1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

advertisement
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Masifnya perkembangan teknologi telah memungkinkan berbagai macam
bentuk media alternatif dari hasil konvergensi media, salah satunya adalah web
television series atau lebih dikenal dengan istilah web series. Web series adalah
bentuk tayangan program serial seperti serial televisi namun distribusinya
berbasis website, baik melalui website dari sang produsen tersendiri atau melalui
website berbasis konten video seperti YouTube dan Vimeo.1 Web series pada
dasarnya merupakan konten digital berbasis teknologi internet yang memiliki
potensi viral atau persebaran yang luas, cepat, dan mudah sehingga memiliki
kekuatan distribusi yang masif bagi sang produsen dan akses tak terbatas waktu
dan tempat bagi audiens.
Di
Indonesia,
perkembangan
web
series
berjalan
seiring
dengan
kemunculan para pembuat video yang mulai memanfaatkan website, YouTube,
atau Vimeo untuk menyiarkan karya mereka ke publik. Popularitas web series di
Indonesia semakin meningkat seiring dengan variasi genre yang beredar dan
dianggap sebagai hiburan alternatif dari televisi yang menjadi media arus utama.
Salah satu tolak ukur kepopuleran web series di Indonesia adalah web series
beraliran mockumentary2 berjudul “Malam Minggu Miko” (dirilis tahun 2012) yang
pada awalnya disiarkan secara independen melalui YouTube namun setelah
berjalan beberapa episode kemudian mulai ditayangkan di KompasTV pada akhir
tahun 20123 dimana seperti mengamini bahwa audiens televisi Indonesia mampu
menikmati konten web series yang berkembang sebagai alternatif media televisi
yang sudah mengakar dalam budaya kepenontonan di Indonesia.
1
Dan Williams. 2012. Web TV Series: How to Make and Market Them. Harpenden: Oldcastle
Books. hal. 1-5.
2
Mockumentary adalah tipe aliran tayangan televisi atau film yang berasal dari kata mock dan
documentary yang bersifat fiksional namun dikemas dengan cara selayaknya dokumentasi faktual
dengan tujuan memparodikan situasi yang dinarasikan (Mockumentary, terarsip dalam
http://en.wikipedia.org/wiki/Mockumentary diakses pada 11 November 2014).
3
Dirangkum dari Malam Minggu Miko, Komedi Galau Para Jomblo terarsip dalam
http://www.muvila.com/movies/watch-out/malam-minggu-miko-komedi-galau-para-jomblo140910x.html diakses pada 19 Desember 2014.
1
Karakter digital yang dimiliki web series tidak hanya memungkinkan
persebarannya terintegrasi dengan media sosial online baik blog maupun jejaring
sosial populer seperti Twitter, namun juga keterkaitan kontennya. Contohnya
adalah web series “Sosishot” (dirilis tahun 2011) yang kontennya selalu spesifik
mengangkat isu sosial yang sedang ramai dibicarakan di Twitter. “Sosishot” yang
bekerjasama dengan website populer malesbanget.com memakai jalur distribusi
melalui YouTube, website, dan terutama Twitter itu sendiri. Sedangkan contoh
lainnya adalah web series “Jalan-Jalan Men” yang berkonsep travelogue4 dan
sekaligus travelling web series pertama di Indonesia yang dikemas selayaknya
feature magazine namun dengan narasi yang non-formal. Seperti halnya
“Sosishot”, “Jalan-Jalan Men” (dirilis tahun 2013) juga memakai jalur distribusi
independen seperti website, YouTube, dan Twitter.
Web series Indonesia yang tersebar pada umumnya bersifat hiburan karena
berangkat dari naskah fiksional atau informatif namun bersifat feature. Namun
“CONQ” (dirilis tahun 2014) memberi variasi baru dalam khasanah web series
Indonesia sebagai web series pertama di Indonesia yang mengangkat isu
homoseksualitas sebagai tema utama naskahnya. Berbeda dengan “Sosishot”,
“Jalan-Jalan Men”, atau web series pada umumnya yang beredar di Indonesia,
“CONQ” adalah web series yang merupakan variasi produk media dari website
blog yang telah ada sebelumnya, yaitu conq.me dan tidak berdiri sendiri sebagai
produk media utama dan tunggal. Sebagai bagian dari website conq.me, tema
homoseksual yang diangkat dalam “CONQ” pada dasarnya berangkat dari topiktopik yang dibahas dalam website. Website conq.me itu sendiri merupakan blog
berbasis komunitas dan bersifat komunal dengan kontributor-kontributor yang
merupakan kaum LGBT (Lesbian, Gay, Biseksual, dan Transgender) namun
secara identitas dicantumkan sebagai anonim yang dirilis pada tahun 2012.5
Website conq.me dirancang sebagai sebuah wadah bagi kaum LGBT, kaum
dengan orientasi seksual non-heteroseksual dimana secara seksual tertarik
dengan sesama jenis (homoseksual: lesbian dan gay), tertarik dengan lawan dan
4
Travelogue merupakan tayangan dokumenter perjalanan, baik dalam format film, program televisi,
maupun serial online yang menceritakan perjalanan secara umum atau daya tarik wisata tanpa
merujuk pada rekomendasi paket wisata atau agen perjalanan komersil tertentu (Travel
Documentary, terarsip dalam http://en.wikipedia.org/wiki/Travel_documentary diakses pada 8
Februari 2015).
5
Dirangkum dari About CONQ terarsip dalam http://conq.me/about-conq/ diakses pada 20 Agustus
2014.
2
sesama
jenis
(biseksual),
atau
memiliki
identitas
gender
non-normatif
(transgender)6, untuk berbagi opini baik tentang gender atau orientasi seksual
hingga topik-topik umum seperti kesehatan, seni, kuliner, bahkan politik.
Diangkatnya web series “CONQ” melalui kanal YouTube sebagai variasi
produk media dari website conq.me didasari oleh antusiasme masyarakat dan
banyaknya pengakses website conq.me sehingga memunculkan inisiatif untuk
memvisualisasikan konten website melalui bentuk media video dengan distribusi
online atau web series dan didukung oleh yayasan-yayasan yang bergerak di
dalam isu gender dan seksualitas.7 Web series “CONQ” disutradari oleh Lucky
Kuswandi, sutradara yang dikenal melalui film “Selamat Pagi, Malam” (dirilis
tahun 2014) dan diproduseri oleh Nia Dinata, sutradara yang dikenal melalui film
“Arisan!” (dirilis tahun 2003) dengan payung Kalyana Shira Foundation. Web
series “CONQ” pada musim pertama mencapai total 12 episode dan telah dirilis
melalui
akun
kanal
YouTube
“CONQ”
(https://www.youtube.com/user/CONQwebseries) dengan 11 episode serial dan
satu episode esktra yang tidak memiliki keterkaitan cerita dengan episode
lainnya (video lepas atau episode spesial) berjudul “The Election” dirilis hanya
tiga hari sebelum Pemilihan Umum Presiden pada Juli 2014. Sebanyak delapan
video dirilis sepanjang tahun 2014 dimana terdiri dari tujuh episode serial yang
diawali dengan episode berjudul “Unstereotype Me” (dirilis pada 13 Maret 2014)
dan satu episode spesial, sedangkan pada tahun 2015 dirilis empat episode
serial yang diawali dengan episode kedelapan berjudul “We Bitches Don‟t
Complain” (dirilis pada 6 Juni 2015) dan diakhiri dengan episode terakhir atau ke11 dengan judul “The Wedding” (dirilis pada 30 Agustus 2015). Sementara
musim kedua dari web series “CONQ” masih dalam proses dan menemui
kendala dengan adanya pemberitaan negatif terkait web series “CONQ” dimana
6
Ski Hunter. 2007. Coming Out and Disclosures: LGBT Persons Across the Life Span. New York:
The Haworth Press. hal. 1.
7
Dirangkum dari Katrin Figge. 2014. „CONQ‟ Aims to Shatter Cliches terarsip dalam
http://www.thejakartaglobe.com/features/conq-aims-shatter-cliches/ , Sejarah Kalyana Shira
Foundation terarsip dalam
http://www.kalyanashirafound.org/index.php?option=com_content&view=article&id=62&Itemid=108
&lang=en , dan Indonesia Region terarsip dalam http://www.fordfoundation.org/regions/indonesia
diakses pada 20 Agustus 2014.
3
web series “CONQ” disebut sebagai video porno yang menyebar di YouTube8
sehingga pihak web series “CONQ” menutup sementara kanal YouTube mereka
hingga isu yang ada sudah cukup mereda9.
Web series “CONQ” secara khusus mengangkat isu kompleksitas hidup
kaum gay urban melalui penokohan dua orang sahabat yang tinggal di Jakarta
bernama Timo dan Lukas. Keduanya memiliki karakter dan ideologi yang
bertolak belakang, terutama dalam hal gaya hidup. Timo digambarkan sebagai
seorang pria homoseksual dengan gaya hidup dan ideologi sebagaimana kaum
gay distereotipkan sebagai pria yang hidupnya tidak bisa lepas dari pesta, seks,
pakaian mahal, hingga nilai gengsi untuk bekerja di dunia hiburan. Sedangkan
Lukas digambarkan sebagai pria homoseksual dengan gaya hidup yang jauh dari
kata mewah ataupun „gila seks‟ dimana cenderung seperti masyarakat pada
umumnya yang bergaya pakaian sederhana, bekerja serta bergaul tanpa
orientasi mengejar popularitas, dan berusaha untuk terlepas dari pandangan
stereotipikal yang terus dibanggakan oleh Timo.
Kontradiksi penokohan Timo dan Lukas ini menarik karena pada umumnya
penceritaan mengenai kaum gay di media Indonesia bersifat linier atau
cenderung bersifat stereotip, baik dari sisi pro maupun kontra. Sebagaimana
yang pernah diteliti oleh Maimunah Munir (2011), karakter pria homoseksual
pada umumnya digambarkan di media Indonesia dengan cara yang tidak
simpatik, terutama dalam film pada era Orde Baru, seperti sebagai tokoh yang
mengalami gangguan mental maupun pelaku kriminal. Dalam penelitian yang
sama, disebutkan bahwa film “Arisan!” (dirilis tahun 2003) adalah film pertama
yang dianggap mampu memberikan representasi positif atas kaum gay.10 Web
series
“CONQ”
memang
bukan
media
audio-visual
pertama
yang
merepresentasikan gay di Indonesia setelah film “Arisan!”, namun “CONQ”
menjadi web series pertama dan sekaligus kental dengan isu representasi gay.
