BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Agama bersumber nilai-nilai illahiah, dan bukan hasil pikiran atau kreasi manusia. Artinya agama itu berdasarkan wahyu allah yang dibawa oleh manusia yang terpilih. Namun tidak bisa dielakan bahwa manusia tidak terlepas dari budaya, yang hasilkan oleh pikiran manusia. Agama dan ajarannya berkembang terus menerus hingga tersebar sampai pada para pemeluknya seluruh dunia. Dalam realitas kehidupan manusia tidak sendiri sebagai individunya terlepas dari lingkungan yang melingkupinya. Manusia sebagai individu merefleksikan dirinya pada lingkungan disekitarnya, baik lingkungan alam maupun lingkungan kemasyarakatannya. Dengan menjalani hubungan sesama manusia, setiap individu melebarkan dirinya dengan masyrakat. Manusia perorangan di dalam hidupnya tidak pernah mempertahankan individulitetnya secara mutlak sebagaimana yang digambarkan menurut Gittle “bahwa sekolompok tentara sedang tidur belumtentu dinamakan masyrakat atau disebut kelompok sosial, telah terompet ditiup berbunyi, kemudian tentara tersebut menjadi sadar dan segera membentuk suatu kesatuan atau kelompok, baru dapat disebutkan kelompok masyrakat”. Jadi, masyarakat terwujud oleh karena terbentuk oleh individu-individu yang berada dalam keadaan sabar, individu yang hilang ingatan yang pikirannya rusak, 1 individunya bertapa belum dapat menjadi menjadi anggota masyrakat yang permanen kecuali meraka yang mengingatkan dirinya dengan individu lain baru dapat disebut individu sebagai anggota masyrakat atau mahluk sosial. Dalam lingkungan masyarakat interaksi sosial merupakan faktor utama dalam kehidupan sosial. Interaksi sosial merupakan hubungan yang dinamis melibatkan hubungan antara orang perorangan, kelompok dengan kelompok, maupun antara orang dan kelompok manusia (Soejono Soekanto, 2001: 67). Individu itu bukan berarti manusia itu sebagai kesatuan yang terbatas, melainkan sebagai manusia perorangan, oleh karena itu individu berstatus sebagai anggota masyrakat, sebab individu itulah yang menyebakan timbulnya kelompok. Kelompok-kelompok manusia yang hidup yang berinteraksi dalam suatu daerah tentu dimana dengan istilah komunitas. Keberatan suatu manusia dilandasi oleh adanya persamaan yang berdasar sebagai suatu karekteristik yang berada dari ras, agama, dan suku bangsa. Dalam sebuah hubungan antara manusia satu sama lain itu bisa disebut denga interaksi sosial terjalin adanya sebuah proses komunikasi antara sesama manusia. Dalam al-Qur‟an surat Al-hujarat ayat 13 berbunyi demikian “hai manusia, sesungguhnya kami menciptakan kamu dari laki-laki seorang perumpuan dan menjadikan kamu berbangsa dan suku-suku supaya kamu saling mengenal. Sesungguhnya orang yang mulia diantara kamu di sisi allah ilah orang yang paling bertakwa di antara kamu. Sesungguhnya allah maha mengetahui lagi maha mengenal” 2 Dari ayat diatas menjelaskan bagaimana proses sosial yang akan terjalin sebuah interaksi sosial antar umat manusia yang berbangsa dan bersuku. Meskipun berbeda suku bangsa dan interaksi antar umat itu sangat dianjurkan. Proses interaksi itu dapat dibedakan dari isi kepentingan, tujuan atau maksud tertentu yang sedang dipelajari. Dalam kehidupan manusia masyrakat berfungsi dalam dua tataran, yang pertama, sebagai subjek. Kedua sebagai Ojek. H. Bonner dalam bukunya Abu Ahmadi (1999 : 54) interaksi sosial adalah hubungan antara dua individu atau lebih, dimana kelakukan individu yang satu mempengaruhi, mengubah, atau memperbaiki kelakuan individu yang lain atau sebaliknya ( H Abu Ahmadi,1999:54). Hal ini sebenarnya merupakan untungan yang besar bagi manusia, sebab dengan adanya dua macam fungsi yang memiliki itu timbul kemajuan. Kemajuan dalam hidup masyarakat jika manusia ini hanya sebagai objek semata-semata maka hidupnya tidak mungkin lebih tinggi dari pada kehidupan benda-benda mati, sehingga kehidupan manusia ta mungkin timbul kemajuan. Sebaliknya, andaikan manusia ini hanya sebagai subjek semata-mata ia tak mungkin bisa hidup bemasyrakat (tak bisa bergaul dengan masyakat lain) sebab pergaulan baru terjadi apabila adanya give and take dari masing-masing anggota masyrakat tidak dapat dipisahkan dan selalu berinteraksi atara satu dengan yang lainya. Sehubungan dengan interaksi kelompok tertentu satu kesatuan dan biasanya tidak menyangkut prbadi anggotanya secara khusus. Dari sekian banyak landasan yang menjadikan karekterisitik tersebut suatu kelompok, salah satunya adalah landasan budaya yang bernuansa keagamanan. Landasan budaya yang bernuansa 3 keagamaan ini merupakan suatu hal yang menarik dalam penelitian ini, karena perbedaan masyrakat terutama pada segi interaksi sosial antara agama dan budaya. Dalam keadaan demikian, maka secara langsung maupun tak langsung,sebuah keterpaduan anatara masyarakat agama dan budaya yang diarahkan oleh sistem nilainilai yang berdasarkan agama terhadap budaya masyrakat. Melihat kenyataan yang ada pada kehidupan masyarakat panjalu. Dimana wilayah tersebut ada sebuah proses budaya yang nuansa agama berupa acara adat ngumbah keris yang dkenal dengan nama “nyangku”.yang dimana acara nyangku tersebut terlihat, adanya pengunaan simbol-simbol dan wujud budayanya yang dilaksanakan dengan penuh kesadaran, pemahaman, serta penghayatan yang tinggi. Secara turun menurun dari suatu generasi kegenerasi yang berikutnya (Herususanto, 1991:1). Meskipun sekarang sudah terpengaruhi oleh moderenisasi. Kecamatan Panjalu Kabupaten Ciamis merupakan tempat tumbuhnya dan perkembangan prosesi (ngumbah keris) dengan kata lain “nyangku” yang berada di tengah-tengah kehidupan masyrakat yang mayoritas beragama islam, tetapi disana terjadi interaksi sosial atau hubungan sosial antara prosesi upacara tersebut dengan masyarakat. Bahasa sebagai alat komunikasi tajam yang memungkinkan perkembangan dari sistem pembagian kerja serta interaksi antara warga kelompok. Berkaitan dengan fenomena yang ada,pada proses ”nyangku” (ngumbah keris) yang rutin dilakukan pada bulan robiulawal tahun hijriah ini di Kecamatan Panjalu Kabupaten Ciamis, penulis ingin manganalisis sejauh mana wujud interaksi budaya dan agama yang 4 terjadi melalui sosio-antropologi dalam penelitian yang berjudul: ”AKOMODASI BUDAYA DAN AGAMA DALAM PROSES ADAT NYANGKU” (studi kasus dalam proses adat nyangku Kecamatan Panjalu Kabupaten Ciamis) B. Perumusan Masalah Berdasarkan latar belakang di atas, maka dapat dirumuskan masalah penelitian sebagai berikut : 1. Bagaimana Latar Belakang Nyangku di kecamatan Panjalu? 2. Apakah proses “nyangku” ini merupakan Akomodasi dari budaya dan agama di Kecamatan Panjalu? 3. Bagaimana pandangan ulama dan masyrakat terhadap proses “nyangku” ini di Kecamatan Panjalu? C. Tujuan Penelitian Berdasarkan rumusan masalah di atas, tujuan penelitian ini dapat disusun sebagai berikut: 1. Untuk mengetahui bagaimana latar belakang sejarah Nyangku” di kecamatan Panjalu 2. Untuk mengetahui apakah proses “nyangku” ini merupakan Akomodasi dari budaya dan agama di Kecamatan Panjalu 3. Untuk mengetahui bagai mana pandangan ulama dan masyarakat terhadap proses “nyangku” ini di Kecamatan Panjalu 5 D. Kerangka pemikiran Diantara fungsi agama bagi individu dan masyarakat, agama itu bisa mengontrol prilaku manusia dalam sehari-harinya, di samping itu pula agama berfungsi sebagai kerangka moral bagi seorang individu atau masyarakat yang membentuk pola pikir dan tingkah laku dalam berhubungan dengan tuhan dan manusianya. Dengan adanya adanya kerangka moral ini manusia akan bertindak menurut tata aturan yang terkandung dalam agamanya. Agama berkaitan dengan usaha-usaha manusia untuk mengukur dalamnya, makna dari keberadaan sendiri dan keberadaan alam semesta. Agama telah menimbulkan khayalan yang paling luas dan juga digunakan untuk membenarkan kejaman orang yang luar biasa terhadapa orang lain. Agama dapat membangkitkan kebahagian batin yang paling sempurna, dan juga permasalahan takut dari negeri, namun agama juga melibatkan dirinya dalam masalah-masalah kehidupan sehari-hari didunia ini. Namun agama juga berfungsi melepaskan belenggu-belenggu adat atau kepercayaan manusia yang sudah asing. Agama bisa juga disebutkan sebagai pengontrolan sosial yang berfungsi untuk memberikan acuan atau aturan bagi manusia manusia bertingkah laku di masyarakatnya. Fungsi pengontoral sosial disini adalah ketersedian suatu perangkat nilai moral keagamaan yang akan mengendalikan seorang ke arah nilai-nilai moral sesuai dengan aturan-aturan dalam agama. Agama memberikan lambang-lambang kepada manusia yang lambang-lambang tersebut maka dapat diungapkan, hakekat 6 pengalaman susah diungkapkan. Sesuatu pelenggran terbatasan-batasan ini mempunyai satu konsekuensi tertentu dalam rangka teoritis agama yang memunculkan adalah suatu sangsi yang bersifat moral, terutama pada aturan masyarakat yang ada dalam sistem ketatanegaraannya tidak berdasarkan pada azasazas keagamaan. Timbulnya agama budaya dalam alam pikiran manusia adalah dikarenakan adanya getaran jiwa yang dusebut “emosi keagamaan” atau “religion emosional ” menerut Koentjronungrat emosi keagamaan ini biasanya dialami setiap manusia, walapun getaran emosi itu mungkin hanya berlangsung untuk beberapa detik saja, kemudian menghilang lagi. Adanya emosi keagamaan itulah yang mendorong orang melakukan tindakan-tindakan yang bersifat religi (Koentjaraningrat,1999:394). Dalam pengungkapan tersebut terdapat kesulitan lebih jauh yaitu bahwa pemeluk-pemeluk agama mungkin khawatir jika sikap mental pengajian agama dengan pemeluknya. Pemeluk tentu saja dikendalikan oleh kesetian, keyakinan, dan kekaguman kewajiban pengkaji adalah mencari kebenaran meskipun demikian dalam mencari kebenaran tersebut dia harus mengendalikan dan menggunakan semua perasaan dan emosinya dan tidaka malah bebas sama sekali, karena itu sikap pengajian pemeluk agama harus tetap berada dalam batas kepribadian sebagai individu. Pada masyrakat yang budayanya masih sederhana apa yang timbul dari emosi keagamaan, kemudian diajarkan dan diwariskan secara tradisional kepada anak-anak cucu sahabat berkenaan dalam bentuk ungkapan, derita berirama, dongeng-dongeng 7 suci, dan sebagainya sesuai dengan lisan menyampaikan. Pada masyarakat yang sudah maju budayanya, sudah mengenal aksara, maka kepercayaan-kepercayaan itu ada yang di tulis dalam bentuk yang masih sederhana, dari daun-daun, kayu-kayu atau bambu menjadi buku-buku kesastraan suci dan disucikan atau dikeramatkan. Hasilnya yang timbul dari akal pikiran manusia dan bentuk-bentuk nyata, dengan maksud agar emosi keagamaan tetap bergelora, agar keyakinan dan kepercayaan terhadap yang gaib tetap kuat bertahan, agar acara dan upacara keagamaan berjalin sebagaimana mestinya, agar keyakinan dan kebenarankebenaraan menurut ajaran agama dan kepercayaan masing-masing berkembang meluas dikalangan umat manusia, maka terjadilah berbagai bentuk budaya agama. Dalam sebuah hubungan antara budaya dan agama satu sama lain itu bisa disebut interaksi sosial itu terjalin karena adanya sebuah proses komunkasi antara manusia dalam kehidupan sehari-hari. Bentuk proses sosial umum dari sosiologi agama adalah interaksi sosial, oleh karena itu interaksi sosial merupakan syarat umum terjadinya aktivitas-aktivitas sosial. Hubungan antara orang perorang dengan kelompok atau dua orang manusia bertemu atu sudah bisa disebut interaksi sosial pada saat itu (Soejono, 2001:61). Proses perkembangan kebudayaan pada umat manusia pada umumnya dan bentuk-bentuk kebudayaan yang sederhana, sehingga terbentuk yamh makin lama makin kmplek, yaitu elolusi budaya (cultural evolution) kemudian ada proses penyebaran kebudayaan-kebudayaan secara geografi terbawa oleh perpindahan bangsa-bangsa di muka bumi, yaitu proses difusi (difusion) manusia mempunyai 8 bakat yang terkembang dalam gennya untuk mengembangkan berbagai macam perasan,harsat,nafsu, serta emosi dalam keperbadiannya individunya, tetapi wujud dan pengaktipan dari berbagai macam isi kepribadiannya itu sangat dipengruhi, oleh berbagai macam isi stimulan yang dalam sekitaran alam dan lingkungan sosial maupun budayanya. Dalam proses sosial kita mengenal interaksi atau aksi, dan yang kita amati apabila individu-individu dan kelompok bertemu dan mengendalikan sistem hubungan, apa yang terjadi bila perubahan-perubahan tersebut mengganggu cara hidup yang telah ada (soekanto, 67:2001). Apabila dua orang atau lebih saling beerhubungan mengadakan interaksi, maka akan terjadi apa yang dinamakan dengan proses sosial, proses ini terdapat terjadi antara orang yang sama lainya memberikan dengan proses sosial, proses ini dapat terjadi orang yang sama lainya memberikan dorongan kepada yang lain, yang dibalas dengan reaksi timbal balik (Salimudin, 1999:65). Secara timbal balik antara budaya dan agama itu melalui proses, dimana proses interaksi timbal balik melalui simbol-simbol yang terjadi dalam sebuah ucapan keagaman tertentu, di dalam masyrakat yang melakukan upacara keagamaan yang akan terjadi interaksi simbolik, bisa dilakukan dengan menggunakan bahasa sebagai salah satu simbol yang terpenting, melalui syarat-syarat simbol ini bukan merupakan fakta-fakta sudah terjadi, melainkan simbol bisa berbeda dalam sebuah proses yang kontinu. 