BAB I MANAJEMEN KURIKULUM PENDIDIKAN ISLAM

advertisement
BAB I
MANAJEMEN KURIKULUM
PENDIDIKAN ISLAM
A. Pengertian Manajemen Kurikulum Pendidikan Islam
Manajemen kurikulum pendidikan Islam pada dasarnya gabungan tiga
suku kata yaitu: manajemen, kurikulum dan pendidikan Islam.
Manajemen merupakan suatu ilmu/seni yang berisi aktivitas
perencanaan (planning), pengorganisasian (organizing), pelaksanaan
(actuating), dan pengendalian (controlling)dalam menyelesaikan segala
urusan dengan memanfaatkan semua sumberdaya yang ada melalui
orang lain agar mencapai tujuan yang telah ditetapkan sebelumnya.
Kurikulum secara etimologi berasal dari bahasa Latin Curriculum,
semula berarti a running course, specially a chariot race course, dan terdapat
pula dalam bahasa Perancis “Courier” artinya “to run” (berlari).Untuk
mendapatkan rumusan tentang pengertian kurikulum, para ahli
mengemukakan pandangan yang beragam. Dalam pandangan klasik,
lebih menekankan kurikulum sebagai rencana pelajaran di suatu
sekolah. Pelajaran-pelajaran dan materi apa yang harus ditempuh di
sekolah, itulah kurikulum. Dalam pandangan modern, pengertian
kurikulum lebih dianggap sebagai suatu pengalaman atau sesuatu yang
nyata terjadi dalam proses pendidikan, seperti dikemukakan oleh
Caswel dan Campbell (1935), bahwa kurikulum: “… to be composed of all
the experiences children have under the guidance of teachers”. Dipertegas lagi
oleh pemikiran Ronald C. Doll (1974), yang mengatakan bahwa: “…the
curriculum has changed from content of courses study and list of subject and
Dari Normatif – Filosofis ke Praktis
1
courses to all experiences which are offered to learners under the auspices or
direction of school”. Sedangkan George A. Beauchamp (1986), mengemukakan bahwa:“A Curriculum is a written document which may contain
many ingredients, but basically it is a plan for the education of pupils during
their enrollment in given school”. 1 Beauchamp mengatakan bahwa
kurikulum adalah suatu rencana pendidikan atau pengajaran,
pelaksanaan rencana itu sudah masuk pengajaran.
Pendidikan Islam secara etimologi diwakili oleh istilah ta’lim dan
tarbiyah yang berasal dari kata dasar ‘allama dan rabba sebagaimana
dalam Al-Qur’an, sekalipun konotasi kata tarbiyah lebih luas karena
mengandung arti memelihara, membesarkan, dan mendidik, serta
sekaligus mengandung makna mengajar (‘allama).Sedangkan menurut
terminologi adalah usaha mengubah tingkah laku individu dalam
kehidupan kepribadian dan kemasyarakatan yang dilandasi dengan
nilai-nilai Islam.
Menurut Mulyasa manajemen kurikulum merupakan suatu
kegiatan yang mencakup perencanaan, pelaksanaan, dan penilaian
kurikulum. 2Pandangan Mulyasa hanya menekankan pada tiga aspek
saja, sedangkan aspek pengorganisasian kurikulum secara eksplisit tidak
dijelaskan dalam definisinya. Menurut Nasution organisasi kurikulum
adalah pola atau bentuk bahan pelajaran yang akan disampaikan kepada
murid. 3 Sedangkan Suharsimi Arikunto mendefinisikan manajemen
kurikulum adalah segenap proses usaha bersama untuk memperlancar
pencapaian tujuan pengajaran dengan titik berat pada usaha
meningkatkan kualitas interaksi belajar mengajar.
Berdasarkan definisi di atas, dapat dijelaskan bahwa manajemen
kurikulum pendidikan Islam adalah usaha sistematis yang dilakukan
seseorang melalui aktivitas perencanaan, pengorganisasian, pelaksanaan
dan evaluasi kurikulum yang dilandasi nilai-nilai Islam agar peserta
didik dapat mencapai tujuan pembelajaran secara efektif dan efisien.
1
Nana Syaodih Sukmadinata, (1996). Pengembangan Kurikulum. Remaja Rosdakarya: Bandung, hlm.5
Mulyasa, (2006).Manajemen Berbasis Sekolah;Konsep, Strategi, dan Implementasi. Remaja Rosdakarya.
Bandung. Hal. 40
3
S. Nasution, (1995).Kurikulum dan Pengajaran. Bumi Aksara: Jakarta. Hal. 135
2
2
Manajemen Kurikulum Pendidikan Islam
B. Perencanaan Kurikulum Pendidikan Islam
Perencanaan kurikulum merupakan proses yang melibatkan
kegiatan pengumpulan, penyortiran, sintesis dan seleksi informasi yang
relevan dari berbagai sumber. Informasi ini kemudian digunakan untuk
merancang dan mendesain pengalaman-pengalaman belajar yang
memungkinkan peserta didik dapat mencapai tujuan pembelajaran.
Beane James mendefinisikan perencanaan kurikulum sebagai
suatu proses yang melibatkan berbagai unsur peserta dalam banyak
tingkatan membuat keputusan tentang tujuan belajar, cara mencapai
tujuan, situasi belajar-mengajar, serta penelaahan keefektifan dan
kebermaknaan metode tersebut. Sehingga Tanpa perencanaan
kurikulum, sistematika berbagai pengalaman belajar tidak akan saling
berhubungan dan tidak mengarah pada tujuan yang diharapkan. Berikut
pernyataanya:
Curriculum planning is a process in which participants at many levels
make decisions about what the purposes of learning ought to be, how
those purposes might be carried out through teaching-learning situations,
and whether the purposes and means are both appropriate and effective. 4
Parkey et al., menegaskan bahwa tujuan yang direncanakan dari
kurikulum dikembangkan dari beragam perspektif, teori dan penelitian
yang didasarkan pada kekuatan sosial (social force), pengembangan
manusia (human development) dan pembelajaran serta model pembelajaran (learning and learning style). 5Perencanaan kurikulum itu penting
karena akan menjadi arah bagi usaha mempermudah pekerjaan
pendidikan yang akan dilakukan.
Menurut Zenger and Zenger perencanaan kurikulum dibuat untuk
menjadi petunjuk kerja. 6 Curriculum Planning is intended as a “how-to-do-it
guide” for curriculum planners in the school system or as a textbook for collegelevel courses in curriculum planning and development. Dalam tulisannya
yang berjudul Curriculum Planning: A Ten-Step Process (1982), terdapat
langkah-langkah penting perencanaan kurikulum:
4
Beane, James A.,et all. (1986). Curriculum Planning and Development, Boston, Allyn and Bacon.Hal. 32
Parkay , F. W. (2006). Curriculum Planning a Contemporary Approach, Edisi 8, Pearson, New YorkLondon-Sanfransisco. Hal: 4
6
Zenger, W. F. and. Zenger, S. K. (1982).Curriculum Planning: A Ten-Step Process di unduh dari
http://www.directionjournal.org/article/?863Vol 23 n 0 2. Fall.
5
Dari Normatif – Filosofis ke Praktis
3
State the curriculum problem or need.
Identify, revise, or develop curriculum /program goals and objectives.
Plan and organize the resources and constraints of curriculum
development.
4. State the functions of and select curriculum committees used for
curriculum planning and development.
5. Plan and state the roles and responsibilities of personnel involved.
6. Identify and analyze possible new curricula, programs, or other curricular
innovations to meet the stated curriculum need.
7. Assess and select one of the new curricula, programs, or other curricular
innovations to meet the stated curriculum need.
8. Design or redesign the new curriculum or program.
9. Implement the new curriculum or program.
10. Evaluate the new curriculum or program.
1.
2.
3.
Perencanaan kurikulum terjadi di semua level baik guru, supervisor, administrator dan lainnya, dilibatkan dalam usaha kurikulum.
Semua guru dilibatkan dalam perencanaan kurikulum tingkat kelas.
Bahkan pada tingkat (wilayah/daerah/distrik), ditingkat nasional harus
ada representasi guru. Level perencanaan kurikulum menurut Oliva
dimulai dari level kelas, kemudian individual school, school district, state,
region, nation dan world. Representasi guru harus dominan dalam level
kelas dan departemen. 7
Perencanaan kurikulum pendidikan Islam mensyaratkan adanya
muatan materi kurikulum yang memiliki jangkauan yang lebih jauh
yaitu tidak hanya membekali siswa dengan seperangkat kompetensi
keduniawiaan (artinya siap kerja) saja dengan skill, kecakapan hidup
dan kompetensi lainnya, tetapi juga muatan mata pelajaran yang
membekali siswa untuk siap dalam menghadapi kehidupan yang lebih
abadi/ kekal yaitu menghadap kehadirat Allah Swt. Sehingga jangkauan
perencanaan kurikulumnya tidak hanya berbunyi dunia-kerja, tetapi
dunia-akhirat.
Perencanaan di dalam Islam merupakan salah satu aspek harus
ditekankan sebagai firman Allah dalam surat Al-Hayr: 18:
7
Oliva, P. F. (1992). Developing the Curriculum, Harpers Collin Publisher, Amerika. Hal. 58
4
Manajemen Kurikulum Pendidikan Islam
“Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan
hendaklah setiap diri memperhatikan apa yang Telah diperbuatnya untuk
hari esok (akhirat); dan bertakwalah kepada Allah, Sesungguhnya Allah
Maha mengetahui apa yang kamu kerjakan.”(QS. Al Haysr: 18).
Kandungan ayat di atas menunjukkan perlunya memperhatikan
sesuatu yang akan dilaksanakan untuk ke depan (hari esok). Dalam
konteks manajemen pendidikan dipahami sebagai suatu perintah untuk
membuat perencanaan yang baik, agar nantinya tidak gagal dalam
mencapai tujuan yang diharapkan. Prinsip manajemen yang mengatakan bahwa “If you fail to plan, you plan to fail”, (jika anda gagal
merencanakan, maka anda merencanakan kegagalan).
Perencanaan Kurikulum menyangkut banyak demensi. Dalam
“The Educational Imagination on The Design and Evaluation of School
Programs”, Eisner menjelaskan bahwa ada beberapa unsur penting dari
dimensi perencanaan kurikulum. Unsur tersebut yang akan menentukan
logika dan karakteristik alur dari sebuah perencanaan kurikulum. 8
Unsur tersebut dapat disebutkan sebagai berikut: (1) Tujuan dan
prioritas (goals and priorities); (2) Isi kurikulum (content of the curriculum);
(3) Jenis pembelajaran (types of learning opportunities); (4)Organisasi
pembelajaran (learning organization); (5)Organisasi isi (organization of
content areas); (6)Model presentasi dan respon (mode of presentation and
response); dan (7)Jenis evaluasi (types of evaluation).
Dari pernyataan Eisner di atas, dapat dijelaskan lebih lanjut,
bahwa semua jenis perencanaan kurikulum dengan demikian terjadi
pada semua tingkat pendidikan dan disesuaikan dengan tingkatan kelas.
Ini terlihat dengan adanya organisasi isi dan organisasi siswa. Ini
selanjutnya juga dapat menjadi catatan bahwa sebuah perencanaan
kurikulum yang realistis disusun berdasarkan prinsip-prinsip penting
yang harus diperhatikan.
8
Eisner, E. W. (2002). The Educational Imagination on the Design and Evaluation of School Programs,
Third Edition, Ohio, Meril Prentice Hall.Hal. 133-153
Dari Normatif – Filosofis ke Praktis
5
Pertama, Perencanaan kurikulum berkenaan dengan pengalamanpengalaman para siswa. Kedua, Perencanaan kurikulum dibuat
berdasarkan berbagai keputusan tentang konten dan proses. Ketiga,
Perencanaan kurikulum mengandung keputusan-keputusan tentang
berbagai isu dan topik. Keempat, Perencanaan kurikulum melibatkan
banyak kelompok. Kelima, Perencanaan kurikulum dilaksanakan pada
berbagai tingkatan. Keenam, Perencanaan kurikulum adalah sebuah
proses yang berkelanjutan.
Ada beberapa aspek yang harus diperhatikan dalam perencanaan
kurikulum. Oemar Hamalik menyebut aspek-aspek yang menjadi
karakteristik perencanaan kurikulum yaitu berdasar konsep yang jelas,
dibuat dalam kerangka kerja yang komprehensif, bersifat reaktif, tujuan
berkait minat anak, dan ada partisipasi kooperatif. 9
Apa yang disampaikan Hamalik di atas penting untuk dikomentari lebih lanjut. Pertama, perencanaan kurikulum harus berdasarkan
konsep yang jelas tentang berbagai hal yang menjadikan kehidupan
menjadi lebih baik, karakteristik masyarakat sekarang dan masa depan,
serta kebutuhan dasar manusia. Kedua, perencanaan kurikulum harus
dibuat dalam kerangka kerja yang komprehensif, yang mempertimbangkan dan mengoordinasi unsur esensial belajar-mengajar efektif.
Ketiga, perencanaan kurikulum harus bersifat reaktif dan antisipasif.
Pendidikan harus responsif terhadap kebutuhan individual siswa, untuk
membantu siswa tersebut menuju kehidupan yang kondusif. Keempat,
tujuan-tujuan pendidikan harus meliputi rentang yang luas akan
kebutuhan dan minat yang berkenaan dengan individu dan masyarakat,
rumusan berbagai tujuan pendekatan harus diperjelas dengan ilustrasi
konkrit, agar dapat digunakan dalam pengembangan rencana
kurikulum yang spesifik. Jika tidak, maka persepsi yang muncul kurang
jelas dan kontradiktif.
Masyarakat luas mempunyai hak dan tanggung jawab untuk
mengetahui berbagai hal yang ditujukan bagi anak-anak mereka melalui
perumusan tujuan pendidikan. Berkaitan dengan hal ini para pendidiklah yang berkewajiban untuk memberitahukannya. Dengan keahlian
profesional mereka, pendidik berhak dan bertanggung jawab
9
Oemar Hamalik, (2006). Pengembangan Kurikulum.PT. Remaja Rosda Karya. Hal. 151
6
Manajemen Kurikulum Pendidikan Islam
mengidentifikasikan program sekolah yang akan membimbing siswa ke
arah pencapaian tujuan pendidikan. Masyarakat boleh saja memberikan
saran, namun keputusan akhir ada pada pendidik.
Perencanaan dan
pengembangan kurikulum paling efektif jika dikerjakan secara bersamasama. Hal ini dikarenakan beragamnya unsur-unsur kurikulum, yang
menuntut tentang keahlian secara luas.
Perencanaan kurikulum baru memuat artikulasi program sekolah
dan siswa pada setiap jenjang dan tingkatan sekolah. Berkaitan dengan
hal ini, kurikulum harus terdiri atas integrasi berbagai pengalaman yang
relevan. Karenanya program sekolah harus dirancang untuk mengoordinasikan semua unsur dalam kurikulum kerangka kerja pendidikan.
Meski masing-masing sekolah dapat mengembangkan dan memperhalus suatu struktur organisasi yang memfasilitasi studi masalahmasalah kurikulum dan mensponsori kegiatan perbaikan kurikulum.
Tetapi partisipasi kooperatif harus dilaksanakan dalam kegiatankegiatan perencanaan kurikulum, terutama keterlibatan masyarakat dan
para siswa dalam perencanaan situasi belajar-mengajar yang spesifik.
Maka dalam perencanaan kurikulum, harus diadakan evaluasi secara
kontinyu terhadap semua aspek pembuatan keputusan kurikulum, yang
juga meliputi analisis terhadap proses dan konten kegiatan kurikulum.
Berbagai jenjang sekolah, mulai dari pendidikan dasar sampai
perguruan tinggi, hendaknya merespon dan mengakomodasi
perubahan, pertumbuhan, dan perkembangan siswa. Untuk itu, perlu
direfleksikan organisasi dan prosedur secara bervariasi.
Ada empat pertanyaan mendasar untuk menganalisis dan
mengembangkan kurikulum. Empat pertanyaan dasar ini sering disebut
”Tyler Rationale”, karena pertanyaan ini memang diadaptasi dari buku
Tyler yang berjudul ”Basic Principles of Curriculum and Instruction”.
1. What educational purposes should the school seek to attain?
2. What educational experiences can be provided that are likely to attain these
purposes?
3. How can these educational experiences be effectively organized?
4. How can we determine whether these purposes are being attained?. 10
10
Tanner, D and Tanner,L. N. (1980). Curriculum Development: Ttheory into Ppractice, 2nd Ed. New York,
Macmillan Co. hal. 84
Dari Normatif – Filosofis ke Praktis
7
Pertanyaan Tyler ini kemudian banyak dikutip penulis karena
dianggap mewakili dari empat tahap berurutan dari pengembangan
kurikulum.
Tanner dan Tanner menyebut empat esensi dari pertanyaan di
atas. Pertama, mengidentifikasi tujuan. Kedua, memilih makna-makna
bagi pencapaian tujuan ini. Ketiga, mengorganisasi makna-makna ini.
Empat, mengevaluasi hasil. Secara sederhana hubungan interaksi antar
faktor-faktor determinan dalam perencanaan kurikulum dapat
digambarkan sebagai berikut. 11
Objectives
Methods
and
Organization
Subject
Matter
Evaluation
Gambar 1.1: Hubungan Interelasi Faktor-faktor Determinan Perencanaan
Kurikulum Tanner dan Tanner
Berdasarkan faktor-faktor determinan di atas, kemudian muncul
sebagai elemen, unsur, demensi, kerangka kerja dari perencanaan
kurikulum dengan beragam variasi dan istilah yang berbeda-beda,
meski secara fundamental empat faktor determinan tersebut selalu ada.
Dalam perencanaan kurikulum faktor determinan tersebut menjadi
elemen sekaligus kerangka kerja umum, membantu perencanaan
kurikulum tersebut tersusun secara sistematis dan terorganisasi.
11
Ibid. hal. 81-82
8
Manajemen Kurikulum Pendidikan Islam
Menurut Henson, 12 perencanaan kurikulum sebagai kata kunci rekayasa
kurikulum terkait dengan beberapa variabel yang saling menunjang;
memiliki judul yang jelas, mencerminkan pondasi kuat berdasar
pernyataan filosofis, pernyataan tujuan yang akan dicapai,
mengorganisasi isi, merumuskan aktivitas guru dan murid, dan yang
penting juga adanya evaluasi (philosophy, purposes, content, activities,
evaluation).
Perhatian serupa juga diberikan Blenkin dan Kelly dalam melihat
perencanaan sebagai faktor penting pengembangan kurikulum. 13 Secara
sistematis dihubungkan dengan beberapa urutan berikut; penilaian
(assessment), tujuan (goal), isi (content), metode pembelajaran (teaching
method), alokasi waktu (time allocation), organisasi materi (isi) dan kelas
(organization of materials and classroom), dan organisasi anak berdasar
umur dan kemampuan (organization of student). Dari kontribusi di atas,
secara umum mencakup model, ide, dan harapan sebuah perencanaan
kurikulum.
Pentingnya perencanaan dalam menerapkan kurikulum yang
aplikatif merangsang banyak penulis yang memberikan konsen serius
pada masalah ini. Penulis secara khusus memberikan kerangka kerja
dari perencanaan kurikulum diantaranya Amstrong (1989), Beauchamp
(1975), Brady (1990), Oliva (1992), Henson (1995), Tanner dan Tanner
(1980) dan Eisner (2002).
1. Landasan Perencanaan Kurikulum
Pendidikan berdasarkan tiga landasan utama, yaitu filsafat,
sosiologi dan psikologi, yang berhubungan dengan kebutuhan individu
maupun masyarakat. Perencanaan kurikulum berhubungan dengan
fokus spesifik dan subjek daerah Pondasi tersebut. Menurut Brady klaim
umum untuk membawa disiplin ini dalam pengembangan kurikulum
adalah untuk membantu mereka memberikan guru tujuan spesifik dan
perencanaan pengalaman belajar. 14Filsafat, Psikologi dan Sosiologi
12
Henson, K.T. (1995). Curriculum Development for Educational Reform, Eastern Kentucky University,
Longman.Hal. 313
13
Blenkin, G M dan Kelly, AV. (1981).Primary Curriculum, London ,Harper dan Row Publisher. Hal: 158
14
Brady, L. (1990). Curriculum Development, Third Edition, New York, London, Prentice Hall. Hal. 36
Dari Normatif – Filosofis ke Praktis
9
menyediakan pengetahuan yang membantu guru dalam menentukan
tujuan yang spesifik pada tiga area utama.
Pertama, pertumbuhan, kebutuhan-kebutuhan, keinginan dan
kesiapan anak (psikologi).Kedua, kondisi sosial yang telah dialami atau
memungkinkan untuk menjadi pengalaman anak (sosiologi), dan Ketiga,
karakteristik pengetahuan dan pengajaran (filsafat).
Ketiga disiplin ini digambarkan Brady sebagai terikat, bersentuhan sebagai informasi pengembangan kurikulum di semua tingkat
perencanaan. Pengetahuan fundamental yang menjadi dasar perencanaan kurikulum dapat dijelaskan dari gambar berikut.
1
Landasan Filosofis
• Tujuan
• Keutamaan
• Struktur
Pengetahuan
2
Landasan Sosial
• Perubahan Sosial
• Perubahan Teknologi
• Perubahan Ideologi
3
Pilihan dari Budaya
4
Landasan Psikologi
• Pengembangan
• Pembelajaran
• Instruksi
• Motivasi
5
Kurikulum terorganisir
dalam urutan dan tingkatan
tertentu
Gambar 1.2: Landasan Perencanaan Kurikulum
Apa yang dikemukakan Brady di atas, memiliki beberapa alasan.
Pertama, Filsafat memberikan sumbangan berharga dalam meneguhkan
karakteristik pengetahuan, basis epistemologi, etika dan karakteristik
pengetahuan. Apakah pengetahuan itu? Apa pengajaran? Mana
pendidikan atau materi yang lebih utama? Apakah nilai? semua
membutuhkan sumbangan filsafat sebagai dasar atau pondasinya. Kedua,
Psikologi menyiapkan informasi dan konsep untuk melakukan metode
investigasi yang dapat digunakan secara umum pendidikan. Perilaku,
10
Manajemen Kurikulum Pendidikan Islam
karakter, keinginan, kebutuhan, motivasi berfikir adalah konsep yang
diklasifikasikan dalam studi psikologi. Ketiga, sosiologi juga memberikan gambaran memadai tentang faktor-faktor yang mempengaruhi
kurikulum. Karakter keluarga, karakter masyarakat, komunitas.
kelompok akan menentukan bangunan kurikulum yang direncanakan.
Berbeda dengan Brady, Amstrong, 15 berpijak dari Tyler (1949)
mengidentifikasi tiga sumber utama kurikulum; masyarakat, pelajar dan
pengetahuan. Pengembang kurikulum menganggap informasi dari
setiap sumber di atas sebagai poin permulaan untuk kerja mereka.
Sedang Psikologi dan Filsafat itu sebagai Major Mediator, disiplin
perantara, sumber perspektif dalam melihat dari harapan-harapan
masyarakat, watak pelajar yang harus dilayani dan pengetahuan yang
akan ditransmisikan.
2. Tujuan
Menurut Brady pernyataan dari tujuan pendidikan mencakup
tujuan umum, tujuan khusus, tujuan kelas dan tujuan behavioral (goals,
aims, objectives and behavioral objectives). 16 Tujuan dari kelas (objectives)
menggambarkan keluaran yang dikehendaki dari proses belajar
mengajar dalam terma-terma dari beberapa perubahan dari anak. Tujuan
behavioral mengkomunikasikan maksud dengan pernyataan tindakan
atau perbuatan yang akan dicapai.
Gambar 1.3: Hirarki Tujuan. 17
15
Amstrong, D. G. (1989).Developing and Documenting the Curriculum, Allyn and Bacon, Boston, London,
Sydney. Hal. 5
16
Brady, (1990).Curriculum…, Hal: 14
17
Ibid, Hal: 89
Dari Normatif – Filosofis ke Praktis
11
Hal berbeda dengan yang kemukakan Kennet T. Henson dalam
bukunya “The Curriculum Development for Education Reform,” kata aim,
goal dan objective memiliki perbedaan dalam stratifikasi dan ruang
lingkup tujuan.Gambar 1.4 berikut menjelaskan tentang perbedaan dan
contoh penggunaannya masing-masing tingkatan.
Gambar 1.4: Tingkatan Tujuan Pendidikan. 18
Ada istilah aim (tujuan pendidikan nasional), yaitu sesuai dengan
amanat undang-undang dasar 1945 dalam pembukaannya alinea empat,
dijelaskan bahwa tujuan pendidikan nasional kita adalah
“mencerdaskan kehidupan bangsa.”
Kemudian pada goal (tujuan institusional atau kelembagaan)
misalnya, membentuk pribadi manusia yang beriman dan berakhlak
mulia serta mampu menguasai ilmu pengetahuan dan teknologi.
Sedangkan objective (tujuan pembelajaran) disesuaikan dengan
Standar Kompetensi (SK) dan Kompetensi Dasar (KD). Proses
pembelajaran tanpa tujuan bagaikan hidup tanpa arah. Oleh sebab itu,
tujuan pendidikan dan pembelajaran secara keseluruhan harus dikuasai
oleh guru. Tujuan disusun berdasarkan ciri karakteristik anak dan arah
yang ingin dicapai. Tujuan belajar adalah sejumlah hasil belajar yang
menunjukkan bahwa siswa telah melakukan perbuatan belajar, yang
18
Agus Zaenul Fitri, (2012). Reinventing Human Character: Pendidikan Karakter Berbasis Nilai dan Etika
di Sekolah.Hal. 18
12
Manajemen Kurikulum Pendidikan Islam
umumnya meliputi pengetahuan, keterampilan dan sikap-sikap yang
baru yang diharapkan tercapai oleh siswa
Hamalik menjelaskan bahwa komponen tujuan pembelajaran,
meliputi: (1) tingkah laku, (2) kondisi-kondisi tes, (3) standar (ukuran)
perilaku. 19Dalam model pengembangan kurikulum seperti Kurikulum
Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP) tujuan pembelajaran disesuaikan
dengan Standar Kompetensi (SK) dan Kompetensi Dasar (KD) yang
diukur melalui indikator-indikator pencapaian keberhasilan pembelajaran. Perilaku belajar dalam KTSP diukur dengan indikator yang jelas.
Misalnya, mampu menjelaskan, mengungkapkan, menganalisis dan
mengaplikasikan suatu konsep atau teori tertentu.
Karenanya, area yang paling luas dan kerangka kerja kurikulum
adalah definisi tujuan pendidikan secara menyeluruh. Berdasarkan tiga
daerah fondasi tadi, tujuan umum menyajikan tujuan khusus
kewilayahan yang dikembangkan pada berbagai jenjang wilayah
(nasional, provinsi, kabupaten atau kotamadya, dan masyarakat
luas).Rumusan tujuan tersebut merefleksikan tingkat atau daerah satu
dengan yang lainnya. Tingkat nasional memberikan petunjuk bagi
pengembangan lokal, dan sebaliknya. Masalah yang sering timbul dalam
perencanaan kurikulum yang spesifik tidak mempertimbangkan
rumusan tujuan yang luas atau rumusan tujuan umum berkelanjutan.
Karenanya rumusan tujuan akan membatasi dari ruang mana ia menjadi
sasaran.
Perumusan tujuan belajar diperlukan untuk meningkatkan
kemampuan siswa sebagai anggota masyarakat, dalam mengadakan
hubungan timbal balik dengan lingkungan sosial, budaya dan alam
sekitarnya. Di Indonesia secara umum untuk mencapai tujuan,
penyelenggara sekolah berpedoman pada tujuan pendidikan nasional.
Sumber dan tujuan ini adalah sumber empiris, sumber filosofis, sumber
mata pelajaran, konsep kurikulum, analisis situasional, dan tekanan
pendidikan yang sudah dirumuskan dalam Kurikulum Tingkat Satuan
Pendidikan (KTSP).
Tujuan pembelajaran (objective) memberikan arah positif yang
berimplikasi pada; Pertama, suatu pengertian tentang arah (sasaran) bagi
19
Oemar Hamalik, (2003). Proses Belajar Mengajar.Bumi Aksara. Hal. 24
Dari Normatif – Filosofis ke Praktis
13
setiap orang yang tertarik dengan proses pendidikan, seperti siswa,
guru, administrator, orang tua, penilik, pengawas dan sebagainya;
Kedua, basis perencanaan kurikulum yang rasional dan logis; dan Ketiga,
memberikan suatu basis untuk penilaian siswa. Tujuan umum menyajikan berbagai tujuan yang mengalihkan kegiatan belajar mengajar sejalan
dengan tingkat perkembangan siswa (anak-anak sampai dewasa)
sehingga program pendidikan pun sejalan dengan tingkat perkembangan siswa tersebut.
Dalam kerangka ini, maka tujuan yang efektif menuntut Brady
harus dapat mempertemukan beberapa persyaratan; (1) cakupan (scope),
memasukkan semua rangsangan hasil belajar:(2) relevansi (suitability),
terkait situasi kelas dan konteks sosial:(3) validitas (validity), merefleksikan nilai yang mereka tuju untuk dihadirkan;(4) fisibilitas (feasibility),
dapat dicapai dalam terma kemampuan anak dan ketersediaan
sumber;(5) kompatibel (compatibility), memiliki konsistensi dengan
pernyataan tujuan lainnya;(6) spesifik (specificity), cukup tepat untuk
menghilangkan ambiguitas; dan (5) interpretatif (interpretability), mudah
difahami
bagi
mereka
yang
mungkin
membantu
untuk
20
mengimplementasikannya.
19F
3. Organisasi Isi
Isi atau materi dalam bahasa Arab disebut dengan
(Al-maddah)
yang berarti materi (isi).Materi (isi) dari pada kurikulum pendidikan
Islam meliputi: (1) Al-Qur’an dan Hadits; (2) Akidah dan Akhlak; (3)
Fiqh (Muamalah); (4) Sejarah Peradaban dan Kebudayaan Islam; dan (5)
Sejarah Pendidikan Islam.
Isi kurikulum atau core curriculum atau struktur bahan pelajaran
adalah kumpulan dari mata pelajaran yang menjadi bahan diskursus
dalam proses belajar mengajar. Brady menegaskan isi didefinisikan
sebagai mata pelajaran dari belajar mengajar (content is defined as the
subject matter of teaching-learning). 21Ia melibatkan banyak hal. Bukan saja
pengetahuan, tetapi juga keterampilan, konsep, sikap dan nilai; isi di
sampaikan dengan berbagai cara; cara yang digunakan disebut metode
20F
20
Brady, (1990).Curriculum…, hal: 89-90
Ibid, hal: 92
21
14
Manajemen Kurikulum Pendidikan Islam
belajar; konten atau isi kurikulum merupakan susunan bahan kajian dan
pelajaran untuk mencapai tujuan pendidikan.
Penggunaan desain kurikulum umum untuk mengorganisir
pengalaman belajar yang mencakup semua program disebut aktivitas
makro kurikulum. 22Kegiatan itu mencakup kegiatan luas, perencanaan
dan merefleksikan keputusan yang dibuat secara nasional, regional dan
lokal. Hasil kerja ini biasanya berupa garis-garis besar yang berisi
informasi terkait bahan pelajaran yang ditawarkan, persyaratan, urutan
dan waktu yang dibutuhkan. Bahan ajar yang meliputi bahan kajian dan
mata pelajaran. Isi kurikulum adalah mata pelajaran pada proses belajarmengajar, seperti pengetahuan, keterampilan, dan nilai-nilai yang
diasosiasikan dengan mata pelajaran.
Pemilihan organisasi isi menekankan pada pendekatan mata
pelajaran (pemahaman) atau pendekatan proses (keterampilan) dapat
dilakukan melalui beberapa cara. Pertama, pendekatan kronologis,
dimana isi diurutkan berdasar tema-tema dari waktu berdasar kalender
baik dari masa lampau ke masa sekarang atau sebaliknya dari masa
sekarang ke masa lampau. Ini dimungkinkan jika materi memiliki
hubungan logis dari sisi urutan waktu (the chronological approach). Kedua,
pendekatan tematik, dimana elemen materi pertama diorganisir di
bawah satu tema besar, kemudian diputuskan mana yang diajarkan
pertama, kedua, ketiga, dan seterusnya (the thematic approach). Ketiga,
pendekatan dari bagian kecil ke bagian besar, dimana topik-topik atau
unit-unit isi diurutkan dari basic elemen ke elemen yang lebih kompleks
(the part to whole approach), dan Keempat, kebalikan dari pendekatan
bagian kecil ke bagian besar. Pada pendekatan ini informasi umum
secara tipikal disampaikan dahulu, dengan menyiapkan anggota kelas
memiliki pandangan umum yang bersifat luas dari apa yang mereka
pelajari. Baru kemudian setelah mereka memiliki rangkuman dari
overview, informasi spesifik mulai diperkenalkan dan memperkenankan
mereka mempelajari bagian terkecil dari bagian besar (The whole to part
approach) yang tunjukkan pada gambar 1.5 berikut.
22
Amstrong, (1988).Developing…., Hal. 73
Dari Normatif – Filosofis ke Praktis
15
Gambar 1.5: Pendekatan Organisasi Isi
Apapun pilihan pendekatan dari organisasi isi perencanaan
kurikulum terdapat kriteria yang perlu diperhatikan dalam pemilihan organisasi isi kurikulum ini, yaitu: (a) signifikansi, yaitu
seberapa penting isi kurikulum pada suatu disiplin atau tema studi;
(b) validitas, yang berkaitan dengan keotentikan dan keakuratan isi
kurikulum tersebut; (c) relevansi sosial, yaitu keterkaitan isi
kurikulum dengan nilai moral, cita-cita, permasalahan sosial, isu
kontroversial, dan sebagainya, untuk membantu siswa menjadi
anggota efektif dalam masyarakat; (d) utility atau kegunaan (daya
guna), berkaitan dengan kegunaan isi kurikulum dalam mempersiapkan siswa menuju kehidupan dewasa; (e) learnability atau
kemampuan untuk dipelajari, yang berkaitan dengan kemampuan
siswa dalam memahami isi kurikulum tersebut; dan(f) minat, yang
berkaitan dengan minat siswa terhadap isi kurikulum tersebut.
4. Organisasi Siswa (Peserta Didik)
Aspek penting yang perlu diperhatikan dari perencanaan kurikulum adalah aspek perkembangan manusia. Aspek ini akan memberi arah
bagi perencanaan kurikulum yang tepat. Pemahaman yang memadai
tentang tahap perkembangan manusia berguna sebagai alat memahami
kebutuhan anak dari beragam tingkat pendidikan. Meski secara tak
langsung dapat mendefinisikan perkembangan anak secara khusus pada
usianya. Karena anak secara lahir memiliki keunikan.
Dalam konteks pendidikan muncul berbagai klasifikasi anak
berdasar umur, level dan juga tingkat perkembangannya. Anak dikelompokkan berdasar perkembangannya yang disesuaikan dengan tingkat
pertumbuhan jasmani, mental dan motorik. Klasifikasi umum yang
sering ditemui adalah infant (usia 1-2 tahun), Todler (usia 2-3 tahun),
Nursery (usia 3-4 tahun), dan Kindergarten (usia 4-5) tahun (K1) dan 5-6
16
Manajemen Kurikulum Pendidikan Islam
tahun (K2). Istilah yang sama dengan Taman Pengasuhan Bersama,
Bermain Bersama, Kelompok Bermain (Play Group), Taman KanakKanak. Pengelompokan anak berdasar level, klasifikasi Early Childhood,
Pre School, Primary, Secondary, Elementary, Junior, Senior sampai High
School atau University adalah argument yang menggunakan dasar
perkembangan manusia.
Beberapa aspek perkembangan anak yang penting untuk petunjuk
perencanaan kurikulum adalah basis biologis dan perbedaan individu,
kematangan fisik, perkembangan intelektual, pertumbuhan emosi, dan
perkembangan sosial dan budaya.
Gambar 1.6. Lima Aspek Perkembangan sebagai Petunjuk
Perencanaan Kurikulum. 23
Organisasi siswa selain memperhatikan lima aspek sebagaimana
digambarkan di atas, juga perlu memperhatikan aspek waktu. Disini
guru atau pihak perencanaan kurikulum perlu mempertimbangkan lima
daerah yang akan mempengaruhi keputusan mereka, yaitu: Pertama,
karakteristik siswa yang menggunakan kurikulum tersebut; Kedua,
refleksi prinsip-prinsip belajar; Ketiga, sumber-sumber umum
penunjang; Keempat, jenis pendekatan kurikulum (terpisah, terkorelasi,
23
Parkay, (2006).Curriculum…., Hal. 123
Dari Normatif – Filosofis ke Praktis
17
dan sebagainya); dan Kelima, pengorganisasian pengelolaan disiplin
spesifik yang digunakan dalam perencanaan situasi belajar-mengajar.
5. Metode
Metode dalam bahasa Arab disebut
(Thoriqah,
Wasilah) yang berarti metode, cara, jalan yang digunakan agar dapat
mencapai tujuan. Bagian paling penting dan sangat jelas dari elemen
kurikulum adalah metode. Menurut Brady seseorang yang datang ke
sekolah tidak langsung melihat apa tujuan dan isi di dalam kegiatan.
Melainkan metode apa yang digunakan. 24 Metode tidak berdiri sendiri.
Memilih metode sangat berkait dengan model pembelajaran, terkait
dengan isi kurikulum dan tujuan.
23F
Gambar 1.7: Hubungan Tujuan dan Metode
Metode dipilih berdasar tujuan yang dirumuskan. Selanjutnya
metode juga terkait dengan model belajar. Brady mengidentifikasi lima
model belajar, mendefinisikan sebuah model sebagai blueprint yang
dapat digunakan untuk membimbing persiapan mengajar. Model
disusun dalam sebuah kontinum dari terpusat guru (teacher centered)
berpusat pada anak (student centered).
Teacher Centered
Exposition
Behavioral
Cognitive
Development
Interaction
Transaction
Student Centered
Gambar 1.8: Model Pembelajaran
24
Brady, (1990).Curriculum…, Hal. 108
18
Manajemen Kurikulum Pendidikan Islam
Model Eksposisi adalah model tradisional yang terpusat pada
guru. Sementara transaksi adalah model mutakhir yang terpusat pada
anak. Metode juga berkait dengan tujuan yang dirumuskan. Hubungan
aktivitas belajar dapat didefinisikan sebagai berbagai aktivitas yang
diberikan pada pembelajar dalam situasi belajar-mengajar. Aktivitas
belajar ini didesain agar memungkinkan siswa memperoleh muatan
yang ditentukan, sehingga berbagai tujuan yang ditetapkan, terutama
maksud dan tujuan kurikulum, dapat tercapai.
Berkaitan dengan aktivitas belajar, harus diperhatikan pula
strategi belajar-mengajar yang efektif, yang dapat dikelompokkan
sebagai berikut: Pertama, pengajaran expository. Pengajaran expository
atau penjelasan rinci ini melibatkan pengiriman informasi dalam arah
tunggal, dan suatu sumber ke pebelajar. Contoh dan pengajaran ini
adalah ceramah, demonstrasi, tugas membaca dan presentasi audio
visual. Kedua, pengajaran interaktif. Pada hakikatnya, pengajaran ini
sama dengan pengajaran expository. Perbedaannya, dalam pengajaran
interaktif terdapat dorongan yang disengaja ketika terjadi interaksi
antara guru dan pembelajar, yang biasanya berbentuk pemberian
pertanyaan. Pada dasarnya, dalam pendekatan ini pembelajar lebih aktif,
dan keterampilan berpikir ditingkatkan melalui unsur interaktif. Ketiga,
pengajaran atau diskusi kelompok kecil. Karakteristik pokok dan strategi
ini melibatkan pembagian kelas ke dalam kelompok-kelompok kecil
yang bekerja relatif bebas, untuk mencapai suatu tujuan. Peran guru
berubah, dan seorang pemberi pengetahuan menjadi koordinator
aktivitas dan pengarah informasi. Keempat, pengajaran inkuiri atau
pemecahan masalah. Ciri utama strategi ini adalah aktifnya pembelajar
dalam penentuan jawaban dan berbagai pertanyaan serta pemecahan
masalah. Pengajaran inkuiri biasanya melibatkan pembelajaran dengan
aktivitas yang dilaksanakan secara bebas, berpasangan atau dalam
kelompok yang lebih besar. Dan Kelima, strategi belajar-mengajar
lainnya. Strategi belajar-mengajar lain yang relatif lebih baru adalah
cooperative learning, community service project, mastered learning, dan project
approach.
Dari Normatif – Filosofis ke Praktis
19
Dari beragam metode ini yang penting diperhatikan adalah
kriteria pemilihan metode. Menurut Brady, 25 didasarkan pada beberapa
pertimbangan berikut ini: (1) keragaman (variety). Metode harus
bervariasi untuk mempertemukan tujuan yang dirumuskan dan
mengakomodasi tingkat perbedaan dan gaya pengajaran; (2) cakupan
(scope), metode harus cukup bervariasi untuk mencapai semua tujuan
yang dirumuskan; (3) validitas (validity), metode khusus harus terkait
dengan tujuan khusus; (4) kesesuaian (appropriate), metode terkait
dengan keinginan anak, kemampuan dan kesiapan; dan (5) relevan
(relevance), metode yang digunakan di sekolah harus terkait dengan apaapa yang dituntut selesai sekolah.
Macam-macam metode pembelajaran yang bisa digunakan dalam
pendidikan Islam, yaitu:
a. Metode Ceramah
Metode ceramah dapat diartikan sebagai cara menyajikan
pelajaran melalui penuturan secara lisan. Metode ceramah sampai
saat ini sering digunakan oleh setiap guru atau instruktur. Hal ini
selain disebabkan oleh beberapa pertimbangan tertentu, juga adanya
faktor kebiasaan baik dari siswa maupun guru. Guru biasanya belum
puas manakala dalam proses pengelolaan pembelajaran tidak
melakukan ceramah. 26Demikian juga dengan siswa, mereka akan
belajar manakala ada guru yang memberikan materi pelajaran
melalui ceramah. Sehingga ada guru yang berceramah berarti ada
proses belajar dan tidak ada guru berarti tidak ada belajar. Metode
ceramah merupakan cara yang digunakan untuk mengimplementasikan strategi pembelajaran ekspositori.
Metode ceramah seringkali diterapkan dalam pembelajaran.
Tidak hanya pada pembelajaran fiqih namun juga pembelajaran yang
lain. Karena metode ini di anggap lebih mudah dan lebih praktis,
apalagi apabila diterapkan pada anak usia kelas bawah.
25
Ibid, 128
Wina Sanjaya, (2010). Strategi Pembelajaran Berorientasi Standar Proses Pendidikan, Jakarta:
Kencana.Hal.147.
26
20
Manajemen Kurikulum Pendidikan Islam
1) Kelebihan metode ceramah diantaranya:
a) Ceramah merupakan metode yang mudah dan murah untuk
dilakukan. Murah maksudnya tidak memerlukan peralatan
yang lengkap, sedangkan mudah maksudnya memang
ceramah hanya mengandalkan suara guru, sehingga tidak
butuh persiapan yang rumit.
b) Ceramah dapat menyajikan materi pelajaran yang luas, artinya
materi yang banyak dapat dirangkum atau dijelaskan pokokpokoknya oleh guru dalam waktu yang singkat.
c) Ceramah dapat memberikan pokok materi yang perlu
ditonjolkan. Artinya guru dapat mengatur pokok materi mana
yang perlu ditekankan sesuai dengan tujuan yang ingin
dicapai.
d) Melalui ceramah, guru dapat mengontrol keadaan kelas.
2) Kelemahannya diantaranya:
1) Materi yang dikuasai siswa sebagai hasil dari ceramah akan
terbatas pada apa yang dikuasai guru.
2) Ceramah yang tidak disertai dengan peragaan dapat mengakibatkan pemahaman yang berbeda antara siswa satu dengan
siswa yang lainnya, termasuk dalam ketajaman menangkap
materi pembelajaran melalui pendengarannya.
3) Guru yang kurang memiliki kemampuan bertutur yang baik,
ceramah sering dianggap metode yang membosankan. 27
4) Guru sukar mengetahui sampai mana murid-murid mengerti
pembicaraannya. 28
5) Guru lebih aktif sedangkan murid pasif.
6) Adanya unsur paksaan, karena guru yang bicara, murid
diharuskan mendengarkan apa yang dijelaskan guru. 29
b. Metode Demonstrasi
Metode demonstrasi adalah metode mengajar yang
menggunakan peragaan untuk memperjelas suatu pengertian atau
27
Ibid, hal.147-149.
Suryosubroto, (1997). Proses Belajar Mengajar di Sekolah, Jakarta:Rineka Cipta. Hal.167.
Direktorat Pembinaan Perguruan Tinggi Agama Islam, 1981.Metodik Khusus Pengajaran Agama Islam,
Jakarta. Hal 231.
28
29
Dari Normatif – Filosofis ke Praktis
21
untuk memperlihatkan bagaimana melakukan sesuatu kepada anak
didik.
Dengan metode demonstrasi guru atau murid memperlihatkan
pada seluruh anggota kelas sesuatu proses, misalnya bagaimana cara
shalat yang sesuai dengan ajaran Rasulullah saw. Sebaiknya dalam
mendemonstrasikan pelajaran tersebut guru lebih dahulu mendemonstrasikan yang sebaik baiknya, lalu murid ikut mempraktikkan
sesuai dengan petunjuk. Contoh: pada materi tentang tata cara
pengurusan jenazah didemonstrasikan cara-cara mengurusi jenazah
dengan praktik.
Beberapa keuntungan metode demonstrasi yaitu:
1) Perhatian siswa dapat dipusatkan, dan titik berat yang dianggap
penting oleh guru dapat diamati secara tajam.
2) Perhatian siswa akan lebih terpusat kepada apa yang
didemonstrasikan, jadi proses belajar siswa akan lebih teratur dan
akan mengurangi perhatian siswa kepada masalah lain.
3) Apabila siswa sendiri ikut aktif dalam sesuatu percobaan yang
bersifat demonstrasi, maka mereka akan memperoleh pengalaman
yang melekat pada jiwanya dan ini berguna dalam pengembangan
percakapan.
c. Metode Tutorial/Bimbingan
Metode tutorial merupakan proses pembelajaran yang
dilakukan guru/tutor dengan cara memberikan bimbingan kepada
siswa baik secara perorangan majupun kelompok. Metode ini sangat
baik digunakan bagi siswa yang terlibat dalam kerja kelompok.
Misalnya tentang cara mengkafani jenazah, maka guru memberikan
bimbingan tentang tata cara mengkafani jenazah secara baik dan
benar.
Posisi dan peran guru sebagai motivator, innovator, motivator
dan conselorakan sangat membantu siswa dalam menyelesaikan
tugas-tugas yang dikerjakannya.
22
Manajemen Kurikulum Pendidikan Islam
d. Metode Diskusi
Metode diskusi adalah suatu cara penyajian bahan pelajaran
dimana guru memberi kesempatan kepada para siswa secara
kelompok untuk mengadakan perbincangan ilmiah guna mengumpulkan pendapat, membuat kesimpulan atau penyusun berbagai
alternatif pemecahan atas suatu masalah. Forum diskusi dapat diikuti
oleh semua siswa di dalam kelas dapat pula dibentuk kelompokkelompok yang lebih kecil.
Secara umum ada 2 (dua) jenis diskusi yang biasa dilakukan
dalam proses pembelajaran, yaitu:
1) Diskusi kelompok
Diskusi ini dinamakan juga diskusi kelas. Pada diskusi ini
permasalahan yang disajikan oleh guru dipecahkan oleh kelas
secara keseluruhan. Yang mengatur jalannya diskusi adalah guru
itu sendiri.
2) Diskusi kelompok kecil
Pada diskusi ini siswa dibagi menjadi beberapa kelompok. Setiap
kelompok terdiri dari 3-7 orang. Proses pelaksanaan diskusi ini
dimulai dari guru menyajikan masalah dengan beberapa sub
masalah. Setiap kelompok memecahkan sub masalah yang
disampaikan guru. Proses diskusi ini diakhiri dengan laporan
setiap kelompok.
Dalam penerapan metode diskusi ini juga tidak luput dari
kelebihan dan kelemahan dari metode yang digunakan. Di bawah
ini akan ada penjelasan mengenai apa saja yang menjadi kelebihan
dan kelemahan dari metode diskusi ini.
a) Kelebihan metode diskusi diantaranya:
(1) Metode diskusi dapat merangsang siswa untuk lebih kreatif
khususnya dalam memberikan gagasan dan ide-ide.
(2) Dapat melatih untuk membiasakan diri bertukar fikiran
dalam mengatasi setiap permasalahan.
(3) Dapat melatih siswa untuk dapat mengemukakan pendapat
atau gagasan secara verbal disamping itu, diskusi juga bisa
melatih siswa untuk menghargai pendapat orang lain.
Dari Normatif – Filosofis ke Praktis
23
b) Kelemahan metode diskusi.
(1) Sering terjadi pembicaraan dalam diskusi dikuasai oleh dua
atau tiga orang siswa yang memiliki keterampilan berbicara.
(2) Kadang-kadang pembahasan dalam diskusi meluas,
sehingga kesimpulan menjadi kabur
(3) Memerlukan waktu yang cukup panjang, yang kadangkadang tidak sesuai dengan yang direncanakan
(4) Dalam diskusi sering terjadi perbedaan pendapat yang
bersifat emosional yang tidak terkontrol. Akibatnya kadangkadang ada pihak yang merasa tersinggung, sehingga dapat
mengganggu iklim pembelajaran. 30
e. Metode Tajribat (Eksperimen)
Metode Tajribat ini merupakan suatu cara pembelajaran yang
melibatkan siswa secara langsung untuk melakukan dan mengalami
serta membuktikan sendiri apa yang dipelajari. Maka metode ini
siswa didorong untuk melakukan, mengalami, membuktikan,
menganalisis dan menarik kesimpulan dari kegiatan yang dilakukannya.
Metode ini biasanya dilakukan dalam suatu pelajaran tertentu
seperti ilmu alam, ilmu kimia, dan sejenisnya. Biasanya terhadap
ilmu-ilmu alam yang di dalam penelitiannya menggunakan metode
yang sifatnya obyektif, baik dilakukan di dalam maupun di luar kelas
dan laboratorium. 31 Misalnya peserta diminta untuk melakukan
eksperimen tentang tata cara memandikan, mensholatkan dan
mengkafani jenazah.
f. Metode Pemberian Tugas
Metode ini adalah suatu cara dalam proses belajar mengajar
bilamana guru memberi tugas tertentu dan murid mengerjakannya,
kemudian tugas itu dipertanggungjawabkan kepada guru. Dengan
cara demikian diharapkan agar murid belajar secara bebas tapi
bertanggung jawab dan murid akan berpengalaman mengetahui
30
Wina Sanjaya, (2010).Strategi....., hal.156.
Direktorat Pembinaan Perguruan Tinggi Agama Islam, (1981). Metodik....., hal.235.
31
24
Manajemen Kurikulum Pendidikan Islam
berbagai kesulitan kemudian berusaha untuk ikut mengatasi
kesulitan-kesulitan itu.
Pemberian tugas dapat dilakukan dalam beberapa hal yaitu:
1) Murid diberi tugas mempelajari bagian dari suatu buku teks, baik
perorangan ataupun kelompok.
2) Murid diberi tugas untuk melaksanakan sesuatu yang tujuannya
melatih mereka dalam hal yang bersifat kecakapan mental dan
motorik.
3) Murid diberi tugas melaksanakan eksperimen, misalnya: praktik
sholat jenazah, cara memandikan jenazah.
4) Murid diberi tugas untuk mengatasi masalah tertentu atau
problem solving dengan cara memecahkannya dengan tujuan agar
murid terbiasa berfikir logis dan sistematis.
5) Murid diberi tugas melaksanakan proyek dan bertujuan agar
murid-murid membiasakan diri bertanggung jawab terhadap
penyelesaian suatu masalah. Misalnya peserta didik diberi tugas
membuat kliping tentang makanan dan yang halal.
g. Metode Drill (Latihan)
Metode drill merupakan suatu cara penyampaian mata
pelajaran kepada peserta didik dengan cara mengulang-ulang
(berkali-kali) terhadap hal yang sama dengan tujuan memperkuat
suatu asosiasi atau penyempurnaan suatu keterampilan agar melekat
dan menjadi permanen.
Penggunaan istilah “latihan” sering disamakan artinya dengan
istilah “ulangan”. Padahal maksudnya berbeda. Latihan bermaksud
agar pengetahuan dan kecakapan tertentu dapat menjadi milik anak
didik dan dikuasai sepenuhnya, sedangkan ulangan hanyalah untuk
sekedar mengukur sejauh mana dia telah menyerap pengajaran
tersebut. Misalnya, memberikan soal-soal latihan dengan materi yang
lebih dikembangkan sesuai materi pembelajaran pendidikan Islam.
Menurut para ahli metode ini memiliki beberapa keunggulan
dan kelemahan, yaitu:
Dari Normatif – Filosofis ke Praktis
25
1) Keunggulan
a) Siswa akan memperoleh ketangkasan dan kemahiran dalam
melakukan sesuatu dengan apa yang dipelajarinya.
b) Dapat menimbulkan rasa percaya diri, bahwa para siswa
berhasil dalam belajarnya telah memiliki sesuatu keterampilan
khusus yang berguna kelak di kemudian hari.
c) Guru lebih mudah mengontrol dan dapat membedakan mana
siswa yang disiplin dalam belajarnya dan mana yang kurang
memperhatikan tindakan dalam perbuatan siswa di saat
berlangsungnya pengajaran.
d) Memungkinkan siswa dapat memperbaiki kesalahannya saat
itu juga.
e) Melatih daya tangkap dan daya ingat siswa serta daya ekspresi.
f) Melatih siswa untuk rajin belajar dan menyesuaikan
pertanyaan serta jawabannya secara tepat dan benar.
g) Melatih daya konsentrasi siswa.
2) Kelemahan
a) Dapat menghambat inisiatif siswa, di mana inisiatif dan minat
siswa yang berbeda dengan petunjuk guru dianggap suatu
penyimpangan dan pelanggaran dalam pengajaran yang
diberikannya.
b) Membuat siswa menjadi statis, karena tidak diberikan
kebebasan dalam mengembangkan kreativitas siswa dalam
menyelesaikan tugas.
c) Membentuk kebiasaan yang kaku, artinya seolah-olah siswa
melakukan sesuatu secara mekanis, dan dalam memberikan
stimulus siswa dibiasakan bertindak secara otomatis.
d) Dapat menimbulkan verbalisme, terutama pengajaran yang
bersifat menghafal di mana siswa dilatih untuk dapat
menguasai bahan pelajaran secara hafalan dan secara otomatis
mengingatkan apabila ada pertanyaan-pertanyaan yang
berkenaan dengan hafalan tersebut tanpa suatu proses berfikir
yang logis.
26
Manajemen Kurikulum Pendidikan Islam
h. Metode Kerja Kelompok
Apabila guru dalam menghadapi siswa di kelas merasa perlu
membagi-bagi siswa dalam kelompok-kelompok untuk memecahkan
suatu masalah yang perlu dikerjakan bersama-sama, maka cara
mengajar tersebut dapat dinamakan metode kerja kelompok.
Pengelompokan dapat dilakukan oleh siswa sendiri yang
biasanya dalam pemilihan kelompok seperti ini didasarkan atas
pemilihan teman yang menurutnya lebih dekat atau lebih intim. Cara
ini menimbulkan keuntungan, yaitu menimbulkan konsentrasi dalam
belajar, memudahkan hubungan kepribadian dan dapat menimbulkan kegairahan baru. Namun pengelompokan dapat pula dilakukan
oleh guru atas pertimbangan-pertimbangan yang telah dibuat oleh
guru. 32
Misalnya membagi siswa ke dalam beberapa kelompok,
kemudian masing-masing kelompok diberi tugas untuk mempraktikkan tata cara mengkafani jenazah dengan benar.
i. Metode Tanya Jawab
Adalah metode mengajar yang memungkinkan terjadinya
konsumsi langsung bersifat dua arah. Sebab pada saat yang sama
terjadi dialog antara guru dan siswa. Guru bertanya siswa menjawab
begitu pula sebaliknya. Dalam komunikasi ini terlihat adanya
hubungan timbal balik antara guru dan siswa. 33
Metode ini dapat dipakai oleh guru untuk menetapkan
perkiraan secara umum apakah siswa yang mendapat giliran
pertanyaan sudah memahami bahan pelajaran yang telah diberikan. 34Misalnya, guru memberikan pertanyaan kepada peserta didik
tentang materi setelah akhir pembelajaran.
Metode ini dapat dipakai oleh guru untuk menetapkan
perkiraan secara umum apakah siswa yang mendapat giliran
pertanyaan sudah memahami bahan pelajaran yang telah diberikan. 35
32
Ibid, Hal. 237-243.
R Ibrahim,dkk,(2010). Perencanaan Pengajaran, Jakarta: Rineka Cipta. Hal. 106.
Direktorat Pembinaan Perguruan Tinggi Agama Islam, (1981). Metodik....., hal. 245.
35
Ibid, hal. 245.
33
34
Dari Normatif – Filosofis ke Praktis
27
Beberapa alternatif dapat terjadi dalam metode tanya jawab
yaitu:
1) Segi kecepatan menuangkan bahan pelajaran
Dalam hal menerangkan bahan pelajaran pada siswa penggunaan
metode tanya jawab lebih lamban daripada metode ceramah akan
tetapi metode tanya jawab dari segi kepastian lebih tajam, karena
guru memberikan pertanyaan untuk suatu jawaban tertentu dan
guru dapat mengetahui dengan segera apakah siswanya mengerti
atau tidak. Kalau terjadi yang demikian maka guru dapat segera
menjelaskan kembali segi-segi yang belum jelas itu.
2) Dapat terjadi penyimpangan dari pokok persoalan
Guru dalam melaksanakan tanya jawab lebih besar kemungkinan
menyimpang dari pokok persoalan hal ini dapat terjadi apabila
siswa memberikan jawaban, lalu berbalik mengajukan pertanyaan
yang menimbulkan masalah baru di luar yang sedang dibicarakan.
3) Dapat terjadi perbedaan pendapat antara murid dan guru
Untuk menghindari sesuatu yang dapat terjadi dalam metode
tanya jawab terutama yang bersifat negatif maka perlu diperhatikan hal-hal sebagai berikut:
a) Pertanyaan harus singkat jelas dan merangsang untuk berfikir.
b) Sesuai dengan kecerdasan siswa.
c) Memerlukan jawaban dalam bentuk kalimat atau uraian
kecuali yang bersifat obyektif tes, dapat menggunakan pilihan
jawaban ya/tidak.
d) Usahakan pertanyaan dengan jawaban yang pasti. 36
j. Metode Simulasi
Simulasi berasal dari kata simulate yang artinya berpura-pura
atau berbuat seakan akan. Sebagai metode mengajar, simulasi dapat
diartikan cara penyajian pengalaman belajar dengan menggunakan
situasi tiruan untuk memahami tentang konsep, prinsip, atau
keterampilan tertentu. Simulasi dapat digunakan sebagai metode
36
Ibid, hal. 245-246.
28
Manajemen Kurikulum Pendidikan Islam
mengajar dengan asumsi tidak semua proses pembelajaran dapat
dilakukan secara langsung pada objek yang sebenarnya. 37
Dalam simulasi, para siswa membuat sambungan di dalam
otak mereka yang jarang didapat, melalui teknik pengajaran
konvensional. Akibatnya, pembelajaran memiliki dampak yang lebih
besar, ditambah dengan pengetahuan dan keterampilan baru serta
efeknya dapat dipertahankan lebih lama lagi. Hebatnya, waktu yang
dihabiskan untuk simulasi sebuah konten tidak mengurangi jumlah
jam belajar. Efektivitas penggunaan pendekatan simulasi akan
tergantung pada desain dasar dari simulasi serta pelaksanaan dan
evaluasi teknik yang digunakan. Mengajar menggunakan Metode
Simulasi merupakan usaha untuk meningkatkan motivasi, para
peserta datang untuk memahami lebih banyak dan juga dapat
menemukan lebih banyak subjek. Bahkan, pemahaman mulai
berkembang pesat, sehingga tingkat yang lebih tinggi dari motivasi
itu dapat muncul. Dengan demikian, motivasi dan pemahaman
menjadi bahan bakar untuk satu sama lain, dan siswa menjadi lebih
terlibat dalam pengalaman pembelajaran. Peserta didik benar-benar
menggunakan lebih dari pengertian materi ketika mereka terlibat
dalam kegiatan simulasi. Hal ini dapat dicontohkan seperti
bertayamum, sholat, berwudhu, memandikan dan mengkafani
jenazah, dan lain-lain.
k. Metode Kisah
Metode kisah adalah metode yang banyak menceritakan suatu
peristiwa untuk menyampaikan pesan-pesan yang terkandung di
dalamnya, misalnya kisah para nabi dan rasul dan umat terkemuka
zaman dahulu. Dalam kisah itu tersimpan nilai-nilai etis, pedagogis,
religius, kepemimpinan dan perjuangan yang memungkinkan siswa
mampu meresapinya. Contohnya; menceritakan tentang kisah nabi
Ya’kub sebagai salah satu contoh nabi yang memiliki kesabaran
dalam menghadapi ujian sakit, dijauhi sanak saudara dan kerabat
dekat.
