BAB I PENDAHULUAN A. Latar belakang Pasar Modal memiliki peran penting bagi perekonomian suatu negara karena pasar modal menjalankan dua fungsi, yaitu pertama sebagai sarana bagi pendanaan usaha atau sebagai sarana bagi perusahaan untuk mendapatkan dana dari masyarakat pemodal (investor). Dana yang diperoleh dari pasar modal dapat digunakan untuk pengembangan usaha, ekspansi, penambahan modal kerja dan lain-lain, kedua pasar modal menjadi sarana bagi masyarakat untuk berinvestasi pada instrumen keuangan seperti saham, obligasi dan reksadana yang memiliki jangka waktu lebih dari satu tahun. Dengan demikian, masyarakat dapat menempatkan dana yang dimilikinya sesuai dengan karakteristik keuntungan dan risiko masing-masing instrumen. Undang-undang Pasar Modal No. 8 Tahun 1995 tentang Pasar Modal mendefinisikan pasar modal sebagai “kegiatan yang bersangkutan dengan penawaran umum dan perdagangan efek, perusahaan publik yang berkaitan dengan efek yang diterbitkannya, serta lembaga dan profesi yang berkaitan dengan efek”. Berdasarkan UU No.8 Tahun 1995 tentang pasar modal dan UU No.40 Tahun 2007 yang mengatur tentang perseroan terbatas wajib mempublikasikan laporan keuangan sebagai wujud tanggung jawab manajemen terhadap pemilik perusahaan. Manajemen (agent) sebagai pengelola perusahaan seringkali mengetahui lebih banyak informasi dari pada para shareholder (principal). Namun informasi yang disampaikan 1 2 terkadang tidak menunjukan nilai perusahaan yang sebenarnya. Pihak manajemen seringkali melakukan praktik akuntansi yang berorientasi pada laba untuk memenuhi target laba yang harus dicapai pada akhir periode, hal itu dilakukan guna menarik investor untuk menginvestasikan dananya pada saham yang dimiliki perusahaan tersebut. Terdapat berbagai cara dalam melakukan praktik akuntansi yang berorientasi pada laba. Salah satu cara yang dilakukan manajemen dalam proses penyusunan laporan keuangan yang dapat mempengaruhi tingkat laba yaitu dengan manajemen laba (earning management) yang diharapkan dapat meningkatkan kinerja perusahaan. Menurut Darwis (2012) manajemen laba adalah tindakan yang dilakukan manajemen untuk meningkatkan atau menurunkan laba perusahaan dalam laporan keuangan. Berdasarkan Pernyataan Standar Akuntansi Keuangan Nomor 1 tahun 2009 laporan keuangan adalah suatu penyajian terstruktur dari posisi keuangan dan kinerja perusahaan. Dengan adanya PSAK ini maka perusahaan-perusahaan yang membuat laporan keuangan dituntut untuk memberikan laporan keuangan sesuai dengan keadaan perusahaan yang sebenarnya. Banyak perusahaan yang melakukan praktik manajemen laba, biasanya praktik ini dilakukan untuk memberikan gambaran mengenai posisi keuangan dalam periode tertentu bagi pihak berkepentingan tentunya dengan manipulasi besarnya laba pada periode tersebut sehingga pihak yang berkepentingan akan memandang baik posisi perusahaan tersebut. Tujuan manajemen laba adalah untuk meningkatkan kesejahteraan pihak tertentu walaupun dalam jangka panjang tidak terdapat perbedaan laba kumulatif perusahaan dengan laba yang dapat di identifikasikan sebagai suatu keuntungan. 3 Skandal besar perusahaan yang melakukan praktik manajemen laba terkemuka di Amerika yaitu Enron, sepanjang tahun 2002 bermula dari kecurangan berupa rekayasa laporan keuangan yang overstated, menyesatkan dan membingungkan. Muaranya adalah pada angka rugi-laba yang disajikan yang telah direkayasa, lalu secara otomatis mempengaruhi harga saham, selanjutnya kemerosotan kepercayaan masyarakat dan berakhir pada kebangkrutan perusahaan. Peristiwa tersebut telah menempatkan kepercayaan politik terhadap laporan keuangan yang semakin memudar. Skandal Enron tersebut menimbulkan kerugian bagi Enron sebesar US$ 50 