MAQĀṢID AL-SYARĪ’AH AL-SYĀṬIBĪ DAN AKTUALISASINYA DALAM NILAI-NILAI FALSAFAH PANCASILA Agustan Ahmad PPs STAIN Datokarama Palu, Jl. Diponegoro No. 23 Palu E-mail: [email protected] Abstrak: Allah swt. menurunkan syariat kepada umat manusia bukan tanpa tujuan tertentu. Tujuan diturunkannya syariat ialah untuk memberikan kemaslahatan kepada umat manusia dan menghindarkan mereka dari hal-hal yang tidak baik. Namun demikian, pemahaman para ulama tentang tujuan syariat dan prosedur penerapannya tidak selalu sama. Oleh karena itu, masalah maqāṣid al-Syarī’ah menjadi objek kajian tersendiri dalam hukum Islam. Salah seorang ulama yang secara khusus membahas masalah ini ialah al-Syāṭibī dalam kitabnya alMuwafaqāt. Tulisan ini membahas maqāṣid al-syarī’ah al-Syāṭibī dan aktualisasinya dalam nilai-nilai falsafah Pancasila. Abstract: Allah swt. sent down the syarī’ah to mankind with certain purpose. The purpose of the syarī’ah is to provide benefit to mankind and prevent them from things that are not good. However, the Muslim scholars (ulamā’) have different understanding on the purpose of the syarī’ah and the procedures of its application. Therefore, the problem maqāṣid al-syarī’ah become the object of a separate study in Islamic law. One of the Muslim scholars (ulamā’) who specifically discusses this issue is al-Syāṭibī in his book, al-Muwafaqāt. This article deals with maqāṣid al-syarī’ah of al-Syātibī and its actualization in the philosophy values of Pancasila. Kata Kunci: maqāṣid al-syarī’ah, syariat, kitāb al-muwafaqāf, Imām al-Syāṭibī, falsafah Pancasila Vol. 8, No.2, Desember 2011: 217-235 PENDAHULAN Pada mulanya, term syarī’at memiliki konotasi makna yang luas. Ia tidak hanya fikih, tetapi mencakup pula akidah, akhlak, dan segala aspek ajaran Islam. ‘Abbās Ḥusni Muḥammad menegaskan bahwa syariat identik dengan kandungan Alquran dan sunah.1 Dengan demikian, syariat mencakup segala sesuatu yang membawa seseorang menjadi muslim.2 Pengertian syariat kemudian dipahami secara terbatas dalam makna fikih, atau identik dengan hukum Islam. Bahkan, Maḥmūd Syaltūt menulis buku yang “memisahkan” akidah dari syariat, seperti yang tampak pada judulnya, al-Islām ‘Aqīdah wa Syarī’ah.3 Dengan demikian, istilah “syariat” tidak lagi dipahami oleh kebanyakan orang dalam makna yang luas tadi, tetapi sudah menjadi term yang identik dengan fikih (hukum) Islam. Meskipun demikian, kedua aspek tersebut tidak dapat berdiri sendiri, bahkan tidak dapat dipisahkan, satu sama lain. Keterkaitannya tidak hanya dalam bentuk pengamalan, tetapi juga dalam dasar-dasar pemikiran yang berkembang mengenai kedua aspek tersebut. Dari segi pengamalan, sejak zaman Nabi Muhammad saw., kedua aspek tersebut sepenuhnya menyatu. Syariat yang diajarkannya adalah bentuk lain dari pengamalan akidah yang ia tanamkan sebelumnya. Oleh karena itu, para sahabat ketika itu belum cenderung memilah dan memisahkan antara akidah dan syariat sebagai objek yang berdiri sendiri.4 Dalam perkembangannya, keterlibatan mutakallimīn dalam penyusunan standar usul fikih, baik Mu’tazilah maupun 1 ‘Abbās Ḥusni Muḥammad, al-Fiqh al-Islāmī: Āfāquh wa Taṭawwuruh (Makkah: Rābiṭah al-‘Ālamī al-Islāmī, 1402), h. 7-8. 2 Sa’ūd ibn Sa’d ‘Alī Duraib, al-Tanżīm al-Qaḍā`ī fī al-Mamlakah al‘Arabiyyah (Riyāḍ: Maṭābi’ al-Ḥanīfah li al-Ubsit, 1973), h. 23. 3 Maḥmūd Syalṭūṭ, al-Islām ‘Aqīdah wa Syarī’ah (t.t.: Dār al-Qalam, t.th.). 4 Hamka Haq, Dialog Pemikiran Islam: Tradisionalismedan Empirisme dalam Teologi, Filsafat, Ushul Fikih (Ujung Pandang: Yayasan Ahkam, 1995), h. 104. 218 Hunafa: Jurnal Studia Islamika Agustam, Maqāṣid al-Syarī’ah al-Syāṭibī… Asy’ariyah, mengakibatkan pemikiran hukum yang berkembang kemudian mendapat pengaruh aliran-aliran ilmu kalam (teologi). Hal ini, menurut Hamka Haq, dimungkinkan karena teori-teori usul fikih tidak terlepas dari tiga sendi utama, yaitu (1) prinsipprinsip akidah, (2) kaidah kebahasaan, dan (3) konsep hukum yang mengandung tujuan syariat (maqāṣid al-syarī’ah).5 Dari ketiga sendi pokok ini, dua di antaranya sangat erat kaitannya dengan teologi, yakni akidah dan maqāṣid al-syarī’ah. Sebaliknya, dapat dikatakan bahwa pembahasan tentang maqāṣid al-syarī’ah tidaklah berdiri sendiri, tetapi melibatkan aspek teologi di dalamnya. Tulisan ini akan mengelaborasi secara sederhana konsep maqāṣid