37
Wina Sanjaya, (2010). Strategi....., Hal. 159.
Dari Normatif – Filosofis ke Praktis
29
l. Metode Pemahaman dan Penalaran (al-Ma’rifal wa al-Nadhariyah)
Metode ini adalah metode mendidik dengan membimbing anak
didik untuk dapat memahami problema yang dihadapi dengan
menemukan jalan keluar yang benar dari berbagai macam kesulitan
dengan melatih anak didik menggunakan pikirannya dalam mendata
masalah, dengan cara memilah dan memilih, membuang mana yang
salah, meluruskan yang bengkok, dan mengambil yang benar.
m. Metode Suri Tauladan
Metode ini dapat diartikan sebagai “contoh yang baik”. Dengan
adanya contoh yang baik itu, maka akan menumbuhkan hasrat bagi
orang lain untuk meniru atau mengikutinya. Sebab saat ini banyak
sekali orang (guru) yang bisa memberi contoh tetapi tidak layak
dicontoh, oleh karena itu, pribadi yang menjadi seorang guru yang
bisa memberi contoh dan sekaligus layak untuk dicontoh dalam
perilaku sehari-hari.
Dengan adanya tingkah laku yang baik dalam hal apapun maka
hal itu merupakan suatu amaliyah yang paling penting dan paling
berkesan, baik bagi pendidik atau peserta didik, maupun dalam
kehidupan, dan pergaulan sehari-hari. 38Contohnya; kisah tentang
nabi Muhammad Saw, yang patut untuk diteladani bagi setiap umat
muslim.
n. Metode Amtsal
Metode ini dilakukan dengan cara memberi perumpamaan dari
yang abstrak kepada yang lebih konkrit untuk mencapai tujuan dan
atau mengambil manfaat dari perumpamaan tersebut. Manna Khalil
Al Qattan mengklasifikasi amstal dalam Al Qur’an menjadi 3 macam:
1) Amtsal Musarrahah, yaitu amtsal yang di dalamnya dijelaskan
dengan lafadz atau sesuatu yang menunjukkan kesamaan/
serupa. Contoh pada Q.S. Al Baqarah: 261.
38
Abdul Majid, (2007).Perencanaan Pembelajaran, Bandung: PT. Remaja Rosdakarya. Hal.137 - 149.
30
Manajemen Kurikulum Pendidikan Islam
#
“Perumpamaan (nafkah yang dikeluarkan oleh) orang-orang yang
menafkahkan hartanya di jalan Allahadalah serupa dengan sebutir benih
yang menumbuhkan tujuh bulir, pada tiap-tiap bulir seratus biji. Allah
melipat gandakan (ganjaran) bagi siapa yang dia kehendaki. dan Allah
Maha luas (karunia-Nya) lagi Maha Mengetahui.
2) Amtsal Kamimah, yaitu amstal yang di dalamnya tidak disebutkan
secara jelas lafadz tamsil tetapi menunjukkan makna-makna yang
indah dan menarik dalam kepadatan redaksionalnya. Contoh
pada Q.S. Al Furqan: 67 dan Al Isra: 29.
#
“Dan janganlah kamu jadikan tanganmu terbelenggu pada lehermu dan
janganlah kamu terlalu mengulurkannya. Karena itu kamu menjadi
tercela dan menyesal.”
3) Amtsal Mursalah, yaitu kalimat bebas yang tidak menggunakan
tasybih secara jelas, tetapi kalimat-kalimat itu berlaku sebagai
perumpamaan. Contoh QS Al Baqarah: 249 dan Yusuf: 51.
#
“Raja Berkata (kepada wanita-wanita itu): "Bagaimana keadaanmu
ketika kamu menggoda Yusuf untuk menundukkan dirinya
(kepadamu)?" mereka berkata: "Maha Sempurna Allah, kami tiada
mengetahui sesuatu keburukan dari padanya". Berkata isteri Al Aziz:
"Sekarang jelaslah kebenaran itu, Akulah yang menggodanya untuk
menundukkan dirinya (kepadaku), dan Sesungguhnya dia termasuk
orang-orang yang benar."
Dari Normatif – Filosofis ke Praktis
31
o. Metode Ibrah Mauidhoh
Metode ini merupakan suatu cara yang membuat kondisi psikis
seseorang (siswa) mengetahui intisari perkara yang mempengaruhi
perasaannya, yang diambil dari pengalaman hidupnya sendiri
sehingga sampai pada tahapan perenungan, penghayatan dan
tafakkur (berfikir) yang menuntun kepada pengamalan.
p. Metode Targhib-Targhib
Metode ini merupakan cara untuk meyakinkan seseorang (siswa)
terhadap kekuasaan dan kebenaran Allah melalui janji-Nya, disertai
dengan bujukan dan rayuan untuk melakukan amal shalih.
6. Evaluasi
Evaluasi dalam pandangan siswa adalah tentang sukses atau gagal
dalam ujian. Holt (1964) dalam Brady (1990), menyerang sekolah-sekolah
yang telah menghancurkan kreativitas dan kapasitas intelektual anak
dengan membuatnya takut atau menjadi bersalah. Holt selanjutnya
mengkritik sekolah sebagai hanya melihat anak menjadi ajang merebutkan hadiah “bintang emas” atau memiliki prestasi “A” bahwa mereka
lebih baik dari yang lain. Banyak anak tidak nyaman menghadapi
evaluasi mereka. Evaluasi atau penilaian dilakukan secara bertahap,
berkesinambungan, dan bersifat terbuka.
Banyak wilayah yang menjadi fokus evaluasi. Area-area yang
cocok untuk evaluasi diantaranya; keterampilan berfikir, pengetahuan,
kemampuan, sikap, nilai, pengembangan moral, keterampilan fisik,
kreativitas, keterampilan sosial, pemahaman estetik, kesadaran,
sensitivitas, keterampilan komunikasi, keterampilan aplikasi dan
berhubungan dengan yang lain. Secara tegas Brady menggambarkan
sebagai berikut. 39
39
Ibid, hal. 134
32
Manajemen Kurikulum Pendidikan Islam










Keterampilan berfikir, pengetahuan, kemampuan
Sikap, nilai, pengembangan moral
Keterampilan pisik, pengetahuan, sikap, ketegaran
Kreativitas dan pemikiran divergen/lateral
Keterampilan sosial dan sikap
Pemahaman estetik dan keterampilan
Kesadaran, sensitivitas, rasa, tanggung jawab
Keterampilan komunikasi
Keterampilan aplikasi (kehendak untuk bekerja)
Keterampilan berhubungan dengan orang lain
Gambar 1.9: Area-area yang sesuai untuk Evaluasi.
Melalui evaluasi ini dapat diperoleh keterangan mengenai
kegiatan dan kemajuan belajar siswa, dan pelaksanaan kurikulum oleh
guru dan tenaga kependidikan lainnya. Evaluasi prinsipnya harus
berkesinambungan, kompatibel dengan rumusan tujuan dan memiliki
validitas dalam arti prosedur evaluasi harus mengukur apakah mereka
dianggap layak untuk dilakukan pengukuran. Dalam pelaksanaan
evaluasi ini terdapat banyak instrumen pengukuran yang dapat
dipergunakan oleh pendidik, antara lain: (a) tes standar (pencil and paper
test); (b) tes buatan guru; (c) sampel hasil karya (projective technique); (d)
tes lisan; (e) observasi sistematis (systematic observation and Recording);
(f)wawancara (open-ended question); (g) Kuesioner (questionnaire);(h)
daftar cek dan skala penilaian (rating scale); (j) sosiogram (sociometry) dan
pelaporan.
Guru menurut Oliva memiliki tanggung jawab untuk melakukan
evaluasi kurikulum dan evaluasi instruksional. Evaluasi instruksional
adalah evaluasi pelaksanaan kurikulum. 40 Evaluasi kurikulum adalah
assessment pada program, proses dan produk kurikulum(material, bukan
manusia). Evaluasi instruksional adalah assessment prestasi anak
sebelum, selama, dan sesudah program dan efektifitas instruksional.
40
Peter Olivia, (1992). Developing…, hal. 64
Dari Normatif – Filosofis ke Praktis
33
Memasuki era globalisasi perencanaan kurikulum harus lebih
adaptif. Terutama berkait dengan isu teknologi dan keragaman. Polka
menegaskan sebagai berikut.
Curriculum planning as a strategic educational process for the
improvement of learning. Curriculum planning projects that address
the three contemporary dynamic curriculum change forces of
technology, diversity or constructivism, must be introduced to
educators with attention given to their personal and professional
needs using the 4 C’s of Cooperative, Comprehensive, Concrete,
and Continuous as a strategic framework. 41
Komponen perencanaan kurikulum di atas,fondasi atau landasan,
tujuan, organisasi isi, organisasi siswa, metode dan evaluasi dalam
perencanaan kurikulum harus mempertimbangkan kebutuhan masyarakat, karakteristik pembelajar, dan lingkup pengetahuan menurut
hierarki keilmuan. Oleh karena itu, pengelolaan komponen perencanaan
kurikulum harus memperhatikan faktor–faktor di atas. Hal ini penting
untuk menjaga relevansi dan pemenuhan kebutuhan dan aspirasi yang
terus berkembang sesuai dengan dinamika masyarakat.
C. Pengorganisasian Kurikulum Pendidikan Islam
Pengorganisasian kurikulum berbeda dengan organisasi
kurikulum. Pengorganisasian kurikulum merupakan upaya untuk
mengelola dan mensingkronisasikan semua program kurikulum
pendidikan Islam agar dapat diimplementasikan dalam kegiatan belajar
mengajar dengan optimal. Sedangkan organisasi kurikulum adalah
struktur program yang berupa kerangka umum program-program
pengajaran yang akan disampaikan kepada siswa.
Organisasi adalah sistem kerja sama sekelompok orang untuk
mencapai tujuan bersama. Langkah pertama dalam pengorganisasian
diwujudkan melalui perencanaan dengan menetapkan bidang-bidang
atau fungsi-fungsi yang termasuk ruang lingkup kegiatan yang akan
diselenggarakan oleh suatu kelompok kerjasama tertentu. Keseluruhan
pembidangan itu sebagai suatu kesatuan merupakan total sistem yang
41
Polka, W. S. dan Mattai, P. R . (2000). Curriculum Planning in The Twenty-First Century: Managing
Technology, Diversity, and Constructivism to Create Appropriate Learning Environments for All Students
34
Manajemen Kurikulum Pendidikan Islam
bergerak ke arah satu tujuan. Dengan demikian, setiap pembidangan
kerja dapat ditempatkan sebagai sub sistem yang mengemban sejumlah
tugas yang sejenis sebagai bagian dari keseluruhan kegiatan yang
diemban oleh kelompok-kelompok kerjasama tersebut.
Kegiatan pengorganisasian kurikulum pendidikan Islam tampak
melalui adanya kesatuan yang utuh dan terciptanya mekanisme yang
sehat, sehingga kegiatan dapat berjalan dengan baik dan lancar guna
mencapai tujuan yang telah ditetapkan.Proses pengorganisasian tersebut
menekankan pentingnnya kesatuan dalam segala tindakan, dalam hal ini
al-Qur'an telah menyebutkan betapa pentingnya tindakan kesatuan yang
utuh, murni dan bulat dalam suatu organisasi. Hal tersirat dalam firman
Allah Swt dalam surat Al-Imron berikut.
“Dan berpeganglah kamu semuanya kepada tali (agama) Allah, dan
janganlah kamu bercerai berai, dan ingatlah akan nikmat Allah kepadamu
ketika kamu dahulu (masa Jahiliyah) bermusuh-musuhan, Maka Allah
mempersatukan hatimu, lalu menjadilah kamu Karena nikmat Allah,
orang-orang yang bersaudara; dan kamu Telah berada di tepi jurang
neraka, lalu Allah menyelamatkan kamu dari padanya. Demikianlah
Allah menerangkan ayat-ayat-Nya kepadamu, agar kamu mendapat
petunjuk.”(QS. Al Imron: 103).
Menurut Nasution organisasi kurikulum adalah pola atau bentuk
bahan pelajaran yang akan disampaikan kepada murid. 42 Jadi,
mengorganisasikan kurikulum merupakan implementasi dari fungsi
manajemen kurikulum itu sendiri. Dalam ilmu manajemen bahwasanya
setidaknya memiliki empat fungsi yaitu planning (perencanaan),
organizing (pengorganisasian), actuating (pengaplikasian), dan controlling
(pengawasan).
42
S. Nasution, (1995).Kurikulum…, hal. 135
Dari Normatif – Filosofis ke Praktis
35
Pengorganisasian kurikulum dapat dilihat dari dua pendekatan,
yakni pendekatan manajemen dan pendekatan akademik. Pengertian
dari kata organisasi itu sendiri adalah suatu kelompok sosial yang
bersifat tertutup atau terbuka dari/terhadap pihak luar, yang diatur
berdasarkan aturan tertentu, yang dipimpin/diperintah oleh seseorang
pimpinan atau seorang pimpinan atau seorang staf administratif, yang
dapat melaksanakan bimbingan secara teratur dan bertujuan. Dalam
sebuah organisasi sangat diperlukan melaksanakan proses manajemen,
yakni:
1. Organisasi perencanaan kurikulum, yang dilaksanakan oleh suatu
lembaga atau tim pengembang kurikulum.
2. Organisasi dalam rangka implementasi kurikulum, baik pada tingkat
daerah maupun pada tingkat sekolah atau satuan lembaga
pendidikan yang melaksanakan kurikulum.
3. Organisasi dalam tahap evaluasi kurikulum, yang melibatkan pihakpihak yang terkait dalam proses evaluasi sebuah kurikulum.
Dalam setiap jenis organisasi kurikulum, terdapat susunan
kepengurusan yang telah ditentukan sesuai dengan struktur organisasi
berikut dengan tugas-tugas pekerjaannya sekaligus. Sedangkan bentukbentuk kurikulum, akan disusun menurut pola organisasi kurikulum
yang dilengkapi struktur, urutan kegiatan pembelajaran dan ruang
lingkup materi tertentu. Dan secara akademik, organisasi kurikulum
dikembangkan dalam bentuk-bentuk organisasi sebagai berikut:
1. Kurikulum Mata Pelajaran Terpisah (Separated Curriculum)
Merupakan kurikulum yang terdiri dari sejumlah mata ajaran
secara terpisah. Adalah kurikulum yang mempunyai cirri-ciri sebagai
berikut:
a. Terdiri atas sejumlah mata pelajaran yang terpisah satu sama lain.
b. Setiap mata pelajaran seolah-olah tersimpan dalam kotak-kotak
tersendiri dan disampaikan pada anak didik pada waktu-waktu
tertentu.
c. Kurikulum ini bertujuan pada penguasaan sejumlah ilmu
pengetahuan.
d. Tidak didasarkan atas kebutuhan, minat, dan masalah-masalah yang
menyangkut diri siswa.
36
Manajemen Kurikulum Pendidikan Islam
e. Tidak mempertimbangkan kebutuhan, masalah, dan tuntutan
masyarakat.
f. Pendekatan metodologi sistem penyampaian.
g. Pelaksanaan dengan sistem guru mata pelajaran.
h. Para siswa sama sekali tidak dilibatkan dalam perencanaan
kurikulum.
2. Kurikulum yang Berkorelasi dengan Mata Pelajaran (Correlated
Curriculum)
Mata pelajaran-mata pelajaran itu disusun dalam pola korelasi
agar lebih mudah dipenuhi oleh siswa. Bentuk korelasi terdiri atas dua
jenis, yaitu:
a. Korelasi informal, dimana seorang guru mata pelajaran meminta agar
guru mata pelajaran lainnya mengkorelasikan pelajaran yang akan
digunakannya dengan bahan yang akan diberikannya dengan bahan
yang telah diberikan oleh guru yang sebelumnya.
b. Korelasi formal, bahwasanya beberapa orang guru merencanakan
bersama-sama untuk mengkorelasikan mata pelajaran yang akan
menjadi tanggung jawab masing-masing guru.
Ciri-ciri kurikulum berkorelasi ini adalah sebagai berikut:
a. Mata pelajaran dikorelasikan satu sama lain.
b. Mulai adanya usaha untuk merelevankan pelajaran dengan masalah
kehidupan sehari-hari meskipun tujuannya masih tetap untuk
penguasaan pengetahuan.
c. Kurikulum ini telah mulai mengusahakan penyesuaian pelajaran
dengan minat dan kemampuan para siswa walaupun pelayanan
terhadap perbedaan individual masih sangat terbatas.
d. Metode pencapaiannya adalah dengan menggunakan metode
korelasi meskipun masih banyak kendala dan hambatan yang
dihadapi.
e. Meskipun guru masih memegang peran aktif, aktivitas siswa juga
mulai dikembangkan.
Dari Normatif – Filosofis ke Praktis
37
3. Kurikulum Bidang Studi (Subject Curriculum)
Ciri-ciri umum yang terdapat dalam kurikulum bidang studi
antara lain:
1) Kurikulum terdiri atas suatu bidang pengajaran yang di dalamnya
terdapat perpaduan sejumlah mata pelajaran yang sejenis dan
memiliki ciri-ciri yang sama.
2) Pelajaran bertitik tolak dari core subject, dari sana kemudian
dijabarkan menjadi sejumlah pokok bahasan.
3) Berdasarkan tujuan kurikuler dan tujuan instruksional yang telah
direncanakan sebelumnya.
4) Sistem penyampaiannya bersifat terpadu.
5) Guru berperan selaku guru bidang studi.
6) Minat, masalah, dan kebutuhan siswa serta kebutuhan masyarakat
dipertimbangkan sebagai dasar penyusunan kurikulum.
4. Kurikulum Berintegrasi/Terpadu(Integrated Curriculum).
Kurikulum terpadu dasarnya pada pemecahan suatu problem,
yakni “problem sosial” yang dianggap penting dan menarik bagi anak
didik. Dalam melaksanakannya disusunlah unit sumber yang mencakup
bahan, kegiatan belajar, dan sumber-sumber yang sangat luas.
Sumber unit digunakan sebagai sumber untuk satuan pelajaran
yang dipelajari anak didik di kelas. Perbedaan individual anak didik
tidak harus selalu mempelajari hal yang sama dan ada kebebasan bagi
anak didik memilih pelajaran menurut minat, bakat, dan kemampuan
mereka masing-masing. Pemahamannya bahwa unit sumber merupakan
apa yang secara ideal dapat dipelajari anak didik, sedangkan satuan
pelajaran adalah apa yang secara aktual dipelajari anak didik. 43
Ciri-ciri umum bentuk kurikulum ini adalah:
a.
b.
c.
d.
Berdasarkan filsafat pendidikan demokrasi.
Berdasarkan psikologi belajar Gestalt.
Berdasarkan landasan sosiologi dan sosial-kultural.
Berdasarkan kebutuhan
dan
tingkat
perkembangan dan
pertumbuhan siswa.
e. Ditunjang oleh semua mata pelajaran atau bidang studi yang ada.
43
Abdullah Idi, (2010). Pengembangan Kurikulum Teori dan Praktik, Jogjakarta, Ar-Ruzz Media.Hal. 177.
38
Manajemen Kurikulum Pendidikan Islam
f. Sistem penyampaiannya dengan menggunakan pendekatan tematik
dan sistem pengajaran unit.
g. Peran guru sama aktifnya dengan murid.
5. Kurikulum Inti (Core curriculum)
Kurikulum yang disusun berdasarkan masalah dan kebutuhan
siswa. Ciri-ciri core curriculum, yaitu:
a. Inti pelajaran meliputi pengalaman-pengalaman yang penting untuk
pertumbuhan dan perkembangan semua siswa.
b. Inti program berkenaan dengan pendidikan umum (general education)
untuk memperoleh bermacam-macam hasil (tujuan pendidikan).
c. Kegiatan-kegiatan dan pengalaman-pengalaman inti disusun dan
diajarkan dalam bentuk kesatuan, tidak dibatasi oleh garis-garis
pelajaran yang terpisah.
d. Inti program diselenggarakan dalam jangka waktu yang lebih lama.
D. Implementasi Kurikulum Pendidikan Islam
Beuchamp mengartikan implementasi kurikulum sebagai “a
process of putting the curriculum to work”. 44 Fullan mengartikan
implementasi kurikulum sebagai “the putting into practice of an idea,
program or set of activities which is new to the individual or organizational
using it”. 45Pembelajaran merupakan wujud implementasi kurikulum.
Implementasi kurikulum pendidikan Islam merupakan suatu
proses penerapan ide, konsep, kebijakan atau inovasi pendidikan Islam
dalam suatu tindakan praktis sehingga memberikan dampak baik
berupa perubahan pengetahuan, keterampilan maupun nilai, sikap,
modal dan akhlak.
Implementasi kurikulum dapat juga diartikan sebagai aktualisasi
kurikulum tertulis dalam bentuk pembelajaran. Implementasi kurikulum merupakan suatu proses penerapan konsep, ide, program, atau
tatanan kurikulum ke dalam praktik pembelajaran atau aktivitasaktivitas baru, sehingga terjadi perubahan pada sekelompok orang yang
diharapkan untuk berubah. Implementasi kurikulum juga merupakan
44
Baucamp, G.A. (1975). Curriculum Theory, Illionis, The Kagg Press. Hal. 16
John. P. Miller, (1985). Curriculum Perspective.Longman. United States. Hal. 246
45
Dari Normatif – Filosofis ke Praktis
39
proses interaksi antara fasilitator sebagai pengembang kurikulum dan
peserta didik sebagai subjek belajar.
Implementasi kurikulum pendidikan Islam adalah tindakan
nyata dari rencana yang dibuat dalam perencanaan untuk dilaksanakan
secara konsisten dan kontinyu. Allah tidak suka dengan orang-orang
yang sudah membuat suatu rencana tetapi tidak dilakukan dengan baik.
Indikator keberhasilan dalam implementasi kurikulum pendidikan
Islam adalah adanya wujud nyata dari apa yang direncanakan. Hal
sebagaimana diterangkan dalam firman Allah surat Al-An’am ayat 135
berikut.
“Katakanlah: "Hai kaumku, berbuatlah sepenuh kemampuanmu,
Sesungguhnya akupun berbuat (pula). Kelak kamu akan mengetahui,
siapakah (di antara kita) yang akan memperoleh hasil yang baik di
dunia ini. Sesungguhnya orang-orang yang zalim itu tidak akan
mendapatkan keberuntungan.” (QS. Al-An’am: 135).
“Wahai orang-orang yang beriman, kenapakah kamu mengatakan
sesuatu yang tidak kamu kerjakan? (2) Amat besar kebencian di sisi
Allah bahwa kamu mengatakan apa-apa yang tidak kamu kerjakan
(3).(QS. Al-Shaf: 2-3).
Inti dari implementasi adalah adanya aktivitas, aksi, tindakan
dan mekanisme suatu sistem. Ungkapan mekanisme mengandung arti
bahwa implementasi bukan sekadar aktivitas, tetapi suatu kegiatan yang
terencana dan dilakukan secara sungguh-sungguh (penuh komitmen)
berdasarkan acuan norma tertentu untuk mencapai tujuan kegiatan.
Oleh karena itu, implementasi tidak berdiri sendiri tetapi dipengaruhi
oleh perencanaan dan evaluasi yang baik.
Dengan demikian, maka implementasi kurikulum pendidikan
Islam merupakan proses untuk melaksanakan ide, program atau
seperangkat aktivitas pendidikan Islam dengan harapan terjadi
40
Manajemen Kurikulum Pendidikan Islam
perubahan pada pola pikir dan perilaku peserta didik menjadi lebih baik
dan sesuai dengan tuntunan Allah Swt.
Esensi implementasi adalah suatu proses, suatu aktivitas yang
digunakan untuk menjalankan ide/gagasan, program atau harapanharapan yang dituangkan dalam bentuk desain written curriculum
(kurikulum tertulis) agar dilaksanakan sesuai dengan desain tersebut.
Masing-masing pendekatan itu mencerminkan tingkat pelaksanaan yang
berbeda. Adapun untuk mengimplementasikan kurikulum dapat
dilakukan dengan berbagai pendekatan. Pendekatan Pertama, menggambarkan implementasi itu dilakukan sebelum penyebaran (desiminasi)
kurikulum desain. Kata proses dalam pendekatan ini adalah aktivitas
yang berkaitan dengan penjelasan tujuan program, mendeskripsikan
sumber-sumber baru dan mendemonstrasikan metode pengajaran yang
digunakan.
Pendekatan kedua, yaitu menekankan pada fase penyempurnaan.
Kata proses dalam pendekatan ini lebih menekankan pada interaksi
antara pengembang dan guru (praktisi pendidikan). Pengembang melakukan pemeriksaan pada program baru yang direncanakan, sumbersumber baru, dan memasukkan isi/materi baru ke program yang sudah
ada berdasarkan hasil uji coba di lapangan dan pengalaman-pengalaman
guru. Interaksi antara pengembang dan guru terjadi dalam rangka
penyempurnaan program, pengembang mengadakan workshop,
lokakarya atau diskusi-diskusi dengan guru-guru untuk memperoleh
masukan. Implementasi dianggap selesai manakala proses penyempurnaan program baru dipandang sudah lengkap.
Pendekatan ketiga, adalah memandang implementasi sebagai
bagian dari program kurikulum. Proses implementasi dilakukan dengan
mengikuti perkembangan dan mengadopsi program-program yang
sudah direncanakan dan sudah diorganisasikan dalam bentuk desain
kurikulum (dokumentasi).
Ada dua persoalan utama dalam implementasi kurikulum, yaitu
karakteristik kurikulum dan kemampuan guru. Adapun faktor-faktor
yang mempengaruhi implementasi kurikulum; kreativitas, inovasi,
kompetensi, kecakapan, kesungguhan, dan ketekunan guru.
Dari Normatif – Filosofis ke Praktis
41
Implementasi kurikulum dipengaruhi oleh tiga faktor yaitu:
Pertama, Karakteristik kurikulum: yang mencakup ruang lingkup ide
baru suatu kurikulum dan kejelasannya bagi pengguna di lapangan.
Kedua, Strategi implementasi: yaitu strategi yang digunakan dalam
implementasi, seperti diskusi profesi, seminar, penataran, lokakarya,
penyediaan buku kurikulum dan kegiatan-kegiatan yang dapat mendorong penggunaan kurikulum di lapangan. Ketiga, Karakteristik
pengguna kurikulum, yang meliputi pengetahuan, ketrampilan, nilai
dan sikap guru terhadap kurikulum, serta kemampuannya untuk
merealisasikan kurikulum dalam pembelajaran.
Mars (1980) mengemukakan tiga faktor yang mempengaruhi
Implementasi kurikulum, yaitu: (1) dukungan kepala sekolah; (2)
dukungan rekan sejawat guru; (3) dan dukungan internal yang datang
dari dalam diri guru sendiri. Dari berbagai faktor tersebut, guru
merupakan faktor penentu disamping faktor-faktor yang lain. Dengan
kata lain, keberhasilan Implementasi kurikulum di sekolah sangat
ditentukan oleh faktor guru, karena bagaimanapun baiknya sarana
pendidikan apabila guru tidak melaksanakan tugas dengan baik, maka
hasil Implementasi kurikulum (pembelajaran) tidak akan memuaskan.
Dalam garis besarnya Implementasi kurikulum berbasis kompetensi
mencakup tiga kegiatan pokok, yaitu pengembangan program,
pelaksanaan pembelajaran, dan evaluasi.
E. Evaluasi Kurikulum Pendidikan Islam
Evaluasi merupakan salah satu komponen kurikulum. Dalam
pengertian terbatas, evaluasi kurikulum dimaksudkan untuk memeriksa
tingkat ketercapaian tujuan-tujuan pendidikan yang ingin diwujudkan
melalui kurikulum yang bersangkutan. Sebagaimana dikemukakan oleh
Wright bahwa: “curriculum evaluation may be defined as the estimation of
growth and progress of students toward objectives or values of the curriculum“.
Dalam manajemen kurikulum pendidikan Islam evaluasi
merupakan salah satu fungsi yang harus dijalankan. Hal ini sejalan
dengan firman Allah Swt, dalam surat al-Ankabut berikut:
#
42
Manajemen Kurikulum Pendidikan Islam
#
“Apakah manusia itu mengira bahwa mereka dibiarkan (saja)
mengatakan: "Kami Telah beriman", sedang mereka tidak diuji lagi?
(2) Dan Sesungguhnya kami Telah menguji orang-orang yang sebelum
mereka, maka sesungguhnya Allah mengetahui orang-orang yang benar
dan Sesungguhnya dia mengetahui orang-orang yang dusta (3).” (QS.
Al-Ankabut: 2-3)
Evaluasi kurikulum pendidikan Islam merupakan suatu upaya
yang dilakukan untuk mengetahui kemampuan peserta didik terhadap
hasil proses pendidikan dan pembelajaran yang dilakukan di sekolah/
madrasah. Hal ini untuk mengetahui siswa mana yang telah mampu
menguasai kompetensi tertentu atau belum.
Evaluasi kurikulum memegang peranan penting, baik untuk
penentuan kebijakan pendidikan pada umumnya maupun untuk
pengambilan keputusan dalam kurikulum itu sendiri. Hasil-hasil
evaluasi kurikulum dapat digunakan oleh para pemegang kebijakan
pendidikan dan para pengembang kurikulum dalam memilih dan
menetapkan kebijakan pengembangan sistem pendidikan dan pengembangan model kurikulum yang digunakan.
Hasil-hasil evaluasi kurikulum juga dapat digunakan oleh guruguru, kepala sekolah dan para pelaksana pendidikan lainnya dalam
memahami dan membantu perkembangan peserta didik, memilih bahan
pelajaran, memilih metode dan alat-alat bantu pelajaran, cara penilaian
serta fasilitas pendidikan lainnya.
1. Pengertian Evaluasi Kurikulum
Salah satu rumusan mengenai evaluasi menyatakan bahwa
evaluasi adalah perbuatan pertimbangan berdasarkan seperangkat
kriteria yang disepakati dan dapat dipertanggungjawabkan. Dalam
rumusan itu terdapat tiga faktor utama, yakni (1) pertimbangan
Dari Normatif – Filosofis ke Praktis
43
(judgment), (2) deskripsi obyek penelitian, (3) kriteria yang dapat
dipertanggungjawabkan. 46
Pertimbangan adalah pangkal dalam membuat keputusan.
Membuat keputusan berarti menentukan derajat tertentu yang berkenaan dengan hasil evaluasi. Pertimbangan membutuhkan informasi
yang akurat dan relevan serta dapat dipercaya.
Deskripsi obyek penelitian adalah perubahan perilaku sebagai
suatu produk suatu sistem. Perilaku harus dijelaskan, dirinci dan
dispesifikasikan sehingga dapat diamati dan diukur.
Kriteria yang dapat dipertanggungjawabkan adalah ukuranukuran yang akan digunakan dalam menilai suatu obyek. Kriteria
penilaian harus relevan dengan kriteria keberhasilan, sedangkan kriteria
keberhasilan harus dilihat dalam hubungannya dengan sasaran
program/kurikulum. Menurut Morisson, kriteria penilaian harus
memenuhi persyaratan antara lain:
a. Relevan dengan kerangka rujukan dan tujuan-tujuan evaluasi dan
tujuan-tujuan program/kurikulum.
b. Diterapkan pada data deskriptif yang relevan dan menyangkut
program/kurikulum evaluasi dan kurikulum merupakan 2 disiplin
ilmu yang berdiri sendiri, ada pihak yang berpendapat antara keduanya tidak ada hubungan, tetapi ada pihak lain yang menyatakan
keduanya mempunyai hubungan yang sangat erat. Hubungan
tersebut merupakan hubungan sebab akibat, perubahan dalam
kurikulum berpengaruh pada evaluasi kurikulum, sebaliknya
perubahan evaluasi perubahan evaluasi akan memberi warna pada
pelaksanaan kurikulum, hubungan antara evaluasi dengan kurikulum bersifat organis dan prosesnya berlangsung secara evolusioner.
Evaluasi merupakan salah satu komponen kurikulum. Dalam
pengertian terbatas, evaluasi kurikulum dimaksudkan untuk
memeriksa tingkat ketercapaian tujuan-tujuan pendidikan yang ingin
diwujudkan melalui kurikulum yang bersangkutan. Sedangkan
dalam pengertian yang lebih luas, evaluasi kurikulum dimaksudkan
untuk memeriksa kinerja kurikulum secara keseluruhan ditinjau dari
berbagai kriteria. Indikator kinerja yang dievaluasi tidak hanya
46
Oemar Hamalik, (2007). Evaluasi Kurikulum. PT. Remaja Rosda Karya: Bandung.
44
Manajemen Kurikulum Pendidikan Islam
terbatas pada efektivitas saja, namun juga relevansi, efisiensi,
kelaikan (feasibility) program.
2. Prinsip-prinsip Evaluasi Kurikulum
Program Evaluasi Kurikulum didasarkan atas prinsip sebagai
berikut:
a.
b.
c.
d.
e.
f.
Evaluasi kurikulum didasarkan atas tujuan tertentu.
Evaluasi kurikulum harus bersifat obyektif.
Bersifat komprehensif.
Dilaksanakan secara kooperatif.
Harus dilaksanakan secara efisien.
Evaluasi kurikulum dilaksanakan secara berkesinambungan.
3. Peranan dan Model Evaluasi Kurikulum
a. Peranan Evaluasi Kurikulum
Peranan Evaluasi kebijaksanaan dalam kurikulum khususnya
pendidikan umumnya minimal berkenaan dengan tiga hal yaitu:
1) Evaluasi sebagai moral judgment, konsep utama dalam evaluasi
adalah masalah nilai, hasil dari suatu evaluasi berisi suatu nilai
yang akan digunakan untuk tindakan selanjutnya hal ini mengandung dua pengertian; (a) Evaluasi berisi suatu skala nilai moral,
berdasarkan skala tersebut suatu objek evaluasi dapat dinilai; (b)
Evaluasi berisi suatu perangkat kriteria praktis berdasarkan
kriteria-kriteria suatu hasil dapat dinilai
2) Evaluasi dan penentuan keputusan, pengambilan keputusan
dalam pelaksanaan pendidikan atau kurikulum banyak yaitu:
guru, murid, orang tua, kepala sekolah, para inspektur,
pengembangan kurikulum dll., beberapa diantara mereka yang
memegang peranan paling besar dalam penentuan keputusan.
Pada prinsipnya tiap individu di atas membuat keputusan sesuai
dengan posisinya.
Evaluasi dan konsensus nilai dalam berbagai situasi
pendidikan serta kegiatan pelaksanaan evaluasi kurikulum sejumlah
nilai-nilai dibawakan oleh orang-orang yang ikut terlibat dalam
kegiatan penilaian atau evaluasi, para partisipan dalam evaluasi
Dari Normatif – Filosofis ke Praktis
45
pendidikan dapat terdiri dari orang tua, murid, guru, pengembang
kurikulum, administrator, para ahli berbagai bidang dan lain
sebagainya. Bagaimana caranya agar dapat diantara mereka terdapat
kesatuan penilaian hanya dapat dicapai melalui suatu konsensus.
b. Model-model Evaluasi Kurikulum
1) Evaluasi model penelitian.
Tes psikologi pada umumnya mempunyai dua bentuk yaitu
tes intelegensi yang di tujukan untuk mengukur kemampuan
bawaan, serta tes hasil belajar yang mengukur prilakuskolastik.
Eksperimen lapangan dalam pendidikan, dimulai tahun
1930 dengan menggunakan metode yang biasa di gunakan dalam
penelitian botani pertama, ada beberapa kesulitan yang dihadapi
dalam eksperimen tersebut:
a) Kesulitan administrasi, sedikit sekali sekolah yang bersedia
dijadikan sekolah eksperimen.
b) Masalah teknis dan logis yaitu kesulitan menciptakan suasana
kelas yang sama waktu kelompok-kelompok yang diuji.
c) Sukar untuk mencampurkan guru-guru untuk mengajar pada
kelompok eksperimen dengan kelompok kontrol, pengaruh
guru-guru tersebut sukar dikontrol.
d) Adanya keterbatasan mengenai manipulasi eksperimen yang
dapat dilakukan.
2) Evaluasi model objektif
Evaluasi model objektif (model tujuan) berasal dari Amerika
Serikat, perbedaan model objektif ada dalam dua hal:
a) Model objektif evaluasi merupakan bagian yang sangat penting
dari proses pengembangan kurikulum.
b) Kurikulum tidak dibandingkan dengan kurikulum lain tetapi
diukur dengan seperangkat objektif (tujuan khusus).
Ada beberapa persyaratan yang harus dipenuhi oleh tim
pengembang model objektif:
a) Ada kesepakatan tentang tujuan-tujuan kurikulum.
b) Merumuskan tujuan-tujuan dalam perbuatan siswa.
46
Manajemen Kurikulum Pendidikan Islam
c) Menyusun materi kurikulum yang sesuai dengan tujuan
tersebut.
d) Mengukur kesesuaian antara perilaku siswa dengan hasil yang
diinginkan.
Dasar-dasar teori Tylor dan Bloom menjadi prinsip sentral
dalam berbagai rancangan kurikulum dan mencapai puncaknya
dalam sistem belajar berprogram dan sistem instruksional. Sistem
pengajaran yang terkenal adalah Individually Prescribed Instruction
(IPI). Suatu program yang dikembangkan oleh “Learning Research
and Development Centre” Universitas Pittsburg. Dalam IPI anak
mengikuti kurikulum yang memiliki 7 unsur: (1) Tujuan-tujuan
pengajaran yang disusun dalam daerah- daerah tingkat-tingkat
dan unit-unit; (2) Suatu prosedur program testing; (3) Pedoman
prosedur penulisan; (4) Materi dan alat pengajaran; (5) Kegiatan
guru dalam kelas; (6) Kegiatan murid dalam kelas; dan (7)
Prosedur pengelolaan kelas.
3) Model campuran multivariasi
Evaluasi model perbandingan (comparative approach) dan
model Tylor dan Bloom melahirkan evaluasi model campuran
multivariasi, yaitu strategi evaluasi yang menyatukan unsur-unsur
dari kedua pendekatan tersebut. Metode-metode tersebut masuk
ke bidang kurikulum setelah komputer dan program paket
berkembang yaitu tahun 1960. Program paket berisi program
statistik yang sederhana yang tidak membutuhkan pengetahuan
komputer untuk menggunakannya. Dengan berkembangnya
penggunaan komputer memungkinkan studi lapangan tidak di
hambat oleh kesalahan dan kelambatan. Semua masalah
pengolahan statistik dapat dikerjakan dengan komputer.
Langkah- langkah model multivariasi tersebut adalah:
a) Mencari sekolah yang berminat untuk dievaluasi/diteliti.
b) Pelaksanaan program.
c) Sementara tim menyusun tujuan yang meliputi semua tujuan
dari pengajaran umpamanya dengan metode global dan
metode unsur dapat disiapkan tes tambahan.
Dari Normatif – Filosofis ke Praktis
47
d) Bila semua informasi yang diharapkan telah terkumpul, maka
mulailah pekerjaan komputer.
e) Tipe analisis dapat juga digunakan untuk mengukur pengaruh
bersama dan beberapa variabel yang berbeda.
Beberapa kesulitan yang dihadapi dalam model campuran
multivariasi ini yaitu:
a) Diharapkan memberi tes statistik yang signifikan (model
kurikulum ini lebih sesuai bagi evaluasi skala besar.
b) Terlalu banyak variabel yang perlu dihitung pada suatu saat
kemampuan computer hanya sampai 40 variabel.
c) Meskipun model multivariasi telah mengurangi masalah
control berkenaan dengan eksperimen lapangan tetapi tetap
menghadapi masalah-masalah perbandingan.
F. Tindak Lanjut (Follow Up) Evaluasi Kurikulum Pendidikan Islam
Jika evaluasi merupakan suatu upaya yang dilakukan untuk
mengetahui kemampuan atau tingkat keberhasilan peserta didik
terhadap proses dan hasil pendidikan. Maka follow up merupakan tindak
lanjut dari kegiatan evaluasi yang berupa perbaikan perencanaan,
pengorganisasi, implementasi sehingga kegiatan evaluasi tidak hanya
sebagai proses administratif dan pelengkap saja, melainkan benar-benar
ada perubahan yang signifikan dari evaluasi yang telah dilakukan.
Dalam potongan surat al-Ankabut ayat 4 dijelaskan bahwa
tujuan dari evaluasi adalah untuk mengetahui siapa yang benar dan
tidak benar, maka kegiatan tindak lanjut merupakan sebuah bentuk
pembuktian apakah seseorang itu konsisten untuk melakukan perbaikan
yang berbasis pada kebenaran ataukah tidak? Hal tersebut akan tampak
pada tahap follow up.
#
“…maka sesungguhnya Allah mengetahui orang-orang yang benar dan
Sesungguhnya dia mengetahui orang-orang yang dusta.” (QS. AlAnkabut: 3).
48
Manajemen Kurikulum Pendidikan Islam
Dengan demikian, maka setiap kegiatan yang telah dilakukan
perlu dievaluasi secara benar untuk selanjutnya dilakukan upaya tindak
lanjut berupa koreksi (perbaikan) dari kesalahan-kesalahan yang telah
dilakukan di masa lalu agar pendidikan semakin hari semakin baik.
Untuk menindaklanjuti hasil evaluasi kurikulum, diperlukan
suatu prinsip yang disebut dengan konsisten. Artinya evaluasi dipastikan tidak akan terlalu bermakna jika cara mengevaluasinya tidak
dilakukan secara konsisten. Jika memang diketahui bahwa implementasi
kurikulum tidak dapat meningkatkan kualitas pendidikan siswa, maka
perlu dilakukan perubahan. Dan perubahan itu akan dapat memiliki
nilai guna jika ditindaklanjuti secara nyata dengan penuh keyakinan
bahwa langkah itu diambil untuk memperbaiki kualitas pendidikan
yang ada, bukan karena kepentingan politik, ekonomi, dan lain
sebagainya, melainkan demi perbaikan kualitas anak bangsa.
Dari Normatif – Filosofis ke Praktis
49
BAB II
FILSAFAT KURIKULUM PENDIDIKAN
ISLAM
A. Filsafat Kurikulum Pendidikan Islam
1. Pengertian Filsafat Kurikulum Pendidikan Islam
Filsafat Kurikulum Pendidikan Islam yang dimaksud di sini
adalah filsafat pendidikan Islam yang menjadi landasan dalam pengembangan kurikulum pendidikan Islam. Sebab dalam kurikulum pendidikan Islam terdapat orientasi, pendekatan dan model pengembangan
kurikulum didasarkan atas filsafat pendidikan Islam.
Secara harfiah, kata filsafat berasal dari kata Philo yang berarti
cinta, dan kata Sophos yang berarti ilmu atau hikmah. Dengan demikian,
filsafat berarti cinta terhadap ilmu atau hikmah. Terhadap pengertian
seperti ini al-Syaibani mengatakan bahwa filsafat bukanlah hikmah itu
sendiri, melainkan cinta terhadap hikmah dan berusaha mendapatkannya, memusatkan perhatian padanya dan menciptakan sikap positif
terhadapnya. Selanjutnya ia menambahkan bahwa filsafat dapat pula
berarti mencari hakikat sesuatu, berusaha menautkan sebab dan akibat,
dan berusaha menafsirkan pengalaman-pengalaman manusia.
Selain itu terdapat pula teori lain yang mengatakan bahwa filsafat
berasal dari kata Arab falsafah, yang berasal dari bahasa Yunani,
Philosophia: philos berarti cinta, suka (loving), dan sophia yang berarti
pengetahuan, hikmah (wisdom). Jadi, Philosophia berarti cinta kepada
kebijaksanaan atau cinta kepada kebenaran atau lazimnya disebut
Philosopher yang dalam bahasa Arab disebut filsuf. Sementara itu, Hanafi
mengatakan bahwa pengertian filsafat telah mengalami perubahan-
50
Manajemen Kurikulum Pendidikan Islam
perubahan sepanjang masanya. 47 Pitagoras (481-411 SM), yang dikenal
sebagai orang yang pertama yang menggunakan perkataan tersebut.
Dari beberapa pendapat di atas dapat diketahui bahwa pengertian
filsafat dari segi kebahasaan atau semantik adalah cinta terhadap
pengetahuan atau kebijaksanaan. Dengan demikian, maka filsafat adalah
suatu kegiatan atau aktivitas yang menempatkan pengetahuan atau
kebijaksanaan sebagai sasaran utamanya. Filsafat juga memiliki pengertian dari segi istilah atau kesepakatan yang lazim digunakan oleh para
ahli, atau pengertian dari segi praktis.
Kajian filsafat pendidikan Islam, menjadi wacana yang belum juga
ada jawabannya. Belum ada kata sepakat tentang pengertian konsep
pendidikan Islam, pada satu sisi. Sedangkan di sisi yang lain masih ada
pandangan bahwa pendidikan agama, khususnya Islam, merupakan
wilayah individu yang tidak dapat masuk wilayah publik, sehingga
pendidikan yang diartikan secara universal mengalami keterasingan
untuk dikaitkan dengan agama. Kesimpulannya, ada dua wilayah individu dan wilayah umum, antara wilayah teologi dan wilayah sekuler,
antara wilayah dunia dan akhirat. 48
Kedua wilayah itu pada aspek praktis membawa dampak pada
dua kubu yang seakan saling bertentangan. Misalnya, pada institusi
agama dan institusi non-agama, begitu juga produk lembaga pendidikan
terbelah menjadi dua bagian, yakni lulusan lembaga agama dan lulusan
lembaga non agama. Dualisme itu seharusnya tidak terjadi mengingat
dalam pandangan Islam bahwa seluruh aspek kehidupan bersumber
hanya satu yaitu Tuhan. Sehingga dalam institusi harus ada landasan
filosofis yang dibangun oleh penggagas lembaga pendidikan. Oleh
karena itu, untuk mengangulanginya sangat penting untuk menyusun
platform secara terpadu. 49
Filsafat pendidikan Islam memiliki karakteristik yang berbeda
dengan filsafat pendidikan yang lainnya. Ketika filsafat menjadi satu
kesatuan dengan pendidikan Islam, kajian kefilsafatan dalam pendidikan Islam berlandaskan pada pandangan ajaran Islam. Pandangan
Islam adalah prinsip-prinsip yang telah diletakkan oleh Allah dan Rasul47
Ahmad Hanafi, (1990). Pengantar Filsafat Islam, Cet. IV, Jakarta: Bulan Bintang. Hlm. 20
Ahmad Ali Riyadi, (2010). Filsafat Pendidikan Islam, Yogyakarta: Teras. Hlm. 3
49
Ibid, hlm. 4
48
Dari Normatif – Filosofis ke Praktis
51
Nya dalam kitab suci al-Qur’an dan al-Hadits yang dikembangkan oleh
para mujtahid dari waktu ke waktu.
Tujuan pendidikan Islam adalah untuk terwujudnya insan kamil
yang memiliki integritas iman, moral, dan amal, adanya kesatuan antara
jasmani dan rohani, dunia dan akhirat. 50 Dengan kata lain, pendidikan
Islam harus menyentuh tiga ranah, yaitu hati (heart), akal (head), life skill
(hand). Dan ketiganya harus berjalan secara simultan dan sistemik.
Hal itu senada dengan rumusan tujuan pendidikan Islam pada
Kongres Pendidikan Islam Sedunia tahun 1980 di Islamabad bahwa:
“Pendidikan harus ditujukan ke arah pertumbuhan yang berkeseimbangan dari kepribadian manusia yang menyeluruh melalui latihan
spiritual, kecerdasan, dan rasio, perasaan dan panca indra”. 51
Dengan demikian, kurikulum yang dipandang baik untuk
mencapai tujuan pendidikan Islam adalah yang bersifat integrated dan
komprehensif, mencakup ilmu yang dibutuhkan dalam kehidupan
duniawi dan ilmu yang dibutuhkan dalam kehidupan ukhrawi
kelak. 52Pendidikan harus memberikan pelayanan kepada pertumbuhan
manusia dalam semua aspeknya, seperti aspek spiritual, intelektual,
imajinasi, jasmaniah, ilmiah, linguistik, dan sebagainya.
Pendidikan dalam arti umum mencakup segala usaha dan perbuatan dari generasi tua untuk mengalihkan pengalamannya,
pengetahuannya, kecakapannya, serta keterampilannya kepada generasi
muda untuk memungkinkannya melakukan fungsi hidupnya dalam
pergaulan bersama, dengan sebaik-baiknya. Corak pendidikan itu erat
hubungannya dengan corak penghidupan, karenanya jika corak penghidupan itu berubah, berubah pulalah corak pendidikannya, agar si
anak siap untuk memasuki lapangan penghidupan itu. Pendidikan itu
memang suatu usaha yang sangat sulit dan rumit, dan memakan waktu
yang cukup banyak dan lama, terutama sekali di masa modern dewasa
ini. Pendidikan menghendaki berbagai macam teori dan pemikiran dari
para ahli pendidik dan juga ahli dari filsafat, guna melancarkan jalan
dan memudahkan cara-cara bagi para guru dan pendidik dalam
menyampaikan ilmu pengetahuan dan pengajaran kepada para peserta
50
H.M. Arifin, (1993). Filsafat Pendidikan Islam, Jakarta: Bumi Aksara. Hlm. 119
Arifin, Muzayyin, (2005). Filsafat Pendidikan Islam, Jakarta: Bumi Aksara. Hlm.119
52
Ibid. hlm. 86
51
52
Manajemen Kurikulum Pendidikan Islam
didik. Kalau teori pendidikan hanyalah semata-mata teknologi, dia
harus meneliti asumsi-asumsi utama tentang sifat manusia dan masyarakat yang menjadi landasan praktik pendidikan yang melaksanakan
studi seperti itu sampai batas tersebut bersifat dan mengandung unsur
filsafat. Memang ada resiko yang mungkin timbul dari setiap dua
tendensi itu, teknologi mungkin terjerumus, tanpa dipikirkan buat memperoleh beberapa hasil konkrit yang telah dipertimbangkan sebelumnya
di dalam sistem pendidikan, hanya untuk membuktikan bahwa mereka
dapat menyempurnakan suatu hasil dengan sukses, yang ada pada
hakikatnya belum dipertimbangkan dengan hati-hati sebelumnya.
Sebagai ajaran (doktrin) Islam mengandung sistem nilai di atas,
maka proses pendidikan Islam dikembangkan secara konsisten menuju
tujuannya. Sejalan dengan pemikiran ilmiah dan filosofis dari pemikirpemikir sesepuh muslim, maka sistem nilai-nilai itu kemudian dijadikan
dasar bangunan (struktur) pendidikan Islam yang memiliki daya lentur
normatif menurut kebutuhan dan kemajuan.
Pendidikan Islam mengidentifikasi sasarannya yang digali dari
sumber ajarannya yaitu Al Quran dan Hadist, meliputi empat
pengembangan fungsi manusia:
a. Menyadarkan secara individual pada posisi dan fungsinya di tengahtengah makhluk lain serta tanggung jawab dalam kehidupannya.
b. Menyadarkan fungsi manusia dalam hubungannya dengan masyarakat, serta tanggung jawabnya terhadap ketertiban masyarakatnya.
c. Menyadarkan manusia terhadap pencipta alam dan mendorongnya
untuk beribadah kepada Nya.
d. Menyadarkan manusia tentang kedudukannya terhadap makhluk
lain dan membawanya agar memahami hikmah tuhan menciptakan
makhluk lain, serta memberikan kemungkinan kepada manusia
untuk mengambil manfaatnya
Setelah mengikuti uraian di atas kiranya dapat diketahui bahwa
Filsafat Pendidikan Islam itu merupakan suatu kajian secara filosofis
mengenai masalah yang terdapat dalam kegiatan pendidikan yang
didasarkan pada al-Qur’an dan al-Hadist sebagai sumber primer, dan
pendapat para ahli, khususnya para filosof Muslim, sebagai sumber
sekunder.
Dari Normatif – Filosofis ke Praktis
53
Dengan demikian, filsafat pendidikan Islam secara singkat dapat
dikatakan adalah filsafat pendidikan yang berdasarkan ajaran Islam atau
filsafat pendidikan yang dijiwai oleh ajaran Islam, jadi ia bukan filsafat
yang bercorak liberal, bebas, tanpa batas etika sebagaimana dijumpai
dalam pemikiran filsafat pada umumnya.
2. Ruang Lingkup Kajian Filsafat Kurikulum Pendidikan Islam
(FKPI)
Pada dasarnya kajian Filsafat Kurikulum Pendidikan Islam (FKPI)
merupakan bagian Filsafat Pendidikan Islam (FPI).Objek kajian filsafat
sesungguhnya yaitu Tuhan, manusia, dan alam. Dalam konteks pendidikan, kajian pendidikan Islam pokok-pokok kajiannya meliputi:
ontologi (pandangan mengenai hakikat realita yang pelajari); epistemologi (pandangan mengenai pengetahuan yang dipelajari); dan aksiologi
(pandangan mengenai nilai yang dipelajari).
Pertanyaan ontologis misalnya: (1) Apa saja potensi-potensi yang
dimiliki oleh manusia?; (2) Dalam al-Qur’an dan Hadits terdapat istilah
fitrah, samakah potensi dengan fitrah tersebut?; (3) Potensi (Fitrah) mana
yang perlu mendapatkan prioritas dalam pengembangan pendidikan
Islam?; (4) Apakah Potensi/fitrah merupakan suatu pembawaan yang
tidak akan mengalami perubahan? Atau ia dapat berkembang?; (5) Apa
hakikat budaya yang perlu dikembangkan dari satu generasi ke generasi
berikutnya?; dan (6) Apakah termasuk di dalamnya juga terdapat nilainilai yang diajarkan dalam al-Qur’an dan al-hadits?
Adapun yang menjadi perhatian masalah epistemologi berkaitan
dengan penyusunan konsep tentang pendidikan, penyusunan dasardasar kurikulum, terutama dalam usahanya memahami hakikat
pengetahuan menurut pandangan Islam. Pertanyaannya seperti: (1)
Untuk mengembangkan potensi peserta didik, apa saja isi (kurikulum)
yang perlu dididikkan kepada peserta didik?; (2) Dengan apa
pendidikan Islam (metode) itu perlu dijalankan?; (3) Siapa yang berhak
untuk mendidik dan dididik dalam pendidikan Islam?; dan (4) Apakah
semua manusia berhak mendapatkan pendidikan Islam atau hanya
muslim saja?
54
Manajemen Kurikulum Pendidikan Islam
Sedangkan yang menjadi perhatian masalah aksiologi berkaitan
dengan masalah etika dan estetika yang mempelajari tentang kebaikan
ditinjau dari kesusilaan menurut pandangan Islam
Komponen pendidikan Islam meliputi (1) tujuan pendidikan
Islam; (2) pendidik; (3) peserta didik; (4) materi: (5) metode/strategi; (6)
media; (7) evaluasi; dan (8) lingkungan. Sedangkan komponen kurikulum pendidikan hanya meliputi: (1) tujuan pendidikan Islam; (2) isi
(materi); (3) metode; dan (4) evaluasi. Untuk lebih jelasnya dapat penulis
tunjukkan pada gambar 2.1 berikut ini.
Gambar 2.1: Ruang Lingkup Kajian Filsafat Pendidikan Islam
dan Filsafat Kurikulum Pendidikan Islam.
Dari gambar di atas, dapat dijelaskan bahwa ketujuh komponen
dari lingkup kajian tersebut rupanya tidak ada satupun komponen yang
dapat dipisahkan satu sama lain karena dapat mengakibatkan
tersendatnya proses belajar-mengajar. Misalnya pengajaran tidak dapat
dilakukan di ruang yang tidak jelas, tanpa siswa, tanpa tujuan, tanpa
bahan ajar. Masing-masing komponen dalam pembelajaran dapat
dijelaskan sebagai berikut.
a. Tujuan Pendidikan Islam
Tujuan yang harus dipahami oleh guru meliputi tujuan
berjenjang mulai dari tujuan pendidikan nasional, tujuan
institusional, tujuan kurikuler, tujuan pembelajaran. Proses
Dari Normatif – Filosofis ke Praktis
55
pembelajaran tanpa tujuan bagaikan hidup tanpa arah. Oleh sebab
itu, tujuan pendidikan dan pembelajaran secara keseluruhan harus
dikuasai oleh guru. Tujuan disusun berdasarkan ciri karakteristik
anak dan arah yang ingin dicapai.
Tujuan belajar adalah sejumlah hasil belajar yang menunjukkan
bahwa siswa telah melakukan perbuatan belajar, yang umumnya
meliputi pengetahuan, keterampilan dan sikap-sikap yang baru yang
diharapkan tercapai oleh siswa. 53Lebih lanjut menurutnya
bahwasannya komponen tujuan pembelajaran, meliputi: (1) tingkah
laku, (2) kondisi-kondisi tes, (3) standar (ukuran) perilaku.
b. Siswa
Teori didaktik metodik telah bergeser dalam menempatkan
siswa sebagai komponen Proses Belajar Mengajar (PBM). 54Siswa yang
semula dipandang sebagai objek pendidikan bergeser sebagai subjek
pendidikan. Sebagai subjek, siswa adalah kunci dari semua
pelaksanaan pendidikan, tiada pendidikan tanpa anak didik. Untuk
itu siswa harus dipahami dan dilayani sesuai dengan hak dan
tanggung jawabnya sebagai siswa. Siswa adalah individu yang unik,
mereka merupakan kesatuan psiko-fisis yang secara sosiologis
berinteraksi dengan teman sebaya, guru, pengelola sekolah, pegawai
administrasi, dan masyarakat pada umumnya. Mereka datang ke
sekolah telah membawa potensi psikologis dan latar belakang
kehidupan sosial. Masing-masing memiliki potensi dan kemampuan
yang berbeda. Potensi dan kemampuan inilah yang harus
dikembangkan oleh guru.
c. Pendidik
Guru adalah sebuah profesi. Oleh karena itu, pelaksanaan
tugas guru harus profesional. Berdasarkan UU No 14 tentang guru
dan dosen pasal 8, 9 dan 10, dijelaskan tentang pentingnya guru
untuk memiliki empat kompetensi agar bisa disebut sebagai guru
yang profesional, yaitu: (1) kompetensi pedagogic; (2) kompetensi
professional; (3) kompetensi kepribadian; dan (4) kompetensi social.
53
Oemar Hamalik, (2003). Kurikulum dan Pembelajaran. Jakarta: Bumi Aksara.Hlm. 73
Sardiman, (2001).Interaksi dan Motivasi Belajar Mengajar. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada. Hlm.
109
54
56
Manajemen Kurikulum Pendidikan Islam
Walaupun guru sebagai seorang individu yang memiliki kebutuhan
pribadi dan memiliki keunikan tersendiri sebagai pribadi, namun
guru mengemban tugas mengantarkan anak didiknya mencapai
tujuan. Untuk itu guru harus menguasai seperangkat kemampuan
yang disebut dengan kompetensi guru. Oleh karena itu, tidak semua
orang bisa menjadi guru yang profesional. Kompetensi guru itu
mencakup kemampuan menguasai siswa, menguasai tujuan,
menguasai metode pembelajaran, menguasai materi, menguasai cara
mengevaluasi, menguasai alat pembelajaran, dan menguasai
lingkungan belajar. 55
Guru memiliki peran yang sangat penting dalam proses belajar
mangajar. Karena posisi guru tidak dapat digantikan oleh apapun.
Alat, sarana, media, multimedia semua hanyalah merupakan alat
bantu pendukung pembelajaran. Ada beberapa peran pendidikan
dalam pendidikan Islam, yaitu: (1) teladan (contoh); (2) pengajar, (2)
pengelola kelas, (3) mediator/fasilitator, (4) motivator; (5) dan
innovator. Peran utama pendidik di dalam Islam yang terutama
adalah dapat menjadi teladan bagi peserta didiknya.
d. Materi
Materi pembelajaran dalam arti yang luas tidak hanya yang
tertuang dalam buku paket yang diwajibkan, akan tetapi mencakup
keseluruhan materi pembelajaran. Setiap aktivitas belajar-mengajar
harus ada materinya. Anak yang sedang field-trip di kebun
menggunakan materi jenis tumbuhan dan klasifikasinya. Anak yang
praktikum di laboratorium menggunakan materi simbiose katak.
Semua materi pembelajaran harus diorganisasikan secara sistematis
agar mudah dipahami oleh anak. Materi disusun berdasarkan tujuan
dan karakteristik siswa.
Selain itu, untuk meningkatkan penguasaan dan pemahaman
siswa terhadap materi, maka guru dapat men-connect-kan antara satu
dengan lainnya melalui kurikulum terintegrasi dengan pendekatan
tematik dan unit.
55
Soetopo, Hidayat dan Soemanti, Wasti.(1982). Pengantar Operasional Administrasi Pendidikan.
