Filsafat Penghiburan - Sabtu, 20 Desember 2003 Pustakaloka Rubrik Jawa Tengah Berita Utama Finansial Sabtu, 20 Desember 2003 Filsafat Penghiburan Olahraga Dikbud Opini International Nasional Iptek Bisnis & Investasi Nusantara Naper DENGAN meneropong teks- teks politik Indonesia lewat metode analisis wacana (discourse analysis), buku ini mempertanyakan, mengapa aspek-aspek politik tertentu dijadikan obyek kajian, sementara yang lainnya tidak; mengapa metode tertentu menjadi dominan, sementara metode lain terpinggirkan; mengapa sesuatu disebut pengetahuan, sementara yang lain tidak. Singkatnya, ada semacam "distorsi pengetahuan" dalam teks-teks kajian politik Indonesia, yang di dalam buku ini ditengarai sebagai produk dari kecenderungan Orientalisme, yaitu bagaimana "Barat" merepresentasikan realitas "Timur" lewat cara pandangnya sendiri. Metropolitan Liputan Natal & Tahun Baru Dana Kemanusiaan Buku ini lalu memperlihatkan bahwa ada relasi kekuasaan tertentu (power relations) yang beroperasi di balik formasi pengetahuan (knowledge formation) tentang Indonesia, yang diproduksi berdasarkan imajinasi dan ideologi Barat yang hegemonik. Imajinasi itu dibangun di atas klaim bahwa Barat mempunyai otoritas untuk merepresentasikan Timur berdasarkan sistem pengetahuan mereka; mempunyai hak untuk menyingkap "kebenaran" (truth) tentang manusia, bangsa, dan kebudayaan lain; mempunyai hak istimewa untuk menilai obyektivitas pengetahuan itu sendiri. Teknologi Informasi Kamar gelap epistemologi Berita Yang lalu Jendela Pustakaloka Fokus Rumah Audio Visual Otonomi Furnitur Agroindustri Dengan menggunakan metode genealogi Foucaultian, buku ini berupaya membongkar "kamar gelap" tempat pengetahuan tentang "realitas" Indonesia diproduksi; dan di sana ditemukan bahwa para pemikir politik Indonesia sepertinya "tidak terusik oleh ribut-ribut perkembangan teori-teori kontemporer". Berbagai pendekatan teoretis atau metode kritik baru yang radikal tentang http://www.kompas.co.id/kompas-cetak/0312/20/pustaka/756785.htm (1 of 9)20/03/2006 16:26:03 Search : Filsafat Penghiburan - Sabtu, 20 Desember 2003 Ekonomi Rakyat Teropong Didaktika Ekonomi Internasional Pergelaran Kesehatan Telekomunikasi Wisata Bentara Bingkai Pixel Ilmu Pengetahuan Otomotif Sorotan Pendidikan Bahari Pendidikan Luar Negeri Pendidikan Dalam Negeri Investasi & Perbankan Pengiriman & Transportasi Perbankan Esai Foto Makanan dan Minuman Properti Swara Muda perubahan, kekuasaan, kebebasan dan etnisitas-yang berada di bawah payung pos-strukturalisme atau pos-kolonialisme-tidak menarik perhatian mereka. Sebaliknya, kajian politik Indonesia justru masih tidur lelap dalam mimpi-mimpi positivisme mereka. Ada kecurigaan bahwa keengganan menggunakan pendekatan baru yang lebih radikal itu-seperti pendekatan Foucaultian-disebabkan pendekatan itu merupakan "ancaman" terhadap wacana Orientalisme itu sendiri, terutama atas sikapnya yang merayakan fragmentasi, pluralisme, dan heterogenitas. Di pihak lain, prinsip rasionalisme, universalisme, dan obyektivisme yang menjadi dasar pendekatan positivisme lebih sejalan dengan semangat Orientalisme. Pendekatan positivisme bisa digunakan untuk menjelaskan atau "menelanjangi" orang, bangsa, atau negara lain, tetapi tak mungkin "menelanjangi dirinya sendiri", yaitu memperlihatkan secara telanjang mekanisme epistemologisnya. Oleh sebab itu, tidak mengherankan jika Philpott menggunakan pendekatan Foucaultian dalam meneropong teks-teks kajian Indonesia, khususnya pendekatan "genealogi", disebabkan genealogi merupakan alat ampuh dalam "pembongkaran secara terus-menerus struktur kemungkinan pemahaman". Sebagaimana yang dikatakan Gavin Kendall dan Gary Wickham di dalam Using Foucault’s Methods (1999), genealogi bukanlah cara "menelanjangi