2. TINJAUAN PUSTAKA DAN KERANGKA

advertisement
2. TINJAUAN PUSTAKA DAN KERANGKA PEMIKIRAN
2.1. Tinjauan Teori
2.1.1. Permintaan dan Penawaran Komoditas Pertanian
Permintaan dan penawaran komoditas pertanian berkaitan dengan interaksi
antara penjual dan pembeli. Interaksi ini akan menentukan tingkat harga yang
berlaku dan jumlah komoditas yang diperjualbelikan. Interaksi tersebut dapat
diterangkan melalui teori permintaan dan teori penawaran.
a. Teori Permintaan
Teori permintaan menerangkan sifat dari permintaan pembeli pada suatu
komoditas, serta menerangkan hubungan antara jumlah yang diminta, harga, dan
pembentukan kurva permintaan (Sugiarto et al. 2007). Suatu komoditas dihasilkan
oleh produsen karena dibutuhkan oleh konsumen dan konsumen bersedia
membelinya. Konsumen mau membeli komoditas yang mereka perlukan apabila
harga produk tersebut sesuai dengan keinginannya.
Menurut
Rahardja
dan
Manurung
(2008),
beberapa
faktor
yang
mempengaruhi permintaan barang yaitu:
1). Harga barang itu sendiri. Sifat hubungan antara permintaan dan harga dijelaskan
dalam hukum permintaan. Hipotesis hukum permintaan menyatakan bahwa
semakin rendah harga suatu komoditas maka semakin banyak jumlah komoditas
tersebut yang diminta, sebaliknya semakin tinggi harga suatu komoditas semakin
sedikit komoditas tersebut diminta, ceteris paribus. Menurut Sugiarto et al.
(2007), hipotesis tersebut didasarkan atas asumsi:
a). Bila harga suatu komoditas turun, maka pembelian terhadap komoditas lain
yang terkait akan menurun dan menambah pembelian terhadap komoditas
yang mengalami penurunan harga tersebut. Penurunan harga suatu komoditas
menyebabkan pendapatan riil para pembeli meningkat, sehingga mendorong
untuk meningkatkan pembelian.
b). Bila harga suatu komoditas naik, maka pembeli akan mencari komoditas lain
yang dapat digunakan sebagai pengganti atas komoditas yang mengalami
kenaikan harga. Kenaikan harga menyebabkan pendapatan riil pembeli
berkurang, sehingga mendorong pembeli mengurangi pembeliannya.
2). Harga barang lain yang terkait. Keterkaitan dua macam barang dapat bersifat
substitusi ataupun komplemen. Menurut Djojodipuro (1991) barang substitusi
adalah barang yang memenuhi kebutuhan yang sama. Biasanya barang substitusi
tidak mutlak dapat menggantikan satu sama lain, sehingga konsumen dapat
memilih mana yang lebih cocok untuk memenuhi kebutuhannya. Pada barang
substitusi, bila harga barang yang satu naik, dengan mengabaikan pengaruh
pendapatan maka barang yang lain akan naik pula harganya. Hal ini disebabkan
kenaikan harga barang yang pertama mengakibatkan pemindahan permintaan ke
barang lain dan menaikkan harganya. Oleh karena itu untuk barang substistusi,
gerak harganya adalah searah.
3). Tingkat
pendapatan
perkapita.
Tingkat
pendapatan
perkapita
dapat
mencerminkan daya beli.
4). Selera atau kebiasaan.
5). Jumlah penduduk.
6). Perkiraan harga dimasa mendatang.
7). Distribusi pendapatan
8). Usaha-usaha produsen meningkatkan penjualan.
Djojodipuro (1991) menyebutkan bahwa kurva permintaan (Gambar 2a)
menggambarkan hubungan antara jumlah barang yang diminta sebagai fungsi harga
dan menganggap variabel lainnya tetap (ceteris paribus). Pengaruh perubahan harga
yang diminta yaitu barang x terhadap jumlahnya digambarkan sebagai pergerakan
sepanjang kurva permintaan atau biasa disebut hukum permintaan. Pada Gambar 2b
perubahan variabel lain seperti harga barang lain, pendapatan dan selera
digambarkan sebagai pergeseran kurva permintaan. Kurva bergeser ke kanan jika
perubahannya positif, dan bergeser ke kiri kalau perubahannya negatif. Misal
pergeseran kurva karena peningkatan pendapatan. Pada harga yang sama konsumen
mau membeli jumlah yang besar (0Qx – 0Q’x) atau jumlah barang yang sama, misal
0Qx, konsumen berani membayar harga yang lebih tinggi (0P – 0P’x).
Harga Px
Harga Px
P’x
Px
D1
D
D
Kuantitas Qx
0
0
Qx
2a
Q’x
Kuantitas Qx
2b
Gambar 2. Kurva Permintaan
b. Teori Penawaran
Teori penawaran menerangkan sifat para penjual dalam menawarkan
komoditas yang akan dijualnya (Sugiarto et al. 2007). Pernyataan yang menjelaskan
sifat hubungan antara harga suatu komoditas dan jumlah komoditas tersebut yang
ditawarkan oleh produsen dikenal dengan hukum penawaran. Pada umumnya
semakin tinggi harga suatu komoditas, semakin banyak jumlah komoditas tersebut
yang akan ditawarkan oleh penjual. Sebaliknya makin rendah harga suatu komoditas
makin sedikit jumlah yang ditawarkan oleh penjual.
Menurut Rahardja dan
Manurung (2008), beberapa faktor yang mempengaruhi penawaran barang yaitu:
1). Harga barang itu sendiri. Sifat hubungan antara harga suatu komoditas dan
jumlah penawaran komoditas tersebut dikenal dengan hukum penawaran. Pada
umumnya semakin tinggi harga suatu komoditas semakin banyak jumlah
komoditas tersebut yang akan ditawarkan oleh penjual.
2). Harga barang lain yang terkait.
3). Harga faktor produksi.
4). Biaya produksi.
5). Teknologi produksi.
6). Jumlah penjual.
7). Tujuan perusahaan.
8). Kebijakan pemerintah.
Menurut Djojodipuro (1991) kurva penawaran (Gambar 3a) menunjukkan
berbagai jumlah barang yang seorang penjual bersedia menawarkan dengan berbagai
harga, ceteris paribus. Dalam keadaan ini, maka kurva tersebut menaik dari kiri
bawah ke kanan atas. Kurva ini merupakan pembatas, dimana semua yang diatasnya
mungkin terjadi dan yang dibawahnya tidak. Pada setiap tingkat harga, penjual
bersedia menjual barang, tetapi mereka tidak dapat dirangsang untuk menjual lebih.
Dari segi jumlah, maka kurva penawaran menunjukkan harga minimum yang
mendorong penjual untuk menjual berbagai jumlah. Penjual mau menerima harga
yang lebih tinggi untuk jumlah tertentu, tetapi tidak lebih rendah. Pada Gambar 3b
perubahan variabel lain seperti harga barang lain, biaya produksi dan teknologi
produksi digambarkan sebagai pergeseran kurva. Kurva bergeser ke kanan jika
perubahannya positif, dan bergeser ke kiri kalau perubahannya negatif. Misal
pergeseran kurva karena peningkatan teknologi.