9 Interaksi sosial merupakan kunci proses sosial di masyarakat. Karena dengan mewujudkan sebuah interaksi sosial inilah terjadi berbagai macam bentuk aktivitas kemasyarakatan. Dengan aktivitas dinamis ini masyarakat akan terus bergerak ke arah menuju suatu tujuan dinama aktivitas tersebut, merupakan proses dalam interaksi sosial ini akan menciptakan suatu bentuk pola interaksi sosial budaya sebelumnya. Dalam interaksi sosial ini hubungan-hubungan yang terjadi tidak hanya mengarah pada hubungan-hubungan yang bersifat positif, tetapi juga mengarah kehubungan yang bersifat negatif. Semua anggota masyarakat pada dasarnya menginginkan adanya suatu bentuk interaksi sosial di lingkungannya senantiasa mengarah pada interaksi sosial bersifat konstruktif dan desstruktif. Dimana sebuah masyarakat yang dikenal dengan nuansa agama budaya. Sebagai suatu proses, akomodasi mewujudkan pada usaha-usaha untuk mengadakan suatu pertentangan yaitu usaha-usaha untuk menciptakan kesetabilan. Akomodasi itu suatu proses dalam hubungan-hubungan sosial yang sama artinya dengan adaptasi (adaftasion) yang digunakan oleh para-para ahli menyesuaikan dirinya dengan alam sekitarnya. Disamping terjadinya stabilitas dalam beberapa bidang, mungkin sekali bentuk-bentuk pertentangan dalam bidang-bidang lainya masih tertiggal, benih-benih pertentangan yang bersifat telat tadi, sewaktu-waktu akan menimbulkan pertentangan baru. Dengan demikian akomodasi bagi pihak-pihak tertentu dirasakan menguntungkan bagi sebagian pihak, sebaliknya agak menekan bagi pihak-pihak tertentu di rasakan menguntungkan bagi kelangsungan hidupnya dalam bermasyrakat, 10 sebaliknya agak menekan bagi pihak-pihak lain lantaran campur tangannya kekuasaan tertentu dalam masyarakat (Soejono, 1999:82-89). Bagaimana pun bentuk sosial yang terjadi, akan mengambil bentuk kepada interaksi sosial yang berupa kerjasama (cooperation), persaingan (competition) dan tantangan (conflick), begitu pula dalam mewujudkan sebuah inreaksi agama dan budaya dimana pada penelitian ini akan mengikuti pola yang sama sebagaimana diuraikan dalam kerangka pemikiran diatas. Untuk lebih mudah dalam pemahaman terhadapa interaksi sosial antara budaya dan agama yang ada di Kecamatan Panjalu. Ringkasan kerangka pikir dapat digambarkan pada bagian sebagai berikut: Agama Budaya Persinggungan Akomodasi Asimilasi alkulturasi E. Langkah-Langkah Penelitian Mengacu pada yang dicapai dalam penelitian yang akan dilakukan adalah sebagai berikut : 11 1. Penentuan lokasi Karena dalam penelitian ini sudah ditentukan ruang lingkup objek penelitiannya yaitu tradisi „Nyangku” pada masyarakat Desa Panjalu Kabupaten Ciamis, maka penulis memusatkan penelitiannya di daerah tersebut, karena penulis menganggap seluruh data yang diperlukan dalam penelitian ini ada di daerah tersebut. a. Adanya Upacara Nyangku yang akan diteliti b. Terapat tokoh agama yang dapat di ambil penjelasan sebagai sumber data 2. Metode Penelitian Guna memperoleh informasi sesuai yang terumuskan dalam permasalahan atau tujuan penelitian perlu suatu desain atau rencana menyeluruh tentang urutan kerja penelitian dalam bentuk suatu rumusan operasional suatu metode ilmiah, rincian gagasan-gagasan besar keputusan sebagai suatu pilihan beserta dasar atau alasanalasan ilmiahnya. Dalam penelitian ini penulis menggunakan metodologi deskriptis analitis melalui jenis penelitian pendekatan sejarah (historical approach). Metode sejarah adalah proses menguji dan menganalisa secara kritis rekaman dan peninggalan masa lampau (Gottschalk, 1985 : 32). Selain itu untuk mendapatkan data konkrit peneliti juga melakukan penelitian lapangan (field research) melalui wawancara dengan beberapa orang yang penulis anggap kompeten dan dapat dipercaya dalam memberikan data yang penulis butuhkan. Kemudian dengan datadata tersebut penulis akan mencoba mengolah dan menganalisis dari data yang 12 terkumpul dengan metode analisis ini (content anlysis) yaitu dengan menilai dan mengidentifikasikan data serta menganilisisnya lebih lanjut. 3. Teknik Pengumpulan Data Dalam penelitian, metode pengumpulan data yang akan digunakan adalah: 1. wawancara (interview) 2 observasi (observation) 3 dokumenter (secondary sources) Sementara kaitanya dengan penelitian dalam skipsi ini akan menggunakan : a. Wawancara (interview) kepada beberapa responden dan informasi yang terlibat langsung dalam penelitian ini pihak ulama, orang yang melakukan upacara tersebut, kuncen dan masyrakat Kecamatan Panjalu Kabupaten Ciamis. b. Observasi (observation) peneliti akan meng-Cross check-an data dari wawancara dengan gejala atau fenomena riil di lapangan. Untuk itu metode observasi akan sangat membantu memberika informasi dan data secara nyata. c. Berikutnya adalah dokumentar untuk mendapatkan data sekunder (secondary sources) metode ini digunakan untuk mendapat beberapa data administratif, informasi dan dokumen-dukumen yang berkaitan dengan kegiatan penelitian di Kecamatan Panjalu Kabupaten Ciamis. d. Dalam penelitian ini disamping data dari lapangan, penulis juga menyempurnakannya dengan studi kepustakaan dengan maksud untuk memperoleh teori-teori dan informasi yang berkaitan dengan hal-hal yang 13 penulis teliti. Studi kepustakaan ini diambil dari beberapa buku, jurnal, artikel, yang berhubungan dengan tradisi upacara adat. 4. Analisis Data Dalam pengolahan (processing) dan analisis data (analysis), pertama-tama diperlukan adalah proses pemeriksaan data (editing) yang terkumpul, guna memastikan pelengkapan informasi dan data sesuai dengan kebutuhan penelitian setelah pemeriksaan selanjutnya adalah analisis data yang sudah terkumpul. Karena sifat penelitian ini kualitatif deskriptif maka bentuk dari hasil atau hasil dari analisis adalah berupa gambaran deskripsi dan fakta yang di bangun dari pengumpulan datadata tadi. Hasil analisis data, kemudian di konfirmasikan dengan teori-teori sosiologi yang berkaitan dengan tema yang dikaji. 14 BAB II ANALISIS TEORITIS TENTANG INTERAKSI SOSIAL TIMBAL BALIK ANTARA BUDAYA DAN AGAMA A. Pengetian Agama Dan Budaya A.1 Pengertian Agama Seperti yang kita ketahui agama merupakan tiang kehidupan, bias sebagai pengontrol, dan bias disebut candu. Agama adalah risalah yang disampaikan tuhan kepada Nabi sebagai petunjuk bagi manusia dan hukum-hukum sempurna untuk dipengaruhi oleh manusia dalam menyelenggarakan tata cara hidup yang nyata serta mengatur hubungan dan tanggung dengan dan tanggung jawab kepada allah, darinya sebagai hamba Allah, manusia dan masyarakat serta alam sekitar. Agama sebagai sumber nilai merupakan petunjuk, pedoman dan pendorongan bagi manusia untuk memecahkan berbagai masalah kehidupannya, seperti dalam ilmu Agama, Politik, Sosial, dan Budaya. Sedangkan yang terbentuk pola motivasi, tujuan hidup dan prilaku manusia yang menuju kepada keridhoan Allah. Dengan demikian, budaya itu dilahirkan dari agama islam sehingga tidaklah akan menjadi masalah kalau agama dianggap sebagai bagian dari budaya. Agama islam adalah agama. Sebagaimana yang dikatakan oleh mukti Ali yang dikutip oleh H. Endang saefudin ansori bahwa paling sedikit ada tiga macam yang mempengaruhi upaya agama, yaitu: 15 1. Karena pengalaman agama itu adalah soal batiniah dan sujektif juga sangat individual. 2. Bahwa barang kali tidak ada orang yang berbicara begitu semangat dan emosional lebih dari pada artinya agama selalu emosi yang kuat sekali sehingga sulit memberikan arti kalimat agama itu. 3. Bahwa konsepsi tentang agama akan di pengaruhi oleh tujuan orang yang memberikan pengertian agama itu (H. Endang Saefudin Ansori, 1972: 9). Pengertian agama menurut bahasa sangsekerta agama berarti bekalaan. Maksud kearah tujuan yaitu kearah yang lbh Dzat Maha Tinggi. Sedangkan menurut bahasa Indonesia umumnya dianggap ekuivanlen dengan kata agama religion dalam bahasa inggris religi dalam bahasa Belanda dan kata din dalam bahasa arab. Pengertian dari kata religi adalah ikatan manusia dengan sesuatu tentang gaib. Sedangkan pengertian agama menurut W.J.S Poewardiminta adalah segenap kepercayaan kepada tuhan, dewa dan sebagainya serta gengan ajaran kebaktian dan kewajiban yang bertalian dengan kepercayaan itu. Menurut Durkheim, bahwa dasar-dasar dari adanya agama itu adalah sebagai berikut: a. Bahwa yang menjadi sebab adanya dan berkembangannya kegiatan keagamaan pada manusia sejak ia berada di muka bumi adalah dikarenakan adanya suatu „getaran jiwa‟ yang mnimbulkan „emosi 16 keagamaan‟. Timbulnya getaran jiwa itu karenakan rasa sentimen di dalam masyarakatnya. b. Rasa sintimen kemasyarakatan itulah yang menyebabkan timbulnya emosi keagamaan, sebagai pangkal tolak dari sikap tindak dan prilaku keagaamaan. Sikap prilaku keagamaan itu tidak selamanya berkobar dalam arti nurani manusia, oleh karenanya ia harus dipelihara dan dikorbankan agar tidak terjadi lemah dan tanpa semangat. c. Emosi keagaamaan yang timbul karena rasa sentimen kemasyarakatan itu membutuhkan adanya maksud dan tujuan. Tujuan yang bagaimanakah sifatnya yang menyebankan adanya daya tarik dari emosi keagamaan itu, bukanlah sifat yang luar biasa, aneh, megah, ajaib, menarik dan sebagiannya, tetapi ialah adanya tanggapan umum dari masyarakat pendukung. d. Objek yang sakral biasanya merupakan lambang dari masyarakat. Menurutnya pengertian „emosi keagamaan‟ dan „sentimen kemasyarakatan‟ sebagaimana dikemukakan diatas adalah pengertian dasar yang merupakan inti dari setiap agama. Menentukan bentuk lahir dari suatu agama di masyarakat tentu, yang menunjukan ciri- cirri perbedaan yang nyata berbagai agama didunia. (H.Hilman,1993 : 36-38). 17 Kemudian menurut Hasbie Ash Shiddieqie yang kutipan oleh Abuy Sadikin adalah: Agama adalah suatu kesimpulan peraturan yang di tetapkan allah untuk menarik dan menentukan para umat yang berkala kuat, yang suka tunuk dan patuh kepada kebaikan, upaya mereka untuk memperoleh kebahagian dunia, kejayaan dan kesentosaan akhirat, negeri yang abadi supaya dapat mendalami surga jannatul khulib,mencapai dan kenikmatanserta kelezatan yang taka dad tolak bandingannya serta kekal selamanya. ( Abuy Sadikin, 1986: 16) Dalam hal ini juga akan dikemukan pendapat Harun Nasutrion bahwa pengertian agama di beri definisi, yaitu: 1. Pengakuan terhadap adanya hubungan manusia dengan kekuatan gaib yang harus dipatuhi. 2. Pengetahuan terhadap adanya kekuatan gaib yang menguasai manusia. 3. Mengikatkan diri pada sesuatu hidup yang mengandung pengakuan pada suatu sumber yang ada di luar diri manusia dan yang mempengaruhi perbuatan-perbuatan manusia. 4. Kepercayaan pada sesuatu kekuatan gaib yang menimbulkan cara hidup tertentu. 5. Suatu sistem tingkah laku atau cade of conduct yang berasal dari kekuatan gaib. 6. Pengakuan terhadap adanya kewajiban-kewajiban yang diyakini bersumber pada kekuatan gaib. 7. Pemujaan terhadap kekuatan gaib yang timbul dari perasaan lemah dan perasaan takut dari kekeuatan terhadap kekuatan yang timbul dari 18 kekuatan terhadap kekuatan misterius yang terdapat dalam alam sekitar manusia. 