BAB I MANAJEMEN KURIKULUM PENDIDIKAN ISLAM A. Pengertian Manajemen Kurikulum Pendidikan Islam Manajemen kurikulum pendidikan Islam pada dasarnya gabungan tiga suku kata yaitu: manajemen, kurikulum dan pendidikan Islam. Manajemen merupakan suatu ilmu/seni yang berisi aktivitas perencanaan (planning), pengorganisasian (organizing), pelaksanaan (actuating), dan pengendalian (controlling)dalam menyelesaikan segala urusan dengan memanfaatkan semua sumberdaya yang ada melalui orang lain agar mencapai tujuan yang telah ditetapkan sebelumnya. Kurikulum secara etimologi berasal dari bahasa Latin Curriculum, semula berarti a running course, specially a chariot race course, dan terdapat pula dalam bahasa Perancis “Courier” artinya “to run” (berlari).Untuk mendapatkan rumusan tentang pengertian kurikulum, para ahli mengemukakan pandangan yang beragam. Dalam pandangan klasik, lebih menekankan kurikulum sebagai rencana pelajaran di suatu sekolah. Pelajaran-pelajaran dan materi apa yang harus ditempuh di sekolah, itulah kurikulum. Dalam pandangan modern, pengertian kurikulum lebih dianggap sebagai suatu pengalaman atau sesuatu yang nyata terjadi dalam proses pendidikan, seperti dikemukakan oleh Caswel dan Campbell (1935), bahwa kurikulum: “… to be composed of all the experiences children have under the guidance of teachers”. Dipertegas lagi oleh pemikiran Ronald C. Doll (1974), yang mengatakan bahwa: “…the curriculum has changed from content of courses study and list of subject and Dari Normatif – Filosofis ke Praktis 1 courses to all experiences which are offered to learners under the auspices or direction of school”. Sedangkan George A. Beauchamp (1986), mengemukakan bahwa:“A Curriculum is a written document which may contain many ingredients, but basically it is a plan for the education of pupils during their enrollment in given school”. 1 Beauchamp mengatakan bahwa kurikulum adalah suatu rencana pendidikan atau pengajaran, pelaksanaan rencana itu sudah masuk pengajaran. Pendidikan Islam secara etimologi diwakili oleh istilah ta’lim dan tarbiyah yang berasal dari kata dasar ‘allama dan rabba sebagaimana dalam Al-Qur’an, sekalipun konotasi kata tarbiyah lebih luas karena mengandung arti memelihara, membesarkan, dan mendidik, serta sekaligus mengandung makna mengajar (‘allama).Sedangkan menurut terminologi adalah usaha mengubah tingkah laku individu dalam kehidupan kepribadian dan kemasyarakatan yang dilandasi dengan nilai-nilai Islam. Menurut Mulyasa manajemen kurikulum merupakan suatu kegiatan yang mencakup perencanaan, pelaksanaan, dan penilaian kurikulum. 2Pandangan Mulyasa hanya menekankan pada tiga aspek saja, sedangkan aspek pengorganisasian kurikulum secara eksplisit tidak dijelaskan dalam definisinya. Menurut Nasution organisasi kurikulum adalah pola atau bentuk bahan pelajaran yang akan disampaikan kepada murid. 3 Sedangkan Suharsimi Arikunto mendefinisikan manajemen kurikulum adalah segenap proses usaha bersama untuk memperlancar pencapaian tujuan pengajaran dengan titik berat pada usaha meningkatkan kualitas interaksi belajar mengajar. Berdasarkan definisi di atas, dapat dijelaskan bahwa manajemen kurikulum pendidikan Islam adalah usaha sistematis yang dilakukan seseorang melalui aktivitas perencanaan, pengorganisasian, pelaksanaan dan evaluasi kurikulum yang dilandasi nilai-nilai Islam agar peserta didik dapat mencapai tujuan pembelajaran secara efektif dan efisien. 1 Nana Syaodih Sukmadinata, (1996). Pengembangan Kurikulum. Remaja Rosdakarya: Bandung, hlm.5 Mulyasa, (2006).Manajemen Berbasis Sekolah;Konsep, Strategi, dan Implementasi. Remaja Rosdakarya. Bandung. Hal. 40 3 S. Nasution, (1995).Kurikulum dan Pengajaran. Bumi Aksara: Jakarta. Hal. 135 2 2 Manajemen Kurikulum Pendidikan Islam B. Perencanaan Kurikulum Pendidikan Islam Perencanaan kurikulum merupakan proses yang melibatkan kegiatan pengumpulan, penyortiran, sintesis dan seleksi informasi yang relevan dari berbagai sumber. Informasi ini kemudian digunakan untuk merancang dan mendesain pengalaman-pengalaman belajar yang memungkinkan peserta didik dapat mencapai tujuan pembelajaran. Beane James mendefinisikan perencanaan kurikulum sebagai suatu proses yang melibatkan berbagai unsur peserta dalam banyak tingkatan membuat keputusan tentang tujuan belajar, cara mencapai tujuan, situasi belajar-mengajar, serta penelaahan keefektifan dan kebermaknaan metode tersebut. Sehingga Tanpa perencanaan kurikulum, sistematika berbagai pengalaman belajar tidak akan saling berhubungan dan tidak mengarah pada tujuan yang diharapkan. Berikut pernyataanya: Curriculum planning is a process in which participants at many levels make decisions about what the purposes of learning ought to be, how those purposes might be carried out through teaching-learning situations, and whether the purposes and means are both appropriate and effective. 4 Parkey et al., menegaskan bahwa tujuan yang direncanakan dari kurikulum dikembangkan dari beragam perspektif, teori dan penelitian yang didasarkan pada kekuatan sosial (social force), pengembangan manusia (human development) dan pembelajaran serta model pembelajaran (learning and learning style). 5Perencanaan kurikulum itu penting karena akan menjadi arah bagi usaha mempermudah pekerjaan pendidikan yang akan dilakukan. Menurut Zenger and Zenger perencanaan kurikulum dibuat untuk menjadi petunjuk kerja. 6 Curriculum Planning is intended as a “how-to-do-it guide” for curriculum planners in the school system or as a textbook for collegelevel courses in curriculum planning and development. Dalam tulisannya yang berjudul Curriculum Planning: A Ten-Step Process (1982), terdapat langkah-langkah penting perencanaan kurikulum: 4 Beane, James A.,et all. (1986). Curriculum Planning and Development, Boston, Allyn and Bacon.Hal. 32 Parkay , F. W. (2006). Curriculum Planning a Contemporary Approach, Edisi 8, Pearson, New YorkLondon-Sanfransisco. Hal: 4 6 Zenger, W. F. and. Zenger, S. K. (1982).Curriculum Planning: A Ten-Step Process di unduh dari http://www.directionjournal.org/article/?863Vol 23 n 0 2. Fall. 5 Dari Normatif – Filosofis ke Praktis 3 State the curriculum problem or need. Identify, revise, or develop curriculum /program goals and objectives. Plan and organize the resources and constraints of curriculum development. 4. State the functions of and select curriculum committees used for curriculum planning and development. 5. Plan and state the roles and responsibilities of personnel involved. 6. Identify and analyze possible new curricula, programs, or other curricular innovations to meet the stated curriculum need. 7. Assess and select one of the new curricula, programs, or other curricular innovations to meet the stated curriculum need. 8. Design or redesign the new curriculum or program. 9. Implement the new curriculum or program. 10. Evaluate the new curriculum or program. 1. 2. 3. Perencanaan kurikulum terjadi di semua level baik guru, supervisor, administrator dan lainnya, dilibatkan dalam usaha kurikulum. Semua guru dilibatkan dalam perencanaan kurikulum tingkat kelas. Bahkan pada tingkat (wilayah/daerah/distrik), ditingkat nasional harus ada representasi guru. Level perencanaan kurikulum menurut Oliva dimulai dari level kelas, kemudian individual school, school district, state, region, nation dan world. Representasi guru harus dominan dalam level kelas dan departemen. 7 Perencanaan kurikulum pendidikan Islam mensyaratkan adanya muatan materi kurikulum yang memiliki jangkauan yang lebih jauh yaitu tidak hanya membekali siswa dengan seperangkat kompetensi keduniawiaan (artinya siap kerja) saja dengan skill, kecakapan hidup dan kompetensi lainnya, tetapi juga muatan mata pelajaran yang membekali siswa untuk siap dalam menghadapi kehidupan yang lebih abadi/ kekal yaitu menghadap kehadirat Allah Swt. Sehingga jangkauan perencanaan kurikulumnya tidak hanya berbunyi dunia-kerja, tetapi dunia-akhirat. Perencanaan di dalam Islam merupakan salah satu aspek harus ditekankan sebagai firman Allah dalam surat Al-Hayr: 18: 7 Oliva, P. F. (1992). Developing the Curriculum, Harpers Collin Publisher, Amerika. Hal. 58 4 Manajemen Kurikulum Pendidikan Islam “Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan hendaklah setiap diri memperhatikan apa yang Telah diperbuatnya untuk hari esok (akhirat); dan bertakwalah kepada Allah, Sesungguhnya Allah Maha mengetahui apa yang kamu kerjakan.”(QS. Al Haysr: 18). Kandungan ayat di atas menunjukkan perlunya memperhatikan sesuatu yang akan dilaksanakan untuk ke depan (hari esok). Dalam konteks manajemen pendidikan dipahami sebagai suatu perintah untuk membuat perencanaan yang baik, agar nantinya tidak gagal dalam mencapai tujuan yang diharapkan. Prinsip manajemen yang mengatakan bahwa “If you fail to plan, you plan to fail”, (jika anda gagal merencanakan, maka anda merencanakan kegagalan). Perencanaan Kurikulum menyangkut banyak demensi. Dalam “The Educational Imagination on The Design and Evaluation of School Programs”, Eisner menjelaskan bahwa ada beberapa unsur penting dari dimensi perencanaan kurikulum. Unsur tersebut yang akan menentukan logika dan karakteristik alur dari sebuah perencanaan kurikulum. 8 Unsur tersebut dapat disebutkan sebagai berikut: (1) Tujuan dan prioritas (goals and priorities); (2) Isi kurikulum (content of the curriculum); (3) Jenis pembelajaran (types of learning opportunities); (4)Organisasi pembelajaran (learning organization); (5)Organisasi isi (organization of content areas); (6)Model presentasi dan respon (mode of presentation and response); dan (7)Jenis evaluasi (types of evaluation). Dari pernyataan Eisner di atas, dapat dijelaskan lebih lanjut, bahwa semua jenis perencanaan kurikulum dengan demikian terjadi pada semua tingkat pendidikan dan disesuaikan dengan tingkatan kelas. Ini terlihat dengan adanya organisasi isi dan organisasi siswa. Ini selanjutnya juga dapat menjadi catatan bahwa sebuah perencanaan kurikulum yang realistis disusun berdasarkan prinsip-prinsip penting yang harus diperhatikan. 8 Eisner, E. W. (2002). The Educational Imagination on the Design and Evaluation of School Programs, Third Edition, Ohio, Meril Prentice Hall.Hal. 133-153 Dari Normatif – Filosofis ke Praktis 5 Pertama, Perencanaan kurikulum berkenaan dengan pengalamanpengalaman para siswa. Kedua, Perencanaan kurikulum dibuat berdasarkan berbagai keputusan tentang konten dan proses. Ketiga, Perencanaan kurikulum mengandung keputusan-keputusan tentang berbagai isu dan topik. Keempat, Perencanaan kurikulum melibatkan banyak kelompok. Kelima, Perencanaan kurikulum dilaksanakan pada berbagai tingkatan. Keenam, Perencanaan kurikulum adalah sebuah proses yang berkelanjutan. Ada beberapa aspek yang harus diperhatikan dalam perencanaan kurikulum. Oemar Hamalik menyebut aspek-aspek yang menjadi karakteristik perencanaan kurikulum yaitu berdasar konsep yang jelas, dibuat dalam kerangka kerja yang komprehensif, bersifat reaktif, tujuan berkait minat anak, dan ada partisipasi kooperatif. 9 Apa yang disampaikan Hamalik di atas penting untuk dikomentari lebih lanjut. Pertama, perencanaan kurikulum harus berdasarkan konsep yang jelas tentang berbagai hal yang menjadikan kehidupan menjadi lebih baik, karakteristik masyarakat sekarang dan masa depan, serta kebutuhan dasar manusia. Kedua, perencanaan kurikulum harus dibuat dalam kerangka kerja yang komprehensif, yang mempertimbangkan dan mengoordinasi unsur esensial belajar-mengajar efektif. Ketiga, perencanaan kurikulum harus bersifat reaktif dan antisipasif. Pendidikan harus responsif terhadap kebutuhan individual siswa, untuk membantu siswa tersebut menuju kehidupan yang kondusif. Keempat, tujuan-tujuan pendidikan harus meliputi rentang yang luas akan kebutuhan dan minat yang berkenaan dengan individu dan masyarakat, rumusan berbagai tujuan pendekatan harus diperjelas dengan ilustrasi konkrit, agar dapat digunakan dalam pengembangan rencana kurikulum yang spesifik. Jika tidak, maka persepsi yang muncul kurang jelas dan kontradiktif. Masyarakat luas mempunyai hak dan tanggung jawab untuk mengetahui berbagai hal yang ditujukan bagi anak-anak mereka melalui perumusan tujuan pendidikan. Berkaitan dengan hal ini para pendidiklah yang berkewajiban untuk memberitahukannya. Dengan keahlian profesional mereka, pendidik berhak dan bertanggung jawab 9 Oemar Hamalik, (2006). Pengembangan Kurikulum.PT. Remaja Rosda Karya. Hal. 151 6 Manajemen Kurikulum Pendidikan Islam mengidentifikasikan program sekolah yang akan membimbing siswa ke arah pencapaian tujuan pendidikan. Masyarakat boleh saja memberikan saran, namun keputusan akhir ada pada pendidik. Perencanaan dan pengembangan kurikulum paling efektif jika dikerjakan secara bersamasama. Hal ini dikarenakan beragamnya unsur-unsur kurikulum, yang menuntut tentang keahlian secara luas. Perencanaan kurikulum baru memuat artikulasi program sekolah dan siswa pada setiap jenjang dan tingkatan sekolah. Berkaitan dengan hal ini, kurikulum harus terdiri atas integrasi berbagai pengalaman yang relevan. Karenanya program sekolah harus dirancang untuk mengoordinasikan semua unsur dalam kurikulum kerangka kerja pendidikan. Meski masing-masing sekolah dapat mengembangkan dan memperhalus suatu struktur organisasi yang memfasilitasi studi masalahmasalah kurikulum dan mensponsori kegiatan perbaikan kurikulum. Tetapi partisipasi kooperatif harus dilaksanakan dalam kegiatankegiatan perencanaan kurikulum, terutama keterlibatan masyarakat dan para siswa dalam perencanaan situasi belajar-mengajar yang spesifik. Maka dalam perencanaan kurikulum, harus diadakan evaluasi secara kontinyu terhadap semua aspek pembuatan keputusan kurikulum, yang juga meliputi analisis terhadap proses dan konten kegiatan kurikulum. Berbagai jenjang sekolah, mulai dari pendidikan dasar sampai perguruan tinggi, hendaknya merespon dan mengakomodasi perubahan, pertumbuhan, dan perkembangan siswa. Untuk itu, perlu direfleksikan organisasi dan prosedur secara bervariasi. Ada empat pertanyaan mendasar untuk menganalisis dan mengembangkan kurikulum. Empat pertanyaan dasar ini sering disebut ”Tyler Rationale”, karena pertanyaan ini memang diadaptasi dari buku Tyler yang berjudul ”Basic Principles of Curriculum and Instruction”. 1. What educational purposes should the school seek to attain? 2. What educational experiences can be provided that are likely to attain these purposes? 3. How can these educational experiences be effectively organized? 4. How can we determine whether these purposes are being attained?. 10 10 Tanner, D and Tanner,L. N. (1980). Curriculum Development: Ttheory into Ppractice, 2nd Ed. New York, Macmillan Co. hal. 84 Dari Normatif – Filosofis ke Praktis 7 Pertanyaan Tyler ini kemudian banyak dikutip penulis karena dianggap mewakili dari empat tahap berurutan dari pengembangan kurikulum. Tanner dan Tanner menyebut empat esensi dari pertanyaan di atas. Pertama, mengidentifikasi tujuan. Kedua, memilih makna-makna bagi pencapaian tujuan ini. Ketiga, mengorganisasi makna-makna ini. Empat, mengevaluasi hasil. Secara sederhana hubungan interaksi antar faktor-faktor determinan dalam perencanaan kurikulum dapat digambarkan sebagai berikut. 11 Objectives Methods and Organization Subject Matter Evaluation Gambar 1.1: Hubungan Interelasi Faktor-faktor Determinan Perencanaan Kurikulum Tanner dan Tanner Berdasarkan faktor-faktor determinan di atas, kemudian muncul sebagai elemen, unsur, demensi, kerangka kerja dari perencanaan kurikulum dengan beragam variasi dan istilah yang berbeda-beda, meski secara fundamental empat faktor determinan tersebut selalu ada. Dalam perencanaan kurikulum faktor determinan tersebut menjadi elemen sekaligus kerangka kerja umum, membantu perencanaan kurikulum tersebut tersusun secara sistematis dan terorganisasi. 11 Ibid. hal. 81-82 8 Manajemen Kurikulum Pendidikan Islam Menurut Henson, 12 perencanaan kurikulum sebagai kata kunci rekayasa kurikulum terkait dengan beberapa variabel yang saling menunjang; memiliki judul yang jelas, mencerminkan pondasi kuat berdasar pernyataan filosofis, pernyataan tujuan yang akan dicapai, mengorganisasi isi, merumuskan aktivitas guru dan murid, dan yang penting juga adanya evaluasi (philosophy, purposes, content, activities, evaluation). Perhatian serupa juga diberikan Blenkin dan Kelly dalam melihat perencanaan sebagai faktor penting pengembangan kurikulum. 13 Secara sistematis dihubungkan dengan beberapa urutan berikut; penilaian (assessment), tujuan (goal), isi (content), metode pembelajaran (teaching method), alokasi waktu (time allocation), organisasi materi (isi) dan kelas (organization of materials and classroom), dan organisasi anak berdasar umur dan kemampuan (organization of student). Dari kontribusi di atas, secara umum mencakup model, ide, dan harapan sebuah perencanaan kurikulum. Pentingnya perencanaan dalam menerapkan kurikulum yang aplikatif merangsang banyak penulis yang memberikan konsen serius pada masalah ini. Penulis secara khusus memberikan kerangka kerja dari perencanaan kurikulum diantaranya Amstrong (1989), Beauchamp (1975), Brady (1990), Oliva (1992), Henson (1995), Tanner dan Tanner (1980) dan Eisner (2002). 1. Landasan Perencanaan Kurikulum Pendidikan berdasarkan tiga landasan utama, yaitu filsafat, sosiologi dan psikologi, yang berhubungan dengan kebutuhan individu maupun masyarakat. Perencanaan kurikulum berhubungan dengan fokus spesifik dan subjek daerah Pondasi tersebut. Menurut Brady klaim umum untuk membawa disiplin ini dalam pengembangan kurikulum adalah untuk membantu mereka memberikan guru tujuan spesifik dan perencanaan pengalaman belajar. 14Filsafat, Psikologi dan Sosiologi 12 Henson, K.T. (1995). Curriculum Development for Educational Reform, Eastern Kentucky University, Longman.Hal. 313 13 Blenkin, G M dan Kelly, AV. (1981).Primary Curriculum, London ,Harper dan Row Publisher. Hal: 158 14 Brady, L. (1990). Curriculum Development, Third Edition, New York, London, Prentice Hall. Hal. 36 Dari Normatif – Filosofis ke Praktis 9 menyediakan pengetahuan yang membantu guru dalam menentukan tujuan yang spesifik pada tiga area utama. Pertama, pertumbuhan, kebutuhan-kebutuhan, keinginan dan kesiapan anak (psikologi).Kedua, kondisi sosial yang telah dialami atau memungkinkan untuk menjadi pengalaman anak (sosiologi), dan Ketiga, karakteristik pengetahuan dan pengajaran (filsafat). Ketiga disiplin ini digambarkan Brady sebagai terikat, bersentuhan sebagai informasi pengembangan kurikulum di semua tingkat perencanaan. Pengetahuan fundamental yang menjadi dasar perencanaan kurikulum dapat dijelaskan dari gambar berikut. 1 Landasan Filosofis • Tujuan • Keutamaan • Struktur Pengetahuan 2 Landasan Sosial • Perubahan Sosial • Perubahan Teknologi • Perubahan Ideologi 3 Pilihan dari Budaya 4 Landasan Psikologi • Pengembangan • Pembelajaran • Instruksi • Motivasi 5 Kurikulum terorganisir dalam urutan dan tingkatan tertentu Gambar 1.2: Landasan Perencanaan Kurikulum Apa yang dikemukakan Brady di atas, memiliki beberapa alasan. Pertama, Filsafat memberikan sumbangan berharga dalam meneguhkan karakteristik pengetahuan, basis epistemologi, etika dan karakteristik pengetahuan. Apakah pengetahuan itu? Apa pengajaran? Mana pendidikan atau materi yang lebih utama? Apakah nilai? semua membutuhkan sumbangan filsafat sebagai dasar atau pondasinya. Kedua, Psikologi menyiapkan informasi dan konsep untuk melakukan metode investigasi yang dapat digunakan secara umum pendidikan. Perilaku, 10 Manajemen Kurikulum Pendidikan Islam karakter, keinginan, kebutuhan, motivasi berfikir adalah konsep yang diklasifikasikan dalam studi psikologi. Ketiga, sosiologi juga memberikan gambaran memadai tentang faktor-faktor yang mempengaruhi kurikulum. Karakter keluarga, karakter masyarakat, komunitas. kelompok akan menentukan bangunan kurikulum yang direncanakan. Berbeda dengan Brady, Amstrong, 15 berpijak dari Tyler (1949) mengidentifikasi tiga sumber utama kurikulum; masyarakat, pelajar dan pengetahuan. Pengembang kurikulum menganggap informasi dari setiap sumber di atas sebagai poin permulaan untuk kerja mereka. Sedang Psikologi dan Filsafat itu sebagai Major Mediator, disiplin perantara, sumber perspektif dalam melihat dari harapan-harapan masyarakat, watak pelajar yang harus dilayani dan pengetahuan yang akan ditransmisikan. 2. Tujuan Menurut Brady pernyataan dari tujuan pendidikan mencakup tujuan umum, tujuan khusus, tujuan kelas dan tujuan behavioral (goals, aims, objectives and behavioral objectives). 16 Tujuan dari kelas (objectives) menggambarkan keluaran yang dikehendaki dari proses belajar mengajar dalam terma-terma dari beberapa perubahan dari anak. Tujuan behavioral mengkomunikasikan maksud dengan pernyataan tindakan atau perbuatan yang akan dicapai. Gambar 1.3: Hirarki Tujuan. 17 15 Amstrong, D. G. (1989).Developing and Documenting the Curriculum, Allyn and Bacon, Boston, London, Sydney. Hal. 5 16 Brady, (1990).Curriculum…, Hal: 14 17 Ibid, Hal: 89 Dari Normatif – Filosofis ke Praktis 11 Hal berbeda dengan yang kemukakan Kennet T. Henson dalam bukunya “The Curriculum Development for Education Reform,” kata aim, goal dan objective memiliki perbedaan dalam stratifikasi dan ruang lingkup tujuan.Gambar 1.4 berikut menjelaskan tentang perbedaan dan contoh penggunaannya masing-masing tingkatan. Gambar 1.4: Tingkatan Tujuan Pendidikan. 18 Ada istilah aim (tujuan pendidikan nasional), yaitu sesuai dengan amanat undang-undang dasar 1945 dalam pembukaannya alinea empat, dijelaskan bahwa tujuan pendidikan nasional kita adalah “mencerdaskan kehidupan bangsa.” Kemudian pada goal (tujuan institusional atau kelembagaan) misalnya, membentuk pribadi manusia yang beriman dan berakhlak mulia serta mampu menguasai ilmu pengetahuan dan teknologi. Sedangkan objective (tujuan pembelajaran) disesuaikan dengan Standar Kompetensi (SK) dan Kompetensi Dasar (KD). Proses pembelajaran tanpa tujuan bagaikan hidup tanpa arah. Oleh sebab itu, tujuan pendidikan dan pembelajaran secara keseluruhan harus dikuasai oleh guru. Tujuan disusun berdasarkan ciri karakteristik anak dan arah yang ingin dicapai. Tujuan belajar adalah sejumlah hasil belajar yang menunjukkan bahwa siswa telah melakukan perbuatan belajar, yang 18 Agus Zaenul Fitri, (2012). Reinventing Human Character: Pendidikan Karakter Berbasis Nilai dan Etika di Sekolah.Hal. 18 12 Manajemen Kurikulum Pendidikan Islam umumnya meliputi pengetahuan, keterampilan dan sikap-sikap yang baru yang diharapkan tercapai oleh siswa Hamalik menjelaskan bahwa komponen tujuan pembelajaran, meliputi: (1) tingkah laku, (2) kondisi-kondisi tes, (3) standar (ukuran) perilaku. 19Dalam model pengembangan kurikulum seperti Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP) tujuan pembelajaran disesuaikan dengan Standar Kompetensi (SK) dan Kompetensi Dasar (KD) yang diukur melalui indikator-indikator pencapaian keberhasilan pembelajaran. Perilaku belajar dalam KTSP diukur dengan indikator yang jelas. Misalnya, mampu menjelaskan, mengungkapkan, menganalisis dan mengaplikasikan suatu konsep atau teori tertentu. Karenanya, area yang paling luas dan kerangka kerja kurikulum adalah definisi tujuan pendidikan secara menyeluruh. Berdasarkan tiga daerah fondasi tadi, tujuan umum menyajikan tujuan khusus kewilayahan yang dikembangkan pada berbagai jenjang wilayah (nasional, provinsi, kabupaten atau kotamadya, dan masyarakat luas).Rumusan tujuan tersebut merefleksikan tingkat atau daerah satu dengan yang lainnya. Tingkat nasional memberikan petunjuk bagi pengembangan lokal, dan sebaliknya. Masalah yang sering timbul dalam perencanaan kurikulum yang spesifik tidak mempertimbangkan rumusan tujuan yang luas atau rumusan tujuan umum berkelanjutan. Karenanya rumusan tujuan akan membatasi dari ruang mana ia menjadi sasaran. Perumusan tujuan belajar diperlukan untuk meningkatkan kemampuan siswa sebagai anggota masyarakat, dalam mengadakan hubungan timbal balik dengan lingkungan sosial, budaya dan alam sekitarnya. Di Indonesia secara umum untuk mencapai tujuan, penyelenggara sekolah berpedoman pada tujuan pendidikan nasional. Sumber dan tujuan ini adalah sumber empiris, sumber filosofis, sumber mata pelajaran, konsep kurikulum, analisis situasional, dan tekanan pendidikan yang sudah dirumuskan dalam Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP). Tujuan pembelajaran (objective) memberikan arah positif yang berimplikasi pada; Pertama, suatu pengertian tentang arah (sasaran) bagi 19 Oemar Hamalik, (2003). Proses Belajar Mengajar.Bumi Aksara. Hal. 24 Dari Normatif – Filosofis ke Praktis 13 setiap orang yang tertarik dengan proses pendidikan, seperti siswa, guru, administrator, orang tua, penilik, pengawas dan sebagainya; Kedua, basis perencanaan kurikulum yang rasional dan logis; dan Ketiga, memberikan suatu basis untuk penilaian siswa. Tujuan umum menyajikan berbagai tujuan yang mengalihkan kegiatan belajar mengajar sejalan dengan tingkat perkembangan siswa (anak-anak sampai dewasa) sehingga program pendidikan pun sejalan dengan tingkat perkembangan siswa tersebut. Dalam kerangka ini, maka tujuan yang efektif menuntut Brady harus dapat mempertemukan beberapa persyaratan; (1) cakupan (scope), memasukkan semua rangsangan hasil belajar:(2) relevansi (suitability), terkait situasi kelas dan konteks sosial:(3) validitas (validity), merefleksikan nilai yang mereka tuju untuk dihadirkan;(4) fisibilitas (feasibility), dapat dicapai dalam terma kemampuan anak dan ketersediaan sumber;(5) kompatibel (compatibility), memiliki konsistensi dengan pernyataan tujuan lainnya;(6) spesifik (specificity), cukup tepat untuk menghilangkan ambiguitas; dan (5) interpretatif (interpretability), mudah difahami bagi mereka yang mungkin membantu untuk 20 mengimplementasikannya. 19F 3. Organisasi Isi Isi atau materi dalam bahasa Arab disebut dengan (Al-maddah) yang berarti materi (isi).Materi (isi) dari pada kurikulum pendidikan Islam meliputi: (1) Al-Qur’an dan Hadits; (2) Akidah dan Akhlak; (3) Fiqh (Muamalah); (4) Sejarah Peradaban dan Kebudayaan Islam; dan (5) Sejarah Pendidikan Islam. Isi kurikulum atau core curriculum atau struktur bahan pelajaran adalah kumpulan dari mata pelajaran yang menjadi bahan diskursus dalam proses belajar mengajar. Brady menegaskan isi didefinisikan sebagai mata pelajaran dari belajar mengajar (content is defined as the subject matter of teaching-learning). 21Ia melibatkan banyak hal. Bukan saja pengetahuan, tetapi juga keterampilan, konsep, sikap dan nilai; isi di sampaikan dengan berbagai cara; cara yang digunakan disebut metode 20F 20 Brady, (1990).Curriculum…, hal: 89-90 Ibid, hal: 92 21 14 Manajemen Kurikulum Pendidikan Islam belajar; konten atau isi kurikulum merupakan susunan bahan kajian dan pelajaran untuk mencapai tujuan pendidikan. Penggunaan desain kurikulum umum untuk mengorganisir pengalaman belajar yang mencakup semua program disebut aktivitas makro kurikulum. 22Kegiatan itu mencakup kegiatan luas, perencanaan dan merefleksikan keputusan yang dibuat secara nasional, regional dan lokal. Hasil kerja ini biasanya berupa garis-garis besar yang berisi informasi terkait bahan pelajaran yang ditawarkan, persyaratan, urutan dan waktu yang dibutuhkan. Bahan ajar yang meliputi bahan kajian dan mata pelajaran. Isi kurikulum adalah mata pelajaran pada proses belajarmengajar, seperti pengetahuan, keterampilan, dan nilai-nilai yang diasosiasikan dengan mata pelajaran. Pemilihan organisasi isi menekankan pada pendekatan mata pelajaran (pemahaman) atau pendekatan proses (keterampilan) dapat dilakukan melalui beberapa cara. Pertama, pendekatan kronologis, dimana isi diurutkan berdasar tema-tema dari waktu berdasar kalender baik dari masa lampau ke masa sekarang atau sebaliknya dari masa sekarang ke masa lampau. Ini dimungkinkan jika materi memiliki hubungan logis dari sisi urutan waktu (the chronological approach). Kedua, pendekatan tematik, dimana elemen materi pertama diorganisir di bawah satu tema besar, kemudian diputuskan mana yang diajarkan pertama, kedua, ketiga, dan seterusnya (the thematic approach). Ketiga, pendekatan dari bagian kecil ke bagian besar, dimana topik-topik atau unit-unit isi diurutkan dari basic elemen ke elemen yang lebih kompleks (the part to whole approach), dan Keempat, kebalikan dari pendekatan bagian kecil ke bagian besar. Pada pendekatan ini informasi umum secara tipikal disampaikan dahulu, dengan menyiapkan anggota kelas memiliki pandangan umum yang bersifat luas dari apa yang mereka pelajari. Baru kemudian setelah mereka memiliki rangkuman dari overview, informasi spesifik mulai diperkenalkan dan memperkenankan mereka mempelajari bagian terkecil dari bagian besar (The whole to part approach) yang tunjukkan pada gambar 1.5 berikut. 22 Amstrong, (1988).Developing…., Hal. 73 Dari Normatif – Filosofis ke Praktis 15 Gambar 1.5: Pendekatan Organisasi Isi Apapun pilihan pendekatan dari organisasi isi perencanaan kurikulum terdapat kriteria yang perlu diperhatikan dalam pemilihan organisasi isi kurikulum ini, yaitu: (a) signifikansi, yaitu seberapa penting isi kurikulum pada suatu disiplin atau tema studi; (b) validitas, yang berkaitan dengan keotentikan dan keakuratan isi kurikulum tersebut; (c) relevansi sosial, yaitu keterkaitan isi kurikulum dengan nilai moral, cita-cita, permasalahan sosial, isu kontroversial, dan sebagainya, untuk membantu siswa menjadi anggota efektif dalam masyarakat; (d) utility atau kegunaan (daya guna), berkaitan dengan kegunaan isi kurikulum dalam mempersiapkan siswa menuju kehidupan dewasa; (e) learnability atau kemampuan untuk dipelajari, yang berkaitan dengan kemampuan siswa dalam memahami isi kurikulum tersebut; dan(f) minat, yang berkaitan dengan minat siswa terhadap isi kurikulum tersebut. 4. Organisasi Siswa (Peserta Didik) Aspek penting yang perlu diperhatikan dari perencanaan kurikulum adalah aspek perkembangan manusia. Aspek ini akan memberi arah bagi perencanaan kurikulum yang tepat. Pemahaman yang memadai tentang tahap perkembangan manusia berguna sebagai alat memahami kebutuhan anak dari beragam tingkat pendidikan. Meski secara tak langsung dapat mendefinisikan perkembangan anak secara khusus pada usianya. Karena anak secara lahir memiliki keunikan. Dalam konteks pendidikan muncul berbagai klasifikasi anak berdasar umur, level dan juga tingkat perkembangannya. Anak dikelompokkan berdasar perkembangannya yang disesuaikan dengan tingkat pertumbuhan jasmani, mental dan motorik. Klasifikasi umum yang sering ditemui adalah infant (usia 1-2 tahun), Todler (usia 2-3 tahun), Nursery (usia 3-4 tahun), dan Kindergarten (usia 4-5) tahun (K1) dan 5-6 16 Manajemen Kurikulum Pendidikan Islam tahun (K2). Istilah yang sama dengan Taman Pengasuhan Bersama, Bermain Bersama, Kelompok Bermain (Play Group), Taman KanakKanak. Pengelompokan anak berdasar level, klasifikasi Early Childhood, Pre School, Primary, Secondary, Elementary, Junior, Senior sampai High School atau University adalah argument yang menggunakan dasar perkembangan manusia. Beberapa aspek perkembangan anak yang penting untuk petunjuk perencanaan kurikulum adalah basis biologis dan perbedaan individu, kematangan fisik, perkembangan intelektual, pertumbuhan emosi, dan perkembangan sosial dan budaya. Gambar 1.6. Lima Aspek Perkembangan sebagai Petunjuk Perencanaan Kurikulum. 23 Organisasi siswa selain memperhatikan lima aspek sebagaimana digambarkan di atas, juga perlu memperhatikan aspek waktu. Disini guru atau pihak perencanaan kurikulum perlu mempertimbangkan lima daerah yang akan mempengaruhi keputusan mereka, yaitu: Pertama, karakteristik siswa yang menggunakan kurikulum tersebut; Kedua, refleksi prinsip-prinsip belajar; Ketiga, sumber-sumber umum penunjang; Keempat, jenis pendekatan kurikulum (terpisah, terkorelasi, 23 Parkay, (2006).Curriculum…., Hal. 123 Dari Normatif – Filosofis ke Praktis 17 dan sebagainya); dan Kelima, pengorganisasian pengelolaan disiplin spesifik yang digunakan dalam perencanaan situasi belajar-mengajar. 5. Metode Metode dalam bahasa Arab disebut (Thoriqah, Wasilah) yang berarti metode, cara, jalan yang digunakan agar dapat mencapai tujuan. Bagian paling penting dan sangat jelas dari elemen kurikulum adalah metode. Menurut Brady seseorang yang datang ke sekolah tidak langsung melihat apa tujuan dan isi di dalam kegiatan. Melainkan metode apa yang digunakan. 24 Metode tidak berdiri sendiri. Memilih metode sangat berkait dengan model pembelajaran, terkait dengan isi kurikulum dan tujuan. 23F Gambar 1.7: Hubungan Tujuan dan Metode Metode dipilih berdasar tujuan yang dirumuskan. Selanjutnya metode juga terkait dengan model belajar. Brady mengidentifikasi lima model belajar, mendefinisikan sebuah model sebagai blueprint yang dapat digunakan untuk membimbing persiapan mengajar. Model disusun dalam sebuah kontinum dari terpusat guru (teacher centered) berpusat pada anak (student centered). Teacher Centered Exposition Behavioral Cognitive Development Interaction Transaction Student Centered Gambar 1.8: Model Pembelajaran 24 Brady, (1990).Curriculum…, Hal. 108 18 Manajemen Kurikulum Pendidikan Islam Model Eksposisi adalah model tradisional yang terpusat pada guru. Sementara transaksi adalah model mutakhir yang terpusat pada anak. Metode juga berkait dengan tujuan yang dirumuskan. Hubungan aktivitas belajar dapat didefinisikan sebagai berbagai aktivitas yang diberikan pada pembelajar dalam situasi belajar-mengajar. Aktivitas belajar ini didesain agar memungkinkan siswa memperoleh muatan yang ditentukan, sehingga berbagai tujuan yang ditetapkan, terutama maksud dan tujuan kurikulum, dapat tercapai. Berkaitan dengan aktivitas belajar, harus diperhatikan pula strategi belajar-mengajar yang efektif, yang dapat dikelompokkan sebagai berikut: Pertama, pengajaran expository. Pengajaran expository atau penjelasan rinci ini melibatkan pengiriman informasi dalam arah tunggal, dan suatu sumber ke pebelajar. Contoh dan pengajaran ini adalah ceramah, demonstrasi, tugas membaca dan presentasi audio visual. Kedua, pengajaran interaktif. Pada hakikatnya, pengajaran ini sama dengan pengajaran expository. Perbedaannya, dalam pengajaran interaktif terdapat dorongan yang disengaja ketika terjadi interaksi antara guru dan pembelajar, yang biasanya berbentuk pemberian pertanyaan. Pada dasarnya, dalam pendekatan ini pembelajar lebih aktif, dan keterampilan berpikir ditingkatkan melalui unsur interaktif. Ketiga, pengajaran atau diskusi kelompok kecil. Karakteristik pokok dan strategi ini melibatkan pembagian kelas ke dalam kelompok-kelompok kecil yang bekerja relatif bebas, untuk mencapai suatu tujuan. Peran guru berubah, dan seorang pemberi pengetahuan menjadi koordinator aktivitas dan pengarah informasi. Keempat, pengajaran inkuiri atau pemecahan masalah. Ciri utama strategi ini adalah aktifnya pembelajar dalam penentuan jawaban dan berbagai pertanyaan serta pemecahan masalah. Pengajaran inkuiri biasanya melibatkan pembelajaran dengan aktivitas yang dilaksanakan secara bebas, berpasangan atau dalam kelompok yang lebih besar. Dan Kelima, strategi belajar-mengajar lainnya. Strategi belajar-mengajar lain yang relatif lebih baru adalah cooperative learning, community service project, mastered learning, dan project approach. Dari Normatif – Filosofis ke Praktis 19 Dari beragam metode ini yang penting diperhatikan adalah kriteria pemilihan metode. Menurut Brady, 25 didasarkan pada beberapa pertimbangan berikut ini: (1) keragaman (variety). Metode harus bervariasi untuk mempertemukan tujuan yang dirumuskan dan mengakomodasi tingkat perbedaan dan gaya pengajaran; (2) cakupan (scope), metode harus cukup bervariasi untuk mencapai semua tujuan yang dirumuskan; (3) validitas (validity), metode khusus harus terkait dengan tujuan khusus; (4) kesesuaian (appropriate), metode terkait dengan keinginan anak, kemampuan dan kesiapan; dan (5) relevan (relevance), metode yang digunakan di sekolah harus terkait dengan apaapa yang dituntut selesai sekolah. Macam-macam metode pembelajaran yang bisa digunakan dalam pendidikan Islam, yaitu: a. Metode Ceramah Metode ceramah dapat diartikan sebagai cara menyajikan pelajaran melalui penuturan secara lisan. Metode ceramah sampai saat ini sering digunakan oleh setiap guru atau instruktur. Hal ini selain disebabkan oleh beberapa pertimbangan tertentu, juga adanya faktor kebiasaan baik dari siswa maupun guru. Guru biasanya belum puas manakala dalam proses pengelolaan pembelajaran tidak melakukan ceramah. 26Demikian juga dengan siswa, mereka akan belajar manakala ada guru yang memberikan materi pelajaran melalui ceramah. Sehingga ada guru yang berceramah berarti ada proses belajar dan tidak ada guru berarti tidak ada belajar. Metode ceramah merupakan cara yang digunakan untuk mengimplementasikan strategi pembelajaran ekspositori. Metode ceramah seringkali diterapkan dalam pembelajaran. Tidak hanya pada pembelajaran fiqih namun juga pembelajaran yang lain. Karena metode ini di anggap lebih mudah dan lebih praktis, apalagi apabila diterapkan pada anak usia kelas bawah. 25 Ibid, 128 Wina Sanjaya, (2010). Strategi Pembelajaran Berorientasi Standar Proses Pendidikan, Jakarta: Kencana.Hal.147. 26 20 Manajemen Kurikulum Pendidikan Islam 1) Kelebihan metode ceramah diantaranya: a) Ceramah merupakan metode yang mudah dan murah untuk dilakukan. Murah maksudnya tidak memerlukan peralatan yang lengkap, sedangkan mudah maksudnya memang ceramah hanya mengandalkan suara guru, sehingga tidak butuh persiapan yang rumit. b) Ceramah dapat menyajikan materi pelajaran yang luas, artinya materi yang banyak dapat dirangkum atau dijelaskan pokokpokoknya oleh guru dalam waktu yang singkat. c) Ceramah dapat memberikan pokok materi yang perlu ditonjolkan. Artinya guru dapat mengatur pokok materi mana yang perlu ditekankan sesuai dengan tujuan yang ingin dicapai. d) Melalui ceramah, guru dapat mengontrol keadaan kelas. 2) Kelemahannya diantaranya: 1) Materi yang dikuasai siswa sebagai hasil dari ceramah akan terbatas pada apa yang dikuasai guru. 2) Ceramah yang tidak disertai dengan peragaan dapat mengakibatkan pemahaman yang berbeda antara siswa satu dengan siswa yang lainnya, termasuk dalam ketajaman menangkap materi pembelajaran melalui pendengarannya. 3) Guru yang kurang memiliki kemampuan bertutur yang baik, ceramah sering dianggap metode yang membosankan. 27 4) Guru sukar mengetahui sampai mana murid-murid mengerti pembicaraannya. 28 5) Guru lebih aktif sedangkan murid pasif. 6) Adanya unsur paksaan, karena guru yang bicara, murid diharuskan mendengarkan apa yang dijelaskan guru. 29 b. Metode Demonstrasi Metode demonstrasi adalah metode mengajar yang menggunakan peragaan untuk memperjelas suatu pengertian atau 27 Ibid, hal.147-149. Suryosubroto, (1997). Proses Belajar Mengajar di Sekolah, Jakarta:Rineka Cipta. Hal.167. Direktorat Pembinaan Perguruan Tinggi Agama Islam, 1981.Metodik Khusus Pengajaran Agama Islam, Jakarta. Hal 231. 28 29 Dari Normatif – Filosofis ke Praktis 21 untuk memperlihatkan bagaimana melakukan sesuatu kepada anak didik. Dengan metode demonstrasi guru atau murid memperlihatkan pada seluruh anggota kelas sesuatu proses, misalnya bagaimana cara shalat yang sesuai dengan ajaran Rasulullah saw. Sebaiknya dalam mendemonstrasikan pelajaran tersebut guru lebih dahulu mendemonstrasikan yang sebaik baiknya, lalu murid ikut mempraktikkan sesuai dengan petunjuk. Contoh: pada materi tentang tata cara pengurusan jenazah didemonstrasikan cara-cara mengurusi jenazah dengan praktik. Beberapa keuntungan metode demonstrasi yaitu: 1) Perhatian siswa dapat dipusatkan, dan titik berat yang dianggap penting oleh guru dapat diamati secara tajam. 2) Perhatian siswa akan lebih terpusat kepada apa yang didemonstrasikan, jadi proses belajar siswa akan lebih teratur dan akan mengurangi perhatian siswa kepada masalah lain. 3) Apabila siswa sendiri ikut aktif dalam sesuatu percobaan yang bersifat demonstrasi, maka mereka akan memperoleh pengalaman yang melekat pada jiwanya dan ini berguna dalam pengembangan percakapan. c. Metode Tutorial/Bimbingan Metode tutorial merupakan proses pembelajaran yang dilakukan guru/tutor dengan cara memberikan bimbingan kepada siswa baik secara perorangan majupun kelompok. Metode ini sangat baik digunakan bagi siswa yang terlibat dalam kerja kelompok. Misalnya tentang cara mengkafani jenazah, maka guru memberikan bimbingan tentang tata cara mengkafani jenazah secara baik dan benar. Posisi dan peran guru sebagai motivator, innovator, motivator dan conselorakan sangat membantu siswa dalam menyelesaikan tugas-tugas yang dikerjakannya. 22 Manajemen Kurikulum Pendidikan Islam d. Metode Diskusi Metode diskusi adalah suatu cara penyajian bahan pelajaran dimana guru memberi kesempatan kepada para siswa secara kelompok untuk mengadakan perbincangan ilmiah guna mengumpulkan pendapat, membuat kesimpulan atau penyusun berbagai alternatif pemecahan atas suatu masalah. Forum diskusi dapat diikuti oleh semua siswa di dalam kelas dapat pula dibentuk kelompokkelompok yang lebih kecil. Secara umum ada 2 (dua) jenis diskusi yang biasa dilakukan dalam proses pembelajaran, yaitu: 1) Diskusi kelompok Diskusi ini dinamakan juga diskusi kelas. Pada diskusi ini permasalahan yang disajikan oleh guru dipecahkan oleh kelas secara keseluruhan. Yang mengatur jalannya diskusi adalah guru itu sendiri. 2) Diskusi kelompok kecil Pada diskusi ini siswa dibagi menjadi beberapa kelompok. Setiap kelompok terdiri dari 3-7 orang. Proses pelaksanaan diskusi ini dimulai dari guru menyajikan masalah dengan beberapa sub masalah. Setiap kelompok memecahkan sub masalah yang disampaikan guru. Proses diskusi ini diakhiri dengan laporan setiap kelompok. Dalam penerapan metode diskusi ini juga tidak luput dari kelebihan dan kelemahan dari metode yang digunakan. Di bawah ini akan ada penjelasan mengenai apa saja yang menjadi kelebihan dan kelemahan dari metode diskusi ini. a) Kelebihan metode diskusi diantaranya: (1) Metode diskusi dapat merangsang siswa untuk lebih kreatif khususnya dalam memberikan gagasan dan ide-ide. (2) Dapat melatih untuk membiasakan diri bertukar fikiran dalam mengatasi setiap permasalahan. (3) Dapat melatih siswa untuk dapat mengemukakan pendapat atau gagasan secara verbal disamping itu, diskusi juga bisa melatih siswa untuk menghargai pendapat orang lain. Dari Normatif – Filosofis ke Praktis 23 b) Kelemahan metode diskusi. (1) Sering terjadi pembicaraan dalam diskusi dikuasai oleh dua atau tiga orang siswa yang memiliki keterampilan berbicara. (2) Kadang-kadang pembahasan dalam diskusi meluas, sehingga kesimpulan menjadi kabur (3) Memerlukan waktu yang cukup panjang, yang kadangkadang tidak sesuai dengan yang direncanakan (4) Dalam diskusi sering terjadi perbedaan pendapat yang bersifat emosional yang tidak terkontrol. Akibatnya kadangkadang ada pihak yang merasa tersinggung, sehingga dapat mengganggu iklim pembelajaran. 30 e. Metode Tajribat (Eksperimen) Metode Tajribat ini merupakan suatu cara pembelajaran yang melibatkan siswa secara langsung untuk melakukan dan mengalami serta membuktikan sendiri apa yang dipelajari. Maka metode ini siswa didorong untuk melakukan, mengalami, membuktikan, menganalisis dan menarik kesimpulan dari kegiatan yang dilakukannya. Metode ini biasanya dilakukan dalam suatu pelajaran tertentu seperti ilmu alam, ilmu kimia, dan sejenisnya. Biasanya terhadap ilmu-ilmu alam yang di dalam penelitiannya menggunakan metode yang sifatnya obyektif, baik dilakukan di dalam maupun di luar kelas dan laboratorium. 31 Misalnya peserta diminta untuk melakukan eksperimen tentang tata cara memandikan, mensholatkan dan mengkafani jenazah. f. Metode Pemberian Tugas Metode ini adalah suatu cara dalam proses belajar mengajar bilamana guru memberi tugas tertentu dan murid mengerjakannya, kemudian tugas itu dipertanggungjawabkan kepada guru. Dengan cara demikian diharapkan agar murid belajar secara bebas tapi bertanggung jawab dan murid akan berpengalaman mengetahui 30 Wina Sanjaya, (2010).Strategi....., hal.156. Direktorat Pembinaan Perguruan Tinggi Agama Islam, (1981). Metodik....., hal.235. 31 24 Manajemen Kurikulum Pendidikan Islam berbagai kesulitan kemudian berusaha untuk ikut mengatasi kesulitan-kesulitan itu. Pemberian tugas dapat dilakukan dalam beberapa hal yaitu: 1) Murid diberi tugas mempelajari bagian dari suatu buku teks, baik perorangan ataupun kelompok. 2) Murid diberi tugas untuk melaksanakan sesuatu yang tujuannya melatih mereka dalam hal yang bersifat kecakapan mental dan motorik. 3) Murid diberi tugas melaksanakan eksperimen, misalnya: praktik sholat jenazah, cara memandikan jenazah. 4) Murid diberi tugas untuk mengatasi masalah tertentu atau problem solving dengan cara memecahkannya dengan tujuan agar murid terbiasa berfikir logis dan sistematis. 5) Murid diberi tugas melaksanakan proyek dan bertujuan agar murid-murid membiasakan diri bertanggung jawab terhadap penyelesaian suatu masalah. Misalnya peserta didik diberi tugas membuat kliping tentang makanan dan yang halal. g. Metode Drill (Latihan) Metode drill merupakan suatu cara penyampaian mata pelajaran kepada peserta didik dengan cara mengulang-ulang (berkali-kali) terhadap hal yang sama dengan tujuan memperkuat suatu asosiasi atau penyempurnaan suatu keterampilan agar melekat dan menjadi permanen. Penggunaan istilah “latihan” sering disamakan artinya dengan istilah “ulangan”. Padahal maksudnya berbeda. Latihan bermaksud agar pengetahuan dan kecakapan tertentu dapat menjadi milik anak didik dan dikuasai sepenuhnya, sedangkan ulangan hanyalah untuk sekedar mengukur sejauh mana dia telah menyerap pengajaran tersebut. Misalnya, memberikan soal-soal latihan dengan materi yang lebih dikembangkan sesuai materi pembelajaran pendidikan Islam. Menurut para ahli metode ini memiliki beberapa keunggulan dan kelemahan, yaitu: Dari Normatif – Filosofis ke Praktis 25 1) Keunggulan a) Siswa akan memperoleh ketangkasan dan kemahiran dalam melakukan sesuatu dengan apa yang dipelajarinya. b) Dapat menimbulkan rasa percaya diri, bahwa para siswa berhasil dalam belajarnya telah memiliki sesuatu keterampilan khusus yang berguna kelak di kemudian hari. c) Guru lebih mudah mengontrol dan dapat membedakan mana siswa yang disiplin dalam belajarnya dan mana yang kurang memperhatikan tindakan dalam perbuatan siswa di saat berlangsungnya pengajaran. d) Memungkinkan siswa dapat memperbaiki kesalahannya saat itu juga. e) Melatih daya tangkap dan daya ingat siswa serta daya ekspresi. f) Melatih siswa untuk rajin belajar dan menyesuaikan pertanyaan serta jawabannya secara tepat dan benar. g) Melatih daya konsentrasi siswa. 2) Kelemahan a) Dapat menghambat inisiatif siswa, di mana inisiatif dan minat siswa yang berbeda dengan petunjuk guru dianggap suatu penyimpangan dan pelanggaran dalam pengajaran yang diberikannya. b) Membuat siswa menjadi statis, karena tidak diberikan kebebasan dalam mengembangkan kreativitas siswa dalam menyelesaikan tugas. c) Membentuk kebiasaan yang kaku, artinya seolah-olah siswa melakukan sesuatu secara mekanis, dan dalam memberikan stimulus siswa dibiasakan bertindak secara otomatis. d) Dapat menimbulkan verbalisme, terutama pengajaran yang bersifat menghafal di mana siswa dilatih untuk dapat menguasai bahan pelajaran secara hafalan dan secara otomatis mengingatkan apabila ada pertanyaan-pertanyaan yang berkenaan dengan hafalan tersebut tanpa suatu proses berfikir yang logis. 26 Manajemen Kurikulum Pendidikan Islam h. Metode Kerja Kelompok Apabila guru dalam menghadapi siswa di kelas merasa perlu membagi-bagi siswa dalam kelompok-kelompok untuk memecahkan suatu masalah yang perlu dikerjakan bersama-sama, maka cara mengajar tersebut dapat dinamakan metode kerja kelompok. Pengelompokan dapat dilakukan oleh siswa sendiri yang biasanya dalam pemilihan kelompok seperti ini didasarkan atas pemilihan teman yang menurutnya lebih dekat atau lebih intim. Cara ini menimbulkan keuntungan, yaitu menimbulkan konsentrasi dalam belajar, memudahkan hubungan kepribadian dan dapat menimbulkan kegairahan baru. Namun pengelompokan dapat pula dilakukan oleh guru atas pertimbangan-pertimbangan yang telah dibuat oleh guru. 32 Misalnya membagi siswa ke dalam beberapa kelompok, kemudian masing-masing kelompok diberi tugas untuk mempraktikkan tata cara mengkafani jenazah dengan benar. i. Metode Tanya Jawab Adalah metode mengajar yang memungkinkan terjadinya konsumsi langsung bersifat dua arah. Sebab pada saat yang sama terjadi dialog antara guru dan siswa. Guru bertanya siswa menjawab begitu pula sebaliknya. Dalam komunikasi ini terlihat adanya hubungan timbal balik antara guru dan siswa. 33 Metode ini dapat dipakai oleh guru untuk menetapkan perkiraan secara umum apakah siswa yang mendapat giliran pertanyaan sudah memahami bahan pelajaran yang telah diberikan. 34Misalnya, guru memberikan pertanyaan kepada peserta didik tentang materi setelah akhir pembelajaran. Metode ini dapat dipakai oleh guru untuk menetapkan perkiraan secara umum apakah siswa yang mendapat giliran pertanyaan sudah memahami bahan pelajaran yang telah diberikan. 35 32 Ibid, Hal. 237-243. R Ibrahim,dkk,(2010). Perencanaan Pengajaran, Jakarta: Rineka Cipta. Hal. 106. Direktorat Pembinaan Perguruan Tinggi Agama Islam, (1981). Metodik....., hal. 245. 35 Ibid, hal. 245. 33 34 Dari Normatif – Filosofis ke Praktis 27 Beberapa alternatif dapat terjadi dalam metode tanya jawab yaitu: 1) Segi kecepatan menuangkan bahan pelajaran Dalam hal menerangkan bahan pelajaran pada siswa penggunaan metode tanya jawab lebih lamban daripada metode ceramah akan tetapi metode tanya jawab dari segi kepastian lebih tajam, karena guru memberikan pertanyaan untuk suatu jawaban tertentu dan guru dapat mengetahui dengan segera apakah siswanya mengerti atau tidak. Kalau terjadi yang demikian maka guru dapat segera menjelaskan kembali segi-segi yang belum jelas itu. 2) Dapat terjadi penyimpangan dari pokok persoalan Guru dalam melaksanakan tanya jawab lebih besar kemungkinan menyimpang dari pokok persoalan hal ini dapat terjadi apabila siswa memberikan jawaban, lalu berbalik mengajukan pertanyaan yang menimbulkan masalah baru di luar yang sedang dibicarakan. 3) Dapat terjadi perbedaan pendapat antara murid dan guru Untuk menghindari sesuatu yang dapat terjadi dalam metode tanya jawab terutama yang bersifat negatif maka perlu diperhatikan hal-hal sebagai berikut: a) Pertanyaan harus singkat jelas dan merangsang untuk berfikir. b) Sesuai dengan kecerdasan siswa. c) Memerlukan jawaban dalam bentuk kalimat atau uraian kecuali yang bersifat obyektif tes, dapat menggunakan pilihan jawaban ya/tidak. d) Usahakan pertanyaan dengan jawaban yang pasti. 36 j. Metode Simulasi Simulasi berasal dari kata simulate yang artinya berpura-pura atau berbuat seakan akan. Sebagai metode mengajar, simulasi dapat diartikan cara penyajian pengalaman belajar dengan menggunakan situasi tiruan untuk memahami tentang konsep, prinsip, atau keterampilan tertentu. Simulasi dapat digunakan sebagai metode 36 Ibid, hal. 245-246. 28 Manajemen Kurikulum Pendidikan Islam mengajar dengan asumsi tidak semua proses pembelajaran dapat dilakukan secara langsung pada objek yang sebenarnya. 37 Dalam simulasi, para siswa membuat sambungan di dalam otak mereka yang jarang didapat, melalui teknik pengajaran konvensional. Akibatnya, pembelajaran memiliki dampak yang lebih besar, ditambah dengan pengetahuan dan keterampilan baru serta efeknya dapat dipertahankan lebih lama lagi. Hebatnya, waktu yang dihabiskan untuk simulasi sebuah konten tidak mengurangi jumlah jam belajar. Efektivitas penggunaan pendekatan simulasi akan tergantung pada desain dasar dari simulasi serta pelaksanaan dan evaluasi teknik yang digunakan. Mengajar menggunakan Metode Simulasi merupakan usaha untuk meningkatkan motivasi, para peserta datang untuk memahami lebih banyak dan juga dapat menemukan lebih banyak subjek. Bahkan, pemahaman mulai berkembang pesat, sehingga tingkat yang lebih tinggi dari motivasi itu dapat muncul. Dengan demikian, motivasi dan pemahaman menjadi bahan bakar untuk satu sama lain, dan siswa menjadi lebih terlibat dalam pengalaman pembelajaran. Peserta didik benar-benar menggunakan lebih dari pengertian materi ketika mereka terlibat dalam kegiatan simulasi. Hal ini dapat dicontohkan seperti bertayamum, sholat, berwudhu, memandikan dan mengkafani jenazah, dan lain-lain. k. Metode Kisah Metode kisah adalah metode yang banyak menceritakan suatu peristiwa untuk menyampaikan pesan-pesan yang terkandung di dalamnya, misalnya kisah para nabi dan rasul dan umat terkemuka zaman dahulu. Dalam kisah itu tersimpan nilai-nilai etis, pedagogis, religius, kepemimpinan dan perjuangan yang memungkinkan siswa mampu meresapinya. Contohnya; menceritakan tentang kisah nabi Ya’kub sebagai salah satu contoh nabi yang memiliki kesabaran dalam menghadapi ujian sakit, dijauhi sanak saudara dan kerabat dekat. 