BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Pengertian Insektisida Dalam

advertisement
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Pengertian Insektisida
Dalam Peraturan Pemerintah nomor 7 tahun 1973 tentang Pengawasan atas
Peredaran, Penyimpanan dan Penggunaan Insektisida, insektisida adalah semua
zat kimia dan bahan lain serta jasad renik, serta virus yang dipergunakan untuk
memberantas atau mencegah binatang-binatang yang dapat menyebabkan
penyakit pada manusia (Anonim, 2012:3).
Aplikasi pengendalian vektor penyakit secara umum dikenal dua jenis
insektisida yang bersifat kontak/non-residual dan insektisida residual.
Insektisida kontak/non-residual merupakan insektisida yang langsung berkontak
dengan tubuh serangga saat diaplikasikan. Aplikasi kontak langsung dapat
berupa penyemprotan udara (space spray) seperti pengkabutan panas (thermal
fogging), dan pengkabutan dingin(cold fogging) / ultra low volume (ULV).
Insektisida residual adalah Insektisida yang diaplikasikan pada permukaan suatu
tempat dengan harapan apabila serangga melewati/hinggap pada permukaan
tersebut akan terpapar dan akhirnya mati (Anonim, 2012:3).
Cara kerja Insektisida dalam tubuh serangga dikenal istilah mode of action
dan cara masuk atau mode of entry. Mode of action adalah cara Insektisida
memberikan pengaruh melalui titik tangkap (target site) di dalam tubuh
serangga. Cara kerja Insektisida yang digunakan dalam pengendalian vektor
terbagi dalam 5 kelompok yaitu:
1). Mempengaruhi sistem saraf,
8
2). Menghambat produksi energi,
3). Mempengaruhi sistem endokrin,
4). Menghambat produksi kutikula dan
5). Menghambat keseimbangan air.
Mode of entry adalah cara insektisida masuk ke dalam tubuh serangga,
dapat melalui kutikula (racun kontak), alat pencernaan (racun perut), atau lubang
pernafasan (racun pernafasan). Meskipun demikian suatu insektisida dapat
mempunyai satu atau lebih cara masuk ke dalam tubuh serangga (Anonim,
2012:3-4).
B. Bioinsektisida
Hutan tropis basah yang diperkirakan menyimpan jenis-jenis tumbuhan
yang memiliki bioaktivitas. Hutan tropis merupakan sumber hayati yang kaya
berbagai spesies tumbuh-tumbuhan.
Bioinsektisida memiliki kelebihan tertentu yang tidak dimiliki oleh
insektisida sintetik. Di alam, insektisida tumbuhan memiliki sifat yang tidak
stabil sehingga memungkinkan dapat didegradasi secara alami (Arnason et al.,
1993; Isman, 1995). Selain dampak negatif yang ditimbulkan pestisida sintetik
seperti resistensi dan terbunuhnya hama bukan sasaran dewasa ini harga
pestisida sintetik relatif mahal dan terkadang sulit untuk memperolehnya. Di
sisi lain ketergantungan petani akan penggunaan insektisida cukup tinggi. Hal
ini menyebabkan orang terus mencari pestisida yang aman atau sedikit
membahayakan lingkungan serta mudah memperolehnya. Alternatif yang bisa
dikerjakan di antaranya adalah memanfaatkan tumbuhan yang memiliki khasiat
9
insektisida. Laporan dari berbagai propinsi di Indonesia menyebutkan lebih 40
jenis tumbuhan berpotensi sebagai bioinsektisida (Direktorat BPTP &
Ditjenbun, 1994).
Hamid & Nuryani (1992) mencatat di Indonesia terdapat 50 famili
tumbuhan penghasil racun. Famili tumbuhan yang dianggap merupakan
sumber potensial insektisida nabati adalah Meliaceae, Annonaceae,
Asteraceae, Piperaceae dan Rutaceae, namun hal ini tidak menutup
kemungkinan untuk ditemukannya famili tumbuhan yang baru. Didasari oleh
banyaknya jenis tumbuhan yang memiliki khasiat insektisida maka penggalian
potensi tanaman sebagai sumber insektisida tumbuhan sebagai alternatif
pengendalian hama tanaman cukup tepat.
