Pelayanan Holistik Gereja Kepada Anak Autis (Sebuah Studi

advertisement
BAB II
LANDASAN TEORI
PELAYANAN HOLISTIK GEREJA TERHADAP ANAK AUTIS
Pada bab ini penulis membahas empat konsep yakni Gereja, pelayanan
Gereja, pelayanan holistik dan anak autis. Penulis juga menguraikan beberapa
konsep yang diungkapkan oleh para ahli mengenai gereja, pelayanan gereja,
pelayanan holistik dan anak autis serta problemnya. Pandangan-pandangan ini akan
membantu penulis dalam menguraikan dan menganalisa bagaimana pelayanan gereja
yang holistik terhadap anak autis.
2.1
Pengertian Gereja
Gereja secara literer muncul dalam Perjanjian Baru.1 Tetapi munculnya
gereja dalam Perjanjian Baru tidak lepas dari peran Allah. Peran tersebut adalah
Allah memakai manusia untuk menyatakan kehendak-Nya. Kehendak Allah itu
adalah memperkenalkan kembali umat Allah (dalam Kristus) secara eksplisit.
Kata “Gereja” berasal dari bahasa Portugis “igreja” dan bahasa Yunani
“ecclesia. Kata inilah yang kita jumpai di dalam Perjanjian Baru; biasanya
diterjemahkan dengan jemaat (dahulu juga dengan “sidang” ataupun “sidangjemaat”). Disebabkan terjemahannya di dalam Katekismus Heidelberg, maka di
dalam Pengakuan Iman Rasuli kata “Ecclesia” itu dapat dianggap diterjemahkan
dengan “Gereja Kristen”. Tetapi kata “Kristen” sebenarnya tidaklah terdapat di
1
Edmund Woga, Dasar-dasar Misiologi, (Yogyakarta: Kanisius, 2002), 78.
12
dalam naskah asli. Oleh karena itu dapat dikatakan, bahwa kata “Ecclesia” telah
menjadi suatu istilah yang demikian khusus artinya, sehingga tambahan kata “Kristen
sebenarnya tidak perlu lagi. Di dunia Yunani Kata “ek-klesia” (dari kata kerja
“kleo”) mula-mula berarti: mereka yang “dipanggil (ke luar)”, yaitu orang-orang
merdeka (bukan budak, bukan-pelayan) yang oleh seorang bentara dipanggil
berhimpun untuk menghadiri rapat rakyat. “Gereja” terdapat di mana ada yang
dipanggil, dipanggil berhimpunan, yaitu oleh Allah. Gereja bukanlah suatu
organisasi orang-orang yang mau mendirikan suatu perkumpulan guna suatu tujuan
tertentu, melainkan orang-orang itu telah dipanggil berkumpul oleh Allah sendiri.2
Istilah gereja di dalam Ensiklopedi Alkitab masa kini, berasal dari bahasa
Yunani ekklesia yang berarti pertemuan atau sidang (jemaat). Kata ini umumnya
dipakai bagi sidang umum dari penduduk kota yang dikumpulkan secara resmi.
Sidang seperti ini menjadi ciri segala kota di luar Yudea, di mana Injil dimasyurkan.
Kata ekklesia juga dipakai di kalangan Yahudi (LXX) bagi ‘jemaat Israel’, yang
dibentuk di Sinai dan dikumpulkan di depan hadirat Allah pada hari-hari raya
tahunan, yakni pengantara yang ditunjuk Allah menjadi wakil umat. Tidaklah jelas
apakah pemakaian ekklesia secara Kristiani pada mulanya diambil dari pemakaian
non-Yahudi atau dari pemakaian Yahudi (ini diperdebatkan), tapi adalah pasti bahwa
kata ini lebih mengandung arti ‘pertemuan’ daripada ‘organisasi’ atau masyarakat.3
Menurut Robinson kata gereja (ekklesia) menunjuk kepada mereka yang
dipanggil keluar dari dosa ke dalam keselamatan, dari kematian kepada hidup, dari
tawanan iblis kepada kemerdekaan dalam Kristus, dari perbudakan oleh iblis kepada
2
G.C.van Niftrik, Dogmatika Masa Kini, (Jakarta: Gunung Mulia, 2008), 359.
J. D. Douglas, Ensiklopedi Alkitab Masa Kini, (National Council of the church of Christ in
the USA, 1946, 1952, 1971, 1973), 332.
3
13
pelayanan Kristus. Mereka adalah orang-orang yang dijamah oleh Tuhan. Mereka
dipisahkan dari dunia bagi Kristus dan dikhususkan untuk melayani-Nya. Mereka
adalah orang-orang yang khusus disiapkan untuk melaksanakan misi Kristus dalam
dunia ini. Apa yang Yesus lakukan sewaktu Ia di dunia ini ditugaskan-Nya kepada
gereja-Nya supaya gereja-Nya meneruskan pekerjaan itu.4 Gereja adalah komunitas
baru milik Tuhan. Tujuan-Nya yaitu untuk menyelamatkan setiap orang dari dosa
dan mendapatkan kehidupan dan kemerdekaan dalam Kristus. Dengan kehadiran
gereja, Tuhan memanggil dan menguduskan orang-orang dari tengah-tengah dunia
demi kemuliaan-Nya. Karena Tuhan telah memberi diri-Nya dan menyelamatkan
manusia dari dosa, maka kehadiran gereja menjadi sebuah wadah dimana Tuhan
memanggil umat manusia untuk bersama-sama berkomimen dalam sebuah pelayanan
yang sama seperti yang telah dilakukan oleh-Nya. Jadi dalam hal ini, bisa dikatakan
bahwa umat manusia terikat pada misi gereja. Gereja mempunyai identitas ganda, di
satu pihak, Tuhan memanggil umat untuk keluar dari dunia menjadi milik Tuhan,
dan di lain pihak, diutus kembali ke dunia untuk menjadi saksi dan melayani. Misi
gereja dimodelkan pada misi Kristus. Dia sungguh-sungguh memasuki dunia dan
mengambil kodrat manusia, menjalani kehidupan sama seperti manusia dan mati
seperti kematian manusia. Totalitas yang telah di tunjukan oleh Tuhan menjadi dasar
bagi pelayanan yang akan dilakukan oleh gereja, dimana Ia mengosongkan diri-Nya
demi kesetaraan dengan umat manusia. Melalui contoh yang telah dilakukan oleh
Yesus perlu juga dilakukan oleh gereja dan orang-orang yang telah diutus sebagai
4
Darell, W. Robinson, Total Church Life-Kehidupan Gereja yang Utuh, (Bandung:
Lembaga Literatur Babtis, 1997), 26.
14
alat cinta kasih di tengah-tengah dunia ini. Sehingga pelayanan yang dilakukan
dapat dirasakan semua orang.
Sutarno menegaskan, gereja adalah wadah persekutuan dari para pengikut
Yesus Kristus, yaitu orang-orang percaya dan mengaku Yesus Kristus adalah Tuhan
dan Juruselamatnya. Lahirnya gereja berdasarkan kehendak dan panggilan dari
Kristus sendiri, demi menjalankan misi-Nya. Dengan demikian keberadaan gereja
bukan merupakan tujuan dalam dirinya sendiri (not an end in itself), melainkan untuk
melaksanakan maksud tertentu, berupa misi Kristus yakni karya penyelamatan oleh
dan di dalam Kristus yang merupakan anugerah pengampunan dosa dan tuntutan
pembaharuan hidup. Selain itu, gereja merupakan tempat di mana karya dan
kekuasaan Kristus sebagai Raja Mesias, Juruselamat, diakui dan ditaati. Dengan kata
lain, gereja merupakan tempat dimana hukum-hukum Kerajaan Sorga/Allah
sebagaimana di amanatkan oleh Kristus diakui dan ditaati secara kolektif atau
bersama-sama. Sedangkan hukum-hukum Kristus itu pada intinya didasarkan pada
Hukum Kasih, di mana pelayanan, pengorbanan dan pengampunan merupakan
prinsip-prinsip dasar yang harus diupayakan pelaksanaannya.5 Keberadaan gereja
bukan merupakan tujuan dalam dirinya sendiri, tetapi kehadiran gereja sebagai
wadah dimana misi Tuhan di amanatkan supaya dilaksanakan. Kehadiran gereja
diharapkan dapat membawa sukacita, dan cinta kasih yang menjangkau semua aspek
dalam kehidupan jemaat maupun masyarakat sebagai ladang Allah.
5
Sutarno, Di Dalam Dunia, Tetapi Tidak dari Dunia, (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2004),
169.
