75 5 PENGATURAN WCPFC DAN IMPLIKASI BAGI INDONESIA Ketentuan pelakasanaan Konvensi ditetapkan pada Pada 2nd Regular Session Of The Commission For The Conservation And Management of Highly Migratory Fish Stocks in The Western And Central Pacific Ocean pada tanggal 12 -16 yang terdiri dari : (1) ketentuan mengikat (legally binding) yakni Conservation and Management Measures (CMM), (2) ketentuan tidak mengikat (non legally binding) yakni Resolution, dan (3) urusan administratif (Administrative Matters). Sehubungan dengan hal tersebut, terdapat dua ketentuan yang mengikat yakni Konvensi WCPFC dan Conservation and Management Measures (CMM). 5.1 Prinsip Umum Konvensi : Relevansi dan Implikasi terhadap Peraturan Perundang-Undangan Pengaturan pengelolaan perikanan di wilayah Konvensi WCPFC dilaksanakan melalui Convention on the Conservation and Management of Highly Migratory Fish Stocks in the Western and Central Pacific Ocean (Konvensi WCPFC) sebagai dasar pembentukan WCPFC yang diadopsi pada tanggal 5 September 2000. Konvensi WCPFC terdiri dari dari 12 Bab dengan 47 Pasal. Namun demikian, tidak semua pasal yang dituangkan dalam Konvensi WCPFC menimbulkan implikasi bagi Indonesia, sehingga tidak perlu dibahas (Ariadno, 2012) (Lihat Lampiran 4). Pada Konvensi terdapat sembilan hal yang harus menjadi perhatian pemerintah Indonesia, baik statusnya sekarang sebagai Contracting Non-Member maupun dimasa depan akan menjadi member (negara anggota), yaitu: (1) Wilayah penerapan, (2) Azas-azas dan langkah-langkah untuk konservasi dan pengelolaan, (3) Penerapan pendekatan kehati-hatian, (4) Pelaksanaan azas-azas di wilayahwilayah berdasarkan yurisdiksi nasional, (5) Kesesuaian langkah-langkah konservasi dan pengelolaan, (6) Kewajiban Para Anggota Komisi, (7) KewajibanKewajiban Negara Bendera, (8) Penaatan dan Penegakan, dan (9) Itikad Baik dan Penyalahgunaan Hak. 76 5.1.1 Wilayah Penerapan Batas wilayah Konvensi WCPC pada bagian timur tumpang tindih dengan wilayah kewenangan Inter American Tropical Tuna Commision (IATTC) sehingga menjadi konflik kewenangan pengelolaan. Sehubungan dengan hal ini WCPFC telah membuat perjanjian kerjasama dengan IATTC pada tahun 2009 yang meliputi pertukaran data dan informasi, kerjasama penelitian terutama pada sediaan spesies yang diatur kedua RFMO, dan kerjasama tindakan konservasi dan pengelolaan. Menindaklanjuti kesepakatan bersama tersebut pada tanggal 27 November 2012 IATTC dan WCPFC telah menyepakati rekomendasi tentang wilayah yang menjadi tumpang tindih dan mengatur kewajiban negara bendera yang menangkap ikan diwilayah sangketa. Berdasarkan dua kesepakatan tersebut dapat dikatakan bahwa telah ada upaya Komisi WCPFC untuk menyelesaikan batas koordinat yang menjadi sangketa pada bagian timur Konvensi WCPFC. Sedangkan pada bagian barat wilayah Konvensi yakni Laut Cina Selatan dan Perairan Asia Tenggara tidak ada batas tegas koordinat pengelolaan dan upaya komisi untuk menyelesaikannya melalui suatu ketentuan. Meskipun hal ini telah dibahas sejak Pertemuan MHLC ke-3 sampai dengan MHLC ke-6, namun tidak ada ketentuan terkait dengan batas wilayah Konvensi pada perairan tersebut. Meskipun pada Chair Statement penutupan MHLC ke-6 pada tanggal April 2000 di Honolulu 11- 19 disampaikan bahwa Perairan Asia Tenggara dan Laut Cina Selatan bukan merupakan bagian Samudera Pasifik, namun pernyataan bukanlah ketentuan yang mengikat. Disamping itu, Indonesia berkeberatan wilayah sebagian besar perairan Indonesia masuk menjadi wilayah Konvensi WCPFC kecuali ZEEI Samudera Hindia dan Laut Timor. Sikap ini juga didukung oleh Philipinna, Kepulauan Salomon dan Papua New Guinea yang juga berkeberatan wilayah perairan teritorialnya masuk menjadi wilayah Konvensi. 77 Sumber : diolah dari Konvensi WCPFC dan www.naturalearth.com Gambar 9 Peta Wilayah Tumpang Tinding Wilayah Kewenangan antara WCPFC dengan IATTC Masuknya sebagian besar perairan teritorial Indonesia menimbulkan permasalahan bagi Indonesia, karena status hukum perairan kepulauan adalah kedaulatan (sovereingty). Keberatan Indonesia disampaikan pada Fith Regular Session pada tanggal 8 -12 Desember 2008 di Busan Korea yang meminta Komisi WCPFC tidak memasukkan perairan Laut Cina Selatan dan perairan Asia Tenggara, termasuk perairan teritorial Indonesia menjadi bagian wilayah Konvensi WCPFC karena bukan menjadi bagian dari Samudera Hindia (Gambar 10). Pernyataan Indonesia dipertegas kembali pada Ninth Regular Session pada tanggal 2-6 Desember 2012 di Manila Philipina yang berpendapat bahwa berdasarkan UNCLOS 1982 dan UN Fish Stock Agreement serta Pasal 4 Konvensi jelas disebutkan bahwa pelaksanaan kerjasama perikanan regional hanya pada laut lepas dan ZEE tidak termasuk perairan teritorial dan perairan kepulauan. 78 Sumber : diolah dari Konvensi WCPFC dan www.naturalearth.com Gambar 10 Peta Wilayah Konvensi WCPFC di Perairan LCS dan Teritorial Indonesia Oleh karena itu, dalam pengesahan Konvensi WCPFC, maka Indonesia harus mengesampingkan Pasal 3 ayat (1). Hal ini sebagaimana yang dipaparkan Ariadno (2012), bahwa Indonesia perlu hati-hati dalam ratifikasi Konvensi WCPFC. Sehubungan dengan hal tersebut, Indonesia harus mengklarifikasi pelaksanaan Konvensi WCPFC yang memasukkan hanya pada ZEE Indonesia pada perairan Laut Sulawesi dan Sebelah Utara Halmahera (WPP-RI 716) dan perairan Teluk Cenderawasih dan Samudera Pasifik (WPP-RI 717). Pada tingkatan nasional, Indonesia memiliki wilayah pengelolaan perikanan (WPP) dalam mewujudkan efektivitas pengelolaan perikanan. Menurut Pasal 5 ayat (1) UU No. 31 Tahun 2004 sebagaimana di ubah dengan UU No. 45 Tahun 2009, Wilayah Pengelolaan Perikanan (WPP) Republik Indonesia untuk penangkapan ikan dan/atau pembudidayaan ikan meliputi: (a) perairan Indonesia; (b) ZEEI; dan (c) sungai, danau, waduk, rawa, dan genangan air lainnya yang 79 dapat diusahakan serta lahan pembudidayaan ikan yang potensial di wilayah Republik Indonesia. Sementara itu, Pasal 5 ayat (2) menambahkan bahwa pengelolaan perikanan di luar wilayah pengelolaan perikanan Republik Indonesia, sebagaimana dimaksud pada ayat (1), diselenggarakan berdasarkan peraturan perundang-undangan, persyaratan, dan/atau standar internasional yang diterima secara umum. Dengan demikian, wilayah pengelolaan perikanan Indonesia adalah mulai dari perairan pedalaman (internal waters), perairan kepulauan (archipelagic waters), laut teritorial (territorial sea), dan Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia (ZEEI). Dengan demikian, Indonesia sudah memiliki aturan dalam pengelolaan perikanan berbasis wilayah. Oleh karena itu, dalam persiapan ratifikasi Konvensi WCPFC, Indonesia harus mengecualikan ketentuan penerapan wilayah WCPFC yang memasukan beberapa wilayah perairan kepulauan Indonesia. 5.1.2 Dasar Pelaksanaan (Azas) Kerjasama internasional terkait pengelolaan sediaan ikan yang beruaya jauh di wilayah konvensi merupakan amanat UNCLOS 1982. Oleh karena itu, negara-negara anggota WCPFC berkewajiban untuk melaksanakan UNCLOS 1982, UNFSA 1995 dan Konvensi WCPFC. Hal-hal yang diatur terkait dengan dasar pelaksanaan (azaz) dijelaskan pada Pasal 5 Konvensi, yakni: a. Mengambil langkah-langkah untuk memastikan keberlanjutan jangka panjang sediaan ikan yang beruaya jauh di wilayah konvensi dan mempromosikan tujuan pemanfaatan sediaan secara optimal. b. Memastikan bahwa langkah-langkah yang didasarkan pada bukti ilmiah terbaik yang tersedia dan di rancang untuk mempertahankan atau memulihkan sediaan pada tingkat yang mampu memproduksi hasil maksimal yang berkelanjutan, seperti yang disyaratkan oleh faktor-faktor lingkungan dan ekonomi yang relevan, termasuk persyaratan-persyaratan khusus bagi negara-negara berkembang di wilayah konvensi, khususnnya negara-negara pulau kecil yang sedang berkembang (SIDS/Small Island Developing State) dan mempertimbangkan pola-pola penangkapan ikan, saling ketergantungan antar sediaan dan standar minimal internasional yang 80 pada umumnya di rekomendasikan, baik sub-regional, regional ataupun global. c. Menerapkan pendekatan kehati-hatian sesuai dengan Konvensi ini dan semua standar internasional terkait yang di setujui dan praktek-praktek dan prosedur yang direkomendasikan . d. Mengkaji dampak dari penangkapan ikan, kegiatan lain manusia, dan faktorfaktor lingkungan terhadap sediaan target, spesies non-target, dan spesies yang berasal dari ekosistem yang sama atau yang bergantung kepada atau berhubungan dengan sediaan target; e. Mengambil langkah-langkah untuk meminimalkan limbah, buangan, tangkapan oleh alat yang hilang, atau yang ditinggalkan, pencemaran yang berasal dari kapal-kapal perikanan, spesies non-target, baik ikan ataupun non-ikan (selanjutnya disebut spesies non-target) dan dampaknya terhadap spesies yang berhubungan atau bergantung, khususnya spesies yang terancam punah dan mempromosikan pengembangan dan penggunaan secara selektif alat dan teknik penangkapan ikan yang ramah lingkungan dan berbiaya efektif; f. Melindungi keanekaragaman hayati di lingkungan laut; g. Mengambil langkah-langkah untuk mencegah atau meniadakan penangkapan ikan yang berlebihan dan kapasitas penangkapan ikan yang berlebihan dan untuk memastikan bahwa tingkat upaya penangkapan ikan tidak melebihi tingkat upaya yang setara dengan pemanfaatan sumberdaya perikanan yang berkelanjutan; h. Mempertimbangkan kepentingan nelayan artisanal dan subsisten; i. Mengumpulkan dan membagi data secara tepat waktu, lengkap dan akurat mengenai kegiatan penangkapan ikan, antara lain, posisi kapal, tangkapan spesies target dan non-target dan upaya penangkapan ikan, serta informasi dari program penelitian nasional dan internasional; dan j. Melaksanakan dan menegakkan langkah-langkah konservasi dan pengelolaan melalui pemantauan, pengendalian dan pengawasan secara efektif. 81 Dengan demikian terdapat sembilan azas tindakan konservasi dan pengelolaan pada WCPFC yakni : a. Optimalisasi pemanfaatan spesies ikan yang beruaya jauh (highly migratory speies); b. Penggunaan data ilmiah terbaik yang tersedia (the best scientific evidence avalaible); c. Penerapan pendekatan kehati-hatian; d. Kajian dampak terhadap sediaan target, spesies non-target, dan spesies yang berasal dari ekosistem yang sama atau yang bergantung kepada atau berhubungan dengan sediaan target; e. Menimalisasi limbah, buangan, tangkapan oleh alat yang hilang, atau yang ditinggalkan, pencemaran yang berasal dari kapal-kapal perikanan, spesies non-target, baik ikan ataupun non-ikan; f. Melindungi keanekaragaman hayati di lingkungan laut; g. Mempertimbangkan kepentingan nelayan artisanal dan subsisten; h. Memberikan informasi kegiatan penangkapan ikan; i. Pelaksanaan pemantauan, pengendalian dan pengawasan (Monitoring Controlling Surveilne/MCS) secara efektif. Pengelolaan perikanan dilakukan berdasarkan asas manfaat, keadilan, kemitraan, pemerataan, keterpaduan, keterbukaan, efisiensi, dan kelestarian yang berkelanjutan (Pasal 2 UU No. 31 Tahun 2004). Sementara prinsip-prinsip umum yang di muat dalam UU No. 21 Tahun 2009, yaitu: a. Mengambil tindakan untuk menjamin kelestarian jangka panjang sediaan ikan yang beruaya terbatas dan sediaan ikan yang beruaya jauh dan memajukan tujuan penggunaan optimal sediaan ikan tersebut; b. Menjamin bahwa tindakan tersebut di dasarkan pada bukti ilmiah terbaik yang ada dan dirancang untuk memelihara atau memulihkan sediaan ikan pada tingkat yang dapat menjamin hasil maksimum yang lestari; c. Menerapkan pendekatan kehati-hatian; d. Mengukur dampak dari penangkapan ikan, kegiatan manusia lainnya, dan faktor-faktor lingkungan terhadap sediaan target dan spesies yang termasuk 82 dalam ekosistem yang sama atau menyatu/berhubungan dengan atau bergantung pada sediaan target tersebut; e. Mengambil tindakan konservasi dan pengelolaan untuk spesies dalam ekosistem yang sama atau menyatu/berhubungan dengan atau bergantung pada sediaan target tersebut; f. Meminimalkan pencemaran, sampah barang-barang buangan tangkapan yang tidak berguna, alat tangkap yang ditinggalkan tangkapan spesies non target, baik ikan maupun bukan spesies ikan, dan dampak terhadap spesies, melalui tindakan pengembangan dan penggunaan alat tangkap yang selektif serta teknik yang ramah lingkungan dan murah; g. Melindungi keanekaragaman hayati pada lingkungan laut; h. Mengambil tindakan untuk mencegah dan/atau mengurang kegiatan penangkapan ikan yang berlebihan dan penangkapan ikan yang melebihi kapasitas dan untuk menjamin bahwa tingkat usaha penangkapan ikan tidak melebihi tingkat yang sepadan dengan penggunaan lestari sumber daya ikan; i. Memerhatikan kepentingan nelayan pantai dan subsistensi; j. Mengumpulkan dan memberikan pada saat yang tepat, data yang lengkap dan akurat mengenai kegiatan perikanan, antara lain, posisi kapal, tangkapan spesies target dan nontarget dan usaha penangkapan ikan, serta informasi dari program riset nasional dan internasional; k. Memajukan dan melaksanakan riset ilmiah dan mengembangkan teknologi yang tepat dalam mendukung konservasi dan pengelolaan ikan; l. Melaksanakan dan menerapkan tindakan konservasi dan pengelolaan melalui pemantauan, pengawasan, dan pengendalian Berdasarkan ketentuan asas-asas di atas, peraturan perundang-undangan Indonesia sudah memiliki asas-asas pengelolaan perikanan dalam mewujudkan perikanan berkelanjutan dan bertanggung jawab. 83 5.1.3 Penerapan Pendekatan Kehati-hatian Menurut Pasal 6 ayat (1) Konvensi WCPFC, setiap anggota Komisi wajib menerapkan pendekatan kehati-hatian. Beberapa pendekatan kehati-hatian yang perlu diperlu diperhatikan, yaitu: a. Menetapkan titik-titik acuan spesifik sediaan dan tindakan yang akan diambil apabila dilampauinya acuan spesifik sediaan tersebut berdasarkan informasi ilmiah terbaik yang tersedia, b. Memerhatikan dampak kegiatan penangkapan ikan terhadap spesies non-target dan spesies yang berhubungan atau saling bergantung, c. Mengembangkan program pengumpulan data dan penelitian untuk mengkaji dampak penangkapan ikan terhadap spesies non-target dan spesies yang berhubungan atau yang bergantung dan lingkungannya. Pendekatan kehati-hatian adalah upaya untuk menghindari terjadinya kehancuran perikanan, baik dalam konteks nasional suatu negara pantai maupun di perairan internasional (laut lepas). Pengelolaan perikanan dalam wilayah pengelolaan perikanan Republik Indonesia dilakukan untuk tercapainya manfaat yang optimal dan berkelanjutan, serta terjaminnya kelestarian sumber daya ikan (Pasal 6 ayat 1 UU No. 31 Tahun 2004). Artinya, pendekatan kehati-hatian dalam pengelolaan perikanan Indonesia dilaksanakan secara optimal, berkelanjutan dan kelestarian. Hal ini diperkuat dengan kewajiban Indonesia dalam UU No. 21 Tahun 2009, bahwa negara wajib menerapkan pendekatan kehati-hatian (precautionary approach) ketika menetapkan tindakan konservasi dan pengelolaan sediaan ikan. Pendekatan kehati-hatian dicerminkan dengan adanya data awal tentang potensi perikanan suatu negara. Indonesia menetapkan potensi sumberdaya ikannya melalui Kepmen KP No. 45/Men/2011. Data estimasi potensi sumberdaya ikan tersebut disajikan pada Tabel 14. 84 Tabel 14 Estimasi Potensi Sumberdaya Ikan di WPP RI (dalam 1.000 ton per tahun) Kelompok Sumberdaya Ikan WPP 571 572 573 711 712 713 714 715 716 717 718 Total Ikan Pelagis Besar Ikan Pelagis Kecil Ikan Demersal Udang Penaeid Ikan Karang Konsumsi Lobster 27,7 164,8 201,4 66,1 55,0 193,6 104,1 106,5 70,1 105,2 50,9 1.145,4 147,3 315,9 210,6 621,5 380,0 605,4 132,0 379,4 230,9 153,9 468,7 3.645,7 82,4 68,9 66,2 334,8 375,2 87,2 9,3 88,8 24,7 30,2 284,7 1.452,5 11,4 4,8 5,9 11,9 11,4 4,8 0,9 1,1 1,4 44,7 98,3 5,0 8,4 4,5 21,6 9,5 34,1 32,1 12,5 6,5 8,0 3,1 145,3 0,4 0,6 1,0 0,4 0,5 0,7 0,4 0,3 0,2 0,2 0,1 4,8 Cumicumi 1,9 1,7 2,1 2,7 5,0 3,9 0,1 7,1 0,2 0,3 3,4 28,3 Total Potensi (1.000 ton/tahun) 276,0 565,2 491,7 1.059,0 836,6 929,7 278,0 595,6 333,6 299,1 855,5 6.520,1 Sumber: Kepmen KP No. Kep.45/Men/2011 Tabel 14 yang berisi estimasi potensi perikanan yang dijadikan sebagai acuan dalam penentuan kebijakan pengelolaan perikanan. Dengan demikian, Indonesia sudah memiliki aturan dalam melaksanakan pendekatan kehati-hatian. Sementara aturan Indonesia terkait dengan spesies non-target yang dibahas pada bagian hasil tangkapan sampingan, dan aturan Indonesia terkait dengan pengumpulan data dibahas pada bagian MCS, khususnya mengenai logbook penangkapan ikan. Estimasi potensi perikanan tersebut di atas tidak lepas dari berbagai permasalahan karena masih mengacu kepada konsep maximum sustainable yield (MSY) atau tangkapan lestari yang dikembangkan sejak tahun 1950-an oleh Schaefer. Berbagai penelitian menunjukkan bahwa konsep MSY terbukti tidak efektif sebagai alat pengelolaan perikanan, terutama Indonesia dengan karakteristik perikanan tangkap multi-alat dan multi-spesies. Kajian sediaan ikan harus terus dibenahi karana kekuarangan data statistik perikanan yang akurat sebagai dasar perhitungan MSY akan menghasilkan kebijakan pengelolaan sumberdaya ikan yang tidak tepat sasaran. 85 5.1.4 Pelaksanaan Azas-Azas di Wilayah-Wilayah Berdasarkan Yurisdiksi Nasional dan Pengelolaan di Laut Lepas Asas-asas pengelolan dan konservasi di laut lepas sebagaimana dituangkan dalam Pasal 5 dan pendekatan kehati-hatian yang di tuangkan dalam Pasal 6, wajib diterapkan oleh negara-negara pantai di dalam wilayah yurisdiksinya (Pasal 7 ayat 1). Sementara bagi negara berkembang, khususnya SIDS diberikan pertimbangan oleh Komisi untuk menerapkan Pasal 5 dan Pasal 6 di dalam wilayah-wilayah berdasarkan yurisdiksi nasional. Tujuan dari pasal ini adalah dalam rangka mewujudkan perikanan yang bersifat lintas batas. Sebagai negara yang telah meratifikasi UNCLOS 1982, maka Indonesia berkewajiban melaksanakan pengelolaan secara penuh di wilayah yurisdiksinya. Artinya, Indonesia harus mampu mewujudkan perikanan berkelanjutan di laut terirotial (12 mil) dan ZEE Indonesia (200 mil). Hal ini ditekankan dalam UU No. 21 Tahun 2009. Pengelolaan di wilayah yurisdiksi juga di muat dalam Pasal 2 UU No. 31 Tahun 2004 sebagaimana telah dimuat diatas. Aturan khusus mengenai pengelolaan perikanan tangkap di wilayah yurisdiksi diatur dalam Permen KP No. Per.30/Men/2012. Peraturan Menteri ini mengatur semua kegiatan penangkapan ikan yang lokasinya berada di wilayah pengelolaan perikanan Negara Republik Indonesia. Kewajiban mematuhi aturan di laut lepas adalah perhatian Indonesia sejak UU No. 31 Tahun 2004 di sahkan. Pada Pasal 5 ayat (2) menyebutkan bahwa pengelolaan perikanan di luar wilayah pengelolaan perikanan Republik Indonesia, sebagaimana dimaksud pada ayat (1), diselenggarakan berdasarkan peraturan perundang-undangan, persyaratan, dan/atau standar internasional yang diterima secara umum. Pada bagian penjelasan di sebutkan bahwa yang dimaksud dengan “pengelolaan perikanan di luar wilayah pengelolaan perikanan Republik Indonesia” adalah pengelolaan perikanan di laut lepas. Hal ini menjadi dasar kepatuhan Indonesia dalam mewujudkan globalisasi perikanan. Aturan khusus mengenai pengelolaan perikanan tangkap di laut lepas diatur dalam Permen KP No. Per.12/Men/2012. Peraturan Menteri ini mengatur semua kegiatan penangkapan ikan yang lokasinya berada di luar wilayah pengelolaan perikanan Negara Republik Indonesia atau di laut lepas. 86 5.1.5 Kewajiban para Anggota Komisi Kewajiban para anggota Komisi tertuang pada Pasal 23 Konvensi, yakni : a. Memberikan laporan tahunan kepada Komisi mengenai data statistik, biologis, dan data lain dan informasi sesuai dengan Lampiran I. b. Memberikan informasi aktivitas penangkapan ikannya di Wilayah Konvensi, termasuk wilayah penangkapan ikan dan kapal perikanan untuk memfasilitasi penghimpunan statistik tangkapan dan upaya yang dapat dipercaya. c. Memberikan informasi tahapan yang diambil untuk melaksanakan langkah- langkah konservasi dan pengelolaan yang telah diterima oleh Komisi. d. Memberitahu Komisi langkah-langkah yang telah mereka terima untuk konservasi dan pengelolaan HMS di wilayah di dalam lingkup Wilayah Konvensi di bawah yurisdiksi nasionalnya. e. Memberitahu Komisi langkah-langkah yang telah diterimanya untuk mengatur aktivitas kapal perikanan berbendera negaranya yang menangkap ikan di Wilayah Konvensi. Berdasarkan ketentuan di atas, terdapat tiga hal yang harus diperhatikan Indonesia jika merativikasi Konvensi dan menjadi anggota yakni : a. Sistem informasi dan pelaporan kegiatan penangkapan ikan. Data terbaik yang dimiliki Indonsia dibangun dari informasi pendaratan ikan (pelabuhan perikanan). Hal ini sebagaimana diatur dalam Permen KP No. 18 Tahun 2010, bahwa setiap kapal penangkap ikan wajib menyerahkan logbook penangkapan ikan. Logbook Penangkapan Ikan adalah bukan salah satu dokumen kapal, namun menjadi syarat dalam pengajuan Surat Persetujuan Berlayar (SPB) yang dikeluarkan Syahbandar. Oleh karena itu, setiap kapal perikanan yang memiliki SIPI wajib mengisi logbook Penangkapan Ikan. Pengisian logbook Penangkapan Ikan dilakukan pada setiap operasi penangkapan ikan (satu kali trip), yang merupakan tanggung jawab nakhoda. Logbook Penangkapan Ikan berisi informasi mengenai: data kapal perikanan, data alat penangkapan ikan, data operasi penangkapan ikan, dan data ikan hasil tangkapan. Logbook Penangkapan Ikan wajib dilakukan sesuai dengan data yang sebenarnya (objective) dan tepat waktu (up to date). 