Alam sebenarnya telah menyediakan bahan-bahan alami yang dapat
dimanfaatkan untuk menanggulangi serangan hama dan penyakit tanaman.
Tetapi memiliki kekurangan dan kelebihan yaitu:
Kelebihan:
1. Degradasi/penguraian yang cepat oleh sinar matahari.
2. Memiliki pengaruh yang cepat, yaitu menghentikan napsu makan
serangga walaupun jarang menyebabkan kematian.
3. Toksisitasnya umumnya rendah terhadap hewan dan relatif lebih aman
pada manusia dan lingkungan.
4. Memiliki spektrum pengendalian yang luas (racun lambung dan
syaraf).
10
5. Dapat diandalkan untuk mengatasi OPT (Organisme Penganggu
Tanaman) yang telah kebal pada pestisida sintetik.
6. Phitotoksitas rendah, yaitu tidak meracuni dan merusak tanaman.
7. Murah dan mudah dibuat oleh petani.
Kelemahannya:
1. Capat terurai dan kerjanya relatif lambat sehingga aplikasinya harus
lebih sering.
2. Daya racunnya rendah (tidak langsung mematikan serangga).
3. Produksinya belum dapat dilakukan dalam jumlah besar karena
keterbatasan bahan baku.
4. Kurang praktis.
5. Tidak tahan disimpan.
(Sinaga, 2009:15)
Setiap tanaman mengandung zat metabolit sekunder dengan konsentrasi
berbeda-beda, bahwa semakin tinggi konsentrasi, maka jumlah zat metabolit
sekunder yang mengenai kulit semakin banyak, sehingga dapat menghambat
pertumbuhan dan menyebabkan kematian serangga lebih banyak. (Sutoyo, 1997;
Sinaga, 2009:16). Bioinsektisida memiliki beberapa fungsi, antara lain: repelan,
yaitu menolak kehadiran serangga. Misal: dengan bau yang menyengat.
Antifeedant, mencegah serangga memakan tanaman yang telah disemprot,
merusak perkembangan telur, larva dan pupa, menghambat reproduksi serangga
betina, racun syaraf, mengacaukan sistem hormon di dalam tubuh serangga
(Sinaga, 2009:17).
11
Hasil studi etnobotani pemanfaatan tumbuhan sebagai pestisida di daerah
hutan penyangga Taman Nasional Bukit Baka - Bukit Raya (Kabupaten
Sintang) dan Taman Nasional Gunung Palong (Kabupaten Ketapang)
mengungkapkan bahwa tidak kurang dari 53 jenis tumbuhan pernah
dimanfaatkan petani dan masyarakat setempat sebagai pestisida. Jumlah jenis
tumbuhan ini tentunya akan bertambah bila dilakukan studi etnobotani pada
kabupaten-kabupaten lainnya. Dari sejumlah tanaman yang digunakan sebagai
pestisida, 19 jenis tumbuhan digunakan petani sebagai insektisida, sedangkan
sisanya digunakan sebagai racun hewan lainnya. Jenis tumbuhan yang pernah
dimanfaatkan sebagai insektisida tumbuhan pada suatu tempat dengan tempat
lainnya sangat beragam, sedangkan cara pemanfaatannya umumnya relatif
hampir sama. Umumnya terdapat beberapa cara yang biasa dilakukan petani,
antara lain dengan :
1. Penyemprotan cairan perasan tumbuhan,
2. Penyebaran atau penempatan/ penanaman bagian tumbuhan di sudut-sudut
tertentu pada lahan pertanaman,
3. Pengasapan (pembakaran bagian tanaman yang mengandung bahan
insektisida),
4. Penggunaan bagian tumbuhan untuk pengendalian hama di penyimpanan.
12
C. Mekanisme Kerja Insektisida
Menurut cara kerjanya pada tanaman setelah diaplikasikan, insektisida
secara kasar dibedakan menjadi tiga macam sebagai berikut.
a. Insektisida Sistemik
Insektisida sistemik diserap oleh organ-organ tanaman, baik lewat akar,
batang atau daun. Selanjutnya, insektisida sistemik tersebut mengikuti
gerakan cairan tanaman dan ditransportasikan ke bagian-bagian tanaman
lainnya. Contoh insektisida sistemik adalah furatiokarb, fosfamidon, isolan,
karbofuran, dan monokrotofos (Djojosumarto,2000 :41).
