75 5 PENGATURAN WCPFC DAN IMPLIKASI BAGI

advertisement
75
5
PENGATURAN WCPFC DAN IMPLIKASI BAGI INDONESIA
Ketentuan pelakasanaan Konvensi ditetapkan pada Pada 2nd Regular
Session Of The Commission For The Conservation And Management of Highly
Migratory Fish Stocks in The Western And Central Pacific Ocean pada tanggal 12
-16 yang terdiri dari :
(1) ketentuan mengikat (legally binding) yakni
Conservation and Management Measures (CMM), (2) ketentuan tidak mengikat
(non legally binding)
yakni Resolution, dan (3) urusan administratif
(Administrative Matters). Sehubungan dengan hal tersebut, terdapat dua ketentuan
yang mengikat yakni Konvensi WCPFC dan Conservation and Management
Measures (CMM).
5.1 Prinsip Umum Konvensi : Relevansi dan Implikasi terhadap Peraturan
Perundang-Undangan
Pengaturan pengelolaan perikanan di wilayah Konvensi WCPFC
dilaksanakan melalui
Convention on the Conservation and Management of
Highly Migratory Fish Stocks in the Western and Central Pacific Ocean
(Konvensi WCPFC) sebagai dasar pembentukan WCPFC yang diadopsi pada
tanggal 5 September 2000.
Konvensi WCPFC terdiri dari dari 12 Bab dengan 47 Pasal. Namun
demikian, tidak
semua pasal yang dituangkan dalam Konvensi WCPFC
menimbulkan implikasi bagi Indonesia, sehingga tidak perlu dibahas (Ariadno,
2012) (Lihat Lampiran 4).
Pada Konvensi terdapat sembilan hal yang harus menjadi perhatian
pemerintah Indonesia, baik statusnya sekarang sebagai Contracting Non-Member
maupun dimasa depan akan menjadi member (negara anggota), yaitu: (1) Wilayah
penerapan, (2) Azas-azas dan langkah-langkah untuk konservasi dan pengelolaan,
(3) Penerapan pendekatan kehati-hatian, (4) Pelaksanaan azas-azas di wilayahwilayah berdasarkan yurisdiksi nasional, (5) Kesesuaian langkah-langkah
konservasi dan pengelolaan, (6) Kewajiban Para Anggota Komisi, (7) KewajibanKewajiban Negara Bendera, (8) Penaatan dan Penegakan, dan (9) Itikad Baik dan
Penyalahgunaan Hak.
76
5.1.1 Wilayah Penerapan
Batas wilayah Konvensi WCPC pada bagian timur tumpang tindih dengan
wilayah kewenangan Inter American Tropical Tuna Commision (IATTC)
sehingga menjadi konflik kewenangan pengelolaan. Sehubungan dengan hal ini
WCPFC telah membuat perjanjian kerjasama dengan IATTC pada tahun 2009
yang meliputi pertukaran data dan informasi, kerjasama penelitian terutama pada
sediaan spesies yang diatur kedua RFMO, dan kerjasama tindakan konservasi dan
pengelolaan. Menindaklanjuti kesepakatan bersama tersebut pada tanggal 27
November 2012 IATTC dan WCPFC telah menyepakati rekomendasi tentang
wilayah yang menjadi tumpang tindih dan mengatur kewajiban negara bendera
yang menangkap ikan diwilayah sangketa. Berdasarkan dua kesepakatan tersebut
dapat dikatakan bahwa telah ada upaya Komisi WCPFC untuk menyelesaikan
batas koordinat yang menjadi sangketa pada bagian timur Konvensi WCPFC.
Sedangkan pada bagian barat wilayah Konvensi yakni Laut Cina Selatan
dan Perairan Asia Tenggara tidak ada batas tegas koordinat pengelolaan dan
upaya komisi untuk menyelesaikannya melalui suatu ketentuan. Meskipun hal ini
telah dibahas sejak Pertemuan MHLC ke-3 sampai dengan MHLC ke-6, namun
tidak ada ketentuan terkait dengan batas wilayah Konvensi pada perairan tersebut.
Meskipun pada Chair Statement penutupan MHLC ke-6 pada tanggal
April 2000 di Honolulu
11- 19
disampaikan bahwa Perairan Asia Tenggara dan Laut
Cina Selatan bukan merupakan bagian Samudera Pasifik, namun pernyataan
bukanlah ketentuan yang mengikat.
Disamping itu, Indonesia berkeberatan wilayah sebagian besar perairan
Indonesia masuk menjadi wilayah Konvensi WCPFC kecuali ZEEI Samudera
Hindia dan Laut Timor. Sikap ini juga didukung oleh Philipinna, Kepulauan
Salomon dan Papua New Guinea yang juga berkeberatan wilayah perairan
teritorialnya masuk menjadi wilayah Konvensi.
77
Sumber : diolah dari Konvensi WCPFC dan www.naturalearth.com
Gambar 9 Peta Wilayah Tumpang Tinding Wilayah Kewenangan antara WCPFC
dengan IATTC
Masuknya sebagian besar perairan teritorial Indonesia menimbulkan
permasalahan bagi Indonesia, karena status hukum perairan kepulauan adalah
kedaulatan (sovereingty). Keberatan Indonesia disampaikan pada Fith Regular
Session pada tanggal 8 -12 Desember 2008 di Busan Korea yang meminta Komisi
WCPFC tidak memasukkan perairan Laut Cina Selatan dan perairan Asia
Tenggara, termasuk perairan teritorial Indonesia menjadi bagian wilayah
Konvensi WCPFC karena bukan menjadi bagian dari Samudera Hindia (Gambar
10).
Pernyataan Indonesia dipertegas kembali pada Ninth Regular Session pada
tanggal 2-6 Desember 2012 di Manila Philipina
yang berpendapat bahwa
berdasarkan UNCLOS 1982 dan UN Fish Stock Agreement serta Pasal 4
Konvensi jelas disebutkan bahwa
pelaksanaan kerjasama perikanan regional
hanya pada laut lepas dan ZEE tidak termasuk perairan teritorial dan perairan
kepulauan.
78
Sumber : diolah dari Konvensi WCPFC dan www.naturalearth.com
Gambar 10 Peta Wilayah Konvensi WCPFC di Perairan LCS dan Teritorial
Indonesia
Oleh karena itu, dalam pengesahan Konvensi WCPFC, maka Indonesia
harus mengesampingkan Pasal 3 ayat (1). Hal ini sebagaimana yang dipaparkan
Ariadno (2012), bahwa Indonesia perlu hati-hati dalam ratifikasi Konvensi
WCPFC.
Sehubungan dengan hal tersebut, Indonesia harus mengklarifikasi
pelaksanaan Konvensi WCPFC yang memasukkan hanya pada ZEE Indonesia
pada perairan Laut Sulawesi dan Sebelah Utara Halmahera (WPP-RI 716) dan
perairan Teluk Cenderawasih dan Samudera Pasifik (WPP-RI 717).
Pada tingkatan nasional, Indonesia memiliki wilayah pengelolaan
perikanan (WPP) dalam mewujudkan efektivitas pengelolaan perikanan. Menurut
Pasal 5 ayat (1) UU No. 31 Tahun 2004 sebagaimana di ubah dengan UU No. 45
Tahun 2009, Wilayah Pengelolaan Perikanan (WPP) Republik Indonesia untuk
penangkapan ikan dan/atau pembudidayaan ikan meliputi: (a) perairan Indonesia;
(b) ZEEI; dan (c) sungai, danau, waduk, rawa, dan genangan air lainnya yang
79
dapat diusahakan serta lahan pembudidayaan ikan yang potensial di wilayah
Republik Indonesia. Sementara itu, Pasal 5 ayat (2) menambahkan bahwa
pengelolaan perikanan di luar wilayah pengelolaan perikanan Republik Indonesia,
sebagaimana dimaksud pada ayat (1), diselenggarakan berdasarkan peraturan
perundang-undangan, persyaratan, dan/atau standar internasional yang diterima
secara umum. Dengan demikian, wilayah pengelolaan perikanan Indonesia adalah
mulai dari perairan pedalaman (internal waters), perairan kepulauan (archipelagic
waters), laut teritorial (territorial sea), dan Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia
(ZEEI).
Dengan demikian, Indonesia sudah memiliki aturan dalam pengelolaan
perikanan berbasis wilayah. Oleh karena itu, dalam persiapan ratifikasi Konvensi
WCPFC, Indonesia harus mengecualikan ketentuan penerapan wilayah WCPFC
yang memasukan beberapa wilayah perairan kepulauan Indonesia.
5.1.2 Dasar Pelaksanaan (Azas)
Kerjasama internasional terkait pengelolaan sediaan ikan yang beruaya
jauh di wilayah konvensi merupakan amanat UNCLOS 1982. Oleh karena itu,
negara-negara anggota WCPFC berkewajiban untuk melaksanakan UNCLOS
1982, UNFSA 1995 dan Konvensi WCPFC. Hal-hal yang diatur terkait dengan
dasar pelaksanaan (azaz) dijelaskan pada Pasal 5 Konvensi, yakni:
a. Mengambil langkah-langkah untuk memastikan keberlanjutan jangka
panjang sediaan ikan yang beruaya jauh di wilayah konvensi dan
mempromosikan tujuan pemanfaatan sediaan secara optimal.
b. Memastikan bahwa langkah-langkah yang didasarkan pada bukti ilmiah
terbaik yang tersedia dan di rancang untuk mempertahankan atau
memulihkan sediaan pada tingkat yang mampu memproduksi hasil
maksimal yang berkelanjutan, seperti yang disyaratkan oleh faktor-faktor
lingkungan dan ekonomi yang relevan, termasuk persyaratan-persyaratan
khusus bagi negara-negara berkembang di wilayah konvensi, khususnnya
negara-negara pulau kecil yang sedang berkembang (SIDS/Small Island
Developing State) dan mempertimbangkan pola-pola penangkapan ikan,
saling ketergantungan antar sediaan dan standar minimal internasional yang
80
pada umumnya di rekomendasikan, baik sub-regional, regional ataupun
global.
c. Menerapkan pendekatan kehati-hatian sesuai dengan Konvensi ini dan
semua standar internasional terkait yang di setujui dan praktek-praktek dan
prosedur yang direkomendasikan .
d. Mengkaji dampak dari penangkapan ikan, kegiatan lain manusia, dan faktorfaktor lingkungan terhadap sediaan target, spesies non-target, dan spesies
yang berasal dari ekosistem yang sama atau yang bergantung kepada atau
berhubungan dengan sediaan target;
e. Mengambil langkah-langkah untuk meminimalkan limbah, buangan,
tangkapan oleh alat yang hilang, atau yang ditinggalkan, pencemaran yang
berasal dari kapal-kapal perikanan, spesies non-target, baik ikan ataupun
non-ikan (selanjutnya disebut spesies non-target) dan dampaknya terhadap
spesies yang berhubungan atau bergantung, khususnya spesies yang
terancam punah dan mempromosikan pengembangan dan penggunaan
secara selektif alat dan teknik penangkapan ikan yang ramah lingkungan
dan berbiaya efektif;
f. Melindungi keanekaragaman hayati di lingkungan laut;
g. Mengambil
langkah-langkah
untuk
mencegah
atau
meniadakan
penangkapan ikan yang berlebihan dan kapasitas penangkapan ikan yang
berlebihan dan untuk memastikan bahwa tingkat upaya penangkapan ikan
tidak melebihi tingkat upaya yang setara dengan pemanfaatan sumberdaya
perikanan yang berkelanjutan;
h. Mempertimbangkan kepentingan nelayan artisanal dan subsisten;
i. Mengumpulkan dan membagi data secara tepat waktu, lengkap dan akurat
mengenai kegiatan penangkapan ikan, antara lain, posisi kapal, tangkapan
spesies target dan non-target dan upaya penangkapan ikan, serta informasi
dari program penelitian nasional dan internasional; dan
j. Melaksanakan
dan
menegakkan
langkah-langkah
konservasi
dan
pengelolaan melalui pemantauan, pengendalian dan pengawasan secara
efektif.
81
Dengan demikian terdapat sembilan azas tindakan konservasi dan
pengelolaan pada WCPFC yakni :
a. Optimalisasi pemanfaatan spesies ikan yang beruaya jauh (highly migratory
speies);
b. Penggunaan data ilmiah terbaik yang tersedia (the best scientific evidence
avalaible);
c. Penerapan pendekatan kehati-hatian;
d. Kajian dampak terhadap sediaan target, spesies non-target, dan spesies yang
berasal dari ekosistem yang sama atau yang bergantung kepada atau
berhubungan dengan sediaan target;
e. Menimalisasi limbah, buangan, tangkapan oleh alat yang hilang, atau yang
ditinggalkan, pencemaran yang berasal dari kapal-kapal perikanan, spesies
non-target, baik ikan ataupun non-ikan;
f. Melindungi keanekaragaman hayati di lingkungan laut;
g. Mempertimbangkan kepentingan nelayan artisanal dan subsisten;
h. Memberikan informasi kegiatan penangkapan ikan;
i. Pelaksanaan
pemantauan, pengendalian dan
pengawasan
(Monitoring
Controlling Surveilne/MCS) secara efektif.
Pengelolaan perikanan dilakukan berdasarkan asas manfaat, keadilan,
kemitraan, pemerataan, keterpaduan, keterbukaan, efisiensi, dan kelestarian yang
berkelanjutan (Pasal 2 UU No. 31 Tahun 2004). Sementara prinsip-prinsip umum
yang di muat dalam UU No. 21 Tahun 2009, yaitu:
a. Mengambil tindakan untuk menjamin kelestarian jangka panjang sediaan ikan
yang beruaya terbatas dan sediaan ikan yang beruaya jauh dan memajukan
tujuan penggunaan optimal sediaan ikan tersebut;
b. Menjamin bahwa tindakan tersebut di dasarkan pada bukti ilmiah terbaik yang
ada dan dirancang untuk memelihara atau memulihkan sediaan ikan pada
tingkat yang dapat menjamin hasil maksimum yang lestari;
c. Menerapkan pendekatan kehati-hatian;
d. Mengukur dampak dari penangkapan ikan, kegiatan manusia lainnya, dan
faktor-faktor lingkungan terhadap sediaan target dan spesies yang termasuk
82
dalam ekosistem yang sama atau menyatu/berhubungan dengan atau
bergantung pada sediaan target tersebut;
e. Mengambil tindakan konservasi dan pengelolaan untuk spesies dalam
ekosistem yang sama atau menyatu/berhubungan dengan atau bergantung
pada sediaan target tersebut;
f. Meminimalkan pencemaran, sampah barang-barang buangan tangkapan yang
tidak berguna, alat tangkap yang ditinggalkan tangkapan spesies non target,
baik ikan maupun bukan spesies ikan, dan dampak terhadap spesies, melalui
tindakan pengembangan dan penggunaan alat tangkap yang selektif serta
teknik yang ramah lingkungan dan murah;
g. Melindungi keanekaragaman hayati pada lingkungan laut;
h. Mengambil tindakan untuk mencegah dan/atau mengurang kegiatan
penangkapan ikan yang berlebihan dan penangkapan ikan yang melebihi
kapasitas dan untuk menjamin bahwa tingkat usaha penangkapan ikan tidak
melebihi tingkat yang sepadan dengan penggunaan lestari sumber daya ikan;
i. Memerhatikan kepentingan nelayan pantai dan subsistensi;
j. Mengumpulkan dan memberikan pada saat yang tepat, data yang lengkap dan
akurat mengenai kegiatan perikanan, antara lain, posisi kapal, tangkapan
spesies target dan nontarget dan usaha penangkapan ikan, serta informasi dari
program riset nasional dan internasional;
k. Memajukan dan melaksanakan riset ilmiah dan mengembangkan teknologi
yang tepat dalam mendukung konservasi dan pengelolaan ikan;
l. Melaksanakan dan menerapkan tindakan konservasi dan pengelolaan melalui
pemantauan, pengawasan, dan pengendalian
Berdasarkan ketentuan asas-asas di atas, peraturan perundang-undangan
Indonesia sudah memiliki asas-asas pengelolaan perikanan dalam mewujudkan
perikanan berkelanjutan dan bertanggung jawab.
83
5.1.3
Penerapan Pendekatan Kehati-hatian
Menurut Pasal 6 ayat (1) Konvensi WCPFC, setiap anggota Komisi wajib
menerapkan pendekatan kehati-hatian. Beberapa pendekatan kehati-hatian yang
perlu diperlu diperhatikan, yaitu:
a. Menetapkan titik-titik acuan spesifik sediaan dan tindakan yang akan diambil
apabila dilampauinya acuan spesifik sediaan tersebut berdasarkan informasi
ilmiah terbaik yang tersedia,
b. Memerhatikan dampak kegiatan penangkapan ikan terhadap spesies non-target
dan spesies yang berhubungan atau saling bergantung,
c. Mengembangkan program pengumpulan data dan penelitian untuk mengkaji
dampak penangkapan ikan terhadap spesies non-target dan spesies yang
berhubungan atau yang bergantung dan lingkungannya.
Pendekatan kehati-hatian adalah upaya untuk menghindari terjadinya
kehancuran perikanan, baik dalam konteks nasional suatu negara pantai maupun
di perairan internasional (laut lepas). Pengelolaan perikanan dalam wilayah
pengelolaan perikanan Republik Indonesia dilakukan untuk tercapainya manfaat
yang optimal dan berkelanjutan, serta terjaminnya kelestarian sumber daya ikan
(Pasal 6 ayat 1 UU No. 31 Tahun 2004). Artinya, pendekatan kehati-hatian dalam
pengelolaan perikanan Indonesia dilaksanakan secara optimal, berkelanjutan dan
kelestarian. Hal ini diperkuat dengan kewajiban Indonesia dalam UU No. 21
Tahun 2009, bahwa negara wajib menerapkan pendekatan kehati-hatian
(precautionary
approach)
ketika
menetapkan
tindakan
konservasi
dan
pengelolaan sediaan ikan.
Pendekatan kehati-hatian dicerminkan dengan adanya data awal tentang
potensi perikanan suatu negara. Indonesia menetapkan potensi sumberdaya
ikannya melalui Kepmen KP No. 45/Men/2011. Data estimasi potensi
sumberdaya ikan tersebut disajikan pada Tabel 14.
84
Tabel 14
Estimasi Potensi Sumberdaya Ikan di WPP RI
(dalam 1.000 ton per tahun)
Kelompok Sumberdaya Ikan
WPP
571
572
573
711
712
713
714
715
716
717
718
Total
Ikan
Pelagis
Besar
Ikan
Pelagis
Kecil
Ikan
Demersal
Udang
Penaeid
Ikan
Karang
Konsumsi
Lobster
27,7
164,8
201,4
66,1
55,0
193,6
104,1
106,5
70,1
105,2
50,9
1.145,4
147,3
315,9
210,6
621,5
380,0
605,4
132,0
379,4
230,9
153,9
468,7
3.645,7
82,4
68,9
66,2
334,8
375,2
87,2
9,3
88,8
24,7
30,2
284,7
1.452,5
11,4
4,8
5,9
11,9
11,4
4,8
0,9
1,1
1,4
44,7
98,3
5,0
8,4
4,5
21,6
9,5
34,1
32,1
12,5
6,5
8,0
3,1
145,3
0,4
0,6
1,0
0,4
0,5
0,7
0,4
0,3
0,2
0,2
0,1
4,8
Cumicumi
1,9
1,7
2,1
2,7
5,0
3,9
0,1
7,1
0,2
0,3
3,4
28,3
Total
Potensi
(1.000
ton/tahun)
276,0
565,2
491,7
1.059,0
836,6
929,7
278,0
595,6
333,6
299,1
855,5
6.520,1
Sumber: Kepmen KP No. Kep.45/Men/2011
Tabel 14 yang berisi estimasi potensi perikanan yang dijadikan sebagai
acuan dalam penentuan kebijakan pengelolaan perikanan. Dengan demikian,
Indonesia sudah memiliki aturan dalam melaksanakan pendekatan kehati-hatian.
Sementara aturan Indonesia terkait dengan spesies non-target yang dibahas pada
bagian hasil tangkapan sampingan, dan aturan Indonesia terkait dengan
pengumpulan data dibahas pada bagian MCS, khususnya mengenai logbook
penangkapan ikan.
Estimasi potensi perikanan tersebut di atas tidak lepas dari berbagai
permasalahan karena masih mengacu kepada konsep maximum sustainable yield
(MSY) atau tangkapan lestari yang dikembangkan sejak tahun 1950-an oleh
Schaefer. Berbagai penelitian menunjukkan bahwa konsep MSY terbukti tidak
efektif sebagai alat pengelolaan perikanan, terutama Indonesia dengan
karakteristik perikanan tangkap multi-alat dan multi-spesies. Kajian sediaan ikan
harus terus dibenahi karana kekuarangan data statistik perikanan yang akurat
sebagai dasar perhitungan MSY akan menghasilkan kebijakan pengelolaan
sumberdaya ikan yang tidak tepat sasaran.
85
5.1.4
Pelaksanaan Azas-Azas di Wilayah-Wilayah Berdasarkan Yurisdiksi
Nasional dan Pengelolaan di Laut Lepas
Asas-asas pengelolan dan konservasi di laut lepas sebagaimana dituangkan
dalam Pasal 5 dan pendekatan kehati-hatian yang di tuangkan dalam Pasal 6,
wajib diterapkan oleh negara-negara pantai di dalam wilayah yurisdiksinya (Pasal
7 ayat 1). Sementara bagi negara berkembang, khususnya SIDS diberikan
pertimbangan oleh Komisi untuk menerapkan Pasal 5 dan Pasal 6 di dalam
wilayah-wilayah berdasarkan yurisdiksi nasional. Tujuan dari pasal ini adalah
dalam rangka mewujudkan perikanan yang bersifat lintas batas.
Sebagai negara yang telah meratifikasi UNCLOS 1982, maka Indonesia
berkewajiban melaksanakan pengelolaan secara penuh di wilayah yurisdiksinya.
Artinya, Indonesia harus mampu mewujudkan perikanan berkelanjutan di laut
terirotial (12 mil) dan ZEE Indonesia (200 mil). Hal ini ditekankan dalam UU No.
21 Tahun 2009. Pengelolaan di wilayah yurisdiksi juga di muat dalam Pasal 2 UU
No. 31 Tahun 2004 sebagaimana telah dimuat diatas. Aturan khusus mengenai
pengelolaan perikanan tangkap di wilayah yurisdiksi diatur dalam Permen KP No.
Per.30/Men/2012. Peraturan Menteri ini mengatur semua kegiatan penangkapan
ikan yang lokasinya berada di wilayah pengelolaan perikanan Negara Republik
Indonesia.
Kewajiban mematuhi aturan di laut lepas adalah perhatian Indonesia sejak
UU No. 31 Tahun 2004 di sahkan. Pada Pasal 5 ayat (2) menyebutkan bahwa
pengelolaan perikanan di luar wilayah pengelolaan perikanan Republik Indonesia,
sebagaimana dimaksud pada ayat (1), diselenggarakan berdasarkan peraturan
perundang-undangan, persyaratan, dan/atau standar internasional yang diterima
secara umum. Pada bagian penjelasan di sebutkan bahwa yang dimaksud dengan
“pengelolaan perikanan di luar wilayah pengelolaan perikanan Republik
Indonesia” adalah pengelolaan perikanan di laut lepas. Hal ini menjadi dasar
kepatuhan Indonesia dalam mewujudkan globalisasi perikanan. Aturan khusus
mengenai pengelolaan perikanan tangkap di laut lepas diatur dalam Permen KP
No. Per.12/Men/2012. Peraturan Menteri ini mengatur semua kegiatan
penangkapan ikan yang lokasinya berada di luar wilayah pengelolaan perikanan
Negara Republik Indonesia atau di laut lepas.
86
5.1.5 Kewajiban para Anggota Komisi
Kewajiban para anggota Komisi tertuang pada Pasal 23 Konvensi, yakni :
a. Memberikan laporan tahunan kepada Komisi mengenai data statistik, biologis,
dan data lain dan informasi sesuai dengan Lampiran I.
b. Memberikan informasi aktivitas penangkapan ikannya di Wilayah Konvensi,
termasuk wilayah penangkapan ikan dan kapal perikanan untuk memfasilitasi
penghimpunan statistik tangkapan dan upaya yang dapat dipercaya.
c. Memberikan informasi tahapan yang diambil untuk melaksanakan langkah-
langkah konservasi dan pengelolaan yang telah diterima oleh Komisi.
d. Memberitahu Komisi langkah-langkah yang telah mereka terima untuk
konservasi dan pengelolaan HMS di wilayah di dalam lingkup Wilayah
Konvensi di bawah yurisdiksi nasionalnya.
e. Memberitahu Komisi langkah-langkah yang telah diterimanya untuk mengatur
aktivitas kapal perikanan berbendera negaranya yang menangkap ikan di
Wilayah Konvensi.
Berdasarkan ketentuan di atas, terdapat tiga hal yang harus diperhatikan
Indonesia jika merativikasi Konvensi dan menjadi anggota yakni :
a. Sistem informasi dan pelaporan kegiatan penangkapan ikan. Data terbaik yang
dimiliki Indonsia dibangun dari informasi pendaratan ikan (pelabuhan
perikanan). Hal ini sebagaimana diatur dalam Permen KP No. 18 Tahun 2010,
bahwa setiap kapal penangkap ikan wajib menyerahkan logbook penangkapan
ikan. Logbook Penangkapan Ikan adalah bukan salah satu dokumen kapal,
namun menjadi syarat dalam pengajuan Surat Persetujuan Berlayar (SPB)
yang dikeluarkan Syahbandar. Oleh karena itu, setiap kapal perikanan yang
memiliki SIPI wajib mengisi logbook Penangkapan Ikan. Pengisian logbook
Penangkapan Ikan dilakukan pada setiap operasi penangkapan ikan (satu kali
trip), yang merupakan tanggung jawab nakhoda. Logbook Penangkapan Ikan
berisi informasi mengenai: data kapal perikanan, data alat penangkapan ikan,
data operasi penangkapan ikan, dan data ikan hasil tangkapan. Logbook
Penangkapan Ikan wajib dilakukan sesuai dengan data yang sebenarnya
(objective) dan tepat waktu (up to date).
87
b. Aturan pengelolaan ikan beruaya jauh. Hingga saat ini, Indonesia belum
memiliki aturan khusus mengenai pengelolaan ikan beruaya jauh.
c. Aturan kapal kapal penangkap ikan. Aturan Indonesia mengenai kapal
perikanan dibahas secara rinci pada bagian kapal penangkap ikan. Dengan
demikian, hal penting yang harus menjadi perhatian pemerintah Indonesia
adalah aturan pengelolaan jenis ikan beruaya juah.
5.1.6
Kewajiban Negara Bendera
Kewajiban negara bendera yang melakukan penangkapan ikan di wilayah
WCPFC sebagaimana dituangkan dalam Pasal 24, yaitu:
a. Mematuhi ketentuan-ketentuan Konvensi ini dan langkah-langkah konservasi
dan pengelolaan yang diterima sesuai dengan Konvensi.
b. Tidak melakukan penangkapan ikan secara tidak sah (illegal fishing) di
wilayah yurisdiksi negara pihak penandatangan Konvensi.
c. Kegiatan penangkapan ikan beruaya jauh di luar wilayah yurisdiknya harus
mendapatkan izin dari lembaga suatu negara anggota.
d. Mensyaratkan kapal perikanan yang menangkap ikan beruaya jauh di laut
lepas wilayah WCPFC menggunakan near real-time satelite position-fixing
transmitters ketika berada di wilayah tersebut.
e. Mensyaratkan kapal perikanannya yang menangkap ikan di Wilayah Konvensi
di dalam wilayah di bawah yurisdiksi nasional dari anggota lain agar
mengoperasikan near real-time satelite position fixing transmitters sesuai
dengan standar, spesifikasi dan prosedur yang di tetapkan oleh negara pantai.
f. Wajib bekerjasama untuk memastikan kesesuaian antara sistem pemantauan
kapal nasional dan sistem pemantauan kapal di laut lepas.