miliar, ditambah dengan kerugian dari investor sebesar US$ 32 miliar dan ribuan pegawai Enron harus kehilangan dana pensiun mereka sebesar US$ 1 miliar. Fenomena adanya kecurangan akuntansi juga terjadi di Bursa Efek Indonesia, yaitu kasus PT. Kimia Farma Tbk, PT Indofarma Tbk, dan PT. Lippo mengindikasikan adanya praktek manajemen laba yang berawal dari terdeteksi adanya manipulasi laba. PT. Kimia Farma Tbk pada tahun 2002 mengindikasikan adanya praktek manajemen laba dengan menaikkan laba hingga Rp 31,7 milyar. Praktik manajemen laba tersebut diduga terkait dengan keinginan manajemen lama untuk dipilih kembali oleh pemerintah guna mengelola perusahaan farmasi tersebut. PT. Indofarma Tbk pada tahun 2004 melakukan praktek manajemen laba dengan menyajikan laba dengan menaikkan overstated laba bersih senilai Rp. 28,780 milyar, sehingga dampak dari penilaian persediaan barang dalam proses yang lebih tinggi dari yang seharusnya, sehingga harga 4 pokok penjualan tahun tersebut understated. Target yang ingin dicapai dalam praktik ini adalah menaikkan laba (Bapepam,2004 dalam Handayani,2009). Tabel 1.1 Kasus Manajemen Laba di Indonesia No Perusahaan Kasus 1 Sinar Mas Group Melakukan pelanggaran kegaggalan mengumumkan kepada publik informasi material berupa penandatanganan perjanjian penyelesaian dengan krediturnya, tidak mengumumkan laporan keuangan tahunan, dan tidak menginformasikan kepada Bapepam mengenai gugatan piutang dagang dalam jumlah yang cukup material. 2 Indomobil Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) memutuskan bahwa tender penawaran saham perusahaan ini mengandung praktik persaingan usaha tidak sehat yang dilakukan oleh pemegang tender bekerja sama dengan penjual, penasehat keuangan dan pendamping tender. 3 Kimia Farma Perusahaan diduga melakukan mark up laporan keuangan, yang menggelembungkan laba sebesar Rp 32.668 miliar. Kasus ini menyeret KAP yang mengaudit perusahaan ini meskipun KAP ini yang berinisiatif melakukan adanya overstated itu. 4 Lippo Bank (Sumber : Sulistyo, 2008:147) Menerbitkan 3 versi laporan keuangan sekaligus yang saling berbeda antara satu dengan yang lain, yaitu laporan keuangan yang dipublikasikan dalam media masssa, laporan keuangan yang dilaporkan kepada Bapepam, dan laporan keuangan yang disampaikan akuntan public kepada manajer perusahaan ini. Selain itu, perusahaan ini dinilai telah mencantumkan pendapatan audit secara tidak hati-hati. 5 Kasus PT. Kimia Farma Tbk sesuai dengan penelitian Susilo (2007) dimana pada tahun 2002 ditemukan pegelembungan (mark up) laba bersih pada laporan keuangan dalam rangka meningkatkan profitabilitas perusahaan yang diduga berhubungan dengan kepentingan pribadi manajemen. Hal inilah yang menimbulkan praktik manajemen laba. Berdasarkan penyelidikan Bapepam disebut bahwa KAP yang mengaudit laporan keuangan PT Kimia Farma (audit 31 Desember 2001) telah mengikuti standar audit yang berlaku, namun gagal mendeteksi kecurangan tersebut. Selain itu, KAP tersebut juga tidak terbukti membantu manajemen melakukan kecurangan tersebut. Roychowdhury(2006) dalam Koyoumirsa (2011) dijelaskan bahwa manajemen laba dapat dilakukan dengan laba akrual dan laba riil. Manajemen akrual yaitu discretionary accrual yang tidak memiliki pengaruh terhadap arus kas secara langsung yang disebut dengan manajemen laba akrual. Manajemen laba akrual dilakukan pada akhir periode ketika manajer mengetahui laba sebelum direkayasa sehingga dapat mengetahui berapa besar manipulasi yang diperlukan agar target laba tercapai. Sedangkan manajemen laba riil dimulai dari praktik operasional yang normal, yang dimotivasi oleh manajer yang berkeinginan untuk menyesatkkan setidakknya beberapa stakeholder untuk percaya bahwa tujuan