b. Insektisida Nonsistemik
Insektisida nonsistemik satelah diaplikasikan pada tanaman sasaran
tidak diserap oleh jaringan tanaman, tetapi hanya menempel di bagian luar
tanaman (Djojosumarto,2000:42).
c. Insektisida Sistemik Lokal
Insektisida sistemik lokal adalah kelompok insektisida yang dapat
diserap oleh jaringan tanaman (umumnya daun), tetapi tidak ditranslokasikan
ke bagian tanaman lainnya (Djojosumarto, 2000:42).
D. Cara Masuk Insektisida
Menurut cara masuk insektisida ke dalam tubuh serangga sasaran
dibedakan menjadi tiga kelompok insektisida sebagai berikut.
1. Racun lambung (Racun Perut, Stomach Poison)
Racun lambung (Racun Perut, Stomach Poison) adalah insektisidainsektisida yang membunuh serangga sasaran bila insektisida tersebut masuk
13
ke dalam organ pencernaan serangga dan diserap oleh dinding saluran
pencernaan. Selanjutnya, insektisida tersebut dibawa oleh cairan tubuh
serangga ke tempat sasaran yang mematikan (misalnya ke susunan syaraf
pusat serangga) (Djojosumarto, 2000:42). Oleh karena itu serangga harus
memakan tanaman yang terlebih dahulu disemprot menggunakan insektisida
dalam jumlah yang cukup untuk membunuhnya. Insektisida yang benar-benar
murni racun perut tidak terlalu banyak. Kebanyakan insektisida memiliki efek
ganda, yaitu racun perut dan racun kontak.
2. Racun kontak
Racun kontak merupakan insektisida yang mampu masuk kedalam
tubuh serangga melalui kulit, serangga kemudian akan mati apabila
bersinggungan dengan insektisida tersebut. Kebanyakan racun kontak juga
berperan sebagai racun perut. Beberapa insektisida yang memiliki sifat racun
kontaknya kuat adalah diklorfos dan pirimifos metil (Djojosumarto, 2000:43).
3. Racun pernapasan
Merupakan insektisida yang bekerja lewati saluan pernapasan.
Serangga hama akan mati apabila menghirup insektisida dalam jumlah yang
cukup. Kebanyakan racun napas berupa gas, misalnya metil bromide,
alumunium fosfida, (Djojosumarto, 2000:43). Berikut adalah bagan cara kerja
insektisida.
14
Nonsistemik
Cara kerja pada
tanaman
Sistemik
Sistemik lokal
INSEKTISIDA
Racun perut
Cara masuk ke
dalam tubuh
Racun kontak
Racun pernapasan
Gambar 1. Cara Kerja Insektisida (Djojosumarto,2000:45)
E. Tanaman Mara Tunggal
1. Taksonomi
Tanaman mara tunggal, atau disebut juga dengan nama daerah Sicerek
atau juga Tikusan. Memiliki klasifikasi sebagai berikut (Asmaliyah, 2010).
Divisi
: Spermatophyta
Sub divisi
: Angiospermae
Kelas
: Dicotyledonae
Bangsa
: Rutales
Suku
: Rutaceae
Marga
: Clausena
Jenis
: Clausena excavata Burm F
15
2. Morfologi dan Ekologi
Tanaman dengan nama spesies Clausena excavata Burm F,
memiliki nama umum Tikusan (Jawa Tengah), mara tunggal (Jawa
Tengah), Temung (Aceh), Ki Bajetah (Sunda) dan juga Sicerek
(Minangkabau). Pohon mara tunggal merupakan pohon tahunan dengan
tinggi antara 2 hingga 3 meter. Batang tanaman berbetuk bulat,
bercabang, berkayu dengan warna hijau kotor. Daun tanaman ini
merupakan daun majemuk, menyirip ganjil, berseling, bulat telur,
ujungnya runcing, tepi rata, pangkal membulat, pertulangan menyirip
panjang 4-7,5 cm, lebar 2-4 cm, tangkai pendek, permukaan daun
berbulu halus, hijau.
