1 I. PENDAHULUAN Hubungan antara liberalisasi keuangan

advertisement
1
I. PENDAHULUAN
1. 1. Latar Belakang
Hubungan antara liberalisasi keuangan dengan perekonomian telah banyak
menjadi perhatian sepanjang perekonomian modern.
Liberalisasi keuangan
diharapkan dapat memberikan dampak positif langsung terhadap kinerja
perekonomian maupun tidak langsung terhadap rumahtangga.
Selain itu
liberalisasi keuangan diharapkan meningkatkan efisiensi dan stabilitas sistem
keuangan (Levine, 1997).
Dalam perekonomian terbuka, liberalisasi keuangan
merupakan faktor utama yang dapat mendorong aliran modal (kapital). Sumber
dana dapat berasal dari mana saja, sehingga pada tingkat suku bunga tertentu,
sumber dana eksternal dapat bersaing dengan sumber dana internal.
Pendukung liberalisasi keuangan menyatakan bahwa dengan adanya
liberalisasi keuangan akan terjadi mobilitas tabungan alokasi kapital untuk
penggunaan yang lebih produktif, karena meningkatkan modal fisik dan
produktivitas. Oleh karena itu, liberalisasi keuangan meningkatkan pertumbuhan
ekonomi, dan mengurangi kemiskinan. Demikian pula halnya liberalisasi dalam
pasar modal, yang telah mengalami pertumbuhan secara drastis baik ukuran
maupun integrasinya. Globalisasi yang terjadi pada pasar modal, mengakibatkan
terjadinya fully integrated market, artinya para pemodal dapat melakukan
diversifikasi investasi di mana saja tanpa hambatan. Seiring dengan itu perhatian
mengenai integrasi keuanganpun meningkat akhir-akhir ini yang pada awalnya
merupakan manifestasi pertumbuhan aliran modal diantara negara maju. Sebagai
respons atas penghapusan pengawasan modal, inovasi keuangan dan kemajuan
teknologi, integrasi keuanganpun secara berkelanjutan menyebar ke negara-negara
2
berkembang. Aliran modal bersih dan kotor diantara perekonomian maju dan
berkembang telah meningkat. Integrasi keuangan juga telah menjadi bukti adanya
korelasi tinggi diantara return atau harga, terutama untuk kelas asset tertentu
seperti obligasi perusahaan maupun obligasi dan saham terbaik di suatu negara
berkembang.
Pada dasarnya liberalisasi keuangan merupakan bagian dari suatu reaksi
global terhadap ideologi Keynesian setelah periode perang Dunia II.
Dalam
sistem Bretton Woods, nilai tukar tetap dan kontrol kapital (modal) bertujuan
untuk melindungi negara-negara dari ketidakstabilan akibat guncangan eksternal.
Liberalisasi keuangan diawali sejak dipatahkannya sistem Bretton Woods pada
sekitar 1970an yang memuncak pada 1980an dengan tujuan menghapuskan
kendali pemerintah dan membiarkan pasar untuk beroperasi secara bebas.
Kecenderungan liberalisasi keuangan di negara berkembang ini dinamakan
Konsensus Washington oleh Williamson (1990) yang memasukkan penghapusan
kontrol atas investasi asing langsung (tidak termasuk aliran portofolio keuangan)
dalam daftar kebijakannya (Joyce and Noy, 2005).
Konsensus Washington menekankan kepada pembuatan kebijakan
finansial dan makroekonomi yang hati-hati (prudent), nilai tukar mata uang yang
kompetitif, liberalisasi sektor keuangan dan perdagangan, privatisasi, dan
deregulasi. Kebijakan-kebijakan ini secara implisit mengajak pemerintah/negara
“menahan diri” untuk tidak turut campur langsung dalam kegiatan ekonomi,
melainkan justru lebih memfokuskan kepada kebijakan moneter, menjamin hak
kepemilikan (property rights), dan menyiapkan infrastruktur pendidikan dasar
(Yustika, 2004). Menurut Simmons dan Elkins (2004) dalam Joyce and Noy
(2005) penghapusan kontrol kapital merupakan bagian dari proses difusi
3
kebijakan yang menempatkan negara-negara untuk berkompetisi dalam modal
internasional.