37 Wina Sanjaya, (2010). Strategi....., Hal. 159. Dari Normatif – Filosofis ke Praktis 29 l. Metode Pemahaman dan Penalaran (al-Ma’rifal wa al-Nadhariyah) Metode ini adalah metode mendidik dengan membimbing anak didik untuk dapat memahami problema yang dihadapi dengan menemukan jalan keluar yang benar dari berbagai macam kesulitan dengan melatih anak didik menggunakan pikirannya dalam mendata masalah, dengan cara memilah dan memilih, membuang mana yang salah, meluruskan yang bengkok, dan mengambil yang benar. m. Metode Suri Tauladan Metode ini dapat diartikan sebagai “contoh yang baik”. Dengan adanya contoh yang baik itu, maka akan menumbuhkan hasrat bagi orang lain untuk meniru atau mengikutinya. Sebab saat ini banyak sekali orang (guru) yang bisa memberi contoh tetapi tidak layak dicontoh, oleh karena itu, pribadi yang menjadi seorang guru yang bisa memberi contoh dan sekaligus layak untuk dicontoh dalam perilaku sehari-hari. Dengan adanya tingkah laku yang baik dalam hal apapun maka hal itu merupakan suatu amaliyah yang paling penting dan paling berkesan, baik bagi pendidik atau peserta didik, maupun dalam kehidupan, dan pergaulan sehari-hari. 38Contohnya; kisah tentang nabi Muhammad Saw, yang patut untuk diteladani bagi setiap umat muslim. n. Metode Amtsal Metode ini dilakukan dengan cara memberi perumpamaan dari yang abstrak kepada yang lebih konkrit untuk mencapai tujuan dan atau mengambil manfaat dari perumpamaan tersebut. Manna Khalil Al Qattan mengklasifikasi amstal dalam Al Qur’an menjadi 3 macam: 1) Amtsal Musarrahah, yaitu amtsal yang di dalamnya dijelaskan dengan lafadz atau sesuatu yang menunjukkan kesamaan/ serupa. Contoh pada Q.S. Al Baqarah: 261. 38 Abdul Majid, (2007).Perencanaan Pembelajaran, Bandung: PT. Remaja Rosdakarya. Hal.137 - 149. 30 Manajemen Kurikulum Pendidikan Islam # “Perumpamaan (nafkah yang dikeluarkan oleh) orang-orang yang menafkahkan hartanya di jalan Allahadalah serupa dengan sebutir benih yang menumbuhkan tujuh bulir, pada tiap-tiap bulir seratus biji. Allah melipat gandakan (ganjaran) bagi siapa yang dia kehendaki. dan Allah Maha luas (karunia-Nya) lagi Maha Mengetahui. 2) Amtsal Kamimah, yaitu amstal yang di dalamnya tidak disebutkan secara jelas lafadz tamsil tetapi menunjukkan makna-makna yang indah dan menarik dalam kepadatan redaksionalnya. Contoh pada Q.S. Al Furqan: 67 dan Al Isra: 29. # “Dan janganlah kamu jadikan tanganmu terbelenggu pada lehermu dan janganlah kamu terlalu mengulurkannya. Karena itu kamu menjadi tercela dan menyesal.” 3) Amtsal Mursalah, yaitu kalimat bebas yang tidak menggunakan tasybih secara jelas, tetapi kalimat-kalimat itu berlaku sebagai perumpamaan. Contoh QS Al Baqarah: 249 dan Yusuf: 51. # “Raja Berkata (kepada wanita-wanita itu): "Bagaimana keadaanmu ketika kamu menggoda Yusuf untuk menundukkan dirinya (kepadamu)?" mereka berkata: "Maha Sempurna Allah, kami tiada mengetahui sesuatu keburukan dari padanya". Berkata isteri Al Aziz: "Sekarang jelaslah kebenaran itu, Akulah yang menggodanya untuk menundukkan dirinya (kepadaku), dan Sesungguhnya dia termasuk orang-orang yang benar." Dari Normatif – Filosofis ke Praktis 31 o. Metode Ibrah Mauidhoh Metode ini merupakan suatu cara yang membuat kondisi psikis seseorang (siswa) mengetahui intisari perkara yang mempengaruhi perasaannya, yang diambil dari pengalaman hidupnya sendiri sehingga sampai pada tahapan perenungan, penghayatan dan tafakkur (berfikir) yang menuntun kepada pengamalan. p. Metode Targhib-Targhib Metode ini merupakan cara untuk meyakinkan seseorang (siswa) terhadap kekuasaan dan kebenaran Allah melalui janji-Nya, disertai dengan bujukan dan rayuan untuk melakukan amal shalih. 6. Evaluasi Evaluasi dalam pandangan siswa adalah tentang sukses atau gagal dalam ujian. Holt (1964) dalam Brady (1990), menyerang sekolah-sekolah yang telah menghancurkan kreativitas dan kapasitas intelektual anak dengan membuatnya takut atau menjadi bersalah. Holt selanjutnya mengkritik sekolah sebagai hanya melihat anak menjadi ajang merebutkan hadiah “bintang emas” atau memiliki prestasi “A” bahwa mereka lebih baik dari yang lain. Banyak anak tidak nyaman menghadapi evaluasi mereka. Evaluasi atau penilaian dilakukan secara bertahap, berkesinambungan, dan bersifat terbuka. Banyak wilayah yang menjadi fokus evaluasi. Area-area yang cocok untuk evaluasi diantaranya; keterampilan berfikir, pengetahuan, kemampuan, sikap, nilai, pengembangan moral, keterampilan fisik, kreativitas, keterampilan sosial, pemahaman estetik, kesadaran, sensitivitas, keterampilan komunikasi, keterampilan aplikasi dan berhubungan dengan yang lain. Secara tegas Brady menggambarkan sebagai berikut. 39 39 Ibid, hal. 134 32 Manajemen Kurikulum Pendidikan Islam           Keterampilan berfikir, pengetahuan, kemampuan Sikap, nilai, pengembangan moral Keterampilan pisik, pengetahuan, sikap, ketegaran Kreativitas dan pemikiran divergen/lateral Keterampilan sosial dan sikap Pemahaman estetik dan keterampilan Kesadaran, sensitivitas, rasa, tanggung jawab Keterampilan komunikasi Keterampilan aplikasi (kehendak untuk bekerja) Keterampilan berhubungan dengan orang lain Gambar 1.9: Area-area yang sesuai untuk Evaluasi. Melalui evaluasi ini dapat diperoleh keterangan mengenai kegiatan dan kemajuan belajar siswa, dan pelaksanaan kurikulum oleh guru dan tenaga kependidikan lainnya. Evaluasi prinsipnya harus berkesinambungan, kompatibel dengan rumusan tujuan dan memiliki validitas dalam arti prosedur evaluasi harus mengukur apakah mereka dianggap layak untuk dilakukan pengukuran. Dalam pelaksanaan evaluasi ini terdapat banyak instrumen pengukuran yang dapat dipergunakan oleh pendidik, antara lain: (a) tes standar (pencil and paper test); (b) tes buatan guru; (c) sampel hasil karya (projective technique); (d) tes lisan; (e) observasi sistematis (systematic observation and Recording); (f)wawancara (open-ended question); (g) Kuesioner (questionnaire);(h) daftar cek dan skala penilaian (rating scale); (j) sosiogram (sociometry) dan pelaporan. Guru menurut Oliva memiliki tanggung jawab untuk melakukan evaluasi kurikulum dan evaluasi instruksional. Evaluasi instruksional adalah evaluasi pelaksanaan kurikulum. 40 Evaluasi kurikulum adalah assessment pada program, proses dan produk kurikulum(material, bukan manusia). Evaluasi instruksional adalah assessment prestasi anak sebelum, selama, dan sesudah program dan efektifitas instruksional. 40 Peter Olivia, (1992). Developing…, hal. 64 Dari Normatif – Filosofis ke Praktis 33 Memasuki era globalisasi perencanaan kurikulum harus lebih adaptif. Terutama berkait dengan isu teknologi dan keragaman. Polka menegaskan sebagai berikut. Curriculum planning as a strategic educational process for the improvement of learning. Curriculum planning projects that address the three contemporary dynamic curriculum change forces of technology, diversity or constructivism, must be introduced to educators with attention given to their personal and professional needs using the 4 C’s of Cooperative, Comprehensive, Concrete, and Continuous as a strategic framework. 41 Komponen perencanaan kurikulum di atas,fondasi atau landasan, tujuan, organisasi isi, organisasi siswa, metode dan evaluasi dalam perencanaan kurikulum harus mempertimbangkan kebutuhan masyarakat, karakteristik pembelajar, dan lingkup pengetahuan menurut hierarki keilmuan. Oleh karena itu, pengelolaan komponen perencanaan kurikulum harus memperhatikan faktor–faktor di atas. Hal ini penting untuk menjaga relevansi dan pemenuhan kebutuhan dan aspirasi yang terus berkembang sesuai dengan dinamika masyarakat. C. Pengorganisasian Kurikulum Pendidikan Islam Pengorganisasian kurikulum berbeda dengan organisasi kurikulum. Pengorganisasian kurikulum merupakan upaya untuk mengelola dan mensingkronisasikan semua program kurikulum pendidikan Islam agar dapat diimplementasikan dalam kegiatan belajar mengajar dengan optimal. Sedangkan organisasi kurikulum adalah struktur program yang berupa kerangka umum program-program pengajaran yang akan disampaikan kepada siswa. Organisasi adalah sistem kerja sama sekelompok orang untuk mencapai tujuan bersama. Langkah pertama dalam pengorganisasian diwujudkan melalui perencanaan dengan menetapkan bidang-bidang atau fungsi-fungsi yang termasuk ruang lingkup kegiatan yang akan diselenggarakan oleh suatu kelompok kerjasama tertentu. Keseluruhan pembidangan itu sebagai suatu kesatuan merupakan total sistem yang 41 Polka, W. S. dan Mattai, P. R . (2000). Curriculum Planning in The Twenty-First Century: Managing Technology, Diversity, and Constructivism to Create Appropriate Learning Environments for All Students 34 Manajemen Kurikulum Pendidikan Islam bergerak ke arah satu tujuan. Dengan demikian, setiap pembidangan kerja dapat ditempatkan sebagai sub sistem yang mengemban sejumlah tugas yang sejenis sebagai bagian dari keseluruhan kegiatan yang diemban oleh kelompok-kelompok kerjasama tersebut. Kegiatan pengorganisasian kurikulum pendidikan Islam tampak melalui adanya kesatuan yang utuh dan terciptanya mekanisme yang sehat, sehingga kegiatan dapat berjalan dengan baik dan lancar guna mencapai tujuan yang telah ditetapkan.Proses pengorganisasian tersebut menekankan pentingnnya kesatuan dalam segala tindakan, dalam hal ini al-Qur'an telah menyebutkan betapa pentingnya tindakan kesatuan yang utuh, murni dan bulat dalam suatu organisasi. Hal tersirat dalam firman Allah Swt dalam surat Al-Imron berikut. “Dan berpeganglah kamu semuanya kepada tali (agama) Allah, dan janganlah kamu bercerai berai, dan ingatlah akan nikmat Allah kepadamu ketika kamu dahulu (masa Jahiliyah) bermusuh-musuhan, Maka Allah mempersatukan hatimu, lalu menjadilah kamu Karena nikmat Allah, orang-orang yang bersaudara; dan kamu Telah berada di tepi jurang neraka, lalu Allah menyelamatkan kamu dari padanya. Demikianlah Allah menerangkan ayat-ayat-Nya kepadamu, agar kamu mendapat petunjuk.”(QS. Al Imron: 103). Menurut Nasution organisasi kurikulum adalah pola atau bentuk bahan pelajaran yang akan disampaikan kepada murid. 42 Jadi, mengorganisasikan kurikulum merupakan implementasi dari fungsi manajemen kurikulum itu sendiri. Dalam ilmu manajemen bahwasanya setidaknya memiliki empat fungsi yaitu planning (perencanaan), organizing (pengorganisasian), actuating (pengaplikasian), dan controlling (pengawasan). 42 S. Nasution, (1995).Kurikulum…, hal. 135 Dari Normatif – Filosofis ke Praktis 35 Pengorganisasian kurikulum dapat dilihat dari dua pendekatan, yakni pendekatan manajemen dan pendekatan akademik. Pengertian dari kata organisasi itu sendiri adalah suatu kelompok sosial yang bersifat tertutup atau terbuka dari/terhadap pihak luar, yang diatur berdasarkan aturan tertentu, yang dipimpin/diperintah oleh seseorang pimpinan atau seorang pimpinan atau seorang staf administratif, yang dapat melaksanakan bimbingan secara teratur dan bertujuan. Dalam sebuah organisasi sangat diperlukan melaksanakan proses manajemen, yakni: 1. Organisasi perencanaan kurikulum, yang dilaksanakan oleh suatu lembaga atau tim pengembang kurikulum. 2. Organisasi dalam rangka implementasi kurikulum, baik pada tingkat daerah maupun pada tingkat sekolah atau satuan lembaga pendidikan yang melaksanakan kurikulum. 3. Organisasi dalam tahap evaluasi kurikulum, yang melibatkan pihakpihak yang terkait dalam proses evaluasi sebuah kurikulum. Dalam setiap jenis organisasi kurikulum, terdapat susunan kepengurusan yang telah ditentukan sesuai dengan struktur organisasi berikut dengan tugas-tugas pekerjaannya sekaligus. Sedangkan bentukbentuk kurikulum, akan disusun menurut pola organisasi kurikulum yang dilengkapi struktur, urutan kegiatan pembelajaran dan ruang lingkup materi tertentu. Dan secara akademik, organisasi kurikulum dikembangkan dalam bentuk-bentuk organisasi sebagai berikut: 1. Kurikulum Mata Pelajaran Terpisah (Separated Curriculum) Merupakan kurikulum yang terdiri dari sejumlah mata ajaran secara terpisah. Adalah kurikulum yang mempunyai cirri-ciri sebagai berikut: a. Terdiri atas sejumlah mata pelajaran yang terpisah satu sama lain. b. Setiap mata pelajaran seolah-olah tersimpan dalam kotak-kotak tersendiri dan disampaikan pada anak didik pada waktu-waktu tertentu. c. Kurikulum ini bertujuan pada penguasaan sejumlah ilmu pengetahuan. d. Tidak didasarkan atas kebutuhan, minat, dan masalah-masalah yang menyangkut diri siswa. 36 Manajemen Kurikulum Pendidikan Islam e. Tidak mempertimbangkan kebutuhan, masalah, dan tuntutan masyarakat. f. Pendekatan metodologi sistem penyampaian. g. Pelaksanaan dengan sistem guru mata pelajaran. h. Para siswa sama sekali tidak dilibatkan dalam perencanaan kurikulum. 2. Kurikulum yang Berkorelasi dengan Mata Pelajaran (Correlated Curriculum) Mata pelajaran-mata pelajaran itu disusun dalam pola korelasi agar lebih mudah dipenuhi oleh siswa. Bentuk korelasi terdiri atas dua jenis, yaitu: a. Korelasi informal, dimana seorang guru mata pelajaran meminta agar guru mata pelajaran lainnya mengkorelasikan pelajaran yang akan digunakannya dengan bahan yang akan diberikannya dengan bahan yang telah diberikan oleh guru yang sebelumnya. b. Korelasi formal, bahwasanya beberapa orang guru merencanakan bersama-sama untuk mengkorelasikan mata pelajaran yang akan menjadi tanggung jawab masing-masing guru. Ciri-ciri kurikulum berkorelasi ini adalah sebagai berikut: a. Mata pelajaran dikorelasikan satu sama lain. b. Mulai adanya usaha untuk merelevankan pelajaran dengan masalah kehidupan sehari-hari meskipun tujuannya masih tetap untuk penguasaan pengetahuan. c. Kurikulum ini telah mulai mengusahakan penyesuaian pelajaran dengan minat dan kemampuan para siswa walaupun pelayanan terhadap perbedaan individual masih sangat terbatas. d. Metode pencapaiannya adalah dengan menggunakan metode korelasi meskipun masih banyak kendala dan hambatan yang dihadapi. e. Meskipun guru masih memegang peran aktif, aktivitas siswa juga mulai dikembangkan. Dari Normatif – Filosofis ke Praktis 37 3. Kurikulum Bidang Studi (Subject Curriculum) Ciri-ciri umum yang terdapat dalam kurikulum bidang studi antara lain: 1) Kurikulum terdiri atas suatu bidang pengajaran yang di dalamnya terdapat perpaduan sejumlah mata pelajaran yang sejenis dan memiliki ciri-ciri yang sama. 2) Pelajaran bertitik tolak dari core subject, dari sana kemudian dijabarkan menjadi sejumlah pokok bahasan. 3) Berdasarkan tujuan kurikuler dan tujuan instruksional yang telah direncanakan sebelumnya. 4) Sistem penyampaiannya bersifat terpadu. 5) Guru berperan selaku guru bidang studi. 6) Minat, masalah, dan kebutuhan siswa serta kebutuhan masyarakat dipertimbangkan sebagai dasar penyusunan kurikulum. 4. Kurikulum Berintegrasi/Terpadu(Integrated Curriculum). Kurikulum terpadu dasarnya pada pemecahan suatu problem, yakni “problem sosial” yang dianggap penting dan menarik bagi anak didik. Dalam melaksanakannya disusunlah unit sumber yang mencakup bahan, kegiatan belajar, dan sumber-sumber yang sangat luas. Sumber unit digunakan sebagai sumber untuk satuan pelajaran yang dipelajari anak didik di kelas. Perbedaan individual anak didik tidak harus selalu mempelajari hal yang sama dan ada kebebasan bagi anak didik memilih pelajaran menurut minat, bakat, dan kemampuan mereka masing-masing. Pemahamannya bahwa unit sumber merupakan apa yang secara ideal dapat dipelajari anak didik, sedangkan satuan pelajaran adalah apa yang secara aktual dipelajari anak didik. 43 Ciri-ciri umum bentuk kurikulum ini adalah: a. b. c. d. Berdasarkan filsafat pendidikan demokrasi. Berdasarkan psikologi belajar Gestalt. Berdasarkan landasan sosiologi dan sosial-kultural. Berdasarkan kebutuhan dan tingkat perkembangan dan pertumbuhan siswa. e. Ditunjang oleh semua mata pelajaran atau bidang studi yang ada. 43 Abdullah Idi, (2010). Pengembangan Kurikulum Teori dan Praktik, Jogjakarta, Ar-Ruzz Media.Hal. 177. 38 Manajemen Kurikulum Pendidikan Islam f. Sistem penyampaiannya dengan menggunakan pendekatan tematik dan sistem pengajaran unit. g. Peran guru sama aktifnya dengan murid. 5. Kurikulum Inti (Core curriculum) Kurikulum yang disusun berdasarkan masalah dan kebutuhan siswa. Ciri-ciri core curriculum, yaitu: a. Inti pelajaran meliputi pengalaman-pengalaman yang penting untuk pertumbuhan dan perkembangan semua siswa. b. Inti program berkenaan dengan pendidikan umum (general education) untuk memperoleh bermacam-macam hasil (tujuan pendidikan). c. Kegiatan-kegiatan dan pengalaman-pengalaman inti disusun dan diajarkan dalam bentuk kesatuan, tidak dibatasi oleh garis-garis pelajaran yang terpisah. d. Inti program diselenggarakan dalam jangka waktu yang lebih lama. D. Implementasi Kurikulum Pendidikan Islam Beuchamp mengartikan implementasi kurikulum sebagai “a process of putting the curriculum to work”. 44 Fullan mengartikan implementasi kurikulum sebagai “the putting into practice of an idea, program or set of activities which is new to the individual or organizational using it”. 45Pembelajaran merupakan wujud implementasi kurikulum. Implementasi kurikulum pendidikan Islam merupakan suatu proses penerapan ide, konsep, kebijakan atau inovasi pendidikan Islam dalam suatu tindakan praktis sehingga memberikan dampak baik berupa perubahan pengetahuan, keterampilan maupun nilai, sikap, modal dan akhlak. Implementasi kurikulum dapat juga diartikan sebagai aktualisasi kurikulum tertulis dalam bentuk pembelajaran. Implementasi kurikulum merupakan suatu proses penerapan konsep, ide, program, atau tatanan kurikulum ke dalam praktik pembelajaran atau aktivitasaktivitas baru, sehingga terjadi perubahan pada sekelompok orang yang diharapkan untuk berubah. Implementasi kurikulum juga merupakan 44 Baucamp, G.A. (1975). Curriculum Theory, Illionis, The Kagg Press. Hal. 16 John. P. Miller, (1985). Curriculum Perspective.Longman. United States. Hal. 246 45 Dari Normatif – Filosofis ke Praktis 39 proses interaksi antara fasilitator sebagai pengembang kurikulum dan peserta didik sebagai subjek belajar. Implementasi kurikulum pendidikan Islam adalah tindakan nyata dari rencana yang dibuat dalam perencanaan untuk dilaksanakan secara konsisten dan kontinyu. Allah tidak suka dengan orang-orang yang sudah membuat suatu rencana tetapi tidak dilakukan dengan baik. Indikator keberhasilan dalam implementasi kurikulum pendidikan Islam adalah adanya wujud nyata dari apa yang direncanakan. Hal sebagaimana diterangkan dalam firman Allah surat Al-An’am ayat 135 berikut. “Katakanlah: "Hai kaumku, berbuatlah sepenuh kemampuanmu, Sesungguhnya akupun berbuat (pula). Kelak kamu akan mengetahui, siapakah (di antara kita) yang akan memperoleh hasil yang baik di dunia ini. Sesungguhnya orang-orang yang zalim itu tidak akan mendapatkan keberuntungan.” (QS. Al-An’am: 135). “Wahai orang-orang yang beriman, kenapakah kamu mengatakan sesuatu yang tidak kamu kerjakan? (2) Amat besar kebencian di sisi Allah bahwa kamu mengatakan apa-apa yang tidak kamu kerjakan (3).(QS. Al-Shaf: 2-3). Inti dari implementasi adalah adanya aktivitas, aksi, tindakan dan mekanisme suatu sistem. Ungkapan mekanisme mengandung arti bahwa implementasi bukan sekadar aktivitas, tetapi suatu kegiatan yang terencana dan dilakukan secara sungguh-sungguh (penuh komitmen) berdasarkan acuan norma tertentu untuk mencapai tujuan kegiatan. Oleh karena itu, implementasi tidak berdiri sendiri tetapi dipengaruhi oleh perencanaan dan evaluasi yang baik. Dengan demikian, maka implementasi kurikulum pendidikan Islam merupakan proses untuk melaksanakan ide, program atau seperangkat aktivitas pendidikan Islam dengan harapan terjadi 40 Manajemen Kurikulum Pendidikan Islam perubahan pada pola pikir dan perilaku peserta didik menjadi lebih baik dan sesuai dengan tuntunan Allah Swt. Esensi implementasi adalah suatu proses, suatu aktivitas yang digunakan untuk menjalankan ide/gagasan, program atau harapanharapan yang dituangkan dalam bentuk desain written curriculum (kurikulum tertulis) agar dilaksanakan sesuai dengan desain tersebut. Masing-masing pendekatan itu mencerminkan tingkat pelaksanaan yang berbeda. Adapun untuk mengimplementasikan kurikulum dapat dilakukan dengan berbagai pendekatan. Pendekatan Pertama, menggambarkan implementasi itu dilakukan sebelum penyebaran (desiminasi) kurikulum desain. Kata proses dalam pendekatan ini adalah aktivitas yang berkaitan dengan penjelasan tujuan program, mendeskripsikan sumber-sumber baru dan mendemonstrasikan metode pengajaran yang digunakan. Pendekatan kedua, yaitu menekankan pada fase penyempurnaan. Kata proses dalam pendekatan ini lebih menekankan pada interaksi antara pengembang dan guru (praktisi pendidikan). Pengembang melakukan pemeriksaan pada program baru yang direncanakan, sumbersumber baru, dan memasukkan isi/materi baru ke program yang sudah ada berdasarkan hasil uji coba di lapangan dan pengalaman-pengalaman guru. Interaksi antara pengembang dan guru terjadi dalam rangka penyempurnaan program, pengembang mengadakan workshop, lokakarya atau diskusi-diskusi dengan guru-guru untuk memperoleh masukan. Implementasi dianggap selesai manakala proses penyempurnaan program baru dipandang sudah lengkap. Pendekatan ketiga, adalah memandang implementasi sebagai bagian dari program kurikulum. Proses implementasi dilakukan dengan mengikuti perkembangan dan mengadopsi program-program yang sudah direncanakan dan sudah diorganisasikan dalam bentuk desain kurikulum (dokumentasi). Ada dua persoalan utama dalam implementasi kurikulum, yaitu karakteristik kurikulum dan kemampuan guru. Adapun faktor-faktor yang mempengaruhi implementasi kurikulum; kreativitas, inovasi, kompetensi, kecakapan, kesungguhan, dan ketekunan guru. Dari Normatif – Filosofis ke Praktis 41 Implementasi kurikulum dipengaruhi oleh tiga faktor yaitu: Pertama, Karakteristik kurikulum: yang mencakup ruang lingkup ide baru suatu kurikulum dan kejelasannya bagi pengguna di lapangan. Kedua, Strategi implementasi: yaitu strategi yang digunakan dalam implementasi, seperti diskusi profesi, seminar, penataran, lokakarya, penyediaan buku kurikulum dan kegiatan-kegiatan yang dapat mendorong penggunaan kurikulum di lapangan. Ketiga, Karakteristik pengguna kurikulum, yang meliputi pengetahuan, ketrampilan, nilai dan sikap guru terhadap kurikulum, serta kemampuannya untuk merealisasikan kurikulum dalam pembelajaran. Mars (1980) mengemukakan tiga faktor yang mempengaruhi Implementasi kurikulum, yaitu: (1) dukungan kepala sekolah; (2) dukungan rekan sejawat guru; (3) dan dukungan internal yang datang dari dalam diri guru sendiri. Dari berbagai faktor tersebut, guru merupakan faktor penentu disamping faktor-faktor yang lain. Dengan kata lain, keberhasilan Implementasi kurikulum di sekolah sangat ditentukan oleh faktor guru, karena bagaimanapun baiknya sarana pendidikan apabila guru tidak melaksanakan tugas dengan baik, maka hasil Implementasi kurikulum (pembelajaran) tidak akan memuaskan. Dalam garis besarnya Implementasi kurikulum berbasis kompetensi mencakup tiga kegiatan pokok, yaitu pengembangan program, pelaksanaan pembelajaran, dan evaluasi. E. Evaluasi Kurikulum Pendidikan Islam Evaluasi merupakan salah satu komponen kurikulum. Dalam pengertian terbatas, evaluasi kurikulum dimaksudkan untuk memeriksa tingkat ketercapaian tujuan-tujuan pendidikan yang ingin diwujudkan melalui kurikulum yang bersangkutan. Sebagaimana dikemukakan oleh Wright bahwa: “curriculum evaluation may be defined as the estimation of growth and progress of students toward objectives or values of the curriculum“. Dalam manajemen kurikulum pendidikan Islam evaluasi merupakan salah satu fungsi yang harus dijalankan. Hal ini sejalan dengan firman Allah Swt, dalam surat al-Ankabut berikut: # 42 Manajemen Kurikulum Pendidikan Islam # “Apakah manusia itu mengira bahwa mereka dibiarkan (saja) mengatakan: "Kami Telah beriman", sedang mereka tidak diuji lagi? (2) Dan Sesungguhnya kami Telah menguji orang-orang yang sebelum mereka, maka sesungguhnya Allah mengetahui orang-orang yang benar dan Sesungguhnya dia mengetahui orang-orang yang dusta (3).” (QS. Al-Ankabut: 2-3) Evaluasi kurikulum pendidikan Islam merupakan suatu upaya yang dilakukan untuk mengetahui kemampuan peserta didik terhadap hasil proses pendidikan dan pembelajaran yang dilakukan di sekolah/ madrasah. Hal ini untuk mengetahui siswa mana yang telah mampu menguasai kompetensi tertentu atau belum. Evaluasi kurikulum memegang peranan penting, baik untuk penentuan kebijakan pendidikan pada umumnya maupun untuk pengambilan keputusan dalam kurikulum itu sendiri. Hasil-hasil evaluasi kurikulum dapat digunakan oleh para pemegang kebijakan pendidikan dan para pengembang kurikulum dalam memilih dan menetapkan kebijakan pengembangan sistem pendidikan dan pengembangan model kurikulum yang digunakan. Hasil-hasil evaluasi kurikulum juga dapat digunakan oleh guruguru, kepala sekolah dan para pelaksana pendidikan lainnya dalam memahami dan membantu perkembangan peserta didik, memilih bahan pelajaran, memilih metode dan alat-alat bantu pelajaran, cara penilaian serta fasilitas pendidikan lainnya. 1. Pengertian Evaluasi Kurikulum Salah satu rumusan mengenai evaluasi menyatakan bahwa evaluasi adalah perbuatan pertimbangan berdasarkan seperangkat kriteria yang disepakati dan dapat dipertanggungjawabkan. Dalam rumusan itu terdapat tiga faktor utama, yakni (1) pertimbangan Dari Normatif – Filosofis ke Praktis 43 (judgment), (2) deskripsi obyek penelitian, (3) kriteria yang dapat dipertanggungjawabkan. 46 Pertimbangan adalah pangkal dalam membuat keputusan. Membuat keputusan berarti menentukan derajat tertentu yang berkenaan dengan hasil evaluasi. Pertimbangan membutuhkan informasi yang akurat dan relevan serta dapat dipercaya. Deskripsi obyek penelitian adalah perubahan perilaku sebagai suatu produk suatu sistem. Perilaku harus dijelaskan, dirinci dan dispesifikasikan sehingga dapat diamati dan diukur. Kriteria yang dapat dipertanggungjawabkan adalah ukuranukuran yang akan digunakan dalam menilai suatu obyek. Kriteria penilaian harus relevan dengan kriteria keberhasilan, sedangkan kriteria keberhasilan harus dilihat dalam hubungannya dengan sasaran program/kurikulum. Menurut Morisson, kriteria penilaian harus memenuhi persyaratan antara lain: a. Relevan dengan kerangka rujukan dan tujuan-tujuan evaluasi dan tujuan-tujuan program/kurikulum. b. Diterapkan pada data deskriptif yang relevan dan menyangkut program/kurikulum evaluasi dan kurikulum merupakan 2 disiplin ilmu yang berdiri sendiri, ada pihak yang berpendapat antara keduanya tidak ada hubungan, tetapi ada pihak lain yang menyatakan keduanya mempunyai hubungan yang sangat erat. Hubungan tersebut merupakan hubungan sebab akibat, perubahan dalam kurikulum berpengaruh pada evaluasi kurikulum, sebaliknya perubahan evaluasi perubahan evaluasi akan memberi warna pada pelaksanaan kurikulum, hubungan antara evaluasi dengan kurikulum bersifat organis dan prosesnya berlangsung secara evolusioner. Evaluasi merupakan salah satu komponen kurikulum. Dalam pengertian terbatas, evaluasi kurikulum dimaksudkan untuk memeriksa tingkat ketercapaian tujuan-tujuan pendidikan yang ingin diwujudkan melalui kurikulum yang bersangkutan. Sedangkan dalam pengertian yang lebih luas, evaluasi kurikulum dimaksudkan untuk memeriksa kinerja kurikulum secara keseluruhan ditinjau dari berbagai kriteria. Indikator kinerja yang dievaluasi tidak hanya 46 Oemar Hamalik, (2007). Evaluasi Kurikulum. PT. Remaja Rosda Karya: Bandung. 44 Manajemen Kurikulum Pendidikan Islam terbatas pada efektivitas saja, namun juga relevansi, efisiensi, kelaikan (feasibility) program. 2. Prinsip-prinsip Evaluasi Kurikulum Program Evaluasi Kurikulum didasarkan atas prinsip sebagai berikut: a. b. c. d. e. f. Evaluasi kurikulum didasarkan atas tujuan tertentu. Evaluasi kurikulum harus bersifat obyektif. Bersifat komprehensif. Dilaksanakan secara kooperatif. Harus dilaksanakan secara efisien. Evaluasi kurikulum dilaksanakan secara berkesinambungan. 3. Peranan dan Model Evaluasi Kurikulum a. Peranan Evaluasi Kurikulum Peranan Evaluasi kebijaksanaan dalam kurikulum khususnya pendidikan umumnya minimal berkenaan dengan tiga hal yaitu: 1) Evaluasi sebagai moral judgment, konsep utama dalam evaluasi adalah masalah nilai, hasil dari suatu evaluasi berisi suatu nilai yang akan digunakan untuk tindakan selanjutnya hal ini mengandung dua pengertian; (a) Evaluasi berisi suatu skala nilai moral, berdasarkan skala tersebut suatu objek evaluasi dapat dinilai; (b) Evaluasi berisi suatu perangkat kriteria praktis berdasarkan kriteria-kriteria suatu hasil dapat dinilai 2) Evaluasi dan penentuan keputusan, pengambilan keputusan dalam pelaksanaan pendidikan atau kurikulum banyak yaitu: guru, murid, orang tua, kepala sekolah, para inspektur, pengembangan kurikulum dll., beberapa diantara mereka yang memegang peranan paling besar dalam penentuan keputusan. Pada prinsipnya tiap individu di atas membuat keputusan sesuai dengan posisinya. Evaluasi dan konsensus nilai dalam berbagai situasi pendidikan serta kegiatan pelaksanaan evaluasi kurikulum sejumlah nilai-nilai dibawakan oleh orang-orang yang ikut terlibat dalam kegiatan penilaian atau evaluasi, para partisipan dalam evaluasi Dari Normatif – Filosofis ke Praktis 45 pendidikan dapat terdiri dari orang tua, murid, guru, pengembang kurikulum, administrator, para ahli berbagai bidang dan lain sebagainya. Bagaimana caranya agar dapat diantara mereka terdapat kesatuan penilaian hanya dapat dicapai melalui suatu konsensus. b. Model-model Evaluasi Kurikulum 1) Evaluasi model penelitian. Tes psikologi pada umumnya mempunyai dua bentuk yaitu tes intelegensi yang di tujukan untuk mengukur kemampuan bawaan, serta tes hasil belajar yang mengukur prilakuskolastik. Eksperimen lapangan dalam pendidikan, dimulai tahun 1930 dengan menggunakan metode yang biasa di gunakan dalam penelitian botani pertama, ada beberapa kesulitan yang dihadapi dalam eksperimen tersebut: a) Kesulitan administrasi, sedikit sekali sekolah yang bersedia dijadikan sekolah eksperimen. b) Masalah teknis dan logis yaitu kesulitan menciptakan suasana kelas yang sama waktu kelompok-kelompok yang diuji. c) Sukar untuk mencampurkan guru-guru untuk mengajar pada kelompok eksperimen dengan kelompok kontrol, pengaruh guru-guru tersebut sukar dikontrol. d) Adanya keterbatasan mengenai manipulasi eksperimen yang dapat dilakukan. 2) Evaluasi model objektif Evaluasi model objektif (model tujuan) berasal dari Amerika Serikat, perbedaan model objektif ada dalam dua hal: a) Model objektif evaluasi merupakan bagian yang sangat penting dari proses pengembangan kurikulum. b) Kurikulum tidak dibandingkan dengan kurikulum lain tetapi diukur dengan seperangkat objektif (tujuan khusus). Ada beberapa persyaratan yang harus dipenuhi oleh tim pengembang model objektif: a) Ada kesepakatan tentang tujuan-tujuan kurikulum. b) Merumuskan tujuan-tujuan dalam perbuatan siswa. 46 Manajemen Kurikulum Pendidikan Islam c) Menyusun materi kurikulum yang sesuai dengan tujuan tersebut. d) Mengukur kesesuaian antara perilaku siswa dengan hasil yang diinginkan. Dasar-dasar teori Tylor dan Bloom menjadi prinsip sentral dalam berbagai rancangan kurikulum dan mencapai puncaknya dalam sistem belajar berprogram dan sistem instruksional. Sistem pengajaran yang terkenal adalah Individually Prescribed Instruction (IPI). Suatu program yang dikembangkan oleh “Learning Research and Development Centre” Universitas Pittsburg. Dalam IPI anak mengikuti kurikulum yang memiliki 7 unsur: (1) Tujuan-tujuan pengajaran yang disusun dalam daerah- daerah tingkat-tingkat dan unit-unit; (2) Suatu prosedur program testing; (3) Pedoman prosedur penulisan; (4) Materi dan alat pengajaran; (5) Kegiatan guru dalam kelas; (6) Kegiatan murid dalam kelas; dan (7) Prosedur pengelolaan kelas. 3) Model campuran multivariasi Evaluasi model perbandingan (comparative approach) dan model Tylor dan Bloom melahirkan evaluasi model campuran multivariasi, yaitu strategi evaluasi yang menyatukan unsur-unsur dari kedua pendekatan tersebut. Metode-metode tersebut masuk ke bidang kurikulum setelah komputer dan program paket berkembang yaitu tahun 1960. Program paket berisi program statistik yang sederhana yang tidak membutuhkan pengetahuan komputer untuk menggunakannya. Dengan berkembangnya penggunaan komputer memungkinkan studi lapangan tidak di hambat oleh kesalahan dan kelambatan. Semua masalah pengolahan statistik dapat dikerjakan dengan komputer. Langkah- langkah model multivariasi tersebut adalah: a) Mencari sekolah yang berminat untuk dievaluasi/diteliti. b) Pelaksanaan program. c) Sementara tim menyusun tujuan yang meliputi semua tujuan dari pengajaran umpamanya dengan metode global dan metode unsur dapat disiapkan tes tambahan. Dari Normatif – Filosofis ke Praktis 47 d) Bila semua informasi yang diharapkan telah terkumpul, maka mulailah pekerjaan komputer. e) Tipe analisis dapat juga digunakan untuk mengukur pengaruh bersama dan beberapa variabel yang berbeda. Beberapa kesulitan yang dihadapi dalam model campuran multivariasi ini yaitu: a) Diharapkan memberi tes statistik yang signifikan (model kurikulum ini lebih sesuai bagi evaluasi skala besar. b) Terlalu banyak variabel yang perlu dihitung pada suatu saat kemampuan computer hanya sampai 40 variabel. c) Meskipun model multivariasi telah mengurangi masalah control berkenaan dengan eksperimen lapangan tetapi tetap menghadapi masalah-masalah perbandingan. F. Tindak Lanjut (Follow Up) Evaluasi Kurikulum Pendidikan Islam Jika evaluasi merupakan suatu upaya yang dilakukan untuk mengetahui kemampuan atau tingkat keberhasilan peserta didik terhadap proses dan hasil pendidikan. Maka follow up merupakan tindak lanjut dari kegiatan evaluasi yang berupa perbaikan perencanaan, pengorganisasi, implementasi sehingga kegiatan evaluasi tidak hanya sebagai proses administratif dan pelengkap saja, melainkan benar-benar ada perubahan yang signifikan dari evaluasi yang telah dilakukan. Dalam potongan surat al-Ankabut ayat 4 dijelaskan bahwa tujuan dari evaluasi adalah untuk mengetahui siapa yang benar dan tidak benar, maka kegiatan tindak lanjut merupakan sebuah bentuk pembuktian apakah seseorang itu konsisten untuk melakukan perbaikan yang berbasis pada kebenaran ataukah tidak? Hal tersebut akan tampak pada tahap follow up. # “…maka sesungguhnya Allah mengetahui orang-orang yang benar dan Sesungguhnya dia mengetahui orang-orang yang dusta.” (QS. AlAnkabut: 3). 48 Manajemen Kurikulum Pendidikan Islam Dengan demikian, maka setiap kegiatan yang telah dilakukan perlu dievaluasi secara benar untuk selanjutnya dilakukan upaya tindak lanjut berupa koreksi (perbaikan) dari kesalahan-kesalahan yang telah dilakukan di masa lalu agar pendidikan semakin hari semakin baik. Untuk menindaklanjuti hasil evaluasi kurikulum, diperlukan suatu prinsip yang disebut dengan konsisten. Artinya evaluasi dipastikan tidak akan terlalu bermakna jika cara mengevaluasinya tidak dilakukan secara konsisten. Jika memang diketahui bahwa implementasi kurikulum tidak dapat meningkatkan kualitas pendidikan siswa, maka perlu dilakukan perubahan. Dan perubahan itu akan dapat memiliki nilai guna jika ditindaklanjuti secara nyata dengan penuh keyakinan bahwa langkah itu diambil untuk memperbaiki kualitas pendidikan yang ada, bukan karena kepentingan politik, ekonomi, dan lain sebagainya, melainkan demi perbaikan kualitas anak bangsa. Dari Normatif – Filosofis ke Praktis 49 BAB II FILSAFAT KURIKULUM PENDIDIKAN ISLAM A. Filsafat Kurikulum Pendidikan Islam 1. Pengertian Filsafat Kurikulum Pendidikan Islam Filsafat Kurikulum Pendidikan Islam yang dimaksud di sini adalah filsafat pendidikan Islam yang menjadi landasan dalam pengembangan kurikulum pendidikan Islam. Sebab dalam kurikulum pendidikan Islam terdapat orientasi, pendekatan dan model pengembangan kurikulum didasarkan atas filsafat pendidikan Islam. Secara harfiah, kata filsafat berasal dari kata Philo yang berarti cinta, dan kata Sophos yang berarti ilmu atau hikmah. Dengan demikian, filsafat berarti cinta terhadap ilmu atau hikmah. Terhadap pengertian seperti ini al-Syaibani mengatakan bahwa filsafat bukanlah hikmah itu sendiri, melainkan cinta terhadap hikmah dan berusaha mendapatkannya, memusatkan perhatian padanya dan menciptakan sikap positif terhadapnya. Selanjutnya ia menambahkan bahwa filsafat dapat pula berarti mencari hakikat sesuatu, berusaha menautkan sebab dan akibat, dan berusaha menafsirkan pengalaman-pengalaman manusia. Selain itu terdapat pula teori lain yang mengatakan bahwa filsafat berasal dari kata Arab falsafah, yang berasal dari bahasa Yunani, Philosophia: philos berarti cinta, suka (loving), dan sophia yang berarti pengetahuan, hikmah (wisdom). Jadi, Philosophia berarti cinta kepada kebijaksanaan atau cinta kepada kebenaran atau lazimnya disebut Philosopher yang dalam bahasa Arab disebut filsuf. Sementara itu, Hanafi mengatakan bahwa pengertian filsafat telah mengalami perubahan- 50 Manajemen Kurikulum Pendidikan Islam perubahan sepanjang masanya. 47 Pitagoras (481-411 SM), yang dikenal sebagai orang yang pertama yang menggunakan perkataan tersebut. Dari beberapa pendapat di atas dapat diketahui bahwa pengertian filsafat dari segi kebahasaan atau semantik adalah cinta terhadap pengetahuan atau kebijaksanaan. Dengan demikian, maka filsafat adalah suatu kegiatan atau aktivitas yang menempatkan pengetahuan atau kebijaksanaan sebagai sasaran utamanya. Filsafat juga memiliki pengertian dari segi istilah atau kesepakatan yang lazim digunakan oleh para ahli, atau pengertian dari segi praktis. Kajian filsafat pendidikan Islam, menjadi wacana yang belum juga ada jawabannya. Belum ada kata sepakat tentang pengertian konsep pendidikan Islam, pada satu sisi. Sedangkan di sisi yang lain masih ada pandangan bahwa pendidikan agama, khususnya Islam, merupakan wilayah individu yang tidak dapat masuk wilayah publik, sehingga pendidikan yang diartikan secara universal mengalami keterasingan untuk dikaitkan dengan agama. Kesimpulannya, ada dua wilayah individu dan wilayah umum, antara wilayah teologi dan wilayah sekuler, antara wilayah dunia dan akhirat. 48 Kedua wilayah itu pada aspek praktis membawa dampak pada dua kubu yang seakan saling bertentangan. Misalnya, pada institusi agama dan institusi non-agama, begitu juga produk lembaga pendidikan terbelah menjadi dua bagian, yakni lulusan lembaga agama dan lulusan lembaga non agama. Dualisme itu seharusnya tidak terjadi mengingat dalam pandangan Islam bahwa seluruh aspek kehidupan bersumber hanya satu yaitu Tuhan. Sehingga dalam institusi harus ada landasan filosofis yang dibangun oleh penggagas lembaga pendidikan. Oleh karena itu, untuk mengangulanginya sangat penting untuk menyusun platform secara terpadu. 49 Filsafat pendidikan Islam memiliki karakteristik yang berbeda dengan filsafat pendidikan yang lainnya. Ketika filsafat menjadi satu kesatuan dengan pendidikan Islam, kajian kefilsafatan dalam pendidikan Islam berlandaskan pada pandangan ajaran Islam. Pandangan Islam adalah prinsip-prinsip yang telah diletakkan oleh Allah dan Rasul47 Ahmad Hanafi, (1990). Pengantar Filsafat Islam, Cet. IV, Jakarta: Bulan Bintang. Hlm. 20 Ahmad Ali Riyadi, (2010). Filsafat Pendidikan Islam, Yogyakarta: Teras. Hlm. 3 49 Ibid, hlm. 4 48 Dari Normatif – Filosofis ke Praktis 51 Nya dalam kitab suci al-Qur’an dan al-Hadits yang dikembangkan oleh para mujtahid dari waktu ke waktu. Tujuan pendidikan Islam adalah untuk terwujudnya insan kamil yang memiliki integritas iman, moral, dan amal, adanya kesatuan antara jasmani dan rohani, dunia dan akhirat. 50 Dengan kata lain, pendidikan Islam harus menyentuh tiga ranah, yaitu hati (heart), akal (head), life skill (hand). Dan ketiganya harus berjalan secara simultan dan sistemik. Hal itu senada dengan rumusan tujuan pendidikan Islam pada Kongres Pendidikan Islam Sedunia tahun 1980 di Islamabad bahwa: “Pendidikan harus ditujukan ke arah pertumbuhan yang berkeseimbangan dari kepribadian manusia yang menyeluruh melalui latihan spiritual, kecerdasan, dan rasio, perasaan dan panca indra”. 51 Dengan demikian, kurikulum yang dipandang baik untuk mencapai tujuan pendidikan Islam adalah yang bersifat integrated dan komprehensif, mencakup ilmu yang dibutuhkan dalam kehidupan duniawi dan ilmu yang dibutuhkan dalam kehidupan ukhrawi kelak. 52Pendidikan harus memberikan pelayanan kepada pertumbuhan manusia dalam semua aspeknya, seperti aspek spiritual, intelektual, imajinasi, jasmaniah, ilmiah, linguistik, dan sebagainya. Pendidikan dalam arti umum mencakup segala usaha dan perbuatan dari generasi tua untuk mengalihkan pengalamannya, pengetahuannya, kecakapannya, serta keterampilannya kepada generasi muda untuk memungkinkannya melakukan fungsi hidupnya dalam pergaulan bersama, dengan sebaik-baiknya. Corak pendidikan itu erat hubungannya dengan corak penghidupan, karenanya jika corak penghidupan itu berubah, berubah pulalah corak pendidikannya, agar si anak siap untuk memasuki lapangan penghidupan itu. Pendidikan itu memang suatu usaha yang sangat sulit dan rumit, dan memakan waktu yang cukup banyak dan lama, terutama sekali di masa modern dewasa ini. Pendidikan menghendaki berbagai macam teori dan pemikiran dari para ahli pendidik dan juga ahli dari filsafat, guna melancarkan jalan dan memudahkan cara-cara bagi para guru dan pendidik dalam menyampaikan ilmu pengetahuan dan pengajaran kepada para peserta 50 H.M. Arifin, (1993). Filsafat Pendidikan Islam, Jakarta: Bumi Aksara. Hlm. 119 Arifin, Muzayyin, (2005). Filsafat Pendidikan Islam, Jakarta: Bumi Aksara. Hlm.119 52 Ibid. hlm. 86 51 52 Manajemen Kurikulum Pendidikan Islam didik. Kalau teori pendidikan hanyalah semata-mata teknologi, dia harus meneliti asumsi-asumsi utama tentang sifat manusia dan masyarakat yang menjadi landasan praktik pendidikan yang melaksanakan studi seperti itu sampai batas tersebut bersifat dan mengandung unsur filsafat. Memang ada resiko yang mungkin timbul dari setiap dua tendensi itu, teknologi mungkin terjerumus, tanpa dipikirkan buat memperoleh beberapa hasil konkrit yang telah dipertimbangkan sebelumnya di dalam sistem pendidikan, hanya untuk membuktikan bahwa mereka dapat menyempurnakan suatu hasil dengan sukses, yang ada pada hakikatnya belum dipertimbangkan dengan hati-hati sebelumnya. Sebagai ajaran (doktrin) Islam mengandung sistem nilai di atas, maka proses pendidikan Islam dikembangkan secara konsisten menuju tujuannya. Sejalan dengan pemikiran ilmiah dan filosofis dari pemikirpemikir sesepuh muslim, maka sistem nilai-nilai itu kemudian dijadikan dasar bangunan (struktur) pendidikan Islam yang memiliki daya lentur normatif menurut kebutuhan dan kemajuan. Pendidikan Islam mengidentifikasi sasarannya yang digali dari sumber ajarannya yaitu Al Quran dan Hadist, meliputi empat pengembangan fungsi manusia: a. Menyadarkan secara individual pada posisi dan fungsinya di tengahtengah makhluk lain serta tanggung jawab dalam kehidupannya. b. Menyadarkan fungsi manusia dalam hubungannya dengan masyarakat, serta tanggung jawabnya terhadap ketertiban masyarakatnya. c. Menyadarkan manusia terhadap pencipta alam dan mendorongnya untuk beribadah kepada Nya. d. Menyadarkan manusia tentang kedudukannya terhadap makhluk lain dan membawanya agar memahami hikmah tuhan menciptakan makhluk lain, serta memberikan kemungkinan kepada manusia untuk mengambil manfaatnya Setelah mengikuti uraian di atas kiranya dapat diketahui bahwa Filsafat Pendidikan Islam itu merupakan suatu kajian secara filosofis mengenai masalah yang terdapat dalam kegiatan pendidikan yang didasarkan pada al-Qur’an dan al-Hadist sebagai sumber primer, dan pendapat para ahli, khususnya para filosof Muslim, sebagai sumber sekunder. Dari Normatif – Filosofis ke Praktis 53 Dengan demikian, filsafat pendidikan Islam secara singkat dapat dikatakan adalah filsafat pendidikan yang berdasarkan ajaran Islam atau filsafat pendidikan yang dijiwai oleh ajaran Islam, jadi ia bukan filsafat yang bercorak liberal, bebas, tanpa batas etika sebagaimana dijumpai dalam pemikiran filsafat pada umumnya. 2. Ruang Lingkup Kajian Filsafat Kurikulum Pendidikan Islam (FKPI) Pada dasarnya kajian Filsafat Kurikulum Pendidikan Islam (FKPI) merupakan bagian Filsafat Pendidikan Islam (FPI).Objek kajian filsafat sesungguhnya yaitu Tuhan, manusia, dan alam. Dalam konteks pendidikan, kajian pendidikan Islam pokok-pokok kajiannya meliputi: ontologi (pandangan mengenai hakikat realita yang pelajari); epistemologi (pandangan mengenai pengetahuan yang dipelajari); dan aksiologi (pandangan mengenai nilai yang dipelajari). Pertanyaan ontologis misalnya: (1) Apa saja potensi-potensi yang dimiliki oleh manusia?; (2) Dalam al-Qur’an dan Hadits terdapat istilah fitrah, samakah potensi dengan fitrah tersebut?; (3) Potensi (Fitrah) mana yang perlu mendapatkan prioritas dalam pengembangan pendidikan Islam?; (4) Apakah Potensi/fitrah merupakan suatu pembawaan yang tidak akan mengalami perubahan? Atau ia dapat berkembang?; (5) Apa hakikat budaya yang perlu dikembangkan dari satu generasi ke generasi berikutnya?; dan (6) Apakah termasuk di dalamnya juga terdapat nilainilai yang diajarkan dalam al-Qur’an dan al-hadits? Adapun yang menjadi perhatian masalah epistemologi berkaitan dengan penyusunan konsep tentang pendidikan, penyusunan dasardasar kurikulum, terutama dalam usahanya memahami hakikat pengetahuan menurut pandangan Islam. Pertanyaannya seperti: (1) Untuk mengembangkan potensi peserta didik, apa saja isi (kurikulum) yang perlu dididikkan kepada peserta didik?; (2) Dengan apa pendidikan Islam (metode) itu perlu dijalankan?; (3) Siapa yang berhak untuk mendidik dan dididik dalam pendidikan Islam?; dan (4) Apakah semua manusia berhak mendapatkan pendidikan Islam atau hanya muslim saja? 54 Manajemen Kurikulum Pendidikan Islam Sedangkan yang menjadi perhatian masalah aksiologi berkaitan dengan masalah etika dan estetika yang mempelajari tentang kebaikan ditinjau dari kesusilaan menurut pandangan Islam Komponen pendidikan Islam meliputi (1) tujuan pendidikan Islam; (2) pendidik; (3) peserta didik; (4) materi: (5) metode/strategi; (6) media; (7) evaluasi; dan (8) lingkungan. Sedangkan komponen kurikulum pendidikan hanya meliputi: (1) tujuan pendidikan Islam; (2) isi (materi); (3) metode; dan (4) evaluasi. Untuk lebih jelasnya dapat penulis tunjukkan pada gambar 2.1 berikut ini. Gambar 2.1: Ruang Lingkup Kajian Filsafat Pendidikan Islam dan Filsafat Kurikulum Pendidikan Islam. Dari gambar di atas, dapat dijelaskan bahwa ketujuh komponen dari lingkup kajian tersebut rupanya tidak ada satupun komponen yang dapat dipisahkan satu sama lain karena dapat mengakibatkan tersendatnya proses belajar-mengajar. Misalnya pengajaran tidak dapat dilakukan di ruang yang tidak jelas, tanpa siswa, tanpa tujuan, tanpa bahan ajar. Masing-masing komponen dalam pembelajaran dapat dijelaskan sebagai berikut. a. Tujuan Pendidikan Islam Tujuan yang harus dipahami oleh guru meliputi tujuan berjenjang mulai dari tujuan pendidikan nasional, tujuan institusional, tujuan kurikuler, tujuan pembelajaran. Proses Dari Normatif – Filosofis ke Praktis 55 pembelajaran tanpa tujuan bagaikan hidup tanpa arah. Oleh sebab itu, tujuan pendidikan dan pembelajaran secara keseluruhan harus dikuasai oleh guru. Tujuan disusun berdasarkan ciri karakteristik anak dan arah yang ingin dicapai. Tujuan belajar adalah sejumlah hasil belajar yang menunjukkan bahwa siswa telah melakukan perbuatan belajar, yang umumnya meliputi pengetahuan, keterampilan dan sikap-sikap yang baru yang diharapkan tercapai oleh siswa. 53Lebih lanjut menurutnya bahwasannya komponen tujuan pembelajaran, meliputi: (1) tingkah laku, (2) kondisi-kondisi tes, (3) standar (ukuran) perilaku. b. Siswa Teori didaktik metodik telah bergeser dalam menempatkan siswa sebagai komponen Proses Belajar Mengajar (PBM). 54Siswa yang semula dipandang sebagai objek pendidikan bergeser sebagai subjek pendidikan. Sebagai subjek, siswa adalah kunci dari semua pelaksanaan pendidikan, tiada pendidikan tanpa anak didik. Untuk itu siswa harus dipahami dan dilayani sesuai dengan hak dan tanggung jawabnya sebagai siswa. Siswa adalah individu yang unik, mereka merupakan kesatuan psiko-fisis yang secara sosiologis berinteraksi dengan teman sebaya, guru, pengelola sekolah, pegawai administrasi, dan masyarakat pada umumnya. Mereka datang ke sekolah telah membawa potensi psikologis dan latar belakang kehidupan sosial. Masing-masing memiliki potensi dan kemampuan yang berbeda. Potensi dan kemampuan inilah yang harus dikembangkan oleh guru. c. Pendidik Guru adalah sebuah profesi. Oleh karena itu, pelaksanaan tugas guru harus profesional. Berdasarkan UU No 14 tentang guru dan dosen pasal 8, 9 dan 10, dijelaskan tentang pentingnya guru untuk memiliki empat kompetensi agar bisa disebut sebagai guru yang profesional, yaitu: (1) kompetensi pedagogic; (2) kompetensi professional; (3) kompetensi kepribadian; dan (4) kompetensi social. 53 Oemar Hamalik, (2003). Kurikulum dan Pembelajaran. Jakarta: Bumi Aksara.Hlm. 73 Sardiman, (2001).Interaksi dan Motivasi Belajar Mengajar. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada. Hlm. 109 54 56 Manajemen Kurikulum Pendidikan Islam Walaupun guru sebagai seorang individu yang memiliki kebutuhan pribadi dan memiliki keunikan tersendiri sebagai pribadi, namun guru mengemban tugas mengantarkan anak didiknya mencapai tujuan. Untuk itu guru harus menguasai seperangkat kemampuan yang disebut dengan kompetensi guru. Oleh karena itu, tidak semua orang bisa menjadi guru yang profesional. Kompetensi guru itu mencakup kemampuan menguasai siswa, menguasai tujuan, menguasai metode pembelajaran, menguasai materi, menguasai cara mengevaluasi, menguasai alat pembelajaran, dan menguasai lingkungan belajar. 55 Guru memiliki peran yang sangat penting dalam proses belajar mangajar. Karena posisi guru tidak dapat digantikan oleh apapun. Alat, sarana, media, multimedia semua hanyalah merupakan alat bantu pendukung pembelajaran. Ada beberapa peran pendidikan dalam pendidikan Islam, yaitu: (1) teladan (contoh); (2) pengajar, (2) pengelola kelas, (3) mediator/fasilitator, (4) motivator; (5) dan innovator. Peran utama pendidik di dalam Islam yang terutama adalah dapat menjadi teladan bagi peserta didiknya. d. Materi Materi pembelajaran dalam arti yang luas tidak hanya yang tertuang dalam buku paket yang diwajibkan, akan tetapi mencakup keseluruhan materi pembelajaran. Setiap aktivitas belajar-mengajar harus ada materinya. Anak yang sedang field-trip di kebun menggunakan materi jenis tumbuhan dan klasifikasinya. Anak yang praktikum di laboratorium menggunakan materi simbiose katak. Semua materi pembelajaran harus diorganisasikan secara sistematis agar mudah dipahami oleh anak. Materi disusun berdasarkan tujuan dan karakteristik siswa. Selain itu, untuk meningkatkan penguasaan dan pemahaman siswa terhadap materi, maka guru dapat men-connect-kan antara satu dengan lainnya melalui kurikulum terintegrasi dengan pendekatan tematik dan unit. 55 Soetopo, Hidayat dan Soemanti, Wasti.(1982). Pengantar Operasional Administrasi Pendidikan. Surabaya: Usaha Nasional. Hlm. 144 Dari Normatif – Filosofis ke Praktis 57 e. Metode Metode mengajar merupakan cara atau teknik penyampaian materi pembelajaran yang harus dikuasai oleh guru. Metode mengajar ditetapkan berdasarkan tujuan dan materi pembelajaran, serta karakteristik anak. Ungkapan bahwasannya metode lebih tidak berarti penting dari pada materi atau penguasaan terhadap isi (materi) pelajaran tidak penting, melainkan pemahaman materi harus dikuasai terlebih dahulu kemudian ditunjang dengan pemahaman terhadap metode dan teknik pembelajaran, agar tujuan pembelajaran dapat dicapai secara efektif dan efisien. f. Media Media pembelajaran merupakan alat bantu yang digunakan guru secara langsung maupun tidak langsung untuk meningkatkan efektivitas pembelajaran. Agar materi pembelajaran lebih mudah dipahami oleh siswa, maka dalam proses belajar-mengajar digunakan alat pembelajaran. Alat pembelajaran dapat berupa benda yang sesungguhnya, imitasi, gambar, bagan, grafik, tabulasi dan sebagainya yang dituangkan dalam media. Media itu dapat berupa alat elektronik, alat cetak, dan tiruan. 