MAQĀṢID AL-SYARĪ`AH AL-SYĀṬIBĪ DAN AKTUALISASINYA

advertisement
MAQĀṢID AL-SYARĪ’AH AL-SYĀṬIBĪ DAN
AKTUALISASINYA DALAM NILAI-NILAI FALSAFAH
PANCASILA
Agustan Ahmad
PPs STAIN Datokarama Palu, Jl. Diponegoro No. 23 Palu
E-mail: [email protected]
Abstrak: Allah swt. menurunkan syariat kepada umat manusia
bukan tanpa tujuan tertentu. Tujuan diturunkannya syariat ialah
untuk memberikan kemaslahatan kepada umat manusia dan
menghindarkan mereka dari hal-hal yang tidak baik. Namun
demikian, pemahaman para ulama tentang tujuan syariat dan
prosedur penerapannya tidak selalu sama. Oleh karena itu,
masalah maqāṣid al-Syarī’ah menjadi objek kajian tersendiri
dalam hukum Islam. Salah seorang ulama yang secara khusus
membahas masalah ini ialah al-Syāṭibī dalam kitabnya alMuwafaqāt. Tulisan ini membahas maqāṣid al-syarī’ah al-Syāṭibī
dan aktualisasinya dalam nilai-nilai falsafah Pancasila.
Abstract: Allah swt. sent down the syarī’ah to mankind with
certain purpose. The purpose of the syarī’ah is to provide
benefit to mankind and prevent them from things that are not
good. However, the Muslim scholars (ulamā’) have different
understanding on the purpose of the syarī’ah and the procedures
of its application. Therefore, the problem maqāṣid al-syarī’ah
become the object of a separate study in Islamic law. One of the
Muslim scholars (ulamā’) who specifically discusses this issue is
al-Syāṭibī in his book, al-Muwafaqāt. This article deals with
maqāṣid al-syarī’ah of al-Syātibī and its actualization in the
philosophy values of Pancasila.
Kata Kunci: maqāṣid al-syarī’ah, syariat, kitāb al-muwafaqāf, Imām al-Syāṭibī,
falsafah Pancasila
Vol. 8, No.2, Desember 2011: 217-235
PENDAHULAN
Pada mulanya, term syarī’at memiliki konotasi makna yang
luas. Ia tidak hanya fikih, tetapi mencakup pula akidah, akhlak,
dan segala aspek ajaran Islam. ‘Abbās Ḥusni Muḥammad
menegaskan bahwa syariat identik dengan kandungan Alquran
dan sunah.1 Dengan demikian, syariat mencakup segala sesuatu
yang membawa seseorang menjadi muslim.2
Pengertian syariat kemudian dipahami secara terbatas
dalam makna fikih, atau identik dengan hukum Islam. Bahkan,
Maḥmūd Syaltūt menulis buku yang “memisahkan” akidah dari
syariat, seperti yang tampak pada judulnya, al-Islām ‘Aqīdah wa
Syarī’ah.3 Dengan demikian, istilah “syariat” tidak lagi dipahami
oleh kebanyakan orang dalam makna yang luas tadi, tetapi sudah
menjadi term yang identik dengan fikih (hukum) Islam.
Meskipun demikian, kedua aspek tersebut tidak dapat
berdiri sendiri, bahkan tidak dapat dipisahkan, satu sama lain.
Keterkaitannya tidak hanya dalam bentuk pengamalan, tetapi
juga dalam dasar-dasar pemikiran yang berkembang mengenai
kedua aspek tersebut. Dari segi pengamalan, sejak zaman Nabi
Muhammad saw., kedua aspek tersebut sepenuhnya menyatu.
Syariat yang diajarkannya adalah bentuk lain dari pengamalan
akidah yang ia tanamkan sebelumnya. Oleh karena itu, para
sahabat ketika itu belum cenderung memilah dan memisahkan
antara akidah dan syariat sebagai objek yang berdiri sendiri.4
Dalam perkembangannya, keterlibatan mutakallimīn dalam
penyusunan standar usul fikih, baik Mu’tazilah maupun
1
‘Abbās Ḥusni Muḥammad, al-Fiqh al-Islāmī: Āfāquh wa Taṭawwuruh
(Makkah: Rābiṭah al-‘Ālamī al-Islāmī, 1402), h. 7-8.
2
Sa’ūd ibn Sa’d ‘Alī Duraib, al-Tanżīm al-Qaḍā`ī fī al-Mamlakah al‘Arabiyyah (Riyāḍ: Maṭābi’ al-Ḥanīfah li al-Ubsit, 1973), h. 23.
3
Maḥmūd Syalṭūṭ, al-Islām ‘Aqīdah wa Syarī’ah (t.t.: Dār al-Qalam, t.th.).
4
Hamka Haq, Dialog Pemikiran Islam: Tradisionalismedan Empirisme
dalam Teologi, Filsafat, Ushul Fikih (Ujung Pandang: Yayasan Ahkam, 1995), h.
104.
218
Hunafa: Jurnal Studia Islamika
Agustam, Maqāṣid al-Syarī’ah al-Syāṭibī…
Asy’ariyah, mengakibatkan pemikiran hukum yang berkembang
kemudian mendapat pengaruh aliran-aliran ilmu kalam (teologi).
Hal ini, menurut Hamka Haq, dimungkinkan karena teori-teori
usul fikih tidak terlepas dari tiga sendi utama, yaitu (1) prinsipprinsip akidah, (2) kaidah kebahasaan, dan (3) konsep hukum
yang mengandung tujuan syariat (maqāṣid al-syarī’ah).5 Dari
ketiga sendi pokok ini, dua di antaranya sangat erat kaitannya
dengan teologi, yakni akidah dan maqāṣid al-syarī’ah. Sebaliknya,
dapat dikatakan bahwa pembahasan tentang maqāṣid al-syarī’ah
tidaklah berdiri sendiri, tetapi melibatkan aspek teologi di
dalamnya.
Tulisan ini akan mengelaborasi secara sederhana konsep
maqāṣid al-syarī’ah yang dikemukakan oleh al-Syāṭibī dalam salah
satu kitabnya yang fenomenal, al-Muwafaqāt. Dalam hal ini, pada
dasarnya, al-Syāṭibī menempatkan maslahat sebagai tujuan Allah
selaku “Pembuat Syariat” (qaṣd al-syar’).
