud dengan "biaya hidup sementara" adalah biaya hidup yang sesuai dengan situasi yang dihadapi pada waktu itu, misalnya biaya untuk makan sehari-hari. Alternatif perlakuan bagi seorang saksi dan korban dalam UndangUndang No.13 Tahun 2006 meliputi : a). Korban dalam pelanggaran hak asasi manusia yang berat, selain berhak atas hak-hak sebagaimana dimaksud diatas, juga berhak untuk mendapatkan : bantuan medis; dan bantuan rehabilitasi psikososial.(Pasal 6) b). Korban melalui LPSK berhak mengajukan ke pengadilan berupa hak atas kompensasi dalam kasus pelanggaran hak asasi manusia yang berat dan hak atas restitusi atau ganti kerugian yang menjadi lxviii tanggung jawab pelaku tindak pidana. Keputusan mengenai kompensasi dan restitusi diberikan oleh pengadilan. (Pasal 7) c). Perlindungan dan hak saksi dan korban diberikan sejak tahap penyelidikan dimulai dan berakhir sesuai dengan ketentuan sebagaimana diatur dalam Undang-Undang ini. (Pasal 8) d). Saksi dan/atau korban yang merasa dirinya berada dalam ancaman yang sangat besar, atas persetujuan hakim dapat memberikan kesaksian tanpa hadir langsung di pengadilan tempat perkara tersebut sedang diperiksa. Kesaksiannya diberikan secara tertulis yang disampaikan di hadapan pejabat yang berwenang dan membubuhkan tanda tangannya pada berita acara yang memuat tentang kesaksian tersebut. Saksi dan/atau korban dapat pula didengar kesaksiannya secara langsung melalui sarana elektronik dengan didampingi oleh pejabat yang berwenang. (Pasal 9) e). Tidak dapat dilakukan upaya hukum terhadap Saksi, Korban, dan pelapor baik secara pidana maupun perdata atas laporan, kesaksian yang akan, sedang, atau telah diberikannya kecuali apabila memberikan keterangan tidak dengan itikad baik. Seorang saksi yang juga tersangka dalam kasus yang sama tidak dapat dibebaskan dari tuntutan pidana apabila ia ternyata terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah, tetapi kesaksiannya dapat dijadikan pertimbangan hakim dalam meringankan pidana yang akan dijatuhkan. (Pasal 10) Secara rinci pengaturan yang mewajibkan seorang saksi dan/atau korban dalam UU No. 13 Th. 2006 hanya meliputi kesediaan memenuhi isi perjanjian perlindungan saksi dan korban yaitu; a). Pasal 30 ayat (1): Dalam berpendapat bahwa hal Lembaga Perlindungan Saksi keadaan saksi memerlukan perlindungan terhadap keamanan dirinya dan atau keluarganya, saksi yang lxix bersangkutan diminta untuk menandatangani pernyataan kesediaan mengikuti syarat dan ketentuan perlindungan saksi dan korban. b). Pasal 30 ayat (2): Pernyataan kesediaan mengikuti syarat dan ketentuan perlindungan saksi dan korban sebagaimana dimaksud pada ayat (1) memuat: 1). kesediaan saksi dan/atau korban untuk memberikan kesaksian dalam proses peradilan; 2). kesediaan saksi dan/atau korban untuk menaati aturan yang berkenaan dengan keselamatannya; 3). kesediaan saksi dan/atau korban untuk tidak berhubungan dengan cara apa pun dcngan orang lain selain atas persetujuan LPSK, selama ia berada dalam perlindungan LPSK; 4). kewajiban saksi dan/atau korban untuk tidak memberitahukan kepada siapa pun mengenai keberadaannya di bawah perlindungan LPSK; dan 5). hal-hal lain yang dianggap perlu oleh LPSK. Penjelasan : Ketentuan ini diajukan untuk melindungi saksi sendiri dari berbagai kemungkinan yang akan melemahkan perlindungan pada dirinya. Namun selain ketentuan diatas, saksi maupun korban juga mempunyai kewajiban lain yang tentunya dapat diketahui dari definisi saksi bahwa kewajiban seorang saksi adalah memberikan kesaksian / keterangan dengan sebenar-benarnya guna kepentingan penyelidikan, penyidikan, penuntutan dan atau pemeriksaan di sidang pengadilan tentang perkara yang dialami berdasarkan apa yang ia dengar sendiri, lihat sendiri, dan alami sendiri. Dalam hal ini diwajibkan pula kepada saksi dan orang lain yang bersangkutan dengan tindak pidana yang diperiksa, untuk dilarang menyebut nama atau alamat pelopor, atau hal-hal lain yang memberikan kemungkinan dapat diketahuinya identitas pelapor. lxx Terkait dengan perlindungan saksi tersebut telah diatur adanya ketentuan sebuah lembaga mandiri atau independen yang bertanggung jawab langsung kepada presiden dan membuat laporan pelaksanaan tugas secara berkala kepada DPR RI dalam pertanggungjawabannya untuk menangani pemberian perlindungan dan bantuan pada saksi dan korban yang disebut dengan Lembaga Perlindungan Saksi Dan Korban (LPSK). Merupakan lembaga yang bertugas dan berwenang untuk memberikan perlindungan dan hak-hak lain kepada saksi dan/atau korban. Ketentuannya diatur pada Pasal 11 sampai dengan 27, Bab III UU No.13 Th. 2006mengenai Lembaga Perlindungan Saksi Dan Korban. Tugas dan kewenangan LPSK sebagaimana juga telah diatur dalam Undang-Undang No.13 Tahun 2006. Saat ini Presiden memang telah mengeluarkan Kepres No. 7 Th. 2007 tentang Pembentukan Panitia Seleksi dan Pemilihan Calon Anggota Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban pada 31 Maret 2007, namun sampai sekarang pembentukan LPSK belum juga terwujud dan terkesan sangat lambat. Harusnya lembaga tersebut telah dibuat paling lambat 1 (satu) tahun setelah Undang-Undang Perlindungan Saksi dan Korban diundangkan. Pengaturan pemberian perlindungan saksi dalam undang-undang pencucian uang diatur pada bab VII yaitu Perlindungan Bagi Pelapor Dan Saksi, Pasal 39 s.d. Pasal 43. Cakupan subyek yang dilindungi UU Pencucian Uang ini tampaknya telah mengalami perluasan jika dibanding dengan ketentuan KUHAP. Dalam hal ini subyek yang dilindungi meliputi saksi biasa, saksi pelapor dan keluarga saksi. Pasal 39 dan Pasal 40 mengatur mengenai perlindungan khusus bagi pelapor. Sedangkan Pasal 41 dan Pasal 42 mengatur perlindungan yang sama kepada saksi dalam perkara kejahatan pencucian uang, dan Pasal 43 mengatur pemberian perlindungan hukum baik kepada pelapor/saksi. Ketentuan dalam pasal tersebut berbunyi sebagai berikut: a). Pasal 39 lxxi ayat (1) : PPATK, penyidik, penuntut umum atau hakim wajib merahasiakan identitas pelapor. ayat (2) : Pelanggaran terhadap ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) memberikan