BAB II LANDASAN TEORI A. Tinjauan Pustaka 1. Teori Belajar a. Teori Belajar Konstruktivisme Konstruktivisme adalah sebuah filosofi pembelajaran yang dilandasi premis bahwa dengan merefleksikan pengalaman semua orang membangun, mengkonstruksi pengetahuan pemahaman mereka sendiri tentang dunia lewat pengalaman (Suyono dan Hariyanto, 2011: 105). Sehingga diperlukan keaktifan dari masing masing siswa. Pengetahuan tidak dapat ditransfer begitu saja, tetapi harus dibentuk dan dibangun sendiri oleh setiap individu. Pengetahuan bukan merupakan sesuatu yang sudah jadi, melainkan suatu proses yang berkembang terus-menerus. Keaktifan seseorang amat berperan dalam perkembangan pengetahuan tersebut. Dalam penerapan pembelajaran konstruktivisme terdapat beberapa hal yang perlu diperhatikan, Suyono dan Hariyanto (2011:107) menyatakan: 1) Pembelajaran harus dimulai dengan isu-isu yang mengakomodasi siswa untuk secara aktif mengkonstruk makna; 2) Proses pembelajaran berfokus terutama pada konsep-konsep primer bukan kepada fakta-fakta yang terpisah; 3) Guru harus memahami model-model mental yang dipergunakan siswa terkait bagaimana cara pandang siswa tentang dunia; 4) Melakukan penilaian terhadap bagian-bagian dari proses pembelajaran. Vygotsky, sebagai seseorang yang dianggap pionir dalam filosofi konstruktivisme menyatakan teori pembelajarannya sebagai pembelajaran kognisi sosial (social cognition). Teori Vygotsky menitikberatkan pada interaksi dari faktorfaktor interpersonal (sosial), cultural historis, dan individual sebagai kunci dari perkembangan manusia. Interaksi-interaksi dengan orang-orang di lingkungan sekitar menstimulasi proses-proses perkembangan dan mendorong pertumbuhan kognitif. 8 Satu konsep pokok dalam teori ini adalah zone of proximal development (ZPD). Konsep ini didefinisikan sebagai jarak antara level perkembangan aktual yang ditentukan melalui pemecahan masalah secara mandiri dan level potensi perkembangan yang ditentukan melalui pemecahan masalah dengan bantuan orang dewasa atau dengan kerjasama dengan teman-teman sebaya yang lebih mampu. Pemberian bantuan dalam belajar digunakan ketika seorang guru ingin memberikan siswa sejumlah informasi atau menyelesaikan bagian-bagian dari tugas untuk mereka sehingga mereka dapat berkonsentrasi pada bagian dari tugas yang berusaha mereka kuasai. Aplikasi lainnya yang mencerminkan ide-ide Vygotsky adalah pengajaran timbal balik (reciprocal teaching). Pengajaran timbal balik merupakan dialog interaktif antara guru dan sekelompok kecil siswa yang memuat interaksi sosial dan pemberian bantuan dalam belajar selagi siswa secara bertahap mengembangkan keterampilannya. Satu bentuk aplikasi yang juga penting adalah kerjasama atau kolaborasi dengan teman sebaya (peer collaboration) yang mencerminkan pandangan tentang aktivitas kolektif. Pembelajaran dengan bantuan teman sebaya dalam bekerjasama mengerjakan tugas-tugas, interaksi-interaksi sosial yang sama-sama mereka jalani dapat berperan sebagai fungsi pembelajaran (Schunk, 2012: 337-345) Dalam penelitian ini model pembelajaran yang digunakan adalah project based learning dan problem based learning. Penerapan model ini menghendaki siswa untuk terlibat aktif dalam proses pembelajaran, berinteraksi, dan bekerjasama dengan teman kelompoknya untuk memecahkan masalah pembelajaran. Model pembelajaran project based learning dan model problem based learning sejalan dengan prinsip konstruktivisme. Dalam pembelajaran siswa mengkonstruksi pengetahuannya sendiri melalui pemecahan masalah sebagai suatu wadah untuk mengembangkan keterampilan berpikirnya dengan mengoptimalkan media, alat, dan bahan pembelajaran yang mendukung proses kegiatan belajar siswa. Siswa berinteraksi dalam kelompok dengan latar belakang yang berbeda-beda sehingga dapat membantu siswa dalam mengkonstruksi pengetahuan baru ke dalam pengetahuan awalnya berdasarkan pengalaman yang diperolehnya selama proses pembelajaran. b. Teori Belajar Kognitif Teori belajar kognitif menjelaskan bagaimana seseorang mencapai pemahaman atas dirinya dan lingkungannya lalu menafsirkan bahwa diri dan lingkungan psikologisnya merupakan faktor-faktor yang kait-mengait. Tokoh-tokoh teori belajar kognitif: 1) Teori Piaget Menurut Piaget, setiap anak mengembangakan kemampuan berpikirnya menurut tahapan yang teratur. Proses berpikir anak merupakan suatu aktivitas gradual, tahap demi tahap dari fungsi intelektual, dari konkret menuju abstrak. Pada suatu tahap perkembangan tertentu akan muncul skema atau struktur kognitif tertentu yang keberhasilannya pada setiap tahap amat bergantung pada pencapaian sebelumnya. Tahapan-tahapan perkembangan kognitif piaget disajikan Tabel 2.1. Tabel 2.1. Tahapan-Tahapan Perkembangan Kognitif Menurut Piaget Tahap Usia/ Gambaran Tahun Bayi bergerak dari tindakan reflex instinktif Sensori-Motor 0 s/d 2 pada saat lahir sampai permulaan pemikiran simbolis. Bayi membangun suatu pemahaman tentang dunia melalui pengkoordinasian pengalaman-pengalaman sensor dengan tindakan fisik. Anak mulai mempresentasikan dunia dengan Pra opera-sional 2 s/d 7 kata-kata dan gambar-gambar. Kata-kata dan gambar-gambar menunjukkan adanya peningkatan pemikiran simbolis dan