8 BAB II LANDASAN TEORI A. Tinjauan Pustaka 1. Teori Belajar a

advertisement
BAB II
LANDASAN TEORI
A. Tinjauan Pustaka
1. Teori Belajar
a. Teori Belajar Konstruktivisme
Konstruktivisme adalah sebuah filosofi pembelajaran yang dilandasi premis
bahwa dengan merefleksikan pengalaman semua orang membangun, mengkonstruksi
pengetahuan pemahaman mereka sendiri tentang dunia lewat pengalaman (Suyono
dan Hariyanto, 2011: 105). Sehingga diperlukan keaktifan dari masing masing siswa.
Pengetahuan tidak dapat ditransfer begitu saja, tetapi harus dibentuk dan dibangun
sendiri oleh setiap individu. Pengetahuan bukan merupakan sesuatu yang sudah jadi,
melainkan suatu proses yang berkembang terus-menerus. Keaktifan seseorang amat
berperan dalam perkembangan pengetahuan tersebut.
Dalam penerapan pembelajaran konstruktivisme terdapat beberapa hal yang
perlu diperhatikan, Suyono dan Hariyanto (2011:107) menyatakan:
1) Pembelajaran harus dimulai dengan isu-isu yang mengakomodasi siswa untuk
secara aktif mengkonstruk makna;
2) Proses pembelajaran berfokus terutama pada konsep-konsep primer bukan kepada
fakta-fakta yang terpisah;
3) Guru harus memahami model-model mental yang dipergunakan siswa terkait
bagaimana cara pandang siswa tentang dunia;
4) Melakukan penilaian terhadap bagian-bagian dari proses pembelajaran.
Vygotsky, sebagai seseorang yang dianggap pionir dalam
filosofi
konstruktivisme menyatakan teori pembelajarannya sebagai pembelajaran kognisi
sosial (social cognition). Teori Vygotsky menitikberatkan pada interaksi dari faktorfaktor interpersonal (sosial), cultural historis, dan individual sebagai kunci dari
perkembangan manusia. Interaksi-interaksi dengan orang-orang di lingkungan sekitar
menstimulasi proses-proses perkembangan dan mendorong pertumbuhan kognitif.
8
Satu konsep pokok dalam teori ini adalah zone of proximal development (ZPD).
Konsep ini didefinisikan sebagai jarak antara level perkembangan aktual yang
ditentukan melalui pemecahan masalah secara mandiri dan level potensi
perkembangan yang ditentukan melalui pemecahan masalah dengan bantuan orang
dewasa atau dengan kerjasama dengan teman-teman sebaya yang lebih mampu.
Pemberian bantuan dalam belajar digunakan ketika seorang guru
ingin memberikan siswa sejumlah informasi atau menyelesaikan bagian-bagian dari
tugas untuk mereka sehingga mereka dapat berkonsentrasi pada bagian dari tugas
yang berusaha mereka kuasai. Aplikasi lainnya yang mencerminkan ide-ide
Vygotsky adalah pengajaran timbal balik (reciprocal teaching). Pengajaran timbal
balik merupakan dialog interaktif antara guru dan sekelompok kecil siswa yang
memuat interaksi sosial dan pemberian bantuan dalam belajar selagi siswa secara
bertahap mengembangkan keterampilannya. Satu bentuk aplikasi yang juga penting
adalah kerjasama atau kolaborasi dengan teman sebaya (peer collaboration) yang
mencerminkan pandangan tentang aktivitas kolektif. Pembelajaran dengan bantuan
teman sebaya dalam bekerjasama mengerjakan tugas-tugas, interaksi-interaksi sosial
yang sama-sama mereka jalani dapat berperan sebagai fungsi pembelajaran (Schunk,
2012: 337-345)
Dalam penelitian ini model pembelajaran yang digunakan adalah project
based learning dan problem based learning. Penerapan model ini menghendaki
siswa untuk terlibat aktif dalam proses pembelajaran, berinteraksi, dan bekerjasama
dengan teman kelompoknya untuk memecahkan masalah pembelajaran.
Model pembelajaran project based learning dan model problem based
learning sejalan dengan prinsip konstruktivisme. Dalam pembelajaran siswa
mengkonstruksi pengetahuannya sendiri melalui pemecahan masalah sebagai suatu
wadah untuk mengembangkan keterampilan berpikirnya dengan mengoptimalkan
media, alat, dan bahan pembelajaran yang mendukung proses kegiatan belajar siswa.
Siswa berinteraksi dalam kelompok dengan latar belakang yang berbeda-beda
sehingga dapat membantu siswa dalam mengkonstruksi pengetahuan baru ke dalam
pengetahuan awalnya berdasarkan pengalaman yang diperolehnya selama proses
pembelajaran.
b. Teori Belajar Kognitif
Teori
belajar
kognitif
menjelaskan
bagaimana
seseorang
mencapai
pemahaman atas dirinya dan lingkungannya lalu menafsirkan bahwa diri dan
lingkungan psikologisnya merupakan faktor-faktor yang kait-mengait. Tokoh-tokoh
teori belajar kognitif:
1)
Teori Piaget
Menurut Piaget, setiap anak mengembangakan kemampuan berpikirnya
menurut tahapan yang teratur. Proses berpikir anak merupakan suatu aktivitas
gradual, tahap demi tahap dari fungsi intelektual, dari konkret menuju abstrak. Pada
suatu tahap perkembangan tertentu akan muncul skema atau struktur kognitif tertentu
yang keberhasilannya pada setiap tahap amat bergantung pada pencapaian
sebelumnya. Tahapan-tahapan perkembangan kognitif piaget disajikan Tabel 2.1.
Tabel 2.1. Tahapan-Tahapan Perkembangan Kognitif Menurut Piaget
Tahap
Usia/
Gambaran
Tahun
Bayi bergerak dari tindakan reflex instinktif
Sensori-Motor
0 s/d 2
pada saat lahir sampai permulaan pemikiran
simbolis. Bayi membangun suatu pemahaman
tentang dunia melalui pengkoordinasian
pengalaman-pengalaman sensor dengan tindakan
fisik.
Anak mulai mempresentasikan dunia dengan
Pra opera-sional
2 s/d 7
kata-kata dan gambar-gambar. Kata-kata dan
gambar-gambar
menunjukkan
adanya
peningkatan pemikiran simbolis dan melampaui
hubungan informasi sensor dan tindakan fisik.
Lanjutan Tabel 2.1.
Usia/
Tahap
Gambaran
Tahun
Pada tahap ini anak dapat berpikir secara logis
Operasional
7 s/d 11
Konkret
mengenai peristiwa-peristiwa yang konkrit dan
menklasifikasikan benda-benda ke dalam
bentuk-bentuk yang berbeda.