15
Menurut Tom Jacob Gereja adalah umat Allah yang baru dengan pengertian
dalam Kristus, gereja dipersatukan Allah dalam iman.6 Karena itu hakekat gereja
dalam Alkitab digambarkan sebagai “tubuh Kristus. Karena Kristus menjadi kepala
yang menyebut diriNya gembala yang baik.7 Gereja dapat diartikan sebagai
persekutuan sukarela orang-orang percaya kepada Kristus.8 Oleh karena itu gereja
dapat terbentuk karena Yesus Kristus memanggil para pemercaya menjadi
pengikutNya. Dengan demikian persekutuan dengan Kristus berarti persekutuan
dengan sesama manusia. Karena gereja secara definitif adalah melampaui sebagai
institusi, pranata, atau organisasi di dunia ini.9 Namun kekuasaan gereja ada untuk
membangun suatu tanda baru di dunia yang berbeda dengan cara dunia.10 Tanda baru
untuk membangun dunia itu adalah untuk mendemonstrasikan kasih Allah sepanjang
waktu dalam dunia ini.11 Singkatnya gereja hadir atau lahir karena tugas panggilan.12
Tugas panggilan gereja itu adalah melakukan pelayanan (diakonia) di dunia ini.13
Karena pelayanan merupakan kehendak Allah dalam Kristus yang dilanjutkan oleh
gereja. Karena gereja itu dapat hidup dalam arti yang sesungguhnya apabila
melayani. Oleh karena itu dengan tegas Hendrik Kreamer berpendapat pelayanan
atau diakonia adalah roh, dan pola yang benar dari gereja yang berakar dalam wujud
6
Tom Jacobs, Gereja Menurut Vatikan II (Yogyakarta: Kanisius, 1987), 24.
S.M. Hutagalung, Peranan PAK dalam Rangka Meningkatkan Sumber daya manusia
Mengantisipasi Era Globalisasi Dalam membangun Tubuh Kristus, (Siantar: Yayasan STT, 1996),
551.
8
Agus Santosa, Agape dan Spiritualitas gereja dalam kepemimpinan Kristiani: Spiritualitas,
Etika, dan teknik-teknik kepemimpinan gereja dalam Era penuh perubahan, (Jakarta: STT Jakarta,
2001) 100.
9
Ibid., 100.
10
Ibid., 100.
11
Michael Griffiths, Gereja dan panggilannya (Jakart: BPK Gunung Mulia, 1995) 7.
12
Arlyyanus Larosa, Misi sosial Gereja (Bandung: Yayasan Kalam Hidup, 1999)9-10.
13
Norman E. Thomas, Teks-Teks Klasik Tentang Misi Dan Kekristenan Sedunia: Melengkapi
Adikarya David Bosch Transformasi Misi Kristen (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2001), 359.
7
16
dan pekerjaan Kristus, Tuhan gereja. Gereja adalah diakonia, yang harus dinyatakan
dalam semua bidang kehidupan sekuler. 14
Menurut Egune Bianchi, diakonia merupakan tugas fundamental gereja untuk
mewujudkan perdamaian atau pemulihan kembali mengatasi pelbagi alienasi yang
menindas umat manusia zaman ini.15 Oleh sebab itu dibutuhkan pendekatan yang
rendah hati dan menghamba kepada dunia yang telah ditebus.
Supaya dapat
melakukan perintah Kristus dengan baik dan seimbang gereja harus melakukan tugas
tridarma gereja.16 Tugas tersebut, meliputi koinonia, marturia, dan diakonia.
Menurut B. Kieser, gereja bersifat adikodrati, tetapi konsekuensi logisnya Gereja
melakukan tugas kodrati.17 Tugas kodrati tersebut dikenal dengan diakonia gereja.
2.1 Pelayanan (Diakonia)
Gerhard Kittel (1874:81) menegaskan, Istilah “diakonia” berasal dari bahasa
Yunani, διακονια artinya pelayanan, sedangkan orang yang melakukan disebut
sebagai pelayan (δίακονος). Diakonia merupakan tindakan dari melayani (δίακονέίν),
yang dilakukan oleh pelayan.18 Biasanya diakonein diartikan juga sebagai pekerjaan
dalam melayani meja yaitu dengan mempersiapkan hidangan-hidangan atau
kebutuhan fisik para tuan atau orang-orang terhormat. Gambaran dalam melayani
14
Ibid., 359.
Avery Dulles, Model-model gereja (Flores: Nusa Indah, 1990), 90.
16
Emanuel Gerrit Singgih, Transformasi Gereja Menyongsong Abad-21 (Yogyakarta:
kanisius, 1997, 19-26.
17
B. Kieser, Moral Sosial: keterlibatan umat dalam hidup bermasyarakat (Yogyakarta:
kanisius, 1987), 17.
18
Gerhard Kittel, Theological Dictionary of The New Testament, (Michigan: Grand Rapids,
1874) , 81.
15
17
adalah dengan merangkak, berlutut sampai ke tanah, yang diuntungkan adalah
penerimanya atau yang dilayani, sedangkan pelayan itu sendiri tidak memperoleh
jasa atau gaji.19 Lebih lanjut, melayani berarti melakukan sesuatu bagi orang lain
yang kedudukannya terhormat, baik secara sukarela ataupun terpaksa. Biasanya,
pekerjaan ini hanya dilakukan oleh budak atau orang yang kedudukannya dipandang
rendah ditengah masyarakat, sedangkan orang-orang merdeka tidak bersedia
melakukannya.
Hal tersebut terjadi karena arti hidup dalam kebudayaan Yunani dilihat dalam
perkembangan yang bebas dari diri sendiri, sedangkan melayani bertentangan dengan
kehendak sendiri karena harus merendahkan diri dan memberi diri kepada orang lain.
Oleh karena itu diakonia tersebut dipandang sebagai suatu pekerjaan hina.20 Istilah
diakonia yang dipandang rendah dan hina dalam kehidupan dunia Yunani tersebut,
menjadi salah satu istilah yang dihormati dalam kehidupan Kristen. Bahkan diakonia
merupakan salah satu dari tritugas panggilan gereja yang harus dijalankan dalam
rangka mewujudkan kerajaan Allah di dunia ini.
Menurut A. Noordegraaf istilah diakonia, melalui kedatangan Yesus Kristus
telah memiliki makna dan isi yang baru. Anak manusia datang bukan untuk dilayani
melainkan untuk melayani atau melakukan diakonia dan memberikan hidup-Nya
untuk menjadi tebusan bagi orang banyak. Yesus yang adalah Mesias dan Raja justru
hadir dan merendahkan diri-Nya untuk melayani umat-Nya. Dalam hal ini Yesus
menentang tata kehidupan duniawi yang cenderung memperlihatkan kekuasaannya,
19
20
Ibid., 82.
Ibid., 83.
18
yang sifatnya selalu harus dilayani.21 Disini Yesus memberi contoh yang baik,
dimana Ia selalu merendahkan dirinya tanpa melihat statusnya sebagai Anak Allah
yang kita tahu bahwa Ia mempunyai kuasa. Tetapi Ia tidak memakai itu sebagai
patokan dalam pelayananNya. Bagi Yesus melayani itu tanpa memandang kuasa atau
memperlihatkan kekuasaan untuk menindas tetapi merangkul semua dengan cinta
kasih dan kerendahan hati.
Menurut P. G.van Hooijdonk, diakonia adalah bidang pelayanan pastoral:
gereja dan masyarakat yang tidak terbatas pada ranah sosial saja, tetapi meliputi
politik, pendidikan, medis, kebudayaan dan lain-lain. Oleh karena itu diakonia ialah
pelayanan yang dilakukan dengan sadar oleh gereja untuk ikut mewujudkan nilainilai kerajaan Allah seperti perdamaian, keadilan, kebenaran, cinta kasih bagi
masyarakat.
22
Namun yang berlawanan dengan nilai-nilai kerajaan Allah adalah
kekerasan, kepalsuan, ketidakadilan, penindasan.23
Diakonia dipahami sebagai “pelayanan kasih” yaitu dengan memperhatikan
dan menyediakan kebutuhan-kebutuhan fisik orang miskin, yang sakit, yang lemah
dan yang hidup dalam rupa-rupa kesusahan. Yang menjadi subjek pelayanan
diakonia adalah Allah sendiri melalui Yesus Kristus, orang yang melakukannya
(diakonos/diaken) berfungsi sebagai alat untuk menyampaikan pemberian-Nya
kepada manusia terutama yang sedang menderita atau yang sedang dalam
21
A. Noordegraaf , Orientasi Diakonia Gereja, ( Jakarta: BPK-Gunung Mulia, 2004), 4.
Martin Chen Pr. Teologi Gustavo Gutierrez: Refleksi dari praksis kaum miskin.
