1 I. PENDAHULUAN 1. 1. Latar Belakang Hubungan antara liberalisasi keuangan dengan perekonomian telah banyak menjadi perhatian sepanjang perekonomian modern. Liberalisasi keuangan diharapkan dapat memberikan dampak positif langsung terhadap kinerja perekonomian maupun tidak langsung terhadap rumahtangga. Selain itu liberalisasi keuangan diharapkan meningkatkan efisiensi dan stabilitas sistem keuangan (Levine, 1997). Dalam perekonomian terbuka, liberalisasi keuangan merupakan faktor utama yang dapat mendorong aliran modal (kapital). Sumber dana dapat berasal dari mana saja, sehingga pada tingkat suku bunga tertentu, sumber dana eksternal dapat bersaing dengan sumber dana internal. Pendukung liberalisasi keuangan menyatakan bahwa dengan adanya liberalisasi keuangan akan terjadi mobilitas tabungan alokasi kapital untuk penggunaan yang lebih produktif, karena meningkatkan modal fisik dan produktivitas. Oleh karena itu, liberalisasi keuangan meningkatkan pertumbuhan ekonomi, dan mengurangi kemiskinan. Demikian pula halnya liberalisasi dalam pasar modal, yang telah mengalami pertumbuhan secara drastis baik ukuran maupun integrasinya. Globalisasi yang terjadi pada pasar modal, mengakibatkan terjadinya fully integrated market, artinya para pemodal dapat melakukan diversifikasi investasi di mana saja tanpa hambatan. Seiring dengan itu perhatian mengenai integrasi keuanganpun meningkat akhir-akhir ini yang pada awalnya merupakan manifestasi pertumbuhan aliran modal diantara negara maju. Sebagai respons atas penghapusan pengawasan modal, inovasi keuangan dan kemajuan teknologi, integrasi keuanganpun secara berkelanjutan menyebar ke negara-negara 2 berkembang. Aliran modal bersih dan kotor diantara perekonomian maju dan berkembang telah meningkat. Integrasi keuangan juga telah menjadi bukti adanya korelasi tinggi diantara return atau harga, terutama untuk kelas asset tertentu seperti obligasi perusahaan maupun obligasi dan saham terbaik di suatu negara berkembang. Pada dasarnya liberalisasi keuangan merupakan bagian dari suatu reaksi global terhadap ideologi Keynesian setelah periode perang Dunia II. Dalam sistem Bretton Woods, nilai tukar tetap dan kontrol kapital (modal) bertujuan untuk melindungi negara-negara dari ketidakstabilan akibat guncangan eksternal. Liberalisasi keuangan diawali sejak dipatahkannya sistem Bretton Woods pada sekitar 1970an yang memuncak pada 1980an dengan tujuan menghapuskan kendali pemerintah dan membiarkan pasar untuk beroperasi secara bebas. Kecenderungan liberalisasi keuangan di negara berkembang ini dinamakan Konsensus Washington oleh Williamson (1990) yang memasukkan penghapusan kontrol atas investasi asing langsung (tidak termasuk aliran portofolio keuangan) dalam daftar kebijakannya (Joyce and Noy, 2005). Konsensus Washington menekankan kepada pembuatan kebijakan finansial dan makroekonomi yang hati-hati (prudent), nilai tukar mata uang yang kompetitif, liberalisasi sektor keuangan dan perdagangan, privatisasi, dan deregulasi. Kebijakan-kebijakan ini secara implisit mengajak pemerintah/negara “menahan diri” untuk tidak turut campur langsung dalam kegiatan ekonomi, melainkan justru lebih memfokuskan kepada kebijakan moneter, menjamin hak kepemilikan (property rights), dan menyiapkan infrastruktur pendidikan dasar (Yustika, 2004). Menurut Simmons dan Elkins (2004) dalam Joyce and Noy (2005) penghapusan kontrol kapital merupakan bagian dari proses difusi 3 kebijakan yang menempatkan negara-negara untuk berkompetisi dalam modal internasional. Pada awal tahun 1980an, liberalisasi dan reformasi keuangan meningkatkan peran pasar dalam penentuan suku bunga, alokasi kredit