56Menggunakan sarana atau alat pembelajaran harus disesuaikan dengan tujuan, anak, materi, dan metode pembelajaran. 5F Oleh karena itu diperlukan tenaga pengajar yang memiliki kemampuan dan kecakapan yang memadai diperlukan tenaga pengajar yang handal dan mempunyai kemampuan (capability) yang tinggi g. Evaluasi Evaluasi merupakan proses menggambarkan, memperoleh dan menyajikan informasi yang berguna untuk merumuskan suatu alternatif keputusan. Evaluasi juga dapat diartikan sebagai keputusan tentang nilai berdasarkan hasil pengukuran hasil belajar, baik yang menggunakan instrument tes maupun non tes. 56 Asnawir, (2002).Media Pembelajaran. Jakarta: Ciputat Press, hlm 17 58 Manajemen Kurikulum Pendidikan Islam Evaluasi dapat digunakan untuk menyusun graduasi kemampuan anak didik, sehingga ada penanda simbolik yang dilaporkan kepada semua pihak. Evaluasi dilaksanakan secara komprehensif, obyektif, kooperatif, dan efektif. Dan evaluasi dilaksanakan berpedoman pada tujuan dan materi pembelajaran. 57 Guru harus melakukan evaluasi terhadap hasil tes dan menetapkan standar keberhasilan. Sebagai contoh, jika semua siswa sudah menguasai kompetensi dasar, maka pelajaran dapat dilanjutkan dengan catatan guru memberikan perbaikan (remedial) kepada siswa yang belum mencapai ketuntasan. Dengan adanya evaluasi, maka dapat diketahui kompetensi dasar, materi, atau individu yang belum mencapai ketuntasan. h. Lingkungan Lingkungan pembelajaran merupakan komponen PBM yang sangat penting demi suksesnya belajar siswa. Lingkungan ini mencakup lingkungan fisik, lingkungan sosial, lingkungan alam, dan lingkungan psikologis pada waktu PBM berlangsung. Semua komponen pembelajaran harus dikelola sedemikian rupa, sehingga belajar anak dapat maksimal untuk mencapai hasil yang maksimal pula. Mengelola lingkungan pembelajaran baik di kelas maupun di luar kelas bukan merupakan tugas yang ringan. Oleh karenanya guru harus banyak belajar. Doyle (1986) berpendapat bahwa hal-hal yang menyebabkan pengelolaan kelas mempunyai beberapa dimensi. Seperti penelitian yang dilakukan oleh Emersen, Everston dan Anderson (1980), peristiwa yang terjadi pada waktu awal-awal sekolah banyak berpengaruh terhadap pengelolaan kelas pada tingkat-tingkat berikutnya. Borden menyarankan agar setiap anak mempunyai ruang gerak sedikitnya tiga meter persegi. 58 Adapun menurut Oemar Hamalik, komponen-komponen pembelajaran meliputi tujuh aspek yaitu: (1) tujuan pendidikan dan pengajaran, (2) peserta didik atau siswa, (3) tenaga kependidikan khususnya guru, (4) perencanaan pengajaran 57 58 Madjid, Abdul, (2005). Perencanaan Pembelajaran. Remaja Rosdakarya: Bandung, hlm. 225 Borden, Marian Edelman, (2001). Smart Start: Panduan Lengkap Memilih Pendidikan Prasekolah Balita Anda. Bandung: Kaifa. Hlm. 71 Dari Normatif – Filosofis ke Praktis 59 sebagai suatu segmen kurikulum, (5) strategi pembelajaran, (6) media pembelajaran, dan (7) evaluasi pembelajaran. 59 Proses pembelajaran ditandai dengan adanya interaksi antara komponen. Misalnya komponen peserta didik berinteraksi dengan komponen guru, metode/media, perlengkapan/peralatan, dan lingkungan kelas yang mengarah kepada pencapaian tujuan pembelajaran. 3. Kegunaan Filsafat Pendidikan dalam Kurikulum Pendidikan Islam Peranan filsafat kurikulum pendidikan Islam pada dasarnya tidak berbeda dengan filsafat pendidikan Islam yaitu harus mampu menjawab segala permasalahan dalam bidang pendidikan baik yang berkaitan dengan sistem cara pengajarannya dan lain sebagainya, sebagaimana disebutkan oleh Omar Mohammad Al-Taumy Al-Syaibany, bahwa Filsafat Pendidikan Islam harus mampu memberikan kemanfaatan bagi khasanah Pendidikan Islam berupa: 1) Membantu para perancang dan pelaksana pendidikan dalam membentuk pemikiran yang benar terhadap proses pendidikan. 2) Memberi dasar bagi pengkajian pendidikan secara umum dan khusus 3) Menjadi dasar penilaian pendidikan secara menyeluruh 4) Memberi sandaran intelektual, bimbingan bagi pelaksana pendidikan untuk menghadapi tantangan yang muncul dalam bidang pendidikan, sebagai jawaban dari setiap permasalahan yang timbul dalam bidang pendidikan. 5) Memberikan pendalaman pemikiran tentang pendidikan hubungannya dengan faktor-faktor spiritual, kebudayaan, sosial, ekonomi, politik dan berbagai kehidupan lainnya. 60 Sedangkan menurut Muzayyin Arifin menyimpulkan bahwa Filsafat Pendidikan Islam itu seharusnya bertugas dalam 3 (tiga) dimensi yaitu: 1) memberikan landasan dan sekaligus mengarahkan kepada proses pelaksanaan pendidikan yang berdasarkan ajaran agama Islam. 2) Melakukan kritik dan koreksi terhadap proses pelaksanaan tersebut. 59 Hamalik, Oemar, (2001). Proses Belajar Mengajar. Jakarta: Bumi Aksara. Hlm. 77 Omar Muhammad Al-taumy Al-Syaibany, (1979)Filsafat Al-Tarbiyah Al Islamiyah, terj. Hasan Langgulung, Filsafat Pendidikan Islam, Jakarta: Bulan Bintang, Cet.I, hlm. 33-36 60 60 Manajemen Kurikulum Pendidikan Islam 3) Melakukan evaluasi terhadap metode dari proses pendidikan tersebut. 61 Filsafat memegang peranan penting dalam pengembangan kurikulum, sama halnya seperti dalam filsafat pendidikan, kita diperkenalkan pada berbagai aliran filsafat seperti: perenialisme, essensialisme, eksistensialisme, Progresivisme, dan rekonstruktivisme. Dalam pengembangan kurikulum pun berpijak pada aliran-aliran filsafat tertentu, sehingga akan mewarnai terhadap konsep dan implementasi kurikulum yang dikembangkan. Di bawah ini diuraikan tentang isi dari masingmasing aliran filsafat, kaitannya dengan pengembangan kurikulum: 1) Perenialisme lebih menekankan pada keabadian, keidealan, kebenaran dan keindahan dari warisan budaya dan dampak sosial tertentu. Pengetahuan dianggap lebih penting dan kurang memperhatikan kegiatan sehari-hari. Pendidikan yang menganut faham ini menekankan pada kebenaran absolut, kebenaran universal yang tidak terikat pada tempat dan waktu, seperti norma agama dan susila. Aliran ini lebih berorientasi pada masa lalu. 2) Essensialisme menekankan pentingnya pewarisan budaya dan pemberian pengetahuan dan keterampilan pada peserta didik agar dapat menjadi anggota masyarakat yang berguna. Matematika, sains dan mata pelajaran lainnya dianggap sebagai dasar-dasar substansi kurikulum yang berharga untuk hidup di masyarakat. Sama halnya perenialisme, essensialisme juga lebih berorientasi pada masa lalu. 3) Eksistensialisme menekankan pada individu sebagai sumber pengetahuan tentang hidup dan makna. Untuk memahami kehidupan seseorang mesti memahami dirinya sendiri. Aliran ini mempertanyakan bagaimana saya hidup di dunia? Apa pengalaman itu? 4) Progresivisme menekankan pada pentingnya melayani perbedaan individual, berpusat pada peserta didik, variasi pengalaman belajar dan proses. Progresivisme merupakan landasan bagi pengembangan belajar peserta didik aktif. 5) Rekonstruktivisme merupakan elaborasi lanjut dari aliran progresivisme, peradaban manusia masa depan sangat ditekankan. Disamping menekankan tentang perbedaan individual seperti pada progresivisme, rekonstruktivisme lebih jauh menekankan tentang 61 Abuddin Nata, (1997). Filsafat Pendidikan Islam, Cet. I, Jakarta: Logos Wacana Ilmu. Hlm. 19 Dari Normatif – Filosofis ke Praktis 61 pemecahan masalah, berfikir kritis dan sejenisnya. Aliran ini akan mempertanyakan untuk apa berfikir kritis, memecahkan masalah dan melakukan sesuatu? Penganut aliran ini menekankan pada hasil belajar dan proses. B. Hubungan Filsafat Pendidikan, Pengembangan Kurikulum Orientasi, dan Pendekatan Filsafat, teori dan orientasi dalam pengembangan Kurikulum Pendidikan Islam mempunyai hubungan yang saling mengisi dan melengkapi(komplementer). Dimana Filsafat memberikan landasan dasar bagi Teori, dan teori memberikan bahan-bahan untuk pemikiran filosofis. Antara filsafat dan teori ini memberikan acuan dalam orientasi Kurikulum. Dan antara filsafat teori dan orientasi ini merupakan pedoman, bahan masukan untuk membantu memecahkan berbagai masalah dalam pengembangan kurikulum Pendidikan Islam. Berikut ini gambaran tentang hubungan antar filsafat pendidikan dan orientasi pengembangan kurikulum: 62 Manajemen Kurikulum Pendidikan Islam Gambar 2.2: Hubungan Filsafat Pendidikan, Orientasi dan Pendekatan Pengembangan Kurikulum Berbagai aliran filsafat pendidikan tersebut dijadikan dasar dalam pengembangan kurikulum. Seperti Perenialisme dan Esensialisme merupakan aliran filsafat pendidikan klasik yang mendasari Kurikulum Subjek-Akademis. Sedangkan Progresivisme memberikan dasar bagi pengembangan Model Kurikulum Humanis. Filsafat Perenealisme, Esensialisme dan Positivisme mempengaruhi pengembangan kurikulum Kompetensi/Teknologik. Filsafat Rekonstruktivisme banyak diterapkan dalam pengembangan model kurikulum Rekonstruksi sosial interaksional. Masing-masing aliran filsafat pasti memiliki kelemahan Dari Normatif – Filosofis ke Praktis 63 dan keunggulan tersendiri. Oleh karena itu, dalam praktik pengembangan kurikulum, penerapan aliran filsafat cenderung dilakukan secara efektif untuk lebih mengkompromikan dan mengakomodasikan berbagai kepentingan yang terkait dengan pendidikan. Meskipun demikian saat ini, pada beberapa negara dan khususnya di Indonesia, tampaknya mulai terjadi landasan dalam pengembangan kurikulum, yaitu lebih menitikberatkan pada filsafat rekonstruktivisme. Untuk lebih lanjut marilah kita pahami Filsafat Pendidikan Islam itu sendiri. Kurikulum merupakan salah satu komponen yang memiliki peran sangat penting. Landasan pengembangan kurikulum seperti sebuah pondasi bangunan. Persoalan mengembangkan isi dan bahan pelajaran serta bagaimana cara belajar siswa bukanlah suatu proses yang sederhana, sebab menentukan isi atau muatan kurikulum harus berangkat dari visi, misi, serta tujuan yang ingin dicapai. Sedangkan menentukan tujuan erat kaitannya dengan persoalan sistem nilai dan keutuhan masyarakat. Sehingga dalam pengembangan kurikulum Pendidikan Islam perlu diadakan pemikiran yang mendalam dengan memperhatikan teori dan orientasi kurikulum. Filsafat adalah cara berfikir yang sedalam-dalamnya, yakni sampai akar-akarnya tentang hakikat sesuatu. Para pengembang kurikulum harus mempunyai filsafat yang jelas tentang apa yang mereka junjung tinggi. Terdapat berbagai aliran filsafat yang masing-masing dengan dasar pemikiran sendiri, berikut adalah beberapa aliran dalam filosofis pendidikan: Secara akademik, filsafat berarti suatu upaya untuk menggambarkan dan menyatakan suatu pandangan yang sistematis dan komprehensif tentang alam semesta dan kedudukan manusia di dalamnya. Sedangkan kurikulum merupakan seperangkat rencana dan pengaturan mengenai tujuan, isi dan bahan pelajaran serta cara yang digunakan sebagai pedoman penyelenggaraan kegiatan pembelajaran untuk mencapai tujuan pendidikan tertentu. Dalam seperangkat rencana untuk mencapai tujuan diperlukan landasan filosofis untuk memperkuat ke arah mana peserta didik atau bahkan dalam arti lebih luas pendidikan itu diarahkan sesuai dengan prinsip-prinsip falsafah negara dan kelembagaan. Dengan demikian proses pembelajaran harus diorientasikan pada pengembangan 64 Manajemen Kurikulum Pendidikan Islam kompetensi peserta didik, yaitu karakteristik mendasar seseorang yang berhubungan timbal balik dengan suatu kriteria efektif dan atau kecakapan terbaik seseorang dalam pekerjaan atau keadaan. Adapun hubungan antara filsafat, pembelajaran dan kurikulum sebagaimana ditunjukkan pada tabel 4.1 sebagai berikut: Tabel 2.1: Hubungan antara Filsafat, Tujuan, Kurikulum, Peran Guru dan Sekolah Essensialisme Perenialisme FILSAFAT PENDIDIKAN 1 TUJUAN PENDIDIKAN KURIKULUM DAN METODE PERANAN GURU PERANAN SEKOLAH 2 • Membantu siswa menemukan kembali dan menginternalisasi kebenaran universal dan konstan masa lalu. 3 Kurikulum: • Subject centered • Disiplin ilmu meliputi: kesusasteraan, matematika, ilmu-ilmu sosial dan sejarah. 5 • Wahana pelatihan elit intelektual Wahana alih elit intelektual dan kebenaran kepada generasi penerus. • Wahana penyiapan siswa untuk hidup. • Menyampaik an warisan budaya dan sejarah seputar inti pengetahuan yang terakumulasi begitu lama dan bermanfaat untuk diketahui semua siswa. • Siswa mampu menginternali sasi elemen esensial dari pendidikan, yang berupa keterampilan, sikap, dan nilai-nilai. • Siswa mampu menyerap ide-ide. Kurikulum: • Subject centered Tingkat Dasar: ditekankan pada keterampilan membaca, menulis dan matematika. Tingkat Menengah: matematika, sains, ilmu-ilmu sosial, bahasa dan kesusastraan. 4 • Ahli dalam bidangnya. • Punya kemampuan bidang keguruan. • Tidak suka mencela/menyalahkan. • Pemilik kewenangan. • Sebagai pendisiplin mental dan pemimpin moral dan spiritual. • Master of particular subject. • Model yang patut ditiru. • Pemilik kewenangan di bidang keahlian keahliannya. • Teladan nilai-nilai dan idaman. Metode: Kajian terhadap bukubuku besar yang membahas peradaban Barat melalui membaca dan diskusi. Metode: • Menekankan pada pengembangan minat siswa dan kesadaran akan dunia fisik sekitarnya. • Menekankan penguasaan akta dan konsep dasar tentang bidang-bidang esensial. Dari Normatif – Filosofis ke Praktis • Wahana penyiapan dan alih warisan budaya dan sejarah kepada generasi penerus. • Wahana mempelajari pengetahuan, keterampilan, sikap dan nilainilai untuk menjadi warga yang berguna di masyarakat. 65 Progresivisme Rekonstructionisme 66 • Siswa memiliki ketrampilan, alat dan pengalaman sosial (interaksi dengan lingkungan). • Siswa memiliki kemampuan problem solving personal maupun sosial. Kurikulum: • Dibangun dari pengalaman personal dan sosial siswa. • Ilmu sosial sebagai bidang inti untuk problem solving • Keterampilan komunikasi, proses matematik, scientific inquiry secara interdisipliner sebagai alat problem solving. • Buku sebagai alat proses belajar bukan sumber pengetahuan pokok. Metode: • Scientific inquiry • Problem solving Kurikulum: • Bidang-bidang kajian meliputi persoalan sosial, politik dan ekonomi umat manusia. • Problem sosial dan personal dari siswa sendiri. • Siswa memiliki kesadaran akan problem sosial, politik, ekonomi umat manusia. • Siswa memiliki Metode: ketrampilan • Scientific inquiry untuk sebagai metode kerja memecahkan problem solving. problem tersebut. • Membangun tatanan masyarakat baru. • Pembimbing dalam proyek dan aktivitas problem solving. • Challenger dan inquiry leader. • Sabar, fleksibel, interdisipliner, cerdas dan kreatif. • Miniatur masyarakat luas. • Laboratorium belajar kehidupan. • Model kerja yang demokratis. • Membuat siswa sadar akan persoalanpersoalan yang dihadapi umat manusia. • Project director dan research teacher. Perantara utama bagi perubahan sosial, politik, ekonomi dalam masyarakat. • Mengembangka n ahli ilmu social. Manajemen Kurikulum Pendidikan Islam Eksistensialisme Kurikulum: • Siswa • Secara umum tidak mengembang ada penetapan -kan kurikulum, karena potensinya setiap individu masingmemiliki kebutuhan masing untuk dan minat tertentu mencari jati untuk dipenuhi. dirinya. • Menekankan proses pemikiran reflektif. • Ilmu-ilmu sastra dan seni sebagai mata pelajaran penting untuk introspeksi dan refleksi. Metode: • Mendorong siswa mengikuti proyekproyek yang membantu mereka untuk mengembangkan keterampilan dan pengetahuan yang diperlukan. • Pembimbing dan stimulator berfikir reflektif melalui penggalian pertanyaanpertanyaan (Inquiry), bukan pemberi instruksi. • Memiliki kejujuran ilmiah, integritas dan kreativitas. • Figur yang tidak mencampuri perkembangan minat dan bakat siswa. • Sebagai forum dialog antar para siswa. Dalam konteks kebijakan pendidikan nasional sebagaimana dapat dilihat dalam Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional no. 20 Tahun 2003 menyatakan bahwa: “Kurikulum adalah seperangkat rencana dan pengaturan mengenai tujuan, isi, dan bahan pelajaran serta cara yang digunakan sebagai pedoman penyelenggaraan pembelajaran untuk mencapai tujuan pendidikan tertentu”. Sehubungan dengan banyaknya definisi tentang kurikulum, dalam implementasi kurikulum kiranya perlu melihat definisi kurikulum yang tercantum dalam Undang-undang No. 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional pasal 1 ayat (19) yang berbunyi: “Kurikulum adalah seperangkat rencana dan pengaturan mengenai tujuan, isi dan bahan pelajaran serta cara yang digunakan sebagai pedoman penyelenggaraan kegiatan pembelajaran untuk mencapai tujuan pendidikan tertentu.” Lebih lanjut pada pasal 36 ayat (3) disebutkan bahwa kurikulum disusun sesuai dengan jenjang dan jenis pendidikan dalam kerangka Negara Kesatuan Republik Indonesia dengan memperhatikan: 1) 2) 3) 4) Peningkatan iman dan takwa; Peningkatan akhlak mulia; Peningkatan potensi, kecerdasan, dan minat peserta didik; Keragaman potensi daerah dan lingkungan; Dari Normatif – Filosofis ke Praktis 67 5) 6) 7) 8) 9) 10) Tuntutan pembangunan daerah dan nasional; Tuntutan dunia kerja; Perkembangan ilmu pengetahuan, teknologi, dan seni; Agama; Dinamika perkembangan global; Persatuan nasional dan nilai-nilai kebangsaan. Berdasarkan pasal di atas, maka jelas menunjukkan berbagai aspek pengembangan kepribadian peserta didik yang menyeluruh dan pengembangan pembangunan masyarakat dan bangsa, ilmu, kehidupan agama, ekonomi, budaya, seni, teknologi dan tantangan kehidupan global. Artinya, kurikulum haruslah memperhatikan permasalahan ini dengan serius dan menjawab persoalan ini dengan menyesuaikan diri pada kualitas SDM yang diharapkan dihasilkan pada setiap jenjang pendidikan. 68 Manajemen Kurikulum Pendidikan Islam BAB III KURIKULUM PENDIDIKAN ISLAM A. Pengertian Kurikulum Pendidikan Islam Kurikulum secara etimologi berasal dari bahasa Latin Curriculum, semula berarti a running course, specially a chariot race course, dan terdapat pula dalam bahasa Perancis “Courier” artinya “to run” (berlari). 62Istilah ini digunakan untuk sejumlah mata pelajaran yang harus ditempuh untuk mencapai gelar atau ijazah. Secara tradisional kurikulum diartikan sebagai mata pelajaran yang diajarkan di sekolah. 63 Pengertian ini sejalan dengan pendapat Crow and Crow yang mengatakan bahwa kurikulum adalah rancangan pengajaran yang isinya sejumlah mata pelajaran yang diperlukan sebagai syarat untuk menyelesaikan suatu program pendidikan tertentu. 64Sedangkan secara terminologi berarti rancangan program pendidikan yang berisi serangkaian pengalaman yang diberikan kepada peserta didik untuk mencapai suatu tujuan yang ingin dicapai melalui serangkaian pengalaman belajar. Kedua aspek tersebut, tujuan dan pengalaman belajar dalam sebuah kurikulum ditentukan oleh keinginan, keyakinan atau pengetahuan serta kemampuan anggota masyarakat yang menyelenggarakan program pendidikan tersebut. Kurikulum dalam arti sempit diartikan sebagai kumpulan berbagai mata pelajaran/mata kuliah yang diberikan kepada peserta didik melalui kegiatan yang dinamakan proses pembelajaran. Sedangkan menurut Muhaimin kurikulum dalam arti sempit adalah seperangkat 62 Armai Arif, (2002). Pengantar Ilmu dan Metodologi Pendidikan Islam. Ciputat Press: Jakarta. Hal: 29 M. Arifin, cetakan ke-5,(1996). Ilmu Pendidikan Islam. Bumi Aksara: Jakarta. Hal: 61 64 Abuddin Nata, cetakan ke-2, (1999). Filsafat Pendidikan Islam. Logos Wacana Ilmu: Jakarta. Hal: 123 63 Dari Normatif – Filosofis ke Praktis 69 rencana dan pengaturan tentang isi dan bahan pelajaran serta cara yang digunakan sebagai pedoman penyelenggaraan kegiatan belajar mengajar di sekolah. Pengertian ini menggarisbawahi adanya 4 komponen pokok dalam kurikulum, yaitu: tujuan, isi (bahan), organisasi, dan strategi. 65 Akibat dari perkembangan ilmu pengetahuan, khususnya sosioteknologi, maka kurikulum diartikan secara lebih luas sebagai keseluruhan proses pembelajaran yang direncanakan dan dibimbing di sekolah, baik yang dilaksanakan di dalam kelompok atau secara individual, di dalam atau di luar sekolah. Pendidikan Islam secara etimologi diwakili oleh istilah ta’lim dan tarbiyah yang berasal dari kata dasar ‘allama dan rabba sebagaimana dalam Al-Qur’an, sekalipun konotasi kata tarbiyah lebih luas karena mengandung arti memelihara, membesarkan, dan mendidik, serta sekaligus mengandung makna mengajar (‘allama). 66 Pendidikan Islam menurut Langgulung, setidaknya tercakup dalam delapan pengertian, yaitu al-tarbiyah al-diniyah (pendidikan keagamaan), ta’lim al-din (pengajaran agama), al-ta’lim al-diny (pengajaran keagamaan), al-ta’lim al-islamy (pengajaran ke-Islaman), Tarbiyah al-muslim (pendidikan orang-orang Islam), al-tarbiyah fi al-islam (pendidikan dalam Islam), al-tarbiyah ‘inda al-muslimin (pendidikan di kalangan orang-orang Islam), dan al-tarbiyah al-islamiyah (pendidikan Islam). 67Sedangkan menurut Oemar Muhamad Al-Toumy al-Syaibany diartikan dengan usaha mengubah tingkah laku individu dalam kehidupan kepribadian dan kemasyarakatan yang dilandasi dengan nilai-nilai Islam. 68 Sedangkan di dalam rumusan seminar pendidikan Islam se-Indonesia tahun 1960 pendidikan Islam diartikan sebagai bimbingan terhadap pertumbuhan jasmani, rohani, menurut ajaran Islam dengan hikmah mengarahkan, mengajarkan, melatih, mengasuh dan mengawasi berlakunya semua ajaran Islam. 69 65 Muhaimin, (2003).Wacana Pengembangan Pendidikan Islam Islam (Suatu Upaya Mengefektifkan Pendidikan Agama Di Sekolah). Pustaka Pelajar: Yogyakarta. Hal: 182 66 Yusuf Amir Faisal, cetakan pertama, (1995). Reorientasi Pendidikan Islam. Gema Insan Press: Jakarta. Hal: 94 67 Muhaimin et. al, (2001).Paradigma Pendidikan Islam.PT. Remaja Rosda Karya. Bandung. Hal. 36 68 Oemar Muhammad Al-Toumy al-Syaibani, (1979).Falsafah Pendidikan Islam (terj. Hasan Langgulung). Bulan Bintang: Jakarta. Hal: 399 69 Arifin, cetakan ke-3, (1997).Filsafat Pendidikan Islam. Bumi Aksara: Jakarta. Hal: 14 70 Manajemen Kurikulum Pendidikan Islam Pendidikan Islam dalam konteks historik-sosiologik, pernah dimaknai sebagai pendidikan/pengajaran keagamaan atau keislaman dalam rangka mendidik orang-orang Islam, untuk melengkapi dan membedakannya dengan pendidikan sekuler (non-keagamaan/nonkeislaman). Pengertian pendidikan tidak hanya berarti sebagai pendidikan, pengajaran dan pelatihan bahkan lebih luas cakupannya sebagai aktivitas dan fenomena. Pendidikan sebagai aktivitas berarti upaya sadar dirancang untuk membantu seseorang, sekelompok orang dalam mengembangkan pandangan hidup (bagaimana orang menjalani hidup dan kehidupannya), sikap hidup dan keterampilan hidup, baik yang bersifat manual (petunjuk praksis) maupun mental dan sosial. Dalam konteks pendidikan Islam, berarti pandangan hidup, sikap dan keterampilan hidup tersebut harus bernafaskan atau dijiwai oleh ajaran Islam dan nilai Islam yang bersumber dari Al-Qur’an dan As-Sunnah/Al-Hadits. 70 Menurut Arifin bahwa pendidikan Islam adalah idealitas yang mengandung nilai-nilai Islam dalam proses kependidikan yang berdasarkan ajaran Islam secara bertahap. Dari beberapa pengertian di atas dapat ditemukan beberapa hal yang perlu diperhatikan dalam pembelajaran pendidikan Islam yaitu sebagai berikut: 1. Pendidikan Islam sebagai usaha sadar, yakni suatu kegiatan bimbingan, pengajaran dan/atau latihan yang dilakukan secara terencana dan sadar atas tujuan yang hendak dicapai. 2. Peserta didik hendak disiapkan untuk mencapai tujuan; dalam arti ada yang membimbing, diajari dan/atau dilatih dalam peningkatan keyakinan, pemahaman, penghayatan, dan pengamalan terhadap ajaran agama Islam. 3. Pendidikan atau Guru Pendidikan Agama Islam yang melakukan kegiatan bimbingan, pengajaran dan/atau latihan secara sadar terhadap peserta didiknya untuk mencapai tujuan pendidikan agama Islam. Kegiatan pembelajaran pendidikan agama Islam diarahkan untuk meningkatkan keyakinan, pemahaman, penghayatan dan 70 Ibid,Hal: 37 Dari Normatif – Filosofis ke Praktis 71 pengamalan ajaran agama dari peserta didik, yang disamping untuk membentuk kesalehan atau kualitas pribadi, juga sekaligus untuk membentuk kesalehan sosial. Dalam arti, kualitas atau kesalehan pribadi mampu memancar keluar dalam hubungan keseharian dengan manusia yang lain. 71 Berdasarkan pengertian ini tercakup di dalamnya sejumlah aktivitas pembelajaran di antara subyek didik dalam melakukan transformasi pengetahuan, keterampilan dengan menggunakan berbagai pendekatan proses pembelajaran atau menggunakan metode belajar dan mendayagunakan segala teknologi pembelajaran. Namun demikian, bahwa konsep kurikulum sebagai urutan sejumlah mata pelajaran tetap menjadi dasar yang substansial dalam rancangan atau menyusun desain kurikulum. Inti dari kurikulum menurut Tyler (1949), adalah suatu jawaban secara menyeluruh terhadap beberapa pertanyaan berikut ini: 1) Tujuan dan maksud apa yang hendak dicapai oleh sekolah? 2) Kesempatankesempatan belajar apa yang di pilih agar terjadi perubahan tingkah laku sesuai dengan harapan? 3) Bagaimana unsur-unsur belajar disusun? 4) Bagaimana penilaian untuk mengetahui keberhasilannya? Jika keempat jawaban pertanyaan itu telah terjawab, itulah yang di maksud dengan kurikulum. Perlu dipahami juga bahwa kehadiran atau penyusunan kurikulum memerlukan landasan agar memiliki pijakan yang kuat. Dari pengertian kurikulum dan pendidikan Islam di atas, maka kurikulum Pendidikan Islam diartikan sebagai rancangan pendidikan dan pembelajaran yang berisi learning program (program pembelajaran), learning experience (pengalaman belajar), dan planned learning program (perencanaan program pembelajaran) pendidikan Islam yang akan diberikan kepada peserta didik agar dapat menjadi pribadi yang beriman dan bertaqwa kepada Allah Swt, memiliki keterampilan dalam hidup yang dijiwai oleh ajaran Islam dan nilai Islam yang bersumber dari Al-Qur’an dan As-Sunnah sehingga menjadi pribadi yang paripurna (kamil). 71 Muhaimin, (2002).Wacana…, Hal: 75 72 Manajemen Kurikulum Pendidikan Islam B. Landasan dan Paradigma Pengembangan Kurikulum Pendidikan Islam Pada prinsipnya landasan pengembangan kurikulum pendidikan Islam tidak boleh tidak senantiasa menjadikan al-Qur’an dan Hadits sebagai landasan normatif pengembangan kurikulum pendidikan Islam. Menurut Al-Taumy Al-Syaibany landasan kurikulum pendidikan Islam antara lain adalah: 1) Dasar/ Landasan Agama (Normatif) Kurikulum diharapkan dapat menolong siswa untuk membina iman yang kuat, teguh terhadap ajaran agama, berakhlak mulia dan melengkapinya dengan ilmu yang bermanfaat di dunia dan akhirat. 2) Dasar/ Landasan Filosofis Pendidikan Islam harus berdasarkan wahyu Tuhan dan tuntutan Nabi Saw serta warisan para ulama. 3) Dasar/Landasan Psikologis Kurikulum tersebut harus sejalan dengan ciri perkembangan siswa, tahap kematangan dan semua segi perkembangannya. 4) Dasar/Landasan Sosial Kurikulum diharapkan turut serta dalam proses kemasyarakatan terhadap siswa, penyesuaian mereka dengan lingkungannya, pengetahuan dan kemahiran mereka dalam membina umat dan bangsanya. 72 5) Dasar/Landasan Ilmu pengetahuan dan Teknologi Kurikulum diharapkan senantiasa sejalan dengan perkembangan IPTEK, karena ajaran pendidikan Islam mensyaratkan umat manusia untuk senantiasa mencari, menggali, meneliti dan menemukan buktibukti ilmiah dari kebenaran normatif berdasarkan perkembangan ilmu dan pengetahuan yang ada. 72 Omar Muhammad Al-Taumy Al-Syaibany, (1979). Filsafat..., Hal.523 Dari Normatif – Filosofis ke Praktis 73 Setiap pendidik harus memahami perkembangan kurikulum, karena merupakan suatu formulasi pedagogis yang paling penting dalam konteks pendidikan, dalam kurikulum akan tergambar bagaimana usaha yang dilakukan membantu siswa dalam mengembangkan potensinya berupa fisik, intelektual, emosional, dan sosial keagamaan dan lain sebagainya. Dengan memahami kurikulum, para pendidik dapat memilih dan menentukan tujuan pembelajaran, metode, teknik, media pengajaran, dan alat evaluasi pengajaran yang sesuai dan tepat. Untuk itu, dalam melakukan kajian terhadap keberhasilan sistem pendidikan ditentukan oleh semua pihak, sarana dan organisasi yang baik, intensitas pekerjaan yang realistis tinggi dan kurikulum yang tepat guna. Oleh karena itu, sudah sewajarnya para pendidik dan tenaga kependidikan bidang pendidikan Islam memahami kurikulum serta berusaha mengembangkannya. Kurikulum merupakan inti dari bidang pendidikan dan memiliki pengaruh terhadap seluruh kegiatan pendidikan. Kurikulum sebagai rancangan pendidikan mempunyai kedudukan yang sangat strategis dalam seluruh aspek kegiatan pendidikan. Mengingat pentingnya kurikulum dalam pendidikan dan kehidupan manusia, maka penyusunan kurikulum tidak dapat dilakukan secara sembarangan. Penyusunan kurikulum membutuhkan landasan-landasan yang kuat, yang didasarkan pada hasil-hasil pemikiran dan penelitian yang mendalam. Penyusunan kurikulum yang tidak didasarkan pada landasan yang kuat dapat berakibat fatal terhadap kegagalan pendidikan itu sendiri. Dengan sendirinya, akan berakibat pula terhadap kegagalan proses pengembangan manusia. Pengembangan kurikulum operasional dilakukan oleh setiap satuan pendidikan dengan program Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP), maka seluruh jajaran di setiap satuan pendidikan harus memiliki pemahaman yang luas dan mendalam tentang landasan pengembangan kurikulum, dan secara operasional harus dijadikan rujukan dalam mengimplementasikan kurikulum di setiap satuan pendidikan. Landasan yang dipilih untuk dijadikan dasar pijakan dalam mengembangkan kurikulum sangat tergantung atau dipengaruhi oleh pandangan hidup, budaya, kebijakan politik yang dianut oleh negara 74 Manajemen Kurikulum Pendidikan Islam dimana kurikulum itu dikembangkan. Untuk menghasilkan kurikulum yang baik dari kegiatan pengembangan kurikulum, W. Tyler seperti yang dikutip oleh Ahmad, menegaskan bahwa ada empat kelompok penentu dalam pengembangan kurikulum, yaitu (1) Falsafah hidup bangsa, sekolah dan guru yang bersangkutan; (2) Pertimbangan harapan, kebutuhan dan atau permintaan masyarakat akan produk (output) lembaga pendidikan; (3) Kesesuaian kurikulum dengan peserta didik, sebab pada hakikatnya kurikulum dikembangkan adalah untuk peserta didik; (4) Kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi. 73 Mengingat sangat pentingnya kurikulum, maka dalam pengembangannya diperlukan landasan atau asas yang kuat, melalui pemikiran dan perenungan yang mendalam. Sebuah rumah yang megah akan mudah roboh, jika tidak dibangun dengan pondasi yang kuat dan kokoh. Demikian pula dengan kurikulum, apabila proses pengembangannya secara acak-acakan dan tidak memiliki landasan yang kuat, maka output pendidikan yang dihasilkan tidak akan terjamin kualitasnya. Sedangkan landasan utama dalam pengembangan kurikulum yaitu landasan filosofis, psikologis, sosio-kultural, serta landasan ilmu pengetahuan dan teknologi serta organisatoris. 1. Landasan Filosofis Seorang pengembang kurikulum dalam mengambil keputusan mengenai kurikulum harus memperhatikan falsafah, baik falsafah bangsa, falsafah lembaga pendidikan dan falsafah pendidik. Ada tiga cabang besar filsafat, yaitu metafisik yang membahas segala yang ada dalam alam ini, epistemology yang membahas kebenaran dan aksiologi yang membahas nilai. Filsafat memegang peranan penting dalam pengembangan kurikulum. Hubungan antara filsafat umum dengan filsafat pendidikan menurut beberapa ahli adalah sebagai berikut: a. Donald Butler menjelaskan bahwa filsafat memberikan arah dan metodologi terhadap praktik pendidikan; praktik pendidikan memberikan bahan bagi pertimbangan filsafat. 73 M. Ahmad, (1998). Pengembangan Kurikulum,Bandung: Pustaka Setia. Hal. 62 Dari Normatif – Filosofis ke Praktis 75 b. Brubacher, mengemukakan 4 (empat) pandangan tentang hubungan ini: 1) Filsafat merupakan dasar utama dalam filsafat pendidikan. 2) Filsafat merupakan bunga, bukan akar pendidikan. 3) Filsafat pendidikan berdiri sendiri sebagai disiplin yang mungkin memberi keuntungan dari kontak dengan filsafat, tetapi kontak tersebut tidak penting 4) Filsafat dan teori pendidikan menjadi satu. c. John Dewey, filsafat dan filsafat pendidikan adalah sama, seperti pendidikan sama dengan kehidupan. Secara umum ada 5 (lima) tipologi pemikiran (filsafat) Islam dan pada masing-masing tipologi terdapat titik temu dalam aspek rujukan utama mereka kepada fakta-fakta, informasi, pengetahuan, serta ide-ide dan nilai-nilai esensial yang tertuang dalam kandungan Al-Qur’an dan Hadits. Pertama, Tipologi Perenialis-esensialis salafi lebih menonjolkan wawasan kependidikan Islam era salaf, sehingga pendidikan Islam berfungsi sebagai upaya melestarikan dan mempertahankan nilai-nilai (ilahiyah dan insaniyah), kebiasaan dan tradisi masyarakat salaf (era kenabian dan sahabat), karena mereka dipandang sebagai masyarakat yang ideal. Kedua, Tipologi Perenial-esensialis madzhabi lebih menonjolkan wawasan kependidikan Islam yang tradisional dan berkecenderungan untuk mengikuti aliran, pemahaman atau doktrin, serta pola-pola pemikiran sebelumnya yang sudah dianggap relatif mapan. Pendidikan Islam berfungsi untuk melestarikan dan mempertahankannya serta mengembangkannya melalui upaya-upaya pemberian syarh dan hasyiyah, serta kurang ada keberanian untuk mengubah substansi materi pemikiran pendahulunya. Dengan kata lain, pendidikan Islam lebih berfungsi sebagai upaya mempertahankan dan mewariskan nilai, tradisi dan budaya dari suatu generasi ke generasi berikutnya tanpa mempertimbangkan relevansinya dengan konteks perkembangan zaman dan era kontemporer yang dihadapinya. Ketiga, Tipologi Modernis lebih menonjolkan wawasan kependidikan Islam yang bebas modifikatif, progresif dan dinamis dalam 76 Manajemen Kurikulum Pendidikan Islam menghadapi dan merespon tuntutan dan kebutuhan dari lingkungannya, sehingga pendidikan Islam berfungsi sebagai upaya melakukan rekonstruksi pengalaman yang terus menerus, agar dapat berbuat sesuatu yang intelligent dan mampu mengadakan penyesuaian kembali sesuai dengan tuntutan dan kebutuhan lingkungan pada masa sekarang. Keempat, Tipologi Perenial–esensialis kontekstual-falsifikatif mengambil jalan tengah antara kembali ke masa lalu dengan jalan melakukan kontekstualisasi serta uji falsifikasi dan mengembangkan wawasan kependidikan Islam masa sekarang selaras dengan tuntutan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi serta perubahan sosial yang ada. Fungsi pendidikan Islam adalah sebagai upaya mempertahankan dan melestarikan nilai-nilai (Ilahiyah dan insaniyah) dan sekaligus menumbuhkembangkannya dalam konteks perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi serta perubahan sosial yang ada. Kelima, Tipologi Rekonstruksi Sosial lebih menonjolkan sikap proaktif dan antisipatif, sehingga tugas pendidikan adalah membantu agar manusia menjadi cakap dan selanjutnya mampu ikut bertanggung jawab terhadap pengembangan masyarakatnya. Untuk dapat melaksanakan tugas tersebut, maka fungsi pendidikan Islam adalah sebagai upaya menumbuhkan kreativitas peserta didik, memperkaya khazanah budaya manusia, memperkaya isi nilai-nilai insani dan Ilahi, serta menyiapkan tenaga kerja produktif. Di sisi lain ada empat model pemikiran keislaman, yaitu (1) model tekstualis salafi; (2) model tradisionalis madzhabi; (3) model modernis; dan (4) model neo-modernis. Pertama, model Tekstualis Salafi, yaitu berupaya memahami ajaranajaran dan nilai-nilai mendasar yang terkandung dalam Al-Qur’an dan al-Sunnah al-Sahihah dengan melepaskan diri dari dan kurang mempertimbangkan situasi konkrit dinamika pergumulan masyarakat Muslim yang mengitarinya. Masyarakat ideal yang diidam-idamkan adalah masyarakat salaf, yakni struktur era kenabian Muhammad Saw. Dan para sahabat yang menyertainya. Rujukan utama pemikirannya adalah kitab suci Al Qur’an dan kitab-kitab hadits, tanpa menggunakan pendekatan keilmuan yang lain. Dengan kata lain, model yang pertama ini sangat mementingkan dalil-dalil nash ayat-ayat Al Qur’an dan al Hadits. Dari uraian di atas dapat dipahami bahwa model tekstualis salafi Dari Normatif – Filosofis ke Praktis 77 berusaha menjadikan nash (ayat al Qur’an dan Sunnah) dengan tanpa menggunakan pendekatan keilmuan, dan menjadikan masyarakat salaf sebagai parameter untuk menjawab tantangan dan perubahan zaman serta era modernitas. Hal ini menunjukkan bahwa model tekstualitas salafi lebih bersikap regresif dan konservatif. Dalam konteks pemikiran (filsafat) pendidikan, terdapat dua tipologi pendekatan yang lebih dekat dengan model tekstualis salafi, yaitu perenialism dan essensialism, terutama dilihat dari wataknya yang regresif dan konservatif. Model tekstualis salafi tersebut selain menyajikan secara manquli, yakni memahami atau menafsirkan nash-nash tentang pendidikan dengan nash yang lain, atau dengan menukil pendapat dari sahabat, juga berusaha membangun konsep pendidikan Islam melalui kajian tektual lughawi. Kedua,Tradisionalis Madzhabi, yaitu berupaya memahami ajaranajaran dan nilai-nilai mendasar yang terkandung dalam Al-Qur’an dan Sunnah al Shahihah melalui bantuan khazanah pemikiran Islam klasik, tapi seringkali kurang begitu mempertimbangkan situasi sosio-historis masyarakat setempat di mana ia turut hidup di dalamnya. Hasil pemikiran ulama terdahulu dianggap sudah pasti atau absolut tanpa mempertimbangkan dimensi historisitasnya. Masyarakat Muslim yang diidealkan adalah masyarakat Muslim era klasik, di mana semua persoalan keagamaan dianggap telah dikupas habis oleh para ulama atau cendekiawan muslim terdahulu. Pola pemikiran selalu bertumpu pada hasil Ijtihad ulama terdahulu dalam menyelesaikan persoalan ketuhanan, kemanusiaan dan kemasyarakatan pada umumnya. Kitab kuning menjadi pokok rujukan, dan sulit untuk keluar dari madzhab yang terbentuk beberapa abad yang lalu. Dari uraian di atas, dapat dipahami bahwa model tradisionalis madzhabi lebih menonjolkan wataknya yang tradisional dan madzhabi. Watak tradisonalnya diwujudkan dalam bersikap dan cara berpikir serta bertindak selalu berpegang teguh pada nilai, norma dan adat kebiasaan serta pola-pola pikir yang ada secara turun temurun dan tidak mudah terpengaruh oleh situasi sosio historis masyarakat yang sudah mengalami perubahan dan perkembangan sebagai akibat dari kemajuan ilmu dan teknologi. Sedangkan watak madzhabinya diwujudkan dalam bentuk kecende- 78 Manajemen Kurikulum Pendidikan Islam rungannya untuk mengikuti aliran, pemahaman atau doktrin, serta polapola pemikiran sebelumnya yang dianggap mapan. Dalam konteks pemikiran (filsafat) pendidikan Islam, tipologi tersebut berusaha membangun konsep pendidikan Islam melalui kajian terhadap khazanah pemikiran pendidikan Islam karya para ulama pada periode-periode terdahulu, baik dalam bangunan tujuan pendidikannya, kurikulum atau program pendidikan, hubungan pendidik dan peserta didik, metode pendidikan, maupun lingkungan pendidikan (konteks belajar) yang dirumuskannya. Bahkan, ia juga merujuk atau mengadopsi produk-produk pemikiran pendidikan dari para cendekiawan nonMuslim terdahulu tanpa dibarengi dengan daya kritis yang memadai. Karena wataknya yang semacam itu, sehingga ia juga lebih dekat dengan perennialism dan essensialism, terutama dilihat dari wataknya yang regresif dan konservatif. Ketiga, Modernis. Yaitu berupa memahami ajaran-ajaran dan nilainilai mendasar yang terkandung dalam Al Qur’an dan al Sunnah al Shahihah dengan hanya semata-semata mempertimbangkan kondisi dan tantangan sosio-historis dan kultural yang dihadapi masyarakat Muslim kontemporer (era iptek dan modernitas pada umumnya), tanpa mempertimbangkan muatan-muatan khazanah intelektual Muslim era klasik yang terkait dengan persoalan keagamaan dan kemasyarakatan. Dalam konteks pemikiran (filsafat) pendidikan, terdapat suatu tipologi terdapat suatu tipologi yang lebih dekat dengan model pemikiran modernis tersebut yaitu progressivism terutama dalam hal wataknya yang menginginkan sikap bebas dan modifikatif. Sikap bebas dan modifikatif tersebut bukan berarti kebebasan mutlak tanpa adanya keterikatan. Menjadi modernis memang progresif dan dinamis. Keempat, Neo-Modernis, yaitu berupaya memahami ajaran Islam dan nilai-nilai mendasar yang terkandung dalam Al-Qur’an dan alSunnah al-Shahihah dengan mengikutsertakan dan mempertimbangkan khazanah intelektual Muslim klasik serta mencermati kesulitankesulitan dan kemudahan-kemudahan yang ditawarkan oleh dunia teknologi modern. Dari Normatif – Filosofis ke Praktis 79 Implikasi terhadap Pengembangan Kurikulum Implikasi tipologi pemikiran pendidikan Islam kurikulum mencakup: tujuan, isi, strategi dan evaluasinya. terhadap a. Tipologi Perenialis-Esensialis Salafi Tujuan pendidikan diorientasikan pada upaya: (1) membantu peserta didik dalam menguak, menemukan dan menginternaliasikan kebenaran-kebenaran masa lalu pada masa salaf al- shalih; dan (2) menjelaskan dan menyebarkan warisan sejarah dan budaya salaf melalui sejumlah inti pengetahuan yang terakumulasi yang telah berlaku sepanjang masa dan karena itu penting diketahui oleh semua orang. Metode pembelajarannya dapat dilakukan melalui metode ceramah dan dialog, diskusi atau perdebatan, dan pemberian tugas-tugas. Manajemen kelasnya lebih diarahkan pada pembentukan karakter, keteraturan, keseragaman, bersifat kaku an terstruktur, tepat dan sesuai tatanan, teratur dalam menjalankan tugas-tugas. Evaluasinya menggunakan ujian-ujian essay, tes-tes diagnostik, tes prestasi belajar yang terstandardisasi, dan tes kompetensi berbasis ilmiah. Sedangkan peranan guru adalah sebagai figur yang memiliki otoritas tinggi, yang meyakini kebijakan masa lalu, penyebar kebenaran, dan orang (sarjana) yang ahli dalam bidangnya. b. Tipologi Perenialis-Esensialis Madzhabi. Tipe ini menonjolkan pada wawasan kependidikan Islam yang tradisional dan berkecenderungan untuk mengikuti aliran, pemahaman atau doktrin, serta pola pemikiran sebelumnya yang sudah dianggap mapan. Dari karakteristik tersebut, maka tujuan pendidikannya diorientasikan pada: (1) membantu peserta didik dalam menguak, menemukan dan menginternalisasikan kebenaran-kebenaran agama sebagai hasil interpretasi ulama pada masa pasca salaf al-shalih atau masa klasik dan pertengahan; dan (2) menjelaskan dan menyebarkan warisan ajaran, nilai-nilai dan pemikiran para pendahulunya yang dianggap mapan secara turun temurun, karena penting diketahui oleh semua orang. 80 Manajemen Kurikulum Pendidikan Islam Metode pembelajarannya bisa dilakukan melalui ceramah dan dialog, diskusi atau perdebatan dengan tolok ukur pandangan imam-imam madzhabny, dan pemberian tugas-tugas. Manajemen kelasnya lebih di arahkan pada pembentukan karakter, keteraturan, keseragaman, bersifat kaku dan terstruktur, tepat dan sesuai tatanan, teratur dalam menjalankan tugas-tugas. Evaluasinya menggunakan ujian-ujian objektif yang terstandardisasi atau ujian-ujian essay, tes diagnostik, tes prestasi belajar yang terstandardisasi, dan tes kompetensi berbasis ilmiah. Sedangkan peranan guru adalah sebagai figur yang memiliki otoritas tinggi, yang meyakini kebijakan masa lalu, penyebar kebenaran, dan orang (sarjana) yang ahli dalam bidangnya. c. Tipologi Modernis Menonjolkan wawasan Islam bebas modifikatif, progresif dan dinamis dalam menghadapi perubahan zaman. Maka tujuan pendidikan Islam diorientasikan pada upaya memberikan keterampilanketerampilan dan alat-alat kepada peserta didik yang dapat digunakan untuk berinteraksi dengan lingkungannya yang selalu berada dalam proses perubahan, sehingga ia bersikap dinamis dalam menghadapi dan merespon tuntutan dan kebutuhan-kebutuhan lingkungannya, serta mampu menyesuaikan dan melakukan penyesuaian kembali dengan tuntutan perubahan sosial dan perkembangan Iptek dengan dilandasi oleh nilai-nilai kebenaran universal (Allah). Metode pembelajarannya dilakukan melalui cooperative activities atau cooperative learning, metode project, dan/atau scientific method (metode ilmiah), yaitu dengan jalan mengidentifikasi masalah-masalah yang terkait dengan tema-tema tersebut, merumuskan hipotesis, dan melakukan penelitian di lapangan. Evaluasinya lebih menggunakan evaluasi formatif, dengan asumsi bahwa setiap peserta didik mempunyai kelebihan-kelebihan tertentu yang berbeda antara satu dengan lainnya. Sehingga perlu dikembangkan kompetensinya. Sedangkan peranan guru adalah sebagai fasilitator dan yang memimpin serta mengatur pembelajaran. Dari Normatif – Filosofis ke Praktis 81 d. Tipologi Perenial- Esensialis Kontekstual Falsifikatif Tipe ini mengambil jalan tengah antara kembali ke masa lalu dengan jalan melakukan kontekstualisasi serta uji falsifikasi dan mengembangkan wawasan-wawasan kependidikan Islam masa sekarang selaras dengan tuntutan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi serta perubahan sosial yang ada. Tujuan pendidikannya lebih diorientasikan pada: (1) membantu peserta didik dalam menguak, menemukan dan menginternalisasikan kebenaran-kebenaran masa lalu pada masa salaf al shalih atau masa klasik dan pertengahan; dan (2) menjelaskan dan menyebarkan warisan ajaran dan nilai-nilai salaf atau para pendahulunya yang dianggap mapan dalam ujian sejarah, karena itu penting diketahui oleh semua orang. Di lain pihak tujuan pendidikan juga untuk memberikan keterampilan-keterampilan dan alat-alat kepada peserta didik yang dapat digunakan untuk berinteraksi dengan lingkungannya yang selalu berada dalam proses perubahan, sehingga ia bersikap dinamis dalam menghadapi dan merespons tuntutan dan kebutuhankebutuhan lingkungannya, serta mampu menyesuaikan dan melakukan penyesuaian kembali dengan tuntutan perubahan sosial dan perkembangan Iptek dengan dilandasi oleh kebenaran universal (Allah). Secara singkat tujuan pendidikan menurut tipologi ini adalah melestarikan nilai-nilai Ilahiyah dan insaniyah sekaligus menumbuhkembangkannya dalam konteks perkembangan Ipteks dan perubahan sosial kultural yang ada. Metode pembelajaran yang dikembangkan adalah cooperative activities atau cooperative learning, contextual teaching and learning (CTL), metode project, dan/atau scientific method (metode ilmiah). Evaluasinya lebih banyak menggunakan evaluasi formatif, dengan asumsi bahwa setiap peserta didik mempunyai kelebihan-kelebihan tertentu yang berbeda antara satu dengan yang lain, sehingga perlu dikembangkan kemampuan (kompetensi)nya. Sedangkan peranan guru adalah sebagai fasilitator dan yang memimpin serta mengatur pembelajaran. 82 Manajemen Kurikulum Pendidikan Islam 2. Landasan Psikologis Terjadi interaksi antar-individu manusia dalam proses pendidikan, yaitu antara peserta didik dengan pendidik dan juga antara peserta didik dengan orang lain. Menyebabkan pentingnya seseorang memahami karakteristik perkembangan psikologis orang lain, karena setiap individu berbeda dengan individu lainnya. Manusia juga berbeda dengan benda atau tanaman, karena benda atau tanaman tidak mempunyai aspek psikologis. Manusia juga lain dari binatang, karena kondisi psikologisnya jauh lebih tinggi tarafnya dan lebih kompleks dibandingkan dengan binatang. Berkat kemampuan-kemampuan psikologis yang lebih tinggi dan kompleks inilah sesungguhnya manusia lebih maju, lebih banyak memiliki kecakapan, pengetahuan, dan keterampilan dibandingkan dengan binatang. Kondisi psikologis setiap individu berbeda, karena perbedaan tahap perkembangannya, latar belakang sosial-budaya, juga karena perbedaan faktor-faktor yang dibawa dari kelahirannya. Kondisi ini pun berbeda pula pada konteks, peranan, dan status individu diantara individu-individu yang lainnya. Interaksi yang tercipta dalam situasi pendidikan harus sesuai dengan kondisi psikologis para peserta didik maupun kondisi pendidiknya. Jadi, sesuai dengan yang dikemukakan oleh Sukmadinata bahwa minimal terdapat dua bidang psikologi yang mendasari pengembangan kurikulum, yaitu (1) psikologi perkembangan, dan (2) psikologi belajar. Keduanya sangat diperlukan, baik di dalam merumuskan tujuan, memilih dan menyusun bahan ajar, memilih dan menerapkan metode pembelajaran serta teknik-teknik penilaian. 74 Psikologi perkembangan merupakan ilmu yang mempelajari tentang perilaku individu berkenaan dengan perkembangannya. Dalam psikologi perkembangan dikaji tentang hakekat perkembangan, penahapan perkembangan, aspek-aspek perkembangan, tugas-tugas perkembangan individu, serta hal-hal lainnya yang berhubungan perkembangan individu, yang semuanya dapat dijadikan sebagai bahan pertimbangan dan mendasari pengembangan kurikulum. 74 Nana Syaodih Sukmadinata, (1996). Pengembangan Kurikulum. Remaja Rosda Karya: Bandung, Hal. 46 Dari Normatif – Filosofis ke Praktis 83 Psikologi belajar merupakan ilmu yang mempelajari tentang perilaku individu dalam konteks belajar. Psikologi belajar mengkaji tentang hakekat belajar dan teori-teori belajar, serta berbagai aspek perilaku individu lainnya dalam belajar, yang semuanya dapat dijadikan sebagai bahan pertimbangan sekaligus mendasari pengembangan kurikulum. 3. Landasan Sosio-Kultural Kurikulum dapat dipandang sebagai suatu rancangan pendidikan dan pembelajaran. Sebagai suatu rancangan, kurikulum menentukan pelaksanaan dan hasil pendidikan. Pendidikan merupakan usaha mempersiapkan peserta didik untuk terjun di masyarakat. Pendidikan bukan hanya untuk pendidikan semata, namun memberikan bekal pengetahuan, keterampilan serta nilai-nilai untuk hidup, bekerja dan mencapai perkembangan lebih lanjut di masyarakat. Peserta didik berasal dari masyarakat, mendapatkan pendidikan baik formal, non-formal dan informal dalam lingkungan masyarakat dan diarahkan bagi kehidupan masyarakat pula. Kehidupan masyarakat, dengan segala karakteristik dan kekayaan budayanya menjadi landasan dan sekaligus acuan bagi pendidikan. Dengan pendidikan, kita tidak mengharapkan muncul manusia yang menjadi terasing dari lingkungan masyarakatnya, tetapi justru melalui pendidikan diharapkan dapat lebih mengerti dan mampu membangun kehidupan masyakatnya. Oleh karena itu, tujuan, isi, maupun proses pendidikan harus disesuaikan dengan kebutuhan, kondisi, karakteristik, kekayaan dan perkembangan yang ada di masyarakat. Setiap lingkungan masyarakat masing-masing memiliki sistemsosial budaya tersendiri yang mengatur pola kehidupan dan pola hubungan antar anggota masyarakat. Salah satu aspek penting dalam sistem sosial budaya adalah tatanan nilai-nilai yang mengatur cara berkehidupan dan berperilaku para warga masyarakat. Nilai-nilai tersebut dapat bersumber dari agama, budaya, politik atau segi-segi kehidupan lainnya. Sejalan dengan perkembangan masyarakat maka nilai-nilai yang ada dalam masyarakat juga turut berkembang sehingga menuntut setiap 84 Manajemen Kurikulum Pendidikan Islam warga masyarakat untuk melakukan perubahan dan penyesuaian terhadap tuntutan perkembangan yang terjadi di sekitar masyarakat. Israel Scheffer yang dikutip oleh Sukmadinata mengemukakan bahwa melalui pendidikan manusia mengenal peradaban masa lalu, turut serta dalam peradaban sekarang dan membuat peradaban masa yang akan datang. 75 Dengan demikian, kurikulum yang dikembangkan sudah seharusnya mempertimbangkan, merespons dan berlandaskan pada perkembangan social- budaya dalam suatu masyarakat, baik dalam konteks lokal, nasional maupun global. Hal tersebut tidaklah mudah dalam mengkaji tuntutan masyarakat, terutama karena adanya pengaruh ilmu pengetahuan dan teknologi yang menyebabkan masyarakat selalu dalam proses perkembangan, sehingga tuntutannya dari masa ke masa tidak selalu sama. 4. Landasan Ilmu dan Teknologi (Iptek) Pada awalnya, ilmu pengetahuan dan teknologi yang dimiliki manusia masih relatif sederhana, namun sejak abad pertengahan mengalami perkembangan yang pesat. Berbagai penemuan teori-teori baru terus berlangsung hingga saat ini dan dipastikan ke depannya akan terus semakin berkembang. Akal manusia telah mampu menjangkau hal-hal yang sebelumnya merupakan sesuatu yang tidak mungkin. Pada jaman dahulu kala, mungkin orang akan menganggap mustahil kalau manusia bisa menginjakkan kaki di Bulan, tetapi berkat kemajuan dalam bidang Ilmu Pengetahuan dan Teknologi pada pertengahan abad ke-20, pesawat Apollo berhasil mendarat di Bulan dan Neil Amstrong merupakan orang pertama yang berhasil menginjakkan kaki di Bulan. Kemajuan cepat dunia dalam bidang informasi dan teknologi dalam dua dasawarsa terakhir telah berpengaruh pada peradaban manusia melebihi jangkauan pemikiran manusia sebelumnya. Pengaruh ini terlihat pada pergeseran tatanan sosial, ekonomi dan politik yang memerlukan keseimbangan baru antara nilai-nilai, pemikiran dan caracara kehidupan yang berlaku pada konteks global dan lokal. 