melampaui hubungan informasi sensor dan tindakan fisik. Lanjutan Tabel 2.1. Usia/ Tahap Gambaran Tahun Pada tahap ini anak dapat berpikir secara logis Operasional 7 s/d 11 Konkret mengenai peristiwa-peristiwa yang konkrit dan menklasifikasikan benda-benda ke dalam bentuk-bentuk yang berbeda. Anak remaja berpikir dengan cara yang lebih Operasional >11 abstrak dan logis. Pemikiran lebih idealistik. Formal Menurut Piaget belajar akan lebih berhasil jika disesuaikan dengan tahap perkembangan kognitif peserta didik. Disamping itu Piaget mengembangkan pula konsep adaptasi dengan dua variannya, yaitu asimilasi dan akomodasi. Proses asimilasi, pada tahap ini siswa menyesuaikan atau mencocokkan informasi yang baru dengan yang ia ketahui dengan mengubahnya bila perlu. Proses akomodasi, pada tahap ini siswa menyusun dan membangun kembali atau mengubah yang telah diketahui sebelumnya sehingga informasi yang baru dapat disesuaikan dengan lebih baik. Menurut Piaget, adanya informasi yang diperoleh dari lingkungan kemudian dicocokkan dengan skema pembelajar, hal ini menyebabkan disekuilibrium pada struktur kognitif yang disebut konflik kognitif. Agar terjadi ekuilibrasi antar individu dengan lingkungan, maka proses asimilasi dan akomodasi harus terjadi secara terpadu (Suyono dan Hariyanto, 2011: 73-87). Teori Piaget tersebut berkaitan dengan tahap perkembangan kognitif siswa-siswa kelas XI dengan rata-rata usia 15-16 tahun yang mengalami perkembangan operasional formal. Siswa telah mampu bekerja secara sistematis, menganalisis, menarik kesimpulan serta dianggap mampu untuk berpikir abstrak membangun pengetahuan kognitifnya. Model pembelajaran yang digunakan yakni pembelajaran model project based learning dan model problem based learning, siswa diharapkan akan mampu bekerja secara sistematis membangun pengetahuan dalam kelompok belajarnya, serta dapat menarik kesimpulan dari materi yang dipelajari siswa. Siswa menyadari keterbatasan pemikirannya, sehingga siswa mulai membangun konsep-konsep yang ada diluar pengalaman siswa sendiri. Pada akhir pembelajaran terbentuklah pengetahuan baru sebagai hasi pemikiran yang dimiliki setiap siswa. 2) Teori Ausubel (Belajar Bermakna) Dahar (2011: 95-97) menyatakan inti teori Ausubel tentang belajar ialah belajar bermakna. Bagi Ausubel, belajar bermakna merupakan suatu proses dikaitkannya informasi baru pada konsep-konsep yang relevan yang terdapat dalam struktur kognitif seseorang. Bila tidak ada usaha yang dilakukan untuk mengasimilasikan pengetahuan baru pada konsep-konsep relevan yang sudah ada dalam struktur kognitif, akan terjadi belajar hafalan. Faktor-faktor utama yang mempengaruhi belajar bermakna menurut Ausubel (1963) ialah struktur kognitif yang ada, stabilitas, dan kejelasan pengetahuan dalam suatu bidang studi tertentu pada waktu tertentu. Sifat-sifat struktur kognitif menentukan validitas dan kejelasan arti-arti yang timbul saat informasi baru masuk ke dalam struktur kognitif itu, demikian pula sifat proses interaksi yang terjadi. Jika struktur kognitif itu stabil, jelas, dan diatur dengan baik, arti-arti yang sahih dan jelas atau tidak meragukan akan timbul dan cenderung bertahan. Akan tetapi sebaliknya, jika struktur kognitif itu tidak stabil, meragukan, dan tidak teratur, struktur kognitif itu cenderung menghambat belajar dan retensi. 2. Model Pembelajaran Project Based Learning (PjBL) Referensi pertama tentang PjBL disebutkan oleh Kilpatrick (1918) yang menyarankan bahwa projek antar cabang ilmu pengetahuan mempelajari matematika, sains, ilmu sosial untuk memberikan peserta didik yang kaya akan konsep dan ide. Sedangkan menurut Bialkin et. al. (2011) PjBL adalah suatu model pembelajaran yang mengubah kegiatan kelas dari praktek singkat dalam kelas, terisolasi, pembelajaran berpusat pada guru, menjadi kegiatan pembelajaran yang menekankan pembelajaran antar cabang ilmu berjangka panjang dan berpusat pada siswa. Dari berbagai pendapat tersebut, dapat disimpulkan bahwa PjBL merupakan model pembelajaran yang membuat peserta didik bekerja secara aktif memecahkan persoalan di dunia nyata yang dapat menghasilkan solusi berupa produk atau hasil karya secara realistis. a. Tujuan dan Ciri-Ciri PjBL Tujuan utama dari PjBL menurut pernyataan Kubiatko dan Vaculova (2011: 66-67) (mengutip simpulan Kimonen dan Nevalainen, 2000) adalah hubungan yang aktif dari siswa dengan proses pendidikan. Karakteristik proses ini adalah dari keterbukaan mereka pada situasi masalah dari pertanyaan dibuat oleh guru. Situasi dan pertanyaan ini menyebabkan siswa berpikir tentang topik yang sedang dibahas. Realisasi projek tergantung dari siswa, kreativitas mereka, fantasi, berpikir kritis, motivasi diri ketertarikan, dan alat-alat yang diperlukan. Guru dan siswa terinspirasi oleh masalah yang mengelilingi mereka yang terjadi di kehidupan sehari-hari. Enam A merupakan ciri-ciri PjBL yang pertama kali dikembangkan oleh Adria Steinberg dari Jobs of the Future (NAF: 14). Enam A merupakan ciri-ciri yang muncul dalam projek kelas dengan kualitas tinggi. Banyak guru yang telah menggunakan keenam faktor ini sebagai penanda kualitas selama desain projek berlangsung. Enam A yang merupakan ciri-ciri PjBL