2. TINJAUAN PUSTAKA DAN KERANGKA PEMIKIRAN 2.1. Tinjauan Teori 2.1.1. Permintaan dan Penawaran Komoditas Pertanian Permintaan dan penawaran komoditas pertanian berkaitan dengan interaksi antara penjual dan pembeli. Interaksi ini akan menentukan tingkat harga yang berlaku dan jumlah komoditas yang diperjualbelikan. Interaksi tersebut dapat diterangkan melalui teori permintaan dan teori penawaran. a. Teori Permintaan Teori permintaan menerangkan sifat dari permintaan pembeli pada suatu komoditas, serta menerangkan hubungan antara jumlah yang diminta, harga, dan pembentukan kurva permintaan (Sugiarto et al. 2007). Suatu komoditas dihasilkan oleh produsen karena dibutuhkan oleh konsumen dan konsumen bersedia membelinya. Konsumen mau membeli komoditas yang mereka perlukan apabila harga produk tersebut sesuai dengan keinginannya. Menurut Rahardja dan Manurung (2008), beberapa faktor yang mempengaruhi permintaan barang yaitu: 1). Harga barang itu sendiri. Sifat hubungan antara permintaan dan harga dijelaskan dalam hukum permintaan. Hipotesis hukum permintaan menyatakan bahwa semakin rendah harga suatu komoditas maka semakin banyak jumlah komoditas tersebut yang diminta, sebaliknya semakin tinggi harga suatu komoditas semakin sedikit komoditas tersebut diminta, ceteris paribus. Menurut Sugiarto et al. (2007), hipotesis tersebut didasarkan atas asumsi: a). Bila harga suatu komoditas turun, maka pembelian terhadap komoditas lain yang terkait akan menurun dan menambah pembelian terhadap komoditas yang mengalami penurunan harga tersebut. Penurunan harga suatu komoditas menyebabkan pendapatan riil para pembeli meningkat, sehingga mendorong untuk meningkatkan pembelian. b). Bila harga suatu komoditas naik, maka pembeli akan mencari komoditas lain yang dapat digunakan sebagai pengganti atas komoditas yang mengalami kenaikan harga. Kenaikan harga menyebabkan pendapatan riil pembeli berkurang, sehingga mendorong pembeli mengurangi pembeliannya. 2). Harga barang lain yang terkait. Keterkaitan dua macam barang dapat bersifat substitusi ataupun komplemen. Menurut Djojodipuro (1991) barang substitusi adalah barang yang memenuhi kebutuhan yang sama. Biasanya barang substitusi tidak mutlak dapat menggantikan satu sama lain, sehingga konsumen dapat memilih mana yang lebih cocok untuk memenuhi kebutuhannya. Pada barang substitusi, bila harga barang yang satu naik, dengan mengabaikan pengaruh pendapatan maka barang yang lain akan naik pula harganya. Hal ini disebabkan kenaikan harga barang yang pertama mengakibatkan pemindahan permintaan ke barang lain dan menaikkan harganya. Oleh karena itu untuk barang substistusi, gerak harganya adalah searah. 3). Tingkat pendapatan perkapita. Tingkat pendapatan perkapita dapat mencerminkan daya beli. 4). Selera atau kebiasaan. 5). Jumlah penduduk. 6). Perkiraan harga dimasa mendatang. 7). Distribusi pendapatan 8). Usaha-usaha produsen meningkatkan penjualan. Djojodipuro (1991) menyebutkan bahwa kurva permintaan (Gambar 2a) menggambarkan hubungan antara jumlah barang yang diminta sebagai fungsi harga dan menganggap variabel lainnya tetap (ceteris paribus). Pengaruh perubahan harga yang diminta yaitu barang x terhadap jumlahnya digambarkan sebagai pergerakan sepanjang kurva permintaan atau biasa disebut hukum permintaan. Pada Gambar 2b perubahan variabel lain seperti harga barang lain, pendapatan dan selera digambarkan sebagai pergeseran kurva permintaan. Kurva bergeser ke kanan jika perubahannya positif, dan bergeser ke kiri kalau perubahannya negatif. Misal pergeseran kurva karena peningkatan pendapatan. Pada harga yang sama konsumen mau membeli jumlah yang besar (0Qx – 0Q’x) atau jumlah barang yang sama, misal 0Qx, konsumen berani membayar harga yang lebih tinggi (0P – 0P’x). Harga Px Harga Px P’x Px D1 D D Kuantitas Qx 0 0 Qx 2a Q’x Kuantitas Qx 2b Gambar 2. Kurva Permintaan b. Teori Penawaran Teori penawaran menerangkan sifat para penjual dalam menawarkan komoditas yang akan dijualnya (Sugiarto et al. 2007). Pernyataan yang menjelaskan sifat hubungan antara harga suatu komoditas dan jumlah komoditas tersebut yang ditawarkan oleh produsen dikenal dengan hukum penawaran. Pada umumnya semakin tinggi harga suatu komoditas, semakin banyak jumlah komoditas tersebut yang akan ditawarkan oleh penjual. Sebaliknya makin rendah harga suatu komoditas makin sedikit jumlah yang ditawarkan oleh penjual. Menurut Rahardja dan Manurung (2008), beberapa faktor yang mempengaruhi penawaran barang yaitu: 1). Harga barang itu sendiri. Sifat hubungan antara harga suatu komoditas dan jumlah penawaran komoditas tersebut dikenal dengan hukum penawaran. Pada umumnya semakin tinggi harga suatu komoditas semakin banyak jumlah komoditas tersebut yang akan ditawarkan oleh penjual. 2). Harga barang lain yang terkait. 3). Harga faktor produksi. 4). Biaya produksi. 5). Teknologi produksi. 6). Jumlah penjual. 7). Tujuan perusahaan. 8). Kebijakan pemerintah. Menurut Djojodipuro (1991) kurva penawaran (Gambar 3a) menunjukkan berbagai jumlah barang yang seorang penjual bersedia menawarkan dengan berbagai harga, ceteris paribus. Dalam keadaan ini, maka kurva tersebut menaik dari kiri bawah ke kanan atas. Kurva ini merupakan pembatas, dimana semua yang diatasnya mungkin terjadi dan yang dibawahnya tidak. Pada setiap tingkat harga, penjual bersedia menjual barang, tetapi mereka tidak dapat dirangsang untuk menjual lebih. Dari segi jumlah, maka kurva penawaran menunjukkan harga minimum yang mendorong penjual untuk menjual berbagai jumlah. Penjual mau menerima harga yang lebih tinggi untuk jumlah tertentu, tetapi tidak lebih rendah. Pada Gambar 3b perubahan variabel lain seperti harga barang lain, biaya produksi dan teknologi produksi digambarkan sebagai pergeseran kurva. Kurva bergeser ke kanan jika perubahannya positif, dan bergeser ke kiri kalau