49 TRADISI PERINGATAN HAUL DALAM PENDEKATAN SOSIOLOGI PENGETAHUAN PETER L. BERGER Abdulloh Hanif Abstract: Haul is a tradition typical of Muslims in Indonesia. Although as a term, can be likened to haul in the tradition of pilgrimage of Muslims in general, but in Indonesia haul have different shapes and implementation in practice with the pilgrimage. This can be seen clearly as an institutionalized social activity. Meaning of pilgrimage as a reminder of death eventually not be the main objective in the implementation of the haul, although religious motives still underlie the practice. However haul relfeksi has become a kind of history, not just in view of the transience of human life, but rather the development of the vision and mission of human life further they get from the reflection of history celebrated figures. Making of history eventually become important to observe. History is not just a stretch of the past, present, and future, but, in the context of haul, history is closely related to building public awareness about the celebrated figures, either directly or through stories or media. Building awareness is what allows every individual who commemorate haul will internalize the objects of consciousness different from the historical reflection, although figures are presented objectively observed through individuals close to and understand objectively as himself. It is at least able to prove that religion is very closely linked to community activities. Keywords: Haul, Peter L. Berger, Sosiologi Pengetahuan dan Refleksi Sejarah. PENDAHULUAN Sampai saat ini, masyarakat bisa dikatakan menempati objek penelitian yang banyak dikaji dibandingkan dengan manusia. Eksistensialisme pun pada akhirnya harus melabuhkan dirinya pada norma sosial yang tidak dapat ditembus oleh manusia secara individu. Meskipun selanjutnya, yang masih memiliki daya tarik untuk dikaji, adalah pengaruh yang saling diberikan dari keduanya; individu kepada masyarakat atau masyarakat kepada individu, atau keduanya memiliki pengaruh satu sama lain yang tidak dapat diidentifikasi mana yang mendahuluinya. Yang terakhir tentu memiliki penjelasan yang lebih rumit. Masyarakat, dalam kajian filsafat, dapat dimasukkan dalam wilayah fenomenologi, meskipun secara keseluruhan memiliki berbagai perbedaan. Namun yang terpenting adalah wilayah fenomena adalah apa yang nampak dalam kehidupan masyarakat itu sendiri. Masyarakat memang memiliki sekian banyak keunikan dalam sebuah studi berbagai keilmuan. Bukan hanya masyarakat sebagai kumpulan individu, akan tetapi mereka saling hidup dengan berbagai ragam tradisi yang sudah menjadi kebiasaan mereka. Tradisi-tradisi tersebut seakan menjadi bagian dari kehidupan masyarakat yang tidak dapat diidentikkan dengan individu yang menghuninya. Bahkan, tradisi dengan sendirinya telah mengambil bagian sebagai objek kajian yang banyak diminati oleh para peneliti. Dalam hal ini, tradisi tidak hanya dipandang sebagai Mahasiswa Filsafat Islam Program Pascasarjana UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta. 50 praktik-praktik yang baku di masa lalu, baik dalam wilayah intelektual maupun sosial, akan tetapi tradisi dipahami sebagai bangunan kesadaran yang melekat dan mendalam. Ketika harus menggunakan makna yang radikal, mungkin dapat dianggap sebagai keyakinan dalam arti luas, bukan keyakinan dalam bentuk dogmatis. Keyakinan ini seakan menjadi legalitas kesadaran akan praktik-praktik dalam masyarakat, meskipun juga keberadaan agama pada akhirnya memberikan penekana lebih terhadap makna dari praktik-praktik tersebut; agama melegitimasi praktik sosial. Donald S. Swenson mencatat, bahwa realitas keseharian kita, bisa jadi dibentuk dengan cara yang sekuler yang menolak agama, atau bisa juga dengan cara yang sakral yang menjunjung kekuatan supranatural.1 Ia melanjutkan, agama tidak hanya sebagai objek studi ilmu sosial; tetapi juga merupakan perantara yang dipakai banyak manusia untuk menjelaskan kehidupannya.2 Tradisi dapat menjadi bentuk yang paling dapat dilihat dari keterpengaruhan masyarakat terhadap agama. Meskipun tradisi sering kali dipandang berlawanan dengan modernitas, namun