8. Ajaran-ajaran yang mewahyukan Tuhan kepada manusia melalui seoarang Rasul (Harun Nation, 1984: 40). Selain itu juga yang di kemukakan oleh H. Endang saefudin Ansori (1982: 2) yang mengambil dari pendapat Ustad Munawar Chalil adalah agama berasala dari kata (daana-yadiinu - diinan menurut lugat kata itu mempunyai arti bermacammacam antara lain, seperti: 1. Cara atau adat kebiasaan. 2. Peraturan. 3. Undang-undang. 4. Tha‟at atau patuh. 5. Menunggalkan ketuhanan. 6. Pembalasan. 7. Perhitungan. 8. Hari kiamat. 9. Nasehat. 10. Agama. 19 A.2 pengertian budaya Kiranya sanagtlah sulit untuk mendefinisikan seuatu yang dapat diakui dan diterima oleh semua kalangan begitu pula dengan “kebudayaan” seorang pengarang yang menulis seperti Koetjaraningrat udah banyak mendefinisikan kebudayaan yang tak terbatas, bahkan tidak dapat menutupi kemungkinan untuk lahir definisi-definisi yang baru di kemudian hari. Hal tersebut tidak lah memungkinkan, karena kebudayaan adalah merupakan keseluruhan total dari apa yang pernah di hasilkan oleh mahluk yang bernama manusia, yang menguasai planet di muka bumi ini. Dengan demikian dapat dimengerti mengapa konsep kebudayaan ini sedemikian rupa ruang lingkupnya sehingga seolah-olah tak dapat dibatasi atau didefinisikan.”Kebudayaan” berasal dari bahasa sangsekerta “Buddayah” atau akal, yaitu bentuk jamak dari “Buddhi” yang artinya “Budi” dan “akal”, sehingga kata kebudayaan dapat diartikan “hal-hal yang bersangkutan dengan akal”. P.J Zoetmulder dalam buku koentjaraningrat kata budaya sebagai suatu pertimbangan dari budi-daya”, yang berarti”daya dari budi”, sedangkan kebudayaan adalah hasil dari cipta, rasa dan karsa. Karena itu ia membedakan “budaya” dari „kebudayaan” lain pula istilah Antopologi budaya, menurut koentjaringrat perbedaan itu ditiadakan, sehinggga kata budaya indentik dengan kata” kebudayaan” atau merupakan singgahan kata “kebudayaan” yang berati sama. Salam sebuah buku pengantar ilimu sosiologi soejono soekanto seorang tokoh barat E.B. Tailor mengatakan bahwa kebudayaan adalah komplek yang mencakup pengetahuan, kepercayaan, kesenian, moral, hukum, adat istiadat, dan kemampuan20 kemampuan serta kebiasaan-kebiasaan yang lain mencakup semua yang didapatkan atau dipelajari oleh manusia. Sebagai anggota masyarakat. Definisi kebudayaan yang dikemukakan oleh R. Lionton bahwa kebudayaan adalah konfigurasi tingkah laku yang dipelajari sari hasil tingkah laku yang unsur penbentukannya didukung dan diteruskan oleh anggota masyarakat tertentu. Sehubungan dengan penelitian ini penulis mengutip definisi “ kebudayaan “ menurut . C. Klukhoha dan W.H. Kelly (Harsojo 1968: 93). Mencoba merumuskan definisi kebudayaan sebagai hasil dari tanya jawabnya dengan para ahli Antropologi, ahli Psikologi, ahli Filsapat dan ahli Hukum yang merumuskan sebagai berikut adalah:‟Kebudayaan pola hidup yang tercipta dalam sejarah yang mengeksplisit, impelisit, rasional, dan non rasional, yang terdapat pada setiap waktu sebagai pedoman potensial bagi tingkah laku manusia‟. Banyaknya pendapat para sarjana tentang unsur-unsur kebudayaan, oleh C. Kluckhohn dianalisis dengan menunjukan pada inti pendapat-pendapat sarjana, yang menyimpulkan adanya tujuh unsur kebudayaan yang dianggap sebagai cultural – universals, yaitu: a. Peralatan dan perlrngkapan hidup manusia b. Mata pencaharian hidup dan sistem-sistem ekonomi. c. Sistem kemasyarakatan d. Bahasa. e. Kesenian. f. Sistem pengetahuan. g. Religi. 21 Timbulnya agama budaya dalam alam pikiran manusia adalah dikarenakan adanya getaran jiwa yang disebut „ emosi keagamaan‟ atau „religion emotion‟ menurut koentraningrat emosi keagamaan ini biasanya pernah dialami setiap manusia, walaupun getaran emosi itu mungkin hanya berlangsung untuk beberapa detik saja, untuk kemudian menghilang lagi. Adanya emosi keagamaan itulah yang mendorong orang melakukan tindakan-tindakan yang bersifat religi. Jadi yang melatar belakangi terjadinya berprilaku keagamaan, percaya kepada yang ghaib atau maha ghaib, adalah dikarenakan adanya dorongan emosi keagamaan dalam batin manusia itu sendiri. Budaya agama yaitu hasil-hasil pikiran dan prilaku budaya manusia yang menyangkut keagamaan. Budaya keagamaan tersebut sesuai dengan ajaran agama dan kepercayaan masing-masing, ada yang dalam benak manusia berdasarkan kehendak yang di wahyukan tuhan kepada para nabi, dan ada yang muncul dalam benak manusia berdasarkan emosi keagamaan pribadi manusia itu sendiri. Konsep tersebut adalah menyangkut sistem keyakinan dan kepercayaan terhadapa yang ghaib, yang mana antara ajaran agama dan kepercayaan yang satu berbeda dari yang lain (H.Hilman, 1993: 26). Setiap kebudayaan mempunyai sifat-sifat hakikat sebagai berikut: a. Kebudayaan terwujud dan tersalurkan dari prilaku manusia b. Kebudayaan telah ada lebih dahalu mendahului lahirnya sesuatu generasi tertentu, dan tidak akan mati dengan habisnya usia generasi yang bersangkutan. 22 c. Kebudayaan diperlukan oleh manusia dan diwujudkan dalam tingkahlakunya. d. Kebudayaan mencakup aturan-aturan yang berisikan kewajiban, tindakantindakan yang diterima, dan ditolak, tindakan-tindakan yang diizinkan. Dari ungkapan-ungkapan tersebut,penulis menyimpulkan bahwa dibalik perbedaan tersebut terdapat satu kesamaan bahwa kebudayaan itu ilah ciptaan manusia, dengan kata lain esensi dari masing-masing definisi itu adalah manusia dengan berbagai aspeknya. A.3 pengertian Masyarakat Istilah masyarakat merupakan pengertian yang abstrak menunjukan kepada sejumlah manusia. Istilah masyarakat berasal dari bahasa arab yaitu:…………………..” yang berarti pergaulan atau persekutuan dalam bahasa inggris adalah society Penulis menguraikan masyarakat kedalam beberapa pengertian menurut tokoh sebagai berikut: Pendapat M. Munawar Soelaeman, agama dalam bahasa inggris masyarakat disebut society, asal kata socies yang berarti kawan. Adapun kata” masyarakat berasal dari bahasa arab “……..” artinya bergaul. Untuk arti yang lebih khusus masyarakat disebut pula kesatuan sosial, yang mempunyai ikatan-ikatan kasih sayang yang erat. (M. Munawar Soelaeman, 1989: 13) 23 Seorang tokoh barat aguste comte dalam buku pengantar ilmu sosiologi Soejono Soekanto mengenai masyarakat,masyarakat adalah suaatu kesatuan manusia yang hidup dalam suatu ikatan dan norma yang melahirkan suatu setruktur dan organisasi sosial masyarakat. Menurut pendapat Hasan Saddely, yaitu „ masyarakat adalah golongan besar atau kecil terdiri dari beberapa manusia dengan sendirinya bertalian secara golongan dan pengaruh mempengaruhi antara satu dengan yang lainnya (Hilman Hadi Kusuma, 1993: 31). Sedangkan pengertian masyarakat yang dikemukakan oleh Soejono Soekanto disebut sebagai “ Society” yaitu suatu sistem sosial yang menghasilkan kebudayaan (Soejono Soekanto, 1999: 466). Selain itu Abu Ahmadi dalam bukunya “ Psikologi sosial” mengutip beberapa tokoh barat diantaranya. R. Lionton, masyarakat adalah setiap pokok yang telah cukup lama hidup dan bekerja sama, sehingga mereka itu dapat mengorganisasikan dirinya dengan fikiran tentang dirinya sebagai satu kesatuan sosial dengan batasan-batasan tertentu (Abu Ahmadi, 2001: 35). Kemudian J.L. Gillin dan J.P Gillin mengatakan bahwa masyarakat adalah kelompok manusia yang terbesar dan mempunyai kebiasaan, tradisi, sikap, dan perasaan persatuan yang sama. Masyarakat itu mempunyai pengelompokanpengelompokan yang lebih kecil. 24 B. Pengertian Interaksi Sosial Timbal Balik Dan Timbulnya Interaksi Membahas mengenai interaksi sosial dari bentuk umumnya proses sosial itu adalah interaksi sosial dalam pekembangan masyarakat yang memilki wujud yang sedemikian rupa, yang mempunyai dinamika, dinamika disebabkan karena para warganya mengadakan hubungan satu dengan yang lainnya, baik dalam bentuk orang perorang maupun kelompok sosial, sebelum hubungan-hubungan tersebut mempunyai bentuk yang kongkrit, terlebih dahulu akan dialami sesuatu proses ke arah bentuk kongkrit sesuai dengan nilai-nilai sosial dan budaya adalah dalam masyarakat. Interaksi sosial merupakan kata majemuk dan sudah menjadi baku untuk istilah ilmu sosial, maka untuk mempelajari dan mengerti pengertian dari kata tersebut tidak perlu milih-milih dua kata dari kata pemisahan hanya merencanakan pengertian yang dimaksud. Pengertian interaksi sosial sangat terkait dengan keberadaan manusia itu sendiri sebagai mahluk sosial, yaitu sebagai mahluk yang tidak mungkin mampu memenuhi segenap kebutuhan hidupnya dengan seorang dari secara sempurna. Sehingga manusia memerlukan sentuhan-sentuhan pergaulan dengan sesama manusia. Seorang sosiologi barat yaitu H. Bonner yang berpendapat yang diketik ulang oleh ( Gerungan 1997: 58). Memberikan pengertian tentang interaksi sosial sebagai hubungan sosial antara dua indidvidu atau lebih dengan individu, dimana 25 kelakuan individu yang satu mempengaruhi, menggugah atau memperbaiki kekuatan yang lain atau sebaliknya. Coller Mac Millan (1999:492) menerangkan bahwa interaksi social sebagai sesuatu yang tidak terlepas dari perkataan bahwa manusia sebagai “social” yaitu yang berhubungan timbal balik antara dua atau lebih manusia yang dapat berlangsung secara perorangan, kelompok, individu, atau si pelaku. Hal ini menunjukan hubungan yang dimaksud semata-mata terlepas dari akal yang sehat. Sedangkan seorang sosiolog Indonesia Soejono soekanto menerangkan bahwa interaksi merupakan proses dari hubungan timbale balik antara individu dengan yang lainnya. Hubungan itu dapat secara berkelompok antar perorangan maupun antara kelompok dengan perorangan. George simmel mendefinisikan dan menganalisis bentuk-bentuk yang berulang atau pola-pola sosiasi (sociation) sosiasi itu berarti proses dimana masyarakat itu terjadi sosiasi meliputi timbal balik, mempunyai proses ini, di mana individu saling berhubungan dan saling mempengarhi, masyarakat itu sendiri muncul. Pola interaksi timbal balik mereka saling mempengaruhi dan berhubungan. Pendekatan ini mengusahakan keimbangan antara pandangan nominal (yang hanya individu yang rill) dan pandangan realis atau teori organic (yang mengemukakan bahwa kenyataan social itu bersifat indefenden dari individu yang membentuknya). (Robert M. Z , 1994:257) Dengan memperhatikan beberapa pengertian yang d lontarkan oleh para ahli diatas, maka dapat kesimpulan bahwa interaksi social pada dasarnya merupakan 26 hubungan timbal balik antara manusia dengan manusia yang lainya, yang dapat berlangsung secara perorangan atau pun secara kelompok, baik secara langsung maupun tidak langsung. Adapun proses hubungan timbal balik dalam interaksi social sangat memungkinkan manusia untuk berubah-ubah tergantung kepada kekuatan yang dimilikinya serta kekuatan yang ditimbulkan dari pihak lainnya. Perubahan seperti itu sangat tergantung kepada banyaknya factor, terutama karekteristik pelaku itu sendiri serta situasi dan kondisi yang melingkupi dirinya pada saat berinteraksi baik dengan agama maupun dengan budaya yang ada di lingkungan masyarakat. Adapun berbicara tentang sebab-sebab timbulnya interaksi social, berarti membicarakan esensi manusia secara psikologi. Sebab hal ini sangat berkaitan dengan manusia dengan segala perangkatyang dimilikinya. Kecendrungan utama dari timbulnya interaksi social adalah aspek kejiwaan manusia. Dasarnya sudah barang tentu dari pemikiran bahwa manusia itu merupakan mahluk social yaitu yang membutuhkan sesame manusia lainnya. Manusia pun tidak akan luput dari kebudayaan yang dimilikinya. Pendapat Ibnu Kholdun yang dikutip oleh ( Rulsan 1987: 13) bahwa manusia merupakan mahluk yang sesantiasa membutuhkan bantuan dan pertolongan dari sesamanya, karena itu tidak mungkin manusia dapat hidup seorang diri dengan mengasingkan dirinya. Dia tetap memerlukan lainnya Aristoteles menyebutkan bahwa manusia sebagai “ Being Society”, yang berkonatasi bahwa manusia merupakan mahluk yang bersandar dan tergantung 27 kepada yang lainnya, ketergantungan itu dapat secara langsung maupun tidak langsung. Jadi dengan uraian diatas tersebut semakin jelas bahwa utamanya timbulnya interaksi social adalah sifat nurani manusia itu sendiri. Factor lain yang menimbulkan interaksi social adalah kewajiban manusia ang senantiasa ingin terus maju dan selalu tidak merasa puas. Dan untuk memenuhi kebutuhan yang lain diharapakan, maka dari situlah mulai timbul interaksi social. Interaksi social merupakan kunci dalam proses social di masyarakat. Karena dengan mewujudkan sebuah interaksi sosial inilah terjadi berbagai macam bentuk aktivitas kemasyarakatan. Dengan aktivitas-aktivitas dinamis ini masyarakat akan terus bergerak kearah menju suatu tujuan dimana aktivitas tersebut, merupakan proses dalam interaksi social ini akan menciptakan suatu proses dalam interaksi social yang lain. Sebagai suatu sintesa dan interaksi-interaksi social budaya sebelumnya, itulah yang merupakan menyebabkan timbulnya interaksisosial antara manusia dengan manusia lainya, baik secara pribadi maupun individu dengan kelompok, kelompok dengan individu, kelompok dengan kelompok. B.1 Proses Interaksi Yang dimaksud dengan proses interaksi social adalah hal-hal yag lebih dari sebagai aktivitas psikoligi dan aktivas kelakuan pada individu-individu perorangan. Ini berarti prose situ seendiri membicarakan tentang pengaruh yang timbulkan oleh adanya interaksi social. 