Adanya penokohan Timo dan Lukas ini menarik karena melalui penokohan
inilah sang kreator dari web series “CONQ” atau yang selanjutnya disebut
8
Gunawan Wibisono. 2015. Video Syur Gay Conq Merusak Moral. Oke Zone terarsip dalam
http://news.okezone.com/read/2015/09/09/337/1210916/video-syur-gay-conq-merusak-mor diakses
pada 9 Oktober 2015.
9
Pernyataan resmi web series “CONQ” dalam website http://conq.me/ diakses pada 12 Oktober
2015.
10
Maimunah Munir. 2011. Queering The Epistemology of „Coming Out‟. Surabaya: Universitas
Airlangga. hal. 116.
4
sebagai komunikator merepresentasikan identitas kultural gay dalam media
audio-visual berupa web series “CONQ” tersebut. Peneliti tertarik untuk mengkaji
lebih lanjut bagaimana bentuk media web series (serupa dengan serial televisi
namun didistribusikan melalui layanan video online) dengan nilai-nilai kebaruan
dan dinamika karakter teknologi serta sosialnya menghantarkan representasi gay
di Indonesia melalui web series “CONQ”. Penelitian yang dirancang nantinya
akan membedah representasi dari konsep semiotika yang dipaparkan dalam
konten web series “CONQ” untuk melihat seperti apa homoseksualitas pria
digambarkan.
B. Rumusan Masalah
Bagaimana homoseksualitas pria direpresentasikan dalam web series
“CONQ”?
C. Tujuan Penelitian
Mengetahui bagaimana homoseksualitas pria direpresentasikan dalam web
series “CONQ”.
D. Manfaat Penelitian
1. Memaparkan bentuk representasi kaum pria homoseksual dalam media
video online di Indonesia.
2. Memperkaya kajian isu gender dan orientasi seksual dalam media.
3. Memperkaya kajian media baru, terutama web series.
E.
Kerangka Pemikiran
1.
Representasi identitas dan budaya
Representasi dimaknai sebagai produksi makna melalui bahasa dimana
melibatkan deskripsi, penggambaran, imajinasi, hingga simbolisasi.11 Istilah
representasi itu sendiri pada dasarnya adalah bagian dari sirkuit kebudayaan
karena kebudayaan itu sendiri dimaknai sebagai shared meaning atau berbagi
11
Stuart Hall. 2003. Representation: Cultural Representations and Signifying Practices.London:
Sage Publication. hal. 16.
5
makna.12 Bahasa kemudian menjadi bagian yang sentris dari kebudayaan karena
dengan bahasa itu sendiri manusia kemudian mampu menyerap suatu konteks
dan kemudian menalar dalam akal untuk memproduksi dan menukar makna
yang ada. Makna hanya dapat dibagikan dan ditukarkan apabila manusia
memiliki nalar atas bahasa. Bahasa mampu mengkonstruksikan makna karena
memiliki sistem representasional dimana memakai simbol untuk menggambarkan
suatu konsep, ide, dan perasaan.13
Lebih lanjut, bahasa kemudian dipandang memiliki cara kerja representasi
makna. Hal ini dapat dikaji lebih lanjut melalui tiga pendekatan yang
menerangkan bagaimana merepresentasikan makna melalui cara kerja bahasa,
yaitu:14
a.
Pendekatan reflective melihat bahasa sebagai refleksi makna yang
sudah ada dalam objek, manusia, dan peristiwa di dunia nyata.
b.
Pendekatan intentional melihat bahasa sebagai bentuk ekspresi
dari apa yang dimaksudkan dan ingin disampaikan oleh sang
pembicara atau penulis atau pelukis.
c.
Pendekatan constructionist melihat bahasa sebagai medium
konstruksi makna.
Bentuk pendekatan constructionist atau konstruksionis paling banyak dipilih
dalam keilmuan karena memiliki kedalaman kajian, terutama dalam kajian yang
berkaitan dengan sosial-budaya. Pendekatan ini melihat bahasa dan pegguna
bahasa tidak bisa menetapkan makna dalam bahasa itu sendiri sehingga harus
melalui interpretasi. Konstruksi sosial-budaya yang dibangun pun harus melalui
aktor-aktor
sosial
yang
memakai
konsep
budaya
dan
bahasa
untuk
dikomunikasikan melalui sistem representasi. Dalam hal ini, kondisi sosial dan
peran media sebagai perantara pesan dalam komunikasi menjadi sentris dalam
proses representasi.15
12
Ibid. hal. 1.
Ibid.
14
Ibid. hal. 15.
15
Galuh Indah Bayuntaridewi. 2012. Skripsi: Blog dan Identitas Masyarakat Korea Selatan (Analisis
Semiotik Terhadap Representasi Identitas Budaya Populer Korea Selatan dalam Artikel Culture
dan Lifestyle Situs http://blog.korea.net). Yogyakarta: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik UGM.
hal. 12-13.
13
6
Bagan 1.1. Konsep sirkuit kebudayaan
Sumber: Stuart Hall. 2003. Representation: Cultural Representations and
Signifying Practices. London: Sage Publication. hal. 1.
Seperti halnya yang terlihat dalam bagan konsep sirkuit kebudayaan di atas,
budaya menjalin keterikatan antara representasi dan identitas. Maka dapat
dikatakan bahwa representasi dapat mengasosiasikan pada identitas budaya
tertentu. Elemen identitas dan budaya itu sendiri dapat dimaknai terpisah
maupun saling berkaitan, namun secara garis besar keduanya memiliki
kesamaan dimana keduanya tidak terbentuk dengan sendirinya dan muncul dari
hal-hal yang melekat dari objek itu sendiri atau bisa juga melalui pengaruh atau
bentukan lingkungan atau pihak tertentu.16
Berkaitan dengan lingkungan sosial, identitas merupakan fungsi dari peran
sosial serta sistem mitos tradisional yang memberikan orientasi dan sanksi
religius untuk menentukan tempat seseorang di dunia.17 Dengan kata lain,
identitas menjadi salah satu faktor eksistensi individu dalam lingkungan sosialnya
yang kemudian merujuk pada status dari suatu individu di masyarakat.18 Status
merupakan hal yang melekat pada identitas suatu individu atau objek karena
dengan memiliki status, identitas individu atau objek dapat diketahui.19 Selain
16
Ibid. hal. 14.
Douglas Kellner. 2010. Budaya Media. Yogyakarta: Jalasutra. hal. 315.
18
Alex Sobur. 2004. Semiotika Komunikasi. Bandung: Remaja Rosdakarya. hal. 167.
19
Galuh Indah Bayuntaridewi. op. cit. hal. 16.
17
7
status, nama juga menjadi simbol utama dan bahkan pertama yang melekat pada
suatu individu karena di masyarakat, interaksi antar individu dimulai dari identitas
berupa nama yang kemudian diikuti dengan atribut-atribut lainnya.20 Nama pun
juga dianggap sebagai perlambangan status, citarasa budaya, bahkan citra
tertentu.21
Namun di sisi lain, identitas dapat berubah menurut subjek yang melihatnya
karena subjek mempersepsikan suatu identitas menurut latar belakang mereka
masing-masing.22 Persepsi yang terbentuk biasanya dihasilkan dari pemaknaan
dalam tanda-tanda selera, kepercayaan, sikap, dan gaya hidup yang menjadi
esensi atau lambang citra dari identitas itu sendiri.23 Pada titik inilah terdapat
interpretasi citra atas identitas yang dapat berkaitan dengan representasi dimana
citra itu sendiri dapat berupa representasi verbal maupun visual.24
Seperti halnya pada identitas, tanda (atau lebih tepatnya adalah simbol) juga
dapat melambangkan suatu bentuk budaya. Terdapat tiga bentuk dasar wujud
kebudayaan yang mampu merepresentasikan suatu masyarakat, yaitu:25
a. Wujud sebagai kompleks gagasan, konsep, dan pemikiran
manusia
i. Kisah, sejarah, mitos, legenda, dan gurauan
ii. Kepercayaan, asumsi, mental, dan pola pikir
iii.
Aturan, norma, kode etik, dan nilai
b. Wujud sebagai benda atau objek simbolik
i. Teks
ii. Artefak (konsumtif maupun dekoratif)
iii. Pahlawan atau panutan
20
Alex Sobur. op. cit. hal. 189.
Ibid.
22
Galuh Indah Bayuntaridewi. op. cit. hal. 13-14.
23
Chris Barker. 2008. Cultural Studies: Teori dan Praktik. Yogyakarta: Kreasi Wacana. hal. 174.
24
Ratna Noviani. 2002. Jalan Tengah Memahami Iklan: Antara Realitas, Representasi, dan
Simulasi. Bandung: Remaja Rosdakarya. hal. 28.
25
Dirangkum dari Denis McQuail. 2010. McQuail's Mass Communication Theory. London: Sage
Publication. hal. 112; Harris dan Moran dalam Deddy Mulyana dan Jalaludin Rakhmat (ed.). 2003.
Komunikasi Antarbudaya: Panduan Berkomunikasi dengan Orang-orang Berbeda Budaya.
Bandung: Remaja Rosdakarya. hal. 58-62; Alo Liliweri. 2003. Makna Budaya dalam Komunikasi
Antarbudaya. Yogyakarta: LkiS. hal. 158; dan artikel Elements of Culture yang terarsip di
http://changingminds.org/explanations/culture/elements_of_culture.htm#Heroes yang diakses pada
11 Maret 2015.
21
8
c. Wujud sebagai kompleks aktivitas atau praktek humanis
i. Komunikasi dan bahasa (verbal maupun non-verbal)
ii. Perilaku
iii. Ritual, upacara, dan perayaan
iv. Aksi simbolik atau ciri khas perilaku
v. Penghargaan dan pengakuan
vi. Hubungan dan jaringan sosial
vii. Rasa diri, ruang, dan ekspreksivitas
Seperti yang telah disebutkan sebelumnya, identitas dan budaya dapat
dipahami sebagai kesatuan maupun elemen yang terpisah. Di sisi lain, keduanya
mampu berperan saling merepresentasikan satu lain dimana masyarakat mampu
menilai identitas individu melalui budaya yang menaunginya dan budaya asal
dari suatu individu dapat dilihat dari identitas sang individu yang bersangkutan.
Dari sinilah identitas dan budaya dimaknai sebagai atribut atas kualitas individu
dalam populasinya.26
Relasi antara budaya dan identitas menjadi kompleks ketika dibawa ke
dalam ranah representasi, terutama dalam perspektif sosial. Budaya sering kali
menjadi paten atas representasi semua anggota populasinya. Padahal, budaya
berkaitan erat dengan kekuatan dimana mampu membawa konflik representasi.27
Masyarakat yang hidup dalam suatu populasi kebudayaan dihadapkan pada
keputusan atas definisi diri mereka sendiri dan kekuatan dominan atas
masyarakat tersebut yang kemudian menentukan akan seperti apa identitas
mereka direpresentasikan. Pada titik inilah suatu masyarakat sosial „ditentukan‟
apakah populasinya akan memiliki budaya yang plural dan dinamis atau tidak.