(Yogyakarta: Kanisius, 2002), 36.
23
Ibid., 36.
22
19
kesusahan.24 Tugas panggilan gereja adalah pelayanan (diakonia) di dunia ini.
Karena pelayanan merupakan kehendak Allah dalam Kristus yang dilanjutkan gereja,
sehingga gereja dapat hidup dalam arti yang sesungguhnya apabila melayani.
Seperti yang dikatakan Hendrik Kraemer bahwa, konteks diakonia
menyangkut upaya pengentasan ketidakberdayaan umat yang terpinggirkan menuju
standar hidup yang berkualitas dan sejajar atau bahkan lebih dengan umat yang lain.
Diakonia secara khusus menjadi ciri khas pelayanan gereja yang langsung
menyentuh umat dan membumi. Diakonia agung Tuhan Yesus sebagai perwujudan
kasih bagi umatNya melalui karya penyaliban-Nya.25
Jadi, inti dari pelayanan
diakonia sudah sangat jelas dan lengkap seperti yang telah dikatakan oleh Hendrik
Kreamer, bagaimana seharusnya pelayanan (diakonia) itu dipahami dan dilakukan
oleh gereja.
Oleh karena itu, tujuan pelayanan diakonia adalah melihat realitas yang
terjadi sekarang ini, gereja belum sepenuhnya menjangkau anak-anak yang
berkebutuhan khusus dan bahkan belum ada pelayanan khusus yang dilakukan oleh
gereja terhadap mereka. Dalam konsep diatas sangat jelas bahwa diakonia
merupakan pelayanan yang melihat dan menjangkau orang-orang yang terpinggirkan
menuju hidup yang berkualitas dan sama dengan yang lain. Tetapi kenyataannya
belum dilakukan oleh gereja. Ini menjadi sebuah wacana yang masih terdengar asing
bagi gereja padahal hal ini menjadi salah satu tujuan utama.
24
J.L.Ch. Abineno, Sekitar Diakonia Gereja, (Jakarta:BPK-Gunung Mulia, 1976) , 54.
Thomas Norman, Teks-teks Klasik Tentang Misi dan Kekristenan Sedunia: Melengkapi
Adikarya David, J.Bosch Transformasi Misi Kristen. (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2001), 359.
25
20
2.2.1
Tujuan Diakonia
Jon Sobrino, dan Juan Hernandez Pico mengatakan bahwa diakonia
dipandang sebagai sikap solidaritas yang mendalam terhadap orang lain berdasarkan
kasih. Solidaritas itu diwujudkan dalam diakonia. Artinya dalam diakonia ada sikap
tanpa pamrih, sikap yang menekankan hidup bersama dengan tidak mencari
keuntungan diri sendiri.26 Tujuan pekerjaan diakonal adalah membantu orang lain
dan menempatkannya pada posisi yang benar di hadapan sesama manusia dan Tuhan
Allah. Memperdulikan keberadaan umat manusia secara utuh yaitu kebutuhan rohani,
jasmani dan kebutuhan sosial. Tujuan diakonia juga mendukung realisasi sebuah
persekutuan cinta kasih dan membangun serta mengarahkan orang untuk hidup di
dalamnya. Oleh sebab itu, diakonia mempunyai fungsi kritis dalam jemaat maupun di
dalam masyarakat.27 Jadi, kasih merupakan inti dari pelayanan diakonia tanpa kasih
maka pelayanan yang dilakukan tidak akan berarti apa-apa bagi yang dilayani.
Pelayanan yang dilakukan juga harus melihat kebutuhan secara menyeluruh atau
holistik dari yang dilayani sehingga dengan demikian maka pelayanan yang
dilakukan menjadi sebuah pelayanan yang bermakna.
2.2.2
Bentuk-bentuk Diakonia Dalam Gereja Dan Perkembangannya
J. C. Sikkel mengatakan bahwa “The Church can live without buildings,
without diakonea the church dies”. Secara teologis ini berarti, bahwa diakonia adalah
nafas gereja, ia baru menjadi gereja bila ia melakukan diakonia. Diakonia, jika dilihat
26
Jon Sobrino dan Juan Hernandez Pico, Teologi Solidaritas, (Yogyakarta: Kanisius, 1988),
14-76.
27
Ibid., 76.
21
dari segi karakteristik menghasilkan tiga model diakonia. Yang pertama diakonia
karitatif, kedua diakonia reformatif, dan yang ketiga diakonia transformatif. 28
1) Diakonia karitatif ini adalah model diakonia yang secara tradisional dilakukan
oleh beberapa gereja sampai saat ini. Pelayanan gereja dalam model diakonia ini
terutama pada tindakan-tindakan karitatif (amal). Ciri-ciri diakonia karitatif
adalah:
a. Diakonia ini dilakukan tanpa terlebih dahulu melakukan analisa sosial-politik
tentang penyebab kemiskinan.
b. Bantuan yang diberikan langsung dapat dirasakan oleh si korban.
c. Hanya cocok untuk membantu korban bencana alam saja.
d. Didukung oleh penguasa karena mempertahankan status quo.
e. Dilakukan dengan maksud yang sangat sempit, seperti agar korban pindah
agama atau mendukung suatu partai tertentu.
f. Mengandalkan kekuatan moral orang kaya.
2) Diakonia reformatif ini lebih menekankan pada aspek pembangunan, pendekatan
yang dilakukan adalah dengan community development, seperti pembangunan
pusat kesehatan, penyuluhan, bimas, dan koperasi. Karakteristik diakonia ini
dapat dilihat sebagai berikut:
28
Brahmana S, Diakonia Transformatif: Bentuk Kepedulian Umat Allah, (Majalah LINK
Jubilee School, Volume 4, 2008), 1-2.
22
a. Lebih berorientasi pada pembangunan lembaga formal, tanpa perombakan
struktur san sistem yang ada.
b. Sudah menggunakan analisa sosial-kultural, namun tidak menggunakan
analisis struktural.
c. Pendekatan pelayanan ini masih bersifat top down, dalam model ini
masyarakat belum sepenuhnya menjadi pelaku sejarah yang menentukan
masa depannya sendiri.
3) Diakonia transformatif. Diakonia ini dipelopori oleh gereja di Amerika Latin
untuk menjawab kemiskinan yang sangat parah di situ. Dalam diakonia ini,
bukan hanya memberi makan, minum, pakaian, pembangunan, dan seterusnya,
namun bagaimana bersama masyarakat memperjuangkan hak-hak hidup seperti
hak makan, minum, pakaian, nafas, kerja, lingkungan yang sehat, yang telah
hilang karena dirampas oleh pihak lain atau yang menindas. Intinya melihat akses
untuk mengontrol kebijakan public, yang menyangkut nasib hidup mereka. Kita
butuh nasi, namun kita ingin memperolehnya dengan keadilan. Kita butuh nasi,
namun kita ingin memperolehnya dengan kebebasan. Kita butuh nasi, namun kita
ingin memperolehnya dengan martabat dan pengharapan (dignity and hope). Hak
hidup yang lebih manusiawi dan beradap inilah yang menjadi orientasi diakonia
transformatif.
23
2.3 Pelayanan Holistik
Bentuk pelayanan holistik semata-mata bukanlah milik dari gereja atau
lembaga pelayanan Kristen, tetapi juga dilakukan oleh lembaga-lembaga lain di
luar kekristenan. Tetapi, dari pelayanan yang dilakukannya, ada hal yang sangat
penting yang membuat pelayanan holistik gerejawi berbeda dengan pelayanan
lainnya. Hal prinsipil yang membuat pelayanan holistik gerejawi berbeda dari
pelayanan holistik lainnya, yaitu:29
Pertama, motivasi dari pelayanan itu sendiri. Motivasi pelayanan kristiani
adalah pelayanan Kristus sendiri. Artinya sebelum pelayanan ini dilakukan
karena keinginan untuk melayani Kristus, atau lebih tepat lagi melayani Kristus
melalui pelayanan kepada sesama, oleh karena Kristus telah lebih dahulu
melayani umat-Nya.
