ASPEK IMUNOGENETIK DERMATITIS ATOPIK

advertisement
ASPEK IMUNOGENETIK DERMATITIS ATOPIK PADA ANAK :
KONTRIBUSI GEN CTLA-4, KECACINGAN DAN IL-10
Immunogenetic Aspects of Atopic Dermatitis in Children:
Contribution of CTLA-4 gene, worms infection and IL-10
Farida Tabri, Irawan Yusuf, Siti Aisah Boediardja
ABSTRAK
Penelitian ini bertujuan untuk membuktikan aspek imunogenetik dermatitis atopik pada anak: kontribusi gen
CTLA-4,kecacingan dan IL-10. Penelitian ini dilakukan di bagian Ilmu Kesehatan Kulit dan Kelamin RS. dr.
Wahidin Sudirohusodo dan RS. Pelamonia dengan metode cross sectional menggunakan 80 anak berusia 4-12
tahun, kelompok I pasien kasus DA berjumlah 47 orang, kelompok II non DA berjumlah 33 orang. Pasien diambil
darah venanya sebanyak 10 ml, lalu diperiksa dengan teknik PCR dan sekuensing, diperiksa pula kadar IL-10
serum, serta ada tidaknya infestasi cacing pada feses. Analisis data diuji dengan Chi-X2, exact Fisher, dan regresi
logistik ganda. Hasil penelitian menunjukkan bahwa genotip GG sebanyak 48,9% sehingga GG merupakan faktor
risiko terjadinya DA anak dengan OR 2.252. Tidak terdapat hubungan bermakna antara polimorfisme gen
CTLA-4 dengan kelompok usia, awitan DA, luas lesi, dan fase DA (p>0.05). Kadar IL-10 tinggi terbukti
merupakan faktor protektif terhadap munculnya DA anak. Adanya hubungan bermakna antara kadar IL-10 rendah
dengan jumlah lesi. Dari 47 anak DA tidak ditemukan adanya infestasi cacing. IL-10 yang tinggi ditemukan pada
anak dengan kecacingan 13,5 kali daripada anak yang tidak kecacingan. Uji statistik menunjukkan polimorfisme
gen CTLA-4 berkontribusi langsung terhadap DA tanpa melalui IL-10, sedangkan kecacingan menekan DA
melalui peningkatan IL-10.
Kata Kunci : Dermatitis atopik anak, gen CTLA-4, IL-10, kecacingan
ABSTRACT
The research aimed to prove immunogenetic aspects of the atopic dermatitis on the children: contribution of
CTLA-4 gene, worm infection and IL-10. This research was carried out in Dermato-venereology Department, Dr.
Wahidin Sudirohusodo Hospital and Pelamonia hospital with a cross sectional method using 80 children of 4-12
years old, first group consisted of 47 children of AD cases, second group consisted of 33 non-AD children. The
patients were taken their veins as much as 10ml, it was examined by PCR and sequencing techniques, IL-10
serum content, worm infestation in the faeces were also checked. The data were analysed by Chi-X2, exact fisher,
and multiple logistic regression. The results of the reveals that GG genotype is as much as 48,9% so that GG
represents the risky factor of the occurence of pediatric AD with OR of 2.252. There is no significant relationship
between polymorphism of CTLA-4 gen and the age group, the preserved AD, lesion size, and AD phase (p>0.05).
The IL-10 content is high, it is proved to represent the protective factor towards the appearance of the pediatric
AD. There is a significant relationship between low IL-10 and the lesion amount. Out of 47 pediatric AD, it is not
found the high IL-10 worm infestation on the children with the worm infection of 13,5 times than the children
without worm infection. The statistic test indicates that the polymorphism of CTLA-4 gen has a direct
contribution on the AD without going through IL-10, whereas the worm infection suppresses AD through the IL10 increase.
