ANALISIS ELEMEN RUANG PADA THEME PARK DAN PENGARUHNYA PADA SENSASI DAN PERSEPSI MANUSIA Gabriela Jennifer, Enira Arvanda Departemen Arsitektur, Fakultas Teknik, Universitas Indonesia Email: [email protected] Abstrak Skripsi ini membahas mengenai bagaimana tema menjadi metode perancangan ruang pada theme park yang kemudian berpengaruh terhadap bagaimana manusia menerima sensasi dan persepsi didalamnya. Arsitektur, seperti yang kita ketahui, menjadi medium ruang yang selalu dialami manusia. Sementara tema, merupakan suatu cara dalam memberikan suatu konsep nyata kepada suatu pengalaman. Menerapkan tema pada ruang arsitektur, khususnya theme park, menjadi topik utama yang dianalisa dengan melihat keterhubungan tersebut. Dengan mengambil World Bazaar (Tokyo Disneyland) sebagai studi preseden dan Studio Central (Trans Studio Bandung) sebagai studi kasus, skripsi ini mengupas bagaimana strategi yang diterapkan kedua theme park dalam penerapan tema yang dilakukan. Satu cara yang membedakan metode penerapan tema pada arsitektur dengan metode lainnya adalah, dilakukannya manipulasi terhadap segenap indera lewat elemen-elemen ruang yang membentuknya sehingga menimbulkan sensasi yang menggugah dan persepsi berupa keadaan hiper-realitas. Temuan pada skripsi ini adalah bagaimana arsitektur dapat berperan besar pada penciptaan suatu kondisi tertentu dengan pengaturan elemen ruang didalamnya, sehingga manusia dapat menerima sensasi dan persepsi yang lebih terarah. Spatial Element Analysis of Theme Park: Its Effect To Human Sensation And Perception Abstract This paper discuss about how theme used as a method on designing theme park and how human receive the sensation and the perception inside the space. Architecture, as we all know, is a space that is always experienced by human. Theme, on the other hand, is a method to bring a factual concept to the experience. The use of a theme on architectural space, especially theme park, become the main topic in this study, related to that connection. With World Bazaar (Tokyo Disneyland) as a precedent and Studio Central (Trans Studio Bandung) as a case study, this study will analyze the strategy between the two study with the use of theme on the two. One way that differentiate this method to the others is by using the manipulation on human senses with the arrangement of spatial elements, so it will create an enhanced sensation and hiperreality as perception. This study find out that architecture could be a big role in deciding what condition human will experience with the arrangement of spatial elements in it, so that human can receive a more directed sensation and perception. Keywords: theme, theme park, sensation, perception Pendahuluan Arsitektur, seperti kita ketahui, selalu berbicara mengenai pengalaman ruang. Arsitektur tentu menjadi faktor penting dalam menentukan apa yang dirasakan manusia pada suatu tempat. Elemen-elemen ruang dalam arsitektur berperan dalam merangsang stimulus manusia (baik lewat elemen visual, aroma, maupun akustik) dan membentuk sensasi serta persepsi tertentu, 1 Penerapan scaffolding…, Amelia Irawan, FPsi UI, 2014 Universitas Indonesia seperti yang diungkapkan oleh Tuan (1977). Sensasi dan persepsi yang dihasilkan dari kombinasi elemen-elemen ruang tersebut tentu akan berbeda di setiap ruang yang ada. Hal inilah yang mendasari manusia dalam merasakan suatu emosi tertentu dalam kegiatan mengalami ruang. Pemilihan topik penelitian ini pada awalnya didasari oleh rasa ingin tahu penulis terhadap bagaimana pengalaman yang terjadi pada ruang-ruang tertentu dapat menimbulkan perasaan dan emosi tertentu. Salah satu contoh kasus yang penulis alami sendiri adalah bagaimana penulis berkunjung ke Tokyo Disneyland, sebuah ruang bermain / rekreasi tematik yang akrab kita sebut theme park. Diluar ketakutan penulis terhadap atraksi-atraksi menyeramkan, pengalaman berjalan menyusuri area-area tematik di dalam Tokyo Disneyland sendiri menjadi sebuah pengalaman yang menyenangkan bagi penulis. Disamping mengalami atraksi-atraksi yang terdapat dalam theme park, kesenangan dan pengalaman yang menyenangkan ternyata juga terasa lewat suasana / atmosfer yang terjadi di theme park ini sendiri, sehingga tanpa perlu mengalami atraksi-atraksi yang ada didalam taman bermainpun, penulis dapat mengalami bagaimana theme park ini memberikan perasaan menyenangkan lewat kesatuan elemen yang terjadi didalamnya. Hal inilah yang kemudian menjadi isu menarik untuk dibahas dalam penulisan ini. Bagaimana penulis merasakan pengalaman yang menyenangkan menjadi fenomena awal yang memicu untuk menganalisis bagaimana theme park mampu memberikan pengalaman ruang yang berbeda dan menyenangkan bagi pengunjung yang mengalaminya lewat penerapan tema didalamnya. Untuk mencapai hal-hal yang terkait dengan latar belakang di atas, penulis menjabarkan beberapa pertanyaan penting untuk dijawab: 1. Bagaimana tema menjadi dasar perancangan yang dipakai pada theme park untuk menimbulkan perasaan menyenangkan dan memicu fantasi? 2. Bagaimana indra manusia dimanipulasi di dalam theme park untuk menimbulkan sensasi dan persepsi tertentu? Tujuan dari dilakukannya penelitian ini adalah untuk mendalami fenomena ruang tematik yang dapat menimbulkan perasaan bahagia dan menemukan kaitan antara desain ruang tematik dengan pengalaman yang dirasakan oleh manusia didalamnya. Hal yang ingin penulis capai dengan mendalami topik theme park dan hubungannya dengan perasaan manusia adalah agar dapat mengetahui bagaimana elemen-elemen arsitektur seperti bentuk ataupun warna 2 Penerapan scaffolding…, Amelia Irawan, FPsi UI, 2014 Universitas Indonesia dapat mempengaruhi perasaan manusia, serta mengetahui elemen-elemen yang diterapkan dalam theme park yang menjadi pembentuk mood dan suasana tertentu pada theme park. Dengan mengetahui kaitan dari sebuah desain tematik terbangun dan perasaan yang dialami manusia, diharapkan penulis mendapatkan pengertian yang lebih mendalam mengenai bagaimana suatu desain dapat mempengaruhi emosi manusia untuk menjadi bekal mendesain di kemudian hari. Tinjauan Teoritis “Architecture is not about the conditions of design but