Dalam tataran filosofis-aplikatif, konsep maqāṣid al-syarī’ah
al-Syāṭibī ini akan disandingkan dengan konsep Pancasila sebagai
falsafah kehidupan berbangsa di Indonesia. Meminjam istilah
Roeslan Abdulgani, “Pancasila sebagai philosofische gronslag,
merupakan fondamen, filsafat, pikiran sedalam-dalamnya yang di
atasnya didirikan gedung Indonesia yang kekal abadi.”6 Diyakini
oleh banyak kalangan bahwa Pancasila dibutuhkan sebagai
perekat dan pemberi maslahat bagi bangsa ini dalam berbagai
aspek kehidupannya.
Berdasarkan latar belakang masalah di atas, pembahasan
dalam tulisan ini berangkat dari masalah pokok, yaitu apa dan
bagaimana maqāṣid al-syarī’ah menurut al-Syāṭibī dan
aktualisasinya dalam nilai-nilai falsafah Pancasila.
5
Ibid., h. 107.
Roeslan Abdulgani, Pengembangan Pancasila di Indonesia (Jakarta:
Idayu Press, 1977), h. 16.
6
Hunafa: Jurnal Studia Islamika
219
Vol. 8, No.2, Desember 2011: 217-235
BIOGRAFI SINGKAT AL-SYĀṬIBĪ
Nama lengkap Imam al-Syāṭibī ialah Abū Ishāq Ibrāhīm ibn
Mūsā ibn Muḥammad al-Syāṭibī. Ia dilahirkan di Granada,sebuah
kerajaan Islam yang berada di bawah pemerintahan Daulah
Umawiyah yang mengikuti aturan-aturan Andalusia Selatan
(Spanyol). Kerajaan ini dibatasi oleh Selat Giblaltar di sebelah
selatan; daerah-daerah Jayyan, Cordova, dan Isybiliyah di sebelah
utara; wilayah Mursiyah dan pantai Laut Tengah di sebelah timur;
dan daerah Qadis di sebelah barat. Saat itulah Muḥammad ibn
Yusūf ibn Hūd al-Jadzamī mendakwakan wajibnya pembebasan
Andalus dari Muwahidun dan orang-orang Nasrani serta
menghidupkan kembali syariah dan sunah-sunahnya. Saat itu
pula Muḥammad bin Yūsuf al-Naẓarī yang biasa dikenal dengan
Ibn Aḥmar meletakkan batu landasan Kerajaan Islam Granada.
Pada awalnya, masyarakat Granada hidup dalam
kesejahteraan dan kemakmuran. Granada dengan mudah
menjalin hubungan perekonomian dan perdagangan dengan
daulah lain karena perpindahan kaum muslimin dari kotanya
akibat penguasaan orang-orang Nasrani. Hal ini pulalah yang
menjadikan Granada sebagai pusat perdagangan terbesar di
Eropa. Selain itu, Granada juga merupakan penghasil barang
tambang seperti besi, emas, dan perak. Namun demikian, keadaan
itu berubah akibat ulah mereka sendiri yang mengakibatkan
Granada menjadi kerajaan yang dipenuhi kelaparan dan
ketakutan. Dalam sejarahnya, Granada beberapa kali mengalami
alih kekuasaan. Ia pernah berada di bawah pemerintahan orang
Barbar lalu jatuh ke tangan al-Murābiṭun, Daulah Islamiyah yang
berada di Maghrib dan Andalusia selama 60 tahun. Walaupun
demikian, keilmuan di Granada tergolong maju. Gerakan
pemikiran mulai muncul pada pertengahan awal abad ke-7 H. Di
sinilah al-Syāṭibī menjadi saksi hidup perjalanan Granada dengan
220
Hunafa: Jurnal Studia Islamika
Agustam, Maqāṣid al-Syarī’ah al-Syāṭibī…
warna-warni corak agamanya dan pola pemikiran yang semakin
maju.7
Silsilah al-Syāṭibī disandarkan pada Lakhm ibn ‘Adī
sehingga disebut sebagai al-Lakhmī. Lakhm adalah salah satu
kabilah Arab dari Yaman yang tinggal di Syam. Disebut al-Garnaṭī
karena ia hidup di Granada dan disebut al-Syāṭibī berdasar pada
tempat tinggalnya yang lebih spesifik yaitu Syāṭibah (Xativa atau
Jativa), kota besar dan maju yang berada di sebelah timur
Andalus, sebelah timur Cordova.8 Namun demikian, ia lebih
populer dengan nama al-Syāṭibī daripada al-Garnatī.9
Tanggal kelahiran al-Syāṭibī belum diketahui secara pasti.
Pada umumnya, orang hanya menyebut tahun kematiannya, 1388
M. (790 H.).10 Meskipun demikian, dapat diduga bahwa ia lahir dan
menempuh masa hidupnya di Granada pada masa kekuasaan
Yūsuf Abū al-Ḥajjāj (1333—1354 M.) dan Sultan Muḥammad V
(1354—1359 dan 1362—1391 M.). Asumsi ini didasarkan pada
perbandingan antara tahun kewafatan al-Syāṭibī dan priode
kekuasaan dua penguasa Granada tersebut, yang ketika itu,
Granada merupakan kota pendidikan.11
Seperti ulama pada umumnya, sebelum mendalami kajian
ilmu-ilmu agama, al-Syāṭibī pertama-tama belajar bahasa Arab
kepada Ibn al-Fakhkhār al-Ilbirī (wafat 1358 M) dan Abū al-Qāsim
7
‘Abd al-Raḥmān Ādam ‘Aliy, Al-Imām al-Syāṭibī: ’Aqīdatuh wa Mauqifuh
min al-Bida' wa Ahlihā (cet. ke-1; Riyaḍ: Maktabah al-Rusyd, 1998), h. 23.
8
Haq, Dialog …, h. 108.
9
‘Abd Allāh Muṣṭafā al-Marāgī, al-Fatḥ al-Mubīn, Juz II (Beirut:
Muḥammad Amīn Dimāj, 1974), h. 204.
10
Ibid.
11
Yūsuf Abū al-Ḥajjāj adalah raja ketujuh dari Banu Aḥmar. Ia
membanguna universitas Granada dengan sistem administrasi yang amat
mengagumkan. Kurikulumnya meliputi teologi, hukum, farmasi, kimia, filsafat,
dan astronomi. Mahasiswa yang belajar di universitas ini tidak hanya berasal
dari Granada, tetapi juga sebagiannya berasal dari Castilia dan negeri-negeri
luar lainnya. Lihat, Philips K. Hitti, History of the Arabs dalam Haq, Dialog …, h.