dapat dijelaskan sebagai berikut: 1) Authencity (Keaslian) 2) Academic Rigor (Sangat Akademis) 3) Adult Connections (Hubungan Lanjut) 4) Active Exploration (Eksplorasi Aktif) 5) Applied Learning (Penerapan Pembelajaran) 6) Assessment Practices (Praktek Penilaian) b. Langkah-Langkah Project Based Learning (PjBL) Model pembelajaran PjBL (Project Based Learning) cenderung kurang familiar dibandingkan dengan PBL (Problem Based Learning), hal ini mungkin disebabkan karena singkatan kedua model pembelajaran tersebut hampir sama. Begitu banyak referensi yang mucul tentang PBL dibandingkan dengan PjBL, namun dapat diperoleh dua referensi tentang PjBL. Referensi tersebut berasal dari National Academy Foundation and Pearson Foundation (NAF) dan Instructional Module Project Based Learning (Lucas 2005). Dalam NAF langkah-langkah PjBL dapat dijelaskan sebagai berikut: 1) Persiapan a) Mengenalkan macam kegiatan b) Persiapan siswa c) Membuat skrip 2) Pengumpulan Aset Dan Papan Cerita a) Manajemen file b) Membuat papan cerita 3) Workshop 4) Presentasi Dan Refleksi Sedangkan dalam Instructional Module Project Based Learning (Lucas, 2005) langkah-langkah PjBL dapat dijelaskan melalui Tabel 2.2. Tabel 2.2. Langkah-Langkah PjBL No Tahap Penjelasan Kegiatan 1. Dimulai dengan Mengambil topik yang sesuai dengan realitas dunia nyata pertanyaan dan dimulai dengan sebuah investigasi mendalam. yang esensial Pertanyaan esensial diajukan untuk memancing pengetahuan, tanggapan, kritik dan ide siswa mengenai tema projek yang akan diangkat. 2. Perencanaan Berisi tentang pemilihan aktivitas yang dapat mendukung aturan dalam menjawab pertanyaan esensial, dengan cara pengerjaan mengintegrasikan berbagai subjek,serta mengetahui alat projek dan bahan yang dapat diakses untuk penyelesaian projek. Lanjutan Tabel 2.2 No 3. Tahap Penjelasan Kegiatan Membuat Pendidik dan peserta didik secara kolaboratif menyusun jadwal aktivitas jadwal aktivitas dalam menyelesaikan projek. Jadwal ini disusun untuk mengetahui berapa lama waktu yang dibutuhkan dalam pengerjaan projek. 4. Memonitoring Pendidik bertanggung jawab untuk melakukan monitor perkembangan terhadap aktivitas peserta didik selama menyelesaikan projek siswa projek. Monitoring dilakukan dengan cara menfasilitasi peserta didik pada setiap proses. 5. Penilaian hasil Penilaian dilakukan untuk membantu pendidik dalam kerja siswa mengukur ketercapaian standar, berperan dalam mengevaluasi kemajuan masing-masing peserta didik, memberi umpan balik tentang tingkat pemahaman yang sudah dicapai peserta didik, membantu pendidik dalam menyusun strategi pembelajaran berikutnya. 6. Evaluasi Pada akhir proses pembelajaran, pendidik dan peserta pengalaman didik melakukan refleksi terhadap aktivitas dan hasil belajar siswa projek yang sudah dijalankan. Proses refleksi dilakukan baik secara individu maupun kelompok. Pada tahap ini peserta didik diminta untuk mengungkapkan perasaan dan pengalamannya selama menyelesaikan proyek. c. Kelebihan dan kelemahan PjBL Keuntungan dari pembelajaran berbasis proyek: 1) Meningkatkan motivasi belajar peserta didik untuk belajar, mendorong kemampuan mereka untuk melakukan pekerjaan penting, dan mereka perlu dihargai. 2) Meningkatkan kemampuan pemecahan masalah. 3) Membuat peserta didik menjadi lebih aktif dan berhasil memecahkan problemproblem yang kompleks. 4) Meningkatkan kolaborasi. 5) Mendorong peserta didik untuk mengembangkan dan mempraktikkan keterampilan komunikasi. 6) Meningkatkan keterampilan peserta didik dalam mengelola sumber. 7) Memberikan pengalaman kepada peserta didik pembelajaran dan praktik dalam mengorganisasi proyek dan membuat alokasi waktu dan sumber-sumber lain seperti perlengkapan untuk menyelesaikan tugas. 8) Menyediakan pengalaman belajar yang melibatkan peserta didik secara kompleks dan dirancang untuk berkembang sesuai dunia nyata. 9) Melibatkan para peserta didik untuk belajar mengambil informasi dan menunjukkan pengetahuan yang dimiliki kemudian diimplementasikan dengan dunia nyata. 10) Membuat suasana belajar menjadi menyenangkan sehingga peserta didik maupun pendidik menikmati proses pembelajaran. Adapun kelemahan pembelajaran berbasis proyek, antara lain: 1) Memerlukan banyak waktu untuk menyelesaikan masalah. 2) Membutuhkan biaya yang cukup banyak. 3) Banyak instruktur yang merasa nyaman dengan kelas tradisional, dimana instruktur memegang peran utama di kelas. 4) Banyaknya peralatan yang harus disediakan. 5) Peserta didik yang memiliki kelemahan dalam percobaan dan pengumpulan informasi akan mengalami kesulitan. 6) Ada kemungkinan peserta didik yang kurang aktif dalam kerja kelompok. 7) Ketika topik yang diberikan kepada masing-masing kelompok, dikhawatirkan peserta didik tidak bisa memahami topik secara keseluruhan (Kurinasih & Sani, 2014: 83-85). 