dan skala operasi lembaga-lembaga keuangan. Dampak dari reformasi dan liberalisasi keuangan tersebut adalah meningkatnya peluang investasi dan lebih menariknya suku bunga di negara-negara Asia Timur/Tenggara, yang mengundang masuknya dana kedalam negara-negara tersebut. Perubahan sukubunga serta peluang investasi menjadi dimungkinkan karena adanya aliran modal antar negara setelah penurunan restriksi mobilitas modal akibat liberalisasi keuangan. Sumber: Garcia-Herrero and Wooldridge (2007) dalam Gudmundsson, 2008 Gambar 1. Perkembangan Hambatan Mobilitas Modal di Negara-Negara G7 dan Negara Berkembang Gambar 1 menunjukkan perkembangan perubahan hambatan legal dari mobilitas modal di negara-negara G7 dan beberapa negara berkembang selama kurun waktu 1984 sampai dengan 2004. Indeks restriksi bervariasi dari 1 (dikontrol penuh) sampai 0 (tidak ada hambatan) merupakan rata-rata dari beberapa kategori hambatan yang ber nilai dari 1 sampai 0 sesuai dengan standard AREAER (Annual Report on Exchange Rate Arrangements and Exchange Restrictions) yang digunakan oleh IMF (International Monetary Fund). Dalam kurun waktu 20 4 tahun tersebut, terlihat adanya penurunan hambatan di Amerika Latin dan negara berkembang Eropa, dan hanya sedikit perubahan di negara Asia dengan tingkat hambatan yang masih tinggi apabila dibandingkan dengan Amerika Lating dan Eropa. Hal tersebut mencerminkan masih terdapat pengendalian kapital (modal) di beberapa negara berkembang di Asia, kecuali China dan India. Pertumbuhan aliran modal ke negara berkembang juga mengalami peningkatan sampai dengan tahun 1996 yang mempengaruhi ukuran dan likuiditas dari pasar saham di negara-negara tersebut. Perbandingan ukuran dan likuiditas dari pasar saham di beberapa negara berkembang di Asia sebelum dan setelah periode liberalisasi (sampai dengan tahun 1996) disajikan pada Tabel 1 dan Gambar 2. Pada Tabel 1, secara umum terlihat peningkatan ukuran pasar saham yang tercermin dari kapitalisasi pasar, kapitalisasi pasar terhadap GDP (Gross Domestic Product), serta peningkatan likuiditas berupa nilai transaksi perdagangan dan jumlah perusahaan terdaftar di bursa setempat. Aktivitas dan likuiditas pasar saham yang meningkat dibandingkan dengan ukuran pasarnya terlihat dari rasio perputaran. Tabel 1. Karakteristik Pasar Saham Sebelum dan Sesudah Periode Liberalisasi Keuangan Pasar Rata-rata Rata-rata Rata-rata Rata-rata Rata-rata Kapitalisasi Pasar/GDP Kapitalisasi Pasar Nilai Perdagangan Jlh Perusahaan Terdaftar Rasio Turnover (%) Sebelum India Indonesia 7.15 (juta US $) Sesudah Sebelum 34.86 18 090 Sesudah 118 824 (juta US $) Sebelum (%) Sesudah 9 923 22 377 Sebelum Sesudah 2 963 4 768 Sebelum 63.03 Sesudah 20.85 0.13 20.23 110 37 820 7 11 189 19 186 7.24 41.87 Korea 22.32 37.96 43 286 162 993 34 678 215 057 439 718 85.00 114.21 Malaysia 57.68 210.30 16 703 148 825 2 554 72 582 208 408 15.50 43.66 Philippina 6.17 57.84 2 147 38 278 512 9 544 165 182 24.53 25.01 Taiwan Thailand 42.85 5.10 82.08 60.84 51 467 2 112 200 892 80 868 190 481 975 430 358 50 873 137 93 317 322 215.82 39.36 229.42 82.18 Sumber: IFC, dalam Fuss, 2006 5 Aktivitas pasar saham dapat diukur pula dengan melihat perbandingan antara nilai transaksi perdagangan saham dengan GDP. Secara umum terjadi peningkatan aktivitas pasar saham setelah liberalisasi di 7 (tujuh) negara berkembang di Asia seperti yang terlihat pada Gambar 2. Sumber: Fuss, R, 2006 Gambar 2. Aktivitas Pasar Saham di Negara-Negara Berkembang Asia Beberapa pendapat mengatakan bahwa liberalisasi keuangan yang berdampak pada integrasi pasar keuangan global merupakan kunci kedisiplinan bagi pembuat kebijakan, dan akan