Key Words : Atopic dermatitis in children, CTLA-4 gene, IL-10, worms infection
1
PENDAHULUAN
Dermatitis atopik (DA) merupakan penyakit radang kulit kambuhan yang
sangat gatal dan sering ditemukan pada anak yang biasanya mendahului
perkembangan rinitis alergik atau asma (Leung, 2000). Penelitian epidemiologi akhirakhir ini menunjukkan bahwa prevalensi DA terus meningkat dan mencapai angka
estimasi 20% pada populasi umum (Laughter et al., 2000). Survei di negara
berkembang menemukan 10-20% anak menderita DA (Williams, 2000). Prevalensi
DA pada anak etnis Asia belum banyak dilaporkan. Angka prevalensi yang
dilaporkan adalah 20,1% di Hongkong, 19% di Jepang dan 20,8% di Singapura (Tay
et al., 2002). Angka prevalensi DA di Indonesia juga bervariasi. Berdasarkan
rekapitulasi yang dilakukan oleh Kelompok Studi Dermatologi Anak (KSDAI) dari
lima kota besar di Indonesia pada tahun 2000, DA masih menempati peringkat
pertama (23,67%) dari 10 besar penyakit kulit anak dan dari sepuluh rumah sakit
besar yang tersebar di Indonesia pada tahun 2005 kejadian DA mencapai 36% dari
keseluruhan diagnosis dermatitis. Data Rekam Medis RSUP dr. Wahidin
Sudirohusodo dan RS Pelamonia di Makassar menunjukkan peningkatan jumlah
kasus DA anak; 47 anak di tahun 2004, 106 anak di tahun 2005, 108 anak di tahun
2006, dan 115 anak di tahun 2007. Prevalensi DA di negara berkembang dan
peningkatan insidensi DA di negara industri merupakan refleksi pengaruh lingkungan
sebagai faktor pencetus pada individu yang telah memiliki suseptibilitas genetik
(Kluken et al., 2003).
Aktivasi limfosit T mulai dari dikenalinya ligan CD 80 (B-71) dan CD 86 (B72) di permukaan sel penyaji antigen dan aktivasi sel B oleh molekul CD 28 yang
berada di permukaan limfosit T. Cytotoxic T lymphocyte-associated antigen-4
(CTLA-4) adalah molekul permukaan sel T teraktivasi yang memiliki sekuens
homolog dengan CD 28. Aktivasi limfosit kemudian akan diikuti oleh munculnya
molekul CTLA-4 di permukaan limfosit T. Molekul CTLA-4 berperan sebagai
regulator negatif dengan cara menghambat aktivasi sel T dan sekresi sitokin
(Morikawa dan Nagashima, 2000).
Hasil berbagai penelitian epidemiologik pada keluarga serta individu kembar
menunjukkan besarnya peran suseptibilitas genetik untuk terjadinya DA (Coleman et
al., 1997, Williams, 2000, Ong dan Leung, 2002, Kluken et al., 2003, Larsen et al.,
1986). Identifikasi gen paling berperan pada kasus DA masih terus berlangsung
hinggga saat ini, baik menggunakan pendekatan linkage analysis studies ataupun
candidate gene studies (Wollenberg dan Bieber, 2000). Salah satu gen yang
diidentifikasi berperan penting pada patogenesis DA adalah gen penyandi molekul
permukaan CTLA-4 (CD 152) di kromosom 2q33 (Howard et al., 2002).
Polimorfisme gen menyebabkan perubahan susunan basa nukleotida yang
berdampak pada perubahan fungsi jaringan/organ tertentu (Idris, 2009). Penelitian
hubungan genetik mengidentifikasi polimorfisme gen penyandi molekul CTLA-4
pada posisi +49 ekson 1 yang berhubungan dengan penyakit autoimun. Inaktivasi gen
penyandi molekul CTLA-4 pada mencit mengakibatkan proliferasi limfosit dan
2
produksi sel T-helper 2/ CD4+ yang berlebihan. Ini membuktikan peran CTLA-4
sebagai regulator negatif proses proliferasi limfosit T (Jones et al., 2006). Apabila
CTLA-4 sebagai regulator negatif tidak berfungsi dengan baik maka akan
merangsang limfosit T untuk terus menerus berproliferasi (Kouki et al., 2000).
