DIREKTORAT JENDERAL HUKUM DAN PERJANJIAN INTERNASIONAL KEMENTERIAN LUAR NEGERI REPUBLIK INDONESIA Volume 12 Januari—April 2013 ARTIKEL Dispute between Indonesia and Malaysia on the Sovereignty over Sipadan and Ligitan Islands Hasjim Djalal Akankah Indonesia Kehilangan Pulau? Belajar dari Kasus Sipadan-Ligitan, Pulau Berhala, Miangas hingga Semakau I Made Andi Arsana Kegiatan Militer di ZEE dan Implementasi Hot Pursuit Kresno Buntoro Penegakan Hukum IUU Fishing menurut UNCLOS 1982 (Studi Kasus: Volga Case) Usmawadi Amir RESENSI BUKU Hukum Internasional dalam Perspektif Indonesia sebagai Negara Berkembang Eka Aqimuddin ISTILAH HUKUM i Jurnal Hukum dan Perjanjian Internasional OPINIO JURIS Volume 12 Januari—April 2013 DIREKTORAT JENDERAL HUKUM DAN PERJANJIAN INTERNASIONAL KEMENTERIAN LUAR NEGERI REPUBLIK INDONESIA 2013 Jurnal Hukum dan Perjanjian Internasional OPINIO JURIS Volume 12 Januari—April 2013 Diterbitkan oleh Direktorat Jenderal Hukum dan Perjanjian Internasional Kementerian Luar Negeri Sejak Oktober 2009 Penanggung Jawab Linggawaty Hakim, SH, LL.M Raudin Anwar, SH, LL.M Redaktur Yoshi Iskandar, SH; Kemal Haripurwanto, SH, LL.M; Amrih Jinangkung, SH, LL.M; Elmar Iwan Lubis, SH; ADH. Irfan, SH; Drs.Sukarsono; Yosep Trinugra Tutu, SIP, MA, M.Dipl. Editor AM. Sidqi, SIP; Windratmo, SIP; Santa Marelda Saragih,SH, MH; Ratih Wulandari, SIP; Vina Novianti, S.Hum; Rike Octaviana, SH, LL.M; M. Ferdien, SH Disain Grafis AM. Sidqi, SIP; Drs. Didi Achmadi; Abdul Hayyi Sekretariat Siti Fatimah, SH; Uki Subki, S.Sos, M.Si; Tasunah; Maisaroh, S.Sos Alamat Redaksi: Sekretariat Direktorat Jenderal Hukum dan Perjanjian Internasional Kementerian Luar Negeri Jl. Taman Pejambon No. 6 Jakarta Pusat Telp. +62 21 3846633 Fax. +62 21 3858044; Email: [email protected] Jurnal Opinio Juris versi digital dapat diunduh di website http://pustakahpi.kemlu.go.id/ Tulisan yang dimuat dalam Jurnal Opinio Juris adalah pendapat dan analisis pribadi dari para penulis dan tidak mewakili pandangan/posisi Kementerian Luar Negeri dan/atau Pemerintah Republik Indonesia. JURNAL OPINIO JURIS Vol. 12 Januari—April 2013 DAFTAR ISI Daftar Isi ...........................................................................................................v Pengantar Redaksi......................................................................................... vi Dispute Between Indonesia and Malaysia on the Sovereignty Over Sipadan and Ligitan Islands ........................................................................ 8 Hasjim Djalal Akankah Indonesia kehilangan Pulau? Belajar dari Kasus SipadanLigitan, Pulau Berhala, Miangas hingga Semakau ................................ 26 I Made Andi Arsana Kegiatan Militer di ZEE dan Pelaksanaan Hot Pursuit di Indonesia 49 Kresno Buntoro Penegakan Hukum IUU Fishing Menurut UNCLOS 1982 (Studi Kasus: Volga Case) ....................................................................................... 68 Usmawadi Amir Resensi Buku .................................................................................................. 93 Hukum Internasional dalam Perspektif Indonesia sebagai Negara Berkembang Eka Aqimuddin Istilah Hukum ................................................................................................ 96 Tentang Penulis ............................................................................................. 99 v JURNAL OPINIO JURIS Vol. 12 Januari—April 2013 PENGANTAR REDAKSI Jurnal Opinio Juris telah terbit dalam 12 edisi dan sekarang telah memasuki tahun kelima. Sejak penerbitan pertama pada Oktober 2009, beberapa upaya penyempurnaan telah dilakukan, meliputi materi muatan artikel pada Jurnal, tampilan Jurnal Opinio Juris dalam bentuk ejournal yang dapat dibaca melalui website http://pustakahpi.kemlu.go.id, hingga diperolehnya Nomor Seri Standar Internasional (International Standard Serial Number/ISSN) pada Januari 2011. Seperti volume sebelumnya yang mengambil tema khusus Pengembalian Aset Curian (Stolen Asset Recovery), pada volume 12 tahun 2013 ini, Jurnal Opinio Juris mengambil tema Hukum Laut. Pengambilan tema tersebut didasarkan pada isu-isu menarik dan terus berkembang yang menjadi kajian para penulis untuk dapat diikuti perkembangannya oleh para pembaca. Dalam Volume 12 tahun 2013 ini terdapat empat kontributor penulis utama yaitu: Prof. Dr. Hasjim Djalal, MA dengan judul tulisan Dispute Between Indonesia and Malaysia on the Sovereignty over Sipadan dan Ligitan; I Made Andi Arsana, ST., ME. dengan tulisan Akankah Indonesia Kehilangan Pulau? Belajar dari Kasus Sipadan-Ligitan, Pulau Berhala, Miangas hingga Semakau; Kolonel (Laut) Kresno Buntoro, S.H, LLM, Ph.D dengan tulisan Kegiatan Militer di ZEE dan Implementasi Hot Pursuit; dan Usmawadi Amir, SH, M.H. dengan tulisan Penegakan Hukum IUU Fishing menurut UNCLOS 1982 (Studi Kasus: Volga Case). Mengingat Indonesia merupakan negara kepulauan, maka harapan kami melalui tulisan yang berbobot di bidang Hukum Laut ini dapat meningkatkan pemahaman para pembaca mengenai isu Hukum Laut. Pada kesempatan ini, redaksi Opinio Juris juga hendak mengajak para pembaca untuk turut berkontribusi serta memberikan saran dan vi JURNAL OPINIO JURIS Vol. 12 Januari—April 2013 masukannya demi peningkatan kualitas Opinio Juris di masa mendatang melalui email [email protected]. Akhir kata, Redaksi Opinio Juris berharap agar jurnal ini dapat menjadi sarana dalam menyebarluaskan berbagai informasi, wacana dan wadah sumbangsih pemikiran di bidang hukum dan perjanjian internasional yang berkaitan dengan pelaksanaan hubungan luar negeri. Terima kasih dan selamat membaca! Redaksi Opinio Juris “ No man is above the law and no man is below it: nor do we ask any man's permission when we ask him to obey it. - Theodore Roosevelt - ” vii JURNAL OPINIO JURIS Vol. 12 Januari—April 2013 DISPUTE BETWEEN INDONESIA AND MALAYSIA ON THE SOVEREIGNTY OVER SIPADAN AND LIGITAN ISLANDS1 Hasjim Djalal Abstrak Masalah Sipadan dan Ligitan banyak menimbulkan salah mengerti di dalam negeri. Persepsi umum adalah bahwa dengan kekalahan Indonesia di Mahkamah Internasional di Den Haag menghadapi Malaysia, Indonesia telah kehilangan wilayahnya, di samping diplomasi Indonesia telah kalah di dunia internasional. Penelitian lebih lanjut mengenai masalah kepemilikan Pulau Sipadan dan Ligitan menunjukkan bahwa sesungguhnya Indonesia tidak pernah kehilangan wilayah, karena pada waktu kasus tersebut muncul dalam tahun 1969, baik Indonesia maupun Malaysia tidak sadar atas siapa sesungguhnya yang mempunyai kedaulatan atas kedua pulau tersebut. Demikian pula halnya dengan ‘kekalahan diplomasi’ Indonesia. Putusan untuk membawa kasus ini ke Mahkamah Internasional adalah putusan politik, bukan putusan diplomasi, karena pada mulanya Indonesia menentang penyelesaian melalui Mahkamah Internasional, karena dengan demikian masalahnya berpindah dari bidang diplomasi ke bidang hukum. Kata kunci: kedaulatan wilayah, delimitasi batas maritime, mekanisme penyelesaian sengketa, Mahkamah Internasional. Abstract The case of Sipadan and Ligitan had caused many misunderstandings for Indonesian people. The general perception is that by the losing of 1 Artikel ini disampaikan pada Seminar Internasional dengan tema “Peaceful Settlement of International Dispute in Asia” di Jakarta, 13 Desember 2012 kerja sama antara Indonesian Society of International Law (ISIL) dengan The Korean Society of International Law (KSIL). 8 JURNAL OPINIO JURIS Vol. 12 Januari—April 2013 Indonesia against Malaysia in the International Court of Justice in Den Haag, Indonesia has lost a part of its territory, and therefore considered as the losing of Indonesian diplomacy in the international forum. Further research on the ownership of Sipadan Island and Ligitan Island showed that Indonesia actually never lost such part of its territory because when the case appeared in 1969, both Indonesia and Malaysia did not have any clue on who has the real sovereignty over those islands. Similar to the perception of ‘the losing of Indonesian diplomacy’, the decision to bring the case before the International Court of Justice was more on political, not diplomatic. Since the beginning, Indonesia opposed to settle the case through International Court of Justice because the matter would change from diplomatic to legal. Keywords: territorial sovereignity, maritime boundary delimitation, dispute settlement mechanism, International Court of Justice. 1. Geographical Data The Island of Sipadan and Ligitan are both located in the Celebes Sea, of the North-East coast of the Island of Borneo, and lie approximately 15.5 nautical miles apart. Ligitan is a very small island (7.9 hectare), lying at the southern extremity of the reef south of Sabah, Malaysia. Its coordinates are 4° 09’ North Latitude and 118° 53’ East Longitude. It is situated about 21 nautical miles from Tanjung Tutop on the Samporna Peninsula in Sabah and 57.6 nautical miles from Indonesian Island of Sebatik. The island is permanently above sea level and mostly sandy. It is an Island with low lying vegetation and some trees and it is not permanently inhabited. Sipadan is larger than Ligitan, having an area of approximately 0.13 km² (10.4 hectare) and its coordinates are 4° 06’ North Latitude and 118° 37’ East Longitude. It is situated 15 nautical miles from Tanjung Tutop, Sabah, and 42 nautical miles from the land boundary between Malaysia and Indonesia at the east coast of the Island of Sebatik (half of Sebatik Island belongs to Indonesia). Sipadan is wooded and it is volcanic in origin and the top of a submarine mountain some 600 to 700 in 9 JURNAL OPINIO JURIS Vol. 12 Januari—April 2013 height from the seabed. It is not geographically/geologically part of Borneo mainland. Until 1980 it was not permanently inhabited. It has now developed into a major tourist centre for Malaysia. Both Sipadan and Ligitan are situated south of the 4°10’ North Latitude. 2. The Origin of the Dispute In late 60s the two countries were not even fully aware of the Islands and their status although they were located closer to Malaysian coastlines than to Indonesian coastlines. In the negotiation on the Delimitation of the Continental Shelf boundaries between the two countries in 1969, Indonesia did not even think of the two Islands. The Indonesian map attached to its Law Number 4, 1960, depicting the Indonesian archipelagic baselines to encompass the whole Indonesian archipelago, did not even include the two Islands (Indonesia later argued that the map of the 1960 law was prepared “in haste” in order to be prepared for the second UN Law of the Sea Conference in 1960, and therefore might have “over looked” some very tiny outlying islands very far from general coastlines). Equally, the Malaysian map being used by Malaysia at that time, which drew a line between the Malaysian and Indonesian possessions in the area indicated that the Sipadan and Ligitan Islands were shown as parts of Indonesia (Malaysia later withdrew the map from circulation and it appeared that the map has been used previously as a “guideline” for Malaysia in issuing exploration license for oil and gas in the area, in the sense that the Malaysian oil and gas concession in the area did not go south beyond the 4°10’ North Latitude). After the discovery of this “strange” problem, Malaysia insisted on using Indonesian map while Indonesia was suggesting to use Malaysian map. The two delegations later on agreed not to pursue discussion on this matter at that time because they both considered that their negotiation was on “technical matters” of the delimitation of the continental shelf boundaries. They had no mandate to discuss the “territorial” or “jurisdictional” problems or 10 JURNAL OPINIO JURIS Vol. 12 Januari—April 2013 ownership over islands. They both considered that the issues of ownership over islands were “territorial” in nature for which both of them agreed that they had not been mandated to discuss and Indonesia later considered that this understanding was, in fact, agreeing on “status quo”, in the sense that both sides should refrain from taking any action on the Islands that may prejudice the position of the other. Malaysia on the other hand later considered that there was no such understanding. In fact, the problem of whether there was an understanding of “status quo” or not became a major issue between the two countries later on. The exchange of letters between the two delegations at the end of the meeting at that time (September 1969), did not mention the word “status quo”, although they did agree that the negotiation and the agreement were purely and wholly of “technical nature” (see annex). The dispute then began between the two countries on who owns the two small Islands. In fact, it became “a thorn in the flesh” in the relations between the two friendly neighboring countries for some time. The two countries later on went studying the record, particularly during the colonial period, and engaged the involvement of local authorities and personalities to look into their views and practices in the past with regard to the two islands. Upon going back into history, it was discovered that the nexus of the problem was the different interpretation by the two countries with regard to the provisions of the 1891 Agreement between the Dutch and the Great Britain as the former colonial rulers of the two countries. 3. 1891 Agreement Indonesia argued that the 1891 Agreement or Convention between Great Britain and Netherlands established the 4°10’ North parallel of Latitude as the dividing line between the respective possessions of Great Britain and the Netherlands in the area. The disagreement developed 11 JURNAL OPINIO JURIS Vol. 12 Januari—April 2013 from different interpretation given to Article IV of the 1891 Convention as it related to the sea and small islands beyond. The text of Article IV of the 1891 Convention provided that “from 4°10’ north latitude on the east coast (of the main island of Borneo), the boundary line shall be continued eastward along that parallel, across the Island of Sebatik (another major island of the east coast of Borneo).” Indonesia then argued that the boundary line shall be continued to the sea eastward from Sebatik, and since the two islands of Sipadan and Ligitan are situated South of the 4°10’ North Latitude, the two Islands are therefore belonged to the Netherlands which subsequently belonged to Indonesia. This argument was very similar to the argument provided by Vietnam in the Gulf of Tonkin as if the line across the sea was a “demarcation line”. Realizing that this argument would be untenable in view of the fact that the Territorial Sea of a State at that time was generally recognized to be 3 miles and that the sea in question was generally regarded as high-seas, Indonesia then considered the line as “allocation line” for possession of islands in the area, rather than “demarcation line” of the maritime area, in the sense that the line of 4°10’ North Latitude was a line that “allocate” the islands to the Great Britain (North of the line) and to the Netherlands (South of the line). This “allocation line” interpretation was very similar in fact, to the Chinese interpretation of the nature of the 1887 line in the Gulf of Tonkin as indicated in the SINO-French Agreement of 1887. Malaysia on the other hand, argued that Article IV of 1891 Convention did not demarcate the sea, nor allocate the Islands beyond Sebatik, either to Great Britain or to the Netherlands. In fact, Malaysia took the position that the two Islands have become part of Malaysia through the process of “succession” from the Sultan of Sulu to Spain and then to the United States and later to Great Britain and on to Malaysia. 12 JURNAL OPINIO JURIS Vol. 12 Januari—April 2013 4. Direct Negotiation The two countries later on undertook direct negotiations to seek solution. But after many years of efforts, it did not bring any agreemzent. In the meantime, public opinion has galvanized and the involvement of the press and the media has also hardened the position of each side. As a result of this deadlock, the two countries were later on willing to find solution through “third party” mechanism. But they disagreed on how to go about “third-party” mechanism. Indonesia originally suggested using the good offices of the ASEAN High Council as provided for in the ASEAN Treaty of Amity and Cooperation (TAC) of February 24, 1976. Article 15 of the TAC stated that in case a dispute cannot be solved by direct negotiations between the Parties, the High Council comprising a Representative at Ministerial level of each ASEAN members shall take cognizance of the dispute or the situation and shall recommend to the Parties in dispute appropriate means of settlement such as good offices, mediation, enquire or conciliation. The High Council may however offer its good offices or upon agreement of the Parties in dispute, constitute itself into a Committee of Mediation, Enquire or Conciliation. When deemed necessary, the High Council shall recommend appropriate measure for the prevention of deterioration of the dispute or the situation. The High Council mechanism in fact has never been invoked before, and therefore could and should be utilized in this case. The High Council may not necessarily be a “Legal Institution” in the sense that they will settle the matter through “legal basis”. The High Council could perhaps function by seeking “political” or “other solutions” that would be acceptable to both parties. Malaysia rejected the Indonesian proposal, arguing that Malaysia had bilateral boundary problems with many ASEAN countries, and therefore was concerned that the High Council might be partial, thus prejudicial to Malaysia. Indonesia did not really agree with the Malaysian contention, 13 JURNAL OPINIO JURIS Vol. 12 Januari—April 2013 because in fact, Indonesia also had some bilateral boundary problems with its neighbors, not only with Malaysia, but also with Singapore, the Philippines, Thailand, Vietnam, and others. Again, there was a deadlock here. Malaysia later suggested to bring the case to the International Court of Justice (ICJ) in The Hague, arguing that the solution through the Court would be non-prejudicial to the two countries. Indonesia was very reluctant to go to the Court, because it preferred regional mechanism, it had never gone to the ICJ before, it had never accepted the “compulsory jurisdiction” of the Court, and there were still other ways of settling disputes before going directly to the Court, such as the use of mediation, or even arbitration. Indonesia therefore rejected the Malaysian proposal. Again, there was a deadlock. 5. Going to ICJ In view of the impasse, the two countries were thinking of negotiating “informally through special Envoys” in order to make suggestions how to overcome the conflict. After this mechanism was agreed upon, Indonesia appointed the Secretary of State, Mr. Murdiyono, assisted by the Director of Legal Affairs of the Foreign Ministry, and Malaysia appointed the Deputy Prime Minister, Mr. Anwar Ibrahim, also assisted by the Lawyer from the Foreign Ministry. Somehow, after several informal meetings between the two Envoys, who reported directly to their Head of Governments, President Soeharto in a visit to Kuala Lumpur in October 1996 finally agreed to settle the matter by legal means through the ICJ in The Hague. As I understand it, the reasons for President Soeharto to finally agreed to go to the Court was motivated by his desire: a. To settle bilateral problems as much as possible peacefully so that political atmosphere and stability as well as cooperation in South East Asia would be strengthened; b. So that the two countries should not burden future generations by bequeathing problems and disputes to them; 14 JURNAL OPINIO JURIS Vol. 12 Januari—April 2013 c. To indicate to the world and regional communities that Indonesia was a peace loving and International Law abiding country. The decision to agree to go to the ICJ was surprising to many Indonesians, and some even opposed it. While direct bilateral negotiations on the basis of legal arguments may have deadlocked, some people were still suggesting that perhaps some solutions through “political compromise” maybe workable, such as through “joint development” of the two islands by the two countries, or dividing the two islands between the two countries, one for each country. These proposals were not acceptable to Malaysia. Some people were suggesting that even after efforts at seeking political compromise had failed, the use of “third party” mechanism could perhaps be attempted first before deciding or agreeing to go to the ICJ. This mechanism was enumerated in Article 33 Para (1) of the UN Charter, including negotiation, enquiry, mediation, conciliation, arbitration, judicial settlement, resort to regional agencies or arrangements, or other peaceful means of their on choice. Although some of these mechanisms had been attempted, such as negotiation and resort to regional agencies or arrangements, other mechanisms have not been attempted, such as mediation, conciliation, or arbitration. As I can remember, there were some discussions with regard to the possibility of using arbitration, but I understand that this was regarded to be more expensive than going to the Court, an argument which I was not so sure of to be correct. Moreover, in fact, when dispute arose between the Netherlands and the United States regarding ownership over the remote island in the Pacific Ocean (Miangas or Palmas Island), the dispute was finally settled by an arbitrator, Max Huber, in 1928, who strengthened the doctrine of “effective control” as an important prove of state sovereignty (as its known Miangas/Palmas was recognized after that to belong to the Netherlands, and now to Indonesia.) 