BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Berle dan Means (1932) menggambarkan bahwa ciri-ciri perusahaan publik di US (United States) antara lain adalah dimiliki secara tersebar, tidak terdapat keterlibatan pemilik, dan kekuasaannya ada di tangan manajer (Attig dan Gadhoum, 2003). Sebaliknya, kepemilikan perusahaan di berbagai negara di luar US cenderung terkonsentrasi dan dikendalikan oleh pemilik ultimat melalui rantai kepemilikan piramida, silang, atau kombinasi dari keduanya (La Porta et al., 1999, Claessens et al., 2000, Bukart, 2003). Penelitian Claessens et al. (2000) bahkan menunjukkan bukan saja bentuk kepemilikan perusahaan publik di Hongkong, Korea, Malaysia, Philiphina, Singapura, Taiwan dan Thailand sebagian besar terkonsentrasi, pemilik ultimat dari perusahaan di banyak negara tersebut adalah keluarga. Banyak negara berkembang termasuk Indonesia, mayoritas kepemilikan perusahaannya terkonsentrasi pada keluarga melalui kepemilikan ultimat. Claessens et al., (2000) menemukan bahwa berdasarkan data tahun 1996, sebesar 68.6% perusahaan publik di Indonesia dikendalikan oleh keluarga. Angka tersebut meningkat menjadi 79,20% pada tahun 2009 (Sugiharto, 2009). Ali et al., (2007) mendefinisikan perusahaan keluarga sebagai perusahaan yang dikelola dan dikendalikan oleh keluarga pendiri. Anggota keluarga dapat terlibat dalam manajemen perusahaan baik sebagai eksekutif puncak (CEO), atau 1 sebagai dewan komisaris dalam rangka mengendalikan perusahaan. Dalam penelitiannya, Ali et al. (2007) mengukur pengelolaan dan pengendalian itu dari keterlibatan anggota keluarga dalam eksekutif puncak (CEO) atau anggota dewan komisaris. Penelitian ini menggunakan definisi perusahaan keluarga jika keluarga pendiri memiliki kepemilikan minimal 50%. Fenomena perusahaan keluarga di Indonesia tidak melepaskan kendali, sehingga tidak perlu mementingkan kontrol. Perusahaan keluarga di Indonesia tidak melepaskan kendali dan keluarga secara otomatis ikut mengontrol perusahaan. Oleh karena itu, dalam penelitian ini tidak menginvestigasi mengenai hak kontrol keluarga tetapi lebih mementingkan investigasi mengenai hak aliran kas atau kepemilikan saham yang dimiliki oleh keluarga. Di Indonesia, keluarga lebih mementingkan untuk menjaga reputasi perusahaan dalam jangka panjang, hal ini sejalan dengan teori stewardship. Keluarga bisa mempengaruhi kualitas laba akuntansi dan kinerja perusahaan. Wang (2004) menyatakan bahwa kualitas laba akuntansi dipengaruhi melalui dua cara yaitu melalui pengaruh entrenchment dan pengaruh alignment. Wang (2004) menyatakan bahwa dalam pengaruh entrenchment, laba dikelola secara oportunis dan kualitas laba rendah. Sebaliknya, dalam pengaruh alignment, laba tidak dikelola secara oportunis dan laba memiliki kualitas tinggi. Pengaruh entrenchment konsisten dengan pandangan tradisional bahwa perusahaan keluarga menciptakan insentif untuk melakukan ekspropriasi terhadap pemegang saham minoritas (Fama dan Jensen, 1983, Morck et al., 1998, Shleifer dan Vishny, 1997, Wang et al., 2004). 2 Hasil penelitian Fama dan Jensen, (1983), Morck et al., (1998), Shleifer dan Vishny, (1997) mendukung bahwa perusahaan keluarga kurang efisien dan cenderung melakukan ekspropriasi terhadap pemegang saham minoritas. Akan tetapi, hasil penelitian mereka tidak konsisten dengan hasil penelitian Gomes (2000), Fan dan Wong (2002), Anderson dan Reeb (2003), Wang (2004), Ali et al. (2007) yang menunjukkan bahwa perusahaan keluarga memiliki laba yang berkualitas, lebih efisien, dan tidak melakukan ekspropriasi. Selanjutnya, dalam argumen pengaruh alignment, keluarga bisa memonitor perusahaan secara efektif (Demsetz dan Lehn, 1985, Shleifer dan Vishny, 1997, Wang, 2004). Hal tersebut menunjukkan bahwa keluarga bisa membuat keputusan lebih cepat dan memiliki insentif untuk menciptakan loyalitas pegawai dalam jangka panjang (Weber et al., 2003, dan Wang, 2004). Oleh karena itu, argumen pengaruh alignment memprediksi bahwa perusahaan keluarga tidak berperilaku oportunis dalam melaporkan laba akuntansi (Wang, 2004). Tindakan oportunis tersebut bisa merusak reputasi perusahaan, kekayaan perusahaan dan kinerja perusahaan jangka panjang (Wang, 2004). Hasil penelitian Wang (2004) menunjukkan bahwa kepemilikan keluarga menyelaraskan kepentingan antara keluarga dan pemegang saham lainnya. Keselarasan kepentingan tersebut dapat meningkatkan komunikasi antara keluarga dan pemegang saham lainnya melalui informasi akuntansi yang berkualitas. Selanjutnya, Wang (2004) dan Warfield (1995) menyatakan bahwa perusahaan keluarga tidak melakukan pengelolaan laba sehingga dapat meningkatkan kinerja perusahaan. 