Eksistensi Small Claim Court dalam Mewujudkan Tercapainya Peradilan Sederhana, Cepat, dan Biaya Ringan. Efa Laela Fakhriah1 ABSTRAK Secara konvensional penyelesaian sengketa perdata dilakukan melalui mekanisme gugatan ke pengadilan (litigasi) yang pada praktiknya seringkali memerlukan waktu yang lama untuk menyelesaikan satu perkara, kadang dapat lebih dari satu tahun baru selesai pemeriksaan di satu tingkat Pengadilan Negeri. Akan semakin panjang waktu yang diperlukan bila ada pihak yang mengajukan upaya hukum, baik banding maupun kasasi. Kondisi ini tidak sejalan dengan asas peradilan cepat, sederhana dan biaya ringan sebagaimana diamanatkan oleh undang-undang Kekuasaan Kehakiman. Untuk mengatasi hal ini, Mahkamah Agung telah pula mengeluarkan Surat Edaran No. tahun 1992 yang menegaskan bahwa pemeriksaan perkara perdata yang diajukan ke pengadilan “wajib” diselesaikan dalam waktu 6 bulan pada semua tingkat peradilan. Diharapkan dalam waktu paling lama satu tahun setengah perkara yang diajukan ke pengadilan sudah selesai sampai tingkat Mahkamah Agung. Mekanisme yang panjang dan tidak sederhana sangat tidak menguntungkan untuk menyelesaikan sengketa bisnis yang memerlukan penyelesaian secara cepat, terlebih lagi bagi sengketa-sengketa yang nilai gugatannya kecil. Diperlukan suatu mekanisme penyeelesaian sengketa perdata (bisnis) yang prosesnya cepat, sederhana dan biaya ringan; namun hasilnya berupa putusan hakim yang memiliki kekuatan hukum mengikat seperti halnya yang dikenal dan berkembang di negar-negara maju. Mekanisme demikian dikenal dengan small claim court, yaitu penyelesaian sengketa melalui pengadilan dengan acara cepat dan sederhana sehingga biaya dapat lebih ringan, dengan menggunakan prosedur beracara di luar prosedur dalam menangani perkara perdata biasa, yang diperuntukan bagi perkara perdata dengan nilai gugatan kecil. Melalui mekanisme small claim court, penyelesaian sengketa perdata (bisnis) diharapkan dapat memenuhi asas peradilan cepat, sederhana dan biaya ringan. Kata kunci: small claim court, penyelesaian sengketa 1 Dosen Fakultas Hukum Universitas Padjadjaran Bandung pada mata kuliah Hukum Acara Perdata, Hukum Penyelesaian Sengketa, Hukum Kesehatan. A. Latar Belakang Small Claim Court telah lama berkembang baik dinegara-negara yang bersistem hukum Common Law maupun negara-negara dengan sistem hukum Civil law. Bahkan tumbuh dan berkembang pesat tidak hanya di negara maju seperti America, Inggris, Kanada, Jerman, Belanda tetapi juga dinegara-negara berkembang baik dibenua Amerika Latin, Afrika dan Asia. Hal ini dikarenakan forum penyelesaian sengketa bisnis melalui pengadilan yang efisien, cepat dan biaya perkara murah bagi perkara yang jumlah nilai perkaranya kecil diperlukan dalam dunia bisnis. Pembentukan suatu forum demikian sangat dibutuhkan terutama bagi negara berkembang seperti Indonesia, untuk meningkatkan kepercayaan para investor dalam dan luar negeri guna mengembangkan dunia bisnis. Sengketa bisnis memerlukan penyelesaian secara cepat dan sederhana sehingga biaya perkara relatif lebih sedikit dengan hasil penyelesaian dapat diterima oleh kedua pihak yang bersengketa tanpa menimbulkan masalah baru atau memperpanjang sengketa. Berbagai cara dapat dilakukan untuk menyelesaikan sengketa bisnis, baik melalui pengadilan (litigasi) maupun melalui proses di luar pengadilan (non litigasi/perdamaian), namun untuk penyelesaian sengketa bisnis lebih disukai melalui cara non litigasi meskipun seingkali tidak dapat menyelesaikan masalah secara tuntas, sehingga cara non litigasi bukan juga merupakan pilihan penyelesaian sengketa yang tepat guna. Penyelesaian sengketa melalui Pengadilan (litigasi) dianggap tidak efektif dan efisien sehingga akan mengganggu atau menghambat kegiatan bisnis. Hal ini disebabkan proses berperkara ke pengadilan harus menempuh prosedur beracara yang sudah ditetapkan dan tidak boleh di simpangi, sehingga memerlukan waktu yang lama, tidak melindungi kerahasiaan, serta hasilnya ada pihak yang kalah dan yang menang, sehingga akan memperpanjang persengketaan karena dimungkinkannya melanjutkan perkara ke pengadilan tingkat yang lebih tinggi (upaya hukum); meskipun terdapat asas peradilan yang cepat, sederhana dan biaya murah. Di sisi lain, peyelesaian sengketa secara non litigasi (secara damai) yang didasarkan pada kesepakatan para pihak, ternyata hasilnya tidak memiliki kekuatan mengikat secara formal bagi para pihak , meskipun undang-undang mengharuskan agar kesepakatan para pihak tersebut dituangkan dalam bentuk akta tertulis dan didaftarkan ke Pengadilan Negeri. Selain itu, dalam sistem hukum acara (perdata) yang berlaku, bahwa terhadap akta hasil kesepakatan yang telah dicapai tersebut tidak dapat langsung dimohonkan ke pengadilan untuk dijadikan putusan perdamaian hakim (acta van dading) , melainkan untuk itu para pihak harus tetap menempuh pengajuan gugatan ke pengadilan dengan melampirkan akta kesepakatan dimaksud, baru kemudian dalam persidangan diputus oleh hakim berdasarkan akta perdamain yang telah dicapai para pihak di luar pengadilan tersebut, dengan putusan perdamaian hakim (acta van dading). Cara penyelesaian sengketa