banyak tradisi yang justru dibentuk dengan tampilan yang lebih modern dan bukan menghapus tradisi tersebut. Seperti tradisi Haul – yang akan menjadi fokus pembahasan dalam makalah – yang semakin lama justru semakin berkembang dengan kemasan berbagai acara yang tidak berkaitan secara langsung dengan agama. Seperti diadakannya bazar yang jelas-jelas merupakan aktifitas ekonomi dan tidak berkaitan secara langsung dengan agama.Tradisi haul seakan menjadi keharusan bagi umat Islam Indonesia. Ia adalah peringatan tahunan untuk mengenang kematian seorang ulama yang banyak menginspirasi kehidupan masyarakat, terutama dalam hal agama. Haul berbeda dengan ziarah kubur yang dilakukan untuk mendoakan mayit; haul lebih merupakan tradisi reflektif terhadap sejarah, mereka yang melaksanakan haul mencoba menghadirkan kembali seorang tokoh yang telah wafat dengan berbagai perjuangan yang dapat menginspirasi mereka.Ibarat sebuah seminar, maka yang menjadi tema pokoknya adalah kehidupan tokoh yang sedang diperingati. Inilah yang akan menjadi dasar analisis selanjutnya, terkait bagaimana masyarakat dapat merasa terinspirasi dalam hal keberagamaannya, dan mengulang semangat keagamaan tersebut secara momentum –bertepatan dengan hari kematian tokoh– dari pada mengingatnya setiap saat. SOSIOLOGI PENGETAHUAN DAN REALITAS KEAGAMAAN Apa yang saya katakan sebelumnya, bahwa masyarakat dapat dilihat dengan pendekatan fenomenologi, adalah kenyataan pendekatan tersebut telah berhasil memberikan sumbangsih kepada perkembangan berbagai ilmu pengetahuan, khususnya dalam wilayah sosial humaniora, meskipun banyak juga yang mengkritik dalam maksud merevisi. Salah satu cabang sosiologi yang mengadopsi fenomenologi adalah sosiologi pengetahuan (sociology of knowledge).Secara konseptual sosiologi pengetahuan muncul sebagai respon terhadap realitas ilmu-ilmu sosial yang mengadopsi ilmu-ilmu alam baik dalam teori, metodologi maupun epistemologi.3 1 Donald S. Swenson, Society, Spirituality, and The Sacred: A Social Scientific Introduction (Canada: Broadview Press, 199), 37. 2 Ibid., 38. 3 Lihat Amin Abdullah, “Agama, Kebenaran dan Relativitas”, dalam pengantar Gregory Baum, Agama Dalam Bayang-bayang Relativisme, terj. Achmad Murtajib Chaeri dan Masyhuri Arow (Yogyakarta: Tiara Wacana, 1999), xvi. 51 Sekitar paruh kedua abad ke-19 dan paruh pertama abad ke-20, ilmu-ilmu alam melalui metodologi ilmiahnya mencapai puncak prestasinya. Namun demikian respon atas dominasi ilmu-ilmu alam ini sesungguhnya tidak hanya dilakukan oleh Max Scheler, Karl Mannheim dan lainnya yang melahirkan sosiologi pengetahuan, melainkan sebelumnya, dalam sejarah pemikiran ilmu-ilmu sosial di Jerman, telah dilakukan oleh banyak pemikir Jerman yang dikenal dengan Perdebatan Tentang Metode (methodenstreit). Dari perdebatan ini kemudian menghasilkan perbedaan pendekatan (metodologi) antara ilmu-ilmu alam dan sosial-budaya. Bagi ilmu-ilmu sosial budaya dikenal dengan pendekatan verstehen, sedangkan untuk ilmu-ilmu alam dikenal dengan erklaren.4 Sosiologi pengetahuan merupakan ilmu baru yang menjadi cabang dari sosiologi yang mempelajari hubungan timbal-balik antara pemikiran dan masyarakat. Sosiologi pengetahuan menaruh perhatian pada kondisi sosial atau eksistensial pengetahuan.5 Sosiologi pengetahuan, dalam hal ini yang telah dikembangkan oleh Peter L. Berger dan Thomas Luckmann, befokus pada “manusia dalam masyarakat” dan “masyarakat dalam manusia”. Dua kalimat tersebut berlandaskan pada dua istilah yaitu “realitas” dan “pengetahuan”. “Realitas” mereka artikan sebagai kualitas yang melekat pada fenomena yang kita anggap berada di luar kehendak kita. Dalam arti, “realitas” merupakan fakta sosial yang bersifat eksternal, umum, dan mempunyai kekuatan memaksa kesadaran masing-masing individu. Sedangkan “pengetahuan” diartikan sebagai keyakinan bahwa suatu fenomena itu riil dan mereka mempunyai karakteristik tertentu. Dalam arti, pengetahuan merupakan realitas yang hadir dalam kesadaran individu (realitas yang bersifat subjektif).6 Sosiologi pengetahuan tidak lagi hanya menekuni sejarah intelektual dalam arti sejarah gagasan-gagasan. Sosiologi pengetahuan