ARTIKEL Dispute between Indonesia and Malaysia on the

advertisement
DIREKTORAT JENDERAL HUKUM DAN PERJANJIAN INTERNASIONAL
KEMENTERIAN LUAR NEGERI REPUBLIK INDONESIA
Volume 12 Januari—April 2013
ARTIKEL
Dispute between Indonesia and Malaysia on the Sovereignty
over Sipadan and Ligitan Islands
Hasjim Djalal
Akankah Indonesia Kehilangan Pulau? Belajar dari Kasus Sipadan-Ligitan,
Pulau Berhala, Miangas hingga Semakau
I Made Andi Arsana
Kegiatan Militer di ZEE dan Implementasi Hot Pursuit
Kresno Buntoro
Penegakan Hukum IUU Fishing menurut UNCLOS 1982 (Studi Kasus:
Volga Case)
Usmawadi Amir
RESENSI BUKU
Hukum Internasional dalam Perspektif Indonesia sebagai Negara
Berkembang
Eka Aqimuddin
ISTILAH HUKUM
i
Jurnal Hukum dan Perjanjian Internasional
OPINIO JURIS
Volume 12 Januari—April 2013
DIREKTORAT JENDERAL HUKUM DAN PERJANJIAN INTERNASIONAL
KEMENTERIAN LUAR NEGERI REPUBLIK INDONESIA
2013
Jurnal Hukum dan Perjanjian Internasional
OPINIO JURIS
Volume 12 Januari—April 2013
Diterbitkan oleh
Direktorat Jenderal Hukum dan Perjanjian Internasional
Kementerian Luar Negeri
Sejak Oktober 2009
Penanggung Jawab
Linggawaty Hakim, SH, LL.M
Raudin Anwar, SH, LL.M
Redaktur
Yoshi Iskandar, SH; Kemal Haripurwanto, SH, LL.M; Amrih Jinangkung, SH, LL.M;
Elmar Iwan Lubis, SH; ADH. Irfan, SH; Drs.Sukarsono; Yosep Trinugra Tutu, SIP,
MA, M.Dipl.
Editor
AM. Sidqi, SIP; Windratmo, SIP; Santa Marelda Saragih,SH, MH; Ratih Wulandari,
SIP; Vina Novianti, S.Hum; Rike Octaviana, SH, LL.M; M. Ferdien, SH
Disain Grafis
AM. Sidqi, SIP;
Drs. Didi Achmadi;
Abdul Hayyi
Sekretariat
Siti Fatimah, SH; Uki Subki, S.Sos, M.Si; Tasunah; Maisaroh, S.Sos
Alamat Redaksi:
Sekretariat Direktorat Jenderal Hukum dan Perjanjian Internasional
Kementerian Luar Negeri
Jl. Taman Pejambon No. 6 Jakarta Pusat
Telp. +62 21 3846633 Fax. +62 21 3858044; Email: [email protected]
Jurnal Opinio Juris versi digital dapat diunduh di website
http://pustakahpi.kemlu.go.id/
Tulisan yang dimuat dalam Jurnal Opinio Juris adalah pendapat dan
analisis pribadi dari para penulis dan tidak mewakili pandangan/posisi
Kementerian Luar Negeri dan/atau Pemerintah Republik Indonesia.
JURNAL OPINIO JURIS
Vol. 12 Januari—April 2013
DAFTAR ISI
Daftar Isi ...........................................................................................................v
Pengantar Redaksi......................................................................................... vi
Dispute Between Indonesia and Malaysia on the Sovereignty Over
Sipadan and Ligitan Islands ........................................................................ 8
Hasjim Djalal
Akankah Indonesia kehilangan Pulau? Belajar dari Kasus SipadanLigitan, Pulau Berhala, Miangas hingga Semakau ................................ 26
I Made Andi Arsana
Kegiatan Militer di ZEE dan Pelaksanaan Hot Pursuit di Indonesia 49
Kresno Buntoro
Penegakan Hukum IUU Fishing Menurut UNCLOS 1982 (Studi
Kasus: Volga Case) ....................................................................................... 68
Usmawadi Amir
Resensi Buku .................................................................................................. 93
Hukum Internasional dalam Perspektif Indonesia sebagai Negara
Berkembang
Eka Aqimuddin
Istilah Hukum ................................................................................................ 96
Tentang Penulis ............................................................................................. 99
v
JURNAL OPINIO JURIS
Vol. 12 Januari—April 2013
PENGANTAR REDAKSI
Jurnal Opinio Juris telah terbit dalam 12 edisi dan sekarang telah
memasuki tahun kelima. Sejak penerbitan pertama pada Oktober 2009,
beberapa upaya penyempurnaan telah dilakukan, meliputi materi
muatan artikel pada Jurnal, tampilan Jurnal Opinio Juris dalam bentuk ejournal yang dapat dibaca melalui website http://pustakahpi.kemlu.go.id,
hingga diperolehnya Nomor Seri Standar Internasional (International
Standard Serial Number/ISSN) pada Januari 2011.
Seperti volume sebelumnya yang mengambil tema khusus
Pengembalian Aset Curian (Stolen Asset Recovery), pada volume 12 tahun
2013 ini, Jurnal Opinio Juris mengambil tema Hukum Laut. Pengambilan
tema tersebut didasarkan pada isu-isu menarik dan terus berkembang
yang menjadi kajian para penulis untuk dapat diikuti perkembangannya
oleh para pembaca.
Dalam Volume 12 tahun 2013 ini terdapat empat kontributor penulis
utama yaitu: Prof. Dr. Hasjim Djalal, MA dengan judul tulisan Dispute
Between Indonesia and Malaysia on the Sovereignty over Sipadan dan Ligitan; I
Made Andi Arsana, ST., ME. dengan tulisan Akankah Indonesia Kehilangan
Pulau? Belajar dari Kasus Sipadan-Ligitan, Pulau Berhala, Miangas hingga
Semakau; Kolonel (Laut) Kresno Buntoro, S.H, LLM, Ph.D dengan tulisan
Kegiatan Militer di ZEE dan Implementasi Hot Pursuit; dan Usmawadi Amir,
SH, M.H. dengan tulisan Penegakan Hukum IUU Fishing menurut UNCLOS
1982 (Studi Kasus: Volga Case).
Mengingat Indonesia merupakan negara kepulauan, maka harapan
kami melalui tulisan yang berbobot di bidang Hukum Laut ini dapat
meningkatkan pemahaman para pembaca mengenai isu Hukum Laut.
Pada kesempatan ini, redaksi Opinio Juris juga hendak mengajak para
pembaca untuk turut berkontribusi serta memberikan saran dan
vi
JURNAL OPINIO JURIS
Vol. 12 Januari—April 2013
masukannya demi peningkatan kualitas Opinio Juris di masa mendatang
melalui email [email protected].
Akhir kata, Redaksi Opinio Juris berharap agar jurnal ini dapat
menjadi sarana dalam menyebarluaskan berbagai informasi, wacana dan
wadah sumbangsih pemikiran di bidang hukum dan perjanjian
internasional yang berkaitan dengan pelaksanaan hubungan luar negeri.
Terima kasih dan selamat membaca!
Redaksi Opinio Juris
“
No man is above the law and no man is below it: nor do we ask any
man's permission when we ask him to obey it.
- Theodore Roosevelt -
”
vii
JURNAL OPINIO JURIS
Vol. 12 Januari—April 2013
DISPUTE BETWEEN INDONESIA AND MALAYSIA
ON THE SOVEREIGNTY OVER SIPADAN AND
LIGITAN ISLANDS1
Hasjim Djalal
Abstrak
Masalah Sipadan dan Ligitan banyak menimbulkan salah mengerti di
dalam negeri. Persepsi umum adalah bahwa dengan kekalahan
Indonesia di Mahkamah Internasional di Den Haag menghadapi
Malaysia, Indonesia telah kehilangan wilayahnya, di samping
diplomasi Indonesia telah kalah di dunia internasional. Penelitian lebih
lanjut mengenai masalah kepemilikan Pulau Sipadan dan Ligitan
menunjukkan bahwa sesungguhnya Indonesia tidak pernah kehilangan
wilayah, karena pada waktu kasus tersebut muncul dalam tahun 1969,
baik Indonesia maupun Malaysia tidak sadar atas siapa sesungguhnya
yang mempunyai kedaulatan atas kedua pulau tersebut. Demikian pula
halnya dengan ‘kekalahan diplomasi’ Indonesia. Putusan untuk
membawa kasus ini ke Mahkamah Internasional adalah putusan
politik, bukan putusan diplomasi, karena pada mulanya Indonesia
menentang penyelesaian melalui Mahkamah Internasional, karena
dengan demikian masalahnya berpindah dari bidang diplomasi ke
bidang hukum.
Kata kunci: kedaulatan wilayah, delimitasi batas maritime, mekanisme
penyelesaian sengketa, Mahkamah Internasional.
Abstract
The case of Sipadan and Ligitan had caused many misunderstandings
for Indonesian people. The general perception is that by the losing of
1
Artikel ini disampaikan pada Seminar Internasional dengan tema “Peaceful Settlement
of International Dispute in Asia” di Jakarta, 13 Desember 2012 kerja sama antara
Indonesian Society of International Law (ISIL) dengan The Korean Society of
International Law (KSIL).
8
JURNAL OPINIO JURIS
Vol. 12 Januari—April 2013
Indonesia against Malaysia in the International Court of Justice in Den
Haag, Indonesia has lost a part of its territory, and therefore considered
as the losing of Indonesian diplomacy in the international forum.
Further research on the ownership of Sipadan Island and Ligitan Island
showed that Indonesia actually never lost such part of its territory
because when the case appeared in 1969, both Indonesia and Malaysia
did not have any clue on who has the real sovereignty over those
islands. Similar to the perception of ‘the losing of Indonesian
diplomacy’, the decision to bring the case before the International Court
of Justice was more on political, not diplomatic. Since the beginning,
Indonesia opposed to settle the case through International Court of
Justice because the matter would change from diplomatic to legal.
Keywords: territorial sovereignity, maritime boundary delimitation,
dispute settlement mechanism, International Court of Justice.
1. Geographical Data
The Island of Sipadan and Ligitan are both located in the Celebes Sea,
of the North-East coast of the Island of Borneo, and lie approximately 15.5
nautical miles apart. Ligitan is a very small island (7.9 hectare), lying at
the southern extremity of the reef south of Sabah, Malaysia. Its
coordinates are 4° 09’ North Latitude and 118° 53’ East Longitude. It is
situated about 21 nautical miles from Tanjung Tutop on the Samporna
Peninsula in Sabah and 57.6 nautical miles from Indonesian Island of
Sebatik. The island is permanently above sea level and mostly sandy. It is
an Island with low lying vegetation and some trees and it is not
permanently inhabited. Sipadan is larger than Ligitan, having an area of
approximately 0.13 km² (10.4 hectare) and its coordinates are 4° 06’ North
Latitude and 118° 37’ East Longitude. It is situated 15 nautical miles from
Tanjung Tutop, Sabah, and 42 nautical miles from the land boundary
between Malaysia and Indonesia at the east coast of the Island of Sebatik
(half of Sebatik Island belongs to Indonesia). Sipadan is wooded and it is
volcanic in origin and the top of a submarine mountain some 600 to 700 in
9
JURNAL OPINIO JURIS
Vol. 12 Januari—April 2013
height from the seabed. It is not geographically/geologically part of
Borneo mainland. Until 1980 it was not permanently inhabited. It has now
developed into a major tourist centre for Malaysia. Both Sipadan and
Ligitan are situated south of the 4°10’ North Latitude.
2. The Origin of the Dispute
In late 60s the two countries were not even fully aware of the Islands
and their status although they were located closer to Malaysian coastlines
than to Indonesian coastlines. In the negotiation on the Delimitation of the
Continental Shelf boundaries between the two countries in 1969,
Indonesia did not even think of the two Islands. The Indonesian map
attached to its Law Number 4, 1960, depicting the Indonesian archipelagic
baselines to encompass the whole Indonesian archipelago, did not even
include the two Islands (Indonesia later argued that the map of the 1960
law was prepared “in haste” in order to be prepared for the second UN
Law of the Sea Conference in 1960, and therefore might have “over
looked” some very tiny outlying islands very far from general coastlines).
Equally, the Malaysian map being used by Malaysia at that time, which
drew a line between the Malaysian and Indonesian possessions in the
area indicated that the Sipadan and Ligitan Islands were shown as parts
of Indonesia (Malaysia later withdrew the map from circulation and it
appeared that the map has been used previously as a “guideline” for
Malaysia in issuing exploration license for oil and gas in the area, in the
sense that the Malaysian oil and gas concession in the area did not go
south beyond the 4°10’ North Latitude). After the discovery of this
“strange” problem, Malaysia insisted on using Indonesian map while
Indonesia was suggesting to use Malaysian map. The two delegations
later on agreed not to pursue discussion on this matter at that time
because they both considered that their negotiation was on “technical
matters” of the delimitation of the continental shelf boundaries. They had
no mandate to discuss the “territorial” or “jurisdictional” problems or
10
JURNAL OPINIO JURIS
Vol. 12 Januari—April 2013
ownership over islands. They both considered that the issues of
ownership over islands were “territorial” in nature for which both of
them agreed that they had not been mandated to discuss and Indonesia
later considered that this understanding was, in fact, agreeing on “status
quo”, in the sense that both sides should refrain from taking any action on
the Islands that may prejudice the position of the other. Malaysia on the
other hand later considered that there was no such understanding. In fact,
the problem of whether there was an understanding of “status quo” or
not became a major issue between the two countries later on. The
exchange of letters between the two delegations at the end of the meeting
at that time (September 1969), did not mention the word “status quo”,
although they did agree that the negotiation and the agreement were
purely and wholly of “technical nature” (see annex).
The dispute then began between the two countries on who owns the
two small Islands. In fact, it became “a thorn in the flesh” in the relations
between the two friendly neighboring countries for some time. The two
countries later on went studying the record, particularly during the
colonial period, and engaged the involvement of local authorities and
personalities to look into their views and practices in the past with regard
to the two islands.
Upon going back into history, it was discovered that the nexus of the
problem was the different interpretation by the two countries with regard
to the provisions of the 1891 Agreement between the Dutch and the Great
Britain as the former colonial rulers of the two countries.
3. 1891 Agreement
Indonesia argued that the 1891 Agreement or Convention between
Great Britain and Netherlands established the 4°10’ North parallel of
Latitude as the dividing line between the respective possessions of Great
Britain and the Netherlands in the area. The disagreement developed
11
JURNAL OPINIO JURIS
Vol. 12 Januari—April 2013
from different interpretation given to Article IV of the 1891 Convention as
it related to the sea and small islands beyond. The text of Article IV of the
1891 Convention provided that “from 4°10’ north latitude on the east
coast (of the main island of Borneo), the boundary line shall be continued
eastward along that parallel, across the Island of Sebatik (another major
island of the east coast of Borneo).” Indonesia then argued that the
boundary line shall be continued to the sea eastward from Sebatik, and
since the two islands of Sipadan and Ligitan are situated South of the
4°10’ North Latitude, the two Islands are therefore belonged to the
Netherlands which subsequently belonged to Indonesia. This argument
was very similar to the argument provided by Vietnam in the Gulf of
Tonkin as if the line across the sea was a “demarcation line”. Realizing
that this argument would be untenable in view of the fact that the
Territorial Sea of a State at that time was generally recognized to be 3
miles and that the sea in question was generally regarded as high-seas,
Indonesia then considered the line as “allocation line” for possession of
islands in the area, rather than “demarcation line” of the maritime area, in
the sense that the line of 4°10’ North Latitude was a line that “allocate”
the islands to the Great Britain (North of the line) and to the Netherlands
(South of the line). This “allocation line” interpretation was very similar
in fact, to the Chinese interpretation of the nature of the 1887 line in the
Gulf of Tonkin as indicated in the SINO-French Agreement of 1887.
Malaysia on the other hand, argued that Article IV of 1891 Convention
did not demarcate the sea, nor allocate the Islands beyond Sebatik, either
to Great Britain or to the Netherlands. In fact, Malaysia took the position
that the two Islands have become part of Malaysia through the process of
“succession” from the Sultan of Sulu to Spain and then to the United
States and later to Great Britain and on to Malaysia.
12
JURNAL OPINIO JURIS
Vol. 12 Januari—April 2013
4. Direct Negotiation
The two countries later on undertook direct negotiations to seek
solution. But after many years of efforts, it did not bring any agreemzent.
In the meantime, public opinion has galvanized and the involvement of
the press and the media has also hardened the position of each side. As a
result of this deadlock, the two countries were later on willing to find
solution through “third party” mechanism. But they disagreed on how to
go about “third-party” mechanism. Indonesia originally suggested using
the good offices of the ASEAN High Council as provided for in the
ASEAN Treaty of Amity and Cooperation (TAC) of February 24, 1976.
Article 15 of the TAC stated that in case a dispute cannot be solved by
direct negotiations between the Parties, the High Council comprising a
Representative at Ministerial level of each ASEAN members shall take
cognizance of the dispute or the situation and shall recommend to the
Parties in dispute appropriate means of settlement such as good offices,
mediation, enquire or conciliation. The High Council may however offer
its good offices or upon agreement of the Parties in dispute, constitute
itself into a Committee of Mediation, Enquire or Conciliation. When
deemed necessary, the High Council shall recommend appropriate
measure for the prevention of deterioration of the dispute or the situation.
The High Council mechanism in fact has never been invoked before,
and therefore could and should be utilized in this case. The High Council
may not necessarily be a “Legal Institution” in the sense that they will
settle the matter through “legal basis”. The High Council could perhaps
function by seeking “political” or “other solutions” that would be
acceptable to both parties.
Malaysia rejected the Indonesian proposal, arguing that Malaysia had
bilateral boundary problems with many ASEAN countries, and therefore
was concerned that the High Council might be partial, thus prejudicial to
Malaysia. Indonesia did not really agree with the Malaysian contention,
13
JURNAL OPINIO JURIS
Vol. 12 Januari—April 2013
because in fact, Indonesia also had some bilateral boundary problems
with its neighbors, not only with Malaysia, but also with Singapore, the
Philippines, Thailand, Vietnam, and others.
Again, there was a deadlock here. Malaysia later suggested to bring
the case to the International Court of Justice (ICJ) in The Hague, arguing
that the solution through the Court would be non-prejudicial to the two
countries. Indonesia was very reluctant to go to the Court, because it
preferred regional mechanism, it had never gone to the ICJ before, it had
never accepted the “compulsory jurisdiction” of the Court, and there were
still other ways of settling disputes before going directly to the Court,
such as the use of mediation, or even arbitration. Indonesia therefore
rejected the Malaysian proposal. Again, there was a deadlock.
5. Going to ICJ
In view of the impasse, the two countries were thinking of negotiating
“informally through special Envoys” in order to make suggestions how to
overcome the conflict. After this mechanism was agreed upon, Indonesia
appointed the Secretary of State, Mr. Murdiyono, assisted by the Director
of Legal Affairs of the Foreign Ministry, and Malaysia appointed the
Deputy Prime Minister, Mr. Anwar Ibrahim, also assisted by the Lawyer
from the Foreign Ministry. Somehow, after several informal meetings
between the two Envoys, who reported directly to their Head of
Governments, President Soeharto in a visit to Kuala Lumpur in October
1996 finally agreed to settle the matter by legal means through the ICJ in
The Hague. As I understand it, the reasons for President Soeharto to
finally agreed to go to the Court was motivated by his desire:
a. To settle bilateral problems as much as possible peacefully so that
political atmosphere and stability as well as cooperation in South
East Asia would be strengthened;
b. So that the two countries should not burden future generations by
bequeathing problems and disputes to them;
14
JURNAL OPINIO JURIS
Vol. 12 Januari—April 2013
c. To indicate to the world and regional communities that Indonesia
was a peace loving and International Law abiding country.
The decision to agree to go to the ICJ was surprising to many
Indonesians, and some even opposed it. While direct bilateral
negotiations on the basis of legal arguments may have deadlocked, some
people were still suggesting that perhaps some solutions through
“political compromise” maybe workable, such as through “joint
development” of the two islands by the two countries, or dividing the two
islands between the two countries, one for each country. These proposals
were not acceptable to Malaysia. Some people were suggesting that even
after efforts at seeking political compromise had failed, the use of “third
party” mechanism could perhaps be attempted first before deciding or
agreeing to go to the ICJ. This mechanism was enumerated in Article 33
Para (1) of the UN Charter, including negotiation, enquiry, mediation,
conciliation, arbitration, judicial settlement, resort to regional agencies or
arrangements, or other peaceful means of their on choice. Although some
of these mechanisms had been attempted, such as negotiation and resort
to regional agencies or arrangements, other mechanisms have not been
attempted, such as mediation, conciliation, or arbitration.
As I can remember, there were some discussions with regard to the
possibility of using arbitration, but I understand that this was regarded to
be more expensive than going to the Court, an argument which I was not
so sure of to be correct. Moreover, in fact, when dispute arose between the
Netherlands and the United States regarding ownership over the remote
island in the Pacific Ocean (Miangas or Palmas Island), the dispute was
finally settled by an arbitrator, Max Huber, in 1928, who strengthened the
doctrine of “effective control” as an important prove of state sovereignty
(as its known Miangas/Palmas was recognized after that to belong to the
Netherlands, and now to Indonesia.)
15
JURNAL OPINIO JURIS
Vol. 12 Januari—April 2013
After Indonesia and Malaysia made political decision to go to the
Court, the matter now would have to be settled only as a legal matter. The
two countries would now have to formulate agreement to go to the Court.
After several negotiations, the Agreement was concluded in Kuala
Lumpur on May 31, 1997 (see annex), ratified by Malaysia on 19
November 1997 and by Indonesia on 29 December 1997 (Presidential
Decision Number 49/1997), entered into force on May 14, 1998 after the
exchange of the instrument of ratifications, and was submitted by a joint
letter (dated September 30, 1998 of the two countries), and received by the
Court on 2 November 1998. Some of the most important features of the
Agreement were the following:
1.) While acknowledging in Article 1 of the Agreement that the Court
Jurisdiction comprises the cases which the parties refer to it, Article 2
requested the Court “to determine on the basis of the treaties,
agreements, and any other evidence furnished by the parties”,
whether sovereignty over the two Islands belong to Indonesia or
Malaysia. This request was very “interesting” because the Court is
limited in its judgment on the basis of the “treaties, agreements and
evidence furnished by the parties”. There is no possibility here for the
Court to decide or to determine the case under other criteria, such as
compromise or other appropriate solutions agreed by the parties. It
should be noted that the Statute of the Court in fact enabled the Court
to decide a case “ex aequo et bono” (on the basis of appropriateness) if
the parties agreed thereto. It was not very clear why Indonesia or
Malaysia or both did not attempt or did not discuss the possibility of
the Court to decide the case on the basis of “ex aequo et bono” as
stipulated in Article 38 Para (2) of the Statute.
2.) Article 4 of the Agreement also limits the Court to apply the principles
and rules of International Law as stipulated in Article 38 of the Statute
of the Court. By limiting the rules of International Law to those
16
JURNAL OPINIO JURIS
Vol. 12 Januari—April 2013
indicated in Article 38 of the Statute, it appeared that both parties
have limited or ruled out the possibility of the Court applying local
customs and traditions.
3.) In Article 5 of the Agreement, the Parties also agreed to accept the
judgment of the Court as final and binding upon them. While this
agreement is in conformity with Article 60 of the Statute of the Court,
the “revision” of a judgment may be made only when there is some
new and decisive facts that may altered the judgment as stipulated in
Article 61 of the Charter. Article 5 reflects the wishes of the two
countries to settle the matter once and for all so that it will not become
a problem in developing bilateral relations between the two countries.
After following some procedures, during which the Philippines
applied for permission to intervene in March 2001 and such request for
intervention was denied by both Malaysia and Indonesia and the Court,
and after receiving memorials and counter-memorials as well as reply
and counter-reply followed by oral proceedings by the Parties, the Court
finally decided by a vote of 16 to 1 that the sovereignty of Sipadan and
Ligitan effectively belonged to Malaysia. It should be noted in this context
a statement by Judge Oda of Japan that the determination of the
sovereignty over the two Islands did not prejudice the problems and
solution of maritime delimitation between the two countries in the
relevant area.
Some of the salient points in the litigation were the following:
1.) Indonesian argument that the boundary lines across the Island of
Sebatik at 4°10’ North Latitude went all the way to the sea to the East
as “allocation line”, thus allocating the Islands North of that line to
Malaysia and South of the line to Indonesia was not accepted by the
Court, because:
17
JURNAL OPINIO JURIS
Vol. 12 Januari—April 2013
a. The intention of the party when concluding the Convention in
1891 was not clear on this point and could not be deduced that
they intended to demarcate the seas or even to allocate the islands
beyond Sebatik, particularly because those two tiny islands lie
more than 40 miles from Sebatik and therefore could not be
regarded to belong “geographically” to Sebatik Island.
b. The map showed by Indonesia attached to the ratification process
by the Netherlands of the Treaty of 1891, either did not go as far as
Sipadan and Ligitan or it was not officially agreed as part of the
legal attachment of the Convention.
2.) Indonesian argument that Sipadan and Ligitan were originally
belonged to the Sultan of Bulungan in East Kalimantan could not be
proven decisively for lack of substantive and strong evidence.
Equally, the Court did not regard that the “successive” claim by
Malaysia as justifiable.
3.) The continuity of the Dutch supposed “sovereign acts” and the
exercise of “effective control” regarding the two Islands was not
sufficiently strong or continuous. Although the Dutch Navy and
planes did exercise some patrolling activities in the area, they were
not continuous practices that could prove the exercise of
“sovereignty” over the two islands.
