BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Masyarakat dan hukum adalah dua hal yang tidak dapat dipisahkan, ibarat dua sisi koin yang berbeda namun keduanya bersifat komplementer. Salah satu fungsi hukum adalah menjaga dan melindungi masyarakat dari kesewenang-wenangan. Masyarakat tanpa hukum akan jauh dari ketertiban dan keadilan. Sedangkan hukum tanpa masyarakat maka hukum akan mati. Dalam konteks Indonesia, dikenal pluralisme hukum yang belum mengarah pada unifikasi, disebabkan bangsa Indonesia adalah bangsa yang menjunjung tinggi plurasisme, baik dari segi etnis, bahasa, ras dan agama. Hal ini melahirkan perbedaan makna mengenai keadilan ditengah-tengah masyarakat khususnya dalam hal kewarisan. Saat ini pengaturan hukum waris yang merupakan bagian dari hukum perdata di Indonesia masih bersifat pluralisme. Hal ini tidak terlepas dari historikal berlakunya hukum perdata di Indonesia. Sebelum Indonesia merdeka, sebagai akibat penjajahan kolonial Belanda, politik hukum pemerintah Hindia Belanda pada waktu itu terjadi penggolongan hukum dan penggolongan penduduk. Hukum waris yang bahkan berlaku sampai sekarang (baik hukum waris adat, hukum waris Islam maupun hukum waris Barat (BW) ) merupakan hukum positif yang ditetapkan pengadilan. Bermacammacam hukum waris tersebut walau tanpa kodifikasi dan unifikasi, tidak berarti tidak ada hukum nasional. Keanekaragaman hukum, bukanlah sesuatu yang perlu dihindari, sepanjang tidak dimaksudkan untuk memberi hak 1 istimewa (privilege)atau sebaliknya untuk merendahkan suatu kelompok. Keragaman hukum justru dapat bermanfaat dalam membangun kesatuan dan harmonisasi hubungan antar kelompok karena masing-masing merasa dihargai dan diberi tempat yang wajar dan masuk akal dalam tata kehidupan bersama, disamping itu juga dalam rangka mengakomodir pandanganmasyarakat Indonesia yang sangat pluralistik secara sosiologis. Keanekaragaman hukum waris tersebut tidak semata-mata sebagai fenomena normatif dan politik hukum yang ada, melainkan karena faktor sosiologis, kultural, keyakinan dan lain sebagainya. Demikian juga seperti hukum waris adat yang beraneka ragam, seperti hukum waris menurut susunan masyarakat patrilineal, matrilineal dan parental yang masing-masing susunan masyarakat tersebut dapat dijumpai perbedaan-perbedaan dalam hukum kewarisannya. Praktek pembagian warisan berkaitan erat dengan beragamnya tafsir tentang keadilan maka hukum waris pun menjadi beragam, ada yang mengacu pada agama (hukum Islam), bersumber pada adat istiadat dari masing-masing etnis (hukum adat) dan ada pula yang mengacu pada hukum perdata barat (hukum BW). Pada prinsipnya ketiga hukum waris ini sama yaitu sama-sama mengatur peralihan hak atas harta benda pewaris kepada ahli waris dari si pewaris. Walaupun dalam prakteknya terjadi perbedaan karena hukum Islam dan hukum waris barat (BW) menentukan syarat adanya kematian, sedangkan hukum adat berdasarkan sistem keturunan. Dalam hukum Islam dan hukum waris barat (BW) pembagian harta warisan dapat dilakukan setelah pewaris 2 meninggal dunia, sedangkan hukum adat, pembagian harta warisan dapat dilakukan selagi pewaris masih hidup. Sistem kewarisan adat yang berbeda antara satu suku bangsa dengan suku bangsa lain merupakan salah satu kekayaan budaya bangsa tak ternilai dan patut dipertahankan sebagai bagian dari sistem budaya nasional. Ketaatan suatu suku, termasuk ketaatannya untuk tetap menjunjung tinggi sistem kewarisan adat, merupakan nilai-nilai luhur yang dapat membendung pengaruh budaya luar yang dapat merusak sendi-sendi kehidupan bangsa dan budaya nasional. Di Sulawesi Selatan dikenal tiga suku utama yang berkembang yaitu Bugis, Makassar dan Toraja. Selain itu terdapat juga suku-suku kecil dan masyarakat lokal dengan bahasa dan dialeknya masing-masing (di luar tiga bahasa daerah utama: Makassar, Bugis dan Toraja) misalnya Enrekang (Massenrempulu)1, Selayar, Malili, Kajang, dan Balangnipa. Suku Toraja merupakan suku mayoritas Kristen dan masih memegang teguh adat “alu’ tudolo” yaitu adat turun temurun yang cenderung animisne, sedangkan suku lainnya mayoritas menganut agama Islam beserta hukum waris adatnya. Kebudayaan fisik dari daerah ini juga menunjukkan adanya keanekaragaman. Beberapa di antaranya sudah dikenal secara luas oleh masyarakat luar, antara lain seperti Arsitektur Vernakular Toraja, Arsitektur Bugis-Makassar dan Perahu Phinisi. Diantara keanekaragaman tersebut, terdapat sebuah fenomena sosial yang juga khas dan unik, yang sejauh ini 1 Tiga kelompok suku yang membentuk satu kesatuan adat 3 suku Seiring tersebut terdiri dari suku dari suku Enrekang, suku Duri dan suku Maroangin (Maroangin). Dalam bahasa Enrekang istilah "Massenrempulu" berarti "melekat seperti beras ketan". Kata yang digunakan untuk menunjukkan kesatuan dari ke-3 suku tersebut. 3 belum dikenal oleh masyarakat luas sebagaimana masyarakat atau kebudayaan lainnya. Fenomena sosial yang dimaksud adalah kehidupan sosial dan budaya masyarakat yang dalam tulisan ini disebut sebagai Masyarakat Kajang Le’leng. Masyarakat ini hidup dan bermukim secara eksklusif di wilayah kecamatan Kajang, kabupaten Bulukumba, dan dikenal sebagai Kawasan Adat Ammatoa. Masyarakat Kajang Le’leng yang masih termasuk suku Bugis Makassar, merupakan masyarakat yang mendapat pengaruh agama Islam masih relatif kecil dan mereka masih berpegang teguh pada adat istiadat lokal secara turun temurun2. Keunikan masyarakat Kajang Le’leng terletak pada kepercayaan “Patuntung3” yang dianut turun temurun dan mempercayai adanya “Turie’ Akra’kna” (Kewajiban untuk percaya dan berserah diri, semata-mata hanya kepada Tuhan) sebagai Tuhan Yang Maha Kuasa yang mengatur kehidupan mereka. Masyarakat Kajang Le’leng sangat memegang teguh pesan lontara berupa Pasang ri Kajang4 yang menyimpan pesan-pesan luhur. Yakni, setiap orang harus senantiasa ingat kepada Tuhan. Harus memupuk rasa kekeluargaan dan saling memuliakan. Masyarakat Kajang Le’leng diajarkan untuk bertindak tegas, sabar, dan tawakkal. Pasang ri Kajang juga mengajak 2 Mustara.1978, Perkembangan Hukum Waris Adat di Sulawesi Selatan FH UNHAS. Laporan Penataran FH-UGM: Makassar, hlm. 15. 3 Kepercayaan Patuntung, Mempertahankan kelestarian ekosistem hutannya, karena ekosistem hutan itu diyakini sebagai bagian yang tak terpisahkan dari struktur kepercayaannya itu. 4 Pasang Ri Kajang, Merupakan keseluruhan pengetahuan mengenai aspekaspekkehidupan, baik yang bersifat kepentingan duniawi, maupun yang bersifat ukhrawi, termasuk juga di dalamnya mengenai mitos, legenda dan silsilah. Bagi masyarakat Kajang, Pasang adalah sistem pengetahuan yang tidak hanya mendapat pengakuan dari masyarakatnya, tetapi juga dari masyarakat luar, misalnya terdapat dalam Lontara’ di Gowa dan Kitta’ di Luwu pada jaman Kerajaan. 