orang lain"dalam pengertian menghujat, menilai, dan mengadili pihak lain-melainkan cara "menelanjangi diri sendiri", khususnya membongkar berbagai "aib epistemologis", khususnya bagaimana relasi kekuasaan tertentu (power relations) mengendalikan produksi pengetahuan dan klaim atas kebenarannya (truth)-aib yang justru selalu ingin disembunyikan oleh para ilmuwan Orientalis. "Penelanjangan diri sendiri" secara genealogis itu tentu akan membuat "merah muka" para ilmuwan Orientalis disebabkan genealogi berusaha "menelanjangi" segala sesuatu-khususnya relasi hegemoni, tekanan ideologis, kepentingan, hasrat superioritas, dan kehendak kekuasaan "Barat" di balik produksi pengetahuan-yang oleh para Orientalis justru dijaga agar tak diketahui pihak lain. Genealogi, sebaliknya, mempertontonkan pada publik "bagian terlarang" yang disembunyikan para Orientalis itu. Musik Info Otonomi Tentang Kompas Kontak Redaksi Dengan semangat "pembongkaran aib epistemologis" dalam kajian politik Indonesia itu, Philpott tidak terlalu tertarik dengan pertanyaan tentang apakah pengetahuan yang ditulis di dalam buku- buku politik Indonesia menggambarkan "realitas" sesungguhnya, dengan cara mengujinya di lapangan secara empiris; akan tetapi, lebih tertarik pada "relasi pengetahuan itu sendiri". Artinya, ketimbang mempersoalkan data-data lapangan, apa yang lebih menarik bagi Philpott adalah mempersoalkan "apa yang diterima atau ditolak sebagai pengetahuan (knowledge) dan bagaimana mekanisme operasionalnya" (hal xvi). http://www.kompas.co.id/kompas-cetak/0312/20/pustaka/756785.htm (2 of 9)20/03/2006 16:26:03 Berita Lainnya : agar Terus · Berbisnis Melayani Kembali · Mengingat Lahirnya Tulisan Melayu Latin Filsafat Penghiburan - Sabtu, 20 Desember 2003 Meskipun demikian, buku ini bukanlah tentang sosiologi pengetahuan sebagaimana dipahami oleh Peter Berger dan Thomas Luckmann dalam The Social Construction of Reality (1981), yaitu sebuah upaya untuk memahami apa yang dianggap sebagai pengetahuan dalam dunia kehidupan sehari-hari (everyday life). Buku ini, sebaliknya, berupaya memasuki pertanyaan filosofis lebih dalam, yang tidak dipertanyakan di dalam sosiologi pengetahuan. Dengan demikian, seperti dikatakan Philpott, daripada menguji kesesuaian gagasan tertentu dengan "realitas" empiris Indonesia, ia lebih tertarik untuk mengangkat isu-isu epistemologis dan ontologis-yaitu cara pengetahuan diperoleh, relasi kekuasaan di baliknya, dan keberadaan pengetahuan itu sendiri-yang berdasarkan pengetahuan itu Indonesia "diimajinasikan" dan "dikonstruksi" (hal 3). Imajinasi Orientalis Imajinasi tentang "realitas" Indonesia di dalam teks-teks politik Indonesia pada kenyataannya tidak dapat dipahami sebagai realitas politik Indonesia an sich, tetapi harus ditempatkan di dalam bingkai wacana yang lebih luas, seperti wacana Perang Dingin, antikomunisme, teori modernisasi, teori ketergantungan, politik budaya, atau Renesans Asia, yang semuanya silang-menyilang satu sama lain, dan secara bersama-sama mencetak apa yang disebut sebagai "realitas Indonesia". Dalam rangka mengurai semak belukar relasi itulah Philpott menemukan bahwa ternyata "lukisan Indonesia" dalam teks- teks politik itu sangat khusus dan plural, tergantung dalam konteks geopolitik mana ia diperbincangkan. Tidak hanya ada satu lukisan Indonesia, melainkan "beragam Indonesia", yang keragaman itu dikondisikan oleh berbagai aturan main (rules) dan relasi kekuasaan berbeda di baliknya, yang menentukan apa yang dianggap sebagai "pengetahuan" dan apa yang ditolak. Ada berbagai kekuasaan hegemonik tertentu yang melandasi kajian politik Indonesia dan menentukan imajinasi tentang Indonesia. Kekuasaan hegemonik itu di antaranya yang menonjol adalah hegemoni Amerika Serikat (AS) dalam