On the other hand, analyzing the “effective control” that were
exercised by the two parties before the dispute appeared in 1969, the
Court decided that Great Britain and Malaysia did exercise some
sovereign acts regarding the two Islands. Some of those exercises of
sovereignty included making regulations with regard to customs,
protection of the environment, collecting taxes, and even establishing
lighthouses. The Court did not pronounce itself on the legality of the
Malaysian actions after 1969, which had been regarded by Indonesia as
18
JURNAL OPINIO JURIS
Vol. 12 Januari—April 2013
violating the understanding on “status quo” because the Court was not
requested to adjudicate on this matter.
6. Some Specific Questions.
A. Brief history of the dispute and how did the two States agree to
submit the dispute to ICJ.
As indicated above, the dispute arose “accidentally” between
Indonesia and Malaysia in 1969 when they discussed the “technical
matters” on delimitation of the continental shelf in the area. Suddenly, the
two delegations were not so sure to whom the two islands belonged, to
Indonesia or Malaysia, because the maps or charts that they were using
were not conclusive on this issue. Upon looking into the history, the two
Parties developed different interpretations of the 1891 Convention
between the Netherlands and Great Britain on the boundary lines in
Borneo between North Borneo (Great Britain) and East Kalimantan
(Netherlands). After many years of direct negotiations (intermittently
from 1969-1995) and attempting to find solutions through regional
(ASEAN) mechanism, the two Parties (Indonesian President Soeharto and
Malaysian Prime Minister Mahatir), despites some oppositions
domestically, decided to submit the dispute to the ICJ. (See the main
Report above.)
B. The main arguments of the parties before the Court
The two Parties agreed to ask the Court to decide the case “on the
basis of the treaties, agreements, and any other evidence furnished by the
parties.” In this case, the main Treaty was the 1891 Convention between
the Netherlands and Great Britain, dividing their territories in the area.
The two Parties later on furnished a number of evidences arguing their
respective positions. Indonesia was saying in fact that the dividing line in
19
JURNAL OPINIO JURIS
Vol. 12 Januari—April 2013
the islands of Borneo was 4°10’ North Latitude and “from 4°10’ North
Latitude on the East Coast (of the main island of Borneo) the boundary
line shall be continued eastwards along the parallel across the Island of
Sebatik (a relatively small island off the main coast of Borneo).” Indonesia
argued that the word “across the island of Sebatik” should continue
eastward toward the sea, and those islands beyond, South of 4°10’ North,
belonged to the Netherlands, thus to Indonesia, and those North of 4°10’
North Latitude belonged to Great Britain, thus Malaysia. While admitting
that the line of 4°10’ North Latitude might not be “demarcation line” at
sea, it was regarded by Indonesia as “allocation line” that allocating
possession over islands at sea in the area. Malaysia argued that the line of
4°10’ North Parallel ends at the Eastern Coast of Sebatik Island and could
not have gone eastwards to the sea because of the limit of Territorial Sea
at that time was only 3 miles, and it would be inconceivable that both
Netherlands and Great Britain would divide the high-seas at that time.
Neither Malaysia believed that the line was “allocation line” because it
was not in the minds of the negotiators at that time, nor the unilateral line
produced by the Dutch to accompany ratification process of the
Convention when eastwards as far as Sipadan, much less Ligitan.
Malaysia argued that the two islands belong to Malaysia through
successive acts of State succession from the Sultan of Sulu to Spain, to the
United States, to Great Britain, and finally to Malaysia and that in fact it
was Britain that had exercised sovereignty over the two islands before
Malaysia gained independence.
C. The main considerations of the ICJ in deciding the case
The ICJ believed that prior to 1969, the so-called “critical date”, it
appeared that Great Britain, thus Malaysia, had exercised sovereignty in
the area “more effectively” through a number of sovereign acts that were
more convincing than the “sporadic actions” taken by the Netherlands or
Indonesia. Some of the “sovereign acts” that were referred to by the Court
20
JURNAL OPINIO JURIS
Vol. 12 Januari—April 2013
included legislations on taxation, regulations on environment,
establishment of lighthouses, etc. The Court decided that effectively it was
Great Britain and Malaysia that had exercised sovereignty over the two
Islands, and they were not challenged effectively by the Netherlands or
Indonesia until the dispute appeared in 1969. Occasional patrolling or
visits by the Netherlands authorities to or near the Islands were not
regarded as strong enough in assuring sovereignty. It should be noted
that the doctrine of “effective control” in obtaining recognition to
sovereignty over a territory was strongly manifested in the previous case
over the island of Miangas (Palmas) between the Netherlands and the
United States in 1928 when arbitrator Max Huber decided that Miangas
Island belonged to the Netherlands, now Indonesia, because it was the
Netherlands that had proven “effective control” by establishing certain
governmental administration in the Island.
D. The relevant historic documents and maps presented to the Court
and their evidential value before the Court.
Indonesia did a large amount of research with regard to historic
documents and maps and presented them to the Court. However, these
documents and maps were not very influential or decisive, either because
they were “unilateral interpretations” of the Netherlands or because they
were “not parts of the official documents”. In that context, their evidential
value was limited, because it could not conclusively indicate the wish of
the parties when they concluded the Agreement in 1891.
E. The new things in the jurisprudence of ICJ on the subject of
sovereignty disputes
States are still free to decide and to agree whether they would bring
their territorial sovereignty disputes to the ICJ or to settle it among
21
JURNAL OPINIO JURIS
Vol. 12 Januari—April 2013
themselves by direct negotiation, or to request intermediation by other
third party mechanism. The Court, in this case, strengthened the role of
“effective control” with regard to the territorial sovereignty issues. In
interpreting the terms of a Treaty, the Court relied a great deal on the
intention of the Parties and the situation at the time of concluding the
Treaty. The Court will only adjudicate a case on the basis of request
agreed by the Parties as submitted to the Court (in the Sipadan and
Ligitan case on the basis of treaties, agreements, evidences submitted by
the Parties), and it did not rule on something that the Parties did not ask
(the Court refrained from discussing maritime boundaries in the area or
the roles of the two tiny islands on matters of maritime delimitation
between Indonesia and Malaysia). Even in giving its judgment, the Court
will abide by the agreements of the Parties. As in this case the parties did
not ask the Court to decide on the basis of “ex aequo et bono”, and the
Court therefore did not look into what might be the “proper” solution of
the case that would be acceptable to the two parties, but only on the basis
of who is legally the owner of the two tiny islands before 1969 on the basis
of request submitted by the Parties. The Court did not take into account
the situation after 1969.
F. Other comments.
o
22
States should go to the Court only as the last resort in seeking
peaceful settlement of their territorial or jurisdictional disputes.
States should attempt as much as possible to settle their disputes
first by direct negotiation and then follow third party mechanism,
either through good offices, mediation, arbitration, or even
regional mechanism. But, the dispute should be settled as soon as
possible so that it would assure peace, stability, and cooperation
between the States concerned. The longer the territorial or
jurisdictional dispute linger on, the positions of each party may be
hardened, and if the public or the media begin to intervene, the
JURNAL OPINIO JURIS
o
o
o
Vol. 12 Januari—April 2013
dispute may also become more difficult to solve as it becomes
more emotional and political than what it should be. It would
appear that, although reluctantly, ICJ will play a more important
role in settling disputes in the future if other mechanisms have not
been successful.
It appears to me that there is no territorial dispute over Islands
between China and ROK in the Yellow Sea. If there is any, it
would be important to try to settle it bilaterally through
negotiation as soon as possible before bringing the case to the ICJ
or to other International Court. In the absence of territorial
disputes between China and the ROK over Islands or land
boundaries, it would appear to me that the solution of the
maritime boundaries delimitation would be possible and
relatively easier to pursue, subject to the existence of political will
on both sides. If bilateral negotiation fails though it may be useful
to attempt to agree first on other third party mechanism before
going to the ICJ.
It appears to me that China would be reluctaned to seek solution,
either through third party mechanism or through the ICJ,
although China itself has its own Judge at the ICJ or at the ITLOS.
The fact that China and Vietnam for the first time have been able
to conclude and ratify delimitation agreement on maritime
boundaries (Territorial Sea, Continental Shelf, and EEZ) as well as
establishing Joint Fisheries Area and “buffer zone” in the Gulf of
Tonkin is an indication of the Chinese willingness to settles its
maritime dispute with its neighbor through negotiation.
In this context, it should also be noted the reluctant of China to
settle territorial and jurisdictional disputes over small tiny islands
and reefs in the South China Sea (the Spratlys) by third party
mechanism, including the ICJ. In this case, China insisted on direct
negotiation bilaterally with the directly interested parties. This
23
JURNAL OPINIO JURIS
Vol. 12 Januari—April 2013
modality was not particularly responded by the other parties,
partly due to the “multilateral character” of the claims.
Fortunately, there have been agreement on “code of conduct”
between ASEAN and China on the South China Sea (see annex). It
would therefore be useful if China and ROK could also agree on a
set of “code of conduct” in the Yellow Sea to facilitate
understanding and agreement.
7. Conclusions
The dispute between Indonesia and Malaysia over Sipadan and
Ligitan had lasted more than 30 years. It would be understandable that
the emotions of some people may have been attached to the case.
Although “diplomatic solution” through direct negotiation was originally
attempted, it later became completely legal matter when the leaders of the
two countries made “political decisions” to go to the Court to decide the
case on the basis of its legal merits.
It was also understandable that any side that lost the case would be
facing some domestic problems and antagonism as well as criticisms. As
it turned out, the fact that Indonesia lost the argument in the ICJ, did
create some political repercussion in the country. Fortunately, Malaysia,
who won the case in the Court, had shown a good neighborly spirit by
not bragging too much of its “victory”. In the end, despite some
disappointments, Indonesia has accepted the decision of the Court, and
therefore is looking forward to negotiation to settle maritime boundaries
with Malaysia in that area.
The Sipadan and Ligitan case was the first dispute that goes to the
Court between Indonesia and Malaysia. At this moment another case
between Malaysia and Singapore regarding ownership over a tiny rock in
the entrance to the South China Sea (the Rock of Batu Putih or
Horsbrough Lighthouse) is also going to the ICJ.
24
JURNAL OPINIO JURIS
Vol. 12 Januari—April 2013
Going to the Court to settle territorial sovereignty issues as well as
maritime boundary delimitations of course will bring a lot of risks,
because the solution would generally be “winning or losing”. Therefore,
many countries are generally reluctant to go to the Court. They usually
prefer the model of “direct negotiation” to settle the disputes peacefully
so that they can still be in control of the process. In fact, many countries
would like to use “third party mechanism” through Commission of
Inquiry Good Offices or even Mediation and Conciliation, in which the
parties could still influence, and even control the processes and the
solution. The solution may not necessarily be “legal” in the sense of “right
or wrong”, or “win or lose”, but in the sense of “what the parties could
accept”. They would even prefer to go to arbitration in which the Parties
could still control some processes and the decision may not necessarily be
binding if the arbitration is being asked only to suggest some solutions.
Even if the case have to go to Judicial Settlement like the Court (ICJ), the
possibility of the Court being asked to decide the case not on purely legal
argument is still open by asking the Court to decide the case on the
principle of “ex aequo et bono” as indicated in Article 38 Para (2) of the
Statute of the International Court of Justice.
It is therefore really a dramatic step by Indonesia to agree for the first
time to go to the Court, and to agree that the Court should decide the case
on purely legal matters, and to agree to accept the decision of the Court as
final and binding, without “seriously” attempting other mechanisms
allowed by the UN Charter.
While this may bring problems, the model is useful for other
countries, particularly in the West Pacific region, which are busy building
good neighbor relations and regional peace, stability, and cooperation
based on International Law.
25
JURNAL OPINIO JURIS
Vol. 12 Januari—April 2013
AKANKAH INDONESIA KEHILANGAN PULAU?
BELAJAR DARI KASUS SIPADAN-LIGITAN, PULAU
BERHALA, MIANGAS HINGGA SEMAKAU
I Made Andi Arsana
Abstrak
Kekhawatiran akan kehilangan pulau-pulau di kalangan masyarakat
Indonesia tampaknya cukup beralasan, terutama setelah terjadinya
kasus Sipadan dan Ligitan. Adalah lumrah bila media Indonesia
menyampaikan berita dimana negara-negara lain berusaha untuk
mengklaim pulau-pulau Indonesia yang pada akhirnya memicu
ketegangan. Artikel ini mencoba untuk menganalisis pembelajaran
mengenai kedaulatan atas pulau-pulau, khususnya pulau Sipadan dan
Ligitan. Kasus-kasus kecil lainnya mengenai pulau Berhala (2005),
Pulau Miangas (2009) dan Pulau Semakau (2013) juga dibahas yang
diarahkan untuk menjawab suatu pertanyaan kritis, yakni: “Apakah
Indonesia kehilangan lebih banyak pulau?”
Kata kunci: kedaulatan atas pulau, klaim wilayah, sengketa kedaulatan,
pulau-pulau terluar
Abstract
The fear of losing islands among Indonesian people seems reasonably
obvious, especially in the aftermath of the case of Sipadan and Ligitan.
It is not uncommon that Indonesian media deliver news where other
countries attempt to claim Indonesian islands, which eventually sparks
tension. This paper attempts to analyse lessons learned from several
cases concerning sovereignty over islands particularly Sipadan and
Ligitan. Other smaller issues concerning Berhala Island (2005),
Miangas Island (2009) and Semakau Island (2013) are also discussed
to lead to an answer of a critical question: “is Indonesia losing more
islands?”
Keywords: sovereignty over island, territorial claim, dispute on
sovereignty, outermost islands
26
JURNAL OPINIO JURIS
Vol. 12 Januari—April 2013
Pendahuluan
Perhatian para pengamat persoalan kedaulatan dan hubungan
internasional sempat tertuju pada isu Pulau Semakau yang menurut salah
satu portal berita diklaim oleh Singapura.2 Menurut portal berita tersebut,
Singapura telah memasukkan Pulau Semakau ke dalam peta nasionalnya.
Gubernur Kepulauan Riau, HM Sani menganggap ini sebagai usaha
Singapura untuk mengklaim Pulau Semakau. Sang gubernur bahkan
mengirimkan surat ke Menteri Luar Negeri, Dr. Marty Natalegawa, untuk
meminta klarifikasi dan tindak lanjut atas kasus tersebut. Rupanya,
Gubernur Sani, meyakini bahwa Pulau Semakau yang dimasukkan ke
dalam peta Singapura itu adalah milik Indonesia yang kini diklaim oleh
Singapura.
Pada saat makalah ini ditulis (akhir Januari 2013), isu Pulau Semakau
tersebut sudah diselesaikan dengan klarifikasi bahwa pulau yang
dimaksud sesungguhnya adalah Pulau Semakau milik Singapura.
Ternyata memang ada lebih dari satu pulau bernama Semakau di
perairan sekitar Selat Singapura dan salah satunya memang merupakan
wilayah Singapura. Klarifikasi terkait Pulau Semakau ini sudah
dilakukan oleh Kementerian Luar Negeri3 dan pihak DPR. Ramadhan
Pohan, Wakil Ketua Komisi I DPR, bahkan menyampaikan klarifikasi
dilengkapi data rinci yang bersifat teknis bersumber dari Indonesia dan
2
Salah satu portal berita yang menyajikan kasus ini adalah OkeZone pada tanggal 19
Januari 2013. Lihat: Okezone. 2013. “Pulau Semakau Dicamplok Negara Singapura”,
diakses dari http://news.okezone.com/read/2013/01/19/340/748669/pulau-semakaudicaplok-negara-singapura tanggal 19 Januari 2013.
3
Sayang sekali, untuk kepentingan makalah ini, pernyataan resmi dari Kementerian Luar
Negeri tidak berhasil diperoleh dari sumber (website) resmi. Salah satu sumber adalah
berita yang dilansir OkeZone. Lihat: Okezone. 2013. “Kemlu: Pulau Semakau ada di
Indonesia dan Singapura”, diakses dari
http://international.okezone.com/read/2013/01/19/411/748659/kemlu-pulau-semakau-adadi-indonesia-singapura tanggal 19 Januari 2013.
27
JURNAL OPINIO JURIS
Vol. 12 Januari—April 2013
4
Singapura. Rupanya telah terjadi kesalahpahaman karena ada beberapa
pulau dengan nama sama di perairan sekitar Selat Singapura. Indonesia
memang memiliki pulau bernama Semakau Panjang (di Google Maps
disebut dengan Semakau Besar)5 dan Semakau Baru (di Google Maps
disebut dengan Semakau Kecil)6 sedangkan Singapura sendiri memiliki
pulau bernama Semakau.7 Yang dimasukkan ke dalam peta Singapura
adalah Pulau Semakau yang memang menjadi bagian dari wilayah
Singapura.8 Pelajaran penting dari kasus ini adalah bahwa Indonesia,
Malaysia dan Singapura memang bangsa yang mirip bahasanya sehingga
penamaan pulau juga bisa mirip atau bahkan sama. Gambar 1 berikut
mengilustrasikan lokasi ketika Pulau Semakau milik Indonesia maupun
Singapura.
4
Ramadhan Pohan menyatakan klarifikasi dengan menyajikan data rinci terkait posisi
(koordinat) pulau-pulau yang dimaksud didukung oleh data dari Badan Informasi
Geospasial dan institusi terkait lain. Pernyataan ini dilansir, salah satunya, oleh Jawa Post
tanggal 22 Januari 2012. Lihat: Jawa Pos National Network. 2013. “Ramadhan Pohan
Bantah Ada Pencaplokan Pulau Semakau”, diakses dari
http://www.jpnn.com/index.php?mib=berita.detail&id=155352 tanggal 22 Januari 2013.
5
Google Maps dijadikan salah satu referensi karena Google Maps merupakan domain
publik yang dijadikan acuan oleh berbagai pihak. Google Maps bukan dokumen hukum
tetapi menjadi titik awal untuk melakukan penelitian lebih lanjut. Lihat: Google Maps.
2013. “Pulau Semakau Besar”, diakses dari http://goo.gl/maps/gni24 tanggal 19 Januari
2013.
6
Google Maps. 2013. “Pulau Semakau Kecil”, diakses dari http://goo.gl/maps/ekoKC
tanggal 19 Januari 2013.
7
Lihat catatan kaki 4
8
Lihat misalnya pembahasan tentang Pulau Semkau terkait Semakau Landfill dari
National Environment Agency Singpura yang bisa diakses dari
http://app2.nea.gov.sg/semakaulandfill.aspx
28
JURNAL OPINIO JURIS
Vol. 12 Januari—April 2013
Gambar 1: Lokasi Pulau Pulau Semakau, Semakau Panjang (Besar) dan Semakau Baru
9
(Kecil)
Meskipun isu terkait Pulau Semakau sudah tuntas dan tidak lagi
menimbulkan perdebatan di Indonesia, ada satu fenomena penting untuk
dicatat. Isu kedaulatan atas pulau sangat sering muncul di Indonesia.
Berita tentang kemungkinan hilangnya pulau karena direbut oleh negara
lain sering disajikan oleh media massa dan menjadi konsumsi publik
yang mengundang perdebatan. Isu terkait Pulau Sipadan dan Ligitan
yang dipercaya banyak orang telah lepas dari Indonesia dan direbut
Malaysia menjadi semacam referensi umum yang selalu disebut jika ada
kasus terkait kedaulatan atas pulau. Tidak sedikit yang meyakini bahwa
9
Peta merupakan hasil kajian penulis dengan informasi lokasi Pulau Semakau diperoleh
dari pernyataan Ramadhan Pohan selaku Wakil Ketua Komisi I DPR.
29
JURNAL OPINIO JURIS
Vol. 12 Januari—April 2013
kasus Sipadan dan Ligitan akan terjadi lagi pada Indonesia. Pertanyaan
penting yang hendak dijawab dalam tulisan ini adalah “apakah Indonesia
akan kehilangan pulau?”
Makalah ini memulai pembahasan dengan pendefinisian pulau
dilanjutkan pembahasan beberapa kasus terkait kedaulatan atas pulau di
Indonesia. Kasus Sipadan dan Ligitan dibahas secara khusus mengingat
kasus ini dipahami secara kurang tepat oleh banyak pihak selama ini.
Salah satu bagian utama dari makalah ini adalah pembahasan mengenai
usaha menjaga pulau yang pada dasarnya adalah menjaga kedaulatan.
Makalah ini diakhiri dengan kesimpulan yang pada dasarnya untuk
menjawab pertanyaan penelitian utama makalah ini.
Mendefinisikan Pulau
Menurut Konvensi PBB tentang Hukum Laut atau United Nations
Convention on the Law of the Sea10 (selanjutnya disebut UNCLOS)11
10
Disepakati di Montego Bay, Jamaica pada tanggal 10 Desember 1982, mulai berlaku
pada tanggal 16 November 1994. Sampai Januari 2013, UNCLOS diratifikasi oleh 164
negara dan 1 Uni Eropa. Lihat: United Nations. 2013. “Chronological lists of ratifications
of, accessions and successions to the Convention and the related Agreements as at 23
January 2013”, diakses dari
http://www.un.org/Depts/los/reference_files/chronological_lists_of_ratifications.htm
tanggal 23 Januari 2013.
11
Istilah UNCLOS pada awalnya digunakan untuk menyingkat United Nations
Conference on the Law of the Sea, yaitu proses negosiasi yang menghasilkan konvensi
tersebut. Istilah UNCLOS juga dipakai untuk konvensi, salah satunya, karena singkat
untuk nama resmi konferensi dan konvensinya sama yaitu UNCLOS. Akademisi di
Australian National Centre for Ocean Resources and Security University of Wollongong,
misalnya, memilih menggunakan istilah Law of the Sea Convention (LOSC). Sementara
itu, akademisi dan pejabat publik di Amerika meyebut konvensi tersebut sebagai traktat
sehingga menggunakan LOST yang merupakan singkatan dari Law of the Sea Treaty.
Lihat tulisan: Edeson, W. R. 2000. “Law of the Sea Convention: Confusion over the Use
of ‘UNCLOS’, and References to other Recent Agreements”, The International Journal of
Marine and Coastal Law, Vol 15, Number 3.
30
JURNAL OPINIO JURIS
Vol. 12 Januari—April 2013
pulau adalah luasan tanah yang terbentuk alami, dikelilingi oleh air, yang
selalu muncul di atas permukaan air saat pasang.12 Sebuah pulau yang
memenuhi kriteria ini berhak atas laut teritorial (12 mil laut),13 zona
tambahan (24 mil laut),14 zona ekonomi ekslusif atau ZEE (200 mil laut)15
dan landas kontinen atau dasar laut (bisa mencapai 350 mil laut atau
lebih)16 seperti halnya daratan lain sesuai dengan yang diatur oleh
UNCLOS.17
Meski demikian, ada pengecualian untuk pulau yang berupa karang
dan tidak mampu mendukung kehidupan manusia dengan
kemampuannya sendiri. Karang hanya berhak atas laut teritorial, tidak
atas zona tambahan, ZEE maupun landas kontinen.18 Dengan kata lain,
hak atas kawasan laut sebuah karang jauh lebih kecil/sempit
dibandingkan dengan pulau.
Berdasarkan definisi yang diacu pada UNCLOS, tidak semua obyek
tanah yang menyembul di permukaan laut memenuhi syarat sebagai
pulau. Obyek yang muncul di permukaan air ketika air surut tetapi
tenggelam ketika air pasang bukanlah pulau, meskipun misalnya obyek
itu ditumbuhi tanaman atau bahkan digunakan untuk beraktivitas oleh
nelayan ketika berkunjung saat air surut. Obyek yang demikian disebut
dengan elevasi pasut atau low-tide elevation (LTE).19 LTE ini tidak berhak
atas kawasan laut kecuali jika lokasinya dalam laut teritorial yang diukur
12
UNCLOS, Pasal 121 (1)
UNCLOS, Pasal 3
14
UNCLOS, Pasal 33 (2)
15
UNCLOS, Pasal 57
16
UNCLOS, Pasal 76
17
UNCLOS, Pasal 121 (2)
18
UNCLOS, Pasal 121 (3)
19
UNLCOS, Pasal 13 (1)
13
31
JURNAL OPINIO JURIS
Vol. 12 Januari—April 2013
20
dari daratan utama atau pulau terdekat. LTE juga tidak bisa digunakan
sebagai lokasi titik pangkal21 bagi garis pangkal22 lurus kecuali padanya
telah didirikan mercusuar yang secara permanen selalu berada di atas
permukaan laut.23
Pemahaman terhadap definisi pulau ini penting, terutama ketika
menentukan jumlah pulau. Bagi Indonesia yang terdiri dari ribuan pulau,
keseragaman pemahaman ini penting agar tidak terjadi perbedaan
pandangan tentang jumlah pulau. Sensus dan penamaan pulau yang
melibatkan pemerintah daerah, misalnya, kadang menimbulkan
persoalan dalam menentukan jumlah pulau. Pemerintah daerah, di satu
sisi, memiliki kepentingan untuk menunjukkan bahwa daerahnya
memiliki area yang luas dalam rangka mendapatkan dana alokasi umum
(DAU) yang tinggi sehingga berusaha melaporkan sebanyak mungkin
pulau di wilayahnya. Usaha ini kadang menimbulkan pelaporan obyek
tertentu sebagai pulau padahal tidak memenuhi syarat sebagai pulau
menurut UNCLOS. Hal ini bisa menjadi salah satu penyebab perbedaan
data jumlah pulau di Indonesia.
Berbagai Kasus terkait Kedaulatan atas Pulau di Indonesia
Sengketa atas Pulau Sipadan dan Ligitan merupakan kasus paling
fenomenal terkait kedaulatan atas pulau yang dialami oleh Indonesia.