Peneliti lain menunjukkan adanya peningkatan ekspresi CD 86 (B-72) pada penderita
DA (Jirapongsananuruk et al., 1998).
Hasil penelitian tersebut merupakan bukti yang mendukung pemikiran bahwa
polimorfisme gen penyandi molekul CTLA-4 yang mengakibatkan terganggunya
regulasi sistem imun sebagai salah satu dasar patogenesis DA. Sampai saat ini penulis
belum menemukan laporan penelitian tentang hubungan polimorfisme gen penyandi
molekul CTLA-4 dengan kejadian DA fase anak pada penelusuran pustaka nasional
di Indonesia.
Penelitian lain menunjukkan dugaan bahwa infestasi cacing usus dapat
menginduksi imunomodulator sistemik termasuk regulasi sel T dan sitokin anti
inflamasi IL-10 meningkat dalam proteksi melawan fenotip alergik (Flohr et al.,
2009).
IL-10 dan TGF-β adalah sitokin yang mempunyai kemampuan kuat
menurunkan dan menghentikan inflamasi serta respons imun protektif. Kedua
molekul ini diproduksi oleh sel T regulator. Sel T regulator atau sel T supresif
penting dalam mengontrol aktivasi berlebihan sel T efektor pada respons imun. Sel T
regulator bekerja dengan cara kontak sel ke sel dan memproduksi sitokin
penghambat, misalnya IL-10 dan TGF-β, yang menurunkan proliferasi dan produksi
sitokin oleh sel Th1 dan Th2 (Wahyuni, 2006).
Kejadian alergi yang rendah di daerah tropis dihubungkan dengan infestasi
cacing (Wahyuni, 2006). Beberapa penelitian membuktikan bahwa cacing usus
(Ascaris, Trichuris, Necator, Ancylostoma, dan sebagainya) menghambat manifestasi
klinis alergi. Pada 1988 Lynch et al, menguji hubungan antara diagnosis alergi dan
tingkat IgE spesifik terhadap cacing Ascaris pada 626 anak penderita atopi (dengan
asma dan/hay fever) berumur 2–12 tahun di Venezuelan Coche Island (>30%
penduduk asma), dibandingkan dengan 187 anak usia 4-10 tahun di kota miskin
Caracas, tanpa riwayat alergi (Flohr, 2003).
Hasil penelitan tersebut mengungkapkan bahwa kadar IgE spesifik meningkat
bermakna pada anak-anak Venezuelan Coche Island, dan berkaitan dengan intensitas
infestasi Ascaris yang lebih rendah (Flohr, 2003).
Penelitian Wahyuni (2006) dan data sejumlah negara menunjukkan beberapa
spesies cacing dapat berhubungan dengan penyakit asma bronkial, rinitis alergik, dan
dermatitis atopik. Data di Indonesia menunjukkan 2 spesies terbanyak adalah spesies
Trichuris trichiura (1%-90%) dan Ascaris lumbricoides (14%-90%) (Wahyuni,
2006). Hasil penelitian tersebut masih kontroversi (Flohr, 2003). Oleh karena itu
perlu dilakukan penelitian untuk melihat hubungan terbalik antara kejadian DA dan
kecacingan.
3
Di Indonesia, khususnya di Makassar, belum ada laporan penelitian tentang
hubungan antara kecacingan dengan DA fase anak. Dengan demikian penelitian
tentang hubungan kecacingan dengan IL-10 pada DA fase anak menjadi penting.
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui kontribusi polimorfisme gen
CTLA-4, IL-10 dan kecacingan terhadap kejadian DA pada anak dan
patomekanismenya.