15 JURNAL OPINIO JURIS Vol. 12 Januari—April 2013 After Indonesia and Malaysia made political decision to go to the Court, the matter now would have to be settled only as a legal matter. The two countries would now have to formulate agreement to go to the Court. After several negotiations, the Agreement was concluded in Kuala Lumpur on May 31, 1997 (see annex), ratified by Malaysia on 19 November 1997 and by Indonesia on 29 December 1997 (Presidential Decision Number 49/1997), entered into force on May 14, 1998 after the exchange of the instrument of ratifications, and was submitted by a joint letter (dated September 30, 1998 of the two countries), and received by the Court on 2 November 1998. Some of the most important features of the Agreement were the following: 1.) While acknowledging in Article 1 of the Agreement that the Court Jurisdiction comprises the cases which the parties refer to it, Article 2 requested the Court “to determine on the basis of the treaties, agreements, and any other evidence furnished by the parties”, whether sovereignty over the two Islands belong to Indonesia or Malaysia. This request was very “interesting” because the Court is limited in its judgment on the basis of the “treaties, agreements and evidence furnished by the parties”. There is no possibility here for the Court to decide or to determine the case under other criteria, such as compromise or other appropriate solutions agreed by the parties. It should be noted that the Statute of the Court in fact enabled the Court to decide a case “ex aequo et bono” (on the basis of appropriateness) if the parties agreed thereto. It was not very clear why Indonesia or Malaysia or both did not attempt or did not discuss the possibility of the Court to decide the case on the basis of “ex aequo et bono” as stipulated in Article 38 Para (2) of the Statute. 2.) Article 4 of the Agreement also limits the Court to apply the principles and rules of International Law as stipulated in Article 38 of the Statute of the Court. By limiting the rules of International Law to those 16 JURNAL OPINIO JURIS Vol. 12 Januari—April 2013 indicated in Article 38 of the Statute, it appeared that both parties have limited or ruled out the possibility of the Court applying local customs and traditions. 3.) In Article 5 of the Agreement, the Parties also agreed to accept the judgment of the Court as final and binding upon them. While this agreement is in conformity with Article 60 of the Statute of the Court, the “revision” of a judgment may be made only when there is some new and decisive facts that may altered the judgment as stipulated in Article 61 of the Charter. Article 5 reflects the wishes of the two countries to settle the matter once and for all so that it will not become a problem in developing bilateral relations between the two countries. After following some procedures, during which the Philippines applied for permission to intervene in March 2001 and such request for intervention was denied by both Malaysia and Indonesia and the Court, and after receiving memorials and counter-memorials as well as reply and counter-reply followed by oral proceedings by the Parties, the Court finally decided by a vote of 16 to 1 that the sovereignty of Sipadan and Ligitan effectively belonged to Malaysia. It should be noted in this context a statement by Judge Oda of Japan that the determination of the sovereignty over the two Islands did not prejudice the problems and solution of maritime delimitation between the two countries in the relevant area. Some of the salient points in the litigation were the following: 1.) Indonesian argument that the boundary lines across the Island of Sebatik at 4°10’ North Latitude went all the way to the sea to the East as “allocation line”, thus allocating the Islands North of that line to Malaysia and South of the line to Indonesia was not accepted by the Court, because: 17 JURNAL OPINIO JURIS Vol. 12 Januari—April 2013 a. The intention of the party when concluding the Convention in 1891 was not clear on this point and could not be deduced that they intended to demarcate the seas or even to allocate the islands beyond Sebatik, particularly because those two tiny islands lie more than 40 miles from Sebatik and therefore could not be regarded to belong “geographically” to Sebatik Island. b. The map showed by Indonesia attached to the ratification process by the Netherlands of the Treaty of 1891, either did not go as far as Sipadan and Ligitan or it was not officially agreed as part of the legal attachment of the Convention. 2.) Indonesian argument that Sipadan and Ligitan were originally belonged to the Sultan of Bulungan in East Kalimantan could not be proven decisively for lack of substantive and strong evidence. Equally, the Court did not regard that the “successive” claim by Malaysia as justifiable. 3.) The continuity of the Dutch supposed “sovereign acts” and the exercise of “effective control” regarding the two Islands was not sufficiently strong or continuous. Although the Dutch Navy and planes did exercise some patrolling activities in the area, they were not continuous practices that could prove the exercise of “sovereignty” over the two islands. On the other hand, analyzing the “effective control” that were exercised by the two parties before the dispute appeared in 1969, the Court decided that Great Britain and Malaysia did exercise some sovereign acts regarding the two Islands. Some of those exercises of sovereignty included making regulations with regard to customs, protection of the environment, collecting taxes, and even establishing lighthouses. The Court did not pronounce itself on the legality of the Malaysian actions after 1969, which had been regarded by Indonesia as 18 JURNAL OPINIO JURIS Vol. 12 Januari—April 2013 violating the understanding on “status quo” because the Court was not requested to adjudicate on this matter. 6. Some Specific Questions. A. Brief history of the dispute and how did the two States agree to submit the dispute to ICJ. As indicated above, the dispute arose “accidentally” between Indonesia and Malaysia in 1969 when they discussed the “technical matters” on delimitation of the continental shelf in the area. Suddenly, the two delegations were not so sure to whom the two islands belonged, to Indonesia or Malaysia, because the maps or charts that they were using were not conclusive on this issue. Upon looking into the history, the two Parties developed different interpretations of the 1891 Convention between the Netherlands and Great Britain on the boundary lines in Borneo between North Borneo (Great Britain) and East Kalimantan (Netherlands). After many years of direct negotiations (intermittently from 1969-1995) and attempting to find solutions through regional (ASEAN) mechanism, the two Parties (Indonesian President Soeharto and Malaysian Prime Minister Mahatir), despites some oppositions domestically, decided to submit the dispute to the ICJ. (See the main Report above.) B. The main arguments of the parties before the Court The two Parties agreed to ask the Court to decide the case “on the basis of the treaties, agreements, and any other evidence furnished by the parties.” In this case, the main Treaty was the 1891 Convention between the Netherlands and Great Britain, dividing their territories in the area. The two Parties later on furnished a number of evidences arguing their respective positions. Indonesia was saying in fact that the dividing line in 19 JURNAL OPINIO JURIS Vol. 12 Januari—April 2013 the islands of Borneo was 4°10’ North Latitude and “from 4°10’ North Latitude on the East Coast (of the main island of Borneo) the boundary line shall be continued eastwards along the parallel across the Island of Sebatik (a relatively small island off the main coast of Borneo).” Indonesia argued that the word “across the island of Sebatik” should continue eastward toward the sea, and those islands beyond, South of 4°10’ North, belonged to the Netherlands, thus to Indonesia, and those North of 4°10’ North Latitude belonged to Great Britain, thus Malaysia. While admitting that the line of 4°10’ North Latitude might not be “demarcation line” at sea, it was regarded by Indonesia as “allocation line” that allocating possession over islands at sea in the area. Malaysia argued that the line of 4°10’ North Parallel ends at the Eastern Coast of Sebatik Island and could not have gone eastwards to the sea because of the limit of Territorial Sea at that time was only 3 miles, and it would be inconceivable that both Netherlands and Great Britain would divide the high-seas at that time. Neither Malaysia believed that the line was “allocation line” because it was not in the minds of the negotiators at that time, nor the unilateral line produced by the Dutch to accompany ratification process of the Convention when eastwards as far as Sipadan, much less Ligitan. Malaysia argued that the two islands belong to Malaysia through successive acts of State succession from the Sultan of Sulu to Spain, to the United States, to Great Britain, and finally to Malaysia and that in fact it was Britain that had exercised sovereignty over the two islands before Malaysia gained independence. C. The main considerations of the ICJ in deciding the case The ICJ believed that prior to 1969, the so-called “critical date”, it appeared that Great Britain, thus Malaysia, had exercised sovereignty in the area “more effectively” through a number of sovereign acts that were more convincing than the “sporadic actions” taken by the Netherlands or Indonesia. Some of the “sovereign acts” that were referred to by the Court 20 JURNAL OPINIO JURIS Vol. 12 Januari—April 2013 included legislations on taxation, regulations on environment, establishment of lighthouses, etc. The Court decided that effectively it was Great Britain and Malaysia that had exercised sovereignty over the two Islands, and they were not challenged effectively by the Netherlands or Indonesia until the dispute appeared in 1969. Occasional patrolling or visits by the Netherlands authorities to or near the Islands were not regarded as strong enough in assuring sovereignty. It should be noted that the doctrine of “effective control” in obtaining recognition to sovereignty over a territory was strongly manifested in the previous case over the island of Miangas (Palmas) between the Netherlands and the United States in 1928 when arbitrator Max Huber decided that Miangas Island belonged to the Netherlands, now Indonesia, because it was the Netherlands that had proven “effective control” by establishing certain governmental administration in the Island. D. The relevant historic documents and maps presented to the Court and their evidential value before the Court. Indonesia did a large amount of research with regard to historic documents and maps and presented them to the Court. However, these documents and maps were not very influential or decisive, either because they were “unilateral interpretations” of the Netherlands or because they were “not parts of the official documents”. In that context, their evidential value was limited, because it could not conclusively indicate the wish of the parties when they concluded the Agreement in 1891. E. The new things in the jurisprudence of ICJ on the subject of sovereignty disputes States are still free to decide and to agree whether they would bring their territorial sovereignty disputes to the ICJ or to settle it among 21 JURNAL OPINIO JURIS Vol. 12 Januari—April 2013 themselves by direct negotiation, or to request intermediation by other third party mechanism. The Court, in this case, strengthened the role of “effective control” with regard to the territorial sovereignty issues. In interpreting the terms of a Treaty, the Court relied a great deal on the intention of the Parties and the situation at the time of concluding the Treaty. The Court will only adjudicate a case on the basis of request agreed by the Parties as submitted to the Court (in the Sipadan and Ligitan case on the basis of treaties, agreements, evidences submitted by the Parties), and it did not rule on something that the Parties did not ask (the Court refrained from discussing maritime boundaries in the area or the roles of the two tiny islands on matters of maritime delimitation between Indonesia and Malaysia). Even in giving its judgment, the Court will abide by the agreements of the Parties. As in this case the parties did not ask the Court to decide on the basis of “ex aequo et bono”, and the Court therefore did not look into what might be the “proper” solution of the case that would be acceptable to the two parties, but only on the basis of who is legally the owner of the two tiny islands before 1969 on the basis of request submitted by the Parties. The Court did not take into account the situation after 1969. F. Other comments. o 22 States should go to the Court only as the last resort in seeking peaceful settlement of their territorial or jurisdictional disputes. States should attempt as much as possible to settle their disputes first by direct negotiation and then follow third party mechanism, either through good offices, mediation, arbitration, or even regional mechanism. But, the dispute should be settled as soon as possible so that it would assure peace, stability, and cooperation between the States concerned. The longer the territorial or jurisdictional dispute linger on, the positions of each party may be hardened, and if the public or the media begin to intervene, the JURNAL OPINIO JURIS o o o Vol. 12 Januari—April 2013 dispute may also become more difficult to solve as it becomes more emotional and political than what it should be. It would appear that, although reluctantly, ICJ will play a more important role in settling disputes in the future if other mechanisms have not been successful. It appears to me that there is no territorial dispute over Islands between China and ROK in the Yellow Sea. If there is any, it would be important to try to settle it bilaterally through negotiation as soon as possible before bringing the case to the ICJ or to other International Court. In the absence of territorial disputes between China and the ROK over Islands or land boundaries, it would appear to me that the solution of the maritime boundaries delimitation would be possible and relatively easier to pursue, subject to the existence of political will on both sides. If bilateral negotiation fails though it may be useful to attempt to agree first on other third party mechanism before going to the ICJ. It appears to me that China would be reluctaned to seek solution, either through third party mechanism or through the ICJ, although China itself has its own Judge at the ICJ or at the ITLOS. The fact that China and Vietnam for the first time have been able to conclude and ratify delimitation agreement on maritime boundaries (Territorial Sea, Continental Shelf, and EEZ) as well as establishing Joint Fisheries Area and “buffer zone” in the Gulf of Tonkin is an indication of the Chinese willingness to settles its maritime dispute with its neighbor through negotiation. In this context, it should also be noted the reluctant of China to settle territorial and jurisdictional disputes over small tiny islands and reefs in the South China Sea (the Spratlys) by third party mechanism, including the ICJ. In this case, China insisted on direct negotiation bilaterally with the directly interested parties. This 23 JURNAL OPINIO JURIS Vol. 12 Januari—April 2013 modality was not particularly responded by the other parties, partly due to the “multilateral character” of the claims. Fortunately, there have been agreement on “code of conduct” between ASEAN and China on the South China Sea (see annex). It would therefore be useful if China and ROK could also agree on a set of “code of conduct” in the Yellow Sea to facilitate understanding and agreement. 7. Conclusions The dispute between Indonesia and Malaysia over Sipadan and Ligitan had lasted more than 30 years. It would be understandable that the emotions of some people may have been attached to the case. Although “diplomatic solution” through direct negotiation was originally attempted, it later became completely legal matter when the leaders of the two countries made “political decisions” to go to the Court to decide the case on the basis of its legal merits. It was also understandable that any side that lost the case would be facing some domestic problems and antagonism as well as criticisms. As it turned out, the fact that Indonesia lost the argument in the ICJ, did create some political repercussion in the country. Fortunately, Malaysia, who won the case in the Court, had shown a good neighborly spirit by not bragging too much of its “victory”. In the end, despite some disappointments, Indonesia has accepted the decision of the Court, and therefore is looking forward to negotiation to settle maritime boundaries with Malaysia in that area. The Sipadan and Ligitan case was the first dispute that goes to the Court between Indonesia and Malaysia. At this moment another case between Malaysia and Singapore regarding ownership over a tiny rock in the entrance to the South China Sea (the Rock of Batu Putih or Horsbrough Lighthouse) is also going to the ICJ. 24 JURNAL OPINIO JURIS Vol. 12 Januari—April 2013 Going to the Court to settle territorial sovereignty issues as well as maritime boundary delimitations of course will bring a lot of risks, because the solution would generally be “winning or losing”. Therefore, many countries are generally reluctant to go to the Court. They usually prefer the model of “direct negotiation” to settle the disputes peacefully so that they can still be in control of the process. In fact, many countries would like to use “third party mechanism” through Commission of Inquiry Good Offices or even Mediation and Conciliation, in which the parties could still influence, and even control the processes and the solution. The solution may not necessarily be “legal” in the sense of “right or wrong”, or “win or lose”, but in the sense of “what the parties could accept”. They would even prefer to go to arbitration in which the Parties could still control some processes and the decision may not necessarily be binding if the arbitration is being asked only to suggest some solutions. Even if the case have to go to Judicial Settlement like the Court (ICJ), the possibility of the Court being asked to decide the case not on purely legal argument is still open by asking the Court to decide the case on the principle of “ex aequo et bono” as indicated in Article 38 Para (2) of the Statute of the International Court of Justice. It is therefore really a dramatic step by Indonesia to agree for the first time to go to the Court, and to agree that the Court should decide the case on purely legal matters, and to agree to accept the decision of the Court as final and binding, without “seriously” attempting other mechanisms allowed by the UN Charter. While this may bring problems, the model is useful for other countries, particularly in the West Pacific region, which are busy building good neighbor relations and regional peace, stability, and cooperation based on International Law. 25 JURNAL OPINIO JURIS Vol. 12 Januari—April 2013 AKANKAH INDONESIA KEHILANGAN PULAU? BELAJAR DARI KASUS SIPADAN-LIGITAN, PULAU BERHALA, MIANGAS HINGGA SEMAKAU I Made Andi Arsana Abstrak Kekhawatiran akan kehilangan pulau-pulau di kalangan masyarakat Indonesia tampaknya cukup beralasan, terutama setelah terjadinya kasus Sipadan dan Ligitan. Adalah lumrah bila media Indonesia menyampaikan berita dimana negara-negara lain berusaha untuk mengklaim pulau-pulau Indonesia yang pada akhirnya memicu ketegangan. Artikel ini mencoba untuk menganalisis pembelajaran mengenai kedaulatan atas pulau-pulau, khususnya pulau Sipadan dan Ligitan. Kasus-kasus kecil lainnya mengenai pulau Berhala (2005), Pulau Miangas (2009) dan Pulau Semakau (2013) juga dibahas yang diarahkan untuk menjawab suatu pertanyaan kritis, yakni: “Apakah Indonesia kehilangan lebih banyak pulau?” Kata kunci: kedaulatan atas pulau, klaim wilayah, sengketa kedaulatan, pulau-pulau terluar Abstract The fear of losing islands among Indonesian people seems reasonably obvious, especially in the aftermath of the case of Sipadan and Ligitan. It is not uncommon that Indonesian media deliver news where other countries attempt to claim Indonesian islands, which eventually sparks tension. This paper attempts to analyse lessons learned from several cases concerning sovereignty over islands particularly Sipadan and Ligitan. Other smaller issues concerning Berhala Island (2005), Miangas Island (2009) and Semakau Island (2013) are also discussed to lead to an answer of a critical question: “is Indonesia losing more islands?” Keywords: sovereignty over island, territorial claim, dispute on sovereignty, outermost islands 26 JURNAL OPINIO JURIS Vol. 12 Januari—April 2013 Pendahuluan Perhatian para pengamat persoalan kedaulatan dan hubungan internasional sempat tertuju pada isu Pulau Semakau yang menurut salah satu portal berita diklaim oleh Singapura.2 Menurut portal berita tersebut, Singapura telah memasukkan Pulau Semakau ke dalam peta nasionalnya. Gubernur Kepulauan Riau, HM Sani menganggap ini sebagai usaha Singapura untuk mengklaim Pulau Semakau. Sang gubernur bahkan mengirimkan surat ke Menteri Luar Negeri, Dr. Marty Natalegawa, untuk meminta klarifikasi dan tindak lanjut atas kasus tersebut. Rupanya, Gubernur Sani, meyakini bahwa Pulau Semakau yang dimasukkan ke dalam peta Singapura itu adalah milik Indonesia yang kini diklaim oleh Singapura. Pada saat makalah ini ditulis (akhir Januari 2013), isu Pulau Semakau tersebut sudah diselesaikan dengan klarifikasi bahwa pulau yang dimaksud sesungguhnya adalah Pulau Semakau milik Singapura. Ternyata memang ada lebih dari satu pulau bernama Semakau di perairan sekitar Selat Singapura dan salah satunya memang merupakan wilayah Singapura. Klarifikasi terkait Pulau Semakau ini sudah dilakukan oleh Kementerian Luar Negeri3 dan pihak DPR. Ramadhan Pohan, Wakil Ketua Komisi I DPR, bahkan menyampaikan klarifikasi dilengkapi data rinci yang bersifat teknis bersumber dari Indonesia dan 2 Salah satu portal berita yang menyajikan kasus ini adalah OkeZone pada tanggal 19 Januari 2013. Lihat: Okezone. 2013. “Pulau Semakau Dicamplok Negara Singapura”, diakses dari http://news.okezone.com/read/2013/01/19/340/748669/pulau-semakaudicaplok-negara-singapura tanggal 19 Januari 2013. 3 Sayang sekali, untuk kepentingan makalah ini, pernyataan resmi dari Kementerian Luar Negeri tidak berhasil diperoleh dari sumber (website) resmi. Salah satu sumber adalah berita yang dilansir OkeZone. Lihat: Okezone. 2013. “Kemlu: Pulau Semakau ada di Indonesia dan Singapura”, diakses dari http://international.okezone.com/read/2013/01/19/411/748659/kemlu-pulau-semakau-adadi-indonesia-singapura tanggal 19 Januari 2013. 27 JURNAL OPINIO JURIS Vol. 12 Januari—April 2013 4 Singapura. Rupanya telah terjadi kesalahpahaman karena ada beberapa pulau dengan nama sama di perairan sekitar Selat Singapura. Indonesia memang memiliki pulau bernama Semakau Panjang (di Google Maps disebut dengan Semakau Besar)5 dan Semakau Baru (di Google Maps disebut dengan Semakau Kecil)6 sedangkan Singapura sendiri memiliki pulau bernama Semakau.7 Yang dimasukkan ke dalam peta Singapura adalah Pulau Semakau yang memang menjadi bagian dari wilayah Singapura.8 Pelajaran penting dari kasus ini adalah bahwa Indonesia, Malaysia dan Singapura memang bangsa yang mirip bahasanya sehingga penamaan pulau juga bisa mirip atau bahkan sama. Gambar 1 berikut mengilustrasikan lokasi ketika Pulau Semakau milik Indonesia maupun Singapura. 