model sebaran tumpahan minyak di alur pelayaran

advertisement
MODEL SEBARAN TUMPAHAN MINYAK DI
ALUR PELAYARAN KEPULAUAN SERIBU DKI JAKARTA
SABHAN
SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2011
ii
halaman ini sengaja dikosongkan
iii
PERNYATAAN MENGENAI THESIS DAN SUMBER INFORMASI
Dengan ini saya menyatakan bahwa thesis dengan judul “Model Sebaran
Tumpahan Minyak di Alur Pelayaran Kepulauan Seribu DKI Jakarta” adalah
karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam
bentuk apapun kepada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal
atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain
telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian
akhir tesis ini.
Bogor, Juni 2011
Sabhan
NRP C 551070061
iv
halaman ini sengaja dikosongkan
v
ABSTRACT
Sabhan. Distribution model of oil spills along the cruise lane of Kepulauan
Seribu, DKI Jakarta. Supervised by I WAYAN NURJAYA and TRI
PPRATONO.
Tanker traffic and oil exploration as well as production activities in offshore
areas have been made the Indonesian waters prone to oil spills. As we know that
Kepulauan Seribu has multi-functional area such as aquaculture, marine
transportation, marine tourism, marine protected areas and international cruise
lines, especially tankers. Tankers often cause oil spill in the waters of Kepulauan
Seribu. It is able to reduce the environmental condition, cause the impact and
economic losses. For that reason it is necessary to increase our knowledge in order
to predict the distribution and fate of oil spills. The aims of this study to build a
2D hydrodynamics model to see the patterns of water mass movement of
Kepulauan Seribu even on the west monsoon and east of monsoon. The models
of oil spills distribution based on the hydrodynamic models can be used as a tool
to prevent in Kepulauan Seribu. To control oil spills at sea will be more effective
when distribution we have a model of oil spills. The results of this model show
that the area exposed to and the duration of exposure by the oil spill occurred in
Kepulauan Seribu.Data input used in the model consist of water depth data
(bathymetry), wind speed and direction, tidal data, data of the Islands cruise lines,
data of tankers types and tanker transport capacity through the territorial waters of
Kepulauan Seribu, currents data, and the oil fractions data..The impact of the
distribution of oil occurred in the west season almost reaching marine protected
areas in the north of the island of Tidung Besar within 15 hours with the distance
from the source of the spill of about 10 km and thickness of oil layer is less than
45 mm with duration of exposure between 18-23 hours.Crude oil has the highest
duration of exposure reached 326 hours for west monsoon season and 159 hours
on the east while gasoline has a very short exposure time of about 70 hours.
Keywords: Oil spill, MIKE 21, Kepulauan Seribu
vi
halaman ini sengaja dikosongkan
vii
RINGKASAN
SABHAN. Model sebaran tumpahan minyak di alur pelayaran Kepulauan
Seribu DKI Jakarta. Dibimbing oleh I WAYAN NURJAYA
dan TRI
PRATONO.
Lalu lintas kapal tanker serta kegiatan eksplorasi dan produksi minyak di
lepas pantai telah menjadikan kawasan-kawasan di Perairan Indonesia rawan
terjadi tumpahan minyak. Kepulauan Seribu sebagai daerah pemanfaatan yang
multi fungsi seperti perikanan budidaya, transfortasi laut, wisata laut, daerah
perlindungan laut dan jalur pelayaran internasional khususnya kapal tanker. Kapal
tanker sering menyebabkan tumpahan minyak di perairan Kepulauan Seribu,
sehingga untuk mengurangi dampak terhadap lingkungan dan kerugian secara
ekonomi maka perlu prediksi sebaran dan nasib dari tumpahan minyak.
Menyadari pentingnya perlindungan terhadap daerah pesisr di Kepulauan
seribu dari tumpahan minyak maka di buat model sebaran tumpahan minyak
untuk memprediksi pola sebaran dan nasib tumpahan minyak berdasarkan pola
arus yang terjadi di Kepulauan Seribu.
Penelitian ini bertujuan untuk membangun model hidrodonamika 2 dimensi
untuk melihat pola pergerakan massa air Kepulauan Seribu pada musim barat dan
musim timur. Model hidrodinamika yang di gunakan untuk membangun model
sebaran tumpahan minyak dapat digunakan sebagai alat yang dapat berguna dalam
upaya penanggulangan tumpahan minyak di Kepulauan Seribu. Upaya
penanggulangan tumpahan minyak di laut akan lebih efektif dan biayanya dapat
ditekan bila memanfaatkan prediksi-prediksi yang dapat dihasilkan oleh model
sebaran tumpahan minyak. Hasil pemodelan ini kemudian dapat memperlihatkan
daerah terpapar dan lama pemaparan oleh tumpahan minyak yang terjadi di
Kepulauan Seribu.
Lokasi kegiatan penilitian ini berada di Peraiaran Kepulauan Seribu dengan
3 batas terbuka yaitu lintang 5°40'12"LS di sebelah utara di sebelah timur dibatas
oleh bujur 106.40'BT disebelah barat berbatasan dengan garis bujur 106.21'48"
BT dan batas tertutup Pantai Utara Jawa yang rentan terhadap kejadian tumpahan
minyak.
Data yang digunakan dalam pemodelan tumpahan minyak terdiri atas: data
kedalaman perairan (Batimetri), data arah dan kecepatan angin, data pasang-surut
(pasut), data jalur pelayaran, data jenis kapal tanker dan kapasitas tanker angkutan
yang melewati daerah perairan Kepulauan Seribu, data arus laut, data komponen
fraksi crude oil.
Desain hidrodinamika untuk membangun pola pergerakan arus sebagai
media pengerak tumpahan minyak di Perairan Kepulauan Seribu dibagun dari
persamaan kontinuitas dan kekelan momentum oleh DHI 2007. Model dibatasi
dengan 3 batas terbuka yaitu lintang 5°40'12"LS di utara, di timur dibatasi oleh
bujur 106.40'BT di barat berbatasan dengan garis bujur 106.21'48" BT dan batas
tertutup Pantai Utara Jawa. Untuk memenuhi kriteria stabilitas CourantFriedichs-Lewy (CFL) dalam persamaan momentum dengan berdasarkan pada
kedalaman maksimun dan lebar grid maka langkah waktu yang digunakan dalam
viii
simulasi adalah 10 detik. Daerah model dibagi 1380 x 1735 grid dalam bentuk
matriks dengan lebar grid x= y=25 meter.
Desain tumpahan dilakukan untuk membangun data input model tumpahan
minyak yang terbagi dalam dua komponen yaitu parameter dasar dan parameter
tumpahan minyak. Parameter dasar dalam desain tumpahan minyak terdiri atas:
data hidrodinamika, sumber tumpahan yang memuat volume dan debit tumpahan,
dispersion, eddy dan profil kecepatan logaritmik, sifat air laut, kondisi angin,
excending contentration dan time exposition.
Pola arus yang terjadi di perairan Kepulauan Seribu pada musim barat
cenderung dipengaruhi oleh pasang surut dibandingkan dengan arus musiman.
Pola arus permukaan bergerak mengikuti pola perambatan pasang surut, pada saat
dalam kondisi MSL (surut menuju pasang), pasang surut merambat dari timur ke
barat dari bidang batas terbuka sehingga arus merambat mengikuti perambatan
pasut dengan kecepatan maksimal 0.5 m/s
Pola sebaran tumpahan minyak pada musim barat dari ke-4 jenis minyak
yang dimodelkan memperlihatkan bahwa tumpahan minyak dominan bergerak
kearah barat dengan menyapu daerah bagian utara dan selatan Pulau Tidung Besar
dan Pulau Tidung Kecil serta daerah bagian selatan Pulau Karangberas dan Pulau
Karangpandang.
Sebaran minyak yang terjadi pada musim barat berdampak mencapai daerah
perlindungan laut di utara Pulau Tidung Besar dalam waktu 15 jam dengan jarak
dari sumber tumpahan sekitar 10 km dan ketebalaan lapisan minyak adalah
kurang dari 45 mm dengan lama pemaparan antara 18-23 jam.
Proses yang menentukan nasib minyak di perairan adalah evaporasi,
dissolusi, dan sedimentasi. Karena minyak mentah memiliki fraksi residual yang
lebih tinggi maka cenderung akan berada di perairan dalam jangka waktu yang
lama dan berpotensi memiliki waktu pemaparan yang tinggi. Minyak mentah
mepunyai lama pemaparan yang paling tinggi mencapai 326 jam untuk musim
barat dan 159 jam pada musim timur sedangkan bensin mempunyai waktu
pemaparan yang paling singkat sekitar 70 jam
Keywords: Tumpahan minyak, MIKE 21, Kepulauan Seribu
ix
© Hak cipta milik IPB, tahun 2011
Hak cipta dilindungi Undang-Undang
1. Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa
mencantumkan atau menyebutkan sumber
a. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan
karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik atau tinjauan
suatu masalah
b. Pengutipan tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB
2. Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh
karya tulis dalam bentuk apapun tanpa izin IPB
x
halaman ini sengaja dikosongkan
xi
MODEL SEBARAN TUMPAHAN MINYAK DI
ALUR PELAYARAN KEPULAUAN SERIBU DKI JAKARTA
SABHAN
Tesis
Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Magister Sains pada
Program Studi Ilmu Kelautan
SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2011
xii
Penguji Luar Komisi pada Ujian Tesis : Dr. Ir. Hefni Effendi, M.Phil.
xiii
Judul Tesis
:
Nama
NRP
:
:
Model sebaran tumpahan minyak di alur pelayaran
Kepulauan Seribu DKI Jakarta.
Sabhan
C 551070061
Disetujui,
Komisi Pembimbing
Dr. Ir. I Wayan Nurjaya, M.Sc
Ketua
Dr. Ir. Tri Pratono, M.Sc
Anggota
Diketahui,
Ketua Program Studi
Ilmu Kelautan
Dekan Sekolah Pascasarjana
Dr. Ir. Neviaty Putri Zamani, M.Sc
Dr. Ir. Dahrul Syah, M.Sc.Agr
Tanggal Ujian: 21 Juni 2011
Tanggal Lulus:
xiv
halaman ini sengaja dikosongkan
xv
PRAKATA
Alhamdulillah, Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT atas
berkat, rahmat dan hidayah-Nya sehingga penelitian ini dapat penulis selesaikan.
Penelitian yang kami laksanakan berjudul “Model Sebaran Tumpahan Minyak di
Alur Pelayaran Kepulauan Seribu DKI Jakarta”.
Pada kesempatan ini penulis menyampaikan ucapan terima kasih dan
penghargaan yang setinggi-tingginya kepada:
1. Bapak Dr. Ir. I Wayan Nurjaya, M.Sc sebagai ketua komisi pembimbin,
dan Dr. Ir. Tri Pratono, M.Sc. sebagai anggota komisi pembimbing yang
telah dengan ikhlas memberikan bimbingan dan pengarahan dalam
penelitian dan penulisan thesis ini.
2. Bapak Dr. Ir. Hefni Effendi, M.Phil. atas kesediaan menjadi penguji luar
komisi pada ujian thesis dan saran demi kesempurnaan thesis ini.
3. Ibu Dr. Ir. Neviaty P. Zamani, M.Sc selaku Ketua Program Studi Ilmu
Kelautan yang telah banyak memebrikan bantuan dalam penyelesian
studi penulis di IPB.
4. Rektor Universitas Tadulako dan Dekan Fakultas Matematika dan Ilmu
Pengetahuan Alam Universitas Tadulako yang telah memberikan
kesempatan kepada penulis untuk mengikuti pendidikan di Sekolah
Pasca Sarjana IPB.
5. Bapak Andri Purwandani, S.Pi. yang dengan segala keikhlasan dan
kesabaran mengajarkan dasar-dasar pemodelan dalam penelitian ini.
6. Seluruh rekan mahasiswa IKL 2007 atas segala bantuannya dan kepada
semua pihak yang telah membantu namun tak dapat saya sebutkan satu
persatu.
7. Istri tercinta, Nurjannah Ramli dan ananda tersayang Nailah Fakhirriah
dan Muhammad Isyraq Abqary, kedua orang tua dan keluarga besar atas
segala doa, motivasi, pengorbanan dan dukungannya.
Penulis berharap semoga penelitian ini dapat berguna bagi kemajuan ilmu
pengetahuan dan bermanfaat bagi semua pihak.
Bogor, Juni 2011
Sabhan
xvi
halaman ini sengaja dikosongkan
xvii
RIWAYAT HIDUP
Penulis dilahirkan pada tanggal 8 Oktober 1980
merupakan anak kedua dari pasangan H. Faharuddin
dan Hj. Sariana di Camba, Kabupaten Maros,
Sulawesi Selatan. Penulis masuk Sekolah Dasar (SD)
tahun 1987 pada SD Inpres No. 41 Ara, desa
Timpuseng dan tamat tahun 1993, pada tahun yang
sama melanjutkan pendidikan ke Sekolah Menengah
Pertama (SMP) Negeri Camba dan tamat tahun 1996.
Setelah menamatkan SMP, penulis melanjutkan pendidikan ke Sekolah Menengah
Umum (SMU) Negeri 3 Poso, Sulawesi Tengah dan tamat tahun 1999. Pendidikan
dilanjutkan pada tahun 1999 di Program Studi Geofisika, Jurusan Fisika, Fakultas
Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Hasanuddin dan
menamatkan studi pada tahun 2004 dengan gelar Sarjana Sains (S.Si). Tahun
2006 penulis diterima sebagai staf pengajar Program Studi Fisika, Fakultas
Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam, Universitas Tadulako. Penulis
melanjutkan studi Program Magister (S2) tahun 2007 pada Mayor Ilmu Kelautan,
Sekolah Pasca Sarjana Institut Pertanian Bogor.
halaman ini sengaja dikosongkan
xiii
DAFTAR ISI
Halaman
DAFTAR GAMBAR ....................................................................................xv
DAFTAR TABEL ..................................................................................... xvii
1. PENDAHULUAN .....................................................................................1
1.1
1.2
1.3
1.4
1.5
Latar Belakang..................................................................................1
Dasar Pemikiran ...............................................................................2
Rumusan Masalah ...........................................................................3
Tujuan ...............................................................................................4
Manfaat Penelitian ............................................................................4
2. TINJAUAN PUSTAKA ............................................................................7
2.1
2.2
2.3
2.4
Kondisi Umum Kepulauan Seribu....................................................7
Persamaan Pembangun Model .........................................................9
2.2.1 Persamaan Hidrodinamika ....................................................9
2.2.2 Persamaan Oil Spill ............................................................12
Karakteristik Minyak ......................................................................21
2.3.1 Komposisi Minyak .............................................................22
2.3.2 Karakteristik Minyak ..........................................................24
Proses-proses Fisik dan Kimia Minyak di Laut .............................25
2.4.1 Penyebarang ........................................................................26
2.4.2 Penguapan ...........................................................................27
2.4.3 Entrainment (Natural Dispersion)......................................28
2.4.4 Pelarutan .............................................................................29
2.4.5 Emulsifikasi ........................................................................30
2.4.6 Sedimentasi .........................................................................30
2.4.7 Biodegradasi .......................................................................31
3. METODE PENELITIAN.........................................................................33
3.1
3.2
3.3
3.4
Waktu dan Lokasi ...........................................................................33
Data.................................................................................................35
Desain hidrodinamika .....................................................................36
3.3.1 Membangun Batimetri ........................................................36
3.3.2 Data Input ...........................................................................38
Desain Tumpahan ...........................................................................39
3.4.1 Parameter Dasar ..................................................................40
3.4.2 Parameter Tumpahan Minyak.............................................42
4. HASIL DAN PEMBAHASAN................................................................47
4.1
4.2
Hasil Model Hidrodinamika ...........................................................47
4.1.1 Musim Barat .......................................................................47
4.1.2 Musim Timur ......................................................................52
Verifikasi Hidrodinamika ...............................................................56
4.2.1 Verifikasi Pasut ...................................................................56
xiv
4.3
4.4
4.5
4.6
4.2.2 Verifikasi Arus .................................................................. 57
Pola Sebaran Tumpahan Minyak ................................................... 58
4.3.1 Musim Barat ....................................................................... 58
4.3.2 Musim Timur ..................................................................... 66
Hasil Pemodelan Tumpahan Minyak ............................................. 73
4.4.1 Pola Sebaran Tumpahan Crude Oil .................................... 74
4.4.2 Pola Sebaran Tumpahan Bensin ........................................ 76
4.4.3 Pola SebaranTumpahan Aftur ............................................ 80
4.4.4 Pola Sebaran Tumpahan Diesel ......................................... 82
4.4.5 Konsentrasi Tumpahan Minyak ......................................... 85
Proses Pelapukan Tumpahan Minyak. ........................................... 87
4.5.1 Minyak Mentah .................................................................. 88
4.5.2 Bensin ................................................................................. 89
4.5.3 Aftur ................................................................................... 91
4.5.4 Diesel.................................................................................. 92
Perubahan Konsentrasi Fraksi Dan Waktu Papar .......................... 94
5. KESIMPULAN ....................................................................................... 97
6. DAFTAR PUSTAKA.............................................................................. 99
xv
DAFTAR GAMBAR
Halaman
1
Bagan alir perumusan masalah untuk mencapai tujuan ...............................5
2
Fraksi destilasi minyak mentah (ITAC 1996) ............................................24
3
Perubahan tumpahan minyak mentah oleh proses pelapukan
terhadap waktu. ..........................................................................................26
4
Presentasi penguapan air dan minyak dalam berbagai variasi
kecepatan angin (Fingas 1994)...................................................................27
5
Konsentrasi penguapan dari hidrokarbon aromatik di dalam air
(Payne et al. 1983) .....................................................................................28
6
Lokasi penelitian daerah Perairan Kepulauan Seribu ................................34
7
Diagram alir desain hidrodinamika ............................................................36
8
Peta batimetri Perairan Kepulauan Seribu .................................................37
9
Arah dan Kecepatan Angin pada musim barat (a) dan musim timur
(b). ..............................................................................................................39
10 Diagram alir desain Tumpahan minyak .....................................................40
11 Profil perubahan temperatur air laut pada musim barat (a) pada
Bulan Januari 2008 dan musim timur (b) pada Bulan Juli 2008 ................42
12 Profil temperatur udara pada musim barat (a) dan musim timur (b)..........43
13 Presentase tutupan awan musim barat(a) pada Bulan Januari 2008
dan musim timur (b) pada Bulan Juli 2008 ................................................43
14 Pola hidrodinamika pada kondisi surut ......................................................48
15 Pola hidrodinamik pada kondisi MSL surut menuju pasang .....................49
16 Pola hidrodinamik pada kondisi pasang .....................................................50
17 Pola hidrodinamik pada kondisi MSL pasang menuju surut .....................51
18 Pola hidrodinamika pada saat kondisi msl surut menuju pasang ...............52
19 Pola hidrodinamik pada kondisi pasang .....................................................53
20 Pola hidrodinamika pada kondisi pasang menuju surut .............................54
21 Pola hidrodinamik pada kodisi surut ..........................................................55
22 Grafik pasang surut antara model dengan data Bakosurtanal selama 2
minggu perekaman Bulan Januari di musim barat .....................................56
23 Grafik pasang surut antara model dengan data Bakosurtanal selama 2
minggu perekaman di Bulan Juli di musim timur ......................................56
24 Pola sebaran arus hasil pengukuran(○) dan arus hasil model(○)
berdasarkan komponen U dan V. ...............................................................57
xvi
25 Pola sebarang tumpahan minyak mentah pada kondisi awal kejadian
dimusim barat ............................................................................................ 59
26 Pola sebaran tumpahan minyak mentah pada kondisi MSL (pasang
menuju surut) setelah 7.5 jam pada musim barat ...................................... 60
27 Pola sebaran tumpahan minyak mentah musim barat pada kondisi
surut (setelah 12 jam) pada musim barat ................................................... 62
28 Pola sebaran tumpahan minyak mentah pada kondisi MSL (surut
menuju pasang) 18 setelah kejadian pada musim barat ............................. 64
29 Pola sebaran tumpahan minyak mentah pada kondisi pasang (24 jam
setelah tumpahan) pada musim barat......................................................... 65
30 Pola sebarang tumpahan minyak mentah musim timur pada kondisi
awal di musim timur .................................................................................. 67
31 Pola sebaran tumpahan minyak mentah pada kondisi MSL (surut
menuju pasang), 6 jam setelah kejadian pada musim timur. ..................... 68
32 Pola sebaran tumpahan minyak mentah pada kondisi pasang (12 jam
setelah kejadian) pada musim timur .......................................................... 69
33 Pola sebaran tumpahan minyak mentah pada kondisi MSL (pasang
menuju surut, 18 jam setelah kejadian) pada musim timur ....................... 71
34 Pola sebaran tumpahan minyak mentah pada kondisi surut (24 jam
setelah kejadian) pada musim barat ........................................................... 72
35 Pola sebaran tumpahan minyak mentah (48 jam setelah kejadian)
pada musim barat ....................................................................................... 73
36 Pola sebaran tumpahan minyak mentah (48 jam setelah kejadian)
pada musim timur ...................................................................................... 75
37 Pola sebaran Tumpahan bensin (48 jam setelah kejadian) pada
musim barat ............................................................................................... 77
38 Pola sebaran tumpahan bensin (48 jam setelah kejadian) pada musim
timur .......................................................................................................... 79
39 Pola sebaran tumpahan aftur (48 jam setelah kejadian) pada musim
barat ........................................................................................................... 81
40 Pola sebaran tumpahan aftur (48 jam setelah kejadian) pada musim
timur .......................................................................................................... 82
41 Pola sebaran tumpahan minyak diesel (48 jam setelah kejadian) pada
musim barat ............................................................................................... 83
42 Pola sebaran tumpahan minyak diesel (48 jam setelah kejadian) pada
musim timur............................................................................................... 84
43 Sebaran konsentrasi tumpahan minyak mentah (48 jam setelah
kejadian) pada musim barat ....................................................................... 86
44 Sebaran konsentrasi tumpahan minyak mentah (48 jam setelah
kejadian) pada musim timur ...................................................................... 87
xvii
DAFTAR TABEL
Halaman
1
Komposisi kandungan hidrokarbon dari berbagai jenis produk
minyak (dalam%). ......................................................................................22
2
Karakteristik dari berbagai jenis produk minyak .......................................24
3
Fraksi tersedimentasi tumpahan minyak ....................................................31
4
Matriks waktu penelitian ............................................................................33
5
Petensi, lokasi, volume, debit dan lama tumpahan minyak .......................41
6
Konstanta transfer bahang ..........................................................................43
7
Konstanta emulsifikasi ...............................................................................44
8
Koefisein transfer massa dan tegangan permukaan antara minyak
dan air .........................................................................................................44
9
Karakteristik fisik dan kimia dari tiap fraksi minyak.................................45
10 Komponen fraksi tiap jenis minyak ...........................................................45
11 Persentase tingkat pelapukan jenis minyak mentah pada musim barat......88
12 Persentase tingkat pelapukan jenis minyak mentah pada musim
timur ...........................................................................................................89
13 Persentase tingkat pelapukan bensin pada musim barat ............................90
14 ersentase tingkat pelapukan jenis bensin pada musim timur .....................90
15 Persentase tingkat pelapukan jenis aftur pada musim barat .......................91
16 Persentase tingkat pelapukan jenis aftur pada musim timur ......................92
17 Persentase tingkat pelapukan jenis diesel pada musim barat .....................93
18 Persentase tingkat pelapukan jenis diesel pada musim timur ....................94
19 Perubahan konsentrasi fraksi dan waktu papar ..........................................94
1. PENDAHULUAN
1.1
Latar Belakang
Lalu lintas kapal tanker serta kegiatan eksplorasi dan produksi minyak di
lepas pantai telah menjadikan kawasan-kawasan di Perairan Indonesia rawan
terjadi tumpahan minyak. Kepulauan Seribu merupakan salah satu contoh kasus
terjadinya tumpahan minyak yang menimbulkan pencemaran pada perairan.