4 masyarakatnya untuk taat pada aturan, dan melaksanakan semua aturan itu sebaik-baiknya. Gaya hidup yang bersandar pada petuah dan ajaran-ajaran leluhur sebagai pandangan hidup harus dipegang teguh. Berpakaian hitam dilengkapi penutup kepala yang juga berwarna hitam atau biasa disebut pasappu dalam bahasa setempat, dan sarung berwarna hitam atau disebut Tope lelleng. Hitam merupakan sebuah warna adat yang kental akan kesakralan dan bila memasuki kawasan Kajang Le’leng pakaian harus berwarna hitam. Warna hitam mempunyai makna bagi Mayarakat Kajang Le’leng sebagai bentuk persamaan dalam segala hal, termasuk kesamaan dalam kesederhanaan.tidak ada warna hitam yang lebih baik antara yang satu dengan yang lainnya. Semua hitam adalah sama. Warna hitam menunjukkan kekuatan, kesamaan derajat bagi setiap orang di depan sang pencipta. Hal tersebut sepenuhnya disandarkan pada Pasang yang dipercaya dan diyakini sebagai sumber hukum sekaligus menjadi pedoman dalam menjalani kehidupan sehari-hari. Dengan demikian sistem hukum yang berlaku dalam masyarakat ammatoa adalah sistem hukum yang mengikuti Pasang. Pasang inilah yang menjadi norma, yang mengatur segala aspek kehidupan masyarakat adat Ammatoa termasuk dalam hal pembagian warisan. Dalam pembagian harta waris, masyarakat Kajang Le’leng baik (Ilalang Embaya) maupun (Ipantarang Embaya) mengenal adanya pembagian warisan menurut garis keturunan yang garis keturunan tersebut memiliki masing-masing bagian warisan yang ditinggalkan oleh leluhurnya, dikelola bersama-sama secara turun temurun sebagaimana yang telah dituliskan dalam 5 Pasang. Diketahui bahwa sampai saat ini pembagian warisan pada masyarakat Kajang Le’leng khususnya (Ipantarang Embaya) tidak mengalami banyak perubahan, walaupun secara fisik, sistem sosial dan pembangunan yang terjadi pada masyarakat Kajang Le’leng Ipantarang Embaya mengalami banyak perubahan. Dengan adanya kenyataan bahwa pembagian dua wilayah antara Ilalang Embaya dan Ipantarang Embaya dalam satu lingkungan wilayah adat sangat dimungkinkan terjadinya perubahan sistem sosial, termasuk sistem hukum yang dianut dalam hal pembagian harta warisan sepertitelah diuraikan diatas, namun yang terjadi tidaklah demikian, Oleh sebab itu penulis tertarik untuk mengetahui lebih jauh terkait sistem pembagian warisan yang dianut oleh masyarakat Kajang Le’leng (Ilalang Embaya dan Ipantarang Embaya) di Kabupaten Bulukumba, Provinsi Sulawesi Selatan. B. Rumusan Masalah Bertolak dari latar belakang pemikiran di atas, maka permasalahan penulisan tesis ini adalah: 1. Bagaimana proses pembagian warisan masyarakat Kajang Le’leng dalam (Ilalang Emabaya) dan Kajang Le’leng luar (ipantarang Embaya)? 2. Bagaimana pemaknaan keadilan pada sistem waris yang dianut oleh masyarakat Kajang Le’leng ( Ilalang Embaya) dan (Ipantarang Embaya) di Kabupaten Bulukumba. 6 C. Tujuan Penulisan Penulisan ini pada dasarnya adalah mengkaji proses perubahan sistem waris pada masyarakat Kajang. Adapun tujuan yang ingin dicapai dalam penulisan ini adalah: 1. Memahami kewarisan pada masyarakat Kajang (antara Ilalang Embaya dan Ipantarang Embaya). 2. Mengetahui makna keadilan yang dipahami oleh masyarakat Kajang Le’leng di Kabupaten Bulukumba. D. Manfaat Penulisan Penulisan ini diharapkan bermanfaat dalam pengembangan ilmu pengetahuan maupun pembangunan masyarakat luas. Dengan kata lain, penulisan ini diharapkan dapat menambah bahan-bahan informasi kepustakaan atau sebagai bahan referensi sekaligus sebagai bahan wacana bagi semua pihak yang berkepentingan dalam rangka pengembangan ilmu pengetahuan secara umum dan pengembangan hukum khususnya terkait bidang kewarisan. Hasil penelitian ini juga diharapkan dapat memberikan informasi dan wawasan khasanah ilmu pengetahuan bagi aparat pemerintahan dan masyarakat dalam rangka memahami sistem kekerabatan dan pembagian warisan pada masyarakat Kajang Le’leng di Kabupaten Bulukumba. E. Penelitian Terdahulu Untuk menciptakan suatu hasil penelitian yang komprehensif dan tidak adanya pengulangan dalam penelitian, maka berikut ini diuraikan secara 7 singkat hasil-hasil penelitian yang telah dilakukan sebelumnya, tentang masalah yang sejenis, sehingga diketahui jelas posisi dan konstribusi penulis. Dalam hal penelitian tentang Konsep Keadilan dalam Praktek Pembagian Harta Warisan Masyarakat Kajang Le’leng di Kabupaten Bulukumba. Ditemukan beberapa literatur yang berkaitan diantaranya: Skripsi Hiksyani Nurkhadijah5 yang berjudul “ Sistem Pembagian Harta Warisan Pada Masyarakat Ammatoa Di Kabupaten Bulukumba”. Skripsi ini menjelaskan tentang sistem pembagian harta warisan dan hubungan objek warisan dengan sistem kewarisan pada masyarakat Ammatoa di Kabupaten Bulukumba. Hasil penelitian yang diperoleh adalah sistem kekerabatan masyarakat Ammatoa menganut sistem keturunan Parental, yaitu dimana garis keturunan yang diambil dari kedua belah pihak ayah maupun ibu. Sistem keturunan ini sangat berpengaruh pada sistem pembagian warisan. Sistem pembagian harta warisan pada masyarakat Ammatoa menganut sistem pembagian warisan secara kolektif bergilir (bersama-sama) dimana hasil dan pengelolaannya dilakukan secara bergilir sesuai dengan garis keturunan sebagaimana ajaran Pasang ri Kajang yang menjadi pedoman masyarakat Ammatoa.Tentunya penelitian ini sangat berguna mengantarkan peneliti untuk melihat, mengetahui dan memahami sistem pembagian harta warisan di masyarakat Kajang Le’leng (Ammatoa). Namun Apabila dikaji lebih jauh skripsi ini hanya menjelaskan sistem kekerabatan yang dianut oleh masyarakat Ammatoa dalam pembagian harta warisan. Oleh karena itu sedikitpun tidak menyinggung tentang konsep 5 Mahasiswi, Universitas Hasanuddin Fakultas Hukum Bagian Hukum Keperdataan, Makassar, 2013. 8 keadilan yang dipahami dalam sistem pembagian harta warisan pada masyarakat Ammatoa di Kabupaten Bulukumba sebagaimana fokus kajian yang dilakukan oleh peneliti. Meskipun memiliki kesamaan dalam hal wilayah atau lokasi penelitian namun salah satu hal yang membedakan skripsi ini dengan penelitian yang dilakukan adalah terkait konsep keadilan yang dipahami oleh masyarakat Kajang dalam hal pembagian harta warisan serta telaah terhadap perbedaan sistem pembagian warisan yang terjadi antara masyarakat Kajang (Ilalang Embaya dan Ipantarang Embaya). Karya Chatib Rasyid6, dengan judul “Keadilan dalam Hukum Waris Islam”. Kajian ini memfokuskan pada konsep keadilan dalam hukum waris Islam. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa dalam hukum waris Islam dikenal dengan Azas “Keadilan berimbang”, yang menentukan bahwa lakilaki dan perempuan sama-sama berhak tampil sebagai ahli waris, dengan besaran atau jumlah bagian yang berbeda yang didasarkan pada nash yang gath'i, maka adil dan berimbang yang dimaksudkan dalam hukum waris Islam adalah bagian laki-laki sama dengan bagian dua orang perempuan (besaran 2 : 1 antara laki-laki dan perempuan). Dalam penelitian ini Chatib Rasyid memaparkan konsep keadilan pembagian harta warisan berdasarakan hukum Islam tanpa mengkaji lebih jauh relevansinya dengan kondisi suatu masyarakat. Sedangkan peneliti memotret sistem kekerabatan dan konsep keadilan pembagian harta warisan masyarakat Kajang dengan konsep keadilan yang dipahami masyarakat Kajang Le’leng di Kabupaten Bulukumba. Selain itu penelitian ini juga mengkaji lebih jauh proses terjadinya perbedaan sistem 6 Ketua Pengadilan Agama Kota Bandung. Keadilan Dalam Hukum Waris Islam, 2009. 