al-syarī’ah yang dikemukakan oleh al-Syāṭibī dalam salah satu kitabnya yang fenomenal, al-Muwafaqāt. Dalam hal ini, pada dasarnya, al-Syāṭibī menempatkan maslahat sebagai tujuan Allah selaku “Pembuat Syariat” (qaṣd al-syar’). Dalam tataran filosofis-aplikatif, konsep maqāṣid al-syarī’ah al-Syāṭibī ini akan disandingkan dengan konsep Pancasila sebagai falsafah kehidupan berbangsa di Indonesia. Meminjam istilah Roeslan Abdulgani, “Pancasila sebagai philosofische gronslag, merupakan fondamen, filsafat, pikiran sedalam-dalamnya yang di atasnya didirikan gedung Indonesia yang kekal abadi.”6 Diyakini oleh banyak kalangan bahwa Pancasila dibutuhkan sebagai perekat dan pemberi maslahat bagi bangsa ini dalam berbagai aspek kehidupannya. Berdasarkan latar belakang masalah di atas, pembahasan dalam tulisan ini berangkat dari masalah pokok, yaitu apa dan bagaimana maqāṣid al-syarī’ah menurut al-Syāṭibī dan aktualisasinya dalam nilai-nilai falsafah Pancasila. 5 Ibid., h. 107. Roeslan Abdulgani, Pengembangan Pancasila di Indonesia (Jakarta: Idayu Press, 1977), h. 16. 6 Hunafa: Jurnal Studia Islamika 219 Vol. 8, No.2, Desember 2011: 217-235 BIOGRAFI SINGKAT AL-SYĀṬIBĪ Nama lengkap Imam al-Syāṭibī ialah Abū Ishāq Ibrāhīm ibn Mūsā ibn Muḥammad al-Syāṭibī. Ia dilahirkan di Granada,sebuah kerajaan Islam yang berada di bawah pemerintahan Daulah Umawiyah yang mengikuti aturan-aturan Andalusia Selatan (Spanyol). Kerajaan ini dibatasi oleh Selat Giblaltar di sebelah selatan; daerah-daerah Jayyan, Cordova, dan Isybiliyah di sebelah utara; wilayah Mursiyah dan pantai Laut Tengah di sebelah timur; dan daerah Qadis di sebelah barat. Saat itulah Muḥammad ibn Yusūf ibn Hūd al-Jadzamī mendakwakan wajibnya pembebasan Andalus dari Muwahidun dan orang-orang Nasrani serta menghidupkan kembali syariah dan sunah-sunahnya. Saat itu pula Muḥammad bin Yūsuf al-Naẓarī yang biasa dikenal dengan Ibn Aḥmar meletakkan batu landasan Kerajaan Islam Granada. Pada awalnya, masyarakat Granada hidup dalam kesejahteraan dan kemakmuran. Granada dengan mudah menjalin hubungan perekonomian dan perdagangan dengan daulah lain karena perpindahan kaum muslimin dari kotanya akibat penguasaan orang-orang Nasrani. Hal ini pulalah yang menjadikan Granada sebagai pusat perdagangan terbesar di Eropa. Selain itu, Granada juga merupakan penghasil barang tambang seperti besi, emas, dan perak. Namun demikian, keadaan itu berubah akibat ulah mereka sendiri yang mengakibatkan Granada menjadi kerajaan yang dipenuhi kelaparan dan ketakutan. Dalam sejarahnya, Granada beberapa kali mengalami alih kekuasaan. Ia pernah berada di bawah pemerintahan orang Barbar lalu jatuh ke tangan al-Murābiṭun, Daulah Islamiyah yang berada di Maghrib dan Andalusia selama 60 tahun. Walaupun demikian, keilmuan di Granada tergolong maju. Gerakan pemikiran mulai muncul pada pertengahan awal abad ke-7 H. Di sinilah al-Syāṭibī menjadi saksi hidup perjalanan Granada dengan 220 Hunafa: Jurnal Studia Islamika Agustam, Maqāṣid al-Syarī’ah al-Syāṭibī… warna-warni corak agamanya dan pola pemikiran yang semakin maju.7 Silsilah al-Syāṭibī disandarkan pada Lakhm ibn ‘Adī sehingga disebut sebagai al-Lakhmī. Lakhm adalah salah satu kabilah Arab dari Yaman yang tinggal di Syam. Disebut al-Garnaṭī karena ia hidup di Granada dan disebut al-Syāṭibī berdasar pada tempat tinggalnya yang lebih spesifik yaitu Syāṭibah (Xativa atau Jativa), kota besar dan maju yang berada di sebelah timur Andalus, sebelah timur Cordova.8 Namun demikian, ia lebih populer dengan nama al-Syāṭibī daripada al-Garnatī.9 Tanggal kelahiran al-Syāṭibī belum diketahui secara pasti. Pada umumnya, orang hanya menyebut tahun kematiannya, 1388 M. (790 H.).10 Meskipun demikian, dapat diduga bahwa ia lahir dan menempuh masa hidupnya di Granada pada masa kekuasaan Yūsuf Abū al-Ḥajjāj (1333—1354 M.) dan Sultan Muḥammad V (1354—1359 dan 1362—1391 M.). Asumsi ini didasarkan pada perbandingan antara tahun kewafatan al-Syāṭibī dan priode kekuasaan dua penguasa Granada tersebut, yang ketika itu, Granada merupakan kota pendidikan.11 Seperti ulama pada umumnya, sebelum mendalami kajian ilmu-ilmu agama, al-Syāṭibī pertama-tama belajar bahasa Arab kepada Ibn al-Fakhkhār al-Ilbirī (wafat 1358 M) dan Abū al-Qāsim 7 ‘Abd al-Raḥmān Ādam ‘Aliy, Al-Imām al-Syāṭibī: ’Aqīdatuh wa Mauqifuh min al-Bida' wa Ahlihā (cet. ke-1; Riyaḍ: Maktabah al-Rusyd, 1998), h. 23. 