hak kepada pelapor atua ahli warisnya untuk menuntut ganti kerugian melalui pengadilan. KOMENTAR : Secara tegas ditentukan pula bahwa PPATK, penyidik, penuntut umum atau hakim wajib merahasiakan identitas pelapor. Pelanggaran atas kewajiban merahasiakan ini memberikan hak kepada pelapor atau keluarganya menuntut ganti rugi ke pengadilan. b). Pasal 40 Ayat (1) : setiap orang yang melaporkan terjadinya dugaaan tindak pidana pencucian uang, wajib diberi perlindungan khusus oleh negara dari kemungkinan ancaman yang membahayakan diri, jiwa, dan/atau hartanya, termasuk keluarganya. Ayat (2) : Ketentuan mengenai tata cara pemberian perlindungan khusus sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) diatur lebih lanjut dengan PeraturanPemerintah. KOMENTAR : Seseorang yang melaporkan, menginformasikan atau memberitahukan terjadinya dugaan tindak pidana mengenai uang, wajib mendapat perlindungan khusus oleh negara supaya tercegah dari ancaman yang membahayakan diri, harta, dan keluarganya. Prinsip perlindungan whistle blower (pelapor, penginformasi) demikian ditentukan pada Pasal 40 ayat (1) Undang-Undang Tindak Pidana Pencucian Uang. Selanjutnya di dalam ayat (2) ditentukan pula supaya tata cara pemberian perlindungan demikian diatur lebih lanjut dalam Peraturan Pemerintah. c). Pasal 41 lxxii Ayat (1) : Di sidang pengadilan, saksi, penuntut ujum, hakim dan orang lain yang bersangkutan dengan tindak pidana pencucian uang yang sedang dalam pemerikasaan dilarang menyebutkan nama tau alamat pelaor, atau hal-hal lain yang memungkinkan dapat terungkapnya identitas pelapor. Ayat (2) : Dalam setiap persidangan sebelum sidang pemeriksaan dimulai, hakim wajib menggingatkan saksi, penuntut umum dan orang lain yang terkait dengan pemeriksaan perkara tersebut, mengenai larangan sebagimana dimaksud dalam ayat (1). KOMENTAR : Dalam setiap kesempatan sidang, sebelum pemeriksaan dimulai, hakim wajib mengingatkan saksi, penuntut umum, dan pihak-pihak lain yang terkait dengan pemeriksaan sidang ser aorang lain seperti para pengunjung mengenai larangan itu. Bila misalnya telah diingatkan oleh hakim, tetapi yang bersangkutan masih mengulanginya, maka hakim menyerahkan ynag bersangkutan epada petugas yang berwenang karena telah melanggar kewajiban merahasiakan pelapor.Perbuatan mengungkap identitas pelapor merupakan perbuatan pidana. d). Pasal 42 Ayat (1) : Setiap orang yang memberikan kesaksian dalam pemeriksaan tindak pidana pencucian uang, wajib diberi perlindungan khusus oleh negara dari kemungkinana ancaman yang membahayakan diri, jiwa, dan/ atau hartanya, termasuk keluarganya. Ayat (2) : Ketentuan mengenai tata cara pemberian perlindunagn khusus sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah. lxxiii e). Pasal 43 : Pelapor dan/ saksi tidak dapat dituntut, baik secara perdata atau pidana atas pelaporan dan/ kesaksian yang diberikan oleh yang bersangkutan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 40 dan Pasal 42. KOMENTAR : Pelapor atua Saksi diberika imunitas hukum (immunity rights) untuk tidak dituntut oleh siapapun atas pelaporan atau kesaksian yang diberikannya itu. Perlindungan terhadap seseorang yang menjadi pelapor dan/atau saksi ini begitu ketat sekali ditekankan di dalam undang-undang pencucian uang. Bahkan kepada semua pihak yang terkait dengan pemeriksaan perkara tindak pidana pencucian uang, seperti PPATK, penyidik, saksi, penuntut umum, hakim atau orang lainnya akan diberikan ancaman sanksi keras jika melakukan pelanggaran ketentuan tersebut di atas. Pasal 10 Undang-Undang Tindak Pidana Pencucian Uang menentukan dengan tegas sebagai berikut: ”PPATK, Penyidik, Saksi, Penuntut Umum, Hakim atau orang lain yang bersangkutan dengan perkara Tindak Pidana Pencucian Uang yang sedang diperiksa melanggar ketentuan sebagimana dimaksud dalam Passal 39 ayat (1) dan Pasal 41 ayat (1), dipidana dengan pidana penjarapaling sedikit 1 (satu) tahun dan paling lama 3 (tiga) tahun”. Bahwa untuk melaksanakan ketentuan Pasal 40 ayat (2) dan Pasal 42 ayat (2) UU Tindak Pidana Pencucian Uang, perlu menetapkan Peraturan Pemerintah tentang Tata Cara Perlindungan Khusus bagi Pelapor dan Saksi Tindak Pidana Pencucian Uang, yang kemudian pada 11 November 2003, Presiden menetapkan Peraturan Pemerintah No. 57 Tahun 2003 tentang Tata Cara Perlindungan Khusus bagi Pelapor dan Saksi Tindak Pidana Pencucian Uang. PP No. 57 Tahun 2003 mengatur mengenai bentuk dan tata cara perlindungan khusus bagi pelapor dan saksi sebagai pengaturan teknis pelaksanaan perlindungan saksi money laundering. Menurut PP No. 57 Th. 2003 yang dimaksud dengan perlindungan khusus lxxiv adalah suatu bentuk perlindungan yang diberikan oleh negara untuk memberikan jaminan rasa aman terhadap Pelapor atau Saksi dari kemungkinan ancaman yang membahayakan diri, jiwa, dan/atau hartanya termasuk keluarganya. Juga diberikan pengertian mengenai pelapor yang merupakan setiap orang yang: a). karena kewajibannya berdasarkan peraturan perundang-undangan menyampaikan laporan kepada PPATK tentang transaksi keuangan mencurigakan atau transaksi keuangan ynag dilakukan secara tunai sebagaiman dimaksud dalam undang-undang; atau b). secara sukarela melaporkan kepada penyidik tentang adanya dugaan terjadinya tindak pidana pencucian uang sebagaimana dimaksud dalam undang-undang. Sedangkan saksi adalah orang yang dapat memberikan keterangan guna kepentingan penyididkan, penuntutan, dan peradilan tentang suatu perkara pidana pencucian uang yang didengar sendiri, dilihat sendiri, dan dialami sendiri. Dalam Peraturan Pemerintah No. 57 Tahun 2003 tentang Tata Cara Perlindungan Khusus bagi Pelapor dan Saksi Tindak Pidana Pencucian Uang, perlindungan diberikan kepada Pelapor dan Saksi baik sebelum, selama, maupun sesudah proses pemeriksaan perkara yang dilaksanakan oleh Kepolisian Negara Republik Indonesia. Atas perlindungan yang diberikan kepada pelapor dan saksi tersebut tidak dikenakan biaya. Perlindungan yang diberikan diharapkan memberikan jaminan atas rasa aman dan dapat memberikan keterangan yang benar, sehingga proses peradilan terhadap