28 Sebenarnya membicarakan tentang proses interaksi social yang merupakan persoalan yang merupakan persoalan yang luas, padanya terangkum aneka masalah yang cukup komplek. Tetapi hal itu dapat di bedakan dari faktor-faktor yang mendasarinya. Menurut Gerungan ada empat faktor yang mendasarinya baik secara tunggal maupun bergabung yaitu: 1. Faktor Simpati 2. Faktor Imitasi 3. Faktor Sugesti 4. Faktor Indentifikasi Dengan melihat faktor-faktor yang menyebabkan timbulnya proses interaksi social, maka jelaslah bahwa proses interaksi social itu tidak dapat berlangsung begitu saja secara sekaligus. Melainkan bertahap sesuai dan kondisi yang ada serta kewajiban orang-orang yang bersangkutan. Kenudian dalam prosesnya yang di capai dapat pula menghasilkan akibatakibat berlainan. Antara lain dapat mengakibatkan nilai-nilai kerja sama yang atau solidaritas, pertentangan-pertentangan atau kompetensi. Sehingga dari proses hubungan timbale balik di dalam kelompok sedikit yang dapat memotivasi sikapsikap lahiriah. Selain soladaritas juga bertentangan sebagai akibat yang timbul oleh interaksi social yang bertentangan arah dan kadar kekuatannya kira-kira sama. Sedangkan 29 kopentensi atau persaingan merupakan salah satu dampak dari adanya interaksi social baik positif maupun negative. Interaksi social merupakan kunci dalam proses social di masyarakat. Karena dengan mewujudkan sebuah interaksi social inilah terjadi berbagai macam bentuk aktivitas kemasyarakan. Dengan aktivitas-aktivitas dinamis ini masyarakat akan bergerak kearah menuju suatu tujuan dimana aktivitas tersebut, merpakan proses dalam interaksi social ini akan menciptakan suatu bentuk pola interaksi social yang lain. Sebagai suatu sintesa dan interaksi-interaksi social dan budaya sebelumnya. Dalam proses kita mengenal interaksi atau aksi, dan aksi yang kita amati, apabila individu-individu dan kelompok-kelompok bertemu dan mengendalikan system hubungan, apa yang terjadi yang telah ada, apabila dua orang atau lebih saling berhubungan mengadakan interaksi, maka akan terjadi apa yang dinamakan dengan proses social, proses ini dapat terjadi antara orang yang sama lainnya memberikan dorongan kepada yang lain, yang dibalas dengan reaksi timbal balik. B.2 Syarat dan Bentuk Interaksi Sosial Syarat interaksi itu adalah tidak akan mungkin jika tidak ada yang di pengaruhi dua syarat ini di antara syarat interaksi social. 1. Adanya kontak social 2. Adanya komunikasi Kata kontak social berasal dari basaha latin con atau cum ( yang artinya samasama) dan tongo ( yang artinya menyuntuh), jadi secara harfiah adalah bersama-sama 30 menyentuh, secara spesifik. Kontak baru terjadi apabila terjadi hubungan badaniah, oleh karena itu orang dapat mengadakan hubungan dengan pihak lainya. (Soejono Soekanto, 1991) Kontak social dapat berlangsung dengan tiga hal ini : 1. Antara orang perorang 2. Antara orang perorangan suatu kelompok manusia atau sebaliknya 3. Antara kelompok manusia dengan kelompok lainnya. Kontak social tersebut dapat pula bersifat positif atau negative, yang bersifat positif mengarah pada suatu kerja sama, sedangkan negative mengarah pada suatu pertenangan sama sekali tidak menghasilakan suatu interaksi social. Suatu kontak social dapat pula bersifat primer atau pun sekunder. Kontak social primer terjadi apabila yang mengadakan hubungan berlangsung bertemu dan berhadapan muka, sedangkan yang sekunder memerlukan sesuatu pengantar. Artinya apabila yang penting adalah dari komunikasi, dengan adanya kominikasi tersebut, sikap-sikap dan perasaan suatu kelompok manusia atau orang perorangan dapat di ketahui oleh kelompok-kelompok lain atau orang-orang lainnya, dengan demikian komunikasi memungkin kerja sama antara kelompok-kelompok orang perorangan atau pun antara kelompok-kelompok manusia dan memang komunikasi merupakan salah satu syarat terjadinya kerjasama. 31 B.3 Bentuk Interaksi Bentuk-bentuk interaksi social itu adalah kerjasama (cooperation), persaingan (compettion), konflik (conflict), mungkin bagaimana menyelesaikan masalah bentuk interaksi itu? Sebenarnya penyelesaian tersebut hanya akan dapat diterima, sementara waktu proses mana dimana akomodasi (akomodation) dan ini berarti bahwa berdua belah pihak belum tentu puas sepenuhnya, suatu keadaan dapat di anggap sebagai bentuk ke empat dari interaksi social. Bagaimana pun bentuk social yang terjadi, akan mengambil bentuk kepada interaksi social yang berupa kerjasama (cooperation), persaingan (compettion), dan pertentangan (conflik), begitu pula dalam mewujudkan sebuah interaksi agama dan budaya dimana penelitian ini akan mengikuti pola yang sama. Bentuk proses social umum social agama adalah ineteraksi social oleh karena itu interaksi social merupakan syarat utama terjadinya aktivitas-aktivitas social hubungan antara orang perorang, perorang dengan kelompok dan kelompok dengan kelompok itu merupakan interaksi social dimana bila interaksi mesti ada ada orang peorang dan kelompok. Dua orang manusia bertemu itu sudah menjadi proses dimana interaksi itu berlangsung bisa disebut interaksi social pada saat itu, karena ada komunikasi antara individu. (Soejono,67:2001) Bentuk pokok interaksi social tersebut tidak perlu merupakan sesuatu kontinta, di dalam arti bahwa interaksi itu dimulai dengan kerjasama yang dengan individu-individu menjadi persaingan serta memincuk terjadinya pertikaian yang untuk akhirnya sampai pada akomodasi. 32 Gilin dan Gilin menurut mereka ada dua macam proses social yang timbul sebagai sebab akibat adanya interaksi social yaitu: 1. Proses yang asosiatif (proses association) Yang terbagi kedalam tiga bentuk yaitu: a. Akomodasi b. Asosiasi c. Akulturasi 2. Proses yang diasosiasikan yang mencakup a. Persaingan b. Persaingan yang meliputi kontraversi dan pertentangan atau pertikaian (conflik) Suatu kerja sama dalam interaksi social itu untuk mengambarkan bentukbentuk interaksi social atas dasar bahwa segala macam bentuk interaksi social tersebut dapat di kembalikan pada kerja sama. Kerja sama ini di maksud sebagai salah satu usaha bersama antara seorang perorang atau pun kelompok manusia untuk mencapai satu atau beberapa tujuan bersama. Bentuk kerja sama tersebut berkembang apabila orang dapat digerakan untuk mencapai suatu bersama dan harus adanya kesadaran bahwa tujuan tersebut di kemudian hari mempunyai manfaat bagi sesama. Kerjasama timbul karena orientasi orang perorangan terhadap kelompoknya (in-grup-nya) dan kelompok lainya (out- grup-nya) kerja sama mungkin akan bertambah kuat apabila luar yang mengancam atau adanya tindakan-tindakannya luar 33 yang menyinggung kesetian di dalam kelompok, dalam dari seoarang atau segolongannya. Dalam teori-teori sosiologi akan dapat di jumpai beberapa bentuk kerja sama yang bisa di berinama kerja sama (cooperation). Kerja sama tersebut lebih jauh dibedakan lagi dengan kerja sama spontan (spontanis cooperation), kerja sama langsung (derektif cooperation) kerja sama tradisional (tradisional cooperation), yang terutama adalah kerja sama yang serta merata yang kedua merupakan hasil dari perintah atasan atau penguasa. Sedangkan yang ketiga merupakan kerja sama atas dasar tertentu dan yang keempat merupakan bentuk kerja sama sebagai bagian atau unsure dari system social. Sehubungan dengan pelaksaan kerja sama ada lima 1. Kerukunan 2. Bargaining 3. Ko-optasi (co-optation) 4. Kualisi (cualition) 5. Join-venture C. Akomodasi (Accomodation) Istilah akomodasi dipergunakan dua arti yaitu untuk menunjukan proses. Akomodasi yang menunjukan pada suatu keadaan berarti orang perorangan atau kelompok manusia dalam kaitannya dengan norma-norma social dan nilai-nilai social yang berlaku didalam masyarakat 34 Menurut Gillen dan Gillen dalam buku Soejono Soekanto akomodasi adalah suatu pengertian yang digunakan oleh para ahli sosiologi untuk menggambarkan suatu proses dalam hubungan-hubungan social yang sama artinya dengan pengertian adaptasi yang dipergunakan biologi untuk menunjukan proses dimana mahlukmahluk hidup menyesuaikan dirinya dalam alam sekitar. Sebagai suatu proses, Akomodasi mewujudkan pada usaha-usaha untuk mengadakan suatu pertentangan yaitu usaha-usaha menciptakan kesetabilan. Akomodasi itu sesuatu proses dalam hubungan-hubungan social yang sama artinya dengan adaptasi (adaptasion) yang digunakan para-para ahli menyesuaikan diri dengan sekitarnya. Disamping kerja stabilitas dalam beberapa bidang, mungkin sekali bentukbentuk pertentangan dalam bidang-bidang lainnya masih tertinggal, benih-benih pertentangan yang bersifat telat tadi, sewaktu-waktu akan menimbulkan pertentangan baru. Dengan demikian akomodasi bagi pihak-pihak tertentu dirasakan menguntungkan bagi sebagian pihak, sebaliknya agak menekan bagi pihak-pihak tertentu dirasakan menguntungkan bagi kelangsungan hidupnya dalam dimasyrakat, sebaliknya agak menekan bagi pihak-pihak lain lantaran campur tangannya kekuasan tertentu dalam masyarakat. (Soejono,82-89:2001) C.I. Tujuan dari Akomodasi Tujuan dari akomodasi dalam bentuk interaksi social itu adalah 1. Untuk mengurang pertentangan antara orang-perorang ataupun kelompok-kelompok manusia sebagai akibat perbedaan faham 35 2. Mencegah meledaknya suatu pertentangan sementara wakyu maupun secara temporer. 3. Untuk memungkinkan terjadinya kerja sama antara kelompokkelompok social yang hidup terpisah akibat faktor-faktor social psikolog dan kebudayaan. 4. Mengusahakan peleburan antara kelompok-kelompok social yang terpisah C.2. Bentuk-bentuk Akomodasi Bentuk akomodasi sebagai suatu proses mempunyai beberapa bentuk yaitu; 1. Coercion,sebagai suatu bentuk Akomodasi yang prosesnya di laksanakan oleh karena adanya paksaan coertcion merupakan bentuk Akomodasi,dimana salah satu pihak berbeda dalam keadaan yang lebih,bila di bandingkan dengan pihak lawan.Pelaksanaanya dapat di lakukan secara fisik, maupn secara psikolog. 2. Compromise,adalah bentuk akomodasi dimana fihak yang terlibat saling mengurangi timbulnya interaksi social agar tercapai suatu penyelisihan terhadap penyelisihan yang ada. 3. Arabitration,merupakann suatu cara untuk mencapai compromise apa bila pihak-pihak yang terhadap tidak sanggup mencapainya sendiri. 