3. Model Pembelajaran Problem Based Learning a. Fitur-fitur Khusus PBL Para pengembang PBL (Cognition & Technology Group at Vanderbilt, 1990, 1996a, 1996b; Gordon et al., Krajcik et al., 2003; Slavin, Madden, Dolan & Wasik 1994; Torp & Sage, 1998) mendeskripsikan bahwa model instruksional ini memiliki fitur-fitur sebagai berikut: Pertanyaan atau masalah perangsang PBL mengorganisasikan pengajaran seputar pertanyaan dan masalah. Siswa menghadapi berbagai situasi kehidupan nyata yang tidak dapat diberi jawaban sederhana dan ada berbagai solusi yang competing dalam menyelesaikannya. Fokus interdisipliner PBL dapat diterapkan memusat untuk membahas subjek tertentu (sains, matematika, sejarah atau lainnya), tetapi lebih dipilih pembahasan masalah aktual yang dapat diinvestigasi dari berbagai sudut disiplin ilmu. Investigasi autentik PBL mengharuskan siswa melakukan investigasi autentik demi menemukan solusi riil untuk masalah riil. Siswa harus menganalisis, mengembangkan hipotesis, membuat prediksi, mengumpulkan informasi, melakukan eksperimen dan menarik kesimpulan. Produksi artefak dan exhibit PBL menuntut siswa untuk mengkonstruksikan produk dalam bentuk artefak dan exhibit yang menjelaskan atau mempresentasikan solusi mereka. Kolaborasi PBL ditandai oleh siswa-siswa yang bekerjasama dengan siswa lain membentuk kelompok kecil dalam menyelesaikan tugas-tugas kompleks dan memberikan kesempatan untuk penyelidikan dan dialog bersama mengembangkan keterampilan sosial. Bekerjasama akan memberikan motivasi untuk terlibat secara berkelanjutan dalam tugas yang kompleks dan meningkatkan kesempatan untuk bertukar pikiran (Arends, 2008: 42-43). Tabel 2.3. Langkah-langkah Model Problem Based Learning Fase Perilaku Guru Fase 1: Orientasi pada Guru membahas tujuan pelajaran, mendeskripsikan masalah berbagai kebutuhan logistik penting, dan memotivasi siswa untuk terlibat dalam kegiatan mengatasi masalah. Fase 2: Guru membantu siswa untuk mendefinisikan dan Mengorganisasikan mengorganisasikan tugas-tugas belajar yang terkait siswa untuk belajar. dengan permasalahannya. Fase 3: Membimbing Guru mendorong siswa untuk mendapatkan informasi penyelidikan individu yang tepat, melaksanakan eksperimen dan mencari atau kelompok penjelasan dan solusi. Fase 4: Guru membantu siswa dalam merencanakan dan Mengembangkan dan menyiapkan artefak-artefak yang tepat, seperti laporan, menghasilkan hasil rekaman video, model-model, dan membantu mereka karya untuk menyampaikannya pada orang lain. Fase 5: Menganalisis Guru membantu siswa untuk melakukan refleksi &mengevaluasi proses terhadap pemecahan masalah mereka gunakan. investigasinya dan proses-proses yang (Arends, 2008: 57) b. Kelebihan dan kelemahan PBL Seperti halnya model pembelajaran lain, PBL mempunyai kelebihan dan kelemahan dalam penerapannya pada proses pembelajaran. Menurut McPhee (2002), kelebihan PBL antara lain: 1) Siswa berfikir secara praktis dan memberikan manfaat karena masalah berasal dari studi kehidupan nyata. 2) Siswa dipaksa untuk berfikir menyelesaikan masalah yang ada. 3) Masing-masing siswa memiliki perspektifnya sendiri sehingga ide yang muncul dapat digabungkan satu sama lain. 4) Siswa lebih siap menerima pelajaran di dalam kelas. 5) Memperlibatkan siswa secara langsung dan mendalam dalam pembelajaran. 6) Diskusi kelompok memperluas ide siswa. Pembelajaran berbasis masalah juga memiliki kelemahan jika diterapkan pada proses pembelajaran, karena 1) Beberapa siswa merasa harus menyesuaikan diri dengan norma-norma kelompok. 2) Terlalu banyak waktu yang dihabiskan untuk diskusi. 3) Beberapa siswa menjadi tim pemikir dalam kelompok, mengakibatkan siswa yang lain menjadi malas. 4) Siswa mengalami kesulitan karena tidak diberikannya catatan. (McPhee, 2002: 70) 4. Prestasi Belajar Menurut Sudjana “Tujuan sebagai arah dari proses belajar mengajar pada hakekatnya adalah rumusan tingkah laku yang diharapkan dapat dikuasai oleh siswa setelah menerima atau menempuh pengalaman belajarnya” (2011: 22). Hasil belajar yang dimaksud ini tidak lain adalah prestasi yang merupakan cermin keberhasilan proses dan hasil belajar siswa. Dari pendapat tersebut dapat disimpulkan bahwa prestasi belajar adalah hasil yang diperoleh seseorang setelah melakukan usaha untuk mendapat ilmu pengetahuan. Dalam sistem pendidikan nasional yang telah dituliskan dalam Permendikbud Nomor 104 bahwa pedoman penilaian berdasarkan kurikulum 2013 menggunakan acuan kriteria yang merupakan penilaian kemajuan peserta didik dibandingkan dengan kriteria capaian kompetensi yang ditetapkan. Acuan kriteria menggunakan rerata untuk pengetahuan, modus untuk sikap, dan capaian optimum untuk keterampilan. Sementara itu lingkup penilaian hasil belajar oleh pendidik mencakup kompetensi pengetahuan, sikap (spiritual dan sosial), dan keterampilan yang dijabarkan sebagai berikut: a. Aspek Pengetahuan Sasaran penilaian pada ranah pengetahuan dibagi menjadi 2 dimensi yakni dimensi berpikir dan dimensi pengetahuan. Dimensi berpikir didasarkan pada taksonomi Bloom. Sasaran penilaian hasil belajar oleh pendidik pada dimensi berpikir dan dimensi pengetahuan disajikan dalam Tabel 2.4. Tabel 2.4. Penilaian Hasil Belajar pada Dimensi Berpikir dan Pengetahuan Dimensi Berpikir Dimensi Pengetahuan 1. Mengingat 1. Faktual Mengemukakan sudah Pengetahuan tentang istilah, lainnya nama orang, nama benda, sebagaimana aslinya, tanpa melakukan perubahan. angka, tahun, dan hal-hal 2. Memahami yang terkait secara khusus Sudah ada proses pengolahan dari bentuk aslinya dengan suatu mata pelajaran. tetapi arti dari