about the design of conditions that will dislocate the most traditional and regressive aspects of our society and simultaneously reorganize these elements in the most liberating way,...” ungkapan Tschumi (1999) tersebut menunjukkan bahwa arsitektur merupakan salah satu cara menciptakan suatu kondisi tertentu, ia kemudian melanjutkan, “...so that our experience becomes the experience of events organized and strategized through architecture.” (Tschumi, 1999, hal.259) Ungkapan Tshcumi tersebut mengungkapkan bahwa arsitektur menentukan apa yang akan kita alami dan rasakan pada suatu tempat. Arsitektur menstrategikan sesuatu yang spesifik untuk mengarahkan manusia mengalami suatu kondisi tertentu. Dalam topik ini akan dibahas bagaimana theming digunakan sebagai metode atau strategi dalam arsitektur untuk menciptakan suatu kondisi tertentu dan pengalaman ruang seperti apa yang dihasilkan. Pengertian mengenai theming sendiri menurut Gottdiener (2001) dalam bukunya yang berjudul The Theming of America, merupakan perlakuan terhadap sebuah pengalaman, berupa pemberian konsep atau gagasan major yang diterapkan pada suatu lingkungan. Hal tersebut terkait dengan bagaimana tema membentuk sebuah pengalaman dan bagaimana kita memahami ruang bertema yang kita alami tersebut. Dapat dikatakan bahwa memberi theming pada suatu pengalaman ruang sama dengan memberi identitas dan membentuk sense of place. Pemikiran tentang konsep lingkungan bertema sendiri pertama kali muncul dan dipopulerkan oleh Walt Disney (Hench, 2008), dimana ia menyebutkan bahwa sebuah lingkungan bertema merupakan sebuah tempat yang didesain agar setiap elemennya berkontribusi dalam menyampaikan sebuah jalan cerita (narasi). Narasi merupakan kumpulan sequence yang membawa manusia kepada pengalaman ruang yang berkelanjutan dan kesinambungan antar 3 Penerapan scaffolding…, Amelia Irawan, FPsi UI, 2014 Universitas Indonesia ruang dalam sebuah desain (Psarra, 2009). Seperti yang diungkapkan oleh Psarra (2009), narasi menginvansi arsitektur dalam proses terbentuknya ruang untuk memberikan efek spesial kepada persepsi manusia yang mengalaminya. Sebuah tempat bertema, diungkapkan oleh Sorkin (1992), merupakan sebuah lingkungan (karena menyangkut elemen-elemen lain didalamnya) yang dirancang secara konseptual sehingga menciptakan sebuah lingkungan terkontrol dan persepsi yang general (lingkungan simulatif). Tiga karakteristik yang membangun tempat bertema menurut Sorkin, antara lain: - Melonggarkan ikatan dengan pengertian ruang yang spesifik dan menggantinya dengan sesuatu yang memiliki pengertian universal. - Tingginya tingkat pengawasan dengan meningkatkan level manipulasi dan penjagaan terhadap penghuninya dan penyebaran mode segregasi. - Membuat suatu kenyataan baru berupa sebuah kota simulasi. Hal hal diatas menunjukkan bahwa arsitektur menjadi media bagi terciptanya sebuah tempat bertema, namun akibatnya adalah arsitektur yang hadir hampir semua bersifat semiotik. Tempat bertema yang dikhususkan dalam topik penelitian ini adalah theme park yang merupakan salah satu contoh arsitektur tematik. King (2002) mengungkapkan bahwa theme park adalah sebuah taman hiburan / amusement park (ruang sosial yang berupa koleksi hiburan / atraksi) yang disertai dengan penerapan tema pada seluruh (atau perbagian) zona sehingga memberikan nilai lebih kepada desain taman bermain tersebut. Nilai yang didapat dari penambahan tema kedalam taman hiburan yaitu berupa imersi terhadap perjalanan yang dilakukan didalam suatu lingkungan tematik menuju hiburan-hiburan yang terdapat didalamnya. Selain itu, seperti telah diungkapkan oleh Sorkin (1992), sebagai sebuah kota simulasi, theme park memiliki elemen kota yang mendukungnya dalam membawa pengunjung mengalami impresi tertentu. Selain itu untuk menimbulkan impresi yang melekat di ingatan pengunjung, sebuah kota haruslah memiliki elemen visual berupa terminating vista. Terminating vista sendiri merupakan sebuah objek berupa gedung atau monumen yang berdiri di akhir sebuah jalan dan berfungsi sebagai daya tarik estetik yang membangun citra sebuah kota. Seperti telah dijelaskan sebelumnya, sebuah theme park hadir dengan bentukan arsitektur yang bersifat semiotik. Semiotik atau studi mengenai tanda (sign) sendiri terjadi karena 4 Penerapan scaffolding…, Amelia Irawan, FPsi UI, 2014 Universitas Indonesia adanya usaha replika akan suatu keadaan atau citra (image) (Cobley, 1999). Sementara yang terjadi di dalam theme park adalah pengkopian sebuah citra (image) melalu tanda-tanda (sign) yang diaplikasikan pada elemen-elemen arsitektural sehingga menimbulkan suatu keadaan simulasi. Avianti Armand (2011) juga menambahkan bahwa suatu keadaan simulasi atau kualitas ruang yang meminjam ‘kehadiran’ ruang lain, menjadi sesuatu yang ‘seolah-olah’ telah menjelma menjadi kenyataan (hiper-realitas) yang kita terima dengan wajar, bahkan senang. Hal ini diperkuat oleh ungkapan Umberto, “the pleasure of imitation, as the ancients knew, is one of the most innate in the human spirit.” (Umberto, 1986, hal.46) Realitas yang diproduksi maupun disimulasi pun bukan hanya “ruang” dan “tempat” saja, tetapi juga “waktu”. Dapat dikatakan bahwa keadaan hiper-realitas merupakan dampak dari manipulasi indera yang dilakukan dalam desain theme park. Hal yang paling terlihat contohnya adalah manipulasi visual melalui penerapan tema pada ruang, dengan menggunakan teknik microtheming pada desain bangunan, sehingga menimbulkan imajinasi akan suatu keadaan yang sebenarnya merupakan sebuah simulakra. Keadaan simulakra tersebut kemudian ditambahkan atau dikurangi kualitasnya sehingga manusia yang mengalami ruang didalamnya akan mengalami ‘pinjaman’ kualitas yang lebih baik dari keadaan aslinya dan dapat dikatakan bahwa ia sedang mengalami sebuah keadaan hiper-realitas. Dalam mengalami suatu ruang, setiap manusia mampu merasakan suatu emosi tertentu. Menurut Tuan (1997), proses manusia merasakan suatu emosi terjadi lewat gambaran skema berikut: Experience sensation, perception, conception EMOTION emotion Thought THOUGHT Diagram 1. Proses terbentuknya emosi menurut Tuan Sumber: Tuan, 1997 5 Penerapan