4 Ramadhan Pohan menyatakan klarifikasi dengan menyajikan data rinci terkait posisi (koordinat) pulau-pulau yang dimaksud didukung oleh data dari Badan Informasi Geospasial dan institusi terkait lain. Pernyataan ini dilansir, salah satunya, oleh Jawa Post tanggal 22 Januari 2012. Lihat: Jawa Pos National Network. 2013. “Ramadhan Pohan Bantah Ada Pencaplokan Pulau Semakau”, diakses dari http://www.jpnn.com/index.php?mib=berita.detail&id=155352 tanggal 22 Januari 2013. 5 Google Maps dijadikan salah satu referensi karena Google Maps merupakan domain publik yang dijadikan acuan oleh berbagai pihak. Google Maps bukan dokumen hukum tetapi menjadi titik awal untuk melakukan penelitian lebih lanjut. Lihat: Google Maps. 2013. “Pulau Semakau Besar”, diakses dari http://goo.gl/maps/gni24 tanggal 19 Januari 2013. 6 Google Maps. 2013. “Pulau Semakau Kecil”, diakses dari http://goo.gl/maps/ekoKC tanggal 19 Januari 2013. 7 Lihat catatan kaki 4 8 Lihat misalnya pembahasan tentang Pulau Semkau terkait Semakau Landfill dari National Environment Agency Singpura yang bisa diakses dari http://app2.nea.gov.sg/semakaulandfill.aspx 28 JURNAL OPINIO JURIS Vol. 12 Januari—April 2013 Gambar 1: Lokasi Pulau Pulau Semakau, Semakau Panjang (Besar) dan Semakau Baru 9 (Kecil) Meskipun isu terkait Pulau Semakau sudah tuntas dan tidak lagi menimbulkan perdebatan di Indonesia, ada satu fenomena penting untuk dicatat. Isu kedaulatan atas pulau sangat sering muncul di Indonesia. Berita tentang kemungkinan hilangnya pulau karena direbut oleh negara lain sering disajikan oleh media massa dan menjadi konsumsi publik yang mengundang perdebatan. Isu terkait Pulau Sipadan dan Ligitan yang dipercaya banyak orang telah lepas dari Indonesia dan direbut Malaysia menjadi semacam referensi umum yang selalu disebut jika ada kasus terkait kedaulatan atas pulau. Tidak sedikit yang meyakini bahwa 9 Peta merupakan hasil kajian penulis dengan informasi lokasi Pulau Semakau diperoleh dari pernyataan Ramadhan Pohan selaku Wakil Ketua Komisi I DPR. 29 JURNAL OPINIO JURIS Vol. 12 Januari—April 2013 kasus Sipadan dan Ligitan akan terjadi lagi pada Indonesia. Pertanyaan penting yang hendak dijawab dalam tulisan ini adalah “apakah Indonesia akan kehilangan pulau?” Makalah ini memulai pembahasan dengan pendefinisian pulau dilanjutkan pembahasan beberapa kasus terkait kedaulatan atas pulau di Indonesia. Kasus Sipadan dan Ligitan dibahas secara khusus mengingat kasus ini dipahami secara kurang tepat oleh banyak pihak selama ini. Salah satu bagian utama dari makalah ini adalah pembahasan mengenai usaha menjaga pulau yang pada dasarnya adalah menjaga kedaulatan. Makalah ini diakhiri dengan kesimpulan yang pada dasarnya untuk menjawab pertanyaan penelitian utama makalah ini. Mendefinisikan Pulau Menurut Konvensi PBB tentang Hukum Laut atau United Nations Convention on the Law of the Sea10 (selanjutnya disebut UNCLOS)11 10 Disepakati di Montego Bay, Jamaica pada tanggal 10 Desember 1982, mulai berlaku pada tanggal 16 November 1994. Sampai Januari 2013, UNCLOS diratifikasi oleh 164 negara dan 1 Uni Eropa. Lihat: United Nations. 2013. “Chronological lists of ratifications of, accessions and successions to the Convention and the related Agreements as at 23 January 2013”, diakses dari http://www.un.org/Depts/los/reference_files/chronological_lists_of_ratifications.htm tanggal 23 Januari 2013. 11 Istilah UNCLOS pada awalnya digunakan untuk menyingkat United Nations Conference on the Law of the Sea, yaitu proses negosiasi yang menghasilkan konvensi tersebut. Istilah UNCLOS juga dipakai untuk konvensi, salah satunya, karena singkat untuk nama resmi konferensi dan konvensinya sama yaitu UNCLOS. Akademisi di Australian National Centre for Ocean Resources and Security University of Wollongong, misalnya, memilih menggunakan istilah Law of the Sea Convention (LOSC). Sementara itu, akademisi dan pejabat publik di Amerika meyebut konvensi tersebut sebagai traktat sehingga menggunakan LOST yang merupakan singkatan dari Law of the Sea Treaty. Lihat tulisan: Edeson, W. R. 2000. “Law of the Sea Convention: Confusion over the Use of ‘UNCLOS’, and References to other Recent Agreements”, The International Journal of Marine and Coastal Law, Vol 15, Number 3. 30 JURNAL OPINIO JURIS Vol. 12 Januari—April 2013 pulau adalah luasan tanah yang terbentuk alami, dikelilingi oleh air, yang selalu muncul di atas permukaan air saat pasang.12 Sebuah pulau yang memenuhi kriteria ini berhak atas laut teritorial (12 mil laut),13 zona tambahan (24 mil laut),14 zona ekonomi ekslusif atau ZEE (200 mil laut)15 dan landas kontinen atau dasar laut (bisa mencapai 350 mil laut atau lebih)16 seperti halnya daratan lain sesuai dengan yang diatur oleh UNCLOS.17 Meski demikian, ada pengecualian untuk pulau yang berupa karang dan tidak mampu mendukung kehidupan manusia dengan kemampuannya sendiri. Karang hanya berhak atas laut teritorial, tidak atas zona tambahan, ZEE maupun landas kontinen.18 Dengan kata lain, hak atas kawasan laut sebuah karang jauh lebih kecil/sempit dibandingkan dengan pulau. Berdasarkan definisi yang diacu pada UNCLOS, tidak semua obyek tanah yang menyembul di permukaan laut memenuhi syarat sebagai pulau. Obyek yang muncul di permukaan air ketika air surut tetapi tenggelam ketika air pasang bukanlah pulau, meskipun misalnya obyek itu ditumbuhi tanaman atau bahkan digunakan untuk beraktivitas oleh nelayan ketika berkunjung saat air surut. Obyek yang demikian disebut dengan elevasi pasut atau low-tide elevation (LTE).19 LTE ini tidak berhak atas kawasan laut kecuali jika lokasinya dalam laut teritorial yang diukur 12 UNCLOS, Pasal 121 (1) UNCLOS, Pasal 3 14 UNCLOS, Pasal 33 (2) 15 UNCLOS, Pasal 57 16 UNCLOS, Pasal 76 17 UNCLOS, Pasal 121 (2) 18 UNCLOS, Pasal 121 (3) 19 UNLCOS, Pasal 13 (1) 13 31 JURNAL OPINIO JURIS Vol. 12 Januari—April 2013 20 dari daratan utama atau pulau terdekat. LTE juga tidak bisa digunakan sebagai lokasi titik pangkal21 bagi garis pangkal22 lurus kecuali padanya telah didirikan mercusuar yang secara permanen selalu berada di atas permukaan laut.23 Pemahaman terhadap definisi pulau ini penting, terutama ketika menentukan jumlah pulau. Bagi Indonesia yang terdiri dari ribuan pulau, keseragaman pemahaman ini penting agar tidak terjadi perbedaan pandangan tentang jumlah pulau. Sensus dan penamaan pulau yang melibatkan pemerintah daerah, misalnya, kadang menimbulkan persoalan dalam menentukan jumlah pulau. Pemerintah daerah, di satu sisi, memiliki kepentingan untuk menunjukkan bahwa daerahnya memiliki area yang luas dalam rangka mendapatkan dana alokasi umum (DAU) yang tinggi sehingga berusaha melaporkan sebanyak mungkin pulau di wilayahnya. Usaha ini kadang menimbulkan pelaporan obyek tertentu sebagai pulau padahal tidak memenuhi syarat sebagai pulau menurut UNCLOS. Hal ini bisa menjadi salah satu penyebab perbedaan data jumlah pulau di Indonesia. Berbagai Kasus terkait Kedaulatan atas Pulau di Indonesia Sengketa atas Pulau Sipadan dan Ligitan merupakan kasus paling fenomenal terkait kedaulatan atas pulau yang dialami oleh Indonesia. Kasus ini dibahas pada bagian tersendiri dalam makalah ini. 20 UNCLOS, Pasal 13 (2) Titik pangkal atau basepoint adalah titik pada daratan yang menjadi titik hubung/temu penggal garis pangkal. Dalam UNCLOS istilah yang ditunakan adalah point, seperti pada pasal 7. 22 Garis pangkal adalah referensi yang menjadi titik awal pengukuran zona maritim. Misalnya, laut teritorial diukur sejauh 12 mil laut dari garis pangkal suatu negara pantai. Garis pangkal bisa berupa garis pangkal normal (UNCLOS, Pasal 5), garis pangkal lurus (UNCLOS, Pasal 7) atau garis pangkal kepulauan (UNCLOS, Pasal 47). 23 UNCLOS, Pasal 7 (4) 21 32 JURNAL OPINIO JURIS Vol. 12 Januari—April 2013 Kasus terkini yang melibatkan Pulau Semakau seperti yang dijelaskan di pendahuluan mirip dengan kasus serupa di tahun 2005 ketika beberapa pihak di Indonesia menuduh Malaysia mengklaim Pulau Berhala. Waktu itu, Malaysia mengeluarkan suatu produk iklan yang mempromosikan Pulau Berhala sebagai daerah tujuan wisata.24 Anggota DPRD Sumatera Utara dan beberapa pihak yang yakin bahwa Indonesia memiliki Pulau Berhala menganggap Malaysia telah melakukan klaim sepihak atas pulau yang jelas-jelas menjadi bagian dari kedaulatan Indonesia. Siaran Pers dari Kementerian Luar Negeri (waktu itu disebut Departemen Luar Negeri) menegaskan bahwa ada lima Pulau Berhala dengan rincian dua milik Indonesia dan tiga lainnya milik Malaysia. Yang dipromosikan oleh Malaysia dalam iklan di tahun 2005 adalah Pulau Berhala di Teluk Sandakan, dekat Pulau Borneo yang memang merupakan wilayah Malaysia.25 Dari dua Pulau Berhala yang merupakan milik Indonesia, salah satunya disengketakan oleh Propini Kepulauan Riau dan Propinsi Jambi. Melalui keputusannya di awal 2012, Mahkamah Agung (MA) menegaskan Pulau tersebut menjadi milik Kepulauan Riau. Rupanya Jambi tidak menerima begitu saja dan kini meneruskan kasus itu dengan mengajukan judicial review ke Mahkamah Konstitusi (MK).26 Saat penulisan ini dilakukan, kasus Pulau Berhala ini belum diputuskan oleh 24 Arsana, I M.A. 2009. “Berhala: Is it Another Sipadan and Ligitan?” dalam Sutisna, S (ed) Beyond Borders, Department of Geodetic Engineering, Yogyakarta. 25 Kemlu. 2005. “Siaran Pers: Mengenai Pulau Berhala: Perlu Pemahaman Mendalam Terhadap Prinsip Hukum Negara Kepulauan”, diakses dari http://www.deplu.go.id/_layouts/mobile/PortalDetailNewsLike.aspx?l=id&ItemID=67bb52d2-7619-4b09-b635-7e8b20060e36 tanggal 19 Januari 2013. 26 Lihat misalnya: Sumaryo. 2012. “Aspek Geospasial dalam Kasus Sengketa Pulau Berhala”, Prosiding The 1st Conference on Geospatial Information Science and Engineering, Yogyakarta, 20-22 November 2012 33 JURNAL OPINIO JURIS Vol. 12 Januari—April 2013 MK. Kasus yang berlangsung lama ini merupakan salah satu penyebab Pulau Berhala menjadi pusat perhatian dan masyarakat secara umum memahami bahwa Pulau Berhala merupakan wilayah Indonesia. Hal ini bisa menjadi salah satu penyebab kesalahpahaman dan dugaan atau tuduhan bahwa Malaysia telah melakukan klaim karena memiliki pulau dengan nama yang sama. Isu lain terkait kedaulatan juga menimpa Pulau Miangas yang terjadi tahun 2009. Tanpa konfirmasi yang pasti, beredar berita bahwa Filipina memasukkan Pulau Miangas dalam s buah petanya. Sementara pelacakan dan konfirmasi masih dilakukan, kekhawatiran ‘dicaploknya’ Pulau Miangas oleh Filipina sudah tersebar di media massa. Terkait hal ini, Gubernur Sulawesi Utara bahkan mengkhawatirkan Miangas akan menjadi Sipadan dan Ligitan jilid II.27 Menurut sang Gubernur, Sipadan dan Ligitan memang hilang dari kedaulatan Indonesia karena ‘direbut’ oleh Malaysia dan Miangas bisa bernasib sama. Merespon isu ini, Kementerian Dalam Negeri menegaskan bahwa Pulau Miangas adalah “bagian integral Indonesia.”28 Senada dengan itu, Kementerian Luar Negeri juga menegaskan hal serupa bahwa Miangas secara tegas dan meyakinkan merupakan bagian dari wilayah Indonesia.29 27 Kompas. 2009. “Miangas-Marore Bisa Jadi Sipadan-Ligitan Jilid II” diakses dari http://lipsus.kompas.com/read/2009/01/12/20230463/Miangas-Marore.Bisa.Jadi.SipadanLigitan.Jilid.II tanggal 20 Januari 2013. 28 Hal ini disampaikan dalam siaran pers Juru Bicara Menteri Dalam Negeri, Saut Situmorang tanggal 7 Februari 2009. Lihat: Media Indonesia. 2009. “Pulau Miangas Bagian Integral Indonesia” diakes dari http://www.mediaindonesia.com/index.php?ar_id=NTk2MzY= tanggal 15 Februari 2009 29 Pernyataan ini disampaikan oleh Meneri Hassan Wirrajuda yang dilansir The Jakarta Post tanggal 14 Februari 2009. Lihat: The Jakarta Post. 2009. “Private mapmaker suspected in border blunder” diakses dari http://www.thejakartapost.com/news/2009/02/14/private-mapmaker-suspected-borderblunder.html tanggal 20 Januari 2013. 34 JURNAL OPINIO JURIS Vol. 12 Januari—April 2013 Dalam hukum internasional yang berlaku dewasa ini dikenal prinsip “uti possidetis juris” yang secara sederhana berarti wilayah atau batas suatu negara mengikuti wilayah atau batas wilayah kekuasaan penjajah atau pendahulunya.30 Dalam hal ini, wilayah Indonesia sama dengan wilayah yang dikuasai Belanda di Nusantara. Data dan informasi terpercaya menunjukkan bahwa Miangas memang masuk dalam wilayah Belanda ketika Belanda berkuasa di Nusantara. Pembuktian kedaulatan Belanda atas Miangas ini bahkan melalui arbitrase internasional dengan Max Huber sebagai arbitrator tunggal. Hingga kini, keputusan ini dianggap sebagai keputusan arbitrase paling fenomenal.31 Melalui keputusan 4 April 1928, Belanda dipastikan menjadi pemilik sah Miangas setelah memenangkan kasus melawan Amerika Serikat.32 Inilah yang menjadi dasar hukum bahwa Pulau Miangas adalah bagian tak terpisahkan dari Indonesia, sebagai penerus (successor) Belanda. Selain bukti hukum berupa keputusan arbitrase pada zaman Belanda, kedaulatan Indonesia atas Miangas juga ditegaskan secara hukum pada masa kemerdekaan. Pada tahun 1976, Indonesia dan Filipina menandatangani perjanjian ekstradisi yang secara nasional disahkan dengan Undang-Undang Nomor 10 tahun 1976.33 Dalam perjanjian ekstradisi tersebut, salah satu hal penting adalah pengakuan Filipina pada kedaulatan Indonesia atas Miangas. Hal ini semakin menegaskan bahwa kedaulatan Indonesia atas Miangas memang tidak terbantahkan. 30 Mak, JN. 2008. “Sovereignty in ASEAN and the Problems of Maritime Security in the South China Sea”, S. Rajaratnam School of International Studies, Singapore. 31 Lihat analisis penulis atas kasus ini: Arsana, I M. A. 2009. “Miangas Island? No Worries”, The Jakarta Post, 3 March 2009, Jakarta 32 Permanent Court Of Arbitration. 1924. “The Island Of Palmas Case (Or Miangas) United States Of America V. The Netherlands” Arbitrator M. Huber, The Hague 33 Lihat: Undang-Undagan Nomor 10 tahun 1976 tentang Pengesahan Perjanjian Ekstradisi antara Republik Indonesia dan Republik Filipina serta Protokoler” 35 JURNAL OPINIO JURIS Vol. 12 Januari—April 2013 Dengan adanya dasar hukum yang kuat seperti yang disebutkan sebelumnya, maka tindakan fisik oleh negara lain yang berupa kunjungan, aktivitas bisnis, memasukkan dalam peta dan sejenisnya, tidak akan mengubah status kedaulatan atas Miangas. Oleh karena itu, meskipun kebenaran dan alasan Filipina dalam memasukkan Miangas dalam petanya perlu ditegaskan, kekhawatiran akan kehilangan Miangas tidak perlu ada. Juru bicara Menteri Luar Negeri saat itu, Teuku Faizasyah, menegaskan adanya kemungkinan kesalahan pihak pembuat peta swasta dan itu tidak merepresentasikan posisi resmi pemerintah Filipina.34 Kesalahpahaman yang terjadi pada Pulau Berhala tahun 2005 ternyata terjadi lagi terhadap Pulau Semakau, seperti yang disampaikan pada pendahuluan. Pada intinya, kekurangpahaman pihak tertentu di Indonesia terhadap konfigurasi geografis negeri sendiri dan juga negeri tetangga telah menimbulkan tuduhan dan kecurigaan yang tidak perlu. Berbagai kasus yang terjadi di Indonesia terkait kedaulatan atas pulau perlu menjadi pelajaran bagi siapa saja, terlebih aparat pemerintah. Memahami dan Belajar dari Kasus Sipadan dan Ligitan Sipadan dan Ligitan adalah dua pulau yang secara resmi telah menjadi bagian dari kedaulatan Malaysia. Meski demikian, perlu diingat kembali bahwa kedaulatan atas kedua pulau tersebut pernah disengketakan oleh Indonesia dan Malaysia bahkah berujung pada disidangkannya kasus itu di Mahkamah Internasional. Mahkamah Internasional kemudian memutuskan pada tahun 2002 bahwa kedaulatan 34 Lihat catatan kaki 29 36 JURNAL OPINIO JURIS Vol. 12 Januari—April 2013 atas kedua pulau itu diberikan kepada Malaysia.35 Sejak keputusan Mahkamah Internasional terhadap kasus tersebut, Sipadan dan Ligitan telah menjadi jargon yang penting dan menyejarah bagi Indonesia, terutama ketika membahas isu kedaulatan dan hak berdaulat. Indonesia yang memiliki ribuan pulau sangat rawan dengan isu perebutan atau klaim mengklaim pulau sehingga ingatan masyarakat atas kasus Sipadan dan Ligitan menjadi mudah bangkit dan menjadi perdebatan. Kasus lain terkait batas maritim di Laut Sulawesi yang diwarnai dengan sengketa atas blok eksplorasi minyak bernama Ambalat, juga sering diasosiasikan dengan kasus Sipadan dan Ligitan ini.36 Kasus Sipadan dan Ligitan bermula pada tahun 1969 ketika Indonesia dan Malaysia merundingkan delimitasi batas maritim antara keduanya di Laut Sulawesi. Usaha delimitasi batas maritim di kawasan tersebut merupakan bagian dari proses delimitasi batas maritim antara kedua negara di dua kawasan yaitu Selat Malaka dan Laut China Selatan. Selama proses delimitasi, Indonesia dan Malaysia menemukan bahwa kedaulatan atas Sipadan dan Ligitan belum diputuskan dan masih belum jelas bagi kedua negara. Dengan kata lain, kedua pulau itu tidak bertuan atau dalam istilah hukum disebut terra nullius ketika keduanya ditemukan.37 Indonesia dan Malaysia sama-sama mengklaim kedaulatan atas kedua pulau tesebut namun tidak berhasil mencapai kesepakatan final terkait kedaulatan atasnya. Kedua negara kemudian bersepakat untuk memberi status quo kepada Sipadan dan Ligitan pada tahun 1969 35 International Court of Justice. 2002. “Sovereignty over Pulau Ligitan and Pulau Sipadan (Indonesia/Malaysia)”, The Hague. Lihat: http://www.icj-cij.org/ docket/files/102/7714.pdf. 36 Lihat: Arsana, I M. A. 2010. “Penyelesaian Sengketa Ambalat dengan Delimitasi Maritim: Kajian Geospasial dan Yuridis”, Jurnal Ilmiah Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Vol. I No. 01, Tahun 2010 37 International Court of Justice, 2002 para. 108 37 JURNAL OPINIO JURIS Vol. 12 Januari—April 2013 sehingga keberadaannya tidak berpengaruh pada usaha delimitasi batas maritim yang sedang dilakukan oleh kedua negara.38 Indonesia dan Malaysia berusaha menyelesaikan masalah terkait kedaulatan atas Sipadan dan Ligitan pada tahun 1988 hingga 1997 melalui perundingan namun gagal mencapai kesepakatan. Negosiasi tersebut berawal dari pertemuan tingkat tinggi antara Presiden Soeharto dari Indonesia dengan Perdana Menteri Malaysia, Mahathir Mohammad, di Yogyakarta pada bulan Juni 1998.39 Setelah pertemuan tingkat tinggi itu, serangkaian perundingan kemudian dilaksanakan dengan melibatkan Joint Working Group Meetings, Senior Official Meetings, dan Joint Commission Meetings. Sebelumnya pada tahun 1994, Indonesia dan Malaysia mencoba membuat terobosan dengan menetapkan atau menunjuk perwakilan masing-masing untuk negosiasi yang intensif. Indonesia menunjuk Menteri Sekretaris Negara ketika itu, Moerdiono, dan Malaysia menugaskan wakil perdana menterinya yaitu Anwar Ibrahim untuk mewakili Malaysia dalam perundingan. Kedua perwakilan itu melaksanakan empat pertemuan di Jakarta pada 17 Juli 1995 dan 16 September 1995, lalu di Kuala Lumpur pada 22 September 1995 dan 21 Juli 1996.40 Setelah melaksanakan perundingan yang intensif dan alot, kedua perwakilan ini tidak melihat titik terang bahwa Indonesia dan Malaysia akan mampu menyelesaikan sengketa kedaulatan atas Sipadan dan Ligitan melalui jalur perundingan. Akhirnya, Presiden Soeharto dan PM Mahatir Mohammad sepakat menyerahkan proses ajudikasi dengan membawa kasus tersebut ke pihak ketiga. Pada tahun 1997, Indonesia 38 Wirajuda, Hassan. 2004. ”Memaknai Penyelesaian Sengketa Pulau Sipadan dan Pulau Ligitan”. Dalam Sutisna, S. (ed) “Pandang Wilayah Perbatasan Indonesia”. Jakarta: Pusat Pemetaan Batas Wilayah, Bakosurtanal. 39 Wirajuda, H. 2004. p. 128 40 Lihat catatan kaki 39 38 JURNAL OPINIO JURIS Vol. 12 Januari—April 2013 dan Malaysia menandatanagani kesepakatan khusus untuk membawa kasus Sipadan dan Ligitan ke Mahkamah Internasional yang disebut dengan Special Agreement for the Submission to the ICJ the Dispute between Indonesia and Malaysia concerning the Sovereignty over Pulau Sipadan and Ligitan.41 Dengan kata lain, kedua pihak bersepakat untuk meminta bantuan pihak ketiga dalam menyelesaikan kasus di antara mereka dan kasus itu diserahkan kepada Mahkamah Internasional pada tahun 1997. Kasus Sipadan dan Ligitan memakan waktu selama lima tahun dalam penyelesaiannya di Mahkamah Internasional hingga akhirnya Mahkamah mengumumkan keputusannya pada 17 Desember 2002.42 Mahkamah Internasional memutuskan kedaulatan atas kedua pulau tersebut dengan menerapkan prinsip effectivités atau penguasaan efektif. Mahkamah Internasional memastikan bahwa Inggris, selaku penjajah atau pendahulu Malaysia, terbukti telah melakukan penguasaan efektif terhadap kedua pulau tersebut. Hal ini ditunjukkan dengan penerapan dan pemberlakuan aturan terkait pengumpulan telur penyu dan didirikannya cagar alam untuk perlindungan burung. Dalam pendapatnya, Mahkamah Internasional melihat bahwa tindakan ini bisa dipandang sebagai penegasan administrasi dan hukum atas kekuasaan pada suatu wilayah atau territory. Dalam keputusan Mahkamah Internasional hal ini ditegaskan sebagai “regulatory and administrative assertions of authority over territory”.43 Selain itu, Mahkamah Internasional juga memutuskan bahwa pembangunan mercusuar oleh Inggris di pulau tersebut dianggap cukup untuk mendukung klaim Malaysia terhadap kedaulatan atas Sipadan dan Ligitan.44 Perlu juga diingat bahwa berdasarkan permintaan Indonesia 41 Wirajuda H. 2004. p. 129 International Court of Justice, 2002 43 International Court of Justice, 2002. Para 145 44 International Court of Justice, 2002. Para 147 42 39 JURNAL OPINIO JURIS Vol. 12 Januari—April 2013 dan Malaysia, Mahkamah utamanya menganalisa apa yang terjadi sebelum tahun 1969, karena keduanya telah bersepakat menjadikan tahun ini sebagai waktu kritis atau critical date dan pada tahun itulah kedua negara menyatakan klaim atas kedua pulau tersebut.45 Dengan memahami keputusah Mahkamah Internasional ini, pembangunan fasilitas wisata pada kedua pulau itu yang dilakukan sebagian besar oleh Malaysia setelah tahun 1969 secara hukum tidak turut memengaruhi keputusan Mahkamah Internasional. Apa yang terjadi setelah tahun 1969, sesuai kesepakatan Indonesia dan Malaysia, tidak berpengaruh pada kedaulatan atas Sipadan dan Ligitan. Dengan memahami keputusan Mahkamah Internasional, terlihat bahwa, kasus Sipadan dan Ligitan berbeda konteksnya dengan kasus Pulau Berhala atau Pulau Semakau. Sipadan dan Ligitan adalah dua pulau yang terra nullius ketika disengketakan oleh Indonesia dan Malaysia. Jika mengikuti konsep uti possidetis juris, maka hal pertama yang harus ditentukan adalah apakah Sipadan atau Ligitan masuk dalam jajahan Inggris atau Belanda. Ternyata keduanya tidak terbukti secara meyakinkan termasuk dalam wilayah jajahan Inggris maupun Belanda. Ini bisa dilihat dari peta-peta zaman penjajahan. Oleh karena itulah, kedua pulau itu tidak bisa secara otomatis diakui oleh Indonesia maupun Malaysia.46 Untuk kasus pulau-pulau yang terra nullius seperti ini maka prinsip effectivités atau penguasaan efektif menjadi berlaku dalam menentukan kedaulatannya. Dengan kata lain, pertanyaan “siapa yang telah mengelola, siapa yang sudah mengembangkan, dan siapa yang menduduki” penting untuk menentukan kedaulatan atas sebuah pulau 45 International Court of Justice, 2002. Para 135 Lihat juga Pidato Kenegaraan Presiden Megawati pada tanggal 15 Agustus 2003 yang salah satu isinya adalah merespon keputusan Mahkamah Internasional terkait Sipadan dan Ligitan, bisa diakses dari http://kepustakaanpresiden.pnri.go.id/uploaded_files/pdf/speech/normal/megawati11.pdf 46 40 JURNAL OPINIO JURIS Vol. 12 Januari—April 2013 jika pulau itu tidak ada yang memiliki. Sebaliknya, jika pulau tersebut sudah resmi menjadi bagian dari suatu negara maka penguasaan dan pengelolaan atasnya tidak akan mengubah status kedaulatan terhadapnya. Dalam pernyataan tidak resmi seorang pejabat negara yang menjelaskan kasus ini dengan cukup cerdas, Indonesia tidak kehilangan pulau, hanya saja memang gagal menambah dua pulau. Pernyataan ini mungkin terdengar seperti kelakar tetapi secara cerdas dan sederhana dapat menjelaskan apa yang terjadi dengan Sipadan dan Ligitan. Dengan kata lain, dapat disimpulkan bahwa Indonesia tidak pernah kehilangan pulau secara hukum karena memang tidak pernah memiliki pulau tersebut. Penjelasan tentang kasus Sipadan dan Ligitan ini bisa disimak dengan rinci pada putusan Mahkamah Internasional.47 Meski keputusan Mahkamah Internasional sudah sedemikian jelas, anggapan masyarakat bahwa Sipadan dan Ligitan lepas dari Indonesia tetap ada. Ada setidaknya dua penyebabnya. Yang pertama adalah pemberitaan media massa yang tidak sesuai kondisi sebenarnya. Media cukup mudah menyalahartikan istilah penguasaan efektif yang menjadi dasar keputusan, terutama terkait waktu krits tahun 1969 yang digunakan sebagai dasar. Tidak sedikit media yang menyampaikan bahwa penguasaan efektif tersebut termasuk tindakan Malaysia mengelola pulau itu sejak tahun 1969. Dengan demikian muncul pemahaman bahwa Indonesia kalah dalam kasus itu karena Malaysia sudah merawat pulau itu dengan mendirikan resor dan membangun fasilitas wisata lainnya. Sebab kedua adalah kenyataan bahwa pada Pulau Sipadan dan Ligitan memang pernah ditetapkan titik pangkal (basepoints) yang 47 Lihat catatan kaki 35. 