Kasus ini dibahas pada bagian tersendiri dalam makalah ini.
20
UNCLOS, Pasal 13 (2)
Titik pangkal atau basepoint adalah titik pada daratan yang menjadi titik hubung/temu
penggal garis pangkal. Dalam UNCLOS istilah yang ditunakan adalah point, seperti pada
pasal 7.
22
Garis pangkal adalah referensi yang menjadi titik awal pengukuran zona maritim.
Misalnya, laut teritorial diukur sejauh 12 mil laut dari garis pangkal suatu negara pantai.
Garis pangkal bisa berupa garis pangkal normal (UNCLOS, Pasal 5), garis pangkal lurus
(UNCLOS, Pasal 7) atau garis pangkal kepulauan (UNCLOS, Pasal 47).
23
UNCLOS, Pasal 7 (4)
21
32
JURNAL OPINIO JURIS
Vol. 12 Januari—April 2013
Kasus terkini yang melibatkan Pulau Semakau seperti yang dijelaskan
di pendahuluan mirip dengan kasus serupa di tahun 2005 ketika
beberapa pihak di Indonesia menuduh Malaysia mengklaim Pulau
Berhala. Waktu itu, Malaysia mengeluarkan suatu produk iklan yang
mempromosikan Pulau Berhala sebagai daerah tujuan wisata.24 Anggota
DPRD Sumatera Utara dan beberapa pihak yang yakin bahwa Indonesia
memiliki Pulau Berhala menganggap Malaysia telah melakukan klaim
sepihak atas pulau yang jelas-jelas menjadi bagian dari kedaulatan
Indonesia. Siaran Pers dari Kementerian Luar Negeri (waktu itu disebut
Departemen Luar Negeri) menegaskan bahwa ada lima Pulau Berhala
dengan rincian dua milik Indonesia dan tiga lainnya milik Malaysia. Yang
dipromosikan oleh Malaysia dalam iklan di tahun 2005 adalah Pulau
Berhala di Teluk Sandakan, dekat Pulau Borneo yang memang
merupakan wilayah Malaysia.25
Dari dua Pulau Berhala yang merupakan milik Indonesia, salah
satunya disengketakan oleh Propini Kepulauan Riau dan Propinsi Jambi.
Melalui keputusannya di awal 2012, Mahkamah Agung (MA)
menegaskan Pulau tersebut menjadi milik Kepulauan Riau. Rupanya
Jambi tidak menerima begitu saja dan kini meneruskan kasus itu dengan
mengajukan judicial review ke Mahkamah Konstitusi (MK).26 Saat
penulisan ini dilakukan, kasus Pulau Berhala ini belum diputuskan oleh
24
Arsana, I M.A. 2009. “Berhala: Is it Another Sipadan and Ligitan?” dalam Sutisna, S
(ed) Beyond Borders, Department of Geodetic Engineering, Yogyakarta.
25
Kemlu. 2005. “Siaran Pers: Mengenai Pulau Berhala: Perlu Pemahaman Mendalam
Terhadap Prinsip Hukum Negara Kepulauan”, diakses dari
http://www.deplu.go.id/_layouts/mobile/PortalDetailNewsLike.aspx?l=id&ItemID=67bb52d2-7619-4b09-b635-7e8b20060e36 tanggal 19
Januari 2013.
26
Lihat misalnya: Sumaryo. 2012. “Aspek Geospasial dalam Kasus Sengketa Pulau
Berhala”, Prosiding The 1st Conference on Geospatial Information Science and
Engineering, Yogyakarta, 20-22 November 2012
33
JURNAL OPINIO JURIS
Vol. 12 Januari—April 2013
MK. Kasus yang berlangsung lama ini merupakan salah satu penyebab
Pulau Berhala menjadi pusat perhatian dan masyarakat secara umum
memahami bahwa Pulau Berhala merupakan wilayah Indonesia. Hal ini
bisa menjadi salah satu penyebab kesalahpahaman dan dugaan atau
tuduhan bahwa Malaysia telah melakukan klaim karena memiliki pulau
dengan nama yang sama.
Isu lain terkait kedaulatan juga menimpa Pulau Miangas yang terjadi
tahun 2009. Tanpa konfirmasi yang pasti, beredar berita bahwa Filipina
memasukkan Pulau Miangas dalam s buah petanya. Sementara pelacakan
dan konfirmasi masih dilakukan, kekhawatiran ‘dicaploknya’ Pulau
Miangas oleh Filipina sudah tersebar di media massa. Terkait hal ini,
Gubernur Sulawesi Utara bahkan mengkhawatirkan Miangas akan
menjadi Sipadan dan Ligitan jilid II.27 Menurut sang Gubernur, Sipadan
dan Ligitan memang hilang dari kedaulatan Indonesia karena ‘direbut’
oleh Malaysia dan Miangas bisa bernasib sama. Merespon isu ini,
Kementerian Dalam Negeri menegaskan bahwa Pulau Miangas adalah
“bagian integral Indonesia.”28 Senada dengan itu, Kementerian Luar
Negeri juga menegaskan hal serupa bahwa Miangas secara tegas dan
meyakinkan merupakan bagian dari wilayah Indonesia.29
27
Kompas. 2009. “Miangas-Marore Bisa Jadi Sipadan-Ligitan Jilid II” diakses dari
http://lipsus.kompas.com/read/2009/01/12/20230463/Miangas-Marore.Bisa.Jadi.SipadanLigitan.Jilid.II tanggal 20 Januari 2013.
28
Hal ini disampaikan dalam siaran pers Juru Bicara Menteri Dalam Negeri, Saut
Situmorang tanggal 7 Februari 2009. Lihat: Media Indonesia. 2009. “Pulau Miangas
Bagian Integral Indonesia” diakes dari
http://www.mediaindonesia.com/index.php?ar_id=NTk2MzY= tanggal 15 Februari 2009
29
Pernyataan ini disampaikan oleh Meneri Hassan Wirrajuda yang dilansir The Jakarta
Post tanggal 14 Februari 2009. Lihat: The Jakarta Post. 2009. “Private mapmaker
suspected in border blunder” diakses dari
http://www.thejakartapost.com/news/2009/02/14/private-mapmaker-suspected-borderblunder.html tanggal 20 Januari 2013.
34
JURNAL OPINIO JURIS
Vol. 12 Januari—April 2013
Dalam hukum internasional yang berlaku dewasa ini dikenal prinsip
“uti possidetis juris” yang secara sederhana berarti wilayah atau batas
suatu negara mengikuti wilayah atau batas wilayah kekuasaan penjajah
atau pendahulunya.30 Dalam hal ini, wilayah Indonesia sama dengan
wilayah yang dikuasai Belanda di Nusantara. Data dan informasi
terpercaya menunjukkan bahwa Miangas memang masuk dalam wilayah
Belanda ketika Belanda berkuasa di Nusantara. Pembuktian kedaulatan
Belanda atas Miangas ini bahkan melalui arbitrase internasional dengan
Max Huber sebagai arbitrator tunggal. Hingga kini, keputusan ini
dianggap sebagai keputusan arbitrase paling fenomenal.31
Melalui keputusan 4 April 1928, Belanda dipastikan menjadi pemilik
sah Miangas setelah memenangkan kasus melawan Amerika Serikat.32
Inilah yang menjadi dasar hukum bahwa Pulau Miangas adalah bagian
tak terpisahkan dari Indonesia, sebagai penerus (successor) Belanda. Selain
bukti hukum berupa keputusan arbitrase pada zaman Belanda,
kedaulatan Indonesia atas Miangas juga ditegaskan secara hukum pada
masa kemerdekaan. Pada tahun 1976, Indonesia dan Filipina
menandatangani perjanjian ekstradisi yang secara nasional disahkan
dengan Undang-Undang Nomor 10 tahun 1976.33 Dalam perjanjian
ekstradisi tersebut, salah satu hal penting adalah pengakuan Filipina
pada kedaulatan Indonesia atas Miangas. Hal ini semakin menegaskan
bahwa kedaulatan Indonesia atas Miangas memang tidak terbantahkan.
30
Mak, JN. 2008. “Sovereignty in ASEAN and the Problems of Maritime Security in the
South China Sea”, S. Rajaratnam School of International Studies, Singapore.
31
Lihat analisis penulis atas kasus ini: Arsana, I M. A. 2009. “Miangas Island? No
Worries”, The Jakarta Post, 3 March 2009, Jakarta
32
Permanent Court Of Arbitration. 1924. “The Island Of Palmas Case (Or Miangas) United States Of America V. The Netherlands” Arbitrator M. Huber, The Hague
33
Lihat: Undang-Undagan Nomor 10 tahun 1976 tentang Pengesahan Perjanjian
Ekstradisi antara Republik Indonesia dan Republik Filipina serta Protokoler”
35
JURNAL OPINIO JURIS
Vol. 12 Januari—April 2013
Dengan adanya dasar hukum yang kuat seperti yang disebutkan
sebelumnya, maka tindakan fisik oleh negara lain yang berupa
kunjungan, aktivitas bisnis, memasukkan dalam peta dan sejenisnya,
tidak akan mengubah status kedaulatan atas Miangas. Oleh karena itu,
meskipun kebenaran dan alasan Filipina dalam memasukkan Miangas
dalam petanya perlu ditegaskan, kekhawatiran akan kehilangan Miangas
tidak perlu ada. Juru bicara Menteri Luar Negeri saat itu, Teuku
Faizasyah, menegaskan adanya kemungkinan kesalahan pihak pembuat
peta swasta dan itu tidak merepresentasikan posisi resmi pemerintah
Filipina.34
Kesalahpahaman yang terjadi pada Pulau Berhala tahun 2005 ternyata
terjadi lagi terhadap Pulau Semakau, seperti yang disampaikan pada
pendahuluan. Pada intinya, kekurangpahaman pihak tertentu di
Indonesia terhadap konfigurasi geografis negeri sendiri dan juga negeri
tetangga telah menimbulkan tuduhan dan kecurigaan yang tidak perlu.
Berbagai kasus yang terjadi di Indonesia terkait kedaulatan atas pulau
perlu menjadi pelajaran bagi siapa saja, terlebih aparat pemerintah.
Memahami dan Belajar dari Kasus Sipadan dan Ligitan
Sipadan dan Ligitan adalah dua pulau yang secara resmi telah
menjadi bagian dari kedaulatan Malaysia. Meski demikian, perlu diingat
kembali bahwa kedaulatan atas kedua pulau tersebut pernah
disengketakan oleh Indonesia dan Malaysia bahkah berujung pada
disidangkannya kasus itu di Mahkamah Internasional. Mahkamah
Internasional kemudian memutuskan pada tahun 2002 bahwa kedaulatan
34
Lihat catatan kaki 29
36
JURNAL OPINIO JURIS
Vol. 12 Januari—April 2013
atas kedua pulau itu diberikan kepada Malaysia.35 Sejak keputusan
Mahkamah Internasional terhadap kasus tersebut, Sipadan dan Ligitan
telah menjadi jargon yang penting dan menyejarah bagi Indonesia,
terutama ketika membahas isu kedaulatan dan hak berdaulat. Indonesia
yang memiliki ribuan pulau sangat rawan dengan isu perebutan atau
klaim mengklaim pulau sehingga ingatan masyarakat atas kasus Sipadan
dan Ligitan menjadi mudah bangkit dan menjadi perdebatan. Kasus lain
terkait batas maritim di Laut Sulawesi yang diwarnai dengan sengketa
atas blok eksplorasi minyak bernama Ambalat, juga sering diasosiasikan
dengan kasus Sipadan dan Ligitan ini.36
Kasus Sipadan dan Ligitan bermula pada tahun 1969 ketika Indonesia
dan Malaysia merundingkan delimitasi batas maritim antara keduanya di
Laut Sulawesi. Usaha delimitasi batas maritim di kawasan tersebut
merupakan bagian dari proses delimitasi batas maritim antara kedua
negara di dua kawasan yaitu Selat Malaka dan Laut China Selatan.
Selama proses delimitasi, Indonesia dan Malaysia menemukan bahwa
kedaulatan atas Sipadan dan Ligitan belum diputuskan dan masih belum
jelas bagi kedua negara. Dengan kata lain, kedua pulau itu tidak bertuan
atau dalam istilah hukum disebut terra nullius ketika keduanya
ditemukan.37 Indonesia dan Malaysia sama-sama mengklaim kedaulatan
atas kedua pulau tesebut namun tidak berhasil mencapai kesepakatan
final terkait kedaulatan atasnya. Kedua negara kemudian bersepakat
untuk memberi status quo kepada Sipadan dan Ligitan pada tahun 1969
35
International Court of Justice. 2002. “Sovereignty over Pulau Ligitan and Pulau
Sipadan (Indonesia/Malaysia)”, The Hague. Lihat: http://www.icj-cij.org/
docket/files/102/7714.pdf.
36
Lihat: Arsana, I M. A. 2010. “Penyelesaian Sengketa Ambalat dengan Delimitasi
Maritim: Kajian Geospasial dan Yuridis”, Jurnal Ilmiah Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu
Politik Vol. I No. 01, Tahun 2010
37
International Court of Justice, 2002 para. 108
37
JURNAL OPINIO JURIS
Vol. 12 Januari—April 2013
sehingga keberadaannya tidak berpengaruh pada usaha delimitasi batas
maritim yang sedang dilakukan oleh kedua negara.38
Indonesia dan Malaysia berusaha menyelesaikan masalah terkait
kedaulatan atas Sipadan dan Ligitan pada tahun 1988 hingga 1997
melalui perundingan namun gagal mencapai kesepakatan. Negosiasi
tersebut berawal dari pertemuan tingkat tinggi antara Presiden Soeharto
dari Indonesia dengan Perdana Menteri Malaysia, Mahathir Mohammad,
di Yogyakarta pada bulan Juni 1998.39 Setelah pertemuan tingkat tinggi
itu, serangkaian perundingan kemudian dilaksanakan dengan melibatkan
Joint Working Group Meetings, Senior Official Meetings, dan Joint Commission
Meetings. Sebelumnya pada tahun 1994, Indonesia dan Malaysia mencoba
membuat terobosan dengan menetapkan atau menunjuk perwakilan
masing-masing untuk negosiasi yang intensif. Indonesia menunjuk
Menteri Sekretaris Negara ketika itu, Moerdiono, dan Malaysia
menugaskan wakil perdana menterinya yaitu Anwar Ibrahim untuk
mewakili Malaysia dalam perundingan. Kedua perwakilan itu
melaksanakan empat pertemuan di Jakarta pada 17 Juli 1995 dan 16
September 1995, lalu di Kuala Lumpur pada 22 September 1995 dan 21
Juli 1996.40
Setelah melaksanakan perundingan yang intensif dan alot, kedua
perwakilan ini tidak melihat titik terang bahwa Indonesia dan Malaysia
akan mampu menyelesaikan sengketa kedaulatan atas Sipadan dan
Ligitan melalui jalur perundingan. Akhirnya, Presiden Soeharto dan PM
Mahatir Mohammad sepakat menyerahkan proses ajudikasi dengan
membawa kasus tersebut ke pihak ketiga. Pada tahun 1997, Indonesia
38
Wirajuda, Hassan. 2004. ”Memaknai Penyelesaian Sengketa Pulau Sipadan dan Pulau
Ligitan”. Dalam Sutisna, S. (ed) “Pandang Wilayah Perbatasan Indonesia”. Jakarta: Pusat
Pemetaan Batas Wilayah, Bakosurtanal.
39
Wirajuda, H. 2004. p. 128
40
Lihat catatan kaki 39
38
JURNAL OPINIO JURIS
Vol. 12 Januari—April 2013
dan Malaysia menandatanagani kesepakatan khusus untuk membawa
kasus Sipadan dan Ligitan ke Mahkamah Internasional yang disebut
dengan Special Agreement for the Submission to the ICJ the Dispute between
Indonesia and Malaysia concerning the Sovereignty over Pulau Sipadan and
Ligitan.41 Dengan kata lain, kedua pihak bersepakat untuk meminta
bantuan pihak ketiga dalam menyelesaikan kasus di antara mereka dan
kasus itu diserahkan kepada Mahkamah Internasional pada tahun 1997.
Kasus Sipadan dan Ligitan memakan waktu selama lima tahun dalam
penyelesaiannya di Mahkamah Internasional hingga akhirnya Mahkamah
mengumumkan keputusannya pada 17 Desember 2002.42 Mahkamah
Internasional memutuskan kedaulatan atas kedua pulau tersebut dengan
menerapkan prinsip effectivités atau penguasaan efektif. Mahkamah
Internasional memastikan bahwa Inggris, selaku penjajah atau pendahulu
Malaysia, terbukti telah melakukan penguasaan efektif terhadap kedua
pulau tersebut. Hal ini ditunjukkan dengan penerapan dan pemberlakuan
aturan terkait pengumpulan telur penyu dan didirikannya cagar alam
untuk perlindungan burung. Dalam pendapatnya, Mahkamah
Internasional melihat bahwa tindakan ini bisa dipandang sebagai
penegasan administrasi dan hukum atas kekuasaan pada suatu wilayah
atau territory. Dalam keputusan Mahkamah Internasional hal ini
ditegaskan sebagai “regulatory and administrative assertions of authority over
territory”.43 Selain itu, Mahkamah Internasional juga memutuskan bahwa
pembangunan mercusuar oleh Inggris di pulau tersebut dianggap cukup
untuk mendukung klaim Malaysia terhadap kedaulatan atas Sipadan dan
Ligitan.44 Perlu juga diingat bahwa berdasarkan permintaan Indonesia
41
Wirajuda H. 2004. p. 129
International Court of Justice, 2002
43
International Court of Justice, 2002. Para 145
44
International Court of Justice, 2002. Para 147
42
39
JURNAL OPINIO JURIS
Vol. 12 Januari—April 2013
dan Malaysia, Mahkamah utamanya menganalisa apa yang terjadi
sebelum tahun 1969, karena keduanya telah bersepakat menjadikan tahun
ini sebagai waktu kritis atau critical date dan pada tahun itulah kedua
negara menyatakan klaim atas kedua pulau tersebut.45 Dengan
memahami keputusah Mahkamah Internasional ini, pembangunan
fasilitas wisata pada kedua pulau itu yang dilakukan sebagian besar oleh
Malaysia setelah tahun 1969 secara hukum tidak turut memengaruhi
keputusan Mahkamah Internasional. Apa yang terjadi setelah tahun 1969,
sesuai kesepakatan Indonesia dan Malaysia, tidak berpengaruh pada
kedaulatan atas Sipadan dan Ligitan.
Dengan memahami keputusan Mahkamah Internasional, terlihat
bahwa, kasus Sipadan dan Ligitan berbeda konteksnya dengan kasus
Pulau Berhala atau Pulau Semakau. Sipadan dan Ligitan adalah dua
pulau yang terra nullius ketika disengketakan oleh Indonesia dan
Malaysia. Jika mengikuti konsep uti possidetis juris, maka hal pertama
yang harus ditentukan adalah apakah Sipadan atau Ligitan masuk dalam
jajahan Inggris atau Belanda. Ternyata keduanya tidak terbukti secara
meyakinkan termasuk dalam wilayah jajahan Inggris maupun Belanda.
Ini bisa dilihat dari peta-peta zaman penjajahan. Oleh karena itulah,
kedua pulau itu tidak bisa secara otomatis diakui oleh Indonesia maupun
Malaysia.46 Untuk kasus pulau-pulau yang terra nullius seperti ini maka
prinsip effectivités atau penguasaan efektif menjadi berlaku dalam
menentukan kedaulatannya. Dengan kata lain, pertanyaan “siapa yang
telah mengelola, siapa yang sudah mengembangkan, dan siapa yang
menduduki” penting untuk menentukan kedaulatan atas sebuah pulau
45
International Court of Justice, 2002. Para 135
Lihat juga Pidato Kenegaraan Presiden Megawati pada tanggal 15 Agustus 2003 yang
salah satu isinya adalah merespon keputusan Mahkamah Internasional terkait Sipadan dan
Ligitan, bisa diakses dari http://kepustakaanpresiden.pnri.go.id/uploaded_files/pdf/speech/normal/megawati11.pdf
46
40
JURNAL OPINIO JURIS
Vol. 12 Januari—April 2013
jika pulau itu tidak ada yang memiliki. Sebaliknya, jika pulau tersebut
sudah resmi menjadi bagian dari suatu negara maka penguasaan dan
pengelolaan atasnya tidak akan mengubah status kedaulatan
terhadapnya.
Dalam pernyataan tidak resmi seorang pejabat negara yang
menjelaskan kasus ini dengan cukup cerdas, Indonesia tidak kehilangan
pulau, hanya saja memang gagal menambah dua pulau. Pernyataan ini
mungkin terdengar seperti kelakar tetapi secara cerdas dan sederhana
dapat menjelaskan apa yang terjadi dengan Sipadan dan Ligitan. Dengan
kata lain, dapat disimpulkan bahwa Indonesia tidak pernah kehilangan
pulau secara hukum karena memang tidak pernah memiliki pulau
tersebut. Penjelasan tentang kasus Sipadan dan Ligitan ini bisa disimak
dengan rinci pada putusan Mahkamah Internasional.47
Meski keputusan Mahkamah Internasional sudah sedemikian jelas,
anggapan masyarakat bahwa Sipadan dan Ligitan lepas dari Indonesia
tetap ada. Ada setidaknya dua penyebabnya. Yang pertama adalah
pemberitaan media massa yang tidak sesuai kondisi sebenarnya. Media
cukup mudah menyalahartikan istilah penguasaan efektif yang menjadi
dasar keputusan, terutama terkait waktu krits tahun 1969 yang
digunakan sebagai dasar. Tidak sedikit media yang menyampaikan
bahwa penguasaan efektif tersebut termasuk tindakan Malaysia
mengelola pulau itu sejak tahun 1969. Dengan demikian muncul
pemahaman bahwa Indonesia kalah dalam kasus itu karena Malaysia
sudah merawat pulau itu dengan mendirikan resor dan membangun
fasilitas wisata lainnya.
Sebab kedua adalah kenyataan bahwa pada Pulau Sipadan dan
Ligitan memang pernah ditetapkan titik pangkal (basepoints) yang
47
Lihat catatan kaki 35.
41
JURNAL OPINIO JURIS
Vol. 12 Januari—April 2013
membentuk garis pangkal kepulauan Indonesia. Dalam Peraturan
Pemerintah (PP) nomor 38 tahun 2002,48 ada titik pangkal yang berlokasi
di kedua pulau tersebut seakan-akan keduanya sudah merupakan bagian
dari Indonesia. Mereka yang memiliki kepedulian pada masalah hukum
tentu akan menganggap ini sebagai tindakan Indonesia yang menyatakan
bahwa kedua pulau itu memang pernah diakui sebagai bagian dari
Indonesia. Dengan keputusan Mahkamah Internasional tahun 2002, PP
ini kemudian direvisi dengan PP nomor 37 nomor 2008.49 Revisi ini
bertujuan untuk mengubah konfigurasi garis pangkal kepulauan
Indonesia secara umum sehingga kini menggunakan pulau terluar yang
resmi menjadi milik Indonesia serta menjamin garis pangkal yang
tertutup, melingkupi seluruh wilayah Indonesia.50
Menyimak pemaparan sebelumnya, bisa disimpulkan bahwa
Indonesia memang tidak kehilangan pulau Sipadan dan Ligitan karena
tidak pernah memilikinya secara hukum. Meski demikian, istilah
“Indonesia kalah oleh Malaysia” ada benarnya yaitu kalah dalam hal
memperebutkan dua pulau tidak bertuan untuk menjadi bagian dari
kedaulatan negara masing-masing. Kekalahan ini tidak saja ditentukan
oleh tindakan Indonesia dan Malaysia tetapi juga oleh Belanda dan
Inggris sebagai pendahulu kedua negara.
48
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 71 (2002) Peraturan Pemerintah No.
38/2002 tentang Daftar Koordinat Geografis Titik-Titik Garis Pangkal Kepulauan
Indonesia. Diakses dari http://www.setneg.go.id/ tanggal 15 Agustus 2009.
49
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 77 (2008) Peraturan Pemerintah No.
37/2008 tentang Perubahan atas Peraturan Pemerintah Nomor 38 Tahun 2002 tentang
Daftar Koordinat Geografis Titik-Titik Garis Pangkal Kepulauan Indonesia. Diakses dari
http://www.setneg.go.id/ tanggal 15 Agustus 2009.
50
Lihat pembahasan tentang revisi garis pangkal kepulauan Indonesia pada Schofield, C.
and Arsana, I MA. (2009) Closing the Loop: Indonesia’s revised archipelagic baselines
system, Australian Journal of Maritime and Ocean Affairs; Volume 1, Issue 2; 2009; 5762.
42
JURNAL OPINIO JURIS
Vol. 12 Januari—April 2013
Menjaga Pulau, Menjaga Kedaulatan
Kekhawatiran kehilangan pulau tidak seharusnya terjadi pada
Indonesia. Meski demikian, menjaga pulau-pulau terluar merupakan
kewajiban. Ada beberapa hal pening yang harus dilakukan dan dipahami
oleh masyarakat, terutama pejabat pemerintah terkait persoalan pulau
dan kedaulatan. Hal pertama dan utama adalah pemahaman yang cukup
baik akan konfigurasi geografis Indonesia. Penduduk dan terutama
pejabat negara sebaiknya paham akan informasi geografis dasar Negara
Kesatuan Republik Indonesia. Tentu memerlukan usaha yang serius
untuk memahami Indonesia yang terdiri dari 17 ribu lebih pulau,
beragam suku bangsa dan bahasa. Selain itu, informasi geografis negara
tetangga juga perlu dipahami. Dalam kasus Pulau Semakau dan Pulau
Berhala misalnya, terlihat betapa pentingnya memahami bahwa negara
tetangga juga memiliki pulau dengan nama yang sama dengan pulau
yang dimiliki Indonesia. Tentu tidak baik jika ada pihak yang menjadi
geram dan emosional menuduh negara tetangga melakukan tindakan
tidak terpuji hanya karena pemahaman geografis terhadap pulau-pulau
yang tidak memadai. Ini harus menjadi motivasi bagi masyarakat dan
pejabat negara untuk belajar aspek geospasial51 dari bangsa sendiri dan
negara tetangga.