perubahannya negatif. Misal pergeseran kurva karena peningkatan teknologi. Harga Px Harga Px S1 S S2 Px P’x Kuantitas Qx 0 0 Qx 3a Q’x Kuantitas Qx 3b Gambar 3. Kurva Penawaran Menurut Sugiarto et al. (2007) analisis permintaan dan penawaran merupakan alat yang penting untuk: a. Memahami respon harga dan kuantitas suatu komoditas terhadap perubahan variabel-variabel ekonomi seperti teknologi, selera konsumen, harga komoditas lain, dan harga faktor produksi. b. Menganalisis interaksi yang kompetitif antara penjual dan pembeli dalam menghasilkan harga dan kuantitas suatu komoditas. c. Menunjukkan kebebasan yang diberikan pasar kepada konsumen dan produsen. d. Menganalisis efek berbagai intervensi kebijakan pemerintah dipasar, seperti pengendalian harga, kuota, pajak, subsidi, dan lain-lain. 2.1.2. Teori Perdagangan Internasional Perdagangan internasional adalah perdagangan yang melintasi antar negara yang mencakup aktivitas ekspor dan impor baik barang maupun jasa (Yuliadi 2007). Teori perdagangan internasional merupakan teori yang mencoba memahami mengapa sebuah negara mau melakukan kerjasama perdagangan dengan negaranegara lain. Berikut ini disampaikan beberapa teori perdagangan internasional. a. Teori Pra-Klasik Merkantilisme Merkantilisme merupakan aliran ekonomi yang tumbuh dan berkembang pesat pada abad XVI sampai dengan XVIII di Eropa Barat. Merkantilisme merupakan ajaran yang berkeyakinan bahwa perekonomian suatu negara makin makmur bila mampu memaksimalkan surplus perdagangan. Konsekuensinya adalah memaksimalkan ekspor sekaligus meminimalkan impor, sehingga surplus perdagangan akan meningkat (Rahardja & Manurung 2008). Kebijakan ini diadaptasi kembali oleh banyak negara dalam bentuk Neo Merkantilisme. Ciri utamanya yaitu pemeliharaan surplus perdagangan, bila perlu melakukan proteksi. Kebijakan proteksi dilakukan untuk melindungi dan mendorong ekonomi industri nasional dengan menggunakan kebijakan tarif dan non tarif. Kebijakan ini dilakukan negara-negara Barat agar negara eksportir memperhatikan kelestarian alam dimana setiap produknya mempunyai green label ataupun pemerhatian terhadap hak asasi manusia. Hal ini merupakan salah satu cara yang dilakukan negara kapitalis untuk menghambat ekspor dari negara berkembang. Contoh konkret adalah isu perusakan lingkungan yang dilakukan oleh Indonesia yaitu memperluas perkebunan kelapa sawit dengan cara membuka hutan. Isu ini dilontarkan Amerika untuk melindungi perdagangan minyak jagungnya di pasaran dunia sehubungan dengan adanya peningkatan ekspor CPO ke beberapa negara. Kebijakan ini juga pernah diterapkan oleh Indonesia dalam bentuk larangan ekspor CPO dan penetapan harga patokan ekspor CPO untuk melindungi industri minyak goreng dalam negeri. b. Teori Klasik 1). Teori Absolute Advantage Teori keunggulan absolut dikemukakan oleh Adam Smith. Menurutnya perdagangan akan meningkatkan kemakmuran jika dilaksanakan melalui mekanisme perdagangan bebas Melalui mekanisme perdagangan bebas, para pelaku ekonomi diarahkan untuk melakukan spesialisasi dalam upaya peningkatan efisiensi. Setiap negara akan memperoleh manfaat perdagangan internasional karena melakukan spesialisasi produksi dan mengekspor barang jika negara tersebut memiliki keunggulan mutlak, serta mengimpor barang jika negara tersebut memiliki ketidakunggulan mutlak (Hady 2001). 2). Teori Comparative Advantage Teori keunggulan komparatif dikemukakan oleh David Ricardo yang dikenal dengan model Ricardian. Teori ini didasarkan pada nilai tenaga kerja, yaitu harga suatu produk ditentukan oleh jumlah waktu atau jam kerja yang diperlukan untuk memproduksinya (Hady 2001). Konsep penting dalam model Ricardian adalah perbedaan sumber daya dan teknologi yang dimiliki oleh tiap negara menciptakan keunggulan bagi negara tersebut (comparative advantage). Ricardo membuktikan bahwa bila dua wilayah yang saling berdagang masing-masing mengkonsentrasikan diri untuk mengekspor barang yang memiliki keunggulan komparatif, maka kedua wilayah tersebut akan mendapatkan keuntungan. Atas dasar keunggulan komparatif maka berkembang suatu fenomena yang kemudian disebut spesialisasi yaitu setiap negara memproduksi sesuatu yang paling dikuasainya. Suatu negara dikatakan mempunyai keunggulan komparatif dalam memproduksi suatu komoditi kalau biaya pengorbanannya (opportunity cost) dalam memproduksi barang tersebut (dalam satuan barang lain) lebih rendah daripada negara-negara lainnya (Krugman & Obstfeld 2000). c. Teori Modern Teori Heckscher-Ohlin menjelaskan bahwa dalam kenyataannya perdagangan tidak hanya menunjukkan perbedaan produktivitas tenaga kerja namun juga mencerminkan perbedaan sumber daya di tiap negara yaitu karena adanya perbedaan jumlah atau proporsi faktor produksi yang dimiliki masing-masing negara (Rahardja & Manurung 2008). Dapat dikatakan bahwa suatu negara sebaiknya mengekspor barang yang menggunakan faktor produksi yang melimpah dan mengimpor barang yang menggunakan faktor produksi yang langka di negaranya. Namun ekspor dan impor untuk komoditi tersebut hanya dapat dilakukan bila penggunaan faktor produksi telah dilakukan secara intensif (Krugman & Obstfeld 2000). d. International Competitive of Nation Porter’s Diamond Pada era global yang makin kompetitif diperlukan keunggulan dalam biaya produksi dan keunggulan kompetitif. Menurut Porter dalam Rahardja dan Manurung (2008), keunggulan kompetitif suatu bangsa bersumber pada beberapa keunggulan berikut: 1). Keunggulan karena faktor produksi (factor conditions) Faktor produksi yang dimiliki oleh suatu negara yang memberikan kontribusi terhadap keunggulan kompetitif adalah SDM, SDA, iptek, permodalan dan prasarana. 