3 Salah satu karakteristik perusahaan-perusahaan yang diperdagangkan secara publik adalah memiliki pemisahan antara kepemilikan dan kontrol (Jensen dan Meckling, 1976, Demsetz dan Lehn, 1985, Shleifer dan Vishny, 1997, Wang, 2004). Di Indonesia perusahaan-perusahaan yang sahamnya diperdagangkan secara publik, banyak dimiliki oleh keluarga. Hak aliran kas merupakan persentase kepemilikan saham (Claessens et al., 2002). Hak aliran kas tersebut merupakan hak keuangan pemegang saham atas perusahaan (La Porta et al., 1999), dan hak untuk mendapatkan dividen (Du dan Dai, 2007). Hak kontrol merupakan hak suara untuk ikut serta dalam menentukan kebijakan perusahaan (La Porta et al., 1999, dan Du dan Dai, 2005), seperti memilih anggota dewan direksi. Hak untuk menentukan kebijakan perusahaan ini meliputi kebijakan yang terkait dengan penerbitan saham, pemecahan saham (stock splits), dan menentukan operasi perusahaan (La Porta et al., 1999, dan Siregar, 2006). Pemisahan kepemilikan dan kontrol tersebut menimbulkan konflik keagenan (Ali et al., 2007). Ali et al. (2007) dan Demsetz dan Lehn (1985) menyatakan bahwa perusahaan keluarga sedikit menghadapi masalah keagenan Type I, yaitu, masalah keagenan yang timbul dari pemisahan antara pemilik dan manajemen. Perusahaan keluarga tidak menghadapi masalah keagenan Type I karena kemampuan keluarga untuk memonitor manajer. Keluarga juga memberikan kompensasi berdasarkan ukuran kinerja akuntansi (Chen, 2005 dan Ali et al., 2007), sehingga manajer tidak melakukan pengelolaan laba dan tidak bertindak oportunis (Anderson dan Reeb, 2003 dan Ali et al., 2007). 4 Perusahaan keluarga lebih banyak menghadapi masalah keagenan Type II, yaitu, masalah keagenan antara keluarga (sebagai pemegang saham pengendali) dan pemegang saham non pengendali. Masalah keagenan Type II adalah seperti tindakan pengelolaan laba akuntansi dengan menyembunyikan transaksi pihak ketiga dan melakukan tindakan ekspropriasi terhadap pemegang saham non pengendali (Ali et al., 2007) serta melakukan manfaat privat1 melalui kebijakan perusahaan (Gilson dan Gordon, 2003). Jensen dan Meckling (1994) menyatakan bahwa teori keagenan memiliki kelemahan yaitu pertama, teori keagenan ini terlalu sederhana, sedangkan masalah manusia begitu kompleks. Teori keagenan tidak bisa menangkap hubungan interaksi antar manusia. Kedua, individu harus memaksimalkan utilitasnya sendiri sehingga konflik kepentingan seringkali tidak dapat dihindarkan. Dalam teori keagenan, individu diasumsikan memiliki sifat untuk mengutamakan kepentingannya sendiri (Eisenhardt, 1989). Individu juga diasumsikan memiliki keterbatasan rasional (bounded rationality) dan informasi didistribusikan secara asimetri melalui organisasi (Demski dan Feltham, 1978; Eisenhardt, 1989). 1 Keluarga pengendali memperoleh manfaat privat atas kontrol melalui kebijakan perusahaan (Gilson dan Gordon, 2003) pertama, memberikan gaji dan tunjangan, bonus dan kompensasi yang besar, dana pensiun yang tinggi serta tidak membagikan dividen sehingga sumber daya yang dimiliki diekspropriasi oleh pemegang saham pengendali. Kedua, melakukan kebijakan kontraktual dengan pihak lain (tunneling), meliputi: harga transfer yang lebih murah kepada perusahaan yang berada dalam perusahaan si pengendali, penjualan aktiva kepada pihak lain dengan harga lebih rendah dari harga pasar, dan jaminan aktiva untuk kepentingan pemegang saham pengendali. Ketiga, melakukan kebijakan penjualan kontrol kepada pihak lain dengan harga premium sehingga bisa meningkatkan harga saham yang dimiliki pemegang saham pengendali dibandingkan dengan harga saham pemegang saham minoritas. Keempat, melakukan freezing out, yaitu menjual saham perusahaan kepada pihak lain dengan harga yang lebih murah dari harga pasar. Harga saham pemegang saham minoritas akan terdiskonto oleh manfaat privat kontrol yang dimiliki pemegang saham pengendali. 5 Selama ini, penelitian mengenai perusahaan keluarga dan kinerja perusahaan telah dilakukan dengan menggunakan dua pandangan teori yaitu teori keagenan dan teori stewardship. Penelitian mengenai perusahaan keluarga dengan menggunakan teori keagenan telah dilakukan oleh Demsetz (1983), Shleifer dan Vishny (1997), Anderson dan Reeb (2003), Fan dan Wong (2002), Wang (2004), Ali et al. (2007). Sedangkan penelitian yang menggunakan teori stewardship telah dilakukan oleh Davis et al. (1997), Fox dan Hamilton (1994), O’Neil dan Lee (2003), Chu (2009). Temuan hasil penelitian Davis et al. (1997), Fox dan Hamilton (1994), O’Neil dan Lee (2003), Chu (2009) lebih mendukung pada teori stewardship. Teori stewardship menawarkan