Pada
awal
tahun
1980an,
liberalisasi
dan
reformasi
keuangan
meningkatkan peran pasar dalam penentuan suku bunga, alokasi kredit dan skala
operasi lembaga-lembaga keuangan.
Dampak dari reformasi dan liberalisasi
keuangan tersebut adalah meningkatnya peluang investasi dan lebih menariknya
suku bunga di negara-negara Asia Timur/Tenggara, yang mengundang masuknya
dana kedalam negara-negara tersebut.
Perubahan sukubunga serta peluang
investasi menjadi dimungkinkan karena adanya aliran modal antar negara setelah
penurunan restriksi mobilitas modal akibat liberalisasi keuangan.
Sumber: Garcia-Herrero and Wooldridge (2007) dalam Gudmundsson, 2008
Gambar 1. Perkembangan Hambatan Mobilitas Modal di Negara-Negara
G7 dan Negara Berkembang
Gambar 1 menunjukkan perkembangan perubahan hambatan legal dari mobilitas
modal di negara-negara G7 dan beberapa negara berkembang selama kurun waktu
1984 sampai dengan 2004. Indeks restriksi bervariasi dari 1 (dikontrol penuh)
sampai 0 (tidak ada hambatan) merupakan rata-rata dari beberapa kategori
hambatan yang ber nilai dari 1 sampai 0 sesuai dengan standard AREAER
(Annual Report on Exchange Rate Arrangements and Exchange Restrictions)
yang digunakan oleh IMF (International Monetary Fund). Dalam kurun waktu 20
4
tahun tersebut, terlihat adanya penurunan hambatan di Amerika Latin dan negara
berkembang Eropa, dan hanya sedikit perubahan di negara Asia dengan tingkat
hambatan yang masih tinggi apabila dibandingkan dengan Amerika Lating dan
Eropa. Hal tersebut mencerminkan masih terdapat pengendalian kapital (modal)
di beberapa negara berkembang di Asia, kecuali China dan India.
Pertumbuhan aliran modal ke negara berkembang juga mengalami
peningkatan sampai dengan tahun 1996 yang mempengaruhi ukuran dan likuiditas
dari pasar saham di negara-negara tersebut. Perbandingan ukuran dan likuiditas
dari pasar saham di beberapa negara berkembang di Asia sebelum dan setelah
periode liberalisasi (sampai dengan tahun 1996) disajikan pada Tabel 1 dan
Gambar 2. Pada Tabel 1, secara umum terlihat peningkatan ukuran pasar saham
yang tercermin dari kapitalisasi pasar, kapitalisasi pasar terhadap GDP (Gross
Domestic Product),
serta peningkatan
likuiditas
berupa nilai
transaksi
perdagangan dan jumlah perusahaan terdaftar di bursa setempat. Aktivitas dan
likuiditas pasar saham yang meningkat dibandingkan dengan ukuran pasarnya
terlihat dari rasio perputaran.