Kedua, perlu dipahami bahwa kedaulatan atas sebuah pulau yang
sudah pasti menjadi bagian wilayah suatu negara tidak akan dengan
mudah berpindah ke negara lain hanya karena negara lain
mengklaimnya. Dengan kata lain, kedaulatan atas pulau yang sudah
51
Istilah “geospasial” digunakan untuk segala hal yang terkait aspek keruangan/posisi
(space) yang terkait dengan bumi (geo). Dalam konteks ini, aspek geospasial adalah
aspek lokasi dan deskripsi geografis wilayah NKRI dan posisinya relatif terhadap negaranegara tetangga. Pemahaman geospasial ini juga sangat penting untuk memahami konteks
geopolitik suatu negara.
43
JURNAL OPINIO JURIS
Vol. 12 Januari—April 2013
resmi menjadi milik Indonesia tidak akan berpindah dengan mudah ke
negara tetangga, misalnya Singapura, hanya karena Singapura
mengajukan klaim kepemilikan. Hal ini berbeda halnya dengan pulau
yang memang belum jelas kepemilikannya. Pulau yang demikian disebut
terra nullius yaitu pulau tidak bertuan sehingga usaha klaim aktif dan
pendudukan efektif akan berpengaruh pada kepemilikan terhadapnya.
Dalam kasus Indonesia, sudah tidak ada lagi pulau dengan status terra
nullius sehingga usaha penguasaan efektif untuk tujuan membuktikan
kedaulatan tidak perlu dilakukan.
Ketiga, dari kasus Sipadan dan Ligitan bisa dipahami bahwa untuk
pulau yang belum jelas kepemilikannya maka klaim dan penguasaan
efektif memang penting dilakukan dan itu menentukan kedaulatan.
Meski demikian, hal ini tidak berlaku pada pulau yang sudah jelas
kepemilikannya. Penguasaan atau perhatian terhadap sebuah pulau
terluar perlu dilakukan untuk alasan kesejahteraan penduduk di sekitar
atau untuk alasan kelestarian lingkungan, bukan untuk melindungi pulau
itu agar tidak direbut negara lain. Untuk pulau kecil terluar yang
dijadikan lokasi titik pangkal (basepoints) kehadiran negara diperlukan
untuk menjaganya sehingga terlindungi secara fisik dan sedapat mungkin
tidak terabrasi/tenggelam sehingga dapat mengganggu konfirgurasi titik
pangkal dan garis pangkal.
Hukum internasional tidak membenarkan suatu negara mengklaim
kedaulatan atas suatu pulau yang sudah resmi menjadi milik suatu
negara. Sekali lagi kehadiran negara di pulau-pulau kecil atau terluar
sangatlah penting dalam segala manifestasi yang mungkin. Hal ini untuk
alasan yang lebih pragmatis terkait kesejahteraan masyarakat. Kehadiran
negara perlu untuk menjamin masyarakat secara ekonomi, menyediakan
fasilitas kesehatan serta infrastruktur yang memadai. Mengirimkan
sejumlah besar orang dari ibukota negara untuk melakukan upacara
bendera di sebuah pulau terpencil bisa jadi merupakan gagasan yang baik
tetapi harus tetap diperhatikan bahwa masyarakat memerlukan lebih dari
sekedar kesenangan sesaat di hari-hari penting seperti hari kemerdekaan.
44
JURNAL OPINIO JURIS
Vol. 12 Januari—April 2013
Pada akhirnya kesetiaan masyarakat terhadap negaranya ditentukan juga
oleh manfaat pragmatis yang mereka peroleh.
Keempat, sangat penting untuk memiliki pemahaman dasar
kartografis,52 bagaimana peta menggambarkan wilayah dan kedaulatan
suatu negara. Hal ini terkait dengan kasus Pulau Semakau dan Pulau
Miangas yang dijelaskan sebelumnya. Pemilihan warna, intensitas,
ketebalan garis dan terutama legenda peta akan menunjukkan pada
pembaca maksud dari masing-masing obyek di peta tersebut. Penting
untuk dipahami bahwa dimasukkannya suatu pulau milik negara A pada
peta nasional negara B tidak selalu berarti pulau itu diklaim oleh negara
B. Dalam peta Indonesia yang lengkap, misalnya, tidak mungkin tidak
memasukkan keseluruhan Singapura atau sebagian Malaysia yang sama
sekali tidak menunjukkan klaim Indonesia atas kedua negara itu.53
Kesimpulan
Dari analisis pada bagian sebelumnya dari makalah ini bisa
disimpulkan bahwa Indonesia tidak pernah kehilangan dan tidak akan
kehilangan pulau karena status kedaulatan atas pulau-pulau Indonesia
sudah jelas. Pemahaman terhadap kasus Sipadan dan Ligitan perlu
52
Secara sederhana, kartografi merupakan ilmu dan seni pembuatan peta. Peta adalah
representasi permukaan bumi yang diusahakan sedekat mungkin dengan aslinya. Meski
demikian, peta tetaplah hanya representasi sehingga pasti ada hal yang tidak sama dengan
kenyataannya di permukaan bumi. Oleh kerena itulah perlu pengetahuan kartografis dasar
dalam membaca peta sehingga tidak salah dalam menyerap informasi yang
ditampilkannya. Lihat misalnya: Arsana, I M.A. 2010. “Maps mark borders, and yet
always lies”, The Jakarta Post, 22 November 2010, Jakarta; Arsana, I M.A. 2011. “Urgent
use of cartohypnosis in border dispute settlement”, The Jakarta Post, 26 October 2011,
Jakarta
53
Untuk analisis penulis terkait kasus Pulau Semakau dan pelajaran yang bisa diambil,
lihat: Arsana, I M.A. 2013, Are we losing more islands after Sipadan-Ligitan dispute?
The Jakarta Post, 30 January 2013.
45
JURNAL OPINIO JURIS
Vol. 12 Januari—April 2013
diluruskan bahwa Indonesia tidak kehilangan tetapi kalah
memperjuangkan kedaulatan yang memang tadinya belum pasti.
Meski tidak perlu ada kekhawatiran akan kehilangan pulau,
perhatian dan kehadiran negara di semua wilayah Indonesia tanpa
kecuali tetaplah suatu keharusan. Semua itu dilakukan untuk alasan
pragmatis terkait kesejahteraan dan alasan lingkungan, bukan karena
ketakutan bahwa pulau itu akan direbut oleh negara lain.
Daftar Pustaka
Arsana, I M.A. 2009. “Berhala: Is it Another Sipadan and Ligitan?” dalam Sutisna, S
(ed) Beyond Borders, Department of Geodetic Engineering, Yogyakarta.
Arsana, I M.A. 2009. “Miangas Island? No Worries”, The Jakarta Post, 3 Maret 2009,
Jakarta
Arsana, I M.A. 2010. “Penyelesaian Sengketa Ambalat dengan Delimitasi Maritim:
Kajian Geospasial dan Yuridis”, Jurnal Ilmiah Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu
Politik Vol. I No. 01, Tahun 2010
Arsana, I M.A. 2010. “Maps mark borders, and yet always lies”, The Jakarta Post, 22
November 2010, Jakarta.
Arsana, I M.A. 2011. “Urgent use of cartohypnosis in border dispute settlement”, The
Jakarta Post, 26 October 2011, Jakarta
Arsana, I M.A. 2013, “Are we losing more islands after Sipadan-Ligitan dispute?” The
Jakarta Post, 30 January 2013.
Edeson, W. R. 2000. “Law of the Sea Convention: Confusion over the Use of ‘UNCLOS’,
and References to other Recent Agreements”, The International Journal of Marine
and Coastal Law, Vol 15, Number 3.
Google Maps. 2013. “Pulau Semakau Besar”, diakses dari http://goo.gl/maps/gni24
tanggal 19 Januari 2013.
Google Maps. 2013. “Pulau Semakau Kecil”, diakses dari http://goo.gl/maps/ekoKC
tanggal 19 Januari 2013.
International Court of Justice, 2002. “Sovereignty over Pulau Ligitan and Pulau Sipadan
(Indonesia/Malaysia)”,
diakes
dari
Lihat:
http://www.icj-cij.org/
docket/files/102/7714.pdf tanggal 20 Januari 2013.
Jawa Pos National Network. 2013. “Ramadhan Pohan Bantah Ada Pencaplokan Pulau
Semakau”,
diakses
dari
http://www.jpnn.com/index.php?mib=berita.detail&id=155352 tanggal 22 Januari
2013.
Kemlu. 2005. “Siaran Pers: Mengenai Pulau Berhala: Perlu Pemahaman Mendalam
Terhadap
Prinsip
Hukum
Negara
Kepulauan”,
diakses
dari
http://www.deplu.go.id/_layouts/mobile/PortalDetail-
46
JURNAL OPINIO JURIS
Vol. 12 Januari—April 2013
NewsLike.aspx?l=id&ItemID=67bb52d2-7619-4b09-b635-7e8b20060e36 tanggal
19 Januari 2013.
Kompas. 2009. “Miangas-Marore Bisa Jadi Sipadan-Ligitan Jilid II” diakses dari
http://lipsus.kompas.com/read/2009/01/12/20230463/MiangasMarore.Bisa.Jadi.Sipadan-Ligitan.Jilid.II tanggal 20 Januari 2013.
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 71. 2002. “Peraturan Pemerintah No.
38/2002 tentang Daftar Koordinat Geografis Titik-Titik Garis Pangkal Kepulauan
Indonesia”, diakses dari http://www.setneg.go.id/ tanggal 15 Agustus 2009.
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 77. 2008. “Peraturan Pemerintah No.
37/2008 tentang Perubahan atas Peraturan Pemerintah Nomor 38 Tahun 2002
tentang Daftar Koordinat Geografis Titik-Titik Garis Pangkal Kepulauan
Indonesia”, diakses dari http://www.setneg.go.id/ tanggal 15 Agustus 2009.
Mak, JN. 2008. “Sovereignty in ASEAN and the Problems of Maritime Security in the
South China Sea”, S. Rajaratnam School of International Studies, Singapore.
Media Indonesia. 2009. “Pulau Miangas Bagian Integral Indonesia” diakes dari
http://www.mediaindonesia.com/index.php?ar_id=NTk2MzY=
tanggal
15
Februari 2009
National Environgment Agency of Singapore. 2013. “Semakau Landfill”, diakses dari
http://app2.nea.gov.sg/semakaulandfill.aspx tanggal 26 Januari 2013.
Okezone. 2013. “Kemlu: Pulau Semakau ada di Indonesia dan Singapura”, diakses dari
http://international.okezone.com/read/2013/01/19/411/748659/kemlu-pulausemakau-ada-di-indonesia-singapura tanggal 19 Januari 2013.
Okezone. 2013. “Pulau Semakau Dicamplok Negara Singapura”, diakses dari
http://news.okezone.com/read/2013/01/19/340/748669/pulau-semakau-dicaploknegara-singapura tanggal 19 Januari 2013.
Permanent Court Of Arbitration. 1928. “The Island Of Palmas Case (Or Miangas) United States Of America V. The Netherlands” Arbitrator M. Huber, The Hague
Schofield, C. and Arsana, I MA. 2009. “Closing the Loop: Indonesia’s revised
archipelagic baselines system”, Australian Journal of Maritime and Ocean Affairs;
Volume 1, Issue 2; 2009; 57-62.
Soekarnoputri, M. 2003. “Pidato Kenegaraan Presiden R.I. Dan Keterangan Pemerintah
Atas Ruu Tentang RAPBN 2004 Serta Nota Keuangannya di Depan Sidang DPR
RI, Jakarta, 15 Agustus 2003”, Kepustakaan Presiden-Presiden Republik
Indonesia,
Jakarta.
Diakses
dari
http://kepustakaanpresiden.pnri.go.id/uploaded_files/pdf/speech/normal/megawati11.pdf tanggal 31
Januari 2013.
Sumaryo. 2012. “Aspek Geospasial dalam Kasus Sengketa Pulau Berhala”, Prosiding
The 1st Conference on Geospatial Information Science and Engineering,
Yogyakarta, 20-22 November 2012.
The Jakarta Post. 2009. “Private mapmaker suspected in border blunder” diakses dari
http://www.thejakartapost.com/news/2009/02/14/private-mapmaker-suspectedborder-blunder.html tanggal 20 Januari 2013.
47
JURNAL OPINIO JURIS
Vol. 12 Januari—April 2013
United Nations. 1982. “United Nations Convention on the Law of the Sea”, diakses dari
<http://www.un.org/Depts/los/convention_agreements/tets/unclos/ unclos_e.pdf>
tanggal 30 Januari 2013.
United Nations. 2013. “Chronological lists of ratifications of, accessions and successions
to the Convention and the related Agreements as at 23 January 2013”, diakses dari
http://www.un.org/Depts/los/reference_files/chronological_lists_of_ratifications.ht
m tanggal 23 Januari 2013.
Wirajuda, H. 2004. ”Memaknai Penyelesaian Sengketa Pulau Sipadan dan Pulau
Ligitan”. Dalam Sutisna, S. (ed) “Pandang Wilayah Perbatasan Indonesia”.
Jakarta: Pusat Pemetaan Batas Wilayah, Bakosurtanal.
exist for the purpose of establishing justice and when
“ Lawtheyandfailorder
in this purpose they become the dangerously structured
dams that block the flow of social progress.
”
- Martin Luther King Jr. -
48
JURNAL OPINIO JURIS
Vol. 12 Januari—April 2013
KEGIATAN MILITER DI ZEE DAN PELAKSANAAN
HOT PURSUIT DI INDONESIA1
Kresno Buntoro
Abstrak
Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE) adalah suatu rezim baru yang diatur
dalam Konvensi Perserikatan Bangsa-bangsa tentang Hukum Laut
(UNCLOS). Banyak ahli menilai bahwa ketentuan-ketentuan tentang
ZEE sebagaimana tercantum dalam UNCLOS merupakan bagian dari
hukum kebiasaan internasional dan praktik bangsa-bangsa. Negara
diakui memiliki kedaulatan atas ZEE yang dimilikinya. Definisi dari
hak-hak kedaulatan didefinisikan oleh para ahli dalam makna yang
berbeda. Beberapa ahli mengartikan bahwa ZEE merupakan suatu hak
khusus diantara kedaulatan negara dan kebebasan negara di laut lepas,
dan yang lainnya berpikir bahwa status ZEE sama dengan status laut
lepas dalam lingkup navigasi. Dewasa ini, aktifitas militer yang
dijalankan oleh negara di ZEE menyebabkan beberapa konflik dan krisis
karena kegiatan tersebut dilakukan di ZEE dari negara lain. Konflikkonflik tersebut mempertanyakan hak dan kewajiban dari negara pantai
dan negara lain dalam ZEE yang terkait dengan kegiatan militer,
pengumpulan data dan implementasi dari pengejaran seketika oleh
otoritas militer asing di ZEE.
Kata Kunci: Zona Ekonomi Eksklusif, Kegiatan Militer, Pengejaran
Seketika.
Abstract
The Exclusive Economic Zone (EEZ) is a new regime which is
regulated in the United Nations Convention on the Law of the Sea
(UNCLOS). There are many experts consider that the provisions of
EEZ as set forth in UNCLOS are parts of international customary law
and states practices. It is recognized that a state has sovereign rights
1
Artikel ini juga disampaikan pada Seminar Nasional dengan tema “30 Tahun Konvensi
Hukum Laut PBB (UNCLOS) 1982 dan Tantangan Diplomasi Kelautan Indonesia”, 13
November 2012 di Palembang. Paper ini merupakan pendapat pribadi penulis, sehingga
tidak terkait dengan institusi dimana penulis bekerja.
49
JURNAL OPINIO JURIS
Vol. 12 Januari—April 2013
over its EEZ. The definition of sovereign rights was defined by the
experts in some different meanings. Some of the experts define that it is
a special right between sovereignty of a state and the freedom of other
states in high seas, and the others think that the status of EEZ is
similar with the status of high seas in the scope of navigation.
Nowadays, the military activity which is exercised by state in EEZ
causes some conflicts and crisis because it is exercised in the EEZ by
the other states. Those rising conflicts challenge the right and
obligation of coastal state and the other state in EEZ related to the
military activity, data collection and the implementation of hot pursuit
by foreign military force in EEZ.
Keywords: Exclusive Economic Zone, Military Activities, Hot Pursuit.
Pendahuluan
Ketentuan hukum internasional dan Konvensi Hukum Laut PBB
tahun 1982 (Law of the Sea Convention/LOSC)2 membagi wilayah negara
dalam dua bagian yaitu laut/perairan wilayah suatu negaradan laut
yang bukan wilayah suatu negara. Laut atau perairan yang menjadi
wilayah suatu negara yaitu perairan pedalaman, perairan kepulauan dan
laut territorial, dimana negara pantai/kepulauan mempunyai
kedaulatan.3 Sedangkan laut yang bukan merupakan wilayah suatu
negara adalah Zona Tambahan, Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE), Landas
Kontinen, laut bebas dan dasar laut dalam (deep seabed/area).4 Di masingmasing zona maritim tersebut negara pantai (kepulauan) mempunyai
2
The United Nations Conventionon the Law of the Sea, 10 December 1982, UNTS 1833
at 3 (entered into force 16 November 1994), online:United Nations
<http://www.un.org/Depts/los/convention_agreements/convention_overview_convention.
htm>[selanjutnya digunakan istilah LOSC]
3
Indonesia mengatur laut yang menjadi wilayah Indonesia dalam istilah Perairan
Indonesia diatur dalam UU Nomor 6 Tahun 1996 tentang Perairan Indonesia.
4
Beberapa ahli dan buku memasukan “selat untuk pelayaran internasional” (strait used for
international navigation) sebagai bagian dari zona maritim.Lihat Martin Tsamenyi dalam
materi kuliah di Seskoal.
50
JURNAL OPINIO JURIS
Vol. 12 Januari—April 2013
hak, kewajiban dan kewenangan yang berbeda-beda, demikian pula
kapal ataupun wahana laut lainnya mempunyai hak dan kewajiban yang
berbeda-beda pula ketika bernavigasi di zona maritim ini.
ZEE merupakan rezim baru yang diatur dalam Konvensi Hukum
Laut PBB tahun 1982. Sebagai zona maritim baru pengaturan dalam ZEE
dapat dikatakan cukup banyak yaitu dalam Bab V LOSC pasal 55 sampai
75.5 Banyak ahli berpendapat bahwa pengaturan ZEE yang ada di
Konvensi merupakan bagian dari international customary law dan
prakteknegara-negara.6 Pengaturan utama dalam zona maritim ini antara
lain hak negara pantai untuk memanfaatkan sumber daya alam,
perlindungan lingkungan laut, riset ilmiah kelautan dan lain-lain. Dalam
praktek negara-negara di ZEE masih banyak permasalahan7 yang muncul
antara lain hubungan batas ZEE dengan landas kontinen, hubungan
aktivitas di ZEE dengan landas kontinen, termasuk juga apakah rezim
ZEE dan landas kontinen yang 200 mil laut adalah sama.8
5
Apabila dibandingkan dengan pengaturan tentang alur laut kepulauan yang merupakan
konsep baru juga, dimana hanya diatur dalam 2 pasal, maka ZEE pengaturannya cukup
lengkap. Demikian juga tentang lintas transit dan negara kepulauan diatur cukup lengkap.
6
Continental Shelf Tunisia/Lybia judgement, [1982] I.C.J. Rep. 18; Case Concerning
Delimitation of the Maritime Boundary of the Gulf of Maine (Canada/United States),
[1984] I.C.J. Rep. 246, 294; Sohn & Gustafson 122; 2 Restatement (Third), sec. 514
Comment a & Reporters’ , 56 & 62.; Horace B Robertson Jr, Navigation in the Exclusive
Economic Zone, Virginia Journal International Law, 24:4, 865-866.
7
Permasalahan ini selalu bermula pada kepentingan negara maritim besar dan negara
pantai yaitu pertentangan antara mare liberum dan mare clausum.Lihat, CE Pirtle,
‘Military Uses of Ocean Space and the Law of the Sea in the New Millennium’ (2000), 31
Ocean Developments and International Law, 7, 11.
8
Ada pendapat bahwa rezim ZEE meliputi landas kontinen selebar 200 mil laut. Dalam
hal ini pengaturan ZEE dan landas kontinen selebar 200 mil laut adalah sama baik dari
jaraknya, pengaturannya, dan hak/kewajiban yang dimiliki oleh negara. Dalam beberapa
pasal dalam LOSC yang mengatur ZEE dan landas kontinen saling terkait.
51
JURNAL OPINIO JURIS
Vol. 12 Januari—April 2013
Pertentangan yang mengemuka terkait dengan kegiatan militer di
ZEE negara lain adalah bagaimana hak dan kewajiban negara pantai dan
negara pengguna di ZEE terkait dengan kegiatan militer, survei hidroosenaografi dan pengumpulan data/informasi intelejen. Oleh sebab itu
dalam paper singkat ini akan dijelaskan hak dan kewajiban negara pantai
dan negara pengguna terkait dengan aktivitas militer di ZEE; apakah
yang dimaksud dengan freedom of navigation dan overflight di ZEE, apakah
yang dimaksud negara kegiatan militer; dan implementasi dari hot pursuit
yang dilakukan oleh kekuatan militer asing di ZEE Indonesia.
Hak dan Kewajiban Negara di ZEE
ZEE merupakan zona yang berada antara laut teritorial dan laut
bebas. Oleh sebab itu banyak negara yang mengatakan bahwa
pengaturan ZEE harus berbeda dengan pengaturan di laut bebas maupun
di laut teritorial. Konsep kewenangan yang dikenal dalam ZEE ini adalah
hak berdaulat (sovereign rights).9 Pengertian sovereign rights oleh banyak
ahli diartikan dengan bermacam-macam, antara lain ada yang
berpendapat bahwa sovereign right merupakan hak khusus yang berada
diantara hak kedaulatan (sovereignty) dengan kebebasan suatu negara
(freedom of high seas) di laut bebas. Selain itu ada ahli yang mengatakan
bahwa jika berbicara tentang navigasi maka status hukum dari ZEE
adalah sama dengan laut bebas.10 Tentu saja status hukum ZEE harus
9
Amerika berpendapat bahwa ZEE merupakan zona yang khusus diperuntukan untuk
aktivitas ekonomi Negara pantai dan tidak untuk pelaksanaan hak lainnya. Lihat,
Annotated Supplement To The Commander’s Handbook On The Law Of Naval
Operations - NWP 9.A/FMFM 1-10.
10
White House Fact Sheet, Annex AS1-5. These “sovereign rights” are functional in
character and are limited to the specified activities; they do not amount to “sovereignty”
which a nation exercises over its land territory, internal waters, archipelagic waters,
territorial sea (subject to the right of innocent passage for foreign vessels). International
law also grants to coastal states limited “jurisdiction” in the exclusive economic zone for
52
JURNAL OPINIO JURIS
Vol. 12 Januari—April 2013
dikembalikan pada ketentuan LOSC yang mengatur beberapa zona
maritim antara lain: perairan pedalaman,11 perairan kepulauan,12 laut
teritorial,13 zona tambahan,14 ZEE,15 landas kontinen,16 laut bebas,17 dan
wilayah laut dalam18. Berdasarkan kententuan tersebut menunjukan
bahwa ZEE merupakan zona tersendiri19 dan berbeda dengan laut
teritorial, zona tambahan, landas kontinen dan laut bebas itu sendiri.
Sehingga penerapan hak dan kewajiban suatu negara pun semestinya
berbeda.
Kepentingan suatu negara biasanya selalu dilindungi dengan
kebijakan politik, hukum dan perlindungan fisik berupa penegakan
hukum serta pengerahan/pergerakan kekuatan militer. Sebagai
contohnya: kepentingan perdagangan suatu negara diikuti dengan
kebutuhan akan keamanan dan keselamatan kapal pada jalur
perdagangan yang antara lain dapat dilakukan dengan pengerahan
kekuatan militer di jalur perdagangan tersebut.20 Pengerahan kekuatan
the other purposes mentioned in the text at note 48. 2 Restatement (Third), sec. 511
Comment b at 26-27.
11
Pasal 8, dan 50, LOSC.
12
Pasal 49 LOSC.
13
Pasal 2 LOSC.
14
Pasal 33 LOSC.
15
Pasal 55 LOSC.
16
Pasal 76 LOSC.
17
Bab VII LOSC.
18
Bab XI LOSC.
19
“The exclusive economic zone is an area beyond and adjacent to the territorial sea,
subject to the specific legal regime established in this Part, under whichthe rights and
jurisdiction of the coastal State and the rights and freedoms of other States are governed
by the relevant provisions of this Convention”.Pasal 55 LOSC dengan penekanan.
20
Sejarah menunjukan bahwa pertumbuhan ekonomi negara biasanya akan diikuti dengan
pembangunan kekuatan pertahanan. Apabila perekonomian negara sebagian bertumpu
pada maritim/kelautan, pembangunan kekuatan laut lebih diutamakan.Hal ini disebabkan
kekuatan laut tersebut digunakan untuk melindungan kepentingan ekonomi negara itu.