Perairan bagian selatan Kepulauan Seribu tercemar oleh tumpahan minyak
mentah. Tumpahan minyak menggenang di sekitar empat pulau yang ada di
Kepulauan Seribu Selatan, yakni Pulau Pari, Pulau Tikus, Pulau Burung, dan
Pulau Payung. Minyak mentah setebal 1 hingga 20 cm menggenang sejauh dua
meter dari bibir pantai Pulau Pari (Sianipar 2008). Pencemaran minyak dapat
merusak ekosistem laut, hewan dan tumbuhan mempunyai resiko oleh polutan
minyak jika menyentuh atau terkontaminasi oleh polutan minyak. (Romero &
Wikelski 2002). Sembilan pulau wisata umum dan 36 pulau berpotensi
dikembangkan sebagai lahan wisata terancam tak diminati lagi untuk dikunjungi,
lantaran tumpahan minyak yang kerap datang pada musim angin barat. Kerugian
secara ekonomi antara Rp 58-65 triliun rupiah per tahun, akibat tumpahan minyak
di Kepulauan Seribu (Sianipar 2008).
Beberapa studi mengenai tumpahan minyak di Perairan Indonesia dan
sekitarnya telah dilakukan baik dengan menggunakan rumus empiris maupun
model matematika. Sembiring (1987) melakukan simulasi tumpahan minyak di
Perairan Cilacap akibat pengaruh angin dan arus laut menggunakan rumus-rumus
empiris dan diagram vektor. Metode yang sama telah dilakukan oleh Valencia
(1978) untuk memprediksi gerakan tumpahan minyak di Perairan Pantai Sabah.
Hadi et al. (1989) telah membangun suatu model matematik numerik
tumpahan minyak di laut berdasarkan model matematika yang dibangun oleh
Dippner. Model Hadi et al. (1989) dibangun dengan model beda hingga eksplisit
yang terikat pada kriteria stabilitas Courant-Frederick-Lewy (CFL) di mana
pengambilan langkah waktu komputasi sangat terbatas.
Hadi dan Hamzah (2000) membangun model numerik dan model matematik
yang dikembangkan dari Model Hadi et al. (1989) dengan cara mengganti metoda
2
eksplisit dengan metoda semi implisit dua langkah, model ini telah dapat
mensimulasikan pola arus dan pergerakan tumpahan minyak khususnya lintasan
partikel tumpahan minyak, pola penyebaran, dan luas sebaran tumpahan minyak.
Menyadari pentingnya perlindungan terhadap daerah pesisr di Kepulauan
seribu dari tumpahan minyak maka di buat model sebaran tumpahan minyak
untuk memprediksi pola sebaran dan nasib tumpahan minyak.
1.2
Dasar Pemikiran
Sebaran horisontal tumpahan minyak dapat diatur oleh adveksi akibat angin
dan arus, difusi turbulen, dan penyebaran mekanik oleh
karena gravitasi,
kelembaman, kekentalan dan gaya tegangan permukaan (Gua et.al 2009). Ketika
tumpahan minyak besar terjadi manyapu daerah pantai, pesisir dan rawa yang
dapat berakibat serius terhadap kerusakan lingkungan dan ekonomi (Riazi &
Ghazi 1999). Kerusakan dapat di kurangi dengan penanganan yang tepat dan
perediksi arah sebaran tumpahan minyak yang tepat sehingga dapat di antisipasi
lebih awal.
Kepulauan Seribu sebagai daerah pemanfaatan yang multi fungsi seperti
perikanan budidaya, transfortasi laut, wisata laut, daerah perlindungan laut dan
jalur pelayaran internasional khususnya kapal tanker. Kapal tanker sering
menyebabkan tumpahan minyak di peraiaran Kepulauan Seribu, sehingga untuk
mengurangi dampak terhadap lingkungan dan kerugian secara ekonomi maka
perlu prediksi sebaran dan nasib dari tumpahan minyak.
Penelitian tentang tumpahan minyak dilaut belum secara utuh menampilkan
secara kwantitatif proses pelapukan pada tumpahan minyak sepeti emulsifikasi,
dissolusi, penguapan dan lama pemaparan. Martinez dan Tovar (1999) telah
memebuat pemodelan komputasi sebaran tumpahan minyak dengan metode high
accuracy namuan belum tepat diterapkan untuk daerah muara sungai dan dekat
pantai yang kompleks. Guo dan Wang (2008) telah memodelkan tumpahan
minyak pada perairan Pesisir Dalian dengan metode hybrid yang memperlihatkan
pola sebaran dan konsetrasi tumpahan minyak dilaut total. Hadi et al. (1989) telah
membangun suatu model matematik numerik tumpahan minyak di laut
berdasarkan model matematika yang dibangun oleh Dippner,
kemudian
3
dikembangkan oleh Hadi dan Latif (2000). dengan menyederhanakan langkah
komputasinya.
Pemodelan yang ada belum memberikan gamabaran tumapahan minyak
secara utuh meliputi pemodelan proses pergerakan, penyebaran, serta pelapukan
tumpahan minyak akibat kombinasi pengaruh proses fisika dan kimia. Dengan
pengembangan model ini selain dapat ditentukan arah gerak atau lintasan
tumpahan minyak, juga dapat ditentukan persentasi tumpahan minyak yang
mengalami pelapukan oleh prose penguapan, dissolusi, emulsifikasi, disversi
vertikal dan luas permukaan laut yang tercemar serta jumlah tumpahan minyak
yang masih tersisa setelah perioda waktu tertentu. Model ini juga dapat
memberikan waktu tempuh yang dibutuhkan oleh tumpahan minyak untuk
mencapai perairan pantai.
1.3
Rumusan Masalah
Menyadari pentingnya perlindungan terhadap daerah pesisir di Kepulauan
Seribu dari tumpahan minyak maka dibuat model sebaran tumpahan minyak untuk
memprediksi pola sebaran dan nasib tumpahan minyak berdasarkan pola arus
yang terjadi di Kepulauan Seribu.
Pergerakan tumpahan minyak tidak terlepas dari proses hidrodinamika yang
terjadi di daerah tumpahan minyak. Lokasi penyebaran dapat diperidiksi dengan
membangun model yang menjelaskan proses hidrodinamika pada daerah
tumpahan minyak. Keberadaan tumpahan juga ditentukan oleh sifat fisika kimia
minyak serta volume tumpahan minyak. Maka pada penelitian ini digunakan
model flow model dan particel/spill analysis yang tersedia pada MIKE 21 untuk
menjawab pertanyaan berikut:
1. Bagaimana hidrodinamika Kepulaun Seribu?
2. Bagaimana model sebaran minyak bila terjadi tumpahan minyak di
Kepulauan Seribu?
3. Berapa persen minyak yang mengalami pelapukan bila terjadi tumpahan
minyak di Kepulauan Seribu?
4. Berapa lama waktu yang dibutuhkan minyak yang tumpah untuk mencapai
wilayah pesisir Kepulauan Seribu?
4
Perumusan masalah yang telah dikemukakan untuk mencapai tujuan
penelitian ini dilakukan dengan melakukan pemodelan hubungan antara farameter
fisika dan kimia pada tumpahan minyak yang merupakan gabungan dari model
hidrodinamika
dan
model
tumpahan
minyak.
Hasil
dari
simulasi
ini
memperlihatkan pola sebaran tumpahan minyak, ketebalan lapisan tumpahan
minyak dan persentasi pelapukan tumapahan minyak serta lama waktu
pemaparan. Pendekatan penyelesaian masalah untuk mencapai tujuan penelitian
disajikan pada Gambar 1.
1.4
Tujuan
Penelitian ini bertujuan membangun model hidrodonamika 2D untuk
melihat pola pergerakan massa air Kepulauan Seribu pada musim barat dan
musim timur. Model hidrodinamika digunakan untuk membangun model sebaran
tumpahan minyak digunakan sebagai alat yang berguna dalam upaya
penanggulangan tumpahan minyak di Kepulauan Seribu. Upaya penanggulangan
tumpahan minyak di laut akan lebih efektif dan biayanya dapat ditekan bila
memanfaatkan prediksi-prediksi yang dapat dihasilkan oleh model sebaran
tumpahan minyak. Hasil pemodelan ini kemudian dapat memperlihatkan daerah
terpapar dan lama pemaparan oleh tumpahan minyak yang terjadi di Kepulauan
Seribu.
1.5
Manfaat Penelitian
Hasil Penelitian ini akan memprediksi sebaran tumpahan minyak yang
terjadi di Kepulauan Seribu. Hasil penelitian ini diharapkan dapat digunakan
sebagai dasar dalam mengantisipasi tumpahan minyak pada daerah sensitif di
Kepulauan Seribu sehingga penanggulangan sebaran tumpahan minyak dapat
secara efektif dan efesien.
5
Batimetri
(Dishidros TNI-AL)
Angin
(Ifremer)
Pasang Surut
(DHI Group)
Batimetri
(format xyz)
Angin
(arah, kecepatan)
Tenggang pasut
Manning Number
Mike 21
(Flow model)
VISKOSITAS EDDY
Hidrodinamika
Tidak
stabil
Penyebaran
Viskositas eddy
Sifat air
Kondisi angin
Pperubahankonsentrasi
Mike 21
(Analisis Tumpahan)
Parameter dasar
Total oil
emulsifikasi
Sifat udara
Perpindahanbahang
Emulsifikasi
Pelarutan
Sifat minyak
Stabil
Penguapan
Pelarutan
Parameter
tumpahan minyak
Dispersi
vertikal
Perubahan
fraksi
Gambar 1 Bagan alir perumusan masalah untuk mencapai tujuan
Lama terpapar
6
halaman ini sengaja dikosongkan
7
2. TINJAUAN PUSTAKA
2.1
Kondisi Umum Kepulauan Seribu
Kepulauan seribu terdiri atas 110 pulau, dan 11 pulau diantaranya telah
berpenghuni. Pulau-pulau lainnya digunakan seperti untuk arena rekreasi, cagar
alam dan cagar budaya. Luas Kepulauan Seribu kurang lebih 108,000 ha, terletak
di lepas pantai utara Jakarta dengan posisi memanjang dari Utara ke Selatan yang
ditandai dengan pulau-pulau kecil berpasir putih dan gosong-gosong karang
(Ariadi 2004) .
Keadaan angin di Kepulauan Seribu sangat dipengaruhi oleh angin monsoon
yang secara garis besar dapat dibagi menjadi Angin Musim Barat (DesemberMaret) dan Angin Musim Timur (Juni-September). Musim Pancaroba terjadi
antara bulan April-Mei dan Oktober-Nopember. Kecepatan angin pada musim
Barat bervariasi antara 13-30 km per jam, yang umumnya bertiup dari Barat Daya
sampai Barat Laut (Ariadi 2004).
Kawasan Kepulauan Seribu memiliki tofografi datar hingga landai dengan
ketinggian sekitar 0-2 m diatas permukaan laut. Luas daratan dapat berubah oleh
pasang surut dengan ketinggian pasang antara 1-1.5 m. Morfologi Kepulauan
Seribu dengan demikian merupakan dataran rendah pantai, dengan perairan laut
ditumbuhi karang yang membentuk atol maupun karang penghalang. Atol
dijumpai hampir diseluruh gugusan pulau, kecuali Pulau Pari, sedangkan fringing
reef dijumpai antara lain di Pulau Pari, Pulau Kotok dan Pulau Tikus (Ariadi
2004).
Kedalaman perairan di Kepulauan Seribu sangat bervariasi, beberapa lokasi
mencatat kedalaman hingga lebih dari 70 m, seperti lokasi antara Pulau Gosong
Congkak dan Pulau Semak Daun pada posisi 106°35’00” BT dan 05°43’08” LS
dengan kedalaman 75 meter. Setiap pulau umumnya dikelilingi oleh paparan
pulau yang cukup luas (island shelf) hingga 20 kali lebih luas dari pulau yang
bersangkutan dengan kedalaman kurang dari 5 meter. Hampir setiap pulau juga
memiliki daerah rataan karang yang cukup luas (reef flat) dengan kedalaman
bervariasi dari 0.5 m pada pasang terendah hingga 1 m pada jarak 60 m hingga 80
m dari garis pantai. Dasar rataan karang merupakan variasi antara pasir, karang
mati, sampai karang batu hidup. Di dasar laut, tepi rataan karang sering diikuti
8
oleh daerah tubir dengan kemiringan curam hingga mencapai 70° dan mencapai
dasar laut dengan kedalaman bervariasi dari 10 m hingga 75 m (DISHIDROS-AL
2008).
Pola sirkulasi arus perairan Kepulauan Seribu mentukan pola pergerakan
tumpahan minyak yang terjadi perairan Kepulauan Seribu, karena kedangkalan
Laut Jawa, transpor volume didominasi oleh angin (Sofian 2001). Pengaruh angin
dan arus laut memiliki peranan penting dalam pergerakan tumpahan minyak di
laut. Hydrodinamika tumpahan minyak 100% oleh pengaruh arus dan 3% oleh
pengaruh angin (Hadi & Latif 2000; ITAC 1996). Arus laut permukaan di
Kepulauan Seribu pada musim barat berkecepatan maksimum 0.5 m/detik dengan
arah ke Timur sampai Tenggara. Pada musim timur kecepatan maksimumnya 0.5
m/detik. Gelombang laut yang terdapat pada musim barat mempunyai ketinggian
antara 0.5-1.75 meter dan musim timur 0.5-1.0 meter.
Berdasarkan pengukuran di stasiun penelitian oleh ITB Bandung tahun 2001
yang berlokasi di Pulau Untung Jawa pada koordinat 05°58’45,21”LS,
106°42’11,07”BT, kondisi pasang surut di Kepulauan Seribu dapat dikategorikan
sebagai harian tunggal. Kedudukan air tertinggi dan terendah adalah 0.6 dan 0.5 m
dibawah duduk tengah. Rata-rata tunggang air pada pasang perbani adalah 0.9 m
dan rata-rata tunggang air pada pasang mati adalah 0.2 m. Tunggang air tahunan
terbesar mencapai 1.10 m (Ariadi 2004)
Tinggi gelombang di Kepulauan Seribu pada musim Barat adalah sebesar
0.5-1.5 m, sedangkan pada musim Timur adalah sebesar 0.5-1.0 m (DISHIDROSAL 1986). Tinggi gelombang sangat bervariasi antara satu lokasi dengan lokasi
lainnya disebabkan oleh variasi kecepatan angin dan adanya penjalaran
gelombang dan perairan sekitarnya, sesuai dengan letak gugusan Kepulauan
Seribu yang berbatasan dengan perairan terbuka. Gelombang didominasi oleh arah
Timur dan Tenggara yang dipengaruhi oleh refraksi pada saat memasuki daerah
tubir, hasil pengamatan yang dilakukan oleh Seawatch Indonesia pada bulan
Nopember 1998-Agustus 1999 di Pulau Kelapa mencatat tinggi gelombang pada
kisaran 0.05-1.03 m dengan periode gelombang berkisar antara 2.13-5.52 detik.
9
2.2
2.2.1
Persamaan Pembangun Model
Persamaan Hidrodinamika
2.2.1.1 Persamaan massa
Persamaan massa secara matematik dinyatakan sebagai:
(1)
Suku pertama menyatakan perubahan posisi muka air, suku kedua dan
ketiga menyatakan perubahan fluks densitas dalam arah x dan y dan suku keempat
menyatakan perubahan kedalaman perairan. Solusi persamaan (1) dengan metode
elemen hingga selisih depan dalam arah x adalah:
(2)
Dalam arah y
(3)
2.2.1.2 Persamaan momentum
Persaamaan momentum dalam arah x
(4)
Solusi persamaan momentum akan diuraikan solusinya tiap suku dari
persamaan (4)
Suku pertama
Suku pertama menyatakan perubahan fluks densitas terhadap waktu
nyatakan dalam bentuk
10
(5)
Dengan menggunakan metode ekspansi Taylor dengan pusat n+1/2
persamaan x menjadi
(6)
Suku keempat menyatakan pengaruh grafitasi dengan pendekatan selisih
depan di tulis sebagai:
(7)
dengan
Dengan cara dilinerisasi dalam menghasilkan formula aljabar koreksi
kesalahan dapat tentukan dengan menggunakan ekspansi Taylor.
(8)
FDS adala solusi linier dari persamaan gravitasi.
Suku kedua dan ketiga merupakan perubahan flux densitas dalam arah x dan
y yang diselesaikan dengan metode elemen hingga sebagai berikut:
(9)
dengan a = n+1, b = n
Suku ke 9 merupakan faktor gesekan angin yang didefinisikan sebagai:
(10)
Dengan faktor gesekan angin dihitung sesuai dengan Smith dan Banke
11
(11)
dengan
Suku kelima menyatakan faktor gesekan dasar yang dinyatakan dalam
formula Chezy number
(12)
dapat diselesaikan dalam bentuk
(13)
dengan :
(14)
Chezy number dapat dihitung dari Manning number
(15)
Suku kedelapan menyatakan gaya coriolis yang dinyatakan sebagai
(16)
Dengan q di selesaikan secara eksplisit seperti pada persamaan (14)
12
2.2.2 Persamaan Oil Spill
2.2.2.1 Penyebaran
Fay (1969) menyatakan bahwa laju penyebaran minyak ditentukan oleh
gaya gravitasi, kelembaman, kekentalan, tegangan permukaan dan dispersi.
Mackay et al. (1980) telah memodifikasi model gravitasi dan viskositas dari Teori
Fays ke dalam formula numerik melalui persamaan matematis untuk menghitung
penyebaran minyak dengan asumsi minyak sebagai massa homogen, menyebar
dalam bentuk lapisan tipis dan tidak ada perubahan massa tumpahan.
Dengan menggunakan asumsi di atas, maka perubahan luas tumpahan
minyak (Aoil) dapat dihitung dengan menggunakan persamaan sebagai berikut:
(17)
dimana,
= konstanta [s-1]
t
= waktu [s]
= πRoil2 [m2]
Volume minyak tumpah dihitung dengan menggunakan persamaan:
(18)
ketebalan tumpahan minyak diestimasi:
= 10 cm , pada t=0
Nilai ini telah diketahui dari hasil penelitian sesudah terjadi tumpahan
minyak di suatu perairan.