Kedua, yang harus menjadi pendorong melakukan sesuatu pelayanan adalah
karena ketaatan kepada Kristus. Allah menghendaki supaya orang percaya
saling melayani satu sama lain. Tuhan Yesus di dalam Yohanes 13:14-15
mengatakan, “Jadi jikalau Aku membasuh kakimu, Aku yang adalah Tuhan dan
Gurumu, maka kamu pun wajib saling membasuh kakimu; sebab Aku telah
memberikan suatu teladan kepada kamu, supaya kamu juga berbuat sama seperti
yang telah Kuperbuat kepadamu.” Pelayanan adalah suatu kewajiban yang harus
dilakukan oleh setiap orang Kristen. Dengan demikian, tidak melakukan
29
Reinhard Jeffray Berhiu, Peran Gembala Jemaat Terhadap Pengembangan Pelayanan
Holistik di Gereja Kemah Injil Indonesia Jemaat Yegar Sahaduta Jayapura. (Jurnal: Sekolah Tinggi
Teologi Levinus Rumaseb Jayapura, 2014), 274-275
24
pelayanan adalah contoh ketidaktaatan kepada Kristus. Melayani bukan supaya
memperoleh sesuatu, tetapi sebaliknya, karena telah memperoleh sesuatu dari
Allah.
Ketiga, yang membuat pelayanan Kristiani itu berbeda adalah karena
pelayanan Kristiani berpola pada pelayanan Kristus sendiri (Yohanes 12:26;
13:14). Adapun pola pelayanan Yesus adalah: (a) Pelayanan Kristus ditentukan
oleh ketaatan yang sepenuhnya kepada Allah dan kasih kepada sesama manusia.
Orientasi pelayanan Kristiani adalah kehendak Allah dan kebutuhan mereka
yang dilayani. Bukan kepentingan pribadi.; (b) Pelayanan Kristus diwujudkan
dalam bentuk identifikasi dan solidaritas (Yohanes 1:12; Filipi 2:7). Tidak
berdiri lebih tinggi (filantropis), tetapi juga tidak duduk lebih rendah daripada
yang dilayani, melainkan menempatkan diri sepenuhnya pada tempat mereka
yang dilayani. Ikut merasakan apa yang dirasakan oleh mereka yang dilayani.
Oleh karena itu pelayanan kristiani harus disertai dengan respek, simpati, dan
empati yang dalam; (c) Pelayanan Kristus adalah pelayanan yang holistik,
artinya pelayanan yang utuh dan menyeluruh. Oleh karena itu, pelayanan
Kristiani adalah mewujudkan Injil yang utuh bagi manusia yang utuh. Holistik
artinya melihat kebutuhan manusia baik kebutuhan-kebutuhan individualnya
maupun sosialnya baik kebutuhan-kebutuhan fisik, psikis maupun kebutuhan
spiritualnya, baik kebutuhan-kebutuhan sekarang di bumi ini maupun nanti
setelah mati, dan sebagainya.
Holistik adalah suatu pemikiran yang menyatakan bahwa sistem alam
semesta, baik yang bersifat fisik, mental, sosial dan spiritual, serta segala
25
kelengkapannya harus dipandang sebagai sesuatu yang utuh dan bukan
merupakan kesatuan dari bagian-bagian yang terpisah. Dari kelengkapannya
tersebut, maka permasalahan yang menerpa merupakan masalah kompleks. Oleh
karena itu, solusi atau cara yang ditawarkan dalam memberikan jawaban atas
permasalahannya harus tepat pada sasaran berkenaan dengan kebutuhan manusia
tersebut.
Manusia merupakan makhluk holistik berasal dari kata sifat wholistic (huruf
w tidak terbaca dalam penuturannya) dalam bahasa Inggris. Kemudian dalam
bahasa Inggris logat Amerika disederhanakan menjadi holistik (dalam beberapa
dialek lokal Amerika huruf h tidak terbaca dalam penuturannya). Dalam bahasa
Indonesia menjadi holistik.30 Kata ini mempunyai arti lengkap, utuh, dan
sempurna. Dalam kaitannya dengan menolong sesama, pertolongan yang
diberikan hendaknya merupakan suatu pertolongan yang lengkap dan utuh,
sesuai dengan eksistensinya sebagai manusia.
Holistik adalah satu pendekatan praktis dari konsep holisme yang
menjelaskan fenomena dalam kaitan dengan fungsi (maksud, kegiatan) dari
suatu keseluruhan (bentuk, totalitas, kesatuan) yang menjadi prinsip penuntun
bagian-bagiannya. Menjelaskan kegiatan bagian-bagian dari suatu keseluruhan
dalam kaitan dengan fungsi keseluruhan itu.
31
Holisme adalah cara pandang
yang juga melihat individu sebagai satu sistem organisme. Sebagai satu
organisme maka individu dianggap lebih daripada kumpulan dari bagian-
30
31
Aart Van Beek, Pendampingan Pastoral, (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2007), 35.
Lorens Bagus, Kamus Filsafat, (Jakarta: Gramedia Pustaka, 1996), 293.
26
bagiannya. Menurut prinsip ini, sebuah gangguan kecil pada bagian tubuh
manusia dapat mengganggu perkembangan dan tingkah laku.32
Menurut Abraham Maslow, holisme menegaskan bahwa organisme selalu
bertingkah laku sebagai kesatuan yang utuh, bukan sebagai rangkaian bagian
dari suatu kesatuan, dan apa yang terjadi pada bagian yang satu akan
mempengaruhi bagian yang lain. Pandangan holistik dalam kepribadian yang
terpenting adalah:33
a. Kepribadian normal ditandai dengan unitas, integrasi, konsistensi, dan
koherensi. Organisasi adalah keadaan normal dan disorganisasi adalah
keadaan petologis (sakit).
b. Organisme dapat dianalisis dengan membedakan tiap bagiannya, tetapi tidak
ada bagian yang dapat dipelajari dalam isolasi.
c. Organisme memiliki suatu dorongan yang berkuasa, yaitu aktualisasi diri.
d. Pengaruh lingkungan eksternal pada perkembangan normal bersifat minimal.
Potensi organisme jika bisa terkuak di lingkungan yang akan menghasilkan
kepribadian yang sehat dan integral.
Bagi Maslow, manusia tidak pernah diam, tetapi selalu dalam proses untuk
menjadi sesuatu yang lain dari sebelumnya. Namun demikian perubahan tersebut
membutuhkan persyaratan, yaitu adanya lingkungan yang bersifat mendukung.
32
Robert Gwinn, The New Encyclopedia Britanica-Vol.25 (Chicago: The University of
Chicago, 1989), 686.
33
Kunjojo, Pendidikan Bimbingan dan Konseling, (Kediri: Universitas Nusantara PGRI,
2009), 37-38.
27
Selanjutnya Erikson, Tomlin dan Swain (dalam Marriner-Tomey, 1994) juga
mengemukakan tentang holism, yang memandang bahwa manusia adalah individu
secara keseluruhan yang terdiri dari banyak subsistem yang saling ketergantungan
dan tidak dapat dipisahkan. Hal ini terkait dengan pembawaan yang berhubungan
dengan keturunan dan pengendalian spiritual. Tubuh, pikiran, emosi dan semangat
merupakan unit keseluruhan yang sifatnya dinamis. Bersifat saling mempengaruhi
dan mengendalikan satu sama lain. Interaksi dari berbagai subsistem ini tidak dapat
dipisahkan, yang akhirnya menghasilkan holism.34
Berdasarkan berbagai pandangan perihal konsep holistik, maka secara
teologis dimensi holistik telah tampak melalui istilah shalom dalam Perjanjian lama.
Istilah ini mempunyai arti yang sangat luas berkenaan dengan keadaan sejahtera pada
seseorang. Secara literal, kata shalom mempunyai arti sehat, aman, dan sejahtera.
Bila memiliki akar kata Ibrani, kata shalom berasal dari kata ‘sh-l-m’. Menurut
Evans, ada tiga konsep dalam kata shalom, yaitu “totality (the adjective shalem is
translated ‘whole’), well-being, and harmony”.35 Konsep tersebut merupakan
cakupan dari kata shalom, yang menyangkut keseluruhan aspek hidup manusia
secara total, tetapi tetap selaras dengan ciptaan Tuhan, baik sesama dan alam sekitar.
Shalom menunjuk pada waktu yang sama secara keseluruhan, berdasarkan fakta yang
utuh.
Aspek holistik lain pada manusia tampak dalam kisah penciptaan yang
tertuang dalam Kejadian pasal 1. Pada kisah tersebut tampak dengan jelas bahwa
34
Rufaidah, Konsep Holistik dalam keperawatan melalui pendekatam model adaptasi sister
Callista Roy, (Sumatra Utara: Jurnal Keperawatan, 2006), 2.