pelaporan keuangan tertentu telah dipenuhi dalam operasi normal. Manajemen laba dapat terjadi karena penyusunan laporan keuangan menggunakan dasar akrual. Sistem akuntansi akrual sebagaimana yang ada pada PABU (Prinsip Akuntansi Berterima Umum) memberikan kesempatan kepada manajer untuk membuat pertimbangan akuntansi yang akan memberikan 6 pengaruh pada pendapatan yang dilaporkan. Dalam hal ini pendapatan dimanipulasi melalui discretionary accrual. Manajemen laba akrual kemungkinan besar akan menarik perhatian auditor dibandingkan dengan keputusan-keputusan riil, seperti yang dihubungkan dengan penetapan harga dan produksi. Selain itu, manajer yang mengandalkan pada manajemen laba akrual saja akan beresiko jika realisasi akhir tahun defisit antara laba yang tidak dimanipulasi dengan target laba yang diinginkan melebihi jumlah yng dimungkinkan untuk memanipulasi akrual setelah akhir periode fiskal Roychowdhury (2006) dalam Koyoumirsa (2011). Dalam studi Graham et al. (2005) dalam Ujhiyantho (2007) memberikan bukti bahwa manajer menyukai aktivitas manajemen laba riil dibandingkan laba akrual. Hal ini terjadi karena manajemen riil bisa tidak dapat dibedakan dari keputusan bisnis optimal dan lebih sulit untuk dideteksi, meskipun biaya-biaya yang digunakan dalam aktivitas tersebut secara ekonomis signifikan bagi perusahaan. Keputusan manajer dalam melakukan aktivitas manajemen yang berkaitan dengan laba semata-mata bertujuan untuk menarik investor untuk menanamkan sahamnya pada perusahaan tersebut. Sehingga laba pada umumnya dipandang sebagai suatu dasar pengambilan keputusan investasi, prediksi untuk meramalkan pertumbuhan laba yang akan datang. Semakin besar suatu perusahaan, maka ketepatan pertumbuhan laba yang diharapkan semakin tinggi. Perusahaan besar mempunyai intensif yang cukup besar untuk melakukan manajemen laba, karena salah satu alasan utamanya adalah perusahaan besar harus mampu memenuhi ekspektasi dari investor atau pemegang sahamnya. Perusahaan berukuran besar 7 dan sedang lebih memiliki tekanan yang kuat dari para stakeholdernya, agar kinerja perusahaan sesuai dengan harapan para investornya dibandingkan dengan perusahaan kecil. Hal ini mendorong manajemen untuk memenuhi harapan tersebut. Kim (2003) mengemukakan bukti empiris yang berbeda, bahwa semua ukuran perusahaan terbukti senantiasa melaporkan positive earnings, untuk menghindari earnings losses (pelaporan kerugian) atau earnings decrease (penurunan laba). Perilaku manajer tersebut akan berdampak pada adanya praktik manipulasi laba dan perataan laba. Jensen dan Meckline (1976) menyebutkan bahwa manipulasi laba adalah tindakan manajer dalam memodifikasi laba akuntansi untuk memperoleh tanggapan positif terhadap kinerja mereka serta memperoleh tanggapan positif dari pasar atas informasi yang disajikannya. Apabila perusahaan mempunyai discretionary accrual yang akan menaikkan laba, maka investor akan bereaksi negatif karena informasi laba tersebut mencerminkan kinerja perusahan yang buruk sehingga harga saham akan turun. Oleh karena itu manajemen laba akrual mempunyai pengaruh negatif terhadap kinerja saham (Koyoumirsa, 2011). Hal ini didukung oleh penelitian sebelumnya yang menyatakan bahwa manajemen laba tidak berkontribusi terhadap kinerja keuangan (Arief, 2007). Dalam penelitian Koyoumirsa (2011) menyatakan bahwa apabila perusahaan melakukan manajemen laba riil maka perusahaan akan meningkatkan laba yang akan meningkatkan kinerja perusahaan. Berbeda dengan penelitian sebelumnya yang dilakukan oleh Fitriyani (2012) menyatakan bahwa manajemen laba riil tidak berkontribusi terhadap kinerja perusahaan. 