41 JURNAL OPINIO JURIS Vol. 12 Januari—April 2013 membentuk garis pangkal kepulauan Indonesia. Dalam Peraturan Pemerintah (PP) nomor 38 tahun 2002,48 ada titik pangkal yang berlokasi di kedua pulau tersebut seakan-akan keduanya sudah merupakan bagian dari Indonesia. Mereka yang memiliki kepedulian pada masalah hukum tentu akan menganggap ini sebagai tindakan Indonesia yang menyatakan bahwa kedua pulau itu memang pernah diakui sebagai bagian dari Indonesia. Dengan keputusan Mahkamah Internasional tahun 2002, PP ini kemudian direvisi dengan PP nomor 37 nomor 2008.49 Revisi ini bertujuan untuk mengubah konfigurasi garis pangkal kepulauan Indonesia secara umum sehingga kini menggunakan pulau terluar yang resmi menjadi milik Indonesia serta menjamin garis pangkal yang tertutup, melingkupi seluruh wilayah Indonesia.50 Menyimak pemaparan sebelumnya, bisa disimpulkan bahwa Indonesia memang tidak kehilangan pulau Sipadan dan Ligitan karena tidak pernah memilikinya secara hukum. Meski demikian, istilah “Indonesia kalah oleh Malaysia” ada benarnya yaitu kalah dalam hal memperebutkan dua pulau tidak bertuan untuk menjadi bagian dari kedaulatan negara masing-masing. Kekalahan ini tidak saja ditentukan oleh tindakan Indonesia dan Malaysia tetapi juga oleh Belanda dan Inggris sebagai pendahulu kedua negara. 48 Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 71 (2002) Peraturan Pemerintah No. 38/2002 tentang Daftar Koordinat Geografis Titik-Titik Garis Pangkal Kepulauan Indonesia. Diakses dari http://www.setneg.go.id/ tanggal 15 Agustus 2009. 49 Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 77 (2008) Peraturan Pemerintah No. 37/2008 tentang Perubahan atas Peraturan Pemerintah Nomor 38 Tahun 2002 tentang Daftar Koordinat Geografis Titik-Titik Garis Pangkal Kepulauan Indonesia. Diakses dari http://www.setneg.go.id/ tanggal 15 Agustus 2009. 50 Lihat pembahasan tentang revisi garis pangkal kepulauan Indonesia pada Schofield, C. and Arsana, I MA. (2009) Closing the Loop: Indonesia’s revised archipelagic baselines system, Australian Journal of Maritime and Ocean Affairs; Volume 1, Issue 2; 2009; 5762. 42 JURNAL OPINIO JURIS Vol. 12 Januari—April 2013 Menjaga Pulau, Menjaga Kedaulatan Kekhawatiran kehilangan pulau tidak seharusnya terjadi pada Indonesia. Meski demikian, menjaga pulau-pulau terluar merupakan kewajiban. Ada beberapa hal pening yang harus dilakukan dan dipahami oleh masyarakat, terutama pejabat pemerintah terkait persoalan pulau dan kedaulatan. Hal pertama dan utama adalah pemahaman yang cukup baik akan konfigurasi geografis Indonesia. Penduduk dan terutama pejabat negara sebaiknya paham akan informasi geografis dasar Negara Kesatuan Republik Indonesia. Tentu memerlukan usaha yang serius untuk memahami Indonesia yang terdiri dari 17 ribu lebih pulau, beragam suku bangsa dan bahasa. Selain itu, informasi geografis negara tetangga juga perlu dipahami. Dalam kasus Pulau Semakau dan Pulau Berhala misalnya, terlihat betapa pentingnya memahami bahwa negara tetangga juga memiliki pulau dengan nama yang sama dengan pulau yang dimiliki Indonesia. Tentu tidak baik jika ada pihak yang menjadi geram dan emosional menuduh negara tetangga melakukan tindakan tidak terpuji hanya karena pemahaman geografis terhadap pulau-pulau yang tidak memadai. Ini harus menjadi motivasi bagi masyarakat dan pejabat negara untuk belajar aspek geospasial51 dari bangsa sendiri dan negara tetangga. Kedua, perlu dipahami bahwa kedaulatan atas sebuah pulau yang sudah pasti menjadi bagian wilayah suatu negara tidak akan dengan mudah berpindah ke negara lain hanya karena negara lain mengklaimnya. Dengan kata lain, kedaulatan atas pulau yang sudah 51 Istilah “geospasial” digunakan untuk segala hal yang terkait aspek keruangan/posisi (space) yang terkait dengan bumi (geo). Dalam konteks ini, aspek geospasial adalah aspek lokasi dan deskripsi geografis wilayah NKRI dan posisinya relatif terhadap negaranegara tetangga. Pemahaman geospasial ini juga sangat penting untuk memahami konteks geopolitik suatu negara. 43 JURNAL OPINIO JURIS Vol. 12 Januari—April 2013 resmi menjadi milik Indonesia tidak akan berpindah dengan mudah ke negara tetangga, misalnya Singapura, hanya karena Singapura mengajukan klaim kepemilikan. Hal ini berbeda halnya dengan pulau yang memang belum jelas kepemilikannya. Pulau yang demikian disebut terra nullius yaitu pulau tidak bertuan sehingga usaha klaim aktif dan pendudukan efektif akan berpengaruh pada kepemilikan terhadapnya. Dalam kasus Indonesia, sudah tidak ada lagi pulau dengan status terra nullius sehingga usaha penguasaan efektif untuk tujuan membuktikan kedaulatan tidak perlu dilakukan. Ketiga, dari kasus Sipadan dan Ligitan bisa dipahami bahwa untuk pulau yang belum jelas kepemilikannya maka klaim dan penguasaan efektif memang penting dilakukan dan itu menentukan kedaulatan. Meski demikian, hal ini tidak berlaku pada pulau yang sudah jelas kepemilikannya. Penguasaan atau perhatian terhadap sebuah pulau terluar perlu dilakukan untuk alasan kesejahteraan penduduk di sekitar atau untuk alasan kelestarian lingkungan, bukan untuk melindungi pulau itu agar tidak direbut negara lain. Untuk pulau kecil terluar yang dijadikan lokasi titik pangkal (basepoints) kehadiran negara diperlukan untuk menjaganya sehingga terlindungi secara fisik dan sedapat mungkin tidak terabrasi/tenggelam sehingga dapat mengganggu konfirgurasi titik pangkal dan garis pangkal. Hukum internasional tidak membenarkan suatu negara mengklaim kedaulatan atas suatu pulau yang sudah resmi menjadi milik suatu negara. Sekali lagi kehadiran negara di pulau-pulau kecil atau terluar sangatlah penting dalam segala manifestasi yang mungkin. Hal ini untuk alasan yang lebih pragmatis terkait kesejahteraan masyarakat. Kehadiran negara perlu untuk menjamin masyarakat secara ekonomi, menyediakan fasilitas kesehatan serta infrastruktur yang memadai. Mengirimkan sejumlah besar orang dari ibukota negara untuk melakukan upacara bendera di sebuah pulau terpencil bisa jadi merupakan gagasan yang baik tetapi harus tetap diperhatikan bahwa masyarakat memerlukan lebih dari sekedar kesenangan sesaat di hari-hari penting seperti hari kemerdekaan. 44 JURNAL OPINIO JURIS Vol. 12 Januari—April 2013 Pada akhirnya kesetiaan masyarakat terhadap negaranya ditentukan juga oleh manfaat pragmatis yang mereka peroleh. Keempat, sangat penting untuk memiliki pemahaman dasar kartografis,52 bagaimana peta menggambarkan wilayah dan kedaulatan suatu negara. Hal ini terkait dengan kasus Pulau Semakau dan Pulau Miangas yang dijelaskan sebelumnya. Pemilihan warna, intensitas, ketebalan garis dan terutama legenda peta akan menunjukkan pada pembaca maksud dari masing-masing obyek di peta tersebut. Penting untuk dipahami bahwa dimasukkannya suatu pulau milik negara A pada peta nasional negara B tidak selalu berarti pulau itu diklaim oleh negara B. Dalam peta Indonesia yang lengkap, misalnya, tidak mungkin tidak memasukkan keseluruhan Singapura atau sebagian Malaysia yang sama sekali tidak menunjukkan klaim Indonesia atas kedua negara itu.53 Kesimpulan Dari analisis pada bagian sebelumnya dari makalah ini bisa disimpulkan bahwa Indonesia tidak pernah kehilangan dan tidak akan kehilangan pulau karena status kedaulatan atas pulau-pulau Indonesia sudah jelas. Pemahaman terhadap kasus Sipadan dan Ligitan perlu 52 Secara sederhana, kartografi merupakan ilmu dan seni pembuatan peta. Peta adalah representasi permukaan bumi yang diusahakan sedekat mungkin dengan aslinya. Meski demikian, peta tetaplah hanya representasi sehingga pasti ada hal yang tidak sama dengan kenyataannya di permukaan bumi. Oleh kerena itulah perlu pengetahuan kartografis dasar dalam membaca peta sehingga tidak salah dalam menyerap informasi yang ditampilkannya. Lihat misalnya: Arsana, I M.A. 2010. “Maps mark borders, and yet always lies”, The Jakarta Post, 22 November 2010, Jakarta; Arsana, I M.A. 2011. “Urgent use of cartohypnosis in border dispute settlement”, The Jakarta Post, 26 October 2011, Jakarta 53 Untuk analisis penulis terkait kasus Pulau Semakau dan pelajaran yang bisa diambil, lihat: Arsana, I M.A. 2013, Are we losing more islands after Sipadan-Ligitan dispute? The Jakarta Post, 30 January 2013. 45 JURNAL OPINIO JURIS Vol. 12 Januari—April 2013 diluruskan bahwa Indonesia tidak kehilangan tetapi kalah memperjuangkan kedaulatan yang memang tadinya belum pasti. Meski tidak perlu ada kekhawatiran akan kehilangan pulau, perhatian dan kehadiran negara di semua wilayah Indonesia tanpa kecuali tetaplah suatu keharusan. Semua itu dilakukan untuk alasan pragmatis terkait kesejahteraan dan alasan lingkungan, bukan karena ketakutan bahwa pulau itu akan direbut oleh negara lain. Daftar Pustaka Arsana, I M.A. 2009. “Berhala: Is it Another Sipadan and Ligitan?” dalam Sutisna, S (ed) Beyond Borders, Department of Geodetic Engineering, Yogyakarta. Arsana, I M.A. 2009. “Miangas Island? No Worries”, The Jakarta Post, 3 Maret 2009, Jakarta Arsana, I M.A. 2010. “Penyelesaian Sengketa Ambalat dengan Delimitasi Maritim: Kajian Geospasial dan Yuridis”, Jurnal Ilmiah Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Vol. I No. 01, Tahun 2010 Arsana, I M.A. 2010. “Maps mark borders, and yet always lies”, The Jakarta Post, 22 November 2010, Jakarta. Arsana, I M.A. 2011. “Urgent use of cartohypnosis in border dispute settlement”, The Jakarta Post, 26 October 2011, Jakarta Arsana, I M.A. 2013, “Are we losing more islands after Sipadan-Ligitan dispute?” The Jakarta Post, 30 January 2013. Edeson, W. R. 2000. “Law of the Sea Convention: Confusion over the Use of ‘UNCLOS’, and References to other Recent Agreements”, The International Journal of Marine and Coastal Law, Vol 15, Number 3. Google Maps. 2013. “Pulau Semakau Besar”, diakses dari http://goo.gl/maps/gni24 tanggal 19 Januari 2013. Google Maps. 2013. “Pulau Semakau Kecil”, diakses dari http://goo.gl/maps/ekoKC tanggal 19 Januari 2013. International Court of Justice, 2002. “Sovereignty over Pulau Ligitan and Pulau Sipadan (Indonesia/Malaysia)”, diakes dari Lihat: http://www.icj-cij.org/ docket/files/102/7714.pdf tanggal 20 Januari 2013. Jawa Pos National Network. 2013. “Ramadhan Pohan Bantah Ada Pencaplokan Pulau Semakau”, diakses dari http://www.jpnn.com/index.php?mib=berita.detail&id=155352 tanggal 22 Januari 2013. Kemlu. 2005. “Siaran Pers: Mengenai Pulau Berhala: Perlu Pemahaman Mendalam Terhadap Prinsip Hukum Negara Kepulauan”, diakses dari http://www.deplu.go.id/_layouts/mobile/PortalDetail- 46 JURNAL OPINIO JURIS Vol. 12 Januari—April 2013 NewsLike.aspx?l=id&ItemID=67bb52d2-7619-4b09-b635-7e8b20060e36 tanggal 19 Januari 2013. Kompas. 2009. “Miangas-Marore Bisa Jadi Sipadan-Ligitan Jilid II” diakses dari http://lipsus.kompas.com/read/2009/01/12/20230463/MiangasMarore.Bisa.Jadi.Sipadan-Ligitan.Jilid.II tanggal 20 Januari 2013. Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 71. 2002. “Peraturan Pemerintah No. 38/2002 tentang Daftar Koordinat Geografis Titik-Titik Garis Pangkal Kepulauan Indonesia”, diakses dari http://www.setneg.go.id/ tanggal 15 Agustus 2009. Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 77. 2008. “Peraturan Pemerintah No. 37/2008 tentang Perubahan atas Peraturan Pemerintah Nomor 38 Tahun 2002 tentang Daftar Koordinat Geografis Titik-Titik Garis Pangkal Kepulauan Indonesia”, diakses dari http://www.setneg.go.id/ tanggal 15 Agustus 2009. Mak, JN. 2008. “Sovereignty in ASEAN and the Problems of Maritime Security in the South China Sea”, S. Rajaratnam School of International Studies, Singapore. Media Indonesia. 2009. “Pulau Miangas Bagian Integral Indonesia” diakes dari http://www.mediaindonesia.com/index.php?ar_id=NTk2MzY= tanggal 15 Februari 2009 National Environgment Agency of Singapore. 2013. “Semakau Landfill”, diakses dari http://app2.nea.gov.sg/semakaulandfill.aspx tanggal 26 Januari 2013. Okezone. 2013. “Kemlu: Pulau Semakau ada di Indonesia dan Singapura”, diakses dari http://international.okezone.com/read/2013/01/19/411/748659/kemlu-pulausemakau-ada-di-indonesia-singapura tanggal 19 Januari 2013. Okezone. 2013. “Pulau Semakau Dicamplok Negara Singapura”, diakses dari http://news.okezone.com/read/2013/01/19/340/748669/pulau-semakau-dicaploknegara-singapura tanggal 19 Januari 2013. Permanent Court Of Arbitration. 1928. “The Island Of Palmas Case (Or Miangas) United States Of America V. The Netherlands” Arbitrator M. Huber, The Hague Schofield, C. and Arsana, I MA. 2009. “Closing the Loop: Indonesia’s revised archipelagic baselines system”, Australian Journal of Maritime and Ocean Affairs; Volume 1, Issue 2; 2009; 57-62. Soekarnoputri, M. 2003. “Pidato Kenegaraan Presiden R.I. Dan Keterangan Pemerintah Atas Ruu Tentang RAPBN 2004 Serta Nota Keuangannya di Depan Sidang DPR RI, Jakarta, 15 Agustus 2003”, Kepustakaan Presiden-Presiden Republik Indonesia, Jakarta. Diakses dari http://kepustakaanpresiden.pnri.go.id/uploaded_files/pdf/speech/normal/megawati11.pdf tanggal 31 Januari 2013. Sumaryo. 2012. “Aspek Geospasial dalam Kasus Sengketa Pulau Berhala”, Prosiding The 1st Conference on Geospatial Information Science and Engineering, Yogyakarta, 20-22 November 2012. The Jakarta Post. 2009. “Private mapmaker suspected in border blunder” diakses dari http://www.thejakartapost.com/news/2009/02/14/private-mapmaker-suspectedborder-blunder.html tanggal 20 Januari 2013. 47 JURNAL OPINIO JURIS Vol. 12 Januari—April 2013 United Nations. 1982. “United Nations Convention on the Law of the Sea”, diakses dari <http://www.un.org/Depts/los/convention_agreements/tets/unclos/ unclos_e.pdf> tanggal 30 Januari 2013. United Nations. 2013. “Chronological lists of ratifications of, accessions and successions to the Convention and the related Agreements as at 23 January 2013”, diakses dari http://www.un.org/Depts/los/reference_files/chronological_lists_of_ratifications.ht m tanggal 23 Januari 2013. Wirajuda, H. 2004. ”Memaknai Penyelesaian Sengketa Pulau Sipadan dan Pulau Ligitan”. Dalam Sutisna, S. (ed) “Pandang Wilayah Perbatasan Indonesia”. Jakarta: Pusat Pemetaan Batas Wilayah, Bakosurtanal. exist for the purpose of establishing justice and when “ Lawtheyandfailorder in this purpose they become the dangerously structured dams that block the flow of social progress. ” - Martin Luther King Jr. - 48 JURNAL OPINIO JURIS Vol. 12 Januari—April 2013 KEGIATAN MILITER DI ZEE DAN PELAKSANAAN HOT PURSUIT DI INDONESIA1 Kresno Buntoro Abstrak Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE) adalah suatu rezim baru yang diatur dalam Konvensi Perserikatan Bangsa-bangsa tentang Hukum Laut (UNCLOS). Banyak ahli menilai bahwa ketentuan-ketentuan tentang ZEE sebagaimana tercantum dalam UNCLOS merupakan bagian dari hukum kebiasaan internasional dan praktik bangsa-bangsa. Negara diakui memiliki kedaulatan atas ZEE yang dimilikinya. Definisi dari hak-hak kedaulatan didefinisikan oleh para ahli dalam makna yang berbeda. Beberapa ahli mengartikan bahwa ZEE merupakan suatu hak khusus diantara kedaulatan negara dan kebebasan negara di laut lepas, dan yang lainnya berpikir bahwa status ZEE sama dengan status laut lepas dalam lingkup navigasi. Dewasa ini, aktifitas militer yang dijalankan oleh negara di ZEE menyebabkan beberapa konflik dan krisis karena kegiatan tersebut dilakukan di ZEE dari negara lain. Konflikkonflik tersebut mempertanyakan hak dan kewajiban dari negara pantai dan negara lain dalam ZEE yang terkait dengan kegiatan militer, pengumpulan data dan implementasi dari pengejaran seketika oleh otoritas militer asing di ZEE. Kata Kunci: Zona Ekonomi Eksklusif, Kegiatan Militer, Pengejaran Seketika. Abstract The Exclusive Economic Zone (EEZ) is a new regime which is regulated in the United Nations Convention on the Law of the Sea (UNCLOS). There are many experts consider that the provisions of EEZ as set forth in UNCLOS are parts of international customary law and states practices. It is recognized that a state has sovereign rights 1 Artikel ini juga disampaikan pada Seminar Nasional dengan tema “30 Tahun Konvensi Hukum Laut PBB (UNCLOS) 1982 dan Tantangan Diplomasi Kelautan Indonesia”, 13 November 2012 di Palembang. Paper ini merupakan pendapat pribadi penulis, sehingga tidak terkait dengan institusi dimana penulis bekerja. 49 JURNAL OPINIO JURIS Vol. 12 Januari—April 2013 over its EEZ. The definition of sovereign rights was defined by the experts in some different meanings. Some of the experts define that it is a special right between sovereignty of a state and the freedom of other states in high seas, and the others think that the status of EEZ is similar with the status of high seas in the scope of navigation. Nowadays, the military activity which is exercised by state in EEZ causes some conflicts and crisis because it is exercised in the EEZ by the other states. Those rising conflicts challenge the right and obligation of coastal state and the other state in EEZ related to the military activity, data collection and the implementation of hot pursuit by foreign military force in EEZ. Keywords: Exclusive Economic Zone, Military Activities, Hot Pursuit. Pendahuluan Ketentuan hukum internasional dan Konvensi Hukum Laut PBB tahun 1982 (Law of the Sea Convention/LOSC)2 membagi wilayah negara dalam dua bagian yaitu laut/perairan wilayah suatu negaradan laut yang bukan wilayah suatu negara. Laut atau perairan yang menjadi wilayah suatu negara yaitu perairan pedalaman, perairan kepulauan dan laut territorial, dimana negara pantai/kepulauan mempunyai kedaulatan.3 Sedangkan laut yang bukan merupakan wilayah suatu negara adalah Zona Tambahan, Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE), Landas Kontinen, laut bebas dan dasar laut dalam (deep seabed/area).4 Di masingmasing zona maritim tersebut negara pantai (kepulauan) mempunyai 2 The United Nations Conventionon the Law of the Sea, 10 December 1982, UNTS 1833 at 3 (entered into force 16 November 1994), online:United Nations <http://www.un.org/Depts/los/convention_agreements/convention_overview_convention. htm>[selanjutnya digunakan istilah LOSC] 3 Indonesia mengatur laut yang menjadi wilayah Indonesia dalam istilah Perairan Indonesia diatur dalam UU Nomor 6 Tahun 1996 tentang Perairan Indonesia. 4 Beberapa ahli dan buku memasukan “selat untuk pelayaran internasional” (strait used for international navigation) sebagai bagian dari zona maritim.Lihat Martin Tsamenyi dalam materi kuliah di Seskoal. 50 JURNAL OPINIO JURIS Vol. 12 Januari—April 2013 hak, kewajiban dan kewenangan yang berbeda-beda, demikian pula kapal ataupun wahana laut lainnya mempunyai hak dan kewajiban yang berbeda-beda pula ketika bernavigasi di zona maritim ini. ZEE merupakan rezim baru yang diatur dalam Konvensi Hukum Laut PBB tahun 1982. Sebagai zona maritim baru pengaturan dalam ZEE dapat dikatakan cukup banyak yaitu dalam Bab V LOSC pasal 55 sampai 75.5 Banyak ahli berpendapat bahwa pengaturan ZEE yang ada di Konvensi merupakan bagian dari international customary law dan prakteknegara-negara.6 Pengaturan utama dalam zona maritim ini antara lain hak negara pantai untuk memanfaatkan sumber daya alam, perlindungan lingkungan laut, riset ilmiah kelautan dan lain-lain. Dalam praktek negara-negara di ZEE masih banyak permasalahan7 yang muncul antara lain hubungan batas ZEE dengan landas kontinen, hubungan aktivitas di ZEE dengan landas kontinen, termasuk juga apakah rezim ZEE dan landas kontinen yang 200 mil laut adalah sama.8 5 Apabila dibandingkan dengan pengaturan tentang alur laut kepulauan yang merupakan konsep baru juga, dimana hanya diatur dalam 2 pasal, maka ZEE pengaturannya cukup lengkap. Demikian juga tentang lintas transit dan negara kepulauan diatur cukup lengkap. 6 Continental Shelf Tunisia/Lybia judgement, [1982] I.C.J. Rep. 18; Case Concerning Delimitation of the Maritime Boundary of the Gulf of Maine (Canada/United States), [1984] I.C.J. Rep. 246, 294; Sohn & Gustafson 122; 2 Restatement (Third), sec. 514 Comment a & Reporters’ , 56 & 62.; Horace B Robertson Jr, Navigation in the Exclusive Economic Zone, Virginia Journal International Law, 24:4, 865-866. 