2). Keunggulan karena faktor permintaan (demand conditions) Skala dan tingkat pertumbuhan pasar domestik maupun internasional merupakan salah satu faktor penunjang peningkatan daya saing. Skala pasar yang makin membesar dapat menurunkan biaya produksi per unit. 3). Keunggulan karenanjaringan kerja industri (related and supporting industry) Untuk menjaga dan dan memelihara kelangsungan keunggulan daya saing maka perlu dijaga kontak dan koordinasi dengan supplier. 4). Keunggulan karena strategi perusahaan dan struktur persaingan pasar (firm strategy, structure and rivalry) Strategi perusahaan, struktur organisasi dan kondisi persaingan antara perusahaan domestik yang sangat ketat dan tidak adanya proteksi pemerintah akan memaksa perusahaan memperbaiki kondisi internalnya. Hal ini mampu mendorong perusahaan bekerja efisien dan produktif sehingga dapat bersaing di pasar global. Gambar 4 menunjukkan hubungan keempat faktor tersebut dalam bentuk skema Porter’s Diamond. Firm Strategy, Structure and Rivalry Factor Conditions Demand Conditions Related and Supporting Industry Gambar 4. Porter’s Diamond Teori perdagangan internasional menunjukkan bahwa tiap negara memiliki perbedaan sumber daya dalam memproduksi suatu barang sehingga menciptakan keunggulan komparatif dan spesialisasi pada tiap negara yang berimplikasi pada perbedaan harga untuk komoditi yang sama. Perbedaan harga menjadi dasar terjadinya arus perdagangan antar negara yang secara grafis dijelaskan Gambar 5 (Soekartawi 1991). Harga Harga Harga SB SI DA D Pf C Pd F Pd SA E // H G DB DI Y2 Y1 Y3 0 Kuantitas Y1 0 Negara A Kuantitas 0 Y2 Y4 Y3 Kuantitas Negara B Pasar Internasional Gambar 5. Kurva Perdagangan Internasional Antar Dua Negara Gambar diatas menunjukkan bahwa sebelum adanya perdagangan internasional, dinegara A harga keseimbangan komoditas Y pada titik C dan pada titik F pada negara B. Konsumsi di negara A sebesar 0Y1 dan 0Y4 pada negara B. Pf adalah harga keseimbangan di pasaran internasional, maka konsumsi domestik negara A menjadi 0Y2 sedang total penawaran komoditas Y sebesar 0Y3 atau dititik E. Gambar 6 menunjukkan jumlah komoditas Y yang diekspor sebesar 0-Y atau Y2Y3. Harga Harga DA D Pf C Pd 0 SX SA E // Y2 Y1 Y3 Kuantitas 0 Y’ Gambar 6. Kurva Penawaran Ekspor Negara A Kuantitas Faktor-faktor yang mempengaruhi ekspor menurut Darmansyah dalam Soekartawi (1991) seperti diuraikan berikut ini: a Harga Internasional Makin besar selisih antar harga di pasar internasional dengan harga domestik akan menyebabkan jumlah komoditi yang akan diekspor menjadi bertambah banyak. Naik turunnya harga tersebut disebabkan oleh: 1). Keadaan perekonomian negara pengekspor, dimana dengan tingginya inflasi di pasar domestik akan menyebabkan harga dipasar domestik menjadi naik. Jika ditinjau dari pasar internasional secara riil harga komoditi tersebut akan terlihat semakin menurun. 2). Harga di pasar internasional semakin meningkat, dimana harga internasional merupakan keseimbangan antara penawaran ekspor dan permintaan impor suatu komoditas di pasar dunia meningkat. Jika harga komoditas di pasar domestik tersebut stabil, maka selisih harga internasional dan harga domestik semakin besar, akibatnya akan mendorong ekspor komoditi tersebut. b Nilai tukar uang c Kuota ekspor impor d Kebijakan tarif dan non tarif Kebijakan tarif dan non tarif dimaksudkan untuk menjaga harga produk dalam negeri dalam tingkatan tertentu sehingga dengan harga tersebut dapat atau mampu mendorong pengembangan komoditi tersebut. 2.1.3. Transmisi Harga Analisis yang umum dipakai untuk mengetahui hubungan antar harga adalah transmisi harga dan integrasi pasar. Terminologi analisis harga biasanya mengacu pada analisis kuantitatif dari keterkaitan antara aspek permintaan dan penawaran harga. Alasan pentingnya dilakukan analisis harga menurut Tomek dan Robinson (1972) yaitu: (1) untuk mengestimasi koefisien (parameter) ekonomi tertentu seperti elastisitas permintaan harga komoditas dan (2) untuk meramalkan harga pada masa mendatang dan faktor-faktor yang mempengaruhi tingkat harga komoditas tertentu. Analisis harga sering digunakan untuk menjelaskan perilaku harga dan variabel- variabel yang berhubungan. Harga dianggap dapat memberikan gambaran tentang pasar dan menjadi salah satu indikator tingkat penawaran dan permintaan suatu komoditas, maka analisis harga pangan merupakan hal yang penting guna perumusan kebijakan stabilisasi harga dan peningkatan produksi pangan serta membuat peramalan harga (Rachman 2005). Isu penting dalam perdagangan dunia produk pertanian adalah bagaimana pasar komoditas pertanian domestik merespon perubahan harga dunia ataupun sebaliknya. Tingkat transmisi harga dari dunia ke harga domestik merupakan parameter kritis dalam model empiris perdagangan yang berusaha untuk memperkirakan besarnya dampak terhadap harga, output, konsumsi dan kesejahteraan. Globalisasi telah membuat pasar komoditas semakin terpadu secara spasial, baik secara hierarki atau simetri. Keterpaduan pasar pada umumnya direfleksikan oleh keterkaitan harga antar pasar (Ravallion 1986). Studi transmisi harga umumnya menguji hubungan antara series harga pada channel yang berbeda pada rantai pemasaran ataupun pada pasar yang terpisah secara spasial. Studi transmisi harga ditemukan pada konsep yang berhubungan dengan perilaku persaingan harga. Studi ini memberikan informasi bagaimana shock disatu pasar ditransmisikan ke pasar yang lain. Hal ini merefleksikan tingkatan pasar dalam melaksanakan fungsinya secara efisien. Spasial transmisi harga melihat bagaimana harga pada pasar yang terpisah secara spasial di suatua negara adalah berhubungan atau bagaimana harga domestik melakukan penyesuaian terhadap harga dunia. Informasi pada kedua bentuk spasial transmisi harga tersebut sangat penting bagi pengambil kebijakan. Beberapa negara berkembang telah mengurangi peran pemerintah yang berhubungan dengan lembaga pemasaran, regulasi harga komoditas, dan kontrol terhadap perdagangan dunia. Informasi