Surabaya: Usaha Nasional. Hlm. 144
Dari Normatif – Filosofis ke Praktis
57
e. Metode
Metode mengajar merupakan cara atau teknik penyampaian
materi pembelajaran yang harus dikuasai oleh guru. Metode
mengajar ditetapkan berdasarkan tujuan dan materi pembelajaran,
serta karakteristik anak. Ungkapan bahwasannya metode lebih
tidak berarti
penting dari pada materi atau
penguasaan terhadap isi (materi) pelajaran tidak penting, melainkan
pemahaman materi harus dikuasai terlebih dahulu kemudian
ditunjang dengan pemahaman terhadap metode dan teknik
pembelajaran, agar tujuan pembelajaran dapat dicapai secara efektif
dan efisien.
f. Media
Media pembelajaran merupakan alat bantu yang digunakan
guru secara langsung maupun tidak langsung untuk meningkatkan
efektivitas pembelajaran.
Agar materi pembelajaran lebih mudah dipahami oleh siswa,
maka dalam proses belajar-mengajar digunakan alat pembelajaran.
Alat pembelajaran dapat berupa benda yang sesungguhnya, imitasi,
gambar, bagan, grafik, tabulasi dan sebagainya yang dituangkan
dalam media. Media itu dapat berupa alat elektronik, alat cetak, dan
tiruan. 56Menggunakan sarana atau alat pembelajaran harus disesuaikan dengan tujuan, anak, materi, dan metode pembelajaran.
5F
Oleh karena itu diperlukan tenaga pengajar yang memiliki
kemampuan dan kecakapan yang memadai diperlukan tenaga
pengajar yang handal dan mempunyai kemampuan (capability) yang
tinggi
g. Evaluasi
Evaluasi merupakan proses menggambarkan, memperoleh dan
menyajikan informasi yang berguna untuk merumuskan suatu
alternatif keputusan. Evaluasi juga dapat diartikan sebagai keputusan
tentang nilai berdasarkan hasil pengukuran hasil belajar, baik yang
menggunakan instrument tes maupun non tes.
56
Asnawir, (2002).Media Pembelajaran. Jakarta: Ciputat Press, hlm 17
58
Manajemen Kurikulum Pendidikan Islam
Evaluasi dapat digunakan untuk menyusun graduasi kemampuan anak didik, sehingga ada penanda simbolik yang dilaporkan
kepada semua pihak. Evaluasi dilaksanakan secara komprehensif,
obyektif, kooperatif, dan efektif. Dan evaluasi dilaksanakan
berpedoman pada tujuan dan materi pembelajaran. 57
Guru harus melakukan evaluasi terhadap hasil tes dan
menetapkan standar keberhasilan. Sebagai contoh, jika semua siswa
sudah menguasai kompetensi dasar, maka pelajaran dapat
dilanjutkan dengan catatan guru memberikan perbaikan (remedial)
kepada siswa yang belum mencapai ketuntasan. Dengan adanya
evaluasi, maka dapat diketahui kompetensi dasar, materi, atau
individu yang belum mencapai ketuntasan.
h. Lingkungan
Lingkungan pembelajaran merupakan komponen PBM yang
sangat penting demi suksesnya belajar siswa. Lingkungan ini mencakup lingkungan fisik, lingkungan sosial, lingkungan alam, dan
lingkungan psikologis pada waktu PBM berlangsung. Semua komponen pembelajaran harus dikelola sedemikian rupa, sehingga belajar
anak dapat maksimal untuk mencapai hasil yang maksimal pula.
Mengelola lingkungan pembelajaran baik di kelas maupun di
luar kelas bukan merupakan tugas yang ringan. Oleh karenanya guru
harus banyak belajar. Doyle (1986) berpendapat bahwa hal-hal yang
menyebabkan pengelolaan kelas mempunyai beberapa dimensi.
Seperti penelitian yang dilakukan oleh Emersen, Everston dan
Anderson (1980), peristiwa yang terjadi pada waktu awal-awal
sekolah banyak berpengaruh terhadap pengelolaan kelas pada
tingkat-tingkat berikutnya.
Borden menyarankan agar setiap anak mempunyai ruang gerak
sedikitnya tiga meter persegi. 58 Adapun menurut Oemar Hamalik,
komponen-komponen pembelajaran meliputi tujuh aspek yaitu: (1)
tujuan pendidikan dan pengajaran, (2) peserta didik atau siswa, (3)
tenaga kependidikan khususnya guru, (4) perencanaan pengajaran
57
58
Madjid, Abdul, (2005). Perencanaan Pembelajaran. Remaja Rosdakarya: Bandung, hlm. 225
Borden, Marian Edelman, (2001). Smart Start: Panduan Lengkap Memilih Pendidikan Prasekolah Balita
Anda. Bandung: Kaifa. Hlm. 71
Dari Normatif – Filosofis ke Praktis
59
sebagai suatu segmen kurikulum, (5) strategi pembelajaran, (6) media
pembelajaran, dan (7) evaluasi pembelajaran. 59
Proses pembelajaran ditandai dengan adanya interaksi antara
komponen. Misalnya komponen peserta didik berinteraksi dengan
komponen guru, metode/media, perlengkapan/peralatan, dan lingkungan kelas yang mengarah kepada pencapaian tujuan pembelajaran.
3. Kegunaan Filsafat Pendidikan dalam Kurikulum Pendidikan Islam
Peranan filsafat kurikulum pendidikan Islam pada dasarnya tidak
berbeda dengan filsafat pendidikan Islam yaitu harus mampu menjawab
segala permasalahan dalam bidang pendidikan baik yang berkaitan
dengan sistem cara pengajarannya dan lain sebagainya, sebagaimana
disebutkan oleh Omar Mohammad Al-Taumy Al-Syaibany, bahwa
Filsafat Pendidikan Islam harus mampu memberikan kemanfaatan bagi
khasanah Pendidikan Islam berupa:
1) Membantu para perancang dan pelaksana pendidikan dalam membentuk pemikiran yang benar terhadap proses pendidikan.
2) Memberi dasar bagi pengkajian pendidikan secara umum dan khusus
3) Menjadi dasar penilaian pendidikan secara menyeluruh
4) Memberi sandaran intelektual, bimbingan bagi pelaksana pendidikan
untuk menghadapi tantangan yang muncul dalam bidang
pendidikan, sebagai jawaban dari setiap permasalahan yang timbul
dalam bidang pendidikan.
5) Memberikan pendalaman pemikiran tentang pendidikan hubungannya dengan faktor-faktor spiritual, kebudayaan, sosial, ekonomi,
politik dan berbagai kehidupan lainnya. 60
Sedangkan menurut Muzayyin Arifin menyimpulkan bahwa
Filsafat Pendidikan Islam itu seharusnya bertugas dalam 3 (tiga) dimensi
yaitu:
1) memberikan landasan dan sekaligus mengarahkan kepada proses
pelaksanaan pendidikan yang berdasarkan ajaran agama Islam.
2) Melakukan kritik dan koreksi terhadap proses pelaksanaan tersebut.
59
Hamalik, Oemar, (2001). Proses Belajar Mengajar. Jakarta: Bumi Aksara. Hlm. 77
Omar Muhammad Al-taumy Al-Syaibany, (1979)Filsafat Al-Tarbiyah Al Islamiyah, terj. Hasan
Langgulung, Filsafat Pendidikan Islam, Jakarta: Bulan Bintang, Cet.I, hlm. 33-36
60
60
Manajemen Kurikulum Pendidikan Islam
3) Melakukan evaluasi terhadap metode dari proses pendidikan
tersebut. 61
Filsafat memegang peranan penting dalam pengembangan
kurikulum, sama halnya seperti dalam filsafat pendidikan, kita diperkenalkan pada berbagai aliran filsafat seperti: perenialisme, essensialisme,
eksistensialisme, Progresivisme, dan rekonstruktivisme. Dalam pengembangan kurikulum pun berpijak pada aliran-aliran filsafat tertentu,
sehingga akan mewarnai terhadap konsep dan implementasi kurikulum
yang dikembangkan. Di bawah ini diuraikan tentang isi dari masingmasing aliran filsafat, kaitannya dengan pengembangan kurikulum:
1) Perenialisme lebih menekankan pada keabadian, keidealan, kebenaran
dan keindahan dari warisan budaya dan dampak sosial tertentu.
Pengetahuan dianggap lebih penting dan kurang memperhatikan
kegiatan sehari-hari. Pendidikan yang menganut faham ini menekankan pada kebenaran absolut, kebenaran universal yang tidak terikat
pada tempat dan waktu, seperti norma agama dan susila. Aliran ini
lebih berorientasi pada masa lalu.
2) Essensialisme menekankan pentingnya pewarisan budaya dan
pemberian pengetahuan dan keterampilan pada peserta didik agar
dapat menjadi anggota masyarakat yang berguna. Matematika, sains
dan mata pelajaran lainnya dianggap sebagai dasar-dasar substansi
kurikulum yang berharga untuk hidup di masyarakat. Sama halnya
perenialisme, essensialisme juga lebih berorientasi pada masa lalu.
3) Eksistensialisme menekankan pada individu sebagai sumber pengetahuan tentang hidup dan makna. Untuk memahami kehidupan
seseorang mesti memahami dirinya sendiri. Aliran ini mempertanyakan bagaimana saya hidup di dunia? Apa pengalaman itu?
4) Progresivisme menekankan pada pentingnya melayani perbedaan
individual, berpusat pada peserta didik, variasi pengalaman belajar
dan proses. Progresivisme merupakan landasan bagi pengembangan
belajar peserta didik aktif.
5) Rekonstruktivisme
merupakan
elaborasi
lanjut
dari
aliran
progresivisme, peradaban manusia masa depan sangat ditekankan.
Disamping menekankan tentang perbedaan individual seperti pada
progresivisme, rekonstruktivisme lebih jauh menekankan tentang
61
Abuddin Nata, (1997). Filsafat Pendidikan Islam, Cet. I, Jakarta: Logos Wacana Ilmu. Hlm. 19
Dari Normatif – Filosofis ke Praktis
61
pemecahan masalah, berfikir kritis dan sejenisnya. Aliran ini akan
mempertanyakan untuk apa berfikir kritis, memecahkan masalah dan
melakukan sesuatu? Penganut aliran ini menekankan pada hasil
belajar dan proses.
B. Hubungan Filsafat Pendidikan,
Pengembangan Kurikulum
Orientasi,
dan
Pendekatan
Filsafat, teori dan orientasi dalam pengembangan Kurikulum
Pendidikan Islam mempunyai hubungan yang saling mengisi dan
melengkapi(komplementer). Dimana Filsafat memberikan landasan
dasar bagi Teori, dan teori memberikan bahan-bahan untuk pemikiran
filosofis. Antara filsafat dan teori ini memberikan acuan dalam orientasi
Kurikulum. Dan antara filsafat teori dan orientasi ini merupakan
pedoman, bahan masukan untuk membantu memecahkan berbagai
masalah dalam pengembangan kurikulum Pendidikan Islam.
Berikut ini gambaran tentang hubungan antar filsafat pendidikan
dan orientasi pengembangan kurikulum:
62
Manajemen Kurikulum Pendidikan Islam
Gambar 2.2: Hubungan Filsafat Pendidikan, Orientasi dan Pendekatan
Pengembangan Kurikulum
Berbagai aliran filsafat pendidikan tersebut dijadikan dasar dalam
pengembangan kurikulum. Seperti Perenialisme dan Esensialisme
merupakan aliran filsafat pendidikan klasik yang mendasari Kurikulum
Subjek-Akademis. Sedangkan Progresivisme memberikan dasar bagi
pengembangan Model Kurikulum Humanis. Filsafat Perenealisme,
Esensialisme dan Positivisme mempengaruhi pengembangan kurikulum
Kompetensi/Teknologik. Filsafat Rekonstruktivisme banyak diterapkan
dalam pengembangan model kurikulum Rekonstruksi sosial
interaksional. Masing-masing aliran filsafat pasti memiliki kelemahan
Dari Normatif – Filosofis ke Praktis
63
dan keunggulan tersendiri. Oleh karena itu, dalam praktik pengembangan kurikulum, penerapan aliran filsafat cenderung dilakukan secara
efektif untuk lebih mengkompromikan dan mengakomodasikan
berbagai kepentingan yang terkait dengan pendidikan. Meskipun
demikian saat ini, pada beberapa negara dan khususnya di Indonesia,
tampaknya mulai terjadi landasan dalam pengembangan kurikulum,
yaitu lebih menitikberatkan pada filsafat rekonstruktivisme. Untuk lebih
lanjut marilah kita pahami Filsafat Pendidikan Islam itu sendiri.
Kurikulum merupakan salah satu komponen yang memiliki peran
sangat penting. Landasan pengembangan kurikulum seperti sebuah
pondasi bangunan. Persoalan mengembangkan isi dan bahan pelajaran
serta bagaimana cara belajar siswa bukanlah suatu proses yang sederhana, sebab menentukan isi atau muatan kurikulum harus berangkat
dari visi, misi, serta tujuan yang ingin dicapai. Sedangkan menentukan
tujuan erat kaitannya dengan persoalan sistem nilai dan keutuhan
masyarakat. Sehingga dalam pengembangan kurikulum Pendidikan
Islam perlu diadakan pemikiran yang mendalam dengan memperhatikan teori dan orientasi kurikulum.
Filsafat adalah cara berfikir yang sedalam-dalamnya, yakni sampai
akar-akarnya tentang hakikat sesuatu. Para pengembang kurikulum
harus mempunyai filsafat yang jelas tentang apa yang mereka junjung
tinggi. Terdapat berbagai aliran filsafat yang masing-masing dengan
dasar pemikiran sendiri, berikut adalah beberapa aliran dalam filosofis
pendidikan:
Secara akademik, filsafat berarti suatu upaya untuk menggambarkan dan menyatakan suatu pandangan yang sistematis dan
komprehensif tentang alam semesta dan kedudukan manusia di
dalamnya. Sedangkan kurikulum merupakan seperangkat rencana dan
pengaturan mengenai tujuan, isi dan bahan pelajaran serta cara yang
digunakan sebagai pedoman penyelenggaraan kegiatan pembelajaran
untuk mencapai tujuan pendidikan tertentu.
Dalam seperangkat rencana untuk mencapai tujuan diperlukan
landasan filosofis untuk memperkuat ke arah mana peserta didik atau
bahkan dalam arti lebih luas pendidikan itu diarahkan sesuai dengan
prinsip-prinsip falsafah negara dan kelembagaan. Dengan demikian
proses pembelajaran harus diorientasikan pada pengembangan
64
Manajemen Kurikulum Pendidikan Islam
kompetensi peserta didik, yaitu karakteristik mendasar seseorang yang
berhubungan timbal balik dengan suatu kriteria efektif dan atau
kecakapan terbaik seseorang dalam pekerjaan atau keadaan.
Adapun hubungan antara filsafat, pembelajaran dan kurikulum
sebagaimana ditunjukkan pada tabel 4.1 sebagai berikut:
Tabel 2.1: Hubungan antara Filsafat, Tujuan, Kurikulum, Peran Guru
dan Sekolah
Essensialisme
Perenialisme
FILSAFAT
PENDIDIKAN
1
TUJUAN
PENDIDIKAN
KURIKULUM DAN
METODE
PERANAN GURU
PERANAN
SEKOLAH
2
• Membantu
siswa
menemukan
kembali dan
menginternalisasi
kebenaran
universal dan
konstan masa
lalu.
3
Kurikulum:
• Subject centered
• Disiplin ilmu meliputi:
kesusasteraan,
matematika, ilmu-ilmu
sosial dan sejarah.
5
• Wahana
pelatihan
elit
intelektual
Wahana alih
elit intelektual
dan kebenaran
kepada
generasi
penerus.
• Wahana
penyiapan
siswa untuk
hidup.
• Menyampaik
an warisan
budaya dan
sejarah
seputar inti
pengetahuan
yang
terakumulasi
begitu lama
dan
bermanfaat
untuk
diketahui
semua siswa.
• Siswa mampu
menginternali
sasi elemen
esensial dari
pendidikan,
yang berupa
keterampilan,
sikap, dan
nilai-nilai.
• Siswa mampu
menyerap
ide-ide.
Kurikulum:
• Subject centered
Tingkat Dasar:
ditekankan pada
keterampilan
membaca, menulis dan
matematika.
Tingkat Menengah:
matematika, sains,
ilmu-ilmu sosial,
bahasa dan
kesusastraan.
4
• Ahli
dalam
bidangnya.
• Punya
kemampuan
bidang keguruan.
• Tidak
suka
mencela/menyalahkan.
• Pemilik
kewenangan.
• Sebagai
pendisiplin mental
dan
pemimpin
moral
dan
spiritual.
• Master of particular
subject.
• Model yang patut
ditiru.
• Pemilik
kewenangan di
bidang keahlian
keahliannya.
• Teladan nilai-nilai
dan idaman.
Metode:
Kajian terhadap bukubuku
besar
yang
membahas
peradaban
Barat melalui membaca
dan diskusi.
Metode:
• Menekankan pada
pengembangan minat
siswa dan kesadaran
akan dunia fisik
sekitarnya.
• Menekankan
penguasaan akta dan
konsep dasar tentang
bidang-bidang
esensial.
Dari Normatif – Filosofis ke Praktis
• Wahana
penyiapan dan
alih warisan
budaya dan
sejarah kepada
generasi
penerus.
• Wahana
mempelajari
pengetahuan,
keterampilan,
sikap dan nilainilai untuk
menjadi warga
yang berguna
di masyarakat.
65
Progresivisme
Rekonstructionisme
66
• Siswa
memiliki
ketrampilan,
alat dan
pengalaman
sosial
(interaksi
dengan
lingkungan).
• Siswa
memiliki
kemampuan
problem
solving
personal
maupun
sosial.
Kurikulum:
• Dibangun dari
pengalaman personal
dan sosial siswa.
• Ilmu sosial sebagai
bidang inti untuk
problem solving
• Keterampilan
komunikasi, proses
matematik, scientific
inquiry secara
interdisipliner sebagai
alat problem solving.
• Buku sebagai alat
proses belajar bukan
sumber pengetahuan
pokok.
Metode:
• Scientific inquiry
• Problem solving
Kurikulum:
• Bidang-bidang kajian
meliputi persoalan
sosial, politik dan
ekonomi umat
manusia.
• Problem sosial dan
personal dari siswa
sendiri.
• Siswa
memiliki
kesadaran
akan problem
sosial, politik,
ekonomi
umat
manusia.
• Siswa
memiliki
Metode:
ketrampilan
• Scientific inquiry
untuk
sebagai metode kerja
memecahkan
problem solving.
problem
tersebut.
• Membangun
tatanan
masyarakat
baru.
• Pembimbing
dalam proyek dan
aktivitas problem
solving.
• Challenger dan
inquiry leader.
• Sabar, fleksibel,
interdisipliner,
cerdas dan kreatif.
• Miniatur
masyarakat luas.
• Laboratorium
belajar
kehidupan.
• Model kerja
yang
demokratis.
• Membuat siswa
sadar akan
persoalanpersoalan yang
dihadapi umat
manusia.
• Project director dan
research teacher.
Perantara
utama bagi
perubahan
sosial, politik,
ekonomi dalam
masyarakat.
• Mengembangka
n ahli ilmu
social.
Manajemen Kurikulum Pendidikan Islam
Eksistensialisme
Kurikulum:
• Siswa
• Secara umum tidak
mengembang
ada
penetapan
-kan
kurikulum,
karena
potensinya
setiap
individu
masingmemiliki
kebutuhan
masing untuk
dan minat tertentu
mencari jati
untuk dipenuhi.
dirinya.
• Menekankan
proses
pemikiran reflektif.
• Ilmu-ilmu sastra dan
seni
sebagai
mata
pelajaran
penting
untuk introspeksi dan
refleksi.
Metode:
• Mendorong
siswa
mengikuti
proyekproyek yang membantu mereka untuk
mengembangkan
keterampilan
dan
pengetahuan
yang
diperlukan.
• Pembimbing dan
stimulator berfikir
reflektif
melalui
penggalian
pertanyaanpertanyaan
(Inquiry),
bukan
pemberi instruksi.
• Memiliki
kejujuran ilmiah,
integritas
dan
kreativitas.
• Figur yang tidak
mencampuri
perkembangan
minat dan bakat
siswa.
• Sebagai forum
dialog
antar
para siswa.
Dalam konteks kebijakan pendidikan nasional sebagaimana dapat
dilihat dalam Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional no. 20
Tahun 2003 menyatakan bahwa: “Kurikulum adalah seperangkat
rencana dan pengaturan mengenai tujuan, isi, dan bahan pelajaran serta
cara yang digunakan sebagai pedoman penyelenggaraan pembelajaran
untuk mencapai tujuan pendidikan tertentu”. Sehubungan dengan
banyaknya definisi tentang kurikulum, dalam implementasi kurikulum
kiranya perlu melihat definisi kurikulum yang tercantum dalam
Undang-undang No. 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional
pasal 1 ayat (19) yang berbunyi: “Kurikulum adalah seperangkat rencana
dan pengaturan mengenai tujuan, isi dan bahan pelajaran serta cara
yang digunakan sebagai pedoman penyelenggaraan kegiatan
pembelajaran untuk mencapai tujuan pendidikan tertentu.” Lebih lanjut
pada pasal 36 ayat (3) disebutkan bahwa kurikulum disusun sesuai
dengan jenjang dan jenis pendidikan dalam kerangka Negara Kesatuan
Republik Indonesia dengan memperhatikan:
1)
2)
3)
4)
Peningkatan iman dan takwa;
Peningkatan akhlak mulia;
Peningkatan potensi, kecerdasan, dan minat peserta didik;
Keragaman potensi daerah dan lingkungan;
Dari Normatif – Filosofis ke Praktis
67
5)
6)
7)
8)
9)
10)
Tuntutan pembangunan daerah dan nasional;
Tuntutan dunia kerja;
Perkembangan ilmu pengetahuan, teknologi, dan seni;
Agama;
Dinamika perkembangan global;
Persatuan nasional dan nilai-nilai kebangsaan.
Berdasarkan pasal di atas, maka jelas menunjukkan berbagai aspek
pengembangan kepribadian peserta didik yang menyeluruh dan
pengembangan pembangunan masyarakat dan bangsa, ilmu, kehidupan
agama, ekonomi, budaya, seni, teknologi dan tantangan kehidupan
global. Artinya, kurikulum haruslah memperhatikan permasalahan ini
dengan serius dan menjawab persoalan ini dengan menyesuaikan diri
pada kualitas SDM yang diharapkan dihasilkan pada setiap jenjang
pendidikan.
68
Manajemen Kurikulum Pendidikan Islam
BAB III
KURIKULUM PENDIDIKAN ISLAM
A. Pengertian Kurikulum Pendidikan Islam
Kurikulum secara etimologi berasal dari bahasa Latin Curriculum,
semula berarti a running course, specially a chariot race course, dan terdapat
pula dalam bahasa Perancis “Courier” artinya “to run” (berlari). 62Istilah
ini digunakan untuk sejumlah mata pelajaran yang harus ditempuh
untuk mencapai gelar atau ijazah. Secara tradisional kurikulum diartikan
sebagai mata pelajaran yang diajarkan di sekolah. 63 Pengertian ini
sejalan dengan pendapat Crow and Crow yang mengatakan bahwa
kurikulum adalah rancangan pengajaran yang isinya sejumlah mata
pelajaran yang diperlukan sebagai syarat untuk menyelesaikan suatu
program pendidikan tertentu. 64Sedangkan secara terminologi berarti
rancangan program pendidikan yang berisi serangkaian pengalaman
yang diberikan kepada peserta didik untuk mencapai suatu tujuan yang
ingin dicapai melalui serangkaian pengalaman belajar. Kedua aspek
tersebut, tujuan dan pengalaman belajar dalam sebuah kurikulum
ditentukan oleh keinginan, keyakinan atau pengetahuan serta
kemampuan anggota masyarakat yang menyelenggarakan program
pendidikan tersebut.
Kurikulum dalam arti sempit diartikan sebagai kumpulan berbagai mata pelajaran/mata kuliah yang diberikan kepada peserta didik
melalui kegiatan yang dinamakan proses pembelajaran. Sedangkan
menurut Muhaimin kurikulum dalam arti sempit adalah seperangkat
62
Armai Arif, (2002). Pengantar Ilmu dan Metodologi Pendidikan Islam. Ciputat Press: Jakarta. Hal: 29
M. Arifin, cetakan ke-5,(1996). Ilmu Pendidikan Islam. Bumi Aksara: Jakarta. Hal: 61
64
Abuddin Nata, cetakan ke-2, (1999). Filsafat Pendidikan Islam. Logos Wacana Ilmu: Jakarta. Hal: 123
63
Dari Normatif – Filosofis ke Praktis
69
rencana dan pengaturan tentang isi dan bahan pelajaran serta cara yang
digunakan sebagai pedoman penyelenggaraan kegiatan belajar mengajar
di sekolah. Pengertian ini menggarisbawahi adanya 4 komponen pokok
dalam kurikulum, yaitu: tujuan, isi (bahan), organisasi, dan strategi. 65
Akibat dari perkembangan ilmu pengetahuan, khususnya sosioteknologi, maka kurikulum diartikan secara lebih luas sebagai keseluruhan proses pembelajaran yang direncanakan dan dibimbing di
sekolah, baik yang dilaksanakan di dalam kelompok atau secara individual,
di dalam atau di luar sekolah.
Pendidikan Islam secara etimologi diwakili oleh istilah ta’lim dan
tarbiyah yang berasal dari kata dasar ‘allama dan rabba sebagaimana
dalam Al-Qur’an, sekalipun konotasi kata tarbiyah lebih luas karena
mengandung arti memelihara, membesarkan, dan mendidik, serta
sekaligus mengandung makna mengajar (‘allama). 66
Pendidikan Islam menurut Langgulung, setidaknya tercakup
dalam delapan pengertian, yaitu al-tarbiyah al-diniyah (pendidikan
keagamaan), ta’lim al-din (pengajaran agama), al-ta’lim al-diny
(pengajaran keagamaan), al-ta’lim al-islamy (pengajaran ke-Islaman),
Tarbiyah al-muslim (pendidikan orang-orang Islam), al-tarbiyah fi al-islam
(pendidikan dalam Islam), al-tarbiyah ‘inda al-muslimin (pendidikan di
kalangan orang-orang Islam), dan al-tarbiyah al-islamiyah (pendidikan
Islam). 67Sedangkan menurut Oemar Muhamad Al-Toumy al-Syaibany
diartikan dengan usaha mengubah tingkah laku individu dalam
kehidupan kepribadian dan kemasyarakatan yang dilandasi dengan
nilai-nilai Islam. 68 Sedangkan di dalam rumusan seminar pendidikan
Islam se-Indonesia tahun 1960 pendidikan Islam diartikan sebagai
bimbingan terhadap pertumbuhan jasmani, rohani, menurut ajaran
Islam dengan hikmah mengarahkan, mengajarkan, melatih, mengasuh
dan mengawasi berlakunya semua ajaran Islam. 69
65
Muhaimin, (2003).Wacana Pengembangan Pendidikan Islam Islam (Suatu Upaya Mengefektifkan
Pendidikan Agama Di Sekolah). Pustaka Pelajar: Yogyakarta. Hal: 182
66
Yusuf Amir Faisal, cetakan pertama, (1995). Reorientasi Pendidikan Islam. Gema Insan Press: Jakarta.
Hal: 94
67
Muhaimin et. al, (2001).Paradigma Pendidikan Islam.PT. Remaja Rosda Karya. Bandung. Hal. 36
68
Oemar Muhammad Al-Toumy al-Syaibani, (1979).Falsafah Pendidikan Islam (terj. Hasan Langgulung).
Bulan Bintang: Jakarta. Hal: 399
69
Arifin, cetakan ke-3, (1997).Filsafat Pendidikan Islam. Bumi Aksara: Jakarta. Hal: 14
70
Manajemen Kurikulum Pendidikan Islam
Pendidikan Islam dalam konteks historik-sosiologik, pernah
dimaknai sebagai pendidikan/pengajaran keagamaan atau keislaman
dalam rangka mendidik orang-orang Islam, untuk melengkapi dan
membedakannya dengan pendidikan sekuler (non-keagamaan/nonkeislaman).
Pengertian pendidikan tidak hanya berarti sebagai pendidikan,
pengajaran dan pelatihan bahkan lebih luas cakupannya sebagai aktivitas
dan fenomena. Pendidikan sebagai aktivitas berarti upaya sadar dirancang untuk membantu seseorang, sekelompok orang dalam mengembangkan pandangan hidup (bagaimana orang menjalani hidup dan
kehidupannya), sikap hidup dan keterampilan hidup, baik yang bersifat
manual (petunjuk praksis) maupun mental dan sosial. Dalam konteks
pendidikan Islam, berarti pandangan hidup, sikap dan keterampilan
hidup tersebut harus bernafaskan atau dijiwai oleh ajaran Islam dan nilai
Islam yang bersumber dari Al-Qur’an dan As-Sunnah/Al-Hadits. 70
Menurut Arifin bahwa pendidikan Islam adalah idealitas yang
mengandung nilai-nilai Islam dalam proses kependidikan yang
berdasarkan ajaran Islam secara bertahap.
Dari beberapa pengertian di atas dapat ditemukan beberapa hal
yang perlu diperhatikan dalam pembelajaran pendidikan Islam yaitu
sebagai berikut:
1. Pendidikan Islam sebagai usaha sadar, yakni suatu kegiatan
bimbingan, pengajaran dan/atau latihan yang dilakukan secara
terencana dan sadar atas tujuan yang hendak dicapai.
2. Peserta didik hendak disiapkan untuk mencapai tujuan; dalam arti
ada yang membimbing, diajari dan/atau dilatih dalam peningkatan
keyakinan, pemahaman, penghayatan, dan pengamalan terhadap
ajaran agama Islam.
3. Pendidikan atau Guru Pendidikan Agama Islam yang melakukan
kegiatan bimbingan, pengajaran dan/atau latihan secara sadar
terhadap peserta didiknya untuk mencapai tujuan pendidikan agama
Islam.
Kegiatan pembelajaran pendidikan agama Islam diarahkan
untuk meningkatkan keyakinan, pemahaman, penghayatan dan
70
Ibid,Hal: 37
Dari Normatif – Filosofis ke Praktis
71
pengamalan ajaran agama dari peserta didik, yang disamping untuk
membentuk kesalehan atau kualitas pribadi, juga sekaligus untuk
membentuk kesalehan sosial. Dalam arti, kualitas atau kesalehan pribadi
mampu memancar keluar dalam hubungan keseharian dengan manusia
yang lain. 71
Berdasarkan pengertian ini tercakup di dalamnya sejumlah aktivitas pembelajaran di antara subyek didik dalam melakukan transformasi
pengetahuan, keterampilan dengan menggunakan berbagai pendekatan
proses pembelajaran atau menggunakan metode belajar dan mendayagunakan segala teknologi pembelajaran. Namun demikian, bahwa
konsep kurikulum sebagai urutan sejumlah mata pelajaran tetap menjadi
dasar yang substansial dalam rancangan atau menyusun desain
kurikulum.
Inti dari kurikulum menurut Tyler (1949), adalah suatu jawaban
secara menyeluruh terhadap beberapa pertanyaan berikut ini: 1) Tujuan
dan maksud apa yang hendak dicapai oleh sekolah? 2) Kesempatankesempatan belajar apa yang di pilih agar terjadi perubahan tingkah
laku sesuai dengan harapan? 3) Bagaimana unsur-unsur belajar disusun?
4) Bagaimana penilaian untuk mengetahui keberhasilannya? Jika
keempat jawaban pertanyaan itu telah terjawab, itulah yang di maksud
dengan kurikulum. Perlu dipahami juga bahwa kehadiran atau
penyusunan kurikulum memerlukan landasan agar memiliki pijakan
yang kuat.
Dari pengertian kurikulum dan pendidikan Islam di atas, maka
kurikulum Pendidikan Islam diartikan sebagai rancangan pendidikan
dan pembelajaran yang berisi learning program (program pembelajaran),
learning experience (pengalaman belajar), dan planned learning program
(perencanaan program pembelajaran) pendidikan Islam yang akan
diberikan kepada peserta didik agar dapat menjadi pribadi yang
beriman dan bertaqwa kepada Allah Swt, memiliki keterampilan dalam
hidup yang dijiwai oleh ajaran Islam dan nilai Islam yang bersumber
dari Al-Qur’an dan As-Sunnah sehingga menjadi pribadi yang paripurna
(kamil).
71
Muhaimin, (2002).Wacana…, Hal: 75
72
Manajemen Kurikulum Pendidikan Islam
B. Landasan dan Paradigma Pengembangan Kurikulum Pendidikan
Islam
Pada prinsipnya landasan pengembangan kurikulum pendidikan
Islam tidak boleh tidak senantiasa menjadikan al-Qur’an dan Hadits
sebagai landasan normatif pengembangan kurikulum pendidikan Islam.
Menurut Al-Taumy Al-Syaibany landasan kurikulum pendidikan
Islam antara lain adalah:
1) Dasar/ Landasan Agama (Normatif)
Kurikulum diharapkan dapat menolong siswa untuk membina iman
yang kuat, teguh terhadap ajaran agama, berakhlak mulia dan
melengkapinya dengan ilmu yang bermanfaat di dunia dan akhirat.
2) Dasar/ Landasan Filosofis
Pendidikan Islam harus berdasarkan wahyu Tuhan dan tuntutan
Nabi Saw serta warisan para ulama.
3) Dasar/Landasan Psikologis
Kurikulum tersebut harus sejalan dengan ciri perkembangan siswa,
tahap kematangan dan semua segi perkembangannya.
4) Dasar/Landasan Sosial
Kurikulum diharapkan turut serta dalam proses kemasyarakatan
terhadap siswa, penyesuaian mereka dengan lingkungannya,
pengetahuan dan kemahiran mereka dalam membina umat dan
bangsanya. 72
5) Dasar/Landasan Ilmu pengetahuan dan Teknologi
Kurikulum diharapkan senantiasa sejalan dengan perkembangan
IPTEK, karena ajaran pendidikan Islam mensyaratkan umat manusia
untuk senantiasa mencari, menggali, meneliti dan menemukan buktibukti ilmiah dari kebenaran normatif berdasarkan perkembangan
ilmu dan pengetahuan yang ada.
72
Omar Muhammad Al-Taumy Al-Syaibany, (1979). Filsafat..., Hal.523
Dari Normatif – Filosofis ke Praktis
73
Setiap pendidik harus memahami perkembangan kurikulum,
karena merupakan suatu formulasi pedagogis yang paling penting dalam
konteks pendidikan, dalam kurikulum akan tergambar bagaimana usaha
yang dilakukan membantu siswa dalam mengembangkan potensinya
berupa fisik, intelektual, emosional, dan sosial keagamaan dan lain
sebagainya. Dengan memahami kurikulum, para pendidik dapat
memilih dan menentukan tujuan pembelajaran, metode, teknik, media
pengajaran, dan alat evaluasi pengajaran yang sesuai dan tepat. Untuk
itu, dalam melakukan kajian terhadap keberhasilan sistem pendidikan
ditentukan oleh semua pihak, sarana dan organisasi yang baik, intensitas
pekerjaan yang realistis tinggi dan kurikulum yang tepat guna. Oleh
karena itu, sudah sewajarnya para pendidik dan tenaga kependidikan
bidang pendidikan Islam memahami kurikulum serta berusaha
mengembangkannya.
Kurikulum merupakan inti dari bidang pendidikan dan memiliki
pengaruh terhadap seluruh kegiatan pendidikan. Kurikulum sebagai
rancangan pendidikan mempunyai kedudukan yang sangat strategis
dalam seluruh aspek kegiatan pendidikan. Mengingat pentingnya
kurikulum dalam pendidikan dan kehidupan manusia, maka
penyusunan kurikulum tidak dapat dilakukan secara sembarangan.
Penyusunan kurikulum membutuhkan landasan-landasan yang kuat,
yang didasarkan pada hasil-hasil pemikiran dan penelitian yang
mendalam. Penyusunan kurikulum yang tidak didasarkan pada
landasan yang kuat dapat berakibat fatal terhadap kegagalan
pendidikan itu sendiri. Dengan sendirinya, akan berakibat pula terhadap
kegagalan proses pengembangan manusia.
Pengembangan kurikulum operasional dilakukan oleh setiap
satuan pendidikan dengan program Kurikulum Tingkat Satuan
Pendidikan (KTSP), maka seluruh jajaran di setiap satuan pendidikan
harus memiliki pemahaman yang luas dan mendalam tentang landasan
pengembangan kurikulum, dan secara operasional harus dijadikan
rujukan dalam mengimplementasikan kurikulum di setiap satuan
pendidikan.
Landasan yang dipilih untuk dijadikan dasar pijakan dalam
mengembangkan kurikulum sangat tergantung atau dipengaruhi oleh
pandangan hidup, budaya, kebijakan politik yang dianut oleh negara
74
Manajemen Kurikulum Pendidikan Islam
dimana kurikulum itu dikembangkan. Untuk menghasilkan kurikulum
yang baik dari kegiatan pengembangan kurikulum, W. Tyler seperti
yang dikutip oleh Ahmad, menegaskan bahwa ada empat kelompok
penentu dalam pengembangan kurikulum, yaitu (1) Falsafah hidup
bangsa, sekolah dan guru yang bersangkutan; (2) Pertimbangan
harapan, kebutuhan dan atau permintaan masyarakat akan produk
(output) lembaga pendidikan; (3) Kesesuaian kurikulum dengan peserta
didik, sebab pada hakikatnya kurikulum dikembangkan adalah untuk
peserta didik; (4) Kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi. 73
Mengingat sangat pentingnya kurikulum, maka dalam pengembangannya diperlukan landasan atau asas yang kuat, melalui pemikiran
dan perenungan yang mendalam. Sebuah rumah yang megah akan
mudah roboh, jika tidak dibangun dengan pondasi yang kuat dan
kokoh. Demikian pula dengan kurikulum, apabila proses pengembangannya secara acak-acakan dan tidak memiliki landasan yang kuat,
maka output pendidikan yang dihasilkan tidak akan terjamin
kualitasnya.
Sedangkan landasan utama dalam pengembangan kurikulum
yaitu landasan filosofis, psikologis, sosio-kultural, serta landasan ilmu
pengetahuan dan teknologi serta organisatoris.
1. Landasan Filosofis
Seorang pengembang kurikulum dalam mengambil keputusan
mengenai kurikulum harus memperhatikan falsafah, baik falsafah
bangsa, falsafah lembaga pendidikan dan falsafah pendidik. Ada tiga
cabang besar filsafat, yaitu metafisik yang membahas segala yang ada
dalam alam ini, epistemology yang membahas kebenaran dan aksiologi
yang membahas nilai. Filsafat memegang peranan penting dalam
pengembangan kurikulum.
Hubungan antara filsafat umum dengan filsafat pendidikan
menurut beberapa ahli adalah sebagai berikut:
a. Donald Butler menjelaskan bahwa filsafat memberikan arah dan
metodologi terhadap praktik pendidikan; praktik pendidikan
memberikan bahan bagi pertimbangan filsafat.
73
M. Ahmad, (1998). Pengembangan Kurikulum,Bandung: Pustaka Setia. Hal. 62
Dari Normatif – Filosofis ke Praktis
75
b. Brubacher, mengemukakan 4 (empat) pandangan tentang hubungan
ini:
1) Filsafat merupakan dasar utama dalam filsafat pendidikan.
2) Filsafat merupakan bunga, bukan akar pendidikan.
3) Filsafat pendidikan berdiri sendiri sebagai disiplin yang mungkin
memberi keuntungan dari kontak dengan filsafat, tetapi kontak
tersebut tidak penting
4) Filsafat dan teori pendidikan menjadi satu.
c. John Dewey, filsafat dan filsafat pendidikan adalah sama, seperti
pendidikan sama dengan kehidupan.
Secara umum ada 5 (lima) tipologi pemikiran (filsafat) Islam dan
pada masing-masing tipologi terdapat titik temu dalam aspek rujukan
utama mereka kepada fakta-fakta, informasi, pengetahuan, serta ide-ide
dan nilai-nilai esensial yang tertuang dalam kandungan Al-Qur’an dan
Hadits.
Pertama, Tipologi Perenialis-esensialis salafi lebih menonjolkan
wawasan kependidikan Islam era salaf, sehingga pendidikan Islam
berfungsi sebagai upaya melestarikan dan mempertahankan nilai-nilai
(ilahiyah dan insaniyah), kebiasaan dan tradisi masyarakat salaf (era
kenabian dan sahabat), karena mereka dipandang sebagai masyarakat
yang ideal.
Kedua, Tipologi Perenial-esensialis madzhabi lebih menonjolkan
wawasan kependidikan Islam yang tradisional dan berkecenderungan
untuk mengikuti aliran, pemahaman atau doktrin, serta pola-pola
pemikiran sebelumnya yang sudah dianggap relatif mapan. Pendidikan
Islam berfungsi untuk melestarikan dan mempertahankannya serta
mengembangkannya melalui upaya-upaya pemberian syarh dan
hasyiyah, serta kurang ada keberanian untuk mengubah substansi materi
pemikiran pendahulunya. Dengan kata lain, pendidikan Islam lebih
berfungsi sebagai upaya mempertahankan dan mewariskan nilai, tradisi
dan budaya dari suatu generasi ke generasi berikutnya tanpa
mempertimbangkan relevansinya dengan konteks perkembangan zaman
dan era kontemporer yang dihadapinya.
Ketiga, Tipologi Modernis lebih menonjolkan wawasan kependidikan Islam yang bebas modifikatif, progresif dan dinamis dalam
76
Manajemen Kurikulum Pendidikan Islam
menghadapi dan merespon tuntutan dan kebutuhan dari lingkungannya, sehingga pendidikan Islam berfungsi sebagai upaya melakukan
rekonstruksi pengalaman yang terus menerus, agar dapat berbuat
sesuatu yang intelligent dan mampu mengadakan penyesuaian kembali
sesuai dengan tuntutan dan kebutuhan lingkungan pada masa sekarang.
Keempat, Tipologi Perenial–esensialis kontekstual-falsifikatif mengambil jalan tengah antara kembali ke masa lalu dengan jalan melakukan
kontekstualisasi serta uji falsifikasi dan mengembangkan wawasan
kependidikan Islam masa sekarang selaras dengan tuntutan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi serta perubahan sosial yang
ada. Fungsi pendidikan Islam adalah sebagai upaya mempertahankan
dan melestarikan nilai-nilai (Ilahiyah dan insaniyah) dan sekaligus
menumbuhkembangkannya dalam konteks perkembangan ilmu
pengetahuan dan teknologi serta perubahan sosial yang ada.
Kelima, Tipologi Rekonstruksi Sosial lebih menonjolkan sikap
proaktif dan antisipatif, sehingga tugas pendidikan adalah membantu
agar manusia menjadi cakap dan selanjutnya mampu ikut bertanggung
jawab terhadap pengembangan masyarakatnya. Untuk dapat melaksanakan tugas tersebut, maka fungsi pendidikan Islam adalah sebagai
upaya menumbuhkan kreativitas peserta didik, memperkaya khazanah
budaya manusia, memperkaya isi nilai-nilai insani dan Ilahi, serta
menyiapkan tenaga kerja produktif.
Di sisi lain ada empat model pemikiran keislaman, yaitu (1) model
tekstualis salafi; (2) model tradisionalis madzhabi; (3) model modernis; dan (4)
model neo-modernis.
Pertama, model Tekstualis Salafi, yaitu berupaya memahami ajaranajaran dan nilai-nilai mendasar yang terkandung dalam Al-Qur’an dan
al-Sunnah al-Sahihah dengan melepaskan diri dari dan kurang mempertimbangkan situasi konkrit dinamika pergumulan masyarakat Muslim
yang mengitarinya. Masyarakat ideal yang diidam-idamkan adalah
masyarakat salaf, yakni struktur era kenabian Muhammad Saw. Dan
para sahabat yang menyertainya. Rujukan utama pemikirannya adalah
kitab suci Al Qur’an dan kitab-kitab hadits, tanpa menggunakan
pendekatan keilmuan yang lain. Dengan kata lain, model yang pertama
ini sangat mementingkan dalil-dalil nash ayat-ayat Al Qur’an dan al
Hadits. Dari uraian di atas dapat dipahami bahwa model tekstualis salafi
Dari Normatif – Filosofis ke Praktis
77
berusaha menjadikan nash (ayat al Qur’an dan Sunnah) dengan tanpa
menggunakan pendekatan keilmuan, dan menjadikan masyarakat salaf
sebagai parameter untuk menjawab tantangan dan perubahan zaman
serta era modernitas. Hal ini menunjukkan bahwa model tekstualitas
salafi lebih bersikap regresif dan konservatif.
Dalam konteks pemikiran (filsafat) pendidikan, terdapat dua
tipologi pendekatan yang lebih dekat dengan model tekstualis salafi, yaitu
perenialism dan essensialism, terutama dilihat dari wataknya yang regresif
dan konservatif.
Model tekstualis salafi tersebut selain menyajikan secara manquli,
yakni memahami atau menafsirkan nash-nash tentang pendidikan
dengan nash yang lain, atau dengan menukil pendapat dari sahabat,
juga berusaha membangun konsep pendidikan Islam melalui kajian
tektual lughawi.
Kedua,Tradisionalis Madzhabi, yaitu berupaya memahami ajaranajaran dan nilai-nilai mendasar yang terkandung dalam Al-Qur’an dan
Sunnah al Shahihah melalui bantuan khazanah pemikiran Islam klasik,
tapi seringkali kurang begitu mempertimbangkan situasi sosio-historis
masyarakat setempat di mana ia turut hidup di dalamnya. Hasil
pemikiran ulama terdahulu dianggap sudah pasti atau absolut tanpa
mempertimbangkan dimensi historisitasnya. Masyarakat Muslim yang
diidealkan adalah masyarakat Muslim era klasik, di mana semua
persoalan keagamaan dianggap telah dikupas habis oleh para ulama
atau cendekiawan muslim terdahulu. Pola pemikiran selalu bertumpu
pada hasil Ijtihad ulama terdahulu dalam menyelesaikan persoalan
ketuhanan, kemanusiaan dan kemasyarakatan pada umumnya. Kitab
kuning menjadi pokok rujukan, dan sulit untuk keluar dari madzhab
yang terbentuk beberapa abad yang lalu. Dari uraian di atas, dapat
dipahami bahwa model tradisionalis madzhabi lebih menonjolkan
wataknya yang tradisional dan madzhabi. Watak tradisonalnya
diwujudkan dalam bersikap dan cara berpikir serta bertindak selalu
berpegang teguh pada nilai, norma dan adat kebiasaan serta pola-pola
pikir yang ada secara turun temurun dan tidak mudah terpengaruh oleh
situasi sosio historis masyarakat yang sudah mengalami perubahan dan
perkembangan sebagai akibat dari kemajuan ilmu dan teknologi.
Sedangkan watak madzhabinya diwujudkan dalam bentuk kecende-
78
Manajemen Kurikulum Pendidikan Islam
rungannya untuk mengikuti aliran, pemahaman atau doktrin, serta polapola pemikiran sebelumnya yang dianggap mapan.
Dalam konteks pemikiran (filsafat) pendidikan Islam, tipologi
tersebut berusaha membangun konsep pendidikan Islam melalui kajian
terhadap khazanah pemikiran pendidikan Islam karya para ulama pada
periode-periode terdahulu, baik dalam bangunan tujuan pendidikannya,
kurikulum atau program pendidikan, hubungan pendidik dan peserta
didik, metode pendidikan, maupun lingkungan pendidikan (konteks
belajar) yang dirumuskannya. Bahkan, ia juga merujuk atau mengadopsi
produk-produk pemikiran pendidikan dari para cendekiawan nonMuslim terdahulu tanpa dibarengi dengan daya kritis yang memadai.
Karena wataknya yang semacam itu, sehingga ia juga lebih dekat
dengan perennialism dan essensialism, terutama dilihat dari wataknya
yang regresif dan konservatif.
Ketiga, Modernis. Yaitu berupa memahami ajaran-ajaran dan nilainilai mendasar yang terkandung dalam Al Qur’an dan al Sunnah al
Shahihah dengan hanya semata-semata mempertimbangkan kondisi dan
tantangan sosio-historis dan kultural yang dihadapi masyarakat Muslim
kontemporer (era iptek dan modernitas pada umumnya), tanpa
mempertimbangkan muatan-muatan khazanah intelektual Muslim era
klasik yang terkait dengan persoalan keagamaan dan kemasyarakatan.
Dalam konteks pemikiran (filsafat) pendidikan, terdapat suatu
tipologi terdapat suatu tipologi yang lebih dekat dengan model
pemikiran modernis tersebut yaitu progressivism terutama dalam hal
wataknya yang menginginkan sikap bebas dan modifikatif. Sikap bebas
dan modifikatif tersebut bukan berarti kebebasan mutlak tanpa adanya
keterikatan. Menjadi modernis memang progresif dan dinamis.
Keempat, Neo-Modernis, yaitu berupaya memahami ajaran Islam
dan nilai-nilai mendasar yang terkandung dalam Al-Qur’an dan alSunnah al-Shahihah dengan mengikutsertakan dan mempertimbangkan
khazanah intelektual Muslim klasik serta mencermati kesulitankesulitan dan kemudahan-kemudahan yang ditawarkan oleh dunia
teknologi modern.
Dari Normatif – Filosofis ke Praktis
79
Implikasi terhadap Pengembangan Kurikulum
Implikasi tipologi pemikiran pendidikan Islam
kurikulum mencakup: tujuan, isi, strategi dan evaluasinya.
terhadap
a. Tipologi Perenialis-Esensialis Salafi
Tujuan pendidikan diorientasikan pada upaya: (1) membantu peserta
didik dalam menguak, menemukan dan menginternaliasikan
kebenaran-kebenaran masa lalu pada masa salaf al- shalih; dan (2)
menjelaskan dan menyebarkan warisan sejarah dan budaya salaf
melalui sejumlah inti pengetahuan yang terakumulasi yang telah
berlaku sepanjang masa dan karena itu penting diketahui oleh semua
orang.
Metode pembelajarannya dapat dilakukan melalui metode ceramah
dan dialog, diskusi atau perdebatan, dan pemberian tugas-tugas.
Manajemen kelasnya lebih diarahkan pada pembentukan karakter,
keteraturan, keseragaman, bersifat kaku an terstruktur, tepat dan
sesuai tatanan, teratur dalam menjalankan tugas-tugas.
Evaluasinya menggunakan ujian-ujian essay, tes-tes diagnostik, tes
prestasi belajar yang terstandardisasi, dan tes kompetensi berbasis
ilmiah. Sedangkan peranan guru adalah sebagai figur yang memiliki
otoritas tinggi, yang meyakini kebijakan masa lalu, penyebar
kebenaran, dan orang (sarjana) yang ahli dalam bidangnya.
b. Tipologi Perenialis-Esensialis Madzhabi.
Tipe ini menonjolkan pada wawasan kependidikan Islam yang
tradisional dan berkecenderungan untuk mengikuti aliran, pemahaman atau doktrin, serta pola pemikiran sebelumnya yang sudah
dianggap mapan.
Dari karakteristik tersebut, maka tujuan pendidikannya diorientasikan pada: (1) membantu peserta didik dalam menguak, menemukan
dan menginternalisasikan kebenaran-kebenaran agama sebagai hasil
interpretasi ulama pada masa pasca salaf al-shalih atau masa klasik
dan pertengahan; dan (2) menjelaskan dan menyebarkan warisan
ajaran, nilai-nilai dan pemikiran para pendahulunya yang dianggap
mapan secara turun temurun, karena penting diketahui oleh semua
orang.
80
Manajemen Kurikulum Pendidikan Islam
Metode pembelajarannya bisa dilakukan melalui ceramah dan dialog,
diskusi atau perdebatan dengan tolok ukur pandangan imam-imam
madzhabny, dan pemberian tugas-tugas. Manajemen kelasnya lebih
di arahkan pada pembentukan karakter, keteraturan, keseragaman,
bersifat kaku dan terstruktur, tepat dan sesuai tatanan, teratur dalam
menjalankan tugas-tugas.
Evaluasinya menggunakan ujian-ujian objektif yang terstandardisasi
atau ujian-ujian essay, tes diagnostik, tes prestasi belajar yang
terstandardisasi, dan tes kompetensi berbasis ilmiah. Sedangkan
peranan guru adalah sebagai figur yang memiliki otoritas tinggi,
yang meyakini kebijakan masa lalu, penyebar kebenaran, dan orang
(sarjana) yang ahli dalam bidangnya.
c. Tipologi Modernis
Menonjolkan wawasan Islam bebas modifikatif, progresif dan
dinamis dalam menghadapi perubahan zaman. Maka tujuan pendidikan Islam diorientasikan pada upaya memberikan keterampilanketerampilan dan alat-alat kepada peserta didik yang dapat
digunakan untuk berinteraksi dengan lingkungannya yang selalu
berada dalam proses perubahan, sehingga ia bersikap dinamis dalam
menghadapi dan merespon tuntutan dan kebutuhan-kebutuhan
lingkungannya, serta mampu menyesuaikan dan melakukan penyesuaian kembali dengan tuntutan perubahan sosial dan perkembangan
Iptek dengan dilandasi oleh nilai-nilai kebenaran universal (Allah).
Metode pembelajarannya dilakukan melalui cooperative activities atau
cooperative learning, metode project, dan/atau scientific method (metode
ilmiah), yaitu dengan jalan mengidentifikasi masalah-masalah yang
terkait dengan tema-tema tersebut, merumuskan hipotesis, dan
melakukan penelitian di lapangan.
Evaluasinya lebih menggunakan evaluasi formatif, dengan asumsi
bahwa setiap peserta didik mempunyai kelebihan-kelebihan tertentu
yang berbeda antara satu dengan lainnya. Sehingga perlu dikembangkan kompetensinya. Sedangkan peranan guru adalah sebagai
fasilitator dan yang memimpin serta mengatur pembelajaran.
Dari Normatif – Filosofis ke Praktis
81
d. Tipologi Perenial- Esensialis Kontekstual Falsifikatif
Tipe ini mengambil jalan tengah antara kembali ke masa lalu dengan
jalan melakukan kontekstualisasi serta uji falsifikasi dan mengembangkan wawasan-wawasan kependidikan Islam masa sekarang
selaras dengan tuntutan perkembangan ilmu pengetahuan dan
teknologi serta perubahan sosial yang ada.
Tujuan pendidikannya lebih diorientasikan pada: (1) membantu
peserta didik dalam menguak, menemukan dan menginternalisasikan
kebenaran-kebenaran masa lalu pada masa salaf al shalih atau masa
klasik dan pertengahan; dan (2) menjelaskan dan menyebarkan
warisan ajaran dan nilai-nilai salaf atau para pendahulunya yang
dianggap mapan dalam ujian sejarah, karena itu penting diketahui
oleh semua orang. Di lain pihak tujuan pendidikan juga untuk memberikan keterampilan-keterampilan dan alat-alat kepada peserta didik
yang dapat digunakan untuk berinteraksi dengan lingkungannya
yang selalu berada dalam proses perubahan, sehingga ia bersikap
dinamis dalam menghadapi dan merespons tuntutan dan kebutuhankebutuhan lingkungannya, serta mampu menyesuaikan dan melakukan penyesuaian kembali dengan tuntutan perubahan sosial dan
perkembangan Iptek dengan dilandasi oleh kebenaran universal
(Allah). Secara singkat tujuan pendidikan menurut tipologi ini adalah
melestarikan nilai-nilai Ilahiyah dan insaniyah sekaligus menumbuhkembangkannya dalam konteks perkembangan Ipteks dan perubahan
sosial kultural yang ada.
Metode pembelajaran yang dikembangkan adalah cooperative activities
atau cooperative learning, contextual teaching and learning (CTL), metode
project, dan/atau scientific method (metode ilmiah).
Evaluasinya lebih banyak menggunakan evaluasi formatif, dengan
asumsi bahwa setiap peserta didik mempunyai kelebihan-kelebihan
tertentu yang berbeda antara satu dengan yang lain, sehingga perlu
dikembangkan kemampuan (kompetensi)nya. Sedangkan peranan
guru adalah sebagai fasilitator dan yang memimpin serta mengatur
pembelajaran.
82
Manajemen Kurikulum Pendidikan Islam
2. Landasan Psikologis
Terjadi interaksi antar-individu manusia dalam proses pendidikan, yaitu antara peserta didik dengan pendidik dan juga antara
peserta didik dengan orang lain. Menyebabkan pentingnya seseorang
memahami karakteristik perkembangan psikologis orang lain, karena
setiap individu berbeda dengan individu lainnya. Manusia juga berbeda
dengan benda atau tanaman, karena benda atau tanaman tidak
mempunyai aspek psikologis. Manusia juga lain dari binatang, karena
kondisi psikologisnya jauh lebih tinggi tarafnya dan lebih kompleks
dibandingkan dengan binatang. Berkat kemampuan-kemampuan
psikologis yang lebih tinggi dan kompleks inilah sesungguhnya manusia
lebih maju, lebih banyak memiliki kecakapan, pengetahuan, dan
keterampilan dibandingkan dengan binatang.
Kondisi psikologis setiap individu berbeda, karena perbedaan
tahap perkembangannya, latar belakang sosial-budaya, juga karena
perbedaan faktor-faktor yang dibawa dari kelahirannya. Kondisi ini pun
berbeda pula pada konteks, peranan, dan status individu diantara
individu-individu yang lainnya. Interaksi yang tercipta dalam situasi
pendidikan harus sesuai dengan kondisi psikologis para peserta didik
maupun kondisi pendidiknya.
Jadi, sesuai dengan yang dikemukakan oleh Sukmadinata bahwa
minimal terdapat dua bidang psikologi yang mendasari pengembangan
kurikulum, yaitu (1) psikologi perkembangan, dan (2) psikologi belajar.
Keduanya sangat diperlukan, baik di dalam merumuskan tujuan,
memilih dan menyusun bahan ajar, memilih dan menerapkan metode
pembelajaran serta teknik-teknik penilaian. 74
Psikologi perkembangan merupakan ilmu yang mempelajari
tentang perilaku individu berkenaan dengan perkembangannya. Dalam
psikologi perkembangan dikaji tentang hakekat perkembangan,
penahapan perkembangan, aspek-aspek perkembangan, tugas-tugas
perkembangan individu, serta hal-hal lainnya yang berhubungan
perkembangan individu, yang semuanya dapat dijadikan sebagai bahan
pertimbangan dan mendasari pengembangan kurikulum.
74
Nana Syaodih Sukmadinata, (1996). Pengembangan Kurikulum. Remaja Rosda Karya: Bandung, Hal. 46
Dari Normatif – Filosofis ke Praktis
83
Psikologi belajar merupakan ilmu yang mempelajari tentang
perilaku individu dalam konteks belajar. Psikologi belajar mengkaji
tentang hakekat belajar dan teori-teori belajar, serta berbagai aspek
perilaku individu lainnya dalam belajar, yang semuanya dapat dijadikan
sebagai bahan pertimbangan sekaligus mendasari pengembangan
kurikulum.
3. Landasan Sosio-Kultural
Kurikulum dapat dipandang sebagai suatu rancangan
pendidikan dan pembelajaran. Sebagai suatu rancangan, kurikulum
menentukan pelaksanaan dan hasil pendidikan. Pendidikan merupakan
usaha mempersiapkan peserta didik untuk terjun di masyarakat.
Pendidikan bukan hanya untuk pendidikan semata, namun memberikan
bekal pengetahuan, keterampilan serta nilai-nilai untuk hidup, bekerja
dan mencapai perkembangan lebih lanjut di masyarakat.
Peserta didik berasal dari masyarakat, mendapatkan pendidikan
baik formal, non-formal dan informal dalam lingkungan masyarakat dan
diarahkan bagi kehidupan masyarakat pula. Kehidupan masyarakat,
dengan segala karakteristik dan kekayaan budayanya menjadi landasan
dan sekaligus acuan bagi pendidikan. Dengan pendidikan, kita tidak
mengharapkan muncul manusia yang menjadi terasing dari lingkungan
masyarakatnya, tetapi justru melalui pendidikan diharapkan dapat lebih
mengerti dan mampu membangun kehidupan masyakatnya. Oleh
karena itu, tujuan, isi, maupun proses pendidikan harus disesuaikan
dengan kebutuhan, kondisi, karakteristik, kekayaan dan perkembangan
yang ada di masyarakat.
Setiap lingkungan masyarakat masing-masing memiliki sistemsosial budaya tersendiri yang mengatur pola kehidupan dan pola
hubungan antar anggota masyarakat. Salah satu aspek penting dalam
sistem sosial budaya adalah tatanan nilai-nilai yang mengatur cara
berkehidupan dan berperilaku para warga masyarakat. Nilai-nilai
tersebut dapat bersumber dari agama, budaya, politik atau segi-segi
kehidupan lainnya.
Sejalan dengan perkembangan masyarakat maka nilai-nilai yang
ada dalam masyarakat juga turut berkembang sehingga menuntut setiap
84
Manajemen Kurikulum Pendidikan Islam
warga masyarakat untuk melakukan perubahan dan penyesuaian
terhadap tuntutan perkembangan yang terjadi di sekitar masyarakat.