35
Evans, CF. “Peace”, (A theological Word Book of the Bible, 1950), 165.
28
Tuhan menetapkan manusia dengan unik dan disertai dengan berbagai macam aspek
kemanusiaannya.36 Konsep manusia sebagai makhluk holistik tidak dapat
dikesampingkan. Berbagai gejala yang terjadi dalam hidup manusia, baik berupa
permasalahan maupun penyakit selalu berhubungan dengan beberapa aspek dalam
hidup manusia.
Wiryasaputra mencoba menformulasikan keberagaman aspek hidup manusia
ke dalam empat aspek yaitu37:
1) Aspek fisik: aspek ini berkaitan dengan bagian yang tampak dari hidup manusia.
Aspek fisik mengarah kepada apa yang dapat disentuh, dilihat dan diraba. Hal ini
berkaitan pula dengan kebutuhan jasmani dari manusia. Bila dirinci maka aspek
itu meliputi pelayanan medis, sistematik tubuh atau metabolisme tubuh, gerak
badan, rileks-istirahat, dan lingkungan alam sekitar.
2) Aspek mental: Aspek ini berkaitan dengan pikiran , emosi dan kepribadian
manusia. Hal ini juga menyangkut dengan cipta, rasa karsa, motivasi, dan
integrasi dari manusia. Bagian ini meliputi pula pada hubungan seseorang dengan
bagian dalam dirinya (batin, jiwa). Adapun rincian dalam aspek ini adalah kasih
sayang baik memberi atau menerima, kedewasaan emosional, integritas diri,
kemampuan intelektual, kreativitas diri, ekspresi diri, kebanggaan diri, rasa
keindahan atau estetika, identitas seksualitas, dan perasaan aman serta nyaman.
36
Fibry Jati Nugroho, Pendampingan Pastoral Holistik di Megachurch, (Tesis: Fakultas
Teologi 2010), 29.
37
Ibid., 31.
29
3) Aspek Spiritual: bagian ini menyangkut tentang hubungan dengan jati diri
manusia. Manusia secara khusus dapat berhubungan dengan sang pencipta.
Aspek ini mengacu kepada sesuatu yang berada jauh di luar jangkauan nya. Pada
bagian ini memungkinkan manusia untuk berhubungan dengan dunia lain (gaib).
Bila dirinci, maka bagian ini meliputi, doa, kontemplasi, rasa manunggal
bersekutu dengan sang maha kuasa, pengharapan akan masa depan, visi hidup,
rasa bersyukur, identifikasi komunitas, relasi dengan komunitas percaya, nilainilai mulia, dan kesalehan.
4) Aspek sosial: aspek ini berkaitan dengan keberadaan manusia yang tidak
mungkin berdiri sendiri. Manusia harus dilihat dalam hubungannya dengan pihak
luar secara horizontal, yakni Dunia sekelilingnya. Manusia dalam kaitannya
dengan aspek sosial tidak dapat terlepas dari relasi dan interaksi. Aspek sosial
meliputi kondisi ekonomi yang memungkinkan seseorang hidup layak,
kemampuan keuangan dan pekerjaan, kualitas pendidikan untuk menopang
kehidupan, kondisi perpolitikan yang memungkinkan seseorang bertumbuh guna
mengekspresikan diri, identifikasi kultural, kondisi adat istiadat, hubungan
dengan anggota keluarga, hubungan dengan teman, hubungan dengan lingkungan
sosial, serta keterlibatan dalam aktivitas lingkungan.38
Keempat aspek tersebut di atas saling berkaitan satu dengan yang lain,
serta saling mempengaruhi secara sistemik dan sinergik membentuk eksistensi
manusia sebagai keutuhan dan bertumbuh kepada aktualisasi dirinya. Gambar
dari kesatuan aspek tersebut tampak dalam diagram berikut:
38
Ibid, 39.
30
Pada keempat aspek tersebut ada beberapa bagian yang saling berumpitan.
Gambar diatas menunjukkan bahwa aspek-aspek hidup manusia dapat dibedakan,
tetapi tidak dapat dipisahkan. Keempat aspek itu saling berkaitan dan
mempengaruhi.39 Oleh sebab itu dalam melakukan pelayanan perlu memperhatikan
keempat aspek ini sebagai sebuah kesatuan yang tidak dapat dipisahkan. Karena
apabila dipisahan maka pelayanan yang dilakukan belum bersifat holistik.
Terkait dengan apa yang telah dijelaskan oleh Totok mengenai empat aspek
holistik diatas maka Clinebell menambahkan sebuah konsep pendampingan pastoral
holistik. Seperti diketahui bahwa gereja merupakan alat perpanjangan tangan Tuhan
yang di dalamnya memiliki tugas untuk melayani umat dengan berbagai latar
belakang kehidupan. Untuk menjalankan misi pelayanan yang holistik maka sudah
pasti bahwa pelayan atau pastor harus memiliki tanggung jawab yang besar dalam
membangun sebuah pelayanan yang utuh sama seperti yang telah di lakukan oleh
Yesus. Pastor memiliki peranan yang sentral dalam kehidupan gereja. Tetapi
pelayanan yang dilakukan akan berjalan dengan baik ketika pastor tidak bekerja
sendiri tetapi melibatkan semua pihak yang ada di dalam gereja untuk membantu
mewujudkan pelayanan yang utuh.
39
Ibid., 41.
31
Clinebell menegaskan bahwa duniawi gerejawi mengenal pendampingan
pastoral hanya sebatas sebagai tugas pendeta. Pendeta dijadikan sebagai orang yang
bertanggung jawab dalam pengembalaan. Seiring dengan perkembangan zaman,
permasalahn manusia yang semakin kompleks dan pertumbuhan jemaat yang
semakin meningkat, maka paradigma tentang pendampingan pun semakin
berkembang agar dapat menjawab tantangan dan kebutuhan jemaat. Clinebell
kemudian memberi pernyataan, bahwa pendampingan pastoral mencakup pelayanan
yang saling menyembuhkan dan menumbuhkan di dalam suatu jemaat dan
komunitasnya sepanjang perjalanan hidup mereka.40 Sejalan dengan hal ini, Janse
van Rensburg berpendapat bahwa this means that pastoral care and the other aspects
of ministry, including Christian charity, evangelism and actions of empowerment
should be see as aspects of the same action, as the expression goes, two sides of the
same coin.41 Dari pendapat kedua tokoh tersebut semakin memperkuat bahwa
diperlukan orang lain yang membantu pendeta dalam melakukan pendampingan
pastoral secara utuh.
Clinebell merupakan tokoh konseling pastoral yang gemar mendengungkan
pendampingan pastoral holistik. Pada beberapa tulisannya, Clinebell menyatakan
bahwa pendampingan dan konseling pastoral harus menekankan pada pembebasan
dan pertumbuhan diri manusia secara menyeluruh. Clinebell menyatakan
pemikirannya di dalam bukunya yang berjudul Grow Counseling bahwa ada enam
40
Howard Clinebell, Tipe-tipe Dasar Pendampingan dan Konseling Pastoral, (Yogyakarta:
Kanisius, 2002), 32.
41
Janse Van Rensburg, J.,2010, ‘ A Holistic approach to pastoral care and poverty,’ Verbum
et Ecclesia 31 (1), Art. #386,7 pages.DOI: 10.4102/ve.v3 1i1.386.,Education Research Complete,
EBSCOhost (accessed March 11, 2015).
32
dimensi dalam pertumbuhan manusia. Adapun dimensi ini meliputi Inner growth
enlivening one’s mind, revitalizing one’s body, renewing our relationships, growth in
relating to the biosphere, growth in relation to organizations and institutions,
spiritual growth.42 Clinebell berpendapat bahwa keenam dimensi ini yang
merupakan dimensi yang harus ditumbuhkan dengan seimbang guna terwujudnya
keutuhan diri manusia.
