BAB 5 KESIMPULAN, DISKUSI, DAN SARAN 5.1 Kesimpulan

advertisement
BAB 5
KESIMPULAN, DISKUSI, DAN SARAN
5.1 Kesimpulan
Berdasarkan hasil penelitian dan analisa regresi linear berganda yang dilakukan,
dapat disimpulkan bahwa dimensi-dimensi moral berupa NBE, REP, NSE, WITH,
kekuasaan sebagai kesadaran, kekuasaan sebagai pilihan-pilihan, kekuasaan sebagai
kebebasan untuk berperilaku dengan sengaja, kekuasaan sebagai keterlibatan dalam
menciptakan perubahan, dan perasaan kompetensi secara bersama-sama mampu
memprediksikan fitnah defensif pada pemuka agama “X”.
Satu dari empat dimensi-dimensi emosi moral, yakni: Shame-Withdrawal dapat
memprediksikan fitnah defensif pada pemuka agama “X”. Satu dari empat dimensidimensi kekuasaan, yakni: Kekuasaan sebagai pilihan-pilihan memiliki nilai
signifikan dalam mempredikisikan fitnah defensif pada pemuka agama “X”.
Sementara
perasaan
kompetensi
menunjukan
nilai
yang
signifikan
dalam
memprediksikan fitnah defensif pada pemuka agama “X”.
5.2 Diskusi
Dalam disertasi R.M. Joseph pada tahun 1995, fitnah defensif diangkat sebagai
salah satu dimensi signifikan dari “Self-Protective Thoughts” pada perempuan
dengan kecacatan fisik, dalam berinteraksi dengan orang-orang yang tidak cacat
secara fisik. Menurut pendapat R.M Joseph, seseorang dapat meningkatkan
kesejahteraan subjektif nya dan menjaga harga dirinya lewat membandingkan diri
dengan orang lain yang kurang beruntung. Perbandingan dapat terlihat ketika harga
diri seseorang berada dibawah ancaman. Dalam upaya melindungi harga diri maka
orang akan menggunakan metode perbandingan “reverse downward”. Untuk
menginisiasikan perbandingan terbalik. Orang yang merasa sedang terancam harga
dirinya, secara relatif akan membalikan status orang lain sebagai orang yang kurang
beruntung. Orang yang terancam dapat melakukan hal ini lewat memfitnah orang lain.
Pemikiran fitnah defensif kemungkinan berupa: “Orang yang tidak cacat ini tidak
nyaman dan tidak mampu untuk berinteraksi dengan saya karena kecacatan saya.
Saya sepenuhnya mampu berinteraksi. Orang itulah yang sesungguhnya bermasalah”.
Setelahnya, perbandingan apapun yang ditetapkan, akan juga dilakukan terhadap
orang lain dengan anggapan kurang beruntung. Perilaku defensif ini diduga dapat
mengurangi ancaman terhadap kompetensi, peluang intuk membangun hubungan
dengan orang lain juga menjadi parah dan terbatas. Analogi ini menggambarkan
perasaan kompetensi yang rendah (low sense of competence).
Dalam penilitan ilmiah Power, defensive denigration, and the assuaging effect
of gratitude expression didapati bahwa individu-individu yang merasa kurang
kompeten lebih memungkinkan untuk langsung menunjukan bentuk-bentuk agresi
dalam wujud respon yang didorong oleh rasa ketidakamanan. Dugaan ini menjadi
fondasi berdirinya hipotesis bahwa keterancaman kompetensi diri dapat menuntun
mereka yang berkuasa untuk melukai orang lain secara tidak langsung, dalam bentuk
fitnah. (Fast & Chen, 2009) Dibawah naungan atribusi yang sama, simpulan
terbaliknya menunjukan bahwa perasaan kompetensi yang tidak terganggu dapat
meminimalisir fitnah defensif dalam bentuk reverse-downward pada orang cacat,
demikian pun didapati pada pemuka agama “X”.
Dalam penelitian ini juga diketahui bahwa kekuasaan sebagai pilihan-pilihan mampu
memprediksikan fitnah defensif pada pemuka agama “X” dengan arah positif.
Artinya, semakin tinggi kekuasaan sebagai pilihan, maka semakin tinggi fitnah
defensif pada pemuka agama “X”. Didukung artikel penelitian psikologi tentang
“Power and Choice” karya Inesi et al,. dipublikasikan pada tahun 2011, yang
menguji dua sumber kontrol dalam kehidupan yakni: pilihan dan kekuasaan. Tim
peneliti artikel ilmiah ini berpendapat bahwa motif untuk menguasai begitu penting
dalam kehidupan kita sehingga pilihan dan kekuasaan dapat saling mensubtitusi satu
dengan
yang
lain.