9 kewarisan antara Masyarakat Kajang (Ilalang Embaya dan Ipantarang Embaya) Sehingga hal inilah yang membedakan karya Chatib Rasyid dengan penelitian yang dilakukan di masyarakat Kajang di Bulukumba. Karya lain dari Liza Marina dan Wien Sukarmini7, dengan judul “ Perbedaan Perspektif Keadilan tentang Pembagian Harta Warisan Menurut Hukum Islam, Hukum Perdata Barat dan Hukum Adat”. Karya ini menunjukkan bahwa teori keadilan distributif yang mengedepankan nilai perbedaan mewarnai hukum waris Islam dan teori keadilan komutatif yang mengutamakan persamaan mempengaruhi konsep keadilan dalam hukum waris Barat atau BW. Sedangkan hukum waris Adat ada yang sebagian terpengaruhi oleh teori keadilan distributif (misalnya hukum masyarakat adat Minangkabau dan hukum masyarakat adat Batak) sementara yang dipengaruhi oleh teori keadilan komutatif (masyarakat adat Jawa, yang membagi warisan yang sama antara anak laki-laki dan perempuan dengan cara Dum dum kupat). Karya ini tentunya sangat berguna untuk mengantarkan peneliti untuk melihat dan mengetahui konsep keadilan dari ketiga sistem hukum kewarisan yang berlaku dalam masyarakat. Persamaan karya ini dengan penelitian yang dilakukan penulis adalah sama-sama mengkaji konsep keadilan dalam pembagian harta warisan dalam suatu masyarakat. Adapun perbedaannya adalah tema yang dipilih dan lokasi penelitian. Penelitian yang dilakukan penulis lebih terfokus pada pemahaman keadilan pada proses pembagian warisan masyarakat Kajang Le’leng di Kabupaten Bulukumba Provinsi Sulawesi Selatan. 7 Dosen Tetap Fakultas Hukum, Universitas Sahid jakarta dan Dosen Tetap Fakultas Hukum Universitas Pembanguan Nasional Veteran, Jurnal Supremasi Hukum, Jakarta. 10 Dari paparan di atas khususnya Skripsi Hiksyani Nurkhadijah terlihat bahwa terdapat persamaan wilayah objek kajian penelitian, yaitu Masyarakat Ammatoa di Kabupaten Bulukumba. Namun yang berbeda dari penelitian yang telah dilakukan sebelumnya adalah pemilihan fokus kajian, masalah penelitian, landasan teori, metode penelitian, dan pendekatan yang digunakan. Di dalam kaitan ini, penelitian terdahulu di atas menjadi cerminan bahwa masih banyak ruang untuk melakukan penelitian terhadap masyarakat Ammatoa di Kabupaten Bulukumba, Provinsi Sulawesi Selatan. F. Kerangka Konseptual Konsep-konsep yang dikemukakan di dalam penelitian ini berkaitan dengan konsep keadilan dalam praktek pembagian harta warisan masyarakat Ammatoa di Kabupaten Bulukumba. Adapun paparan konsep tersebut, sebagai berikut. 1. Hukum Waris Adat Bangsa Indonesia sebagai bangsa yang bermartabat mempunyai budaya berupa adat-istiadat yang mencerminkan kepribadian, kemudian menjadi sumber hukum Adat8. Hukum Adat di Indonesia lebih tepat disebut hukum kebiasaan (customary law) atau hukum yang hidup di masyarakat. Pada hakekatnya hukum Adat merupakan hukum kebiasan artinya kebiasaankebiasaan yang mempunyai akibat hukum dan perbuatan- 8 Soeroyo Wignyodipoero, 1995, Pengantar dan Asas-Asas Hukum Adat, Gunung Agung, Jakarta, hlm. 13. 11 perbuataan yang diulang-ulang dalam bentuk yang sama9. Bentuk hukum seperti ini juga banyak dijumpai dibeberapa negara, baik negara maju, negara berkembang termasuk negara Islam. Dalam hukum Islam adat-istiadat disebut al-urf atau al-adah. Hukum Adat adalah hukum non-statutair yang sebagian besar adalah hukum kebiasaan dan sebagian kecil adalah hukum Islam. Hukum adatpun meliputi hukum yang berdasarkan keputusan-keputusan hakim yang berisi asas-asas hukum dalam lingkungan di mana ia memutuskan perkara, hukum Adat beruratberakar pada kebudayaan tradisional10. Konsepsi hukum Adat tersebut di atas, telah memberikan pengertian bahwa hukum Adat adalah hukum yang tidak tertulis di dalam peraturan-peraturan legislatif (unstatutory law) meliputi peraturan-peraturan hidup meskipun tidak ditetapkan oleh yang berwajib, toh ditaati dan didukung oleh rakyat berdasarkan atas keyakinan bahwasannya peraturan-peraturan tersebut mempunyai kekuatan hukum. Konsep hukum Adat di Indonesia hampir dipastikan ciptaan orang Belanda11,yang mempunyai tujuan untuk mengadu domba kalangan Islam dengan kalangan nasional12. Lebih jauh orang-orang Belanda menanamkan seakan-akan hukum Adat adalah hukum milik kaum nasional, sedangkan hukum Islam milik 9 Soerjono Soetanto, 1993, Pengantar Hukum Adat Indonesia, Rajawali, Jakarta, hlm.37. R. Soepomo, 1981, Bab-bab Tentang Hukum Adat, Pradnya Paramita, Jakarta, hlm. 42. 11 M.A, Jaspan, 1988, Mencari Hukum Baru Sinkretisme Hukum di Indonesia yang Membingungkan Mulyana W. Kusumah (ed) Hukum Politik dan Perubahan Sosial, Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia, Jakarta, hlm. 240. 12 Amrullah Ahmad, et al, 1994, Prospek Hukum Islam dalam Kerangka Pembangunan Hukum Nasional di Indonesia, Sebuah Kenangan 65 Tahun Bustanul Arifin, Ikaha Jakarta, Jakarta, hlm . 6. 10 12 asing13, oleh karena itu, Bustanul Arifin berpendapat bahwa istilah hukum Adat adalah artificial buatan atau karangan, karena buat rakyat Indonesia istilah hukum berarti syara„. Di daerah-daerah di Indonesia, seperti: Sumatera, Bima, Sulawesi, dan Ternate, hukum berarti syara„14. Mengacu kepada beberapa pengertian yang telah dijelaskan di atas, dapat disimpulkan bahwa hukum adat atau hukum kebiasaan adalah suatu norma hukum yang berakar pada nilai-nilai budaya bangsa Indonesia sepanjang sejarah mengalami penyesuaian dengan keadaan, artinya bersifat terbuka menerima norma-norma dari luar sepanjang tidak bertentangan kepada adat atau budaya bangsa Indonesia. Pada umumnya hukum Adat tidak tertulis, meskipun ada yang tertulis, tetapi hanya suatu pengecualian, akan tetapi hukum Adat itu diyakini sebagai manifestasi rasa keadilan oleh anggota masyarakatnya. Selain yang telah dijelaskan di atas, sumber hukum Adat adalah berupa dokumen-dokumen yang memuat ketentuanketentuan hukum yang hidup pada waktu itu, baik yang berupa piagam-piagam, seperti “papekan Cirebon”, di Cirebon, maupun peraturan-peraturan seperti “awik-awik” di Bali, dan ketentuanketentuan atau keputusan-keputusan pejabat adat seperti “rapangrapang” di Makassar. 13 Jazumi, 2005, Legislasi Hukum Islam di Indonesia, Citra Aditya Bakti, Bandung, hlm.249. 14 Bustanul Arifin, 1991, Peradilan Agama di Indonesia, Jakarta, No. 10 Tahun ke 4, hlm 14. 13 Sementara jika berbicara tentang hukum waris adat diartikan sebagai hukum adat yang memuat garis-garis ketentuan tentang sistem dan azas-azas hukum waris, tentang harta warisan, pewaris, ahli waris dan cara bagaimana harta warisan itu dapat dialihkan penguasaan dan pemilikannya dari pewaris ke ahli waris15. Harta warisan adalah harta kekayaan dari pewaris. Sementara pewaris adalah orang yang meneruskan harta peninggalan kepada ahli waris atau orang yang mempunyai harta warisan. Sementara ahli waris adalah orang yang berhak atas harta warisan atau orang yang mendapat harta peninggalan atau harta warisan. Lebih lanjut Ter Haar16 menyatakan bahwa hukum waris adat adalah aturan-aturan hukum mengenai cara bagaimana dari abad ke-abad penerus dan peralihan dari harta kekayaan yang berwujud dan tidak berwujud dari generasi ke generasi. Dengan demikian hukum waris itu memuat ketentuan-ketentuanyang mengatur cara penerusan dan peralihan harta kekayaan dari pewaris ke ahli waris. Cara penerusan dan peralihan harta kekayaan dapat berlaku sejak pewaris masih hidup atau setelah pewaris meninggal dunia. Sebagaimana yang dikemukakan oleh Wirjono17 berikut ini: “warisan adalah soal apakah dan bagaimanakh berbagai hak-hak dan kewajiban-kewajiban tentang 15 Hilman Hadikusuma, 2003, Hukum Waris Adat, Citra Aditya Bakti, Bandung, hlm. 7. Ibid., hlm.8. 17 Wirjono , 1976, Hukum Waris di Indonesia, Sumur Bandung, hlm. 8. 