METODE DAN CARA
Penelitian ini merupakan penelitian observasional cross sectional yang
membandingkan antara anak yang menderita DA dan non DA. Dilakukan pada pasien
DA anak dan anak non DA, meliputi pemeriksaan dengan teknik PCR, RFLP, IL-10
(teknik ELISA), dan cacing (kato Katz).
Target populasi pada anak usia 4-12 tahun, pasien anak DA yang berkunjung
ke Poliklinik Kulit di RS Wahidin dan RS Pelamonia di Makassar (consecutive
sampling) dan anak non DA dicari di dalam lingkup RS dan luar RS dengan metode
purposive sampling dengan besar sampel minimal (n) sebanyak 37 sampel, besar
sampel dibulatkan menjadi 80 orang, terdiri atas 47 orang DA dan 33 orang anak non
DA.
Penelitian dilaksanakan di poliklinik Kulit dan Kelamin RS dr. Wahidin
Sudirohusodo dan RS Pelamonia Makassar, Sulawesi Selatan dengan mengambil
sampel pasien DA pada anak dan non DA usia 4-12 tahun yang memenuhi kriteria
inklusi dan ekslusi. Sampel darah vena sebanyak 10 ml/cc diambil dari vena mediana
cubiti.
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
A. Hasil Penelitian
Karakteristik Umum
Jumlah sampel dalam penelitian ini adalah 80 orang anak berumur antara 4–
12 tahun terdiri atas 39 anak laki-laki (48.8%) dan 41 anak perempuan (51.2%).
Sampel terdiri dari 47 penderita DA, 23 anak laki-laki (48.9%) dan 24 anak
perempuan (51.1%) serta 33 anak non DA, 16 anak laki-laki (48.4%) dan 17 anak
perempuan (51.6%)
4
Tabel 3. Karakteristik umum sampel penelitian DA dan Non DA, FK Universitas
Hasanuddin, Makassar, 2011 (n=80)
Nilai rerata usia (tahun)±SB
Jenis Kelamin
 Perempuan
 Laki-laki
Kecacingan
 Ascaris lumbricoides
 Trichuris trichiura
 Ancylostoma duodenale
Kadar IL-10
 Tinggi
 Rendah
DA
8.28 (±1.83)
Non DA
8.76 (±2.00)
24
23
17
16
0
0
0
9
5
5
3
44
8
25
Keterangan: DA=dermatitis atopik ; SB = simpang baku ; IL =interleukin
Nilai rerata usia pada kelompok DA sebesar 8.28 (±1.83) tahun dan pada
kelompok non DA 8.76 (±2.00) tahun dengan nilai p = 0.268. Variabel demografi
jenis kelamin diuji dengan Chi-X2 dan usia yang diuji dengan uji T independent
memiliki nilai p lebih besar dari 0.05, dengan demikian disimpulkan dari aspek usia
dan jenis kelamin kedua kelompok sebanding.
Pada kelompok DA tidak ditemukan kecacingan dan kadar IL-10 umumnya
rendah.
Karakteristik klinis
Pada 47 DA Anak ditelusuri awitan DA, lokasi lesi, dan stigmata atopi, tercantum
pada tabel 4.
Tabel 4. Karakteristik pasien DA Anak berdasarkan awitan, lokasi, dan stigmata topi,
FK Universitas Hasanuddin, Makassar, 2011 (n = 47)
Awitan DA
Lokasi
Stigmata atopi
< 2 tahun
> 2 tahun
Bokong
Mata, leher,
telinga
Fossa cubiti
Fossa
poplitea
Ekstensor
Asma
bronchial
Rinitis
alergika
Urtikaria
Laki-laki
10
13
5
11
Pere-mpuan
8
16
5
6
Total
18
29
10
17
12
9
14
19
26
28
6
6
7
7
13
13
20
22
42
1
4
5
Keterangan: DA=dermatitis atopik
5
Umumnya pada laki-laki dan perempuan awitan DA >2 tahun dengan lokasi
terbanyak adalah fossa poplitea diikuti fossa cubiti serta mata, leher, dan telinga.