Tabel 1. Karakteristik Pasar Saham Sebelum dan Sesudah Periode Liberalisasi
Keuangan
Pasar
Rata-rata
Rata-rata
Rata-rata
Rata-rata
Rata-rata
Kapitalisasi Pasar/GDP
Kapitalisasi Pasar
Nilai Perdagangan
Jlh Perusahaan Terdaftar
Rasio Turnover
(%)
Sebelum
India
Indonesia
7.15
(juta US $)
Sesudah
Sebelum
34.86
18 090
Sesudah
118 824
(juta US $)
Sebelum
(%)
Sesudah
9 923
22 377
Sebelum
Sesudah
2 963
4 768
Sebelum
63.03
Sesudah
20.85
0.13
20.23
110
37 820
7
11 189
19
186
7.24
41.87
Korea
22.32
37.96
43 286
162 993
34 678
215 057
439
718
85.00
114.21
Malaysia
57.68
210.30
16 703
148 825
2 554
72 582
208
408
15.50
43.66
Philippina
6.17
57.84
2 147
38 278
512
9 544
165
182
24.53
25.01
Taiwan
Thailand
42.85
5.10
82.08
60.84
51 467
2 112
200 892
80 868
190 481
975
430 358
50 873
137
93
317
322
215.82
39.36
229.42
82.18
Sumber: IFC, dalam Fuss, 2006
5
Aktivitas pasar saham dapat diukur pula dengan melihat perbandingan antara nilai
transaksi perdagangan saham dengan GDP. Secara umum terjadi peningkatan
aktivitas pasar saham setelah liberalisasi di 7 (tujuh) negara berkembang di Asia
seperti yang terlihat pada Gambar 2.
Sumber: Fuss, R, 2006
Gambar 2. Aktivitas Pasar Saham di Negara-Negara Berkembang Asia
Beberapa pendapat mengatakan bahwa liberalisasi keuangan yang
berdampak pada integrasi pasar keuangan global merupakan kunci kedisiplinan
bagi pembuat kebijakan, dan akan membantu perbaikan kualitas manajemen
makroekonomi.
Di negara berkembang, liberalisasi keuangan didorong oleh
adanya keyakinan akan meningkatkan pertumbuhan dan menekan volatilitas.
Namun hasil penelitian yang dilakukan oleh Prasad et al. (2003) menunjukkan
hasil yang tidak mendukung. Pertama, sulit membentuk hubungan kuat antara
integrasi keuangan dengan pertumbuhan.
Kedua, hanya sedikit bukti bahwa
integrasi keuangan membantu menstabilkan fluktuasi konsumsi atas pendapatan.
Terutama karena integrasi keuangan diharapkan dapat mengumpulkan resiko batas
6
negara. Kenyataannya, bagi negara yang masih berada pada tahap awal integrasi,
volatilitas konsumsi relatif terhadap pendapatan ternyata meningkat.
Berbeda dengan Prasad et al. (2003), Bekaert, Harvey dan Lundblad
(2004), menyatakan bahwa liberalisasi pasar keuangan tidak meningkatkan
volatilitas perekonomian suatu negara.
Penelitian tersebut menjembatani dua
pemikiran mengenai dampak liberalisasi keuangan, yaitu pertama bahwa terdapat
keterkaitan antara pertumbuhan dan perkembangan ekonomi dengan liberalisasi
keuangan.
Kedua, bahwa keterbukaan pasar modal memungkinkan adanya
pembagian resiko internasional.
Di sisi lain, kepentingan liberalisasi keuangan dan kebijakan moneter bagi
pertumbuhan suatu perekonomian masih menjadi pertanyaan sampai dengan saat
ini. Pengalaman beberapa negara di Asia Timur/Tenggara, seperti Indonesia,
Malaysia, Thailand, Korea Selatan dan Philipina berupa krisis moneter, krisis
pasar saham dan krisis perbankan pada akhir 1990an menunjukkan bahwa
liberalisasi keuangan yang tidak didukung oleh kualitas sistem keuangan yang
baik, merupakan sumber dari krisis keuangan Asia. Menurut Siregar (2003),
krisis keuangan Asia adalah krisis kualitas lembaga-lembaga keuangan yang
dipengaruhi oleh penerapan suku bunga yang ternyata gagal berfungsi sebagai alat
indirect screeening mechanism.
Menurut Mishkin (2004), krisis keuangan yang terjadi terutama
disebabkan karena masalah informasi yang asimetri sehingga menyebabkan
saluran saluran mekanisme kebijakan moneter tidak berjalan semestinya.
