Studi perbandingan tentang pengaturan pemberian perlindungan

advertisement
Studi perbandingan tentang pengaturan pemberian perlindungan saksi
dalam undang-undang tindak pidana pencucian uang di negara indonesia
dan malaysia
Penulisan Hukum
(Skripsi)
Disusun dan diajukan untuk
Melengkapi Persyaratan Guna Memperoleh Derajad Sarjana dalam Ilmu Hukum
Pada Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret Surakarta
Oleh :
Anita Tiar Kusuma Wardhani
E.0004089
FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS SEBELAS MARET SURAKARTA
2008
i
PERSETUJUAN PEMBIMBING
Penulisan Hukum ( Skripsi )
STUDI PERBANDINGAN TENTANG PENGATURAN PEMBERIAN
PERLINDUNGAN SAKSI
DALAM UNDANG-UNDANG TINDAK PIDANA PENCUCIAN UANG
DI NEGARA INDONESIA DAN MALAYSIA
Disusun Oleh :
ANITA TIAR KUSUMA WARDHANI
NIM : E. 0004089
Disetujui untuk Dipertahankan
Dosen Pembimbing
BAMBANG SANTOSO, S.H., M.Hum.
NIP. 131 863 797
ii
PENGESAHAN PENGUJI
Penulisan Hukum ( Skripsi )
STUDI PERBANDINGAN
TENTANG PENGATURAN PEMBERIAN PERLINDUNGAN SAKSI
DALAM UNDANG-UNDANG TINDAK PIDANA PENCUCIAN UANG
DI NEGARA INDONESIA DAN MALAYSIA
Disusun Oleh :
ANITA TIAR KUSUMA WARDHANI
NIM : E. 0004089
Telah diterima dan di sahkan oleh Tim Penguji Penulisan Hukum (Skripsi)
Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret
Hari
Tanggal
pada :
: Selasa
: 29 April 2008
TIM PENGUJI
1. .…………………………….
( Edy Herdyanto, S.H., M.H.)
Ketua
2. .…………………………….
( Kristiyadi, S.H., M.Hum.)
Sekretaris
3.
.…………………………….
(Bambang Santoso, S.H., M.Hum.)
Anggota
MENGETAHUI
Dekan
Mohammad Jamin, S. H., M.Hum
NIP 131 570 154
iii
MOTTO
Allah itu melihat setiap proses yang dilakukan umatnya bukan hasil. ( NN )
Keberhasilan besar dimulai dari hal-hal kecil. ( Nasihat Seorang Ibu)
Menjadi tua itu pasti, tapi menjadi dewasa itu suatu pilihan. ( Kecil )
Rasa syukur adalah berkah yang langka ( NN )
Cukup Allah SWT pelindungku di segala suasana. (NN )
Kehidupan yang baik lahir dari cinta kasih dan dipimpin pengetahuan. ( NN )
Carilah jalan yang lurus walaupun jalan itu harus kita tempuh dengn penuh derita. ( NN )
iv
PERSEMBAHAN
Sebuah pemikiran yang begitu tulus dan sederhana ini penulis persembahkan kepada :
Penguasa Alam Semesta, Pencipta Pemikiran dan Ilmu Pengetahuan, serta Pelindung Setiap
Makhkluk, Maha Pengasih Lagi Maha Penyayang Allah SWT.
Kepada Rasul utusan Allah, tuntutan akhlak bagi manusia,
Nabi Muhammad S.A.W.
Ayah dan Mama Astuti Dharwati.
Atas cinta dan kasih yang tak pernah putus, dan senantiasa mendoakan kebaikan bagi
penulis, semoga Allah SWT selalu melindungi dan menyayangi orangtuaku tercinta.
Adikku tercinta HiemmaTiar Kusuma Umbara
Yang selalu mengisi hari-hariku dengan suka maupun duka
Sahabat-sahabatku tersayang,
Atas keceriaan dan kebersamaan serta dukungan yang tak pernah putus, tak ada hari yang
tak indah selama kalian di sisiku.
Some one who love me with his pure heart.
&
Civitas Akademika
Fakultas Hukum UNS
v
KATA PENGANTAR
Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT yang telah
melimpahkan rahmat dan nikmat beserta petunjuk-Nya, sehingga penulis akhirnya
dapat menyelesaikan penulisan hukum (Skripsi) yang berjudul “STUDI
PERBANDINGAN
TENTANG
PENGATURAN
PEMBERIAN
PERLINDUNGAN SAKSI DALAM UNDANG-UNDANG TINDAK PIDANA
PENCUCIAN UANG DI NEGARA INDONESIA DAN MALAYSIA”.
Penulisan Hukum ini disusun dengan tujuan untuk memenuhi syarat
memperoleh gelar sarjana (S1) pada Fakultas Hukum Sebelas Maret Surakarta.
Penulis mengakui bahwa penulisan hukum ini tidaklah mungkin selesai tanpa
dukungan dari berbagai pihak . Oleh karena itu, pada kesempatan ini penulis ingin
menyampaikan rasa terima kasih yang sebesar-besarnya kepada :
1. Muhammad Jamin, S.H., M.Hum. selaku Dekan Fakultas Hukum
Universitas Sebelas Maret Surakarta.
2. Bapak Edy Herdyanto, S.H., MH, selaku Ketua Bagian Hukum Acara.,
yang telah membantu menyelesaikan penulisan hukum ini sampai
selesai.
3. Bapak Bambang Santoso, S.H., M.Hum, selaku dosen pembimbing
penulis yang memberikan bantuan dan arahan untuk membimbing
penulis, memberikan bantuan moril kepada penulis agar dapat menjadi
sarjana yang cerdas dan pekerja keras, dan selaku pembimbing Moot
Court KOMUSEMA, yang telah mencurahkan waktu dan tenaga untuk
kelangsungan Moot Court tercinta serta yang memberi Moot Court
semangat dan harapan dalam setiap langkahnya, terima kasih banyak
untuk bapak, semoga Allah SWT selalu memberikan yang terbaik
untuk bapak, Amiin.
vi
4. Bapak Pranoto, S.H., M.H., selaku pembimbing akademik penulis
selama menuntut ilmu di Fakultas Hukum Hukum Universitas Sebelas
Maret Surakarta.
5. Bapak Ibu Dosen Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret
Surakarta yang telah memberikan ilmu yang sangat berharga kepada
penulis selama menuntut ilmu di Fakultas Hukum Universitas Sebelas
Maret Surakarta.
6. Bapak Ibu Karyawan serta staf-staf tata usaha, bagian akademik,
bagian kemahasiswaan, bagian transit, bagian keamanan Fakultas
Hukum Universitas Sebelas Maret Surakarta.
7. Ayah dan Mama tercinta yang telah memberikan cinta dan kasih
sayangnya kepada penulis (Terima kasih mama selalu ada di
sampingku n menjadi semangatku buat ngerjain skripsi, yang selalu
sabar n bisa membuatku tenang).
8. Hiemma , adiku yang mengajariku menjadi orang yang dewasa.
9. Eyang putri dan Kakung, makasih atas doanya, eyang cepet sembuh
ya.
10. Pan8 (Dhaning (Ciiiiillllll ayo temani aku isi babak baru setelah
moment ini.makasih selalu disampingku n mendukungku), Feri
Basaudik (cepetin digarap skripsinya ya…..fardhu ain lho!!kan biar
bisa bareng.makasih ya umi feri yang telah jadi ibu mcc.), Dila ndul
(moga bias lancer ama arif. Ho.ho..), Odie jin botol (jadilah mahasiswa
yang baik n kembali ke jalan yang benar, dijaga ya abi odie uminya..),
Ekaaaa (thank buat editannya, n semangat buat kamu), Fadliiii Boooo
(moga cepet dapat jodoh buat pw ya!!nyusul kakakmu tu!!), Mat Juned
(dengan tomatnya itu n gaya ngomongnya yang khas juned banget).
11. Keluarga besar Moot Court Community FH UNS, Mas Pethonk
(Makasih buat pinjaman bukunya, d best hakim ketua buat kami and
vii
leader di Moot Court), Mas Aan (honey bear..hee..yang paling bisa
buat suasana nyaman n senyum), Mas Boo (yang kukagumi cara bicara
n kepandaiannya), Mas Iman (orang yang paling sabar), Heru (makasih
ya selalu nemenin aku n memberi semangat saat aku hampir
menyerah), sunit (grow up adik besar, moga ngga munajat cinta lagi),
desi (rajin belajar ya!!!!!), vita, philo, agus, rekha (thank buat
metodologinya, jadi ngerti ni..ayo teruskan mcc), dhea, and semuanya
serta official-official terbaik yang selalu menemani kami setiap saat n
juga Kang Jack Surana, ayo kang tetep semangat ya dan moga-moga
cepet dapat pendamping.
12. Mas Aji, yang meluangkan waktu untuk membimbing Moot Court, dan
pemikiran-pemikirannya yang selalu jenius, heeee..terima kasih juga
atas pinjaman bukunya.
13. My Best Friend ever after from d beginning n d last : Stevani tepong
(Makasih selalu ada buat aku, yang terlalu suka senyum-senyum
sendiri, ayo pong tentukan pilihannmu n jangan buat kakak
menungggumu.: )), Amik Sudayat binti Mingtiel (yang rela nemenin
kemana aja, yang selau membuat cerita kebodohannya saat keluar kos
dan membuat kami semua tersenyum), Rika rikong (dengan gaya
khasnya yang selalu sok cool.ayo hidupkan citra kartini seperti hari
kelahiranmu..he), icha bulat-bulat di mana-mana (moga cepet insaf n
kembali ke jalan yang lurus, semoga kami bisa membimbingnya
kembali.hee, bul2), Anis, Omeng ,Khusnul (tiga trio macan yang suka
kesana sini bareng, hazoo cepet lulus ya!!amin!!), mb Novi (ayo
semangat bareng-bareng), Bos Ria, semua anak kos yang lain yang
memberika suka duka kehidupan setahun ini di Roterdam, untuk tiwi,
astrie, agatha (thank buat masukanny ya..makasih buanyaaaaaaaak ta,
yup2 ayo makan2 n kumpul lagi), Fatma, Ria and Galih (ayo kita
kumpul-kumpul lagi), Umar (hidup cah Maagelang), Alfan (teruskan
viii
perjuanganmu ya buat PMII), Widi (afwan wid ngga bisa bantu kamu),
Ajie dan semuanya yang sudah mau menjadi teman-temanku.
14. Seluruh keluarga besar Angkatan 2004.
15. Semua pihak yang telah membantu terselesaikannya penulisan hukum
ini yang tidak dapat penulis sebutkan satu persatu.
Penulis menyadari bahwa dalam penulisan hukum ini masih jauh
dari sempurna baik dari segi materi maupun penulisannya. Oleh karena itu,
penulis
mengharapkan
kritik
dan
saran
yang
menunjang
bagi
kesempurnaan penulisan hukum ini.
Semoga penulisan hukum ini dapat bermanfaat bagi perkembangan
ilmu pengetahuan pada umumnya dan ilmu hukum pada khususnya,
sehingga tidak menjadi suatu karya yang sia-sia nantinya.
Surakarta, 21April 2008
Penulis
ix
DAFTAR ISI
Halaman Judul ……………………………………………………
i
Persetujuan ……………………………………………………….
ii
Pengesahan ……………………………………………………….
iii
Motto ……………………………………………………………...
iv
Persembahan ……………………………………………………...
v
Kata Pengantar …………………………………………………....
vi
Daftar Isi ………………………………………………………….
x
Daftar Lampiran …………………………………………………..
xii
Abstrak ……………………………………………………………
xiii
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah …………………………………
1
B. Perumusan Masalah .…………………………………….
5
C. Tujuan Penelitian...………………………………………
6
D. Manfaat Penelitian ………………………………………
7
E. Metodologi Penelitian ..………………………………….
8
F. Sistematika Penulisan ……………………………………
12
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
A. Kerangka Teori
1. Tinjauan Umum Tentang Perbandingan Hukum
a. Istilah dan Definisi Perbandingan Hukum………….
14
b. Karakteristik Sistem “Common Law” (Anglo Saxon)
dan sistem “Civil Law” (Eropa Kontinental).....…….
16
2. Tinjauan Umum Tentang Saksi
a. Pengertian Perlindungan Saksi ………………………
23
b. Lembaga Perlindungan Saksi …..................................
30
3. Tinjauan Umum Tentang Tindak Pidana Pencucian Uang
x
a. Pengertian Pencucian Uang ………………………..
30
b. Tahap-tahap Tindak Pidana Pencucian Uang............
36
B. Kerangka Pemikiran ……………………………………..
37
BAB III HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
A. Bagaimana perbandingan pengaturan pemberian perlindungan
saksi dalam Undang-Undang Tindak Pidana Pencucian Uang
di Negara Indonesia dan Malaysia ?...................................
41
B. Bagaimanakah proyeksi ke depan pengaturan pemberian
perlindungan saksi dalam perundang-undangan di Indonesia?
80
BAB IV PENUTUP
A. Kesimpulan ………………………………………………….
82
B. Saran …………………………………………………………
83
DAFTAR PUSTAKA
LAMPIRAN-LAMPIRAN
xi
DAFTAR LAMPIRAN
Lampiran
: Malaysia Anti Money Laundering Act 613.2001
xii
ABSTRAK
ANITA TIAR KUSUMA WARDHANI. E0004089. 2008. STUDI
PERBANDINGAN
TENTANG
PENGATURAN
PEMBERIAN
PERLINDUNGAN SAKSI DALAM UNDANG-UNDANG
TINDAK
PIDANA PENCUCIAN UANG DI NEGARA INDONESIA DAN
MALAYSIA. Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret Surakarta.
Penulisan Hukum (Skripsi).
Penulisan Hukum yang berjudul Studi Perbandingan tentang Pengaturan
Pemberian Perlindungan Saksi Dalam Undang-Undang Tindak Pidana Pencucian
Uang di Negara Indonesia dan Malaysia bertujuan untuk mengetahui
perbandingan pengaturan pemberian perlindungan saksi dalam Undang-Undang
Tindak Pidana Pencucian Uang di Negara Indonesia dan Malaysia.
Penulisan Hukum ini termasuk dalam jenis penelitian hukum normatif
dengan menggunakan sumber data sekunder, berupa Undang-Undang Tindak
Pidana Pencucian Uang dan Anti Money Laundering Act 613. 2001. Dalam hal ini
sumber data yang digunakan Undang-undang Nomor 25 Tahun 2003 tentang
Tindak Pidana Pencucian Uang dan juga bahan-bahan kepustakaan lainnya.
Tehnik pengumpulan data yang digunakan yaitu melalui pengumpulan data-data
sekunder. Teknik pengumpulan data dilakukan dengan studi kepustakaan untuk
mengumpulkan dan menyusun data yang berhubungan dengan masalah yang
diteliti, dengan cara menginventarisasi dan mempelajari peraturan perundangundangan, buku-buku, tulisan-tulisan dan dokumen yang berhubungan dengan
masalah yang penulis teliti. Tehnik analisis data dengan analisis isi (content).
Hasil yang diperoleh dari penelitian ini yaitu bahwa pengaturan
perlindungan saksi dalam Undang-Undang Pencucian Uang di Indonesia dan
Malaysia adalah berbeda. Dalam hal subyek yang dilindungi (yaitu: saksi, pelapor,
keluarga saksi/pelapor) serta pengaturan di Indonesia lebih luas juga dalam
pelaksanaannya yang telah dibuat pengaturan perlindungan khusus dalam PP No.
57 Th. 2003 dan Keputusan Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia No.
Pol. 17 Th 2005. Perlindungan yang diberikan pada semua tahap pemeriksaan
perkara, dalam bentuk perlindungan khusus dan hukum. Sedangkan di Malaysia,
pelaksanaanya hanya merujuk pada ketentuan perlindungan saksi dalam Anti
Money Laundering Act 613 2001. Perlindungan hanya berupa perlindungan hukum
yang diberikan kepada saksi pelapor saja, sehingga dalam selama proses
persidangan, seorang saksi tidak mendapat perlindungan.
Kata-kata kunci : Perlindungan Saksi, Pencucian Uang.
xiii
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Perkembangan pesat di berbagai bidang ikut membawa
pengaruh terhadap perkembangan di berbagai sektor. Salah
satu yang turut berkembang pesat adalah kejahatan. Perangkat
hukum untuk mencegah dan memberantas kejahatan itu sendiri
belum memadai dan masih tertinggal jauh, sehingga berbagai
jenis kejahatan baik yang dilakukan perseorangan, kelompok
atau korporasi dengan mudah terjadi dan menghasilkan harta
kekayaan dalam jumlah besar.
Kejahatan tersebut tidak hanya dilakukan dalam batas
wilayah suatu negara, namun meluas melintasi batas wilayah
negara lain,
sehingga sering disebut sebagai kejahatan
transnasional
(transnational
crime),
dalam
kejahatan
transnasional harta kekayaan hasil dari kejahatan biasanya oleh
pelaku disembunyikan, kemudian dikeluarkan lagi seolah-olah
dari hasil legal. Hal tersebut lebih dikenal dalam dunia
internasional dengan istilah pencucian uang atau money
laundering. Pencucian uang merupakan perbuatan atau upaya
dari
pelaku
kejahatan
untuk
menyembunyikan
atau
menyamarkan asal usul harta kekayaan, yang diperoleh dari
tindak pidana dengan cara memasukkan harta kekayaan hasil
kekahatan ke dalam sistem keuangan, khususnya sistem
perbankan baik di dalam atau luar negeri. Hal tersebut
bertujuan untuk menghindarkan diri dari tuntutan hukum atas
kejahatan yang telah dilakukan dan mengamankan harta
kekayaan hasil kejahtan dari sitaan para aparat hukum. Metodemetode pencucian uang yang dilakukan dengan memanfaatkan
xiv
perkembangan teknologi modern termasuk tindak kejahatan
kerah putih atau disebut white collar crime.
Bentuk kejahatan kerah putih telah dirasakan semakin
canggih serta sangat terorganisasi dengan sangat rapi. Sebagai
contoh dalam dunia ekonomi dan perbankan justru digunakan
sebagai sebagai pelarian kejahatan yang dengan sengaja
ditujukan untuk menghilangkan jejak ataupun asal-usul harta
yang dilarikan dan seakan-akan didapat dari hasil yang legal,
dan pelaku kejahatan berusaha membersihkan uang hasil
kejahatannya dengan berbagai cara yaitu salah satunya dengan
metode pencucian uang (money laundering).
Telah sama-sama diketahui bahwa dampak yang ditimbulkan
oleh pencucian uang atau money laundering yaitu dapat
mengganggu
sistem
keuangan
serta
berdampak
negatif
terhadap sistem perekonomian suatu negara. Pada akhirnya
pencucian uang akan berdampak luas pada sistem sosial
bahkan dapat mengganggu stabilitas suatu negara. Mengingat
pencucian uang juga merupakan kejahatan transnasional yang
modusnya banyak dilakukan melintasi batas-batas negara
(cross border), maka dampak yang ditimbulkan dapat pula
berakibat
negatif
pada
stabilitas
sistem
keuangan
dan
perekonomian dunia secara keseluruhan. Di sisi lain, oleh
karena pencucian uang berkaitan dengan kejahatan asal
(predicate crime) yang dilakukan oleh organized crime, maka
perkembangan pencucian uang ini akan sangat mempengaruhi
tumbuh dan berkembangnya berbagai tindak pidana pemicu
pencucian uang seperti korupsi, perdagangan gelap narkotika,
penyelundupan,
dan
illegal
memeranginya.
xv
logging
serta
upaya
untuk
Indonesia mengenal pencucian uang (money laundering)
sejak
dimasukkannya
Indonesia
ke
dalam
NCCTs
(Non-
Cooperatif Cauntries and Territories) oleh FATF (Financial
Action Task Force on Money Laundering) pada Juni 2001,
sebagai negara yang tidak kooperatif dalam pemberantasan
pencucian uang. Dasar pertimbangan dimasukkannya Indonesia
ke dalam daftar blacklist FATF disebabkan tidak adanya
perangkat yang kuat dan efektif dalam memerangi money
laundering yaitu belum adanya peraturan perundang-undangan
yang mengkriminalisasikan pencucian uang, loopholes dalam
pengaturan lembaga keuangan terutama lembaga keuangan
non-bank, terbatasnya sumber daya yang dimiliki, serta
minimnya kerjasama internasionl dalam upaya memberantas
pencucian uang.
Adanya tekanan internasional serta desakan IMF dan
dimasukkannya Indonesia ke dalam NCCTs List tersebut, maka
Indonesia mau tidak mau, suka atau tidak suka, akhirnya
membuat dan mengundangkan undang-undang anti-pencucian
uang, yaitu Undang-undang No.15 Tahun 2002 tentang Tindak
Pidana Pencucian Uang yang kemudian diamandemen dengan
Undang-Undang No. 25 Tahun 2003. Undang-Undang tersebut
mempunyai arti penting karena memuat politik hukum nasional
yang mengkriminalisasi pencucian uang di Indonesia. UndangUndang juga telah melahirkan Pusat Pelaporan dan Analisis
Transaksi Keuangan (PPATK) sebagai financial intelligence unit
dalam memberantas tindak pidana pencucian uang. Dengan
adanya UU Tindak Pidana Pencucian Uang terjadi perubahan
paradigma, yaitu tidak lagi hanya mengejar pelaku kriminalnya
tetapi juga uang hasil kejahatan tersebut. Dengan penggunaan
metode yang berbeda dengan penegakan hukum secara
xvi
konvensional diharapkan dapat menurunkan tingkat kriminalitas
dan
lebih
memberikan
kemudahan
dalam
penanganan
perkaranya.