109.
Hunafa: Jurnal Studia Islamika
221
Vol. 8, No.2, Desember 2011: 217-235
al-Syarīf al-Sabtī (wafat 1358 M). Ilmu usul fikih ia peroleh dari
Imām al-Maqqari’. Al-Syāṭibī belajar filsafat dan ilmu kalam dari
Abū al-‘Alī al-Manṣūr serta al-Syarīf al-Tilimsanī (wafat 1369 M.).
Dari kedua guru yang disebutkan terakhir, al-Syāṭibī dapat
dipastikan berinterkasi dengan pemikiran Mu’tazilah serta
pemikiran rasional lainnya.12
Sejumlah karya tulis telah ditinggalkan oleh al-Syāṭibī.
Beberapa di antaranya adalah:
·
Al-Muwāfaqāt, buku yang menerangkan tentang rahasiarahasia di balik hukum taklif. Buku ini tadinya berjudul alTa’rīf bi Asrār al-Taklīf . Namun demikian, al-Syāṭibī
menggantinya setelah bermimpi bertemu dengan gurunya
yang mengatakan bahwa buku karangannya berjudul alMuwāfaqāt;13
·
Al-I’tiṣām,buku yang menerangkantentang bid’ah dan seluk
beluknya;
·
Al-Maqāṣid al-Syarī’ah fī Syarḥ Khulāṣah al-Kāfiyah, buku
ilmu nahwu yang merupakan syarahdari Alfiyyah ibn Mālik;
·
Al-Majālis, buku yang merupakan syarah dari Kitāb al-Buyū’
yang terdapat dalam Ṣaḥīḥ al-Bukhārī;
·
‘Unwān al-Ittifāq fī ‘Ilm al-Isytiqāq, buku tentang ilmu Ṣarf
dan Fiqh al-Lughah;
·
Uṣūl al-Naḥw, buku yang membahas tentang qawā’id alLughah dalam ilmu ṣarf dan ilmu nahw;
·
Al-Ifādāt wa al-Insyādāt, buku yang menggambarkan
perjalanan hidup al-Syāṭibī sekaligus menyebutkan guruguru dan murid-muridnya.
12
Ibid., h. 111.
Abū Isḥāq al-Syāṭibī, al-Muwāfaqāt fī Uṣūl al-Syarī’ah, Juz I ( t.t.: Dār alFikr al-‘Arabī, t.th.), h. 24.
13
222
Hunafa: Jurnal Studia Islamika
Agustam, Maqāṣid al-Syarī’ah al-Syāṭibī…
Di antara ketujuh karya itu, kitab al-Muwāfaqāt-lah yang
merupakan master peice-nya. Kitab al-Muwafāqāt, karya terbesar
Imam al-Syāṭibī, merupakan karya ilmiah dalam bidang usul fikih
sekaligus salah satu bentuk reformasi ilmiah secara menyeluruh.
Kitab ini, bukan hanya menjelaskan dasar-dasar ilmu usul fikih
dengan metodologi baru yang berlandaskan penelitian penuh
(istiqra’) dari sumber utama syari’ah (Alquran dan sunah),
melainkan juga menjelaskan dasar-dasar utama untuk memahami
syariah secara menyeluruh.
MAQĀṢID AL-SYARĪ’AH MENURUT AL-SYĀṬIBĪ
Pengertian Maqāṣid al-Syarī’ah dan Pandangan al-Syāṭibī dalam
al-Muwafaqāt
Maqāṣid al-Syarī’ah adalah term bahasa Arab yang—secara
etimologis—berasal dari dua kata, yaitu (1) maqāṣid (bentuk
jamak dari maqṣad,dari akar kata ‫ د‬- ‫ ص‬- ‫ق‬, yang berarti “tujuantujuan”14 dan (2) syarī’ah yang secara harfiah, berarti “jalan ke
tempat mata air”, atau “tempat yang dilalui air sungai”.15Syarī’ah
juga berarti16 "‫َﺎم‬
ِ ‫َﺣﻜ‬
ْ ‫"ﻣَﺎ ﺷََﺮ َﻋﻪُ اﷲُ ﻟِﻌِﺒَﺎ ِد ِﻩ ِﻣ َﻦ اْﻟ َﻌﻘَﺎ ِﻋ ِﺪ َواْﻷ‬.. Secara terminologis,
syarī’at adalah:
‫اﷲ‬
ُ ‫َﻠﻰ‬
‫َﱯ ِﻣ َﻦ اْﻷَﻧْﺒِﻴَﺎ ِء ﺻ ﱠ‬
‫َت َِﺎ ﻧِ ﱞ‬
ْ ‫ﱠﱴ ﺟَﺎء‬
ِْ ‫َﺎم اﻟ‬
ِ ‫ﻣَﺎ َﺷَﺮ َﻋﻪُ اﷲُ ﻟِﻌِﺒَﺎ ِد ِﻩ ِﻣ َﻦ اْﻷَ ْﺣﻜ‬
‫َﺖ ُﻣﺘَـ َﻌﻠﱢ َﻘﺔً ﺑِ ِﻜْﻴ ِﻔﻴﱠ ِﺔ ﻋ ََﻤ ٍﻞ َوﺗُ َﺴﻤﱠﻰ ﻓـَْﺮِﻋﱠﻴًﺔ‬
ْ ‫ َﺳﻮَاءٌ ﻛَﺎﻧ‬،َ‫َﻋﻠَْﻴ ِﻬ ْﻢ َوﻋَﻠ َﻰ ﻧَﺒِﻴﱢـﻨَﺎ َو َﺳﻠﱠﻢ‬
‫ﺻﻠِﻴﱠﺔً وَا ْﻋﺘِﻘَﺎ ِدﻳﱠﺔً َود ﱢُو َن ﳍَﺎ‬
ْ َ‫َود ﱢُو َن ﳍََﺎ ِﻋ ْﻠ ُﻢ اْﻟ ِﻔ ْﻘ ِﻪ أ َْو ﺑِ َﻜْﻴ ِﻔﻴﱠ ِﺔ اْ ِﻹ ْﻋﺘِﻘَﺎ ِد َوﺗُ َﺴﻤﱠﻰ أ‬
17
....‫ِﻋ ْﻠ ُﻢ اْﻟ َﻜﻼَِم‬
14
Majma’ al-Lughah al-‘Arabiyyah, al-Mu’jam al-Wasīṭ, Juz II (Istanbul:
al-Maktabah al-Islāmiyyah, t.th.), h. 738.