pandangan alternatif (Davis, Schoorman dan Donaldson, 1997, Hamilton, 1994, Lee dan O’Neil, 2003). Kunci penting dari argumen tersebut adalah kepentingan manajer selaras dengan kepentingan pemilik (Lee dan O’Neil, 2003). Teori stewardship lebih cocok digunakan pada perusahaan keluarga, karena pemegang saham pengendali berada di tangan keluarga (Chu, 2009). Teori stewardship memiliki beberapa kelebihan yaitu pertama, keluarga bersedia meletakkan kepentingan pribadi untuk kepentingan perusahaan (Corbetta dan Salvato, 2004, Eddleston dan Kellermanns, 2007, Eddleston et al., 2007). Kedua, keluarga lebih mendahulukan kepentingan bersama, pro organisasi dan kepercayaan (Davis et al., 1997). Ketiga, faktor penting dalam teori stewardship adalah budaya bangsa yaitu budaya kebersamaan dan power distance (Hofstede, 1980, 1991, Davis et 6 al., 1997, Lee dan O’Neil, 2003). Teori stewardship cocok digunakan pada negara yang memiliki budaya power distance tinggi2 (Lee dan O’Neil, 2003) dan cocok digunakan pada perusahaan keluarga (Chu, 2009), karena pemegang saham pengendali berada di tangan keluarga. Ketika manajemen perusahaan ada di tangan keluarga dan kontrol perusahaan ada pada keluarga, maka kepentingan keluarga dengan berbagai pihak yang berkepentingan akan selaras. Keempat, pemilik bisa menyelaraskan kepentingan dengan manajemen untuk dapat meningkatkan kinerja perusahaan. Kerangka kerja stewardship menetapkan pembuatan keputusan yang bersifat partisipasi, orientasi jangka panjang, kebersamaan dan hubungan kepercayaan (Agyris, 1964, dan Davis et al., 1997). Penyelarasan kepentingan (Wang, 2004 dan Warfield, 1995) sejalan dengan teori stewardship. Teori stewardship memberi pandangan alternatif (Davis et al., 1997) yaitu mengutamakan adanya keselarasan kepentingan antara pemegang saham pengendali dan non pengendali. Penyelarasan kepentingan dapat menurunkan perilaku oportunis terhadap pengelolaan laba. Selain uraian di atas, anggota keluarga juga bertindak untuk mengutamakan kepentingan perusahaan (Eddleston et al., 2008, Corbetta dan Salvato, 2004, Eddleston dan Kellermanns, 2007, Eddleston et al., 2007). Lee dan O’Neil (2003) memfokuskan pada dua ukuran budaya nasional seperti yang dilakukan Hofstede (1980, 1991) yaitu individualim/collectivism dan power distance. Dalam budaya collectivist, dimana kepentingan kelompok dinilai di atas kepentingan individu, manajer bertindak atas dasar hubungan jangka panjang dan memiliki tingkat kepercayaan (trust) yang tinggi. Dalam budaya power distance tinggi, dimana individu menyerahkan power pada pemegang jabatan yang lebih tinggi, manajer menerima peran yang terimplikasikan oleh hirarki dan kurang bertindak dalam cara yang menyebabkan terjadinya konflik dengan prinsipal. 2 7 Penelitian ini diharapkan dapat mengisi gap penelitian yang belum konsisten atas pengaruh perusahaan keluarga terhadap laba dan kinerja perusahaan. Hasil penelitian yang belum konsisten yaitu ada yang berpendapat bahwa perusahaan keluarga melakukan tindakan ekspropriasi dan melakukan pengelolaan laba (Fama dan Jensen, 1983, Morck et al., 1998, Shleifer dan Vishny, 1997). Hasil penelitian Gomes (2000), Fan dan Wong (2002), Anderson dan Reeb (2003), Wang (2004), Ali et al. (2007) yang menunjukkan bahwa perusahaan keluarga memiliki laba yang berkualitas, lebih efisien, dan tidak melakukan ekspropriasi. Berdasarkan uraian tersebut, terdapat dua isu masalah penelitian yaitu pengaruh kepemilikan perusahaan keluarga terhadap kualitas laba dan pengaruh kepemilikan perusahaan keluarga terhadap kinerja perusahaan dengan menggunakan teori stewardship, yaitu: 1. Pengaruh kepemilikan keluarga terhadap kualitas laba. 2. Pengaruh kepemilikan keluarga terhadap kinerja perusahaan. Isu pertama penelitian ini adalah kepemilikan keluarga dan implikasinya terhadap kualitas laba. Dalam kepemilikan keluarga, keluarga bisa mempengaruhi kualitas laba yang dilaporkan. Penelitian ini menggunakan argumen pengaruh alignment yaitu perusahaan keluarga tidak melakukan pengelolaan terhadap laba (Wang, 2004), dan tidak melakukan ekspropriasi (Gomes, 2000, dan Fan dan Wong, 2002). Dalam argumen pengaruh alignment, perusahaan keluarga menciptakan insentif jangka panjang untuk perusahaan keluarga dan menyelaraskan kepentingan antara keluarga dan para pemegang saham, sehingga meningkatkan 8 kualitas laba (Wang, 2004). Hasil penelitian Wang (2004) mengimplikasikan bahwa kepemilikan keluarga menyelaraskan kepentingan dengan meningkatkan komunikasi antara keluarga dan pemegang saham lainnya melalui informasi akuntansi yang berkualitas tinggi. Hasil penelitian tersebut juga mengimplikasikan