Dalam proses pemeriksaan perkara pidana mengenai kasus
pencucian uang, saksi adalah salah satu kunci untuk peroleh
kebenaran materiil, yang merupakan kebenaran yang benarbenar terjadi. Salah satu alat bukti yang sah dalam proses
peradilan pidana adalah keterangan saksi yang mendengar,
melihat, atau mengalami sendiri terjadinya suatu tindak pidana
dalam upaya mencari dan menemukan kejelasan tentang tindak
pidana yang dilakukan oleh pelaku tindak pidana. Secara teori,
Pasal 184 dan 185 UU No. 8 Tahun 1981 tentang Kitab UndangUndang
Hukum
mengambarkan
Acara
hal
Pidana
tersebut.
(KUHAP)
Pasal
184
secara
tegas
menempatkan
keterangan saksi di urutan pertama di atas alat bukti lain. Dapat
dikatakan bahwa keberhasilan suatu proses peradilan pidana
sangatlah tergantung pada alat bukti yang berhasil dimunculkan
dalam pengadilan, yang terutama berkenaan dengan saksi. Dari
kasus yang banyak terlihat, tidak sedikit kasus yang kandas di
tengah jalan oleh karena ketiadaan saksi untuk menopang tugas
jaksa.
Dengan demikian keberadaan saksi merupakan
suatu elemen yang sangat menentukan dalam sutu proses
peradilan pidana. Namun demikian ternyata peran saksi dalam
proses peradilan pidana masih jauh dari perhatian masyarakat
dan penegak hukum. Sudah cukup sering media massa
memberitahukan adanya kasus-kasus yang tidak terungkap dan
juga tidak terselesaikan, oleh karena keengganan saksi untuk
memberikan informasi kepada pihak yang berwenang. Bahkan
sampai saat ini posisi saksi (termasuk saksi korban) dalam
proses peradilan di Indonesia hanyalah dipandang sebagai alat
xvii
yang dapat memperkuat posisi jaksa dalam persidangan.
Mereka hanya digunakan untuk melegitimasi keputusan hakim
dari keseluruhan rangkaian proses beracara di persidangan.
Saksi
belum
dilihat
sebagai
manusia
yang
memerlukan
perlindungan, akan tetapi justru dieksploitasi untuk mendukung
suatu keputusan yang dikatakan “adil”.
Mencermati kondisi yang tampak belum berkesuaian diatas,
kita sebenarnya sudah dapat menangkap suatu alur pikir bahwa
untuk menciptakan suatu kesaksian yang berkualitas hanya
akan dapat diperoleh jika ancaman-ancaman baik yang bersifat
fisik maupun psikis terhadap saksi (saksi pelapor, saksi biasa,
saksi ahli), kerugian-kerugian materiil dan berbagai masalah
lain yang menjadi kendala, dapat dihilangkan. Salah satu cara
yang
dapat
diberlakukan
perlindunagn
kepada
adalah
saksi
dengan
(Bambang
memberikan
Santoso,
2003),
khususnya dalam hal ini adalah saksi yang berkaitan dengan
perkara tindak pidana pencucian uang. Di Indonesia memang
telah
dibuat
suatu
undang-undang
payung
yang
khusus
ditujukan memberikan perlindungan kepada seorang saksi dan
korban, yaitu dalan UU No. 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan
Saksi
dan
Korban.
Sebelumnya
selain
dalam
peraturan
perundang-undangan khusus, belum ada suatu aturan yang
mengatur perlindungan saksi.
dengan
terhadap
Pasal
68
KUHAP
tersangka
Ketentuan Pasal 50 sampai
hanya
atau
mengatur
terdakwa
perlindungan
untuk
mendapat
perlindungan dari berbagai kemungkinan pelanggaran hak asasi
manusia.
Namun,
sekarang
dengan
berdasar
atas
asas
kesamaan di depan hukum (equality before the law) yang
menjadi salah satu ciri negara hukum, saksi dan korban dalam
proses peradilan pidana harus diberi jaminan perlindungan
xviii
hukum, sebagaimana tertulis dalam Undang Undang Nomor 13
Tahun 2006. Berkaitan dengan adanya perlindungan saksi
dalam tindak pidana pencucian uang juga telah diatur dalam
Undang-Undang No. 15 Tahun 2002 sebagaiman diubah dengan
Undang-Undang No. 25 Tahun 2003 tentang Tindak Pidana
Pencucian Uang, yang selanjutnya diatur tersendiri pada
Peraturan Pemerintah No. 57 Tahun 2003 tentang Tata Cara
Perlindungan Khusus Bagi Pelapor dan Saksi Tindak Pidana
Pencucian Uang.
Berdasarkan apa yang telah diuraikan di atas jelaslah bahwa
masalah perlindungan saksi dalam pemeriksaan perkara pidana
mengenai
kasus
pencucian
uang
(money
laundering)
merupakan salah satu kunci agar pengungkapan kasus dapat
berjalan sebaik-baiknya. Hal demikian merupakan topik menarik
untuk dikaji lebih mendalam melalui kegiatan penelitian hukum
seperti yang penulis laksanakan saat ini.
Untuk
mengkaji
masalah
tersebut,
diperlukan
bahan
perbandingan yang cukup dari Undang-Undang Tindak Pidana
Pencucian Uang dan undang-undang terkait lainnya dari negara
yang berbeda sistem hukum dengan Indonesia, yaitu negara
yang
menganut
sistem
“Common
Law
(Anglo
Saxon)”.
Berdasarkan pertimbangan-pertimbangan tersebut di atas maka
penulis tertarik untuk mengadakan penelitian dengan judul:
“STUDI PERBANDINGAN TENTANG PENGATURAN PEMBERIAN
PERLINDUNGAN SAKSI DALAM UNDANG-UNDANG
TINDAK
PIDANA PENCUCIAN UANG DI NEGARA INDONESIA DAN
MALAYSIA”.
B. Perumusan Masalah
xix
Perumusan masalah dalam suatu penelitian dimaksudkan
untuk mempermudah penulis dalam membatasi masalah yang
akan diteliti sehingga tujuan dan sasaran yang akan dicapai
menjadi jelas, terarah dan mendapatkan hasil seperti yang
diharapkan.
Dalam penelitian ini perumusan masalah dari masalahmasalah yang diteliti dapat dirumuskan sebagai berikut:
1. Bagaimana
perbandingan
pengaturan
pemberian
perlindungan saksi dalam Undang-Undang Tindak Pidana
Pencucian Uang di Negara Indonesia dan Malaysia ?
2. Bagaimanakah proyeksi ke depan pengaturan pemberian
perlindungan saksi dalam perundang-undangan di Indonesia?
C. Tujuan Penelitian
Menyadari bahwa setiap penelitian harus mempunyai tujuan
tertentu, demikian pula penelitian ini juga mempunyai tujuan
obyektif dan subyektif sebagai berikut:
1. Tujuan Obyektif
a). Untuk mengetahui perbandingan pengaturan pemberian
perlindungan saksi dalam Undang-Undang Tindak Pidana
Pencucian Uang di Negara Indonesia dan Malaysia.
b). Untuk
mengetahui
pemberian
proyeksi
perlindungan
undangan di Indonesia.
2. Tujuan Subyektif
xx
ke
saksi
depan
pengaturan
dalam
perundang-
a). Untuk memperluas pengetahuan dan wawasan penulis di
bidang hukum serta pemahaman aspek hukum dalam teori
dan praktek dalam lapangan hukum khususnya pemberian
perlindungan saksi dalam tindak pidana pencucian uang.
b). Untuk melengkapi syarat akademis guna memperoleh
gelar kesarjanaan dalam Ilmu Hukum pada Fakultas
Hukum Universitas Sebelas Maret Surakarta.
c). Menerapkan ilmu dan teori-teori hukum yang telah penulis
peroleh agar dapat memberi manfaat bagi penulis sendiri
khususnya dan masyarakat pada umumnya.
D. Manfaat Penelitian
1. Manfaat Teoritis
a). Memberi masukan pemikiran bagi pengembangan ilmu
pengetahuan
khususnya,
dalam
ilmu
hukum
pada
umumnya dan khususnya pengaturan hukum pidana yang
berkaitan dengan pemberian perlindungan saksi dalam
tindak pidana pencucian uang.
b). Hasil penelitian ini dapat menambah literatur, referensi
dan bahan-bahan informasi ilmiah mengingat perlindungan
saksi dalam Undang-Undang
Tindak Pidana Pencucian
Uang masih merupakan bahasan yang tergolong baru
dalam penerapan hukum di Indonesia.
2. Manfaat Praktis
a). Memberikan jawaban terhadap permasalahan yang diteliti.
xxi
b). Guna mengembangkan penalaran dan membentuk pola
pikir
yang
kemampuan
dinamis
penulis
sekaligus
dalam
untuk
menerapkan
mengetahui
ilmu
yang
diperoleh.
c). Hasil penulisan ini diharapkan dapat membantu dan
memberi
masukan
kepada
semua
pihak
yang
membutuhkan pengetahuan terkait masalah yang diteliti
dan dapat dipakai sebagai sarana yang efektif dan
memadai dalam upaya memulihkan kerugian negara yang
ditimbulkan akibat tindak pidana pencucian uang.
E. Metode Penelitian
Metode merupakan cara yang utama yang digunakan untuk
mencapai suatu tujuan, untuk mencapai tingkat ketelitian,
jumlah
dan
jenis
yang
dihadapi.
Akan
tetapi
dengan
mengadakan klasifikasi yang berdasarkan pada pengalaman,
dapat ditentukan teratur dan terpikirkannya alur yang runtut
dan baik untuk mencapai suatu maksud. (Winarno Surakhmat,
1982:131 )
Penelitian
adalah
mengembangkan,
suatu
dan
usaha
menguji
untuk
menemukan,
kebenaran
suatu
pengetahuan,gejala atau hipotesa, usaha mana dilakukan
dengan menggunakan metode ilmiah (Sutrisno Hadi, 1989:4).
Dengan demikian pengertian metode penelitian adalah cara
yang teratur dan terpikir secara runtut dan baik dengan
menggunakan metode ilmiah yang bertujuan untuk menemukan,
mengembangkan maupun
guna menguji kebenaran maupun
ketidakbenaran dari suatu pengetahuan, gejala atau hipotesa.
xxii
1. Jenis Penelitian
Mengacu pada judul dan perumusan masalah, maka penelitian ini
termasuk ke dalam kategori penelitian normatif atau penelitian
kepustakaan, yaitu penelitian yang dilakukan dengan cara meneliti bahan
pustaka atau data sekunder yang terdiri dari bahan hukum primer, bahan
hukum sekunder dan bahan hukum tersier. Bahan-bahan tersebut disusun
secara sistematis, dikaji, kemudian ditarik suatu kesimpulan dalam
hubungannya dengan masalah yang diteliti.
Senada dengan Soerjono Soekanto bahwa penelitian hukum yang
dilakukan dengan cara meneliti bahan pustaka atau data sekunder belaka
dapat dinamakan penelitian hukum normatif atau penelitian hukum
kepustakaan. Penelitian hukum normatif atau kepustakaan tersebut
mencakup:
a. Penelitian terhadap asas-asas hukum
b. Penelitian terhadap sistematik hukum
c. Perbandingan hukum
d. Sejarah hukum (Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji, 1990:
15)
Penelitian yang di gunakan oleh penulis dalam penelitian
normatif
ini
adalah
perbandingan
hukum
yang
membandingkan antara Pengaturan Pemberian Perlindungan
Saksi dalam Undang-undang tindak pidana pencucian uang di
Negara Indonesia dan Malaysia.
2. Sifat Penelitian
Penelitian
hukum
ini
bersifat
deskriptif.
Penelitian
deskriptif adalah penelitian yang bertujuan menggambarkan
secara tepat sifat-sifat suatu individu, keadaan, gejala, atau
xxiii
kelompok tertentu, atau untuk menentukan ada tidaknya
hubungan antara suatu gejala dengan gejala lain dalam
masyarakat (Amirudin dan Z. Asikin. 2004 : 25). Dalam
penelitian ini penulis menggambarkan suatu perbandingan
tentang pengaturan pemberian perlindungan saksi dalam
tindak pidana pencucian uang di Negara Indonesia dan
Malaysia.
3. Pendekatan Penelitian
Dalam menjelaskan penelitian ini penulis menggunakan
pendekatan normatif/ juridis tentang pengaturan pemberian
perlindungan saksi dalam tindak pidana pencucian uang di
Negara Indonesia dan Malaysia.
4. Jenis Data
Jenis data yang dipergunakan dalam penelitian ini berupa data
sekunder, yaitu data atau informasi hasil penelaahan dokumen penelitian
serupa yang pemah dilakukan sebelumnya, bahan kepustakaan seperti
buku-buku, literatur, koran, majalah, jurnal maupun arsip-arsip yang
sesuai dengan penelitian yang akan dibahas.
Data sekunder dalam penelitian ini meliputi :
a. Bahan Hukum Primer, yaitu bahan-bahan yang mengikat,
terdiri dari :
1) Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP)
xxiv
2) Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2003 tentang Tindak Pidana
Pencucian Uang.
3) Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 57 Tahun 2003
tentang Tata Cara Perlindungan Khusus Bagi Pelapor dan Saksi
Tindak Pidana Pencucian Uang.
4) Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006 Tentang Perlindungan
Saksi dan Korban.
5) Anti Money Laundering Act 613, 2001. (Malaysia)
b. Bahan Hukum Sekunder, yang memberikan penjelasan
mengenai bahan hukum primer, seperti
1) Hasil karya ilmiah para sarjana yang relevan/terkait
dalam penelitian ini
2) Hasil-hasil
penelitian
yang
relevan/terkait
dalam
penelitian ini.
c. Bahan Hukum Tersier atau penunjang, yaitu bahan yang
memberikan petunjuk maupun penjelasan terhadap bahan
hukum primer dan bahan hukum sekunder, diantaranya :
(Soerjono Soekanto, 2001: 13).
1) Bahan dari media internet yang relevan dengan
penelitian ini;
2) Kamus Hukum (Black’s Law Dictionary).
5. Sumber Data
Sumber data merupakan tempat di mana dan ke mana data dari suatu
penelitian dapar diperoleh. Dalam penelitian ini, sumber data yang
digunakan adalah sumber data sekunder berupa dokumen publik atau
catatan-catatan resmi, yaitu dokumen peraturan perundang-undangan serta
peraturan pelaksanaan yang memuat tentang pengaturan pemberian
xxv
perlindungan saksi pada umumnya dan khususnya dalam Tindak Pidana
Pencucian Uang. Selain sumber data yang berupa undang-undang negara
maupun peraturan pemerintah, data juga diperoleh dari makalah-makalah,
buku-buku referensi dan artikel media massa yang mengulas tentang
pengaturan pemberian perlindungan saksi dalam Tindak Pidana Pencucian
Uang di Indonesia dan Malaysia.
6. Teknik Pengumpulan Data
Sehubungan dengan jenis penelitian yang merupakan penelitian
nonnatif maka untuk memperoleh data yang mendukung, kegiatan
pengumpulan data dalam penelitian ini adalah dengan cara pengumpulan
(dokumentasi) data-data sekunder. Teknik pengumpulan data dilakukan
dengan studi kepustakaan untuk mengumpulkan dan menyusun data yang
berhubungan dengan masalah yang diteliti.
7. Teknik Analisis Data
Analisis data merupakan langkah selanjutnya untuk mengolah hasil
penelitian menjadi suatu laporan. Analisis data adalah proses
pengorganisasian dan pengurutan data dalam pola, kategori dan uraian
dasar, sehingga akan dapat ditemukan tema dan dapat dirumuskan
hipotesis kerja seperti yang disarankan oleh data (Lexy J. Moleong, 1993 :
103).
Teknik analis data dalam penelitian ini menggunakan analisis isi
(content analysis). Menurut Krippendorf, analisis isi yaitu serangkaian
metode untuk menganalisa isi segala bentuk komunikasi dengan
mereduksi seluruh isi komunikasi menjadi serangkaian kategori yang
mewakili hal-hal yang ingin diteliti. Mengenai kegiatan analisis isi dalam
penelitian ini adalah mengklasifikasi pasal-pasal dokumen sampel ke
dalam kategori yang tepat. Setelah analisis data selesai, maka hasilnya
akan disajikan secara deskriptif yaitu dengan jalan menuturkan dan
menggambarkan apa adanya sesuai dengan permasalahan yang diteliti dan
data yang diperoleh.
F.
Sistematika Penulisan Hukum
xxvi
Untuk memberi gambaran secara menyeluruh mengenai sistematika
penulisan hukum yang sesuai dengan aturan baru dalam penulisan hukum
maka penulis menggunakan sistematika penulisan hukum. Adapun
sistematika penulisan hukum ini terdiri dari empat bab yang tiap-tiap bab
terbagi dalam sub-sub bagian yang dimaksudkan untuk memudahkan
pemahaman terhadap keseluruhan hasil penelitian ini. Sistematika penulisan
hukum tersebut adalah sebagai berikut :
BAB I
PENDAHULUAN
Dalam bab ini diuraikan mengenai latar belakang masalah,
perumusan masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian,
metodologi penelitian dan sistematika penulisan hukum.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
Dalam bab ini berisi tentang tinjauan umum tentang
perbandingan hukum yang mencakup istilah dan definisi
perbandinagn hukum serta karakteristik sistem “Common Law”
dan sistem “Civil Law”, perlindungan saksi yang mencakup
perlindungan saksi dan lembaganya, serta tindak pidana
pencucian uang (money laundering).
BAB III
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
Dalam bab ini penulis akan membahas dan menjawab
permasalahan yang telah ditentukan sebelumnya yaitu
bagaimana perbandingan pengaturan pemberian perlindungan
saksi dalam Undang-Undang Tindak Pidana Pencucian Uang di
Negara Indonesia dan Malaysia dan bagaimanakah proyeksi ke
depan pengaturan pemberian perlindungan saksi dalam
perundang-undangan di Indonesia dari hasil yang di dapat
dalam perbandingan tersebut.
BAB IV
PENUTUP
Dalam bab ini berisi kesimpulan dari jawaban
permasalahan yang menjadi obyek penelitian dan saran-saran
DAFTAR PUSTAKA
xxvii
LAMPIRAN
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
B.
Kerangka Teori
1. Tinjauan Umum Tentang Perbandingan Hukum
a). Istilah dan Definisi Perbandingan Hukum
Istilah perbandingan hukum, dalam bahasa asing,
diterjemahkan: comparative law (bahasa Inggris), vergleihende
rechstlehre (bahasa Belanda), droit comparé (bahasa Perancis).
Istilah ini, dalam pendidikan tinggi hukum di Amerika Serikat,
sering diterjemahkan lain, yaitu sebagai conflict law atau
dialihbahasakan, menjadi hukum perselisihan, yang artinya
menjadi lain bagi pendidikan hukum di Indonesia. (Romli
Atmasasmita, 2000 : 6)
Istilah yang dipergunakan dalam penulisan hukum ini, adalah
perbandingan hukum (pidana). Istilah ini sudah memasyarakat di
kalangan teoritikus hukum di Indonesia, dan tampaknya sudah
sejalan dengan istilah yang telah dipergunakan untuk hal yang
sama di bidang hukum perdata, yaitu perbandingan hukum
perdata. Untuk memperoleh bahan yang lebih lengkap, maka
perlu dikemukakan definisi perbandingan hukum dari beberapa
pakar hukum terkenal.
Rudolf B. Schlesinger dalam Romli Atmasasmita
mengatakan bahwa, perbandingan hukum merupakan
metode penyelidikan dengan tujuan untuk memperoleh
pengetahuan yang lebih dalam tentang bahan hukum tertentu.
Perbandingan hukum bukanlah perangkat peraturan dan
asas-asas hukum dan bukan suatu
cabang hukum,
xxviii
melainkan merupakan teknik untuk menghadapi unsur hukum
asing dari suatu masalah hukum. (Romli Atmasasmita, 2000 : 7)
Gutteridge dalam Romli Atmasasmita menyatakan bahwa
perbandingan hukum adalah suatu metode yaitu metode
perbandingan yang dapat digunakan dalam semua cabang
hukum. Gutteridge membedakan antara comparative law
dan foreign law (hukum asing), pengertian istilah yang
pertama untuk membandingkan dua sistem hukum atau
lebih, sedangkan pengertian istilah yang kedua, adalah
mempelajari hukum asing tanpa secara nyata
membandingkannya dengan sistem hukum yang lain.