pada derajat dimana sinyal harga dunia ditransmisikan ke pasar komoditas domestik merupakan sesuatu yang penting bagi pengambil kebijakan. Dalam istilah spasial, paradigma klasik dari hukum satu harga (law of one price), memberikan dalil bahwa transmisi harga disebut lengkap pada kondisi harga keseimbangan dari suatu komoditas terjual pada pasar bersaing di luar negeri dan domestik dibedakan hanya oleh biaya transfer ketika dikonversi ke suatu mata uang yang sudah umum digunakan dalam perdagangan dunia. Model ini memprediksi bahwa perubahan pada permintaan dan penawaran di satu pasar akan mempengaruhi perdagangan dan oleh karena itu harga di pasar yang lain pada kondisi keseimbangan dipulihkan melalui arbitrase spasial. Keberadaan integrasi pasar, atau pass-through perubahan harga yang sempurna dari satu pasar ke pasar yang lain mempunyai implikasi terhadap kesejahteraan ekonomi. Adanya transmisi harga yang tidak sempurna pada perdagangan atau kebijakan lainnya, atau pada biaya transaksi seperti miskinnya infrastruktur transportasi dan komunikasi menyebabkan berkurangnya informasi yang diperoleh pelaku ekonomi dan konsekuensinya pada pengambilan keputusan yang berkontribusi pada hasil yang tidak efisien. Rapsomanikis et al. (2004) merumuskan P1t dan P2t sebagai harga sebuah komoditas yang pasarnya terpisah secara spasial, C adalah biaya transfer untuk mengangkut komoditas dari pasar 1 ke pasar 2. Hubungan yang terjadi antara harga tersebut adalah : P1t = P2t + C ..........................................................................................................(1) Jika hubungan dua harga terjadi seperti formula tersebut maka kedua pasar dikatakan terintegrasi. Namun kondisi ini bisa dikatakan tidak mungkin terjadi terutama pada jangka pendek. Jika sebaran bersama dari dua harga tersebut ternyata independen sepenuhnya atau tidak ada hubungan sama sekali maka dapat dikatakan bahwa tidak terjadi integrasi pasar dan tidak ada transmisi harga. Umumnya arbitrase spasial diharapkan untuk memastikan bahwa harga dari sebuah komoditas akan berbeda sejumlah tertentu atau paling besar sama dengan biaya transfer, C adalah biaya transfer untuk mengangkut komoditas dari pasar 1 ke pasar 2, adalah konstanta yang besarnya antara 0 dan 1. Hubungan antara harga di dua pasar tersebut diidentifikasi sebagai berikut : P2t - P1t = C ........................................................................................................(2) Fackler dan Goodwin dalam Rapsomanikis et al. (2004) mengacu pada hubungan diatas sebagai kondisi arbitrase spasial dan berdalil bahwa hubungan tersebut mengidentifikasi sebuah bentuk yang lemah dari hukum satu harga (law of one price), bentuk yang kuat dicirikan oleh persamaan 1. Mereka juga menekankan bahwa hubungan 2 mewakili kondisi ekuilibrium. Harga yang diobservasi dapat berbeda dari hubungan 1, tetapi arbitrase spasial akan menyebabkan perbedaan antara kedua harga tersebut bergerak menuju biaya transfer. Kondisi arbitrase spasial mengimplikasikan bahwa integrasi pasar mendorongnya pada sebuah intepretasi kointegrasi dengan keberadaannya sedang dievaluasi oleh uji kointegrasi. Kointegrasi dapat dipahami sebagai pendekatan empiris dari dugaan teoritis suatu ekuilibrium hubungan jangka panjang. Jika dua pasar yang terpisah secara spasial series harganya terkointegrasi, ada kecenderungan terjadi pergerakan yang sama pada jangka panjang diantara keduanya berdasarkan hubungan linier. Pada jangka pendek harga dapat merenggang, seperti ketika goncangan pada salah satu pasar tidak akan dengan segera ditransmisikan ke pasar yang lain atau karena keterlambatan di dalam pengangkutan. Bagaimanapun, peluang arbitrasi memastikan bahwa divergensi dari peningkatan cepat pada keseimbangan hubungan jangka panjang bersifat sementara dan tidak permanen. Transmisi harga asimetri menurut Meyer dan Taubadel (2004) diklasifikasikan berdasarkan tiga kriteria 1. Kecepatan (speed) atau besarnya (magnitude) transmisi harga asimetri Simbol pout adalah harga output, pin adalah harga input. Diasumsikan pout tergantung pada pin. Gambar 7a, besarnya respon pout terhadap perubahan pin tergantung pada arah perubahan. Pada saat pin naik maka pout ikut naik sebesar kenaikan pin. Namun ketika terjadi penurunan pin, pout hanya sedikit merespon turunnya harga, akibatnya terjadi transfer kesejahteraan konsumen ke penjual secara permanen. Gambar 7b, respon kecepatan pout terhadap perubahan pin terjadi pada t1+n sehingga menyebabkan transfer kesejahteraan sementara dari konsumen ke penjual selama selang waktu antara t dan t1+n. Gambar 7c, kecepatan dan besarnya respon pout terhadap perubahan pin menyebabkan terjadinya transfer kesejahteraan sementara dan permanen. p p p out pout pin pin t t1+n t1 7a t 7b p pout pin t1 t2 t3 t 7c Sumber: Meyer dan Taubadel (2004) Gambar 7. Asimetri transmisi harga berdasarkan kriteria kecepatan, besaran serta kecepatan dan besaran 2. Positif atau negatifnya transmisi harga asimetri Jika pout merespon dengan kecepatan dan besaran yang sama ketika pin naik dibandingkan ketika pin turun maka disebut asimetri positif (Gambar 8a). Sebaliknya, jika pout merespon dengan kecepatan dan besaran yang sama ketika pin turun dibandingkan ketika pin naik maka disebut asimetri negatif (Gambar 8b). p p p out pout pin pin 8a t 8b t Sumber: Meyer dan Taubadel (2004) Gambar 8. Transmisi harga asimetri berdasarkan kriteria positif dan negatif 3. Vertikal atau spasialnya transmisi harga asimetri Jika produsen dan konsumen mengeluhkan ketika terjadi kenaikan harga di level produsen yang langsung ditransmisikan secara penuh (kecepatan dan besaran) ke level pedagang besar dan pedagang eceran. Sebaliknya ketika terjadi penurunan harga di level produsen tidak ditransmisikan secara penuh (kecepatan dan besaran) ke level pedagang besar dan pedagang eceran. Kondisi transmisi harga asimetri karena perbedaan level pemasaran ini disebut transmisi harga asimetri vertikal. Jika terjadi kenaikan harga di satu pasar yang terpisah secara geografis direspon oleh pasar yang lain di wilayah yang berbeda maka disebut transmisi harga asimetri spasial. Kedua kriteria ini juga dapat diklasifikasikan lagi berdasarkan kecepatan-besaran dan positif-negatif transmisi harga asimetri. 