membantu perbaikan kualitas manajemen makroekonomi. Di negara berkembang, liberalisasi keuangan didorong oleh adanya keyakinan akan meningkatkan pertumbuhan dan menekan volatilitas. Namun hasil penelitian yang dilakukan oleh Prasad et al. (2003) menunjukkan hasil yang tidak mendukung. Pertama, sulit membentuk hubungan kuat antara integrasi keuangan dengan pertumbuhan. Kedua, hanya sedikit bukti bahwa integrasi keuangan membantu menstabilkan fluktuasi konsumsi atas pendapatan. Terutama karena integrasi keuangan diharapkan dapat mengumpulkan resiko batas 6 negara. Kenyataannya, bagi negara yang masih berada pada tahap awal integrasi, volatilitas konsumsi relatif terhadap pendapatan ternyata meningkat. Berbeda dengan Prasad et al. (2003), Bekaert, Harvey dan Lundblad (2004), menyatakan bahwa liberalisasi pasar keuangan tidak meningkatkan volatilitas perekonomian suatu negara. Penelitian tersebut menjembatani dua pemikiran mengenai dampak liberalisasi keuangan, yaitu pertama bahwa terdapat keterkaitan antara pertumbuhan dan perkembangan ekonomi dengan liberalisasi keuangan. Kedua, bahwa keterbukaan pasar modal memungkinkan adanya pembagian resiko internasional. Di sisi lain, kepentingan liberalisasi keuangan dan kebijakan moneter bagi pertumbuhan suatu perekonomian masih menjadi pertanyaan sampai dengan saat ini. Pengalaman beberapa negara di Asia Timur/Tenggara, seperti Indonesia, Malaysia, Thailand, Korea Selatan dan Philipina berupa krisis moneter, krisis pasar saham dan krisis perbankan pada akhir 1990an menunjukkan bahwa liberalisasi keuangan yang tidak didukung oleh kualitas sistem keuangan yang baik, merupakan sumber dari krisis keuangan Asia. Menurut Siregar (2003), krisis keuangan Asia adalah krisis kualitas lembaga-lembaga keuangan yang dipengaruhi oleh penerapan suku bunga yang ternyata gagal berfungsi sebagai alat indirect screeening mechanism. Menurut Mishkin (2004), krisis keuangan yang terjadi terutama disebabkan karena masalah informasi yang asimetri sehingga menyebabkan saluran saluran mekanisme kebijakan moneter tidak berjalan semestinya. Transmisi kebijakan moneter dapat terjadi melalui beberapa saluran (jalur), diantaranya adalah saluran kredit (credit channel) dan harga saham (equity price channel). Paradigma baru mekanisme transmisi moneter lebih menekankan pada 7 informasi asimetri dalam pasar keuangan. Krisis keuangan dapat disebabkan oleh: (1) kenaikan suku bunga, (2) penurunan pasar saham, (3) penurunan harga-harga yang tidak diantisipasi, (4) meningkatnya ketidakpastian, dan (5) kepanikan perbankan. Liberalisasi Keuangan di Indonesia Indonesia mulai melakukan reformasi ekonomi khususnya dalam sektor keuangan pada pertengahan tahun 1980an sebagai respons terhadap penurunan kondisi perekonomian yang ditandari dengan penurunan pertumbuhan GDP. Sumber penurunan pertumbuhan GDP Indonesia pada saat itu adalah: (1) perekonomian dunia yang melambat pada awal 1980an yang mengurangi permintaan dunia atas komoditi ekspor terutama produk pertanian, dan (2) penurunan harga minyak dunia. Reformasi sektor keuangan yang dilakukan pada tahun 1988, 1990 dan 1991 adalah meningkatkan mobilisasi dana dari individu (penabung) untuk mendorong laju investasi pada sektor produktif melalui peran perantara (intermediaries). Reformasi berupa liberalisasi keuangan domestik dilakukan melalui penetapan suku bunga berdasarkan mekanisme pasar, memperbolehkan bank asing untuk beroperasi di kota selain Jakarta dan memperluas kapasitas bank komersial dalam alokasi kredit melalui penurunan persyaratan giro cadangan minimum dari 15 persen menjadi 2 persen. Konsep liberalisasi keuangan itu sendiri memberikan