87 b. Aturan pengelolaan ikan beruaya jauh. Hingga saat ini, Indonesia belum memiliki aturan khusus mengenai pengelolaan ikan beruaya jauh. c. Aturan kapal kapal penangkap ikan. Aturan Indonesia mengenai kapal perikanan dibahas secara rinci pada bagian kapal penangkap ikan. Dengan demikian, hal penting yang harus menjadi perhatian pemerintah Indonesia adalah aturan pengelolaan jenis ikan beruaya juah. 5.1.6 Kewajiban Negara Bendera Kewajiban negara bendera yang melakukan penangkapan ikan di wilayah WCPFC sebagaimana dituangkan dalam Pasal 24, yaitu: a. Mematuhi ketentuan-ketentuan Konvensi ini dan langkah-langkah konservasi dan pengelolaan yang diterima sesuai dengan Konvensi. b. Tidak melakukan penangkapan ikan secara tidak sah (illegal fishing) di wilayah yurisdiksi negara pihak penandatangan Konvensi. c. Kegiatan penangkapan ikan beruaya jauh di luar wilayah yurisdiknya harus mendapatkan izin dari lembaga suatu negara anggota. d. Mensyaratkan kapal perikanan yang menangkap ikan beruaya jauh di laut lepas wilayah WCPFC menggunakan near real-time satelite position-fixing transmitters ketika berada di wilayah tersebut. e. Mensyaratkan kapal perikanannya yang menangkap ikan di Wilayah Konvensi di dalam wilayah di bawah yurisdiksi nasional dari anggota lain agar mengoperasikan near real-time satelite position fixing transmitters sesuai dengan standar, spesifikasi dan prosedur yang di tetapkan oleh negara pantai. f. Wajib bekerjasama untuk memastikan kesesuaian antara sistem pemantauan kapal nasional dan sistem pemantauan kapal di laut lepas. Berdasarkan ketentuan diatas, setidaknya terdapat dua hal yang harus menjadi perhatian pemerintah Indonesia, yaitu: a. Kegiatan penangkapan ikan di luar wilayah yurisdiksi yang menjadi kewenangan negara anggota. Pemerintah Indonesia sudah mengatur kegiatan penangkapan ikan di luar wilayah pengelolaan perikanan Indonesia melalui Permen KP No. Per. 12/Men/2012. Peraturan Menteri ini mengatur secara khusus semua kegiatan penangkapan ikan di laut lepas. 88 b. Sistem pemantauan kapal. Ketentuan ini diatur dalam Permen KP No. Per.12/Men/2012 dan Permen KP No. 30/Men/2012. Kewajiban penggunaan transmitter atau VMS dibahas secara khusus pada bagian Penggunaan Transmitter. Dengan demikian, ketentuan kewajiban negara bendera kapal telah diatur oleh Indonesia melalui beberapa peraturan menteri. 5.1.7 Kesesuaian Tindakan Konservasi dan Pengelolaan Sumberdaya ikan beruaya jauh bersifat lintas batas, sehingga diperlukan adanya sinergi antar negara dalam pengelolaan perikanan di laut lepas dengan wilayah yurisdiksi suatu Negara (Pasal 8 ayat 1). Beberapa penetapan langkahlangkah konservasi dan pengelolaan untuk ikan beruaya jauh adalah (Pasal 8 ayat 2): a. Kesatuan biologis dan karakteristik biologis lainnya dari sediaan dan hubungan antara sebaran sediaan, perikanan dan keadaan geografi tertentu wilayah bersangkutan, termasuk sampai sejauh mana sediaan berada dan ditangkap di wilayah-wilayah berdasarkan yurisdiksi nasional. b. Mempertimbangkan langkah-langkah konservasi dan pengelolaan sesuai dengan Pasal 61 UNCLOS 1982 terkait dengan sediaan yang sama oleh negara-negara pantai di dalam wilayah-wilayah berdasarkan yurisdiksi nasional. c. Tindakan penetapan sediaan yang sama untuk laut lepas yang merupakan bagian dari Wilayah Konvensi oleh negara-negara pantai dan negara–negara penangkap ikan di laut lepas sesuai dengan UNCLOS 1982 dan Konvensi WCPFC. d. Mempertimbangkan langkah-langkah yang sebelumnya telah di sepakati dan di terapkan sesuai dengan UNCLOS 1982 dan Konvensi WCPFC dalam hal sediaan yang sama oleh RFMO. e. Mempertimbangkan ketergantungan masing-masing negara-negara pantai dan negara-negara penangkap ikan di laut lepas atas sediaan terkait. 89 5.1.8 Penaatan dan Penegakan Menurut Pasal 25, setiap anggota Komisi mempunyai kewajiban dalam hal menjalankan efektivitas tindakan pengelolaan dan konservasi ikan beruaya jauh di wilayah WCPFC. Beberapa kewajiban penaatan dan penegakan, tersebut yaitu: a. Menegakkan ketentuan Konvensi WCPFC dan setiap langkah-langkah konservasi dan pengelolaan yang ditetapkan oleh Komisi. b. Wajib menyelidiki secara menyeluruh setiap dugaan pelanggaran oleh kapal perikanan yang mengibarkan benderanya atas ketentuan Konvensi WCPFC atau langkah-langkah konservasi dan pengelolaan yang diterima oleh Komisi. c. Menyerahkan kasus tersebut kepada pihak berwenang dengan tujuan untuk mengajukan gugatan secepatnya sesuai dengan hukumnya dan bilamana layak, menahan kapal yang bersangkutan. d. Memastikan kapal yang bersangkutan tidak lagi melakukan kegiatan penangkapan ikan dan tidak terlibat dalam kegiatan tersebut di dalam Wilayah Konvensi, sampai saat seluruh sanksi yang dikenakan oleh negara bendera sehubungan dengan pelanggaran tersebut telah dipenuhi. Berdasarkan ketentuan di atas, pemerintah Indonesia sudah mengatur tindakan penegakan hukum. Adapun tindakan hukum dilakukan di tengah laut melalui inspeksi kapal yang dibahas secara khusus pada bagian Program Observer dan Inspeksi Kapal, sementara tindakan di darat melalui pelabuhan perikanan. Pemerintah Indonesia mengatur pelabuhan perikanan pada Permen KP No. Per. 08/Men/2012. Menurut Pasal 3 ayat (2), pelabuhan perikanan mempunyai fungsi pemerintahan dan pengusahaan. Fungsi pemerintahan pada pelabuhan perikanan, yaitu meliputi: fungsi untuk melaksanakan pengaturan, pembinaan, pengendalian, pengawasan, serta keamanan dan keselamatan operasional kapal perikanan di pelabuhan perikanan. 5.1.9 Itikad Baik dan Penyalahgunaan Hak Menurut Pasal 33, kewajiban-kewajiban berdasarkan Konvensi harus dipenuhi dengan itikad baik dan hak-hak yang di akui di dalam Konvensi dan harus dilaksanakan dengan cara yang bukan merupakan penyalahgunaan hak. 90 Implementasi Itikad Baik dan Penyalahgunan Hak sesuai dengan pembahasan Pelaksanaan Azas-Azas di Wilayah-Wilayah Berdasarkan Yurisdiksi Nasional dan Pengelolaan di Laut Lepas. Kewajiban mematuhi aturan di laut lepas bagi Indonesia tertuang pada Pasal 5 ayat (2) UU No. 31 Tahun 2004 yang menyebutkan bahwa pengelolaan perikanan di luar wilayah pengelolaan perikanan Republik Indonesia, sebagaimana dimaksud pada ayat (1), diselenggarakan berdasarkan peraturan perundang-undangan, persyaratan, dan/atau standar internasional yang diterima secara umum. Pada bagian penjelasan disebutkan bahwa yang dimaksud dengan “pengelolaan perikanan di luar wilayah pengelolaan perikanan Republik Indonesia” adalah pengelolaan perikanan di laut lepas. Hal ini menjadi dasar kepatuhan Indonesia dalam mewujudkan globalisasi perikanan. Aturan khusus mengenai pengelolaan perikanan tangkap di laut lepas diatur dalam Permen KP No. Per.12/Men/2012. Peraturan Menteri ini mengatur semua kegiatan penangkapan ikan yang lokasinya berada di luar wilayah pengelolaan perikanan Negara Republik Indonesia atau di laut lepas. 5.2 Conservation and Management Measures (CMM): Implikasi Bagi Indonesia Conservation and Management Measures (CMM) adalah implementasi Pasal 10 Konvensi terkait dengan fungsi komisi yang mengatur konservasi dan pengelolaan untuk spesies target, spesies non-target, spesies yang bergantung atau beraosiasi dengan sedian target, serta MCS (monitoring, control, and surveillance). Sampai dengan tahun 2012 terdapat 31 CMM yang telah ditetapkan (Tabel 15). Tabel 15 Conservation and Management Measures (CMM) No 1. CMM CMM 2004-03 2. CMM 2004-04 3. CMM 2005-03 4. CMM 2006-04 Perihal Spesifikasi Untuk Penandaan dan Identifikasi Kapal Penangkapan Ikan (Specifications For The Marking And Identification Of Fishing Vessels). Resolusi Tindakan Pengelolaan dan Konservasi (Resolution on Conservation and Management Measures) Tindakan Pengelolaan dan Konservasi Albacore Pasifik Utara (Conservation and Management Measure for North Pacific Albacore) Tindakan Pengelolaan dan Konservasi Marlin di Pasifik Selatan Barat (Conservation and Management Measure for Striped Marlin in the Southwest Pacific) 91 No 5. CMM CMM 2006-07 6. CMM 2006-08 7. CMM 2007-01 8. CMM 2007-04 9. CMM 2008-01 10. CMM 2008-03 11. CMM 2008-04 12. CMM 2009-01 13. CMM 2009-02 14. CMM 2009-03 15. CMM 2009-05 16. CMM 2009-06 17. CMM 2009-09 18. CMM 2009-10 19. 20. CMM 2009-11 CMM 2010-01 21. CMM 2010-02 22. CMM 2010-04 Perihal Tindakan Pengelolaan dan Konservasi Program Observer Regional (Conservation and Management Measure for the Regional Observer Programme) Komisi WCPFC untuk Prosedur Pemeriksaan dan Menaiki Kapal (WCPFC Commission Boarding and Inspection Procedures ) CMM 2007-01 tentang Tindakan Pengelolaan dan Konservasi Program Observer Regional (Conservation and Management Measure for the Regional Observer Programme) Tindakan Pengelolaan dan Konservasi Mengurangi Dampak Penangkapan Ikan Beruaya Jauh Terhadap Burung Laut (Conservation And Management Measure to Mitigate the Impact of Fishing for Highly Migratory Fish Stock on Seabirds). Tindakan Pengelolaan dan Konservasi Tuna Bigeye dan Tuna Yellowfin di WCPFC (Conservation and Management Measure for Big-eye and Yellow-fin Tuna in the WCPFC) Tindakan Pengelolaan dan Konservasi Penyu (Conservation And Management of Sea Turtles) Tindakan Pengelolaan dan Konservasi terhadap Jaring Insang Hanyut Skala Besar pada Laut Lepas Area Konvensi (Conservation and Management Measure to Prohibit the Use of Large-Scale Driftnets on the High Seas in the Convention Area) Pendaatan Kapal dan Izin Penangkapan Ikan (Record of Fishing Vessels And Authorization to Fish) Tindakan Pengelolaan dan Konservasi Penutupan Rumpon dan Retensi Penangkapan (Conservation and Management Measure on the Aplication of High Seas Fad Closures And Catch Retention) Tindakan Pengelolan dan Konservasi Swordfish (Conservation and Management for Swordfish) Tindakan Pengelolaan dan Konservasi Larangan Penangkapan Ikan dengan Data Buoys (Conservation and Management Measure Prohibiting Fishing on Data Buoys) Tindakan Pengelolaan dan Konservasi Peraturan Transhiptmen (Conservation and Management Measure on Regulation of Transshipment) Tindakan Pengelolaan dan Konservasi Kapal-Kapal Tanpa Kebangsaan (Conservation and Management Measure for Vessels Without Nationality). Tindakan Pengelolaan dan Konservasi Pemantauan Pendaratan Kapal Purse Seine di Pelabuhan untuk Menjamin Data Tangkapan yang Baik berdasarkan Spesies (Conservation and Management Measure to Monitor Landings of Purse Seine Vessels at Ports so as to Ensure Reliable Catch Data by Species). Cooperating Non-Member. Tindakan Pengelolaan dan Konservasi North Pacific Striped Marlin (Conservation and Management Measure for North Pacific Striped Marlin) Tindakan Pengelolaan dan Konservasi Untuk Area Pengelolaan Khusus Sebelah Timur (Conservation and Management Measure for the Eastern High-Seas Pocket Special Management Area) Tindakan Pengelolaan dan Konservasi Pengelolaan Pacific Bluefin Tuna (Conservation and Management Measure for 92 No CMM 23. CMM 2010-05 24. CMM 2010-06 25. CMM 2010-07 26. CMM 2011-01 27. 28. CMM 2011-02 CMM 2011-03 29. CMM 2011-04 30. CMM 2011-05 31. CMM 2011-06 Perihal Pacific Bluefin Tuna) Tindakan Pengelolaan dan Konservasi South Pacific Albacore (Conservation and Management Measure for South Pacific Albacore) Tindakan Pengelolaan dan Konservasi Untuk Menetapkan Kapal yang Diduga Melakukan Kegiatan IUU Fishing di WCPO (Conservation and Management Measure to Establish a List of Vessels Presumed to Have Carried out Illegal, Unreported and Unregulated Fishing Activities in the WCPO) Tindakan Pengelolaan dan Konservasi Hiu (Conservation and Management Measure for Sharks) Tindakan Pengelolaan dan Konservasi Untuk Perpanjangan Sementara CMM 2008-01 (Conservation and Management Measure for Temporary Extension of CMM 2008-01) Komisi Vessel Monitoring System (VMS) Tindakan Pengelolaan dan Konservasi untuk Perlindungan Cetacean dari Operasi Penangkapan Purse Seine (Conservation and Management Measure for Protection of Cetaceans from Purse Seine Fishing Operations). Tindakan Pengelolaan dan Konservasi untuk Oceanic Whitetip Shark (Conservation and Management Measure for Oceanic Whitetip Shark) Tindakan Pengelolaan dan Konservasi Skema Penyewaan (Conservation and Management Measure on Charter Notification Scheme) Tindakan Konservasi dan Pengelolaan untuk Skema Kapatuhan dan Pemantauan (Conservation and Management Measure for Compliance Monitoring Scheme) Sumber : Dikompilasi dari CMM WCPFC tahun 2004 -2011 Sejumlah 31 CMM tersebut dapat dikelompokkan menjadi sembilan hal yang perlu menjadi perhatian Indonesia yakni (1) Penggunaan Transmitter (VMS), (2) Terkait dengan Penegakan Hukum, (3) Kapal Penangkapan Ikan , (4) Alat Penangkapan Ikan dan Alat Bantu Penangkapan Ikan, (5) Pengelolaan Tangkapan Utama, (6) Pengelolaan Tangkapan Sampingan, (7) Program Observer dan Inspeksi Kapal, (8) Data Buosy dan (9) Transhipment. 5.2.1 Penggunaan Transmitter (VMS) Penggunaan VMS ditetapkan melalui CMM 2011-02 tentang Komisi Vessel Monitoring System (VMS) yang merupakan pelaksanaan Pasal 10 Konvensi WCPFC. VMS harus diaktifkan sejak tanggal 1 Januari 2008 didaerah sekitar selatan konvensi 20 ° LU, dan timur 175 ° BT didaerah area utara konvensi 20 ° LU. Khusus untuk area utara 20 ° LU dan barat dari 175 ° BT, sistem akan 93 diaktifkan pada suatu tanggal yang akan ditentukan oleh Komisi. Setiap kapal penangkapan ikan yang menangkap ikan beruaya jauh di sesuai koordinat yang ditetapkan komisi harus mengatifkan Automatic Location Communicators (ALCs). VMS berlaku untuk semua kapal penangkapan ikan yang menangkap ikan diarea Konvensi, untuk kapal panjang lebih dari 24 meter tanggal aktivasi mulai 1 Januari 2008, dan semua kapal panjang 24 meter atau kurang tanggal aktivasi mulai 1 Januari 2009. Pemerintah Indonesia sudah mewajibkan penggunaan VMS yang tertuang pada Pasal 7 ayat (2) huruf e UU No. 31 Tahun 2004, bahwa setiap orang yang melakukan usaha dan/atau kegiatan pengelolaan perikanan wajib mematuhi ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mengenai: sistem pemantauan kapal perikanan. Kewajiban pemasangan transmitter tersebut untuk kapal perikanan Indonesia berukuran 60 GT ke atas dan seluruh kapal perikanan asing (Pasal 11 ayat 1 Permen KP No. Per.05/Men/2007). Selanjutnya Pasal 11 ayat (4) menambahkan, bahwa transmitter yang dipasang pada kapal perikanan wajib di daftarkan pada Direktorat Jenderal, dengan menyebutkan dan/atau mencantumkan nomor ID, nomor seri, jenis, tipe, merek, spesifikasi, dan provider, yang dilengkapi dengan dokumen pembelian transmitter, dan pembayaran air time dan bukti aktivasi dari provider. Transmitter harus dapat mengirim data posisi kapal sekurang-kurangnya setiap jam sekali, kecuali dalam keadaan docking dan/atau kapal perikanan sedang tidak beroperasi (Pasal 11 ayat 5). Dengan demikian, kapal perikanan Indonesia berukuran 60 GT ke atas dan seluruh kapal asing wajib menghidupkan transmitter (online). Sementara itu, kewajiban transmitter online di atas tidak berlaku bagi kapal perikanan Indonesia ukuran 30 GT – 60 GT. Hal ini di atur dalam Pasal 12 ayat (1), bahwa kapal perikanan Indonesia berukuran di atas 30 GT sampai dengan 60 GT wajib dilengkapi transmitter off line yang disediakan oleh negara. Aturan transmitter juga ditetapkan dalam Permen KP No. Per. 12/Men/2012. Adapun aturannya yaitu: (a) surat keterangan pemasangan transmitter (online) pada saat pengajuan SIPI (Pasal 8 ayat 3) dan pengajuan SIKPI (Pasal 10 ayat 3); (b) surat keterangan aktivisi transmitter (online) untuk 94 perpanjangan SIPI (Pasal 22 ayat 2) dan SIKPI (Pasal 27 ayat 2); (c) transmitter (on line) aktif serta dapat terpantau untuk kapal penangkap ikan yang melakukan transhipment di laut lepas (Pasal 30 ayat 2) dan transhipment di pelabuhan negara lain (Pasal 30 ayat 3); (d) transmitter (on line) aktif serta dapat terpantau untuk kapal pengangkut ikan yang melakukan transhipment di laut lepas (Pasal 30 ayat 4) dan transhipment di pelabuhan negara lain (Pasal 30 ayat 5). Begitu juga dengan aturan penangkapan di WPP-NRI, yaitu: (a) surat keterangan pemasangan transmitter VMS pada saat pengajuan SIPI (Pasal 19 ayat 1); (b) surat keterangan pemasangan transmitter VMS pada saat pengajuan SIPI bagi kapal perikanan yang dimiliki oleh perguruan tinggi untuk pemerintah, pemerintah daerah, atau melakukan pelatihan atau penelitian/eksplorasi perikanan (Pasal 22); dan (c) surat keterangan pemasangan transmitter VMS pada saat pengajuan SIKPI (Pasal 24 ayat 1). Salah satu manfaat data VMS adalah untuk mengetahui posisi dan pergerakan kapal penangkapan ikan. Berdasarkan data VMS tahun 2012, sebagian besar kapal yang menangkap ikan di laut lepas berada pada Samudera Hindia yang menjadi wilayah kewenangan IOTC dan CCSBT. Sedangkan untuk wilayah Konvensi WCPFC, kapal penangkapan ikan Indonesia lebih banyak terkonsentrasi pada perairan teritorial dan ZEE Indonesia. Posisi kapal Indonesia yang terpantau pada Fisheries Monitoring Center (FMC) Kementerian Kelautan dan Perikanan dapat dilihat pada Gambar 12. Penggunaan VMS belum seluruhnya dipatuhi oleh kapal penangkapan ikan Indonesia. Berdasarkan hasil penelusuran Ditjen PSDKP tahun 2012 terhadap lacak (tracking) VMS dari 93 kapal penangkapan ikan Indonesia yang beroperasi di laut lepas hanya 64 kapal (68,8 persen) yang berhasil dilacak, sedangkan tidak bisa dilacak 29 kapal yang terdiri dari kapal dibawah 60 GT sejumlah 13 kapal, tidak terdaftar 9 kapal dan alasan GPS error 4 kapal. Beberapa pelanggaran pelaku usaha penangkapan ikan yang mengakibatkan transmitter tidak terdeksi di Fisheries Monitoring Center (FMC) Ditjen P2SDKP adalah ; (1) tidak memasang transmitter pada kapal yang telah ditentukan, (2) memasang transmitter tetapi tidak dapat dipantau pada FMC, (3) tidak mengaktifkan transmitter, (4) tidak mendaftarkan transmitter yang telah 95 terpasang pada kapal perikanan, (5) tidak melaporkan perubahan kepemilikan, keagenan, nama, spesifikasi dan perubahan id transmitter. Sumber : Sumber Ditjen PSDKP KKP, 2013 Gambar 11 Posisi Kapal Penangkapan Ikan Indonesia Berdasarkan Data VMS tahun 2012 5.2.2 Penegakan Hukum Penegakan hukum pada WCPFC terdapat lima ketentuan CMM. Pertama, CMM 2009-01 tentang Pendaatan Kapal dan Izin Penangkapan Ikan (Record of Fishing Vessels And Authorization to Fish) yang bertujuan menetapkan izin penangkapan ikan di area Konvensi dan mewajibkan negara anggota untuk memiliki kemanpuan untuk mengedalikan secara efektif termasuk penegakan hukum dan peraturan jika terjadi pelanggaran. Kedua CMM 2009-09 tentang Tindakan Pengelolaan dan Konservasi untuk Kapal-Kapal Tanpa Kebangsaan (Conservation and Management Measure for Vessels Without Nationality) yang merupakan implementasi pasal 10 konvensi, di mana kapal yang tidak memiliki kebangsaan adalah kapal yang tidak mengibarkan bendera suatu negara atau mengibarkan dua atau lebih bendera negara sesuai dengan padal 92 UNCLOS 1982. Penegakan hukum dalam konteks ini terkait dengan kebangsaan kapal yang diatur dalam PP No. 51 Tahun 2002. Aturan tersebut dituangkan dalam bagian kedua Bab V tentang pendaftaran dan 96 kebangsaan kapal Indonesia. Menurut Pasal 41 ayat (1), kapal yang telah didaftar di Indonesia dapat diberikan surat tanda kebangsaan kapal Indonesia sebagai bukti kebangsaan. Surat tanda kebangsaan tersebut di berikan dalam bentuk (Pasal 41 ayat 2): a. Surat laut untuk kapal -kapal yang berlayar di perairan laut dengan tonase kotor 175 (GT. 175) atau lebih. b. Pas tahunan untuk kapal -kapal yang berlayar di perairan laut dengan tonase kotor 7 (GT. 7) dan sampai dengan tonase kotor kurang dari 175 (< GT.175). c. Pas kecil untuk kapal -kapal yang berlayar di perairan laut dengan tonase kotor kurang dari 7 (< GT. 7). d. Pas perairan daratan untuk kapal-kapal yang berlayar di perairan daratan. Surat tanda kebangsaan kapal diberikan sebagai dasar bagi kapal untuk dapat mengibarkan bendera Indonesia sebagai bendera kebangsaan (Pasal 42 ayat 1), yang harus selalu berada di atas kapal bila sedang berlayar (Pasal 42 ayat 2). Selain itu, UU No. 21 Tahun 2009 menambahkan kewajiban pemberantasan penangkapan ikan secara melanggar hukum di Wilayah Pengelolaan Perikanan Republik Indonesia oleh kapal perikanan asing dan membuka kesempatan bagi kapal Indonesia untuk melakukan kegiatan penangkapan ikan di Laut Lepas. Sebelum tahun 2008, Indonesia pernah menerapkan sistem perjanjian bilateral dengan tiga negara yakni China, Thailand dan Philipina untuk memanfaatkan sumberdaya ikan di ZEE Indonesia. Perjanjian bilateral dengan ketiga negara tersebut sudah berakhir dan tidak diperpanjang lagi. Namun kerja sama dengan Thailand dilanjutkan dalam bentuk usaha patungan, sewa atau impor kapal oleh PMA atau perusahaan swasta nasional yang menggunakan eks kapal lisensi (eks. kapal ikan berbendera Thailand) sesuai dengan ketentuan yang tertuang dalam Permen KP No. 17/2006 tentang Usaha Penangkapan Ikan. Permen KP No 17/2006 telah direvisi beberapa kali, terakhir menjadi Permen KP No. Per.30/Men/2012. Sistem skim lisensi yang pernah dilaksanakan memang menguntungkan bagi peningkatan devisa dari pungutan perikanan terhadap kapal asing. Namun juga banyak merugikan karena menyebabkan armada nasional tidak berkembang, 97 dominasi tenaga kerja asing dan pengurasan sumber daya ikan terutama di perairan tempat beroperasinya kapal ikan asing. Diharapkan dengan sistem usaha patungan armada nasional dapat berkembang karena kapal ikan asing akan berubah kepemilikan atau alih bendera sehingga memperbesar jumlah armada perikanan nasional. Disamping itu, armada perikanan nasional diharapkan bertambah dari kapal ikan yang akan dibangun di Indonesia. Sejak tahun 2008 pemerintah untuk tidak melanjutkan sistem skim lisensi kapal asing ditujukan untuk meningkatkan kemampuan armada perikanan nasional. Melalui sistem usaha patungan, diharapkan ada penyertaan modal dari pengusaha perikanan domestik dan kewajiban membangun unit pengolahan ikan sehingga meningkatkan usaha pengolahan dan pemasaran ikan di dalam negeri. Namun dalam perkembangan usaha patungan banyak terjadi penyimpangan. Sampai dengan tahun 2012, Ditjen Perikanan Tangkap telah mencabut 1.166 buah izin. Pencabutan izin dilakukan antara lain karena hal-hal sebagai berikut : (1) Pemilik izin tidak merealisasikan alokasi SIUP yang dimilikinya dalam jangka waktu 2 (dua) tahun; (2) Kapal dilaporkan dan telah terbukti melakukan IUU Fishing (masuk dalam IUU List RFMO’s); (3) Tidak melaksanakan ketentuan yang tercantum dalam SIUP dan SIPI/SIKPI; dan (4) Permohonan pelaku usaha karena kapal terbukti telah tidak ada (tenggelam atau rusak/hancur) atau tidak beroperasi lagi. 5.2.3 Kapal Penangkapan Ikan Beberapa ketentuan WCPFC yang terkait dengan kapal penangkapan ikan, yaitu Call Sign dan Identification Number (WIN), Pendataan dan pemberian izin kapal penangkapan ikan serta Laporan Tangkapan. 