Israel Scheffer yang dikutip oleh Sukmadinata mengemukakan
bahwa melalui pendidikan manusia mengenal peradaban masa lalu,
turut serta dalam peradaban sekarang dan membuat peradaban masa
yang akan datang. 75
Dengan demikian, kurikulum yang dikembangkan sudah
seharusnya mempertimbangkan, merespons dan berlandaskan pada
perkembangan social- budaya dalam suatu masyarakat, baik dalam
konteks lokal, nasional maupun global. Hal tersebut tidaklah mudah
dalam mengkaji tuntutan masyarakat, terutama karena adanya pengaruh ilmu pengetahuan dan teknologi yang menyebabkan masyarakat
selalu dalam proses perkembangan, sehingga tuntutannya dari masa ke
masa tidak selalu sama.
4. Landasan Ilmu dan Teknologi (Iptek)
Pada awalnya, ilmu pengetahuan dan teknologi yang dimiliki
manusia masih relatif sederhana, namun sejak abad pertengahan
mengalami perkembangan yang pesat. Berbagai penemuan teori-teori
baru terus berlangsung hingga saat ini dan dipastikan ke depannya akan
terus semakin berkembang.
Akal manusia telah mampu menjangkau hal-hal yang sebelumnya merupakan sesuatu yang tidak mungkin. Pada jaman dahulu kala,
mungkin orang akan menganggap mustahil kalau manusia bisa
menginjakkan kaki di Bulan, tetapi berkat kemajuan dalam bidang Ilmu
Pengetahuan dan Teknologi pada pertengahan abad ke-20, pesawat
Apollo berhasil mendarat di Bulan dan Neil Amstrong merupakan orang
pertama yang berhasil menginjakkan kaki di Bulan.
Kemajuan cepat dunia dalam bidang informasi dan teknologi
dalam dua dasawarsa terakhir telah berpengaruh pada peradaban
manusia melebihi jangkauan pemikiran manusia sebelumnya. Pengaruh
ini terlihat pada pergeseran tatanan sosial, ekonomi dan politik yang
memerlukan keseimbangan baru antara nilai-nilai, pemikiran dan caracara kehidupan yang berlaku pada konteks global dan lokal.
75
Ibid,Hal.60
Dari Normatif – Filosofis ke Praktis
85
Selain itu, dalam abad pengetahuan sekarang ini, diperlukan
masyarakat yang berpengetahuan melalui belajar sepanjang hayat
dengan standar mutu yang tinggi. Sifat pengetahuan dan keterampilan
yang harus dikuasai masyarakat sangat beragam dan canggih, sehingga
diperlukan kurikulum yang disertai dengan kemampuan meta-kognisi
dan kompetensi untuk berfikir dan belajar bagaimana belajar (learning to
learn) dalam mengakses, memilih dan menilai pengetahuan, serta
mengatasi situasi yang ambigu dan antisipatif terhadap ketidakpastian.
Perkembangan dalam bidang Ilmu Pengetahuan dan Teknologi,
terutama dalam bidang transportasi dan komunikasi telah mampu
mengubah tatanan kehidupan manusia. Oleh karena itu, kurikulum
seyogyanya dapat mengakomodir dan mengantisipasi laju perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, sehingga peserta didik dapat
mengimbangi dan sekaligus mengembangkan ilmu pengetahuan dan
teknologi untuk kemaslahatan dan kelangsungan hidup manusia.
5. Landasan Organisatoris
Suatu aktivitas dalam mencapai tujuan pendidikan formal perlu
suatu bentuk pola yang jelas tentang bahan yang akan disajikan atau
diproseskan kepada peserta didik. Pola atau bentuk bahan yang akan
disajikan inilah yang dimaksud organisasi kurikulum. Organisasi kurikulum adalah suatu faktor yang penting sekali dalam pengembangan
dan pembinaan kurikulum dan bertalian erat dengan tujuan program
pendidikan yang hendak dicapai, karena bentuk kurikulum menentukan
isi bahan pelajaran dan cara menyajikannya.
Landasan ini berpijak pada teori psikologi asosiasi, yang
menganggap keseluruhan adalah jumlah bagian-bagiannya, sehingga
menjadikan kurikulum merupakan mata kuliah yang terpisah-pisah.
Kemudian disusul teori psikologi Gestalt yang menganggap keseluruhan mempengaruhi organisasi kurikulum yang disusun secara unit
tanpa adanya batas-batas antara berbagai mata pelajaran. 76
Hal-hal yang perlu diperhatikan dalam kaitannya dengan
organisatoris adalah:
76
Abdul Mujib dan Jusuf Mudzakkir, (2006).Ilmu Pendidikan Islam, Jakarta: Kencana. Hal.131
86
Manajemen Kurikulum Pendidikan Islam
a. Tujuan bahan pelajaran
Apakah mengajarkan keterampilan untuk masa sekarang atau
mengajarkan keterampilan untuk keperluan masa depan. Apakah
untuk memecahkan masalah, untuk mengembangkan nilai-nilai,
untuk mengembangkan ciri ilmiah, atau untuk memupuk jiwa
bangsa yang baik.
b. Sasaran bahan pelajaran.
Siapakah peserta didiknya? Apakah latar belakang pendidikan dan
pengamalannya? Sampai manakah tingkat perkembangannya?
Bagaimana profil kepribadian dan motivasinya?
c. Pengorganisasian bahan
Bagaimana pelajaran diorganisir, apakah berdasarkan topik, konsep
kronologi atau yang lainnya? Apakah jenis organisasi kurikulum
yang dipakai apakah separated subject curriculum atau correlated
curriculum atau integrated curriculum?.
Apabila mengikuti model separated subject curriculum, maka mata
pelajaran yang disajikan secara terpisah-pisah seperti Nahwu, Sharaf,
Muthala’ah, Muhadatsah, Khithabah dan seterusnya. Apabila mengikuti
model correlated curriculum, maka bisa dalam bentuk penggabungan
mata pelajaran yang tersebut di atas menjadi Bahasa Arab, atau penggabungan antara al-Qur’an al-Hadits, Aqidah Akhlak, Sejarah Islam,
Fiqh menjadi Pendidikan Agama Islam (PAI) atau memilih tema tertentu
yang dibahas dalam perspektif ilmu tertentu. Apabila mengikuti model
integrated curriculum, maka dalam praktiknya menghilangkan batasanbatasan mata pelajaran dengan menentukan topik bahasan untuk
memecahkan permasalahan tersebut. Semua model organisasi kurikulum tersebut tentu memiliki kelebihan disamping kelemahan masingmasing. Tetapi suatu sekolah dapat mengadopsi dan menggabungkan
semua model tersebut, untuk mengeliminir kelemahan atau kekurangan
yang ada pada satu model, sehingga menjadi suatu bentuk kurikulum
komprehensif, yang diharapkan semua pihak.
Pemahaman terhadap landasan-landasan tersebut bagi para
pengembang kurikulum sangat penting dan amat dibutuhkan untuk
dapat menghasilkan suatu bentuk kurikulum ideal yang diharapkan
Dari Normatif – Filosofis ke Praktis
87
oleh semua pihak. Kurikulum harus sesuai dengan falsafah bangsa,
yaitu Pancasila, relevan dengan kebutuhan, minat, psikologi belajar dan
psikologi perkembangan anak, sesuai dengan kondisi sosial masyarakat
dan keanekaragaman budaya (multikultural) serta perkembangan ilmu
pengetahuan dan teknologi dengan memilih organisasi kurikulum yang
sesuai dengan latar belakang anak, materi pelajaran, dan jenjang atau
jenis pendidikan tertentu. Dalam hal ini, para pengembang kurikulum
harus mempertimbangkan tiga hal, yaitu kekinian, kemasadepanan dan
kepentingan satuan pendidikan. 77
Kurikulum yang dikembangkan harus aktual dan tidak
ketinggalan jaman serta relevan dengan kondisi masyarakat sekitar.
Mampu mengantisipasi tantangan masa depan yang kompetitif-global
serta menjamin kepentingan dan mendukung keberlangsungan lembaga
pendidikan untuk memenuhi kebutuhan pengguna lulusan (stakeholders).
C. Karakteristik Kurikulum Pendidikan Islam
1. Kurikulum Pendidikan Islam
Tujuan pendidikan Islam adalah untuk terwujudnya insan kamil
yang memiliki integritas iman, moral, dan amal, adanya kesatuan antara
jasmani dan rohani, dunia dan akhirat. Dengan kata lain, pendidikan
Islam harus menyentuh tiga ranah, yaitu hati (heart) atau afektif, akal
(head) atau kognitif, jasmaniah (hand) atau psikomotorik. Ketiganya
harus berjalan secara simultan, integratif dan holistik.
Dengan demikian, kurikulum yang dipandang baik untuk
mencapai tujuan pendidikan Islam adalah yang bersifat integrated dan
komprehensif, mencakup ilmu yang dibutuhkan dalam kehidupan
duniawi dan ilmu yang dibutuhkan dalam kehidupan ukhrawi kelak. 78
Kurikulum yang holistic yang dapat mengembangkan kepribadian siswa
secara utuh (kaffah). Maka, pendidikan harus memberikan pelayanan
kepada pertumbuhan manusia dalam semua aspeknya, seperti aspek
spiritual, intelektual, imajinasi, jasmaniah, ilmiah, linguistik, ruhiyah
dan lain sebagainya..
77
S. Adiwikarta,(1994). Kurikulum untuk Abad ke-21.Jakarta: Grasindo. Hal. 101
Ibid, hal. 86
78
88
Manajemen Kurikulum Pendidikan Islam
2. Karakteristik Kurikulum Pendidikan Islam.
Ciri-ciri umum kurikulum pendidikan Islam adalah Agama dan
akhlak merupakan tujuan utama. Segala yang diajarkan dan di amalkan
harus berdasarkan pada Al-Qur’an dan As-Sunnah serta ijtihad para
ulama.
1. Mempertahankan pengembangan dan bimbingan terhadap semua
aspek pribadi siswa dari segi intelektual, psikologi, sosial, dan
spiritual.
2. Adanya keseimbangan antara kandungan kurikulum dan
pengalaman serta kegiatan pengajaran.
Oleh karena itu dapat dikatakan, bahwa sebagai inti dari ciri-ciri
kurikulum pendidikan Islam adalah kurikulum yang dapat memotivasi
siswa untuk berakhlak atau berbudi pekerti luhur, baik terhadap Tuhan,
terhadap diri dan lingkungan sekitarnya.
Menurut al-Taomy al-Syaibany ada lima ciri kurikulum
pendidikan Islam, yaitu:
a. Menonjolkan tujuan agama dan akhlak pada pelbagai tujuantujuannya dan kandungan, metode-metode, alat-alat dan tekniktekniknya bercorak agama.
b. Meluas cakupannya dan menyeluruh kandungannya.
c. Bersikap seimbang di antara berbagai ilmu yang dikandung dalam
kurikulum yang akan digunakan. Selain itu juga seimbang antara
pengetahuan yang berguna bagi pengembangan individual dan
sosial.
d. Bersikap menyeluruh dalam menata seluruh mata pelajaran yang
diperlukan oleh anak didik.
e. Kurikulum yang disusun selalu sesuai dengan minat dan bakat
peserta didik. 79
3. Prinsip Kurikulum Pendidikan Islam
Kurikulum pendidikan Islam memiliki beberapa prinsip yang
harus ditegakkan, yaitu:
79
Abudin Nata, (1997). Filsafat Pendidikan Islam 1. Jakarta: Logos Wacana Ilmu. Hal. 127
Dari Normatif – Filosofis ke Praktis
89
a. Selaras dan memiliki kesesuaian dengan agama. Dalam arti bahwa
semua hal yang berkaitan dengan kurikulum, termasuk tujuan,
kandungan, metode, dan lain-lain, yang berlaku dalam proses
pendidikan agama, senantiasa berdasarkan ajaran dan akhlak Islam.
b. Menyeluruh dan Integral. Artinya tujuan dan kandungan kurikulum
pendidikan Islam harus meliputi segala aspek yang bermanfaat, baik
bagi peserta didik, seperti penanaman akhlak, akal, jasmani, maupun
bagi masyarakat, seperti perkembangan spiritual, kebudayaan, sosial,
ekonomi, politik dan lain sebagainya.
c. Keseimbangan pada tujuan kurikulum dengan kandungannya.
Kurikulum pendidikan yang berdasarkan pada filsafat dan ajaran
Islam senantiasa menekankan pentingnya kehidupan dunia dan
akhirat secara seimbang.
d. Kurikulum berkaitan dengan bakat, minat, kemampuan, dan
kebutuhan peserta didik, serta dengan lingkungan social yang
menjadi tempat berinteraksi peserta didik.
e. Memperhatikan perbedaan individu agar kurikulum pendidikan
Islam memiliki relevansi dengan kebutuhan peserta didik dan
masyarakatnya.
f. Memperhatikan perubahan dan dinamika sosial masyarakat. Artinya
kurikulum
pendidikan
Islam
senantiasa
sejalan
dengan
perkembangan dan perubahan yang terjadi dalam masyarakat.
g. Kesesuaian antara mata pelajaran, pengalaman-pengalaman, dan
aktivitas-aktivitas pendidikan yang terkandung dalam kurikulum.
D. Problem dan Kritik terhadap Kurikulum Pendidikan Islam
1. Problem Pengembangan Kurikulum Pendidikan Islam
Problem adalah kesenjangan antara harapan yang tidak sesuai
dengan kenyataan. Dikaitkan dengan pengembangan kurikulum
Pendidikan Islam, problem disini adalah ketidaksesuaian antara tujuan
kurikulum Pendidikan Islam dan pelaksanaannya di lapangan.
Sebelum mengkritisi kurikulum pendidikan Islam, ada banyak
sekali kritik terhadap PAI di sekolah, diantaranya:
a. PAI di sekolah hanya merupakan ilmu pengetahuan saja.
90
Manajemen Kurikulum Pendidikan Islam
b. PAI di sekolah lebih menekankan pada aspek kognitif belaka, yaitu
hafalan bukan pada aspek pembiasaan dan uswah hasanah.
c. Orientasi PAI yang kurang tepat.
d. Over Lapping mata pelajaran.
e. Perancangan dan penyusunan materi yang kurang tepat.
f. Sempitnya pemahaman terhadap esensi ajaran Islam.
g. Penyelenggaraan pendidikan Islam masih eksklusif dan belum
mampu berinteraksi dan bersinkronisasi dengan yang lain.
h. Kecenderungan apologetik, fanatic, absulotif dan truth claim yang
dibungkus dalam simpul-simpul interest.
i. PAI di sekolah penyajiannya kurang menarik.
Untuk dapat melaksanakan peran dan tanggung jawab guru PAI
yang semakin berat, maka guru PAI harus melakukan beberapa upaya
sebagai berikut:
a. Guru PAI di sekolah tidak hanya berperan sebagai pentransfer
knowledge, tetapi berperan juga sebagai pentransfer methodologi dan
value.
b. Guru PAI harus lebih menekankan aspek pembelajaran pada aspek
pembiasaan dan uswah hasanah.
c. Guru PAI harus memperjelas orientasi pembelajarannya.
d. Guru PAI harus menyajikan materi agama dengan cara yang
menyenangkan, tidak membuat siswa takut dan bosan.
e. Guru PAI dalam melakukan perancangan dan penyusunan harus
lebih tepat.
f. Guru PAI harus mengajarkan Islam secara universal, tidak sektarian
yang pada akhirnya akan menimbulkan fanatisme buta.
g. Guru
PAI
dalam
menjelaskan
materi
harus
mampu
mensinkronisasikan dengan disiplin ilmu yang lain.
h. Guru PAI dalam menyajikan materi harus lebih menarik, sehingga
dapat memotivasi belajar siswa.
Adapun problem dalam pengembangan kurikulum pendidikan
secara umum, meliputi:
a. Masih sering terjadi perbedaan persepsi visi dan misi yang hendak
dicapai oleh madrasah baik pada jenjengan menengah maupun atas.
Dari Normatif – Filosofis ke Praktis
91
b. Visi pendidikan madrasah yang dijadikan acuan pengembangan
kurikulum masih kurang memperhatikan prinsip SMART (Specific,
Measurable, Achievable, Realistic, Timetable), sehingga sulit diwujudkan
dalam bentuk pengembangan kurikulumnya.
c. Tim perekayasa kurikulum hanya berada pada madrasah-madrasah
tertentu saja belum merata karena keterbatasan sumberdaya manusia,
sehingga sulit melakukan pengembangan yang berkesinambungan
terhadap kurikulum yang ada.
d. Pengembangan kurikulum saat ini belum berorientasi pada
kepentingan peserta didik atau peserta didik sebagai subjek, tetapi
kurikulum dikembangkan ke arah peserta didik sebagai objek.
e. Kurang memberdayakan peran guru, sekolah dan masyarakat.
f. Belum adanya lembaga yang berperan sebagai media akuntabilitas
pendidikan.
g. Pengembangan kurikulum seringkali tidak dilandasi oleh filsafat
pendidikan yang memberikan ide dasar dalam mewujudkan tujuan
pendidikan.
h. Pengembangan kurikulum lebih mengarah pada kepentingan politis
dan keinginan administrator tingkat pusat.
i. Pengembangan kurikulum kurang memperhatikan kesinambungan
proses belajar dari tingkat sekolah dasar hingga perguruan tinggi.
j. Ketersediaan dokumen kurikulum yang memadai dan dapat dimiliki
oleh setiap guru. Guru-guru tidak memiliki dokumen kurikulum
yang lengkap/memadai.
1) Pola monitoring yang berkembang cenderung pada pendekatan
inspeksi, bukan pada pembinaan profesional.
2) Evaluasi masih bersifat formalitas, belum mengukur secara utuh
dan perlu dicarikan instrumen evaluasi yang handal.
k. SDM masih rendah dedikasinya terhadap pelaksanaan tugasnya.
l. Beban belajar anak didik, terutama pada jenjang pendidikan dasar
dan menengah terlalu berat, kurang aplikatif.
m. Pengembangan kurikulum kurang memberikan bekal kepada siswa
yang tidak melanjutkan ke lembaga pendidikan yang lebih tinggi.
Selain problem juga ada hambatan-hambatan dalam
pengembangan kurikulum Pendidikan Islam, hambatan-hambatan itu
antara lain berasal dari:
92
Manajemen Kurikulum Pendidikan Islam
a. Guru
Guru kurang berpartisipasi dalam pengembangan kurikulum.
Hal itu disebabkan beberapa hal, antara lain: kurangnya waktu,
kurang sesuaian pendapat baik antara sesama guru maupun dengan
kepala sekolah dan administrator, kurangnya kemampuan dan
pengetahuan guru sendiri. 80
Melihat problem guru di atas, bisa membawa pengaruh yang
buruk terhadap proses pendidikan terutama bagi peserta didik.
Padahal dalam proses pendidikan guru mempunyai peran sangat
menentukan prestasi belajar, untuk itu bagaimanakah langkahlangkah guru yang harus dilakukan dalam melaksanakan tugasnya.
Dalam hal ini menurut Dick dan Carey ada 10 langkah yang harus
dilakukan guru dalam merencanakan pengajaran:
1)
2)
3)
4)
5)
6)
7)
8)
9)
10)
Mengenali tujuan pengajaran
Melakukan analisis pengajaran
Mengenali tingkah laku dan karakteristik murid
Merumuskan tujuan performansi
Mengembangkan butir-butir tes acuan patokan
Mengembangkan strategi pengajaran
Mengembangkan dan memilih materi pelajaran
Merancang dan melakukan penilaian formatif
Merevisi pengajaran
Melakukan penilaian sumatif.
80
Nana Syaodih Sukmadinata, (1996).Pengembangan Kurikulum…, hal.160
Dari Normatif – Filosofis ke Praktis
93
Gambar 3.1: Langkah Pembelajaran Dick dan Carey
Guru sebagai pelaksana kurikulum sekolah harus mengerti
kebutuhan siswa. Mereka juga harus mengerti dengan baik tentang
isi dan konteks kurikulum sebelum memulai mempersiapkan lecture
plan, seperti tujuan mengajar dan materi yang cocok dengan teknik
mengajar.
Selain hal di atas seorang guru dituntut mempunyai sikap yang
ideal, disebabkan mempunyai peran yang multi. Dengan julukan
tugas guru sebagai pendidik dan pengajar maka secara rinci mereka
mempunyai fungsi sebagai berikut:
1)
2)
3)
4)
5)
Guru sebagai pengelola proses pembelajaran.
Guru sebagai moderator.
Guru sebagai motivator.
Guru sebagai fasilitator.
Guru sebagai evaluator.
b. Masyarakat
Untuk pengembangan kurikulum dibutuhkan dukungan
masyarakat baik dalam pembiayaan maupun dalam memberikan
94
Manajemen Kurikulum Pendidikan Islam
umpan balik terhadap system pendidikan atau kurikulum yang
sedang berjalan. Masyarakat adalah sumber input dari sekolah.
Keberhasilan pendidikan, ketepatan kurikulum yang digunakan
membutuhkan bantuan, serta input fakta dan pemikiran dari
masyarakat.
c. Biaya
Untuk pengembangan kurikulum, apalagi yang berbentuk
kegiatan eksperimen baik metode, isi atau system secara keseluruhan
membutuhkan biaya yang sering tidak sedikit. 81Jadi biaya juga bisa
menjadi salah satu hambatan pengembangan kurikulum.
2. Kritik terhadap Kurikulum Pendidikan Islam
Kurikulum suatu hal yang sangat menentukan atau paling
sedikit dapat mengantisipasi sesuatu yang akan terjadi. Oleh karena itu
kurikulum harus menunjukkan pada apa yang seharusnya dipelajari
oleh peserta didik (what is to be learned), bukan mengapa hal itu harus
dipelajari (why it should be learned).
Kurikulum adalah salah satu komponen yang sering dijadikan
factor penyebab menurunnya mutu sekolah Islam. Banyak kritik yang
ditujukan pada kurikulum, antara lain:
1. Kurikulum terlalu padat
Dalam hal ini, siswa dituntut untuk menguasai sebanyak-banyaknya
bahan yang terbaik dan diperoleh dengan cara yang baik pula. Siswa
dituntut untuk selalu aktif, dengan terlalu banyak mendapatkan
materi dan tugas-tugas.
2. Tidak sesuai dengan kebutuhan anak
Kadang kurikulum yang telah ada tidak sesuai dengan keadaan dan
kebutuhan peserta didik. Di sini tugas guru dalam pelaksanaan
proses pendidikan harus mampu mengembangkan kurikulum sesuai
kebutuhan dan keadaan siswa. Guru harus menguasai materi dan
menggunakan metode yang sesuai dengan kebutuhan peserta didik.
81
Ibid, hal. 161
Dari Normatif – Filosofis ke Praktis
95
Jadi agar terciptanya kesesuaian antara kurikulum dan tujuan
kurikulum itu sendiri.
3. Merepotkan guru.
Keberhasilan pengajaran atau pelaksanaan suatu kurikulum sangat
dipengaruhi kondisi dan aktivitas siswa, guru, serta para pelaksana
kurikulum lainnya, oleh kondisi lingkungan fisik, sosial budaya dan
psikologis sekitar, oleh kondisi dan kelengkapan sarana dan
prasarana. Pendidikan dan pengajaran selalu berlangsung dalam
keterbatasan-keterbatasan, baik keterbatasan kemampuan, fasilitas,
waktu, tempat maupun biaya yang harus selalu diupayakan oleh
para penyusun, pengembang dan pelaksana pendidikan. Kurikulum
khususnya adalah mengoptimalkan hasil sesuai dengan kondisi yang
ada, di samping mengoptimalkan isi dan prosesnya sendiri.
Guru sangat berperan penting dalam keberhasilan suatu
pendidikan. Dengan kurikulum yang sudah ada, guru harus mampu
mengembangkan kurikulum itu. Guru harus menguasai materi
pelajaran yang akan diajarkan, dan guru harus menguasai beberapa
metode. Guru harus melakukan penilaian dan evaluasi.
E. Orientasi Kurikulum Pendidikan Islam
Kurikulum merupakan salah satu komponen yang memiliki peran
penting dalam sistem pendidikan, sebab dalam kurikulum bukan hanya
dirumuskan tentang tujuan yang harus dicapai sehingga memperjelas
arah pendidikan, akan tetapi juga memberikan pemahaman tentang
pengalaman belajar yang harus dimiliki siswa. Oleh karena begitu
pentingnya fungsi dan peran kurikulum, maka setiap pengembangan
kurikulum pada jenjang manapun harus didasarkan pada asas-asas
tertentu.
Pada dasarnya, orientasi kurikulum pendidikan pada umumnya
dapat dirangkum menjadi lima, yaitu orientasi pada pelestarian nilainilai, orientasi pada kebutuhan sosial (social demand), orientasi pada
tenaga kerja, orientasi pada peserta didik, dan orientasi pada masa
depan dan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi.
96
Manajemen Kurikulum Pendidikan Islam
Kurikulum Pendidikan Islam tidak hanya diorientasikan dalam
bentuk transmisi (pemindahan/transfer ilmu pengetahuan) dan
transaksi, akan tetapi diorientasikan pada transformasi. Tujuan
pendidikan dalam Islam adalah agar menjadi pribadi yang kaffah (insan
kamil), sehingga memberikan dampak positif (kemanfaatan) bagi
lingkungan bukan bagi diri sendiri. Sehingga dapat dirumuskan bahwa
orientasi kurikulum pendidikan Islam meliputi dua hal, yaitu: (1)
orientasi transformasi perubahan kecil (individu); (2) orientasi
transformasi perubahan besar (kelompok/masyarakat).
1. Orientasi transformasi perubahan kecil (individu).
Pada orientasi ini kurikulum ditujukan untuk membekali siswa
dengan seperangkat kompetensi dan kemampuan agar mereka bisa
mandiri secara individu dan mampu menyelesaikan masalahnya
sendiri.
2. Orientasi transformasi perubahan kecil (kelompok/masyarakat).
Pada orientasi ini kurikulum ditujukan untuk mempersiapkan diri
siswa agar nantinya mereka dapat menjadi bagian dari masyarakat
dalam upaya melakukan perubahan-perubahan ke arah yang lebih
baik.
Islam mengajarkan bahwa ukuran keberhasilan seseorang dalam
belajar adalah ketika mampu membawa dampak perubahan bagi
lingkungan yang dimulai dari diri sendiri. Sebagaimana firman Allah
Swt dalam ayat berikut ini:
“Sesungguhnya Allah tidak merobah keadaan sesuatu kaum sehingga
mereka merobah keadaan yang ada pada diri mereka sendiri.” (QS. AlRa’du: 11)
Tujuan dari pendidikan menurut Islam tidak hanya menguasai
seperangkat pengetahuan dan kompetensi, tetapi juga mengaplikasikan
ilmu pengetahuan untuk kebaikan bersama, karena setiap ilmu
pengetahuan yang dimiliki manusia yang diperoleh dari pendengaran,
penglihatan, rasa (Panca Indera) di akhirat kelak akan dimintai
pertanggungan jawab. Seperti termaktub dalam firman Allah Swt dalam
ayat berikut.
Dari Normatif – Filosofis ke Praktis
97
#
“Dan janganlah kamu mengikuti apa yang kamu tidak mempunyai
pengetahuan tentangnya. Sesungguhnya pendengaran, penglihatan dan
hati, semuanya itu akan diminta pertanggungan jawabnya.” (QS. AlIsra’: 36)
Dalam kurikulum pendidikan secara umum sebagaimana
dijelaskan oleh John P. Miller dan Wayne Seller di dalam bukunya
“Curriculum Perspectives and Practice” membagi kurikulum ke dalam tiga
orientasi:
1. Transmission Position Curriculum, di dalam model ini dikatakan bahwa
guru atau pendidik itu bersifat mentransfer memindahkan fakta,
keterampilan, informasi, atau ilmu dan juga nilai-nilai kepada siswa.
2. Transaction Position atau model transaksi adalah model kurikulum
yang melibatkan siswa dalam menentukan subyek apa atau topik apa
yang akan dipelajari. Di sini anak merasa dihargai sebagai insan atau
manusia yang berpotensi, misalnya tidak dianggap sebagai celengan
kosong saja.
3. Transformation Position, merupakan model yang lebih mengembangkan kurikulum dari segi sekedar transaksi saja. Dalam konteks
ini pembelajaran bisa dianggap sebagai bagaimana mengubah
lingkungan dan mengubah siswa menjadi suatu lingkungan yang
baru dan kehidupan baru dan ini biasanya cocok untuk di negara
maju. 82
81F
Adapun penjelasan masing-masing orientasi kurikulum dapat
dijelaskan sebagai berikut:
1. Orientasi Transmisi
Ciri-cirinya yaitu:
a. Paradigma bersifat atomistic (terpisah-pisah).
b. Tujuan pendidikan adalah penguasaan mata pelajaran dengan
penguasaan tentang norma-norma sosial yang sifatnya pengetahuan
dan penghayatan.
82
John P.Miller dan Wayne Seller. (1985).Curriculum Perspectives and Practice, London: Longman. Hal.5-
8
98
Manajemen Kurikulum Pendidikan Islam
c. Pengalaman belajar lebih menekankan pada belajar fakta dan konsepkonsep asosiasi.
d. Tugas guru adalah sebagai pemberi arahan (directive).
e. Evaluasi menggunakan traditional achievement.
Fungsi pendidikan menurut orientasi ini adalah mentransmisikan
fakta, keterampilan dan nilai untuk siswa.
a. Penguasaan materi sekolah melalui pembelajaran buku teks.
b. Kemahiran keterampilan dasar dan nilai-nilai budaya tertentu dan
aturan-aturan yang dibutuhkan di dalam masyarakat.
c. Aplikasi pandangan mekanisme dari perilaku manusia, dimana
keterampilan siswa dikembangkan melalui strategi pembelajaran
tertentu.
Orientasi transmisi tersebut dapat penulis gambarkan sebagai berikut:
Gambar 3.2: Orientasi Transmisi
Fungsi orientasi Transmisi pendidikan adalah untuk mewariskan
(mentransmisikan) berbagai fakta, keterampilan dan nilai-nilai untuk
siswa. Orientasi ini mendasarkan penguasaan materi sekolah tradisional
melalui metodologi pengajaran tradisional, pembelajaran buku teks
(orientasi subjek), kemampuan keterampilan dasar siswa dan budaya
nilai-nilai tertentu dan moral yang dibutuhkan dan bermanfaat bagi
kehidupan di dalam masyarakat.(orientasi transmisi budaya), dan aplikasi
pandangan humanistik perilaku manusia pada perencanaan kurikulum.
Posisi transmisi dalam sejarah berakar dari pendidikan kolonial. 83
Orientasi transmisi ini mendasarkan pemikiran John Locke
tentang Tabula rasa, bahwa pikiran itu bersifat pasif “pendidikan adalah
83
Ibid,hal. 5-6
Dari Normatif – Filosofis ke Praktis
99
proses pembentukan kebiasaan (process of habit formation). Munculnya
sensasi diikuti oleh ide yang masuk ke dalam otak (pikiran), tindakan
yang mempengaruhi kebiasaan, dan kebiasaan yang membentuk
karakter. Selain itu juga Francis Bacon yang berpandangan tentang
pemikiran induktif (scientific inquiry)”, dengan mengobservasi nature
maka kita dapat membangun teori. Dan juta Lidwig Wittgenstein
dengan (analytic philosophy), yaitu bahwasannya “alam semesta dibuat
dan diisolasi oleh fakta-fakta, atau atom, yang mungkin atau tidak
mungkin berhubungan antara satu sama lain, tidak ada hubungan
inheren atau ikatan diantara mereka. Pada tabel 3.1 berikut akan
dijelaskan tentang pemetaan masing-masing orientasi kurikulum
transmisi.
Tabel 3.1: Pemetaan Landasan Filsafat, Psikologis dan Ideologi Politik
Orientasi Kurikulum Transmisi
Landasan
Filsafat
Logical positivism, scientific empirism, analytic philosophy.
Orientasi transmisi berakal pada filsafat positivism logic.
Yang merupakan penurunan dari berbagai komponen logik
yang dapat dianalisis dan dievaluasi.
Landasan
Psikologis
Psikologi behavioristik (Ivan Pavlov, Thorndike dan
Skinner), yang menekankan pada aktivitas manusia
terhadap respon tertentu yang dapat digunakan untuk
memprediksi dan mengkontrol perilaku manusia. Dalam
psikologi Bacon adalah Behaviorisme, dimana semua
perilaku dapat dipahami melalui istilah sebab dan akibat
(stimulus dan respon). Behaviorisme menekankan pada
“penurunan aktivitas manusia ke dalam respon tertentu
yang dapat digunakan untuk memprediksi dan
mengontrol perilaku manusia.
Thorndike: (Connectionism)
Seseorang yang intelek, memiliki karakter, dan
keterampilan adalah kumpulan dari kecenderungannya
untuk merespon situasi dan berbagai aspek pada situasi.
Pengajaran adalah penyusunan suatu situasi yang akan
memudahkan mereka untuk mencapai kepuasan.
100
Manajemen Kurikulum Pendidikan Islam
B.F. Skinner: (Operant Conditioning)
Jika terjadi sebuah operant (perilaku yang dapat dikontrol
melalui reinforcement) diikuti dengan menghadirkan
penguatan terhadap stimulus, semakin kuat stimulus maka
semakin tinggi pula responnya.
Ideologi
Politik
Kapitalisme Laissez Faire, teori ekonomi konservatif yang
membatasi intervensi pemerintah terhadap ekonomi dan
aktivitas ekonomi dikontrol oleh kepentingan individual
dan kompetisi dalam penempatan pasar terhadap suatu
barang dan pelayanan.
Tiga jenis orientasi Transmisi:
a. Subject/orientasi isi:
1) Kurikulum dipusatkan pada subjek dan disiplin akademik
tertentu.
2) Penekanan pada pembelajaran langsung: dosen dan penugasan
(resitasi).
3) Kurikulum dibagi berbagai materi. Materi inti dan materi pilihan.
4) Subject curriculum didasarkan pada perencanaan tertentu
mengenai pendidikan apa yang dibutuhkan pada level tertentu.
5) Lamanya masa belajar diatur sesuai dengan materi.
b. Orientasi transmisi budaya:
1) Sekolah-sekolah harus menjadi pelindung excellence karakter
bangsa.
2) Metode merupakan pendidikan moral rasional.
3) Sekolah harus melatih siswa dengan keterampilan yang dibutuhkan oleh masyarakat.
4) Aspek moral dihubungkan dengan suatu kewajiban: menentukan
perilaku (hubungan interpersonal-dasar pemikiran antara manusia
dan benda.
5) Aspek moral merupakan konteks eksternal yang kita sesuaikan
dengan perilaku kita.
Dari Normatif – Filosofis ke Praktis
101
c. Orientasi Pendidikan berbasis kompetensi/orientasi mastery learning
1) Tujuan dari CBE (Competence Based Education) adalah mengembangkan kemampuan siswa melalui strategi pembelajaran
tertentu.
2) CBE difokuskan pengukuran secara objektif, mencari perencanaan
pembelajaran yang sesuai, penilaian melalui kriteria-kriteria yang
mengarah pada ujian.
3) Mastery learning merupakan system yang terintegrasi yang
mencakup prosedur untuk mengidentifikasi outcome pembelajaran
yang diharapkan, evaluasi dan proses pembelajaran yang akan
meningkatkan pembelajaran siswa.
2. Transaksi
Ciri-cirinya:
a. Pendidikan adalah dialog antara siswa dan siswa.
b. Siswa adalah seseorang yang memiliki kemampuan dan kecerdasan
untuk memecahkan masalah (problem solving).
c. Pendidikan diarahkan kepada proses pemecahan masalah bukan
penguasaan kognitif.
Individu dipandang sebagai seseorang yang orang rasional dan
memiliki kemampuan intelegensi untuk menyelesaikan masalah.
Pendidikan dipandang sebagai dialog antara siswa dan kurikulum
dimana siswa merekonstruk pengetahuan melalui proses dialog.
Menurut teori ini bahwasannya: (1) Pendidikan adalah dialog antara
siswa dan kurikulum dimana siswa dan kurikulum dimana siswa dapat
mengkonstruk pengetahuan melalui proses dialog; (2) Siswa secara
individu dipandang sebagai seseorang yang memiliki kecakapan dan
kemampuan untuk menyelesaikan masalah; dan (3) Elemen inti
ditekankan pada strategi kurikulum yang membantu penyelesaian
masalah (cognitive process).
102
Manajemen Kurikulum Pendidikan Islam
Gambar 3.3: Orientasi Transaksi
Elemen inti dalam posisi transaksi menekankan pada strategi
kurikulum yang membantu pemecahan masalah (orientasi proses
kognitif), aplikasi keterampilan memecahkan masalah di dalam konteks
sosial secara umum dan di dalam konteks proses demokratik (orientasi
kewarganegaraan demokratis); dan pengembangan keterampilan
kognitif di dalam berbagai disiplin akademis. 84
Tabel 3.2: Pemetaan Landasan Filsafat, Psikologis, dan Ideologi Politik
Orientasi Kurikulum Transaksi
Landasan
Filosofis
Akar filosofis dari orientasi transaksi merujuk pada
Pragmatisme John Dewey. Dia meyakini bahwa metode
scientific dapat diaplikasikan pada sejumlah masalah.
John Dewey Experimental pragmatism
• Pendidikan mempunyai dua peran konservatif harus
meninggalkan kebiasaan-kebiasaan dan bahasa
budaya kepada siswa. Merekonstruksi fungsi proses
dinamis yang dapat membantu siswa untuk
berpartisipasi dalam proses demokratis.
• Tujuan daripada pendidikan adalah proses
menumbuhkan, merekonstruksi pengetahuan dan
pengalaman,
sekolah
harus
menumbuhkan
kehidupan siswa saat ini.
84
Ibid, hal. 6-7
Dari Normatif – Filosofis ke Praktis
103
Problem Solving:
o Memainkan peran sentral dalam konsep
pendidikan John Dewey.
o Mengembangkan intelegensi dan membantu
untuk menumbuhkannya.
o Berakar dari metode scientif (pemikiran reflektif)
• Pendidikan Progressive:
o Pendidikan adalah proses kehidupan saat ini,
bukan mempersiapkan kehidupan masa depan.
o Pendidikan dalam metode fundamental dari sosial
progress and reform.
o Sekolah harus hadir dalam kehidupan, kehidupan
adalah nyata dan penting untuk anak.
Pemikiran Rousseau tentang Pendidikan Romantik:
• Siswa pada dasarnya baik dan sekolah harus
membiarkan bakat alamiah anak berkembang
dengan tanpa banyak intervensi.
• Orientasi perubahan sosial:
o Para pendidik harus banyak mengambil
pandangan kritis mengenai peran sekolah di
dalam masyarakat.
o Sekolah jangan hanya menjadikan ekonomi
sebagai faktor utama.
o Sekolah tidak boleh terpinggirkan oleh
perubahan sosial dan politik.
Posisi Transaksi berakal pada teori psikologi
developmental dari Piaget dan Kohlerberg. Pandangan
Piaget menghasilkan suatu interaksi antara siswa dan
menstimulasi “intellectual environmental”. Kohlberg
mengusulkan bahwa pengembangan kognitif merupakan perluasan dari perkembangan konsepsi Dewey.
•
Landasan
psikologis
Jean Piaget: (Cognitive developmental)
Sensori motor
pra-operasional
konkrit
operasional formal.
104
operasional
Manajemen Kurikulum Pendidikan Islam
Ideologi
Politik
Lawrence Kohlberg
o Moral (cognitive)
Punishment Egosentris
Self
Respect Sosial
Order
Sosial Contract
Conscience.
Liberalisme. Dimana ada kepercayaan secara umum
dapat digunakan untuk memperbaiki lingkungan sosial.
Tujuan secara politik dicirikan dari dukungannya pada
upaya reformasi untuk menjamin bahwasannya
kelompok minoritas memiliki kesamaan peluang di
dalam masyarakat.
3. Transformasi
Ciri-cirinya:
a. Lebih menekankan pada perkembangan pribadi dan perubahan
sosial.
b. Mengerjakan keterampilan yang dapat digunakan untuk kehidupan
mereka di masa yang akan datang.
c. Visi pendidikannya yaitu perubahan sosial merupakan gerakan yang
harmoni dengan lingkungan.
Gambar 3.4: Orientasi Transformasi
Metaorientasi transformasi memfokuskan pada perubahan sosial
dan perubahan. Pengajaran keterampilan siswa yang menaikkan
transformasi personal dan sosial (humanistic and social change orientation).
Paradigma transformasi memiliki hubungan secara konseptual dengan
suatu fenomena. 85
85
Ibid, Hal. 8-9
Dari Normatif – Filosofis ke Praktis
105
Tabel 3.3: Pemetaan Landasan Filsafat, Psikologis dan Ideologi Politik
Orientasi Kurikulum Transformasi.
Landasan
Filosofis
Posisi transformasi berakar pada transendentalisme,
mystisisme, beberapa bentuk Eksistensialisme.
Tujuan mengajar adalah membantu siswa agar dapat
belajar dan pengenalan jiwa orang lain.
Semua fenomena saling berhubungan dan merupakan
bagian dari suatu kesatuan dan individu juga bagian
dari suatu kesatuan.
Prinsip-prinsip:
•
•
•
•
Landasan
psikologis
106
Saling keterkaitan dari suatu realitas dan kesatuan
alam yang fundamental.
Hubungan intim antara siswa dan kesatuan ini.
Penanaman intuisi dan penglihatan mendalam
melalui perenungan serta meditasi dalam rangka
melihat suatu kesatuan ini lebih dengan jelas
Perwujudan dari kesatuan ini, mengarahkan manusia
kepada tindakan sosial yang dirancang untuk
menghadapi ketidakadilan & penderitaan manusia.
Berdasar pada psikologi humanistic dan transpersonal
psikologi, yang mengisi tingkat ego (humanistic), dan
spiritual
(transpersonal).
Kurikulum
humanistik
dikembangkan oleh para ahli pendidikan humanistik.
Kurikulum ini berdasarkan konsep aliran pendidikan
pribadi (personalized education). Yaitu John Dewey
(progressive education) dan J.J. Rousseau (romantic
educational). Aliran ini lebih member tempat utama
kepada siswa. Mereka bertolak dari asumsi bahwa anak
atau siswa adalah yang pertama dan utama dalam
pendidikan ia adalah subjek yang menjadi pusat
kegiatan pendidikan. mereka percaya bahwa siswa
mempunyai potensi, punya kemampuan dan kekuatan
untuk berkembang.
Manajemen Kurikulum Pendidikan Islam
Humanistic Psychology:
• Mendasarkan pada pengalaman manusia sebagai
sub-human.
• Makna lebih penting dibandingkan metoda,
• Berikan
perhatian
yang
besar
untuk
mengekspresikan pengalaman-pengalamannya.
• Interaksi yang konsisten antara ilmu pengetahuan
dan aplikasinya.
• Kepedulian terhadap masing-masing individu.
• Mencari sesuatu yang dapat memperkaya dan
memperluas pengetahuan seseorang.
Abraham Maslow: Motivasi Manusia
•
•
•
•
•
•
Ideologi
Politik
Fisiological need (kebutuhan fisiologis; makan minum
dan seks)
Need for safety (kebutuhan akan rasa aman)
Need for belongingness (kebutuhan rasa memiliki)
Need for sosial reward (kebutuhan penghargaan)
Self actualization (aktualisasi diri)
Self transcendence (transendensi diri)
Politik Pluralistik.
Adapun ciri-ciri dari masing-masing pengembangan kurikulum
menurut Seller dan Miller adalah sebagai berikut:
1. Transmission Perspective ciri-cirinya adalah:
Rooted in behaviorism and
traditional academic modes of
educating.
Berakar pada paham behaviorisme
dan mode pembelajaran akademik
tradisional.
Goal is to transmit knowledge,
attitudes, or skills from those who
believed to possess them to those
believed to lack them.
Tujuannya
adalah
untuk
menyampaikan pengetahuan, sikap,
atau keterampilan dari mereka yang
diyakini memiliki apa yang tidak
dimiliki orang lain.
Dari Normatif – Filosofis ke Praktis
107
Educator
or
curriculum
developer is viewed as possessing
the desired skills, knowledge
and/or attitudes.
Pendidik
atau
pengembang
kurikulum
dipandang
memiliki
keterampilan
yang
diinginkan,
pengetahuan dan atau sikap.
Learners are seen as lacking and
needing the desired skills,
knowledge and/or attitudes.
Peserta didik dilihat kurang dalam
berpengetahuan dan membutuhkan
keterampilan yang diinginkan, ilmu
dan atau sikap.
Curriculum
development
involves identifying components
of needed skills and/or areas of
content knowledge and then
indicating what the educator is to
demonstrate, model, tell, and
provide practice opportunities
for.
Pengembangan
kurikulum
melibatkan identifikasi komponen
keterampilan yang diperlukan dan
atau konten area pengetahuan dan
kemudian mengidentifikasikan apa
yang
harus
ditunjukkan
oleh
pendidik, modelnya, perkataannya,
dan memberikan kesempatan untuk
berlatih.
Assumes knowledge (concepts,
attitudes, and skills) is possessed
by people and that one person's
knowledge can be imparted to
another through the above
methods until it is eventually
replicated in the other.
Mengasumsikan
pengetahuan
(konsep, sikap, dan keterampilan)
yang dimiliki oleh orang dan bahwa
pengetahuan
seseorang
bisa
diberikan ke orang lain dengan
metode di atas sampai pada akhirnya
direfleksikan oleh yang lainnya.
Curriculum is organized into
units or topics that are often
sequential; learners must master
one in order to go on to the next.
Kurikulum disusun dalam unit-unit
atau topik yang seringkali berurutan;
peserta didik harus menguasai salah
satu untuk melanjutkan ke step
berikutnya.
Curriculum is evaluated in terms
of the degree to which learners
have absorbed or mastered the
prescribed knowledge, attitudes,
and/or skills.
Kurikulum yang dievaluasi dalam hal
sejauh mana peserta didik telah
menyerap
atau
menguasai
pengetahuan yang ditentukan, sikap,
dan atau keterampilan. 86
86
Seller dan Miller dalam http: parenhood.library.wisc.edu/Thomas/Thomas.html. diakses 7 Januari
2013
108
Manajemen Kurikulum Pendidikan Islam
2. Transaction Perspective ciri-cirinya adalah:
Rooted
in
John
Dewey's
educational philosophy and in
developmental theory.
Berakar dari filsafat pendidikan John
Dewey dalam teori pengembangan.
Goal is to promote learners'
growth and development and
problem solving capacities
Tujuannya adalah untuk meningkatkan pertumbuhan peserta didik dan
perkembangannya serta kapasitas
pemecahan masalahnya.
Assumes
knowledge
is
constructed by each learner as he
or she interacts with the
environment;
the
unique
experiences,
understandings,
needs, and motivations that each
learner brings to their learning
influences his or her view of what
is appropriate and interesting to
learn and what is actually
learned.
Mengasumsikan pengetahuan yang
dibangun oleh setiap pelajar karena
mereka berinteraksi dengan lingkungan; pengalaman yang unik,
pemahaman,
kebutuhan,
dan
motivasi setiap pelajar yang membawa kepada pembelajaran mereka
mempengaruhi pandangannya dari
apa yang pantas dan menarik untuk
dipelajari dan apa yang benar-benar
belajar.
Belajar
adalah
sebuah
proses
penyelidikan tentang pelajar dan
pendidik secara langsung atau tidak
langsung.
Learning is an inquiry process
that learners and educator codirect and co-participate in.
The educator's role is to facilitate
learners' inquiry in directions the
learners' interests reflect.
Curriculum development involves
providing guidance for the
educator in creating with learners
a rich learning environment in
which: (1) a variety of resources
stimulate learners' interest and
motivation; (2) social interaction
contributes to learning-enhancing
cognitive conflict, and (3)
learners have opportunities to
interact with tasks, concepts and
principles, or situations of
interest to them.
Dari Normatif – Filosofis ke Praktis
Peran pendidik adalah untuk
memfasilitasi
“permintaan
arah
pembelajaran”.
Pengembangan kurikulum melibatkan penyediaan pedoman untuk
para pendidik dalam mengkreasikan
peserta didik dengan lingkungan
pembelajaran yang kaya dengan: (1)
berbagai sumber daya merangsang
minat peserta didik dan motivasi; (2)
interaksi sosial memberikan kontribusi untuk meningkatkan belajarkonflik kognitif, dan (3) peserta didik
memiliki
kesempatan
untuk
berinteraksi dengan tugas, konsep
dan prinsip, atau situasi yang
menarik bagi mereka.
109
Curriculum
is
organized
according to broad themes or
questions, which are suggested by
curriculum
developers
or
generated in learner-educator
dialogue.
Curriculum is evaluated on the
basis of broad areas of growth and
development observed in the
learner (e.g., thinking processes,
inquiry processes).
Kurikulum disusun sesuai dengan
tema yang luas atau pertanyaanpertanyaan, yang disarankan oleh
pengembang
kurikulum
atau
dihasilkan dalam dialog dengan para
pendidik.
Kurikulum dievaluasi berdasarkan
bidang umum pertumbuhan dan
perkembangan diamati pada pelajar
(misalnya, proses berpikir, proses
penyelidikan).
3. Transformation Perspective ciri-cirinya adalah:
110
Roots are in postmodern thought,
ecological, perspectives, and in
social reconstruction curricular
perspectives.
Berakar dari pemikiran postmodern,
perspektif ekologi, dan dalam
perspektif kurikulum rekonstruksi
sosial.
Goals include cultivation of
intuition, insight, and community and countering injustice and
human
suffering
through
collective social action; because
problems are seen in terms of
roles, structures, and norms that
dominate social interactions, the
focus is on changing these roles,
structures, and norms rather than
on changing a few individuals.
Tujuannya meliputi intuisi budaya,
wawasan dan masyarakat serta
ketidakadilan
dan
penderitaan
manusia melalui aksi kolektif sosial;
karena masalah yang terlihat dalam
hal peran, struktur, dan normanorma yang mendominasi interaksi
sosial,
fokusnya
adalah
pada
perubahan peran, struktur, dan
norma-norma dan bukan pada
mengubah beberapa individu.
Knowledge is assumed to be fluid
rather than static, interconnected,
enriched by multiple perspectives,
and to reflect personal meaning.
Pengetahuan diasumsikan sebagai
cairan daripada statis, yang saling
berhubungan, diperkaya oleh berbagai
perspektif,
dan
untuk
merefleksikan arti perorangan.
Learning relevant to one aspect of
life is affected by other aspects of
life; curriculum must incorporate
consideration of contextual factors
relevant in learners' lives.
Belajar yang relevan dengan salah
satu aspek kehidupan dipengaruhi
oleh aspek kehidupan lainnya;
kurikulum
harus
memasukkan
pertimbangan
faktor-faktor
Manajemen Kurikulum Pendidikan Islam
kontekstual yang relevan
kehidupan peserta didik.
dalam
Curriculum development must
involve learners as central
participants in, and directors of,
curricular
decision
making;
learners actively participate in
understanding and choosing what
they will learn instead of being
recipients of what someone else
has decided they need.
Pengembangan kurikulum harus
melibatkan peserta didik sebagai
peserta utama, dan direksi dari
pembuat keputusan kurikulum;
peserta
didik
secara
aktif
berpartisipasi dalam memahami dan
memilih apa yang mereka akan
pelajari bukan menjadi penerima
dari apa yang orang lain telah
memutuskan apa yang mereka
butuhkan.
Educators'
respect
and
compassion for learners is of
central importance; in order to
facilitate
others'
learning,
educators must be conscious of
their own perspectives as well as
those of learners.
Pendidik
menghormati
dan
mengasihi peserta didik adalah
sangat penting, dalam rangka
memfasilitasi orang lain untuk
belajar, pendidik harus sadar dari
perspektif mereka sendiri serta
orang-orang dari peserta didik.
Curriculum
is
organized
according to broad themes or
questions generated by learners.
Kurikulum disusun sesuai dengan
tema yang luas atau pertanyaanpertanyaan yang dihasilkan oleh
peserta didik.
Curriculum is evaluated in terms
of direction and nature of change
in learners' contexts that has
resulted from social action, and in
terms of learners' abilities to
identify problems and issues and
organize themselves to work with
others to address them.
Kurikulum dievaluasi dalam hal
arah dan sifat dari perubahan peserta
didik konteks yang telah dihasilkan
dari aksi sosial, dan dalam hal
pembelajar
'kemampuan
untuk
mengidentifikasi masalah dan isu-isu
dan mengorganisir diri untuk bekerja
dengan
orang
lain
untuk
87
mengatasinya.
87
Ibid, hal. 9-10
Dari Normatif – Filosofis ke Praktis
111
Sesuai dengan perubahan Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan
(KTSP), maka kurikulum PAI berorientasi pada pencapaian hasil belajar
yang berkualitas. orientasi kurikulum PAI tersebut dapat dilihat dari
beberapa aspek, di antaranya yaitu:
a. Aspek tujuan; lebih menitikberatkan pada pencapaian target
kompetensi, berupa pengetahuan agama Islam dengan memperhatikan keragaman potensi ruhani agar dapat memaksimalkan
kompetensi religiusnya.
b. Aspek isi; menekankan pada hal-hal yang bersifat tematik dan
menggali sumber-sumber belajar yang bersifat kenyataan di
lingkungan siswa. Materi disusun secara sistematis, mudah
dipahami, dan terhindar dari pengulangan materi atau tumpang
tindih.
c. Aspek metode; mentransmisikan nilai-nilai agama Islam ke dalam
bentuk kompetensi secara utuh. Kurikulum bertujuan membekali
peserta didik memiliki kesadaran baik secara normatif maupun
historis empiris.
d. Aspek guru; tenaga pendidik lebih berperan sebagai fasilitator (guru
tidak dominan) dan memanfaatkan banyak sumber belajar serta
mengadakan kerjasama yang terpadu dengan lingkungan sekitarnya.
e. Aspek siswa; peserta didik lebih ditempatkan sebagai subjek,
berperan aktif menggali potensi ruhaninya sendiri untuk lebih
menyadari fungsi dan kedudukannya sebagai muslim.
f. Aspek penilaian; kegiatan pembelajaran dinilai secara komprehensif,
tidak hanya pada satu aspek saja dari suatu materi tetapi juga dengan
materi-materi yang berhubungan dengan kegiatan religiusnya. Hasil
penilaian berorientasi untuk melihat perkembangan potensi siswa
untuk mengembangkan kecakapan hidupnya sebagai seorang
muslim yang ideal.
Dari keenam aspek di atas, kurikulum pendidikan Agama Islam
tersebut berorientasi untuk meningkatkan keimanan, pemahaman,
penghayatan dan pengamalan peserta didik tentang agama Islam,
sehingga menjadi manusia muslim yang beriman dan bertaqwa kepada
Allah Swt. serta berakhlak mulia dalam kehidupan pribadi, bermasyarakat, berbangsa dan bernegara.
112
Manajemen Kurikulum Pendidikan Islam
Berdasarkan orientasi tersebut dapat ditarik beberapa dimensi
yang hendak ditingkatkan dan dituju oleh kegiatan pembelajaran
pendidikan agama Islam, yaitu (1) dimensi keimanan peserta didik
terhadap ajaran agama Islam. (2) dimensi pemahaman atau penalaran
serta keilmuan peserta didik terhadap ajaran agama Islam. (3) dimensi
penghayatan atau pengalaman batin yang dirasakan peserta didik dalam
menjalankan ajaran Islam. (4) dimensi pengalamannya, dalam arti
bagaimana ajaran Islam yang telah diimani, dipahami dan dihayati atau
diinternalisasi oleh peserta didik itu mampu menumbuhkan motivasi
dalam dirinya untuk menggerakkan, mengamalkan dan menaati ajaran
agama dan nilai-nilainya dalam kehidupan pribadi, sebagai manusia
yang beriman dan bertaqwa kepada Allah serta mengaktualisasikan dan
merealisasikannya dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan
bernegara.
Dari Normatif – Filosofis ke Praktis
113
BAB IV
PENDEKATAN, MODEL, DAN DESAIN
KURIKULUM
A. Pendekatan Pengembangan Kurikulum
Diskursus tentang pengembangan kurikulum ini diawali dengan
melakukan telaah terhadap pengertian, prinsip dan berbagai pendekatan
dalam pengembangan kurikulum, model pengembangan kurikulum dan
desain kurikulum.
1. Pengertian Pendekatan Pengembangan Kurikulum
Pendekatan dalam pengembangan kurikulum merefleksikan
pandangan seseorang terhadap sekolah dan masyarakat. Para pendidik
umumnya tidak berpegang pada salah satu pendekatan secara murni
tetapi menggunakan beberapa pendekatan yang sesuai. Pendekatan
dalam pengembangan kurikulum mempunyai arti yang sangat luas. Hal
tersebut bisa berarti penyusunan kurikulum baru (curriculum
construction), bisa juga penyempurnaan terhadap kurikulum yang
sedang berlaku (curriculum improvement). 88
Pendekatan pengembangan kurikulum adalah cara kerja dengan
menerapkan strategi dan metode yang tepat dengan mengikuti langkahlangkah pengembangan yang sistematis untuk menghasilkan kurikulum
yang sistematis agar memperoleh kurikulum yang lebih baik. 89
88
E. Mulyasa, (2004). Kurikulum Berbasis Kompetensi, Konsep, Karakteristik dan Implementasi,
Bandung: PT Remaja Rosdakarya. Hal. 65-66.
89
Abdullah Idi, (2010). Pengembangan Kurikulum, Teori dan Praktik. Jogjakarta: Ar-Ruzz Media. Hal. 200
114
Manajemen Kurikulum Pendidikan Islam
Pengembangan kurikulum sebaiknya dilaksanakan secara
sistemik berdasarkan prinsip terpadu, yaitu memberikan petunjuk
bahwa keseluruhan komponen harus tepat sekali dan menyambung
secara integratif, tidak terlepas-lepas, tetapi menyeluruh. Penyusunan
satu komponen harus dinilai konsistensinya dan berkaitan dengan
komponen-komponen lainnya sehingga kurikulum benar-benar terpadu
(integratif) dan utuh.
Menurut Audrey dan Howard Nichools dalam Arifin mengemukakan bahwa pengembangan kurikulum (curriculum development)
adalah “the planning of learning opportunities intended to bring about certain
desired in pupils, and assessment of the extend to which these changes have
taken place”. Artinya, pengembangan kurikulum adalah perencanaan
kesempatan-kesempatan belajar yang dimaksudkan untuk membawa
peserta didik ke arah perubahan-perubahan yang diinginkan serta
menilai hingga sejauh mana perubahan-perubahan itu telah terjadi pada
diri peserta didik. Adapun yang dimaksud kesempatan belajar (learning
opportunity) adalah hubungan yang telah direncanakan dan terkontrol
antara peserta didik, guru, bahan, dan peralatan, serta lingkungan
belajar. Semua kesempatan belajar yang direncanakan oleh guru bagi
para peserta didik sesungguhnya adalah “kurikulum itu sendiri”. 90
Berdasarkan pengertian tersebut, pengembangan kurikulum
sesungguhnya adalah sebuah siklus, suatu proses berulang yang tidak
pernah berakhir. Proses kurikulum itu sendiri terdiri atas empat unsur.
Pertama, tujuan, yakni mempelajari serta menggambarkan semua sumber
pengetahuan dan pertimbangan tentang tujuan-tujuan pengajaran, baik
yang berkenaan dengan mata pelajaran (subject course) maupun
kurikulum secara menyeluruh. Kedua, metode dan material, yakni
mengembangkan serta mencoba menggunakan metode dan material
sekolah untuk mencapai tujuan-tujuan yang serasi menurut pertimbangan guru. Ketiga, penilaian (assessment), yakni menilai keberhasilan
pekerjaan yang telah dikembangkan dalam kaitan dengan tujuan yang
telah ditetapkan sebelumnya atau mengembangkan tujuan-tujuan baru.
Keempat, feedback, yakni umpan balik dari semua pengalaman yang telah
90
Zainal Arifin, (2012). Pengembangan Manajemen Mutu Kurikulum Pendidikan Islam.Jogjakarta: Diva
Press. Hal. 42.
Dari Normatif – Filosofis ke Praktis
115
diperoleh, yang pada gilirannya menjadi titik tolak bagi studi
selanjutnya.
2. Prinsip-prinsip Pengembangan Kurikulum
Prinsip-prinsip pengembangan kurikulum dibagi menjadi dua,
yaitu prinsip umum dan khusus. 91
a. Prinsip Umum
Pengembangan kurikulum mempunyai lima prinsip umum.
Pertama, relevansi. Ada dua macam relevansi yang harus dimiliki
kurikulum, yaitu relevansi ke luar dan relevansi di dalam kurikulum
itu sendiri. Relevansi ke luar maksudnya adalah tujuan, isi, dan
proses belajar yang tercakup dalam kurikulum hendaknya relevan
dengan tuntutan, kebutuhan, dan perkembangan masyarakat. Selain
itu, kurikulum juga harus memiliki relevansi di dalam, yaitu ada
kesesuaian atau konsistensi antara komponen-komponen kurikulum
(antara tujuan, isi, proses penyampaian, dan penilaian). Relevansi
internal ini menunjukkan suatu keterpaduan kurikulum.
Kedua, fleksibilitas. Kurikulum hendaknya memiliki sifat lentur
atau fleksibel. Kurikulum yang baik adalah yang berisi hal-hal solid,
tetapi dalam pelaksanaannya memungkinkan terjadinya penyesuaian-penyesuaian berdasarkan kondisi daerah, waktu, maupun
kemampuan, dan latar belakang peserta didik.