8 Haq, Dialog …, h. 108. 9 ‘Abd Allāh Muṣṭafā al-Marāgī, al-Fatḥ al-Mubīn, Juz II (Beirut: Muḥammad Amīn Dimāj, 1974), h. 204. 10 Ibid. 11 Yūsuf Abū al-Ḥajjāj adalah raja ketujuh dari Banu Aḥmar. Ia membanguna universitas Granada dengan sistem administrasi yang amat mengagumkan. Kurikulumnya meliputi teologi, hukum, farmasi, kimia, filsafat, dan astronomi. Mahasiswa yang belajar di universitas ini tidak hanya berasal dari Granada, tetapi juga sebagiannya berasal dari Castilia dan negeri-negeri luar lainnya. Lihat, Philips K. Hitti, History of the Arabs dalam Haq, Dialog …, h. 109. Hunafa: Jurnal Studia Islamika 221 Vol. 8, No.2, Desember 2011: 217-235 al-Syarīf al-Sabtī (wafat 1358 M). Ilmu usul fikih ia peroleh dari Imām al-Maqqari’. Al-Syāṭibī belajar filsafat dan ilmu kalam dari Abū al-‘Alī al-Manṣūr serta al-Syarīf al-Tilimsanī (wafat 1369 M.). Dari kedua guru yang disebutkan terakhir, al-Syāṭibī dapat dipastikan berinterkasi dengan pemikiran Mu’tazilah serta pemikiran rasional lainnya.12 Sejumlah karya tulis telah ditinggalkan oleh al-Syāṭibī. Beberapa di antaranya adalah: · Al-Muwāfaqāt, buku yang menerangkan tentang rahasiarahasia di balik hukum taklif. Buku ini tadinya berjudul alTa’rīf bi Asrār al-Taklīf . Namun demikian, al-Syāṭibī menggantinya setelah bermimpi bertemu dengan gurunya yang mengatakan bahwa buku karangannya berjudul alMuwāfaqāt;13 · Al-I’tiṣām,buku yang menerangkantentang bid’ah dan seluk beluknya; · Al-Maqāṣid al-Syarī’ah fī Syarḥ Khulāṣah al-Kāfiyah, buku ilmu nahwu yang merupakan syarahdari Alfiyyah ibn Mālik; · Al-Majālis, buku yang merupakan syarah dari Kitāb al-Buyū’ yang terdapat dalam Ṣaḥīḥ al-Bukhārī; · ‘Unwān al-Ittifāq fī ‘Ilm al-Isytiqāq, buku tentang ilmu Ṣarf dan Fiqh al-Lughah; · Uṣūl al-Naḥw, buku yang membahas tentang qawā’id alLughah dalam ilmu ṣarf dan ilmu nahw; · Al-Ifādāt wa al-Insyādāt, buku yang menggambarkan perjalanan hidup al-Syāṭibī sekaligus menyebutkan guruguru dan murid-muridnya. 12 Ibid., h. 111. Abū Isḥāq al-Syāṭibī, al-Muwāfaqāt fī Uṣūl al-Syarī’ah, Juz I ( t.t.: Dār alFikr al-‘Arabī, t.th.), h. 24. 13 222 Hunafa: Jurnal Studia Islamika Agustam, Maqāṣid al-Syarī’ah al-Syāṭibī… Di antara ketujuh karya itu, kitab al-Muwāfaqāt-lah yang merupakan master peice-nya. Kitab al-Muwafāqāt, karya terbesar Imam al-Syāṭibī, merupakan karya ilmiah dalam bidang usul fikih sekaligus salah satu bentuk reformasi ilmiah secara menyeluruh. Kitab ini, bukan hanya menjelaskan dasar-dasar ilmu usul fikih dengan metodologi baru yang berlandaskan penelitian penuh (istiqra’) dari sumber utama syari’ah (Alquran dan sunah), melainkan juga menjelaskan dasar-dasar utama untuk memahami syariah secara menyeluruh. MAQĀṢID AL-SYARĪ’AH MENURUT AL-SYĀṬIBĪ Pengertian Maqāṣid al-Syarī’ah dan Pandangan al-Syāṭibī dalam al-Muwafaqāt Maqāṣid al-Syarī’ah adalah term bahasa Arab yang—secara etimologis—berasal dari dua kata, yaitu (1) maqāṣid (bentuk jamak dari maqṣad,dari akar kata د- ص- ق, yang berarti “tujuantujuan”14 dan (2) syarī’ah yang secara harfiah, berarti “jalan ke tempat mata air”, atau “tempat yang dilalui air sungai”.15Syarī’ah juga berarti16 "َﺎم ِ َﺣﻜ ْ "ﻣَﺎ ﺷََﺮ َﻋﻪُ اﷲُ ﻟِﻌِﺒَﺎ ِد ِﻩ ِﻣ َﻦ اْﻟ َﻌﻘَﺎ ِﻋ ِﺪ َواْﻷ.. Secara terminologis, syarī’at adalah: اﷲ ُ َﻠﻰ َﱯ ِﻣ َﻦ اْﻷَﻧْﺒِﻴَﺎ ِء ﺻ ﱠ َت َِﺎ ﻧِ ﱞ ْ ﱠﱴ ﺟَﺎء ِْ َﺎم اﻟ ِ ﻣَﺎ َﺷَﺮ َﻋﻪُ اﷲُ ﻟِﻌِﺒَﺎ ِد ِﻩ ِﻣ َﻦ اْﻷَ ْﺣﻜ َﺖ ُﻣﺘَـ َﻌﻠﱢ َﻘﺔً ﺑِ ِﻜْﻴ ِﻔﻴﱠ ِﺔ ﻋ ََﻤ ٍﻞ َوﺗُ َﺴﻤﱠﻰ ﻓـَْﺮِﻋﱠﻴًﺔ ْ َﺳﻮَاءٌ ﻛَﺎﻧ،ََﻋﻠَْﻴ ِﻬ ْﻢ َوﻋَﻠ َﻰ ﻧَﺒِﻴﱢـﻨَﺎ َو َﺳﻠﱠﻢ ﺻﻠِﻴﱠﺔً وَا ْﻋﺘِﻘَﺎ ِدﻳﱠﺔً َود ﱢُو َن ﳍَﺎ ْ ََود ﱢُو َن ﳍََﺎ ِﻋ ْﻠ ُﻢ اْﻟ ِﻔ ْﻘ ِﻪ أ َْو ﺑِ َﻜْﻴ ِﻔﻴﱠ ِﺔ اْ ِﻹ ْﻋﺘِﻘَﺎ ِد َوﺗُ َﺴﻤﱠﻰ أ 17 ....ِﻋ ْﻠ ُﻢ اْﻟ َﻜﻼَِم 14 Majma’ al-Lughah al-‘Arabiyyah, al-Mu’jam al-Wasīṭ, Juz II (Istanbul: al-Maktabah al-Islāmiyyah, t.th.), h. 738. 15 Ibid., Juz I, h. 479; Ahmad Warson Munawwir, al-Munawwir (t.t.: t.p., t.th.), h. 761. 16 Majma’ al-Lughah al-‘Arabiyyah, Juz I, alMu’jam..., h. 738. 