bahwa keluarga tidak melakukan pengelolaan laba. Claessens et al. (2002) menyatakan bahwa banyak literatur menunjukkan argumen positive incentive effect berhubungan dengan kepemilikan saham atas hak aliran kas. Fan dan Wong (2002) menyatakan bahwa kepemilikan terkonsentrasi memiliki insentif pengaruh alignment yaitu semakin meningkat kepemilikan saham oleh pemilik semakin minimum tingkat yang diperlukan untuk kontrol efektif. Semakin tinggi kepemilikan saham tersebut akan meningkatkan keselarasan kepentingan antara pemilik pengendali dan non pengendali (Fan dan Wong, 2002). Fan dan Wong (2002) konsisten dengan Gomes (2000) yang menyatakan bahwa kepemilikan terkonsentrasi memiliki komitmen untuk membangun reputasi untuk tidak melakukan ekspropriasi terhadap pemegang saham minoritas. Isu kedua penelitian ini adalah kepemilikan keluarga dan pengaruhnya terhadap kinerja perusahaan. Hasil penelitian tentang pengaruh perusahaan keluarga terhadap kinerja perusahaan masih menjadi perdebatan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa kinerja perusahaan keluarga lebih baik dibandingkan dengan kinerja perusahaan non keluarga (Anderson dan Reeb, 2003). Peneliti lain menunjukkan hasil penelitian bahwa kepemilikan keluarga berhubungan secara positif terhadap kinerja perusahaan (Chu, 2009, Gedajlovic dan Shapiro, 1998, 9 Kang dan Shivadasani, 1995, Shleifer dan Vishny, 1986, Short, 1994, Thomsen dan Pederson, 2000, McConnell dan Sarvaes, 1990). Claessens et al. (2002) menunjukkan bahwa hak aliran kas di tangan pemilik pengendali berhubungan positif dengan nilai perusahaan yang diukur dengan rasio market-to-book. Hasil penelitian Claessens et al. (2002) tersebut konsisten dengan argumen positive incentive effect. Peneliti lainnya menemukan adanya hubungan negatif antara kepemilikan terkonsentrasi dengan kinerja perusahaan (Rao dan Lee-Sing, 1996 dalam Morck, 2000). Rao dan Lee-Sing (1996) dalam Morck (200) menemukan bahwa hubungan perusahaan dan kinerja tidak berhubungan di Canada tetapi ada hubungan lemah, hubungan negatif di US. Dalam argumen pengaruh alignment, hasil penelitian Wang (2004) mengimplikasikan bahwa keluarga tidak melakukan pengelolaan laba sehingga dapat meningkatkan kinerja perusahaan. Hasil penelitian Wang (2004) tersebut konsisten dengan Anderson dan Reeb (2003) bahwa perusahaan keluarga memiliki kinerja perusahaan lebih baik dari perusahaan non keluarga. Kedua isu penelitian tersebut diinvestigasi dengan menggunakan teori stewardship. Teori stewardship menawarkan pandangan alternatif (Davis, Schoorman dan Donaldson, 1997, Fox dan Hamilton, 1994, Lee dan O’Neil, 2003). Kunci argumen tersebut adalah kepentingan manajer selaras dengan kepentingan pemilik (Lee dan O’Neil, 2003). Hasil penelitian ini diharapkan bisa memberikan bukti konfirmasi terhadap para pendukung pandangan tradisional. Menurut pandangan tradisional, perusahaan keluarga melakukan ekspropriasi terhadap pemegang saham minoritas 10 dan melakukan pengelolaan laba. Sementara itu, hasil penelitian Wang (2004) menunjukkan bahwa keluarga menyelaraskan kepentingan dengan pemegang saham lainnya. Wang (2004) dan Warfield (1995) menyatakan bahwa perusahaan keluarga menyelaraskan kepentingan, tidak melakukan pengelolaan laba sehingga dapat meningkatkan kinerja perusahaan. 1.2 Permasalahan Penelitian Penelitian sebelumnya di Indonesia terkait dengan kepemilikan ultimat 3 telah dilakukan oleh Siregar (2006) dan Sanjaya (2010). Hasil penelitian Siregar (2006) menunjukkan bahwa hak aliran kas berpengaruh positif terhadap dividen, dan hak kontrol berpengaruh negatif terhadap dividen. Hak kontrol melebihi hak aliran kas memiliki insentif untuk melakukan ekspropriasi terhadap pemegang saham minoritas. Penelitian berikutnya adalah Sanjaya (2010) meneliti kepemilikan ultimat dan pengelolaan laba. Hasil penelitiannya menunjukkan bahwa konsentrasi hak kontrol mendorong pemegang saham pengendali untuk mengelola laba (pengaruh entrenchment). Hak aliran kas berpengaruh secara negatif terhadap pengelolaan laba (pengaruh alignment). Penelitian Siregar (2006) dan Sanjaya (2010) mendukung penggunaan teori keagenan dan mendukung hasil penelitian dengan adanya entrenchment dan 3 Kepemilikan ultimat adalah kepemilikan langsung dan tidak langsung atas hak aliran kas dan hak kontrol (La Porta et al., 1999; Lins, 2003). Kepemilikan langsung adalah saham-saham yang terdaftar atas namanya sendiri. Kepemilikan tidak langsung adalah saham-saham yang dimiliki melalui rantai kepemilikan (La Porta et al., 1999, 2002). Kepemilikan imediat adalah kepemilikan langsung dan tidak memiliki rantai kepemilikan serta hak aliran kas sama dengan hak kontrolnya, di luar kepemilikan publik. 