Harga Px
Harga Px
S1
S
S2
Px
P’x
Kuantitas Qx
0
0
Qx
3a
Q’x
Kuantitas Qx
3b
Gambar 3. Kurva Penawaran
Menurut Sugiarto et al. (2007) analisis permintaan dan penawaran merupakan
alat yang penting untuk:
a. Memahami respon harga dan kuantitas suatu komoditas terhadap perubahan
variabel-variabel ekonomi seperti teknologi, selera konsumen, harga komoditas
lain, dan harga faktor produksi.
b. Menganalisis interaksi yang kompetitif antara penjual dan pembeli dalam
menghasilkan harga dan kuantitas suatu komoditas.
c. Menunjukkan kebebasan yang diberikan pasar kepada konsumen dan produsen.
d. Menganalisis efek berbagai intervensi kebijakan pemerintah dipasar, seperti
pengendalian harga, kuota, pajak, subsidi, dan lain-lain.
2.1.2. Teori Perdagangan Internasional
Perdagangan internasional adalah perdagangan yang melintasi antar negara
yang mencakup aktivitas ekspor dan impor baik barang maupun jasa (Yuliadi 2007).
Teori perdagangan internasional merupakan teori yang mencoba memahami
mengapa sebuah negara mau melakukan kerjasama perdagangan dengan negaranegara lain. Berikut ini disampaikan beberapa teori perdagangan internasional.
a. Teori Pra-Klasik Merkantilisme
Merkantilisme merupakan aliran ekonomi yang tumbuh dan berkembang
pesat pada abad XVI sampai dengan XVIII di Eropa Barat. Merkantilisme
merupakan ajaran yang berkeyakinan bahwa perekonomian suatu negara makin
makmur bila mampu memaksimalkan surplus perdagangan. Konsekuensinya adalah
memaksimalkan
ekspor
sekaligus
meminimalkan
impor,
sehingga
surplus
perdagangan akan meningkat (Rahardja & Manurung 2008).
Kebijakan ini diadaptasi kembali oleh banyak negara dalam bentuk Neo
Merkantilisme. Ciri utamanya yaitu pemeliharaan surplus perdagangan, bila perlu
melakukan proteksi. Kebijakan proteksi dilakukan untuk melindungi dan mendorong
ekonomi industri nasional dengan menggunakan kebijakan tarif dan non tarif.
Kebijakan ini dilakukan negara-negara Barat agar negara eksportir memperhatikan
kelestarian alam dimana setiap produknya mempunyai green label ataupun
pemerhatian terhadap hak asasi manusia. Hal ini merupakan salah satu cara yang
dilakukan negara kapitalis untuk menghambat ekspor dari negara berkembang.
Contoh konkret adalah isu perusakan lingkungan yang dilakukan oleh Indonesia
yaitu memperluas perkebunan kelapa sawit dengan cara membuka hutan. Isu ini
dilontarkan Amerika untuk melindungi perdagangan minyak jagungnya di pasaran
dunia sehubungan dengan adanya peningkatan ekspor CPO ke beberapa negara.
Kebijakan ini juga pernah diterapkan oleh Indonesia dalam bentuk larangan ekspor
CPO dan penetapan harga patokan ekspor CPO untuk melindungi industri minyak
goreng dalam negeri.
b. Teori Klasik
1). Teori Absolute Advantage
Teori keunggulan absolut dikemukakan oleh Adam Smith. Menurutnya
perdagangan akan meningkatkan kemakmuran jika dilaksanakan melalui mekanisme
perdagangan bebas Melalui mekanisme perdagangan bebas, para pelaku ekonomi
diarahkan untuk melakukan spesialisasi dalam upaya peningkatan efisiensi. Setiap
negara akan memperoleh manfaat perdagangan internasional karena melakukan
spesialisasi produksi dan mengekspor barang jika negara tersebut memiliki
keunggulan mutlak, serta mengimpor barang jika negara tersebut memiliki
ketidakunggulan mutlak (Hady 2001).
2). Teori Comparative Advantage
Teori keunggulan komparatif dikemukakan oleh David Ricardo yang dikenal
dengan model Ricardian. Teori ini didasarkan pada nilai tenaga kerja, yaitu harga
suatu produk ditentukan oleh jumlah waktu atau jam kerja yang diperlukan untuk
memproduksinya (Hady 2001). Konsep penting dalam model Ricardian adalah
perbedaan sumber daya dan teknologi yang dimiliki oleh tiap negara menciptakan
keunggulan bagi negara tersebut (comparative advantage). Ricardo membuktikan
bahwa bila dua wilayah yang saling berdagang masing-masing mengkonsentrasikan
diri untuk mengekspor barang yang memiliki keunggulan komparatif, maka kedua
wilayah tersebut akan mendapatkan keuntungan. Atas dasar keunggulan komparatif
maka berkembang suatu fenomena yang kemudian disebut spesialisasi yaitu setiap
negara memproduksi sesuatu
yang paling dikuasainya. Suatu negara dikatakan
mempunyai keunggulan komparatif dalam memproduksi suatu komoditi kalau biaya
pengorbanannya (opportunity cost) dalam memproduksi barang tersebut (dalam
satuan barang lain) lebih rendah daripada negara-negara lainnya (Krugman &
Obstfeld 2000).
c. Teori Modern
Teori Heckscher-Ohlin menjelaskan bahwa dalam kenyataannya perdagangan
tidak hanya menunjukkan perbedaan produktivitas tenaga kerja namun juga
mencerminkan perbedaan sumber daya di tiap negara yaitu karena adanya perbedaan
jumlah atau proporsi faktor produksi yang dimiliki masing-masing negara (Rahardja
& Manurung 2008). Dapat dikatakan bahwa suatu negara sebaiknya mengekspor
barang yang menggunakan faktor produksi yang melimpah dan mengimpor barang
yang menggunakan faktor produksi yang langka di negaranya. Namun ekspor dan
impor untuk komoditi tersebut hanya dapat dilakukan bila penggunaan faktor
produksi telah dilakukan secara intensif (Krugman & Obstfeld 2000).
d. International Competitive of Nation Porter’s Diamond
Pada era global yang makin kompetitif diperlukan keunggulan dalam biaya
produksi dan keunggulan kompetitif. Menurut Porter dalam Rahardja dan Manurung
(2008), keunggulan kompetitif suatu bangsa bersumber pada beberapa keunggulan
berikut:
1). Keunggulan karena faktor produksi (factor conditions)
Faktor produksi yang dimiliki oleh suatu negara yang memberikan kontribusi
terhadap keunggulan kompetitif adalah SDM, SDA, iptek, permodalan dan
prasarana.
2). Keunggulan karena faktor permintaan (demand conditions)
Skala dan tingkat pertumbuhan pasar domestik maupun internasional merupakan
salah satu faktor penunjang peningkatan daya saing. Skala pasar yang makin
membesar dapat menurunkan biaya produksi per unit.