Stigmata atopi yang terbanyak ditemukan adalah rinitis alergika.
Kontribusi Gen CTLA-4 Pada DA Anak Dan Kelompok Non DA
Hasil elektroforesis produk PCR pada kelompok pasien DA pada anak
maupun pada kelompok non DA menunjukkan positif terdeteksi pada target band 360
bp.
360 bp
Gambar 8. Contoh hasil elektroforesis produk PCR pada kelompok DA dan dan non DA pada anak
Hasil sekuensing gen CTLA 4 posisi +49 exon 1 pada kelompok
ditemukan genotip AA sebanyak 10 sampel, genotip AG sebanyak 14 sampel,
genotip GG sebanyak 23 sampel. Untuk kelompok anak yang tidak menderita
ditemukan genotip AA sebanyak 11 sampel, genotip AG sebanyak 15 sampel,
genotip GG sebanyak 7 sampel (Tabel 5 ).
DA
dan
DA
dan
Genotip AA  Kasus (no 8)
Genotip AG  Kasus (no 1)
6
Genotip GG  Kasus (no 2)
Gambar 9. Gambaran hasil sekuensing
genotip AA, AG, dan GG pada
kelompok DA (2009)
Tabel 5. Perbedaan distribusi genotip
polimorfisme gen CTLA-4 antara
penderita DA dan non DA pada anak,
FK Universitas Hasanuddin, Makassar,
2011 (n=80)
Polimorfisme gen
(Genotip)
DA
n (%)
AA
10 (21.3)
AG
14 (29.8)
GG
23 (48.9)
Total
47 (100.0)
Keterangan :
 DA= dermatitis atopik; perbedaan bermakna pada p<0.05
 OR= 3.560 (95% interval kepercayaan; 1.294-9.790)
Non DA
n (%)
Uji X2
11 (33.3)
15 (45.5)
7 (21.2)
33 (100.0)
p = 0.042
Hasil uji Chi-X2 menunjukkan adanya perbedaan distribusi genotip
polimorfisme gen CTLA-4 antara DA pada anak dengan kelompok non DA (p =
0.042). Pada anak DA lebih banyak dengan genotip GG (48.9%) disusul genotip AG
(29.8%) dan genotip AA (21.3%), sedangkan pada kelompok non DA terdapat 45.5%
dengan genotip AG paling banyak, diikuti genotip AA (33.3%) dan genotip GG
(21.2%). Hasil hitung OR sebesar 3.560. Artinya anak dengan genotip GG
berpeluang 3.56 kali menderita DA dibandingkan dengan genotip AA dan AG.
Distribusi polimorfisme gen CTLA-4 pada kelompok usia DA Anak, bila
dikelompokkan pada usia di bawah 5 tahun dan di atas 5 tahun, tampak pada tabel
berikut:
7
Tabel 6. Distribusi polimorfisme gen CTLA-4 pada DA Anak berdasarkan usia, FKUh Makassar, 2011 (n=47)
Usia (tahun)
Polimorfisme Gen CTLA-4
AA
AG
≤5
2 (20.0)
1 (7.1)
>5
8 (80.0)
13 (92.9)
Total
10 (100.0)
14 (100.0)
Keterangan : DA= dermatitis atopik; perbedaan bermakna pada p<0.05
GG
1 (4.3)
22 (95.7)
23(100.)
Pada anak usia DA ≤ 5 tahun, didapatkan polimorfisme genotip GG sebanyak
4.3%, genotip AA 20%, dan genotip AG 7.1%. Pada anak usia ≤ 5 tahun, didapatkan
polimorfisme genotip GG 95.7%, g.enotip AA 80%, dan genotip AG (92.9%).