pandangan bahwa terdapat peluang bagi tingkat korporasi untuk memperoleh kredit melalui mobilitas kapital dari pasar domestik dan global. Pengalaman Indonesia, menunjukkan bahwa liberalisasi keuangan umumnya diikuti dengan ‘boom’ kredit, sehingga mempengaruhi struktur modal perusahaan yang pada periode 8 1990an umumnya didominasi oleh pinjaman asing jangka pendek (Prasetyantoko dan Marta, 2008).Perkembangan liberalisasi keuangan di Indonesia dalam beberapa dimensi disajikan pada Tabel 2: Tabel 2. Liberalisasi Keuangan di Indonesia Kondisi Dimensi Liberalisasi sukubunga Deregulasi dan persaingan perbankan Perkembangan pasar keuangan Manajemen dan Pengawasan Keterbukaan dan capital account Tahun 1983, pengawasan atas sukubunga deposito dan pinjaman dihilangkan Tahun 1988, pelonggaran persyaratan bank domestik maupun joint venture. Terjadi peningkatan jumlah bank dari 111 (1989) menjadi 240 (1994) Pertengahan 1980an, perkembangan pasar keuangan melalui isntrumen SBI dan SBPU Awal 1990an, pertumbuhan pasar Commercial Paper. Pasar obligasi korporasi dan pemerintah. Pertumbuhan cepat dalam pasar saham, perbaikan infrastruktur pasar dan pengawasan yang lebih baik dari Bapepam dan Bursa Efek Indonesia Awal 1990an, berlakunya aturan baru kecukupan modal dan batasan bagi bank komersiel yang terkait dengan pasar saham dan CP. Tahun 1995, berlakunya limit pinjaman bagi bankbank bermasalah dan institusi keuangan non-bank dan peraturan yang meningkatkan kewenangan Bank Indonesia untuk mengambil alih manajemen bank bermasalah Terbuka sejak 1960an Sumber: Dekle, R. and Pradhan, M., 1999 Dengan adanya akses terhadap kredit tersebut, justru memperburuk nilai bersih perusahaan. Diikuti dengan depresiasi nilai tukar, nilai korporasi baik pada sektor perbankan maupun non-keuangan mengalami kesulitan besar yang akhirnya diikuti dengan keterbatasan perolehan kredit. Dengan keterbatasan keuangan, maka kesempatan perusahaan untuk melakukan investasi berkurang. Hal ini tercermin dari data investasi terhadap stok kapital seperti yang terlihat pada Gambar 3 dan nilai rasio Q-Tobin pada Gambar 4 dari 8 sektor di Indonesia, yang mengalami penurunan terutama saat terjadi depresiasi nilai tukar pada tahun 1997. Kedelapan sektor tersebut adalah: (1) pertanian, (2) pertambangan, (3) industri 9 dan kimia dasar, (4) industri lain-lain, (5) industri barang konsumsi, (6) properti, real estat dan konstruksi, (7) infrastruktur, utilitas dan transportasi, dan (9) perdagangan, jasa dan investasi. Rasio Q Tobin menunjukkan perbandingan antara nilai pasar perusahaan terhadap biaya modal. Nilai rasio Q lebih besar dari 1 menunjukkan perusahaan melakukan investasi karena biaya penggantian modal lebih murah dibandingkan dengan nilai pasar perusahaan, demikian pula sebaliknya. Dari Gambar 4, terlihat bahwa pada periode 1995 sampai dengan 2001, investasi perusahaan-perusahaan publik di sektor pertanian menunjukkan adanya pola yang fluktuatif, yang ditunjukkan dari fluktuasi nilai Q dan yang terendah (negatif) pada tahun 2001 untuk selanjutnya terjadi peningkatan sampai dengan tahun 2004. Pada periode krisis moneter (1997 sampai dengan 1999), sektor pertanian merupakan sektor yang relatif lebih dapat bertahan dibandingkan dengan sektor riil lainnya, tetapi ternyata tetap menunjukkan rasio Q yang berfluktuasi. Sumber: Prasetyantoko dan Marta, 2008 Gambar 3: Rasio Investasi Terhadap Stok Kapital dari Beberapa Sektor di Indonesia 10 Sumber: Prasetyantoko dan Marta, 2008 Gambar 4: Nilai Rasio Tobin Q dari Beberapa Sektor di Indonesia Perekonomian Indonesia, setelah terjadinya krisis menunjukkan pertumbuhan GDP yang relatif stabil, berkisar 