harus menekuni segala sesuatu yang dianggap sebagai “pengetahuan” dalam masyarakat. Tiap orang dalam masyarakat berpartisipasi dalam “pengetahuan”-nya, dengan cara tertentu. Dengan kata lain, hanya segelintir orang saja yang menekuni tentang penafsiran teoritis atas dunia, tetapi setiap orang bagaimanapun hidup dalam satu dunia, apa pun jenisnya. Karena itu, pertama-tama sosiologi pengetahuan harus menyibukkan diri dengan apa yang “diketahui” oleh masyarakat sebagai “kenyataan” dalam kehidupan mereka sehari-hari yang tidak teoritis atau yang prateoritis. Dan oleh karena itu, sosiologi pengetahuan harus mengarahkan perhatiannya pada pembentukan kenyataan oleh masyarakat (social construction of reality).7 Berger merumuskan hubungan timbal balik antara realitas sosial yang bersifat objektif dengan pengetahuan yang bersifat subjektif pada konsep dasar tentang tiga momen dialektis: eksternalisasi, objektvasi, dan internalisasi. Realitas sosial, yang pada dasarnya merupakan hasil konstruksi manusia (melalui mekanisme eksternalisasi dan objektivasi), “berbalik” membentuk manusia (melalui mekanisme internalisasi). Dalam proses saling membentuk inilah realitas sosial bergerak. Inilah yang dimaksud dengan hubungan di antara manusia dan masyarakat yang bersifat 4 Ibid., xvii. Muhyar Fanani, Metode Studi Islam: Aplikasi Sosiologi Pengetahuan Sebagai Cara Pandang (Yogyakarta: Putaka Pelajar, 2010), 32. 6 Peter L. Berger dan Thomas Luckmann, Tafsir Sosial Atas Kenyataan: Risalah Tentang Sosiologi Pengetahuan, terj. Hasan Basari (Jakarta: LP3ES, 2012), 1. 7 Ibid., 20-21. 5 52 dialektis.8 Eksternalisasi adalah suatu pencurahan kedirian manusia secara terusmenerus ke dalam dunia, baik dalam aktivitas fisis maupun mentalnya. Objektivasi adalah disandangnya produk-produk aktivitas itu (baik fisis maupun mental), suatu realitas yang berhadapan dengan para produsennya semula, dalam bentuk suatu kefaktaan (faktisitas) yang eksternal terhadap, dan lain dari, para produser itu sendiri. Internalisasi adalah peresapan kembali realitas tersebut oleh manusia, dan mentransformasikannya sekali lagi dari struktur-struktur dunia objektif ke dalam struktur-struktur kesadaran subjektif. Melalui eksternalisasi, maka masyarakat merupakan produk manusia. Melalui objektivasi, maka masyarakat menjadi suatu realitas sui genesis, unik. Melalui internalisasi, maka manusia merupakan produk masyarakat.9 Seluruh aktivitas manusia, melalui dialektika tiga proses tersebut, adalah suatu usaha membangun dunia; dunia manusia. Agama menempati suatu tempat tersendiri dalam usaha ini.10 Seluruh aktivitas manusiayang dilakukan secara sosial adalah bertujuan untuk, terutama, suatu penataan pengalaman. Suatu penataan yang bermakna, atau nomos, itu diterapkan pada pengalaman dan makna-makna yang mempunyai ciri-ciri tersendiri (discrete) dari individu-individu. Mengatakan bahwa masyarakat adalah suatu aktivitas membangun dunia, sama saja dengan mengatakan bahwa hal itu adalah aktivitas penataan, atau nomisasi.11 Dunia sosial merupakan sebuah nomos, baik secara objektif maupun subjektif. Nomos objektif muncul dalam proses objektivasi sebagaimana adanya, kemudian nomos objektif diinternalisasi selama proses sosialisasi dan diambil oleh individu menjadi tatanan pengalamannya sendiri yang subjektif. Bilamana nomos yang ditetapkan secara sosial berhasil diterima sebagaimana adanya, maka terjadilah suatu peleburan makna-maknanya dengan apa yang dianggap sebagai makna-makna fundamental alam semesta. Bila nomos diterima sebagaimana adanya sebagai menggambarkan “hakikat sesuatu” yang dipahami secara kosmologis atau antropologis, maka nomos tersebut memiliki suatu stabilitas yang berasal dari sumber-sumber yang lebih kuat dibanding usaha-usaha historis manusia. Pada titik inilah, maka agama masuk menjadi bagian penting sebagai suatu usaha manusia untuk membentuk suatu kosmos keramat. Dengan kata lain, agama adalah kosmisasi dalam suatu cara yang keramat (sakral); suatu kualitas kekuasaan yang misterius dan menakjubkan, bukan dari manusia tetapi bekaitan dengannya, yang diyakini berada dalam objek-objek pengalaman tertentu.12 Dalam mempertahankan