1) Call Sign dan Identification Number (WIN) Call Sign dan Identification Number (WIN) ditetapkan melalui CMM 2004-03 tentang Spesifikasi Untuk Penandaan dan Identifikasi Kapal Penangkapan Ikan (Specifications For The Marking And Identification Of Fishing Vessels). CMM 2004-03 ini bertujuan untuk menentukan identifikasi kapal penangkapan ikan yang beroperasi di area Konvensi. Kewajiban negara anggota untuk mendesak operator/pengusaha penangkapan ikan untuk mengadopsi 98 International Telecommunication Union Radio Call Signs (IRCS) dan kapal harus memiliki nomor identitas WCPFC (WCPFC Identification Number/WIN). Menurut Pasal 48 ayat (1) PP No. 51 Tahun 2002, kapal Indonesia yang dilengkapi dengan perangkat komunikasi radio kapal harus mempunyai tanda panggilan (call sign) sebagai salah satu identitas kapal. Aturan call sign juga dituangkan dalam Lampiran III Permen KP No. Per.30/Men/2012, sedangkan WIN di tuangkan dalam Lampiran II Permen KP No. Per.12/Men/2012. Berdasarkan 430 kapal penangkapan ikan Indonesia yang terdaftar pada Komisi WCPFC sampai dengan tahun 2012 terdapat 399 kapal atau 93 persen yang telah memiliki IRCS/WIN, sedangkan 31 kapal atau tujuh persen belum memiliki IRCS/WIN sehingga sesuai dengan ketentuan WCPC 31 kapal tersebut dikategorikan illegal. 2) Pendataan dan Pemberian Izin Kapal Penangkapan Ikan. Pendataan dan pemberian izin kapal penangkapan ikan ditetapkan pada CMM 2009-01 tentang Pendataan Kapal dan Izin Penangkapan Ikan (Record of Fishing Vessels And Authorization to Fish) yang bertujuan menetapkan izin penangkapan ikan di area Konvensi dan mewajibkan negara anggota untuk memiliki kemampuan untuk mengendalikan secara efektif termasuk penegakan hukum dan peraturan jika terjadi pelanggaran. Pendataan kapal sesuai pasal 24 Konvensi WCPFC mensyaratkan bahwa penangkapan ikan di wilayah Konvensi hanya dilakukan oleh kapal-kapal negara anggota sedangkan penangkapan ikan diwilayah jurisdiksi negara negara lain harus memiliki izin negara bersangkutan sesuai dengan peraturan negara tersebut. Jumlah izin harus sesuai dengan potensi penangkapan diwilayah Konvensi dan tidak memiliki catatan IUU Fishing. Sampai dengan tahun 2012 terdapat 430 kapal bendera Indonesia yang telah didaftarkan pada Komisi WCPFC yang terdiri dari kapal gillnet, pole and line, kapal pendukung, longline, dan purse seine. Dari jumlah tersebut, kapal bendera Indonesia yang memiliki izin di atas 30 GT (izin pusat) sampai dengan 2012 berjumlah 363 kapal atau 84 persen dari jumlah kapal yang terdaftar pada WCPFC. Komposisi kapal perjenis alat tangkap pada Gambar 12. 99 200 180 160 140 120 100 80 60 40 20 0 182 160 128 69 62 82 76 23 2 1 Gillnet Pole and line Support Vessel (Purse seine) Izin Indonesia Longline Purse sein Kapal tidak spesifik 8 Handline Terdaftar WCPFC Sumber : Diolah dari Data Base WCPFC dan Data Perizinan Ditjen Perikanan Tangkap Gambar 12 Kapal Bendera Indonesia yang didaftarkan pada Komisi WCPFC Pengaturan pemenuhan dan standar umum operasional kapal diatur dalam PP No. 51 Tahun 2002. Sementara aturan pengadaan kapal ikan di atur dalam Permen KP No. Per.12/Men/2012. Menurut Pasal 50, setiap orang yang akan mengadakan kapal penangkap ikan atau kapal pengangkut ikan untuk dipergunakan di laut lepas, harus terlebih dahulu memperoleh persetujuan tertulis dari Direktur Jenderal Perikanan Tangkap. Adapun lampiran untuk pengadaan kapal baru, yaitu: a. Fotokopi SIUP, yang mencantumkan wilayah penangkapan dan pengangkutan ikan di Laut Lepas; b. Fotokopi gambar rencana umum kapal (general arrangement), termasuk spesifikasi alat penangkapan ikan; c. Fotokopi gambar rencana umum kapal, termasuk spesifikasi untuk kapal pengangkut ikan; d. Nama perusahaan, lokasi dan negara tempat pembangunan kapal; dan e. Surat keterangan dari galangan kapal tempat kapal akan dibangun. 100 Sementara lampiran untuk pengadaan kapal bukan baru, yaitu: a. Fotokopi SIUP yang mencantumkan wilayah penangkapan di Laut Lepas; b. Grosse akta; c. Fotokopi gambar rencana umum kapal, termasuk spesifikasi alat penangkapan ikan; d. Fotokopi gambar rencana umum, untuk kapal pengangkut ikan; e. Bendera kapal sebelumnya; f. Fotokopi tanda kebangsaan kapal; dan g. surat pernyataan bahwa kapal tidak tercantum dalam IUU Vessel List RFMO Pengadaan kapal penangkap ikan dan/atau kapal pengangkut ikan dapat dilakukan dari dalam negeri dan/atau luar negeri (Pasal 50 ayat 3). Lebih lanjut, pengadaan kapal penangkap ikan dan/atau kapal pengangkut ikan yang berasal dari dalam negeri, dapat dilakukan untuk kapal berukuran di atas 30 GT. Sementara pengadaan kapal penangkap ikan yang berasal dari luar negeri hanya dapat dilakukan untuk kapal berukuran di atas 100 GT. Sedangkan pengadaan kapal pengangkut ikan yang berasal dari luar negeri hanya dapat dilakukan untuk kapal berukuran di atas 500 GT - 1.500 GT. Aturan pengadaan kapal ikan dapat dilakukan oleh Menteri, Gubernur dan Bupati/Walikota. Kewenangan Menteri diberikan kepada Direktur Jenderal Perikanan Tangkap untuk kapal penangkap ikan dan kapal pengangkut ikan ukuran diatas 30 GT, Gubernur memberikan kewenangan persetujuan dengan ukuran diatas 10 GT - 30 GT, dan Bupati/Walikota memberikan kewenangan persetujuan dengan ukuran sampai dengan 10 GT (Pasal 30). Pengadaan kapal penangkap ikan dan/atau kapal pengangkut ikan dapat dilakukan dari dalam negeri dan/atau luar negeri dengan cara membeli, membangun, atau memodifikasi (Pasal 31 ayat 1). 3) Laporan Tangkapan Laporan tangkapan salah satunya melalui logbook penangkapan ikan, dalam rangka mendukung kebijakan pengelolaan sumber daya ikan yang optimal dan berkelanjutan serta terjaminnya kelestarian sumber daya ikan, diperlukan data dan informasi perikanan yang akurat terkait dengan kegiatan penangkapan ikan dalam logbook penangkapan ikan. Aturan logbook penangkapan ikan ditetapkan 101 dalam Permen KP No. Per.18/Men/2010. Logbook yang ada saat ini melengkapi sistem pendataan statistik perikanan tangkap dan kebutuhan pengkajian stock. Informasi yang tercatat dalam logbook berupa : a. Jumlah kapal penangkap ikan yang beroperasi (active vessel) berdasarkan ; jenis alat penangkap ikan, ukuran kapal, pelabuhan pendaratan, pelabuhan keberangkatan (Pelabuhan yang mengeluarkan SPB/ Port Clearance) dan wilayah pengelolaan perikanan (WPP) b. Jumlah hasil tangkapan yang terdiri dari ; jenis alat penangkapan ikan, jenis ikan dan hasil tangkapan sampingan. c. Produktivitas kapal penangkapan ikan berdasarkan jenis alat penangkapan ikan/GT/WPP/tahun. Pengisiaan logbook mulai di laksanakan sejak Januari 2011 pada 22 pelabuhan perikanan unit pelaksana teknis (UPT) Pusat, satu pelabuhan perikanan swasta (Barelang) dan satu pelabuhan umum (Benoa). Jenis informasi yang dikumpulkan antara lain adalah jenis alat penangkapan ikan, ukuran kapal, pelabuhan pendaratan, pelabuhan keberangkatan, jenis ikan, dan hasil tangkapan sampingan. Berdasarkan rekapitulasi data logbook tahun 2011 tingkat kesadaran pelaku usaha penangkapan ikan yang menangkap ikan di wilayah kewenangan RFMO masih rendah, yakni IOTC 332 kapal atau 44,87 persen dari 740 kapal yang terdaftar pada IOTC, CCSBT 76 kapal atau 33,48 persen dari 227 kapal yang terdaftar pada CCSBT, dan WCPFC 41 kapal atau 31,30 persen dari 131 kapal yang terdaftar pada WCPFC. Data logbook pada UPT pusat tahun 2012 adalah disajikan pada Tabel 16. Pelaksanaan logbook penangkapan ikan di Indonesia dihadapkan pada beberapa permasalahan dan kendala, yaitu: (a) kurangnya sosialisasi pengisian logbook oleh para nakhoda. (b) pengisian logbook banyak diisi oleh pengurus perusahaan di darat, sehingga manipulasi data sangat besar, dan (c) Format logbook penangkapan ikan dirasakan nakhoda kurang sederhana sehingga membingungkan nakhoda dalam mengisi buku logbook. 102 Tabel 16. Data Logbook pada Pelabuhan Perikanan UPT Pusat Tahun 2012 No. Pelabuhan Perikanan Jumlah Yang Malaksanakan Wilayah Logbook Kewenangan RFMO Kapal Trip 1 Pelabuhan Perikanan Samudera Belawan 1.262 40.867 - 2 Pelabuhan Perikanan Samudera Bungus 13 15 IOTC 3 1.481 1.519 4 Pelabuhan Perikanan Samudera Nizam Zachman Pelabuhan Perikanan Samudera Cilacap 304 363 IOTC/CCSBT 5 Pelabuhan Perikanan Samudera Bitung 1.394 2.168 IOTC 6 Pelabuhan Perikanan Samudera Kendari 413 754 WCPFC 7 Pelabuhan Perikanan Nusantara Sibolga - - IOTC 8 24 24 9 Pelabuhan Perikanan Nusantara Tanjung Pandan Pelabuhan Perikanan Nusantara Sungai Liat 707 1.118 WCPFC 10 Pelabuhan Perikanan Nusantara Karangantu - - WCPFC 11 862 1.786 12 Pelabuhan Perikanan Nusantara PalabuhanRatu Pelabuhan Perikanan Nusantara Kejawanan 135 135 WCPFC 13 Pelabuhan Perikanan Nusantara Pekalongan 52 52 WCPFC 14 Pelabuhan Perikanan Nusantara Brondong - - WCPFC 15 Pelabuhan Perikanan Nusantara Prigi 332 477 WCPFC 16 301 803 17 Pelabuhan Perikanan Nusantara Pengambengan Pelabuhan Perikanan Nusantara Pemangkat 307 518 WCPFC 18 Pelabuhan Perikanan Nusantara Ambon 201 226 WCPFC 19 Pelabuhan Perikanan Nusantara Tual 129 142 WCPFC 20 Pelabuhan Perikanan Nusantara Ternate 234 489 WCPFC 21 Pelabuhan Perikanan Pantai Teluk Batang - - WCPFC 22 Pelabuhan Perikanan Pantai Kwandang 62 62 WCPFC - WCPFC IOTC/CCSBT IOTC/CCSBT Sumber : Ditjen Perikanan Tangkap Tahun 2012 5.2.4 Alat Penangkap Ikan dan Alat Bantu Penangkapan Ikan Ketentuan pengaturan alat penangkapan ikan dan alat bantu penangkapan ikan ditetapkan melalui dua CMM yakni CMM 2008-04 tentang Tindakan Pengelolaan dan Konservasi terhadap Jaring Insang Hanyut Skala Besar pada Laut Lepas Area Konvensi (Conservation and Management Measure to Prohibit the Use of Large-Scale Driftnets on the High Seas in the Convention Area), dan CMM 2009-02 tentang Tindakan Pengelolaan dan Konservasi Penutupan Rumpon 103 dan Retensi Penangkapan (Conservation and Management Measure on the Aplication of High Seas FAD Closures And Catch Retention). 1) CMM 2008-04 tentang Tindakan Pengelolaan dan Konservasi terhadap Jaring Insang Hanyut Skala Besar pada Laut Lepas Area Konvensi (Conservation and Management Measure to Prohibit the Use of Large-Scale Driftnets on the High Seas in the Convention Area) CMM 2008-04 mengadopsi Resolusi United Nations Nomor 46/215 yang menyerukan perlunya moratorium global untuk jaring insang hanyut skala besar karena berdampak buruk terhadap keberlanjutan ekosistem. Ketentuan ini berlaku bagi negara anggota WCPFC di wilayah Konvensi terkecuali jika negara bendera menangkap ikan di wilayah yurisdikasi dimana jaring insang hanyut diizinkan. Jaring insang hanyut diatur melalui Pasal 13 dan Pasal 28 Permen KP No. Per.02/Men/2011 yang merupakan alat penangkapan ikan bersifat pasif dioperasikan dengan menggunakan ukuran : a. mesh size > 1,5 inch, P tali ris < 500 m, menggunakan kapal motor berukuran < 5 GT, dan dioperasikan pada jalur penangkapan ikan IB, II, dan III di WPPNRI 571, WPP-NRI 572, WPP-NRI 573, WPP-NRI 711, WPP-NRI 712, WPP-NRI 713, WPP-NRI 714, WPP-NRI 715, WPP-NRI 716, WPP-NRI 717 dan WPP-NRI 718. b. mesh size > 1,5 inch, P tali ris < 1.000 m, menggunakan kapal motor berukuran > 5 s/d 10 GT, dan dioperasikan pada jalur penangkapan ikan IB, II, dan III di WPP-NRI 571, WPP-NRI 572, WPP-NRI 573, WPP-NRI 711, WPPNRI 712, WPP-NRI 713, WPP-NRI 714, WPP-NRI 715, WPP-NRI 716, WPPNRI 717 dan WPP-NRI 718. c. mesh size > 1,5 inch, P tali ris < 2.500 m, menggunakan kapal motor berukuran > 10 s/d < 30 GT, dan dioperasikan pada jalur penangkapan ikan III di WPP-NRI 571, WPP-NRI 572, WPP-NRI 573, WPP-NRI 711, WPP-NRI 712, WPP-NRI 713, WPP-NRI 714, WPP-NRI 715, WPP-NRI 716, WPPNRI 717 dan WPP-NRI 718. d. mesh size > 4 inch, P tali ris < 2.500 m, menggunakan kapal motor berukuran > 30 GT, dan dioperasikan pada jalur penangkapan ikan III di WPP-NRI 571, 104 WPPNRI 572, WPP-NRI 573, WPP-NRI 711, WPP-NRI 712, WPP-NRI 713, WPP-NRI 714, WPP-NRI 715, WPP-NRI 716, WPP-NRI 717 dan WPP-NRI 718. Berdasarkan data perizinan Ditjen Perikanan Tangkap sampai dengan tahun 2012 terdapat satu kapal jaring insang hanyut yang diberi izin penangkapan ikan di ZEE Indonesia Samudera Pasifik yakni KM Ericaristine dengan ukuran 517 GT. Namun berdasarkan Record of Fishing Vessel (RVF) WCPFC kapal tersebut telah dihapus pada daftar kapal WCPFC per tanggal 12 November 2009. 2) CMM 2009-02 tentang Tindakan Pengelolaan dan Konservasi Penutupan Rumpon dan Retensi Penangkapan (Conservation and Management Measure on the Aplication of High Seas Fad Closures And Catch Retention) CMM 2009-02 melengkapi dan menjadi bagian dari CMM 2008-01 tentang bigeye dan yellowfin di area WCPFC yang bertujuan untuk memastikan implemetasi konsisten dari penutupan rumpon diarea perairan antara 200 LS derajat dan 200 LU pada periode 1 Agustus sampai dengan 30 September. Pengertian rumpon pada CMM 2008-01 adalah benda atau kelompok benda dari berbagai ukuran, yang telah atau belum di gunakan/di pasang, baik hidup atau tidak hidup, termasuk tetapi tidak terbatas pada buoys, mengapung, jaring, anyaman, plastik, bambu, kayu dan hiu paus mengambang didalam atau dekat permukaan air yang berasosiasinya. Selama periode penutupan rumpon, semua kapal purse seine tanpa observer di atas kapal wajib menghentikan kegiatan penangkapan ikan. Sedangkan kapal penangkapan ikan yang dapat melakukan operasi penangkapan ikan yang hanya terdapat observer diatas kapal dari Regional Observer Program untuk memonitor kapal tersebut tidak memasang atau menangkap ikan di rumpon. Permintaan observer dari Regional Observer Program harus memberitahukan kepada koordinator program observer selambatnya 21 hari sebelumnya. Namun jika tidak tersedia observer dari Regional Observer Program maka negara bendera dapat menempatkan observer nasionalnya pada kapal tersebut. Selama waktu penutupan rumpon, kapal purse seine hanya diperbolehkan untuk melakukan operiasonal penangkapan berada satu mil dari rumpon. Operator 105 kapal wajib melarang kapalnya untuk mengumpulkan ikan atau menggiring ikan dengan menggunakan lampu dalam air menuju lokasi tertentu. Peralatan pendukung rumpon seperti perlengkapan elektronik dapat diangkat selama periode penutupan jika langsung disimpan kedalam kapal untuk dibawa ke pelabuhan. Penutupan rumpon pada periode Agustus – September akan sangat berpengaruh kepada hasil tangkapan purse seine. Jika mengacu pada data pendaratan kapal purse seine pada Agustus- September 2012 setidaknya potensi nelayan purse seine untuk tidak dapat menangkap skipjack 4.588,33 ton, bigeye 16,19 ton dan yellowfin 393,26 ton (Gambar 12). Besarnya potensi kerugian tersebut dapat diatasi jika pemerintah segera merekrut tenaga observer untuk ditempatkan pada kapal-kapal purse seine yang menangkap ikan diwilayah Konvensi. 3,000.00 PERIODE PENUTUP PURSE SEINE Jumlah Tangkapan (ton) 2,500.00 2,000.00 1,500.00 1,000.00 500.00 0.00 Skipjack Bigeye Yellowfin Juli 2,044.72 6.84 393.26 Agustus 2,386.65 7.15 544.07 September 2,201.67 9.04 294.02 Oktober 2,513.24 289.78 November 2,416.86 2.11 512.13 Sumber : Diolah dari Data Logbook Penangkapan Ikan PPS Bitung Tahun 2012 Gambar 13 Data Pendaratan Hasil Tangkapan Purse Seine Periode Juli – November 2012 Penggunaan alat bantu penangkapan rumpon telah lama dikenal oleh nelayan Kota Bitung yang menangkap ikan di Laut Sulawesi dan Samudera Pasifik. Rumpon pada Permen KP Nomor Per.02/Men/2011 di defenisikan sebagai alat bantu untuk mengumpulkan ikan dengan menggunakan berbagai 106 bentuk dan jenis pemikat/atraktor dari benda padat yang berfungsi untuk memikat ikan agar berkumpul. Penggunaan rumpon di Kota Bitung umumnya menjadi satu paket dengan kapal purse seine dan kapal lampu. Satu paket armada purse seine biasanya terdiri dari 3-4 kapal angkut (carrier vessel), satu kapal penangkapan dan 3-4 kapal lampu. Operasional penangkapan dapat dilakukan 1-2 kali penangkapan setiap malam dengan satu trip 60-90 hari. Alat bantu penangkapan ikan rumpon sangat membantu efesiensi usaha penangkapan ikan di Kota Bitung, karena keberadaan rumpon menjadikan penangkapan ikan menjadi lebih fokus dan berkurangnya waktu operasional penangkapan ikan yang biasanya tanpa menggunakan rumpon bisa memakan waktu pengejaran 4-6 jam perhari. Oleh karena itu, penggunaan alat bantu rumpon dapat membantu nelayan untuk menekan biaya bahan bakar minyak (BBM). Jenis rumpon yang berkembang di perairan Sulawesi Utara umumnya adalah rumpon laut dalam yang ditempatkan pada kedalaman 200 m. Jenis rumpon ini telah lama di kembangkan oleh nelayan Sulawesi dengan sebutan Rompong yang dilengkapi rakit dengan kamar perangkap ikan yang berfungsi sebagai bubu apung (floating traps). A B C Gambar 14 Kapal Purse Seine (A), Rumpon (B) dan Ponton (C) di Kota Bitung Berdasarkan rekomendasi Ditjen Perikanan Tangkap, pada tahun 20012009 telah direkomendasi izin rumpon pada perairan ZEE Indonesia di Laut Sulawesi dan Samudera Pasifik sejumlah 284 titik rumpon. Jumlah tersebut akan bertambah jika termasuk rumpon izin pemerintah daerah. Peta rekomendasi rumpon pada peraiaran ZEE Indonesia Laut Sulawsi dan Samudera Pasifik dapat dilihat pada gambar 14. 107 Sejak tahun 2010 pemberian izin rumpon dihentikan sementara untuk seluruh perairan ZEE Indonesia melalui Keputusan Dirjen Perikanan Tangkap Nomor KEP.08/DJPT/2010. Keputusan ini mengatur pemberhentian sementara pemberian izin bagi usaha baru alat penangkapan ikan dan alat bantu penangkapan ikan tertentu. Peraturan ini terkait dengan penutupan purse seine Pelagis Besar (diatas 200GT) untuk semua daerah penangkapan dan rumpon semua ZEE Indonesia. Sumber : Diolah dari data izin rumpon pusat tahun Gambar 15 Peta Rumpon Izin Pusat Tahun 2001 – 2009 Penggunaan rumpon sebenar telah menjadi permasalahan dalam pengelolaan perikanan tangkap di Sulawesi Utara karena banyak rumpon yang tidak memiliki izin dan penempatannya tidak sesuai peraturan dan kepemilikan rumpon oleh nelayan Philipina yang menggunakan pumpboat. Pumpboat rata-rata berukuran 5 – 10 GT dengan mesin 60-100 PK yang menggunakan alat tangkap handline dengan lama operasi 10 hari. Satu unit kapal pumpboat membawa 5-14 perahu kecil dengan mesin 5-10 PK yang merupakan sebagai armada semut. Kepemilikan pumpboat sebagian besar dimiliki oleh warga negara Philipina yang memanfaatkan kesamaan budaya dengan masyarakat 108 Kepulauan Sangihe Talaud. Keberadaan pumpboat telah menjadi ancaman pemanfaatan sumberdaya tuna dan terindikasi bahwa hal ini didorong oleh keinginan Philipina untuk menjadikan peraiaran Laut Sulawesi menjadi traditional fishing right nelayan philipinna. Disamping hal tersebut, keberadaan pumpboat dianggap illegal karena banyak yang tidak memiliki izin penangkapan ikan dan memiliki izin ganda dari beberapa kabupaten. Berdasarkan data yang dikumpulkan pada Pertemuan Pengelolaan Pumpboat pada tanggal 28 Mei 2010 di Manado terdata 457 unit pumpboat diperairan Indonesia yang memiliki izin dari Kota Bitung 289 unit, Kota Ternate 50 unit, Kabupaten Halmahera Utara 50 unit dan Halmahera Tengah 58 unit. Terkait dengan Ketentuan Alat Penangkapan Ikan dan Alat Bantu Penangkapan Ikan yang ditetapkan melalui CMM 2008-04 dan CMM 2009-02 telah diatur Permen KP No. Per.02/Men/2011 tentang jalur penangkapan ikan dan alat bantu penangkapan ikan. Tujuan Peraturan Menteri ini adalah untuk mewujudkan pemanfaatan sumberdaya ikan yang bertanggungjawab optimal dan berkelanjutan serta mengurangi konflik pemanfaatan sumber daya ikan berdasarkan prinsip pengelolaan sumber daya ikan. Menurut Peraturan Menteri ini, jalur penangkapan ikan di WPP-NRI terdiri dari: a. Jalur penangkapan ikan I, terdiri dari: (1) jalur penangkapan ikan IA, meliputi perairan pantai sampai dengan 2 mil laut yang diukur dari permukaan air laut pada surut terendah, dan (2) Jalur penangkapan ikan IB, meliputi perairan pantai di luar 2 mil laut sampai dengan 4 mil laut. b. Jalur penangkapan ikan II, meliputi perairan di luar jalur penangkapan ikan I sampai dengan 12 mil laut diukur dari permukaan air laut pada surut terendah. c. Jalur penangkapan ikan III, meliputi ZEEI dan perairan di luar jalur penangkapan ikan II. Peraturan Menteri ini mulai berlaku tanggal 1 Februari 2012 sesuai dengan Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor PER.08/MEN/2011 tentang Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor PER.02/Men/2011 tentang Jalur Penangkapan Ikan dan Penempatan Alat Penangkapan Ikan dan Alat Bantu Penangkapan Ikan di Wilayah Pengelolaan Perikanan Negara Republik Indonesia. 109 Sementara itu, dalam Permen KP No. Per.05/Men/2012 disebutkan bahwa pemberlakuan beberapa Alat Penangkapan Ikan dan Alat Bantu Penangkapan Ikan mulai berlaku tanggal 1 Februari 2013. Alat Penangkapan Ikan dan Alat Bantu Penangkapan Ikan tersebut, yaitu: a. Pukat cincin pelagis kecil dengan satu kapal dengan alat bantu penangkapan ikan (ABPI) berupa rumpon dan lampu sebagaimana diatur dalam Pasal 22 ayat (1); b. Lampara dasar sebagaimana diatur dalam Pasal 23 ayat (7); c. Pukat hela dasar berpapan (otter trawls) sebagaimana diatur dalam Pasal 24 ayat (2); d. Pukat hela pertengahan udang (shrimp trawls) sebagaimana diatur dalam Pasal 24 ayat (8); e. Bagan berperahu dengan ABPI berupa lampu sebagaimana diatur dalam Pasal 26 ayat (2); f. Pukat labuh (long bag set net) sebagaimana diatur dalam Pasal 29 ayat (4); g. Muro ami sebagaimana diatur dalam Pasal 29 ayat (11); dan h. Rawai dasar (set longlines) sebagaimana diatur dalam Pasal 30 ayat (7); Khusus pengaturan rumpon pada Permen KP No. Per.02/Men/2011 belum diatur lebih rinci dan diamanatkan akan diatur menjadi peraturan menteri sendiri. Oleh karena itu seharusnya peraturan menteri terkait dengan rumpon segera ditetapkan sehingga pengelolaan rumpon dapat dilakukan dengan baik. Sebelum Permen KP No. Per.02/Men/2011 terbit telah terdapat Keputusan Menteri Kelautan dan Perikanan No Kep.30/Men/2004 tentang Pemasangan dan Pemanfatan Rumpon. Dalam Kepmen ini diatur mekanisme pemberian izin rumpon dari tingkat pusat hingga daerah dan penempatan rumpon yang memerhatikan habitat, jalur ruaya, kawasan lindung, Alur Layar Kepulauan Indonesia (ALKI), jalur navigasi pelayaran dan batas wilayah. 