Pilihan-pilihan
diri
sebagai
dimensi
dari
kekuasaan
menggambarkan penilaian orang yang berkuasa akan pilihan-piihan yang diambil
yakni pilihan-pilihan yang berarti, mendalam, asertif, teratur, penting, didukung
informasi, bersifat memimpin, dan mengembang. Barrett, PKPCT (1983). Pilihanpilihan yang diambil oleh orang dalam posisi kekuasaan biasanya didukung oleh
bawahan. Di Indonesia, didapati adanya jarak kekuasaan (power distance) yang tinggi
antara yang memimpin dan yang dipimpin. Hal ini dapat membawa dampak
penguatan terhadap ilusi bahwa tidak ada pilihan lain yang lebih diprioritaskan selain
pilihan-pilihan atasan atau orang yang berkuasa. Dengan demikian, apabila ada pihak
yang lain yang meragukan atau mengkritik pilihan-pilihan orang yang berkuasa, maka
fitnah defensif akan semakin tinggi.
Ditinjau dari sudut pandang karakteristik, fitnah defensif dan rasa malu memiliki
beberapa persamaan karakteristik, yakni dalam hal: penarikan diri, pembatasan
hubungan, menghindari kontak, dan ketidakmampuan menjadi diri sendiri dalam
berinteraksi ketika berada dibawah rasa malu atas pelanggaran-pelanggaran yang
telah dilakukan. Korelasi signifikan antara Shame-withdrawal dengan tekanan
pribadi, neurotisisme, permusuhan, harga diri yang rendah, belas kasihan diri yang
rendah, penghindaran dan penarikan diri (Cohen et al., 2011). Individu yang memiliki
nilai Shame-Withdrawal yang tinggi sangat memperhatikan evaluasi orang lain
terhadap dirinya, yang berdampak pada munculnya hasrat untuk bersembunyi,
melarikan diri sebelum melakukan serangan balik dengan berperilaku agresif terhadap
orang yang dianggap menyebabkan rasa malu. White dan Eyre (2007) memiliki bukti
empiris yang mendukung bahwa bentuk operasional rasa malu (Shame) adalah
berupa: penarikan diri (Withdrawal), sifat menghindari dan kritikan. Rasa malu
seringnya berujung kepada perilaku defensif. Berdasarkan pengamatan peneliti
dilapangan dan dari serangkaian fenomena terkait yang populer, individu-individu
yang telah melakukan pelanggaran dimata publik, sejumlah besar menunjukan sikap
Shame-Withdrawal sebagai respon mula-mula sebelum memunculkan fitnah defensif.
Manifestasi perilaku Shame-Withdrawal dalam memprediksikan fitnah defensif dapat
dicermati dalam contoh kasus pengunduran diri Anas Urbaningrum sebagai ketua
umum partai demokrat, yang setelahnya diikuti fitnah defensif terhadap partai
demokrat, dalam pemeriksaan akan kasus dugaan penerimaan gratfikasi proyek
hambalang.
Demikian
verifikasi
berita
dari
website
resmi
okezone.com
yang
dipublikasikan pada tanggal 8 Januari 2014. JAKARTA - Partai Demokrat meminta
Anas Urbaningrum untuk menghormati proses hukum yang ada di Komisi
Pemberantasan Korupsi (KPK) dan tidak melontarkan fitnah ke partai berlambang
bintang Mercy itu. Tidak perlu ada fitnah-fitnah, jalani saja proses hukumnya," kata
Wakil Ketua Umum DPP Partai Demokrat, Nurhayati Ali Asegaf di Gedung DPR,
Senayan, Jakarta, Rabu (8/1/2014). Hal ini diungkapkan Nurhayati menanggapi
pernyataan para loyalis Anas yang mengatakan Wakil Ketua KPK, Bambang
Widjojanto sowan ke Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) sebelum
memeriksa Anas.Menurut Nurhayati, tudingan itu sama sekali tidak benar, dan
sengaja diungkapkan oleh para loyalis Anas tanpa dasar yang jelas. SBY, kata dia,
sama sekali tidak pernah mengintervensi KPK. "Jangan selalu menghubungkan
dengan Cikeas. Saya minta untuk tidak mengkaitkan dengan Cikeas, karena ini tidak
ada kaitanya. Anas jalani saja proses ini," tegas Nurhayati. (Oke Zone, 2014)
Negative Self Evaluation, Guilt-Repair, dan Guilt-Negative Behavior Evaluation tidak
mampu memprediksikan fitnah defensif pada pemuka agama “X”. Peneliti berasumsi
adanya individu-individu yang menggunakan strategi “maling teriak maling”, dan
adanya individu-individu yang menggunakan strategi lebih pasif lainnya.