7 Permasalahan ini selalu bermula pada kepentingan negara maritim besar dan negara pantai yaitu pertentangan antara mare liberum dan mare clausum.Lihat, CE Pirtle, ‘Military Uses of Ocean Space and the Law of the Sea in the New Millennium’ (2000), 31 Ocean Developments and International Law, 7, 11. 8 Ada pendapat bahwa rezim ZEE meliputi landas kontinen selebar 200 mil laut. Dalam hal ini pengaturan ZEE dan landas kontinen selebar 200 mil laut adalah sama baik dari jaraknya, pengaturannya, dan hak/kewajiban yang dimiliki oleh negara. Dalam beberapa pasal dalam LOSC yang mengatur ZEE dan landas kontinen saling terkait. 51 JURNAL OPINIO JURIS Vol. 12 Januari—April 2013 Pertentangan yang mengemuka terkait dengan kegiatan militer di ZEE negara lain adalah bagaimana hak dan kewajiban negara pantai dan negara pengguna di ZEE terkait dengan kegiatan militer, survei hidroosenaografi dan pengumpulan data/informasi intelejen. Oleh sebab itu dalam paper singkat ini akan dijelaskan hak dan kewajiban negara pantai dan negara pengguna terkait dengan aktivitas militer di ZEE; apakah yang dimaksud dengan freedom of navigation dan overflight di ZEE, apakah yang dimaksud negara kegiatan militer; dan implementasi dari hot pursuit yang dilakukan oleh kekuatan militer asing di ZEE Indonesia. Hak dan Kewajiban Negara di ZEE ZEE merupakan zona yang berada antara laut teritorial dan laut bebas. Oleh sebab itu banyak negara yang mengatakan bahwa pengaturan ZEE harus berbeda dengan pengaturan di laut bebas maupun di laut teritorial. Konsep kewenangan yang dikenal dalam ZEE ini adalah hak berdaulat (sovereign rights).9 Pengertian sovereign rights oleh banyak ahli diartikan dengan bermacam-macam, antara lain ada yang berpendapat bahwa sovereign right merupakan hak khusus yang berada diantara hak kedaulatan (sovereignty) dengan kebebasan suatu negara (freedom of high seas) di laut bebas. Selain itu ada ahli yang mengatakan bahwa jika berbicara tentang navigasi maka status hukum dari ZEE adalah sama dengan laut bebas.10 Tentu saja status hukum ZEE harus 9 Amerika berpendapat bahwa ZEE merupakan zona yang khusus diperuntukan untuk aktivitas ekonomi Negara pantai dan tidak untuk pelaksanaan hak lainnya. Lihat, Annotated Supplement To The Commander’s Handbook On The Law Of Naval Operations - NWP 9.A/FMFM 1-10. 10 White House Fact Sheet, Annex AS1-5. These “sovereign rights” are functional in character and are limited to the specified activities; they do not amount to “sovereignty” which a nation exercises over its land territory, internal waters, archipelagic waters, territorial sea (subject to the right of innocent passage for foreign vessels). International law also grants to coastal states limited “jurisdiction” in the exclusive economic zone for 52 JURNAL OPINIO JURIS Vol. 12 Januari—April 2013 dikembalikan pada ketentuan LOSC yang mengatur beberapa zona maritim antara lain: perairan pedalaman,11 perairan kepulauan,12 laut teritorial,13 zona tambahan,14 ZEE,15 landas kontinen,16 laut bebas,17 dan wilayah laut dalam18. Berdasarkan kententuan tersebut menunjukan bahwa ZEE merupakan zona tersendiri19 dan berbeda dengan laut teritorial, zona tambahan, landas kontinen dan laut bebas itu sendiri. Sehingga penerapan hak dan kewajiban suatu negara pun semestinya berbeda. Kepentingan suatu negara biasanya selalu dilindungi dengan kebijakan politik, hukum dan perlindungan fisik berupa penegakan hukum serta pengerahan/pergerakan kekuatan militer. Sebagai contohnya: kepentingan perdagangan suatu negara diikuti dengan kebutuhan akan keamanan dan keselamatan kapal pada jalur perdagangan yang antara lain dapat dilakukan dengan pengerahan kekuatan militer di jalur perdagangan tersebut.20 Pengerahan kekuatan the other purposes mentioned in the text at note 48. 2 Restatement (Third), sec. 511 Comment b at 26-27. 11 Pasal 8, dan 50, LOSC. 12 Pasal 49 LOSC. 13 Pasal 2 LOSC. 14 Pasal 33 LOSC. 15 Pasal 55 LOSC. 16 Pasal 76 LOSC. 17 Bab VII LOSC. 18 Bab XI LOSC. 19 “The exclusive economic zone is an area beyond and adjacent to the territorial sea, subject to the specific legal regime established in this Part, under whichthe rights and jurisdiction of the coastal State and the rights and freedoms of other States are governed by the relevant provisions of this Convention”.Pasal 55 LOSC dengan penekanan. 20 Sejarah menunjukan bahwa pertumbuhan ekonomi negara biasanya akan diikuti dengan pembangunan kekuatan pertahanan. Apabila perekonomian negara sebagian bertumpu pada maritim/kelautan, pembangunan kekuatan laut lebih diutamakan.Hal ini disebabkan kekuatan laut tersebut digunakan untuk melindungan kepentingan ekonomi negara itu. 53 JURNAL OPINIO JURIS Vol. 12 Januari—April 2013 militer biasanya sangat jarang memasuki wilayah kedaulatan negara lain, akan tetapi berada di luar laut teritorial suatu negara. Hal ini sebenarnya merupakan penghormatan terhadap kedaulatan negara pantai, walaupun banyak negara beranggapan bahwa keberadaan armada/kapal perang asing yang dekat dengan wilayahnya merupakan ancaman terhadap keamanan negara tersebut. Dalam beberapa tahun ini, kegiatan militer yang dilakukan oleh negara-negara menimbulkan krisis dan konflik. Hal ini disebabkan kegiatan militer yang dilakukan oleh negara dimaksud dilakukan di ZEE negara lain.21 Dalam Bab V Pasal 56, 60 dan 61 LOSC disebutkan bahwa negara pantai mempunyai hak berdaulat untuk melakukan eksplorasi dan eksploitasi terhadap sumber daya alam di ZEE. Hak tersebut antara lain meliputi pula hak untuk melakukan penelitian atas sumber daya alam; hak untuk melakukan eksploitasi sumber daya alam; hak untuk melakukan konservasi sumber daya alam; dan hak untuk mendirikan dan mengatur pulau buatan, instalasi dan bangunan. Selain itu dalam pasal 77 dan 80 LOSC yang mengatur tentang landas kontinen yang berada di bawah ZEE negara pantai mempunyai hak berdaulat untuk melakukan eksplorasi dan eksploitasi sumber daya alam antara lain: hak melakukan penelitian sumber daya alam di landas kontinen; hak melakukan eksploitasi sumber alam dari landas kontinen; hak untuk mendirikan dan mengatur pulau buatan, instalasi dan bangunan. Kegiatan pemanfaatan Lihat pertempuran North Atlantic, dimana kekuatan laut digunakan untuk melindungi konvoi kapal-kapal dagang; ekspedisi perdagangan pada abad pertengahan diikuti dengan kekuatan laut yang mumpuni. 21 Beberapa tahun yang lalu, Amerika Serikat mengembangkan doktrin “sea basing” dimana naval base Amerika Serikat digelar di tengah laut dan mempunyai mobilitas yang tinggi disesuaikan dengan pengerahan kekuatannya. Lihat, Sam, J Tangerdi, Concept, Issues, and Recommendations, Naval War College Review, Autum 2011, Vol 64, No. 4; Sea basing di www.dtic.mil/concepts/jitc_seabasing.doc, diakses tanggal 16 Januari 2013; Admiral Ven Clark, US Navy, ‘Sea Power 21, Projecting Decisive Joint Capabilities,’ diwww.navy.mil/navydata/cno/proceeding.html, diakses tanggal 16 Januari 2013. 54 JURNAL OPINIO JURIS Vol. 12 Januari—April 2013 sumber daya alam lainnya termasuk pemanfaatan energi dari angin, arus, dan ombak. Riset ilmiah kelautan dapat dilakukan di ZEE.22 Kegiatan tersebut dapat berupa pengumpulan data/informasi ilmiah, monitoring risiko dan efek polusi, dan riset ilmiah kelautan. Kegiatan riset ilmiah kelautan dapat berupa survei ataupun riset hidrografi, oseanografi, biologi laut, riset perikanan, driling, survei ilmiah geologi/geofisik, dan kegiatan riset ilmiah untuk tujuan lainnya. Apabila kegiatan tersebut dilakukan untuk tujuan komersial, banyak negara tidak menganggap kegiatan itu sebagai riset ilmiah kelautan sebagaimana diatur dalam Konvensi. Selain itu apabila riset ilmiah digunakan untuk tujuan militer tidak juga termasuk kegiatan riset ilmiah sebagaimana diatur dalam Konvensi.23 Sedangkan hak negara lain di ZEE antara lain untuk meletakkan kabel dan pipa bawah laut, pelayaran dan penerbangan. Khusus untuk meletakkan kabel dan pipa bawah air harus tetap melalui izin atau sesuai peraturan perundang-undangan negara lain. Khusus tentang batas maritim terkait dengan ZEE dan landas kontinen banyak negara mengisyaratkan bahwa penyelesaian batas ZEE dan landas kontinen adalah sama. Akan tetapi untuk negara yang telah menyelesaikan batas landas kontinen sebelum ada LOSC dan masih didasarkan pada Konvensi Jenewa 195824, maka ketika akan menyelesaikan batas ZEE ada kemungkinan antara garis batas ZEE dan landas kontinen berbeda (tidak berimpit). Kondisi ini tentu saja dapat dimaklumi disebabkan rezim landas kontinen yang digunakan dalam 22 Pasal 56 LOSC. Lihat, Oxman, The Regime of Warships Under the United Nations Convention on the Law of the Sea, 24 Virginia Journal International Law,. 809, 844-47 (1984); Negroponte, Current Developments in U.S. Oceans Policy, Dep’t St. Bull., Sep. 1986, 86. 24 Lihat Convention on the Continental Shelf, April 29, 1958, 15 UST. 471, 499 UNTS. 311. 23 55 JURNAL OPINIO JURIS Vol. 12 Januari—April 2013 25 Konvensi Jenewa 1958 berbeda dengan rezim landas kontinen yang diatur dalam LOSC26. Oleh karena itu dalam kasus Indonesia akan ditemukan beberapa garis batas ZEE dan landas kontinen yang tidak berimpit, sebagai contohnya batas maritim antara Indonesia dengan Australia. Pada perjanjian batas maritim tersebut terdapat 2 (dua) garis batas maritim yang tidak berimpit yaitu garis batas landas kontinen dengan Australia yang telah ditetapkan pada tahun 197127dengan batas maritim tertentu antara Indonesia dengan Australia yang disepakati pada tahun 199728. Pada batas maritim tersebut terdapat wilayah dimana landas kontinennya berada dalam jurisdiksi Australia, akan tetapi ZEE berada dalam yurisdiksi Indonesia. Freedom of Navigation dan Overflight di ZEE Pasal 58 yang menunjuk pasal 87 LOSC menyatakan bahwa kapal perang dan pesawat udara militer dari negara lain (selain negara yang memiliki ZEE) menikmati “freedom of navigation and overflight” di ZEE. Di laut bebas terdapat ketentuan yang sama tentang adanya freedom of 25 Definisi landas kontinen pada Konvensi Jeneva 1958 memberikan perumusan berdasarkan dua kriteria, pertama, yaitu kriteria geomorfologis (200 metres), dan kedua, yaitu kriteria ”Exploitability” (or, beyond that limit to where the depth of the superjacent waters admits of the exploitation). Kriteria kedua ini subjektif dan tidak ada sangkut pautnya dengan pengertian geologis landas kontinen. 26 Konsep penentuan batas landas kontinen di LOSC ditekankan pada konsep jarak, sedangkan kelanjutan alamiah (natural prolongation) digunakan ketika negara akan mengajukan klaim landas kontinen di luar 200 mil laut. 27 Lihat Agreement between the Government of the Republic of Indonesia and the Government of the Commonwealth of Australia establishing certain Seabed Boundaries in the Area of the Timor and ArafuraSeas, Supplementary to the Agreement of 18 May 1971.Perjanjian ini disahkan/diratifikasi dengan Keppres No.66 Tahun 1972. 28 Pemerintah Indonesia dan Australia telah melalukan perundingan untuk menyelesaikan batas maritim kedua negara. Perjanjian batas maritim tersebut yang telah ditanda tangani pada tahun 1997, akan tetapi perjanjian batas maritim tersebut belum diratifikasi. Sehingga dapat dikatakan bahwa perjanjian tersebut belum berlaku. 56 JURNAL OPINIO JURIS Vol. 12 Januari—April 2013 navigation and overflight, permasalahannya adalah apakah pelaksanaan kebebasan pelayaran dan perbangan yang ada di ZEE dan laut bebas sama. Selain itu apa yang dimaksud dengan kebebasan pelayaran dan penerbangan di ZEE maupun di laut bebas. Tidak ada penjelasan resmi tentang maksud dari kebebasan pelayaran dan penerbangan di ZEE maupun di laut bebas. Sehingga banyak negara menafsirkan dan mengimplementasi sesuai dengan kepentingannya. Banyak pihak menyatakan bahwa kebebasan pelayaran dan penerbangan di ZEE yang menunjuk kepada kebebasan di laut bebas mencakup kebebasan dalam latihan militer dan kegiatan operasional lainnya.29 Dalam Pasal 87 (1) LOSC disebutkan bahwa kebebasan pelayaran dan penerbangan dapat dinikmati oleh semua negara, akan tetapi pelaksanaan dari hak tersebut harus didasarkan pada ketentuan Konvensi.30 Selanjutnya dalam Pasal 58 (3) LOSC juga disebutkan bahwa dalam melaksanakan hak dan kewajibannya di ZEE, negara harus selalu mempertimbangkan kepentingan dari negara pantai dan memenuhi peraturan perundang-undangan dari negara pantai.31 Peraturan perundang-undangan dari negara pantai tersebut tidak boleh bertentangan dengan Konvesi dan hukum internasional lainnya. Berdasarkan Pasal 58 LOSC tersebut dengan jelas disebutkan bahwa pelaksanaan hak di ZEE harus selalu mempertimbangkan kepentingan 29 Lihat, J.M. VanDyke,’Military Ships and Planes Operating in the Exclusive Economic Zone of Another Country’, 28 Marine Policy (2004), 29-39; G.V. Galdorisi & A.G. Kaufman,’Military Activities in EEZ: Preventing Uncertainty and Defusing Conflict’, 32 California Western Law Journal (2001-2002), 253-301. 30 “All states enjoy the freedom of navigation and over-flight, subject to the conditions laid down by this Convention and by the other rules of international law”. 31 Meyer mengatakan bahwa “Peraturan yang dimaksud adalah peraturan terkait dengan pemanfaatan sumber daya alam di ZEE”.Lihat Commander JC Meyer, USN,’ The Impact of the Exclusive Economic Zone on Naval Operations,’ (1992), 40 Naval Law Review. 57 JURNAL OPINIO JURIS Vol. 12 Januari—April 2013 negara pantai yaitu dengan selalu memperhatikan dan memenuhi peraturan perundang-undangan negara pantai. Kapal dan pesawat udara mempunyai hak untuk menikmati kebebasan pelayaran dan penerbangan di ZEE negara lain, akan tetapi kebebasan tersebut dibatasi dengan tidak mengganggu kepentingan negara pantai. Konvensi denga jelas mencoba untuk menyeimbangkan antara kepentingan negara pantai dengan negara pengguna, akan tetapi formulasi pasal, khususnya pasal 58 (1) dan pasal 87 LOSC, yang digunakan masih dapat menimbulkan penafsiran yang berbeda-beda. Oleh sebab itu kegiatan militer yang dilakukan di ZEE negara lain dapat dikategorikan sebagai kegiatan tidak damai dan mengganggu kepentingan negara pantai,32 sehingga kegiatan tersebut dapat dikatakan bertentangan dengan ketentuan Konvensi.33 Kegiatan militer dimaksud dapat berbentuk berbagai macam antara lain latihan manuver, latihan penembakan, test senjata, latihan perang-perangan, pengumpulan data intelejen, survei hidrografi, dan oseanografi. Angkatan laut merupakan kekuatan militer yang diperuntukan untuk gelar kekuatan di mana saja baik di wilayah sendiri, wilayah negara lain, maupun di wilayah/laut bebas. Gelar kekuatan angkatan laut dapat diartikan sebagai representasi kebijakan negara, mengingat kekuatan angkatan laut yang dapat terdiri dari satuan kapal atas air, bawah air, dan pesawat udara militer, membawa bendera negara. Konsekuensi dari keberadaan itu maka suatu kekuatan angkatan laut mempunyai imunitas 32 Brazil, Bangladesh, Cape Verde, Malaysia, India, dan Pakistan telah menyatakan bahwa kegiatan militer asing di ZEE mereka harus mendapatkan izin dari negaranya. Lihat, Deklarasi dan Pernyataan pada LOSC di http://www.un.org/depts/los/convention_agreements/convention_declaration.htm diakses pada 16 Januari 2013. 33 Argumentasi yang digunakan oleh negara pantai adalah laut harus digunakan untuk perdamian yang diatur dalam preambul dan pasal 301 LOSC. 58 JURNAL OPINIO JURIS Vol. 12 Januari—April 2013 dimanapun berada.34 Sehingga kekuatan angkatan laut biasanya membawa tiga fungsi yaitu sebagai kekuatan militer (military function), fungsi diplomasi (diplomatic function) dan fungsi polisionil (constabulary function).35 Dalam praktek negara ada bermacam-macam sikap terkait dengan kegiatan militer di ZEE negara lain36, antara lain Amerika Serikat berpendapat bahwa kebebasan pelayaran dan penerbangan di ZEE dan laut bebas adalah sama, yaitu semua kapal dapat melakukan semua aktivitas termasuk kegiatan militer dan pengumpulan informasi intelejen.37 Kegiatan-kegiatan di ZEE tidak boleh dilakukan jika bertentangan dengan ketentuan LOSC dan hukum internasional. Sedangkan ada negara lain, contohnya China berpendapat bahwa kebebasan tersebut harus berbeda disebabkan negara pantai mempunyai hak berdaulat terhadap ZEE dan kegiatan yang dilakukan oleh suatu negara tidak boleh mengganggu hak negara lain, serta kegiatan di ZEE 34 Pasal 32 LOSC Lihat, Ken Booth, Navies and Foreign Policy, New York: Crane, Russak, 1977; James Cable. Gunboat Diplomacy. Basingstoke: Palgrave Macmillan, 1981. 36 Lihat, JR Crook (ed),’United States Protests Chinese Interference with US Naval Vessel, Vows Continued Operation’ in Contemporary Practice of the United States Relating to International Law (2009) 103 American Journal International, 325-351; US Department of Defense,’DOD News Briefing with Geoff Morrel from the Pentagon (11 March 2009), http://www.defence.gov/transcripts.aspx?transcriptsID=4369>diakses pada tanggal 4 Februari 2012. 37 . Pernyataan dari Ketua Delegasi Amerika pada penutupan sidang hukum laut (the Third United Nations Conference on the Law of the Sea) di Montego Bay, Jamaica tanggal 9 Desember 1982, antara lain sebagai berikut: the Convention has recognized the sovereign rights of the coastal state over the resources of the exclusive Economic Zone, jurisdiction over artificial islands, and jurisdiction over installations and structures used for economic purposes therein, while retaining the international status of the zone in which all states enjoy the freedoms of navigation, overflight, laying of submarine cables and pipelines, and other internationally lawful uses of the sea, including military operations, exercises and activities. --- etc 35 59 JURNAL OPINIO JURIS Vol. 12 Januari—April 2013 harus selalu digunakan untuk kegiatan damai.38 Terkait dengan hal tersebut semua kegiatan militer asing di ZEE China dan kegiatan yang mengganggu keamanan dan perdamaian China dilarang.39 Negara Brasil menganut paham yang hampir sama dengan China, bahwa semua kegiatan militer asing dilarang atau harus mendapat izin dari negara Brasil.40 Kegiatan yang mendapat respon keras dari Amerika adalah larangan untuk meletakkan alat dan instalasi apapun di ZEE/landas kontinen Brasil.41 Indonesia belum mempunyai kebijakan ataupun aturan yang jelas, apakah militer asing dapat melaksanakan aktivitas militernya di ZEE Indonesia atau tidak. Peraturan perundang-undangan Indonesia tidak secara jelas mengatur tentang aktivitas militer di ZEE. UU Nomor 5 Tahun 1983 tentang ZEE Indonesia hanya mengatur tentang hak dan kewajiban sebagaimana tertuang dalam LOSC. Demikian juga dengan peraturan perundang-undangan lainnya tidak ada yang mengatur tentang kegiatan militer dimaksud. Oleh karena itu ketika ada armada perang negara lain berada dan melakukan aktivitas militer di ZEE Indonesia, akan sangat sulit untuk mengambil langkah-langkah operasional di lapangan. 38 Lihat, R. Xiaofeng & C. Xizhong,’A China Perspective’, 29 Marine Policy (2005), 139-146. 39 Pernyataan Delegasi China pada pertemuan informal membahas kegiatan militer dan pengumpulan data intelejen di ZEE, Bali September 2003, 40 Brazil’s position that other nations “may not carry out military exercises or manoeuvres within the exclusive economic zone, particularly when these activities involve the use of weapons or explosives, without the prior knowledge and consent” of the coastal nation. Lihat, Law of the Sea Official Records, para. 28, at 40 41 Lihat, Law of the Sea Official Records, para. 28, at 40 and U.S. statement in right of reply, 17 Law of the Sea Official Records 244, Annex AS1-2. 60 JURNAL OPINIO JURIS Vol. 12 Januari—April 2013 Kegiatan Militer Asing di ZEE Indonesia Keberadaan militer asing di ZEE Indonesia dapat dalam kondisi yang bermacam-macam, antara lain melakukan provokasi dengan latihan militer, manuver di ZEE Indonesia; melaksanakan surveillance terhadap kapal-kapal ilegal yang akan memasuki wilayahnya; melaksanakan pengawalan terhadap kapal-kapal bendera negaranya; dan melaksanakan SAR. Bentuk keberadaan militer asing di ZEE Indonesia tersebut sepengetahuan Indonesia disebabkan karena ada perjanjian kerja sama ataupun mereka meminta izin/pemberitahuan; akan tetapi keberadaan mereka dapat juga tanpa izin dari Pemerintah Indonesia. Kondisi yang terakhir biasanya disebabkan posisi mereka yang menganggap bahwa ZEE masuk dalam rezim laut bebas. Tentu saja keberadaan militer asing di ZEE Indonesia dapat diartikan bahwa mereka mengganggu perdamaian dan keamanan Indonesia disebabkan ZEE Indonesia berdasarkan doktrin pertahanan Indonesia merupakan medan pertahanan utama Indonesia.42 Selain itu dari aspek ekonomi, dengan keberadaan militer asing di ZEE Indonesia, akan mengakibatkan nelayan Indonesia yang semestinya dapat mengambil ikan ataupun eksplorasi/eksploitasi sumber daya alam di wilayah itu terganggu. Sesuai ketentuan LOSC, tiap–tiap negara pantai mempunyai kewenangan untuk melakukan penindakan terhadap tindak pidana yang 42 Indonesia menganut indepth defence concept, dimana membagi 3 (tiga) wilayah pertahanan yaitu medan pertahanan penyanggah merupakan daerah pertahanan lapis pertama yang berada di luar garis batas ZEE; medan pertahanan utama yaitu daerah pertahanan lapis kedua mulai dari batas terluar laut teritorial sampai ZEE Indonesia; dan medan perlawanan merupakan daerah pertahanan lapis ketiga yang berada pada laut teritorial dan perairan kepulauan dalam menghadapi setiap bentuk ancaman terhadap keselamatan bangsa dan negara. Sumber Doktrin TNI AL Eka Sasana Jaya, Keputusan Kasal Nomor: Kep/07/II/2001, tanggal 23 Februari 2001. 61 JURNAL OPINIO JURIS Vol. 12 Januari—April 2013 terjadi di laut bebas. Tindak pidana itu termasuk dalam kategori “iure gentium” atau kejahatan internasional43 yang meliputi: 1. Pengangkutan budak belian44. 2. Pembajakan/Piracy di laut lepas45. 3. Perdagangan gelap obat narkotika atau bahan–bahan psikotropika46. Kewenangan negara untuk memberantas tindak pidana (kejahatan) internasional dapat dilakukan dengan mekanisme hot pursuit.47 Ketentuan hot pursuit antara lain: 1) Pengejaran seketika suatu kapal asing dapat dilakukan apabila pihak yang berwenang mempunyai alasan yang cukup untuk mengira bahwa kapal tersebut telah melanggar peraturan negara itu.Pengejaran dapat dimulai dimana telah terjadi pelanggaran yaitu perairan pedalaman, perairan kepulauan, laut teritorial, zona tambahan, atau ZEE negara pengejar. Pengejaran dilakukan dengan seketika, terus menerus, dan tidak terputus. 2) Hak pengejaran seketika harus berhenti setelah kapal yang dikejar memasuki laut teritorialnya sendiri atau negara ketiga. 