3). Keunggulan karenanjaringan kerja industri (related and supporting industry)
Untuk menjaga dan dan memelihara kelangsungan keunggulan daya saing maka
perlu dijaga kontak dan koordinasi dengan supplier.
4). Keunggulan karena strategi perusahaan dan struktur persaingan pasar (firm
strategy, structure and rivalry)
Strategi perusahaan, struktur organisasi dan kondisi persaingan antara perusahaan
domestik yang sangat ketat dan tidak adanya proteksi pemerintah akan memaksa
perusahaan memperbaiki kondisi internalnya. Hal ini mampu mendorong
perusahaan bekerja efisien dan produktif sehingga dapat bersaing di pasar global.
Gambar 4 menunjukkan hubungan keempat faktor tersebut dalam bentuk skema
Porter’s Diamond.
Firm Strategy,
Structure and Rivalry
Factor Conditions
Demand Conditions
Related and
Supporting Industry
Gambar 4. Porter’s Diamond
Teori perdagangan internasional menunjukkan bahwa tiap negara memiliki
perbedaan sumber daya dalam memproduksi suatu barang sehingga menciptakan
keunggulan komparatif dan spesialisasi pada tiap negara yang berimplikasi pada
perbedaan harga untuk komoditi yang sama. Perbedaan harga menjadi dasar
terjadinya arus perdagangan antar negara yang secara grafis dijelaskan Gambar 5
(Soekartawi 1991).
Harga
Harga
Harga
SB
SI
DA
D
Pf
C
Pd
F
Pd
SA
E
//
H
G
DB
DI
Y2 Y1 Y3
0
Kuantitas
Y1
0
Negara A
Kuantitas
0
Y2 Y4 Y3
Kuantitas
Negara B
Pasar Internasional
Gambar 5. Kurva Perdagangan Internasional Antar Dua Negara
Gambar
diatas
menunjukkan
bahwa
sebelum
adanya
perdagangan
internasional, dinegara A harga keseimbangan komoditas Y pada titik C dan pada
titik F pada negara B. Konsumsi di negara A sebesar 0Y1 dan 0Y4 pada negara B. Pf
adalah harga keseimbangan di pasaran internasional, maka konsumsi domestik
negara A menjadi 0Y2 sedang total penawaran komoditas Y sebesar 0Y3 atau dititik
E. Gambar 6 menunjukkan jumlah komoditas Y yang diekspor sebesar 0-Y atau Y2Y3.
Harga
Harga
DA
D
Pf
C
Pd
0
SX
SA
E
//
Y2 Y1 Y3
Kuantitas
0
Y’
Gambar 6. Kurva Penawaran Ekspor Negara A
Kuantitas
Faktor-faktor yang mempengaruhi ekspor menurut Darmansyah dalam
Soekartawi (1991) seperti diuraikan berikut ini:
a Harga Internasional
Makin besar selisih antar harga di pasar internasional dengan harga domestik
akan menyebabkan jumlah komoditi yang akan diekspor menjadi bertambah
banyak. Naik turunnya harga tersebut disebabkan oleh:
1). Keadaan perekonomian negara pengekspor, dimana dengan tingginya inflasi
di pasar domestik akan menyebabkan harga dipasar domestik menjadi naik.
Jika ditinjau dari pasar internasional secara riil harga komoditi tersebut akan
terlihat semakin menurun.
2). Harga di pasar internasional semakin meningkat, dimana harga internasional
merupakan keseimbangan antara penawaran ekspor dan permintaan impor
suatu komoditas di pasar dunia meningkat. Jika harga komoditas di pasar
domestik tersebut stabil, maka selisih harga internasional dan harga domestik
semakin besar, akibatnya akan mendorong ekspor komoditi tersebut.
b Nilai tukar uang
c Kuota ekspor impor
d Kebijakan tarif dan non tarif
Kebijakan tarif dan non tarif dimaksudkan untuk menjaga harga produk dalam
negeri dalam tingkatan tertentu sehingga dengan harga tersebut dapat atau
mampu mendorong pengembangan komoditi tersebut.
2.1.3. Transmisi Harga
Analisis yang umum dipakai untuk mengetahui hubungan antar harga adalah
transmisi harga dan integrasi pasar. Terminologi analisis harga biasanya mengacu
pada analisis kuantitatif dari keterkaitan antara aspek permintaan dan penawaran
harga. Alasan pentingnya dilakukan analisis harga menurut Tomek dan Robinson
(1972) yaitu: (1) untuk mengestimasi koefisien (parameter) ekonomi tertentu seperti
elastisitas permintaan harga komoditas dan (2) untuk meramalkan harga pada masa
mendatang dan faktor-faktor yang mempengaruhi tingkat harga komoditas tertentu.
Analisis harga sering digunakan untuk menjelaskan perilaku harga dan variabel-
variabel yang berhubungan. Harga dianggap dapat memberikan gambaran tentang
pasar dan menjadi salah satu indikator tingkat penawaran dan permintaan suatu
komoditas, maka analisis harga pangan merupakan hal yang penting guna perumusan
kebijakan stabilisasi harga dan peningkatan produksi pangan serta membuat
peramalan harga (Rachman 2005).
Isu penting dalam perdagangan dunia produk pertanian adalah bagaimana
pasar komoditas pertanian domestik merespon perubahan harga dunia ataupun
sebaliknya. Tingkat transmisi harga dari dunia ke harga domestik merupakan
parameter kritis dalam model empiris perdagangan yang berusaha untuk
memperkirakan
besarnya
dampak
terhadap
harga,
output,
konsumsi
dan
kesejahteraan. Globalisasi telah membuat pasar komoditas semakin terpadu secara
spasial, baik secara hierarki atau simetri. Keterpaduan pasar pada umumnya
direfleksikan oleh keterkaitan harga antar pasar (Ravallion 1986).
Studi transmisi harga umumnya menguji hubungan antara series harga pada
channel yang berbeda pada rantai pemasaran ataupun pada pasar yang terpisah secara
spasial. Studi transmisi harga ditemukan pada konsep yang berhubungan dengan
perilaku persaingan harga. Studi ini memberikan informasi bagaimana shock disatu
pasar ditransmisikan ke pasar yang lain. Hal ini merefleksikan tingkatan pasar dalam
melaksanakan fungsinya secara efisien.
Spasial transmisi harga melihat bagaimana harga pada pasar yang terpisah
secara spasial di suatua negara adalah berhubungan atau bagaimana harga domestik
melakukan penyesuaian terhadap harga dunia. Informasi pada kedua bentuk spasial
transmisi harga tersebut sangat penting bagi pengambil kebijakan. Beberapa negara
berkembang telah mengurangi peran pemerintah yang berhubungan dengan lembaga
pemasaran, regulasi harga komoditas, dan kontrol terhadap perdagangan dunia.
Informasi pada derajat dimana sinyal harga dunia ditransmisikan ke pasar komoditas
domestik merupakan sesuatu yang penting bagi pengambil kebijakan.