Kekuasaan sebagai kesadaran tidak mampu memprediksikan fitnah difensif pada
pemuka agama “X”. Dalam jurnal “Nurses Perception of Power Regarding Their
Clinical Role” (Cruz, D.A.L.M et al., 2009) Kesadaran diangkat sebagai salah satu
manifestasi kekuaasaan yang dapat diobservasi. Kesadaran merujuk kepada kondisi
sadar akan persepsi seseorang akan keberadaan segala sesuatu. Mengacu pada alat
ukur Power as Knowing Participation in Change yang dirampungkan Barrett, dapat
dilihat bahwa individu-individu dengan nilai “Kesadaran” yang tinggi memiliki
karakteristik yang mendalam, memimpin, asertif, berinisiatif dengan sengaja, dan
teratur. Namun berdasarkan hasil data kuantitatif ditunjang observasi kualitatif
lapangan, peneliti mendapati rendahnya “Kesadaran” dalam skala kekuasaan, karena
jabatan organisasional serta kekuasaan pemuka agama “X” mayoritas bersifat
delegatif dan cenderung dikendalikan oleh hirarki organisasional yang lebih tinggi
atau mayoritas “pemegang saham”. Dengan demikian peneliti berasumsi bahwa
lemahnya kontribusi “Kesadaran” akan kekuasaan
dalam memprediksikan fitnah
defensif dapat disebabkan oleh pengendalian “Kesadaran” akan kekuasaan itu sendiri
oleh pihak-pihak lain yang mempengaruhi persepsi kekuasaan pada pemuka agama
“X”.
Kekuasaan sebagai kebebasan untuk berperilaku dengan sengaja dalam skala
kekuasaan tidak mampu memprediksikan fitnah defensif pada pemuka agama “X”.
Kebebasan untuk berperilaku dengan sengaja merujuk kepada kapasitas yang dimiliki
seseorang untuk melakukan sesuatu atau merealisasikan apapun yang terpikirkan.
(Cruz et al., 2009). Kekuasaan sebagai kebebasan adalah fenomena kesatuan dan
perubahan-perubahan bersifat inovatif, kreatif dan tidak terprediksi. (Barrett, 1983,
1986, 1989, 1990a, 1990b, 2003). Hal inilah yang menyebabkan, ketidakmampuan
“Kebebasan untuk berperilaku dengan sengaja” dalam memprediksikan fitnah
defensif. “Kebebasan untuk berperilaku dengan sengaja pada hakekatnya
mengedepankan perlindungan kebebasan orang lain, sedangkan objektif fitnah
defensif lebih kepada perlindungan terhadap diri sendiri. Disamping itu, ada konflik
orientasi antar keduanya.
Kekuasaan sebagai keterlibatan dalam menciptakan perubahan dalam skala
kekuasaan tidak mampu memprediksikan fitnah defensif pada pemuka agama “X”.
Dr. Elizabeth Barrett dalam rangkuman PKPCT (Power as Knowing Participation in
Change Tool) mendefinisikan “kekuasaan sebagai partisipasi sadar dalam perubahan”
sebagai kesadaran akan apa yang menjadi pilihan orang untuk dilakukan, kebebasan
melakukan, dan melakukannya atas intensi diri sendiri. Perubahan adalah proses
mutual dari partisipasi yang berkelanjutan yang disadari atau tidak disadari.
Keterlibatan dalam menciptakan perubahan melalui proses yang berbeda ketika
pilihan-pilihan ditujukan kepada “kontrol” daripada “kebebasan”.
5.3 Saran
5.3.1 Saran Metodologis
Saran untuk penelitian selanjutnya adalah:
1.
Pembagian responden berdasarkan jenis kelamin baiknya didistribusikan
dalam jumlah yang seimbang untuk tujuan generalisasi.
2.
Guna mendapatkan hasil lebih valid dan reliable, maka penelitian selanjutnya
dengan jenis sampel yang sama diharapkan untuk meminimalisir jumlah
pertanyaan, dan memperbesar cetakan agar responden tidak kelelahan dan
lebih efektif dalam pengisian.
3.
Merapihkan penulisan kalimat pertanyaan-pertanyaan dalam perangkat
kuisioner untuk menghindari ambiguitas.
4.
Diharapkan penelitian selanjutnya dapat melibatkan kriteria sampel yang lain
atau spesifikasi kriteria pada sampel yang sama untuk makin meluaskan dan
menyempurnakan penelitian tentang fitnah defensif terhadap kecenderungan koruptif,
kekuasaan dan perasaan kompetensi.
5.3.2 Saran Praktis
Saran praktis pada penelitian ini, yaitu:
1. Berdasarkan penelitian ilmiah ini, besar harapan pemuka agama “X” untuk
senantiasa memantau kompetensi diri, dan secara progresif melakukan upayaupaya pengembangan kompetensi diri, baik pengetahuan ataupun keahlian.
Kesadaran
untuk
meninjau
serta
mengembangkan
kompetensi
diri
memperkecil kemungkinan munculnya fitnah defensif.
2. Penarikan diri atas dasar rasa malu ketika pelanggaran dilakukan ataupun
dalam situasi konflik, sebaiknya diatasi dengan konseling atau intervensi
sejenisnya, sebelum diimplementasikan lebih jauh dan berujung pada
munculnya fitnah defensif.
3. Sikap menghormati pilihan-pilihan yang diambil pemegang kekuasaan dalam
hirarki organisasional perlu diawasi konsistensinya untuk kesejahteraan
hubungan yang sehat dan produktif antara pemimpin dan yang dipimpin.
Download