Globalisasi kemudian mengambil peran dalam pluralisme dan dinamika
budaya dan identitas. Masyarakat dalam populasi satu dengan yang lainnya tidak
lagi terkotakkan secara sosial. Fungsi identitas sebagai instrumen sosial mampu
menjadi kekuatan bagi suatu individu untuk mengklasifikasi sendiri pengalaman
sosial mana yang merepresentasikan mereka melalui keberadaan mereka dalam
kelompok atau komunitas tertentu.28 Pada titik inilah budaya-budaya tradisional
26
Fred Dervin. 2011. Cultural Identity, Representation and Othering dalam Jackson. (ed.).
Routledge Handbook of Intercultural Communication. London: Routledge. hal. 1.
27
Ibid.
28
Ibid. hal. 4.
9
dan praktik religi justru mampu diperbaharui alih-alih menjadi batasan dan
bahkan mampu menciptakan identitas baru yang kontinu.29
2.
Gay dalam kajian homoseksualitas
Topik seksualitas dalam cakupan homoseksualitas pada dasarnya tidak
selalu membahas mengenai hubungan biologis atau erotisme saja dimana
seksualitas dipahami sebagai aspek kehidupan manusia yang meliputi seks,
identitas dan peran gender, orientasi seksual, hingga reproduksi.30 Dalam kajian
sosiologi, terdapat pemahaman mengenai sistem seksualitas manusia dimana
mencakup konsep seks dan gender sebagai berikut:31
a. Seks
Menunjuk pada status biologis yang didasarkan pada karakter seks
primer yang biasanya menunjuk pada istilah jenis kelamin, yaitu lakilaki dan perempuan. Karakteristik seks primer termasuk organ
reproduksi internal dan genital eksternal yang pada dasarnya
ditentukan oleh faktor biologis yang merupakan kombinasi antara
kromosom dan hormon.
b. Identitas seks
Penerimaan seseorang terhadap kategori jenis kelamin tertentu
dimana mengakui sebagai laki-laki atau perempuan. Penerimaan ini
tidak selalu berkaitan dengan jenis kelamin yang bersangkutan.
c. Identitas gender
Gender itu sendiri merupakan perpaduan antara struktur psikologis
dan kultural yang menentukan apakah seseorang disebut laki-laki
atau perempuan, maka identitas gender pun merupakan definisi atas
laki-laki atau perempuan yang dikonstruksi secara kultural. Identitas
gender ini diiternalisasi dan diterima serta terwujud dalam tindakan,
perilaku, dan nilai-nilai pribadi.
29
Ibid.
Gita Meina Amalia. 2013. Skripsi: Virtual Romance (Studi Etnografi Partisipasi Observasi
(Participant Observation) tentang Keintiman yang Termediasi dalam Komunikasi Interpersonal
melalui New Media diantara Pasangan Homoseksual). Yogyakarta: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu
Politik UGM. hal. 57.
31
Whisik & Pierce dalam M Noor Poedjanadi. 2005. Skripsi: Resistensi Terhadap Homopobia
(Studi tentang Gay di Yogyakarta dalam Menghadapi Homopobia). Yogyakarta: Fakultas Ilmu
Sosial dan Ilmu Politik UGM. hal. 5-6.
30
10
d. Orientasi seksual
Penggambaran predisposisi (tendensi untuk melakukan sesuatu) dan
kapasitas untuk menikmati berbagai tipe erotis maupun emosi,
keinginan afektif, keintiman, atau interaksi seksual. Kapasitas atau
predisposisi ini bisa muncul dalam bentuk yang sangat spesifik tapi
juga bisa dalam bentuk variatif.
e. Perilaku seksual
Cara seseorang bertindak atau berperilaku secara seksual maupun
erotis. Hal ini mencakup orang-orang yang melakukan keintiman
dengan orang lain maupun dirinya sendiri (autoseksual) dan juga
mencakup perilaku yang diarahkan untuk memperoleh kenikmatan
erotis,
misalnya
dengan
masturbasi,
fethilisme,
veyorisme,
eksibisionis, dan lain-lain.
f.
Identitas seksual
Menunjuk pada cara-cara seseorang dalam menentukan perasaan,
label, serta menunjukkan kombinasi orientasi seksual, jenis kelamin,
dan gender yang dimilikinya sesuai dengan pengalaman historis dan
kulturalnya. Dapat juga diartikan sebagai penerimaan diri seseorang
terhadap orientasi seksual, identitas gender, perilaku seksual, dan
jenis kelaminnya yang diungkapkan kepada orang lain.
Dengan adanya pemahaman-pemahaman di atas, maka dalam penelitian ini
akan melihat homoseksualitas sebagai perilaku seksual, orientasi seksual, dan
identitas seksual. Homoseksual itu sendiri dipahami sebagai orientasi atau
pilihan seks pokok atau diarahkan (entah diwujudkan atau dilakukan maupun
tidak) kepada sesama jenis (wanita dengan wanita atau pria dengan pria) baik
secara emosional maupun seksual.32 Sedangkan dalam konteks penelitian ini,
yang akan dikaji adalah pria homoseksual atau untuk selanjutnya menggunakan
istilah „gay‟.
Dalam ranah studi gender, terdapat beberapa kosakata yang berkaitan
dengan gay. Gay merupakan bagian dari istilah LGBT (Lesbian, Gay, Biseksual,
32
Dede Oetomo dalam M Noor Poedjanadi. 2005. Skripsi: Resistensi Terhadap Homopobia (Studi
tentang Gay di Yogyakarta dalam Menghadapi Homopobia). Yogyakarta: Fakultas Ilmu Sosial dan
Ilmu Politik UGM. hal. 5.
11
dan Transgender)33, yaitu kaum dengan orientasi seksual non-heteroseksual
dimana secara seksual tertarik dengan sesama jenis (homoseksual: lesbian dan
gay), tertarik dengan lawan dan sesama jenis (biseksual), atau memiliki identitas
gender non-normatif (transgender).34 Kata „gay‟ itu sendiri sering disamakan
dengan kata „homoseksual‟, namun secara linguistik memiliki fungsi yang
berbeda dimana kata „gay‟ berfungsi sebagai kata benda, sedangkan kata
„homoseksual‟ berfungsi sebagai kata sifat.35 Meskipun keduanya memiliki fungsi
kata yang berbeda, keduanya memiliki arti kata yang serupa, yaitu merujuk pada
ketertarikan seksual pada sesama jenis, baik sesama pria maupun wanita
meskipun pada kata „gay‟ lebih umum digunakan untuk pria penyuka sesama
jenis karena wanita sesama jenis telah mengacu pada istilah „lesbian‟.36 Di
Indonesia sendiri kata „gay‟ lebih familiar untuk pria penyuka sesama jenis
dibandingkan wanita sesama jenis atau familiar dengan kata „lesbian‟.
Dalam perspektif identitas dan budaya, telah dijabarkan sebelumnya
bagaimana globalisasi menjadi pemicu dari dinamika perkembangan identitas
dan budaya di ranah sosial masyarakat. Adanya kelompok masyarakat yang
menyebut diri mereka sebagai kaum LGBT (atau yang dalam konteks penelitian
ini lebih mengacu kepada homoseksualitas pada pria atau kemudian disebut
dengan istilah „gay‟) adalah salah satu bentuk hasil dinamika tersebut. Kaum gay
kemudian dipandang sebagai suatu bentuk subkultur yang merupakan
sekumpulan orang dengan kesamaan perilaku yang berbagi nilai (seperti
otonomi seksual dan prularisme sosial), artefak (seperti publikasi, perhiasan, dan
33
Terdapat juga singkatan LGBTQ dan LGBTQA dimana huruf Q mengacu pada istilah „Queer‟
(istilah yang mencakup keseluruhan kategori LGBT) atau „Questioning‟ (orang-orang yang masih
mencari dan mengeksplorasi orientasi seksual, identitas gender, atau ekspresi gender diri mereka
sendiri), sedangkan huruf A mengacu pada istilah „Aseksual‟ (orang-orang yang tidak tertarik pada
gender atau kelamin manapun) atau „Ally‟ (orang-orang non-LGBT yang mendukung kaum LBGT
atau kaum LGBT yang mendukung sesama kaum LGBT dari jenis lain, misal lesbian yang
mendukung transgender). (LGBT Terms and Definitions, terarsip dalam
http://internationalspectrum.umich.edu/life/definitions diakses pada 8 Februari 2015).
34
Ski Hunter. 2007. Coming Out and Disclosures: LGBT Persons Across the Life Span. New York:
The Haworth Press. hal. 1.
35
Gwen Sharp. 2008. “Homosexual” vs “Gay”: Discourse In The Culture Wars terarsip dalam
http://thesocietypages.org/socimages/2008/06/30/homosexual-vs-gay-discourse-in-the-culturewars/ diakses pada 8 Februari 2015.
36
Dirangkum dari LGBT Terms and Definitions terarsip dalam
http://internationalspectrum.umich.edu/life/definitions diakses pada 8 Februari 2015.
12
pakaian), minat (seperti seks sesama jenis dan oposisi terhadap homofobia37),
dan identifikasi (sebagai sesama gay).38 Pandangan ini menjadikan kaum gay
tetap sebagai bagian dari masyarakat dengan kerangka besar budaya yang
sama namun hanya mencakup sebagian anggota populasinya saja.
Meskipun menjadi bagian dari masyarakat, akar dari identitas kaum gay
justru kontradiktif dengan masyarakat hegemonis. Dalam hal ini terdapat
ketabuan yang mengiringi eksistensi para kaum homoseksual dalam masyarakat
karena masyarakat menjadikan homoseksual sebagai entitas budaya, bukan
kondisi seksual seseorang.39 Homoseksualitas pada pria pada dasarnya bukan
suatu bentuk budaya ataupun identitas tradisional mengingat homoseksualitas itu
sendiri merupakan kontradiksi dari konsep heteroseksualitas yang merupakan
bentuk relasi seksual antar individu yang normatif atau tradisional. Pada titik ini,
homoseksualitas dianggap menggeser peran pria dan wanita pada kodratnya.
Identitas kaum gay merupakan salah satu contoh identitas yang berada dalam
bayangan budaya dengan dominasi kekuatan sosial tertentu. Berfondasikan
sebagai bentuk identitas yang kontradiktif terhadap heteronormativitas, eksistensi
kaum gay masih cukup kontroversial bagi beberapa kalangan masyarakat.