Dalam istilah spasial, paradigma klasik dari hukum satu harga (law of one
price), memberikan dalil bahwa transmisi harga disebut lengkap pada kondisi harga
keseimbangan dari suatu komoditas terjual pada pasar bersaing di luar negeri dan
domestik dibedakan hanya oleh biaya transfer ketika dikonversi ke suatu mata uang
yang sudah umum digunakan dalam perdagangan dunia. Model ini memprediksi
bahwa perubahan pada permintaan dan penawaran di satu pasar akan mempengaruhi
perdagangan dan oleh karena itu harga di pasar yang lain pada kondisi keseimbangan
dipulihkan melalui arbitrase spasial.
Keberadaan integrasi pasar, atau pass-through perubahan harga yang
sempurna dari satu pasar ke pasar yang lain mempunyai implikasi terhadap
kesejahteraan ekonomi. Adanya transmisi harga yang tidak sempurna pada
perdagangan atau kebijakan lainnya, atau pada biaya transaksi seperti miskinnya
infrastruktur transportasi dan komunikasi menyebabkan berkurangnya informasi
yang diperoleh pelaku ekonomi dan konsekuensinya pada pengambilan keputusan
yang berkontribusi pada hasil yang tidak efisien.
Rapsomanikis et al. (2004) merumuskan P1t dan P2t sebagai harga sebuah
komoditas yang pasarnya terpisah secara spasial, C adalah biaya transfer untuk
mengangkut komoditas dari pasar 1 ke pasar 2. Hubungan yang terjadi antara harga
tersebut adalah :
P1t = P2t + C ..........................................................................................................(1)
Jika hubungan dua harga terjadi seperti formula tersebut maka kedua pasar
dikatakan terintegrasi. Namun kondisi ini bisa dikatakan tidak mungkin terjadi
terutama pada jangka pendek. Jika sebaran bersama dari dua harga tersebut ternyata
independen sepenuhnya atau tidak ada hubungan sama sekali maka dapat dikatakan
bahwa tidak terjadi integrasi pasar dan tidak ada transmisi harga. Umumnya arbitrase
spasial diharapkan untuk memastikan bahwa harga dari sebuah komoditas akan
berbeda sejumlah tertentu atau paling besar sama dengan biaya transfer, C adalah
biaya transfer untuk mengangkut komoditas dari pasar 1 ke pasar 2,
 adalah
konstanta yang besarnya antara 0 dan 1. Hubungan antara harga di dua pasar tersebut
diidentifikasi sebagai berikut :
P2t - P1t = C ........................................................................................................(2)
Fackler dan Goodwin dalam Rapsomanikis et al. (2004) mengacu pada
hubungan diatas sebagai kondisi arbitrase spasial dan berdalil bahwa hubungan
tersebut mengidentifikasi sebuah bentuk yang lemah dari hukum satu harga (law of
one price), bentuk yang kuat dicirikan oleh persamaan 1. Mereka juga menekankan
bahwa hubungan 2 mewakili kondisi ekuilibrium. Harga yang diobservasi dapat
berbeda dari hubungan 1, tetapi arbitrase spasial akan menyebabkan perbedaan
antara kedua harga tersebut bergerak menuju biaya transfer.
Kondisi
arbitrase
spasial
mengimplikasikan
bahwa
integrasi
pasar
mendorongnya pada sebuah intepretasi kointegrasi dengan keberadaannya sedang
dievaluasi oleh uji kointegrasi. Kointegrasi dapat dipahami sebagai pendekatan
empiris dari dugaan teoritis suatu ekuilibrium hubungan jangka panjang. Jika dua
pasar yang terpisah secara spasial series harganya terkointegrasi, ada kecenderungan
terjadi pergerakan yang sama pada jangka panjang diantara keduanya berdasarkan
hubungan linier. Pada jangka pendek harga dapat merenggang, seperti ketika
goncangan pada salah satu pasar tidak akan dengan segera ditransmisikan ke pasar
yang lain atau karena keterlambatan di dalam pengangkutan. Bagaimanapun, peluang
arbitrasi memastikan bahwa divergensi dari peningkatan cepat pada keseimbangan
hubungan jangka panjang bersifat sementara dan tidak permanen.
Transmisi
harga
asimetri
menurut
Meyer
dan
Taubadel
(2004)
diklasifikasikan berdasarkan tiga kriteria
1. Kecepatan (speed) atau besarnya (magnitude) transmisi harga asimetri
Simbol pout adalah harga output, pin adalah harga input. Diasumsikan pout
tergantung pada pin. Gambar 7a, besarnya respon pout terhadap perubahan pin
tergantung pada arah perubahan. Pada saat pin naik maka pout ikut naik sebesar
kenaikan pin. Namun ketika terjadi penurunan pin, pout hanya sedikit merespon
turunnya harga, akibatnya terjadi transfer kesejahteraan konsumen ke penjual
secara permanen. Gambar 7b, respon kecepatan pout terhadap perubahan pin
terjadi pada t1+n sehingga menyebabkan transfer kesejahteraan sementara dari
konsumen ke penjual selama selang waktu antara t dan t1+n. Gambar 7c,
kecepatan dan besarnya respon pout terhadap perubahan pin menyebabkan
terjadinya transfer kesejahteraan sementara dan permanen.
p
p
p
out
pout
pin
pin
t
t1+n
t1
7a
t
7b
p
pout
pin
t1
t2
t3
t
7c
Sumber: Meyer dan Taubadel (2004)
Gambar 7.
Asimetri transmisi harga berdasarkan kriteria kecepatan, besaran serta
kecepatan dan besaran
2. Positif atau negatifnya transmisi harga asimetri
Jika pout merespon dengan kecepatan dan besaran yang sama ketika pin
naik dibandingkan ketika pin turun maka disebut asimetri positif (Gambar 8a).
Sebaliknya, jika pout merespon dengan kecepatan dan besaran yang sama ketika
pin turun dibandingkan ketika pin naik maka disebut asimetri negatif (Gambar 8b).
p
p
p
out
pout
pin
pin
8a
t
8b
t
Sumber: Meyer dan Taubadel (2004)
Gambar 8. Transmisi harga asimetri berdasarkan kriteria positif dan negatif
3. Vertikal atau spasialnya transmisi harga asimetri
Jika produsen dan konsumen mengeluhkan ketika terjadi kenaikan harga
di level produsen yang langsung ditransmisikan secara penuh (kecepatan dan
besaran) ke level pedagang besar dan pedagang eceran. Sebaliknya ketika terjadi
penurunan harga di level produsen tidak ditransmisikan secara penuh (kecepatan
dan besaran) ke level pedagang besar dan pedagang eceran. Kondisi transmisi
harga asimetri karena perbedaan level pemasaran ini disebut transmisi harga
asimetri vertikal.
Jika terjadi kenaikan harga di satu pasar yang terpisah secara geografis
direspon oleh pasar yang lain di wilayah yang berbeda maka disebut transmisi
harga asimetri spasial. Kedua kriteria ini juga dapat diklasifikasikan lagi
berdasarkan kecepatan-besaran dan positif-negatif transmisi harga asimetri.