Transmisi kebijakan moneter dapat terjadi melalui beberapa saluran (jalur),
diantaranya adalah saluran kredit (credit channel) dan harga saham (equity price
channel). Paradigma baru mekanisme transmisi moneter lebih menekankan pada
7
informasi asimetri dalam pasar keuangan. Krisis keuangan dapat disebabkan oleh:
(1) kenaikan suku bunga, (2) penurunan pasar saham, (3) penurunan harga-harga
yang tidak diantisipasi, (4) meningkatnya ketidakpastian, dan (5) kepanikan
perbankan.
Liberalisasi Keuangan di Indonesia
Indonesia mulai melakukan reformasi ekonomi khususnya dalam sektor
keuangan pada pertengahan tahun 1980an sebagai respons terhadap penurunan
kondisi perekonomian yang ditandari dengan penurunan pertumbuhan GDP.
Sumber penurunan pertumbuhan GDP Indonesia pada saat itu adalah: (1)
perekonomian dunia yang melambat pada awal 1980an yang mengurangi
permintaan dunia atas komoditi ekspor terutama produk pertanian, dan (2)
penurunan harga minyak dunia.
Reformasi sektor keuangan yang dilakukan pada tahun 1988, 1990 dan
1991 adalah meningkatkan mobilisasi dana dari individu (penabung) untuk
mendorong laju investasi pada sektor produktif melalui peran perantara
(intermediaries).
Reformasi berupa liberalisasi keuangan domestik dilakukan
melalui penetapan suku bunga berdasarkan mekanisme pasar, memperbolehkan
bank asing untuk beroperasi di kota selain Jakarta dan memperluas kapasitas bank
komersial dalam alokasi kredit melalui penurunan persyaratan giro cadangan
minimum dari 15 persen menjadi 2 persen.
Konsep liberalisasi keuangan itu sendiri memberikan pandangan bahwa
terdapat peluang bagi tingkat korporasi untuk memperoleh kredit melalui
mobilitas kapital dari pasar domestik dan global.
Pengalaman Indonesia,
menunjukkan bahwa liberalisasi keuangan umumnya diikuti dengan ‘boom’
kredit, sehingga mempengaruhi struktur modal perusahaan yang pada periode
8
1990an umumnya didominasi oleh pinjaman asing jangka pendek (Prasetyantoko
dan Marta, 2008).Perkembangan liberalisasi keuangan di Indonesia dalam beberapa
dimensi disajikan pada Tabel 2:
Tabel 2. Liberalisasi Keuangan di Indonesia
Kondisi
Dimensi
Liberalisasi sukubunga
Deregulasi dan persaingan
perbankan
Perkembangan pasar keuangan
Manajemen dan Pengawasan
Keterbukaan dan capital account
Tahun 1983, pengawasan atas sukubunga deposito
dan pinjaman dihilangkan
Tahun 1988, pelonggaran persyaratan bank
domestik maupun joint venture. Terjadi
peningkatan jumlah bank dari 111 (1989) menjadi
240 (1994)
Pertengahan 1980an, perkembangan pasar
keuangan melalui isntrumen SBI dan SBPU
Awal 1990an, pertumbuhan pasar Commercial
Paper. Pasar obligasi korporasi dan pemerintah.
Pertumbuhan cepat dalam pasar saham, perbaikan
infrastruktur pasar dan pengawasan yang lebih baik
dari Bapepam dan Bursa Efek Indonesia
Awal 1990an, berlakunya aturan baru kecukupan
modal dan batasan bagi bank komersiel yang terkait
dengan pasar saham dan CP.