scaffolding…, Amelia Irawan, FPsi UI, 2014 Universitas Indonesia Lewat skema diatas, Tuan menjabarkan bahwa sebuah pengalaman ruang akan menimbulkan sensasi, persepsi dan konsepsi yang merupakan faktor penting dalam menentukan apa yang dirasakan dan dipikirkan oleh manusia pada suatu tempat. Pengalaman spasial tentu terkait dengan diterimanya sensasi dan terbentuknya persepsi, seperti yang diungkapkan oleh Lawson (2001), diterimanya sensasi terhadap stimuli visual, suara, aroma, dan sentuhan merupakan cara kita merasakan suatu ruang. Untuk menimbulkan persepsi tertentu, tentu bergantung pada sensasi yang kita terima lewat pengalaman keseluruhan indera yang kita miliki. Sementara persepsi menurut Ciccarelli & Meyer (2006) adalah sebuah metode dimana manusia menerima berbagai sensasi pada suatu saat untuk kemudian menginterpretasikannya dengan makna-makna khusus. Dalam kasus yang terjadi di theme park, persepsi yang terjadi merupakan persepsi lingkungan yang berupa gabungan berbagai sensasi yang diterima dalam mengalami ruang naratif, seperti yang diungkapkan oleh Gifford (1987), bahwa persepsi terhadap suatu lingkungan adalah bagaimana manusia mengoleksi informasi lewat semua indera yang manusia miliki. Ia juga menambahkan bahwa persepsi terhadap lingkungan lebih dari sekedar pengalaman akan stimuli simpel seperti warna, cahaya dan form, tetapi lebih dari itu ialah pengalaman akan sebuah skenario dengan skala besar sebagai sebuah kesatuan, seperti persepsi yang ingin dicapai dalam desain theme park. Dalam melakukan manipulasi indera, strategi yang dilakukan dalam desain theme park adalah dengan memanfaatkan berbagai elemen arsitektur sebagai alat manipulasi indera sehingga mampu menghasilkan sebuah ilusi atau sebuah gambaran yang menggugah pengalaman pengunjung, disamping ruang realitanya sendiri. Benzel (1998) mengungkapkan bahwa semua sensasi yang dimiliki manusia (melihat, mendengar, mencium, mencicip, dan menyentuh) melibatkan fenomena yang berbeda pada setiap indera yang mengalaminya dan tersintesa didalam pikiran manusia, oleh sebab itu menjadi penting untuk memanipulasi indera secara bersamaan untuk mendapatkan sebuah pengalaman ruang atau mood tertentu lewat atmosfer yang tercipta pada theme park. Benzel juga mengungkapkan bahwa untuk membangun sebuah ilusi, atau sebuah ide atau gambaran yang bukan sebenarnya serta opini atau konsep akan sesuatu yang tidak nyata, dilakukan dengan memanipulasi indera yang dimiliki manusia dalam merasakan suatu ruang. 6 Penerapan scaffolding…, Amelia Irawan, FPsi UI, 2014 Universitas Indonesia Elemen Fisik Salah satu contoh manipulasi yang dilakukan pada theme park antara lain dengan menyusun elemen bersifat fisik (terlihat) untuk memanipulasi indera visual. a. Dekorasi Didalam theme park adalah, penggunaan dekorasi digunakan sebagai penguat pencapaian cerita dan mood tertentu yang ingin dicapai. Penggunaan dekorasi sebagai bentuk mendetail juga terlihat lewat teknik micro-theming yang digunakan dalam theme park, yaitu bentuk perhatian terhadap detail untuk menyampaikan jalan cerita yang lebih nyata, sehingga membuat manusia yang menerimanya semakin terbawa dalam narasi yang diskenariokan dan semakin peka akan relasinya dengan ruang (Hench, 2003). b. Material Didalam theme park, material menjadi alat penting untuk mengkomunikasikan ilusi yang ingin dicapai. Penggunaan material dimanipulasi untuk mendapatkan efek yang diinginkan dan dapat menggugah indera peraba untuk mendukung sensasi yang diterima pengunjung. c. Warna Didalam desain theme park, warna membantu seorang imagineer menceritakan suatu jalan cerita, warna membantu mendefinisikan karakter dari sebuah ruang dan waktu dimana cerita tersebut berlangsung, untuk membentuk mood dan pola emosi dari suatu cerita, dan memperkuat makna suatu cerita. d. Pergerakan “Movement and motion in a scene that give it life and energy. This can come from moving vehicles, active signage, changes in lighting, special effects, or even hanging banners or flags that move as the wind blows.” (Dehrer, 2011, hal. 37) Pertanyataan Dehrer tersebut menjadi bukti bahwa pergerakan menjadi tontonan utama dan sebagai salah satu elemen yang turut memberikan impresi kepada pengunjung yang mengalami ruang dalam theme park. Elemen Non-Fisik Bentuk manipulasi lain yang dilakukan dalam theme park yaitu dengan mengontrol elemen imaterial atau elemen pembentuk atmosfer untuk membangun kualitas ruang tertentu yang mampu menggugah indera manusia. 7 Penerapan scaffolding…, Amelia Irawan, FPsi UI, 2014 Universitas Indonesia a. Pencahayaan Pencahayaan buatan mampu membuat ruang terlihat dan terasa cocok dengan fungsinya, fokus kepada elemen yang ingin diperlihatkan, dan meminimalisir distraksi yang disebabkan oleh elemen yang tidak dibutuhkan untuk tujuan memuaskan kebutuhan dasar akan informasi yang ingin dicapai pada suatu ruang. Didalam theme park sendiri, pencahayaan digunakan antara lain sebagai pengempasi objek, dekorasi, dan penciptaan mood ruang tertentu. b. Suara Pengontrolan suara / akustik di dalam theme park sendiri terjadi untuk membawa pengunjung mengalami suasana yang dirancang. Penggunaan suara didalam theme park tersebut dapat berupa lagu tema, special effect, atau dialog yang mengaksen sebuah cerita atau narasi. c. Aroma Benzel (1998) mengungkapkan bahwa aroma dalam sebuah ruangan mampu merangsang kesadaran akan sesuatu dan memunculkan kembali sebuah memori serta meningkatkan sebuah perasaan akan kepuasan ketika berada pada suatu tempat. Marlee McGuire (2007) dalam esainya berjudul Getting A Sense of The Theme, mengungkapkan bahwa di dalam theme park, aroma dapat membantu pengunjung membentuk asosiasi kognitif, memperkuat imersi mereka terhadap lingkungannya. Melalui penjabaran teori diatas, penulis dapat menarik kesimpulan mengenai bagaimana theming diterapkan pada arsitektur, khususnya theme park mampu mempengaruhi emosi manusia lewat strategi manipulasi indera yang dilakukannya. Konsep pemberian tema dan sebuah jalan cerita pada suatu taman bermain, meningkatkan value taman bermain menjadi bentuk arsitektur yang bersifat memberikan imersi total kepada pengunjung yang