53
JURNAL OPINIO JURIS
Vol. 12 Januari—April 2013
militer biasanya sangat jarang memasuki wilayah kedaulatan negara lain,
akan tetapi berada di luar laut teritorial suatu negara. Hal ini sebenarnya
merupakan penghormatan terhadap kedaulatan negara pantai, walaupun
banyak negara beranggapan bahwa keberadaan armada/kapal perang
asing yang dekat dengan wilayahnya merupakan ancaman terhadap
keamanan negara tersebut. Dalam beberapa tahun ini, kegiatan militer
yang dilakukan oleh negara-negara menimbulkan krisis dan konflik. Hal
ini disebabkan kegiatan militer yang dilakukan oleh negara dimaksud
dilakukan di ZEE negara lain.21
Dalam Bab V Pasal 56, 60 dan 61 LOSC disebutkan bahwa negara
pantai mempunyai hak berdaulat untuk melakukan eksplorasi dan
eksploitasi terhadap sumber daya alam di ZEE. Hak tersebut antara lain
meliputi pula hak untuk melakukan penelitian atas sumber daya alam;
hak untuk melakukan eksploitasi sumber daya alam; hak untuk
melakukan konservasi sumber daya alam; dan hak untuk mendirikan dan
mengatur pulau buatan, instalasi dan bangunan. Selain itu dalam pasal
77 dan 80 LOSC yang mengatur tentang landas kontinen yang berada di
bawah ZEE negara pantai mempunyai hak berdaulat untuk melakukan
eksplorasi dan eksploitasi sumber daya alam antara lain: hak melakukan
penelitian sumber daya alam di landas kontinen; hak melakukan
eksploitasi sumber alam dari landas kontinen; hak untuk mendirikan dan
mengatur pulau buatan, instalasi dan bangunan. Kegiatan pemanfaatan
Lihat pertempuran North Atlantic, dimana kekuatan laut digunakan untuk melindungi
konvoi kapal-kapal dagang; ekspedisi perdagangan pada abad pertengahan diikuti dengan
kekuatan laut yang mumpuni.
21
Beberapa tahun yang lalu, Amerika Serikat mengembangkan doktrin “sea basing”
dimana naval base Amerika Serikat digelar di tengah laut dan mempunyai mobilitas yang
tinggi disesuaikan dengan pengerahan kekuatannya. Lihat, Sam, J Tangerdi, Concept,
Issues, and Recommendations, Naval War College Review, Autum 2011, Vol 64, No. 4;
Sea basing di www.dtic.mil/concepts/jitc_seabasing.doc, diakses tanggal 16 Januari 2013;
Admiral Ven Clark, US Navy, ‘Sea Power 21, Projecting Decisive Joint Capabilities,’
diwww.navy.mil/navydata/cno/proceeding.html, diakses tanggal 16 Januari 2013.
54
JURNAL OPINIO JURIS
Vol. 12 Januari—April 2013
sumber daya alam lainnya termasuk pemanfaatan energi dari angin, arus,
dan ombak.
Riset ilmiah kelautan dapat dilakukan di ZEE.22 Kegiatan tersebut
dapat berupa pengumpulan data/informasi ilmiah, monitoring risiko dan
efek polusi, dan riset ilmiah kelautan. Kegiatan riset ilmiah kelautan
dapat berupa survei ataupun riset hidrografi, oseanografi, biologi laut,
riset perikanan, driling, survei ilmiah geologi/geofisik, dan kegiatan riset
ilmiah untuk tujuan lainnya. Apabila kegiatan tersebut dilakukan untuk
tujuan komersial, banyak negara tidak menganggap kegiatan itu sebagai
riset ilmiah kelautan sebagaimana diatur dalam Konvensi. Selain itu
apabila riset ilmiah digunakan untuk tujuan militer tidak juga termasuk
kegiatan riset ilmiah sebagaimana diatur dalam Konvensi.23 Sedangkan
hak negara lain di ZEE antara lain untuk meletakkan kabel dan pipa
bawah laut, pelayaran dan penerbangan. Khusus untuk meletakkan kabel
dan pipa bawah air harus tetap melalui izin atau sesuai peraturan
perundang-undangan negara lain.
Khusus tentang batas maritim terkait dengan ZEE dan landas
kontinen banyak negara mengisyaratkan bahwa penyelesaian batas ZEE
dan landas kontinen adalah sama. Akan tetapi untuk negara yang telah
menyelesaikan batas landas kontinen sebelum ada LOSC dan masih
didasarkan pada Konvensi Jenewa 195824, maka ketika akan
menyelesaikan batas ZEE ada kemungkinan antara garis batas ZEE dan
landas kontinen berbeda (tidak berimpit). Kondisi ini tentu saja dapat
dimaklumi disebabkan rezim landas kontinen yang digunakan dalam
22
Pasal 56 LOSC.
Lihat, Oxman, The Regime of Warships Under the United Nations Convention on the
Law of the Sea, 24 Virginia Journal International Law,. 809, 844-47 (1984); Negroponte,
Current Developments in U.S. Oceans Policy, Dep’t St. Bull., Sep. 1986, 86.
24
Lihat Convention on the Continental Shelf, April 29, 1958, 15 UST. 471, 499 UNTS.
311.
23
55
JURNAL OPINIO JURIS
Vol. 12 Januari—April 2013
25
Konvensi Jenewa 1958 berbeda dengan rezim landas kontinen yang
diatur dalam LOSC26. Oleh karena itu dalam kasus Indonesia akan
ditemukan beberapa garis batas ZEE dan landas kontinen yang tidak
berimpit, sebagai contohnya batas maritim antara Indonesia dengan
Australia. Pada perjanjian batas maritim tersebut terdapat 2 (dua) garis
batas maritim yang tidak berimpit yaitu garis batas landas kontinen
dengan Australia yang telah ditetapkan pada tahun 197127dengan batas
maritim tertentu antara Indonesia dengan Australia yang disepakati pada
tahun 199728. Pada batas maritim tersebut terdapat wilayah dimana
landas kontinennya berada dalam jurisdiksi Australia, akan tetapi ZEE
berada dalam yurisdiksi Indonesia.
Freedom of Navigation dan Overflight di ZEE
Pasal 58 yang menunjuk pasal 87 LOSC menyatakan bahwa kapal
perang dan pesawat udara militer dari negara lain (selain negara yang
memiliki ZEE) menikmati “freedom of navigation and overflight” di ZEE. Di
laut bebas terdapat ketentuan yang sama tentang adanya freedom of
25
Definisi landas kontinen pada Konvensi Jeneva 1958 memberikan perumusan
berdasarkan dua kriteria, pertama, yaitu kriteria geomorfologis (200 metres), dan kedua,
yaitu kriteria ”Exploitability” (or, beyond that limit to where the depth of the superjacent
waters admits of the exploitation). Kriteria kedua ini subjektif dan tidak ada sangkut
pautnya dengan pengertian geologis landas kontinen.
26
Konsep penentuan batas landas kontinen di LOSC ditekankan pada konsep jarak,
sedangkan kelanjutan alamiah (natural prolongation) digunakan ketika negara akan
mengajukan klaim landas kontinen di luar 200 mil laut.
27
Lihat Agreement between the Government of the Republic of Indonesia and the
Government of the Commonwealth of Australia establishing certain Seabed Boundaries
in the Area of the Timor and ArafuraSeas, Supplementary to the Agreement of 18 May
1971.Perjanjian ini disahkan/diratifikasi dengan Keppres No.66 Tahun 1972.
28
Pemerintah Indonesia dan Australia telah melalukan perundingan untuk menyelesaikan
batas maritim kedua negara. Perjanjian batas maritim tersebut yang telah ditanda tangani
pada tahun 1997, akan tetapi perjanjian batas maritim tersebut belum diratifikasi.
Sehingga dapat dikatakan bahwa perjanjian tersebut belum berlaku.
56
JURNAL OPINIO JURIS
Vol. 12 Januari—April 2013
navigation and overflight, permasalahannya adalah apakah pelaksanaan
kebebasan pelayaran dan perbangan yang ada di ZEE dan laut bebas
sama. Selain itu apa yang dimaksud dengan kebebasan pelayaran dan
penerbangan di ZEE maupun di laut bebas. Tidak ada penjelasan resmi
tentang maksud dari kebebasan pelayaran dan penerbangan di ZEE
maupun di laut bebas. Sehingga banyak negara menafsirkan dan
mengimplementasi sesuai dengan kepentingannya. Banyak pihak
menyatakan bahwa kebebasan pelayaran dan penerbangan di ZEE yang
menunjuk kepada kebebasan di laut bebas mencakup kebebasan dalam
latihan militer dan kegiatan operasional lainnya.29
Dalam Pasal 87 (1) LOSC disebutkan bahwa kebebasan pelayaran dan
penerbangan dapat dinikmati oleh semua negara, akan tetapi
pelaksanaan dari hak tersebut harus didasarkan pada ketentuan
Konvensi.30 Selanjutnya dalam Pasal 58 (3) LOSC juga disebutkan bahwa
dalam melaksanakan hak dan kewajibannya di ZEE, negara harus selalu
mempertimbangkan kepentingan dari negara pantai dan memenuhi
peraturan perundang-undangan dari negara pantai.31 Peraturan
perundang-undangan dari negara pantai tersebut tidak boleh
bertentangan dengan Konvesi dan hukum internasional lainnya.
Berdasarkan Pasal 58 LOSC tersebut dengan jelas disebutkan bahwa
pelaksanaan hak di ZEE harus selalu mempertimbangkan kepentingan
29
Lihat, J.M. VanDyke,’Military Ships and Planes Operating in the Exclusive Economic
Zone of Another Country’, 28 Marine Policy (2004), 29-39; G.V. Galdorisi & A.G.
Kaufman,’Military Activities in EEZ: Preventing Uncertainty and Defusing Conflict’, 32
California Western Law Journal (2001-2002), 253-301.
30
“All states enjoy the freedom of navigation and over-flight, subject to the conditions
laid down by this Convention and by the other rules of international law”.
31
Meyer mengatakan bahwa “Peraturan yang dimaksud adalah peraturan terkait dengan
pemanfaatan sumber daya alam di ZEE”.Lihat Commander JC Meyer, USN,’ The Impact
of the Exclusive Economic Zone on Naval Operations,’ (1992), 40 Naval Law Review.
57
JURNAL OPINIO JURIS
Vol. 12 Januari—April 2013
negara pantai yaitu dengan selalu memperhatikan dan memenuhi
peraturan perundang-undangan negara pantai.
Kapal dan pesawat udara mempunyai hak untuk menikmati
kebebasan pelayaran dan penerbangan di ZEE negara lain, akan tetapi
kebebasan tersebut dibatasi dengan tidak mengganggu kepentingan
negara pantai. Konvensi denga jelas mencoba untuk menyeimbangkan
antara kepentingan negara pantai dengan negara pengguna, akan tetapi
formulasi pasal, khususnya pasal 58 (1) dan pasal 87 LOSC, yang
digunakan masih dapat menimbulkan penafsiran yang berbeda-beda.
Oleh sebab itu kegiatan militer yang dilakukan di ZEE negara lain dapat
dikategorikan sebagai kegiatan tidak damai dan mengganggu
kepentingan negara pantai,32 sehingga kegiatan tersebut dapat dikatakan
bertentangan dengan ketentuan Konvensi.33 Kegiatan militer dimaksud
dapat berbentuk berbagai macam antara lain latihan manuver, latihan
penembakan, test senjata, latihan perang-perangan, pengumpulan data
intelejen, survei hidrografi, dan oseanografi.
Angkatan laut merupakan kekuatan militer yang diperuntukan untuk
gelar kekuatan di mana saja baik di wilayah sendiri, wilayah negara lain,
maupun di wilayah/laut bebas. Gelar kekuatan angkatan laut dapat
diartikan sebagai representasi kebijakan negara, mengingat kekuatan
angkatan laut yang dapat terdiri dari satuan kapal atas air, bawah air, dan
pesawat udara militer, membawa bendera negara. Konsekuensi dari
keberadaan itu maka suatu kekuatan angkatan laut mempunyai imunitas
32
Brazil, Bangladesh, Cape Verde, Malaysia, India, dan Pakistan telah menyatakan bahwa
kegiatan militer asing di ZEE mereka harus mendapatkan izin dari negaranya. Lihat,
Deklarasi dan Pernyataan pada LOSC di
http://www.un.org/depts/los/convention_agreements/convention_declaration.htm diakses
pada 16 Januari 2013.
33
Argumentasi yang digunakan oleh negara pantai adalah laut harus digunakan untuk
perdamian yang diatur dalam preambul dan pasal 301 LOSC.
58
JURNAL OPINIO JURIS
Vol. 12 Januari—April 2013
dimanapun berada.34 Sehingga kekuatan angkatan laut biasanya
membawa tiga fungsi yaitu sebagai kekuatan militer (military function),
fungsi diplomasi (diplomatic function) dan fungsi polisionil (constabulary
function).35
Dalam praktek negara ada bermacam-macam sikap terkait dengan
kegiatan militer di ZEE negara lain36, antara lain Amerika Serikat
berpendapat bahwa kebebasan pelayaran dan penerbangan di ZEE dan
laut bebas adalah sama, yaitu semua kapal dapat melakukan semua
aktivitas termasuk kegiatan militer dan pengumpulan informasi
intelejen.37 Kegiatan-kegiatan di ZEE tidak boleh dilakukan jika
bertentangan dengan ketentuan LOSC dan hukum internasional.
Sedangkan ada negara lain, contohnya China berpendapat bahwa
kebebasan tersebut harus berbeda disebabkan negara pantai mempunyai
hak berdaulat terhadap ZEE dan kegiatan yang dilakukan oleh suatu
negara tidak boleh mengganggu hak negara lain, serta kegiatan di ZEE
34
Pasal 32 LOSC
Lihat, Ken Booth, Navies and Foreign Policy, New York: Crane, Russak, 1977; James
Cable. Gunboat Diplomacy. Basingstoke: Palgrave Macmillan, 1981.
36
Lihat, JR Crook (ed),’United States Protests Chinese Interference with US Naval
Vessel, Vows Continued Operation’ in Contemporary Practice of the United States
Relating to International Law (2009) 103 American Journal International, 325-351; US
Department of Defense,’DOD News Briefing with Geoff Morrel from the Pentagon (11
March 2009), http://www.defence.gov/transcripts.aspx?transcriptsID=4369>diakses pada
tanggal 4 Februari 2012.
37
. Pernyataan dari Ketua Delegasi Amerika pada penutupan sidang hukum laut (the Third
United Nations Conference on the Law of the Sea) di Montego Bay, Jamaica tanggal 9
Desember 1982, antara lain sebagai berikut: the Convention has recognized the sovereign
rights of the coastal state over the resources of the exclusive Economic Zone, jurisdiction
over artificial islands, and jurisdiction over installations and structures used for
economic purposes therein, while retaining the international status of the zone in which
all states enjoy the freedoms of navigation, overflight, laying of submarine cables and
pipelines, and other internationally lawful uses of the sea, including military operations,
exercises and activities. --- etc
35
59
JURNAL OPINIO JURIS
Vol. 12 Januari—April 2013
harus selalu digunakan untuk kegiatan damai.38 Terkait dengan hal
tersebut semua kegiatan militer asing di ZEE China dan kegiatan yang
mengganggu keamanan dan perdamaian China dilarang.39 Negara Brasil
menganut paham yang hampir sama dengan China, bahwa semua
kegiatan militer asing dilarang atau harus mendapat izin dari negara
Brasil.40 Kegiatan yang mendapat respon keras dari Amerika adalah
larangan untuk meletakkan alat dan instalasi apapun di ZEE/landas
kontinen Brasil.41
Indonesia belum mempunyai kebijakan ataupun aturan yang jelas,
apakah militer asing dapat melaksanakan aktivitas militernya di ZEE
Indonesia atau tidak. Peraturan perundang-undangan Indonesia tidak
secara jelas mengatur tentang aktivitas militer di ZEE. UU Nomor 5
Tahun 1983 tentang ZEE Indonesia hanya mengatur tentang hak dan
kewajiban sebagaimana tertuang dalam LOSC. Demikian juga dengan
peraturan perundang-undangan lainnya tidak ada yang mengatur
tentang kegiatan militer dimaksud. Oleh karena itu ketika ada armada
perang negara lain berada dan melakukan aktivitas militer di ZEE
Indonesia, akan sangat sulit untuk mengambil langkah-langkah
operasional di lapangan.
38
Lihat, R. Xiaofeng & C. Xizhong,’A China Perspective’, 29 Marine Policy (2005),
139-146.
39
Pernyataan Delegasi China pada pertemuan informal membahas kegiatan militer dan
pengumpulan data intelejen di ZEE, Bali September 2003,
40
Brazil’s position that other nations “may not carry out military exercises or
manoeuvres within the exclusive economic zone, particularly when these activities involve
the use of weapons or explosives, without the prior knowledge and consent” of the
coastal nation. Lihat, Law of the Sea Official Records, para. 28, at 40
41
Lihat, Law of the Sea Official Records, para. 28, at 40 and U.S. statement in right of
reply, 17 Law of the Sea Official Records 244, Annex AS1-2.
60
JURNAL OPINIO JURIS
Vol. 12 Januari—April 2013
Kegiatan Militer Asing di ZEE Indonesia
Keberadaan militer asing di ZEE Indonesia dapat dalam kondisi yang
bermacam-macam, antara lain melakukan provokasi dengan latihan
militer, manuver di ZEE Indonesia; melaksanakan surveillance terhadap
kapal-kapal ilegal yang akan memasuki wilayahnya; melaksanakan
pengawalan terhadap kapal-kapal bendera negaranya; dan melaksanakan
SAR. Bentuk keberadaan militer asing di ZEE Indonesia tersebut
sepengetahuan Indonesia disebabkan karena ada perjanjian kerja sama
ataupun mereka meminta izin/pemberitahuan; akan tetapi keberadaan
mereka dapat juga tanpa izin dari Pemerintah Indonesia. Kondisi yang
terakhir biasanya disebabkan posisi mereka yang menganggap bahwa
ZEE masuk dalam rezim laut bebas. Tentu saja keberadaan militer asing
di ZEE Indonesia dapat diartikan bahwa mereka mengganggu
perdamaian dan keamanan Indonesia disebabkan ZEE Indonesia
berdasarkan doktrin pertahanan Indonesia merupakan medan
pertahanan utama Indonesia.42 Selain itu dari aspek ekonomi, dengan
keberadaan militer asing di ZEE Indonesia, akan mengakibatkan nelayan
Indonesia yang semestinya dapat mengambil ikan ataupun
eksplorasi/eksploitasi sumber daya alam di wilayah itu terganggu.
Sesuai ketentuan LOSC, tiap–tiap negara pantai mempunyai
kewenangan untuk melakukan penindakan terhadap tindak pidana yang
42
Indonesia menganut indepth defence concept, dimana membagi 3 (tiga) wilayah
pertahanan yaitu medan pertahanan penyanggah merupakan daerah pertahanan lapis
pertama yang berada di luar garis batas ZEE; medan pertahanan utama yaitu daerah
pertahanan lapis kedua mulai dari batas terluar laut teritorial sampai ZEE Indonesia; dan
medan perlawanan merupakan daerah pertahanan lapis ketiga yang berada pada laut
teritorial dan perairan kepulauan dalam menghadapi setiap bentuk ancaman terhadap
keselamatan bangsa dan negara. Sumber Doktrin TNI AL Eka Sasana Jaya, Keputusan
Kasal Nomor: Kep/07/II/2001, tanggal 23 Februari 2001.
61
JURNAL OPINIO JURIS
Vol. 12 Januari—April 2013
terjadi di laut bebas. Tindak pidana itu termasuk dalam kategori “iure
gentium” atau kejahatan internasional43 yang meliputi:
1. Pengangkutan budak belian44.
2. Pembajakan/Piracy di laut lepas45.
3. Perdagangan gelap obat narkotika atau bahan–bahan
psikotropika46.
Kewenangan negara untuk memberantas tindak pidana (kejahatan)
internasional dapat dilakukan dengan mekanisme hot pursuit.47
Ketentuan hot pursuit antara lain: 1) Pengejaran seketika suatu kapal asing
dapat dilakukan apabila pihak yang berwenang mempunyai alasan yang
cukup untuk mengira bahwa kapal tersebut telah melanggar peraturan
negara itu.Pengejaran dapat dimulai dimana telah terjadi pelanggaran
yaitu perairan pedalaman, perairan kepulauan, laut teritorial, zona
tambahan, atau ZEE negara pengejar. Pengejaran dilakukan dengan
seketika, terus menerus, dan tidak terputus. 2) Hak pengejaran seketika
harus berhenti setelah kapal yang dikejar memasuki laut teritorialnya
sendiri atau negara ketiga. 3) Pengejaran hanya dapat dilakukan oleh
Kapal Perang, Pesawat Udara Militer, Kapal Negara yang diberi
kewenangan untuk itu.
Ketentuan dalam LOSC dan hukum internasional lainnya hanya berisi
hak hot pursuit yang dapat dilakukan oleh kapal perang, pesawat udara
militer dan kapal negara yang diberi kewenangan. Sebagai contohnya,
43
Ada beberapa pendapat bahwa trans national organized crime (TOC) dimasukan dalam
kejahatan internasional, bahkan sudah ada Konvensi tersendiri yang mengatur tentang
TOC ini. Akan tetapi dalam LOSC hanya dibatasi apa yang dimaksud dengan kejahatan
internasional.
44
Pasal 99, LOSC
45
Pasal 100, LOSC
46
Pasal 108, LOSC.
47
Pasal 111 LOSC.
62
JURNAL OPINIO JURIS
Vol. 12 Januari—April 2013
Indonesia melalui TNI AL ataupun aparat lainnya diberi kewenangan
untuk melakukan pengejaran seketika terhadap semua kapal yang
melakukan pelanggaran di perairan pedalaman, perairan kepulauan, laut
teritorial, zona tambahan, atau ZEE Indonesia. Akan tetapi sampai saat
ini belum ada preseden, aturan ataupun pendapat tentang pelaksanaan
hot pursuit oleh kapal perang asing di ZEE Indonesia atau mendekati
wilayah Indonesia. Selain itu belum ada prosedur tetap jika ada kapal
perang asing yang melakukan hot pursuit dari wilayah negara pengejar
dan memasuki ZEE, zona tambahan Indonesia termasuk jika pengejaran
dimaksud sampai ke laut teritorial Indonesia. Terkait dengan hal tersebut
terdapat beberapa permasalahan, antara lain: pertama, apakah kapal
perang negara lain boleh melakukan hot pursuit sampai ke ZEE Indonesia
terhadap kejahatan internasional yang terjadi, sedangkan tidak ada kapal
perang Indonesia di area itu? Kedua, prosedur apa yang harus dilakukan
oleh kapal perang asing jika akan melakukan hot pursuit terhadap
kejahatan internasional yang terjadi di ZEE? (pemberitahuan atau izin)?
Ketiga, siapa/instansi mana yang mempunyai otoritas untuk menerima
pemberitahuan atau memberikan izin terkait dengan pelaksanaan hot
pursuit oleh kapal perang asing di wilayah ZEE Indonesia?
Dalam hukum internasional dan LOSC, rezim laut bebas berlaku juga
di ZEE jika terkait dengan pelayaran.Hal ini disebabkan di laut bebas dan
ZEE berlaku freedom of navigation.48 Kewenangan negara pantai (negara
kepulauan) atas ZEE nya hanya terkait dengan masalah pemanfaatan,
pengelolaan terhadap sumber daya alam dan kewenangan lainnya
sebagaimana ditentukan dalam LOSC.49 Ketentuan tentang ZEE dan laut
bebas dalam LOSC diatur dalam bab yang terpisah, bukan berarti kedua
rezim adalah berbeda satu sama lainnya, akan tetapi ada beberapa hal
48
49
Pasal 58 LOSC.
Pasal 56 LOSC.
63
JURNAL OPINIO JURIS
Vol. 12 Januari—April 2013
yang saling terkait, sebagai contoh konsep kebebasan pelayaran,
kebebasan penerbangan, dan pengelolaan/konservasi lingkungan laut
adalah sama pengaturannya. Oleh karena itu dalam beberapa hal
pelaksanaan hak dan kewajiban negara di laut bebas dan ZEE cenderung
sama khususnya dibidang pelayaran dan penerbangan. Selain itu
ketiadaan aturan dalam LOSC khususnya permasalahan operasional
kapal mengakibatkan berbagai penafsiran terkait dengan pelaksanaan
kebebasan pelayaran dan penerbangan.
Ketentuan Pasal 100 LOSC menjelaskan bahwa semua negara harus
bekerjasama dalam penindasan pembajakan di laut bebas atau ditempat
lain manapun di luar yuridiksi suatu negara. Pasal 110 LOSC berisi
tentang hak melakukan pemeriksaan terhadap kapal yang terlibat dalam
pembajakan di laut bebas. Dalam LOSC tidak dijelaskan tentang
kewenangan memproses hukum atau hukum mana yang akan
diterapkan. Akan tetapi dalam hukum internasional tindak pidana
pembajakan merupakan “iure gentium” (kejahatan internasional) yang
memberikan kewenangan kepada semua negara untuk dapat memproses
tindak pidana itu dan menerapkan hukum nasionalnya.