(Winterton, dalam The Am.J.of Comp. L., 1975 : 72 di
terjemahkan dalam buku Romli Atmasasmita, 2000 : 7)
Lemaire dalam Romli Atmasasmita mengemukakan,
perbandingan hukum sebagai cabang ilmu pengetahuan (yang
juga mempergunakan metode perbandingan) mempunyai lingkup
: (isi dari) kaidah-kaidah hukum, persamaan dan perbedaannya,
sebab-sebabnya dan dasar-dasar kemasyarakatannya. (Romli
Atmasasmita, 2000 : 9)
Orucu dalam Romli Atmasasmita mengemukakan suatu
definisi perbandingan hukum sebagai berikut :
Comparative law is legal discipline aiming at ascertaining
similarities and differences and finding out relationship
between various legal sistems, their essence and style,
looking at comparable legal institutions and concepts and
typing to determine solutions to certain problems in these
sistems with a definite goal in mind, such as law reform,
unification etc. (Perbandingan hukum merupakan suatu
disiplin ilmu hukum yang bertujuan menemukan persamaan
dan perbedaan serta menemukan pula hubungan-hubungan
erat antara berbagai system-sistem hukum; melihat
perbandingan lembaga-lembaga hukum konsep-konsep
serta mencoba menentukan suatu penyelesaian atas
masalah-masalah tertentu dalam sistem-sistem hukum
dimaksud dengan tujuan seperti pembaharuan hukum,
unifikasi hukum dan lain-lain). (Romli Atmasasmita, 2000 :
10)
Romli Atmasasmita yang berpendapat perbandingan hukum
adalah ilmu pengetahuan yang mempelajari secara sistematis
xxix
hukum (pidana) dari dua atau lebih sistem hukum dengan
mempergunakan metode perbandingan. (Romli Atmasasmita,
2000 : 12)
b). Karakteristik Sistem “Common Law” (anglo saxon)
dan sistem “Civil Law”(Eropa kontinental) Di sini
penulis
mengambil
contoh
Negara
Inggris
dan
Belanda, dikarenakan Inggris merupakan penganut
sistem
Common
Law
yang
murni,
sendangkan
Belanda merupakan negara yang menurunkan sistem
hukum civil law yang digunakan di Indonesia.
(1) Karakteristik
sistem
hukum
Inggris
pada
umumnya,
khususnya dalam hukum pidana dan acara pidana.
Pertama. Sistem hukum Inggris (Common Law Sistem)
bersumber pada :
(a) Custom, merupakan sumber hukum yang tertua di
inggris. Pada abad ke 14 Custom melahirkan “common
law” dan kemudian digantikan dengan precedent.
(b) Legislation; berarti undang-undang yang dibentuk
melalui parleman dan disebut statutes.
(c) Case-law, sebagai salah satu sumber hukum Inggris
mempunyai karakteristik yang utama. Seluruh hukum
kebiasaan yang berkembang dalam masyarakat tidak
melalui Parlemen, akan tetapi dilakukan oleh para
hakim, sehingga dikenal dengan istilah ”Judge-made
law”. Setiap putusan hakim di inggris merupakan
precedent bagi hakim yang akan datang, sehingga
lahirlah doktrin Precedent sampai sekarang.
xxx
Kedua. Sebagai konsekwensi dipergunakannya case-law
dengan doktrin precedent yang merupakan ciri utama maka
sistem hukum Inggris tidak sepenuhnya menganut asas
legalitas.
Ketiga. Bertitik tolak dari doktrin precedent tersebut,
maka kekuasaan hakim di dalam sistem hukum Common Law
sangat luas dalam memberikan penafsiran terhadap suatu
ketentuan yang tercantum dalam undang-undang. Bahkan
hakim di Inggris diperbolehkan tidak sepenuhnya bertumpu
pada ketentuan suatu undang-undang jika diyakini olehnya
bahwa ketentuan tersebut tidak dapat diterapkan dalam kasus
pidana yang sedang dihadapinya. Dalam hal demikian hakim
dapat menjatuhkan putusannya sesuai dengan kebiasaankebiasaan atau melaksanakan asas precedent sepenuhnya.
Dilihat dari segi kekuasaan hakim Inggris yang sangat luas
dalam memberikan penafsiran tersebut, sehingga dapat
membentuk hukum baru, maka nampaknya sistem hukum
Common Law kurang memperhatikan kepastian hukum.
Keempat. Ajaran Kesalahan dalam sistem hukum
Common Law (Inggris) dikenal melalui doktrin Mens-Rea
yang dilandaskan pada maxim: “Actus non est reus nisi mens
sit rea”, yang berarti: “suatu perbutan tidak mengakibatkan
seseorang bersalah kecuali jika pikiran orang itu jahat”.
Ajaran Mens-Rea ini dalam sistem hukum Inggris
dirumuskan berbeda-beda tergantung dari kwalifikasi delik
yang dilakukan seseorang. Pada sistem hukum Common Law,
doktrin Mens-Rea secara klasik diartikan setiap perkara
pelanggaran hukum yang dilakukan adalah disebabkan karena
pada diri orang itu sudah melekat sikap batin yang jahat (evil
will), dan karenanya perbuatan tersebut dianggap merupakan
dosa. Lord Denning, seorang hakim terkemuka di Inggris
memberikan komentar atas doktrin Mens-Rea, dengan
mengatakan: “In order that an act should be punishable it
must be morally blame-worthy”. Sedangkan Jerome Hall,
mengatakan bahwa Means-Rea adalah “a voluntary doing of
morally wrong act forbidden by penal law”.(Roeslan
Saleh,1982:23 sebagaimana telah dikutip oleh Romli
Atmasasmita, 2000: 37)
xxxi
Kelima. Dalam sistem Common Law (Inggris)
pertanggungjawaban pidana tergantung dari ada atau
tidaknya: a) actus-reus dan b) mens-rea. Namun demikian
unsur “mens-rea” ini adalah merupakan unsur yang mutlak
dalam pertanggungjawaban pidana dan harus ada terlebih
dulu pada perbuatan tersebut sebelum dilakukan penuntutan
(Roeslan Saleh,1982:28).
Keenam. Sistem hukum Inggris dan negara-negara yang
menganut sistem Common Law tidak mengenal perbedaan
antara Kejahatan dan Pelanggaran. Sistem Common Law
membedakan tindak pidana (secara klasik) dalam: Kejahatan
berat atau “felonies”, kejahatan ringan atau “misdemeanors”
dan kejahatan terhadap negara atau “treason”. Setelah
dikeluarkannya “Criminal Law Act” (1967) pembedaan
sebagai berikut:
(a) Indictable Offences, adalah kejahatan-kejahatan berat
yang hanya dapat diadili dengan sistem Juri melalui
pengadilan yang disebut Crown Court.
(b) Summary Offences, adalah kejahatan-kejahatan kurang
berat yang hanya dapat diadili oleh suatu pengadilan
(magistrate court) tanpa dengan sistem Juri.
(c) Arrestable Offence, adalah kejahatan-kejahatan yang
diancam dengan hukuman di bawah 5 (lima) tahun
kepada seorang pelaku kejahatan yang belum pernah
melakukan kejahatan. Penangkapan terhadap pelaku
tersebut dilakukan tanpa surat perintah penangkapan.
Ketujuh. Sistem hukum acara pidana yang berlaku di
negara-negara Common Law pada prinsipnya menganut
“sistem Accusatoir” atau yang secara populer dikenal dengan
sebutan “Advesary Sistem”. Sistem accusatoir atau Adversary
sistem menempatkan tersangka dalam proses pemeriksaan
pendahuluan dan pemeriksaan di muka sidang-sidang
xxxii
pengadilan sebagai subjek hukum yang memiliki hak (asasi)
dan kepentingan yang harus dilindungi.
Kedelapan. Sistem pemidanaan yang berlaku pada
umumnya negara-negara yang menganut sistem Common
Law adalah bersifat kumulatif. Sistem pemidanaan tersebut
memungkinkan seseorang dituntut dan dijatuhi pidana karena
melakukan lebih dari satu tindak pidana. Jika kesemua
tuntutan tersebut terbukti di muka sidang pengadilan maka
pelaku tindak pidana tersebut dijatuhi sekaligus semua
ancaman hukuman yang dikenakan kepadanya.
(2) Karakteristik Sistem Hukum Belanda pada umumnya,
khususnya dalam hukum pidana dan acara pidana
Pertama. Sistem hukum Belanda (Civil Law Sistem)
bersumber pada :
(a) Undang-Undang Dasar;
(b) Undang-undang;
(c) Kebiasaan case-law;
(d) Doktrin
Peraturan perundang-undangan yang mengatur hukum
pidana umum adalah sebagai berikut :
(a) Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (Penal Code atau
Wetboek van Strafrecht).
(b) Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (Code of
Crime Procedure atau Wetboek van Strafvordering).
(c) Undang-Undang tentang Susunan, organisasi, kekuasaan
dan tugas-tugas Pengadilan dan Sistem Penuntutan
(Judicial Act atau Wet op de Rechterlijke Organisatie).
Kedua. Dari sistem hukum Belanda (Civil Law Sistem)
adalah dianutnya asas legalitas atau “the principles of
legality”. Asas ini mengandung makna sebagi berikut:
xxxiii
(a) Tiada suatu perbuatan merupakan suatu tindak pidana,
kecuali telah ditentukan dalam undang-undang terlebih
dahulu. Undang-undang dimaksud adalah hasil dari
perundingan Pemerintah Parlemen.
(b) Ketentuan
undang-undang
harus
ditafsirkan
secara
harfiah dan pengadilan tidak diperkenankan memberikan
suatu penafsiran analogis untuk menetapkan suatu
perbuatan sebagai tindak pidana.
(c) Ketentuan undang-undang tidak berlaku surut.
(d) Menetapkan bahwa hanya pidana yang tercantum secara
jelas dalam undang-undang yang boleh dijatuhkan.
Dalam praktik penyelesaian perkara pidana di negeri
belanda prinsip legalitas dan penafsiran yang diperbolehkan
dari prinsip tersebut diserahkan sepenuhnya kepada para
pelaksana / praktisi hukum, seperti, jaksa dan hakim.
Mengingat penafsiran yang bersifat kaku terhadap ketentuan
undang-undang menurut asas legalitas ini, maka peranan
putusan Mahkamah Agung menjadi lebih penting. (Romli
Atmasasmita, 2000 : 48)
Ketiga. Dianutnya asas legalitas sebagaimana diuraikan
dalam butir kedua diatas, sangat berpengaruh terhadap soal
pertanggungjawaban pidana (criminal liability atau
strafbaarheid). Syarat umum bagi adanya
pertanggungjawaban pidana menurut hukum pidana Belanda
adalah adanya gabungan antara perbuatan yang dilarang dan
pelaku yang diancam dengan pidana. Perbuatan pelanggaran
hukum dari pelaku harus memenuhi syarat sebagai berikut :
(a) Bahwa perbuatan tersebut (berbuat atau tidak berbuat)
dilakukan seseorang.
(b) Diatur dalam ketentuan undang-undang termasuk lingkup
definisi pelanggaran.
(c) Bersifat melawan hukum.
xxxiv
Ketiga syarat bagi adanya suatu pertanggungjawaban
pidana tersebut di atas sesungguhnya merupakan suatu
konstruksi gabungan dari syarat-syarat adanya sifat
pertanggungjawaban pidana dan kekecualian-kekecualian
dari pertanggungjawaban pidana. Dalam soal
pertanggungjawaban pidana sistem hukum pidana Belanda
(Civil Law) menganut asas kesalahan pada perbuatannya
(dodex-strafrecht).
Keempat. Dianutnya asas legalitas dalam sistem hukum
pidana Belanda mengakibatkan keterikatn hakim terhadap isi
ketentuan undang-undang dalam menyelesaikan perkara
pidana. Hakim tidak diperbolehkan memperluas penafsiran
terhadap isi ketentuan undang-undang sedemikian rupa
sehingga dapat membentuk delik-delik baru.
Kelima. Sistem hukum pidana belanda mengenal
pembedaan antara Kejahatan (Misdrijven) dan Pelanggaran
(Overtredingen). Pembedaan antara kejahatan dan
pelanggaran tersebut semula didasarkan atas pertimbangan
tentang adanya pengertian istilah “rechtedelict” dan
”wetdelict”; namun perbedaan tersebut tidak dianut lagi
dalam doktrin. Perbedaan kejahatan dan pelanggaran dewasa
ini didasarkan atas ancaman hukumannya; kejahatan
memperoleh ancaman hukum yang lebih berat dari
pelanggaran.
Keenam. Sistem peradilan yang dianut di semua negara
yang berlandaskan “Civil Law Sistem” pada umumnya adalah
sistem Inquisatoir. Sistem Inquisatoir menempatkan
tersangka sebagai objek pemeriksaan baik pada tahap
pemeriksaan pendahuluan maupun pada tahap pemeriksaan di
muka sidang pengadilan.
Ketujuh. Sistem pemidanaan yang dianut pada umumnya
di negara-negara yang berlandaskan civil Law Sistem adalah
sistem pemidanaan Alternatif dan Alternatif-kumulatif,
dengan batas minimum dan maksimum ancaman pidana yang
diperkenankan menurut Undang-Undang.
xxxv
Sesungguhnya apabila kita telusuri karakteristik yang
melekat pada kedua sistem hukum sebagaimana telah
diuraikan di atas, pendekatan dari segi historis, khususnya
mengenai perkembangan hukum pidana di Eropa Continental
yang menganut sistem “Civil Law” lebih menonjol dan lebih
menampakkan dirinya keluar dari batas wilayah yuridiksi
sistem “Common Law”. Perkembangan penerapan sistem
“Civil Law” di negara dunia ketiga pada awalnya dipaksakan
jika dibandingkan dengan penerapan penggunaan sistem
“Common Law” di negara-negara bekas jajahan-jajahannya.
Sebagai contoh penggunaan dan pemakaian sistem hukum
Belanda di Indonesia dan sestem hukum Inggris dan
Malaysia atau Singapura. Satu-satunya karakteristik yang
sama antara kedua sistem hukum (legal sistem) tersebut
adalah bahwa keduanya menganut falsafah dan doktrin
liberalisme. (Romli Atmasasmita, 2000 :50)
2. Tinjauan Umum Tentang Saksi
a.
Pengertian Perlindungan Saksi
Selain
dalam
peraturan
perundang-undangan
khusus, belum ada suatu aturan yang mengatur
terhadap perlindungan saksi.
Ketentuan Pasal 50
sampai dengan Pasal 68 Undang-Undang Nomor 8
Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana hanya
mengatur perlindungan terhadap tersangka atau
terdakwa untuk mendapat perlindungan dari berbagai
kemungkinan
Namun,
pelanggaran
sekarang
dengan
hak
asasi
berdasar
manusia.
atas
asas
kesamaan di depan hukum (equality before the law)
yang menjadi salah satu ciri negara hukum, saksi dan
korban dalam proses peradilan pidana harus diberi
jaminan perlindungan hukum, yang tertulis dalam
Undang Undang Nomor 13 Tahun 2006 tentang
Perlindungan Saksi dan Korban.
xxxvi
Hingga
saat
ini
pengaturan
mengenai
saksi
sebagai berikut:
1). KUHP (UU No.1 Tahun 1946)
Sebagai
produk
hukum
yang
mengatur
mengenai pidana materiil, di dalam KUHP tidak
banyak
ditemui
pengaturan
mengenai
perlindungan terhadap saksi. Dalam hal ini hanya
terdapat dua pasal yang mengatur mengenai
kewajiban
seorang
saksi
dalam
proses
persidangan pidana, yaitu:
a). Pasal
234:
Barang
siapa
yang
dipanggil
menurut undang-undang akan menjadi saksi,
ahli atau juru bahasa, dengan sengaja tidak
memenuhi suatu kewajiban yang sepanjang
undang-undang harus dipenuhi dalma jabatan
tersebut, dihukum: 1.dalam perkara pidana
dengan
hukuman
penjara
selama-lamanya
sembilan bulan. 2.dalam perkara lain, dengan
hukuman penjara selama-lamanya enam bulan.
b). Pasal 522: Barang siapa dengan melawan hak
tidak
datang
sesudah
dipanggil
menurut
undang-undang untuk menjadi saksi, ahli atau
juru bahasa, dihukum dengan denda paling
banyak enam puluh rupiah.
Dalam KUHP sama sekali tidak diatur hak-hak
yang dimiliki oleh seorang saksi, sedangkan di lain
sisi saksi tersebut dibebani kewajiban untuk
memberikan kesaksiannya terhadap suatu tindak
xxxvii
pidana. Dengan kata lain, karena tidak diaturnya
hak-hak saksi dalam KUHP dan yang diatur justru
mengenai ketentuan-ketentuan yang mewajibkan
seorang
saksi
untuk
perundang-undangan,
memenuhi
hal
ketentuan
ini
sebenarnya
melemahkan posisi saksi itu sendiri.
2). KUHAP (UU No.8 Tahun 1981)
a). Subyek yang Dilindungi
KUHAP
tidak
secara
jelas
mengatur
mengenai perlindungan saksi. Namun secara
implisit sebagi subyek yang dilindungi dalam
KUHAP adalah saksi, yang dalam hal ini
mencakup saksi biasa, saksi korban dan saksi
ahli. Yang dimaksud saksi menurut pasal 1
angka 26 KUHAP adalah “orang yang dapat
memberikan
keterangan
guna
kepentingan
penyidikan, penuntutan dan peradialn tentang
suatu perkara pidana yang ia dengar sendiri, ia
lihat sendiri dan ia alami sendiri”.
b). Hak dan Alternatif Perlakuan Bagi Saksi
Secara implisit dapat kita temukan dalam
beberapa
pasal
KUHAP
yang
mengatur
bagaimana perlindungan hukum bagi saksi
diberikan, antara lain :
(1) Pasal 117 ayat (1) : Keterangan tersangka
dan atau saksi kepada penyiudik diberikan
xxxviii
tanpa tekanan dari siapapun, dan atau
dalam bentuk apapun.
(2) Pasal 118 : keterangan tersangka dan atau
saksi dicatat dalam berita acara ynag
ditandatangani oleh penyidik, oleh yang
memberikan keterangan itu setealh mereka
menyetujui.
(3) Pasal
166
:
Pertanyaan
yang
bersifat
menjerat tidak boleh dianjurkan kepada
terdawa maupun kepada saksi.
(4) Pasal 173 : Hakim ketua sidang dapat
mendengar keterangna saksi mengenai hal
tertentu tanpa hadirnya terdakwa, untuk itu
ia minta terdakwa keluar dari sidang akan
tetapi sesudah itu pemeriksaaan perkara
tidak boleh diteruskan sebelum kepada
terdakwa diberitahukan semua hal pad
awaktu ia tidak hadir.
Penjelasan Pasal 173:
Apabila
menurut
pendapat
hakim
seorang saksi itu akan merasa tertekan atau
tidak bebas dalam memberikan keterangan
apabila terdakwa hadir di sidang, maka
untuk menjaga hal nag tidak diinginkan
hakim dapat menyuruh terdakwa keluar
untuk sementara dari persidangan selama
hakim
mengajukan
saksi.
xxxix
pertanyaan
kepada
(5) Pasal 177 (1) : jika terdakwa atau saksi tidak
paham bahsa Indonesia, hakim ketua sidang
menunjuk
seorang
bersumpah
juru
atau
bahasa
berjanji
yang
akan
menterjemahkan dengan benar semua yang
harus diterjemahkan
(6) Pasal 178 (1) : Jika terdakwa atau saksi bisu
atau tuli serta tidak dapat membaca dan
menulis, hakim ketua sidang mengangkat
penerjemah orang yang pandai bergaul
dengan terdakwa atau saksi itu.
(7) Pasal 178 (2) : Jika terdakwa atau saksi bisu
atau tuli tetapi dapat menulis, hakim ketua
sidang menyampaikan semua pertanyaan
atau teguran kepadanay secara tertulis dan
kepada
terdakwa
atau
saksi
tersebut
diperintahkan untuk menulis jawabannay
dan selanjutnya semua pertanyaan serta
jawaban harus dibacakan.
(8) Pasal 227 (1) : Semua jenis pemberitahuan
atua pangilan oleh pihak yang berwenang
dalam semua tingkat pemeriksaan kepada
terdakwa,
saksi
atau
selambat-lambatnya
ahli
tiga
disampaikan
hari
sebelum
tanggal hadir yang ditentukan di tempat
tinggal mereka atau di tempat kediaman
mereka terakhir.
(9) Pasal 229 (1) : Saksi atau ahli ynag telah
hadir memenuhi panggilan dalam rangka
memberikan keterangan di semua tingkat
pemeriksaan berhak mendapat penggantian
xl
biaya menurut aturan perundang-undangan
yang berlaku.
Adakalanya seorang saksi juga merupakan
korban dalam suatu tindak pidana, sehingga
selain hak-hak tersebut diatas, seorang saksi
juga berhak meminta ganti kerugian. Kapasitas
saksi dalam hal ini adalah sebagai saksi korban,
yaitu seorang korban dari suatu tindak pidana
yang juga melakukan kesaksian. Mengenai hal
ini diatur dalam pasal 98 ayat (1), yaitu: “Jika
suatu
tindak
pidana
yang
menjadi
dasar
dakwaan di dalam suatu pemeriksaan perkara
pidana oleh pengadilan negeri menimbulkan
kerugian bagi orang lain maka hakim ketua
sidang
atas
permintaan
orang
itu
dapat
menetapkan untuk menggabungkan perkara
gugatan kerugian kepada perkara pidana itu ”.
Dalam
penjelasan
pasal
98
tersebut
disebutkan bahwa “kerugian bagi orang lain”
termasuk kerugian bagi korban. Maka jika
seorang saksi juga sekaligus menjadi korban, di
dapat meminta ganti kerugian dengan cara
menggabungkan
gugatan
ganti
kerugian
kepada perkara pidana yang bersangkutan.