17 Ahmad Hanafi, Pengantar dan Sejarah Ilmu Hukum Islam (Jakarta: PT Bulan Bintang, 1991), h. 9. Hunafa: Jurnal Studia Islamika 223 Vol. 8, No.2, Desember 2011: 217-235 Apa yang diadakan oleh Allah untuk para hamba-Nya, yang dibawa oleh salah seorang nabi-Nya saw., berupa aturan-aturan, baik yang bertalian dengan sistem perbuatan—yang disebut hukum cabang, yang untuknya disusun ilmu fikih—maupun yang berhubungan dengan sistem keyakinan—yang disebut hukum pokok dan iktikad, yang untuknya dihimpun ilmu kalam. Dari pengertian di atas, dapat disimpulkan bahwa yang dimaksud dengan maqāṣid al-syarī’ah adalah maksud serta tujuan al-Syāri’ (Allah swt.) menurunkan syariat-Nya secara umum kepada manusia. Dalam beberapa kitab usul fikih, untuk maksud yang sama, digunakan term yang agak berbeda, yaitu al-maqṣad ‘ām min al-tasyrī’, seperti yang digunakan oleh ‘Abd al-Wahhāb Khallāf,18 dan maqāṣid al-aḥkām, seperti yang digunakan Muḥammad Abū Zahrah.19 Dalam al-Muwāfaqāt, al-Syāṭibī membagi al-maqāṣid menjadi dua, yaitu qaṣd al-Syāri’ dan qaṣd al-mukallaf.20 Kemudian ia membagi qaṣd al-Syāri’menjadi 4 yaitu: Pertama, Qaṣd al-Syāri’ fī Waḍ’ al-Syarī’ah (maksud al-Syāri’ dalam menetapkan syariat). Menurut al-Syāṭibiy, Allah menurunkan syariat (aturan hukum) untuk mengambil kemaslahatan dan menghindari kemudaratan ( ﺟﻠﺐ اﻟﻤﺼـﺎﻟﺢ ودرء )اﻟﻤﻔـﺎﺳﺪ. Dengan kata lain, aturan-aturan hukum yang Allah tentukan hanyalah untuk kemaslahatan manusia itu sendiri. AlSyāṭibī membagi maslahat ini menjadi tiga bagian yaitu ḍaruriyyāt (primer), ḥājiyyāt (sekunder) dan 21 taḥsiniyyāt (tersier). Kedua, Qaṣd al-Syāri’ fī Waḍ’ al-Syarī’ah li Ifhām (maksud Syāri’ dalam menetapkan syariah-Nya adalah agar dapat 18 ‘Abd al-Wahhāb Khallāf, ‘Ilm Uṣūl al-Fiqh (cet. ke-12; Kuwait: Dār alQalam), h. 197. 19 Muḥammad Abū Zahrah, Uṣūl al-Fiqh, (t.t.: Dār al-Fikr al-‘Arabī, t.th.), h. 364. 20 Al-Syāṭibī, al-Muwāfaqāt.., Juz II, (t.t.: t.p., t.th.), h. 5. 21 Ibid., h. 8. Lihat juga, Muḥammad Abū Zahrah, Uṣūl..., h. 365—372 dan ‘Abd al-Wahhāb Khallāf, ‘Ilm Uṣūl.., h. 197—200. 224 Hunafa: Jurnal Studia Islamika Agustam, Maqāṣid al-Syarī’ah al-Syāṭibī… dipahami). Ada dua hal penting yang dibahas dalam bagian ini. Pertama, syariat ini diturunkan dalam bahasa Arab (Q.S. Yūsuf [2]: 2 dan Q.S. al-Syu’arā` [26] :195). Untuk memahaminya, lebih dahulu harus dipahami seluk- beluk dan uslūb bahasa Arab. Termasuk ilmu-ilmu lain yang erat kaitannya dengan lisan Arab, seperti usul fikih, fikih, logika, dan ilmu ma’ānī, dan kedua, bahwa syariat ini ummiyyah. Maksudnya, untuk dapat memahaminya tidak dibutuhkan bantuan ilmu-ilmu alam seperti ilmu hisab, kimia, atau fisika. Hal ini dimaksudkan agar syariah mudah dipahami oleh semua kalangan. Apabila untuk memahami syariat ini diperlukan bantuan ilmu lain, seperti ilmu alam, paling tidak, ada dua kendala besar yang akan dihadapi manusia umumnya, yaitu kendala dalam pemahaman dan pelaksanaan.22 Ketiga, Qaṣd al-Syāri’ fī Waḍ’ al-Syarī’ah li al-Taklīf bi Muqtaḍāhā (maksud Syāri’ dalam menentukan syariat adalah untuk dilaksanakan sesuai dengan yang dituntut-Nya). Ada dua macam taklif menurut al-Syāṭibī, yaitu: Pertama, taklīf yang di luar kemampuan manusia ()اﻟﺘﻜﻠﯿﻒ ﺑﻤﺎ ﻻ ﯾﻄﺎق. Sebagaimana telah diketahui bersama bahwa tidaklah dianggap taklif apabila berada di luar batas kemampuan manusia dan kedua, taklif yang di dalamnya terdapat masyaqqah atau kesulitan ()اﻟﺘﻜﻠﯿﻒ ﺑﻤﺎ ﻓﯿﮫ ﻣﺸﻘﺔ. Menurut al-Syāṭibī, dengan adanya taklīf, Syāri’ tidak bermaksud menimbulkan masyaqqah bagi pelakunya (mukallaf) akan tetapi sebaliknya, di balik itu ada manfaat tersendiri bagi mukallaf.23 Keempat, Qaṣd al-Syāri’ fī Dukhūl al-Mukallaf taḥta Aḥkām al-Syarī’ah (maksud al-Syāri’ memoposisikan mukalaf di bawah hukum syarak). Dalam konteks ini, mukalaf melaksanakan hukum syariat untuk mengeluarkannya dari tuntutan dan keinginan hawa nafsunya sehingga ia menjadi seorang hamba yang—dalam 22 23 Al-Syāṭibī, al-Muwāfaqāt.., h. 64. Ibid., h. 107. Hunafa: Jurnal Studia Islamika 225 Vol. 8, No.2, Desember 2011: 217-235 istilah al-Syāṭibī—disebut hamba Allah yang mempunyai daya pilih (ikhtiyāran) dan bukan yang dipaksa (iḍṭirāran).24 Maslahat sebagai Tujuan Syariat Seperti disinggung di bagian awal, al-Syāṭibī menempatkan maslahat sebagai tujuan Allah selaku Pembuat Syariat (qaṣd alSyāri’). Ia meyakini bahwa al-Syāri’ (Allah swt.) dalam menciptakan syariat, bukanlah serampangan, tanpa arah, melainkan untuk mewujudkan maslahat umum, memberikan manfaat, serta menghindarkan mafsadat bagi umat manusia. Syariat bertujuan mengatur kehidupan manusia supaya lebih baik. Pada dasarnya, jenis-jenis tujuan umum syariat—menurut al-Syāṭibī—ada