non litigasi lainnya adalah melalui arbitrase yang bersifat yudisial (melalui proses peradilan) meskipun Arbitrase bukan merupakan badan peradilan melainkan adalah lembaga penyelesaian sengketa. Dalam praktiknya, melalui lembaga arbitrase juga seringkali tidak mencapai penyelesaian sengketa (bisnis) secara efektif dan efisien, karena sekalipun telah ada pengaturan yang jelas tentang kompetensi mengadili yang absolut antara Pengadilan dengan Arbitrase, para pihak yang bersengketa seringkali masih juga mengajukan sengketanya ke pengadilan dan pengadilan memeriksa serta memutus perkara tersebut. Karenanya penyelesaian sengketa menjadi tidak efektif dan tidak efisien lagi. Upaya yang juga telah dilakukan untuk mengatasi penyelesaian sengketa perdata secara berlarut larut adalah dengan dibentuknya mekanisme mediasi di pengadilan berdasarkan Perma No. 1 tahun 2008 tentang Prosedur Mediasi di Pengadilan, yang mewajibkan seluruh perkara perdata yang diajukan ke pengadilan (kecuali undang-undang menentukan lain) harus di mediasikan terlebih dahulu di pengadilan. Tapi ini pun tidak efektif dan tidak mencapai sasaran untuk mengurangi penumpukan perkara di pengadilan. Demikian pula halnya dengan keberadaan Pengadilan Niaga, yang meskipun dari namanya (sebagai terjemahan dari comersial court) dapat diartikan sebagai pengadilan yang menyelesaikan masalah-masalah sengketa perniagaan, tetapi berdasarkan peraturan perundangan yang berlaku, kompetensi dari Pengadilan Niaga terbatas pada Kepailitan dan sengketa HaKI, bukan pengadilan atas sengketa bisnis secara keseluruhan. Dari pemikiran di atas, maka dirasakan perlu adanya suatu bentuk prosedur penyelesaian sengketa (bisnis), seperti yang dikenal di negara-negara yang menganut sistem common law dengan memberikan kewenangan pada pengadilan untuk menyelesaikan perkara didasarkan pada besar kecilnya nilai objek sengketa, sehingga dapat tercapai penyelesaian sengketa (bisnis) secara cepat, sederhana dan murah, melalui mekanisme yang dinamakan small claim court. Berdasarkan penelitian Bank Dunia (The world Bank-International Finance Corporation-Doing Business 2011) salah satu faktor hambatan dalam penyelesaian sengketa bisnis di Indonesia adalah penyelesaian sengketa pada pengadilan tingkat pertama yang tidak effisien, jangka waktu penyelesaian yang lama dan biaya perkara yang tinggi serta biaya pengacara yang tinggi. Selain alasan di atas small claim court sangat dibutuhkan bagi penyelesaian sengketa yang timbul dalam transaksi bisnis yang dilakukan oleh pengusahan mikro, kecil dan menengah (UMKM). Perkembangan UMKM di Indonesia terus meningkat, krisis keuangan global mengintensifkan fokus kebijakan pada usaha kecil dan menengah sebagai penggerak pertumbuhan ekonomi. Di Indonesia UMKM merupakan bisnis perusahaan yang telah memberikan kontribusi pada pertumbuhan ekonomi Indonesia dengan sekitar 60% dari produk domestic bruto. (The Central Bureau of Statistics, Indonesia, 2010) UMKM juga merupakan perusahaan yang menyediakan lapangan kerja terbesar, membuka mata pencaharian bagi lebih dari 90% tenaga kerja dari suatu negara.2 Small claim court juga menawarkan kepada konsumen untuk menyelesaikan sengketa mereka melalui sistem pengadilan yang cepat bagi perolehan ganti rugi bagi mereka. Small claim court merupakan suatu mekanisme penyelesaian sengketa konsumen untuk mendapatkan kompensasi dalam jumlah yang tidak besar yang timbul dari suatu transaksi jual beli barang atau jasa.3 Menyadari bahwa sistem pengadilan biasa sering di luar jangkauan konsumen rata-rata dengan nilai klaim yang rendah, sejumlah besar negara maju telah memperkenalkan prosedur pengadilan disederhanakan untuk klaim kecil. Prosedur-prosedur ini dirancang sebagai alternatif tradisional informal dispute resolution untuk proses pengadilan sipil, yang memungkinkan individu untuk menyelesaikan sengketa dan pemulihan hak dengan biaya dan beban tidak proporsional dengan jumlah klaim mereka. Menjadi independen, mengikat dan dapat dilaksanakan, small claim court menawarkan konsumen manfaat utama dari sistem peradilan tanpa biaya tinggi, delay dan kompleksitas prosedur prosedural berhubungan dengan pengadilan biasa. Dua puluh negara berikut telah menanggapi menyederhanakan prosedur pengadilan bagi klaim yang nilai perkaranya kecil, seperti: Australia, Austria, Kanada, Perancis, Jerman, Yunani, Hungaria, Irlandia, Italia, Jepang, Korea, Meksiko, Belanda, Norwegia, Polandia, Portugal, Swedia , Swiss, Inggris dan Amerika Serikat. Prosedur-prosedur ini bervariasi secara signifikan antara negara dan bahkan antar daerah di negara yang sama. Variasi dapat dilihat pada jenis prosedur; jenis sengketa dan klaim yang dapat diadili; 2 biaya perkara yang The International Finance Corporation (IFC)- Indonesia. Small Enterprise Development Policies in Indonesia: An Overview. October 2007 dalam Doing Business in Indonesia 2012 A COPUBLICATION OF THE WORLD BANK AND THE INTERNATIONAL FINANCE CORPORATION, Washington, hlm 19. 3 CONSUMER DISPUTE RESOLUTION AND REDRESS IN THE GLOBAL MARKET PLACE OECD , page 6 Copyright OECD, 2006. dibebankan kepada para pihak; dan aksesibilitas secara keseluruhan kepada konsumen ("consumer friendliness"). B. Permasalahan 1. Bagaimana small claim court sebagai mekanisme penyelesaian sengketa bisnis dalam praktiknya? 