36 4. Smediantion,hampir menyerupai arbitration pada mediatation di undanglah fihak ketiga yang netral dalam persoalan perselisihan yang ada. 5. Conclition,adalah suatu usaha untuk mempertahankan penemuan ke inginan dari fihak-fihak yang berselisih demi tercapainya suatu persetujuan sama. 6. Toletation, juga sering di namakan tolerant partipation ini merupakan suatu bentuk Akomodasi tanpa persetujuan yang formal bentuknya 7. Stalemate, merupakan suatu akomodasi di mulai pihak-pihak yang bertentangan karena mempunyai kekuatan yang seimbang berhenti pada suatu titik tertentu dalam melakukan pertentangannya 8. Adjucation, yaitu penyelesaian perkara atau sangketa di pengadilan Dengan uraian bentuk akomodasi diatas menggambarkan bahwa bentuk akomodasi itu berbeda dan bermacam-macam untuk kita pelajari jadi kesimpulan dari bentuk akomodasi ini adalah suatu dimana mempertahankan dimana salah satu fihak berbeda dalam keadaan yang lebih, bila dibandingkan dengan fihak lawan tanpa mengurangi timbulnya inreraksi social agar tercapai suatu penyelisiahan terhadap perselisihan yang ada demi tercapainya suatu pertujuan sama. C.3. Hasil-hasil Akomodasi Dari bentuk akomodasi interaksi social akan menghasilkan beberapa diantaranya: 37 1. Usaha-usaha sebanyak mungkin menghindar diri dari bentuk-bentuk pertentangan yang baru guna pentingnya intergrasi masyarakat 2. Menekan opsisi 3. Kordinasi perbagai kepribadian yang berbeda 4. Perubahan dari lembaga-lembaga ke masyarakat agar sesuai dengan keadaan yang baru 5. Perubahan-perubahan kependudukan 6. Membuka jalan kearah asimilasi (Soejono Soekanto, 2001 :) Sebagai suatu proses, akomodasi mewujudkan pada usaha-usaha untuk mengadakan suatu pertentangan yaitu usaha-usaha untuk menciptakan kesetabilan dalam kehidupan bermasyarakat. Akomodasi itu suatu proses dalam hubunganhubungan social yang sama artinya dengan adaptasi (adaftasion) yang digunakan oleh para-para ahli menyesuaikan dirinya dengan alam sekitarnya. 38 BAB III ANALISIS EMPIRIS TERHADAP AKOMODASI BUDAYA DAN AGAMA DALAM PROSES “ NYANGKU” A. Kondisi Objektif Kelurahan Desa Panjalu Panjalu merupakan sebuah desa yang terletak di Kecamatan Panjalu yang merupakan bagian wilayah Utara Kabupaten Ciamis, Propinsi Jawa Barat, Panjalu juaga merupakan Ibukota Kecamatan Panjalu. Lokasi Panjalu yang berbatasan langsung dengan Kawali dan Galuh juga menunjukkan keterkaitan yang erat dengan Kemaharajaan Sunda karena menurut Ekadjati (93:75) ada empat kawasan yang pernah menjadi ibukota Sunda yaitu: Galuh, Parahajyan Sunda, Kawali, dan Pakwan Pajajaran. Keadaan prasarana jalan menuju Panjalu cukup baik, dari arah Barat maupun arah Timur. Dari arah Barat terutama Bandung melalui Ciawi jaraknya sekitar 100 km, dari arah Timur laut yaitu Cirebon/ Kuningan melalui Panawangan Kawali jaraknya sekitar 75 km. Sedangkan dari arah timur melalui Ciamis jaraknya sekitar 30 km. Kota kecil ini menyimpan berbagai ceritra yang menarik dan terpelihara baik secara lisan maupun tertulis yakni dari ceritra rakyat maupun babad. Secara geografis wilayah Kabupaten Ciamis berada pada 108020' sampai dengan 108040' Bujur Timur dan 7040'20" Lintang Selatan. Wilayah sebelah Utara berbatasan dengan Kabupaten Majalengka dan Kabupaten Kuningan, sebelah Barat 39 dengan Kabupaten Tasikmalaya Kota Tasikmalaya, sebelah Timur dengan Kota Banjar dan Propinsi Jawa Tengah, dan sebelah Selatan dengan Samudra Indonesia. Mulai tahun 2003 wilayah Kota Administratif Banjar terpisah dari wilayah Kabupaten Ciamis dan berubah status menjadi Kota Banjar, dengan terpisahnya wilayah tersebut luas Wilayah Kabupaten Ciamis berkurang disbanding dengan keadaan tahun 2002 yaitu dari 255.910 ha menjadi 244.479 ha. Wilayah selatan Kabupaten Ciamis berbatasan langsung dengan garis pantai Samudra Indonesia yang membentang di 6 kecamatan dengan panjang garis pantai mencapai 91 km. Dengan adanya garis pantai tersebut, maka Kabupaten Ciamis memiliki wilayah laut 67. 340 ha yang berada di 6 Kecamatan. Kabupaten Ciamis terdiri dari 36 Kecamatan dan 345 desa/ Kelurahan Keadaan alam di Kabupaten Ciamis cukup potensial untuk pertanian dan pariwisata karena merupakan jalur tranportasi antar kota maupun antar propinsi selain memiliki pantai Pangandaran yang sangat indah sehingga menjadi primadona wisatawan domestik dan mancanegara. Komoditi unggulan Kabupaten Ciamis dari subsektor perikanan laut diantaranya lobster, kakap merah, bawal, udang jerbung dan layur. Di subsektor budidaya ikan air tawar diantaranya gurame, nila gift dan udang alah.Selanjutnya di subsektor tanaman pangan terdapat potensi duku, salak,cabe dan jagung. Untuk subsektor peternakan mempunyai komoditi unggulan sapi, ayam ras dan domba. Dari subsektor perkebunan yang potensinya menonjol adalah cengkeh, kakao, lada dan kelapa. 40 Selain kaya akan potensi Pertanian, Kabupaten Ciamis juga mempunyai komoditi unggulan di sector pariwisata alam terutama keindahan pantai dan peninggalan sejarah kerajaan Galuh yang didukung oleh potensi seni budaya seperti wayang golek, calung dan seni sunda lainnya. Sebelah Utara : a. Kabupaten Majalengka b. Kabupaten Kuningan Sebelah Barat : c. Kabupaten Tasikmalaya dan Kota Tasikmalaya Sebelah Timur : d. Kota Banjar dan Propinsi Jawa Tengah Sebelah Selatan : e. Samudera Indonesia A.2 Keadaan Penduduk Desa Panjalu Wilayah Desa Panjalu pada tahun 2010/2011 mempunyai jumlah penduduk seluruhnya 7879 jiwa, yang terdiri dari Laki-laki 3833 Jiwa dan Perempuan 4046 Jiwa dan terdapat 1879 KK. Adapun perincian jumlah penduduk menurut usia yang nenurut sensus aparat pemerintahan Desa Panjalu pada Tahun 20010/2011 yang :sesuai dengan keadaan dan kondisi masyarakat Desa Panjalu sebagai berikut: 41 Tabel 1.1 JUMLAH PENDUDUK MENURUT UMUR Umur Jumlah Umur Jumlah Umur Jumlah 0-12 bulan 38 20 tahun 21 40 tahun 45 1 tahun 20 21 tahun 14 41 tahun 41 2 tahun 70 22 tahun 10 42 tahun 21 3 tahun 31 23 tahun 31 43 tahun 61 4 tahun 15 24 tahun 21 44 tahun 43 5 tahun 20 25 tahun 17 45 tahun 12 6 tahun 30 26 tahun 11 46 tahun 23 7 tahun 28 27 tahun 13 47 tahun 61 8 tahun 17 28 tahun 20 48 tahun 23 9 tahun 30 29 tahun 13 49 tahun 23 10 tahun 20 30 tahun 26 50 tahun 20 11 tahun 17 31 tahun 23 51 tahun 26 12 tahun 21 32 tahun 18 52 tahun 30 13 tahun 15 33 tahun 20 53 tahun 54 14 tahun 70 34 tahun 17 54 tahun 45 15 tahun 30 35 tahun 20 55 tahun 65 16 tahun 21 36 tahun 16 56 tahun 16 17 tahun 26 37 tahun 11 18 tahun 12 38 tahun 17 19 tahun 12 39 tahun 12 Sumber Data Sensus dari Tahun 2010/2011 42 Dapat dilihat dari tabel yang sesuai dengan umur warga masyarakat Desa Panjalu Kecamatan Panjalu Kabupaten Ciamis, rata-rata umur ynag paling banyak sekitar 70 prang yang berumurnya 15, tingkat yang paling banyak dibandingkan dengan umur 22 Tahun yang berkisar 10 Orang. Dengan begitu bisa disimpulkan dalam tabel yang ada diatas menunjukan bahwa umur yang paling banyak adalah sekitar umur 15 dan umur 55 Tahun, hasil ini merupakan hasil dari sensus Tahun 2010/2011 di Desa. Panjalu Kecamatan Panjalu Kabupaten Ciamis. Tabel 1.2 JUMLAH PENDUDUK MENURUT AGAMA No Agama/Kepercayaan Jumlah 1 Islam 7879 2 Kristen Tidak ada 3 Budha Tidak ada 4 Hindu Tidak ada 5 Katolik Tidak ada Sumber Data Sensus dari Tahun 2010/2011 Sedangkan jumlah penduduk masyarakat etnik sunda di Desa Panjalu sebanyak 7805 orang, yang terdiri dari 4717 kepala keluarga. Untuk sarana peribadatan bagi masyarakat Desa Panjalu Kecamatan Panjalu Kabupaten Ciamis itu memiliki tempat peribadatan adalah Mesjid dan Musola. 43 Sedangkan sarana keagamaan khususnya penganut agama islam, sangadah baik dan cukup merata, dengan jumlah mesjid dan musola yang banyak di setiap dusun. Ini menandakan adanya kegiatan keagamaan khususnya agama islam dengan pengajian di setiap mesjid dan musolah. Tabel 1.3 JUMLAH SARANA PERIBADATAN No Sarana Peribadatan Jumlah 1 Mesjid 13 Buah 2 Mushola 34 Buah 3 Gereja Tidak ada 4 Wihara Tidak ada 5 Pura Tidak ada Sumber Data Sensus dari Tahun 2010/2011 Dalam sarana, keagamaan, terutama agama Islam dikatakan cukup baik. Oleh karena itu jumlah kegiatan yang bernafaskan agama yang kurang baik. Di Desa Panjalu tidak hanya memiliki satu keyakinan tetapi ada keyakinan yang lain. Umum keagamaan dalam keyakinan tidak memmbuHm konflik sosial di masyarakat. Itu semua ter alin dalam suatu pola interaksi sosial dikalangan masyarakat dalam kehidupan sehari-hari. 44 Tabel 1.4 JUMLAH SARANA OLAH RAGA No Sarana OlahRaga Jumlah 1 Lapangan Bola 1 Buah 2 Lapangan Bulu Tangkis 3 Buah 3 Meja Pingpong 10 Buah 4 Lapangan Voli 9 Buah 5 Lapangan Golf Tidak ada 6 Lapangan Basket Tidak ada Sumber Data Sensus dari Tahun 2010/2011 Dapat dilihat dari table di atas untuk sarana olahraga sudah cukup memadai untuk kawasan pedesaan, tidak terlalu kurang untuk daerah olahraga, cukupnya lapangan sepak bola, lapangan bulu tangkis,lapangan basket dan meja pingpong Tabel 1.5 JUMLAH MATA PENCAHARIAN No Mata Pencaharian Jumlah 1 Petani 4640 orang 2 Buruh tani 3570 orang 3 Pengrajin 11 orang 4 Pedagang 425 orang 5 Sopir 78 orang Sumber Data Sensus dari Tahun 2010/2011 45 Dapat kita lihat dari tabel diatas menunjukan jumlah mats pencaharian yang dimiliki oleh sebagian besar warga Desa Panjalu adalah petani. Terlihat dalam tabel sekitar 4640 orang warga sebagi petani dan sebagain besar sebagi buruh tani. Karena sebagian besar wilayah Desa Panjalu ini adalah pesawahan yang terhampar lugs sekitar 250 ha. Semua itu ladang pesawahan yang mesti digarap oleh para petani. Tabel 1.5 JUMLAH KEPEMILIKI TANAH No Kepemilikan Tanah Jumlah 1 Tanah Rumah Keluarga 4640 ha 2 Tanah Milik 992 ha 3 Milik Kurang 0,5 2855 ha 4 Milik Kurang 0,5-1,0 15 ha 5 Milik Kurang 1,0 8 ha Sumber Data Sensus dari Tahun 2010/2011 Sesuai dengan data diatas bahwa jumlah kepemilikan tanah yang didapat oleh tiap pemilik tanah, tanah milik sekitar 992 ha yang dimiliki oleh tiap warga yang miliknya kurang sekitar 2878 ha lahan pertanian. Dapat dihasilkan berapa ton padi yang dihasilkan setiap warga setiap kali panen. 46 B. Seajarah atau Latar Belakang “Nyangku” di Desa Panjalu B.1. Kehidupan Keagamaan dan Keprcayaan Panjalu berasal dari kata jalu (bhs. Sunda) yang berarti jantan, jago, maskulin, yang didahului dengan awalan pa (n). Kata panjalu berkonotasi dengan kata-kata: jagoan, jawara, pendekar, warrior (bhs. Inggeris: pejuang, ahli olah perang),dan knight (bhs.Inggris: kesatria, perwira). Nama Panjalu sendiri mulai dikenal ketika wilayah itu berada dibawah pemerintahan Prabu Sang Hyang Rangga Gumilang, sebelumnya kawasan Panjalu lebih dikenal dengan sebutan Kabuyutan Sawal atau Kabuyutan Gunung Sawal. Istilah Kabuyutan identik dengan daerah Kabataraan yaitu daerah yang memiliki kewenangan keagamaan (Hindu) seperti Kabuyutan Galunggung atau Kabataraan Galunggung. Kabuyutan adalah suatu tempat atau kawasan yang dianggap suci dan biasanya terletak di lokasi yang lebih tinggi dari daerah sekitarnya, biasanya di bekas daerah Kabuyutan juga ditemukan situs-situs megalitik (batu-batuan purba) peninggalan masaprasejarah.Kekuasaan Kabataraan (Tahta Suci), Pendiri Kerajaan Panjalu adalah Batara Tesnajati yang petilasannya terdapat di Karantenan Gunung Sawal. Mengingat gelar Batara yang disandangnya, maka kemungkinan besar pada awal berdirinya Panjalu adalah suatu daerah Kabataraan sama halnya dengan Kabataraan Galunggung yang didirikan oleh Batara Semplak Waja putera dari Sang Wretikandayun (670-702), pendiri Kerajaan Galuh. 