Disamping Pasal 98 diatas, dapat juga dilihat
pada Pasal 81 KUHAP mengenai praperadilan,
yaitu: “Permintaan ganti kerugian dan atau
rehabilitasi akibat tidak sahnya penangkapan
atau
penahanan
xli
atau
akibat
sahnya
penghentian
penyidikan
atau
penuntutan
diajukan oleh tersangka atau pihak ketiga ynag
berkepentingan
kepada
Ketua
Penngadilan
Negeri dengan menyebut alasannya”. Kapasitas
saksi disini juga merupakan saksi korban,
dalam hal ini seorang korban dapat merupakan
pihak ketiga yang mempunyai kepentingan jika
sebuah perkara dihentikan.
c). Kewajiban Saksi
Seorang saksi tidak hanya memiliki hak-hak
saja, namun juga terdapat beberapa kewajiban
seperti yang diatur dalam pasal 159 ayat (2),
161 dan 174 KUHAP sebagai berikut:
(1) Pasal 159 ayat (2): “Dalam hal saksi tidak
hadir, meskipun telah dipanggil dengan sah
dan hakim ketua sidang mempunyai cukup
alasan untuk menyangka bahwa saksi itu
tidak mau akan hadir, maka hakim ketua
sidang dapat memerintahkan supaya saksi
tersebut dihadapkan ke persidangan”.
(2) Pasal 161 ayat (1): “Dalam hal saksi atau ahli
tanpa alasan yang sah menolak untuk
bersumpah
atua
berjanji
sebgaiman
adimaksud dalma pasal 160 ayat (3) dan (4),
maka
pemeriksaan
terhadapnya
tetap
ia
dengan
surat
sidang
dapat
dilakukan,
sedang
penetapan
hakim
ketua
dikenakan
sandera
di
tempat
tahanan
negara paling lama empat belas hari”.
xlii
(3) Pasal 174 ayat (2): “Apabila saksi tetap pada
keterangannya
itu,
hakim
ketua
sidang
karena jabatannya atau perminaan jaksa
penuntut
umum
atau
terdakwa
dapat
memberi perintah supaya saksi itu ditahan
untuk selanjutnya dituntut perkara dengan
dakwaan sumpah palsu”.
3). UU No.13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi
dan Korban.
Menurut ketentuan Pasal 1 Ketentuan Umum
Undang- Undang Nomor 13 Tahun 2006 tentang
Perlindungan Saksi dan Korban, perlindungan
adalah
segala
upaya
pemenuhan
hak
dan
pemberian bantuan untuk memberikan rasa aman
kepada
Saksi
dan/atau
Korban
yang
wajib
dilaksanakan oleh Lembaga Perlindungan Saksi
dan Korban (LPSK) atau lembaga lainnya sesuai
dengan
ketentuan
Undang-Undang
ini.
Perlindungan kepada Saksi dan Korban diberikan
dalam semua tahap proses peradilan pidana dalam
lingkungan
peradilan,
dari
awal
penyelidikan
sampai penyelidikan itu berakhir sesuai dengan
ketentuan sebagaimana diatur dalam undangundang ini.
Hak saksi diatur dalam ketentuan pasal 5 yaitu:
(1) memperoleh perlindungan atas keamanan
pribadi, keluarga, dan harta bendanya, serta
bebas dari ancaman yang berkenaan dengan
xliii
kesaksian yang akan, sedang atau telah
diberikannya; yang diberikan dalam kasuskasus tertentu sesuai dengan keputusan
LPSK.
(2) ikut
serta
menentukan
dalam
proses
bentuk
memilih
perlindungan
dan
dan
dukungan keamanan;
(3) memberikan keterangan tanpa tekanan;
(4) mendapat penerjemah;
(5) bebas dari pertanyaan yang menjerat;
(6) mendapatkan
informasi
mengenai
perkembangan kasus;
(7) mendapatkan informasi mengenai putusan
pengadilan;
(8) mengetahui dalam hal terpidana dibebaskan;
(9) mendapat identitas baru;
(10) mendapatkan tempat kediaman baru;
(11) memperoleh penggantian biaya transportasi
sesuai dengan kebutuhan;
(12) mendapat nasihat hukum; dan/atau
(13) memperoleh bantuan biaya hidup sementara
sampai batas waktu perlindungan berakhir.
b. Lembaga Perlindungan Saksi
Pengaturan
mengenai
Lembaga
perlindungan
saksi telah diatur dalam Undang-Undang Nomor 13
Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban,
yaitu pada ketentuan BAB III Pasal 11 s.d. Pasal 27.
Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban, yang
selanjutnya disingkat LPSK, adalah lembaga yang
xliv
bertugas
dan
berwenang
untuk
memberikan
perlindungan dan hak-hak lain kepada Saksi dan/atau
Korban sebagaimana diatur dalam Undang-Undang
ini. Sampai sekarang pembentukan LPSK terlihat
sangatlah lambat dan baru mencapai tahap seleksi
calon anggota LPSK.
3. Tinjauan Umum Tentang Tindak Pidana Pencucian Uang
a. Pengertian Pencucian Uang
Sebenarnya tidak ada definisi yang universal dan
komprehensif
mengenai
pencucian
uang.
Pihak
penuntut dan lembaga penyidik kejahatan, kalangan
perusahaan dan pengusaha, negara maju ataupun
berkembang,
atau
negara negara
dunia
ketiga
masing masing mempunyai definisi atau pengertian
tersendiri berdasarkan pemikiran, prioritas, dan
perspektif
yang
berbeda.
Definisi
untuk
tujuan
penuntutan lebih sempit dibandingkan dengan definisi
untuk tujuan penyidikan. Dalam hal ini,
a). Welling
dalam
Sutan
Remy
Sjahdeini
mengemukakan bahwa,
Money laundering is the process by which one
conceals the existence, illegal source, or illegal
application of income, and than disguises that
income to make it appear legitimate (Pencucian
Uang adalah suatu proses di mana. seseorang
menyembunyikan keberadaan dari sumber yang
tidak sah, atau mengubah uang yang tidak sah
tersebut dengan menjadikannya seolah-olah uang
tersebut berasal dari pendapatan yang sah).
(Sutan Remy Sjahdeini, 2004: 2)
xlv
b). Fraser
dalam
Sutan
Remy
Sjahdeini
mengemukakan bahwa,
Money Laundering is quite simply the process
through which dirty money (proceed of crime), is
washed through dean or legitimate sources and
interprices so that the bad guys may more safety
enjoy their ill'golten gains (Pencucian Uang adalah
suatu proses di mana seseorang menyembunyikan
atau menyimpan uang yang kotor (berasal dari
kejahatan) kemudian dicuci menjadi bersih, atau
dalam hal ini menjadikan atau merubah sumber
yang tidak sah menjadi bersih atau sah, sehingga
mereka bisa menikmati keuntungan yang mereka
peroleh dari itu). (Sutan Remy Sjahdeini, 2004: 2)
c). Dalam Statement on prevention of criminals use of
the banking sistem for the purpose of money
laundering
yang
dikeluarkan
oleh
Bassle
Committee dalam Sutan Remy Sjahdeini, tidak
memberikan definisi akan tetapi menjelaskan
mengenai apa yang dimaksud dengan pencucian
uang dengan memberikan contoh perbuatan yang
tergolong pencucian uang. Dikemukakan dalam
statement Criminal and their associates use the
financial sistem to make payment and transfer of
funds from one account to another, to hide the
source and beneficial ownership of money and to
provide storage for bank notes through a safe
deposite facility. This activities are commenly
reffered to as money laundering (Para pelaku
kejahatan pencucian uang beserta kelompoknya
menggunakan
sistem
keuangan
untuk
memindahkan atau melakukan transaksi uang dari
satu
pihak
kepada
pihak
lainnya,
guna
menyembunvikan sumber ataupun kepemilikan
xlvi
uang tersebut menggunakan fasilitas deposito,
aktivitas tersebutlah yang dinamakan sebagai
kegiatan pencucian uang). (Sutan Remy Sjahdeini,
2004: 4)
d). Departemen Kehakiman Kanada dalam Sutan
Remy Sjahdeini menyatakan
Money laundering is the conversion of transfer of
property knowing that such property is derived
from criminal activity for the purpose of
concealing the illicit nature and origin of the
property from govemment authorities (Pencucian
Uang merupakan suatu kegiatan berupa upaya
perpindahan ataupun perputaran uang atau harta
di mana diketahui harta tersebut diperoleh dari
tindak
kejahatan,
baik
dengan
cara
merahasiakan sumber asal usul uang tersebut
oleh pejabat negara). (Sutan Remy Sjahdeini,
2004: 4)
e). Sedangkan Konvensi Perserikatan Bangsa bangsa,
The United Nation Convention Against Illicit Trafic
in Narcotics, Drugs, and Psychotropic Substances
of 1988 yang kemudian diratifikasi di Indonesia
dengan UU No.7 Tahun 1997, mengartikan tindak
pidana pencucian uang sebagai The convention or
transfer of property, knowing that such property is
derived from any serious offence or offences, or
from act of perticipation in such offence or
offences, for the purpose of concealing or
disguising the illicit of the property or of assisting
any person who is involved in the commission of
such and offence or offences to evade the legal
consequences of his action, or the concealment or
disguise of the true neture, source, location,
xlvii
disposition, movement, right with respect to or
ownership of property, knowing that such property
is derived from a serious (indictable) offence or
offences or from an act of participation in such an
offence or offences (Pencucian Uang adalah suatu
proses penyerahan maupun perpindahan harta
kekayaan,
di
mana
kekayaan
tersebut
diketahui
bahwa
harta
didapatkan
dari
tindak
kejahatan atau dalam hal ini diperoleh dari
keikutsertaan dalam tindak kejahatan tersebut,
dengan
tujuan
untuk
menyembunyikan
baik
merahasiakan
sumber
atau
ataupun
pihak pihak yang terlibat dari adanya konsekuensi
atas undang undang atas tindakannya itu, maupun
dengan cara penyamaran dari sumber aslinya,
asal usul, dengan penempatan, pergerakan yang
berkenaan
dengan
dengan
diketahui
harta
kekayaan
sebelumnya
tersebut,
bahwa
harta
kekayaan tersebut diperoleh dari tindak kejahatan,
maupun keikutsertaan dalam tindak kejahatan
tersebut).
f). Financial Action Task Force on Money Laundering
atau FATF yang dibentuk oleh G 7 Summit di Paris
tahun
1982
mengenai
juga
tidak
pencucian
memberikan
uang,
akan
definisi
tetapi
memberikan uraian mengenai pencucian uang
sebagai : The goal of the large number of criminal
act is to generate ofprofilfor the individual or group
that carries out the act. Money Laundering is the
processing. of this criminals proceeds to disguise
xlviii
their illegal origin. This process is of critical
importance, as it enables that criminals to enjoy
this profits whitout the joepardissing their course.
Illegal arm sales, smugling, and the activities of
organized
crime
induding
for
example drug
traficking and prostitution rings can generate huge
sums. Embezlement, insider trading, bribery, and
computer fraud schems can also produce large
profits and create the intensive to legitimise the
ill'gotten through money laundering (Pencucian
Uang
adalah
suatu
proses
yang
merupakan
perbuatan atau aktivitas menyembunyikan atau
merahasiakan,
sebagian
atau
besar
menyimpan
tindak
hasil
kejahatan,
dari
dengan
menyembunyikan sumber ataupun asal usul uang
kotor atau tidak sah, adanya perdagangan gelap,
penyelundupan,
ataupun
tindak
kejahatan
terorganisasi lainnya seperti halnya penjualan dan
peredaran narkoba, jaringan prostitusi, sehingga
memang dapat menghasilkan sejumlah uang yang
sangat besar dari kegiatan tersebut).
g). Sutan Remy Sjahdeini mengemukakan bahwa,
When a criminals activity generate substancial
profits, the individuals or groups involved must find
away to control the fund whitout attracting
attention to the underlaying activity or the persons
involved Criminals do this by disguising the source,
changing the form, or moving the funds to a place
where they are les fikely to attract attention (Ketika
aktivitas ataupun tindak kejahatan tersebut
menghasilkan sebuah keuntungan, baik secara
individu maupun kolektif terlibat ternyata
keberadaannya tidak dapat terdeteksi. Tindak
xlix
kejahatan pencucian uang dapat dilakukan dengan
berbagai macam metode antara lain dengan
menyembunyikan sumber, merubah format,
maupun dengan cara memutar dana atau uang
kotor tersebut dari suatu tempat ke tempat yang
lain sehingga tidak dapat terdeteksi). (Sutan Remy
Sjahdeini, 2004: 3)
Black’s
h). Menurut
Law
Dictionary,
Money
Laundering is term used to describe invesement or
other transfer of money flowing from racketeering,
drug transaction and other illegal sources into
legitimate channels so that its originals source can
not be traced (Pencucian Uang adalah istilah yang
digunakan dalam menjelaskan aktivitas, dalam hal
menguraikan atau memindahkan asal usul yang
tidak sah menjadi seolah olah sah, sehingga
sumber
asalnya
tidak
dapat
diusut
ataupun
dideteksi).
i). Hal demikian berbeda dengan Undang undang
Pencucian
Uang
Malaysia
atau
Anti
Money
Laundering Act of 2001, yang menyebutkan bahwa
money laundering means the act of a person who :
(1) engages, directly or indirectly, in a transaction
that involves proceeds of any unlawful activity;
(2) acquires, receives, possesses, disguises,
transfers, converts, exchanges, carries,
disposes, uses, removes from or brings into
Malaysia proceeds of any unlawful activity; or
(3) conceals,
disguises
or
impedes
the
establishment of the true nature, origin,
location, movement, disposition, title of, rights
with respect to, or ownership of, proceeds of
any unlawful activity;
l
(Pencucian Uang adalah perbuatan seseorang
yang :
(1) melakukan/terlibat
(langsung/tidak)
dalam
suatu transaksi harta kekayaan yang berasal
dari perbutan melawan hukum
(2) Memperoleh,
menerima,
memiliki,
menyemnyikan,
mentransfer,
mengubah,
menukar,
membawa,
menyimpan,
menggunakan,
memindahkan
dari
atau
membawa ke Malaysia, harta kekayaan yang
berasal dari perbuatan yang melawan hukum
(3) Menyembunyikan,
menyamarkan
atau
merintangi penentuan asal usul, tempat,
penyaluran, penempatan, hak-hak yang terkait
dengan atau kepemilikan dari harta kekayaan
yang berasal dari perbuatan yang melawan
hukum).
j). Kemudian dalam Pasal 1 Undang Undang No. 25
Tahun 2003 tentang Perubahan Atas Undang
Undang No. 15 Tahun 2002 tentang Tindak Pidana
Pencucian Uang, definisi pencucian uang adalah
perbuatan
menempatkan,
membayarkan,
membelanjakan,
mentransfer,
menghibahkan,
menyumbangkan, menitipkan, membawa keluar
negeri,
atau
perbuatan
lainnya
atas
harta
kekayaan yang diketahuinya atau patut diduga
merupakan hasil tindak pidana dengan maksud
untuk
menyembunyikan,
mengaburkan,
atau
menyamarkan asal usul harta kekayaan sehingga
seolah olah menjadi harta kekayaan yang sah.
k). Menurut Johnny Ibrahim,
money laundering adalah suatu proses untuk
melegitimasi sejumlah uang yang diperoleh dari
sumber-sumber yang tidak sah. Dengan kata lain
adalah suatu proses perubahan uang tunai yang
li
diperoleh dari hasil kegiatan yang tidak sah
menjadi suatu bentuk atau sarana yang dapat
digunakan dalam perdagangan ketika asal usul
dana tersebut tidak lagi diketahui. Agar asalusulnya tidak mudah dilacak, uang hasil kejahatan
tersebut dicuci antara lain melalui perbankan
sehingga uang tersebut menjadi halal. (Johnny
Ibrahim, 2005: 388)
Sehingga dari beberapa definisi tersebut di atas
bahwa yang dimaksud sebagai pencucian uang dapat
disimpulkan sebagai berikut:
Pencucian uang adalah rangkaian kegiatan yang
merupakan proses yang dilakukan oleh seseorang
atau organisasi terhadap uang yang berasal dari
kegiatan dengan maksud untuk menyembunyikan
atau menyamarkan asal-usul uang tersebut dari
pemerintah
atau
otoritas
yang
berwenang
melakukan penindakan terhadap tindak pidana
dengan cara memasukkan uang tersebut kedalam
sistem keuangan sehingga uang tersebut kemudian
dapat dikeluarkan dari sistem keuangan itu sebagai
uang yang halal.(N.H.T Siahaan, 2005: 6-7)
b. Tahap-tahap Tindak Pidana Pencucian Uang
Sebenamya
tidak
mudah
untuk
membuktikan
adanya suatu tindakan pencucian uang yang sangat
kompleks,
namun
para
pakar
telah
berhasil
menggolongkan proses pencucian uang menjadi tiga
tahap, yaitu:
1) Placement, yakni dengan mengubah uang tunai hasil
kejahatan menjadi aset yang legal, dimana ini merupakan
suatu tahapan atau proses menempatkan uang hasil kejahatan
kedalam sistem keuangan. Dalam tahapan ini perbuatan yang
dilakukan berupa pergerakan fisik dari uang tunai dengan
lii
maksud untuk mengaburkan atau memisahkan sejauh
mungkin uang hasil kejahatan dari sumber perolehannya.
2) Layering, yaitu suatu proses yang dilakukan para pelaku
kejahatan setelah uang hasil kejahatan itu masuk kedalam
sistem keuangan (bank) dengan cara melakukan transaksi
lebih lanjut dengan maksud untuk menutupi asal usul uang.
Proses ini juga dapat berupa penggunaan uang baik di dalam
negeri ataupun di negeri manapun di luar negeri melalui
electronic funds transfer.
3) Integration, yakni pelaku menggunakan uang hasil kejahatan
tersebut untuk kegiatan ekonomi yang sah karena merasa
aman bahwa kegiatan yang dilakukannya seolah tanpa
berhubungan dengan aktivitas ilegal sebelumnya.
C. Kerangka Pemikiran
Berdasarkan proposisi-proposisi yang disusun dalam kerangka teoritik
tinjauan pustaka diatas, dalam hubungannya dengan masalah pokok yang
dikaji dalam penelitian ini, dapat disusun bagan kerangka pikir sebagai
liii
Kejahatan (crime)
Kejahatan kerah putih
Kemajuan
Iptek
(white Collar Crime)
Transnasional crimes
Tindak Pidana Pencucian Uang
(Money Laundering)
Upaya pencegahan
Pelaksanaan UU Tindak Pidana Pencucian
Uang
Pengaturan Perlindungan Saksi
Civil Law
(Indonesia)
UU No.15 Th. 2002
sebagaimana dirubah
dengan UU No.25
Th.2003 tentang
Tindak Pidana
Pencucian Uang
Common Law
(Malaysia)
UU No. 13 Th. 2006
Perlindungan Saksi
dan Korban
Anti Money
Laundering Act
613, 2001
Gambar kerangka pemikiran
liv
Perkembangan pesat berbagai bidang yaitu antara lain kemajuan
teknologi, komunikasi, informatika, transportasi, membawa pengaruh
terhadap perkembangan di berbagai sektor, serta salah satu yang turut
berkembang pesat adalah kriminalitas hukum, namun perangkat hukum
untuk mencegah dan memberantas kriminalitas itu sendiri belum
memadai dan masih tertinggal jauh, sehingga berbagai jenis kejahatan
dengan mudah terjadi dan menghasilkan harta kekayaan dalam jumlah
besar. Kejahatan-kejahatan tersebut tidak hanya dilakukan dalam batas
wilayah suatu negara, namun meluas melintasi batas wilayah negara lain
sehingga sering disebut sebagai kejahatan transnasional (transnational
crime), dalam kejahatan transnasional harta kekayaan hasil dari kejahatan
biasanya oleh pelaku disembunyikan, kemudian dikeluarkan lagi seolaholah dari hasil legal. Hal tersebut lebih dikenal dalam dunia internasional
dengan istilah pencucian uang atau money laundering. Metode-metode
pencucian uang yang dilakukan dengan memanfaatkan perkembangan
teknologi termasuk tindak kejahatan kerah putih atau disebut White
collar crime.
Bentuk kejahatan kerah putih telah dirasakan semakin canggih serta
sangat terorganisasi dengan sangat rapi. Sebagai contoh dalam dunia
ekonomi dan perbankan justru digunakan sebagai sebagai pelarian
kejahatan yang dengan sengaja ditujukan untuk menghilangkan jejak
ataupun asal-usul harta yang dilarikan dan seakan-akan didapat dari hasil
yang legal, yang salah satunya dengan metode pencucian uang.
Mengingat pencucian uang juga merupakan kejahatan
transnasional yang modusnya banyak dilakukan melintasi
batas-batas negara (cross border), maka dampak yang
ditimbulkan dapat pula berakibat negatif pada stabilitas
sistem
keuangan
dan
perekonomian
dunia
secara
keseluruhan. Di sisi lain, oleh karena pencucian uang
berkaitan dengan kejahatan asal (predicate crime) yang
dilakukan
oleh
organized
crime,
maka
berkembang
pencucian uang ini akan sangat mempengaruhi tumbuh dan
berkembangnya berbagai tindak pidana pemicu pencucian
uang
seperti
korupsi,
perdagangan
lv
gelap
narkotika,
penyelundupan, dan illegal logging serta upaya untuk
memeranginya.