3) Pengejaran hanya dapat dilakukan oleh Kapal Perang, Pesawat Udara Militer, Kapal Negara yang diberi kewenangan untuk itu. Ketentuan dalam LOSC dan hukum internasional lainnya hanya berisi hak hot pursuit yang dapat dilakukan oleh kapal perang, pesawat udara militer dan kapal negara yang diberi kewenangan. Sebagai contohnya, 43 Ada beberapa pendapat bahwa trans national organized crime (TOC) dimasukan dalam kejahatan internasional, bahkan sudah ada Konvensi tersendiri yang mengatur tentang TOC ini. Akan tetapi dalam LOSC hanya dibatasi apa yang dimaksud dengan kejahatan internasional. 44 Pasal 99, LOSC 45 Pasal 100, LOSC 46 Pasal 108, LOSC. 47 Pasal 111 LOSC. 62 JURNAL OPINIO JURIS Vol. 12 Januari—April 2013 Indonesia melalui TNI AL ataupun aparat lainnya diberi kewenangan untuk melakukan pengejaran seketika terhadap semua kapal yang melakukan pelanggaran di perairan pedalaman, perairan kepulauan, laut teritorial, zona tambahan, atau ZEE Indonesia. Akan tetapi sampai saat ini belum ada preseden, aturan ataupun pendapat tentang pelaksanaan hot pursuit oleh kapal perang asing di ZEE Indonesia atau mendekati wilayah Indonesia. Selain itu belum ada prosedur tetap jika ada kapal perang asing yang melakukan hot pursuit dari wilayah negara pengejar dan memasuki ZEE, zona tambahan Indonesia termasuk jika pengejaran dimaksud sampai ke laut teritorial Indonesia. Terkait dengan hal tersebut terdapat beberapa permasalahan, antara lain: pertama, apakah kapal perang negara lain boleh melakukan hot pursuit sampai ke ZEE Indonesia terhadap kejahatan internasional yang terjadi, sedangkan tidak ada kapal perang Indonesia di area itu? Kedua, prosedur apa yang harus dilakukan oleh kapal perang asing jika akan melakukan hot pursuit terhadap kejahatan internasional yang terjadi di ZEE? (pemberitahuan atau izin)? Ketiga, siapa/instansi mana yang mempunyai otoritas untuk menerima pemberitahuan atau memberikan izin terkait dengan pelaksanaan hot pursuit oleh kapal perang asing di wilayah ZEE Indonesia? Dalam hukum internasional dan LOSC, rezim laut bebas berlaku juga di ZEE jika terkait dengan pelayaran.Hal ini disebabkan di laut bebas dan ZEE berlaku freedom of navigation.48 Kewenangan negara pantai (negara kepulauan) atas ZEE nya hanya terkait dengan masalah pemanfaatan, pengelolaan terhadap sumber daya alam dan kewenangan lainnya sebagaimana ditentukan dalam LOSC.49 Ketentuan tentang ZEE dan laut bebas dalam LOSC diatur dalam bab yang terpisah, bukan berarti kedua rezim adalah berbeda satu sama lainnya, akan tetapi ada beberapa hal 48 49 Pasal 58 LOSC. Pasal 56 LOSC. 63 JURNAL OPINIO JURIS Vol. 12 Januari—April 2013 yang saling terkait, sebagai contoh konsep kebebasan pelayaran, kebebasan penerbangan, dan pengelolaan/konservasi lingkungan laut adalah sama pengaturannya. Oleh karena itu dalam beberapa hal pelaksanaan hak dan kewajiban negara di laut bebas dan ZEE cenderung sama khususnya dibidang pelayaran dan penerbangan. Selain itu ketiadaan aturan dalam LOSC khususnya permasalahan operasional kapal mengakibatkan berbagai penafsiran terkait dengan pelaksanaan kebebasan pelayaran dan penerbangan. Ketentuan Pasal 100 LOSC menjelaskan bahwa semua negara harus bekerjasama dalam penindasan pembajakan di laut bebas atau ditempat lain manapun di luar yuridiksi suatu negara. Pasal 110 LOSC berisi tentang hak melakukan pemeriksaan terhadap kapal yang terlibat dalam pembajakan di laut bebas. Dalam LOSC tidak dijelaskan tentang kewenangan memproses hukum atau hukum mana yang akan diterapkan. Akan tetapi dalam hukum internasional tindak pidana pembajakan merupakan “iure gentium” (kejahatan internasional) yang memberikan kewenangan kepada semua negara untuk dapat memproses tindak pidana itu dan menerapkan hukum nasionalnya. Sesuai dengan posisi Indonesia selama ini khususnya tentang statement (pernyataan) bahwa tidak ada piracy (pembajakan) di Selat Malaka50 yang ada hanya armed robbery (perompakan), maka dapat disimpulkan bahwa Indonesia mendefinisikan kejahatan piracy (pembajakan) merupakan tindak pidana yang terjadi di laut bebas (high seas) saja. Hal ini disebabkan bahwa Selat Malaka merupakan wilayah yang terdiri dari laut teritorial, zona tambahan, dan ZEE. Oleh karena itu di ZEE Indonesia tidak ada tindak pidana piracy (pembajakan), yang ada armed robbery (perompakan). Oleh karena itu, hot pursuit terhadap tindak pidana piracy (pembajakan) yang terjadi di ZEE Indonesia oleh kapal 50 Selat Malaka jika dilihat dari aspek zona maritim, maka di sana ada laut teritorial, zona tambahan, dan ZEE. 64 JURNAL OPINIO JURIS Vol. 12 Januari—April 2013 perang, pesawat udara militer dan kapal negara asing tidak dapat dilakukan. Akan tetapi ada pendapat lain yang menyatakan bahwa pembajakan dan perompakan dapat terjadi dimana saja baik di ZEE maupun di laut bebas. Hal ini didasarkan pada kualifikasi tindak pidananya dan bukan didasarkan pada tempat kejadian tindak pidana, sehingga hot pursuit terhadap tindak pidana perompakan maupun pembajakan yang terjadi di ZEE dapat dilakukan. Kapal perang, pesawat udara militer dan kapal negara asing apabila menemukan atau menerima laporan telah terjadinya tindak pidana perompakan atau pembajakan serta kejahatan internasional lainnya di ZEE Indonesia dan tidak ada kapal perang Indonesia di daerah itu, maka mereka dapat melakukan hot pursuit untuk menangkap pelaku kejahatan dimaksud. Akan tetapi prosedur yang mungkin dapat diterapkan yaitu pemberitahuan tentang telah terjadinya tindak pidana internasional dan mereka akan melakukan pengejaran seketika. Pengejaran tersebut harus berhenti ketika akan memasuki laut teritorial Indonesia. Prosedur pemberitahuan ini tidak diatur dalam hukum nasional maupun internasional, akan tetapi hanya terobosan atau penafsiran terhadap permasalahan yang terjadi di lapangan dengan memperhatikan ketentuan hukum nasional dan internasional serta memperhatikan bahwa semua negara harus memberantas tindak pidana piracy. Dalam pendekatan hukum (legal approach) pelaksanaan hot pursuit sampai memasuki wilayah laut negara Indonesia tidak dapat dilakukan karena akan melanggar kedaulatan Negara Indonesia. Selain itu kapal perang asing yang akan memasuki wilayah Indonesia seharusnya meminta izin secara resmi terlebih dahulu kepada pemerintah Indonesia. Apabila pengejaran tetap dilaksanakan tanpa adanya izin dari pemerintah Indonesia maka kapal perang asing (pengejar) sudah melanggar kedaulatan negara Indonesia. Terkait dengan nuansa pemberantasan pembajakan/perompakan kemungkinan dapat dikerjasamakan khususnya terkait dengan 65 JURNAL OPINIO JURIS Vol. 12 Januari—April 2013 permasalah teknis di lapangan. kerja sama ini untuk memberikan batasan-batasan dan sebagai dasar bertindak bagi aparat di lapangan. Sebagai contohnya: apabila dalam rangka pelaksanaan hot pursuit kapal perang, pesawat udara atau kapal negara asing terpaksa memasuki wilayah laut Indonesia dan tidak ada kapal perang di daerah itu, maka diperlukan prosedur perizinan terhadap hal tersebut. Perizinan dapat dilakukan dengan beberapa persyaratan antara lain: maksud dan tujuan memasuki Perairan Indonesia; berapa lama akan berada di Perairan Indonesia; spesifikasi teknis kapal dan pelengkapannya. Selain itu pemberian izin harus mencantumkan batasan-batasan antara lain bahwa kapal perang pengejar harus mematuhi peraturan perundang-undangan Indonesia, kapal yang dikejar termasuk orang dan barang yang ada di atas kapal harus diproses sesuai hukum Indonesia, karena berada di wilayah Indonesia. Selain itu perizinan dimaksud dapat juga dicantumkan dalam suatu perjanjian bilateral yang bersifat reprosikal. Oleh karena itu apabila ada kapal asing yang melakukan hot pursuit sampai memasuki Perairan Indonesia dan berhasil menangkap pelakunya, maka mereka semestinya menyerahkan para pelaku, dan barang bukti kepada aparat Indonesia. Selanjutnya aparat Indonesia akan melakukan proses hukum terhadap para pelaku dan barang bukti kejahatan. Akan tetapi dapat dipastikan bahwa proses penyelesaian tindak pidana ini akan menimbulkan kesulitan tersendiri dalam pembuktian, disebabkan belum tentu adanya kerugian atau tercederai hukum Indonesia akan peristiwa dimaksud. Selain itu proses pembuktian akan menimbulkan kesulitan tersendiri Dalam pemberantasan perompakan dan pembajakan, prosedur pengejaran dapat dikerjasamakan, walaupun ini bukan lagi dalam konteks pelaksanaan hot pursuit. Apabila kapal perang asing dalam melaksanakan pengejaran seketika tidak sampai memasuki wilayah yurisdiksi negara Indonesia, maka kapal pengejar dapat minta bantuan kepada kapal perang Indonesia untuk melanjutkan pengejaran dan penangkapan terhadap pelaku tindak pidana perompakan atau 66 JURNAL OPINIO JURIS Vol. 12 Januari—April 2013 pembajakan. Apabila pelaku tertangkap maka akan diperlakukan dan diproses sesuai dengan hukum Indonesia ataupun diserahkan kepada negara dimana tindak pidana dilakukan. Terkait dengan permasalahan perizinan, di Indonesia belum ada aturan tentang prosedur perizinan untuk kapal perang asing yang akan memasuki wilayah Indonesia dalam rangka hot pursuit. Prosedur yang ada saat ini (Keppres No 16/1971) mengatur kapal perang asing yang berencana akan memasuki/melewati wilayah Indonesia ataupun berkunjung ke Indonesia, dimana harus melengkapi security clearance dan diplomatic clearance, sehingga diperlukan waktu yang cukup untuk pengurusannya. Khusus untuk kapal perang asing melakukan hot pursuit di ZEE Indonesia ataupun pengejaran sampai ke Perairan Indonesia, maka pejabat yang mempunyai otoritas operasional untuk mengizinkan ataupun tidak mengizinkan adalah Panglima TNI. Selanjutnya Panglima TNI dapat mendelegasikan kewenangan dimaksud kepada Panglima Koarmatim/bar sebagai kotama operasi. Pendapat ini merupakan penafsiran tentang kewenangan Panglima TNI yang diatur dalam UU Nomor 3 Tahun 2002 tentang Pertahanan Negara dan UU Nomor 34 Tahun 2004 tentang TNI. Selain itu proses security clearance selanjutnya perlu untuk tetap dilaksanakan. Kesimpulan Berdasarkan uraian tersebut di atas dapat diambil kesimpulan sebagai berikut : a) LOSC tidak mengatur secara jelas kegiatan militer di ZEE. Hal ini mengakibatkan banyak negara mempunyai praktek yang berbedabeda. b) Indonesia belum mempunyai kebijakan baik politik ataupun hukum terkait dengan aktivitas militer asing di ZEE Indonesia. c) Indonesia belum mempunyai prosedur dan tata cara ketika kapal perang asing melakukan hot pursuit memasuki wilayah Indonesia, termasuk tata cara respons, pemberian perizinan, pembatasanpembatasan, serta kebijakan lainnya. 67 JURNAL OPINIO JURIS Vol. 12 Januari—April 2013 PENEGAKAN HUKUM IUU FISHING MENURUT UNCLOS 1982 (STUDI KASUS: VOLGA CASE)1 Usmawadi Amir Abstrak Salah satu permasalahan utama keamanan laut bagi banyak negara di dunia adalah penangkapan ikan illegal, tidak terlaporkan dan tidak diatur ( IUU Fishing) di laut. Penangkapan ikan illegal adalah masalah keamanan yang bersifat non tradisional yang telah menjadi perhatian penting bagi banyak negara karena berdampak besar terhadap lingkungan, sosial dan ekonomi negara pantai. Salah satu kasus yang menarik perhatian adalah kasus Volga. Volga adalah nama kapal berbendera Rusia yang ditahan beserta anak buah kapalnya oleh otoritas Australia karena melakukan IUU Fishing di ZEE Australia pada Februari 2002. Pada Desember 2002, Federasi Rusia mengajukan gugatan terhadap Australia kepada Mahkamah Hukum Laut Internasional (International Tribunal Law of the Sea), berkaitan dengan desakan pembebasan atas kapal dan anak buah kapal yang ditahan, dan jumlah kompensasi yang wajar. Bagi Indonesia, kasus Volga dapat dijadikan rujukan untuk menerapkan penegakan hukum terhadap penangkapan ikan illegal yang sering kali terjadi di perairan Indonesia. Kata kunci: Penangkapan Ikan Ilegal, Kasus Volga, Zona Ekonomi Eksklusif, ITLOS, negara pantai. Abstract One of the major maritime security issue for many countries in the world is Illegal, Unreported and Unregulated Fishing (IUU Fishing) on the sea. IUU Fishing is a non-traditional security issue that have become an important concern for many countries, due to serious impact 1 Artikel ini disampaikan pada Seminar Nasional dengan tema “30 Tahun Konvensi Hukum Laut PBB (UNCLOS) 1982 dan Tantangan Diplomasi Kelautan Indonesia”, Palembang 13 November 2012 kerja sama Ditjen Hukum dan Perjanjian Internasional, Kemlu dengan Fakultas Hukum Universitas Sriwijaya, Palembang. 68 JURNAL OPINIO JURIS Vol. 12 Januari—April 2013 to the environmental, social and economic aspect of the coastal state. One of the cases that attract attention is the the Volga case. Volga is a Russian-flagged vessel which were detained with its crew by Australian authorities for conducting IUU Fishing in Australian Exclusive Economic Zone on February 2002. On December 2002, the Russian Federation filed a lawsuit against Australia to the International Tribunal for the Law of the Sea (ITLOS), regarding the prompt release of the detained vessel and its crew, and decent amount of reasonable bond. For Indonesia, Volga case can be used as a reference in applying the enforcement of law against IUU fishing that occurred oftenly in Indonesian sea. Keywords: IUU Fishing, Volga Case, Exclusive Economic Zone, ITLOS, coastal state. A. Pendahuluan Kasus Volga adalah salah satu kasus di Mahkamah Internasional Hukum Laut (ITLOS) berkenaan dengan pelepasan segera (prompt release) kapal dan awaknya yang ditahan oleh suatu negara.2 Dalam kasus Volga, penggugatnya adalah Federasi Rusia dan Australia sebagai tergugat. Persoalan utama yang disengketakan dalam kasus ini adalah bertalian dengan “uang jaminan yang layak atau keamanan finasial lainnya (reasonable bond and other security)” dalam pengertian Pasal.73 (2) 2 . Kasus jenis ini mendominasi kasus yang masuk ke ITLOS, dari 19 kasus, sejumlah 9 kasus berkenaan dengan pelepasan cepat kapal dan pembayaran jaminan bagi awaknya. Kasus-kasus tersebut adalah: (1) The M/V Saiga case (Saint Vincent and the Grenadines v Guinea, Case No.1; (2) The Camouco case (Panama v France), Case No.5, (3) The Monte Cofuro case (Seychelles v France), Case no.6, (4) The Grand Rince case (Belize v France), Case No.8, (5) The Chaisiri Reefer 2 case (Panama v Yemen), Case o.9, (6) The Volga Case (Russian Federation v Australia), Case no.11, (7) The Juno Trader case (Saint Vincent and Grenadines v Guinea-Bissau), Case no.13, (8) The Hoshimaru Case (Japan v Russian Federation), Case no.14, dan (9) The Tomimaru case (Japan v Russian Federation), Case no.15. Lihat Cases, Contentious Cases, dalam http://www.itlos.org. Diakses tanggal. 25 Oktober 2012. 69 JURNAL OPINIO JURIS Vol. 12 Januari—April 2013 UNCLOS 1982. Kasus ini perlu dibahas, karena dapat memberikan pelajaran berharga bagi negara-negara pantai, termasuk Indonesia dalam menegakan peraturan perundang-undangannya bagi pelaku Illegal, Unreported and Unregulated Fishing (IUU Fishing), khususnya dalam menentukan kelayakan “uang jaminan” dalam proses pelepasan segera kapal dan awaknya yang ditahan. IUU Fishing telah mengancam persediaan ikan di seluruh dunia. Menurut data Food and Agriculture Organisation (FAO), dalam pertengahan tahun 1970-an, proporsi penurunan atau eksploitasi ikan secara berlebihan (overfishing) hanya 10 persen, sekarang sudah meningkat menjadi 25 persen. Illegal fishing sebagai, sebagai bagian dari IUU Fishing, merupakan penyumbang signifikan dalam masalah penurunan persedian ikan ini.3 Setelah rezim negara kepulauan diatur dalam United Nations Convention on the Law of the Sea, 1982 (UNCLOS 1982), Indonesia menjadi negara kepulauan terbesar. Indonesia memiliki luas laut 5,8 juta km2, terdiri dari 3,1 juta km2 luas laut yang tunduk di bawah kedaulatan dan 2,7 km2 wilayah Zona Ekonomi Eksklusif.4 Perairan yang tunduk dibawah kedaulatan Indonesia terdiri dari 0,3 juta km2 laut teritorial dan 2,8 juta km2 perairan kepulauan.5 Menurut data Departemen Kelautan dan Perikanan (DKP) tahun 2006, potensi perikanan Indonesia sebanyak 6,26 juta ton pertahun, dengan rincian sebanyak 4,4 juta ton dapat 3 . Lihat Laurance Blakely., The End of the Viarsa Saga And the Legality of Australia’s Vessel Forfeiture Penalty For Illegal Fishing in Its Exclusive Economic Zone.,, hal. 680. Dalam http://digital.law.washington.edu/…/17PacRimLPoly. Diakses 29 Oktober 2012. 4 . Okilukito’s Weblog, Negara Maritim Tanpa Ocean Policy., dalam http://okilukito. Wordpress.com. diakses 18 Oktober 2012. 5 . Kasijan Romimohtarto, "Pengelolaan Pemanfaatan Kekayaan Hayati dan Nabati di Perairan Indonesia"., Seminar Hukum Nasional Kelima Tahun 1990., BPHN, Jakarta, 1991, hal. 433. 70 JURNAL OPINIO JURIS Vol. 12 Januari—April 2013 ditangkap di perairan Indonesia dan 1,86 juta ton di wilayah Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia. Namun, pada tahun 2007, sisa potensi perikanan tangkap hanya tinggal 20%. Hal ini diduga sebagai akibat dari adanya tindakan IUU Fishing di wilayah perairan Indonesia.6 Di Indonesia IUU Fishing yang dilakukan oleh nelayan dan kapal asing jumlahnya cukup besar, pencurian ikan oleh armada kapal ikan asing dari wilayah laut Indonesia diperkirakan sebesar 1 juta ton/tahun (Rp 30 triliun/tahun). Kapal-kapal tersebut berasal dari Thailand, Vietnam, Malaysia, RRC, Filipina, Taiwan, Korea Selatan, dan lainnya.7 Dalam tulisan ini, yang menjadi fokus kajian adalah terbatas pada masalah-masalah penegakan IUU Fishing menurut UNCLOS 1982, fakta kasus Volga, penetapan oleh ITLOS (Mahkamah) tentang kelayakan uang jaminan”, Beberapa catatan bagi negara pantai berkaitan dengan penetapan ”uang jaminan yang layak” dalam proses pelepasan segera, termasuk bagi Indonesia, dan diakhiri dengan penutup. 6 . Sapto J.Poerwodidagdo, Langgar ZEE, Kapal Asing Dapat Ditangkap, Penanganan IUU Fishing (I).,http://surabayasore.com/index.php?3b1ca0a43b79bdfd9f9305b81298296253e5f73717 ca2dd5b925f307d775c9e0. Diakses 16 Oktober 2012. Lihat juga dalam Akhmad Solihin., Perikanan Indonesia Dalam Kepungan Organisasi Pengelolaan Perikanan regional dan Internasional., http://ikanbijak.wordpress.com/2008/04/21/perikanan-indonesia-dalamkepungan-organisasi. Diakses 25 Oktober 2012. 7 . Rokhmin Dahuri., Anatomi Permasalahan Illegal Fishing dan Solusinya., http://rokhmin-dahuri.info/2012/10/09/anatomi-permasalahan-illegal-fishing-dansolusinya/. Diakses 16 Oktober 2012. 71 JURNAL OPINIO JURIS Vol. 12 Januari—April 2013 B. Penegakan hukum terhadap IUU Fishing dalam UNCLOS 1982 UNCLOS 1982 secara garis besar membedakan wilayah laut menjadi dua kategori wilayah laut dimana negara dapat menegakan hukumnya terhadap IUU Fishing, yaitu wilayah laut yang berada di bawah kedaulatan dan wilayah laut dimana suatu negara memiliki yurisdiksi. Kawasan laut yang tunduk di bawah kedaulatan suatu negara pantai/kepulauan adalah perairan pedalaman dan laut teritorial8 atau perairan kepulauan dan laut teritorial.9 Sedangkan kawasan laut dimana suatu negara pantai/kepulauan memiliki hak berdaulat dan yurisdiksi adalah ZEE dan Landas Kontinen.10 Wilayah ZEE mempunyai status hukum yang sui generis (unik/berbeda). Keunikan tersebut terletak pada eksistensi hak dan kewajiban negara pantai dan negara lain atas ZEE. Berbeda dengan di laut teritorial, dimana negara pantai mempunyai kedaulatan, di ZEE negara pantai hanya mempunyai hak berdaulat. Hak berdaulat tersebut terbatas pada eksplorasi dan eksploitasi sumber daya kelautan baik sumber daya hayati maupun non-hayati. Di dalam UNCLOS 1982 disebutkan hak dan yurisdiksi negara pantai di ZEE meliputi:11 (1) eksplorasi dan eksploitasi sumber daya kelautan (hayati-non hayati); (2) membuat dan memberlakukan peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan eksplorasi dan eksploitasi sumber daya kelautan; (3) pembangunan pulau buatan dan instalasi permanen lainnya; (4) mengadakan penelitian ilmiah kelautan; dan (5) perlindungan 8 . Lihat pasal 2 UNCLOS 1982 . Pasal 2 jo pasal 49 UNCLOS 1982 10 . Ibid., Pasal 77 11 . Ibid., pasal 56 9 72 JURNAL OPINIO JURIS Vol. 12 Januari—April 2013 lingkungan laut. Sedangkan kewajiban negara pantai ZEE meliputi: (1) menghormati eksistensi hak dan kewajiban negara lain atas wilayah ZEE;12 (2) menentukan maximum allowable catch untuk sumber daya hayati dalam hal ini perikanan; 13 dan (3) dalam hal negara pantai tidak mampu memanen keseluruhan allowable catch, memberikan akses kepada negara lain atas surplus allowable catch melalui perjanjian sebelumnya untuk optimalisasi pemanfaatan sumber daya kelautan terutama sumber daya perikanan dengan tujuan konservasi.14 UNCLOS 1982 tidak mengatur tentang IUU Fishing. Wacana tentang illegal fishing muncul bersama-sama dalam kerangka IUU Fishing Practices pada saat diselenggarakannya forum CCAMLR (Commision for Conservation of Atlantic Marine Living Resources) pada 27 Oktober – 7 November 1997.15 IUU fishing dapat dikategorikan dalam tiga kelompok: 16 12 . Ibid., Pasal 58 ayat (3) . Pasal 61 ayat (2) 14 . Ibid., Pasal 62 ayat (3) 15 . Rokhmin Dahuri., Selamatkan Indonesia dari Illegal Fishing., Sumber: Majalah Samudera Mei 2012 Dalam http://rokhmindahuri.info/2012/10/04/selamatkan-indonesiadari-iuu-fishing/. Diakses 17 Oktober 2012. The Convention on the Conservation of Antartic Marine Living Resources, juga The Commission for the Conservation of Antartic Marine Living Resources (CCAMLR) merupakan bagian dari Sistem Traktat Antartika (Antartic Treaty System). Konvensi terbuka untuk ditandatangani 1 Agustus 1980 dan mulai berlaku tanggal 7 April 1982. Tujuannya adalah untuk melestarikan lingkungan dan keutuhan laut di dan dekat Antartika. 16 . Ibid. 13 73 JURNAL OPINIO JURIS Vol. 12 Januari—April 2013 1. Illegal fishing yaitu kegiatan penangkapan ikan secara illegal di perairan wilayah atau ZEE suatu negara, atau tidak memiliki izin dari negara tersebut; 2. Unregulated fishing yaitu kegiatan penangkapan di perairan wilayah atau ZEE suatu negara yang tidak mematuhi aturan yang berlaku di negara tersebut; dan 3. Unreported fishing yaitu kegiatan penangkapan ikan di perairan wilayah atau ZEE suatu negara yang tidak dilaporkan baik operasionalnya maupun data kapal dan hasil tangkapannya. Praktek IUU Fishing terjadi di kawasan laut yang tunduk di bawah kedaulatan dan di ZEE. Dilakukan oleh kapal berbendera negara pantai yang bersangkutan itu sendiri maupun oleh kapal berbendera asing. Walaupun tidak mengatur IUU Fishing, tapi berkaitan dengan penegakan hukum di laut, UNCLOS 1982 mengatur secara umum, baik di kawasan laut yang tunduk di bawah kedaulatan dan ZEE suatu negara. 