47 Sejak zaman purba, masa-masa awal pengaruh Hindu, di Panjalu telah berdiri suatu kerajaan dengan pusat pemerintahan di Karantenan, suatu dataran di lereng Gunung Syawal, sekitar 7 km arah selatan Kota Panjalu sekarang. Pendiri kerajaan ini adalah tokoh leluhur Panjalu bernama Prabu Batara Tisnajati, beliau dikenal sebagai seorang raja yang berilmu tinggi, mengajarkan “Sajatining Hirup” dan “Sajatining Manusia” mengupas tentang hakikat manusia dan alam lingkungan serta bagaimana manusia harus hidup di dunia ini berdasarkan jati dirinya itu. pada awal pendiriansnya Kerajaan Karantenan telah bersifat Padepokan (perguruan) tempat orang menuntut ilmu dan syiar keagamaan yang diajarkan oleh Prabu Batara Tisnajati dan sebagai pusat kegiatan politis. Sepeninggal Prabu Batara Tisnajati dikenal beberapa tokoh terkemuka penguasa kerajaan ini seperti : Batara Raya, Karimun Putih, Marangga Sakti, hingga kemudian Prabu Rangga Gumilang. Dalam pada itu di Gunung Bitung bertahta Ratu Galuh Pusaka bernama Prabu Sanghyang Cipta Permana Dewa, Raja Galuh Nyakrawati Ing Nusa Jawa. Beliau memiliki tiga orang anak, ketiganya lahir di Ciriung Cipanjalu, salah satu putri dan dua orang putra yaitu “Sanghyang Ratu Permana Dewi, Sanghyang Ponggang, Sang Rumanghyang dan Sanghyang Bleg Tambleg Raja Gulingan”. Ketiganya memiliki ilmu (ajaran) yang berbeda serta sepakat untuk mengembangkan ajaran-ajaran yang dimilikinya itu, khusus di wilayah Kerajaan Galuh. Ratu Ponggang Rumaghyang dengan Aji (ilmu) kadugalan dan kawedukan(kesaktian) pergi ke Telaga. Bleg Tambleg Raja Gulingan dengan aji (ilmu) keduniawian (materialistis) berangkat 48 menuju Kuningan, sedangkan Sanghyang Ratu Permanadewi dengan membawa aji (ilmu) kerahayuan tinggal di Panjalu. Di Panjalu, Ratu Permanadewi diperistri oleh Prabu Rangga Gumilang, pemegang tahta Kerajaan Panjalu lama di Karantenan Gunung Syawal. Dengan hubungan perkawinan itu, bertemulah nilai-nilai ajaran Galih Pusaka dengan nilai-nilai ajaran Panjalu lama yang dirintis Prabu Barata Trisnajati diatas. Bersama Prabu Rangga Gumilang, Ratu Permanadewi kemudian memindahkan ibu kota kerajaanya dari Karatenan (Batu Datar Gunung Syawal) ke Citatah Dayeuh Luhur Panjalu 5 Km arah utara Kota Panjalu sekarang. Pemindahan ibu kota kerajaan tersebut didasarkan atas pertimbangan untuk mengembangkan kerajaan. Bersama dengan pemindahan Ibu kota Kerajaan Panjalu diatas mulailah ratu Permanadewi merintis dan membangun tatanan Kerajaan baru dengan meletakkan dasar-dasar kerahayuan sebagai pedoman hidup warga dan filsafat kerajaan. Kerajaan inilah yang kemudian dinamakan kerajaan Soko Galuh Panjalu. Dengan ibukota kerajaan ini adalah Dayeuh Luhur, terletak di dataran tinggi diatas Kota Panjalu sekarang. B.2. Zaman pengaruh masuknya Islam Masuknya Agama Islam ketatar sunda umumnya dan khususnya di Panjalu Ciamis mengakibatkan runyuhnya peradaban Sundawiwitan yang telah di bangunsejak abad-6 Masehi. Panjalu merupakan daerah pertama di tatar sunda Ciamisyang menerima Islam setelah kerajaan Panjalu dipimpin oleh Sanghyang Borosngora purta ke dua Prabu Sang Hyang Cakra Dewa, setah belajar Ilmu Sejati. 49 Ajaran Islam yang diperoleh adalah langsung dari Tanah Suci Mekah Al Mukaromah, tidak melalui Iran, India atau Gujarat atau daerah kultur lain sebagai pelantara, Islam sudah sejak awal abad ke-7 dipelajari oleh mastarakat Panjalu. Hal ini merupakan Keberhasilan Sanghyang Prabu Borosngora belajar Ilmu ke Islaman yang langsung didapat dari gurunya Baginda Ali. RA dan membawa air zam-zam dalam Gayung kerancang (bolong/ berlubang-lubang) secara penuh tanpa tercecer keluar, merupakan ukura keberhasilan Beliau menimba ilmu sejati sebagaimana yang diharapkan ayahnya. Ilmu yang membawa keberhasilan itu adalah Ajaran Agama Islam. Syi‟ar Islam dilakukan secara damai (Fentration fasifique) dalam berbagai cara dari atas (keraton) ke bawah (warga masyarakat) baik melalui dakwah pendidikan dan pengajaran (perguruan, padepokan) maupun melalui struktur birokrasi serta langkah yang terakhir ini lebih efektif, karena disamping ajaran Karahayuan mengandung dasar-dasar filosofis yang bersesuaian dengan ajaran Islam, kesederhanaan konsepkonsep ajaran Islam yang terintegrasikan dalam praktek kehidupan merupakan petunjuk yang gampang dicerna warga (tidak rumit) fleksibel dengan keunggulankeunggulan tertentu yang dapat dialami langsung olehwarga. Ajaran Islam di Tatar Sunda selain telah mengubah keyakinan seseorang dan komunitas masyarakat Sunda juga telah membawa perubahan sosial dan tradisi yang telah lama dikembangkan orang Sunda. Penyesuaian antara adat dan syariah seringkali menunjukkan unsur-unsur campuran antara Islam dengan kepercayaan sebelumnya. Hal tersebut dapat dipahami karena para penyebar Islam dalam tahap awal menggunakan strategi dakwah akomodatif dengan 50 mempertimbangkan sistem religi yang telah ada sebelumnya. Perjumpaan Islam dengan Budaya Sunda tidak melanggengkan tradisi lama seperti Sunda Wiwitan dan tidak memunculkan ajaran baru seperti Agama Djawa Sunda dan aliran kepercayaan Perjalanan adalah adaptasi antara Islam sebagai ajaran agama dengan tradisi budaya yang melekat di masyarakat. Hal ini dapat dipahami karena umumnya dalam tradisi budaya masyarakat Muslim di tanah Jawa oleh Mark R. Woodward disebut Islam-Jawa, adaptasi unsur-unsur tradisi dengan Islam tampak sekali, misalnya adaptasi budaya dalam penamaan bulan. Bulan-bulan dalam tradisi Jawa termasuk juga Sunda sebagian mengadaptasi bulan Hijriah yaitu Sura (Muharram), Sapar (Shafar), Mulud (Rabiul Awwal), Silih/Sawal Mulud (Rabiul Akhir), Jumadil Awal (Jumadil Awwal), Jumadil Akhir (Jumadil Akhir), Rejeb (Rajab), Ruwah (Sya'ban), Puasa (Ramadan), Sawal (Syawal), Kapit/Hapit (Zulkaidah), dan Rayagung/Raya Agung (Zulhijah). Islamisasi di tatar Sunda selain dibentuk oleh 'penyesuaian' juga dibentuk melalui media seni yang digemari masyarakat. Ketika ulama masih sangat jarang,kitab suci masih barang langka, dan kehidupan masih diwarnai unsur mistis, penyampaian ajaran Islam yang lebih tepat adalah melalui media seni dalam upacara-upacara tradisi. Salah satu upacara sekaligus sebagai media dakwah Islam dalam komunitas Sunda yang seringkali digelar adalah pembacaan wawacan dalam upacara-upacara sacral tertentu seperti “Nyangku” tujuh bulanan, keliwonan, marhabaan, kelahiran, dan cukuran. Seringnya dakwah Islam disampaikan melalui wawacan ini melahirkan banyak naskah yang berisi tentang kisah-kisah kenabian, seperti Wawacan Carios 51 Para abi.Riwayat nyangku tak lepas dari keberadaan Situ Lengkong, dan sebuah pulau kecil di tengahnya, Nusa Gede. Di Nusa Gede yang luasnya 9 hektar ini, terdapat makam yang disakralkan, yakni makam Prabu Hariang Kencana, seorang raja Panjalu. Tokoh sentral Nyangku, Situ Lengkong, dan Nusa Gede, sejatinya adalah pangeran Borosngora. Ia adalah salah seorang Raja Panjalu, ayah Prabu Hariang Kencana. Jiwa pangeran Borosngora-lah, yang melekat erat pada masyarakat Panjalu. Masyarakat Panjalu meyakini bahwa berkat Borosngoralah terbentuk Situ Lengkong yang luasnya sekitar 60 hektar. Konon, saat Borosngora masih berstatus putra mahkota, ia diperintah ayahnya, Prabu Sanghiang Cakra Dewa, untuk menyempurnakan ilmunya. Akhir pengembaraan, membawanya ke tanah suci Mekah, dan mendalami Agama Islam. Pedang milik Prabu Sanghyang Borosngora adalah pedang pemberian Sayyidina Ali bin Abi Thalib, sahabat Rasulullah SAW. Pedang tersebut ia dapatkan ketika Borosngora berkunjung ke Mekkah. Di pedang itu juga diukir kalimat dengan tulisan arab yang berbunyi “Inilah pedang milik Sayyidina Ali Karamallahu Wajhahu”. Saat kembali ke Panjalu, Borosngora membawa pulang air zamzam, pakaian kesultanan, pedang, ciss, dan langsung menggantikan ayahnya sebagai raja. Dengan naik tahtanya Borosngora ini, maka mulai saat itu pula, Panjalu berubah dari Kerajaan Hindu menjadi sebuah Kerajaan Islam. Pada masa pemerintahannya inilah, Situ Lengkong terbentuk. Air zamzam yang dibawa dari Mekah ditumpahkan di atas 52 pasir yaitu Lembah Pasir Jambu, dan tak dinyana lembah itu serta merta dialiri air, yang akhirnya membentuk danau. Itulah Situ Lengkong Upacara Nyangku merupakan tradisi masyarakat setempat untuk menghormati leluhur raja Panjalu bernama Borosngora yang biasa dilaksanakanan setiap bulan Maulud, pada minggu keempat (hari Senin/Kamis akhir bulan Maulud).Sanghyang Prabu Borosngora merupakan Raja Sunda pertama yang memeluk Islam dan diyakini mendapat ajaran langsung dari menantu Nabi, Baginda Sayiddina Ali di Mekkah AlMukarromah. Prabu Borosngora tidak saja mampu mengislamkan warga kerajaan dan masyarakat Panjalu, tetapi juga ke berbagai tempat di tanah air. Dikatakannya, ritual Nyangku tersebut sebagai penghormatan yang diawali dengan ziarah ke makam Prabu Hariang Kencana, seorang raja Panjalu atau disebut pangeran Bongosngora yang di makamkan di Situ Lengkong di Desa Panjalu. Sanghyang Borosngora menyebarkan agama Islam kepada rakyat Panjalu yang ketika itu masih beragama Hindu dan berbudaya Hindu yang masih cukup kental. Maka perubahan dengan menghilangkan budaya Hindu tersebut secara sepenuhnya tidak dapat dilakukan sekaligus melainkan secara bertahap, mengingat rakyat Panjalu adalah rakyat jelata yang memiliki taraf pemikiran yang masih awam saat itu. Dalam budaya Hindu, selalu ada kepercayaan bahwa ada „berkah‟ di dalam setiap ritual yang dilakukan. Maka dari itu, dalam upacara nyangku pun banyak terjadi salah tafsir menganggap air cucian keris dapat mendatangkan berkah dan kesalahan tersebut berlanjut secara turun temurun hingga kini. Padahal kepercayaan tersebut hanyalah sisa-sisa peninggalan budaya Hindu yang masih melekat pada masyarakat Panjalu 53 kala itu. Sedangkan makam Prabu Hariang Kencana, memiliki riwayat sendiri. Prabu Hariang Kencana adalah putra Borosngora, yang akhirnya memimpin Kerajaan Panjalu, dan menurunkan raja-raja Panjalu berikutnya. Borosngora sendiri terus berkelana ke berbagai daerah. Ia sulit diketahui keberadaannya, bahkan ketika beliau wafatpun jenazahnya entah dimakamkan dimana. Borosngora memang tidak ingin makamnya dikeramatkan. Akhirnya makan Prabu Hariang Kencana di Nusa Gedelahyang diziarahi. Sementara warisan Borosngora, berupa benda-benda pusaka seperti ciss atau pedang panjang berkait, dan berbagai senjata lainnya, tetap tersimpan rapi. Setiap Bulan Maulud benda-benda pusaka peninggalan Pangeran Borosngora ini dikeluarkan, diperlihatkan dan dibersihkan. Ritual ini seperti amanat leluhur Panjalu, yang tersurat di Gerbang Nusa Gede. Satu diantaranya, rakyat Panjalu harus suci. Ritual inilah yang dikenal dengan Nyangku atau dalam bahasa Arab Yanko, yang bermakna membersihkan. C. Akomodasi Budaya dan Agama Dalam Proses “Nyangku” C.1 Pelaksanaan Upacara “nyangku” Kecamatan Panjalu Dijelaskan di atas bahwa setiap Bulan Maulud benda-benda pusaka peninggalan Pangeran Borosngora ini dikeluarkan, diperlihatkan dan dibersihkan. Ritual ini seperti amanat leluhur Panjalu, yang tersurat di Gerbang Nusa Gede. Satu diantaranya, rakyat Panjalu harus suci. Ritual inilah yang dikenal dengan Nyangku atau dalam bahasa Arab Yanko, yang bermakna membersihkan. 54 Di Panjalu, Nyangku bermakna membersihkan benda-benda pusaka peninggalan Pangeran Borosngora. Dalam arti yang lebih luas, upacara ini bermakna pembersihan diri manusia. Sesungguhnya manusia terlahir dalam keadaan bersih, sehingga harus kembali dalam keadaan bersih pula. Air yang digunakan untuk mencuci pusaka diambil dari tujuh mata air, seluruhnya terletak di sekeliling desa Panjalu. Ketujuh mata air ini konon tidak pernah kering, sekalipun di musim kemarau. Hanya Kuncen dan sesepuh desa-lah yang berhak mengambil air di sini. Memasuki mata air, tidak lupa mereka mensucikan diri dengan berwudhu, dan berdoa. Sikap santun ini adalah wujud kesucian yang dijunjung pada manusia dan airnya. Air yang telah dituang ke dalam kendi, kemudian dibawa menuju makam leluhur yang merupakan guru dari para Raja Panjalu. Tangan-pun kembali ditengadahkan, memanjatkan doa bagi para leluhur. Adapun tujuh sumber mata air, yaitu: 1. Sumber air Situ Lengkong 2. Sumber air Karantenan Gunung Sawal 3. Sumber air Kapunduhan (makam Prabu Rahyang Kuning) 4. Sumber air Cipanjalu 5. Sumber air Kubang Kelong 6. Sumber air Pasanggrahan 7. Sumber air Bongbang Kancana Di mata masyarakat Panjalu, Nyangku adalah hari besar, meski tak sebesar Idul Fitri. Acara dipusatkan di Bumi Alit, tempat dimana pusaka Prabu Borosngora 55 disimpan. Doa-doa telah dikumandangkan sejak dini hari. Bumi Alit merupakan bangunan sakral berbentuk bujur sangkar, simbol kabah. Pusaka yang disimpan di dalamnya tak dapat dijamah oleh siapapun, kecuali Kuncen dan kerabat keturunan Prabu Borosngora. Warga yang ingin berdoa mengambil posisi di luar Bumi Alit. Menjelang puncak upacara Nyangku, Kuncen menyiapkan segala kebutuhan untuk mencuci pusaka. Seperti jeruk nipis guna menghilangkan karat, arang untuk mengeringkan setelah dicuci, dan daun kelapa untuk membungkus kembali pusaka dan juga kemenyan. Kemudian, sesepuh adat, dan keturunan kerajaan Panjalu lainnya memasuki Bumi Alit. Setelah keluar dari Bumi Alit, prosesi rombongan pembawa pusaka dimulai. Tidak semua dari ratusan pusaka milik Panjalu dibawa ke upacara Nyangku. Hanya pusaka pokok, yaitu pedang, stok komando, kujang dan gong kecil milik Prabu Borosngora, dan beberapa keris lainnya yang ikut dalam prosesi. Selama prosesi, suara musik gembyungan khas Panjalu, dimainkan empat belas pria berbusana serba ungu. Benda-benda pusaka yang tersimpan di Bumi Alit itu antara lain adalah: 1. Pedang, cinderamata dari Baginda Ali RA, sebagai senjata yang digunakan untuk pembela diri dalam rangka menyebarluaskan agama Islam. 