Bunga tanaman Clausena excavata Burm F, majemuk, bentuk
malai, di ketiak daun dan di ujung batang, berbulu, panjang ±10 cm,
kelopak bunga berbulu, berlekalan, ujung bertajuk, hijau, mahkota
lepas, bentuk pita, warna putih, dengan tangkai benangsari warna putih.
Kepala sari kuning keputih-putihan, tangkai putik hijau kekuningan,
kepala putik berwarna ungu (Asmaliyah, 2010).
Buahnya buni, berbentuk bulat dengan diameter + 1 cm, saat masih
muda berwarna hijau muda, setelah tua berwarna jingga. Biji dari buah
ini berbentuk bulat telur dengan diameter + 5 mm, warna hijau bergaris
putih. Memiliki akar tunggang. Berikut gambar tanaman mara tunggal.
16
Gambar 2. Tanaman Mara Tunggal (Clausena excavata Burm F)
Sumber: Ismail Adam Arbab dkk. 2011
3. Kandungan Kimia Tanaman Mara Tunggal
Pengekstrakan tanaman daun Clausena excavata Burm F, telah
menghasilkan Koumarin dengan nama clauslactone-R, Clauslacton-B,
dan scopoletin. Juga jenis triterpena yaitu friedelin, stigmasterol, bsitosterol, 5-gluten-3, dan karbazole alkaloids. Selain itu dalam minyak
daun ekstrak Clausena excavata, mengandung aktivitas larvasidal,
antimicrobial, antifungi dan sitotoksisk. Komponen didalamnya adalah
elemicin (65,02 %) dan methyl eugenol (12,95 %) sebagai kandungan
utamanya.
Komponen minor lainnya adalah linalool, safrol,
terpinolena, a-humulena, a-terpinena dan b-elemena. (Lim Gin Keat,
2005:5-6). Selain itu juga mengandung saponin, flavanoida dan tannin.
Menurut Utami dkk (2007:210), penelitian yang dilakukannya
menggunakan ekstrak kering daun mara tunggal (Clausena excavata
Burm F.) terhadap mortalitas hama Spodoptera litura, berhasil
17
mematikan 92 % larva, pada konsentrasi 100 % sehingga larva gagal
terbentuk pupa.
Dalam ekstrak daun mara tunggal terdapat tannin, yaitu senyawa
polifenol yang dapat membentuk senyawa kompleks dengan protein.
Tannin tidak dapat dicerna lambung dan mempunyai daya ikat dengan
protein, karbohidrat, vitamin dan mineral (Ridwan, 2010; Permana,
2016:6). Menurut Yunita dkk (2009) tanin dapat mengganggu serangga
dalam mencerna makanan karena tannin akan mengikat protein dalam
sistem pencernaan yang diperlukan serangga untuk pertumbuhan
sehingga diperkirakan proses pencernaan larva menjadi terganggu
akibat zat tanin tersebut. Selain itu tannin memilik rasa yang pahit
sehingga dapat menghambat aktivitas makan serangga. Menurut Sinaga
(2009:17), bioinsektisida memiliki beberapa fungsi, antara lain :
repelan, yaitu menolak kehadiran serangga. Misal : dengan bau yang
menyengat. Antifidan, mencegah serangga memakan tanaman yang
telah disemprot, merusak perkembangan telur, larva dan pupa,
menghambat reproduksi serangga betina, racun syaraf, mengacaukan
system hormon di dalam tubuh serangga
Lu (1994; Permana, 2016:6), mengatakan bahwa, senyawa yang
bersifat racun yang masuk ke tubuh akan mengalami biotransformasi.
Proses metabolisme tersebut membutuhkan energi, semakin banyak
senyawa racun yang masuk ke tubuh serangga menyebabkan energi
yang dibutuhkan untuk proses netralisir semakin besar. Banyaknya
18
energi yang digunakan untuk menetralisir senyawa racun tersebut
menyebabkan penghambatan terhadap metabolisme yang lain sehingga
serangga akan kekurangan energi dan akhirnya mati. Selain itu,
senyawa saponin dapat bersifat sebagai insektisida, yaitu dengan
merubah perilaku makan serangga dengan cara menghambat uptake
makanan pada saluran pencernaan. Saponin juga dapat menghambat
pertumbuhan stadium larva dengan menganggu tahap moulting larva
(Chaieb, 2010; Permana,2016:6).