1. Penegakan hukum di laut yang tunduk di bawah kedaulatan Jika pelanggaran terhadap peraturan perundang-undangan negara pantai terjadi di laut teritorial atau perairan pedalaman atau perairan kepulauan suatu negara, maka sesuai dengan kedaulatan yang diberikan oleh pasal 2 UNCLOS 1982, negara pantai dapat memberlakukan semua peraturan hukumnya bahkan hukum pidananya terhadap kapal tersebut. Asalkan pelanggaran tersebut membawa dampak bagi negara pantai atau menganggu keamanan negara pantai sebagaimana ditentukan dalam pasal 27 (1) UNCLOS 1982. Akan tetapi jika unsur-unsur yang disebutkan dalam Pasal 27 (1) UNCLOS 1982 ini tidak terpenuhi, maka negara pantai tidak dapat menerapkan yurisdiksi pidananya terhadap kapal tersebut. Luasnya kewenangan negara pantai untuk menegakan hukumnya bagi kapal asing yang melakukan pelanggaran hukum di laut teritorial, 74 JURNAL OPINIO JURIS Vol. 12 Januari—April 2013 perairan pedalaman atau perairan kepulauan ini (memenuhi ketentuan pasal 27 ayat 1) adalah perwujudan dari yurisdiksi teritorialitas.17 2. Penegakan hukum di ZEE Pasal 27 (5) UNCLOS 1982 selanjutnya merujuk kepada Bab V tentang ZEE dalam hal pelanggaran terhadap peraturan perundang-undangan negara pantai yang berkaitan dengan eksplorasi dan eksploitasi sumber daya perikanan. aBerbeda jika pelanggaran terjadi di ZEE, terutama pelanggaran terhadap kegiatan eksplorasi, eksploitasi, konsevasi dan pengelolaan sumber daya perikanan. Berkaitan dengan penegakan hukum negara pantai di ZEE, Pasal 73 UNCLOS 1982 mengatur: 1. Negara pantai dapat, dalam melaksanakan hak berdaulatnya untuk melakukan eksplorasi, eksploitasi, konservasi dan pengelolaan sumber daya hayati di zona ekonomi eksklusif mengambil tindakan sedemikian, termasuk menaiki kapal, memeriksa, menangkap dan melakukan proses pengadilan, sebagaimana diperlukan untuk menjamin ditaatinya peraturan perundang-undangan yang ditetapkannya sesuai dengan ketentuan Konvensi ini. 2. Kapal-kapal yang ditangkap dan awaknya harus segera dibebaskan setelah diberikan suatu uang jaminan yang layak atau bentuk jaminan lainnya. 17 . Menurut yurisdiksi teritorial setiap negara memiliki kewenangan hukum eksklusif dalam batas wilayahnya terhadap orang, benda, sesuatu dan peristiwa hukum yang terjadi di sana, termasuk “aktivitas ekstrateritorial” dari orang-orang tersebut. Lebih lanjut lihat Imre Anthony Csabafi., The Concept of State Jurisdiction in International Space Law.,Martinus Nijhoff, The Hague, 1971, hal. 51 75 JURNAL OPINIO JURIS Vol. 12 Januari—April 2013 3. Hukuman negara pantai yang dijatuhkan terhadap pelanggaran peraturan perundang-undangan perikanan di zona ekonomi eksklusif tidak boleh mencakup pengurungan, jika tidak ada perjanjian sebaliknya antara negara-negara yang bersangkutan, atau setiap bentuk hukuman badan lainnya. 4. Dalam hal penangkapan atau penahanan kapal asing negara pantai harus segera memberitahu kepada negara bendera, melalui saluran yang tepat, mengenai tindakan yang diambil dan mengenai setiap hukuman yang kemudian dijatuhkan. Jadi berdasarkan ketentuan pasal 73 UNCLOS 1982, jika kapal asing tidak mematuhi peraturan perundang-undangan perikanan negara pantai di ZEE, negara pantai dapat menaiki, memeriksa, menangkap dan melakukan proses pengadilan atas kapal tersebut dan memberitahu negara bendera kapal. Akan tetapi kapal dan awak kapal yang ditangkap tersebut harus segera dilepaskan dengan reasonable bond (uang jaminan yang layak) yang diberikan kepada negara pantai. Hukuman terhadap kapal asing tersebut juga tidak boleh dalam bentuk hukuman badan yaitu penjara. Dengan demikian bentuk hukuman bagi kapal dan awaknya berbeda jika terjadi di kawasan laut yang tunduk di bawah kedaulatan dengan di ZEE. Kewenangan negara pantai terhadap pelanggaran di ZEE terbatas hanya untuk menegakan hukum yang bertalian dengan perikananan. Perbedaan ini dikarenakan di ZEE, negara pantai hanya mempunyai hak berdaulat (sovereign rights), bukan kedaulatan, sehingga terbatas pada hal-hal yang terkait dengan hak berdaulat yang dimiliki oleh negara pantai atau negara kepulauan. Ketentuan pasal 73 (2) mewajibkan negara pantai untuk segera melepaskan kapal yang ditangkap dan awaknya setelah diberikan suatu uang jaminan yang layak atau bentuk jaminan lainnya. Prosedur 76 JURNAL OPINIO JURIS Vol. 12 Januari—April 2013 pelepasan segera diatur dalam Pasal 292. Prosedur pelepasan segera kapal dan awaknya yang ditahan adalah sebuah inovasi dalam hukum laut internasional.18 Akan tetapi, meskipun Pasal 292 ayat (1) mensyaratkan bahwa uang jaminan atau jaminan keuangan lainnya harus “masuk akal/layak (reasonable)”, namun UNCLOS 1982 justru tidak memberikan rincian tentang jaminan keuangan tersebut. Sehingga dalam kasus Volga salah satu masalah hukum yang timbul adalah mengenai jumlah uang jaminan untuk pelepasan kapal Volga.19 C. Kasus Volga Volga adalah kapal ikan yang mengibarkan bendera Federasi Rusia. Pemiliknya adalah Olbers Co. Limited, suatu perusahaan yang berkedudukan di Rusia dengan nakhoda Alexander Vasilkov, warga negara Russia. Pada 7 Februari 2002, Volga dinaiki oleh anggota militer Australia dari “Australian military helicopter from the Royal Australian Navy frigate HMAS Canberra”. Pada saat dinaiki, Volga berada pada posisi sekitar 51°35S, 78°47E, yang terletak di luar batas ZEE Australia di kawasan Pulau Heard dan McDonald. Pada yang sama, nakhodanya ditahan oleh HMAS Canberra.20 18 . Jianjun GAO, Reasonableness of the Bond under Article 292 of the LOS Convention: Practice of the ITLOS., dalam http://chinesejil.oxfordjournals.org/content/7/1/115.full.pdf+html. Diakses 28 Oktober 2012. 19 . Michael White & Stephen Knight, ITLOS and the ‘Volga’Case: The Russian Federation v Australia., ha. 39. Dalam maritimejournal.murdoch. edu.au/ archive/vol_17/ Vol_17_2003White& Knight.pdf. Diakses 18 Oktober 2012. 20 . Lihat dalam Cases, Contentious Cases, Judgment., http://www.itlos.org. Alinea 30,32 dan 34, Diakses tanggal. 25 Oktober 2012. Ibid, Alinea 32 dan 34. 77 JURNAL OPINIO JURIS Vol. 12 Januari—April 2013 Pada tanggal 19 Februari 2002, dilakukan penahanan dan Volga dikawal ke pelabuhan Frementle, Australia Barat. Pada tanggal yang sama, nakhoda dan awaknya juga ditahan berdasarkan the Fisheries Management Act 1991. Pada 20 Februari 2002, disampaikan pemberitahuan penyitaan kepada nakhoda, terhadap kapal Volga (termasuk semua jaring, jebakan dan peralatan-peralatan serta hasil tangkapan).21 Pada 27 Februari 2002 dibuat laporan penilaian, yang disiapkan untuk tujuan jaminan bahwa Volga bernilai US$ 1 juta, dan bahan bakar, pelumas serta peralatan bernilai AU$ 147,460. Pada waktu ditangkap di atas Volga ditemukan hasil tangkapan sebanyak 131.422 ton ikan patagonian toothfish (dissostichus eleginoides) dan 21.494 ton umpan yang dilelang pada tanggal 20 Mei 2002 senilai AU$ 1,932,579.28.22 Pada 6 Maret 2002, tiga anggota awak kapal (the chief mate, the fishing master and the fishing pilot), semua berkewarganegaraan Spanyol, dituntut telah menggunakan kapal ikan asing di Zona Perikanan Australia (AFZ) untuk tujuan komersial tanpa surat izin bagi kapal asing. Ketiganya, menerima untuk membayar uang jaminan masing-masing sejumlah AU$ 75,000 tunai, menyerahkan semua paspor dan seaman’s papers, dan tinggal di tempat yang ditetapkan oleh the Supervising Fisheries Officer with the Australian Fisheries Management Authority (AFMA). Pemilik Volga mendepositkan pembayaran sejumlah AU$ 225,000 di pengadilan bagi ketiga anggota awak pada atau sekitar 23 Maret 2002. Sebelumnya, pada 16 Maret 2002, nakhoda Volga meninggal di rumah sakit Australia. Dia tidak didakwa melakukan suatu kejahatan sampai dia meninggal.23 Pada 30 Mei 2002, tiga anggota awak kapal mendapat berbagai variasi persyaratan uang jaminan yang memungkinkan mereka kembali ke Spanyol. Kemudian pada 14 Juni 2002, the Supreme Court of Western 21 . Ibid., Alinea 35-36 . Ibid., Alinea 37 dan 51 23 . Ibid., Alinea 38, 41 dan 42 22 78 JURNAL OPINIO JURIS Vol. 12 Januari—April 2013 Australia (Wheeler J), atas banding oleh the Commonwealth Director of Public Prosecutions, memutuskan jaminan bervariasi yang dikeluarkan pada 30 Mei 2002, supaya diwajibkan, sebagai pengganti AU$ 75,000, yang ada dengan jumlah simpanan sebesar AU$ 275,000.24 Pada waktu tribunal (ITLOS) mulai memeriksa kasus ini, pada tanggal 16 Desember 2002, the Full Court of the Supreme Court of Western Australia telah menguatkan banding atas ketiga anggota awak Volga menurut keputusan Wheeler J (Hakim Wheeler). The Full Court memerintahkan bahwa tiga anggota awak diizinkan meninggalkan Australia dan kembali ke Spanyol, dimana masing-masing dikenakan uang jaminan yang harus mereka didepositkan secara tunai untuk: MANUEL PEREZ LIJO sebesar AU$ 95,000.00 serta JOSE MANUEL LOJO EIROA dan JUAN MANUEL GONZALEZ FOLGAR masing-masing sebesar AU$ 75,000.00.25 Pemilik Volga mengajukan permohonan ke “the Federal Court of Australia” untuk menghentikan penyitaan kapal. Sebagai jawaban atas permintaan pemilik bagi pelepasan kapal sambil menunggu tindakan hukum, Pejabat Australia menetapkan uang jaminan sejumlah AU$ 3,320,500.00 untuk pelepasan Volga, yang terdiri dari:26 1. suatu jaminan mencakup nilai kapal, bahan bakar, pelumas dan peralatan penangkap ikan (AU$ 1,920,000); 2. Jumlah (AU$ 412.500) untuk mengamankan pembayaran denda potensial dikenakan dalam proses pidana yang masih tertunda terhadap awak kapal; 24 . Ibid., Alinea 43 dan 44 . Ibid, Alinea 46 26 . Lihat The Volga Case (Russian Federatian v Australia) Prompt Release (Written proceedings), Statement in Reponse of Australia, 7 Desember 2002. Alinea 72. Dalam http://www.itlos.org. 24 Oktober 2012. 25 79 JURNAL OPINIO JURIS Vol. 12 Januari—April 2013 3. Jaminan (AU$ 1.000.000) terkait dengan pelaksanaan operasional dari VMS dan tindakan pentaatan upaya konservasi oleh CCAMLR. Sesuai dengan ketentuan Pasal 292 UNCLOS 1982 Federasi Rusia memasukan gugatan (permohonan) terhadap Australia ke ITLOS yang meminta pelepasan kapal Volga dan tiga awaknya pada tanggal 2 Desember 2002.27 Dalam permohonan dari Federasi Rusia dan dalam Pernyataan Tanggapan dari Australia, pihak-pihak mengajukan hal-hal sebagai berikut:28 a. Atas nama Federasi Rusia: Memohon kepada ITLOS (“Mahkamah”) untuk menyatakan dan memutuskan sebagai berikut: 1. Menyatakan bahwa Mahkamah mempunyai yurisdiksi sesuai pasal 292 UNCLOS 1982 untuk memeriksa permohonan; 2. Menyatakan bahwa permohonan dapat diterima; 3. Menyatakan bahwa responden (tergugat) melanggar Pasal 73(2) UNCLOS dalam hal responden menetapkan persyaratan pelepasan kapal Volga dan tiga awaknya adalah tidak dibenarkan menurut Pasal 73(2) atau tidak patut dalam pengertian pasal 73(2); 4. Memutuskan bahwa responden melepaskan Volga dan nakhoda serta awaknya, jika suatu jaminan atau keamanan yang dibebankan kepada pemilik dalam suatu jumlah yang tidak melebihi AU$ 500,000 atau dalam jumlah serupa yang lain dalam semua keadaan yang patut menurut pertimbangan Mahkamah; 5. Memutuskan bentuk jaminan atau keamanan seperti dimaksud angka 4 (d); dan 27 . Contentious Cases, Judgment. Alinea 1. . Alinea 28 dari Contentious Cases, Judgment. Lihat juga dalam Application Submitted of the Russian Federation, The Volga-Application For Release of Vessel and Crew, Chapter 1: Introduction, Alinea 1, Chapter 5: 28 80 JURNAL OPINIO JURIS Vol. 12 Januari—April 2013 6. Memutuskan bahwa responden (tergugat) membayar biaya kepada pemohon (penggugat) berkenaan dengan permohonan. b. Atas nama Australia, dalam Pernyataan Tanggapan:29 Australia meminta agar Mahkamah untuk membuat keputusan sebagaimana diminta dalam Memorial Federasi Rusia. Termohon meminta Mahkamah untuk memutuskan: 1. bahwa besar dan persyaratan yang ditetapkan oleh Australia untuk melepaskan kapal Volga dan awaknya adalah patut/layak (reasonable); dan 2. bahwa masing-masing pihak memikul biaya pengadilan sendirisendiri. Pemeriksaan di muka Mahkamah diadakan pada 12-13 Desember, dan tanggal 23 Desember 2003, ITLOS menyampaikan keputusanya, berkaitan dengan kelayakan uang jaminan atau keamanan lainnya sebagai berikut:30 1. Dengan 19 : 2 suara, memutuskan bahwa Australia harus segera melepaskan Volga setelah ada uang jaminan atau jaminan lainnya lain yang akan ditentukan oleh Mahkamah; 2. Dengan 19 : 2 suara, menentukan bahwa uang jaminan atau keamanan lainnya sejumlah AU$ 1.920.000, harus disimpan (diposting) kepada Australia; dan 29 . Statement in Reponse of Australia, 7 Desember 2002. Chapter 1:Introduction, Alinea 1 dan Chapter 7: Orders, alinea 1. Dalam http://www.itlos.org. 24 Oktober 2012 30 . The "Volga" Case (Russian Federation v. Australia), Prompt Release, Judgment, Alinea 95. Dalam www.itlos.org/index.php?id=103. Diakses tanggal 30 Oktober 2012. Keputusan Mahkamah (ITLOS) ini ada tujuh point. Disini hanya ditampilkan keputusan dalam angka 4-6. 81 JURNAL OPINIO JURIS 3. Vol. 12 Januari—April 2013 Suara bulat, menentukan bahwa uang jaminan harus dalam bentuk bank garansi dari bank yang ada di Australia atau memiliki perjanjian dengan bank Australia atau dalam bentuk lain, jika disepakati oleh para pihak. D. Kelayakan uang jaminan dalam Kasus Volga. Pokok sengketa dalam kasus Volga adalah apakah persyaratan yang ditetapkan oleh Australia untuk pelepasan segera kapal yang ditahannya melanggar kewajibannya berdasarkan pasal 73 (1) setelah adanya uang jaminan yang layak atau jaminan lainnya. Atau dengan kata lain yang disengketakan adalah kelayakan uang jaminan yang ditetapkan oleh Australia. Seperti disebutkan di atas, uang jaminan yang ditetapkan oleh Otoritas Australia (AFMA) adalah sebesar AU$ 3,332,500, terdiri dari:31 1. Jaminan mencakup nilai kapal, bahan bakar, pelumas dan peralatan penangkap ikan (AU$ 1,920,000); 2. Sejumlah (AU$ 412.500) untuk mengamankan pembayaran denda potensial dikenakan dalam proses pidana yang masih tertunda terhadap anggota awak; dan 3. Jaminan (a security) (AU$ 1.000.000) terkait dengan pelaksanaan operasional sistem pemantau kapal (VMS) dan tindakan pentaatan upaya konservasi oleh CCAMLR. Dalam pandangan Mahkamah, jaminan sejumlah AU$ 1,920,000 yang diminta untuk melepaskan kapal, yang mencerminkan nilai kapal, bahan bakar, pelumas dan peralatan penangkap ikan serta tidak disengketakan para pihak, adalah layak (reasonable) dalam pengertian pasal 292 Konvensi.32 31 32 . Supra catatan No. 13, alinea 72 . Alinea 73 82 JURNAL OPINIO JURIS Vol. 12 Januari—April 2013 Berhubungan dengan komponen kedua (sejumlah AU$ 412.500), Mahkamah menganggap setelah kepergian mereka dari Australia, menetapkan jaminan bagi mereka tidak disajikan untuk tujuan praktis.33 Mahkamah tidak perlu mempertimbangkannya, dalam keadaan saat ini, untuk menangani masalah-masalah yang diangkat oleh Federasi Rusia. 34 Selanjutnya, mengenai komponen ketiga. Dalam menafsirkan ungkapan "jaminan atau keamanan lain" yang diatur dalam pasal 73 (2) Konvensi, Mahkamah berpendapat bahwa ungkapan ini harus dilihat dalam konteks dan kejelasan dari objek dan tujuannya. Konteks yang relevan termasuk ketentuan Konvensi mengenai pelepasan segera dari kapal dan kru setelah penyerahan jaminan atau keamanan. Ketentuan dimaksud adalah: Pasal 292, Pasal 220 (7), dan Pasal 226 (1b). Pasal-pasal ini menggunakan ekspresi "uang jaminan atau jaminan keuangan lainnya" dan "penjaminan atau keamanan finansial yang tepat lainnya". Dilihat dalam konteks ini, istilah "uang jaminan atau jaminan keuangan lainnya" dalam Pasal 73 (2), dalam pandangan Mahkamah, harus diinterpretasikan sebagai mengacu pada suatu uang jaminan atau jaminan lain yang bersifat keuangan. Mahkamah juga mengamati, dalam konteks ini, yang mana Konvensi mengatur pengenaan syarat-syarat tambahan untuk suatu jaminan atau jaminan keuangan lainnya, secara jelas menyatakan begitu. Mengikuti pandangan di atas bahwa persyaratan non-finasial tidak dapat dianggap komponen dari uang jaminan atau jaminan keuangan lainnya untuk tujuan menerapkan Pasal 292 sehubungan dengan dugaan pelanggaran Pasal 73 (2). Maksud dan tujuan dari Pasal 73 (2) dibaca bersama dengan pasal 292 adalah untuk memberikan suatu mekanisme bagi negera bendera untuk memperoleh pembebasan cepat dari kapal dan awak yang ditangkap karena dugaan 33 34 . Supra Catatan No.15, alinea 46 . Alinea 74 83 JURNAL OPINIO JURIS Vol. 12 Januari—April 2013 pelanggaran perikanan dengan pembebanan keamanan/jaminan yang tidak layak (unreasonebleness) dapat dinilai dalam pengertian finansial. Dimasukkannya tambahan persyaratan non-finansial seperti keamanan tersebut akan menggagalkan maksud dan tujuan ini.35 Mahkamah, dalam kerangka pemeriksaan menurut Pasal 292, tidak dapat menentukan sikap tentang apakah syarat kerugian (pembebanan) seperti yang tertugat maksudkan sebagai suatu “jaminan berprilaku baik/good behaviour bond" adalah pelaksanaan sah dari hak berdaulat negara pantai di ZEEnya. Titik (the point) yang harus ditentukan adalah apakah "jaminan berperilaku baik" adalah jaminan atau keamanan dalam pengertian dalam Pasal 73 (2) dan Pasal 292. Mahkamah mencatat bahwa Pasal 73 (2) mengenai jaminan atau keamanan untuk melepaskan sebuah kapal “yang ditahan” yang diduga keras melanggar hukum dari negara penahan. Rumusan Pasal 73 secara keseluruhan mengindikasikan adanya pertimbangkan atas upaya penegakan bertalian dengan pelanggaran hukum dan peraturan negara pantai yang diduga keras telah dilakukan. Dalam pandangan Mahkamah, suatu “good behaviour bond (jaminan berprilaku baik)” guna mencegah pelanggaran hukum negara pantai pada masa mendatang tidak dapat dipertimbangan sebagai suatu jaminan atau keamanan dalam pengertian Pasal 73 (2), yang dibaca bersama dengan Pasal 292.36 Berdasarkan pertimbangan di atas dan dengan memperhatikan semua keadaan dalam sengketa ini, Mahkamah menganggap bahwa jaminan seperti yang diminta oleh Australia tidak layak (not reasonable) dalam 35 36 . Alinea 77 . Alinea 79-80 84 JURNAL OPINIO JURIS Vol. 12 Januari—April 2013 pengertian Pasal 292 Konvensi.37 Berdasarkan pemikiran di atas, Mahkamah menemukan bahwa permohonan (gugatan) berkenaan dengan dugaan ketidak-sesuaian (non-compliance) dengan Pasal 73 (2) adalah well-founded (dapat dibenarkan dengan tepat) untuk maksud dari pemeriksaan ini dan maka dari itu, Australia harus segera melepaskan Volga setelah menempatkan suatu jaminan atau jaminan keuangan lainnya yang akan ditentukan oleh Mahkamah.38 Atas dasar pertimbangan tersebut di atas, Mahkamah berpandangan bahwa jaminan untuk melepaskan Volga, bahan bakar, pelumas dan peralatan memancing harus dalam jumlah AU $ 1.920.000.39 Pandangan Mahkamah tentang kelayakan uang jaminan sebesar nilai kapal, bahan bakar, pelumas dan peralatan penangkap ikan ini, tercermin dalam putusan Mahkamah (ITLOS).40 E. Beberapa Catatan. Berhubungan dengan keputusan Mahkamah (ITLOS) dalam kasus ini ada beberapa hal yang dapat dikemukakan oleh penulis: 1. Dalam menetapkan kelayakan uang jaminan atau keamanan lainnya, hanya komponen pertama yang layak (reasonable) menurut ITLOS, yaitu jaminan yang nilainya sama dengan nilai kapal, bahan bakar, pelumas dan peralatan penangkap ikan.41 Sedangkan komponen kedua dan ketiga merupakan komponen yang tidak layak (unreasonable). Di lapangan, termasuk dalam kasus ini, ITLOS telah 37 . Ibid, alinea 88 . Alinea 89 39 . Alinea 90. 40 . Supra catatan 16. 41 . Dalam kasus Volga adalah permohonan pertama dimuka Mahkamah (ITLOS) yang nilai kapal yang bersangkutan disetujui oleh pihak-pihak. Op.Cit., Michael White & Stephen Knight., hal.46. 38 85 JURNAL OPINIO JURIS Vol. 12 Januari—April 2013 menemukan komponen-komponen yang tidak layak (unreasonable), meliputi:42 a. Nilai kapal yang ditahan telah dinilai (dievaluasi) terlalu tinggi oleh pengadilan Negara penahan, seperti dalam kasus “Camauco” dan “Monte Confuro”; b. Nilai kapal yang ditahan tidak boleh dimasukan dalam perlindungan uang jaminan, seperti dalam kasus “Hoshimaru”; c. Denda untuk nakhoda atau pemilik kapal yang ditahan telah dinilai terlalu tinggi, seperti dalam kasus “Monte Confurco” dan “Hoshimaru”; dan d. Yang disebut jaminan berlaku baik (good behaviour bond) seperti dalam kasus Volga. Jadi seperti terlihat dalam pertimbangan Mahkamah,43 maka komponen kedua dan ketiga merupakan komponen yang tidak layak (unreasonable) menurut pengertian pasal 73 (2). Hal ini dapat dimaklumi, menurut Oman and Bantz bahwa fungsi “jaminan” dalam konteks tertentu cukup menyeimbangkan antara hak untuk meminta pelepasan dengan hak untuk mengadili dan menghukum.44 2. Dalam kasus ini yang disengketakan oleh Federasi Rusia hanya “kelayakan uang jaminan” untuk pelepasan kapal Volga, dan tidak mempersoalkan ‘kelayakan uang jaminan’ terhadap ketiga awaknya. Hal ini dapat dimaklumi mengingat ketiga awak tersebut berkewarganegaraan Spanyol, sedangkan awak kapal yang berkewarganegaraan Federasi Rusia hanyalah nakhoda kapal yang telah meninggal dunia sebelum proses pengadilan dilakukan oleh 42 . Op.Cit., Jianjun GAO . Supra Catatan No.35, alinea 88 44 . Dalam Op.Cit., Jianjun GAO 43 86 JURNAL OPINIO JURIS Vol. 12 Januari—April 2013 Australia.45 Dalam hukum internasional, memang tidak ada kewajiban dari suatu negara untuk melindungi warganegara asing di negara lain. Suatu negara hanya berkewajiban melindungi warganegaranya baik di negaranya sendiri maupun di negara lain.46 Selain itu, penyebabnya adalah (kemungkinan) karena pada saat kasus ini diajukan ke ITLOS, proses pengadilan terhadap ketiga awak tersebut sedang berlangsung. Federasi Rusia dalam hal ini nampaknya tidak mau dianggap sebagai negara “yang tidak menghormati proses pengadilan negara lain” atau dengan kata lain, dianggap melanggar prinsip “non intervensi”. 3. Penetapan jumlah uang jaminan bagi pelepasan awak kapal ditetapkan melalui Pengadilan Australia berdasarkan ketentuan dari Fisheries Management Act 1991.47 Sedangkan uang jaminan bagi pelepasan kapal Volga dilakukan oleh Australian Fisheries Management Authority (AFMA).48 Hal ini kiranya dapat dijadikan pelajaran berharga bagi Indonesia dalam menentukan tindakan terhadap kapal asing dan awaknya yang melakukan IUU Fishing di ZEE Indonesia. Pengadilan yang berwenang pengadili kapal asing sesuai dengan UU No. 31/2004 dan UU No.45/2009, antara lain berkaitan dengan: 45 . Supra Catatan No.22, Alinea 42. . Starke., Introduction to International Law., Penerjemah Bambang Iriana Djajaatmadja., Pengantar Hukum Internasional. Edisi Kesepuluh 2, Sinar Grafika, Jakarta, cet. Kelima, 2004, hal.459-460. 