Berdasarkan ketentuan diatas, setidaknya terdapat dua hal yang harus
menjadi perhatian pemerintah Indonesia, yaitu:
a. Kegiatan penangkapan ikan di luar wilayah yurisdiksi yang menjadi
kewenangan negara anggota. Pemerintah Indonesia sudah mengatur kegiatan
penangkapan ikan di luar wilayah pengelolaan perikanan Indonesia melalui
Permen KP No. Per. 12/Men/2012. Peraturan Menteri ini mengatur secara
khusus semua kegiatan penangkapan ikan di laut lepas.
88
b. Sistem pemantauan kapal. Ketentuan ini diatur dalam Permen KP No.
Per.12/Men/2012 dan Permen KP No. 30/Men/2012. Kewajiban penggunaan
transmitter atau VMS dibahas secara khusus pada bagian Penggunaan
Transmitter.
Dengan demikian, ketentuan kewajiban negara bendera kapal telah diatur
oleh Indonesia melalui beberapa peraturan menteri.
5.1.7 Kesesuaian Tindakan Konservasi dan Pengelolaan
Sumberdaya ikan beruaya jauh bersifat lintas batas, sehingga diperlukan
adanya sinergi antar negara dalam pengelolaan perikanan di laut lepas dengan
wilayah yurisdiksi suatu Negara (Pasal 8 ayat 1). Beberapa penetapan langkahlangkah konservasi dan pengelolaan untuk ikan beruaya jauh adalah (Pasal 8 ayat
2):
a. Kesatuan biologis dan karakteristik biologis lainnya dari sediaan dan
hubungan antara sebaran sediaan, perikanan dan keadaan geografi tertentu
wilayah bersangkutan, termasuk sampai sejauh mana sediaan berada dan
ditangkap di wilayah-wilayah berdasarkan yurisdiksi nasional.
b. Mempertimbangkan langkah-langkah konservasi dan pengelolaan sesuai
dengan Pasal 61 UNCLOS 1982 terkait dengan sediaan yang sama oleh
negara-negara pantai di dalam wilayah-wilayah berdasarkan yurisdiksi
nasional.
c. Tindakan penetapan sediaan yang sama untuk laut lepas yang merupakan
bagian dari Wilayah Konvensi oleh negara-negara pantai dan negara–negara
penangkap ikan di laut lepas sesuai dengan UNCLOS 1982 dan Konvensi
WCPFC.
d. Mempertimbangkan langkah-langkah yang sebelumnya telah di sepakati dan
di terapkan sesuai dengan UNCLOS 1982 dan Konvensi WCPFC dalam hal
sediaan yang sama oleh RFMO.
e. Mempertimbangkan ketergantungan masing-masing negara-negara pantai
dan negara-negara penangkap ikan di laut lepas atas sediaan terkait.
89
5.1.8
Penaatan dan Penegakan
Menurut Pasal 25, setiap anggota Komisi mempunyai kewajiban dalam hal
menjalankan efektivitas tindakan pengelolaan dan konservasi ikan beruaya jauh di
wilayah WCPFC. Beberapa kewajiban penaatan dan penegakan, tersebut yaitu:
a. Menegakkan ketentuan Konvensi WCPFC dan setiap langkah-langkah
konservasi dan pengelolaan yang ditetapkan oleh Komisi.
b. Wajib menyelidiki secara menyeluruh setiap dugaan pelanggaran oleh kapal
perikanan yang mengibarkan benderanya atas ketentuan Konvensi WCPFC
atau langkah-langkah konservasi dan pengelolaan yang diterima oleh
Komisi.
c. Menyerahkan kasus tersebut kepada pihak berwenang dengan tujuan untuk
mengajukan gugatan secepatnya sesuai dengan hukumnya dan bilamana
layak, menahan kapal yang bersangkutan.
d. Memastikan kapal yang bersangkutan tidak lagi melakukan kegiatan
penangkapan ikan dan tidak terlibat dalam kegiatan tersebut di dalam
Wilayah Konvensi, sampai saat seluruh sanksi yang dikenakan oleh negara
bendera sehubungan dengan pelanggaran tersebut telah dipenuhi.
Berdasarkan ketentuan di atas, pemerintah Indonesia sudah mengatur
tindakan penegakan hukum. Adapun tindakan hukum dilakukan di tengah laut
melalui inspeksi kapal yang dibahas secara khusus pada bagian Program Observer
dan Inspeksi Kapal, sementara tindakan di darat melalui pelabuhan perikanan.
Pemerintah Indonesia mengatur pelabuhan perikanan pada Permen KP No. Per.
08/Men/2012. Menurut Pasal 3 ayat (2), pelabuhan perikanan mempunyai fungsi
pemerintahan dan pengusahaan. Fungsi pemerintahan pada pelabuhan perikanan,
yaitu meliputi: fungsi untuk melaksanakan pengaturan, pembinaan, pengendalian,
pengawasan, serta keamanan dan keselamatan operasional kapal perikanan di
pelabuhan perikanan.
5.1.9 Itikad Baik dan Penyalahgunaan Hak
Menurut Pasal 33, kewajiban-kewajiban berdasarkan Konvensi harus
dipenuhi dengan itikad baik dan hak-hak yang di akui di dalam Konvensi dan
harus dilaksanakan dengan cara yang bukan merupakan penyalahgunaan hak.
90
Implementasi Itikad Baik dan Penyalahgunan Hak sesuai dengan pembahasan
Pelaksanaan Azas-Azas di Wilayah-Wilayah Berdasarkan Yurisdiksi Nasional
dan Pengelolaan di Laut Lepas. Kewajiban mematuhi aturan di laut lepas bagi
Indonesia tertuang pada Pasal 5 ayat (2) UU No. 31 Tahun 2004 yang
menyebutkan bahwa pengelolaan perikanan di luar wilayah pengelolaan perikanan
Republik Indonesia, sebagaimana dimaksud pada ayat (1), diselenggarakan
berdasarkan peraturan perundang-undangan, persyaratan, dan/atau standar
internasional yang diterima secara umum. Pada bagian penjelasan disebutkan
bahwa yang dimaksud
dengan
“pengelolaan perikanan
di luar
wilayah
pengelolaan perikanan Republik Indonesia” adalah pengelolaan perikanan di
laut lepas. Hal ini menjadi dasar kepatuhan Indonesia dalam mewujudkan
globalisasi perikanan. Aturan khusus mengenai pengelolaan perikanan tangkap di
laut lepas diatur dalam Permen KP No. Per.12/Men/2012. Peraturan Menteri ini
mengatur semua kegiatan penangkapan ikan yang lokasinya berada di luar
wilayah pengelolaan perikanan Negara Republik Indonesia atau di laut lepas.
5.2 Conservation and Management Measures (CMM): Implikasi Bagi
Indonesia
Conservation and Management Measures (CMM) adalah implementasi
Pasal 10 Konvensi terkait dengan fungsi komisi yang mengatur konservasi dan
pengelolaan untuk spesies target, spesies non-target, spesies yang bergantung atau
beraosiasi dengan sedian target, serta MCS (monitoring, control, and
surveillance). Sampai dengan tahun 2012 terdapat 31 CMM yang telah ditetapkan
(Tabel 15).
Tabel 15 Conservation and Management Measures (CMM)
No
1.
CMM
CMM 2004-03
2.
CMM 2004-04
3.
CMM 2005-03
4.
CMM 2006-04
Perihal
Spesifikasi Untuk Penandaan dan Identifikasi Kapal Penangkapan
Ikan (Specifications For The Marking And Identification Of
Fishing Vessels).
Resolusi Tindakan Pengelolaan dan Konservasi (Resolution on
Conservation and Management Measures)
Tindakan Pengelolaan dan Konservasi Albacore Pasifik Utara
(Conservation and Management Measure for North Pacific
Albacore)
Tindakan Pengelolaan dan Konservasi Marlin di Pasifik Selatan
Barat (Conservation and Management Measure for Striped
Marlin in the Southwest Pacific)
91
No
5.
CMM
CMM 2006-07
6.
CMM 2006-08
7.
CMM 2007-01
8.
CMM 2007-04
9.
CMM 2008-01
10.
CMM 2008-03
11.
CMM 2008-04
12.
CMM 2009-01
13.
CMM 2009-02
14.
CMM 2009-03
15.
CMM 2009-05
16.
CMM 2009-06
17.
CMM 2009-09
18.
CMM 2009-10
19.
20.
CMM 2009-11
CMM 2010-01
21.
CMM 2010-02
22.
CMM 2010-04
Perihal
Tindakan Pengelolaan dan Konservasi Program Observer
Regional (Conservation and Management Measure for the
Regional Observer Programme)
Komisi WCPFC untuk Prosedur Pemeriksaan dan Menaiki Kapal
(WCPFC Commission Boarding and Inspection Procedures )
CMM 2007-01 tentang Tindakan Pengelolaan dan Konservasi
Program Observer Regional (Conservation and Management
Measure for the Regional Observer Programme)
Tindakan Pengelolaan dan Konservasi Mengurangi Dampak
Penangkapan Ikan Beruaya Jauh Terhadap Burung Laut
(Conservation And Management Measure to Mitigate the
Impact of Fishing for Highly Migratory Fish Stock on Seabirds).
Tindakan Pengelolaan dan Konservasi Tuna Bigeye dan Tuna
Yellowfin di WCPFC (Conservation and Management Measure
for Big-eye and Yellow-fin Tuna in the WCPFC)
Tindakan Pengelolaan dan Konservasi Penyu (Conservation And
Management of Sea Turtles)
Tindakan Pengelolaan dan Konservasi terhadap Jaring Insang
Hanyut Skala Besar pada
Laut Lepas Area Konvensi
(Conservation and Management Measure to Prohibit the Use of
Large-Scale Driftnets on the High Seas in the Convention Area)
Pendaatan Kapal dan Izin Penangkapan Ikan (Record of Fishing
Vessels And Authorization to Fish)
Tindakan Pengelolaan dan Konservasi Penutupan Rumpon dan
Retensi Penangkapan (Conservation and Management Measure
on the Aplication of High Seas Fad Closures And Catch
Retention)
Tindakan Pengelolan dan Konservasi Swordfish (Conservation
and Management for Swordfish)
Tindakan Pengelolaan dan Konservasi Larangan Penangkapan
Ikan dengan Data Buoys (Conservation and Management
Measure Prohibiting Fishing on Data Buoys)
Tindakan Pengelolaan dan Konservasi Peraturan Transhiptmen
(Conservation and Management Measure on Regulation of
Transshipment)
Tindakan Pengelolaan dan Konservasi Kapal-Kapal Tanpa
Kebangsaan (Conservation and Management Measure for Vessels
Without Nationality).
Tindakan Pengelolaan dan Konservasi Pemantauan Pendaratan
Kapal Purse Seine di Pelabuhan untuk Menjamin Data Tangkapan
yang Baik berdasarkan Spesies (Conservation and Management
Measure to Monitor Landings of Purse Seine Vessels at Ports so
as to Ensure Reliable Catch Data by Species).
Cooperating Non-Member.
Tindakan Pengelolaan dan Konservasi North Pacific Striped
Marlin (Conservation and Management Measure for North
Pacific Striped Marlin)
Tindakan Pengelolaan dan Konservasi Untuk Area Pengelolaan
Khusus Sebelah Timur (Conservation and Management Measure
for the Eastern High-Seas Pocket Special Management Area)
Tindakan Pengelolaan dan Konservasi Pengelolaan Pacific
Bluefin Tuna (Conservation and Management Measure for
92
No
CMM
23.
CMM 2010-05
24.
CMM 2010-06
25.
CMM 2010-07
26.
CMM 2011-01
27.
28.
CMM 2011-02
CMM 2011-03
29.
CMM 2011-04
30.
CMM 2011-05
31.
CMM 2011-06
Perihal
Pacific Bluefin Tuna)
Tindakan Pengelolaan dan Konservasi South Pacific Albacore
(Conservation and Management Measure for South Pacific
Albacore)
Tindakan Pengelolaan dan Konservasi Untuk Menetapkan Kapal
yang Diduga Melakukan Kegiatan IUU Fishing di WCPO
(Conservation and Management Measure to Establish a List of
Vessels Presumed to Have Carried out Illegal, Unreported and
Unregulated Fishing Activities in the WCPO)
Tindakan Pengelolaan dan Konservasi Hiu (Conservation and
Management Measure for Sharks)
Tindakan Pengelolaan dan Konservasi Untuk Perpanjangan
Sementara CMM 2008-01 (Conservation and Management
Measure for Temporary Extension of CMM 2008-01)
Komisi Vessel Monitoring System (VMS)
Tindakan Pengelolaan dan Konservasi untuk Perlindungan
Cetacean dari Operasi Penangkapan Purse Seine (Conservation
and Management Measure for Protection of Cetaceans from
Purse Seine Fishing Operations).
Tindakan Pengelolaan dan Konservasi untuk Oceanic Whitetip
Shark (Conservation and Management Measure for Oceanic
Whitetip Shark)
Tindakan Pengelolaan dan Konservasi Skema Penyewaan
(Conservation and Management Measure on Charter Notification
Scheme)
Tindakan Konservasi dan Pengelolaan untuk Skema Kapatuhan
dan Pemantauan (Conservation and Management Measure for
Compliance Monitoring Scheme)
Sumber : Dikompilasi dari CMM WCPFC tahun 2004 -2011
Sejumlah 31 CMM tersebut dapat dikelompokkan menjadi sembilan hal
yang perlu menjadi perhatian Indonesia yakni (1) Penggunaan Transmitter
(VMS), (2) Terkait dengan Penegakan Hukum, (3) Kapal Penangkapan Ikan , (4)
Alat Penangkapan Ikan dan Alat Bantu Penangkapan Ikan, (5) Pengelolaan
Tangkapan Utama, (6) Pengelolaan Tangkapan Sampingan, (7) Program Observer
dan Inspeksi Kapal, (8) Data Buosy dan (9) Transhipment.
5.2.1 Penggunaan Transmitter (VMS)
Penggunaan VMS ditetapkan melalui CMM 2011-02 tentang Komisi
Vessel Monitoring System (VMS) yang
merupakan pelaksanaan Pasal 10
Konvensi WCPFC. VMS harus diaktifkan sejak tanggal 1 Januari 2008 didaerah
sekitar selatan konvensi 20 ° LU, dan timur 175 ° BT didaerah area utara konvensi
20 ° LU. Khusus untuk area utara 20 ° LU dan barat dari 175 ° BT, sistem akan
93
diaktifkan pada suatu tanggal yang akan ditentukan oleh Komisi. Setiap kapal
penangkapan ikan yang menangkap ikan beruaya jauh di sesuai koordinat yang
ditetapkan komisi harus mengatifkan Automatic Location Communicators
(ALCs). VMS berlaku untuk semua kapal penangkapan ikan yang menangkap
ikan diarea Konvensi, untuk kapal panjang lebih dari 24 meter tanggal aktivasi
mulai 1 Januari 2008, dan semua kapal panjang 24 meter atau kurang tanggal
aktivasi mulai 1 Januari 2009.
Pemerintah Indonesia sudah mewajibkan penggunaan VMS yang tertuang
pada Pasal 7 ayat (2) huruf e UU No. 31 Tahun 2004, bahwa setiap orang yang
melakukan usaha dan/atau kegiatan pengelolaan perikanan wajib mematuhi
ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mengenai: sistem pemantauan
kapal perikanan.
Kewajiban pemasangan transmitter tersebut untuk kapal perikanan
Indonesia berukuran 60 GT ke atas dan seluruh kapal perikanan asing (Pasal 11
ayat 1 Permen KP No. Per.05/Men/2007). Selanjutnya Pasal 11 ayat (4)
menambahkan, bahwa transmitter yang dipasang pada kapal perikanan wajib di
daftarkan
pada
Direktorat
Jenderal,
dengan
menyebutkan
dan/atau
mencantumkan nomor ID, nomor seri, jenis, tipe, merek, spesifikasi, dan
provider, yang dilengkapi dengan dokumen pembelian transmitter, dan
pembayaran air time dan bukti aktivasi dari provider. Transmitter harus dapat
mengirim data posisi kapal sekurang-kurangnya setiap jam sekali, kecuali dalam
keadaan docking dan/atau kapal perikanan sedang tidak beroperasi (Pasal 11 ayat
5). Dengan demikian, kapal perikanan Indonesia berukuran 60 GT ke atas dan
seluruh kapal asing wajib menghidupkan transmitter (online).
Sementara itu, kewajiban transmitter online di atas tidak berlaku bagi
kapal perikanan Indonesia ukuran 30 GT – 60 GT. Hal ini di atur dalam Pasal 12
ayat (1), bahwa kapal perikanan Indonesia berukuran di atas 30 GT sampai
dengan 60 GT wajib dilengkapi transmitter off line yang disediakan oleh negara.
Aturan transmitter juga ditetapkan dalam Permen KP No. Per.
12/Men/2012. Adapun aturannya yaitu: (a) surat keterangan pemasangan
transmitter (online) pada saat pengajuan SIPI (Pasal 8 ayat 3) dan pengajuan
SIKPI (Pasal 10 ayat 3); (b) surat keterangan aktivisi transmitter (online) untuk
94
perpanjangan SIPI (Pasal 22 ayat 2) dan SIKPI (Pasal 27 ayat 2); (c) transmitter
(on line) aktif serta dapat terpantau untuk kapal penangkap ikan yang melakukan
transhipment di laut lepas (Pasal 30 ayat 2) dan transhipment di pelabuhan
negara lain (Pasal 30 ayat 3); (d) transmitter (on line) aktif serta dapat terpantau
untuk kapal pengangkut ikan yang melakukan transhipment di laut lepas (Pasal
30 ayat 4) dan transhipment di pelabuhan negara lain (Pasal 30 ayat 5). Begitu
juga dengan aturan penangkapan di WPP-NRI, yaitu: (a) surat keterangan
pemasangan transmitter VMS pada saat pengajuan SIPI (Pasal 19 ayat 1); (b)
surat keterangan pemasangan transmitter VMS pada saat pengajuan SIPI bagi
kapal
perikanan yang dimiliki oleh
perguruan tinggi
untuk
pemerintah, pemerintah
daerah, atau
melakukan pelatihan atau penelitian/eksplorasi
perikanan (Pasal 22); dan (c) surat keterangan pemasangan transmitter VMS
pada saat pengajuan SIKPI (Pasal 24 ayat 1).
Salah satu manfaat data VMS adalah untuk mengetahui
posisi dan
pergerakan kapal penangkapan ikan. Berdasarkan data VMS tahun 2012,
sebagian besar kapal yang menangkap ikan di laut lepas berada pada Samudera
Hindia yang menjadi wilayah kewenangan IOTC dan CCSBT. Sedangkan untuk
wilayah Konvensi WCPFC, kapal penangkapan ikan Indonesia lebih banyak
terkonsentrasi pada perairan teritorial dan ZEE Indonesia. Posisi kapal Indonesia
yang terpantau pada Fisheries Monitoring Center (FMC) Kementerian Kelautan
dan Perikanan dapat dilihat pada Gambar 12.
Penggunaan VMS belum seluruhnya dipatuhi oleh kapal penangkapan
ikan Indonesia. Berdasarkan hasil penelusuran Ditjen PSDKP tahun 2012
terhadap lacak (tracking) VMS dari 93 kapal penangkapan ikan Indonesia yang
beroperasi di laut lepas hanya 64 kapal (68,8 persen) yang berhasil dilacak,
sedangkan tidak bisa dilacak 29 kapal yang terdiri dari kapal dibawah 60 GT
sejumlah 13 kapal, tidak terdaftar 9 kapal dan alasan GPS error 4 kapal.
Beberapa pelanggaran pelaku usaha penangkapan ikan yang mengakibatkan
transmitter tidak terdeksi di Fisheries Monitoring Center (FMC) Ditjen P2SDKP
adalah ; (1) tidak memasang transmitter pada kapal yang telah ditentukan, (2)
memasang transmitter tetapi tidak dapat dipantau
pada FMC, (3) tidak
mengaktifkan transmitter, (4) tidak mendaftarkan transmitter yang telah
95
terpasang pada kapal perikanan, (5) tidak melaporkan perubahan kepemilikan,
keagenan, nama, spesifikasi dan perubahan id transmitter.
Sumber : Sumber Ditjen PSDKP KKP, 2013
Gambar 11 Posisi Kapal Penangkapan Ikan Indonesia Berdasarkan Data VMS
tahun 2012
5.2.2 Penegakan Hukum
Penegakan hukum pada WCPFC terdapat lima ketentuan CMM. Pertama,
CMM 2009-01 tentang Pendaatan Kapal dan Izin Penangkapan Ikan (Record of
Fishing Vessels And Authorization to
Fish) yang bertujuan menetapkan izin
penangkapan ikan di area Konvensi dan mewajibkan negara anggota untuk
memiliki kemanpuan untuk mengedalikan secara efektif termasuk penegakan
hukum dan peraturan jika terjadi pelanggaran.
Kedua CMM 2009-09 tentang Tindakan Pengelolaan dan Konservasi
untuk Kapal-Kapal Tanpa Kebangsaan (Conservation and Management Measure
for Vessels Without Nationality) yang merupakan implementasi pasal 10 konvensi,
di mana kapal yang tidak memiliki kebangsaan adalah kapal yang tidak
mengibarkan bendera suatu negara atau mengibarkan dua atau lebih bendera
negara sesuai dengan padal 92 UNCLOS 1982. Penegakan hukum dalam konteks
ini terkait dengan kebangsaan kapal yang diatur dalam PP No. 51 Tahun 2002.
Aturan tersebut dituangkan dalam bagian kedua Bab V tentang pendaftaran dan
96
kebangsaan kapal Indonesia. Menurut Pasal 41 ayat (1), kapal yang telah didaftar
di Indonesia dapat diberikan surat tanda kebangsaan kapal Indonesia sebagai bukti
kebangsaan. Surat tanda kebangsaan tersebut di berikan dalam bentuk (Pasal 41
ayat 2):
a. Surat laut untuk kapal -kapal yang berlayar di perairan laut dengan tonase
kotor 175 (GT. 175) atau lebih.
b. Pas tahunan untuk kapal -kapal yang berlayar di perairan laut dengan
tonase kotor 7 (GT. 7) dan sampai dengan tonase kotor kurang dari 175 (<
GT.175).
c. Pas kecil untuk kapal -kapal yang berlayar di perairan laut dengan tonase
kotor kurang dari 7 (< GT. 7).
d. Pas perairan daratan untuk kapal-kapal yang berlayar di perairan daratan.
Surat tanda kebangsaan kapal diberikan sebagai dasar bagi kapal untuk
dapat mengibarkan bendera Indonesia sebagai bendera kebangsaan (Pasal 42 ayat
1), yang harus selalu berada di atas kapal bila sedang berlayar (Pasal 42 ayat 2).
Selain itu, UU No. 21 Tahun 2009 menambahkan kewajiban pemberantasan
penangkapan ikan secara melanggar hukum di Wilayah Pengelolaan Perikanan
Republik Indonesia oleh kapal perikanan asing dan membuka kesempatan bagi
kapal Indonesia untuk melakukan kegiatan penangkapan ikan di Laut Lepas.
Sebelum tahun 2008, Indonesia pernah menerapkan sistem perjanjian
bilateral dengan tiga negara yakni China, Thailand dan Philipina untuk
memanfaatkan sumberdaya ikan di ZEE Indonesia. Perjanjian bilateral dengan
ketiga negara tersebut sudah berakhir dan tidak diperpanjang lagi. Namun kerja
sama dengan Thailand dilanjutkan dalam bentuk usaha patungan, sewa atau
impor kapal oleh PMA atau perusahaan swasta nasional yang menggunakan eks
kapal lisensi (eks. kapal ikan berbendera Thailand) sesuai dengan ketentuan yang
tertuang dalam Permen KP No. 17/2006 tentang Usaha Penangkapan Ikan.
Permen KP No 17/2006 telah direvisi beberapa kali, terakhir menjadi Permen KP
No. Per.30/Men/2012.
Sistem skim lisensi yang pernah dilaksanakan memang menguntungkan
bagi peningkatan devisa dari pungutan perikanan terhadap kapal asing. Namun
juga banyak merugikan karena menyebabkan armada nasional tidak berkembang,
97
dominasi tenaga kerja asing dan pengurasan sumber daya ikan terutama di
perairan tempat beroperasinya kapal ikan asing. Diharapkan dengan sistem usaha
patungan armada nasional dapat berkembang karena kapal ikan asing akan
berubah kepemilikan atau alih bendera sehingga memperbesar jumlah armada
perikanan nasional. Disamping itu, armada perikanan nasional diharapkan
bertambah dari kapal ikan yang akan dibangun di Indonesia.
Sejak tahun 2008 pemerintah untuk tidak melanjutkan sistem skim lisensi
kapal asing ditujukan untuk meningkatkan kemampuan armada perikanan
nasional. Melalui sistem usaha patungan, diharapkan ada penyertaan modal dari
pengusaha perikanan domestik dan kewajiban membangun unit pengolahan ikan
sehingga meningkatkan usaha pengolahan dan pemasaran ikan di dalam negeri.
Namun dalam perkembangan usaha patungan banyak terjadi penyimpangan.
Sampai dengan tahun 2012, Ditjen Perikanan Tangkap telah mencabut
1.166 buah izin. Pencabutan izin dilakukan antara lain karena hal-hal sebagai
berikut : (1) Pemilik izin tidak merealisasikan alokasi SIUP yang dimilikinya
dalam jangka waktu 2 (dua) tahun; (2) Kapal dilaporkan dan telah terbukti
melakukan IUU Fishing (masuk dalam IUU List
RFMO’s); (3) Tidak
melaksanakan ketentuan yang tercantum dalam SIUP dan SIPI/SIKPI; dan (4)
Permohonan pelaku usaha karena kapal terbukti telah tidak ada (tenggelam atau
rusak/hancur) atau tidak beroperasi lagi.
5.2.3
Kapal Penangkapan Ikan
Beberapa ketentuan WCPFC
yang terkait dengan kapal penangkapan
ikan, yaitu Call Sign dan Identification Number (WIN), Pendataan dan pemberian
izin kapal penangkapan ikan serta Laporan Tangkapan.
1) Call Sign dan Identification Number (WIN)
Call Sign dan Identification Number (WIN) ditetapkan melalui CMM
2004-03
tentang
Spesifikasi
Untuk
Penandaan
dan
Identifikasi
Kapal
Penangkapan Ikan (Specifications For The Marking And Identification Of Fishing
Vessels).
CMM 2004-03 ini bertujuan untuk menentukan identifikasi kapal
penangkapan ikan yang beroperasi di area Konvensi. Kewajiban negara anggota
untuk mendesak operator/pengusaha penangkapan ikan untuk mengadopsi
98
International Telecommunication Union Radio Call Signs (IRCS) dan kapal
harus memiliki nomor identitas WCPFC (WCPFC Identification Number/WIN).