110 5.2.5 Pengelolaan Tangkapan Utama Berdasarkan pelaporan statistik WCPFC dari jumlah tersebut di atas hanya terdapat delapan spesies yang menjadi spesies target utama di wilayah Konvensi WCPFC. Sedangkan yang menjadi target sasaran oleh kapal Indonesia di wilayah Konvensi WCPFC yakni lima spesies yakni bigeye, yellowfin, skipjack, swordfish, dan striped marlin. Sedangkan albacore ditangkap diluar wilayah Konvensi yakni di Samudera Hindia dan Laut Timor, dan dua spesies lainnya yakni black marlin dan blue marlin tidak tertangkap oleh kapal bendera Indonesia. Berdasarkan data statistik WCPFC pada tahun 2002-2011, spesies tangkapan utama Indonesia didominasi oleh (1) skipjack dengan rata-rata tangkapan pertahun sebesar 224.384 ton atau meningkat setiap tahun sebesar 3,34 persen, (2) yellowfin dengan rata-rata tangkapan pertahun 70.806 ton atau meningkat setiap tahun sebesar 3,42 persen, dan (3) bigeye dengan rata-rata tangkapan pertahun 14.071 ton atau meningkat setiap tahun sebesar 4,03 persen. Sedangkan untuk swordfish dan kelompok marlin sangat sedikit tertangkap karena umumnya ikut tertangkap pada alat tangkap longline dan purse seine. Data rinci tangkapan tuna Indonesia per spesies terdapat pada Gambar 16. 450,000 400,000 350,000 Ton 300,000 250,000 200,000 150,000 100,000 50,000 - 2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007 2008 2009 2010 2011 Swordfish 253 392 577 583 657 633 627 658 644 644 644 Striped Marlin 88 138 203 205 232 223 221 232 227 227 227 Blue Marlin 545 799 1,135 1,146 1,605 1,431 1,512 1,441 1,383 1,408 1,478 420 557 Black Marlin 164 240 341 344 652 480 430 489 413 Yellowfin 68,779 73,106 72,692 82,157 59,450 51,040 62,842 58,353 80,669 Skipjack 173,265 173,336 163,583 191,653 173,203 218,310 243,118 255,917 279,985 273,637 270,100 Bigeye 10,395 10,922 10,959 12,318 12,147 14,717 13,532 18,002 18,052 64,155 103,595 13,472 16,584 Sumber : Diolah Data Base WCPFC Gambar 16 Tangkapan dari Kapal Bendera Indonesia pada Wilayah Konvensi pada tahun 2002 – 2011 111 Berdasarkan daerah penangkapan yang diolah dari data logbook penangkapan ikan PPS Bitung dan PPN Ternate tahun 2012, tangkapan Indonesia masih berada di dalam perairan Indonesia. Spesies bigeye umumnya tertangkap di Laut Maluku diatas Kepuluan Sula. Sedangkan yellowfin tertangkap merata di Laut Sulawesi terutama antara perairan Kota Bitung dan Kepulauan Sangihe, disekitar Laut Seram dan Laut Halmahera. Sedangkan untuk skipjack banyak tertangkap pada Laut Sulawesi dan Laut Maluku. Daerah penangkapan ikan berdasarkan analisa logbook di sajikan pada Gambar 16. Sumber : Diolah Data Logbook Penangkapan Ikan Gambar 16 Peta Daerah Penangkapan Kapal Indonesia Berdasarkan Jenis Ikan Keragaan spesies yang menjadi tangkapan utama kapal bendera Indonesia di wilayah Konvensi adalah sebagai berikut : 1) Bigeye (Thunnus obesus) Pengaturan bigeye dan yellowfin tuna ditetapkan melalui CMM 200801 tentang Tindakan Pengelolaan dan Konservasi Tuna Bigeye dan Tuna Yellowfin di WCPFC (Conservation and Management Measure for Big-eye and Yellowfin Tuna in the WCPFC) dan diperpanjang melalui CMM 2011-01 tentang 112 Tindakan Pengelolaan dan Konservasi Untuk Perpanjangan Sementara CMM 2008-01 (Conservation and Management Measure for Temporary Extension of CMM 2008-01). Pengaturan bertujuan untuk mengurangi tingkat kematian akibat upaya penangkapan kedua spesies ini terutama kematian juvenile akibat penggunaan alat tangkap purse seine dengan alat bantu rumpon. Penutupan berlaku pada periode 1 Agustus – 30 September antara tahun 2009 – 2012 yang selanjutnya diperpanjang melalui CMM 2011-01. Namun ketentuan ini tidak berlaku jika kapal tersebut terdapat observer yang dilaporkan ke Komisi. Berdasarkan data logbook penangkapan ikan PPS Bitung pada periode Agustus – September 2012 (Gambar 12), jumlah tangkapan bigeye sebesar 16,19 ton dan yellowfin sebesar 838,09 ton. Jika hasil tangkapan tersebut dikalikan dengan Harga Patokan Ikan (HPI) tahun 2011 sesuai dengan Peraturan Menteri Perdagangan No: 13/M-DAG/PER/5/2011, untuk bigeye dengan HPI Rp.9000/kg maka nilai ekonominya sebesar Rp.129.480.000,- dan yellowfin dengan HPI Rp.18.400/kg maka nilai ekonominya mencapai Rp.15.420.837.600,-. Total nilai ekonomi dari kedua spesies tersebut pada periode Agustus – September 2012 sebesar Rp.15.550.317.600,-.Nilai ekonomi akibat penutupan rumpon di wilayah Konvensi untuk kedua spesies tersebut sangat besar bagi nelayan yang mendaratkan ikan di PPS Bitung. Oleh karena itu, sudah seharusnya Indonesia mengantisipasi hal tersebut dengan segara mengangkat obsever untuk ditempatkan pada kapal-kapal Indonesia yang menangkap di wilayah Konvensi terutama pada saat penutupan penggunaan rumpon. Dampak ekonomi terutama untuk tangkapan juvenile bigeye dan yellowfin akan dibahas pada sub-bab berikutnya. Berdasarkan data statistik WCPFC, jumlah tangkapan bigeye di wilayah Konvensi 149.356 ton atau meningkat 0,71 persen pertahun. Indonesia memiliki peran penting terhadap tangkapan bigeye di wilayah Konvensi, karena kontribusi tangkapan kapal-kapal Indonesia setiap tahun mencapai 9,68 % dan laju peningkatan tangkapan bigeye kapal-kapal Indonesia yang lebih besar yakni 6,17 persen pertahun, angka tersebut jauh kebih tinggi dari laju peningkatan bigeye di wilayah Konvensi. Kajian sediaan bigeye yang di lakukan oleh WCPFC Scientific Committe antara tahun 2005 – 2009 mengindikasikan telah terjadi penuruan sediaan bigeye 113 tuna. Oleh karena itu, setiap negara diminta untuk mengurangi jumlah tangkapan secara bertahap dari kondisi tahun 2004 yakni 10 persen tahun 2009, 20 persen tahun 2010 dan 30 persen tahun 2011. Dalam upaya membatasi tangkapan bigeye tuna WCPFC telah menetapkan catch limit untuk bigeye tuna Indonesia sejak tahun 2009 sebesar 7.572 ton, tahun 2010 sebesar 6.730 ton, dan tahun 2011 dan 2012 masing-masing sebesar 5.889 ton. Grafik tangkapan bigeye terdapat pada Gambar 17. Dibandingkan dengan trend jumlah tangkapan bigeye kapal-kapal Indonesia menunjukkan arah peningkatkan yang seharusnya sesuai dengan ketentuan tersebut harus turun dan melampaui batas tangkapan yang telah ditetapkan setiap tahun. Posisi Indonesia juga semakin sulit, karena berdasarkan Scientific Committe tahun 2009 menyimpulkan bahwa tangkapan domestik dari longline Indonesia berkontribusi menyebabkan turun sediaan bigeye tuna di wilayah Konvensi. 200,000 180,000 160,000 140,000 Ton 120,000 100,000 80,000 60,000 40,000 20,000 WCPFC 2002 2003 2004 2005 2006 2007 2008 2009 2010 2011 161,404 131,694 173,576 146,802 159,816 143,006 152,024 153,750 130,014 153,521 Indonesia 10,922 10,959 12,318 12,147 14,717 13,532 18,002 18,052 13,472 16,584 Sumber : Diolah Data Base WCPFC Gambar 18 Tangkapan Bigeye Indonesia dan WCPFC Tahun 2002- 2010 2) Yellowfin (Thunnus albacares) Pengaturan yellowfin ditetapkan bersamaan dengan ketentuan pengaturan bigeye yakni melalui CMM 2008-01 yang kemudian diperpanjang melalui CMM 2011-01. Trend penangkapan yellowfin pada wilayah WCPFC selama tahun 20022011 rata-rata meningkat 70.550 ton pertahun atau meningkat 1,96 persen setiap 114 tahun. Sama halnya dengan bigeye, kapal-kapal Indonesia memiliki peran penting dalam laju penangkapan yellowfin. Setiap tahun kontribusi rata-rata Indonesia sebesar 13,74 persen. Grafik Tangkapan yellowfin terdapat pada Gambar 19. Berdasarkan laporan Fith Regular Session Scientific Committe pada tahun 2009, Scientific Committe merekomendasikan bahwa yellowfin telah berada pada tingkat fully exploited. Salah satu penyebabnya adalah besarnya jumlah tangkapan juvenile yellowfin oleh kapal purse seine yang menggunakan alat bantu rumpon sehingga terjadinya penurunan populasi. 700,000 600,000 Ton 500,000 400,000 300,000 200,000 100,000 - 2002 2003 2004 2005 2006 2007 2008 2009 2010 2011 471,37 512,22 503,76 561,56 486,06 507,81 573,15 506,87 541,82 476,84 Indonesia 73,106 72,692 82,157 59,450 51,040 62,842 58,353 80,669 64,155 103,59 WCPFC Sumber : Diolah dari Data Base WCPFC Gambar 19 Tangkapan Yellowfin Indonesia dan WCPFC Tahun 2002- 2010 3) Skipjack (Katsuwonus pelamis) Berbeda dengan spesies bigeye dan yellowfin yang telah menjadi ketentuan sebagai spesies utama dalam pengelolaan pada WCPFC, skipjack belum diatur secara khusus dalam suatu ketentuan. Namun demikian akibat penutupan rumpon pada Agustus – September akan sangat berpengaruh terhadap pendapatan nelayan karena sebagian besar tangkapan purse seine adalah skipjack. Data logbook penangkapan ikan PPS Bitung tahun 2012 menunjukkan bahwa jumlah tangkapan skipjack sebesar 4.588 ton atau jika dikalikan dengan HPI tahun 2011 sebesar Rp.8.800 per kg maka nilai ekonominya sebesar Rp. 40.377.268.000,-. Jumlah tangkapan skipjack di wilayah Konvensi WCPFC pada tahun 2002- 2011 mengalami peningkatan rata-rata setiap sebesar 1.522.730 ton atau 115 setiap tahun meningkat sebesar 2,89 persen .Sedangkan kontribusi Indonesia pada tangkapan skipjack adalah sebesar 15 persen (Gambar 20). 2,500,000 2,000,000 Ton 1,500,000 1,000,000 500,000 - 2002 1,220, 2003 1,220, 2004 1,308, 2005 1,378, 2006 1,481, 2007 1,646, 2008 1,645, 2009 1,794, 2010 1,678, 2011 1,550, Indonesia 173,33 163,58 191,65 173,20 218,31 243,11 255,91 279,98 273,63 270,10 WCPFC Sumber : Diolah Data Base WCPFC Gambar 20 Tangkapan Skipjack Indonesia dan WCPFC Tahun 2002- 2010 4) Swordfish (Xiphias gladius) Pengaturan Swordfish ditetapkan melalui CMM 2009-03 tentang Tindakan Pengelolan dan Konservasi Swordfish (Conservation and Management for Swordfish) yang betujuan melindungi kepentingan SIDS yang perekonomiaan sangat bergantung pada perikanan swordfish. Berdasarkan kajian Widodo tahun 2010 swordfish dan kelompok marlin oleh kapal-kapal bendera Indonesia di Samudera Pasifik tidak termasuk tangkapan utama. Oleh karena itu jumlah tangkapannya relatif kecil dibanding kelompok tuna. Rata-rata jumlah tangkapan swordfish pada tahun 2002-2011 di wilayah Konvensi meningkat sebesar 12.972 ton pertahun dengan peningkatan setiap tahun sebesar 4,95 persen. Kontribusi Indonesia terhadap tangkapan swordfish rata-rata setiap tahunnya adalah 4,94 persen (Gambar 20). 116 16,000 14,000 12,000 Ton 10,000 8,000 6,000 4,000 2,000 WCPFC 2002 11,090 2003 13,826 2004 12,676 2005 12,226 2006 13,025 2007 14,003 2008 13,414 2009 12,544 2010 11,396 2011 12,021 Indonesia 392 577 583 657 633 627 658 644 644 644 Sumber : Diolah Data Base WCPFC Gambar 21 Tangkapan Swordfish Indonesia dan WCPFC Tahun 2002- 2010 5) Kelompok marlin Jenis marlin yang terdata dalam statistik WCPFC sejumlah tiga jenis yakni black marlin (Makaira indica), Blue marlin (Makaira nigricans) dan Striped marlin (Tetrapturus audax). Namun dari ketiga spesies tersebut yang telah diatur melalui CMM hanya Striped marlin melalui ketentuan CMM 2010-01 tentang Tindakan Pengelolaan dan Konservasi North Pacific Striped Marlin (Conservation and Management Measure for North Pacific Striped Marlin). CMM ini bertujuan untuk mengurangi laju tangkapan secara bertahap dengan jumlah tangkapan mulai per 1 Januari 2012 sebesar 80 persen dari jumlah tangkapan tahun 2000-2003. Disamping itu berdasarkan laporan International Scientific Committee for Tuna and Tuna-like Species in the North Pacific Ocean (ISC) menyatkan bahwa sediaan North Pacific Striped Marlin mulai terancam dan sediaan mulai berkurang dari tahun 2003. Jumlah tangkapan striped marlin WCPFC pada periode tahun 2002-2011 meningkat sebesar 3.840 ton pertahun atau meningkat sebesar 1,86 persen setiap tahun. Kontribusi Indonesia terhadap tangkapan striped marlin setiap tahun mencapai 6,58 persen (Gambar 22). 117 6,000 5,000 Ton 4,000 3,000 2,000 1,000 WCPFC 2002 4,380 2003 4,660 2004 4,660 2005 4,220 2006 4,124 2007 3,405 2008 4,107 2009 3,233 2010 2,791 2011 3,358 Indonesia 138 203 205 232 223 221 232 227 227 227 Sumber : Diolah Data Base WCPFC Gambar 22 Tangkapan striped marlin Indonesia dan WCPFC Tahun 2002- 2010 Kepedulian pengelolaan perikanan Indonesia di laut lepas dituangkan dalam UU No. 31 Tahun 2004. Menurut Pasal 10 ayat (1), untuk kepentingan kerja sama internasional, Pemerintah: (a) dapat memublikasikan secara berkala hal-hal yang berkenaan dengan langkah konservasi dan pengelolaan sumber daya ikan; (b) bekerja sama dengan negara tetangga atau dengan negara lain dalam rangka konservasi dan pengelolaan sumber daya ikan di laut lepas, laut lepas yang bersifat tertutup, atau semi tertutup dan wilayah kantong; (c) memberitahukan serta menyampaikan bukti-bukti terkait kepada negara bendera asal kapal yang dicurigai melakukan kegiatan yang dapat menimbulkan hambatan dalam konservasi dan pengelolaan sumber daya ikan. 5.2.6 Pengelolaan Tangkapan Sampingan Dalam ketentuan WCPFC terdapat tiga kelompok spesies yang dimasukan dalam kelompok tangkapan sampingan (bycatch) yakni hiu, penyu dan burung laut. Tangkapan sampingan ketiga jenis tersebut diatur melalui CMM 2004-04 Resolusi Tindakan Pengelolaan dan Konservasi (Resolution on Conservation and Management Measures) merupakan tindaklanjut dari Pasal 5 Konvensi WCPFC yang mengatur perlunya tindakan mitigasi akibat tangkapan tangkapan sampingan untuk spesies hiu, penyu dan burung laut. Tangkapan sampingan diartikan sebagai ikan hasil tangkapan non target pada suatu perikanan tertentu (Pauly, 1984; Alverson et al 1994). Pada alat 118 tangkap longline, jenis-jenis hiu , sering tertangkap sebagai tangkapan sampingan. Khusus Indonesia yang berada pada perairan tropis tangkapan sampingan lebih banyak pada hiu dan penyu sedangkan burung laut lebih banyak terjadi pada perairan sub-tropis. 1) Hiu Konservasi dan pengelolaan hiu ditetapkan melalui CMM 2010-07 tentang Tindakan Pengelolaan dan Konservasi Hiu (Conservation and Management Measure for Sharks). Salah satu pertimbangan penetapan CMM 2010-07 dikarenakan beberapa jenis hiu telah masuk dalam Appendix II CITES yakni basking shark and great white shark. Dalam rangka implementasi IPOA Conservation and Management of Sharks perlu negara anggota FAO segera mengadopsi dalam National Plan of Action (NPOA) untuk meminimalkan tangkap yang tidak termanfaatkan dan mendorong pelepasan jika tertangkap. Ketentuan pengaturan hiu ditetapkan melalui CMM 2011-04 tentang Tindakan Pengelolaan dan Konservasi untuk Oceanic Whitetip Shark (Conservation and Management Measure for Oceanic Whitetip Shark). Berdasarkan kajian Komite Ilmiah WCPFC mengindikasikan telah terjadi penurunan sediaan Oceanic Whitetip Shark (Carcharhinus Longimanus) akibat penangkapan longline dan puirse seine di wilayah WCPFC. Member, Cooperating Non Member dan Participating Territories pada ketentuan ini melarang kapal bendera negarannya untuk melakukan transhipment, penyimpanan atau mendaratkan Oceanic Whitetip Shark secara utuh atau sebagian. CMM ini berlaku mulai 1 Januari 2013. Hasil penelitian hiu di Indonesia menyimpulkan bahwa di perairan Indonesia sekurang-kurangnya terdapat sekitar 137 jenis hiu dan pari : 76 spesies hiu dan 61 spesies pari. Dari 76 spesies hiu yang dimanfaatkan di Indonesia tidak termasuk spesies Carcharodon megalodon (white shark) yang sampai saat ini belum pernah tertangkap sebagai komoditas perikanan cucut. Di perairan Samudera Pasifik jenis hiu yang banyak tertangkap oleh longline adalah pari manta (manta birostris) yang merupakan salah satu spesies ikan tebesar di dunia. 119 Tankapan hiu merupakan kegiatan sampingan dari kegiatan perikanan longline, gillnet, fish net dan trammel net. Aktivitas perikanan ini ditemukan hampir di seluruh wilayah perairan Indonesia. Hasil tangkapan cucut dimanfaatkan oleh nelayan sebagai hasil tambahan perikanan dalam berbagai bentuk komoditas : bahan makanan olahan (diasin), produk ekspor dari sirip cucut, kulitnya sebagai bahan berbagai bentuk asesoris (tas, sepatu, dompet dll) untuk kebutuhan dalam negeri, tulang belakang dipasarkan sebagai bahan obat kanker dan organ dalam (hati) terutama dari jenis cucut botol (Squalidae) dapat menghasilkan minyak. Berdasarkan data Statitik WPP Perikanan Tangkap tahun 2007 – 2011, jenis hiu dominan yang tertangkap di WPP 716 (Laut Sulawesi dan Sebelah Utara Pulau Halmahera) dan WPP 717 (Teluk Cendrawasih dan Samudera Pasifik) adalah requiem sharks (hiu lanyam). Rata-rata tangkapan requiem sharks sebesar 57,71 persen dari jumlah tangkapan hiu, terutama antara tahun 2008-2011 (Gambar 22). 1,600 1,400 1,200 Ton 1,000 800 600 400 200 Whitespotted wedgefishes Stingrays Requiem sharks Thresher sharks 2007 301 84 74 1,028 2008 244 736 2009 19 330 726 226 Sumber : Diolah Data Statistik Perikanan Tangkap per WPP tahun 2012 Gambar 22 Jumlah Tangkapan Hiu di WPP 716 dan 717 2010 157 213 723 344 2011 161 217 740 373 120 2) Penyu Tangkapan sampingan penyu ditetapkan melalui CMM 2008-03 tentang Tindakan Pengelolaan dan Konservasi Penyu (Conservation And Management of Sea Turtles) yang merupakan adopsi Pedoman FAO tahun 2005 untuk mengurangi angka kematian penyu dalam operasi penangkapan ikan. Terdapat lima jenis penyu di wilayah konvensi yang tertangkap pada alat tangkap longline yakni, Green turtle, Loggerhead, Leatherback, Hawksbill dan Olive ridley. Berdasarkan pasal 5 dan 10 Konvensi, Komisi mendesak semua negara anggota unruk mengimplementasikan Pedoman Penangkapan Alat Tangkap Purse Seine di wilayah perairan nasional dan di area Konvensi. Pada kondisi penyu tertangkap dengan tidak sengaja maka awak kapal perlu melakukan upaya pelepasan dan memastikan penyu tersebut dalam kondisi selamat. Kelima jenis penyu tersebut terdapat di perairan Indonesia yang telah dilindungi melalui Undang-Undang No. 5 tahun 1990 tentang Konservasi SDA Hayati dan Ekosistemnya dengan aturan pelaksanaannya Peraturan Pemerintah No. 7 tahun 1999 tentang Pengawetan Jenis Tumbuhan dan Satwa. Sebagaimana pengelolaan tangkapan utama, pengelolaan tangkapan sampingan di laut lepas mengacu pada Pasal 10 ayat (1) UU No. 31 Tahun 2004. Ketentuan tersebut dikuatkan dengan UU No. 21 Tahun 2009, yaitu pelaksanaan Pasal 8 mengenai kerja sama untuk konservasi dan pengelolaan. Aturan lebih rinci mengenai pengelolaan tangkapan sampingan dituangkan dalam Permen KP No. Per.12/Men/2012. Pada Bab X bagian kesatu mengenai hasil tangkapan sampingan (bycatch) yang secara ekologi terkait dengan (ecologically related species) perikanan tuna. Menurut Pasal 39, setiap kapal penangkap ikan yang melakukan penangkapan ikan di laut lepas yang memperoleh hasil tangkapan sampingan (bycatch) yang secara ekologis terkait dengan (ecologically related species) perikanan tuna berupa hiu, burung laut, penyu laut, mamalia laut termasuk paus, dan hiu monyet wajib melakukan tindakan konservasi. Hasil tangkapan sampingan yang secara ekologis terkait dengan perikanan tuna berupa hiu dengan ketentuan bukan hiu juvenile dan hiu dalam kondisi hamil, dan harus didaratkan secara utuh (Pasal 40 ayat 1). 121 Sementara itu, hasil tangkapan sampingan yang secara ekologis terkait dengan perikanan tuna berupa burung laut pada wilayah 25 derajat lintang ke arah selatan wajib menerapkan tindakan mitigasi yang efektif untuk menghindari tertangkapnya burung laut (Pasal 41 ayat 1). Lebih lanjut, Pasal 41 ayat (2) menyebutkan bahwa tindakan mitigasi tersebut terdiri dari: (a) setting di malam hari dengan pencahayaan minimum di atas dek kapal; (b) menggunakan tali pengusir burung (tori line); (c) menggunakan pemberat untuk branch line agar umpan cepat tenggelam; (d) umpan cumi diberikan warna biru; (e) kendalikan sisa debit/limbah; dan (f) penggunaan alat pelempar tali. Menurut Pasal Pasal 42 ayat (1), setiap penangkapan ikan di laut lepas yang tanpa sengaja tertangkap burung laut, penyu laut, dan/atau mamalia laut termasuk paus harus dilepaskan dalam keadaan hidup. Dalam hal burung laut, penyu laut, dan/atau mamalia laut termasuk paus yang tanpa sengaja tertangkap dalam keadaan mati, nakhoda harus melaporkan kepada kepala pelabuhan pangkalan untuk dibuat surat keterangan guna dilaporkan kepada Direktur Jenderal Perikanan Tangkap (Pasal 42 ayat 2). Sementara itu, hasil tangkapan sampingan yang yang secara ekologis terkait dengan perikanan tuna berupa hiu monyet dengan ketentuan harus dilepaskan dalam keadaan hidup, sedangkan dalam hal hiu monyet yang tanpa sengaja tertangkap dalam keadaan mati, nakhoda harus melaporkan kepada kepala pelabuhan pangkalan untuk dibuat surat keterangan guna dilaporkan kepada Direktur Jenderal Perikanan Tangkap. Selanjutnya ditambahkan bahwa setiap kapal penangkap ikan yang menangkap, memindahkan, mendaratkan, menyimpan, dan/atau menjual hiu monyet (thresher sharks) dari semua family Alopiidae baik utuh maupun bagiannya dikenakan sanksi IUU Fishing (Pasal 43). Aturan lain terkait tangkapan sampingan ditetapkan dalam Permen KP No. Per.40/Men/2012. Pasal 73 menyebutkan, bahwa setiap kapal penangkap ikan yang memiliki SIPI di WPP-NRI wajib melakukan tindakan konservasi terhadap jenis spesies tertentu yang terkait secara ekologi dengan tuna, yang ditetapkan oleh RFMO. 122 Khusus tentang pengelolaan hiu, Indonesia atas bantuan SEAFDEC sejak tahun 2004 telah menyusun National Plan of Action (NPOA) Shark Management namun hingga saat ini rencana aksi tersebut belum ditetapkan menjadi peraturan menteri. 