47 . Statement in Response of Australia, Alinea 61-73 48 . Ibid, Alinea 54, lihat juga The Volga Case, Judgment, para 74 46 87 JURNAL OPINIO JURIS Vol. 12 Januari—April 2013 a. Penggunaan bahan kimia, biologis, peledak, alat/bangunan yang dapat membahayakan kelestarian sumberdaya ikan dan/lingkungan (Psl.84 UU No.31/2004); b. Melakukan pencemaran dan/atau kerusakan sumberdaya ikan dan/ lingkungannya (Psl.86 UU No.31/2004); c. Membawah peralatan penangkap ikan yang mengganggu dan merusak kelangsungan sumberdaya ikan (Psl. 85 UU No.45/2009); d. Tidak memliki SIPI dan tidak membawah SIPI asli (Psl.93 ayat 2 dan 4 UU No.45/2009); e. Memalsukan SIUP, SIPI dan SIKPI (Psl. 94A UU No.45/2009); f. Nakhoda yang tidak memiliki izin berlayar (Psl.98 UU No.45/2009). Kementerian Kelautan dan Perikanan (DKP) yang berwenang menentu-kan “uang jaminan” jika pemilik kapal mengajukan permohonan pelepasan terhadap kapal miliknya. 4. Keputusan ITLOS dalam kasus ini terbatas dengan “proses pelepasan segera” menurut Pasal 292, oleh karena itu ITLOS tidak dapat mempertimbangkan masalah umum dari IUU Fishing. Sehingga dalam kasus ini ITLOS seakan “mengabaikan” pendirian Australia atas komponen ketiga yang digambarkan sebagai “good behaviour bond”, yakni jaminan agar tindakan serupa tidak dilakukan pada masa yang akan datang. Australia menyatakan dalam tanggapannya bahwa penipisan stok patagonian tootfish di Samudera Bagian Selatan merupakan masalah yang serius dan keprihatinan internasional.49 ITLOS menanggapi hal ini ‘memahami keprihatinan internasional tentang IUU Fishing dan menghargai tujuan di balik kebijakan yang diambil oleh negara-negara untuk menangani masalah ini.50 49 . the ‘Volga Case’, Alinea 67 dan lihat juga Chapter 3,IX: International concern, alinea 42-47 dar Statemen in Response of Australia, 7 Desember 2002. 50 . Ibid., Alinea 68 88 JURNAL OPINIO JURIS Vol. 12 Januari—April 2013 Prosedur pelepasan segera kapal dan awaknya yang ditahan adalah sebuah inovasi dalam hukum laut internasional.51 Pasal 292 UNCLOS dirancang untuk membebaskan kapal dan awaknya dari penahanan berkepanjangan akibat pengenaan uang jaminan yang tidak masuk akal dari pengadilan (yurisdiksi) nasional, atau kegagalan hukum nasional dalam menetapkan kelayakan jaminan untuk pelepasan, sehingga menghindari kerugian yang mungkin timbul bagi pemilik kapal dan orang-orang yang tersangkut dengan penahanan tersebut. Di lain pihak, hanya setelah penitipan jaminan yang layak atau jaminan finansial lainnya yang ditetapkan oleh pengadilan atau mahkamah yang ditunjuk dalam Pasal 292, pejabat dari Negara penahan harus melepaskan kapal dan awaknya yang ditahan, ITLOS hanya berurusan dengan masalah pelepasan, tanpa mengurangi manfaat kasus di forum domestik terhadap kapal, pemilik atau awaknya.52 Oleh karena itu, Pasal 292 mendamaikan kepentingan Negara bendera untuk memiliki kapal dan awaknya dibebaskan segera dengan kepentingan Negara penahan untuk menjaga pentaatan terhadap hukum dan perundang-undangan serta “memadukan keseimbangan yang adil antara dua kepentingan.”53 Kemudian dalam “proses pelepasan segera” di ITLOS selalu ada kecenderungan bagi penggugat (pemohon) untuk 51 . Op.Cit., Jianjun GAO. . Ibid. 53 . Lihat the “Monte Confurco” Case (Seychelles v France), Request for Prompt Reseale, Judgment of 18 December 2000, Alinea 70-71. www.itlos.org/index.php?id=103. Diakses tanggal 30 Oktober 2012. Juga dalam Alinea 36 the “Volga Case”, Judgement of 23 Desember 2002. 52 89 JURNAL OPINIO JURIS Vol. 12 Januari—April 2013 menyengketakan bahwa jaminan atau jaminan lainnya oleh negara penahan ditetapkan terlalu tinggi.54 E. Penutup Berdasarkan uraian di atas, mengakhiri tulisan ini dapat disimpulkan sebagai berikut: 1. Penegakan IUU Fishing suatu negara pantai menurut UNCLOS 1982, mencakup penegakan IUU Fishing di kawasan laut yang tunduk di bawah kedaulatan negara pantai dan kawasan laut dimana negara pantai memiliki hak berdaulat atau di ZEE. 2. ITLOS menetapkan jumlah uang jaminan yang layak (reasonable bond) dalam Volga Case tidak jauh berbeda dengan (mempertimbangkan) nilai kapal, bahan bakar, pelumas dan peralatan penangkap ikan yang ada di atas kapal. Jadi ITLOS hanya mengabulkan komponen pertama dari tiga komponen “uang jaminan “yang ditetapkan Australia. 3. Bagi Indonesia untuk menghukum pelaku IUU Fishing harus dilihat tempat terjadinya tindakan tersebut. Jika di ZEE (atau bahkan di laut teritorial) sebaiknya dikenakan hukuman denda, sebab hukuman badan (penjara), disamping tidak dianjurkan oleh UNCLOS 1982 juga akan merugikan Indonesia, karena harus menanggung biaya hidup pelaku. Sebaliknya, hukuman berupa reasonable bond dapat meminimalisir kerugian Indonesia akibat IUU Fishing; dan 4. Negara pantai berpeluang untuk mendapatkan reasonable bond dari kapal asing yang melanggar peraturan perundang-undangan perikanannya, akan tetapi negara tersebut harus hati-hati. Penetapan jumlah jaminan haruslah secara layak dengan tidak menilai harga kapal yang ditahan terlalu tinggi, memasukan nilai kapal dalam 54 . Op.Cit., Jianjun GAO. 90 JURNAL OPINIO JURIS Vol. 12 Januari—April 2013 jaminan, denda bagi nakhoda atau pemilik kapal terlalu tinggi, dan memasukan komponen yang tidak bersifat finansial. Daftar Pustaka Akhmad Solihin, Perikanan Indonesia Dalam Kepungan Organisasi Pengelolaan Perikanan regional dan Internasional., http://ikanbijak.wordpress.com/ 2008/04/21/perikanan-indonesia-dalam-kepungan-organisasi. Diakses 25 Oktober 2012. Anthony Csabafi, Imre, The Concept of State Jurisdiction in International Space Law.,Martinus Nijhoff, The Hague, 1971 Blakely,Laurance, The End of the Viarsa Saga And the Legality of Australia’s Vessel Forfeiture Penalty For Illegal Fishing in Its Exclusive Economic Zone.,hal. 680. Dalam http://digital.law.washington.edu/…/17 PacRimLPoly. Diakses 29 Oktober 2012. Donald R, Rothwell, Multilateralism and International Ocean-Resources Law: Chapter 9. The “Volga” Case (Russian Federation v Australia): Prompt Release and the Right and Interest of Flag and Coastal States. Dalam http://escholarship.org/uc/item/4w9953kp#page-3. Diakses 30 Oktobber 2012. Gullett,Warwick, Prompt release procedures and the challenge for ficheries law enforcement: the judgement of the international tribunal for the law of the sea in the ‘Volga’ case (Russian Federation v Australia). Dalam http://www.ro.uow.au/cgi/viewcontent.egi?.article. Diakses 17 Oktober 2012. ITLOS., Cases, Contentious Cases, dalam http://www.itlos.org. Diakses tanggal. 25 Oktober 2012. Jianjun GAO, Reasonableness of the Bond under Article 292 of the LOS Convention: Practice of the ITLOS., dalam http://chinesejil.oxfordjournals.org/content/7/1/115.full.pdf+html. Diakses 28 Oktober 2012. Kasijan Romimohtarto, "Pengelolaan Pemanfaatan Kekayaan Hayati dan Nabati di Perairan Indonesia"., Seminar Hukum Nasional Kelima Tahun 1990., BPHN, Jakarta, 1991 Md. Saiful Karim, Conflicts over Protection of Marine Living Resources: The ‘Volga Case’ Revisited. (GoJIL 3 (2011),1,101-127. Dalam mq.academia.edu/…/Conflict_over_Protectio… Diakses 17 Oktober 2012. Okilukito’s Weblog, Negara Maritim Tanpa Ocean Policy., dalam http://okilukito. Wordpress.com. diakses 18 Oktober 2012. Rokhmin Dahuri, Anatomi Permasalahan Illegal Fishing dan Solusinya., http://rokhmindahuri.info/2012/10/09/anatomi-permasalahan-illegal-fishing-dan-solusinya/. Diakses 16 Oktober 2012. 91 JURNAL OPINIO JURIS Vol. 12 Januari—April 2013 Selamatkan Indonesia dari Illegal Fishing., Sumber: Majalah Samudera Mei 2012 Dalam http://rokhmindahuri.info/2012/10/04/selamatkan-indonesia-dari-iuu-fishing/. Diakses 17 Oktober 2012. Sapto J.Poerwodidagdo, Langgar ZEE, Kapal Asing Dapat Ditangka, Penanganan IUU Fishing (I).,http://surabayasore.com/index. php?3b1ca0a43b79bdfd9f9305b81298296253e5f73717ca2dd5b925f307d775c9e0. Diakses 16 Oktober 2012. White, Michael & Knight, Stephen, ITLOS ad the ‘Volga’Case: The Russian Federatian v Australia., ha. 39. Dalam maritimejournal.murdoch. edu.au/ archive/vol_17/ Vol_17_2003White& Knight.pdf. Diakses 18 Oktober 2012. Statement in Reponse of Australia, 7 Desember 2002. Dalam http://www.itlos.org. 24 Oktober 2012 Starke, Introduction to International Law, Penerjemah Bambang Iriana Djajaatmadja., Pengantar Hukum Internasional. Edisi Kesepuluh 2, Sinar Grafika, Jakarta, cet. Kelima, 2004 The Volga Case (Russian Federatian v Australia) Prompt Release (Written proceedings), Statement in Reponse of Australia, 7 Desember 2002. Dalam http://www.itlos.org. 24 Oktober 2012. The Application Submitted of the Russian Federation, The Volga-Application For Release of Vessel and Crew. Dalam http://www.itlos.org. 24 Oktober 2012. UN Convention on the Law of the Sea (UNCLOS) 1982. “ The law will never make a man free; it is men who have got to make the law free. - Henry David Thoreau- 92 ” JURNAL OPINIO JURIS Vol. 12 Januari—April 2013 RESENSI BUKU Judul : Hukum Internasional dalam Perspektif Indonesia Sebagai Negara Berkembang Penulis buku : Prof. Hikmahanto Juwana Penerbit : Gramedia Bahasa : Indonesia Jumlah halaman : 214 Pembuat resensi : Eka Aqimuddin Hukum Internasional: Netral atau Berpihak? Membaca buku kumpulan tulisan Hikmahanto Juwana soal hukum internasional ini, pikiran saya melesat ke buku tulisan karya Martii Koskenniemi, From Apology to Utopia: The Structure of Legal Argument. Meski Hikmahanto tidak menyebut Koskenniemi sebagai salah satu sumber tulisannya, namun secara substansi saya kira kedua buku tersebut memiliki ide yang sama bahwa hukum internasional tidak netral. Bagi Koskenniemi, hukum internasional tak lebih dari kontestasi kekuatan politik para aktor politik (khususnya negara) internasional. “It now seems to me that the concepts and structures of international law, elaborated in this book, are not something that political actors may choose to apply or ignore at will. They are the condition of possibility 93 JURNAL OPINIO JURIS Vol. 12 Januari—April 2013 for the existence of something like a sphere of the ‘‘international’’ as one for asserting and contesting political power, making and challenging claims of right and legitimacy that may be analysed as claims about legal justice. If international law did not exist, political actors would need to invent it.” Hikmahanto Juwana dalam bukunya beranjak dari hipotesis adanya perbedaan kepentingan ekonomi antara negara maju dan berkembang untuk memahami hukum internasional. Fakta-fakta tersebut dapat dilihat dari instrumen hukum internasional di bidang ekonomi. Tidak hanya itu, konsep-konsep dalam hukum internasional seperti, Res Nullius atau Res Communnis juga dimaknai oleh Hikmahanto sebagai pertarungan kepentingan ekonomi antarnegara. Sehingga sangat logis jika pembahasan bab selanjutnya dari buku ini adalah bagaimana hukum internasional dimaknai sebagai instrumen politik oleh para negara. Pada titik inilah, saya kira bertemulah pemikiran antara Koskenniemi dan Hikmahanto. Sebagian pakar hukum internasional masih memandang bahwa hukum internasional, selayaknya ilmu hukum, merupakan ilmu yang netral dari kepentingan-kepentingan. Paham seperti itu merupakan pengaruh aliran positivisme dalam ilmu hukum yang memandang bahwa hukum internasional juga harus bebas dari nilai-nilai di luar hukum. Padahal realitas berkata lain, hukum internasional sangat penuh dengan kepentingan-kepentingan politik negara-negara. Pertarungan kepentingan antarnegara tersebut dapat dilihat dalam forum-forum internasional saat pembentukan suatu perjanjian internasional. Maka sangat masuk akal jika perjanjian internasional dapat dimaknai sebagai pertarungan kepentingan. Hikmahanto Juwana tidak berhenti pada titik itu. Beliau berusaha untuk membongkar (dekonstruksi) hukum internasional itu sendiri. Meminjam metode dari aliran Critical Legal Studies (CLS), beliau ingin menunjukan hipotesisnya bahwa hukum internasional itu tidak bebas 94 JURNAL OPINIO JURIS Vol. 12 Januari—April 2013 nilai. Dengan metode trashing, deconstruction dan genealogy, Hikmahanto berhasil menunjukkan bahwa hukum internasional itu dapat dipahami dengan pendekatan lain sehingga bisa memperkaya pemahaman masyarakat (hal 6-8) Pemahaman Hikmahanto soal hukum internasional ini coba ia tularkan dengan mengkritisi model pendidikan dan pengajaran hukum internasional di kampus-kampus. Melihat realitas kekinian yang selalu bersinggungan dengan hukum internasional, mau tidak mau membuat semua pihak peduli dengan hukum internaisonal. Pada titik inilah penting untuk memberikan pendidikan dan pengajaran hukum internasional melalui pendekatan kritis dan juga praktik-praktik yang berkaitan dengan Indonesia. Dengan demikian, pihak yang mempelajari hukum internasional tidak merasa terpisah (terasing) dengan apa yang dipelajarinya. Sangat tepat apabila pembahasan soal ini dijadikan penutup dalam buku ini. Buku kumpulan tulisan Hikmahanto Juwana ini secara garis besar sangat baik. Namun, pembaca tidak akan mendapatkan pembahasan ide dari beliau secara utuh mengenai hukum internasional karena hanya merupakan kumpulan-kumpulan tulisan. “ Laws are like sausages. It is better not to see them being made. - Otto von Bismarck - ” 95 JURNAL OPINIO JURIS Vol. 12 Januari—April 2013 ISTILAH HUKUM Yoshi Iskandar Hot pursuit (pengejaran seketika) The hot pursuit of a foreign ship may be undertaken when the competent authorities of the coastal State have good reason to believe that the ship has violated the laws and regulations of that State. Such pursuit must be commenced when the foreign ship or one of its boats is within the internal waters, the archipelagic waters, the territorial sea or the contiguous zone of the pursuing State, and may only be continued outside the territorial sea or the contiguous zone if the pursuit has not been interrupted. The right of hot pursuit ceases as soon as the ship pursued enters the territorial sea of its own State or of a third State. Pengejaran seketika suatu kapal asing dapat dilakukan apabila pihak yang berwenang dari Negara pantai mempunyai alas an cukup untuk mengira bahwa kapal tersebut telah melanggar peraturan perundangundangan Negara itu. Pengejaran demikian harus dimulai pada saat kapal asing atau salah satu dari sekocinya ada dalam perairan pedalaman, perairan kepulauan, laut wilayah atau zona tambahan Negara pengejar, dan hanya boleh diteruskan di luar laut wilayah atau zona tambahan apabila pengejaran itu tidak terputus. Hak pengejaran seketika berhenti segara setelah kapal yang dikejar memasuki laut wilayah Negaranya sendiri atau Negara ketiga. Right of Navigation (Hak Berlayar) Every State, whether coastal or land-locked, has the right to sail ships flying its flag on the high seas. Setiap Negara, baik berpantai atau tidak berpantai, mempunyai hak untuk melayarkan kapal di bawah benderanya di laut lepas. Yurisdiksi Jurisdiction (from the Latin ius, iuris meaning "law" and dicere meaning "to speak") is the practical authority granted to a formally constituted legal body or to a political leader to deal with and make pronouncements on legal matters and, by implication, to administer justice within a defined area of responsibility. The 96 JURNAL OPINIO JURIS Vol. 12 Januari—April 2013 term is also used to denote the geographical area or subject-matter to which such authority applies. Kewenangan yang dimiliki negara untuk membuat peraturan perundangundangan (prescriptive jurisdiction) dan kewenangan untuk menegakkan suatu keputusan yang didasarkan kepada perundang-undangan yang dibuat tadi (enforcement jurisdiction). Konsep tentang yurisdiksi negara dalam hal ini lebih diterapkan dalam hukum pidana. Appellate jurisdiction The jurisdiction which a superior court has to bear appeals of causes which have been tried in inferior courts. It differs from original jurisdiction, which is the power to entertain suits instituted in the first instance. Pengadilan tingkat banding pada pengadilan tinggi sebagai pengadilan tingkat kedua, perkara diperiksa secara keseluruhan, baik dari segi peristiwanya maupun segi hukumnya. Pemeriksaan ulang tersebut dilakukan apabila salah satu pihak tidak puas terhadap putusan pengadilan tingkat pertama. In dubio pro reo The principle of in dubio pro reo (Latin for "when in doubt, for the accused") means that a defendant may not be convicted by the court when doubts about his or her guilt remain. It is often used specifically to refer to the principle of presumption of innocence that dictates that when a criminal statute allows more than one interpretation, the one that favours the defendant should be chosen. Dalam keadaan yang meragukan, hakim harus mengambil keputusan yang menguntungkan terdakwa. Biasanya ini sering dirujuk pada asas praduga tak bersalah bila terdapat lebih dari satu interpretasi terhadap terdakwa, maka pilihan yang menguntungkan terdakwa yang diambil. Pacta tertiis nec nocent nec prosunt Treaties do not create either obligations or rights for third states without their consent. 97 JURNAL OPINIO JURIS Vol. 12 Januari—April 2013 Prinsip Pacta tertiis nec nocent nec prosunt berarti meletakkan kedaulatan negara di atas segalanya sehingga mensyaratkan adanya persetujuan pada setiap perjanjian yang akan membebankan suatu kewajiban kepada pihak ketiga. Uti Possidetis Juris a principle of international law that states that newly formed sovereign states should have the same borders that they had before their independence. Prinsip hukum internasional yang menganut bahwa negara baru yang berdaulat harus memiliki garis batas yang sama dengan sebelum kemerdekaannya. Atau suatu negara baru mewarisi wilayah kekuasaan penjajahnya. “ The good of the people is the greatest law. ” - Marcus Tulius Cicero - 98 JURNAL OPINIO JURIS Vol. 12 Januari—April 2013 TENTANG PENULIS Prof. Dr. Hasjim Djalal, MA Diplomat Indonesia dan ahli hukum laut internasional. Pernah menjabat sebagai Duta Besar/Deputi Wakil Tetap RI untuk PBB, New York (19811983), Duta Besar di Kanada (1983-1985), Duta Besar di Jerman (19901993), serta Duta Besar Keliling (Ambassador at Large) untuk Masalahmasalah Hukum Laut dan Kelautan (1994-2000). Beliau juga dipercaya duduk sebagai anggota Dewan Kelautan Indonesia, penasehat senior Menteri Kelautan dan Perikanan, dan penasehat kepala staf TNI Angkatan Laut. Menulis banyak buku, antara lain Indonesian Struggle for the Law of the Sea (1979) dan Indonesia and the Law of the Sea (1995) serta Preventive Diplomacy in Southeast Asia: Lesson Learned (2003). Setelah pensiun tahun 1994, Beliau masih aktif menulis buku dan artikel di berbagai media serta berbicara di berbagai forum tentang masalah hukum laut internasional. I Made Andi Arsana, ST., ME. Dosen Fakultas Teknik Geodesi UGM yang sedang menyelesaikan PhD di Australian National Centre for Ocean Resources and Security (ANCORS) University of Wollongong dengan beasiswa Australian Leadership Awards. Penulis juga menerima Alison Sudradjat Awards untuk melakukan penelitian lanjutan di ANCORS (2012-2013). Selain itu, Penulis adalah alumni UN-Nippon Foundation Fellowship untuk melakukan penelitian dan magang di ANCORS dan UN DOALOS, New York pada tahun 2007. Selama menekuni bidang aspek teknis hukum laut, terutama batas maritim internasional, Andi telah memaparkan karyanya di Asia, Australia, Amerika dan Eropa. Informasi lebih lanjut tentang Andi bisa diperoleh dari website resminya http://madeandi.staff.ugm.ac.id dan dihubungi melalui email [email protected]. Kolonel (Laut) Kresno Buntoro, S.H, LLM, Ph.D Menyelesaikan pendidikan S1 jurusan Hukum Internasional Universitas Diponegoro tahun 1991. Setelah menerima the British Achievening Awards, melanjutkan pendidikan S-2 di University of Nottingham, United Kingdom 99 JURNAL OPINIO JURIS Vol. 12 Januari—April 2013 tahun 1995 pada program studi Public International Law. Ia juga menerima the Australian Leadership Awards (ALA), menyelesaikan S-3 di University of Wollongong, Australia tahun 2010 pada program studi Ocean and Transnational Security. Selain itu, Penulis merupakan perwira TNI Angkatan Laut sejak tahun 1989 yang saat ini sebagai Kepala Dinas Hukum Komando Armada RI Kawasan Barat dengan pangkat Kolonel. Usmawadi Amir, SH., MH. Dosen Fakultas Hukum Univeritas Sriwijaya, Palembang. Banyak terlibat pada penelitian khususnya dalam bidang hukum internasional, seperti kerja sama Negara-Negara Dalam Pemberantasan Aksi Perompakan di Selat Malaka-Singapura (2012), kerja sama Negara-Negara ASEAN Dalam Pemberantasan Kejahatan Transnasional: Perdagangan Manusia (2012), dan kerja sama ASEAN Dalam Pemberantasan Kejahatan Transnasional (2011). Selain itu, Penulis juga menulis buku bertema hukum, antara lain Petunjuk Praktis Penelitian Hukum (2007); Hukum Internasional Kontemporer Jilid 1 dan Jilid 2 (2008/9); dan Hukum Penyelesaian Sengketa Internasional (2012). Penulis dapat dihubungi melalui [email protected]. Eka Aqimuddin, SH., MH. Dosen Hukum Internasional Universitas Islam Bandung. Meraih gelar sarjana hukum di Universitas Trisakti (2005) dan magister hukum di Universitas Padjajaran (2011). Menulis buku Hukum untuk Manusia (2012), Mekanisme Penyelesaian Sengketa di Asean; Lembaga dan Proses (2011), dan Solusi Bila Terjerat Kasus Bisnis (2011). Penulis dapat dihubungi melalui [email protected]. “ ” Where the law ends tyranny begins. - Henry Fielding – (English novelist and dramatist, 1707-1754) 100 JURNAL OPINIO JURIS Vol. 12 Januari—April 2013 Jurnal Hukum dan Perjanjian Internasional OPINI O JURIS Jurnal Opinio Juris menerima tulisan dengan tema hukum internasional, perjanjian internasional, diplomasi, hubungan internasional, dan isu-isu dalam negeri yang memiliki dimensi hukum dan perjanjian internasional. Ketentuan Penulisan: 1. Panjang tulisan 10—20 halaman kertas A4 (termasuk abstraksi, isi, catatan kaki, dan daftar pustaka), format MS Word, spasi satu setengah, font Book Antiqua 11. Untuk catatan kaki, spasi satu dan font Times New Roman ukuran 10; 2. Tulisan dapat dibuat dalam bahasa Indonesia atau bahasa Inggris; 3. Setiap naskah harus disertai abstraksi dalam dua bahasa (Indonesia dan Inggris). Jumlah kata abstraksi sekitar 100 kata. 4. Rujukan dibuat dalam bentuk catatan kaki (footnote); 5. Tulisan harus asli dari penulis, belum pernah diterbitkan, dan tidak sedang dikirimkan ke penerbit lain; 6. Untuk setiap naskah yang masuk, redaksi berhak mengedit dengan tidak mengubah maksud dan isi tulisan; 7. Apabila diperlukan, redaksi akan memberikan masukan dan rekomendasi kepada penulis tentang tulisan yang dikirim; 8. Setiap naskah yang dikirim harus disertai daftar riwayat hidup singkat penulis (curriculum vitae) yang setidak-tidaknya terdiri dari pekerjaan, pendidikan, alamat, dan nomor telepon yang bisa dihubungi; 9. Setiap naskah yang disetujui untuk diterbitkan akan mendapatkan kompensasi finansial; 10. File naskah beserta kelengkapan lainnya dapat dikirim ke email Redaksi. Sekretariat Direktorat Jenderal Hukum dan Perjanjian Interansional Kementerian Luar Negeri Jalan Taman Pejambon No. 6 Jakarta Pusat Telp: +62 21 3846633 Fax: +62 21 3858044 Email: [email protected] http://pustakahpi.kemlu.go.id/ 101