2. Bagaimana hubungan antara penyelesaian sengketa perdata melalui mekanisme small claim court dengan asas peradilan sederhana, cepat dan biaya ringan? 3. Bagaimana prospektif small claim court dalam sistem peradilan di Indonesia? C. Metode Penelitian Spesifikasi penelitian adalah deskriptif analitis yang bertujuan untuk memperoleh gambaran yang menyeluruh mengenai eksistensi small claims court sebagai mekanisme penyelesaian sengketa bisnis yang memerlukan penyelesaian dengan cepat, sederhana dan murah. Metode pendekatan yang digunakan adalah metode pendekatan yuridis kualitatif yaitu penelitian hukum yang mengutamakan penelitian terhadap bahan pustaka atau data sekunder berupa hukum positif yaitu antara HIR, UU No.48 tahun 2009, Perma No. 1 Tahun 2008 dan Rules of The Small Claims Court Ontario. Data yang diperoleh kemudian akan dianalisis secara kualitatif, kemudian hasil analisis dideskripsikan dalam bentuk laporan penelitian. Tahapan penelitian yang dilakukan adalah penelitian bahan hukum, meliputi : penelitian terthadap bahan hukum primer berupa hukum positif, antara lain HIR, Undang-undang Nomor 48 Tahun 2009, Perma No. 1 Tahun 2008, dan Rules of The Small Claims Court Ontario; Bahan hukum sekunder, yaitu bahan bahan yang erat hubungannya dengan bahan hukum primer antara lain literatur bidang hukum kepailitan dan hukum acara perdata; dan bahan hukum tersier, yaitu bahan yang memberikan informasi tentang bahan hukum primer dan sekunder, antara lain artikel di koran, majalah, dan browsing internet yang berkaitan dengan pokok masalah penelitian. Teknik pengumpulan data terdiri dari: studi literatur, yaitu yang terkait dengan objek penelitian yang turut didukung data data dari internet sebagai data baru yang lebih up to date, dan studi peraturan perundang-undangan. Penarikan kesimpulan dari hasil penelitian yang sudah terkumpul dilakukan dengan metode analisis normatif kualitatif. Normatif karena penelitian bertitik tolak dari peraturan yang ada sebagai hukum positif, asas asas hukum, dan pengertian hukum. Seluruh data yang diperoleh kemudian akan dianalisis secara kualitatif. D. Kajian Teoretik Sebagaimana telah dikemukakan di atas, bahwa penyelesaian sengketa perdata dapat dilakukan baik secara konvensional melalui pengadilan (litigasi) maupun melalui mekanisme penyelesaian sengketa alternatif di luar pengadilan (non litigasi). Litigasi merupakan mekanisme penyelesaian sengketa secara formal yang didasarkan pada penerapan hukum acara perdata dengan tahapantahapan penyelesaian sesuai prosedur beracara. Proses litigasi dimulai dari pengajuan surat gugatan melalui pendaftaran perkara ke pengadilan yang berkompeten, penomoran dan pendistribusian perkara pada majelis hakim dan panitera yang ditunjuk untuk memeriksa, upaya perdamaian/mediasi di pengadilan, tahap proses pemeriksaan perkara di persidangan, dan tindakan pasca putusan hakim sampai dengan pelaksanaan putusan. Proses pemeriksaan perkara di persidangan dimulai dari sidang pertama dengan acara pemeriksaan identitas para pihak dan upaya perdamaian oleh hakim, kemudian siding-sidang berikutnya dengan acara jawaban tergugat, replik, duplik, kesimpulan pertama, pembuktian oleh para pihak, kesimpulan terakhir, dan putusan. Tahapan-tahapan ini memerlukan waktu yang cukup lama, apalagi bila ada pihak yang merasa tidak puas terhadap putusan hakim maka dapat mengajukan upaya hukum ke pengadilan yang lebih tinggi. Keseluruhan proses beracara di pengadilan sebagaimana diuraikan di atas, sudah barang tentu memerlukan waktu yang panjang, setidaknya diperlukan waktu 4 sampai 6 bulan paling cepat untuk persidangan pada pengadilan tingkat pertama (Pengadilan Negeri). Untuk ini, Mahkamah Agung telah mengeluarkan Surat Edaran (SEMA) Nomor 6 tahun 1992, yang menegaskan bahwa pemeriksaan perkara (perdata) pada semua tingkat peradilan “wajib” diselesaikan dalam waktu paling lama 6 bulan. Apabila terjadi keterlambatan maka hakim yang memeriksa wajib melaporkannya pada Ketua Pengadilan Negeri, kemudian KPN mempunyai kewajiban melaporkannya pada pengadilan yang lebih tinggi, dalam hal ini Pengadilan Tinggi. Demikian pula halnya jika keterlambatan pemeriksaan perkara terjadi pada tingkat banding, maka hakim yang memeriksa perkara wajib melaporkannya pada Ketua Pengadilan Tinggi, dan selanjutnya KPT mempunyai kewajiban melaporkannya pada Mahkamah Agung. Namun demikian, pada praktiknya seringkali pemeriksaan perkara (perdata) di pengadilan berlangsung lebih dari 6 bulan, bahkan dapat sampai lebih dari satu tahun untuk setiap tingkat peradilan. Prosedur yang panjang dalam acara pemeriksaan perkar perdata ini tidak mencerminkan asas sederhana, cepat dan biaya ringan; selain itu penyelesaian yang dihasilkan memposisikan adanya pihak yang menang dan kalah saling berhadapan, meskipun dituangkan dalam bentuk putusan hakim yang memiliki kekuatan hukum mengikat bagi para pihak. Asas sederhana, cepat dan biaya ringan merupakan salah satu asas peradilan yang diamanatkan oleh Undangundang No 49 tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman. Sederhana adalah acara yang jelas, mudah difahami dan tidak berbelitbelit. Makin sedikit dan sederhana formalitas-formalitas yang diwajibkan atau diperlukan dalam beracara di muka pengadilan, akan makin baik. Terlalu banyak formalitas yang sukar difahami, atau peraturan-peraturan yang berwayuh arti (dubieus), sehingga memungkinkan timbulnya pelbagai penafsiran, kurangf menjamin adanya kepastian hukum dan menyebabkan keengganan atau ketakutan untuk beracara di muka pengadilan4 Cepat menunjuk pada jalannya peradilan, terlalu banyak formalitas merupakan hambatan bagi jalannya peradilan. Dalam hal ini bukan hanya jalannya peradilan dalam pemeriksaan di muka siding saja, tetapi juga penyelesaian pada berita acara pemeriksaan di persidangan sampai pada penandatanganan putusan oleh hakim dalam pelaksanaannya. Jalannya persidangan yang cepat akan meningkatkan kewibawaan pengadilan dan menambah kepercayaan masyarakat kepada pengadilan. Biaya ringan, dimaksudkan agar dapat dipikul oleh rakyat pada umumnya, biaya perkara yang tinggi dapat menyebabkan pihak yang berkepentingan enggan untuk mengajukan tuntutan hak ke pengadilan. Prosedur pemeriksaan perkara melalui pengadilan sebagaimana di uraikan di atas, dirasakan tidak efektif dan efisien jika digunakan untuk menyelesaikan sengketa bisnis yang memerlukan penyelesaian secara cepat dan prosedur yang lebih sederhana sehingga relatif biaya lebih murah serta hasilnya tidak ada kalah menang bagi para pihak (win-win solution). Cara penyelesaian yang demikian dapat diperoleh melalui mekanisme penyelesaian sengketa alternatif (non litigasi), namun hasilnya hanya berupa kesepakatan para pihak yang tidak dapat dipaksakan pelaksanaannya (tidak memiliki kekuatan hukum mengikat). Sementara pada kenyataannya di masyarakat banyak terjadi sengketa perdata yang memerlukan penyelesaian secara cepat dengan biaya murah, khususnya sengketa bisnis terutama yang nilai gugatannya kecil; Namun memerlukan hasil penyelesaian yang memiliki kekuatan mengikat bagi para pihak sehingga dapat dipaksakan pelaksanaannya manakala para pihak tidak 4 Sudikno Mertokusumo, Hukum Acara Perdata Indonesia, edisi keenam, Liberty, Yogyakarta, 2006, hlm. 36 mau melaksanakan putusan secara sukarela. Karenanya perlu difikirkan suatu bentuk penyelesaian sengketa yang dapat diselesaikan secara sederhana dan cepat namun hasilnya berupa putusan hakim yang memiliki kekutan hukum mengikat bagi para pihak, khususnya bagi sengketa-sengketa bisnis yang memerlukan penyelesaian secara cepat. Di negara-negara maju dikenal suatu mekanisme penyelesaian sengketa yang dilakukan melalui pengadilan (proses litigasi) tetapi dengan menerapkan hukum acara yang sederhana dan singkat, berbeda dengan prosedur beracara di pengadilan (penerapan hukum acara) pada umumnya dalam menangani sengketa perdata biasa. Sehingga proses penyelesaian sengketa dapat dilakukan secara sederhana dan cepat/singkat, sementara hasil penyelesaian yang diperoleh berupa putusan hakim yang mempunyai daya paksa untuk dilaksanakan (kekuatan mengikat). Mekanisme penyelesaian sengketa dimaksud adalah small claim court, dan jenis sengketa yang diselesaikan melalui mekanisme demikian terbatas pada sengketa (bisnis) yang nilai gugatannya kecil dan memerlukan penyelesaian yang cepat. Seperti misalnya tuntutan ganti kerugian yang diakibatkan adanya cacat pada barang yang dibeli oleh konsumen, atau tuntutan ganti kerugian atas utang piutang (wanprestasi) yang nilainya kecil sehingga tidak akan efisien kalau diajukan gugatan ke pengadilan dengan acara biasa. Small claim court didirikan oleh Pengadilan Cleveland pada tahun 1913. Latar belakang sejarah small claim court di Cleveland, adalah ketika gagasan itu muncul sebagai pengadilan pertama yang mengakhiri eksploitasi pada orang miskin dengan menawarkan keadilan yang mengutamakan perdamaian di Cleveland sejak kota tersebut tidak memiliki pengadilan itu sendiri, masyarakat dari Cleveland kemudian menyetujui rancangan undang-undang yang menjadikan terciptanya gagasan small claim court pada tahun 1913. Tanggung jawab utama dari small claim court/tribunal, atau dalam hal ini, pengadilan, adalah untuk melaksanakan keadilan. Dalam hal ini, court/tribunal berkomitmen untuk menyelesaikan sengketa secara efektif dan adil dengan menjunjung tinggi aturan hukum dan meningkatkan akses terhadap keadilan. Berdasarkan Black’s Law Dictionary5, small claim court diartikan sebagai suatu pengadilan yang bersifat informal (di luar mekanisme pengadilan pada umumnya) dengan pemeriksaan yang cepat untuk mengambil keputusan atas tuntutan ganti kerugian atau utang piutang yang nilai gugatannya kecil. Baldwin, dalam bukunya mendefinisikan bahwa small claim court merupakan bentuk jajak pendapat yang bersifat informal, sederhana dan biaya murah, serta kekuatan hukumnya kurang mengikat. Dalam hal ini, pihak yang berperkara diharapkan untuk mengajukan kasusnya sendiri tanpa bantuan dari seorang pengacara dan hakim didorong untuk untuk melakukan pendekatan yang lebih intensif.6 Adapun Tujuan small claim court adalah untuk dapat menyelesaikan perkara gugatan dengan