mengalaminya. Imersi total pada theme park dicapai dengan merangsang seluruh indera manusia dalam memahami jalan cerita yang direpresentasikan oleh ruang terbangun. Contoh yang paling ekstrem adalah manipulasi visual dengan penggunaan detail micro-theming pada theme park. Dari tujuan terhadap tercapainya sebuah imersi total, strategi yang digunakan pada theme park adalah menciptakan keadaan hiper-real lewat penyusunan elemen arsitektur yang dapat dikatakan berupa sebuah simulakra. Keadaan hiper-real ini kemudian menimbulkan sensasi yang dimanipulasi sehingga menghasilkan persepsi yang ekstrem. Ke-ekstrem-an ini 8 Penerapan scaffolding…, Amelia Irawan, FPsi UI, 2014 Universitas Indonesia kemudian membawa kepada reaksi terkontrol yang dapat menimbulkan suatu emosi tertentu pada manusia. Untuk menyimpulkan keadaan diatas, penulis menjabarkan dalam sebuah skema yang membedakan pengalaman ruang pada theme park dengan pengalaman ruang sehari-hari: (a) (b) Diagram 2. Skema pembentukan emosi pada pengalaman ruang umum (a) dan pengalaman ruang pada theme park (b) Sumber: Ilustrasi Pribadi, 2014 Metode Penelitian Penelitian ini mengambil 2 studi. Sebagai studi preseden digunakan Tokyo Disneyland dan memfokuskan pada area World Bazaar. Sementara sebagai studi kasus digunakan Trans Studio Bandung, dengan memfokuskan pada area Studio Central. Sementara itu karena studi preseden, Disneyland, merupakan topik yang sudah sering dibahas, pengamatan studi preseden dilakukan dengan mengumpulkan literatur mengenai Disneyland baik sumber tercetak maupun online. Sementara untuk melakukan studi kasus Trans Studio Bandung, penulis melakukan pengamatan langsung ke lapangan serta mengumpulkan data dari beberapa responden untuk analisis lebih lanjut. Sementara itu, penulis juga mengumpulkan data melalui beberapa responden yang pernah mengalami perjalanan ke theme park terpilih untuk mengetahui lebih lanjut data mengenai rangsangan umum yang diterima pengunjung dengan berbagai latar belakang dan pengalaman. Pengumpulan data responden untuk studi preseden diambil dari opini dari sumber online, sementara pengumpulan data responden untuk studi kasus dilakukan dengan wawancara di lapangan dan kuisioner online. 9 Penerapan scaffolding…, Amelia Irawan, FPsi UI, 2014 Universitas Indonesia Hasil Penelitian WORLD BAZAAR – TOKYO DISNEYLAND Tema: Marceline, Missouri Tokyo Disneyland merupakan theme park Disney pertama yang dibangun diluar Amerika Serikat pada tahun 1983. Tokyo Disneyland (TDL) terdiri dari 7 area yaitu World Bazaar, Adventureland, Westernland, Critter Country, Fantasyland, Toontown dan Tomorrowland. Pada studi preseden ini penulis akan memfokuskan studi pada area World Bazaar yang mengangkat tema American street dengan representasi kota Marcelline, Missouri. Kota Marceline sebagai tema utama World Bazaar sendiri merupakan kota kelahiran Walt Disney yang memiliki kekhasan berupa jalanan kota yang tenang dan nyaman serta susunan gedung yang rapi dan memiliki bentuk geometris umum kotak dan hampir identik satu sama lain. Detail umum pada fasad bangunan di kota Marceline memiliki kekhasan berupa susunan jendela beritme dan memiliki teralis serta kanopi yang teratur. Gambar 1. Fasad bangunan di kota Marceline, Missouri Sumber: http://www.trainweb.org/chris/marci.html, http://www.marcelinemo.us/ Narasi Pada Entrance Skenario narasi dimulai saat pengunjung memasuki gerbang utama TDL, setiap pengunjung akan mengalami imersi pertama yang sama ketika ia beralih dari dunia yang nyata menuju dunia fantasi TDL. Hal ini dapat terlihat dari skala gerbang utama yang dibuat besar dan memiliki detail menarik, sementara lingkungan sekitarnya dibuat kosong dan tidak terlalu banyak ornamen, sehingga menjadi transisi yang kontras antara ruang outdoor dengan area World Bazaar. Hal tersebut menjadi contoh penerapan narasi untuk menggugah sensasi pengunjung yang terjadi di area depan TDL. 10 Penerapan scaffolding…, Amelia Irawan, FPsi UI, 2014 Universitas Indonesia Pengaturan Layout World Bazaar dipenuhi oleh deretan toko dan restoran, sementara atraksi yang terdapat pada wilayah ini berupa atraksi-atraksi indoor yang tidak menimbulkan keramaian. Hal ini menjadi tanda bahwa narasi yang ingin dicapai di area ini adalah suasana jalan khas Amerika yang nyaman. Skala, Fungsional-Nonfungsional Area World Bazaar berusaha menciptakan keadaan outdoor Marceline dengan memperhitungkan skala manusia. Keharusan pemasangan kanopi kemudian memaksa gedung-gedung dibuat dengan ketinggian 2 laintai, sehingga kanopi dapat dipasang cukup tinggi dan tidak menggangu kenyamanan pengunjung yang berjalan dibawahnya, terkait dengan faktor penghawaan dan akustik mengingat tingginya tingkat keramaian pada World Bazaar (Gambar 2.). Dapat dilihat juga bahwa pemetaan fungsi toko hanya berlaku pada lantai satu bangunan, sementara lantai dua digunakan untuk keperluan storage dan office. Hal ini menunjukkan bagaimana fasad kemudian lebih mementingkan keperluan komunikasi desain dibandingkan dengan fungsi bangunannya sendiri. Konsistensi terhadap penerapan tema juga dapat terlihat pada ketinggian bangunan yang hampir sama pada tiap deretnya, menyerupai deret bangunan pada kota Marceline yang memiliki ketinggian yang sejajar dengan gedung di sekitarnya. Solid-Void Skema solid-void diatas juga menunjukkan adanya pembentukkan suasana jalan Amerika yang sesuai dengan tema. Adanya gedung di sebelah kiri dan kanan jalan yang merupakan keadaan solid menjadikan jalan utama sebagai void tempat terjadinya aktivitas umum dan aktivitas yang dinarasikan. Berbagai macam aktivitas tersebut juga turut mendukung tema didalamnya, antara lain tempat lalu lalang pengunjung sebagai pemenuhan narasi taman bermain, parade dan panggung bagi para crew dengan kostum karakter sesuai tema sebagai pemenuh narasi yang sesuai dengan tema utama. 