75 Ibid,Hal.60 Dari Normatif – Filosofis ke Praktis 85 Selain itu, dalam abad pengetahuan sekarang ini, diperlukan masyarakat yang berpengetahuan melalui belajar sepanjang hayat dengan standar mutu yang tinggi. Sifat pengetahuan dan keterampilan yang harus dikuasai masyarakat sangat beragam dan canggih, sehingga diperlukan kurikulum yang disertai dengan kemampuan meta-kognisi dan kompetensi untuk berfikir dan belajar bagaimana belajar (learning to learn) dalam mengakses, memilih dan menilai pengetahuan, serta mengatasi situasi yang ambigu dan antisipatif terhadap ketidakpastian. Perkembangan dalam bidang Ilmu Pengetahuan dan Teknologi, terutama dalam bidang transportasi dan komunikasi telah mampu mengubah tatanan kehidupan manusia. Oleh karena itu, kurikulum seyogyanya dapat mengakomodir dan mengantisipasi laju perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, sehingga peserta didik dapat mengimbangi dan sekaligus mengembangkan ilmu pengetahuan dan teknologi untuk kemaslahatan dan kelangsungan hidup manusia. 5. Landasan Organisatoris Suatu aktivitas dalam mencapai tujuan pendidikan formal perlu suatu bentuk pola yang jelas tentang bahan yang akan disajikan atau diproseskan kepada peserta didik. Pola atau bentuk bahan yang akan disajikan inilah yang dimaksud organisasi kurikulum. Organisasi kurikulum adalah suatu faktor yang penting sekali dalam pengembangan dan pembinaan kurikulum dan bertalian erat dengan tujuan program pendidikan yang hendak dicapai, karena bentuk kurikulum menentukan isi bahan pelajaran dan cara menyajikannya. Landasan ini berpijak pada teori psikologi asosiasi, yang menganggap keseluruhan adalah jumlah bagian-bagiannya, sehingga menjadikan kurikulum merupakan mata kuliah yang terpisah-pisah. Kemudian disusul teori psikologi Gestalt yang menganggap keseluruhan mempengaruhi organisasi kurikulum yang disusun secara unit tanpa adanya batas-batas antara berbagai mata pelajaran. 76 Hal-hal yang perlu diperhatikan dalam kaitannya dengan organisatoris adalah: 76 Abdul Mujib dan Jusuf Mudzakkir, (2006).Ilmu Pendidikan Islam, Jakarta: Kencana. Hal.131 86 Manajemen Kurikulum Pendidikan Islam a. Tujuan bahan pelajaran Apakah mengajarkan keterampilan untuk masa sekarang atau mengajarkan keterampilan untuk keperluan masa depan. Apakah untuk memecahkan masalah, untuk mengembangkan nilai-nilai, untuk mengembangkan ciri ilmiah, atau untuk memupuk jiwa bangsa yang baik. b. Sasaran bahan pelajaran. Siapakah peserta didiknya? Apakah latar belakang pendidikan dan pengamalannya? Sampai manakah tingkat perkembangannya? Bagaimana profil kepribadian dan motivasinya? c. Pengorganisasian bahan Bagaimana pelajaran diorganisir, apakah berdasarkan topik, konsep kronologi atau yang lainnya? Apakah jenis organisasi kurikulum yang dipakai apakah separated subject curriculum atau correlated curriculum atau integrated curriculum?. Apabila mengikuti model separated subject curriculum, maka mata pelajaran yang disajikan secara terpisah-pisah seperti Nahwu, Sharaf, Muthala’ah, Muhadatsah, Khithabah dan seterusnya. Apabila mengikuti model correlated curriculum, maka bisa dalam bentuk penggabungan mata pelajaran yang tersebut di atas menjadi Bahasa Arab, atau penggabungan antara al-Qur’an al-Hadits, Aqidah Akhlak, Sejarah Islam, Fiqh menjadi Pendidikan Agama Islam (PAI) atau memilih tema tertentu yang dibahas dalam perspektif ilmu tertentu. Apabila mengikuti model integrated curriculum, maka dalam praktiknya menghilangkan batasanbatasan mata pelajaran dengan menentukan topik bahasan untuk memecahkan permasalahan tersebut. Semua model organisasi kurikulum tersebut tentu memiliki kelebihan disamping kelemahan masingmasing. Tetapi suatu sekolah dapat mengadopsi dan menggabungkan semua model tersebut, untuk mengeliminir kelemahan atau kekurangan yang ada pada satu model, sehingga menjadi suatu bentuk kurikulum komprehensif, yang diharapkan semua pihak. Pemahaman terhadap landasan-landasan tersebut bagi para pengembang kurikulum sangat penting dan amat dibutuhkan untuk dapat menghasilkan suatu bentuk kurikulum ideal yang diharapkan Dari Normatif – Filosofis ke Praktis 87 oleh semua pihak. Kurikulum harus sesuai dengan falsafah bangsa, yaitu Pancasila, relevan dengan kebutuhan, minat, psikologi belajar dan psikologi perkembangan anak, sesuai dengan kondisi sosial masyarakat dan keanekaragaman budaya (multikultural) serta perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi dengan memilih organisasi kurikulum yang sesuai dengan latar belakang anak, materi pelajaran, dan jenjang atau jenis pendidikan tertentu. Dalam hal ini, para pengembang kurikulum harus mempertimbangkan tiga hal, yaitu kekinian, kemasadepanan dan kepentingan satuan pendidikan. 77 Kurikulum yang dikembangkan harus aktual dan tidak ketinggalan jaman serta relevan dengan kondisi masyarakat sekitar. Mampu mengantisipasi tantangan masa depan yang kompetitif-global serta menjamin kepentingan dan mendukung keberlangsungan lembaga pendidikan untuk memenuhi kebutuhan pengguna lulusan (stakeholders). C. Karakteristik Kurikulum Pendidikan Islam 1. Kurikulum Pendidikan Islam Tujuan pendidikan Islam adalah untuk terwujudnya insan kamil yang memiliki integritas iman, moral, dan amal, adanya kesatuan antara jasmani dan rohani, dunia dan akhirat. Dengan kata lain, pendidikan Islam harus menyentuh tiga ranah, yaitu hati (heart) atau afektif, akal (head) atau kognitif, jasmaniah (hand) atau psikomotorik. Ketiganya harus berjalan secara simultan, integratif dan holistik. Dengan demikian, kurikulum yang dipandang baik untuk mencapai tujuan pendidikan Islam adalah yang bersifat integrated dan komprehensif, mencakup ilmu yang dibutuhkan dalam kehidupan duniawi dan ilmu yang dibutuhkan dalam kehidupan ukhrawi kelak. 78 Kurikulum yang holistic yang dapat mengembangkan kepribadian siswa secara utuh (kaffah). Maka, pendidikan harus memberikan pelayanan kepada pertumbuhan manusia dalam semua aspeknya, seperti aspek spiritual, intelektual, imajinasi, jasmaniah, ilmiah, linguistik, ruhiyah dan lain sebagainya.. 77 S. Adiwikarta,(1994). Kurikulum untuk Abad ke-21.Jakarta: Grasindo. Hal. 101 Ibid, hal. 86 78 88 Manajemen Kurikulum Pendidikan Islam 2. Karakteristik Kurikulum Pendidikan Islam. Ciri-ciri umum kurikulum pendidikan Islam adalah Agama dan akhlak merupakan tujuan utama. Segala yang diajarkan dan di amalkan harus berdasarkan pada Al-Qur’an dan As-Sunnah serta ijtihad para ulama. 1. Mempertahankan pengembangan dan bimbingan terhadap semua aspek pribadi siswa dari segi intelektual, psikologi, sosial, dan spiritual. 2. Adanya keseimbangan antara kandungan kurikulum dan pengalaman serta kegiatan pengajaran. Oleh karena itu dapat dikatakan, bahwa sebagai inti dari ciri-ciri kurikulum pendidikan Islam adalah kurikulum yang dapat memotivasi siswa untuk berakhlak atau berbudi pekerti luhur, baik terhadap Tuhan, terhadap diri dan lingkungan sekitarnya. Menurut al-Taomy al-Syaibany ada lima ciri kurikulum pendidikan Islam, yaitu: a. Menonjolkan tujuan agama dan akhlak pada pelbagai tujuantujuannya dan kandungan, metode-metode, alat-alat dan tekniktekniknya bercorak agama. b. Meluas cakupannya dan menyeluruh kandungannya. c. Bersikap seimbang di antara berbagai ilmu yang dikandung dalam kurikulum yang akan digunakan. Selain itu juga seimbang antara pengetahuan yang berguna bagi pengembangan individual dan sosial. d. Bersikap menyeluruh dalam menata seluruh mata pelajaran yang diperlukan oleh anak didik. e. Kurikulum yang disusun selalu sesuai dengan minat dan bakat peserta didik. 79 3. Prinsip Kurikulum Pendidikan Islam Kurikulum pendidikan Islam memiliki beberapa prinsip yang harus ditegakkan, yaitu: 79 Abudin Nata, (1997). Filsafat Pendidikan Islam 1. Jakarta: Logos Wacana Ilmu. Hal. 127 Dari Normatif – Filosofis ke Praktis 89 a. Selaras dan memiliki kesesuaian dengan agama. Dalam arti bahwa semua hal yang berkaitan dengan kurikulum, termasuk tujuan, kandungan, metode, dan lain-lain, yang berlaku dalam proses pendidikan agama, senantiasa berdasarkan ajaran dan akhlak Islam. b. Menyeluruh dan Integral. Artinya tujuan dan kandungan kurikulum pendidikan Islam harus meliputi segala aspek yang bermanfaat, baik bagi peserta didik, seperti penanaman akhlak, akal, jasmani, maupun bagi masyarakat, seperti perkembangan spiritual, kebudayaan, sosial, ekonomi, politik dan lain sebagainya. c. Keseimbangan pada tujuan kurikulum dengan kandungannya. Kurikulum pendidikan yang berdasarkan pada filsafat dan ajaran Islam senantiasa menekankan pentingnya kehidupan dunia dan akhirat secara seimbang. d. Kurikulum berkaitan dengan bakat, minat, kemampuan, dan kebutuhan peserta didik, serta dengan lingkungan social yang menjadi tempat berinteraksi peserta didik. e. Memperhatikan perbedaan individu agar kurikulum pendidikan Islam memiliki relevansi dengan kebutuhan peserta didik dan masyarakatnya. f. Memperhatikan perubahan dan dinamika sosial masyarakat. Artinya kurikulum pendidikan Islam senantiasa sejalan dengan perkembangan dan perubahan yang terjadi dalam masyarakat. g. Kesesuaian antara mata pelajaran, pengalaman-pengalaman, dan aktivitas-aktivitas pendidikan yang terkandung dalam kurikulum. D. Problem dan Kritik terhadap Kurikulum Pendidikan Islam 1. Problem Pengembangan Kurikulum Pendidikan Islam Problem adalah kesenjangan antara harapan yang tidak sesuai dengan kenyataan. Dikaitkan dengan pengembangan kurikulum Pendidikan Islam, problem disini adalah ketidaksesuaian antara tujuan kurikulum Pendidikan Islam dan pelaksanaannya di lapangan. Sebelum mengkritisi kurikulum pendidikan Islam, ada banyak sekali kritik terhadap PAI di sekolah, diantaranya: a. PAI di sekolah hanya merupakan ilmu pengetahuan saja. 90 Manajemen Kurikulum Pendidikan Islam b. PAI di sekolah lebih menekankan pada aspek kognitif belaka, yaitu hafalan bukan pada aspek pembiasaan dan uswah hasanah. c. Orientasi PAI yang kurang tepat. d. Over Lapping mata pelajaran. e. Perancangan dan penyusunan materi yang kurang tepat. f. Sempitnya pemahaman terhadap esensi ajaran Islam. g. Penyelenggaraan pendidikan Islam masih eksklusif dan belum mampu berinteraksi dan bersinkronisasi dengan yang lain. h. Kecenderungan apologetik, fanatic, absulotif dan truth claim yang dibungkus dalam simpul-simpul interest. i. PAI di sekolah penyajiannya kurang menarik. Untuk dapat melaksanakan peran dan tanggung jawab guru PAI yang semakin berat, maka guru PAI harus melakukan beberapa upaya sebagai berikut: a. Guru PAI di sekolah tidak hanya berperan sebagai pentransfer knowledge, tetapi berperan juga sebagai pentransfer methodologi dan value. b. Guru PAI harus lebih menekankan aspek pembelajaran pada aspek pembiasaan dan uswah hasanah. c. Guru PAI harus memperjelas orientasi pembelajarannya. d. Guru PAI harus menyajikan materi agama dengan cara yang menyenangkan, tidak membuat siswa takut dan bosan. e. Guru PAI dalam melakukan perancangan dan penyusunan harus lebih tepat. f. Guru PAI harus mengajarkan Islam secara universal, tidak sektarian yang pada akhirnya akan menimbulkan fanatisme buta. g. Guru PAI dalam menjelaskan materi harus mampu mensinkronisasikan dengan disiplin ilmu yang lain. h. Guru PAI dalam menyajikan materi harus lebih menarik, sehingga dapat memotivasi belajar siswa. Adapun problem dalam pengembangan kurikulum pendidikan secara umum, meliputi: a. Masih sering terjadi perbedaan persepsi visi dan misi yang hendak dicapai oleh madrasah baik pada jenjengan menengah maupun atas. Dari Normatif – Filosofis ke Praktis 91 b. Visi pendidikan madrasah yang dijadikan acuan pengembangan kurikulum masih kurang memperhatikan prinsip SMART (Specific, Measurable, Achievable, Realistic, Timetable), sehingga sulit diwujudkan dalam bentuk pengembangan kurikulumnya. c. Tim perekayasa kurikulum hanya berada pada madrasah-madrasah tertentu saja belum merata karena keterbatasan sumberdaya manusia, sehingga sulit melakukan pengembangan yang berkesinambungan terhadap kurikulum yang ada. d. Pengembangan kurikulum saat ini belum berorientasi pada kepentingan peserta didik atau peserta didik sebagai subjek, tetapi kurikulum dikembangkan ke arah peserta didik sebagai objek. e. Kurang memberdayakan peran guru, sekolah dan masyarakat. f. Belum adanya lembaga yang berperan sebagai media akuntabilitas pendidikan. g. Pengembangan kurikulum seringkali tidak dilandasi oleh filsafat pendidikan yang memberikan ide dasar dalam mewujudkan tujuan pendidikan. h. Pengembangan kurikulum lebih mengarah pada kepentingan politis dan keinginan administrator tingkat pusat. i. Pengembangan kurikulum kurang memperhatikan kesinambungan proses belajar dari tingkat sekolah dasar hingga perguruan tinggi. j. Ketersediaan dokumen kurikulum yang memadai dan dapat dimiliki oleh setiap guru. Guru-guru tidak memiliki dokumen kurikulum yang lengkap/memadai. 1) Pola monitoring yang berkembang cenderung pada pendekatan inspeksi, bukan pada pembinaan profesional. 2) Evaluasi masih bersifat formalitas, belum mengukur secara utuh dan perlu dicarikan instrumen evaluasi yang handal. k. SDM masih rendah dedikasinya terhadap pelaksanaan tugasnya. l. Beban belajar anak didik, terutama pada jenjang pendidikan dasar dan menengah terlalu berat, kurang aplikatif. m. Pengembangan kurikulum kurang memberikan bekal kepada siswa yang tidak melanjutkan ke lembaga pendidikan yang lebih tinggi. Selain problem juga ada hambatan-hambatan dalam pengembangan kurikulum Pendidikan Islam, hambatan-hambatan itu antara lain berasal dari: 92 Manajemen Kurikulum Pendidikan Islam a. Guru Guru kurang berpartisipasi dalam pengembangan kurikulum. Hal itu disebabkan beberapa hal, antara lain: kurangnya waktu, kurang sesuaian pendapat baik antara sesama guru maupun dengan kepala sekolah dan administrator, kurangnya kemampuan dan pengetahuan guru sendiri. 80 Melihat problem guru di atas, bisa membawa pengaruh yang buruk terhadap proses pendidikan terutama bagi peserta didik. Padahal dalam proses pendidikan guru mempunyai peran sangat menentukan prestasi belajar, untuk itu bagaimanakah langkahlangkah guru yang harus dilakukan dalam melaksanakan tugasnya. Dalam hal ini menurut Dick dan Carey ada 10 langkah yang harus dilakukan guru dalam merencanakan pengajaran: 1) 2) 3) 4) 5) 6) 7) 8) 9) 10) Mengenali tujuan pengajaran Melakukan analisis pengajaran Mengenali tingkah laku dan karakteristik murid Merumuskan tujuan performansi Mengembangkan butir-butir tes acuan patokan Mengembangkan strategi pengajaran Mengembangkan dan memilih materi pelajaran Merancang dan melakukan penilaian formatif Merevisi pengajaran Melakukan penilaian sumatif. 80 Nana Syaodih Sukmadinata, (1996).Pengembangan Kurikulum…, hal.160 Dari Normatif – Filosofis ke Praktis 93 Gambar 3.1: Langkah Pembelajaran Dick dan Carey Guru sebagai pelaksana kurikulum sekolah harus mengerti kebutuhan siswa. Mereka juga harus mengerti dengan baik tentang isi dan konteks kurikulum sebelum memulai mempersiapkan lecture plan, seperti tujuan mengajar dan materi yang cocok dengan teknik mengajar. Selain hal di atas seorang guru dituntut mempunyai sikap yang ideal, disebabkan mempunyai peran yang multi. Dengan julukan tugas guru sebagai pendidik dan pengajar maka secara rinci mereka mempunyai fungsi sebagai berikut: 1) 2) 3) 4) 5) Guru sebagai pengelola proses pembelajaran. Guru sebagai moderator. Guru sebagai motivator. Guru sebagai fasilitator. Guru sebagai evaluator. b. Masyarakat Untuk pengembangan kurikulum dibutuhkan dukungan masyarakat baik dalam pembiayaan maupun dalam memberikan 94 Manajemen Kurikulum Pendidikan Islam umpan balik terhadap system pendidikan atau kurikulum yang sedang berjalan. Masyarakat adalah sumber input dari sekolah. Keberhasilan pendidikan, ketepatan kurikulum yang digunakan membutuhkan bantuan, serta input fakta dan pemikiran dari masyarakat. c. Biaya Untuk pengembangan kurikulum, apalagi yang berbentuk kegiatan eksperimen baik metode, isi atau system secara keseluruhan membutuhkan biaya yang sering tidak sedikit. 81Jadi biaya juga bisa menjadi salah satu hambatan pengembangan kurikulum. 2. Kritik terhadap Kurikulum Pendidikan Islam Kurikulum suatu hal yang sangat menentukan atau paling sedikit dapat mengantisipasi sesuatu yang akan terjadi. Oleh karena itu kurikulum harus menunjukkan pada apa yang seharusnya dipelajari oleh peserta didik (what is to be learned), bukan mengapa hal itu harus dipelajari (why it should be learned). Kurikulum adalah salah satu komponen yang sering dijadikan factor penyebab menurunnya mutu sekolah Islam. Banyak kritik yang ditujukan pada kurikulum, antara lain: 1. Kurikulum terlalu padat Dalam hal ini, siswa dituntut untuk menguasai sebanyak-banyaknya bahan yang terbaik dan diperoleh dengan cara yang baik pula. Siswa dituntut untuk selalu aktif, dengan terlalu banyak mendapatkan materi dan tugas-tugas. 2. Tidak sesuai dengan kebutuhan anak Kadang kurikulum yang telah ada tidak sesuai dengan keadaan dan kebutuhan peserta didik. Di sini tugas guru dalam pelaksanaan proses pendidikan harus mampu mengembangkan kurikulum sesuai kebutuhan dan keadaan siswa. Guru harus menguasai materi dan menggunakan metode yang sesuai dengan kebutuhan peserta didik. 81 Ibid, hal. 161 Dari Normatif – Filosofis ke Praktis 95 Jadi agar terciptanya kesesuaian antara kurikulum dan tujuan kurikulum itu sendiri. 3. Merepotkan guru. Keberhasilan pengajaran atau pelaksanaan suatu kurikulum sangat dipengaruhi kondisi dan aktivitas siswa, guru, serta para pelaksana kurikulum lainnya, oleh kondisi lingkungan fisik, sosial budaya dan psikologis sekitar, oleh kondisi dan kelengkapan sarana dan prasarana. Pendidikan dan pengajaran selalu berlangsung dalam keterbatasan-keterbatasan, baik keterbatasan kemampuan, fasilitas, waktu, tempat maupun biaya yang harus selalu diupayakan oleh para penyusun, pengembang dan pelaksana pendidikan. Kurikulum khususnya adalah mengoptimalkan hasil sesuai dengan kondisi yang ada, di samping mengoptimalkan isi dan prosesnya sendiri. Guru sangat berperan penting dalam keberhasilan suatu pendidikan. Dengan kurikulum yang sudah ada, guru harus mampu mengembangkan kurikulum itu. Guru harus menguasai materi pelajaran yang akan diajarkan, dan guru harus menguasai beberapa metode. Guru harus melakukan penilaian dan evaluasi. E. Orientasi Kurikulum Pendidikan Islam Kurikulum merupakan salah satu komponen yang memiliki peran penting dalam sistem pendidikan, sebab dalam kurikulum bukan hanya dirumuskan tentang tujuan yang harus dicapai sehingga memperjelas arah pendidikan, akan tetapi juga memberikan pemahaman tentang pengalaman belajar yang harus dimiliki siswa. Oleh karena begitu pentingnya fungsi dan peran kurikulum, maka setiap pengembangan kurikulum pada jenjang manapun harus didasarkan pada asas-asas tertentu. Pada dasarnya, orientasi kurikulum pendidikan pada umumnya dapat dirangkum menjadi lima, yaitu orientasi pada pelestarian nilainilai, orientasi pada kebutuhan sosial (social demand), orientasi pada tenaga kerja, orientasi pada peserta didik, dan orientasi pada masa depan dan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi. 96 Manajemen Kurikulum Pendidikan Islam Kurikulum Pendidikan Islam tidak hanya diorientasikan dalam bentuk transmisi (pemindahan/transfer ilmu pengetahuan) dan transaksi, akan tetapi diorientasikan pada transformasi. Tujuan pendidikan dalam Islam adalah agar menjadi pribadi yang kaffah (insan kamil), sehingga memberikan dampak positif (kemanfaatan) bagi lingkungan bukan bagi diri sendiri. Sehingga dapat dirumuskan bahwa orientasi kurikulum pendidikan Islam meliputi dua hal, yaitu: (1) orientasi transformasi perubahan kecil (individu); (2) orientasi transformasi perubahan besar (kelompok/masyarakat). 1. Orientasi transformasi perubahan kecil (individu). Pada orientasi ini kurikulum ditujukan untuk membekali siswa dengan seperangkat kompetensi dan kemampuan agar mereka bisa mandiri secara individu dan mampu menyelesaikan masalahnya sendiri. 2. Orientasi transformasi perubahan kecil (kelompok/masyarakat). Pada orientasi ini kurikulum ditujukan untuk mempersiapkan diri siswa agar nantinya mereka dapat menjadi bagian dari masyarakat dalam upaya melakukan perubahan-perubahan ke arah yang lebih baik. Islam mengajarkan bahwa ukuran keberhasilan seseorang dalam belajar adalah ketika mampu membawa dampak perubahan bagi lingkungan yang dimulai dari diri sendiri. Sebagaimana firman Allah Swt dalam ayat berikut ini: “Sesungguhnya Allah tidak merobah keadaan sesuatu kaum sehingga mereka merobah keadaan yang ada pada diri mereka sendiri.” (QS. AlRa’du: 11) Tujuan dari pendidikan menurut Islam tidak hanya menguasai seperangkat pengetahuan dan kompetensi, tetapi juga mengaplikasikan ilmu pengetahuan untuk kebaikan bersama, karena setiap ilmu pengetahuan yang dimiliki manusia yang diperoleh dari pendengaran, penglihatan, rasa (Panca Indera) di akhirat kelak akan dimintai pertanggungan jawab. Seperti termaktub dalam firman Allah Swt dalam ayat berikut. Dari Normatif – Filosofis ke Praktis 97 # “Dan janganlah kamu mengikuti apa yang kamu tidak mempunyai pengetahuan tentangnya. Sesungguhnya pendengaran, penglihatan dan hati, semuanya itu akan diminta pertanggungan jawabnya.” (QS. AlIsra’: 36) Dalam kurikulum pendidikan secara umum sebagaimana dijelaskan oleh John P. Miller dan Wayne Seller di dalam bukunya “Curriculum Perspectives and Practice” membagi kurikulum ke dalam tiga orientasi: 1. Transmission Position Curriculum, di dalam model ini dikatakan bahwa guru atau pendidik itu bersifat mentransfer memindahkan fakta, keterampilan, informasi, atau ilmu dan juga nilai-nilai kepada siswa. 2. Transaction Position atau model transaksi adalah model kurikulum yang melibatkan siswa dalam menentukan subyek apa atau topik apa yang akan dipelajari. Di sini anak merasa dihargai sebagai insan atau manusia yang berpotensi, misalnya tidak dianggap sebagai celengan kosong saja. 3. Transformation Position, merupakan model yang lebih mengembangkan kurikulum dari segi sekedar transaksi saja. Dalam konteks ini pembelajaran bisa dianggap sebagai bagaimana mengubah lingkungan dan mengubah siswa menjadi suatu lingkungan yang baru dan kehidupan baru dan ini biasanya cocok untuk di negara maju. 82 81F Adapun penjelasan masing-masing orientasi kurikulum dapat dijelaskan sebagai berikut: 1. Orientasi Transmisi Ciri-cirinya yaitu: a. Paradigma bersifat atomistic (terpisah-pisah). b. Tujuan pendidikan adalah penguasaan mata pelajaran dengan penguasaan tentang norma-norma sosial yang sifatnya pengetahuan dan penghayatan. 82 John P.Miller dan Wayne Seller. (1985).Curriculum Perspectives and Practice, London: Longman. Hal.5- 8 98 Manajemen Kurikulum Pendidikan Islam c. Pengalaman belajar lebih menekankan pada belajar fakta dan konsepkonsep asosiasi. d. Tugas guru adalah sebagai pemberi arahan (directive). e. Evaluasi menggunakan traditional achievement. Fungsi pendidikan menurut orientasi ini adalah mentransmisikan fakta, keterampilan dan nilai untuk siswa. a. Penguasaan materi sekolah melalui pembelajaran buku teks. b. Kemahiran keterampilan dasar dan nilai-nilai budaya tertentu dan aturan-aturan yang dibutuhkan di dalam masyarakat. c. Aplikasi pandangan mekanisme dari perilaku manusia, dimana keterampilan siswa dikembangkan melalui strategi pembelajaran tertentu. Orientasi transmisi tersebut dapat penulis gambarkan sebagai berikut: Gambar 3.2: Orientasi Transmisi Fungsi orientasi Transmisi pendidikan adalah untuk mewariskan (mentransmisikan) berbagai fakta, keterampilan dan nilai-nilai untuk siswa. Orientasi ini mendasarkan penguasaan materi sekolah tradisional melalui metodologi pengajaran tradisional, pembelajaran buku teks (orientasi subjek), kemampuan keterampilan dasar siswa dan budaya nilai-nilai tertentu dan moral yang dibutuhkan dan bermanfaat bagi kehidupan di dalam masyarakat.(orientasi transmisi budaya), dan aplikasi pandangan humanistik perilaku manusia pada perencanaan kurikulum. Posisi transmisi dalam sejarah berakar dari pendidikan kolonial. 83 Orientasi transmisi ini mendasarkan pemikiran John Locke tentang Tabula rasa, bahwa pikiran itu bersifat pasif “pendidikan adalah 83 Ibid,hal. 5-6 Dari Normatif – Filosofis ke Praktis 99 proses pembentukan kebiasaan (process of habit formation). Munculnya sensasi diikuti oleh ide yang masuk ke dalam otak (pikiran), tindakan yang mempengaruhi kebiasaan, dan kebiasaan yang membentuk karakter. Selain itu juga Francis Bacon yang berpandangan tentang pemikiran induktif (scientific inquiry)”, dengan mengobservasi nature maka kita dapat membangun teori. Dan juta Lidwig Wittgenstein dengan (analytic philosophy), yaitu bahwasannya “alam semesta dibuat dan diisolasi oleh fakta-fakta, atau atom, yang mungkin atau tidak mungkin berhubungan antara satu sama lain, tidak ada hubungan inheren atau ikatan diantara mereka. Pada tabel 3.1 berikut akan dijelaskan tentang pemetaan masing-masing orientasi kurikulum transmisi. Tabel 3.1: Pemetaan Landasan Filsafat, Psikologis dan Ideologi Politik Orientasi Kurikulum Transmisi Landasan Filsafat Logical positivism, scientific empirism, analytic philosophy. Orientasi transmisi berakal pada filsafat positivism logic. Yang merupakan penurunan dari berbagai komponen logik yang dapat dianalisis dan dievaluasi. Landasan Psikologis Psikologi behavioristik (Ivan Pavlov, Thorndike dan Skinner), yang menekankan pada aktivitas manusia terhadap respon tertentu yang dapat digunakan untuk memprediksi dan mengkontrol perilaku manusia. Dalam psikologi Bacon adalah Behaviorisme, dimana semua perilaku dapat dipahami melalui istilah sebab dan akibat (stimulus dan respon). Behaviorisme menekankan pada “penurunan aktivitas manusia ke dalam respon tertentu yang dapat digunakan untuk memprediksi dan mengontrol perilaku manusia. Thorndike: (Connectionism) Seseorang yang intelek, memiliki karakter, dan keterampilan adalah kumpulan dari kecenderungannya untuk merespon situasi dan berbagai aspek pada situasi. Pengajaran adalah penyusunan suatu situasi yang akan memudahkan mereka untuk mencapai kepuasan. 100 Manajemen Kurikulum Pendidikan Islam B.F. Skinner: (Operant Conditioning) Jika terjadi sebuah operant (perilaku yang dapat dikontrol melalui reinforcement) diikuti dengan menghadirkan penguatan terhadap stimulus, semakin kuat stimulus maka semakin tinggi pula responnya. Ideologi Politik Kapitalisme Laissez Faire, teori ekonomi konservatif yang membatasi intervensi pemerintah terhadap ekonomi dan aktivitas ekonomi dikontrol oleh kepentingan individual dan kompetisi dalam penempatan pasar terhadap suatu barang dan pelayanan. Tiga jenis orientasi Transmisi: a. Subject/orientasi isi: 1) Kurikulum dipusatkan pada subjek dan disiplin akademik tertentu. 2) Penekanan pada pembelajaran langsung: dosen dan penugasan (resitasi). 3) Kurikulum dibagi berbagai materi. Materi inti dan materi pilihan. 4) Subject curriculum didasarkan pada perencanaan tertentu mengenai pendidikan apa yang dibutuhkan pada level tertentu. 5) Lamanya masa belajar diatur sesuai dengan materi. b. Orientasi transmisi budaya: 1) Sekolah-sekolah harus menjadi pelindung excellence karakter bangsa. 2) Metode merupakan pendidikan moral rasional. 3) Sekolah harus melatih siswa dengan keterampilan yang dibutuhkan oleh masyarakat. 4) Aspek moral dihubungkan dengan suatu kewajiban: menentukan perilaku (hubungan interpersonal-dasar pemikiran antara manusia dan benda. 5) Aspek moral merupakan konteks eksternal yang kita sesuaikan dengan perilaku kita. Dari Normatif – Filosofis ke Praktis 101 c. Orientasi Pendidikan berbasis kompetensi/orientasi mastery learning 1) Tujuan dari CBE (Competence Based Education) adalah mengembangkan kemampuan siswa melalui strategi pembelajaran tertentu. 2) CBE difokuskan pengukuran secara objektif, mencari perencanaan pembelajaran yang sesuai, penilaian melalui kriteria-kriteria yang mengarah pada ujian. 3) Mastery learning merupakan system yang terintegrasi yang mencakup prosedur untuk mengidentifikasi outcome pembelajaran yang diharapkan, evaluasi dan proses pembelajaran yang akan meningkatkan pembelajaran siswa. 2. Transaksi Ciri-cirinya: a. Pendidikan adalah dialog antara siswa dan siswa. b. Siswa adalah seseorang yang memiliki kemampuan dan kecerdasan untuk memecahkan masalah (problem solving). c. Pendidikan diarahkan kepada proses pemecahan masalah bukan penguasaan kognitif. Individu dipandang sebagai seseorang yang orang rasional dan memiliki kemampuan intelegensi untuk menyelesaikan masalah. Pendidikan dipandang sebagai dialog antara siswa dan kurikulum dimana siswa merekonstruk pengetahuan melalui proses dialog. Menurut teori ini bahwasannya: (1) Pendidikan adalah dialog antara siswa dan kurikulum dimana siswa dan kurikulum dimana siswa dapat mengkonstruk pengetahuan melalui proses dialog; (2) Siswa secara individu dipandang sebagai seseorang yang memiliki kecakapan dan kemampuan untuk menyelesaikan masalah; dan (3) Elemen inti ditekankan pada strategi kurikulum yang membantu penyelesaian masalah (cognitive process). 102 Manajemen Kurikulum Pendidikan Islam Gambar 3.3: Orientasi Transaksi Elemen inti dalam posisi transaksi menekankan pada strategi kurikulum yang membantu pemecahan masalah (orientasi proses kognitif), aplikasi keterampilan memecahkan masalah di dalam konteks sosial secara umum dan di dalam konteks proses demokratik (orientasi kewarganegaraan demokratis); dan pengembangan keterampilan kognitif di dalam berbagai disiplin akademis. 84 Tabel 3.2: Pemetaan Landasan Filsafat, Psikologis, dan Ideologi Politik Orientasi Kurikulum Transaksi Landasan Filosofis Akar filosofis dari orientasi transaksi merujuk pada Pragmatisme John Dewey. Dia meyakini bahwa metode scientific dapat diaplikasikan pada sejumlah masalah. John Dewey Experimental pragmatism • Pendidikan mempunyai dua peran konservatif harus meninggalkan kebiasaan-kebiasaan dan bahasa budaya kepada siswa. Merekonstruksi fungsi proses dinamis yang dapat membantu siswa untuk berpartisipasi dalam proses demokratis. • Tujuan daripada pendidikan adalah proses menumbuhkan, merekonstruksi pengetahuan dan pengalaman, sekolah harus menumbuhkan kehidupan siswa saat ini. 84 Ibid, hal. 6-7 Dari Normatif – Filosofis ke Praktis 103 Problem Solving: o Memainkan peran sentral dalam konsep pendidikan John Dewey. o Mengembangkan intelegensi dan membantu untuk menumbuhkannya. o Berakar dari metode scientif (pemikiran reflektif) • Pendidikan Progressive: o Pendidikan adalah proses kehidupan saat ini, bukan mempersiapkan kehidupan masa depan. o Pendidikan dalam metode fundamental dari sosial progress and reform. o Sekolah harus hadir dalam kehidupan, kehidupan adalah nyata dan penting untuk anak. Pemikiran Rousseau tentang Pendidikan Romantik: • Siswa pada dasarnya baik dan sekolah harus membiarkan bakat alamiah anak berkembang dengan tanpa banyak intervensi. • Orientasi perubahan sosial: o Para pendidik harus banyak mengambil pandangan kritis mengenai peran sekolah di dalam masyarakat. o Sekolah jangan hanya menjadikan ekonomi sebagai faktor utama. o Sekolah tidak boleh terpinggirkan oleh perubahan sosial dan politik. Posisi Transaksi berakal pada teori psikologi developmental dari Piaget dan Kohlerberg. Pandangan Piaget menghasilkan suatu interaksi antara siswa dan menstimulasi “intellectual environmental”. Kohlberg mengusulkan bahwa pengembangan kognitif merupakan perluasan dari perkembangan konsepsi Dewey. • Landasan psikologis Jean Piaget: (Cognitive developmental) Sensori motor pra-operasional konkrit operasional formal. 104 operasional Manajemen Kurikulum Pendidikan Islam Ideologi Politik Lawrence Kohlberg o Moral (cognitive) Punishment Egosentris Self Respect Sosial Order Sosial Contract Conscience. Liberalisme. Dimana ada kepercayaan secara umum dapat digunakan untuk memperbaiki lingkungan sosial. Tujuan secara politik dicirikan dari dukungannya pada upaya reformasi untuk menjamin bahwasannya kelompok minoritas memiliki kesamaan peluang di dalam masyarakat. 3. Transformasi Ciri-cirinya: a. Lebih menekankan pada perkembangan pribadi dan perubahan sosial. b. Mengerjakan keterampilan yang dapat digunakan untuk kehidupan mereka di masa yang akan datang. c. Visi pendidikannya yaitu perubahan sosial merupakan gerakan yang harmoni dengan lingkungan. Gambar 3.4: Orientasi Transformasi Metaorientasi transformasi memfokuskan pada perubahan sosial dan perubahan. Pengajaran keterampilan siswa yang menaikkan transformasi personal dan sosial (humanistic and social change orientation). Paradigma transformasi memiliki hubungan secara konseptual dengan suatu fenomena. 85 85 Ibid, Hal. 8-9 Dari Normatif – Filosofis ke Praktis 105 Tabel 3.3: Pemetaan Landasan Filsafat, Psikologis dan Ideologi Politik Orientasi Kurikulum Transformasi. Landasan Filosofis Posisi transformasi berakar pada transendentalisme, mystisisme, beberapa bentuk Eksistensialisme. Tujuan mengajar adalah membantu siswa agar dapat belajar dan pengenalan jiwa orang lain. Semua fenomena saling berhubungan dan merupakan bagian dari suatu kesatuan dan individu juga bagian dari suatu kesatuan. Prinsip-prinsip: • • • • Landasan psikologis 106 Saling keterkaitan dari suatu realitas dan kesatuan alam yang fundamental. Hubungan intim antara siswa dan kesatuan ini. Penanaman intuisi dan penglihatan mendalam melalui perenungan serta meditasi dalam rangka melihat suatu kesatuan ini lebih dengan jelas Perwujudan dari kesatuan ini, mengarahkan manusia kepada tindakan sosial yang dirancang untuk menghadapi ketidakadilan & penderitaan manusia. Berdasar pada psikologi humanistic dan transpersonal psikologi, yang mengisi tingkat ego (humanistic), dan spiritual (transpersonal). Kurikulum humanistik dikembangkan oleh para ahli pendidikan humanistik. Kurikulum ini berdasarkan konsep aliran pendidikan pribadi (personalized education). Yaitu John Dewey (progressive education) dan J.J. Rousseau (romantic educational). Aliran ini lebih member tempat utama kepada siswa. Mereka bertolak dari asumsi bahwa anak atau siswa adalah yang pertama dan utama dalam pendidikan ia adalah subjek yang menjadi pusat kegiatan pendidikan. mereka percaya bahwa siswa mempunyai potensi, punya kemampuan dan kekuatan untuk berkembang. Manajemen Kurikulum Pendidikan Islam Humanistic Psychology: • Mendasarkan pada pengalaman manusia sebagai sub-human. • Makna lebih penting dibandingkan metoda, • Berikan perhatian yang besar untuk mengekspresikan pengalaman-pengalamannya. • Interaksi yang konsisten antara ilmu pengetahuan dan aplikasinya. • Kepedulian terhadap masing-masing individu. • Mencari sesuatu yang dapat memperkaya dan memperluas pengetahuan seseorang. Abraham Maslow: Motivasi Manusia • • • • • • Ideologi Politik Fisiological need (kebutuhan fisiologis; makan minum dan seks) Need for safety (kebutuhan akan rasa aman) Need for belongingness (kebutuhan rasa memiliki) Need for sosial reward (kebutuhan penghargaan) Self actualization (aktualisasi diri) Self transcendence (transendensi diri) Politik Pluralistik. Adapun ciri-ciri dari masing-masing pengembangan kurikulum menurut Seller dan Miller adalah sebagai berikut: 1. Transmission Perspective ciri-cirinya adalah: Rooted in behaviorism and traditional academic modes of educating. Berakar pada paham behaviorisme dan mode pembelajaran akademik tradisional. Goal is to transmit knowledge, attitudes, or skills from those who believed to possess them to those believed to lack them. Tujuannya adalah untuk menyampaikan pengetahuan, sikap, atau keterampilan dari mereka yang diyakini memiliki apa yang tidak dimiliki orang lain. Dari Normatif – Filosofis ke Praktis 107 Educator or curriculum developer is viewed as possessing the desired skills, knowledge and/or attitudes. Pendidik atau pengembang kurikulum dipandang memiliki keterampilan yang diinginkan, pengetahuan dan atau sikap. Learners are seen as lacking and needing the desired skills, knowledge and/or attitudes. Peserta didik dilihat kurang dalam berpengetahuan dan membutuhkan keterampilan yang diinginkan, ilmu dan atau sikap. Curriculum development involves identifying components of needed skills and/or areas of content knowledge and then indicating what the educator is to demonstrate, model, tell, and provide practice opportunities for. Pengembangan kurikulum melibatkan identifikasi komponen keterampilan yang diperlukan dan atau konten area pengetahuan dan kemudian mengidentifikasikan apa yang harus ditunjukkan oleh pendidik, modelnya, perkataannya, dan memberikan kesempatan untuk berlatih. Assumes knowledge (concepts, attitudes, and skills) is possessed by people and that one person's knowledge can be imparted to another through the above methods until it is eventually replicated in the other. Mengasumsikan pengetahuan (konsep, sikap, dan keterampilan) yang dimiliki oleh orang dan bahwa pengetahuan seseorang bisa diberikan ke orang lain dengan metode di atas sampai pada akhirnya direfleksikan oleh yang lainnya. Curriculum is organized into units or topics that are often sequential; learners must master one in order to go on to the next. Kurikulum disusun dalam unit-unit atau topik yang seringkali berurutan; peserta didik harus menguasai salah satu untuk melanjutkan ke step berikutnya. Curriculum is evaluated in terms of the degree to which learners have absorbed or mastered the prescribed knowledge, attitudes, and/or skills. Kurikulum yang dievaluasi dalam hal sejauh mana peserta didik telah menyerap atau menguasai pengetahuan yang ditentukan, sikap, dan atau keterampilan. 86 86 Seller dan Miller dalam http: parenhood.library.wisc.edu/Thomas/Thomas.html. diakses 7 Januari 2013 108 Manajemen Kurikulum Pendidikan Islam 2. Transaction Perspective ciri-cirinya adalah: Rooted in John Dewey's educational philosophy and in developmental theory. Berakar dari filsafat pendidikan John Dewey dalam teori pengembangan. Goal is to promote learners' growth and development and problem solving capacities Tujuannya adalah untuk meningkatkan pertumbuhan peserta didik dan perkembangannya serta kapasitas pemecahan masalahnya. Assumes knowledge is constructed by each learner as he or she interacts with the environment; the unique experiences, understandings, needs, and motivations that each learner brings to their learning influences his or her view of what is appropriate and interesting to learn and what is actually learned. Mengasumsikan pengetahuan yang dibangun oleh setiap pelajar karena mereka berinteraksi dengan lingkungan; pengalaman yang unik, pemahaman, kebutuhan, dan motivasi setiap pelajar yang membawa kepada pembelajaran mereka mempengaruhi pandangannya dari apa yang pantas dan menarik untuk dipelajari dan apa yang benar-benar belajar. Belajar adalah sebuah proses penyelidikan tentang pelajar dan pendidik secara langsung atau tidak langsung. Learning is an inquiry process that learners and educator codirect and co-participate in. The educator's role is to facilitate learners' inquiry in directions the learners' interests reflect. Curriculum development involves providing guidance for the educator in creating with learners a rich learning environment in which: (1) a variety of resources stimulate learners' interest and motivation; (2) social interaction contributes to learning-enhancing cognitive conflict, and (3) learners have opportunities to interact with tasks, concepts and principles, or situations of interest to them. Dari Normatif – Filosofis ke Praktis Peran pendidik adalah untuk memfasilitasi “permintaan arah pembelajaran”. Pengembangan kurikulum melibatkan penyediaan pedoman untuk para pendidik dalam mengkreasikan peserta didik dengan lingkungan pembelajaran yang kaya dengan: (1) berbagai sumber daya merangsang minat peserta didik dan motivasi; (2) interaksi sosial memberikan kontribusi untuk meningkatkan belajarkonflik kognitif, dan (3) peserta didik memiliki kesempatan untuk berinteraksi dengan tugas, konsep dan prinsip, atau situasi yang menarik bagi mereka. 109 Curriculum is organized according to broad themes or questions, which are suggested by curriculum developers or generated in learner-educator dialogue. Curriculum is evaluated on the basis of broad areas of growth and development observed in the learner (e.g., thinking processes, inquiry processes). Kurikulum disusun sesuai dengan tema yang luas atau pertanyaanpertanyaan, yang disarankan oleh pengembang kurikulum atau dihasilkan dalam dialog dengan para pendidik. Kurikulum dievaluasi berdasarkan bidang umum pertumbuhan dan perkembangan diamati pada pelajar (misalnya, proses berpikir, proses penyelidikan). 3. Transformation Perspective ciri-cirinya adalah: 110 Roots are in postmodern thought, ecological, perspectives, and in social reconstruction curricular perspectives. Berakar dari pemikiran postmodern, perspektif ekologi, dan dalam perspektif kurikulum rekonstruksi sosial. Goals include cultivation of intuition, insight, and community and countering injustice and human suffering through collective social action; because problems are seen in terms of roles, structures, and norms that dominate social interactions, the focus is on changing these roles, structures, and norms rather than on changing a few individuals. Tujuannya meliputi intuisi budaya, wawasan dan masyarakat serta ketidakadilan dan penderitaan manusia melalui aksi kolektif sosial; karena masalah yang terlihat dalam hal peran, struktur, dan normanorma yang mendominasi interaksi sosial, fokusnya adalah pada perubahan peran, struktur, dan norma-norma dan bukan pada mengubah beberapa individu. Knowledge is assumed to be fluid rather than static, interconnected, enriched by multiple perspectives, and to reflect personal meaning. Pengetahuan diasumsikan sebagai cairan daripada statis, yang saling berhubungan, diperkaya oleh berbagai perspektif, dan untuk merefleksikan arti perorangan. Learning relevant to one aspect of life is affected by other aspects of life; curriculum must incorporate consideration of contextual factors relevant in learners' lives. Belajar yang relevan dengan salah satu aspek kehidupan dipengaruhi oleh aspek kehidupan lainnya; kurikulum harus memasukkan pertimbangan faktor-faktor Manajemen Kurikulum Pendidikan Islam kontekstual yang relevan kehidupan peserta didik. dalam Curriculum development must involve learners as central participants in, and directors of, curricular decision making; learners actively participate in understanding and choosing what they will learn instead of being recipients of what someone else has decided they need. Pengembangan kurikulum harus melibatkan peserta didik sebagai peserta utama, dan direksi dari pembuat keputusan kurikulum; peserta didik secara aktif berpartisipasi dalam memahami dan memilih apa yang mereka akan pelajari bukan menjadi penerima dari apa yang orang lain telah memutuskan apa yang mereka butuhkan. Educators' respect and compassion for learners is of central importance; in order to facilitate others' learning, educators must be conscious of their own perspectives as well as those of learners. Pendidik menghormati dan mengasihi peserta didik adalah sangat penting, dalam rangka memfasilitasi orang lain untuk belajar, pendidik harus sadar dari perspektif mereka sendiri serta orang-orang dari peserta didik. Curriculum is organized according to broad themes or questions generated by learners. Kurikulum disusun sesuai dengan tema yang luas atau pertanyaanpertanyaan yang dihasilkan oleh peserta didik. Curriculum is evaluated in terms of direction and nature of change in learners' contexts that has resulted from social action, and in terms of learners' abilities to identify problems and issues and organize themselves to work with others to address them. Kurikulum dievaluasi dalam hal arah dan sifat dari perubahan peserta didik konteks yang telah dihasilkan dari aksi sosial, dan dalam hal pembelajar 'kemampuan untuk mengidentifikasi masalah dan isu-isu dan mengorganisir diri untuk bekerja dengan orang lain untuk 87 mengatasinya. 87 Ibid, hal. 9-10 Dari Normatif – Filosofis ke Praktis 111 Sesuai dengan perubahan Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP), maka kurikulum PAI berorientasi pada pencapaian hasil belajar yang berkualitas. orientasi kurikulum PAI tersebut dapat dilihat dari beberapa aspek, di antaranya yaitu: a. Aspek tujuan; lebih menitikberatkan pada pencapaian target kompetensi, berupa pengetahuan agama Islam dengan memperhatikan keragaman potensi ruhani agar dapat memaksimalkan kompetensi religiusnya. b. Aspek isi; menekankan pada hal-hal yang bersifat tematik dan menggali sumber-sumber belajar yang bersifat kenyataan di lingkungan siswa. Materi disusun secara sistematis, mudah dipahami, dan terhindar dari pengulangan materi atau tumpang tindih. c. Aspek metode; mentransmisikan nilai-nilai agama Islam ke dalam bentuk kompetensi secara utuh. Kurikulum bertujuan membekali peserta didik memiliki kesadaran baik secara normatif maupun historis empiris. d. Aspek guru; tenaga pendidik lebih berperan sebagai fasilitator (guru tidak dominan) dan memanfaatkan banyak sumber belajar serta mengadakan kerjasama yang terpadu dengan lingkungan sekitarnya. e. Aspek siswa; peserta didik lebih ditempatkan sebagai subjek, berperan aktif menggali potensi ruhaninya sendiri untuk lebih menyadari fungsi dan kedudukannya sebagai muslim. f. Aspek penilaian; kegiatan pembelajaran dinilai secara komprehensif, tidak hanya pada satu aspek saja dari suatu materi tetapi juga dengan materi-materi yang berhubungan dengan kegiatan religiusnya. Hasil penilaian berorientasi untuk melihat perkembangan potensi siswa untuk mengembangkan kecakapan hidupnya sebagai seorang muslim yang ideal. Dari keenam aspek di atas, kurikulum pendidikan Agama Islam tersebut berorientasi untuk meningkatkan keimanan, pemahaman, penghayatan dan pengamalan peserta didik tentang agama Islam, sehingga menjadi manusia muslim yang beriman dan bertaqwa kepada Allah Swt. serta berakhlak mulia dalam kehidupan pribadi, bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. 112 Manajemen Kurikulum Pendidikan Islam Berdasarkan orientasi tersebut dapat ditarik beberapa dimensi yang hendak ditingkatkan dan dituju oleh kegiatan pembelajaran pendidikan agama Islam, yaitu (1) dimensi keimanan peserta didik terhadap ajaran agama Islam. (2) dimensi pemahaman atau penalaran serta keilmuan peserta didik terhadap ajaran agama Islam. (3) dimensi penghayatan atau pengalaman batin yang dirasakan peserta didik dalam menjalankan ajaran Islam. (4) dimensi pengalamannya, dalam arti bagaimana ajaran Islam yang telah diimani, dipahami dan dihayati atau diinternalisasi oleh peserta didik itu mampu menumbuhkan motivasi dalam dirinya untuk menggerakkan, mengamalkan dan menaati ajaran agama dan nilai-nilainya dalam kehidupan pribadi, sebagai manusia yang beriman dan bertaqwa kepada Allah serta mengaktualisasikan dan merealisasikannya dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Dari Normatif – Filosofis ke Praktis 113 BAB IV PENDEKATAN, MODEL, DAN DESAIN KURIKULUM A. Pendekatan Pengembangan Kurikulum Diskursus tentang pengembangan kurikulum ini diawali dengan melakukan telaah terhadap pengertian, prinsip dan berbagai pendekatan dalam pengembangan kurikulum, model pengembangan kurikulum dan desain kurikulum. 1. Pengertian Pendekatan Pengembangan Kurikulum Pendekatan dalam pengembangan kurikulum merefleksikan pandangan seseorang terhadap sekolah dan masyarakat. Para pendidik umumnya tidak berpegang pada salah satu pendekatan secara murni tetapi menggunakan beberapa pendekatan yang sesuai. Pendekatan dalam pengembangan kurikulum mempunyai arti yang sangat luas. Hal tersebut bisa berarti penyusunan kurikulum baru (curriculum construction), bisa juga penyempurnaan terhadap kurikulum yang sedang berlaku (curriculum improvement). 88 Pendekatan pengembangan kurikulum adalah cara kerja dengan menerapkan strategi dan metode yang tepat dengan mengikuti langkahlangkah pengembangan yang sistematis untuk menghasilkan kurikulum yang sistematis agar memperoleh kurikulum yang lebih baik. 89 88 E. Mulyasa, (2004). Kurikulum Berbasis Kompetensi, Konsep, Karakteristik dan Implementasi, Bandung: PT Remaja Rosdakarya. Hal. 65-66. 89 Abdullah Idi, (2010). Pengembangan Kurikulum, Teori dan Praktik. Jogjakarta: Ar-Ruzz Media. Hal. 200 114 Manajemen Kurikulum Pendidikan Islam Pengembangan kurikulum sebaiknya dilaksanakan secara sistemik berdasarkan prinsip terpadu, yaitu memberikan petunjuk bahwa keseluruhan komponen harus tepat sekali dan menyambung secara integratif, tidak terlepas-lepas, tetapi menyeluruh. Penyusunan satu komponen harus dinilai konsistensinya dan berkaitan dengan komponen-komponen lainnya sehingga kurikulum benar-benar terpadu (integratif) dan utuh. Menurut Audrey dan Howard Nichools dalam Arifin mengemukakan bahwa pengembangan kurikulum (curriculum development) adalah “the planning of learning opportunities intended to bring about certain desired in pupils, and assessment of the extend to which these changes have taken place”. Artinya, pengembangan kurikulum adalah perencanaan kesempatan-kesempatan belajar yang dimaksudkan untuk membawa peserta didik ke arah perubahan-perubahan yang diinginkan serta menilai hingga sejauh mana perubahan-perubahan itu telah terjadi pada diri peserta didik. Adapun yang dimaksud kesempatan belajar (learning opportunity) adalah hubungan yang telah direncanakan dan terkontrol antara peserta didik, guru, bahan, dan peralatan, serta lingkungan belajar. Semua kesempatan belajar yang direncanakan oleh guru bagi para peserta didik sesungguhnya adalah “kurikulum itu sendiri”. 90 Berdasarkan pengertian tersebut, pengembangan kurikulum sesungguhnya adalah sebuah siklus, suatu proses berulang yang tidak pernah berakhir. Proses kurikulum itu sendiri terdiri atas empat unsur. Pertama, tujuan, yakni mempelajari serta menggambarkan semua sumber pengetahuan dan pertimbangan tentang tujuan-tujuan pengajaran, baik yang berkenaan dengan mata pelajaran (subject course) maupun kurikulum secara menyeluruh. Kedua, metode dan material, yakni mengembangkan serta mencoba menggunakan metode dan material sekolah untuk mencapai tujuan-tujuan yang serasi menurut pertimbangan guru. Ketiga, penilaian (assessment), yakni menilai keberhasilan pekerjaan yang telah dikembangkan dalam kaitan dengan tujuan yang telah ditetapkan sebelumnya atau mengembangkan tujuan-tujuan baru. Keempat, feedback, yakni umpan balik dari semua pengalaman yang telah 90 Zainal Arifin, (2012). Pengembangan Manajemen Mutu Kurikulum Pendidikan Islam.Jogjakarta: Diva Press. Hal. 42. Dari Normatif – Filosofis ke Praktis 115 diperoleh, yang pada gilirannya menjadi titik tolak bagi studi selanjutnya. 2. Prinsip-prinsip Pengembangan Kurikulum Prinsip-prinsip pengembangan kurikulum dibagi menjadi dua, yaitu prinsip umum dan khusus. 91 a. Prinsip Umum Pengembangan kurikulum mempunyai lima prinsip umum. Pertama, relevansi. Ada dua macam relevansi yang harus dimiliki kurikulum, yaitu relevansi ke luar dan relevansi di dalam kurikulum itu sendiri. Relevansi ke luar maksudnya adalah tujuan, isi, dan proses belajar yang tercakup dalam kurikulum hendaknya relevan dengan tuntutan, kebutuhan, dan perkembangan masyarakat. Selain itu, kurikulum juga harus memiliki relevansi di dalam, yaitu ada kesesuaian atau konsistensi antara komponen-komponen kurikulum (antara tujuan, isi, proses penyampaian, dan penilaian). Relevansi internal ini menunjukkan suatu keterpaduan kurikulum. Kedua, fleksibilitas. Kurikulum hendaknya memiliki sifat lentur atau fleksibel. Kurikulum yang baik adalah yang berisi hal-hal solid, tetapi dalam pelaksanaannya memungkinkan terjadinya penyesuaian-penyesuaian berdasarkan kondisi daerah, waktu, maupun kemampuan, dan latar belakang peserta didik. Ketiga, kontinuitas atau kesinambungan. Perkembangan dan proses belajar peserta didik hendaknya berlangsung secara berkesinambungan, tidak terputus-putus ataupun berhenti-henti. Pengembangan kurikulum perlu dilakukan secara serempak, sehingga harus selalu ada komunikasi dan kerja sama antara para pemegang kurikulum MI/SD, MTs/SMP, MA/SMA, dan perguruan tinggi. Keempat, praktis. Kurikulum hendaknya mudah dilaksanakan, menggunakan alat-alat sederhana, dan biaya murah. Prinsip ini juga disebut prinsip efisiensi. Kelima, efektivitas. Walaupun kurikulum 91 Nana Syaodih Sukmadinata,cet.ke-14, (2011).Pengembangan Kurikulum: Teori dan Praktek. Bandung: Remaja Rosadakarya. Hal. 150-151. 