tatanan nomos, agama memberikan legitimasi kepada manusia, baik secara objektif maupun subjektif. Tujuan pokok semua legitimasi adalah pemeliharaan realtas.13 Sumber dari nomos keramat adalah Tuhan, suatu zat atau kekuatan yang luar biasa yang memiliki seperangkat nilai dan ide yang menjadi dasar pembentukan nomos keramat tersebut. Segala aktivitas nomisasi berlandaskan pada ketentuan Tuhan. Sehingga, dalam masyarakat religius, legitimasi tersebut dapat menjadi salah satu penyebab sehingga tradisi agama tidak akan hilang 8 Hanneman Samuel, Peter Berger: Sebuah Pengantar Ringkas (Depok: Kepik, 2012), 41. Peter L. Berger, Langit Suci: Agama Sebagai Realitas Sosial, terj. Hartono (Jakarta: LP3ES, 1991), 4-5. 10 Ibid., 3. 11 Ibid., 24. 12 Ibid., 31-32. 13 Ibid., 40. 9 53 sampai kapan pun. Karena selain itu, salah satu sifat dasar manusia yang sangat penting dalam pemahaman perilaku religius manusia adalah kecenderungannya akan keteraturan. Manusia percaya bahwa keteraturan masyarakat yang diciptakan dengan berbagai cara, berhubungan dengan keteraturan alam semesta yang mendasarinya, suatu keteraturan ilahi yang mendukung dan membenarkan semua usaha manusia dalam mewujudkannya. Pemikiran manusia tentang keteraturan tersebut lebih bersifat metafisis dari pada etis. Jadi, kecenderungan manusia akan keteraturan itu mengimplikasikan keteraturan alam semesta dan setiap isyarat keteraturan merupakan suatu tanda keteraturan adikodrati.14 PENJELASAN TENTANG TRADISI PERINGATAN HAUL Haul berasal dari bahasa Arab “hawl” yang artinya adalah “tahun”. Sedangkan yang dimaksud dengan perayaan haul sebagaimana yang sering dilaksanakan oleh umat muslim Indonesia ialah acara peringatan hari ulang tahun kematian.Acara ini biasanya diselenggarakan di halaman kuburan mayit yang diperingati atau sekitarnya, tetapi ada pula yang diselenggarakan di rumah, masjid, dan lain-lain. Haul umumnya diselenggarakan tepat pada hari ulang tahun wafatnya mayit yang diperingati, yang lazimnya tergolong orang yang berjasa kepada Islam dan kaum muslimin semasa hidupnya. Tradisi haul biasanya berlangsung sampai tiga hari tiga malam dengan aneka variasi acara.Namun ada pula yang menyelenggarakannya secara sederhana yang tidak memakan banyak waktu dengan sekadar pembacaan tahlil dan hidangan makan sesudahnya. Hidangkan yang disuguhkan dalam acara haul adalah hidangan yang diniatkan untuk selamatan atau sedekah dari mayit tersebut.15 Jika yang diperingati adalah tokoh yang memiliki pengaruh besar selama hidupnya, biasanya tradisi haul diselenggarakanbesar-besaran dengan dibentuk beberapa panitia yang mengatur jalannya acara. Dengan dimeriahkan berbagai acara seperti tila>wah (membaca) al-Qur„an, pembacaan tahlil secara massal, dan dengan selingan acara kesenian seperti seni hadrah (musik rebana pengiring bacaan sholawat Nabi), dan di beberapa tempat atau jalan sekitar pusat kegiatan biasanya dipenuhi dengan aneka macam aktifitas jual beli berbagai macam barang sehingga membuat kegiatan tersebut lebih meriah. Tujuan dari acara haul antara lain untuk mengirimkan pahala bacaan ayatayat suci al-Quran dan bacaan-bacaan lainnya di samping juga untuk tujuan seperti tawassul, tabarruk (mengambil manfaat), istigha>thsah, dan pelepasan nazar kepada si mayit. Sedangkan acara inti dari haul adalah untuk mengenang sejarah atau biografi seorang tokoh yang diperingati. Oleh sebab itu, momentum haul selalu dinanti oleh umat Islam dengan tujuan untuk meneladani sejarah kehidupan tokoh tersebut. Meskipun ada beberapa kelompok yang tidak memperbolehkan acara haul, namun dalam sebuah hadis yang diriwayatkan oleh al-Baiha>qi> dan al-Waqidi> menjelaskan bahwa Nabi senantiasa berziarah ke makam para syuhada di bukit Uhud, setiap tahun sesampainya di sana beliau mengucapkan salam dengan mengeraskan suaranya(sebagaimana tercantum dalam al-Qur‟an surat al-Ra‟ad ayat 24).Yang artinya keselamatan tetap kepadamu berkat kesabaranmu, maka betapa 14 Peter L. Berger, Kabar Angin Dari Langit: Makna Teologi Dalam Masyarakat Modern, terj. J.B. Sudarmanto (Jakarta: LP3ES, 1994), 72. 15 Imron AM, Kupas Tuntas Masalah Peringatan Haul (Surabaya: Al-Fikar, 2005), 13-14. 