Menurut Pasal 48 ayat (1) PP No. 51 Tahun 2002, kapal Indonesia yang
dilengkapi dengan perangkat komunikasi radio kapal harus mempunyai tanda
panggilan (call sign) sebagai salah satu identitas kapal. Aturan call sign juga
dituangkan dalam Lampiran III Permen KP No. Per.30/Men/2012, sedangkan
WIN di tuangkan dalam Lampiran II Permen KP No. Per.12/Men/2012.
Berdasarkan 430 kapal penangkapan ikan Indonesia yang terdaftar pada
Komisi WCPFC sampai dengan tahun 2012 terdapat 399 kapal atau 93 persen
yang telah memiliki IRCS/WIN, sedangkan 31 kapal atau tujuh persen belum
memiliki IRCS/WIN sehingga sesuai dengan ketentuan WCPC 31 kapal tersebut
dikategorikan illegal.
2) Pendataan dan Pemberian Izin Kapal Penangkapan Ikan.
Pendataan dan pemberian izin kapal penangkapan ikan ditetapkan pada
CMM 2009-01 tentang Pendataan Kapal dan Izin Penangkapan Ikan (Record of
Fishing Vessels And Authorization to
Fish) yang bertujuan menetapkan izin
penangkapan ikan di area Konvensi dan mewajibkan negara anggota untuk
memiliki kemampuan untuk mengendalikan secara efektif termasuk penegakan
hukum dan peraturan jika terjadi pelanggaran. Pendataan kapal sesuai pasal 24
Konvensi WCPFC mensyaratkan bahwa penangkapan ikan di wilayah Konvensi
hanya dilakukan oleh kapal-kapal negara anggota sedangkan penangkapan ikan
diwilayah jurisdiksi negara negara lain harus memiliki izin negara bersangkutan
sesuai dengan peraturan negara tersebut. Jumlah izin harus sesuai dengan potensi
penangkapan diwilayah Konvensi dan tidak memiliki catatan IUU Fishing.
Sampai dengan tahun 2012 terdapat 430 kapal bendera Indonesia yang
telah didaftarkan pada Komisi WCPFC yang terdiri dari kapal gillnet, pole and
line, kapal pendukung, longline, dan purse seine. Dari jumlah tersebut, kapal
bendera Indonesia yang memiliki izin di atas 30 GT (izin pusat) sampai dengan
2012 berjumlah 363 kapal atau 84 persen dari jumlah kapal yang terdaftar pada
WCPFC. Komposisi kapal perjenis alat tangkap pada Gambar 12.
99
200
180
160
140
120
100
80
60
40
20
0
182
160
128
69
62
82
76
23
2
1
Gillnet
Pole and line Support Vessel
(Purse seine)
Izin Indonesia
Longline
Purse sein
Kapal tidak
spesifik
8
Handline
Terdaftar WCPFC
Sumber : Diolah dari Data Base WCPFC dan Data Perizinan Ditjen Perikanan Tangkap
Gambar 12
Kapal Bendera Indonesia yang didaftarkan pada Komisi
WCPFC
Pengaturan pemenuhan dan standar umum operasional kapal diatur dalam
PP No. 51 Tahun 2002. Sementara aturan pengadaan kapal ikan di atur dalam
Permen KP No. Per.12/Men/2012. Menurut Pasal 50, setiap orang yang akan
mengadakan kapal penangkap ikan atau kapal pengangkut ikan untuk
dipergunakan di laut lepas, harus terlebih dahulu memperoleh persetujuan tertulis
dari Direktur Jenderal Perikanan Tangkap. Adapun lampiran untuk pengadaan
kapal baru, yaitu:
a. Fotokopi SIUP, yang mencantumkan wilayah penangkapan dan pengangkutan
ikan di Laut Lepas;
b. Fotokopi gambar rencana umum kapal (general arrangement), termasuk
spesifikasi alat penangkapan ikan;
c. Fotokopi gambar rencana umum kapal, termasuk spesifikasi untuk kapal
pengangkut ikan;
d. Nama perusahaan, lokasi dan negara tempat pembangunan kapal; dan
e. Surat keterangan dari galangan kapal tempat kapal akan dibangun.
100
Sementara lampiran untuk pengadaan kapal bukan baru, yaitu:
a. Fotokopi SIUP yang mencantumkan wilayah penangkapan di Laut Lepas;
b. Grosse akta;
c. Fotokopi gambar rencana umum kapal, termasuk spesifikasi alat penangkapan
ikan;
d. Fotokopi gambar rencana umum, untuk kapal pengangkut ikan;
e. Bendera kapal sebelumnya;
f. Fotokopi tanda kebangsaan kapal; dan
g. surat pernyataan bahwa kapal tidak tercantum dalam IUU Vessel List RFMO
Pengadaan kapal penangkap ikan dan/atau kapal pengangkut ikan dapat
dilakukan dari dalam negeri dan/atau luar negeri (Pasal 50 ayat 3). Lebih lanjut,
pengadaan kapal penangkap ikan dan/atau kapal pengangkut ikan yang berasal
dari dalam negeri, dapat dilakukan untuk kapal berukuran di atas 30 GT.
Sementara pengadaan kapal penangkap ikan yang berasal dari luar negeri hanya
dapat dilakukan untuk kapal berukuran di atas 100 GT. Sedangkan pengadaan
kapal pengangkut ikan yang berasal dari luar negeri hanya dapat dilakukan untuk
kapal berukuran di atas 500 GT - 1.500 GT.
Aturan pengadaan kapal ikan dapat dilakukan oleh Menteri, Gubernur dan
Bupati/Walikota. Kewenangan Menteri diberikan kepada Direktur Jenderal
Perikanan Tangkap untuk kapal penangkap ikan dan kapal pengangkut ikan
ukuran diatas 30 GT, Gubernur memberikan kewenangan persetujuan dengan
ukuran diatas 10 GT - 30 GT, dan Bupati/Walikota memberikan kewenangan
persetujuan dengan ukuran sampai dengan 10 GT (Pasal 30). Pengadaan kapal
penangkap ikan dan/atau kapal pengangkut ikan dapat dilakukan dari dalam
negeri dan/atau luar negeri dengan
cara
membeli,
membangun, atau
memodifikasi (Pasal 31 ayat 1).
3) Laporan Tangkapan
Laporan tangkapan salah satunya melalui logbook penangkapan ikan,
dalam rangka mendukung kebijakan pengelolaan sumber daya ikan yang optimal
dan berkelanjutan serta terjaminnya kelestarian sumber daya ikan, diperlukan data
dan informasi perikanan yang akurat terkait dengan kegiatan penangkapan ikan
dalam logbook penangkapan ikan. Aturan logbook penangkapan ikan ditetapkan
101
dalam Permen KP No. Per.18/Men/2010. Logbook yang ada saat ini melengkapi
sistem pendataan statistik perikanan tangkap dan kebutuhan pengkajian stock.
Informasi yang tercatat dalam logbook berupa :
a. Jumlah kapal penangkap ikan yang beroperasi (active vessel) berdasarkan ;
jenis alat penangkap ikan, ukuran kapal, pelabuhan pendaratan, pelabuhan
keberangkatan (Pelabuhan yang mengeluarkan SPB/ Port Clearance) dan
wilayah pengelolaan perikanan (WPP)
b. Jumlah hasil tangkapan yang terdiri dari ; jenis alat penangkapan ikan, jenis
ikan dan hasil tangkapan sampingan.
c. Produktivitas kapal penangkapan ikan berdasarkan jenis alat penangkapan
ikan/GT/WPP/tahun.
Pengisiaan logbook mulai di laksanakan sejak Januari 2011 pada 22
pelabuhan perikanan unit pelaksana teknis (UPT) Pusat, satu pelabuhan perikanan
swasta (Barelang) dan satu pelabuhan umum (Benoa). Jenis informasi yang
dikumpulkan antara lain adalah jenis alat penangkapan ikan, ukuran kapal,
pelabuhan pendaratan, pelabuhan keberangkatan, jenis ikan, dan hasil tangkapan
sampingan.
Berdasarkan rekapitulasi data logbook tahun 2011 tingkat kesadaran
pelaku usaha penangkapan ikan yang menangkap ikan di wilayah kewenangan
RFMO masih rendah, yakni IOTC 332 kapal atau 44,87 persen dari 740 kapal
yang terdaftar pada IOTC, CCSBT 76 kapal atau 33,48 persen dari 227 kapal
yang terdaftar pada CCSBT, dan WCPFC 41 kapal atau 31,30 persen dari 131
kapal yang terdaftar pada WCPFC. Data logbook pada UPT pusat tahun 2012
adalah disajikan pada Tabel 16.
Pelaksanaan logbook penangkapan ikan di Indonesia dihadapkan pada
beberapa permasalahan dan kendala, yaitu: (a) kurangnya sosialisasi pengisian
logbook oleh para nakhoda. (b) pengisian logbook banyak diisi oleh pengurus
perusahaan di darat, sehingga manipulasi data sangat besar, dan (c) Format
logbook penangkapan ikan dirasakan nakhoda kurang sederhana sehingga
membingungkan nakhoda dalam mengisi buku logbook.
102
Tabel 16. Data Logbook pada Pelabuhan Perikanan UPT Pusat Tahun 2012
No.
Pelabuhan Perikanan
Jumlah Yang Malaksanakan
Wilayah
Logbook
Kewenangan
RFMO
Kapal
Trip
1
Pelabuhan Perikanan Samudera Belawan
1.262
40.867
-
2
Pelabuhan Perikanan Samudera Bungus
13
15
IOTC
3
1.481
1.519
4
Pelabuhan Perikanan Samudera Nizam
Zachman
Pelabuhan Perikanan Samudera Cilacap
304
363
IOTC/CCSBT
5
Pelabuhan Perikanan Samudera Bitung
1.394
2.168
IOTC
6
Pelabuhan Perikanan Samudera Kendari
413
754
WCPFC
7
Pelabuhan Perikanan Nusantara Sibolga
-
-
IOTC
8
24
24
9
Pelabuhan Perikanan Nusantara Tanjung
Pandan
Pelabuhan Perikanan Nusantara Sungai Liat
707
1.118
WCPFC
10
Pelabuhan Perikanan Nusantara Karangantu
-
-
WCPFC
11
862
1.786
12
Pelabuhan Perikanan Nusantara
PalabuhanRatu
Pelabuhan Perikanan Nusantara Kejawanan
135
135
WCPFC
13
Pelabuhan Perikanan Nusantara Pekalongan
52
52
WCPFC
14
Pelabuhan Perikanan Nusantara Brondong
-
-
WCPFC
15
Pelabuhan Perikanan Nusantara Prigi
332
477
WCPFC
16
301
803
17
Pelabuhan Perikanan Nusantara
Pengambengan
Pelabuhan Perikanan Nusantara Pemangkat
307
518
WCPFC
18
Pelabuhan Perikanan Nusantara Ambon
201
226
WCPFC
19
Pelabuhan Perikanan Nusantara Tual
129
142
WCPFC
20
Pelabuhan Perikanan Nusantara Ternate
234
489
WCPFC
21
Pelabuhan Perikanan Pantai Teluk Batang
-
-
WCPFC
22
Pelabuhan Perikanan Pantai Kwandang
62
62
WCPFC
-
WCPFC
IOTC/CCSBT
IOTC/CCSBT
Sumber : Ditjen Perikanan Tangkap Tahun 2012
5.2.4 Alat Penangkap Ikan dan Alat Bantu Penangkapan Ikan
Ketentuan pengaturan alat penangkapan ikan dan alat bantu penangkapan
ikan ditetapkan melalui dua CMM yakni CMM 2008-04 tentang Tindakan
Pengelolaan dan Konservasi terhadap Jaring Insang Hanyut Skala Besar pada
Laut Lepas Area Konvensi (Conservation and Management Measure to Prohibit
the Use of Large-Scale Driftnets on the High Seas in the Convention Area), dan
CMM 2009-02 tentang Tindakan Pengelolaan dan Konservasi Penutupan Rumpon
103
dan Retensi Penangkapan (Conservation and
Management
Measure on the
Aplication of High Seas FAD Closures And Catch Retention).
1) CMM 2008-04 tentang Tindakan Pengelolaan dan Konservasi terhadap Jaring
Insang Hanyut Skala Besar pada Laut Lepas Area Konvensi (Conservation
and Management Measure to Prohibit the Use of Large-Scale Driftnets on
the High Seas in the Convention Area)
CMM 2008-04 mengadopsi Resolusi United Nations Nomor 46/215 yang
menyerukan perlunya moratorium global untuk jaring insang hanyut skala besar
karena berdampak buruk terhadap keberlanjutan ekosistem. Ketentuan ini berlaku
bagi negara anggota WCPFC di wilayah Konvensi terkecuali jika negara bendera
menangkap ikan di wilayah yurisdikasi dimana jaring insang hanyut diizinkan.
Jaring insang hanyut diatur melalui Pasal 13 dan Pasal 28 Permen KP No.
Per.02/Men/2011 yang merupakan alat penangkapan ikan bersifat pasif
dioperasikan dengan menggunakan ukuran :
a. mesh size > 1,5 inch, P tali ris < 500 m, menggunakan kapal motor berukuran
< 5 GT, dan dioperasikan pada jalur penangkapan ikan IB, II, dan III di WPPNRI 571, WPP-NRI 572, WPP-NRI 573, WPP-NRI 711, WPP-NRI 712,
WPP-NRI 713, WPP-NRI 714, WPP-NRI 715, WPP-NRI 716, WPP-NRI 717
dan WPP-NRI 718.
b. mesh size > 1,5 inch, P tali ris < 1.000 m, menggunakan kapal motor
berukuran > 5 s/d 10 GT, dan dioperasikan pada jalur penangkapan ikan IB,
II, dan III di WPP-NRI 571, WPP-NRI 572, WPP-NRI 573, WPP-NRI 711,
WPPNRI 712, WPP-NRI 713, WPP-NRI 714, WPP-NRI 715, WPP-NRI 716,
WPPNRI 717 dan WPP-NRI 718.
c. mesh size > 1,5 inch, P tali ris < 2.500 m, menggunakan kapal motor
berukuran > 10 s/d < 30 GT, dan dioperasikan pada jalur penangkapan ikan III
di WPP-NRI 571, WPP-NRI 572, WPP-NRI 573, WPP-NRI 711, WPP-NRI
712, WPP-NRI 713, WPP-NRI 714, WPP-NRI 715, WPP-NRI 716, WPPNRI 717 dan WPP-NRI 718.
d. mesh size > 4 inch, P tali ris < 2.500 m, menggunakan kapal motor berukuran
> 30 GT, dan dioperasikan pada jalur penangkapan ikan III di WPP-NRI 571,
104
WPPNRI 572, WPP-NRI 573, WPP-NRI 711, WPP-NRI 712, WPP-NRI 713,
WPP-NRI 714, WPP-NRI 715, WPP-NRI 716, WPP-NRI 717 dan WPP-NRI
718.
Berdasarkan data perizinan Ditjen Perikanan Tangkap sampai dengan
tahun 2012 terdapat satu kapal jaring insang hanyut yang diberi izin penangkapan
ikan di ZEE Indonesia Samudera Pasifik yakni KM Ericaristine dengan ukuran
517 GT. Namun berdasarkan Record of Fishing Vessel (RVF) WCPFC kapal
tersebut telah dihapus pada daftar kapal WCPFC per tanggal 12 November 2009.
2) CMM 2009-02 tentang Tindakan Pengelolaan dan Konservasi Penutupan
Rumpon dan Retensi Penangkapan (Conservation and Management Measure
on the Aplication of High Seas Fad Closures And Catch Retention)
CMM 2009-02 melengkapi dan menjadi bagian dari
CMM 2008-01
tentang bigeye dan yellowfin di area WCPFC yang bertujuan untuk memastikan
implemetasi konsisten dari penutupan rumpon diarea perairan antara 200 LS
derajat dan 200 LU pada periode 1 Agustus sampai dengan 30 September.
Pengertian rumpon pada CMM 2008-01 adalah benda atau kelompok benda dari
berbagai ukuran, yang telah atau belum di gunakan/di pasang, baik hidup atau
tidak hidup, termasuk tetapi tidak terbatas pada buoys, mengapung, jaring,
anyaman, plastik, bambu, kayu dan hiu paus mengambang didalam atau dekat
permukaan air yang berasosiasinya.
Selama periode penutupan rumpon, semua kapal purse seine tanpa
observer di atas kapal wajib menghentikan kegiatan penangkapan ikan.
Sedangkan kapal penangkapan ikan yang dapat melakukan operasi penangkapan
ikan yang hanya terdapat observer diatas kapal dari Regional Observer Program
untuk memonitor kapal tersebut tidak memasang atau menangkap ikan di rumpon.
Permintaan observer dari Regional Observer Program harus memberitahukan
kepada koordinator program observer selambatnya 21 hari sebelumnya. Namun
jika tidak tersedia observer
dari Regional Observer Program maka negara
bendera dapat menempatkan observer nasionalnya pada kapal tersebut.
Selama waktu penutupan rumpon, kapal purse seine hanya diperbolehkan
untuk melakukan operiasonal penangkapan berada satu mil dari rumpon. Operator
105
kapal wajib melarang kapalnya untuk mengumpulkan ikan atau menggiring ikan
dengan menggunakan lampu dalam air menuju lokasi tertentu. Peralatan
pendukung rumpon seperti perlengkapan elektronik dapat diangkat selama periode
penutupan jika langsung disimpan kedalam kapal untuk dibawa ke pelabuhan.
Penutupan rumpon pada periode Agustus – September akan sangat
berpengaruh kepada hasil tangkapan purse seine. Jika mengacu pada data
pendaratan kapal purse seine pada Agustus- September 2012 setidaknya potensi
nelayan purse seine untuk tidak dapat menangkap skipjack 4.588,33 ton, bigeye
16,19 ton dan yellowfin 393,26 ton (Gambar 12). Besarnya potensi kerugian
tersebut dapat diatasi jika pemerintah segera merekrut tenaga observer untuk
ditempatkan pada kapal-kapal purse seine yang menangkap ikan diwilayah
Konvensi.
3,000.00
PERIODE PENUTUP
PURSE SEINE
Jumlah Tangkapan (ton)
2,500.00
2,000.00
1,500.00
1,000.00
500.00
0.00
Skipjack
Bigeye
Yellowfin
Juli
2,044.72
6.84
393.26
Agustus
2,386.65
7.15
544.07
September
2,201.67
9.04
294.02
Oktober
2,513.24
289.78
November
2,416.86
2.11
512.13
Sumber : Diolah dari Data Logbook Penangkapan Ikan PPS Bitung Tahun 2012
Gambar 13 Data Pendaratan Hasil Tangkapan Purse Seine Periode Juli –
November 2012
Penggunaan alat bantu penangkapan rumpon telah lama dikenal oleh
nelayan Kota Bitung yang menangkap ikan di Laut Sulawesi dan Samudera
Pasifik.
Rumpon pada Permen KP Nomor Per.02/Men/2011 di defenisikan
sebagai alat bantu untuk mengumpulkan ikan dengan menggunakan berbagai
106
bentuk dan jenis pemikat/atraktor dari benda padat yang berfungsi untuk memikat
ikan agar berkumpul.
Penggunaan rumpon di Kota Bitung umumnya menjadi satu paket dengan
kapal purse seine dan kapal lampu. Satu paket armada purse seine biasanya terdiri
dari 3-4 kapal angkut (carrier vessel), satu kapal penangkapan dan 3-4 kapal
lampu. Operasional penangkapan dapat dilakukan 1-2 kali penangkapan setiap
malam dengan satu trip 60-90 hari.
Alat bantu penangkapan ikan rumpon sangat membantu efesiensi usaha
penangkapan ikan di Kota Bitung, karena keberadaan rumpon menjadikan
penangkapan ikan menjadi lebih fokus
dan berkurangnya waktu operasional
penangkapan ikan yang biasanya tanpa menggunakan rumpon bisa memakan
waktu pengejaran 4-6 jam perhari. Oleh karena itu, penggunaan alat bantu rumpon
dapat membantu nelayan untuk menekan biaya bahan bakar minyak (BBM).
Jenis rumpon yang berkembang di perairan Sulawesi Utara umumnya
adalah rumpon laut dalam yang ditempatkan pada kedalaman 200 m. Jenis
rumpon ini telah lama di kembangkan oleh nelayan Sulawesi dengan sebutan
Rompong yang dilengkapi rakit dengan kamar perangkap ikan yang berfungsi
sebagai bubu apung (floating traps).
A
B
C
Gambar 14 Kapal Purse Seine (A), Rumpon (B) dan Ponton (C) di Kota Bitung
Berdasarkan rekomendasi Ditjen Perikanan Tangkap, pada tahun 20012009 telah direkomendasi izin rumpon pada perairan ZEE Indonesia di Laut
Sulawesi dan Samudera Pasifik sejumlah 284 titik rumpon. Jumlah tersebut akan
bertambah jika termasuk rumpon izin
pemerintah daerah. Peta rekomendasi
rumpon pada peraiaran ZEE Indonesia Laut Sulawsi dan Samudera Pasifik dapat
dilihat pada gambar 14.
107
Sejak tahun 2010 pemberian izin rumpon dihentikan sementara untuk
seluruh perairan ZEE Indonesia melalui Keputusan Dirjen Perikanan Tangkap
Nomor KEP.08/DJPT/2010. Keputusan ini mengatur pemberhentian sementara
pemberian izin bagi usaha baru alat penangkapan ikan dan alat bantu
penangkapan ikan tertentu. Peraturan ini terkait dengan penutupan purse seine
Pelagis Besar (diatas 200GT) untuk semua daerah penangkapan dan rumpon
semua ZEE Indonesia.
Sumber : Diolah dari data izin rumpon pusat tahun
Gambar 15 Peta Rumpon Izin Pusat Tahun 2001 – 2009
Penggunaan rumpon sebenar telah menjadi
permasalahan dalam
pengelolaan perikanan tangkap di Sulawesi Utara karena banyak rumpon yang
tidak memiliki izin dan penempatannya tidak sesuai peraturan dan kepemilikan
rumpon oleh nelayan Philipina yang menggunakan pumpboat.
Pumpboat rata-rata berukuran 5 – 10 GT dengan mesin 60-100 PK yang
menggunakan alat tangkap handline dengan lama operasi 10 hari. Satu unit kapal
pumpboat membawa 5-14 perahu kecil dengan mesin 5-10 PK yang merupakan
sebagai armada semut. Kepemilikan pumpboat sebagian besar dimiliki oleh warga
negara Philipina yang memanfaatkan kesamaan budaya dengan masyarakat
108
Kepulauan Sangihe Talaud. Keberadaan pumpboat telah menjadi ancaman
pemanfaatan sumberdaya tuna dan terindikasi bahwa hal ini didorong oleh
keinginan Philipina untuk menjadikan peraiaran Laut Sulawesi menjadi
traditional fishing right nelayan philipinna.
Disamping hal tersebut, keberadaan pumpboat dianggap illegal karena
banyak yang tidak memiliki izin penangkapan ikan dan memiliki izin ganda dari
beberapa kabupaten. Berdasarkan data yang dikumpulkan pada Pertemuan
Pengelolaan Pumpboat pada tanggal 28 Mei 2010 di Manado terdata 457 unit
pumpboat diperairan Indonesia yang memiliki izin dari Kota Bitung 289 unit,
Kota Ternate 50 unit, Kabupaten Halmahera Utara 50 unit dan Halmahera Tengah
58 unit.
Terkait dengan Ketentuan Alat Penangkapan Ikan dan Alat Bantu
Penangkapan Ikan yang ditetapkan melalui CMM 2008-04 dan CMM 2009-02
telah diatur Permen KP No. Per.02/Men/2011 tentang jalur penangkapan ikan dan
alat bantu penangkapan ikan. Tujuan Peraturan Menteri ini adalah untuk
mewujudkan pemanfaatan sumberdaya ikan yang bertanggungjawab optimal dan
berkelanjutan serta mengurangi konflik pemanfaatan sumber daya ikan
berdasarkan prinsip pengelolaan sumber daya ikan. Menurut Peraturan Menteri
ini, jalur penangkapan ikan di WPP-NRI terdiri dari:
a. Jalur penangkapan ikan I, terdiri dari: (1) jalur penangkapan ikan IA, meliputi
perairan pantai sampai dengan 2 mil laut yang diukur dari permukaan air laut
pada surut terendah, dan (2) Jalur penangkapan ikan IB, meliputi perairan
pantai di luar 2 mil laut sampai dengan 4 mil laut.
b. Jalur penangkapan ikan II, meliputi perairan di luar jalur penangkapan ikan I
sampai dengan 12 mil laut diukur dari permukaan air laut pada surut terendah.
c. Jalur penangkapan ikan III, meliputi ZEEI dan perairan di luar jalur
penangkapan ikan II.
Peraturan Menteri ini mulai berlaku tanggal 1 Februari 2012 sesuai dengan
Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor PER.08/MEN/2011 tentang
Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor PER.02/Men/2011 tentang
Jalur Penangkapan Ikan dan Penempatan Alat Penangkapan Ikan dan Alat Bantu
Penangkapan Ikan di Wilayah Pengelolaan Perikanan Negara Republik Indonesia.
109
Sementara itu, dalam Permen KP No. Per.05/Men/2012 disebutkan bahwa
pemberlakuan beberapa Alat Penangkapan Ikan dan Alat Bantu Penangkapan Ikan
mulai berlaku tanggal 1 Februari 2013. Alat Penangkapan Ikan dan Alat Bantu
Penangkapan Ikan tersebut, yaitu:
a. Pukat cincin pelagis kecil dengan satu kapal dengan alat bantu penangkapan
ikan (ABPI) berupa rumpon dan lampu sebagaimana diatur dalam Pasal 22
ayat (1);
b. Lampara dasar sebagaimana diatur dalam Pasal 23 ayat (7);
c. Pukat hela dasar berpapan (otter trawls) sebagaimana diatur dalam Pasal 24
ayat (2);
d. Pukat hela pertengahan udang (shrimp trawls) sebagaimana diatur dalam Pasal
24 ayat (8);
e. Bagan berperahu dengan ABPI berupa lampu sebagaimana diatur dalam Pasal
26 ayat (2);
f. Pukat labuh (long bag set net) sebagaimana diatur dalam Pasal 29 ayat (4);
g. Muro ami sebagaimana diatur dalam Pasal 29 ayat (11); dan
h. Rawai dasar (set longlines) sebagaimana diatur dalam Pasal 30 ayat (7);
Khusus pengaturan rumpon pada Permen KP No. Per.02/Men/2011 belum
diatur lebih rinci dan diamanatkan akan diatur menjadi peraturan menteri sendiri.
Oleh karena itu seharusnya peraturan menteri terkait dengan rumpon segera
ditetapkan sehingga pengelolaan rumpon dapat dilakukan dengan baik. Sebelum
Permen KP No. Per.02/Men/2011 terbit telah terdapat Keputusan Menteri
Kelautan dan Perikanan No Kep.30/Men/2004 tentang Pemasangan dan
Pemanfatan Rumpon. Dalam Kepmen ini diatur mekanisme pemberian izin
rumpon dari tingkat pusat hingga daerah dan penempatan rumpon yang
memerhatikan habitat, jalur ruaya, kawasan lindung, Alur Layar Kepulauan
Indonesia (ALKI), jalur navigasi pelayaran dan batas wilayah.
