Tradisi Haul: Menelusuri Jejak Ilmu dan Amalan Spiritual 17 Februari 2015 Makalah Islam Tradisi Haul: Menelusuri Jejak Ilmu dan Amalan Spiritual Dr. KH. Asmawi Mahfudz, M. Ag. (Pengasuh PP al-Kamal Blitar dan Pengajar IAIN Tulungagung) Pada Hari sabtu 7 februari 2015, keluarga besar Pondok Pesantren al-Kamal Blitar mengadakan acara haul bagi para pendahulu dan pendiri pondok pesantren, dan bagi para penyebar Islam di Nusantara. Acara ini digelar mulai jam 07.00 pagi sampai jam 13.00. Peserta haul diperkirakan 7000-an, dari keluarga ponpes bekerjasama dengan jama’ah al-Khidmah Pimpinan al-Maghfurlah KH. Asrory alIshaqi Surabaya Jawa Timur. Struktur acaranya dimulai dengan Istighosah membaca dhikir, dilanjutkan bacaan sirah Nabawiyah yakni shalawat atas Nabi Saw dan keluarganya sebagai para pendahulu Islam, kemudian dilanjutkan dengan membaca Manaqib Syekh Abdul Qadir Jaylani sebagai mursyid dan pendiri thariqat Qadiriyah, yang dipadu dengan manaqib para pendahulu thariqat. Selesai itu baru dibacakan manaqib para pendiri pondok Pesantren al-Kamal dengan diramu acara mauidhah Hasanah dari para Kyai dan Habaib yang hadir. Acara-acara ceremonial ruhani (spiritual) semacam ini hampir dilakukan oleh kelompok-kelompok keagamaan pengikut Thariqat yang berkembang di Indonesia, mulai dari thariqat Qadiriyah, Naqsyabandiyah, Syadhiliyah, Sattariyah dan lain-lain yang tergabung dalam thariqah al-mu’tabarah (kelompok thariqah yang diakui). Acara semacam ini seolah hanya semacam rutinitas ibadah spiritual yang kadangkala diapresiasi sebagai amalan orang-orang tua yang mendekati kematiannya. Padahal kalau dikaji secara mendalam kegiatan thariqah sebenarnya penuh dengan muatan aspek yang banyak, dan penting untuk dikaji dan diteliti. Salah satu contohnya yang mungkin bisa kita apresiasi adalah kewajiban seorang pegikut thariqah mempunyai sanad (transmisi) dari para guru-mursyidnya. Tradisi sanad dalam sejarah Islam sebenarnya telah berlaku dalam kajian Hadits Nabi Saw. Seorang yang membawa Hadits Nabi harus menjelaskan urutan sanad, mulai dari Rasulullah, sahabat, tabi’in, tabi’i al-tabi’in sampai kepada rawi terakhir yang tertuang dalam kutub al-sittah. Demikian Juga dalam tradisi kajian ilmu-ilmu Keislaman Klasik terdapat pemahaman bahwa seorang yang menyampaikan ilmu harus mendapatkan ijazah (legitimasi) dari gurunya. Tradisi ini sampai sekarang masih dipegangi oleh para ilmuwan-ilmuwan muslim di Pesantren-Pesantren di Indonesia. Mereka ketika menyampaikan ilmu-ilmu yang dikaji selalu dilengkapi dengan rentetan (silsilah) sanad ilmu dari para guru-guru sebelumnya. Karena memang seorang ilmuwan sulit atau bahkan tidak bisa meninggalkan teori-teori dari ulama-ulama sebelumnya. Kalau dalam tradisi akademik disebut dengan (scinces circumtance). Maka kalau dalam tradisi spiritual (ruhaniyah) juga mempunyai pegangan sanad tentang amalan yang dia praktikkan, itu memang sebuah keniscayaan. Karena dunia ilmu dan dunia spiritual sebenarnya adalah sama. Yakni apa yang dia sampaikan dan amalkan adalah dari Allah dan untuk Allah. Sehingga dengan jalan menjaga tradisi sanad itu seseorang akan terpelihara dari sumber ilmu dan sumber amal yang tidak seharusnya dia lakukan dalam rangka menuju Allah Swt (wushul ila Allah). Inilah yang harus dipahami oleh semua Muslim baik dia sebagai pengamat, ilmuwan, atau pengamal thariqah. Senantiasa menyadari bahwa aspek historisitas (kesejarahan) begitu pentingnya dalam Ajaran Islam, sebagai realisasi menjaga kemurnian Ajaran Islam. Hal ini bagi penulis urgent untuk mengungkapnya, supaya semua Muslim terutama yang Awam mengetahui bahwa aspek kesejarahan itu sangat penting. Sebagai ilustrasinya adalah term-term yang digunakan dalam tradisi amaliyah thariqah itu sendiri, misalnya ratib al-hadad atau shalawat atas Nabi Saw, manaqib dan Haul, yang sarat dengan aspek historis. Shalawat atas nabi berisi tentang semua aspek dari Rasullah, baik dari sifat-sifatnya, pujian-pujian atasnya, dinamika kehidupannya, perjuangannya dalam menyampaikan risalah. Sementara Manaqib juga sama mengungkap sejarah dari para pejuang Islam (guru thariqah), mulai dari kelahirannya, keilmuannya, aspek rutinitas ibadahnya, tantangantantangan dakwahnya, fatwa-fatwanya yang menjawab problematika yang ada di sekitanya. Demikian juga tentang Haul adalah memperingati tahun wafat dari seorang syekh atau Kyai. Acaranya diisi dengan pembacaan doa dan sejarah kehidupannya, yang patut diteladani oleh para muridnya, baik dari sisi muamalah atau ibadahnya. Dari paparan itu nampaknya peringatan haul, pembacaan manaqib, atau shalawwat Nabi Saw. menemukan momentumnya dalam konteks ke-Indonesiaan. Dalam rangka memproteksi (menjaga) ajaran-ajaran Islam yang telah berkolaborasi dengan budaya-budaya yang berkembang di Indonesia. Dalam beberapa decade terakhir dengan Umat Islam Indonesia mengalami tantangan arus liberalisasi kehidupan. Baik dari sisi pemahaman keagamaan, ekonomi politik, social, budaya dan aspek kehidupan yang lain. Sehingga perilaku-perilaku genuine umat Islam Indonesia yang brilian, sekarang ini sedikit demi sedikit hilang dalam aras kehidupan nyata warga Indonesia. Seperti guyub rukun, gotong royong, nasionalisme, semangat berkorban, santun dalam berperilaku, dalam nuansa religiusitas Islam. Berganti dengan kekerasan, egois, kekerasan, kebengisan, kemaksiatan dan lain sebagainya. Maka dengan acara haul seperti yang dilakukan oleh PP al-kamal Blitar Itu dapat merevitalisasi kembali jejak-jejak ilmu dan amal bagi kemakmuran dan kesejahteraan bangsa Indonesia, khususnya mengingat lagi aspek-aspek keIslaman dan Keindonesian yang damai, indah dalam naungan ridha Allah Swt.”Baldatun Thayibatun Wa Rabbun Ghafur”. Wa Allahu A’lamu bi al-Shawab! Sumber: bimasislam.kemenag.gi.id-informasi-opini