16 14 kekayaan seseorang pada waktu ia meninggal dunia akan beralih kepada orang lain yang masih hidup” Adapun sistem hukum warisan adat di Indonesia dipengaruhi oleh prinsip garis kekerabatan. Menurut Hazairin18 hanya ada tiga prinsip pokok garis kekerabatan atau keturunan, yaitu: 1) Patrilineal, yang menimbulkan kesatuan-kesatuan kekeluargaan yang besar-besar, seperti clan, marga, dimana setiap orang itu selalu menghubungkan dirinya hanya kepada ayahnya. Oleh karena itu, termasuk ke dalam clan ayahnya, yakni dalam sistem patrilineal murni seperti di tanah Batak atau dimana setiap orang itu menghubungkan dirinya kepada ayahnya atau kepada maknya, tergantung kepada bentuk perkawinan orang tuannya itu, dan karena itu termasuk ke dalam clan ayahnya ataupun ke dalam clan ibunya yakni dalam system patrilineal yang beralih-alih, seperti di Lampung dan Rejang. 2) Matrilineal, yang juga menimbulkan kesatuan-kesatuan kekeluargaan yang besar-besar, seperti clan, suku, di mana setiap orang itu selalu menghubungkan dirinya hanya kepada maknya atau ibunya, dan karena itu termasuk ke dalam clan dan suku; 3) Parental atau Bilateral, yang mungkin menimbulkan kesatuankesatuan kekeluargaan yang besar-besar, seperti tribe, rumpun, 18 Hazairin,1981, Tujuh Serangkai tentang Hukum, Bina Akasara, Jakarta, hlm. 11. 15 dimana setiap orang itu menghubungkan dirinya dalam hal keturunan baik kepada maknya maupun kepada ayahnya. Bentuk masyarakat dengan hubungan kekerabatan patrilinel, matrilineal, dan parental atau bilateral tersebut di atas, banyak dijumpai di dalam masyarakat Indonesia, seperti dalam bentuk masyarakat kekerabatan patrilineal dalam masyarakat Batak, Bali, Tanah Gayo, Timor, Ambon, dan Papua. Sedangkan bentuk masyarakat dengan hubungan kekerabatan matrilineal adalah di Minangkabau. Adapun bentuk masyarakat kekerabatan parental atau bilateral dapat dilihat di Jawa, Kalimantan, seluruh Sulawesi, Riau, dan Lombok. 2. Konsep Keadilan Berbicara tentang keadilan memang tergantung dari budaya, pemahaman dan tingkat intelektual di dalam masyarakat. Tuntutan keadilan masyarakat yang tradisional akan berbeda dengan masyarakat yang modern, sehingga tidak ada norma hukum yang sifatnya berlaku secara universal. Keadilan memang tidak dapat dipisahkan dari persoalan hukum19 dan persoalan manusia, karena manusialah yang selalu menjadi subyek dari segala hukum dan manusialah yang mempunyai kesadaran dalam melakukan perbuatan hukum baik yang baik maupun yang tidak baik, adil maupun yang tidak adil. Timbulnya keadilan dalam masyarakat berarti 19 Theo Huijbers, 1991, Filsafat Hukum, Kanisius, Yogyakarta, hlm. 63. 16 timbul kesadaran akan makna tatanan kehidupan dalam masyarakat baik secara individu maupun secara komunal. Keadilan merupakan suatu hal yang abstrak, sehingga akan sulit mewujudkan suatu keadilan jika tidak mengetahui apa arti keadilan. Kata keadilan berasal dari kata "'adala"20, yang dalam Al-Quran terkadang disebutkan dalam bentuk perintah ataupun dalam bentuk kalimat berita. Kata "'adala" dalam Al-Qur'an disebutkan secara berulang-ulang sebanyak 28 kali dalam berbagai bentuknya, untuk menyebutkan suatu keadaan yang lurus. Disebut lurus karena secara khusus kata tersebut bermakna penetapan hukum dengan benar. Pada pokoknya, syari'ah bertujuan untuk menegakkan perdamaian di muka bumi dengan mengatur masyarakat dan memberikan keadilan kepada semua orang. Jadi, perintah dan keadaan merupakan tujuan mendasar bagi syari'ah. Dalam bahasa Indonesia, keadilan merupakan kata sifat yang menunjukkan perbuatan, perlakuan adil, tidak berat sebelah, tidak berpihak, berpegang kepada kebenaran dan proporsional. Dalam hubungannya dengan hak yang menyangkut materi, khususnya yang menyangkut dengan hukum kewarisan, dapat diartikan bahwa keadilan merupakan keseimbangan antara hak dan kewajiban dan keseimbangan berdasarkan perolehan dan kewajiban/keperluan. Dengan demikian keadilan dalam hukum waris Islam merupakan ketentuan hukum Islam mengenai peralihan harta warisan dari pewaris (pemilik harta yang 20 Ali Parman, 1995, Kewarisan Dalam Al-Qur'an; Suatu Kajian Hukum Dengan Pendekatan Tafsir Tematik, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta, hlm. 73. 17 meninggal dunia) kepada para ahli waris yang bersifat proporsional dan berimbang. Keadilan pada hakikatnya adalah memperlakukan seseorang atau pihak lain sesuai dengan haknya. Sebagaimana yang dikemukakan oleh Aristoteles21. Aristoteles, adalah seorang filosof pertama kali yang merumuskan arti keadilan. Ia mengatakan bahwa keadilan adalah memberikan kepada setiap orang apa yang menjadi haknya (fiat jutitia bereat mundus). Selanjutnya dia membagi keadilan dibagi menjadi dua bentuk yaitu: Pertama, keadilan distributif, adalah keadilan yang ditentukan oleh pembuat undang-undang, distribusinya memuat jasa, hak, dan kebaikan bagi anggota-anggota masyarakat menurut prinsip kesamaan proporsional. Kedua, keadilan korektif, yaitu keadilan yang menjamin, mengawasi dan memelihara distribusi ini melawan serangan-serangan ilegal. Fungsi korektif keadilan pada prinsipnya diatur oleh hakim dan menstabilkan kembali status quo dengan cara mengembalikan milik korban yang bersangkutan atau dengan cara mengganti rugi atas miliknya yang hilang. Sementara Thomas Aquinas22 seorang filsuf hukum alam membagi keadilan dalam dua kelompok, yaitu keadilan umum atau keadilan menurut kehendak undang-undang yang harus ditunaikan demi kepentingan umum dan keadilan khusus yang didasarkan pada kesamaan atau proporsional. Keadilan khusus ini dibedakan menjadi tiga kelompok, 21 E. Sumaryono, 2002, Etika dan Hukum: Relevansi Teori Hukum Kodrat Thomas Aquinas, Kanisius, Yogyakarta, hlm. 92. 22 Theo Huijbers, 1982, Filsafat Hukum dalam Lintasan Sejarah, Kanisius, Yogyakarta, hlm. 32-33. 18 yaitu: pertama, keadilan distributif adalah keadilan yang secara proporsional yang diterapkan dalam lapangan hukum publik secara umum. Kedua keadilan tukar menukar yang menyangkut barang yang ditukar antar pribadi dan ketiga keadilan legal yaitu keadilan dalam hal menjatuhkan hukuman atau ganti kerugian dalam tindak pidana. Sedangkan John Rawls mendefinisikan keadilan sebagai hasil dari pilihan yang setara23. Pemikiran John Rawls mengenai keadilan telah menjadi bahan pembicaraan yang sangat menarik pada dekade terakhir24. Karya John Rawls yang mejadikannya terkenal sebagai pemikir terkemuka dalam filsafat adalah A Theory of Justice (1971).Di dalam teori ini dikemukakan bahwa secara khusus teorinya merupakan kritik terhadap teori-teori keadilan pada masa sebelumnya dipengaruhi oleh utilitiarisme atau intuisionisme yang telah menjadi pandangan moral yang sangat dominan pada seluruh periode filsafat moral modern25. Secara umum utilitiarisme mengajarkan bahwa benar dan salahnya manusia terhadap peraturan tergantung pada konsekuensi langsung dari peraturan atau tindakan tertentu yang dilakukan. Dengan demikian, baik buruknya tindakan manusia secara moral sangat tergantung dari konsekuensi tindakan tersebut, apabila akibatnya baik maka hukum itu baik tetapi sebaliknya apabila akibatnya buruk maka hukum itu juga 23 John Rawls, 2011, A Theory Of Justice: Teori Keadilan “Dasar-dasar Filsafat Politik untuk Mewujudkan Kesejahteraan sosial dalam Negara, Pustaka Pelajar, Yogyakarta, hlm. 13. 24 Frans J Rengka, 2003,“Dialog Hukum dan Keadilan dalam Proses PeradilanPidana”, Studi tentang Putusan Peradilan Pidana dalam Kasus Tindak Pidana Masa Orde Baru, Disertasi Ilmu Hukum Universitas Diponegoro Semarang, hlm. 17. 