5.2.7 Program Observer dan Inspeksi Kapal Ketentuan observer di WCPFC di tetapkan melalui empat CMM. Pertama, CMM 2006-07 tentang Tindakan Pengelolaan dan Konservasi Program Observer Regional (Conservation and Management Measure for the Regional Observer Programme). CMM 2006-07 merupakan pelaksanaan dari Pasal 28 Konvensi, yaitu Komisi wajib mengembangkan suatu program pengamat regional untuk mengumpulkan data hasil tangkapan yang terverifikasi, data ilmiah lain dan informasi tambahan terkait dengan perikanan dari Wilayah Konvensi dan untuk memantau pelaksanaan langkah-langkah konservasi dan pengelolaan yang telah diterima oleh Komisi. Oleh karena itu, dengan mengadopsi ketentuan Pasal 10 Konvensi tentang Fungsi Komisi, maka Komisi menetapkan prosedur untuk mengembangkan Program Observer Regional. Kedua, CMM 2006-08 tentang Komisi Prosedur Pemeriksaan dan Menaiki Kapal (WCPFC Commission Boarding and Inspection Procedures ). CMM 200608 adalah implementasi Pasal 26/Lampiran III dan Pasal 6 (2) Konvensi yang bertujuan untuk memastikan kepatuhan terhadap prosedur mengenai pemeriksaan dan menaiki kapal serta tindakan konservasi dan pengelolaan. Pelaksanaan prosedur harus memperhitungkan kehadiran inspektur dalam kapal, frekuensi, dan hasil pemeriksaan sebelumnya. Kapal-kapal yang menjadi prioritas pemeriksaan adalah; (1) kapal yang tidak terdata pada daftar kapal yang diizin WCPFC tetapi berbendera negara anggota komisi, (2) kapal yang tidak di periksa langsung oleh negara bendera, (3) kapal penangkapan ikan yang tidak terdapat observer, (4) kapal perikanan tuna skala besar, (5) kapal yang pernah melanggar langkahlangkah konservasi dan pengelolaan sesuai dengan hukum internasional dan nasional. Ketiga, CMM 2007-01 tentang Tindakan Pengelolaan dan Konservasi Program Observer Regional (Conservation and Management Measure for the 123 Regional Observer Programme). Program Observer Regional bertujuan untuk pengumpulan data hasil tangkapan, pemantauan pada pelaksanaan CMMs, dan mengumpulkan informasi tambahan yang terkait dengan perikanan. Sekretariat wajib mengkoordinasikan program dan kuasa kepada penyedia observer pada Program Observer Regional. Pengembangan panduan observer oleh komisi harus mencakup : (1) hak dan tanggung jawab observer, (2) hak dan tanggung jawab operator kapal, kapten, dan awak buah kapal, dan (3) jadwal Pelaksanaan. Keempat, CMM 2011-06 tentang Tindakan Konservasi dan Pengelolaan untuk Skema Kapatuhan dan Pemantauan (Conservation and Management Measure for Compliance Monitoring Scheme) . CMM 2011-06 bertujuan untuk melakukan pemantauan kepatuhan Konvensi WCPFC. Setiap tahun Komisi akan mengevaluasi kepatuhan CCMs selama tahun sebelumnya berupa data: (1) menangkap dan batas upaya untuk spesies target, (2) menangkap dan pelaporan upaya untuk spesies target, (3) penutupan spasial dan temporal, dan pembatasan pada penggunaan perangkat ikan, (4) pengamat dan cakupan VMS, dan (5) penyediaan data ilmiah melalui laporan tahunan dan laporan ilmiah yang akan diberikan kepada Komisi. Pelaksanaan program observer di atur dalam Permen KP No. Per.12/Men/2012. Adapun aturanya, yaitu: (a) surat kesanggupan menerima, membantu kelancaran tugas, serta menjaga keselamatan pemantau di atas kapal penangkap ikan (observer on board); (b) sanksi administrasi bagi penolakan observer di atas kapal. Adapun sanksi administrasi berupa: peringatan tertulis dikenakan dalam jangka waktu satu bulan; pembekuan SIPI dikenakan apabila penanggung jawab atau pemilik kapal tidak memenuhi kewajibannya huruf a dan SIPI dibekukan selama enam bulan; dan pencabutan SIPI dikenakan apabila penanggung jawab atau pemilik kapal tidak memenuhi kewajibannya sebagaimana dimaksud pada huruf b dan SIPI dicabut. Selain itu, kegiatan transhipment disaksikan oleh pemantau di atas kapal pengangkut ikan (observer on board) dari RFMO. Aturan observer juga dituangkan dalam Permen KP No. Per.30/Men/2012. Adapun aturanya, yaitu: (a) permohonan SIPI harus ada kesanggupan penempatan observer di atas kapal; (b) Permohonan SIKPI harus 124 ada kesanggupan penempatan observer di atas kapal; (c) pelaksanaan transhipment diawasi oleh pemantau kapal penangkap ikan dan kapal pengangkut ikan; dan (d) menempatkan pemantau (observer) di atas kapal penangkap ikan berukuran diatas 1.000 GT dengan menggunakan alat penangkapan ikan purse seine. Rekrutmen tenaga observer telah dilakukan oleh Kementerian Kelautan dan Perikanan sejak tahun 2006 sejumlah 20 orang yang penempatan di atas kapal baru terealisasi pada tahun 2007 sejumlah 2 orang untuk kapal longline dengan daerah penangkapan di Samudera Hindia. Disamping rekrutmen tenaga observer, sampai dengan tahun 2012 telah dilaksanakan pelatihan sejumlah 68 orang yang terdiri dari 34 pegawai negeri sipil dan 34 orang eks anak buah kapal (ABK). Disamping itu, telah ditempatkan 14 observer untuk kapal longline di Samudera Hindia terkait dengan kewajiban Indonesia sebagai anggota IOTC. Sedangkan untuk WCPFC belum ada penempatan observer, sampai dengan tahun 2012 upaya yang telah dilakukan oleh Indonesia adalah melakukan perjanjian kerjasama dengan Komisi WCPFC. Sebagai tindaklanjut dari perjanjian tersebut pada tahun 2013, Ditjen Perikanan Tangkap akan mendapatkan hibah pelatihan tenaga observer. Kebutuhan observer untuk 153 kapal yang memiliki izin penangkapan ikan di Laut Sulawesi dan Samudera Pasifik dibutuh 153 tenaga observer. 5.2.8 Data Buoys Data Buoys ditetapkan melalui CMM 2009-05 tentang Tindakan Pengelolaan dan Konservasi Larangan Penangkapan Ikan dengan Data Buoys (Conservation and Management Measure Prohibiting Fishing on Data Buoys) . Pengembangan buoys bertujuan untuk mengumpulkan informasi untuk berbagai tujuan seperti cuaca, pencarian dan keselamatan di laut, ramalan cuaca, peringatan tsunami dan lain-lain, tetapi tidak untuk keperluan kegiatan penangkapan. Spesies tuna dan and tuna-like species biasanya berkumpul di sekitar data buoys, terutama juvenile bigeye tuna dan yellowfin tuna. Hal ini mendorong penangkapan ikan disekitar buoys sehingga mengakibat kerusakan, kegiatan ini termasuk 125 pelanggaran berat sesuai pasal 25 Konvensi. Komisi telah mengeluarkan banyak biaya dan waktu untuk memperbaiki dan mengganti buoys yang rusak dan hilang akibat penangkapan. Jarak yang tidak diperbolehkan untuk penangkapan dari buoys adalah kurang dari satu mil laut. Aturan mengenai data buoys dituangkan dalam Permen KP No. 12/Men/2012. Menurut Pasal 47 ayat (1), kapal penangkap ikan dan kapal pengangkut ikan dilarang: (a) melakukan kegiatan penangkapan ikan atau kegiatan pengangkutan ikan dalam jarak 1 (satu) mil laut dari lokasi data buoys; (b) mengambil data buoys pada saat melakukan kegiatan penangkapan ikan atau pengangkutan ikan; dan/atau (c) menganggu keberadaan dan posisi data buoys. Data buoys merupakan alat yang mengapung, baik hanyut ataupun menetap, yang dipasang oleh Pemerintah atau otoritas yang berwenang dengan tujuan untuk mengumpulkan data secara elektronik dan pengukuran data lingkungan dan bukan untuk tujuan aktvitas penangkapan ikan (Pasal 47 ayat 2). Di perairan Indonesia, pemasangan data buoys telah dimulai pemasangan sejak tahun 2006 bekerjasama dengan NOAA di Samudera Hindia. Sedangkan untuk Samudera Pasifik, pada tahun 2012 Indonesia bekerjasama dengan Jepang dalam pemasangan satu unit data buoys pada koordinat 138000 BT dan 00 00 (Equator) atau di atas Papua. 5.2.9 Transhipment Transhipment ditetapkan melalui CMM 2009-06 tentang Tindakan Pengelolaan dan Konservasi Peraturan Transhiptmen (Conservation and Management Measure on Regulation of Transhipment). CMM 2009-06 di tetapkan berdasarkan fakta keberhasilan dan kegagalan pengelolaan ikan beruaya jauh di area Konvensi. Tidak adanya pengaturan dan pelaporan transshipment berkontribusi ketidakuratan pelaporan IUU fishing. Berdasarkan pasal 29 Konvensi, transhipment mengharuskan pada pelabuhan perikanan yang ditunjuk sesuai dengan hukum nasional yang berguna untuk mempermudah perolehan data dan spesies yang di transhipment. Berdasarkan jenis alat tangkap, purse seine dilarang kecuali jika penangkapan 126 ikan beruaya jauh pada perairan kepulauan/teritorial negara anggota yang besangkutan. Selanjutnya CMM 2011-06 tentang Tindakan Konservasi dan Pengelolaan untuk Skema Kapatuhan dan Pemantauan (Conservation and Management Measure for Compliance Monitoring Scheme) yang bertujuan untuk melakukan pemantauan kepatuhan Konvensi WCPFC. Setiap tahun Komisi akan mengevaluasi kepatuhan CCMs selama tahun sebelumnya berupa data: (1) menangkap dan batas upaya untuk spesies target; (2) menangkap dan pelaporan upaya untuk spesies target; (3) penutupan spasial dan temporal, dan pembatasan pada penggunaan perangkat ikan menggabungkan; (4) pengamat dan cakupan VMS, dan (5) penyediaan data ilmiah melalui laporan tahunan dan laporan ilmiah yang akan diberikan kepada Komisi. Jumlah kegiatan transhipment di wilayah Konvensi untuk seluruh kapal penanngkapan ikan negara anggota dalam tiga tahun terakhir sejumlah 158 kali (2010), 280 kali (2011) dan 193 kali (2012). Berdasarkan laporan WCPFC terdapat 7 kapal longline Indonesia yang melakukan transhipment seperti Tabel 14. Transhipment diatur dalam Permen KP No. Per. 12/Men/2012. Menurut Pasal 30 ayat (1), kapal penangkap ikan dapat melakukan transhipment di laut lepas maupun di pelabuhan di negara lain yang menjadi anggota RFMO pada wilayah RFMO yang sama. Kapal penangkap ikan yang melakukan transhipment di laut lepas harus memenuhi persyaratan (Pasal 30 ayat 2): a. Nakhoda memberitahukan kepada kepala pelabuhan pangkalan di Indonesia sebagaimana tercantum dalam SIPI paling lambat 72 jam sebelum pelaksanaan transhipment; b. Transmitter (on line) aktif serta dapat terpantau; c. kapal penangkap ikan dan kapal pengangkut ikan tercantum dalam daftar kapal (record of vessels) sebagai kapal yang diizinkan (authorized vessels); d. nakhoda harus menyampaikan secara elektronik rencana transhipment dengan mengisi pernyataan transhipment (transhipment declaration) 127 128 b. transmitter (on line) aktif serta dapat terpantau; c. kapal penangkap ikan dan kapal pengangkut ikan tercantum dalam daftar kapal (record of vessels) sebagai kapal yang diizinkan (authorized vessels); d. nakhoda harus menyampaikan secara elektronik rencana transhipment dengan mengisi pernyataan transhipment (transhipment declaration) kepada otoritas pelabuhan di luar negeri dan sekretariat RFMO paling lambat 48 jam sebelum pelaksanaan transhipment; e. transhipment disaksikan oleh otoritas pelabuhan di tempat pelaksanaan transhipment; f. nakhoda harus transhipment menginformasikan secara elektronik pada saat berlangsung kepada kepala pelabuhan pangkalan di Indonesia dalam bentuk pernyataan transhipment (transhipment declaration); dan g. nakhoda harus mengisi dan menyerahkan secara elektronik pernyataan transhipment (transhipment declaration) yang telah disahkan oleh para pihak kepada kepala pelabuhan pangkalan di Indonesia paling lambat 15 hari setelah transhipment. Kapal pengangkut ikan yang akan melakukan transhipment di laut lepas harus memenuhi persyaratan (Pasal 30 ayat 4): a. nakhoda memberitahukan kepada kepala pelabuhan pangkalan di Indonesia sebagaimana tercantum dalam SIKPI paling lambat 72 jam sebelum pelaksanaan transhipment; b. transmitter (on line) aktif serta dapat terpantau; c. kapal penangkap ikan dan kapal pengangkut ikan tercantum dalam daftar kapal (record of vessels) sebagai kapal yang diizinkan (authorized vessels); d. nakhoda harus menyampaikan secara elektronik rencana dengan mengisi pernyataan transhipment transhipment (transhipment declaration) kepada kepala pelabuhan pangkalan di Indonesia dan Sekretariat RFMO paling lambat 24 jam sebelum pelaksanaan transhipment; 129 e. transhipment di saksikan oleh pemantau di atas kapal pengangkut ikan (observer on board) dari RFMO; dan f. nakhoda harus mengisi dan menyerahkan secara elektronik pernyataan transhipment (transhipment declaration) yang telah disahkan oleh para pihak kepada kepala pelabuhan pangkalan di Indonesia paling lambat 15 hari setelah transhipment. Kapal pengangkut ikan yang akan melakukan transhipment di pelabuhan negara lain yang menjadi anggota RFMO pada wilayah RFMO yang sama harus memenuhi persyaratan: a. nakhoda memberitahukan kepada kepala pelabuhan pangkalan di Indonesia sebagaimana tercantum dalam SIKPI paling lambat 72 jam sebelum pelaksanaan transhipment; b. transmitter (on line) aktif serta dapat terpantau; c. kapal penangkap ikan dan kapal pengangkut ikan tercantum dalam daftar kapal (record of vessels) sebagai kapal yang diizinkan (authorized vessels); d. nakhoda harus menyampaikan secara elektronik rencana transhipment dengan mengisi pernyataan transhipment (transhipment declaration) kepada otoritas pelabuhan di luar negeri dan sekretariat RFMO paling lambat 48 jam sebelum pelaksanaan transhipment; e. transhipment disaksikan oleh otoritas pelabuhan di tempat pelaksanaan transhipment; f. nakhoda harus transhipment menginformasikan secara elektronik pada saat berlangsung kepada kepala pelabuhan pangkalan di Indonesia dalam bentuk pernyataan transhipment (transhipment declaration); g. nahkoda harus mengisi dan menyerahkan secara elektronik pernyataan transhipment (transhipment declaration) yang telah disahkan oleh para pihak kepada kepala pelabuhan pangkalan di Indonesia paling lambat 15 hari setelah transhipment. 130 Aturan transhipment juga ditetapkan dalam Permen KP No. Per.30/Men/2012. Menurut Pasal 69 ayat (1), setiap kapal penangkap ikan dapat melakukan transhipment ke kapal penangkap ikan dan/atau ke kapal pengangkut ikan. Transhipment dilakukan dengan ketentuan: a. mempunyai pelabuhan pangkalan yang sama. b. pelaksanaan transhipment diawasi oleh pemantau kapal penangkap ikan dan kapal pengangkut ikan (observer); c. transmitter VMS dalam kondisi aktif dan dapat dipantau secara online; d. melaporkan kepada kepala pelabuhan pangkalan sebagaimana tercantum dalam SIPI atau SIKPI; e. melaporkan kepada pengawas perikanan di pelabuhan pangkalan sebagaimana tercantum dalam SIPI atau SIKPI; dan f. mengisi pernyataan pemindahan ikan hasil tangkapan yang ditandatangani oleh masing-masing nakhoda kapal dan disampaikan kepada kepala pelabuhan pangkalan. Dalam pelaksanaan transhipment, ikan wajib didaratkan di pelabuhan pangkalan sesuai SIPI atau SIKPI dan tidak dibawa keluar negeri, kecuali bagi kapal penangkap ikan yang menggunakan alat penangkapan ikan purse seine berukuran diatas 1000 (seribu) GT yang dioperasikan secara tunggal (Pasal 69 ayat 3). Setiap kapal penangkap ikan dan kapal pengangkut ikan yang melanggar ketentuan transhipment dikenakan sanksi administratif berupa pencabutan SIPI dan SIKPI (Pasal 69 ayat 4). Sementara itu, Pasal 70 ayat (1) menyebutkan bahwa setiap kapal pengangkut ikan yang digunakan dalam usaha pengangkutan ikan dengan pola kemitraan dapat melakukan transhipment dengan ketentuan: (a) kapal penangkap ikan berukuran sampai dengan 10 GT; (b) kegiatan penangkapan ikan dan pengangkutan ikan dilakukan oleh kapal yang memiliki izin atau Bukti Pencatatan Kapal dan merupakan mitranya; (c) ikan yang dipindahkan wajib didaratkan di pelabuhan pangkalan kapal pengangkut ikan yang menerima pemindahan ikan hasil tangkapan; dan (d) mengisi pernyataan pemindahan ikan hasil tangkapan dan ditandatangani oleh masing-masing nakhoda kapal dan disampaikan kepada 131 kepala pelabuhan pangkalan. Dalam pelaksanaan transhipment, ikan wajib didaratkan di pelabuhan pangkalan sesuai SIKPI dan tidak di bawa keluar negeri (Pasal 70 ayat 2). Setiap kapal pengangkut ikan yang melanggar ketentuan transhipment dikenakan sanksi administratif berupa pencabutan SIKPI. 5.3 Implikasi Hukum WCPFC Berdasarkan Konvensi WCPFC, CMM dan kesiapan regulasi nasional terdapat enam permasalahan yang harus diperhatikan pemerintah terkait dengan ketentuan WCPFC, yaitu: 1) Status wilayah WCPFC Permasalahan mendasar Indonesia dalam ratifikasi Konvensi WCPFC adalah wilayah penerapannya memasukan perairan kepulauan Indonesia dan Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia. Hal ini tidak berlaku umum bagi RFMO yang wilayah penerapannya di luar Zona Ekonomi Eksklusif suatu negara pantai. Mengingat dalam UNCLOS 1982, perairan kepulauan memiliki rezim hukum kedaulatan (sovereignty) dan Zona Ekonomi Eksklusif memiliki rezim hukum hak berdaulat (sovereignt right). Dengan demikian, sebagai Negara yang berdaulat dan telah meratifikasi UNCLOS 1982, maka dalam ratifikasi Konvensi WCPFC perlu dipertegas hanya untuk perairan ZEE Indonesia pada WPP 716 (Laut Sulawesi dan Sebelah Utara Pulau Halmahera) dan WPP 717 (Teluk Cendrawasih dan Samudera Pasifik). 2) Pengawasan dan penegakan hukum Terkait dengan pengawasan dan penegakan hukum, setidaknya terdapat tiga hal yang harus diperhatikan, yaitu: a. Penataan sistem informasi dan data. Pengelolaan perikanan berkelanjutan dapat diwujudkan dengan statistik perikanan yang baik dalam rangka menghasilkan the best scientific data sebagaimana yang diwajibkan dalam hukum internasional. Namun demikian, statistik perikanan Indonesia dihadapkan pada permasalahan akurasi. Oleh karena itu, perlu pembenahan sistem pelaporan dan pendataan penangkapan ikan. Selain itu, terkait dengan perizinan kapal perikanan berbendera Indonesia yang akan melakukan 132 penangkapan di wilayah WCPFC perlu singkronisasi data perizinan dengan WCPFC Identification Number (WIN). b. Penataan sistem pengawasan. Sistem pengawasan yang berlaku umum adalah berupa program observer, inspeksi kapal, dan pemasangan transmitter (VMS). Dalam konteks hukum, pemerintah Indonesia sudah mengatur ketiga hal tersebut. Namun demikian, dalam pelaksanaannya dihadapkan pada berbagai kendala. Program observer misalnya, masih terkendala sumberdaya manusia (SDM) yang mampu bertahan berbulan-bulan di atas kapal. Sementara pemasangan VMS terkendala kepatuhan operator kapal dalam menyalakan alat tersebut. Oleh karena itu perlu ada program sistematis untuk penambahan jumlah tenaga observer serta peningkatan kualitas sehingga mampu bekerja secara efektif. c. Pemberantasan IUU Fishing di wilayah Konvensi WCPFC. Praktik-praktik IUU Fishing sangat beragam, sehingga dalam mengurangi terjadinya pelanggaran, maka perlu dikaji secara lebih rinci mengenai praktik-praktik IUU Fishing yang dilakukan oleh kapal perikanan bendera Indonesia. d. Pengawasan efektivitas pelaksanaan hukum. Pemerintah Indonesia perlu pengawasan pelaksanaan Peraturan Menteri yang sudah ditetapkan, baik yang mengatur jalur tangkapan dan alat bantu penangkapan ikan, maupun pelaksanaan program observer yang betujuan meminimalkan tertangkapnya baby tuna (yellowfin tuna dan bigeye tuna). 3) Penyusuhan Peraturan Perundang-undangan Organisasi internasional yang merupakan subjek hukum internasional mampu membuat sumber hukum. Oleh karena itu, ketentuan yang selama ini bersifat softlaw (non-legally binding) ditetapkan oleh RFMO sebagai hardlaw (legally binding). Dengan demikian, setiap negara yang akan melakukan ratifikasi terhadap Konvensi WCPFC akan terikat juga dengan aturan turunannya, yaitu Conservation and Management Measures (CMM). Beberapa ketentuan CMM WCPFC yang perlu diperkuat dalam hukum Indonesia dalam bentuk Peraturan Perundang-Undangan yaitu: 133 a. Program observer. Permen KP ini harus memerhatikan perkembangan hukum internasional, mulai dari standar SDM hingga tugas dan peran observer. b. Port State Measures Agreement. Ketentuan negara pelabuhan dalam pemberantasan IUU Fishing sebagaimana diatur dalam PSM Agreement 2009 perlu diratifikasi oleh pemerintah Indonesia melalui pengeluaran Peraturan Presiden. c. Pembatasan upaya tangkapan. Indonesia perlu memerhatikan pembatasan upaya tangkapan sebagaimana diamanatkan dalam CMM 2004-04. Hingga saat ini, pembatasan upaya tangkapan belum diatur, karena Indonesia tidak menerapkan kuota tangkapan. Namun demikian, penutupan wilayah dan waktu tangkapan diatur Pasal 45 ayat (1) Permen KP No. Per.12/Men/2012. d. Pengelolaan rumpon. Aturan yang terkait dengan pemasangan rumpon di tetapkan dengan Permen KP No. Per.02/Men/2011 tentang Jalur Penangkapan Ikan dan Penempatan Alat Penangkapan Ikan dan Alat Bantu Penangkapan Ikan di Wilayah Pengelolaan Perikanan Negara Republik Indonesia. Menurut Pasal 19 ayat (1), rumpon merupakan alat bantu untuk mengumpulkan ikan dengan menggunakan berbagai bentuk dan jenis pemikat/atraktor dari benda padat yang berfungsi untuk memikat ikan agar berkumpul. Lebih lanjut, Pasal 19 ayat (2) menyebutkan bahwa rumpon terdiri dari: (a) rumpon hanyut, merupakan rumpon yang ditempatkan tidak menetap, tidak dilengkapi dengan jangkar dan hanyut mengikuti arah arus; dan (b) rumpon menetap, merupakan rumpon yang ditempatkan secara menetap dengan menggunakan jangkar dan/atau pemberat, terdiri dari: (1) rumpon permukaan, merupakan rumpon menetap yang dilengkapi atraktor yang ditempatkan di kolom permukaan perairan untuk mengumpulkan ikan pelagis; dan (2) rumpon dasar, merupakan rumpon menetap yang dilengkapi atraktor yang ditempatkan di dasar perairan untuk mengumpulkan ikan demersal. Namun demikian, Permen KP tersebut hanya mengatur pemasaangan rumpon di wilayah pengelolaan perikanan Negara Republik Indonesia. Dengan demikian, aturan pemasangan dan pemanfaatan sebagaimana diamanatkan Pasal 19 ayat (3) 134 Permen KP No. Per.12/Men/2012 perlu memerhatikan ketentuan rumpon yang diatur CMM 2009-02. e. Hasil tangkapan sampingan. Aturan hasil tangkapan sampingan diatur dalam Permen KP No. Per.12/Men/2012 dan Permen KP No. Per.30/Men/2012. Namun demikian, perlu diatur secara lebih khusus terkait dengan jenis-jenis hasil tangkapan sampingan diamanatkan dalam CMM, yaitu: burung laut (CMM 2007-04), penyu (CMM 2008-03), hiu (CMM 2010-07), Cetacean (CMM 2011-03), Oceanic Whitetip Shark (CMM 2011-04).Oleh karena itu, perlu penetapan aturan khusus Permen KP tentang hasil tangkapan sampingan. f. National Plan of Action (NPOA) for the Conservation and Management of Sharks dan NPOA for the Conservation and Management of Seabird. Pemerintah perlu menetapkan Permen KP tentang Rencana Aksi Nasional untuk Tindakan Konservasi dan Pengelolaan hiu dan penyu. Penaatan dan penegakan 8. √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ Kewajiban-Kewajiban Negara Bendera 7. 6. 5. √ √ √ √ Penerapan Kehati-hatian Pelaksanaan Azas-Azas di wilayah Berdasarkan Yurisdikdi Nasional Kesesuaian tindakan konservasi dan pengelolaan Kewajiban Para Anggota Komisi 3. 