tindak pidana pencucian uang dapat dilaksanakan dengan baik. Dengan demikian pelapor dan saksi dapat berpartisipsi aktif dalam upaya pencegahan dan pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang. Perlindungan yang diberikan adalah perlindungan khusus yang meliputi perlindungan atas keamanan pribadi dan/atau keluarga pelapor lxxv dan saksi dari ancaman fisik atau mental, perlindungan terhadap harta pelapor dan saksi, perahasiaan dan penyamaran identitas pelapor dan saksi, dan/atau pemberian keterangan tanpa bertatap muka dengan tersangka/terdakwa dalam setiap tingkat pemeriksaan. Sebenarnya pengaturan mengenai pelaksana pemberian perlindungan kepada saksi diatur dalam Undang-Undang Payung Perlindungan Saksi dan Korban, yaitu oleh LPSK. Namun pada PP No. 57 Tahun 2003 yang telah dahulu dibuat, mengenai pengaturan pelaksana pemberian perlindungan kepada saksi telah diatur terlebih dahulu, yaitu dilakukan oleh Kepolisian Negara Republik Indonesia. Dikarenakan sampai saat ini LPSK belum terbentuk maka pemberian perlindungan kepada saksi tetap dilakukan oleh Kepolisian Negara Republik Indonesia. Di samping itu dalam rangka pencegahan dan pemberantasan tindak pidana pencucian uang, diatur pula perlindungan khusus terhadap saksi dalam kaitannya dengan perjanjian kerja sama bantuan timbal balik dalam masalah pidana dengan negara lain. Penyidik, Penuntut Umum, dan Hakim wajib memberikan perlindungan khusus kepada saksi dalam setiap tingkat pemeriksaan. Setiap tingkat pemeriksaan berarti dalam penyidikan,penuntutan, dan selam proses persidangan. Bentuk perlindungan khusus oleh Kepolisian Negara Republik Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (2) PP No. 57 Th. 2003 dilaksanakan berdasarkan adanya kemungkinan ancaman yang membahayakan diri, jiwa, dan/atau harta, termasuk keluarga pelapor dan saksi sebagai akibat (Pasal 6 ayat (1) PP No. 57 Tahun 2003): a). disampaikannya laporan tentang adanya Transaksi Keuangan Mencurigakan atau Transaksi Keuangan yang Dilakukan Secara Tunai oleh pelapor sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 angka 2 huruf a atau PPATK kepada Kepolisian Negara Republik Indonesia; lxxvi b). disampaikannya laporan tentang adanya dugaan terjadinya tindak pidana pencucian uang oleh pelapor sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 angka 2 huruf b atau PPATK kepada Kepolisian Negara Republik Indonesia; atau c). ditetapkannya seseorang sebagai saksi dalam perkara tindak pidana pencucian uang. Perlindungan tersebut dilakukan dalam jangka waktu paling lambat 1 X 24 (satu kali dua puluh empat) jam sejak laporan diterima atau seseorang ditetapkan sebagai saksi yang ditindaklanjuti Kepolisian NRI dengan melakukan klarifikasi atas kebenaran laporan dan identifikasi bentuk perlindungan yang diperlukan serta melakukan pemberitahuan tertulis kepada pelapor dan/atau saksi paling lambat dalam jangka waktu 1 X 24 (satu kali dua puluh empat) jam sebelum pelaksanaan perlindungan (Pasal 6 ayat (2 dan 3) PP No. 57 Tahun 2003). Pengajuan permohonan perlindungan khusus sebagaimana diatur dalam Pasal 7 dapat dilakukan oleh Pelapor, Saksi, PPATK, Penyidik, Penuntut Umum, atau Hakim. Dalam melaksanakan ketentuan perlindungan, Kepolisian NRI berkoordinasi dengan PPATK, Penyidik, Penuntut Umum, dan Hakim yang menangani perkara tindak pidana pencucian uang (Pasal 8 PP No. 57 Th. 2003). Teknis pelaksanaan perlindungan khusus sebagaimana dimaksud diatur dengan Keputusan Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia dengan memperhatikan masukan dari instansi terkait (Pasal 9 PP No. 57 Th. 2003). Berkaitan dengan pemberian perlindungan khusus terhadap Pelapor dan/atau Saksi dapat dihentikan apabila, sesuai dalam Pasal 10 PP No. 57 Th. 2003, yaitu: a). berdasarkan penilaian Kepolisian NRI perlindungan tidak diperlukan lagi; atau b). atas permohonan yang bersangkutan. lxxvii Penghentian pemberian perlindungan khusus harus diberitahukan secara tertulis kepada Pelapor, Saksi dan/atau keluarganya dalam waktu paling lambat 3 X 24 (tiga kali dua puluh empat) jam sebelum perlindungan khusus dihentikan. Dalam hal pelapor dan/atau saksi menilai perlindungan khusus masih diperlukan, Kepolisian NRI atas dasar permohonan pelapor dan/atau saksi wajib melanjutkan pemberian perlindungan khusus bagi pelapor dan/atau saksi yang telah dihentikan. Apabila seorang saksi didatangkan dari luar wilayah negara Republik Indonesia, perlindungan khusus saksi tersebut dilaksanakan dengan melakukan kerja sama dengan pejabat kepolisian yang berwenang di negara tersebut berdasarkan perjanjian kerja sama bantuan timbal balik di bidang tindak pidana antara Pemerintah Indonesia dan negara tersebut. Dalam hal tidak ada perjanjian kerja sama bantuan timbal balik , perlindungan khusus dapat dilakukan berdasarkan prinsip resiprositas (Pasal 11 PP No. 57 Th. 2003). Telah disebutkan di atas bahwa teknis pelaksanaan perlindungan khusus sebagaimana dimaksud dalam PP No. 57 Th. 2003, diatur dengan Keputusan Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia yang kemudian ditetapkan dengan Peraturan Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia Nomor Pol. 17 Tahun 2005 tentang Tata Cara Pemberian Perlindungan Khusus terhadap Pelapor dan Saksi dalam Tindak Pidana Pencucian Uang. Dalam Peraturan Kepala Kepolisian tersebut juga telah dilengkapi dengan pengaturan mengenai cara bertindak yang dilakukan bagi setiap anggota kepolisian dalam memberikan perlindungan baik kepada pelapor/ saksi. Perlindungan khusus adalah suatu bentuk perlindungan yang diberikan oleh aparat Kepolisian NRI untuk memberikan rasa aman terhadap pelapor atau saksi dari kemungkinan ancaman yang membahayahan diri, jiwa dan/atau hartanya termasuk keluarganya. Perlindungan diberikan terhadap segala ancaman, gangguan, teror, dan kekerasan adalah segala bentuk perbuatan memaksa yang lxxviii bertujuan menghalang-halangi atau mencegah pelapor atau saksi, baik langsung atau tidak langsung mengakibatkan tidak dapat memberikan keterangan untuk kepentingan penyidikan, penuntutan, dan/atau pemeriksaan di sidang