Ketiga, kontinuitas atau kesinambungan. Perkembangan dan
proses belajar peserta didik hendaknya berlangsung secara
berkesinambungan, tidak terputus-putus ataupun berhenti-henti.
Pengembangan kurikulum perlu dilakukan secara serempak,
sehingga harus selalu ada komunikasi dan kerja sama antara para
pemegang kurikulum MI/SD, MTs/SMP, MA/SMA, dan perguruan
tinggi.
Keempat, praktis. Kurikulum hendaknya mudah dilaksanakan,
menggunakan alat-alat sederhana, dan biaya murah. Prinsip ini juga
disebut prinsip efisiensi. Kelima, efektivitas. Walaupun kurikulum
91
Nana Syaodih Sukmadinata,cet.ke-14, (2011).Pengembangan Kurikulum: Teori dan Praktek. Bandung:
Remaja Rosadakarya. Hal. 150-151.
116
Manajemen Kurikulum Pendidikan Islam
tersebut harus,sederhana dan murah tetapi keberhasilannya tetap
harus diperhatikan.
b. Prinsip Khusus
1) Prinsip yang berkenaan dengan tujuan pendidikan.
Perumusan tujuan pendidikan bersumber pada:
a) Ketentuan dan kebijaksanaan pemerintah yang dapat ditemukan dalam dokumen-dokumen lembaga negara mengenai
tujuan, serta strategi pembangunan, termasuk di dalamnya
pendidikan.
b) Survey mengenai persepsi orang tua atau masyarakat tentang
kebutuhan mereka yang dikirimkan melalui angket atau
wawancara.
c) Survey tentang pandangan para ahli dalam bidang-bidang
tertentu yang dihimpun melalui angket, wawancara, observasi,
dan berbagai media massa.
d) Survey tentang manpower.
e) Pengalaman negara-negara lain dalam masalah yang sama.
f) Penelitian.
2) Prinsip yang berkenaan dengan pemilihan isi pendidikan.
Hal yang perlu dipertimbangkan hal-hal berikut:
a) Perlu penjabaran tujuan pendidikan/pengajaran ke dalam
bentuk perbuatan hasil belajar yang khusus dan sederhana.
Semakin umum suatu perbuatan hasil belajar dirumuskan,
semakin sulit menciptakan pengalaman belajar.
b) Isi bahan pelajaran harus meliputi segi pengetahuan, sikap, dan
keterampilan.
c) Unit-unit kurikulum harus disusun dalam urutan yang logis
dan sistematis.
3) Prinsip yang
mengajar.
berkenaan
dengan
pemilihan
proses
belajar
Hal yang perlu diperhatikan:
a) Apakah metode yang digunakan cocok untuk mengajar?
b) Apakah metode memberikan kegiatan yang bervariasi?
Dari Normatif – Filosofis ke Praktis
117
c) Apakah metode memberikan urutan kegiatan bertingkattingkat?
d) Apakah metode tersebut dapat menciptakan kegiatan untuk
mencapai tujuan kognitif, afektif, psikomotor?
e) Apakah metode mengaktifkan peserta didik, guru, atau
keduanya?
f) Apakah
metode
dapat
mendorong
berkembangnya
kemampuan baru?
g) Apakah metode menimbulkan jalinan kegiatan belajar di
sekolah dan rumah?
h) Untuk belajar keterampilan lebih ditekankan learning by doing
disamping learning by seeing and knowing.
4) Prinsip yang Berkenaan dengan Pemilihan Media dan Alat
Pengajaran.
Hal-hal yang dapat dipertimbangkan untuk memilih alat:
a) Alat atau media pengajaran apa yang diperlukan.
b) Pembuatan alat memperhatikan siapa pembuat, biaya, waktu
pembuatan.
c) Bagaimana pengorganisasian alat dalam bahan pelajaran,
modul, paket belajar, atau lainnya.
d) Bagaimana pengintegrasian dalam keseluruhan kegiatan
belajar.
e) Hasil terbaik dengan menggunakan multimedia.
5) Prinsip yang Berkenaan dengan Pemilihan Kegiatan Penilaian.
a) Penyusunan alat penilaian (tes).
b) Perencanaan suatu penilaian.
c) Pengolahan suatu hasil penilaian.
3. Pendekatan Pengembangan Kurikulum
Pendekatan dalam pengembangan kurikulum merefleksikan
pandangan seseorang terhadap sekolah dan masyarakat. Para pendidik
umumnya tidak berpegang pada salah satu pendekatan secara murni
tetapi menganut beberapa pendekatan yang sesuai. Pendekatan dalam
pengembangan kurikulum mempunyai arti yang sangat luas. Hal
tersebut bisa berarti penyusunan kurikulum baru (curriculum
118
Manajemen Kurikulum Pendidikan Islam
construction), bisa juga penyempurnaan terhadap kurikulum yang
sedang berlaku (curriculum improvement). 92
Pendekatan pengembangan kurikulum merupakan muatan etis
pedagosis yang berisi sejumlah cara dan langkah-langkah yang sistematis untuk menghasilkan kurikulum yang sistematis agar diperoleh
kurikulum yang lebih baik.
Pengembangan kurikulum seyogyanya dilaksanakan secara
sistemik berdasarkan prinsip terpadu yaitu memberikan petunjuk
bahwa keseluruhan komponen harus tepat sekali dan menyambung
secara integratif, tidak terlepas-lepas, tetapi menyeluruh. Penyusunan
satu komponen harus dinilai konsistensinya dan berkaitan dengan
komponen-komponen lainnya sehingga kurikulum benar-benar terpadu
secara bulat dan utuh.
a. Pendekatan Subjek Akademis
Kurikulum subjek akademis bersumber dari pendidikan klasik
(perenialisme dan esensialisme) yang berorientasi pada masa lalu.
Semua ilmu pengetahuan dan nilai-nilai telah ditemukan oleh para
pemikir masa lalu. Fungsi pendidikan memelihara dan mewariskan
hasil-hasil budaya masa lalu tersebut. Kurikulum ini lebih
mengutamakan isi pendidikan. Belajar adalah berusaha menguasai
ilmu sebanyak-banyaknya. Orang yang berhasil dalam belajar adalah
orang yang menguasai seluruh atau sebagian besar isi pendidikan
yang diberikan atau disiapkan oleh guru.
Isi pendidikan diambil dari setiap disiplin ilmu. Sesuai bidang
disiplin para ahli, masing-masing telah mengembangkan ilmu secara
sistematis, solid, dan logis. Para pengembang kurikulum tidak perlu
susah-susah menyusun dan mengembangkan bahan sendiri, mereka
tinggal memilih bahan materi ilmu yang telah dikembangkan para
ahli disiplin ilmu kemudian mereorganisasikannya secara sistematis,
sesuai dengan tujuan pendidikan dan tahap perkembangan siswa
yang akan mempelajarinya.
Tujuan kurikulum subjek akademis adalah pemberian pengetahuan yang solid serta melatih para siswa menggunakan ide-ide dan
92
E. Mulyasa, (2004). Kurikulum Berbasis Kompetensi, Konsep, Karakteristik dan Implementasi.
Bandung: PT Remaja Rosdakarya. Hlm. 65-66.
Dari Normatif – Filosofis ke Praktis
119
proses “penelitian”. Dengan berpengetahuan dalam berbagai disiplin
ilmu para siswa diharapkan memiliki konsep-konsep atau cara yang
dapat dikembangkan dalam masyarakat yang lebih luas. Sekolah
harus memberikan kesempatan kepada para siswa untuk merealisasikan kemampuan mereka menguasai warisan budaya dan jika
mungkin memperkayanya.
Metode yang paling banyak digunakan dalam kurikulum
subjek akademis ini adalah metode ekspositori dan inkuiri. Ide-ide
diberikan guru kemudian dielaborasi (dilaksanakan) siswa sampai
mereka kuasai. Konsep utama disusun secara sistematis dengan
ilustrasi yang jelas selanjutnya dikaji. Dalam materi disiplin ilmu
yang diperoleh, dicari berbagai masalah penting, kemudian dirumuskan dan dicari cara pemecahannya.
Walaupun didasari dengan konsep-konsep yang sama,
keduanya memiliki pandangan yang berbeda. Parenialisme lebih
berorientasi ke masa lampau dan kurang mementingkan tuntutantuntutan masyarakat yang berkembang saat sekarang. Pendidikan
lebih menekankan pada humanitas, pembentukan pribadi, dan sifatsifat mental. Pendidikan lebih banyak bersifat umum (general
education atau liberal art). Pendidikan adalah bebas nilai (value free)
dan bebas dari kebudayaan (culture free). Esensialisme lebih
mengutamakan sains daripada humanitas dan lebih pragmatis,
pendidikan diarahkan dalam mempersiapkan generasi muda untuk
terjun ke dunia kerja. Pendidikan lebih berorientasi pada masa
sekarang dan yang akan datang sehingga pengajaran lebih diarahkan
kepada pembentukan keterampilan dan pengembangan kemampuan
vokasional.
Pendekatan pengembangan kurikulum subyek akademis lebih
menekankan isi pendidikan, yang diambil dari disiplin-disiplin ilmu,
disusun oleh para ahli tanpa mengikutsertakan guru-guru, apalagi
siswa. Isi disusun secara logis, sistematis, dan berstruktur, dengan
berpusat pada segi intelektual, sedikit sekali memperhatikan segisegi sosial atau psikologis peserta didik.
Semua pengetahuan dan nilai-nilai telah ditemukan pada
pemikiran masa lalu, sedangkan masa kini hanya memelihara dan
mewarisi hasil budaya masa lalu tersebut. Sebaliknya, kurikulum
120
Manajemen Kurikulum Pendidikan Islam
lebih mengutamakan isi pendidikan dan peserta didik merupakan
usaha untuk menguasai isi pendidikan sebanyak-banyaknya. Yang
diutamakan dalam pendekatan ini adalah penguasaan bahan dan
proses dalam disiplin ilmu tertentu atau didasarkan pada
sistematisasi disiplin ilmu masing-masing. 93
Setiap ilmu pengetahuan memiliki sistematisasi tertentu yang
berbeda dengan sistemisasi ilmu lainnya. Pengembangan kurikulum
subyek akademik dilakukan dengan cara menetapkan lebih dahulu
mata pelajaran apa yang harus dipelajari peserta didik, yang diperlukan untuk (persiapan) pengembangan disiplin ilmu 94.
Secara umum, pendekatan pengembangan kurikulum subjek
akademis dipandang sebagai pendekatan yang masih sepihak dan
belum mampu mengintegrasikan antara nilai lama dan nilai baru,
padahal Islam menghendaki adanya pendekatan yang interdisipliner
dan integratif terhadap semua masalah-masalah kehidupan 95.
Melalui proses tersebut para siswa akan menemukan bahwa
kemampuan berfikir dan mengamati digunakan dalam ilmu
kealaman, logika dalam matematika, bentuk dan perasaan digunakan
dalam seni dan koherensi dalam sejarah. Mereka mempelajari bukubuku standar untuk memperkaya pengetahuan, dan untuk memahami budaya masa lalu dan mengerti budaya masa kini. Tentang
kegiatan evaluasi, kurikulum subjek akademis menggunakan bentuk
evaluasi yang bervariasi disesuaikan dengan tujuan dan sifat mata
pelajaran. Dalam bidang studi humaniora lebih banyak digunakan
bentuk uraian (essay test) daripada tes objektif. Bidang studi tersebut
membutuhkan jawaban yang merefleksikan logika, koherensi, dan
integrasi secara menyeluruh. Bidang studi seni yang sifatnya ekspresi
membutuhkan penilaian subjektif yang jujur, disamping standar
keindahan dan cita rasa. Lain halnya dengan matematika, nilai
tertinggi diberikan bila siswa menguasai landasan aksioma serta cara
penghitungan yang benar. Dalam ilmu kealaman penghargaan
tertinggi bukan hanya diberikan kepada jawaban yang benar tetapi
juga pada proses berpikir yang digunakan siswa.
93
Nasution, (1995). Kurikulum dan Pengajaran. Bandung: PT Bumi Aksara. Hlm. 44.
Muhaimin, (2003). Arah Baru Pengembangan Pendidikan Islam. Bandung: Nuansa Cendekia. Hal.150.
95
Abdul Mujib, (2006). Ilmu Pendidikan Islam. Jakarta: Kencana. Hal.146.
94
Dari Normatif – Filosofis ke Praktis
121
Masalah besar yang dialami oleh para pengembang kurikulum
subjek akademis ini adalah bagaimana memilih materi pelajaran dari
sekian banyak disiplin ilmu yang ada. Apabila ingin menguasai
dengan cukup mendalam maka jumlah disiplin ilmunya harus
sedikit. Apabila hanya mempelajari sedikit disiplin ilmu maka
penguasaannya para siswa akan sangat terbatas, dan sukar menerapkan dalam kehidupan masyarakat luas. Apabila disiplin ilmunya
cukup banyak maka penguasaannya akan mendangkal. Ada beberapa saran untuk mengatasi masalah tersebut, yaitu:
1) Mengusahakan adanya penguasaan secara komprehensif dengan
menekankan pada bagaimana cara menguji kebenaran atau
mendapatkan pengetahuan.
2) Mengutamakan kebutuhan masyarakat (social utility) memilih dan
menentukan aspek-aspek dari disiplin ilmu yang sangat
diperlukan dalam kehidupan masyarakat
3) Menekankan pengetahuan dasar yaitu pengetahuan-pengetahuan
yang menjadi dasar bagi penguasaan disiplin-disiplin ilmu yang
lainnya. 96
Para pengembang kurikulum subjek akademis, lebih
mengutamakan penyusunan bahan secara logis dan sistematis
daripada menyelaraskan urutan bahan dengan kemampuan berfikir
anak. Mereka umumnya kurang memperhatikan bagaimana siswa
belajar dan lebih mengutamakan susunan isi, yaitu apa yang akan
diajarkan. Proses belajar yang ditempuh oleh siswa sama pentingnya
dengan penguasaan konsep, prinsip-prinsip, dan generalisasi. Para
ahli kurikulum subjek akademis juga memandang materi yang akan
diajarkan bersifat universal, mereka mengabaikan karakteristik siswa
dan kebutuhan masyarakat setempat.
Untuk mengatasi kelemahan-kelemahan di atas dalam
perkembangan selanjutnya dilakukan beberapa penyempurnaan.
Pertama, untuk mengimbangi penekanannya pada proses berfikir,
mereka mulai mendorong penggunaan intuisi dan tebak-tebakan.
Kedua, adanya upaya-upaya untuk menyesuaikan pelajaran dengan
96
Nana Syaodih Sukmadinata,cet 14, (2011).Pengembangan Kurikulum…., hal. 85
122
Manajemen Kurikulum Pendidikan Islam
perbedaan individu dan kebutuhan setempat. Ketiga, pemanfaatan
fasilitas dan sumber yang ada pada masyarakat.
b. Pendekatan Humanistik
Kurikulum humanistik dikembangkan oleh para ahli pendidikan
humanistik. Kurikulum ini berdasarkan konsep aliran pendidikan
pribadi (personalized education), yaitu John Dewey (Progressive
Education) dan J.J. Rousseau (Romantic Education). Aliran ini lebih
memberikan tempat utama kepada siswa. Mereka bertolak dari
asumsi bahwa anak atau siswa adalah yang pertama dan utama
dalam pendidikan. Ia adalah subjek yang menjadi pusat kegiatan
pendidikan. Mereka percaya bahwa siswa mempunyai potensi,
punya kemampuan, dan kekuatan untuk berkembang. Para pendidik
humanis juga berpegang pada konsep Gestalt, bahwa individu atau
anak merupakan satu kesatuan yang menyeluruh. Pendidikan
diarahkan kepada membina manusia yang utuh bukan saja dari segi
fisik dan intelektual tetapi juga segi sosial dan afektif (emosi, sikap,
perasaan, nilai, dan lain-lain).
Pendekatan humanistik dalam pengembangan kurikulum
bertolak pada ide “memanusiakan manusia”. Penciptaan konteks
yang akan memberi peluang manusia. 97 Dalam pendekatan
Humanistik ini, peserta didik diajar untuk membedakan hasil
berdasarkan maknanya. Pendekatan pengembangan Kurikulum ini
melihat kegiatan sebagai sebuah manfaat untuk peserta di masa
depan. Sesuai dengan konsep yang dianut, yaitu aliran pendidikan
pribadi (personalized education)pendekatan ini lebih memberikan
tempat utama pada siswa.
Pendekatan pengembangan kurikulum ini bertolak dari asumsi
bahwa peserta didik adalah faktor yang pertama dan utama dalam
pendidikan. Ia dapat menjadi subjek yang menjadikan pusat kegiatan
pendidikan, dan mempunyai kemampuan, potensi dan kekuatan
untuk berkembang. Oleh karena itu, tugas pendidik hanya menciptakan situasi yang mendorong peserta didik untuk mencari dan
mengembangkan pemecahan sendiri.
97
Muhaimin, (2007). Pengembangan Kurikulum Pendidikan Agama Islam di Sekolah, Madrasah Serta
Perguruan Tinggi. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada. Hal.142.
Dari Normatif – Filosofis ke Praktis
123
Pendekatan ini berkembang sebagai reaksi atas praktik
pendidikan yang lebih menekankan segi intelektual saja, dengan
peran utama dipegang oleh guru. Pendekatan ini memandang
pendidikan merupakan upaya yang yang berusaha untuk
menciptakan situasi yang baik, rileks dan akrab. Dengan situasi yang
demikian kondusif, siswa dapat mengembangkan segala potensi
dirinya. Pendidikan bertolak dari kebutuhan dan minat peserta didik.
Peserta didik menjadi subyek pendidikan, dialah yang menduduki
tempat utama dalam pendidikan. Pendidik menempati posisi kedua,
bukan lagi sebagai penyampai informasi atau sebagai model dan ahli
dalam disiplin ilmu. Pendidik lebih berfungsi sebagai psikolog yang
mengerti segala kebutuhan dan masalah peserta didik.
Pendekatan humanis bersumber dari pendidikan progresif dan
pendidikan romantik. Dalam pendidikan progresif, siswa merupakan
satu kesatuan yang utuh, perkembangan emosi dan sosial sama
pentingnya dengan perkembangan intelektual. Sedang pendidikan
romantik merupakan proses individual yang berisi rentetan
pengembangan kemampuan-kemampuan anak, berkat interaksi
dengan berbagai aspek dalam lingkungan maka terjadi rentetan
pengembangan kemampuan-kemampuan anak.
c. Pendekatan Teknologis/Kompetensi
Pendekatan teknologis dalam menyusun kurikulum atau
program pendidikan bertolak dari competence analysis (analisis
kompetensi) yang dibutuhkan untuk melaksanakan tugas-tugas
tertentu. Materi yang diajarkan, kriteria evaluasi sukses, dan strategi
belajar ditetapkan sesuai dengan analisis tugas (job analysis) tersebut.
Pendekatan teknologis lebih menekankan pada penggunaan
alat-alat teknologi untuk menunjang efisiensi dan efektifitas program
pendidikan. Tanpa bantuan media maka proses pembelajaran tidak
dapat berlangsung, karena pelaksanaan pembelajaran tersusun
terpadu antara kegiatan-kegiatan pendidikan dengan media tersebut.
Sejalan dengan perkembangan ilmu dan teknologi, di bidang
pendidikan berkembang pula teknologi pendidikan. Aliran ini ada
persamaannya dengan pendidikan klasik, yaitu menekankan isi
kurikulum, tetapi diarahkan bukan pada pemeliharaan dan
124
Manajemen Kurikulum Pendidikan Islam
pengawetan ilmu tersebut tetapi pada penguasaan kompetensi. Suatu
kompetensi yang besar diuraikan menjadi kompetensi yang lebih
sempit/khusus dan akhirnya menjadi perilaku-perilaku yang dapat
diamati atau diukur. 98
Penerapan teknologi dalam bidang pendidikan khususnya
kurikulum adalah dalam dua bentuk, yaitu perangkat lunak (software)
dan perangkat keras (hardware). Penerapan teknologi perangkat keras
dalam pendidikan dikenal sebagai teknologi alat (tools technology),
sedangkan penerapan teknologi perangkat lunak disebut juga
teknologi sistem (system technology).
Teknologi pendidikan dalam arti teknologi alat, lebih menekankan kepada penggunaan alat-alat teknologis untuk menunjang
efisiensi dan efektifitas pendidikan. Kurikulum berisi rencanarencana penggunaan berbagai alat dan media, juga model-model
pengajaran yang banyak melibatkan penggunaan alat. Contoh-contoh
model pengajaran tersebut adalah: pengajaran dengan bantuan
video/film, pengajaran berprogram, mesin pengajaran, pengajaran
modul, pengajaran dengan bantuan komputer.
Dalam arti teknologi sistem, teknologi pendidikan menekankan
kepada penyusunan program pengajaran atau rencana pelajaran
dengan menggunakan pendekatan sistem. Program pengajaran ini
bisa semata-mata program sistem, bisa program sistem yang
ditunjang dengan alat dan media, dan bisa juga program sistem yang
dipadukan dengan alat dan media pengajaran.
Kurikulum yang dikembangkan dari konsep
pendidikan, memiliki beberapa ciri khusus, yaitu:
teknologi
1) Tujuan, diarahkan pada penguasaan kompetensi, yang
dirumuskan dalam bentuk perilaku. Tujuan umum tampak dalam
SK (Standar Kompetensi), sementara tujuan khusus dapat dilihat
dari KD (Kompetensi Dasar).
2) Metode, merupakan kegiatan pembelajaran yang dianggap dapat
mendorong efektivitas penyampaian materi di kelas.
98
Ibid, hal. 96
Dari Normatif – Filosofis ke Praktis
125
3) Organisasi Isi. Materi kurikulum dapat diambil dari berbagai
macam disiplin ilmu dengan menggunakan pendekatan tematik
atau connected material.
4) Evaluasi. Kegiatan ini dapat dilakukan pada setiap saat, misalnya
pada akhir pembelajaran melalui pengamatan, tulis atau lisan atau
pertengahan dan akhir semester.
Program pengajaran teknologis sangat menekankan efisiensi
dan efektifitas. Program dikembangkan melalui beberapa kegiatan uji
coba dengan sampel-sampel dari suatu populasi yang sesuai, direvisi
beberapa kali sampai standar yang diharapkan dapat tercapai.
Dengan model pengajaran ini tingkat penguasaan siswa dalam
standar konvensional jauh lebih tinggi dibandingkan dengan modelmodel lain. Apalagi kalau digunakan program-program yang lebih
berstruktur seperti pengajaran berprogram, pengajaran modul, atau
pengajaran dengan bantuan video dan computer, yang dilengkapi
dengan sistem umpan balik dan bimbingan yang teratur dapat
mempercepat dan meningkatkan penguasaan siswa.
Model ini terbatas kemampuannya untuk mengajarkan bahan
ajar yang kompleks atau membutuhkan penguasaan tingkat tinggi
(analisis, sintesis, evaluasi) juga bahan-bahan ajar yang bersifat
afektif. Beberapa percobaan menunjukkan kemampuan siswa untuk
mentransfer hasil belajar cukup rendah. Pengajaran teknologis sukar
untuk dapat melayani bakat-bakat siswa belajar dengan metodemetode khusus. Metode mengajar mereka cenderung seragam, bila
sikapnya positif, maka siswa akan berhasil, tetapi bila sikapnya
negatif, tingkat penguasaannyapun relatif rendah. Masalah kesiapan
(readiness) juga berpengaruh terhadap proses dan hasil belajar.
d. Pendekatan Rekonstruksi Sosial
Kurikulum rekonstruksi sosial berbeda dengan model-model
kurikulum lainnya. Kurikulum ini lebih memusatkan perhatian pada
problema-problema yang dihadapi dalam masyarakat. Kurikulum ini
bersumber pada aliran pendidikan interaksional. Menurut mereka
pendidikan bukan upaya sendiri, melainkan kegiatan bersama,
interaksi, kerja sama (guru-siswa, siswa-siswa, siswa-lingkungan,
siswa-sumber belajar lainnya). Melalui interaksi dan kerjasama ini
126
Manajemen Kurikulum Pendidikan Islam
siswa berusaha memecahkan problema-problema yang dihadapinya
dalam masyarakat menuju pembentukan masyarakat yang lebih baik.
Pendekatan ini disebut pendekatan rekonstruksi sosial karena
memfokuskan kurikulum pada masalah-masalah penting yang dihadapi dalam masyarakat. 99 Pendekatan ini bertolak dari pemikiran
manusia sebagai makhluk sosial. Dalam kehidupannya, manusia
selalu membutuhkan manusia lain, selalu hidup bersama,
berinteraksi, dan bekerja sama.
Pendekatan ini memandang pendidikan sebagai salah satu
bentuk kehidupan juga berintikan kerja sama dan interaksi. Dalam
pendekatan Subyek Akademik dan pendekatan Teknologis, interaksi
terjadi sepihak dari guru kepada siswa, sedangkan dalam pendekatan
Humanistik terjadi sebaliknya dari siswa kepada guru. Pendekatan
Rekonstruksi Sosial menekankan interaksi dua pihak, dari guru
kepada siswa dan dari siswa kepada guru. Lebih luas, interaksi ini
juga terjadi antara siswa dengan bahan ajar dan dengan lingkungan,
antara pemikiran siswa dengan kehidupannya.
Interaksi juga terjadi antara siswa dengan bahan ajar. Interaksi
itu bukan hanya pada tingkat apa dan bagaimana, tetapi lebih jauh
yaitu pada tingkat mengapa, tingkat kesadaran baik kesadaran sosial
(socially consciousness) maupun kesadaran pribadi (self consciousness).
Isi atau bahan ajar ini berkenaan dengan lingkungan sosial-budaya
yang mereka hadapi saat ini. Setelah mengetahui makna dari faktafakta dan nilai-nilai sosial budaya, mereka mengadakan evaluasi,
kritik dari sudut kepentingannya bagi kesejahteraan umat manusia.
Para rekonstruksionis sosial tidak mau terlalu menekankan
kebebasan individu. Mereka ingin meyakinkan pebelajar bagaimana
masyarakat membuat warganya seperti yang ada sekarang dan
bagaimana masyarakat memenuhi kebutuhan pribadi warganya
melalui konsensus sosial. Para rekonstruksionis mendorong para
siswa mempunyai pengetahuan yang cukup tentang masalahmasalah sosial yang krusial dan kerjasama atau bergotong royong
untuk memecahkannya. 100
99
Nasution, (1995). Kurikulum dan Pengajaran…, hlm. 47
Ibid, hal. 92
100
Dari Normatif – Filosofis ke Praktis
127
Ada beberapa ciri dari desain kurikulum rekonstruksi sosial,
yaitu:
1) Asumsi. Tujuan utama kurikulum rekonstruksi sosial adalah
menghadapkan para siswa pada tantangan, ancaman, hambatanhambatan atau gangguan yang dihadapi manusia.
2) Masalah-masalah sosial yang krusial (mendesak). Kegiatan belajar
dipusatkan pada masalah-masalah sosial tersebut.
3) Pola-pola organisasi. Pada tingkat sekolah menengah, pola
organisasi kurikulum disusun seperti sebuah roda. Di tengahtengahnya sebagai poros dipilih sesuatu masalah yang menjadi
tema utama dan dibahas secara pleno.
Pengajaran rekonstruksi sosial banyak dilaksanakan di daerahdaerah yang tergolong belum maju dan tingkat ekonominya juga
belum tinggi. Pelaksanaan pengajaran ini diarahkan untuk
meningkatkan kondisi kehidupan mereka. Sesuai dengan potensi
yang ada dalam masyarakat, sekolah mempelajari potensi-potensi
tersebut, dengan bantuan biaya dari pemerintah sekolah berusaha
mengembangkan potensi tersebut. Di daerah tempat pembuangan
sampah misalnya, sekolah mengembangkan bidang pengolahan
sampah, di daerah pantai mengembangkan bidang pengolahan ikan
dan lain sebagainya.
Para ahli kurikulum yang berorientasi ke masa depan menyarankan agar isi kurikulum difokuskan pada: penggalian sumbersumber alam, dan bukan alam, populasi, kesejahteraan masyarakat,
masalah air, akibat pertambahan penduduk, ketidakseragaman
pemanfaatan sumber-sumber alam, dan lain-lain.
Pandangan
rekonstruksi
sosial
berkembang
karena
keyakinanya pada kemampuan manusia untuk membangun dunia
yang lebih baik. Juga penekanannya tentang peranan ilmu dalam
memecahkan masalah-masalah sosial. Beberapa kritikus pendidikan
menilai pandangan ini sukar diterapkan langsung dalam kurikulum
(pendidikan). Penyebabnya adalah interpretasi para ahli tentang
perkembangan dan masalah-masalah sosial berbeda. Kemampuan
warga untuk ikut serta dalam pemecahan masalah juga bervariasi.
128
Manajemen Kurikulum Pendidikan Islam
4. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Pengembangan Kurikulum
Sekolah mendapatkan pengaruh dari kekuatan-kekuatan yang
ada dalam masyarakat, terutama dari perguruan tinggi dan masyarakat.
a. Perguruan Tinggi
Kurikulum minimal mendapat dua pengaruh dari PT
(Perguruan Tinggi).Pertama, dari pengembangan ilmu pengetahuan
dan teknologi yang dikembangkan di perguruan tinggi umum. Kedua,
dari pengembangan ilmu pendidikan dan keguruan serta penyiapan
guru-guru di Perguruan Tinggi Keguruan, yaitu: Lembaga
Pendidikan Tenaga Kependidikan (LPTK). 101
Jenis pengetahuan yang dikembangkan di Perguruan Tinggi
akan mempengaruhi isi pelajaran yang akan dikembangkan dalam
kurikulum. Perkembangan teknologi selain menjadi isi kurikulum
juga mendukung pengembangan alat bantu dan media pendidikan.
Kurikulum Lembaga Pendidikan Tenaga Kependidikan juga
mempengaruhi pengembangan kurikulum, terutama melalui
penguasaan ilmu dan kemampuan keguruan dari guru-guru yang
dihasilkannya. Penguasaan ilmu, baik ilmu pendidikan maupun
bidang studi serta kemampuan mengajar dari guru-guru akan sangat
mempengaruhi pengembangan dan implementasi kurikulum di
sekolah.
b. Masyarakat
Sekolah merupakan bagian dari masyarakat dan mempersiapkan anak untuk kehidupan bermasyarakat. Sebagai bagian dari agen
di masyarakat, sekolah sangat dipengaruhi oleh lingkungan
masyarakat dimana sekolah tersebut berada. Isi kurikulum
hendaknya mencerminkan kondisi dan dapat memenuhi tuntutan
dan kebutuhan masyarakat di sekitarnya.
c. Sistem Nilai
Masyarakat umumnya heterogen dan multifaset, banyak nilai
yang berkembang di masyarakat. Masyarakat memiliki kelompok
etnis, kelompok vokasional, kelompok intelek, kelompok sosial,
101
Nana Syaodih Sukmadinata,cet 14, (2011).Pengembangan Kurikulum…., hal. 158.
Dari Normatif – Filosofis ke Praktis
129
kelompok spiritual. Dalam masyarakat juga terdapat aspek sosial,
ekonomi, budaya, politik, estetika, etika, keagamaan, dan lain
sebagainya. Sistem nilai itu juga berpengaruh pada kurikulum di
sekolah baik secara tujuan, isi, metode, maupun evaluasi.
5. Hambatan-hambatan dalam Pengembangan Kurikulum.
Ada beberapa aspek yang menjadi hambatan dalam pengembangan kurikulum, antara lain yaitu: 1) guru, 2) biaya, 3) kurikulum, dan
4) partisipasi orang tua wali dan masyarakat.
a. Guru
Guru kurang berpartisipasi dalam pengembangan kurikulum, hal ini
disebabkan oleh beberapa antara lain: karena kurang waktu, kurang
kesesuaian antara sesama guru maupun kepala sekolah dan
administrator, kemampuan dan pengetahuan guru sendiri yang
masih belum memadai.
b. Biaya
Untuk pengembangan kurikulum, apalagi yang berbentuk kegiatan
eksperimen baik metode, isi, atau sistem secara keseluruhan
membutuhkan biaya yang sering tidak sedikit.
c. Perbedaan persepsi kurikulum
Persepsi adalah anggapan dasar terhadap suatu objek yang muncul
pemikiran seseorang. Perbedaan persepsi ini akan mengganggu
implementasi kurikulum di lapangan, misalnya ketika seorang guru
memiliki persepsi yang berbeda dengan kepala sekolah, kepala dinas,
perguruan tinggi, maka hal ini mengakibatkan inkoherensi dalam
pencapaian standar isi dan kompetensi yang ingin dibelajarkan
kepada siswa.
d. Sistem nilai yang heterogen
Masalah yang juga dihadapi oleh pengembang kurikulum adalah
bahwa dalam masyarakat nilai itu tidak hanya satu. Masyarakat
memiliki kelompok etnis, kelompok vokasional, kelompok intelek,
kelompok sosial, spiritual, dan sebagainya yang tiap kelompok itu
memiliki nilai yang berbeda.
130
Manajemen Kurikulum Pendidikan Islam
e. Kurangnya kolaborasi dan koordinasi antara ahli teorisi dan praktisi
Pengembangan kurikulum bukan saja didasarkan atas konsep-konsep
dalam ilmu namun juga atas dasar perubahan perkembangan
tuntutan kehidupan masyarakat. Dalam pengembangan kurikulum
yang sesuai dengan kondisi jaman maka dibutuhkan kolaborasi
antara para ahli teorisi (ahli pendidikan dan ahli kurikulum) yang
mempunyai wawasan dalam bidang keilmuan dengan para praktisi
yang mengimplementasikan pelaksanaan pengembangan kurikulum
di lapangan. Jika terjadi kurangnya kolaborasi dan koordinasi antara
ahli teori dengan ahli praktik maka pengembangan kurikulum tidak
akan berjalan dengan efektif efisien.
f. Masyarakat
Masyarakat disini sebagai sumber input bagi sekolah. Keberhasilan
pendidikan, ketepatan kurikulum yang digunakan membutuhkan
bantuan, serta input fakta dan pemikiran dari masyarakat.
g. Kurangnya partisipasi orang tua murid
Orang tua juga memiliki peranan dalam pengembangan kurikulum
baik dalam penyusunan maupun pelaksanaan kurikulum. Meskipun
dalam penyusunan kurikulum tidak semua orang tua mampu karena
hanya orang tua yang memiliki kemampuan memadai dalam hal itu,
namun dalam pelaksanaan kurikulum orang tua memiliki peranan
yang besar. Terutama dalam pelaksanaan kurikulum di rumah, yaitu
dengan mengamati dan mengikuti kegiatan belajar anaknya di
rumah. Orang tua juga dapat berpartisipasi dalam kegiatan di
sekolah seperti diskusi, lokakarya, seminar, pertemuan orang tuaguru, pameran sekolah, dan sebagainya.
B. Model-model Pengembangan Kurikulum
1. Pengertian Model Pengembangan Kurikulum
Model merupakan sebuah bentuk tiruan atau miniatur dari
benda/proses sebenarnya, yang dapat berupa benda ataupun juga
prosedur atau gambaran langkah sistematis. Model walaupun tidak
menggambarkan sesuatu secara sama persis sebagaimana kenyataan
Dari Normatif – Filosofis ke Praktis
131
sebenarnya, namun dipandang sebagai replikasi asli, semakin baik
replikasi itu, maka semakin baik pula sebuah model tersebut.
Pengembangan kurikulum adalah perencanaan kesempatankesempatan belajar yang dimaksudkan untuk membawa siswa ke arah
perubahan-perubahan yang diinginkan dan menilai hingga mana
perubahan-perubahan itu telah terjadi pada siswa. 102 Pada prinsipnya
pengembangan kurikulum berkisar pada pengembangan aspek ilmu
pengetahuan dan teknologi yang perlu diimbangi dengan perkembangan pendidikan. Tetapi pada kenyataannya manusia memiliki
keterbatasan dalam kemampuan menerima, menyampaikan dan
mengolah informasi, untuk itulah dibutuhkan proses pengembangan
kurikulum yang akurat, terseleksi dan memiliki tingkat relevansi yang
kuat. Dengan demikian, diperlukan suatu model pengembangan
kurikulum dengan pendekatan yang sesuai. 103
Model pengembangan kurikulum merupakan ulasan teoritis
tentang suatu proses pengembangan kurikulum secara menyeluruh atau
dapat pula hanya mencakup salah satu komponen kurikulum. Ada yang
memberikan ulasan tentang suatu proses kurikulum, dan ada juga yang
hanya menekankan pada mekanisme pengembangannya saja. 104
Dengan demikian, maka dapat dipahami bahwa model pengembangan kurikulum merupakan suatu gambaran sistematis mengenai
pengembangan kurikulum yang dapat berbentuk miniatur, bagan atau
deskripsi langkah-langkah proses dari suatu benda atau peristiwa.
Adapun prosesnya terdiri dari perencanaan, pelaksanaan (uji coba), dan
penilaian kurikulum.
Sedapat mungkin dalam pengembangan kurikulum didasarkan
pada faktor-faktor yang konstan yaitu pengembangan model kurikulum
perlu didasarkan pada tujuan, bahan pelajaran, proses belajar mengajar,
dan evaluasi yang tergambarkan dalam proses pengembangan tersebut.
102
Oemar Hamalik, (2008). Manajemen Pengembangan Kurikulum, Bandung: Remaja Rosdakarya. Hal.
97
103
104
Abdullah Idi, (2010). Pengembangan…, hal.154.
M. Ahmad, dkk, (1998). Pengembangan Kurikulum. Bandung: Pustaka Setia. Hal. 50
132
Manajemen Kurikulum Pendidikan Islam
2. Macam-macam Model Pengembangan Kurikulum
Adapun macam-macam model pengembangan kurikulum dapat
dipetakan sebagaimana gambar 4.1 berikut.
Gambar 4.1: Model-Model Pengembangan Kurikulum
a. Model Ralp Tyler
Menurut Tylermodel pengembangan kurikulum harus mengacu
pada empat pertanyaan dasar yang harus di jawab, yaitu:
1) What educational purposes should the school seek to attain? (objectives).
Berkenaan dengan tujuan yang hendak dicapai.
2) What educational experiences are likely to attain these objectives?
(instructional strategic and content/selecting learning experiences).
Berkenaan dengan jenis pengalaman apa yang harus disediakan
untuk mencapai tujuan.
3) How can these educational experiences be organized effectively?
(organizing learning experiences). Berkenaan dengan organisasi
kegiatan atau pengalaman belajar yang dinilai efektif untuk
mencapai tujuan.
Dari Normatif – Filosofis ke Praktis
133
4) How can we determine whether these purposes are being attain?
(assessment and evaluation). Berkaitan dengan upaya mekanisme
apa yang digunakan untuk mengetahui apakah tujuan sudah
dicapai atau belum.
Berdasarkan empat pertanyaan yang diajukan Tyler tersebut bisa
dipahami bahwa yang pertama harus diperhatikan adalah tujuan,
yaitu: apa tujuan pendidikan yang seharusnya dicari oleh pihak
sekolah untuk dicapai. Kedua, mengenai strategi dan isi pembelajaran
yang berhubungan dengan seleksi pengalaman belajar, yaitu
pengalaman belajar seperti apa yang dibutuhkan untuk mencapai
tujuan tersebut. Ketiga, mengorganisasikan pengalaman belajar, yaitu
bagaimana pengalaman-pengalaman belajar tersebut dapat
diorganisasikan dengan efektif. Dan Keempat, penilaian dan evaluasi,
yaitu menentukan dan menyimpulkan apakah tujuan tersebut telah
tercapai.
Ralp Tyler sebagai bapak pengembang kurikulum (curriculum
developer), telah menanamkan perlunya hal yang lebih rasional,
sistematis, dan pendekatan yang berarti dalam tugas mereka. Tyler
juga menguraikan dan menganalisis sumber-sumber tujuan yang
datang dari anak didik, mempelajari kehidupan kontemporer, mata
pelajaran yang bersifat akademik, filsafat dan psikologi belajar
Langkah-langkah pengembangan kurikulum model Tyler bisa
dilihat dari bagan berikut.
Objectives
Selecting Learning
Experiences
Organizing Learning
Experiences
Evaluation
Menentukan tujuan
Menentukan pengalaman belajar yang harus
dilakukan untuk mencapai tujuan yang telah
ditentukan.
Menentukan organisasi pengalaman belajar
Menentukan evaluasi pembelajaran untuk
mengetahui apakah tujuan telah dicapai.
Gambar 4.2: Langkah Pengembangan Kurikulum Model Tyler
134
Manajemen Kurikulum Pendidikan Islam
Dengan demikian, maka pengembangan kurikulum model ini
secara makro perlu melibatkan berbagai pihak termasuk perguruan
tinggi dan masyarakat.
b. Model Hilda Taba
Model pengembangan kurikulum Taba adalah model yang
memodifikasi model dasar Tyler. Adapun langkah-langkah dalam
proses pengembangan kurikulum model Taba yaitu:
Step 1:
Step 2:
Step 3:
Step 4:
Step 5:
Step 6:
Step 7:
Diagnosis of needs.
Formulation of objectives.
Selection of content.
Organization of content.
Selection of learning experiences.
Organization of learning experiences.
Determination of what to evaluate and of the ways and means of
doing it. 105
Berdasarkan langkah di atas, dapat diketahui bahwa langkahlangkah yang digunakan Taba dalam mengembangkan kurikulum
adalah diagnosis kebutuhan, formulasi pokok-pokok, seleksi isi,
organisasi isi, seleksi pengalaman belajar, organisasi pengalaman
belajar, dan penentuan tentang apa yang harus dievaluasi dan cara
untuk melakukannya.
Diagnosis merupakan langkah pertama yang paling penting
dalam menentukan kurikulum apa yang seharusnya diberikan
kepada siswa. Karena latar belakang siswa sangat beragam, maka
perlu untuk mendiagnosa perbedaan atau jurang pemisah,
kekurangan dan variasi dalam latar belakang tersebut. Menurut Taba
sebagaimana yang dikutip oleh Abdullah Idi bahwa mendiagnosis
kebutuhan anak didik merupakan hal pertama yang sangat
penting. 106 Informasi ini berguna dalam menentukan langkah
keduanya yaitu formulasi yang jelas dan tujuan-tujuan yang komprehensif untuk membentuk dasar pengembangan elemen-elemen
105
Hilda Taba, (1962). Curriculum Development Theory and Practice. New York: Harcont Drace and
World. Hal.12
106
Abdullah Idi, (2010). Pengembangan Kurikulum…, hal.158.
Dari Normatif – Filosofis ke Praktis
135
berikutnya. Dan hakikat tujuan (objectives)akan menentukan jenis
pelajaran yang perlu diikuti.
Adapun beberapa area yang perlu diperhatikan dalam
merumuskan tujuan menurut Taba adalah sebagai berikut.
1) Concepts or ideas to be learned (konsep atau ide yang akan
dipelajari).
2) Attitude, sensitivities, and feelings to be developed (sikap, sensitivitas,
dan perasaan yang akan dibangun).
3) Ways of thinking to be reinforced, strengthened, or initiated (cara
berfikir yang akan ditekankan, dikuatkan, atau dirumuskan).
4) Habits and skills to be mastered (kebiasaan dan kemampuan yang
akan dikuasai). 107
Selanjutnya Taba juga memberikan beberapa kriteria dalam
memformulasikan tujuan dalam pendidikan, yaitu:
1) A statement of objectives should describe both of the kind of behavior
expected and the content or the context to which that behavior applies.
Seharusnya pernyataan tujuan menggambarkan sikap yang
diharapkan dan isi dari penerapan sikap. Yang dimaksud dengan
“the content or the context to which that behavior applies” adalah isi
yang terdapat dalam setiap mata pelajaran.
2) Complex objectives need to be stated analytically and specifically enough
so that there is no doubt as to the kind of behavior expected, or what the
behavior applies to. Tujuan yang komplek perlu dianalisis dan
dikhususkan sehingga tidak ada keraguan terhadap sikap yang
diharapkan atau perilaku yang diterapkan.
3) Objectives should also be so formulated that there are clear distinctions
among learning experiences required to attain different behavior. Tujuan
hendaknya memberikan petunjuk bahwa ada perbedaan yang jelas
tentang pengalaman belajar yang dibutuhkan untuk mencapai
sikap yang berbeda.
4) Objectives are developmental, representing roads to travel rather than
terminal points. Tujuan adalah hal yang dikembangkan, yang
merupakan langkah (perjalanan) yang lebih dari sekedar titik
akhir.
107
Hilda Taba, (1962). Curriculum Development…, hal. 350.
136
Manajemen Kurikulum Pendidikan Islam
5) Objectives should be realistic and should include only what can be
translated into curriculum and classroom experiences. Tujuan
seharusnya realistis dan seharusnya termasuk hal yang dapat
diterjemahkan ke dalam kurikulum dan pengalaman belajar.
6) The scope of objectives should be broad enough to encompass all types of
outcomes for which to school is responsible. Jangkauan dari tujuan
seharusnya menyeluruh yang meliputi semua tujuan yang akan
dicapai sekolah.
Sedangkan dalam langkah ketiga yaitu seleksi isi, Taba
memberikan kriteria sebagai berikut:
1) Validity of significance of content (validitas dan signifikansi isi).
2) Consistency with social realities (konsisten dengan realitas sosial).
3) Balance of breadth and depth (keseimbangan antara keluasan dan
kedalaman).
4) Provision for wide range of objectives (ketentuan untuk keluasan
cakupan dari tujuan).
5) Learn ability and adaptability to experiences of students (pembelajaran
yang sesuai dengan kemampuan dan sesuai dengan pengalaman
siswa).
6) Appropriateness to the needs and interests of the students (sesuai
dengan kebutuhan dan minat siswa).
Langkah keempat dalam model Taba adalah organisasi isi,
dimana terdapat tiga macam organisasi kurikulum yaitu, separated
subject curriculum (kurikulum dalam bentuk mata pelajaran yang
terpisah-pisah), correlated curriculum (sejumlah mata pelajaran
dihubungkan antara satu dengan yang lainnya), dan broad field
curriculum (mengkombinasikan beberapa mata pelajaran). 108 Pada
langkah kelima yaitu seleksi pengalaman belajar ini, Yuleawati
sebagaimana yang diikuti oleh Arifin memberikan kriteria yang perlu
dicermati.
1)
2)
3)
108
Validitas, dapat diterapkan di sekolah.
Kelayakan dalam hal waktu, kemampuan guru, fasilitas sekolah,
dan pemenuhan terhadap harapan masyarakat.
Optimal dalam mengembangkan kemampuan peserta didik.
Zainal Arifin, (2012). Pengembangan Manajemen…, hal. 68-70.
Dari Normatif – Filosofis ke Praktis
137
4)
5)
Memberikan peluang untuk pengembangan berpikir rasional.
Memberikan peluang pengembangan kemampuan peserta didik
sebagai individu dan anggota masyarakat.
6) Terbuka terhadap hal baru dan toleransi terhadap perbedaan
peserta didik.
7) Memotivasi belajar lebih lanjut.
8) Memenuhi kebutuhan peserta didik.
9) Memperluas minat peserta didik.
10) Mengembangkan kebutuhan pengembangan ranah kognitif,
afektif, psikomotorik, sosial, emosi, dan spiritual peserta didik.
Tahap organisasi pengalaman belajar selanjutnya harus memperhatikan tingkat perkembangan peserta didik. Pada tahap yang
terakhir yaitu evaluasi dan cara melakukan evaluasi. Taba
menganjurkan beberapa hal yaitu:
1)
2)
3)
4)
5)
6)
Criteria for a program of evaluation (menentukan kriteria evaluasi
program).
A comprehensive evaluation program (program evaluasi yang
menyeluruh).
Techniques for securing evidence (teknik mengumpulkan bukti/
data).
Interpretation of evaluation data (menginterpretasikan data
evaluasi).
Translation of evaluation data into the curriculum (menerjemahkan
data evaluasi ke dalam kurikulum).
Evaluation as a cooperative enterprise. (evaluasi sebagai usaha
kerjasama). 109
Dakir menyatakan bahwa model pengembangan kurikulum
yang dikembangkan Taba ini adalah model terbalik yang didapatkan
atas dasar data induktif, karena biasanya pengembangan kurikulum
didahului oleh konsep-konsep yang datangnya dari atas secara
deduktif. Sedangkan model Taba ini dilaksanakan dengan terlebih
dahulu mencari data dari lapangan dengan cara mengadakan
109
Hilda Taba, (1962). Curriculum Development…, hal. 316-338
138
Manajemen Kurikulum Pendidikan Islam
percobaan, kemudian disusun teori atas dasar hasil nyata, kemudian
diadakan pelaksanaan. 110
Secara lebih detail Sukmadinata menunjukkan lima langkah
pengembangan kurikulum model terbalik Taba. Pertama, mengadakan unit-unit eksperimen bersama guru-guru. Kedua, menguji unit
eksperimen. Ketiga, mengadakan revisi dan konsolidasi. Keempat,
pengembangan keseluruhan kerangka kurikulum. Kelima adalah
implementasi dan diseminasi. 111
Model pengembangan kurikulum Tyler dan Taba dikategorikan
ke dalam Rational Model atau Objectives Model, karena keduanya
berpendapat bahwa dalam pengembangan kurikulum bersifat
rasional, sistematis dan berfokus pada tujuan. Model tersebut
memiliki beberapa kelebihan dan juga kekurangan sebagai berikut.
Adapun kelebihan Rational Model yaitu:
1) Menghindari kebingungan dimana para pendidik dan para
pengembang kurikulum memberikan suatu jalan yang tidak
berbelit-belit dan mempunyai pendekatan waktu yang efisien,
sehingga bisa menemukan atau melakukan tugas kurikulum
dengan baik.
2) Dengan menekankan pada peranan dan nilai tujuan-tujuan
(objectives), model ini membuat para pengembang kurikulum bisa
berpikir serius tentang tugas mereka.
3) Dengan tata urutan pengembangan kurikulum dari tujuan,
formulasi isi, aktivitas belajar, sampai pada evaluasi sejauh mana
tujuan-tujuan tersebut dicapai, merupakan daya tarik tersendiri
dari model ini. 112
Sedangkan kelemahan Rational Model yaitu:
1) Latar belakang pengalaman dan kurangnya persiapan diri seorang
pendidik untuk berpikir dan mengembangkan pemikirannya
secara logis dan sistematis akan mengalami kesulitan dalam
menggunakan model ini.
2) Kurang jelasnya hakikat belajar mengajar, karena seringkali
pembelajaran justru terjadi di luar tujuan-tujuan tersebut.
110
Dakir, (2004). Perencanaan dan Pengembangan Kurikulum. Jakarta: Rineka Cipta. Hal. 97
Nana Syaodih Sukmadinata, cet 14, (2011). Pengembangan …, hal.166.
112
Abdullah Idi, (2010). Pengembangan Kurikulum…, hal. 160.
111
Dari Normatif – Filosofis ke Praktis
139
3) Terlalu berlebihan menekankan pada formula hasil seperti
mementingkan tujuan perilaku (behavior objectives).
c. Model D.K. Wheeler.
Berbeda dengan Tyler dan Taba, Wheeler mempunyai argumen
tersendiri agar pengembang kurikulum dapat menggunakan proses
melingkar (a cycle process) dalam mengembangkan kurikulum,
dimana setiap elemen saling berhubungan dan saling bergantung.
Sebenarnya model Wheeler ini juga rasional, karena secara umum
suatu langkah tidak dapat diselesaikan sebelum langkah-langkah
sebelumnya terselesaikan, tetapi hanya representasinya agak berbeda.
Adapun langkah-langkah atau Phases Wheeler adalah:
1) Selection of aims, goals, and objectives (seleksi maksud, tujuan dan
sasaran).
2) Selection of learning experiences to help achieve these aims, goals, and
objectives. (seleksi pengalaman belajar untuk membantu mencapai
maksud, tujuan dan sasaran).
3) Selection of content through which certain types of experiences may be
offered (seleksi isi melalui tipe-tipe tertentu dari pengalaman yang
mungkin ditawarkan).
4) Organization and integration of learning experiences and contents with
respect to the teaching learning process (organisasi dan integrasi
pengalaman belajar dan isi yang berkenaan dengan proses belajar
mengajar).
5) Evaluation of each phase and the problems of goals (evaluasi setiap fase
dan masalah tujuan-tujuan).
Gambar 4.3: Langkah Pengembangan Kurikulum Wheeler
140
Manajemen Kurikulum Pendidikan Islam
Kontribusi Wheeler dalam pengembangan kurikulum adalah
penekanannya terhadap hakikat melingkar yang memberikan
indikasi bahwa langkah-langkah di dalamnya bersifat berkelanjutan
memiliki makna responsif terhadap perubahan-perubahan pendidikan yang ada. Hal ini juga menekankan pada saling ketergantungan antara satu elemen dengan elemen kurikulum lain.
d. Model Howard NichollsAudery
Howard Nicholls dan Audery menjelaskan kembali model
Tyler, Taba, dan Wheeler dengan menekankan pada kurikulum
proses yang bersiklus atau berbentuk lingkaran dengan langkah
awalnya adalah analisis situasi. Mereka menitikberatkan pada
pengembangan kurikulum yang rasional, khususnya kebutuhan
untuk kurikulum baru yang muncul dari adanya perubahan situasi.
Fase analisis situasi ini merupakan sesuatu yang memaksa para
pengembang kurikulum untuk lebih responsif terhadap lingkungan
dan terutama dengan kebutuhan anak didik.
Langkah-langkah yang digunakan meliputi: (1) Situational
analysis (analisis situasi); (2) Selection of objectives (pemilihan tujuan);
(3) Selection and organization of content (pemilihan dan organisasi isi);
(4) Selection and organization of method (pemilihan dan organisasi
metode); dan (5) Evaluation (evaluasi).
Gambar 4.4: Langkah Pengembangan Kurikulum Audery dan Nichols
Dari Normatif – Filosofis ke Praktis
141
Model pengembangan Wheeler dan Nicholls termasuk ke
dalam model pengembangan kurikulum cycle models. Sama dengan
rational models, maka cycle models ini juga memiliki beberapa kelebihan
dan juga kelemahan. Adapun kelebihan dari cycle models adalah:
1) Memiliki struktur logis kurikulum yang dikembangkannya
2) Dengan menerapkan situational analysis sebagai titik permulaan
dapat memberikan dasar data sehingga tujuan-tujuan yang lebih
efektif mungkin akan dikembangkan.
3) Melihat berbagai elemen kurikulum sebagai asal yang terus
menerus, sehingga dapat menanggulangi situasi-situasi baru dan
mempunyai konsekuensi untuk bereaksi terhadap perubahan
situasi.
Sedangkan kelemahan dari cycle models adalah karena model ini
memiliki beberapa kesamaan dengan rational model, maka kelemahan
yang dimiliki oleh model ini pun hampir sama dengan yang telah
diuraikan sebelumnya. Tetapi kelemahan yang lebih menonjol adalah
membutuhkan banyak waktu untuk menganalisis situasi belajar.
Melihat kondisi juga bahwa kebanyakan pendidik lebih suka
mengandalkan intuisi daripada menggunakan basis data yang
sistematis dan sesuai dengan situasi. 113
e. Model Decker Walker
Walker berpendapat bahwa proses pengembangan kurikulum
yang terjadi dalam persiapan yang natural lebih baik dari pada proses
di dalam kurikulum itu sendiri. Berikut fase-fase yang ditunjukkan
oleh Walker.
113
Ibid, 168-169.
142
Manajemen Kurikulum Pendidikan Islam
Gambar 4.5: Langkah Pengembangan Kurikulum Walker
Langkah pertama pada model Walker ini adalah adanya
pernyataan platform yang diorganisasikan oleh para pengembang,
yang berisi serangkaian ide, preferensi atau pilihan, pendapat,
keyakinan, dan nilai-nilai yang dimiliki kurikulum. Sehingga para
pengembang kurikulum tidak memulai tugasnya dalam keadaan
kosong.
Memasuki fase berikutnya adalah fase pertimbangan mendalam
dimana individu mempertahankan pernyataan platform mereka
sendiri dan menekankan pada ide-ide yang ada. Berbagai peristiwa
ini memberikan suatu situasi dimana pengembang juga berusaha
menjelaskan ide-ide mereka dan mencapai suatu konsensus. Hal yang
sangat kompleks ini terjadi sebelum actual curriculum didesain. 114
Fase terakhir model ini adalah pengembang membuat keputusan
tentang berbagai komponen proses atau elemen-elemen kurikulum,
dimana keputusan ini diambil setelah ada diskusi mendalam dan
dikompromikan oleh individu-individu. 115
114
Ibid, hal. 171.
Ibid, 172.
115
Dari Normatif – Filosofis ke Praktis
143
f. Model Malcolm Skilbeck
Malcolm Skilbeck mengembangkan suatu interaksi alternatif
atau model dinamis bagi proses kurikulum, yang disebut dengan
model dynamic in nature. Model ini menetapkan bahwa pengembang
kurikulum harus mendahulukan suatu elemen kurikulum dan
memulainya dengan suatu urutan dari urutan yang telah ditentukan
oleh model rasional. Hal itu tergambar sebagai berikut.
Situation analysis
Goal formulation
Program building
Interpretation and
implementation
Monitoring, feedback,
assessment reconstruction
Gambar 4.6: Langkah Pengembangan Kurikulum Skilbeck
Jika dilihat bahwa susunan model ini secara logis termasuk
kategori rational by nature. Pengembang kurikulum perlu mendahulukan rencana mereka dengan memulainya dari salah satu langkah
dari langkah yang ada dan meneruskannya dalam bentuk berurutan.
Pengembang kurikulum juga harus mampu mengatasi segala
perbedaan dalam langkah-langkah tersebut secara bersamaan.
Model pengembangan kurikulum yang dikembangkan oleh
Walker dan Skilback merupakan model pengembangan kurikulum
Interaction Model atau Dynamic Model. Adapun kelebihan dari model
pengembangan kurikulum ini adalah:
144
Manajemen Kurikulum Pendidikan Islam
1) Memiliki prosedur yang lebih realistis dan fleksibel untuk
pengembangan kurikulum, khususnya dari sudut pandang guru
atau pendidik yang tentunya memiliki tugas yang banyak.
2) Pengembang lebih bebas dan menjadi lebih kreatif dengan tidak
dituliskannya tujuan-tujuan yang bersifat perilaku.
Selain kelebihan di atas, juga terdapat kelemahan dari model
pengembangan ini, yaitu:
1) Dalam pelaksanaannya akan cukup membingungkan karena
pendekatannya yang tidak sistematis sehingga akan memunculkan hasil yang kurang memuaskan.
2) Kurangnya penekanan dalam menempatkan pembangunan dan
penggunaan objectives serta petunjuk-petunjuk yang diberikan.
3) Dengan tidak mengikuti susunan yang logis dalam pengembangan kurikulum, para pengembang hanya membuang-buang
waktu sehingga kurang efektif dan efisien. 116
g. Beauchamp’s System Model
Model pengembangan kurikulum ini dikembangkan oleh
Beauchamp dengan mengemukakan lima langkah pengembangan
kurikulum, yaitu:
1) Menetapkan area atau wilayah di mana kurikulum diperuntukkan, wilayah tersebut mencakup sekolah, kecamatan, daerah,
kabupaten, provinsi, distrik, atau Negara.
2) Menetapkan pihak-pihak yang akan terlibat dalam pengembangan
kurikulum beserta tugas-tugas yang akan dilaksanakannya.
3) Menentukan prosedur yang akan ditempuh, yakni perumusan
tujuan (umum dan khusus), memilih isi dan pengalaman belajar,
serta menetapkan alat dan jenis evaluasi.
4) Implementasi Kurikulum. Agar implementasi kurikulum baru
dapat berjalan dengan efektif, diperlukan dukungan dari berbagai
sumber, seperti guru, biaya, sarana-prasarana, manajemen dan
lain sebagainya.
5) Evaluasi Kurikulum. Kegiatan ini meliputi: (a) evaluasi
pelaksanaan kurikulum oleh guru di sekolah; (b) evaluasi
116
Ibid, 176.
Dari Normatif – Filosofis ke Praktis
145
terhadap desain kurikulum: (c) evaluasi keberhasilan anak didik;
dan (c) evaluasi sistem rekayasa kurikulum.
Adapun langkah-langkah/tahap-tahapnya dapat digambarkan
sebagai berikut:
Menetapkan area atau lingkup wilayah
Menetapkan personalia
Organisasi dan prosedur pengembangan kurikulum
Implementasi kurikulum
Evaluasi kurikulum
Gambar 4.7: Langkah Pengembangan Kurikulum Beauchamp
Dalam menetapkan personalia yang terlibat dalam
pengembangan kurikulum dibedakan dalam empat kategori yaitu:
1) Para ahli pendidikan/kurikulum yang ada pada pusat
pengembangan kurikulum dan para ahli bidang ilmu dari luar.
2) Para ahli pendidikan dari perguruan tinggi atau sekolah dan guruguru terpilih.
3) Para profesional dalam sistem pendidikan.