110
5.2.5 Pengelolaan Tangkapan Utama
Berdasarkan pelaporan statistik WCPFC dari jumlah tersebut di atas hanya
terdapat delapan spesies yang menjadi spesies target utama di wilayah Konvensi
WCPFC. Sedangkan yang menjadi target sasaran oleh kapal Indonesia di wilayah
Konvensi WCPFC yakni lima spesies yakni bigeye, yellowfin, skipjack, swordfish,
dan striped marlin. Sedangkan albacore ditangkap diluar wilayah Konvensi yakni
di Samudera Hindia dan Laut Timor, dan dua spesies lainnya yakni black marlin
dan blue marlin tidak tertangkap oleh kapal bendera Indonesia.
Berdasarkan data statistik WCPFC pada tahun 2002-2011, spesies
tangkapan utama Indonesia didominasi oleh (1) skipjack dengan rata-rata
tangkapan pertahun sebesar 224.384 ton atau meningkat setiap tahun sebesar 3,34
persen, (2) yellowfin dengan rata-rata tangkapan pertahun 70.806 ton atau
meningkat setiap tahun sebesar 3,42 persen, dan (3) bigeye dengan rata-rata
tangkapan pertahun 14.071 ton atau meningkat setiap tahun sebesar 4,03 persen.
Sedangkan untuk swordfish dan kelompok marlin sangat sedikit tertangkap karena
umumnya ikut tertangkap pada alat tangkap longline dan purse seine. Data rinci
tangkapan tuna Indonesia per spesies terdapat pada Gambar 16.
450,000
400,000
350,000
Ton
300,000
250,000
200,000
150,000
100,000
50,000
-
2001
2002
2003
2004
2005
2006
2007
2008
2009
2010
2011
Swordfish
253
392
577
583
657
633
627
658
644
644
644
Striped Marlin
88
138
203
205
232
223
221
232
227
227
227
Blue Marlin
545
799
1,135
1,146
1,605
1,431
1,512
1,441
1,383
1,408
1,478
420
557
Black Marlin
164
240
341
344
652
480
430
489
413
Yellowfin
68,779
73,106
72,692
82,157
59,450
51,040
62,842
58,353
80,669
Skipjack
173,265 173,336 163,583 191,653 173,203 218,310 243,118 255,917 279,985 273,637 270,100
Bigeye
10,395
10,922
10,959
12,318
12,147
14,717
13,532
18,002
18,052
64,155 103,595
13,472
16,584
Sumber : Diolah Data Base WCPFC
Gambar 16 Tangkapan dari Kapal Bendera Indonesia pada Wilayah Konvensi
pada tahun 2002 – 2011
111
Berdasarkan daerah penangkapan yang diolah dari data logbook
penangkapan ikan PPS Bitung dan PPN Ternate tahun 2012, tangkapan Indonesia
masih berada di dalam perairan Indonesia. Spesies bigeye umumnya tertangkap di
Laut Maluku diatas Kepuluan Sula. Sedangkan yellowfin tertangkap merata di
Laut Sulawesi terutama antara perairan Kota Bitung dan Kepulauan Sangihe,
disekitar Laut Seram dan Laut Halmahera. Sedangkan untuk skipjack banyak
tertangkap pada Laut Sulawesi dan Laut Maluku. Daerah penangkapan ikan
berdasarkan analisa logbook di sajikan pada Gambar 16.
Sumber : Diolah Data Logbook Penangkapan Ikan
Gambar 16 Peta Daerah Penangkapan Kapal Indonesia Berdasarkan Jenis Ikan
Keragaan spesies yang menjadi tangkapan utama kapal bendera Indonesia
di wilayah Konvensi adalah sebagai berikut :
1) Bigeye (Thunnus obesus)
Pengaturan bigeye dan yellowfin tuna ditetapkan melalui CMM 200801 tentang Tindakan Pengelolaan dan Konservasi Tuna Bigeye dan Tuna
Yellowfin di WCPFC (Conservation and Management Measure for Big-eye and
Yellowfin Tuna in the WCPFC) dan diperpanjang melalui CMM 2011-01 tentang
112
Tindakan Pengelolaan dan Konservasi Untuk Perpanjangan Sementara CMM
2008-01 (Conservation and Management Measure for Temporary Extension of
CMM 2008-01). Pengaturan bertujuan untuk mengurangi tingkat kematian akibat
upaya penangkapan kedua spesies ini terutama kematian juvenile akibat
penggunaan alat tangkap purse seine dengan alat bantu rumpon. Penutupan
berlaku pada periode 1 Agustus – 30 September antara tahun 2009 – 2012 yang
selanjutnya diperpanjang melalui CMM 2011-01. Namun ketentuan ini tidak
berlaku jika kapal tersebut terdapat observer yang dilaporkan ke Komisi.
Berdasarkan data logbook penangkapan ikan PPS Bitung pada periode
Agustus – September 2012 (Gambar 12), jumlah tangkapan bigeye sebesar 16,19
ton dan yellowfin sebesar 838,09 ton. Jika hasil tangkapan tersebut dikalikan
dengan Harga Patokan Ikan (HPI) tahun 2011 sesuai dengan Peraturan Menteri
Perdagangan No: 13/M-DAG/PER/5/2011, untuk bigeye dengan HPI Rp.9000/kg
maka nilai ekonominya sebesar Rp.129.480.000,- dan yellowfin dengan HPI
Rp.18.400/kg maka nilai ekonominya mencapai Rp.15.420.837.600,-. Total nilai
ekonomi dari kedua spesies tersebut pada periode Agustus – September 2012
sebesar Rp.15.550.317.600,-.Nilai ekonomi akibat penutupan rumpon di wilayah
Konvensi untuk kedua spesies tersebut sangat besar bagi nelayan yang
mendaratkan ikan di PPS Bitung. Oleh karena itu, sudah seharusnya Indonesia
mengantisipasi hal tersebut dengan segara mengangkat obsever untuk ditempatkan
pada kapal-kapal Indonesia yang menangkap di wilayah Konvensi terutama pada
saat penutupan penggunaan rumpon. Dampak ekonomi terutama untuk tangkapan
juvenile bigeye dan yellowfin akan dibahas pada sub-bab berikutnya.
Berdasarkan data statistik WCPFC, jumlah tangkapan bigeye di wilayah
Konvensi 149.356 ton atau meningkat 0,71 persen pertahun. Indonesia memiliki
peran penting terhadap tangkapan bigeye di wilayah Konvensi, karena kontribusi
tangkapan kapal-kapal Indonesia setiap tahun mencapai 9,68 % dan laju
peningkatan tangkapan bigeye kapal-kapal Indonesia yang lebih besar yakni 6,17
persen pertahun, angka tersebut jauh kebih tinggi dari laju peningkatan bigeye di
wilayah Konvensi.
Kajian sediaan bigeye yang di lakukan oleh WCPFC Scientific Committe
antara tahun 2005 – 2009 mengindikasikan telah terjadi penuruan sediaan bigeye
113
tuna. Oleh karena itu, setiap negara diminta untuk mengurangi jumlah tangkapan
secara bertahap dari kondisi tahun 2004 yakni 10 persen tahun 2009, 20 persen
tahun 2010 dan 30 persen tahun 2011. Dalam upaya membatasi tangkapan bigeye
tuna WCPFC telah menetapkan catch limit untuk bigeye tuna Indonesia sejak
tahun 2009 sebesar 7.572 ton, tahun 2010 sebesar 6.730 ton, dan tahun 2011 dan
2012 masing-masing sebesar 5.889 ton. Grafik tangkapan bigeye terdapat pada
Gambar 17.
Dibandingkan dengan trend jumlah tangkapan bigeye kapal-kapal
Indonesia menunjukkan arah peningkatkan yang seharusnya sesuai dengan
ketentuan tersebut harus turun dan melampaui batas tangkapan yang telah
ditetapkan setiap tahun. Posisi Indonesia juga semakin sulit, karena berdasarkan
Scientific Committe tahun 2009 menyimpulkan bahwa tangkapan domestik dari
longline Indonesia berkontribusi menyebabkan turun sediaan bigeye tuna di
wilayah Konvensi.
200,000
180,000
160,000
140,000
Ton
120,000
100,000
80,000
60,000
40,000
20,000
WCPFC
2002
2003
2004
2005
2006
2007
2008
2009
2010
2011
161,404 131,694 173,576 146,802 159,816 143,006 152,024 153,750 130,014 153,521
Indonesia 10,922
10,959
12,318
12,147
14,717
13,532
18,002
18,052
13,472
16,584
Sumber : Diolah Data Base WCPFC
Gambar 18 Tangkapan Bigeye Indonesia dan WCPFC Tahun 2002- 2010
2) Yellowfin (Thunnus albacares)
Pengaturan yellowfin ditetapkan bersamaan dengan ketentuan pengaturan
bigeye yakni melalui CMM 2008-01 yang kemudian diperpanjang melalui CMM
2011-01. Trend penangkapan yellowfin pada wilayah WCPFC selama tahun 20022011 rata-rata meningkat 70.550 ton pertahun atau meningkat 1,96 persen setiap
114
tahun. Sama halnya dengan bigeye, kapal-kapal Indonesia memiliki peran penting
dalam laju penangkapan yellowfin. Setiap tahun kontribusi rata-rata Indonesia
sebesar 13,74 persen. Grafik Tangkapan yellowfin terdapat pada Gambar 19.
Berdasarkan laporan Fith Regular Session Scientific Committe pada tahun
2009, Scientific Committe merekomendasikan bahwa yellowfin telah berada pada
tingkat fully exploited. Salah satu penyebabnya adalah besarnya jumlah tangkapan
juvenile yellowfin oleh kapal purse seine yang menggunakan alat bantu rumpon
sehingga terjadinya penurunan populasi.
700,000
600,000
Ton
500,000
400,000
300,000
200,000
100,000
-
2002
2003
2004
2005
2006
2007
2008
2009
2010
2011
471,37
512,22
503,76
561,56
486,06
507,81
573,15
506,87
541,82
476,84
Indonesia 73,106
72,692
82,157
59,450
51,040
62,842
58,353
80,669
64,155
103,59
WCPFC
Sumber : Diolah dari Data Base WCPFC
Gambar 19 Tangkapan Yellowfin Indonesia dan WCPFC Tahun 2002- 2010
3) Skipjack (Katsuwonus pelamis)
Berbeda dengan spesies bigeye dan yellowfin yang telah menjadi ketentuan
sebagai spesies utama dalam pengelolaan pada WCPFC, skipjack belum diatur
secara khusus dalam suatu ketentuan. Namun demikian akibat penutupan rumpon
pada Agustus – September akan sangat berpengaruh terhadap pendapatan nelayan
karena sebagian besar tangkapan purse seine adalah skipjack. Data logbook
penangkapan ikan PPS Bitung tahun 2012 menunjukkan bahwa jumlah tangkapan
skipjack sebesar 4.588 ton atau jika dikalikan dengan HPI tahun 2011 sebesar
Rp.8.800 per kg maka nilai ekonominya sebesar Rp. 40.377.268.000,-.
Jumlah tangkapan skipjack di wilayah Konvensi WCPFC pada tahun
2002- 2011 mengalami peningkatan rata-rata setiap sebesar 1.522.730 ton atau
115
setiap tahun meningkat sebesar 2,89 persen .Sedangkan kontribusi Indonesia pada
tangkapan skipjack adalah sebesar 15 persen (Gambar 20).
2,500,000
2,000,000
Ton
1,500,000
1,000,000
500,000
-
2002
1,220,
2003
1,220,
2004
1,308,
2005
1,378,
2006
1,481,
2007
1,646,
2008
1,645,
2009
1,794,
2010
1,678,
2011
1,550,
Indonesia 173,33
163,58
191,65
173,20
218,31
243,11
255,91
279,98
273,63
270,10
WCPFC
Sumber : Diolah Data Base WCPFC
Gambar 20 Tangkapan Skipjack Indonesia dan WCPFC Tahun 2002- 2010
4) Swordfish (Xiphias gladius)
Pengaturan Swordfish ditetapkan melalui
CMM 2009-03 tentang
Tindakan Pengelolan dan Konservasi Swordfish (Conservation and Management
for Swordfish) yang betujuan melindungi kepentingan SIDS yang perekonomiaan
sangat bergantung pada perikanan swordfish. Berdasarkan kajian Widodo tahun
2010 swordfish dan kelompok marlin oleh kapal-kapal bendera Indonesia di
Samudera Pasifik tidak termasuk tangkapan utama. Oleh karena itu jumlah
tangkapannya relatif kecil dibanding kelompok tuna.
Rata-rata jumlah tangkapan swordfish pada tahun 2002-2011 di wilayah
Konvensi meningkat sebesar 12.972 ton pertahun dengan peningkatan setiap
tahun sebesar 4,95 persen. Kontribusi Indonesia terhadap tangkapan swordfish
rata-rata setiap tahunnya adalah 4,94 persen (Gambar 20).
116
16,000
14,000
12,000
Ton
10,000
8,000
6,000
4,000
2,000
WCPFC
2002
11,090
2003
13,826
2004
12,676
2005
12,226
2006
13,025
2007
14,003
2008
13,414
2009
12,544
2010
11,396
2011
12,021
Indonesia
392
577
583
657
633
627
658
644
644
644
Sumber : Diolah Data Base WCPFC
Gambar 21 Tangkapan Swordfish Indonesia dan WCPFC Tahun 2002- 2010
5) Kelompok marlin
Jenis marlin yang terdata dalam statistik WCPFC sejumlah tiga jenis yakni
black marlin (Makaira indica), Blue marlin (Makaira nigricans) dan Striped
marlin (Tetrapturus audax). Namun dari ketiga spesies tersebut yang telah diatur
melalui CMM hanya Striped marlin melalui ketentuan CMM 2010-01 tentang
Tindakan
Pengelolaan
dan
Konservasi
North
Pacific
Striped
Marlin
(Conservation and Management Measure for North Pacific Striped Marlin).
CMM ini bertujuan untuk mengurangi laju tangkapan secara bertahap dengan
jumlah tangkapan mulai per 1 Januari 2012 sebesar 80 persen dari jumlah
tangkapan tahun 2000-2003. Disamping itu berdasarkan laporan International
Scientific Committee for Tuna and Tuna-like Species in the North Pacific Ocean
(ISC) menyatkan bahwa sediaan North Pacific Striped Marlin mulai terancam dan
sediaan mulai berkurang dari tahun 2003.
Jumlah tangkapan striped marlin WCPFC pada periode tahun 2002-2011
meningkat sebesar 3.840 ton pertahun atau meningkat sebesar 1,86 persen setiap
tahun. Kontribusi Indonesia terhadap tangkapan striped marlin setiap tahun
mencapai 6,58 persen (Gambar 22).
117
6,000
5,000
Ton
4,000
3,000
2,000
1,000
WCPFC
2002
4,380
2003
4,660
2004
4,660
2005
4,220
2006
4,124
2007
3,405
2008
4,107
2009
3,233
2010
2,791
2011
3,358
Indonesia
138
203
205
232
223
221
232
227
227
227
Sumber : Diolah Data Base WCPFC
Gambar 22 Tangkapan striped marlin Indonesia dan WCPFC Tahun 2002- 2010
Kepedulian pengelolaan perikanan Indonesia di laut lepas dituangkan
dalam UU No. 31 Tahun 2004. Menurut Pasal 10 ayat (1), untuk kepentingan
kerja sama internasional, Pemerintah: (a) dapat memublikasikan secara berkala
hal-hal yang berkenaan dengan langkah konservasi dan pengelolaan sumber daya
ikan; (b) bekerja sama dengan negara tetangga atau dengan negara lain dalam
rangka konservasi dan pengelolaan sumber daya ikan di laut lepas, laut lepas yang
bersifat tertutup, atau semi tertutup dan wilayah kantong; (c) memberitahukan
serta menyampaikan bukti-bukti terkait kepada negara bendera asal kapal yang
dicurigai melakukan kegiatan yang dapat menimbulkan hambatan dalam
konservasi dan pengelolaan sumber daya ikan.
5.2.6
Pengelolaan Tangkapan Sampingan
Dalam ketentuan WCPFC terdapat tiga kelompok spesies yang dimasukan
dalam kelompok tangkapan sampingan (bycatch) yakni hiu, penyu dan burung
laut. Tangkapan sampingan ketiga jenis tersebut diatur melalui CMM 2004-04
Resolusi Tindakan Pengelolaan dan Konservasi (Resolution on Conservation and
Management Measures) merupakan tindaklanjut dari Pasal 5 Konvensi WCPFC
yang mengatur perlunya tindakan mitigasi akibat tangkapan tangkapan sampingan
untuk spesies hiu, penyu dan burung laut.
Tangkapan sampingan diartikan sebagai ikan hasil tangkapan non target
pada suatu perikanan tertentu (Pauly, 1984; Alverson et al 1994). Pada alat
118
tangkap longline, jenis-jenis hiu , sering tertangkap sebagai tangkapan sampingan.
Khusus Indonesia yang berada pada perairan tropis tangkapan sampingan lebih
banyak pada hiu dan penyu sedangkan burung laut lebih banyak terjadi pada
perairan sub-tropis.
1) Hiu
Konservasi dan pengelolaan hiu ditetapkan melalui
CMM 2010-07
tentang Tindakan Pengelolaan dan Konservasi Hiu (Conservation and
Management Measure for Sharks). Salah satu pertimbangan penetapan CMM
2010-07 dikarenakan beberapa jenis hiu telah masuk dalam Appendix II CITES
yakni basking shark and great white shark.
Dalam rangka implementasi IPOA Conservation and Management of
Sharks perlu negara anggota FAO segera mengadopsi dalam National Plan of
Action (NPOA) untuk meminimalkan tangkap yang tidak termanfaatkan dan
mendorong pelepasan jika tertangkap.
Ketentuan pengaturan hiu ditetapkan melalui CMM 2011-04 tentang
Tindakan
Pengelolaan
dan
Konservasi
untuk
Oceanic
Whitetip
Shark
(Conservation and Management Measure for Oceanic Whitetip Shark).
Berdasarkan kajian Komite Ilmiah WCPFC mengindikasikan telah terjadi
penurunan sediaan Oceanic Whitetip Shark (Carcharhinus Longimanus) akibat
penangkapan longline dan puirse seine di wilayah WCPFC. Member, Cooperating
Non Member dan Participating Territories pada ketentuan ini melarang kapal
bendera
negarannya
untuk
melakukan
transhipment,
penyimpanan
atau
mendaratkan Oceanic Whitetip Shark secara utuh atau sebagian. CMM ini berlaku
mulai 1 Januari 2013.
Hasil penelitian hiu di Indonesia menyimpulkan bahwa di perairan
Indonesia sekurang-kurangnya terdapat sekitar 137 jenis hiu dan pari : 76 spesies
hiu dan 61 spesies pari. Dari 76 spesies hiu yang dimanfaatkan di Indonesia tidak
termasuk spesies Carcharodon megalodon (white shark) yang sampai saat ini
belum pernah tertangkap sebagai komoditas perikanan cucut. Di perairan
Samudera Pasifik jenis hiu yang banyak tertangkap oleh longline adalah pari
manta (manta birostris) yang merupakan salah satu spesies ikan tebesar di dunia.
119
Tankapan hiu merupakan kegiatan sampingan dari kegiatan perikanan
longline, gillnet, fish net dan trammel net. Aktivitas perikanan ini ditemukan
hampir di seluruh wilayah perairan Indonesia. Hasil tangkapan cucut
dimanfaatkan oleh nelayan sebagai hasil tambahan perikanan dalam berbagai
bentuk komoditas : bahan makanan olahan (diasin), produk ekspor dari sirip
cucut, kulitnya sebagai bahan berbagai bentuk asesoris (tas, sepatu, dompet dll)
untuk kebutuhan dalam negeri, tulang belakang dipasarkan sebagai bahan obat
kanker dan organ dalam (hati) terutama dari jenis cucut botol (Squalidae) dapat
menghasilkan minyak.
Berdasarkan data Statitik WPP Perikanan Tangkap tahun 2007 – 2011,
jenis hiu dominan yang tertangkap di WPP 716 (Laut Sulawesi dan Sebelah Utara
Pulau Halmahera) dan WPP 717 (Teluk Cendrawasih dan Samudera Pasifik)
adalah requiem sharks (hiu lanyam). Rata-rata tangkapan requiem sharks sebesar
57,71 persen dari jumlah tangkapan hiu, terutama antara tahun 2008-2011
(Gambar 22).
1,600
1,400
1,200
Ton
1,000
800
600
400
200
Whitespotted wedgefishes
Stingrays
Requiem sharks
Thresher sharks
2007
301
84
74
1,028
2008
244
736
2009
19
330
726
226
Sumber : Diolah Data Statistik Perikanan Tangkap per WPP tahun 2012
Gambar 22 Jumlah Tangkapan Hiu di WPP 716 dan 717
2010
157
213
723
344
2011
161
217
740
373
120
2) Penyu
Tangkapan sampingan penyu ditetapkan melalui CMM 2008-03 tentang
Tindakan Pengelolaan dan Konservasi Penyu (Conservation And Management of
Sea Turtles) yang merupakan adopsi Pedoman FAO tahun 2005 untuk
mengurangi angka kematian penyu dalam operasi penangkapan ikan. Terdapat
lima jenis penyu di wilayah konvensi yang tertangkap pada alat tangkap longline
yakni, Green turtle, Loggerhead, Leatherback, Hawksbill dan Olive ridley.
Berdasarkan pasal 5 dan 10 Konvensi, Komisi mendesak semua negara
anggota unruk mengimplementasikan Pedoman Penangkapan Alat Tangkap Purse
Seine di wilayah perairan nasional dan di area Konvensi. Pada kondisi penyu
tertangkap dengan tidak sengaja maka awak kapal perlu melakukan upaya
pelepasan dan memastikan penyu tersebut dalam kondisi selamat. Kelima jenis
penyu tersebut terdapat di perairan Indonesia yang telah dilindungi melalui
Undang-Undang No. 5 tahun 1990 tentang Konservasi SDA Hayati dan
Ekosistemnya dengan aturan pelaksanaannya Peraturan Pemerintah No. 7 tahun
1999 tentang Pengawetan Jenis Tumbuhan dan Satwa.
Sebagaimana pengelolaan tangkapan utama, pengelolaan tangkapan
sampingan di laut lepas mengacu pada Pasal 10 ayat (1) UU No. 31 Tahun 2004.
Ketentuan tersebut dikuatkan dengan UU No. 21 Tahun 2009, yaitu pelaksanaan
Pasal 8 mengenai kerja sama untuk konservasi dan pengelolaan. Aturan lebih rinci
mengenai pengelolaan tangkapan sampingan dituangkan dalam Permen KP No.
Per.12/Men/2012. Pada Bab X bagian kesatu mengenai hasil tangkapan
sampingan (bycatch) yang secara ekologi terkait dengan (ecologically related
species) perikanan tuna. Menurut Pasal 39, setiap kapal penangkap ikan yang
melakukan penangkapan ikan di laut lepas yang memperoleh hasil tangkapan
sampingan (bycatch) yang secara ekologis terkait dengan (ecologically related
species) perikanan tuna berupa hiu, burung laut,
penyu laut, mamalia laut
termasuk paus, dan hiu monyet wajib melakukan tindakan konservasi. Hasil
tangkapan sampingan yang secara ekologis terkait dengan perikanan tuna berupa
hiu dengan ketentuan bukan hiu juvenile dan hiu dalam kondisi hamil, dan harus
didaratkan secara utuh (Pasal 40 ayat 1).
121
Sementara itu, hasil tangkapan sampingan yang secara ekologis terkait
dengan perikanan tuna berupa burung laut pada wilayah 25 derajat lintang ke
arah selatan wajib menerapkan tindakan mitigasi yang efektif untuk menghindari
tertangkapnya burung laut (Pasal 41 ayat 1). Lebih lanjut, Pasal 41 ayat (2)
menyebutkan bahwa tindakan mitigasi tersebut terdiri dari: (a) setting di malam
hari dengan pencahayaan minimum di atas dek kapal; (b) menggunakan tali
pengusir burung (tori line); (c) menggunakan pemberat untuk branch line agar
umpan cepat tenggelam; (d) umpan cumi diberikan warna biru; (e) kendalikan sisa
debit/limbah; dan (f) penggunaan alat pelempar tali.
Menurut Pasal Pasal 42 ayat (1), setiap penangkapan ikan di laut lepas
yang tanpa sengaja tertangkap burung laut, penyu laut, dan/atau mamalia laut
termasuk paus harus dilepaskan dalam keadaan hidup. Dalam hal burung laut,
penyu laut, dan/atau mamalia laut termasuk paus yang tanpa sengaja tertangkap
dalam keadaan mati, nakhoda harus melaporkan kepada kepala pelabuhan
pangkalan untuk dibuat surat keterangan guna dilaporkan kepada Direktur
Jenderal Perikanan Tangkap (Pasal 42 ayat 2).
Sementara itu, hasil tangkapan sampingan yang yang secara ekologis
terkait dengan perikanan tuna berupa hiu
monyet
dengan ketentuan
harus
dilepaskan dalam keadaan hidup, sedangkan dalam hal hiu monyet yang tanpa
sengaja tertangkap dalam keadaan mati, nakhoda harus melaporkan kepada kepala
pelabuhan pangkalan untuk dibuat surat keterangan guna dilaporkan kepada
Direktur Jenderal Perikanan Tangkap. Selanjutnya ditambahkan bahwa setiap
kapal penangkap ikan yang
menangkap,
memindahkan, mendaratkan,
menyimpan, dan/atau menjual hiu monyet (thresher sharks) dari semua family
Alopiidae baik utuh maupun bagiannya dikenakan sanksi IUU Fishing (Pasal
43).
Aturan lain terkait tangkapan sampingan ditetapkan dalam Permen KP No.
Per.40/Men/2012. Pasal 73 menyebutkan, bahwa setiap kapal penangkap ikan
yang memiliki
SIPI di WPP-NRI wajib melakukan tindakan konservasi
terhadap jenis spesies tertentu yang terkait secara ekologi dengan tuna, yang
ditetapkan oleh RFMO.
122
Khusus tentang pengelolaan hiu, Indonesia atas bantuan SEAFDEC sejak
tahun 2004 telah menyusun National Plan of Action (NPOA) Shark Management
namun hingga saat ini rencana aksi tersebut belum ditetapkan menjadi peraturan
menteri.
5.2.7 Program Observer dan Inspeksi Kapal
Ketentuan observer di WCPFC di tetapkan melalui empat CMM. Pertama,
CMM 2006-07 tentang Tindakan Pengelolaan dan Konservasi Program Observer
Regional (Conservation and Management Measure for the Regional Observer
Programme). CMM 2006-07 merupakan pelaksanaan dari Pasal 28 Konvensi,
yaitu Komisi wajib mengembangkan suatu program pengamat regional untuk
mengumpulkan data hasil tangkapan yang terverifikasi, data ilmiah lain dan
informasi tambahan terkait dengan perikanan dari Wilayah Konvensi dan untuk
memantau pelaksanaan langkah-langkah konservasi dan pengelolaan yang telah
diterima oleh Komisi. Oleh karena itu, dengan mengadopsi ketentuan Pasal 10
Konvensi tentang Fungsi Komisi, maka Komisi menetapkan prosedur untuk
mengembangkan Program Observer Regional.
Kedua, CMM 2006-08 tentang Komisi Prosedur Pemeriksaan dan Menaiki
Kapal (WCPFC Commission Boarding and Inspection Procedures ). CMM 200608 adalah implementasi Pasal 26/Lampiran III dan Pasal 6 (2) Konvensi yang
bertujuan untuk memastikan kepatuhan terhadap prosedur mengenai pemeriksaan
dan menaiki kapal serta tindakan konservasi dan pengelolaan. Pelaksanaan
prosedur harus memperhitungkan kehadiran inspektur dalam kapal, frekuensi, dan
hasil pemeriksaan sebelumnya. Kapal-kapal yang menjadi prioritas pemeriksaan
adalah; (1) kapal yang tidak terdata pada daftar kapal yang diizin WCPFC tetapi
berbendera negara anggota komisi, (2) kapal yang tidak di periksa langsung oleh
negara bendera, (3) kapal penangkapan ikan yang tidak terdapat observer, (4)
kapal perikanan tuna skala besar, (5) kapal yang pernah melanggar langkahlangkah konservasi dan pengelolaan sesuai dengan hukum
internasional dan
nasional.