11 Penerapan scaffolding…, Amelia Irawan, FPsi UI, 2014 Universitas Indonesia Gambar 2. Skema solid-void World Bazaar Sumber: Ilustrasi pribadi, 2014 Terminating Vista Salah satu teknik manipulasi yang digunakan oleh Disneyland dalam membentuk persepsi pengunjung yaitu forced perspective yang terjadi pada penerapan tinggi bangunan dan jarak pandang pengunjung. Dalam TDL pun forced perspective diciptakan pada zona World Bazaar dengan mengempasi Cinderella Castle pada jarak pandang lurus sebagai salah satu unsur kota, terminating vista, yang meninggalkan impresi visual bagi pengunjung yang mengalami ruang pada World Bazaar. Maksimalisasi Fungsi Fasad Secara keseluruhan, dapat terlihat bahwa desain berusaha untuk menimbulkan impresi akan sebuah susunan kota Marceline yang teratur dan memiliki satu karakter. Bentuk geometri yang tersirat dari bentukan fasad menjadi bentuk simulasi untuk menggugah sensasi visual yang menunjukkan keinginan untuk mencapai atmosfer formal yang mencerminkan kota Marceline yang teratur. 12 Penerapan scaffolding…, Amelia Irawan, FPsi UI, 2014 Universitas Indonesia Gambar 3. Analisis bentukan fasad Sumber: Olahan pribadi, 2014 Elemen Ruang Fisik Gambar 4. Atmosfer World Bazaar secara umum Sumber: http://www.disneytouristblog.com/tokyo-disney-resort-trip-report-part-11/, telah diolah kembali a. Detail, Dekorasi Salah satu teknik yang dilakukan adalah dengan menggunakan teknik micro-theming, menerapkan tema hingga mendetail untuk pencapaian narasi yang lebih baik. Contohnya antara lain diterapkannya detail terhadap bentukan papan reklame toko yang mengikuti tema 13 Penerapan scaffolding…, Amelia Irawan, FPsi UI, 2014 Universitas Indonesia American shopping street. Selain itu penambahan pohon asli dan street furniture yang memiliki skala seperti pohon dan street furniture pada umumnya di tepi jalan (kira- kira setengah dari tinggi bangunan) juga terlihat untuk menambahkan suasana outdoor pada World Bazaar. b. Warna Warna-warna yang digunakan pada World Bazaar mengikuti skema warna pada deret bagunan Marcelline, berupa warna-warna pastel untuk menyimbolkan keadaan kota Marceline yang nyaman dan tenang. Warna-warna cerah hanya digunakan pada dekorasi untuk menjadi aksen dan menimbulkan mood sesuai perayaan yang sedang berlangsung. c. Material Strategi yang dilakukan untuk memanipulasi indera penglihatan dan peraba, dapat terlihat juga pada penggunaan material. World Bazaar menerapkan penggunaan material asli untuk fasad yang berada pada jangkauan manusia (lantai satu) untuk memaksimalisasi sensasi peraba manusia. Namun semakin keatas, material yang digunakan adalah material alternatif atau material imitasi untuk sekedar memeuhi sensasi penglihatan saja. d. Pergerakan Sementara itu, sebuah tontonan hidup menjadi elemen gerak yang ambil bagian dalam pembentukan atmosfer ruang. Pada waktu tertentu, sekumpulan pemain parade band akan memasuki wilayah World Bazaar untuk memberikan pertunjukan singkat di tengah-tengah area World Bazaar. Pemilihan menampilkan pertunjukan band serta pemilihan kostum menjadi salah satu contoh penambahan tontonan yang mendukung tema kota tua America. Elemen Ruang Non-Fisik a. Pencahayaan Pembentukan atmosfer juga dibangun lewat pencahayaan. Yang dapat terlihat secara signifikan adalah pembentukan atmosfer lewat pencahayaan pada malam hari yang digunakan pada profil fasad bangunan dan elemen-elemen dekoratif lainnya. Penggunaan cahaya yang memfokuskan pada elemen tertentu kemudian mengubah atmosfer yang terjadi menjadi berbeda dengan yang dialami pada siang hari. Tidak adanya pencahayaan yang mengkhususkan pada penyorotan kanopi kemudian membuat fokus visual kearah kanopi menjadi kabur dan yang terlihat adalah suasana jalan yang meriah. b. Suara 14 Penerapan scaffolding…, Amelia Irawan, FPsi UI, 2014 Universitas Indonesia Elemen imaterial lain yang juga turut membangun atmosfer pada World Bazaar antara lain dukungan akustik berupa pemutaran lagu latar, pertunjukan, dan narasi umum yang selalu dimainkan sepanjang hari dalam area World Bazaar. c. Aroma Sementara perlakuan terhadap elemen aroma, meskipun minor, tetapi turut mendukung terbentuknya ruang yang mendukung gugahan persepsi manusia. “Be sure to swing by the waffle shop—the smells coming out of the window are heavenly.” (“Urayusu, Tokyo Disneyland”, tripadvisor.com, 2006) Ungkapan tersebut menjadi contoh yang menyatakan bahwa salah satu fungsi restoran yang menerapkan unsur aroma, diterapkan pada World Bazaar untuk mendukung terjadinya impresi dan sensasi terhadap indera penciuman. STUDIO CENTRAL – TRANS STUDIO BANDUNG Tema: Hollywood 60’s Trans Studio Bandung (TSB) merupakan salah satu jenis theme park dengan konsep indoor, dan merupakan theme park indoor yang pertama didirikan di Indonesia. Trans Studio Bandung terdiri dari 3 zona utama yaitu Studio Central, Magic Corner dan Lost City. Dalam melakukan analisis studi kasus, penulis akan memfokuskan analisis pada area Studio Central. Zona Studio Central merupakan zona pertama yang akan kita lalui setelah melewati pintu masuk utama TSB. Seperti dilansir pada situs resmi TSB (http://transstudiobandung.com), zona Studio Central merupakan suatu kawasan yang dikemas dalam tema Hollywood era 60an. Hollywood era 60-an sendiri sebagai tema, memiliki kekhasan berupa jalanan utama dengan pengaturan gedung yang dinamis dan bentukan geometris yang beragam, ketinggian gedung yang berbeda, serta banyaknya ikon-ikon serta penggunaan warna cerah sebagai skema warnanya. Gambar 5. Deret gedung Hollywood Boulevard tahun 60-an Sumber: http://www.latourist.com/index.php?page=hollywood-blvd-links 15 Penerapan scaffolding…, Amelia Irawan, FPsi UI, 2014 Universitas Indonesia Pengaturan Layout Sementara itu, melihat pemetaan ruang yang terjadi pada Studio Central, terjadi percampuran fungsi ruang yang cukup signifikan, antara lain fungsi restoran, toko, dan atraksi yang jumlahnya hampir sama dan terletak berdekatan. Hal ini berakibat pada 2 hal, unsur pleasure yang didapat dari pergerakan yang dilakukan pengunjung dalam ruang dengan berbagai fungsi menjadi nilai tambah, namun banyak diterapkannya elemen yang tidak sesuai dengan tema pada Studio Central, contohnya wahana, berpotensi menjadi distraksi. Narasi Pada Entrance Analisis dimulai dengan melihat strategi naratif saat pengunjung memasuki area TSB yang diterapkan TSB untuk menciptakan sensasi masuk ke dunia yang berbeda kepada pengunjung. TSB memakai