116 Manajemen Kurikulum Pendidikan Islam tersebut harus,sederhana dan murah tetapi keberhasilannya tetap harus diperhatikan. b. Prinsip Khusus 1) Prinsip yang berkenaan dengan tujuan pendidikan. Perumusan tujuan pendidikan bersumber pada: a) Ketentuan dan kebijaksanaan pemerintah yang dapat ditemukan dalam dokumen-dokumen lembaga negara mengenai tujuan, serta strategi pembangunan, termasuk di dalamnya pendidikan. b) Survey mengenai persepsi orang tua atau masyarakat tentang kebutuhan mereka yang dikirimkan melalui angket atau wawancara. c) Survey tentang pandangan para ahli dalam bidang-bidang tertentu yang dihimpun melalui angket, wawancara, observasi, dan berbagai media massa. d) Survey tentang manpower. e) Pengalaman negara-negara lain dalam masalah yang sama. f) Penelitian. 2) Prinsip yang berkenaan dengan pemilihan isi pendidikan. Hal yang perlu dipertimbangkan hal-hal berikut: a) Perlu penjabaran tujuan pendidikan/pengajaran ke dalam bentuk perbuatan hasil belajar yang khusus dan sederhana. Semakin umum suatu perbuatan hasil belajar dirumuskan, semakin sulit menciptakan pengalaman belajar. b) Isi bahan pelajaran harus meliputi segi pengetahuan, sikap, dan keterampilan. c) Unit-unit kurikulum harus disusun dalam urutan yang logis dan sistematis. 3) Prinsip yang mengajar. berkenaan dengan pemilihan proses belajar Hal yang perlu diperhatikan: a) Apakah metode yang digunakan cocok untuk mengajar? b) Apakah metode memberikan kegiatan yang bervariasi? Dari Normatif – Filosofis ke Praktis 117 c) Apakah metode memberikan urutan kegiatan bertingkattingkat? d) Apakah metode tersebut dapat menciptakan kegiatan untuk mencapai tujuan kognitif, afektif, psikomotor? e) Apakah metode mengaktifkan peserta didik, guru, atau keduanya? f) Apakah metode dapat mendorong berkembangnya kemampuan baru? g) Apakah metode menimbulkan jalinan kegiatan belajar di sekolah dan rumah? h) Untuk belajar keterampilan lebih ditekankan learning by doing disamping learning by seeing and knowing. 4) Prinsip yang Berkenaan dengan Pemilihan Media dan Alat Pengajaran. Hal-hal yang dapat dipertimbangkan untuk memilih alat: a) Alat atau media pengajaran apa yang diperlukan. b) Pembuatan alat memperhatikan siapa pembuat, biaya, waktu pembuatan. c) Bagaimana pengorganisasian alat dalam bahan pelajaran, modul, paket belajar, atau lainnya. d) Bagaimana pengintegrasian dalam keseluruhan kegiatan belajar. e) Hasil terbaik dengan menggunakan multimedia. 5) Prinsip yang Berkenaan dengan Pemilihan Kegiatan Penilaian. a) Penyusunan alat penilaian (tes). b) Perencanaan suatu penilaian. c) Pengolahan suatu hasil penilaian. 3. Pendekatan Pengembangan Kurikulum Pendekatan dalam pengembangan kurikulum merefleksikan pandangan seseorang terhadap sekolah dan masyarakat. Para pendidik umumnya tidak berpegang pada salah satu pendekatan secara murni tetapi menganut beberapa pendekatan yang sesuai. Pendekatan dalam pengembangan kurikulum mempunyai arti yang sangat luas. Hal tersebut bisa berarti penyusunan kurikulum baru (curriculum 118 Manajemen Kurikulum Pendidikan Islam construction), bisa juga penyempurnaan terhadap kurikulum yang sedang berlaku (curriculum improvement). 92 Pendekatan pengembangan kurikulum merupakan muatan etis pedagosis yang berisi sejumlah cara dan langkah-langkah yang sistematis untuk menghasilkan kurikulum yang sistematis agar diperoleh kurikulum yang lebih baik. Pengembangan kurikulum seyogyanya dilaksanakan secara sistemik berdasarkan prinsip terpadu yaitu memberikan petunjuk bahwa keseluruhan komponen harus tepat sekali dan menyambung secara integratif, tidak terlepas-lepas, tetapi menyeluruh. Penyusunan satu komponen harus dinilai konsistensinya dan berkaitan dengan komponen-komponen lainnya sehingga kurikulum benar-benar terpadu secara bulat dan utuh. a. Pendekatan Subjek Akademis Kurikulum subjek akademis bersumber dari pendidikan klasik (perenialisme dan esensialisme) yang berorientasi pada masa lalu. Semua ilmu pengetahuan dan nilai-nilai telah ditemukan oleh para pemikir masa lalu. Fungsi pendidikan memelihara dan mewariskan hasil-hasil budaya masa lalu tersebut. Kurikulum ini lebih mengutamakan isi pendidikan. Belajar adalah berusaha menguasai ilmu sebanyak-banyaknya. Orang yang berhasil dalam belajar adalah orang yang menguasai seluruh atau sebagian besar isi pendidikan yang diberikan atau disiapkan oleh guru. Isi pendidikan diambil dari setiap disiplin ilmu. Sesuai bidang disiplin para ahli, masing-masing telah mengembangkan ilmu secara sistematis, solid, dan logis. Para pengembang kurikulum tidak perlu susah-susah menyusun dan mengembangkan bahan sendiri, mereka tinggal memilih bahan materi ilmu yang telah dikembangkan para ahli disiplin ilmu kemudian mereorganisasikannya secara sistematis, sesuai dengan tujuan pendidikan dan tahap perkembangan siswa yang akan mempelajarinya. Tujuan kurikulum subjek akademis adalah pemberian pengetahuan yang solid serta melatih para siswa menggunakan ide-ide dan 92 E. Mulyasa, (2004). Kurikulum Berbasis Kompetensi, Konsep, Karakteristik dan Implementasi. Bandung: PT Remaja Rosdakarya. Hlm. 65-66. Dari Normatif – Filosofis ke Praktis 119 proses “penelitian”. Dengan berpengetahuan dalam berbagai disiplin ilmu para siswa diharapkan memiliki konsep-konsep atau cara yang dapat dikembangkan dalam masyarakat yang lebih luas. Sekolah harus memberikan kesempatan kepada para siswa untuk merealisasikan kemampuan mereka menguasai warisan budaya dan jika mungkin memperkayanya. Metode yang paling banyak digunakan dalam kurikulum subjek akademis ini adalah metode ekspositori dan inkuiri. Ide-ide diberikan guru kemudian dielaborasi (dilaksanakan) siswa sampai mereka kuasai. Konsep utama disusun secara sistematis dengan ilustrasi yang jelas selanjutnya dikaji. Dalam materi disiplin ilmu yang diperoleh, dicari berbagai masalah penting, kemudian dirumuskan dan dicari cara pemecahannya. Walaupun didasari dengan konsep-konsep yang sama, keduanya memiliki pandangan yang berbeda. Parenialisme lebih berorientasi ke masa lampau dan kurang mementingkan tuntutantuntutan masyarakat yang berkembang saat sekarang. Pendidikan lebih menekankan pada humanitas, pembentukan pribadi, dan sifatsifat mental. Pendidikan lebih banyak bersifat umum (general education atau liberal art). Pendidikan adalah bebas nilai (value free) dan bebas dari kebudayaan (culture free). Esensialisme lebih mengutamakan sains daripada humanitas dan lebih pragmatis, pendidikan diarahkan dalam mempersiapkan generasi muda untuk terjun ke dunia kerja. Pendidikan lebih berorientasi pada masa sekarang dan yang akan datang sehingga pengajaran lebih diarahkan kepada pembentukan keterampilan dan pengembangan kemampuan vokasional. Pendekatan pengembangan kurikulum subyek akademis lebih menekankan isi pendidikan, yang diambil dari disiplin-disiplin ilmu, disusun oleh para ahli tanpa mengikutsertakan guru-guru, apalagi siswa. Isi disusun secara logis, sistematis, dan berstruktur, dengan berpusat pada segi intelektual, sedikit sekali memperhatikan segisegi sosial atau psikologis peserta didik. Semua pengetahuan dan nilai-nilai telah ditemukan pada pemikiran masa lalu, sedangkan masa kini hanya memelihara dan mewarisi hasil budaya masa lalu tersebut. Sebaliknya, kurikulum 120 Manajemen Kurikulum Pendidikan Islam lebih mengutamakan isi pendidikan dan peserta didik merupakan usaha untuk menguasai isi pendidikan sebanyak-banyaknya. Yang diutamakan dalam pendekatan ini adalah penguasaan bahan dan proses dalam disiplin ilmu tertentu atau didasarkan pada sistematisasi disiplin ilmu masing-masing. 93 Setiap ilmu pengetahuan memiliki sistematisasi tertentu yang berbeda dengan sistemisasi ilmu lainnya. Pengembangan kurikulum subyek akademik dilakukan dengan cara menetapkan lebih dahulu mata pelajaran apa yang harus dipelajari peserta didik, yang diperlukan untuk (persiapan) pengembangan disiplin ilmu 94. Secara umum, pendekatan pengembangan kurikulum subjek akademis dipandang sebagai pendekatan yang masih sepihak dan belum mampu mengintegrasikan antara nilai lama dan nilai baru, padahal Islam menghendaki adanya pendekatan yang interdisipliner dan integratif terhadap semua masalah-masalah kehidupan 95. Melalui proses tersebut para siswa akan menemukan bahwa kemampuan berfikir dan mengamati digunakan dalam ilmu kealaman, logika dalam matematika, bentuk dan perasaan digunakan dalam seni dan koherensi dalam sejarah. Mereka mempelajari bukubuku standar untuk memperkaya pengetahuan, dan untuk memahami budaya masa lalu dan mengerti budaya masa kini. Tentang kegiatan evaluasi, kurikulum subjek akademis menggunakan bentuk evaluasi yang bervariasi disesuaikan dengan tujuan dan sifat mata pelajaran. Dalam bidang studi humaniora lebih banyak digunakan bentuk uraian (essay test) daripada tes objektif. Bidang studi tersebut membutuhkan jawaban yang merefleksikan logika, koherensi, dan integrasi secara menyeluruh. Bidang studi seni yang sifatnya ekspresi membutuhkan penilaian subjektif yang jujur, disamping standar keindahan dan cita rasa. Lain halnya dengan matematika, nilai tertinggi diberikan bila siswa menguasai landasan aksioma serta cara penghitungan yang benar. Dalam ilmu kealaman penghargaan tertinggi bukan hanya diberikan kepada jawaban yang benar tetapi juga pada proses berpikir yang digunakan siswa. 93 Nasution, (1995). Kurikulum dan Pengajaran. Bandung: PT Bumi Aksara. Hlm. 44. Muhaimin, (2003). Arah Baru Pengembangan Pendidikan Islam. Bandung: Nuansa Cendekia. Hal.150. 95 Abdul Mujib, (2006). Ilmu Pendidikan Islam. Jakarta: Kencana. Hal.146. 94 Dari Normatif – Filosofis ke Praktis 121 Masalah besar yang dialami oleh para pengembang kurikulum subjek akademis ini adalah bagaimana memilih materi pelajaran dari sekian banyak disiplin ilmu yang ada. Apabila ingin menguasai dengan cukup mendalam maka jumlah disiplin ilmunya harus sedikit. Apabila hanya mempelajari sedikit disiplin ilmu maka penguasaannya para siswa akan sangat terbatas, dan sukar menerapkan dalam kehidupan masyarakat luas. Apabila disiplin ilmunya cukup banyak maka penguasaannya akan mendangkal. Ada beberapa saran untuk mengatasi masalah tersebut, yaitu: 1) Mengusahakan adanya penguasaan secara komprehensif dengan menekankan pada bagaimana cara menguji kebenaran atau mendapatkan pengetahuan. 2) Mengutamakan kebutuhan masyarakat (social utility) memilih dan menentukan aspek-aspek dari disiplin ilmu yang sangat diperlukan dalam kehidupan masyarakat 3) Menekankan pengetahuan dasar yaitu pengetahuan-pengetahuan yang menjadi dasar bagi penguasaan disiplin-disiplin ilmu yang lainnya. 96 Para pengembang kurikulum subjek akademis, lebih mengutamakan penyusunan bahan secara logis dan sistematis daripada menyelaraskan urutan bahan dengan kemampuan berfikir anak. Mereka umumnya kurang memperhatikan bagaimana siswa belajar dan lebih mengutamakan susunan isi, yaitu apa yang akan diajarkan. Proses belajar yang ditempuh oleh siswa sama pentingnya dengan penguasaan konsep, prinsip-prinsip, dan generalisasi. Para ahli kurikulum subjek akademis juga memandang materi yang akan diajarkan bersifat universal, mereka mengabaikan karakteristik siswa dan kebutuhan masyarakat setempat. Untuk mengatasi kelemahan-kelemahan di atas dalam perkembangan selanjutnya dilakukan beberapa penyempurnaan. Pertama, untuk mengimbangi penekanannya pada proses berfikir, mereka mulai mendorong penggunaan intuisi dan tebak-tebakan. Kedua, adanya upaya-upaya untuk menyesuaikan pelajaran dengan 96 Nana Syaodih Sukmadinata,cet 14, (2011).Pengembangan Kurikulum…., hal. 85 122 Manajemen Kurikulum Pendidikan Islam perbedaan individu dan kebutuhan setempat. Ketiga, pemanfaatan fasilitas dan sumber yang ada pada masyarakat. b. Pendekatan Humanistik Kurikulum humanistik dikembangkan oleh para ahli pendidikan humanistik. Kurikulum ini berdasarkan konsep aliran pendidikan pribadi (personalized education), yaitu John Dewey (Progressive Education) dan J.J. Rousseau (Romantic Education). Aliran ini lebih memberikan tempat utama kepada siswa. Mereka bertolak dari asumsi bahwa anak atau siswa adalah yang pertama dan utama dalam pendidikan. Ia adalah subjek yang menjadi pusat kegiatan pendidikan. Mereka percaya bahwa siswa mempunyai potensi, punya kemampuan, dan kekuatan untuk berkembang. Para pendidik humanis juga berpegang pada konsep Gestalt, bahwa individu atau anak merupakan satu kesatuan yang menyeluruh. Pendidikan diarahkan kepada membina manusia yang utuh bukan saja dari segi fisik dan intelektual tetapi juga segi sosial dan afektif (emosi, sikap, perasaan, nilai, dan lain-lain). Pendekatan humanistik dalam pengembangan kurikulum bertolak pada ide “memanusiakan manusia”. Penciptaan konteks yang akan memberi peluang manusia. 97 Dalam pendekatan Humanistik ini, peserta didik diajar untuk membedakan hasil berdasarkan maknanya. Pendekatan pengembangan Kurikulum ini melihat kegiatan sebagai sebuah manfaat untuk peserta di masa depan. Sesuai dengan konsep yang dianut, yaitu aliran pendidikan pribadi (personalized education)pendekatan ini lebih memberikan tempat utama pada siswa. Pendekatan pengembangan kurikulum ini bertolak dari asumsi bahwa peserta didik adalah faktor yang pertama dan utama dalam pendidikan. Ia dapat menjadi subjek yang menjadikan pusat kegiatan pendidikan, dan mempunyai kemampuan, potensi dan kekuatan untuk berkembang. Oleh karena itu, tugas pendidik hanya menciptakan situasi yang mendorong peserta didik untuk mencari dan mengembangkan pemecahan sendiri. 97 Muhaimin, (2007). Pengembangan Kurikulum Pendidikan Agama Islam di Sekolah, Madrasah Serta Perguruan Tinggi. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada. Hal.142. Dari Normatif – Filosofis ke Praktis 123 Pendekatan ini berkembang sebagai reaksi atas praktik pendidikan yang lebih menekankan segi intelektual saja, dengan peran utama dipegang oleh guru. Pendekatan ini memandang pendidikan merupakan upaya yang yang berusaha untuk menciptakan situasi yang baik, rileks dan akrab. Dengan situasi yang demikian kondusif, siswa dapat mengembangkan segala potensi dirinya. Pendidikan bertolak dari kebutuhan dan minat peserta didik. Peserta didik menjadi subyek pendidikan, dialah yang menduduki tempat utama dalam pendidikan. Pendidik menempati posisi kedua, bukan lagi sebagai penyampai informasi atau sebagai model dan ahli dalam disiplin ilmu. Pendidik lebih berfungsi sebagai psikolog yang mengerti segala kebutuhan dan masalah peserta didik. Pendekatan humanis bersumber dari pendidikan progresif dan pendidikan romantik. Dalam pendidikan progresif, siswa merupakan satu kesatuan yang utuh, perkembangan emosi dan sosial sama pentingnya dengan perkembangan intelektual. Sedang pendidikan romantik merupakan proses individual yang berisi rentetan pengembangan kemampuan-kemampuan anak, berkat interaksi dengan berbagai aspek dalam lingkungan maka terjadi rentetan pengembangan kemampuan-kemampuan anak. c. Pendekatan Teknologis/Kompetensi Pendekatan teknologis dalam menyusun kurikulum atau program pendidikan bertolak dari competence analysis (analisis kompetensi) yang dibutuhkan untuk melaksanakan tugas-tugas tertentu. Materi yang diajarkan, kriteria evaluasi sukses, dan strategi belajar ditetapkan sesuai dengan analisis tugas (job analysis) tersebut. Pendekatan teknologis lebih menekankan pada penggunaan alat-alat teknologi untuk menunjang efisiensi dan efektifitas program pendidikan. Tanpa bantuan media maka proses pembelajaran tidak dapat berlangsung, karena pelaksanaan pembelajaran tersusun terpadu antara kegiatan-kegiatan pendidikan dengan media tersebut. Sejalan dengan perkembangan ilmu dan teknologi, di bidang pendidikan berkembang pula teknologi pendidikan. Aliran ini ada persamaannya dengan pendidikan klasik, yaitu menekankan isi kurikulum, tetapi diarahkan bukan pada pemeliharaan dan 124 Manajemen Kurikulum Pendidikan Islam pengawetan ilmu tersebut tetapi pada penguasaan kompetensi. Suatu kompetensi yang besar diuraikan menjadi kompetensi yang lebih sempit/khusus dan akhirnya menjadi perilaku-perilaku yang dapat diamati atau diukur. 98 Penerapan teknologi dalam bidang pendidikan khususnya kurikulum adalah dalam dua bentuk, yaitu perangkat lunak (software) dan perangkat keras (hardware). Penerapan teknologi perangkat keras dalam pendidikan dikenal sebagai teknologi alat (tools technology), sedangkan penerapan teknologi perangkat lunak disebut juga teknologi sistem (system technology). Teknologi pendidikan dalam arti teknologi alat, lebih menekankan kepada penggunaan alat-alat teknologis untuk menunjang efisiensi dan efektifitas pendidikan. Kurikulum berisi rencanarencana penggunaan berbagai alat dan media, juga model-model pengajaran yang banyak melibatkan penggunaan alat. Contoh-contoh model pengajaran tersebut adalah: pengajaran dengan bantuan video/film, pengajaran berprogram, mesin pengajaran, pengajaran modul, pengajaran dengan bantuan komputer. Dalam arti teknologi sistem, teknologi pendidikan menekankan kepada penyusunan program pengajaran atau rencana pelajaran dengan menggunakan pendekatan sistem. Program pengajaran ini bisa semata-mata program sistem, bisa program sistem yang ditunjang dengan alat dan media, dan bisa juga program sistem yang dipadukan dengan alat dan media pengajaran. Kurikulum yang dikembangkan dari konsep pendidikan, memiliki beberapa ciri khusus, yaitu: teknologi 1) Tujuan, diarahkan pada penguasaan kompetensi, yang dirumuskan dalam bentuk perilaku. Tujuan umum tampak dalam SK (Standar Kompetensi), sementara tujuan khusus dapat dilihat dari KD (Kompetensi Dasar). 2) Metode, merupakan kegiatan pembelajaran yang dianggap dapat mendorong efektivitas penyampaian materi di kelas. 98 Ibid, hal. 96 Dari Normatif – Filosofis ke Praktis 125 3) Organisasi Isi. Materi kurikulum dapat diambil dari berbagai macam disiplin ilmu dengan menggunakan pendekatan tematik atau connected material. 4) Evaluasi. Kegiatan ini dapat dilakukan pada setiap saat, misalnya pada akhir pembelajaran melalui pengamatan, tulis atau lisan atau pertengahan dan akhir semester. Program pengajaran teknologis sangat menekankan efisiensi dan efektifitas. Program dikembangkan melalui beberapa kegiatan uji coba dengan sampel-sampel dari suatu populasi yang sesuai, direvisi beberapa kali sampai standar yang diharapkan dapat tercapai. Dengan model pengajaran ini tingkat penguasaan siswa dalam standar konvensional jauh lebih tinggi dibandingkan dengan modelmodel lain. Apalagi kalau digunakan program-program yang lebih berstruktur seperti pengajaran berprogram, pengajaran modul, atau pengajaran dengan bantuan video dan computer, yang dilengkapi dengan sistem umpan balik dan bimbingan yang teratur dapat mempercepat dan meningkatkan penguasaan siswa. Model ini terbatas kemampuannya untuk mengajarkan bahan ajar yang kompleks atau membutuhkan penguasaan tingkat tinggi (analisis, sintesis, evaluasi) juga bahan-bahan ajar yang bersifat afektif. Beberapa percobaan menunjukkan kemampuan siswa untuk mentransfer hasil belajar cukup rendah. Pengajaran teknologis sukar untuk dapat melayani bakat-bakat siswa belajar dengan metodemetode khusus. Metode mengajar mereka cenderung seragam, bila sikapnya positif, maka siswa akan berhasil, tetapi bila sikapnya negatif, tingkat penguasaannyapun relatif rendah. Masalah kesiapan (readiness) juga berpengaruh terhadap proses dan hasil belajar. d. Pendekatan Rekonstruksi Sosial Kurikulum rekonstruksi sosial berbeda dengan model-model kurikulum lainnya. Kurikulum ini lebih memusatkan perhatian pada problema-problema yang dihadapi dalam masyarakat. Kurikulum ini bersumber pada aliran pendidikan interaksional. Menurut mereka pendidikan bukan upaya sendiri, melainkan kegiatan bersama, interaksi, kerja sama (guru-siswa, siswa-siswa, siswa-lingkungan, siswa-sumber belajar lainnya). Melalui interaksi dan kerjasama ini 126 Manajemen Kurikulum Pendidikan Islam siswa berusaha memecahkan problema-problema yang dihadapinya dalam masyarakat menuju pembentukan masyarakat yang lebih baik. Pendekatan ini disebut pendekatan rekonstruksi sosial karena memfokuskan kurikulum pada masalah-masalah penting yang dihadapi dalam masyarakat. 99 Pendekatan ini bertolak dari pemikiran manusia sebagai makhluk sosial. Dalam kehidupannya, manusia selalu membutuhkan manusia lain, selalu hidup bersama, berinteraksi, dan bekerja sama. Pendekatan ini memandang pendidikan sebagai salah satu bentuk kehidupan juga berintikan kerja sama dan interaksi. Dalam pendekatan Subyek Akademik dan pendekatan Teknologis, interaksi terjadi sepihak dari guru kepada siswa, sedangkan dalam pendekatan Humanistik terjadi sebaliknya dari siswa kepada guru. Pendekatan Rekonstruksi Sosial menekankan interaksi dua pihak, dari guru kepada siswa dan dari siswa kepada guru. Lebih luas, interaksi ini juga terjadi antara siswa dengan bahan ajar dan dengan lingkungan, antara pemikiran siswa dengan kehidupannya. Interaksi juga terjadi antara siswa dengan bahan ajar. Interaksi itu bukan hanya pada tingkat apa dan bagaimana, tetapi lebih jauh yaitu pada tingkat mengapa, tingkat kesadaran baik kesadaran sosial (socially consciousness) maupun kesadaran pribadi (self consciousness). Isi atau bahan ajar ini berkenaan dengan lingkungan sosial-budaya yang mereka hadapi saat ini. Setelah mengetahui makna dari faktafakta dan nilai-nilai sosial budaya, mereka mengadakan evaluasi, kritik dari sudut kepentingannya bagi kesejahteraan umat manusia. Para rekonstruksionis sosial tidak mau terlalu menekankan kebebasan individu. Mereka ingin meyakinkan pebelajar bagaimana masyarakat membuat warganya seperti yang ada sekarang dan bagaimana masyarakat memenuhi kebutuhan pribadi warganya melalui konsensus sosial. Para rekonstruksionis mendorong para siswa mempunyai pengetahuan yang cukup tentang masalahmasalah sosial yang krusial dan kerjasama atau bergotong royong untuk memecahkannya. 100 99 Nasution, (1995). Kurikulum dan Pengajaran…, hlm. 47 Ibid, hal. 92 100 Dari Normatif – Filosofis ke Praktis 127 Ada beberapa ciri dari desain kurikulum rekonstruksi sosial, yaitu: 1) Asumsi. Tujuan utama kurikulum rekonstruksi sosial adalah menghadapkan para siswa pada tantangan, ancaman, hambatanhambatan atau gangguan yang dihadapi manusia. 2) Masalah-masalah sosial yang krusial (mendesak). Kegiatan belajar dipusatkan pada masalah-masalah sosial tersebut. 3) Pola-pola organisasi. Pada tingkat sekolah menengah, pola organisasi kurikulum disusun seperti sebuah roda. Di tengahtengahnya sebagai poros dipilih sesuatu masalah yang menjadi tema utama dan dibahas secara pleno. Pengajaran rekonstruksi sosial banyak dilaksanakan di daerahdaerah yang tergolong belum maju dan tingkat ekonominya juga belum tinggi. Pelaksanaan pengajaran ini diarahkan untuk meningkatkan kondisi kehidupan mereka. Sesuai dengan potensi yang ada dalam masyarakat, sekolah mempelajari potensi-potensi tersebut, dengan bantuan biaya dari pemerintah sekolah berusaha mengembangkan potensi tersebut. Di daerah tempat pembuangan sampah misalnya, sekolah mengembangkan bidang pengolahan sampah, di daerah pantai mengembangkan bidang pengolahan ikan dan lain sebagainya. Para ahli kurikulum yang berorientasi ke masa depan menyarankan agar isi kurikulum difokuskan pada: penggalian sumbersumber alam, dan bukan alam, populasi, kesejahteraan masyarakat, masalah air, akibat pertambahan penduduk, ketidakseragaman pemanfaatan sumber-sumber alam, dan lain-lain. Pandangan rekonstruksi sosial berkembang karena keyakinanya pada kemampuan manusia untuk membangun dunia yang lebih baik. Juga penekanannya tentang peranan ilmu dalam memecahkan masalah-masalah sosial. Beberapa kritikus pendidikan menilai pandangan ini sukar diterapkan langsung dalam kurikulum (pendidikan). Penyebabnya adalah interpretasi para ahli tentang perkembangan dan masalah-masalah sosial berbeda. Kemampuan warga untuk ikut serta dalam pemecahan masalah juga bervariasi. 128 Manajemen Kurikulum Pendidikan Islam 4. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Pengembangan Kurikulum Sekolah mendapatkan pengaruh dari kekuatan-kekuatan yang ada dalam masyarakat, terutama dari perguruan tinggi dan masyarakat. a. Perguruan Tinggi Kurikulum minimal mendapat dua pengaruh dari PT (Perguruan Tinggi).Pertama, dari pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi yang dikembangkan di perguruan tinggi umum. Kedua, dari pengembangan ilmu pendidikan dan keguruan serta penyiapan guru-guru di Perguruan Tinggi Keguruan, yaitu: Lembaga Pendidikan Tenaga Kependidikan (LPTK). 101 Jenis pengetahuan yang dikembangkan di Perguruan Tinggi akan mempengaruhi isi pelajaran yang akan dikembangkan dalam kurikulum. Perkembangan teknologi selain menjadi isi kurikulum juga mendukung pengembangan alat bantu dan media pendidikan. Kurikulum Lembaga Pendidikan Tenaga Kependidikan juga mempengaruhi pengembangan kurikulum, terutama melalui penguasaan ilmu dan kemampuan keguruan dari guru-guru yang dihasilkannya. Penguasaan ilmu, baik ilmu pendidikan maupun bidang studi serta kemampuan mengajar dari guru-guru akan sangat mempengaruhi pengembangan dan implementasi kurikulum di sekolah. b. Masyarakat Sekolah merupakan bagian dari masyarakat dan mempersiapkan anak untuk kehidupan bermasyarakat. Sebagai bagian dari agen di masyarakat, sekolah sangat dipengaruhi oleh lingkungan masyarakat dimana sekolah tersebut berada. Isi kurikulum hendaknya mencerminkan kondisi dan dapat memenuhi tuntutan dan kebutuhan masyarakat di sekitarnya. c. Sistem Nilai Masyarakat umumnya heterogen dan multifaset, banyak nilai yang berkembang di masyarakat. Masyarakat memiliki kelompok etnis, kelompok vokasional, kelompok intelek, kelompok sosial, 101 Nana Syaodih Sukmadinata,cet 14, (2011).Pengembangan Kurikulum…., hal. 158. Dari Normatif – Filosofis ke Praktis 129 kelompok spiritual. Dalam masyarakat juga terdapat aspek sosial, ekonomi, budaya, politik, estetika, etika, keagamaan, dan lain sebagainya. Sistem nilai itu juga berpengaruh pada kurikulum di sekolah baik secara tujuan, isi, metode, maupun evaluasi. 5. Hambatan-hambatan dalam Pengembangan Kurikulum. Ada beberapa aspek yang menjadi hambatan dalam pengembangan kurikulum, antara lain yaitu: 1) guru, 2) biaya, 3) kurikulum, dan 4) partisipasi orang tua wali dan masyarakat. a. Guru Guru kurang berpartisipasi dalam pengembangan kurikulum, hal ini disebabkan oleh beberapa antara lain: karena kurang waktu, kurang kesesuaian antara sesama guru maupun kepala sekolah dan administrator, kemampuan dan pengetahuan guru sendiri yang masih belum memadai. b. Biaya Untuk pengembangan kurikulum, apalagi yang berbentuk kegiatan eksperimen baik metode, isi, atau sistem secara keseluruhan membutuhkan biaya yang sering tidak sedikit. c. Perbedaan persepsi kurikulum Persepsi adalah anggapan dasar terhadap suatu objek yang muncul pemikiran seseorang. Perbedaan persepsi ini akan mengganggu implementasi kurikulum di lapangan, misalnya ketika seorang guru memiliki persepsi yang berbeda dengan kepala sekolah, kepala dinas, perguruan tinggi, maka hal ini mengakibatkan inkoherensi dalam pencapaian standar isi dan kompetensi yang ingin dibelajarkan kepada siswa. d. Sistem nilai yang heterogen Masalah yang juga dihadapi oleh pengembang kurikulum adalah bahwa dalam masyarakat nilai itu tidak hanya satu. Masyarakat memiliki kelompok etnis, kelompok vokasional, kelompok intelek, kelompok sosial, spiritual, dan sebagainya yang tiap kelompok itu memiliki nilai yang berbeda. 130 Manajemen Kurikulum Pendidikan Islam e. Kurangnya kolaborasi dan koordinasi antara ahli teorisi dan praktisi Pengembangan kurikulum bukan saja didasarkan atas konsep-konsep dalam ilmu namun juga atas dasar perubahan perkembangan tuntutan kehidupan masyarakat. Dalam pengembangan kurikulum yang sesuai dengan kondisi jaman maka dibutuhkan kolaborasi antara para ahli teorisi (ahli pendidikan dan ahli kurikulum) yang mempunyai wawasan dalam bidang keilmuan dengan para praktisi yang mengimplementasikan pelaksanaan pengembangan kurikulum di lapangan. Jika terjadi kurangnya kolaborasi dan koordinasi antara ahli teori dengan ahli praktik maka pengembangan kurikulum tidak akan berjalan dengan efektif efisien. f. Masyarakat Masyarakat disini sebagai sumber input bagi sekolah. Keberhasilan pendidikan, ketepatan kurikulum yang digunakan membutuhkan bantuan, serta input fakta dan pemikiran dari masyarakat. g. Kurangnya partisipasi orang tua murid Orang tua juga memiliki peranan dalam pengembangan kurikulum baik dalam penyusunan maupun pelaksanaan kurikulum. Meskipun dalam penyusunan kurikulum tidak semua orang tua mampu karena hanya orang tua yang memiliki kemampuan memadai dalam hal itu, namun dalam pelaksanaan kurikulum orang tua memiliki peranan yang besar. Terutama dalam pelaksanaan kurikulum di rumah, yaitu dengan mengamati dan mengikuti kegiatan belajar anaknya di rumah. Orang tua juga dapat berpartisipasi dalam kegiatan di sekolah seperti diskusi, lokakarya, seminar, pertemuan orang tuaguru, pameran sekolah, dan sebagainya. B. Model-model Pengembangan Kurikulum 1. Pengertian Model Pengembangan Kurikulum Model merupakan sebuah bentuk tiruan atau miniatur dari benda/proses sebenarnya, yang dapat berupa benda ataupun juga prosedur atau gambaran langkah sistematis. Model walaupun tidak menggambarkan sesuatu secara sama persis sebagaimana kenyataan Dari Normatif – Filosofis ke Praktis 131 sebenarnya, namun dipandang sebagai replikasi asli, semakin baik replikasi itu, maka semakin baik pula sebuah model tersebut. Pengembangan kurikulum adalah perencanaan kesempatankesempatan belajar yang dimaksudkan untuk membawa siswa ke arah perubahan-perubahan yang diinginkan dan menilai hingga mana perubahan-perubahan itu telah terjadi pada siswa. 102 Pada prinsipnya pengembangan kurikulum berkisar pada pengembangan aspek ilmu pengetahuan dan teknologi yang perlu diimbangi dengan perkembangan pendidikan. Tetapi pada kenyataannya manusia memiliki keterbatasan dalam kemampuan menerima, menyampaikan dan mengolah informasi, untuk itulah dibutuhkan proses pengembangan kurikulum yang akurat, terseleksi dan memiliki tingkat relevansi yang kuat. Dengan demikian, diperlukan suatu model pengembangan kurikulum dengan pendekatan yang sesuai. 103 Model pengembangan kurikulum merupakan ulasan teoritis tentang suatu proses pengembangan kurikulum secara menyeluruh atau dapat pula hanya mencakup salah satu komponen kurikulum. Ada yang memberikan ulasan tentang suatu proses kurikulum, dan ada juga yang hanya menekankan pada mekanisme pengembangannya saja. 104 Dengan demikian, maka dapat dipahami bahwa model pengembangan kurikulum merupakan suatu gambaran sistematis mengenai pengembangan kurikulum yang dapat berbentuk miniatur, bagan atau deskripsi langkah-langkah proses dari suatu benda atau peristiwa. Adapun prosesnya terdiri dari perencanaan, pelaksanaan (uji coba), dan penilaian kurikulum. Sedapat mungkin dalam pengembangan kurikulum didasarkan pada faktor-faktor yang konstan yaitu pengembangan model kurikulum perlu didasarkan pada tujuan, bahan pelajaran, proses belajar mengajar, dan evaluasi yang tergambarkan dalam proses pengembangan tersebut. 102 Oemar Hamalik, (2008). Manajemen Pengembangan Kurikulum, Bandung: Remaja Rosdakarya. Hal. 97 103 104 Abdullah Idi, (2010). Pengembangan…, hal.154. M. Ahmad, dkk, (1998). Pengembangan Kurikulum. Bandung: Pustaka Setia. Hal. 50 132 Manajemen Kurikulum Pendidikan Islam 2. Macam-macam Model Pengembangan Kurikulum Adapun macam-macam model pengembangan kurikulum dapat dipetakan sebagaimana gambar 4.1 berikut. Gambar 4.1: Model-Model Pengembangan Kurikulum a. Model Ralp Tyler Menurut Tylermodel pengembangan kurikulum harus mengacu pada empat pertanyaan dasar yang harus di jawab, yaitu: 1) What educational purposes should the school seek to attain? (objectives). Berkenaan dengan tujuan yang hendak dicapai. 2) What educational experiences are likely to attain these objectives? (instructional strategic and content/selecting learning experiences). Berkenaan dengan jenis pengalaman apa yang harus disediakan untuk mencapai tujuan. 3) How can these educational experiences be organized effectively? (organizing learning experiences). Berkenaan dengan organisasi kegiatan atau pengalaman belajar yang dinilai efektif untuk mencapai tujuan. Dari Normatif – Filosofis ke Praktis 133 4) How can we determine whether these purposes are being attain? (assessment and evaluation). Berkaitan dengan upaya mekanisme apa yang digunakan untuk mengetahui apakah tujuan sudah dicapai atau belum. Berdasarkan empat pertanyaan yang diajukan Tyler tersebut bisa dipahami bahwa yang pertama harus diperhatikan adalah tujuan, yaitu: apa tujuan pendidikan yang seharusnya dicari oleh pihak sekolah untuk dicapai. Kedua, mengenai strategi dan isi pembelajaran yang berhubungan dengan seleksi pengalaman belajar, yaitu pengalaman belajar seperti apa yang dibutuhkan untuk mencapai tujuan tersebut. Ketiga, mengorganisasikan pengalaman belajar, yaitu bagaimana pengalaman-pengalaman belajar tersebut dapat diorganisasikan dengan efektif. Dan Keempat, penilaian dan evaluasi, yaitu menentukan dan menyimpulkan apakah tujuan tersebut telah tercapai. Ralp Tyler sebagai bapak pengembang kurikulum (curriculum developer), telah menanamkan perlunya hal yang lebih rasional, sistematis, dan pendekatan yang berarti dalam tugas mereka. Tyler juga menguraikan dan menganalisis sumber-sumber tujuan yang datang dari anak didik, mempelajari kehidupan kontemporer, mata pelajaran yang bersifat akademik, filsafat dan psikologi belajar Langkah-langkah pengembangan kurikulum model Tyler bisa dilihat dari bagan berikut. Objectives Selecting Learning Experiences Organizing Learning Experiences Evaluation Menentukan tujuan Menentukan pengalaman belajar yang harus dilakukan untuk mencapai tujuan yang telah ditentukan. Menentukan organisasi pengalaman belajar Menentukan evaluasi pembelajaran untuk mengetahui apakah tujuan telah dicapai. Gambar 4.2: Langkah Pengembangan Kurikulum Model Tyler 134 Manajemen Kurikulum Pendidikan Islam Dengan demikian, maka pengembangan kurikulum model ini secara makro perlu melibatkan berbagai pihak termasuk perguruan tinggi dan masyarakat. b. Model Hilda Taba Model pengembangan kurikulum Taba adalah model yang memodifikasi model dasar Tyler. Adapun langkah-langkah dalam proses pengembangan kurikulum model Taba yaitu: Step 1: Step 2: Step 3: Step 4: Step 5: Step 6: Step 7: Diagnosis of needs. Formulation of objectives. Selection of content. Organization of content. Selection of learning experiences. Organization of learning experiences. Determination of what to evaluate and of the ways and means of doing it. 105 Berdasarkan langkah di atas, dapat diketahui bahwa langkahlangkah yang digunakan Taba dalam mengembangkan kurikulum adalah diagnosis kebutuhan, formulasi pokok-pokok, seleksi isi, organisasi isi, seleksi pengalaman belajar, organisasi pengalaman belajar, dan penentuan tentang apa yang harus dievaluasi dan cara untuk melakukannya. Diagnosis merupakan langkah pertama yang paling penting dalam menentukan kurikulum apa yang seharusnya diberikan kepada siswa. Karena latar belakang siswa sangat beragam, maka perlu untuk mendiagnosa perbedaan atau jurang pemisah, kekurangan dan variasi dalam latar belakang tersebut. Menurut Taba sebagaimana yang dikutip oleh Abdullah Idi bahwa mendiagnosis kebutuhan anak didik merupakan hal pertama yang sangat penting. 106 Informasi ini berguna dalam menentukan langkah keduanya yaitu formulasi yang jelas dan tujuan-tujuan yang komprehensif untuk membentuk dasar pengembangan elemen-elemen 105 Hilda Taba, (1962). Curriculum Development Theory and Practice. New York: Harcont Drace and World. Hal.12 106 Abdullah Idi, (2010). Pengembangan Kurikulum…, hal.158. Dari Normatif – Filosofis ke Praktis 135 berikutnya. Dan hakikat tujuan (objectives)akan menentukan jenis pelajaran yang perlu diikuti. Adapun beberapa area yang perlu diperhatikan dalam merumuskan tujuan menurut Taba adalah sebagai berikut. 1) Concepts or ideas to be learned (konsep atau ide yang akan dipelajari). 2) Attitude, sensitivities, and feelings to be developed (sikap, sensitivitas, dan perasaan yang akan dibangun). 3) Ways of thinking to be reinforced, strengthened, or initiated (cara berfikir yang akan ditekankan, dikuatkan, atau dirumuskan). 4) Habits and skills to be mastered (kebiasaan dan kemampuan yang akan dikuasai). 107 Selanjutnya Taba juga memberikan beberapa kriteria dalam memformulasikan tujuan dalam pendidikan, yaitu: 1) A statement of objectives should describe both of the kind of behavior expected and the content or the context to which that behavior applies. Seharusnya pernyataan tujuan menggambarkan sikap yang diharapkan dan isi dari penerapan sikap. Yang dimaksud dengan “the content or the context to which that behavior applies” adalah isi yang terdapat dalam setiap mata pelajaran. 2) Complex objectives need to be stated analytically and specifically enough so that there is no doubt as to the kind of behavior expected, or what the behavior applies to. Tujuan yang komplek perlu dianalisis dan dikhususkan sehingga tidak ada keraguan terhadap sikap yang diharapkan atau perilaku yang diterapkan. 3) Objectives should also be so formulated that there are clear distinctions among learning experiences required to attain different behavior. Tujuan hendaknya memberikan petunjuk bahwa ada perbedaan yang jelas tentang pengalaman belajar yang dibutuhkan untuk mencapai sikap yang berbeda. 4) Objectives are developmental, representing roads to travel rather than terminal points. Tujuan adalah hal yang dikembangkan, yang merupakan langkah (perjalanan) yang lebih dari sekedar titik akhir. 107 Hilda Taba, (1962). Curriculum Development…, hal. 350. 136 Manajemen Kurikulum Pendidikan Islam 5) Objectives should be realistic and should include only what can be translated into curriculum and classroom experiences. Tujuan seharusnya realistis dan seharusnya termasuk hal yang dapat diterjemahkan ke dalam kurikulum dan pengalaman belajar. 6) The scope of objectives should be broad enough to encompass all types of outcomes for which to school is responsible. Jangkauan dari tujuan seharusnya menyeluruh yang meliputi semua tujuan yang akan dicapai sekolah. Sedangkan dalam langkah ketiga yaitu seleksi isi, Taba memberikan kriteria sebagai berikut: 1) Validity of significance of content (validitas dan signifikansi isi). 2) Consistency with social realities (konsisten dengan realitas sosial). 3) Balance of breadth and depth (keseimbangan antara keluasan dan kedalaman). 4) Provision for wide range of objectives (ketentuan untuk keluasan cakupan dari tujuan). 5) Learn ability and adaptability to experiences of students (pembelajaran yang sesuai dengan kemampuan dan sesuai dengan pengalaman siswa). 6) Appropriateness to the needs and interests of the students (sesuai dengan kebutuhan dan minat siswa). Langkah keempat dalam model Taba adalah organisasi isi, dimana terdapat tiga macam organisasi kurikulum yaitu, separated subject curriculum (kurikulum dalam bentuk mata pelajaran yang terpisah-pisah), correlated curriculum (sejumlah mata pelajaran dihubungkan antara satu dengan yang lainnya), dan broad field curriculum (mengkombinasikan beberapa mata pelajaran). 108 Pada langkah kelima yaitu seleksi pengalaman belajar ini, Yuleawati sebagaimana yang diikuti oleh Arifin memberikan kriteria yang perlu dicermati. 1) 2) 3) 108 Validitas, dapat diterapkan di sekolah. Kelayakan dalam hal waktu, kemampuan guru, fasilitas sekolah, dan pemenuhan terhadap harapan masyarakat. Optimal dalam mengembangkan kemampuan peserta didik. Zainal Arifin, (2012). Pengembangan Manajemen…, hal. 68-70. Dari Normatif – Filosofis ke Praktis 137 4) 5) Memberikan peluang untuk pengembangan berpikir rasional. Memberikan peluang pengembangan kemampuan peserta didik sebagai individu dan anggota masyarakat. 6) Terbuka terhadap hal baru dan toleransi terhadap perbedaan peserta didik. 7) Memotivasi belajar lebih lanjut. 8) Memenuhi kebutuhan peserta didik. 9) Memperluas minat peserta didik. 10) Mengembangkan kebutuhan pengembangan ranah kognitif, afektif, psikomotorik, sosial, emosi, dan spiritual peserta didik. Tahap organisasi pengalaman belajar selanjutnya harus memperhatikan tingkat perkembangan peserta didik. Pada tahap yang terakhir yaitu evaluasi dan cara melakukan evaluasi. Taba menganjurkan beberapa hal yaitu: 1) 2) 3) 4) 5) 6) Criteria for a program of evaluation (menentukan kriteria evaluasi program). A comprehensive evaluation program (program evaluasi yang menyeluruh). Techniques for securing evidence (teknik mengumpulkan bukti/ data). Interpretation of evaluation data (menginterpretasikan data evaluasi). Translation of evaluation data into the curriculum (menerjemahkan data evaluasi ke dalam kurikulum). Evaluation as a cooperative enterprise. (evaluasi sebagai usaha kerjasama). 109 Dakir menyatakan bahwa model pengembangan kurikulum yang dikembangkan Taba ini adalah model terbalik yang didapatkan atas dasar data induktif, karena biasanya pengembangan kurikulum didahului oleh konsep-konsep yang datangnya dari atas secara deduktif. Sedangkan model Taba ini dilaksanakan dengan terlebih dahulu mencari data dari lapangan dengan cara mengadakan 109 Hilda Taba, (1962). Curriculum Development…, hal. 316-338 138 Manajemen Kurikulum Pendidikan Islam percobaan, kemudian disusun teori atas dasar hasil nyata, kemudian diadakan pelaksanaan. 110 Secara lebih detail Sukmadinata menunjukkan lima langkah pengembangan kurikulum model terbalik Taba. Pertama, mengadakan unit-unit eksperimen bersama guru-guru. Kedua, menguji unit eksperimen. Ketiga, mengadakan revisi dan konsolidasi. Keempat, pengembangan keseluruhan kerangka kurikulum. Kelima adalah implementasi dan diseminasi. 111 Model pengembangan kurikulum Tyler dan Taba dikategorikan ke dalam Rational Model atau Objectives Model, karena keduanya berpendapat bahwa dalam pengembangan kurikulum bersifat rasional, sistematis dan berfokus pada tujuan. Model tersebut memiliki beberapa kelebihan dan juga kekurangan sebagai berikut. Adapun kelebihan Rational Model yaitu: 1) Menghindari kebingungan dimana para pendidik dan para pengembang kurikulum memberikan suatu jalan yang tidak berbelit-belit dan mempunyai pendekatan waktu yang efisien, sehingga bisa menemukan atau melakukan tugas kurikulum dengan baik. 2) Dengan menekankan pada peranan dan nilai tujuan-tujuan (objectives), model ini membuat para pengembang kurikulum bisa berpikir serius tentang tugas mereka. 3) Dengan tata urutan pengembangan kurikulum dari tujuan, formulasi isi, aktivitas belajar, sampai pada evaluasi sejauh mana tujuan-tujuan tersebut dicapai, merupakan daya tarik tersendiri dari model ini. 112 Sedangkan kelemahan Rational Model yaitu: 1) Latar belakang pengalaman dan kurangnya persiapan diri seorang pendidik untuk berpikir dan mengembangkan pemikirannya secara logis dan sistematis akan mengalami kesulitan dalam menggunakan model ini. 2) Kurang jelasnya hakikat belajar mengajar, karena seringkali pembelajaran justru terjadi di luar tujuan-tujuan tersebut. 110 Dakir, (2004). Perencanaan dan Pengembangan Kurikulum. Jakarta: Rineka Cipta. Hal. 97 Nana Syaodih Sukmadinata, cet 14, (2011). Pengembangan …, hal.166. 112 Abdullah Idi, (2010). Pengembangan Kurikulum…, hal. 160. 111 Dari Normatif – Filosofis ke Praktis 139 3) Terlalu berlebihan menekankan pada formula hasil seperti mementingkan tujuan perilaku (behavior objectives). c. Model D.K. Wheeler. Berbeda dengan Tyler dan Taba, Wheeler mempunyai argumen tersendiri agar pengembang kurikulum dapat menggunakan proses melingkar (a cycle process) dalam mengembangkan kurikulum, dimana setiap elemen saling berhubungan dan saling bergantung. Sebenarnya model Wheeler ini juga rasional, karena secara umum suatu langkah tidak dapat diselesaikan sebelum langkah-langkah sebelumnya terselesaikan, tetapi hanya representasinya agak berbeda. Adapun langkah-langkah atau Phases Wheeler adalah: 1) Selection of aims, goals, and objectives (seleksi maksud, tujuan dan sasaran). 2) Selection of learning experiences to help achieve these aims, goals, and objectives. (seleksi pengalaman belajar untuk membantu mencapai maksud, tujuan dan sasaran). 3) Selection of content through which certain types of experiences may be offered (seleksi isi melalui tipe-tipe tertentu dari pengalaman yang mungkin ditawarkan). 4) Organization and integration of learning experiences and contents with respect to the teaching learning process (organisasi dan integrasi pengalaman belajar dan isi yang berkenaan dengan proses belajar mengajar). 5) Evaluation of each phase and the problems of goals (evaluasi setiap fase dan masalah tujuan-tujuan). Gambar 4.3: Langkah Pengembangan Kurikulum Wheeler 140 Manajemen Kurikulum Pendidikan Islam Kontribusi Wheeler dalam pengembangan kurikulum adalah penekanannya terhadap hakikat melingkar yang memberikan indikasi bahwa langkah-langkah di dalamnya bersifat berkelanjutan memiliki makna responsif terhadap perubahan-perubahan pendidikan yang ada. Hal ini juga menekankan pada saling ketergantungan antara satu elemen dengan elemen kurikulum lain. d. Model Howard NichollsAudery Howard Nicholls dan Audery menjelaskan kembali model Tyler, Taba, dan Wheeler dengan menekankan pada kurikulum proses yang bersiklus atau berbentuk lingkaran dengan langkah awalnya adalah analisis situasi. Mereka menitikberatkan pada pengembangan kurikulum yang rasional, khususnya kebutuhan untuk kurikulum baru yang muncul dari adanya perubahan situasi. Fase analisis situasi ini merupakan sesuatu yang memaksa para pengembang kurikulum untuk lebih responsif terhadap lingkungan dan terutama dengan kebutuhan anak didik. Langkah-langkah yang digunakan meliputi: (1) Situational analysis (analisis situasi); (2) Selection of objectives (pemilihan tujuan); (3) Selection and organization of content (pemilihan dan organisasi isi); (4) Selection and organization of method (pemilihan dan organisasi metode); dan (5) Evaluation (evaluasi). Gambar 4.4: Langkah Pengembangan Kurikulum Audery dan Nichols Dari Normatif – Filosofis ke Praktis 141 Model pengembangan Wheeler dan Nicholls termasuk ke dalam model pengembangan kurikulum cycle models. Sama dengan rational models, maka cycle models ini juga memiliki beberapa kelebihan dan juga kelemahan. Adapun kelebihan dari cycle models adalah: 1) Memiliki struktur logis kurikulum yang dikembangkannya 2) Dengan menerapkan situational analysis sebagai titik permulaan dapat memberikan dasar data sehingga tujuan-tujuan yang lebih efektif mungkin akan dikembangkan. 3) Melihat berbagai elemen kurikulum sebagai asal yang terus menerus, sehingga dapat menanggulangi situasi-situasi baru dan mempunyai konsekuensi untuk bereaksi terhadap perubahan situasi. Sedangkan kelemahan dari cycle models adalah karena model ini memiliki beberapa kesamaan dengan rational model, maka kelemahan yang dimiliki oleh model ini pun hampir sama dengan yang telah diuraikan sebelumnya. Tetapi kelemahan yang lebih menonjol adalah membutuhkan banyak waktu untuk menganalisis situasi belajar. Melihat kondisi juga bahwa kebanyakan pendidik lebih suka mengandalkan intuisi daripada menggunakan basis data yang sistematis dan sesuai dengan situasi. 113 e. Model Decker Walker Walker berpendapat bahwa proses pengembangan kurikulum yang terjadi dalam persiapan yang natural lebih baik dari pada proses di dalam kurikulum itu sendiri. Berikut fase-fase yang ditunjukkan oleh Walker. 113 Ibid, 168-169. 142 Manajemen Kurikulum Pendidikan Islam Gambar 4.5: Langkah Pengembangan Kurikulum Walker Langkah pertama pada model Walker ini adalah adanya pernyataan platform yang diorganisasikan oleh para pengembang, yang berisi serangkaian ide, preferensi atau pilihan, pendapat, keyakinan, dan nilai-nilai yang dimiliki kurikulum. Sehingga para pengembang kurikulum tidak memulai tugasnya dalam keadaan kosong. Memasuki fase berikutnya adalah fase pertimbangan mendalam dimana individu mempertahankan pernyataan platform mereka sendiri dan menekankan pada ide-ide yang ada. Berbagai peristiwa ini memberikan suatu situasi dimana pengembang juga berusaha menjelaskan ide-ide mereka dan mencapai suatu konsensus. Hal yang sangat kompleks ini terjadi sebelum actual curriculum didesain. 114 Fase terakhir model ini adalah pengembang membuat keputusan tentang berbagai komponen proses atau elemen-elemen kurikulum, dimana keputusan ini diambil setelah ada diskusi mendalam dan dikompromikan oleh individu-individu. 115 114 Ibid, hal. 171. Ibid, 172. 115 Dari Normatif – Filosofis ke Praktis 143 f. Model Malcolm Skilbeck Malcolm Skilbeck mengembangkan suatu interaksi alternatif atau model dinamis bagi proses kurikulum, yang disebut dengan model dynamic in nature. Model ini menetapkan bahwa pengembang kurikulum harus mendahulukan suatu elemen kurikulum dan memulainya dengan suatu urutan dari urutan yang telah ditentukan oleh model rasional. Hal itu tergambar sebagai berikut. Situation analysis Goal formulation Program building Interpretation and implementation Monitoring, feedback, assessment reconstruction Gambar 4.6: Langkah Pengembangan Kurikulum Skilbeck Jika dilihat bahwa susunan model ini secara logis termasuk kategori rational by nature. Pengembang kurikulum perlu mendahulukan rencana mereka dengan memulainya dari salah satu langkah dari langkah yang ada dan meneruskannya dalam bentuk berurutan. Pengembang kurikulum juga harus mampu mengatasi segala perbedaan dalam langkah-langkah tersebut secara bersamaan. Model pengembangan kurikulum yang dikembangkan oleh Walker dan Skilback merupakan model pengembangan kurikulum Interaction Model atau Dynamic Model. Adapun kelebihan dari model pengembangan kurikulum ini adalah: 144 Manajemen Kurikulum Pendidikan Islam 1) Memiliki prosedur yang lebih realistis dan fleksibel untuk pengembangan kurikulum, khususnya dari sudut pandang guru atau pendidik yang tentunya memiliki tugas yang banyak. 2) Pengembang lebih bebas dan menjadi lebih kreatif dengan tidak dituliskannya tujuan-tujuan yang bersifat perilaku. Selain kelebihan di atas, juga terdapat kelemahan dari model pengembangan ini, yaitu: 1) Dalam pelaksanaannya akan cukup membingungkan karena pendekatannya yang tidak sistematis sehingga akan memunculkan hasil yang kurang memuaskan. 2) Kurangnya penekanan dalam menempatkan pembangunan dan penggunaan objectives serta petunjuk-petunjuk yang diberikan. 3) Dengan tidak mengikuti susunan yang logis dalam pengembangan kurikulum, para pengembang hanya membuang-buang waktu sehingga kurang efektif dan efisien. 116 g. Beauchamp’s System Model Model pengembangan kurikulum ini dikembangkan oleh Beauchamp dengan mengemukakan lima langkah pengembangan kurikulum, yaitu: 1) Menetapkan area atau wilayah di mana kurikulum diperuntukkan, wilayah tersebut mencakup sekolah, kecamatan, daerah, kabupaten, provinsi, distrik, atau Negara. 2) Menetapkan pihak-pihak yang akan terlibat dalam pengembangan kurikulum beserta tugas-tugas yang akan dilaksanakannya. 3) Menentukan prosedur yang akan ditempuh, yakni perumusan tujuan (umum dan khusus), memilih isi dan pengalaman belajar, serta menetapkan alat dan jenis evaluasi. 4) Implementasi Kurikulum. Agar implementasi kurikulum baru dapat berjalan dengan efektif, diperlukan dukungan dari berbagai sumber, seperti guru, biaya, sarana-prasarana, manajemen dan lain sebagainya. 