Seperti penelitian Sinaga (2009) yang menyatakan bahwa
kandungan metabolit sekunder dalam tanaman seperti glikosida
flavonoid bersifat racun perut (stomach poisoning), yang bekerja
apabila senyawa tersebut masuk dalam tubuh serangga maka akan
mengganggu organ pencernaannya. Selain meracuni perut, senyawa
golongan flavonoid juga dapat mengiritasi kulit dan menghambat
transportasi asam amino leusin.
Diduga senyawa flavonoid menghambat leusin yang berperan
dalam proses pembentukan asetil koA pada Siklus Kreb. Pada saat
proses ini terhambat, asetil koA tidak dapat menambahkan fragmen nya
pada oksaloasetat dan akibatnya siklus kreb terganggu dan tidak dapat
menghasilkan ATP (Sinaga, 2009).
Senyawa flavonoid yang terkandung dalam ekstrak daun mara
tunggal adalah suatu kelompok senyawa fenol yang terbesar yang
ditemukan di alam. Menurut Hollingworth (2001; Utami, 2010:99)
19
bahwa flavonoid mempunyai efek toksik, antimikrobia, antifeedant.
Salah satu senyawa golongan flavonoid yakni rotenone memiliki efek
mematikan serangga sebagai racun respirasi sel.
F. Tanaman Sawi
1. Klasifikasi
Menurut Haryanto (2003:9), tanaman sawi memiliki klasifikasi
sebagai berikut.
Kingdom
: Plantae
Subkingdom : Tracheobionta
Super Divisi
: Spermatophyta
Divisi
: Magnoliophyta
Kelas
: Magnoliopsida
Sub kelas
: Dilleniidae
Ordo
: Capparales
Famili
: Brassicaceae
Genus
: Brassica
Spesies
: Brassica juncea L.
2. Deskripsi Tanaman
Sawi hijau (Brassica rapa convar. parachinensis; suku sawisawian atau Brassicaceae) merupakan jenis sayuran yang cukup
populer. Dikenal pula sebagai caisim, caisin, atau sawi bakso, sayuran
ini mudah dibudidayakan dan dapat dimakan segar (biasanya dilayukan
dengan air panas) atau diolah menjadi asinan (kurang umum). Jenis
20
sayuran ini mudah tumbuh di dataran rendah maupun dataran tinggi.
Bila ditanam pada suhu sejuk tumbuhan ini akan cepat berbunga.
Karena biasanya dipanen seluruh bagian tubuhnya (kecuali akarnya)
(Haryanto, 2003:11).
Tanaman semusim yang mudah tumbuh. Perkecambahannya
epigeal (muncul dipermukaan tanah). Sewaktu muda tumbuh lemah,
tetapi setelah daun ketiga dan seterusnya akan membentuk setengah
roset dengan batang yang cukup tebal, namun tidak berkayu. Daun
elips, dengan bagian ujung biasanya tumpul. Warnanya hijau segar,
biasanya tidak berbulu. Menjelang berbunga sifat rosetnya agak
menghilang, menampakkan batangnya. Bunganya kecil, tersusun
majemuk berkarang. Mahkota bunganya berwarna kuning, berjumlah 4
(khas Brassicaceae). Benang sarinya 6, mengelilingi satu putik.
Buahnya menyerupai polong tetapi memiliki dua daun buah dan disebut
siliqua (Haryanto, 2003:12).
3. Manfaat
Tanaman sawi, baik setelah diolah maupun sebagai lalapan,
mengandung beragam zat makanan yang esensial bagi kesehatan tubuh.