54 baiknya tempat kesudahanmu itu. Abu> Bakar juga berbuat seperti itu setiap tahun, kemudian „Umar, lalu Uthma>n. Fa>t}imah juga pernah beziarah ke bukit Uhud dan berdo‟a. Sa‟ad bin Abi> Waqqas} mengucapkan salam, kepada shuhada tersebut kemudian ia mengahadap kepad para sahabatnya lalu berkata, “Mengapa kamu tidak mengucapkan salam kepada orang-orang yang akan menjawab salammu?”16 Hadis tersebut setidaknya menjadi salah satu landasan bagi umat muslim untuk melaksanakan haul. Di samping itu ada beberapa kalangan yang mengatakan bahwa apa yang dilakukan oleh Rasulullah tersebut adalah Ziarah Rajabiyah,17 bukan peringatan haul yang diadakan untuk tokoh tertentu. Hadit lain yang menjadi landasan umat Islam untuk melaksanakan tradisi haul adalah hadits tentang ziarah kubur. Meskipun haul tidak sama secara keseluruhan dengan ziarah kubur, namun ada nilai yang sama dari keduanya, yaitu meningkatkan kualitas keagamaan. Sebagaimana dikutip oleh al-Shaikh Muh}ammad Nas}i>r al-di>n al-Alba>ni> tentang ziarah kubur, bahwa Rasulullah mengatakan “sesungguhnya dulu aku pernah melarang kalian dari ziarah kubur.Maka sekarang ziarahlah!” Al-Alba>ni> mencatat, hadit ini diteruskan dalam berbagai versi kalimat, “sesungguhnya ziarah kubur itu mengingatkan kalian kepada akhirat, dan hendaklah ziarah kubur itu menambah kebaikan kepada kalian. Barang siapa yang ingin berziarah, ziarahlah! Akan tetapi jangan mengucapkan perkataan kotor!”18 Dalam riwayat yang lain, hadit itu diteruskan dengan kalimat “karena padanya terdapat pelajaran („iba>rat).”19 Hadit tersebut menjadi dapat dijadikan sebagai dasar dari tradisi haul. Namun, disamping mendoakan mayit, haul juga memiliki nilai kebaikan yang dapat diambil untuk meningkatkan kualitas keagamaan umat Islam. Maka dari itu, dalam acara haul terdapat mauiz}ah h}asanah atau ceramah agama sebagai acara inti yang berisi tentang cerita sejarah kebaikan dari mayit selama ia masih hidup, yang dapat menjadi pelajaran bagi umat Islam yang masih hidup. Karena itu pula, acara inti tersebut biasanya diisi oleh orang yang mengenal baik ahli kubur, dan mengetahui perjuangan hidupnya. Hal ini juga sesuai dengan hadit Nabi yang mengatakan “janganlah kalian menyebutkan sesuatu mengenai orang yang sudah meninggal di antara kalian kecuali kebaikan” (HR. An-Nasa‟i).20 Dengan dasar-dasar tersebut haul mulanya menjadi sebuah ritual keagamaan yang dikemas secara sosial, sehingga dapat kita katakan bahwa haul adalah ritual sosial keagamaan. Namun, untuk memperjelas bagaimana bentuk fakta haul yang akan dimaksudkan sebagai objek diskusi ini, penting untuk memperjelas apa yang kita sebut sebagai ritual. Doland S. Swenson memberikan petunjuk yang jelas dalam hal ini.Ia mendefinisikan ritual dengan dua definisi; definisi substantif dan definisi fungsional.Definisi substantif ritual adalah perilaku sakral yang dilakukan berulangulang yang menjadi simbol dari ekspresi kejiwaan dan motivasi pemeluk agama dan kekuatan yang tidak tampak. Ritual membentuk sebuah ikatan persahabatan, komunitas, dan kesatuan antara pemeluk agama dan tuhannya. Yang terakhir, ritual membawa pemeluk agama ke dalam dunia yang lain (dunia yang lebih tinggi) di Al-Shari>f al-Rid}a al-Musa>wi>, Nahj Al-Bala>ghah (Bairu>t: Maktabah Al-Fikr), 394 http://www.nu.or.id/ tentang Ziarah Rajabiyah dan Peringatan Haul. Diakses pada 10 januari 2015. 18 Al-Shaikh Muh}ammad Nas}i>r al-di>n al-Alba>ni>, Ah}ka>m al-Jana>iz: Tuntunan Pengurusan Jenazah dan Ziarah Kubur, terj. Abu Yahya Muslim (Tegal: Ash-Shaf Media, 2006), 355. 19 Ibid., 357. 20 Ima>m Jala>l al-di>n al-Suyu>t}i>, Ziarah ke Alam Barzakh, terj. Muhammad Abdul Ghoffar, Edisi Revisi (Bandung: Pustaka Hidayah, 2005), 371. 