Pentingnya implementasi Undang-Undang No. 15 Tahun
2002 sebagaimana diubah dengan Undang-Undang No. 25
Tahun
2003
tentang
Tindak
Pidana
Pencucian
Uang
bertujuan agar berbagai predicate crime yang merupakan
sumber uang haram yang dicuci dalam proses pencucian
uang
ikut
dapat
diberantas
atau
dikurangi.
Pengkriminalisasian pencucian uang merupakan upaya
Indonesia untuk membangun rezim anti-pencucian uang
yang
efektif.
paradigma,
Adanya
yaitu
UU
tidak
TPPU
lagi
hanya
terjadi
perubahan
mengejar
pelaku
kriminalnya tetapi juga uang hasil kejahatan tersebut,
dengan demikian diharapkan dapat menurunkan tingkat
kriminalitas.
Di dalam Undang-Undang No.25 Tahun 2003 di Indonesia juga
diatur mengenai perlindungan saksi khusus pada tindak pidana pencucian
uang. Hal itu kemudian diatur lagi dalam aturan pelaksanaan, yaitu PP
No. 57 Tahun 2003 tentang Tata Cara Perlindungan Khusus bagi Pelapor
dan Saksi Tindak Pidana Pencucian Uang. Payung Hukum perlindungan
saksi baru diatur dalam Undang Undang Nomor 13 Tahun 2006 tentang
Perlindungan Saksi dan Korban. Masalah perlindungan saksi dalam
pemeriksaan perkara pidana mengenai kasus pencucian uang merupakan
salah satu kunci agar pengungkapan kasus dapat berjalan sebaik-baiknya.
Untuk mengkaji masalah tersebut, diperlukan bahan
perbandingan yang cukup dari Undang-Undang Tindak
Pidana Pencucian Uang dan undang-undang terkait lainnya
dari negara yang berbeda sistem hukum dengan Indonesia,
yaitu negara yang menganut sistem “Common Law (Anglo
Saxon)” dalam penelitian ini penulis menggunakan Negara
Malaysia sebagai perbandingan.
lvi
BAB III
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
A. Perbandingan Tentang Pengaturan Pemberian Perlindungan
Saksi
dalam Undang-Undang Tindak Pidana Pencucian Uang di Negara
Indonesia dan Malaysia
Telah sangat dikenal bahwa pencucian uang (money laundering) yang
merupakan white collar crime adalah perbuatan memindahkan, menggunakan
atu melakukan perbuatan lainnya atas hasil dari suatu tindak pidana yang
kerap dilakukan oleh organized crime, maupun individu yang melakukan
tindakan korupsi, perdagangan narkotika, dan tindak pidana lainnya dengan
tujuan menyembunyikan atau mengaburkan asal-usul uang yang berasal dari
tindak pidana tersebut, sehingga dapat digunakan seolah-olah sebagai uang
yang sah tanpa terdeteksi bahwa aset tersebut berasal dari kejahatan yang
ilegal. Adapun yang melatarbelakangi para pelaku pencucian uang melakukan
aksinya adalah dengan maksud memindahkan atau menjauhkan para pelaku
itu dari kejahatan yang menghasilkan proceeds of crime dari kejahatan ynag
dilakukan, menikmati hasil kejahatan tanpa adanya kecurigaan kepada
pelakunya, serta melakukan reinvestasi hasil kejahatan untuk aksi kejahatan
selanjutnya atau ke dalam bisnis yang sah.
Dampak yang ditimbulkan oleh money laundering dapat mengganggu
sistem keuangan serta berdampak negatif terhadap sistem perekonomian
suatu negara. Pada akhirnya pencucian uang akan berdampak luas pada
sistem sosial bahkan dapat mengganggu stabilitas suatu negara. Mengingat
money laundering juga merupakan kejahatan transnasional (transnational
crime) yang modusnya banyak dilakukan melintasi batas-batas negara (cross
border), maka dampak yang ditimbulkan dapat pula berakibat negatif pada
stabilitas sistem keuangan dan perekonomian dunia secara keseluruhan. Di
sisi lain, oleh karena pencucian uang berkaitan dengan kejahatan asal
lvii
(predicate crime) yang dilakukan oleh organized crime, maka berkembang
pencucian uang ini akan sangat mempengaruhi tumbuh dan berkembangnya
berbagai tindak pidana pemicu money laundering seperti korupsi,
perdagangan gelap narkotika, penyelundupan, dan illegal logging serta upaya
untuk memeranginya.
Money laundering merupakan sarana bagi pelaku kejahatan untuk
melegalkan uang hasil kejahatan dalam rangka menghilangkan jejak. Selain
itu jumlah uang yang dicuci sangatlah besar, yang artinya hasil kejahatan
tersebut telah mempengaruhi neraca keuangan nasional maupun global dan
menimbulkan kerugian yang sangat besar. Bahaya selanjutnya dari money
laundering membuat para pelaku kejahatan terutama organized crime
mengembangkan jaringan dengan uang yang telah dicuci tersebut. Selain itu
membuat para pelaku kejahatan seperti korupsi, narkotika, kejahatan
perbankan mudah untuk menggunakannya dan dengan demikian kejahatankejahatan tersbut akan semakin marak. Pada akhirnya bahaya dan kerugian
secara nasional maupun internasional akan semakin meningkat manakala para
pelaku menggunakan cara-cara yang sangat canggih dengan memanfaatkan
sarana perbankan yang juga menggunakan teknologi tinggi.
Dalam proses pemeriksaan perkara pidana mengenai kasus pencucian uang
(money laundering), saksi adalah salah satu kunci untuk peroleh kebenaran
materiil, yang merupakan kebenaran yang benar-benar terjadi. Dalam Pasal
184 s.d. 185 KUHAP secara tegas menggambarkan hal tersebut. Pasal 185
ayat (2) menyatakan, “Keterangan seorang saksi saja tidak cukup untuk
membuktikan bahwa terdakwa bersalah terhadap perbuatan yang didakwakan
kepadanya”. Sedangkan pada Pasal 185 ayat (3) berbunyi “ketentuan
sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) tidak berlaku apabila disertai alat bukti
yang sah lainnya.” Hal ini dapat diartikan bahwa keterangan dari satu orang
saksi saja tanpa disertai alat bukti yang lain, belum cukup untuk dapat
membuktikan apakah seseorang terdakwa bersalah atau tidak.
Bahwa salah satu alat bukti yang sah dalam proses peradilan pidana adalah
keterangan saksi yang mendengar, melihat, atau mengalami sendiri terjadinya
suatu tindak pidana dalam upaya mencari dan menemukan kejelasan tentang
lviii
tindak pidana yang dilakukan oleh pelaku tindak pidana. Secara teori, Pasal
184 s.d. 185 KUHAP secara tegas mengambarkan hal tersebut. Pasal 184
menempatkan keterangan saksi di urutan pertama di atas alat bukti lain berupa
keterangan ahli, surat, petunjuk, dan keterangan terdakwa. Dapat dikatakan
bahwa keberhasilan suatu proses peradilan pidana sangatlah tergantung pada
alat bukti yang berhasil dimunculkan dalam pengadilan, yang terutama
berkenaan dengan saksi. Dari kasus yang banyak terlihat, tidak sedikit kasus
yang kandas di tengah jalan oleh karena ketiadaan saksi untuk menopang
tugas jaksa. Dengan demikian keberadaan saksi merupakan suatu elemen ynag
sangat menentukan dalam sutu proses peradilan pidana. Namun demikian
ternyata peran saksi dalam proses peradilan pidana masih jauh dari perhatian
masyarakat dan penegak hukum. Sudah cukup sering media massa
memberitahukan adanya kasus-kasus yang tidak terungkap dan juga tidak
terselesaikan, oleh karena keengganan saksi untuk memberikan informasi
kepada pihak yang berwenang. Bahkan sampai saat ini posisi saksi (termasuk
saksi korban) dalam proses peradilan di Indonesia hanyalah dipandang sebagai
alat yang dapat memperkuat posisi jaksa dalam persidangan. Mereka hanya
digunakan untuk melegitimasi keputusan hakim dari keseluruhan rangkaian
proses beracara di persidangan. Saksi belum dilihat sebagia manusia yang
memerlukan perlindungan, akan tetapi justru dieksploitasi untuk mendukung
suatu keputusan yang dikatakan “adil”.
Mencermati kondisi yang tampak belum berkesuaian diatas, kita
sebenarnya sudah dapat menangkap suatu alur pikir bahwa untuk menciptakan
suatu kesaksian yang berkualitas hanya akan dapat diperoleh jika ancamanancaman baik yang bersifat fisik maupun psikis terhadap saksi (saksi pelapor,
saksi biasa, saksi ahli), kerugian-kerugian materiil dan berbagai masalah lain
yang menjadi kendala, dapat dihilangkan. Salah satu cara yang dapat
diberlakukan adalah dengan memberikan perlindungan kepada saksi
(Bambang Santoso, 2003), khususnya dalam hal ini adalah saksi yang
berkaitan dengan perkara money laundering. Di Indonesia akhir-akhir ini
memang telah dibuat payung hukum yang memberikan perlindungan kepada
seorang saksi dan korban, yaitu dalam Undang-Undang No. 13 Tahun 2006
tentang Perlindungan Saksi dan Korban. Namun sebelum Undang-Undang No.
13 Tahun 2006 disyahkan, berkaitan dengan adanya perlindungan saksi
khususnya dalam tindak pidana pencucian uang telah diatur terlebih dahulu
dalam Undang-Undang No. 15 Tahun 2002 sebagaimana diubah dengan
Undang-Undang No. 25 Tahun 2003 tentang Tindak Pidana Pencucian Uang.
Pengaturan selanjutnya diatur pada Peraturan Pemerintah No. 57 Tahun 2003
tentang Tata Cara Perlindungan Khusus bagi Pelapor dan Saksi Tindak Pidana
lix
Pencucian Uang. Di dalam penanganan beberapa kasus yang telah berjalan,
peraturan pemerintah ini telah dijalankan oleh instansi terkait, yakni dengan
merahasiakan identitas pelapor dengan membuat berita acara penyamaran
sehingga jati diri pelapor tidak diketahui oleh pihak yang dilaporkan atau
kuasa hukumnya.
Berdasarkan apa yang telah diuraikan di atas jelaslah bahwa masalah
perlindungan saksi dalam pemeriksaan perkara pidana mengenai kasus
pencucian uang (money laundering) merupakan salah satu kunci agar
pengungkapan kasus dapat berjalan sebaik-baiknya. Anggapan yang salah
mengenai saksi sudah selayaknya diakhiri, dan guna memperoleh suatu
gambaran yang menyeluruh mengenai perlindungan saksi dalam pencucian
uang, langkah praktis yang dapat ditempuh adalah belajar dari negara-negara
lain. Dalam subbab ini akan dibahas mengenai perbandingan hal-hal pokok
yang menjadi isi ketentuan pemberian perlindungan hukum bagi saksi dalam
undang-undang pencucian uang di Indonesia dan di negara yang berbeda
sistem hukum dengan Indonesia, yaitu negara yang menganut sistem
“Common Law (Anglo Saxon)” yang dalam penelitian ini mengambil
perbandingan dengan Negara Malaysia. Berikut ini akan dibahas mengenai
perbandingan pengaturan pemberian perlindungan saksi dalam peraturan
perundangan pencucian uang di Indonesia dan Malaysia.
1. INDONESIA
Perkembangan masalah pencucian uang (money laundering) saat ini
dirasa telah begitu cepatnya, apalagi jika dikaitkan dengan besarnya dana
yang ditransaksikan. Praktek money laundering dari hasil kejahatan
diusahakan untuk diproses melalui kegiatan bisnis normal sehingga akan
dapat memasuki (diterima) oleh pasar yang sah, sistem dan/atau aktivitas
perkonomian yang wajar.
Money laundering dianggap dapat memberikan dampak negatif bagi
sebagian besar masyarakat di belahan bumi ini. Perang terhadap praktek
money laundering merupakan suatu agenda utama para petinggi dan
pembuat kebijakan: berbagai organisasi internasional menempatkan
masalah money laundering sebagai agenda yang perlu mendapat prioritas
utama penanganannya, agenda pembangunan perangkat hukum dan upaya
lx
lain dalam pencegahan dan penjatuhan hukuman kepada pelaku money
laundering terus diupayakan baik secara nasional, regional dan
internasional. Pada dekade terakhir ini langkah-langkah pemberantasan
praktek money laundering mengalami kemajuan yang cukup signifikan,
namun demikian money laundering merupakan “sasaran yang terus
bergerak”; para pelaku mengembangkan teknik-teknik baru, seperti cyber
laundering, pengembangan penggunaan jalur pencucian melalui nonlembaga keuangan, memasuki segmen-segmen baru seperti bisnis real
estate, bursa saham dan barang-barang seni bernilai tinggi.
Masalah money laundering sepertinya belum menjadi masalah yang
dianggap serius di Indonesia. Bisa jadi ada kepentingan-kepentingan
pihak tertentu yang berusaha agar masalah ini tetap berada dibawah
permukaan sehingga walaupun sering terjadi dan mungkin sudah sampai
tahap sangat serius tetap tidak terungkap dan tetap dapat berjalan wajar.
Di Indonesia money laundering sendiri memang relatif baru, walaupun isu
ini sudah bergulir lama di dunia internasional.
Indonesia baru mengkriminalisasikan money laundering ketika di
masukkan ke dalam daftar negara non-cooperatif dengan pencucian uang
(NCCTc) oleh FATF pada 2001. Dari beberapa kelemahan yang dinilai
FATF pada Indonesia sebagai negara yang tidak mau bekerjasama dalam
upaya global memerangi kejahatan money laundering,
ketiadaan
peraturan
perundang-undangan
yang
persoalan
mengkriminalisasi
pencucian uang merupakan kelemahan yang paling mendasar, karena
dengan demikian perbuatan menyembunyikan atau mengaburkan hasil
kejahatan masih dianggap sebagai perbuatan yang sah menurut sistem
hukum Indonesia. Sebenarnya pada Undang-Undang Nomor 7 Tahun
1997, Indonesia telah meratifikasi United Nations Convention Against
Illicit Traffic in Narcotic drugs and Psychotropic Subtances 1988 pada
tahun 1997. Konvensi yang dikenal sebagai Konvensi Wina tahun 1988
itu secara tegas meyatakan bahwa hasil kejahatan perdagangan gelap
lxi
narkotika sebagai money laundering dan memerintahkan setiap negra
untuk meratifikasi konvensi ini sekaligus menetapkan langkah-langkah
pencegahan dan pemberantasannya.
Namun sebenarnya, wacana penyusunan peraturan perundangundangan yang mengatur masalah money laundering sesungguhnya telah
lama ada sejak disusunnya rancangan KUHP. Rancangan KUHP yang
pembahasannya terkatung-katung sejak lebih dari lima belas tahun lalu,
dalam Pasal 610 dan 611 pada RUU KUHP yang pertama kali diajukan
oleh pemerintah tahun 1991, telah mengakomodir masalah money
laundering ini dengan memuat unsur-unsur tindak pidana pencucian uang
(money laundering). Rancangan KUHP Pasal 610 berbunyi sebagai
berikut:
Barangsiapa menyimpan uang di bank atau di tempat lain,
mentransfer, menitipkan, memindahkan, menginvestasikan, membayar
uang atau kertas bernilai uang, yang diketahuinya atau sepatutnya harus
diduganya, diperoleh dari perdagangan narkotika yang tidak sah atau
tindak pidana ekonomi atau tindak pidana korupsi, diancam dengan
pidana penjara paling lama lima belas tahun dan denda paling banyak
kategori V. Selanjutnya Pasal 611 RUU KUHP berbunyi: Barangsiapa
menerima untuk disimpan atau sebagia titipan, menerima transfer,
menerima hibah modal investasi, menerima sebagai pembayaran uang
atau kertas bernilai uang yang diketahuinya atau sepatutnya harus
diduganya diperoleh dari perdagangan narkotika yang tidak sah atau
tindak pidana ekonomi atau tindak pidana korupsi, diancam dengan
pidana penjara paling lama sepuluh tahun dan denda paling banyak
kategori V. Sayangnya hingga dimasukknanya Indonesia ke dalam “black
list” oleh FATF pada tahun 2001, Rancangan KUHP tersebut tidak pernah
memperoleh kejelasan penyelesainnya.
Sementara itu hasil review FATF justru memberi darah baru bagi
pemerintah untuk segera menyampaikan rancangan undang-undang
(RUU) yang mengatur Tindak Pidana Pencucian Uang ke DPR. Guna
lxii
mempercepat proses pembahasannya, Pemerintah dan DPR kemudian
menyepakati agar pembahasan RUU menggunakan “fast track approach”.
DPR dan Pemerintah sepakat pembahasan RUU dilakukan secara
marathon, yang dilakukan tidak lebih dari dua bulan. Akhirnya pada
tanggal 17 April 2002, RUU disahkan menjadi Undang-Undang No. 15
Tahun 2002 tentang Tindak Pidana Pencucian Uang melalui Lembaran
Negara RI Tahun 2002 Nomor 30.
Meskipun telah memperhatikan rekomendasi FATF, sayangnya
Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2002 dinilai memiliki beberapa
kelemahan mendasar. Adanya sorotan dari sebagian pihak dalam negeri
tidak dengan dimasukkannya perjudian di dalam pasal 2 dan besaran
(threshold) Rp. 500 juta dalam laporan transaksi tunai (pasal 13).
Sementara FATF mengomentari batasan (threshold) Rp. 500 juta pada
definisi hasil kejahatan (proceeds of crime) yang bisa menyebabkan
Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2002 tidak efektif (Pasal 2). FATF
menganggap bahwa Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2002 belum
sepenuhnya memenuhi standar internasional. Concern negara-negara
FATF terhadap kekurangan Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2002,
kemudian dirasakan sebagai desakan untuk mengamandemen undangundang itu berkaitan dengan hampir tiga tahun Indonesia berada di dalam
list NCCTs dan kemungkinan diterapkannya counter measures oleh
FATF kepada Indonesia. RUU tentang Perubahan Undang-Undang
Nomor 15 Tahun 2002 telah disahkan pada tanggal 13 Oktober 2003 lalu
menjadi
Undang Nomor 25 Tahun 2003 melalui Lembaran Negara RI
Tahun 2003 Nomor 108. Dalam penyusunan kembali undang-undang
pencucian
uang,
lebih
diperhatikan
mengenai
ketentuan
Forty
Recomendations dan 8 Special Recomendations (sekarang telah menjadi 9
Special Recomendations) serta best practices yang berlaku di negaranegara lain. Selain dikarenakan undang-undang No. 15 Tahun 2002 dirasa
belum memenuhi standar internasional tetapi juga dikarenakan lambatnya
lxiii
perkembangan proses peradilan tindak pidana money laundering sehingga
perlu diubah, agar upaya pencegahan dan pemberantasan money
laundering dapat berjalan secara efektif.
Upaya pemerintah dalam pelaksanaan dan penegakan UndanngUndang Pencucian Uang dalam legalitas selanjutnya adalah dengan
membuat peraturan-peraturan pelaksanaan Undang-Undang Pencucian
Uang. Ketentuan itu diantaranya adalah Keputusan Presiden Republik
Indonesia Nomor
82 Tahun 2003 tentang Tata Cara Pelaksanaan
Kewenangan Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan;
Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 57 Tahun 2003 tentang
Tata Cara Perlindungan Khusus bagi Pelapor dan Saksi Tindak Pidana
Pencucian Uang; Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor
73
Tahun 2003 tentang Pembentukan Panitia Seleksi Calon Pipinan Komisi
Pemberantasan Korupsi; serta Keputusan Presiden Republik Indonesia
Nomor 01 Tahun 2004 tentang Komite Koordinasi Nasional Pencegahan
dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang dan yang terbaru
adalah Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 7 Tahun 2007
tentang Pembentukan Panitia Seleksi dan Pemilihan Calon Anggota
Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban.
Sehubungan dengan adanya upaya pemerintah melawan money
laundering, salah satunya dengan memberikan perlindungan kepada saksi
kasus money laundering yang juga diatur dalam ketentuan undang-undang
pencucian uang ini. Dengan adanya suatu perlindungan orang tak akan
ragu menjadi saksi dalam kasus money laundering, bahkan akan mau
bekerja sama dalam pengungkapan tindak pidana money laundering.
Keterangan yang diberikan akan lebih bebas tanda adanya tekanan
maupun ancaman dari tersangka/terdakwa maupun pihak terkait, maka
tidak akan terjadi penarikan keterangan oleh seorang saksi yang tentunya
akan menghambat pengungkapan delik pencucian uang. Bahkan yang
lebih parah lagi, seorang saksi akan merubah keterangan untuk
lxiv
meringankan pelaku pencucian uang. Dalam Undang-Undang Tindak
Pidana Pencucian Uang menganut perlindungan khusus terhadap
seseorang yang melaporkan suatu kejahatan kepada yang berwenang,
yang sering disebut sebagai whistle blower. Demikian juga terhadap
seseorang yang mengetahui suatu perbuatan kejahatan dan dijadikan
sebagai saksi dalam kasus perbuatan pidana itu.