Clinebell menekankan bahwa melalui pendampingan yang dilakukan oleh
gereja, jemaat dapat menemukan keutuhan di dalam hidupnya. Oleh Sebab itu,
Pendampingan pastoral dan konseling harus bersifat holistik (menyeluruh)
artinya berusaha untuk memungkinkan penyembuhan dan pertumbuhan keutuhan
manusia dalam dimensinya. Model itu berorientasi pada sistem-sistem, artinya
keutuhan orang dilihat dalam keterlibatannya dalam hubungan-hubungannya yang
penting dan saling ketergantungannya dengan orang-orang, kelompok-kelompok dan
institusi-institusi.43
Keutuhan tersebut dapat diperoleh, apabila paradigma pendampingan pastoral
ini dimengerti pula oleh pendeta. Pendeta merupakan pelatih yang bertanggung
jawab untuk memampukan anggota jemaat saling melayani, disamping menjalankan
pelayanan diri sendiri yang unik dan berharga. 44
Clinebell mengemukakan, bahwa keenam aspek dalam kehidupan manusia
tersebut saling terkait satu dengan yang lainnya. Apabila salah satu aspek belum
42
Howard Clinebell, Growth Counseling, (Nashville: Abingdon, 1982), 19.
Howard Clinebell,ed.Anne Homes, Tipe-tipe Dasar Pendanpingan dan Konseling Pastoral
(Yogyakarta: Kanisius, 2002) 33.
44
Ibid., 33.
43
33
dapat terpenuhi, maka akan berdampak pada laju pertumbuhan hidup seseorang.
Pendampingan pastoral yang dilakukan oleh gereja dimaksudkan membantu
seseorang untuk dapat menemukan keutuhan hidup. Oleh sebab itu, penanganan yang
dilakukan oleh gereja harus meliputi keenam aspek hidup manusia. Teori Clinebell
menyatakan bahwa pendampingan pastoral holistik merupakan tugas dari gereja,
yang membawa keutuhan dalam kehidupan manusia.
Oleh karena itu dalam pembahasan ini dapat dikatakan bahwa gereja adalah
wadah dimana Allah mengutus umat-Nya untuk melanjutkan misi-Nya yang telah
dilakukan untuk menyelamatkan dan membebaskan manusia dari belenggu dosa dan
mendapat kehidupan yang sejahtera. Sehingga kehadiran gereja diharapkan dapat
menerapkan pelayanan yang totalitas sama seperti yang dilakukan oleh Yesus semasa
pelayanan-Nya. Gereja berfungsi sebagai garam dan terang dunia yang membawa
damai dan sukacita bagi sekelilingnya. Pelayanan yang dilakukan harus menjangkau
semua.
Keutuhan itulah yang menjadi visi kedatangan, kehidupan dan pelayanan
Yesus hingga memberikan nyawa-Nya, yakni agar domba-domba-Nya mengalami
kelimpahan dalam segala aspek hidup. Pendekatan Yesus tidak pernah menunjukan
penyakit sebagai hukuman Allah, tidak pernah menekankan soal atau sumber
penyebab. Tetapi Ia menekankan pentingnya setiap orang memiliki relasi dengan
Allah dan mengalami kelimpahan baik fisik, mental, sosial maupun rohani. Dengan
melihat pelayanan yang dilakukan oleh Yesus maka gereja pun terpanggil untuk
dapat menolong dan melayani semua orang tanpa melihat apa yang dialami sebagai
sesuatu yang perlu dihindari tetapi harus dilayani dengan sepenuh hati. Pelayanan
34
yang dilakukan tidak hanya kepada orang yang sehat saja tetapi harus juga kepada
mereka yang menderita sakit penyakit atau yang mengalami keterbelakangan mental
sehingga melalui pelayanan yang di lakukan mereka dapat merasakan sukacita dan
penghargaan sebagai manusia yang berharga sama seperti yang sehat.
2.4
Anak Autis
2.4.1
Anak dan perkembangan
Anak (jamak: anak-anak adalah seorang laki-laki atau perempuan yang belum
dewasa atau belum mengalami masa pubertas. Anak merupakan keturunan kedua, di
mana kata "anak" merujuk pada lawan dari orang tua, orang dewasa adalah anak dari
orang tua mereka, meskipun mereka telah dewasa. Menurut psikologi, anak adalah
periode pekembangan yang merentang dari masa bayi hingga usia lima atau enam
tahun, periode ini biasanya disebut dengan periode prasekolah, kemudian
berkembang setara dengan tahun tahun sekolah dasar.45 Dalam tulisan ini saya akan
melakukan penelitian kepada anak-anak khususnya yang berusia 6-12 tahun di mana
anak-anak dalam usia ini diharuskan untuk bisa menjalin interaksi dan membangun
komunikasi dengan teman sebaya di lingkungan bermain, sekolah maupun dalam
masyarakat dimana mereka tinggal.
Secara pribadi setiap anak akan mengembangkan pola reaksi masing-masing
terhadap rangsangan/kejadian yang dialaminya, dan setiap anak akan berkembang
45
http://id.wikipedia.org/wiki/Anak . Diakses 22/10/2014 13:26 AM
35
sesuai dengan tempo dan kecepatan masing-masing. Manusia merupakan suatu
keutuhan dimana perkembangan aspek fisik, mental, sosial dan spiritual saling
berkaitan. Perkembangan itu sendiri merupakan rangkaian perubahan yang bersifat
maju berkelanjutan, teratur, mulai dari yang global sebelum menuju kepada yang
paling sederhana kemudian terarah ke yang majemuk. Perkembangan ini terjadi
karena faktor belajar yang dikarenakan pengaruh lingkungan. Perkembangan setiap
manusia selalu melalui beberapa tahapan, dimana setiap tahap kehidupan mempunyai
ciri masing-masing. Anak berkembang melalui tahapan dan setiap peningkatan usia
kronologis akan menampilkan ciri-ciri perkembangan yang khas.
Perkembangan dalam artian yang sempit bisa disebutkan sebagai proses
pematangan fungsi-fungsi yang non-fisik. Perkembangan anak tidak berlangsung
secara mekhanis-otomatis. Sebab perkembangan tersebut sangat bergantung pada
beberapa faktor secara simultan. Yaitu: (1) faktor herediter (warisan sejak lahir), (2)
faktor lingkungan yang menguntungkan, (3) kematangan fungsi-fungsi organis dan
fungsi-fungsi psikhis, dan (4) aktivitass anak sebagai subyek bebas yang
berkemauan (anak bisa mengadakan seleksi, bisa menolak atau menyetujui, dan
mempunyai emosi).46
Jadi setiap fenomena perkembangan yang terjadi pada anak tidak dapat
dilepaskan dari beberapa faktor tadi apabila salah satu terabaikan maka akan terjadi
penyimpangan perilaku pada anak karena perkembangan yang dinamis itu didasari
oleh faktor-faktor tadi.
46
Kartini Kartono, Psikologi Anak, (Bandung: Penerbit Alumni, 1979) , 32.
36
2.4.2 Prinsip-prinsip perkembangan anak47
a.
Pertumbuhan sebagai proses menjadi
Pertumbuhan dan perkembangan pada setiap organisme itu mempunyai
prinsip: selalu berproses untuk “menjadi”. Sehubungan dengan ini, organisme
tersebut merupakan sistem yang hidup. Dan merupakan sistim yang terbuka, karena
selalu mengalami kemajuan dan perubahan. Sifatnya tidak statis, akan tetapi dinamis.
Perkembangan yang dinamis itu didasari oleh faktor-faktor hereditas (pembawaan
kodrati), distimulir oleh pengaruh lingkungan atau alam sekitar, dan diperlancar oleh
usaha belajar.
b.
Panduan antara dorongan-dorongan mempertahankan diri dan
pengembangan diri
Pada setiap proses perkembangan terdapat perpaduan antara dorongan
mempertahnkan diri dan dorongan mengembangkan diri. Pada setiap orang itu
terdapat dorongan fisis dan psikhis untuk mempertahankan diri dan mempertahankan
hidupnya.
c.
Individualitas anak dan perbedaan individual
Sejak saat kelahirannya, bayi itu sudah menampakkan ciri-ciri dan tingkah
laku karakteristik yang individuil. Anak menampilkan nilai dan martabat sendiri.
Yaitu memiliki sistim-penilaian kanak-kanak, menurut kriteria dan norma anak
sendiri. Oleh karena itu tugas pendidikan ialah: melengkapkan martabat-manusiawi
47
Ibid., 46-50.
37
anak, sehingga lambat laun anak sanggup mengangkat diri dan mampu mencapai
martabat manusiawinya secara penuh.
d.
Anak sebagai makhluk sosial
Teori tentang perkembangan dan pertumbuhan tidak hanya memperhatikan
individualitas anak tetapi juga memperhatikan masyarakat atau lingkungan
anak dimana ia diasuh dan didewasakan. Lingkungan sosial inilah yang
memberikan fasilitas dan arena-bermain pada anak untuk pelaksanaan
realisasi-diri. Oleh sebab itu, humanitas atau kemanusiaan itu bukan “murni
milik pribadi”, akan tetapi sesuatu taraf yang berproses di dalam lingkungan
manusia. Anak akan menemukan diri sendiri dalam relasinya dengan manusia
lain; terutama dalam relasi dengan ibu, ayah, kakak-kakak, keluarga dekat dan
lingkungan tetangga. Anak manusia itu tidak mungkin bertahan hidup
(survive) tanpa masyarakat, tanpa lingkungan sosial tertentu.