16 17 55 mana terdapat kedamaian dan keharmonisan.21 Sedangkan definisi fungsional dari ritual ia bagi menjadi delapan fungsi: (1) pengingat, (2) pengikat sosial, (3) mengatur tindakan moral pemeluk agama, (4) sosialisasi dan perubahan status sosial, (5) pengembangan psikologi, (6) pengikat alam (fungsi ekologi), (7) pemberdayaan, dan (8) menimbulkan kejahatan.22 Kedua jenis definisi tersebut memperjelas bahwa, sebagai ritual, haul telah dilakukan secara berulang-ulang, setiap tahun sesuai dengan ulang tahun kematian mayit yang diperingati. Haul selalu diminati oleh umat Islam, terutama yang memiliki hubungan pengaruh subjektif dengan mayit, hal ini karena ada motivasi subjektif pula untuk, disamping mengirimkan doa, juga memperolah pelajaran dari sejarah kehidupan mayit, sehingga apa yang disebut sebagai fungsi pemberdayaan dari haul adalah untuk membuat umat Islam merasa memiliki jiwa yang kuat, tidak teralienasi, dan siap untuk melayani orang lain. Hal ini akan mereka dapatkan dengan refleksi sejarah mayit yang diperingati. Maka dari itu, haul adalah ritual sosial keagamaan, yaitu sebuah ritual keagamaan yang dikemas secara sosial, dengan rangkaian acara yang tidak hanya menyangkut agama secara langsung, tetapi berbagai acara yang dapat memeriahkan dan menarik mitan orang banyak untuk hadir bersama dan mendoakan, serta mendapatkan pelajaran bersama dari sejarah mayit yang akan dihadirkan, dengan harapan dapat diambil pelajaran, khususnya dalam hal agama, untuk kehidupan umat Islam selanjutnya. TRADISI PERINGATAN HAUL SEBAGAI REALITAS SOSIAL Haul kini bukan hanya perilaku agama, tetapi telah menjadi perilaku sosial, atau kita katakan sebagai realitas sosial. Haul merupakan ritual sosial keagamaan. Masyarakat menerima sebagai mana adanya dan ikut serta sebagai kebiasaan tahunan mereka. Perilaku agama tidak lagi mereka pertanyakan keabsahannya, karena dasar-dasar agama telah memberikan legitimasi, meskipun dalam haul ada kalanya disisipi dengan acara-acara yang tidak berhubungan langsung dengan agama, seperti diadakannya berbagai aktifitas ekonomi dan hiburan, meskipun juga hiburan ini merupakan hiburan yang islami, seperti pembacaan shalawat Nabi yang diiringi musik hadrah. Namun dalam konteks ziarah (berkunjung ke makam dan mendoakan ahli kubur), rangkaian acara tersebut dimaksudkan untuk memeriahkan haul. Haul tidak serta merta ziarah, akan tetapi terdapat acara inti yang lebih bermakna sosiologis, yaitu refleksi sosial religius. Masyarakat menghadirkan kembali sejarah tokoh yang diperingati melalui ceramah agama yang telah diwakilkan salah seorang dari mereka untuk dapat mengambil pelajaran dalam kehidupan mereka, terutama berkaitan dengan kehidupan beragama. Dalam hal ini, seakan-akan mereka merasa sosok mayit tersebut hadir secara utuh bersama mereka, meskipun lebih dirasakan secara subjektif dengan cara masing-masing individu. Refleksi sejarah bukan merupakan fakta agama, namun dalam konteks haul hal itu seakan menjadi keharusan yang telah terlembagakan, dalam arti telah diobjektifikasi. Tentu sosiologi pegetahuan tidak terfokus pada persoalan sejarah sebagaimana perjalanan fakta-fakta; sosiologi pengetahuan mencari tahu apa yang dianggap sebagai pengetahuan bagi setiap individu dalam suatu masyarakat sehingga realitas yang tampak adalah realitas sosial yang objektif. Sehingga secara tidak 21 22 Donald S. Swenson, Society, Spirituality, and The Sacred, 185. Ibid., 186. 56 langsung sosiologi pengetahuan berkaitan dengan sejarah, dalam arti sejarah kesadaran manusia. Menyinggung definisi Collingwood tentang sejarah agaknya cukup membantu. Ia menggunakan sebuah ungkapan history is the history of thought (sejarah adalah sejarah pemikiran); history is kind of research or inquiry (sejarah adalah sejenis penelitian atau penyelidikan),23 untuk mendefinisikan sejarah. Definisi tersebut mengidentifikasikan sebuah rangkaian pemikiran, yang dalam Berger lebih mengarah kepada kesadaran.Sehingga sosiologi pengetahuan harus mencari tahu terlebih dahulu bagaimana sebuah pengetahuan dapat diinternalisasi kedalam kesadaran individu dengan caranya yang unik. Manusia tentu mengalami sejarahnya sendiri secara subjektif dalam kehidupan mereka masing-masing.Maka inilah yang menjadi pertanyaan, bagaimana subjektifitas sejarah tersebut harus dihadirkan secara objektif? Dalam sosiologi agama, haul adalah proses objektifasi. Dalam tradisi itu manusia berkumpul untuk membuka kesadaran mereka bersama namun menginternalisasi realitas yang berbeda. Satu contoh yang harus diungkap saat ini misalnya haul ke-5 KH. Abdurrahman Wahid yang akrab dipanggil Gus