25 Op.cit., hlm. 11-12. 19 buruk26. Rawls juga mengkritik intuisionisme, karena tidak memberi tempat memadai kepada rasio atau akal. Tetapi lebih mengutamakan intuisi, sehingga tidak memadai untuk dijadikan pegangan dalam mengambil keputusan. Bertolak dari itu dapat dibangun teori tentang keadilan yang mampu untuk menegakkan keadilan bersama sekaligus dapat dipertanggungjawabkan secara obyektif, khususnya dalam kacamata demokrasi. Teori keadilan dapat dibangun dan dapat memadai untuk menjawab persoalan apabila dibentuk dengan pendekatan kesepakatan bersama. Prinsip-prinsip keadilan yang dipilih dipegang dan disepakati bersama dengan rasional. Rawls menyebutnya denganJusticeas Fairness. Dengan demikian Rawls menekankan pada pentingnya melihat keadilan sebagai “kebijakan utama” yang harus dipegang sebagai dasar dari berbagai lembaga sosial masyarakat dan dapat dijadikan salah satu pendukung dalam keadilan formal. Eksistensinya dengan menempatkan keadilan dalam konstitusi sebagai basis dari timbulnya hak maupun kewajiban baik secara individu maupun secara komunal. Untuk itu keadilan formal sangat diperlukan karena keadilan formal merupakan suatu jaminan dalam suatu perkara. Di dalam perkara yang sama maka harus diperlakukan dengan cara yang sama pula. Keadilan formal menempati posisi yang sangat penting, disamping konsisten sebagai pedoman bagi lembaga pranata hukum dalam melaksanakan peraturan yang telah disepakati bersama. Walau kadang 26 Andre Ata Ulan, 2001, Keadilan dan Demokrasi, Telaah Filsafat Politik John Rawls, Kanisius, Yogyakarta, hlm. 21. 20 kala peraturan hukum yang telah disepakati bersama itu tidak mencerminkan rasa keadilan. Penerapan yang konsisten dalam hukum sedikitnya dapat membantu anggota masyarakat dari hal-hal apa boleh dilakukan atau yang tidak boleh dilakukan olehnya. Konsep ini menurut Rawls keadilan formal adalah keadilan yang dipaksakan oleh pihak penguasa untuk mencapai suatu tujuan yang tidak bebas nilai. Sedangkan hukum yang mencerminkan keadilan, apabila hukum itu dapat diterima oleh semua pihak dan tidak memihak kepada siapapun, baik kepada penguasa maupun kepada yang dikuasai. Rawls mencoba merumuskan dua prinsip keadilan distributif yaitu pertama the greatest equal principle, bahwa setiap orang harus memiliki hak yang sama atas kebebasan dasar yang paling luas, seluas kebebasan yang sama bagi semua orang. Hal ini paling mendasar (hak azasi) yang harus dimiliki oleh semua orang. Artinya bahwa keadilan akan terwujud dengan adanya jaminan kebebasan yang sama bagi semua orang (prinsip kesamaan hak). Kedua, prinsip ketidaksamaan sosial dan ekonomi sehingga harus diatur sedemikian rupa dan perlu diperhatikan dua azas berikut yakni the different principle dan the principle of fair equality of opportunity. Keduanya diharapkan memberikan penegasan bahwa setiap orang berhak memperoleh kesempatan yang sama. Sementara dalam keadilan komutatif yang menjadi landasan hubungan antara person, termasuk kontrak, hendaknya tidak dipahami sebagai kesamaan semata karena pandangan ini akan membawa ketidakadilan ketika dihadapkan 21 dengan ketidakseimbangan para pihak yang berkontrak. Dalam keadilan komutatif didalamnya terkandung pula makna distribusi-proporsional. The different principle dan the principle of fair equality of opportunity merupakan prinsip perbedaan objektif artinya bahwa kedua prinsip tersebut menjamin terwujudnya proporsionalitas pertukaran hak dan kewajiban para pihak, sehingga secara objektif (wajar) dapat diterima adanya perbedaan tersebut asalkan memenuhi syarat good faith and fairness (itikad baik dan kewajaran). Dengan demikian prinsip pertama dan prinsip kedua tidak dapat dipisahkan satu dengan yang lainnya. Keadilan yang dimaksudkan oleh Rawls akan terwujud apabila kedua syarat tersebut diterapkan secara komprehensif. Keadilan juga harus dipahami sebagai fairness, artinya bahwa tidak hanya mereka yang memiliki bakat dan kemampuan yang lebih baik saja yang berhak menikmati berbagai manfaat sosial lebih banyak, tetapi keuntungan tersebut harus menciptakan peluang yang sama bagi semua orang. Keadilan sebagai fairness sangat menekankan pada azas resiprositas, namun bukan berarti sekedar simply reciprocity, distribusi kekayaan dilakukan tanpa melihat perbedaan-perbedaan objektif diantara masyarakat. Oleh karena itu agar terjamin suatu aturan main yang objektif maka keadilan yang dapat diterima sebagai fairness adalah pure procedural justice, artinya keadilan sebagai fairness harus berproses sekaligus teraplikasikan melalui suatu prosedur yang adil untuk menjamin hasil yang adil pula (jaminan keadilan). Berdasarkan pertimbangan 22 tersebut hendaknya dicari upaya untuk menciptakan hukum yang dapat mencerminkan rasa keadilan. 3. Konstruksi Sosial Salah satu ciri yang menonjol dari hukum pada masyarakat modern adalah penggunaan hukum secara sadar dalam masyarakat. Hukum tidak hanya dipakai untuk mengkokohkan pola kebiasaan dan tingkah laku yang terdapat dalam kehidupan masyarakat. Hukum dalam masyarakat modern adalah untuk mengarahkan pada tujuan-tujuan yang dikehendaki, dan untuk menghapuskan kebiasaan yang dipandang tidak lagi relevan dalam kehidupan masyarakat. Hukum sebagai kontruksi sosial, mempunyai ruang lingkup yang sangat luas, meliputi berbagai aspek kehidupan masyarakat, yang menimbulkan persepsi yang berbeda tentang hukum. Pandangan klasik hukum itu bersifat netral otonom dan tidak terkait dengan pengaruh di luar hukum. Berbeda dengan pendapat Hans Kalsen bahwa hukum dilihat dari kebenaran formal. Pandangan ini menetapkan bahwa kebenaran hukum hanya melihat kebenaran formal tidak perlu melihat kenyataan sosial yang ada. Hukum dapat dikatakan adil apabila hukum ini mampu bersifat netral. Hukum dan keadilan identik dengan apa yang telah ditetapkan pemerintah sebagai pembuat dan penegak hukum. Hal ini senada dengan pemikiran John Rawl yang melihat keadilan berdasarkan peran atau perlakuan lembaga/institusi-institusi sosial. Dalam hal ini institusi dianggap adil ketika tidak ada pembedaan sewenang-wenang antar orang dalam 23 memberikan hak dan kewajiban. Perlakuan yang sama kepada setiap anggota masyarakat, tanpa ada diskriminasi. Istilah konstruksi atas realitas sosial (social construction of reality) menjadi terkenal sejak diperkenalkan oleh Peter L. Berger dan Thomas Luckman melalui bukunya yang berjudul The Social Construction of Reality: A Treatise in the Sociological of Knowledge (1966). Ia menggambarkan proses sosial melalui tindakan dan interaksinya, dimana individu menciptakan secara terus menerus suatu realitas yang dimiliki dan dialami bersama secara subyektif. Asal usul konstruksi sosial dari filsafat konstruktivisme yang dimulai dari gagasan-gagasan konstruktif kognitif. Menurut Von Glaserfeld, pengertian konstruktif kognitif muncul pada abad ini dalam tulisan Mark Baldwin yang secara luas diperdalam dan disebarkan oleh Jean Piaget. Namun, apabila ditelusuri, sebenarnya gagasan-gagasan pokok konstruktivisme sebenarnya telah dimulai oleh Giambatissta Vico, seorang epistemolog dari italia, ia adalah cikal bakal konstruktivisme. Kontruksi sosial memiliki arti yang luas dalam ilmu sosial. Selanjutnya dikatakan bahwa kontruksi sosial memiliki beberapa kekuatan. Pertama, peran sentral bahasa memberikan mekanisme