Homofobia pun disebut sebagai salah satu bentuk „kekuatan dominan‟ yang
meredam eksistensi gay dari kesadaran masyarakat luas.40 Homofobia pada
dasarnya memang merupakan sikap atau tindakan anti homoseksual adalah
bentuk dari rasa takut mereka atas eksistensi gay.
Hegemonisasi ini ternyata tidak hanya ditemukan dalam masyarakat
konvensional atau yang berlatarbelakang budaya ketimuran, tapi juga ditemukan
dalam masyarakat liberal atau secara geografis kerap diistilahkan dengan
„masyarakat Barat‟.41 Adanya bentuk-bentuk marginalitas yang diterima oleh
kaum gay menjadikan upaya eksistensi identitas mereka dipandang sebagai
37
Dalam kamus Merriam Webster, istilah homofobia diartikan sebagai bentuk antipati berupa
ketakutan, keengganan, kebencian, dan bahkan rasa jijik serta diskriminasi kepada
homoseksualitas atau para kaum homoseksual.
38
Wayne R. Dynes. 1990. Encylopedia of Homosexuality. New York: Garland Publishing. hal.
1258.
39
Gita Meina Amalia. Op. Cit. hal. 24.
40
Renee C. Hoagland. Op. Cit. hal. 164.
41
Guillermo Avila-Saavedra. 2008. Nothing Queer About Queer Television: Televized Construction
of Gay Masculinities dalam Media, Culture, & Society. London: Sage Publication. hal. 18.
13
bentuk dobrakan atas operasional heteroseksis dalam proses budaya arus
utama.42
Seiring globalisasi dan terjadi pertukaran makna antar-kultur, budaya dan
identitas gay semakin berkembang atau dalam konteks konvensional, semakin
terlihat. Adanya perkembangan budaya dan identitas gay pada dasarnya
dilandasi oleh aspek penerimaan masyarakat yang mulai memberikan citra dan
artikulasi positif atas aktivitas countercultural para kaum gay.43 Countercultural
sendiri dimaknai sebagai sikap masyarakat subkultur yang memiliki nilai dan
norma yang berbeda dari masyarakat pada umumnya dan tidak menutup
kemungkinan untuk bertentangan dengan adat istiadat budaya arus utama.44
Pada umumnya, para kaum gay memperlihatkan countercultural mereka melalui
gaya hidup yang cenderung urbanis, baik melalui artefak simbolik, kegiatan,
tingkah laku, jaringan dan peran sosial, serta bagaimana mereka menggunakan
lingkungan tempat tinggalnya untuk beraktivitas sehari-hari.45 Kehidupan gay
dalam gaya hidup urbanis lebih menonjol karena lingkungan perkotaan dan
terutama kota besar yang metropolis merupakan lingkungan individualis dimana
pilihan hidup dan perilaku bukan isu sosial yang kolektif meskipun setiap
individunya tetap terbebani tanggung jawab secara sosial.46 Hal ini juga ditunjang
oleh peluang jaringan sosial yang lebih besar dengan adanya institusi dan
komunitas yang lebih toleran dari kehidupan sosial urbanis.47 Sedangkan dalam
lingkungan rural atau pedesaan atau memungkinkan juga di kota kecil, terutama
di Indonesia yang cenderung konservatif, masyarakatnya cenderung kolektivis
dan memiliki ikatan kultural yang cukup ketat terutama pada nilai dan norma
tradisional
dimana
kontradiktif
terhadap
akar
homoseksualitas
yang
„menyimpang‟.
42
Renee C. Hoagland. 2000. Fashionably Queer: Lesbian and Gay Cultural Studies dalam Theo
Sandfort, et. al. (ed.). Lesbian and Gay Studies: An Introductory, Interdisciplinary Approach.
London: Sage Publication. hal. 164-165.
43
Ibid. hal. 165.
44
Dirangkum dari kamus Merriam Webster yang terarsip dalam http://www.merriamwebster.com/dictionary/counterculture diakses pada 10 Maret 2015.
45
Dirangkum dari Wayne R. Dynes. Op. Cit. dan Alex Sobur. Op. Cit. hal. 168-169.
46
Gita Meina Amalia. Op. Cit. hal. 24-25.
47
James Michael Nichols. 2013. Urban Gays dan Lesbians May Be Less Happy Than Those in
Rural Settings, Study Finds terarsip dalam http://www.huffingtonpost.com/2013/09/11/urban-gaysversus-rural-gays_n_3906539.html diakses pada 23 Maret 2015.
14
3.
YouTube
YouTube (http://youtube.com) merupakan website berbagi video gratis dan
terbuka yang dalam pendiriannya terinspirasi dari website berbagi foto bernama
Flickr (http://flickr.com) dimana YouTube berawal dari sebuah ide untuk
menciptakan wadah bagi keluarga, teman, dan kerabat untuk saling bertukar
video rumahan.48 Para pengguna YouTube dapat menonton video seperti halnya
mengunggah sendiri video yang mereka buat, mereka edit, atau klip-klip dari
pranala luar secara gratis. YouTube didirikan sebagai salah satu bentuk website
media berformat User-Generated Content (UGC) dimana merupakan media yang
dikontrol dan diisi oleh pengguna kalangan amatir. UGC juga didefiniskan
sebagai konten yang dibuat untuk tersedia secara publik di internet,
merefleksikan sejumlah usaha kreatif, dan dibuat di luar rutinitas dan praktek
profesional.49 Media UGC biasanya mengacu pada media yang merupakan alat
komunikasi interpersonal dan ekspresi personal dimana berbeda dengan media
massa yang merupakan alat penyebaran massa untuk pesan massal.50
UGC digital di internet merupakan salah satu bentuk variasi konten media,
termasuk ensiklopedia online (Wikipedia dan website referensi), website jejaring
sosial (Facebook, MySpace, dan Twitter), berbagi foto (Flickr), rating dan review
pengguna (Amazon, Internet Movie Database, dan Metacritic), toko (eBay dan
Ccraiglist), blog, forum diskusi, video game (World of Warcraft dan Second Life),
serta website video online (YouTube, Vimeo, dan Hulu).51 Sedangkan dalam
YouTube itu sendiri, video-video amatir yang ada dapat diklasifikasikan sesuai
dengan tingkat kreativitas pengguna dalam produksinya, yaitu:52
a. User-Created Content (UCC)
Video original yang dibuat oleh pengguna.
b. User-Recreated Content (URC)
Pengguna membuat ulang secara total dengan mendekonstruksi
bahan
dari
media
massa
atau
secara
singkat
disebut
mengadaptasi karya yang sudah ada.
48
Jin Kim. 2010. User-generated content (UGC) revolution?: Critique of the promise of YouTube.
Iowa: University of Iowa. hal. 4.
49
OECD dalam Ibid. hal. 10.
50
Ibid. hal. 8.
51
Ibid. hal. 10.
52
Jinho Suh. 2012. UCC (User-created Contents) and Fair Use in Korea: In Light of “Son Dam-bi”
Decision dalam Seoul Law Journal Vol. 53 No. 3 September 2012. hal. 737-738.
15
c. User-Modified Content (UMC)
Serupa dengan URC, namun UMC lebih cenderung pada kreasi
ulang (memotong, mengutip, dan sejenisnya) dalam bentuk lain
dari karya yang sudah ada.
d. User-Transmitted Content (UTC)
Pengguna mentransmisikan atau mengunggah ulang video musik,
bagian dari siaran acara televisi, dan tayangan berita yang bukan
karyanya sendiri.
Dalam sejarah perkembangannya, konsep media UGC telah dikenal sejak
era abad ke-18 dimana budaya UGC berkembang dengan dimotori oleh gerakan
liberalisme sebagai bentuk utopia dengan menjadi media alternatif yang
menyuarakan counterculture non-profesional yang menantang kekerasan sosial
dan emosional yang dilakukan oleh budaya arus utama.53 Pada titik ini, UGC
merupakan bagian dari perkembangan media alternatif yang selalu memainkan
peran kritis dalam masyarakat karena menyediakan ruang bagi masyarakat
marginal untuk bersuara atas diri mereka sendiri. Meminjam pemahaman ini,
maka YouTube dilihat sebagai suatu bentuk artefak kebudayaan yang dibangun
atas semangat eksperimental dan ekspresi diri para amatir dimana sesuai
dengan filosofi dasar YouTube, “YouTube mendorong kebebasan berpendapat
dan membela hak siapa saja untuk mengekspresikan pandangan tidak
populer”.54
YouTube pun dilihat sebagai wadah atau kanal yang tepat bagi kreativitas
seseorang dalam menguji atau menjelaskan identitas diri dimana bentuk
kreativitas tersebut berupa eksplorasi yang merujuk pada ekspresi diri.55 Hal ini
korelatif dengan pemanfaatan YouTube sebagai sarana berbagi, menciptakan,
hingga kolaborasi dengan tujuan sebatas hiburan maupun profesional.56 Dengan
bantuan YouTube, nilai identitas yang diekspresikan oleh para penggunanya
mampu memberikan refleksi atau gambaran identitas tertentu kepada pengguna
YouTube lainnya. Hal ini sejalan dengan konsep representasi diri yang
53
Fred Turner. 2006. From Counterculture to Cyberculture: Stewart Brand, the Whole Earth
Network, and the Rise of Digital Utopianism. Chicago: The University of Chicago Press. hal. 32-34.
54
Jin Kim. 2010. Op. Cit. hal. 83-84.
55
Matthew G. O‟Neill. 2014. Transgender Youth and YouTube Videos: Self-Representation and
Five Identifiable Trans Youth Narratives dalam Christopher Pullen (ed.). 2014. Queer Youth and
Media Cultures. Hampshire: Palgrave MacMillan. hal. 46.
56
Ibid. hal. 35.
16
merupakan suatu komponen yang jelas dari identitas dimana aktor-aktor sosial
terlibat dalam negosiasi dalam diri yang kompleks untuk mewujudkan impresi
yang memuaskan diri mereka sendiri.57 Impresi tersebutlah yang kemudian
dirancang secara konsisten dan simultan sehingga akhirnya membentuk perilaku
komplementer.