8 Fenomena ketidak konsistenan hasil penelitian tersebut membuat variabel manajemen laba dengan kinerja perusahaan menjadi semakin menarik untuk diteliti. dengan memasukkan satu variabel pemoderasi dalam penelitian ini. Menurut Govindrajan (1998) dan Lucyanda (2001) dalam Suhartono dan Solichin (2007) diperlukan upaya untuk merekonsiliasi ketidakonsistenan dengan mengidentifikasi faktor-faktor konsolidasi antar variabel dengan pendekatan kontijensi. Penggunaan variabel kontinjensi memungkinan, adanya variabelvariabel lain yang bertindak sebagai variabel intervening atau variabel moderating. Pendekatan kontijensi dalam penelitian ini adalah variabel moderating (ukuran perusahaan) yang dapat mempengaruhi hubungan antara manajemen laba akrual dan manajemen laba riil dengan kinerja perusahaan. Handayani (2009) melakukan penelitian ukuran perusahaan memegang peranan yang berbeda-beda dalam manajemen laba, perusahaan berukuran kecil lebih banyak melakukan manajemen laba untuk menghindari penurunan earning daripada perusahaan besar. Ukuran perusahaan merupakan hal yang penting dalam proses pelaporan keuangan. Ukuran perusahaan dalam penelitian ini diukur dengan melihat seberapa besar asset yang dimiliki oleh sebuah perusahaan. Aset yang dimiliki perusahaan ini menggambarkan hak dan kewajiban serta permodalan perusahaan. Dharmawati (2004) menyatakan bahwa perusahaan besar pada dasarnya memiliki kekuatan finansial yang lebih besar dalam menunjang kinerja, tetapi disisi lain, perusahaan dihadapkan pada masalah keagenan yang lebih besar. 9 Jensen dan Meckling (1976) menyatakan bahwa hubungan keagenan adalah sebuah kontrak antara manajer (agent) dengan investor (principal). Masalah keagenan timbul apabila terjadi perbedaan kepentingan antara pihak manajer dan investor. Pada kriteria penilaian kinerja perusahaan yang baik berbagai aspek harus dipertimbangkan antara lain yaitu harapan dari pihak manajer dan investor. Investor tentunya akan mengharapkan tingkat pengembalian yang besar untuk investasi yang ditanamnya, sedangkan pihak manajer menginginkan kinerja perusahaan agar kelangsungan hidup dari perusahaan dapat terjamin. Pada saat ini terdapat berbagai alat ukur kinerja yang kadang berbeda dari industri satu dengan industri yang lain. Tetapi sulit untuk mengatakan bahwa alat ukur tersebut benar-benar merupakan alat ukur yang dapat menilai keberhasilan perusahaan yang sebenarnya. Dalam penilaian kinerja keuangan perusahaan, analisis rasio keuangan merupakan metode analisis keuangan yang paling banyak digunakan di Indonesia. Hal ini dapat dilihat dari penggunaan Indonesian Capital Market Directory, yang semakin luas sebagai dasar untuk melihat kinerja keuangan perusahaan-perusahaan yang tercatat di Pasar Modal Indonesia. Dari uraian di atas peneliti dapat menarik beberapa masalah yang dapat lebih di teliti sebagai berikut: 1. Semua perusahaan manufaktur berorientasi pada laba (profit oriented), untuk meningkatkan pertumbuhan laba sehingga mampu memenuhi ekspektasi dari investor maka berbagai cara dilakukan, termasuk melakukan tindakan memanipulasi laba atau disebut juga manajemen 10 laba. Sehingga, laporan keuangan setelah dilakukan manajemen laba akan memberikan gambaran keuangan perusahaan yang tidak sebenarnya. Padahal menurut PSAK No 1 tahun 2009 yang menyatakan bahwa perusahaan-perusahaan yang membuat laporan keuangan dituntut untuk memberikan laporan keuangan sesuai dengan keadaan yang sebenarnya. 2. Dalam PABU penyusunan laporan keuangan melalui dasar akrual diperbolehkan. Namun dasar akrual tersebut memungkinkan manajer melakukan tindakan manajemen laba. Walaupun dalam jangka panjang tidak terdapat perbedaaan laba kumulatif dengan laba yang diidentifikasi sebagai suatu keuntungan. 