konkret, dimana budaya mempengaruhi pikiran dan tingkah laku individu. Kedua, kontruksi sosial dapat mewakili kompleksitas dalam satu budaya tunggal, hal ini tidak mengasumsikan keseragaman. Ketiga, hal ini bersifat konsisten dengan masyarakat dan waktu. Menurut DeLamater dan Hyde27 27 Sunyoto Usman, Diktat Perkuliahan Pada Tanggal 04 Oktober 2013, di Ruang 209 Fisipol UGM. 24 juga bahwa konstruksi sosial menyatakan tidak ada kenyataan pokok (essences) yang benar, realitas adalah kontruksi sosial oleh karena itu setiap fenomena adalah kontruksi sosial, hasil dari suatu budaya, bahasa, dan juga institusi-institusi. Kontruksi sosial merupakan sebuah pandangan yang menunjukkan bahwa semua nilai, ideologi, dan institusi sosial adalah buatan manusia. Kontruksi sosial adalah sebuah pernyataan keyakinan (a claim) dan juga sebuah sudut pandang (a viewpoint) bahwa kandungan dari kesadaran, dan cara berhubungan dengan orang lain itu diajarkan oleh kebudayaan dan masyarakat. Konstruksi sosial mengandung dua elemen penting yaitu kekuatan (power) dan pengetahuan (knowledge)28. Konstruksi sosial melihat masyarakat sebagai aktor-aktor yang memiliki pengetahuan dan kemampuan memberi tanggapan sekaligus merangsang perubahan, sekaligus memberi respon terhadap perubahan yang terjadi. Asumsi dasar yang melekat pada pendekatan ini adalah kekuatan yang bersifat material dan ideasional (material and ideational forces) yang memfasilitasi sekaligus memberi energi terhadap agen dan struktur sebagai ajang sosialisasi. Uraian di atas menunjukkan tiga hal yaitu: 1. Konstruksi sosial menunjukkan pada faktor yang bersifat material (kebendaan) sekaligus menekankan faktor yang bersifat idea tau gagasan (ideational). Faktor material dan ideational dianggap sama pentingnya, oleh karena itu 28 Sunyoto Usman. Perkuliahan Pada tanggal 04 oktober 2013, di Ruang 209 Fisipol UGM. 25 konstruksi sosial tidak hanya menolak pembahasan fenomena yang hanya menekankan ide belaka atau pandangan yang lazim dengan kategori sosial (sesuatu yang tidak kasat mata) akan tetapi juga menolak kajian yang hanya menekankan pada materi (sesuatu yang kasat mata). Konstruksi sosial melihat fakta sosial misalnya, konflik yang sifatnya nyata (real) memiliki akibat atau konsekuensi material yaitu dengan melihat jumlah kekerasan dan tingkat kekerasan, oleh karena itu faktor yang bersifat material dan ideasional tidak dapat dilihat terpisah karena keduanya saling terkait satu sama lainnya (interdependency). 2. Konstruksi sosial mengkaji mengenai agent/ structure duality. Dalam hal ini aktor dapat berperan sebagai agen aktif yang memiliki identitas atau jati diri. Pada setiap aktor juga memiliki pandangan, keinginan dan kepentingan. Sedangkan struktur adalah lingkungan yang membingkai kehidupan aktor tersebut. Dalam struktur terdapat nilai dan norma sosial serta wacana (discourse) dimana wacana merupakan aspek penting yang harus diperhatikan dalam menjelaskan eksistensi fenomena dan proses sosial. 3. Konstruksi sosial mengkaji masalah proses sosial yang terjadi karena pengaruh atau bekerjanya faktor realitas material (dapat diidentifikasi dengan indikator yang terukur), dan bisa juga karena hasil konstruksi aktor yang berkembang dalam kondisi 26 sosial tertentu. Hasil konstruksi sosial yang dilakukan aktor tersebut tumbuh dan berkembang melalui wacana, dalam bingkai norma sosial yang menjadi sumber sikap dan tindakan sosial. Dengan demikian proses sosial tersebut dapat dibahas dalam kaitannya dengan faktor material dan faktor ideasional juga dapat dibahas dalam kaitannya dengan peran agenstruktur. Sementara itu jika ditelaah lebih jauh terdapat beberapa asumsi dasar dari teori konstruksi sosial Berger dan Luckmann. Adapun asumsiasumsinya tersebut adalah: a. Realitas merupakan hasil ciptaan manusia kreatif melalui kekuataan konstruksi sosial terhadap dunia sosial di sekelilingnya b. Hubungan antara pemikiran manusia dan konteks sosial tempat pemikiran itu timbul, bersifat berkembang dan dilembagakan c. Kehidupan masyarakat itu dikonstruksi secara terus menerus d. Membedakan antara realitas dengan pengetahuan. Realitas diartikan sebagai kualitas yang terdapat di dalam kenyataan yang diakui sebagai memiliki keberadaan (being) yang tidak bergantung kepada kehendak diri sendiri. Sementara pengetahuan didefinisikan sebagai kepastian bahwa realitas-realitas itu nyata (real) dan memiliki karakteristik yang spesifik. Berger dan Luckmann mengatakan institusi masyarakat tercipta dan dipertahankan atau diubah melalui tindakan dan interaksi manusia. Meskipun masyarakat dan institusi sosial terlihat nyata secara obyektif, 27 namun pada kenyataan semuanya dibangun dalam definisi subjektif melalui proses interaksi. Objektivitas baru bisa terjadi melalui penegasan berulang-ulang yang diberikan oleh orang lain yang memiliki definisi subyektif yang sama. Proses konstruksinya, jika dilihat dari perspektif teori Berger & Luckmann berlangsung melalui interaksi sosial yang dialektis dari tiga bentuk realitas yang menjadi entry concept, yakni subjective reality, symbolic reality dan objective reality. Selain itu juga berlangsung dalam suatu proses dengan tiga momen simultan, eksternalisasi, objektivikasi dan internalisasi. a. Objective reality, merupakan suatu kompleksitas definisi realitas (termasuk ideologi dan keyakinan) serta rutinitas tindakan dan tingkah laku yang telah terpola, yang kesemuanya dihayati oleh individu secara umum sebagai fakta. b. Symblolic reality, merupakan semua ekspresi simbolik dari apa yang dihayati sebagai “objective reality” misalnya teks produk industri media, seperti berita di media cetak atau elektronika, begitu pun yang ada di film-film. c. Subjective reality, merupakan konstruksi definisi realitas yang dimiliki individu dan dikonstruksi melalui proses internalisasi. Realitas subjektif yang dimiliki masing-masing individu merupakan basis untuk melibatkan diri dalam proses eksternalisasi, atau proses interaksi sosial dengan individu lain dalam sebuah struktur sosial. Melalui proses eksternalisasi itulah individu secara 28 kolektif berpotensi melakukan objektivikasi, memunculkan sebuah konstruksi objective reality yang baru29. Melalui karya Hegel yakni tesis-antitesis-sintesis, Berger dan Luckmann menemukan konsep untuk menghubungkan antara yang subjektif dan objektif melalui konsep dialektika, yang dikenal dengan eksternalisasi-objektivasi-internalisasi. 1. Eksternalisasi ialah penyesuaian diri dengan dunia sosio-kultural sebagai produk manusia. “Society is a human product”. 2. Objektivasi ialah interaksi sosial dalam dunia intersubjektif yang dilembagakan atau mengalami institusionalisasi. “Society is an objective reality”. 3. Internalisasi ialah individu mengidentifikasi diri di tengah lembaga-lembaga sosial atau organisasi sosial di mana individu tersebut menjadi anggotanya. “Man is a social product”30. Penjelasan di atas mengindikasikan bahwa kehidupan masyarakat sebenarnya ditandai oleh keterbukaan, dan perilakunya hanya sedikit saja yang ditentukan oleh naluri. Ia dengan sadar membentuk perilakunya dan hal ini berlangsung secara terus-menerus, dengan kesadaran intensionalnya selalu terarah dan dipengaruhi oleh objek yang berada diluarnya, hingga relasinya antara masyarakat dan segala pranatanya, bersinggungan secara dialektis. 