YouTube pun dilihat sebagai medium yang mampu menghantarkan konten
berupa konsep identitas secara semiotik. Konsep semiotik-diri tersebut untuk
lebih lanjutnya dipahami sebagai contoh esensial diri dimana simbol dan perilaku
secara semiotik dianggap serius sehingga mampu „mendikte‟ seseorang untuk
berperilaku tertentu58 namun di saat yang bersamaan, potensi ini hanya akan
menjadi konkrit ketika betul-betul disadari atau ditekankan sebagai bentuk radikal
untuk mampu merubah elemen sosial tertentu di masyarakat.59
Dari perspektif kajian media, YouTube dan konsep UGC harus dipahami
sebagai fenomena yang sedang terjadi atau bentuk konsekuensi dari suatu
evolusioneritas, bukan sebagai produk revolusioner.60 Yang disebut baru oleh
masyarakat kontemporer adalah konsekuensi dari evolusi teknologinya, bukan
mengacu pada revolusi media itu sendiri. Dalam hal ini, YouTube dapat dilihat
dari perspektif konvergensi media dimana mencakup konteks format dan konten.
Dalam ranah konten, YouTube memiliki banyak variasi genre komunikasi visual,
seperti pidato, catatan harian personal, materi akademis, laporan berita, drama,
film, lelucon, video rumahan, dan video musik.61 Sedangkan pada ranah format,
YouTube sebagai medium visual UGC banyak mengadopsi media konvensional
seperti televisi, siaran kabel, alat rekam video, radio, majalah, album foto,
slideshow, dan bahkan komunikasi tatap muka.62 Perbedaan antara konten dan
format inilah yang kemudian menjukkan adanya daur ulang konten lama dalam
format baru. Oleh karena itu, media baru sebetulnya adalah suatu bentuk
konsekuensi evolusioner, bukan produk revolusioner.
57
Nancy Thumim. 2012. Self-Representation and Digital Culture. Hampshire: Palgrave MacMillan.
hal. 36.
58
Ibid. hal. 37.
59
Jin Kim. 2010. Op. Cit. hal. 9.
60
Ibid. hal. 3.
61
Ibid.
62
Ibid.
17
Sebagai suatu bentuk konvergensi media antara broadcasting dan
narrowcasting63,
YouTube
mengikutsertakan
penggunanya
dalam
sistem
produksi-distribusi-konsumsi konten media. Bentuk media ini baru dalam
berbagai substansi, termasuk perubahan masif pada pengoperasian media arus
utama.64 Inovasi teknologi yang ada memberikan nilai tersendiri dalam industri
hiburan, terutama nilai inklusivitas dimana publik akhirnya diberikan atensi dan
ruang untuk menjadi penggerak alternatif dari industri yang selama ini dominan
dan eksklusif.65 Dunia hiburan berbasis web pada dasarnya tetap tidak
sepenuhnya berbeda dari legasi media yang sudah ada, termasuk televisi,
meskipun lebih bersifat inklusif. Ketika dikembangkan, jaringan web belum
menemukan formula yang stabil dan di tahun 2000an awal, jaringan web di
Amerika mampu berkembang pesat setelah mencontoh praktek kerja dan sistem
industri televisi yang kemudian memodifikasinya dengan target audiens sekaligus
pasar (bagi pengiklan) yang lebih luas.66
Perkembangan jaringan web dalam ranah hiburan audio-visual semakin
meluas ketika tingkat familiaritas penggunaan internet di masyarakat dunia juga
meningkat dan aksesibilitas konten hiburan juga semakin mudah. Pada awalnya,
YouTube dilihat sebagai suatu bentuk artefak kebudayaan yang dibangun atas
semangat eksperimental para amatir. Namun penekanan dalam keamatiran dan
kesukarelawanan telah tumpang tindih dengan popularitas, pembukaan publik,
pesona ekspresi diri, dan keviralan.67 Melalui YouTube, pengalaman pribadi
disosialisasikan dalam domain publik dan medium baru ini memiliki jaringan ke
dalam konten yang personal sekaligus publik di saat yang bersamaan. Meskipun
dengan potensi liberalisasi yang ada, media UGC sering dikompromikan dengan
pengaruh dari media tradisional dan budaya dominan. YouTube pada dasarnya
63
Narrowcasting merupakan bentuk penyiaran yang berlawanan dengan broadcasting dimana
narrowcast bersifat lebih terbatas dan tidak bebas-terbuka sekaligus mudah diakses banyak pihak
atau umum selayaknya broadcast. Sistem penyiaran atau pertukaran pesan pada narrowcast
dilakukan terhadap segmen publik yang spesifik yang didefinisikan dari nilai-nilai tertentu,
preferensi, atribut demografis, dan/atau berdasarkan kepelangganan terhadap media yang
bersangkutan (contoh: televisi kabel) (dirangkum dari Aguie Flera dalam Narrowcasting terarsip
pada http://en.wikipedia.org/wiki/Narrowcasting diakses pada 27 Maret 2015).
64
Aymar Jean Christian. 2012. The Web as Television Reimagined? Online Networks and the
Pursuit of Legacy Media dalam Journal of Communication Inquiry. London: Sage Publication. hal.
352.
65
Ibid.
66
Ibid.
67
Ibid. hal. 64.
18
dirancang sebagai bentuk medium yang privat, namun semakin berkembang
sebagai ruang publik.
Pengguna YouTube dalam level korporat pun menjadikan YouTube sebagai
teknologi adopsi broadband dan streaming yang membuka lahan yang lebih luas
bagi para produsen video (baik dalam artian produk televisi maupun film) yang
masing-masing memiliki konsentrasi yang berbeda, baik perbedaan genre, model
penceritaan (serial atau non-serial), hingga model bisnis (jaringan web-grown,
televisi tradisional, atau omnimbus dalam web dengan akses bebas-terbuka
seperti YouTube).68 Pemanfaatan YouTube dalam skala industri pun menjadikan
YouTube sebagai salah satu kanal yang tak hanya berorientasi pengguna amatir
atau UGC tetapi juga profesional (Professionally-Generated Content atau
PGC).69 Pelaku industri konvensional pun menjadi salah satu dari unsur-unsur
media konvensional yang bergantung pada YouTube sebagai motor industrinya.
YouTube tetap tidak terpisahkan dari „agen-agen tradisional‟ (penyiar dan
audiens televisi), „konten tradisional‟ (genre dan gaya program), dan „institusi
tradisional‟ (hak cipta dan iklan).70
Karakter awal YouTube dengan segala aspek keamatirannya pun semakin
dicampuri oleh komersialisasi. Hal ini pun didukung oleh perkembangan
YouTube yang awalnya membatasi durasi dan format video yang diunggah,
namun pada 2008 YouTube memperkenalkan format “High Quality” dan layar
lebar (widescreen) dengan rasio layar 16:9 dimana memberi atmosfer
kepenontonan selayaknya dalam media tayang tradisional seperti televisi dan
bahkan layar bioskop.71 Di saat yang sama, YouTube juga memperkenalkan
fungsi “embed” para pengguna dan pengakses tidak hanya bisa menonton video
tapi juga mampu memasangnya langsung ke dalam blog atau website mereka.
Dengan kemajuan-kemajuan fungsi yang ada, terlihat bagaimana YouTube
lebih mengutamakan aksesibilitas pengguna daripada kemajuan teknologinya.
Hal ini sejalan dengan revolusi media digital pada umumnya dimana kemajuan
yang ada lebih menekankan pada kemudahan, aksesibilitas, dan mobilitas yang
selanjutnya berdampak pada timbulnya nilai viral. Nilai keviralan adalah yang
68
Ibid. hal. 351.
Jin Kim. 2012. The institutionalization of YouTube: From user-generated content to professionally
generated content dalam Media, Culture, & Society. London: Sage Publication. hal. 53.
70
Ibid.
71
Jin Kim. 2010. Op. Cit. hal. 82.
69
19
paling menarik perhatian industri hiburan konvensional untuk melirik YouTube.
Konsep video viral datang dari pemasaran viral yang merupakan suatu strategi
bisnis yang memfasilitasi dan mendorong masyarakat untuk meneruskan pesan
pemasaran.72 Konteks video viral digunakan dalam video singkat yang tersebar
dengan cepat melalui jaringan internet dan seringkali menarik perhatian dari para
pemasar karena efek pengiklanannya.73
YouTube telah berkembang dalam batasan antara privat dan publik,
narrowcasting dan broadcasting, serta amatir dan profesionalisme. Di sisi lain,
sebagai salah satu bentuk narrowcasting, „perpustakaan‟ video digital ini
mempersonalisasikan broadcasting. Melalui YouTube, pengguna amatir dapat
memproduksi dan mendistribusi video mereka ke dunia maya. Hal ini berlawanan
dengan penyiaran tradisional dimana profesional diinstitusionalisasikan dan
penyiaran diformalkan. Di sisi lain, YouTube masih bisa dipandang sebagai
bentuk penyiaran dalam konteks format, bukan dalam bentuk lembaga hukum.
Dengan kata lain, klip-klip YouTube yang dihasilkan, ditransmisikan, direkam,
dan ditonton serupa dengan cara penyiaran tradisional. Hasilnya, YouTube
menjadi terinstitusionalkan berdasarkan dua cara, yaitu melalui kerjasama
dengan perusahaan media besar (termasuk Google, label rekaman besar,
jaringan televisi, kanal kabel, dan perusahaan musik) dan melalui sensor.74
Meskipun YouTube mendukung filosofi kebebasan berpendapat, YouTube
memiliki sistem sensor mandiri dimana “YouTube Community Guideline”
melarang dan memiliki wewenang untuk menghapus video-video tertentu dengan
kategori-kategori seperti “Nudity and Sexual Content,” “Violent or Graphic
Content,” “Hateful Content,” “Spam, Misleading Metadata, and Scams,” “Harmful
or Dangerous Content,” “Copyright”, dan “Threats”.75 Disamping aturan tersebut,
YouTube memiliki dua tahap penyeleksian yang juga melibatkan partisipasi
pengguna sebagai bentuk eksekusi kebijakan. Pengguna dengan sendirinya dan
sukarela dapat menandai video yang bagi mereka tak pantas dengan fungsi
“flag” atau penandaan. Ketika video telah ditandai, maka staf YouTube akan
mengkaji ulang video yang bersangkutan untuk akhirnya diputuskan akan
72
Marketingterms. 2009. dalam Ibid. hal. 62.
Ibid.
74
Ibid. hal. 82-83.
75
Dirangkum dari Community Guidelines terarsip dalam
http://www.youtube.com/yt/policyandsafety/communityguidelines.html diakses pada 21 April 2015.