5) Evaluasi Kurikulum. Kegiatan ini meliputi: (a) evaluasi pelaksanaan kurikulum oleh guru di sekolah; (b) evaluasi 116 Ibid, 176. Dari Normatif – Filosofis ke Praktis 145 terhadap desain kurikulum: (c) evaluasi keberhasilan anak didik; dan (c) evaluasi sistem rekayasa kurikulum. Adapun langkah-langkah/tahap-tahapnya dapat digambarkan sebagai berikut: Menetapkan area atau lingkup wilayah Menetapkan personalia Organisasi dan prosedur pengembangan kurikulum Implementasi kurikulum Evaluasi kurikulum Gambar 4.7: Langkah Pengembangan Kurikulum Beauchamp Dalam menetapkan personalia yang terlibat dalam pengembangan kurikulum dibedakan dalam empat kategori yaitu: 1) Para ahli pendidikan/kurikulum yang ada pada pusat pengembangan kurikulum dan para ahli bidang ilmu dari luar. 2) Para ahli pendidikan dari perguruan tinggi atau sekolah dan guruguru terpilih. 3) Para profesional dalam sistem pendidikan. 4) Profesional lain dan tokoh-tokoh masyarakat. h. Model Peter F. Oliva Model kurikulum Olivia ini terdiri dari tiga ciri utama, yaitu: sederhana (simple), menyeluruh (komprehensif) dan sistematis. Walaupun model ini mewakili komponen yang paling penting, namun model ini dapat diperluas menjadi model menyediakan detail tambahan dan menunjukkan beberapa proses yang menyediakan 146 Manajemen Kurikulum Pendidikan Islam detil tambahan dan menunjukkan proses yang diasumsikan sebagai model yang sederhana. Model Olivia ini memiliki enam komponen, yaitu: (1) Rumusan filosofis (Statement of philosophy); (2) Rumusan tujuan umum (Statement of goals); (3) Rumusan tujuan khusus (Statement of objectives); (4) Desain perencanaan (Design of plan); (5) Implementasi (Implementation); dan (6) Evaluasi (Evaluation). i. Model Zais Model Zais ini menekankan pada inisiatif berawal, personil yang terlibat, kedudukan personil dan keputusan yang diambil. Zais, Smith dan Shores dengan merujuk pada model pengembangan kurikulum Stanley mengemukakan tiga model pengembangan kurikulum, yaitu: (1) model administratif; (2) model grass root; (3) model demonstrasi. 1) Model Administratif Kurikulum model ini menekankan pada inisiatif pengembangan kurikulum yang datang dari pihak pejabat (administrator) pendidikan. Termasuk dalam penunjukan pihak-pihak yang terlibat di dalamnya. Selanjutnya dengan menggunakan garis komando kurikulum disebarluaskan untuk diimplementasikan di sekolah-sekolah. Model ini juga disebut dengan line staff model. 2) Model Grass Root Model ini merupakan kebalikan dari model administrative. Inisiatif pengembangan kurikulum harus datang dari guru. Inisiatif ini biasanya muncul disebabkan oleh keresahan dan ketidakpuasan guru terhadap kurikulum yang sedang berjalan. Selanjutnya guru berupaya mengadakan inovasi terhadap kurikulum tersebut. Oleh sebab itu, peran administrator tidak dominan, sebab perannya hanya sebagai fasilitator. Jika administrator itu tidak setuju, mereka juga dapat menjadi penghambat perubahan kurikulum tersebut. 3) Model Demonstrasi Model pengembangan kurikulum ini pada prinsipnya dating dari bawah (grass root). Pada awalnya merupakan inovasi Dari Normatif – Filosofis ke Praktis 147 kurikulum dalam skala yang kecil dan kemudian digunakan dalam skala yang lebih luas, tetapi dalam prosesnya sering tidak mendapat persetujuan dari pihak-pihak tertentu. C. Desain Kurikulum Pendidikan Islam 1. Pengertian Desain Kurikulum Desain kurikulum adalah pengembangan proses perencanaan, validasi, implementasi, dan evaluasi kurikulum. 117 Desain kurikulum juga dapat didefinisikan sebagai rencana atau susunan dari unsur-unsur kurikulum yang terdiri atas tujuan, isi, pengalaman belajar dan evaluasi. Oleh sebab itu, maka desain kurikulum pendidikan Islam dapat diartikan sebagai rencana sistematis dari unsur kurikulum pendidikan Islam, yaitu: (1) tujuan pendidikan Islam; (2) materi pendidikan Islam; (3) metode/strategi; dan (4) evaluasi. Adapun menurut Sukmadinata desain kurikulum adalah menyangkut pola pengorganisasian unsur-unsur atau komponen kurikulum. Penyusunan desain kurikulum dapat dilihat dari dua dimensi, yaitu dimensi horizontal dan vertikal. Dimensi horizontal berkenaan dengan penyusunan dari lingkup isi kurikulum. Sedangkan dimensi vertikal menyangkut penyusunan sekuens bahan berdasarkan urutan tingkat kesukaran. 118 Sementara pengorganisasian pada arah vertikal berkaitan dengan pengaturan materi pelajaran secara kontinuitas pendalaman materi pelajaran, dari materi dasar secara sekuensial menuju materi lanjutan sesuai struktur ilmu yang diajarkan. 119 Terdapat berbagai model desain kurikulum seperti subject centered design, learned centered design, problem centered design, discipline centered design dan lain sebagainya. Dalam desain pengembangan kurikulum pendidikan Islam dapat model pembelajaran yang ada, atau dengan memadukan dan atau mengembangkan model sendiri. 117 OemarHamalik, (2006).Manajemen Pengembangan…,hal. 67. Nana Syaodih Sukmadinata,cet 14, (2011).Pengembangan Kurikulum…, hal. 113 Tedjo Narsoyo Reksoatmojo, (2010).Pengembangan pendidikan Kejuruan.Bandung:Refika Aditama. Hal. 66 118 119 148 Teknologi dan Manajemen Kurikulum Pendidikan Islam 2. Prinsip-prinsip dalam Mendesain Kurikulum Ada 8 prinsip yang perlu diperhatikan dalam mendesain kurikulum, yaitu: a. Desain kurikulum harus memudahkan dan mendorong seleksi serta pengembangan semua jenis pengalaman belajar yang esensial bagi pencapaian prestasi belajar, sesuai dengan hasil yang diharapkan. b. Desain memuat berbagai pengalaman belajar yang bermakna dalam rangka merealisasikan tujuan-tujuan pendidikan, khususnya bagi kelompok siswa yang belajar dengan bimbingan guru; c. Desain harus memungkinkan dan menyediakan peluang bagi guru untuk menggunakan prinsip-prinsip belajar dalam memilih, membimbing, dan mengembangkan berbagai kegiatan belajar di sekolah; d. Desain harus memungkinkan guru untuk menyesuaikan pengalaman dengan kebutuhan, kapasitas, dan tingkat kematangan siswa e. Desain harus mendorong guru mempertimbangkan berbagai pengalaman belajar anak yang diperoleh di luar sekolah dan mengaitkannya dengan kegiatan belajar di sekolah; f. Desain harus menyediakan pengalaman belajar yang berkesinambungan, agar kegiatan belajar siswa berkembang sejalan dengan pengalaman terdahulu dan terus berlanjut pada pengalaman berikutnya; g. Kurikulum harus di desain agar dapat membantu siswa mengembangkan watak, kepribadian, pengalaman, dan nilai-nilai demokrasi yang menjiwai kultur; dan h. Desain kurikulum harus realistis, layak, dan dapat diterima. 120 3. Bentuk-bentuk Desain Kurikulum Desain kurikulum dapat disusun sebagai modifikasi atau kombinasi dari tiga kategori: (a) subject-centered design, (b) learner-centered design, dan (c) problem-centered design. Dalam setiap kategori terdapat beberapa desain, misalnya, dalam kategori subject-centered design terdapat subject design, disciplines design, dan broad field design. Termasuk pada kategori learner-centered design adalah activity design, the open 120 OemarHamalik, (2006) Manajemen..., hal. 75 Dari Normatif – Filosofis ke Praktis 149 classroom design, dan the humanistic design. Sedangkan dalam problemcentered design terdapat the areas of living design, the personal/social concerns of youth design, dan the core design. 121 Hal ini sebagaimana ditunjukkan pada gambar berikut ini: Gambar 4.8: Bentuk-bentuk Desain Kurikulum a. Subject-Centered Design.(Desain dengan Pendekatan Mata Pelajaran) Subject-centered design merupakan pendekatan yang paling banyak digunakan. Dalam kategori ini terdapat tiga macam desain, yakni: subject design, disciplines design, dan broad field design. Dalam ketiga jenis desain ini, pilihan materi pelajaran difokuskan pada penggunaan sejumlah mata pelajaran atau mata kuliah sebagai dasar pengorganisasian pada arah horizontal dan vertikal. Sebagai konsekuensinya, pengorganisasian komponen-komponen lainnya (tujuan, metode, dan evaluasi) disesuaikan dengan pengorganisasian materi pelajaran. Subject centered design merupakan bentuk desain yang paling populer, paling tua. Design ini berkembang dari konsep pendidikan klasik yang menekankan pengetahuan, nilai-nilai dan warisan budaya masa lalu, serta berupaya untuk mewariskan kepada generasi berikutnya. Di dalam subject centered design terdapat kurikulum yang terdiri dari beberapa mata pelajaran, yang tujuannya adalah agar 121 Tedjo Narsoyo Reksoatmojo, (2010). Pengembangan Kurikulum…, hal. 66 150 Manajemen Kurikulum Pendidikan Islam peserta didik mampu menguasai bahan dari tiap-tiap mata pelajaran yang telah ditentukan secara logis, sistematis dan mendalam. 122 Model desain kurikulum ini mempunyai beberapa kelebihan dan kekurangan. Beberapa kelebihan dari model desain kurikulum ini adalah: 1) Mudah disusun, dilaksanakan, dievaluasi, dan disempurnakan. 2) Para pengajarnya tidak perlu disiapkan khusus, asal menguasai ilmu atau bahan yang diajarkan sering dipandang sudah dapat menyampaikannya. Beberapa kritik yang juga merupakan kekurangan model desain ini, adalah: 1) Karena pengetahuan diberikan secara terpisah-pisah, hal itu bertentangan dengan kenyataan, sebab dalam kenyataan pengetahuan itu merupakan satu kesatuan. 2) Karena mengutamakan bahan ajar maka peran peserta didik sangat pasif. 3) Pengajaran lebih menekankan pengetahuan dan kehidupan masa lalu, dengan demikian pengajaran lebih bersifat verbalistis dan kurang praktis. Atas dasar tersebut, para pengkritik menyarankan perbaikan ke arah yang lebih terintegrasi, praktis, dan bermakna serta memberikan peran yang lebih aktif kepada siswa. Desain kurikulum dengan pendekatan mata pelajaran menyajikan materi pelajaran yang terdiri dari sejumlah mata pelajaran dari beberapa disiplin ilmu. The subject design merupakan bentuk design yang paling murni dari Subject centered design sehingga materi pelajaran disajikan secara terpisah-pisah dalam bentuk mata pelajaran dengan kata lain menyajikan pelajaran dari sejumlah mata pelajaran. Sebagai contoh kurikulum untuk pendidikan dasar (SD/MI dan SMP/MTs), setelah pelajaran membaca dan menulis ditambahkan materi pelajaran Aritmatika, Aljabar dan Planimetri (dari disiplin ilmu Matematika), ilmu tumbuh-tumbuhan (dari disiplin ilmu Botani), ilmu bumi (dari disiplin ilmu Geografi), dan lain-lain. Mata pelajaran diambil dari beberapa disiplin ilmu dengan maksud agar 122 Soetopo dan Soemanto, (1993). Pembinaan dan Pengembangan Kurikulum sebagai Subtansi Problem Administrasi Pendidikan. Jakarta: Bumi Aksara, hal. 78 Dari Normatif – Filosofis ke Praktis 151 para peserta didik menguasai dasar-dasar ilmu khusus yang kelak diharapkan menjadi pilihan karir dan diperdalam melalui jenjang pendidikan yang lebih tinggi. Dengan demikian cakupan subject design ditentukan oleh luasnya materi pelajaran dari tiap-tiap mata pelajaran yang dipandang penting untuk diketahui oleh peserta didik secara sekuensial. Terdapat dua alasan penggunaan subject design. Pertama, karena subject design dinilai memiliki pengorganisasian yang paling sistematik dan efisien. Kedua, ditinjau dari sudut pendidik (guru, dosen) mereka telah disiapkan untuk mengajar dalam bidang disiplin ilmu selama di perguruan tinggi. Selain kedua alasan tersebut, terdapat alasan-alasan praktis lainnya yakni, buku teks dan materi pelajaran lainnya pada umumnya telah tersusun menurut jenis mata pelajaran. Dengan demikian peserta didik dapat mengetahui sekuens pelajaran dan dapat mempelajari lebih dahulu walaupun pembelajaran di kelas belum sampai pada bagian atau bab yang dipelajarinya. Disamping keuntungan-keuntungan praktis terdapat pula beberapa kelemahannya. Pertama, terdapat kecenderungan memfragmentasikan materi pelajaran, misalnya, mata pelajaran mekanika yang semula menjadi satu kesatuan dipecah menjadi statika, kinematika dan dinamika, dan diberikan secara terpisah-pisah, bahkan oleh guru yang berbeda. Hal itu menyebabkan peserta didik kurang memahami hubungan antara ketiga komponen mekanika tersebut. Kedua, terdapat kecenderungan pembelajaran tidak mengaitkan dengan aspek penggunaan dalam kehidupan sehari-hari. Kritik ini mungkin benar jika guru yang mengajar bukan lulusan LPTK. Ketiga, pembelajaran dengan metode ekspositori atau ceramah cenderung menyebabkan peserta didik bersikap pasif dan menghafal materi pelajaran, serta kurang melatih kebiasaan menalar. Keempat, kurikulum kurang memerhatikan minat dan pengalaman peserta didik. Kelima, kurikulum lebih menekankan pada materi pelajaran dan kurang memerhatikan cara penyampaiannya. 123 123 Nana Syaodih S, cet. 14, (2011).Pengembangan Kurikulum…, hal 68. 152 Manajemen Kurikulum Pendidikan Islam Dengan keterangan di atas dapat ditarik kesimpulan bahwa desain ini menyampaikan mata pelajaran yang mana belum menjadi disiplin ilmu, contoh praktisnya seperti ulumul hadist, ulumul Qur’an dan lain sebagainya. b. The Discipline-Centered Design (Desain dengan Pendekatan Disiplin Ilmu). Landasan pemikiran desain kurikulum dengan pendekatan disiplin ilmu ini sama dengan desain kurikulum dengan pendekatan mata pelajaran, tetapi dengan kriteria tujuan yang lebih khusus, yakni aplikasi kejuruan. Dengan demikian, desain kurikulum dengan pendekatan disiplin ilmu dikembangkan untuk pendidikan kejuruan dan pendidikan tinggi profesional. Pada desain kurikulum dengan pendekatan disiplin ilmu lazim mengelompokkan mata pelajaran (mata kuliah) ke dalam kelompokkelompok Mata Pelajaran Dasar Umum (MPDU/MKDU), Mata Pelajaran Dasar Keahlian (MPDK/MKDK), dan Mata Pelajaran Keahlian (MPK/MKK). Untuk pendidikan teknologi dan kejuruan, MPDU/MKDU mencakup mata pelajaran bahasa, Pendidikan Agama, Kewarganegaraan, keselamatan dan kesehatan kerja; MPDK/ MKDK terdiri dari Matematika, Fisika, Kimia, Mekanika, Termodinamika, dan lain-lain, disesuaikan dengan kejuruan yang diselenggarakan. MPK/MKK terdiri dari mata-mata pelajaran yang termasuk dalam disiplin ilmu (kejuruan) yang bersangkutan. Tujuan utama dari desain kurikulum dengan pendekatan disiplin ilmu adalah: (a) Menyediakan pilihan yang sesuai dengan bakat dan minat peserta didik setelah lulus dari pendidikan dasar. (b) Pembekalan kemampuan bekerja pada jalur kejuruan tertentu bagi mereka yang ingin segera terjun ke dalam dunia kerja (umur 18 tahun ke atas), namun memungkinkan pula melanjutkan ke pendidikan tinggi profesional. Keuntungan dari desain kurikulum dengan pendekatan disiplin ilmu adalah, mendekatkan peserta didik kepada masalah-masalah nyata dalam dunia kerja dan masyarakat. Dengan demikian terdapat dorongan untuk dunia kerja dan masyarakat. Dengan demikian terdapat dorongan untuk mengikuti perkembangan ilmu dan Dari Normatif – Filosofis ke Praktis 153 teknologi dan sebagai dampaknya adalah mendorong peserta didik untuk berupaya mengikutinya. Sebagai contoh, perkembangan teknologi informasi dan pemanfaatan komputer dapat mendorong peserta didik untuk menguasai pemanfaatan komputer, antara lain untuk mencari informasi/referensi melalui internet. Kelemahan desain kurikulum dengan pendekatan disiplin ilmu justru terletak pada guru. Tidak jarang guru (yang pada umumnya berpenghasilan rendah) tidak mampu mengikuti perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi karena keterbatasan finansial (untuk membeli komputer atau buku referensi). Untuk mengatasi kesulitan ini, lembaga penyelenggara pendidikan hendaknya melengkapi fasilitas pendidikan, baik perpustakaan maupun sarana praktikum/ praktik. 124 Dengan keterangan di atas dapat ditarik sebuah penjelasan dimana pada Subject design belum ada kriteria tegas tentang apa yang disebut (ilmu) belum ada perbedaan misalnya antara Aritmatika, Aljabar, maupun lainnya, semuanya disebut ilmu. Sedangkan pada disciplines design kriteria tersebut sudah tegas, yang membedakan apakah suatu pengetahuan itu subject (ilmu) atau bukan adalah batang tubuh keilmuannya. Batang tubuh keilmuan menentukan apakah suatu bahan pelajaran itu disiplin ilmu atau bukan, maka untuk menegaskan hal itu mereka menggunakan istilah “disiplin ilmu“ misalnya, Fisika, Biologi, Kimia padahal semua ini merupakan cabang dari pelajaran IPA. Seperti halnya Aqidah akhlak, Al-Qur’anHadits, Sejarah Kebudayaan Islam (SKI), Fiqih yang merupakan isi atau bagian dari pendidikan Agama Islam (PAI) di sekolah/ madrasah. c. Broad Field Design (Desain dengan Cakupan Luas) Desain kurikulum ini merupakan salah satu upaya penyempurnaan desain dengan pendekatan mata pelajaran dan pendekatan disiplin ilmu. Konsep ini dikembangkan dengan maksud menghilangkan kelemahan-kelemahan pada subject design dan discipline design yang dianggap belum bisa menghilangkan pemisahan antarmata pelajaran. Dengan menyatukan beberapa mata pelajaran 124 Ibid, hal 67-68 154 Manajemen Kurikulum Pendidikan Islam yang serumpun atau berdekatan diharapkan dapat meningkatkan pemahaman peserta didik terhadap hubungan antarberbagai fenomena kehidupan. Misalnya, penyatuan Aritmatika, Aljabar, Planimetri, Geometri menjadi matematika akan memudahkan peserta didik melihat hubungan dan hierarki dalam penguasaan Matematika. Botani, Zoologi, Anatomi dan Fisologi yang semula diajarkan secara terpisah digabung menjadi satu dan diberi nama Biologi. Geologi, Geografi, Demografi dan Ekonomi disatukan menjadi ilmu bumi ekonomi. Broad field design memungkinkan untuk memperkenalkan konsep pengetahuan baru, misalnya Ekologi atau lingkungan hidup yang membahas dampak pengelolaan Geografi, Geologi, ilmu Kimia, Pertanian, dan Ekonomi digabung menjadi Ilmu pengetahuan sosial. Jadi sudah jelas desain ini merupakan gabungan dari ilmu-ilmu yang serumpun karena semua ini untuk penguasaan ilmu. Tujuan pengembangan kurikulum ini adalah menyiapkan para peserta didik yang dewasa ini hidup dalam dunia informasi yang sifatnya spesialis dengan pemahaman yang bersifat menyeluruh. Bentuk kurikulum ini banyak digunakan di SD dan SMP, sementara di SMA penggunaannya agak terbatas, apalagi di perguruan tinggi sangat sedikit sekali. Ada lima macam bidang studi yang menganut broad fields jika dikaitkan dengan kurikulum di Indonesia yaitu: 1) Ilmu Pengetahuan Alam (IPA) merupakan peleburan dari mata pelajaran Ilmu Alam, Ilmu Hayat, Ilmu Kimia dan Ilmu Kesehatan. 2) Ilmu Pengetahuan Sosial (IPS) merupakan peleburan dari mata pelajaran ilmu Bumi, Sejarah, kewarganegaraan, Hukum, Ekonomi dan sejenisnya. 3) Bahasa merupakan peleburan dari mata pelajaran membaca, menulis, mengarang, menyimak, dan pengetahuan Bahasa. 4) Matematika, merupakan peleburan dari Berhitung, Aljabar, Ilmu Ukur Sudut, Bidang, Ruang, dan Statistik. 5) Kesenian, merupakan peleburan dari Seni Tari, Seni suara, Seni Klasik, Seni Pahat, dan Drama. 125 Konsep broad field design yang semula dianggap dapat menghilangkan kelemahan subject design dan discipline design ternyata 125 Fuaduddin dan Karya, (1992). Pengembangan dan Inovasi Kurikulum. Jakarta: Dirjen Bimbaga Islam dan Universitas Terbuka, hal 20. Dari Normatif – Filosofis ke Praktis 155 hanya dapat diterapkan pada tingkat sekolah dasar dimana dimungkinkan penugasan guru kelas yang dapat mengajarkan semua jenis mata pelajaran yang harus diberikan dalam satu kelas yang sama. Hal ini dimungkinkan karena pada tingkat sekolah dasar kedalaman ilmu belum menjadi tuntutan utama. Pada tingkat pendidikan menengah dan pendidikan tinggi di mana kedalaman ilmu menjadi tuntutan utama, konsep broad field design tidak dapat diterapkan karena sulitnya mendapatkan tenaga kependidikan yang memiliki pengetahuan yang luas dan mendalam. Selain kenyataan dalam praktik seperti yang dikemukakan oleh Taba itu, kesukaran timbul pada saat peserta didik melanjutkan ke jenjang pendidikan yang lebih tinggi (yang pada umumnya menggunakan subject design) adalah dalam hal mengkonversikan nilai dari broad field curriculum ke subject curriculum. d. Learner-Centered Design (Desain berpusat pada Pebelajar) Learner-centered design atau desain yang terpusat pada pesertadidik adalah suatu pendekatan desain kurikulum yang menempatkan peserta-didik pada posisi sentral. Desain ini dimaksudkan untuk mengembangkan bakat yang selaras dengan minat peserta didik. Pendidik hanya berfungsi sebagai fasilitator dan motivator. Learnercentered design mengutamakan perkembangan individual, oleh sebab itu tidak memiliki pola pengorganisasian yang baku. Dua karakteristik yang membedakan learner-centered design dengan subject-centered design adalah: Pertama, pengembangan kurikulum didasarkan pada keinginan (kebutuhan, minat dan tujuan belajar) peserta didik dan bukan berdasarkan materi pelajaran. Kedua, sebagai akibat karakteristik pertama itu, kurikulumnya tidak dapat dirancang sebelumnya (preplanned) tetapi harus disusun bersama antara peserta didik dan pendidik. Dengan demikian pengorganisasian kurikulum untuk kelompok tertentu (dari individu-individu dengan keinginan yang sama) tergantung pada masalah atau topiktopik yang menarik perhatian mereka; sedangkan sekuens dan kedalaman materi pelajaran tergantung pada sejauh mana mereka mampu mempersepsi permasalahan dan situasi yang timbul. 156 Manajemen Kurikulum Pendidikan Islam Dari uraian singkat di atas dapat disimpulkan bahwa, akan terdapat variasi model pembelajaran yang tak terbatas; hal mana menyebabkan kesulitan dalam penyediaan buku teks sehingga pendidik harus meramu sendiri materi pelajaran untuk setiap kelompok peserta didik. Diantara model-model yang pernah dikembangkan adalah activity/experience design, humanistic design dan child-centered design. Konsekuensi dari activity/experience design ini sama dengan broad flied design yakni, tidak memiliki pola organisasi kurikulum yang baku karena kurikulum harus disusun berdasarkan minat dan kebutuhan peserta didik, baik secara individu maupun kelompok. 126 e. Problem-Centered Design(Desain Berpusat pada Masalah) Problem-centered design dikembangkan berdasarkan pemikiran filsafati tentang peran manusia dalam masyarakat. Jika desain kurikulum berbasis kegiatan/pengalaman menempatkan peserta didik sebagai individu dalam proses pembelajaran, maka pada desain kurikulum berbasis masalah menempatkan peserta didik sebagai anggota masyarakat yang harus mampu memecahkan masalahmasalah yang dihadapi masyarakatnya demi kesejahteraan bersama. Dengan problem-centered design dimaksudkan, desain yang difokuskan pada masalah-masalah kehidupan sosial. Dalam hubungan ini manusia sebagai makhluk sosial akan selalu hidup bersama dan memecahkan masalah sosial secara bersama-sama pula. Isi kurikulum yang diangkat sebagai materi pelajaran adalah masalah-masalah sosial masa kini, misalnya: organisasi kepemudaan, dampak krisis ekonomi, pengangguran, pengaruh media massa atas ketekunan belajar, peningkatan prestasi olah raga dan lain-lain yang dihadapi peserta didik dewasa ini dan di masa mendatang. Desain kurikulum berbasis masalah yang pernah dikembangkan adalah desain berbasis bidang kehidupan (areas of living) dan desain berbasis kurikulum inti (core curriculum design). 126 Ibid, hal. 73. Dari Normatif – Filosofis ke Praktis 157 1) The area of living design (Desain Berbasis Bidang Kehidupan). Menurut desain ini bahwasanya pengorganisasian kurikulum hendaknya menyiapkan masyarakat agar dapat berfungsi secara efektif pada lima bidang kehidupan, yaitu: (1) direct selfpreservation (menyiapkan diri secara langsung); (2) indirect selfpreservation (menyiapkan diri secara tidak langsung, seperti menabung, menyediakan pangan dan rumah; (3) parenthood (menyiapkan diri untuk berumah tangga); (4) citizenship (menjadi warga negara yang baik); dan (5) leisure activities (kegiatan masa senggang). Selanjutnya dengan perjalanan waktu direkomendasikan agar kurikulum menyiapkan peserta-didik dalam enam kategori utama dalam kehidupan, yakni: (1) tanggung jawab dan kompeten, (2) pemahaman masalah-masalah ekonomi, (3) hubungan kekeluargaan, (4) menjadi konsumen yang cakap, (5) mengapresiasi keindahan, dan (6) kecakapan berbahasa. Gambaran yang menonjol dari kurikulum berbasis masalah kehidupan adalah: Pertama, seperti halnya pada desain berbasis aktivitas/pengalaman, desain ini memfokuskan pada prosedur pemecahan masalah. Sebagai hasilnya, penguasaan proses (keterampilan analisis, keterampilan sosial, dan lain sebagainya), dan penguasaan materi secara fungsional telah terintegrasi. Kedua, desain ini memanfaatkan pengalaman peserta-didik dan situasi saat belajar sebagai gerbang memasuki areas of living. Hal inilah yang membedakan dengan desain berbasis aktivitas/pengalaman dimana materi dan kegiatan belajar didasarkan pada kebutuhan yang dirasakan oleh peserta didik. Dengan mengarahkan pada fungsi-fungsi kehidupan sosial, kurikulum berbasis bidang kehidupan berusaha menghilangkan kelemahan-kelemahan pada kurikulum berbasis mata pelajaran (subject design). Namun desain kurikulum berbasis bidang kehidupan ini juga tidak terbebas dari berbagai kritik. Pertama, masalah yang berkaitan dengan penentuan cakupan dan urutan (scope and sequence) mengingat bidang kehidupan sangat luas cakupannya dan bervariasi kedalamannya. Kedua, materi pelajaran 158 Manajemen Kurikulum Pendidikan Islam cenderung hanya dikaitkan dengan masalah-masalah masa kini dan kurang memerhatikan warisan budaya. Ketiga, unit-unit pelajaran dikemas di sekitar masalah-masalah kehidupan yang beragam dan terpisah-pisah sehingga cenderung mengabaikan faktor integrasi. Keempat, desain ini cenderung mengindoktrinasi peserta didik bagaimana mengatasi masalah-masalah masa kini. 127 2) Core Curriculum (Desain Kurikulum Inti) Konsep kurikulum inti dikembangkan sebagai reaksi terhadap separate subject design yang cenderung melaksanakan pembelajaran dengan jalan memecah-mecah mata pelajaran. Padahal pembelajaran akan lebih efektif apabila fakta-fakta dan prinsip-prinsip dari satu disiplin ilmu dihubungkan satu dengan lainnya, terutama pada penerapan ilmu tersebut. Untuk menghasilkan koherensi dari keseluruhan kurikulum disarankan adanya kajian inti (core of studies) terhadap mana mata pelajaran lainnya harus dihubungkan dan mendukungnya. Kurikulum inti diartikan sebagai mata pelajaran atau mata kuliah yang perlu diberikan kepada semua peserta didik. Di perguruan tinggi di Indonesia, kelompok mata kuliah ini disebut Mata Kuliah Dasar Umum (MKDU) yang terdiri dari Pancasila, Pendidikan Agama, Kewarganegaraan, dan bahasa (bahasa Indonesia dan bahasa Inggris). Menurut pertimbangan perguruan tinggi yang bersangkutan dapat ditambahkan, misalnya, Pengetahuan Lingkungan Hidup, Kewirausahaan, dan lain-lain. Terdapat beberapa ragam desain kurikulum inti, yakni: (1) the separate subject core, (2) the correlated core, (3) the fused core, (4) the activity/experience core, (5) the areas-of-living core, dan (6) the social problems core. The Separate Subjects Core terdiri dari serangkaian mata pelajaran/mata kuliah yang diajarkan secara terpisah oleh spesialis dari mata pelajaran/mata kuliah yang bersangkutan tanpa upaya mengintregrasikan materinya, suatu manifestasi dari 127 Nana Syaodih S, cet 14, (2011).Pengembangan Kurikulum., hal. 78. Dari Normatif – Filosofis ke Praktis 159 karakteristik, kekuatan dan kelemahan dari separate subjects curriculum. The Correlated Core dikembangkan dari konsep subject-centered design yang menekankan koherensi hubungan antardua atau lebih mata pelajaran/mata kuliah yang termasuk dalam kurikulum inti. Model ini berkembang dengan jalan mengintegrasikan beberapa mata pelajaran yang erat hubungannya. Dengan tujuan ruang lingkup bahan yang di pelajari akan semakin luas. Sebagai contoh pada pembahasan pariwisata dapat dihubungkan dengan geologi, sejarah, sosiologi dan ekonomi. The Fused Core berakar pada konsep subject-centered curriculum design. Beberapa mata pelajaran/mata kuliah diintegrasikan atau difusikan menjadi satu, misalnya, sejarah, geografi, ekonomi, sosiologi dan antropologi, dikombinasikan dan diajarkan oleh spesialis dalam ilmu pengetahuan sosial; ketel uap, mesin-mesin turbin, motor-bakar diajarkan oleh spesialis dalam konversi energi. The Activity-Experience Core dikembangkan berdasarkan konsep learner-centered design yang dipusatkan pada minat dan kebutuhan peserta didik. Desain kurikulum tidak mempunyai struktur formal dan tidak dirancang sebelumnya. Karena aktivitas didasarkan pada minat dan kebutuhan peserta didik, maka materi dan pengorganisasinya disusun oleh guru bersama para peserta didik. The Areas-of-Living Core diilhami oleh pendidikan progresif yang mengedepankan masalah-masalah kehidupan dalam masyarakat. Keuntungan dari the areas-of-living core sebagai suatu program pendidikan sama dengan the areas-of-living design yakni, mengintegrasikan dan menyatukan materi dan mengembangkan kemampuan pemecahan masalah dalam pembelajaran. Materi pelajaran disajikan dalam bentuk yang fungsional dan relevan dengan permasalahan yang dikaji 128. 128 Ibid,hal. 78-83. 160 Manajemen Kurikulum Pendidikan Islam The sosial problem core merupakan design yang hampir sama dengan the areas of living core didasarkan atas kegiatan-kegiatan manusia yang universal, tetapi tidak berisi hal yang kontroversial, sedangkan the sosial problem core didasarkan atas problem-problem yang mendasar dan bersifat kontroversial. 4. Permasalahan Desain Kurikulum Terdapat lima masalah kritis yang sering timbul dalam desain kurikulum, yakni: (a) desain untuk pendidikan umum atau spesialisasi, (b) hubungan antarkomponen kurikulum, (c) cakupan dan sekuens, (d) pusat pengorganisasian kurikulum, dan (e) keseimbangan. 129 Kelima masalah tersebut akan dibahas secara singkat berikut ini. a. Desain untuk pendidikan umum atau spesialisasi Permasalahan awal dalam pengembangan desain kurikulum adalah apakah desain kurikulum tersebut difokuskan pada pendidikan umum atau pendidikan kejuruan (spesialisasi) atau campuran yang mana gabungan dari keduanya. Pada kasus pertama desain hanya ditentukan oleh kebutuhan bidang kejuruan tertentu yang mencakup materi dan ketrampilan. Materi, kegiatan pembelajaran, cakupan, dan sekuens dapat dikembangkan dari prosedur-prosedur yang dibakukan untuk kejuruan tertentu. b. Hubungan Antar Komponen-komponen Kurikulum Masalah lain dalam desain kurikulum adalah pembinaan hubungan antarkomponen-komponen kurikulum (tujuan, materi (isi), kegiatan pembelajaran dan evaluasi). Masalah pertama adalah bagaimana menciptakan korespondensi antara Tujuan Pendidikan Nasional (Tupenas), Tujuan Institusional dan Tujuan Instruksional (pembelajaran) yang harus dicantumkan dalam kurikulum. Dengan kalimat lain, bagaimana menciptakan korespondensi antara tujuan jangka panjang (Tupenas), jangka menengah (Tujuan Institusional) dan tujuan jangka pendek (Tujuan Instruksional). Diperlukan mekanisme untuk memantau keselarasan pencapaian tujuan-tujuan tersebut sehingga apabila terdapat diskripansi dapat segera 129 E. Mulyasa. (2004).Kurikulum Berbasis Kompetensi-Konsep, Karaktersitik dan Implementasi, PT. Remaja Rosda, Bandung. Hal. 86 Dari Normatif – Filosofis ke Praktis 161 dilakukan tindakan perbaikan. Kedua, hal yang lebih sulit dalam pembinaan adalah hubungan yang jelas antara komponen-komponen tujuan kurikulum (tujuan instruksional), materi pembelajaran, kegiatan pembelajaran dan evaluasi. Tujuan Pend Nasional Tujuan Institusional Tujuan Instruksional Materi Pembelajaran Kegiatan Pembelajaran Evaluasi Gambar 4.9: Hubungan antar Komponen-komponen Kurikulum c. Masalah Cakupan dan Sekuens Cakupan (scope) berkaitan dengan pengaturan penyampaian pelajaran-pelajaran pada waktu dan tingkatan yang sama, sementara sekuens berkaitan dengan laju pergerakan setiap mata pelajaran dari tingkat yang lebih rendah menuju tingkat yang lebih tinggi, dari materi yang mudah menuju materi yang lebih sulit sepanjang kurun waktu tertentu. Pada tingkat sekolah pengorganisasian ini berkaitan dengan pengaturan jadwal pelajaran yang jarang memikirkan efisiensi pembelajaran untuk mencapai tingkat penguasaan yang ditetapkan dalam tujuan instruksional. Masalah yang berkaitan dengan cakupan dan sekuens tidak berlaku pada satu mata pelajaran saja, tetapi harus pula dipikirkan keserasian perkembangan antarmata pelajaran; ada yang harus 162 Manajemen Kurikulum Pendidikan Islam diberikan secara bersamaan (paralel) dan ada pula yang diberikan secara serial. Terdapat mata pelajaran sebagai prasyarat bagi mata pelajaran lain. Mata pelajaran prasyarat harus diberikan mendahului mata pelajaran yang mempersyaratkan. Sebagai contoh, mata pelajaran mekanika teknik sebagai mata pelajaran prasyarat untuk mempelajari desain elemen mesin. d. Pusat Pengorganisasian Kurikulum. Terdapat dua macam konsep pengorganisasian kurikulum, yaitu: pusat pengorganisasian dan unsur pengorganisasian. Pusat pengorganisasian terkait dengan masalah pemilihan model-model pemilihan desain kurikulum. Sedangkan unsur-unsur pengorganisasian berkaitan dengan konsep yang akan menjadi fokus kajian dan pembahasan serta penguasaan dalam proses pembelajaran. Dari Normatif – Filosofis ke Praktis 163 BAB V INOVASI KURIKULUM PENDIDIKAN ISLAM A. Inovasi Kurikulum Pendidikan Islam Salah satu komponen penting pada lembaga pendidikan formal yang digunakan sebagai acuan untuk menentukan isi pengajaran, mengarahkan proses mekanisme pendidikan, tolok-ukur keberhasilan dan kualitas hasil pendidikan, adalah kurikulum. 130 Namun demikian, kurikulum seringkali tidak mampu mengikuti kecepatan laju perkembangan masyarakat. Oleh karena itu, pengembangan dan pembenahan kurikulum harus senantiasa dilakukan secara terus menerus dan berkesinambungan. Kurikulum tidak pernah statis, melainkan senantiasa berubah dan bersifat dinamis. Betapapun kita menghendaki kurikulum sesuai dengan pedoman yang telah digariskan namun karena pengaruh dari sistem pendidikan itu sendiri maupun dari luar pendidikan secara makro, maka menyebabkan kurikulum yang ada harus menyesuaikan diri agar mampu memenuhi permintaan dari semua dimensi kehidupan. 131 Munculnya inovasi dilatarbelakangi oleh tantangan untuk menjawab masalah-masalah krusial dalam pendidikan termasuk keresahan pihak-pihak tertentu dalam bidang pendidikan seperti keresahan guru 130 S. Nasution, (1995). Kurikulum dan Pengajaran. Jakarta: Bumi Aksara. Hal. 13. Oemar Hamalik, (2010).Manajemen Pengembangan Kurikulum. PT. Bandung,hal.261 131 164 Remaja Rosdakarya: Manajemen Kurikulum Pendidikan Islam tentang pelaksanaan KTSP yang dianggapnya menyulitkan, keresahan masyarakat tentang kualitas pendidikan selama ini yang cenderung merosot. Masalah-masalah inovasi kurikulum mencakup aspek inovasi dalam struktur kurikulum, materi kurikulum dan inovasi proses kurikulum. Ketiga aspek inovasi-inovasi kurikulum tersebut merupakan penggolongan jenis inovasi berdasarkan komponen sistem pendidikan yang menjadi bidang garapannya. Inovasi kurikulum juga tergantung pada dinamika masyarakat sehingga perubahan di masyarakat memiliki implikasi perubahan dalam pendidikan. Perubahan dalam pendidikan merupakan hal yang harus dilakukan bahkan mempertahankan inovasi pendidikan yang tidak populer akan merugikan anak didik juga struktur kurikulum. Inovasi pendidikan dapat pula lahir manakala terdapat pendirian yang baru mengenai pengembangan kurikulum yang relevan dengan kebutuhan masyarakat sehingga sistem inovasi pendidikan yang lama tidak lagi relevan dengan kondisi masyarakat. Perubahan kurikulum merupakan hal yang biasa dilakukan oleh pemerintah dan bilamana pemerintah mempertahankan kurikulum yang ada akan merugikan masyarakat itu sendiri. Dengan mengacu pada prinsip-prinsip pendidikan, maka inovasi kurikulum yang relevan dengan kondisi saat ini adalah kurikulum berbasis kompetensi. B. Pengertian Inovasi Kurikulum Inovasi merupakan sesuatu yang baru dalam situasi sosial tertentu yang digunakan untuk menjawab atau memecahkan suatu permasalahan. Dilihat dari bentuk atau wujudnya “sesuatu yang baru” itu dapat berupa ide, gagasan, benda atau mungkin tindakan. Sedangkan dilihat dari maknanya, sesuatu yang baru itu bisa benarbenar baru yang belum tercipta sebelumnya yang kemudian disebut dengan invention (temuan baru), atau dapat juga tidak benar-benar baru sebab sebelumnya sudah ada dalam konteks sosial yang lain yang kemudian disebut dengan istilah discovery (penemuan). Proses untuk menghasilkan temuan baru (invention) tidaklah mudah, karena membutuhkan proses seperti penelitian, pengujian dan Dari Normatif – Filosofis ke Praktis 165 analisis secara mendalam serta penarikan kesimpulan. Misalnya penerapan pembelajaran PAI dengan metode dan strategi yang benar-benar baru demi meningkatkan efektivitas pembelajaran. Seperti: penggunaan tablet untuk mendesain pembelajaran belum ada. Sedangkan untuk proses discovery, misalnya penggunaan-penggunaan strategi belajar Quantum Teaching dalam pembelajaran Fiqih di Madrasah atau PAI di sekolah untuk meningkatkan kualitas pembelajaran. Aspek lain juga yang bisa gunakan adalah pembelajaran berbasis internet yang telah digunakan di beberapa Negara. Jadi dengan demikian inovasi itu dapat terjadi melalui proses invention atau melalui proses discovery. 132 Berdasarkan berbagai penjelasan di atas, maka inovasi kurikulum dapat diartikan sebagai suatu ide, gagasan atau tindakan-tindakan tertentu dalam bidang kurikulum dan pembelajaran yang dianggap baru untuk memecahkan masalah pendidikan. Dalam bidang pendidikan, inovasi biasanya muncul dari adanya keresahan pihak-pihak tertentu tentang penyelenggaraan pendidikan. Misalkan, keresahan guru tentang pelaksanaan proses belajar mengajar yang dianggapnya kurang berhasil, keresahan pihak administrator pendidikan tentang kinerja guru, atau mungkin keresahan masyarakat terhadap kinerja dan hasil bahkan sistem pendidikan. Keresahan-keresahan itu pada akhirnya membentuk permasalahan-permasalahan yang menuntut penanganan dengan segera. Upaya untuk memecahkan masalah itulah muncul gagasan dan ide-ide baru sebagai inovasi. Dengan demikian, maka dapat kita katakan bahwa inovasi itu ada karena adanya masalah yang dirasakan; hampir tidak mungkin inovasi muncul tanpa adanya masalah yang dirasakan. Inovasi kurikulum dan pembelajaran dimaksudkan sebagai suatu idea, gagasan atau tindakan tertentu dalam bidang kurikulum dan pembelajaran yang dianggap baru untuk memecahkan masalah pendidikan. Masalah-masalah inovasi kurikulum berkaitan dengan azas relevansi antara bahan pembelajaran dengan kebutuhan siswa, antara kualitas pembelajaran di sekolah dengan pengguna lulusan di lapangan pekerjaan, berkaitan dengan mutu secara kognitif, afektif, dan 132 Wina Sanjaya, (2009).Kurikulum dan Pembelajaran, Teori dan Praktek Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP), PT Kencana Prenada Media Group. Hal.317 166 Manajemen Kurikulum Pendidikan Islam psikomotorik, pemerataan yang berhubungan dengan kesempatan dan peluang, kemudian efisiensi dari segi internal dan eksternal. C. Masalah yang Melatarbelakangi Munculnya Inovasi Kurikulum Setelah diberlakukannya otonomi daerah sebagai konsekuensi penerapan Undang-Undang No. 22 Tahun 1999, yang kemudian direvisi dan dicabut dengan UU No 32 tahun 2004 tentang pemerintah daerah, termasuk di dalamnya otonomi daerah dalam bidang pendidikan dan kebudayaan. Dengan diberikannya “kewenangan dan pemberdayaan” yang membawa implikasi terhadap penyelenggaraan pendidikan termasuk kurikulum. Sekalipun demikian maka permasalahan itu tampaknya akan tetap ada, bahkan akan semakin kompleks. Masalah-masalah inovasi kurikulum berkaitan dengan azas relevansi antara bahan pembelajaran dengan kebutuhan siswa, antara kualitas pembelajaran di sekolah dengan pengguna lulusan di lapangan pekerjaan, berkaitan dengan mutu secara kognitif, afektif, dan psikomotorik, pemerataan yang berhubungan dengan kesempatan dan peluang, kemudian efisiensi dari segi internal dan eksternal. Munculnya inovasi beragam, menurut Hamalik disebabkan oleh: (1) adanya inovasi yang dikembangkan untuk menjawab permasalahan relevansi seperti program muatan lokal dalam kurikulum sekolah dasar dan sekolah lanjutan, (2) adanya inovasi yang diarahkan untuk menjawab tantangan pemerataan pendidikan seperti Universitas terbuka, SMP/SMA Terbuka dan Program Paket “B” atau “C” pada pendidikan luar sekolah, (3) Inovasi yang lebih dititikberatkan pada upaya menanggulangi permasalahan kurang memadainya mutu lulusan, sistem Modul, dan(4) Inovasi yang berkaitan pada misi utamanya adalah menjawab permasalahan efisiensi pendidikan seperti sistem maju berkelanjutan dan sistem sekolah kecil. Selain persoalan tersebut, inovasi juga sangat berkaitan pula dengan masalah relevansi, masalah kualitas, masalah efektivitas dan efisiensi, dan masalah daya tampung sekolah yang terbatas. Dari Normatif – Filosofis ke Praktis 167 a. Masalah Relevansi Pendidikan Relevansi adalah kesesuaian antara kenyataan atau pelaksanaan dengan tuntutan dan harapan. Dalam konteks pendidikan, relevansi adalah kesesuaian antara pelaksanaan dan hasil pendidikan dengan kebutuhan dan tuntutan masyarakat. Kurikulum harus senantiasa menjamin tingkat relevansi yang setinggi-tingginya dengan kebutuhan masyarakat pada umumnya dalam rangka menunjang upaya pembangunan, dan oleh karenanya kurikulum harus diupayakan agar benar- benar dapat memberikan kesempatan kepada para siswa dalam rangka mempersiapkan diri untuk bekerja secara produktif. 133 Masalah relevansi pendidikan ini dapat dilihat dari tiga sisi: Pertama, relevansi pendidikan dengan lingkungan hidup siswa, artinya apa yang diberikan di sekolah harus sesuai dengan kondisi, kebutuhan dan tuntutan masyarakat tempat siswa tinggal. Selama ini kurikulum kita dianggap kurang menyentuh kebutuhan dan keadaan atau kondisi lingkungan siswa. Oleh karena itu, penerapan kurikulum muatan lokal merupakan suatu inovasi dalam bidang pendidikan untuk memecahkan masalah tersebut. Melalui kurikulum muatan lokal, diharapkan apa yang diberikan di sekolah akan menjadi relevan dengan kebutuhan dan tuntutan lingkungan hidup siswa. Dimasukkannya muatan lokal pada kurikulum dilandasi oleh kenyataan bahwa Indonesia memiliki keanekaragaman adat istiadat, kesenian, tata cara, tata krama pergaulan, bahasa dan pola kehidupan yang diwariskan secara turun temurun dari nenek moyang bangsa Indonesia. 134 Hal tersebut sebagai ciri khas dan jati diri bangsa harus senantiasa dilestarikan dan dikembangkan termasuk melalui pendidikan formal. Muatan lokal bertujuan untuk memberikan bekal pengetahuan, ketrampilan dan sikap hidup peserta didik agar memiliki wawasan yang mantap tentang lingkungan dan masyarakat yang sesuai dengan nilai yang berlaku di daerahnya sehingga siswa tidak asing dengan lingkungannya sendiri. Pengembangan kurikulum ini pada hakikatnya untuk menjembatani kesenjangan antara peserta didik 133 Oemar Hamalik, (2010). Manajemen Pengembangan...,hal.262 E. Mulyasa. (2007). Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP). PT Remaja Rosdakarya, Bandung. Hal.272. 134 168 Manajemen Kurikulum Pendidikan Islam dengan lingkungannya. Di Jawa Timur misalnya terdapat muatan lokal bahasa jawa diharapkan siswa mampu menggunakan bahasa jawa secara benar sebagai alat komunikasi dengan masyarakat sekitarnya, materi Aswaja di lembaga pendidikan Ma’arif, kemuhamadiyahan di lembaga pendidikan Muhamadiyah, Pendidikan Lingkungan Hidup (PLH)di sekolah/madrasah umum dan lain sebagainya. Kedua, relevansi pendidikan dengan tuntutan kehidupan siswa baik untuk masa sekarang maupun masa yang akan datang. 135 Relevansi ini mengandung pengertian bahwa isi kurikulum harus mampu menjawab kebutuhan siswa pada masa yang akan datang. Pendidikan bukan hanya berfungsi untuk mengawetkan kebudayaan masa lalu, akan tetapi juga untuk mempersiapkan siswa agar kelak dapat hidup menyesuaikan dengan tuntutan zaman. Oleh karena itu, apa yang di berikan di sekolah harus teruji, bahwa semua itu memiliki nilai guna untuk kehidupan siswa di masa yang akan datang. Ketiga, relevansi pendidikan dengan tuntutan dunia kerja. Relevansi ini mengandung pengertian bahwa sekolah memiliki tanggung jawab dalam mempersiapkan anak didik yang memiliki keterampilan dan kemampuan sesuai dengan tuntutan dunia kerja. Seperti yang telah disinggung dalam bagian terdahulu, bahwa salah satu asas pengembangan kurikulum adalah asas sosiologis yang mengandung makna, bahwa kurikulum harus memperhatikan tuntutan dan kebutuhan masyarakat termasuk tuntutan dunia kerja. Pendidikan berfungsi untuk mendidik manusia yang produktif, yang mampu bekerja dalam bidangnya masing-masing. Pada saat ini seiring dengan kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi begitu banyak bidang-bidang ketrampilan yang harus dimiliki anak didik. Dan pada kenyataannya salah satu kritikan yang muncul ke permukaan dewasa ini adalah bahwa pendidikan kita dianggap masih sangat lemah dalam mempersiapkan tenaga kerja yang terampil sesuai dengan kebutuhan dan tuntutan dunia kerja. 135 Wina Sanjaya, (2009), Kurikulum dan Pembelajaran...,hal.319 Dari Normatif – Filosofis ke Praktis 169 Tidak dapat disangkal bahwa, bahwa melalui pendidikan anak diharapkan langsung dapat terjun dalam masyarakat secara mandiri. Artinya dia dapat mencari nafkah sendiri dan membelanjakan secara efisien dan dapat berpartisipasi di masyarakat secara konstruktif dan produktif. Maka beberapa ahli pendidikan mengukur produktifitas sekolah dengan seberapa jauhkah ia dapat memenuhi kebutuhan masyarakat, khususnya di lapangan kerja. 136 Untuk menjawab masalah ini, inovasi pendidikan telah banyak dilakukannya. Misalnya, penerapan sistem ganda untuk sekolahsekolah kejuruan. Melalui sistem ini siswa tidak hanya dibekali dengan teori-teori akan tetapi dalam kurun waktu tertentu, mereka diharuskan melakukan magang di berbagai tempat seperti pusatpusat industri yang akan menyerap mereka sebagai tenaga kerja. Dengan sistem ini diharapkan manakala mereka lulus kelak, mereka sudah paham apa yang harus dikerjakan. Keempat, relevansi pendidikan yang berorientasi pada pembangunan nasional dan nasionalisme, hal ini penting menurut penulis karena banyak produk pendidikan yang tidak mau berkontribusi dalam proses pembangunan nasional sesuai dengan kompetensinya masing-masing bahkan merusak citra bangsa seperti memproduksi dan mengedarkan obat- obat terlarang, korupsi, pembalakkan hutan, penjualan aset-aset negara yang menguasai hajat hidup rakyat dan sebagainya. b. Masalah Kualitas Pendidikan Selain masalah relevansi, maka rendahnya kualitas pendidikan juga dianggap sebagai suatu masalah yang dihadapi dunia pendidikan kita dewasa ini. Kurikulum hendaknya merupakan alat yang ampuh untuk meningkatkan sumber daya manusia. Walaupun terdapat pro kontra terhadap mutu pendidikan dewasa ini, namun peningkatan mutu pendidikan harus terus ditingkatkan, masih banyak lulusan pendidikan yang belum memenuhi tuntutan mutu dari kebutuhan pasar kerja maupun nilai-nilai budaya dan norma sosial yang berlaku. 136 Oemar Hamalik, (2010).Manajemen Pengembangan....,hal.265. 170 Manajemen Kurikulum Pendidikan Islam Rendahnya kualitas pendidikan ini dapat dilihat dari dua sisi. Pertama dari segi proses dan kedua dari segi hasil. Rendahnya kualitas pendidikan di lihat dari sisi proses, adalah adanya anggapan bahwa selama ini proses pendidikan yang dibangun oleh guru dianggap cenderung terbatas pada penguasaan materi pelajaran atau bertumpu pada pengembangan aspek kognitif tingkat rendah, yang tidak mampu mengembangkan kreativitas berpikir proses pendidikan atau belajar mengajar dianggap cenderung menempatkan siswa sebagai objek yang harus diisi dengan berbagai informasi dan bahan-bahan hafalan. Komunikasi terjadi satu arah, yaitu dari guru ke siswa melalui pendekatan ekspositori yang dijadikan sebagai alat utama dalam proses pembelajaran. 137Dari sisi hasil, rendahnya kualitas pendidikan dapat dilihat dari tidak meratanya setiap sekolah dalam mencapai rata-rata nilai Ujian Nasional (Unas). Ada sekolah yang dapat mencapai rata-rata Unas yang tinggi, namun di lain pihak banyak sekolah yang mencapai Unas jauh di bawah standar. Beberapa usaha yang dilakukan untuk memecahkan masalah tersebut di antaranya dengan meningkatkan kualitas guru dan perbaikan kurikulum, serta menyediakan berbagai sarana dan prasarana yang lebih lengkap dan di anggap memadai. Peningkatan kualitas atau mutu guru, di antaranya dengan meningkatkan latar belakang akademis mereka melalui pemberian kesempatan untuk mengikuti program-program pendidikan, serta memberikan penataran-penataran dan pelatihan-pelatihan secara kontinyu dan berkelanjutan, serta pemberdayaan MGMP, KKG, MGBK dan sebagainya. Perbaikan kurikulum dilakukan bukan hanya membuka kemungkinan penambahan isi kurikulum sesuai dengan kebutuhan lingkungan masyarakat lokal, akan tetapi juga inovasi pelaksanaan proses pembelajaran. c. Masalah Efektifitas dan Efisiensi Efektivitas berhubungan dengan tingkat keberhasilan pelaksanaan pembelajaran yang didesain oleh guru untuk mencapai tujuan pembelajaran baik tujuan dalam skala yang sempit seperti tujuan 137 Wina Sanjaya, (2009). Kurikulum dan Pembelajaran...,hal.320 Dari Normatif – Filosofis ke Praktis 171 pembelajaran khusus, maupun tujuan dalam skala yang lebih luas, seperti tujuan kurikuler, tujuan institusional dan bahkan tujuan nasional. Dengan demikian, dalam konteks kurikulum dan pembelajaran suatu program pembelajaran dikatakan memiliki tingkat efektivitas yang tinggi manakala program tersebut dapat mencapai tujuan seperti yang diharapkan. Misalkan, untuk mencapai tujuan tertentu, guru memprogramkan 3 bentuk kegiatan belajar mengajar. Manakala berdasarkan hasil evaluasi setelah dilaksanakan program kegiatan belajar mengajar itu, tujuan pembelajaran telah dicapai oleh seluruh siswa, maka dapat dikatakan bahwa program itu memiliki efektivitas yang tinggi. Sebaliknya, apabila diketahui setelah pelaksanaan proses belajar mengajar, siswa belum mampu mencapai tujuan yang diharapkan, maka dapat dikatakan bahwa program tersebut tidak efektif. Dengan cara yang sama, dapat dilakukan untuk melihat efektivitas program pendidikan dalam upaya mencapai tujuan yang lebih luas, misalkan tujuan institusional. Untuk mencapai tujuan lembaga pendidikan (institusi) tertentu diberikan sejumlah program pendidikan baik program intrakurikuler maupun program ekstrakurikuler. Apabila berdasarkan hasil evaluasi terhadap lulusan lembaga pendidikan yang bersangkutan diketahui bahwa setiap lulusan memiliki kemampuan sesuai dengan tujuan lembaga itu, maka program pendidikan yang dilaksanakan dianggap efektif; dan sebaliknya manakala lulusan tidak mencerminkan kemampuan yang diharapkan, maka program pendidikan yang diselenggarakan oleh lembaga yang bersangkutan dianggap kurang efektif. Efisiensi berhubungan dengan jumlah biaya, waktu dan tenaga yang digunakan untuk mencapai tujuan tertentu. Artinya, suatu program pembelajaran dikatakan memiliki tingkat efisiensi yang tinggi, manakala dengan jumlah biaya yang minimal dapat menghasilkan atau dapat mencapai tujuan yang maksimal. Sebaliknya, program dikatakan tidak efisien apabila biaya dan tenaga yang dikeluarkan sangat besar, akan tetapi hasil yang diperoleh kecil. sehubungan dengan masalah efisiensi ini, sebaliknya setiap guru membuat program yang benar-benar dapat menunjang ketercapaian tujuan pembelajaran. Sekolah dan guru harus menghindari program- 172 Manajemen Kurikulum Pendidikan Islam program kegiatan yang banyak memerlukan biaya, waktu dan tenaga, padahal kegiatan tersebut tidak atau kurang mendukung terhadap pencapaian tujuan pendidikan. d. Masalah Keterbatasan Daya Tampung. Masalah lain yang dihadapi dunia pendidikan kita adalah masalah terbatasnya daya tampung sekolah khususnya pada tingkat SLTA. Masalah ini muncul setelah keberhasilan penyelenggaraan wajar dikdas 9 tahun, yang mengakibatkan meledaknya lulusan SMP/MTs/Kejar paket B, sehingga menuntut pemerintah untuk menyediakan fasilitas agar dapat menampung para lulusan tersebut yang hendak melanjutkan ke SLTA. Keberhasilan program wajar dikdas 9 tahun ini juga membawa dampak kepada permasalahan akan banyaknya minat lulusan SMP/MTs/Kejar paket B yang hendak melanjutkan ke SLTA, padahal kondisi geografis, sosial, ekonomi, mereka yang kurang mendukung, misalkan karena tempat tinggal mereka yang jauh berada di pedalaman atau pulau-pulau terpencil, atau kemampuan sosial ekonomi mereka yang rendah. Untuk memecahkan masalah yang demikian, pemerintah memerlukan langkah-langkah yang dapat menyediakan kesempatan belajar seluas-luasnya untuk mereka dengan biaya yang rendah tanpa mengurangi mutu pendidikan. D. Difusi dalam Inovasi Kurikulum Difusi adalah proses komunikasi atau saling tukar informasi tentang suatu bentuk inovasi antara warga masyarakat sasaran sebagai penerima inovasi dengan menggunakan saluran tertentu dan dalam waktu tertentu pula. 138 Ada dua bentuk sistem difusi, yaitu difusi sentralisasi dan difusi desentralisasi. Difusi sentralisasi adalah difusi yang bersifat memusat. Artinya segala bentuk keputusan tentang komunikasi inovasi ditentukan oleh orang-orang yang merumuskan bentuk inovasi. Misalnya, kapan inovasi itu disebarluaskan, bagaimana caranya, siapa yang terlibat untuk menyebarkan informasi inovasi, bagaimana mengontrol penyebaran itu, 138 Ibid, hal.322. Dari Normatif – Filosofis ke Praktis 173 seluruhnya ditentukan oleh pembawa dan perumus perubahan secara spontan. Sedangkan yang dimaksud difusi desentralisasi proses penyebaran informasi inovasi dilakukan oleh masyarakat itu sendiri. Dalam proses difusi desentralisasi keberhasilan difusi tidak ditentukan oleh orang-orang yang merumuskan inovasi akan tetapi sangat ditentukan oleh masyarakat itu sendiri sebagai penggagas dan pelaksana difusi. Proses difusi diarahkan agar muncul pemahaman yang sama tentang inovasi. Oleh karena itu agar, terjadi proses difusi yang efektif perlu direncanakan. Proses perencanaan difusi dinamakan diseminasi. Dengan kata lain, diseminasi dapat diartikan sebagai proses penyebaran inovasi yang direncanakan, diarahkan dan dikelola secara baik. Dengan demikian, keberhasilan suatu penyebaran inovasi sangat tergantung kepada proses diseminasi. Bagaimana agar terjadi proses difusi sehingga inovasi itu mudah diterima oleh anggota masyarakat atau sasaran inovasi? Hal ini tergantung beberapa faktor di antaranya: a. Faktor pembiayaan (Cost). Biasanya semakin murah biaya yang dikeluarkan untuk suatu inovasi, maka akan semakin mudah diterima oleh kelompok masyarakat sasaran, walaupun kualitas inovasi itu sendiri sangat ditentukan oleh mahalnya biaya yang dikeluarkan. Misalnya, mengapa PPSP (Proyek Perintis Sekolah Pembangunan), MAPK (Madrasah Aliyah Program Khusus) sebagai suatu bentuk inovasi penyelenggaraan sistem pendidikan tidak dilanjutkan? Hal ini mungkin bukan karena ketidakberhasilan sistem pendidikan itu, akan tetapi terlalu mahalnya pembiayaan yang harus dikeluarkan dibandingkan dengan persekolahan biasa. b. Resiko yang muncul sebagai akibat pelaksanaan inovasi. Inovasi akan mudah diterima manakala memiliki efek samping yang sangat kecil, baik yang berkaitan dengan politik maupun keamanan dan keselamatan penerimanya. Suatu inovasi tidak akan mudah dan dapat diterima apabila memiliki risiko yang tinggi. c. Kompleksitas. Inovasi akan mudah diterima oleh masyarakat sasaran manakala bersifat sederhana dan mudah dikomunikasikan. Semakin rumit bentuk inovasi itu, maka akan semakin sulit juga untuk diterima. 