2.1.4. Integrasi Pasar
Analisis integrasi pasar merupakan salah satu indikator untuk mengetahui
efisiensi pasar. Pengetahuan tentang integrasi pasar akan dapat bermanfaat untuk
mengetahui kecepatan respon pelaku pasar terhadap perubahan harga sehingga dapat
dilakukan pengambilan keputusan secara tepat dan tepat. Dua buah pasar yang
terintegrasi akan membentuk harga kesetimbangan yang berkaitan secara langsung.
Globalisasi ekonomi telah membuat pasar komoditas semakin terpadu.
Keterpaduan pasar pada umumnya direfleksikan oleh keterkaitan harga antar pasar
(Ravallion 1986). Metode tradisional untuk studi integrasi pasar adalah berdasarkan
korelasi pasangan (bivariate correlation) harga antar wilayah (region). Dalam
metode ini korelasi dan koefisien regresi diduga dari deret harga spot pada lokasi
pasar yang berbeda.
Harris (1979) mengindikasikan integrasi pasar sebagai keterpaduan diantara
beberapa pasar yang memiliki korelasi harga tinggi. McNew (1996) membatasi
integrasi pasar sebagai kondisi ekuilibrium spasial efisien yang dicerminkan oleh
adanya kejutan (shock) pada pasar tertentu yang secara sempurna ditransmisikan ke
pasar-pasar lainnya. Sejalan dengan pandangan ini, Goodwin dan Schroeder (1991)
menggambarkan integrasi pasar berkaitan dengan lokasi-lokasi spasial yang memiliki
perubahan harga one-to-one. Lebih jauh lagi, Muwanga dan Snyder (1997)
mengemukakan bahwa pasar-pasar terintegrasi jika terjadi aktivitas perdagangan
antara dua atau lebih pasar-pasar yang terpisah secara spasial, kemudian harga di
suatu pasar berhubungan atau berkorelasi dengan harga di pasar-pasar lainnya.
Untuk menganalisis perilaku pasar terdapat dua pendekatan integrasi, yaitu
integrasi vertikal dan integrasi horizontal (spatial). Integrasi pasar vertikal
menunjukkan perubahan harga di suatu pasar akan direfleksikan pada perubahan
harga di pasar lain secara vertikal dalam produk yang sama (Suparmin 2005). Pada
pasar yang terintegrasi secara vertikal, intervensi pada suatu pasar akan berdampak
nyata terhadap pasar lainnya, atau sebaliknya pada pasar yang tidak terintegrasi
secara vertikal intervensi pada suatu pasar tidak akan berpengaruh nyata terhadap
pasar lainnya.
Integrasi pasar spasial merupakan tingkat keterkaitan hubungan antara suatu
pasar regional dan pasar regional lainnya. Integrasi pasar spasial dapat
mencerminkan efek perubahan harga pada suatu pasar terhadap pasar lainnya. Dalam
hal ini, perubahan harga di suatu pasar secara parsial atau total ditransmisikan ke
harga yang terjadi di pasar-pasar lain, baik dalam jangka pendek atau jangka
panjang. Menurut Campenhout (2005) pasar dikatakan terintegrasi jika dihubungkan
oleh sebuah proses arbitrase. Jika perbedaan harga antara dua pasar lebih rendah dari
biaya transaksi, seorang pedagang akan berpikir untuk menghentikan perdagangan.
Transmisi dan pemanfaatan informasi diantara berbagai pasar dapat mengakibatkan
harga dari komoditas tertentu bergerak secara bersamaan di berbagai pasar tersebut.
Jika pasar menggunakan harga yang lalu (past prices) secara tepat dalam penentuan
harga pada saat ini (current price determination), maka sistem pemasaran yang
berlaku dapat dikategorikan efisien (Leuthold & Hartmann 1979).
2.1.5. Manajemen Pemasaran Pasar Fisik dan Pasar Berjangka
Hakim (2009) menyebutkan bahwa fungsi utama sistem pemasaran produk
pertanian antara lain adalah bagaimana petani sebagai subjek atau pelaku ekonomi
mendapatkan tingkat harga yang sesuai dengan tingkat resiko yang dihadapi baik
resiko teknis seperti serangan hama, kekeringan dan kebanjiran juga resiko pasar
karena pergerakan harga yang cenderung merugikan petani. Dalam pemasaran
produk pertanian, petani seringkali berada dalam posisi lemah. Beberapa faktor yang
menyebabkan lemahnya posisi petani antara lain bertindaknya petani secara individu,
kepemilikan asetnya kecil, panjangnya rantai pemasaran antara petani dan konsumen
akhir, dan struktur pasar yang didominasi pedagang.
Menurut Soekartawi (1991) alasan terjadinya rantai pemasaran hasil
pertanian yang panjang dan seringkali merugikan petani sebagai produsen adalah:
a Pasar tidak bekerja secara sempurna.
b Lemahnya informasi pasar.
c Lemahnya petani memanfaatkan peluang pasar.
d Lemahnya posisi petani sebagai produsen melakukan penawaran untuk
mendapatkan harga yang baik.
e Petani melakukan usaha tani tidak didasarkan pada permintaan pasar, melainkan
karena usaha tani yang diusahakan secara turun temurun.
Produk pertanian dapat dibedakan dengan produk lain berdasarkan beberapa
karakteristiknya, yaitu: musiman, segar dan mudah rusak (perishable), volumenya
besar tetapi nilainya relatif kecil (bulky) serta harganya cenderung berfluktuasi. Sifat
musiman produk pertanian berimplikasi pada perlunya manajemen stok yang baik,
sehingga perlu adanya biaya penyimpanan yang merupakan resiko yang harus
dibayar oleh petani. Menurut Dahl dan Hammond dalam Hakim (2009) besarnya
biaya tersebut tergantung pada fasilitas penyimpanan yang dimiliki dan lamanya
penyimpanan. Resiko mudah rusaknya produk pertanian dapat dikurangi dengan
asuransi pertanian. Namun di negara berkembang industri asuransi belum mencakup
produk pertanian. Akibatnya ketika terjadi gagal panen, petani kehilangan sumber
pendapatannya. Harga produk pertanian sering mengalami perubahan terkait dengan
dinamika penawaran dan permintaan. Fluktuasi harga yang sukar diprediksi dapat
dikurangi dengan melakukan pengelolaan resiko harga (Hakim 2009).
Dalam pasar fisik atau tunai umumnya melibatkan keberadaan komoditi
secara langsung dalam proses transaksi. Selain itu, transaksi biasanya tidak hanya
terpusat di satu pasar. Hal ini tentu saja akan menimbulkan biaya transaksi yang
lebih tinggi karena perlunya biaya penyimpanan. Dalam pasar berjangka, produsen
dapat menjual produk pertanian yang baru akan dipanen beberapa bulan kemudian,
pada harga yang telah dipastikan sebelum panen. Oleh karenanya produsen dapat
memperoleh jaminan harga sehingga tidak terpengaruh oleh kenaikan atau pun
penurunan harga jual produk dipasar fisik.
Pasar berjangka merupakan sarana pembentukan harga yang transparan dan
wajar, yang mencerminkan kondisi pasokan dan permintaan yang sebenarnya dari
komoditi yang diperdagangkan. Hal ini memungkinkan, karena transaksi hanya
dilakukan oleh anggota bursa yaitu mewakili nasabah atau dirinya sendiri. Artinya
antara pembeli dan penjual kontrak berjangka tidak saling kenal secara langsung.