tiga. Pertama, untuk memelihara hal-hal yang menjadi sendi eksistensi kehidupan (al-umūr al-ḍarūriyyah). Apabila sendi-sendi ini tidak ada, kehidupan manusia akan menjadi kacau, kemaslahatan tidak tercapai, dan kebahagiaan ukrawi tidak bakal dinikmati.25 Yang tergolong ke dalam al-umūr al-ḍarūriyyah ada lima, yaitu (1) urusan agama, (2) urusan jiwa, (3) urusan akal, (4) urusan keturunan, dan (5) urusan harta milik. Syariat telah menetapkan hukum-hukum untuk setiap urusan ḍarūrī yang lima tersebut yang menjamin eksistensinya dan pemeliharaannya. Pemberian beban syariat (taklīf) dalam pengadaan dan pemeliharaan urusan ḍarūrī diarahkan kepada dua aspek, yaitu sebagau berikut: Pertama, pengadaan. Dalam aspek ini, syariat mengemukakan sendi-sendinya dan menetapkan ketentuanketentuannya. Beriman, mengucapkan syahādatain, menjalankan salat, berpuasa, membayar zakat, melaksanakan haji, dan ibadatibadat dasar lainnya, disyariatkan untuk menegakkan dan 24 25 226 Ibid., h. 168. Al-Syāṭibī, ibid., Jilid II, h. 8. Hunafa: Jurnal Studia Islamika Agustam, Maqāṣid al-Syarī’ah al-Syāṭibī… memelihara urusan ḍarūriy agama. Dalam bidang adat (kebiasaankebiasaan yang bukan ibadat dasar), seperti makan, minum, dan berpakaian, disyariatkan untuk menegakkan dan memelihara urusan ḍarūrī jiwa dan akal. Bermuamalat antarsesama—baik dalam bentuk barang maupun jasa—disyariatkan demi pengadaan dan pemeliharaan urusan ḍarūrī keturunan dan harta milik. Kedua, penolakan kemudaratan dan penghindaran dari kerusakan yang mungkin terjadi.Untuk menolak kemudaratan dan kehancuran agama, disyariatkanlah jihad, ditetapkanlah hukum bagi orang murtad, pembuat bidah, serta orang-orang yang merusak kehormatan agama. Untuk menolak kemudaratan yang menimpa jiwa, hukum kisas dan kafarat. Untuk menolak kemudaratan bagi akal, syariat menetapkan hukuman terhadap pemabuk dan pecandu narkoba. Untuk menjaga keturunan serta menolak kemudaratan terhadapnya, ditentukanlah hukuman pidana bagi pezina. Untuk menjaga harta serta menolak kemudaratan baginya, syariat menetapkan hukuman bagi pencuri dan perompak, dan mengharamkan riba. Ketiga, untuk memenuhi hal-hal yang sangat dihajatkan manusia dalam kehidupannya (al-umūr al-ḥājiyāt). Setingkat di bawah yang pertama, pengertian al-umūr al-ḥājiyāt adalah sekiranya hal-hal itu tidak terpenuhi, tidak membuat tatanan kehidupan menjadi kacau-balau, tetapi sekadar membuat kesulitan dan kesukaran. Prinsip utama dalam al-umūr al-ḥājiyāt adalah menghilangkan kesulitan, meringankan beban taklif, dan memudahkan mereka dalam bermuamalat dan tukar-menukar manfaat.26 Untuk maksud itu, syariat telah menetapkan sejumlah ketentuan dalam bab-bab muamalat, ibadat, dan ‘uqūbāt (pidana Islam). Keempat, untuk merealisasikan al-umūr al-taḥsīniyyat, yaitu tindakan dan sifat yang dipergpegangi oleh adat kebiasaan yang bagus, dan dihajati oleh kepribadian yang kuat, dan 26 Al-Syāṭibī, ibid., Jilid II, h. 10. Hunafa: Jurnal Studia Islamika 227 Vol. 8, No.2, Desember 2011: 217-235 dihindari kerusakannya oleh akal sehat. Kesemua itu masuk dalam bagian akhlak yang mulia, tata-kesopanan, dan adab untuk menuju kepada kesempurnaan. Artinya, apabila al-umūr altaḥsīniyyāt ini tidak terpenuhi, kehidupan manusia tidaklah sekacau apabila urusan ḍarūriy tidak terwujud, atau tidak sesulit apabila urusan ḥājiy tidak tercapai, tetapi hanya dianggap kurang harmonis oleh pertimbangan akal sehat dan suara hati-nurani.27 Demikianlah, apabila maqāṣid al-syarī’ah di atas dicermati, menurut al-Syāṭibī, akan dapat diketahui bahwa maslahat merupakan tujuan Tuhan dalam syariat-Nya. Hal itu mutlak diwujudkan karena keselamatan dan kesejahteraan kehidupan ukhrawi dan duniawi tidak akan mungkin dicapai tanpa maslahat, terutama yang bersifat ḍarūriyyah. Oleh al-Syāṭibī, hal itu disebut juga dengan uṣūl al-dīn, qawā’id al-syarī’ah, dan kulliyyāt almillah.28 NILAI-NILAI FALSAFAH PANCASILA DALAM NERACA MAQĀṢID AL-SYARĪ’AH Indonesia merupakan negara dengan potensi sangat majemuk. Berbagai macam suku, ras, budaya, bahasa dan agama terdapat di negeri ini. Oleh karena itu, menjadi keniscayaan apabila perbedaan-perbedaan itu terkelola dengan baik sehingga mendatangkan kemaslahatan bersama. Para founding father memiliki cita-cita mulia ketika membuat landasan bangsa. Perdamaian, kesetaraan, dan saling 27 Ibid., h. 11. Urusan taḥsiniyyah dalam bidang ibadat, misalnya, adalah kewajiban bersuci dari najis, baik yang tampak (ḥissiy) maupun yang tidak tampak (ma’nawiy), kewajiban menutup aurat, serta menjalankan amalanamalan sunat. Dalam bidang adat, adalah kewajiban meninggalkan makanan dan minuman dari sesuatu yang najis serta menjijikkan. Dalam bidang muamalat, diharamkan berjual-beli dengan cara menipu, menimbun, serta memperjualbelikan barang-barang najis. Dalam bidang ‘uqūbāt, misalnya, adalah larangan membunuh kaum wanita, anak-anak, dan ahli agama pada waktu terjadi perang. 