4. √ √ √ √ Permen KP Azaz Pelaksanaan Perpres 2. √ PP √ UU Hukum Nasional I. Konvensi 1. Wilayah Penerapan Perihal √ - - √ √ √ - - Implementasi Tabel 18. Kesiapan Regulasi Nasional dan Rencana Aksi terhadap Ketentuan WCPFC Sedang Sedang Sedang Kuat Kuat Kuat Sedang Sedang Status Permen KP No. 12/Men/2012 mengatur a. Peningkatan sistem pengumpulan data dan penyerahan kepada CMM b. Keberadaan logbook penangkapan ikan lebih penting daripada prinsip-prinsip MCS a. Indonesia perlu meningkatkan system pelaporan. b. Sistem pelaporan tersebut harus transparan sehingga menyediakan data yang akurat dan jelas Ratifikasi Indonesia harus mengenyampingkan wilayah Konvensi WCPFC yang memasukan perairan kepulauan Indonesia dan ZEE Indonesia. Prinsip-prinsip ini harus diterapkan dalam semua peraturan perundangundangan Indonesia Uraian Rencana Aksi 135 Itikad Baik Dan Penyalahgunaan Hak b. 2010-06: Conservation and Management Measure to Establish a List of Vessels II. CMM 1. Penggunaan transmitter/VMS a. CMM 2011-02: tentang Komisi Vessel Monitoring System (VMS) 2. Penegakan hukum a. 2009-01: Record of Fishing Vessels And Authorization to Fish 9. Perihal √ √ √ √ √ √ Permen KP √ Perpres √ √ PP √ √ UU Hukum Nasional - - √ √ √ Implementasi Sedang Sedang Kuat Kuat Kuat Status a. Fungsi pemerintahan termasuk pendataan kapal ikan di pelabuhan perikanan sudah diatur dalam Permen KP No. Per.08/Men/2012. b. Perkembangan internasional mengatur pemberantasan IUU Fishing di wilayah pelabuhan, sehingga dalam memperkuat Permen KP No. Per.08/Men.2012 diperlukan pengesahan Agreement Port State Measures (PSM Agreement 2009) Indonesia perlu merinci kegiatan IUU di wilayah Konvensi WCPFC penegakan hukum kapal perikanan berbendera Indonesia yang melakukan penangkapan ikan di Laut Lepas Uraian Rencana Aksi 136 3. c. 2006-08: WCPFC Commission Boarding and Inspection Procedures Presumed to Have Carried out Illegal, Unreported and Unregulated Fishing Activities in the WCPO Kapal Ikan a. 2004-03: Specifications for the Marking and Identification of Fishing Vessels b. 2004-04 : Resolution on Conservation and Management Measures Perihal √ - - √ √ Permen KP √ Perpres - √ PP Implementasi √ √ UU Hukum Nasional Sedang Lemah Sedang Status Perlu dilakukan penyusunan Peraturan Menteri Kelautan terkait dengan pembatasan upaya tangkapan (input restriction) a. Aturan inspeksi kapal dan observer dimuat dalam Permen KP No. Per.12/Men/2012 dan Permen KP No. Per.30/Men/2012. b. Namun kedua Permen tersebut tidak mengatur secara detil tentang mekanisme observer, sehingga perlu penetapan Permen KP tentang Observer, yang tentu saja sesuai dengan perkembangan hukum internasional Perlu dilakukan penyesuaian dengan WIN Uraian Rencana Aksi 137 e. 2009-09: Conservation and Management Measure for Vessels Without Nationality f. 2010-06: Conservation and Management Measure to Establish a List of Vessels Presumed to Have Carried out Illegal, Unreported and Unregulated Fishing Activities in the WCPO d. 2009-01: Record of Fishing Vessels and Authorization to Fish Perihal PP √ √ √ UU √ √ √ Perpres √ √ Permen KP √ Hukum Nasional - √ √ Implementasi Sedang Kuat Kuat Status Indonesia perlu merinci kegiatan IUU di wilayah Konvensi a. Fungsi pemerintahan termasuk pendataan kapal ikan di pelabuhan perikanan sudah diatur dalam Permen KP No. Per.08/Men/2012. b. Perkembangan internasional mengatur pemberantasan IUU Fishing di wilayah pelabuhan, sehingga dalam memperkuat Permen KP No. Per.08/Men.2012 diperlukan pengesahan Agreement Port State Measures (PSM Agreement 2009) Uraian Rencana Aksi 138 Alat penangkap ikan dan alat bantu penangkapan ikan a. CMM 2008-04 : Conservation and Management Measure to Prohibit the Use of Large-Scale Driftnets on the High Seas in the Convention Area b. CMM 2009-02: FAD Closures and Catch Retention Pengelolaan Tangkapan Utama a. 2004-04 : Resolution on Conservation and Management Measures b. 2006-04: Conservation and Management Measure for Striped Marlin in the Southwest Pacific c. 2008-01: Conservation and Management Measure for Big-eye 4. 5. Perihal √ √ √ √ √ √ Permen KP √ √ √ Perpres √ √ PP √ UU Hukum Nasional - - √ Implementasi Sedang sedang Sedang Sedang Kuat Status a. Indonesia perlu pengawasan pelaksanaan Peraturan Menteri yang sudah ditetapkan, baik yang mengatur Perlu dilakukan penyusunan Peraturan Menter Kelautan terkait dengan pembatasan upaya tangkapan Pembenahan sistem pendataan kegiatan perikanan di laut lepas, khususnya Striped Marlin in the Southwest Pacific a. Rumpon diatur dalam Peren KP No. Per.02/Men/2012. b. Perlu aturan teknis tentang rumpon sebagaimana mandat Pasal 19 ayat (3) Permen KP No. Per.02/Men/2012 Uraian Rencana Aksi 139 √ √ √ √ √ √ √ √ Permen KP e. 2009-03: Conservation and Management for Swordfish f. 2010-01: Conservation and Management Measure for North Pacific Striped Marlin g. 2010-04: Conservation and Management Measure for Pacific Bluefin Tuna h. 2010-05 : Conservation and Management Measure Perpres √ PP √ UU Hukum Nasional d. CMM 2009-02: FAD Closures and Catch Retention and Yellow-fin Tuna in the WCPFC Perihal - - - - - Implementasi Sedang sedang Sedang Sedang Sedang Status Indonesia mendorong komunikasi dengan IATTC secara bilateral terkait dengan pengelolaan perikanan tuna sirip biru Indonesia akan menjaga South Pacific Albacore dari kegiatan kapal perikanan jalur tangkapan dan alat bantu penangkapan ikan, maupun pelaksanaan program observer yang betujuan meminimalisir tertangkapnnya baby tuna (yellowfin dan bigeye) b. pengesahan Permen KP tentang Observer, yang tentu saja sesuai dengan perkembangan hukum internasional a. Rumpon diatur dalam Peren KP No. Per.02/Men/2012. b. Perlu aturan teknis tentang rumpon sebagaimana mandat Pasal 19 ayat (3) Permen KP No. Per.02/Men/2012 Pembenahan sistem pendataan kegiatan perikanan di laut lepas, khususnya Swordfish di Pasifik Barat Daya Pembenahan sistem pendataan kegiatan perikanan di laut lepas, khususnya Striped Marlin di Pasifik Barat Daya Uraian Rencana Aksi 140 6. for South Pacific Albacore Pengelolaan Tangkapan Sampingan a. 2004-04 : Resolution on Conservation and Management Measures b. 2008-03 : Conservation And Management of Sea Turtles c. 2010-07 : Conservation and Management Measure for Sharks d. 2011-03 : Conservation and Management Measure for Protection of Cetaceans from Purse Seine Fishing Operations e. 2011-04 : Conservation and Management Measure for Oceanic Whitetip Shark Perihal √ √ √ √ √ √ - - - - √ Permen KP √ Perpres - PP Implementasi √ UU Hukum Nasional Sedang Sedang Sedang Sedang Sedang Status Pengesahan Indonesia - National Plan of Action (NPOA) for the Conservation and Management of Sharks Pengesahan Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan tentang Hasil Tangkapan Sampingan Pengesahan Indonesia - National Plan of Action (NPOA) for the Conservation and Management of Sharks Perlu dilakukan penyusunan Peraturan Menter Kelautan terkait dengan pembatasan upaya tangkapan Pengesahan Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan tentang Hasil Tangkapan Sampingan Uraian Rencana Aksi 141 7. √ √ √ c. 2007-01 : Conservation and Management Measure for the Regional Permen KP √ Perpres b. 2006-08 : WCPFC Commission Boarding and Inspection Procedures PP √ UU Hukum Nasional √ Program Observer dan Inspeksi Kapal a. 2006-07 : Conservation and Management Measure for the Regional Observer Programme Perihal - - - Implementasi Sedang Sedang Sedang Status a. Aturan inspeksi kapal dan observer dimuat dalam Permen KP No. Per.12/Men/2012 dan Permen KP No. Per.30/Men/2012. b. Namun kedua Permen tersebut tidak mengatur secara detil tentang mekanisme observer, sehingga perlu penetapan Permen KP tentang Observer, yang tentu saja sesuai dengan perkembangan hukum internasional a. Aturan inspeksi kapal dan observer dimuat dalam Permen KP No. Per.12/Men/2012 dan Permen KP No. Per.30/Men/2012. b. Namun kedua Permen tersebut tidak mengatur secara detil tentang mekanisme observer, sehingga perlu penetapan Permen KP tentang Observer, yang tentu saja sesuai dengan perkembangan hukum internasional a. Aturan inspeksi kapal dan observer dimuat dalam Permen KP No. Per.12/Men/2012 dan Permen KP No. Per.30/Men/2012. Uraian Rencana Aksi 142 UU PP Perpres Permen KP Hukum Nasional Implementasi Status d. 2011-06 : √ √ Sedang Conservation and Management Measure for Compliance Monitoring Scheme 8. Data Buoys a. 2009-05: Conservation √ √ √ Kuat and Management Measure Prohibiting Fishing on Data Buoys 9. Transhipment b. 2009-06 : √ √ √ Kuat Conservation and Management Measure on Regulation of Transshipment Keterangan : Kuat : Hukum Nasional (ada) Permen (ada) Implementasi (ada) Sedang : Hukum Nasional (ada) Permen (ada) Implementasi (tidak ada) Lemah : Hukum Nasional (ada) Permen (tidak ada) Implementasi (tidak ada) Sangat Lemat : Hukum Nasional (tidak ada) Permen (tidak ada) Implementasi (tidak ada) Observer Programme Perihal b. Namun kedua Permen tersebut tidak mengatur secara detil tentang mekanisme observer, sehingga perlu penetapan Permen KP tentang Observer, yang tentu saja sesuai dengan perkembangan hukum internasional Indonesia memiliki aturan kegiatan penangkapan ikan, baik di WPP-NRI maupun di laut lepas. Kedua peraturan ini menjadi landasan dalam melakukan penangkapan ikan di laut lepas Uraian Rencana Aksi 143 144 5.4 Analisa Ekonomi Analisa ekonomi di lakukan mengkaji dampak ekonomi terhadap pelaksanaan CMM 2008-01 tentang Tindakan Pengelolaan dan Konservasi Tuna Bigeye dan Tuna Yellowfin di WCPFC (Conservation and Management Measure for Big-eye and Yellowfin Tuna in the WCPFC). Pengaturan bertujuan untuk mengurangi tingkat kematian akibat upaya penangkapan kedua spesies ini terutama kematian juvenile akibat penggunaan alat tangkap purse seine dengan alat bantu rumpon. Penutupan berlaku pada periode 1 Agustus – 30 September antara tahun 2009 – 2012 yang selanjutnya diperpanjang melalui CMM 2011-01. Namun ketentuan ini tidak berlaku jika kapal tersebut terdapat observer yang dilaporkan ke Komisi. Berdasarkan data hasil tangkapan per jenis alat tangkap yang didaratkan di PPS Bitung periode tahun 2005 -2009, hasil tangkapan sebagian besar berasal dari alat tangkap purse seine dan pole and line. Rata-rata hasil tangkapan purse seine pada periode tersebut sebesar 78,57 persen dan pole and line sebesar 20,33 persen. Rata-rata peninkatan tangkapan purse seine setiap tahun sebesar 28,45 persen dan pole and line lebih tinggi takni 71,15 persen per tahun. Tingginya pertumbuhan pole and line disebabkan semakin meningkatnya nelayan yang menggunakan pole and line setiap tahun. Perkembangan pendaratan ikan di PPS Ton Bitung tahun 2005 -2009 dilihat pada Gambar 23. 18,000.00 16,000.00 14,000.00 12,000.00 10,000.00 8,000.00 6,000.00 4,000.00 2,000.00 - Long Line Gill Net Hand Line Pole and Line Purse Seine 2005 1.42 603.56 5,026.12 2006 0.51 1,434.37 7,333.98 2007 2008 0.51 1,500.26 5,065.32 110.00 4.33 3,010.24 9,883.84 2009 330.23 320.61 57.30 4,383.21 10,248.96 Sumber : Diolah Data Statistik PPS Bitung 2010 Gambar 24a Jumlah Tangkapan Berdasarkan Jenis Alat Penangkapan Ikan di PPS Bitung tahun 2005-2009 145 Nelayan purse seine merupakan nelayan dominan yang mendaratkan ikan PPS Bitung dan pemasok utama industri pengolahan ikan di Kota Bitung. Menurut Zulham(2011), PPS Bitung memberikan pasokan kontribusi sebesar 65 persen terhadap bahan baku industri pengolahan ikan sedangkan 35 persen langsung didaratkan di masing-masing perusahaan. Industri perikanan merupakan motor penggerak pembangunan Kota Bitung. Sampai dengan tahun 2012 terdapat 20 perusahaan pengolahan ikan dengan tujuan ekspor, tiga perusahaan pengalengan dan empat perusahaan pengolahan ikan kayu (arubishi). Penutupan selama dua bulan penggunaan alat tangkap purse seine dengan alat bantu rumpon dan larangan penangkapan baby tuna tentunya akan mengurangi pendapatan nelayan dan pasokan bahan baku bagi industri perikanan di Kota Bitung. Gambar 24b Tangkapan juvenile (baby tuna) yellowfin yang didaratkan di PPS Bitung Responden analisa ekonomi dampak pelarangan penangkapan baby tuna berasal dari 15 nelayan purse seine yang aktif mendaratkan ikan di PPS Bitung selama tahun 2012. Karaktepristik variabel responden disajikan pada tabel 19. 146 Tabel 19. Rataan variable pendapat responden Aspek Rata-rata Keterangan Umur 27 Umur nelayan umumnya 27 tahun Pendidikan 12 SMA Pendapatan 20.520.000 Lingkungan 3 Biasa saja Pengetahuan 3 Kurang tahu Kepentingan 3 Kurang tahu Persetujuan 2 Cukup setuju Pemanfaatan 3 Kurang tahu Aturan 3 Kurang tahu Perdagangan 3 Kurang tahu Dampak 4 Kurang berdampak Pendapatan per tahun Model regresi kesediaan nelayan purse seine untuk menerima pembayaran (WTA) atas kesediaannya untuk tidak melakukan penangkapan juvenile (baby tuna). Hal ini dimaksudkan untuk mengetahui seberapa besar persepsi masyarakat nelayan purse seine tentang pentingnya mewujudkan perikanan tuna berkelanjutan. Dengan kata lain, adanya imbal jasa sebagai kompensasi kepada nelayan purse seine di harapkan mampu mengurangi tekanan terhadap terhadap ikan tuna yang masih kecil (baby tuna), sehingga ikan tuna bisa tumbuh besar dan bernilai ekonomi tinggi serta mampu memenuhi kebutuhan protein hewan yang sehat. Analisa WTA dalam penelitian dilakukan dalam empat tahapan, yaitu: 1) Memberikan pemahaman tentang kemungkinan larangan penangkapan baby tuna Seluruh responden diberikan informasi, bahwa kemungkinan akan dilakukannya pelarangan penangkapan baby tuna (yellowfin tuna dan bigeye tuna) di wilayah Laut Sulawesi apabila Indonesia melakukan pengesahan terhadap Konvensi WCPFC. Adapun responden adalah nelayan pengguna alat tangkap purse seine. 2) Memperoleh Nilai WTA Besarnya nilai WTA didapatkan dari hasil wawancara dengan menggunakan daftar pertanyaan dalam bentuk kuisioner (Lampiran 3). Berdasarkan hasil analisa, nilai rataan kesediaan menerima pembayaran (WTA) 147 kompensasi atas larangan penangkapan baby tuna per orang sebesar Rp 4.774.000 per tahun atau Rp 397.433 per bulan. Sementara itu, rataan pendapatan tetap setiap nelayan purse seine sebesar Rp 20.520.000 per tahun atau Rp 1.710.000 per bulan. Dengan demikian, apabila larangan penangkapan baby tuna diberlakukan, maka pendapatan nelayan purse seine per bulannya menjadi Rp 1.312.166,67, karena kehilangan sebesar Rp 397.433 per bulan. Oleh karena itu, dengan rata-rata nilai jual baby tuna Rp 10.000 per kg, maka untuk mempertahankan pendapatan nelayan purse seine sebesar Rp 1.710.000 per bulannya, perlu kompensasi atau subsidi harga sebesar Rp 3.031 per kg baby tuna. Hasil analisa sintesa dimuat pada Tabel 15, didukung oleh pendapat responden yang dituangkan dalam Tabel 16 3) Evaluasi WTA Hasil analisis faktor menunjukkan bahwa variabel-variabel umur, tingkat pendidikan, jumlah pendapatan, kondisi lingkungan, pengetahuan terhadap Konvensi WCPFC, kepentingan terhadap perdagangan tuna, persetujuan terhadap ratifikasi Konvensi WCPFC, pola pemanfaatan, aturan penangkapan baby tuna, peluang perdagangan tuna dan dampak terhadap pendapatan, di duga signifikan memengaruhi kemampuan atau kesediaan untuk menerima pembayaran dengan menggunakan model persamaan multiple regression. Hasil sintesa atas pengolahan data menghasilkan bahwa nilai R square pada model ini nilainya adalah 0,996 yang menunjukkan bahwa seberapa besar pengaruh variabel-variabel penduga dalam menentukan peluang responden bersedia dibayar (WTA). Dengan kata lain, 99,6 persen peluang respon bersedia untuk dibayar apabila dilakukan larangan penangkapan baby tuna. Sementara hasil sintesa pada penetapan variabel in the equation, maka nilai koefisien dari setiap peubah pada model persamaan regresi disajikan pada Tabel 20 yang ditunjukan pada nilai signifikan nilai kepecayaan 99 persen. 148 Tabel 20. Nilai Koefisien pada Peubah Kesediaan Masyarakat untuk Menerima Pembayaran atas Larangan Penangkapan Baby Tuna di PPS Bitung 2012 Lingkung an Coefficien ts 271501.85 76 128813.74 63 78324.636 6 0.2030173 25 492251.30 52 Pengetah uan 114699.15 26 Kepentin gan 874425.45 73 652544.34 75 1128123.6 13 934489.42 47 393041.81 95 275987.81 79 Intersep Umur Pendidika n Pendapat an Persetuju an Pemanfaa tan Aturan Perdagan gan Dampak Standard Error t Stat P-value 200132.833 2 0.1605178 71 8.1330032 89 2.0185830 64 8.6579623 77 2.4596229 27 147241.93 0.7789843 06 0.492789 732 3.1640263 86 8.5675226 29 3.8409888 17 3.9895585 58 1.3435504 02 1.9733735 31 0.050713 466 1691412.03 15838.3984 38801.7902 2 0.02344862 6 276364.780 4 76164.8816 9 293706.560 1 234233.790 8 292539.691 1 139855.842 6 0.882672 927 0.003886 622 0.136843 34 0.003241 53 0.090897 998 0.003341 989 0.031128 702 0.028200 658 0.271680 639 0.142976 35 Lower 95% 5654329.8 21 78408.893 81 201809.25 05 0.1283933 31 1129163.3 01 353890.38 33 5090.6167 62 894934.99 38 193418.25 6 1679925.8 87 1324033.6 78 721071.52 73 Upper 95% 5111326.1 06 179218.59 87 45159.977 32 0.2776413 2 144660.69 05 583288.68 86 1753941.5 31 410153.70 12 2062828.9 7 189052.96 27 537950.03 93 169095.89 16 Lower 95.0% 5654329.8 21 78408.893 81 201809.25 05 0.1283933 31 1129163.3 01 353890.38 33 5090.6167 62 894934.99 38 193418.25 6 1679925.8 87 1324033.6 78 721071.52 73 Upper 95.0% 5111326.1 06 179218.59 87 45159.977 32 0.2776413 2 144660.69 05 583288.68 86 1753941.5 31 410153.70 12 2062828.9 7 189052.96 27 537950.03 93 169095.89 16 Sumber: Data diolah 4) Analisa faktor yang memengaruhi WTA Tabel 16 di atas merupakan hasil sintesa atas pengolahan data yang menghasilkan nilai variable in the equation dari persamaan regresi berikut: Y WTA= -2,7150 + 1,2881 X1 -7,832 X2 + 0,0203 X3 - 4,9225 X4 + 1,1469 X5 + 8,7442 X6 – 6,5254X7 + 1,1281 X8 - 9,3448 X9 - 3,9304 X10 2,7598 X11 Hasil analisa dari model regresi YWTA maka koefisien dari model WTA tersebut yang signifikan adalah variabel pendapatan, persetujuan dan umur, yaitu sebesar 0,003 (P-Value) lebih kecil daripada 0,05. Artinya, setiap kenaikan 1 unit pendapatan akan mengakibatkan kenaikan 2,03 kali kesediaan untuk menerima pembayaran (WTA). Dengan kata lain, bila terjadi kenaikan kesediaan untuk 149 menerima pembayaran jasa lingkungan dari masyarakat sebesar 2,03 kali maka secara signifikan tingkat pendapatan masyarakat nelayan terjadi pula kenaikannya pada tingkat kepercayaan 99 persen. Selain pendapatan, variabel lain yang juga berpengaruh signifikan adalah persetujuan sebesar 0.003 (penurunan 6,52 kali untuk 1 unit), umur sebesar 0,003 (kenaikan 1,28 kali untuk 1 unit), aturan sebesar 0,02 (penurunan 9,34 kali untuk 1 unit), dan dampak pemanfaatan sebesar 0,03 (kenaikan 112 kali untuk 1 unit). Tabel 21. Nilai WTA dan Pendapatan Nelayan Purse Seine di PPS Bitung 2012 No 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 Nama WTA 4.320.000 3.600.000 4.500.000 3.600.000 3.600.000 4.320.000 5.250.000 7.200.000 3.600.000 4.320.000 6.000.000 6.300.000 9.000.000 2.400.000 3.600.000 Pendapatan Tetap 21.600.000 18.000.000 18.000.000 18.000.000 18.000.000 24.000.000 21.000.000 24.000.000 15.600.000 21.600.000 30.000.000 18.000.000 30.000.000 12.000.000 18.000.000 Total Per Tahun 4.774.000 20.520.000 397.833 1.710.000 Rml RD JB NM Mx Srd Jhr Jh L Tbh RR EW Sml TT Le FM Total per Bulan Sumber: Data diolah 5.5 Analisa AWOT Posisi Indonesia dalam pengelolaan perikanan di laut lepas dipengaruhi oleh faktor internal dan eksternal. Penelitian ini mengkombinasikan teknik-teknik pembobotan (weighting) terhadap faktor internal dan eksternal dengan teknik perbandingan berpasangan (pairwise comparison) dari Saaty (1983). Menurut Kangas et al (2001) penggunaan pairwise comparison dalam SWOT ini menghasilkan teknik yang disebut sebagai AWOT atau AHP-SWOT. Cara ini akan menghasilkan perumusan strategi yang terboboti. 5.5.1 Identifikasi Faktor Internal dan Eksternal Strategi diplomasi Indonesia dalam pengelolaan perikanan di laut lepas yang dikelola oleh WCPFC disusun berdasarkan hasil identifikasi faktor internal 150 dan eksternal. Faktor internal didefinisikan sebagai faktor yang berasal dari dalam lingkungan organisasi, yang dalam hal ini adalah pemerintah Indonesia, sedangkan faktor eksternal adalah factor yang berasal dari luar (Pearce & Robinson, 1997). A. Faktor Internal Kekuatan (Strength) Berdasarkan hasil wawancara dengan responden dan analisa peraturan internasional serta peraturan perundang-undangan nasional, beberapa faktor diidentifikasi sebagai kekuatan dalam strategi diplomasi Indonesia di WCPFC. Kekuatan-kekuatan tersebut mencakup: 1) Adanya asosiasi perikanan tuna. Pengusaha perikanan tuna mempunyai organisasi dalam memperjuangkan haknya serta berbagai informasi dalam pelaksanaan usahanya. Menurut Keputusan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor Kep.14/Men/2012 tentang Pedoman Umum Penumbuhan dan Pengembangan Kelembagaan Pelaku Utama Perikanan, Asosiasi Perikanan didefinisikan sebagai kumpulan dari gabungan kelompok perikanan yang mempunyai tujuan bersama dengan jenis usaha yang sama. Adapun organisasi pengusaha perikanan tuna di Indonesia, yaitu Asosiasi Tuna Indonesia (ASTUIN) dan Asosiasi Tuna Longline Indonesia (ATLI). 