strategi sequence vertikal untuk menimbulkan impresi pertama yang menggugah. Pengunjung dibawa melewati eskalator untuk kemudian masuk ke area yang dikelilingi dengan berbagai layar dan lampu berwarna terang serta miniatur-miniatur ternama dunia seperti menara Eifel, patung Liberty, dan World Trade Center, untuk kemudian menuju gerbang utama TSB. Setelah melewati area impresif tersebut, pengunjung akan melewati gerbang utama yang cukup menarik perhatian mata dengan warna mencolok (merah dan kuning) dan layar besar untuk memasuki area utama yaitu Studio Central. Hal-hal tersebut diterapkan di area pintu masuk utama untuk menimbulkan impresi yang menggugah dan menjadi transisi yang kontras menuju ‘dunia’ yang berbeda (Trans Studio Bandung). Skala, Fungsional-Nonfungsional Sementara itu, skala tingginya ruangan pada Studio Central menjadi tanda bahwa tujuan dibentuknya ketinggian ceiling merupakan cara pencapaian terhadap suasana malam hari dan juga terdapat pengaruh karena adanya fungsi wahana berskala besar. Fungsi ruang indoor yang menyebabkan ketertutupan ruang menjadi isu yang juga dipertimbangkan dalam desain TSB, termasuk berpengaruh pada terjadinya akustik, pencahayaan dan suasana statis dalam ruang. 16 Penerapan scaffolding…, Amelia Irawan, FPsi UI, 2014 Universitas Indonesia Gambar 6. Skema solid-void Studio Central Sumber: Ilustrasi pribadi, 2014 Solid-Void Berdasarkan olahan potongan di atas, penulis juga dapat melihat bahwa terjadi perbedaan yang signifikan terhadap keadaan solid-void yang terjadi di Studio Central. Pembentukan interpretasi literal terhadap deretan bangunan yang seharusnya terdiri dari keadaan solid di samping kiri-kanan jalan kemudian menjadi terdistraksi dengan munculnya void yang cukup besar karena masuknya fungsi wahana pada deretan jalanan tersebut. Hal ini menyebabkan terjadinya ambiguitas dari penerapan tema, karena ketidakcocokan akan ekspektasi jalan yang dihadirkan dan berpengaruh kepada persepsi yang diterima pengunjung. Terminating vista Unsur kota berupa terminating vista sendiri berada pada area panggung sebagai central point utama Trans Studio Bandung. Selain sebagai terminating vista, are panggung juga berfungsi sebagai landmark atau titik orientasi utama dan tempat terjadinya interaksi pengunjung. Maksimalisasi Fungsi Fasad Penerapan tema Hollywood pada area Studio Central, berpengaruh kepada bentukan fisik yang terjadi di Studio Central, fasad toko, restoran maupun area masuk wahana dibuat mengikuti bentukan geometri yang berbeda-beda. Selain bentukan geometri yang berbeda, ketinggian fasad bangunan juga berbeda-beda mengikuti fungsi bangunan. Namun, perbedaan tema dapat terlihat pada area masuk wahana Dunia Anak, dengan penambahan karakter badut dalam ukuran besar pada fasadnya, dan wahana Science Center dengan bentukan futuristik. Hal tersebut berakibat pada dua hal: pengunjung lebih menyadari keberadaan wahana dan 17 Penerapan scaffolding…, Amelia Irawan, FPsi UI, 2014 Universitas Indonesia mendapat gambaran fungsi didalamnya, namun juga menjadi distraksi terhadap penerapan tema. Gambar 7. Analisis tampak fasad Sumber: Dokumentasi pribadi, 2014 Elemen Ruang Fisik Gambar 8. Analisis elemen penunjang atmosfer Sumber: Dokumentasi pribadi, 2014 a. Detail, Dekorasi Berbagai elemen penunjang juga digunakan untuk mendukung tercapainya tema dan atmosfer yang diinginkan, antara lain penerapan micro-theming seperti pada detail lampu jalan dan tempat sampah, serta penambahan replika pohon dan pohon asli, lampu jalan, manipulasi 18 Penerapan scaffolding…, Amelia Irawan, FPsi UI, 2014 Universitas Indonesia tempat sampah dan pembungkus kolom konstruksi. Penambahan pohon replika dan pohon asli dimaksudkan untuk memperkuat suasana outdoor dalam ruang indoor. b. Warna Selain menggunakan warna-warna cerah untuk membangun mood menyenangkan, teknik manipulasi visual dengan menggunakan warna juga terjadi di Studio Central, yaitu pengaplikasian warna gelap untuk menyembunyikan fisik kolom konstruksi yang muncul karena konsep indoor agar tidak mendistraksi penglihatan pengunjung. c. Material Strategi yang dilakukan untuk memanipulasi indera penglihatan dan peraba, dapat terlihat juga pada penggunaan material. Strategi yang diterapkan Studio Central dalam penggunaan material cukup sama dengan strategi yang diterapkan pada World Bazaar, yaitu dengan menerapkan penggunaan material asli untuk fasad yang berada pada jangkauan manusia (lantai satu) untuk memaksimalisasi sensasi peraba manusia. d. Pergerakan Elemen tontonan hidup pembentuk atmosfer juga dapat terlihat dengan pemakaian kostum oleh para crew dan pengadaan parade pertunjukan rutin setiap sore hari di area Studio Central. Crew dengan kostum unik dapat terlihat di depan toko-toko yang berderet dan di sepanjang jalan di area Studio Central. Hal ini menunjukkan bahwa atmosfer yang ingin dibangun di Studio Central terkait dengan kemeriahan dan persepsi akan fantasi yang dibuat kuat dengan tontonan hidup berupa parade. Elemen Ruang Non-Fisik a. Pencahayaan Konsep TSB yang dibuat indoor, juga berefek kepada atmosfer yang ingin dibawa didalamnya. Oleh karena kondisi indoor mengakibatkan atmosfer ruang terbentuk konstan (tidak mendapat pengaruh cuaca dan pencahayaan alami), konsep malam hari pun diterapkan didalamnya. Elemen pencahayaan memegang peranan penting dalam mendukung suasana malam hari tersebut, oleh karena itu pencahayaan yang terjadi di area Studio Central ini menggunakan strategi pencahayaan jalanan malam hari dengan memakai pencahayaan untuk mengaksen profil fasad dan pencahayaan jalan dan pencahayaan dekoratif. b. Suara Hal yang paling krusial untuk dibahas di Studio Central adalah isu akustik. Karena kondisi theme park yang dikonsepkan indoor serta peletakan beberapa wahana yang mampu 19 Penerapan scaffolding…, Amelia Irawan, FPsi UI, 2014 Universitas Indonesia menimbulkan keributan, terjadi distraksi akustik dari bisingnya teriakan yang berasal dari wahana serta pemantulan suara yang menimbulkan echo karena kondisi ketertutupan indoor. c. Aroma Faktor perangsangan aroma tercipta lewat banyaknya stand makanan di sekitar area. Salah satunya stall