kata, istilah, tulisan, grafik, tabel, 2. Konseptual gambar, foto tidak berubah. Pengetahuan 3. Menerapkan kategori, dipelajaridari kembali guru, Menggunakan apa buku, informasi, yang sumber konsep, prosedur, tentang klasifikasi, keterkaitan antara prinsip, hukum, teori yang sudah dipelajari untuk kategori sesuatu yang baru/belum dipelajari. hukum kausalita, definisi, 4. Menganalisis teori. Menggunakan dipelajarinya menentukan keterampilan terhadap suatu keterhubungan yang telah informasi, antara dengan satu lainnya, 3. Prosedural Pengetahuan tentang satu prosedur dan proses khusus kelompok/informasi dengan kelompok /informasi dari suatu mata pelajaran lainnya, antara fakta dengan konsep, antara seperti algoritma, teknik, Lanjutan Tabel 2.4. argumentasi dengan kesimpulan, benang merah metoda, dan kriteria untuk pemikiran antara satu karya dengan karya lainnya. menentukan 5. Mengevaluasi penggunaan suatu prosedur. Menentukan nilai suatu benda informasi ketetapan 4. Metakognitif berdasarkan suatu kriteria. Pengetahuan tentang cara 6. Mencipta mempelajari pengetahuan, Membuat sesuatu yang baru dari apa yang sudah menentukan pengetahuan ada sehingga hasil tersebut merupakan satu yang kesatuan utuh dan berbeda dari komponen yang penting digunakan untuk membentuknya. knowledge), penting dan tidak (strategic pengetahuan yang sesuai dengan konteks tertentu, dan pengetahuan diri (self-knowledge). b. Aspek Sikap Kompetensi sikap yang dimaksud adalah sikap sesuai yang dituntut KI-1 dan KI-2 berturut-turut adalah sebagai berikut: 1) Menghayati dan mengamalkan ajaran agama yang dianutnya, dan 2) Menghayati dan mengamalkan perilaku jujur, disiplin, tanggungjawab, peduli (gotong royong, kerjasama, toleran, damai), santun, responsif dan pro-aktif dan menunjukkan sikap sebagai bagian dari solusi atas berbagai permasalahan dalam berinteraksi secara efektif dengan lingkungan sosial dan alam serta dalam menempatkan diri sebagai cerminan bangsa dalam pergaulan dunia. Berdasarkan rumusan KI-1 dan KI-2 diatas, maka penilaian sikap terdiri atas sikap spiritual dan sikap sosial. Cakupan sikap spiritual yaitu menghayati dan mengamalkan ajaran agama yang dianutnya, dan cakupan sikap sosial terdiri: jujur, disiplin, tanggungjawab, gotong royong, kerjasama, toleran, damai, santun, responsif dan proaktif. Pendidik melakukan penilaian kompetensi sikap melalui penilaian diri (self assessment), penilaian teman sejawat/antarpeserta didik (peer assessment), dan jurnal (Direktorat Pembinaan SMA, Ditjen Pendidikan Menengah, 2013). Instrumen yang digunakan untuk penilaian diri, dan penilaian antarpeserta didik adalah lembar pengamatan berupa daftar cek (checklist) atau skala penilaian (rating scale) yang disertai rubrik, sedangkan pada jurnal berupa catatan pendidik. Nilai ketuntasan kompetensi sikap diisi secara kualitatif dalam bentuk predikat, yakni predikat Sangat Baik (SB), Baik (B), Cukup (C), dan Kurang (K). Nilai akhir sikap tidak berdasarkan rerata dari data melainkan mode atau modus, yaitu berdasarkan data atau nilai sikap yang sering muncul. c. Aspek Keterampilan Pendidik menilai kompetensi keterampilan melalui penilaian kinerja, yaitu penilaian yang menuntut peserta didik mendemonstrasikan suatu kompetensi tertentu dengan menggunakan tes praktik, proyek, dan penilaian laporan. Instrumen yang digunakan berupa daftar cek atau skala penilaian (rating scale) yang dilengkapi rubrik. Rubrik adalah daftar kriteria yang menunjukkan kinerja, aspek-aspek atau konsep-konsep yang akan dinilai, dan gradasi mutu, mulai dari tingkat yang paling sempurna sampai yang paling buruk. Capaian kompetensi keterampilan bukan rerata melainkan nilai MODE atau modus yaitu nilai yang sering muncul baik nilai praktik, nilai proyek, maupun nilai laporan. Nilai ketuntasan kompetensi pengetahuan dan keterampilan dituangkan dalam bentuk angka dan huruf, yakni 4,00-1,00 untuk angka yang ekuivalen dengan huruf A sampai dengan D. 5. Materi Termokimia Termokimia adalah materi yang diberikan di kelas XI pada semester gasal. Pembagian materi ini meliputi: Hukum Kekekalan Energi, Sistem dan Lingkungan, Reaksi Eksoterm dan Endoterm serta Perubahan Entalpi. a. Hukum Kekekalan Energi Hukum kekekalan energi menyatakan bahwa energi tidak dapat diciptakan atau dimusnahkan. Energi hanya dapat diubah dari satu bentuk ke bentuk lain. Atom, molekul maupun ion adalah benda-benda yang mempunyai bentuk energi yang sama, yaitu: energi kinetik dan potensial. Atom-atom dan molekul yang begerak mempunyai energi kinetik. Untuk setiap benda, harga rata-rata dari energi kinetik partikel-partikel berukuran atom, berbanding lurus dengan suhu mutlak (suhu Kelvin) benda tersebut. Dapat diartikan pada benda yang panas, atom-atom dan molekulnya mempunyai harga rata-rata energi kinetik yang lebih besar dan pergerakannya lebih cepat dari atom-atom/molekul pada benda dingin. Sedangkan energi potensial timbul karena adanya gaya tarik-menarik dan tolak-menolak atomatom dari partikel-partikel bermuatan listrik. Energi potensial yang dipunyai zat-zat karena adanya gaya tarik-menarik dan tolak-menolak antara partikel-partikel subatom disebut energi kimia. Salah satu bentuk energi yang lazim kita jumpai adalah