Menurut data yang tertera dalam daftar komposisi makanan yang
diterbitkan oleh Direktorat Gizi Departemen Kesehatan, komposisi zatzat makanan yang terkandung dalam setiap 100 g berat basah sawi
adalah : 2,3 g protein, 0,3 g lemak, 4,0 g karbohidrat, 220,0 mg kalsium,
38 mg phospor, 2,9 mg Fe, vitamin A 1.940 mg, vitamin B 0,09 mg,
21
vitamin C 102 mg. Selain memiliki kandungan vitamin dan gizi yang
penting untuk kesehatan, sawi dipercaya dapat menghilangkan rasa
gatal di tenggorokan akibat batuk, penderita penyakit ginjal dianjurkan
untuk banyak-banyak mengkonsumsi sawi karena dapat membatu
memperbaiki fungsi kerja ginjal (Haryanto, 2003:5-7).
4. Jenis-Jenis Tanaman Sawi
a. Sawi Hijau atau Sawi Asin
Sawi hijau atau sawi asin kurang banyak dikonsumsi sebagai
bahan sayuran segar karena rasanya agak pahit. Sawi hijau
berukuran lebih kecil dibanding sawi jabung atau sawi putih, tetapi
warnanya lebih hijau tua. Batangnya sangat pendek, tetapi tegap.
Daunnya lebar, tangkai daunnya agak pipih, sedikit berliku tetapi
kuat (Haryanto, 2003:10).
b. Sawi Huma
Disebut sawi huma, karena sawi ini tumbuh baik ditanam di
tempat-tempat kering, seperti tegalan dan huma. Sawi huma
daunnya sempit, panjang, dan berwarna hijau keputih-putihan.
Tidak seperti sawi putih dan sawi hijau, sawi huma berbatang kecil,
tetapi panjang. Tangkainya berukuran sedang seperti bersayap
(Haryanto, 2003:11).
c. Sawi Putih atau Sawi Jabung
Sawi putih atau sawi jabung merupakan jenis sawi yang
banyak dikonsumsi oleh masyarakat. Tanaman ini dapat
22
dibudidayakan di tempat kering. Bila sudah desawa, sawi ini
memiliki daun yang lebar dan berwarna hijau tua. Tangkainya
panjang, tetapi lemas dan halus, batangnya pendek tetapi tegap dan
bersayap. Beberapa varietas sawi putih diantaranya rugosa rob dan
prain (Haryanto, 2003:10).
d. Caisim alias sawi bakso
Menurut Haryanto (2003:10), caisim, merupakan jenis sawi
yang paling banyak dipasarkan dan dikonsumsi. Tangkai daunnnya
panjang, langsing, dan berwarna putih kahijauan. Daunnya lebar
memanjang, tipis, dan berwarna hijau.
e. Sawi keriting
Seperti namanya, ciri khas sawi ini adalah daunnya keriting.
Bagian daun yang hijau sudah mulai tumbuh dari pangkal tangkai
daun. Tangkai daunnya berwarna putih. Selain daunnya yang
keriting, jenis sawi ini amat mirip dengan sawi hijau biasa
(Haryanto, 2003:12).
f. Sawi Monumen
Sawi monumen memiliki ciri khas tubuhnya amat tegak dan
berdaun kompak. Penampilan sawi ini sekilas mirip dengan petsai.
Tangkai daun berwarna putih, berukuran agak lebar dengan tulang
daun yang juga berwarna putih. Jenis sawi ini tergolong terbesar
dan terberat diantara jenis sawi lainnya (Haryanto, 2003:12).
23
5.
Syarat tumbuh
Sawi dikenal sebagai tanaman sayuran daerah iklim sedang (subtropis), tetapi saat ini berkembang pesat di daerah tropis. Kondisi iklim
yang dikehendaki untuk pertumbuhan tanaman sawi adalah daerah yang
mempunyai suhu malam hari 15,6° C dan siang hari 21,1° C serta
penyinaran matahari antara 10-13 jam per hari.
Di Indonesia, tanaman sawi pada umumnya banyak di tanam di
dataran rendah. Tanaman ini selain tahan terhadap suhu panas (tinggi),
juga mudah berbunga dan menghasilkan biji secara alami pada kondisi
iklim tropis Indonesia, sehingga tidak harus mengandalkan benih
impor. Sawi dapat ditanam pada berbagai jenis tanah, namun paling
baik adalah jenis tanah lempung berpasir; seperti tanah andosol. Pada
tanah-tanah yang mengandung liat perlu pengelolaan lahan secara
sempurna, antara lain pengolahan tanah yang cukup dalam,
penambahan pasir dan pupuk organik dalam jumlah dosis tinggi. Syarat
tanah yang ideal untuk tanaman sawi adalah subur, gembur, banyak
mengandung bahan organik (humus), tidak menggenang (becek), tata
udara dalam tanah berjalan dengan baik, dan pH tanah antara 6-7.