2.1.4. Integrasi Pasar Analisis integrasi pasar merupakan salah satu indikator untuk mengetahui efisiensi pasar. Pengetahuan tentang integrasi pasar akan dapat bermanfaat untuk mengetahui kecepatan respon pelaku pasar terhadap perubahan harga sehingga dapat dilakukan pengambilan keputusan secara tepat dan tepat. Dua buah pasar yang terintegrasi akan membentuk harga kesetimbangan yang berkaitan secara langsung. Globalisasi ekonomi telah membuat pasar komoditas semakin terpadu. Keterpaduan pasar pada umumnya direfleksikan oleh keterkaitan harga antar pasar (Ravallion 1986). Metode tradisional untuk studi integrasi pasar adalah berdasarkan korelasi pasangan (bivariate correlation) harga antar wilayah (region). Dalam metode ini korelasi dan koefisien regresi diduga dari deret harga spot pada lokasi pasar yang berbeda. Harris (1979) mengindikasikan integrasi pasar sebagai keterpaduan diantara beberapa pasar yang memiliki korelasi harga tinggi. McNew (1996) membatasi integrasi pasar sebagai kondisi ekuilibrium spasial efisien yang dicerminkan oleh adanya kejutan (shock) pada pasar tertentu yang secara sempurna ditransmisikan ke pasar-pasar lainnya. Sejalan dengan pandangan ini, Goodwin dan Schroeder (1991) menggambarkan integrasi pasar berkaitan dengan lokasi-lokasi spasial yang memiliki perubahan harga one-to-one. Lebih jauh lagi, Muwanga dan Snyder (1997) mengemukakan bahwa pasar-pasar terintegrasi jika terjadi aktivitas perdagangan antara dua atau lebih pasar-pasar yang terpisah secara spasial, kemudian harga di suatu pasar berhubungan atau berkorelasi dengan harga di pasar-pasar lainnya. Untuk menganalisis perilaku pasar terdapat dua pendekatan integrasi, yaitu integrasi vertikal dan integrasi horizontal (spatial). Integrasi pasar vertikal menunjukkan perubahan harga di suatu pasar akan direfleksikan pada perubahan harga di pasar lain secara vertikal dalam produk yang sama (Suparmin 2005). Pada pasar yang terintegrasi secara vertikal, intervensi pada suatu pasar akan berdampak nyata terhadap pasar lainnya, atau sebaliknya pada pasar yang tidak terintegrasi secara vertikal intervensi pada suatu pasar tidak akan berpengaruh nyata terhadap pasar lainnya. Integrasi pasar spasial merupakan tingkat keterkaitan hubungan antara suatu pasar regional dan pasar regional lainnya. Integrasi pasar spasial dapat mencerminkan efek perubahan harga pada suatu pasar terhadap pasar lainnya. Dalam hal ini, perubahan harga di suatu pasar secara parsial atau total ditransmisikan ke harga yang terjadi di pasar-pasar lain, baik dalam jangka pendek atau jangka panjang. Menurut Campenhout (2005) pasar dikatakan terintegrasi jika dihubungkan oleh sebuah proses arbitrase. Jika perbedaan harga antara dua pasar lebih rendah dari biaya transaksi, seorang pedagang akan berpikir untuk menghentikan perdagangan. Transmisi dan pemanfaatan informasi diantara berbagai pasar dapat mengakibatkan harga dari komoditas tertentu bergerak secara bersamaan di berbagai pasar tersebut. Jika pasar menggunakan harga yang lalu (past prices) secara tepat dalam penentuan harga pada saat ini (current price determination), maka sistem pemasaran yang berlaku dapat dikategorikan efisien (Leuthold & Hartmann 1979). 2.1.5. Manajemen Pemasaran Pasar Fisik dan Pasar Berjangka Hakim (2009) menyebutkan bahwa fungsi utama sistem pemasaran produk pertanian antara lain adalah bagaimana petani sebagai subjek atau pelaku ekonomi mendapatkan tingkat harga yang sesuai dengan tingkat resiko yang dihadapi baik resiko teknis seperti serangan hama, kekeringan dan kebanjiran juga resiko pasar karena pergerakan harga yang cenderung merugikan petani. Dalam pemasaran produk pertanian, petani seringkali berada dalam posisi lemah. Beberapa faktor yang menyebabkan lemahnya posisi petani antara lain bertindaknya petani secara individu, kepemilikan asetnya kecil, panjangnya rantai pemasaran antara petani dan konsumen akhir, dan struktur pasar yang didominasi pedagang. Menurut Soekartawi (1991) alasan terjadinya rantai pemasaran hasil pertanian yang panjang dan seringkali merugikan petani sebagai produsen adalah: a Pasar tidak bekerja secara sempurna. b Lemahnya informasi pasar. c Lemahnya petani memanfaatkan peluang pasar. d Lemahnya posisi petani sebagai produsen melakukan penawaran untuk mendapatkan harga yang baik. e Petani melakukan usaha tani tidak didasarkan pada permintaan pasar, melainkan karena usaha tani yang diusahakan secara turun temurun. Produk pertanian dapat dibedakan dengan produk lain berdasarkan beberapa karakteristiknya, yaitu: musiman, segar dan mudah rusak (perishable), volumenya besar tetapi nilainya relatif kecil (bulky) serta harganya cenderung berfluktuasi. Sifat musiman produk pertanian berimplikasi pada perlunya manajemen stok yang baik, sehingga perlu adanya biaya penyimpanan yang merupakan resiko yang harus dibayar oleh petani. Menurut Dahl dan Hammond dalam Hakim (2009) besarnya biaya tersebut tergantung pada fasilitas penyimpanan yang dimiliki dan lamanya penyimpanan. Resiko mudah rusaknya produk pertanian dapat dikurangi dengan asuransi pertanian. Namun di negara berkembang industri asuransi belum mencakup produk pertanian. Akibatnya ketika terjadi gagal panen, petani kehilangan sumber pendapatannya. Harga produk pertanian sering mengalami perubahan terkait dengan dinamika penawaran dan permintaan. Fluktuasi harga yang sukar diprediksi