2.4.3 Autis
Pada masa perkembangannya, anak-anak akan menjalani proses belajar yang akan
mengarahkan pada pertumbuhan yang sempurna. Namun berbagai kendala tidak menutup
kemungkinan menghalangi perkembangan anak. Seperti adanya gangguan autis yang sampai
saat ini menjadi salah satu gangguan yang banyak dialami oleh anak-anak tanpa memandang
etnis atau ras. Beberapa kriteria yang menunjukkan gejala autis antara lain, adanya gangguan
sosial dan emosional, gangguan komunikasi dan terdapat tindakan repetitif. Autis
merupakan suatu gangguan perkembangan pada anak yang sifatnya kompleks dan
38
berat, biasanya telah terlihat sebelum berumur 3 tahun, anak tidak mampu untuk
berkomunikasi dan mengekspresikan perasaan maupun keinginannya. Akibatnya
perilaku dan hubungannya dengan orang lain menjadi terganggu, sehingga keadaan
ini akan sangat mempengaruhi perkembangan anak selanjutnya.
2.4.4
Pengertian Autis
Monks dkk. (1988) menuliskan bahwa autis berasal dari kata “Autos” yang
berarti “Aku”. Dalam pengertian non ilmiah dapat diinterpretasikan bahwa semua
anak yang mengarah kepada dirinya sendiri disebut autis”. Berk (2003) menuliskan
autis dengan istilah absorbed in the self” (keasyikan dalam dirinya sendiri). Wall
(2004) menyebutnya sebagai “aloof atau withdrawan” dimana anak-anak dengan
gangguan autis ini tidak tertarik dengan dunia di sekitarnya. Hal yang senada
diungkapkan oleh Titon (2004) bahwa pemberian nama autis karena hal ini diyakini
dari “keasyikan yang berlebihan” dalam dirinya sendiri. Jadi, autis dapat diartikan
secara sederhana sebagai anak yang suka menyendiri/asyik dengan dunianya sendiri.
48
Sedangkan dalam istilah Autisme, jika Autos berarti diri sendiri dan akhiran “Isme”
berarti suatu aliran, maka autisme adalah suatu aliran paham yang tertarik hanya
pada dunianya sendiri.49 Menurut Zelan (2004) seperti yang dikutip oleh Ginanjar,
berpendapat bahwa individu autistik berbeda dengan individu lain sehingga perlu
didekati dengan pendekatan humanistik yang memandang mereka sebagai individu
yang utuh dan unik.50
48
Hasdianah HR, Autis Pada Anak Pencegahan, Perawatan, dan Pengobatan, (Yogyakarta:
Nuha Medika, 2013), 64-65.
49
Rudy Sutadi, dkk, Penatalaksanaan Holistik Autisme, ( Jakarta: PIPIPD Fak. Kedokteran
UI, 2003), 3-5.
50
Adriana Soekandar Ginanjar, Memahami Spectrum Autisme Secara Holistik, (Makara:
Sosial Humaniora, VOL. 11, NO. 2, 2007), 88.
39
Autisme merupakan sebuah gangguan dalam perkembangan mental yang
ditengarai oleh tiga kerusakan yaitu, gangguan sebuah komunikasi, sosialisasi, dan
imajinasi serta perilaku-perilaku yang repetitive. Efek selanjutnya yakni timbulnya
keterbelakangan mental dan inteligensi. Namun demikian, penyandang autis ini
dapat dideteksi sejak dini dan dapat diperbaiki. Artinya yang disandangnya dapat
dikurangi bahkan bisa dihilangkan perlahan-lahan, sehingga mereka dapat berbaur
dengan masyarakat normal. 51
Berdasarkan
beberapa
pengertian
yang
diungkapkan
diatas,
dapat
disimpulkan bahwa autis adalah suatu gangguan perkembangan yang kompleks,
berkaitan dengan gangguan pertumbuhan otak yang menyangkut bidang
komunikasi, interaksi sosial, aktivitas imajinasi, konsentrasi, dan gangguan terhadap
stabilitas sampai kehilangan keseimbangan. Sehingga menyebabkan anak autis
terbentuk sebagai pribadi yang menyendiri dan tidak dapat menjalin interaksi sosial
dengan orang-orang disekitarnya. Tetapi tidak menutup kemungkinan bahwa
penyakit ini dapat disembuhkan.
2.4.5
Penyebab Autis
Penyebab autis belum diketahui secara pasti. Beberapa ahli dan dokter di
dunia masih memperdebatkannya. Beberapa peneliti mengungkapkan terdapat
gangguan biokimia, ahli lain berpendapat bahwa autis disebabkan oleh gangguan
jiwa. Ahli lainnya berpendapat karena kombinasi makanan yang salah atau
lingkungan yang terkontaminasi zat-zat beracun sehingga mengakibatkan kerusakan
51
Mirza Maulana, Anak Autis Mendidik Anak Autis dan gangguan Mental lain menuju Anak
Cerdas dan sehat, (Yogyakarta: Katahati, 2007), 1.
40
pada usus besar yang mengakibatkan masalah dalam tingkah laku dan fisik
termasuk autis.52 Penyebab autisme hingga saat ini belum diketahui pasti. Namun,
para ahli telah sepakat bahwa kelainan ini berawal dari terganggunya perkembangan
sistem saraf penderita dan faktor genetik. Ada lagi faktor gabungan antara psikologi,
fisik, dan lingkungan sosial. Penderita autis sangat sedikit berkomunikasi, sekaligus
tidak bereaksi terhadap kontak fisik.
Anak autis menunjukan kegagalan membina hubungan interpersonal yang
ditandai dengan kurangnya respon terhadap dan atau kurangnya minat kepada orangorang atau anak-anak disekitarnya. Kekhususan pada anak autis adalah sulitnya
berkonsentrasi dan memiliki dunia sendiri, sehingga anak autis sulit berinteraksi
dengan lingkungan. Anak autis memiliki cara berpikir yang dikendalikan oleh
kebutuhan personal atau diri sendiri, menanggapi dunia berdasarkan penglihatan dan
harapan sendiri, menolak realitas dan memiliki keasyikan yang ekstrim dengan
pikiran dan fantasinya sendiri.
Secara garis besar, penyebab terjadinya kecacatan dapat disebabkan karena
faktor dari luar (lingkungan atau eksogen) dan faktor dari dalam (keturunan atau
heredity).
a.
Faktor Lingkungan
1.
Prenatal adalah masa anak sebelum akan dilahirkan atau sebelum
anak dilahirkan atau selama anak dalam kandungan, penyebabnya
52
Widodo Judarwanto, Deteksi Dini dan Skrening Autis, www.Alergianak.com, diakses 25Maret 2015. 22:12 PM
41
antara lain: pada saat ibu mengandung menderita penyakit infeksi
misalnya, campak influenza, TBC, panas yang sangat tinggi dan lain
sebagainya. Pada waktu ibu mengandung terlalu banyak minum obatobatan tanpa resep dokter, keracunan selama ibu mengandung, ketika
ibu mengandung jatuh sedemikian rupa sehingga janin menderita sakit
otak, penyebab cacat mental pada masa prenatal ini juga karena
penyiaran radiasi dengan sinar roentgen dan juga radiasi atom.53
2.
Masa natal (masa kelahiran) sebab cacat mental pada saat lahir
disebabkan ketika pada saat lahir, proses kelahirannya terlalu lama,
akibatnya otaknya kurang oksigen dan sel-sel dalam otak akan
mengalami kerusakan, penyebab cacat mental pada masa ini juga bisa
karena lahir sebelum atau bisa premature.
3.
Post natal (setelah lahir) penyebab cacat pada masa ini disebabkan
adanya gangguan di otak. Anak menderita avitaminosis, sakit yang
lama pada masa anak-anak.
4.
Faktor kultus. Yang dimaksud dengan kebudayaan yaitu faktor yang
berlangsung dalam lingkungan hidup manusia secara keseluruhan
meliputi segi-segi kehidupan sosial, psikologis, religious dan
sebagainya.