Ketiga, CMM 2007-01 tentang Tindakan Pengelolaan dan Konservasi
Program Observer Regional (Conservation and Management Measure for the
123
Regional Observer Programme). Program Observer Regional bertujuan untuk
pengumpulan data hasil tangkapan, pemantauan pada pelaksanaan CMMs, dan
mengumpulkan informasi tambahan yang terkait dengan perikanan. Sekretariat
wajib mengkoordinasikan program dan kuasa kepada penyedia observer pada
Program Observer Regional. Pengembangan panduan observer oleh komisi harus
mencakup : (1) hak dan tanggung jawab observer, (2) hak dan tanggung jawab
operator kapal, kapten, dan awak buah kapal, dan (3) jadwal Pelaksanaan.
Keempat, CMM 2011-06 tentang Tindakan Konservasi dan Pengelolaan
untuk Skema Kapatuhan dan Pemantauan (Conservation and Management
Measure for Compliance Monitoring Scheme) . CMM 2011-06 bertujuan untuk
melakukan pemantauan kepatuhan Konvensi WCPFC. Setiap tahun Komisi akan
mengevaluasi kepatuhan CCMs selama tahun sebelumnya berupa data: (1)
menangkap dan batas upaya untuk spesies target, (2) menangkap dan pelaporan
upaya untuk spesies target, (3) penutupan spasial dan temporal, dan pembatasan
pada penggunaan perangkat ikan, (4) pengamat dan cakupan VMS, dan (5)
penyediaan
data
ilmiah
melalui
laporan
tahunan
dan
laporan
ilmiah
yang akan diberikan kepada Komisi.
Pelaksanaan program observer di atur dalam Permen KP No.
Per.12/Men/2012. Adapun aturanya, yaitu: (a) surat kesanggupan menerima,
membantu kelancaran tugas, serta menjaga keselamatan pemantau di atas kapal
penangkap ikan (observer on board); (b) sanksi administrasi bagi penolakan
observer di atas kapal. Adapun sanksi administrasi berupa: peringatan tertulis
dikenakan dalam jangka waktu satu bulan; pembekuan SIPI dikenakan apabila
penanggung jawab atau pemilik kapal tidak memenuhi kewajibannya huruf a dan
SIPI dibekukan selama enam bulan; dan pencabutan SIPI dikenakan apabila
penanggung
jawab
atau
pemilik
kapal
tidak
memenuhi
kewajibannya
sebagaimana dimaksud pada huruf b dan SIPI dicabut. Selain itu, kegiatan
transhipment disaksikan oleh pemantau di atas kapal pengangkut ikan (observer
on board) dari RFMO.
Aturan
observer
juga
dituangkan
dalam
Permen
KP
No.
Per.30/Men/2012. Adapun aturanya, yaitu: (a) permohonan SIPI harus ada
kesanggupan penempatan observer di atas kapal; (b) Permohonan SIKPI harus
124
ada kesanggupan penempatan observer di atas kapal; (c) pelaksanaan
transhipment
diawasi oleh
pemantau
kapal penangkap ikan dan kapal
pengangkut ikan; dan (d) menempatkan pemantau (observer) di atas kapal
penangkap ikan
berukuran diatas 1.000
GT
dengan menggunakan alat
penangkapan ikan purse seine.
Rekrutmen tenaga observer telah dilakukan oleh Kementerian Kelautan
dan Perikanan sejak tahun 2006 sejumlah 20 orang yang penempatan di atas kapal
baru terealisasi pada tahun 2007 sejumlah 2 orang untuk kapal longline dengan
daerah penangkapan di Samudera Hindia.
Disamping rekrutmen tenaga observer, sampai dengan tahun 2012 telah
dilaksanakan pelatihan sejumlah 68 orang yang terdiri dari 34 pegawai negeri sipil
dan 34 orang eks anak buah kapal (ABK). Disamping itu, telah ditempatkan 14
observer untuk kapal longline di Samudera Hindia terkait dengan kewajiban
Indonesia sebagai anggota IOTC.
Sedangkan untuk WCPFC belum ada penempatan observer, sampai
dengan tahun 2012 upaya yang telah dilakukan oleh Indonesia adalah melakukan
perjanjian kerjasama dengan Komisi WCPFC. Sebagai tindaklanjut dari perjanjian
tersebut pada tahun 2013, Ditjen Perikanan Tangkap akan mendapatkan hibah
pelatihan tenaga observer. Kebutuhan observer untuk 153 kapal yang memiliki
izin penangkapan ikan di Laut Sulawesi dan Samudera Pasifik dibutuh 153 tenaga
observer.
5.2.8 Data Buoys
Data Buoys ditetapkan melalui
CMM 2009-05 tentang Tindakan
Pengelolaan dan Konservasi Larangan Penangkapan Ikan dengan Data Buoys
(Conservation and Management Measure Prohibiting Fishing on Data Buoys) .
Pengembangan buoys bertujuan untuk mengumpulkan informasi untuk berbagai
tujuan seperti cuaca, pencarian dan keselamatan di laut, ramalan cuaca, peringatan
tsunami dan lain-lain, tetapi tidak untuk keperluan kegiatan penangkapan.
Spesies tuna dan and tuna-like species biasanya berkumpul di sekitar data buoys,
terutama juvenile bigeye tuna dan yellowfin tuna. Hal ini mendorong penangkapan
ikan disekitar buoys sehingga mengakibat kerusakan, kegiatan ini termasuk
125
pelanggaran berat sesuai pasal 25 Konvensi. Komisi telah mengeluarkan banyak
biaya dan waktu untuk memperbaiki dan mengganti buoys yang rusak dan hilang
akibat penangkapan. Jarak yang tidak diperbolehkan untuk penangkapan dari
buoys adalah kurang dari satu mil laut.
Aturan mengenai data buoys dituangkan dalam Permen KP No.
12/Men/2012. Menurut Pasal 47 ayat (1), kapal penangkap ikan dan kapal
pengangkut ikan dilarang: (a) melakukan kegiatan penangkapan ikan atau
kegiatan pengangkutan ikan dalam jarak 1 (satu) mil laut dari lokasi data buoys;
(b) mengambil data buoys pada saat melakukan kegiatan penangkapan ikan atau
pengangkutan ikan; dan/atau (c) menganggu keberadaan dan posisi data buoys.
Data buoys merupakan alat yang mengapung, baik hanyut ataupun menetap,
yang dipasang oleh Pemerintah atau otoritas yang berwenang dengan tujuan untuk
mengumpulkan data secara elektronik dan pengukuran data lingkungan dan bukan
untuk tujuan aktvitas penangkapan ikan (Pasal 47 ayat 2).
Di perairan Indonesia, pemasangan data buoys telah dimulai pemasangan
sejak tahun 2006 bekerjasama dengan NOAA di Samudera Hindia. Sedangkan
untuk Samudera Pasifik, pada tahun 2012 Indonesia bekerjasama dengan Jepang
dalam pemasangan satu unit data buoys pada koordinat 138000 BT dan 00 00
(Equator) atau di atas Papua.
5.2.9
Transhipment
Transhipment ditetapkan melalui
CMM 2009-06 tentang Tindakan
Pengelolaan dan Konservasi Peraturan Transhiptmen (Conservation and
Management
Measure on Regulation of Transhipment).
CMM 2009-06 di
tetapkan berdasarkan fakta keberhasilan dan kegagalan pengelolaan ikan beruaya
jauh di area Konvensi. Tidak adanya pengaturan dan pelaporan transshipment
berkontribusi ketidakuratan pelaporan IUU fishing.
Berdasarkan pasal 29 Konvensi, transhipment mengharuskan pada
pelabuhan perikanan yang ditunjuk sesuai dengan hukum nasional yang berguna
untuk mempermudah perolehan data dan spesies yang di transhipment.
Berdasarkan jenis alat tangkap, purse seine dilarang kecuali jika penangkapan
126
ikan beruaya jauh pada perairan kepulauan/teritorial negara anggota yang
besangkutan.
Selanjutnya CMM 2011-06 tentang Tindakan Konservasi dan Pengelolaan
untuk Skema Kapatuhan dan Pemantauan (Conservation and Management
Measure for Compliance Monitoring Scheme) yang bertujuan untuk melakukan
pemantauan
kepatuhan
Konvensi
WCPFC.
Setiap
tahun
Komisi
akan
mengevaluasi kepatuhan CCMs selama tahun sebelumnya berupa data: (1)
menangkap dan batas upaya untuk spesies target; (2) menangkap dan pelaporan
upaya untuk spesies target; (3) penutupan spasial dan temporal, dan pembatasan
pada penggunaan perangkat ikan menggabungkan; (4) pengamat dan cakupan
VMS, dan (5) penyediaan data ilmiah melalui laporan tahunan dan laporan ilmiah
yang akan diberikan kepada Komisi.
Jumlah kegiatan transhipment di wilayah Konvensi untuk seluruh kapal
penanngkapan ikan negara anggota dalam tiga tahun terakhir sejumlah 158 kali
(2010), 280 kali (2011) dan 193 kali (2012). Berdasarkan laporan WCPFC
terdapat 7 kapal longline Indonesia yang melakukan transhipment seperti Tabel
14.
Transhipment diatur dalam Permen KP No. Per. 12/Men/2012. Menurut
Pasal 30 ayat (1), kapal penangkap ikan dapat melakukan transhipment di laut
lepas maupun di pelabuhan di negara lain yang menjadi anggota RFMO pada
wilayah RFMO yang sama. Kapal penangkap ikan yang melakukan transhipment
di laut lepas harus memenuhi persyaratan (Pasal 30 ayat 2):
a. Nakhoda memberitahukan kepada kepala pelabuhan pangkalan di
Indonesia sebagaimana tercantum dalam SIPI paling lambat 72 jam
sebelum pelaksanaan transhipment;
b. Transmitter (on line) aktif serta dapat terpantau;
c. kapal penangkap ikan dan kapal pengangkut ikan tercantum dalam daftar
kapal (record of vessels) sebagai kapal yang diizinkan (authorized
vessels);
d. nakhoda harus menyampaikan secara elektronik rencana transhipment
dengan mengisi pernyataan
transhipment
(transhipment declaration)
127
128
b. transmitter (on line) aktif serta dapat terpantau;
c. kapal penangkap ikan dan kapal pengangkut ikan tercantum dalam daftar
kapal (record of vessels) sebagai kapal yang diizinkan (authorized
vessels);
d. nakhoda harus menyampaikan secara elektronik rencana transhipment
dengan mengisi pernyataan transhipment (transhipment declaration)
kepada otoritas pelabuhan di luar negeri dan sekretariat RFMO paling
lambat 48 jam sebelum pelaksanaan transhipment;
e. transhipment disaksikan oleh otoritas pelabuhan di tempat pelaksanaan
transhipment;
f. nakhoda
harus
transhipment
menginformasikan secara elektronik pada saat
berlangsung kepada kepala pelabuhan pangkalan di
Indonesia dalam bentuk pernyataan
transhipment
(transhipment
declaration); dan
g. nakhoda harus mengisi dan menyerahkan secara elektronik pernyataan
transhipment (transhipment declaration) yang telah disahkan oleh para
pihak kepada kepala pelabuhan pangkalan di Indonesia paling lambat 15
hari setelah transhipment.
Kapal pengangkut ikan yang akan melakukan transhipment di laut lepas
harus memenuhi persyaratan (Pasal 30 ayat 4):
a. nakhoda memberitahukan kepada kepala pelabuhan pangkalan di
Indonesia sebagaimana tercantum dalam SIKPI paling lambat 72 jam
sebelum pelaksanaan transhipment;
b. transmitter (on line) aktif serta dapat terpantau;
c. kapal penangkap ikan dan kapal pengangkut ikan tercantum dalam daftar
kapal (record of vessels) sebagai kapal yang diizinkan (authorized
vessels);
d. nakhoda harus menyampaikan secara elektronik rencana
dengan mengisi pernyataan
transhipment
transhipment
(transhipment declaration)
kepada kepala pelabuhan pangkalan di Indonesia dan Sekretariat RFMO
paling lambat 24 jam sebelum pelaksanaan transhipment;
129
e. transhipment di saksikan oleh pemantau di atas kapal pengangkut ikan
(observer on board) dari RFMO; dan
f. nakhoda harus mengisi dan menyerahkan secara elektronik pernyataan
transhipment (transhipment declaration) yang telah disahkan oleh para
pihak kepada kepala pelabuhan pangkalan di Indonesia paling lambat 15
hari setelah transhipment.
Kapal pengangkut ikan yang akan melakukan transhipment di pelabuhan
negara lain yang menjadi anggota RFMO pada wilayah RFMO yang sama harus
memenuhi persyaratan:
a. nakhoda memberitahukan kepada kepala pelabuhan pangkalan di
Indonesia sebagaimana tercantum dalam SIKPI paling lambat 72 jam
sebelum pelaksanaan transhipment;
b. transmitter (on line) aktif serta dapat terpantau;
c. kapal penangkap ikan dan kapal pengangkut ikan tercantum dalam daftar
kapal (record of vessels) sebagai kapal yang diizinkan (authorized
vessels);
d. nakhoda harus menyampaikan secara elektronik rencana transhipment
dengan mengisi pernyataan
transhipment
(transhipment declaration)
kepada otoritas pelabuhan di luar negeri dan sekretariat RFMO paling
lambat 48 jam sebelum pelaksanaan transhipment;
e. transhipment disaksikan oleh otoritas pelabuhan di tempat pelaksanaan
transhipment;
f. nakhoda
harus
transhipment
menginformasikan
secara
elektronik
pada
saat
berlangsung kepada kepala pelabuhan pangkalan di
Indonesia dalam bentuk pernyataan
transhipment
(transhipment
declaration);
g. nahkoda harus mengisi dan menyerahkan secara elektronik pernyataan
transhipment (transhipment declaration) yang telah disahkan oleh para
pihak kepada kepala pelabuhan pangkalan di Indonesia paling lambat 15
hari setelah transhipment.
130
Aturan
transhipment
juga
ditetapkan
dalam
Permen
KP
No.
Per.30/Men/2012. Menurut Pasal 69 ayat (1), setiap kapal penangkap ikan dapat
melakukan transhipment ke kapal penangkap ikan dan/atau ke kapal pengangkut
ikan. Transhipment dilakukan dengan ketentuan:
a. mempunyai pelabuhan pangkalan yang sama.
b. pelaksanaan transhipment diawasi oleh pemantau kapal penangkap
ikan dan kapal pengangkut ikan (observer);
c. transmitter VMS dalam kondisi aktif dan dapat dipantau secara online;
d. melaporkan kepada kepala pelabuhan pangkalan sebagaimana tercantum
dalam SIPI atau SIKPI;
e. melaporkan
kepada pengawas perikanan
di pelabuhan pangkalan
sebagaimana tercantum dalam SIPI atau SIKPI; dan
f. mengisi pernyataan
pemindahan ikan hasil tangkapan
yang
ditandatangani oleh masing-masing nakhoda kapal dan disampaikan
kepada kepala pelabuhan pangkalan.
Dalam pelaksanaan transhipment, ikan wajib didaratkan di pelabuhan
pangkalan sesuai SIPI atau SIKPI dan tidak dibawa keluar negeri, kecuali bagi
kapal penangkap ikan yang menggunakan alat penangkapan ikan purse seine
berukuran diatas 1000 (seribu) GT yang dioperasikan secara tunggal (Pasal 69
ayat 3). Setiap kapal penangkap ikan dan kapal pengangkut ikan yang melanggar
ketentuan transhipment dikenakan sanksi administratif berupa pencabutan SIPI
dan SIKPI (Pasal 69 ayat 4).
Sementara itu, Pasal 70 ayat (1) menyebutkan bahwa setiap kapal
pengangkut ikan yang digunakan dalam usaha pengangkutan ikan dengan pola
kemitraan dapat melakukan transhipment dengan ketentuan: (a) kapal penangkap
ikan berukuran sampai dengan 10 GT; (b) kegiatan penangkapan ikan dan
pengangkutan ikan dilakukan oleh kapal yang memiliki izin atau Bukti Pencatatan
Kapal dan merupakan mitranya; (c) ikan yang dipindahkan wajib didaratkan di
pelabuhan pangkalan kapal pengangkut ikan yang menerima pemindahan ikan
hasil tangkapan; dan (d) mengisi pernyataan pemindahan ikan hasil tangkapan
dan ditandatangani oleh masing-masing nakhoda kapal dan disampaikan kepada
131
kepala pelabuhan pangkalan. Dalam pelaksanaan transhipment, ikan wajib
didaratkan di pelabuhan pangkalan sesuai SIKPI dan tidak di bawa keluar negeri
(Pasal 70 ayat 2). Setiap kapal pengangkut ikan yang melanggar ketentuan
transhipment dikenakan sanksi administratif berupa pencabutan SIKPI.
5.3 Implikasi Hukum WCPFC
Berdasarkan Konvensi WCPFC, CMM dan kesiapan regulasi nasional
terdapat enam permasalahan yang harus diperhatikan pemerintah terkait dengan
ketentuan WCPFC, yaitu:
1) Status wilayah WCPFC
Permasalahan mendasar Indonesia dalam ratifikasi Konvensi WCPFC
adalah wilayah penerapannya memasukan perairan kepulauan Indonesia dan Zona
Ekonomi Eksklusif Indonesia. Hal ini tidak berlaku umum bagi RFMO yang
wilayah penerapannya di luar Zona Ekonomi Eksklusif suatu negara pantai.
Mengingat dalam UNCLOS 1982, perairan kepulauan memiliki rezim hukum
kedaulatan (sovereignty) dan Zona Ekonomi Eksklusif memiliki rezim hukum hak
berdaulat (sovereignt right). Dengan demikian, sebagai Negara yang berdaulat
dan telah meratifikasi UNCLOS 1982, maka dalam ratifikasi Konvensi WCPFC
perlu dipertegas hanya untuk perairan ZEE Indonesia pada WPP 716 (Laut
Sulawesi dan Sebelah Utara Pulau Halmahera) dan WPP 717 (Teluk Cendrawasih
dan Samudera Pasifik).
2) Pengawasan dan penegakan hukum
Terkait dengan pengawasan dan penegakan hukum, setidaknya terdapat
tiga hal yang harus diperhatikan, yaitu:
a.
Penataan sistem informasi dan data. Pengelolaan perikanan berkelanjutan
dapat diwujudkan dengan statistik perikanan yang baik dalam rangka
menghasilkan the best scientific data sebagaimana yang diwajibkan dalam
hukum internasional. Namun demikian, statistik perikanan Indonesia
dihadapkan pada permasalahan akurasi. Oleh karena itu, perlu pembenahan
sistem pelaporan dan pendataan penangkapan ikan. Selain itu, terkait dengan
perizinan kapal perikanan berbendera Indonesia yang akan melakukan
132
penangkapan di wilayah WCPFC perlu singkronisasi data perizinan dengan
WCPFC Identification Number (WIN).
b.
Penataan sistem pengawasan. Sistem pengawasan yang berlaku umum adalah
berupa program observer, inspeksi kapal, dan pemasangan transmitter
(VMS). Dalam konteks hukum, pemerintah Indonesia sudah mengatur ketiga
hal tersebut. Namun demikian, dalam pelaksanaannya dihadapkan pada
berbagai kendala. Program observer misalnya, masih terkendala sumberdaya
manusia (SDM) yang mampu bertahan berbulan-bulan di atas kapal.
Sementara pemasangan VMS terkendala kepatuhan operator kapal dalam
menyalakan alat tersebut. Oleh karena itu perlu ada program sistematis untuk
penambahan jumlah tenaga observer serta peningkatan kualitas sehingga
mampu bekerja secara efektif.
c.
Pemberantasan IUU Fishing di wilayah Konvensi WCPFC. Praktik-praktik
IUU Fishing sangat beragam, sehingga dalam mengurangi terjadinya
pelanggaran, maka perlu dikaji secara lebih rinci mengenai praktik-praktik
IUU Fishing yang dilakukan oleh kapal perikanan bendera Indonesia.
d.
Pengawasan efektivitas pelaksanaan hukum. Pemerintah Indonesia perlu
pengawasan pelaksanaan Peraturan Menteri yang sudah ditetapkan, baik yang
mengatur jalur tangkapan dan alat bantu penangkapan ikan, maupun
pelaksanaan program observer yang betujuan meminimalkan tertangkapnya
baby tuna (yellowfin tuna dan bigeye tuna).
3) Penyusuhan Peraturan Perundang-undangan
Organisasi internasional yang merupakan subjek hukum internasional
mampu membuat sumber hukum. Oleh karena itu, ketentuan yang selama ini
bersifat softlaw (non-legally binding) ditetapkan oleh RFMO sebagai hardlaw
(legally binding). Dengan demikian, setiap negara yang akan melakukan ratifikasi
terhadap Konvensi WCPFC akan terikat juga dengan aturan turunannya, yaitu
Conservation and Management Measures (CMM). Beberapa ketentuan CMM
WCPFC yang perlu diperkuat dalam hukum Indonesia dalam bentuk Peraturan
Perundang-Undangan yaitu:
133
a.
Program observer. Permen KP ini harus memerhatikan perkembangan
hukum internasional, mulai dari standar SDM hingga tugas dan peran
observer.
b.
Port State Measures Agreement. Ketentuan negara pelabuhan dalam
pemberantasan IUU Fishing sebagaimana diatur dalam PSM Agreement 2009
perlu diratifikasi oleh pemerintah Indonesia melalui pengeluaran Peraturan
Presiden.
c.
Pembatasan upaya tangkapan. Indonesia perlu memerhatikan pembatasan
upaya tangkapan sebagaimana diamanatkan dalam CMM 2004-04. Hingga
saat ini, pembatasan upaya tangkapan belum diatur, karena Indonesia tidak
menerapkan kuota tangkapan. Namun demikian, penutupan wilayah dan
waktu tangkapan diatur Pasal 45 ayat (1) Permen KP No. Per.12/Men/2012.
d.
Pengelolaan rumpon. Aturan yang terkait dengan pemasangan rumpon di
tetapkan dengan Permen KP No. Per.02/Men/2011 tentang Jalur Penangkapan
Ikan dan Penempatan Alat Penangkapan Ikan dan Alat Bantu Penangkapan
Ikan di Wilayah Pengelolaan Perikanan Negara Republik Indonesia. Menurut
Pasal 19 ayat (1), rumpon merupakan alat bantu untuk mengumpulkan ikan
dengan menggunakan berbagai bentuk dan jenis pemikat/atraktor dari benda
padat yang berfungsi untuk memikat ikan agar berkumpul. Lebih lanjut, Pasal
19 ayat (2) menyebutkan bahwa rumpon terdiri dari: (a) rumpon hanyut,
merupakan rumpon yang ditempatkan tidak menetap, tidak dilengkapi dengan
jangkar dan hanyut mengikuti arah arus; dan (b) rumpon menetap, merupakan
rumpon yang ditempatkan secara menetap dengan menggunakan jangkar
dan/atau pemberat, terdiri dari: (1) rumpon permukaan, merupakan rumpon
menetap yang dilengkapi atraktor yang ditempatkan di kolom permukaan
perairan untuk mengumpulkan ikan pelagis; dan (2) rumpon dasar,
merupakan rumpon menetap yang dilengkapi atraktor yang ditempatkan di
dasar perairan untuk mengumpulkan ikan demersal. Namun demikian,
Permen KP tersebut hanya mengatur pemasaangan rumpon di wilayah
pengelolaan perikanan Negara Republik Indonesia. Dengan demikian, aturan
pemasangan dan pemanfaatan sebagaimana diamanatkan Pasal 19 ayat (3)
134
Permen KP No. Per.12/Men/2012 perlu memerhatikan ketentuan rumpon
yang diatur CMM 2009-02.
e.
Hasil tangkapan sampingan. Aturan hasil tangkapan sampingan diatur dalam
Permen KP No. Per.12/Men/2012 dan Permen KP No. Per.30/Men/2012.
Namun demikian, perlu diatur secara lebih khusus terkait dengan jenis-jenis
hasil tangkapan sampingan diamanatkan dalam CMM, yaitu: burung laut
(CMM 2007-04), penyu (CMM 2008-03), hiu (CMM 2010-07), Cetacean
(CMM 2011-03), Oceanic Whitetip Shark (CMM 2011-04).Oleh karena itu,
perlu penetapan aturan khusus Permen KP tentang hasil tangkapan
sampingan.
f.
National Plan of Action (NPOA) for the Conservation and Management of
Sharks dan NPOA for the Conservation and Management of Seabird.
Pemerintah perlu menetapkan Permen KP tentang Rencana Aksi Nasional
untuk Tindakan Konservasi dan Pengelolaan hiu dan penyu.
Penaatan dan penegakan
8.
√
√
√
√
√
√
√
√
√
√
√
√
Kewajiban-Kewajiban
Negara Bendera
7.
6.
5.
√
√
√
√
Penerapan Kehati-hatian
Pelaksanaan Azas-Azas di
wilayah Berdasarkan
Yurisdikdi Nasional
Kesesuaian tindakan
konservasi dan
pengelolaan
Kewajiban Para Anggota
Komisi
3.
4.
√
√
√
√
Permen KP
Azaz Pelaksanaan
Perpres
2.
√
PP
√
UU
Hukum Nasional
I. Konvensi
1. Wilayah Penerapan
Perihal
√
-
-
√
√
√
-
-
Implementasi
Tabel 18. Kesiapan Regulasi Nasional dan Rencana Aksi terhadap Ketentuan WCPFC
Sedang
Sedang
Sedang
Kuat
Kuat
Kuat
Sedang
Sedang
Status
Permen KP No. 12/Men/2012 mengatur
a. Peningkatan sistem pengumpulan data
dan penyerahan kepada CMM
b. Keberadaan logbook penangkapan ikan
lebih penting daripada prinsip-prinsip
MCS
a. Indonesia perlu meningkatkan system
pelaporan.
b. Sistem pelaporan tersebut harus
transparan sehingga menyediakan data
yang akurat dan jelas
Ratifikasi Indonesia harus
mengenyampingkan wilayah Konvensi
WCPFC yang memasukan perairan
kepulauan Indonesia dan ZEE Indonesia.
Prinsip-prinsip ini harus diterapkan
dalam semua peraturan perundangundangan Indonesia
Uraian Rencana Aksi
135
Itikad Baik Dan
Penyalahgunaan Hak
b. 2010-06: Conservation
and Management
Measure to Establish a
List of Vessels
II. CMM
1. Penggunaan
transmitter/VMS
a. CMM 2011-02:
tentang Komisi Vessel
Monitoring System
(VMS)
2. Penegakan hukum
a. 2009-01: Record of
Fishing Vessels And
Authorization to Fish
9.