6 persen per tahun. Namun tidak demikian halnya dengan tingkat pertumbuhan investasi, sebelum krisis adalah 12.2 persen, dan sejak periode 2000an hanya sekitar 6 persen, bahkan pada tahun 2006 hanya 2.9 persen. Jika dilihat dari sisi nilai investasi, perkembangan realisasi investasi sejak tahun 1990 sampai dengan 2008 menunjukkan peningkatan nilai investasi domestik (PMDN, Penanaman Modal Dalam Negeri) sebesar sepuluh kali (dari Rp 2 398.6 miliar menjadi Rp 20 363.4 miliar) sedangkan nilai Penanaman Modal Asing (FDI, Foreign Direct Investment) meningkat duapuluh kali (dari US$ 706 juta menjadi US$ 14 871.4). Namun demikian, perkembangan realisasi investasi PMDN berdasarkan sektor tidak menunjukkan pola pertumbuhan yang searah. Pada sektor primer, terjadi penurunan nilai realisasi investasi hampir seperempatnya dibandingkan pada tahun 2005 (dari Rp 5 577.2 miliar pada tahun 2005 menjadi Rp 640 miliar pada tahun 2008), sementara untuk industri sekunder misalnya makanan terjadi 11 peningkatan hampir dua kali lipat (BKPM, Badan Koordinasi Penanaman Modal, 2008). Realisasi investasi PMDN industri makanan meningkat dari Rp 4 490.8 miliar pada tahun 2005 menjadi Rp 8 192 miliar pada tahun 2008. Perkembangan data investasi kepada sektor riil tersebut di atas, pada dasarnya dapat menjelaskan perkembangan pola rasio Q untuk seluruh sektor. Pertumbuhan investasi tahunan Indonesia cenderung mengalami penurunan dari 14.7 persen (2004) menjadi 2 persen (2007), meskipun tahun 2009 menunjukkan peningkatan. Di sisi lain, pada sektor keuangan, data terakhir dari Bapepam-LK (Badan Pengawas Pasar Modal dan Laporan Keuangan) menunjukkan adanya peningkatan nilai nominal transaksi saham dari Rp 21.7 triliun di tahun 1995 menjadi Rp 300 triliun pada tahun 2008, meskipun persentase transaksi (saham) asing terhadap total perdagangan saham mengalami penurunan, dari sekitar 67.03 persen pada tahun 1995 menjadi hanya sekitar 24 persen pada akhir tahun 2008. Mobilisasi dana masyarakat melalui obligasi sampai dengan tahun 2004 bernilai sekitar Rp 76 triliun, sedangkan right-issue sekitar Rp 200 triliun dan IPO (Initial Public Offering) sebesar Rp 30 triliun. Hal ini menunjukkan bahwa pasar modal sebagai alternatif sumber pembiayaan bagi swasta, atau dengan kata lain perusahaan seharusnya memiliki peluang untuk melakukan investasi pada stok kapital. Liberalisasi keuangan di Indonesia sampai saat ini masih terus berlanjut, termasuk beberapa penyesuaian pada tahun 1998 saat terjadi krisis keuangan dan moneter di beberapa negara Asia termasuk Indonesia. Krisis yang terjadi di Indonesia dan beberapa negara Asia pada periode waktu tersebut menunjukkan ketidakstabilan kondisi fundamental perekonomian, baik makro maupun mikro. Apabila dibandingkan dengan krisis keuangan global saat ini, meskipun beberapa indikator moneter, perbankan dan makroekonomi Indonesia seperti tingkat inflasi 12 yang relatif terkendali, pertumbuhan ekonomi domestik, serta likuiditas dan permodalan perbankan domestik menunjukkan ketahanan relatif lebih baik dibandingkan dengan negara lain tidak menjamin bahwa Indonesia akan terbebas dari bencana finansial tersebut. Saat ini peran keuangan global sebagai konsekuensi dari liberalisasi keuangan di Indonesia telah bergerak melampaui fungsi awalnya yaitu memfasilitasi perdagangan dan penanaman modal lintas negara. Pasar keuangan tidak lagi sekedar mekanisme untuk menyediakan tabungan bagi investor sektor produksi, tetapi kurang terkait dengan arus sumber daya riil dan investasi jangka panjang sektor produksi. Fakta tersebut menimbulkan suatu pertanyaan, apakah penerapan liberalisasi keuangan di negara