Harga yang terjadi di pasar berjangka umumnya dijadikan sebagai harga acuan
(reference price) oleh dunia usaha, termasuk produsen dan pedagang untuk
melakukan transaksi di pasar fisik. Demikian juga penetapan harga komoditi di bursa
juga memperhatikan infomasi pasar perdagangan fisik. Margin yang telah ditetapkan
berlaku untuk periode waktu tertentu, dapat diubah sesuai dengan situasi dan kondisi
yang ada.
Instrumen yang digunakan dalam pasar berjangka diantaranya yaitu forward
contract, future contract dan options. Forward contract terjadi ketika kedua belah
pihak yaitu penjual dan pembeli sepakat untuk melakukan transaksi baik jumlah dan
waktu dilakukan penyampaian produk ke pembeli. Kesepakatan mengenai harga,
kualitas dan waktu penyampaian komoditi sangat spesifik. Penggunaan instrumen ini
dapat melindungi kedua pihak dari pergerakan harga yang merugikan.
Future contract penting bagi pelaku pasar yang melakukan transaksi dalam
jumlah besar yang melibatkan ketersediaan stok yang cukup besar dan dalam jangka
waktu penyimpanan yang lebih lama. Resiko terhadap perubahan jumlah dan nilai
dapat dikurangi melalui instrumen ini. Sesuai tujuannya yaitu meminimalkan resiko
kerugian karena pergerakan harga. Transaksi ini melibatkan dua pasar yaitu pasar
sekarang dan pasar mendatang. Kerugian atau keuntungan dari suatu pasar akan
dikompensasi dari transaksi di pasar lainnya.
Dalam perdagangan CPO melibatkan pasar berjangka dan pasar fisik. Harga
CIF Rotterdam merupakan harga di pasar berjangka Rotterdam yang sering dijadikan
harga referensi CPO internasional. Harga FOB CPO Belawan merupakan harga di
pasar fisik CPO Indonesia yang sering dijadikan acuan harga. Harga dengan sistem
CIF (cost, insurance, freight), yaitu eksportir hanya bertanggung jawab terhadap
biaya pengiriman barang. Khusus untuk CPO asal Indonesia eksportir sering harus
menanggung biaya asuransi dan letter of credit (LC) yang lebih mahal ketimbang
CPO dari negara lain. Hal ini lazim dalam perdagangan komoditas di pasar forward
yang biasanya memperhitungkan faktor resiko menyangkut kepercayaan dan
keamanan suatu negara asal komoditas. Ekspor CPO Indonesia menggunakan sistem
FOB (free on board), yaitu penetapan harga ekspor setelah barang dimuat di atas
kapal dipelabuhan ekspor. Selama suatu negara belum memiliki pasar berjangka,
harga jual komoditi masih mengacu pada bursa yang ada di luar negeri. Demikian
juga Indonesia, diharapkan Indonesia bisa menjadi price maker dalam perdagangan
CPO dunia.
2.1.6. Peranan Pemerintah
Tujuan Pemerintah melakukan intervensi terhadap pembentukan harga
produk pertanian menurut Tomek dan Robinson (1972) yaitu: (1) untuk menurunkan
harga dan ketidakstabilan pendapatan, (2) memperbaiki alokasi sumber daya, (3)
meningkatkan pemenuhan kebutuhan pangan dan serat, (4) menaikkan rata-rata
tingkat harga dan pendapatan. Musgrave dan Musgrave dalam Rosdiana dan Tarigan
(2005) menyebut fungsi pemerintah dalam perekonomian sebagai fiscal function,
yaitu:
1. Fungsi alokasi.
Pemerintah
mengusahakan
agar
alokasi sumber-sumber
ekonomi
dilaksanakan secara efisien. Dalam fungsi alokasi, pemerintah diharapkan
mampu mengalokasikan anggaran demi efisiensi dan efektivitas ekonomi. Pada
kasus subsidi PPN minyak goreng, pemerintah menganggarkan Rp 300 miliar
pada tahun 2007 dan Rp 600 miliar pada tahun 2008 yang digunakan
menanggung PPN pengusaha CPO dan minyak goreng.
Ketika penyediaan barang dan jasa diserahkan ke pasar maka harga akan
ditentukan sepenuhnya oleh preferensi konsumen sesuai dengan tingkat
pendapatannya dan kepentingan produsen untuk mendapatkan keuntungan
sebanyak-banyaknya. Akibatnya, ada barang yang tidak tersedia atau menjadi
langka di pasar karena pertimbangan inefisiensi dalam memproduksinya. Hal ini
merupakan kegagalan pasar (market failure). Jika pasar tidak mau memproduksi
maka disinilah perlunya intervensi pemerintah. Contoh nyata adalah ketika
terjadi kelangkaan minyak goreng di pasar karena CPO banyak di ekspor.
Pemerintah melakukan intervensi dengan memerintahkan pengusaha CPO untuk
menyediakan CPO untuk kebutuhan dalam negeri (Domestic Market Obligation).
2. Fungsi distribusi.
Fungsi distribusi berkaitan erat dengan pemerataan pendapatan dan
kesejahteraan masyarakat. Pada kasus subsidi PPN minyak goreng, alokasi
anggaran subsidi untuk menanggung PPN pengusaha CPO dan minyak goreng
seharusnya dapat membuat harga minyak goreng yang dibayar masyarakat lebih
murah.
3. Fungsi stabilisasi.
Dalam fungsi stabilitas, pemerintah berusaha untuk menciptakan
lingkungan makroekonomi yang kondusif, baik itu pertumbuhan ekonomi,
tingkat harga, tingkat pengangguran, nilai tukar dan aspek makroekonomi yang
lain, karena pasar tidak secara otomatis dapat menyelesaikan masalah-masalah
tersebut. Pemerintah berusaha menyetabilkan harga minyak goreng domestik
agar tidak terus berfluktuasi naik mengikuti kenaikan harga CPO dunia.
2.2.
Penelitian Terdahulu
Tabel Penelitian terdahulu dibedakan menurut beberapa kriteria
No
Peneliti
Tujuan Penelitian
Tahun,
Cakupan
Penelitian
(1)
(2)
(3)
(4)
(5)
(6)
(7)
(8)
2006
Dunia
Harga minyak kedelai,
harga minyak kanola,
harga minyak bunga
matahari, harga CPO,
harga minyak bumi, dan
dummy variabel perang
Amerika-Irak tahun 2003
Data
mingguan,
Januari
1999 –
Maret
2006
VAR/
VECM,
directed
acyclic
graphs
Ada kointegrasi diantara harga kelima jenis
minyak tersebut. Harga minyak bumi merupakan
eksogenus, tidak tergantung kepada harga
keempat minyak tersebut. Masing-masing harga
minyak makan merespon shock yang terjadi
disalah satu harga minyak nabati tersebut.
1
Melihat interaksi harga
Tun-Hsiang
minyak makan yang
Yu, David A.
digunakan untuk produksi
Bessler,
biodiesel dan harga minyak
Stephen Fuller
bumi
2
Jody L.