174 Manajemen Kurikulum Pendidikan Islam d. Kompabilitas. Artinya, mudah atau sulitnya suatu inovasi diterima oleh masyarakat sasaran ditentukan juga oleh kesesuaiannya dengan kebutuhan, tingkat pengetahuan, dan keyakinan masyarakat pemakai. Suatu bentuk inovasi akan sulit terima manakala tidak sesuai dengan kebutuhan pemakai atau sulit dipahami oleh karena tidak sesuai dengan tingkat pengetahuan mereka. e. Tingkat keandalan. Suatu bentuk inovasi akan mudah diterima manakala diketahui tingkat kehandalannya. Untuk mengetahui tingkat keandalannya itu bentuk inovasi terlebih dahulu harus di ujicobakan secara ilmiah sehingga dapat dipertanggungjawabkan. Tanpa keandalan yang pasti orang akan ragu mengadopsinya. f. Keterlibatan. Bentuk inovasi dalam proses penyusunannya melibatkan kelompok masyarakat sasaran, akan mudah diterima misalkan untuk pembaharuan pada sistem pembelajaran, proses penyusunan inovasi melibatkan PGRI sebagai organisasi guru atau melibatkan perwakilan guru-guru tertentu yang dianggap berpengalaman. g. Kualitas penyuluh. Inovasi perlu disosialisasikan untuk diketahui dan dipahami oleh masyarakat sasaran. Dalam proses sosialisasi itu perlu dirancang sedemikian rupa sehingga mudah dipahami. Salah satu faktor yang menentukan dalam proses sosialisasi adalah faktor kualitas penyuluh. Kualitas penyuluh ditentukan bukan hanya oleh kemampuan penyuluh saja akan tetapi tingkat keahlian yang bersangkutan. Proses penyuluhan oleh orang yang dianggap kurang berpengalaman, akan sulit meyakinkan masyarakat sasaran. 139 Faktor-faktor di atas, sangat mempengaruhi keberhasilan penyebaran dan penerimaan inovasi pendidikan. Oleh karena itu faktorfaktor tersebut dapat juga dijadikan sebagai bahan pertimbangan dalam perumusan berbagai bentuk inovasi pendidikan. Keputusan opsional adalah keputusan yang ditentukan oleh individu secara mandiri tanpa adanya pengaruh dari orang lain. Jadi dengan demikian, dalam keputusan opsional yang berperan untuk menolak atau menerima inovasi adalah individu itu sendiri. Keputusan inovasi kolektif adalah keputusan yang didasarkan oleh kesepakatan bersama dari setiap kelompok masyarakat. Setiap 139 Ibid, hal.324. Dari Normatif – Filosofis ke Praktis 175 anggota kelompok harus menaati untuk menerima atau menolak inovasi sesuai dengan keputusan kelompok walaupun keputusan itu mungkin kurang sesuai dengan pendapatnya. Keputusan inovasi otoritas adalah keputusan untuk menerima atau menolak suatu inovasi ditentukan oleh orang-orang tertentu yang memiliki kewenangan dan pengaruh terhadap anggota kelompok masyarakatnya. Anggota kelompok masyarakat sama sekali tidak memiliki kewenangan untuk menerima atau menolak. Mereka hanya memiliki kewajiban untuk melaksanakan segala keputusan secara otoritas. Misalkan, kalau kepala Dinas Pendidikan dan Kebudayaan mengharuskan semua guru untuk menerapkan strategi pembelajaran “tematik” dalam pembelajaran, maka setiap guru harus melaksanakannya, walaupun mungkin ada guru yang menganggap metode tersebut kurang sesuai. E. Hambatan-hambatan Inovasi Kurikulum Suatu pembaharuan atau inovasi sering tidak berhasil dengan optimal. Hal ini disebabkan oleh adanya berbagai hambatan yang muncul seperti hambatan geografis, hambatan ekonomi yang tidak memadai, hambatan sosial kultural, dan lain sebagainya. Berbagai hambatan tersebut tentu saja dapat mempengaruhi keberhasilan suatu inovasi. Terdapat 6 faktor utama yang dapat menghambat suatu inovasi. Keenam faktor tersebut dijelaskan di bawah ini: 1. Perkiraan yang Tidak Tepat Sering terjadi kegagalan suatu inovasi disebabkan kurang matangnya perkiraan atau kemungkinan-kemungkinan yang akan muncul. Faktor estimasi atau perencanaan dalam inovasi merupakan salah satu faktor yang berpengaruh terhadap keberhasilan inovasi. Hambatan yang disebabkan kurang tepatnya estimasi ini diantaranya mencakup kurang adanya pertimbangan implementasi inovasi, kurang adanya hubungan antar anggota team pelaksana, kurang adanya kesamaan pendapat tentang tujuan yang ingin dicapai, tidak adanya koordinasi antar petugas yang terlibat misalnya, dalam hal pengambilan 176 Manajemen Kurikulum Pendidikan Islam keputusan dan kebijakan yang dianggap perlu. 140 Di samping itu, dalam proses perencanaan juga mungkin terjadi hambatan yang muncul dari luar, misalnya adanya tekanan dari pihak tertentu (seperti pemerintah) untuk mempercepat hasil inovasi. Untuk mencegah adanya hambatan di atas, maka proses penyusunan perencanaan inovasi perlu dilakukan dengan sungguh-sungguh dengan melibatkan koordinasi dengan berbagai pihak yang dirasakan akan berpengaruh. Pengaturan wewenang dan tugas perlu direncanakan dengan matang sehingga setiap orang yang terlibat mengetahui tugas dan tanggung jawabnya masing-masing. 2. Konflik dan Motivasi Konflik bisa terjadi dalam proses pelaksanaan inovasi, misalnya ada pertentangan antar anggota tim, kurang adanya pengertian serta adanya perasaan iri dari pihak antara anggota tim inovasi. Pertentanganpertentangan semacam itu bukan saja dapat menghambat akan tetapi mungkin dapat merusak proses inovasi itu sendiri. Oleh karena itu, para perancang inovasi harus mengantisipasi adanya pertentangan tersebut. Di samping konflik, faktor yang dapat menghambat bisa juga ditimbulkan oleh motivasi, misalnya motivasi yang lemah dari orang-orang yang terlibat yang justru memegang kunci, adanya pandangan yang sempit dari beberapa orang yang dianggap penting dalam proyek inovasi, bantuan-bantuan yang tidak sampai, adanya sikap yang tidak terbuka dari pemegang jabatan proyek inovasi dan lain sebagainya. 3. Inovasi tidak Berkembang Hambatan lain yang dapat mengganggu berjalannya inovasi dapat disebabkan kurang berkembangnya proses inovasi itu sendiri. Beberapa faktor yang dapat mempengaruhi diantaranya, pendapat yang rendah, faktor geografis, seperti tidak memahami kondisi alam, letak geografis yang terpencil dan sulit dijangkau oleh alat transformasi sehingga dapat menghambat pengiriman bahan-bahan finansial, kurangnya sarana komunikasi, iklim dan cuaca yang tidak mendukung, dan lain sebagainya. 140 Ibid, hal.325 Dari Normatif – Filosofis ke Praktis 177 4. Masalah Finansial Keberhasilan pencapaian program inovasi sangat ditentukan oleh dana yang tersedia. Sering terjadi kegagalan inovasi dikarenakan dana yang tidak memadai. Beberapa faktor yang dapat menyebabkan masalah finansial ini, diantaranya bantuan dana yang sangat minim sehingga dapat mengganggu dalam operasional inovasi, kondisi ekonomi masyarakat secara keseluruhan, penundaan bantuan dana. 5. Penolakan dari Kelompok Penentu Ketidakberhasilan inovasi dapat juga ditentukan oleh kesungguhan dan peran serta seluruh kelompok masyarakat, khususnya kelompok masyarakat yang menentukan seperti golongan elit, tokoh masyarakat dalam suatu sistem sosial. Manakala terjadi penolakan dari kelompok tersebut terhadap suatu inovasi, maka proses inovasi akan mengalami ganjalan. Penolakan inovasi sering ditunjukkan oleh kelompok sosial tradisional dan konservatif. Kelompok sosial yang demikian, biasanya merasa puas dengan hasil yang telah dicapai, bagaimanapun hasil itu dirasakan sangat minimal. Untuk itulah dalam upaya keberhasilan inovasi perlu dilakukan sosialisasi dan koordinasi dengan berbagai pihak. 6. Kurang Adanya Hubungan Sosial Faktor lainnya yang dapat menghambat proses inovasi adalah kurang adanya hubungan sosial yang baik antara berbagai pihak khususnya antar anggota team, sehingga terjadi ketidakharmonisan dalam bekerja. Dengan demikian, adanya hubungan yang baik harus diciptakan dengan melakukan pertukaran pikiran secara kontinyu antara sesama anggota tim. F. Implementasi Inovasi dalam Kurikulum dan Pembelajaran Kurikulum memang tidak pernah statis, melainkan senantiasa berubah dan bersifat dinamis. Hal ini karena pengaruh dan tantangan yang senantiasa muncul dari dalam sistem pendidikan itu sendiri maupun yang tumbuh dari luar secara makro sehingga inovasi dan perbaikan kurikulum adalah tuntutan dan keharusan. Sebagai usaha mengefektifkan pencapaian tujuan pendidikan, pemerintah terus- 178 Manajemen Kurikulum Pendidikan Islam menerus melakukan berbagai perbaikan dan pembaharuan pendidikan dan kurikulum sekolah/ madrasah. Beberapa implementasi pembaruan (inovasi) yang telah dilakukan dikemukakan di bawah ini: 1. Pemberlakuan Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP) Indonesia sebagai negara yang sangat kaya dengan sumber daya alam mestinya menjadi negara yang makmur, sejahtera, bukan sebaliknya menjadi negara yang terpuruk dalam lingkaran kemiskinan, keterbelakangan, ketidakadilan, dan ketidakpastian menghadapi masa depan serta kerusakan lingkungan. 141 Hal ini dapat dikatakan bahwa bangsa Indonesia memiliki keunggulan komparatif namun belum mempunyai keunggulan kompetitif. Hal ini menjadi tantangan sekaligus peluang bagi bangsa Indonesia yang harus menyesuaikan dengan kebutuhan dan perkembangan baik ditingkat lokal nasional maupun global termasuk sistem pendidikan nasional. Kalau kita ingin membangun sebuah bangsa nomor satu utamakan pendidikan, nomor dua utamakan pendidikan dan nomor tiga hargailah dan muliakan guru. 142 Diundangkannya UU nomor 32 tahun 2004 tentang pemerintah daerah mempunyai konsekwensi diberlakukannya otonomi termasuk pendidikan dan kebudayaan yang memberi kewenangan kebijakan pendidikan kepada daerah. Sebagai implikasinya ialah perubahan sistem manajemen pendidikan dari pola sentralisasi ke desentralisasi dan nonmonopolistik yang dikembangkan mengarah pada manajemen berbasis sekolah/ madrasah yang memberikan otonomi lebih besar kepada sekolah/ madrasah untuk meningkatkan mutu sekolah/ madrasah. Di antara otonomi yang lebih besar diberikan kepada sekolah/ madrasah menyangkut pengembangan kurikulum yang akhirnya disebut dengan Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP) adalah kurikulum operasional yang disusun dan dilaksanakan oleh masingmasing satuan pendidikan. Penyusunan KTSP dilakukan oleh satuan pendidikan dengan memerhatikan dan berdasarkan standar kompetensi serta kompetensi dasar yang dikembangkan oleh Badan Standar 141 E Mulyasa, (2007).Kurikulum Tingkat..., hal. 3 Muhaimin, (2011).Pemikiran dan Aktualisasi Pengembangan Pendidikan Islam.PT Raja Grafido Persada. Jakarta. Hal.94 142 Dari Normatif – Filosofis ke Praktis 179 Nasional Pendidikan (BSNP). Dilihat dari adanya perubahan sistem manajemen kurikulum itulah, maka dapat kita katakan bahwa pemberlakuan KTSP merupakan salah satu bentuk inovasi kurikulum yang ada di Indonesia. Tidak demikian dengan KTSP sebagai kurikulum operasional, disusun dan dikembangkan oleh sekolah sesuai dengan kondisi daerah. Manakala kita analisis konsep di atas, maka ada beberapa hal yang berhubungan dengan makna kurikulum operasional. Pertama, sebagai kurikulum yang bersifat operasional, maka dalam pengembangannya, KTSP tidak akan lepas dari ketetapan-ketetapan yang telah disusun pemerintah secara Nasional. Artinya walaupun di daerah diberi kewenangan itu hanya sebatas pengembangan operasionalnya saja, sedangkan yang menjadi rujukan pengembangannya itu ditentukan oleh pemerintah, misalnya jenis mata pelajaran beserta jumlah mata pelajarannya, isi dari setiap mata pelajaran itu sendiri serta kompetensi yang harus dicapai oleh setiap mata pelajaran itu. Hal ini sesuai dengan Undang-Undang No. 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional pasal 36 ayat 1, yang menjelaskan bahwa pengembangan kurikulum mengacu pada standar nasional pendidikan untuk mewujudkan tujuan pendidikan nasional. Daerah dalam menentukan isi pelajaran terbatas pada pengembangan kurikulum muatan lokal, yakni kurikulum yang memiliki kekhasan sesuai dengan kebutuhan daerah, serta aspek pengembangan diri yang sesuai dengan minat siswa. Jumlah jam pelajaran kedua aspek tersebut ditentukan oleh pemerintah. Kedua, sebagai kurikulum operasional, para pengembang KTSP, dituntut dan harus memperhatikan ciri khas kedaerahan, sesuai dengan bunyi Undang-Undang No. 20 tahun 2003 ayat 2, yakni bahwa kurikulum pada semua jenjang dan jenis pendidikan dikembangkan dengan prinsip diversifikasi sesuai dengan satuan pendidikan, potensi daerah, dan peserta didik. Persoalan ini penting untuk dipahami, sebab walaupun standar isi ditentukan oleh pemerintah, akan tetapi dalam operasionalnya pembelajarannya yang direncanakan dan dilakukan oleh guru dan pengembang kurikulum tidak terlepas dari keadaan dan kondisi daerah. Ketiga, sebagai kurikulum operasional, para pengembang kurikulum di daerah memiliki keleluasaan dalam mengembangkan kurikulum 180 Manajemen Kurikulum Pendidikan Islam menjadi unit-unit pelajaran, misalnya dalam mengembangkan strategi dan metode pembelajaran, dalam menentukan media pembelajaran dan dalam menentukan evaluasi yang dilakukan termasuk dalam menentukan beberapa kali pertemuan serta kapan suatu topik materi harus dipelajari siswa agar kompetensi dasar yang telah ditentukan dapat tercapai. Sebagai kurikulum operasional, KTSP memiliki karakteristik sebagai berikut: 143 a. KTSP adalah kurikulum sejumlah mata pelajaran yang harus ditempuh oleh peserta didik dalam kurun waktu tertentu. Hal ini dapat kita lihat dari struktur kurikulum KTSP yang memuat sejumlah mata pelajaran yang harus ditempuh oleh peserta didik. Setiap mata pelajaran yang harus dipelajari itu selain sesuai dengan nama-nama disiplin ilmu juga ditentukan jumlah jam pelajaran secara ketat, maka dapat dikatakan bahwa KTSP merupakan kurikulum yang berorientasi pada disiplin ilmu. b. KTSP adalah kurikulum yang berorientasi pada pengembangan individu. Hal ini dapat dilihat dari prinsip-prinsip pembelajaran dalam KTSP yang menekankan pada aktivitas siswa untuk mencari dan menemukan sendiri materi pelajaran melalui berbagai pendekatan dan strategi pembelajaran yang disarankan misalnya; melalui CTL, inkuiri, pembelajaran portofolio, dan lain sebagainya. Demikian juga, secara tegas dalam struktur kurikulum terdapat komponen pengembangan diri. c. KTSP adalah kurikulum yang mengakses kepentingan daerah. Hal ini tampak pada salah satu prinsip KTSP yakni berpusat pada potensi, perkembangan, kebutuhan, dan kepentingan peserta didik dan lingkungannya. Dengan demikian, maka KTSP adalah kurikulum yang dikembangkan oleh daerah. Bahkan, dengan program muatan lokalnya, KTSP didasarkan pada keberagaman kondisi, sosial, budaya yang berbeda masing-masing daerahnya. 143 Wina Sanjaya, (2009).Kurikulum dan Pembelajaran....,hal.329. Dari Normatif – Filosofis ke Praktis 181 d. KTSP merupakan kurikulum teknologis. Hal ini dapat dilihat dari adanya standar kompetensi, kompetensi dasar yang kemudian dijabarkan pada indicator hasil belajar, yakni sejumlah perilaku yang terukur sebagai bahan penilaian. 2. Pengembangan Sekolah Islam/ Madrasah yang Unggul. Sekolah/ madrasah unggul biasanya diistilahkan dengan sekolah berprestasi atau effective school, good school, the moving school. Sekolah/ madrasah unggulan tersebut seperti SBI/MBI, kurikulum Cambridge, kurikulum IBO (International Baccalaureate Organization), dan sebagainya. Karakteristik sekolah/ madrasah berprestasi adalah sebagai berikut: 144 a. Dari aspek keluaran (out put): 1) Prestasi akademik ditunjukkan dengan Nilai Ujian Nasional (NUN), lomba KTI, Olimpiade (Matematika, Fisika, Biologi, bahasa Inggris dan IPS). 2) Prestasi non akademik ditunjukkan dengan keingintahuan yang tinggi, kerja sama, kasih sayang, toleransi, disiplin, kerajinan, kesenian, kepramukaan, PMR, olah raga dan sebagainya. b. Dari aspek proses(process): (1) proses pembelajaran yang efektif; (2) kepala sekolah/madrasah yang kuat; (3) lingkungan sekolah/ madrasah yang aman dan tertib; (4) pengelolaan tenaga kependidikan yang efektif (5) Memiliki budaya mutu; (6) memiliki team work kompak, cerdas, dinamis; (7) memiliki kemandirian; (8) Adanya partisipasi yang tinggi dari masyarakat; (9) Mempunyai keterbukaan; (10) mempunyai kemauan untuk berubah baik psikologis maupun fisik (11) melakukan evaluasi dan perbaikan secara berkelanjutan; (12) responsif dan antisipatif terhadap kebutuhan; (13) mempunyai komunikasi yang baik; (14) mempunyai akuntabilitas (15) memiliki dan menjaga sustainabilitas dalam program dan pendanaan. c. Dari aspek masukan (input): (1) memiliki kebijakan, tujuan, dan sasaran mutu yang jelas; (2) adanya sumber daya yang tersedia dan siap; (3) staf yang kompeten dan berdedikasi tinggi; (4) memiliki harapan prestasi tinggi; (5) fokus kepada pelanggan khususnya siswa; (6) adanya input manajemen yang ditandai manajemen yang jelas, 144 Muhaimin, (2011). Pemikiran dan Aktualisasi…,hal.104 182 Manajemen Kurikulum Pendidikan Islam rencana rinci dan sistematis, program yang mendukung pelaksanaan dan rencana dan sistem pengendali mutu yang efektif. 3. Inovasi Proses Pembelajaran Inovasi di bidang pembelajaran yang diberikan kepada guru dengan mengembangkan dan memperbaiki berbagai pendekatan, strategi, metode, teknik dan taktik dalam pembelajaran seperti:(1) active learning,(2) joyful learning, collaborative learning, (3) contextual teaching and learning,(4) problem based learning,(5) cooperative learning, inquiry, (6) quantum teaching and learning, (7) multiple intelligences based learning, dan (8) lesson study. Berbagai teori pembelajaran ini banyak diadopsi dari negara lain, yang kemudian dikaji, diadaptasikan dan diujicobakan dengan sistem pembelajaran dan kondisi pendidikan di Indonesia. Termasuk pembelajaran melalui komputer adalah bentuk pembelajaran yang dirancang secara individual dengan cara siswa berinteraksi secara langsung dengan materi pelajaran yang diprogram secara khusus melalui sistem komputer. Dengan demikian, melalui komputer siswa dapat belajar sendiri dari mulai pengenalan tujuan yang harus dicapai, pengalaman belajar yang harus dilakukan sampai mengetahui tingkat keberhasilannya sendiri dalam pencapaian tujuan. 4. Penyelenggaraan Madrasah Aliyah Program Khusus (MAPK) dan Madrasah sebagai sekolah umum berciri khas Islam. Penyelenggaraan Madrasah Aliyah Program Khusus berawal dari konsep yang ditawarkan menteri agama Munawir Sadzali untuk mengantisipasi kedangkalan pengetahuan agama dari lulusan madrasah akibat dari SKB 3 Menteri (Agama, Pendidikan dan Kebudayaan dan dalam Negeri) yang menetapkan kurikulum agama 30% dan kurikulum umum 70%. Hal ini dimaksudkan untuk mengantisipasi kelangkaan ulama dan atau kelangkaan umat yang menguasai kitab- kitab berbahasa Arab (kitab kuning) serta ilmu-ilmu keislaman. Lulusan MAPK diharapkan mampu menjawab hal-hal tersebut, yang sekarang kemudian ditetapkan menjadi salah satu jurusan atau program keagamaan di MA. Sedangkan Madrasah Aliyah jurusan yang lain tidak jauh berbeda dengan SMA karena pengetahuan agama lebih sedikit. Dari Normatif – Filosofis ke Praktis 183 Sebagai akibat dari kemandulan yang dimiliki output madrasah, maka menteri agama Tarmidzi Tahir mengembangkan kebijakan tentang “madrasah sebagai sekolah umum yang berciri khas Islam”, yang muatan kurikulum mata pelajaran umum sama dengan sekolah umum. Kebijakan ini ditindaklanjuti oleh menteri agama berikutnya H.A. Malik Fadjar dengan memantapkan eksistensi dan kualitas madrasah yaitu: (1) bagaimana menjadikan madrasah sebagai wahana untuk membina roh atau praktik hidup keislaman; (2) bagaimana memperkokoh keberadaan madrasah sehingga sederajat dengan sistem sekolah; (3) bagaimana madrasah mampu merespon tuntutan masa depan guna mengantisipasi perkembangan iptek dan era globalisasi. 145 Untuk mewujudkan hal tersebut intinya terletak pada guru dan kurikulum yang didukung sarana prasarana yang memadai serta manajemen madrasah. Pendidik merupakan pemeran utama atau ujung tombak pendidikan, sedangkan kurikulum merupakan the heart/ core of education. Untuk mengembangkan madrasah sebagai sekolah umum berciri khas agama Islam, maka kurikulum perlu dikembangkan secara terpadu (integratif), dengan mengembangkan ajaran dan nilai- nilai Islam sebagai petunjuk dan sumber konsultasi bagi pengembangan mata pelajaran umum. Pengintegrasian Imtaq dengan materi pembelajaran adalah upaya mengintegrasikan konsep atau ajaran agama ke dalam materi pelajaran yang lain, dengan cara (1) pengintegrasian filosofis bila tujuan pelajaran umum dan agama sama; (2) pengintegrasian dilakukan bila konsep agama dan konsep umum berlawanan seperti bunga bank, teori darwin dan sebagainya; (3) pengintegrasian bila konsep agama dan pelajaran umum saling mendukung seperti puasa dengan diet. 5. Penyelenggaraan Sekolah/Madrasah Lanjutan Pertama Terbuka (SLTPT) SLTP terbuka merupakan sekolah umum Tingkat Pertama yang kegiatan belajarnya dilaksanakan sebagian besar di luar gedung sekolah. Penyampaian pelajaran disampaikan dengan memanfaatkan berbagai 145 Ibid, hal. 115-116 184 Manajemen Kurikulum Pendidikan Islam media sebagai pengganti guru, misalnya dengan menggunakan paket belajar berupa modul dan pemanfaatan media elektronik seperti radio. SLTP Terbuka diselenggarakan untuk meningkatkan pemerataan pendidikan, khususnya bagi lulusan SD yang ingin melanjutkan pendidikannya, akan tetapi tidak dapat merealisasikan niatnya disebabkan faktor geografis, sosial dan ekonomi. 146 Ciri-ciri SLTP terbuka adalah sebagai berikut: a. Terbuka bagi peserta didik tanpa pembatasan umur dan syarat-syarat akademis. b. Terbuka dalam memilih program belajar untuk mencapai ijazah formal untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan jangka pendek yang bersifat praktis, incidental dan individual (perorangan). c. Dalam proses belajar mengajar bersifat terbuka yang tidak selalu harus diselenggarakan di dalam kelas melalui tatap muka dengan guru, akan tetapi dapat dilakukan di luar kelas sesuai dengan kesempatan masing-masing dengan belajar melalui berbagai media, seperti radio, media cetak, film, foto dan lain-lain. d. Peserta didik dapat secara bebas mengikuti program belajar sesuai dengan kesempatan yang tersedia. e. SLTP terbuka dikelola secara terbuka, dengan melibatkan pegawai negeri, para tokoh masyarakat, orang tua peserta didik dan pamong pemerintah setempat. Tujuan yang ingin dicapai oleh SLTP terbuka adalah agar lulusan: a. Menjadi warga Negara yang baik sebagai manusia yang sehat, dan kuat lahir batin. b. Menguasai hasil pendidikan umum yang merupakan kelanjutan dari pendidikan di sekolah dasar. c. Memiliki bekal untuk melanjutkan pelajarannya ke sekolah lanjutan atas dan untuk terjun ke masyarakat. d. Meningkatkan disiplin siswa. e. Menilai kemajuan siswa dan memantapkan hasil pelajaran dengan media. 146 Wina Sanjaya, (2009). Kurikulum dan Pembelajaran...,hal.330. Dari Normatif – Filosofis ke Praktis 185 6. Pengajaran Melalui Modul Pengajaran melalui modul merupakan salah satu bentuk inovasi pendidikan yang pernah ada di Indonesia yang digunakan dalam berbagai penyelenggaraan pendidikan baik formal maupun non formal dalam konteks pembelajaran. Modul dapat diartikan sebagai suatu unit lengkap yang berdiri sendiri yang terdiri dari rangkaian kegiatan belajar yang disusun untuk membantu peserta didik mencapai sejumlah tujuan yang dirumuskan secara khusus dan jelas. Dalam sebuah modul dirumuskan suatu unit pengajaran secara jelas., dari mulai tujuan yang harus dicapai, petunjuk pembelajaran atau rangkaian kegiatan belajar yang harus dilakukan siswa, materi pembelajaran sampai kepada evaluasi beserta pedoman menentukan keberhasilannya. Dengan demikian, melalui modul siswa dapat belajar mandiri (self-instruction), tanpa bantuan guru. Dari uraian di atas, suatu modul memiliki karakteristik atau ciriciri sebagai berikut: a) Sebuah modul adalah unit pengajaran terkecil yang direncanakan dan ditulis secara sistematis dan operasional yang terdiri dari: 1) Rumusan tujuan pembelajaran yang bersifat spesifik dan terukur yang diharapkan dapat dikuasai peserta didik setelah menyelesaikan unit pelajaran. 2) Uraian bahan/isi pelajaran yang harus dipelajari oleh peserta didik sesuai dengan tujuan yang ingin dicapai. 3) Daftar alat dan bahan pelajaran yang akan digunakan peserta didik dalam proses belajar mengajar sesuai dengan pengalaman belajar yang harus dilakukan. 4) Kegiatan belajar harus disusun dalam bentuk: a) Teks bacaan dan petunjuk yang harus diikuti. b) Lembar kerja yang berisi tugas-tugas yang harus diselesaikan dengan kegiatan yang dilakukan. 5) Kunci lembar kerja. 6) Lembar evaluasi tes untuk mengukur taraf penguasaan peserta didik terhadap bahan yang dipelajari dengan dilengkapi lembar jawaban. 186 Manajemen Kurikulum Pendidikan Islam 7) Kunci evaluasi berisi jawaban yang benar dari setiap soal tes sebagaimana tercantum pada lembar evaluasi. 8) Petunjuk guru yang berisi petunjuk penggunaan modul. a) Modul dirancang agar memungkinkan peserta didik dapat belajar sendiri seoptimal mungkin. b) Sebuah modul dirancang sedemikian rupa, sehingga memungkinkan peserta didik dapat dilakukan secara cermat melalui evaluasi setiap akhir unit pelajaran. c) Sebuah modul dirancang sedemikian rupa sehingga memungkinkan peserta didik dapat belajar sesuai dengan kemampuan balajarnya masing-masing. d) Sebuah modul dirancang berasaskan “belajar tuntas” taraf ketuntasan (mastery) yang ditentukan adalah 75%. Peserta didik yang belum mencapai taraf ketuntasan tidak diperkenankan melanjutkan mempelajari modul berikutnya. Tujuan yang ingin dicapai dengan pembelajaran melalui modul adalah sebagai berikut: a. Meningkatkan efektifitas dan efisiensi pencapaian tujuan pendidikan dan pengajaran. b. Mendorong peserta didik untuk lebih aktif belajar secara mandiri. c. Agar proses pembelajaran tidak terlalu menggantungkan kepada guru. Artinya, ada atau tidak ada guru peserta didik dapat belajar. d. Peserta didik dapat mengikuti pelajaran sesuai dengan kemampuannya masing-masing. e. Peserta didik dapat mengetahui hasil belajarnya sendiri secara maju berkelanjutan, serta akan tahu letak kelemahannya sendiri. 147 7. Perubahan Kurikulum 2013 Rencana pemerintah untuk melakukan perubahan dan perbaikan kurikulum 2006. Menurut catatan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan tahun 2012, ada beberapa hal yang menyebabkan kurikulum 2006 perlu dilakukan perubahan, antara lain: 147 Ibid, hal.333. Dari Normatif – Filosofis ke Praktis 187 a. Konten kurikulum masih terlalu padat yang ditunjukkan dengan banyaknya mata pelajaran dan banyak materi yang keluasan dan tingkat kesukarannya melampaui tingkat perkembangan usia anak. b. Kurikulum belum sepenuhnya berbasis kompetensi sesuai dengan tuntutan fungsi dan tujuan pendidikan nasional. c. Kompetensi belum menggambarkan secara holistik domain sikap, keterampilan, dan pengetahuan. d. Beberapa kompetensi yang dibutuhkan sesuai dengan perkembangan kebutuhan (misalnya pendidikan karakter, metodologi pembelajaran aktif, keseimbangan soft skills dan hard skills, kewirausahaan) belum terakomodasi di dalam kurikulum. e. Kurikulum belum peka dan tanggap terhadap perubahan sosial yang terjadi pada tingkat lokal, nasional, maupun global. f. Standar proses pembelajaran belum menggambarkan urutan pembelajaran yang rinci sehingga membuka peluang penafsiran yang beraneka ragam dan berujung pada pembelajaran yang berpusat pada guru. g. Standar penilaian belum mengarahkan pada penilaian berbasis kompetensi (proses dan hasil) dan belum secara tegas menuntut adanya remediasi secara berkala. h. Dengan KTSP memerlukan dokumen kurikulum yang lebih rinci agar tidak menimbulkan multi tafsir. Tujuan perubahan kurikulum 2013 di antaranya adalah; a. Menempatkan kurikulum sesuai dengan perkembangan anak/siswa. b. Mengurangi beban guru secara administratif dalam menyiapkan perangkat pembelajaran, sehingga lebih fokus dalam pembelajaran di sekolah. c. Merangsang belajar siswa dengan organisasi kurikulum integratif. d. Guru dituntut untuk dapat menjelaskan materi secara utuh dan integratif, melalui strategi pembelajaran tematik integratif. e. Guru dituntut agar menguasai berbagai mata pelajaran, sehingga dapat menjelaskan materi dari berbagai macam perspektif. 188 Manajemen Kurikulum Pendidikan Islam G. Kritik terhadap Implementasi Inovasi Kurikulum Kenyataan menunjukkan bahwa pembaharuan kebijakan kurikulum seringkali dikeluhkan oleh pelaksana pendidikan di lapangan karena proses sosialisasi dinilai tidak tuntas. Pada saat kurikulum 1994 disosialisasikan, sebagian daerah masih mengeluh karena kurikulum 1984 belum sempat dipahami. Begitu juga ketika KBK diperkenalkan, akibatnya mereka selalu mengalami kesulitan mengimplementasikan hal ini juga terjadi ketika KTSP. Begitu juga dalam proses pembelajaran tentang strategi, pendekatan, metode pembelajaran seringkali tidak tuntas, tidak konsisten dan mengalami kendala dalam tahap implementasi. Proyek lesson study misalnya, sering sebatas pelatihan, padahal untuk hasil secara maksimal tentunya dalam implementasi di sekolah perlu dikembangkan dengan pendampingan sehingga dapat dievaluasi keberhasilan dan kegagalannya untuk menentukan follow up apakah dapat diadopsi dan diadaptasikan dengan sistem yang ada di Indonesia. Dan kalau dibandingkan dengan program yang dilaksanakan di supercamp yang dipelopori Eric Jensen dan Greg Simmons yang selama bertahun-tahun mengadakan penelitian dengan konsisten dengan hasil yang gemilang. Penelitian menunjukkan bahwa supercamp terbukti sangat berhasil dan harus dipertimbangkan sebagai model replika. 68% meningkatkan motivasi, 73% meningkatkan nilai belajar, 81% meningkatkan keyakinan diri, 84% meningkatkan kehormatan diri, 96% mempertahankan sikap positip terhadap supercamp dan 98% melanjutkan memanfaatkan 148 ketrampilan. Begitu juga dengan accelerated learning (Lazanov), multiple intelligences (Gardner), Neuro Linguistic Programing (Ginder dan Bandler), Exsperiental learning (Hahn), Socratic inquiry cooperative learning (Johnson and Johnson), dan Elemens of effective instructions (Hunter). 149 Diberlakukannya kurikulum tingkat satuan pendidikan sejak tahun 2006 selain punya sisi kebaikan juga ada kelemahannya karena tidak semua guru memiliki kemampuan dan keahlian untuk 148 Bobby dePorter, Mike Hernacki, (1999). Quantum Learning, Membiasakan Belajar Nyaman dan Menyenangkan, PT Mizan Pustaka,Bandung. Hal.19. Abuddin Nata, (2008). Manajemen Pendidikan Mengatasi Kelemahan Pendidikan Islam Indonesia, PT Prenada Media Group,Jakarta. Hal.29 149 Dari Normatif – Filosofis ke Praktis 189 mengembangkan kurikulum dengan baik atau tidak semua satuan pendidikan mempunyai guru atau pegawai yang ahli dalam mengembangkan kurikulum. Sekolah/ madrasah belum secara mandiri mampu menyusun KTSP secara mandiri, mengimplementasikan, memonitor, mengevaluasi, serta menyempurnakan. 150 Dari hasil kajian terhadap implementasi KTSP ditemukan permasalahan di madrasah/ sekolah sebagai berikut: a. Hingga tahun pelajaran 2009/ 2010 masih banyak madrasah yang belum memiliki dokumen KTSP, atau mereka sudah memiliki tapi merupakan hasil copy paste dari sekolah/ madrasah lain. b. Dalam penyusunan KTSP belum mampu mengaitkan dan memadukan antara visi, misi, dan tujuan madrasah dengan komponen- komponen lainnya. c. Madrasah telah menyiapkan dokumen KTSP dengan lengkap tapi belum siap dalam pelaksanaan, monitoring dan evaluasi serta penyempurnaan kurikulum. d. Kemampuan guru dalam mengembangkan silabus dan RPP belum memadai. e. Kemampuan guru dalam mengoperasionalkan silabus dan RPP belum memadai. f. Sinkronisasi antara komponen-komponen silabus dan RPP belum memadai. g. Belum memahami penentuan program diri organisasi di madrasah termasuk organisasi penilaiannya. h. Penentuan alokasi waktu dalam pengembangan diri yang ekuivalen 2 jam belum dipahami. i. Terdapat kebingungan dalam penentuan muatan lokal yang sesuai dengan kondisi madrasah. j. Perlunya bantuan dalam pengembangan SK dan KD muatan lokal yang sesuai dengan kondisi madrasah. k. Masih sulit mengembangkan program remedial sesuai dengan managerial waktu. l. Keterbatasan guru dalam mengembangkan bahan ajar. 151 150 Muhaimin, (2011). Pemikiran...,hal. 203 Ibid, hal.205 151 190 Manajemen Kurikulum Pendidikan Islam Dalam mengembangkan KTSP sekolah/ madrasah diberi otonomi yang luas, namun dalam salah satu penilaian untuk kelulusan masih melalui UN dengan prosentase 60% yang notabene hanya mengukur kognitif siswa KTSP mengembangkan adanya kepemimpinan yang profesional dan demokratis, namun kenyataannya pemilihan kepala sekolah syarat (terutama di sekolah negeri) syarat dengan kolusi, kecurangan dan politik sehingga banyak kepala sekolah yang tidak profesional. Dalam KTSP seharusnya dikembangkan penghargaan (reward) dan hukuman (punishment) untuk mendorong kinerja, namun kenyataannya masih ada ewuh pakewuh untuk memberi hukuman dan tidak fair dalam memberi reward, dan masih banyak lagi penyimpangan pada tahap implementasi. Inovasi sering terganjal pula akan kebijakan politik dan pejabat di daerah yang tidak memahami secara benar permasalahan pendidikan. Dari Normatif – Filosofis ke Praktis 191 BAB VI TEORI BELAJAR DAN PEMBELAJARAN DALAM KAJIAN PENDIDIKAN ISLAM A. Pengertian Belajar dan Pembelajaran Belajar merupakan suatu aktivitas psikis yang dilakukan oleh seseorang sehingga terjadi perubahan pola pikir dan perilaku yang diakibatkan oleh belajar tersebut. Belajar juga dapat diartikan sebagai kegiatan yang dapat mengubah struktur pengetahuan lama hingga terbentuk struktur pengetahuan baru. Pembelajaran merupakan aktivitas yang dilakukan oleh seseorang baik guru/dosen (pendidik), tutor maupun fasilitator agar peserta didik dapat belajar. Pembelajaran berbeda dengan pengajaran. Pengajaran merupakan proses pemindahan (transfer) pengetahuan yang dilakukan oleh seseorang kepada siswa atau murid. Implikasinya jika pengajaran 75 % yang aktif adalah guru, maka pembelajaran 75% yang aktif adalah siswa. Dengan demikian, maka tugas guru dalam pembelajaran adalah mendorong, memfasilitasi dan membimbing agar anak (peserta didik) dapat belajar. Sesungguhnya terdapat beberapa metode dan teknik dalam teori belajar mengajar yang sudah diterapkan dalam pendidikan Islam. Oleh karena, dalam kajian ini akan dibahas mengenai berbagai cara yang telah diajarkan dan diterapkan di dalam Islam. Dan itu tidak berarti bahwa ajaran Islam menyesuaikan dengan teori belajar dan pembelajaran yang 192 Manajemen Kurikulum Pendidikan Islam ada, tetapi justru ditemukan berbagai teori yang selaras dengan ajaran/pendidikan Islam. B. Teori Belajar dan Pembelajaran dalam Pendidikan Islam 1. Teori Belajar Behavioristik Beberapa teori belajar Behavioristik, dikemukakan oleh para psikologi.Mereka sering disebut “Contemporary behaviorists” atau juga disebut “S-R Psychologists”.Menurut mereka, tingkah laku menusia itu dikendalikan oleh ganjaran (reward) atau penguatan (reinforcement) dari lingkungan. 152 15F Berbagai prinsip belajar dari teori Behavioristik ini seperti belajar harus diulang-ulang, latihan (law of exercise),mempengaruhi (law of effect), dan reward andpunishment.Agar manusia melaksanakan setiap waktu dan setiap hari, maka diperlukan hukuman yang sifatnya mendidik, hal ini telah dicontohkan oleh Nabi Muhammad saw, seperti pada perintah shalat sebagaimana hadits berikut: ”Perintahkanlah kepada anak-anak kalian untuk salat ketika umur mereka tujuh tahun, dan pukullah mereka karenanya (tidak mau salat) ketika umur mereka sepuluh tahun, dan pisahkanlah tempat-tempat tidur mereka”. 153 152F Jika dikaji lebih mendalam, maka perintah shalat itu sesuai dengan prinsip belajar Behavioristik. Pertama, shalat harus dilaksanakan pada waktu tertentu, tidak boleh seseorang shalat Subuh pada waktu Dzuhur atau sebaliknya, artinya prinsip pengulang-ulangan dilakukan. Kedua, shalat harus ajarkan/dilatihkan pada anak sejak minimal usia 7 tahun. Ketiga, ketika seseorang muslim pada usia 10 tahun tidak menjalankan shalat, maka perlu diberikan hukuman (dicubit, dijewer, atau dipukul) dalam batas kewajaran, untuk mendidik anak bukan untuk menyakiti apalagi melukai. Keempat, bagi anak-anak yang telah 152 Wasty Soemanto. (1998). Psikologi Pendidikan: Landasan Kerja Pemimpin Pendidikan. Jakarta: Rineke Cipta. Hlm, 117 153 HR. Ahmad, no. 6689. CD Hadits Kutub At-Tis’ah Dari Normatif – Filosofis ke Praktis 193 menjalankan perintah shalat dengan baik, maka orang tua sebaiknya memberikan reward (hadiah) agar anak senang sehingga lebih termotivasi untuk terus belajar menjalankan syariat agama dengan baik. Dengan demikian, maka semakin sering “stimulus” (S) yang dilakukan oleh guru, orang tua, lingkungan terhadap anak agar mau belajar shalat dengan baik, maka akan semakin baik pula “respon” (R) terhadapnya. Teori belajar Behavioristik meliputi teori belajar Connectionism yang dikemukakan oleh Thordhik, teori Conditioning yang dikembangkan oleh Pavlov dan Watson, teori Operant Conditioning dari Skiner. a. Teori Connectionism Teori ini dikembangkan oleh Thordhik, menurutnya belajar adalah menyangkut persoalan-persoalan pertalian hubungan yaitu formasi dan yang memperkuat hubungan-hubungan ujung syaraf antara situasi dan respon. 154 Stimulus (perangsang) akan mempengaruhi organisme dan kemudian timbulah tanggapan (respon). Ikatan atau pertalian S-R dapat dianggap baik sebagai kondisi fisik maupun sebagai hubungan yang ada atau terjadi antara situasi tertentu dan kecakapan individu untuk menggapainya. Eksperimen-eksperimen Thorndike terutama dilakukan dengan mempergunakan kucing sebagai subyek dalam eksperimen, dalam eksperimen Thorndike, kucing yang dipilih merupakan kucing yang masih muda dimana kebiasaan-kebiasaannya masih belum kaku, kucing tersebut dibiarkan lapar lalu dimasukkan ke dalam kurungan yang disebut “problem box”. Konstruksi pintu kurungan itu dibuat sedemikian rupa, sehingga kalau kucing menyentuh tombol tertentu pintu kurungan akan terbuka dan kucing dapat keluar dan mencapai makanan (daging) yang ditempatkan di luar kurungan itu sebagai hadiah atau daya penarik bagi si kucing yang lapar itu. 155 Pada usaha (trial) yang pertama kucing itu melakukan bermacam-macam gerakan yang kurang relevan bagi pemecahan problemnya, seperti misalnya mencakar, menubruk dan sebagainya 154 155 A. Crow& L Crow, (1989). Psikologi Pendidikan. Nur Cahaya. Hlm, 280 Sumadi Sueyabrata. (1984) Psikologi Pendidikan. Jakarta: CV Rajawali Pers. Hlm, 265 194 Manajemen Kurikulum Pendidikan Islam sampai kemudian menyentuh tombol dan pintu terbuka. Waktu yang dibutuhkan dalam usaha pertama ini adalah terlihat cukup lama. Percobaan yang sama seperti sebelumnya dilakukan secara berulang-ulang, pada usaha trial berikutnya, ternyata waktu yang dibutuhkan untuk memecahkan masalah makin singkat, hal ini ditafsirkan oleh Thorndike demikian: ”kucing itu sebenarnya tidak mengerti cara membebaskan diri dari kurungan itu, tetapi dia belajar mencamkan (mempertahankan) respon-respon yang benar dan menghilangkan atau meninggalkan respon-respon yang salah.” Hukum-hukum belajar primer yang dinyatakan Thordhik berdasarkan atas pemodifikasian antara neuron-neuron dan pertalian syaraf, berdasarkan teori ini maka faktor-faktor penting dalam belajar adalah kesiapan syaraf (readiness of the neuron) urutan waktu, keterikatan dan keterlibatan (belongingness dan pengalaman yang memuaskan atau menyenangkan) hukum-hukum tersebut umumnya disebut hukum-hukum kesepian, latihan dan efek. 1) Kesiapan (readiness)prinsip kesiapan dikemukakan oleh Thorndike sebagai berikut: a) Kalau suatu unit tindakan sudah siap untuk dilakukan, maka tindakan dengan unit tersebut akan menimbulkan kepuasan, dan tidak akan ada tindakan-tindakan yang lain untuk mengubah tindakan tadi b) Kalau suatu unit tindakan sudah siap untuk dilakukan, akan tetapi tidak dilakukan maka akan mengakibatkan ketidakpuasan, dan tidak akan menimbulkan respon-respon apapun yang bersifat alamiah untuk mengurangi atau meniadakan ketidakpuasan tertentu c) Kalau suatu unit tindakan tidak siap dilakukan kemudian dipaksa untuk melakukannya, maka tindakan tersebut akan mengakibtkan ketidakpuasan. 2) Latihan (exercise) hukum ini mengandung tendensi menggunakan dan tidak menggunakan, tendensi ini dinyatakan sebagai berikut: a) The law of use (hukum menggunakan) artinya, suatu pertalian yang dapat dimodifikasi antara situasi S dan R, sehingga dalam keadaan itu akan menambah kuatnya pertalian kalau orang Dari Normatif – Filosofis ke Praktis 195 merespon latihan-latihan lain yang sama dengan yang pernah dihadapi sebelumnya. b) The law of disuse (hukum tidak menggunakan) artinya suatu pertalian yang dapat dimodifikasi tidak dibuat antara S dan R selama jangka waktu yang lama, sehingga dalam keadaan itu akan menurunkan atau melemahkan pertalian, kalau orang akan merespon latihan-latihan yang sama dengan yang pernah dihadapi sebelumnya. 3) Pengaruh (Effect) hukum ini mengatakan bahwa, apabila S dan R disertai atau diikuti oleh keadaan yang memuaskan, maka akan menambah kuatnya pertalian yang dibuat itu disertai atau diikuti oleh keadaan yang tidak memuaskan, maka kekuatan pertalian itu akan berkurang ataupun melemah, yaitu kalau orang akan merespon hal-hal lain yang sama. 156 Sedangkan menurut Thorndike belajar merupakan suatu proses yang disebut gamak dan galat (trial and error) yang diterapkan terutama untuk menguasai situasi belajar yang lebih komplek, dan yang kedua disebut law of effect. 1) Trial and Error Trial and Error dalam istilah pendidikan bukan merupakan unsur manipulasi yang tidak bertujuan. Pebelajar dibangkitkan ke arah kesadaran akan suatu teknik yang bisa digunakan untuk memecahkan masalah kalau dia berusaha untuk memecahkannya, jika gamak (trial) yang berencana itu tidak berhasil, maka secara sadar dia akan menilai untuk mengoreksi setiap galat yang nampak dalam tekniknya kemudian dia berusaha lagi untuk memecahkan usahanya, proses ini berlangsung terus sampai akhirnya pebelajar mampu menghilangkan galat-galat yang telah diperbuatnya dan kemudian sampailah kepada pemecahan yang digunakan. Ciri-ciri belajar trial and error yaitu: (1) Ada motif pendorong aktifitas; (2) Ada berbagai respon terhadap situasi; (3) Ada 156 A. Crow& L Crow. (1989). Psikologi…, hlm, 281 196 Manajemen Kurikulum Pendidikan Islam eliminasi respon-respon yang gagal atau salah; (4) Ada kemajuan reaksi-reaksi yang mencapai tujuan. 157 2) Law of Effect Law of effect disini merupakan segala tingkah laku yang mengakibatkan suatu keadaan yang memuaskan (cocok dengan tuntutan situasi) akan diingat dan dipelajari dengan sebaikbaiknya. Terjadinya dalam belajar menurut Thorndike disebabkan adanya law of effect. Dalam kehidupan sehari-hari law of effect dapat terlihat dalam hal memberi penghargaan atau ganjaran dan juga dalam hal memberi hukuman dalam pendidikan. Akan tetapi menurut Thorndike yang lebih memegang peranan dalam pendidikan dalam hal ini ialah hal memberi penghargaan atau ganjaran dan itulah yang lebih dianjurkan. Karena adanya law of effect terjadilah hubungan (connection) atau asosiasi antara tingkah laku atau reaksi yang dapat mendatangkan sesuatu dan hasilnya (effect) karena adanya koneksi antara reaksi dengan hasilnya maka teori Thorndike disebut juga teori Connectionism. b. Teori Conditioning (Ivan Pavlov dan Watson) Menurut teori ini, belajar adalah formasi kebiasaan yang diakibatkan oleh persyaratan (conditioning) atau menghubungkan stimulus yang lebih kuat dengan stimulus yang lebih lemah hingga akhirnya organisme itu dimungkinkan, sebagai hasil dari pada belajar asosiatif, hal ini untuk mentransfer respon yang biasanya dihubungkan dengan stimulus yang lebih kuat dihentikan. 158 Dalam masalah S-R Pavlov menggunakan eksperimen dengan menggunakan anjing, dalam eksperimennya ia memotong pembuluh kelenjar ludah seekor anjing melalui pipanya kemudian ditentukan pengumpulan dan penakaran yang cermat terhadap air liur yang tersembunyi anjing tersebut dibuat senang dan dijauhkan sedemikian rupa dari segala macam gangguan. 157 158 Ngalim Purwanto, (1989). Psikologi Pendidikan, PT Remaja Rosdakarya. Hlm, 99 A. Crow& L Crow. (1989). Psikologi …, hlm. 280 Dari Normatif – Filosofis ke Praktis 197 Pengamat tinggal pada sebuah ruang yang kedap suara (a soundproof room) terlindungi dari penglihatan anjing namun dia dapat melihat percobaan lewat kaca. Kombinasi perangsang-perangsang yaitu makanan dan bunyi bel diulang-ulang sampai beberapa kali sehingga bel itu sendiri menjadi perangsang yang menimbulkan air liur, sejak itulah anjing telah diisyaratkan dengan prasangka baru. Hal-hal yang perlu diperhatikan dalam percobaan tersebut sebagai berikut: 1) Stimulus atau perangsang bel menyebabkan keluarnya air liur berkurang dari pada stimulus makanan. 2) Bel menandakan makanan diberikan secara serempak selama proses persyaratan. 3) Anjing “dibuat” (dibiarkan) lapar sampai dipengaruhi oleh dua perangsang. Eksperimen Pavlov dengan menggunakan anjing menunjukkan bahwa mungkin untuk memindahkan stimulus isyarat yang semula membuktikan respon kepada stimulus lain nantinya akan menimbulkan respon yang sama, Pavlov menamakan proses ini dengan refleks bersyarat (conditioned reflex) syarat ini barulah mudah dicapai jika prinsip-prinsip waktu, intensitas dan keajekan sesuai. Di bawah ini akan dipaparkan tentang hal-hal tersebut: 1) Waktu: respon terhadap stimulus yang memuaskan atau yang tidak memuaskan harus datang lebih dahulu setelah terjadinya respon terhadap stimulus syarat dan sebelum berhenti sama sekali. 2) Intensitas: respon yang kedua harus merupakan pelaksanaan yang lebih kuat ataupun lebih baik dari pada yang pertama. 3) Keajegan: respon yang kedua harus mengikuti respon yang pertama yang relatif ajeg sampai refleks bersyarat ditetapkan. Masalah selanjutnya yang ingin diselidiki oleh Pavlov ialah apakah refleks bersyarat yang telah terbentuk itu dapat dihilangkan. Eksperimen-eksperimen yang dilakukan oleh Pavlov memberikan kesimpulan, bahwa refleks bersyarat yang telah terbentuk itu dapat hilang atau dihilangkan. Sebagaimana penjelasan berikut ini. 198 Manajemen Kurikulum Pendidikan Islam 1) Refleks bersyarat yang telah terbentuk itu dapat hilang karena perangsang yang mengganggu (hilang untuk sementara). 2) Refleks bersyarat itu dapat dihilangkan dengan proses persyaratan kembali (reconditioning). Jalannya melakukan persyaratan kembali ini sama dengan ketika menimbulkan refleks bersyarat, hanya saja disini tidak diberi reinforcement. Jadi dalam proses persyaratan kembali ini pertanda itu (setelah ada perulangan secukupnya) berarti tidak ada makanan datang, karena itu tak perlu mengeluarkan air liur. 159 Selain Pavlov, Watson juga mengadakan eksperimen tentang perasaan takut pada anak dengan menggunakan tikus dan kelinci, dari hasil percobaannya dapat ditarik sebuah kesimpulan, bahwa perasaan takut pada anak dapat diubah atau dilatih. Anak dalam percobaan Watson yang mula-mula tidak takut kepada kelinci dibuat menjadi takut kepada kelinci, kemudian anak tersebut dilatihnya pula, sehingga tidak takut lagi kepada kelinci. Maka menurut teori Conditioning belajar diartikan pula dengan suatu proses perubahan yang terjadi karena adanya syarat (conditions) yang kemudian menimbulkan reaksi (respon). Untuk menjadikan seseorang itu belajar haruslah kita memberikan syarat-syarat tertentu, yang terpenting menurut teori ini ialah latihan-latihan secara terusmenerus, dalam teori ini yang diutamakan ialah belajar yang terjadi secara otomatis. 160 Penganut teori ini mengatakan bahwa segala tingkah laku manusia juga tidak lain adalah hasil dari conditioning, yakni hasil dari pada latihan-latihan atau kebiasaan-kebiasaan mereaksi terhadap syarat-syarat atau perangsang-perangsang tertentu yang dialaminya dalam kehidupannya. c. Teori Operant Conditioning (Skiner) Seperti Pavlov dan Watson, Skiner juga memikirkan tingkah laku sebagai hubungan antara perangsang dan respon, tetapi berbeda dengan kedua tokoh yang terdahulu itu, Skiner membuat perincian lebih jauh. Skiner membedakan adanya dua macam respons, yaitu: 159 160 Sumadi Sueyabrat. (1984). Psikologi …, hlm, 284 Purwanto, M. Ngalim. (1989). Psikologi …, hlm, 95 Dari Normatif – Filosofis ke Praktis 199 1) Respon refleks (reflective response), yaitu respon yang ditimbulkan oleh perangsang-perangsang tertentu. Perangsang-perangsang itu, disebut eliciting stimuli yang menimbulkan respon-respon yang secara relatif tetap, misalnya makan yang menimbulkan keluarnya air liur. Pada umumnya, perangsang-perangsang yang demikian itu mendahului respon yang ditimbulkannya. 