waktu yang cepat, biaya murah dan menghindari proses berperkara yang kompleks dan formal.7 Konsep small claim court adalah badan hukum yang dimaksudkan untuk memberikan solusi yang cepat dan ekonomis untuk menyelesaikan sengketa yang tidak membutuhkan biaya yang mahal. Pada umumnya, small claim court juga diartikan sebagai “Pengadilan Rakyat”8 yang nyata. Hal ini sejalan dengan maksud dibentuknya small claim court adalah untuk menyediakan formalitas kecil dan teknis sebagai pertimbangan yang tepat mengenai materi gugatan9, pemeriksaan perkara yang tidak rumit untuk menyelesaikan sengketa yang bersifat sederhana yang tidak membutuhkan uang yang banyak untuk menjamin biaya litigasi formal.10 Selain itu, kedua belah pihak akan 5 Bryan A. Gardner, Black’s Law Dictionary, 8th edition, West Publishing, 2004. John Baldwin, Small Claims in the County Courts in England and Wales, Oxford: Oxford University Press, 2003 7 Christopher J. Wheelan, SMall CLaims Courts - A Comparative Study, New York: Oxford University Press, 1990. 8 Texas Young Lawyers Association and the State Bar of Texas, How to Sue in Small Claims Court, 5th Edition, 2009, page 1. 9 Lokal Courts Act 2007 s35(2), New South Wales Consolidated Acts. 10 Stephanie Francis Ward, ABA Journal, “Mr. Small Claims Makes a Career on Volume”, Oktober 2011 6 mengajukan gugatan masing-masing kepada hakim dan biasanya hakim tidak perlu memiliki pengetahuan yang luas mengenai hukum itu sendiri untuk diterapkan dalam sebuah sengketa yang bersifat sederhana. Mekanisme beracara (prosedur) small claim court bervariasi dari satu negara ke negara yang lain. Di Irlandia, mekanisme ini didefinisikan sebagai sebuah pelayanan yang dijalankan oleh Pengadilan Negeri mengenai gugatan yang diajukan oleh konsumen terhadap penyedia barang atau jasa,11 namun ini menunjukkan bahwa small claim court di Irlandia hanya berkaitan dengan gugatan yang melibatkan konsumen yang mengalami kerugian. Namun demikian, kebanyakan tidak hanya berkaitan dengan gugatan konsumen, tetapi juga pada setiap sengketa perdata lainnya. Oleh karena itu, small claim court lebih sering disebut sebagai Tribunal Small Claim atau Small Claims Procedure, yang lebih lanjut bisa dianggap sebagai pengadilan dengan prosedur yang cepat yang pada umumnya dipisahkan tetapi di bawah yurisdiksi pengadilan pertama. Dengan adanya pengadilan yang memiliki prosedur penyelesaian sengketa yang cepat maka akan banyak sengketa yang ditangani secara cepat pula dengan verifikasi yang sederhana. Di sejumlah negara, klaim konsumen yang membutuhkan biaya yang kecil diselesaikan oleh pengadilan tingkat pertama berdasarkan prosedur yang disederhanakan dan/atau prosedur dipercepat. Sangat sering, pengadilan ini memiliki divisi atau bagian yang terpisah untuk menangani klaim yang membutuhkan biaya yang kecil. Sebagai contoh, di Australia, semua negara bagian dan teritori memiliki small claim court atau administrasi tribunal yang diberikan oleh pengadilan Magistrates. Di Jepang, small claim berdasarkan yurisdiksi pengadilan 11 Robert McDonagh, et. al., Benchmarking of existing national legal e-business practices:Country Report of Ireland, 1998, page 3. ringkasan, yang memiliki prosedur informal untuk menyelesaikan kasus secepatnya. Di Jerman, pengadilan dapat menyelesaikan sengketa nilai rendah sipil dan komersial dengan prosedur disederhanakan. Di Yunani, pengadilan daerah beroperasi di bawah prosedur disederhanakan ketika menyelesaikan small claim. Di Irlandia, ada prosedur small claim tersedia di pengadilan distrik. Di Norwegia, ada prosedur khusus yang tersedia di pengadilan negeri untuk penyelesaian small claim, dan diskusi sedang berlangsung tentang peningkatan sistem. Di Polandia, prosedur disederhanakan baru untuk small claim diperkenalkan ke dalam kode sipil pada tahun 2000. Prosedur ini adalah wajib bagi semua sengketa jatuh di bawah ambang batas nilai uang tertentu. Di Swedia, ada prosedur small claim yang tersedia di pengadilan sipil. Di Inggris ada prosedur khusus, dikenal sebagai jalur small claim yang digunakan dalam pengadilan daerah untuk menyelesaikan small claim (perkara perdata dengan nilai gugatan yang kecil). E. Pembahasan 1. Pelaksanaan mekanisme penyelesaian sengketa bisnis melalui Small Claim Court Small calim court yang pertama di Amerika Serikat dikembangkan pada awal abad kedua puluh karena proses formal peradilan sipil yang begitu kompleks, rumit, dan mahal yang tidak dapat digunakan oleh sebagian besar orang yang memiliki penghasilan atau pengusaha kecil yang memiliki upah atau rekening untuk mengumpulkan biaya yang terlalu kecil untuk membenarkan biaya dan penundaan dari prosedur sipil formal. Sebagai sarana yang murah penagihan utang, model ini awalnya diadopsi di Amerika Serikat yang meliputi lima komponen utama.12 12 Steven Weller, John C Ruhnka, and John A Martin, “American Small Claim Courts,” in Small Claim Courts: A Comparative Study edited by Chiristopher J Whelan, Oxford, Clarendom Press, 1990, page 5 a. pengurangan biaya pengadilan b. penyederhanaan proses permohonan c. Prosedur percobaan sebagian besar diserahkan kepada kebijaksanaan hakim pengadilan, dan aturan formal