73
20
dihapus atau tidak.76 Jika ada kanal pengguna yang berulang-ulang melanggar
“YouTube Community Guidelines”, maka staf akan menon-aktifkan akun yang
bersangkutan.77
Selain oleh masyarakat umum, permintaan penghapusan video terkadang
datang dari pemerintah suatu negara. Bagi video kontroversial dalam regional
tertentu, YouTube menggunakan teknologi pemblokiran I.P.78 yang menutup
akses masyarakat yang berdomisili di daerah atau negara tertentu terhadap
video-video tertentu.79 Beberapa negara bahkan tidak hanya memberikan
larangan khusus terhadap video YouTube tertentu, tapi juga memblokir atau
melarang warganya untuk mengakses YouTube itu sendiri. Sistem sensor paling
agresif adalah dari pemerintah Tiongkok, Iran, Pakistan, Arab Saudi, dan Syria. 80
Sedangkan di Indonesia, sistem pemblokiran terhadap YouTube oleh pemerintah
(dalam konteks ini dibawah wewenang Kementerian Komunikasi dan Informatika
Republik Indonesia) tidak dilakukan, namun justru dilakukan terhadap website
berbagi video gratis lainnya, yaitu Vimeo.81
Dengan dinamika perkembangan yang ada, karakter YouTube mengalami
kompleksitas yang signifikan dimana YouTube mengalami tiga level perubahan,
yaitu ketika YouTube dikenal sebagai website berbagi video rumahan yang
dibuat murni oleh amatir, sebagai medium terbuka bagi publik, dan kemudian
sebagai medium yang sudah dikomersialisasikan.82 Kompleksitas dalam
pengorganisasian media ini yang kemudian dipahami sebagai kompleksitas
dalam dimensi kekuasaan (power dimension) pada YouTube dimana menjadi
salah satu dimensi media selain dua dimensi lainnya yang ada, yaitu dimensi
merekam (waktu) dan mentransmisi (ruang) yang juga dimiliki oleh YouTube.83
76
Ibid.
Ibid.
78
IP merupakan kepanjangan dari Internet Protocol dimana alamat IP atau IP address merupakan
label numerik identifikatif yang menandai setiap alat elektronik yang tersambung dalam jaringan
komputer untuk kepentingan komunikasi atau instruksi fungsional antar alat elektronik (dirangkum
dari IP Address terarsip dalam http://en.wikipedia.org/wiki/IP_address diakses pada 29 Maret
2015).
79
Jin Kim. 2010. Op. Cit.
80
Ibid. hal. 85.
81
Istman MP. 2014. Ini Alasan Pemblokiran Vimeo. TEMPO terarsip dalam
http://www.tempo.co/read/news/2014/05/12/173577087/Ini-Alasan-Pemblokiran-Vimeo diakses
pada 30 Maret 2015.
82
Jin Kim. 2010. Op. Cit. hal. 108.
83
Ibid. hal. 107.
77
21
Dengan dua dimensi yang ada, YouTube sebagai media pun memiliki kebiasan.
Sebagai alat perekam, layanan video online mengumpulkan ulang bentuk-bentuk
masa lalu, masa kini, dan bayangan masa depan dalam kenangan visual
sehingga YouTube memiliki bias waktu.84 Sebagai medium transmisi, YouTube
mengembangkan bentuk monopoli penyiaran dari layar televisi ke komputer
rumah, laptop, bahkan hingga telepon genggam sehingga YouTube memiliki bias
ruang.85 Dua perbedaan bias saling mengisi sekaligus kontradiksi satu sama lain
sebagai karakter khas YouTube.
Dilihat dari permukaannya, audiens YouTube memiliki lebih banyak kanal
dan video karena adanya kelimpahan konten, namun di saat yang sama, orangorang berpeluang untuk menemukan konten-konten yang serupa karena
banyaknya repetisi dan transmisi ulang. Video viral menunjukkan ledakan
popularitas yang hanya bersifat sementara dalam level global (bias ruang) serta
perlu ditinjau apakah mereka mewarisi kepentingan kultural tertentu atau tidak
(bias waktu).86 Karakteristik internet cukup relevan dengan YouTube dimana
video-video yang ada menyebar seperti air yang deras dan para audiens lebih
terpolarisasi alih-alih dibedakan secara kultural.87
Meskipun YouTube memiliki kompleksitas karakter yang saling tumpangtindih di dalamnya terutama dalam konteks karakter UGC dan PGC, YouTube
masih memiliki potensi sebagai ruang media bagi komunitas non-profit, amatir,
dan seniman independen. Ketika perusahaan media tradisional memperlakukan
YouTube sebagai bagian kecil dari rute distribusi, YouTube memperluas ruang
bagi distributor konten alternatif.88
Diantara lautan produksi kualitas-rendah atau ala kadarnya yang dihasilkan
amatir, terdapat beberapa karya eksperimen dari produser dan sutradara
berbakat
dan
89
profesional.
berpengalaman,
baik
amatir,
semi-profesional,
maupun
Beberapa pembuat film dan dokumenter independen mencari
peluang meraup audiens melalui YouTube. Topik-topik dan gaya film yang
independen terkadang memiliki keterbatasan untuk ditayangkan terbuka di ruang
84
Ibid. hal. 108.
Ibid.
86
Ibid. hal. 109.
87
Ibid.
88
Ibid.
89
Ibid. hal. 110-111.
85
22
publik konvensional dan YouTube pun dilihat sebagai rute distribusi baru
sekaligus jalan kreativitas baru untuk memulai eksperimen. Dari titik ini, maka
layak dipahami bagaimana potensi YouTube diakui oleh para sineas independen.
Bentuk kreativitas dan eksperimen para sineas independen yang dapat
diakomodir YouTube dua diantaranya adalah film pendek dan web series.
Berfokus pada web series, variasi media baru ini merupakan bentuk tayangan
program serial seperti serial televisi namun distribusinya berbasis website, baik
melalui website eksklusif dari sang produsen tersendiri atau melalui website
video terbuka seperti YouTube.90 Web series yang juga dikenal dengan istilah
web programming, webisodes, bitcoms, web television, atau cybersoaps ini
disebut sebagai bentuk replikatif televisi dalam media baru dimana televisi yang
merupakan salah satu bentuk media massa konvensional dinilai memiliki
kekuatan konten namun lemah dari segi distribusi mampu „ditambal‟ dengan
teknologi internet yang mampu menyebarkan konten media dalam bentuk
tekstual, audio, dan visual sekaligus.91
Produk web series yang beredar di YouTube pada dasarnya tidak selalu
dibuat oleh seniman independen baik dalam level amatir maupun semiprofesional. Tidak sedikit pula web series buatan profesional yang beredar di
YouTube sebagai salah satu bentuk produk korporat industri media. Hal ini
mengimbangi dual sisi konsekuensi konvergensi media dimana masyarakat
menggunakan YouTube sebagai batu pijakan menuju media arus utama,
sementara di saat yang bersamaan media arus utama menggunakan YouTube
untuk mempromosikan program mereka.92 Yang memberikan perbedaan
signifikan antara web series buatan independen dan industri adalah masa edar
yang berkaitan dengan hukum, yaitu dalam konteks perjanjian kontrak dan hak
cipta.93 Web series karya independen cenderung lebih longgar dalam hal
perlindungan hukum dimana meskipun karya mereka belum tentu dilindungi hak
ciptanya, mereka tidak perlu memberikan proteksi resmi berupa perjanjian
kontrak dengan pihak YouTube dan cenderung memiliki masa edar yang tak
terbatas. Web series yang merupakan hasil karya industri media arus utama
90
Dan Williams. 2012. Web TV Series: How to Make and Market Them. Harpenden: Oldcastle
Books. hal. 1-5.
91
Aymar Jean Christian. 2012. Op. Cit. hal. 341.
92
Jin Kim. 2010. Op. Cit. hal. 89.
93
Ibid. hal. 89-90.
23
memiliki perjanjian kontrak dengan YouTube dimana web series yang diedarkan
merupakan bentuk transmisi atau penayangan ulang dari suatu serial televisi
yang kemudian memiliki masa tayang tertentu di YouTube untuk kemudian
dihapus dan dipindahkan ke website resmi yang dapat diakses publik secara
eksklusif maupun gratis namun dengan interupsi iklan.94
F.
Metodologi Penelitian
Penelitian ini merupakan kajian interpretatif atas teks atau konten media
yang merupakan kombinasi tanda-tanda berupa tanda visual dan audio. Teks itu
sendiri dalam penelitian ini dipandang penting sebagai bentuk produksi makna
yang tak terlepas dari representasi. Teks media yang diteliti nantinya akan
dianalisa dengan menghasilkan data deskriptif yang bersifat kritis. Hasil data
deskriptif dicari oleh peneliti untuk menjawab pertanyaan penelitian yang
berkaitan dengan apa dan bagaimana penggambaran objek yang ada.
Dengan mengharapkan bentuk hasil penelitian tersebut, maka penelitian ini
akan memakai metode kualitatif dalam aplikasi penelitiannya. Penelitian kualitatif
bertujuan untuk menciptakan analisa yang dalam atas suatu fenomena melalui
data (populasi dan sampling) yang terbatas dan terfokus.95 Peneliti dalam
penelitian kualitatif adalah bagian dari data dengan maksud bahwa peneliti
menentukan sendiri seperti apa jenis data yang ingin diperoleh sehingga
dibutuhkan partisipasi peneliti di lapangan. Dengan ini, peneliti akan berperan
sebagai subjek interpretatif dan menjadi instrumen utama penelitian sehingga
hasil penelitian akan bersifat subjektif dan tidak dapat digeneralisasi.96
1.
Metode penelitian
Dengan
berlandaskan
pada
kerangka
pemikiran
mengenai
konsep
representasi, penelitian ini akan menitikberatkan pada pemaknaan pesan atas
gambaran suatu identitas sosial-budaya dalam teks media yang dalam penelitian
ini selanjutnya disebut dengan representasi gay dalam web series "CONQ”.
Dalam memaknai representasi gay tersebut, peneliti perlu untuk menginterpretasi
94
Ibid. hal. 90.
Dirangkum dari materi kuliah Metode Kualitatif dan Kuantitatif dalam mata kuliah Metode
Penelitian Sosial oleh Prof. Nunung Prajarto, M.A., Ph.D.
96
Klaus Bruhn Jensen. 2002. A Handbook of Media and Communication Research: Qualitative and
Quantitative Methodologies. New York: Routledge. hal. 265.
95
24
simbol dan tanda yang ada, baik secara visual dan audio. Dengan adanya
pendekatan interpretatif ini, maka peneliti perlu menggunakan metode analisis
semiotik.