Anak remaja berpikir dengan cara yang lebih
Operasional
>11
abstrak dan logis. Pemikiran lebih idealistik.
Formal
Menurut Piaget belajar akan lebih berhasil jika disesuaikan dengan
tahap perkembangan kognitif peserta didik. Disamping itu Piaget mengembangkan
pula konsep adaptasi dengan dua variannya, yaitu asimilasi dan akomodasi. Proses
asimilasi, pada tahap ini siswa menyesuaikan atau mencocokkan informasi yang baru
dengan yang ia ketahui dengan mengubahnya bila perlu. Proses akomodasi, pada
tahap ini siswa menyusun dan membangun kembali atau mengubah yang telah
diketahui sebelumnya sehingga informasi yang baru dapat disesuaikan dengan lebih
baik. Menurut Piaget, adanya informasi yang diperoleh dari lingkungan kemudian
dicocokkan dengan skema pembelajar, hal ini menyebabkan disekuilibrium pada
struktur kognitif yang disebut konflik kognitif. Agar terjadi ekuilibrasi antar individu
dengan lingkungan, maka proses asimilasi dan akomodasi harus terjadi secara
terpadu (Suyono dan Hariyanto, 2011: 73-87).
Teori Piaget tersebut berkaitan dengan tahap perkembangan kognitif
siswa-siswa kelas XI dengan rata-rata usia 15-16 tahun yang mengalami
perkembangan operasional formal. Siswa telah mampu bekerja secara sistematis,
menganalisis, menarik kesimpulan serta dianggap mampu untuk berpikir abstrak
membangun pengetahuan kognitifnya. Model pembelajaran yang digunakan yakni
pembelajaran model project based learning dan model problem based learning,
siswa diharapkan akan mampu bekerja secara sistematis membangun pengetahuan
dalam kelompok belajarnya, serta dapat menarik kesimpulan dari materi yang
dipelajari siswa. Siswa menyadari keterbatasan pemikirannya, sehingga siswa mulai
membangun konsep-konsep yang ada diluar pengalaman siswa sendiri. Pada akhir
pembelajaran terbentuklah pengetahuan baru sebagai hasi pemikiran yang dimiliki
setiap siswa.
2)
Teori Ausubel (Belajar Bermakna)
Dahar (2011: 95-97) menyatakan inti teori Ausubel tentang belajar ialah
belajar bermakna. Bagi Ausubel, belajar bermakna merupakan suatu proses
dikaitkannya informasi baru pada konsep-konsep yang relevan yang terdapat dalam
struktur kognitif seseorang. Bila tidak ada usaha yang dilakukan untuk
mengasimilasikan pengetahuan baru pada konsep-konsep relevan yang sudah ada
dalam struktur kognitif, akan terjadi belajar hafalan.
Faktor-faktor utama yang mempengaruhi belajar bermakna menurut Ausubel
(1963) ialah struktur kognitif yang ada, stabilitas, dan kejelasan pengetahuan dalam
suatu bidang studi tertentu pada waktu tertentu. Sifat-sifat struktur kognitif
menentukan validitas dan kejelasan arti-arti yang timbul saat informasi baru masuk
ke dalam struktur kognitif itu, demikian pula sifat proses interaksi yang terjadi. Jika
struktur kognitif itu stabil, jelas, dan diatur dengan baik, arti-arti yang sahih dan jelas
atau tidak meragukan akan timbul dan cenderung bertahan. Akan tetapi sebaliknya,
jika struktur kognitif itu tidak stabil, meragukan, dan tidak teratur, struktur kognitif
itu cenderung menghambat belajar dan retensi.
2. Model Pembelajaran Project Based Learning (PjBL)
Referensi pertama tentang PjBL disebutkan oleh Kilpatrick (1918) yang
menyarankan bahwa projek antar cabang ilmu pengetahuan mempelajari matematika,
sains, ilmu sosial untuk memberikan peserta didik yang kaya akan konsep dan ide.
Sedangkan menurut Bialkin et. al. (2011) PjBL adalah suatu model pembelajaran
yang mengubah kegiatan kelas dari praktek singkat dalam kelas, terisolasi,
pembelajaran berpusat pada guru, menjadi kegiatan pembelajaran yang menekankan
pembelajaran antar cabang ilmu berjangka panjang dan berpusat pada siswa. Dari
berbagai pendapat tersebut, dapat disimpulkan bahwa PjBL merupakan model
pembelajaran yang membuat peserta didik bekerja secara aktif memecahkan
persoalan di dunia nyata yang dapat menghasilkan solusi berupa produk atau hasil
karya secara realistis.
a.
Tujuan dan Ciri-Ciri PjBL
Tujuan utama dari PjBL menurut pernyataan Kubiatko dan Vaculova (2011:
66-67) (mengutip simpulan Kimonen dan Nevalainen, 2000) adalah hubungan yang
aktif dari siswa dengan proses pendidikan. Karakteristik proses ini adalah dari
keterbukaan mereka pada situasi masalah dari pertanyaan dibuat oleh guru. Situasi
dan pertanyaan ini menyebabkan siswa berpikir tentang topik yang sedang dibahas.
Realisasi projek tergantung dari siswa, kreativitas mereka, fantasi, berpikir kritis,
motivasi diri ketertarikan, dan alat-alat yang diperlukan. Guru dan siswa terinspirasi
oleh masalah yang mengelilingi mereka yang terjadi di kehidupan sehari-hari.
Enam A merupakan ciri-ciri PjBL yang pertama kali dikembangkan oleh
Adria Steinberg dari Jobs of the Future (NAF: 14). Enam A merupakan ciri-ciri yang
muncul dalam projek kelas dengan kualitas tinggi. Banyak guru yang telah
menggunakan keenam faktor ini sebagai penanda kualitas selama desain projek
berlangsung. Enam A yang merupakan ciri-ciri PjBL dapat dijelaskan sebagai
berikut:
1) Authencity (Keaslian)
2) Academic Rigor (Sangat Akademis)
3) Adult Connections (Hubungan Lanjut)
4) Active Exploration (Eksplorasi Aktif)
5) Applied Learning (Penerapan Pembelajaran)
6) Assessment Practices (Praktek Penilaian)
b.
Langkah-Langkah Project Based Learning (PjBL)
Model pembelajaran PjBL (Project Based Learning) cenderung kurang
familiar dibandingkan dengan PBL (Problem Based Learning), hal ini mungkin
disebabkan karena singkatan kedua model pembelajaran tersebut hampir sama.