Campiche,
Henry L.
Bryant,
James W.
Richardson,
Joe L. Outlaw
3
Melihat korelasi harga
CPO dan harga minyak
bumi sehubungan
Efendi Arianto
pemanfaatan CPO sebagai
bahan bakar minyak nabati
Melihat ada tidaknya
kecenderungan
peningkatan harga
komoditi pertanian
dihubungkan dengan
perubahan kenaikan harga
minyak bumi
2007
Dunia
2007
Dunia
Variabel Penelitian
Jenis dan
Tahun
Data
Metode
Analisis
Temuan
Harga minyak bumi,
harga jagung, harga gula,
harga kedelai, harga
minyak kedelai dan harga
CPO.
Data
mingguan,
2003 2007
VECM
Periode 2003-2005, tak satupun harga komoditi
tersebut terkointegrasi dengan harga minyak bumi.
Periode 2006-2007 hanya harga kedelai dan
jagung yang terkointegrasi dengan harga minyak
bumi. Periode 2003-2006, harga minyak kedelai
dan CPO berkorelasi negatif dengan harga minyak
bumi, yang lain positif. Periode 2007, harga
jagung dan gula berkorelasi negatif dengan harga
minyak bumi, yang lain positif.
Harga CPO, harga minyak
bumi
Data
bulanan,
1999 2007
Regresi
dan
korelasi
Korelasi harga CPO dan harga minyak bumi
positif pada semua periode penelitian. Urutan
korelasi terendah-tertinggi yaitu periode 19992005, periode 1999-2007, periode 2006-2007, dan
periode 2007.
No
Peneliti
Tujuan Penelitian
Tahun,
Cakupan
Penelitian
Variabel Penelitian
Jenis dan
Tahun
Data
Metode
Analisis
Temuan
(1)
(2)
(3)
(4)
(5)
(6)
(7)
(8)
Xing Liu
Meneliti hubungan harga
biofuel di pasar Uni
Eropa, AS dan Brazil
5
Dian Hafizah
Menganalisis integrasi
pasar di Indonesia,
Malaysia dan kota
Rotterdam serta
merumuskan implikasi
kebijakan pembentukan
harga CPO di Indonesia
6
Ernawati,
Fatimah, M.
Arshad, M.
Nasir
Shamsudin,
Zainal A.
Mohamed
Menguji faktor yang
mempengaruhi
permintaan ekspor CPO
Indonesia, mengetahui
efek langsung liberalisasi
perdagangan terhadap
penurunan PE pada
industri CPO Indonesia
4
2008
Dunia
Harga minyak kedelai,
harga CPO, harga
rapeseed oil
Data
bulanan,
Januari
1998 –
Januari
2007
2009
Dunia
Harga CPO Indonesia,
harga CPO Malaysia,
harga CPO Rotterdam,
harga minyak kedelai
Data
bulanan,
Januari
2000 –
Nopember
2008
2006
Indonesia
Luas wilayah tanam
dan panen , produksi
CPO, konsumsi CPO,
ekspor CPO, harga
dunia CPO dan minyak
kedelai, kebijakan, kurs
Data
tahunan,
1969 2004
Hubungan kausalitas satu arah terjadi dari AS dan
Brazil sebagai produsen utama minyak kedelai
terhadap Uni Eropa sebagai produsen minyak kanola
Granger
sekaligus konsumen minyak kedelai dan CPO. Ada
Causality
kointegrasi diantara harga ketiga minyak tersebut.
dan VECM
Masing-masing harga minyak nabati tersebut
dipengaruhi oleh harganya sendiri bulan sebelumnya
dan harga minyak nabati lainnya bulan sebelumnya.
CPO merupakan substitusi minyak kanola.
VECM
Ada hubungan kointegrasi diantara pasar
Rotterdam, Indonesia dan Malaysia. Pasar
Rotterdam merupakan pasar acuan bagi pasar
Indonesia dan Malaysia. Pembentukan harga CPO
di Indonesia sangat dipengaruhi oleh pasar
Rotterdam
ECM
Perubahan permintaan ekspor CPO Indonesia ke
India, Cina, Eropa dan Negara-negara lainnya
dipengaruhi perbedaan rasio harga minyak kedelai
dan harga CPO dunia, indeks produksi industri,
kurs, dan permintaan ekspor tahun lalu.
No
Peneliti
Tujuan Penelitian
Tahun,
Cakupan
Penelitian
Variabel Penelitian
Jenis dan
Tahun
Data
Metode
Analisis
Temuan
(1)
(2)
(3)
(4)
(5)
(6)
(7)
(8)
7
Amna Awad
Abdel
Hameed,
Fatimah
Mohamed
Arshad
Meneliti hubungan jangka
panjang antara harga
minyak bumi dan
beberapa minyak nabati
2009
Dunia
Harga minyak bumi,
harga CPO, harga
minyak bunga
matahari, harga minyak
kedelai, harga minyak
kanola
Data
bulanan,
Januari
1983 –
Maret
2008
Uji
Ada kointegrasi antara masing-masing harga minyak
kointegrasi
nabati tersebut dengan harga minyak bumi. Pada
bivariate
jangka panjang harga minyak bumi mempengaruhi
dan
harga masing-masing minyak nabati, hal ini tidak
Granger
berlaku sebaliknya.
Causality
Regresi
dan
korelasi
Pada periode 1999-2007 terjadi konsistensi korelasi
harga TBS dengan harga CPO, untuk harga CPO
dengan harga minyak bumi dan harga TBS dengan
harga minyak bumi tidak terjadi konsistensi
korelasi. Harga TBS naik 2.5 kali lebih tinggi
dibandingkan kenaikan harga CPO, sehingga nilai
harga yang diterima petani TBS lebih tinggi
dibandingkan nilai harga yang didapat produsen
CPO (PT Smart).
OLS
Kedua level harga tersebut pada jangka panjang
mempunyai pergerakan harga yang sama. Dimana
level pedagang besar efisien dalam mengirimkan
sinyal harga ke petani TBS, sedangkan TBS tidak
efisien mengirim sinyal harga ke pedagang besar.
8
Efendi Arianto
Melihat korelasi
pergerakan harga minyak
bumi, harga TBS dan
harga CPO
9
Rangsan
Nochai, Titida
Nochai
Melihat transmisi harga
antara pedagang besar
dan petani pada industri
CPO
2008
Indonesia
Harga minyak bumi,
harga TBS pasar
Medan dan harga CPO
pelabuhan Belawan
Data
bulanan,
1999 2007
2007
Thailand
Harga TBS level
petani, harga CPO level
pedagang besar di
Bangkok
Data
triwulanan
2000 2004
No
Peneliti
Tujuan Penelitian
Tahun,
Cakupan
Penelitian
Variabel Penelitian
Jenis dan
Tahun
Data
Metode
Analisis
Temuan
(1)
(2)
(3)
(4)
(5)
(6)
(7)
(8)
Model
persamaan
simultan
Permintaan CPO oleh industri MGS dipengaruhi
oleh permintaan periode sebelumnya, harga CPO
domestik, harga MGS domestik, PE. Volume
ekspor CPO dipengaruhi oleh volume periode
sebelumnya, harga ekspor CPO, harga MGS
domestik, produksi MGS, kurs. Harga CPO
domestik dipengaruhi oleh harga periode
sebelumnya, harga ekspor CPO, stok CPO, shock
harga CPO di pasar dunia. Permintaan MGS
dipengaruhi oleh harga MGS, harga MGK,
pendapatan perkapita, PE, shock harga di pasar
dunia. Harga MGS domestik dipengaruhi oleh
harga ekspor MGS, harga CPO.