Penelitian dan pengembangan tanaman sawi di dataran rendah,
umumnya ditanam pada jenis tanah Latosol dengan pH 6 serta dosis
pupuk kandang minimum 20 ton/hektar. Dari berbagai literatur
ditemukan, sawi toleran terhadap kisaran pH 6-7 (Haryanto, 2003:2425).
24
G. Spodoptera litura
1. Morfologi dan biologi
Menurut Kalshoven (1981), klasifikasi ulat grayak (Spodoptera
litura) adalah:
Kingdom
: Animalia
Filum
: Arthropoda
Kela
: Insecta
Ordo
: Lepidoptera
Famili
: Noctuidae
Genus
: Spodoptera
Spesies
: Spodoptera litura
Ulat grayak mengalami metamorphosis sempurna yang terdiri dari
empat stadium hidup yaitu telur, larva, pupa, dan imago. Larva Spodoptera
litura mempunyai warna yang bervariasi, mempunyai warna kulit (corak)
berbentuk bulan sabit berwarna hitam pada segmen abdomen keempat dan
kesepuluh. Pada sisi lateral dan dorsal terdapat garis kuning.
Larva yang baru menetas berwarna hijau muda, bagian sisi coklat atau
hitam kecoklat-coklatan dan hidup berkelompok. Beberapa hari kemudian,
larva menyebar dengan menggunakan benang sutera dari mulutnya.
Biasanya larva berpindah ke tanaman lain secara bergerombol dalam jumlah
besar (Setiani, 2012:5). Berikut adalah gambar hama Spodoptera litura.
25
Gambar 3. Larva Instar III Hama Spodoptera litura
(Sumber: Dokumentasi pribadi)
2. Siklus Hidup Hama Spodoptera litura
a) Telur
Imago betina meletakkan telur pada malam hari, telur berbentuk
bulat. Telur diletakkan berkelompok di atas permukaan daun. Dalam satu
kelompok, jumlah telur antara 30-100 butir. Telur-telur tersebut menetas
antara 2-4 hari. Kelompok telur ditutupi oleh rambut-rambut halus yang
berwarna putih, kemudian telur berubah menjadi kehitam-hitaman pada
saat akan menetas (Setiani, 2012:5).
b) Larva
Larva instar satu S. litura yang baru menetas biasanya hidup
berkelompok, tetapi menyebar sendiri-sendiri setelah besar. Larva
memakan ujung daun muda dan mengalami perubahan warna sesuai
dengan perubahan instar yang dialaminya. Larva instar satu berwarna
hijau, kemudian berubah menjadi hijau tua saat memasuki instar dua.
Pada instar tiga dan empat warnanya menjadi hijau kehitaman pada
bagian abdomen, pada abdomen terdapat garis hitam yang melintang.
26
Pada saat larva memasuki instar lima warnanya berubah menjadi coklat
muda. Stadium larva S. litura berkisar antara 9 – 14 hari. Larva instar
akhir bergerak dan menjatuhkan diri ke tanah. Setelah berada di dalam
tanah, larva akan memasuki pra pupa dan kemudian berubah menjadi
pupa (Setiani, 2012:5).
c) Pupa
Pupa S. litura
berwarna cokelat muda dan pada saat akan
menjadi imago berubah menjadi cokelat kehitaman. Pupa memiliki
panjang 9-12 mm, pupa berada di dalam kedalaman tanah dengan
kedalama kurang lebih 1 cm (Setiani, 2012:6).
d) Imago
Imago memiliki panjang yang berkisar 10-14 mm dengan
rentang sayap 24-30 mm, sayap depan berwarna putih keabu-abuan,
pada bagian tengah sayap depan terdapat tiga pasang bintik-bintik yang
berwarva perak. Sayap belakang putih pada bagian tepi berwarna
cokelat gelap (Kalshoven, 1981).