Begitu banyak referensi yang mucul tentang PBL dibandingkan dengan PjBL, namun
dapat diperoleh dua referensi tentang PjBL. Referensi tersebut berasal dari National
Academy Foundation and Pearson Foundation (NAF) dan Instructional Module
Project Based Learning (Lucas 2005).
Dalam NAF langkah-langkah PjBL dapat dijelaskan sebagai berikut:
1) Persiapan
a) Mengenalkan macam kegiatan
b) Persiapan siswa
c) Membuat skrip
2) Pengumpulan Aset Dan Papan Cerita
a) Manajemen file
b) Membuat papan cerita
3) Workshop
4) Presentasi Dan Refleksi
Sedangkan dalam Instructional Module Project Based Learning (Lucas,
2005) langkah-langkah PjBL dapat dijelaskan melalui Tabel 2.2.
Tabel 2.2. Langkah-Langkah PjBL
No
Tahap
Penjelasan Kegiatan
1.
Dimulai dengan
Mengambil topik yang sesuai dengan realitas dunia nyata
pertanyaan
dan dimulai dengan sebuah investigasi mendalam.
yang esensial
Pertanyaan
esensial
diajukan
untuk
memancing
pengetahuan, tanggapan, kritik dan ide siswa mengenai
tema projek yang akan diangkat.
2.
Perencanaan
Berisi tentang pemilihan aktivitas yang dapat mendukung
aturan
dalam menjawab pertanyaan esensial, dengan cara
pengerjaan
mengintegrasikan berbagai subjek,serta mengetahui alat
projek
dan bahan yang dapat diakses untuk penyelesaian projek.
Lanjutan Tabel 2.2
No
3.
Tahap
Penjelasan Kegiatan
Membuat
Pendidik dan peserta didik secara kolaboratif menyusun
jadwal aktivitas
jadwal aktivitas dalam menyelesaikan projek. Jadwal ini
disusun untuk mengetahui berapa lama waktu yang
dibutuhkan dalam pengerjaan projek.
4.
Memonitoring
Pendidik bertanggung jawab untuk melakukan monitor
perkembangan
terhadap aktivitas peserta didik selama menyelesaikan
projek siswa
projek. Monitoring dilakukan dengan cara menfasilitasi
peserta didik pada setiap proses.
5.
Penilaian hasil
Penilaian dilakukan untuk membantu pendidik dalam
kerja siswa
mengukur
ketercapaian
standar,
berperan
dalam
mengevaluasi kemajuan masing-masing peserta didik,
memberi umpan balik tentang tingkat pemahaman yang
sudah dicapai peserta didik, membantu pendidik dalam
menyusun strategi pembelajaran berikutnya.
6.
Evaluasi
Pada akhir proses pembelajaran, pendidik dan peserta
pengalaman
didik melakukan refleksi terhadap aktivitas dan hasil
belajar siswa
projek yang sudah dijalankan. Proses refleksi dilakukan
baik secara individu maupun kelompok. Pada tahap ini
peserta didik diminta untuk mengungkapkan perasaan
dan pengalamannya selama menyelesaikan proyek.
c. Kelebihan dan kelemahan PjBL
Keuntungan dari pembelajaran berbasis proyek:
1) Meningkatkan motivasi belajar peserta didik untuk belajar, mendorong
kemampuan mereka untuk melakukan pekerjaan penting, dan mereka perlu
dihargai.
2) Meningkatkan kemampuan pemecahan masalah.
3) Membuat peserta didik menjadi lebih aktif dan berhasil memecahkan problemproblem yang kompleks.
4) Meningkatkan kolaborasi.
5) Mendorong
peserta
didik
untuk
mengembangkan
dan
mempraktikkan
keterampilan komunikasi.
6) Meningkatkan keterampilan peserta didik dalam mengelola sumber.
7) Memberikan pengalaman kepada peserta didik pembelajaran dan praktik dalam
mengorganisasi proyek dan membuat alokasi waktu dan sumber-sumber lain
seperti perlengkapan untuk menyelesaikan tugas.
8) Menyediakan pengalaman belajar yang melibatkan peserta didik secara kompleks
dan dirancang untuk berkembang sesuai dunia nyata.
9) Melibatkan para peserta didik untuk belajar mengambil informasi dan
menunjukkan pengetahuan yang dimiliki kemudian diimplementasikan dengan
dunia nyata.
10) Membuat suasana belajar menjadi menyenangkan sehingga peserta didik maupun
pendidik menikmati proses pembelajaran.
Adapun kelemahan pembelajaran berbasis proyek, antara lain:
1) Memerlukan banyak waktu untuk menyelesaikan masalah.
2) Membutuhkan biaya yang cukup banyak.
3) Banyak instruktur yang merasa nyaman dengan kelas tradisional, dimana
instruktur memegang peran utama di kelas.
4) Banyaknya peralatan yang harus disediakan.
5) Peserta didik yang memiliki kelemahan dalam percobaan dan pengumpulan
informasi akan mengalami kesulitan.
6) Ada kemungkinan peserta didik yang kurang aktif dalam kerja kelompok.
7) Ketika topik yang diberikan kepada masing-masing kelompok, dikhawatirkan
peserta didik tidak bisa memahami topik secara keseluruhan (Kurinasih & Sani,
2014: 83-85).
3. Model Pembelajaran Problem Based Learning
a. Fitur-fitur Khusus PBL
Para pengembang PBL (Cognition & Technology Group at Vanderbilt, 1990,
1996a, 1996b; Gordon et al., Krajcik et al., 2003; Slavin, Madden, Dolan & Wasik
1994; Torp & Sage, 1998) mendeskripsikan bahwa model instruksional ini memiliki
fitur-fitur sebagai berikut:
 Pertanyaan atau masalah perangsang
PBL mengorganisasikan pengajaran seputar pertanyaan dan masalah. Siswa
menghadapi berbagai situasi kehidupan nyata yang tidak dapat diberi jawaban
sederhana dan ada berbagai solusi yang competing dalam menyelesaikannya.
 Fokus interdisipliner
PBL dapat diterapkan memusat untuk membahas subjek tertentu (sains,
matematika, sejarah atau lainnya), tetapi lebih dipilih pembahasan masalah aktual
yang dapat diinvestigasi dari berbagai sudut disiplin ilmu.
 Investigasi autentik
PBL mengharuskan siswa melakukan investigasi autentik demi menemukan solusi
riil untuk masalah riil. Siswa harus menganalisis, mengembangkan hipotesis,
membuat prediksi, mengumpulkan informasi, melakukan eksperimen dan menarik
kesimpulan.