2.2.2.2 Evaporasi
Penguapan tumpahan minyak ditentukan oleh komposisi dari minyak, suhu
udara, suhu perairan, area tumpahan, kecepatan angin, radiasi matahari dan
ketebalan tumpahan minyak. Beberapa hasil penelitian telah menghitung laju
penguapan minyak. Asumsi yang digunakan adalah sebagai berikut:
1. Tidak ada proses difusi (dispersi) yang membatasi pada oil film.
13
2. Bentuk minyak adalah campuran yang ideal.
3. Tekanan parsial udara pada perhitungan tekanan uap diabaikan.
Dengan menggunakan asumsi di atas, laju penguapan minyak dihitung
dengan menggunakan persamaan:
(19)
dengan,
ke
= koefisien transport massa
PSAT
= Tekanan uap
R
= Konstanta gas
T
= Suhu
M
= Berat Molekul
X
= Fraksi mol
= Densitas fraksi minyak
i
= Jenis fraksi minyak ke-i
Untuk mengestimasi nilai dari
digunakan persamaan dari Mackay et al
(1980), yaitu:
(20)
dimana,
k
= Konstanta
Aoil
= Luas area tumpahan minyak [m2]
= Konstanta penguapan Schmidts pada fraksi minyak ke-i
Uw
= Kecepatan angin [m/detik]
2.2.2.3 Dispersi vertikal
Transport minyak ke dalam kolom air terjadi dari beberapa mekanisme yaitu
kelarutan, dispersi, akomodasi dan sedimentasi. Fraksi minyak yang terdispersi di
dalam kolom air per waktu dihitung sebagai fraksi yang hilang di permukaan laut,
pada kondisi tidak ada gelombang pecah dan dihitung menggunakan persamaan,
yaitu :
(21)
dimana,
14
= fraksi minyak yang terdispersi di permukaan air per satuan
waktu.
= fraksi minyak telah terdispersi yang tidak kembali lagi ke
permukaan.
dan
dihitung dengan menggunakan persamaan, yaitu:
(22)
dengan,
= Kecepatan angin
dan
(23)
dimana,
= Viskositas minyak [cp]
= Ketebalan minyak [cm]
= Tegangan permukaan minyak dan air [dyne cm-1]
Laju butiran minyak dalam air yang kembali lagi ke permukaan dihitung
dengan persamaan, yaitu:
(24)
2.2.2.4 Kelarutan
Dengan menggunakan asumsi bahwa konsentrasi sebenarnya hidrokarbon
terhadap kelarutannya, maka laju kelarutan minyak dihitung dengan menggunakan
persamaan, yaitu:
(25)
dimana,
Csat
= kelarutan fraksi minyak ke-i [mg/kg air laut]
Xmol
= molar fraksi dari fraksi minyak ke-i [kg/mol]
M
= Berat molar dari fraksi minyak ke-i
= Densitas minyak fraksi ke-i
Aoil
= Luas area tumpahan minyak [m2]
Koefisien transfer massa dari kelarutan dihitung dengan menggunakan
persamaan, yaitu:
15
(26)
dimana,
ei
= 1.4 untuk fraksi minyak alkana
ei
= 2.2 untuk fraksi minyak aromatik
ei
= 1.8 untuk fraksi minyak ringan
2.2.2.5 Emulsifikasi
Proses emulsifikasi merupakan proses sangat penting yang menentukan
keberadaan minyak di permukaan karena akan membuat minyak menjadi sangat
kental. Masuknya butiran air ke dalam minyak dan stabilitas di dalamnya sangat
ditentukan oleh kondisi lingkungannya. Stabilitasnya ditentukan oleh kandungan
surfaktan di dalamnya dan masuknya butiran air kedalam minyak di tentukan oleh
kondisi perairannya terutama gelombang dan proses turbulen di perairan.
Model matematis yang ada saat ini tidak semua parameter yang
mempengaruhi proses emulsifikasi masuk semua dalam perhitungannya.
Pendekatan yang dilakukan adalah melalui persamaan empiris dari prilaku
emulsifikasi dari kondisi di alamnya. Perhitungan perubahan kandungan air di
dalam minyak dapat dihitung melalui persamaan sebagai berikut:
(27)
dimana:
= Kandungan air dalam minyak
= Masuknya air ke dalam minyak
= Keluarnya air dari minyak
Nilai dari masuknya air ke dalam minyak akan bertambah dengan
meningkatnya suhu and kecepatan angin. Nilai R1 dapat dihitung melalui
persamaan sebagai berikut:
(28)
dimana :
= Kecepatan angin
= Viskositas minyak
= Maksimum kandungan air dalam minyak
= Kandungan sebenarnya air di dalam minyak
16
K1
= Koefisien
R2
= Laju keluarnya air dari minyak
Nilai dari R2 akan meningkat dengan meningkat dengan meningkatnya
kandungan alphaltenes, wax (lilin) dan surfaktan minyak sehingga menyebabkan
miningkatnya viskositas minyak. Nilai dari R2 dihitung dengan persamaan sebagai
berikut:
(29)
dimana :
As
= Kandungan asphaltenes di dalam minyak (wt%)
= Kandungan lilin di dalam minyak (wt%)
K2
= Koefisien
dimana :
= 5 . 10-7 [kg/m3]
= 1.2 . 10-5 [kg(wt%)/s]
Nilai dari
dan
merupakan hasil dari percobaan yang dilakukan oleh
Haltenbanken (1982).
2.2.2.6 Tansport bahang
Tekanan uap dan viskositas sangat ditentukan oleh suhu. Suhu pada
tumpahan minyak lebih panas dari kondisi lingkungannya baik udara maupun
perairannya. Oleh karena itu sangat penting untuk memodelkan perubahan suhu
pada tumpahan minyak.
Transfer bahang antara udara dan minyak
Transfer bahang antara udara dan minyak dihitung dengan menggunakan
persamaan sebagai berikut:
(30)
dimana :
(31)
dan,
= Schimidt’s number
= Suhu minyak [Kelvin]
17
= Suhu udara [Kelvin]
= Densitas udara [kg/m3]
= Kapasitas panas udara [J/kg/°C]
Koefisien Prandtl’s untuk udara dihitung dengan persamaan sebagai berikut:
(32)
Jika tidak ada penguapan, maka kHoil-air dihitung dengan persamaan dari
Duffie dan Beckmann (1974), yaitu sebagai berikut:
(33)
Bahang dari radiasi yang diemisikan dan diterima antara minyak, udara
dan air
Tumpahan minyak akan menerima dan kehilangan bahang karena emisi
radiasi gelombang panjang matahari. Jumlah bahang yang hilang dan diterima
dihitung dengan dengan hukum dari Stefan-Boltzman’s. Nilai bersih bahang yang
diterima oleh tumpahan minyak dapat dihitung dengan persamaan sebagai berikut:
(34)
dimana:
= Boltzman constant (5.72 ⋅ 108 [W/(m2K)])
= Emisivitas udara
= Emisivitas air
= Emisivitas minyak
= Suhu udara
= Suhu air
= Suhu minyak
Bahang dari radiasi matahari
Radiasi matahari yang diterima tumpahan minyak dipengaruhi oleh
beberapa faktor anatara lain: lokasi dimana minyak tumpah, tanggal dan waktu,
tingkat tutupan awan
dan kandungan lapisan udara. Variasi radiasi matahari
dalam sehari diasumsikan dengan fungsi sinusoidal, yaitu sebagai berikut:
18
(35)
dimana:
Dalam satu hari dimulai dari matahari terbit sampai dengan tenggelam.
= waktu matahari terbit [detik] dimulai dari tengah malam.
= waktu matahari terbit [detik] dimulai dari tengah malam.
dapat dihitung dengan menambahkan lamanya waktu dalam sehari
( ), dengan persamaan sebagai berikut:
(36)
dapat dihitung dengan persamaan sebagai berikut:
(37)
dimana:
= Lintang
= Deklinasi bumi terhadap matahari
sebanding dengan,
(38)
adalah emisi matahari dari daratan, dihitung dengan persamaan yang
digunakan dari Duffie dan Beckmann (1974), yaitu sebagai berikut:
(39)
dimana:
= Konstanta matahari (1.353 [W/m])
= hari dalam setahun
= sudut matahari.
dan,
Jika matahari tidak berawan, maka
, tetapi
akan meningkat
dengan meningkatnya tingkat perawanan. Jika a adalah albedo maka nilai bersih
radiasi dari matahari adalah sebagai berikut:
(40)
19
Bahang yang hilang dari proses penguapan
Penurunan suhu karena penguapan mengakibatkan hilangnya bahang
dihitung dengan persamaan sebagai berikut:
(41)
dengan:
= Bahang dari penguapan pada fraksi minyak ke-I [J/mol]
Sehingga keseimbangan bahang dinamis dari tumpahan minyak diberikan
sebagai berikut:
(42)
dimana:
= Laju butiran air yang masuk [m3/s]
= Laju butiran minyak yang masuk ke kolom air [m3/s]
= Kapasitas bahang minyak [J/kg °C]
= Kapasitas bahang air [J/kg °C]
Transfer bahang antara minyak dan air
Transfer bahang antara minyak dan air, dihitung dengan persamaan sebagai
berikut:
(43)
dimana kHoil-water koefisien transfer bahang dari Bird et al (1960) dihitung
dengan persamaan sebagai berikut:
(44)
Konstanta Prandtl’s dari air dihitung dengan persamaan yang dikemukakan
oleh Duffie dan Beckmann (1974), yaitu sebagai berikut:
(45)
20
adalah koefisien Reynolds untuk menghitung koefisien transfer bahang
antara minyak dan air, dihitung dengan persamaan sebagai berikut:
(46)
dimana
adalah viskositas kinematik dari minyak.
2.2.2.7 Viskositas
Viskositas minyak akan meningkat selama proses pelapukan minyak,
terutama diakibatkan oleh proses emulsifikasi dan penguapan. Selain itu,
viskositas sangat ditentukan oleh suhu tumpahan minyak. Perhitungan viskositas
minyak dilakukan melalui tiga tahap yaitu pertama, viskositas tanpa adanya
butiran air dalam minyak pada suhu referensi Tref = 100°F, dengan persamaan dari
Kendall-Monroe yaitu sebagai berikut:
(47)
dimana:
= Fraksi model dari fraksi ke-i
Kedua, perhitungan viskositas
minyak pada suhu
aktual
dengan
menggunakan persamaan dari CONCAWE (1983), yaitu sebagai berikut:
(48)
dengan:
T
= Suhu [K]
v
= Viskositas kinematik pada suhu T (Cs)
B
= 3.98
Ketiga, perhitungan viskositas minyak pada suhu aktual dan kandungan air
dengan menggunakan persamaan dari Hossain dan Mackay (1980), yaitu sebagai
berikut:
(49)
Penguapan juga akan menyebabkan peningkatan viskositas dan dapat
dihitung dengan menggunakan persamaan sebagai berikut:
(50)
dimana:
21
= dimensi kandungan didalam minyak [wt%]
= Fraksi minyak yang terevaporasi
Kombinasi pengaruh dari emulsifikasi dan penguapan dapat dihitung
dengan persamaan sebagai berikut:
(51)
2.2.2.8 Tegangan permukaan
Tegangan permukaan dihitung dengan persamaan sebagai berikut:
(52)
2.2.2.9 Kapasitas bahang
Kapasitas bahang di air, udara dan minyak diberikan dengan persamaan
sebagai berikut:
(53)
(54)
dan,
(55)
Suhu dihitung dengan satuan Kelvin.
2.2.2.10 Titik tuang
Titik tuang minyak dimana minyak tidak mengandung butiran air dihitung
dengan persamaan dari CMFMWOS (1985), yaitu sebagai berikut:
(56)
Nilai titik tuang akan meningkat dengan bertambahnya kandungan air dalam
minyak dari proses emulsifikasi dan dihitung dengan menggunakan persamaan
sebagai berikut:
(57)
2.3
Karakteristik Minyak
Minyak bumi adalah suatu campuran kompleks yang sebagian besar
komponen mengandung karbon dan hidrogen serta nitrogen, sulfat dan oksigen
dalam jumlah kecil (Seager & Stocker 1976). Banyak perbedaan jenis minyak
22
yang terbentuk dari ratusan komposisi utama dan ribuan komposisi kimia lainnya.
Adanya keberagaman mengakibatkan setiap produk minyak mempunyai
karakteristik unik yang berbeda satu dengan lainnya. Karakteristik minyak akan
menentukan nasib minyak pada saat tumpah dan dampak terhadap organisme
yang berada di lingkungannya. Karakteristik minyak juga menentukan tingkat
efisiensi pembersihan minyak saat tumpah di laut. Disamping itu karakteristik
minyak sangat penting untuk mengembangkan model pergerakan tumpahan
minyak. Karakteristik minyak mentah beserta dengan turunan produknya dan
komposisi kimia dan karakteristik fisika dari masing-masing jenis minyak adalah
sebagai berikut:
2.3.1 Komposisi Minyak
Minyak mentah terdiri dari campuran rantai ikatan hidrokarbon mulai dari
rantai terkecil dengan ikatan yang lemah sampai dengan rantai yang besar dengan
ikatan yang kuat. Komposisi campuran dari rantai hidrokarbon tersebut terbentuk
dan tergantung dari formasi geologi dilokasi penemuan ladang minyak dan sangat
berperan dalam pembentukan karakteristik minyak (Fingas 2000). Komposisi
minyak dari berbagai jenis produk minyak dapat dilihat pada Tabel 1.
Tabel 1 Komposisi kandungan hidrokarbon dari berbagai jenis produk minyak
(dalam%).
No
Kelompok
1
Saturates
Kelas
Ikatan
Alkanes
Cycloalkanes
Gasoline
Diesel
50-60
65-95
45-55
35-45
5
30-50
Waxes
0-1
Light
Heavy
Crude
Crude
55-90
25-80
25-35
20-30
0-20
0-10
2-10
5-15
IFO
Bunker
C
2
Olefins
5-10
0-10
3
Aromatics
25-45
5-25
10-35
15-40
0.05-1.0
15-25
0.5-2.0
0.1-2.5
0.01-2.0
40-60
0-5
5-35
15-40
15-25
0-2
1-15
5-40
0-2
0-10
2-25
10-15
10-20
0-10
0-20
5-10
5-20
BTEX
PAHs
4
Polar
Compounds
Resins
Asphalte
40-50
30-50
0.001.0
30-50
10-30
23
No
Kelompok
Kelas
Ikatan
Gasoline
Diesel
Light
Heavy
Crude
Crude
30-250
100-500
0-2
0-5
IFO
Bunker
C
nes
5
Metals
6
Sulphur
0.02
0.1-0.5
100-
100-
1000
2000
0.5-2.0
2-4
Sumber: Fingas (2000)
Komponen-komponen dari minyak bumi itu disebut juga dengan istilah
fraksi-fraksi minyak bumi yang dapat dipisahkan satu dengan yang lain melalui
proses penyulingan atau destilasi secara bertingkat berdasarkan perbedaan titik
didih masing-masing komponennya (Gambar 2).
Beberapa nama dari jenis minyak menurut (Fingas 2000) yang digunakan
dari hasil produk perminyakan adalah sebagai berikut:
1. Bensin (gasoline), digunakan untuk bahan bakar mobil-mobil kecil.
2. Diesel (diesel fuel), digunakan untuk bahan bakar kendaraan besar seperti
truk, kereta dan bis.
3. Minyak mentah ringan(Light crude oil), banyak dihasilkan dari ladang
minyak di sebelah barat Kanada dan Louisiana.
4. Minyak mentah berat (Heavy crude oil), banyak dihasilkan dari negaranegara Arab dan California.
5. Minyak bakar intermediat(Intermediate fuel oil), campuran dari residu
minyak berat dan diesel biasa digunakan untuk bahan bakar kapal.
6. Bunker C(Bunker fuel), residu berat bahan bakar dari sisa produksi bensin
dan diesel, sering juga disebut minyak bakar.
7. Emulsi minyak mentah (Crude oil emulsion), emulsi air dalam minyak
pada minyak mentah fase medium.
24
Gambar 2 Fraksi destilasi minyak mentah (Seager & Stocker 1976)
2.3.2 Karakteristik Minyak
Karakteristik minyak meliputi viskositas, densitas, spesifik gravitasi,
kelarutan, titik bakar, titik tuang, fraksi destilasi, tegangan permukaan dan tekanan
uap. Emulsi minyak mentah memiliki nilai viskositas yang paling tinggi (Tabel 2)
menunjukkan bahwa jenis ini mempunyai kecepatan alir yang lebih lambat jika
dibandingankan dengan jenis bensin. Kekentalan berpengaruh secara langsung
terhadap kecepatan menyebar tumpahan minyak yang mengalami tumpahan di
perairan. Densitas sangat penting digunakan karena akan memberikan indikasi
apakah minyak akan terapung dipermukaan air atau tenggelam ke dalam air jika
mengalami tumpahan. Karena densitas air sebesar 1.0 gr/cm3 pada suhu 15°C dan
kebanyakan minyak memiliki kisaran densitas sebesar 0.7-0.99 g/cm3 maka
minyak akan terapung di permukaan air (Fingas 2000).
Tabel 2 Karakteristik dari berbagai jenis produk minyak
Diesel
Ligth
Crude
Heavy
Intermediate Fuel
Oil
Property
Units
Gasoline
Viscosity
mPa.s at
15°C
0.5
2
5-50
50 s/d
50,000
Density
g/ml at
0.72
0.84
0.78 s/d
0.88 s/d
Crude Oil
Emulsion
1,000 s/d
15,000
Bunker
C
10,000
s/d
50,000
0.94 s/d
0.96 s/d
0.95 s/d
20,000 s/d
100,000
25
15°C
0.88
1.00
0.99
1.04
1.0
-30 s/d
30
-30 s/d
60
80 s/d 100
>100
>80
10 s/d 50
5 s/d 30
10 s/d 30
1 s/d 5
-
-40 s/d
30
40 s/d
30
10 s/d
30
15 s/d
30
-10 s/d 10
5 s/d 20
>50
10 s/d 20
10 s/d 50
25 s/d 30
5 s/d 15
25 s/d
35
-
Flash Point
Solubility in
Water
°C
-35
45
ppm
200
Pour Point
°C
-
40
-35
s/d 1
65
35
27
27
100°C
70
1
2 s/d 15
1 s/d 10
-
-
200°C
100
30
15 s/d 40
2 s/d 5
2 s/d 5
300°C
85
30 s/d 60
15 s/d 25
400°C
100
45 s/d 85
2 s/d 25
15 s/d
45
25 s/d
75
25 s/d
75
5 s/d 15
15 s/d
25
75 s/d
85
API Gravity
Interfacial
Tension
Distillation
Fractions
m/N/m
at °C
%
distilled
at
residual
15 s/d 55
30 s/d 40
60 s/d 70
-
Sumber: Fingas 2000
Kelarutan minyak dalam air dihitung dari seberapa banyak minyak yang
terlarut di dalam kolom air pada skala molekuler. Tingkat kelarutan minyak dalam
air sangat penting dalam fraksi terlarut dari minyak berupa sifat toxic terhadap
organisme di suatu perairan terutama dalam konsentrasi yang besar. Titik tuang
adalah suhu minyak dapat bertahan pada saat tumpah dari kapal. Titik tuang
menggambarkan suhu dimana minyak apabila dituangkan dengan sangat perlahan
dapat bertahan digunakan sebagai indikator kestabilan dari minyak.
Tekanan uap minyak adalah tekanan yang diukur pada bagian dari partisi
minyak antara fase cairan dan gas atau seberapa banyak uap minyak di dalam
suatu ruang yang dapat diberikan pada suhu tetap. Tekanan uap minyak sangat
beragam karena minyak terdiri dari campuran berbagai komposisi dan berubah
dengan cepat karena faktor cuaca. Tekanan uap minyak sulit sekali untuk diukur
dan jarang sekali digunakan sebagai parameter untuk mengkaji tumpahan minyak.
2.4
Proses-proses Fisik dan Kimia Minyak di Laut
Pada saat minyak tumpah baik di lingkungan perairan atau daratan, terdapat
beberapa proses transformasi minyak yang terjadi dan disebut pula sebagai
perilaku dari minyak. Gerakan dan nasib dari tumpahan minyak di laut
26
dipengaruhi oleh proses fisika, kimia dan biologi bergantung pada sifat minyak,
kondisi hidrodinamika, meteorologi dan lingkungan (Egberongbe et al. 2006)
Terdapat dua proses utama yaitu proses pelapukan minyak yang merupakan
suatu urutan proses fisik dan kimia karakteristik minyak yang akan berubah ketika
minyak tumpah dan kedua adalah kelompok proses yang berkaitan dengan
pergerakan minyak di suatu lingkungannya. Proses pelapukan dan pergerakan
minyak merupakan proses yang terjadi saling tumpang tindih bersamaan. Proses
pelapukan sangat mempengaruhi bagaimana minyak bergerak di suatu lingkungan
dan sebaliknya. Proses-proses ini sangat tergantung jenis minyak yang tumpah
dan kondisi cuaca sesaat dan setelah minyak tumpah.
2.4.1 Penyebarang
Sumber: ITOPF. 2007 (tebal dari tiap band mengindikasikan berapa besar peranan dari tiap proses)
Gambar 3 Perubahan tumpahan minyak mentah oleh proses pelapukan terhadap
waktu.