menentukan "citra dunia" atau "arah perkembangan dunia" berdasarkan imajinasi dan fantasi-fantasi mereka sendiri. Citra tentang Indonesia tidak bisa dilepaskan dari bagaimana Indonesia ditempatkan sebagai bagian dari "imajinasi Amerika" tentang dunia atau kawasan tertentu, seperti "Asia Tenggara". Artinya, lukisan Indonesia itu berwajah "Orientalis Amerika". Wajah Indonesia itu dibentuk di bawah bayang-bayang hegemoni militer, ekonomi, kultural, dan intelektual Amerika, yang diproduksi di dalam wacana ilmu- ilmu sosial pascaperang. http://www.kompas.co.id/kompas-cetak/0312/20/pustaka/756785.htm (3 of 9)20/03/2006 16:26:03 Kering di · Rumput Musim Kemarau · Filsafat Penghiburan · Ramai-ramai "Berbisnis" Hiburan Rohani Polos · Narasi "Kekerasan" Adat Bali dan · Kusut Problematik Merantau Krisis, · Sekalipun Penerbit Kristen Menuai Berkat Pembaruan · Dalil-dalil Martin Luther Rohani · Penghiburan dalam Jurnalisme Sastrawi · PUSTAKALOKA Filsafat Penghiburan - Sabtu, 20 Desember 2003 Selain itu, pengetahuan dan imajinasi tentang Indonesia tidak bisa dilepaskan dari bagaimana ia ditempatkan di dalam konstruksi pengetahuan tentang kawasan, khususnya kawasan Asia Tenggara. Bentuk pengetahuan, formasi wacana akademis (discourse formation), dan relasi kekuasaan tertentu sangat menentukan pemahaman tentang konstruksi kawasan "Asia Tenggara" itu. Citra (image) kawasan "Asia Tenggara" merupakan produk dari imajinasi para Orientalis tentang kawasan itu, terutama Orientalis Eropa dan Amerika. Dalam rangka merealisasikan imajinasi itu, para sarjana kolonial menciptakan "pemetaan kolonial" (colonial cartography)-berupa pembagian negara-bangsa sesuai dengan imajinasi global Amerika tentang kawasan itu-sehingga menciptakan "relasi geopolitis baru", "realitas baru" dan "identitas-identitas baru", yang di dalamnya setiap orang diharapkan mampu menciptakan pemaknaan baru tentang relasi antarnegara-bangsa, yang diikat oleh sebuah sistem geografis/ yuridis yang bersifat universal. Di sini beroperasi semacam politik identitas (politics of identity) dan politik pemaknaan (politics of signification) dalam rangka memelihara imajinasi Orientalis tentang sebuah kawasan. Meskipun demikian, politik identitas dan pemaknaan kolonial itu sering kali dilawan. Pembentukan kawasan "Asia Tenggara" merupakan satu bentuk perlawanan terhadap otoritas politis-yuridis kolonial tersebut meskipun dalam perkembangan selanjutnya, para Orientalis Amerika tanpa henti-hentinya menciptakan "citra baru wilayah" itu agar selalu sesuai dengan lukisan hegemonis Amerika tentang dunia, misalnya dengan mengembangkan berbagai bentuk "kecemasan" (anxiety) di kawasan tersebut. Asia Tenggara, misalnya, menjadi ladang eksperimen kecemasan AS tentang ancaman komunisme, dengan menciptakan di dalamnya imajinasi, sentimen, dan pikiran populer (popular imagination) tentang bahaya, keburukan, dan kejahatan komunisme; dan menempatkan AS sebagai sebuah kekuatan yang mampu menghilangkan kecemasan itu, misalnya dengan menciptakan "citra kawasan" Asia Tenggara sebagai kawasan "laboratorium demokrasi", "kapitalis baru Asia" atau "pasar bebas Asia". Di sini terjadi semacam "pertarungan semantik" terusmenerus untuk menamai sebuah kawasan agar sesuai dengan imajinasi hegemonis AS tentang dunia. Pengetahuan historis tentang kawasan yang sangat minim serta embusan isu tentang ancaman komunisme yang kuat telah memungkinkan citra dan metafora tertentu mendapatkan pengaruh besar di wilayah tersebut. Misalnya, penciptaan metafora Asia Tenggara sebagai "macan Asia" (baca: kapitalis Asia) di satu pihak tentunya sejalan dengan imajinasi "dunia kapitalisme global" yang diimpikan Amerika; namun, di pihak lain tidak memberi ruang bagi citra lain, misalnya citra tentang "masyarakat