Regresi
Harga eceran minyak goreng dipengaruhi oleh
harga periode sebelumnya, harga CPO dunia,
produksi CPO domestik, peran BULOG sebelum
tahun 1998. PE tidak mampu mengurangi
keinginan pengusaha untuk mengekspor CPO
karena tingginya harga CPO dunia.
10
R. Deden
Djaenudin,
Isang
Gonarsyah
11
Nugroho J.
Prastowo, Tri
Yanuarti,
Yoni Depari
Identifikasi faktor yang
mempengaruhi pasar
minyak goreng domestik,
mempelajari dampak
kebijakan pemerintah
2002
dalam memenuhi
Indonesia
kebutuhan minyak
goreng domestik, dan
antisipasi kondisi pasar
minyak goreng pada era
liberalisasi perdagangan
Menelaah pengaruh
faktor distribusi dalam
pembentukan harga
komoditas pangan
2008
Indonesia
Harga dan Produksi MGS
dan kelapa, harga CPO dan
CCO domestik dan dunia,
harga dan volume ekspor
MGS dan kelapa, HPE dan
PE MGS, harga dunia
MGS, upah sektor
perkebunan dan industri,
stok minyak goreng dan
CPO, harga pupuk, kurs,
suku bunga, pendapatan
perkapita, shock harga di
pasar dunia,
Data
tahunan,
1970 1997
Diantaranya : harga
minyak goreng, harga
CPO dunia, produksi CPO
domestik, peran BULOG,
harga BBM, hambatan
distribusi, PE
Data
bulanan,
1993 2007
Perbedaan penelitian ini dengan penelitian Yu et al. (2006) yaitu selain
melihat interaksi antara minyak nabati dengan minyak bumi, juga melihat
interaksi antar harga minyak goreng dan TBS kelapa sawit dengan minyak nabati
dan minyak bumi. Data dan sumber data yang digunakan juga berbeda. Perbedaan
penelitian ini dengan penelitian Hanizah (2009) yaitu integrasi yang dianalisis
lebih luas, meliputi integrasi harga minyak bumi, minyak kedelai, CPO, minyak
goreng domestik dan TBS kelapa sawit bukan hanya integrasi harga CPO. Selain
itu, data lebih beragam, tahun penelitian dan sumber data yang digunakan
berbeda.
2.3. Kerangka Pemikiran
Minyak bumi merupakan salah satu sumber energi utama bagi kehidupan
manusia. Menipisnya persediaan minyak bumi dunia menjadikan harganya
melonjak ketika pasokannya di pasar lebih rendah dari permintaan pasar. Seiring
dengan pemanfaatan minyak nabati sebagai energi alternatif bagi minyak bumi,
harga CPO sebagai salah satu minyak nabati dapat dipengaruhi oleh perubahan
harga minyak bumi. Pada sisi lain, minyak kedelai merupakan pesaing utama
CPO di pasar perdagangan minyak nabati. Ketika kedua jenis minyak nabati
tersebut saling bersubstitusi maka harga keduanya dapat saling mempengaruhi.
Harga CPO di pasar Rotterdam merupakan harga CPO yang dijadikan
referensi dunia. Demikian pula harga ekspor CPO Indonesia mengacu ke harga
CPO Rotterdam, sehingga fluktuasi harga yang terjadi di pasar Rotterdam dapat
mempengaruhi harga domestik. Sebaliknya, Indonesia dan Malaysia merupakan
produsen utama CPO dunia. Melalui supply kedua negara tersebut seharusnya
dapat mempengaruhi harga yang terbentuk di pasar Rotterdam. Beberapa faktor
yang diduga berpengaruh terhadap fluktuasi harga CPO di pasar Rotterdam adalah
peningkatan konsumsi CPO dunia yang didominasi oleh China dan India,
perubahan harga minyak kedelai yang merupakan pesaing utama CPO di pasar
minyak nabati dunia dan isu konversi minyak bumi ke biofuel.
Berdasarkan penelitian Hafizah (2009) harga CPO di pasar Rotterdam
terintegrasi dengan harga CPO Malaysia dan harga CPO Indonesia, artinya
fluktuasi harga di pasar Rotterdam akan ditransmisikan ke harga CPO Indonesia
dan harga CPO Malaysia. Tingginya harga CPO di pasar Rotterdam akan
mendorong ekspor sehingga mengurangi pasokan CPO untuk industri minyak
goreng domestik yang mengakibatkan terjadinya kelangkaan produk minyak
goreng. Kelangkaan minyak goreng sebagai salah satu kebutuhan pokok
mengakibatkan harganya naik.
Meningkatnya permintaan CPO dunia merupakan insentif bagi produsen
CPO untuk meningkatkan produksi CPO. Produsen CPO mendapatkan pasokan
TBS sebagai bahan baku CPO dari petani TBS dan perusahaan perkebunan.
Umumnya petani TBS tidak terintegrasi dengan industri pengolahan CPO,
berbeda halnya dengan perkebunan besar swasta yang terintegrasi dengan industri
pengolahan CPO. Harga pembelian TBS petani banyak tergantung pada industri
pengolahan CPO, sedangkan perkebunan besar swasta mempunyai industri
pengolahan CPO sendiri. Apabila terjadi kenaikan harga CPO di pasar Rotterdam,
keuntungan besar diperoleh perusahaan perkebunan yang mempunyai industri
pengolahan CPO sendiri. Namun bagi petani TBS bisa jadi kenaikan harga
tersebut tidak langsung ditransmisikan ke harga pembelian TBS di tingkat petani.
Berbeda halnya ketika terjadi penurunan harga CPO di pasar Rotterdam, bisa jadi
langsung ditransmisikan ke harga pembelian di tingkat petani. Konseptual
pemikiran diatas diwujudkan dalam bentuk skema pada Gambar 9.
Harga
Minyak Kedelai
Dunia
Permintaan
CPO
Dunia
Harga
Minyak Bumi
Dunia
Harga CPO
Rotterdam
Harga Ekspor
CPO Indonesia
Harga CPO
Malaysia
Harga Produsen
dan Supply CPO
Domestik
Harga
Tandan Buah Segar
Harga
Minyak Goreng
Implikasi Kebijakan
Gambar 9. Kerangka Konseptual
Tidak dianalisis
2.4. Hipotesis Penelitian
Hipotesis penelitian ini yaitu ada integrasi diantara harga minyak bumi,
minyak kedelai, CPO, minyak goreng domestik dan TBS kelapa sawit.
Download