berkembang, khususnya Indonesia memberikan manfaat positif terhadap pertumbuhan investasi dari sektor riil maupun keuangan. Keputusan investasi korporasi sebagai bagian dari sektor riil umumnya dipengaruh oleh kondisi makroekonomi seperti ketersediaan dana baik asing maupun domestik serta suku bunga, dan kondisi mikroekonomi seperti struktur industri serta struktur modal perusahaan. Nilai rasio Tobin Q pada dasarnya dapat memberikan gambaran mengenai pengaruh liberalisasi keuangan terhadap keputusan investasi sektor riil. 1.2. Perumusan Masalah Dengan permasalahan seperti itu, maka perlu dilakukan penelitian untuk dapat menjawab permasalahan yaitu: 1. Bagaimana pengaruh liberalisasi keuangan terhadap investasi perusahaan sektor primer, sekunder dan tersier, yang diukur dari nilai rasio Q-Tobin. 13 2. Bagaimana pengaruh liberalisasi keuangan dan kebijakan moneter terhadap investasi perusahaan sektor primer, sekunder dan tersier, yang diukur dari nilai rasio Q-Tobin. 3. Bagaimana pengaruh nilai Q-Tobin sebagai representasi pengaruh liberalisasi keuangan dan kebijakan moneter terhadap terhadap pertumbuhan investasi sektoral 1.3. Tujuan Penelitian Penelitian ini bertujuan untuk: 1. Menganalisis pengaruh liberalisasi keuangan terhadap investasi perusahaan sektor primer, sekunder dan tersier, dengan indikator nilai rasio Q-Tobin . 2. Menganalisis pengaruh liberalisasi keuangan dan kebijakan moneter terhadap investasi sektor primer, sekunder dan tersier, dengan indikator nilai rasio QTobin. 3. Menganalisis pengaruh nilai Q-Tobin terhadap pertumbuhan investasi sektoral 1.4. Kegunaan Penelitian Penelitian yang dilakukan diharapkan dapat memberikan kontribusi bagi otoritas pasar keuangan, pemerintah, korporasi, penelitian lanjutan dan ilmu pengetahun, yaitu: 1. Membangun model liberalisasi keuangan dalam hal capital account dan pasar saham, serta hubungannya dengan investasi di sektor primer, sekunder dan tersier dengan pendekatan dan analisis nilai Q-Tobin. 2. Memberikan kontribusi bagi pemerintah dan Bapepam-LK (Badan Pengawas Pasar Modal dan Lembaga Keuangan) untuk mengantisipasi pengaruh fluktuasi gelombang dana luar negeri terhadap variabel nilai Q-Tobin 14 3. Memberikan kontribusi bagi pihak korporasi melalui informasi respons pasar saham atas kebijakan liberalisasi keuangan dan moneter, terhadap pertimbangan keputusan investasi – sebagaimana digambarkan dengan nilai Q-Tobin. 4. Untuk penelitian lebih lanjut dan pengembangan serta perbaikan pemodelan dalam kajian liberalisasi keuangan khususnya dan dalam kaitannya dengan memperkaya khasanah analisis model makroekonometrika pada umumnya. 1.5. Ruang Lingkup dan Keterbatasan Penelitian 1. Pengaruh liberalisasi keuangan dan kebijakan moneter merupakan suatu analisis historis 2. Ruang lingkup pembahasan difokuskan pada liberalisasi keuangan (keterbukaan capital account dan pasar saham) dan kebijakan moneter. 3. Aspek liberalisasi keuangan yang dianalisis dalam penelitian ini adalah: keterbukaan capital account, keterbukaan pasar saham dan keterkaitannya dengan rasio Q-Tobin serta bentuk kebijakan moneter yang berhubungan dengan suku bunga acuan. 4. Cakupan penelitian adalah agregat nasional (perekonomian terbuka kecil) dan sektor primer, sekunder dan tersier 5. Investasi kapital merupakan investasi tetap bisnis, tidak termasuk investasi perumahan dan investasi persediaan perusahaan. 6. Penelitian ini menggunakan data kebijakan moneter (suku bunga), indeks harga saham periode 2002 sampai dengan 2009 serta data Investasi Asing Langsung (Foreign Direct Investment, FDI) dan Investasi Portofolio. Ruang lingkup penelitian secara skematis disajikan pada Lampiran 1.