Dur yang diadakan di awal tahun 2015 lalu. Sampai diliput beberapa televisi lokal dan nasional. Haul tersebut menjadi meriah bukan karena Gus Dur adalah mantan Pesiden Indonesia, akan tetapi masyarakat memililki citra baik yang berbeda-beda terhadapnya. Sejarah Gus Dur tentu berbeda dengan sejarah umat Islam yang hadir dalam acara haul pada waktu itu, sehingga apa yang dihadirkan dari sejarah Gus Dur adalah sejarah yang objektif yang dapat diterma seluruh peserta haul, namun tidak dapat dipastikan mereka menginternalisasi nilai yag sama dari sosok Gus Dur. Seorang politisi mungkin akan terinspirasi dari terungkapnya sejarah Gus Dur yang berhubungan dengan politik, sedangkan orang lain yang menganggap Gus Dur adalah Bapak Pluralisme Indonesia akan menginternalisasi makna keagamaan bagi Gus Dur. Perbedaan itu hadir dalam realitas yang sama; realitas sosial, yaitu haul. Sehingga apa yang dianggap sebagai sejarah bagi peserta haul bukanlah sejarah Gus Dur mulai lahir hingga meninggal, akan tetapi rangkaian pemikiran yang melandasi kehidupannya dalam berbagai aspek. Misri A. Muchsin pernah memberikan gambaran, bahwa sejarah memiliki keserupaan satu sama lain, antara satu peristiwa dengan peristiwa yang lain. Oleh karenannya, atas dasar penyerupaan itulah, peluang dan kesempatan untuk memetik pelajaran, peringatan bagi seorang yang bijak, agar lebih waspada. 24 Penggambaran itu menandakan bahwa kehidupan manusia meninggalkan jejak yang tidak utuh bagi orang lain. Sehingga apa yang diungkapkan Berger tentang “Manusia dalam Masyarakat” adalah sebuah realitas sosial objektif yang diisi berbagai kesadaran dubjektif individu. Manusia adalah produk masyarakat, manusia menemukan dirinya dalam internalisasi realitas objektif, yakni hasil dari objektivasi secara sosial. Manusia menemukan dirinya dalam realitas objektif. Dialektika ini akan menemui jalan yang rumit ketika terdapat beberapa realitas objektif yang sama sekali berbeda, masuk ke dalam kesadaran individu. Hal itu dinamakan sebagai duplikasi kesadaran,25 yaitu komponen-komponen dalam kesadaran yang tersosialisasi dan tidak tersosialisasi. 23 R.G. Collingwood, The Idea of History (London: Oxford University Press, 1976), 9. Misri A. Muchsin, Filsafat Sejarah Dalam Islam (Yogyakarta: Ar-Ruzz, 2002), 31. 25 Peter L. Berger, Langit Suci, 100. 24 57 Dalam haul, umat Islam menemukan dirinya hadir kembali denga jiwa yang lebih kuat, dengan kesadaran agama yang meningkat. Sebagaimana sebuah seminar motivasi, para peserta disuguhkan sebuah gambaran realitas yang dapat menggugah jiwanya. Namun tidak semua peserta menerima makna yang sama dari objek yang dihadirkan. Semua peserta haul tidak menerima inspirasi yang sama dari mayit yang diperingati. Namun, tidak ada yang sia-sia dalam pengungkapan sejarah tersebut, karena realitas objektif tidak menyediakan kriteria realitas yang akan mereka internalisasi dan tidak akan mereka internalisasi. Dialektika tersebut berjalan sebagaimana adanya, dan diteria sebagaimana ia nampak. Dengan landasan tersebut kita dapat mengatakan bahwa haul adalah tindakan sosial semata, bukan tindakan agama. karena refleksi sejarah kehendak murni manusia. Akan tetapi hal itu tentu tidak sepenuhnya dapat menjadi kesimpulan terhadap penjelasan sosiologis dari tradisi haul. Hal lain yang nampak adalah mayit yang diperingati merupakan seorang tokoh agama, atau paling tidak memiliki pengaruh terhadap keberagamaan masyarakat (bukan berarti tokoh yang tidak dikenal dalam hal agama tidak pernah diperingati haul. Mungkin juga diperingati dengan istilah yang lain meskipun praktiknya relatif sama). Selain itu, haul selalu diwarnai dengan nilai-nilai agama; pembacaan ayat-ayat Al-Qur‟an, tahlil, doa dan zikir, dan bahkan tidak jarang sebagian orang membakar kemenyan atau wangiwangian sewaktu berdzikir. Salah satu motif yang sering kita dengar adalah supaya ruh yang telah meninggal, termasuk mayit yang diperingati, bahkan malaikat, hadir dan ikut berdoa bersama. Realitas tersebut tentu tidak bisa kita pisahkan dengan agama. Hal itu menjelaskan bahwa dengan agama lah mereka menjelaskan kehidupan mereka. Termasuk mengatakan bahwa haul adalah