komunal" (Komunisme) atau "masyarakat religius" yang http://www.kompas.co.id/kompas-cetak/0312/20/pustaka/756785.htm (4 of 9)20/03/2006 16:26:03 Filsafat Penghiburan - Sabtu, 20 Desember 2003 semuanya dipinggirkan dan dibungkam. Genealogi politik Indonesia Sebagaimana dijelaskan di atas, ada semacam kekuatan "Orientalisme pengetahuan" yang beroperasi di balik kajian tentang Indonesia, yang menciptakan "distorsi pengetahuan", "pelencengan citra" atau "pembengkokan semiotik" tentang realitas Indonesia itu sendiri. Pengetahuan distortif, citra yang melenceng, dan makna yang "bengkok" ini secara sistematis dipelihara oleh berbagai lembaga hegemonis, khususnya lembaga pendidikan dan lembaga donor (foundation funding), sebagai perpanjangan tangan dari kekuasaan hegemonik AS. Sudah menjadi pengetahuan umum bahwa pengembangan wacana pengetahuan di negara berkembang-termasuk Indonesia-sangat bergantung pada keberadaan lembaga donor yang berasal dari Barat. Akan tetapi, tidak seperti yang selalu dipromosikan, lembaga donor itu bukanlah lembaga yang benar-benar independen. Lembaga-lembaga itu diorganisir secara sistematis, halus, dan rapi sehingga tidak ada yang menyadari bahwa ia merupakan perpanjangan tangan dari kekuasaan hegemonis dan kepentingan AS secara global. Karena alasan ideologis itu, obyek kajian, metode, dan bentuk-bentuk pengetahuan tertentu (yang mendukung imajinasi hegemonik AS) diterima; sementara yang lainnya (misalnya, pendekatan keagamaan, sosialis, Marxisme) ditolak. Klaim pengetahuan dan kebenaran di dalam kajian Indonesia dibangun di atas bangunan pengetahuan yang asimetris ini. Ini tentunya bertentangan dengan prinsip "kebebasan akademis" dan "demokrasi" yang didengung-dengungkan AS sendiri. Selain lembaga donor, sekolah-sekolah tertentu juga mempunyai "kekuasaan" yang besar dalam memproduksi "peta pengetahuan distortif" tentang Indonesia. Di tangan para sarjana Orientalis Amerika, "lukisan Indonesia" diproduksi di dalam bingkai wacana dan orientasi pemikiran yang dibangun berdasarkan kelompok-kelompok sekolah tertentu (school of thought), yang lebih dikenal sebagai "mafia", misalnya Mafia Berkeley. "Mafia-mafia pengetahuan" ini yang menciptakan imajinasi tentang Indonesia di dalam era Orde Baru, yang bersifat distortif. Teori pembangunan, teori keamanan, dan teori dinamisme budaya; konsep- konsep kedaulatan, demokrasi, kemajuan dan good governance-yang "diajarkan" oleh mafia ini-menjadi dasar bagi pembentukan imajinasi tentang "Indonesia". Selain itu, dalam kajian-kajian politik Indonesia, wajah kekuasaan politik Indonesia-khususnya Orde Baru-cenderung dilihat sebagai wajah yang "represif", http://www.kompas.co.id/kompas-cetak/0312/20/pustaka/756785.htm (5 of 9)20/03/2006 16:26:03 Filsafat Penghiburan - Sabtu, 20 Desember 2003 yaitu wajah kekuasaan yang dilihat secara asimetris hanya sebagai "milik" negara dan militer. Model kekuasaan seperti itu cenderung mematikan perkembangan "subyektivitas manusia" sebagai "makhluk politik" disebabkan subyek dikonstruksi di atas relasi oposisi biner berkuasa/tak berkuasa. Dengan memperlakukan kekuasaan secara negatif dan represif, negara mengendalikan diri subyek (self), membatasi ruang geraknya, mengontrol pikiran dan opininya sehingga menghasilkan subyek-subyek yang bungkam secara politik. Sebagai sebuah discourse dalam pengertian Foucaultian, "pembangunan" yang dijalankan oleh Orde Baru tidak bisa dilepaskan dari "relasi kekuasaan" di baliknya, dengan menerapkan apa yang dikatakan Foucault teknologi diri (technology of self) dan pendisiplinan tubuh (disciplinary body) lewat berbagai program perencanaan, pembatasan, pengawasan, dan pengendalian tubuh (pendidikan, kelahiran, wajib militer, transmigrasi) agar dihasilkan tubuh yang patuh (docile