4) Profesional lain dan tokoh-tokoh masyarakat.
h. Model Peter F. Oliva
Model kurikulum Olivia ini terdiri dari tiga ciri utama, yaitu:
sederhana (simple), menyeluruh (komprehensif) dan sistematis.
Walaupun model ini mewakili komponen yang paling penting,
namun model ini dapat diperluas menjadi model menyediakan detail
tambahan dan menunjukkan beberapa proses yang menyediakan
146
Manajemen Kurikulum Pendidikan Islam
detil tambahan dan menunjukkan proses yang diasumsikan sebagai
model yang sederhana. Model Olivia ini memiliki enam komponen,
yaitu: (1) Rumusan filosofis (Statement of philosophy); (2) Rumusan
tujuan umum (Statement of goals); (3) Rumusan tujuan khusus
(Statement of objectives); (4) Desain perencanaan (Design of plan); (5)
Implementasi (Implementation); dan (6) Evaluasi (Evaluation).
i. Model Zais
Model Zais ini menekankan pada inisiatif berawal, personil yang
terlibat, kedudukan personil dan keputusan yang diambil. Zais,
Smith dan Shores dengan merujuk pada model pengembangan
kurikulum Stanley mengemukakan tiga model pengembangan
kurikulum, yaitu: (1) model administratif; (2) model grass root; (3)
model demonstrasi.
1) Model Administratif
Kurikulum model ini menekankan pada inisiatif pengembangan
kurikulum yang datang dari pihak pejabat (administrator)
pendidikan. Termasuk dalam penunjukan pihak-pihak yang
terlibat di dalamnya. Selanjutnya dengan menggunakan garis
komando kurikulum disebarluaskan untuk diimplementasikan di
sekolah-sekolah. Model ini juga disebut dengan line staff model.
2) Model Grass Root
Model ini merupakan kebalikan dari model administrative.
Inisiatif pengembangan kurikulum harus datang dari guru.
Inisiatif ini biasanya muncul disebabkan oleh keresahan dan
ketidakpuasan guru terhadap kurikulum yang sedang berjalan.
Selanjutnya guru berupaya mengadakan inovasi terhadap
kurikulum tersebut. Oleh sebab itu, peran administrator tidak
dominan, sebab perannya hanya sebagai fasilitator. Jika
administrator itu tidak setuju, mereka juga dapat menjadi
penghambat perubahan kurikulum tersebut.
3) Model Demonstrasi
Model pengembangan kurikulum ini pada prinsipnya dating
dari bawah (grass root). Pada awalnya merupakan inovasi
Dari Normatif – Filosofis ke Praktis
147
kurikulum dalam skala yang kecil dan kemudian digunakan
dalam skala yang lebih luas, tetapi dalam prosesnya sering tidak
mendapat persetujuan dari pihak-pihak tertentu.
C. Desain Kurikulum Pendidikan Islam
1. Pengertian Desain Kurikulum
Desain kurikulum adalah pengembangan proses perencanaan,
validasi, implementasi, dan evaluasi kurikulum. 117 Desain kurikulum
juga dapat didefinisikan sebagai rencana atau susunan dari unsur-unsur
kurikulum yang terdiri atas tujuan, isi, pengalaman belajar dan evaluasi.
Oleh sebab itu, maka desain kurikulum pendidikan Islam dapat
diartikan sebagai rencana sistematis dari unsur kurikulum pendidikan
Islam, yaitu: (1) tujuan pendidikan Islam; (2) materi pendidikan Islam;
(3) metode/strategi; dan (4) evaluasi.
Adapun menurut Sukmadinata desain kurikulum adalah
menyangkut pola pengorganisasian unsur-unsur atau komponen
kurikulum. Penyusunan desain kurikulum dapat dilihat dari dua
dimensi, yaitu dimensi horizontal dan vertikal. Dimensi horizontal
berkenaan dengan penyusunan dari lingkup isi kurikulum. Sedangkan
dimensi vertikal menyangkut penyusunan sekuens bahan berdasarkan
urutan tingkat kesukaran. 118
Sementara pengorganisasian pada arah vertikal berkaitan
dengan pengaturan materi pelajaran secara kontinuitas pendalaman
materi pelajaran, dari materi dasar secara sekuensial menuju materi
lanjutan sesuai struktur ilmu yang diajarkan. 119
Terdapat berbagai model desain kurikulum seperti subject
centered design, learned centered design, problem centered design, discipline
centered design dan lain sebagainya. Dalam desain pengembangan
kurikulum pendidikan Islam dapat model pembelajaran yang ada, atau
dengan memadukan dan atau mengembangkan model sendiri.
117
OemarHamalik, (2006).Manajemen Pengembangan…,hal. 67.
Nana Syaodih Sukmadinata,cet 14, (2011).Pengembangan Kurikulum…, hal. 113
Tedjo
Narsoyo
Reksoatmojo,
(2010).Pengembangan
pendidikan
Kejuruan.Bandung:Refika Aditama. Hal. 66
118
119
148
Teknologi
dan
Manajemen Kurikulum Pendidikan Islam
2. Prinsip-prinsip dalam Mendesain Kurikulum
Ada 8 prinsip yang perlu diperhatikan dalam mendesain
kurikulum, yaitu:
a. Desain kurikulum harus memudahkan dan mendorong seleksi serta
pengembangan semua jenis pengalaman belajar yang esensial bagi
pencapaian prestasi belajar, sesuai dengan hasil yang diharapkan.
b. Desain memuat berbagai pengalaman belajar yang bermakna dalam
rangka merealisasikan tujuan-tujuan pendidikan, khususnya bagi
kelompok siswa yang belajar dengan bimbingan guru;
c. Desain harus memungkinkan dan menyediakan peluang bagi guru
untuk menggunakan prinsip-prinsip belajar dalam memilih,
membimbing, dan mengembangkan berbagai kegiatan belajar di
sekolah;
d. Desain harus memungkinkan guru untuk menyesuaikan pengalaman
dengan kebutuhan, kapasitas, dan tingkat kematangan siswa
e. Desain harus mendorong guru mempertimbangkan berbagai pengalaman belajar anak yang diperoleh di luar sekolah dan mengaitkannya dengan kegiatan belajar di sekolah;
f. Desain harus menyediakan pengalaman belajar yang berkesinambungan, agar kegiatan belajar siswa berkembang sejalan dengan
pengalaman terdahulu dan terus berlanjut pada pengalaman
berikutnya;
g. Kurikulum harus di desain agar dapat membantu siswa mengembangkan watak, kepribadian, pengalaman, dan nilai-nilai demokrasi
yang menjiwai kultur; dan
h. Desain kurikulum harus realistis, layak, dan dapat diterima. 120
3. Bentuk-bentuk Desain Kurikulum
Desain kurikulum dapat disusun sebagai modifikasi atau
kombinasi dari tiga kategori: (a) subject-centered design, (b) learner-centered
design, dan (c) problem-centered design. Dalam setiap kategori terdapat
beberapa desain, misalnya, dalam kategori subject-centered design
terdapat subject design, disciplines design, dan broad field design. Termasuk
pada kategori learner-centered design adalah activity design, the open
120
OemarHamalik, (2006) Manajemen..., hal. 75
Dari Normatif – Filosofis ke Praktis
149
classroom design, dan the humanistic design. Sedangkan dalam problemcentered design terdapat the areas of living design, the personal/social concerns
of youth design, dan the core design. 121 Hal ini sebagaimana ditunjukkan
pada gambar berikut ini:
Gambar 4.8: Bentuk-bentuk Desain Kurikulum
a. Subject-Centered Design.(Desain dengan Pendekatan Mata Pelajaran)
Subject-centered design merupakan pendekatan yang paling
banyak digunakan. Dalam kategori ini terdapat tiga macam desain,
yakni: subject design, disciplines design, dan broad field design. Dalam
ketiga jenis desain ini, pilihan materi pelajaran difokuskan pada
penggunaan sejumlah mata pelajaran atau mata kuliah sebagai dasar
pengorganisasian pada arah horizontal dan vertikal. Sebagai
konsekuensinya, pengorganisasian komponen-komponen lainnya
(tujuan, metode, dan evaluasi) disesuaikan dengan pengorganisasian
materi pelajaran.
Subject centered design merupakan bentuk desain yang paling
populer, paling tua. Design ini berkembang dari konsep pendidikan
klasik yang menekankan pengetahuan, nilai-nilai dan warisan
budaya masa lalu, serta berupaya untuk mewariskan kepada generasi
berikutnya. Di dalam subject centered design terdapat kurikulum yang
terdiri dari beberapa mata pelajaran, yang tujuannya adalah agar
121
Tedjo Narsoyo Reksoatmojo, (2010). Pengembangan Kurikulum…, hal. 66
150
Manajemen Kurikulum Pendidikan Islam
peserta didik mampu menguasai bahan dari tiap-tiap mata pelajaran
yang telah ditentukan secara logis, sistematis dan mendalam. 122
Model desain kurikulum ini mempunyai beberapa kelebihan dan
kekurangan. Beberapa kelebihan dari model desain kurikulum ini
adalah:
1) Mudah disusun, dilaksanakan, dievaluasi, dan disempurnakan.
2) Para pengajarnya tidak perlu disiapkan khusus, asal menguasai
ilmu atau bahan yang diajarkan sering dipandang sudah dapat
menyampaikannya.
Beberapa kritik yang juga merupakan kekurangan model desain
ini, adalah:
1) Karena pengetahuan diberikan secara terpisah-pisah, hal itu
bertentangan dengan kenyataan, sebab dalam kenyataan
pengetahuan itu merupakan satu kesatuan.
2) Karena mengutamakan bahan ajar maka peran peserta didik
sangat pasif.
3) Pengajaran lebih menekankan pengetahuan dan kehidupan masa
lalu, dengan demikian pengajaran lebih bersifat verbalistis dan
kurang praktis. Atas dasar tersebut, para pengkritik menyarankan
perbaikan ke arah yang lebih terintegrasi, praktis, dan bermakna
serta memberikan peran yang lebih aktif kepada siswa.
Desain kurikulum dengan pendekatan mata pelajaran menyajikan materi pelajaran yang terdiri dari sejumlah mata pelajaran dari
beberapa disiplin ilmu. The subject design merupakan bentuk design
yang paling murni dari Subject centered design sehingga materi
pelajaran disajikan secara terpisah-pisah dalam bentuk mata
pelajaran dengan kata lain menyajikan pelajaran dari sejumlah mata
pelajaran. Sebagai contoh kurikulum untuk pendidikan dasar (SD/MI
dan SMP/MTs), setelah pelajaran membaca dan menulis ditambahkan materi pelajaran Aritmatika, Aljabar dan Planimetri (dari disiplin
ilmu Matematika), ilmu tumbuh-tumbuhan (dari disiplin ilmu
Botani), ilmu bumi (dari disiplin ilmu Geografi), dan lain-lain. Mata
pelajaran diambil dari beberapa disiplin ilmu dengan maksud agar
122
Soetopo dan Soemanto, (1993). Pembinaan dan Pengembangan Kurikulum sebagai Subtansi Problem
Administrasi Pendidikan. Jakarta: Bumi Aksara, hal. 78
Dari Normatif – Filosofis ke Praktis
151
para peserta didik menguasai dasar-dasar ilmu khusus yang kelak
diharapkan menjadi pilihan karir dan diperdalam melalui jenjang
pendidikan yang lebih tinggi. Dengan demikian cakupan subject
design ditentukan oleh luasnya materi pelajaran dari tiap-tiap mata
pelajaran yang dipandang penting untuk diketahui oleh peserta didik
secara sekuensial.
Terdapat dua alasan penggunaan subject design. Pertama, karena
subject design dinilai memiliki pengorganisasian yang paling
sistematik dan efisien. Kedua, ditinjau dari sudut pendidik (guru,
dosen) mereka telah disiapkan untuk mengajar dalam bidang disiplin
ilmu selama di perguruan tinggi.
Selain kedua alasan tersebut, terdapat alasan-alasan praktis
lainnya yakni, buku teks dan materi pelajaran lainnya pada umumnya telah tersusun menurut jenis mata pelajaran. Dengan demikian
peserta didik dapat mengetahui sekuens pelajaran dan dapat
mempelajari lebih dahulu walaupun pembelajaran di kelas belum
sampai pada bagian atau bab yang dipelajarinya.
Disamping keuntungan-keuntungan praktis terdapat pula
beberapa kelemahannya. Pertama, terdapat kecenderungan memfragmentasikan materi pelajaran, misalnya, mata pelajaran mekanika
yang semula menjadi satu kesatuan dipecah menjadi statika,
kinematika dan dinamika, dan diberikan secara terpisah-pisah,
bahkan oleh guru yang berbeda. Hal itu menyebabkan peserta didik
kurang memahami hubungan antara ketiga komponen mekanika
tersebut. Kedua, terdapat kecenderungan pembelajaran tidak mengaitkan dengan aspek penggunaan dalam kehidupan sehari-hari. Kritik
ini mungkin benar jika guru yang mengajar bukan lulusan LPTK.
Ketiga, pembelajaran dengan metode ekspositori atau ceramah
cenderung menyebabkan peserta didik bersikap pasif dan menghafal
materi pelajaran, serta kurang melatih kebiasaan menalar. Keempat,
kurikulum kurang memerhatikan minat dan pengalaman peserta
didik. Kelima, kurikulum lebih menekankan pada materi pelajaran
dan kurang memerhatikan cara penyampaiannya. 123
123
Nana Syaodih S, cet. 14, (2011).Pengembangan Kurikulum…, hal 68.
152
Manajemen Kurikulum Pendidikan Islam
Dengan keterangan di atas dapat ditarik kesimpulan bahwa
desain ini menyampaikan mata pelajaran yang mana belum menjadi
disiplin ilmu, contoh praktisnya seperti ulumul hadist, ulumul
Qur’an dan lain sebagainya.
b. The Discipline-Centered Design (Desain dengan Pendekatan Disiplin
Ilmu).
Landasan pemikiran desain kurikulum dengan pendekatan
disiplin ilmu ini sama dengan desain kurikulum dengan pendekatan
mata pelajaran, tetapi dengan kriteria tujuan yang lebih khusus, yakni
aplikasi kejuruan. Dengan demikian, desain kurikulum dengan
pendekatan disiplin ilmu dikembangkan untuk pendidikan kejuruan
dan pendidikan tinggi profesional.
Pada desain kurikulum dengan pendekatan disiplin ilmu lazim
mengelompokkan mata pelajaran (mata kuliah) ke dalam kelompokkelompok Mata Pelajaran Dasar Umum (MPDU/MKDU), Mata
Pelajaran Dasar Keahlian (MPDK/MKDK), dan Mata Pelajaran
Keahlian (MPK/MKK). Untuk pendidikan teknologi dan kejuruan,
MPDU/MKDU mencakup mata pelajaran bahasa, Pendidikan
Agama, Kewarganegaraan, keselamatan dan kesehatan kerja; MPDK/
MKDK terdiri dari Matematika, Fisika, Kimia, Mekanika,
Termodinamika, dan lain-lain, disesuaikan dengan kejuruan yang
diselenggarakan. MPK/MKK terdiri dari mata-mata pelajaran yang
termasuk dalam disiplin ilmu (kejuruan) yang bersangkutan.
Tujuan utama dari desain kurikulum dengan pendekatan
disiplin ilmu adalah: (a) Menyediakan pilihan yang sesuai dengan
bakat dan minat peserta didik setelah lulus dari pendidikan dasar. (b)
Pembekalan kemampuan bekerja pada jalur kejuruan tertentu bagi
mereka yang ingin segera terjun ke dalam dunia kerja (umur 18 tahun
ke atas), namun memungkinkan pula melanjutkan ke pendidikan
tinggi profesional.
Keuntungan dari desain kurikulum dengan pendekatan disiplin
ilmu adalah, mendekatkan peserta didik kepada masalah-masalah
nyata dalam dunia kerja dan masyarakat. Dengan demikian terdapat
dorongan untuk dunia kerja dan masyarakat. Dengan demikian
terdapat dorongan untuk mengikuti perkembangan ilmu dan
Dari Normatif – Filosofis ke Praktis
153
teknologi dan sebagai dampaknya adalah mendorong peserta didik
untuk berupaya mengikutinya. Sebagai contoh, perkembangan
teknologi informasi dan pemanfaatan komputer dapat mendorong
peserta didik untuk menguasai pemanfaatan komputer, antara lain
untuk mencari informasi/referensi melalui internet.
Kelemahan desain kurikulum dengan pendekatan disiplin ilmu
justru terletak pada guru. Tidak jarang guru (yang pada umumnya
berpenghasilan rendah) tidak mampu mengikuti perkembangan ilmu
pengetahuan dan teknologi karena keterbatasan finansial (untuk
membeli komputer atau buku referensi). Untuk mengatasi kesulitan
ini, lembaga penyelenggara pendidikan hendaknya melengkapi
fasilitas pendidikan, baik perpustakaan maupun sarana praktikum/
praktik. 124
Dengan keterangan di atas dapat ditarik sebuah penjelasan
dimana pada Subject design belum ada kriteria tegas tentang apa yang
disebut (ilmu) belum ada perbedaan misalnya antara Aritmatika,
Aljabar, maupun lainnya, semuanya disebut ilmu. Sedangkan pada
disciplines design kriteria tersebut sudah tegas, yang membedakan
apakah suatu pengetahuan itu subject (ilmu) atau bukan adalah
batang tubuh keilmuannya. Batang tubuh keilmuan menentukan
apakah suatu bahan pelajaran itu disiplin ilmu atau bukan, maka
untuk menegaskan hal itu mereka menggunakan istilah “disiplin
ilmu“ misalnya, Fisika, Biologi, Kimia padahal semua ini merupakan
cabang dari pelajaran IPA. Seperti halnya Aqidah akhlak, Al-Qur’anHadits, Sejarah Kebudayaan Islam (SKI), Fiqih yang merupakan isi
atau bagian dari pendidikan Agama Islam (PAI) di sekolah/
madrasah.
c. Broad Field Design (Desain dengan Cakupan Luas)
Desain kurikulum ini merupakan salah satu upaya penyempurnaan desain dengan pendekatan mata pelajaran dan pendekatan
disiplin ilmu. Konsep ini dikembangkan dengan maksud menghilangkan kelemahan-kelemahan pada subject design dan discipline
design yang dianggap belum bisa menghilangkan pemisahan
antarmata pelajaran. Dengan menyatukan beberapa mata pelajaran
124
Ibid, hal 67-68
154
Manajemen Kurikulum Pendidikan Islam
yang serumpun atau berdekatan diharapkan dapat meningkatkan
pemahaman peserta didik terhadap hubungan antarberbagai
fenomena kehidupan. Misalnya, penyatuan Aritmatika, Aljabar,
Planimetri, Geometri menjadi matematika akan memudahkan peserta
didik melihat hubungan dan hierarki dalam penguasaan Matematika.
Botani, Zoologi, Anatomi dan Fisologi yang semula diajarkan secara
terpisah digabung menjadi satu dan diberi nama Biologi. Geologi,
Geografi, Demografi dan Ekonomi disatukan menjadi ilmu bumi
ekonomi. Broad field design memungkinkan untuk memperkenalkan
konsep pengetahuan baru, misalnya Ekologi atau lingkungan hidup
yang membahas dampak pengelolaan Geografi, Geologi, ilmu Kimia,
Pertanian, dan Ekonomi digabung menjadi Ilmu pengetahuan sosial.
Jadi sudah jelas desain ini merupakan gabungan dari ilmu-ilmu yang
serumpun karena semua ini untuk penguasaan ilmu.
Tujuan pengembangan kurikulum ini adalah menyiapkan para
peserta didik yang dewasa ini hidup dalam dunia informasi yang
sifatnya spesialis dengan pemahaman yang bersifat menyeluruh.
Bentuk kurikulum ini banyak digunakan di SD dan SMP, sementara
di SMA penggunaannya agak terbatas, apalagi di perguruan tinggi
sangat sedikit sekali. Ada lima macam bidang studi yang menganut
broad fields jika dikaitkan dengan kurikulum di Indonesia yaitu:
1) Ilmu Pengetahuan Alam (IPA) merupakan peleburan dari mata
pelajaran Ilmu Alam, Ilmu Hayat, Ilmu Kimia dan Ilmu Kesehatan.
2) Ilmu Pengetahuan Sosial (IPS) merupakan peleburan dari mata
pelajaran ilmu Bumi, Sejarah, kewarganegaraan, Hukum, Ekonomi
dan sejenisnya.
3) Bahasa merupakan peleburan dari mata pelajaran membaca,
menulis, mengarang, menyimak, dan pengetahuan Bahasa.
4) Matematika, merupakan peleburan dari Berhitung, Aljabar, Ilmu
Ukur Sudut, Bidang, Ruang, dan Statistik.
5) Kesenian, merupakan peleburan dari Seni Tari, Seni suara, Seni
Klasik, Seni Pahat, dan Drama. 125
Konsep broad field design yang semula dianggap dapat
menghilangkan kelemahan subject design dan discipline design ternyata
125
Fuaduddin dan Karya, (1992). Pengembangan dan Inovasi Kurikulum. Jakarta: Dirjen Bimbaga Islam
dan Universitas Terbuka, hal 20.
Dari Normatif – Filosofis ke Praktis
155
hanya dapat diterapkan pada tingkat sekolah dasar dimana dimungkinkan penugasan guru kelas yang dapat mengajarkan semua jenis
mata pelajaran yang harus diberikan dalam satu kelas yang sama. Hal
ini dimungkinkan karena pada tingkat sekolah dasar kedalaman ilmu
belum menjadi tuntutan utama. Pada tingkat pendidikan menengah
dan pendidikan tinggi di mana kedalaman ilmu menjadi tuntutan
utama, konsep broad field design tidak dapat diterapkan karena
sulitnya mendapatkan tenaga kependidikan yang memiliki pengetahuan yang luas dan mendalam.
Selain kenyataan dalam praktik seperti yang dikemukakan oleh
Taba itu, kesukaran timbul pada saat peserta didik melanjutkan ke
jenjang pendidikan yang lebih tinggi (yang pada umumnya
menggunakan subject design) adalah dalam hal mengkonversikan nilai
dari broad field curriculum ke subject curriculum.
d. Learner-Centered Design (Desain berpusat pada Pebelajar)
Learner-centered design atau desain yang terpusat pada pesertadidik adalah suatu pendekatan desain kurikulum yang menempatkan
peserta-didik pada posisi sentral. Desain ini dimaksudkan untuk
mengembangkan bakat yang selaras dengan minat peserta didik.
Pendidik hanya berfungsi sebagai fasilitator dan motivator. Learnercentered design mengutamakan perkembangan individual, oleh sebab
itu tidak memiliki pola pengorganisasian yang baku.
Dua karakteristik yang membedakan learner-centered design
dengan subject-centered design adalah: Pertama, pengembangan kurikulum didasarkan pada keinginan (kebutuhan, minat dan tujuan
belajar) peserta didik dan bukan berdasarkan materi pelajaran. Kedua,
sebagai akibat karakteristik pertama itu, kurikulumnya tidak dapat
dirancang sebelumnya (preplanned) tetapi harus disusun bersama
antara peserta didik dan pendidik. Dengan demikian pengorganisasian kurikulum untuk kelompok tertentu (dari individu-individu
dengan keinginan yang sama) tergantung pada masalah atau topiktopik yang menarik perhatian mereka; sedangkan sekuens dan
kedalaman materi pelajaran tergantung pada sejauh mana mereka
mampu mempersepsi permasalahan dan situasi yang timbul.
156
Manajemen Kurikulum Pendidikan Islam
Dari uraian singkat di atas dapat disimpulkan bahwa, akan
terdapat variasi model pembelajaran yang tak terbatas; hal mana
menyebabkan kesulitan dalam penyediaan buku teks sehingga
pendidik harus meramu sendiri materi pelajaran untuk setiap
kelompok peserta didik. Diantara model-model yang pernah
dikembangkan adalah activity/experience design, humanistic design dan
child-centered design.
Konsekuensi dari activity/experience design ini sama dengan broad
flied design yakni, tidak memiliki pola organisasi kurikulum yang
baku karena kurikulum harus disusun berdasarkan minat dan
kebutuhan peserta didik, baik secara individu maupun kelompok. 126
e. Problem-Centered Design(Desain Berpusat pada Masalah)
Problem-centered design dikembangkan berdasarkan pemikiran
filsafati tentang peran manusia dalam masyarakat. Jika desain
kurikulum berbasis kegiatan/pengalaman menempatkan peserta
didik sebagai individu dalam proses pembelajaran, maka pada desain
kurikulum berbasis masalah menempatkan peserta didik sebagai
anggota masyarakat yang harus mampu memecahkan masalahmasalah yang dihadapi masyarakatnya demi kesejahteraan bersama.
Dengan problem-centered design dimaksudkan, desain yang
difokuskan pada masalah-masalah kehidupan sosial. Dalam
hubungan ini manusia sebagai makhluk sosial akan selalu hidup
bersama dan memecahkan masalah sosial secara bersama-sama pula.
Isi kurikulum yang diangkat sebagai materi pelajaran adalah
masalah-masalah sosial masa kini, misalnya: organisasi kepemudaan,
dampak krisis ekonomi, pengangguran, pengaruh media massa atas
ketekunan belajar, peningkatan prestasi olah raga dan lain-lain yang
dihadapi peserta didik dewasa ini dan di masa mendatang.
Desain kurikulum berbasis masalah yang pernah dikembangkan
adalah desain berbasis bidang kehidupan (areas of living) dan desain
berbasis kurikulum inti (core curriculum design).
126
Ibid, hal. 73.
Dari Normatif – Filosofis ke Praktis
157
1) The area of living design (Desain Berbasis Bidang Kehidupan).
Menurut desain ini bahwasanya pengorganisasian kurikulum
hendaknya menyiapkan masyarakat agar dapat berfungsi secara
efektif pada lima bidang kehidupan, yaitu: (1) direct selfpreservation (menyiapkan diri secara langsung); (2) indirect selfpreservation (menyiapkan diri secara tidak langsung, seperti
menabung, menyediakan pangan dan rumah; (3) parenthood
(menyiapkan diri untuk berumah tangga); (4) citizenship (menjadi
warga negara yang baik); dan (5) leisure activities (kegiatan masa
senggang).
Selanjutnya dengan perjalanan waktu direkomendasikan agar
kurikulum menyiapkan peserta-didik dalam enam kategori utama
dalam kehidupan, yakni: (1) tanggung jawab dan kompeten, (2)
pemahaman masalah-masalah ekonomi, (3) hubungan kekeluargaan, (4) menjadi konsumen yang cakap, (5) mengapresiasi
keindahan, dan (6) kecakapan berbahasa.
Gambaran yang menonjol dari kurikulum berbasis masalah
kehidupan adalah: Pertama, seperti halnya pada desain berbasis
aktivitas/pengalaman, desain ini memfokuskan pada prosedur
pemecahan masalah. Sebagai hasilnya, penguasaan proses
(keterampilan analisis, keterampilan sosial, dan lain sebagainya),
dan penguasaan materi secara fungsional telah terintegrasi. Kedua,
desain ini memanfaatkan pengalaman peserta-didik dan situasi
saat belajar sebagai gerbang memasuki areas of living. Hal inilah
yang membedakan dengan desain berbasis aktivitas/pengalaman
dimana materi dan kegiatan belajar didasarkan pada kebutuhan
yang dirasakan oleh peserta didik.
Dengan mengarahkan pada fungsi-fungsi kehidupan sosial,
kurikulum berbasis bidang kehidupan berusaha menghilangkan
kelemahan-kelemahan pada kurikulum berbasis mata pelajaran
(subject design). Namun desain kurikulum berbasis bidang
kehidupan ini juga tidak terbebas dari berbagai kritik. Pertama,
masalah yang berkaitan dengan penentuan cakupan dan urutan
(scope and sequence) mengingat bidang kehidupan sangat luas
cakupannya dan bervariasi kedalamannya. Kedua, materi pelajaran
158
Manajemen Kurikulum Pendidikan Islam
cenderung hanya dikaitkan dengan masalah-masalah masa kini
dan kurang memerhatikan warisan budaya. Ketiga, unit-unit
pelajaran dikemas di sekitar masalah-masalah kehidupan yang
beragam dan terpisah-pisah sehingga cenderung mengabaikan
faktor integrasi. Keempat, desain ini cenderung mengindoktrinasi
peserta didik bagaimana mengatasi masalah-masalah masa kini. 127
2) Core Curriculum (Desain Kurikulum Inti)
Konsep kurikulum inti dikembangkan sebagai reaksi
terhadap separate subject design yang cenderung melaksanakan
pembelajaran dengan jalan memecah-mecah mata pelajaran.
Padahal pembelajaran akan lebih efektif apabila fakta-fakta dan
prinsip-prinsip dari satu disiplin ilmu dihubungkan satu dengan
lainnya, terutama pada penerapan ilmu tersebut.
Untuk menghasilkan koherensi dari keseluruhan kurikulum
disarankan adanya kajian inti (core of studies) terhadap mana mata
pelajaran lainnya harus dihubungkan dan mendukungnya.
Kurikulum inti diartikan sebagai mata pelajaran atau mata
kuliah yang perlu diberikan kepada semua peserta didik. Di
perguruan tinggi di Indonesia, kelompok mata kuliah ini disebut
Mata Kuliah Dasar Umum (MKDU) yang terdiri dari Pancasila,
Pendidikan Agama, Kewarganegaraan, dan bahasa (bahasa
Indonesia dan bahasa Inggris). Menurut pertimbangan perguruan
tinggi yang bersangkutan dapat ditambahkan, misalnya,
Pengetahuan Lingkungan Hidup, Kewirausahaan, dan lain-lain.
Terdapat beberapa ragam desain kurikulum inti, yakni: (1) the
separate subject core, (2) the correlated core, (3) the fused core, (4) the
activity/experience core, (5) the areas-of-living core, dan (6) the social
problems core.
The Separate Subjects Core terdiri dari serangkaian mata
pelajaran/mata kuliah yang diajarkan secara terpisah oleh
spesialis dari mata pelajaran/mata kuliah yang bersangkutan
tanpa upaya mengintregrasikan materinya, suatu manifestasi dari
127
Nana Syaodih S, cet 14, (2011).Pengembangan Kurikulum., hal. 78.
Dari Normatif – Filosofis ke Praktis
159
karakteristik, kekuatan dan kelemahan dari separate subjects
curriculum.
The Correlated Core dikembangkan dari konsep subject-centered
design yang menekankan koherensi hubungan antardua atau lebih
mata pelajaran/mata kuliah yang termasuk dalam kurikulum inti.
Model ini berkembang dengan jalan mengintegrasikan beberapa
mata pelajaran yang erat hubungannya. Dengan tujuan ruang
lingkup bahan yang di pelajari akan semakin luas. Sebagai contoh
pada pembahasan pariwisata dapat dihubungkan dengan geologi,
sejarah, sosiologi dan ekonomi.
The Fused Core berakar pada konsep subject-centered curriculum
design. Beberapa mata pelajaran/mata kuliah diintegrasikan atau
difusikan menjadi satu, misalnya, sejarah, geografi, ekonomi,
sosiologi dan antropologi, dikombinasikan dan diajarkan oleh
spesialis dalam ilmu pengetahuan sosial; ketel uap, mesin-mesin
turbin, motor-bakar diajarkan oleh spesialis dalam konversi
energi.
The Activity-Experience Core dikembangkan berdasarkan
konsep learner-centered design yang dipusatkan pada minat dan
kebutuhan peserta didik. Desain kurikulum tidak mempunyai
struktur formal dan tidak dirancang sebelumnya. Karena aktivitas
didasarkan pada minat dan kebutuhan peserta didik, maka materi
dan pengorganisasinya disusun oleh guru bersama para peserta
didik.
The Areas-of-Living Core diilhami oleh pendidikan progresif
yang mengedepankan masalah-masalah kehidupan dalam
masyarakat.
Keuntungan dari the areas-of-living core sebagai suatu program
pendidikan sama dengan the areas-of-living design yakni, mengintegrasikan dan menyatukan materi dan mengembangkan
kemampuan pemecahan masalah dalam pembelajaran. Materi
pelajaran disajikan dalam bentuk yang fungsional dan relevan
dengan permasalahan yang dikaji 128.
128
Ibid,hal. 78-83.
160
Manajemen Kurikulum Pendidikan Islam
The sosial problem core merupakan design yang hampir sama
dengan the areas of living core didasarkan atas kegiatan-kegiatan
manusia yang universal, tetapi tidak berisi hal yang kontroversial,
sedangkan the sosial problem core didasarkan atas problem-problem
yang mendasar dan bersifat kontroversial.
4. Permasalahan Desain Kurikulum
Terdapat lima masalah kritis yang sering timbul dalam desain
kurikulum, yakni: (a) desain untuk pendidikan umum atau spesialisasi,
(b) hubungan antarkomponen kurikulum, (c) cakupan dan sekuens, (d)
pusat pengorganisasian kurikulum, dan (e) keseimbangan. 129 Kelima
masalah tersebut akan dibahas secara singkat berikut ini.
a. Desain untuk pendidikan umum atau spesialisasi
Permasalahan awal dalam pengembangan desain kurikulum
adalah apakah desain kurikulum tersebut difokuskan pada pendidikan umum atau pendidikan kejuruan (spesialisasi) atau campuran
yang mana gabungan dari keduanya. Pada kasus pertama desain
hanya ditentukan oleh kebutuhan bidang kejuruan tertentu yang
mencakup materi dan ketrampilan. Materi, kegiatan pembelajaran,
cakupan, dan sekuens dapat dikembangkan dari prosedur-prosedur
yang dibakukan untuk kejuruan tertentu.
b. Hubungan Antar Komponen-komponen Kurikulum
Masalah lain dalam desain kurikulum adalah pembinaan
hubungan antarkomponen-komponen kurikulum (tujuan, materi (isi),
kegiatan pembelajaran dan evaluasi). Masalah pertama adalah bagaimana menciptakan korespondensi antara Tujuan Pendidikan
Nasional (Tupenas), Tujuan Institusional dan Tujuan Instruksional
(pembelajaran) yang harus dicantumkan dalam kurikulum. Dengan
kalimat lain, bagaimana menciptakan korespondensi antara tujuan
jangka panjang (Tupenas), jangka menengah (Tujuan Institusional)
dan tujuan jangka pendek (Tujuan Instruksional). Diperlukan
mekanisme untuk memantau keselarasan pencapaian tujuan-tujuan
tersebut sehingga apabila terdapat diskripansi dapat segera
129
E. Mulyasa. (2004).Kurikulum Berbasis Kompetensi-Konsep, Karaktersitik dan Implementasi, PT.
Remaja Rosda, Bandung. Hal. 86
Dari Normatif – Filosofis ke Praktis
161
dilakukan tindakan perbaikan. Kedua, hal yang lebih sulit dalam
pembinaan adalah hubungan yang jelas antara komponen-komponen
tujuan kurikulum (tujuan instruksional), materi pembelajaran,
kegiatan pembelajaran dan evaluasi.
Tujuan Pend Nasional
Tujuan Institusional
Tujuan Instruksional
Materi
Pembelajaran
Kegiatan
Pembelajaran
Evaluasi
Gambar 4.9: Hubungan antar Komponen-komponen Kurikulum
c. Masalah Cakupan dan Sekuens
Cakupan (scope) berkaitan dengan pengaturan penyampaian
pelajaran-pelajaran pada waktu dan tingkatan yang sama, sementara
sekuens berkaitan dengan laju pergerakan setiap mata pelajaran dari
tingkat yang lebih rendah menuju tingkat yang lebih tinggi, dari
materi yang mudah menuju materi yang lebih sulit sepanjang kurun
waktu tertentu. Pada tingkat sekolah pengorganisasian ini berkaitan
dengan pengaturan jadwal pelajaran yang jarang memikirkan
efisiensi pembelajaran untuk mencapai tingkat penguasaan yang
ditetapkan dalam tujuan instruksional.
Masalah yang berkaitan dengan cakupan dan sekuens tidak
berlaku pada satu mata pelajaran saja, tetapi harus pula dipikirkan
keserasian perkembangan antarmata pelajaran; ada yang harus
162
Manajemen Kurikulum Pendidikan Islam
diberikan secara bersamaan (paralel) dan ada pula yang diberikan
secara serial. Terdapat mata pelajaran sebagai prasyarat bagi mata
pelajaran lain. Mata pelajaran prasyarat harus diberikan mendahului
mata pelajaran yang mempersyaratkan. Sebagai contoh, mata
pelajaran mekanika teknik sebagai mata pelajaran prasyarat untuk
mempelajari desain elemen mesin.
d. Pusat Pengorganisasian Kurikulum.
Terdapat dua macam konsep pengorganisasian kurikulum, yaitu:
pusat pengorganisasian dan unsur pengorganisasian. Pusat pengorganisasian terkait dengan masalah pemilihan model-model
pemilihan desain kurikulum. Sedangkan unsur-unsur pengorganisasian berkaitan dengan konsep yang akan menjadi fokus kajian dan
pembahasan serta penguasaan dalam proses pembelajaran.
Dari Normatif – Filosofis ke Praktis
163
BAB V
INOVASI KURIKULUM PENDIDIKAN
ISLAM
A. Inovasi Kurikulum Pendidikan Islam
Salah satu komponen penting pada lembaga pendidikan formal
yang digunakan sebagai acuan untuk menentukan isi pengajaran,
mengarahkan proses mekanisme pendidikan, tolok-ukur keberhasilan
dan kualitas hasil pendidikan, adalah kurikulum. 130 Namun demikian,
kurikulum seringkali tidak mampu mengikuti kecepatan laju perkembangan masyarakat. Oleh karena itu, pengembangan dan pembenahan
kurikulum harus senantiasa dilakukan secara terus menerus dan
berkesinambungan.
Kurikulum tidak pernah statis, melainkan senantiasa berubah dan
bersifat dinamis. Betapapun kita menghendaki kurikulum sesuai dengan
pedoman yang telah digariskan namun karena pengaruh dari sistem
pendidikan itu sendiri maupun dari luar pendidikan secara makro,
maka menyebabkan kurikulum yang ada harus menyesuaikan diri agar
mampu memenuhi permintaan dari semua dimensi kehidupan. 131
Munculnya inovasi dilatarbelakangi oleh tantangan untuk menjawab masalah-masalah krusial dalam pendidikan termasuk keresahan
pihak-pihak tertentu dalam bidang pendidikan seperti keresahan guru
130
S. Nasution, (1995). Kurikulum dan Pengajaran. Jakarta: Bumi Aksara. Hal. 13.
Oemar Hamalik, (2010).Manajemen Pengembangan Kurikulum. PT.
Bandung,hal.261
131
164
Remaja
Rosdakarya:
Manajemen Kurikulum Pendidikan Islam
tentang pelaksanaan KTSP yang dianggapnya menyulitkan, keresahan
masyarakat tentang kualitas pendidikan selama ini yang cenderung
merosot.
Masalah-masalah inovasi kurikulum mencakup aspek inovasi
dalam struktur kurikulum, materi kurikulum dan inovasi proses
kurikulum. Ketiga aspek inovasi-inovasi kurikulum tersebut merupakan
penggolongan jenis inovasi berdasarkan komponen sistem pendidikan
yang menjadi bidang garapannya. Inovasi kurikulum juga tergantung
pada dinamika masyarakat sehingga perubahan di masyarakat memiliki
implikasi perubahan dalam pendidikan.
Perubahan dalam pendidikan merupakan hal yang harus dilakukan bahkan mempertahankan inovasi pendidikan yang tidak populer
akan merugikan anak didik juga struktur kurikulum. Inovasi pendidikan
dapat pula lahir manakala terdapat pendirian yang baru mengenai
pengembangan kurikulum yang relevan dengan kebutuhan masyarakat
sehingga sistem inovasi pendidikan yang lama tidak lagi relevan dengan
kondisi masyarakat.
Perubahan kurikulum merupakan hal yang biasa dilakukan oleh
pemerintah dan bilamana pemerintah mempertahankan kurikulum yang
ada akan merugikan masyarakat itu sendiri. Dengan mengacu pada
prinsip-prinsip pendidikan, maka inovasi kurikulum yang relevan
dengan kondisi saat ini adalah kurikulum berbasis kompetensi.
B. Pengertian Inovasi Kurikulum
Inovasi merupakan sesuatu yang baru dalam situasi sosial
tertentu yang digunakan untuk menjawab atau memecahkan suatu
permasalahan. Dilihat dari bentuk atau wujudnya “sesuatu yang baru”
itu dapat berupa ide, gagasan, benda atau mungkin tindakan.
Sedangkan dilihat dari maknanya, sesuatu yang baru itu bisa benarbenar baru yang belum tercipta sebelumnya yang kemudian disebut
dengan invention (temuan baru), atau dapat juga tidak benar-benar baru
sebab sebelumnya sudah ada dalam konteks sosial yang lain yang
kemudian disebut dengan istilah discovery (penemuan).
Proses untuk menghasilkan temuan baru (invention) tidaklah
mudah, karena membutuhkan proses seperti penelitian, pengujian dan
Dari Normatif – Filosofis ke Praktis
165
analisis secara mendalam serta penarikan kesimpulan. Misalnya penerapan pembelajaran PAI dengan metode dan strategi yang benar-benar
baru demi meningkatkan efektivitas pembelajaran. Seperti: penggunaan
tablet untuk mendesain pembelajaran belum ada. Sedangkan untuk
proses discovery, misalnya penggunaan-penggunaan strategi belajar
Quantum Teaching dalam pembelajaran Fiqih di Madrasah atau PAI di
sekolah untuk meningkatkan kualitas pembelajaran.
Aspek lain juga yang bisa gunakan adalah pembelajaran berbasis
internet yang telah digunakan di beberapa Negara. Jadi dengan
demikian inovasi itu dapat terjadi melalui proses invention atau melalui
proses discovery. 132
Berdasarkan berbagai penjelasan di atas, maka inovasi kurikulum
dapat diartikan sebagai suatu ide, gagasan atau tindakan-tindakan
tertentu dalam bidang kurikulum dan pembelajaran yang dianggap baru
untuk memecahkan masalah pendidikan. Dalam bidang pendidikan,
inovasi biasanya muncul dari adanya keresahan pihak-pihak tertentu
tentang penyelenggaraan pendidikan. Misalkan, keresahan guru tentang
pelaksanaan proses belajar mengajar yang dianggapnya kurang berhasil,
keresahan pihak administrator pendidikan tentang kinerja guru, atau
mungkin keresahan masyarakat terhadap kinerja dan hasil bahkan
sistem pendidikan. Keresahan-keresahan itu pada akhirnya membentuk
permasalahan-permasalahan yang menuntut penanganan dengan
segera. Upaya untuk memecahkan masalah itulah muncul gagasan dan
ide-ide baru sebagai inovasi. Dengan demikian, maka dapat kita katakan
bahwa inovasi itu ada karena adanya masalah yang dirasakan; hampir
tidak mungkin inovasi muncul tanpa adanya masalah yang dirasakan.
Inovasi kurikulum dan pembelajaran dimaksudkan sebagai suatu
idea, gagasan atau tindakan tertentu dalam bidang kurikulum dan
pembelajaran yang dianggap baru untuk memecahkan masalah
pendidikan. Masalah-masalah inovasi kurikulum berkaitan dengan azas
relevansi antara bahan pembelajaran dengan kebutuhan siswa, antara
kualitas pembelajaran di sekolah dengan pengguna lulusan di lapangan
pekerjaan, berkaitan dengan mutu secara kognitif, afektif, dan
132
Wina Sanjaya, (2009).Kurikulum dan Pembelajaran, Teori dan Praktek Kurikulum Tingkat Satuan
Pendidikan (KTSP), PT Kencana Prenada Media Group. Hal.317
166
Manajemen Kurikulum Pendidikan Islam
psikomotorik, pemerataan yang berhubungan dengan kesempatan dan
peluang, kemudian efisiensi dari segi internal dan eksternal.
C. Masalah yang Melatarbelakangi Munculnya Inovasi Kurikulum
Setelah diberlakukannya otonomi daerah sebagai konsekuensi
penerapan Undang-Undang No. 22 Tahun 1999, yang kemudian direvisi
dan dicabut dengan UU No 32 tahun 2004 tentang pemerintah daerah,
termasuk di dalamnya otonomi daerah dalam bidang pendidikan dan
kebudayaan. Dengan diberikannya “kewenangan dan pemberdayaan”
yang membawa implikasi terhadap penyelenggaraan pendidikan
termasuk kurikulum.
Sekalipun demikian maka permasalahan itu tampaknya akan
tetap ada, bahkan akan semakin kompleks. Masalah-masalah inovasi
kurikulum berkaitan dengan azas relevansi antara bahan pembelajaran
dengan kebutuhan siswa, antara kualitas pembelajaran di sekolah
dengan pengguna lulusan di lapangan pekerjaan, berkaitan dengan
mutu secara kognitif, afektif, dan psikomotorik, pemerataan yang
berhubungan dengan kesempatan dan peluang, kemudian efisiensi dari
segi internal dan eksternal.
Munculnya inovasi beragam, menurut Hamalik disebabkan oleh:
(1) adanya inovasi yang dikembangkan untuk menjawab permasalahan
relevansi seperti program muatan lokal dalam kurikulum sekolah dasar
dan sekolah lanjutan, (2) adanya inovasi yang diarahkan untuk
menjawab tantangan pemerataan pendidikan seperti Universitas
terbuka, SMP/SMA Terbuka dan Program Paket “B” atau “C” pada
pendidikan luar sekolah, (3) Inovasi yang lebih dititikberatkan pada
upaya menanggulangi permasalahan kurang memadainya mutu lulusan,
sistem Modul, dan(4) Inovasi yang berkaitan pada misi utamanya adalah
menjawab permasalahan efisiensi pendidikan seperti sistem maju
berkelanjutan dan sistem sekolah kecil.
Selain persoalan tersebut, inovasi juga sangat berkaitan pula
dengan masalah relevansi, masalah kualitas, masalah efektivitas dan
efisiensi, dan masalah daya tampung sekolah yang terbatas.
Dari Normatif – Filosofis ke Praktis
167
a. Masalah Relevansi Pendidikan
Relevansi adalah kesesuaian antara kenyataan atau pelaksanaan
dengan tuntutan dan harapan. Dalam konteks pendidikan, relevansi
adalah kesesuaian antara pelaksanaan dan hasil pendidikan dengan
kebutuhan dan tuntutan masyarakat. Kurikulum harus senantiasa
menjamin tingkat relevansi yang setinggi-tingginya dengan kebutuhan masyarakat pada umumnya dalam rangka menunjang upaya
pembangunan, dan oleh karenanya kurikulum harus diupayakan
agar benar- benar dapat memberikan kesempatan kepada para siswa
dalam rangka mempersiapkan diri untuk bekerja secara produktif. 133
Masalah relevansi pendidikan ini dapat dilihat dari tiga sisi:
Pertama, relevansi pendidikan dengan lingkungan hidup siswa,
artinya apa yang diberikan di sekolah harus sesuai dengan kondisi,
kebutuhan dan tuntutan masyarakat tempat siswa tinggal.
Selama ini kurikulum kita dianggap kurang menyentuh
kebutuhan dan keadaan atau kondisi lingkungan siswa. Oleh karena
itu, penerapan kurikulum muatan lokal merupakan suatu inovasi
dalam bidang pendidikan untuk memecahkan masalah tersebut.
Melalui kurikulum muatan lokal, diharapkan apa yang diberikan di
sekolah akan menjadi relevan dengan kebutuhan dan tuntutan
lingkungan hidup siswa. Dimasukkannya muatan lokal pada kurikulum dilandasi oleh kenyataan bahwa Indonesia memiliki keanekaragaman adat istiadat, kesenian, tata cara, tata krama pergaulan,
bahasa dan pola kehidupan yang diwariskan secara turun temurun
dari nenek moyang bangsa Indonesia. 134 Hal tersebut sebagai ciri
khas dan jati diri bangsa harus senantiasa dilestarikan dan
dikembangkan termasuk melalui pendidikan formal.
Muatan lokal bertujuan untuk memberikan bekal pengetahuan,
ketrampilan dan sikap hidup peserta didik agar memiliki wawasan
yang mantap tentang lingkungan dan masyarakat yang sesuai
dengan nilai yang berlaku di daerahnya sehingga siswa tidak asing
dengan lingkungannya sendiri. Pengembangan kurikulum ini pada
hakikatnya untuk menjembatani kesenjangan antara peserta didik
133
Oemar Hamalik, (2010). Manajemen Pengembangan...,hal.262
E. Mulyasa. (2007). Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP). PT Remaja Rosdakarya, Bandung.
Hal.272.
134
168
Manajemen Kurikulum Pendidikan Islam
dengan lingkungannya. Di Jawa Timur misalnya terdapat muatan
lokal bahasa jawa diharapkan siswa mampu menggunakan bahasa
jawa secara benar sebagai alat komunikasi dengan masyarakat
sekitarnya, materi Aswaja di lembaga pendidikan Ma’arif,
kemuhamadiyahan di lembaga pendidikan Muhamadiyah,
Pendidikan Lingkungan Hidup (PLH)di sekolah/madrasah umum
dan lain sebagainya.
Kedua, relevansi pendidikan dengan tuntutan kehidupan siswa
baik untuk masa sekarang maupun masa yang akan datang. 135
Relevansi ini mengandung pengertian bahwa isi kurikulum harus
mampu menjawab kebutuhan siswa pada masa yang akan datang.
Pendidikan bukan hanya berfungsi untuk mengawetkan kebudayaan
masa lalu, akan tetapi juga untuk mempersiapkan siswa agar kelak
dapat hidup menyesuaikan dengan tuntutan zaman. Oleh karena itu,
apa yang di berikan di sekolah harus teruji, bahwa semua itu
memiliki nilai guna untuk kehidupan siswa di masa yang akan
datang.
Ketiga, relevansi pendidikan dengan tuntutan dunia kerja.
Relevansi ini mengandung pengertian bahwa sekolah memiliki
tanggung jawab dalam mempersiapkan anak didik yang memiliki
keterampilan dan kemampuan sesuai dengan tuntutan dunia kerja.
Seperti yang telah disinggung dalam bagian terdahulu, bahwa salah
satu asas pengembangan kurikulum adalah asas sosiologis yang
mengandung makna, bahwa kurikulum harus memperhatikan
tuntutan dan kebutuhan masyarakat termasuk tuntutan dunia kerja.
Pendidikan berfungsi untuk mendidik manusia yang produktif, yang
mampu bekerja dalam bidangnya masing-masing.
Pada saat ini seiring dengan kemajuan ilmu pengetahuan dan
teknologi begitu banyak bidang-bidang ketrampilan yang harus
dimiliki anak didik. Dan pada kenyataannya salah satu kritikan yang
muncul ke permukaan dewasa ini adalah bahwa pendidikan kita
dianggap masih sangat lemah dalam mempersiapkan tenaga kerja
yang terampil sesuai dengan kebutuhan dan tuntutan dunia kerja.
135
Wina Sanjaya, (2009), Kurikulum dan Pembelajaran...,hal.319
Dari Normatif – Filosofis ke Praktis
169
Tidak dapat disangkal bahwa, bahwa melalui pendidikan anak
diharapkan langsung dapat terjun dalam masyarakat secara mandiri.
Artinya dia dapat mencari nafkah sendiri dan membelanjakan secara
efisien dan dapat berpartisipasi di masyarakat secara konstruktif dan
produktif. Maka beberapa ahli pendidikan mengukur produktifitas
sekolah dengan seberapa jauhkah ia dapat memenuhi kebutuhan
masyarakat, khususnya di lapangan kerja. 136
Untuk menjawab masalah ini, inovasi pendidikan telah banyak
dilakukannya. Misalnya, penerapan sistem ganda untuk sekolahsekolah kejuruan. Melalui sistem ini siswa tidak hanya dibekali
dengan teori-teori akan tetapi dalam kurun waktu tertentu, mereka
diharuskan melakukan magang di berbagai tempat seperti pusatpusat industri yang akan menyerap mereka sebagai tenaga kerja.
Dengan sistem ini diharapkan manakala mereka lulus kelak, mereka
sudah paham apa yang harus dikerjakan.
Keempat, relevansi pendidikan yang berorientasi pada pembangunan nasional dan nasionalisme, hal ini penting menurut penulis
karena banyak produk pendidikan yang tidak mau berkontribusi
dalam proses pembangunan nasional sesuai dengan kompetensinya
masing-masing bahkan merusak citra bangsa seperti memproduksi
dan mengedarkan obat- obat terlarang, korupsi, pembalakkan hutan,
penjualan aset-aset negara yang menguasai hajat hidup rakyat dan
sebagainya.
b. Masalah Kualitas Pendidikan
Selain masalah relevansi, maka rendahnya kualitas pendidikan
juga dianggap sebagai suatu masalah yang dihadapi dunia pendidikan kita dewasa ini. Kurikulum hendaknya merupakan alat yang
ampuh untuk meningkatkan sumber daya manusia. Walaupun
terdapat pro kontra terhadap mutu pendidikan dewasa ini, namun
peningkatan mutu pendidikan harus terus ditingkatkan, masih
banyak lulusan pendidikan yang belum memenuhi tuntutan mutu
dari kebutuhan pasar kerja maupun nilai-nilai budaya dan norma
sosial yang berlaku.
136
Oemar Hamalik, (2010).Manajemen Pengembangan....,hal.265.
170
Manajemen Kurikulum Pendidikan Islam
Rendahnya kualitas pendidikan ini dapat dilihat dari dua sisi.
Pertama dari segi proses dan kedua dari segi hasil. Rendahnya
kualitas pendidikan di lihat dari sisi proses, adalah adanya anggapan
bahwa selama ini proses pendidikan yang dibangun oleh guru dianggap cenderung terbatas pada penguasaan materi pelajaran atau
bertumpu pada pengembangan aspek kognitif tingkat rendah, yang
tidak mampu mengembangkan kreativitas berpikir proses pendidikan atau belajar mengajar dianggap cenderung menempatkan
siswa sebagai objek yang harus diisi dengan berbagai informasi dan
bahan-bahan hafalan. Komunikasi terjadi satu arah, yaitu dari guru
ke siswa melalui pendekatan ekspositori yang dijadikan sebagai alat
utama dalam proses pembelajaran. 137Dari sisi hasil, rendahnya
kualitas pendidikan dapat dilihat dari tidak meratanya setiap sekolah
dalam mencapai rata-rata nilai Ujian Nasional (Unas). Ada sekolah
yang dapat mencapai rata-rata Unas yang tinggi, namun di lain pihak
banyak sekolah yang mencapai Unas jauh di bawah standar.
Beberapa usaha yang dilakukan untuk memecahkan masalah
tersebut di antaranya dengan meningkatkan kualitas guru dan
perbaikan kurikulum, serta menyediakan berbagai sarana dan
prasarana yang lebih lengkap dan di anggap memadai. Peningkatan
kualitas atau mutu guru, di antaranya dengan meningkatkan latar
belakang akademis mereka melalui pemberian kesempatan untuk
mengikuti program-program pendidikan, serta memberikan
penataran-penataran dan pelatihan-pelatihan secara kontinyu dan
berkelanjutan, serta pemberdayaan MGMP, KKG, MGBK dan
sebagainya.
Perbaikan kurikulum dilakukan bukan hanya membuka
kemungkinan penambahan isi kurikulum sesuai dengan kebutuhan
lingkungan masyarakat lokal, akan tetapi juga inovasi pelaksanaan
proses pembelajaran.
c. Masalah Efektifitas dan Efisiensi
Efektivitas berhubungan dengan tingkat keberhasilan pelaksanaan pembelajaran yang didesain oleh guru untuk mencapai tujuan
pembelajaran baik tujuan dalam skala yang sempit seperti tujuan
137
Wina Sanjaya, (2009). Kurikulum dan Pembelajaran...,hal.320
Dari Normatif – Filosofis ke Praktis
171
pembelajaran khusus, maupun tujuan dalam skala yang lebih luas,
seperti tujuan kurikuler, tujuan institusional dan bahkan tujuan
nasional. Dengan demikian, dalam konteks kurikulum dan pembelajaran suatu program pembelajaran dikatakan memiliki tingkat
efektivitas yang tinggi manakala program tersebut dapat mencapai
tujuan seperti yang diharapkan. Misalkan, untuk mencapai tujuan
tertentu, guru memprogramkan 3 bentuk kegiatan belajar mengajar.
Manakala berdasarkan hasil evaluasi setelah dilaksanakan program
kegiatan belajar mengajar itu, tujuan pembelajaran telah dicapai oleh
seluruh siswa, maka dapat dikatakan bahwa program itu memiliki
efektivitas yang tinggi. Sebaliknya, apabila diketahui setelah pelaksanaan proses belajar mengajar, siswa belum mampu mencapai
tujuan yang diharapkan, maka dapat dikatakan bahwa program
tersebut tidak efektif.
Dengan cara yang sama, dapat dilakukan untuk melihat
efektivitas program pendidikan dalam upaya mencapai tujuan yang
lebih luas, misalkan tujuan institusional. Untuk mencapai tujuan
lembaga pendidikan (institusi) tertentu diberikan sejumlah program
pendidikan baik program intrakurikuler maupun program
ekstrakurikuler. Apabila berdasarkan hasil evaluasi terhadap lulusan
lembaga pendidikan yang bersangkutan diketahui bahwa setiap
lulusan memiliki kemampuan sesuai dengan tujuan lembaga itu,
maka program pendidikan yang dilaksanakan dianggap efektif; dan
sebaliknya manakala lulusan tidak mencerminkan kemampuan yang
diharapkan, maka program pendidikan yang diselenggarakan oleh
lembaga yang bersangkutan dianggap kurang efektif.
Efisiensi berhubungan dengan jumlah biaya, waktu dan tenaga
yang digunakan untuk mencapai tujuan tertentu. Artinya, suatu
program pembelajaran dikatakan memiliki tingkat efisiensi yang
tinggi, manakala dengan jumlah biaya yang minimal dapat menghasilkan atau dapat mencapai tujuan yang maksimal. Sebaliknya,
program dikatakan tidak efisien apabila biaya dan tenaga yang
dikeluarkan sangat besar, akan tetapi hasil yang diperoleh kecil.
sehubungan dengan masalah efisiensi ini, sebaliknya setiap guru
membuat program yang benar-benar dapat menunjang ketercapaian
tujuan pembelajaran. Sekolah dan guru harus menghindari program-
172
Manajemen Kurikulum Pendidikan Islam
program kegiatan yang banyak memerlukan biaya, waktu dan
tenaga, padahal kegiatan tersebut tidak atau kurang mendukung
terhadap pencapaian tujuan pendidikan.
d. Masalah Keterbatasan Daya Tampung.
Masalah lain yang dihadapi dunia pendidikan kita adalah
masalah terbatasnya daya tampung sekolah khususnya pada tingkat
SLTA. Masalah ini muncul setelah keberhasilan penyelenggaraan
wajar dikdas 9 tahun, yang mengakibatkan meledaknya lulusan
SMP/MTs/Kejar paket B, sehingga menuntut pemerintah untuk
menyediakan fasilitas agar dapat menampung para lulusan tersebut
yang hendak melanjutkan ke SLTA.
Keberhasilan program wajar dikdas 9 tahun ini juga membawa
dampak kepada permasalahan akan banyaknya minat lulusan
SMP/MTs/Kejar paket B yang hendak melanjutkan ke SLTA,
padahal kondisi geografis, sosial, ekonomi, mereka yang kurang
mendukung, misalkan karena tempat tinggal mereka yang jauh
berada di pedalaman atau pulau-pulau terpencil, atau kemampuan
sosial ekonomi mereka yang rendah. Untuk memecahkan masalah
yang demikian, pemerintah memerlukan langkah-langkah yang
dapat menyediakan kesempatan belajar seluas-luasnya untuk mereka
dengan biaya yang rendah tanpa mengurangi mutu pendidikan.
D. Difusi dalam Inovasi Kurikulum
Difusi adalah proses komunikasi atau saling tukar informasi
tentang suatu bentuk inovasi antara warga masyarakat sasaran sebagai
penerima inovasi dengan menggunakan saluran tertentu dan dalam
waktu tertentu pula. 138
Ada dua bentuk sistem difusi, yaitu difusi sentralisasi dan difusi
desentralisasi. Difusi sentralisasi adalah difusi yang bersifat memusat.
Artinya segala bentuk keputusan tentang komunikasi inovasi ditentukan
oleh orang-orang yang merumuskan bentuk inovasi. Misalnya, kapan
inovasi itu disebarluaskan, bagaimana caranya, siapa yang terlibat untuk
menyebarkan informasi inovasi, bagaimana mengontrol penyebaran itu,
138
Ibid, hal.322.
Dari Normatif – Filosofis ke Praktis
173
seluruhnya ditentukan oleh pembawa dan perumus perubahan secara
spontan. Sedangkan yang dimaksud difusi desentralisasi proses
penyebaran informasi inovasi dilakukan oleh masyarakat itu sendiri.
Dalam proses difusi desentralisasi keberhasilan difusi tidak ditentukan
oleh orang-orang yang merumuskan inovasi akan tetapi sangat
ditentukan oleh masyarakat itu sendiri sebagai penggagas dan pelaksana
difusi.
Proses difusi diarahkan agar muncul pemahaman yang sama
tentang inovasi. Oleh karena itu agar, terjadi proses difusi yang efektif
perlu direncanakan. Proses perencanaan difusi dinamakan diseminasi.