dari bukti yang telah diseleksi. d. Hakim dan panitera pengadilan yang diharapkan dapat membantu berperkara baik dalam persiapan percobaan dan di pengadilan sehingga perwakilan oleh pengacara akan sebagian besar tidak diperlukan. e. Hakim diberi kekuatan untuk pembayaran angsuran secara langsung Sengketa-sengketa yang dapat diajukan ke small claim court adalah kasus perdata13, seperti misalnya klaim mereka yang berkaitan dengan: a. Utang piutang berdasarkan perjanjian: rekening yang belum dibayar untuk barang atau jasa yang dijual dan dikirimkan, pinjaman yang belum dibayar, sewa yang belum dibayar, dan upah yang belum dibayar b. Klaim untuk: kerusakan property, pengembalian property, cedera akibat perbuatan, dan pelanggaran kontrak Beberapa kasus perdata tidak dapat diajukan ke small claim court, seperti misalnya:14 perbedaan pendapat tentang judul untuk real properti, pengembalian kepemilikan real properti, penggusuran, klaim terhadap pemerintah, tindakan untuk menyita atau menegakkan hukum, klaim yang timbul dari malpraktek professional (misalnya, dugaan malpraktik oleh 13 Sioux Falls, Business Journal a Gannett Company, Displaying 100 of 30,566 Small Claims Court Judgment, 2006 14 Alaska Court System, Alaska Small Claims Handbook, 19th Edition, 2011, page 1 dokter, dokter gigi atau pengacara), klaim untuk tunjangan perkawinan, klaim yang timbul dari pengesahan hakim. Small claim court merupakan mekanisme penyelesaian sengketa melalui pengadilan (litigasi) dengan prosedur yang terpisah (berbeda) dari prosedur pengadilan biasa, karenanya dikatakan juga sebagai pengadilan informal untuk menyelesaikan gugatan perdata dengan nilai gugatan yang kecil (relatif). 2. Penyelesaian sengketa perdata melalui mekanisme small claim court guna menunjang asas peradilan sederhana, cepat dan biaya ringan Konsep small claim court adalah badan hukum yang dimaksudkan untuk memberikan solusi yang cepat dan ekonomis untuk menyelesaikan sengketa yang tidak membutuhkan biaya yang mahal. Pada umumnya, small calim court juga diartikan sebagai “Pengadilan Rakyat”15 yang nyata. Hal ini sejalan dengan maksud dibentuknya small claim court adalah untuk menyediakan formalitas kecil dan teknis sebagai pertimbangan yang tepat mengenai materi gugatan16, pemeriksaan perkara yang tidak rumit untuk menyelesaikan sengketa yang bersifat sederhana yang tidak membutuhkan uang yang banyak untuk menjamin biaya litigasi formal. Selain itu, kedua belah pihak akan mengajukan gugatan masing-masing kepada hakim dan biasanya hakim tidak perlu memiliki pengetahuan yang luas mengenai hukum itu sendiri untuk diterapkan dalam sebuah sengketa yang bersifat sederhana. Tuntutan untuk dapat memenuhi asas peradilan yang sederhana, cepat dan biaya ringan, telah diamanatkan oleh Pasal 2 ayat (4) Undang Undang No. 48 tahun 2009 Tentang Kekuasaan Kehakiman. Lebih lanjut di dalam penjelasannya dikatakan bahwa “sederhana” adalah pemeriksaan danpenyelesaian perkara dilakukan dengan cara efesien dan efektif. Yang 15 Texas Young Lawyers Association and the State Bar of Texas, How to Sue in Small Claims Court, 5th Edition, 2009, page 1. 16 Local Courts Act 2007 s35(2), New South Wales Consolidated Acts. dimaksud dengan “biaya ringan” adalah biaya perkara yang dapat dijangkau oleh masyarakat. Namun demikian, asas sederhana, cepat, dan biaya ringan dalam pemeriksaan dan penyelesaian perkara di pengadilan tidak mengesampingkan ketelitian dan kecermatan dalam mencari kebenaran dan keadilan. Mekanisme beracara (prosedur) small claim court bervariasi dari satu negara ke negara yang lain. Di Irlandia, small claim court didefinisikan sebagai sebuah pelayanan yang dijalankan oleh Pengadilan Negeri mengenai gugatan yang diajukan oleh konsumen terhadap penyedia barang atau jasa,17 namun ini menunjukkan bahwa small claim court di Irlandia hanya berkaitan dengan gugatan yang melibatkan konsumen yang mengalami kerugian. Namun demikian, kebanyakan small claim court tidak hanya berkaitan dengan gugatan konsumen, tetapi juga pada setiap sengketa perdata lainnya. Hal ini lebih lanjut akan diuraikan di bawah ini. Oleh karena itu, smaal claim court lebih sering disebut sebagai Tribunal Small Claim atau Small Claims Procedure, yang lebih lanjut bisa dianggap sebagai pengadilan dengan prosedur yang cepat yang pada umumnya dipisahkan tetapi di bawah yurisdiksi pengadilan pertama. Dengan adanya pengadilan yang memiliki prosedur penyelesaian sengketa yang cepat maka akan banyak sengketa yang ditangani secara cepat pula dengan verifikasi yang sederhana. Small calim court dimaksudkan untuk meningkatkan akses ke pengadilan dengan menyediakan “layanan yang bersifat cepat, murah dan adil bagi para pihak yang kekurangan dari segi finansial. Tingginya biaya proses hukum dapat menjadi penghalang untuk memperoleh keadilan, terutama 17 Robert McDonagh, et. al., Benchmarking of existing national legal e-business practices:Country Report of Ireland, 1998, page 3. dalam kasus dimana jumlah gugatannya tidak banyak. Untuk mengatasi hal ini, biaya pengajuan gugatan ke Pengadilan diupayakan sangat terjangkau. Untuk menyeimbangkan prosedur beracara, dan meminimalkan biaya