15
Ibid., Juz I, h. 479; Ahmad Warson Munawwir, al-Munawwir (t.t.: t.p.,
t.th.), h. 761.
16
Majma’ al-Lughah al-‘Arabiyyah, Juz I, alMu’jam..., h. 738.
17
Ahmad Hanafi, Pengantar dan Sejarah Ilmu Hukum Islam (Jakarta: PT
Bulan Bintang, 1991), h. 9.
Hunafa: Jurnal Studia Islamika
223
Vol. 8, No.2, Desember 2011: 217-235
Apa yang diadakan oleh Allah untuk para hamba-Nya, yang dibawa oleh
salah seorang nabi-Nya saw., berupa aturan-aturan, baik yang bertalian
dengan sistem perbuatan—yang disebut hukum cabang, yang untuknya
disusun ilmu fikih—maupun yang berhubungan dengan sistem
keyakinan—yang disebut hukum pokok dan iktikad, yang untuknya
dihimpun ilmu kalam.
Dari pengertian di atas, dapat disimpulkan bahwa yang
dimaksud dengan maqāṣid al-syarī’ah adalah maksud serta tujuan
al-Syāri’ (Allah swt.) menurunkan syariat-Nya secara umum
kepada manusia. Dalam beberapa kitab usul fikih, untuk maksud
yang sama, digunakan term yang agak berbeda, yaitu al-maqṣad
‘ām min al-tasyrī’, seperti yang digunakan oleh ‘Abd al-Wahhāb
Khallāf,18 dan maqāṣid al-aḥkām, seperti yang digunakan
Muḥammad Abū Zahrah.19
Dalam al-Muwāfaqāt, al-Syāṭibī
membagi al-maqāṣid
menjadi dua, yaitu qaṣd al-Syāri’ dan qaṣd al-mukallaf.20
Kemudian ia membagi qaṣd al-Syāri’menjadi 4 yaitu:
Pertama, Qaṣd al-Syāri’ fī Waḍ’ al-Syarī’ah (maksud al-Syāri’
dalam menetapkan syariat). Menurut al-Syāṭibiy, Allah
menurunkan syariat (aturan hukum) untuk mengambil
kemaslahatan dan menghindari kemudaratan ( ‫ﺟﻠﺐ اﻟﻤﺼـﺎﻟﺢ ودرء‬
‫)اﻟﻤﻔـﺎﺳﺪ‬. Dengan kata lain, aturan-aturan hukum yang Allah
tentukan hanyalah untuk kemaslahatan manusia itu sendiri. AlSyāṭibī membagi maslahat ini menjadi tiga bagian yaitu
ḍaruriyyāt
(primer),
ḥājiyyāt
(sekunder)
dan
21
taḥsiniyyāt (tersier).
Kedua, Qaṣd al-Syāri’ fī Waḍ’ al-Syarī’ah li Ifhām (maksud
Syāri’ dalam menetapkan syariah-Nya adalah agar dapat
18
‘Abd al-Wahhāb Khallāf, ‘Ilm Uṣūl al-Fiqh (cet. ke-12; Kuwait: Dār alQalam), h. 197.
19
Muḥammad Abū Zahrah, Uṣūl al-Fiqh, (t.t.: Dār al-Fikr al-‘Arabī, t.th.),
h. 364.
20
Al-Syāṭibī, al-Muwāfaqāt.., Juz II, (t.t.: t.p., t.th.), h. 5.
21
Ibid., h. 8. Lihat juga, Muḥammad Abū Zahrah, Uṣūl..., h. 365—372 dan
‘Abd al-Wahhāb Khallāf, ‘Ilm Uṣūl.., h. 197—200.
224
Hunafa: Jurnal Studia Islamika
Agustam, Maqāṣid al-Syarī’ah al-Syāṭibī…
dipahami). Ada dua hal penting yang dibahas dalam bagian ini.
Pertama, syariat ini diturunkan dalam bahasa Arab (Q.S. Yūsuf [2]:
2 dan Q.S. al-Syu’arā` [26] :195). Untuk memahaminya, lebih
dahulu harus dipahami seluk- beluk dan uslūb bahasa Arab.
Termasuk ilmu-ilmu lain yang erat kaitannya dengan lisan Arab,
seperti usul fikih, fikih, logika, dan ilmu ma’ānī, dan kedua,
bahwa syariat ini ummiyyah. Maksudnya, untuk dapat
memahaminya tidak dibutuhkan bantuan ilmu-ilmu alam seperti
ilmu hisab, kimia, atau fisika. Hal ini dimaksudkan agar syariah
mudah dipahami oleh semua kalangan. Apabila untuk memahami
syariat ini diperlukan bantuan ilmu lain, seperti ilmu alam, paling
tidak, ada dua kendala besar yang akan dihadapi manusia
umumnya, yaitu kendala dalam pemahaman dan pelaksanaan.22
Ketiga, Qaṣd al-Syāri’ fī Waḍ’ al-Syarī’ah li al-Taklīf bi
Muqtaḍāhā (maksud Syāri’ dalam menentukan syariat adalah
untuk dilaksanakan sesuai dengan yang dituntut-Nya). Ada dua
macam taklif menurut al-Syāṭibī, yaitu: Pertama, taklīf yang di
luar kemampuan manusia (‫)اﻟﺘﻜﻠﯿﻒ ﺑﻤﺎ ﻻ ﯾﻄﺎق‬. Sebagaimana telah
diketahui bersama bahwa tidaklah dianggap taklif apabila berada
di luar batas kemampuan manusia dan kedua, taklif yang di
dalamnya terdapat masyaqqah atau kesulitan (‫)اﻟﺘﻜﻠﯿﻒ ﺑﻤﺎ ﻓﯿﮫ ﻣﺸﻘﺔ‬.
Menurut al-Syāṭibī, dengan adanya taklīf, Syāri’ tidak bermaksud
menimbulkan masyaqqah bagi pelakunya (mukallaf) akan tetapi
sebaliknya, di balik itu ada manfaat tersendiri bagi mukallaf.23
Keempat, Qaṣd al-Syāri’ fī Dukhūl al-Mukallaf taḥta Aḥkām
al-Syarī’ah (maksud al-Syāri’ memoposisikan mukalaf di bawah
hukum syarak). Dalam konteks ini, mukalaf melaksanakan hukum
syariat untuk mengeluarkannya dari tuntutan dan keinginan
hawa nafsunya sehingga ia menjadi seorang hamba yang—dalam
22
23
Al-Syāṭibī, al-Muwāfaqāt.., h. 64.