Sesuai dengan posisi Indonesia selama ini khususnya tentang
statement (pernyataan) bahwa tidak ada piracy (pembajakan) di Selat
Malaka50 yang ada hanya armed robbery (perompakan), maka dapat
disimpulkan bahwa Indonesia mendefinisikan kejahatan piracy
(pembajakan) merupakan tindak pidana yang terjadi di laut bebas (high
seas) saja. Hal ini disebabkan bahwa Selat Malaka merupakan wilayah
yang terdiri dari laut teritorial, zona tambahan, dan ZEE. Oleh karena itu
di ZEE Indonesia tidak ada tindak pidana piracy (pembajakan), yang ada
armed robbery (perompakan). Oleh karena itu, hot pursuit terhadap tindak
pidana piracy (pembajakan) yang terjadi di ZEE Indonesia oleh kapal
50
Selat Malaka jika dilihat dari aspek zona maritim, maka di sana ada laut teritorial, zona
tambahan, dan ZEE.
64
JURNAL OPINIO JURIS
Vol. 12 Januari—April 2013
perang, pesawat udara militer dan kapal negara asing tidak dapat
dilakukan. Akan tetapi ada pendapat lain yang menyatakan bahwa
pembajakan dan perompakan dapat terjadi dimana saja baik di ZEE
maupun di laut bebas. Hal ini didasarkan pada kualifikasi tindak
pidananya dan bukan didasarkan pada tempat kejadian tindak pidana,
sehingga hot pursuit terhadap tindak pidana perompakan maupun
pembajakan yang terjadi di ZEE dapat dilakukan.
Kapal perang, pesawat udara militer dan kapal negara asing apabila
menemukan atau menerima laporan telah terjadinya tindak pidana
perompakan atau pembajakan serta kejahatan internasional lainnya di
ZEE Indonesia dan tidak ada kapal perang Indonesia di daerah itu, maka
mereka dapat melakukan hot pursuit untuk menangkap pelaku kejahatan
dimaksud. Akan tetapi prosedur yang mungkin dapat diterapkan yaitu
pemberitahuan tentang telah terjadinya tindak pidana internasional dan
mereka akan melakukan pengejaran seketika. Pengejaran tersebut harus
berhenti ketika akan memasuki laut teritorial Indonesia. Prosedur
pemberitahuan ini tidak diatur dalam hukum nasional maupun
internasional, akan tetapi hanya terobosan atau penafsiran terhadap
permasalahan yang terjadi di lapangan dengan memperhatikan ketentuan
hukum nasional dan internasional serta memperhatikan bahwa semua
negara harus memberantas tindak pidana piracy.
Dalam pendekatan hukum (legal approach) pelaksanaan hot pursuit
sampai memasuki wilayah laut negara Indonesia tidak dapat dilakukan
karena akan melanggar kedaulatan Negara Indonesia. Selain itu kapal
perang asing yang akan memasuki wilayah Indonesia seharusnya
meminta izin secara resmi terlebih dahulu kepada pemerintah Indonesia.
Apabila pengejaran tetap dilaksanakan tanpa adanya izin dari
pemerintah Indonesia maka kapal perang asing (pengejar) sudah
melanggar kedaulatan negara Indonesia.
Terkait dengan nuansa pemberantasan pembajakan/perompakan
kemungkinan dapat dikerjasamakan khususnya terkait dengan
65
JURNAL OPINIO JURIS
Vol. 12 Januari—April 2013
permasalah teknis di lapangan. kerja sama ini untuk memberikan
batasan-batasan dan sebagai dasar bertindak bagi aparat di lapangan.
Sebagai contohnya: apabila dalam rangka pelaksanaan hot pursuit kapal
perang, pesawat udara atau kapal negara asing terpaksa memasuki
wilayah laut Indonesia dan tidak ada kapal perang di daerah itu, maka
diperlukan prosedur perizinan terhadap hal tersebut. Perizinan dapat
dilakukan dengan beberapa persyaratan antara lain: maksud dan tujuan
memasuki Perairan Indonesia; berapa lama akan berada di Perairan
Indonesia; spesifikasi teknis kapal dan pelengkapannya. Selain itu
pemberian izin harus mencantumkan batasan-batasan antara lain bahwa
kapal perang pengejar harus mematuhi peraturan perundang-undangan
Indonesia, kapal yang dikejar termasuk orang dan barang yang ada di
atas kapal harus diproses sesuai hukum Indonesia, karena berada di
wilayah Indonesia. Selain itu perizinan dimaksud dapat juga
dicantumkan dalam suatu perjanjian bilateral yang bersifat reprosikal.
Oleh karena itu apabila ada kapal asing yang melakukan hot pursuit
sampai memasuki Perairan Indonesia dan berhasil menangkap
pelakunya, maka mereka semestinya menyerahkan para pelaku, dan
barang bukti kepada aparat Indonesia. Selanjutnya aparat Indonesia akan
melakukan proses hukum terhadap para pelaku dan barang bukti
kejahatan. Akan tetapi dapat dipastikan bahwa proses penyelesaian
tindak pidana ini akan menimbulkan kesulitan tersendiri dalam
pembuktian, disebabkan belum tentu adanya kerugian atau tercederai
hukum Indonesia akan peristiwa dimaksud. Selain itu proses pembuktian
akan menimbulkan kesulitan tersendiri
Dalam pemberantasan perompakan dan pembajakan, prosedur
pengejaran dapat dikerjasamakan, walaupun ini bukan lagi dalam
konteks pelaksanaan hot pursuit. Apabila kapal perang asing dalam
melaksanakan pengejaran seketika tidak sampai memasuki wilayah
yurisdiksi negara Indonesia, maka kapal pengejar dapat minta bantuan
kepada kapal perang Indonesia untuk melanjutkan pengejaran dan
penangkapan terhadap pelaku tindak pidana perompakan atau
66
JURNAL OPINIO JURIS
Vol. 12 Januari—April 2013
pembajakan. Apabila pelaku tertangkap maka akan diperlakukan dan
diproses sesuai dengan hukum Indonesia ataupun diserahkan kepada
negara dimana tindak pidana dilakukan.
Terkait dengan permasalahan perizinan, di Indonesia belum ada
aturan tentang prosedur perizinan untuk kapal perang asing yang akan
memasuki wilayah Indonesia dalam rangka hot pursuit. Prosedur yang
ada saat ini (Keppres No 16/1971) mengatur kapal perang asing yang
berencana akan memasuki/melewati wilayah Indonesia ataupun
berkunjung ke Indonesia, dimana harus melengkapi security clearance dan
diplomatic clearance, sehingga diperlukan waktu yang cukup untuk
pengurusannya. Khusus untuk kapal perang asing melakukan hot pursuit
di ZEE Indonesia ataupun pengejaran sampai ke Perairan Indonesia,
maka pejabat yang mempunyai otoritas operasional untuk mengizinkan
ataupun tidak mengizinkan adalah Panglima TNI. Selanjutnya Panglima
TNI dapat mendelegasikan kewenangan dimaksud kepada Panglima
Koarmatim/bar sebagai kotama operasi. Pendapat ini merupakan
penafsiran tentang kewenangan Panglima TNI yang diatur dalam UU
Nomor 3 Tahun 2002 tentang Pertahanan Negara dan UU Nomor 34
Tahun 2004 tentang TNI. Selain itu proses security clearance selanjutnya
perlu untuk tetap dilaksanakan.
Kesimpulan
Berdasarkan uraian tersebut di atas dapat diambil kesimpulan sebagai
berikut :
a) LOSC tidak mengatur secara jelas kegiatan militer di ZEE. Hal ini
mengakibatkan banyak negara mempunyai praktek yang berbedabeda.
b) Indonesia belum mempunyai kebijakan baik politik ataupun hukum
terkait dengan aktivitas militer asing di ZEE Indonesia.
c) Indonesia belum mempunyai prosedur dan tata cara ketika kapal
perang asing melakukan hot pursuit memasuki wilayah Indonesia,
termasuk tata cara respons, pemberian perizinan, pembatasanpembatasan, serta kebijakan lainnya.
67
JURNAL OPINIO JURIS
Vol. 12 Januari—April 2013
PENEGAKAN HUKUM IUU FISHING MENURUT
UNCLOS 1982 (STUDI KASUS: VOLGA CASE)1
Usmawadi Amir
Abstrak
Salah satu permasalahan utama keamanan laut bagi banyak negara di
dunia adalah penangkapan ikan illegal, tidak terlaporkan dan tidak
diatur ( IUU Fishing) di laut. Penangkapan ikan illegal adalah masalah
keamanan yang bersifat non tradisional yang telah menjadi perhatian
penting bagi banyak negara karena berdampak besar terhadap
lingkungan, sosial dan ekonomi negara pantai. Salah satu kasus yang
menarik perhatian adalah kasus Volga. Volga adalah nama kapal
berbendera Rusia yang ditahan beserta anak buah kapalnya oleh
otoritas Australia karena melakukan IUU Fishing di ZEE Australia
pada Februari 2002. Pada Desember 2002, Federasi Rusia mengajukan
gugatan terhadap Australia kepada Mahkamah Hukum Laut
Internasional (International Tribunal Law of the Sea), berkaitan
dengan desakan pembebasan atas kapal dan anak buah kapal yang
ditahan, dan jumlah kompensasi yang wajar. Bagi Indonesia, kasus
Volga dapat dijadikan rujukan untuk menerapkan penegakan hukum
terhadap penangkapan ikan illegal yang sering kali terjadi di perairan
Indonesia.
Kata kunci: Penangkapan Ikan Ilegal, Kasus Volga, Zona Ekonomi
Eksklusif, ITLOS, negara pantai.
Abstract
One of the major maritime security issue for many countries in the
world is Illegal, Unreported and Unregulated Fishing (IUU Fishing)
on the sea. IUU Fishing is a non-traditional security issue that have
become an important concern for many countries, due to serious impact
1
Artikel ini disampaikan pada Seminar Nasional dengan tema “30 Tahun Konvensi
Hukum Laut PBB (UNCLOS) 1982 dan Tantangan Diplomasi Kelautan Indonesia”,
Palembang 13 November 2012 kerja sama Ditjen Hukum dan Perjanjian Internasional,
Kemlu dengan Fakultas Hukum Universitas Sriwijaya, Palembang.
68
JURNAL OPINIO JURIS
Vol. 12 Januari—April 2013
to the environmental, social and economic aspect of the coastal state.
One of the cases that attract attention is the the Volga case. Volga is a
Russian-flagged vessel which were detained with its crew by
Australian authorities for conducting IUU Fishing in Australian
Exclusive Economic Zone on February 2002. On December 2002, the
Russian Federation filed a lawsuit against Australia to the
International Tribunal for the Law of the Sea (ITLOS), regarding the
prompt release of the detained vessel and its crew, and decent amount
of reasonable bond. For Indonesia, Volga case can be used as a reference
in applying the enforcement of law against IUU fishing that occurred
oftenly in Indonesian sea.
Keywords: IUU Fishing, Volga Case, Exclusive Economic Zone,
ITLOS, coastal state.
A. Pendahuluan
Kasus Volga adalah salah satu kasus di Mahkamah Internasional
Hukum Laut (ITLOS) berkenaan dengan pelepasan segera (prompt release)
kapal dan awaknya yang ditahan oleh suatu negara.2 Dalam kasus Volga,
penggugatnya adalah Federasi Rusia dan Australia sebagai tergugat.
Persoalan utama yang disengketakan dalam kasus ini adalah bertalian
dengan “uang jaminan yang layak atau keamanan finasial lainnya
(reasonable bond and other security)” dalam pengertian Pasal.73 (2)
2
. Kasus jenis ini mendominasi kasus yang masuk ke ITLOS, dari 19 kasus, sejumlah 9
kasus berkenaan dengan pelepasan cepat kapal dan pembayaran jaminan bagi awaknya.
Kasus-kasus tersebut adalah: (1) The M/V Saiga case (Saint Vincent and the Grenadines v
Guinea, Case No.1; (2) The Camouco case (Panama v France), Case No.5, (3) The
Monte Cofuro case (Seychelles v France), Case no.6, (4) The Grand Rince case (Belize v
France), Case No.8, (5) The Chaisiri Reefer 2 case (Panama v Yemen), Case o.9, (6) The
Volga Case (Russian Federation v Australia), Case no.11, (7) The Juno Trader case
(Saint Vincent and Grenadines v Guinea-Bissau), Case no.13, (8) The Hoshimaru Case
(Japan v Russian Federation), Case no.14, dan (9) The Tomimaru case (Japan v Russian
Federation), Case no.15. Lihat Cases, Contentious Cases, dalam http://www.itlos.org.
Diakses tanggal. 25 Oktober 2012.
69
JURNAL OPINIO JURIS
Vol. 12 Januari—April 2013
UNCLOS 1982. Kasus ini perlu dibahas, karena dapat memberikan
pelajaran berharga bagi negara-negara pantai, termasuk Indonesia dalam
menegakan peraturan perundang-undangannya bagi pelaku Illegal,
Unreported and Unregulated Fishing (IUU Fishing), khususnya dalam
menentukan kelayakan “uang jaminan” dalam proses pelepasan segera
kapal dan awaknya yang ditahan.
IUU Fishing telah mengancam persediaan ikan di seluruh dunia.
Menurut data Food and Agriculture Organisation (FAO), dalam
pertengahan tahun 1970-an, proporsi penurunan atau eksploitasi ikan
secara berlebihan (overfishing) hanya 10 persen, sekarang sudah
meningkat menjadi 25 persen. Illegal fishing sebagai, sebagai bagian dari
IUU Fishing, merupakan penyumbang signifikan dalam masalah
penurunan persedian ikan ini.3
Setelah rezim negara kepulauan diatur dalam United Nations
Convention on the Law of the Sea, 1982 (UNCLOS 1982), Indonesia menjadi
negara kepulauan terbesar. Indonesia memiliki luas laut 5,8 juta km2,
terdiri dari 3,1 juta km2 luas laut yang tunduk di bawah kedaulatan dan
2,7 km2 wilayah Zona Ekonomi Eksklusif.4 Perairan yang tunduk
dibawah kedaulatan Indonesia terdiri dari 0,3 juta km2 laut teritorial dan
2,8 juta km2 perairan kepulauan.5 Menurut data Departemen Kelautan
dan Perikanan (DKP) tahun 2006, potensi perikanan Indonesia sebanyak
6,26 juta ton pertahun, dengan rincian sebanyak 4,4 juta ton dapat
3
. Lihat Laurance Blakely., The End of the Viarsa Saga And the Legality of Australia’s
Vessel Forfeiture Penalty For Illegal Fishing in Its Exclusive Economic Zone.,, hal. 680.
Dalam http://digital.law.washington.edu/…/17PacRimLPoly. Diakses 29 Oktober 2012.
4
. Okilukito’s Weblog, Negara Maritim Tanpa Ocean Policy., dalam http://okilukito.
Wordpress.com. diakses 18 Oktober 2012.
5
. Kasijan Romimohtarto, "Pengelolaan Pemanfaatan Kekayaan Hayati dan Nabati di
Perairan Indonesia"., Seminar Hukum Nasional Kelima Tahun 1990., BPHN, Jakarta,
1991, hal. 433.
70
JURNAL OPINIO JURIS
Vol. 12 Januari—April 2013
ditangkap di perairan Indonesia dan 1,86 juta ton di wilayah Zona
Ekonomi Eksklusif Indonesia.
Namun, pada tahun 2007, sisa potensi perikanan tangkap hanya
tinggal 20%. Hal ini diduga sebagai akibat dari adanya tindakan IUU
Fishing di wilayah perairan Indonesia.6 Di Indonesia IUU Fishing yang
dilakukan oleh nelayan dan kapal asing jumlahnya cukup besar,
pencurian ikan oleh armada kapal ikan asing dari wilayah laut Indonesia
diperkirakan sebesar 1 juta ton/tahun (Rp 30 triliun/tahun). Kapal-kapal
tersebut berasal dari Thailand, Vietnam, Malaysia, RRC, Filipina, Taiwan,
Korea Selatan, dan lainnya.7
Dalam tulisan ini, yang menjadi fokus kajian adalah terbatas pada
masalah-masalah penegakan IUU Fishing menurut UNCLOS 1982, fakta
kasus Volga, penetapan oleh ITLOS (Mahkamah) tentang kelayakan uang
jaminan”, Beberapa catatan bagi negara pantai berkaitan dengan
penetapan ”uang jaminan yang layak” dalam proses pelepasan segera,
termasuk bagi Indonesia, dan diakhiri dengan penutup.
6
. Sapto J.Poerwodidagdo, Langgar ZEE, Kapal Asing Dapat Ditangkap, Penanganan
IUU Fishing
(I).,http://surabayasore.com/index.php?3b1ca0a43b79bdfd9f9305b81298296253e5f73717
ca2dd5b925f307d775c9e0. Diakses 16 Oktober 2012. Lihat juga dalam Akhmad Solihin.,
Perikanan Indonesia Dalam Kepungan Organisasi Pengelolaan Perikanan regional dan
Internasional., http://ikanbijak.wordpress.com/2008/04/21/perikanan-indonesia-dalamkepungan-organisasi. Diakses 25 Oktober 2012.
7
. Rokhmin Dahuri., Anatomi Permasalahan Illegal Fishing dan Solusinya.,
http://rokhmin-dahuri.info/2012/10/09/anatomi-permasalahan-illegal-fishing-dansolusinya/. Diakses 16 Oktober 2012.
71
JURNAL OPINIO JURIS
Vol. 12 Januari—April 2013
B. Penegakan hukum terhadap IUU Fishing dalam UNCLOS 1982
UNCLOS 1982 secara garis besar membedakan wilayah laut menjadi
dua kategori wilayah laut dimana negara dapat menegakan hukumnya
terhadap IUU Fishing, yaitu wilayah laut yang berada di bawah
kedaulatan dan wilayah laut dimana suatu negara memiliki yurisdiksi.
Kawasan laut yang tunduk di bawah kedaulatan suatu negara
pantai/kepulauan adalah perairan pedalaman dan laut teritorial8 atau
perairan kepulauan dan laut teritorial.9 Sedangkan kawasan laut dimana
suatu negara pantai/kepulauan memiliki hak berdaulat dan yurisdiksi
adalah ZEE dan Landas Kontinen.10
Wilayah ZEE mempunyai status hukum yang sui generis
(unik/berbeda). Keunikan tersebut terletak pada eksistensi hak dan
kewajiban negara pantai dan negara lain atas ZEE. Berbeda dengan
di laut teritorial, dimana negara pantai mempunyai kedaulatan, di
ZEE negara pantai hanya mempunyai hak berdaulat. Hak berdaulat
tersebut terbatas pada eksplorasi dan eksploitasi sumber daya
kelautan baik sumber daya hayati maupun non-hayati.
Di dalam UNCLOS 1982 disebutkan hak dan yurisdiksi negara
pantai di ZEE meliputi:11 (1) eksplorasi dan eksploitasi sumber
daya kelautan (hayati-non hayati); (2) membuat dan
memberlakukan peraturan perundang-undangan yang berkaitan
dengan eksplorasi dan eksploitasi sumber daya kelautan; (3)
pembangunan pulau buatan dan instalasi permanen lainnya; (4)
mengadakan penelitian ilmiah kelautan; dan (5) perlindungan
8
. Lihat pasal 2 UNCLOS 1982
. Pasal 2 jo pasal 49 UNCLOS 1982
10
. Ibid., Pasal 77
11
. Ibid., pasal 56
9
72
JURNAL OPINIO JURIS
Vol. 12 Januari—April 2013
lingkungan laut. Sedangkan kewajiban negara pantai ZEE meliputi:
(1) menghormati eksistensi hak dan kewajiban negara lain atas
wilayah ZEE;12 (2) menentukan maximum allowable catch untuk
sumber daya hayati dalam hal ini perikanan; 13 dan (3) dalam hal
negara pantai tidak mampu memanen keseluruhan allowable catch,
memberikan akses kepada negara lain atas surplus allowable catch
melalui perjanjian sebelumnya untuk optimalisasi pemanfaatan
sumber daya kelautan terutama sumber daya perikanan dengan
tujuan konservasi.14
UNCLOS 1982 tidak mengatur tentang IUU Fishing. Wacana
tentang illegal fishing muncul bersama-sama dalam kerangka IUU
Fishing Practices pada saat diselenggarakannya forum CCAMLR
(Commision for Conservation of Atlantic Marine Living Resources) pada
27 Oktober – 7 November 1997.15 IUU fishing dapat dikategorikan
dalam tiga kelompok: 16
12
. Ibid., Pasal 58 ayat (3)
. Pasal 61 ayat (2)
14
. Ibid., Pasal 62 ayat (3)
15
. Rokhmin Dahuri., Selamatkan Indonesia dari Illegal Fishing., Sumber: Majalah
Samudera Mei 2012 Dalam http://rokhmindahuri.info/2012/10/04/selamatkan-indonesiadari-iuu-fishing/. Diakses 17 Oktober 2012. The Convention on the Conservation of
Antartic Marine Living Resources, juga The Commission for the Conservation of Antartic
Marine Living Resources (CCAMLR) merupakan bagian dari Sistem Traktat Antartika
(Antartic Treaty System). Konvensi terbuka untuk ditandatangani 1 Agustus 1980 dan
mulai berlaku tanggal 7 April 1982. Tujuannya adalah untuk melestarikan lingkungan dan
keutuhan laut di dan dekat Antartika.
16
. Ibid.
13
73
JURNAL OPINIO JURIS
Vol. 12 Januari—April 2013
1. Illegal fishing yaitu kegiatan penangkapan ikan secara illegal di
perairan wilayah atau ZEE suatu negara, atau tidak memiliki izin dari
negara tersebut;
2. Unregulated fishing yaitu kegiatan penangkapan di perairan wilayah
atau ZEE suatu negara yang tidak mematuhi aturan yang berlaku di
negara tersebut; dan
3. Unreported fishing yaitu kegiatan penangkapan ikan di perairan
wilayah atau ZEE suatu negara yang tidak dilaporkan baik
operasionalnya maupun data kapal dan hasil tangkapannya.
Praktek IUU Fishing terjadi di kawasan laut yang tunduk di
bawah kedaulatan dan di ZEE. Dilakukan oleh kapal berbendera negara
pantai yang bersangkutan itu sendiri maupun oleh kapal berbendera
asing. Walaupun tidak mengatur IUU Fishing, tapi berkaitan dengan
penegakan hukum di laut, UNCLOS 1982 mengatur secara umum, baik di
kawasan laut yang tunduk di bawah kedaulatan dan ZEE suatu negara.
1. Penegakan hukum di laut yang tunduk di bawah kedaulatan
Jika pelanggaran terhadap peraturan perundang-undangan negara
pantai terjadi di laut teritorial atau perairan pedalaman atau perairan
kepulauan suatu negara, maka sesuai dengan kedaulatan yang diberikan
oleh pasal 2 UNCLOS 1982, negara pantai dapat memberlakukan semua
peraturan hukumnya bahkan hukum pidananya terhadap kapal tersebut.
Asalkan pelanggaran tersebut membawa dampak bagi negara pantai atau
menganggu keamanan negara pantai sebagaimana ditentukan dalam
pasal 27 (1) UNCLOS 1982. Akan tetapi jika unsur-unsur yang disebutkan
dalam Pasal 27 (1) UNCLOS 1982 ini tidak terpenuhi, maka negara pantai
tidak dapat menerapkan yurisdiksi pidananya terhadap kapal tersebut.
Luasnya kewenangan negara pantai untuk menegakan hukumnya
bagi kapal asing yang melakukan pelanggaran hukum di laut teritorial,
74
JURNAL OPINIO JURIS
Vol. 12 Januari—April 2013
perairan pedalaman atau perairan kepulauan ini (memenuhi ketentuan
pasal 27 ayat 1) adalah perwujudan dari yurisdiksi teritorialitas.17
2. Penegakan hukum di ZEE
Pasal 27 (5) UNCLOS 1982 selanjutnya merujuk kepada Bab V tentang
ZEE dalam hal pelanggaran terhadap peraturan perundang-undangan
negara pantai yang berkaitan dengan eksplorasi dan eksploitasi sumber
daya perikanan. aBerbeda jika pelanggaran terjadi di ZEE, terutama
pelanggaran terhadap kegiatan eksplorasi, eksploitasi, konsevasi dan
pengelolaan sumber daya perikanan.
Berkaitan dengan penegakan hukum negara pantai di ZEE, Pasal 73
UNCLOS 1982 mengatur:
1. Negara pantai dapat, dalam melaksanakan hak berdaulatnya untuk
melakukan eksplorasi, eksploitasi, konservasi dan pengelolaan
sumber daya hayati di zona ekonomi eksklusif mengambil tindakan
sedemikian, termasuk menaiki kapal, memeriksa, menangkap dan
melakukan proses pengadilan, sebagaimana diperlukan untuk
menjamin ditaatinya peraturan perundang-undangan yang
ditetapkannya sesuai dengan ketentuan Konvensi ini.
2. Kapal-kapal yang ditangkap dan awaknya harus segera dibebaskan
setelah diberikan suatu uang jaminan yang layak atau bentuk
jaminan lainnya.
17
. Menurut yurisdiksi teritorial setiap negara memiliki kewenangan hukum eksklusif
dalam batas wilayahnya terhadap orang, benda, sesuatu dan peristiwa hukum yang terjadi
di sana, termasuk “aktivitas ekstrateritorial” dari orang-orang tersebut. Lebih lanjut lihat
Imre Anthony Csabafi., The Concept of State Jurisdiction in International Space
Law.,Martinus Nijhoff, The Hague, 1971, hal. 51
75
JURNAL OPINIO JURIS
Vol. 12 Januari—April 2013
3. Hukuman negara pantai yang dijatuhkan terhadap pelanggaran
peraturan perundang-undangan perikanan di zona ekonomi
eksklusif tidak boleh mencakup pengurungan, jika tidak ada
perjanjian sebaliknya antara negara-negara yang bersangkutan, atau
setiap bentuk hukuman badan lainnya.