Perihal
√
√
√
√
√
√
Permen KP
√
Perpres
√
√
PP
√
√
UU
Hukum Nasional
-
-
√
√
√
Implementasi
Sedang
Sedang
Kuat
Kuat
Kuat
Status
a. Fungsi pemerintahan termasuk
pendataan kapal ikan di pelabuhan
perikanan sudah diatur dalam Permen
KP No. Per.08/Men/2012.
b. Perkembangan internasional mengatur
pemberantasan IUU Fishing di wilayah
pelabuhan, sehingga dalam memperkuat
Permen KP No. Per.08/Men.2012
diperlukan pengesahan Agreement Port
State Measures (PSM Agreement 2009)
Indonesia perlu merinci kegiatan IUU di
wilayah Konvensi WCPFC
penegakan hukum kapal perikanan
berbendera Indonesia yang melakukan
penangkapan ikan di Laut Lepas
Uraian Rencana Aksi
136
3.
c. 2006-08: WCPFC
Commission Boarding
and Inspection
Procedures
Presumed to Have
Carried out Illegal,
Unreported and
Unregulated Fishing
Activities in the
WCPO
Kapal Ikan
a. 2004-03:
Specifications for the
Marking and
Identification of
Fishing Vessels
b. 2004-04 : Resolution
on Conservation and
Management Measures
Perihal
√
-
-
√
√
Permen KP
√
Perpres
-
√
PP
Implementasi
√
√
UU
Hukum Nasional
Sedang
Lemah
Sedang
Status
Perlu dilakukan penyusunan Peraturan
Menteri Kelautan terkait dengan
pembatasan upaya tangkapan (input
restriction)
a. Aturan inspeksi kapal dan observer
dimuat dalam Permen KP No.
Per.12/Men/2012 dan Permen KP No.
Per.30/Men/2012.
b. Namun kedua Permen tersebut tidak
mengatur secara detil tentang
mekanisme observer, sehingga perlu
penetapan Permen KP tentang
Observer, yang tentu saja sesuai dengan
perkembangan hukum internasional
Perlu dilakukan penyesuaian dengan
WIN
Uraian Rencana Aksi
137
e. 2009-09: Conservation
and Management
Measure for Vessels
Without Nationality
f. 2010-06: Conservation
and Management
Measure to Establish a
List of Vessels
Presumed to Have
Carried out Illegal,
Unreported and
Unregulated Fishing
Activities in the
WCPO
d. 2009-01: Record of
Fishing Vessels and
Authorization to Fish
Perihal
PP
√
√
√
UU
√
√
√
Perpres
√
√
Permen KP
√
Hukum Nasional
-
√
√
Implementasi
Sedang
Kuat
Kuat
Status
Indonesia perlu merinci kegiatan IUU di
wilayah Konvensi
a. Fungsi pemerintahan termasuk
pendataan kapal ikan di pelabuhan
perikanan sudah diatur dalam Permen
KP No. Per.08/Men/2012.
b. Perkembangan internasional mengatur
pemberantasan IUU Fishing di wilayah
pelabuhan, sehingga dalam memperkuat
Permen KP No. Per.08/Men.2012
diperlukan pengesahan Agreement Port
State Measures (PSM Agreement 2009)
Uraian Rencana Aksi
138
Alat penangkap ikan dan
alat bantu penangkapan
ikan
a. CMM 2008-04 :
Conservation and
Management Measure
to Prohibit the Use of
Large-Scale Driftnets
on the High Seas in the
Convention Area
b. CMM 2009-02: FAD
Closures and Catch
Retention
Pengelolaan Tangkapan
Utama
a. 2004-04 : Resolution
on Conservation and
Management Measures
b. 2006-04: Conservation
and Management
Measure for Striped
Marlin in the
Southwest Pacific
c. 2008-01: Conservation
and Management
Measure for Big-eye
4.
5.
Perihal
√
√
√
√
√
√
Permen KP
√
√
√
Perpres
√
√
PP
√
UU
Hukum Nasional
-
-
√
Implementasi
Sedang
sedang
Sedang
Sedang
Kuat
Status
a. Indonesia perlu pengawasan
pelaksanaan Peraturan Menteri yang
sudah ditetapkan, baik yang mengatur
Perlu dilakukan penyusunan Peraturan
Menter Kelautan terkait dengan
pembatasan upaya tangkapan
Pembenahan sistem pendataan kegiatan
perikanan di laut lepas, khususnya
Striped Marlin in the Southwest Pacific
a. Rumpon diatur dalam Peren KP No.
Per.02/Men/2012.
b. Perlu aturan teknis tentang rumpon
sebagaimana mandat Pasal 19 ayat (3)
Permen KP No. Per.02/Men/2012
Uraian Rencana Aksi
139
√
√
√
√
√
√
√
√
Permen KP
e. 2009-03: Conservation
and Management for
Swordfish
f. 2010-01: Conservation
and Management
Measure for North
Pacific Striped Marlin
g. 2010-04: Conservation
and Management
Measure for Pacific
Bluefin Tuna
h. 2010-05 :
Conservation and
Management Measure
Perpres
√
PP
√
UU
Hukum Nasional
d. CMM 2009-02: FAD
Closures and Catch
Retention
and Yellow-fin Tuna in
the WCPFC
Perihal
-
-
-
-
-
Implementasi
Sedang
sedang
Sedang
Sedang
Sedang
Status
Indonesia mendorong komunikasi
dengan IATTC secara bilateral terkait
dengan pengelolaan perikanan tuna
sirip biru
Indonesia akan menjaga South Pacific
Albacore dari kegiatan kapal perikanan
jalur tangkapan dan alat bantu
penangkapan ikan, maupun
pelaksanaan program observer yang
betujuan meminimalisir
tertangkapnnya baby tuna (yellowfin
dan bigeye)
b. pengesahan Permen KP tentang
Observer, yang tentu saja sesuai dengan
perkembangan hukum internasional
a. Rumpon diatur dalam Peren KP No.
Per.02/Men/2012.
b. Perlu aturan teknis tentang rumpon
sebagaimana mandat Pasal 19 ayat (3)
Permen KP No. Per.02/Men/2012
Pembenahan sistem pendataan kegiatan
perikanan di laut lepas, khususnya
Swordfish di Pasifik Barat Daya
Pembenahan sistem pendataan kegiatan
perikanan di laut lepas, khususnya
Striped Marlin di Pasifik Barat Daya
Uraian Rencana Aksi
140
6.
for South Pacific
Albacore
Pengelolaan Tangkapan
Sampingan
a. 2004-04 : Resolution
on Conservation and
Management Measures
b. 2008-03 :
Conservation And
Management of Sea
Turtles
c. 2010-07 :
Conservation and
Management Measure
for Sharks
d. 2011-03 :
Conservation and
Management Measure
for Protection of
Cetaceans from Purse
Seine Fishing
Operations
e. 2011-04 :
Conservation and
Management Measure
for Oceanic Whitetip
Shark
Perihal
√
√
√
√
√
√
-
-
-
-
√
Permen KP
√
Perpres
-
PP
Implementasi
√
UU
Hukum Nasional
Sedang
Sedang
Sedang
Sedang
Sedang
Status
Pengesahan Indonesia - National Plan of
Action (NPOA) for the Conservation
and Management of Sharks
Pengesahan Peraturan Menteri Kelautan
dan Perikanan tentang Hasil Tangkapan
Sampingan
Pengesahan Indonesia - National Plan of
Action (NPOA) for the Conservation and
Management of Sharks
Perlu dilakukan penyusunan Peraturan
Menter Kelautan terkait dengan
pembatasan upaya tangkapan
Pengesahan Peraturan Menteri Kelautan
dan Perikanan tentang Hasil Tangkapan
Sampingan
Uraian Rencana Aksi
141
7.
√
√
√
c. 2007-01 :
Conservation and
Management Measure
for the Regional
Permen KP
√
Perpres
b. 2006-08 : WCPFC
Commission Boarding
and Inspection
Procedures
PP
√
UU
Hukum Nasional
√
Program Observer dan
Inspeksi Kapal
a. 2006-07 :
Conservation and
Management Measure
for the Regional
Observer Programme
Perihal
-
-
-
Implementasi
Sedang
Sedang
Sedang
Status
a. Aturan inspeksi kapal dan observer
dimuat dalam Permen KP No.
Per.12/Men/2012 dan Permen KP No.
Per.30/Men/2012.
b. Namun kedua Permen tersebut tidak
mengatur secara detil tentang
mekanisme observer, sehingga perlu
penetapan Permen KP tentang
Observer, yang tentu saja sesuai dengan
perkembangan hukum internasional
a. Aturan inspeksi kapal dan observer
dimuat dalam Permen KP No.
Per.12/Men/2012 dan Permen KP No.
Per.30/Men/2012.
b. Namun kedua Permen tersebut tidak
mengatur secara detil tentang
mekanisme observer, sehingga perlu
penetapan Permen KP tentang
Observer, yang tentu saja sesuai dengan
perkembangan hukum internasional
a. Aturan inspeksi kapal dan observer
dimuat dalam Permen KP No.
Per.12/Men/2012 dan Permen KP No.
Per.30/Men/2012.
Uraian Rencana Aksi
142
UU
PP
Perpres
Permen KP
Hukum Nasional
Implementasi
Status
d. 2011-06 :
√
√
Sedang
Conservation and
Management Measure
for Compliance
Monitoring Scheme
8. Data Buoys
a. 2009-05: Conservation
√
√
√
Kuat
and Management
Measure Prohibiting
Fishing on Data Buoys
9. Transhipment
b. 2009-06 :
√
√
√
Kuat
Conservation and
Management Measure
on Regulation of
Transshipment
Keterangan :
Kuat
:
Hukum Nasional (ada) Permen (ada) Implementasi (ada)
Sedang
:
Hukum Nasional (ada) Permen (ada) Implementasi (tidak ada)
Lemah
:
Hukum Nasional (ada) Permen (tidak ada) Implementasi (tidak ada)
Sangat Lemat
:
Hukum Nasional (tidak ada) Permen (tidak ada) Implementasi (tidak ada)
Observer Programme
Perihal
b. Namun kedua Permen tersebut tidak
mengatur secara detil tentang
mekanisme observer, sehingga perlu
penetapan Permen KP tentang
Observer, yang tentu saja sesuai dengan
perkembangan hukum internasional
Indonesia memiliki aturan kegiatan
penangkapan ikan, baik di WPP-NRI
maupun di laut lepas. Kedua peraturan
ini menjadi landasan dalam melakukan
penangkapan ikan di laut lepas
Uraian Rencana Aksi
143
144
5.4 Analisa Ekonomi
Analisa ekonomi di lakukan mengkaji dampak ekonomi terhadap
pelaksanaan CMM 2008-01 tentang Tindakan Pengelolaan dan Konservasi Tuna
Bigeye dan Tuna Yellowfin di WCPFC (Conservation and Management Measure
for Big-eye and Yellowfin Tuna in the WCPFC). Pengaturan bertujuan untuk
mengurangi tingkat kematian akibat upaya penangkapan kedua spesies ini
terutama kematian juvenile akibat penggunaan alat tangkap purse seine dengan
alat bantu rumpon. Penutupan berlaku pada periode 1 Agustus – 30 September
antara tahun 2009 – 2012 yang selanjutnya diperpanjang melalui CMM 2011-01.
Namun ketentuan ini tidak berlaku jika kapal tersebut terdapat observer yang
dilaporkan ke Komisi.
Berdasarkan data hasil tangkapan per jenis alat tangkap yang didaratkan
di PPS Bitung periode tahun 2005 -2009, hasil tangkapan sebagian besar berasal
dari alat tangkap purse seine dan pole and line. Rata-rata hasil tangkapan purse
seine pada periode tersebut sebesar 78,57 persen dan pole and line sebesar 20,33
persen. Rata-rata peninkatan tangkapan purse seine setiap tahun sebesar 28,45
persen dan pole and line lebih tinggi takni 71,15 persen per tahun. Tingginya
pertumbuhan pole and line disebabkan semakin meningkatnya nelayan yang
menggunakan pole and line setiap tahun. Perkembangan pendaratan ikan di PPS
Ton
Bitung tahun 2005 -2009 dilihat pada Gambar 23.
18,000.00
16,000.00
14,000.00
12,000.00
10,000.00
8,000.00
6,000.00
4,000.00
2,000.00
-
Long Line
Gill Net
Hand Line
Pole and Line
Purse Seine
2005
1.42
603.56
5,026.12
2006
0.51
1,434.37
7,333.98
2007
2008
0.51
1,500.26
5,065.32
110.00
4.33
3,010.24
9,883.84
2009
330.23
320.61
57.30
4,383.21
10,248.96
Sumber : Diolah Data Statistik PPS Bitung 2010
Gambar 24a Jumlah Tangkapan Berdasarkan Jenis Alat Penangkapan Ikan di PPS
Bitung tahun 2005-2009
145
Nelayan purse seine merupakan nelayan dominan yang mendaratkan ikan
PPS Bitung dan pemasok utama industri
pengolahan ikan di Kota Bitung.
Menurut Zulham(2011), PPS Bitung memberikan pasokan kontribusi sebesar 65
persen terhadap bahan baku industri
pengolahan ikan sedangkan 35 persen
langsung didaratkan di masing-masing perusahaan.
Industri perikanan merupakan motor penggerak pembangunan Kota
Bitung. Sampai dengan tahun 2012 terdapat 20 perusahaan pengolahan ikan
dengan tujuan ekspor, tiga perusahaan pengalengan dan empat perusahaan
pengolahan ikan kayu (arubishi). Penutupan selama dua bulan penggunaan alat
tangkap purse seine dengan alat bantu rumpon dan larangan penangkapan baby
tuna tentunya akan mengurangi pendapatan nelayan dan pasokan bahan baku bagi
industri perikanan di Kota Bitung.
Gambar 24b Tangkapan juvenile (baby tuna) yellowfin yang didaratkan di PPS
Bitung
Responden analisa ekonomi dampak pelarangan penangkapan baby tuna
berasal dari 15 nelayan purse seine yang aktif mendaratkan ikan di PPS Bitung
selama tahun 2012. Karaktepristik variabel responden disajikan pada tabel 19.
146
Tabel 19. Rataan variable pendapat responden
Aspek
Rata-rata
Keterangan
Umur
27
Umur nelayan umumnya 27 tahun
Pendidikan
12
SMA
Pendapatan
20.520.000
Lingkungan
3
Biasa saja
Pengetahuan
3
Kurang tahu
Kepentingan
3
Kurang tahu
Persetujuan
2
Cukup setuju
Pemanfaatan
3
Kurang tahu
Aturan
3
Kurang tahu
Perdagangan
3
Kurang tahu
Dampak
4
Kurang berdampak
Pendapatan per tahun
Model regresi kesediaan nelayan purse seine untuk menerima pembayaran
(WTA) atas kesediaannya untuk tidak melakukan penangkapan juvenile (baby
tuna). Hal ini dimaksudkan untuk mengetahui seberapa besar persepsi masyarakat
nelayan
purse
seine
tentang
pentingnya
mewujudkan
perikanan
tuna
berkelanjutan. Dengan kata lain, adanya imbal jasa sebagai kompensasi kepada
nelayan purse seine di harapkan mampu mengurangi tekanan terhadap terhadap
ikan tuna yang masih kecil (baby tuna), sehingga ikan tuna bisa tumbuh besar dan
bernilai ekonomi tinggi serta mampu memenuhi kebutuhan protein hewan yang
sehat.
Analisa WTA dalam penelitian dilakukan dalam empat tahapan, yaitu:
1) Memberikan pemahaman tentang kemungkinan larangan penangkapan baby
tuna
Seluruh responden diberikan informasi, bahwa kemungkinan akan
dilakukannya pelarangan penangkapan baby tuna (yellowfin tuna dan bigeye tuna)
di wilayah Laut Sulawesi apabila Indonesia melakukan pengesahan terhadap
Konvensi WCPFC. Adapun responden adalah nelayan pengguna alat tangkap
purse seine.
2) Memperoleh Nilai WTA
Besarnya
nilai
WTA
didapatkan
dari
hasil
wawancara
dengan
menggunakan daftar pertanyaan dalam bentuk kuisioner (Lampiran 3).
Berdasarkan hasil analisa, nilai rataan kesediaan menerima pembayaran (WTA)
147
kompensasi atas larangan penangkapan baby tuna per orang sebesar Rp 4.774.000
per tahun atau Rp 397.433 per bulan.
Sementara itu, rataan pendapatan tetap setiap nelayan purse seine sebesar
Rp 20.520.000 per tahun atau Rp 1.710.000 per bulan. Dengan demikian, apabila
larangan penangkapan baby tuna diberlakukan, maka pendapatan nelayan purse
seine per bulannya menjadi Rp 1.312.166,67, karena kehilangan sebesar Rp
397.433 per bulan. Oleh karena itu, dengan rata-rata nilai jual baby tuna Rp
10.000 per kg, maka untuk mempertahankan pendapatan nelayan purse seine
sebesar Rp 1.710.000 per bulannya, perlu kompensasi atau subsidi harga sebesar
Rp 3.031 per kg baby tuna. Hasil analisa sintesa dimuat pada Tabel 15, didukung
oleh pendapat responden yang dituangkan dalam Tabel 16
3) Evaluasi WTA
Hasil analisis faktor menunjukkan bahwa variabel-variabel umur, tingkat
pendidikan, jumlah pendapatan, kondisi lingkungan, pengetahuan terhadap
Konvensi WCPFC, kepentingan terhadap perdagangan tuna, persetujuan terhadap
ratifikasi Konvensi WCPFC, pola pemanfaatan, aturan penangkapan baby tuna,
peluang perdagangan tuna dan dampak terhadap pendapatan, di duga signifikan
memengaruhi kemampuan atau kesediaan untuk menerima pembayaran dengan
menggunakan model persamaan multiple regression. Hasil sintesa atas
pengolahan data menghasilkan bahwa nilai R square pada model ini nilainya
adalah 0,996 yang menunjukkan bahwa seberapa besar pengaruh variabel-variabel
penduga dalam menentukan peluang responden bersedia dibayar (WTA). Dengan
kata lain, 99,6 persen peluang respon bersedia untuk dibayar apabila dilakukan
larangan penangkapan baby tuna.
Sementara hasil sintesa pada penetapan variabel in the equation, maka
nilai koefisien dari setiap peubah pada model persamaan regresi disajikan pada
Tabel 20 yang ditunjukan pada nilai signifikan nilai kepecayaan 99 persen.
148
Tabel 20. Nilai Koefisien pada Peubah Kesediaan Masyarakat untuk Menerima
Pembayaran atas Larangan Penangkapan Baby Tuna di PPS Bitung
2012
Lingkung
an
Coefficien
ts
271501.85
76
128813.74
63
78324.636
6
0.2030173
25
492251.30
52
Pengetah
uan
114699.15
26
Kepentin
gan
874425.45
73
652544.34
75
1128123.6
13
934489.42
47
393041.81
95
275987.81
79
Intersep
Umur
Pendidika
n
Pendapat
an
Persetuju
an
Pemanfaa
tan
Aturan
Perdagan
gan
Dampak
Standard
Error
t Stat
P-value
200132.833
2
0.1605178
71
8.1330032
89
2.0185830
64
8.6579623
77
2.4596229
27
147241.93
0.7789843
06
0.492789
732
3.1640263
86
8.5675226
29
3.8409888
17
3.9895585
58
1.3435504
02
1.9733735
31
0.050713
466
1691412.03
15838.3984
38801.7902
2
0.02344862
6
276364.780
4
76164.8816
9
293706.560
1
234233.790
8
292539.691
1
139855.842
6
0.882672
927
0.003886
622
0.136843
34
0.003241
53
0.090897
998
0.003341
989
0.031128
702
0.028200
658
0.271680
639
0.142976
35
Lower
95%
5654329.8
21
78408.893
81
201809.25
05
0.1283933
31
1129163.3
01
353890.38
33
5090.6167
62
894934.99
38
193418.25
6
1679925.8
87
1324033.6
78
721071.52
73
Upper
95%
5111326.1
06
179218.59
87
45159.977
32
0.2776413
2
144660.69
05
583288.68
86
1753941.5
31
410153.70
12
2062828.9
7
189052.96
27
537950.03
93
169095.89
16
Lower
95.0%
5654329.8
21
78408.893
81
201809.25
05
0.1283933
31
1129163.3
01
353890.38
33
5090.6167
62
894934.99
38
193418.25
6
1679925.8
87
1324033.6
78
721071.52
73
Upper
95.0%
5111326.1
06
179218.59
87
45159.977
32
0.2776413
2
144660.69
05
583288.68
86
1753941.5
31
410153.70
12
2062828.9
7
189052.96
27
537950.03
93
169095.89
16
Sumber: Data diolah
4) Analisa faktor yang memengaruhi WTA
Tabel 16 di atas merupakan hasil sintesa atas pengolahan data yang
menghasilkan nilai variable in the equation dari persamaan regresi berikut:
Y WTA= -2,7150 + 1,2881 X1 -7,832 X2 + 0,0203 X3 - 4,9225 X4 + 1,1469
X5 + 8,7442 X6 – 6,5254X7 + 1,1281 X8 - 9,3448 X9 - 3,9304 X10 2,7598 X11
Hasil analisa dari model regresi YWTA maka koefisien dari model WTA
tersebut yang signifikan adalah variabel pendapatan, persetujuan dan umur, yaitu
sebesar 0,003 (P-Value) lebih kecil daripada 0,05. Artinya, setiap kenaikan 1 unit
pendapatan akan mengakibatkan kenaikan 2,03 kali kesediaan untuk menerima
pembayaran (WTA). Dengan kata lain, bila terjadi kenaikan kesediaan untuk
149
menerima pembayaran jasa lingkungan dari masyarakat sebesar 2,03 kali maka
secara signifikan tingkat pendapatan masyarakat nelayan terjadi pula kenaikannya
pada tingkat kepercayaan 99 persen. Selain pendapatan, variabel lain yang juga
berpengaruh signifikan adalah persetujuan sebesar 0.003 (penurunan 6,52 kali
untuk 1 unit), umur sebesar 0,003 (kenaikan 1,28 kali untuk 1 unit), aturan sebesar
0,02 (penurunan 9,34 kali untuk 1 unit), dan dampak pemanfaatan sebesar 0,03
(kenaikan 112 kali untuk 1 unit).
Tabel 21. Nilai WTA dan Pendapatan Nelayan Purse Seine di PPS Bitung 2012
No
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
12
13
14
15
Nama
WTA
4.320.000
3.600.000
4.500.000
3.600.000
3.600.000
4.320.000
5.250.000
7.200.000
3.600.000
4.320.000
6.000.000
6.300.000
9.000.000
2.400.000
3.600.000
Pendapatan Tetap
21.600.000
18.000.000
18.000.000
18.000.000
18.000.000
24.000.000
21.000.000
24.000.000
15.600.000
21.600.000
30.000.000
18.000.000
30.000.000
12.000.000
18.000.000
Total Per Tahun
4.774.000
20.520.000
397.833
1.710.000
Rml
RD
JB
NM
Mx
Srd
Jhr
Jh L
Tbh
RR
EW
Sml
TT
Le
FM
Total per Bulan
Sumber: Data diolah
5.5 Analisa AWOT
Posisi Indonesia dalam pengelolaan perikanan di laut lepas dipengaruhi
oleh faktor internal dan eksternal. Penelitian ini mengkombinasikan teknik-teknik
pembobotan (weighting) terhadap faktor internal dan eksternal dengan teknik
perbandingan berpasangan (pairwise comparison) dari Saaty (1983). Menurut
Kangas et al (2001) penggunaan pairwise comparison dalam SWOT ini
menghasilkan teknik yang disebut sebagai AWOT atau AHP-SWOT. Cara ini
akan menghasilkan perumusan strategi yang terboboti.
5.5.1 Identifikasi Faktor Internal dan Eksternal
Strategi diplomasi Indonesia dalam pengelolaan perikanan di laut lepas
yang dikelola oleh WCPFC disusun berdasarkan hasil identifikasi faktor internal
150
dan eksternal. Faktor internal didefinisikan sebagai faktor yang berasal dari dalam
lingkungan organisasi, yang dalam hal ini adalah pemerintah Indonesia,
sedangkan faktor eksternal adalah factor yang berasal dari luar (Pearce &
Robinson, 1997).
A. Faktor Internal
Kekuatan (Strength)
Berdasarkan hasil wawancara dengan responden dan analisa peraturan
internasional serta peraturan perundang-undangan nasional, beberapa faktor
diidentifikasi sebagai kekuatan dalam strategi diplomasi Indonesia di WCPFC.
Kekuatan-kekuatan tersebut mencakup:
1) Adanya asosiasi perikanan tuna. Pengusaha perikanan tuna mempunyai
organisasi dalam memperjuangkan haknya serta berbagai informasi dalam
pelaksanaan usahanya. Menurut Keputusan Menteri Kelautan dan Perikanan
Nomor Kep.14/Men/2012 tentang Pedoman Umum Penumbuhan dan
Pengembangan Kelembagaan Pelaku Utama Perikanan, Asosiasi Perikanan
didefinisikan sebagai kumpulan dari gabungan kelompok perikanan yang
mempunyai tujuan bersama dengan jenis usaha yang sama. Adapun
organisasi pengusaha perikanan tuna di Indonesia, yaitu Asosiasi Tuna
Indonesia (ASTUIN) dan Asosiasi Tuna Longline Indonesia (ATLI).
2) Pelayanan perikanan satu atap. Pelayanan perikanan satu atap dilakukan di
kawasan Pelabuhan Perikanan Samudera (PPS) Bitung, seperti Otoritas
Pengelolaan Pelabuhan Perikanan terkait dengan pelayanan SHTI (Sertifikat
Hasil Tangkapan Ikan), PSDKP terkait dengan pelayanan SLO (Surat Laik
Operasi), dan Syahbandar Perikanan terkait dengan SPB (Surat Persetujuan
Berlayar) dan STBLK (Surat Tanda Bukti Lapor Kedatangan) kapal.
Pelayanan satu atap ini memudahkan pelaku usaha perikanan tangkap,
khususnya pemilik kapal dalam mengurus dokumen operasional penangkapan
dan pengangkutan ikan.
3) Pelabuhan perikanan dan sarana penunjang tersedia. Fasilitas pelabuhan
merupakan sarana dan prasarana yang tersedia di lokasi pelabuhan untuk
151
mendukung kegiatan operasional pelabuhan perikanan. Adapun fasilitas di
PPS Bitung, yaitu (DJPT, 2009):
a. Fasilitas pokok di PPS Bitung relatif lengkap dimana fasilitas-fasilitas
yang terkait dengan keamanan dan kenyamanan tambat labuh tersedia.
Sebagian besar fasilitas dalam kondisi baik dan dimanfaatkan sesuai
dengan peruntukkannya. Namun demikian, masih ada fasilitas pokok yang
pemanfaatannya tidak sesuai seperti Pencegah Benturan Kapal (fender). Data
selengkapnya mengenai fasilitas pokok disajikan pada Tabel 22.
b. Fasilitas fungsional PPS Bitung sebagian besar dalam kondisi baik dan
pemanfaatannya sesuai dengan peruntukkannya. Data selengkapnya
mengenai fasilitas fungsional di PPS Bitung disajikan pada Tabel 23.
c. Fasilitas penunjang digunakan untuk mendukung aktifitas operasional
pelabuhan dalam kondisi baik dan pemanfaatannya sesuai dengan
peruntukkannya. Data selengkapnya mengenai fasilitas penunjang di PPS
Bitung disajikan pada Tabel 24.