body). Realitas (sosial, politik, kultural) dibentuk lewat formasi "wacana pemerintah", yang di dalamnya diri, kesadaran, dan identitas tiap individu "dicetak", dalam rangka membangun citra hegemonis tertentu (misal "modernisasi"). Subyek lalu menjadi "obyek kekuasaan" pemerintah, dengan menjadi target dari berbagai sientifikasi, teknologisasi, dan rasionalisasi pemerintah, mulai dari keluarga berencana, intensifikasi pertanian, transmigrasi, program wajib belajar, penataran P4, hingga wajib militer, dalam rangka membangun "Indonesia modern" sesuai dengan imajinasi para Orientalis Amerika. Untuk tercapainya berbagai tujuan sientifikasi, teknologisasi, dan rasionalisasi itu, pemerintah tidak jarang menggunakan teror, ancaman, intimidasi, penculikan, pembunuhan, dan bentuk intervensi tak manusiawi lainnya. Kekerasan menjadi cara untuk membungkam suara-suara yang berbeda; mengendalikan kelompok kepentingan tertentu (seperti jurnalis); atau mengekang aktivitas gerakan-gerakan oposisi yang berbasis massa (seperti gerakan Islam tertentu atau Komunisme). Keterpakuan pada pemahaman kekuasaan yang negatif itu telah menutup pintu bagi kajian-kajian "kekuasaan" dalam konteks yang baru, khususnya aspek "kekuasaan plural", seperti dikatakan Foucault. Kebanyakan teks-teks kajian politik Indonesia tidak ada yang secara sistematis mencoba melihat fenomenafenomena seperti budaya populer (musik, televisi, Internet, film, teater, sastra), relasi jender (gerakan feminisme), budaya anak muda (youth culture), atau subkultur (punk) sebagai bagian dari kajian "relasi kekuasaan". Kritik genealogis atas genealogi http://www.kompas.co.id/kompas-cetak/0312/20/pustaka/756785.htm (6 of 9)20/03/2006 16:26:03 Filsafat Penghiburan - Sabtu, 20 Desember 2003 Penggunaan epistemologi Foucaultian-atau pos-strukturalis pada umumnyadalam meneropong realitas politik memang masih sangat asing dalam wacana politik Indonesia meskipun ia sangat menjanjikan. Kerangka pikir Foucault-seperti halnya Baudrillard, Derrida, Deleuze, dan Guattari-mampu membentangkan segala sesuatu yang sebelumnya tersembunyi, tak terkatakan atau bahkan tak terpikirkan dalam wacana politik. Akan tetapi, keasyikan pada kerangka pikir itu dapat menggiring pada semacam "ekstase intelektualitas", yaitu ketidaksadaran akan berbagai sisi-sisi kritis epistemologinya. Keasyikan Philpott dalam membentangkan fondasi epistemologi dan ontologi kajian politik Indonesia telah melupakannya untuk membongkar beberapa kelemahan epistemologis dari kerangka pikir yang digunakannya. Philpott memang menggunakan pendekatan Orientalisme Said secara kritis. Akan tetapi, hal yang sama tidak dilakukannya terhadap Foucault. Padahal, ada berbagai kontradiksi, paradoks, dan inkonsistensi dalam kerangka pikir Foucaultian, yang menyebabkan penggunaannya dalam meneropong episteme teks-teks kajian Indonesia akan menimbulkan cacat epistemologi itu sendiri. Pertama, konsep Foucault tentang "kekuasaan" telah banyak mendapatkan kritik dari berbagai pihak disebabkan kekaburan dan ambiguitas konsep itu. Foucault melihat bahwa di balik setiap produksi pengetahuan selalu ada semacam "kekuasaan tak tampak" yang menentukan bentuk dan arah pengetahuan itu. Akan tetapi, apa wujud ontologis kekuasaan itu? Bila kekuasaan dikatakan tak tampak (invisible)-namun sangat menentukan sesuatu yang tampak, seperti tubuh (body)-tidakkah itu berarti bahwa "kekuasaan" itu tak terjangkau oleh pengalaman, artinya bersifat metafisik? Dalam hal ini Foucault yang antimetafisik menawarkan sebuah model kekuasaan metafisik (the metaphysics of power). Kedua, Foucault berkali-kali mengatakan tentang "pluralitas kekuasaan" dan bahwa "kekuasaan ada di mana-mana" Akan tetapi, dalam konteks politik Indonesia, apa yang spesifik tentang