2. Cis, berupa tombak bermata dua atau dwisula yang berfungsi sebagai senjata pelindung dan kelengkapan dalam berdakwah atau berkhutbah dalam rangka menyebarluaskan ajaran agama Islam. 3. Keris Komando, senjata yang digunakan oleh Raja Panjalu sebagai penanda kedudukan bahwa ia seorang Raja Panjalu. 56 4. Keris, sebagai pegangan para Bupati Panjalu. 5. Pancaworo, digunakan sebagai senjata perang pada zaman dahulu. 6. Bangreng, digunakan sebagai senjata perang pada zaman dahulu. 7. Gong kecil, digunakan sebagai alat untuk mengumpulkan rakyat pada zaman dahulu. 8. Kujang, senjata perang khas Sunda peninggalan seorang petapa sakti bernama Pendita Bahan-bahan lain yang diperlukan dalam pelaksanan upacara Nyangku adalah tujuh macam sesaji termasuk umbi-umbian, yaitu: 1. Tumpeng nasi merah 2. Tumpeng nasi kuning 3. Ayam panggang 4. Ikan dari Situ Lengkong 5. Sayur daun kelor 6. Telur ayam kampung 7. Umbi-umbian Selanjutnya disertakan pula tujuh macam minuman, yaitu: 1. Kopi pahit 2. Kopi manis 3. Air putih 4. Air teh 5. Air Mawar 6. Air Bajigur 57 7. Rujak Pisang Kelengkapan prosesi adat lainnya adalah sembilan payung dan kesenian gembyung untuk mengiringi jalannya upacara. Tujuan perjalanan rombongan ini adalah Situ Lengkong. Sebetulnya jarak antara bumi alit dan situ lengkong tidak terlalu jauh, hanya 200-an meter. Namun langkah para peserta prosesi yang perlahan, ditambah minat masyarakat mengikuti acara ini, membuat jarak sesingkat ini ditempuh dalam waktu hampir 1 jam. Di situ Lengkong, beberapa buah perahu telah siap menyeberangkan mereka ke Nusa Gede. Di Nusa Gede, rombongan mendatangi makam Prabu Hariang Kencana, putra Prabu Borosngora, sebagai wujud penghormatan kepada leluhur Panjalu. Inti upacara Nyangku dimulai setelah rombongan kembali dari Nusa Gede. Di balai desa, pusaka-pusaka dibuka. Mulai dari tali yang posisinya tepat pada gagang pedang, kain putih seperti kain kafan sebanyak tujuh lapis, tali lainnya sepanjang kurang lebih 50 meter, hingga terakhir daun kelapa muda kering. Pembersihan pusaka dimulai dengan menggosokkan jeruk nipis, guna menghilangkan karat. Barulah kemudian disiram air suci. Inti upacara Nyangku ini menjadi pusat perhatian masyarakat, yang memadati balai desa. Mereka berharap terciprat air cucian keris, yang diyakini membawa berkah. Dari balai desa, pusaka kembali diarak menuju Bumi Alit. Seluruh ritual merupakan gambaran proses kehidupan manusia. Mulai dari pusaka dikeluarkan dari Bumi Alit, yang melambangkan kelahiran bayi dari rahim ibunya, proses arak-arakan perlambang kehidupan itu sendiri, hingga dikembalikannya pusaka ke dalam Bumi 58 Alit, yang sama dengan kembalinya manusia ke dalam liang lahat. Di dalam bumi alit, keluarga keturunan Kerajaan Panjalu mengembalikan pusaka ke tempat penyimpanannya. Dengan demikian, tuntaslah seluruh ritual upacara Nyangku. Pusaka telah bersih, masyarakat Panjalu-pun diyakini telah bersih, telah suci, seperti amanat para leluhur mereka. Kuncen Panjalu mengatakan bhawa upacara nyangku sudah dilakukan sejak dulu sudah di lakukan karena dari dulu nenek moyangnya sudah turun temurun sampai sekarang mewariskannya (wawancara dengan H. Atong kuncen Panjalu). Selain kuncen tadi hal serupa dikatakan oleh seorang warga yang selalu mengikuti prosesi tersebut atuh cep nyangku mah,aki keur leutik ge geus aya” (sudah dari dulu bernama Amang yang dari fisiknya sudah telihat tua beliau mengatakan “ geus ti baheula upacara nyangku itu,waktu aki masih kecil suadah ada).(wawancara dengan amang warga sekitar ) Upacara nyangku ini dilakukan secara rutin setiap tahunnya dengan maksud memperingati serta menghargai sesuatu yang menjadi pokok sejarah dalam peradaban budaya masyarakat panjalu karena sebagian warga yakin dengan prosesi upacara tersebut adanya suatu maksud tertentu dari pada kerajaan panjalu itu sendiri yaitu sebagai sarana penyebaran islam. Agama meiliki pandangan pada upacara ini bahwa upacara ini tidak memberikan respon yang tidak baik, tapi mengarah kepada yang positip, masyarakat panjalu melakukan upacara tesebut secara turun temurun dari sejak pertama dikukuhkannya peradaban islam oleh prabu sanghyang borosngora sampai dengan 59 sekarang. Sesuai dengan pendapat E.B Tailor dalam bukunya Soejono Soekanto (2001191) mengatakatan bahwa kebudayaan adalah komplek yang mencakup pengetahuan, kepercayaan, kesenian, moral, hukum, adat istiadat, dan kemampuan kemampuan serta kebiasaan-kebiasaan yang lain mencakup semua yang didapatkan atau di pelajari oleh manusia. Jadi kebudayaan itu sebuah adat istiadat, hukum serta kemampuan yang di pelajari oleh manusia yang ada dimuka bumi. Timbulnya agama dan budaya dalam alam pikiran manusia adalah dikarenakan adanya getaran jiwa yang disebut „emosi keagamaan‟ atau „relegion emotion‟. Menurut koentjaraningrat emosi keagamaan ini biasanya pernah di alami oleh setiap manusia, walau pun geteran emosi itu mungkin hanya berlangsung untuk beberapa detik saja, untuk kemudian menghilang lagi. Adanya emosi keagamaan itulah mendorong orang melakukan tindakan-tindakan yang bersifat religi. Kebudayaan yang telah terjadi di Kecamatan Panjalu ini merupakan sebuah adat istiadat yang sudah melekat dalam kehidupan masyarakatnya yang tak mungkin untuk dipisahkan dengan kehidupan, meskipun kehidupan mereka serba modern tapi masyarakat Kecamatan Panjalu masih memelihara adat istiadat dengan baik. Upacara Nyangku ini merupakan yang sangat sacral di kehidupan masyarakat yang sifat masyarakatnya yang beragama islam, tapi masih ada upacara yang sudah lama dari sejak zaman Sanghyang Prabu Borosngora masih saja di lakukan, tapi masih saja mempercayai symbol-simbol yang memiliki yang mistis dalam 60 melaksanakan upacara Nyangku. Upacara adat Nyangku ini mirip dengan upacara Sekaten di Yogyakarta juga Panjang Jimat di Cirebon, hanya saja selain untuk memperingati hari kelahiran Nabi Muhammad SAW, acara Nyangku juga dimaksudkan untuk mengenang jasa Prabu Sanghyang Borosngora yang telah menyampaikan ajaran Islam kepada rakyat dan keturunannya. Dengan upacara yang di lakukan oleh masyarakat Panjalu itu merupakan suatu tradisi yang sudah melekat dalam diri manusia yang mesti melakukan upacara ini dengan baik dan hikmat, sampai kapan pun kegiatan upacara ini tidak akan hilang karena masyarakat itu masih saja melakukan upacara ini dengan biasa melakukan dan tidak ada paksaan. Sampai sekarang ini upacara seperti itu masih saja di lakukan, meskipun upacara itu masih melekat dalam diri kehidupan masyarakat itu mereka lakukan apabila pada Hari Senin atau Kamis terakhir Bulan Maulud (Rabiul Awal). Dilihat latar belakangnya yang pernah di teliti dalam melaksanakan Upacara Nyangku, sampai kapan pun akan terus dilestarikan, meski generasi muda sekarang sudah tidak mengerti mengenai kebudayaan ini. 2.1 Cara Membersihkan Benda Pusaka Sebelum melakukan Upacara inti yaitu "Nyangku", Mulai dari tali yang posisinya tepat pada gagang pedang, kain putih seperti kain kafan sebanyak tujuh lapis, tali lainnya sepanjang kurang lebih 50 meter, hingga terakhir daun kelapa muda kering. Pembersihan pusaka dimulai dengan menggosokkan jeruk nipis, guna 61 menghilangkan karat. Barulah kemudian disiram air suci menurut kuncen H Atong (wawancara dengan seorang Kuncen H. Atong kuncen Panjalu di pada 19 Nopember 2011). Cara pembersihan benda pusaka yang penting jangan benda tersebut sampe karat, kalau masalah pembersihan menurut H. Atong tidak perlu memakai apa-apa tak perlu memakai apa atau apalah yang terpenting adalah pembersihan benda pusaka itu tersebut harus benar. Soejono Soekanto dalam buku pengantar sosiologi (2001:34), Agust Comte berpendapat mengenai masyarakat, Masyarakat adalah suatu kesatuan manusia yang hidup dalam suatu ikatan dan norma yang melahirkan suatu struktur dan organisasi social masyarakat. Interaksi menurut soejono soekanto menerangkan bahwa interaksi merupakan dari hubungan timbal balik antara individu dengan lainya. Hubungan itu dapat secara berkelompok atau antar perorangan maupun antara kelompok perorangan. Seluruh ritual merupakan gambaran proses kehidupan manusia. Mulai dari pusaka dikeluarkan dari Bumi Alit, yang melambangkan kelahiran bayi dari rahim ibunya, proses arak-arakan perlambang kehidupan itu sendiri, hingga dikembalikannya pusaka ke dalam Bumi Alit, yang sama dengan kembalinya manusia ke dalam liang lahat. Hal ini diperkuat oleh Dhavamony yang "mengetegori prilaku religi yang komplementer hanya akan ditentukan terorganisasi didalam rangkaian-rangkaian khusus yang disebut upacara. Maka upacara-upacara itu sendiri dengan keyakinan 62 mereka merupakan dari kelompok-kelompok lebih besar yang di sebut lembagalembaga Kultur" dalam hal ini upacara dan ritual, kalau ritual itu sangat berkaitan ,dengan pengertian mistis, pola pikiran yang dihubungkan dengan perasaan tidak diperolehkan lewat pengamatan logis yang akhirnya upacara ritual Nyangku ini hanya di rasakan oleh pars pelakunya dengan perasaan, malah bagian dari pengalaman keagamaan dengan simbol-simbol.(Ahmad Thn 2002 "pemandian benda-benda keramat") Selanjutnya benda tersebut dibuka yang di bungkus dengan kain kapan, tujuh sumber mata air dicampur dengan air perasan jeruk nipis. minyak kelapa. Unsurunsur tersebut memilki symbol-simbol dan mempunyai arti yang penting dalam upacara ini. Dari simbol keagamaan, melalui simbol-simbol yang tedadi dalam sebuah upacara keagamaan tertentu daldm masyarakat dengan interaksi simbolik. Dalam buku Teori sosiologi moderen dan klasik, yang ditulis ulang oleh Robert, menurut Georg Simmel mendefinisikan dan menganalisis bentuk-bentuk yang bedulang atau pola-pola sosiasi (sociation) sosiasi itu berarti proses dimana masyarakat itu tedadi sosiasi meliputi interaksi timbal balk mempunyai proses ini, di mana individu Baling berhubungan dan Baling mempengaruhi, masyarakat itu sendiri muncul. Pola interaksi timbal balik dimana mereka Baling mempengaruhi dan berhubungan. Pendekatan ini mengusahakan keseimbangan antara pandangan nominal (yang percaya hanya individu yang rill) dan pandangan realis atau teori organik (yang mengemukakan bahwa kenyataan sosial itu bersipat indefenden dari individu yang 63 membentuknya itu bisa dilakukan dengan mengunakan bahasa sebagai salah satu simbol yang terpenting, melalui syarat-syarat simbol ini bukan merupakan fakta-fakta yang sudah terjadi melainkan simbol hanya sebagai alat. Kegunaan kain putih (kafan) adalah unsur penting dalam upacara nyangku ini, menurut kuncen Atong unsur pertama ini yang ada dalam upacara Nyangku ini “maksudna si pedang eta th meh te gampang kotor atau karahaan kan di kumbahna ge satahun sakali, ges amanat ti luluhur, gs baretona,kudu di bungkus kain kapan kan jalma ge ari ges maot di bungkus” supaya benda tersebut gak terkena debu atau gak gampang kotor pas waktu di simpan kembali, dan bersihkan benda tersebut setahun sekali, dan kembali lagi kepada manusia kalau kelat mati bakal di selimuti dengan kain kafan tersebut. Dari unsur yang pertama ini, merupakan unsur yang sangat mendukung terjadinya upacara Nyangku ini sampai kapan pun upacara nyangku ini akan terlaksana, karena masyarakat sendiri ikut serta melaksanakan dan sampai kapan pun upacara ini gak akan hilang di panjalu sudah turun temurun. Unsur yang kedua adalah tujuh sumber mata air yang ada dalam upacara Nyangku ini air “manfaatna kur ngumbah nu aya dina