Ibid., h. 107.
Hunafa: Jurnal Studia Islamika
225
Vol. 8, No.2, Desember 2011: 217-235
istilah al-Syāṭibī—disebut hamba Allah yang mempunyai daya
pilih (ikhtiyāran) dan bukan yang dipaksa (iḍṭirāran).24
Maslahat sebagai Tujuan Syariat
Seperti disinggung di bagian awal, al-Syāṭibī menempatkan
maslahat sebagai tujuan Allah selaku Pembuat Syariat (qaṣd alSyāri’). Ia meyakini bahwa al-Syāri’ (Allah swt.) dalam
menciptakan syariat, bukanlah serampangan, tanpa arah,
melainkan untuk mewujudkan maslahat umum, memberikan
manfaat, serta menghindarkan mafsadat bagi umat manusia.
Syariat bertujuan mengatur kehidupan manusia supaya lebih
baik.
Pada dasarnya, jenis-jenis tujuan umum syariat—menurut
al-Syāṭibī—ada tiga.
Pertama, untuk memelihara hal-hal yang menjadi sendi
eksistensi kehidupan (al-umūr al-ḍarūriyyah). Apabila sendi-sendi
ini tidak ada, kehidupan manusia akan menjadi kacau,
kemaslahatan tidak tercapai, dan kebahagiaan ukrawi tidak bakal
dinikmati.25 Yang tergolong ke dalam al-umūr al-ḍarūriyyah ada
lima, yaitu (1) urusan agama, (2) urusan jiwa, (3) urusan akal, (4)
urusan keturunan, dan (5) urusan harta milik.
Syariat telah menetapkan hukum-hukum untuk setiap
urusan ḍarūrī yang lima tersebut yang menjamin eksistensinya
dan pemeliharaannya. Pemberian beban syariat (taklīf) dalam
pengadaan dan pemeliharaan urusan ḍarūrī diarahkan kepada
dua aspek, yaitu sebagau berikut:
Pertama, pengadaan. Dalam aspek ini, syariat
mengemukakan sendi-sendinya dan menetapkan ketentuanketentuannya. Beriman, mengucapkan syahādatain, menjalankan
salat, berpuasa, membayar zakat, melaksanakan haji, dan ibadatibadat dasar lainnya, disyariatkan untuk menegakkan dan
24
25
226
Ibid., h. 168.
Al-Syāṭibī, ibid., Jilid II, h. 8.
Hunafa: Jurnal Studia Islamika
Agustam, Maqāṣid al-Syarī’ah al-Syāṭibī…
memelihara urusan ḍarūriy agama. Dalam bidang adat (kebiasaankebiasaan yang bukan ibadat dasar), seperti makan, minum, dan
berpakaian, disyariatkan untuk menegakkan dan memelihara
urusan ḍarūrī jiwa dan akal. Bermuamalat antarsesama—baik
dalam bentuk barang maupun jasa—disyariatkan demi pengadaan
dan pemeliharaan urusan ḍarūrī keturunan dan harta milik.
Kedua, penolakan kemudaratan dan penghindaran dari
kerusakan yang mungkin terjadi.Untuk menolak kemudaratan
dan kehancuran agama, disyariatkanlah jihad, ditetapkanlah
hukum bagi orang murtad, pembuat bidah, serta orang-orang
yang merusak kehormatan agama. Untuk menolak kemudaratan
yang menimpa jiwa, hukum kisas dan kafarat. Untuk menolak
kemudaratan bagi akal, syariat menetapkan hukuman terhadap
pemabuk dan pecandu narkoba. Untuk menjaga keturunan serta
menolak kemudaratan terhadapnya, ditentukanlah hukuman
pidana bagi pezina. Untuk menjaga harta serta menolak
kemudaratan baginya, syariat menetapkan hukuman bagi pencuri
dan perompak, dan mengharamkan riba.
Ketiga, untuk memenuhi hal-hal yang sangat dihajatkan
manusia dalam kehidupannya (al-umūr al-ḥājiyāt). Setingkat di
bawah yang pertama, pengertian al-umūr al-ḥājiyāt adalah
sekiranya hal-hal itu tidak terpenuhi, tidak membuat tatanan
kehidupan menjadi kacau-balau, tetapi sekadar membuat
kesulitan dan kesukaran. Prinsip utama dalam al-umūr al-ḥājiyāt
adalah menghilangkan kesulitan, meringankan beban taklif, dan
memudahkan mereka dalam bermuamalat dan tukar-menukar
manfaat.26 Untuk maksud itu, syariat telah menetapkan sejumlah
ketentuan dalam bab-bab muamalat, ibadat, dan ‘uqūbāt (pidana
Islam).
Keempat, untuk merealisasikan al-umūr al-taḥsīniyyat,
yaitu tindakan dan sifat yang dipergpegangi oleh adat kebiasaan
yang bagus, dan dihajati oleh kepribadian yang kuat, dan
26
Al-Syāṭibī, ibid., Jilid II, h. 10.
Hunafa: Jurnal Studia Islamika
227
Vol. 8, No.2, Desember 2011: 217-235
dihindari kerusakannya oleh akal sehat. Kesemua itu masuk
dalam bagian akhlak yang mulia, tata-kesopanan, dan adab untuk
menuju kepada kesempurnaan. Artinya, apabila al-umūr altaḥsīniyyāt ini tidak terpenuhi, kehidupan manusia tidaklah
sekacau apabila urusan ḍarūriy tidak terwujud, atau tidak sesulit
apabila urusan ḥājiy tidak tercapai, tetapi hanya dianggap kurang
harmonis oleh pertimbangan akal sehat dan suara hati-nurani.27
Demikianlah, apabila maqāṣid al-syarī’ah di atas dicermati,
menurut al-Syāṭibī, akan dapat diketahui bahwa maslahat
merupakan tujuan Tuhan dalam syariat-Nya. Hal itu mutlak
diwujudkan karena keselamatan dan kesejahteraan kehidupan
ukhrawi dan duniawi tidak akan mungkin dicapai tanpa maslahat,
terutama yang bersifat ḍarūriyyah. Oleh al-Syāṭibī, hal itu disebut
juga dengan uṣūl al-dīn, qawā’id al-syarī’ah, dan kulliyyāt almillah.28
NILAI-NILAI FALSAFAH PANCASILA DALAM NERACA MAQĀṢID
AL-SYARĪ’AH
Indonesia merupakan negara dengan potensi sangat
majemuk. Berbagai macam suku, ras, budaya, bahasa dan agama
terdapat di negeri ini. Oleh karena itu, menjadi keniscayaan
apabila perbedaan-perbedaan itu terkelola dengan baik sehingga
mendatangkan kemaslahatan bersama.