dapat dikurangi dengan melakukan pengelolaan resiko harga (Hakim 2009). Dalam pasar fisik atau tunai umumnya melibatkan keberadaan komoditi secara langsung dalam proses transaksi. Selain itu, transaksi biasanya tidak hanya terpusat di satu pasar. Hal ini tentu saja akan menimbulkan biaya transaksi yang lebih tinggi karena perlunya biaya penyimpanan. Dalam pasar berjangka, produsen dapat menjual produk pertanian yang baru akan dipanen beberapa bulan kemudian, pada harga yang telah dipastikan sebelum panen. Oleh karenanya produsen dapat memperoleh jaminan harga sehingga tidak terpengaruh oleh kenaikan atau pun penurunan harga jual produk dipasar fisik. Pasar berjangka merupakan sarana pembentukan harga yang transparan dan wajar, yang mencerminkan kondisi pasokan dan permintaan yang sebenarnya dari komoditi yang diperdagangkan. Hal ini memungkinkan, karena transaksi hanya dilakukan oleh anggota bursa yaitu mewakili nasabah atau dirinya sendiri. Artinya antara pembeli dan penjual kontrak berjangka tidak saling kenal secara langsung. Harga yang terjadi di pasar berjangka umumnya dijadikan sebagai harga acuan (reference price) oleh dunia usaha, termasuk produsen dan pedagang untuk melakukan transaksi di pasar fisik. Demikian juga penetapan harga komoditi di bursa juga memperhatikan infomasi pasar perdagangan fisik. Margin yang telah ditetapkan berlaku untuk periode waktu tertentu, dapat diubah sesuai dengan situasi dan kondisi yang ada. Instrumen yang digunakan dalam pasar berjangka diantaranya yaitu forward contract, future contract dan options. Forward contract terjadi ketika kedua belah pihak yaitu penjual dan pembeli sepakat untuk melakukan transaksi baik jumlah dan waktu dilakukan penyampaian produk ke pembeli. Kesepakatan mengenai harga, kualitas dan waktu penyampaian komoditi sangat spesifik. Penggunaan instrumen ini dapat melindungi kedua pihak dari pergerakan harga yang merugikan. Future contract penting bagi pelaku pasar yang melakukan transaksi dalam jumlah besar yang melibatkan ketersediaan stok yang cukup besar dan dalam jangka waktu penyimpanan yang lebih lama. Resiko terhadap perubahan jumlah dan nilai dapat dikurangi melalui instrumen ini. Sesuai tujuannya yaitu meminimalkan resiko kerugian karena pergerakan harga. Transaksi ini melibatkan dua pasar yaitu pasar sekarang dan pasar mendatang. Kerugian atau keuntungan dari suatu pasar akan dikompensasi dari transaksi di pasar lainnya. Dalam perdagangan CPO melibatkan pasar berjangka dan pasar fisik. Harga CIF Rotterdam merupakan harga di pasar berjangka Rotterdam yang sering dijadikan harga referensi CPO internasional. Harga FOB CPO Belawan merupakan harga di pasar fisik CPO Indonesia yang sering dijadikan acuan harga. Harga dengan sistem CIF (cost, insurance, freight), yaitu eksportir hanya bertanggung jawab terhadap biaya pengiriman barang. Khusus untuk CPO asal Indonesia eksportir sering harus menanggung biaya asuransi dan letter of credit (LC) yang lebih mahal ketimbang CPO dari negara lain. Hal ini lazim dalam perdagangan komoditas di pasar forward yang biasanya memperhitungkan faktor resiko menyangkut kepercayaan dan keamanan suatu negara asal komoditas. Ekspor CPO Indonesia menggunakan sistem FOB (free on board), yaitu penetapan harga ekspor setelah barang dimuat di atas kapal dipelabuhan ekspor. Selama suatu negara belum memiliki pasar berjangka, harga jual komoditi masih mengacu pada bursa yang ada di luar negeri. Demikian juga Indonesia, diharapkan Indonesia bisa menjadi price maker dalam perdagangan CPO dunia. 2.1.6. Peranan Pemerintah Tujuan Pemerintah melakukan intervensi terhadap pembentukan harga produk pertanian menurut Tomek dan Robinson (1972) yaitu: (1) untuk menurunkan harga dan ketidakstabilan pendapatan, (2) memperbaiki alokasi sumber daya, (3) meningkatkan pemenuhan kebutuhan pangan dan serat, (4) menaikkan rata-rata tingkat harga dan pendapatan. Musgrave dan Musgrave dalam Rosdiana dan Tarigan (2005) menyebut fungsi pemerintah dalam perekonomian sebagai fiscal function, yaitu: 1. Fungsi alokasi. Pemerintah mengusahakan agar alokasi sumber-sumber ekonomi dilaksanakan secara efisien. Dalam fungsi alokasi, pemerintah diharapkan mampu mengalokasikan anggaran demi efisiensi dan efektivitas ekonomi. Pada kasus subsidi PPN minyak goreng, pemerintah menganggarkan Rp 300 miliar pada tahun 2007 dan Rp 600 miliar pada tahun 2008 yang digunakan menanggung PPN pengusaha CPO dan minyak goreng. Ketika penyediaan barang dan jasa diserahkan ke pasar maka harga akan ditentukan sepenuhnya oleh preferensi konsumen sesuai dengan tingkat pendapatannya dan kepentingan produsen untuk mendapatkan keuntungan sebanyak-banyaknya. Akibatnya, ada barang yang tidak tersedia atau menjadi langka di pasar karena pertimbangan inefisiensi dalam memproduksinya. Hal ini merupakan kegagalan pasar (market failure). Jika pasar tidak mau memproduksi maka disinilah perlunya intervensi pemerintah. Contoh nyata adalah ketika terjadi kelangkaan minyak goreng di pasar karena CPO banyak di ekspor. Pemerintah melakukan intervensi dengan memerintahkan pengusaha CPO untuk menyediakan CPO untuk kebutuhan dalam negeri (Domestic Market Obligation). 2. Fungsi distribusi. Fungsi distribusi berkaitan erat dengan pemerataan pendapatan dan kesejahteraan masyarakat. Pada kasus subsidi PPN minyak goreng, alokasi anggaran subsidi untuk menanggung PPN pengusaha CPO dan minyak goreng seharusnya dapat membuat harga minyak goreng yang dibayar masyarakat lebih murah. 3. Fungsi stabilisasi. Dalam fungsi stabilitas, pemerintah berusaha untuk menciptakan lingkungan makroekonomi yang kondusif, baik itu pertumbuhan ekonomi, tingkat harga, tingkat pengangguran, nilai tukar dan aspek makroekonomi yang lain, karena pasar tidak secara otomatis dapat menyelesaikan masalah-masalah tersebut. Pemerintah berusaha menyetabilkan harga minyak goreng domestik agar tidak terus berfluktuasi naik mengikuti kenaikan harga CPO dunia. 