pengadilan. Pengelompokan bentuk perlindungan khusus tersebut meliputi 4 (empat) bentuk perlindungan. Pertama. Perlindungan atas keamanan pribadi dari ancaman fisik atau mental. Perlindungan ini meliputi orang, tempat/lokasi (baik pada rumah/penginapan/tempat tinggal; tempat kerja/kantor/tempat persidangan; rute dan sarana transportasi; dan tempat-tempat kegiatan lainnya) dan/atau kegiatan (pada tahap sebelum, saat dan sesudah proses pemeriksaan) terhadap pribadi pelapor, saksi dan keluarganya. Perlindungan diberikan terhadap kegiatan yang mungkin akan mendapat ganguan atau ancaman baik fisik (unjuk rasa, demonstrasi dan kerusuhan masa; penghadangan, perampokan, penculikan, penganiayaan dan pembunuhan; gangguan kendaraan, tempat/rumah/kantor dan tempat kegiatan lainnya; dan/atau sabotase) maupun mental (teror dan intimidasi/ ancaman terhadap keselamatan jiwa dan harta benda). Kedua. Perlindungan terhadap harta. Meliputi harta bergerak dan tidak bergerak, terutama yang paling memungkinkan menjadi sasaran gangguan pihak pelaku. Sasaran perlindungan didasarkan atas permohonan pelapor/saksi serta penilaian dari pejabat Polri. Ketiga. Perlindungan atas perahasiaan dan penyamaran identitas. Dilaksanakan dengan merahasiakan dan menyamarkan nama, tempat/tanggal lahir (usia), jenis kelamin, alamat, pekerjaan, agama, status, pendidikan/gelar, kewarganegaraan dan suku bangsa. Meliputi cara bertindak untuk membuat berita acara penyamaran identitas berdasarkan permohonan pelapor/saksi dan menyimpan berita acara penyamaran tersebut serta menyerahkan berita acara penyamran setelah perkara dinyatakan lengkap kepada Jaksa Penuntut Umum. lxxix Keempat. Perlindungan atas pemberian keterangan tanpa bertatap muka (konfrontasi) dengan tersangka atau terdakwa pada setiap tingkat pemeriksaan meliputi tahap penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan di pengadilan. Maksud dan pengaturan perlindungan saksi sangatlah bagus manfaatnya daam memberantas kejahatan money laundering. Sangatlah diharapkan pengaturan tersebut akan banyak membantu pengungkapan kasus-kasus money laundering yang selama ini sulit terungkap. Adapun manfaat dari prinsip perlindungan saksi dan pelapor adalah sebagai berikut: a). Terungkapnya kejahatan-kejahatan, terutama kejahatan ynag dilakukan oleh orang-orang yang memiliki pengaruh dalam masyarakat; b). Anggota masyarakat merasa leluasa dan bebas tanpa dibayangbayangai rasa takut untuk menjadi pelapor dan saksi dalam suatu perkara kejahatan; c). Terdapat pengaruh positif dalam pengurangan intensitas kejahtan beerkenaan dengan adanya semacam public supervision dari kalangan masyarakat, karena anggota masyarakat tidak segan-segan lagi menjadi pelapor dan saksi bagi perbuatan kejahatan, khususnya money laundering. Indonesia adalah negara yang menganut sistem hukum civil law. Dalam praktik penyelesaian perkara pidana di Indonesia, prinsip legalitas dan penafsiran yang diperbolehkan dari prinsip tersebut diserahkan sepenuhnya kepada para pelaksana / praktisi hukum, seperti, jaksa dan hakim. Ketentuan undang-undang harus ditafsirkan secara harfiah dan pengadilan tidak diperkenankan memberikan suatu penafsiran analogis untuk menetapkan suatu perbuatan sebagai tindak pidana. 2. Malaysia lxxx Dalam rangka mensukseskan pembangunan ekonomi dan pengentasan kemiskinan, keterbukaan di antara institusi-institusi pemerintahan dan lembaga-lembaga publik harus terbentuk. Hal tersebut memiliki peranan yang penting bagi upaya pemberantasan money laundering. Oleh sebab itu, dorongan kebutuhan untuk menyusun dan menetapkan peraturan perundang-undangan yang responsif terhadap permasalahan money laundering. Pembentukan Undang-undang tersebut bertujuan untuk memperkuat rezim anti money laundering yang bagi negara Malaysia tidak hanya akan menambah kepercayaan dari investor, tetapi juga merupakan suatu jaminan bahwa negara Malaysia tidak dijadikan tempat untuk melakukan pencucian terhadap hasil-hasil tindak kejahatan. Adanya sinyalemen bahwa keinginan yang kuat dari pemerintah untuk sesegera mungkin dapat membangun suatu rezim anti money laundering yang efisien dan efektif di Malaysia adalah karena adanya tekanan internasional dengan berbagai ancaman yang telah dan akan diterapkan serta dampak negatif dari ancaman tersebut. Sinyalemen tersebut tidaklah sepenuhnya benar apabila ditinjau dari sisi kepentingan nasional yang lebih besar terutama dalam kerangka penegakan hukum (law enforcement) di Malaysia. Dalam sistem penegakan hukum sekarang ini, rezim anti money laundering hadir dengan paradigma baru. Pada awalnya orientasi tindak pidana pada umumnya adalah mengejar pelaku pidana, sedangkan pada tindak pidana money laundering lebih mengejar pada hasil tindak pidananya. Di samping itu, agar rezim anti money laundering dapat terlaksana secara efektif, koordinasi antara instansi terkait merupakan kunci pokok keberhasilan. Rezim pelaksanaan Program Pencegahan Pengubahan Wang Haram dan Pencegahan Pembiayaan Keganasan (AML/CFT) Malaysia di bawah Akta Pencegahan Pengubahan Wang Haram 2001 (AMLA) terus berubah seiring dengan trend global baru dan pengaturan yang diterima pakai di peringkat antarabangsa, yaitu Rekomendasi 40+9 FATF (Pasukan Petugas Tindakan Kewangan mengenai Pencegahan Pengubahan Wang Haram). Law of Malaysia Act 613 yang dikenal dengan Anti Money laundering Act of 2001 (AMLA) atau Akta Pencegahan Pengubahan Wang Haram yang di setujui oleh raja pada tanggal 25 Juni 2001, di umumkan dalam lembaran Negara pada tanggal 5 Juli 2001 dan mulai berlaku pada bulan Januari 2002. Malaysia bukanlah suatu pusat regional money laundering. Sektor keuangan informal dan formalnya sangat rentan dengan narkotika traffickers, pembiayaan terorisme, dan unsur kejahatan. Sejak 2000, lxxxi Malaysia telah membuat kemajuan penting dalam membangun anti-money laundering Act. Malaysia’s National Coordination Committee to Counter Money laundering (NCC), yang anggotanya terdiri dari 13 badan pemerintahan, melihat dari draft Malaysia's Anti-Money laundering Act 2001 (AMLA) dan mengkoordinir badan pemerintahan untuk anti-money