29 Dedy N Hidayat, 2003, Konstruksi Sosial Industri Penyiaran : Kerangka Teori Mengamati Pertarungan di Sektor Penyiaran, Makalah dalam diskusi “UU Penyiaran, KPI dan Kebebasan Pers, di Salemba 8 Maret. 30 Basrowi,Sukidin, 2002, Metode Penelitian Kualitatif Perspektif Mikro, Insan Cendekian, Surabaya, hlm. 206. 29 Dari beberapa pemaparan sebelumnya, terdapat tiga sumber yang dijadikan dasar atau referensi aktor dalam membangun dan mengembangkan konstruksi terhadap fenomena sosial tertentu. Adapun ketiganya itu adalah berikut ini31: 1. Sebuah konstruksi sosial dapat distimulasi oleh identitas atau jati diri aktor, juga dipengaruhi oleh bagaimana aktor tersebut berperan dalam struktur. Identitas atau jati diri tersebut tertanam kuat sehingga tidak mudah berubah bahkan cenderung dipertahankan dengan keyakinan bahwa hal tersebut dapat mengatasi berbagai macam tensi atau kendala yang muncul bersamaan dengan perubahan. Identitas atau jati diri tersebut berpengaruh signifikan terhadap cara aktor memaknai realitas berupa faktor material dan ideasional yang dihadapi atau yang terjadi di masyarakat. 2. Konstruksi sosial distimulasi oleh norma sosial tertentu misalnya,dongeng atau cerita rakyat, adat istiadat dan hukum(folkways, mores and law) dan bisa juga di pengaruhi oleh nilai-nilai budaya tertentu seperti adat istiadat dan keyakinan masyarakat. Dalam kontruksi sosial perbedaan norma sosial dan nilai budaya berpengaruh signifikan terhadap cara aktor memaknai realitas juga berpengaruh terhadap perbedaan pola dan cara aktor memerankan diri di dalam masyarakat. 31 Sunyoto Usman. Perkuliahan Pada tanggal 04 oktober 2013, di Ruang 207 Fisipol UGM. 30 3. Konstruksi sosial bisa dipengaruhi oleh bermacam-macam kepentingan, seperti kepentingan ekonomi dan kepentingan politik. Kepentingan ekonomi erat kaitannya dengan upaya menguasai sumber-sumber ekonomi dan pemasaran hasil produksi. Sumber ekonomi tersebut berupa sumber modal uang, sumber daya alam, ilmu pengetahuan dan teknologi. sedangkan kepentingan politik erat kaitannya dengan distribusi kekuasaan dan akses kekuasaan politik. Dari beberapa uraian diatas mengindikasikan bahwa konstruksi sosial dapat diaplikasikan untuk memahami berbagai macam isu atau fenomena yang ada dalam masyarakat seperti konflik, diskriminasi gender, isu lingkungan, kajian kebijakan, afiliasi politik termasuk pemahaman makan keadilan terhadap kewarisan masyarakat Kajang Le’leng. G. Metode Penelitian Untuk mendapatkan hasil yang mempunyai validitas yang cukup serta dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah maka diperlukan suatu metode penelitian yang tepat untuk memberikan pedoman serta arah dalam mempelajari serta memahami obyek yang diteliti. Dengan demikian diharapkan penelitian dapat berjalan dengan baik dan lancar sesuai dengan rencana yang ditetapkan. Metode penelitian adalah suatu usaha untuk menemukan, mengembangkan dan menguji kebenaran suatu ilmu pengetahuan dilakukan dengan menggunakan metode ilmiah32. Metode penelitian yang 32 Sutrisno Hadi,1979, Metode Reseach, Yayasan Penerbit Fakultas Psikologi UGM, Yogyakarta, hlm. 4. 31 digunakan oleh peneliti meliputi : a). Pendekatan penelitian, b). Unit analisis, c). Teknik pengumpulan data serta d). Analisis data untuk menghasilkan kesimpulan. 1. Pendekatan Penelitian Penelitian ini merupakan penelitian kualitatif. Pemakaian penelitian kualitatif merupakan bentuk proporsional yang dapat digunakan untuk menjelaskan makna dibalik sebuah fenomena sosial. Sebagai upaya untuk menjawab masalah penelitian, peneliti menggunakan pendekatan fenomenologi sebagai pisau analisa (tools of analysis). Alfred Schutz menjelaskan bahwa pendekatan fenomenologi berfungsi untuk merumuskan ilmu sosial yang mampu mengurai, menafsirkan dan menjelaskan permasalahan hidup sehari-hari yang dimaknai oleh individu. Penafsiran tersebut dilakukan dengan cara mendeskripsikan struktur-struktur dasar mengenai realitas yang ditangkap oleh setiap individu dengan berpegang teguh pada ”sikap alamiah”. Hal tersebut dikarenakan kesadaran manusia bersifat konstitusional dan intensional yang bisa ditemukan dalam refleksi pengalaman yang dibentuk oleh keadaan atau kondisi lingkungan sehingga hal tersebut tidak terjadi secara kebetulan. Demikian halnya dengan fenomena sistem waris masyarakat Kajang keberadaannya tidak terjadi secara kebetulan, melainkan dibentuk secara sosial. Pendekatan fenomenologi inilah peneliti dapat melihat realitas secara nyata. Dengan cara 32 mengkonseptualisasikan realitas sebagai deskripsi dari satu kesatuan yang utuh dan menyeluruh. Upaya konseptualisasi dilakukan dengan fokus perhatian pada konstruksi sosial dan makna keadilan dalam sistem waris masyarakat Kajang ditinjau dari sejarah, pengetahuan, kesadaran dan tindakan subyektif serta pengalaman kehidupan sosial sehari-hari individu sebagai subyek sekaligus objek penelitian. 2. Spesifikasi Penelitian Berdasarkan judul penelitian dan rumusan masalah serta tujuan yang akan dicapai dengan adanya penelitian ini maka spesifikasi penelitian ini termasuk dalam penelitian deskriptif. Dari hasil deskripsi tersebut, selanjutnya hasil wawancara yang telah diperoleh dari 10 informan. Informan tersebut terdiri dari 4 orang masyarakat Kajang Le’leng dalam yakni, Ammatoa, Badan Adat Ammato, saudara perempuan Ammatoa dan Pak Rusman, ditambah 6 informan masyarakat Kajang Le’leng luar yaitu, Pak Laling, Pak Jusman, Pak Irham, Pak Arul, Ibu Rosmawati, dan Pak Sultan selaku Kepala Desa Tanah Toa. Dari hasil wawancara tersebut kemudian mendeskripsikan pemahaman makna keadilan di Masyarakat Kajang Le‟leng Kabupaten Bulukumba. 33 3. Objek Studi Studi ini difokuskan pada perubahan kewarisan terjadi pada masyarakat Kajang Le‟leng yang dan mengetahui pemaknaan keadilan dari masyarakat tersebut. Tepatnya Penelitian ini dilaksanakan di Desa Tanah Toa, Kecamatan Kajang, Kabupaten Bulukumba Provinsi Sulawesi Selatan. Pemilihan daerah ini memiliki masyarakat adat. Masyarakat ini menjalani kehidupannya berdasarkan tradisi dan pola hidup yang senantiasa harmonis dengan alam. Penelitian ini terfokus pada Kecamatan Kajang, tepatnya di desa Tanah Toa yang terbagi atas dua kelompok yaitu Kajang Le’leng dalam (Ilalang Embayya) dan Kajang Le’leng luar (Ipantarang Embayya). 4. Teknik Penentuan Informan Penentuan subyek penelitian dilakukan ketika peneliti mulai ke lapangan dan selama melakukan proses penelitian. Dalam menentukan subyek penelitian, peneliti menggunakan teknik Purposive dan Snowball. Pemilihan teknik Purposive didasarkan pada kecenderungan peneliti untuk memilih informan dengan sengaja karena dianggap mengetahui informasi dan permasalahan yang diteliti secara mendalam, sehingga mampu menjadi informan kunci yang dapat dipercaya sebagai sumber data untuk memberikan informasi. Selanjutnya untuk pemilihan teknik Snowball didasarkan pada upaya pengambilan informan secara bebas pada 34 siapapun yang ditemui di lapangan. Dimana peneliti akan mencari informasi dari orang yang dianggap mengetahui informasi yang lebih jelas berdasarkan rekomendasi dari informan sebelumnya. Pada penelitian ini, informan yang digunakan sebanyak 10 orang, terdiri dari Pimpinan Adat Kajang le‟leng (Ammatoa), Badan Adat Ammatoa, 2 orang Masyarakat Kajang dalam dan 6 orang warga Tanah Toa (Mayarakat Kajang Lel‟eng Ipantarang Embaya). Pemilihan 10 informan didasarkan pada pertimbangan kedalaman data dan informasi yang diperoleh telah mampu menjawab permasalahan. 