popcorn yang terletak disamping jalan untuk tujuan menyebarkan aroma khas langsung ke jalan. Aroma yang tersebarpun cukup mempengaruhi sensasi pengunjung karena kondisi indoor yang tertutup menyebabkan aroma lebih lama menghilang. Cara yang dihadirkan dalam dua theme park hasil pebelitian terhadap pencapaian atmosfer yang dinginkan ternyata memiliki cara yang berbeda. Penerapan tema dalam Disneyland menjadi sangat mendetail karena dipikirkan secara matang juga terhadap program ruang yang terjadi. Studi preseden Disneyland menjadi salah satu contoh penerapan tema sebagai metode berarsitektur yang mampu menggugah pengunjungnya dalam merasakan suatu kondisi menyenangkan yang konkrit. Sementara itu pada studi kasus, Studio Central Trans Studio Bandung, terjadi perbedaan strategi pada penerapan temanya. Pengaturan elemen-elemen arsitektural yang terjadi hampir sama kasusnya dengan studi preseden, namun karena keterbatasan ruang, dan penerapan konsep indoor, terjadi distraksi terhadap pemrograman ruang pada Studio Central karena peletakan beberapa wahana yang mendistraksi stimulus akustik. Pembahasan Dari hasil penelitian yang telah didapatkan, kita dapat melakukan pembahasan terhadap bagaimana tinjauan teoritis kemudian berhubungan dengan proses yang diterima manusia dalam menerima sensasi dan memproses persepsi. WORLD BAZAAR – TOKYO DISNEYLAND Proses Terjadinya Persepsi Penjabaran mengenai bagaimana World Bazaar menerapkan berbagai cara dalam membentuk suasana tematik pada pembahasan sebelumnya (Hasil Penelitian), merupakan usaha pembentukkan keadaan hiper-real. Usaha interpretasi literal Marcelline Missouri terhadap World Bazaar, menunjukkan adanya usaha meminjam “ruang” untuk menghadirkan kualitas yang sama, tetapi ditambahkan dengan kualitas lainnya yang hanya dapat muncul di dalam 20 Penerapan scaffolding…, Amelia Irawan, FPsi UI, 2014 Universitas Indonesia theme park seperti dekorasi, akustik dan aroma yang kemudian membentuk sebuah realita lain yang memiliki kualitas yang menggugah pengunjung. Selain itu pencitraan berusaha dibentuk di World Bazaar dengan sesedikit mungkin menyembunyikan sesuatu yang berbau maintenance. Pekerjaan membersihkan area dilakukan saat theme park ditutup, dan penyimpanan barang-barang toko disembunyikan dari tempat yang dapat terlihat oleh pengunjung. Hal tersebut juga memperlihatkan bagaimana atmosfer yang terjadi tanpa hadirnya pengunjung menjadi tidak hidup dan mati. Hal ini menjadi bukti bahwa pengunjung sendiri turut menjadi pencipta atmosfer yang krusial dalam World Bazaar. Respon Pengunjung Untuk mengetahui pengaruh elemen ruang yang ada di World Bazaar, penulis mengumpulkan opini secara online. Elemen-elemen yang kebanyakan telah dibahas dalam Hasil Penelitian sebelumnya, terbukti meninggalkan kesan kepada memori pengunjung yang mengalaminya. Dari skema diatas dapat terlihat bahwa hampir semua elemen yang dianalisis Hasil Penelitian memiliki andil dalam membentuk impresi pengunjung. Efek hiper-realitas pun tersampaikan dengan baik lewat penerapan Diagram 3. Diagram keywords responden World Bazaar Sumber: Ilustrasi pribadi, 2014 tema dan memberikan kesan mendalam kepada pengunjung. seperti, “magical Beberapa place” dan ungkapan “complete fantasy”, menggambarkan bagaimana pengunjung mempersepsikan pengalaman hiper-real dan perasaan akan otherworldness saat mengalami ruang di area World Bazaar. Hal ini menunjukkan bagaimana elemen-elemen manipulasi dan elemen ruang pendukung lainnya membentuk pengalaman yang mampu mempengaruhi indera manusia dalam merasakan kondisi hiper-realitas. STUDIO CENTRAL – TRANS STUDIO BANDUNG Proses Terjadinya Persepsi Segala bentuk manipulasi dan pengaturan elemen ruang dilakukan di Studio Central dalam rangka memanipulasi indera menjadi tanda untuk menimbulkan persepsi akan keadaan kota yang serupa dengan Hollywood. Namun beberapa hal yang mendistraksi seperti suara yang 21 Penerapan scaffolding…, Amelia Irawan, FPsi UI, 2014 Universitas Indonesia berasal dari wahana dan pencampuran konteks terhadap desain menjadi unsur yang, tidak bisa dipungkiri, mendistraksi atensi pengunjung. Namun jika melihat konteks TSB yang terletak di Indonesia, serta penerapan tema yang sama sekali baru bagi orang Indonesia (Hollywood), membuat ekspektasi yang dibawa pengunjung saat akan mengalami ruang didalamnya tidak terlalu tinggi, dan segala macam distraksi yang terjadi, mungkin, tidak menjadi terlalu penting bagi mereka karena impresi akan elemen lain (wahana), yang dampaknya lebih besar terhadap impresi dan lebih menarik perhatian pengunjung. Respon Pengunjung Untuk mengetahui dampak yang dihasilkan dari penerapan tema pada Studio Central, penulis melakukan pengumpulan data lewat 7 orang responden yang sedang mengalami perjalanan di Studio Central, juga melalui 15 orang responden yang didapat dari kuisioner online. Elemenelemen yang menggugah pengunjung selain wahana (55% responden), berasal dari berbagai macam elemen yang berbeda. Bentuk bangunan serta elemen tontonan berupa crew dengan kostum unik menjadi daya tarik visual utama yang menggugah pengunjung dengan suara 35%. Sementara itu saat ditanya mengenai perasaan apa yang dirasakan saat mengunjungi Studio Central, persepsi yang terjadi sangat beragam. Ada yang mengatakan bahwa Studio Central terlihat seperti boulevard jalan Singapura, Broadway, dunia dongeng dan dunia sirkus. Reaksi terhadap suara-suara dari pertunjukan yang terjadipun juga dikatakan memiliki kemiripan dengan reaksi visual, suara-suara pertunjukan membuat mereka merasa seperti di Broadway dan pertunjukan sirkus. Tetapi ada juga yang mengatakan bahwa suara wahana menjadi sangat mengganggu dan membuat tidak nyaman. Dari jabaran analisis terhadap data responden, dapat disimpulkan bahwa reaksi, sensasi dan persepsi yang diterima responden yang pernah mengalami ruang di Studio Central sangat Diagram 5. Skema keywords persepsi responden Studio Central Sumber: Ilustrasi pribadi, 2014 beragam dan terkadang menjadi paradoks. Hal tersebut terjadi karena penerapan tema yang tidak sempurna pada Studio Central. Distraksi kebanyakan muncul dari stimulus visual dan akustik, seperti