2) Operant response (instrumental response), yaitu respon yang timbul dan berkembangnya diikuti oleh perangsang-perangsang tertentu. Perangsang yang demikian itu disebut reinforcing stimuli atau reinforcement, karena perangsang-perangsang tersebut memperkuat respons yang telah dilakukan oleh organisme. Jadi perangsang yang demikian itu mengikuti (dan karenanya memperkuat) sesuatu tingkah laku tertentu yang telah dilakukan. Jika seorang anak belajar (telah melakukan perbuatan), lalu mendapat hadiah, maka ia akan menjadi lebih giat belajar (responnya menjadi lebih intensif atau kuat). Di dalam kenyataannya, respon jenis pertama itu (respondent response atau respondent behavior) sangat terbatas adanya pada manusia dan karena adanya hubungan yang pasti antara stimulus dan respon kemungkinan untuk memodifikasikannya adalah kecil. Sebaliknya, operant response atau instrumental behavior merupakan bagian terbesar dari pada tingkah laku manusia, dan kemungkinannya untuk memodifikasi boleh dikatakan tak terbatas. Fokus teori Skiner adalah pada respon atau jenis tingkah laku, yang menjadi masalah dalam hal ini bagaimana menimbulkan, mengembangkan dan memodifikasi tingkah laku tersebut. Persoalan-persoalan yang Dihadapi Teori Behavioristik Teori Behavioristik tidak mampu menjelaskan situasi belajar yang komplek, sebab banyak variabel atau hal-hal yang berkaitan dengan pendidikan atau belajar yang tidak dapat diubah menjadi sekedar hubungan stimulus dan respon, contohnya saja seorang siswa akan dapat belajar dengan baik setelah diberi stimulus tertentu, tetapi setelah diberi stimulus lagi yang sama bahkan lebih baik, ternyata siswa tersebut tidak mau belajar lagi. 161 161 Asri Budiningsih. (2005). Belajar dan Pembelajaran. Jakarta: Rineke Cipta. Hlm, 24 200 Manajemen Kurikulum Pendidikan Islam Di sinilah persoalannya ternyata teori Behavioristik tidak mampu menjelaskan alasan-alasan yang mengacaukan hubungan antara stimulus dan respon. Namun teori Behavioristik dapat mengganti stimulus satu dengan stimulus lainnya dan seterusnya sampai respon yang diinginkan muncul, namun demikian persoalannya adalah teori Behavioristik tidak dapat menjawab hal-hal yang menyebabkan terjadinya penyimpangan antara stimulus yang diberikan dengan responnya. Teori Behavioristik kurang dapat menjelaskan adanya variasi tingkat emosi siswa, walaupun mereka memiliki tingkat penguatan yang sama. Pandangan ini tidak dapat menjelaskan mengapa dua anak yang mempunyai kemampuan dan pengalaman yang relatif sama, ternyata perilakunya terhadap satu pelajaran berbeda, juga dalam memilih tugas sangat berbeda tingkat kesulitanya. Pandangan Behavioristik hanya mengakui adanya stimulus dan respon yang dapat diamati, mereka tidak memperhatikan adanya pengaruh pikiran atau perasaan yang mempertemukan unsur-unsur yang diamati tersebut. Teori Behavioristik cenderung mengarahkan siswa uantuk berfikir linier, konvergen, tidak kreatif dan tidak produktif. Pandangan teori ini bahwa belajar merupakan proses pembentukan atau shaping yaitu membawa siswa menuju atau mencapai target tertentu, sehingga menjadikan peserta didik untuk tidak bebas berkreasi dan berimajinasi. Apabila dilihat sebenarnya banyak aspek atau faktor yang berpengaruh dalam hidup ini yang mempengaruhi proses belajar, jadi pengertian belajar tidak sesederhana seperti yang dilukiskan oleh teori Behavioristik. Aliran Behavioristik sangatlah mengutamakan pengukuran, akan tetapi mereka aliran Behavioristik tidak dapat menjelaskan bagaimana pengukuran tingkah laku, tingkah laku yang tidak dapat diamati. 2. Teori Belajar Kognitif Teori belajar kognitif merupakan suatu teori belajar yang lebih mementingkan proses belajar dari pada hasil belajar itu sendiri. Bagi penganut aliran ini, belajar tidak sekedar melibatkan proses berpikir yang sangat kompleks. Dari Normatif – Filosofis ke Praktis 201 Teori ini sangat erat berhubungan dengan teori Sibernetik. 162 Model belajar kognitif mengatakan bahwa tingkah laku seseorang ditentukan oleh persepsi serta pemahamannya tentang situasi yang berhubungan dengan tujuan belajarnya. Belajar merupakan perubahan persepsi dan pemahaman yang tidak selalu dapat terlihat sebagai tingkah laku yang nampak. Kognitivistik ini juga menekankan bahwa bagian-bagian dari suatu situasi saling berhubungan dengan seluruh konteks situasi tersebut. Memisah-misahkan atau membagi-bagi situasi atau materi pelajaran menjadi komponen-komponen yang kecil-kecil dan mempelajarinya secara terpisah-pisah, akan kehilangan makna. Teori ini berpandangan bahwa belajar merupakan satu proses internal yang mencakup ingatan, potensi, pengolahan informasi, emosi, dan aspekaspek kejiwaan lainnya. Belajar merupakan aktifitas yang melibatkan proses berpikir yang sangat kompleks. Proses belajar terjadi antara lain mencakup pengaturan stimulus yang diterima dan menyesuaikannya dengan struktur kognitif yang sudah dimiliki dan terbentuk di dalam pikiran seseorang berdasarkan pemahaman dan pengalaman-pengalaman sebelumnya. Dampak praktik pembelajaran, teori kognitif antara lain tampak dalam rumusan-rumusan seperti: “Tahap-tahap Perkembangan” yang dikemukakan oleh Jean Piaget, ”Advance Organizer” oleh Ausubel, ”Pemahaman Konsep” oleh Bruner, ”Hirarki Belajar” oleh Gagne, ”Webteaching” oleh Norman, dan sebagainya. a. Tokoh-tokoh Teori Belajar Kognitif 1) Teori Perkembangan Piaget Menurut Jean Piaget (1975) salah seorang penganut aliran Kognitif yang kuat, bahwa proses belajar sebenarnya terdiri dari 3 tahapan, yakni (1) Asimilasi, (2) Akomodasi, dan (3) Equilibrasi atau penyeimbangan. Proses asimilasi adalah proses pembentukan struktur kognitif dalam benak dan pikiran siswa. Akomodasi adalah penyesuaian struktur kognitif ke dalam situasi yang baru. 162 Hamzah B. Uno, (2006). Orientasi Baru dalam Psikologi Pembelajaran. Jakarta: PT. Bumi Aksara. Hlm. 10 202 Manajemen Kurikulum Pendidikan Islam Equilibrasi adalah penyesuaian asimilisasi dan akomodasi. berkesinambungan antara Sebagai contoh lain, bagi seseorang yang sudah mengetahui prinsip penjumlahan, jika gurunya memperkenalkan prinsip perkalian, maka proses pengintegrasian antara prinsip penjumlahan (yang sudah ada di benak siswa) dengan prinsip perkalian (sebagai informasi baru), inilah yang disebut sebagai proses asimilasi. Jika seseorang diberi sebuah soal tentang perkalian, maka situasi ini yang disebut akomodasi, yang dalam hal ini berarti pemakaian (aplikasi) prinsip perkalian tersebut dalam situasi yang baru dan spesifik. Agar seseorang tersebut dapat terus berkembang dan menambah ilmunya, maka yang bersangkutan menjaga stabilitas mental dalam dirinya, diperlukan proses penyeimbangan. Proses inilah yang disebut equilibrasi atau proses penyeimbangan antara “dunia luar” dan “dunia dalam”. Tanpa proses ini, perkembangan kognitif seseorang akan tersendat-sendat dan berjalan tak teratur (disorganizer). Hal ini misalnya tampak pada caranya berbicara yang tidak runtut, berbelit-belit, terputus-putus, tidak logis dan sebagainya. Pembelajaran Kognitif dalam pendidikan Islam dapat dilihat misalnya dengan anjuran untuk mendidik anak sesuai dengan masa perkembangannya, karena anak akan mengalami masa yang berbeda dengan masa di mana orang tuanya hidup saat ini. 163 Pada usia-usia pra-operasional dan operasional kongkrit, pendidikan dan pembelajaran pada anak lebih diarahkan pada masalah-masalah pengalaman belajar yang nyata. Anak diupayakan untuk mengalami sendiri setiap peristiwa, agar pertumbuhan mereka secara fisik dan psikis menjadi seimbang. Seperti misalnya anjuran untuk melatih anak memanah dan berenang, adalah contoh yang baik dalam mendidik anak pada usia-usia 2-7 tahun. Sebagai pendapat Umar Bin Khattab. 164 163 Ini selaras juga dengan pendapat Sokrates yang dikutip Syahrostani dalam Al-Milal wa An-Nihal, Beirut: Darul Ma’rifah, 144 H, Jilid 2 Hal. 2.“Didiklah anakmu, karena mereka akan hidup pada zaman yang berbeda dengan zamanmu.” 164 Lihat dalam Dari Normatif – Filosofis ke Praktis 203 . “Ajarilah anakmu untuk berenang dan memanah.” Selain itu, dalam menyampaikan materi pelajaran seorang guru hendaknya menyampaikannya sesuai dengan tingkat pengetahuan dan perkembangan kognitifnya.Sebagaimana tersirat dalam hadits berikut ini. “Sampaikanlah kepada manusia sesuai dengan kemampuan akalnya”. 165 164F Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa prinsip-prinsip pembelajaran kognitif merupakan suatu cara agar pembelajaran yang disampaikan oleh seorang guru atau pendidik dapat diterima dengan baik oleh peserta didik karena sesuai dengan tahap perkembangan kognitifnya. Piaget berpendapat bahwa perkembangan kognitif merupakan suatu proses genetik, yaitu suatu proses yang didasarkan atas mekanisme biologis perkembangan sistem syaraf. Dengan makin bertambahnya umur seseorang, maka makin kompleks susunan sel syarafnya. Ketika individu berkembang menuju kedewasaan, akan mengalami adaptasi biologis dengan lingkungannya yang akan menyebabkan adanya perubahan-perubahan kualitatif di dalam struktur kognitifnya. Piaget tidak melihat perkembangan kognitif sebagai sesuatu yang dapat didefinisi secara kuantitatif. Ia menyimpulkan bahwa daya pikir atau kekuatan mental anak yang berbeda usia akan berbeda pula secara kualitatif. Jadi proses belajar seseorang akan mengikuti tahap-tahap perkembangan sesuai dengan umurnya. Piaget membagi tahap-tahap perkembangan kognitif ini menjadi empat, yaitu: 165 Hal ini juga diungkapkan oleh Imam al-Ghozali bahwasannya menyampaikan ilmu sesuai dengan kadar kemampuan akal", al-Ghazali menganjurkan agar filsafat atau ilmu lainnya diberikan sesuai dengan tabiatnya, sesuai dengan kemampuan dan kesiapan manusia. Tidak seperti "memberi daging kepada anak kecil". 204 Manajemen Kurikulum Pendidikan Islam a) Tahap Sensori-motorik (umur 0-2 tahun). Kemampuan yang dimilikinya antara lain: (1) Melihat dirinya sendiri sebagai makhluk yang berbeda dengan objek yang dimilikinya. (2) Mencari rangsangan melalui sinar lampu dan suara. (3) Suka memperhatikan sesuatu lebih lama. (4) Mendefinisikan sesuatu dengan manipulasi. (5) Memperhatikan objek sebagai hal yang tetap, lalu ingin mengubah tempatnya. b) Tahap Pra-operasional (umur 2 – 7/8 tahun). Karakteristik tahap ini adalah: (1) Self counter-nya sangat menonjol. (2) Dapat mengklasifikasikan objek pada tingkat dasar secara tunggal dan mencolok. (3) Tidak mampu memusatkan perhatian pada objek-objek yang berbeda. (4) Mampu mengumpulkan barang-barang yang menurut kriteria, termasuk kriteria yang benar. (5) Dapat menyusun benda-benda secara berderet, tetapi tidak dapat menjelaskan perbedaan antara deretan. c) Tahap Operasional Kongkrit (umur 7/8 – 11/12 tahun). Pada tahap ini, anak sudah tidak perlu coba-coba dan membuat kesalahan, karena anak sudah dapat berpikir dengan menggunakan model “kemungkinan” dalam melakukan kegiatan tertentu. Ia dapat menggunakan hasil yang telah dicapai sebelumnya. Anak mampu menangani sistem klasifikasi. d) Tahap Operasional Formal (umur 11/12 – 18 tahun). Pada tahap ini kondisi berpikir anak sudah dapat: (1) Bekerja secara efektif dan sistematis. (2) Menganalisis secara kombinasi. (3) Berpikir secara proporsional. (4) Menarik generalisasi. Dari Normatif – Filosofis ke Praktis 205 Proses belajar yang dialami oleh seorang anak pada tahap Sensori motorik tentu akan berbeda dengan proses belajar yang dialami oleh seorang anak pada tahap Pra-operasional, dan akan berbeda pula dengan mereka yang sudah berada pada tahap Operasional konkrit, bahkan dengan mereka yang sudah berada pada tahap Operasional formal. Secara umum, semakin tinggi tahap perkembangan kognitif seseorang akan semakin teratur dan semakin abstrak cara berpikirnya. 2) Teori Perkembangan Bruner Menurut Jerome Bruner (1966) perkembangan kognitif seseorang terjadi melalui tiga tahap yang ditentukan oleh caranya melihat lingkungan, yaitu: a) Tahap Enaktif, seseorang melakukan aktifitas-aktifitas dalam upayanya untuk memahami lingkungan sekitarnya. b) Tahap Ikonik, seseorang memahami objek-objek atau dunianya melalui gambar-gambar dan visualisasi verbal. c) Tahap Simbolik, seseorang telah mampu memiliki ide-ide atau gagasan-gagasan abstrak yang sangat dipengaruhi oleh kemampuannya dalam berbahasa dan logika. 166 Bruner mengusulkan teorinya yang disebut free discovery learning, proses belajar akan berjalan baik dan kreatif jika guru memberi kesempatan kepada siswa untuk menemukan suatu aturan (termasuk konsep, teori, definisi, dan sebagainya) melalui contoh-contoh yang menggambarkan aturan yang menjadi sumbernya. Dengan kata lain, siswa dibimbing secara induktif untuk memahami suatu kebenaran umum. Lawan dari pendekatan ini disebut “belajar ekspositori” (belajar dengan cara menjelaskan). Dalam hal ini, siswa disodori sebuah informasi umum dan diminta untuk menjelaskan informasi ini melalui contoh-contoh khusus dan konkret. Proses belajar ini berjalan secara deduktif. 167 Menurut Bruner, pembelajaran yang selama ini diberikan di sekolah lebih banyak menekankan pada perkembangan kemam166 167 Asri Budi Ningsih, (2005). Belajar..., hlm. 41. Hamzah B. Uno, (2006). Orientasi Baru…, hlm. 12-13. 206 Manajemen Kurikulum Pendidikan Islam puan analisis, kurang mengembangkan kemampuan berpikir intuitif. Padahal berfikir intuitif sangatlah penting dan setiap disiplin mempunyai konsep-konsep, prinsip, dan prosedur yang harus dipahami sebelum seseorang dapat belajar. Cara yang baik untuk belajar adalah memahami konsep, arti, hubungan, melalui proses intuitif untuk akhirnya sampai kepada suatu kesimpulan (discovery learning). 3) Teori Perkembangan Ausubel Menurut Ausubel (1968), siswa akan belajar dengan baik jika apa yang disebut “pengatur kemajuan (belajar)” (advance organizers) didefinisikan dan dipresentasikan dengan baik dan tepat kepada siswa. Pengatur kemajuan belajar adalah konsep atau informasi umum yang mewadahi semua isi pelajaran yang akan diajarkan kepada siswa. Ausubel percaya bahwa “advance organizers” dapat memberikan tiga macam manfaat, yakni: a) Menyediakan suatu kerangka konseptual untuk materi belajar yang akan dipelajari oleh siswa. b) Berfungsi sebagai jembatan yang menghubungkan antara apa yang sedang dipelajari siswa “saat ini” dengan apa yang “akan” dipelajari siswa, sedemikian rupa sehingga c) Membantu siswa untuk memahami bahan belajar secara lebih mudah. Sebab itu, setiap guru dituntut untuk menguasai isi mata pelajaran dengan baik. Hanya dengan demikian seorang guru mampu menemukan informasi, yang menurut Ausubel “sangat abstrak, umum dan inklusif”, yang mewadahi apa yang akan diajarkan. Selain itu, logika berfikir guru juga dituntut sebaik mungkin. Tanpa memiliki logika berfikir yang baik, maka guru akan kesulitan memilah-milah, merumuskan, serta mengurutkan materi demi materi ke dalam struktur urutan yang logis dan mudah dipahami. Dari Normatif – Filosofis ke Praktis 207 Implikasi dan Kelemahan Teori Kognitif Kedudukan gaya kognitif dalam proses pembelajaran tidak dapat diabaikan. Hal ini sesuai dengan pandangan Reilguth bahwa dalam variabel pengajaran, gaya kognitif merupakan salah satu karakteristik siswa yang masuk dalam variabel kondisi pembelajaran, disamping karakteristik siswa lainnya seperti motivasi, sikap, bakat, minat, kemampuan berpikir, dan lain-lain. Sebagai salah satu karakteristik siswa, kedudukan gaya kognitif dalam proses pembelajaran penting diperhatikan guru atau perancang pembelajaran sebab rancangan pembelajaran yang disusun dengan mempertimbangkan gaya kognitif berarti menyajikan materi pembelajaran yang sesuai dengan karakteristik dan potensi yang dimiliki siswa. Dengan rancangan seperti ini, suasana pembelajaran akan tercipta dengan baik. Mengacu dari pandangan para pakar tentang dimensi gaya kognitif, menurut Woolkfolk bahwa implementasinya dalam pembelajaran sangat menentukan keberhasilan pembelajaran. Gaya kognitif memiliki nilai adaptif yang bervariasi dari budaya dan situasi sosial. Adapun masalah yang sering muncul pada tahapan aplikasi teori-teori kognitif di bidang pembelajaran adalah dalam kaitannya dengan pengorganisasian isi pesan atau bahan belajar dan perstrukturan kegiatan belajar mengajar. Sehubungan dengan adanya kenyataan empiris, maka teori dan teorama kognitif yang ada bisa saja digunakan sebagai acuan umum bagi setiap jenis cabang disiplin keilmuan. Oleh karena itu, cara yang dipandang efektif untuk meningkatkan kualitas output pendidikan dari sudut pandang psikologi kognitif adalah pengembangan program-program pembelajaran yang dapat mengoptimalkan keterlibatan mental intelektual pebelajar pada setiap jenjang belajar. 3. Teori Belajar Konstruktivistik Gagasan pokok aliran ini diawali oleh Giambatista Vico, seorang epistemolog Italia. Ia dipandang sebagai cikal bakal lahirnya konstruksionisme. Mengetahui berarti mengetahui sesuatu jika ia mengetahui. Hanya Tuhan yang dapat mengetahui segala sesuatu karena dia pencipta segala sesuatu itu. Manusia hanya dapat 208 Manajemen Kurikulum Pendidikan Islam mengetahui sesuatu yang dikonstruksikan Tuhan. Bagi Vico, pengetahuan dapat menunjuk pada struktur konsep yang dibentuk. Pengetahuan tidak bisa lepas dari subjek yang mengetahui. 168 Menurut aliran Konstruktivistik pengetahuan dianggap sebagai bentukan dari orang yang memahami pengetahuan tersebut. Sehingga dapat dikatakan bahwa pembentuk suatu pengetahuan adalah manusia itu sendiri atau orang yang mencerna pengetahuan tersebut. Pengetahuan yang dibentuk merupakan hasil bentukan dari suatu kegiatan atau suatu pengalaman (dari satu pengalaman ke pengalaman selanjutnya). Pendidikan Islam mengajarkan seseorang untuk menggali dan mengeksplorasi pengetahuan melalui observasi dan pengalaman secara langsung. Sebab dengan mengalami seseorang akan dapat menjelaskan sesuatu berdasarkan fakta empiris yang terjadi. Ajaran Islam telah menganjurkan bahkan menyuruh manusia belajar dari fenomenafenomena alam yang ada. Al-Qur’an sebagai pedoman umat Islam tidak hanya berupa lembaran-lembaran kertas yang bersifat doktrin belaka. Ayat-ayat yang tersurat merupakan bukti-bukti Qur’aniyah kemu’jizatan Al-Qur’an. Selain itu, terdapat pula ayat-ayat Kauniyah yaitu alam semesta sebagai bukti bahwa tidak ada satupun ayat atau surat di dalam Al-Qur’an yang bertentangan dengan hukum alam baik dalam mikro kosmos maupun makro kosmos. Firman Allah Swt di dalam Al-Qur’an berikut merupakan bukti bahwa pendidikan Islam mendorong setiap manusia (siswa, peserta didik) atau siapapun untuk memperhatikan lingkungan dan alam semesta. “Maka apakah mereka tidak memperhatikan unta bagaimana dia diciptakan (17), Dan langit, bagaimana ia ditinggikan? (18) Dan gunung-gunung bagaimana ia ditegakkan? (19) Dan bumi bagaimana ia dihamparkan? (QS. Al Ghosiyah: 17-20). 168 Wiji Suwarno, (2006). Dasar-dasar Ilmu Pendidikan.Jogjakarta: Ar-Ruzz. Hlm. 57-58. Dari Normatif – Filosofis ke Praktis 209 Ayat di atas, menunjukkan bahwa manusia diperintahkan untuk melihat, mengamati, dan bahkan meneliti bagaimana unta diciptakan dalam konteks lain, bagaimana seekor hewan dapat bertahan cukup lama di daerah padang pasir tanpa minum. Kemudian anjuran untuk memperhatikan bagaimana langit, apa itu langit, di mana batasnya, apa warnanya dan lain sebagainya. Selanjutnya gunung-gunung di tancapkan dan bumi dihamparkan semuanya itu merupakan bukti bahwa ajaran Islam mendorong umat manusia untuk belajar langsung (secara nyata) dari pengalaman maupun pengamalan untuk membentuk suatu struktur pengetahuan yang baru dalam otak (fikirannya). Ayat lain yang juga berkenaan dengan contoh di atas adalah sebagaimana firman Allah Swt berikut ini. # “Dan apakah mereka tidak memperhatikan burung-burung yang mengembangkan dan mengatupkan sayapnya di atas mereka?tidak ada yang menahannya (di udara) selain yang Maha Pemurah. Sesungguhnya dia Maha melihat segala sesuatu.” (QS. Al Mulk: 19) Kemudian pada ayat lain juga dijelaskan tentang pentingnya membangun (mengkonstruk) pengetahuan berdasarkan pengalaman sebagaimana kandungan dari ayat berikut yang menjelaskan tentang anjuran untuk melintasi luar angkasa. “Hai jama'ah jin dan manusia, jika kamu sanggup menembus (melintasi) penjuru langit dan bumi, Maka lintasilah, kamu tidak dapat menembusnya kecuali dengan kekuatan.” (QS. Ar Rahman: 33) Menurut teori-teori belajar yang telah berkembang saat ini dalam dunia psikologi maupun pendidikan diketahui bahwa teori belajar Konstruktivistik berasal dari aliran filsafat pengetahuan yang menekankan bahwa pengetahuan adalah konstruksi (bentukan) sendiri. 210 Manajemen Kurikulum Pendidikan Islam Pengetahuan merupakan hasil konstruksi setelah melakukan kegiatan. Pengetahuan merupakan buatan manusia yang dikonstruksikan dari pengalaman. Piaget mengemukakan bahwa pengetahuan merupakan interaksi kontinyu antara individu satu dengan lingkungannya. Artinya, pengetahuan merupakan suatu proses, bukan suatu barang. Sedangkan mengerti adalah proses adaptasi intelektual antara pengalaman dan ide baru dengan pengetahuan yang telah dimilikinya, sehingga dapat terbentuk pengertian baru. Konstruktivisme ini dikembangkan berdasarkan gagasan Piaget dan Vigotsky. Kedua ahli tersebut mengemukakan bahwa perubahan kognitif hanya terjadi jika konsep-konsep yang telah terjadi sebelumnya diolah melalui proses ketidakseimbangan dalam upaya memahami informasi-informasi baru. Pengetahuan yang dikonstruksi secara kolaborasi antara individual dengan berinteraksi dengan lingkungan, yang selanjutnya kondisi tersebut disesuaikan oleh individu itu sendiri. Penyesuaian tersebut sejajar dengan pengkonstruksian pengetahuan pada setiap individu. Proses belajar konstruktivistik, secara konseptual, proses belajar jika dipandang kognitif, bukan sebagai perolehan informasi yang berlangsung satu arah dari luar ke dalam diri siswa, melainkan sebagai pemberian makna oleh siswa kepada pengalamannya melalui proses asimilasi dan akomodasi yang bermuara pada pembaharuan struktur kognitifnya. Kegiatan belajar lebih dipandang oleh segi prosesnya dan pada segi perolehan pengetahuan dan fakta-fakta yang terlepas. Pemberian makna terhadap objek dan pengalaman oleh individu tersebut tidak dilakukan secara sendiri-sendiri oleh siswa, melainkan melalui interaksi dalam jaringan sosial yang unik, yang terbentuk dalam memproses gagasannya. Bukan semata-mata pada pengelolaan siswa dan lingkungan belajarnya bahkan pada unjuk rasa atau prestasi belajarnya yang dikaitkan dengan sistem penghargaan dari luar seperti nilai, ijazah dan sebagainya. 169 169 Asri Budiningsih. (2005). Belajar …, hlm 58 Dari Normatif – Filosofis ke Praktis 211 Prinsip-prinsip Belajar Konstruktivistik a. Pengetahuan dibangun oleh siswa sendiri, baik secara personal maupun sosial. Telah dikatakan di atas bahwa pengetahuan yang diperoleh oleh seseorang dikonstruksikan oleh individu itu sendiri, melalui indera yang dimiliki. Pengetahuan merupakan akibat dari konstruksi kenyataan melalui kegiatan seseorang. Sehingga pengetahuan seseorang diperoleh dengan melalui pengalaman yang dilakukan oleh siswa. Dan siswa akan membangun pengalamannya tersebut sebagai suatu pengetahuan yang kemudian dipikirkan dengan akalnya. b. Pengetahuan tidak dapat dipindahkan dari guru ke siswa, kecuali hanya dengan keaktifan siswa sendiri untuk menalar. Dari prinsip yang pertama, maka memunculkan prinsip yang kedua. Jika seorang guru bermaksud untuk mengajarkan atau mentransfer konsep, ide atau pengertian kepada siswanya, maka proses transfer itu harus diinterpretasikan dan dikonstruksi oleh dirinya sendiri melalui pengalamannya. Banyak siswa keliru menangkap apa yang diajarkan oleh guru. Dalam mengikuti pelajaran guru, bukan menghafal rinci persis apa yang diberikan atau yang dikatakan guru, melainkan bagaimana siswa menginterpretasikan dan mengkonstruksi pengetahuan atau pengalaman dari guru untuk dikembangkan sendiri. 170 c. Murid aktif mengkonstruksi terus-menerus, sehingga selalu terjadi perubahan konsep menuju konsep yang lebih rinci, lengkap, serta sesuai dengan konsep ilmiah Seseorang membentuk pengetahuan melalui pengalaman yang satu ke pengalaman selanjutnya sehingga pengetahuan itu menjadi sempurna. Dalam pikiran seseorang sudah ada pengetahuan yang pertama dan pengetahuan tersebut akan berkembang menjadi pengetahuan yang lebih rinci. Sebagai contoh seorang siswa memiliki skema tentang seorang laki-laki yang sholat memakai sarung dan kopiah (songkok). Dalam pikirannya terbangun skema bahwa 170 Ibid, 109-110. 212 Manajemen Kurikulum Pendidikan Islam seorang laki-laki kalau sholat harus menggunakan sarung dan songkok. Suatu ketika ia berkesempatan menyaksikan orang wanita yang sholat tidak menggunakan songkok. Dalam kesempatan berikutnya ia menyaksikan seorang laki-laki yang memakai celana, baju pendek dan tidak memakai songkok. Dalam pikiran siswa tersebut berkesimpulan bahwa seorang laki-laki yang sholat tidak harus memakai sarung dan songkok tetapi harus menutup aurat. Dalam proses ini tampak bahwa skema lama tetap dipertahankan namun dikembangkan menjadi lebih rinci sehingga dapat dipergunakan untuk menjawab beberapa perbedaan pengalaman. d. Guru sekedar membantu penyediaan sarana dan situasi agar proses konstruksi siswa mulus. Tugas seorang guru bukan saja menyampaikan materi pelajaran tetapi berfungsi sebagai mediator dan fasilitator dalam proses pembelajaran. Guru seharusnya menyediakan atau memberikan suatu kegiatan yang mampu merangsang keinginan siswa dalam menambah pengetahuan yang dimilikinya, serta membantu mereka dalam mengekspresikan gagasan atau ide-ide yang mereka miliki. Guru perlu mengerti pengalaman belajar mana yang lebih sesuai dengan kebutuhan siswa. Ini dapat dilakukan dengan berpartisipasi sebagai pelajar juga di tengah pelajar. Guru perlu membicarakan tentang tujuan dan apa yang akan dilakukan di kelas bersama siswa, sehingga siswa terlibat langsung pada apa yang akan mereka pelajari. Selain itu guru perlu memiliki pemikiran yang fleksibel untuk dapat memahami apa yang ada dalam fikiran siswa, karena terkadang siswa berfikir berdasarkan pengandaian yang berbeda dengan apa yang ada dalam fikiran guru. Karakteristik Pembelajaran dalam Teori Belajar Konstruktivistik Karakteristik pembelajaran dalam teori konstruktivistik yang dilakukannya adalah: a. Membebaskan siswa dari belenggu kurikulum yang berisi fakta-fakta lepas yang sudah ditetapkan, dan memberikan kesempatan kepada siswa untuk mengembangkan ide-idenya secara lebih luas. Dari Normatif – Filosofis ke Praktis 213 b. Menempatkan siswa sebagai kekuatan timbulnya interest, untuk membuat hubungan diantara ide-ide dan gagasannya, kemudian memformulasikan kembali ide-ide tersebut, serta membuat kesimpulan-kesimpulan. c. Guru bersama-sama siswa mengkaji pesan-pesan penting bahwa dunia adalah kompleks, dimana terdapat bermacam-macam pandangan tentang kebenaran yang datangnya dari berbagi interpretasi. d. Guru mengakui bahwa proses belajar serta penilaiannya merupakan suatu usaha yang kompleks, sukar dipahami, tidak teratur, dan tidak mudah dikelola. Aplikasi Teori Konstruktivistik dalam Pembelajaran Belajar berarti membuat makna. Belajar berarti mengkonstruksi pengetahuan dari apa yang dilihat, didengar, dirasakan, dan dialami dengan pengetahuan yang dimiliki. Mengajar bukan kegiatan memindahkan pengetahuan dari guru ke murid, melainkan kegiatan yang memungkinkan siswa dapat membangun pengetahuannya sendiri. Mengajar berarti menciptakan kondisi yang memungkinkan (motivasi) si belajar dapat membentuk pengetahuan, membuat makna, mencari kejelasan, bersikap kritis dan menjustifikasi. Berpikir yang baik lebih penting dari pada mempunyai jawaban yang benar atas suatu persoalan yang sedang dipelajari. Seseorang yang memiliki cara berpikir yang baik, dalam arti cara berpikirnya dapat digunakan untuk menghadapi suatu fenomena baru akan dapat memecahkan suatu persoalan. Sementara pebelajar yang sekedar menemukan jawaban benar belum tentu dapat memecahkan persoalan yang dihadapi.Dalam konteks ini mengajar berarti membantu seseorang berpikir secara benar dan membiarkannya pebelajar berpikir sendiri. Siswa harus membangun pengetahuannya sendiri. Seorang guru melihat siswa bukan sebagai lembar putih kertas kosong atau tabularasa. Bahkan siswa SD/MI kelas 1 pun telah mengalami hidup beberapa tahun dan menemukan cara yang berlaku dalam berhadapan dalam menghadapi lingkungan hidup mereka. Dengan demikian siswa SD/MI pun sudah memiliki pengetahuan awal. Pengalaman atau pengetahuan yang mereka miliki sebagai dasar untuk membangun pengetahuan 214 Manajemen Kurikulum Pendidikan Islam selanjutnya. Karena itu guru perlu mengetahui pada taraf mana siswa memiliki pengetahuan awal. 4. Teori Belajar Humanistik Perhatian teori Humanistik yang terutama tertuju pada masalah bagaimana tiap-tiap individu dipengaruhi dan dibimbing oleh maksud pribadi yang mereka hubungkan kepada pengalaman-pengalaman mereka sendiri. Menurut para pendidik aliran Humanistik, penyusun dan penyajian materi pelajaran harus sesuai dengan perasaan dan perhatian siswa. Tujuan utama pada pendidikan ialah membantu anak untuk mengembangkan dirinya, yaitu membantu masing-masing individu untuk mengenal diri mereka sendiri sebagai manusia yang unik dan membantunya dalam merealisasikan atau mewujudkan potensipotensi yang ada pada diri mereka. Para ahli psikologi Behavioristik dan Humanistik dalam menyoroti masalah perilaku mempunyai pandangan yang sangat berbeda. Para Behavioristik memandang orang sebagai makhluk reaktif yang memberikan responnya terhadap lingkungannya; pengalaman masa lampau dan pemeliharaan akan membentuk perilaku mereka. Sebaliknya, para humanis mempunyai pendapat bahwa tiap orang itu bebas menentukan perilaku mereka sendiri; mereka bebas memilih kualitas hidup mereka, dan tidak terikat oleh lingkunganya. Aplikasi teori belajar Humanistik dalam kegiatan pembelajaran cenderung mendorong siswa untuk berfikir induktif. Teori ini juga mementingkan faktor pengalaman dan ketertiban siswa secara aktif dalam belajar. Cara menyampaikan pelajaranya dalam sesuai dengan perasaan dan perhatian siswa, untuk membantu anak didik agar mereka bisa sendiri dan bisa mewujudkan potensi-potensi peserta didik. 171 teori Humanistikharus dengan tujuan utama mengenal diri mereka yang terdapat dalam Pandangan dan pendapat tokoh-tokoh psikologi Humanistik, di antaranya adalah: a. Athur Combs, menurut pandangan beliau tingkah laku yang salah dan tidak baik akibat dari adanya kesedian melakukan apa yang 171 Tadjab, (1994).Ilmu Jiwa Pendidikan, Surabaya, Karya Abditama, hal 78 Dari Normatif – Filosofis ke Praktis 215 seharusnya dilakukan karena adanya sesuatu yang lain yang lebih memuaskan. 172 b. Abraham Maslow, seorang tokoh yang menonjol dari psikologi, dalam karyanya bidang pemenuhan kebutuhan mempunyai pengaruh yang tidak kecil dalam upaya memahami motivasi manusia. Teori ini yang penting berdasarkan asumsi bahwa dalam diri manusia terdapat dorongan positif untuk tumbuh. Pada prinsipnya Menurut teori ini, proses belajar harus dimulai dan ditujukan untuk memanusiakan manusia dan mengangkat manusia ke taraf insani. Jika tujuan pendidikannya semacam itu, maka sesungguhnya Pendidikan Islam itu mengajarkan manusia untuk menjadi pribadipribadi yang manusiawi yang ditunjukkan dengan perilakunya. Islam tidak menghendaki manusia itu tekungkung oleh orang lain, baik penguasa maupun orang biasa. Oleh sebab itu, pendidikan harus dapat mendorong perkembangan diri setiap manusia untuk menemukan eksistensi dirinya. Jangan sampai manusia yang sudah diciptakan Allah Swt sebagai makhluk yang paling mulia kemudian menjadi makhluk yang paling hina. Sebagaimana firman Allah Swt berikut. “Sesungguhnya kami Telah menciptakan manusia dalam bentuk yang sebaik-baiknya.Kemudian kami kembalikan dia ke tempat yang serendahrendahnya (neraka). (QS. At-Tiin: 4-5) Proses pendidikan yang tidak mendorong peserta didik dalam menemukan jati diri pribadi sebagai manusia (makluk) yang mulia sesungguhnya merupakan sebuah kedzaliman. Manusia ketika lahir tidak bisa dibiarkan sendiri mencari dan menemukan identitasnya, tapi perlu didorong dan di arahkan.Tugas pendidikan bukan untuk “mencekoki” siswa dengan pengetahuan, melainkan membantunya menemukan dirinya. Keyakinan seorang orang tua, guru atau pendidik tidak boleh dipaksakan terhadap anak.Ibrahim as walaupun seorang nabi dan rasul yang mendapat perintah dari Tuhan tidak serta merta memaksakan 172 Dimyati Mahmud. (1990). Psikologi Pendidikan. Yogjakarta, BPEF. Hal. 164 216 Manajemen Kurikulum Pendidikan Islam kehendaknya kepada Ismail sebagai seorang putra (terdidik), melainkan mengajaknya berdialog (berdiskusi). # “Maka tatkala anak itu sampai (pada umur sanggup) berusaha bersama-sama Ibrahim, Ibrahim berkata: "Hai anakku Sesungguhnya Aku melihat dalam mimpi bahwa Aku menyembelihmu. Maka fikirkanlah apa pendapatmu!" ia menjawab: "Hai bapakku, kerjakanlah apa yang diperintahkan kepadamu; insya Allah kamu akan mendapatiku termasuk orang-orang yang sabar". (QS. As-Shaafat: 102). Pendidikan adalah usaha membawa manusia dari kebodohan dengan membuka tabir aktual transenden dari sifat alami manusia (humannes). Teori ini lebih mementingkan isi yang dipelajari dari pada proses belajar itu sendiri. Teori ini lebih banyak membicarakan tentang konsep-konsep pendidikan untuk membentuk manusia yang dicitacitakan. Oleh karena itu, teori belajar apapun bisa dimanfaatkan asal tujuannya untuk memanusiakan manusia yaitu mencapai aktualisasi diri, pemahaman diri, serta realisasi diri orang yang belajar bisa tercapai secara optimal. a. Awal Munculnya Psikologi Humanistik Pada akhir tahun 1940-an muncul suatu perspektif psikologi baru. Orang-orang yang terlibat dalam psikologi-lah yang berjasa dalam perkembangan ini, seperti ahli-ahli psikologi klinik, pekerjapekerja sosial dan konselor, bukan merupakan hasil penelitian dalam proses belajar. Gerakan ini berkembang lalu dikenal sebagai psikologi Humanistik yang berusaha memahami seseorang dari sudut pelaku dan pengamat. Dari Normatif – Filosofis ke Praktis 217 Aliran Humanistik muncul pada tahun 1960-1970-an dan mungkin perubahan-perubahan dan inovasi yang terjadi selama dua dekade yang terakhir pada abad 20 ini juga menuju pada arah ini. 173 b. Tokoh-tokoh Humanistik Berikut ini akan kami paparkan beberapa tokoh yang sangat terkenal dalam aliran Humanistik ini berikut pandangan mereka terhadap belajar. 1) Combs Para ahli Humanistik melihat adanya dua bagian dalam belajar, yaitu perolehan informasi baru dan personalisasi informasi tersebut pada individu. Combs berpendapat bahwa suatu hal yang sangat penting bagi seorang guru adalah bagaimana caranya bisa membawa siswa untuk memperoleh arti bagi pribadinya dari bahan pelajarannya serta bagaimana siswa dapat menghubungkan bahan pelajarannya dengan kehidupannya. Lebih jelasnya menurut Combs, jika kita memahami perilaku seseorang, kita harus memahami dunia persepsi orang itu. Jika kita ingin mengubah perilaku seseorang, kita harus mengubah keyakinan atau pandangan orang itu. Jika seorang guru mengeluh karena siswanya tidak punya motivasi untuk melakukan sesuatu, ini sesungguhnya berarti bahwa siswa tersebut tidak punya motivasi untuk melakukan sesuatu yang dikehendaki oleh gurunya. 2) Maslow Teori ini didasarkan atas asumsi bahwa dalam diri manusia ada dua hal, yaitu: a) Suatu usaha yang positif untuk berkembang. b) Kekuatan untuk melawan atau menolak perkembangan itu. Menurut Maslow, setiap orang memiliki rasa takut, seperti takut untuk berusaha atau berkembang, takut mengambil kesempatan, takut membahayakan apa yang sudah dimiliki, dsb. tetapi hal itu mendorongnya untuk bisa maju ke arah 173 Wasty Soemanto, (1998).Psikologi …, hal 136 218 Manajemen Kurikulum Pendidikan Islam kesempurnaan, kepercayaan diri dan pada saat itu juga dia dapat menerima diri sendiri. Mengenai kebutuhan manusia, Maslow membaginya menjadi bermacam-macam hierarki. Jika kebutuhan yang pertama (fisiologis) sudah dipenuhi, barulah seseorang dapat menginginkan kebutuhan yang ada di atasnya (mendapat rasa aman) hierarki kebutuhan manusia ini mempunyai implikasi yang sangat penting yang harus diperhatikan oleh seorang guru ketika dia mengajar, karena perhatian dan motivasi anak didik tidak akan berkembang jika kebutuhan dasarnya belum terpenuhi. 3) Rogers Dalam bukunya yang berjudul “freedom to learn”, dia memaparkan prinsip-prinsip belajar Humanistik yang sangat penting, yaitu: a) Manusia mempunyai kemampuan untuk belajar secara alami. b) Belajar yang signifikan terjadi apabila subject matter dirasakan peserta didik mempunyai relevansi dengan maksudmaksudnya sendiri. c) Belajar yang menyangkut suatu perubahan di dalam persepsi mengenai dirinya sendiri dianggap mengancam dan cenderung untuk ditolaknya. d) Tugas-tugas belajar yang mengancam diri lebih mudah dirasakan dan diasimilasikan jika ancaman dari luar semakin kecil. e) Jika ancaman terhadap diri murid rendah, pengalaman dapat diperoleh dengan berbagai cara yang berbeda-beda lalu terjadilah proses belajar. f) Belajar yang bermakna diperoleh siswa dengan melakukannya. g) Belajar diperlancar jika siswa dilibatkan dalam proses belajar dan ikut bertanggung jawab dalam proses tersebut. h) Belajar atas inisiatif sendiri yang melibatkan pribadi siswa seutuhnya, baik perasaan maupun intelek, merupakan cara yang dapat memberikan hasil yang mendalam dan lestari. i) Kepercayaan pada diri sendiri, kemerdekaan, kreativitas, lebih mudah dicapai terutama ketika siswa dibiasakan untuk mawas Dari Normatif – Filosofis ke Praktis 219 diri dan mengkritik dirinya sendiri. Penilaian diri orang lain merupakan cara kedua yang juga penting. j) Belajar yang paling berguna secara sosial dalam dunia modern adalah belajar tentang proses belajar, suatu keterbukaan yang terus menerus terhadap pengalaman dan penyatuannya ke dalam dirinya sendiri mengenai proses perubahan itu. 174 4) Kolb Tahap-tahap belajar, menurut Kolb dibagi menjadi 4, yaitu: a) Tahap pengalaman konkret Tahap ini adalah tahap yang pertama, yaitu ketika seseorang mampu mengalami, melihat, merasakan, serta dapat menceriakan peristiwa yang dialaminya apa adanya tanpa menyadari hakikat dan penyebab mengapa peristiwa tersebut bisa terjadi. b) Tahap pengamatan aktif dan reflektif Pada tahap ini, seseorang semakin lama akan semakin mampu untuk melakukan observasi secara aktif pada peristiwa yang dialaminya dengan mengembangkan pertanyaan-pertanyaan mengapa hal itu bisa terjadi, mengapa mesti terjadi, dan lain sebagainya, sehingga pemahamannya terhadap peristiwa yang dialami semakin berkembang. c) Tahap konseptualisasi Pada tahap ini, seseorang sudah mulai berusaha untuk membuat abstraksi, mengembangkan suatu teori, konsep, atau hukum dan prosedur tentang sesuatu yang menjadi objek perhatiannya. Berpikir induktif banyak dilakukan untuk merumuskan suatu aliran umum dari berbagai gambaran peristiwa yang dialaminya. d) Tahap eksperimentasi aktif Pada tahap ini, seseorang sudah mampu mengaplikasikan konsep-konsep, teori-teori, dan aturan-aturan ke dalam situasi 174 Ibid, hal. 137-139 220 Manajemen Kurikulum Pendidikan Islam nyata. Berpikir secara deduktif banyak digunakan untuk mempraktikkan dan menguji teori-teori dan konsep-konsep di lapangan sehingga dia mampu memecahkan masalah yang dihadapinya. 5) Honey dan Munford Menurut pandangan mereka berdua, orang yang belajar dapat digolong-golongkan ke dalam empat macam golongan, 175 yaitu: a) Kelompok aktivis Adalah orang-orang yang suka melibatkan diri dan berpartisipasi aktif dalam berbagai kegiatan dengan tujuan untuk memperoleh pengalaman. Dalam kegiatan belajar, mereka suka pada penemuan-penemuan baru, sehingga metode yang cocok buat mereka adalah problem solving dan brainstorming. b) Kelompok reflektor Adalah orang-orang yang memiliki kecenderungan yang berlawanan dengan kelompok aktivis. Dalam melakukan tindakan, mereka sangat berhati-hati dan penuh pertimbangan antara baik dan buruknya, untung dan ruginya. Mereka tidak mudah dipengaruhi, sehingga mereka cenderung bersifat konservatif c) Kelompok teoris Adalah orang-orang yang suka berpikir kritis, suka menganalisis, dan selalu berpikir rasional dengan menggunakan penalarannya. Mereka tidak suka pendapat atau penilaian yang sifatnya subjektif. Mereka tampak tegas dan memiliki pendirian yang kuat sehingga mereka tidak mudah dipengaruhi. d) Kelompok pragmatis Adalah orang-orang yang memiliki sifat-sifat praktis, tidak suka teori, konsep, dalil, dan lain sebagainya. Bagi mereka yang penting adalah aspek-aspek praktis, sesuatu yang nyata dan 175 Asri Budiningsih, (2005). Belajar …, hal 71 Dari Normatif – Filosofis ke Praktis 221 dapat dilaksanakan. Bagi mereka, sesuatu itu dianggap baik, jika dapat dipraktikkan dan bermanfaat bagi kehidupan manusia. 6) Hubermas Menurut Hubermas, belajar baru akan terjadi jika ada interaksi antara individu dengan lingkungannya. Oleh karena itu, dia membagi tipe belajar menjadi tiga, yaitu: 1) belajar teknis, 2) belajar praktis, 3) belajar emansipatoris. 7) Bloom dan Krathwohl Mereka berdua lebih menekankan perhatiannya pada apa yang mesti dikuasai oleh individu sebagai tujuan belajar, setelah melalui peristiwa-peristiwa belajar. Tujuan belajar yang dikemukakannya terangkum dalam tiga kawasan yang dikenal dengan istilah Taksonomi Bloom. Secara ringkas tiga kawasan taksonomi Bloom tersebut adalah sebagai berikut: a) Domain Kognitif, yang terdiri atas 6 (enam) tingkatan, yaitu: (1) pengetahuan, (2) pemahaman, (3) aplikasi, (4) analisis, (5) sintesis, dan (6) evaluasi. b) Domain Afektif, yang juga terdiri atas 5 (lima) tingkatan, yaitu: (1) penerimaan; (2) tanggapan; (3) penanaman nilai; (4) pengorganisasian nilai; dan (5) karakterisasi kehidupan. c) Domain Psikomotor, yang terdiri atas lima tingkatan, yaitu: (1) memperhatikan; (2) peniruan, (3) penggunaan, (4) perangkaian, dan (5) penyesuaian atau naturalisasi. c. Implikasi Teori Humanistik Menurut aliran ini, penyusunan dan penyajian materi oleh pendidik harus sesuai dengan perasaan dan perhatian siswa. Dalam hal ini peran pendidik adalah untuk membantu siswa mengembangkan dirinya, yakni mengenal diri mereka sebagai makhluk yang unik serta membantu mereka untuk bisa mengembangkan potensinya. 222 Manajemen Kurikulum Pendidikan Islam 1) Guru sebagai fasilitator Dalam proses belajar mengajar, seorang guru hendaknya menjadi fasilitator bagi anak didiknya, bukan malah menjadi diktator. Ada beberapa cara untuk memberi kemudahan belajar dan kualitas fasilitator. Diantaranya, seorang guru yang dalam hal ini menjadi fasilitator sebaiknya memberi perhatian kepada penciptaan suasana awal atau pengalaman kelas, mempercayai adanya keinginan dari setiap siswa untuk melaksanakan tujuan yang bermakna bagi dirinya dan menyediakan sumber-sumber yang bisa dimanfaatkan oleh siswa, dan masih banyak cara yang lain. Di samping itu, sebagai seorang fasilitator, guru harus mengenali dan menerima keterbatasan-keterbatasannya sendiri. 2) Guru yang baik dan yang kurang baik. Menurut Hamacheek, guru yang efektif adalah guru yang manusiawi, yang mempunyai rasa humor, adil, menarik, lebih demokratis, dan mampu berhubungan dengan para siswa dengan mudah dan wajar, sehingga dia lebih terbuka, spontanitas, dan mampu menyesuaikan diri dengan perubahan. Sedangkan guru yang tidak efektif jelas tidak memiliki rasa humor, tidak sabar, mudah mengeluarkan komentar-komentar yang melukai dan mengurangi rasa ego siswanya, cenderung bertindak otoriter, dan kurang peka terhadap kebutuhan siswanya. 3) Guru yang sejati Sesungguhnya guru adalah manusia biasa. Guru sejati bukanlah guru yang berbeda dengan siswanya. Dia bukan makhluk yang serba hebat. Dia harus dapat berpartisipasi dalam kegiatan yang dilakukan muridnya yang dapat mengembangkan rasa persahabatan dengan mereka tanpa merasa khawatir kehilangan kehormatan, karena rasa was-was dan takut dalam keadaan tertentu adalah wajar. Lebih ringkasnya, implikasi dari teori ini adalah: a) Guru bebas menentukan perilakunya atau melakukan apa saja yang penting anak didiknya termotivasi untuk belajar. Dari Normatif – Filosofis ke Praktis 223 b) Peserta didik merupakan pelaku aktif, dia tidak hanya menjadi objek dalam proses belajar dan mengajar tapi dia juga bisa menjadi subjek. c) Adanya sikap Individualis dalam arti anak didik bebas berpikir, bebas mewujudkan diri sendiri, dan bebas berkreasi. d. Aplikasi Teori Humanistik dalam Pendidikan Dalam proses belajar mengajar yang menggunakan teori Humanistik ini sangat membutuhkan keterlibatan siswa secara aktif serta mengarahkan siswa untuk berpikir induktif. Berikut ini kami kemukakan beberapa langkah secara Humanistik, yaitu: 1) 2) 3) 4) 5) 6) 7) 8) 9) Menentukan tujuan pembelajaran. Menentukan materi pelajaran. Mengidentifikasi kemampuan awal siswa. Mengidentifikasi topik-topik pelajaran merancang fasilitas belajar dan media pembelajaran. Membimbing siswa belajar secara aktif. Membimbing siswa untuk dapat memahami makna dari pengalaman belajarnya. Membimbing siswa membuat konseptualisasi pengalaman belajarnya. Membimbing siswa mengaplikasikan konsep baru ke dalam situasi nyata. Mengevaluasi proses dan hasil belajar. Di samping itu, ada beberapa pendekatan secara Humanistik yang bisa di simpulkan sebagai berikut: 1) Siswa akan berpikir menurut iramanya sendiri dengan perangkat materi yang sudah ditentukan terlebih dulu untuk mencapai tujuan yang telah ditentukan pula, selanjutnya siswa bebas menentukan cara mereka sendiri untuk mencapai tujuan tersebut tanpa terikat dengan aturan-aturan baik dari guru atau dari temannya. 2) Memperhatikan pengembangan anak-anak dari perbedaanperbedaan yang bersifat individual. 224 Manajemen Kurikulum Pendidikan Islam 3) Mengimbangi keadaan-keadaan baru yang selalu meningkat yang dijumpai anak didik baik di rumah mereka sendiri atau di masyarakat. Dengan demikian, pendekatan Humanistik adalah pengembangan nilai-nilai dan sikap pribadi yang dikehendaki secara sosial dan perolehan knowledge yang luas tentang berbagai macam ilmu pengetahuan, pengalaman dan pengolahan strategi berpikir produktif. Dari Normatif – Filosofis ke Praktis 225 DAFTAR PUSTAKA A. Crow& L Crow, (1989). Psikologi Pendidikan. Nur Cahaya. Abdul Majid, (2007).Perencanaan Pembelajaran, Bandung: PT. Remaja Rosdakarya. Abdul Mujib dan Jusuf Mudzakkir, (2006). Ilmu Pendidikan Islam, Jakarta: Kencana. Abdullah Idi, (2010). Pengembangan Kurikulum Teori dan Praktik, Jogjakarta, Ar-Ruzz Media. Abuddin Nata, (1997). Filsafat Pendidikan Islam, Cet. I, Jakarta: Logos Wacana Ilmu. ------------------, (2008). Manajemen Pendidikan Mengatasi Kelemahan Pendidikan Islam Indonesia, PT Prenada Media Group, Jakarta. ------------------, cetakan ke-2, (1999). Filsafat Pendidikan Islam. Logos Wacana Ilmu: Jakarta. -----------------, (1997). Filsafat Pendidikan Islam 1. Jakarta: Logos Wacana Ilmu. Agus Zaenul Fitri, (2012). Reinventing Human Character: Pendidikan Karakter Berbasis Nilai dan Etika di Sekolah. Ahmad Ali Riyadi, (2010). Filsafat Pendidikan Islam, Yogyakarta: Teras. Ahmad Hanafi, (1990). Pengantar Filsafat Islam, Cet. IV, Jakarta: Bulan Bintang. Amstrong, D. G. (1989). Developing and Documenting the Curriculum, Allyn and Bacon, Boston, London, Sydney. Arifin Muzayyin, (2005). Filsafat Pendidikan Islam, Jakarta: Bumi Aksara. Arifin, cetakan ke-3, (1997). Filsafat Pendidikan Islam. Bumi Aksara: Jakarta. Armai Arif, (2002). Pengantar Ilmu dan Metodologi Pendidikan Islam. Ciputat Press: Jakarta. Asnawir, (2002). Media Pembelajaran. Jakarta: Ciputat Press. Asri Budiningsih. (2005). Belajar dan Pembelajaran. Jakarta: Rineke Cipta. Baucamp, G.A. (1975). Curriculum Theory, Illionis, The Kagg Press. 226 Manajemen Kurikulum Pendidikan Islam Beane, James A.,et all. (1986). Curriculum Planning and Development, Boston, Allyn and Bacon. Blenkin, G M dan Kelly, AV. (1981). Primary Curriculum, London ,Harper dan Row Publisher. Bobby dePorter, Mike Hernacki, (1999). Quantum Learning, Membiasakan Belajar Nyaman dan Menyenangkan, PT Mizan Pustaka, Bandung. Borden, Marian Edelman, (2001). Smart Start: Panduan Lengkap Memilih Pendidikan Prasekolah Balita Anda. Bandung: Kaifa. Brady, L. (1990). Curriculum Development, Third Edition, New York, London, Prentice Hall. Dakir, (2004). Perencanaan dan Pengembangan Kurikulum. Jakarta: Rineka Cipta. Dimyati Mahmud. (1990). Psikologi Pendidikan. Yogyakarta, BPEF. Direktorat Pembinaan Perguruan Tinggi Agama Islam, 1981.Metodik Khusus Pengajaran Agama Islam, Jakarta. E. Mulyasa, (2004).Kurikulum Berbasis Kompetensi-Konsep, Karakteristik dan Implementasi, PT. Remaja Rosda, Bandung. ----------------, (2006). Manajemen Berbasis Sekolah; Konsep, Strategi, dan Implementasi. Remaja Rosdakarya. Bandung. ----------------, (2007). Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP). PT Remaja Rosdakarya, Bandung. Eisner, E. W. (2002). The Educational Imagination on the Design and Evaluation of School Programs, Third Edition, Ohio, Meril Prentice Hall. Fuaduddin dan Karya, (1992). Pengembangan dan Inovasi Kurikulum. Jakarta: Dirjen Bimbaga Islam dan Universitas Terbuka. H.M. Arifin, (1993). Filsafat Pendidikan Islam, Jakarta: Bumi Aksara. Hamzah B. Uno, (2006). Orientasi Baru dalam Psikologi Pembelajaran. Jakarta: PT. Bumi Aksara. Henson, K.T. (1995). Curriculum Development for Educational Reform, Eastern Kentucky University, Longman. Hilda Taba, (1962). Curriculum Development Theory and Practice. New York: Harcont Drace and World. John. P. Miller, (1985). Curriculum Perspective. Longman. United States. -------------------, dan Wayne Seller. (1985).Curriculum Perspectives and Practice, London: Longman. Dari Normatif – Filosofis ke Praktis 227 M. Ahmad, (1998). Pengembangan Kurikulum, Bandung: Pustaka Setia. M. Arifin, cetakan ke-5, (1996). Ilmu Pendidikan Islam. Bumi Aksara: Jakarta. Madjid, Abdul, (2005). Perencanaan Pembelajaran. Remaja Rosdakarya: Bandung. Muhaimin et. al, (2001). Paradigma Pendidikan Islam. PT. Remaja Rosda Karya. Bandung. --------------, (2003). Wacana Pengembangan Pendidikan Islam Islam (Suatu Upaya Mengefektifkan Pendidikan Agama Di Sekolah). Pustaka Pelajar: Yogyakarta. --------------, (2007). Pengembangan Kurikulum Pendidikan Agama Islam di Sekolah, Madrasah Serta Perguruan Tinggi. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada. --------------, (2011).Pemikiran dan Aktualisasi Pengembangan Pendidikan Islam.PT Raja Grafido Persada. Jakarta. Nana Syaodih S, (1996). Pengembangan Kurikulum. Remaja Rosdakarya: Bandung. ---------------------,cet.ke-14, (2011).Pengembangan Kurikulum: Teori dan Praktek. Bandung: Remaja Rosadakarya. Ngalim Purwanto, (1989). Psikologi Pendidikan, PT Remaja Rosdakarya. Oemar Hamalik, (2001). Proses Belajar Mengajar. Jakarta: Bumi Aksara. --------------------, (2003). Kurikulum dan Pembelajaran. Jakarta: Bumi Aksara. --------------------, (2006). Pengembangan Kurikulum.PT. Remaja Rosda Karya. --------------------, (2007). Evaluasi Kurikulum. PT. Remaja Rosda Karya: Bandung. ----------------------, (2008). Manajemen Pengembangan Kurikulum, Bandung: Remaja Rosdakarya. Oemar Muhammad Al-Toumy al-Syaibani, (1979). Falsafah Pendidikan Islam (terj. Hasan Langgulung). Bulan Bintang: Jakarta. Oliva, P. F. (1992). Developing the Curriculum, Harpers Collin Publisher, Amerika. Parkay , F. W. (2006). Curriculum Planning a Contemporary Approach, Edisi 8, Pearson, New York-London-Sanfransisco. 228 Manajemen Kurikulum Pendidikan Islam Polka, W. S. dan Mattai, P. R . (2000). Curriculum Planning In The TwentyFirst Century: Managing Technology, Diversity, and Constructivism to Create Appropriate Learning Environments For All Students. Longman R Ibrahim,dkk,(2010). Perencanaan Pengajaran, Jakarta: Rineka Cipta. S. Adiwikarta,(1994). Kurikulum untuk Abad ke-21. Jakarta: Grasindo. S. Nasution, (1995). Kurikulum dan Pengajaran. Jakarta: Bumi Aksara. Sardiman, (2001). Interaksi dan Motivasi Belajar Mengajar. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada. Soetopo dan Soemanto, (1993). Pembinaan dan Pengembangan Kurikulum sebagai Substansi Problem Administrasi Pendidikan. Jakarta: Bumi Aksara. Soetopo, Hidayat dan Soemanti, Wasti. (1982). Pengantar Operasional Administrasi Pendidikan. Surabaya: Usaha Nasional. Sumadi Sueyabrata. (1984).Psikologi Pendidikan. Jakarta: CV Rajawali Pers. Suryosubroto, (1997). Proses Belajar Mengajar di Sekolah, Jakarta: Rineka Cipta. Tadjab, (1994). Ilmu Jiwa Pendidikan, Surabaya, Karya Abditama Tanner, D and Tanner,L. N. (1980). Curriculum Development: Theory into Practice, 2nd Ed. New York, Macmillan Co. Tedjo Narsoyo Reksoatmojo, (2010).Pengembangan pendidikan Teknologi dan Kejuruan.Bandung:Refika Aditama. Wasty Soemanto. (1998). Psikologi Pendidikan: Landasan Kerja Pemimpin Pendidikan. Jakarta: Rineke Cipta. Wiji Suwarno, (2006). Dasar-dasar Ilmu Pendidikan. Jogjakarta: Ar-Ruzz. Wina Sanjaya, (2009).Kurikulum dan Pembelajaran, Teori dan Praktek Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP), PT Kencana Prenada Media Group. ------------------, (2010). Strategi Pembelajaran Berorientasi Standar Proses Pendidikan, Jakarta: Kencana. Yusuf Amir Faisal, cetakan pertama, (1995). Reorientasi Pendidikan Islam. Gema Insan Press: Jakarta. Zainal Arifin, (2012). Pengembangan Manajemen Mutu Kurikulum Pendidikan Islam. Jogjakarta: Diva Press. Dari Normatif – Filosofis ke Praktis 229 230 Manajemen Kurikulum Pendidikan Islam