Tahun 1995, berlakunya limit pinjaman bagi bankbank bermasalah dan institusi keuangan non-bank
dan peraturan yang meningkatkan kewenangan
Bank Indonesia untuk mengambil alih manajemen
bank bermasalah
Terbuka sejak 1960an
Sumber: Dekle, R. and Pradhan, M., 1999
Dengan adanya akses terhadap kredit tersebut, justru memperburuk nilai
bersih perusahaan. Diikuti dengan depresiasi nilai tukar, nilai korporasi baik pada
sektor perbankan maupun non-keuangan mengalami kesulitan besar yang akhirnya
diikuti dengan keterbatasan perolehan kredit. Dengan keterbatasan keuangan,
maka kesempatan perusahaan untuk melakukan investasi berkurang. Hal ini
tercermin dari data investasi terhadap stok kapital seperti yang terlihat pada
Gambar 3 dan nilai rasio Q-Tobin pada Gambar 4 dari 8 sektor di Indonesia, yang
mengalami penurunan terutama saat terjadi depresiasi nilai tukar pada tahun 1997.
Kedelapan sektor tersebut adalah: (1) pertanian, (2) pertambangan, (3) industri
9
dan kimia dasar, (4) industri lain-lain, (5) industri barang konsumsi, (6) properti,
real estat dan konstruksi, (7) infrastruktur, utilitas dan transportasi, dan (9)
perdagangan, jasa dan investasi.
Rasio Q Tobin menunjukkan perbandingan antara nilai pasar perusahaan
terhadap biaya modal. Nilai rasio Q lebih besar dari 1 menunjukkan perusahaan
melakukan investasi karena biaya penggantian modal lebih murah dibandingkan
dengan nilai pasar perusahaan, demikian pula sebaliknya. Dari Gambar 4, terlihat
bahwa pada periode 1995 sampai dengan 2001, investasi perusahaan-perusahaan
publik di sektor pertanian menunjukkan adanya pola yang fluktuatif, yang
ditunjukkan dari fluktuasi nilai Q dan yang terendah (negatif) pada tahun 2001
untuk selanjutnya terjadi peningkatan sampai dengan tahun 2004. Pada periode
krisis moneter (1997 sampai dengan 1999), sektor pertanian merupakan sektor
yang relatif lebih dapat bertahan dibandingkan dengan sektor riil lainnya, tetapi
ternyata tetap menunjukkan rasio Q yang berfluktuasi.
Sumber: Prasetyantoko dan Marta, 2008
Gambar 3: Rasio Investasi Terhadap Stok Kapital dari Beberapa Sektor di
Indonesia
10
Sumber: Prasetyantoko dan Marta, 2008
Gambar 4: Nilai Rasio Tobin Q dari Beberapa Sektor di Indonesia
Perekonomian
Indonesia,
setelah
terjadinya
krisis
menunjukkan
pertumbuhan GDP yang relatif stabil, berkisar 6 persen per tahun. Namun tidak
demikian halnya dengan tingkat pertumbuhan investasi, sebelum krisis adalah
12.2 persen, dan sejak periode 2000an hanya sekitar 6 persen, bahkan pada tahun
2006 hanya 2.9 persen.
Jika dilihat dari sisi nilai investasi, perkembangan
realisasi investasi sejak tahun 1990 sampai dengan 2008 menunjukkan
peningkatan nilai investasi domestik (PMDN, Penanaman Modal Dalam Negeri)
sebesar sepuluh kali (dari Rp 2 398.6 miliar menjadi Rp 20 363.4 miliar)
sedangkan nilai Penanaman Modal Asing (FDI,
Foreign Direct Investment)
meningkat duapuluh kali (dari US$ 706 juta menjadi US$ 14 871.4). Namun
demikian, perkembangan realisasi investasi PMDN berdasarkan sektor tidak
menunjukkan pola pertumbuhan yang searah.
Pada sektor primer, terjadi
penurunan nilai realisasi investasi hampir seperempatnya dibandingkan pada
tahun 2005 (dari Rp 5 577.2 miliar pada tahun 2005 menjadi Rp 640 miliar pada
tahun 2008), sementara untuk industri sekunder misalnya makanan terjadi
11
peningkatan hampir dua kali lipat (BKPM, Badan Koordinasi Penanaman Modal,
2008).