Dengan kata lain, diseminasi dapat diartikan sebagai proses penyebaran
inovasi yang direncanakan, diarahkan dan dikelola secara baik. Dengan
demikian, keberhasilan suatu penyebaran inovasi sangat tergantung
kepada proses diseminasi.
Bagaimana agar terjadi proses difusi sehingga inovasi itu mudah
diterima oleh anggota masyarakat atau sasaran inovasi? Hal ini
tergantung beberapa faktor di antaranya:
a. Faktor pembiayaan (Cost). Biasanya semakin murah biaya yang
dikeluarkan untuk suatu inovasi, maka akan semakin mudah
diterima oleh kelompok masyarakat sasaran, walaupun kualitas
inovasi itu sendiri sangat ditentukan oleh mahalnya biaya yang
dikeluarkan. Misalnya, mengapa PPSP (Proyek Perintis Sekolah
Pembangunan), MAPK (Madrasah Aliyah Program Khusus) sebagai
suatu bentuk inovasi penyelenggaraan sistem pendidikan tidak
dilanjutkan? Hal ini mungkin bukan karena ketidakberhasilan sistem
pendidikan itu, akan tetapi terlalu mahalnya pembiayaan yang harus
dikeluarkan dibandingkan dengan persekolahan biasa.
b. Resiko yang muncul sebagai akibat pelaksanaan inovasi. Inovasi akan
mudah diterima manakala memiliki efek samping yang sangat kecil,
baik yang berkaitan dengan politik maupun keamanan dan keselamatan penerimanya. Suatu inovasi tidak akan mudah dan dapat
diterima apabila memiliki risiko yang tinggi.
c. Kompleksitas. Inovasi akan mudah diterima oleh masyarakat sasaran
manakala bersifat sederhana dan mudah dikomunikasikan. Semakin
rumit bentuk inovasi itu, maka akan semakin sulit juga untuk
diterima.
174
Manajemen Kurikulum Pendidikan Islam
d. Kompabilitas. Artinya, mudah atau sulitnya suatu inovasi diterima
oleh masyarakat sasaran ditentukan juga oleh kesesuaiannya dengan
kebutuhan, tingkat pengetahuan, dan keyakinan masyarakat
pemakai. Suatu bentuk inovasi akan sulit terima manakala tidak
sesuai dengan kebutuhan pemakai atau sulit dipahami oleh karena
tidak sesuai dengan tingkat pengetahuan mereka.
e. Tingkat keandalan. Suatu bentuk inovasi akan mudah diterima
manakala diketahui tingkat kehandalannya. Untuk mengetahui
tingkat keandalannya itu bentuk inovasi terlebih dahulu harus di
ujicobakan secara ilmiah sehingga dapat dipertanggungjawabkan.
Tanpa keandalan yang pasti orang akan ragu mengadopsinya.
f. Keterlibatan. Bentuk inovasi dalam proses penyusunannya melibatkan kelompok masyarakat sasaran, akan mudah diterima misalkan
untuk pembaharuan pada sistem pembelajaran, proses penyusunan
inovasi melibatkan PGRI sebagai organisasi guru atau melibatkan
perwakilan guru-guru tertentu yang dianggap berpengalaman.
g. Kualitas penyuluh. Inovasi perlu disosialisasikan untuk diketahui
dan dipahami oleh masyarakat sasaran. Dalam proses sosialisasi itu
perlu dirancang sedemikian rupa sehingga mudah dipahami. Salah
satu faktor yang menentukan dalam proses sosialisasi adalah faktor
kualitas penyuluh. Kualitas penyuluh ditentukan bukan hanya oleh
kemampuan penyuluh saja akan tetapi tingkat keahlian yang
bersangkutan. Proses penyuluhan oleh orang yang dianggap kurang
berpengalaman, akan sulit meyakinkan masyarakat sasaran. 139
Faktor-faktor di atas, sangat mempengaruhi keberhasilan
penyebaran dan penerimaan inovasi pendidikan. Oleh karena itu faktorfaktor tersebut dapat juga dijadikan sebagai bahan pertimbangan dalam
perumusan berbagai bentuk inovasi pendidikan.
Keputusan opsional adalah keputusan yang ditentukan oleh
individu secara mandiri tanpa adanya pengaruh dari orang lain. Jadi
dengan demikian, dalam keputusan opsional yang berperan untuk
menolak atau menerima inovasi adalah individu itu sendiri.
Keputusan inovasi kolektif adalah keputusan yang didasarkan
oleh kesepakatan bersama dari setiap kelompok masyarakat. Setiap
139
Ibid, hal.324.
Dari Normatif – Filosofis ke Praktis
175
anggota kelompok harus menaati untuk menerima atau menolak inovasi
sesuai dengan keputusan kelompok walaupun keputusan itu mungkin
kurang sesuai dengan pendapatnya.
Keputusan inovasi otoritas adalah keputusan untuk menerima
atau menolak suatu inovasi ditentukan oleh orang-orang tertentu yang
memiliki kewenangan dan pengaruh terhadap anggota kelompok
masyarakatnya. Anggota kelompok masyarakat sama sekali tidak
memiliki kewenangan untuk menerima atau menolak. Mereka hanya
memiliki kewajiban untuk melaksanakan segala keputusan secara
otoritas. Misalkan, kalau kepala Dinas Pendidikan dan Kebudayaan
mengharuskan semua guru untuk menerapkan strategi pembelajaran
“tematik” dalam pembelajaran, maka setiap guru harus melaksanakannya, walaupun mungkin ada guru yang menganggap metode
tersebut kurang sesuai.
E. Hambatan-hambatan Inovasi Kurikulum
Suatu pembaharuan atau inovasi sering tidak berhasil dengan
optimal. Hal ini disebabkan oleh adanya berbagai hambatan yang
muncul seperti hambatan geografis, hambatan ekonomi yang tidak
memadai, hambatan sosial kultural, dan lain sebagainya. Berbagai
hambatan tersebut tentu saja dapat mempengaruhi keberhasilan suatu
inovasi. Terdapat 6 faktor utama yang dapat menghambat suatu inovasi.
Keenam faktor tersebut dijelaskan di bawah ini:
1. Perkiraan yang Tidak Tepat
Sering terjadi kegagalan suatu inovasi disebabkan kurang
matangnya perkiraan atau kemungkinan-kemungkinan yang akan
muncul. Faktor estimasi atau perencanaan dalam inovasi merupakan
salah satu faktor yang berpengaruh terhadap keberhasilan inovasi.
Hambatan yang disebabkan kurang tepatnya estimasi ini diantaranya
mencakup kurang adanya pertimbangan implementasi inovasi, kurang
adanya hubungan antar anggota team pelaksana, kurang adanya
kesamaan pendapat tentang tujuan yang ingin dicapai, tidak adanya
koordinasi antar petugas yang terlibat misalnya, dalam hal pengambilan
176
Manajemen Kurikulum Pendidikan Islam
keputusan dan kebijakan yang dianggap perlu. 140 Di samping itu, dalam
proses perencanaan juga mungkin terjadi hambatan yang muncul dari
luar, misalnya adanya tekanan dari pihak tertentu (seperti pemerintah)
untuk mempercepat hasil inovasi.
Untuk mencegah adanya hambatan di atas, maka proses penyusunan perencanaan inovasi perlu dilakukan dengan sungguh-sungguh
dengan melibatkan koordinasi dengan berbagai pihak yang dirasakan
akan berpengaruh. Pengaturan wewenang dan tugas perlu direncanakan
dengan matang sehingga setiap orang yang terlibat mengetahui tugas
dan tanggung jawabnya masing-masing.
2. Konflik dan Motivasi
Konflik bisa terjadi dalam proses pelaksanaan inovasi, misalnya
ada pertentangan antar anggota tim, kurang adanya pengertian serta
adanya perasaan iri dari pihak antara anggota tim inovasi. Pertentanganpertentangan semacam itu bukan saja dapat menghambat akan tetapi
mungkin dapat merusak proses inovasi itu sendiri. Oleh karena itu, para
perancang inovasi harus mengantisipasi adanya pertentangan tersebut.
Di samping konflik, faktor yang dapat menghambat bisa juga ditimbulkan oleh motivasi, misalnya motivasi yang lemah dari orang-orang yang
terlibat yang justru memegang kunci, adanya pandangan yang sempit
dari beberapa orang yang dianggap penting dalam proyek inovasi,
bantuan-bantuan yang tidak sampai, adanya sikap yang tidak terbuka
dari pemegang jabatan proyek inovasi dan lain sebagainya.
3. Inovasi tidak Berkembang
Hambatan lain yang dapat mengganggu berjalannya inovasi dapat
disebabkan kurang berkembangnya proses inovasi itu sendiri. Beberapa
faktor yang dapat mempengaruhi diantaranya, pendapat yang rendah,
faktor geografis, seperti tidak memahami kondisi alam, letak geografis
yang terpencil dan sulit dijangkau oleh alat transformasi sehingga dapat
menghambat pengiriman bahan-bahan finansial, kurangnya sarana
komunikasi, iklim dan cuaca yang tidak mendukung, dan lain
sebagainya.
140
Ibid, hal.325
Dari Normatif – Filosofis ke Praktis
177
4. Masalah Finansial
Keberhasilan pencapaian program inovasi sangat ditentukan oleh
dana yang tersedia. Sering terjadi kegagalan inovasi dikarenakan dana
yang tidak memadai. Beberapa faktor yang dapat menyebabkan masalah
finansial ini, diantaranya bantuan dana yang sangat minim sehingga
dapat mengganggu dalam operasional inovasi, kondisi ekonomi
masyarakat secara keseluruhan, penundaan bantuan dana.
5. Penolakan dari Kelompok Penentu
Ketidakberhasilan inovasi dapat juga ditentukan oleh
kesungguhan dan peran serta seluruh kelompok masyarakat, khususnya
kelompok masyarakat yang menentukan seperti golongan elit, tokoh
masyarakat dalam suatu sistem sosial. Manakala terjadi penolakan dari
kelompok tersebut terhadap suatu inovasi, maka proses inovasi akan
mengalami ganjalan. Penolakan inovasi sering ditunjukkan oleh
kelompok sosial tradisional dan konservatif. Kelompok sosial yang
demikian, biasanya merasa puas dengan hasil yang telah dicapai,
bagaimanapun hasil itu dirasakan sangat minimal. Untuk itulah dalam
upaya keberhasilan inovasi perlu dilakukan sosialisasi dan koordinasi
dengan berbagai pihak.
6. Kurang Adanya Hubungan Sosial
Faktor lainnya yang dapat menghambat proses inovasi adalah
kurang adanya hubungan sosial yang baik antara berbagai pihak
khususnya antar anggota team, sehingga terjadi ketidakharmonisan
dalam bekerja. Dengan demikian, adanya hubungan yang baik harus
diciptakan dengan melakukan pertukaran pikiran secara kontinyu
antara sesama anggota tim.
F. Implementasi Inovasi dalam Kurikulum dan Pembelajaran
Kurikulum memang tidak pernah statis, melainkan senantiasa
berubah dan bersifat dinamis. Hal ini karena pengaruh dan tantangan
yang senantiasa muncul dari dalam sistem pendidikan itu sendiri
maupun yang tumbuh dari luar secara makro sehingga inovasi dan
perbaikan kurikulum adalah tuntutan dan keharusan. Sebagai usaha
mengefektifkan pencapaian tujuan pendidikan, pemerintah terus-
178
Manajemen Kurikulum Pendidikan Islam
menerus melakukan berbagai perbaikan dan pembaharuan pendidikan
dan kurikulum sekolah/ madrasah. Beberapa implementasi pembaruan
(inovasi) yang telah dilakukan dikemukakan di bawah ini:
1. Pemberlakuan Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP)
Indonesia sebagai negara yang sangat kaya dengan sumber daya
alam mestinya menjadi negara yang makmur, sejahtera, bukan sebaliknya menjadi negara yang terpuruk dalam lingkaran kemiskinan,
keterbelakangan, ketidakadilan, dan ketidakpastian menghadapi masa
depan serta kerusakan lingkungan. 141 Hal ini dapat dikatakan bahwa
bangsa Indonesia memiliki keunggulan komparatif namun belum
mempunyai keunggulan kompetitif. Hal ini menjadi tantangan sekaligus
peluang bagi bangsa Indonesia yang harus menyesuaikan dengan
kebutuhan dan perkembangan baik ditingkat lokal nasional maupun
global termasuk sistem pendidikan nasional. Kalau kita ingin
membangun sebuah bangsa nomor satu utamakan pendidikan, nomor
dua utamakan pendidikan dan nomor tiga hargailah dan muliakan
guru. 142
Diundangkannya UU nomor 32 tahun 2004 tentang pemerintah
daerah mempunyai konsekwensi diberlakukannya otonomi termasuk
pendidikan dan kebudayaan yang memberi kewenangan kebijakan
pendidikan kepada daerah. Sebagai implikasinya ialah perubahan sistem
manajemen pendidikan dari pola sentralisasi ke desentralisasi dan nonmonopolistik yang dikembangkan mengarah pada manajemen berbasis
sekolah/ madrasah yang memberikan otonomi lebih besar kepada
sekolah/ madrasah untuk meningkatkan mutu sekolah/ madrasah.
Di antara otonomi yang lebih besar diberikan kepada sekolah/
madrasah menyangkut pengembangan kurikulum yang akhirnya
disebut dengan Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP) adalah
kurikulum operasional yang disusun dan dilaksanakan oleh masingmasing satuan pendidikan. Penyusunan KTSP dilakukan oleh satuan
pendidikan dengan memerhatikan dan berdasarkan standar kompetensi
serta kompetensi dasar yang dikembangkan oleh Badan Standar
141
E Mulyasa, (2007).Kurikulum Tingkat..., hal. 3
Muhaimin, (2011).Pemikiran dan Aktualisasi Pengembangan Pendidikan Islam.PT Raja Grafido
Persada. Jakarta. Hal.94
142
Dari Normatif – Filosofis ke Praktis
179
Nasional Pendidikan (BSNP). Dilihat dari adanya perubahan sistem
manajemen kurikulum itulah, maka dapat kita katakan bahwa pemberlakuan KTSP merupakan salah satu bentuk inovasi kurikulum yang ada
di Indonesia. Tidak demikian dengan KTSP sebagai kurikulum
operasional, disusun dan dikembangkan oleh sekolah sesuai dengan
kondisi daerah.
Manakala kita analisis konsep di atas, maka ada beberapa hal yang
berhubungan dengan makna kurikulum operasional. Pertama, sebagai
kurikulum yang bersifat operasional, maka dalam pengembangannya,
KTSP tidak akan lepas dari ketetapan-ketetapan yang telah disusun
pemerintah secara Nasional. Artinya walaupun di daerah diberi
kewenangan itu hanya sebatas pengembangan operasionalnya saja,
sedangkan yang menjadi rujukan pengembangannya itu ditentukan oleh
pemerintah, misalnya jenis mata pelajaran beserta jumlah mata
pelajarannya, isi dari setiap mata pelajaran itu sendiri serta kompetensi
yang harus dicapai oleh setiap mata pelajaran itu. Hal ini sesuai dengan
Undang-Undang No. 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional
pasal 36 ayat 1, yang menjelaskan bahwa pengembangan kurikulum
mengacu pada standar nasional pendidikan untuk mewujudkan tujuan
pendidikan nasional. Daerah dalam menentukan isi pelajaran terbatas
pada pengembangan kurikulum muatan lokal, yakni kurikulum yang
memiliki kekhasan sesuai dengan kebutuhan daerah, serta aspek
pengembangan diri yang sesuai dengan minat siswa. Jumlah jam
pelajaran kedua aspek tersebut ditentukan oleh pemerintah.
Kedua, sebagai kurikulum operasional, para pengembang KTSP,
dituntut dan harus memperhatikan ciri khas kedaerahan, sesuai dengan
bunyi Undang-Undang No. 20 tahun 2003 ayat 2, yakni bahwa
kurikulum pada semua jenjang dan jenis pendidikan dikembangkan
dengan prinsip diversifikasi sesuai dengan satuan pendidikan, potensi
daerah, dan peserta didik. Persoalan ini penting untuk dipahami, sebab
walaupun standar isi ditentukan oleh pemerintah, akan tetapi dalam
operasionalnya pembelajarannya yang direncanakan dan dilakukan oleh
guru dan pengembang kurikulum tidak terlepas dari keadaan dan
kondisi daerah.
Ketiga, sebagai kurikulum operasional, para pengembang kurikulum di daerah memiliki keleluasaan dalam mengembangkan kurikulum
180
Manajemen Kurikulum Pendidikan Islam
menjadi unit-unit pelajaran, misalnya dalam mengembangkan strategi
dan metode pembelajaran, dalam menentukan media pembelajaran dan
dalam menentukan evaluasi yang dilakukan termasuk dalam
menentukan beberapa kali pertemuan serta kapan suatu topik materi
harus dipelajari siswa agar kompetensi dasar yang telah ditentukan
dapat tercapai.
Sebagai kurikulum operasional, KTSP memiliki karakteristik
sebagai berikut: 143
a. KTSP adalah kurikulum sejumlah mata pelajaran yang harus
ditempuh oleh peserta didik dalam kurun waktu tertentu.
Hal ini dapat kita lihat dari struktur kurikulum KTSP yang memuat
sejumlah mata pelajaran yang harus ditempuh oleh peserta didik.
Setiap mata pelajaran yang harus dipelajari itu selain sesuai dengan
nama-nama disiplin ilmu juga ditentukan jumlah jam pelajaran secara
ketat, maka dapat dikatakan bahwa KTSP merupakan kurikulum
yang berorientasi pada disiplin ilmu.
b. KTSP adalah kurikulum yang berorientasi pada pengembangan
individu. Hal ini dapat dilihat dari prinsip-prinsip pembelajaran
dalam KTSP yang menekankan pada aktivitas siswa untuk mencari
dan menemukan sendiri materi pelajaran melalui berbagai
pendekatan dan strategi pembelajaran yang disarankan misalnya;
melalui CTL, inkuiri, pembelajaran portofolio, dan lain sebagainya.
Demikian juga, secara tegas dalam struktur kurikulum terdapat
komponen pengembangan diri.
c. KTSP adalah kurikulum yang mengakses kepentingan daerah.
Hal ini tampak pada salah satu prinsip KTSP yakni berpusat pada
potensi, perkembangan, kebutuhan, dan kepentingan peserta didik
dan lingkungannya. Dengan demikian, maka KTSP adalah kurikulum
yang dikembangkan oleh daerah. Bahkan, dengan program muatan
lokalnya, KTSP didasarkan pada keberagaman kondisi, sosial,
budaya yang berbeda masing-masing daerahnya.
143
Wina Sanjaya, (2009).Kurikulum dan Pembelajaran....,hal.329.
Dari Normatif – Filosofis ke Praktis
181
d. KTSP merupakan kurikulum teknologis.
Hal ini dapat dilihat dari adanya standar kompetensi, kompetensi
dasar yang kemudian dijabarkan pada indicator hasil belajar, yakni
sejumlah perilaku yang terukur sebagai bahan penilaian.
2. Pengembangan Sekolah Islam/ Madrasah yang Unggul.
Sekolah/ madrasah unggul biasanya diistilahkan dengan sekolah
berprestasi atau effective school, good school, the moving school. Sekolah/
madrasah unggulan tersebut seperti SBI/MBI, kurikulum Cambridge,
kurikulum IBO (International Baccalaureate Organization), dan sebagainya.
Karakteristik sekolah/ madrasah berprestasi adalah sebagai berikut: 144
a. Dari aspek keluaran (out put):
1) Prestasi akademik ditunjukkan dengan Nilai Ujian Nasional
(NUN), lomba KTI, Olimpiade (Matematika, Fisika, Biologi,
bahasa Inggris dan IPS).
2) Prestasi non akademik ditunjukkan dengan keingintahuan yang
tinggi, kerja sama, kasih sayang, toleransi, disiplin, kerajinan,
kesenian, kepramukaan, PMR, olah raga dan sebagainya.
b. Dari aspek proses(process): (1) proses pembelajaran yang efektif; (2)
kepala sekolah/madrasah yang kuat; (3) lingkungan sekolah/
madrasah yang aman dan tertib; (4) pengelolaan tenaga kependidikan
yang efektif (5) Memiliki budaya mutu; (6) memiliki team work
kompak, cerdas, dinamis; (7) memiliki kemandirian; (8) Adanya
partisipasi yang tinggi dari masyarakat; (9) Mempunyai keterbukaan;
(10) mempunyai kemauan untuk berubah baik psikologis maupun
fisik (11) melakukan evaluasi dan perbaikan secara berkelanjutan;
(12) responsif dan antisipatif terhadap kebutuhan; (13) mempunyai
komunikasi yang baik; (14) mempunyai akuntabilitas (15) memiliki
dan menjaga sustainabilitas dalam program dan pendanaan.
c. Dari aspek masukan (input): (1) memiliki kebijakan, tujuan, dan
sasaran mutu yang jelas; (2) adanya sumber daya yang tersedia dan
siap; (3) staf yang kompeten dan berdedikasi tinggi; (4) memiliki
harapan prestasi tinggi; (5) fokus kepada pelanggan khususnya siswa;
(6) adanya input manajemen yang ditandai manajemen yang jelas,
144
Muhaimin, (2011). Pemikiran dan Aktualisasi…,hal.104
182
Manajemen Kurikulum Pendidikan Islam
rencana rinci dan sistematis, program yang mendukung pelaksanaan
dan rencana dan sistem pengendali mutu yang efektif.
3. Inovasi Proses Pembelajaran
Inovasi di bidang pembelajaran yang diberikan kepada guru
dengan mengembangkan dan memperbaiki berbagai pendekatan,
strategi, metode, teknik dan taktik dalam pembelajaran seperti:(1) active
learning,(2) joyful learning, collaborative learning, (3) contextual teaching and
learning,(4) problem based learning,(5) cooperative learning, inquiry, (6)
quantum teaching and learning, (7) multiple intelligences based learning, dan
(8) lesson study.
Berbagai teori pembelajaran ini banyak diadopsi dari negara lain,
yang kemudian dikaji, diadaptasikan dan diujicobakan dengan sistem
pembelajaran dan kondisi pendidikan di Indonesia.
Termasuk pembelajaran melalui komputer adalah bentuk
pembelajaran yang dirancang secara individual dengan cara siswa
berinteraksi secara langsung dengan materi pelajaran yang diprogram
secara khusus melalui sistem komputer. Dengan demikian, melalui
komputer siswa dapat belajar sendiri dari mulai pengenalan tujuan yang
harus dicapai, pengalaman belajar yang harus dilakukan sampai
mengetahui tingkat keberhasilannya sendiri dalam pencapaian tujuan.
4. Penyelenggaraan Madrasah Aliyah Program Khusus (MAPK) dan
Madrasah sebagai sekolah umum berciri khas Islam.
Penyelenggaraan Madrasah Aliyah Program Khusus berawal
dari konsep yang ditawarkan menteri agama Munawir Sadzali untuk
mengantisipasi kedangkalan pengetahuan agama dari lulusan madrasah
akibat dari SKB 3 Menteri (Agama, Pendidikan dan Kebudayaan dan
dalam Negeri) yang menetapkan kurikulum agama 30% dan kurikulum
umum 70%. Hal ini dimaksudkan untuk mengantisipasi kelangkaan
ulama dan atau kelangkaan umat yang menguasai kitab- kitab berbahasa
Arab (kitab kuning) serta ilmu-ilmu keislaman. Lulusan MAPK
diharapkan mampu menjawab hal-hal tersebut, yang sekarang kemudian ditetapkan menjadi salah satu jurusan atau program keagamaan di
MA. Sedangkan Madrasah Aliyah jurusan yang lain tidak jauh berbeda
dengan SMA karena pengetahuan agama lebih sedikit.
Dari Normatif – Filosofis ke Praktis
183
Sebagai akibat dari kemandulan yang dimiliki output madrasah,
maka menteri agama Tarmidzi Tahir mengembangkan kebijakan tentang
“madrasah sebagai sekolah umum yang berciri khas Islam”, yang
muatan kurikulum mata pelajaran umum sama dengan sekolah umum.
Kebijakan ini ditindaklanjuti oleh menteri agama berikutnya H.A. Malik
Fadjar dengan memantapkan eksistensi dan kualitas madrasah yaitu: (1)
bagaimana menjadikan madrasah sebagai wahana untuk membina roh
atau praktik hidup keislaman; (2) bagaimana memperkokoh keberadaan
madrasah sehingga sederajat dengan sistem sekolah; (3) bagaimana
madrasah mampu merespon tuntutan masa depan guna mengantisipasi
perkembangan iptek dan era globalisasi. 145
Untuk mewujudkan hal tersebut intinya terletak pada guru dan
kurikulum yang didukung sarana prasarana yang memadai serta
manajemen madrasah. Pendidik merupakan pemeran utama atau ujung
tombak pendidikan, sedangkan kurikulum merupakan the heart/ core of
education.
Untuk mengembangkan madrasah sebagai sekolah umum berciri
khas agama Islam, maka kurikulum perlu dikembangkan secara terpadu
(integratif), dengan mengembangkan ajaran dan nilai- nilai Islam sebagai
petunjuk dan sumber konsultasi bagi pengembangan mata pelajaran
umum.
Pengintegrasian Imtaq dengan materi pembelajaran adalah
upaya mengintegrasikan konsep atau ajaran agama ke dalam materi
pelajaran yang lain, dengan cara (1) pengintegrasian filosofis bila tujuan
pelajaran umum dan agama sama; (2) pengintegrasian dilakukan bila
konsep agama dan konsep umum berlawanan seperti bunga bank, teori
darwin dan sebagainya; (3) pengintegrasian bila konsep agama dan
pelajaran umum saling mendukung seperti puasa dengan diet.
5. Penyelenggaraan Sekolah/Madrasah Lanjutan Pertama Terbuka
(SLTPT)
SLTP terbuka merupakan sekolah umum Tingkat Pertama yang
kegiatan belajarnya dilaksanakan sebagian besar di luar gedung sekolah.
Penyampaian pelajaran disampaikan dengan memanfaatkan berbagai
145
Ibid, hal. 115-116
184
Manajemen Kurikulum Pendidikan Islam
media sebagai pengganti guru, misalnya dengan menggunakan paket
belajar berupa modul dan pemanfaatan media elektronik seperti radio.
SLTP Terbuka diselenggarakan untuk meningkatkan pemerataan
pendidikan, khususnya bagi lulusan SD yang ingin melanjutkan
pendidikannya, akan tetapi tidak dapat merealisasikan niatnya
disebabkan faktor geografis, sosial dan ekonomi. 146 Ciri-ciri SLTP
terbuka adalah sebagai berikut:
a. Terbuka bagi peserta didik tanpa pembatasan umur dan syarat-syarat
akademis.
b. Terbuka dalam memilih program belajar untuk mencapai ijazah
formal untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan jangka pendek yang
bersifat praktis, incidental dan individual (perorangan).
c. Dalam proses belajar mengajar bersifat terbuka yang tidak selalu
harus diselenggarakan di dalam kelas melalui tatap muka dengan
guru, akan tetapi dapat dilakukan di luar kelas sesuai dengan
kesempatan masing-masing dengan belajar melalui berbagai media,
seperti radio, media cetak, film, foto dan lain-lain.
d. Peserta didik dapat secara bebas mengikuti program belajar sesuai
dengan kesempatan yang tersedia.
e. SLTP terbuka dikelola secara terbuka, dengan melibatkan pegawai
negeri, para tokoh masyarakat, orang tua peserta didik dan pamong
pemerintah setempat.
Tujuan yang ingin dicapai oleh SLTP terbuka adalah agar
lulusan:
a. Menjadi warga Negara yang baik sebagai manusia yang sehat, dan
kuat lahir batin.
b. Menguasai hasil pendidikan umum yang merupakan kelanjutan dari
pendidikan di sekolah dasar.
c. Memiliki bekal untuk melanjutkan pelajarannya ke sekolah lanjutan
atas dan untuk terjun ke masyarakat.
d. Meningkatkan disiplin siswa.
e. Menilai kemajuan siswa dan memantapkan hasil pelajaran dengan
media.
146
Wina Sanjaya, (2009). Kurikulum dan Pembelajaran...,hal.330.
Dari Normatif – Filosofis ke Praktis
185
6. Pengajaran Melalui Modul
Pengajaran melalui modul merupakan salah satu bentuk inovasi
pendidikan yang pernah ada di Indonesia yang digunakan dalam
berbagai penyelenggaraan pendidikan baik formal maupun non formal
dalam konteks pembelajaran. Modul dapat diartikan sebagai suatu unit
lengkap yang berdiri sendiri yang terdiri dari rangkaian kegiatan belajar
yang disusun untuk membantu peserta didik mencapai sejumlah tujuan
yang dirumuskan secara khusus dan jelas.
Dalam sebuah modul dirumuskan suatu unit pengajaran secara
jelas., dari mulai tujuan yang harus dicapai, petunjuk pembelajaran atau
rangkaian kegiatan belajar yang harus dilakukan siswa, materi
pembelajaran sampai kepada evaluasi beserta pedoman menentukan
keberhasilannya. Dengan demikian, melalui modul siswa dapat belajar
mandiri (self-instruction), tanpa bantuan guru.
Dari uraian di atas, suatu modul memiliki karakteristik atau ciriciri sebagai berikut:
a) Sebuah modul adalah unit pengajaran terkecil yang direncanakan
dan ditulis secara sistematis dan operasional yang terdiri dari:
1) Rumusan tujuan pembelajaran yang bersifat spesifik dan terukur
yang diharapkan dapat dikuasai peserta didik setelah
menyelesaikan unit pelajaran.
2) Uraian bahan/isi pelajaran yang harus dipelajari oleh peserta
didik sesuai dengan tujuan yang ingin dicapai.
3) Daftar alat dan bahan pelajaran yang akan digunakan peserta
didik dalam proses belajar mengajar sesuai dengan pengalaman
belajar yang harus dilakukan.
4) Kegiatan belajar harus disusun dalam bentuk:
a) Teks bacaan dan petunjuk yang harus diikuti.
b) Lembar kerja yang berisi tugas-tugas yang harus diselesaikan
dengan kegiatan yang dilakukan.
5) Kunci lembar kerja.
6) Lembar evaluasi tes untuk mengukur taraf penguasaan peserta
didik terhadap bahan yang dipelajari dengan dilengkapi lembar
jawaban.
186
Manajemen Kurikulum Pendidikan Islam
7) Kunci evaluasi berisi jawaban yang benar dari setiap soal tes
sebagaimana tercantum pada lembar evaluasi.
8) Petunjuk guru yang berisi petunjuk penggunaan modul.
a) Modul dirancang agar memungkinkan peserta didik dapat
belajar sendiri seoptimal mungkin.
b) Sebuah modul dirancang sedemikian rupa, sehingga memungkinkan peserta didik dapat dilakukan secara cermat melalui
evaluasi setiap akhir unit pelajaran.
c) Sebuah modul dirancang sedemikian rupa sehingga
memungkinkan peserta didik dapat belajar sesuai dengan
kemampuan balajarnya masing-masing.
d) Sebuah modul dirancang berasaskan “belajar tuntas” taraf
ketuntasan (mastery) yang ditentukan adalah 75%. Peserta didik
yang belum mencapai taraf ketuntasan tidak diperkenankan
melanjutkan mempelajari modul berikutnya.
Tujuan yang ingin dicapai dengan pembelajaran melalui modul
adalah sebagai berikut:
a. Meningkatkan efektifitas dan efisiensi pencapaian tujuan pendidikan
dan pengajaran.
b. Mendorong peserta didik untuk lebih aktif belajar secara mandiri.
c. Agar proses pembelajaran tidak terlalu menggantungkan kepada
guru. Artinya, ada atau tidak ada guru peserta didik dapat belajar.
d. Peserta didik dapat mengikuti pelajaran sesuai dengan kemampuannya masing-masing.
e. Peserta didik dapat mengetahui hasil belajarnya sendiri secara maju
berkelanjutan, serta akan tahu letak kelemahannya sendiri. 147
7. Perubahan Kurikulum 2013
Rencana pemerintah untuk melakukan perubahan dan perbaikan
kurikulum 2006. Menurut catatan Kementerian Pendidikan dan
Kebudayaan tahun 2012, ada beberapa hal yang menyebabkan
kurikulum 2006 perlu dilakukan perubahan, antara lain:
147
Ibid, hal.333.
Dari Normatif – Filosofis ke Praktis
187
a. Konten kurikulum masih terlalu padat yang ditunjukkan dengan
banyaknya mata pelajaran dan banyak materi yang keluasan dan
tingkat kesukarannya melampaui tingkat perkembangan usia anak.
b. Kurikulum belum sepenuhnya berbasis kompetensi sesuai dengan
tuntutan fungsi dan tujuan pendidikan nasional.
c. Kompetensi belum menggambarkan secara holistik domain sikap,
keterampilan, dan pengetahuan.
d. Beberapa kompetensi yang dibutuhkan sesuai dengan perkembangan
kebutuhan (misalnya pendidikan karakter, metodologi pembelajaran
aktif, keseimbangan soft skills dan hard skills, kewirausahaan) belum
terakomodasi di dalam kurikulum.
e. Kurikulum belum peka dan tanggap terhadap perubahan sosial yang
terjadi pada tingkat lokal, nasional, maupun global.
f. Standar proses pembelajaran belum menggambarkan urutan
pembelajaran yang rinci sehingga membuka peluang penafsiran yang
beraneka ragam dan berujung pada pembelajaran yang berpusat
pada guru.
g. Standar penilaian belum mengarahkan pada penilaian berbasis
kompetensi (proses dan hasil) dan belum secara tegas menuntut
adanya remediasi secara berkala.
h. Dengan KTSP memerlukan dokumen kurikulum yang lebih rinci agar
tidak menimbulkan multi tafsir.
Tujuan perubahan kurikulum 2013 di antaranya adalah;
a. Menempatkan kurikulum sesuai dengan perkembangan anak/siswa.
b. Mengurangi beban guru secara administratif dalam menyiapkan
perangkat pembelajaran, sehingga lebih fokus dalam pembelajaran di
sekolah.
c. Merangsang belajar siswa dengan organisasi kurikulum integratif.
d. Guru dituntut untuk dapat menjelaskan materi secara utuh dan
integratif, melalui strategi pembelajaran tematik integratif.
e. Guru dituntut agar menguasai berbagai mata pelajaran, sehingga
dapat menjelaskan materi dari berbagai macam perspektif.
188
Manajemen Kurikulum Pendidikan Islam
G. Kritik terhadap Implementasi Inovasi Kurikulum
Kenyataan menunjukkan bahwa pembaharuan kebijakan
kurikulum seringkali dikeluhkan oleh pelaksana pendidikan di lapangan
karena proses sosialisasi dinilai tidak tuntas. Pada saat kurikulum 1994
disosialisasikan, sebagian daerah masih mengeluh karena kurikulum
1984 belum sempat dipahami. Begitu juga ketika KBK diperkenalkan,
akibatnya mereka selalu mengalami kesulitan mengimplementasikan hal
ini juga terjadi ketika KTSP.
Begitu juga dalam proses pembelajaran tentang strategi, pendekatan, metode pembelajaran seringkali tidak tuntas, tidak konsisten dan
mengalami kendala dalam tahap implementasi. Proyek lesson study
misalnya, sering sebatas pelatihan, padahal untuk hasil secara maksimal
tentunya dalam implementasi di sekolah perlu dikembangkan dengan
pendampingan sehingga dapat dievaluasi keberhasilan dan kegagalannya untuk menentukan follow up apakah dapat diadopsi dan diadaptasikan dengan sistem yang ada di Indonesia. Dan kalau dibandingkan
dengan program yang dilaksanakan di supercamp yang dipelopori Eric
Jensen dan Greg Simmons yang selama bertahun-tahun mengadakan
penelitian dengan konsisten dengan hasil yang gemilang. Penelitian
menunjukkan bahwa supercamp terbukti sangat berhasil dan harus
dipertimbangkan sebagai model replika. 68% meningkatkan motivasi,
73% meningkatkan nilai belajar, 81% meningkatkan keyakinan diri, 84%
meningkatkan kehormatan diri, 96% mempertahankan sikap positip
terhadap
supercamp
dan
98%
melanjutkan
memanfaatkan
148
ketrampilan.
Begitu juga dengan accelerated learning (Lazanov), multiple
intelligences (Gardner), Neuro Linguistic Programing (Ginder dan Bandler),
Exsperiental learning (Hahn), Socratic inquiry cooperative learning (Johnson
and Johnson), dan Elemens of effective instructions (Hunter). 149
Diberlakukannya kurikulum tingkat satuan pendidikan sejak
tahun 2006 selain punya sisi kebaikan juga ada kelemahannya karena
tidak semua guru memiliki kemampuan dan keahlian untuk
148
Bobby dePorter, Mike Hernacki, (1999). Quantum Learning, Membiasakan Belajar Nyaman dan
Menyenangkan, PT Mizan Pustaka,Bandung. Hal.19.
Abuddin Nata, (2008). Manajemen Pendidikan Mengatasi Kelemahan Pendidikan Islam Indonesia, PT
Prenada Media Group,Jakarta. Hal.29
149
Dari Normatif – Filosofis ke Praktis
189
mengembangkan kurikulum dengan baik atau tidak semua satuan
pendidikan mempunyai guru atau pegawai yang ahli dalam mengembangkan kurikulum. Sekolah/ madrasah belum secara mandiri mampu
menyusun KTSP secara mandiri, mengimplementasikan, memonitor,
mengevaluasi, serta menyempurnakan. 150
Dari hasil kajian terhadap implementasi KTSP ditemukan
permasalahan di madrasah/ sekolah sebagai berikut:
a. Hingga tahun pelajaran 2009/ 2010 masih banyak madrasah yang
belum memiliki dokumen KTSP, atau mereka sudah memiliki tapi
merupakan hasil copy paste dari sekolah/ madrasah lain.
b. Dalam penyusunan KTSP belum mampu mengaitkan dan
memadukan antara visi, misi, dan tujuan madrasah dengan
komponen- komponen lainnya.
c. Madrasah telah menyiapkan dokumen KTSP dengan lengkap tapi
belum siap dalam pelaksanaan, monitoring dan evaluasi serta
penyempurnaan kurikulum.
d. Kemampuan guru dalam mengembangkan silabus dan RPP belum
memadai.
e. Kemampuan guru dalam mengoperasionalkan silabus dan RPP
belum memadai.
f. Sinkronisasi antara komponen-komponen silabus dan RPP belum
memadai.
g. Belum memahami penentuan program diri organisasi di madrasah
termasuk organisasi penilaiannya.
h. Penentuan alokasi waktu dalam pengembangan diri yang ekuivalen 2
jam belum dipahami.
i. Terdapat kebingungan dalam penentuan muatan lokal yang sesuai
dengan kondisi madrasah.
j. Perlunya bantuan dalam pengembangan SK dan KD muatan lokal
yang sesuai dengan kondisi madrasah.
k. Masih sulit mengembangkan program remedial sesuai dengan
managerial waktu.
l. Keterbatasan guru dalam mengembangkan bahan ajar. 151
150
Muhaimin, (2011). Pemikiran...,hal. 203
Ibid, hal.205
151
190
Manajemen Kurikulum Pendidikan Islam
Dalam mengembangkan KTSP sekolah/ madrasah diberi otonomi
yang luas, namun dalam salah satu penilaian untuk kelulusan masih
melalui UN dengan prosentase 60% yang notabene hanya mengukur
kognitif siswa
KTSP mengembangkan adanya kepemimpinan yang profesional
dan demokratis, namun kenyataannya pemilihan kepala sekolah syarat
(terutama di sekolah negeri) syarat dengan kolusi, kecurangan dan
politik sehingga banyak kepala sekolah yang tidak profesional. Dalam
KTSP seharusnya dikembangkan penghargaan (reward) dan hukuman
(punishment) untuk mendorong kinerja, namun kenyataannya masih ada
ewuh pakewuh untuk memberi hukuman dan tidak fair dalam memberi
reward, dan masih banyak lagi penyimpangan pada tahap implementasi.
Inovasi sering terganjal pula akan kebijakan politik dan pejabat di
daerah yang tidak memahami secara benar permasalahan pendidikan.
Dari Normatif – Filosofis ke Praktis
191
BAB VI
TEORI BELAJAR
DAN PEMBELAJARAN DALAM KAJIAN
PENDIDIKAN ISLAM
A. Pengertian Belajar dan Pembelajaran
Belajar merupakan suatu aktivitas psikis yang dilakukan oleh
seseorang sehingga terjadi perubahan pola pikir dan perilaku yang
diakibatkan oleh belajar tersebut. Belajar juga dapat diartikan sebagai
kegiatan yang dapat mengubah struktur pengetahuan lama hingga
terbentuk struktur pengetahuan baru.
Pembelajaran merupakan aktivitas yang dilakukan oleh
seseorang baik guru/dosen (pendidik), tutor maupun fasilitator agar
peserta didik dapat belajar. Pembelajaran berbeda dengan pengajaran.
Pengajaran merupakan proses pemindahan (transfer) pengetahuan yang
dilakukan oleh seseorang kepada siswa atau murid. Implikasinya jika
pengajaran 75 % yang aktif adalah guru, maka pembelajaran 75% yang
aktif adalah siswa. Dengan demikian, maka tugas guru dalam
pembelajaran adalah mendorong, memfasilitasi dan membimbing agar
anak (peserta didik) dapat belajar.
Sesungguhnya terdapat beberapa metode dan teknik dalam teori
belajar mengajar yang sudah diterapkan dalam pendidikan Islam. Oleh
karena, dalam kajian ini akan dibahas mengenai berbagai cara yang telah
diajarkan dan diterapkan di dalam Islam. Dan itu tidak berarti bahwa
ajaran Islam menyesuaikan dengan teori belajar dan pembelajaran yang
192
Manajemen Kurikulum Pendidikan Islam
ada, tetapi justru ditemukan berbagai teori yang selaras dengan
ajaran/pendidikan Islam.
B. Teori Belajar dan Pembelajaran dalam Pendidikan Islam
1. Teori Belajar Behavioristik
Beberapa teori belajar Behavioristik, dikemukakan oleh para
psikologi.Mereka sering disebut “Contemporary behaviorists” atau juga
disebut “S-R Psychologists”.Menurut mereka, tingkah laku menusia itu
dikendalikan oleh ganjaran (reward) atau penguatan (reinforcement) dari
lingkungan. 152
15F
Berbagai prinsip belajar dari teori Behavioristik ini seperti belajar
harus diulang-ulang, latihan (law of exercise),mempengaruhi (law of effect),
dan reward andpunishment.Agar manusia melaksanakan setiap waktu dan
setiap hari, maka diperlukan hukuman yang sifatnya mendidik, hal ini
telah dicontohkan oleh Nabi Muhammad saw, seperti pada perintah
shalat sebagaimana hadits berikut:
”Perintahkanlah kepada anak-anak kalian untuk salat ketika umur
mereka tujuh tahun, dan pukullah mereka karenanya (tidak mau salat)
ketika umur mereka sepuluh tahun, dan pisahkanlah tempat-tempat
tidur mereka”. 153
152F
Jika dikaji lebih mendalam, maka perintah shalat itu sesuai
dengan prinsip belajar Behavioristik. Pertama, shalat harus dilaksanakan
pada waktu tertentu, tidak boleh seseorang shalat Subuh pada waktu
Dzuhur atau sebaliknya, artinya prinsip pengulang-ulangan dilakukan.
Kedua, shalat harus ajarkan/dilatihkan pada anak sejak minimal usia 7
tahun. Ketiga, ketika seseorang muslim pada usia 10 tahun tidak
menjalankan shalat, maka perlu diberikan hukuman (dicubit, dijewer,
atau dipukul) dalam batas kewajaran, untuk mendidik anak bukan
untuk menyakiti apalagi melukai. Keempat, bagi anak-anak yang telah
152
Wasty Soemanto. (1998). Psikologi Pendidikan: Landasan Kerja Pemimpin Pendidikan. Jakarta: Rineke
Cipta. Hlm, 117
153
HR. Ahmad, no. 6689. CD Hadits Kutub At-Tis’ah
Dari Normatif – Filosofis ke Praktis
193
menjalankan perintah shalat dengan baik, maka orang tua sebaiknya
memberikan reward (hadiah) agar anak senang sehingga lebih
termotivasi untuk terus belajar menjalankan syariat agama dengan baik.
Dengan demikian, maka semakin sering “stimulus” (S) yang
dilakukan oleh guru, orang tua, lingkungan terhadap anak agar mau
belajar shalat dengan baik, maka akan semakin baik pula “respon” (R)
terhadapnya.
Teori belajar Behavioristik meliputi teori belajar Connectionism
yang dikemukakan oleh Thordhik, teori Conditioning yang dikembangkan oleh Pavlov dan Watson, teori Operant Conditioning dari Skiner.
a. Teori Connectionism
Teori ini dikembangkan oleh Thordhik, menurutnya belajar
adalah menyangkut persoalan-persoalan pertalian hubungan yaitu
formasi dan yang memperkuat hubungan-hubungan ujung syaraf
antara situasi dan respon. 154 Stimulus (perangsang) akan mempengaruhi organisme dan kemudian timbulah tanggapan (respon).
Ikatan atau pertalian S-R dapat dianggap baik sebagai kondisi fisik
maupun sebagai hubungan yang ada atau terjadi antara situasi
tertentu dan kecakapan individu untuk menggapainya.
Eksperimen-eksperimen Thorndike terutama dilakukan dengan
mempergunakan kucing sebagai subyek dalam eksperimen, dalam
eksperimen Thorndike, kucing yang dipilih merupakan kucing yang
masih muda dimana kebiasaan-kebiasaannya masih belum kaku,
kucing tersebut dibiarkan lapar lalu dimasukkan ke dalam kurungan
yang disebut “problem box”. Konstruksi pintu kurungan itu dibuat
sedemikian rupa, sehingga kalau kucing menyentuh tombol tertentu
pintu kurungan akan terbuka dan kucing dapat keluar dan mencapai
makanan (daging) yang ditempatkan di luar kurungan itu sebagai
hadiah atau daya penarik bagi si kucing yang lapar itu. 155
Pada usaha (trial) yang pertama kucing itu melakukan
bermacam-macam gerakan yang kurang relevan bagi pemecahan
problemnya, seperti misalnya mencakar, menubruk dan sebagainya
154
155
A. Crow& L Crow, (1989). Psikologi Pendidikan. Nur Cahaya. Hlm, 280
Sumadi Sueyabrata. (1984) Psikologi Pendidikan. Jakarta: CV Rajawali Pers. Hlm, 265
194
Manajemen Kurikulum Pendidikan Islam
sampai kemudian menyentuh tombol dan pintu terbuka. Waktu yang
dibutuhkan dalam usaha pertama ini adalah terlihat cukup lama.
Percobaan yang sama seperti sebelumnya dilakukan secara
berulang-ulang, pada usaha trial berikutnya, ternyata waktu yang
dibutuhkan untuk memecahkan masalah makin singkat, hal ini
ditafsirkan oleh Thorndike demikian: ”kucing itu sebenarnya tidak
mengerti cara membebaskan diri dari kurungan itu, tetapi dia belajar
mencamkan (mempertahankan) respon-respon yang benar dan
menghilangkan atau meninggalkan respon-respon yang salah.”
Hukum-hukum belajar primer yang dinyatakan Thordhik
berdasarkan atas pemodifikasian antara neuron-neuron dan pertalian
syaraf, berdasarkan teori ini maka faktor-faktor penting dalam belajar
adalah kesiapan syaraf (readiness of the neuron) urutan waktu,
keterikatan dan keterlibatan (belongingness dan pengalaman yang
memuaskan atau menyenangkan) hukum-hukum tersebut umumnya
disebut hukum-hukum kesepian, latihan dan efek.
1) Kesiapan (readiness)prinsip kesiapan dikemukakan oleh Thorndike
sebagai berikut:
a) Kalau suatu unit tindakan sudah siap untuk dilakukan, maka
tindakan dengan unit tersebut akan menimbulkan kepuasan,
dan tidak akan ada tindakan-tindakan yang lain untuk
mengubah tindakan tadi
b) Kalau suatu unit tindakan sudah siap untuk dilakukan, akan
tetapi tidak dilakukan maka akan mengakibatkan ketidakpuasan, dan tidak akan menimbulkan respon-respon apapun
yang bersifat alamiah untuk mengurangi atau meniadakan
ketidakpuasan tertentu
c) Kalau suatu unit tindakan tidak siap dilakukan kemudian
dipaksa untuk melakukannya, maka tindakan tersebut akan
mengakibtkan ketidakpuasan.
2) Latihan (exercise) hukum ini mengandung tendensi menggunakan
dan tidak menggunakan, tendensi ini dinyatakan sebagai berikut:
a) The law of use (hukum menggunakan) artinya, suatu pertalian
yang dapat dimodifikasi antara situasi S dan R, sehingga dalam
keadaan itu akan menambah kuatnya pertalian kalau orang
Dari Normatif – Filosofis ke Praktis
195
merespon latihan-latihan lain yang sama dengan yang pernah
dihadapi sebelumnya.
b) The law of disuse (hukum tidak menggunakan) artinya suatu
pertalian yang dapat dimodifikasi tidak dibuat antara S dan R
selama jangka waktu yang lama, sehingga dalam keadaan itu
akan menurunkan atau melemahkan pertalian, kalau orang
akan merespon latihan-latihan yang sama dengan yang pernah
dihadapi sebelumnya.
3) Pengaruh (Effect) hukum ini mengatakan bahwa, apabila S dan R
disertai atau diikuti oleh keadaan yang memuaskan, maka akan
menambah kuatnya pertalian yang dibuat itu disertai atau diikuti
oleh keadaan yang tidak memuaskan, maka kekuatan pertalian itu
akan berkurang ataupun melemah, yaitu kalau orang akan
merespon hal-hal lain yang sama. 156
Sedangkan menurut Thorndike belajar merupakan suatu proses
yang disebut gamak dan galat (trial and error) yang diterapkan
terutama untuk menguasai situasi belajar yang lebih komplek, dan
yang kedua disebut law of effect.
1) Trial and Error
Trial and Error dalam istilah pendidikan bukan merupakan
unsur manipulasi yang tidak bertujuan. Pebelajar dibangkitkan ke
arah kesadaran akan suatu teknik yang bisa digunakan untuk
memecahkan masalah kalau dia berusaha untuk memecahkannya,
jika gamak (trial) yang berencana itu tidak berhasil, maka secara
sadar dia akan menilai untuk mengoreksi setiap galat yang
nampak dalam tekniknya kemudian dia berusaha lagi untuk
memecahkan usahanya, proses ini berlangsung terus sampai
akhirnya pebelajar mampu menghilangkan galat-galat yang telah
diperbuatnya dan kemudian sampailah kepada pemecahan yang
digunakan.
Ciri-ciri belajar trial and error yaitu: (1) Ada motif pendorong
aktifitas; (2) Ada berbagai respon terhadap situasi; (3) Ada
156
A. Crow& L Crow. (1989). Psikologi…, hlm, 281
196
Manajemen Kurikulum Pendidikan Islam
eliminasi respon-respon yang gagal atau salah; (4) Ada kemajuan
reaksi-reaksi yang mencapai tujuan. 157
2) Law of Effect
Law of effect disini merupakan segala tingkah laku yang
mengakibatkan suatu keadaan yang memuaskan (cocok dengan
tuntutan situasi) akan diingat dan dipelajari dengan sebaikbaiknya. Terjadinya dalam belajar menurut Thorndike disebabkan
adanya law of effect.
Dalam kehidupan sehari-hari law of effect dapat terlihat
dalam hal memberi penghargaan atau ganjaran dan juga dalam
hal memberi hukuman dalam pendidikan. Akan tetapi menurut
Thorndike yang lebih memegang peranan dalam pendidikan
dalam hal ini ialah hal memberi penghargaan atau ganjaran dan
itulah yang lebih dianjurkan.
Karena adanya law of effect terjadilah hubungan (connection)
atau asosiasi antara tingkah laku atau reaksi yang dapat
mendatangkan sesuatu dan hasilnya (effect) karena adanya koneksi
antara reaksi dengan hasilnya maka teori Thorndike disebut juga
teori Connectionism.
b. Teori Conditioning (Ivan Pavlov dan Watson)
Menurut teori ini, belajar adalah formasi kebiasaan yang
diakibatkan oleh persyaratan (conditioning) atau menghubungkan
stimulus yang lebih kuat dengan stimulus yang lebih lemah hingga
akhirnya organisme itu dimungkinkan, sebagai hasil dari pada belajar
asosiatif, hal ini untuk mentransfer respon yang biasanya dihubungkan dengan stimulus yang lebih kuat dihentikan. 158
Dalam masalah S-R Pavlov menggunakan eksperimen dengan
menggunakan anjing, dalam eksperimennya ia memotong pembuluh
kelenjar ludah seekor anjing melalui pipanya kemudian ditentukan
pengumpulan dan penakaran yang cermat terhadap air liur yang
tersembunyi anjing tersebut dibuat senang dan dijauhkan sedemikian
rupa dari segala macam gangguan.
157
158
Ngalim Purwanto, (1989). Psikologi Pendidikan, PT Remaja Rosdakarya. Hlm, 99
A. Crow& L Crow. (1989). Psikologi …, hlm. 280
Dari Normatif – Filosofis ke Praktis
197
Pengamat tinggal pada sebuah ruang yang kedap suara (a soundproof room) terlindungi dari penglihatan anjing namun dia dapat
melihat percobaan lewat kaca. Kombinasi perangsang-perangsang
yaitu makanan dan bunyi bel diulang-ulang sampai beberapa kali
sehingga bel itu sendiri menjadi perangsang yang menimbulkan air
liur, sejak itulah anjing telah diisyaratkan dengan prasangka baru.
Hal-hal yang perlu diperhatikan dalam percobaan tersebut
sebagai berikut:
1) Stimulus atau perangsang bel menyebabkan keluarnya air liur
berkurang dari pada stimulus makanan.
2) Bel menandakan makanan diberikan secara serempak selama
proses persyaratan.
3) Anjing “dibuat” (dibiarkan) lapar sampai dipengaruhi oleh dua
perangsang.
Eksperimen Pavlov dengan menggunakan anjing menunjukkan
bahwa mungkin untuk memindahkan stimulus isyarat yang semula
membuktikan respon kepada stimulus lain nantinya akan
menimbulkan respon yang sama, Pavlov menamakan proses ini
dengan refleks bersyarat (conditioned reflex) syarat ini barulah mudah
dicapai jika prinsip-prinsip waktu, intensitas dan keajekan sesuai. Di
bawah ini akan dipaparkan tentang hal-hal tersebut:
1) Waktu: respon terhadap stimulus yang memuaskan atau yang
tidak memuaskan harus datang lebih dahulu setelah terjadinya
respon terhadap stimulus syarat dan sebelum berhenti sama
sekali.
2) Intensitas: respon yang kedua harus merupakan pelaksanaan yang
lebih kuat ataupun lebih baik dari pada yang pertama.
3) Keajegan: respon yang kedua harus mengikuti respon yang
pertama yang relatif ajeg sampai refleks bersyarat ditetapkan.
Masalah selanjutnya yang ingin diselidiki oleh Pavlov ialah
apakah refleks bersyarat yang telah terbentuk itu dapat dihilangkan.
Eksperimen-eksperimen yang dilakukan oleh Pavlov memberikan
kesimpulan, bahwa refleks bersyarat yang telah terbentuk itu dapat
hilang atau dihilangkan. Sebagaimana penjelasan berikut ini.
198
Manajemen Kurikulum Pendidikan Islam
1) Refleks bersyarat yang telah terbentuk itu dapat hilang karena
perangsang yang mengganggu (hilang untuk sementara).
2) Refleks bersyarat itu dapat dihilangkan dengan proses persyaratan
kembali (reconditioning). Jalannya melakukan persyaratan kembali
ini sama dengan ketika menimbulkan refleks bersyarat, hanya saja
disini tidak diberi reinforcement. Jadi dalam proses persyaratan
kembali ini pertanda itu (setelah ada perulangan secukupnya)
berarti tidak ada makanan datang, karena itu tak perlu
mengeluarkan air liur. 159
Selain Pavlov, Watson juga mengadakan eksperimen tentang
perasaan takut pada anak dengan menggunakan tikus dan kelinci,
dari hasil percobaannya dapat ditarik sebuah kesimpulan, bahwa
perasaan takut pada anak dapat diubah atau dilatih.
Anak dalam percobaan Watson yang mula-mula tidak takut
kepada kelinci dibuat menjadi takut kepada kelinci, kemudian anak
tersebut dilatihnya pula, sehingga tidak takut lagi kepada kelinci.
Maka menurut teori Conditioning belajar diartikan pula dengan suatu
proses perubahan yang terjadi karena adanya syarat (conditions) yang
kemudian menimbulkan reaksi (respon). Untuk menjadikan seseorang
itu belajar haruslah kita memberikan syarat-syarat tertentu, yang
terpenting menurut teori ini ialah latihan-latihan secara terusmenerus, dalam teori ini yang diutamakan ialah belajar yang terjadi
secara otomatis. 160
Penganut teori ini mengatakan bahwa segala tingkah laku
manusia juga tidak lain adalah hasil dari conditioning, yakni hasil dari
pada latihan-latihan atau kebiasaan-kebiasaan mereaksi terhadap
syarat-syarat atau perangsang-perangsang tertentu yang dialaminya
dalam kehidupannya.
c. Teori Operant Conditioning (Skiner)
Seperti Pavlov dan Watson, Skiner juga memikirkan tingkah laku
sebagai hubungan antara perangsang dan respon, tetapi berbeda
dengan kedua tokoh yang terdahulu itu, Skiner membuat perincian
lebih jauh. Skiner membedakan adanya dua macam respons, yaitu:
159
160
Sumadi Sueyabrat. (1984). Psikologi …, hlm, 284
Purwanto, M. Ngalim. (1989). Psikologi …, hlm, 95
Dari Normatif – Filosofis ke Praktis
199
1) Respon refleks (reflective response), yaitu respon yang ditimbulkan
oleh perangsang-perangsang tertentu. Perangsang-perangsang itu,
disebut eliciting stimuli yang menimbulkan respon-respon yang
secara relatif tetap, misalnya makan yang menimbulkan keluarnya
air liur. Pada umumnya, perangsang-perangsang yang demikian
itu mendahului respon yang ditimbulkannya.
2) Operant response (instrumental response), yaitu respon yang timbul
dan berkembangnya diikuti oleh perangsang-perangsang tertentu.
Perangsang yang demikian itu disebut reinforcing stimuli atau
reinforcement, karena perangsang-perangsang tersebut memperkuat respons yang telah dilakukan oleh organisme. Jadi perangsang yang demikian itu mengikuti (dan karenanya memperkuat)
sesuatu tingkah laku tertentu yang telah dilakukan. Jika seorang
anak belajar (telah melakukan perbuatan), lalu mendapat hadiah,
maka ia akan menjadi lebih giat belajar (responnya menjadi lebih
intensif atau kuat).
Di dalam kenyataannya, respon jenis pertama itu (respondent
response atau respondent behavior) sangat terbatas adanya pada
manusia dan karena adanya hubungan yang pasti antara stimulus
dan respon kemungkinan untuk memodifikasikannya adalah kecil.
Sebaliknya, operant response atau instrumental behavior merupakan
bagian terbesar dari pada tingkah laku manusia, dan
kemungkinannya untuk memodifikasi boleh dikatakan tak terbatas.
Fokus teori Skiner adalah pada respon atau jenis tingkah laku, yang
menjadi masalah dalam hal ini bagaimana menimbulkan,
mengembangkan dan memodifikasi tingkah laku tersebut.
Persoalan-persoalan yang Dihadapi Teori Behavioristik
Teori Behavioristik tidak mampu menjelaskan situasi belajar yang
komplek, sebab banyak variabel atau hal-hal yang berkaitan dengan
pendidikan atau belajar yang tidak dapat diubah menjadi sekedar
hubungan stimulus dan respon, contohnya saja seorang siswa akan
dapat belajar dengan baik setelah diberi stimulus tertentu, tetapi setelah
diberi stimulus lagi yang sama bahkan lebih baik, ternyata siswa
tersebut tidak mau belajar lagi. 161
161
Asri Budiningsih. (2005). Belajar dan Pembelajaran. Jakarta: Rineke Cipta. Hlm, 24
200
Manajemen Kurikulum Pendidikan Islam
Di sinilah persoalannya ternyata teori Behavioristik tidak mampu
menjelaskan alasan-alasan yang mengacaukan hubungan antara
stimulus dan respon. Namun teori Behavioristik dapat mengganti
stimulus satu dengan stimulus lainnya dan seterusnya sampai respon
yang diinginkan muncul, namun demikian persoalannya adalah teori
Behavioristik tidak dapat menjawab hal-hal yang menyebabkan
terjadinya penyimpangan antara stimulus yang diberikan dengan
responnya.
Teori Behavioristik kurang dapat menjelaskan adanya variasi
tingkat emosi siswa, walaupun mereka memiliki tingkat penguatan yang
sama. Pandangan ini tidak dapat menjelaskan mengapa dua anak yang
mempunyai kemampuan dan pengalaman yang relatif sama, ternyata
perilakunya terhadap satu pelajaran berbeda, juga dalam memilih tugas
sangat berbeda tingkat kesulitanya.