Tabel 22. Fasilitas Pokok PPS Bitung
Nama Fasilitas
Areal Daratan
Pelabuhan
Dermaga
Kolam Pelabuhan
Alur Pelayaran
Pencegah Benturan
Kapal (Fender)
Tempat Tambat
(Bollard)
Jalan
Drainase
Jumlah
(unit)
Volume
Satuan
Volume
Kondisi
Manfaat
1
4,6
ha
Baik
Sesuai
2
1
1
1.7641.610
6
m²
ha
Baik
Baik
Baik
25
m
Baik
Sesuai
Sesuai
Sesuai
Tidak
Sesuai
25
m
Baik
Sesuai
m²
m²
Baik
Baik
Sesuai
Sesuai
1
1
7.185
490
152
Tabel 23. Fasilitas Fungsional PPS Bitung.
Jumlah
(unit)
Volume
Satuan
Volume
Kondisi
Manfaat
1
1.420
m²
Baik
Sesuai
1
9
m²
Baik
Sesuai
Penampung/Tangki Air
1
938
m3
Baik
Sesuai
Pengolahan Air
Pabrik Es
Gudang Es
1
1
1
9,38
1
500
m³
ha
m³
Baik
Baik
Baik
Sesuai
Sesuai
Sesuai
Mesin Penghancur Es
3
Unit
Baik
Sesuai
Genset
Daya Listrik
Rumah Genset
SPBN
Tangki BBM
1
Paket
m²
m²
KL
Sesuai
Sesuai
Sesuai
Sesuai
Sesuai
Docking
Bengkel
Perbaikan Jaring
Tempat Pengolahan
Ikan
1
1
1
7,158,125
99
616
1.000
1
Baik
Baik
Baik
Baik
Baik
9
m²
Baik
Baik
Baik
Sesuai
Sesuai
Sesuai
1
1
m²
Baik
Sesuai
Tempat Penyimpanan
Ikan Segar
1
1
m²
Baik
Sesuai
Cold Storage
1
1
ha
1
928,13
m²
Baik
Sesuai
1
168,92
m²
Baik
Sesuai
1
651,50
m²
Baik
Sesuai
1
19,50
m²
Baik
Sesuai
2
Unit
Baik
Sesuai
1
Unit
Baik
Sesuai
1
ha
Baik
Sesuai
Kapal Pengawas
1
Unit
Baik
Sesuai
IPAL
1
m²
Baik
Sesuai
Nama Fasilitas
Tempat Pelelangan
Ikan (TPI)
Menara Pengawas
Lab Pembinaan dan
Pengujian Mutu Hasil
Perikanan
Syahbandar
Kantor Administrasi
Pelabuhan
Kantor Pengawas
Perikanan
Kendaraan Inventaris
Roda 4
Kendaraan Inventaris
Roda 2
Tempat Parkir
1
1
1
20
ha
153
Tabel 24. Fasilitas penunjang PPS Bitung.
Jumlah
(unit)
Volume
Satuan
Volume
Kondisi
Manfaat
Mess Karyawan
3
240,88
m²
Baik
Sesuai
Pos Jaga
2
42,25
m²
Baik
Sesuai
1
150
m²
Baik
Sesuai
m²
Baik
Sesuai
Nama Fasilitas
Pos Pelayanan Terpadu
Guest House
Tempat Peribadatan
Klinik Kesehatan
2
2
1
935,52
150
MCK
1
45
m²
Baik
Sesuai
Waserda/toko
4
30,71
m²
Baik
Sesuai
4) Terdapat pelaku usaha perikanan tangkap skala industri dan kecil. Pancing
hand line berkembang di Bitung. Hal ini dalam rangka menekan biaya
operasional laut yang monthly fishing menjadi one day fishing. Dengan
demikian, Anak Buah Kapal (ABK) purse seine berubah menjadi hand line.
5) Kelengkapan peraturan perundang-undangan Indonesia. Berdasarkan analisa
peraturan perundang-undangan tingkat nasional, peraturan perundangundangan Indonesia dalam pengelolaan perikanan, termasuk pengelolaan
perikanan di laut lepas cukup lengkap. Bahkan, perkembangan terakhir, sudah
ada aturan usaha perikanan tangkap di laut lepas, yaitu Peraturan Menteri
Kelautan dan Perikanan Nomor Per.12/Men/2012.
6) Adanya estimasi jumlah tangkapan yang diperbolehkan. Estimasi jumlah
tangkapan ditetapkan dengan Keputusan Menteri Kelautan dan Perikanan
(Kepmen KP) Nomor Kep. 45/Men/2011 tentang Estimasi Potensi
Sumberdaya Ikan di Wilayah Pengelolaan Perikanan Negara Republik
Indonesia. Estimasi yang dikeluarkan berdasarkan Kepmen KP Nomor
45/Men/2011 yaitu sebesar 6.520.100 ton/tahun, dimana ikan pelagis kecil
menempati urutan pertama, yaitu 3.645.700 ton/tahun, kemudian ikan
demersal (1.452.500 ton/tahun), ikan pelagis besar (1.145.400 ton/tahun),
ikan karang konsumsi (145.300 ton/tahun), udang penaeid (98.300 ton/tahun),
cumi-cumi (28.300 ton/tahun), dan lobster (4.800 ton/tahun). Sementara
154
berdasarkan WPP, WPP 711 menempati urutan pertama, yaitu 1.059.000
ton/tahun, kemudian WPP 713 (929.700 ton/tahun), WPP 718 (855.500
ton/tahun), WPP 712 (836.600 ton/tahun), WPP 715 (595.600 ton/tahun),
WPP 572 (565.200 ton/tahun), WPP 573 (491.700 ton/tahun), WPP 716
(333.600 ton/tahun), WPP 717 (299.100 ton/tahun), WPP 714 (278.000
ton/tahun), dan WPP 571 (276.000 ton/tahun.
7) Perairan Laut Sulawesi dan ZEE
Indonesia di Samudera Pasifik
diindikasikan sebagai spawning ground yellowfin. Sebagaimana Peraturan
Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor PER.01/MEN/2009 tentang Wilayah
Pengelolaan Perikanan Republik Indonesia, terdapat 11 WPP Republik
Indonesia. Kedua WPP-RI tersebut diindikasikan sebagai spawning ground
tuna yellowfin (yellowfin). Adapun kedua WPP-RI tersebut, yaitu WPP 716
(Laut Sulawesi dan sebelah Utara Pulau Halmahera), meliputi Provinsi
Sulawesi Utara, Provinsi Sulawesi Tengah, Provinsi Maluku Utara, dan
Provinsi Gorontalo; dan WPP 717 (perairan Teluk Cendrawasih dan
Samudera Pasifik), meliputi : Provinsi Papua, Provinsi Papua Barat, dan
Provinsi Maluku Utara.
8) Jumlah armada penangkapan dan nelayan pada WPP 716 dan 717 cukup
besar. Data statistik perikanan tangkap per WPP tahun tahun 2011
menunjukan bahawa terdapat 754 kapal penangkapan ikan, dimana 84
persen
Page 1 of 1
2/17/2013 11:02:21 AM
atau 630 kapal berukuran antara 20 -100 GT
M
Selanjutnya
o
d
e
l
faktor-faktor
N
a
m
e
:
ini
S
t
r
e
n
g
t
-
S
dianalisis
menggunakan
metode
Priorities with respect to:
perbandingan
berpasangan. Hasil analisis perhitungan bobot disajikan pada
Goal: Kekuatan
Gambar 25 dan Tabel 25.
Adanya asosiasi perikanan tuna
Pelayanan perikanan satu atap
Pelabuhan perikanan dan sarana
Terdapat pelaku usaha perikana
Kelengkapan peraturan perundan
Adanya estimasi jumlah tangkap
Perairan Laut Sulawesi dan ZEE
Jumlah armada penangkapan dan
Inconsistency = 0.02
with 0 missing judgments.
.058
.088
.099
.036
.137
.169
.373
.041
Gambar 25. Hasil Analisa Perbandingan Kekuatan
155
Berdasarkan hasil analisis di atas menghasilkan nilai consistency ratio
(CR) sebesar 0.02. Artinya, data pengisian kuisioner dari responden cukup
konsisten sehingga tidak perlu dilakukan revisi pendapat. Revisi pendapat
dilakukan apabila nilai CR > 0,1, dengan pengulangan pengisian kuesioner atau
melakukan pengolahan data (adjustment) (Saaty, 1983).
Tabel 21. Hasil Skor Bobot dan Rangking Aspek Kekuatan
No.
Aspek
1
2
3
4
Adanya asosiasi perikanan tuna
Pelayanan perikanan satu atap
Pelabuhan perikanan dan sarana penunjang tersedia
Terdapat pelaku usaha perikanan tangkap skala
industri dan kecil
Kelengkapan
peraturan
perundang-undangan
Indonesia
Adanya estimasi jumlah tangkapan
yang
diperbolehkan
perairan Laut Sulawesi dan ZEE Indonesia di
Samudera Pasifik diindikasikan sebagai Spawning
Gound yellow fin tuna
Jumlah armada penangkapan dan nelayan cukup
besar
5
6
7
8
Skor
Bobot
0,035
0,053
0,059
0,022
Rangking
6
5
4
8
0,082
3
0,101
2
0,224
1
0,024
7
Hasil analisis pembobotan faktor kekuatan yang memberikan peluang
menunjukkan bahwa perairan Laut Sulawesi dan ZEE Indonesia di Samudera
Pasifik diindikasikan sebagai spawning ground yellow fin tuna mendapatkan
bobot relatif tertinggi (0,224) dibandingkan faktor lainnya. Urutan bobot relatif
lainnya adalah adanya estimasi jumlah tangkapan yang diperbolehkan (0,101),
kelengkapan peraturan perundang-undangan Indonesia (0,082), pelabuhan
perikanan dan sarana penunjang tersedia (0,059), pelayanan perikanan satu atap
(0,053), adanya asosiasi perikanan tuna (0,035), jumlah armada penangkapan dan
nelayan cukup besar (0,024), dan terdapat pelaku usaha perikanan tangkap skala
industri dan kecil (0,022)
156
Kelemahan (Weaknes)
Berdasarkan hasil wawancara dengan responden dan analisa peraturan
internasional serta peraturan perundang-undangan nasional, beberapa faktor
diidentifikasi sebagai kelemahan dalam strategi diplomasi Indonesia di WCPFC.
Kelemahan-kelemahan tersebut mencakup:
(1) Penempatan rumpon tidak sesuai peraturan. Kementerian Kelautan dan
Perikanan mengeluarkan Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor
PER.02/Men/2011 tentang Jalur Penangkapan Ikan dan Penempatan Alat
Penangkapan Ikan dan Alat Bantu Penangkapan Ikan di Wilayah Pengelolaan
Perikanan Negara Republik Indonesia Menurut Peraturan Menteri ini, jalur
penangkapan ikan di WPP-NRI terdiri dari:
a. Jalur penangkapan ikan I, terdiri dari: jalur penangkapan ikan IA, meliputi
perairan pantai sampai dengan 2 mil laut yang diukur dari permukaan air
laut pada surut terendah, dan
Jalur penangkapan ikan IB, meliputi
perairan pantai di luar 2 mil laut sampai dengan 4 mil laut.
b. Jalur penangkapan ikan II, meliputi perairan di luar jalur penangkapan
ikan I sampai dengan 12 mil laut diukur dari permukaan air laut pada surut
terendah.
c. Jalur penangkapan ikan III, meliputi ZEEI dan perairan di luar jalur
penangkapan ikan II.
(2) Sistem pendataan perikanan Indonesia masih belum baik. Permasalahan
klasik dan mendasar dalam pengelolaan perikanan Indonesia adalah
lemahnya sistem pendataan. Namun demikian, dalam perkembangannya,
sistem pendataan perikanan tangkap dibenahi dengan cara dikeluarkannya
aturan logbook penangkapan ikan melalui Peraturan Menteri Kelautan dan
Perikanan Nomor Per.18/Men/2010. Hal ini sebagaimana dituangkan dalam
konsideran menimbang, yaitu bahwa dalam rangka mendukung kebijakan
pengelolaan sumber daya ikan yang optimal dan berkelanjutan serta
terjaminnya kelestarian sumber daya ikan, diperlukan data dan informasi
perikanan yang akurat terkait dengan kegiatan penangkapan ikan dalam
logbook penangkapan ikan. Alur dan mekanisme pelaksanaan logbook
157
Penangkapan
Ikan
sebagaimana
diatur
dalam
Permen
KP
Nomor
18/Men/2010 disajikan pada Gambar 26.
Gambar 26. Alur dan Mekanisme Logbook Penangkapan Ikan
(3) Pelaksanaan observer dan board inspection belum optimal. Berdasarkan
analisa peraturan sebelumnya, bahwa kegiatan observer dan board inspection
sudah diatur dalam beberapa peraturan perundang-undangan Indonesia, yaitu
Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor Per.12/Men/2012 dan
Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor Per.30/Men/2012. Namun
program tersebut dihadapkan pada berbagai kendala keterbatasan jumlah
sumberdaya manusia.
(4) Pelaksanaan VMS masih belum optimal. Berdasarkan analisa peraturan
sebelumnya, kewajiban penggunaan VMS diatur dengan UU No. 31 Tahun
2004 sebagaimana diubah dengan UU No. 45 Tahun 2009, Peraturan Menteri
Kelautan dan Perikanan Nomor. Per.05/Men/2007, Peraturan Menteri
Kelautan dan Perikanan Nomor. Per.12/Men/2012, dan Peraturan Menteri
Kelautan dan Perikanan Nomor. Per.30/Men/2012. Namun demikian, banyak
nelayan yang tidak mengaktifkan VMS tersebut.
158
(5) Belum ada RPP Laut Sulawesi dan Samudera Pasifik. Setiap WPP-NRI
seharusnya memilki Rencana Pengelolaan Perikanan (RPP). Namun untuk
kedua WPP tersebut hingga saat ini belum ditetapkan dalam suatu Peraturan
Menteri Kelautan dan Perikanan. Ketiadaan dokumen RPP yang disahkan
secara hukum, dikhawatirkan mendukung kerusakan sumberdaya dan
ekosistem perairannya.
(6) NPOA IUU Fishing dan Shark Managemet belum ditetapkan menjadi
peraturan. National Plan of Action (NPOA) untuk IUU Fishing dan Shark
merupakan dokumen yang dapat dijadikan pedoman dalam mengelola IUU
Fishing dan hiu. Namun hingga saat ini, Indonesia belum menetapkannya
sebagai dokumen hukum yang dapat dijadikan sebagai landasan pengelolaan
hiu dan pemberantasan IUU fishing.
(7) Belum adanya kebijakan dan strategi nasional dalam meningkatkan posisi
tawar pemerintah Indonesia. Indonesia merupakan negara kepulauan yang
diapit dua samudera yang didalamnya menyimpang potensi sumberdaya ikan.
Perkembangan hukum internasional, menempatkan laut lepas bukan lagi
sebagai kawasan bebas untuk penangkapan ikan. Hal ini dikarenakan, hukum
internasional memberikan mandat kepada RFMO untuk mengelola suatu
kawasan laut lepas. Oleh karena itu, dalam mensejajarkan diri dengan Negara
tetangga, maka Indonesia perlu menyusun strategi untuk meningkatkan posisi
tawar pemerintah Indonesia dalam forum internasional atau regional.
(8) Armada
penangkapan
ikan
nasional
didominasi
oleh
kapal-kapal
penangkapan berukuran kecil. Armada perikanan nasional Indonesia
didominasi oleh armada penangkapan ikan skala kecil. Pada tahun 2011, dari
58.651 unit armada penangkapan ikan pada WPP 716 dan 717 didominasi
oleh armada perikanan tangkap skala kecil, yaitu perahu tanpa motor
sebanyak 28.583 unit (48,73%), motor tempel sebanyak 23.198 (39,55%),
dan kapal motor sebanyak 6870 unit (11,62%).
Selanjutnya
faktor-faktor
ini
dianalisis
menggunakan
metode
perbandingan berpasangan. Hasil analisis perhitungan bobot disajikan pada
Gambar 27 dan Tabel 26.
159
Gambar 27. Hasil Analisa Perbandingan Kelemahan
Tabel 26. Hasil Skor Bobot dan Rangking Aspek Kelemahan
No.
1
2
3
4
5
6
7
8
Aspek
Penempatan rumpon tidak sesuai peraturan
System pendataan perikanan Indonesia masih
belum baik
Pelaksanaan observer dan board inspection belum
optimal
Pelaksanaan VMS masih belum optimal
Belum ada RPP Laut Sulawesi dan Samudera
Pasifik
NPOA IUU Fishing dan Shark Managemet belum
ditetapkan menjadi peraturan
Belum adanya kebijakan dan strategi nasional
dalam meningkatkan posisi tawar pemerintah
Indonesia.
Armada penangkapan ikan nasional didominasi
oleh kapal-kapal penangkapan berukuran kecil
Skor
Bobot
0,018
0,034
Rangking
7
5
0,047
4
0,028
0,096
6
1
0,071
3
0,094
2
0,012
8
Berdasarkan hasil analisis di atas menghasilkan nilai consistency ratio
(CR) sebesar 0.02. Artinya, data pengisian kuisioner dari responden cukup
konsisten sehingga tidak perlu dilakukan revisi pendapat serta cukup valid untuk
analisis lebih lanjut.
Hasil analisis pembobotan faktor kelemahan yang memberikan peluang
menunjukkan bahwa belum ada RPP Laut Sulawesi dan Samudera Pasifik (0,096)
dibandingkan faktor lainnya. Urutan bobot relatif lainnya adalah belum adanya
kebijakan dan strategi nasional dalam meningkatkan posisi tawar pemerintah
Indonesia (0,094), NPOA IUU Fishing dan Shark Managemet belum ditetapkan
160
menjadi peraturan (0,071), pelaksanaan observer dan board inspection belum
optimal (0,047), system pendataan perikanan Indonesia masih belum baik (0,034),
pelaksanaan VMS masih belum optimal (0,028), penempatan rumpon tidak sesuai
peraturan (0,018) dan Armada penangkapan ikan nasional didominasi oleh kapalkapal penangkapan berukuran kecil (0,012)
B. Eksternal
Peluang (Opportunity)
Berdasarkan hasil wawancara dengan responden dan analisa peraturan
internasional serta peraturan perundang-undangan nasional, beberapa faktor
diidentifikasi sebagai peluang dalam strategi diplomasi Indonesia di WCPFC.
Peluang-peluang tersebut mencakup:
1) Potensi sumberdaya ikan belum dimanfaatkan secara optimal. Mengacu
kepada Keputusan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor KEP.45/Men/2011
tentang Estimasi Potensi Sumber Daya Ikan di Wilayah Pengelolaan
Perikanan Negara Republik Indonesia, WPP 716 dan 717 untuk skipjack
berstatus moderate.
2) Regulasi/kebijakan industrialisasi dan minapolitan perikanan. Minapolitan dan
industrialisasi perikanan merupakan kebijakan Kementerian Kelautan dan
Perikanan dalam mendorong industri perikanan, termasuk didalamnya adalah
untuk komoditas tuna, tongkol dan cakalang. Kebijakan ini mendukung
pengembangan industri tuna di Indonesia. Landasan hukum kebijakan
industrialisasi perikanan ditetapkan melalui Peraturan Menteri Kelautan dan
Perikanan Nomor Per.27/Men/2012 tentang Pedoman Umum Industrialisasi
Kelautan dan Perikanan. Sementara landasan hukum pengembangan
minapolitan, yaitu Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor
Per.18/Men/2012.
3) Kajian dan mitigasi kematian non-target spesies. WCPFC mengeluarkan
beberapa CMM untuk melakukan mitigasi terhadap kematian non-target
spesies, seperti burung laut, penyu, hiu, dan Cetaceans.
161
4) Mempertimbangkan nelayan artisanal dan subsisten. Konvensi WCPFC
memuat ketentuan mengenai pertimbangan nelayan artisanal dan subsisten.
Hal ini sebagaimana dituangkan dalam Pasal 5 butir h Konvensi WCPFC.
5) Tersedianya bantuan teknis dan finansial dari WCPFC, serta terhindar dari
embargo ekspor produk perikanan Indonesia oleh negara-negara anggota
WCPFC
6) Penguatan posisi Indonesia dalam forum WCPFC . Status Indonesia sebagai
CNM hanya memiliki hak bicara dalam setiap pertemuan, sementara member
akan memilki hak suara. Dengan demikian, keterlibatan aktif Indonesia dalam
WCPFC akan memudahkan Indonesia dalam hal pertukaran data dan
informasi diantara negara anggota serta terhindar dari ancaman embargo.
7) Dapat memengaruhi keputusan-keputusan yang diambil WCPFC serta
memudahkan Indonesia dalam hal pertukaran data dan informasi diantara
negara anggota
Selanjutnya
faktor-faktor
ini
dianalisis
menggunakan
metode
perbandingan berpasangan. Hasil analisis perhitungan bobot disajikan pada
Gambar 28 dan Tabel 27.
Gambar 28. Hasil Analisa Perbandingan Peluang
162
Tabel 27. Hasil Skor Bobot dan Rangking Aspek Peluang
No.
Aspek
1
Potensi SDI belum dimanfaatkan secara optimal
Skor
Bobot
0.033
Rangking
7
2
Regulasi/kebijakan industrialisasi dan minapolitan
perikanan
Kajian dan mitigasi kematian non-target spesies
(burung laut, penyu dan hiu, Cetaceans)
Mempertimbangkan nelayan artisanal dan subsisten
0,047
6
0,099
4
0,073
5
Tersedianya bantuan teknis dan finansial dari
WCPFC, serta terhindar dari embargo ekspor
produk perikanan Indonesia oleh negara-negara
anggota WCPFC.
Penguatan posisi Indonesia dalam forum WCPFC
Dapat memengaruhi keputusan-keputusan yang
diambil WCPFC serta memudahkan Indonesia
dalam hal pertukaran data dan informasi diantara
negara anggota
0,133
3
0,333
0,282
1
2
3
4
5
6
7
Berdasarkan hasil analisis di atas menghasilkan nilai consistency ratio
(CR) sebesar 0.02. Artinya, data pengisian kuisioner dari responden cukup
konsisten sehingga tidak perlu dilakukan revisi pendapat serta cukup valid untuk
analisis lebih lanjut.
Hasil analisis pembobotan faktor peluang yang memberikan peluang
menunjukkan bahwa penguatan posisi Indonesia dalam forum WCPFC
mendapatkan bobot relatif tertinggi (0,333) dibandingkan faktor lainnya. Urutan
bobot relatif lainnya adalah Dapat memengaruhi keputusan-keputusan yang
diambil WCPFC serta memudahkan Indonesia dalam hal pertukaran data dan
informasi diantara negara anggota (0,282); Tersedianya bantuan teknis dan
finansial dari WCPFC, serta terhindar dari embargo ekspor produk perikanan
Indonesia oleh negara-negara anggota WCPFC (0,133); Kajian dan mitigasi
kematian non-target spesies (burung laut, penyu dan hiu, Cetaceans) (0,099);
Mempertimbangkan nelayan artisanal dan subsisten (0,073); Regulasi/kebijakan
industrialisasi dan minapolitan perikanan (0,047); dan Potensi SDI belum
dimanfaatkan secara optimal (0.033)
163
Ancaman (Threat)
Berdasarkan hasil wawancara dengan responden dan analisa peraturan
internasional serta peraturan perundang-undangan nasional, beberapa faktor
diidentifikasi sebagai ancaman dalam strategi diplomasi Indonesia di WCPFC.
Ancaman-ancaman tersebut mencakup:
(1) Kegiatan illegal fishing oleh nelayan asing. Perairan Sulawesi umumnya
menjadi tempat praktik-praktik illegal fishing nelayan Filipina. Nelayan
Filipina sekarang banyak menggunakan pump boat untuk mencuri ikan di
Indonesia.
Gambar 29. Pumb Boat Filipina yang Tertangkap PSDKP Bitung
(2) Aturan internasional yang melarang penangkapan baby tuna. Dalam
rangka
menjamin
perikanan
tuna
berkelanjutan,
maka
WCPFC
mengeluarkan CMM 2008-02 (Conservation and Management Measure
for Big-eye and Yellow-fin Tuna in the WCPFC) untuk melarang
penangkapan baby tuna, untuk tuna yellowfin dan bigeye. Hal ini harus
menjadi perhatian stakeholder perikanan tuna Indonesia, karena bisa
berdampak terhadap embargo ekspor tuna Indonesia.
(3) Transshipment di tengah laut. Salah satu praktik-praktik IUU Fishing yang
marak di wilayah Bitung adalah transshipment di tengah laut. Ikan hasil
tangkapan transshipment tersebut dibawa ke Filipina, yaitu General
Santos.
(4) Wilayah penerapan WCPFC memasuki perairan kepulauan Indonesia.
Wilayah penerapan WCPFC sebagaimana dituangkan dalam Pasal 3
memasukan wilayah perairan kepulauan Indonesia. Hal ini menimbulkan
164
penolakan Kementerian Luar Negeri dalam meratifikasi Konvensi
WCPFC.
(5) Pembatasan penangkapan spesies tertentu . Beberapa spesies yang
dibatasi penangkapannya adalah North Pacific Albacore, South Pacific
Albacore, Striped Marlin in the Southwest Pacific, Swordfish, North
Pacific Striped Marlin, Pacific Bluefin Tuna, Oceanic Whitetip Shark.
Hal ini sebagaimana diatur dalam CMM.
(6) Pembatasan penggunaan rumpon. CMM 2009-02 (FAD Closures And
Catch Retention) mengatur pembatasan penggunaan rumpon dalam
penggunaan alat tangkap purse seine. Hal ini mengancam nelayan purse
seine Indonesia yang menggunakan rumpon untuk mengumpulkan ikan.
(7) Beberapa ketentuan internasional yang pada awalnya bersifat sukarela
telah berubah menjadi bersifat wajib dan mengikat. Sebagaimana
diketahui bersama, bahwa FAO mengeluarkan International Plan of
Action (IPOA) untuk IUU fishing, hiu dan burung laut. Namun WCPFC,
mengeluarkan CMM yang bersifat mengikat dalam pengelolaan untuk hiu
dan burung laut serta pemberantasan IUU fishing.
(8) Pengelolaan sumberdaya di wilayah yurisdiksi nasional diindikasikan
dikendalikan oleh internasional dan regional. Wilayah penerapan WCPFC
yang memasukan perairan kepulauan Indonesida dan ZEE Indonesia
adalah ancaman. Hal ini dikarenakan, setiap kegiatan penangkapan ikan
oleh nelayan Indonesia di wilayah tumpang tindih tersebut, Indonesia bisa
mendapatkan teguran atau bahkan sanksi.
2/17/2013 11:59:15 AM
Selanjutnya
faktor-faktor
ini dianalisis
Model Name: Threath-T
Page 1 of 1
menggunakan
metode
perbandingan berpasangan. Hasil analisis perhitungan bobot disajikan pada
Priorities with respect to:
Goal: Ancaman
Gambar 33 dan Tabel 28.
Kegiatan illegal fishing oleh
Larangan penangkapan baby tuna
Transhipment di tengah laut
Wilayah penerapan WCPFC memasu
Pembatasan penangkapan spesies
Pembatasan penggunaan rumpon
Beberapa ketentuan internasion
Aturan pengelolaan SDI di wila
Inconsistency = 0.02
with 0 missing judgmen ts.
.022
.291
.032
.167
.217
.116
.098
.056
Gambar 30. Hasil Analisa Perbandingan Ancaman
165
Tabel 28. Hasil Skor Bobot dan Rangking Aspek Ancaman
No.
Aspek
1
2
Kegiatan illegal fishing oleh nelayan asing
Aturan internasional yang melarang penangkapan
baby tuna
Transhipmen di tengah laut
Wilayah penerapan WCPFC memasuki perairan
kepulauan Indonesia
Pembatasan penangkapan spesies tertentu
Pembatasan penggunaan rumpon
Beberapa ketentuan internasional yang pada
awalnya bersifat sukarela telah berubah menjadi
bersifat wajib dan mengikat.