Para founding father memiliki cita-cita mulia ketika
membuat landasan bangsa. Perdamaian, kesetaraan, dan saling
27
Ibid., h. 11. Urusan taḥsiniyyah dalam bidang ibadat, misalnya, adalah
kewajiban bersuci dari najis, baik yang tampak (ḥissiy) maupun yang tidak
tampak (ma’nawiy), kewajiban menutup aurat, serta menjalankan amalanamalan sunat. Dalam bidang adat, adalah kewajiban meninggalkan makanan
dan minuman dari sesuatu yang najis serta menjijikkan. Dalam bidang
muamalat, diharamkan berjual-beli dengan cara menipu, menimbun, serta
memperjualbelikan barang-barang najis. Dalam bidang ‘uqūbāt, misalnya,
adalah larangan membunuh kaum wanita, anak-anak, dan ahli agama pada
waktu terjadi perang.
28
Al-Syāṭibī, al-Muwāfaqāt…, Juz II, h. 17, 25, dan 371.
228
Hunafa: Jurnal Studia Islamika
Agustam, Maqāṣid al-Syarī’ah al-Syāṭibī…
menghargai adalah kunci untuk mewujudkan cita-cita tersebut.
Pertimbangan inilah yang mendasari dirumuskan dan
diterimanya Pancasila sebagai falsafah dalam kehidupan
berbangsa.29Mereka menyadari bahwa Pancasila sesungguhnya
memang bukanlah produk samawī. Meskipun demikian, padanya
tidak ada prinsip yang bertentangan dengan ajaran agama.
Sebaliknya, Pancasila justeru merefleksikan pesan-pesan utama
semua agama, yakni kemaslahatan umum, yang dalam Islam
dikenal dengan maqāṣid al-syarī’ah.
Ketuhanan Yang Maha Esa. Dari segi bentuk rumusannya,
sila ini mencerminkan suatu konsep ketuhanan “monoteisme”,
kepercayaan kepada adanya satu Tuhan. Bagi umat Islam, konsep
ini disebut tauhid, yang merupakan ajaran para nabi melalui
wahyu Allah swt.30 Semua rasul Allah membawa misi ketauhidan31
yang tercermin dalam syahadat dan ditegaskan secara gamblang
dalam Surat al-Ikhlāṣ. Ki Bagus Hadikusumo pernah memberi
jawaban atas pertanyaan tentang arti Ketuhanan Yang Maha Esa
bahwa yang dimaksud adalah tauhid.32 Secara kontekstual, sila
pertama ini merupakan wujud garansi penjagaan terhadap
eksistensi agama di Indonesia.
Dari segi nilai yang terkandung di dalam sila pertama
Pancasila, dapat dikatakan bahwa sila ini merupakan dasar
keruhanian serta dasar moral bangsa dalam menjalankan
kehidupan bernegara dan bermasyarakat. Mengasaskan
Ketuhanan yang Maha Esa dalam kehidupan bernegara bermakna
bahwa dalam penyelenggaraan kehidupan bernegara petunjukpetunjuk Tuhan yang Maha Esa wajib dihargai, diperhatikan, dan
29
A. Tajul Arifin, Maqāsid al-Syarī’ah: Sebuah Tinjauan Filsafat
Hukum Islam, (Online), http://atajularifin.wordpress.com, diakses 8 Maret
2011.
30
Q.S. al-Anbiyā` (21): 25.
31
Q.S. al-Kahf (18): 110.
32
Prawoto Mangkusasmito, Pertumbuhan Historis Rumus Dasar Negara
dan Sebuah Proyeksi (Jakarta: PT Bulan Bintang, 1977), h. 33—35.
Hunafa: Jurnal Studia Islamika
229
Vol. 8, No.2, Desember 2011: 217-235
dihormati. Sebaliknya, penyimpangan atas ketentuan-ketentuan
yang telah digariskan-Nya, tidak dapat dibenarkan. Peraturan
perundang-undangan dan putusan-putusan penguasa wajib
‘merujuk’ kepada aturan-aturan Tuhan.
Sebagai asas kehidupan sosial, Ketuhanan yang Maha Esa
menuntut agar bangsa Indonesia memerhatikan serta menaati
petunjuk-petunjuk Tuhan yang Maha Esa dalam hidup
bermasyarakat. Masyarakat hendaknya memupuk kerja sama
kemanusiaan menuju kepada kerukunan, menghormati kebasan
beragama dan beribadat menurut keyakinan-agama masingmasing serta tidak memaksakan agama kepada orang lain yang
sudah beragama. Hal ini sanagat bersesuaian dengan landasan
dasar Islam, yakni Alquran dan sunah.
Kemanusiaan yang Adil dan Beradab. Sila ini pada
prinsipnya ingin menempatkan manusia sesuai dengan harkatnya
sebagai makhluk Tuhan.33 Hal ini berarti bahwa hak-hak asasinya
harus memperoleh layanan dan perlindungan dengan semestinya.
Hak hidup (keselamatan jiwa), hak atas keselamatan badan, hak
atas kebebasan diri, hak kepemilikan, dan hak atas kehormatan
adalah hak-hak asasi manusia yang harus memperoleh
perlindungan.34
Dalam kaitannya dengan sila Kemanusiaan yang Adil dan
Beradab, syariat Islam memiliki tuntunan yang cukup banyak. Hal
ini tercermin dalam beberapa ayat Alquran35 dan sunah
33
Ahmad Azhar Basyir, Refleksi atas Persoalan Keislaman: Seputar
Filsafat, Hukum, Politik, dan Ekonomi (cet. ke-1; Bandung: Penerbit Mizan,
1993), h. 247.
34
Muhammad Hatta, Pengertian Pancasila (Jakarta: Idayu Press, 1977), h.
28.
35
Lihat, di antaranya, Q.S. al-Isrā` (17): 70, al-Ḥujurāt (49): 11 dan 13, alNaḥl (16):90.
230
Hunafa: Jurnal Studia Islamika
Agustam, Maqāṣid al-Syarī’ah al-Syāṭibī…
Rasulullah saw.36 yang semuanya menghargai dan menghormati
eksistensi kemanusiaan beserta segenap hak asasinya.