28 Al-Syāṭibī, al-Muwāfaqāt…, Juz II, h. 17, 25, dan 371. 228 Hunafa: Jurnal Studia Islamika Agustam, Maqāṣid al-Syarī’ah al-Syāṭibī… menghargai adalah kunci untuk mewujudkan cita-cita tersebut. Pertimbangan inilah yang mendasari dirumuskan dan diterimanya Pancasila sebagai falsafah dalam kehidupan berbangsa.29Mereka menyadari bahwa Pancasila sesungguhnya memang bukanlah produk samawī. Meskipun demikian, padanya tidak ada prinsip yang bertentangan dengan ajaran agama. Sebaliknya, Pancasila justeru merefleksikan pesan-pesan utama semua agama, yakni kemaslahatan umum, yang dalam Islam dikenal dengan maqāṣid al-syarī’ah. Ketuhanan Yang Maha Esa. Dari segi bentuk rumusannya, sila ini mencerminkan suatu konsep ketuhanan “monoteisme”, kepercayaan kepada adanya satu Tuhan. Bagi umat Islam, konsep ini disebut tauhid, yang merupakan ajaran para nabi melalui wahyu Allah swt.30 Semua rasul Allah membawa misi ketauhidan31 yang tercermin dalam syahadat dan ditegaskan secara gamblang dalam Surat al-Ikhlāṣ. Ki Bagus Hadikusumo pernah memberi jawaban atas pertanyaan tentang arti Ketuhanan Yang Maha Esa bahwa yang dimaksud adalah tauhid.32 Secara kontekstual, sila pertama ini merupakan wujud garansi penjagaan terhadap eksistensi agama di Indonesia. Dari segi nilai yang terkandung di dalam sila pertama Pancasila, dapat dikatakan bahwa sila ini merupakan dasar keruhanian serta dasar moral bangsa dalam menjalankan kehidupan bernegara dan bermasyarakat. Mengasaskan Ketuhanan yang Maha Esa dalam kehidupan bernegara bermakna bahwa dalam penyelenggaraan kehidupan bernegara petunjukpetunjuk Tuhan yang Maha Esa wajib dihargai, diperhatikan, dan 29 A. Tajul Arifin, Maqāsid al-Syarī’ah: Sebuah Tinjauan Filsafat Hukum Islam, (Online), http://atajularifin.wordpress.com, diakses 8 Maret 2011. 30 Q.S. al-Anbiyā` (21): 25. 31 Q.S. al-Kahf (18): 110. 32 Prawoto Mangkusasmito, Pertumbuhan Historis Rumus Dasar Negara dan Sebuah Proyeksi (Jakarta: PT Bulan Bintang, 1977), h. 33—35. Hunafa: Jurnal Studia Islamika 229 Vol. 8, No.2, Desember 2011: 217-235 dihormati. Sebaliknya, penyimpangan atas ketentuan-ketentuan yang telah digariskan-Nya, tidak dapat dibenarkan. Peraturan perundang-undangan dan putusan-putusan penguasa wajib ‘merujuk’ kepada aturan-aturan Tuhan. Sebagai asas kehidupan sosial, Ketuhanan yang Maha Esa menuntut agar bangsa Indonesia memerhatikan serta menaati petunjuk-petunjuk Tuhan yang Maha Esa dalam hidup bermasyarakat. Masyarakat hendaknya memupuk kerja sama kemanusiaan menuju kepada kerukunan, menghormati kebasan beragama dan beribadat menurut keyakinan-agama masingmasing serta tidak memaksakan agama kepada orang lain yang sudah beragama. Hal ini sanagat bersesuaian dengan landasan dasar Islam, yakni Alquran dan sunah. Kemanusiaan yang Adil dan Beradab. Sila ini pada prinsipnya ingin menempatkan manusia sesuai dengan harkatnya sebagai makhluk Tuhan.33 Hal ini berarti bahwa hak-hak asasinya harus memperoleh layanan dan perlindungan dengan semestinya. Hak hidup (keselamatan jiwa), hak atas keselamatan badan, hak atas kebebasan diri, hak kepemilikan, dan hak atas kehormatan adalah hak-hak asasi manusia yang harus memperoleh perlindungan.34 Dalam kaitannya dengan sila Kemanusiaan yang Adil dan Beradab, syariat Islam memiliki tuntunan yang cukup banyak. Hal ini tercermin dalam beberapa ayat Alquran35 dan sunah 33 Ahmad Azhar Basyir, Refleksi atas Persoalan Keislaman: Seputar Filsafat, Hukum, Politik, dan Ekonomi (cet. ke-1; Bandung: Penerbit Mizan, 1993), h. 247. 34 Muhammad Hatta, Pengertian Pancasila (Jakarta: Idayu Press, 1977), h. 28. 35 Lihat, di antaranya, Q.S. al-Isrā` (17): 70, al-Ḥujurāt (49): 11 dan 13, alNaḥl (16):90. 