Semiotika dipahami sebagai sebuah studi mengenai penciptaan makna serta
teori filosofis mengenai tanda, mulai dari cara berfungsinya, hubungannya
dengan tanda lain, serta penyampaian dan penerimaannya oleh yang
menggunakannya.97 Semiotika melihat peran tanda linguistik sebagai bagian dari
kehidupan sosial. Tanda dan simbol linguistik yang dikaji dipandang memiliki
peran representasi atas suatu budaya mengingat budaya itu sendiri terbentuk
melalui unsur-unsur linguistik seperti bahasa.98
Dengan eratnya konteks sosial dan teks media sebagai kajiannya, maka
penelitian ini menggunakan pendekatan representasi konstruksionis yang
menjadikan media dan kondisi sosial memiliki peran untuk mempengaruhi proses
representasi. Dalam pendekatan ini, representasi merupakan proses yang
mencakup perolehan dan/atau produksi makna dengan cara menghubungkan
tiga hal, yaitu alam benda (things, orang, peristiwa, dan pengalaman), alam
konseptual (konsep mental yang tertanam dalam pikiran), dan tanda-tanda yang
telah tersusun menjadi bahasa yang mewakili atau mengkomunikasikan konsepkonsep tersebut.99 Dengan kata lain, pendekatan ini akan melihat bagaimana
media dan kondisi sosial yang tampak di alam benda dan alam konseptual
direpresentasikan melalui tanda-tanda dan bahasa.
Melalui pendekatan yang ada, maka penelitian ini akan menggunakan
metode analisis semiotik yang dikembangkan oleh Roland Barthes. Barthes
merupakan penerus pemikiran semiotik yang sebelumnya dikembangkan oleh
Ferdinand Saussure. Saussure tertarik pada kompleksitas pembentukan teks
yang menentukan makna dimana dirinya menawarkan dua konsep pembentukan
tanda, yaitu:100
97
Rachmat Kriyanto. 2007. Teknis Praktis Riset Komunikasi. Jakarta: Prenada Media. hal. 261.
Dirangkum dari Galuh Indah Bayuntaridewi. 2012. Skripsi: Blog dan Identitas Masyarakat Korea
Selatan (Analisis Semiotik Terhadap Representasi Identitas Budaya Populer Korea Selatan dalam
Artikel Culture dan Lifestyle Situs http://blog.korea.net). Yogyakarta: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu
Politik UGM. hal. 19-20 dan Arthur Asa Berger. 2014. Media Analysis Technique. Los Angeles:
Sage Publication. hal. 3.
99
Stuart Hall. 2003. Representation: Cultural Representations and Signifying Practices.London:
Sage Publication. hal. 61.
100
Rachmat Kriyanto. 2007. Teknis Praktis Riset Komunikasi. Jakarta: Prenada Media. hal. 265.
98
25
a. Signifier atau penanda
Merupakan eksistensi fisik atau citra yang kita lihat, dengar, atau
rasakan dari suatu objek, seperti bunyi dan gambar (sound and
image).
b. Signified atau petanda
Merupakan konsep dari objek yang bersangkutan sehingga
membuat bunyi dan gambar yang ada menjadi bermakna.
Melalui konsep tersebut, Saussure melihat suatu tanda memiliki penanda
dan petanda yang tunggal dimana masing-masing bunyi atau gambar memiliki
suatu konsep atas makna yang sudah pasti. Inilah yang kemudian dikembangkan
oleh Barthes dimana dirinya melihat kemungkinan bahwa teks yang sama bisa
saja menyampaikan makna yang berbeda pada orang yang berbeda situasinya.
Inilah yang kemudian dikenal dengan sistem pemaknaan tataran kedua dimana
Barthes memperhitungkan peran aktif pembaca yang mampu membuat suatu
tanda berfungsi.101 Lebih lanjut, gagasan Barthes tersebut juga disebut dengan
istilah order of signification yang mencakup dua tingkat pemaknaan, yaitu:102
a. Denotasi
Merupakan level dasar dan deskriptif dari pemaknaan dimana
konsensus atas makna disetujui oleh banyak orang secara luas.
Penanda
berhubungan
dengan
petanda
yang
merupakan
representasi mental atau konseptual dari suatu benda.
b. Konotasi
Proses penandaan lebih luas dengan menghubungkan bahasa ke
dalam tema dan makna tertentu sehingga diperoleh petanda baru
yang sangat terkait dengan konteks sosial, budaya, dan sistem nilai
yang ada.
Secara lebih terstruktur, Barthes mengemukakan gagasannya melalui bagan
yang diistilahkan sebagai peta tanda sebagai berikut:
101
Alex Sobur. 2004. Semiotika Komunikasi. Bandung: Remaja Rosdakarya. hal. 68.
Dirangkum dari Alex Sobur. op. cit. hal. 68-69 dan Pipiet Tri Noorastuti. 2006. Skripsi:
Representasi Seksualitas di Televisi (Analisis Semiotik Program Feature Fenomena di Trans TV).
Yogyakarta: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik UGM. hal. 24.
102
26
Signifier
Signified
(Penanda)
(Petanda)
Denotative Sign
(Tanda Denotatif)
Connotative Signifier
Connotative Signified
(Penanda Konotatif)
(Petanda Konotatif)
Connotative Sign
(Tanda Konotatif)
Bagan 1.2. Peta Tanda Roland Barthes
Sumber: Alex Sobur. 2004. Semiotika Komunikasi. Bandung: Remaja
Rosdakarya. hal. 69.
Dari bagan tersebut, terlihat bahwa tanda konotatif tidak hanya sekedar
memiliki makna tambahan namun juga mengandung kedua bagian tanda
denotatif yang melandasi keberadaannya. Konotatif identik dengan operasi
ideologi yang selanjutnya disebut dengan „mitos‟ dimana dalam proses
pemaknaannya
akan
menemukan
fragmen-fragmen
103
mengungkapkan makna-makna tersembunyi.
ideologi
untuk
Dengan kata lain, ketika suatu
tanda yang memiliki makna konotasi kemudian berkembang menjadi makna
konotasi, maka makna konotasi tersebut akan menjadi mitos. Dalam konteks
pembacaan semiotika dalam media audio visual, Barthes melihatnya sebagai
media yang bergerak pada sistem pemaknaan tataran kedua.104
Secara lebih lanjut, penelitian ini akan mengadopsi konsep studi semiotik
film. Langkah ini dipilih karena belum ada kajian yang secara spesifik membahas
mengenai semiotika dalam video bernarasi selain video musik, terutama web
series dan elemen-elemen dalam film pada dasarnya serupa dengan elemen
yang ada di dalam web series. Semiotik film melihat film sebagai media dengan
impresi realita yang disusun atas perspektif analogikal melalui gambaran
fotografis, ketetapan visi, dan phi-effect atau fenomena pergerakan yang jelas
dari rangkaian gambar statis.105 Impresi realita yang digambarkan dalam film
dilihat oleh semiotika film sebagai bagian konstitutif dari ideologi yang dihasilkan
103
Dirangkum dari Alex Sobur. op. cit. dan Pipiet Tri Noorastuti. op. cit.
Andreas Agung Nugroho. 2001. Skripsi: Konstruksi Citra Perempuan oleh Sutradara Perempuan
dalam Sinema Televisi Indonesia 1997-1998 (Analisis Semiotik terhadap Film Penari dan Bukan
Perempuan Biasa). Yogyakarta: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik UGM. hal. 34.
105
Robert Stam, Robert Burgoyne, dan Sandy Flitterman-Lewis. 1992. New Vocabularies in Film
Semiotics: Structuralism, Poststructuralism and Beyond. London: Routledge. hal. 191.
104
27
oleh sineas film. Dengan penekanan pada ideologi ini, maka studi semiotik film
memiliki kecenderungan untuk pengkaji pemaknaan dalam makna konotatif.
Terdapat dua ranah operasi pada studi semiotik film, yaitu pertama dengan
melakukan analisis terhadap semua kode-kode penandanya (signifying codes)
yang digunakan untuk mencari makna psikologis, sosiologis, kultural, dan
estetika; sedangkan yang kedua adalah dengan melakukan kajian pada
ungkapan-ungkapan sinematiknya atau bagaimana kode yang ada diolah dan
disajikan.106 Seperti halnya kajian pada cabang ilmu semiotika lainnya,
pengoperasian tersebut akan melalui tahapan dimana film dipandang sebagai
teks. Hal ini mengingat bahwa meskipun film dipandang sebagai impresi realita,
namun film tidak serta merta dilihat sebagai imitasi realita, tapi lebih seperti suatu
artefak atau konstruksi dari literatur yang ada.107 Maka dari itu, film sebagai teks
kemudian
dipahami
sebagai
pesan
parasitik
yang
dirancang
untuk
mengkonotasikan citra yang berbentuk visual bergerak dan suara dalam bentuk
dialog, baik secara harfiah maupun simbolik.108
Lebih lanjut, Barthes pun mengklasifikasikan enam prosedur konotasi yang
berpengaruh dalam pemaknaan media visual dimana juga disesuaikan dengan
unsur-unsur film menurut James Monaco, yaitu:109
a. Trick effect atau mise-en-scene
Pengolahan hasil visual atau manipulasi atau efek pengambilan
gambar dalam komposisi visual
b. Pose atau akting
Posisi, ekspresi, sikap, dan gaya subjek
c. Objek
Seleksi atau penataan objek-objek „dunia rekaan‟ seperti karakter
tokoh, latar, dialog, dan kostum untuk penekanan point of interest
d. Fotogenia
Teknik pengambilan gambar
106
Budi K Z. Laporan Penelitian Bahasa Film: Teks dan Ideologi. Yogyakarta: Jurusan Ilmu
Komunikasi FISIPOL UGM. hal. 49-50. dalam Andreas Agung Nugroho. op. cit.
107
Robert Stam, Robert Burgoyne, dan Sandy Flitterman-Lewis. op. cit. hal. 199-200.
108
Andreas Agung Nugroho. op. cit. hal. 35.
109
Dirangkum dari Bestantia Indraswati. 2002. Potret Etnik Cina dalam Film Indonesia
(Representasi Etnik Cina pada Dimensi Sosial Budaya, Ekonomi, dan Politik dalam Film Putri Giok
dan Film Lo Fen Koei). Yogyakarta: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik UGM. hal. 49, Andreas
Agung Nugroho. op. cit. hal. 35-36, dan Galuh Indah Bayuntaridewi. op. cit. hal. 25.
28
e. Estetisme
Format gambar atau estetika komposisi gambar secara keseluruhan
baik dari segi visual maupun audio
f.
Sintaksis atau montage
Perangkaian beberapa gambar atau shot dalam sebuah sekuen
Video web series, selayaknya film, merupakan media yang menggambarkan
impresi realita dengan perspektif analogikal melalui gambaran fotografis yang di
dalamnya mengandung ideologi pembuatnya. Kuatnya konsep penggambaran
atas diferensiasi citra gay dalam penokohan Timo dan Lukas menjadikan web
series “CONQ” syarat atas ideologi kultural. Ideologi kerap bersifat implisit dan
untuk mengkajinya, peneliti harus mencari di dalam teks untuk menemukan
ideologi yang bekerja. Penggunaan analisis semiotik sebagai metode penelitian
nantinya diharapkan mampu memberikan hasil penelitian berupa pemaparan
makna dari pesan-pesan semiotika yang terkandung dalam web series “CONQ”
dan juga ideologi apa saja yang dimaksudkan oleh komunikator di dalamnya.