 Produksi artefak dan exhibit
PBL menuntut siswa untuk mengkonstruksikan produk dalam bentuk artefak dan
exhibit yang menjelaskan atau mempresentasikan solusi mereka.
 Kolaborasi
PBL ditandai oleh siswa-siswa yang bekerjasama dengan siswa lain membentuk
kelompok kecil dalam menyelesaikan tugas-tugas kompleks dan memberikan
kesempatan
untuk
penyelidikan
dan
dialog
bersama
mengembangkan
keterampilan sosial. Bekerjasama akan memberikan motivasi untuk terlibat secara
berkelanjutan dalam tugas yang kompleks dan meningkatkan kesempatan untuk
bertukar pikiran (Arends, 2008: 42-43).
Tabel 2.3. Langkah-langkah Model Problem Based Learning
Fase
Perilaku Guru
Fase 1: Orientasi pada
Guru membahas tujuan pelajaran, mendeskripsikan
masalah
berbagai kebutuhan logistik penting, dan memotivasi
siswa untuk terlibat dalam kegiatan mengatasi
masalah.
Fase 2:
Guru membantu siswa untuk mendefinisikan dan
Mengorganisasikan
mengorganisasikan tugas-tugas belajar yang terkait
siswa untuk belajar.
dengan permasalahannya.
Fase 3: Membimbing
Guru mendorong siswa untuk mendapatkan informasi
penyelidikan individu
yang tepat, melaksanakan eksperimen dan mencari
atau kelompok
penjelasan dan solusi.
Fase 4:
Guru membantu siswa dalam merencanakan dan
Mengembangkan dan
menyiapkan artefak-artefak yang tepat, seperti laporan,
menghasilkan hasil
rekaman video, model-model, dan membantu mereka
karya
untuk menyampaikannya pada orang lain.
Fase 5: Menganalisis
Guru membantu siswa untuk melakukan refleksi
&mengevaluasi proses
terhadap
pemecahan masalah
mereka gunakan.
investigasinya
dan
proses-proses
yang
(Arends, 2008: 57)
b. Kelebihan dan kelemahan PBL
Seperti halnya model pembelajaran lain, PBL mempunyai kelebihan dan
kelemahan dalam penerapannya pada proses pembelajaran. Menurut McPhee (2002),
kelebihan PBL antara lain:
1) Siswa berfikir secara praktis dan memberikan manfaat karena masalah berasal
dari studi kehidupan nyata.
2) Siswa dipaksa untuk berfikir menyelesaikan masalah yang ada.
3) Masing-masing siswa memiliki perspektifnya sendiri sehingga ide yang muncul
dapat digabungkan satu sama lain.
4) Siswa lebih siap menerima pelajaran di dalam kelas.
5) Memperlibatkan siswa secara langsung dan mendalam dalam pembelajaran.
6) Diskusi kelompok memperluas ide siswa.
Pembelajaran berbasis masalah juga memiliki kelemahan jika diterapkan
pada proses pembelajaran, karena
1) Beberapa siswa merasa harus menyesuaikan diri dengan norma-norma kelompok.
2) Terlalu banyak waktu yang dihabiskan untuk diskusi.
3) Beberapa siswa menjadi tim pemikir dalam kelompok, mengakibatkan siswa yang
lain menjadi malas.
4) Siswa mengalami kesulitan karena tidak diberikannya catatan.
(McPhee, 2002: 70)
4.
Prestasi Belajar
Menurut Sudjana “Tujuan sebagai arah dari proses belajar mengajar
pada hakekatnya adalah rumusan tingkah laku yang diharapkan dapat dikuasai oleh
siswa setelah menerima atau menempuh pengalaman belajarnya” (2011: 22). Hasil
belajar yang dimaksud ini tidak lain adalah prestasi yang merupakan cermin
keberhasilan proses dan hasil belajar siswa. Dari pendapat tersebut dapat
disimpulkan bahwa prestasi belajar adalah hasil yang diperoleh seseorang setelah
melakukan usaha untuk mendapat ilmu pengetahuan. Dalam sistem pendidikan
nasional yang telah dituliskan dalam Permendikbud Nomor 104 bahwa pedoman
penilaian berdasarkan kurikulum 2013 menggunakan acuan kriteria yang merupakan
penilaian kemajuan peserta didik dibandingkan dengan kriteria capaian kompetensi
yang ditetapkan. Acuan kriteria menggunakan rerata untuk pengetahuan, modus
untuk sikap, dan capaian optimum untuk keterampilan. Sementara itu lingkup
penilaian hasil belajar oleh pendidik mencakup kompetensi pengetahuan, sikap
(spiritual dan sosial), dan keterampilan yang dijabarkan sebagai berikut:
a. Aspek Pengetahuan
Sasaran penilaian pada ranah pengetahuan dibagi menjadi 2 dimensi yakni
dimensi berpikir dan dimensi pengetahuan. Dimensi berpikir didasarkan pada
taksonomi Bloom. Sasaran penilaian hasil belajar oleh pendidik pada dimensi
berpikir dan dimensi pengetahuan disajikan dalam Tabel 2.4.
Tabel 2.4. Penilaian Hasil Belajar pada Dimensi Berpikir dan Pengetahuan
Dimensi Berpikir
Dimensi Pengetahuan
1. Mengingat
1. Faktual
Mengemukakan
sudah
Pengetahuan tentang istilah,
lainnya
nama orang, nama benda,
sebagaimana aslinya, tanpa melakukan perubahan.
angka, tahun, dan hal-hal
2. Memahami
yang terkait secara khusus
Sudah ada proses pengolahan dari bentuk aslinya
dengan suatu mata pelajaran.
tetapi arti dari kata, istilah, tulisan, grafik, tabel,
2. Konseptual
gambar, foto tidak berubah.
Pengetahuan
3. Menerapkan
kategori,
dipelajaridari
kembali
guru,
Menggunakan
apa
buku,
informasi,
yang
sumber
konsep,
prosedur,
tentang
klasifikasi,
keterkaitan
antara
prinsip, hukum, teori yang sudah dipelajari untuk
kategori
sesuatu yang baru/belum dipelajari.
hukum kausalita, definisi,
4. Menganalisis
teori.
Menggunakan
dipelajarinya
menentukan
keterampilan
terhadap
suatu
keterhubungan
yang
telah
informasi,
antara
dengan
satu
lainnya,
3. Prosedural
Pengetahuan
tentang
satu
prosedur dan proses khusus
kelompok/informasi dengan kelompok /informasi
dari suatu mata pelajaran
lainnya, antara fakta dengan konsep, antara
seperti
algoritma,
teknik,
Lanjutan Tabel 2.4.
argumentasi dengan kesimpulan, benang merah
metoda, dan kriteria untuk
pemikiran antara satu karya dengan karya lainnya.
menentukan
5. Mengevaluasi
penggunaan suatu prosedur.