bentukan fasad yang melenceng dari tema, serta suara dari wahana yang terlalu kencang dan tidak sesuai dengan konteks tema. 22 Penerapan scaffolding…, Amelia Irawan, FPsi UI, 2014 Universitas Indonesia Dari penjabaran terhadap analisa dua studi tersebut kita dapat menarik argumen bahwa dalam menggugah emosi dan menimbulkan fantasi terhadap manusia yang berkunjung dalam theme park, dalam tahap desain, kontrol terhadap objek dapat digunakan untuk menimbulkan sensasi yang diinginkan sehingga persepsi pengunjung yang terjadi akan memenuhi tujuan utama narasi. Kesimpulan Dari analisis terhadap dua studi diatas, penulis menemukan bahwa elemen-elemen dalam theme park dimanipulasi sedemikian rupa dalam rangka membentuk sensasi yang menggugah stimulus manusia. Hal tersebut membuat pengunjung yang mengalaminya berada dalam suatu keadaan hiper-realitas. Keadaan hiper-realitas ini kemudian memicu fantasi pengunjung dan membuat pengunjung merasa berada pada dunia yang berbeda dan mampu menimbulkan perasaan menyenangkan. Manipulasi juga terjadi terhadap indera lain antara lain sensasi yang diterima stimulus akustik contohnya lewat pemasangan lagu tema atau narasi yang mendukung tema, serta perangsangan stimulus aroma dengan dukungan aroma dari makanan yang mampu menimbulkan perasaan menyenangkan. Hal tersebut menjadi bukti bahwa penerapan tema pada theme park mampu mempengaruhi emosi manusia. Secara keseluruhan, sebagai arsitek, kita memiliki kemampuan untuk mengontrol kondisi melalui ruang yang kita rancang. Penelitian ini menjadi bukti terhadap bagaimana fenomena desain ruang tematik menjadi metode yang mampu menimbulkan kondisi tertentu yang ternyata berpengaruh terhadap apa yang manusia rasakan didalamnya. Hal ini menunjukkan bahwa arsitektur memiliki kekuatan cukup besar dalam mengarahkan manusia untuk mengalami suatu emosi tertentu, untuk itu menjadi penting bagi para arsitek untuk mengetahui kondisi seperti apa yang akan dibangun untuk kemudian mampu menentukan metode yang sesuai dan menjadi dasar perancangan secara keseluruhan dalam ruang. Saran Penelitian ini masih jauh dari sempurna karena baru menganalisis satu zona saja di dalam satu lingkung theme park. Topik ini dapat menjadi suatu penelitian yang konkrit bila kita dapat melihat bagaimana hubungan antar zona yang terdapat dalam suatu kawasan theme park. Oleh sebab itu, penulis berharap penelitian ini dapat dilanjutkan dengan melakukan penelitian 23 Penerapan scaffolding…, Amelia Irawan, FPsi UI, 2014 Universitas Indonesia terhadap bagaimana tema-tema berbeda yang diterapkan pada satu lingkung theme park dapat mempengaruhi apa yang dirasakan manusia ketika mengalami perjalanan ruang didalamnya. Tentunya pengalaman ruang yang terjadi akan lebih konkrit karena menyangkut bagaimana transisi yang terjadi dalam mengalami tema yang berbeda. Daftar Referensi Buku Armand, Avianti. 2011. Arsitektur Yang Lain. 1st ed. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama. Baudrillard, Jean. 1994. Simulacra And Simulation. 1st ed. Ann Arbor: University of Michigan Press. Benzel, Katherine F. 1998. The Room In Context. 1st ed. New York: McGraw-Hill. Ciccarelli, Saundra K, and Glenn E Meyer. 2006. Psychology. 1st ed. Upper Saddle River, N.J.: Pearson Prentice Hall. Cobley, Paul, Litza Jansz, and Richard Apignanesi. 1999. Introducing Semiotics. 1st ed. Cambridge: Icon. Eco, Umberto. 1986. Travels In Hyper Reality. 1st ed. San Diego: Harcourt Brace Jovanovich. Gifford, Robert. 1987. Environmental Psychology. 1st ed. Massachusetts: Allyn & Bacon, Inc. Gottdiener, Mark. 2001. The Theming Of America. 1st ed. Boulder, CO: Westview Press. Hench, John, and Peggy Van Pelt. 2003. Designing Disney. 1st ed. New York: Disney Editions. Holl, Steven, Juhani Pallasmaa, and Alberto Pérez Gómez. 2006. Questions Of Perception. 1st ed. San Francisco, CA: William Stout. Lawson, Bryan. 2001. The Language Of Space. 1st ed. Oxford: Architectural Press. Lukas, Scott A. 2008. Theme Park. 1st ed. London: Reaktion. Lukas, Scott A. 2007. The Themed Space. 1st ed. Lanham, MD: Lexington Books. Lynch, Kevin. 1960. The Image Of The City. 1st ed. Cambridge, Mass.: MIT Press. Lynch, Kevin. 1981. A Theory Of Good City Form. 1st ed. Cambridge, Mass.: MIT Press. Malnar, Joy Monice, and Frank Vodvarka. 2004. Sensory Design. 1st ed. Minneapolis: University of Minnesota Press. Miles, Steven. 2010. Spaces For Consumption. 1st ed. Los Angeles: SAGE. Pallasmaa, Juhani. 2005. The Eyes Of The Skin. 1st ed. Chichester: Wiley-Academy. Pine, B. Joseph, and James H Gilmore. 1999. The Experience Economy. 1st ed. Boston: Harvard Business School Press. Psarra, Sophia. 2009. Architecture And Narrative. 1st ed. London: Routledge. Sorkin, Michael. 1992. Variations On A Theme Park. 1st ed. New York: Hill and Wang. Tschumi, Bernard. 1994. Architecture And Disjunction. 1st ed. Cambridge, Mass.: MIT Press. Tuan, Yi-fu. 1977. Space And Place. 1st ed. Minneapolis: University of Minnesota Press. Jurnal Borrie, William T. 1999. 'Disneyland And Disney World: Designing And Prescribing The Recreational Experience'. Loisir Et Societe/Society And Leisure 22 (1): 71--82. Dehrer, Gary. 2011. 'Imagineers In Search Of The Future'. The Futurist 45 (2): 36-42. King, Margaret I. 2002. 'The Theme Park: Aspects Of Experience In A Four-Dimensional Landscape'. Material Culture, 1--15. McGuire, Marlee. 2007. 'Getting A Sense Of The Theme'. The Sensory Museum Project, 1-27. Salamone, Virginia A., and Frank A. Salamone. 1999. 'Images Of Main Street: Disney World And The American Adventure'. Journal Of American Culture 22 (1): 85-92. Steeves, H. Peter. 2003. 'Becoming Disney: Perception And Being At The Happiest Place On Earth'. The Midwest Quarterly 44 (2): 176. Williams, Alistair. 2006. 'Tourism And Hospitality Marketing: Fantasy, Feeling And Fun'. International Journal Of Contemporary Hospitality Management 18 (6): 482-495. Website Naversen, Nate. 1996. 'Theme Attractions: Creating Immersive Environments'. Themedattraction.Com. Accessed April 18 2014. http://www.themedattraction.com/sense.htm. 24 Penerapan scaffolding…, Amelia Irawan, FPsi UI, 2014 Universitas Indonesia