Penyebaran tumpahan minyak di atas permukaan air dalam arah horizontal
dipengaruhi oleh gravitasi, kelembaman, kekentalan dan gaya tegangan
permukaan (Njobuenwu 2008). Pada Gambar 3 warna biru menyajikan bahwa
penyebaran adalah proses yang paling signifikan selama proses awal terjadinya
tumpahan minyak di air yang meningkatkan luas daerah permukaan yang
tergenang, dengan demikian meningkatkan transfer massa melalui penguapan dan
proses dissolusi. Kecenderungan dari tumpahan minyak untuk menyebar
bergantung pada dua gaya fisika yang bekerja beriringan yaitu gaya gravitasi yang
27
menyebabkan minyak menyebar secara horizontal dan tegangan permukaan dari
air laut. Gravitasi dan tegangan permukaan mempercepat proses penyebaran
sedangkan kekentalan dan kelembaman memperlambat proses penyebaran.
2.4.2
Penguapan
Gambar 3 (warna kuning) menyajikan bahwa penguapan dominan
mempengaruhi perubahan sejak awal tumpahan minyak dan efektif berlangsung
dalam waktu satu minggu. Minyak mentah ringan dapat mengalami penguapan
hingga 75%, minyak mentah tengah mengalami penguapan hingga 40%
sedangkan minyak mentah berat dapat mengalami pengupan hingga 10% beberapa
hari setelah terjadinya tumpahan minyak (Fingas 1994). Menurut Fingas 1994
menyatakan bahwa tingkat penguapan minyak meningkat dengan meningkatnya
kecepatan angin sampai pada waktu tertentu
dengan membentuk fungsi
eksponensial (Gambar 4)
Gambar 4 Presentasi penguapan air dan minyak dalam berbagai variasi kecepatan
angin (Fingas 1994).
28
Gambar 5 Konsentrasi penguapan dari hidrokarbon aromatik di dalam air (Payne
et al. 1983)
Hasil eksperimen yang dilakukan oleh Payne et al. (1983) pada Gambar 4
memperlihatkan bahwa penguapan fraksi minyak dalam air laut di dominasi oleh
fraksi benzene dan toluene dengan puncak konsentrasi yang mengalami
penguapan pada jam ke 4 dengan konsentrasi mencapai 700
g/l kemudian
menurun dan mencapai kurang dari 100 g/L setelah 40 jam di air laut.
Meskipun pengaruh penguapan sangat penting namun sangat tidak
signifikan dalam mengubah sifat fisik dan kimia dari tumpahan minyak.
Penguapan pada minyak di dasarkan pada penguapan air walaupun terdapat
perbedaan mendasar antara air dengan minyak dimana penguapan pada air bersifat
linier terhadap waktu sedangkan minyak bersifat eksponensial.
2.4.3 Entrainment (Natural Dispersion)
Dispersi alamiah minyak mentah dan produk olahan setelah mengalami
tumpahan di laut adalah proses pembentukan partikel kecil yang bergabung dalam
kolom air. Selain penguapan, tingkat dispersi alamiah juga menetukan keberadaan
lapisan minyak dipermukaan laut. Dalam prakteknya, dispersi alamiah secara
signifikan menghilangkan bagian utama dari tumpahan minyak di permukaan laut
(Sebastiao & Guedes 1995). Studi menunjukkan bahwa dispersi alami adalah hasil
dari tiga proses yaitu, proses awal globulation yang merupakan pembentukan
tetesan minyak dari lapisan minyak karena pengaruh gelombang pecah, proses
29
dispersi yang merupakan transportasi dari tetesan minyak ke kolom air sebagai
hasil energi kinetik pada tetesan minyak yang disebabkan oleh gelombang pecah
dan gaya yang meningkat, dan proses peleburan lapisan minyak dengan lapisan air
(CONCAWE 1983).
Parameter lain yang penting mempengaruhi proses dispersi adalah tegangan
antar muka air dengan minyak yang hanya mempengaruhi globulation dan
peleburan, bukan transpor dari tetesan minyak ke dalam lapisan air. Berat jenis
dan kekentalan juga mempengaruhi proses dispersi tumpahan minyak yang
semakin tinggi tingkat kekentalan maka semakin kecil kemampuan dari minyak
untuk membentuk tetesan minyak.
Minyak mentah fraksi ringan dan diesel dapat terdispersi secara signifikan
jika kandungan saturasinya besar dan kandungan aspaltin dan resin rendah serta
terdapat aksi gaya gelombang yang cukup besar. Butiran minyak yang terdispersi
ini akan berasosiasi dengan sedimen dan bersama-sama akan jatuh ke dasar
perairan.
2.4.4
Pelarutan
Tingkat kelarutan minyak dalam air tergantung pada komposisi, penyebaran,
suhu air laut, derajat dispersi dan turbulensi. Komponen minyak mentah berat
pada dasarnya tidak larut dalam air sedangkan minyak mentah ringan terutama
hidrokarbon aromatik seperti bensena dan toluen sedikit larut. Namun, senyawa
ini juga yang paling stabil dan sangat cepat hilang oleh penguapan, biasanya 10
sampai 1.000 kali lebih cepat dibandingkan dengan kelarutan (ITOPF 2007).
Beberapa hidrokarbon larut dalam air umumnya senyawa molekul ringan
yang bersifat beracun. Persentase kelarutan hidrokarbon kecil, kurang lebih 1%
dari volume tumpahan minyak. Hal ini menyebabkan cepat terencerkan dan
terdegradasi. Tumpahan minyak mengalami perubahan oleh gelombang menjadi
butiran minyak dengan diameter 0.01-1 mm dan bertahan dalam kolom air sampai
mengalami degradasi oleh bakteri (Kingston 2002). Konsentrasi hidrokarbon yang
terlarut dalam air laut jarang melebihi 1 ppm, dan kelarutan tidak memberikan
kontribusi signifikan terhadap minyak dari permukaan laut
30
2.4.5 Emulsifikasi
Emulsifikasi adalah proses dimana air bercampur dengan minyak. Proses
ini meningkatkan volume campuran minyak dengan air sehingga viskositas
tumpahan minyak meningkat karena minyak dengan viskositas rendah bercampur
dengan air dengan viskositas yang lebih tinggi. Pembentukan emulsi air-dalamminyak tergantung pada komposisi minyak dan keadaan laut ( Egberongbe et al.
2006)
Emulsifikasi minyak mentah dan produk turunannya terjadi oleh dispersi
tetesan air kedalam medium minyak. Potensi emulsifikasi dan stabilitas emulsi
minyak ditentukan oleh persentase surfaktan alami dalam tumpahan minyak.
Meskipun minyak ringan seperi bensin dan minyak tanah dapat membentuk
emulsi tapi tidak stabil dan akan tetap pada kondisi tenang. Kemampuan minyak
mentah untuk teremulsi terkait dengan tingkat aspaltik dalam minyak dan
stabilitas emulsi terkait dengan Kristal lilin. Minyak mentah dengan kandungan
aspaltik yang relatif rendah akan lebih kecil kemungkinan untuk membentuk
emulsi stabil dan emulsi satbil ini terkait dengan Kristal lilin yang tinggi atau titik
tuang yang tinggi (Sebastiao & Guedes 1995).
Pembentukan emulsi menyebabkan tumpahan minyak mengalami pelapukan
jauh lebih lambat, minyak lebih kental dan lengket. Volume dari minyak
meningkat karena emulsi dapat mencapai 70 persen air. Emulsifikasi hampir
tidak terjadi selama terjadinya tumpahan minyak pada bensin, minyak tanah dan
diesel kecuali pada kondisi yang sangat dingin (Michel 2002)
2.4.6 Sedimentasi
Proses sedimentasi terjadi ketika berat jenis minyak meningkat melebihi air
laut. Beberapa proses yang menyebabkan sedimentasi adalah: pelapukan
(evaporasi, pelarutan dan emulsifikasi), pemangsaan oleh zooplankton, adhesi
atau penyerapan ke partikel, atau interaksi dengan garis pantai. Minyak juga dapat
tersedimentasi oleh organisme plankton yang memakan partikel minyak dan
tenggelam kedasar laut sebagai fases. Sedimentasi biasanya tidak penting untuk
perhitungan neraca massa kecuali konsentrasi padatan tersuspensi cukup tinggi (>
100mg/l) (Egberongbe et al. 2006; ITOPF 2007).
Beberapa jenis tumpahan
minyak dapat mengalami sedimentasi sampai 10-30%. Hal ini terutama terjadi di
31
daerah pantai sempit dan perairan dangkal dengan intensitas percampuran yang
tinggi sedangkan daerah-daerah yang lebih jauh dari pantai proses sedimentasi
berjalan sangat lambat (Patin 1999). Tabel 3 menunjukkan bahwa fraksi minyak
yang banyak mengalami sedimentasi adalah C2-flarine sedangkan bensena
merupakan fraksi yang sedikit mengalami sediementasi dengan konsentrasi di
sedimen 0.035 ppm sedangkan fraksi toluen, sikloheksana dan silena tidak
mengalami sedimentasi
Tabel 3 Fraksi tersedimentasi tumpahan minyak
Subtansi
Hasil
Satuan
Benzene
35
ug/Kg
C3-Chrysenes
1800
ug/Kg
C2-Fluorenes
4900
ug/Kg
130
ug/Kg
Fluoranthene
1050
ug/kg
Diesel range organics
2890
ug/Kg
Oil Range Organics
2310
ug/Kg
273
mg/kg
C2-Naphthalenes
Total Organic Carbon
sumber: dimodifikasi dari (EPA 2010)
2.4.7
Biodegradasi
Air laut mengandung berbagai mikro-organisme laut yang mampu
menguraikan senyawa minyak. Mereka adalah bakteri, jamur, ragi, alga uniseluler
dan protozoa yang dapat menggunakan minyak sebagai sumber karbon dan energi.
organisme tersebut didistribusikan secara luas di seluruh lautan di dunia walaupun
mereka cenderung lebih berlimpah di perairan pesisir yang tercemar, seperti yang
di alur lalu lintas kapal atau buangan limbah industri yang tidak diolah. Faktor
utama yang mempengaruhi laju dan tingkat biodegradasi adalah karakteristik
minyak, ketersediaan oksigen, nutrisi (terutama senyawa nitrogen dan fosfor) dan
suhu (ITOPF 2007).
Setiap jenis mikroorganisme yang terlibat dalam proses cenderung
menguraikan suatu hidrokarbon jenis tertentu dengan berbagai mikroorganisme,
bertindak bersama-sama agar degradasi terjadi. Sebagai hasil degradasi, sebuah
komunitas mikroorganisme kompleks berkembang. Meskipun mikroorganisme
yang diperlukan hadir dalam jumlah yang relatif kecil di laut lepas, mereka
32
berkembang biak dan cepat ketika minyak tersedia dan degradasi akan terus
terjadi sampai proses ini dibatasi oleh nutrian dan oksigen yang berkurang.
Sementara mikroorganisme mampu menurunkan sebagian besar senyawa dalam
minyak mentah, beberapa molekul besar dan kompleks resisten terhadap
penguraian. Karena mikroorganisme hidup di air, yang mana oksigen dan nutrisi
penting, biodegradasi hanya dapat terjadi pada lapisan antar muka minyak dengan
air. Di laut, pembentukan butiran minyak, baik melalui dispersi alami atau kimia,
meningkatkan luas antarmuka air dengan minyak yang dibutuhkan untuk aktivitas
biologis dalam meningkatkan degradasi (Varadaraj et al. 1988). Jumlah minyak
yang dapat biodegradasi berkisar 11% sampai 90%. variabilitas ini karena variasi
organisme untuk lokasi yang berbeda, dan variasi dalam komponen minyak (Patin
1999).
33
3. METODE PENELITIAN
3.1
Waktu dan Lokasi
Penelitian ini berlangsung dari bulan Januari 2009 hingga Pebruari 2011
dengan perincian waktu disajikan pada Tabel 4.
Tabel 4 Matriks waktu penelitian
Uraian kegiatan
Bulan pelaksanaan
Studi Pustaka
Januari 2009
Penyusunan proposal
Maret-April 2009
Pengumpulan data
Maret-Juni 2009
Perancangan model
Mei- September 2009
Eksekusi model
september 2009-Juni 2010
Validasi model
Juni-November 2010
Penulisan hasil penelitian
Desember 2010-Januari 2011
Presentase akhir
Pebruari 2011
Model skenario tumpahan minyak disimulasikan untuk satu priode musim
pada tahun 2008 yang terdiri atas musim barat yang diwakili oleh Bulan Januari
dan musim timur yang diwakili oleh Bulan Juli.
Lokasi kegiatan penilitian ini berada di Perairan Kepulauan Seribu dengan 3
batas terbuka yaitu lintang 5°40'12"LS di sebelah utara di sebelah timur dibatas
oleh bujur 106.40'BT di sebelah barat berbatasan dengan garis bujur 106.21'48"
BT dan batas tertutup Pantai Utara Jawa yang rentang terhadap kejadian tumpahan
minyak seperti disajikan pada Gambar 6.
Penelitian ini dilakukan dengan membuat hidrodinamika pada jalur
pelayaran di Kepulaun Seribu kemudian divalidasi dengan data hasil pengukuran
yang selanjutnya digunakan sebagai pembangkit pergerakan tumpahan minyak
yang diskenariokan terjadi pada jalur pelayaran di Kepulauan seribu. Skenario
tumpahan yang terjadi disebabkan oleh tiga hal yaitu tumpahan oleh tabrakan
kapal tanker, tumpahan minyak oleh kapal yang kandas di perairan dangkal dan
tumpahan kinyak oleh kebocoran pipa distribusi bahan bakar minyak.
34
10 6 °2 5 '
10 6 °3 0 '
KE P UL A UA N S E R IB U
10 6 °3 5 '
P . K o to k B e s a r
P . K a r ya
P . P r a m u ka
P. P ang gang
5 ° 45'
5° 45'
P. K arang beras
P . T i d u n g B e sa r
P . S e k a ti
P. A ir
P . T i d u n g K e ci l
P. P ay ung Bes ar
5 ° 50'
5° 50'
P. T e ngah
P . T i ku s
P. P ari
P. B urung
5° 55'
5° 5 5'
P. L anc ang Bes ar
P . L anc ang K ec il
P. L ak i
6° 00'
6° 0 0'
BAN TE N
10 6 °2 5 '
10 6 °3 0 '
10 6 °3 5 '
P eta Lok as i P ene litian
105°
107°
109°
111°
113°
K e te ra n g a n :
5°
E
BAN TEN
DKI JA KAR TA
9°
0
5
P . JA W A
9°
5
7°
S
LA U T J A W A
LA MPU NG
7°
W
G ar is pa n ta i
D a ra t
P e r ai ra n D a n g k a l
5°
N
S A M U D E R A H IN D IA
KM
105°
107°
109°
Gambar 6 Lokasi penelitian daerah Perairan Kepulauan Seribu
111°
113°
35
3.2
Data
Data yang digunakan dalam pemodelan tumpahan minyak terdiri atas:
1. Data kedalaman perairan (Batimetri) yang berfungsi sebagai domain
model bersumber dari peta Dinas Hidro-Oseanografi TNI-AL.
2. Data arah dan kecepatan angin yang dikonversi dari data kecepatan zonal
dan kecepetan meredional berfungsi sebagai pembangkit musiman. Data
angin terdiri atas angin pada bulan Januari 2008 dan Juli 2008 dengan
interval data setiap 6 jam. Data Angin diperoleh dengan mengunduh dari
IFREMER (French Research Institute for Exploration of the Sea)
3. Data Pasang-Surut (pasut) digunakan dari Global Sea Level Prediction
(www.dhigroup.com) dan divalidasi dengan data pasut dari dishidros
dengan periode waktu yang sama. Parameter pasut digunakan sebagai
kondisi batas yang bervarisai berdasarkan waktu dan tempat.
4. Data jalur pelayaran Kepulauan Seribu dari Sea Map digunakan untuk
menentukan daerah rawan tumpahan oleh pengankutan bahan bakar
minyak.
5. Data jenis kapal tanker dan kapasitas tanker angkutan yang melewati
daerah perairan Kepulauan Seribu bersumber dari Administrator
Pelabuhan Tanjung Priok.
6. Data arus laut mooring di Perairan Teluk Jakarta dari Kementrian
Kelautan dan Perikanan direkam dengan menggunakan alat RCM7/8
AANDERAA.
7. Data Komponen fraksi tiap jenis minyak digunakan untuk menentukan
prilaku dan nasib minyak yang mengalami tumpahan berdasarkan jenisnya
diperoleh dari (Start Energy 2004)
36
3.3
Desain hidrodinamika
Desain hidrodinamika untuk membangun pola pergerakan arus sebagai
media pengerak tumpahan minyak di Perairan Kepulauan Seribu. Gambar 7
menyajikan bagan alir desain hdrodinamika.
Batimetri
(Dishidros AL)
Angin
(Ifremer)
Pasang Surut
(DHI Group)
Batymetri
(format xyz)
Angin
(arah,kecepatan)
Tenggang Pasut
Viskositas Eddy
MIKE 21
(Flow Model)
Manning
number
Hidrodinamik
Model oil spill
Gambar 7 Diagram alir desain hidrodinamika
3.3.1 Membangun Batimetri
Membangun domain model skenario dengan mengubah peta manual ke
bentuk digital yang di simpan dalam format (*.xyz). Data format xyz digunakan
sebagai data input pada modul bathymetries (*.batsf) yang tersedia pada Mike
Zero. Menetukan batas model kemudian menginterpolasi titik batimetri untuk
mengisi ruang kosong pada grid dengan metode Triangular Interpolation dengan
persamaan:
37
(58)
(59)
(60)
(61)
Manyimpan file batimetri dalam format (*.dfs2)
yang akan digunakan
dalam modul Flow Model untuk membangun Hidrodinamika. Peta batimetri
Kepulauan Seribu (Gambar 8) dengan kedalaman perairan antara 0-87 m.
Gambar 8 Peta batimetri Perairan Kepulauan Seribu
38
3.3.2 Data Input
3.3.2.1 Periode simulasi
Model disimulasikan dalam 2 musim yaitu: musim timur dan musim barat
dengan musim barat diwakili oleh Bulan Januari 2008 dan musim timur diwakili
oleh Bulan Juli 2008 dengan masa simulasi masing-masing 10 hari.
3.3.2.2 Batas model
Model dibatasi dengan 3 batas terbuka yaitu lintang 5°40'12"LS(b) di
sebelah utara di sebelah timur dibatasi oleh bujur 106.40'BT(c) di sebelah barat
berbatasan dengan garis bujur 106.21'48" BT(a) dan batas tertutup Pantai Utara
Jawa.
3.3.2.3 Flood and ry
Komponen ini untuk membatasi perhitungan model batas atas dan bawah
dari mean sea level yang diproses oleh model dengan nilai draying depth 0.2 dan
flooding depth 0.3.
3.3.2.4 Data angin
Angin dari ifremer dalam bentuk kecepatan meredional dan kecepatan zonal
dikonversi kedalam kecepatan dan arah dengan persamaan:
(62)
(63)
Dengan
adalah kecepatan resultan,
adalah arah , u adalah kecepatan
zonal dan v adalah kecepatan meredional. Data angin input model hidrodinamika
seperti pada Gambar 9.
39
Gambar 9 Arah dan kecepatan angin pada musim barat (a) dan musim timur (b).
3.3.2.5 Data pasang surut
Konstanta pasut
diperoleh dari Global Sea Level Prediction yang
dikonversi kedalam tenggang pasut dengan tenggang pasut untuk musim barat dan
musim timur yang bervariasi di sepanjang garis batas terbuka.
3.3.2.6 Viskositas eddy
Viskositas eddy digunakan untuk alih momentum dari molekul fluida yang
bergerak dengan kecepatan berbeda dan menghasilkan gerakan turbulen.
3.3.2.7 Manning number
Manning number yang digunakan untuk menggambarkan hambatan dasar
perairan dengan menggunakan persamaan 15. Manning number yang digunakan
bervariasi berdasarkan batimetri Perairan Kepulauan Seribu.
Data input dan batimetri dibangun dalam modul model alir untuk
memperoleh model hidrodinamika dengan output berupa tinggi level muka air
(m), flux P(m3/s) dan flux Q(m3/s)
3.4
Desain Tumpahan
Desain tumpahan dilakukan untuk membangun data input model tumpahan
minyak yang terbagi dalam dua komponen yaitu parameter dasar dan parameter
tumpahan minyak secara detail disajikan pada Gambar 10.
40
3.4.1 Parameter Dasar
Parameter dasar dalam desain tumpahan minyak terdiri atas: data
hidrodinamika, sumber tumpahan yang memuat volume dan debit tumpahan,
persebaran, eddy dan profil kecepatan logaritmik, sifat air laut, kondisi angin,
perubahan konsentrasi fraksi dan waktu eksposisi.
3.4.1.1 Hidrodinamika
Pola pergerakan arus yang berperan sebagai media penyebarluasan
tumpahan minyak yang digunakan dalam parameter dasar adalah hasil luaran
desain hidrodinamika yang terdiri atas pola arus musim barat dan musim timur.