energi kalor. Kalor merupakan energi kinetik dari atom-atom dan molekulmolekul. Termokimia merupakan cabang dari ilmu kimia yang mempelajari tentang kalor reaksi. Bagian dari cabang ilmu pengetahuan yang lebih besar, yaitu termodinamika. Azas kekekalan energi disebut juga hukum pertama termodinamika (Brady, 1999: 262-264). b. Sistem dan Lingkungan Reaksi atau proses yang sedang menjadi pusat perhatian kita disebut sistem. Segala sesuatu yang berada diluar sistem adalah lingkungan. Sistem memiliki sejumlah energi tertentu. Energi dalam yang tersimpan pada sistem (jumlah energi kinetik dan energi potensial) disebut energi dalam (E). besarnya energi dalam tidak dapat diukur, yang dapat diukur adalah perubahan energi dalam (∆E). perubahan energi dalam sistem dapat terjadi karena sistem menyerap energi dari lingkungan atau sistem melepas energi ke lingkungan. Bertambahnya energi dalam sistem diimbangi dengan berkurangnya energi dalam lingkungan dan sebaliknya. Energi yang berpindah dari sistem ke lingkungan dan sebaliknya berupa kalor (q) atau kerja (w). Perubahan energi dalam (∆E) tersebut akan muncul sebagai kalor dan/atau kerja. ∆E = q (kalor) + w (kerja) Sistem menerima kalor, q bertanda positif (q>0) Sistem membebaskan kalor, q bertanda negatif (q<0) Sistem melakukan kerja, w bertanda positif (w>0) Sistem menerima kerja, w bertanda negatif (w<0) c. Entalpi dan Perubahan Entalpi Entalpi (H) adalah jumlah energi yang dimiliki sistem pada tekanan tetap. Entalpi dirumuskan sebagai jumlah energi yang terkandung dalam sistem (E) dan kerja (w). H = E + w, dengan W = P x V Dimana: E : energi (joule) w : kerja sistem (joule) V : volume (liter) P : tekanan (atm) Nilai energi suatu reaksi tidak dapat diukur, yang dapat diukur hanyalah perubahan energi (∆E). Demikian juga halnya dengan entalpi, entalpi tidak dapat diukur namun kita dapat mengukur perubahan entalpinya (∆H). ∆H = Hp – Hr dengan: ∆H = perubahan entalpi Hp = entalpi produk Hr = entalpi reaktan atau pereaksi 1) Bila H produk > H reaktan, maka ∆H bertanda positif, berarti terjadi penyerapan kalor dari lingkungan ke sistem. 2) Bila H produk < H reaktan, maka ∆H bertanda negatif, berarti terjadi pelepasan kalor dari sistem ke lingkungan. Secara matematis, perubahan entalpi (∆H) dapat diturunkan sebagai berikut: H=E+W Pada tekanan tetap: (1) ∆H = ∆E + P∆V (2) ∆E = q + W (3) Wsistem = − PV (4) Substitusi persamaan (3) dan (4) dalam persamaan (2): H = (q + W) + P∆V H = (q − P∆V) + P∆V H=q Jadi, pada tekanan tetap, perubahan entalpi (∆H) sama dengan kalor (q) yang diserap atau dilepas. d. Reaksi Eksoterm dan Endoterm 1) Reaksi Eksoterm Suatu reaksi yang membebaskan kalor disebut sebagai reaksi eksoterm. Kalor mengalir dari sistem menuju ke lingkungan mengakibatkan kenaikan suhu. Pada waktu kayu dibakar, kalor dilepaskan ke lingkungan sehingga suhu lingkungan menjadi hangat. Pada reaksi eksoterm, sistem membebaskan kalor, sehingga entalpi sistem akan berkurang, artinya entalpi produk (HP) lebih kecil daripada entalpi pereaksi (HR). Oleh karena itu, perubahan entapinya bertanda negatif. Reaksi eksoterm: ∆H = HP – HR < 0 2) Reaksi Endoterm Pada reaksi endoterm, sistem menyerap kalor dari lingkungan. Penyerapan kalor oleh sistem akan menurunkan suhu lingkungan. Salah satu contoh reaksi endoterm adalah peristiwa fotosintesis, dimana tumbuhan menyerap kalor dari matahari. Pada reaksi endoterm, sistem menyerap kalor, sehingga entalpi sistem akan bertambah, artinya entalpi produk (HP) lebih besar daripada entalpi pereaksi (HR). Oleh karena itu, perubahan entapinya bertanda positif. Reaksi endoterm: ∆H = HP – HR > 0 Lingkungan Sistem Sistem Gambar 2.1. Aliran kalor pada reaksi eksoterm dan endoterm (Purba, 2006: 60) e. Persamaan Termokimia Persamaan termokimia adlaah persamaan reaksi yang menyertakan perubahan entalpinya (∆H). Nilai perubahan entalpi yang dituliskan pada persamaan termokimia harus sesuai dengan stoikiometri reaksi, artinyya jumlah mol zat yang terlibat dalam reaksi sama dengan koefisien reaksinya. Contoh: Diketahui persamaan termokimia: H2(g) + 1/2O2(g) → H2O(l) ∆H = −285,85 kJ/mol Artinya, pada pembentukan 1 mol H2O dari gas hydrogen dan gas oksigen dibebaskan energi sebesar 285,85 kJ (reaksi eksoterm). (Utami, dkk., 2009: 43) f. Perubahan Entalpi Standar Perubahan entalpi standar (∆H0) adalah perubahan entalpi (∆H) reaksi yang diukur pada kondisi standar, yaitu pada suhu 298K dan tekanan 1 atm. 1) Entalpi Pembentukan Standar (∆Hf0=Standard Enthalpy of Formation) Entalpi pmbentukan standar adalah ∆H untuk membentuk 1 mol persenyawaan langsung dari unsur-unsurnya yang diukur pada 298K dan tekanan 1 atm. 2) Entalpi Penguraian Standar (∆Hd0=Standard Enthalpy of Dissociation) Entalpi penguraian standar adalah ∆H dari penguraian 1 mol persenyawaan langsung menjadi unsur-unsurnya (kebalikan dari ∆H pembentukan). Sesuai dengan asas kekekalan energi, maka nilai entalpi penguraian sama dengan entalpi pembentukannya, tetapi tandanya berlawanan. 