Walaupun pengaturan perlindungan saksi dalam tindak pidana
pencucian uang telah diatur terlebih dahulu sebelumnya dalam ketentuan
undang-undang pencucian uang, namun sekarang dalam pelaksanaannya
tetap harus melihat payung hukum pengaturan perlindungan saksi karena
pengaturannya sudah dibuat yaitu pada Undang-Undang No. 13 Th. 2006
tentang Perlindungan Saksi dan Korban yang telah diundang dan mulai
berlaku pada 11 Agustus 2006. Peraturan perlindungan saksi dalam
undang-undang money laundering akan dinyatakan tetap berlaku
sepanjang tidak bertentangan dengan Undang-Undang Perlindungan Saksi
dan Korban, sebagimana diatur dalam Ketentuan Peralihan Bab VI Pasal
44 UU No. 13 Th. 2006. UU No. 13 Th. 2006 mengatur ketentuan umum
tentang hak-hak dan kewajiban seorang saksi. Dalam hal ini subyek yang
dilindungi dalam Undang-Undang No.13 Tahun 2006 meliputi, saksi,
korban, pealpor, dan keluarga saksi/korban adalah sebgai berikut :
a). Pasal 1 ayat (1): Saksi adalah orang yang memberikan keterangan guna
kepentingan penyelidikan, penyidikan, penuntutan dan pengadilan
tentang tindak pidana yang ia dengar sendiri, ia lihat sendiri, ia alami
sendiri, atau hal-hal yang ia ketahui berkenaan dengan suatu perkara
pidana.
Penjelasan :
Kata “ketahui” di sini tidak termasuk mengetahui karena informasi
yang diperoleh dari orang lain.
lxv
b). Pasal 1 ayat (2): Korban adalah seseorang yang mengalami penderitaan
fisik maupun mental serta kerugian ekonomi yang diakibatkan oleh
suatu tindak pidana.
Penjelasan :
Termasuk dalam pengertian korban adalah keluarga batin korban.
c). Pasal 1 ayat (5): keluarga saksi adalah orang-orang yang mempunyai
hubungan darah atau semenda dalam garis lurus dan kesamping sampai
derajat ketiga, dan atau orang-orang yang menjadi tanggungan saksi,
serta orang lain yang menurut Lembaga Perlindungan Saksi layak
dilindungi.
KOMENTAR :
Dapat disimpulakan bahwa saksi korban adalah orang-orang yang
memberi kesaksian karena mereka menjadi korban tindak pidana yang
bersangkutan.
Secara umum hak-hak seorang saksi diatur dalam Undang-Undang
No.13 Tahun 2006 yaitu dalam Bab II tentang Perlindungan Dan Hak
Saksi Dan Korban pada Pasal 5 yang diberikan berdasarkan keputusan
Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK), hak-hak saksi tersebut
meliputi :
a). memperoleh perlindungan atas keamanan pribadi, keluarga, dan
harta bendanya, serta bebas dari Ancaman yang berkenaan dengan
kesaksian yang akan, sedang, atau telah diberikannya;
Penjelasan :
Perlindungan semacam ini merupakan perlindungan utama yang
diperlukan saksi dan korban. Apabila perlu, saksi dan korban harus
ditempatkan dalam suatu lokasi yang dirahasiakan dari siapa pun
untuk menjamin agar Saksi dan Korban aman.
b). ikut serta dalam proses memilih dan menentukan bentuk
perlindungan dan dukungan keamanan;
c). memberikan keterangan tanpa tekanan;
lxvi
d). mendapat penerjemah;
Penjelasan :
Hak ini diberikan kepada saksi dan korban yang tidak lancar
berbahasa Indonesia untuk memperLancar persidangan.
e). bebas dari pertanyaan yang menjerat;
f). mendapatkan informasi mengenai perkembangan kasus;
Penjelasan :
Seringkali saksi dan korban hanya berperan dalam pemberian
kesaksian di pengadilan, tetapi saksi dan korban tidak mengetahui
perkembangan kasus yang bersangkutan. Oleh karma itu, sudah
seharusnya informasi mengenai perkembangan kasus diberikan
kepada Saksi dan Korban.
g). mendapatkan informasi mengenai putusan pengadilan;
Penjelasan :
Informasi ini penting untuk diketahui saksi dan korban sebagai tanda
penghargaan atas kesediaan saksi dan korban dalam proses peradilan
tersebut.
h). mengetahui dalam hal terpidana dibebaskan;
Penjelasan :
Ketakutan saksi dan korban akan adanya balas dendam dari terdakwa
cukup beralasan dan is berhak diberi tahu apabila seorang terpidana
yang dihukum penjara akan dibebaskan.
i). mendapat identitas baru;
Penjelasan :
Dalam berbagai kasus, terutama yang menyangkut kejahatan
terorganisasi, saksi dan korban dapat terancam walaupun terdakwa
sudah dihukum. Dalam kasus-kasus tertentu, saksi dan korban dapat
diberi identitas baru.
j). mendapatkan tempat kediaman baru;
Penjelasan :
lxvii
Apabila keamanan saksi dan korban sudah sangat mengkhawatirkan,
pemberian tempat baru pada saksi dan korban harus dipertimbangkan
agar saksi dan korban dapat meneruskan kehidupannya tanpa
ketakutan. Yang dimaksud dengan "tempat kediaman baru" adalah
tempat tertentu yang bersifat sementara dan dianggap aman.
k). memperoleh
penggantian
biaya
transportasi
sesuai
dengan
kebutuhan;
Penjelasan :
Saksi dan korban yang tidak mampu membiayai dirinya untuk
mendatangi lokasi, perlu mendapat bantuan biaya dari negara.
l). mendapat nasihat hukum; dan/atau
Penjelasan :
Yang dimaksud dengan "nasihat hukum" adalah nasihat hukum yang
dibutuhkan oleh saksi dan korban apabila diperlukan.
m). memperoleh bantuan biaya hidup sementara sampai batas waktu
perlindungan berakhir.
Penjelasan :
Yang dimaksud dengan "biaya hidup sementara" adalah biaya hidup
yang sesuai dengan situasi yang dihadapi pada waktu itu, misalnya
biaya untuk makan sehari-hari.
Alternatif perlakuan bagi seorang saksi dan korban dalam UndangUndang No.13 Tahun 2006 meliputi :
a). Korban dalam pelanggaran hak asasi manusia yang berat, selain
berhak atas hak-hak sebagaimana dimaksud diatas, juga berhak
untuk mendapatkan : bantuan medis; dan bantuan rehabilitasi psikososial.(Pasal 6)
b). Korban melalui LPSK berhak mengajukan ke pengadilan berupa hak
atas kompensasi dalam kasus pelanggaran hak asasi manusia yang
berat dan hak atas restitusi atau ganti kerugian yang menjadi
lxviii
tanggung jawab pelaku tindak pidana. Keputusan mengenai
kompensasi dan restitusi diberikan oleh pengadilan. (Pasal 7)
c). Perlindungan dan hak saksi dan korban diberikan sejak tahap
penyelidikan dimulai dan berakhir sesuai dengan ketentuan
sebagaimana diatur dalam Undang-Undang ini. (Pasal 8)
d). Saksi dan/atau korban yang merasa dirinya berada dalam ancaman
yang sangat besar, atas persetujuan hakim dapat memberikan
kesaksian tanpa hadir langsung di pengadilan tempat perkara tersebut
sedang diperiksa. Kesaksiannya diberikan
secara tertulis yang
disampaikan di hadapan pejabat yang berwenang dan membubuhkan
tanda tangannya pada berita acara yang memuat tentang kesaksian
tersebut. Saksi dan/atau korban dapat pula didengar kesaksiannya
secara langsung melalui sarana elektronik dengan didampingi oleh
pejabat yang berwenang. (Pasal 9)
e). Tidak dapat dilakukan upaya hukum terhadap Saksi, Korban, dan
pelapor baik secara pidana maupun perdata atas laporan, kesaksian
yang akan, sedang, atau telah diberikannya kecuali apabila
memberikan keterangan tidak dengan itikad baik. Seorang saksi yang
juga tersangka dalam kasus yang sama tidak dapat dibebaskan dari
tuntutan pidana apabila ia ternyata terbukti secara sah dan
meyakinkan
bersalah,
tetapi
kesaksiannya
dapat
dijadikan
pertimbangan hakim dalam meringankan pidana yang akan
dijatuhkan. (Pasal 10)
Secara rinci pengaturan yang mewajibkan seorang saksi dan/atau
korban dalam UU No. 13 Th. 2006 hanya meliputi kesediaan memenuhi
isi perjanjian perlindungan saksi dan korban yaitu;
a). Pasal 30 ayat (1): Dalam
berpendapat
bahwa
hal
Lembaga
Perlindungan
Saksi
keadaan saksi memerlukan perlindungan
terhadap keamanan dirinya dan atau keluarganya, saksi yang
lxix
bersangkutan diminta untuk menandatangani pernyataan kesediaan
mengikuti syarat dan ketentuan perlindungan saksi dan korban.
b). Pasal 30 ayat (2): Pernyataan kesediaan mengikuti syarat dan
ketentuan perlindungan saksi dan korban sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) memuat:
1). kesediaan saksi dan/atau korban untuk memberikan kesaksian
dalam proses peradilan;
2). kesediaan saksi dan/atau korban untuk menaati aturan yang
berkenaan dengan keselamatannya;
3). kesediaan saksi dan/atau korban untuk tidak berhubungan dengan
cara apa pun dcngan orang lain selain atas persetujuan LPSK,
selama ia berada dalam perlindungan LPSK;
4). kewajiban saksi dan/atau korban untuk tidak memberitahukan
kepada
siapa
pun
mengenai
keberadaannya
di
bawah
perlindungan LPSK; dan
5). hal-hal lain yang dianggap perlu oleh LPSK.
Penjelasan :
Ketentuan ini diajukan untuk melindungi saksi sendiri dari berbagai
kemungkinan yang akan melemahkan perlindungan pada dirinya.
Namun selain ketentuan diatas, saksi maupun korban juga mempunyai
kewajiban lain yang tentunya dapat diketahui dari definisi saksi bahwa
kewajiban seorang saksi adalah memberikan kesaksian / keterangan
dengan sebenar-benarnya guna kepentingan penyelidikan, penyidikan,
penuntutan dan atau pemeriksaan di sidang pengadilan tentang perkara
yang dialami berdasarkan apa yang ia dengar sendiri, lihat sendiri, dan
alami sendiri. Dalam hal ini diwajibkan pula kepada saksi dan orang lain
yang bersangkutan dengan tindak pidana yang diperiksa, untuk dilarang
menyebut nama atau alamat pelopor, atau hal-hal lain yang memberikan
kemungkinan dapat diketahuinya identitas pelapor.
lxx
Terkait dengan perlindungan saksi tersebut telah diatur adanya
ketentuan sebuah lembaga mandiri atau independen yang bertanggung
jawab langsung kepada presiden dan membuat laporan pelaksanaan tugas
secara berkala kepada DPR RI dalam pertanggungjawabannya untuk
menangani pemberian perlindungan dan bantuan pada saksi dan korban
yang disebut dengan Lembaga Perlindungan Saksi Dan Korban (LPSK).
Merupakan lembaga yang bertugas dan berwenang untuk memberikan
perlindungan
dan
hak-hak
lain
kepada
saksi
dan/atau
korban.
Ketentuannya diatur pada Pasal 11 sampai dengan 27, Bab III UU No.13
Th. 2006mengenai Lembaga Perlindungan Saksi Dan Korban. Tugas dan
kewenangan LPSK sebagaimana juga telah diatur dalam Undang-Undang
No.13 Tahun 2006. Saat ini Presiden memang telah mengeluarkan Kepres
No. 7 Th. 2007 tentang Pembentukan Panitia Seleksi dan Pemilihan Calon
Anggota Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban pada 31 Maret 2007,
namun sampai sekarang pembentukan LPSK belum juga terwujud dan
terkesan sangat lambat. Harusnya lembaga tersebut telah dibuat paling
lambat 1 (satu) tahun setelah Undang-Undang Perlindungan Saksi dan
Korban diundangkan.
Pengaturan pemberian perlindungan saksi dalam undang-undang
pencucian uang diatur pada bab VII yaitu Perlindungan Bagi Pelapor Dan
Saksi, Pasal 39 s.d. Pasal 43. Cakupan subyek yang dilindungi UU
Pencucian Uang ini tampaknya telah mengalami perluasan jika dibanding
dengan ketentuan KUHAP. Dalam hal ini subyek yang dilindungi
meliputi saksi biasa, saksi pelapor dan keluarga saksi. Pasal 39 dan Pasal
40 mengatur mengenai perlindungan khusus bagi pelapor. Sedangkan
Pasal 41 dan Pasal 42 mengatur perlindungan yang sama kepada saksi
dalam perkara kejahatan pencucian uang, dan Pasal 43 mengatur
pemberian perlindungan hukum baik kepada pelapor/saksi. Ketentuan
dalam pasal tersebut berbunyi sebagai berikut:
a). Pasal 39
lxxi
ayat (1) : PPATK, penyidik, penuntut umum atau hakim wajib
merahasiakan identitas pelapor.
ayat (2) : Pelanggaran terhadap ketentuan sebagaimana dimaksud
dalam ayat (1) memberikan hak kepada pelapor atua ahli warisnya
untuk menuntut ganti kerugian melalui pengadilan.
KOMENTAR :
Secara tegas ditentukan pula bahwa PPATK, penyidik, penuntut
umum atau hakim wajib merahasiakan identitas pelapor. Pelanggaran
atas kewajiban merahasiakan ini memberikan hak kepada pelapor
atau keluarganya menuntut ganti rugi ke pengadilan.
b). Pasal 40
Ayat (1) : setiap orang yang melaporkan terjadinya dugaaan tindak
pidana pencucian uang, wajib diberi perlindungan khusus oleh negara
dari kemungkinan ancaman yang membahayakan diri, jiwa, dan/atau
hartanya, termasuk keluarganya.
Ayat (2) : Ketentuan mengenai tata cara pemberian perlindungan
khusus sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) diatur lebih lanjut
dengan PeraturanPemerintah.
KOMENTAR :
Seseorang
yang
melaporkan,
menginformasikan
atau
memberitahukan terjadinya dugaan tindak pidana mengenai uang,
wajib mendapat perlindungan khusus oleh negara supaya tercegah
dari ancaman yang membahayakan diri, harta, dan keluarganya.
Prinsip perlindungan whistle blower (pelapor, penginformasi)
demikian ditentukan pada Pasal 40 ayat (1) Undang-Undang Tindak
Pidana Pencucian Uang. Selanjutnya di dalam ayat (2) ditentukan
pula supaya tata cara pemberian perlindungan demikian diatur lebih
lanjut dalam Peraturan Pemerintah.
c). Pasal 41
lxxii
Ayat (1) : Di sidang pengadilan, saksi, penuntut ujum, hakim dan
orang lain yang bersangkutan dengan tindak pidana pencucian uang
yang sedang dalam pemerikasaan dilarang menyebutkan nama tau
alamat pelaor, atau hal-hal lain
yang memungkinkan dapat
terungkapnya identitas pelapor.
Ayat (2) : Dalam setiap persidangan sebelum sidang pemeriksaan
dimulai, hakim wajib menggingatkan saksi, penuntut umum dan orang
lain yang terkait dengan pemeriksaan perkara tersebut, mengenai
larangan sebagimana dimaksud dalam ayat (1).
KOMENTAR :
Dalam setiap kesempatan sidang, sebelum pemeriksaan dimulai,
hakim wajib mengingatkan saksi, penuntut umum, dan pihak-pihak
lain yang terkait dengan pemeriksaan sidang ser aorang lain seperti
para pengunjung mengenai larangan itu. Bila misalnya telah
diingatkan
oleh
hakim,
tetapi
yang
bersangkutan
masih
mengulanginya, maka hakim menyerahkan ynag bersangkutan epada
petugas yang berwenang karena telah melanggar kewajiban
merahasiakan pelapor.Perbuatan mengungkap identitas pelapor
merupakan perbuatan pidana.
d). Pasal 42
Ayat (1) : Setiap orang yang memberikan kesaksian dalam
pemeriksaan tindak pidana pencucian uang, wajib diberi perlindungan
khusus oleh negara dari kemungkinana ancaman yang membahayakan
diri, jiwa, dan/ atau hartanya, termasuk keluarganya.
Ayat (2) : Ketentuan mengenai tata cara pemberian perlindunagn
khusus sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) diatur lebih lanjut
dengan Peraturan Pemerintah.
lxxiii
e). Pasal 43 : Pelapor dan/ saksi tidak dapat dituntut, baik secara perdata
atau pidana atas pelaporan dan/ kesaksian yang diberikan oleh yang
bersangkutan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 40 dan Pasal 42.
KOMENTAR :
Pelapor atua Saksi diberika imunitas hukum (immunity rights)
untuk tidak dituntut oleh siapapun atas pelaporan atau kesaksian yang
diberikannya itu.
Perlindungan terhadap seseorang yang menjadi pelapor dan/atau saksi
ini begitu ketat sekali ditekankan di dalam undang-undang pencucian
uang. Bahkan kepada semua pihak yang terkait dengan pemeriksaan
perkara tindak pidana pencucian uang, seperti PPATK, penyidik, saksi,
penuntut umum, hakim atau orang lainnya akan diberikan ancaman sanksi
keras jika melakukan pelanggaran ketentuan tersebut di atas. Pasal 10
Undang-Undang Tindak Pidana Pencucian Uang menentukan dengan tegas
sebagai berikut: ”PPATK, Penyidik, Saksi, Penuntut Umum, Hakim atau
orang lain yang bersangkutan dengan perkara Tindak Pidana Pencucian
Uang yang sedang diperiksa melanggar ketentuan sebagimana dimaksud
dalam Passal 39 ayat (1) dan Pasal 41 ayat (1), dipidana dengan pidana
penjarapaling sedikit 1 (satu) tahun dan paling lama 3 (tiga) tahun”.
Bahwa untuk melaksanakan ketentuan Pasal 40 ayat (2) dan Pasal 42
ayat (2) UU Tindak Pidana Pencucian Uang, perlu menetapkan Peraturan
Pemerintah tentang Tata Cara Perlindungan Khusus bagi Pelapor dan
Saksi Tindak Pidana Pencucian Uang, yang kemudian pada 11 November
2003, Presiden menetapkan Peraturan Pemerintah No. 57 Tahun 2003
tentang Tata Cara Perlindungan Khusus bagi Pelapor dan Saksi Tindak
Pidana Pencucian Uang. PP No. 57 Tahun 2003 mengatur mengenai
bentuk dan tata cara perlindungan khusus bagi pelapor dan saksi sebagai
pengaturan teknis pelaksanaan perlindungan saksi money laundering.
Menurut PP No. 57 Th. 2003 yang dimaksud dengan perlindungan khusus
lxxiv
adalah suatu bentuk perlindungan yang diberikan oleh negara untuk
memberikan jaminan rasa aman terhadap Pelapor atau Saksi dari
kemungkinan ancaman yang membahayakan diri, jiwa, dan/atau hartanya
termasuk keluarganya. Juga diberikan pengertian mengenai pelapor yang
merupakan setiap orang yang:
a). karena kewajibannya berdasarkan peraturan perundang-undangan
menyampaikan laporan kepada PPATK tentang transaksi keuangan
mencurigakan atau transaksi keuangan ynag dilakukan secara tunai
sebagaiman dimaksud dalam undang-undang; atau
b). secara sukarela melaporkan kepada penyidik tentang adanya dugaan
terjadinya tindak pidana pencucian uang sebagaimana dimaksud dalam
undang-undang.
Sedangkan saksi adalah orang yang dapat memberikan keterangan guna
kepentingan penyididkan, penuntutan, dan peradilan tentang suatu perkara
pidana pencucian uang yang didengar sendiri, dilihat sendiri, dan dialami
sendiri.
Dalam Peraturan Pemerintah No. 57 Tahun 2003 tentang Tata Cara
Perlindungan Khusus bagi Pelapor dan Saksi Tindak Pidana Pencucian
Uang, perlindungan diberikan kepada Pelapor dan Saksi baik sebelum,
selama, maupun sesudah proses pemeriksaan perkara yang dilaksanakan
oleh Kepolisian Negara Republik Indonesia. Atas perlindungan yang
diberikan kepada pelapor dan saksi tersebut tidak dikenakan biaya.
Perlindungan yang diberikan diharapkan memberikan jaminan atas rasa
aman dan dapat memberikan keterangan yang benar, sehingga proses
peradilan terhadap tindak pidana pencucian
uang dapat dilaksanakan
dengan baik. Dengan demikian pelapor dan saksi dapat berpartisipsi aktif
dalam upaya pencegahan dan pemberantasan Tindak Pidana Pencucian
Uang. Perlindungan yang diberikan adalah perlindungan khusus yang
meliputi perlindungan atas keamanan pribadi dan/atau keluarga pelapor
lxxv
dan saksi dari ancaman fisik atau mental, perlindungan terhadap harta
pelapor dan saksi, perahasiaan dan penyamaran identitas pelapor dan
saksi, dan/atau pemberian keterangan tanpa bertatap muka dengan
tersangka/terdakwa dalam setiap tingkat pemeriksaan.
Sebenarnya pengaturan mengenai pelaksana pemberian perlindungan
kepada saksi diatur dalam Undang-Undang Payung Perlindungan Saksi
dan Korban, yaitu oleh LPSK. Namun pada PP No. 57 Tahun 2003 yang
telah dahulu dibuat, mengenai pengaturan pelaksana pemberian
perlindungan kepada saksi telah diatur terlebih dahulu, yaitu dilakukan
oleh Kepolisian Negara Republik Indonesia. Dikarenakan sampai saat ini
LPSK belum terbentuk maka pemberian perlindungan kepada saksi tetap
dilakukan oleh Kepolisian Negara Republik Indonesia.