Gambar 10 Diagram alir desain tumpahan minyak
3.4.1.2 Penyebaran
Fraksi minyak yang terdispersi di dalam kolom air perwaktu dihitung
sebagai fraksi yang hilang di permukaan laut, pada kondisi tidak ada gelombang
pecah dan dihitung menggunakan persamaan 21, 22, 23 dan 24.
41
Koefisien dispersi yang digunakan proporsional terhadap arus dengan nilai
arah longitudinal dan transversal masing-masing 1 dan 0.1 sedangkan dalam arah
vertikal dianggap kecil karena dispersi minyak lebih disebabkan oleh arah
longitudinal dan transversal dibandingkan arah vertikal
3.4.1.3 Sumber tumpahan
Sumber tumpahan ini memuat lokasi tumpahan dan volume tumpahan pada
titik-titik rawan tumpahan minyak seperti di alur pelayaran Kepulauan Seribu.
Potensi tumpahan (Tabel 5) disesuaikan dengan volume jenis kapal tanker yang
berlayar pada waktu model diskenariokan dengan asumsi untuk kapal tanker
memuat jenis minyak yang berbeda.
Tabel 5 Petensi, lokasi, volume, debit dan lama tumpahan minyak
Lama
Potensi
Musim
Barat
Timur
Volume
Debit
Tumpahan
Tumpahan
Bujur (BT)
Lintang (LS)
(m^3)
(m^3/s)
(menit)
kapal bocor
106º34.8672’
5 º 50.4868
15,451.24
0.15
1,716.80
Kandas
106 º 34.6750’
5 º 46.7160
13,343.41
0.10
2,223.90
piva
106 º 40.9095’
06 º 00.5949
2,385.00
0.05
795.00
kapal bocor
106.34.8672’
5 º 50.4868
24,442.02
0.15
2,715.78
Kandas
106 º 34.6750’
5 º 46.7160
14,183.75
0.10
2,363.96
sumur
106 º 22.3425’
5 º 32.4214
25,920.00
0.10
4,320.00
Sumber: dimodifikasi dari ADPEL Tanjung Priok 2008
3.4.1.4 Eddy dan profil kecepatan logaritmik
Profil kecepatan logaritmik terkait dengan profil arus secara horizontal
yang dipengaruhi oleh gesekan terhadap permukaan dasar laut dengan nilai
konstan 0.1.
3.4.1.5
Sifat air laut
Parameter air laut yang digunakan adalah suhu dan salinitas air laut pada
daerah model dengan menggunakan data suhu yang diperoleh dari ECMWF
dengan profil seperti pada (Gambar 11) dengan salinitas dianggap konstan pada
35.5 psu
42
a
b
Gambar 11 Profil perubahan temperatur air laut pada musim barat (a) pada Bulan
Januari 2008 dan musim timur (b) pada Bulan Juli 2008
3.4.1.6 Kondisi angin
Parameter angin yang digunakan adalah terdiri atas komponen arah dan
kecepatan dengan menggunakan persamaan 62 da 63 seperti pada desain
hidrodinamika seperti yang terlihat pada Gambar 9.
3.4.1.7 Perubahan konsentrasi fraksi
Parameter ini digunakan untuk melihat laju perubahan konsentrasi fraksi
minyak dengan nilai 100 mm (Star Energy 2004)
3.4.2 Parameter Tumpahan Minyak
3.4.2.1 Sifat udara
Parameter udara meliputi suhu dan tingkat tutupan awan yang diambil dari
ECMWF. Dengan profil suhu udara disajikan Gambar 12 dan tutupan awan
disajikan pada Gambar 13.
43
Gambar 12 Profil temperatur udara pada musim barat (a) dan musim timur (b)
Gambar 13 Presentase tutupan awan musim barat(a) pada Bulan Januari 2008 dan
musim timur (b) pada Bulan Juli 2008
3.4.2.2 Transpor bahang
Transfer bahang antara udara dan minyak dihitung dengan menggunakan
persamaan 30. Nilai konstanta bahang yang digunakan dalam model ini disajikan
pada Tabel 6.
Tabel 6 Konstanta transfer bahang
Keseimbangan
emissivitas emissivitas emissivitas konstanta
bahang
Albedo minyak
air
udara
evaporasi
Konstanta
0.14
0.82
0.95
0.82
0.029
Sumber: Star Energy. 2004.
3.4.2.3 Emulsifikasi
Pendekatan yang dilakukan adalah melalui persamaan empiris dari prilaku
emulsifikasi pada kondisi alami.
44
Tabel 7 Konstanta emulsifikasi
Minyak
Konstanta Emulsifikasi
Bensin
Diesel
mentah
Aftur
Kandungan air maksimum(wt %)
0.8
0.8
0.8
0.8
Kandunmgan aspal (wt%)
1
1
1
1
Kandungan Wax (wt %)
2
2
5.7
2
konstanta (k1) air masuk
5.0E-07
5.0E-07
5.0E-07
5.0E-07
Kostanta (k2) air keluar
1.2E-04
1.2E-04
1.2E-04
1.2E-04
Sumber: Star Energy 2004.
Perhitungan perubahan kandungan air didalam minyak dapat dihitung
melalui persamaan 27. Tabel 7 menyajikan konsatanta emulsifikasi yang
digunakan dalam model tumpahan minyak.
3.4.2.4 Dissolusi
Dengan menggunakan asumsi bahwa konsentrasi sebenarnya hidrokarbon
terhadap kelarutannya, maka laju kelarutan minyak dihitung dengan menggunakan
persamaan 25. Nilai koefisien transfer massa dan tegangan antar permukaan
minyak dan air disajikan dalam Tabel 8.
Tabel 8 Koefisein transfer massa dan tegangan permukaan antara minyak dan air
Minyak
Koefisien dissolusi dan entrainment
bensin
Diesel
mentah
2.36E-
aftur
2.36E-
Koefisien transfer massa
06
2.36E-06
2.36E-06
06
Tegangan permukaan air dengan minyak
35.2
29.9
47.2
35.2
Sumber: Star Energy. 2004.
3.4.2.5 Karakteristik minyak
Karakteristik minyak dibagi dalam delapan fraksi minyak yang ditentukan
oleh karakteristik dari destilasi (titik didih) dan struktur kimia minyak (alkana atau
aromatik). Kedelapan fraksi minyak tersebut dapat dilihat pada Tabel 9.
45
Tabel 9 Karakteristik fisik dan kimia dari tiap fraksi minyak
vis
Titik
mmol
didih
[g/mole]
[
(Parafin)
69-230°C
128
C13-C25
230-
(Parafin)
405°C
(sikloparafin)
70-230°C
C13-C23
230-
(sikloparafin)
Jenis
100°F
]
[cs]
Tekanan uap [mm/Hg]
[
715
0.536
10(6.94-1417.61(t+202.17))
29.9
268
775
4.066
10(7.01-1825.05(t+149.76))
35.2
124
825
2
10(6.91-1441.79(t+204.7))
29.9
405°C
237
950
4
10(6.99-1893.78(t+151.82))
35.2
(Aromatik)
80-240°C
110.5
990
0.704
10(6.91-1407.34(t+208.48))
32.4
C12-C18
240-
(Aromatik)
400°C
181
1150
6.108
10(6.97-1801.00(t+162.77))
29.9
>400°C
600
1050
458
0
47.2
]
C6-C12
C6-C12
C6-C11
Residu
(heterosiklis)
Sumber: DHI Water & Environment. 2007
Komponen fraksi untuk tiap jenis minyak yang diskenariokan mengalami
tumpahan di perairan Kepulauan Seribu dirangkum dalam Tabel 10.
Tabel 10 Komponen fraksi tiap jenis minyak
Minyak
No
1
2
3
4
5
6
7
8
Sifat Minyak
C6-C12 (Parafin)
C13-C25 (Parafin)
C6-C12 (sikloparafin)
C13-C23 (sikloparafin)
C6-C11 (Aromatik)
C12-C18 (Aromatik)
C9-C25 (Naphtheon)
Residu
Reff Temp
Viscositas
Suhu minyak
Sumber: Star Energy. 2004.
Aftur(%)
mentah(%)
Diesel(%)
Bensin(%)
0
32.7
0
0
0
24.1
0
0
-20
8
25
5.1
3.78
0
16.2
1.8
0
4.1
73.12
40
4.05
25
14.7
0
34.2
0
9.1
0
42.4
0
20
6.94
25
30
0
50
0
20
0
0
0
0
0
25
Dari desain tumpahan minyak diperoleh konsentrasi minyak total,
emulsifikasi, penguapan, disolusi, dispersi vertikal, perubahan konsentrasi fraksi
dan waktu pemaparan.
46
halaman ini sengaja dikosongkan
47
4. HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1
Hasil Model Hidrodinamika
Hasil simulasi menggunakan modul analisis tumpahan minyak pada
program Mike 2007 (DHI 2007) menunjukkan bahwa model hidrodinamika
perairan Kepulauan Seribu bervariasi antara musim barat dengan musim timur.
Pola hidrodinamika yang diamati setiap musimnya mengacu pada pola pasang
surut perairan Kepulauan Seribu, yang meliputi: pasang tertinggi, surut terendah,
pasang menuju surut pada kondisi MSL (Mean Sea Level) dan surut menuju
pasang pada kondisi MSL. Kondisi pola pasang surut dalam hidrodinamika
digunakan untuk membandingkan pola arus pada setiap kodisi pasut yang
berpengaruh terhadap pola sebaran tumpahan minyak yang terjadi di Kepulauan
Seribu.
4.1.1
Musim Barat
Pola arus pada saat kondisi surut terendah (Gambar 14) memperlihatkan
bahwa tinggi muka air relatif sama dengan kisaran 0-6.8 cm sehingga tidak ada
perbedaan tinggi muka air yang signifikan yang terjadi pada daerah model.
Daerah intertidal memperlihatkan dengan jelas yang ditandai dengan warna
kuning sebagai daerah genangan yang mengalami kekeringan saat kodisi surut.
Kondisi angin pada musim barat terlihat pada windrose Gambar 14 dengan
10% dalam kondisi tenang. Angin dominan bergerak ke timur dengan kecepatan
bervariasi 12% dengan kecepatan 3.8-5.1 m/s, 22% dengan kecepatan 5.1-6.4 m/s,
10% dengan kecepatan 6.4-7.7 m/s serta sekitar 2 % dengan kecepatan diatas 7.7
m/s. Pola arus yang terbentuk pada kondisi surut dominan dipengaruhi oleh pola
kondisi pasang surut dengan perbedaan level muka air yang tidak signifikan,
pengaruh pola musiman tidak cukup berpengaruh dalam pembetukan pola arus di
Kepulauan Seribu.
48
Gambar 14 Pola hidrodinamika pada kondisi surut
Pola arus permukaan pada kondisi surut (Gambar 14) memperlihatkan
bahwa pola arus bergerak dominan oleh pengaruh pola perambatan pasang surut
yang begerak ke arah timur laut meskipun pada saat itu angin bertiup ke arah
barat. Dari pola arus pada musim barat menunjukkan bahwa pola pergerakan arus
permukaan dipengaruhi dominan oleh perambatan pasang surut.
49
Gambar 15 Pola hidrodinamik pada kondisi MSL surut menuju pasang
Pada saat dalam kondisi MSL surut menuju pasang (Gambar 15), pasang
surut merambat dari timur ke barat dari bidang batas terbuka sehingga arus
merambat mengikuti perambatan pasut dengan kecepatan maksimun 0.5 m/s.
genangan air laut mulai naik ditandai dengan semakin menyempitnya daerah yang
berwarna kuning pada daerah sekitar pantai jika dibandingkan dengan kondisi
pada saat surut terendah.
50
Gambar 16 Pola hidrodinamik pada kondisi pasang
Pada saat kondisi pasang (Gambar 16) pola arus permukaan bergerak dari
timur ke barat yang bersesuaian dengan pola gerakan angin pada saat tersebut,
pasang surut merambat bergerak ke arah barat dengan pola arus yang dekat
dengan pantai utara daratan Pulau Jawa bergerak ke arah barat mengikuti
pergerakan pasang surut. Pada kondisi ini daerah intertidal terendam oleh air
pasang yang ditandai dengan daerah berwarna kuning yang tidak ditemukan pada
pesisir pantai.
51
Gambar 17 Pola hidrodinamik pada kondisi MSL pasang menuju surut
Pola arus pada kondisi MSL pasang menuju surut (Gambar 17) bervariasi
oleh pengaruh pasut dan angin serta keberadaan pulau-pulau kecil dimana
ditemukan pola arus yang lebih tinggi pada celah antara pulau, pasang surut
merambat dari timur ke barat. Indikasi bawha air mulai mengalami surut juga
terlihat pada daerah yang berwarna kuning didekat pantai yang menandakan
daerah intertidal mengalami kekeringan. Secara umum pada musim barat pola
52
arus bergerak ke barat di laut lepas sedangakan pada daerah dekat dengan garis
pantai kecepatan arus cenderung melemah.
4.1.2 Musim Timur
Hasil model hidrodinamika perairan Kepulauan Seribu pada Bulan Juli
2008 yang mewakili musim timur pada kodisi perairan dalam kondisi Surut
menuju pasang disajikan pada Gambar 18.
Gambar 18 Pola hidrodinamika pada saat kondisi msl surut menuju pasang
Pola arus permukaan bergerak ke arah barat daya pada bidang batas terbuka
di Kepulauan Seribu, pada daerah dekat dengan pulau-pulau di gugusan
Kepulauan Seribu arus relatif lebih tenang dengan kondisi pasut bergerak ke arah
barat daya. Pola arus bergerak mengikuti pola perambatan pasut sehingga terlihat
53
bahwa pengaruh musiman pada kondisi surut tidak signifikan mempengaruhi pola
gerakan arus yang berpengruh pada pola sebaran tumpahan minyak yang terjadi.
Gambar 19 Pola hidrodinamik pada kondisi pasang
Pola arus Kepulauan Seribu pada saat pasang memperlihatkan arus bergerak
ke arah barat mengikuti pola perambatan pasut sehingga menunjukkan bahwa
dominan membangkitkan arus adalah pasang surut dimana pada kondisi itu angin
bertiup ke arah timur (Gambar 19). Tinggi muka air perairan Kepulauan Seribu
berda pada kisaran 0.4-0.6 cm di atas permukaan laut rata-rata pada kondisi
pasang sehingga terlihat pada Gambar 19 bahwa air laut menggenangi seluruh
daerah intertidal. Pola angin pada Bulan Juli yang mewakili musim timur
memperlihatkan bahwa angin dominan bertiup ke barat dengan kecepatan
dominan antara 2.8-3.7 m/s sekitar 12% disusul dengan angin dengan kecepatan
diatas 4.6 m/s dengan persentase sekitar 8% dan kondisi laut tenang 10%.
54
Gambar 20 Pola hidrodinamika pada kondisi pasang menuju surut
Gambar 20 menyajikan pola hidrodinamika Kepulauan Seribu pada musim
timur dalam kondisi mean sea level (MSL) pasang menuju surut. Pola arus
permukaan yang terbentuk memperlihatkan bahwa arus begerak meninggalkan
bidang batas yang bergerak dari utara pada domain model terbuka sebelah barat
kemudian berbelok ke arah barat daya mengikuti pola penjalaran pasut dimana
pada sisi barat daya dari model mempunyai tinggi level air yang lebih rendah dari
bagian lain pada perairan Kepulauan Seribu. Bagian intertidal yang masih
tergenang juga masih terlihat dari daerah yang ditandai warna kuning pada daerah
sisi pulau yang mana daerahnya lebih kecil jika dibandingkan dengan kondisi
pada saat surut karena masih tergenang sebagin dari perambatan pasut yang
beralih dari pasang ke surut.
55
Gambar 21 Pola hidrodinamik pada kodisi surut
Arus permukaan pada saat surut terendah (Gambar 21) memperlihatkan
bahwa arus bergerak ke arah timur dengan kondisi pasang surut yang stabil
dengan tinggi permukaan laut homogen dari pantai utara Jakarta hingga laut lepas.
Kondisi kecepatan arus yang kecil pada daerah sekitar pantai Utara Jakarta dan
daerah yang terhalang oleh Gugusan Kepulauan Seribu. Pada sisi selatan domain
model bagian barat terlihat bahwa permukaan air laut sedikit lebih tinggi dari pada
daerah sekitarnya dengan -0.38-0.27 m dibawah mean sea level
yang
memperlihatkan bahwa level muka air masih bergerak ke arah surut yang
merupakan sisa dari fase pasang surut sebelumnya. Pada perairan selat sekitar
Pulau Pari didapatkan anomali tinggi muka air yang berbeda dengan periaran
sekitarnya pada saat surut ini disebabkan oleh penurunan muka air yang cepat
menyebabkan massa air terjebak dalam selat.
56
4.2
Verifikasi Hidrodinamika
4.2.1 Verifikasi Pasut
Verifikasi
pasang
surut
antara
hasil
model
dengan
data
dari
BAKOSURTANAL memperlihatkan korelasi yang cukup baik untuk musim barat
dengan tingakat korelasi 97.17%, sedangkan untuk musim timur dengan tingkat
korelasi 93.30%, halini mengindikasikan bahwa hasil model hidrodinamika yang
dibuat mendekati kodisi sebenarnya yang terjadi di daerah penalitian yaitu
Kepulauan Seribu. Hasil korelasi antara pasang surut hasil model dengan pasang
surut hasil prediksi dapat dilihat pada Gambar 22 untuk musim barat dan Gambar
23 untuk musim timur yang masing-masing diwakili oleh Bulan Januari dan
Bulan Juli tahun 2008.
1
0.5
Observasi (m)
Model (m)
0
-0.5
-1
Gambar 22 Grafik pasang surut antara model dengan data Bakosurtanal selama 2
minggu perekaman Bulan Januari di musim barat
0.8
0.6
0.4
0.2
0
-0.2
-0.4
-0.6
-0.8
Observasi…
Model(m)
Gambar 23 Grafik pasang surut antara model dengan data Bakosurtanal selama 2
minggu perekaman di Bulan Juli di musim timur
57
4.2.2
Verifikasi Arus
Hasil verifikasi arus memperlihatkan bahwa kecepatan arus hasil model
memperlihatkan tingkat korelasi yang tinggi antara arus hasil pengukuran dengan
arus hasil model yang di ambil pada titik 106⁰36,635' BT, 5⁰51,756'LS.
0.1
0.08
Komponen V (m/s)
0.06
0.04
0.02
0
-0.02
-0.04
-0.06
-0.08
-0.1
-0.1
-0.05
0
0.05
Komponen U (m/s)
0.1
0.15
Gambar 24 Pola sebaran arus hasil pengukuran(○) dan arus hasil model(○)
berdasarkan komponen U dan V.
Komponen zonal (timur-barat) memperlihatkan tingkat standar galat sebesar
0.016 sedangkan untuk komponen meredional (utara-selatan) standar galat 0.036.
hasil ini memperlihatkan bahwa arus permukaan pada domain model hasil
pemodelan memiliki kesesuaian dengan kondisi sebenarnya di lapangan sehingga
pemodelan tumpahan minyak pada daerah domain model dapat memperlihatkan
kondisi yang bersesuain (Gambar 24). Menurut Hadi dan Hamzah (2000)
pengaruh angin dan arus laut memainkan peranan yang penting dalam pergerakan
tumpahan minyak di laut.
58
4.3
Pola Sebaran Tumpahan Minyak
Sebaran tumpahan minyak yang dimodelkan dalam tulisan ini adalah terdiri
atas: minyak mentah, bensin, aftur dan diesel sedangkan yang disajikan dalam
bagian ini adalah minyak mentah yang mewakili pola sebaran tumpahan minyak
jenis yang lainnya. Pola sebaran tumpahan minyak jenis bensin, aftur, dan diesel
pada dasarnya mengikuti pola yang sama dengan miyak mentah karena sebaran
polutan pada permukaan mengikuti pola hidrodinamika. Perbedaan terletak pada
intensitas proses pelapukan dan kelembaman sebaran oleh densitas jenis minyak
yang berbeda. Pola sebaran tumpahan minyak bensin, aftur dan diesel secara
keseluruhan akan dibahas pada bagian berikutnya dan tampilan visual pola
sebaran tumpahan minyak akan disajikan dalam bentuk format *.avi dalam bentuk
VCD yang dilampirkan sebagai bagian dari tulisan ini.
4.3.1 Musim Barat
4.3.1.1 Keadaan awal
Kondisi awal dari pola sebaran tumpahan minyak diskenariokan oleh
tumpahan minyak pada 3 titik (Gambar 25). Titik A Tabrakan kapal Tanker
(106°34.87', 5°50.49'), Titik B Kapal tanker yang kandas (106°34.68', 5°46.72')
dan titik C oleh saluran pipa yang bocor (106°22.34', 5°32.42'). Jenis tumpahan
minyak yang tumpah adalah minyak mentah dengan volume dan debit tumpahan
masing-masing pada titik A (15,451.24 m3 dan 0.15 m3/s), B (13,343.41 m3 dan
0.10 m3/s) dan C (2,385 m3 dan 0.05 m3/s).