Pandangan Behavioristik hanya mengakui adanya stimulus dan
respon yang dapat diamati, mereka tidak memperhatikan adanya
pengaruh pikiran atau perasaan yang mempertemukan unsur-unsur
yang diamati tersebut.
Teori Behavioristik cenderung mengarahkan siswa uantuk
berfikir linier, konvergen, tidak kreatif dan tidak produktif. Pandangan
teori ini bahwa belajar merupakan proses pembentukan atau shaping
yaitu membawa siswa menuju atau mencapai target tertentu, sehingga
menjadikan peserta didik untuk tidak bebas berkreasi dan berimajinasi.
Apabila dilihat sebenarnya banyak aspek atau faktor yang
berpengaruh dalam hidup ini yang mempengaruhi proses belajar, jadi
pengertian belajar tidak sesederhana seperti yang dilukiskan oleh teori
Behavioristik.
Aliran Behavioristik sangatlah mengutamakan pengukuran, akan
tetapi mereka aliran Behavioristik tidak dapat menjelaskan bagaimana
pengukuran tingkah laku, tingkah laku yang tidak dapat diamati.
2. Teori Belajar Kognitif
Teori belajar kognitif merupakan suatu teori belajar yang lebih
mementingkan proses belajar dari pada hasil belajar itu sendiri. Bagi
penganut aliran ini, belajar tidak sekedar melibatkan proses berpikir
yang sangat kompleks.
Dari Normatif – Filosofis ke Praktis
201
Teori ini sangat erat berhubungan dengan teori Sibernetik. 162
Model belajar kognitif mengatakan bahwa tingkah laku seseorang
ditentukan oleh persepsi serta pemahamannya tentang situasi yang
berhubungan dengan tujuan belajarnya. Belajar merupakan perubahan
persepsi dan pemahaman yang tidak selalu dapat terlihat sebagai
tingkah laku yang nampak.
Kognitivistik ini juga menekankan bahwa bagian-bagian dari
suatu situasi saling berhubungan dengan seluruh konteks situasi
tersebut. Memisah-misahkan atau membagi-bagi situasi atau materi
pelajaran menjadi komponen-komponen yang kecil-kecil dan
mempelajarinya secara terpisah-pisah, akan kehilangan makna. Teori ini
berpandangan bahwa belajar merupakan satu proses internal yang
mencakup ingatan, potensi, pengolahan informasi, emosi, dan aspekaspek kejiwaan lainnya.
Belajar merupakan aktifitas yang melibatkan proses berpikir
yang sangat kompleks. Proses belajar terjadi antara lain mencakup
pengaturan stimulus yang diterima dan menyesuaikannya dengan
struktur kognitif yang sudah dimiliki dan terbentuk di dalam pikiran
seseorang berdasarkan pemahaman dan pengalaman-pengalaman
sebelumnya.
Dampak praktik pembelajaran, teori kognitif antara lain tampak
dalam rumusan-rumusan seperti: “Tahap-tahap Perkembangan” yang
dikemukakan oleh Jean Piaget, ”Advance Organizer” oleh Ausubel,
”Pemahaman Konsep” oleh Bruner, ”Hirarki Belajar” oleh Gagne,
”Webteaching” oleh Norman, dan sebagainya.
a. Tokoh-tokoh Teori Belajar Kognitif
1) Teori Perkembangan Piaget
Menurut Jean Piaget (1975) salah seorang penganut aliran
Kognitif yang kuat, bahwa proses belajar sebenarnya terdiri dari 3
tahapan, yakni (1) Asimilasi, (2) Akomodasi, dan (3) Equilibrasi
atau penyeimbangan. Proses asimilasi adalah proses pembentukan
struktur kognitif dalam benak dan pikiran siswa. Akomodasi
adalah penyesuaian struktur kognitif ke dalam situasi yang baru.
162
Hamzah B. Uno, (2006). Orientasi Baru dalam Psikologi Pembelajaran. Jakarta: PT. Bumi Aksara. Hlm.
10
202
Manajemen Kurikulum Pendidikan Islam
Equilibrasi adalah penyesuaian
asimilisasi dan akomodasi.
berkesinambungan
antara
Sebagai contoh lain, bagi seseorang yang sudah mengetahui
prinsip penjumlahan, jika gurunya memperkenalkan prinsip
perkalian, maka proses pengintegrasian antara prinsip
penjumlahan (yang sudah ada di benak siswa) dengan prinsip
perkalian (sebagai informasi baru), inilah yang disebut sebagai
proses asimilasi. Jika seseorang diberi sebuah soal tentang
perkalian, maka situasi ini yang disebut akomodasi, yang dalam
hal ini berarti pemakaian (aplikasi) prinsip perkalian tersebut
dalam situasi yang baru dan spesifik. Agar seseorang tersebut
dapat terus berkembang dan menambah ilmunya, maka yang
bersangkutan menjaga stabilitas mental dalam dirinya, diperlukan
proses penyeimbangan. Proses inilah yang disebut equilibrasi atau
proses penyeimbangan antara “dunia luar” dan “dunia dalam”.
Tanpa proses ini, perkembangan kognitif seseorang akan
tersendat-sendat dan berjalan tak teratur (disorganizer). Hal ini
misalnya tampak pada caranya berbicara yang tidak runtut,
berbelit-belit, terputus-putus, tidak logis dan sebagainya.
Pembelajaran Kognitif dalam pendidikan Islam dapat dilihat
misalnya dengan anjuran untuk mendidik anak sesuai dengan
masa perkembangannya, karena anak akan mengalami masa yang
berbeda dengan masa di mana orang tuanya hidup saat ini. 163
Pada usia-usia pra-operasional dan operasional kongkrit,
pendidikan dan pembelajaran pada anak lebih diarahkan pada
masalah-masalah pengalaman belajar yang nyata. Anak diupayakan untuk mengalami sendiri setiap peristiwa, agar pertumbuhan
mereka secara fisik dan psikis menjadi seimbang. Seperti misalnya
anjuran untuk melatih anak memanah dan berenang, adalah
contoh yang baik dalam mendidik anak pada usia-usia 2-7 tahun.
Sebagai pendapat Umar Bin Khattab. 164
163
Ini selaras juga dengan pendapat Sokrates yang dikutip Syahrostani dalam Al-Milal wa An-Nihal,
Beirut: Darul Ma’rifah, 144 H, Jilid 2 Hal. 2.“Didiklah anakmu, karena mereka akan hidup pada zaman
yang berbeda dengan zamanmu.”
164
Lihat dalam
Dari Normatif – Filosofis ke Praktis
203
.
“Ajarilah anakmu untuk berenang dan memanah.”
Selain itu, dalam menyampaikan materi pelajaran seorang
guru hendaknya menyampaikannya sesuai dengan tingkat
pengetahuan dan perkembangan kognitifnya.Sebagaimana tersirat
dalam hadits berikut ini.
“Sampaikanlah kepada manusia sesuai dengan kemampuan
akalnya”. 165
164F
Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa prinsip-prinsip
pembelajaran kognitif merupakan suatu cara agar pembelajaran
yang disampaikan oleh seorang guru atau pendidik dapat
diterima dengan baik oleh peserta didik karena sesuai dengan
tahap perkembangan kognitifnya.
Piaget berpendapat bahwa perkembangan kognitif merupakan suatu proses genetik, yaitu suatu proses yang didasarkan atas
mekanisme biologis perkembangan sistem syaraf. Dengan makin
bertambahnya umur seseorang, maka makin kompleks susunan
sel syarafnya. Ketika individu berkembang menuju kedewasaan,
akan mengalami adaptasi biologis dengan lingkungannya yang
akan menyebabkan adanya perubahan-perubahan kualitatif di
dalam struktur kognitifnya. Piaget tidak melihat perkembangan
kognitif sebagai sesuatu yang dapat didefinisi secara kuantitatif. Ia
menyimpulkan bahwa daya pikir atau kekuatan mental anak yang
berbeda usia akan berbeda pula secara kualitatif. Jadi proses
belajar seseorang akan mengikuti tahap-tahap perkembangan
sesuai dengan umurnya. Piaget membagi tahap-tahap perkembangan kognitif ini menjadi empat, yaitu:
165
Hal ini juga diungkapkan oleh Imam al-Ghozali bahwasannya menyampaikan ilmu sesuai dengan
kadar kemampuan akal", al-Ghazali menganjurkan agar filsafat atau ilmu lainnya diberikan sesuai
dengan tabiatnya, sesuai dengan kemampuan dan kesiapan manusia. Tidak seperti "memberi daging
kepada anak kecil".
204
Manajemen Kurikulum Pendidikan Islam
a) Tahap Sensori-motorik (umur 0-2 tahun).
Kemampuan yang dimilikinya antara lain:
(1) Melihat dirinya sendiri sebagai makhluk yang berbeda
dengan objek yang dimilikinya.
(2) Mencari rangsangan melalui sinar lampu dan suara.
(3) Suka memperhatikan sesuatu lebih lama.
(4) Mendefinisikan sesuatu dengan manipulasi.
(5) Memperhatikan objek sebagai hal yang tetap, lalu ingin
mengubah tempatnya.
b) Tahap Pra-operasional (umur 2 – 7/8 tahun).
Karakteristik tahap ini adalah:
(1) Self counter-nya sangat menonjol.
(2) Dapat mengklasifikasikan objek pada tingkat dasar secara
tunggal dan mencolok.
(3) Tidak mampu memusatkan perhatian pada objek-objek
yang berbeda.
(4) Mampu mengumpulkan barang-barang yang menurut
kriteria, termasuk kriteria yang benar.
(5) Dapat menyusun benda-benda secara berderet, tetapi tidak
dapat menjelaskan perbedaan antara deretan.
c) Tahap Operasional Kongkrit (umur 7/8 – 11/12 tahun).
Pada tahap ini, anak sudah tidak perlu coba-coba dan
membuat kesalahan, karena anak sudah dapat berpikir dengan
menggunakan model “kemungkinan” dalam melakukan
kegiatan tertentu. Ia dapat menggunakan hasil yang telah
dicapai sebelumnya. Anak mampu menangani sistem
klasifikasi.
d) Tahap Operasional Formal (umur 11/12 – 18 tahun).
Pada tahap ini kondisi berpikir anak sudah dapat:
(1) Bekerja secara efektif dan sistematis.
(2) Menganalisis secara kombinasi.
(3) Berpikir secara proporsional.
(4) Menarik generalisasi.
Dari Normatif – Filosofis ke Praktis
205
Proses belajar yang dialami oleh seorang anak pada tahap
Sensori motorik tentu akan berbeda dengan proses belajar yang
dialami oleh seorang anak pada tahap Pra-operasional, dan akan
berbeda pula dengan mereka yang sudah berada pada tahap
Operasional konkrit, bahkan dengan mereka yang sudah berada
pada tahap Operasional formal. Secara umum, semakin tinggi
tahap perkembangan kognitif seseorang akan semakin teratur dan
semakin abstrak cara berpikirnya.
2) Teori Perkembangan Bruner
Menurut Jerome Bruner (1966) perkembangan kognitif
seseorang terjadi melalui tiga tahap yang ditentukan oleh caranya
melihat lingkungan, yaitu:
a) Tahap Enaktif, seseorang melakukan aktifitas-aktifitas dalam
upayanya untuk memahami lingkungan sekitarnya.
b) Tahap Ikonik, seseorang memahami objek-objek atau dunianya
melalui gambar-gambar dan visualisasi verbal.
c) Tahap Simbolik, seseorang telah mampu memiliki ide-ide atau
gagasan-gagasan abstrak yang sangat dipengaruhi oleh
kemampuannya dalam berbahasa dan logika. 166
Bruner mengusulkan teorinya yang disebut free discovery
learning, proses belajar akan berjalan baik dan kreatif jika guru
memberi kesempatan kepada siswa untuk menemukan suatu
aturan (termasuk konsep, teori, definisi, dan sebagainya) melalui
contoh-contoh yang menggambarkan aturan yang menjadi
sumbernya. Dengan kata lain, siswa dibimbing secara induktif
untuk memahami suatu kebenaran umum.
Lawan dari pendekatan ini disebut “belajar ekspositori”
(belajar dengan cara menjelaskan). Dalam hal ini, siswa disodori
sebuah informasi umum dan diminta untuk menjelaskan
informasi ini melalui contoh-contoh khusus dan konkret. Proses
belajar ini berjalan secara deduktif. 167
Menurut Bruner, pembelajaran yang selama ini diberikan di
sekolah lebih banyak menekankan pada perkembangan kemam166
167
Asri Budi Ningsih, (2005). Belajar..., hlm. 41.
Hamzah B. Uno, (2006). Orientasi Baru…, hlm. 12-13.
206
Manajemen Kurikulum Pendidikan Islam
puan analisis, kurang mengembangkan kemampuan berpikir
intuitif. Padahal berfikir intuitif sangatlah penting dan setiap
disiplin mempunyai konsep-konsep, prinsip, dan prosedur yang
harus dipahami sebelum seseorang dapat belajar. Cara yang baik
untuk belajar adalah memahami konsep, arti, hubungan, melalui
proses intuitif untuk akhirnya sampai kepada suatu kesimpulan
(discovery learning).
3) Teori Perkembangan Ausubel
Menurut Ausubel (1968), siswa akan belajar dengan baik jika
apa yang disebut “pengatur kemajuan (belajar)” (advance
organizers) didefinisikan dan dipresentasikan dengan baik dan
tepat kepada siswa. Pengatur kemajuan belajar adalah konsep atau
informasi umum yang mewadahi semua isi pelajaran yang akan
diajarkan kepada siswa.
Ausubel percaya bahwa “advance organizers” dapat memberikan tiga macam manfaat, yakni:
a) Menyediakan suatu kerangka konseptual untuk materi belajar
yang akan dipelajari oleh siswa.
b) Berfungsi sebagai jembatan yang menghubungkan antara apa
yang sedang dipelajari siswa “saat ini” dengan apa yang
“akan” dipelajari siswa, sedemikian rupa sehingga
c) Membantu siswa untuk memahami bahan belajar secara lebih
mudah.
Sebab itu, setiap guru dituntut untuk menguasai isi mata
pelajaran dengan baik. Hanya dengan demikian seorang guru
mampu menemukan informasi, yang menurut Ausubel “sangat
abstrak, umum dan inklusif”, yang mewadahi apa yang akan
diajarkan. Selain itu, logika berfikir guru juga dituntut sebaik
mungkin. Tanpa memiliki logika berfikir yang baik, maka guru
akan kesulitan memilah-milah, merumuskan, serta mengurutkan
materi demi materi ke dalam struktur urutan yang logis dan
mudah dipahami.
Dari Normatif – Filosofis ke Praktis
207
Implikasi dan Kelemahan Teori Kognitif
Kedudukan gaya kognitif dalam proses pembelajaran tidak
dapat diabaikan. Hal ini sesuai dengan pandangan Reilguth bahwa
dalam variabel pengajaran, gaya kognitif merupakan salah satu karakteristik siswa yang masuk dalam variabel kondisi pembelajaran,
disamping karakteristik siswa lainnya seperti motivasi, sikap, bakat,
minat, kemampuan berpikir, dan lain-lain. Sebagai salah satu
karakteristik siswa, kedudukan gaya kognitif dalam proses pembelajaran penting diperhatikan guru atau perancang pembelajaran sebab
rancangan pembelajaran yang disusun dengan mempertimbangkan gaya
kognitif berarti menyajikan materi pembelajaran yang sesuai dengan
karakteristik dan potensi yang dimiliki siswa. Dengan rancangan seperti
ini, suasana pembelajaran akan tercipta dengan baik.
Mengacu dari pandangan para pakar tentang dimensi gaya
kognitif, menurut Woolkfolk bahwa implementasinya dalam
pembelajaran sangat menentukan keberhasilan pembelajaran. Gaya
kognitif memiliki nilai adaptif yang bervariasi dari budaya dan situasi
sosial.
Adapun masalah yang sering muncul pada tahapan aplikasi
teori-teori kognitif di bidang pembelajaran adalah dalam kaitannya
dengan pengorganisasian isi pesan atau bahan belajar dan perstrukturan
kegiatan belajar mengajar. Sehubungan dengan adanya kenyataan
empiris, maka teori dan teorama kognitif yang ada bisa saja digunakan
sebagai acuan umum bagi setiap jenis cabang disiplin keilmuan. Oleh
karena itu, cara yang dipandang efektif untuk meningkatkan kualitas
output pendidikan dari sudut pandang psikologi kognitif adalah
pengembangan program-program pembelajaran yang dapat mengoptimalkan keterlibatan mental intelektual pebelajar pada setiap jenjang
belajar.
3. Teori Belajar Konstruktivistik
Gagasan pokok aliran ini diawali oleh Giambatista Vico, seorang
epistemolog Italia. Ia dipandang sebagai cikal bakal lahirnya
konstruksionisme. Mengetahui berarti mengetahui sesuatu jika ia
mengetahui. Hanya Tuhan yang dapat mengetahui segala sesuatu
karena dia pencipta segala sesuatu itu. Manusia hanya dapat
208
Manajemen Kurikulum Pendidikan Islam
mengetahui sesuatu yang dikonstruksikan Tuhan. Bagi Vico,
pengetahuan dapat menunjuk pada struktur konsep yang dibentuk.
Pengetahuan tidak bisa lepas dari subjek yang mengetahui. 168
Menurut aliran Konstruktivistik pengetahuan dianggap sebagai
bentukan dari orang yang memahami pengetahuan tersebut. Sehingga
dapat dikatakan bahwa pembentuk suatu pengetahuan adalah manusia
itu sendiri atau orang yang mencerna pengetahuan tersebut.
Pengetahuan yang dibentuk merupakan hasil bentukan dari suatu
kegiatan atau suatu pengalaman (dari satu pengalaman ke pengalaman
selanjutnya).
Pendidikan Islam mengajarkan seseorang untuk menggali dan
mengeksplorasi pengetahuan melalui observasi dan pengalaman secara
langsung. Sebab dengan mengalami seseorang akan dapat menjelaskan
sesuatu berdasarkan fakta empiris yang terjadi. Ajaran Islam telah
menganjurkan bahkan menyuruh manusia belajar dari fenomenafenomena alam yang ada.
Al-Qur’an sebagai pedoman umat Islam tidak hanya berupa
lembaran-lembaran kertas yang bersifat doktrin belaka. Ayat-ayat yang
tersurat merupakan bukti-bukti Qur’aniyah kemu’jizatan Al-Qur’an.
Selain itu, terdapat pula ayat-ayat Kauniyah yaitu alam semesta sebagai
bukti bahwa tidak ada satupun ayat atau surat di dalam Al-Qur’an yang
bertentangan dengan hukum alam baik dalam mikro kosmos maupun
makro kosmos.
Firman Allah Swt di dalam Al-Qur’an berikut merupakan bukti
bahwa pendidikan Islam mendorong setiap manusia (siswa, peserta
didik) atau siapapun untuk memperhatikan lingkungan dan alam
semesta.
“Maka apakah mereka tidak memperhatikan unta bagaimana dia
diciptakan (17), Dan langit, bagaimana ia ditinggikan? (18) Dan
gunung-gunung bagaimana ia ditegakkan? (19) Dan bumi bagaimana
ia dihamparkan? (QS. Al Ghosiyah: 17-20).
168
Wiji Suwarno, (2006). Dasar-dasar Ilmu Pendidikan.Jogjakarta: Ar-Ruzz. Hlm. 57-58.
Dari Normatif – Filosofis ke Praktis
209
Ayat di atas, menunjukkan bahwa manusia diperintahkan untuk
melihat, mengamati, dan bahkan meneliti bagaimana unta diciptakan
dalam konteks lain, bagaimana seekor hewan dapat bertahan cukup
lama di daerah padang pasir tanpa minum. Kemudian anjuran untuk
memperhatikan bagaimana langit, apa itu langit, di mana batasnya, apa
warnanya dan lain sebagainya. Selanjutnya gunung-gunung di
tancapkan dan bumi dihamparkan semuanya itu merupakan bukti
bahwa ajaran Islam mendorong umat manusia untuk belajar langsung
(secara nyata) dari pengalaman maupun pengamalan untuk membentuk
suatu struktur pengetahuan yang baru dalam otak (fikirannya).
Ayat lain yang juga berkenaan dengan contoh di atas adalah
sebagaimana firman Allah Swt berikut ini.
#
“Dan apakah mereka tidak memperhatikan burung-burung yang
mengembangkan dan mengatupkan sayapnya di atas mereka?tidak
ada yang menahannya (di udara) selain yang Maha Pemurah.
Sesungguhnya dia Maha melihat segala sesuatu.” (QS. Al Mulk: 19)
Kemudian pada ayat lain juga dijelaskan tentang pentingnya
membangun (mengkonstruk) pengetahuan berdasarkan pengalaman
sebagaimana kandungan dari ayat berikut yang menjelaskan tentang
anjuran untuk melintasi luar angkasa.
“Hai jama'ah jin dan manusia, jika kamu sanggup menembus
(melintasi) penjuru langit dan bumi, Maka lintasilah, kamu tidak
dapat menembusnya kecuali dengan kekuatan.” (QS. Ar Rahman: 33)
Menurut teori-teori belajar yang telah berkembang saat ini dalam
dunia psikologi maupun pendidikan diketahui bahwa teori belajar
Konstruktivistik berasal dari aliran filsafat pengetahuan yang menekankan bahwa pengetahuan adalah konstruksi (bentukan) sendiri.
210
Manajemen Kurikulum Pendidikan Islam
Pengetahuan merupakan hasil konstruksi setelah melakukan kegiatan.
Pengetahuan merupakan buatan manusia yang dikonstruksikan dari
pengalaman.
Piaget mengemukakan bahwa pengetahuan merupakan interaksi
kontinyu antara individu satu dengan lingkungannya. Artinya,
pengetahuan merupakan suatu proses, bukan suatu barang. Sedangkan
mengerti adalah proses adaptasi intelektual antara pengalaman dan ide
baru dengan pengetahuan yang telah dimilikinya, sehingga dapat
terbentuk pengertian baru.
Konstruktivisme ini dikembangkan berdasarkan gagasan Piaget
dan Vigotsky. Kedua ahli tersebut mengemukakan bahwa perubahan
kognitif hanya terjadi jika konsep-konsep yang telah terjadi sebelumnya
diolah melalui proses ketidakseimbangan dalam upaya memahami
informasi-informasi baru. Pengetahuan yang dikonstruksi secara
kolaborasi antara individual dengan berinteraksi dengan lingkungan,
yang selanjutnya kondisi tersebut disesuaikan oleh individu itu sendiri.
Penyesuaian tersebut sejajar dengan pengkonstruksian pengetahuan
pada setiap individu.
Proses belajar konstruktivistik, secara konseptual, proses belajar
jika dipandang kognitif, bukan sebagai perolehan informasi yang
berlangsung satu arah dari luar ke dalam diri siswa, melainkan sebagai
pemberian makna oleh siswa kepada pengalamannya melalui proses
asimilasi dan akomodasi yang bermuara pada pembaharuan struktur
kognitifnya. Kegiatan belajar lebih dipandang oleh segi prosesnya dan
pada segi perolehan pengetahuan dan fakta-fakta yang terlepas.
Pemberian makna terhadap objek dan pengalaman oleh individu
tersebut tidak dilakukan secara sendiri-sendiri oleh siswa, melainkan
melalui interaksi dalam jaringan sosial yang unik, yang terbentuk dalam
memproses gagasannya. Bukan semata-mata pada pengelolaan siswa
dan lingkungan belajarnya bahkan pada unjuk rasa atau prestasi
belajarnya yang dikaitkan dengan sistem penghargaan dari luar seperti
nilai, ijazah dan sebagainya. 169
169
Asri Budiningsih. (2005). Belajar …, hlm 58
Dari Normatif – Filosofis ke Praktis
211
Prinsip-prinsip Belajar Konstruktivistik
a. Pengetahuan dibangun oleh siswa sendiri, baik secara personal
maupun sosial.
Telah dikatakan di atas bahwa pengetahuan yang diperoleh oleh
seseorang dikonstruksikan oleh individu itu sendiri, melalui indera
yang dimiliki. Pengetahuan merupakan akibat dari konstruksi
kenyataan melalui kegiatan seseorang. Sehingga pengetahuan
seseorang diperoleh dengan melalui pengalaman yang dilakukan
oleh siswa. Dan siswa akan membangun pengalamannya tersebut
sebagai suatu pengetahuan yang kemudian dipikirkan dengan
akalnya.
b. Pengetahuan tidak dapat dipindahkan dari guru ke siswa, kecuali
hanya dengan keaktifan siswa sendiri untuk menalar.
Dari prinsip yang pertama, maka memunculkan prinsip yang
kedua. Jika seorang guru bermaksud untuk mengajarkan atau
mentransfer konsep, ide atau pengertian kepada siswanya, maka
proses transfer itu harus diinterpretasikan dan dikonstruksi oleh
dirinya sendiri melalui pengalamannya. Banyak siswa keliru
menangkap apa yang diajarkan oleh guru. Dalam mengikuti
pelajaran guru, bukan menghafal rinci persis apa yang diberikan atau
yang dikatakan guru, melainkan bagaimana siswa menginterpretasikan dan mengkonstruksi pengetahuan atau pengalaman dari
guru untuk dikembangkan sendiri. 170
c. Murid aktif mengkonstruksi terus-menerus, sehingga selalu terjadi
perubahan konsep menuju konsep yang lebih rinci, lengkap, serta
sesuai dengan konsep ilmiah
Seseorang membentuk pengetahuan melalui pengalaman yang
satu ke pengalaman selanjutnya sehingga pengetahuan itu menjadi
sempurna. Dalam pikiran seseorang sudah ada pengetahuan yang
pertama dan pengetahuan tersebut akan berkembang menjadi
pengetahuan yang lebih rinci. Sebagai contoh seorang siswa memiliki
skema tentang seorang laki-laki yang sholat memakai sarung dan
kopiah (songkok). Dalam pikirannya terbangun skema bahwa
170
Ibid, 109-110.
212
Manajemen Kurikulum Pendidikan Islam
seorang laki-laki kalau sholat harus menggunakan sarung dan
songkok.
Suatu ketika ia berkesempatan menyaksikan orang wanita yang
sholat tidak menggunakan songkok. Dalam kesempatan berikutnya ia
menyaksikan seorang laki-laki yang memakai celana, baju pendek
dan tidak memakai songkok. Dalam pikiran siswa tersebut
berkesimpulan bahwa seorang laki-laki yang sholat tidak harus
memakai sarung dan songkok tetapi harus menutup aurat. Dalam
proses ini tampak bahwa skema lama tetap dipertahankan namun
dikembangkan menjadi lebih rinci sehingga dapat dipergunakan
untuk menjawab beberapa perbedaan pengalaman.
d. Guru sekedar membantu penyediaan sarana dan situasi agar proses
konstruksi siswa mulus.
Tugas seorang guru bukan saja menyampaikan materi pelajaran
tetapi berfungsi sebagai mediator dan fasilitator dalam proses
pembelajaran. Guru seharusnya menyediakan atau memberikan
suatu kegiatan yang mampu merangsang keinginan siswa dalam
menambah pengetahuan yang dimilikinya, serta membantu mereka
dalam mengekspresikan gagasan atau ide-ide yang mereka miliki.
Guru perlu mengerti pengalaman belajar mana yang lebih sesuai
dengan kebutuhan siswa. Ini dapat dilakukan dengan berpartisipasi
sebagai pelajar juga di tengah pelajar.
Guru perlu membicarakan tentang tujuan dan apa yang akan
dilakukan di kelas bersama siswa, sehingga siswa terlibat langsung
pada apa yang akan mereka pelajari. Selain itu guru perlu memiliki
pemikiran yang fleksibel untuk dapat memahami apa yang ada
dalam fikiran siswa, karena terkadang siswa berfikir berdasarkan
pengandaian yang berbeda dengan apa yang ada dalam fikiran guru.
Karakteristik Pembelajaran dalam Teori Belajar Konstruktivistik
Karakteristik pembelajaran dalam teori konstruktivistik yang
dilakukannya adalah:
a. Membebaskan siswa dari belenggu kurikulum yang berisi fakta-fakta
lepas yang sudah ditetapkan, dan memberikan kesempatan kepada
siswa untuk mengembangkan ide-idenya secara lebih luas.
Dari Normatif – Filosofis ke Praktis
213
b. Menempatkan siswa sebagai kekuatan timbulnya interest, untuk
membuat hubungan diantara ide-ide dan gagasannya, kemudian
memformulasikan kembali ide-ide tersebut, serta membuat
kesimpulan-kesimpulan.
c. Guru bersama-sama siswa mengkaji pesan-pesan penting bahwa
dunia adalah kompleks, dimana terdapat bermacam-macam
pandangan tentang kebenaran yang datangnya dari berbagi interpretasi.
d. Guru mengakui bahwa proses belajar serta penilaiannya merupakan
suatu usaha yang kompleks, sukar dipahami, tidak teratur, dan tidak
mudah dikelola.
Aplikasi Teori Konstruktivistik dalam Pembelajaran
Belajar berarti membuat makna. Belajar berarti mengkonstruksi
pengetahuan dari apa yang dilihat, didengar, dirasakan, dan dialami
dengan pengetahuan yang dimiliki. Mengajar bukan kegiatan memindahkan pengetahuan dari guru ke murid, melainkan kegiatan yang
memungkinkan siswa dapat membangun pengetahuannya sendiri.
Mengajar berarti menciptakan kondisi yang memungkinkan (motivasi) si
belajar dapat membentuk pengetahuan, membuat makna, mencari
kejelasan, bersikap kritis dan menjustifikasi.
Berpikir yang baik lebih penting dari pada mempunyai jawaban
yang benar atas suatu persoalan yang sedang dipelajari. Seseorang yang
memiliki cara berpikir yang baik, dalam arti cara berpikirnya dapat
digunakan untuk menghadapi suatu fenomena baru akan dapat
memecahkan suatu persoalan. Sementara pebelajar yang sekedar
menemukan jawaban benar belum tentu dapat memecahkan persoalan
yang dihadapi.Dalam konteks ini mengajar berarti membantu seseorang
berpikir secara benar dan membiarkannya pebelajar berpikir sendiri.
Siswa harus membangun pengetahuannya sendiri. Seorang guru
melihat siswa bukan sebagai lembar putih kertas kosong atau tabularasa.
Bahkan siswa SD/MI kelas 1 pun telah mengalami hidup beberapa
tahun dan menemukan cara yang berlaku dalam berhadapan dalam
menghadapi lingkungan hidup mereka. Dengan demikian siswa SD/MI
pun sudah memiliki pengetahuan awal. Pengalaman atau pengetahuan
yang mereka miliki sebagai dasar untuk membangun pengetahuan
214
Manajemen Kurikulum Pendidikan Islam
selanjutnya. Karena itu guru perlu mengetahui pada taraf mana siswa
memiliki pengetahuan awal.
4. Teori Belajar Humanistik
Perhatian teori Humanistik yang terutama tertuju pada masalah
bagaimana tiap-tiap individu dipengaruhi dan dibimbing oleh maksud
pribadi yang mereka hubungkan kepada pengalaman-pengalaman
mereka sendiri. Menurut para pendidik aliran Humanistik, penyusun
dan penyajian materi pelajaran harus sesuai dengan perasaan dan
perhatian siswa. Tujuan utama pada pendidikan ialah membantu anak
untuk mengembangkan dirinya, yaitu membantu masing-masing
individu untuk mengenal diri mereka sendiri sebagai manusia yang unik
dan membantunya dalam merealisasikan atau mewujudkan potensipotensi yang ada pada diri mereka.
Para ahli psikologi Behavioristik dan Humanistik dalam
menyoroti masalah perilaku mempunyai pandangan yang sangat
berbeda. Para Behavioristik memandang orang sebagai makhluk reaktif
yang memberikan responnya terhadap lingkungannya; pengalaman
masa lampau dan pemeliharaan akan membentuk perilaku mereka.
Sebaliknya, para humanis mempunyai pendapat bahwa tiap orang itu
bebas menentukan perilaku mereka sendiri; mereka bebas memilih
kualitas hidup mereka, dan tidak terikat oleh lingkunganya. Aplikasi
teori belajar Humanistik dalam kegiatan pembelajaran cenderung
mendorong siswa untuk berfikir induktif. Teori ini juga mementingkan
faktor pengalaman dan ketertiban siswa secara aktif dalam belajar.
Cara menyampaikan pelajaranya dalam
sesuai dengan perasaan dan perhatian siswa,
untuk membantu anak didik agar mereka bisa
sendiri dan bisa mewujudkan potensi-potensi
peserta didik. 171
teori Humanistikharus
dengan tujuan utama
mengenal diri mereka
yang terdapat dalam
Pandangan dan pendapat tokoh-tokoh psikologi Humanistik, di
antaranya adalah:
a. Athur Combs, menurut pandangan beliau tingkah laku yang salah
dan tidak baik akibat dari adanya kesedian melakukan apa yang
171
Tadjab, (1994).Ilmu Jiwa Pendidikan, Surabaya, Karya Abditama, hal 78
Dari Normatif – Filosofis ke Praktis
215
seharusnya dilakukan karena adanya sesuatu yang lain yang lebih
memuaskan. 172
b. Abraham Maslow, seorang tokoh yang menonjol dari psikologi,
dalam karyanya bidang pemenuhan kebutuhan mempunyai
pengaruh yang tidak kecil dalam upaya memahami motivasi
manusia. Teori ini yang penting berdasarkan asumsi bahwa dalam
diri manusia terdapat dorongan positif untuk tumbuh.
Pada prinsipnya Menurut teori ini, proses belajar harus dimulai
dan ditujukan untuk memanusiakan manusia dan mengangkat manusia
ke taraf insani.
Jika tujuan pendidikannya semacam itu, maka sesungguhnya
Pendidikan Islam itu mengajarkan manusia untuk menjadi pribadipribadi yang manusiawi yang ditunjukkan dengan perilakunya. Islam
tidak menghendaki manusia itu tekungkung oleh orang lain, baik
penguasa maupun orang biasa. Oleh sebab itu, pendidikan harus dapat
mendorong perkembangan diri setiap manusia untuk menemukan
eksistensi dirinya. Jangan sampai manusia yang sudah diciptakan Allah
Swt sebagai makhluk yang paling mulia kemudian menjadi makhluk
yang paling hina. Sebagaimana firman Allah Swt berikut.
“Sesungguhnya kami Telah menciptakan manusia dalam bentuk yang
sebaik-baiknya.Kemudian kami kembalikan dia ke tempat yang serendahrendahnya (neraka). (QS. At-Tiin: 4-5)
Proses pendidikan yang tidak mendorong peserta didik dalam
menemukan jati diri pribadi sebagai manusia (makluk) yang mulia
sesungguhnya merupakan sebuah kedzaliman. Manusia ketika lahir
tidak bisa dibiarkan sendiri mencari dan menemukan identitasnya, tapi
perlu didorong dan di arahkan.Tugas pendidikan bukan untuk
“mencekoki” siswa dengan pengetahuan, melainkan membantunya
menemukan dirinya.
Keyakinan seorang orang tua, guru atau pendidik tidak boleh
dipaksakan terhadap anak.Ibrahim as walaupun seorang nabi dan rasul
yang mendapat perintah dari Tuhan tidak serta merta memaksakan
172
Dimyati Mahmud. (1990). Psikologi Pendidikan. Yogjakarta, BPEF. Hal. 164
216
Manajemen Kurikulum Pendidikan Islam
kehendaknya kepada Ismail sebagai seorang putra (terdidik), melainkan
mengajaknya berdialog (berdiskusi).
#
“Maka tatkala anak itu sampai (pada umur sanggup) berusaha
bersama-sama Ibrahim, Ibrahim berkata: "Hai anakku
Sesungguhnya Aku melihat dalam mimpi bahwa Aku
menyembelihmu. Maka fikirkanlah apa pendapatmu!" ia menjawab:
"Hai bapakku, kerjakanlah apa yang diperintahkan kepadamu; insya
Allah kamu akan mendapatiku termasuk orang-orang yang sabar".
(QS. As-Shaafat: 102).
Pendidikan adalah usaha membawa manusia dari kebodohan
dengan membuka tabir aktual transenden dari sifat alami manusia
(humannes). Teori ini lebih mementingkan isi yang dipelajari dari pada
proses belajar itu sendiri. Teori ini lebih banyak membicarakan tentang
konsep-konsep pendidikan untuk membentuk manusia yang dicitacitakan. Oleh karena itu, teori belajar apapun bisa dimanfaatkan asal
tujuannya untuk memanusiakan manusia yaitu mencapai aktualisasi
diri, pemahaman diri, serta realisasi diri orang yang belajar bisa tercapai
secara optimal.
a. Awal Munculnya Psikologi Humanistik
Pada akhir tahun 1940-an muncul suatu perspektif psikologi
baru. Orang-orang yang terlibat dalam psikologi-lah yang berjasa
dalam perkembangan ini, seperti ahli-ahli psikologi klinik, pekerjapekerja sosial dan konselor, bukan merupakan hasil penelitian dalam
proses belajar. Gerakan ini berkembang lalu dikenal sebagai psikologi
Humanistik yang berusaha memahami seseorang dari sudut pelaku
dan pengamat.
Dari Normatif – Filosofis ke Praktis
217
Aliran Humanistik muncul pada tahun 1960-1970-an dan
mungkin perubahan-perubahan dan inovasi yang terjadi selama dua
dekade yang terakhir pada abad 20 ini juga menuju pada arah ini. 173
b. Tokoh-tokoh Humanistik
Berikut ini akan kami paparkan beberapa tokoh yang sangat
terkenal dalam aliran Humanistik ini berikut pandangan mereka
terhadap belajar.
1) Combs
Para ahli Humanistik melihat adanya dua bagian dalam
belajar, yaitu perolehan informasi baru dan personalisasi informasi
tersebut pada individu. Combs berpendapat bahwa suatu hal yang
sangat penting bagi seorang guru adalah bagaimana caranya bisa
membawa siswa untuk memperoleh arti bagi pribadinya dari
bahan pelajarannya serta bagaimana siswa dapat menghubungkan
bahan pelajarannya dengan kehidupannya.
Lebih jelasnya menurut Combs, jika kita memahami perilaku
seseorang, kita harus memahami dunia persepsi orang itu. Jika
kita ingin mengubah perilaku seseorang, kita harus mengubah
keyakinan atau pandangan orang itu. Jika seorang guru mengeluh
karena siswanya tidak punya motivasi untuk melakukan sesuatu,
ini sesungguhnya berarti bahwa siswa tersebut tidak punya
motivasi untuk melakukan sesuatu yang dikehendaki oleh
gurunya.
2) Maslow
Teori ini didasarkan atas asumsi bahwa dalam diri manusia
ada dua hal, yaitu:
a) Suatu usaha yang positif untuk berkembang.
b) Kekuatan untuk melawan atau menolak perkembangan itu.
Menurut Maslow, setiap orang memiliki rasa takut, seperti
takut untuk berusaha atau berkembang, takut mengambil
kesempatan, takut membahayakan apa yang sudah dimiliki, dsb.
tetapi hal itu mendorongnya untuk bisa maju ke arah
173
Wasty Soemanto, (1998).Psikologi …, hal 136
218
Manajemen Kurikulum Pendidikan Islam
kesempurnaan, kepercayaan diri dan pada saat itu juga dia dapat
menerima diri sendiri.
Mengenai kebutuhan manusia, Maslow membaginya menjadi
bermacam-macam hierarki. Jika kebutuhan yang pertama
(fisiologis) sudah dipenuhi, barulah seseorang dapat menginginkan kebutuhan yang ada di atasnya (mendapat rasa aman) hierarki
kebutuhan manusia ini mempunyai implikasi yang sangat penting
yang harus diperhatikan oleh seorang guru ketika dia mengajar,
karena perhatian dan motivasi anak didik tidak akan berkembang
jika kebutuhan dasarnya belum terpenuhi.
3) Rogers
Dalam bukunya yang berjudul “freedom to learn”, dia
memaparkan prinsip-prinsip belajar Humanistik yang sangat
penting, yaitu:
a) Manusia mempunyai kemampuan untuk belajar secara alami.
b) Belajar yang signifikan terjadi apabila subject matter dirasakan
peserta didik mempunyai relevansi dengan maksudmaksudnya sendiri.
c) Belajar yang menyangkut suatu perubahan di dalam persepsi
mengenai dirinya sendiri dianggap mengancam dan cenderung
untuk ditolaknya.
d) Tugas-tugas belajar yang mengancam diri lebih mudah
dirasakan dan diasimilasikan jika ancaman dari luar semakin
kecil.
e) Jika ancaman terhadap diri murid rendah, pengalaman dapat
diperoleh dengan berbagai cara yang berbeda-beda lalu
terjadilah proses belajar.
f) Belajar yang bermakna diperoleh siswa dengan melakukannya.
g) Belajar diperlancar jika siswa dilibatkan dalam proses belajar
dan ikut bertanggung jawab dalam proses tersebut.
h) Belajar atas inisiatif sendiri yang melibatkan pribadi siswa
seutuhnya, baik perasaan maupun intelek, merupakan cara
yang dapat memberikan hasil yang mendalam dan lestari.
i) Kepercayaan pada diri sendiri, kemerdekaan, kreativitas, lebih
mudah dicapai terutama ketika siswa dibiasakan untuk mawas
Dari Normatif – Filosofis ke Praktis
219
diri dan mengkritik dirinya sendiri. Penilaian diri orang lain
merupakan cara kedua yang juga penting.
j) Belajar yang paling berguna secara sosial dalam dunia modern
adalah belajar tentang proses belajar, suatu keterbukaan yang
terus menerus terhadap pengalaman dan penyatuannya ke
dalam dirinya sendiri mengenai proses perubahan itu. 174
4) Kolb
Tahap-tahap belajar, menurut Kolb dibagi menjadi 4, yaitu:
a) Tahap pengalaman konkret
Tahap ini adalah tahap yang pertama, yaitu ketika seseorang
mampu mengalami, melihat, merasakan, serta dapat
menceriakan peristiwa yang dialaminya apa adanya tanpa
menyadari hakikat dan penyebab mengapa peristiwa tersebut
bisa terjadi.
b) Tahap pengamatan aktif dan reflektif
Pada tahap ini, seseorang semakin lama akan semakin mampu
untuk melakukan observasi secara aktif pada peristiwa yang
dialaminya dengan mengembangkan pertanyaan-pertanyaan
mengapa hal itu bisa terjadi, mengapa mesti terjadi, dan lain
sebagainya, sehingga pemahamannya terhadap peristiwa yang
dialami semakin berkembang.
c) Tahap konseptualisasi
Pada tahap ini, seseorang sudah mulai berusaha untuk
membuat abstraksi, mengembangkan suatu teori, konsep, atau
hukum dan prosedur tentang sesuatu yang menjadi objek
perhatiannya. Berpikir induktif banyak dilakukan untuk
merumuskan suatu aliran umum dari berbagai gambaran
peristiwa yang dialaminya.
d) Tahap eksperimentasi aktif
Pada tahap ini, seseorang sudah mampu mengaplikasikan
konsep-konsep, teori-teori, dan aturan-aturan ke dalam situasi
174
Ibid, hal. 137-139
220
Manajemen Kurikulum Pendidikan Islam
nyata. Berpikir secara deduktif banyak digunakan untuk
mempraktikkan dan menguji teori-teori dan konsep-konsep di
lapangan sehingga dia mampu memecahkan masalah yang
dihadapinya.
5) Honey dan Munford
Menurut pandangan mereka berdua, orang yang belajar
dapat digolong-golongkan ke dalam empat macam golongan, 175
yaitu:
a) Kelompok aktivis
Adalah orang-orang yang suka melibatkan diri dan berpartisipasi aktif dalam berbagai kegiatan dengan tujuan untuk
memperoleh pengalaman. Dalam kegiatan belajar, mereka suka
pada penemuan-penemuan baru, sehingga metode yang cocok
buat mereka adalah problem solving dan brainstorming.
b) Kelompok reflektor
Adalah orang-orang yang memiliki kecenderungan yang
berlawanan dengan kelompok aktivis. Dalam melakukan
tindakan, mereka sangat berhati-hati dan penuh pertimbangan
antara baik dan buruknya, untung dan ruginya. Mereka tidak
mudah dipengaruhi, sehingga mereka cenderung bersifat
konservatif
c) Kelompok teoris
Adalah orang-orang yang suka berpikir kritis, suka menganalisis, dan selalu berpikir rasional dengan menggunakan
penalarannya. Mereka tidak suka pendapat atau penilaian yang
sifatnya subjektif. Mereka tampak tegas dan memiliki pendirian
yang kuat sehingga mereka tidak mudah dipengaruhi.
d) Kelompok pragmatis
Adalah orang-orang yang memiliki sifat-sifat praktis, tidak
suka teori, konsep, dalil, dan lain sebagainya. Bagi mereka yang
penting adalah aspek-aspek praktis, sesuatu yang nyata dan
175
Asri Budiningsih, (2005). Belajar …, hal 71
Dari Normatif – Filosofis ke Praktis
221
dapat dilaksanakan. Bagi mereka, sesuatu itu dianggap baik,
jika dapat dipraktikkan dan bermanfaat bagi kehidupan
manusia.
6) Hubermas
Menurut Hubermas, belajar baru akan terjadi jika ada interaksi
antara individu dengan lingkungannya. Oleh karena itu, dia
membagi tipe belajar menjadi tiga, yaitu: 1) belajar teknis, 2)
belajar praktis, 3) belajar emansipatoris.
7) Bloom dan Krathwohl
Mereka berdua lebih menekankan perhatiannya pada apa yang
mesti dikuasai oleh individu sebagai tujuan belajar, setelah melalui
peristiwa-peristiwa belajar. Tujuan belajar yang dikemukakannya
terangkum dalam tiga kawasan yang dikenal dengan istilah
Taksonomi Bloom. Secara ringkas tiga kawasan taksonomi Bloom
tersebut adalah sebagai berikut:
a) Domain Kognitif, yang terdiri atas 6 (enam) tingkatan, yaitu: (1)
pengetahuan, (2) pemahaman, (3) aplikasi, (4) analisis, (5)
sintesis, dan (6) evaluasi.
b) Domain Afektif, yang juga terdiri atas 5 (lima) tingkatan, yaitu:
(1) penerimaan; (2) tanggapan; (3) penanaman nilai; (4)
pengorganisasian nilai; dan (5) karakterisasi kehidupan.
c) Domain Psikomotor, yang terdiri atas lima tingkatan, yaitu: (1)
memperhatikan; (2) peniruan, (3) penggunaan, (4) perangkaian,
dan (5) penyesuaian atau naturalisasi.
c. Implikasi Teori Humanistik
Menurut aliran ini, penyusunan dan penyajian materi oleh
pendidik harus sesuai dengan perasaan dan perhatian siswa. Dalam
hal ini peran pendidik adalah untuk membantu siswa mengembangkan dirinya, yakni mengenal diri mereka sebagai makhluk yang
unik serta membantu mereka untuk bisa mengembangkan
potensinya.
222
Manajemen Kurikulum Pendidikan Islam
1) Guru sebagai fasilitator
Dalam proses belajar mengajar, seorang guru hendaknya menjadi
fasilitator bagi anak didiknya, bukan malah menjadi diktator. Ada
beberapa cara untuk memberi kemudahan belajar dan kualitas
fasilitator. Diantaranya, seorang guru yang dalam hal ini menjadi
fasilitator sebaiknya memberi perhatian kepada penciptaan
suasana awal atau pengalaman kelas, mempercayai adanya
keinginan dari setiap siswa untuk melaksanakan tujuan yang
bermakna bagi dirinya dan menyediakan sumber-sumber yang
bisa dimanfaatkan oleh siswa, dan masih banyak cara yang lain. Di
samping itu, sebagai seorang fasilitator, guru harus mengenali dan
menerima keterbatasan-keterbatasannya sendiri.
2) Guru yang baik dan yang kurang baik.
Menurut Hamacheek, guru yang efektif adalah guru yang
manusiawi, yang mempunyai rasa humor, adil, menarik, lebih
demokratis, dan mampu berhubungan dengan para siswa dengan
mudah dan wajar, sehingga dia lebih terbuka, spontanitas, dan
mampu menyesuaikan diri dengan perubahan. Sedangkan guru
yang tidak efektif jelas tidak memiliki rasa humor, tidak sabar,
mudah mengeluarkan komentar-komentar yang melukai dan
mengurangi rasa ego siswanya, cenderung bertindak otoriter, dan
kurang peka terhadap kebutuhan siswanya.
3) Guru yang sejati
Sesungguhnya guru adalah manusia biasa. Guru sejati bukanlah
guru yang berbeda dengan siswanya. Dia bukan makhluk yang
serba hebat. Dia harus dapat berpartisipasi dalam kegiatan yang
dilakukan muridnya yang dapat mengembangkan rasa persahabatan dengan mereka tanpa merasa khawatir kehilangan
kehormatan, karena rasa was-was dan takut dalam keadaan
tertentu adalah wajar.
Lebih ringkasnya, implikasi dari teori ini adalah:
a) Guru bebas menentukan perilakunya atau melakukan apa saja
yang penting anak didiknya termotivasi untuk belajar.
Dari Normatif – Filosofis ke Praktis
223
b) Peserta didik merupakan pelaku aktif, dia tidak hanya menjadi
objek dalam proses belajar dan mengajar tapi dia juga bisa
menjadi subjek.
c) Adanya sikap Individualis dalam arti anak didik bebas
berpikir, bebas mewujudkan diri sendiri, dan bebas berkreasi.
d. Aplikasi Teori Humanistik dalam Pendidikan
Dalam proses belajar mengajar yang menggunakan teori
Humanistik ini sangat membutuhkan keterlibatan siswa secara aktif
serta mengarahkan siswa untuk berpikir induktif. Berikut ini kami
kemukakan beberapa langkah secara Humanistik, yaitu:
1)
2)
3)
4)
5)
6)
7)
8)
9)
Menentukan tujuan pembelajaran.
Menentukan materi pelajaran.
Mengidentifikasi kemampuan awal siswa.
Mengidentifikasi topik-topik pelajaran merancang fasilitas belajar
dan media pembelajaran.
Membimbing siswa belajar secara aktif.
Membimbing siswa untuk dapat memahami makna dari
pengalaman belajarnya.
Membimbing siswa membuat konseptualisasi pengalaman
belajarnya.
Membimbing siswa mengaplikasikan konsep baru ke dalam
situasi nyata.
Mengevaluasi proses dan hasil belajar.
Di samping itu, ada beberapa pendekatan secara Humanistik
yang bisa di simpulkan sebagai berikut:
1) Siswa akan berpikir menurut iramanya sendiri dengan perangkat
materi yang sudah ditentukan terlebih dulu untuk mencapai
tujuan yang telah ditentukan pula, selanjutnya siswa bebas
menentukan cara mereka sendiri untuk mencapai tujuan tersebut
tanpa terikat dengan aturan-aturan baik dari guru atau dari
temannya.
2) Memperhatikan pengembangan anak-anak dari perbedaanperbedaan yang bersifat individual.
224
Manajemen Kurikulum Pendidikan Islam
3) Mengimbangi keadaan-keadaan baru yang selalu meningkat yang
dijumpai anak didik baik di rumah mereka sendiri atau di
masyarakat.
Dengan
demikian,
pendekatan
Humanistik
adalah
pengembangan nilai-nilai dan sikap pribadi yang dikehendaki secara
sosial dan perolehan knowledge yang luas tentang berbagai macam
ilmu pengetahuan, pengalaman dan pengolahan strategi berpikir
produktif.
Dari Normatif – Filosofis ke Praktis
225
DAFTAR PUSTAKA
A. Crow& L Crow, (1989). Psikologi Pendidikan. Nur Cahaya.
Abdul Majid, (2007).Perencanaan Pembelajaran, Bandung: PT. Remaja
Rosdakarya.
Abdul Mujib dan Jusuf Mudzakkir, (2006). Ilmu Pendidikan Islam, Jakarta:
Kencana.
Abdullah Idi, (2010). Pengembangan Kurikulum Teori dan Praktik,
Jogjakarta, Ar-Ruzz Media.
Abuddin Nata, (1997). Filsafat Pendidikan Islam, Cet. I, Jakarta: Logos Wacana
Ilmu.
------------------, (2008). Manajemen Pendidikan Mengatasi
Kelemahan
Pendidikan Islam Indonesia, PT Prenada Media Group, Jakarta.
------------------, cetakan ke-2, (1999). Filsafat Pendidikan Islam. Logos Wacana
Ilmu: Jakarta.
-----------------, (1997). Filsafat Pendidikan Islam 1. Jakarta: Logos Wacana
Ilmu.
Agus Zaenul Fitri, (2012). Reinventing Human Character: Pendidikan
Karakter Berbasis Nilai dan Etika di Sekolah.
Ahmad Ali Riyadi, (2010). Filsafat Pendidikan Islam, Yogyakarta: Teras.
Ahmad Hanafi, (1990). Pengantar Filsafat Islam, Cet. IV, Jakarta: Bulan
Bintang.
Amstrong, D. G. (1989). Developing and Documenting the Curriculum,
Allyn and Bacon, Boston, London, Sydney.
Arifin Muzayyin, (2005). Filsafat Pendidikan Islam, Jakarta: Bumi Aksara.
Arifin, cetakan ke-3, (1997). Filsafat Pendidikan Islam. Bumi Aksara: Jakarta.
Armai Arif, (2002). Pengantar Ilmu dan Metodologi Pendidikan Islam.
Ciputat Press: Jakarta.
Asnawir, (2002). Media Pembelajaran. Jakarta: Ciputat Press.
Asri Budiningsih. (2005). Belajar dan Pembelajaran. Jakarta: Rineke Cipta.
Baucamp, G.A. (1975). Curriculum Theory, Illionis, The Kagg Press.
226
Manajemen Kurikulum Pendidikan Islam
Beane, James A.,et all. (1986). Curriculum Planning and Development,
Boston, Allyn and Bacon.
Blenkin, G M dan Kelly, AV. (1981). Primary Curriculum, London ,Harper
dan Row Publisher.
Bobby dePorter, Mike Hernacki, (1999). Quantum Learning, Membiasakan
Belajar Nyaman dan Menyenangkan, PT Mizan Pustaka, Bandung.
Borden, Marian Edelman, (2001). Smart Start: Panduan Lengkap Memilih
Pendidikan Prasekolah Balita Anda. Bandung: Kaifa.
Brady, L. (1990). Curriculum Development, Third Edition, New York,
London, Prentice Hall.
Dakir, (2004). Perencanaan dan Pengembangan Kurikulum. Jakarta: Rineka
Cipta.
Dimyati Mahmud. (1990). Psikologi Pendidikan. Yogyakarta, BPEF.
Direktorat Pembinaan Perguruan Tinggi Agama Islam, 1981.Metodik
Khusus Pengajaran Agama Islam, Jakarta.
E. Mulyasa, (2004).Kurikulum Berbasis Kompetensi-Konsep, Karakteristik dan
Implementasi, PT. Remaja Rosda, Bandung.
----------------, (2006). Manajemen Berbasis Sekolah; Konsep, Strategi, dan
Implementasi. Remaja Rosdakarya. Bandung.
----------------, (2007). Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP). PT
Remaja Rosdakarya, Bandung.
Eisner, E. W. (2002). The Educational Imagination on the Design and
Evaluation of School Programs, Third Edition, Ohio, Meril Prentice
Hall.
Fuaduddin dan Karya, (1992). Pengembangan dan Inovasi Kurikulum.
Jakarta: Dirjen Bimbaga Islam dan Universitas Terbuka.
H.M. Arifin, (1993). Filsafat Pendidikan Islam, Jakarta: Bumi Aksara.
Hamzah B. Uno, (2006). Orientasi Baru dalam Psikologi Pembelajaran.
Jakarta: PT. Bumi Aksara.
Henson, K.T. (1995). Curriculum Development for Educational Reform,
Eastern Kentucky University, Longman.
Hilda Taba, (1962). Curriculum Development Theory and Practice. New
York: Harcont Drace and World.
John. P. Miller, (1985). Curriculum Perspective. Longman. United States.
-------------------, dan Wayne Seller. (1985).Curriculum Perspectives and
Practice, London: Longman.
Dari Normatif – Filosofis ke Praktis
227
M. Ahmad, (1998). Pengembangan Kurikulum, Bandung: Pustaka Setia.
M. Arifin, cetakan ke-5, (1996). Ilmu Pendidikan Islam. Bumi Aksara:
Jakarta.
Madjid, Abdul, (2005). Perencanaan Pembelajaran. Remaja Rosdakarya:
Bandung.
Muhaimin et. al, (2001). Paradigma Pendidikan Islam. PT. Remaja Rosda
Karya. Bandung.
--------------, (2003). Wacana Pengembangan Pendidikan Islam Islam (Suatu
Upaya Mengefektifkan Pendidikan Agama Di Sekolah). Pustaka
Pelajar: Yogyakarta.
--------------, (2007). Pengembangan Kurikulum Pendidikan Agama Islam di
Sekolah, Madrasah Serta Perguruan Tinggi. Jakarta: PT Raja
Grafindo Persada.
--------------, (2011).Pemikiran dan Aktualisasi Pengembangan Pendidikan
Islam.PT Raja Grafido Persada. Jakarta.
Nana Syaodih S, (1996). Pengembangan Kurikulum. Remaja Rosdakarya:
Bandung.
---------------------,cet.ke-14, (2011).Pengembangan Kurikulum: Teori dan
Praktek. Bandung: Remaja Rosadakarya.
Ngalim Purwanto, (1989). Psikologi Pendidikan, PT Remaja Rosdakarya.
Oemar Hamalik, (2001). Proses Belajar Mengajar. Jakarta: Bumi Aksara.
--------------------, (2003). Kurikulum dan Pembelajaran. Jakarta: Bumi
Aksara.
--------------------, (2006). Pengembangan Kurikulum.PT. Remaja Rosda
Karya.
--------------------, (2007). Evaluasi Kurikulum. PT. Remaja Rosda Karya:
Bandung.
----------------------, (2008). Manajemen Pengembangan Kurikulum, Bandung:
Remaja Rosdakarya.
Oemar Muhammad Al-Toumy al-Syaibani, (1979). Falsafah Pendidikan
Islam (terj. Hasan Langgulung). Bulan Bintang: Jakarta.
Oliva, P. F. (1992). Developing the Curriculum, Harpers Collin Publisher,
Amerika.
Parkay , F. W. (2006). Curriculum Planning a Contemporary Approach, Edisi
8, Pearson, New York-London-Sanfransisco.
228
Manajemen Kurikulum Pendidikan Islam
Polka, W. S. dan Mattai, P. R . (2000). Curriculum Planning In The TwentyFirst Century: Managing Technology, Diversity, and Constructivism
to Create Appropriate Learning Environments For All Students.
Longman
R Ibrahim,dkk,(2010). Perencanaan Pengajaran, Jakarta: Rineka Cipta.
S. Adiwikarta,(1994). Kurikulum untuk Abad ke-21. Jakarta: Grasindo.
S. Nasution, (1995). Kurikulum dan Pengajaran. Jakarta: Bumi Aksara.
Sardiman, (2001). Interaksi dan Motivasi Belajar Mengajar. Jakarta: PT. Raja
Grafindo Persada.
Soetopo dan Soemanto, (1993). Pembinaan dan Pengembangan Kurikulum
sebagai Substansi Problem Administrasi Pendidikan. Jakarta: Bumi
Aksara.
Soetopo, Hidayat dan Soemanti, Wasti. (1982). Pengantar Operasional
Administrasi Pendidikan. Surabaya: Usaha Nasional.
Sumadi Sueyabrata. (1984).Psikologi Pendidikan. Jakarta: CV Rajawali
Pers.
Suryosubroto, (1997). Proses Belajar Mengajar di Sekolah, Jakarta: Rineka
Cipta.
Tadjab, (1994). Ilmu Jiwa Pendidikan, Surabaya, Karya Abditama
Tanner, D and Tanner,L. N. (1980). Curriculum Development: Theory into
Practice, 2nd Ed. New York, Macmillan Co.
Tedjo Narsoyo Reksoatmojo, (2010).Pengembangan pendidikan Teknologi
dan Kejuruan.Bandung:Refika Aditama.
Wasty Soemanto. (1998). Psikologi Pendidikan: Landasan Kerja Pemimpin
Pendidikan. Jakarta: Rineke Cipta.
Wiji Suwarno, (2006). Dasar-dasar Ilmu Pendidikan. Jogjakarta: Ar-Ruzz.
Wina Sanjaya, (2009).Kurikulum dan Pembelajaran, Teori dan Praktek
Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP), PT Kencana Prenada
Media Group.
------------------, (2010). Strategi Pembelajaran Berorientasi Standar Proses
Pendidikan, Jakarta: Kencana.
Yusuf Amir Faisal, cetakan pertama, (1995). Reorientasi Pendidikan Islam.
Gema Insan Press: Jakarta.
Zainal Arifin, (2012). Pengembangan Manajemen Mutu Kurikulum
Pendidikan Islam. Jogjakarta: Diva Press.
Dari Normatif – Filosofis ke Praktis
229
230
Manajemen Kurikulum Pendidikan Islam
Download