bab i pendahuluan

advertisement
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar belakang
Hati adalah organ dari sistem pencernaan terbesar dengan berat antara 1,21,8 kg dan merupakan pusat metabolisme tubuh dengan fungsi yang sangat
komplek. Beberapa fungsi hati diantaranya sintesa protein plasma berupa albumin,
protrombin, fibrinogen dan faktor bekuan lainnya, lipoprotein, kolesterol,
fosfolipid dan asam asetoasetat (Amirudin, 2009).
Hati dapat mengalami gangguan metabolisme yang ditandai dengan
adanya
peningkatan
enzim
aminotransferase
aspartate
aminotransferase
(AST)/glutamic oxaloacetic transaminase (SGOT) dan alanine aminotransferase
(ALT) /glutamic pyruvic transaminase (SGPT), biasanya mengarah pada
perlukaan hepatoselular atau inflamasi. Keadaan patologis yang mempengaruhi
sistem empedu intra dan ekstra hepatis dapat menyebabkan peningkatan fosfatase
alkali dan Gamma-glutamyltransferase (γ-GT) (Amirudin, 2009).
Penyakit hati dibedakan dalam dua jenis yaitu penyakit hati akut dan
kronis. Penyakit hati akut adalah penyakit yang dapat sembuh sendiri, misalnya
penyakit Hepatitis A, sedangkan penyakit hati kronis adalah radang hati yang
terus menerus tanpa adanya perbaikan selama lebih dari 6 bulan. Kondisi ini dapat
terjadi setelah serangan virus hepatitis akut (seperti : hepatitis B dan C), penyakit
autoimun (seperti : hepatitis aktif kronis autoimun) ataupun diakibatkan alkohol
1
atau obat-obatan (oksifenisatin, metildopa, isoniazid, dan nitrofurantoin)
(Kenward dan Tan, 2002).
Glycyrrhiza glabra atau Licorice merupakan tumbuhan liar di Asia dan
Eropa, banyak dibudidayakan secara luas di Cina, Rusia, Spanyol, Persia dan
India. G. glabra memiliki fungsi farmasetikal seperti detoksifikasi, antiulcer, antiinflamasi, antivirus dan antikarsinogenik. Di Jepang lebih dari 60 tahun,
glycyrrhizin dikenal dengan nama Stronger Neo Minophagen C (SNMC)
digunakan sebagai antialergi dan antihepatitis (Wang dan Nixon, 2001). SNMC
yang mengandung glycyrrhizin, cystein, dan glysin, digunakan untuk mengobati
berbagai penyakit hati (Verma dan Thuluvath, 2007).
Penelitian yang dilakukan Rossum et al., (1998) secara randomized
controlled trials, glycyrrhizin signifikan mengurangi serum aminotransferase dan
memperbaiki histologi hati dibanding plasebo. Penelitian lanjutan yang dilakukan
oleh Rossum et al., (1999a) mengenai terapi glycyrrhizin intravena pada penyakit
hepatitis C kronik secara a double blind, randomized, placebo-controlled phase
I/II trial dengan membandingkan berbagai dosis pemberian SNMC rendah (80
mg), standar (160 mg), tinggi (240 mg) dan plasebo (0 mg). Hasilnya pemberian
glycyrrhizin injeksi sampai 240 mg, 3x/minggu menurunkan serum ALT selama
terapi, tetapi tidak berefek pada level RNA virus hepatitis C, serta obat aman dan
ditoleransi dengan baik.
Penelitian yang dilakukan Okuno et al., (1994) mempelajari 8 pasien
hepatitis C yang resisten terhadap terapi inisial IFN. Terapi IFN dosis besar
dikombinasikan dengan SNMC pada pasien hepatitis C kronis yang resisten
2
terhadap terapi interferon saja. Awalnya 8 pasien menerima 6 MU IFN-
intramuskuler, 3x/minggu, selama 3 bulan dan ALT tidak turun lebih dari 50%
pada akhir terapi dan kembali ke tingkat pretreatment setelah terapi. Enam bulan
kemudian, semua pasien menerima IFN- (6 MU) dikombinasikan dengan 80 ml
SNMC intravena, 3x/minggu selama 6 bulan. Sebelum terapi inisial IFN saja,
semua pasien positif serumnya untuk anti-HCV dan HCV RNA. Dengan terapi
IFN, serum HCV RNA menjadi negatif pada 4 dari 8 pasien dan skor histologic
activity index (HAI) menurun secara signifikan meskipun tingkat ALT tidak
menurun lebih dari 50%, sedangkan dengan IFN dikombinasikan dengan SNMC,
tingkat ALT menurun sekitar 70% pada semua pasien (satu menjadi normal),
serum HCV RNA menjadi negatif 2 dan skor HAI tidak berubah secara signifikan.
Tidak ada perbedaan yang signifikan dalam penurunan HCV RNA dan skor titer
HAI antara 2 terapi kecuali tingkat ALT.
Sebuah case report di Taiwan menunjukkan bahwa seorang laki-laki yang
mengalami hepatitis B kronis dengan eksaserbansi akut mengalami perbaikan
dengan cepat setelah pemberian SNMC dikombinasi dengan entecavir (Lin dan
Wang, 2012).
Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui indikasi penggunaan SNMC di
beberapa rumah sakit di Yogyakarta dan pengaruh pemberian SNMC terhadap
perbaikan fungsi hati pasien melalui penelusuran data rekam medik. Penelitian ini
diharapkan dapat memberi gambaran indikasi pemberian SNMC,dan pengaruh
penggunaan SNMC pada gangguan fungsi hati. Hasil penelitian diharapkan dapat
3
memberikan informasi tentang penggunaan SNMC, member masukan bagi
institusi kesehatan terkait penggunaan SNMC.
B. Rumusan Masalah
1. Bagaimana indikasi penggunaan SNMC di beberapa rumah sakit di
Yogyakarta?
2. Bagaimana
pengaruh
pemberian
SNMC
terhadap
penurunan
SGOT/SGPT?
C. Tujuan Penelitian
1. Mengetahui indikasi penggunaan SNMC di beberapa rumah sakit di
Yogyakarta.
2. Mengetahui
pengaruh
pemberian
SNMC
terhadap
penurunan
SGOT/SGPT.
D. Keaslian Penelitian
Penelitian mengenai penggunaan SNMC untuk terapi gangguan fungsi hati
telah dilakukan di beberapa tempat yang berbeda, antara lain :
1. Penelitian yang dilakukan Rossum et al., (1999a), mengenai pemberian
glycyrrhizin secara intravena untuk terapi hepatitis C kronis dengana
double-blind, randomized, placebo-controlled phase I/II trial. Lima puluh
tujuh pasien dibagi kedalam 4 kelompok perlakuan, 3 kelompok dalam
SNMC (dosis 80mg, 160 mg, dan 240 mg) dan 1 kelompok plasebo. Obat
4
diberikan secara intravena 3x/minggu selama 4 minggu dengan followup
selama 4 minggu. Hasilnya dalam 2 hari awal terapi, serum ALT turun
15% di bawah baseline pada 3 kelompok dosis. Penurunan ALT pada
akhir pengobatan adalah 26%, jauh lebih tinggi dibandingkan kelompok
plasebo (6%). Pemberian glycyrrhizin sampai dosis 240 mg, tiga kali
perminggu menurunkan serum ALT selama pengobatan, aman dan dapat
ditoleransi dengan baik.
2. Studi lanjutan yang dilakukan Rossum et al., (2001) pada pasien hepatitis
C kronis di Eropa. Penelitian ini dilakukan dengan 2 desain penelitian,
bagian I (double-blind, randomized, placebo-controlled trial), plasebo
(SNMC tanpa glycyrrhizin) dan glycyrrhizin dosis 80 mg, 160 dan 240 mg
diberikan 3x/rminggu secara intravena (i.v). Larutan didilusi dengan 100
ml glukosa 5% dan diberikan secara infus drip selama 15-20 menit. Bagian
ke-II (open study), 200 mg glycyrrhizin (SNMC 100 ml) diberikan
6x/minggu, tidak didilusi, diberikan secara injeksi melalui vena perifer
selama 3-5 menit. Hasilnya glycyrrhizin dapat untuk mengobati pasien
hepatitis C kronik rawat jalan di Eropa. Pemberian glycyrrhizin 3 atau 6
kali perminggu memicu penurunan ALT yang signifikan pada pasien
hepatitis C kronik. Pemberian glycyrrhizin 6x/minggu lebih efektif dari
pada pemberian 3x/minggu.
3. Penelitian yang dilakukan Miyake et al., (2002) mengenai efikasi 2 dosis
pemberian (40 ml dan 100 ml) SNMC 3x/minggu pada pasien virus
hepatitis kronik. Hasilnya secara keseluruhan respon terapetik lebih baik
5
pada 53 pasien yang mendapat 100 ml SNMC daripada 59 pasien yang
mendapat 40 ml SNMC (P=0,0243). Setelah berakhirnya terapi SNMC,
level ALT menurun lebih ekstensif pada pasien yang mendapat 100 ml
SNMC daripada 40 ml SNMC (-29 vs -50% dibandingkan dengan nilai
baseline P=0,0002). Efek samping minor terjadi pada 2 kelompok, 100 ml
(20%) dan 40 ml (12%), tetapi mereka tidak memerlukan terapi.
Pemberian SNMC secara berulang akan efisien menekan peningkatan
SGOT pada pasien virus hepatitis kronik tergantung dosisnya. Penggunaan
terapi jangka panjang dengan mempertimbangkan dosis dan jadwal terapi
sangat efisien pada terapi pasien hepatitis kronik dengan menekan proses
nekroinflamasi di hati.