Kondisi hidrodinamika pada awal saat terjadi tumpahan minyak berada pada
posisi pasang surut dalam kondisi pasang dengan level muka air 0.25 m di atas
mean sea level
seperti pada Gambar 25, arus permukaan pada bagian barat
gugusan kepulauan Seribu bergerak ketimur dan bergerak keutara setelah
mencapai Pulau Karang Pandang. Pada pesisir utara Pulau Jawa yang masuk
domain model adalah kondisi arus permukaan > 0.05 m/s.
59
Gambar 25 Pola sebarang tumpahan minyak mentah pada kondisi awal kejadian
dimusim barat
4.3.1.2 Kondisi MSL (pasang menuju surut)
Perairan Kepulauan Seribu diskenariokan terjadi tumpahan minyak pada
tiga lokasi pada pola sebaran tumpahan minyak jenis minyak mentah seperti
ditampilkan Gambar 26. Tumpahan minyak bersumber dari titik A bergerak ke
timur laut kemudian berbelok ke utara mengikuti pola pergerakan arus permukaan
60
di lokasi terjadinya kebocoran oleh tabrakan kapal tanker dengan jarak sekitar 6
km dari titik tumpahan dengan selang waktu 7.5 jam setelah tumpahan.
Gambar 26 Pola sebaran tumpahan minyak mentah pada kondisi MSL (pasang
menuju surut) setelah 7.5 jam pada musim barat
Pola sebaran tumpahan minyak oleh akibat dari kapal tanker yang kandas di
pesisir Pulau Karangberas (titik B 106°34.68' BT, 5°46.72' LS) menyebar
bergerak ke utara melewati selat antara Pulau Karangberas dengan Pulau Air.
61
Sebaran mengikuti pola pergerakan arus permukaan oleh pengaruh pasut yang
berada pada kondisi menuju surut dengan jarak sebaran dari titik sumber sekitar 4
kilometer pada selang waktu 7.5 jam. Lebar sebaran juga bertambah dengan
bertambahnya jarak dari lokasi tumpahan yang mencapai sekitar 500 m. Hal ini
berdampak pada luas sapuan yang dilewati oleh tumpahan minyak karena
ketebalan lapisan minyak menurun oleh proses penyebaran.
Skenario pipa yang bocor dekat dengan Teluk Jakarta (titik C 106°22.34'
BT, 5°32.42'LS) belum memperlihatkan sebaran karena pola arus permukaan
yang relatif kecil sehingga minyak yang keluar masih menumpuk pada titik
kebocoran. Jenis minyak mentah mempunyai sifat kelembaman yang lebih tinggi
untuk melakukan spreading dibandingkan dengan jenis minyak yang lain karena
mempunyai tegangan permukaan yang lebih tinggi sehingga pada kondisi ideal
tanpa arus pola sebaran cenderung lebih lambat dari jenis minyak lain yang
diskenariokan.
4.3.1.3 Kondisi surut
Pola sebaran tumpahan minyak jenis minyak mentah kondisi surut pada
musim barat yang diskenariokan pada Kepulauan Seribu disajikan pada Gambar
27. Pola sebaran tumpahan minyak yang bersumber dari titik A oleh tabrakan
kapal tanker (106°34.87' BT, 5°50.49' LS) pada awalnya bergerak ke arah timur
laut bergerak ke utara dan menyapu lokasi titik tumpahan kapal yang kandas pada
titik B dengan jarak sekitar 9 km dari titik sumber tumpahan. Luas daerah sapuan
oleh sebaran tumpahan juga meningkat dari titik tumpahan hingga ujung sebaran
oleh pengaruh gerakan arus permukaan pada daerah model namun belum
mencapai daerah pesisir dari pulau di Kepulauan Seribu. Ketebalan lapisan
minyak yang menyebar mencapai 100 mm dengan lebar daerah sapuan mencapai
1 km.
Skenario tumpahan minyak oleh kapal yang kandas dipesisir Pulau
Karangberas yang ditandai dengan titik B pada Gambar 27 dan pola sebaran
tumpahan minyak jenis minyak mentah memperlihatkan bahwa pada saat
menjelang surut bergerak ke utara berubah pada saat surut bergerak ke barat laut
hingga jarak 3 km. Penyebaran bergerak ke utara mendekati pesisir Pulau Kotok
62
Besar setelah hari kedua terjadinya tumpahan dengan jarak dari titik tumpahan
sekitar 9 km dengan lebar sapuan pada sekitar 500 m dengan ketebalan lapisan
yang mencapai 150 mm. Pembelokan arah gerakan pola sebaran tumpahan ke
utara mengikuti pola gerakan pasut pada saat surut dengan
massa air
meninggalkan pesisir pulau utama menuju laut lepas di Laut Jawa.
Gambar 27 Pola sebaran tumpahan minyak mentah musim barat pada kondisi
surut (setelah 12 jam) pada musim barat
63
Lapisan minyak oleh akibat skenario tumpahan minyak pada kebocoran pipa
distribusi pada perairan dekat Teluk jakarta bergerak ke barat mengikuti pola
gerakan arus permukaan pada daerah model yang mengikuti pesisir utara Pulau
Jawa dengan jarak sekitar 1 km dari titik sumber tumpahan. Hal ini disebabkan
oleh karena arus pada daerah dekat pantai hasil model hidrodinamika sangat kecil.
Ketebalan lapisan minyak juga cukup besar karena tidak banyak energi yang
mempengaruhi penyebaran dari lapisan tumpahan minyak.
4.3.1.4 Kondisi MSL (surut menuju pasang)
Gambar 28 menyajikan pola sebaran tumpahan minyak musim barat pada
kondisi MSL (surut menuju pasang) di perairan Kepulaus Seribu pada Bulan
Januri 2008 dengan skenario selama 15 hari. Hasil pemodelan
pada titik A
minyak total bergerak ke arah barat laut menyapu pesisir pantai Pulau Payung
Besar dan pesisir selatan Pulau Tidung Kecil. Bagian lapisan tumpahan minyak
yang bergerak ke utara pada kondisi surut menyapu Pulau Karangberas. Luas
penyebaran meluas di selatan Pulau Tidung Kecil dengan ketebalan sekitar 50-80
mm.
Pola sebaran tumpahan minyak oleh skenario tumpahan titik B
memperlihatkan bahwa tumpahan minyak jenis minyak mentah bergerak
membelok ke barat. Hasil model (Gambar 28) memperlihatkan bahwa sumber
tumpahan telah habis sehingga tumpahan minyak telah begerak sejauh 6 km dari
sumber tumpahan. Tumpahan minyak yang bergerak ke utara menyapu bagian
selatan dari pulau Kotok Besar dengan ketebalan lapisan antar 0-30 mm.
Sebaran tumpahan minyak yang bergerak mengikuti pantai utara Pulau Jawa
bergerak ke barat dengan jarak sekitar 5 km dari sumber tumpahan titik C.
Tumpahan ini sangat mengganggu ekosistem di pesisir utara Pulau Jawa yang
berada di kawasan model karena pada saat kondisi menjelang pasang tumpahan
minyak bergerak menyapu pantai yang tedapat beberapa ekosistem.
64
Gambar 28 Pola sebaran tumpahan minyak mentah pada kondisi MSL (surut
menuju pasang) 18 jam setelah kejadian pada musim barat
4.3.1.5 Kondisi pasang
Pola sebaran tumpahan minyak jenis minyak mentah pada perairan
Kepulauan Seribu pada musim barat dalam kondisi pasang tertinggi disajikan
pada Gambar 29.
65
Gambar 29 Pola sebaran tumpahan minyak mentah pada kondisi pasang (24 jam
setelah tumpahan) pada musim barat
Gambar 29 menunjukkan bahwa kondisi angin pada musim barat bertiup
dominan dari timur ke barat dengan dominasi angin berkecapatan 5.1-6.4 m/s
sekitar 12 % dan 20% kecepatan angin dalam kondisi tenang.
66
Sebaran tumpahan minyak di titik A telah menyapu daerah pantai dari Pulau
Tidung Besar di bagian utara dan menyebar meluas di bagian selatan dari Pulau
Tidung Kecil. Sebaran tumpahan miyak akibat dari tupahan oleh kapal yang
kandas berada di sebelah barat dari Pulau Kotok Besar dengan ketebalan semakin
menurun sekitar 27 mm, sedangkan tumpahan minyak akibat dari kebocoran pipa
terus bergerak ke barat yang berjarak sekitar 10 km dari titik tumpahan.
4.3.2 Musim Timur
4.3.2.1 Kondisi awal
Kondisi hidrodinamika kejadian awal tumpahan minyak pada musim timur
diskenariokan terjadi pada bulan Juli 2008 disajikan pada Gambar 30. Kondisi
perairan saat kejadian awal tumpahan minyak berada dalam kondisi surut dengan
tinggi level muka air -0.4 m (dibawah muka air laut rata-rata) dengan kondisi arus
permukaan dari utara gugusan Kepulauan Seribu bergerak ke arah selatan
kemudian berbelok ke arah barat laut. Kondisi arus cukup tenang di daerah dekat
dengan garis pantai utara Pulau Jawa.
4.3.2.2 Kondisi MSL(surut menuju pasang)
Gambar 31 menyajikan pola sebran tumpahan minyak mentah di Perairan
Kepulauan Seribu pada musim timur yang diwakili oleh bulan Juli 2008 dengan
kondisi MSL (surut menuju pasang).
Sumber tumpahan minyak yang berasal dari kebocoran kapal tanker di titik
A bergerak ke barat daya mengikuti pola angin dan pola pergerakan arus
permukaan. Pengaruh angin pada sebaran tumpahan minyak disebabakan oleh
tumpahan minyak yang berada dipermukaan ini disebabkan oleh dispersi vertikal
yang kecil sehingga sebagian besar tumpahan minyak berada dilapisan permukaan
sehingga penyebarannya di pengaruhi olah arus permukaan dan angin. Arus
bergerak menuju pasang dengan jarak sekitar 3 km dari titik terjadinya tumpahan
dengan ketebalan lapisan minyak mencapai 130 mm pada bagian tengah dari
sebaran tumpahan.
Tumpahan minyak yang diakibatkan oleh skenario kapal tanker di titik B
bergerak ke arah selatan dengan jarak sekitar 500 m dari titik sumber tumpahan.
67
Ketebalan lapisan minyak mencapai 136 mm dengan luas daerah sebaran sekitar
250x250 m.
Gambar 30 Pola sebarang tumpahan minyak mentah musim timur pada kondisi
awal di musim timur
68
Gambar 31 Pola sebaran tumpahan minyak mentah pada kondisi MSL (surut
menuju pasang), 6 jam setelah kejadian pada musim timur.
4.3.2.3 Kondisi pasang
Pola sebaran tumpahan minyak pada kondisi pasang pada musim timur
disajikan pada Gambar 32. Tumpahan minyak yang bersumber dari titik A
bergerak ke selatan dengan jarak sekitar 5 km dari sumber tumpahan mengikuti
pola arus oleh perambatan pasut saat kondisi pasang. Kondisi ini masih cukup
69
aman karena sebaran tumpahan minyak masih berada di laut lepas dan belum
mencapai daerah pesisir yang kaya akan sumber daya laut.
Gambar 32 Pola sebaran tumpahan minyak mentah pada kondisi pasang (12 jam
setelah kejadian) pada musim timur
Skenario tumpahan pada titik B oleh memperlihatkan pola yang berbeda
dengan pola pada titik A, dimana lapisan minyak bergerak ke barat mengikuti pola
angin pada musim timur kemudian berbelok ke selatan di bagian selatan Pulau
70
Pramuka. Lapisan minyak bergerak dengan jarak sekitar 7 km dari titik sumber
dengan ketebalan lapisan minyak pada bagian tengahnya mencapai 109 mm.
Pola sebaran minyak dari titik C pada musim timur tidak memasuki domain
model karena gerakan arus yang bergerak ke timur membuat lapisan tumpahan
minyak bergerak ke timur keluar dari domain model.
4.3.2.4 Kondisi MSL (pasang menuju surut)
Pola sebaran tumpahan minyak mentah pada musim timur yang diwakili
bulan juli 2008 pada Kepulauan Seribu pada kondisi MSL (pasang menuju surut)
disajikan pada Gambar 33.
Lapisan minyak pada titik A yang pada kondisi pasang bergerak ke selatan
kemudian berbelok arah ke timur laut mengikuti pola perambatan pasut. Lapisan
tumpahan minyak yang bergerak ke selatan setelah berbelok ke timur laut
menyapu Pulau Tikus yang merupakan daerah sekitar daerah perlindungan laut
barat daya Pulau Pari yang masuk daerah Kelurahan Pulau Pari.
Lapisan tumpahan minyak dititk B di pesisir Pulau Karangberas bergerak ke
timur kemudian berbelok ka utara mengikuti pola arus yang berbelok karena
terhalang oleh adanya Pulau Sekati dan Pulau Peramuka. Pada kondisi ini sumber
tumpahan minyak telah habis dan lapisan tumpahan minyak telah menyebar
dengan jarak 15 km dari sumber tumpahan dengan ketebalan lapisan tumpahan
antara 27 - 54 mm.
4.3.2.5 Kondisi surut
Pola sebaran tumpahan minyak dalam kondisi surut disajikan pada Gambar
34. Pola sebaran tumpahan minyak mentah pada titik A bergerak ke sebelah timur
dari titik tumpahan menyapu Pulau Pari, Pulau Tengah, Pulau Burung dan Pulau
Tikus. Sebaran tumpahan minyak dari skenario ini menyapu daerah perlindungan
laut di sebelah barat daya Pulau Pari. Sebaran tumpahan minyak pada kodisi surut
sebagian telah keluar dari domain model sehingga nasib dari tumpahan minyak
sudah tidak teridentifikasi oleh model.
Sebaran lapisan tumpahan minyak pada titik B bergerak ke arah timur laut
dari titik sumber tumpahan minyak dan menyebar sampai batas utara dari domain
model. Sebaran tidak melewati pulau di sekitar tumpahan sehingga tidak
71
mengganggu daerah perlindungan laut yang berbasis masyarakat di Pulau Karang.
Pada konsisi ini sebagian dari tumpahan minyak telah melewati batas timur dari
domain model.
Gambar 33 Pola sebaran tumpahan minyak mentah pada kondisi MSL (pasang
menuju surut) 18 jam setelah kejadian) pada musim timur
72
Gambar 34 Pola sebaran tumpahan minyak mentah pada kondisi surut (24 jam
setelah kejadian) pada musim barat
73
4.4
Hasil Pemodelan Tumpahan Minyak
Pola sebaran tumpahan minyak yang disajikan dalam bagian ini
memperlihatkan pola sebaran tumpahan minyak pada 36 jam setelah terjadinya
tumpahan minyak.
Gambar 35 Pola sebaran tumpahan minyak mentah (48 jam setelah kejadian)
pada musim barat
74
Tumpahan minyak yang disajikan adalah tumpahan minyak total, sedangkan
proses-proses yang terjadi pada minyak disajikan dalam bagian khusus yang
terintegrasi dalam tulisan ini. Tumpahan secara keseluruhan dari proses awal
terjadinya tumpahan hingga menghilang dari perairan domain model disajikan
dalam bentuk DVD yang disertakan pada tulisan ini.
4.4.1 Pola Sebaran Tumpahan Crude Oil
4.4.1.1 Musim barat
Pola sebaran tumpahan minyak mentah dari hasil model disajikan pada
Gambar 35. Tumpahan minyak memperlihatkan dominan bergerak ke arah barat
dengan menyapu daerah bagian utara dan selatan Pulau Tidung Baru dan Pulau
Tidung Kecil serta daerah bagian selatan Pulau Karangberas dan Pulau
Karangpandang. Tumpahan minyak dari titik C bergerak menyusuri daerah pantai
utara Jakarta ke arah barat. Tumpahan minyak yang terjadi oleh skenario di
Kepulauan Seribu meninggalkan domain model setelah hari ke 9 setelah
terjadinya tumpahan.
4.4.1.2 Musim timur
Skenario tumpahan minyak untuk musim timur disimulasikan pada Bulan
Juli 2008 dengan lama simulasi 10 hari (Gambar 36). Tumpahan minyak titik A
dan titik B menyebar pada daerah lokasi domain model di sekitar Pulau Pari yang
bergerak ke timur. Pada musim timur sebarang tumpahan minyak menghilang dari
perairan domain model setelah hari ke 8 dari awal terjadinya tumpahan.
Hasil model pada grid koordinat (600,1240) memperlihatkan bahwa untuk
jenis minyak mentah 45.21% dari ketebalan total mengalami emulsifikasi pada
saat 25 jam setelah mengalami tumpahan dengan kemampuan emulsifikasi yang
menurun dengan meningkatnya waktu ini terlihat dari persentase setelah jam ke
37 emulsifikasi menurun menjadi 45%.
Evaporasi minyak pada lokasi koordinat (600,1240) dari hasil model
menunjukkan bahwa tingkat evaporasi dari minyak mentah 1.4% pada jam ke 25
setelah terjadinya tumpahan minyak dan meningkat terhadap waktu dengan
tingkat evaporasi meningkat menjadi 2% pada jam 37. Data ini menunjukkan
75
bahwa proses emulsifikasi berlawanan dengan proses evaporasi untuk jenis
minyak mentah.
Gambar 36 Pola sebaran tumpahan minyak mentah (48 jam setelah kejadian)
pada musim timur
Meningkatnya
proses
evaporasi
ini
disebabkan
oleh
menurunnya
emulsifikasi sehingga partikel minyak yang lepas oleh akibat emulsifikasi
menurun yang berdampak pada tingkat densitas minyak cenderung lebih tinggi
76
jika
dibandingkan
setelah
mengalami
emulsifikasi,
karena
emulsifikasi
menyebabkan lepasanya partikel minyak yang bercampur dengan air sehingga
densitas meningkat yang berakibat pula pada evaporasi yang menurun hal ini
berlaku sebaliknya dimana bila proses emulsifikasi rendah maka evaporasi
meningkat (Prentki 2004). Meningkatnya persentasi tingkat evaporasi dapat
disebabkan oleh akibat meningkatnya suhu udara pada saat jam ke 37.
Tumpahan minyak yang keluar dari bidang batas model pada musim timur
dibagi dalam 3 garis batas yakni batas sebelah barat yaitu garis dari titik (0,424)
hingga titik (0,1771) yang mana pada batas ini ketebalan lapisan minyak crude oil
yang keluar mencapai ketebalan 26,3 cm. lapisan minyak yang tebal ini bersumber
dari titik C (tumpahan oleh akibat kebocoran pada sumur pengeboran dekat
dengan garis batas barat).
Bidang batas sebelah utara ketebalan lapisan minyak mentah melewati
bidang batas ini hingga keluar domain model mencapai 17.8 cm. Batas sebelah
timur dari model dilewati oleh minyak mentah dengan ketebalan 68.6 cm terjadi
karena minyak yang tumpah bergerak ke arah timur dan garis batas ini berdekatan
dengan dua titik skenario tumpahan di titik A dan titik B dengan volume
tumpahan yang cukup besar.
4.4.2 Pola Sebaran Tumpahan Bensin
4.4.2.1 Musim barat
Pola sebaran tumpahan minyak jenis bensin yang ditampilkan adalah pola
tumpahan total, sedangkan proses pelapukan dibahas pad sub bab yang lain.
Gambar 37 yang ditampilkan pada kondisi tumpahan minyak dari sumber telah
habis dan belum ada tumpahan minyak yang keluar dari bidang batas domain
model (48 jam setelah kejadian), sedangkan gambar secara keseluruhan (10 hari
simulasi) ditampilkan dalam bentuk file yang telah dikonvesi kedalam format avi.
Pola sebarang tumpahan bensin mengikuti pola gerakan dari hidrodinamika
daerah model dengan kecendrungan bergerak ke arah timur. Sebaran mencapai
daerah pantai sebelah utara dan selatan Pulau Tidung Kecil dan Pulau Tidung
Besar serta pantai sebelah selatan Pulau Karangberas dan Pulau Karangpandang.
Selanjutnya sebaran bergerak ke arah barat hingga mencapai garis batas model
77
sebelah barat. Skenario tumpahan minyak dari titik C pada daerah dekat Teluk
Jakarta bergerak ke arah barat menyusuri Pantai Utara Jakarta hingga Banten dan
keluar daerah model pada bidang batas sebelah barat. Tumpahan bensin
membutuhkan waktu sekitar 8 hari untuk bersih dari domain model akibat proses
pelapukan dan proses hidrodinamika.
Gambar 37 Pola sebaran Tumpahan bensin (48 jam setelah kejadian) pada musim
barat
78
Pada bidang batas sebelah barat yaitu garis dari titik (0,424) hingga titik
(0,1771) ketebalan bensin yang melewati bidang batas mencapai 36.12 cm.
sedangkan pada bidang batas sebelah utara 193 cm. Tingginya ketebalan minyak
pada batas utara ini disebabkan oleh karena bensin yang diskenariokan mengalami
tumpahan tumpang tindih antara minyak dari titik A dan titik B sehingga
mengalami penumpukan di bidang batas sebelah Utara. Pada bidang batas sebelah
timur tidak terjadi tumpahan minyak yang melewati bidang batas ini karena
disebabkan oleh gerakan tumpahan minyak bergerak ke barat.