230 Hunafa: Jurnal Studia Islamika Agustam, Maqāṣid al-Syarī’ah al-Syāṭibī… Rasulullah saw.36 yang semuanya menghargai dan menghormati eksistensi kemanusiaan beserta segenap hak asasinya. Persatuan Indonesia. Sila ketiga ini merupakan syarat hidup bagi bangsa Indonesia yang pada hakikatnya mengandung prinsip nasionalisme, unsur-unsur persatuan dan kesatuan, keindonesiaan, dan cita-cita persahabatan dengan segala bangsa. Dalam Islam, ajaran tentang persatuan dan kesatuan dituangkan dalam banyak firman Allah swt. yang kesemuanya mengajak manusia untuk tidak saling berprasangka buruk, tidak bertengkar, tetapi—sebaliknya—diminta untuk bersatu karena manusia pada hakikatnya berasal dari keturunan yang satu dengan Tuhan yang satu pula.37 Prasangka kebangsaan atas dasar rasisme, sektarianisme, serta memandang bangsa tertentu lebih tinggi martabat daripada bangsa lain, merupakan paradigma yang sangat betentangan dengan fitrah dan kodrat manusia. Kerakyatan yang Dipimpin oleh Hikmat Kebijaksanaan dalam Permusyawaratan/ Perwakilan. Dalam hubungannya dengan sila Ketuhanan yang Maha Esa, kerakyatan berarti demokrasi yang memerhatikan nilai agama dan ketuhanan; bukan demokrasi liberal. Kerakyatan berarti bahwa penyelenggaraan kehidupan berbangsa harus dilakukan dengan musyawarah yang mengacu pada aturan-aturan yang digariskan oleh Alquran.38 Tujuan akhir dari musyawarah ini adalah untuk mencapai kesepakatan yang menjunjung tinggi nilai-nilai kemanusiaan sekaligus nilai-nilai agama. Sabda Rasul saw.: ْﺴِﻪ )رواﻩ اﻟﺒﺨﺎري ِ ُِﺐ ﻟِﻨَـﻔ َﺎل ﳉَِﺎ ِرِﻩ( ﻣَﺎ ﳛ ﱡ َ ُِﺐ ِﻷ َِﺧْﻴِﻪ)أ َْو ﻗ َﱴ ﳛ ﱠ ُﻤﺤ ﱠ ْ َﻻ ﻳـ ُْﺆِﻣ ُﻦ أَ َﺣ ُﺪﻛ (( وﻣﺴﻠﻢTidak beriman seseorang di antara kamu sebelum ia mencintai saudaranya [atau dalam redaksi lain, tetangganya]sepertia cintanya terhadap diri sendiri). Lihat, Muḥy al-Dīn ibn Syaraf ibn Muriy ibn Ḥasan ibn Ḥusain ibn Ḥizām al-Nawāwī, Ṣaḥīḥ Muslim bi Syarḥ al-Nawāwī. Juz II (cet. ke-1; t.t.: alMaṭba’ah al-Miṣriyyah, t.th.), h. 16. 37 Lihat, misalnya, Q.S. al-Baqarah (2): 213, al-Nisā` (4): 1, al-Ḥujurāt (49): 13, Āli ‘Imrān (3): 103, dan al-Anfāl (8): 46). 38 Q.S. Āli ‘Imrān (3): 159, al-Syū’arā` (42): 38, dan al-Nisā` (4): 59. 36 Hunafa: Jurnal Studia Islamika 231 Vol. 8, No.2, Desember 2011: 217-235 Keadilan Sosial bagi Seluruh Rakyat Indonesia. Keadilan yang berorientasi pada kemaslahatan sosial bukan saja menjadi dasar negara, melainkan sekaligus menjadi tujuan yang harus dilaksanakan. Pada prinsipnya, sila Keadilan Sosial menghendaki adanya kemakmuran yang merata bagi seluruh rakyat Indonesia. Apabila keadilan diartikan memberikan kepada seseorang apa yang menjadi hak-haknya, keadilan sosial berarti memberikan kepada anggota masyarakat apa yang menjadi haknya atas dasar kelayakan dan keseimbangan. Alquran mengajarkan agar orang berbuat adil, berbuat iḥsān, memberikan hak sanak kerabat, tidak berbuat keji, kemungkaran, dan permusuhan.39 Kristalisasi nilai-nilai Pancasila, seperti yang diuraikan di atas, mengimplisitkan adanya hubungan-hubungan yang berimplikasi pada keseimbangan hak dan kewajiban yang merupakan titik-tolak terwujudnnya kemaslahatan. Pertama, hubungan manusia dengan Allah swt. sebagai pengejawantahan nilai-nilai sila Ketuhanan yang Maha Esa. Konsekuensi logis dari hubungan tersebut adalah sejumlah kewajiban untuk melaksanakan segala perintah-Nya dan menjauhi laranganlarangan-Nya. Sebaliknya, sejumlah hak pun melekat pada kewajiban-kewajiban itu, di antaranya adalah berupa terbukanya pintu-pintu keberkahan langit dan bumi untuk umat manusia.40 Kedua, hubungan antarmanusia, baik dalam fungsinya sebagai warga masyarakat maupun warga negara. Dalam hubungan itu pun terdapat hak dan kewajiban yang seimbang. Ketiga, hubungan kealaman (dengan fauna, flora, dan sumber daya alam lainnya) dengan asumsi, alam tercipta untuk kemaslahatan manusia. Dalam hal ini, manusia memiliki kewajiban pelestarian terhadapnya, sedangkan hak yang diterima dari alam sudah tidak terhingga banyaknya. 