Realisasi investasi PMDN industri makanan meningkat dari Rp 4 490.8
miliar pada tahun 2005 menjadi Rp 8 192 miliar pada tahun 2008. Perkembangan
data investasi kepada sektor riil tersebut di atas, pada dasarnya dapat menjelaskan
perkembangan pola rasio Q untuk seluruh sektor. Pertumbuhan investasi tahunan
Indonesia cenderung mengalami penurunan dari 14.7 persen (2004) menjadi 2
persen (2007), meskipun tahun 2009 menunjukkan peningkatan.
Di sisi lain, pada sektor keuangan, data terakhir dari Bapepam-LK (Badan
Pengawas Pasar Modal dan Laporan Keuangan) menunjukkan adanya peningkatan
nilai nominal transaksi saham dari Rp 21.7 triliun di tahun 1995 menjadi Rp 300
triliun pada tahun 2008, meskipun persentase transaksi (saham) asing terhadap
total perdagangan saham mengalami penurunan, dari sekitar 67.03 persen pada
tahun 1995 menjadi hanya sekitar 24 persen pada akhir tahun 2008. Mobilisasi
dana masyarakat melalui obligasi sampai dengan tahun 2004 bernilai sekitar Rp
76 triliun, sedangkan right-issue sekitar Rp 200 triliun dan IPO (Initial Public
Offering) sebesar Rp 30 triliun. Hal ini menunjukkan bahwa pasar modal sebagai
alternatif sumber pembiayaan bagi swasta, atau dengan kata lain perusahaan
seharusnya memiliki peluang untuk melakukan investasi pada stok kapital.
Liberalisasi keuangan di Indonesia sampai saat ini masih terus berlanjut,
termasuk beberapa penyesuaian pada tahun 1998 saat terjadi krisis keuangan dan
moneter di beberapa negara Asia termasuk Indonesia. Krisis yang terjadi di
Indonesia dan beberapa negara Asia pada periode waktu tersebut menunjukkan
ketidakstabilan kondisi fundamental perekonomian, baik makro maupun mikro.
Apabila dibandingkan dengan krisis keuangan global saat ini, meskipun beberapa
indikator moneter, perbankan dan makroekonomi Indonesia seperti tingkat inflasi
12
yang relatif terkendali, pertumbuhan ekonomi domestik, serta likuiditas dan
permodalan perbankan domestik menunjukkan ketahanan relatif lebih baik
dibandingkan dengan negara lain tidak menjamin bahwa Indonesia akan terbebas
dari bencana finansial tersebut.
Saat ini peran keuangan global sebagai
konsekuensi dari liberalisasi keuangan di Indonesia telah bergerak melampaui
fungsi awalnya yaitu memfasilitasi perdagangan dan penanaman modal lintas
negara.
Pasar keuangan tidak lagi sekedar mekanisme untuk menyediakan
tabungan bagi investor sektor produksi, tetapi kurang terkait dengan arus sumber
daya riil dan investasi jangka panjang sektor produksi.
Fakta tersebut menimbulkan suatu pertanyaan, apakah penerapan
liberalisasi keuangan di negara berkembang, khususnya Indonesia memberikan
manfaat positif terhadap pertumbuhan investasi dari sektor riil maupun keuangan.
Keputusan investasi korporasi sebagai bagian dari sektor riil umumnya
dipengaruh oleh kondisi makroekonomi seperti ketersediaan dana baik asing
maupun domestik serta suku bunga, dan kondisi mikroekonomi seperti struktur
industri serta struktur modal perusahaan. Nilai rasio Tobin Q pada dasarnya dapat
memberikan gambaran mengenai pengaruh liberalisasi keuangan terhadap
keputusan investasi sektor riil.