2.
Teknik pengumpulan data
Peneliti akan mengumpulkan data-data penelitian dengan jenis data primer
dan data sekunder. Data primer akan didapatkan peneliti melalui data literatur
berupa episode-episode dari web series “CONQ” itu sendiri yang terekam secara
literasi dalam YouTube dan dapat diakses oleh umum.
Secara keseluruhan, web series “CONQ” telah mencapai 12 episode.
Dengan tujuh episode serial serta satu episode spesial (episode lepas yang tidak
memiliki keterkaitan cerita dengan episode lain) yang dirilis per April 2015,
peneliti akan meneliti tujuh episode serial yang ada dimana memiliki cakupan
waktu rilis yang sesuai dengan masa penelitian. Dari ketujuh episode yang
diteliti, peneliti akan membedahnya dalam satuan shot dimana yang akan
dianalisis tidak keseluruhan shot yang ada, melainkan melakukan seleksi dan
mengambil shot-shot tertentu saja yang memiliki kandungan adegan yang
berkaitan dengan tema homoseksualitas, baik secara naskah, visual, maupun
audio untuk diteliti. Dari adegan-adegan yang ada dalam episode yang diteliti,
peneliti akan mengambil beberapa potongan gambar diam (still image) untuk
29
kemudian dipetakan sesuai dengan unit analisis yang akan dijelaskan dalam
bagian selanjutnya.
Pada tahap ini, peneliti terlebih dahulu menetapkan signifikasi-signifikasi
utama di dalam setiap episodenya berupa unsur-unsur identitas, budaya, dan
latar homoseksualitas seperti adanya tokoh, objek, aktivitas, tempat, peristiwa,
dan dialog yang mengacu pada konsep homoseksualitas. Dari kriteria-kriteria
tersebut, peneliti menetapkan jumlah adegan yang dianalisis per episodenya
sebagai berikut:
No
Episode
1
2
3
4
5
6
7
“Unstereotype Me”
“The Perfect Profile (PART 1)”
“The Perfect Profile (PART 2)”
“The Test”
“The Enlightenment”
“The Baby Shower”
“A Night to Remember”
Total
Jumlah
Scene
6
6
1
5
6
7
6
37
Jumlah
Adegan
10
10
4
16
8
8
8
64
Jumlah
Shot
55
35
27
78
52
96
44
387
Tabel 1.1. Daftar jumlah scene, adegan, dan shot yang diteliti
Sedangkan data sekunder sebagai pelengkap data primer akan didapatkan
dari sumber kedua melalui data literatur lain seperti buku, website, maupun
preview studies melalui hasil penelitian terkait yang sudah pernah dilaksanakan,
terutama mengenai topik homoseksualitas.
3.
Teknik analisis data
Merujuk pada pemaparan mengenai budaya dan identitas pada kerangka
pemikiran di atas, peneliti kemudian merangkumnya dalam unit elemen tanda
untuk melihat representasi identitas budaya melalui pendekatan semiotika
sebagai berikut:
Unit Elemen Tanda
Identitas
Budaya
Kategori
Status
Nama
Citra
Gagasan, konsep,
dan pemikiran
manusia
Subkategori
Kisah, sejarah, mitos, legenda, dan gurauan
Kepercayaan, asumsi, mental, dan pola pikir
Aturan, norma, kode etik, dan nilai
30
Benda atau objek
simbolik
Kompleks aktivitas
atau praktek
humanis
Objek identitas
budaya
Teks
Artefak
Pahlawan atau panutan
Komunikasi dan bahasa
Perilaku
Ritual, upacara, dan perayaan
Aksi simbolik atau ciri khas perilaku
Penghargaan dan pengakuan
Hubungan dan jaringan sosial
Rasa diri, ruang, dan ekspresivitas
Peristiwa
Orang
Tempat
Tabel 1.2. Unit Elemen Tanda
Dengan objek penelitian berupa video web series, maka unit-unit elemen
tanda tersebut akan dikaji setelah sebelumnya membedah video dalam unit
elemen visualisasi atau sinematografi dimana pembingkaian yang disuguhkan
kepada penonton tidak hanya sekedar gambar, melainkan juga mengandung
informasi yang mewakili pesan.110 Dari sisi pembuatnya, tentu menjadi penting
untuk menggiring penonton kepada alur cerita yang sesuai dengan kehendaknya
dan aspek visual adalah „alat tuntun‟ utama dalam media visual. Komposisi
gambar memberikan „tuntunan‟ kepada penonton kemana harus melihat, apa
yang dilihat, dan dengan cara seperti apa melihatnya.111
Komposisi gambar ditentukan oleh bagaimana pengambilan gambar atas
objek atau secara prosedur konotasi dipahami bahwa elemen estetisme
dipengaruhi oleh elemen fotogenia dan bahkan trick effect. Dalam ilmu
sinematografi, terdapat beberapa teknik pengambilan gambar dasar yang secara
visual memberikan nuansa-nuansa penceritaan tertentu, yaitu:
a. Camera shots112
i. Wide shot
Pengambilan
bingkai
gambar
secara
meluas
sehingga
memperlihatkan dimensi ruang adegan secara menyeluruh.
110
Blain Brown. 2012. Cinematography: Theory and Practice: Image Making of Cinematographers
and Directors. Waltham: Focal Press. hal. 38.
111
Ibid.
112
Ibid. hal. 17-21.
31
ii. Full shot
Gambar yang diambil mencakup kepala hingga kaki karakter
atau badan objek secara menyeluruh.
iii. Two shot
Pembingkaian gambar yang mencakup dua karakter sekaligus.
iv. Medium shot
Cakupan gambar lebih sempit dari full shot namun tidak
menutup kemungkinan adanya lebih dari satu karakter dalam
satu bingkai gambar, seperti pada adegan percakapan.
v. Close up
Cakupan gambar lebih sempit dari medium shot dengan fokus
pada ekspresi (hanya memperlihatkan kepala hingga bahu)
atau gerakan karakter (hanya memperlihatkan tangan atau
kaki).
vi. Extreme close up
Biasa dipilih untuk lebih menekankan ekspresi atau gerakan
pada gambar close up, seperti hanya memperlihatkan bibir,
mata, atau jari.
b. Camera movement113
i. Zoom (in dan out)
Pergerakan kamera yang mendekati (in) atau menjauhi (out)
subjek secara optis atau secara teknis menambah (in) atau
mengurangi (out) panjang fokal lensa dari sudut sempit ke
sudut lebar atau sebaliknya.
ii. Tilt (up dan down)
Pergerakan kamera secara konstan vertikal tanpa mengubah
posisi kamera, biasanya untuk mengikuti posisi karakter dari
duduk ke berdiri (up) atau sebaliknya (down).
iii. Pan
Pergerakan kamera secara konstan horizontal tanpa mengubah
posisi ketinggian kamera terhadap subjek.
113
Ibid. hal. 212-216.
32
iv. Move atau punch (in dan out)
Keduanya sama-sama mengambil gambar dengan mengikuti
pergerakan karakter
secara
lebih
detil,
seperti gambar
menyempit (in) dengan sudut tinggi seperti menekan ketika
karakter akan duduk atau sebaliknya (out). Move dilakukan
dengan menggerakkan kamera, sedangkan punch dilakukan
dengan zoom.
v. Tracking
Pergerakan kamera mengikuti karakter atau objek, baik dari
belakang objek atau dari depan objek.
c. Camera angle114
i. High angle
Sudut kamera berada di atas ketinggian mata sehingga tampak
mendominasi objek.
ii. Low angle
Sudut kamera lebih rendah dari mata objek sehingga objek
tampak lebih tinggi dan besar serta menimbulkan kesan lebih
dominan.
iii. Straight angle
Sudut pengambilan gambar yang normal yang pada umumnya
setinggi dada pengambil gambar atau sejajar objek.
Setelah mengkaji aspek pengambilan gambar di atas, penelitian ini juga
akan mengkaji teknik visualisasi dari aspek olah gambar dalam bentuk transisi
yang menghubungkan antar gambar atau shot yang merupakan unit terkecil
dalam videografi, atau yang dalam prosedur konotasi dipahami sebagai elemen
sintaksis, yaitu:115
a. Fade in
Gambar muncul menggantikan gambar sebelumnya.
b. Fade out
Gambar menghilang dan digantikan gambar selanjutnya.
114
115
Ibid. hal. 64-65.
Galuh Indah Bayuntaridewi. op. cit. hal. 29.
33
c. Cut to cut
Pergantian gambar secara mendadak dari gambar satu ke gambar
lainnya.
d. Wipe
Pergantian adegan secara perlahan dengan menggeser gambar
yang ditampilkan searah vertikal atau horizontal dan memunculkan
gambar selanjutnya.
Adanya klasifikas prosedur konotasi oleh Barthes dan unsur film menurut
Monaco, elemen tanda atas identitas dan budaya, serta aspek sinematografi di
atas untuk selanjutnya difungsikan sebagai turunan konsep agar mampu diteliti
atau menjadi instrumen penelitian sebagai berikut:
Unit Analisis
Prosedur Konotasi
Unsur
Identitas
Naskah
Trick effect, Pose,
dan Objek
Budaya
Latar
Teknik
visualisasi
Fotogenia dan
Estetisme
Camera
shot
Camera
movement
Subunsur
Status
Nama
Citra
Kisah, sejarah, mitos,
legenda, dan gurauan
Gagasan,
konsep, dan Kepercayaan, asumsi,
pemikiran
mental, dan pola pikir
manusia
Aturan, norma, kode etik,
dan nilai
Benda atau Teks
objek
Artefak
simbolik
Pahlawan atau panutan
Komunikasi dan bahasa
Perilaku
Ritual, upacara, dan
perayaan
Kompleks
Aksi simbolik atau ciri khas
aktivitas
perilaku
atau praktek Penghargaan dan
humanis
pengakuan
Hubungan dan jaringan
sosial
Rasa diri, ruang, dan
ekspresivitas
Peristiwa
Tempat
Wide shot, Full shot, Two shot, Medium
shot, Close up, Extreme close up
Zoom, Tilt, Pan, Move, Tracking
34
Sintaksis
Camera
angle
Transition
High angle, Low angle, Straight angle
Fade in, Fade out, Cut to cut, Wipe
Tabel 1.3. Instrumen Penelitian
35
Download