Menentukan
nilai
suatu
benda
informasi
ketetapan
4. Metakognitif
berdasarkan suatu kriteria.
Pengetahuan tentang cara
6. Mencipta
mempelajari
pengetahuan,
Membuat sesuatu yang baru dari apa yang sudah
menentukan
pengetahuan
ada sehingga hasil tersebut merupakan satu
yang
kesatuan utuh dan berbeda dari komponen yang
penting
digunakan untuk membentuknya.
knowledge),
penting
dan
tidak
(strategic
pengetahuan
yang sesuai dengan konteks
tertentu, dan pengetahuan
diri (self-knowledge).
b. Aspek Sikap
Kompetensi sikap yang dimaksud adalah sikap sesuai yang dituntut KI-1 dan
KI-2 berturut-turut adalah sebagai berikut: 1) Menghayati dan mengamalkan ajaran
agama yang dianutnya, dan 2) Menghayati dan mengamalkan perilaku jujur, disiplin,
tanggungjawab, peduli (gotong royong, kerjasama, toleran, damai), santun, responsif
dan pro-aktif dan menunjukkan sikap sebagai bagian dari solusi atas berbagai
permasalahan dalam berinteraksi secara efektif dengan lingkungan sosial dan alam
serta dalam menempatkan diri sebagai cerminan bangsa dalam pergaulan dunia.
Berdasarkan rumusan KI-1 dan KI-2 diatas, maka penilaian sikap terdiri atas sikap
spiritual dan sikap sosial. Cakupan sikap spiritual yaitu menghayati dan
mengamalkan ajaran agama yang dianutnya, dan cakupan sikap sosial terdiri: jujur,
disiplin, tanggungjawab, gotong royong, kerjasama, toleran, damai, santun, responsif
dan proaktif.
Pendidik melakukan penilaian kompetensi sikap melalui penilaian diri (self
assessment), penilaian teman sejawat/antarpeserta didik (peer assessment), dan jurnal
(Direktorat Pembinaan SMA, Ditjen Pendidikan Menengah, 2013). Instrumen yang
digunakan untuk penilaian diri, dan penilaian antarpeserta didik adalah lembar
pengamatan berupa daftar cek (checklist) atau skala penilaian (rating scale) yang
disertai rubrik, sedangkan pada jurnal berupa catatan pendidik.
Nilai ketuntasan kompetensi sikap diisi secara kualitatif dalam bentuk predikat,
yakni predikat Sangat Baik (SB), Baik (B), Cukup (C), dan Kurang (K). Nilai akhir
sikap tidak berdasarkan rerata dari data melainkan mode atau modus, yaitu berdasarkan
data atau nilai sikap yang sering muncul.
c. Aspek Keterampilan
Pendidik menilai kompetensi keterampilan melalui penilaian kinerja, yaitu
penilaian yang menuntut peserta didik mendemonstrasikan suatu kompetensi tertentu
dengan menggunakan tes praktik, proyek, dan penilaian laporan. Instrumen yang
digunakan berupa daftar cek atau skala penilaian (rating scale) yang dilengkapi
rubrik. Rubrik adalah daftar kriteria yang menunjukkan kinerja, aspek-aspek atau
konsep-konsep yang akan dinilai, dan gradasi mutu, mulai dari tingkat yang paling
sempurna sampai yang paling buruk.
Capaian kompetensi keterampilan bukan rerata melainkan nilai MODE atau
modus yaitu nilai yang sering muncul baik nilai praktik, nilai proyek, maupun nilai
laporan. Nilai ketuntasan kompetensi pengetahuan dan keterampilan dituangkan
dalam bentuk angka dan huruf, yakni 4,00-1,00 untuk angka yang ekuivalen dengan
huruf A sampai dengan D.
5. Materi Termokimia
Termokimia adalah materi yang diberikan di kelas XI pada semester
gasal. Pembagian materi ini meliputi: Hukum Kekekalan Energi, Sistem dan
Lingkungan, Reaksi Eksoterm dan Endoterm serta Perubahan Entalpi.
a. Hukum Kekekalan Energi
Hukum kekekalan energi menyatakan bahwa energi tidak dapat diciptakan
atau dimusnahkan. Energi hanya dapat diubah dari satu bentuk ke bentuk lain. Atom,
molekul maupun ion adalah benda-benda yang mempunyai bentuk energi yang sama,
yaitu: energi kinetik dan potensial. Atom-atom dan molekul yang begerak
mempunyai energi kinetik. Untuk setiap benda, harga rata-rata dari energi kinetik
partikel-partikel berukuran atom, berbanding lurus dengan suhu mutlak (suhu
Kelvin) benda tersebut. Dapat diartikan pada benda yang panas, atom-atom dan
molekulnya mempunyai harga rata-rata energi kinetik yang lebih besar dan
pergerakannya lebih cepat dari atom-atom/molekul pada benda dingin. Sedangkan
energi potensial timbul karena adanya gaya tarik-menarik dan tolak-menolak atomatom dari partikel-partikel bermuatan listrik. Energi potensial yang dipunyai zat-zat
karena adanya gaya tarik-menarik dan tolak-menolak antara partikel-partikel
subatom disebut energi kimia. Salah satu bentuk energi yang lazim kita jumpai
adalah energi kalor. Kalor merupakan energi kinetik dari atom-atom dan molekulmolekul. Termokimia merupakan cabang dari ilmu kimia yang mempelajari tentang
kalor reaksi. Bagian dari cabang ilmu pengetahuan yang lebih besar, yaitu
termodinamika. Azas kekekalan energi disebut juga hukum pertama termodinamika
(Brady, 1999: 262-264).
b. Sistem dan Lingkungan
Reaksi atau proses yang sedang menjadi pusat perhatian kita disebut sistem.
Segala sesuatu yang berada diluar sistem adalah lingkungan. Sistem memiliki
sejumlah energi tertentu. Energi dalam yang tersimpan pada sistem (jumlah energi
kinetik dan energi potensial) disebut energi dalam (E). besarnya energi dalam tidak
dapat diukur, yang dapat diukur adalah perubahan energi dalam (∆E). perubahan
energi dalam sistem dapat terjadi karena sistem menyerap energi dari lingkungan
atau sistem melepas energi ke lingkungan. Bertambahnya energi dalam sistem
diimbangi dengan berkurangnya energi dalam lingkungan dan sebaliknya. Energi
yang berpindah dari sistem ke lingkungan dan sebaliknya berupa kalor (q) atau kerja
(w). Perubahan energi dalam (∆E) tersebut akan muncul sebagai kalor dan/atau kerja.