4.4.2.2 Musim timur
Tumpahan minyak jenis bensin pada musim timur bergerak ke arah timur
mengikuti gerakan arus permukaan dan pola angin(Gambar 38). Jenis minyak ini
mengalami penguapan cepat sehingga beberapa waktu setelah mengalami
tumpahan sisa ketebalan lebih tipis dibandingankan dengan minyak mentah.
Gerakan tumpahan minyak oleh hasil skenario model pada musim timur diwakili
Bulan Juli bergerak ke arah timur dan menyapu sebagian besar pantai pulaupulau di daerah Kepulaun Seribu yaitu sebelah utara Pulau Pari, sebelah utara
Pulau Tidung Kecil dan Pulau Tidung Besar serta sebelah selatan Pulau
Karangberas dan Pulau Karangpandang. Tumpahan minyak juga mencapai pulaupulau kecil di sekitar Pulau Pari yaitu Pulau Tengah, Pulau Burung dan Pulau
Tikus.
Tumpahan bensin hilang dari domain model pada musim timur setelah 84
jam, ini karena Janis bensin yang tersisa pada daerah model yang tidak keluar
pada bidang batas cepat mengalami penguapan pada suhu lingkungan.
Ketebalan lapisan bensin yang melewati bidang batas pada musim timur
yaitu untuk batas barat dengan garis dari titik koordinat (0,242) hingga titik
(0,1771) tidak ada. Pada batas utara pada koordinat titik (0,1771) ke (1380,1771)
ketebalan bensin yang melewati bidang batas ini adalah maksimal 14.1 cm dan
pada batas timur pada garis batas barat daerah model dari titik (1380,218) hingga
titik (1380,1771) ketebalan adalah 31.8 cm. Pola sebaran tumpahan minyak pada
Kepulauan Seribu hasil model yang disajikan pada hari ketiga setelah terjadinya
tumpahan disajikan pada Gambar 38.
79
Gambar 38 Pola sebaran tumpahan bensin (48 jam setelah kejadian) pada musim
timur
80
4.4.3 Pola SebaranTumpahan Aftur
4.4.3.1 Musim barat
Gambar 39 menyajikan pola sebaran tumpahan aftur pada musim barat
bergerak ke arah barat dengan sumber dari titik A dan titik B mencapai daerah
pantai pulau-pulau di sebelah barat dari Kepulauan Seribu. Tumpahan minyak ini
menyapu daerah pantai sebelah selatan dari Pulau Tidung Besar dan Pulau Tidung
Kecil serta bagian selatan dari Pulau Karangpandang.
Tumpahan minyak yang bersumber dari titik C bergerak ke arah barat
menyusuri Pantai Utara Jakarta hingga pantai utara Banten yang masuk dalam
lokasi skenario model hinggga keluar dari batas model pada bidang batas sebelah
barat. Tumpahan aftur mengalami proses penguapan yang cepat sehingga
ketebalannya menurun dengan cepat dan menghilang dari domain model setelah
hari ke-5 dari model yang dirancang pada Bulan Januari untuk musim barat.
Tumpahan aftur melewati bidang batas mencapai ketebalan 67.1 cm pada
sisi barat dari model yang dibatasi oleh garis (0,242), (0,1771), dan ketebalan
aftur yang melewati bidang batas utara (0,1771), (1380,1771) adalah 36.2 cm.
Tumpahan
aftur tidak melewati batas sebelah timur yaitu garis yang
menghubungkan titik (1380,218) dengan titik(1380,1771) karena pada musim
barat tumpahan minyak bergerak ke arah barat.
4.4.3.2 Musim timur
Tumpahan aftur pada musim timur (Gambar 40) bergerak cepat ke arah
timur sehingga tumpahan minyak telah menghilang dari perairan lokasi model
setelah hari ke-4. Singkatnya waktu proses menghilang tumpahan disebabkan oleh
skenario tumpahan minyak yang dibuat dekat dengan bidang batas timur yang
mana arus permukaan pada musim timur hasil skenario model bergerak ke timur.
Tumpahan aftur menyapu daerah sebelah utara dan selatan dari Pulau Pari
dan pulau pulau kecil di sekitarnya seperti Pulau Tikus, Pulau Burung dan Pulau
Tengah. Tumpahan aftur juga mengenai bagian selatan dari Pulau Air dari titik B
(skenario aftur yang tumpah oleh akibat kapal tanker yang kandas).
Pada musim timur yang diwakili oleh Bulan Juli 2008 tumpahan aftur yang
melewati bidang batas barat dan timur adalah nihil. Hal ini di sebabkan oleh
81
tumpahan aftur bergerak ke arah timur dengan ketebalan yang melewati bidang
batas keluar dari daerah model masih mencapai ketebalan 63.3 cm.
Gambar 39 Pola sebaran tumpahan aftur (48 jam setelah kejadian) pada musim
barat
82
Gambar 40 Pola sebaran tumpahan aftur (48 jam setelah kejadian) pada musim
timur
4.4.4 Pola Sebaran Tumpahan Diesel
4.4.4.1 Musim barat
Pola tumpahan diesel pada musim barat yang bersumber dari titik A dan
titik B memperlihatkan bahwa tumpahan minyak bergerak ke barat menyapu
daerah pantai sebelah selatan dari Pulau Tidung Besar dan Pulau Tidung Kecil
serta bagian selatan dari Pulau Karangpandang (Gambar 41). Tumpahan diesel
83
dari titik C bergerak ke barat menyusuri pantai utara Jakarta hingga Banten dan
mencapai batas barat hingga keluar dari domain model. Ketebalan diesel setelah
melewati batas barat dari kebocoran pipa ini tidak mencapai 5 mm karena proses
pelapukan terus terjadi dari awal terjadinya tumpahan.
Gambar 41 Pola sebaran tumpahan minyak diesel (48 jam setelah kejadian) pada
musim barat
84
Pemantauan pada bidang batas memperlihatkan bahwa fluks diesel yang
melewati bidang batas umumnya meninggalkan domain model melewati batas
bagian barat, sedangkan pada batas sebelah timur nihil dan sedikit pada batas
sebelah utara ini diakibatkan oleh pergerakan minyak yang cenderung bergerak ke
arah barat.
Gambar 42 Pola sebaran tumpahan minyak diesel (48 jam setelah kejadian) pada
musim timur
85
4.4.4.2 Musim timur
Tumpahan minyak pada musim timur umumnya bergerak ke timur hingga
ke utara dengan melewati perairan sebelah timur Pulau Pramuka. Tumpahan
minyak mencapai pantai sebelah utara dan selatan dari Pulau Pari dan pulau pulau
kecil di sekitarnya seperti Pulau Tikus, Pulau Burung dan Pulau Tengah.
Skenario tumpahan minyak diesel pada Gambar 42 menampilkan total
tumpahan minyak setelah 2 hari yang mencapai ketebalan 13 cm. Hal ini karena
proses pelapukan yang terus berlangsung pada minyak diesel yang tumpah.
Minyak diesel telah habis dari daerah domain model setelah 4 hari karena
skenario terjadinya tumpahan yang dekat dengan bidang batas sebelah timur
dimana minyak bergerak ke timur.
Minyak diesel yang tumpah dari titik A dan titik B melewati bidang batas
timur dan utara sedangkan bidang batas barat nihil. Tumpahan minyak yang
disebabkan oleh skenario pipa bocor tidak terlihat karena langsung meninggalkan
bidang batas timur sehingga segera setelah tumpah meniggalkan domain model.
4.4.5
Konsentrasi Tumpahan Minyak
Konsentrasi tumpahan minyak pada tulisan ini merupakan konversi dari
ketabalan lapisan tumpahan minyak pada air laut di kedalam perbandingan
volume tumpahan tiap volume air laut pada gird terpilih. Sebaran konsentrasi
untuk tumpahan minyak pada musim barat di lokasi sensitif disajikan pada
Gambar 43. Daerah perlindungan laut barbasis masyarakat pada skenario
tumpahan minyak jenis minyak mentah telah terjadi pencemaran berdasarkan
keputusan menteri negara lingkungan hidup nomor 51 tahun 2004 tentang baku
mutu air laut dimana baku mutu untuk lapisan minyak dilaut adalah 0.01 mm.
Gambar 43 memperlihatkan bahwa konsentrasi tumapahan minyak pada musim
barat tersebar pada sebelah barat Pulau Payung Besar, sebelah selatan dan utara
Pulau Tidung Kecil dan Tidung Besar serta sebelah barat Pulau Kotok Besar
dengan konsentrasi antara 9-36 ml/l.
86
Gambar 43 Sebaran konsentrasi tumpahan minyak mentah (48 jam setelah
kejadian) pada musim barat
Pada musim timur (Gambar 44) pola sebaran konsentrasi tumapahan minyak
jenis minyak mentah tersebar pada daerah sekitar Pulau Pari, sebelah utara Pulau
Tikus dan sebelah tenggara Pulau Pramuka dengan konsentrasi 22-68 ml/l.
87
Gambar 44 Sebaran konsentrasi tumpahan minyak mentah (48 jam setelah
kejadian) pada musim timur
4.5
Proses Pelapukan Tumpahan Minyak.
Proses pelapukan tumpahan minyak yang disajikan dalam bentuk tabulasi
perbandingan eliminasi minyak yang tumpah dari perairan. pelapukan didaerah
model karena proses pelapukan yang meliputi emulsifikasi, avaporasi, dissolusi
dan vertikal dispersi. Gambar dari sebaran proses tersebut disajikan dalam
lampiran.
88
4.5.1 Minyak Mentah
Proses
pelapukan pada tumpahan minyak mentah dibagi dalam
emulsifikasi, avaporasi, dissolusi dan vertikal dispersi dengan persentase seperti
pada Tabel 11. Persentase tingkat pelapukan minyak mentah pada musim barat
(Tabel 11) yang diambil pada titik grid (600,1240) menunjukkan bahwa tingkat
emulsifikasi minyak mentah mengalami penurunan dengan bertambahnya waktu.
Hal ini terlihat dari rekam awal tingkat emulsifikasi 45.21% kemudian menurun
hingga 45.01% setelah 24 jam. Berbeda dengan tingkat evaporasi yang
meningakat pada minyak mentah dari 1.43% menjadi 2.05% setelah satu jam.
Proses emulsifikasi dan evaporasi
pada minyak mentah dapat meningkatkan
densitas pada tumpahan minyak (Payne et al. 2003).
Tabel 11 Persentase tingkat pelapukan jenis minyak mentah pada musim barat
Total Oil
Emulsifikasi
Evaporasi
Dissolusi
Dis. Vertikal
Waktu
[mm]
[%]
[%]
[%]
[%]
1/2/2008 14:15
13.3748
45.21
1.43
1.42E-06
3.40E-08
1/2/2008 14:40
26.6299
45.20
1.55
1.47E-06
3.38E-08
1/2/2008 15:05
26.5947
45.20
1.57
1.49E-06
3.59E-08
1/2/2008 22:35
12.9917
45.10
1.84
1.73E-06
2.99E-08
1/3/2008 1:05
12.7827
45.03
2.00
1.81E-06
2.50E-08
1/3/2008 1:30
12.7196
45.01
2.05
1.81E-06
2.52E-08
Persentasi disolusi yang sangat kecil dapat terjadi karena titik sampel yang
diambil adalah 2 hari setelah tumpahan, sedangkan disolusi efektif kurang dari
satu jam. Hal ini terjadi karena fraksi minyak yang dapat larut sangat kecil (crude
oil hanya 1%) (Sabhan et al, 2009). Tabel 11 menyajikan bahwa disolusi pada
titik grid (600,1240) mengalami pengkatan dari (1.42e-6%) ke (1.81e-6%),
sedangkan dispersi vertikal mengalami penurunan seperti halnya emulsifikasi
dengan persentase yang jauh lebih kecil dari disolusi. Nilai dispersi vertikal yang
sangat kecil mengindikasikan bahwa tumpahan minyak yang terjadi dominan
berada dilapisan permukaan sehingga pergerakan tumpahan minyak merupakan
pengaruh dari arus permukaan dan angin.
89
Tabel 12 Persentase tingkat pelapukan jenis minyak mentah pada musim timur
Total Oil
Emulsifikasi
Evaporasi
waktu
[mm]
[%]
[%]
Disolusi [%]
Dis. vertikal [%]
7/1/2008 22:00
79.694
37.84
1.60
2.23E-06
4.90E-07
7/1/2008 22:20
85.5471
38.87
1.61
2.23E-06
3.65E-07
7/1/2008 22:40
352.067
39.25
1.60
2.23E-06
3.22E-07
7/1/2008 23:00
96.9946
40.44
1.61
2.24E-06
2.13E-07
Tingkat emulsifikasi pada musim timur (Tabel 12) lebih rendah dari musim
barat dengan tingkat emulsifikasi antara 37.84% - 40.44% nilai ini diperoleh pada
titik grid (863,839) dari domain model, sedangkan evaporasi berada pada
sekitaran 1.61%. Berbeda dengan musim barat pola emulsifikasi pada musim
timur cenderung naik dalam selang waktu 1 jam yang diambil pada Bulan Juli.
Tingkat disolusi cenderung konstan pada 2,23e-6%. Titk cuplikan evaporasi pada
musim timur lebih rendah dari evaporasi pada musim barat. Hal ini disebabkan
oleh tingkat disolusi pada musim timur yang lebih tinggi dari musim barat, yang
mana disolusi bersaing dengan evaporasi karena komponen fraksi yang
mengalami disolusi juga yang mengalami evaporasi.
Dispersi vertikal pada musim timur lebih tinggi dari dispersi vertikal pada
musim barat yang diambil dari titik cuplikan. Hal ini disebabkan oleh
pengambilan titik cuplikan pada dispersi vertikal musim timur diambil hanya
beberapa saat setelah terjadinya tumpahan, sehingga lapisan minyak masih tebal
sehingga tekanan lapisan yang berbatasan dengan air yang tinggi memudahkan
lapisan minyak mengalami dispersi. Proses dispersi vertikal lebih cenderung
dipengaruhi oleh proses hidrodinamika dari perairan dimana terjadinya tumpahan
minyak. Proses dispersi vertikal ini dipengaruhi oleh kondisi laut dan angin,
dimana kondisi angin yang kuat akan mengakibatkan proses percampuran antara
massa air akan lebih banyak terjadi, sehingga akan mempengaruhi sebaran
vertikal tumpahan minyak.
4.5.2
Bensin
Tingkat pelapukan minyak bensin pada Tebel 13 menunjukkan bahwa pada
musim barat dari data pada titik grid (600,1240) emulsifikasi sekitar 45% dengan
sedikit penurunan tingkat emulsifikasi pada malam hari dengan penurunan sekitar
90
0.07%. Hal ini terjadi karena pada malam hari terjadi penurunan suhu udara
sehingga minyak mengalami tegangan permukaan yang meningkat sehingga
ikatan partikel minyak meningkat sehingga minyak menjadi susah teremulsifikasi
oleh air.
Tabel 13 Persentase tingkat pelapukan bensin pada musim barat
Total Oil
Emulsifikasi
Evaporasi
Dissolusi
Dispersi
Waktu
[mm]
[%]
[%]
[%]
Vertikal [%]
1/2/2008 14:40
1/2/2008 15:00
1/2/2008 15:20
1/2/2008 16:20
1/2/2008 19:00
1/2/2008 19:20
1/2/2008 23:20
1/2/2008 23:40
1/3/2008 0:20
1/3/2008 1:40
1/3/2008 2:00
13.14
39.38
65.54
13.12
25.84
25.78
12.72
38.13
50.70
12.56
12.72
45.15
45.14
45.14
45.14
45.07
45.06
45.01
45.00
44.99
44.95
45.01
1.68
1.69
1.71
1.69
1.88
1.91
2.04
2.05
2.08
2.17
2.04
1.45E-06
1.46E-06
1.48E-06
1.48E-06
1.58E-06
1.59E-06
1.68E-06
1.68E-06
1.70E-06
1.74E-06
1.66E-06
3.26E-08
3.42E-08
3.58E-08
4.22E-08
4.46E-08
4.28E-08
2.57E-08
2.45E-08
2.36E-08
2.46E-08
2.58E-08
Tingkat evaporasi bensin di musim barat (Tabel 13) menunjukkan
peningkatan dalam 24 jam dengan evaporasi sekitar 1.68%-2.08% bagian minyak
yang mengalami evaporasi. Tingkat evaporasi pada musim barat memperlihatkan
bahwa tingkat evaporasi meningkat pada malam hari. Hal ini dimungkinkan
terjadi karena pada musim barat suhu udara pada malam hari cenderung lebih
tinggi daripada siang hari.
Tabel 14 Persentase tingkat pelapukan jenis bensin pada musim timur
Total
Oil
Emulsifikasi
Evaporasi
Dissolusi
Dispersi
Time
[mm]
[%]
[%]
[%]
Vertikal [%]
7/2/2008 8:40
32.4546
44.54
1.05E-03
6.99E-08
6.79E-08
7/2/2008 9:00
181.968
44.65
1.06E-03
7.02E-08
6.37E-08
7/2/2008 9:20
203.891
44.81
1.07E-03
7.09E-08
5.81E-08
7/2/2008 19:20
24.8375
42.61
1.26E-03
6.12E-08
1.54E-07
7/2/2008 19:40
49.7208
42.62
1.28E-03
6.15E-08
1.51E-07
7/2/2008 20:00
25.1328
42.71
1.28E-03
6.17E-08
1.43E-07
7/3/2008 4:20
21.1986
45.92
2.18E-03
1.27E-07
1.71E-08
91
Pelapukan minyak pada musim timur (Tabel 14) yang diambil dari titik grid
(1177,1000) menunjukkan bahwa persentase emulsifikasi bensin mengalami
penurunan dari siang hari ke pergantian siang dan malam hari ±2% penurunan ini
dapat terjadi karena pada saat awal malam kondisi angin cenderung tenang
sehingga pengadukan minyak yang tumpah melemah dan tingkat emulsifikasi
minyak ke dalam air menurun. Tingkat evaporasi pada musim timur cenderung
lebih rendah untuk bensin. Hal ini terjadi karena titik cuplikan diambil pada 2 hari
setelah terjadinya tumpahan, di mana pada musim timur pemanasan cukup intensif
sehingga fraksi minyak yang mengalami evaporasi sudah berkurang.
4.5.3
Aftur
Tumpahan minyak aftur pada musim barat memperlihatkan tingkat
presentase emulsifikasi yang relatif stabil dengan 45.94%. Kondisi ini terjadi
karena ketebalan lapisan minyak pada kondisi pengambilan titik grid juga relatif
sama yaitu pada ketebalan 15.99 mm (Tabel 15). Evaporasi bertambah meskipun
dengan persentasi sangat kecil seiring dengan peningkatan disolusi. Meskipun
fraksi minyak yang mengalami disolusi sama dengan fraksi minyak yang
mengalami evaporasi, namun hal ini dimungkinkan terjadi bila stimulasi
terjadinya evaporasi dan disolusi menemukan tempat ideal untuk peroses
berlangsung.
Tabel 15 Persentase tingkat pelapukan jenis aftur pada musim barat
Total Oil
Emulsifikasi
Dissolusi
Dispersi
Waktu
[mm]
[%]
Evaporasi [%]
[%]
Vertikal [%]
1/2/2008 16:40
15.96
45.94
1.85E-03
7.07E-08
6.46E-08
1/2/2008 19:20
15.98
45.94
2.06E-03
7.54E-08
6.74E-08
1/2/2008 19:40
15.98
45.94
2.08E-03
7.57E-08
6.51E-08
1/2/2008 20:20
15.98
45.94
2.17E-03
7.86E-08
6.05E-08
1/3/2008 0:00
15.98
45.94
2.26E-03
7.88E-08
3.84E-08
1/3/2008 0:20
31.98
45.94
2.49E-03
8.83E-08
3.90E-08
1/3/2008 1:40
15.99
45.94
2.45E-03
8.61E-08
4.15E-08
1/3/2008 2:00
15.99
45.94
2.47E-03
8.66E-08
4.22E-08
Pada musim timur persentasi emulsifikasi menurun pada awal malam dan
kembali meningkat pada saat malam telah mencapai tengah malam. Hal ini
92
dimungkinkan terjadi karena kondisi laut yang cenderung tenang sehingga proses
emulsikasi menurun (Tabel 16). Persentase emulsifikasi tidak bergantung pada
ketebalan lapisan minyak yang tumpah pada titik sampel.