4. Dalam hal penangkapan atau penahanan kapal asing negara pantai
harus segera memberitahu kepada negara bendera, melalui saluran
yang tepat, mengenai tindakan yang diambil dan mengenai setiap
hukuman yang kemudian dijatuhkan.
Jadi berdasarkan ketentuan pasal 73 UNCLOS 1982, jika kapal asing
tidak mematuhi peraturan perundang-undangan perikanan negara pantai
di ZEE, negara pantai dapat menaiki, memeriksa, menangkap dan
melakukan proses pengadilan atas kapal tersebut dan memberitahu
negara bendera kapal. Akan tetapi kapal dan awak kapal yang ditangkap
tersebut harus segera dilepaskan dengan reasonable bond (uang jaminan
yang layak) yang diberikan kepada negara pantai. Hukuman terhadap
kapal asing tersebut juga tidak boleh dalam bentuk hukuman badan yaitu
penjara. Dengan demikian bentuk hukuman bagi kapal dan awaknya
berbeda jika terjadi di kawasan laut yang tunduk di bawah kedaulatan
dengan di ZEE. Kewenangan negara pantai terhadap pelanggaran di ZEE
terbatas hanya untuk menegakan hukum yang bertalian dengan
perikananan. Perbedaan ini dikarenakan di ZEE, negara pantai hanya
mempunyai hak berdaulat (sovereign rights), bukan kedaulatan, sehingga
terbatas pada hal-hal yang terkait dengan hak berdaulat yang dimiliki
oleh negara pantai atau negara kepulauan.
Ketentuan pasal 73 (2) mewajibkan negara pantai untuk segera
melepaskan kapal yang ditangkap dan awaknya setelah diberikan suatu
uang jaminan yang layak atau bentuk jaminan lainnya. Prosedur
76
JURNAL OPINIO JURIS
Vol. 12 Januari—April 2013
pelepasan segera diatur dalam Pasal 292. Prosedur pelepasan segera
kapal dan awaknya yang ditahan adalah sebuah inovasi dalam hukum
laut internasional.18 Akan tetapi, meskipun Pasal 292 ayat (1)
mensyaratkan bahwa uang jaminan atau jaminan keuangan lainnya harus
“masuk akal/layak (reasonable)”, namun UNCLOS 1982 justru tidak
memberikan rincian tentang jaminan keuangan tersebut. Sehingga dalam
kasus Volga salah satu masalah hukum yang timbul adalah mengenai
jumlah uang jaminan untuk pelepasan kapal Volga.19
C. Kasus Volga
Volga adalah kapal ikan yang mengibarkan bendera Federasi Rusia.
Pemiliknya adalah Olbers Co. Limited, suatu perusahaan yang
berkedudukan di Rusia dengan nakhoda Alexander Vasilkov, warga
negara Russia. Pada 7 Februari 2002, Volga dinaiki oleh anggota militer
Australia dari “Australian military helicopter from the Royal Australian Navy
frigate HMAS Canberra”. Pada saat dinaiki, Volga berada pada posisi
sekitar 51°35S, 78°47E, yang terletak di luar batas ZEE Australia di
kawasan Pulau Heard dan McDonald. Pada yang sama, nakhodanya
ditahan oleh HMAS Canberra.20
18
. Jianjun GAO, Reasonableness of the Bond under Article 292 of the LOS Convention:
Practice of the ITLOS., dalam
http://chinesejil.oxfordjournals.org/content/7/1/115.full.pdf+html. Diakses 28 Oktober
2012.
19
. Michael White & Stephen Knight, ITLOS and the ‘Volga’Case: The Russian
Federation v Australia., ha. 39. Dalam maritimejournal.murdoch. edu.au/ archive/vol_17/
Vol_17_2003White& Knight.pdf. Diakses 18 Oktober 2012.
20
. Lihat dalam Cases, Contentious Cases, Judgment., http://www.itlos.org. Alinea 30,32
dan 34, Diakses tanggal. 25 Oktober 2012.
Ibid, Alinea 32 dan 34.
77
JURNAL OPINIO JURIS
Vol. 12 Januari—April 2013
Pada tanggal 19 Februari 2002, dilakukan penahanan dan Volga
dikawal ke pelabuhan Frementle, Australia Barat. Pada tanggal yang
sama, nakhoda dan awaknya juga ditahan berdasarkan the Fisheries
Management Act 1991. Pada 20 Februari 2002, disampaikan pemberitahuan
penyitaan kepada nakhoda, terhadap kapal Volga (termasuk semua
jaring, jebakan dan peralatan-peralatan serta hasil tangkapan).21 Pada 27
Februari 2002 dibuat laporan penilaian, yang disiapkan untuk tujuan
jaminan bahwa Volga bernilai US$ 1 juta, dan bahan bakar, pelumas serta
peralatan bernilai AU$ 147,460. Pada waktu ditangkap di atas Volga
ditemukan hasil tangkapan sebanyak 131.422 ton ikan patagonian toothfish
(dissostichus eleginoides) dan 21.494 ton umpan yang dilelang pada tanggal
20 Mei 2002 senilai AU$ 1,932,579.28.22
Pada 6 Maret 2002, tiga anggota awak kapal (the chief mate, the fishing
master and the fishing pilot), semua berkewarganegaraan Spanyol, dituntut
telah menggunakan kapal ikan asing di Zona Perikanan Australia (AFZ)
untuk tujuan komersial tanpa surat izin bagi kapal asing. Ketiganya,
menerima untuk membayar uang jaminan masing-masing sejumlah AU$
75,000 tunai, menyerahkan semua paspor dan seaman’s papers, dan tinggal
di tempat yang ditetapkan oleh the Supervising Fisheries Officer with the
Australian Fisheries Management Authority (AFMA). Pemilik Volga
mendepositkan pembayaran sejumlah AU$ 225,000 di pengadilan bagi
ketiga anggota awak pada atau sekitar 23 Maret 2002. Sebelumnya, pada
16 Maret 2002, nakhoda Volga meninggal di rumah sakit Australia. Dia
tidak didakwa melakukan suatu kejahatan sampai dia meninggal.23
Pada 30 Mei 2002, tiga anggota awak kapal mendapat berbagai variasi
persyaratan uang jaminan yang memungkinkan mereka kembali ke
Spanyol. Kemudian pada 14 Juni 2002, the Supreme Court of Western
21
. Ibid., Alinea 35-36
. Ibid., Alinea 37 dan 51
23
. Ibid., Alinea 38, 41 dan 42
22
78
JURNAL OPINIO JURIS
Vol. 12 Januari—April 2013
Australia (Wheeler J), atas banding oleh the Commonwealth Director of
Public Prosecutions, memutuskan jaminan bervariasi yang dikeluarkan
pada 30 Mei 2002, supaya diwajibkan, sebagai pengganti AU$ 75,000,
yang ada dengan jumlah simpanan sebesar AU$ 275,000.24
Pada waktu tribunal (ITLOS) mulai memeriksa kasus ini, pada
tanggal 16 Desember 2002, the Full Court of the Supreme Court of Western
Australia telah menguatkan banding atas ketiga anggota awak Volga
menurut keputusan Wheeler J (Hakim Wheeler). The Full Court
memerintahkan bahwa tiga anggota awak diizinkan meninggalkan
Australia dan kembali ke Spanyol, dimana masing-masing dikenakan
uang jaminan yang harus mereka didepositkan secara tunai untuk:
MANUEL PEREZ LIJO sebesar AU$ 95,000.00 serta JOSE MANUEL LOJO
EIROA dan JUAN MANUEL GONZALEZ FOLGAR masing-masing
sebesar AU$ 75,000.00.25
Pemilik Volga mengajukan permohonan ke “the Federal Court of
Australia” untuk menghentikan penyitaan kapal. Sebagai jawaban atas
permintaan pemilik bagi pelepasan kapal sambil menunggu tindakan
hukum, Pejabat Australia menetapkan uang jaminan sejumlah AU$
3,320,500.00 untuk pelepasan Volga, yang terdiri dari:26
1. suatu jaminan mencakup nilai kapal, bahan bakar, pelumas dan
peralatan penangkap ikan (AU$ 1,920,000);
2. Jumlah (AU$ 412.500) untuk mengamankan pembayaran denda
potensial dikenakan dalam proses pidana yang masih tertunda
terhadap awak kapal;
24
. Ibid., Alinea 43 dan 44
. Ibid, Alinea 46
26
. Lihat The Volga Case (Russian Federatian v Australia) Prompt Release (Written
proceedings), Statement in Reponse of Australia, 7 Desember 2002. Alinea 72. Dalam
http://www.itlos.org. 24 Oktober 2012.
25
79
JURNAL OPINIO JURIS
Vol. 12 Januari—April 2013
3. Jaminan (AU$ 1.000.000) terkait dengan pelaksanaan operasional dari
VMS dan tindakan pentaatan upaya konservasi oleh CCAMLR.
Sesuai dengan ketentuan Pasal 292 UNCLOS 1982 Federasi Rusia
memasukan gugatan (permohonan) terhadap Australia ke ITLOS yang
meminta pelepasan kapal Volga dan tiga awaknya pada tanggal 2
Desember 2002.27
Dalam permohonan dari Federasi Rusia dan dalam Pernyataan
Tanggapan dari Australia, pihak-pihak mengajukan hal-hal sebagai
berikut:28
a. Atas nama Federasi Rusia: Memohon kepada ITLOS (“Mahkamah”)
untuk menyatakan dan memutuskan sebagai berikut:
1. Menyatakan bahwa Mahkamah mempunyai yurisdiksi sesuai pasal
292 UNCLOS 1982 untuk memeriksa permohonan;
2. Menyatakan bahwa permohonan dapat diterima;
3. Menyatakan bahwa responden (tergugat) melanggar Pasal 73(2)
UNCLOS dalam hal responden menetapkan persyaratan pelepasan
kapal Volga dan tiga awaknya adalah tidak dibenarkan menurut
Pasal 73(2) atau tidak patut dalam pengertian pasal 73(2);
4. Memutuskan bahwa responden melepaskan Volga dan nakhoda
serta awaknya, jika suatu jaminan atau keamanan yang dibebankan
kepada pemilik dalam suatu jumlah yang tidak melebihi AU$
500,000 atau dalam jumlah serupa yang lain dalam semua keadaan
yang patut menurut pertimbangan Mahkamah;
5. Memutuskan bentuk jaminan atau keamanan seperti dimaksud
angka 4 (d); dan
27
. Contentious Cases, Judgment. Alinea 1.
. Alinea 28 dari Contentious Cases, Judgment. Lihat juga dalam Application Submitted
of the Russian Federation, The Volga-Application For Release of Vessel and Crew,
Chapter 1: Introduction, Alinea 1, Chapter 5:
28
80
JURNAL OPINIO JURIS
Vol. 12 Januari—April 2013
6. Memutuskan bahwa responden (tergugat) membayar biaya kepada
pemohon (penggugat) berkenaan dengan permohonan.
b. Atas nama Australia, dalam Pernyataan Tanggapan:29
Australia meminta agar Mahkamah untuk membuat keputusan
sebagaimana diminta dalam Memorial Federasi Rusia. Termohon
meminta Mahkamah untuk memutuskan:
1. bahwa besar dan persyaratan yang ditetapkan oleh Australia untuk
melepaskan kapal Volga dan awaknya adalah patut/layak
(reasonable); dan
2. bahwa masing-masing pihak memikul biaya pengadilan sendirisendiri.
Pemeriksaan di muka Mahkamah diadakan pada 12-13 Desember,
dan tanggal 23 Desember 2003, ITLOS menyampaikan keputusanya,
berkaitan dengan kelayakan uang jaminan atau keamanan lainnya
sebagai berikut:30
1. Dengan 19 : 2 suara, memutuskan bahwa Australia harus segera
melepaskan Volga setelah ada uang jaminan atau jaminan lainnya
lain yang akan ditentukan oleh Mahkamah;
2. Dengan 19 : 2 suara, menentukan bahwa uang jaminan atau
keamanan lainnya sejumlah AU$ 1.920.000, harus disimpan
(diposting) kepada Australia; dan
29
. Statement in Reponse of Australia, 7 Desember 2002. Chapter 1:Introduction, Alinea 1
dan Chapter 7: Orders, alinea 1. Dalam http://www.itlos.org. 24 Oktober 2012
30
. The "Volga" Case (Russian Federation v. Australia), Prompt Release, Judgment,
Alinea 95. Dalam www.itlos.org/index.php?id=103. Diakses tanggal 30 Oktober 2012.
Keputusan Mahkamah (ITLOS) ini ada tujuh point. Disini hanya ditampilkan keputusan
dalam angka 4-6.
81
JURNAL OPINIO JURIS
3.
Vol. 12 Januari—April 2013
Suara bulat, menentukan bahwa uang jaminan harus dalam bentuk
bank garansi dari bank yang ada di Australia atau memiliki
perjanjian dengan bank Australia atau dalam bentuk lain, jika
disepakati oleh para pihak.
D. Kelayakan uang jaminan dalam Kasus Volga.
Pokok sengketa dalam kasus Volga adalah apakah persyaratan yang
ditetapkan oleh Australia untuk pelepasan segera kapal yang ditahannya
melanggar kewajibannya berdasarkan pasal 73 (1) setelah adanya uang
jaminan yang layak atau jaminan lainnya. Atau dengan kata lain yang
disengketakan adalah kelayakan uang jaminan yang ditetapkan oleh
Australia. Seperti disebutkan di atas, uang jaminan yang ditetapkan oleh
Otoritas Australia (AFMA) adalah sebesar AU$ 3,332,500, terdiri dari:31
1. Jaminan mencakup nilai kapal, bahan bakar, pelumas dan peralatan
penangkap ikan (AU$ 1,920,000);
2. Sejumlah (AU$ 412.500) untuk mengamankan pembayaran denda
potensial dikenakan dalam proses pidana yang masih tertunda
terhadap anggota awak; dan
3. Jaminan (a security) (AU$ 1.000.000) terkait dengan pelaksanaan
operasional sistem pemantau kapal (VMS) dan tindakan pentaatan
upaya konservasi oleh CCAMLR.
Dalam pandangan Mahkamah, jaminan sejumlah AU$ 1,920,000 yang
diminta untuk melepaskan kapal, yang mencerminkan nilai kapal, bahan
bakar, pelumas dan peralatan penangkap ikan serta tidak disengketakan
para pihak, adalah layak (reasonable) dalam pengertian pasal 292
Konvensi.32
31
32
. Supra catatan No. 13, alinea 72
. Alinea 73
82
JURNAL OPINIO JURIS
Vol. 12 Januari—April 2013
Berhubungan dengan komponen kedua (sejumlah AU$ 412.500),
Mahkamah menganggap setelah kepergian mereka dari Australia,
menetapkan jaminan bagi mereka tidak disajikan untuk tujuan praktis.33
Mahkamah tidak perlu mempertimbangkannya, dalam keadaan saat ini,
untuk menangani masalah-masalah yang diangkat oleh Federasi Rusia. 34
Selanjutnya, mengenai komponen ketiga. Dalam menafsirkan
ungkapan "jaminan atau keamanan lain" yang diatur dalam pasal 73 (2)
Konvensi, Mahkamah berpendapat bahwa ungkapan ini harus dilihat
dalam konteks dan kejelasan dari objek dan tujuannya. Konteks yang
relevan termasuk ketentuan Konvensi mengenai pelepasan segera dari
kapal dan kru setelah penyerahan jaminan atau keamanan. Ketentuan
dimaksud adalah: Pasal 292, Pasal 220 (7), dan Pasal 226 (1b). Pasal-pasal
ini menggunakan ekspresi "uang jaminan atau jaminan keuangan
lainnya" dan "penjaminan atau keamanan finansial yang tepat lainnya".
Dilihat dalam konteks ini, istilah "uang jaminan atau jaminan keuangan
lainnya" dalam Pasal 73 (2), dalam pandangan Mahkamah, harus
diinterpretasikan sebagai mengacu pada suatu uang jaminan atau
jaminan lain yang bersifat keuangan. Mahkamah juga mengamati, dalam
konteks ini, yang mana Konvensi mengatur pengenaan syarat-syarat
tambahan untuk suatu jaminan atau jaminan keuangan lainnya, secara
jelas menyatakan begitu. Mengikuti pandangan di atas bahwa
persyaratan non-finasial tidak dapat dianggap komponen dari uang
jaminan atau jaminan keuangan lainnya untuk tujuan menerapkan Pasal
292 sehubungan dengan dugaan pelanggaran Pasal 73 (2). Maksud dan
tujuan dari Pasal 73 (2) dibaca bersama dengan pasal 292 adalah untuk
memberikan suatu mekanisme bagi negera bendera untuk memperoleh
pembebasan cepat dari kapal dan awak yang ditangkap karena dugaan
33
34
. Supra Catatan No.15, alinea 46
. Alinea 74
83
JURNAL OPINIO JURIS
Vol. 12 Januari—April 2013
pelanggaran perikanan dengan pembebanan keamanan/jaminan yang
tidak layak (unreasonebleness) dapat dinilai dalam pengertian finansial.
Dimasukkannya tambahan persyaratan non-finansial seperti keamanan
tersebut akan menggagalkan maksud dan tujuan ini.35
Mahkamah, dalam kerangka pemeriksaan menurut Pasal 292,
tidak dapat menentukan sikap tentang apakah syarat kerugian
(pembebanan) seperti yang tertugat maksudkan sebagai suatu
“jaminan berprilaku baik/good behaviour bond" adalah pelaksanaan
sah dari hak berdaulat negara pantai di ZEEnya. Titik (the point)
yang harus ditentukan adalah apakah "jaminan berperilaku baik"
adalah jaminan atau keamanan dalam pengertian dalam Pasal 73
(2) dan Pasal 292. Mahkamah mencatat bahwa Pasal 73 (2)
mengenai jaminan atau keamanan untuk melepaskan sebuah kapal
“yang ditahan” yang diduga keras melanggar hukum dari negara
penahan. Rumusan Pasal 73 secara keseluruhan mengindikasikan
adanya pertimbangkan atas upaya penegakan bertalian dengan
pelanggaran hukum dan peraturan negara pantai yang diduga
keras telah dilakukan. Dalam pandangan Mahkamah, suatu “good
behaviour bond (jaminan berprilaku baik)” guna mencegah
pelanggaran hukum negara pantai pada masa mendatang tidak
dapat dipertimbangan sebagai suatu jaminan atau keamanan dalam
pengertian Pasal 73 (2), yang dibaca bersama dengan Pasal 292.36
Berdasarkan pertimbangan di atas dan dengan memperhatikan semua
keadaan dalam sengketa ini, Mahkamah menganggap bahwa jaminan
seperti yang diminta oleh Australia tidak layak (not reasonable) dalam
35
36
. Alinea 77
. Alinea 79-80
84
JURNAL OPINIO JURIS
Vol. 12 Januari—April 2013
pengertian Pasal 292 Konvensi.37 Berdasarkan pemikiran di atas,
Mahkamah menemukan bahwa permohonan (gugatan) berkenaan
dengan dugaan ketidak-sesuaian (non-compliance) dengan Pasal 73 (2)
adalah well-founded (dapat dibenarkan dengan tepat) untuk maksud dari
pemeriksaan ini dan maka dari itu, Australia harus segera melepaskan
Volga setelah menempatkan suatu jaminan atau jaminan keuangan
lainnya yang akan ditentukan oleh Mahkamah.38 Atas dasar
pertimbangan tersebut di atas, Mahkamah berpandangan bahwa jaminan
untuk melepaskan Volga, bahan bakar, pelumas dan peralatan
memancing harus dalam jumlah AU $ 1.920.000.39 Pandangan Mahkamah
tentang kelayakan uang jaminan sebesar nilai kapal, bahan bakar,
pelumas dan peralatan penangkap ikan ini, tercermin dalam putusan
Mahkamah (ITLOS).40
E. Beberapa Catatan.
Berhubungan dengan keputusan Mahkamah (ITLOS) dalam kasus
ini ada beberapa hal yang dapat dikemukakan oleh penulis:
1. Dalam menetapkan kelayakan uang jaminan atau keamanan lainnya,
hanya komponen pertama yang layak (reasonable) menurut ITLOS,
yaitu jaminan yang nilainya sama dengan nilai kapal, bahan bakar,
pelumas dan peralatan penangkap ikan.41 Sedangkan komponen
kedua dan ketiga merupakan komponen yang tidak layak
(unreasonable). Di lapangan, termasuk dalam kasus ini, ITLOS telah
37
. Ibid, alinea 88
. Alinea 89
39
. Alinea 90.
40
. Supra catatan 16.
41
. Dalam kasus Volga adalah permohonan pertama dimuka Mahkamah (ITLOS) yang
nilai kapal yang bersangkutan disetujui oleh pihak-pihak. Op.Cit., Michael White &
Stephen Knight., hal.46.
38
85
JURNAL OPINIO JURIS
Vol. 12 Januari—April 2013
menemukan komponen-komponen yang tidak layak (unreasonable),
meliputi:42
a. Nilai kapal yang ditahan telah dinilai (dievaluasi) terlalu tinggi oleh
pengadilan Negara penahan, seperti dalam kasus “Camauco” dan
“Monte Confuro”;
b. Nilai kapal yang ditahan tidak boleh dimasukan dalam
perlindungan uang jaminan, seperti dalam kasus “Hoshimaru”;
c. Denda untuk nakhoda atau pemilik kapal yang ditahan telah dinilai
terlalu tinggi, seperti dalam kasus “Monte Confurco” dan
“Hoshimaru”; dan
d. Yang disebut jaminan berlaku baik (good behaviour bond) seperti
dalam kasus Volga.
Jadi seperti terlihat dalam pertimbangan Mahkamah,43 maka
komponen kedua dan ketiga merupakan komponen yang tidak layak
(unreasonable) menurut pengertian pasal 73 (2). Hal ini dapat dimaklumi,
menurut Oman and Bantz bahwa fungsi “jaminan” dalam konteks
tertentu cukup menyeimbangkan antara hak untuk meminta pelepasan
dengan hak untuk mengadili dan menghukum.44
2. Dalam kasus ini yang disengketakan oleh Federasi Rusia hanya
“kelayakan uang jaminan” untuk pelepasan kapal Volga, dan tidak
mempersoalkan ‘kelayakan uang jaminan’ terhadap ketiga awaknya.
Hal ini dapat dimaklumi mengingat ketiga awak tersebut
berkewarganegaraan Spanyol, sedangkan awak kapal yang
berkewarganegaraan Federasi Rusia hanyalah nakhoda kapal yang
telah meninggal dunia sebelum proses pengadilan dilakukan oleh
42
. Op.Cit., Jianjun GAO
. Supra Catatan No.35, alinea 88
44
. Dalam Op.Cit., Jianjun GAO
43
86
JURNAL OPINIO JURIS
Vol. 12 Januari—April 2013
Australia.45 Dalam hukum internasional, memang tidak ada kewajiban
dari suatu negara untuk melindungi warganegara asing di negara lain.
Suatu negara hanya berkewajiban melindungi warganegaranya baik di
negaranya sendiri maupun di negara lain.46
Selain itu, penyebabnya adalah (kemungkinan) karena pada saat
kasus ini diajukan ke ITLOS, proses pengadilan terhadap ketiga awak
tersebut sedang berlangsung. Federasi Rusia dalam hal ini nampaknya
tidak mau dianggap sebagai negara “yang tidak menghormati proses
pengadilan negara lain” atau dengan kata lain, dianggap melanggar
prinsip “non intervensi”.
3. Penetapan jumlah uang jaminan bagi pelepasan awak kapal ditetapkan
melalui Pengadilan Australia berdasarkan ketentuan dari Fisheries
Management Act 1991.47 Sedangkan uang jaminan bagi pelepasan kapal
Volga dilakukan oleh Australian Fisheries Management Authority
(AFMA).48
Hal ini kiranya dapat dijadikan pelajaran berharga bagi Indonesia
dalam menentukan tindakan terhadap kapal asing dan awaknya yang
melakukan IUU Fishing di ZEE Indonesia. Pengadilan yang berwenang
pengadili kapal asing sesuai dengan UU No. 31/2004 dan UU
No.45/2009, antara lain berkaitan dengan:
45
. Supra Catatan No.22, Alinea 42.
. Starke., Introduction to International Law., Penerjemah Bambang Iriana
Djajaatmadja., Pengantar Hukum Internasional. Edisi Kesepuluh 2, Sinar Grafika,
Jakarta, cet. Kelima, 2004, hal.459-460.
47
. Statement in Response of Australia, Alinea 61-73
48
. Ibid, Alinea 54, lihat juga The Volga Case, Judgment, para 74
46
87
JURNAL OPINIO JURIS
Vol. 12 Januari—April 2013
a. Penggunaan bahan kimia, biologis, peledak, alat/bangunan yang
dapat
membahayakan
kelestarian
sumberdaya
ikan
dan/lingkungan (Psl.84 UU No.31/2004);
b. Melakukan pencemaran dan/atau kerusakan sumberdaya ikan
dan/ lingkungannya (Psl.86 UU No.31/2004);
c. Membawah peralatan penangkap ikan yang mengganggu dan
merusak kelangsungan sumberdaya ikan (Psl. 85 UU No.45/2009);
d. Tidak memliki SIPI dan tidak membawah SIPI asli (Psl.93 ayat 2
dan 4 UU No.45/2009);
e. Memalsukan SIUP, SIPI dan SIKPI (Psl. 94A UU No.45/2009);
f. Nakhoda yang tidak memiliki izin berlayar (Psl.98 UU No.45/2009).
Kementerian Kelautan dan Perikanan (DKP) yang berwenang
menentu-kan “uang jaminan” jika pemilik kapal mengajukan
permohonan pelepasan terhadap kapal miliknya.