∆E = q (kalor) + w (kerja)
Sistem menerima kalor, q bertanda positif (q>0)
Sistem membebaskan kalor, q bertanda negatif (q<0)
Sistem melakukan kerja, w bertanda positif (w>0)
Sistem menerima kerja, w bertanda negatif (w<0)
c. Entalpi dan Perubahan Entalpi
Entalpi (H) adalah jumlah energi yang dimiliki sistem pada tekanan tetap.
Entalpi dirumuskan sebagai jumlah energi yang terkandung dalam sistem (E) dan
kerja (w).
H = E + w, dengan W = P x V
Dimana:
E : energi (joule)
w : kerja sistem (joule)
V : volume (liter)
P : tekanan (atm)
Nilai energi suatu reaksi tidak dapat diukur, yang dapat diukur hanyalah
perubahan energi (∆E). Demikian juga halnya dengan entalpi, entalpi tidak dapat
diukur namun kita dapat mengukur perubahan entalpinya (∆H).
∆H = Hp – Hr
dengan:
∆H
= perubahan entalpi
Hp
= entalpi produk
Hr
= entalpi reaktan atau pereaksi
1) Bila H produk > H reaktan, maka ∆H bertanda positif, berarti terjadi penyerapan
kalor dari lingkungan ke sistem.
2) Bila H produk < H reaktan, maka ∆H bertanda negatif, berarti terjadi pelepasan
kalor dari sistem ke lingkungan.
Secara matematis, perubahan entalpi (∆H) dapat diturunkan sebagai berikut:
H=E+W
Pada tekanan tetap:
(1)
∆H = ∆E + P∆V
(2)
∆E = q + W
(3)
Wsistem = − PV (4)
Substitusi persamaan (3) dan (4) dalam persamaan (2):
H = (q + W) + P∆V
H = (q − P∆V) + P∆V
H=q
Jadi, pada tekanan tetap, perubahan entalpi (∆H) sama dengan kalor (q) yang
diserap atau dilepas.
d. Reaksi Eksoterm dan Endoterm
1) Reaksi Eksoterm
Suatu reaksi yang membebaskan kalor disebut sebagai reaksi eksoterm. Kalor
mengalir dari sistem menuju ke lingkungan mengakibatkan kenaikan suhu. Pada
waktu kayu dibakar, kalor dilepaskan ke lingkungan sehingga suhu lingkungan
menjadi hangat. Pada reaksi eksoterm, sistem membebaskan kalor, sehingga entalpi
sistem akan berkurang, artinya entalpi produk (HP) lebih kecil daripada entalpi
pereaksi (HR). Oleh karena itu, perubahan entapinya bertanda negatif.
Reaksi eksoterm: ∆H = HP – HR < 0
2) Reaksi Endoterm
Pada reaksi endoterm, sistem menyerap kalor dari lingkungan. Penyerapan
kalor oleh sistem akan menurunkan suhu lingkungan. Salah satu contoh reaksi
endoterm adalah peristiwa fotosintesis, dimana tumbuhan menyerap kalor dari
matahari. Pada reaksi endoterm, sistem menyerap kalor, sehingga entalpi sistem akan
bertambah, artinya entalpi produk (HP) lebih besar daripada entalpi pereaksi (HR).
Oleh karena itu, perubahan entapinya bertanda positif.
Reaksi endoterm: ∆H = HP – HR > 0
Lingkungan
Sistem
Sistem
Gambar 2.1. Aliran kalor pada reaksi eksoterm dan endoterm
(Purba, 2006: 60)
e. Persamaan Termokimia
Persamaan termokimia adlaah persamaan reaksi yang menyertakan perubahan
entalpinya (∆H). Nilai perubahan entalpi yang dituliskan pada persamaan termokimia
harus sesuai dengan stoikiometri reaksi, artinyya jumlah mol zat yang terlibat dalam
reaksi sama dengan koefisien reaksinya.
Contoh:
Diketahui persamaan termokimia:
H2(g) + 1/2O2(g) → H2O(l)
∆H = −285,85 kJ/mol
Artinya, pada pembentukan 1 mol H2O dari gas hydrogen dan gas oksigen
dibebaskan energi sebesar 285,85 kJ (reaksi eksoterm).
(Utami, dkk., 2009: 43)
f. Perubahan Entalpi Standar
Perubahan entalpi standar (∆H0) adalah perubahan entalpi (∆H) reaksi yang
diukur pada kondisi standar, yaitu pada suhu 298K dan tekanan 1 atm.
1) Entalpi Pembentukan Standar (∆Hf0=Standard Enthalpy of Formation)
Entalpi pmbentukan standar adalah ∆H untuk membentuk 1 mol
persenyawaan langsung dari unsur-unsurnya yang diukur pada 298K dan tekanan
1 atm.
2) Entalpi Penguraian Standar (∆Hd0=Standard Enthalpy of Dissociation)
Entalpi penguraian standar adalah ∆H dari penguraian 1 mol persenyawaan
langsung menjadi unsur-unsurnya (kebalikan dari ∆H pembentukan). Sesuai
dengan asas kekekalan energi, maka nilai entalpi penguraian sama dengan entalpi
pembentukannya, tetapi tandanya berlawanan.
3) Entalpi Pembakaran Standar (∆Hc0=Standard Enthalpy of Combustion)
Entalpi pembakaran standar adalah perubahan entalpi (∆H) untuk
pembakaran sempurna 1 mol senyawa atau unsur dengan O2 dari udara, yang
diukur pada 298K dan tekanan 1 atm. Satuan ∆Hc0 adalah kJ/mol. Pembakaran
dikatakan sempurna jika:
a) Karbon (C) terbakar sempurna menjadi CO2
b) Hidrogen (H) terbakar sempurna menjadi H2O
c) Belerang terbakar sempurna menjadi SO2
d) Senyawa hidrokarbon (CxHy) terbakar sempurna menurut reaksi:
CxHy + O2 → CO2 + H2O (belum setara)
(Utami, dkk., 2009: 43-49)
g. Penentuan Perubahan Entalpi
1) Melalui percobaan (Kalorimetri)
Perubahan entalpi (∆H) yang menyertai suatu reaksi dapat ditentukan melalui
percobaan dengan menggunakan alat kalorimeter. Pengukuran ∆H dengan cara ini
dinamakan kalorimetri.