5. Sumber data Sumber data merupakan bagian penting dalam penelitian kualitatif. Sumber data dalam penelitian ini terbagi menjadi dua kategori yang meliputi: sumber data primer dan sumber data sekunder. Sumber data primer dalam penelitian ini merujuk pada aspek data berupa kata-kata dan tindakan sosial yang menjadi data empiris. Aspek data berupa kata-kata diperoleh secara langsung dari informan ketika peneliti melakukan wawancara mendalam di lokasi penelitian. Sedangkan sumber data berupa tindakan diperoleh dengan mengamati pola interaksi sosial dan komunikasi sosial dari masyarakat Kajang dalam kehidupan sehari-hari. Sedangkan sumber data sekunder dalam penelitian ini berasal dari data yang tertulis dan terdokumentasikan seperti, foto 35 (gambar), peraturan perundang-undangan, karya ilmiah, surat kabar dan lain-lain yang berkaitan dengan objek penelitian. Sumber data sekunder yang dibutuhkan oleh peneliti meliputi beberapa hal yaitu Informasi secara lengkap mengenai keadaan geografis wilayah penelitian, kondisi sosiologis masyarakat di wilayah wilayah Adat (Ammatoa) dokumentasi tertulis dari kantor Desa, kantor Camat sampai kantor pemerintah Kabupaten Bulukumba. Namun, dalam penelitian ini peneliti mengalami kesulitan memperoleh data primer. Yaitu peneliti mendapat kendala untuk memasuki wilayah Kajang Le’leng Ilalang Embaya, walaupun demikian penelitian ini tetap bisa berjalan dan memperoleh data yang dibutuhkan dalam penulisan ini. Selain kesulitan dalam memeperoleh izin melakukan wawancara dengan Ammatoa, peneliti juga mengalami sedikit kesulitan dalam hal memahami bahasa dan dialek yang digunakan oleh masyarakat Kajang Le’leng. Sumber data penelitian tentang sistem waris masyarakat Kajang dan makna keadilan proses kewarisan masyarakat Kajang bersumber dari informan, peristiwa dan dokumen. Adapun subjek yang menjadi informan penelitian terdiri dari : a. Masyarakat Kajang Le‟leng (Ilalang Embayya dan Ipantarang Embayya) b. Pimpinan Adat Kajang Le‟leng Ilalang Embayya (Ammatowa) c. Unsur Pemerintah 36 6. Teknik Pengumpulan Data Dalam rangka memperoleh data yang berguna untuk menjawab permasalahan penelitian maka teknik pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini meliputi tiga hal yaitu observasi, wawancara mendalam (indepth interview) dan analisis dokumen. Observasi atau pengamatan ini dilakukan dengan maksud untuk mengetahui aktivitas masyarakat atau kebiasaan-kebiasaan masyarakat yang meliputi hubungan atau interaksi sosial antar warga, aktivitas ekonomi dan kebiasaan adat setempat. Teknik observasi digunakan untuk menggali data berupa peristiwa, perilaku dan kegiatan informan, tempat atau lokasi serta benda ataupun rekaman gambar. Merujuk dengan hal tersebut, proses observasi dilakukan melalui pengamatan yang sifatnya berkesinambungan. Observasi dilakukan sebanyak 2 kali. Sebagai langkah pencarian data, proses observasi yang dilakukan dalam penelitian ini ialah observasi aktif yang mana peneliti memberitahukan maksud dan tujuan penelitian kepada kelompok yang diteliti. Wawancara adalah bentuk komunikasi langsung antara peneliti dan informan, melalui tanya-jawab berdasarkan pertanyaan yang telah dipersiapkan untuk memperoleh data atau informasi yang diperlukan. Dalam pertemuan yang dilakukan peneliti dengan informan, terjadi proses pertukaran informasi melalui respon 37 terhadap ide-ide dari informan sehingga menghasilkan pemahaman tentang topik yang tengah diperbincangkan. Dengan demikian, menghasilkan pandangan baru yang dapat dikembangkan peneliti untuk memeriksa informasi dari informan lainnya mengenai fenomena yang terjadi. Pada pelaksanaannya, peneliti menggunakan wawancara semiterstruktur, artinya peneliti dapat melakukan wawancara secara bebas namun tetap mengacu pada pedoman wawancara yang telah disusun melalui question research. Sementara analisis dokumen, yaitu menganalisis atau menelaah bahan-bahan tertulis berupa dokumen resmi peraturan perundang-undangan, media cetak, internet, dan buku-buku yang berkaitan dengan masalah yang dibahas dalam penelitian. Dalam penelitian ini, peneliti menganalisis dokumen yang di peroleh melalui catatan peristiwa, foto, data tertulis mengenai masyarakat Kajang. Menurut peneliti, teknik pengumpulan data berupa analisis dokumen dapat dijadikan sebgai salah satu pelengkap atau penunjang untuk memperoleh data penelitian, selain observasi dan wawancara. 7. Teknik Analisis Data Setelah semua data diperoleh dan dikumpulkan baik data primer berupa data yang diperoleh langsung dari informan maupun data sekunder yang diperoleh dari bahan dokumen atau kepustakaanyang telah dianggap relevan dan valid selanjutnya diolah dan dianalisis dengan menggunakan teknik analisis data kualitatif 38 interaktif. Dalam model analisa interaktif tersebut terdapat tiga tahapan analisis yang dilakukan secara berkesinambungan. Menurut Miles dan Huberman33 tahapan tersebut meliputi reduksi data, penyajian dan verifikasi data. Berikut ini analisis data yang dilakukan dalam penelitian ini. Reduksi data, dalam melakukan analisis data, langkah pertama yang dilakukan oleh peneliti ialah reduksi data. Dalam melakukan reduksi data, peneliti melakukan proses pengorganisasian data, pengelompokkan data berdasarkan pola jawaban yang diperoleh selama melakukan penelitian, baik melalui pengumpulan data dengan wawancara mendalam (indepth interview), pengamatan maupun analisis dokumen. Proses pengelompokan dan pengorganisasian data dilakukan dengan mengkode, mengkategorikan data yang penting dan yang tidak penting secara detail. Hal ini dilakukan karena data yang diperoleh dari lapangan jumlahnya sangat banyak dan bervariasi. Melalui proses reduksi data, peneliti mendapatkan ringkasan serta gambaran secara jelas mengenai data-data yang dibutuhkan untuk menjawab permasalahan penelitian. Proses selanjutnya ialah penyajian data yang dilakukan dalam bentuk uraian singkat, serta menghubungkan kategori-kategori tertentu yang ditemukan selama melakukan penelitian di lapangan, sehingga diperoleh kumpulan informasi yang tersususun secara deskriptif yang digunakan untuk melakukan penarikan kesimpulan. 33 Miles, Mathew B. dan a. Michael Huberman, 1992, Analisis Data Kualitatif, UI Press, Jakarta, hlm. 16-19. 39 Langkah dalam teknik analisis data berikutnya ialah verifikasi. Verifikasi merupakan proses penarikan kesimpulan yang sifatnya masih terkategori sementara. Dalam penarikan kesimpulan, peneliti merefleksi kembali apa-apa saja yang telah dilakukan selama melakukan penelitian di lapangan. Refleksi dilakukan melalui mekanisme triangulasi dengan tujuan untuk menguji keabsahan data agar dapat dikatakan valid. Penggunaan teknik triangulasi sebagai upaya memvaliditas data. Pada prakteknya, triangulasi dapat dilakukan atas dasar sumber data, teknik pengambilan data (metode), waktu serta teori pendukung. Pertama, hal yang dilakukan oleh peneliti ialah melakukan cross check ulang pada data yang telah didapatkan sebelumnya untuk dibuktikan kebenarannya. Kedua, cross check ulang antara data wawancara dengan data observasi, maupun data wawancara dengan dokumen yang terkait serta dengan narasumber lain. Dengan demikian, dapat diperoleh variasi informasi yang lebih luas serta memperoleh kesimpulan yang valid. 40 41