3) Entalpi Pembakaran Standar (∆Hc0=Standard Enthalpy of Combustion) Entalpi pembakaran standar adalah perubahan entalpi (∆H) untuk pembakaran sempurna 1 mol senyawa atau unsur dengan O2 dari udara, yang diukur pada 298K dan tekanan 1 atm. Satuan ∆Hc0 adalah kJ/mol. Pembakaran dikatakan sempurna jika: a) Karbon (C) terbakar sempurna menjadi CO2 b) Hidrogen (H) terbakar sempurna menjadi H2O c) Belerang terbakar sempurna menjadi SO2 d) Senyawa hidrokarbon (CxHy) terbakar sempurna menurut reaksi: CxHy + O2 → CO2 + H2O (belum setara) (Utami, dkk., 2009: 43-49) g. Penentuan Perubahan Entalpi 1) Melalui percobaan (Kalorimetri) Perubahan entalpi (∆H) yang menyertai suatu reaksi dapat ditentukan melalui percobaan dengan menggunakan alat kalorimeter. Pengukuran ∆H dengan cara ini dinamakan kalorimetri. Kalorimeter adalah suatu sistem terisolasi (tidak ada pertukaran materi maupun energi dengan lingkungan di luar kalorimeter). Dengan demikian, semua kalor yang dibebaskan oleh reaksi yang terjadi di dalam calorimeter, tidak ada yang terbuang keluar kalorimeter. Dengan mengukur kenaikan suhu di dalam kalorimeter, kita dapat menentukan jumlah kalor yang diserap oleh air serta perangkat kalorimeter berdasarkan rumus: qlarutan = m c ∆T qkalorimeter = C ∆T dengan, q = jumlah kalor dalam Joule (J) m = massa zat (dalam gram) c = kalor jenis (dalam Jg-1oC-1 atau Jg-1K-1) C = kapasitas kalor kalorimeter (dalam J0C-1) ∆T = perubahan suhu = takhir − tawal (0C atau K) Oleh karena tidak ada kalor yang terbuang ke lingkungan, maka kalor reaksi sama dengan kalor yang diserap oleh larutan dan kalorimeter, tetapi tandanya berbeda: qreaksi = − (qlarutan + qkalorimeter) Kalorimeter Bom (Bomb Calorimeter) merupakan suatu kalorimeteryang dirancang khusus sehingga sistem benar-benar dalam keadaan tertutup, tetapi ada kemungkinan sistem masih dapat menyerap atau melepaskan kalor ke lingkungan, yang dalam hal ini lingkungannya adalah kalorimeter itu sendiri. (a) (b) Gambar 2.2. (a) Kalorimeter Bom dan (b) Kalorimeter Sederhana Kalorimeter sederhana dapat dibuat dari gelas atau wadah yang bersifat isolator (tidak menyerap kalor), misalnya stereofoam. Dengan demikian dianggap bahwa perubahan kalor yang terjadi saat reaksi tidak ada yang hilang. Jadi kalor reaksi sama dengan jumlah kalor yang diserap atau yang dilepaskan larutan, sedangkan kalor yang diserap oleh kalorimeter dan lingkungan diabaikan. qreaksi = −qlarutan (Purba, 2006: 69-70) 2) Hukum Hess Pada tahun 1940, Henry Hess menemukan bahwa kalor reaksi tidak bergantung pada lintasan, tetapi hanya pada keadaan awal dan keadaan akhir. Artinya jika keadaan awal dan akhir sama, maka kalor reaksi adalah sama, meski berlangsung pada lintasan yang berbeda. Contoh reaksi antara karbon dengan oksigen membentuk karbon dioksida. Cara 1: C(s) + O2 → CO2(g) ∆H= − 394 kJ Cara 2: Tahap 1 : C(s) + 1/2O2(g) → CO(g) ∆H= − 111 kJ 1 Tahap 2 : CO(g) + /2O2(g) → CO2(g) C(s) + O2(g) → CO2(g) ∆H= − 283 kJ + ∆H= − 394 kJ Hukum Hess dapat dinyatakan dalam bentuk diagram siklus atau diagram tingkat energi. Diagram siklus untuk reaksi pembakaran karbon adalah sebagi berikut: 2C(s) + 2O2 2CO2(g) ∆H1 = −788 kJ Keadaan awal Keadaan akhir ∆H2 = −222 kJ ∆H3 = −566 kJ 2CO(g) + O2(g) Gambar 2.3. Diagram siklus Reaksi Pembakaran Grafit Diagram siklus reaksi pembakaran grafit menurut 2 lintasan: Lintasan-1, langsung membentuk CO2, Lintasan-2, mula-mula membentuk CO kemudian CO2, ∆H reaksi tidak bergantung pada lintasan. ∆H1 = ∆H2 + ∆H3 Sedangkan menurut diagram tingkat adalah sebagai berikut: 2C(s) + 2O2 0 ∆H2 = −222 kJ 2CO(g) + O2(g) H −222 Keadaan awal ∆H3 = −566 kJ 2CO2(g) ∆H1 = −788 kJ −788 Keadaan akhir Gambar 2.4. Diagram Tingkat Energi Reaksi Pembakaran Grafit Gambar diatas menggambarkan diagram tingkat energi reaksi grafit dengan oksigen membentuk CO2 menurut dua lintasan. Lintasan-1 (tanda →); langsung membentuk CO2, Lintasan-2 mula-mula membentuk CO, kemudian CO2. ∆H1 = ∆H2 + ∆H3 (Purba, 2006: 73-74). Contoh penentuan kalor reaksi berdasarkan hukum Hess Diketahui: C(s) + O2 → CO2(g) ∆H = −94 kJ (reaksi 1) 2H2(g) + O2(g) → 2H2O(g) ∆H = −136 kJ (reaksi 2) 3C(s) + 4H2(g) → C3H8(g) ∆H = −24 kJ (reaksi 3) Tentukan ∆H pada reaksi C3H8(g) + O2(g) → 3CO2(g) + 4H2O(g)! Jawab: Menyesuaikan masing-masing reaksi (1), (2), dan (3) dengan pertanyaan C3H8(g) + O2(g) → 3CO2(g) + 4H2O(g) Reaksi (1) dikalikan 3 (agar CO2 menjadi 3CO2) Reaksi (2) dikalikan 2 (agar 2H2O menjadi 4H2O) Reaksi (3) dibalik, maka tanda H menjadi + (agar C3H8 menjadi di sebelah kiri) Jadi, 3C(s) + 3O2(g) → 3CO2(g) ∆H = −282 kJ 4H2(g) + 2O2(g) → 4H2O(g) ∆H = −272 kJ C3H8(g) → 3C(s) + 4H2(g) ∆H = +24 kJ C3H8(g) + 3O2(g) → 3CO2(g) + 4H2O(g) ∆H = −530 kJ + 3) Berdasarkan Tabel Entalpi Pembentukan (∆Hf0) Kalor suatu reaksi juga dapat ditentukan dari data entalpi pembentukan (∆Hf0) zat-zat pereaksi dan zat-zat hasil reaksi. ∆Hreaksi = ⅀∆Hf0produk − ⅀∆Hf0reaktan 4) Energi Ikatan Reaksi kimia merupakan proses pemutusan dan pembentukan ikatan. Proses ini selalu disertai perubahan energi. Energi yang dibutuhkan untuk memutuskan 1 mol ikatan kimia dalam suatu molekul gas menjadi atom-atomnya dalam fase gas disebut energi ikatan atau energi disosiasi (D). Untuk molekul kompleks, energi yang dibutuhkan untuk memecah molekul itu sehingga membentuk atom-atom bebas disebut energi atomisasi. Energi atomisasi suatu senyawa dapat ditentukan dengan menggunakan entalpi