3. Dalam penelitian yang dilakukan Handayani (2009) menyatakan bahwa perusahaan berukuran kecil lebih banyak melakukan manajemen laba untuk menghindari penurunan earning daripada perusahaan berukuran besar. Oleh karena perusahaan berukuran kecil, maka dengan adanya manajemen laba tersebut, auditor dapat dengan mudah mendeteksi tindakan manipulasi laba tersebut. Akibatnya, apabila investor mengetahui hal tersebut maka ekspektasi para investor akan menurun dan menimbulkan siklus pendanaan yang menurun. 4. Tindakan manajemen laba sehingga mampu meningkatkan kinerja perusahaan, namun mampu menurunkan tingkat kepercayaan 11 shareholer apabila perusahaan mempunyai tingkat discretionary accrual yang tinggi. Penelitian ini merupakan penelitian pendukung yang dilakukan oleh Koyoumirsa (2011). Perbedaan penelitian ini terletak pada variabel dan sampel yaitu menambah variabel pemoderasi ukuran perusahaan serta sampel yang digunakan adalah perusahaan manufaktur yang terdaftar di Bursa Efek Indonesia pada tahun 2008-2011. Berdasarkan latar belakang dan penelitian terdahulu, maka peneliti tertarik untuk meneliti kembali penulis mengambil judul : “KONTRIBUSI MANAJEMEN LABA TERHADAP KINERJA PERUSAHAAN MELALUI UKURAN PERUSAHAAN SEBAGAI VARIABEL MODERATING”. B. Pembatasan Masalah Batasan masalah yang dilakukan penulis agar pembahasan dalam penelitian tidak meluas adalah terbatas pada permasalahan: 1. Meneliti Perusahaan di Bursa Efek Indonesia periode yang ditentukan yaitu 2008-2011 2. Meneliti Kinerja Perusahaan sehingga pembatasan pada ruang lingkup Annual Report dan ICMD (Indonesian Capital Market Directory). C. Rumusan Masalah Berdasarkan latar belakang diatas, maka rumusan masalah dalam penelitian ini adalah sebagai berikut: 12 1. Apakah manajemen laba akrual berkontribusi positif terhadap kinerja perusahaan? 2. Apakah manajemen laba riil berkontribusi positif terhadap kinerja perusahaan? 3. Apakah ukuran perusahaan berkontribusi positif terhadap hubungan antara manajemen laba akrual dengan kinerja perusahaan? 4. Apakah ukuran perusahaan berkontribusi positif terhadap hubungan antara manajemen laba riil dengan kinerja perusahaan? 5. Apakah ukuran perusahaan berkontribusi positif terhadap kinerja perusahaan? D. Tujuan Penelitian Berdasarkan rumusan masalah yang ada dalam penelitian ini, maka tujuan penelitian adalah : 1. Untuk mendapatkan bukti secara empiris apakah manajemen laba akrual berkontribusi negatif terhadap kinerja perusahaan. 2. Untuk mendapatkan bukti secara empiris apakah manajemen laba riil berkontribusi positif terhadap kinerja perusahaan. 3. Untuk mendapatkan bukti secara empiris apakah ukuran perusahaan berkontribusi positif terhadap hubungan anatara manajemen laba akrual dengan kinerja perusahaan. 4. Untuk mendapatkan bukti secara empiris apakah ukuran perusahaan berkontribusi terhadap hubungan anatara manajemen laba riil dengan kinerja perusahaan. 13 5. Untuk mendapatkan bukti secara empiris apakah ukuran perusahaan berkontribusi positif terhadap kinerja perusahaan. E. Manfaat Penelitian 1. Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan kontribusi pada pengembangan teori, terutama kajian akuntansi keuangan mengenai manajemen laba dan ukuran perusahaan terhadap kinerja perusahaan. 2. Bagi ilmu pengetahuan dapat memberikan petunjuk dalam penelitian berikutnya mengenai hal-hal yang mempengaruhi kinerja perusahaan. 3. Bagi peneliti lain penelitian ini diharapkan berguna untuk menambah pengetahuan tentang informasi sekaligus sebagai bahan acuan untuk perbandingan dalam penelitian yang serupa. 4. Bagi penulis, penelitian ini sangat berguna menambah pengetahuan mengenai kesulitan-kesulitan yang dihadapi perusahaan dan dunia usaha, juga merupakan penerapan teori-teori yang diperoleh dengan praktik yang terjadi di lapangan.