laundering. Telah juga dibentuk suatu financial intelligence unit (FIU) yaitu Unit Perisikan Kewangan yang ditempatkan dalam Bank Sentral yaitu Bank Negara Malaysia ( BNM). Tugas FIU tersebut adalah menerima dan meneliti informasi keuangan. FIU tersebut bekerja dengan lebih dari duabelas badan lain untuk mengidentifikasi dan menyelidiki adanya transaksi mencurigakan. The Government of Malaysia (GOM) mempunyai suatu kerangka pengatur yang baik, mencakup perijinan dan sistem pemeriksaan yang dapat mengatur lembaga keuangan. Sekarang ini telah ada memorandum of understanding (MOU) dalam hal mutual legal assistance antara FIU Malaysia (Unit Perisikan Kewangan) dengan FIU Indonesia (PPATK). Anti Money laundering Act of 2001 (AMLA) tentang anti-money laundering, yang diharapkan mampu memenuhi, mengantisipasi perkembangan kebutuhan hukum masyarakat dalam rangka mencegah dan pemberantasan secara efektif setiap bentuk tindak tindak pidana money laundering yang sangat merugikan keuangan negara pada khususnya serta masyarakat pada umumnya. Pemberantasan tindak money laundering salah satunya dengan mengatur mengenai ketentuan perlindungan saksi yang dikaitkan dengan efektif tidaknya pengaturan pemberian perlindungan saksi yang tertuang dalam Anti Money laundering Act of 2001 (AMLA) dalam upaya menanggulangi masalah money laundering di Indonesia. Perlindungan saksi yang diatur dalam AMLA pada Part IV mengenai Reporting Obligations Pasal 24 yang berbunyi sebagai berikut : Protection of persons reporting 24. (1) No civil, criminal, or disciplinary proceedings shall be brought against a person who: (a) discloses or supplies any information in any report made under this Part; or lxxxii (b) supplies any information in connection with such a report, whether at the time the report is made or afterwards; in respect of : (aa) the disclosure or supply, or the manner of the disclosure or supply, by that person, of the information referred to in paragraph (a) or (b); or (bb) any consequences that follow from the disclosure or supply of that information, unless the information was disclosed or supplied in bad faith. (2) In proceedings against any person for an offence under this Part, it shall be a defence for that person to show that he took all reasonable steps and exercised all due diligence to avoid committing the offence. Perlindungan bagi saksi pelapor 24. (1) Tidak ada proses secara perdata, pidana atau ketertiban lainnya dapat dikenakan terhadap seseorang yang : (a) mengungkapkan atau menyediakan segala informasi dalam segala laporan yang dibuat menurut undang-undang ini; atau (b) menyediakan segala informasi yang berhubungan dengan suatu laporan, apakah pada saat laporan itu dibuat atau sesudahnya; Dalam hal : (aa) pengungkapan atau penyediaan, atau cara pengungkapan atau penyediaan, oleh orang tersebut, dari informasi sesuai dalam paragraf (a) atau (b); atau (bb) segala akibat/dampak yang ditimbulkan/mengikuti pengungkapan atau penyediaan informasi tersebut, kecuali informasi yang diungkapkan atau disediakan dengan itikad tidak baik. (2) Dalam proses/ tindakan yang dikenakan terhadap orang untuk suatu kejahatan menurut undang-undang ini, hal itu dapat menjadi suatu pembelaan bagi orang tersebut untuk menunjukkan bahwa dia sudah mengambil langkah yang beralasan dan melaksanakan semua hak yang baik atau sesuai untuk mencegah terjadinya kejahatan. lxxxiii KOMENTAR : Pengaturan pemberian perlindungan saksi dalam Anti Money laundering Act of 2001 ini ditujukan hanya kepada pemberi maklumat atau saksi pelapor saja. Pelaksanaan pemberian perlindungan saksi (saksi pelapor ) khususnya dalam tindak pidana money laundering hanya didasarkan pengaturannya dalam Pasal 24 Anti Money laundering Act of 2001. Pengaturannya dalam peraturan pelaksanaan juga belum dibuat, bahkan payung hukum perlindungan saksi juga masih dalam tahap Rang (Rancangan) UndangUndang Perlindungan Saksi (Witness Protection Bill). Rang UndangUndang Perlindungan Saksi yang sedang digarap Parlimen Dewan Rakyat Malaysia baru-baru ini diharapkan dapat memberikan jaminan bahwa saksi akan diberikan sepenuhnya perlindungan undang-undang, termasuk mengubah identiti saksi jika diperlukan. Rang Undang-Undang Perlindungan Saksi yang hampir sampai pada tingkat akhir pembentukannya ini, ditujukan untuk memberikan perlindungan kepada seorang saksi yang memberikan keterangan dalam keseluruhan proses penindakan kejahatan (kes jenayah) dan tidak lagi hanya diatur mengenai saksi pelapor saja. Oleh karena pemberi maklumat (saksi pelapor) lazimnya menjadi saksi maka mereka sudah tentulah akan dilindungi di bawah akta ini. Rang Undang-undang ini juga akan menubuhkan satu program bagi perlindungan saksi. Mengenai lembaga yang melaksanakan pemberian bantuan dan perlindungan saksi di Malaysia juga belum dibentuk. Dalam sistem common law, hakim diperbolehkan tidak sepenuhnya bertumpu pada ketentuan suatu Undang-Undang. Jika diyakini olehnya bahwa ketentuan yang dimaksud tidak dapat diterapkan dalam kasus yang sedang ditanganinya. Hakim cenderung bersifat judge made law, jadi dalam hal penerapan pengaturan perlindungan saksi dalam kasus-kasus yang ada, walaupun pengaturannya kurang dan sangat sempit karena hanya melindungi saksi pelapor, namun disini hakim dapat menentukan alternatif perlakuan bagi saksi yang bukan saksi pelapor. Efeknya dimungkinkan suatu pemeriksaan kasus money laundering tidak akan terhambat hanya karena belum ada aturan yang mengatur. lxxxiv Malaysia menganut sistem hukum common law. Dapat dilihat bahwa kekuasaan hakim di dalam sistem hukum common law sangat luas dalam memberikan penafsiran terhadap suatu ketentuan yang tercantum dalam undang-undang. Bahkan hakim diperbolehkan tidak sepenuhnya bertumpu pada ketentuan suatu undang-undang jika diyakini olehnya bahwa ketentuan tersebut tidak dapat diterapkan dalam kasus pidana yang sedang dihadapinya. Dalam hal demikian hakim dapat menjatuhkan putusannya sesuai dengan kebiasaan-kebiasaan. Dilihat dari segi kekuasaan hakim yang sangat luas dalam memberikan penafsiran tersebut, sehingga dapat