Pengelolaan sumberdaya di wilayah yurisdiksi
nasional diindikasikan dikendalikan oleh
internasional dan regional
3
4
5
6
7
8
Skor
Bobot
0,009
0,116
Rangking
8
1
0,013
0,067
7
3
0,087
0,046
0,039
2
4
5
0,023
6
Berdasarkan hasil analisis di atas menghasilkan nilai consistency ratio
(CR) sebesar 0.02. Artinya, data pengisian kuisioner dari responden cukup
konsisten sehingga tidak perlu dilakukan revisi pendapat serta cukup valid untuk
analisis lebih lanjut.
Hasil analisis pembobotan faktor peluang yang memberikan peluang
menunjukkan bahwa aturan internasional yang melarang penangkapan baby tuna
mendapatkan bobot relatif tertinggi (0,116) dibandingkan faktor lainnya. Urutan
bobot relatif lainnya adalah pembatasan penangkapan spesies tertentu (0,087);
wilayah penerapan WCPFC memasuki perairan kepulauan Indonesia (0,067);
pembatasan penggunaan rumpon (0,046); beberapa ketentuan internasional yang
pada awalnya bersifat sukarela telah berubah menjadi bersifat wajib dan mengikat
(0,039); pengelolaan sumberdaya di wilayah yurisdiksi nasional diindikasikan
dikendalikan oleh internasional dan regional (0,023); transhipmen di tengah laut
(0,013); dan kegiatan illegal fishing oleh nelayan asing (0,009).
5.5.2
Matriks IFE dan EFE
Berdasarkan hasil analisis terhadap faktor-faktor internal dan eksternal,
maka dapat disusun matriks IFE yang berisi kekuatan dan kelemahan serta
matriks EFE yang berisi peluang dan ancaman disertai dengan bobot dan rating.
166
Penentuan bobot diambil dari hasil AHP sedangkan rating ditentukan oleh peneliti
yang melihat hasil diskusi dengan responden. Diskusi dengan responden
dilakukan saat responden sebelum dan sesudan mengisi kuesinoner. Bobot dan
rating
kemudian
dikalikan
untuk
memperoleh
skor,
sedangkan
untuk
mendapatkan skor akhir internal dan eksternal maka skor dari responden tersebut
dirata-rata. Tabel matriks IFE strategi kebijakan perikanan tuna dapat dilihat pada
Tabel 29.
Tabel 29 Matriks IFE efektivitas strategi kebijakan perikanan tuna
Rata-rata
Faktor Strategis Internal
A
B
C
D
E
G
H
I
kekuatan
Adanya asosiasi perikanan tuna
Pelayanan perikanan satu atap
Pelabuhan perikanan dan sarana penunjang tersedia
Terdapat pelaku usaha perikanan tangkap skala
industri dan kecil
Kelengkapan peraturan perundang-undangan
Indonesia
Adanya estimasi jumlah tangkapan yang
diperbolehkan
perairan Laut Sulawesi dan ZEE Indonesia di
Samudera Pasifik diindikasikan sebagai Spawning
Jumlah armada penangkapan dan nelayan cukup
besar
Skor
Bobot
Rating
0.035
0.053
0.059
0.022
2
2
2
1
0.070
0.106
0.119
0.022
0.082
3
0.247
0.101
3
0.304
0.224
4
0.895
0.024
2
0.048
0.018
0.034
2
2
0.037
0.068
0.047
2
0.094
0.028
0.096
0.071
2
4
3
0.055
0.382
0.212
0.094
3
0.283
0.012
1
0.012
0.6
Kelemahan
Penempatan rumpon tidak sesuai peraturan
System pendataan perikanan Indonesia masih belum
baik
M Pelaksanaan observer dan board inspection belum
optimal
N Pelaksanaan VMS masih belum optimal
O Belum ada RPP Laut Sulawesi dan Samudera Pasifik
P NPOA IUU Fishing dan Shark Managemet belum
ditetapkan menjadi peraturan
K
L
Q
R
Belum adanya kebijakan dan strategi nasional dalam
meningkatkan posisi tawar pemerintah Indonesia
Armada penangkapan ikan nasional didominasi oleh
kapal-kapal penangkapan berukuran kecil
0.400
Total
1
2.954
167
Berdasarkan hasil perhitungan matriks IFE di atas maka dapat disimpulkan
bahwa efektivitas strategi kebijakan perikanan tuna secara internal berada dalam
kondisi rata-rata. Hal ini dapat dilihat dari nilai total nilai sebesar 2,954.
Pada Tabel 26 dapat diketahui bahwa kekuatan utama strategi kebijakan
adalah perairan Laut Sulawesi dan ZEE Indonesia di Samudera Pasifik
diindikasikan sebagai spawning dengan nilai 0.895. Spawning ground di wilayah
Indonesia dapat dijadikan alat diplomasi yang menguntungkan Indonesia dalam
setiap pembuatan keputusan WCPFC. Namun demikian, di sisi lain, lemahnya
diplomasi akan menyudutkan Indonesia ketika nelayan Indonesi melakukan
penangkapan ikan baby tuna yang berada di Indonesi. Oleh karena itu, keberadaan
spawning ground tersebut perlu dikaji secara ilmiah.
Faktor
kedua
adalah
adanya
estimasi
jumlah
tangkapan
yang
diperbolehkan dengan nilai 0.304. Adanya estimasi perikanan Indonesia
merupakan amanat dari UNCLOS 1982 untuk menjadi alat ukur dalam
pengelolaan perikanan. Oleh karena itu, keberadaan data perikanan yang baik
adalah syarat utama dalam memperbaiki dan menyusun estimasi perikana
tersebut. Faktor terakhir adalah kelengkapan peraturan perundang-undangan
Indonesia dengan nilai sebesar 0.247. Berdasarkan hasil analisa peraturan
perundang-undangan, bahwa peraturan perundang-undangan secara umum sudah
lengkap meski ada beberapa peraturan yang perlu ditetapkan. Namun demikian,
kelengkapan peraturan perundang-undangan Indonesia merupakan kekuatan
Indonesia dalam melakukan diplomasi, bahwa Indonesia memiliki kepedulian
yang sama dengan negara lainnya dalam mewujudkan perikanan berkelanjutan
dan bertanggung jawab.
Kelemahan utama strategi kebijakan adalah belum adanya Rencana
Pengelolaan Perikanan (RPP) Laut Sulawesi dan Samudera Pasifik dengan nilai
sebesar 0.096. Ketiadaan RPP ini dapat berpengaruh terhadap keberlanjutan
perikanan di kedua WPP tersebut. Dengan demikian, ketiadaan RPP adalah
kelemahan yang harus menjadi perhatian pemerintah Indonesia.
Faktor kedua adalah belum adanya kebijakan dan strategi nasional dalam
meningkatkan posisi tawar pemerintah Indonesia dengan nilai sebesar 0,174.
Permasalahan posisi tawar adalah hal penting dalam diplomasi, sehingga
168
kekuatan-kekuatan seperti adanya indikasi spawning ground dapat dijadikan alat
utama meningkatkan posisi tawar tersebut. Faktor terakhir adalah NPOA IUU
Fishing dan Shark Managemet belum ditetapkan menjadi peraturan. Kedua NPOA
tersebut belum ditetapkan dalam sebuah peraturan. Hal ini dikarenakan, IUU
Fishing dan hiu dimuat dalam international plan of action (IPOA) yang bersifat
softlaw. Padahal, dalam RFMO, khususnya WCPFC, aturan yang softlaw diubah
menjadi hardlaw melalui CMM.
Sementara itu, matriks EFE efektivitas strategi kebijakan perikanan tuna
dapat dilihat pada Tabel 26. Berdasarkan hasil analisis matriks EFE, diperoleh
jumlah skor rata-rata untuk faktor eksternal sebesar 2.965. Nilai ini
memperlihatkan bahwa efektivitas strategi kebijakan perikanan tuna berada dalam
level rata-rata.
Tabel 30 Matriks EFE efektivitas strategi kebijakan perikanan tuna
Faktor strategis eksternal
A
B
C
D
E
F
G
Peluang
Potensi SDI belum dimanfaatkan secara optimal
Regulasi/kebijakan industrialisasi dan minapolitan perikanan
Kajian dan mitigasi kematian non-target spesies
Mempertimbangkan nelayan artisanal dan subsisten
Tersedianya bantuan teknis dan finansial dari WCPFC, serta
terhindar dari embargo ekspor produk perikanan Indonesia
oleh negara-negara anggota WCPFC
Penguatan posisi Indonesia dalam forum WCPFC
Dapat memengaruhi keputusan-keputusan yang diambil
WCPFC serta memudahkan Indonesia dalam hal pertukaran
data dan informasi diantara negara anggota
Rata-rata
Skor
Bobot
Rating
0.0198
0.0282
0.0594
0.0438
0.0798
1
2
3
2
3
0.020
0.056
0.178
0.088
0.239
0.1998
0.1692
4
3
0.799
0.508
0.009
0.116
0.013
0.067
2
4
2
3
0.018
0.466
0.026
0.200
0.087
0.046
0.039
2
2
2
0.174
0.093
0.078
0.023
1
0.023
0.6
H
I
J
K
L
M
N
P
Ancaman
Kegiatan illegal fishing oleh nelayan asing
Aturan internasional yang melarang penangkapan baby tuna
Transhipmen di tengah laut
Wilayah penerapan WCPFC memasuki perairan kepulauan
Indonesia
Pembatasan penangkapan spesies tertentu
Pembatasan penggunaan rumpon
Beberapa ketentuan internasional yang pada awalnya bersifat
sukarela telah berubah menjadi bersifat wajib dan mengikat
Pengelolaan sumberdaya di wilayah yurisdiksi nasional
diindikasikan dikendalikan oleh internasional dan regional
Total
0.4
1.000
2.965
169
Berdasarkan Tabel 30 bahwa peluang utama adalah penguatan posisi
Indonesia dalam forum WCPFC menduduki urutan pertama. Hal ini bisa dilihat
dari nilai sebesar 0.799. Penguatan tersebut dengan membenahi hal-hal yang
dipersyaratkan oleh WCPFC seperti pembenahan sistem data dan implementasi
MCS yang baik serta terlibat aktif dalam setiap pertemuan yang diselenggarakan.
Peluang kedua yang dapat dimanfaatkan adalah dapat memengaruhi
keputusan-keputusan yang diambil WCPFC serta memudahkan Indonesia dalam
hal pertukaran data dan informasi diantara negara anggota dengan nilai sebesar
0.508. Peluang ini didasarkan bahwa Indonesia memperkuat diplomasi dengan
berbagai kepatuhan dan bukti ilmiah tentang spawning ground. Faktor ketiga
adalah tersedianya bantuan teknis dan finansial dari WCPFC, serta terhindar dari
embargo ekspor produk perikanan Indonesia oleh negara-negara anggota WCPFC
dengan nilai sebesar 0.263. Sebagaimana yang disebutkan sebelunya, bahwa
keterlibatan aktif Indonesia selain peduli terhadap isu global dan regional, juga
mendapatkan bantuan teknis dan financial dalam mewujudkan perikanan di
wilayah WCPFC.
Faktor utama yang menjadi ancaman efektivitas strategi kebijakan adalah
aturan internasional yang melarang penangkapan baby tuna. Faktor ini memiliki
nilai sebesar 0.466. Larangan penangkapan baby tuna tersebut berdasarkan CMM
yang disebabkan oleh menurunnya tangkapan tuna yellowfin dan bigeye. Oleh
karena itu, larangan penggunaan purse seine dengan menggunakan rumpon juga
telah dikeluarkan.
Faktor ancaman kedua adalah wilayah penerapan WCPFC memasuki
perairan kepulauan Indonesia. Faktor ini memiliki nilai sebesar 0.200. Wilayah
penerapan WCPFC memasukan perairan kepulauan Indonesia, sehingga dalam
ratifikasi yang akan dilakukan oleh pemerintah Indonesia harus memberikan
catatan untuk batasan wilayah tersebut. hal ini dikarenakan, biasanya pengelolaan
RFMO berada di luar ZEE. Faktor ketiga adalah pembatasan penangkapan spesies
tertentu dengan nilai 0.174. Pembatasan tersebut dalam rangka menjaga
keberlanjutan spesies tertentu yang dikhawatirkan musnah. Berdasarkan dari
perhitungan matriks IFE dan EFE diperoleh jumlah nilai rata-rata sebesar 2.954
dan 2.965. Penggabungan antara nilai IFE dan EFE pada matriks IE akan
170
menunjukkan efektivitas strategi kebijakan perikanan tuna berada pada sel ke lima
(V) seperti yang terlihat pada Gambar 34. Dengan demikian, strategi yang terbaik
yang sebaiknya dilakukan adalah menjaga dan mempertahankan posisi yang
selama ini sudah diraih. Kebijakan umum dari strategi ini adalah dengan cara
penguatan posisi Indonesia dalam WCPFC. Selain itu, perlu peningkatan system
pengumpulan data dan informasi yang disertai dengan peningkatan pengawasan.
Total Rata-rata Tertimbang IFE
Tinggi
(3,0-4,0)
Total
Sedang
Rata-rata (2,0-2,99)
Tertimbang
EFE
Rendah
(1,0-1,99)
Kuat
(3,0-4.0)
I
Rata-rata
(2,0-2,99)
II
Lemah
(1,0-1,99)
III
IV
V
VI
VII
VIII
IX
Gambar 31 Matriks IE
5.6 Strategi Kebijakan
Setelah melakukan analisis terhadap faktor internal dan eksternal,
selanjutnya dapat diformulasikan alternatif strategi dengan menggunakan matriks
SWOT, yang merupakan kombinasi dari strategi SO, WO, ST, dan WT.
perumusan strategi dilakukan dengan mempertimbangkan keempat faktor yaitu
kekuatan, kelemahan, peluang, dan ancaman yang telah diidentifikasi. Strategi
yang dihasilkan merupakan kombinasi SO (strength-opportunities), ST (strengththreats), WO (weakness-opportunities), dan WT (weakness-threats) yang
dirangkum dalam matriks SWOT. Perumusan strategi pemasaran yang dibangun
dengan menggunakan matriks SWOT dapat pada Tabel 27.
Peluang (Opportunities)
O1. Potensi SDI belum dimanfaatkan secara
optimal;
O2. Regulasi/kebijakan industrialisasi perikanan
dan minapolitan;
O3. Kajian dan mitigasi kematian non-target
spesies;
O4. Mempertimbangkan nelayan artisanal dan
subsisten;
O5. Tersedianya bantuan teknis dan finansial dari
WCPFC;
O6. Penguatan posisi Indonesia dalam forum
WCPFC;
O7. Dapat memengaruhi keputusan-keputusan
yang diambil WCPFC serta memudahkan
Indonesia dalam hal pertukaran data dan
informasi diantara negara anggota
EFAS
IFAS
SO
SO1. Penelitian perikanan secara rutin (S3, S6, S7, S8,
S9, O1, O3, O4, O5, O6, O7)
SO2. Pengembangan fasilitas dan pelayanan pelabuhan
perikanan (S1, S2, S3, S4, S8, O1, O2, O4)
SO3. Penguatan peran asosiasi perikanan tuna (S1, S4,
O1, O2, O4)
Kekuatan (Strengths)
S1. Adanya asosiasi perikanan tuna;
S2. Pelayanan perikanan satu atap;
S3. Pelabuhan perikanan dan sarana penunjang tersedia;
S4. Terdapat pelaku usaha perikanan tangkap skala
industri dan kecil;
S5. Kelengkapan peraturan perundang-undangan
Indonesia;
S6. Adanya estimasi jumlah tangkapan yang
diperbolehkan;
S7. Spawning Gound yellow fin tuna;
S8. Jumlah armada penangkapan dan nelayan cukup
besar;
Tabel 31. Matrik SWOT untuk Perumusan Strategi Diplomasi Indonesia
Kelemahan (Weaknesses)
W1. Penempatan rumpon tidak sesuai peraturan;
W2. System pendataan perikanan Indonesia masih belum
baik;
W3. Pelaksanaan observer dan board inspection belum
optimal;
W4. Pelaksanaan VMS masih belum optimal;
W5. Belum ada RPP Laut Sulawesi dan Samudera Pasifik;
W6. NPOA IUU Fishing dan Shark Managemet belum
ditetapkan menjadi peraturan;
W7. Belum adanya kebijakan dan strategi nasional dalam
meningkatkan posisi tawar pemerintah Indonesia;
W8. Armada penangkapan ikan nasional didominasi oleh
kapal-kapal penangkapan berukuran kecil
WO
WO1. Pengembangan sistem informasi dan data (W2, W3,
W4, O1, O3, O4, O5, O6, O7)
WO 2. Peningkatan MCS (W1, W2, W3, W4, W5, W7, O3,
O4, O5)
WO 3. Penetapan dokumen RPP (W5, W6, W7, O1, O2, O3,
O4, O5, O6, O7)
WO 4. Penguatan armada tangkap (W1, W8, O1, O2, O4)
171
Ancaman (Threats)
T1. Kegiatan illegal fishing oleh nelayan asing;
T2. Aturan internasional yang melarang
penangkapan baby tuna;
T3. Transshipment di tengah laut;
T4. Wilayah penerapan WCPFC memasuki
perairan kepulauan Indonesia;
T5. Pembatasan penangkapan spesies tertentu.
T6. Pembatasan penggunaan rumpon;
T7. Beberapa ketentuan internasional yang pada
awalnya bersifat sukarela telah berubah
menjadi bersifat wajib dan mengikat;
T8. Pengelolaan sumberdaya di wilayah yurisdiksi
nasional diindikasikan dikendalikan oleh
internasional dan regional;
ST
ST1. Penguatan sistem penegakan hukum (S2, S5, T1,
T2, T3, T5, T6, T7)
ST2. Penguatan kerjasama regional dengan WCPFC
(S1, S2, S3, S4, S6, S7, S8, S8, T2, T4, T5,T6, T7,
T8)
WT
WT1. Sinergisasi aturan pemasangan rumpon (W1, T1, T2,
T5, T6)
172
173
Berdasarkan analisis matriks SWOT didapatkan empat macam strategi
yang dapat dijelaskan sebagai berikut:
a. Strategi Strength-Opportunities (SO)
Strategi SO adalah strategi menggunakan kekuatan yang dimiliki untuk
memanfaatkan peluang yang ada. Berdasarkan kekuatan dan peluang yang
diperoleh, maka strategi yang seharusnya dilakukan adalah penelitian perikanan
secara rutin. Hal ini didasarkan adanya perbaikan data setiap tahun terkait dengan
estimasi, penelitian spawning ground yang dapat dijadikan alat diplomasi, dan
adanya bantuan teknis dan keuangan sehingga perlu peningkatan penelitian yang
dasar dan strategis.
Strategi kedua yang dapat dilakukan adalah pengembangan fasilitas dan
pelayanan pelabuhan perikanan. Pengembangan fasilitas dan pelayanan di
pelabuhan perikanan. Strategi ini berdasarkan adanya dukungan dari pemerintah
yang dicerminkan dengan program minapolitan dan industrialisasi perikanan.
Sementara strategi ketiga yang dapat dilakukan adalah penguatan peran
asosiasi perikanan tuna. Strategi ini didasari oleh keberadaan asosiasi tuna,
sehingga memudahkan dalam memfasilitasi kepentingan pemerintah dan
pengusaha perikanan tuna.
b. Strategi ST (strength-threats)
Strategi
ST
merupakan
strategi
memanfaatkan
kekuatan
untuk
menghindari ancaman yang datang dari luar. Strategi ST paling utama adalah
penguatan sistem penegakan hukum. Strategi ini ditempuh untuk menciptakan
efektivitas penegakan hukum, mulai dari pengawasan hingga penyidikan. Hal ini
untuk menghindari tumpang tindih kewenangan.
Strategi kedua adalah penguatan kerjasama regional dengan WCPFC.
Hingga saat ini, Indonesia berstatus sebagai contracting non-member atau negara
peninjau. Oleh karena itu, perlu penguatan kerjasama dengan keterlibatan aktif di
WCPFC.
c. Strategi WO (weakness-opportunities)
Strategi WO adalah strategi yang meminimalkan kelemahan dengan
memanfaatkan peluang yang ada. Strategi WO utama yang bisa dilakukan adalah
pengembangan sistem informasi dan data. Strategi ini didasari oleh lemahnya
174
sistem pendataan Indonesia sehingga dikhawatirkan menimbulkan salah dalam
penentuan kebijakan.
Strategi kedua adalah Peningkatan MCS. Kelemahan yang dapat dihindari
dari strategi ini adalah belum optimalnya penggunaan logbook penangkapan ikan,
observer dan board inspection serta penggunaan trasmiter. Strategi ini
memanfaatkan peluang berupa tersedianya bantuan teknis dan finansial.
Sementara strategi ketiga adalah Penetapan dokumen RPP. Strategi ini didasari
oleh belum adanya dokumen pegangan dalam mengelola suatu wilayah. Ketiadaan
dokumen menyebabkan kebingungan di tingkat provinsi dan kabupaten/kota.
Sedangkan strategi WO yang keempat adalah penguatan armada tangkap. Strategi
ini didasari oleh perpindahan penggunaan perahu besar menjadi lebih kecil dan
bersifat individual. Peluang yang digunakan pada strategi ini adalah potensi belum
dimanfaatkan secara optimal dan peluang pasar yang baik.
d. Strategi WT (weakness-threats)
Strategi WT merupakan strategi untuk mengurangi kelemahan dan
menghindari ancaman. Strategi yang bisa dilakukan adalah dengan mensinergikan
aturan pemasangan rumpon sebagaimana yang diatur oleh WCPFC dengan
peraturan Indonesia. Hal ini dalam rangka membangun perikanan berkelanjutan
yang disebabkan penggunaan rumpon.
Hasil dari matriks SWOT dan keempat macam strategi secara umum diatas
didapatkan tujuh rekomendasi strategi alternative yakni :
1) Penelitian perikanan secara rutin. Strategi ini dalam rangka menghasilkan
data ilmiah terbaik yang tersedia. Salah satu penelitian yang harus
dilakukan adalah mengenai lokasi pasti spawning ground tuna (yellowfin
dan bigeye). Mengingat, lokasi spawning ground kedua tuan tersebut
diindikasikan berada di Indonesia, sehingga kebenaran data tersebut dapat
dijadikan alat dilomasi Indonesia.
2) Pengembangan fasilitas dan pelayanan pelabuhan perikanan. Strategi ini
dalam rangka mengoptimalkan fungsi pelabuhan dalam kegiatan bisnis dan
pemerintahan, khususnya pencatatan kegiatan perikanan. Pengembangan
fasilitas pelabuhan disesuaikan dengan kebutuhan pelabuhan masingmasing dan daya dukung infrastrukturnya, seperti listrik. Sementara
175
pengembangan pelayanan adalah dengan cara pelayanan satu atap yang
dilaksanakan di semua pelabuhan perikanan Indonesia. Pelayanan
pemberian izin, perlu pembangunan gedung pelayanan satu atap yang
didalamnya tergabung beberapa lembaga Negara, seperti Pelabuhan
Perikanan, PSDKP, Imigrasi, Bea Cukai, Perhubungan Laut, Badan
Karantina Ikan. Adanya pelayanan satu atap tersebut memudahkan nelayan
dalam setiap pengurusan dokumen perizinan, baik yang terkait dengan
penangkapan maupun dengan pemasaran atau ekspor-impor. Selain itu,
perlu pembuatan system informasi pelayanan yang terintegrasi sehingga
lebih menciptakan efektivitas dan efisiensi dalam pelayanan perizinan.
3) Penguatan peran asosiasi perikanan tuna
Pelibatan asosiasi tuna dalam semua aspek, mulai dari penangkapan hingga
pemasaran dapat memudahkan pemerintah dalam pengembangan industry
perikanan tuna di Indonesia umumnya, dan Bitung khususnya. Pelibatan
asosiasi perikanan tuna juga bisa dilakukan pada saat memberikan data dan
informasi untuk pembuatan kebijakan.
4) Penguatan sistem penegakan hokum
Dalam rangka menjamin perikanan tuna berkelanjutan, system penegakan
hukum perlu ditata dan disinergikan antar lembaga, sehingga strategi ini
mendukung industry perikanan tuna. Selain itu, pemberantasan IUU fishing
di wilayah perairan Laut Sulawesi perlu dilakukan secara koordinatif dan
sinergis, sehingga potensi sumberdaya ikan tidak dicuri oleh nelayan asing.
Hasil yang diharapkan dari strategi ini adalah adanya standar operasional
yang sama antar penegak hukum, sehingga tidak membingungkan nelayan
ketika terjadi pelanggaran. Selain itu, efektivitas penegakan hukum
terhadap pelaku IUU Fishing diharapkan mampu menjamin keberlanjutan
usaha perikanan tuna. Mengingat, IUU Fishing menyumbangkan 30 persen
dari total tangkapan dunia selama ini.
5) Penguatan kerjasama regional dengan WCPFC
Dalam rangka memperkuat diplomasi Indonesia di WCPFC, maka
pemerintah Indonesia harus melakukan ratifikasi Konvensi WCPFC
sehingga dengan demikian Indonesia menjadi negara full member
176
(member contracting parties). Perubahan status tersebut menempatkan
Indonesia mempunya hak bicara dan suara, yang selama ini hanya
mempunyai hak bicara karena statusnya negara peninjau (member noncontracting parties).
6) Pengembangan system informasi dan data
Statistik perikanan Indonesia sebagaimana statistik lainnya di Indonesia
dihadapkan pada permasalahan “keabsahan”. Hal ini dikarenakan, data
dikumpulkan tidak secara benar. Oleh karena itu, pengembangan system
informasi dan data perlu menjadi perhatian pemerintah. Dukungan teknis
dan financial dari lembaga internasional bisa diperoleh dalam pelaksanaan
pengembangan system informasi dan data.
7) Peningkatan MCS
Pemerintan Indonesia sudah memiliki aturan mengenai observer, inspeksi
kapal dan transmitter. Permasalahannya adalah pada tahap pelaksanaan.
Oleh karena itu, strategi yang harus dilakukan adalah peningakatn MCS
yang efektif dan efisien dalam mendukung perikanan berkelanjutan.
8) Penetapan dokumen RPP
Indonesia memiliki 11 Wilayah Pengelolaan Perikanan sebagaimana
ditetapkan dalam Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan. Namun
demikian, pelaksanaan pengelolan WPP tersebut dihadapkan pada
kebingungan apa yang harus dilakukan. Hal ini dikarenakan tidak adanya
dokumen RPP. Oleh karena itu, strategi yang harus dilakukan adalah
menetapkan dokumen RPP sebagai pedoman hukum dalam pengelolaan
WPP.
9) Penguatan armada tangkap
Strategi mendapat dukungan dari program minapolitan dan industrialisasi
perikanan, sehingga pemerintah bisa membangun armada tangkap tuna
yang. Hasil yang diharapkan dari strategi ini adalah modernisasi armada
sesuai dengan daya dukung potensi tuna.
10) Sinerigisasi aturan pemasangan rumpon
WCPFC memiliki aturan mengenai pemasangan rumpon, begitu juga
Indonesia dengan Peratutan Menterinya. Oleh karena itu, strategi yang
177
harus dilakukan oleh Pemerintah Indonesia adalah mensinergikan
pemasangan rumpon yang diatur oleh WCPFC dengan Indonesia,
khususnya di WPP 717 dan 718.
178
Download