2) Pelayanan perikanan satu atap. Pelayanan perikanan satu atap dilakukan di kawasan Pelabuhan Perikanan Samudera (PPS) Bitung, seperti Otoritas Pengelolaan Pelabuhan Perikanan terkait dengan pelayanan SHTI (Sertifikat Hasil Tangkapan Ikan), PSDKP terkait dengan pelayanan SLO (Surat Laik Operasi), dan Syahbandar Perikanan terkait dengan SPB (Surat Persetujuan Berlayar) dan STBLK (Surat Tanda Bukti Lapor Kedatangan) kapal. Pelayanan satu atap ini memudahkan pelaku usaha perikanan tangkap, khususnya pemilik kapal dalam mengurus dokumen operasional penangkapan dan pengangkutan ikan. 3) Pelabuhan perikanan dan sarana penunjang tersedia. Fasilitas pelabuhan merupakan sarana dan prasarana yang tersedia di lokasi pelabuhan untuk 151 mendukung kegiatan operasional pelabuhan perikanan. Adapun fasilitas di PPS Bitung, yaitu (DJPT, 2009): a. Fasilitas pokok di PPS Bitung relatif lengkap dimana fasilitas-fasilitas yang terkait dengan keamanan dan kenyamanan tambat labuh tersedia. Sebagian besar fasilitas dalam kondisi baik dan dimanfaatkan sesuai dengan peruntukkannya. Namun demikian, masih ada fasilitas pokok yang pemanfaatannya tidak sesuai seperti Pencegah Benturan Kapal (fender). Data selengkapnya mengenai fasilitas pokok disajikan pada Tabel 22. b. Fasilitas fungsional PPS Bitung sebagian besar dalam kondisi baik dan pemanfaatannya sesuai dengan peruntukkannya. Data selengkapnya mengenai fasilitas fungsional di PPS Bitung disajikan pada Tabel 23. c. Fasilitas penunjang digunakan untuk mendukung aktifitas operasional pelabuhan dalam kondisi baik dan pemanfaatannya sesuai dengan peruntukkannya. Data selengkapnya mengenai fasilitas penunjang di PPS Bitung disajikan pada Tabel 24. Tabel 22. Fasilitas Pokok PPS Bitung Nama Fasilitas Areal Daratan Pelabuhan Dermaga Kolam Pelabuhan Alur Pelayaran Pencegah Benturan Kapal (Fender) Tempat Tambat (Bollard) Jalan Drainase Jumlah (unit) Volume Satuan Volume Kondisi Manfaat 1 4,6 ha Baik Sesuai 2 1 1 1.7641.610 6 m² ha Baik Baik Baik 25 m Baik Sesuai Sesuai Sesuai Tidak Sesuai 25 m Baik Sesuai m² m² Baik Baik Sesuai Sesuai 1 1 7.185 490 152 Tabel 23. Fasilitas Fungsional PPS Bitung. Jumlah (unit) Volume Satuan Volume Kondisi Manfaat 1 1.420 m² Baik Sesuai 1 9 m² Baik Sesuai Penampung/Tangki Air 1 938 m3 Baik Sesuai Pengolahan Air Pabrik Es Gudang Es 1 1 1 9,38 1 500 m³ ha m³ Baik Baik Baik Sesuai Sesuai Sesuai Mesin Penghancur Es 3 Unit Baik Sesuai Genset Daya Listrik Rumah Genset SPBN Tangki BBM 1 Paket m² m² KL Sesuai Sesuai Sesuai Sesuai Sesuai Docking Bengkel Perbaikan Jaring Tempat Pengolahan Ikan 1 1 1 7,158,125 99 616 1.000 1 Baik Baik Baik Baik Baik 9 m² Baik Baik Baik Sesuai Sesuai Sesuai 1 1 m² Baik Sesuai Tempat Penyimpanan Ikan Segar 1 1 m² Baik Sesuai Cold Storage 1 1 ha 1 928,13 m² Baik Sesuai 1 168,92 m² Baik Sesuai 1 651,50 m² Baik Sesuai 1 19,50 m² Baik Sesuai 2 Unit Baik Sesuai 1 Unit Baik Sesuai 1 ha Baik Sesuai Kapal Pengawas 1 Unit Baik Sesuai IPAL 1 m² Baik Sesuai Nama Fasilitas Tempat Pelelangan Ikan (TPI) Menara Pengawas Lab Pembinaan dan Pengujian Mutu Hasil Perikanan Syahbandar Kantor Administrasi Pelabuhan Kantor Pengawas Perikanan Kendaraan Inventaris Roda 4 Kendaraan Inventaris Roda 2 Tempat Parkir 1 1 1 20 ha 153 Tabel 24. Fasilitas penunjang PPS Bitung. Jumlah (unit) Volume Satuan Volume Kondisi Manfaat Mess Karyawan 3 240,88 m² Baik Sesuai Pos Jaga 2 42,25 m² Baik Sesuai 1 150 m² Baik Sesuai m² Baik Sesuai Nama Fasilitas Pos Pelayanan Terpadu Guest House Tempat Peribadatan Klinik Kesehatan 2 2 1 935,52 150 MCK 1 45 m² Baik Sesuai Waserda/toko 4 30,71 m² Baik Sesuai 4) Terdapat pelaku usaha perikanan tangkap skala industri dan kecil. Pancing hand line berkembang di Bitung. Hal ini dalam rangka menekan biaya operasional laut yang monthly fishing menjadi one day fishing. Dengan demikian, Anak Buah Kapal (ABK) purse seine berubah menjadi hand line. 5) Kelengkapan peraturan perundang-undangan Indonesia. Berdasarkan analisa peraturan perundang-undangan tingkat nasional, peraturan perundangundangan Indonesia dalam pengelolaan perikanan, termasuk pengelolaan perikanan di laut lepas cukup lengkap. Bahkan, perkembangan terakhir, sudah ada aturan usaha perikanan tangkap di laut lepas, yaitu Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor Per.12/Men/2012. 6) Adanya estimasi jumlah tangkapan yang diperbolehkan. Estimasi jumlah tangkapan ditetapkan dengan Keputusan Menteri Kelautan dan Perikanan (Kepmen KP) Nomor Kep. 45/Men/2011 tentang Estimasi Potensi Sumberdaya Ikan di Wilayah Pengelolaan Perikanan Negara Republik Indonesia. Estimasi yang dikeluarkan berdasarkan Kepmen KP Nomor 45/Men/2011 yaitu sebesar 6.520.100 ton/tahun, dimana ikan pelagis kecil menempati urutan pertama, yaitu 3.645.700 ton/tahun, kemudian ikan demersal (1.452.500 ton/tahun), ikan pelagis besar (1.145.400 ton/tahun), ikan karang konsumsi (145.300 ton/tahun), udang penaeid (98.300 ton/tahun), cumi-cumi (28.300 ton/tahun), dan lobster (4.800 ton/tahun). Sementara 154 berdasarkan WPP, WPP 711 menempati urutan pertama, yaitu 1.059.000 ton/tahun, kemudian WPP 713 (929.700 ton/tahun), WPP 718 (855.500 ton/tahun), WPP 712 (836.600 ton/tahun), WPP 715 (595.600 ton/tahun), WPP 572 (565.200 ton/tahun), WPP 573 (491.700 ton/tahun), WPP 716 (333.600 ton/tahun), WPP 717 (299.100 ton/tahun), WPP 714 (278.000 ton/tahun), dan WPP 571 (276.000 ton/tahun. 7) Perairan Laut Sulawesi dan ZEE Indonesia di Samudera Pasifik diindikasikan sebagai spawning ground yellowfin. Sebagaimana Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor PER.01/MEN/2009 tentang Wilayah Pengelolaan Perikanan Republik Indonesia, terdapat 11 WPP Republik Indonesia. Kedua WPP-RI tersebut diindikasikan sebagai spawning ground tuna yellowfin (yellowfin). Adapun kedua WPP-RI tersebut, yaitu WPP 716 (Laut Sulawesi dan sebelah Utara Pulau Halmahera), meliputi Provinsi Sulawesi Utara, Provinsi Sulawesi Tengah, Provinsi Maluku Utara, dan Provinsi Gorontalo; dan WPP 717 (perairan Teluk Cendrawasih dan Samudera Pasifik), meliputi : Provinsi Papua, Provinsi Papua Barat, dan Provinsi Maluku Utara. 8) Jumlah armada penangkapan dan nelayan pada WPP 716 dan 717 cukup besar. Data statistik perikanan tangkap per WPP tahun tahun 2011 menunjukan bahawa terdapat 754 kapal penangkapan ikan, dimana 84 persen Page 1 of 1 2/17/2013 11:02:21 AM atau 630 kapal berukuran antara 20 -100 GT M Selanjutnya o d e l faktor-faktor N a m e : ini S t r e n g t - S dianalisis menggunakan metode Priorities with respect to: perbandingan berpasangan. Hasil analisis perhitungan bobot disajikan pada Goal: Kekuatan Gambar 25 dan Tabel 25. Adanya asosiasi perikanan tuna Pelayanan perikanan satu atap Pelabuhan perikanan dan sarana Terdapat pelaku usaha perikana Kelengkapan peraturan perundan Adanya estimasi jumlah tangkap Perairan Laut Sulawesi dan ZEE Jumlah armada penangkapan dan Inconsistency = 0.02 with 0 missing judgments. .058 .088 .099 .036 .137 .169 .373 .041 Gambar 25. Hasil Analisa Perbandingan Kekuatan 155 Berdasarkan hasil analisis di atas menghasilkan nilai consistency ratio (CR) sebesar 0.02. Artinya, data pengisian kuisioner dari responden cukup konsisten sehingga tidak perlu dilakukan revisi pendapat. Revisi pendapat dilakukan apabila nilai CR > 0,1, dengan pengulangan pengisian kuesioner atau melakukan pengolahan data (adjustment) (Saaty, 1983). Tabel 21. Hasil Skor Bobot dan Rangking Aspek Kekuatan No. Aspek 1 2 3 4 Adanya asosiasi perikanan tuna Pelayanan perikanan satu atap Pelabuhan perikanan dan sarana penunjang tersedia Terdapat pelaku usaha perikanan tangkap skala industri dan kecil Kelengkapan peraturan perundang-undangan Indonesia Adanya estimasi jumlah tangkapan yang diperbolehkan perairan Laut Sulawesi dan ZEE Indonesia di Samudera Pasifik diindikasikan sebagai Spawning Gound yellow fin tuna Jumlah armada penangkapan dan nelayan cukup besar 5 6 7 8 Skor Bobot 0,035 0,053 0,059 0,022 Rangking 6 5 4 8 0,082 3 0,101 2 0,224 1 0,024 7 Hasil analisis pembobotan faktor kekuatan yang memberikan peluang menunjukkan bahwa perairan Laut Sulawesi dan ZEE Indonesia di Samudera Pasifik diindikasikan sebagai spawning ground yellow fin tuna mendapatkan bobot relatif tertinggi (0,224) dibandingkan faktor lainnya. Urutan bobot relatif lainnya adalah adanya estimasi jumlah tangkapan yang diperbolehkan (0,101), kelengkapan peraturan perundang-undangan Indonesia (0,082), pelabuhan perikanan dan sarana penunjang tersedia (0,059), pelayanan perikanan satu atap (0,053), adanya asosiasi perikanan tuna (0,035), jumlah armada penangkapan dan nelayan cukup besar (0,024), dan terdapat pelaku usaha perikanan tangkap skala industri dan kecil (0,022) 156 Kelemahan (Weaknes) Berdasarkan hasil wawancara dengan responden dan analisa peraturan internasional serta peraturan perundang-undangan nasional, beberapa faktor diidentifikasi sebagai kelemahan dalam strategi diplomasi Indonesia di WCPFC. Kelemahan-kelemahan tersebut mencakup: (1) Penempatan rumpon tidak sesuai peraturan. Kementerian Kelautan dan Perikanan mengeluarkan Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor PER.02/Men/2011 tentang Jalur Penangkapan Ikan dan Penempatan Alat Penangkapan Ikan dan Alat Bantu Penangkapan Ikan di Wilayah Pengelolaan Perikanan Negara Republik Indonesia Menurut Peraturan Menteri ini, jalur penangkapan ikan di WPP-NRI terdiri dari: a. Jalur penangkapan ikan I, terdiri dari: jalur penangkapan ikan IA, meliputi perairan pantai sampai dengan 2 mil laut yang diukur dari permukaan air laut pada surut terendah, dan Jalur penangkapan ikan IB, meliputi perairan pantai di luar 2 mil laut sampai dengan 4 mil laut. b. Jalur penangkapan ikan II, meliputi perairan di luar jalur penangkapan ikan I sampai dengan 12 mil laut diukur dari permukaan air laut pada surut terendah. c. Jalur penangkapan ikan III, meliputi ZEEI dan perairan di luar jalur penangkapan ikan II. (2) Sistem pendataan perikanan Indonesia masih belum baik. Permasalahan klasik dan mendasar dalam pengelolaan perikanan Indonesia adalah lemahnya sistem pendataan. Namun demikian, dalam perkembangannya, sistem pendataan perikanan tangkap dibenahi dengan cara dikeluarkannya aturan logbook penangkapan ikan melalui Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor Per.18/Men/2010. Hal ini sebagaimana dituangkan dalam konsideran menimbang, yaitu bahwa dalam rangka mendukung kebijakan pengelolaan sumber daya ikan yang optimal dan berkelanjutan serta terjaminnya kelestarian sumber daya ikan, diperlukan data dan informasi perikanan yang akurat terkait dengan kegiatan penangkapan ikan dalam logbook penangkapan ikan. Alur dan mekanisme pelaksanaan logbook 157 Penangkapan Ikan sebagaimana diatur dalam Permen KP Nomor 18/Men/2010 disajikan pada Gambar 26. Gambar 26. Alur dan Mekanisme Logbook Penangkapan Ikan (3) Pelaksanaan observer dan board inspection belum optimal. Berdasarkan analisa peraturan sebelumnya, bahwa kegiatan observer dan board inspection sudah diatur dalam beberapa peraturan perundang-undangan Indonesia, yaitu Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor Per.12/Men/2012 dan Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor Per.30/Men/2012. Namun program tersebut dihadapkan pada berbagai kendala keterbatasan jumlah sumberdaya manusia. (4) Pelaksanaan VMS masih belum optimal. Berdasarkan analisa peraturan sebelumnya, kewajiban penggunaan VMS diatur dengan UU No. 31 Tahun 2004 sebagaimana diubah dengan UU No. 45 Tahun 2009, Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor. Per.05/Men/2007, Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor. Per.12/Men/2012, dan Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor. Per.30/Men/2012. Namun demikian, banyak nelayan yang tidak mengaktifkan VMS tersebut. 158 (5) Belum ada RPP Laut Sulawesi dan Samudera Pasifik. Setiap WPP-NRI seharusnya memilki Rencana Pengelolaan Perikanan (RPP). Namun untuk kedua WPP tersebut hingga saat ini belum ditetapkan dalam suatu Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan. Ketiadaan dokumen RPP yang disahkan secara hukum, dikhawatirkan mendukung kerusakan sumberdaya dan ekosistem perairannya. (6) NPOA IUU Fishing dan Shark Managemet belum ditetapkan menjadi peraturan. National Plan of Action (NPOA) untuk IUU Fishing dan Shark merupakan dokumen yang dapat dijadikan pedoman dalam mengelola IUU Fishing dan hiu. Namun hingga saat ini, Indonesia belum menetapkannya sebagai dokumen hukum yang dapat dijadikan sebagai landasan pengelolaan hiu dan pemberantasan IUU fishing. (7) Belum adanya kebijakan dan strategi nasional dalam meningkatkan posisi tawar pemerintah Indonesia. Indonesia merupakan negara kepulauan yang diapit dua samudera yang didalamnya menyimpang potensi sumberdaya ikan. Perkembangan hukum internasional, menempatkan laut lepas bukan lagi sebagai kawasan bebas untuk penangkapan ikan. Hal ini dikarenakan, hukum internasional memberikan mandat kepada RFMO untuk mengelola suatu kawasan laut lepas. Oleh karena itu, dalam mensejajarkan diri dengan Negara tetangga, maka Indonesia perlu menyusun strategi untuk meningkatkan posisi tawar pemerintah Indonesia dalam forum internasional atau regional. (8) Armada penangkapan ikan nasional didominasi oleh kapal-kapal penangkapan berukuran kecil. Armada perikanan nasional Indonesia didominasi oleh armada penangkapan ikan skala kecil. Pada tahun 2011, dari 58.651 unit armada penangkapan ikan pada WPP 716 dan 717 didominasi oleh armada perikanan tangkap skala kecil, yaitu perahu tanpa motor sebanyak 28.583 unit (48,73%), motor tempel sebanyak 23.198 (39,55%), dan kapal motor sebanyak 6870 unit (11,62%). Selanjutnya faktor-faktor ini dianalisis menggunakan metode perbandingan berpasangan. Hasil analisis perhitungan bobot disajikan pada Gambar 27 dan Tabel 26. 159 Gambar 27. Hasil Analisa Perbandingan Kelemahan Tabel 26. Hasil Skor Bobot dan Rangking Aspek Kelemahan No. 1 2 3 4 5 6 7 8 Aspek Penempatan rumpon tidak sesuai peraturan System pendataan perikanan Indonesia masih belum baik Pelaksanaan observer dan board inspection belum optimal Pelaksanaan VMS masih belum optimal Belum ada RPP Laut Sulawesi dan Samudera Pasifik NPOA IUU Fishing dan Shark Managemet belum ditetapkan menjadi peraturan Belum adanya kebijakan dan strategi nasional dalam meningkatkan posisi tawar pemerintah Indonesia. Armada penangkapan ikan nasional didominasi oleh kapal-kapal penangkapan berukuran kecil Skor Bobot 0,018 0,034 Rangking 7 5 0,047 4 0,028 0,096 6 1 0,071 3 0,094 2 0,012 8 Berdasarkan hasil analisis di atas menghasilkan nilai consistency ratio (CR) sebesar 0.02. Artinya, data pengisian kuisioner dari responden cukup konsisten sehingga tidak perlu dilakukan revisi pendapat serta cukup valid untuk analisis lebih lanjut. Hasil analisis pembobotan faktor kelemahan yang memberikan peluang menunjukkan bahwa belum ada RPP Laut Sulawesi dan Samudera Pasifik (0,096) dibandingkan faktor lainnya. Urutan bobot relatif lainnya adalah belum adanya kebijakan dan strategi nasional dalam meningkatkan posisi tawar pemerintah Indonesia (0,094), NPOA IUU Fishing dan Shark Managemet belum ditetapkan 160 menjadi peraturan (0,071), pelaksanaan observer dan board inspection belum optimal (0,047), system pendataan perikanan Indonesia masih belum baik (0,034), pelaksanaan VMS masih belum optimal (0,028), penempatan rumpon tidak sesuai peraturan (0,018) dan Armada penangkapan ikan nasional didominasi oleh kapalkapal penangkapan berukuran kecil (0,012) B. Eksternal Peluang (Opportunity) Berdasarkan hasil wawancara dengan responden dan analisa peraturan internasional serta peraturan perundang-undangan nasional, beberapa faktor diidentifikasi sebagai peluang dalam strategi diplomasi Indonesia di WCPFC. Peluang-peluang tersebut mencakup: 1) Potensi sumberdaya ikan belum dimanfaatkan secara optimal. Mengacu kepada Keputusan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor KEP.45/Men/2011 tentang Estimasi Potensi Sumber Daya Ikan di Wilayah Pengelolaan Perikanan Negara Republik Indonesia, WPP 716 dan 717 untuk skipjack berstatus moderate. 2) Regulasi/kebijakan industrialisasi dan minapolitan perikanan. Minapolitan dan industrialisasi perikanan merupakan kebijakan Kementerian Kelautan dan Perikanan dalam mendorong industri perikanan, termasuk didalamnya adalah untuk komoditas tuna, tongkol dan cakalang. Kebijakan ini mendukung pengembangan industri tuna di Indonesia. Landasan hukum kebijakan industrialisasi perikanan ditetapkan melalui Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor Per.27/Men/2012 tentang Pedoman Umum Industrialisasi Kelautan dan Perikanan. Sementara landasan hukum pengembangan minapolitan, yaitu Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor Per.18/Men/2012. 3) Kajian dan mitigasi kematian non-target spesies. WCPFC mengeluarkan beberapa CMM untuk melakukan mitigasi terhadap kematian non-target spesies, seperti burung laut, penyu, hiu, dan Cetaceans. 161 4) Mempertimbangkan nelayan artisanal dan subsisten. Konvensi WCPFC memuat ketentuan mengenai pertimbangan nelayan artisanal dan subsisten. Hal ini sebagaimana dituangkan dalam Pasal 5 butir h Konvensi WCPFC. 5) Tersedianya bantuan teknis dan finansial dari WCPFC, serta terhindar dari embargo ekspor produk perikanan Indonesia oleh negara-negara anggota WCPFC 6) Penguatan posisi Indonesia dalam forum WCPFC . Status Indonesia sebagai CNM hanya memiliki hak bicara dalam setiap pertemuan, sementara member akan memilki hak suara. Dengan demikian, keterlibatan aktif Indonesia dalam WCPFC akan memudahkan Indonesia dalam hal pertukaran data dan informasi diantara negara anggota serta terhindar dari ancaman embargo. 7) Dapat memengaruhi keputusan-keputusan yang diambil WCPFC serta memudahkan Indonesia dalam hal pertukaran data dan informasi diantara negara anggota Selanjutnya faktor-faktor ini dianalisis menggunakan metode perbandingan berpasangan. Hasil analisis perhitungan bobot disajikan pada Gambar 28 dan Tabel 27. Gambar 28. Hasil Analisa Perbandingan Peluang 162 Tabel 27. Hasil Skor Bobot dan Rangking Aspek Peluang No. Aspek 1 Potensi SDI belum dimanfaatkan secara optimal Skor Bobot 0.033 Rangking 7 2 Regulasi/kebijakan industrialisasi dan minapolitan perikanan Kajian dan mitigasi kematian non-target spesies (burung laut, penyu dan hiu, Cetaceans) Mempertimbangkan nelayan artisanal dan subsisten 0,047 6 0,099 4 0,073 5 Tersedianya bantuan teknis dan finansial dari WCPFC, serta terhindar dari embargo ekspor produk perikanan Indonesia oleh negara-negara anggota WCPFC. Penguatan posisi Indonesia dalam forum WCPFC Dapat memengaruhi keputusan-keputusan yang diambil WCPFC serta memudahkan Indonesia dalam hal pertukaran data dan informasi diantara negara anggota 0,133 3 0,333 0,282 1 2 3 4 5 6 7 Berdasarkan hasil analisis di atas menghasilkan nilai consistency ratio (CR) sebesar 0.02. Artinya, data pengisian kuisioner dari responden cukup konsisten sehingga tidak perlu dilakukan revisi pendapat serta cukup valid untuk analisis lebih lanjut. Hasil analisis pembobotan faktor peluang yang memberikan peluang menunjukkan bahwa penguatan posisi Indonesia dalam forum WCPFC mendapatkan bobot relatif tertinggi (0,333) dibandingkan faktor lainnya. Urutan bobot relatif lainnya adalah Dapat memengaruhi keputusan-keputusan yang diambil WCPFC serta memudahkan Indonesia dalam hal pertukaran data dan informasi diantara negara anggota (0,282); Tersedianya bantuan teknis dan finansial dari WCPFC, serta terhindar dari embargo ekspor produk perikanan Indonesia oleh negara-negara anggota WCPFC (0,133); Kajian dan mitigasi kematian non-target spesies (burung laut, penyu dan hiu, Cetaceans) (0,099); Mempertimbangkan nelayan artisanal dan subsisten (0,073); Regulasi/kebijakan industrialisasi dan minapolitan perikanan (0,047); dan Potensi SDI belum dimanfaatkan secara optimal (0.033) 163 Ancaman (Threat) Berdasarkan hasil wawancara dengan responden dan analisa peraturan internasional serta peraturan perundang-undangan nasional, beberapa faktor diidentifikasi sebagai ancaman dalam strategi diplomasi Indonesia di WCPFC. Ancaman-ancaman tersebut mencakup: (1) Kegiatan illegal fishing oleh nelayan asing. Perairan Sulawesi umumnya menjadi tempat praktik-praktik illegal fishing nelayan Filipina. Nelayan Filipina sekarang banyak menggunakan pump boat untuk mencuri ikan di Indonesia. Gambar 29. Pumb Boat Filipina yang Tertangkap PSDKP Bitung (2) Aturan internasional yang melarang penangkapan baby tuna. Dalam rangka menjamin perikanan tuna berkelanjutan, maka WCPFC mengeluarkan CMM 2008-02 (Conservation and Management Measure for Big-eye and Yellow-fin Tuna in the WCPFC) untuk melarang penangkapan baby tuna, untuk tuna yellowfin dan bigeye. Hal ini harus menjadi perhatian stakeholder perikanan tuna Indonesia, karena bisa berdampak terhadap embargo ekspor tuna Indonesia. (3) Transshipment di tengah laut. Salah satu praktik-praktik IUU Fishing yang marak di wilayah Bitung adalah transshipment di tengah laut. Ikan hasil tangkapan transshipment tersebut dibawa ke Filipina, yaitu General Santos. (4) Wilayah penerapan WCPFC memasuki perairan kepulauan Indonesia. Wilayah penerapan WCPFC sebagaimana dituangkan dalam Pasal 3 memasukan wilayah perairan kepulauan Indonesia. Hal ini menimbulkan 164 penolakan Kementerian Luar Negeri dalam meratifikasi Konvensi WCPFC. (5) Pembatasan penangkapan spesies tertentu . Beberapa spesies yang dibatasi penangkapannya adalah North Pacific Albacore, South Pacific Albacore, Striped Marlin in the Southwest Pacific, Swordfish, North Pacific Striped Marlin, Pacific Bluefin Tuna, Oceanic Whitetip Shark. Hal ini sebagaimana diatur dalam CMM. (6) Pembatasan penggunaan rumpon. CMM 2009-02 (FAD Closures And Catch Retention) mengatur pembatasan penggunaan rumpon dalam penggunaan alat tangkap purse seine. Hal ini mengancam nelayan purse seine Indonesia yang menggunakan rumpon untuk mengumpulkan ikan. (7) Beberapa ketentuan internasional yang pada awalnya bersifat sukarela telah berubah menjadi bersifat wajib dan mengikat. Sebagaimana diketahui bersama, bahwa FAO mengeluarkan International Plan of Action (IPOA) untuk IUU fishing, hiu dan burung laut. Namun WCPFC, mengeluarkan CMM yang bersifat mengikat dalam pengelolaan untuk hiu dan burung laut serta pemberantasan IUU fishing. (8) Pengelolaan sumberdaya di wilayah yurisdiksi nasional diindikasikan dikendalikan oleh internasional dan regional. Wilayah penerapan WCPFC yang memasukan perairan kepulauan Indonesida dan ZEE Indonesia adalah ancaman. Hal ini dikarenakan, setiap kegiatan penangkapan ikan oleh nelayan Indonesia di wilayah tumpang tindih tersebut, Indonesia bisa mendapatkan teguran atau bahkan sanksi. 2/17/2013 11:59:15 AM Selanjutnya faktor-faktor ini dianalisis Model Name: Threath-T Page 1 of 1 menggunakan metode perbandingan berpasangan. Hasil analisis perhitungan bobot disajikan pada Priorities with respect to: Goal: Ancaman Gambar 33 dan Tabel 28. Kegiatan illegal fishing oleh Larangan penangkapan baby tuna Transhipment di tengah laut Wilayah penerapan WCPFC memasu Pembatasan penangkapan spesies Pembatasan penggunaan rumpon Beberapa ketentuan internasion Aturan pengelolaan SDI di wila Inconsistency = 0.02 with 0 missing judgmen ts. .022 .291 .032 .167 .217 .116 .098 .056 Gambar 30. Hasil Analisa Perbandingan Ancaman 165 Tabel 28. Hasil Skor Bobot dan Rangking Aspek Ancaman No. Aspek 1 2 Kegiatan illegal fishing oleh nelayan asing Aturan internasional yang melarang penangkapan baby tuna Transhipmen di tengah laut Wilayah penerapan WCPFC memasuki perairan kepulauan Indonesia Pembatasan penangkapan spesies tertentu Pembatasan penggunaan rumpon Beberapa ketentuan internasional yang pada awalnya bersifat sukarela telah berubah menjadi bersifat wajib dan mengikat. Pengelolaan sumberdaya di wilayah yurisdiksi nasional diindikasikan dikendalikan oleh internasional dan regional 3 4 5 6 7 8 Skor Bobot 0,009 0,116 Rangking 8 1 0,013 0,067 7 3 0,087 0,046 0,039 2 4 5 0,023 6 Berdasarkan hasil analisis di atas menghasilkan nilai consistency ratio (CR) sebesar 0.02. Artinya, data pengisian kuisioner dari responden cukup konsisten sehingga tidak perlu dilakukan revisi pendapat serta cukup valid untuk analisis lebih lanjut. Hasil analisis pembobotan faktor peluang yang memberikan peluang menunjukkan bahwa aturan internasional yang melarang penangkapan baby tuna mendapatkan bobot relatif tertinggi (0,116) dibandingkan faktor lainnya. Urutan bobot relatif lainnya adalah pembatasan penangkapan spesies tertentu (0,087); wilayah penerapan WCPFC memasuki perairan kepulauan Indonesia (0,067); pembatasan penggunaan rumpon (0,046); beberapa ketentuan internasional yang pada awalnya bersifat sukarela telah berubah menjadi bersifat wajib dan mengikat (0,039); pengelolaan sumberdaya di wilayah yurisdiksi nasional diindikasikan dikendalikan oleh internasional dan regional (0,023); transhipmen di tengah laut (0,013); dan kegiatan illegal fishing oleh nelayan asing (0,009). 