membentuk hukum baru, maka nampaknya sistem hukum common law kurang memperhatikan kepastian hukum. Dari uraian pengaturan pemberian perlindungan saksi dalam undangundang pencucian uang antara Negara Indonesia dan Malaysia ada terdapat perbedaan dan persamaannya, yaitu Negara Indonesia Malaysia - Undang-Undang No. 15 - Law Of Malaysia Act Pembanding Pengaturan Tindak Money laundering Tahun 2003 sebagaimana 613 diubah laundering Act 2001 dalam Undang- Undang No. 25 Tahun 2003 tentang Tindak Pidana Pencucian Uang. lxxxv Anti (AMLA) money Pengaturan pemberian perlindungan saksi - Tercantum dalam Bab IV - Tercantum dalam Part Perlindungan bagi Pelapor IV dan Saksi pada Pasal 15, Obligations) Pasal 39 s.d. Pasal 43 UU Pasal Pencucian Protection of persons Uang serta peraturan pelaksanaannya. (Reporting 24 pada mengenai reporting. - Peraturan Pemerintah No. 57 Tahun 2003 tentang Tata Cara Perlindungan Khusus bagi Pelapor dan Saksi Tindak Pidana Pencucian Uang. - Peraturan Kepala Kepolisian NRI Nomor Pol. 17 Tahun 2005 tentang Tata Cara Pemberian Perlindungan Khusus terhadap Pelapor dan Saksi dalam Tindak Pidana Pencucian Uang. - Perlindungan Subyek yang Dilindungi. yang - Perlindungan yang diberikan ditujukan kepada diberikan hanya saksi, pelapor, dan keluarga ditujukan kepada saksi saksi/pelapor. pelapor saja (pemberi maklumat). - (No civil, criminal, or disciplinary proceedings shall be lxxxvi brought against a person who: a. discloses or supplies any information in any report made under this Part; or b. supplies any information in connection with such a report, whether at the time the report is made or afterwards;...) Bentuk Perlindungan. - Perlindungan yang - Perlindungan diberikan dapat digolongkan menjadi hukum (yuridis). 2 - 24. (1) No (dua) jenis perlindungan, criminal, yaitu: disciplinary civil, or a. perlindungan hukum proceedings shall be b. perlindungan khusus brought terhadap ancaman. - Perlindungan hukum meliputi : against a person who: (a) discloses supplies any a. kekebalan yang diberikan kepada any report made dan saksi under this Part; tidak dapat or pelapor untuk dituntut baik secara perdata lxxxvii ataupun information or (b) supplies information in any in pidana, yang sepanjang connection with bersangkutan such a report, memberikan whether at the kesaksian atau laporan dengan iktikad baik atau yang bersangkutan tidak sebagai pelaku tindak pidana itu sendiri. b. larangan bagi siapapun untuk membocorkan nama pelapor atau kewajiban merahasiakan nama pelapor disertai dengan ancaman pidana terhadap pelanggarannya. - Yang merupakan perlindungan terhadap khusus ancaman yang meliputi 4 (empat) bentuk perlindungan, yaitu: time the report is made or afterwards; in respect of : (aa) the disclosure or supply, or the manner of the disclosure or supply, by that person, of the information referred to in paragraph (a) or (b); or (bb)any consequences that follow from the disclosure or supply of that information, Unless the information was disclosed or supplied in bad faith. (2) In proceedings against any person for Pertama. Perlindungan an offence under this atas keamanan pribadi dari Part, it shall be a ancaman fisik atau mental. defence for that person to show that he took all Kedua. terhadap Perlindungan harta. lxxxviii Meliputi reasonable steps and exercised all due harta bergerak dan tidak diligence bergerak, committing terutama paling yang memungkinkan to avoid the offence. menjadi sasaran gangguan (Perlindungan saksi pelapor pihak pelaku. Ketiga. atas Perlindungan perahasiaan dan 24. (1) bagi Tidak proses secara perdata, pidana atau ketertiban penyamaran identitas. lainnya Keempat. Perlindungan atas pemberian keterangan tanpa bertatap (konfrontasi) tersangka pada ada muka dengan atau terdakwa setiap tingkat dapat dikenakan terhadap seseorang yang : (a) mengungkapkan atau menyediakan segala informasi pemeriksaan meliputi tahap dalam segala penyidikan, penuntutan, dan laporan yang pemeriksaan di pengadilan. dibuat menurut undang-undang ini; atau (b) menyediakan segala informasi yang berhubungan dengan suatu laporan, apakah pada laporan dibuat sesudahnya; lxxxix saat itu atau Dalam hal : (aa) pengungkapan atau penyediaan, atau cara pengungkapan atau penyediaan, oleh orang tersebut, dari informasi sesuai dalam paragraf (a) atau (b); atau (bb) segala akibat/dampak yang ditimbulkan/mengik uti pengungkapan atau penyediaan informasi tersebut, kecuali informasi yang diungkapkan atau disediakan dengan itikad tidak baik. (2) Dalam proses/ tindakan yang dikenakan orang untuk kejahatan terhadap suatu menurut undang-undang ini, hal itu dapat menjadi suatu pembelaan bagi orang tersebut untuk menunjukkan bahwa dia sudah mengambil langkah yang beralasan dan melaksanakan semua hak yang baik atau xc sesuai untuk mencegah terjadinya kejahatan. ) Pelaksanaan Pengaturan Pemberian Perlindungan Saksi. - Pelaksanaaan ketentuan - Pelaksanaannya juga perlindungan saksi berdasar hanya berdasar Law Of ketentuan dalam UU Malaysia Act 613 Anti pencucain uang, yang money laundering Act secara teknis dilakukan 2001 dikarenakan menurut aturan pelaksanaan belum adanya suatu yaitu pada PP No. 57 Th payung 2003 dan Peraturan Kepala pengaturan pemberian Kepolisian NRI Nomor Pol. perlindungan saksi. 