1.2.
Perumusan Masalah
Dengan permasalahan seperti itu, maka perlu dilakukan penelitian untuk
dapat menjawab permasalahan yaitu:
1. Bagaimana pengaruh
liberalisasi keuangan terhadap investasi perusahaan
sektor primer, sekunder dan tersier, yang diukur dari nilai rasio Q-Tobin.
13
2. Bagaimana pengaruh liberalisasi keuangan dan kebijakan moneter terhadap
investasi perusahaan sektor primer, sekunder dan tersier, yang diukur dari nilai
rasio Q-Tobin.
3. Bagaimana pengaruh nilai Q-Tobin sebagai representasi pengaruh liberalisasi
keuangan dan kebijakan moneter terhadap terhadap pertumbuhan investasi
sektoral
1.3.
Tujuan Penelitian
Penelitian ini bertujuan untuk:
1. Menganalisis pengaruh liberalisasi keuangan terhadap investasi perusahaan
sektor primer, sekunder dan tersier, dengan indikator nilai rasio Q-Tobin .
2. Menganalisis pengaruh liberalisasi keuangan dan kebijakan moneter terhadap
investasi sektor primer, sekunder dan tersier, dengan indikator nilai rasio QTobin.
3. Menganalisis pengaruh nilai Q-Tobin terhadap pertumbuhan investasi sektoral
1.4.
Kegunaan Penelitian
Penelitian yang dilakukan diharapkan dapat memberikan kontribusi bagi
otoritas pasar keuangan, pemerintah, korporasi, penelitian lanjutan dan ilmu
pengetahun, yaitu:
1. Membangun model liberalisasi keuangan dalam hal capital account dan pasar
saham, serta hubungannya dengan investasi di sektor primer, sekunder dan
tersier dengan pendekatan dan analisis nilai Q-Tobin.
2. Memberikan kontribusi bagi pemerintah dan Bapepam-LK (Badan Pengawas
Pasar Modal dan Lembaga Keuangan) untuk mengantisipasi pengaruh
fluktuasi gelombang dana luar negeri terhadap variabel nilai Q-Tobin
14
3. Memberikan kontribusi bagi pihak korporasi melalui informasi respons pasar
saham
atas
kebijakan
liberalisasi
keuangan
dan
moneter,
terhadap
pertimbangan keputusan investasi – sebagaimana digambarkan dengan nilai
Q-Tobin.
4. Untuk penelitian lebih lanjut dan pengembangan serta perbaikan pemodelan
dalam kajian liberalisasi keuangan khususnya dan dalam kaitannya dengan
memperkaya khasanah analisis model makroekonometrika pada umumnya.
1.5.
Ruang Lingkup dan Keterbatasan Penelitian
1. Pengaruh liberalisasi keuangan dan kebijakan moneter merupakan suatu
analisis historis
2. Ruang lingkup pembahasan difokuskan pada liberalisasi keuangan
(keterbukaan capital account dan pasar saham) dan kebijakan moneter.
3. Aspek liberalisasi keuangan yang dianalisis dalam penelitian ini adalah:
keterbukaan capital account, keterbukaan pasar saham dan keterkaitannya
dengan rasio Q-Tobin serta bentuk kebijakan moneter yang berhubungan
dengan suku bunga acuan.
4. Cakupan penelitian adalah agregat nasional (perekonomian terbuka kecil)
dan sektor primer, sekunder dan tersier
5. Investasi kapital merupakan investasi tetap bisnis, tidak termasuk investasi
perumahan dan investasi persediaan perusahaan.
6. Penelitian ini menggunakan data kebijakan moneter (suku bunga), indeks
harga saham periode 2002 sampai dengan 2009 serta data Investasi Asing
Langsung (Foreign Direct Investment, FDI) dan Investasi Portofolio.
Ruang lingkup penelitian secara skematis disajikan pada Lampiran 1.
Download