3. Daerah Sebar dan Ekologi
Ulat grayak merupakan hama yang menyerang sayuran muda. S. litura
menyerang tanaman pada malam hari dan biasanya serangan dilakukan
bersama-sama. Pada siang hari biasanya ulat grayak bersembunyi di balik
daun. Serangan S. litura
menyebabkan kerusakan lebih dari 20 % pada
tanaman umur lebih dari 20 HST (Adisarwanto et al 1999; Setiani, 2012:7).
27
4. Tanaman Inang dan Gejala Kerusakan
Kebanyakan larva kupu-kupu dan ngengat makan tumbuh-tumbuhan
tetapi jenis yang berbeda makan dengan cara-cara yang berbeda. Larva yang
lebih besar biasanya makan di pinggiran daun dan makan semuanya kecuali
rangka-rangka daun yang lebih besar, larva yang kecil makan daging daun
(yang menyebabkan daun tinggal rangkanya) atau membuat lubang-lubang
yang kecil di dalam daun (Borror, et all, 1992). Kerusakan daun yang
diakibatkan larva yang masih kecil merusak daun dengan meninggalkan sisasisa epidermis bagian atas, transparan dan tinggal tulang-tulang daun saja.
Larva instar lanjut merusak tulang daun. Pada serangan berat menyebabkan
gundulnya tanaman (Sudarmo, 1992).
H. Kerangka Berfikir
Daun tanaman mara tunggal terdapat kandungan flavonoid, tannin,
alkaloid, kumarin, limonoid yang merupakan racun bagi serangga. Tannin dapat
menyebabkan pencernaan hama Spodoptera litura terganggu karena memiliki
daya ikat dengan protein, karbohidrat, dan mineral, dan juga menimbulkan rasa
pahit yang bias menurunkan nafsu makan hama. Senyawa alkaloid dan flavonoid
dapat menyebabkan racun perut serangga, mengiritasi kulit, dan sebagai
antifeedant. Sedangkan saponin dapat menghambat uptake pencernaan dengan
menurunkan tegangan selaput mukosa dinding digestive larva sehingga korosif,
dan juga menyebabkan lemah syaraf dan kerusakan spirakel sehingga hama tidak
bias bernafas. Jika zat metabolit sekunder tersebut masuk ke dalam tubuh hama
Spodoptera litura akan menyebabkan kematian, dan juga pemendekan umur
28
larva menjadi pupa. Selain itu, bagi tanaman inang yang disemprot
bioinsektisida ekstrak daun mara tunggal akan menyebabkan berkurangnya
tingkat kerusakan tanaman sawi dan meningkatkan berat basah tanaman sawi.
Berikut adalah kerangka berpikir peneliti.
Bioinsektisida dengan menggunakan ekstrak daun mara tunggal (Clausena
excavata Burm F) mengandung komponen metabolit sekunder seperti, tannin,
saponin, alkaloid, limonoid dan flavonoid.
Tannin
- Memiliki
daya ikat
dengan
protein,
karbohidrat
dan vitamin.
- Memiliki
rahsa pahit
Saponin
- Menghambat
uptake
pencernaan
- Kerusakan
organ
digestive
serangga
- Lemah syaraf
dan kerusakan
spirakel
Alkaloid
- Racun
perut
serangga
- Anti
feedant
Limonoid
Flavonoid
- Memiliki
sifat
insektidal
- Mengiritasi
kulit serangga
- Racun perut
- Antifeedant
Spodoptera litura
Tanaman sawi
•
•
•
•
Perubahan tingkat kerusakan
tanaman
Perbedaan berat basah
Mortalitas hama Spodoptera litura
Pemendekan siklus hama dari
larva instar III menjadi pupa
Gambar 4. Kerangkan Berpikir Peneliti
29
I. Hipotesis
1. Semakin tinggi dosis yang diberikan, maka semakin tinggi tingkat
mortalitas hama.
2. Semakin tinggi dosis ekstrak daun mara tunggal, semakin pendek lama
hidup larva menjadi pupa.
3. Semakin tinggi dosis ekstrak daun mara tunggal, maka semakin kecil tingkat
kerusakan tanaman sawi dan semakin tinggi berat basah tanaman sawi.
30
Download