17 Tahun 2005. - Namun karena telah disahkannya payung hukum pengaturan pemberian perlindungan saksi yaitu pada UU No. 13 Th. 2006, maka pelaksanaannya tetap berlaku sesuai UU Pencucian Uang dan aturan pelaksananya selama tidak bertentangan dengan UU No. 13 Th. 2006 tentang Perlindungan Saksi Korban. xci dan hukum Pelaksana Perlindungan Saksi - Diatur mengenai pelaksana - Oleh Badan Pencegah perlindungan khusus Rasuah. kepada saksi dilakukan oleh Negara melalui Kepolisian Negara Republik Indonesia, sesuai dalam PP No. 57 Th. 2003. - Mengacu pengaturan undang-undang payung Undang-Undang No 13 Th. 2006, seharusnya yang menjadi pelaksana adalah LPSK, yang sampai saat ini pembentukannya terhambat. - Jadi pelaksananya selama ini (perlindungan khusus) dilakukan oleh Kepolisian. Jadi pengaturan pemberian perlindungan saksi dalam undang-undang pencucian uang antara Negara Indonesia dan Malaysia adalah berbeda, baik dari bentuk perlindungannya maupun subyek yang dilindungi. Law Of Malaysia Act 613 Anti money laundering Act 2001 (AMLA) negara Malaysia hanya memberikan suatu bentuk perlindungan bagi saksi pelapor (pemberi maklumat) yaitu bagi mereka yang mengungkapkan atau menyediakan informasi dalam suatu laporan tentang adanya tindak pidana pencucian uang (Pasal 24). Sedangkan Undang-Undang No. 15 Tahun 2003 sebagaimana diubah dalam Undang-Undang No. 25 Tahun 2003 tentang Tindak Pidana Pencucian Uang (UU TPPU) memberikan perlindungan yang ditujukan kepada saksi, pelapor, dan keluarga saksi/pelapor (Pasal 39-43). xcii Berkaitan dengan bentuk perlindungan yang diberikan, pada AMLA, hanya memberikan pengaturan mengenai perlindungan hukum saja, yaitu adanya ketentuan bagi saksi pelapor tidak dapat dikenakan upaya hukum baik secara pidana, perdata maupun upaya ketertiban lainnya atas informasi yang ia berikan. Pada UU TPPU diberikan perlindungan khusus dan perlindungan hukum kepada saksi, pelapor, dan keluarga saksi/pelapor. Perlindungan hukum seperti apa yang diatur dalam AMLA, yaitu tidak adapat dilakukan tindakan hukum secara perdata dan pidana terhadap saksi, pelapor, dan keluarga saksi/pelapor. Sedangkan pengaturan megenai perlindungan khusus dibedakan menjadi empat macam, yaitu : perlindungan atas keamanan pribadi dari ancaman fisik atau mental, perlindungan terhadap harta yang harta bergerak dan tidak bergerak, terutama yang paling memungkinkan menjadi sasaran gangguan pihak pelaku, perahasiaan identitas atau penyamaran dan yang terakhir perlindungan untuk memberikan keterangan tanpa bertatap muka secara langsung dengan terdakwa. Pada perlindungan untuk memberikan keterangan tanpa bertatap muka secara langsung dengan terdakwa dapat memungkinkan pengggunaan vidio link untk pemeriksaannya. Pada pelaksanaan Perlindungan saksi pada AMLA hanya mengacu pada AMLA tersebut saja, karena pengaturan payung hukum undang-undang perlindungan saksi belum ada dan sedang dalam tahap akhir di parlimen. Di UU TPPU sendiri pelaksanaannya mengacu pada undang-undang payung perlindungan saksi sehingga tidak boleh bertentang dengan undang-undang payung perlindungan saksi (UU No. 13 tahun 2006) tersebut. Pelaksana perlindungan saksi pencucian uang di Malaysia dilaksanakan oleh Badan Pencegah Rasuah, semacam KPK di Indonesia. Sedangkan di Indoneisa diatur mengenai pelaksana perlindungan khusus kepada saksi dilakukan oleh Negara melalui Kepolisian Negara Republik Indonesia, sesuai dalam PP No. 57 Th. 2003. Mengacu pengaturan undang-undang payung Undang-Undang No 13 Th. 2006, seharusnya yang menjadi pelaksana adalah LPSK, yang sampai saat ini pembentukannya terhambat. Jadi pelaksananya selama ini (perlindungan khusus) dilakukan oleh Kepolisian. B. Bagaimanakah proyeksi ke depan pengaturan pemberian perlindungan saksi dalam perundang-undangan di Indonesia? Berdasarkan perbandingan pengaturan pemberian perlindungan saksi dalam undang-undang pencucian uang di Indonesia dan Malayasia dapat xciii diambil segi-segi nilai positif yang dapat menjadi proyeksi ke depan pengaturan pemberian perlindungan saksi dalam perundang-undangan di Indonesia. Perlindungan saksi adalah hak dapat diterima oleh seorang saksi, pada pengaturannya pada ketentuan Undang-Undang Pencucian Uang maupun aturan pelaksanannya serta dalam Undang-Undang Perlindungan Saksi. Akan lebih baik jika pengaturannya dalam peraturan-peraturan tersebut di atas, perlindungan saksi dijadikan ketentuan wajib bagi penegak hukum, sehingga legalitasnya akan terasa lebih kuat. Ketentuan pelaksanaan dan cara-caranya akan lebih baik jika diatur lebih rinci. Aturan perjanjian yang dilakukan apabila seorang saksi berasal dari luar wilayah Indonesia juga belum jelas. Selain hal-hal tersebut diatas, dalam pengaturan perlindungan saksi yang belum diatur pemerintah adalah mengenai ketentuan pelaksana perlindungan saksi. Adanya perbedaan dalam ketentuan payung hukum perlindungan saksi pada UU No.13 Th.2006 dengan pengaturan khusus yang telah ada sebelumnya, dalam hal pelaksana perlindungan saksi. Dalam UU No.13 Th.2006, pelaksana perlindungan saksi dilakukan oleh Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK), walaupun salpai sekarang belum selesai pembentukannya. Namun pada ketentuan pelaksanaan pengaturan pencucian uang dalam PP No. 57 Tahun 2003, pelaksana perlindungan khusus terhadap saksi dilakukan oleh pihak kepolisian. Kehadiran LPSK ini, kemungkinan nantinya malah terhadang persoalan teknis. Yang perlu diatur lagi adalah mengenai apakah kedudukan LPSK nanti akan benar-benar independen (dibawah satu lembaga yang dibentuk khusus untuk perlindungan saksi) seperti dalam ketentuan UU No.13 Th.2006, atau nantinya akan berada di bawah Kepolisian Negara RI. Ada segi positif yang dapat diambila jika nantinya LPSK berada di bawah kepolisian, yaitu dengan pengalaman, struktur dan infrastrukturnya, Kepolisian jelas lebih siap jika ada yang berniat buruk kepada saksi. Selain itu struktur Kepolisian cukup lengkap dan luas untuk menjangkau wilayah negara. Hal ini berbeda jika dibentuk sebuah lembaga baru yang strukturnya belum jelas. Apalagi, pasal 13 dan 14 UU 2/2002 tentang Kepolisian telah mengatur tentang kewenangan Kepolisian dalam hal perlindungan saksi. BAB IV xciv PENUTUP A. KESIMPULAN Dari pembahasan yang telah penulis uraikan pada bab-bab terdahulu, maka penulis mencoba untuk menarik kesimpulan yang menjadi pokok bahasan dari penulisan hukum ini, yaitu : 1. Di dalam Undang-Undang No.15 tahun 2002 sebagaimana dirubah dengan Undang-Undang No. 25 Tahun 2003 tentang Tindak Pidana Pencucian Uang di Indonesia diatur mengenai ketentuan perlindungan saksi, yakni dalam Pasal 39 s.d. Pasal 43 yang pelaksanaannya secara teknis diatur dalam peraturan pelaksanaan yaitu Peraturan Pemerintah No. 57 Tahun 2003 tentang Tata Cara Perlindungan Khusus bagi Pelapor dan Saksi Tindak Pidana Pencucian Uang dan ditindaklanjuti dengan Peraturan Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia Nomor Pol. 17 Tahun 2005 tentang Tata Cara Pemberian Perlindungan Khusus terhadap Pelapor dan Saksi dalam Tindak Pidana Pencucian Uang. Perlindungan saksi yang dianut merupakan perlindungan hukum dan perlindungan khusus terhadap ancaman yang ditujukan terhadap saksi, pelapor, keluarga saksi/pelapor. Sedangkan dalam Anti Money Laundering Act 613 pengaturan perlindungan saksi pada Part IV Pasal 24 tentang Protection of persons reporting. Perlindungan ditujukan hanya kepada saksi pelapor dengan jenis perlindungan hukum. Selama proses persidangan, otomatis seorang saksi tidak akan mendapat perlindungan. 