Kalorimeter adalah suatu sistem terisolasi (tidak ada pertukaran materi
maupun energi dengan lingkungan di luar kalorimeter). Dengan demikian, semua
kalor yang dibebaskan oleh reaksi yang terjadi di dalam calorimeter, tidak ada
yang terbuang keluar kalorimeter. Dengan mengukur kenaikan suhu di dalam
kalorimeter, kita dapat menentukan jumlah kalor yang diserap oleh air serta
perangkat kalorimeter berdasarkan rumus:
qlarutan = m c ∆T
qkalorimeter = C ∆T
dengan,
q = jumlah kalor dalam Joule (J)
m = massa zat (dalam gram)
c = kalor jenis (dalam Jg-1oC-1 atau Jg-1K-1)
C = kapasitas kalor kalorimeter (dalam J0C-1)
∆T = perubahan suhu = takhir − tawal (0C atau K)
Oleh karena tidak ada kalor yang terbuang ke lingkungan, maka kalor reaksi
sama dengan kalor yang diserap oleh larutan dan kalorimeter, tetapi tandanya
berbeda:
qreaksi = − (qlarutan + qkalorimeter)
Kalorimeter Bom (Bomb Calorimeter) merupakan suatu kalorimeteryang
dirancang khusus sehingga sistem benar-benar dalam keadaan tertutup, tetapi ada
kemungkinan sistem masih dapat menyerap atau melepaskan kalor ke lingkungan,
yang dalam hal ini lingkungannya adalah kalorimeter itu sendiri.
(a)
(b)
Gambar 2.2. (a) Kalorimeter Bom dan (b) Kalorimeter Sederhana
Kalorimeter sederhana dapat dibuat dari gelas atau wadah yang bersifat
isolator (tidak menyerap kalor), misalnya stereofoam. Dengan demikian dianggap
bahwa perubahan kalor yang terjadi saat reaksi tidak ada yang hilang. Jadi kalor
reaksi sama dengan jumlah kalor yang diserap atau yang dilepaskan larutan,
sedangkan kalor yang diserap oleh kalorimeter dan lingkungan diabaikan.
qreaksi = −qlarutan
(Purba, 2006: 69-70)
2) Hukum Hess
Pada tahun 1940, Henry Hess menemukan bahwa kalor reaksi tidak
bergantung pada lintasan, tetapi hanya pada keadaan awal dan keadaan akhir.
Artinya jika keadaan awal dan akhir sama, maka kalor reaksi adalah sama, meski
berlangsung pada lintasan yang berbeda.
Contoh reaksi antara karbon dengan oksigen membentuk karbon dioksida.
Cara 1:
C(s) + O2 → CO2(g)
∆H= − 394 kJ
Cara 2:
Tahap 1 : C(s) + 1/2O2(g) → CO(g)
∆H= − 111 kJ
1
Tahap 2 : CO(g) + /2O2(g) → CO2(g)
C(s) + O2(g) → CO2(g)
∆H= − 283 kJ +
∆H= − 394 kJ
Hukum Hess dapat dinyatakan dalam bentuk diagram siklus atau diagram tingkat
energi. Diagram siklus untuk reaksi pembakaran karbon adalah sebagi berikut:
2C(s) + 2O2
2CO2(g)
∆H1 = −788 kJ
Keadaan awal
Keadaan akhir
∆H2 = −222 kJ
∆H3 = −566 kJ
2CO(g) + O2(g)
Gambar 2.3. Diagram siklus Reaksi Pembakaran Grafit
Diagram siklus reaksi pembakaran grafit menurut 2 lintasan:
Lintasan-1, langsung membentuk CO2, Lintasan-2, mula-mula membentuk CO
kemudian CO2, ∆H reaksi tidak bergantung pada lintasan.
∆H1 = ∆H2 + ∆H3
Sedangkan menurut diagram tingkat adalah sebagai berikut:
2C(s) + 2O2
0
∆H2 = −222 kJ
2CO(g) + O2(g)
H
−222
Keadaan awal
∆H3 = −566 kJ
2CO2(g)
∆H1 = −788 kJ
−788
Keadaan akhir
Gambar 2.4. Diagram Tingkat Energi Reaksi Pembakaran Grafit
Gambar diatas menggambarkan diagram tingkat energi reaksi grafit dengan
oksigen membentuk CO2 menurut dua lintasan. Lintasan-1 (tanda →); langsung
membentuk CO2, Lintasan-2 mula-mula membentuk CO, kemudian CO2. ∆H1 =
∆H2 + ∆H3 (Purba, 2006: 73-74).
Contoh penentuan kalor reaksi berdasarkan hukum Hess
Diketahui:
C(s) + O2 → CO2(g)
∆H = −94 kJ (reaksi 1)
2H2(g) + O2(g) → 2H2O(g)
∆H = −136 kJ (reaksi 2)
3C(s) + 4H2(g) → C3H8(g)
∆H = −24 kJ (reaksi 3)
Tentukan ∆H pada reaksi C3H8(g) + O2(g) → 3CO2(g) + 4H2O(g)!
Jawab:
 Menyesuaikan masing-masing reaksi (1), (2), dan (3) dengan pertanyaan
C3H8(g) + O2(g) → 3CO2(g) + 4H2O(g)
 Reaksi (1) dikalikan 3 (agar CO2 menjadi 3CO2)
 Reaksi (2) dikalikan 2 (agar 2H2O menjadi 4H2O)
 Reaksi (3) dibalik, maka tanda H menjadi + (agar C3H8 menjadi di sebelah kiri)
 Jadi,
3C(s) + 3O2(g) → 3CO2(g)
∆H = −282 kJ
4H2(g) + 2O2(g) → 4H2O(g)
∆H = −272 kJ
C3H8(g) → 3C(s) + 4H2(g)
∆H = +24 kJ
C3H8(g) + 3O2(g) → 3CO2(g) + 4H2O(g)
∆H = −530 kJ
+
3) Berdasarkan Tabel Entalpi Pembentukan (∆Hf0)
Kalor suatu reaksi juga dapat ditentukan dari data entalpi pembentukan
(∆Hf0) zat-zat pereaksi dan zat-zat hasil reaksi.
∆Hreaksi = ⅀∆Hf0produk − ⅀∆Hf0reaktan
4) Energi Ikatan
Reaksi kimia merupakan proses pemutusan dan pembentukan ikatan. Proses
ini selalu disertai perubahan energi. Energi yang dibutuhkan untuk memutuskan 1
mol ikatan kimia dalam suatu molekul gas menjadi atom-atomnya dalam fase gas
disebut energi ikatan atau energi disosiasi (D). Untuk molekul kompleks, energi
yang dibutuhkan untuk memecah molekul itu sehingga membentuk atom-atom
bebas disebut energi atomisasi.