5.5.2 Matriks IFE dan EFE Berdasarkan hasil analisis terhadap faktor-faktor internal dan eksternal, maka dapat disusun matriks IFE yang berisi kekuatan dan kelemahan serta matriks EFE yang berisi peluang dan ancaman disertai dengan bobot dan rating. 166 Penentuan bobot diambil dari hasil AHP sedangkan rating ditentukan oleh peneliti yang melihat hasil diskusi dengan responden. Diskusi dengan responden dilakukan saat responden sebelum dan sesudan mengisi kuesinoner. Bobot dan rating kemudian dikalikan untuk memperoleh skor, sedangkan untuk mendapatkan skor akhir internal dan eksternal maka skor dari responden tersebut dirata-rata. Tabel matriks IFE strategi kebijakan perikanan tuna dapat dilihat pada Tabel 29. Tabel 29 Matriks IFE efektivitas strategi kebijakan perikanan tuna Rata-rata Faktor Strategis Internal A B C D E G H I kekuatan Adanya asosiasi perikanan tuna Pelayanan perikanan satu atap Pelabuhan perikanan dan sarana penunjang tersedia Terdapat pelaku usaha perikanan tangkap skala industri dan kecil Kelengkapan peraturan perundang-undangan Indonesia Adanya estimasi jumlah tangkapan yang diperbolehkan perairan Laut Sulawesi dan ZEE Indonesia di Samudera Pasifik diindikasikan sebagai Spawning Jumlah armada penangkapan dan nelayan cukup besar Skor Bobot Rating 0.035 0.053 0.059 0.022 2 2 2 1 0.070 0.106 0.119 0.022 0.082 3 0.247 0.101 3 0.304 0.224 4 0.895 0.024 2 0.048 0.018 0.034 2 2 0.037 0.068 0.047 2 0.094 0.028 0.096 0.071 2 4 3 0.055 0.382 0.212 0.094 3 0.283 0.012 1 0.012 0.6 Kelemahan Penempatan rumpon tidak sesuai peraturan System pendataan perikanan Indonesia masih belum baik M Pelaksanaan observer dan board inspection belum optimal N Pelaksanaan VMS masih belum optimal O Belum ada RPP Laut Sulawesi dan Samudera Pasifik P NPOA IUU Fishing dan Shark Managemet belum ditetapkan menjadi peraturan K L Q R Belum adanya kebijakan dan strategi nasional dalam meningkatkan posisi tawar pemerintah Indonesia Armada penangkapan ikan nasional didominasi oleh kapal-kapal penangkapan berukuran kecil 0.400 Total 1 2.954 167 Berdasarkan hasil perhitungan matriks IFE di atas maka dapat disimpulkan bahwa efektivitas strategi kebijakan perikanan tuna secara internal berada dalam kondisi rata-rata. Hal ini dapat dilihat dari nilai total nilai sebesar 2,954. Pada Tabel 26 dapat diketahui bahwa kekuatan utama strategi kebijakan adalah perairan Laut Sulawesi dan ZEE Indonesia di Samudera Pasifik diindikasikan sebagai spawning dengan nilai 0.895. Spawning ground di wilayah Indonesia dapat dijadikan alat diplomasi yang menguntungkan Indonesia dalam setiap pembuatan keputusan WCPFC. Namun demikian, di sisi lain, lemahnya diplomasi akan menyudutkan Indonesia ketika nelayan Indonesi melakukan penangkapan ikan baby tuna yang berada di Indonesi. Oleh karena itu, keberadaan spawning ground tersebut perlu dikaji secara ilmiah. Faktor kedua adalah adanya estimasi jumlah tangkapan yang diperbolehkan dengan nilai 0.304. Adanya estimasi perikanan Indonesia merupakan amanat dari UNCLOS 1982 untuk menjadi alat ukur dalam pengelolaan perikanan. Oleh karena itu, keberadaan data perikanan yang baik adalah syarat utama dalam memperbaiki dan menyusun estimasi perikana tersebut. Faktor terakhir adalah kelengkapan peraturan perundang-undangan Indonesia dengan nilai sebesar 0.247. Berdasarkan hasil analisa peraturan perundang-undangan, bahwa peraturan perundang-undangan secara umum sudah lengkap meski ada beberapa peraturan yang perlu ditetapkan. Namun demikian, kelengkapan peraturan perundang-undangan Indonesia merupakan kekuatan Indonesia dalam melakukan diplomasi, bahwa Indonesia memiliki kepedulian yang sama dengan negara lainnya dalam mewujudkan perikanan berkelanjutan dan bertanggung jawab. Kelemahan utama strategi kebijakan adalah belum adanya Rencana Pengelolaan Perikanan (RPP) Laut Sulawesi dan Samudera Pasifik dengan nilai sebesar 0.096. Ketiadaan RPP ini dapat berpengaruh terhadap keberlanjutan perikanan di kedua WPP tersebut. Dengan demikian, ketiadaan RPP adalah kelemahan yang harus menjadi perhatian pemerintah Indonesia. Faktor kedua adalah belum adanya kebijakan dan strategi nasional dalam meningkatkan posisi tawar pemerintah Indonesia dengan nilai sebesar 0,174. Permasalahan posisi tawar adalah hal penting dalam diplomasi, sehingga 168 kekuatan-kekuatan seperti adanya indikasi spawning ground dapat dijadikan alat utama meningkatkan posisi tawar tersebut. Faktor terakhir adalah NPOA IUU Fishing dan Shark Managemet belum ditetapkan menjadi peraturan. Kedua NPOA tersebut belum ditetapkan dalam sebuah peraturan. Hal ini dikarenakan, IUU Fishing dan hiu dimuat dalam international plan of action (IPOA) yang bersifat softlaw. Padahal, dalam RFMO, khususnya WCPFC, aturan yang softlaw diubah menjadi hardlaw melalui CMM. Sementara itu, matriks EFE efektivitas strategi kebijakan perikanan tuna dapat dilihat pada Tabel 26. Berdasarkan hasil analisis matriks EFE, diperoleh jumlah skor rata-rata untuk faktor eksternal sebesar 2.965. Nilai ini memperlihatkan bahwa efektivitas strategi kebijakan perikanan tuna berada dalam level rata-rata. Tabel 30 Matriks EFE efektivitas strategi kebijakan perikanan tuna Faktor strategis eksternal A B C D E F G Peluang Potensi SDI belum dimanfaatkan secara optimal Regulasi/kebijakan industrialisasi dan minapolitan perikanan Kajian dan mitigasi kematian non-target spesies Mempertimbangkan nelayan artisanal dan subsisten Tersedianya bantuan teknis dan finansial dari WCPFC, serta terhindar dari embargo ekspor produk perikanan Indonesia oleh negara-negara anggota WCPFC Penguatan posisi Indonesia dalam forum WCPFC Dapat memengaruhi keputusan-keputusan yang diambil WCPFC serta memudahkan Indonesia dalam hal pertukaran data dan informasi diantara negara anggota Rata-rata Skor Bobot Rating 0.0198 0.0282 0.0594 0.0438 0.0798 1 2 3 2 3 0.020 0.056 0.178 0.088 0.239 0.1998 0.1692 4 3 0.799 0.508 0.009 0.116 0.013 0.067 2 4 2 3 0.018 0.466 0.026 0.200 0.087 0.046 0.039 2 2 2 0.174 0.093 0.078 0.023 1 0.023 0.6 H I J K L M N P Ancaman Kegiatan illegal fishing oleh nelayan asing Aturan internasional yang melarang penangkapan baby tuna Transhipmen di tengah laut Wilayah penerapan WCPFC memasuki perairan kepulauan Indonesia Pembatasan penangkapan spesies tertentu Pembatasan penggunaan rumpon Beberapa ketentuan internasional yang pada awalnya bersifat sukarela telah berubah menjadi bersifat wajib dan mengikat Pengelolaan sumberdaya di wilayah yurisdiksi nasional diindikasikan dikendalikan oleh internasional dan regional Total 0.4 1.000 2.965 169 Berdasarkan Tabel 30 bahwa peluang utama adalah penguatan posisi Indonesia dalam forum WCPFC menduduki urutan pertama. Hal ini bisa dilihat dari nilai sebesar 0.799. Penguatan tersebut dengan membenahi hal-hal yang dipersyaratkan oleh WCPFC seperti pembenahan sistem data dan implementasi MCS yang baik serta terlibat aktif dalam setiap pertemuan yang diselenggarakan. Peluang kedua yang dapat dimanfaatkan adalah dapat memengaruhi keputusan-keputusan yang diambil WCPFC serta memudahkan Indonesia dalam hal pertukaran data dan informasi diantara negara anggota dengan nilai sebesar 0.508. Peluang ini didasarkan bahwa Indonesia memperkuat diplomasi dengan berbagai kepatuhan dan bukti ilmiah tentang spawning ground. Faktor ketiga adalah tersedianya bantuan teknis dan finansial dari WCPFC, serta terhindar dari embargo ekspor produk perikanan Indonesia oleh negara-negara anggota WCPFC dengan nilai sebesar 0.263. Sebagaimana yang disebutkan sebelunya, bahwa keterlibatan aktif Indonesia selain peduli terhadap isu global dan regional, juga mendapatkan bantuan teknis dan financial dalam mewujudkan perikanan di wilayah WCPFC. Faktor utama yang menjadi ancaman efektivitas strategi kebijakan adalah aturan internasional yang melarang penangkapan baby tuna. Faktor ini memiliki nilai sebesar 0.466. Larangan penangkapan baby tuna tersebut berdasarkan CMM yang disebabkan oleh menurunnya tangkapan tuna yellowfin dan bigeye. Oleh karena itu, larangan penggunaan purse seine dengan menggunakan rumpon juga telah dikeluarkan. Faktor ancaman kedua adalah wilayah penerapan WCPFC memasuki perairan kepulauan Indonesia. Faktor ini memiliki nilai sebesar 0.200. Wilayah penerapan WCPFC memasukan perairan kepulauan Indonesia, sehingga dalam ratifikasi yang akan dilakukan oleh pemerintah Indonesia harus memberikan catatan untuk batasan wilayah tersebut. hal ini dikarenakan, biasanya pengelolaan RFMO berada di luar ZEE. Faktor ketiga adalah pembatasan penangkapan spesies tertentu dengan nilai 0.174. Pembatasan tersebut dalam rangka menjaga keberlanjutan spesies tertentu yang dikhawatirkan musnah. Berdasarkan dari perhitungan matriks IFE dan EFE diperoleh jumlah nilai rata-rata sebesar 2.954 dan 2.965. Penggabungan antara nilai IFE dan EFE pada matriks IE akan 170 menunjukkan efektivitas strategi kebijakan perikanan tuna berada pada sel ke lima (V) seperti yang terlihat pada Gambar 34. Dengan demikian, strategi yang terbaik yang sebaiknya dilakukan adalah menjaga dan mempertahankan posisi yang selama ini sudah diraih. Kebijakan umum dari strategi ini adalah dengan cara penguatan posisi Indonesia dalam WCPFC. Selain itu, perlu peningkatan system pengumpulan data dan informasi yang disertai dengan peningkatan pengawasan. Total Rata-rata Tertimbang IFE Tinggi (3,0-4,0) Total Sedang Rata-rata (2,0-2,99) Tertimbang EFE Rendah (1,0-1,99) Kuat (3,0-4.0) I Rata-rata (2,0-2,99) II Lemah (1,0-1,99) III IV V VI VII VIII IX Gambar 31 Matriks IE 5.6 Strategi Kebijakan Setelah melakukan analisis terhadap faktor internal dan eksternal, selanjutnya dapat diformulasikan alternatif strategi dengan menggunakan matriks SWOT, yang merupakan kombinasi dari strategi SO, WO, ST, dan WT. perumusan strategi dilakukan dengan mempertimbangkan keempat faktor yaitu kekuatan, kelemahan, peluang, dan ancaman yang telah diidentifikasi. Strategi yang dihasilkan merupakan kombinasi SO (strength-opportunities), ST (strengththreats), WO (weakness-opportunities), dan WT (weakness-threats) yang dirangkum dalam matriks SWOT. Perumusan strategi pemasaran yang dibangun dengan menggunakan matriks SWOT dapat pada Tabel 27. Peluang (Opportunities) O1. Potensi SDI belum dimanfaatkan secara optimal; O2. Regulasi/kebijakan industrialisasi perikanan dan minapolitan; O3. Kajian dan mitigasi kematian non-target spesies; O4. Mempertimbangkan nelayan artisanal dan subsisten; O5. Tersedianya bantuan teknis dan finansial dari WCPFC; O6. Penguatan posisi Indonesia dalam forum WCPFC; O7. Dapat memengaruhi keputusan-keputusan yang diambil WCPFC serta memudahkan Indonesia dalam hal pertukaran data dan informasi diantara negara anggota EFAS IFAS SO SO1. Penelitian perikanan secara rutin (S3, S6, S7, S8, S9, O1, O3, O4, O5, O6, O7) SO2. Pengembangan fasilitas dan pelayanan pelabuhan perikanan (S1, S2, S3, S4, S8, O1, O2, O4) SO3. Penguatan peran asosiasi perikanan tuna (S1, S4, O1, O2, O4) Kekuatan (Strengths) S1. Adanya asosiasi perikanan tuna; S2. Pelayanan perikanan satu atap; S3. Pelabuhan perikanan dan sarana penunjang tersedia; S4. Terdapat pelaku usaha perikanan tangkap skala industri dan kecil; S5. Kelengkapan peraturan perundang-undangan Indonesia; S6. Adanya estimasi jumlah tangkapan yang diperbolehkan; S7. Spawning Gound yellow fin tuna; S8. Jumlah armada penangkapan dan nelayan cukup besar; Tabel 31. Matrik SWOT untuk Perumusan Strategi Diplomasi Indonesia Kelemahan (Weaknesses) W1. Penempatan rumpon tidak sesuai peraturan; W2. System pendataan perikanan Indonesia masih belum baik; W3. Pelaksanaan observer dan board inspection belum optimal; W4. Pelaksanaan VMS masih belum optimal; W5. Belum ada RPP Laut Sulawesi dan Samudera Pasifik; W6. NPOA IUU Fishing dan Shark Managemet belum ditetapkan menjadi peraturan; W7. Belum adanya kebijakan dan strategi nasional dalam meningkatkan posisi tawar pemerintah Indonesia; W8. Armada penangkapan ikan nasional didominasi oleh kapal-kapal penangkapan berukuran kecil WO WO1. Pengembangan sistem informasi dan data (W2, W3, W4, O1, O3, O4, O5, O6, O7) WO 2. Peningkatan MCS (W1, W2, W3, W4, W5, W7, O3, O4, O5) WO 3. Penetapan dokumen RPP (W5, W6, W7, O1, O2, O3, O4, O5, O6, O7) WO 4. Penguatan armada tangkap (W1, W8, O1, O2, O4) 171 Ancaman (Threats) T1. Kegiatan illegal fishing oleh nelayan asing; T2. Aturan internasional yang melarang penangkapan baby tuna; T3. Transshipment di tengah laut; T4. Wilayah penerapan WCPFC memasuki perairan kepulauan Indonesia; T5. Pembatasan penangkapan spesies tertentu. T6. Pembatasan penggunaan rumpon; T7. Beberapa ketentuan internasional yang pada awalnya bersifat sukarela telah berubah menjadi bersifat wajib dan mengikat; T8. Pengelolaan sumberdaya di wilayah yurisdiksi nasional diindikasikan dikendalikan oleh internasional dan regional; ST ST1. Penguatan sistem penegakan hukum (S2, S5, T1, T2, T3, T5, T6, T7) ST2. Penguatan kerjasama regional dengan WCPFC (S1, S2, S3, S4, S6, S7, S8, S8, T2, T4, T5,T6, T7, T8) WT WT1. Sinergisasi aturan pemasangan rumpon (W1, T1, T2, T5, T6) 172 173 Berdasarkan analisis matriks SWOT didapatkan empat macam strategi yang dapat dijelaskan sebagai berikut: a. Strategi Strength-Opportunities (SO) Strategi SO adalah strategi menggunakan kekuatan yang dimiliki untuk memanfaatkan peluang yang ada. Berdasarkan kekuatan dan peluang yang diperoleh, maka strategi yang seharusnya dilakukan adalah penelitian perikanan secara rutin. Hal ini didasarkan adanya perbaikan data setiap tahun terkait dengan estimasi, penelitian spawning ground yang dapat dijadikan alat diplomasi, dan adanya bantuan teknis dan keuangan sehingga perlu peningkatan penelitian yang dasar dan strategis. Strategi kedua yang dapat dilakukan adalah pengembangan fasilitas dan pelayanan pelabuhan perikanan. Pengembangan fasilitas dan pelayanan di pelabuhan perikanan. Strategi ini berdasarkan adanya dukungan dari pemerintah yang dicerminkan dengan program minapolitan dan industrialisasi perikanan. Sementara strategi ketiga yang dapat dilakukan adalah penguatan peran asosiasi perikanan tuna. Strategi ini didasari oleh keberadaan asosiasi tuna, sehingga memudahkan dalam memfasilitasi kepentingan pemerintah dan pengusaha perikanan tuna. b. Strategi ST (strength-threats) Strategi ST merupakan strategi memanfaatkan kekuatan untuk menghindari ancaman yang datang dari luar. Strategi ST paling utama adalah penguatan sistem penegakan hukum. Strategi ini ditempuh untuk menciptakan efektivitas penegakan hukum, mulai dari pengawasan hingga penyidikan. Hal ini untuk menghindari tumpang tindih kewenangan. Strategi kedua adalah penguatan kerjasama regional dengan WCPFC. Hingga saat ini, Indonesia berstatus sebagai contracting non-member atau negara peninjau. Oleh karena itu, perlu penguatan kerjasama dengan keterlibatan aktif di WCPFC. c. Strategi WO (weakness-opportunities) Strategi WO adalah strategi yang meminimalkan kelemahan dengan memanfaatkan peluang yang ada. Strategi WO utama yang bisa dilakukan adalah pengembangan sistem informasi dan data. Strategi ini didasari oleh lemahnya 174 sistem pendataan Indonesia sehingga dikhawatirkan menimbulkan salah dalam penentuan kebijakan. Strategi kedua adalah Peningkatan MCS. Kelemahan yang dapat dihindari dari strategi ini adalah belum optimalnya penggunaan logbook penangkapan ikan, observer dan board inspection serta penggunaan trasmiter. Strategi ini memanfaatkan peluang berupa tersedianya bantuan teknis dan finansial. Sementara strategi ketiga adalah Penetapan dokumen RPP. Strategi ini didasari oleh belum adanya dokumen pegangan dalam mengelola suatu wilayah. Ketiadaan dokumen menyebabkan kebingungan di tingkat provinsi dan kabupaten/kota. Sedangkan strategi WO yang keempat adalah penguatan armada tangkap. Strategi ini didasari oleh perpindahan penggunaan perahu besar menjadi lebih kecil dan bersifat individual. Peluang yang digunakan pada strategi ini adalah potensi belum dimanfaatkan secara optimal dan peluang pasar yang baik. d. Strategi WT (weakness-threats) Strategi WT merupakan strategi untuk mengurangi kelemahan dan menghindari ancaman. Strategi yang bisa dilakukan adalah dengan mensinergikan aturan pemasangan rumpon sebagaimana yang diatur oleh WCPFC dengan peraturan Indonesia. Hal ini dalam rangka membangun perikanan berkelanjutan yang disebabkan penggunaan rumpon. Hasil dari matriks SWOT dan keempat macam strategi secara umum diatas didapatkan tujuh rekomendasi strategi alternative yakni : 1) Penelitian perikanan secara rutin. Strategi ini dalam rangka menghasilkan data ilmiah terbaik yang tersedia. Salah satu penelitian yang harus dilakukan adalah mengenai lokasi pasti spawning ground tuna (yellowfin dan bigeye). Mengingat, lokasi spawning ground kedua tuan tersebut diindikasikan berada di Indonesia, sehingga kebenaran data tersebut dapat dijadikan alat dilomasi Indonesia. 2) Pengembangan fasilitas dan pelayanan pelabuhan perikanan. Strategi ini dalam rangka mengoptimalkan fungsi pelabuhan dalam kegiatan bisnis dan pemerintahan, khususnya pencatatan kegiatan perikanan. Pengembangan fasilitas pelabuhan disesuaikan dengan kebutuhan pelabuhan masingmasing dan daya dukung infrastrukturnya, seperti listrik. Sementara 175 pengembangan pelayanan adalah dengan cara pelayanan satu atap yang dilaksanakan di semua pelabuhan perikanan Indonesia. Pelayanan pemberian izin, perlu pembangunan gedung pelayanan satu atap yang didalamnya tergabung beberapa lembaga Negara, seperti Pelabuhan Perikanan, PSDKP, Imigrasi, Bea Cukai, Perhubungan Laut, Badan Karantina Ikan. Adanya pelayanan satu atap tersebut memudahkan nelayan dalam setiap pengurusan dokumen perizinan, baik yang terkait dengan penangkapan maupun dengan pemasaran atau ekspor-impor. Selain itu, perlu pembuatan system informasi pelayanan yang terintegrasi sehingga lebih menciptakan efektivitas dan efisiensi dalam pelayanan perizinan. 3) Penguatan peran asosiasi perikanan tuna Pelibatan asosiasi tuna dalam semua aspek, mulai dari penangkapan hingga pemasaran dapat memudahkan pemerintah dalam pengembangan industry perikanan tuna di Indonesia umumnya, dan Bitung khususnya. Pelibatan asosiasi perikanan tuna juga bisa dilakukan pada saat memberikan data dan informasi untuk pembuatan kebijakan. 4) Penguatan sistem penegakan hokum Dalam rangka menjamin perikanan tuna berkelanjutan, system penegakan hukum perlu ditata dan disinergikan antar lembaga, sehingga strategi ini mendukung industry perikanan tuna. Selain itu, pemberantasan IUU fishing di wilayah perairan Laut Sulawesi perlu dilakukan secara koordinatif dan sinergis, sehingga potensi sumberdaya ikan tidak dicuri oleh nelayan asing. Hasil yang diharapkan dari strategi ini adalah adanya standar operasional yang sama antar penegak hukum, sehingga tidak membingungkan nelayan ketika terjadi pelanggaran. Selain itu, efektivitas penegakan hukum terhadap pelaku IUU Fishing diharapkan mampu menjamin keberlanjutan usaha perikanan tuna. Mengingat, IUU Fishing menyumbangkan 30 persen dari total tangkapan dunia selama ini. 5) Penguatan kerjasama regional dengan WCPFC Dalam rangka memperkuat diplomasi Indonesia di WCPFC, maka pemerintah Indonesia harus melakukan ratifikasi Konvensi WCPFC sehingga dengan demikian Indonesia menjadi negara full member 176 (member contracting parties). Perubahan status tersebut menempatkan Indonesia mempunya hak bicara dan suara, yang selama ini hanya mempunyai hak bicara karena statusnya negara peninjau (member noncontracting parties). 6) Pengembangan system informasi dan data Statistik perikanan Indonesia sebagaimana statistik lainnya di Indonesia dihadapkan pada permasalahan “keabsahan”. Hal ini dikarenakan, data dikumpulkan tidak secara benar. Oleh karena itu, pengembangan system informasi dan data perlu menjadi perhatian pemerintah. Dukungan teknis dan financial dari lembaga internasional bisa diperoleh dalam pelaksanaan pengembangan system informasi dan data. 7) Peningkatan MCS Pemerintan Indonesia sudah memiliki aturan mengenai observer, inspeksi kapal dan transmitter. Permasalahannya adalah pada tahap pelaksanaan. Oleh karena itu, strategi yang harus dilakukan adalah peningakatn MCS yang efektif dan efisien dalam mendukung perikanan berkelanjutan. 8) Penetapan dokumen RPP Indonesia memiliki 11 Wilayah Pengelolaan Perikanan sebagaimana ditetapkan dalam Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan. Namun demikian, pelaksanaan pengelolan WPP tersebut dihadapkan pada kebingungan apa yang harus dilakukan. Hal ini dikarenakan tidak adanya dokumen RPP. Oleh karena itu, strategi yang harus dilakukan adalah menetapkan dokumen RPP sebagai pedoman hukum dalam pengelolaan WPP. 9) Penguatan armada tangkap Strategi mendapat dukungan dari program minapolitan dan industrialisasi perikanan, sehingga pemerintah bisa membangun armada tangkap tuna yang. Hasil yang diharapkan dari strategi ini adalah modernisasi armada sesuai dengan daya dukung potensi tuna. 10) Sinerigisasi aturan pemasangan rumpon WCPFC memiliki aturan mengenai pemasangan rumpon, begitu juga Indonesia dengan Peratutan Menterinya. Oleh karena itu, strategi yang 177 harus dilakukan oleh Pemerintah Indonesia adalah mensinergikan pemasangan rumpon yang diatur oleh WCPFC dengan Indonesia, khususnya di WPP 717 dan 718. 178