pembentukan senyawa tersebut. Secara matematis, hal tersebut dapat dijabarkan dengan persamaan: ∆Hreaksi = ⅀energi pemutusan ikatan − ⅀energi pembentukan ∆Hreaksi = ⅀energi ikatan diikatan kiri − ⅀energi ikatan di kanan Energi ikatan rata-rata adalah energi rata-rata per ikatan yang diperlukan untuk menguraikan 1 mol molekul mnjadi atom-atom penyusunnya. (Utami, dkk., 2009: 57-61) B. Kerangka Berpikir Prestasi belajar siswa dapat ditingkatkan diantaranya menggunakan model pembelajaran yang tepat. Model pembelajaran yang dipilih harus dapat memfasilitasi siswa untuk berinteraksi dengan siswa lainnya dalam kelas. Siswa hendaknya dibiasakan untuk berperan aktif serta bereksplorasi mengembangkan pengetahuan guna memecahkan masalah dalam proses belajar mengajar di kelas. Peran aktif siswa dapat dipupuk dengan adanya diskusi dalam kelompok, membiasakan siswa untuk mengemukakan pendapat, serta menyajikan atau mempresentasikan hasil belajar di depan kelas. Berdasarkan observasi secara umum di SMA Negeri 1 Karanganyar, diperoleh informasi bahwa pembelajaran yang diterapkan belum sepenuhnya mengembangkan pemikiran siswa terhadap permasalahan yang muncul. Sebagian besar siswa hanya mengikuti dan menghafalkan cara pemecahan masalah dari guru. Hal ini mengakibatkan siswa kurang kreatif dalam memecahkan masalah, peran serta siswa rendah, kegiatan belajar mengajar tidak maksimal yang berakibat pada prestasi belajar siswa rendah. Termokimia merupakan salah satu materi pokok dalam pelajaran kimia yang bersifat konseptual dan terdapat hitungan. Dilihat dari karakteristiknya materi ini memerlukan pemahaman yang kuat terhadap konsep-konsep yang digunakan. Oleh karena itu, diperlukan suatu model pembelajaran yang bisa melibatkan siswa secara aktif membangun konsep-konsep dalam materi termokimia. Siswa akan lebih mudah memahami dan mengingat materi, konsep atau pengalaman yang mereka dapatkan dan mereka bangun sendiri. Berdasarkan pada kenyataan tersebut, maka dalam penelitian pembelajaran yang dipilih untuk diterapkan di SMA Negeri 1 Karanganyar yaitu pembelajaran model PjBL dan model PBL. Pembelajaran model PjBL dan model PBL merupakan model yang tepat untuk diterapkan pada materi termokimia karena kedua model pembelajaran tersebut melibatkan siswa secara aktif dalam kelompok belajar memecahkan masalah dengan bimbingan guru melalui tugas-tugas yang diberikan guru dalam Lembar Kerja Siswa (LKS). Pada model pembelajaran PjBL siswa harus merancang, melakukan pemecahan masalah, melaksanakan pengambilan keputusan dan kegiatan penyelidikan sendiri. Para siswa merasakan adanya masalah, merumuskan masalah serta menerapkan situasi dalam kehidupan nyata dengan cara membuat sebuah proyek. Hasil akhir proyek berupa suatu artefak (benda atau barang buah karya pemikiran manusia). Model pembelajaran PjBL mempunyai kelebihan meningkatkan kreativitas dan kolaborasi dalam kelompok kerja. Namun, model pembelajaran PjBL juga memiliki kelemahan yaitu banyak menyita waktu serta terbatas hanya pada sekolah yang memiliki fasilitas yang memadai. Sedangkan pembelajaran model PBL adalah pembelajaran yang dirancang agar siswa dapat mengembangkan keterampilan berpikir dan keterampilan mengatasi masalah, mempelajari peran-peran orang dewasa dan menjadi pelajar yang mandiri. Model pembelajaran ini didalamnya terdapat proses yakni siswa mendengarkan permasalahan yang disajikan oleh guru, siswa melakukan investigasi menemukan solusi riil untuk masalah riil, menganalisis dan menetapkan masalahnya, mengembangkan hipotesis, mengumpulkan dan menganalisis informasi, diskusi menyelesaikan permasalahan secara kelompok dan berbagi tanggapan dengan kelompok lain sehingga terbangun pengetahuan baru. Kedua model pembelajaran tersebut sejalan dengan teori Vygotsky yang menyatakan bahwa konstruksi pengetahuan siswa dibangun melalui kerjasama kelompok. Berdasarkan penjelasan berikut, peneliti menduga bahwa hasil belajar (aspek pengetahuan, sikap dan keterampilan) siswa kelas XI MIA SMA Negeri 1 Karanganyar pada pokok bahasan termokimia dengan model pembelajaran PjBL lebih tinggi dibandingkan model pembelajaran PBL. Untuk memperjelas hubungan model pembelajaran dengan hasil belajar siswa ditunjukkan pada Gambar 2.5. Siswa Siswa lebih dari Siswa aktif, kreatif, dan sekedar memecahkan masalah, sebab Kelas Kelas eksperimen I eksperimen II permasalahan. beberapa konsep proyek. Pengalaman Model Pembelajaran Project Based Learning belajar siswa yaitu Model Pembelajaran Problem Based Learning Pengalaman belajar siswa yaitu pembelajaran mandiri mengembangkan memecahkan masalah dan dalam menemukan jawaban menggabungkan sebagai hasil bereksplorasi Prestasi belajar kelas eksperimen I materi untuk lebih tinggi dari kelas eksperimen Gambar 2.5. Bagan Kerangka Berpikir C. Hipotesis Berdasarkan kerangka berpikir yang telah diuraikan diatas, hipotesis dalam penelitian ini diuraikan sebagai berikut: “Penggunaan model pembelajaran Project Based Learning mempunyai pengaruh lebih tinggi terhadap prestasi belajar siswa dibandingkan dengan model pembelajaran Problem Based Learning pada materi termokimia siswa kelas XI MIA SMA Negeri 1 Karanganyar semester ganjil tahun pelajaran 2015/2016.”