Di samping itu dalam rangka pencegahan dan pemberantasan tindak
pidana pencucian uang, diatur pula perlindungan khusus terhadap saksi
dalam kaitannya dengan perjanjian kerja sama bantuan timbal balik dalam
masalah pidana dengan negara lain. Penyidik, Penuntut Umum, dan
Hakim wajib memberikan perlindungan khusus kepada saksi dalam setiap
tingkat
pemeriksaan.
Setiap
tingkat
pemeriksaan
berarti
dalam
penyidikan,penuntutan, dan selam proses persidangan.
Bentuk perlindungan khusus oleh Kepolisian Negara Republik
Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (2) PP No. 57 Th.
2003 dilaksanakan berdasarkan adanya kemungkinan ancaman yang
membahayakan diri, jiwa, dan/atau harta, termasuk keluarga pelapor dan
saksi sebagai akibat (Pasal 6 ayat (1) PP No. 57 Tahun 2003):
a). disampaikannya laporan tentang adanya Transaksi Keuangan
Mencurigakan atau Transaksi Keuangan yang Dilakukan Secara
Tunai oleh pelapor sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 angka 2
huruf a atau PPATK kepada Kepolisian Negara Republik Indonesia;
lxxvi
b). disampaikannya laporan tentang adanya dugaan terjadinya tindak
pidana pencucian uang oleh pelapor sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 1 angka 2 huruf b atau PPATK kepada Kepolisian Negara
Republik Indonesia; atau
c). ditetapkannya seseorang sebagai saksi dalam perkara tindak pidana
pencucian uang.
Perlindungan tersebut dilakukan dalam jangka waktu paling lambat 1
X 24 (satu kali dua puluh empat) jam sejak laporan diterima atau
seseorang ditetapkan sebagai saksi yang ditindaklanjuti Kepolisian NRI
dengan melakukan klarifikasi atas kebenaran laporan dan identifikasi
bentuk perlindungan yang diperlukan serta melakukan pemberitahuan
tertulis kepada pelapor dan/atau saksi paling lambat dalam jangka waktu 1
X 24 (satu kali dua puluh empat) jam sebelum pelaksanaan perlindungan
(Pasal 6 ayat (2 dan 3) PP No. 57 Tahun 2003).
Pengajuan permohonan perlindungan khusus sebagaimana diatur
dalam Pasal 7 dapat dilakukan oleh Pelapor, Saksi, PPATK, Penyidik,
Penuntut
Umum,
atau
Hakim.
Dalam
melaksanakan
ketentuan
perlindungan, Kepolisian NRI berkoordinasi dengan PPATK, Penyidik,
Penuntut Umum, dan Hakim yang menangani perkara tindak pidana
pencucian uang (Pasal 8 PP No. 57 Th. 2003). Teknis pelaksanaan
perlindungan khusus sebagaimana dimaksud diatur dengan Keputusan
Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia dengan memperhatikan
masukan dari instansi terkait (Pasal 9 PP No. 57 Th. 2003).
Berkaitan dengan pemberian perlindungan khusus terhadap Pelapor
dan/atau Saksi dapat dihentikan apabila, sesuai dalam Pasal 10 PP No. 57
Th. 2003, yaitu:
a). berdasarkan penilaian Kepolisian NRI perlindungan tidak diperlukan
lagi; atau
b). atas permohonan yang bersangkutan.
lxxvii
Penghentian pemberian perlindungan khusus harus diberitahukan
secara tertulis kepada Pelapor, Saksi dan/atau keluarganya dalam waktu
paling lambat 3 X 24 (tiga kali dua puluh empat) jam sebelum
perlindungan khusus dihentikan. Dalam hal pelapor dan/atau saksi menilai
perlindungan khusus masih diperlukan, Kepolisian NRI atas dasar
permohonan pelapor dan/atau saksi wajib melanjutkan pemberian
perlindungan khusus bagi pelapor dan/atau saksi yang telah dihentikan.
Apabila seorang saksi didatangkan dari luar wilayah negara Republik
Indonesia, perlindungan khusus saksi tersebut dilaksanakan dengan
melakukan kerja sama dengan pejabat kepolisian yang berwenang di
negara tersebut berdasarkan perjanjian kerja sama bantuan timbal balik di
bidang tindak pidana antara Pemerintah Indonesia dan negara tersebut.
Dalam hal tidak ada perjanjian kerja sama bantuan timbal balik ,
perlindungan khusus dapat dilakukan berdasarkan prinsip resiprositas
(Pasal 11 PP No. 57 Th. 2003).
Telah disebutkan di atas bahwa teknis pelaksanaan perlindungan
khusus sebagaimana dimaksud dalam PP No. 57 Th. 2003, diatur dengan
Keputusan Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia yang kemudian
ditetapkan dengan Peraturan Kepala Kepolisian Negara Republik
Indonesia Nomor Pol. 17 Tahun 2005 tentang Tata Cara Pemberian
Perlindungan Khusus terhadap Pelapor dan Saksi dalam Tindak Pidana
Pencucian Uang. Dalam Peraturan Kepala Kepolisian tersebut juga telah
dilengkapi dengan pengaturan mengenai cara bertindak yang dilakukan
bagi setiap anggota kepolisian dalam memberikan perlindungan baik
kepada pelapor/ saksi. Perlindungan khusus adalah suatu bentuk
perlindungan yang diberikan oleh aparat Kepolisian NRI untuk
memberikan rasa aman terhadap pelapor atau saksi dari kemungkinan
ancaman yang membahayahan diri, jiwa dan/atau hartanya termasuk
keluarganya. Perlindungan diberikan terhadap segala ancaman, gangguan,
teror, dan kekerasan adalah segala bentuk perbuatan memaksa yang
lxxviii
bertujuan menghalang-halangi atau mencegah pelapor atau saksi, baik
langsung atau tidak langsung mengakibatkan tidak dapat memberikan
keterangan
untuk
kepentingan
penyidikan,
penuntutan,
dan/atau
pemeriksaan di sidang pengadilan. Pengelompokan bentuk perlindungan
khusus tersebut meliputi 4 (empat) bentuk perlindungan.
Pertama. Perlindungan atas keamanan pribadi dari ancaman fisik atau
mental. Perlindungan ini meliputi orang, tempat/lokasi (baik pada
rumah/penginapan/tempat
tinggal;
tempat
kerja/kantor/tempat
persidangan; rute dan sarana transportasi; dan tempat-tempat kegiatan
lainnya) dan/atau kegiatan (pada tahap sebelum, saat dan sesudah proses
pemeriksaan)
terhadap
pribadi
pelapor,
saksi
dan
keluarganya.
Perlindungan diberikan terhadap kegiatan yang mungkin akan mendapat
ganguan atau ancaman baik fisik (unjuk rasa, demonstrasi dan kerusuhan
masa; penghadangan, perampokan, penculikan, penganiayaan dan
pembunuhan; gangguan kendaraan, tempat/rumah/kantor dan tempat
kegiatan lainnya; dan/atau sabotase)
maupun mental (teror dan
intimidasi/ ancaman terhadap keselamatan jiwa dan harta benda).
Kedua. Perlindungan terhadap harta. Meliputi harta bergerak dan
tidak bergerak, terutama yang paling memungkinkan menjadi sasaran
gangguan
pihak
pelaku.
Sasaran
perlindungan
didasarkan
atas
permohonan pelapor/saksi serta penilaian dari pejabat Polri.
Ketiga. Perlindungan atas perahasiaan dan penyamaran identitas.
Dilaksanakan
dengan
merahasiakan
dan
menyamarkan
nama,
tempat/tanggal lahir (usia), jenis kelamin, alamat, pekerjaan, agama,
status, pendidikan/gelar, kewarganegaraan dan suku bangsa. Meliputi cara
bertindak untuk membuat berita acara penyamaran identitas berdasarkan
permohonan pelapor/saksi dan menyimpan berita acara penyamaran
tersebut serta menyerahkan berita acara penyamran setelah perkara
dinyatakan lengkap kepada Jaksa Penuntut Umum.
lxxix
Keempat. Perlindungan atas pemberian keterangan tanpa bertatap
muka (konfrontasi) dengan tersangka atau terdakwa pada setiap tingkat
pemeriksaan meliputi tahap penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan di
pengadilan.
Maksud dan pengaturan perlindungan saksi sangatlah bagus
manfaatnya daam memberantas kejahatan money laundering. Sangatlah
diharapkan pengaturan tersebut akan banyak membantu pengungkapan
kasus-kasus money laundering yang selama ini sulit terungkap. Adapun
manfaat dari prinsip perlindungan saksi dan pelapor adalah sebagai
berikut:
a). Terungkapnya
kejahatan-kejahatan,
terutama
kejahatan
ynag
dilakukan oleh orang-orang yang memiliki pengaruh dalam
masyarakat;
b). Anggota masyarakat merasa leluasa dan bebas tanpa dibayangbayangai rasa takut untuk menjadi pelapor dan saksi dalam suatu
perkara kejahatan;
c). Terdapat pengaruh positif dalam pengurangan intensitas kejahtan
beerkenaan dengan adanya semacam public supervision dari
kalangan masyarakat, karena anggota masyarakat tidak segan-segan
lagi menjadi pelapor dan saksi bagi perbuatan kejahatan, khususnya
money laundering.
Indonesia adalah negara yang menganut sistem hukum civil law.
Dalam praktik penyelesaian perkara pidana di Indonesia, prinsip legalitas
dan penafsiran yang diperbolehkan dari prinsip tersebut diserahkan
sepenuhnya kepada para pelaksana / praktisi hukum, seperti, jaksa dan
hakim. Ketentuan undang-undang harus ditafsirkan secara harfiah dan
pengadilan tidak diperkenankan memberikan suatu penafsiran analogis
untuk menetapkan suatu perbuatan sebagai tindak pidana.
2. Malaysia
lxxx
Dalam rangka mensukseskan pembangunan ekonomi dan pengentasan
kemiskinan, keterbukaan di antara institusi-institusi pemerintahan dan
lembaga-lembaga publik harus terbentuk. Hal tersebut memiliki peranan
yang penting bagi upaya pemberantasan money laundering. Oleh sebab itu,
dorongan kebutuhan untuk menyusun dan menetapkan peraturan
perundang-undangan yang responsif terhadap permasalahan money
laundering. Pembentukan Undang-undang tersebut bertujuan untuk
memperkuat rezim anti money laundering yang bagi negara Malaysia tidak
hanya akan menambah kepercayaan dari investor, tetapi juga merupakan
suatu jaminan bahwa negara Malaysia tidak dijadikan tempat untuk
melakukan pencucian terhadap hasil-hasil tindak kejahatan.
Adanya sinyalemen bahwa keinginan yang kuat dari pemerintah untuk
sesegera mungkin dapat membangun suatu rezim anti money laundering
yang efisien dan efektif di Malaysia adalah karena adanya tekanan
internasional dengan berbagai ancaman yang telah dan akan diterapkan
serta dampak negatif dari ancaman tersebut. Sinyalemen tersebut tidaklah
sepenuhnya benar apabila ditinjau dari sisi kepentingan nasional yang
lebih besar terutama dalam kerangka penegakan hukum (law enforcement)
di Malaysia. Dalam sistem penegakan hukum sekarang ini, rezim anti
money laundering hadir dengan paradigma baru. Pada awalnya orientasi
tindak pidana pada umumnya adalah mengejar pelaku pidana, sedangkan
pada tindak pidana money laundering lebih mengejar pada hasil tindak
pidananya. Di samping itu, agar rezim anti money laundering dapat
terlaksana secara efektif, koordinasi antara instansi terkait merupakan
kunci pokok keberhasilan.
Rezim pelaksanaan Program Pencegahan Pengubahan Wang Haram
dan Pencegahan Pembiayaan Keganasan (AML/CFT) Malaysia di bawah
Akta Pencegahan Pengubahan Wang Haram 2001 (AMLA) terus berubah
seiring dengan trend global baru dan pengaturan yang diterima pakai di
peringkat antarabangsa, yaitu Rekomendasi 40+9 FATF (Pasukan Petugas
Tindakan Kewangan mengenai Pencegahan Pengubahan Wang Haram).
Law of Malaysia Act 613 yang dikenal dengan Anti Money laundering
Act of 2001 (AMLA) atau Akta Pencegahan Pengubahan Wang Haram
yang di setujui oleh raja pada tanggal 25 Juni 2001, di umumkan dalam
lembaran Negara pada tanggal 5 Juli 2001 dan mulai berlaku pada bulan
Januari 2002. Malaysia bukanlah suatu pusat regional money laundering.
Sektor keuangan informal dan formalnya sangat rentan dengan narkotika
traffickers, pembiayaan terorisme, dan unsur kejahatan. Sejak 2000,
lxxxi
Malaysia telah membuat kemajuan penting dalam membangun anti-money
laundering Act. Malaysia’s National Coordination Committee to Counter
Money laundering (NCC), yang anggotanya terdiri dari 13 badan
pemerintahan, melihat dari draft Malaysia's Anti-Money laundering Act
2001 (AMLA) dan mengkoordinir badan pemerintahan untuk anti-money
laundering.
Telah juga dibentuk suatu financial intelligence unit (FIU) yaitu Unit
Perisikan Kewangan yang ditempatkan dalam Bank Sentral yaitu Bank
Negara Malaysia ( BNM). Tugas FIU tersebut adalah menerima dan
meneliti informasi keuangan. FIU tersebut bekerja dengan lebih dari
duabelas badan lain untuk mengidentifikasi dan menyelidiki adanya
transaksi mencurigakan. The Government of Malaysia (GOM)
mempunyai suatu kerangka pengatur yang baik, mencakup perijinan dan
sistem pemeriksaan yang dapat mengatur lembaga keuangan. Sekarang ini
telah ada memorandum of understanding (MOU) dalam hal mutual legal
assistance antara FIU Malaysia (Unit Perisikan Kewangan) dengan FIU
Indonesia (PPATK).
Anti Money laundering Act of 2001 (AMLA) tentang anti-money
laundering, yang diharapkan mampu memenuhi, mengantisipasi
perkembangan kebutuhan hukum masyarakat dalam rangka mencegah dan
pemberantasan secara efektif setiap bentuk tindak tindak pidana money
laundering yang sangat merugikan keuangan negara pada khususnya serta
masyarakat pada umumnya. Pemberantasan tindak money laundering salah
satunya dengan mengatur mengenai ketentuan perlindungan saksi yang
dikaitkan dengan efektif tidaknya pengaturan pemberian perlindungan
saksi yang tertuang dalam Anti Money laundering Act of 2001 (AMLA)
dalam upaya menanggulangi masalah money laundering di Indonesia.
Perlindungan saksi yang diatur dalam AMLA pada Part IV mengenai
Reporting Obligations Pasal 24 yang berbunyi sebagai berikut :
Protection of persons reporting
24. (1) No civil, criminal, or disciplinary proceedings shall be brought
against a person who:
(a)
discloses or supplies any information in any report made
under this Part; or
lxxxii
(b)
supplies any information in connection with such a report,
whether at the time the report is made or afterwards;
in respect of :
(aa) the disclosure or supply, or the manner of the disclosure or
supply, by that person, of the information referred to in
paragraph (a) or (b); or
(bb) any consequences that follow from the disclosure or supply of
that information, unless the information was disclosed or
supplied in bad faith.
(2) In proceedings against any person for an offence under this Part, it
shall be a defence for that person to show that he took all
reasonable steps and exercised all due diligence to avoid
committing the offence.
Perlindungan bagi saksi pelapor
24. (1) Tidak ada proses secara perdata, pidana atau ketertiban lainnya
dapat dikenakan terhadap seseorang yang :
(a) mengungkapkan atau menyediakan segala informasi dalam
segala laporan yang dibuat menurut undang-undang ini; atau
(b)
menyediakan segala informasi yang berhubungan dengan
suatu laporan, apakah pada saat laporan itu dibuat atau
sesudahnya;
Dalam hal :
(aa) pengungkapan atau penyediaan, atau cara pengungkapan atau
penyediaan, oleh orang tersebut, dari informasi sesuai dalam
paragraf (a) atau (b); atau
(bb) segala akibat/dampak yang ditimbulkan/mengikuti
pengungkapan atau penyediaan informasi tersebut,
kecuali informasi yang diungkapkan atau disediakan dengan itikad
tidak baik.
(2) Dalam proses/ tindakan yang dikenakan terhadap orang untuk suatu
kejahatan menurut undang-undang ini, hal itu dapat menjadi suatu
pembelaan bagi orang tersebut untuk menunjukkan bahwa dia
sudah mengambil langkah yang beralasan dan melaksanakan
semua hak yang baik atau sesuai untuk mencegah terjadinya
kejahatan.
lxxxiii
KOMENTAR :
Pengaturan pemberian perlindungan saksi dalam Anti Money
laundering Act of 2001 ini ditujukan hanya kepada pemberi maklumat
atau saksi pelapor saja.
Pelaksanaan pemberian perlindungan saksi (saksi pelapor ) khususnya
dalam tindak pidana money laundering hanya didasarkan pengaturannya
dalam Pasal 24 Anti Money laundering Act of 2001. Pengaturannya dalam
peraturan pelaksanaan juga belum dibuat, bahkan payung hukum
perlindungan saksi juga masih dalam tahap Rang (Rancangan) UndangUndang Perlindungan Saksi (Witness Protection Bill). Rang UndangUndang Perlindungan Saksi yang sedang digarap Parlimen Dewan Rakyat
Malaysia baru-baru ini diharapkan dapat memberikan jaminan bahwa saksi
akan diberikan sepenuhnya perlindungan undang-undang, termasuk
mengubah identiti saksi jika diperlukan. Rang Undang-Undang
Perlindungan Saksi yang hampir sampai pada tingkat akhir
pembentukannya ini, ditujukan untuk memberikan perlindungan kepada
seorang saksi yang memberikan keterangan dalam keseluruhan proses
penindakan kejahatan (kes jenayah) dan tidak lagi hanya diatur mengenai
saksi pelapor saja. Oleh karena pemberi maklumat (saksi pelapor)
lazimnya menjadi saksi maka mereka sudah tentulah akan dilindungi di
bawah akta ini. Rang Undang-undang ini juga akan menubuhkan satu
program bagi perlindungan saksi. Mengenai lembaga yang melaksanakan
pemberian bantuan dan perlindungan saksi di Malaysia juga belum
dibentuk.
Dalam sistem common law, hakim diperbolehkan tidak sepenuhnya
bertumpu pada ketentuan suatu Undang-Undang. Jika diyakini olehnya
bahwa ketentuan yang dimaksud tidak dapat diterapkan dalam kasus yang
sedang ditanganinya. Hakim cenderung bersifat judge made law, jadi
dalam hal penerapan pengaturan perlindungan saksi dalam kasus-kasus
yang ada, walaupun pengaturannya kurang dan sangat sempit karena
hanya melindungi saksi pelapor, namun disini hakim dapat menentukan
alternatif perlakuan bagi saksi yang bukan saksi pelapor. Efeknya
dimungkinkan suatu pemeriksaan kasus money laundering tidak akan
terhambat hanya karena belum ada aturan yang mengatur.
lxxxiv
Malaysia menganut sistem hukum common law. Dapat dilihat bahwa
kekuasaan hakim di dalam sistem hukum common law sangat luas dalam
memberikan penafsiran terhadap suatu ketentuan yang tercantum dalam
undang-undang. Bahkan hakim diperbolehkan tidak sepenuhnya bertumpu
pada ketentuan suatu undang-undang jika diyakini olehnya bahwa
ketentuan tersebut tidak dapat diterapkan dalam kasus pidana yang sedang
dihadapinya. Dalam hal demikian hakim dapat menjatuhkan putusannya
sesuai dengan kebiasaan-kebiasaan. Dilihat dari segi kekuasaan hakim
yang sangat luas dalam memberikan penafsiran tersebut, sehingga dapat
membentuk hukum baru, maka nampaknya sistem hukum common law
kurang memperhatikan kepastian hukum.
Dari uraian pengaturan pemberian perlindungan saksi dalam undangundang pencucian uang antara Negara Indonesia dan Malaysia ada
terdapat perbedaan dan persamaannya, yaitu
Negara
Indonesia
Malaysia
- Undang-Undang No. 15
- Law Of Malaysia Act
Pembanding
Pengaturan
Tindak Money
laundering
Tahun 2003 sebagaimana
613
diubah
laundering Act 2001
dalam
Undang-
Undang No. 25 Tahun
2003
tentang
Tindak
Pidana Pencucian Uang.
lxxxv
Anti
(AMLA)
money
Pengaturan
pemberian
perlindungan
saksi
- Tercantum dalam Bab IV - Tercantum dalam Part
Perlindungan bagi Pelapor
IV
dan Saksi pada Pasal 15,
Obligations)
Pasal 39 s.d. Pasal 43 UU
Pasal
Pencucian
Protection of persons
Uang
serta
peraturan pelaksanaannya.
(Reporting
24
pada
mengenai
reporting.
- Peraturan Pemerintah No.
57 Tahun 2003 tentang Tata
Cara Perlindungan Khusus
bagi Pelapor dan Saksi
Tindak Pidana Pencucian
Uang.
- Peraturan
Kepala
Kepolisian NRI Nomor Pol.