11 ekspropriasi, dan tidak memisahkan pengelolaan laba akrual innate4 dan diskresioner. Padahal menurut Francis et al. (2005), akrual dapat dipisahkan menjadi akrual diskresioner (tindakan manajer secara oportunis) dan akrual innate (terjadi karena fundamental ekonomi, dan model bisnis perusahaan). Selanjutnya, Francis et al. (2005) menyatakan bahwa akrual innate merupakan kesalahan yang tidak disengaja (unintentional error) yang timbul dari manajemen karena kegagalan dan ketidakpastian lingkungan. Sementara kesalahan estimasi yang disengaja (intentional estimation error) timbul dari insentif manajemen untuk memanipulasi laba (Francis et al., 2005). Penelitian ini memisahkan akrual menjadi akrual diskresioner dan akrual innate untuk bisa mengidentifikasi mana yang lebih mendominasi terjadinya pengelolaan laba karena tindakan oportunis atau yang terjadi karena kondisi ekonomi. Berikutnya, berdasarkan budaya nasional seperti yang dinyatakan Hofstede (1980, 1991) yaitu individualim/collectivism dan power distance dalam penelitian Lee dan O’Neil (2003). Teori stewardship menawarkan pandangan alternatif (Davis, Schoorman dan Donaldson, 1997, Fox dan Hamilton, 1994, Lee dan O’Neil, 2003). Kunci argumen tersebut adalah kepentingan manajer selaras 4. Akrual innate merupakan kesalahan yang tidak disengaja (unintentional error) yang timbul dari manajemen karena kegagalan dan ketidakpastian lingkungan. Sementara kesalahan estimasi yang disengaja (intentional estimation error) timbul dari insentif manajemen untuk memanipulasi laba (Francis et al., 2005). Faktorfaktor innate merupakan komponen kualitas akrual yang mencerminkan fundamental ekonomi (Francis et al., 2005). Komponen kualitas akrual innate tergantung pada model bisnis perusahaan dan lingkungan operasi perusahaan (Kent et al., 2008). Faktor-faktor diskresioner merupakan akrual yang mencerminkan pilihan managerial. Akrual diskresioner merupakan pilihan akrual yang mencerminkan tindakan oportunis (yang memperburuk risiko informasi) dan pengukuran kinerja (yang mengurangi risiko informasi) (Francis et al., 2005). 12 dengan kepentingan pemilik (Lee dan O’Neil, 2003). Manajer perusahaan bertindak atas dasar hubungan jangka panjang dan memiliki tingkat kepercayaan lebih tinggi. Sedangkan, dalam budaya power distance tinggi, individu menyerahkan power pada pemegang jabatan lebih tinggi, dan manajer tidak bertindak yang dapat menyebabkan terjadinya konflik dengan pihak lain. Seperti telah disebutkan di atas, penelitian kepemilikan keluarga terhadap laba akuntansi telah dilakukan melalui dua cara berlawanan yaitu pengaruh entrenchment, yang diasumsikan terjadi pengelolaan laba dan kualitas laba menjadi rendah, dan pengaruh alignment, yang diasumsikan tidak terjadi pengelolaan laba dan laba menjadi berkualitas. Masalah entrenchment terjadi karena pemilik pengendali memiliki hak aliran kas yang rendah (Claessens et al., 2000, Faccio dan Lang, 2002, Lins, 2003, Attig dan Gadhoum, 2003, Bosec dan Laurin, 2008). Sebaliknya, dalam alignment, kepemilikan keluarga memberikan komitmen yang dapat dipercaya bahwa pemilik pengendali membangun reputasi untuk tidak melakukan ekspropriasi terhadap pemegang saham minoritas (Gomes, 2000, dan Fan dan Wong, 2002). Pemilik pengendali memiliki kontrol yang efektif untuk meningkatkan keselarasan kepentingan dengan pemegang saham minoritas. Argumen pengaruh alignment tersebut sejalan dengan teori stewardship yang lebih mengutamakan adanya keselarasan kepentingan. Dengan demikian, ada kemungkinan bahwa perilaku manajemen laba dalam perusahaan terkonsentrasi oleh keluarga lebih cocok bila dijelaskan dengan menggunakan teori stewardship. Teori stewardship menjelaskan bahwa keluarga yang lebih 13 mengutamakan kebersamaan dan keselarasan kepentingan menguasai sebuah perusahaan keluarga bila akan memiliki kecenderungan untuk menjaga reputasi perusahaan dalam jangka panjang. Masalah kedua penelitian ini adalah, apakah kepemilikan keluarga berpengaruh positif terhadap kinerja perusahaan. Masalah penelitian ini timbul karena belum konsistennya hasil penelitian tentang pengaruh perusahaan keluarga terhadap kinerja perusahaan dan masih menjadi perdebatan. Beberapa peneliti menunjukkan bahwa kepemilikan keluarga berhubungan positif dengan kinerja perusahaan (Anderson dan Reeb, 2003, Gedajlovic dan Shapiro, 1998, Kang dan Shivadasani, 1995, Shleifer dan Vishny, 1986, Short, 1994, Thomsen dan Pederson, 2000, McConnell dan Sarvaes, 1990). Peneliti lainnya menemukan adanya hubungan negatif antara kepemilikan keluarga dengan kinerja perusahaan (Claessens et al., 2000, Holderness dan Sheehan, 1988, Morck et al., 2000). Dalam argumen pengaruh alignment, keluarga tidak bertindak oportunis dalam melaporkan laba karena keluarga menjaga reputasi, kekayaan dan kinerja jangka panjang perusahaan (Wang, 2004). Kepemilikan keluarga berhubungan signifikan terhadap kualitas laba (Demsetz dan Lehn, 1985, Wang, 2004). Grosmann dan Hart (1986) memberikan bukti empiris bahwa kepemilikan terkonsentrasi bisa mengurangi konflik keagenan. Hal ini menunjukkan bahwa pemegang saham pengendali akan menyelaraskan kepentingan dengan pemegang saham non pengendali. Selain itu, laba akuntansi juga digunakan untuk menyelaraskan kepentingan anggota keluarga dengan pemegang saham lainnya 14 (Bushman dan Smith, 2001, Healy dan Kaplan, 1985, Warfield et al., 1995, Wang, 2004). 1.3 Motivasi Penelitian Penelitian ini dimotivasi karena belum adanya penelitian terdahulu yaitu Francis et al. (2005) yang memisahkan akrual menjadi akrual diskresioner dan akrual innate. Penelitian sebelumnya di Indonesia dilakukan oleh Siregar (2006) dan Sanjaya (2010) belum memisahkan akrual yang dipicu oleh faktor-faktor innate dan diskresioner. Penelitian Siregar (2006) dan Sanjaya (2010) mendukung terjadinya entrenchment dan tindakan ekspropriasi, karena tidak memisahkan akrual menjadi akrual diskresioner dan akrual innate, padahal menurut Francis et al. (2005), akrual dipisahkan menjadi akrual diskresioner dan innate. Oleh karena itu, penelitian ini memisahkan akrual menjadi akrual diskresioner dan akrual innate, karena untuk mengidentifikasi dominasi akrual yang terjadi, apakah karena tindakan oportunis manajemen perusahaan atau karena disebabkan oleh kondisi ekonomi. Penelitian ini juga dimotivasi oleh karena Siregar (2006) dan Sanjaya (2010) menggunakan teori keagenan. Penelitian ini melihat dari perspektif yang berbeda yaitu menggunakan teori stewardship. Penelitian ini menggunakan teori stewardship karena mendasarkan pada budaya nasional yang ada di Indonesia yaitu budaya collectivist dan power distance seperti yang dinyatakan dalam Hofstede (1980, 1991) dan Lee dan O’Neil (2003). Selanjutnya, menurut Davis et al. (1997) dan Hamilton (1994) menyatakan bahwa penelitian mengenai teori 15 stewardship memberi pandangan alternatif. Dalam teori stewardship diasumsikan individu lebih mementingkan organisasi, menerapkan perilaku kebersamaan atau kolektif, dan mementingkan kerjasama kelompok dari pada kepentingan diri sendiri (Davis et al., 1997). Individu tidak dimotivasi oleh tujuan untuk kepentingan diri sendiri, tetapi dimotivasi untuk memiliki tujuan bersama yaitu meningkatkan kinerja perusahaan. Indonesia memiliki budaya kebersamaan atau kolektif dan power distance tinggi. Budaya bangsa merupakan faktor penting dalam teori stewardship (Davis dan Donaldson, 1997, Hofstede, 1980, 1991). Dalam budaya kolektif kepentingan kelompok lebih diutamakan dibandingkan kepentingan individu. Individuindividu melakukan tindakan untuk hubungan jangka panjang dan memiliki kepercayaan yang tinggi. Dalam budaya power distance tinggi individu menyerahkan kekuasaan (power) pada atasan atau pemegang jabatan yang memiliki posisi lebih tinggi. Individu menerima peran dalam hirarki yang ada dan tidak melakukan tindakan yang bisa menimbulkan konflik. Teori stewardship lebih cocok digunakan dalam perusahaan keluarga (Chu, 2009), karena ketika manajemen dan kontrol ada pada keluarga, maka terjadi keselarasan kepentingan antara manajer dan pemilik. Teori stewardship diasumsikan dapat meningkatkan keselarasan kepentingan (alignment) antara pemegang saham pengendali dan non pengendali. Lee dan O’Neil (2003) menunjukkan bahwa budaya di Jepang menciptakan keselarasan kepentingan antara manager dan pemegang saham atau antara pemegang saham mayoritas dengan pemegang saham minoritas. Donaldson dan Davis (1989, 1991) yang 16 menyatakan bahwa individu-individu bertindak untuk kepentingan organisasi dan dalam kepentingan terbaik bagi organisasi. Dalam teori stewardship diasumsikan bahwa individu-individu meletakkan pilihan bersama pilihan kepentingan pribadi dan memaksimalkan kinerja perusahaan. Selanjutnya, teori stewardship lebih memfokuskan pada peningkatan hubungan dengan filosofi stewardship, seperti kepercayaan (trust), komunikasi terbuka, pemberdayaan, orientasi jangka panjang dan peningkatan kinerja perusahaan (Davis et al., 1997). Dengan demikian, teori stewardship lebih memberi pencerahan dibandingkan dengan teori keagenan. Teori keagenan dianggap membatasi generalisasi hasil penelitian karena dalam teori keagenan individu harus bisa memaksimalkan utilitasnya sendiri dan