litigasi, tidak ada pihak yang diwakili oleh penasehat hukum. Sebaliknya, mereka harus muncul secara pribadi dan menyampaikan gugatan mereka sendiri. Proses peradilan juga dilakukan secara informal. Prosedur informal dan sederhana dari Pengadilan akan menjadi efektif dan memungkinkan orang awam pun untuk mengajukan kasusnya sendiri dengan mudah. Bila dilihat dari pengertian tentang small claim court sebagai mekanisme penyelesaian sengketa perdata melalui pengadilan tetapi dengan menggunakan penerapan hukum acara yang singkat, sederhana dan cepat (berbeda dengan penyelesaian perkara pada umumnya) dan tujuannya adalah untuk dapat menyelesaikan sengketa perdata (bisnis) yang nilai gugatannya kecil sehingga dapat diselesaikan secara efisien dan efektif , maka mekanisme small claim court dapat dijadikan sebagai salah satu penunjang tercapainya/terlaksananya asas peradilan yang sederhana, cepat dan biaya ringan; sebagaimana diharapkan oleh masyarakat pencari keadilan. 3. Prospektif Small Claim Court dalam sistem peradilan di Indonesia Keberadaan small claim court adalah untuk menjembatani antara penyelesaian sengketa secara non litigasi yang hasilnya tidak memberikan kekuatan mengikat dengan penyelesaian secara litigasi yang lebih memberikan kepastian hukum, sehingga diperoleh suatu mekanisme penyelesaian sengketa yang cepat, sederhana dan biaya ringan dengan putusan yang mempunyai kekuatan mengikat karena diselesaikan dalam jalur litigasi serta mekanisme pemeriksaan perkara yang terpisah dari pemeriksaan perkara secara kontradiktoir (biasa). Mekanisme small claim court berada dalam jalur penyelesaian sengketa melalui pengadilan, akan tetapi dengan prosedur beracara yang berbeda dengan proses pemeriksaan perkara perdata biasa, yaiu dengan acara singkat (sederhana). Karenanya putusan small claim court sama kekuatan hukumnya dengan putusan hakim pengadilan pada umumnya. Secara kelembagaan, mekanisme small claim court berada di Pengadilan Negeri, akan tetapi acara pemeriksaan perkaranya berbeda dengan pemeriksaan perkara secara kontradiktoir (acara pemeriksaan perkara biara) Jenis perkara yang dapat diselesaikan melalui small claim court yaitu perkara-perkara dengan nilai gugatan kecil yang dapat diselesaikan dalam waktu singkat dengan ditangani oleh hakim tunggal, yaitu perkara perdata yang nilai ekonomi gugatannya relatif kecil dan tidak memerlukan proses administrasi perkara serta pembuktian yang kompleks serta dapat diselesaikan dengan hukum acara singkat/sederhana, seperti konsumen, antara lain: sengketa utang piutang, jual beli barang, klaim kerusakan barang, biaya jasa pelayanan, sengketa UMKM, dan sengketa-sengketa lain yang timbul dari hubungan kontraktual Dengan demikian dapat diberikan batasan terhadap tolok ukur perkara untuk dapat digolongkan ke dalam perkara kecil/ringan sehingga dapat diselesaikan melalui small calim court, yaitu: a. nilai sengketa/gugatannya kecil b. tidak kompleks permasalahannya, c. tuntutan haknya sederhana d. tidak menggunakan jasa pengacara e. diperiksa dan diputus oleh hakim tunggal f. pelaksanaan sidang maksimal 3 kali sidang dengan lama waktu 1 bulan sudah diputus oleh hakim g. pembuktiannya sederhana a. Nilai Gugatan Tolok ukur suatu perkara dikatakan sebagai gugatan dengan nilai yang kecil relatif, tidak dapat disamakan untuk setiap wilayah hukum di Indonesia, tergantung pada keadaan sosial ekonomi masyarakatnya dan pemahaman serta ketaatan hukum masyarakat. Hal ini mengingat untuk berhasilnya penyelesaian sengketa melalui small claim court diperlukan komitmen yang tinggi dari para pihak. Dengan pertimbangan di atas, nilai gugatan perdata yang dapat diselesaikan melalui small claim court maksimal 100 juta rupiah. dengan diberikan kebebasan kepada masing-masing pengadilan untuk menentukan besaran nilai gugatan lyang dapat diajukan melalui small claim court melebihi batas maksimal. b. Bentuk Pengaturan Idealnya diatur dalam undang-undang yang secara khusus mengatur tentang acara perdata, dalam hal ini UU Hukum Acara Perdata (yang sampai saat ini masih berbentuk RUU), namun karena proses untuk diundangkan menjadi UU lama dan masih belum jelas, maka diusulkan pengaturan dalam bentuk lain. Pengaturan dalam bentuk Peraturan Mahkamah Agung dianggap lebih tepat untuk mengatasi penanganan perkara perdata (khususnya sengketa bisnis) yang menumpuk di pengadilan. Di samping itu juga memberikan kepastian hukum bagi masyarakat pencari keadilan yang menghendaki penyelesaian sengketa secara cepat, murah dan sederhana tetapi hasilnya (putusannya) tetap mempunyai kekuatan mengikat karena diputus oleh hakim melalui proses peradilan. c. Kompetensi Pengadilan Dalam mekanisme small claim court berlaku asas actor sequitor forum rei, artinya bahwa pengadilan yang berwenang untuk mengadili perkara perdata dengan mekanisme small claim court adalah Pengadilan Negeri di wilayah hukum mana Tergugat bertempat tinggal, atau ke Pengadilan Negeri tempat dimana perbuatan hukum dimaksud dilakukan, d. Mekanisme Pembuktian Pembuktian dilakukan secara sederhana oleh kedua pihak yang bersengketa dengan menggunakan alat bukti salah satu diantara: Surat, saksi, persangkaan-persangkaan, pengakuan, sumpah, dan keterangan saksi ahli. Sedangkan alat bukti lainnya seperti persangkaan, dan pemeriksaan setempat tidak digunakan karena dalam pelaksanaannya akan memerlukan waktu lama sehingga pembuktiannya menjadi tidak sederhana. Dalam pembuktian yang sederhana, asas unus testis nullus testis tidak perlu diterapkan. e. Prosedur/mekanisme beracara Perkara /gugatan langsung diajukan oleh para pihak yang berkepentingan sebagai masyarakat pencari keadilan tanpa bantuan pengacara agar biaya lebih murah dan penyelesaian lebih cepat. Dalam hal pihak yang mengajukan gugatan perlu bantuan pengacara (karena sama sekali tidak mengerti hukum) dapat menggunakan bantuan hukum cuma-Cuma, melalui POSBAKUM (Pos Bantuan Hukum) yang ada di setiap Pengadilan Negeri. f. Jangka Waktu Pemeriksaan Perkara Jangka waktu pemeriksaan dan penyelesaian sengketa sampai putusan hakim selama 1 bulan/4 minggu dengan rincian sbb Minggu I: Persiapan pengajuan gugatan, pengajuan gugatan ke Pengadilan, membayar biaya perkara, penomoran perkara, pendistribusian perkara kepada hakim pemeriksa, dengan Hakim pemeriksa tunggal, penunjukan Panitera perkara, dan pemanggilan para pihak untuk bersidang Minggu II : Persidangan pertama dengan acara, pemeriksaan gugatan dan jawab menjawab Minggu III: Persidangan kedua dengan acara pembuktian para pihak (dilakukan secara cepat dan sederhana) Minggu IV: Persidangan ketiga dengan acara penjatuhan putusan oleh dan pelaksanaan putusan (sifat putusan final dan mengikat, tidak ada upaya hukum) F. Kesimpulan Sebagaiman telah diuraikan di atas bahwa untuk menyelesaikan sengketa bisnis diperlukan suatu mekanisme penyelesaian sengketa yang cepat, sederhana dan biaya rtelatif murah sehingga dapat lebih efektif dan efisien. Penyelesaian sengketa yang demikian dapat dilakukan melalui penyelesaian sengketa secara damai di luar pengadilan (non litigasi), namun hasil yang didapatkan berupa kesepakatan damai antara para pihak yang bersengketa tidak memiliki daya paksa (kekuatan hukum) bagi para pihak, sehingga seringkali tidak kesepakatan yang telah dicapai ditaati/dilaksanakan. Di sisi lain, penyelesaian sengketa bisnis dapat pula diselesaikan melalui jalur litigasi, namun penyelesaian sengketa melalui pengadilan dianggap tidak efisien dan juga tidak efektif meskipun hasilnya yang berupa putusan hakim mempunyai kekuatan mengikat (kekuatan eksekutorial) bagi para pihak yang bersengketa. Mekanisme ini memerlukan waktu penyelesaian sengketa yang lama dan tidak sederhana prosedurnya sehingga biaya yang dikeluarkan dapat lebih besar, dan juga hasilnya memposisikan para pihak yang bersengketa pada posisi kalah dan menang. Karenanya persengketaan terus berlanjut dan pada gilirannya akan merusak hubungan bisnis yang telah terjalin sebelumnya. Dengan melihat kedua kondisi di atas, maka kiranya perlu untuk difikirkan suatu mekanisme penyelesaian sengketa bisnis yang dilakukan secara damai dengan kesepakatan para pihak, akan tetapi prosesnya dilakukan di pengadilan dengan prosedur beracara di luar (berbeda dengan) mekanisme beracara dalam menangani perkara perdata biasa. Mekanisme beracaranya dilakukan secara sederhana, cepat dan biaya menjadi lebih ringan, dan putusannya berupa putusan hakim yang mempunyai kekuatan mengikat. Small claim court merupakan suatu mekanisme penyelesaian sengketa yang dapat menyelesaikan sengketa bisnis secara efisien dan efektif, mengingat small claim court diartikan sebagai suatu pengadilan yang bersifat informal (di luar mekanisme pengadilan pada umumnya) dengan pemeriksaan yang cepat untuk mengambil keputusan atas tuntutan ganti kerugian atau utang piutang yang nilai gugatannya keci. G. Daftar Pustaka Alaska Court System, Alaska Small Claims Handbook, 19th Edition, 2011. Bryan A. Gardner, Black’s Law Dictionary, 8th edition, West Publishing, 2004. Christopher J. Wheelan, SMall CLaims Courts - A Comparative Study, New York: Oxford University Press, 1990 CONSUMER DISPUTE RESOLUTION AND REDRESS IN THE GLOBAL MARKET PLACE OECD, Copyright OECD, 2006. John Baldwin, Small Claims in the County Courts in England and Wales, Oxford: Oxford University Press, 2003 Local Courts Act 2007 s35(2), New South Wales Consolidated Acts. Robert McDonagh, et. al., Benchmarking of existing national legal ebusiness practices:Country Report of Ireland, 1998. Sioux Falls, Business Journal a Gannett Company, Displaying 100 of 30,566 Small Claims Court Judgment, 2006. Stephanie Francis Ward, ABA Journal, “Mr. Small Claims Makes a Career on Volume”, Ontario, Oktober 2011 Steven Weller, John C Ruhnka, and John A Martin, “American Small Claim Courts,” in Small Claim Courts: A Comparative Study edited by Chiristopher J Whelan, Oxford, Clarendom Press, 1990. Sudikno Mertokusumo, Hukum Acara Perdata Indonesia, edisi keenam, Liberty, Yogyakarta, 2006 Sudikno Mertokusumo, Hukum Acara Perdata Indonesia, edisi keenam, Liberty, Yogyakarta, 2006. Texas Young Lawyers Association and the State Bar of Texas, How to Sue in Small Claims Court, 5th Edition, 2009 The International Finance Corporation (IFC)- Indonesia. Small Enterprise Development Policies in Indonesia: An Overview. October 2007