pedang” maksud dari perkataan kuncen itu adalah hanya untuk supaya membersihkan benda tersebut. Unsur yang kedua ini merupkan unsur yang penting apabila unsur ini tidak ada maka upacara ini tidak memiliki simbol-simbol yang sangat penting dalam melakukan upacara, maka oleh karena itu upacara ini akan dilakukan dengan baik. Unsur yang ke tiga adalah unsur yang ada dalam upacara Nyangku ini adalah 64 Jeruk Nipis, jeruk nipis ini merupakan unsure simbolis dari upacara nyangku ini, jeruk nipis adalah menghilangkan karatan yang ada benda tersebut “te karahaan” artinya supaya benda tersebut tidak berkarat supaya tahan lama pas waktu di simpan kembali. Simbol dari kebudayaan adalah memilki unsur yang berkaitan dengan terjadinya upacara Nyangku ini sampai kapan pun upacara nyangku ini karena upacara ini merupakan banyak dukungan akan terlaksana, karena masyarakat sendiri ikut serta melaksanakan dan sampai kapan pun upacara ini gak akan hilang di panjalu sudah turun temurun. Unsur yang ke empat adalah minyak kelapa atau minyak sayur ini merupakan symbol dari upacara ini, arti symbol ini adalah supaya benda tersebut mengkilap “meh herang” menurut kuncen yang di wawancara. Unsur yang ke empat ini, merupakan yang sangat mendukung terjadinya upacara Nyangku ini sampai kapan pun upacara nyangku ini karena upacara ini merupakan banyak dukungan akan terlaksana, karena masyarakat sendiri ikut serta melaksanakan dan sampai kapan pun upacara ini gak akan hilang di panjalu sudah turun temurun. Dengan unsur-unsur yang telah di uraikan di atas, simbol- simbol dari semua unsur yang ada dalam Upacara Nyangku ini memiliki interaksi antar satu dengan yang lainnya, sebagaimana yang terjadi antara unsur satu dengan unsur yang lainnya itu berkaitan. Colley Mac Millar (1997:492) menerangkan bahwa interaksi sosial sebagai sesuatu yang tidak terlepas dart perkataan bahwa manusia sebagai "sosial " 65 yaitu yang berhubungan timbal balik antara dua atau lebih manusia yang dapat berlangsung secara perorangan, kelompok, individu, atau si pelaku. Georg Simmel mendefinisikan dan menganalisis bentuk-bentuk yang berlulang atau pola-pola sosiasi (sociation) sosiasi itu berarti proses dimana masyarakat itu terjadi sosiasi meliputi interaksi timbal balik, di mana individu saling berhubungan dan saling mempengaruhi, masyarakat itu sendiri muncul. Pola interaksi timbal balik dimana mereka saling mempengaruhi dan berhubungan. Selain unsur yang memiliki simbol dalam upacara keagamaan ini juga, tapi unsur mistis yang terjadi dalam upacara ini, menurut masyarakat panjalu upacara ini sudah benen-bener sakral dan tidak bisa di ubah karena sudah dari nenek moyang atau turun temurun dulu melakukan hal seperti itu, masyarakat sekitar hanya menjalankan kegiatan upacara itu dengan tidak tahu akhimya karena kegiatan itu hanya sebagai rasa sukurnya mereka memperingati kelahiran Nabi Muhammad SAW. Adapun ritual pembersihan benda-benda pusaka tersebut hanyalah sebagai bentuk penghormatan masyarakat kepada Sanghyang Borosngora sebagai penyebar agama Islam di tatar Panjalu. Dengan melakukan sukurnya mereka memperingati kelahiran Nabi Muhammad SAW. Adapun ritual pembersihan benda-benda pusaka tersebut hanyalah sebagai bentuk penghormatan masyarakat kepada Sanghyang Borosngora sebagai penyebar agama Islam di tatar Panjalu. Georg Simmel mendefinisikan dan menganalisis bentuk-bentuk yang berlulang atau pola-pola sosiasi (sociation) sosiasi itu berarti proses dimana 66 masyarakat itu tedadi sosiasi meliputi interaksi timbal balik, mempunyai proses ini, di mana individu saling berhubungan dan saling mempengaruhi, masyarakat itu sendiri muncul. Pola interaksi timbal balik dimana mereka saling mempengaruhi dan berhubungan. Pendekatan ini mengusahakan keseimbangan antara pandangan nominal (yang percaya hanya individu yang rill) dan pandangan realis atau teori organic (yang mengemukakan bahwa kenyataan social itu bersipat indefenden dari individu yang membentuknya). (Robert M. Z ,1994:257) Upacara ini sudah biasa di lakukan oleh masyarakat panjalu ini sebagai salah satu kegiatan keagaman yang telah terjadi sejak leluhur lahir maka, tidak pernah yang tidak melakukan upacara ini hampir setiap masyarakat melakukan Upacara ini apabila biasa dilaksanakan oleh masyarakat Panjalu setiap hari Senin atau Kamis terakhir di Bulan Maulud (Rabiul Awwal). Hal ini dimaksudkan untuk memperingati hari lahirnya Nabi Muhammad SAW, yakni pada tanggal 12 Rabiul Awwal upacara ini. Baik itu dikalangan masyarakat yang memiliki uang maupun masyarakat yang paspasan upacara ini pasti akan terlaksana karena upacara ini memang udah menjadi bagian dari ritualitas kehidupan masyarakat, yang tidak bisa di lepaskan dari kegiatan ini karena aparat pemerintaahan setempat mendukung kegiatan ini, sedangkan para ulama pun tidak mempersoalakan kegiatan upacara Nyangku ini. Jadi baik dari kalangan manapun dan organisasi manapun upacara ini akan tetap terlaksana dengan baik dengan hikmat dan tidak membuat masyarakat mendapatkan konflik atau keriucuhan akibat mengadakan upacara ini, masyarakat 67 menyambut upacara ini dengan gembira yang tidak memiliki kericuhan atau pun dendam yang ada, pati mereka mengadakan upacara ini dengan rukun. Jadi interaksi antara budaya dan agama yang terjadi dimasyarakat Kecamatan Panjalu Kabupaten Ciamis ini dengan proses nyangku ini, jadi budaya agama , yaitu basil-basil pikiran dan prilaku budaya yang menyangkut keagamaan. Budaya agama tersebut sesuai dengan ajaran agama dan kepercayaan masing-masing, ada yang dalam benak manusia berdasrkan kehendak yang diwahyukan Tuhan kepada para Nabi, dan ada yang muncul dalam benak manusia berdasarkan emosi keagamaan pribadi manusia sendiri. Konsep tersebut adalah menyangkut sistem kenyakinaan dan kepercayaan terhadap yang ghaib, yang mana antara ajaran agama dan kepercayaan yang satu berbeda dari yang lain. (H.Hilman, 1993: 26) Terjadi wujud interaksi antara masyarakat agama dengan budaya tersebut merupakan sebuah fenomena yang terjadi di panjalu tersebut, merupakan sesuah proses dari interaksi social budaya, dimana masyarakat beragama dengan budaya yang sudah melekat dalam kehidupan kesehariannya itu tetap berhubungan dengan dan berinteraksi, yang Baling harmonis dan saling toleran. 2.2 Tujuan Upacara Nyangku” Nyangku bertujuan untuk memperingati kelahiran Nabi Muhammad SAW. Adapun ritual pembersihan benda-benda pusaka tersebut hanyalah sebagai bentuk penghormatan masyarakat kepada Sanghyang Borosngora sebagai penyebar agama Islam di tatar Panjalu. Selain itu, pembersihan „pakarang‟ tersebut bertujuan untuk 68 merawat peninggalan sejarah agar tidak hilang atau bahkan terlupakan dimakan zaman. Pelaksanaan upacara itu juga sesungguhnya memiliki substansi yang sama dengan upacara bendera setiap hari Senin atau setiap tanggal 17 Agustus; sama-sama menjalankan peringatan dan penghormatan terhadap sejarah. Pengagungan terhadap benda-benda pusaka sama halnya dengan pengagungan terhadap bendera dan lambang negara. Perbedaan dari keduanya adalah nilai-nilai yang terkandung dalam pelaksanaan kegiatan tersebut. Ada nilai-nilai nasionalisme dalam upacara kenegaraan dan ada nilai-nilai spiritual dalam upacara ritual adat. Jika melihat dari perspektif demikian, maka kita tidak perlu terlalu sarkastik untuk menilai upacara ritual nyangku atau yang sejenisnya sebagai tindakan kemusyrikan. Berbicara mengenai kemusyrikan, hal tersebut bukan terletak pada pelaksanaan upacaranya, melainkan pada penafsiran individu. Alasan yang pertama didasarkan pada informasi bahwa upacara adat nyangku telah ada sejak masa pemerintahan Sanghyang Borosngora yang notabene telah memahami agama Islam sampai telah mampu pergi ke kota Mekkah. Sehingga tentu tidak ada maksud dari Sanghyang Borosngora untuk „menyisipkan‟ kemusyrikan ke dalam upacara tersebut. menurut sesepuh Panjalu yang juga masih keturunan Prabu Borosngora, R. H. Atong Cakradinata, didampingi putranya R. H. Edi Hernawan Cakradinata, tujuan dari kegiatan adat nyangku pada zaman dahulu adalah untuk membersihkan benda pusaka kerajaan Panjalu sebagai salah satu visi penyebaran agama Islam. Selanjutnya saling menghormati dan saling mengurus kelestarian budaya yang 69 ada di Indonesia. Upacara Nyangku merupakan tradisi masyarakat setempat untuk menghormati leluhur raja Panjalu bernama Borosngora, dalam upacara ini ada hal dengan benda-benda peninggalan tersebut, sehingga mereka bermaksud melanggengkan serta meneruskan tradisi dan budaya peninggalan borosngora. Upacara nyangku ini masih dilestarikan oleh masyarakat panjalu karena untuk menghormati leluhurnya, oleh karena itu upacara ini tidak akan pernah hilang sampai kapan pun kerena terlihat begitu antusias masyarakat panjalu dengan upacara nyangku yang ada di Indonesia ini. D.Persepsi ulama dan Masyarakat setempat terhadap Upacara “Nyangku” 1 Persepsi Ulama Setempat mengenai Upacara Nyangku Menurut ulama masyarakat Desa Panjalu melaksanakan upacara seperti itu tidak terlalu di persoalkan itu hanya memperingati kelahiran Nabi Muhammad SAW. Adapun ritual pembersihan benda-benda pusaka tersebut hanyalah sebagai bentuk penghormatan masyarakat kepada Sanghyang Borosngora sebagai penyebar agama Islam di tatar Panjalu. Mensukuri sebagian nilai yang dimiliki oleh manusia itu merupakan suatu yang sangat penting itu adalah keharusan. Ulama setempat tidak melarang melaksanakan upacara Nyangku ini, karena ini tidak akan menduakan Allah SWT atas ini memperingati kelahiran Nabi Muhammad SAW sebagai bentuk penghormatan masyarakat kepada Sanghyang Borosngora sebagai penyebar agama Islam di tatar Panjalu, apabila memiliki maksud upacara ini memeng bertujuannya hal 70 yang lain dan tidak memperbolehkan menyembah pada benda-benda yang disekutukan Allah ini adalah yang disimbolkan saja, dalam upacara Nyangku ini hanya sebagai memperingati, dan membersihkan diri. Dalam pelaksanaan Upacara Nyangku ini, yang terlihat dari tatacara dan pelaksananya memeng relevan dengan kebudayaan Hindu dan Budha, karena adanya beberapa benda yang menjadi sebagai alat penghormatan masyarakat kepada Sanghyang Borosngora sebagai penyebar agama Islam di panjalu. Akan tetapi pihak ulama setempat telah berusaha meluruskan dan menerangkan kepada masyarakat dalam melakukan upacara Nyangku ini dengan keyakinan, ketika akan dimulainya upacara ritual tersebut. Kemudian memang ciri dari kebudayaan tempo dulu dengan secara turun temurun dan dilaksanakan sampai sekarang, tetapi jangan sampai terselip keyakinan dalam hati, apabila mereka menyadari melakukan upacara tersebut merupakan suatu bentuk yang menyimpangan, tapi semua terserah dengan keyakinan masing-masing. 71 BAB IV KESIMPULAN Dari uraian diatas penulis mengemukakan mengenai “ Akomodasi Budaya dan Agama dalam proses Nyangku” (studi kasus di kecamatan Panjalu Kabupaten Ciamis) penulis dapat menarik kesimpulan : 1. Masyarakat panjalu merupakan masyarakat yang masih kuat memenggang kepercayaan pada sifat yang budaya upacara Nyangku, sebagai peninggalan dari lelehur mereka dari sejak dulu. Upacara Nyangku ini untuk memperingati kelahiran Nabi Muhammad SAW. Adapun ritual pembersihan benda-benda pusaka tersebut hanyalah sebagai bentuk penghormatan masyarakat kepada Sanghyang Borosngora sebagai penyebar agama Islam di tatar Panjalu. Selain itu, pembersihan „pakarang‟ tersebut bertujuan untuk merawat peninggalan sejarah agar tidak hilang atau bahkan terlupakan dimakan zaman. 2. Latar belakang proses Nyangku a. Sejarah Nyangku b. Cara membersihkan Benda Pusaka diantaranya: Kain Kafan, tujuh sumber mata air,jeruk nipis. minyak kelapa. c. Tujuan Nyangku 3. Pandangan ulama dan masyarakat yang mengadakan upacara Nyangku, terlaksananya upacara ini pun tidak terlalu kontra mereka merasa tidak terganggu dengan adanya upacara ini, meraka lebih erat kekeluargaan 72 antar warga masyarakat, menurut ulama tidak mengharamkan karena agama tidak melarang, karena semuanya itu rasa sukur kepada maha pencipta yaitu allah yang telah memberikan keselamatan 73