17 Tahun 2005 tentang Tata
Cara
Pemberian
Perlindungan
Khusus
terhadap Pelapor dan Saksi
dalam
Tindak
Pidana
Pencucian Uang.
- Perlindungan
Subyek
yang
Dilindungi.
yang - Perlindungan
yang
diberikan ditujukan kepada
diberikan
hanya
saksi, pelapor, dan keluarga
ditujukan kepada saksi
saksi/pelapor.
pelapor saja (pemberi
maklumat).
- (No civil, criminal, or
disciplinary
proceedings shall be
lxxxvi
brought
against
a
person who:
a. discloses or supplies
any information in
any
report
made
under this Part; or
b.
supplies
any
information
in
connection with such
a report, whether at
the time the report is
made
or
afterwards;...)
Bentuk
Perlindungan.
- Perlindungan
yang - Perlindungan
diberikan
dapat
digolongkan
menjadi
hukum
(yuridis).
2 - 24.
(1)
No
(dua) jenis perlindungan,
criminal,
yaitu:
disciplinary
civil,
or
a. perlindungan hukum
proceedings shall be
b. perlindungan khusus
brought
terhadap ancaman.
- Perlindungan
hukum
meliputi :
against
a
person who:
(a) discloses
supplies
any
a. kekebalan
yang
diberikan
kepada
any report made
dan
saksi
under this Part;
tidak
dapat
or
pelapor
untuk
dituntut baik secara
perdata
lxxxvii
ataupun
information
or
(b) supplies
information
in
any
in
pidana,
yang
sepanjang
connection with
bersangkutan
such a report,
memberikan
whether at the
kesaksian
atau
laporan
dengan
iktikad baik atau yang
bersangkutan
tidak
sebagai pelaku tindak
pidana itu sendiri.
b. larangan
bagi
siapapun
untuk
membocorkan
nama
pelapor
atau
kewajiban
merahasiakan
nama
pelapor
disertai
dengan
ancaman
pidana
terhadap
pelanggarannya.
- Yang
merupakan
perlindungan
terhadap
khusus
ancaman
yang
meliputi 4 (empat) bentuk
perlindungan, yaitu:
time the report
is
made
or
afterwards;
in respect of :
(aa) the disclosure
or supply, or the
manner of the
disclosure
or
supply, by that
person, of the
information
referred to in
paragraph (a) or
(b); or
(bb)any
consequences
that follow from
the disclosure or
supply of that
information,
Unless
the
information
was
disclosed
or
supplied in bad
faith.
(2) In proceedings
against any person for
Pertama. Perlindungan
an offence under this
atas keamanan pribadi dari
Part, it shall be a
ancaman fisik atau mental.
defence for that person
to show that he took all
Kedua.
terhadap
Perlindungan
harta.
lxxxviii
Meliputi
reasonable steps and
exercised
all
due
harta bergerak dan tidak
diligence
bergerak,
committing
terutama
paling
yang
memungkinkan
to
avoid
the
offence.
menjadi sasaran gangguan
(Perlindungan
saksi pelapor
pihak pelaku.
Ketiga.
atas
Perlindungan
perahasiaan
dan
24.
(1)
bagi
Tidak
proses secara perdata,
pidana atau ketertiban
penyamaran identitas.
lainnya
Keempat. Perlindungan
atas pemberian keterangan
tanpa
bertatap
(konfrontasi)
tersangka
pada
ada
muka
dengan
atau
terdakwa
setiap
tingkat
dapat
dikenakan
terhadap
seseorang yang :
(a) mengungkapkan
atau
menyediakan
segala informasi
pemeriksaan meliputi tahap
dalam
segala
penyidikan, penuntutan, dan
laporan
yang
pemeriksaan di pengadilan.
dibuat menurut
undang-undang
ini; atau
(b) menyediakan
segala informasi
yang
berhubungan
dengan
suatu
laporan, apakah
pada
laporan
dibuat
sesudahnya;
lxxxix
saat
itu
atau
Dalam hal :
(aa) pengungkapan
atau
penyediaan,
atau
cara
pengungkapan atau
penyediaan,
oleh
orang tersebut, dari
informasi
sesuai
dalam paragraf (a)
atau (b); atau
(bb)
segala
akibat/dampak yang
ditimbulkan/mengik
uti pengungkapan
atau
penyediaan
informasi tersebut,
kecuali informasi yang
diungkapkan
atau
disediakan
dengan
itikad tidak baik.
(2) Dalam proses/
tindakan
yang
dikenakan
orang
untuk
kejahatan
terhadap
suatu
menurut
undang-undang ini, hal
itu dapat menjadi suatu
pembelaan bagi orang
tersebut
untuk
menunjukkan
bahwa
dia sudah mengambil
langkah yang beralasan
dan
melaksanakan
semua hak yang baik
atau
xc
sesuai
untuk
mencegah
terjadinya
kejahatan. )
Pelaksanaan
Pengaturan
Pemberian
Perlindungan
Saksi.
- Pelaksanaaan
ketentuan - Pelaksanaannya
juga
perlindungan saksi berdasar
hanya berdasar Law Of
ketentuan
dalam
UU
Malaysia Act 613 Anti
pencucain
uang,
yang
money laundering Act
secara
teknis
dilakukan
2001
dikarenakan
menurut aturan pelaksanaan
belum adanya suatu
yaitu pada PP No. 57 Th
payung
2003 dan Peraturan Kepala
pengaturan pemberian
Kepolisian NRI Nomor Pol.
perlindungan saksi.
17 Tahun 2005.
- Namun
karena
telah
disahkannya payung hukum
pengaturan
pemberian
perlindungan
saksi
yaitu
pada UU No. 13 Th. 2006,
maka pelaksanaannya tetap
berlaku
sesuai
UU
Pencucian Uang dan aturan
pelaksananya selama tidak
bertentangan dengan UU
No. 13 Th. 2006 tentang
Perlindungan
Saksi
Korban.
xci
dan
hukum
Pelaksana
Perlindungan
Saksi
- Diatur mengenai pelaksana - Oleh Badan Pencegah
perlindungan
khusus
Rasuah.
kepada saksi dilakukan oleh
Negara melalui Kepolisian
Negara Republik Indonesia,
sesuai dalam PP No. 57 Th.
2003.
- Mengacu
pengaturan
undang-undang
payung
Undang-Undang No 13 Th.
2006,
seharusnya
yang
menjadi pelaksana adalah
LPSK, yang sampai saat ini
pembentukannya
terhambat.
- Jadi pelaksananya selama
ini (perlindungan khusus)
dilakukan oleh Kepolisian.
Jadi pengaturan pemberian perlindungan saksi dalam undang-undang
pencucian uang antara Negara Indonesia dan Malaysia adalah berbeda,
baik dari bentuk perlindungannya maupun subyek yang dilindungi. Law Of
Malaysia Act 613 Anti money laundering Act 2001 (AMLA) negara
Malaysia hanya memberikan suatu bentuk perlindungan bagi saksi pelapor
(pemberi maklumat) yaitu bagi mereka yang mengungkapkan atau
menyediakan informasi dalam suatu laporan tentang adanya tindak pidana
pencucian uang (Pasal 24). Sedangkan Undang-Undang No. 15 Tahun
2003 sebagaimana diubah dalam Undang-Undang No. 25 Tahun 2003
tentang Tindak Pidana Pencucian Uang (UU TPPU) memberikan
perlindungan yang ditujukan kepada saksi, pelapor, dan keluarga
saksi/pelapor (Pasal 39-43).
xcii
Berkaitan dengan bentuk perlindungan yang diberikan, pada AMLA,
hanya memberikan pengaturan mengenai perlindungan hukum saja, yaitu
adanya ketentuan bagi saksi pelapor tidak dapat dikenakan upaya hukum
baik secara pidana, perdata maupun upaya ketertiban lainnya atas
informasi yang ia berikan. Pada UU TPPU diberikan perlindungan khusus
dan perlindungan hukum kepada saksi, pelapor, dan keluarga
saksi/pelapor. Perlindungan hukum seperti apa yang diatur dalam AMLA,
yaitu tidak adapat dilakukan tindakan hukum secara perdata dan pidana
terhadap saksi, pelapor, dan keluarga saksi/pelapor. Sedangkan pengaturan
megenai perlindungan khusus dibedakan menjadi empat macam, yaitu :
perlindungan atas keamanan pribadi dari ancaman fisik atau mental,
perlindungan terhadap harta yang harta bergerak dan tidak bergerak,
terutama yang paling memungkinkan menjadi sasaran gangguan pihak
pelaku, perahasiaan identitas atau penyamaran dan yang terakhir
perlindungan untuk memberikan keterangan tanpa bertatap muka secara
langsung dengan terdakwa. Pada perlindungan untuk memberikan
keterangan tanpa bertatap muka secara langsung dengan terdakwa dapat
memungkinkan pengggunaan vidio link untk pemeriksaannya.
Pada pelaksanaan Perlindungan saksi pada AMLA hanya mengacu pada
AMLA tersebut saja, karena pengaturan payung hukum undang-undang
perlindungan saksi belum ada dan sedang dalam tahap akhir di parlimen.
Di UU TPPU sendiri pelaksanaannya mengacu pada undang-undang
payung perlindungan saksi sehingga tidak boleh bertentang dengan
undang-undang payung perlindungan saksi (UU No. 13 tahun 2006)
tersebut. Pelaksana perlindungan saksi pencucian uang di Malaysia
dilaksanakan oleh Badan Pencegah Rasuah, semacam KPK di Indonesia.
Sedangkan di Indoneisa diatur mengenai pelaksana perlindungan khusus
kepada saksi dilakukan oleh Negara melalui Kepolisian Negara Republik
Indonesia, sesuai dalam PP No. 57 Th. 2003. Mengacu pengaturan
undang-undang payung Undang-Undang No 13 Th. 2006, seharusnya yang
menjadi pelaksana adalah LPSK, yang sampai saat ini pembentukannya
terhambat. Jadi pelaksananya selama ini (perlindungan khusus) dilakukan
oleh Kepolisian.
B. Bagaimanakah proyeksi ke depan pengaturan pemberian perlindungan
saksi dalam perundang-undangan di Indonesia?
Berdasarkan perbandingan pengaturan pemberian perlindungan saksi
dalam undang-undang pencucian uang di Indonesia dan Malayasia dapat
xciii
diambil segi-segi nilai positif yang dapat menjadi proyeksi ke depan
pengaturan pemberian perlindungan saksi dalam perundang-undangan di
Indonesia. Perlindungan saksi adalah hak dapat diterima oleh seorang saksi,
pada pengaturannya pada ketentuan Undang-Undang Pencucian Uang
maupun aturan pelaksanannya serta dalam Undang-Undang Perlindungan
Saksi. Akan lebih baik jika pengaturannya dalam peraturan-peraturan
tersebut di atas, perlindungan saksi dijadikan ketentuan wajib bagi penegak
hukum, sehingga legalitasnya akan terasa lebih kuat. Ketentuan pelaksanaan
dan cara-caranya akan lebih baik jika diatur lebih rinci. Aturan perjanjian
yang dilakukan apabila seorang saksi berasal dari luar wilayah Indonesia
juga belum jelas.
Selain hal-hal tersebut diatas, dalam pengaturan perlindungan saksi yang
belum diatur pemerintah adalah mengenai ketentuan pelaksana perlindungan
saksi. Adanya perbedaan dalam ketentuan payung hukum perlindungan saksi
pada UU No.13 Th.2006 dengan pengaturan khusus yang telah ada
sebelumnya, dalam hal pelaksana perlindungan saksi. Dalam UU No.13
Th.2006, pelaksana perlindungan saksi dilakukan oleh Lembaga
Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK), walaupun salpai sekarang belum
selesai pembentukannya. Namun pada ketentuan pelaksanaan pengaturan
pencucian uang dalam PP No. 57 Tahun 2003, pelaksana perlindungan
khusus terhadap saksi dilakukan oleh pihak kepolisian. Kehadiran LPSK ini,
kemungkinan nantinya malah terhadang persoalan teknis. Yang perlu diatur
lagi adalah mengenai apakah kedudukan LPSK nanti akan benar-benar
independen (dibawah satu lembaga yang dibentuk khusus untuk
perlindungan saksi) seperti dalam ketentuan UU No.13 Th.2006, atau
nantinya akan berada di bawah Kepolisian Negara RI. Ada segi positif yang
dapat diambila jika nantinya LPSK berada di bawah kepolisian, yaitu
dengan pengalaman, struktur dan infrastrukturnya, Kepolisian jelas lebih
siap jika ada yang berniat buruk kepada saksi. Selain itu struktur Kepolisian
cukup lengkap dan luas untuk menjangkau wilayah negara. Hal ini berbeda
jika dibentuk sebuah lembaga baru yang strukturnya belum jelas. Apalagi,
pasal 13 dan 14 UU 2/2002 tentang Kepolisian telah mengatur tentang
kewenangan Kepolisian dalam hal perlindungan saksi.
BAB IV
xciv
PENUTUP
A. KESIMPULAN
Dari pembahasan yang telah penulis uraikan pada bab-bab terdahulu,
maka penulis mencoba untuk menarik kesimpulan yang menjadi pokok
bahasan dari penulisan hukum ini, yaitu :
1. Di dalam Undang-Undang No.15 tahun 2002 sebagaimana dirubah dengan
Undang-Undang No. 25 Tahun 2003 tentang Tindak Pidana Pencucian
Uang di Indonesia diatur mengenai ketentuan perlindungan saksi, yakni
dalam Pasal 39 s.d. Pasal 43 yang pelaksanaannya secara teknis diatur
dalam peraturan pelaksanaan yaitu Peraturan Pemerintah No. 57 Tahun
2003 tentang Tata Cara Perlindungan Khusus bagi Pelapor dan Saksi
Tindak Pidana Pencucian Uang dan ditindaklanjuti dengan Peraturan
Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia Nomor Pol. 17 Tahun 2005
tentang Tata Cara Pemberian Perlindungan Khusus terhadap Pelapor dan
Saksi dalam Tindak Pidana Pencucian Uang. Perlindungan saksi yang
dianut merupakan perlindungan hukum dan perlindungan khusus terhadap
ancaman yang ditujukan terhadap saksi, pelapor, keluarga saksi/pelapor.
Sedangkan dalam Anti Money Laundering Act 613 pengaturan
perlindungan saksi pada Part IV Pasal 24 tentang Protection of persons
reporting. Perlindungan ditujukan hanya kepada saksi pelapor dengan
jenis perlindungan hukum. Selama proses persidangan, otomatis seorang
saksi tidak akan mendapat perlindungan.
2. Berdasarkan perbandingan pengaturan pemberian perlindungan saksi
dalam undang-undang pencucian uang di Indonesia dan Malayasia dapat
diambil segi-segi nilai positif yang dapat menjadi proyeksi ke depan
pengaturan pemberian perlindungan saksi dalam perundang-undangan di
Indonesia. Perlindungan saksi adalah hak dapat diterima oleh seorang
saksi, pada pengaturannya pada ketentuan Undang-Undang Pencucian
Uang maupun aturan pelaksanannya serta dalam Undang-Undang
xcv
Perlindungan Saksi. Akan lebih baik jika pengaturannya dalam peraturanperaturan tersebut di atas, perlindungan saksi dijadikan ketentuan wajib
bagi penegak hukum, sehingga legalitasnya akan terasa lebih kuat.
Ketentuan pelaksanaan dan cara-caranya akan lebih baik jika diatur lebih
rinci. Aturan perjanjian yang dilakukan apabila seorang saksi berasal dari
luar wilayah Indonesia juga belum jelas.
B. SARAN
1. Pengaturan
pemberian
perlindungan
saksi
dalam
Undang-Undang
Pencucian Uang akan terlaksana efektif apabila diikuti kerjasama penegak
hukum dalam melaksanakan peraturan perundang-undangan Pencucian
Uang.
2. Peranan saksi dalam pembuktian perkara tindak pidana pencucian uang
sangat dibutuhkan. Maka penegak hukum yang beranggapan bahwa saksi
hanya digunakan sebagai alat untuk memberikan keputusan agar bersifat
adil harus dihilanggan. Berdasarkan asas persamaan dalam hukum,
seorang saksi juga punya hak untuk dilindungi dan diberi jaminan agar
dapat memberikan keterangan dengan benar tanpa adanya tekanan dari
pihak-pihak lain sehingga efeknya juga akan membuat pengungkapan
kasus pencucian uang berjalan lancar.
3. Bagi penyidik, selayaknyalah mulai merubah diri dari yang selama ini
Offender Oriented menjadi Victim/Witness Oriented. Penyidik harus
memiliki unit dan anggaran tersendiri dalam memberikan pelayanan
perlindungan terhadap saksi dan atau korban secara maksimal. Terbukti
bahwa efektifitas perlindungan saksi dan/korban dapat menjadikan
kembalinya kepercayaan publik akan supremasi hukum. Hukum tidak lagi
milik sebagian orang yang menggunakannya sebagai alat intimidasi dari
yang mengenal hukum, tapi milik seluruh elemen masyarakat. Penyidik
sudah dapat membentuk suatu unit yang bertugas untuk memberika
program
perlindungan
kepada
xcvi
saksi
dan/tau
korban..Diharapkan
perlindungan terhadap saksi dan/atau korban dapat menjadi solusi
perbaikan citra Kepolisian khususnya fungsi Reskrim.
DAFTAR PUSTAKA
Buku-Buku
Amirudin dan Zainal Asikin. 2004. Pengantar Metode Penelitian Hukum.
Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada.
Andi Hamzah. 2002. Hukum Acara Pidana Indonesia. Jakarta: PT. Sinar
Grafika.
Bambang Santoso. 2002. Upaya Pemberian Perlindungan Hukum Bagi Saksi
Dalam Proses Perkara Tindak Pidana Korupsi dan KendalaKendalanya. Surakarta DUE-Like.
Hari Sasangka dan Lily Rosita. 2003. Hukum Pembuktian dalam Perkara
Pidana. Bandung: PT. Mandar Maju.
Johnny Ibrahim. 2006. Teori dan Metodologi Penelitian Hukum Normatif.
Malang: Bayumedia Publishing.
Lexy J. Moleong. 2004. Metodologi Penelitian Kualitatif. Bandung: PT
Remaja Rosdakarya.
Munir Fuady. 2001. Hukum perbankan Modern Buku Kedua (Tingkat
Advance). Bandung: Citra Aditya Bhakti.
M. Yahya Harahap. 2002. Pembahasan Permasalahan dan Penerapan
KUHAP Edisi Kedua. Jakarta: Sinar Grafika.
N.H.T. Siahaan. 2005. Pencucian Uang dan Kejahatan Perbankan. Jakarta:
CV. Pustaka Sinar Harapan.
Romli Atmasasmita. 2000. Perbandingan Hukum Pidana. Bandung: Mandar
Maju.
Soerjono Soekanto. 1986. Pengantar Penelitian Hukum. Jakarta: UI Press.
Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji. 2001. Penelitian Hukum Normatif.
Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada.
xcvii
Sutan Remy Sjahdeni. 2004. Seluk Beluk Tindak Pidana Pencucian Uang dan
Pembiayaan Terorisme. Jakarta: Grafiti.
Tb. Irman S. 2006. Hukum Pembuktian pencucian Uang. Jakarta Timur:
MQS publishing.
Yenti Garnasih. 2003. Kriminalisasi Pencucian uang (Money Laundering).
Jakarta: Program Pasca Sarjana Universitas Indonesia.
Internet
http://www.keadilanrakyat.org (20 April 2008 pukul 22.00)
http://www.unodc.org/pdf/lap witness-protection 2000.pdf (23 Maret 2008
pukul 10.00)
http://www.legalitas.org. (23 Maret 2008 pukul 10.00)
http://hukumonline.com/detail.asp?id=14473&cl=Berita. Lembaga
Perlindungan Saksi, di bawah Kepolisian atau Independen (21 April
2008 pukul 22.00)
http://armanpasaribu.wordpress.com/2008/04/16/perspektif-pelayananreskrim-terhadap-perlindungan-saksi-dan-korban-sebagai-solusipembenahan-citra-kepolisian/ (21 April 2008 pukul 22.00)
http://utusan.com.my/utusan/info.asp?y=2007&dt=1104&pub=Utusan_Malay
sia&sec=Terkini&pg=bt_04.htm (21 April 2008 pukul 22.00)
www.akta_pengubahan_wang_haram.htm (20 April 2008 pukul 22.00)
Teten Masduki. Beberapa Catatan UU Perlindungan Saksi.
<www.antikorupsi.org> ( 23 Maret 2008 pukul 10.00)
Undang-Undang
KUHP dan KUHAP Dilengkapi Yurisprudensi Mahkamah Agung dan Hoge
Raad. Jakarta : PT. RajaGrafindo Persada
Undang-Undang No. 15 Tahun 2002 sebagaimana diubah dengan UndangUndang No. 25 Tahun 2003 tentang Tindak Pidana Pencucian Uang
Malaysia Anti Money Laundering Act 613.2001
Undang Undang Nomor 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan
Korban.
xcviii
PP No. 57 Tahun 2003 tentang Tata Cara Perlindungan Khusus bagi Pelapor
dan Saksi Tindak Pidana Pencucian Uang
Peraturan Kepala Kepolisian NRI Nomor Pol. 17 Tahun 2005 tentang Tata
Cara Pemberian Perlindungan Khusus terhadap Pelapor dan Saksi
dalam Tindak Pidana Pencucian Uang.
xcix
Download