Energi atomisasi suatu senyawa dapat ditentukan dengan menggunakan
entalpi pembentukan senyawa tersebut. Secara matematis, hal tersebut dapat
dijabarkan dengan persamaan:
∆Hreaksi = ⅀energi pemutusan ikatan − ⅀energi pembentukan
∆Hreaksi = ⅀energi ikatan diikatan
kiri − ⅀energi ikatan di kanan
Energi ikatan rata-rata adalah energi rata-rata per ikatan yang diperlukan
untuk menguraikan 1 mol molekul mnjadi atom-atom penyusunnya.
(Utami, dkk., 2009: 57-61)
B. Kerangka Berpikir
Prestasi belajar siswa dapat ditingkatkan diantaranya menggunakan model
pembelajaran yang tepat. Model pembelajaran yang dipilih harus dapat memfasilitasi
siswa untuk berinteraksi dengan siswa lainnya dalam kelas. Siswa hendaknya
dibiasakan untuk berperan aktif serta bereksplorasi mengembangkan pengetahuan
guna memecahkan masalah dalam proses belajar mengajar di kelas. Peran aktif siswa
dapat dipupuk dengan adanya diskusi dalam kelompok, membiasakan siswa untuk
mengemukakan pendapat, serta menyajikan atau mempresentasikan hasil belajar di
depan kelas.
Berdasarkan observasi secara umum di SMA Negeri 1 Karanganyar,
diperoleh informasi bahwa pembelajaran yang diterapkan belum sepenuhnya
mengembangkan pemikiran siswa terhadap permasalahan yang muncul. Sebagian
besar siswa hanya mengikuti dan menghafalkan cara pemecahan masalah dari guru.
Hal ini mengakibatkan siswa kurang kreatif dalam memecahkan masalah, peran serta
siswa rendah, kegiatan belajar mengajar tidak maksimal yang berakibat pada prestasi
belajar siswa rendah.
Termokimia merupakan salah satu materi pokok dalam pelajaran kimia yang
bersifat konseptual dan terdapat hitungan. Dilihat dari karakteristiknya materi ini
memerlukan pemahaman yang kuat terhadap konsep-konsep yang digunakan. Oleh
karena itu, diperlukan suatu model pembelajaran yang bisa melibatkan siswa secara
aktif membangun konsep-konsep dalam materi termokimia.
Siswa akan lebih mudah memahami dan mengingat materi, konsep atau
pengalaman yang mereka dapatkan dan mereka bangun sendiri. Berdasarkan pada
kenyataan tersebut, maka dalam penelitian pembelajaran yang dipilih untuk
diterapkan di SMA Negeri 1 Karanganyar yaitu pembelajaran model PjBL dan model
PBL. Pembelajaran model PjBL dan model PBL merupakan model yang tepat untuk
diterapkan pada materi termokimia karena kedua model pembelajaran tersebut
melibatkan siswa secara aktif dalam kelompok belajar memecahkan masalah dengan
bimbingan guru melalui tugas-tugas yang diberikan guru dalam Lembar Kerja Siswa
(LKS).
Pada model pembelajaran PjBL siswa harus merancang, melakukan
pemecahan
masalah,
melaksanakan
pengambilan
keputusan
dan
kegiatan
penyelidikan sendiri. Para siswa merasakan adanya masalah, merumuskan masalah
serta menerapkan situasi dalam kehidupan nyata dengan cara membuat sebuah
proyek. Hasil akhir proyek berupa suatu artefak (benda atau barang buah karya
pemikiran manusia). Model pembelajaran PjBL mempunyai kelebihan meningkatkan
kreativitas dan kolaborasi dalam kelompok kerja. Namun, model pembelajaran PjBL
juga memiliki kelemahan yaitu banyak menyita waktu serta terbatas hanya pada
sekolah yang memiliki fasilitas yang memadai. Sedangkan pembelajaran model PBL
adalah pembelajaran yang dirancang agar siswa dapat mengembangkan keterampilan
berpikir dan keterampilan mengatasi masalah, mempelajari peran-peran orang
dewasa dan menjadi pelajar yang mandiri. Model pembelajaran ini didalamnya
terdapat proses yakni siswa mendengarkan permasalahan yang disajikan oleh guru,
siswa melakukan investigasi menemukan solusi riil untuk masalah riil, menganalisis
dan menetapkan masalahnya, mengembangkan hipotesis, mengumpulkan dan
menganalisis informasi, diskusi menyelesaikan permasalahan secara kelompok dan
berbagi tanggapan dengan kelompok lain sehingga terbangun pengetahuan baru.
Kedua model pembelajaran tersebut sejalan dengan teori Vygotsky yang menyatakan
bahwa konstruksi pengetahuan siswa dibangun melalui kerjasama kelompok.
Berdasarkan penjelasan berikut, peneliti menduga bahwa hasil belajar (aspek
pengetahuan, sikap dan keterampilan) siswa kelas XI MIA SMA Negeri 1
Karanganyar pada pokok bahasan termokimia dengan model pembelajaran PjBL
lebih tinggi dibandingkan model pembelajaran PBL.
Untuk memperjelas hubungan model pembelajaran dengan hasil belajar siswa
ditunjukkan pada Gambar 2.5.
Siswa
 Siswa lebih dari
 Siswa aktif,
kreatif, dan
sekedar
memecahkan
masalah, sebab
Kelas
Kelas
eksperimen I
eksperimen II
permasalahan.
beberapa konsep
proyek.
 Pengalaman
Model
Pembelajaran
Project Based
Learning
belajar siswa yaitu
Model
Pembelajaran
Problem
Based
Learning
 Pengalaman
belajar siswa yaitu
pembelajaran
mandiri
mengembangkan
memecahkan
masalah dan
dalam menemukan
jawaban
menggabungkan
sebagai hasil
bereksplorasi
Prestasi belajar kelas eksperimen I
materi untuk
lebih tinggi dari kelas eksperimen
Gambar 2.5. Bagan Kerangka Berpikir
C. Hipotesis
Berdasarkan kerangka berpikir yang telah diuraikan diatas, hipotesis dalam
penelitian ini diuraikan sebagai berikut:
“Penggunaan model pembelajaran Project Based Learning mempunyai
pengaruh lebih tinggi terhadap prestasi belajar siswa dibandingkan dengan model
pembelajaran Problem Based Learning pada materi termokimia siswa kelas XI MIA
SMA Negeri 1 Karanganyar semester ganjil tahun pelajaran 2015/2016.”
Download