Tabel 16 Persentase tingkat pelapukan jenis aftur pada musim timur
Total
Oil
Emulsifikasi
Evaporasi
Dissolusi
Dispersi
Time
[mm]
[%]
[%]
[%]
Vertikal [%]
7/2/2008 8:20
15.84
44.38
9.90E-04
6.95E-08
7.38E-08
7/2/2008 8:40
81.30
44.55
9.97E-04
6.99E-08
6.74E-08
7/2/2008 9:40
17.24
44.89
1.02E-03
7.12E-08
5.54E-08
7/2/2008 10:20
41.65
45.84
1.54E-03
1.05E-07
2.86E-08
7/2/2008 11:20
79.78
45.64
1.31E-03
9.01E-08
3.38E-08
7/2/2008 19:00
12.34
42.56
1.22E-03
6.10E-08
1.60E-07
7/2/2008 19:20
61.95
42.59
1.23E-03
6.12E-08
1.56E-07
7/2/2008 19:40
99.47
42.62
1.24E-03
6.15E-08
1.51E-07
7/2/2008 20:00
12.68
42.79
1.25E-03
6.17E-08
1.39E-07
7/3/2008 23:40
21.30
45.94
2.92E-03
1.85E-07
9.39E-09
Tingkat evaporasi mengalami peningkatan pada titik grid (1177,1000)
meskipun sangat kecil karena fraksi minyak yang mengalami evaporasi telah
mengalami eveporasi pada jam sebelumnya. Dispersi vertikal mengikuti pola yang
berbanding terbalik dengan emulsifikasi di mana pada malam hari menunjukkan
peningkatan di saat emulsifikasi mengalami penurunan. Fenomena ini karena
proses dispersi vertikal merupakan tindak lanjut dari emulsifikasi di mana pada
saat densitas minyak meningkat oleh proses emulsifikasi maka lapisan minyak
akan mudah mengalami peroses dispersi ke dalam kolom air.
4.5.4 Diesel
Pengaruh lingkungan fisik yang paling berpengaruh dalam proses
emulsifikasi adalah energi yang besar yang dapat memecah air menjadi butiran
halus sehingga dapat masuk dalam butiran minyak. Pengaruh angin meng-agitasi
tumpahan minyak menjadi faktor penentu laju emulsifikasi. Secara umum proses
emulsifikasi akan rendah di dekat sumber tumpahan dan akan meningkat secara
signifikan ketika menjauhi sumber tumpahan.
93
Tabel 17 Persentase tingkat pelapukan jenis diesel pada musim barat
Total Oil
Emulsifikasi
Evaporasi
Dissolusi
dispersi
Time
[mm]
[%]
[%]
[%]
vertikal [%]
1/2/2008 15:40
85.97
44.17
3.83
3.42E-06
2.51E-08
1/2/2008 16:40
10.56
44.08
4.04
3.56E-06
2.76E-08
1/2/2008 19:40
10.25
43.92
4.39
3.82E-06
2.56E-08
1/2/2008 22:40
19.36
43.61
5.07
4.26E-06
1.55E-08
1/2/2008 23:40
19.23
43.58
5.15
4.33E-06
1.34E-08
1/3/2008 0:00
10.06
43.82
4.61
3.96E-06
1.44E-08
1/3/2008 0:20
19.38
43.62
5.06
4.28E-06
1.33E-08
1/3/2008 1:40
9.78
43.67
4.94
4.22E-06
1.45E-08
1/3/2008 2:00
9.76
43.66
4.97
4.23E-06
1.46E-08
Emulsifikasi terjadi hanya dalam beberapa jam setelah tumpahan dan karena
musim barat dengan kondisi iklim yang buruk maka proses emulsifikasi menjadi
lebih cepat. Minyak yang teremulsi ini akan lebih cepat terdegrasasi oleh bakteri
akan tetapi lebih sulit dalam penanganan untuk dibersihkan dari laut atau pantai.
Tabel 17 memperlihatkan bahwa persentasi emulsifikasi lebih tinggi pada siang
hari dari hasil titik sampel pada grid (600,1240). Hal ini disebabkan karena pada
saat malam hari kondisi laut relatif tenang pada saat simulasi sehingga
emulsifikasi relatif lebih rendah. Evaporasi cenderung lebih berfluktuasi dengan
kisaran 3.83%-5.15% dari ketebalan lapisan minyak pada titik cuplikan.
Disolusi diesel pada musim barat pada grid (600,1240) relatif sangat kecil.
Hal ini disebabkan oleh pengambilan titik cuplikan dilakukan beberapa hari
setelah terjadinya tumpahan, sedangkan disolusi efektif terjadi beberapa saat
setelah terjadinya tumpahan.
Persentasi tingkat emulsifikasi jenis minyak diesel (Tabel 18) pada musim
timur yang diambil dari grid (1177,1000) memperlihatkan bahwa pada malam hari
lebih rendah sekitar 1% dibandingkan pada siang hari. Hal ini mungkin terjadi
akibat energi dan besar pada siang hari menyebabkan partikel air pecah dan
masuk ke dalam air membentuk emulsifikasi air dalam minyak.
94
Tabel 18 Persentase tingkat pelapukan jenis diesel pada musim timur
Total Oil
Emulsifikasi
Evaporasi
Dissolusi
dispersi
Time
[mm]
[%]
[%]
[%]
vertikal [%]
7/2/2008 8:40
26.03
43.34
2.68
3.86E-06
4.76E-08
7/2/2008 9:00
145.14
43.45
2.70
3.87E-06
4.41E-08
7/2/2008 9:20
161.25
43.58
2.73
3.90E-06
3.94E-08
7/2/2008 19:20
20.98
41.46
2.71
3.46E-06
1.23E-07
7/2/2008 19:40
41.96
41.46
2.73
3.47E-06
1.21E-07
7/2/2008 20:00
21.15
41.54
2.74
3.48E-06
1.13E-07
7/3/2008 13:20
13.10
43.69
4.85
6.09E-06
6.12E-09
Evaporasi dari pagi hingga malam hari cenderung tetap dan mengalami
peningkatan signifikan pada siang hari dimana terjadi peningkatan sekitar 2%. Hal
ini dapat terjadi karena pada musim timur di siang hari pemansan cukup efektif.
Dispersi pertikal menunjukaan bahwa minyak jenis diesel mengalami hal
yang berbeda dan mengalami penurunan signifikan pada saat siang hari. Hal ini
terjadi karena pemanasan yang intensif sehingga partikel minyak susah untuk
mengalami dispersi kedalam air dan volume minyak meningkat oleh peningkatan
suhu.
4.6
Perubahan Konsentrasi Fraksi Dan Waktu Papar
Perubahan konsentrasi fraksi yang tinggi menunjukan bahwa perubahan
kensentrasi fraksi rendah, sebaliknya pada frekuensi yang lebih rendah maka perubahan
konsetrasi fraksi yang tinggi. Hal ini akan menentukan proses lainnya dan mempengaruhi
toksisitas minyak tersebut.
Tabel 19 Perubahan konsentrasi fraksi dan waktu papar
Jenis Minyak
Minyak mentah
Bensin
Aftur
Diesel
Musim
Perubahan konsentrasi [%]
Waktu papar [jam]
Barat
3.36
326.01
Timur
7.09
159.21
Barat
1.92
69.95
Timur
2.83
57.22
Barat
4.88
116.99
Timur
5.29
106.54
Barat
3.39
116.99
Timur
2.04
84.60
95
Tabel 19 menunjukkan bahwa pada titik cuplikan grid (600,1240) musim
barat dan grid (1177,1000) musim timur perubahan konsentrasi fraksi minyak
untuk minyak mentah pada musim timur menunjukkan angka tertinggi. Hal ini
yang berarti bahwa perubahan konsentrasi fraksi minyak jenis ini relatif lebih sulit
untuk berubah. Jenis bensin lebih kecil sehingga konsentrasi fraksi cepat
mengalami perubahan.
Waktu pemaparan menunjukan lamanya suatu daerah terpapar tumpahan
minyak yang sangat dipengaruhi oleh faktor dispersi dan kedalaman perairan.
Pada saat pasang tertingi konsentrasi tumpahan minyak cenderung berada pada
tepi perairan karena faktor arus pasut yang mengarah ke daratan. Pada daerah
perairan waktu pemaparan cenderung lebih singkat karena pengaruh proses
evaporasi. Tabel 19 menunjukkan bahwa minyak mentah mepunyai lama
pemaparan yang paling tinggi mencapai 326 jam untuk musim barat dan 159 jam
pada musim timur, sedangkan bensin mempunyai waktu pemaparan yang paling
singkat sekitar 70 jam.
Proses yang menetukan nasib dari minyak lebih lama berada di perairan
adalah evaporasi, disolusi, dan sedimentasi. Karena minyak mentah memiliki
fraksi residual yang lebih tinggi, maka minyak mentah cenderung berada di
perairan dalam jangka waktu yang lama dan berpotensi memiliki waktu
pemaparan yang tinggi.
Lamanya waktu pemaparan akan memberi konsekuensi pada ekosistem
yang terpapar. Semakin lama waktu pemaparan akan meningkatkan toksisitas dari
jenis minyak tersebut. Jenis minyak yang berbeda akan memiliki koefisien
emulsifikasi yang juga berbeda, sehingga prosek pelapukan dan degradasi dari
masing masing minyak juga akan berbeda. Semakin lama minyak terdegaradasi
maka semakin lama waktu pemaparannya.
96
97
5. KESIMPULAN
Pola arus di perairan Kepulauan Seribu pada musim barat cenderung
dipengaruhi oleh pasang surut dibandingkan dengan arus musiman. Pola arus
permukaan bergerak mengikuti pola perambatan pasang surut, pada saat dalam
kondisi MSL (surut menuju pasang), pasang surut merambat dari timur ke barat
dari bidang batas terbuka sehingga arus merambat mengikuti perambatan pasut
dengan kecepatan 0-0.5 m/s. Secara umum pada musim barat pola arus bergerak
ke barat di laut lepas sedangakan pada daerah dekat dengan garis pantai kecepatan
arus cenderung melemah.
Arus permukaan pada musim timur memperlihatkan bahwa arus bergerak ke
arah timur dengan tinggi permukaan laut homogen dari pantai utara Jakarta hingga
laut lepas. Kondisi kecepatan arus yang kecil pada daerah sekitar pantai Utara
Jakarta dan daerah yang terhalang oleh Gugusan Kepulauan Seribu
Pola sebaran tumpahan minyak pada musim barat dari ke-4 jenis minyak
yang dimodelkan memperlihatkan bahwa tumpahan minyak dominan bergerak ke
arah barat dengan menyapu daerah bagian utara dan selatan Pulau Tidung Besar
dan Pulau Tidung Kecil serta daerah bagian selatan Pulau Karangberas dan Pulau
Karangpandang.
Tumpahan minyak pada musim timur menyebar pada daerah lokasi domain
model di sekitar Pulau Pari yang bergerak ke timur. Pada musim timur sebarang
tumpahan minyak menghilang dari perairan domain model setelah hari ke 8 dari
awal terjadinya tumpahan.Sumber tumpahan pada musim timur dominan bergerak
timur mengikuti pola angin dan pola pergerakan arus permukaan. Pengaruh angin
pada sebaran tumpahan minyak disebabakan oleh tumpahan minyak yang berada
dipermukaan dan dispersi vertikal yang kecil sehingga sebagian besar tumpahan
minyak berada dilapisan permukaan sehingga penyebarannya di pengaruhi olah
arus permukaan dan angin.
Sebaran minyak yang terjadi pada musim barat berdampak mencapai daerah
perlindungan laut di utara Pulau Tidung Besar dalam waktu 15 jam dengan jarak
dari sumber tumpahan sekitar 10 km dan
ketebalaan lapisan minyak adalah
kurang dari 45 mm dengan lama pemaparan antara 18-23 jam. Pada musim timur
98
sebaran tumpahan minyak menggenangi sebelah timur Pulau Pari dalam waktu 48
jam.
Proses yang menetukan nasib minyak lebih lama berada di perairan adalah
evaporasi, disolusi, dan sedimentasi. Karena minyak mentah memiliki fraksi
residual yang lebih tinggi maka cenderung akan berada di perairan dalam jangka
waktu yang lama dan berpotensi memiliki waktu pemaparan yang tinggi. Minyak
mentah mepunyai lama pemaparan yang paling tinggi mencapai 326 jam untuk
musim barat dan 159 jam pada musim timur sedangkan bensin mempunyai waktu
pemaparan yang paling singkat sekitar 70 jam.
99
6. DAFTAR PUSTAKA
[BPPT] Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi, 2002. Riset Unggulan
Strategis Nasional Pengembangan Teknologi Kelautan (Rusnas Kerapu).
Lembaga Pengelola Rusnas Kerapu. Pusat Kajian dan Penerapan Teknologi
Budidaya Pertanian. Jakarta
[IKU] Institut for kontinentalsokkelundersøgelser. 1984. The experimental Oil
Spill in Haltenbanken 1982. IKU Publication No. 112.
[ITAC] The Industry Technical Advisory Committee. 1996. Technical paper:Use
models in oil spill response.
Ali M, D.K. Mihardja dan S. Hadi. 1994. Pasang Surut Laut. Bandung: Institut
Teknologi Bandung.
Al-Rabeh, A.H. 1994. Estimating surface oil spill transport due to wind in the
Arabian Gulf. Ocean Engng, 21( 5): 461-465.
Ariadi, N. 2004. An alternative Solution for Sustainable Development in
Kepulauan Seribu, DKI Province , Jakarta. Sekolah Pascasarjana Institut
Pertanian Bogor: Bogor
Bird, R.B., W.E. Steward and E.N. Lightfoot, 1960. Transport Phenomena. Wiley
and Sons, New York.
Brovchenko, I., A. Kuschan and V. Maderich. 2002. The modelling system for
simulation of the oil spills in the Black Sea. Submitted to Proceeding of 3rd
EUROGOOS Conference.
Buranapratheprat, A. 2000. Oil Spill Trajectory Model Testing in the Upper Gulf
of Thailand. Department of Aquatic Science. Faculty of Science, Burapha
University T.Saensuk A.Muang Chonburi 20131 Thailand.
CMFMWOS, 1985. Computer Model Forecasting Movements and Weathering of
Oil Spills. Final Report for the European EconomicCommunity, WQI and
DHI, October 1985.
Cole, T.M. and S. A. Wells. 2002. CE-QUAL-W2: A Two-Dimensional, Laterally
Averaged, Hydrodynamic and Water Quality Model, Version 3.1 User
Manual. U.S. Army Corps of Engineers Washington, DC 20314-1000
CONCAWE. 1983. Characteristics of Petroleum and its Behaviour at Sea. Report
no 8/83.
DHI. 2007. MIKE 21 & MIKE 3 PA/SA: Particle Analysis and Oil Spill Analysis
Module . DHI Water & Environment. Denmark
100
DISHIDROS-AL. 2008. Peta Alur Laut Kepulauan Indonesia. Jakarta
Duffie, J.A. and W.A. Beckmann, 1974. Diesel Energy Thermal Processes. Wiley
Interscience, New York.
Egberongbe F., P.C. Nwilo and O.T. Badejo. 2006. Oil Spill Disaster Monitoring
Along Nigerian Coastline. Promoting Land Administration and Good
Governance 5th FIG Regional Conference. Accra, Ghana,
EPA Document, 2007. Understanding Oil Spills and Oil Spill Response. New
York
EPA. 2010. EPA Sediment Sampling: Response to BP Oil Spill. New York. USA
Fay, J.A. 1969. The spread of Oil Slick on a Calm Sea. In Oil on the Sea.
Fingas, M. 1994. The evaporation of oil spill development and implementation of
new prediction methodology. International oil spill conference. Ontario:
Ottawa.
Fingas, M. 2000. The Basics of Oil Spill Cleanup 2nd ed. Lewis publishers Boca:
Canada.
Fingas, M. 2001. The Basic of Oil Spill Cleanup. Lewis Publisher. New York.
Guo W.J., Y.X. Wang, M.X. Xie and Y.J. Cui, 2009. Modeling oil spill trajectory
in coastal waters based on fractional Brownian motion. Mar Poll Bull 58:
1339–1346
Guo, W.J. and Y.X. Wang. 2009. A numerical oil spill model based on a hybrid
method. Mar. Poll. Bul. 58:726-734
Hadi, S. dan H. Latif. 2000. Pengembangan Model Matematik Dan Penerapan
Sistem Informasi Geografis Untuk Menunjang Rencana Strategis
Penanggulangan Tumpahan Minyak Di Selat Malaka, Selat Lombok Dan
Selat Makasar. Lab. Oseanografi Pantai, FIKTM ITB.
Hadi, S., D.K. Mihardja, S. Hartati dan D. Kumar. 1989. Model Tumpahan
Minyak di Laut. Laporan Penelitian No. 9422388, Lembaga Penelitian
Institut Teknologi Bandung.
Hodgins, D., S. Ruben and M. Robert. 2001. Integrated Hydrodynamical Oil Spill
Modelling In Coastal Waterways Using Spillsim. Seaconsult Marine
Research Ltd. British Columbia. Canada.
Hossain, K. and D. Mackay. 1980. Demoussifier - a new chemical for oil spill
countermeasures. Spill Tech News. 5(6):154-156.
IFREMER. 2008. French Research Institute for Exploration of the Sea.
101
ITOPF 2002. Fate of Marine Oil Spills. Technical information paper no. 11/86.
The InternationalTankers Owners Pollution Federation Ltd., London,
England.
ITOPF. 2007. Technical Information Paper, Fate Of marine Oil spills.
Kingston P. F. 2002. Long-term Environmental Impact of Oil Spills. Spill Sci
&Technol Bul. 7(1–2):53–61.
Kochergin et al. 1995. Modelling Oil Spills for The Self Conditions Of
Northeastern Sakhalin. Far Eastern Regional Hydrometeorological research
Institute. Valndivostok. Russia.
Mackay, D., I. Bruis, R. Cascarenhus and S. Peterson. 1980. Oil Spill Processes
and Models. EPS, R&D Division, Canada.
Martinez, R.G. and F.T. Henry. 1999. Computer Modeling of Oil Spill
Trajectories With a High Accuracy Method. Spill Sci & Technol Bul. 5: 323330.
Michel, J. 2002. Oil Behavior and Toxicity. Research Planning, Inc., P.O. Box
328, Columbia, South Carolina 29202
Njobuenwu D.O. And M.F.N. Abowei. 2008. Spreading of Oil Spill on Placid
Aquatic Medium. Leonardo Journal of Sciences ISSN 1583-0233 Issue 12,
p. 11-24
Ongkosongo O.S.R dan Suyarso 1989. Pasang Surut. Jakarta: Lembaga Ilmu
Pengetahuan Indonesia (LIPI), Pusat Pengembangan Oseanologi
Patin, S . 1999. Enviromental Impact of the Offshore oil and gas industry.
EcoMonitor Publishing, East Northport, USA.
Payne, J.R., B.E. Kirstein and Clayton Jr. 2003. Oil/Suspended Particulate
Material Interactions and Sedimentation. Spill Sci & Technol Bull 8(2): 201–
221
Prentki R. and C. Smith. 2004. The MMS/SINTEF Oil Weathering Model,
Further Development and Applications. Alaska Regional Office. U.S.
Minerals Management Service Anchorage, Alaska
Riazi, M.R. and A.A. Ghazi. 1999 Modelling of the rate of oil spill disappearance
from seawater for Kuwaiti crude and its products. Chem Engin J 73: 161172
Riley, J. P. 1989. Chemical Oceanography. Academic Press. London
102
Romero L.M. and M. Wikelski. 2002 Severe Effects of Low-Level Oil
Contamination on Wildlife Predicted by the Corticosterone-Stress Response:
Preliminary Data and A Research Agenda. Spill Sci & Technol Bull. 7(5-6):
309-313.
Rye, H. A Multicomponent Oil Spill Model For Dissolved Aromatic
Concentrations. SINTEF/IKU Petroleum Research 7034 Trondheum.
Norway
Sabhan, E. Effendi, M.T. Hartanto dan A. Purwandani. 2009. Pemodelan Pola
Sebaran Tumapahan Minyak pada Berbagai Jenis Minyak yang Berbeda di
Pelabuhan Tanjung Priok. Ilmu Kelautan Indones J mar sci edisi khusus (1):
77-86
Seager L.S. and H.S. Stocker. 1976. Enviromental Chemistry: air and water
pollution 2nd ed.Scott Foresman and Company, Dallas.
Sebastiao P. and C. Guedes. 1995. Modeling the Fate of Oil Spills at Sea. Spill
Sci & Technol Bull. 2( 2/3):121-131
Shaevits, D. and K. Cris. 2000. Horrible, horrible things: Numerical Modelling of
Oil Spill in Narragansett Bay. University of rhode island, Narragansett.
Rhode island.
Sianipar, T. 19 Oktober 2008. Tumpahan minyak cemari Kepulauan Seribu.
Tempointeraktif.
Smith, S.D. and E.G. Banke. Variation of the sea drag coefficient with wind
speed. Quart. JR Met.Soc. 101: 665-673
Sofian, I. 2001. Simulation of the java sea using an oceanic general circulation
model. Balai penelitian geomatika badan koordinasi survei dan pemetaan
nasional. Cibinong, bogor
Star Energy. 2004. Technical Report: Oil Spill Modeling Natuna Sea. (Tidak
dipublikasi)
Triatmodjo, B. 1999. Teknik Pantai. Yogyakarta: Beta Offset.
Varadaraj, R., M.L. Robbins, J. Bock, S. Pace and D. MacDonald. 1988.
Dispersion and biodegradation of oil spill on water. Exxon Research &
Engineering Company, Route 22 East Annandale, New Jersey
Wyrtki, K. 1961. Physical Oceanography of Southeast Asean Waters. Naga
Report ,I. 2. The University of California, La Jolla, California.
Download