2.2. Penelitian Terdahulu Tabel Penelitian terdahulu dibedakan menurut beberapa kriteria No Peneliti Tujuan Penelitian Tahun, Cakupan Penelitian (1) (2) (3) (4) (5) (6) (7) (8) 2006 Dunia Harga minyak kedelai, harga minyak kanola, harga minyak bunga matahari, harga CPO, harga minyak bumi, dan dummy variabel perang Amerika-Irak tahun 2003 Data mingguan, Januari 1999 – Maret 2006 VAR/ VECM, directed acyclic graphs Ada kointegrasi diantara harga kelima jenis minyak tersebut. Harga minyak bumi merupakan eksogenus, tidak tergantung kepada harga keempat minyak tersebut. Masing-masing harga minyak makan merespon shock yang terjadi disalah satu harga minyak nabati tersebut. 1 Melihat interaksi harga Tun-Hsiang minyak makan yang Yu, David A. digunakan untuk produksi Bessler, biodiesel dan harga minyak Stephen Fuller bumi 2 Jody L. Campiche, Henry L. Bryant, James W. Richardson, Joe L. Outlaw 3 Melihat korelasi harga CPO dan harga minyak bumi sehubungan Efendi Arianto pemanfaatan CPO sebagai bahan bakar minyak nabati Melihat ada tidaknya kecenderungan peningkatan harga komoditi pertanian dihubungkan dengan perubahan kenaikan harga minyak bumi 2007 Dunia 2007 Dunia Variabel Penelitian Jenis dan Tahun Data Metode Analisis Temuan Harga minyak bumi, harga jagung, harga gula, harga kedelai, harga minyak kedelai dan harga CPO. Data mingguan, 2003 2007 VECM Periode 2003-2005, tak satupun harga komoditi tersebut terkointegrasi dengan harga minyak bumi. Periode 2006-2007 hanya harga kedelai dan jagung yang terkointegrasi dengan harga minyak bumi. Periode 2003-2006, harga minyak kedelai dan CPO berkorelasi negatif dengan harga minyak bumi, yang lain positif. Periode 2007, harga jagung dan gula berkorelasi negatif dengan harga minyak bumi, yang lain positif. Harga CPO, harga minyak bumi Data bulanan, 1999 2007 Regresi dan korelasi Korelasi harga CPO dan harga minyak bumi positif pada semua periode penelitian. Urutan korelasi terendah-tertinggi yaitu periode 19992005, periode 1999-2007, periode 2006-2007, dan periode 2007. No Peneliti Tujuan Penelitian Tahun, Cakupan Penelitian Variabel Penelitian Jenis dan Tahun Data Metode Analisis Temuan (1) (2) (3) (4) (5) (6) (7) (8) Xing Liu Meneliti hubungan harga biofuel di pasar Uni Eropa, AS dan Brazil 5 Dian Hafizah Menganalisis integrasi pasar di Indonesia, Malaysia dan kota Rotterdam serta merumuskan implikasi kebijakan pembentukan harga CPO di Indonesia 6 Ernawati, Fatimah, M. Arshad, M. Nasir Shamsudin, Zainal A. Mohamed Menguji faktor yang mempengaruhi permintaan ekspor CPO Indonesia, mengetahui efek langsung liberalisasi perdagangan terhadap penurunan PE pada industri CPO Indonesia 4 2008 Dunia Harga minyak kedelai, harga CPO, harga rapeseed oil Data bulanan, Januari 1998 – Januari 2007 2009 Dunia Harga CPO Indonesia, harga CPO Malaysia, harga CPO Rotterdam, harga minyak kedelai Data bulanan, Januari 2000 – Nopember 2008 2006 Indonesia Luas wilayah tanam dan panen , produksi CPO, konsumsi CPO, ekspor CPO, harga dunia CPO dan minyak kedelai, kebijakan, kurs Data tahunan, 1969 2004 Hubungan kausalitas satu arah terjadi dari AS dan Brazil sebagai produsen utama minyak kedelai terhadap Uni Eropa sebagai produsen minyak kanola Granger sekaligus konsumen minyak kedelai dan CPO. Ada Causality kointegrasi diantara harga ketiga minyak tersebut. dan VECM Masing-masing harga minyak nabati tersebut dipengaruhi oleh harganya sendiri bulan sebelumnya dan harga minyak nabati lainnya bulan sebelumnya. CPO merupakan substitusi minyak kanola. VECM Ada hubungan kointegrasi diantara pasar Rotterdam, Indonesia dan Malaysia. Pasar Rotterdam merupakan pasar acuan bagi pasar Indonesia dan Malaysia. Pembentukan harga CPO di Indonesia sangat dipengaruhi oleh pasar Rotterdam ECM Perubahan permintaan ekspor CPO Indonesia ke India, Cina, Eropa dan Negara-negara lainnya dipengaruhi perbedaan rasio harga minyak kedelai dan harga CPO dunia, indeks produksi industri, kurs, dan permintaan ekspor tahun lalu. No Peneliti Tujuan Penelitian Tahun, Cakupan Penelitian Variabel Penelitian Jenis dan Tahun Data Metode Analisis Temuan (1) (2) (3) (4) (5) (6) (7) (8) 7 Amna Awad Abdel Hameed, Fatimah Mohamed Arshad Meneliti hubungan jangka panjang antara harga minyak bumi dan beberapa minyak nabati 2009 Dunia Harga minyak bumi, harga CPO, harga minyak bunga matahari, harga minyak kedelai, harga minyak kanola Data bulanan, Januari 1983 – Maret 2008 Uji Ada kointegrasi antara masing-masing harga minyak kointegrasi nabati tersebut dengan harga minyak bumi. Pada bivariate jangka panjang harga minyak bumi mempengaruhi dan harga masing-masing minyak nabati, hal ini tidak Granger berlaku sebaliknya. Causality Regresi dan korelasi Pada periode 1999-2007 terjadi konsistensi korelasi harga TBS dengan harga CPO, untuk harga CPO dengan harga minyak bumi dan harga TBS dengan harga minyak bumi tidak terjadi konsistensi korelasi. Harga TBS naik 2.5 kali lebih tinggi dibandingkan kenaikan harga CPO, sehingga nilai harga yang diterima petani TBS lebih tinggi dibandingkan nilai harga yang didapat produsen CPO (PT Smart). OLS Kedua level harga tersebut pada jangka panjang mempunyai pergerakan harga yang sama. Dimana level pedagang besar efisien dalam mengirimkan sinyal harga ke petani TBS, sedangkan TBS tidak efisien mengirim sinyal harga ke pedagang besar. 