4. Terapi jangka panjang penggunaan SNMC untuk mencegah sirosis hati
dan kanker hati/ hepatocellular carcinoma (HCC) pada pasien hepatitis C
kronis. Pasien hepatitis kronis diterapi dengan 2-5 ampul SNMC
(Glycyrrhizin 80-200 mg) setiap hari selama seminggu. Pretreatment,
tingkat ALT rata-rata lebih tinggi secara signifikan pada 181 pasien yang
menerima SNMC daripada 221 yang tidak menerima SNMC (P<0,0001),
tetapi ini tidak mempengaruhi efikasi SNMC. Meskipun tingkat ALT lebih
tinggi sebelum pengobatan, normalisasi tingkat ALT dicapai secara
signifikan
lebih
sering
pada
pasien
dengan
SNMC
daripada
mereka yang tidak mendapat SNMC (47 dari 181 atau 26% vs 17 dari 221
atau 8%, P< 0,001). Sirosis hati jarang terjadi pada 178 pasien yang
menggunakan SNMC jangka panjang daripada kontrol (100 pasien) (28 vs
6
40% selama 13 tahun, p< 0,002). Penggunaan SNMC jangka panjang
mampu menurunkan kejadian HCC. Penelitian ini menunjukkan bahwa
kejadian HCC secara signifikan jarang terjadi pada pasien yang menerima
SNMC selama 15 tahun (25 vs 12%, p< 0,032). Pada pretreatment biopsi
hati ditemukan fibrosis yang mempengaruhi perkembangan HCC pada
pasien dengan atau tanpa SNMC. Tingkat kejadian HCC lebih rendah
pada pasien dengan SNMC dibanding mereka yang tidak menerima
SNMC. Pengobatan jangka panjang dengan SNMC untuk mencegah
kejadian HCC dengan infeksi virus hepatitis C semakin baik dimulai sejak
awal, tujuannya untuk menjaga kadar serum ALT tetap rendah (Kumada,
2002).
5. Penelitian yang dilakukan Acharya et al. (2012) di India, mengenai
pengobatan hepatitis kronis untuk virus hepatitis C, yaitu membandingkan
antara penggunaan interferon-alfa-2b dan ribavirin dengan interferon-alfa2b dan glycyrrhizin secara multisenter. Hasilnya 131 pasien diacak dan
dikelompokkan dalam kelompok interferon + glycyrrhizin (n = 64) dan
kelompok interferon + ribavirin (n = 67). Sekitar 85% (interferon +
glycyrrhizin = 53, interferon + ribavirin = 58) menyelesaikan 6 bulan
pengobatan dan 89% dari mereka (interferon + glycyrrhizin = 46,
interferon + ribavirin = 53) menyelesaikan follow-up setelah 6 bulan
pengobatan. Sustaided viral respon (SVR) secara signifikan lebih tinggi
pada kelompok interferon + ribavirin daripada kelompok interferon +
glycyrrhizin (65,7% vs 46,9%, OR = 2.2, P = 0,03). Leukopenia lebih
7
rendah pada terapi dengan interferon + glycyrrhizin (2% vs 17%, P <0,01)
dan anemia (8% vs 40%, P <0,001) dibandingkan dengan terapi interferon
+ ribavirin. Interferon dengan ribavirin dosis harian menunjukkan secara
signifikan lebih baik daripada interferon dengan glycyrrhizin.
6. Terapi glycyrrhizin pada pasien yang sebelumnya gagal dengan interferon
alfa yaitu mengenai efek biokimia dan histologi setelah 52 minggu. Studi
fase III ini bertujuan untuk mengetahui efikasi dan keamanan glycyrrhizin
pada terapi yang tidak berespon dengan interferon + Ribavirin dengan a
randomized, double-blind, plasebo-terkontrol, dibandingan pemberian
glycyrrhizin intravena 5x/ atau 3x/minggu, dan plasebo
5x/ minggu
selama 12 minggu untuk 379 pasien secara acak. Open comparison
glycyrrhizin i.v. 5x/minggu vs 3x/ minggu selama 40 minggu. Proporsi
pengurangan ALT > 50% pada pasien setelah 12 minggu secara signifikan
lebih tinggi pada 5x/ minggu pemberian glycyrrhizin (28,7%, P <0,0001)
dan 3x/ minggu glycyrrhizin (29,0%, P <0,0001) dibandingkan dengan
plasebo (7,0%). Proporsi perbaikan nekroinflamasi pada pasien setelah 52
minggu masing-masing adalah 44,9% dengan 5x/ minggu dan 46,0%
dengan 3x/ minggu. Glycyrrhizin secara signifikan menurunkan ALT lebih
tinggi dibandingkan dengan plasebo setelah 12 minggu terapi dan
memperbaiki nekroinflamasi serta fibrosis setelah pengobatan 52-minggu.
Secara umum, terapi glycyrrhizin ditolenransi dengan baik (Manns et al,
2012).
8
Penelitian kali ini berbeda dengan penelitian-penelitian sebelumnya,
dimana pada penelitian ini dilakukan secara observasional dengan metode
retrospektif, multisenter dibeberapa rumah sakit di Yogyakarta untuk mengetahui
indikasi penggunaan SNMC dan pengaruh pemberian SNMC terhadap
SGOT/SGPT.
E. Manfaat Penelitian
1. Bagi rumah sakit, memberikan informasi mengenai penggunaan SNMC di
rumah sakit.
2. Bagi perkembangan ilmu, diharapkan penelitian ini memberikan gambaran
mengenai penggunaan SNMC terhadap penurunan SGOT/SGPT.
9
Download