konsep "kekuasaan" itu? Bila kekuasaan bersifat plural dan metafisis, apakah yang disebut "kekuasaan" itu, dalam konteks politik Indonesia, termasuk mistik, paranormal, wangsit, bisikan, karisma, kesaktian, prana, atau yang nonmetafisis, seperti uang, kecantikan, popularitas? Yang jelas, dalam konteks politik Indonesia semua "kekuasaan" itu mempunyai "kekuatan" tertentu dalam menentukan relasi dan arah politik. Ketiga, ada sedikit ganjalan pada pendekatan epistemologi yang digunakan Philpott. Apa yang disebut Philpott epistemologi adalah "epistemologi Foucaultian" yang tidak berurusan dengan rezim kebenaran. Adapun epistemologi dalam pengertian klasiknya diartikan sebagai "teori pengetahuan" yang inheren di dalamnya "teori kebenaran" (truth). Bila yang disebut "epistemologi" oleh Philpott adalah pengetahuan tentang seperangkat aturan dan http://www.kompas.co.id/kompas-cetak/0312/20/pustaka/756785.htm (7 of 9)20/03/2006 16:26:03 Filsafat Penghiburan - Sabtu, 20 Desember 2003 kekuasaan, yang menentukan apa yang diterima dan ditolak sebagai pengetahuan, maka ia adalah "epistemologi setengah matang", yang tak sampai mempersoalkan kebenaran, misalnya "kebenaran tentang realitas Indonesia". Penutup Akan tetapi, terlepas dari beberapa kritik tersebut di atas, keberadaan buku ini patut diberikan penghargaan yang sangat tinggi karena ia adalah sebuah buku yang sangat substansial, yang mampu membuka cakrawala baru dalam pemikiran politik Indonesia dan mampu mendekonstruksi struktur pemikiran keindonesiaan-khususnya politik-yang selama ini terkungkung di dalam penjara epistemologi positivisme. Pertama, dalam konteks perkembangan pemikiran politik di Indonesia, nilai utama buku ini adalah keberaniannya memasuki wilayah substantif dan filosofiskhususnya wilayah epistemologi dan ontologi-dalam meneropong kajian politik Indonesia yang boleh dikatakan merupakan sebuah "tanah tak berpenghuni" di dalam percaturan pemikiran politik di Indonesia, yang selama ini hanya menghasilkan pemikiran-pemikiran "praktis", "pesanan", dan "sponsor". Buku ini mengingatkan pemikir politik Indonesia tentang pentingnya memasuki wilayah "bawah tanah" dan "makna substansial" (deep meaning) itu demi menghasilkan kajian-kajian politik yang mendalam. Kedua, inilah buku pertama tentang kajian politik Indonesia, baik oleh penulis lokal maupun asing, yang menggunakan pendekatan "pos-strukturalis" dan "poskolonial" dalam meneropong realitas politik Indonesia, yang menekankan "pluralitas pengetahuan", sehingga dapat membangunkan dunia pemikiran Indonesia dari "tidur panjang positivisme". Buku ini mampu membentangkan betapa luasnya obyek kajian politik itu; betapa kompleksnya relasi wacana yang membangunnya; betapa dinamis dan pluralnya pendekatan dalam meneropongnya, tidak sentralistik, hegemonik, dan manipulatif seperti Orientalisme. Ketiga, buku ini merupakan tawaran menarik bagi masyarakat kajian politik Indonesia untuk mengganti kacamata dan memperluas cakrawalanya dalam memandang apa yang disebut "politik", yang selama ini terbelenggu dalam pemahaman "politik" yang sempit dan praktis. Buku ini mampu mendorong masyarakat kajian politik Indonesia ke arah cakrawala kajian politik yang lebih luas, yang di antaranya termasuk kajian budaya populer, subkultur, gender, etnisitas, linguistik, atau media sebagai bagian integral dari kajian politik itu sendiri-the political discourses. http://www.kompas.co.id/kompas-cetak/0312/20/pustaka/756785.htm (8 of 9)20/03/2006 16:26:03 Filsafat Penghiburan - Sabtu, 20 Desember 2003 Yasraf Amir Piliang Ketua Forum Studi Kebudayaan (FSK) FSRD, Institut Teknologi Bandung Design By KCM Copyright © 2002 Harian KOMPAS http://www.kompas.co.id/kompas-cetak/0312/20/pustaka/756785.htm (9 of 9)20/03/2006 16:26:03