8 Efendi Arianto Melihat korelasi pergerakan harga minyak bumi, harga TBS dan harga CPO 9 Rangsan Nochai, Titida Nochai Melihat transmisi harga antara pedagang besar dan petani pada industri CPO 2008 Indonesia Harga minyak bumi, harga TBS pasar Medan dan harga CPO pelabuhan Belawan Data bulanan, 1999 2007 2007 Thailand Harga TBS level petani, harga CPO level pedagang besar di Bangkok Data triwulanan 2000 2004 No Peneliti Tujuan Penelitian Tahun, Cakupan Penelitian Variabel Penelitian Jenis dan Tahun Data Metode Analisis Temuan (1) (2) (3) (4) (5) (6) (7) (8) Model persamaan simultan Permintaan CPO oleh industri MGS dipengaruhi oleh permintaan periode sebelumnya, harga CPO domestik, harga MGS domestik, PE. Volume ekspor CPO dipengaruhi oleh volume periode sebelumnya, harga ekspor CPO, harga MGS domestik, produksi MGS, kurs. Harga CPO domestik dipengaruhi oleh harga periode sebelumnya, harga ekspor CPO, stok CPO, shock harga CPO di pasar dunia. Permintaan MGS dipengaruhi oleh harga MGS, harga MGK, pendapatan perkapita, PE, shock harga di pasar dunia. Harga MGS domestik dipengaruhi oleh harga ekspor MGS, harga CPO. Regresi Harga eceran minyak goreng dipengaruhi oleh harga periode sebelumnya, harga CPO dunia, produksi CPO domestik, peran BULOG sebelum tahun 1998. PE tidak mampu mengurangi keinginan pengusaha untuk mengekspor CPO karena tingginya harga CPO dunia. 10 R. Deden Djaenudin, Isang Gonarsyah 11 Nugroho J. Prastowo, Tri Yanuarti, Yoni Depari Identifikasi faktor yang mempengaruhi pasar minyak goreng domestik, mempelajari dampak kebijakan pemerintah 2002 dalam memenuhi Indonesia kebutuhan minyak goreng domestik, dan antisipasi kondisi pasar minyak goreng pada era liberalisasi perdagangan Menelaah pengaruh faktor distribusi dalam pembentukan harga komoditas pangan 2008 Indonesia Harga dan Produksi MGS dan kelapa, harga CPO dan CCO domestik dan dunia, harga dan volume ekspor MGS dan kelapa, HPE dan PE MGS, harga dunia MGS, upah sektor perkebunan dan industri, stok minyak goreng dan CPO, harga pupuk, kurs, suku bunga, pendapatan perkapita, shock harga di pasar dunia, Data tahunan, 1970 1997 Diantaranya : harga minyak goreng, harga CPO dunia, produksi CPO domestik, peran BULOG, harga BBM, hambatan distribusi, PE Data bulanan, 1993 2007 Perbedaan penelitian ini dengan penelitian Yu et al. (2006) yaitu selain melihat interaksi antara minyak nabati dengan minyak bumi, juga melihat interaksi antar harga minyak goreng dan TBS kelapa sawit dengan minyak nabati dan minyak bumi. Data dan sumber data yang digunakan juga berbeda. Perbedaan penelitian ini dengan penelitian Hanizah (2009) yaitu integrasi yang dianalisis lebih luas, meliputi integrasi harga minyak bumi, minyak kedelai, CPO, minyak goreng domestik dan TBS kelapa sawit bukan hanya integrasi harga CPO. Selain itu, data lebih beragam, tahun penelitian dan sumber data yang digunakan berbeda. 2.3. Kerangka Pemikiran Minyak bumi merupakan salah satu sumber energi utama bagi kehidupan manusia. Menipisnya persediaan minyak bumi dunia menjadikan harganya melonjak ketika pasokannya di pasar lebih rendah dari permintaan pasar. Seiring dengan pemanfaatan minyak nabati sebagai energi alternatif bagi minyak bumi, harga CPO sebagai salah satu minyak nabati dapat dipengaruhi oleh perubahan harga minyak bumi. Pada sisi lain, minyak kedelai merupakan pesaing utama CPO di pasar perdagangan minyak nabati. Ketika kedua jenis minyak nabati tersebut saling bersubstitusi maka harga keduanya dapat saling mempengaruhi. Harga CPO di pasar Rotterdam merupakan harga CPO yang dijadikan referensi dunia. Demikian pula harga ekspor CPO Indonesia mengacu ke harga CPO Rotterdam, sehingga fluktuasi harga yang terjadi di pasar Rotterdam dapat mempengaruhi harga domestik. Sebaliknya, Indonesia dan Malaysia merupakan produsen utama CPO dunia. Melalui supply kedua negara tersebut seharusnya dapat mempengaruhi harga yang terbentuk di pasar Rotterdam. Beberapa faktor yang diduga berpengaruh terhadap fluktuasi harga CPO di pasar Rotterdam adalah peningkatan konsumsi CPO dunia yang didominasi oleh China dan India, perubahan harga minyak kedelai yang merupakan pesaing utama CPO di pasar minyak nabati dunia dan isu konversi minyak bumi ke biofuel. Berdasarkan penelitian Hafizah (2009) harga CPO di pasar Rotterdam terintegrasi dengan harga CPO Malaysia dan harga CPO Indonesia, artinya fluktuasi harga di pasar Rotterdam akan ditransmisikan ke harga CPO Indonesia dan harga CPO Malaysia. Tingginya harga CPO di pasar Rotterdam akan mendorong ekspor sehingga mengurangi pasokan CPO untuk industri minyak goreng domestik yang mengakibatkan terjadinya kelangkaan produk minyak goreng. Kelangkaan minyak goreng sebagai salah satu kebutuhan pokok mengakibatkan harganya naik. Meningkatnya permintaan CPO dunia merupakan insentif bagi produsen CPO untuk meningkatkan produksi CPO. Produsen CPO mendapatkan pasokan TBS sebagai bahan baku CPO dari petani TBS dan perusahaan perkebunan. Umumnya petani TBS tidak terintegrasi dengan industri pengolahan CPO, berbeda halnya dengan perkebunan besar swasta yang terintegrasi dengan industri pengolahan CPO. Harga pembelian TBS petani banyak tergantung pada industri pengolahan CPO, sedangkan perkebunan besar swasta mempunyai industri pengolahan CPO sendiri. Apabila terjadi kenaikan harga CPO di pasar Rotterdam, keuntungan besar diperoleh perusahaan perkebunan yang mempunyai industri pengolahan CPO sendiri. Namun bagi petani TBS bisa jadi kenaikan harga tersebut tidak langsung ditransmisikan ke harga pembelian TBS di tingkat petani. Berbeda halnya ketika terjadi penurunan harga CPO di pasar Rotterdam, bisa jadi langsung ditransmisikan ke harga pembelian di tingkat petani. Konseptual pemikiran diatas diwujudkan dalam bentuk skema pada Gambar 9. Harga Minyak Kedelai Dunia Permintaan CPO Dunia Harga Minyak Bumi Dunia Harga CPO Rotterdam Harga Ekspor CPO Indonesia Harga CPO Malaysia Harga Produsen dan Supply CPO Domestik Harga Tandan Buah Segar Harga Minyak Goreng Implikasi Kebijakan Gambar 9. Kerangka Konseptual Tidak dianalisis 2.4. Hipotesis Penelitian Hipotesis penelitian ini yaitu ada integrasi diantara harga minyak bumi, minyak kedelai, CPO, minyak goreng domestik dan TBS kelapa sawit.