Faktor
ini
mempunyai
daya
dorong
terhadap
perkembangan kepribadian anak.54 Faktor sosio cultural ini juga
53
Farhan Setyawan, Skripsi: Pola Penanganan anak Autis Di Yayasan Sayab Ibu (YSI)
Yogyakarta, 2010, 14.
54
Ibid.,15
42
meliputi obyek dalam masyarakat atau tuntutan dari masyarakat yang
dapat berakibat tekanan pada individu dan selanjutnya melahirkan
berbagai gangguan, seperti: suasana perang dan suasana kehidupan
yang diliputi kekerasan, menjadi korban prasangka dan diskriminasi
berdasarkan suku, agama, ras, politik, dan sebagainya, perubahan
sosial dan iptek yang sangat cepat, sehingga kemampuan wajar untuk
penyesuaian.55
b.
Faktor keturunan
Pewarisan sifat-sifat induk berlangsung melalui kromosom. Kromosom
manusia normal mengandung 46 kromosom, atau dapat di katakana 23
kromosom dari laki-laki dan 23 kromosom dari perempuan. Sedangkan manusia
yang tidak normal, memiliki 45 atau 47 buah kromosom. Kromosom yang tidak
normal inilah yang membawa sifat keturunan gangguan mental.56
Gangguan Autistik dapat disebabkan oleh berbagai faktor yang saling
mempengaruhi dalam munculnya gangguan tersebut, baik itu secara biologis,
psikologis dan sosial. Tekanan psikologis yang dialami ibu dalam masa
kehamilan dapat menyebabkan permasalahan pada janin yang dikandungnya,
terutama dalam perkembangannya. Terkait dengan pernyataan yang telah
disampaikan ini, maka dapat diketahui bahwa faktor psikologis ibu pada saat
55
A Supratiknya. Mengenal Prilaku Abnormal, (Yogyakarta: Kanisius, 1995), 35.
Farhan Setyawan , Skripsi: Pola Penanganan anak Autis Di Yayasan Sayab Ibu (YSI)
Yogyakarta, 2010), 15.
56
43
mengandung membawa kerentanan pada diri subjek untuk mengalami gangguan
pada masa-masa perkembangannya.
Ciri-ciri Autis
2.4.6
Ciri-ciri anak-anak autistik yang dapat diamati sebagai berikut:57
1.
Perilaku
a. Cuek terhadap lingkungan, mondar-mandir, lari-lari, manjat-manjat,
berputar-putar, lompat-lompat.
b. Kelekatan terhadap benda tertentu
c. Perilaku tidak terarah
d. Terpukau terhadap benda yang berputar atau benda yang bergerak
2.
Interaksi Sosial
a. Tidak mau menatap mata.
b. Dipanggil tidak menoleh.
c. Tidak mau bermain dengan teman sebayanya.
d. Asyik/bermain dengan dirinya sendiri.
e. Tidak ada empati dalam lingkungan sosial.
57
Joko Yuwono (2012), Memahami Anak Autistik, (Bandung: Alfabeta, 2012), 28-29.
44
3.
Komunikasi dan bahasa
a. Terlambat bicara.
b. Tidak ada usaha untuk berkomunikasi secara non verbal dengan bahasa
tubuh.
c. Meracau dengan bahasa yang tidak dapat dipahami.
d. Membeo (echolalia).
e. Tidak memahami pembicaraan orang lain.
2.4.7
Tingkat Kecerdasan Anak Autis
Pusponegoro dan solek (2007) menyebutkan bahwa tingkat kecerdasan anak
autis dibagi menjadi 3 (tiga) bagian, yaitu:58
a. Low Functioning (IQ rendah)
Apabila penderitanya masuk dalam kategori low functioning (IQ rendah),
maka kemudian hari hamper dipastikan penderita ini tidak dapat diharapkan untuk
hidup mandiri, sepanjang hidup penderita memerlukan bantuan orang lain.
b. Medium Functioning (IQ sedang)
Apabila penderita masuk ke dalam kategori medium functioning (IQ sedang),
maka dikemudian hari masih bias hidup bermasyarakat dan penderita ini masih bias
masuk sekolah khusus yang memang dibuat untuk anak penderita autis.
58
Nadhia Ramadhani. Perilaku Pencarian Informasi Siswa Autisme Tingkat SMA: Studi
Kasus Di SLB Negeri Semarang, 2013, 25.
45
c. High Functioning (IQ tinggi)
Apabila penderitanya masuk ke dalam kategori high functioning (IQ
“tinggi”), maka dikemudian hari bisa hidup mandiri bahkan mungkin sukses dalam
pekerjaannya, dapat juga hidup bekeluarga.
Manusia dipandang memiliki potensi untuk berperilaku baik atau buruk, tepat
atau salah. Manusia mampu melakukan refleksi atas tingkah lakunya sendiri, dapat
mengatur serta mengotrol perilakunya dan dapat belajar tingkah laku baru atau dapat
mempengaruhi perilaku orang lain.59 Begitu juga dengan yang terjadi pada anak-anak
autis, dimana mereka sangat sulit dalam berperilaku yang sesuai dengan yang
diharapakan terjadi. Sehingga dari situ dibutuhkan sebuah tindakan baru yang
diterapkan untuk membantu anak autis dapat merubah tingkah lakunya yang dinilai
buruk atau tidak normal.
Pendekatan tingkah laku atau behavioral menekankan pada dimensi kognitif
individu dan menawarkan berbagai metode yang berorientasi pada tindakan (actionoriented) untuk membantu mengambil langkah yang jelas dalam mengubah tigkah
laku.60
Dalam menyikapi problem tingkah laku, ABA adalah sebuah teknik yang
digunakan sebagai treatment untuk penderita autis.
2.4.8 Penanganan Autis
59
60
Gantina Komalasari dkk, Teori dan Teknik Konseling. (Jakarta: PT Indeks, 2011), 152.
Gantina Komalasari dkk, Teori dan Teknik Konseling. (Jakarta: PT Indeks, 2011), 141.
46
Terapi Applied Behavior Analysis (ABA) sering digunakan untuk
penanganan anak autistik. Terapi ini sangat representatif bagi penanggulangan anak
spesial dengan gejala autisme. Sebab, memiliki prinsip yang terukur, terarah dan
sistematis; juga variasi yang diajarkan luas; sehingga dapat meningkatkan
keterampilan komunikasi, sosial dan motorik halus maupun kasar. Terapi ABA
adalah metode tatalaksana perilaku yang berkembang sejak puluhan tahun,
ditemukan psikolog Amerika, Universitas California Los Angeles, Amerika Serikat,
Ivar O. Lovaas. Sekitar tahun 1970, ia memulai eksperimen dengan cara
mengaplikasikan teori B.F. Skinner, Operant Conditioning. Di dalam teori ini
disebutkan suatu pola perilaku akan menjadi mantap jika perilaku itu diperoleh si
pelaku (penguat positif) karena mengakibatkan hilangnya hal-hal yang tidak
diinginkan (penguat negatif). Sementara suatu perilaku tertentu akan hilang bila
perilaku itu diulang terus-menerus dan mengalami sesuatu yang tidak menyenangkan
(hukuman) atau hilangnya hal-hal yang menyenangkan si pelaku (penghapusan).61
Modifikasi perilaku intensif yang menggunakan teknik operant counditioning
yang disebut Applied Behavior Analysis (ABA) (analisis perilaku terapan)
merupakan pendekatan paling menjanjikan untuk manangani autisme. Terapis ABA
memfokuskan pada menangani simtom spesifik autisme, termasuk defisit
komunikasi, tidak adanya ketrampilan mengurus diri, dan perilaku menstimulasi-diri
atau merusak-diri. Jika tujuan pertama ABA adalah untuk mengidentifikasi perilaku
target yang sangat spesifik, tujuan yang kedua adalah untuk mendapatkan control
atas perilaku ini melalui penggunaan reinforcement ( penguatan) dan hukuman.
61
https://sittaresmiyanti.wordpress.com/2009/04/03/terapi-aba-anak-autistik/ diunduh 15-052015 Pukul 17:06 PM
47
Berbeda dengan anak-anak normal, yang diperkuat oleh minat dan persetujuan sosial,
anak-anak penderita autisme sering kali tidak merespon pujian wajar, atau mereka
mungkin menganggap segala jenis interaksi sosial tidak menyenangkan. Untuk
ulasan ini, usaha sukses anak harus di-reward berulang-ulang dengan penguat primer
seperti makanan kesukaan, peling tidak di fase-fase awal penanganan.62
62
Thomas F. Oltmanns. Psikologi Abnormal. (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2013), 238.
48
Download