perilaku agama adalah bahwa dalam haul kita diajak untuk berdoa bersama, memohon ampunan bersama, dan memperbaiki kualitas keberagamaan bersama. Dengan refleksi sejarah ahli mayit tersebut, di samping mengingatkan bahwa kehidupan akan berakhir di tempat yang sama dengan cara yang berbeda, mereka juga mendapatkan nuansa iman yang lebih kuat dan lebih baik. Semua itu tidak lain didasari motif agama. Sebagaimana Berger menjelaskan agama sebagai nomos sakral, maka apa yang mereka dapatkan dari haul adalah instrumen untuk memperbaiki tatanan kehidupan sosial mereka yang berasal dari sesuatu yang sakral pula yang dilandasi legitimasi agama, bukan sekedar sejarah kehidupan manusia belaka. Untuk mengakhiri analisis ini, ada kutipan dari Rosihan Anwar dalam In Memoriamnya, bahwa berita duka ditulis tidak hanya berupa rangkaian data dan fakta belaka, tetapi juga dengan cara pandang pribadi atau personal. Ia mengandung analisis dan penilaian, sehingga orang yang tutup usia itu tampil lebih utuh, lengkap dan manusiawi. Tidak diabaikan latar belakang peristiwa-peristiwa semasa hidupnya, semangat zaman yang menguasainya.26 Sehingga momen haul bagi umat Islam yang merayakannya adalah momen penulisan berita duka dan inspirasi sejarah dalam kesadarannya masing-masing. Melalui mayit yang telah dihadirkan secara sosial, dengan seobjektif mungkin dan seutuh mungkin, peserta haul menuliskan kutipankutipan sejarah yang sesuai dengan sejarah masing-masing dari mereka lengkap dengan penyelesaiannya, untuk meningkatkan kualitas hidup mereka, khususnya dalam hal agama. 26 Rosihan Anwar, “Sekapuh Sirih” dalam Rosihan Anwar, In Memoriam: Mengenang Yang Wafat (Jakarta: Kompas, 2002), xi 58 KESIMPULAN Haul adalah ritual sosial keagamaan. Sebagai sebuah fakta, haul menyediakan realitas lintas dunia, karena mayit yang diperingati, dihadirkan secara sosial melalui sejarah kehidupannya. Haul juga menampilkan sebuah motif yang unik dari masyarakat, yaitu motif agama yang diaplikasikan melalui cara yang tidak murni agama, yaitu refleksi sejarah. Meskipun secara keseluruhan, haul lebih banyak bernuansa agama, kecuali hanya refleksi sejarah sebagai acara intinya saja. Di samping sebagai tindakan sosial, haul juga merupakan tindakan agama. Sehingga apa yang kita katakan tentang ritual sosial keagamaan adalah sebuah ritual keagaman yang dilakukan secara sosial; mengandung motif agama; namun tujuan intinya tampak tidak murni agama, akan tetapi menyediakan makna-makna agama yang dapat diambil untuk memperbaiki kualitas keagamaan. Yang terakhir, haul adalah realitas sosial, karena masyarakat menerimanya sebagaimana adanya. DAFTAR RUJUKAN Albani (al), Al-Shaikh Muh}ammad Nas}i>r al-Di>n. Ah}ka>m al-Jana>iz: Tuntunan Pengurusan Jenazah dan Ziarah Kubur.Terj. Abu Yahya Muslim. Tegal: Ash-Shaf Media, 2006. AM, Imron.Kupas Tuntas Masalah Peringatan Haul. Surabaya: Al-Fikar, 2005. Anwar, Rosihan. In Memoriam: Mengenang Yang Wafat. Jakarta: Kompas, 2002. Baum, Gregory. Agama Dalam Bayang-bayang Relativisme.Terj. Achmad Murtajib Chaeri dan Masyhuri Arow. Yogyakarta: Tiara Wacana, 1999. Berger, Peter L. dan Thomas Luckmann. Tafsir Sosial Atas Kenyataan: Risalah Tentang Sosiologi Pengetahuan. Terj. Hasan Basari. Jakarta: LP3ES, 2012. Berger, Peter L. Kabar Angin Dari Langit: Makna Teologi Dalam Masyarakat Modern. Terj. J.B. Sudarmanto. Jakarta: LP3ES, 1994. Berger, Peter L.Langit Suci: Agama Sebagai Realitas Sosial.Terj. Hartono. Jakarta: LP3ES, 1991. Collingwood, R.G. The Idea of History.London: Oxford University Press, 1976. Fanani, Muhyar. Metode Studi Islam: Aplikasi Sosiologi Pengetahuan Sebagai Cara Pandang.Yogyakarta: Putaka Pelajar, 2010. Muchsin, Misri A. Filsafat Sejarah Dalam Islam.Yogyakarta: Ar-Ruzz, 2002. Musa>wi> (al), al-Shari>f al-Rid}a>. Nahj al-Bala>ghah. Bairu>t: Maktabah Al-Fikr. Samuel, Hanneman. Peter Berger: Sebuah Pengantar Ringkas.Depok: Kepik, 2012. Suyu>t}i> (al), Ima>m Jala>l al-Di>n. Ziarah ke Alam Barzakh.Terj. Muhammad Abdul Ghoffar. Edisi Revisi. Bandung: Pustaka Hidayah, 2005. Swenson, Donald S. Society, Spirituality, and The Sacred: A Social Scientific Introduction.Canada: Broadview Press, 1999.