Persatuan Indonesia. Sila ketiga ini merupakan syarat hidup
bagi bangsa Indonesia yang pada hakikatnya mengandung prinsip
nasionalisme,
unsur-unsur
persatuan
dan
kesatuan,
keindonesiaan, dan cita-cita persahabatan dengan segala bangsa.
Dalam Islam, ajaran tentang persatuan dan kesatuan dituangkan
dalam banyak firman Allah swt. yang kesemuanya mengajak
manusia untuk tidak saling berprasangka buruk, tidak bertengkar,
tetapi—sebaliknya—diminta untuk bersatu karena manusia pada
hakikatnya berasal dari keturunan yang satu dengan Tuhan yang
satu pula.37 Prasangka kebangsaan atas dasar rasisme,
sektarianisme, serta memandang bangsa tertentu lebih tinggi
martabat daripada bangsa lain, merupakan paradigma yang
sangat betentangan dengan fitrah dan kodrat manusia.
Kerakyatan yang Dipimpin oleh Hikmat Kebijaksanaan
dalam Permusyawaratan/ Perwakilan. Dalam hubungannya
dengan sila Ketuhanan yang Maha Esa, kerakyatan berarti
demokrasi yang memerhatikan nilai agama dan ketuhanan; bukan
demokrasi liberal. Kerakyatan berarti bahwa penyelenggaraan
kehidupan berbangsa harus dilakukan dengan musyawarah yang
mengacu pada aturan-aturan yang digariskan oleh Alquran.38
Tujuan akhir dari musyawarah ini adalah untuk mencapai
kesepakatan yang menjunjung tinggi nilai-nilai kemanusiaan
sekaligus nilai-nilai agama.
Sabda Rasul saw.: ‫ْﺴِﻪ )رواﻩ اﻟﺒﺨﺎري‬
ِ ‫ُِﺐ ﻟِﻨَـﻔ‬
‫َﺎل ﳉَِﺎ ِرِﻩ( ﻣَﺎ ﳛ ﱡ‬
َ ‫ُِﺐ ِﻷ َِﺧْﻴِﻪ)أ َْو ﻗ‬
‫َﱴ ﳛ ﱠ‬
‫ُﻤﺤ ﱠ‬
ْ ‫َﻻ ﻳـ ُْﺆِﻣ ُﻦ أَ َﺣ ُﺪﻛ‬
(‫( وﻣﺴﻠﻢ‬Tidak beriman seseorang di antara kamu sebelum ia mencintai
saudaranya [atau dalam redaksi lain, tetangganya]sepertia cintanya terhadap
diri sendiri). Lihat, Muḥy al-Dīn ibn Syaraf ibn Muriy ibn Ḥasan ibn Ḥusain ibn
Ḥizām al-Nawāwī, Ṣaḥīḥ Muslim bi Syarḥ al-Nawāwī. Juz II (cet. ke-1; t.t.: alMaṭba’ah al-Miṣriyyah, t.th.), h. 16.
37
Lihat, misalnya, Q.S. al-Baqarah (2): 213, al-Nisā` (4): 1, al-Ḥujurāt (49):
13, Āli ‘Imrān (3): 103, dan al-Anfāl (8): 46).
38
Q.S. Āli ‘Imrān (3): 159, al-Syū’arā` (42): 38, dan al-Nisā` (4): 59.
36
Hunafa: Jurnal Studia Islamika
231
Vol. 8, No.2, Desember 2011: 217-235
Keadilan Sosial bagi Seluruh Rakyat Indonesia. Keadilan
yang berorientasi pada kemaslahatan sosial bukan saja menjadi
dasar negara, melainkan sekaligus menjadi tujuan yang harus
dilaksanakan. Pada prinsipnya, sila Keadilan Sosial menghendaki
adanya kemakmuran yang merata bagi seluruh rakyat Indonesia.
Apabila keadilan diartikan memberikan kepada seseorang apa
yang menjadi hak-haknya, keadilan sosial berarti memberikan
kepada anggota masyarakat apa yang menjadi haknya atas dasar
kelayakan dan keseimbangan. Alquran mengajarkan agar orang
berbuat adil, berbuat iḥsān, memberikan hak sanak kerabat, tidak
berbuat keji, kemungkaran, dan permusuhan.39
Kristalisasi nilai-nilai Pancasila, seperti yang diuraikan di
atas, mengimplisitkan adanya hubungan-hubungan yang
berimplikasi pada keseimbangan hak dan kewajiban yang
merupakan titik-tolak terwujudnnya kemaslahatan. Pertama,
hubungan manusia dengan Allah swt. sebagai pengejawantahan
nilai-nilai sila Ketuhanan yang Maha Esa. Konsekuensi logis dari
hubungan tersebut adalah sejumlah kewajiban untuk
melaksanakan segala perintah-Nya dan menjauhi laranganlarangan-Nya. Sebaliknya, sejumlah hak pun melekat pada
kewajiban-kewajiban itu, di antaranya adalah berupa terbukanya
pintu-pintu keberkahan langit dan bumi untuk umat manusia.40
Kedua, hubungan antarmanusia, baik dalam fungsinya
sebagai warga masyarakat maupun warga negara. Dalam
hubungan itu pun terdapat hak dan kewajiban yang seimbang.
Ketiga, hubungan kealaman (dengan fauna, flora, dan
sumber daya alam lainnya) dengan asumsi, alam tercipta untuk
kemaslahatan manusia. Dalam hal ini, manusia memiliki
kewajiban pelestarian terhadapnya, sedangkan hak yang diterima
dari alam sudah tidak terhingga banyaknya.
39
40
232
Q.S. al-Naḥl (16): 90.
Q.S. al-A’rāf (7): 96.
Hunafa: Jurnal Studia Islamika
Agustam, Maqāṣid al-Syarī’ah al-Syāṭibī…
Uraian di atas mengisyaratkan bahwa Pancasila
memosisikan eksistensinya sebagai sumber maslahat praktis—
setelah ajaran agama yang bersifat idealis—untuk mengayomi
semua kepentingan serta melindungi segenap keyakinan, budaya,
dan tradisi bangsa. Dengan demikian, Pancasila akan
menghadirkan agama sebagai wujud kasih-sayang Tuhan bagi
seluruh makhluk-Nya. Dalam konteks ideal Pancasila seperti itu,
setiap orang dapat saling membantu untuk mewujudkan dan
meningkatkan kemaslahatan dunia dan di akhirat.