2. Berdasarkan perbandingan pengaturan pemberian perlindungan saksi dalam undang-undang pencucian uang di Indonesia dan Malayasia dapat diambil segi-segi nilai positif yang dapat menjadi proyeksi ke depan pengaturan pemberian perlindungan saksi dalam perundang-undangan di Indonesia. Perlindungan saksi adalah hak dapat diterima oleh seorang saksi, pada pengaturannya pada ketentuan Undang-Undang Pencucian Uang maupun aturan pelaksanannya serta dalam Undang-Undang xcv Perlindungan Saksi. Akan lebih baik jika pengaturannya dalam peraturanperaturan tersebut di atas, perlindungan saksi dijadikan ketentuan wajib bagi penegak hukum, sehingga legalitasnya akan terasa lebih kuat. Ketentuan pelaksanaan dan cara-caranya akan lebih baik jika diatur lebih rinci. Aturan perjanjian yang dilakukan apabila seorang saksi berasal dari luar wilayah Indonesia juga belum jelas. B. SARAN 1. Pengaturan pemberian perlindungan saksi dalam Undang-Undang Pencucian Uang akan terlaksana efektif apabila diikuti kerjasama penegak hukum dalam melaksanakan peraturan perundang-undangan Pencucian Uang. 2. Peranan saksi dalam pembuktian perkara tindak pidana pencucian uang sangat dibutuhkan. Maka penegak hukum yang beranggapan bahwa saksi hanya digunakan sebagai alat untuk memberikan keputusan agar bersifat adil harus dihilanggan. Berdasarkan asas persamaan dalam hukum, seorang saksi juga punya hak untuk dilindungi dan diberi jaminan agar dapat memberikan keterangan dengan benar tanpa adanya tekanan dari pihak-pihak lain sehingga efeknya juga akan membuat pengungkapan kasus pencucian uang berjalan lancar. 3. Bagi penyidik, selayaknyalah mulai merubah diri dari yang selama ini Offender Oriented menjadi Victim/Witness Oriented. Penyidik harus memiliki unit dan anggaran tersendiri dalam memberikan pelayanan perlindungan terhadap saksi dan atau korban secara maksimal. Terbukti bahwa efektifitas perlindungan saksi dan/korban dapat menjadikan kembalinya kepercayaan publik akan supremasi hukum. Hukum tidak lagi milik sebagian orang yang menggunakannya sebagai alat intimidasi dari yang mengenal hukum, tapi milik seluruh elemen masyarakat. Penyidik sudah dapat membentuk suatu unit yang bertugas untuk memberika program perlindungan kepada xcvi saksi dan/tau korban..Diharapkan perlindungan terhadap saksi dan/atau korban dapat menjadi solusi perbaikan citra Kepolisian khususnya fungsi Reskrim. DAFTAR PUSTAKA Buku-Buku Amirudin dan Zainal Asikin. 2004. Pengantar Metode Penelitian Hukum. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada. Andi Hamzah. 2002. Hukum Acara Pidana Indonesia. Jakarta: PT. Sinar Grafika. Bambang Santoso. 2002. Upaya Pemberian Perlindungan Hukum Bagi Saksi Dalam Proses Perkara Tindak Pidana Korupsi dan KendalaKendalanya. Surakarta DUE-Like. Hari Sasangka dan Lily Rosita. 2003. Hukum Pembuktian dalam Perkara Pidana. Bandung: PT. Mandar Maju. Johnny Ibrahim. 2006. Teori dan Metodologi Penelitian Hukum Normatif. Malang: Bayumedia Publishing. Lexy J. Moleong. 2004. Metodologi Penelitian Kualitatif. Bandung: PT Remaja Rosdakarya. Munir Fuady. 2001. Hukum perbankan Modern Buku Kedua (Tingkat Advance). Bandung: Citra Aditya Bhakti. M. Yahya Harahap. 2002. Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP Edisi Kedua. Jakarta: Sinar Grafika. N.H.T. Siahaan. 2005. Pencucian Uang dan Kejahatan Perbankan. Jakarta: CV. Pustaka Sinar Harapan. Romli Atmasasmita. 2000. Perbandingan Hukum Pidana. Bandung: Mandar Maju. Soerjono Soekanto. 1986. Pengantar Penelitian Hukum. Jakarta: UI Press. Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji. 2001. Penelitian Hukum Normatif. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada. xcvii Sutan Remy Sjahdeni. 2004. Seluk Beluk Tindak Pidana Pencucian Uang dan Pembiayaan Terorisme. Jakarta: Grafiti. Tb. Irman S. 2006. Hukum Pembuktian pencucian Uang. Jakarta Timur: MQS publishing. Yenti Garnasih. 2003. Kriminalisasi Pencucian uang (Money Laundering). Jakarta: Program Pasca Sarjana Universitas Indonesia. Internet http://www.keadilanrakyat.org (20 April 2008 pukul 22.00) http://www.unodc.org/pdf/lap witness-protection 2000.pdf (23 Maret 2008 pukul 10.00) http://www.legalitas.org. (23 Maret 2008 pukul 10.00) http://hukumonline.com/detail.asp?id=14473&cl=Berita. Lembaga Perlindungan Saksi, di bawah Kepolisian atau Independen (21 April 2008 pukul 22.00) http://armanpasaribu.wordpress.com/2008/04/16/perspektif-pelayananreskrim-terhadap-perlindungan-saksi-dan-korban-sebagai-solusipembenahan-citra-kepolisian/ (21 April 2008 pukul 22.00) http://utusan.com.my/utusan/info.asp?y=2007&dt=1104&pub=Utusan_Malay sia&sec=Terkini&pg=bt_04.htm (21 April 2008 pukul 22.00) www.akta_pengubahan_wang_haram.htm (20 April 2008 pukul 22.00) Teten Masduki. Beberapa Catatan UU Perlindungan Saksi. <www.antikorupsi.org> ( 23 Maret 2008 pukul 10.00) Undang-Undang KUHP dan KUHAP Dilengkapi Yurisprudensi Mahkamah Agung dan Hoge Raad. Jakarta : PT. RajaGrafindo Persada Undang-Undang No. 15 Tahun 2002 sebagaimana diubah dengan UndangUndang No. 25 Tahun 2003 tentang Tindak Pidana Pencucian Uang Malaysia Anti Money Laundering Act 613.2001 Undang Undang Nomor 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban. xcviii PP No. 57 Tahun 2003 tentang Tata Cara Perlindungan Khusus bagi Pelapor dan Saksi Tindak Pidana Pencucian Uang Peraturan Kepala Kepolisian NRI Nomor Pol. 17 Tahun 2005 tentang Tata Cara Pemberian Perlindungan Khusus terhadap Pelapor dan Saksi dalam Tindak Pidana Pencucian Uang. xcix