mementingkan kepentingannya sendiri. Sementara itu, dalam teori stewardship, individu diharapkan mampu meningkatkan hubungan dengan pihak lain agar reputasi perusahaan bisa bertahan serta kelangsungan hidup perusahaan bisa berlanjut. Teori stewardship tersebut sejalan dengan argumen pengaruh alignment. Dalam argumen pengaruh alignment diasumsikan bahwa kepemilikan yang terkonsentrasi membangun reputasi untuk tidak melakukan ekspropriasi terhadap pemegang saham minoritas (Gomes, 2000, Fan dan Wong, 2002). Dalam kepemilikan terkonsentrasi, keluarga pengendali bisa memonitor perusahaan secara efektif (Demsetz dan Lehn, 1985, Shleifer dan Vishny, 1997, Wang, 2004). Hal tersebut menunjukkan bahwa keluarga pengendali bisa membuat keputusan lebih cepat dan memiliki insentif untuk menciptakan loyalitas pegawai dalam jangka panjang (Weber et al., 2003, Wang, 2004). 17 Lee dan O’Neil (2003) memfokuskan pada dua ukuran budaya nasional seperti yang dinyatakan oleh Hofstede (1980, 1991) yaitu collectivism (kebersamaan) dan power distance pada perusahaan keluarga. Dalam budaya collectivism, individu lebih mementingkan kepentingan bersama dibandingkan kepentingan individu. Sedangkan dalam power distance, individu menyerahkan power kepada orang yang memiliki posisi lebih tinggi dan manajer menerima persan yang ada dalam hirarki. Budaya collectivism (kebersamaan) dan power distance dapat menciptakan keselarasan kepentingan antara pemegang saham pengendali dan non pengendali, sehingga dapat mengurangi tindakan pengelolaan laba dan dapat meningkatkan kinerja peruahaan. Selain motivasi di atas, penelitian ini juga dimotivasi oleh motivasi karena adanya hasil penelitian mengenai kualitas laba perusahaan keluarga yang masih menjadi perdebatan. Beberapa peneliti menyatakan bahwa susunan kepemilikan berhubungan negatif dengan pengelolaan laba. Sedangkan, peneliti lainnya menyatakan bahwa susunan kepemilikan berhubungan positif dengan pengelolaan laba. Laba akuntansi sering digunakan dalam kontrak untuk menyelaraskan kepentingan dengan anggota keluarga (manager atau direktur) dengan pemegang saham dari luar (Bushman dan Smith, 2001, Healy dan Kaplan, 1985, Warfield, et al., 1995, Wang, 2006). Selanjutnya, laba akuntansi juga digunakan oleh anggota keluarga untuk melakukan tindakan ekspropriasi terhadap kekayaan pemegang saham lainnya (Jensen dan Meckling, 1976). 18 1.4 Kontribusi Penelitian Kontribusi penelitian ini diharapkan dapat memberi kontribusi dalam pengembangan teori, metodologi penelitian, penentuan kebijakan, dan praktik. Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberi kontribusi pada pengembangan teori keagenan dalam menjelaskan fenomena struktur kepemilikan keluarga. Kontribusi pengembangan teori, penelitian ini diharapkan dapat memberi kontribusi untuk pengembangan teori, pertama, pengembangan teori stewardship dalam kepemilikan keluarga. Teori stewardship lebih memfokuskan pada meningkatkan hubungan dengan pihak-pihak yang berkepentingan agar dapat mempertahankan reputasi perusahaan. Teori stewardship memberi pandangan alternatif (Davis et al., 1997 dan Fox Hamilton, 1994), lebih mementingkan organisasi, menerapkan perilaku kolektif, dan mementingkan kerjasama kelompok (Davis dan Donaldson, 1997). Manajer dimotivasi oleh tujuan agar bisa menyelaraskan kepentingan dengan pihak-pihak yang berkepentingan. Hal ini berlawanan dengan teori keagenan diasumsikan bahwa manusia lebih mementingkan kepentingan individu. Teori keagenan telah dikritik oleh Jensen dan Meckling (1994), bahwa teori ini terlalu sederhana, sedangkan masalah manusia begitu kompleks. Oleh karena itu, muncul teori stewardship dari ilmu psikologi dan sosiologi (Donaldson dan Davis, 1991). Selanjutnya, kontribusi pengembangan teori kedua adalah memberi masukan mengenai pengembangan teori manajemen laba efisien dan manajemen laba oportunistik. Akrual innate (manajemen laba efisien) terjadi karena dipicu oleh model bisnis perusahaan dan lingkungan operasi perusahaan, sedangkan 19 akrual diskresioner (manajemen laba oportunistik) merupakan subjek intervensi bagi manajemen. Dalam hal ini, akrual innate merupakan kesalahan yang tidak disengaja (unintentional error) yang timbul dari manajemen karena kegagalan dan ketidakpastian lingkungan, sedangkan kesalahan estimasi yang disengaja (intentional estimation error) timbul dari insentif manajemen untuk memanipulasi laba (Francis et al., 2005). Pengembangan teori tentang manajemen laba masih terus berlanjut karena laba akuntansi sering digunakan dalam kontrak untuk menyelaraskan kepentingan dengan anggota keluarga (manajer) dengan pemegang saham dari luar (Bushman dan Smith, 2001, Healy dan Kaplan, 1995, Warfield, et al., 1985, Wang, 2006). Selama ini, laba akuntansi juga digunakan oleh anggota keluarga untuk melakukan tindakan ekspropriasi terhadap kekayaan pemegang saham lainnya (Jensen dan Meckling, 1976). Oleh karena itu, dalam penelitian ini diharapkan tidak terjadi tindakan pengelolaan laba, tindakan ekspropriasi dan entrenchment dalam perusahaan keluarga, karena dalam perusahaan keluarga, manajemen dan kontrol ada pada keluarga, maka terdapat keselarasan kepentingan antara manajer dan pemilik. Kontribusi pengembangan teori ketiga ialah memberi masukan mengenai kinerja perusahaan dan nilai perusahaan. Penelitian sebelumnya, yaitu penelitian Anderson dan Reeb (2003), menunjukkan bahwa perusahaan keluarga memiliki kinerja yang baik. Hasil penelitian Anderson dan Reeb (2003) sesuai dengan karakteristik perusahaan keluarga karena memiliki jangka waktu investasi lebih lama dan keluarga akan mempertahankan reputasi perusahaannya. Perusahaan 20 keluarga membuat keputusan investasi yang dapat memaksimalkan nilai perusahaan dalam jangka panjang, sehingga memberi efisiensi investasi lebih tinggi (James, 1999, dan Anderson dan Reeb, 2003) dan mengurangi insentif untuk membuat keputusan investasi myopic oleh manajer (Stein, 1988, 1989). Kontribusi metodologi; kontribusi metodologi dalam penelitian ini adalah memberi masukan pada metodologi mengenai pengukuran akrual innate dan diskresioner yang dalam penelitian mengenai manajemen laba. Selama ini akrual tidak dipisahkan menjadi akrual innate dan akrual diskresioner. Pengukuran akrual innate dan diskresioner diukur dengan menggunakan pengukuran Dechow dan Dichev (2002) yang mengukur secara langsung mengenai kualitas akrual. Komponen akrual innate dan akrual diskresioner menggunakan ukuran Francis, et al. (2005). Ukuran Dechow dan Dichev (2002) mengukur secara langsung dan mengembangkan akrual yang mencerminkan arus kas aktual untuk menentukan laba akrual. Akrual innate merupakan kesalahan yang tidak disengaja (unintentional error) yang timbul dari manajemen karena kegagalan dan ketidakpastian lingkungan, sedangkan kesalahan estimasi yang disengaja (intentional estimation error) timbul dari insentif manajemen untuk memanipulasi laba (Francis et al., 2005). Kontribusi kebijakan dan praktik, memberi masukan kepada regulator bahwa nilai perusahaan bisa meningkat atau menurun karena timbul dari asimetri informasi antara pemilik dan manajer atau antara pemegang saham pengendali dan pemegang saham non pengendali. Penelitian ini membantu regulator untuk mempertimbangkan bahwa susunan 21 kepemilikan dapat mempengaruhi pengelolaan laba dan kinerja perusahaan. Dalam pembuatan regulasi diharapkan dapat memberi masukan kepada regulator untuk membuat regulasi dan melindungi para pemegang saham non pengendali. 1.5 Tujuan Penelitian Fenomena kepemilikan keluarga di Indonesia terdapat pada perusahaan publik di Indonesia. Tujuan penelitian ini diformulasi berdasar permasalahan penelitian. Permasalahan penelitian diurai berdasar isu penelitian. Dengan demikian, tujuan penelitian ini adalah: 1. Menyediakan bukti secara empiris apakah kepemilikan keluarga berpengaruh positif terhadap kualitas laba, 2. Menyediakan bukti secara empiris apakah kepemilikan keluarga berpengaruh positif terhadap kinerja perusahaan, Tabel 1.1 Keterkaitan antara Tujuan, Masalah, dan Isu Penelitian Isu Masalah Penelitian Tujuan Penelitian Penelitian Manajemen Laba Kinerja Perusahaan 1.6 Apakah kepemilikan Menginvestigasi mengenai keluarga berpengaruh positif apakah kepemilikan keluarga terhadap kualitas laba? berpengaruh positif terhadap pengelolaan laba. Apakah kepemilikan Menginvestigasi mengenai keluarga berpengaruh positif apakah kepemilikan keluarga terhadap kinerja perusahaan. berpengaruh positif terhadap kinerja perusahaan. Lingkup Penelitian Lingkup penelitian ini adalah fenomena perusahaan yang dimiliki oleh keluarga yang terdapat pada perusahaan-perusahaan publik di Indonesia dan 22 fenomena kepemilikan keluarga dan perilaku perusahaan keluarga mengenai kualitas laba, dan kinerja perusahaan. Kedua isu yang ada diinvestigasi dengan menggunakan teori stewardship. Teori stewardship sejalan dengan argumen alignment, yaitu terdapatnya keselarasan kepentingan antara pemegang saham pengendali dan non pengendali. Keselarasan kepentingan tersebut dapat mengurangi terjadinya konflik kepentingan antara pemegang saham pengendali dengan pemegang saham non pengendali. Keselarasan kepentingan tersebut juga mengurangi terjadinya pengelolaan laba dan ekspropriasi, sehingga dapat meningkatkan kinerja perusahaan. 23