4. Keputusan ITLOS dalam kasus ini terbatas dengan “proses pelepasan
segera” menurut Pasal 292, oleh karena itu ITLOS tidak dapat
mempertimbangkan masalah umum dari IUU Fishing. Sehingga dalam
kasus ini ITLOS seakan “mengabaikan” pendirian Australia atas
komponen ketiga yang digambarkan sebagai “good behaviour bond”,
yakni jaminan agar tindakan serupa tidak dilakukan pada masa yang
akan datang. Australia menyatakan dalam tanggapannya bahwa
penipisan stok patagonian tootfish di Samudera Bagian Selatan
merupakan masalah yang serius dan keprihatinan internasional.49
ITLOS menanggapi hal ini ‘memahami keprihatinan internasional
tentang IUU Fishing dan menghargai tujuan di balik kebijakan yang
diambil oleh negara-negara untuk menangani masalah ini.50
49
. the ‘Volga Case’, Alinea 67 dan lihat juga Chapter 3,IX: International concern, alinea
42-47 dar Statemen in Response of Australia, 7 Desember 2002.
50
. Ibid., Alinea 68
88
JURNAL OPINIO JURIS
Vol. 12 Januari—April 2013
Prosedur pelepasan segera kapal dan awaknya yang ditahan adalah
sebuah inovasi dalam hukum laut internasional.51 Pasal 292 UNCLOS
dirancang untuk membebaskan kapal dan awaknya dari penahanan
berkepanjangan akibat pengenaan uang jaminan yang tidak masuk akal
dari pengadilan (yurisdiksi) nasional, atau kegagalan hukum nasional
dalam menetapkan kelayakan jaminan untuk pelepasan, sehingga
menghindari kerugian yang mungkin timbul bagi pemilik kapal dan
orang-orang yang tersangkut dengan penahanan tersebut. Di lain pihak,
hanya setelah penitipan jaminan yang layak atau jaminan finansial
lainnya yang ditetapkan oleh pengadilan atau mahkamah yang ditunjuk
dalam Pasal 292, pejabat dari Negara penahan harus melepaskan kapal
dan awaknya yang ditahan, ITLOS hanya berurusan dengan masalah
pelepasan, tanpa mengurangi manfaat kasus di forum domestik terhadap
kapal, pemilik atau awaknya.52 Oleh karena itu, Pasal 292 mendamaikan
kepentingan Negara bendera untuk memiliki kapal dan awaknya
dibebaskan segera dengan kepentingan Negara penahan untuk
menjaga pentaatan terhadap hukum dan perundang-undangan
serta “memadukan keseimbangan yang adil antara dua
kepentingan.”53 Kemudian dalam “proses pelepasan segera” di
ITLOS selalu ada kecenderungan bagi penggugat (pemohon) untuk
51
. Op.Cit., Jianjun GAO.
. Ibid.
53
. Lihat the “Monte Confurco” Case (Seychelles v France), Request for Prompt Reseale,
Judgment of 18 December 2000, Alinea 70-71. www.itlos.org/index.php?id=103. Diakses
tanggal 30 Oktober 2012. Juga dalam Alinea 36 the “Volga Case”, Judgement of 23
Desember 2002.
52
89
JURNAL OPINIO JURIS
Vol. 12 Januari—April 2013
menyengketakan bahwa jaminan atau jaminan lainnya oleh negara
penahan ditetapkan terlalu tinggi.54
E. Penutup
Berdasarkan uraian di atas, mengakhiri tulisan ini dapat disimpulkan
sebagai berikut:
1. Penegakan IUU Fishing suatu negara pantai menurut UNCLOS 1982,
mencakup penegakan IUU Fishing di kawasan laut yang tunduk di
bawah kedaulatan negara pantai dan kawasan laut dimana negara
pantai memiliki hak berdaulat atau di ZEE.
2. ITLOS menetapkan jumlah uang jaminan yang layak (reasonable bond)
dalam Volga Case tidak jauh berbeda dengan (mempertimbangkan)
nilai kapal, bahan bakar, pelumas dan peralatan penangkap ikan yang
ada di atas kapal. Jadi ITLOS hanya mengabulkan komponen pertama
dari tiga komponen “uang jaminan “yang ditetapkan Australia.
3. Bagi Indonesia untuk menghukum pelaku IUU Fishing harus dilihat
tempat terjadinya tindakan tersebut. Jika di ZEE (atau bahkan di laut
teritorial) sebaiknya dikenakan hukuman denda, sebab hukuman
badan (penjara), disamping tidak dianjurkan oleh UNCLOS 1982 juga
akan merugikan Indonesia, karena harus menanggung biaya hidup
pelaku. Sebaliknya, hukuman berupa reasonable bond dapat
meminimalisir kerugian Indonesia akibat IUU Fishing; dan
4. Negara pantai berpeluang untuk mendapatkan reasonable bond dari
kapal asing yang melanggar peraturan perundang-undangan
perikanannya, akan tetapi negara tersebut harus hati-hati. Penetapan
jumlah jaminan haruslah secara layak dengan tidak menilai harga
kapal yang ditahan terlalu tinggi, memasukan nilai kapal dalam
54
. Op.Cit., Jianjun GAO.
90
JURNAL OPINIO JURIS
Vol. 12 Januari—April 2013
jaminan, denda bagi nakhoda atau pemilik kapal terlalu tinggi, dan
memasukan komponen yang tidak bersifat finansial.
Daftar Pustaka
Akhmad Solihin, Perikanan Indonesia Dalam Kepungan Organisasi Pengelolaan
Perikanan regional dan Internasional., http://ikanbijak.wordpress.com/
2008/04/21/perikanan-indonesia-dalam-kepungan-organisasi. Diakses 25 Oktober
2012.
Anthony Csabafi, Imre, The Concept of State Jurisdiction in International Space
Law.,Martinus Nijhoff, The Hague, 1971
Blakely,Laurance, The End of the Viarsa Saga And the Legality of Australia’s Vessel
Forfeiture Penalty For Illegal Fishing in Its Exclusive Economic Zone.,hal. 680.
Dalam http://digital.law.washington.edu/…/17 PacRimLPoly. Diakses 29 Oktober
2012.
Donald R, Rothwell, Multilateralism and International Ocean-Resources Law: Chapter
9. The “Volga” Case (Russian Federation v Australia): Prompt Release and the
Right
and
Interest
of
Flag
and
Coastal
States.
Dalam
http://escholarship.org/uc/item/4w9953kp#page-3. Diakses 30 Oktobber 2012.
Gullett,Warwick, Prompt release procedures and the challenge for ficheries law
enforcement: the judgement of the international tribunal for the law of the sea in
the
‘Volga’
case
(Russian
Federation
v
Australia).
Dalam
http://www.ro.uow.au/cgi/viewcontent.egi?.article. Diakses 17 Oktober 2012.
ITLOS., Cases, Contentious Cases, dalam http://www.itlos.org. Diakses tanggal. 25
Oktober 2012.
Jianjun GAO, Reasonableness of the Bond under Article 292 of the LOS Convention:
Practice
of
the
ITLOS.,
dalam
http://chinesejil.oxfordjournals.org/content/7/1/115.full.pdf+html. Diakses 28
Oktober 2012.
Kasijan Romimohtarto, "Pengelolaan Pemanfaatan Kekayaan Hayati dan Nabati di
Perairan Indonesia"., Seminar Hukum Nasional Kelima Tahun 1990., BPHN,
Jakarta, 1991
Md. Saiful Karim, Conflicts over Protection of Marine Living Resources: The ‘Volga
Case’
Revisited.
(GoJIL
3
(2011),1,101-127.
Dalam
mq.academia.edu/…/Conflict_over_Protectio… Diakses 17 Oktober 2012.
Okilukito’s Weblog, Negara Maritim Tanpa Ocean Policy., dalam http://okilukito.
Wordpress.com. diakses 18 Oktober 2012.
Rokhmin Dahuri, Anatomi Permasalahan Illegal Fishing dan Solusinya., http://rokhmindahuri.info/2012/10/09/anatomi-permasalahan-illegal-fishing-dan-solusinya/.
Diakses 16 Oktober 2012.
91
JURNAL OPINIO JURIS
Vol. 12 Januari—April 2013
Selamatkan Indonesia dari Illegal Fishing., Sumber: Majalah Samudera Mei 2012 Dalam
http://rokhmindahuri.info/2012/10/04/selamatkan-indonesia-dari-iuu-fishing/.
Diakses 17 Oktober 2012.
Sapto J.Poerwodidagdo, Langgar ZEE, Kapal Asing Dapat Ditangka, Penanganan IUU
Fishing
(I).,http://surabayasore.com/index.
php?3b1ca0a43b79bdfd9f9305b81298296253e5f73717ca2dd5b925f307d775c9e0.
Diakses 16 Oktober 2012.
White, Michael & Knight, Stephen, ITLOS ad the ‘Volga’Case: The Russian Federatian v
Australia., ha. 39. Dalam maritimejournal.murdoch. edu.au/ archive/vol_17/
Vol_17_2003White& Knight.pdf. Diakses 18 Oktober 2012.
Statement in Reponse of Australia, 7 Desember 2002. Dalam http://www.itlos.org. 24
Oktober 2012
Starke, Introduction to International Law, Penerjemah Bambang Iriana Djajaatmadja.,
Pengantar Hukum Internasional. Edisi Kesepuluh 2, Sinar Grafika, Jakarta, cet.
Kelima, 2004
The Volga Case (Russian Federatian v Australia) Prompt Release (Written proceedings),
Statement in Reponse of Australia, 7 Desember 2002.
Dalam
http://www.itlos.org. 24 Oktober 2012.
The Application Submitted of the Russian Federation, The Volga-Application For
Release of Vessel and Crew. Dalam http://www.itlos.org. 24 Oktober 2012.
UN Convention on the Law of the Sea (UNCLOS) 1982.
“
The law will never make a man free;
it is men who have got to make the law free.
- Henry David Thoreau-
92
”
JURNAL OPINIO JURIS
Vol. 12 Januari—April 2013
RESENSI BUKU
Judul
: Hukum Internasional dalam Perspektif Indonesia
Sebagai Negara Berkembang
Penulis buku
: Prof. Hikmahanto Juwana
Penerbit
: Gramedia
Bahasa
: Indonesia
Jumlah halaman : 214
Pembuat resensi : Eka Aqimuddin
Hukum Internasional: Netral atau Berpihak?
Membaca
buku
kumpulan
tulisan Hikmahanto Juwana soal
hukum internasional ini, pikiran
saya melesat ke buku tulisan karya
Martii Koskenniemi, From Apology to
Utopia: The Structure of Legal
Argument. Meski Hikmahanto tidak
menyebut Koskenniemi sebagai
salah satu sumber tulisannya,
namun secara substansi saya kira
kedua buku tersebut memiliki ide
yang
sama
bahwa
hukum
internasional tidak netral.
Bagi
Koskenniemi,
hukum
internasional
tak
lebih
dari
kontestasi kekuatan politik para aktor politik (khususnya negara)
internasional.
“It now seems to me that the concepts and structures of international
law, elaborated in this book, are not something that political actors may
choose to apply or ignore at will. They are the condition of possibility
93
JURNAL OPINIO JURIS
Vol. 12 Januari—April 2013
for the existence of something like a sphere of the ‘‘international’’ as one
for asserting and contesting political power, making and challenging
claims of right and legitimacy that may be analysed as claims about
legal justice. If international law did not exist, political actors would
need to invent it.”
Hikmahanto Juwana dalam bukunya beranjak dari hipotesis adanya
perbedaan kepentingan ekonomi antara negara maju dan berkembang
untuk memahami hukum internasional. Fakta-fakta tersebut dapat dilihat
dari instrumen hukum internasional di bidang ekonomi. Tidak hanya itu,
konsep-konsep dalam hukum internasional seperti, Res Nullius atau Res
Communnis juga dimaknai oleh Hikmahanto sebagai pertarungan
kepentingan ekonomi antarnegara.
Sehingga sangat logis jika pembahasan bab selanjutnya dari buku ini
adalah bagaimana hukum internasional dimaknai sebagai instrumen
politik oleh para negara. Pada titik inilah, saya kira bertemulah pemikiran
antara Koskenniemi dan Hikmahanto. Sebagian pakar hukum
internasional masih memandang bahwa hukum internasional, selayaknya
ilmu hukum, merupakan ilmu yang netral dari kepentingan-kepentingan.
Paham seperti itu merupakan pengaruh aliran positivisme dalam ilmu
hukum yang memandang bahwa hukum internasional juga harus bebas
dari nilai-nilai di luar hukum.
Padahal realitas berkata lain, hukum internasional sangat penuh
dengan kepentingan-kepentingan politik negara-negara. Pertarungan
kepentingan antarnegara tersebut dapat dilihat dalam forum-forum
internasional saat pembentukan suatu perjanjian internasional. Maka
sangat masuk akal jika perjanjian internasional dapat dimaknai sebagai
pertarungan kepentingan.
Hikmahanto Juwana tidak berhenti pada titik itu. Beliau berusaha
untuk membongkar (dekonstruksi) hukum internasional itu sendiri.
Meminjam metode dari aliran Critical Legal Studies (CLS), beliau ingin
menunjukan hipotesisnya bahwa hukum internasional itu tidak bebas
94
JURNAL OPINIO JURIS
Vol. 12 Januari—April 2013
nilai. Dengan metode trashing, deconstruction dan genealogy, Hikmahanto
berhasil menunjukkan bahwa hukum internasional itu dapat dipahami
dengan pendekatan lain sehingga bisa memperkaya pemahaman
masyarakat (hal 6-8)
Pemahaman Hikmahanto soal hukum internasional ini coba ia
tularkan dengan mengkritisi model pendidikan dan pengajaran hukum
internasional di kampus-kampus. Melihat realitas kekinian yang selalu
bersinggungan dengan hukum internasional, mau tidak mau membuat
semua pihak peduli dengan hukum internaisonal. Pada titik inilah
penting untuk memberikan pendidikan dan pengajaran hukum
internasional melalui pendekatan kritis dan juga praktik-praktik yang
berkaitan dengan Indonesia. Dengan demikian, pihak yang mempelajari
hukum internasional tidak merasa terpisah (terasing) dengan apa yang
dipelajarinya. Sangat tepat apabila pembahasan soal ini dijadikan
penutup dalam buku ini.
Buku kumpulan tulisan Hikmahanto Juwana ini secara garis besar
sangat baik. Namun, pembaca tidak akan mendapatkan pembahasan ide
dari beliau secara utuh mengenai hukum internasional karena hanya
merupakan kumpulan-kumpulan tulisan.
“
Laws are like sausages. It is better not to see them being made.
- Otto von Bismarck -
”
95
JURNAL OPINIO JURIS
Vol. 12 Januari—April 2013
ISTILAH HUKUM
Yoshi Iskandar
Hot pursuit (pengejaran seketika)
The hot pursuit of a foreign ship may be undertaken when the competent
authorities of the coastal State have good reason to believe that the ship has
violated the laws and regulations of that State. Such pursuit must be commenced
when the foreign ship or one of its boats is within the internal waters, the
archipelagic waters, the territorial sea or the contiguous zone of the pursuing
State, and may only be continued outside the territorial sea or the contiguous
zone if the pursuit has not been interrupted. The right of hot pursuit ceases as
soon as the ship pursued enters the territorial sea of its own State or of a third
State.
Pengejaran seketika suatu kapal asing dapat dilakukan apabila pihak
yang berwenang dari Negara pantai mempunyai alas an cukup untuk
mengira bahwa kapal tersebut telah melanggar peraturan perundangundangan Negara itu. Pengejaran demikian harus dimulai pada saat
kapal asing atau salah satu dari sekocinya ada dalam perairan
pedalaman, perairan kepulauan, laut wilayah atau zona tambahan
Negara pengejar, dan hanya boleh diteruskan di luar laut wilayah atau
zona tambahan apabila pengejaran itu tidak terputus. Hak pengejaran
seketika berhenti segara setelah kapal yang dikejar memasuki laut
wilayah Negaranya sendiri atau Negara ketiga.
Right of Navigation (Hak Berlayar)
Every State, whether coastal or land-locked, has the right to sail ships flying its
flag on the high seas.
Setiap Negara, baik berpantai atau tidak berpantai, mempunyai hak
untuk melayarkan kapal di bawah benderanya di laut lepas.
Yurisdiksi
Jurisdiction (from the Latin ius, iuris meaning "law" and dicere meaning "to
speak") is the practical authority granted to a formally constituted legal body or
to a political leader to deal with and make pronouncements on legal matters and,
by implication, to administer justice within a defined area of responsibility. The
96
JURNAL OPINIO JURIS
Vol. 12 Januari—April 2013
term is also used to denote the geographical area or subject-matter to which such
authority applies.
Kewenangan yang dimiliki negara untuk membuat peraturan perundangundangan (prescriptive jurisdiction) dan kewenangan untuk menegakkan
suatu keputusan yang didasarkan kepada perundang-undangan yang
dibuat tadi (enforcement jurisdiction). Konsep tentang yurisdiksi negara
dalam hal ini lebih diterapkan dalam hukum pidana.
Appellate jurisdiction
The jurisdiction which a superior court has to bear appeals of causes which have
been tried in inferior courts. It differs from original jurisdiction, which is the
power to entertain suits instituted in the first instance.
Pengadilan tingkat banding pada pengadilan tinggi sebagai pengadilan
tingkat kedua, perkara diperiksa secara keseluruhan, baik dari segi
peristiwanya maupun segi hukumnya. Pemeriksaan ulang tersebut
dilakukan apabila salah satu pihak tidak puas terhadap putusan
pengadilan tingkat pertama.
In dubio pro reo
The principle of in dubio pro reo (Latin for "when in doubt, for the accused")
means that a defendant may not be convicted by the court when doubts about his
or her guilt remain. It is often used specifically to refer to the principle of
presumption of innocence that dictates that when a criminal statute allows more
than one interpretation, the one that favours the defendant should be chosen.
Dalam keadaan yang meragukan, hakim harus mengambil keputusan
yang menguntungkan terdakwa. Biasanya ini sering dirujuk pada asas
praduga tak bersalah bila terdapat lebih dari satu interpretasi terhadap
terdakwa, maka pilihan yang menguntungkan terdakwa yang diambil.
Pacta tertiis nec nocent nec prosunt
Treaties do not create either obligations or rights for third states without their
consent.
97
JURNAL OPINIO JURIS
Vol. 12 Januari—April 2013
Prinsip Pacta tertiis nec nocent nec prosunt berarti meletakkan kedaulatan
negara di atas segalanya sehingga mensyaratkan adanya persetujuan
pada setiap perjanjian yang akan membebankan suatu kewajiban kepada
pihak ketiga.
Uti Possidetis Juris
a principle of international law that states that newly formed sovereign states
should have the same borders that they had before their independence.
Prinsip hukum internasional yang menganut bahwa negara baru yang
berdaulat harus memiliki garis batas yang sama dengan sebelum
kemerdekaannya. Atau suatu negara baru mewarisi wilayah kekuasaan
penjajahnya.
“ The good of the people is the greatest law. ”
- Marcus Tulius Cicero -
98
JURNAL OPINIO JURIS
Vol. 12 Januari—April 2013
TENTANG PENULIS
Prof. Dr. Hasjim Djalal, MA
Diplomat Indonesia dan ahli hukum laut internasional. Pernah menjabat
sebagai Duta Besar/Deputi Wakil Tetap RI untuk PBB, New York (19811983), Duta Besar di Kanada (1983-1985), Duta Besar di Jerman (19901993), serta Duta Besar Keliling (Ambassador at Large) untuk Masalahmasalah Hukum Laut dan Kelautan (1994-2000). Beliau juga dipercaya
duduk sebagai anggota Dewan Kelautan Indonesia, penasehat senior
Menteri Kelautan dan Perikanan, dan penasehat kepala staf TNI
Angkatan Laut. Menulis banyak buku, antara lain Indonesian Struggle for
the Law of the Sea (1979) dan Indonesia and the Law of the Sea (1995) serta
Preventive Diplomacy in Southeast Asia: Lesson Learned (2003). Setelah
pensiun tahun 1994, Beliau masih aktif menulis buku dan artikel di
berbagai media serta berbicara di berbagai forum tentang masalah hukum
laut internasional.
I Made Andi Arsana, ST., ME.
Dosen Fakultas Teknik Geodesi UGM yang sedang menyelesaikan PhD di
Australian National Centre for Ocean Resources and Security (ANCORS)
University of Wollongong dengan beasiswa Australian Leadership Awards.
Penulis juga menerima Alison Sudradjat Awards untuk melakukan
penelitian lanjutan di ANCORS (2012-2013). Selain itu, Penulis adalah
alumni UN-Nippon Foundation Fellowship untuk melakukan penelitian
dan magang di ANCORS dan UN DOALOS, New York pada tahun 2007.
Selama menekuni bidang aspek teknis hukum laut, terutama batas
maritim internasional, Andi telah memaparkan karyanya di Asia,
Australia, Amerika dan Eropa. Informasi lebih lanjut tentang Andi bisa
diperoleh dari website resminya http://madeandi.staff.ugm.ac.id dan
dihubungi melalui email [email protected].
Kolonel (Laut) Kresno Buntoro, S.H, LLM, Ph.D
Menyelesaikan pendidikan S1 jurusan Hukum Internasional Universitas
Diponegoro tahun 1991. Setelah menerima the British Achievening Awards,
melanjutkan pendidikan S-2 di University of Nottingham, United Kingdom
99
JURNAL OPINIO JURIS
Vol. 12 Januari—April 2013
tahun 1995 pada program studi Public International Law. Ia juga menerima
the Australian Leadership Awards (ALA), menyelesaikan S-3 di University of
Wollongong, Australia tahun 2010 pada program studi Ocean and Transnational Security. Selain itu, Penulis merupakan perwira TNI Angkatan
Laut sejak tahun 1989 yang saat ini sebagai Kepala Dinas Hukum
Komando Armada RI Kawasan Barat dengan pangkat Kolonel.
Usmawadi Amir, SH., MH.
Dosen Fakultas Hukum Univeritas Sriwijaya, Palembang. Banyak terlibat
pada penelitian khususnya dalam bidang hukum internasional, seperti
kerja sama Negara-Negara Dalam Pemberantasan Aksi Perompakan di Selat
Malaka-Singapura (2012), kerja sama Negara-Negara ASEAN Dalam
Pemberantasan Kejahatan Transnasional: Perdagangan Manusia (2012), dan
kerja sama ASEAN Dalam Pemberantasan Kejahatan Transnasional (2011).
Selain itu, Penulis juga menulis buku bertema hukum, antara lain
Petunjuk Praktis Penelitian Hukum (2007); Hukum Internasional Kontemporer
Jilid 1 dan Jilid 2 (2008/9); dan Hukum Penyelesaian Sengketa Internasional
(2012). Penulis dapat dihubungi melalui [email protected].
Eka Aqimuddin, SH., MH.
Dosen Hukum Internasional Universitas Islam Bandung. Meraih gelar
sarjana hukum di Universitas Trisakti (2005) dan magister hukum di
Universitas Padjajaran (2011). Menulis buku Hukum untuk Manusia (2012),
Mekanisme Penyelesaian Sengketa di Asean; Lembaga dan Proses (2011), dan
Solusi Bila Terjerat Kasus Bisnis (2011). Penulis dapat dihubungi melalui
[email protected].
“
”
Where the law ends tyranny begins.
- Henry Fielding –
(English novelist and dramatist, 1707-1754)
100
JURNAL OPINIO JURIS
Vol. 12 Januari—April 2013
Jurnal Hukum dan Perjanjian Internasional
OPINI O JURIS
Jurnal Opinio Juris menerima tulisan dengan tema hukum internasional,
perjanjian internasional, diplomasi, hubungan internasional, dan isu-isu
dalam negeri yang memiliki dimensi hukum dan perjanjian internasional.
Ketentuan Penulisan:
1. Panjang tulisan 10—20 halaman kertas A4 (termasuk abstraksi, isi,
catatan kaki, dan daftar pustaka), format MS Word, spasi satu setengah,
font Book Antiqua 11. Untuk catatan kaki, spasi satu dan font Times New
Roman ukuran 10;
2. Tulisan dapat dibuat dalam bahasa Indonesia atau bahasa Inggris;
3. Setiap naskah harus disertai abstraksi dalam dua bahasa (Indonesia dan
Inggris). Jumlah kata abstraksi sekitar 100 kata.
4. Rujukan dibuat dalam bentuk catatan kaki (footnote);
5. Tulisan harus asli dari penulis, belum pernah diterbitkan, dan tidak
sedang dikirimkan ke penerbit lain;
6. Untuk setiap naskah yang masuk, redaksi berhak mengedit dengan tidak
mengubah maksud dan isi tulisan;
7. Apabila diperlukan, redaksi akan memberikan masukan dan
rekomendasi kepada penulis tentang tulisan yang dikirim;
8. Setiap naskah yang dikirim harus disertai daftar riwayat hidup singkat
penulis (curriculum vitae) yang setidak-tidaknya terdiri dari pekerjaan,
pendidikan, alamat, dan nomor telepon yang bisa dihubungi;
9. Setiap naskah yang disetujui untuk diterbitkan akan mendapatkan
kompensasi finansial;
10. File naskah beserta kelengkapan lainnya dapat dikirim ke email Redaksi.
Sekretariat Direktorat Jenderal Hukum dan Perjanjian Interansional
Kementerian Luar Negeri
Jalan Taman Pejambon No. 6 Jakarta Pusat
Telp: +62 21 3846633 Fax: +62 21 3858044
Email: [email protected]
http://pustakahpi.kemlu.go.id/
101
Download