39 40 232 Q.S. al-Naḥl (16): 90. Q.S. al-A’rāf (7): 96. Hunafa: Jurnal Studia Islamika Agustam, Maqāṣid al-Syarī’ah al-Syāṭibī… Uraian di atas mengisyaratkan bahwa Pancasila memosisikan eksistensinya sebagai sumber maslahat praktis— setelah ajaran agama yang bersifat idealis—untuk mengayomi semua kepentingan serta melindungi segenap keyakinan, budaya, dan tradisi bangsa. Dengan demikian, Pancasila akan menghadirkan agama sebagai wujud kasih-sayang Tuhan bagi seluruh makhluk-Nya. Dalam konteks ideal Pancasila seperti itu, setiap orang dapat saling membantu untuk mewujudkan dan meningkatkan kemaslahatan dunia dan di akhirat. PENUTUP Syariat yang diturunkan kepada umat manusia untuk mengatur kehidupan manusia agar mencapai kemaslahatan. Dalam hal ini, syariat berfungsi untuk menjamin (menjaga) eksistensi agama, jiwa, akal, keturunan, dan harta, yang kesemuanya itu merupakan unsur utama kehidupan manusia. Kelima unsur penting tersebut disebut al-umūr al-ḍarūriyyāt atau al-ḍarūriyyah al-khamsah. Syariat juga diturunkan untuk memenuhi hal-hal yang sangat dihajatkan manusia dalam kehidupannya (al-umūr al-ḥājiyāt) yang kalau tidak disediakan, manusia akan hidup dalam keadaan susah-payah. Di samping itu, syariat juga dimaksudkan untuk merealisasikan al-umūr altaḥsīniyyāt, yaitu tindakan dan sifat yang harus dijauhi oleh akal sehat, dipegangi oleh adat kebiasaan yang bagus, dan dihajati oleh kepribadian yang kuat. Konsep maqāṣid al-syarī’ah dari al-Syāṭibī ini dapat dielaborasi secara kontekstual ke dalam nilai-nilai filosofis dari Pancasila. Dalam hal ini, Pancasila merupakan sumber maslahatpraktis setelah ajaran agama yang bersifat idealis. Pemaknaan seperti itu memosisikan Pancasila sebagai “pengayom” semua kepentingan serta “pelindung” segenap keyakinan, budaya, dan tradisi bangsa. Dengan cara seperti itu, Pancasila akan menghadirkan agama sebagai wujud kasih-sayang Tuhan bagi seluruh makhluk-Nya sebagai pangkal kemaslahatan. Hunafa: Jurnal Studia Islamika 233 Vol. 8, No.2, Desember 2011: 217-235 Yang penting untuk digarisbawahi adalah bagaimana memelihara keserasian antara Pancasila dan ajaran agama. Internalisasi dan pengamalan syariat Islam benar-benar medapatkan jaminan, perlindungan, dan dukungan dari Pancasila sebagai dasar falsafah negara. Jangan sampai—dengan dalih mengamalkan Pancasila—pelaksanaan syariat Islam justeru terdesak. Misalnya, hukum perkawinan dikalangan umat Islam menentukan pelarangan wanita muslimah menikah dengan lakilaki non muslim. Kemudian, dengan dalih mengamalkan sila Persatuan Indonesia, ajaran tersebut tidak dihormati. DAFTAR PUSTAKA al-Qur’ān al-Karīm Abdulgani, Roeslan, Pengembangan Pancasila di Indonesia, Jakarta: Idayu Press, 1977. Abū Zahrah, Muḥammad, Uṣūl al-Fiqh. t.t.: Dār al-Fikr al-‘Arabī, t.th. ‘Aliy, ‘Abd al-Raḥmān Ādam, al-Imām al-Syāṭibī:’ Aqīdatuh wa Mauqifuh min al-Bida' wa Ahlihā, cet. ke-1; Riyaḍ: Maktabah alRusyd, 1998. Basyir, Ahmad Azhar, Refleksi atas Persoalan Keislaman: Seputar Filsafat, Hukum, Politik, dan Ekonomi, cet. ke-1; Bandung: Penerbit Mizan, 1993. Duraib, Sa’ūd ibn Sa’d ‘Alī, al-Tanżīm al-Qaḍā`ī fī al-Mamlakah al‘Arabiyyah, Riyāḍ: Maṭābi’ al-Ḥanīfah li al-Ubsit, 1973. Hanafi, Ahmad, Pengantar dan Sejarah Ilmu Hukum Islam, Jakarta: PT Bulan Bintang, 1991. Haq, Hamka, Dialog Pemikiran Islam: Tradisionalismedan Empirisme dalam Teologi, Filsafat, Ushul Fikih, Ujung Pandang: Yayasan Ahkam, 1995. Hatta, Muhammad, Pengertian Pancasila, Jakarta: Idayu Press, 1977. Khallāf, ‘Abd al-Wahhāb, ‘Ilm Uṣūl al-Fiqh, cet. ke-12; Kuwait: Dār alQalam. Majma’ al-Lughah al-‘Arabiyyah, al-Mu’jam al-Wasīṭ, Juz II, Istanbul: alMaktabah al-Islāmiyyah, t.th. 234 Hunafa: Jurnal Studia Islamika Agustam, Maqāṣid al-Syarī’ah al-Syāṭibī… Mangkusasmito, Prawoto, Pertumbuhan Historis Rumus Dasar Negara dan Sebuah Proyeksi, Jakarta: PT Bulan Bintang, 1977. Marāghī, ‘Abd Allāh Muṣṭafā al-, Al-Fatḥ al-Mubīn, Juz II; Beirut: Muḥammad Amīn Dimāj, 1974. Muḥammad, ‘Abbās Ḥusni, Al-Fiqh al-Islāmī: Āfāquh wa Taṭawwuruh. Makkah: Rābiṭah al-‘Ālamiy al-Islāmiī, 1402. Munawwir, Ahmad Warson, al-Munawwir. t.t.: t.p., t.th. Nawawī, Muḥy al-Dīn ibn Syaraf ibn Muriy ibn Ḥasan ibn Ḥusain ibn Ḥizām al-, Ṣaḥīḥ Muslim bi Syarḥ al-Nawawiy, Juz II, cet. ke-1; t.t.: al-Maṭba’ah al-Miṣriyyah, t.th. Syalṭūṭ, Maḥmūd. al-Islām ‘Aqīdah wa Syarī’ah. t.t.: Dār al-Qalam, t.th. Syāṭibī, Abū Isḥāq al-, al-Muwāfaqāt fī Uṣūl al-Syarī’ah, Juz I dan II; t.t.: Dār al-al-Fikr al-‘Arabiy, t.th. Tajul Arifin, A. Maqāsid al-Syarī’ah: Sebuah Tinjauan Filsafat Hukum Islam. (Online), http://atajularifin.wordpress.com, diakses tanggal 8 Maret 2011. Hunafa: Jurnal Studia Islamika 235 Vol. 8, No.2, Desember 2011: 217-235 236 Hunafa: Jurnal Studia Islamika