PENUTUP
Syariat yang diturunkan kepada umat manusia untuk
mengatur kehidupan manusia agar mencapai kemaslahatan.
Dalam hal ini, syariat berfungsi untuk menjamin (menjaga)
eksistensi agama, jiwa, akal, keturunan, dan harta, yang
kesemuanya itu merupakan unsur utama kehidupan manusia.
Kelima unsur penting tersebut disebut al-umūr al-ḍarūriyyāt atau
al-ḍarūriyyah al-khamsah. Syariat juga diturunkan untuk
memenuhi hal-hal yang sangat dihajatkan manusia dalam
kehidupannya (al-umūr al-ḥājiyāt) yang kalau tidak disediakan,
manusia akan hidup dalam keadaan susah-payah. Di samping itu,
syariat juga dimaksudkan untuk merealisasikan al-umūr altaḥsīniyyāt, yaitu tindakan dan sifat yang harus dijauhi oleh akal
sehat, dipegangi oleh adat kebiasaan yang bagus, dan dihajati oleh
kepribadian yang kuat.
Konsep maqāṣid al-syarī’ah dari al-Syāṭibī ini dapat
dielaborasi secara kontekstual ke dalam nilai-nilai filosofis dari
Pancasila. Dalam hal ini, Pancasila merupakan sumber maslahatpraktis setelah ajaran agama yang bersifat idealis. Pemaknaan
seperti itu memosisikan Pancasila sebagai “pengayom” semua
kepentingan serta “pelindung” segenap keyakinan, budaya, dan
tradisi bangsa. Dengan cara seperti itu, Pancasila akan
menghadirkan agama sebagai wujud kasih-sayang Tuhan bagi
seluruh makhluk-Nya sebagai pangkal kemaslahatan.
Hunafa: Jurnal Studia Islamika
233
Vol. 8, No.2, Desember 2011: 217-235
Yang penting untuk digarisbawahi adalah bagaimana
memelihara keserasian antara Pancasila dan ajaran agama.
Internalisasi dan pengamalan syariat Islam benar-benar
medapatkan jaminan, perlindungan, dan dukungan dari Pancasila
sebagai dasar falsafah negara. Jangan sampai—dengan dalih
mengamalkan Pancasila—pelaksanaan syariat Islam justeru
terdesak. Misalnya, hukum perkawinan dikalangan umat Islam
menentukan pelarangan wanita muslimah menikah dengan lakilaki non muslim. Kemudian, dengan dalih mengamalkan sila
Persatuan Indonesia, ajaran tersebut tidak dihormati.
DAFTAR PUSTAKA
al-Qur’ān al-Karīm
Abdulgani, Roeslan, Pengembangan Pancasila di Indonesia, Jakarta:
Idayu Press, 1977.
Abū Zahrah, Muḥammad, Uṣūl al-Fiqh. t.t.: Dār al-Fikr al-‘Arabī, t.th.
‘Aliy, ‘Abd al-Raḥmān Ādam, al-Imām al-Syāṭibī:’ Aqīdatuh wa
Mauqifuh min al-Bida' wa Ahlihā, cet. ke-1; Riyaḍ: Maktabah alRusyd, 1998.
Basyir, Ahmad Azhar, Refleksi atas Persoalan Keislaman: Seputar
Filsafat, Hukum, Politik, dan Ekonomi, cet. ke-1; Bandung:
Penerbit Mizan, 1993.
Duraib, Sa’ūd ibn Sa’d ‘Alī, al-Tanżīm al-Qaḍā`ī fī al-Mamlakah al‘Arabiyyah, Riyāḍ: Maṭābi’ al-Ḥanīfah li al-Ubsit, 1973.
Hanafi, Ahmad, Pengantar dan Sejarah Ilmu Hukum Islam, Jakarta: PT
Bulan Bintang, 1991.
Haq, Hamka, Dialog Pemikiran Islam: Tradisionalismedan Empirisme
dalam Teologi, Filsafat, Ushul Fikih, Ujung Pandang: Yayasan
Ahkam, 1995.
Hatta, Muhammad, Pengertian Pancasila, Jakarta: Idayu Press, 1977.
Khallāf, ‘Abd al-Wahhāb, ‘Ilm Uṣūl al-Fiqh, cet. ke-12; Kuwait: Dār alQalam.
Majma’ al-Lughah al-‘Arabiyyah, al-Mu’jam al-Wasīṭ, Juz II, Istanbul: alMaktabah al-Islāmiyyah, t.th.
234
Hunafa: Jurnal Studia Islamika
Agustam, Maqāṣid al-Syarī’ah al-Syāṭibī…
Mangkusasmito, Prawoto, Pertumbuhan Historis Rumus Dasar Negara
dan Sebuah Proyeksi, Jakarta: PT Bulan Bintang, 1977.
Marāghī, ‘Abd Allāh Muṣṭafā al-, Al-Fatḥ al-Mubīn, Juz II; Beirut:
Muḥammad Amīn Dimāj, 1974.
Muḥammad, ‘Abbās Ḥusni, Al-Fiqh al-Islāmī: Āfāquh wa Taṭawwuruh.
Makkah: Rābiṭah al-‘Ālamiy al-Islāmiī, 1402.
Munawwir, Ahmad Warson, al-Munawwir. t.t.: t.p., t.th.
Nawawī, Muḥy al-Dīn ibn Syaraf ibn Muriy ibn Ḥasan ibn Ḥusain ibn
Ḥizām al-, Ṣaḥīḥ Muslim bi Syarḥ al-Nawawiy, Juz II, cet. ke-1; t.t.:
al-Maṭba’ah al-Miṣriyyah, t.th.
Syalṭūṭ, Maḥmūd. al-Islām ‘Aqīdah wa Syarī’ah. t.t.: Dār al-Qalam, t.th.
Syāṭibī, Abū Isḥāq al-, al-Muwāfaqāt fī Uṣūl al-Syarī’ah, Juz I dan II; t.t.:
Dār al-al-Fikr al-‘Arabiy, t.th.
Tajul Arifin, A. Maqāsid al-Syarī’ah: Sebuah Tinjauan Filsafat
Hukum Islam.
(Online),
http://atajularifin.wordpress.com,
diakses tanggal 8 Maret 2011.
Hunafa: Jurnal Studia Islamika
235
Vol. 8, No.2, Desember 2011: 217-235
236
Hunafa: Jurnal Studia Islamika
Download