Sepintas tampak polimorfisme gen CTLA-4 pada usia DA > 5 tahun, genotip GG
lebih banyak ditemukan, namun secara statistik tidak berbeda bermakna, dengan nilai
p=0.326 (Tabel 6).
Tingkat keparahan DA dihitung berdasarkan luas lesi, pada penelitian ini bila lesi DA
berjumlah ≤ 2 dianggap ringan. Distribusi polimorfisme gen CTLA-4 pada DA Anak
dan kontribusinya pada usia awitan DA, ditampilkan pada tabel berikut
Tabel 7. Sebaran polimorfisme gen CTLA-4 pada DA Anak, berdasarkan Jumlah
lesi, FK-UH, Makassar, 2011 (n=47)
Jumlah lesi
Genotip
AA
AG
GG
≤2
5 (50.0)
7 (50.0)
18 (78.3)
>2
5 (50.0)
7 (50.0)
5 (21.7)
Total
10
14
23
Keterangan : DA= dermatitis atopik; perbedaan bermakna pada p<0.05
p
p=0.326
Pada kelompok dengan jumlah lesi yang sedikit (≤ 2) didapatkan distribusi
genotip GG sebanyak 78.3%, genotip AA 50% dan genotip AG juga 50%. Pada
kelompok jumlah lesi yang banyak (> 2) didapatkan distribusi genotip GG 21.7%,
genotip AA 50% dan genotip AG 50%. Sepintas tampak polimorfisme gen CTLA-4
pada luas lesi ≤ 2 GG lebih banyak ditemukan, namun secara statistik tidak berbeda
bermakna, dengan nilai p=0.326 (Tabel 7).
Dermatitis atopik dapat muncul lebih dini, yaitu pada usia ≤ 2 tahun. Distribusi
polimorfisme gen CTLA-4 pada DA Anak berdasarkan usia awitan DA, ditampilkan
pada tabel berikut:
8
Tabel 8. Distribusi polimorfisme gen CTLA-4 pada DA Anak, berdasarkan usia
awitan, FK-UH Makassar, 2011 (n=47)
Usia awitan
Genotip
AA
AG
GG
≤2
4 (40.0)
6 (42.9)
10 (43.5)
>2
6 (60.0)
8 (57.1)
13 (56.5)
Total
10 (100.0)
14 (100.0)
23(100.0)
Keterangan : DA= dermatitis atopik; perbedaan bermakna pada p<0.05
p
P=0.983
Dikelompok genotip AA didapatkan 40% usia awitan ≤2 tahun dan 60% usia
awitan >2 tahun. Pada genotip AG ditemukan 42.9% usia awitan ≤ 2 tahun dan
57.1% usia awitan > 2 tahun. Pada genotip GG ditemukan 43.5% usia awitan ≤ 2
tahun dan 56.5% usia awitan > 2 tahun. Tidak ditemukan perbedaan bermakna ketiga
genotip polimorfisme gen CTLA-4 pada awitan DA (p=0.983).
Sesuai definisi operasional, pada penelitian ini pasien DA akut yang lebih
banyak ditemukan dibandingkan dengan DA kronik. Distribusi polimorfisme gen
CTLA-4 pada DA fase akut dan kronik ditampilkan pada tabel berikut:
Tabel 9. Distribusi polimorfisme gen CTLA-4 pada DA Anak fase akut dan kronik ,
FK Universitas Hasanuddin, Makassar, 2011 (n=47)
Fase DA
Genotip
AA
AG
GG
Akut
8 (80.0)
10 (71.4)
17 (73.9)
Kronik
2 (20.0)
4 (28.6)
6 (26.1)
Total
10 (100)
14 (100)
23 (100)
Keterangan : DA= dermatitis atopik; perbedaan bermakna pada p<0.05
p
p=0.89
Dikelompok genotip AA didapatkan 80% kondisi akut dan 20% kronik. Pada
genotip AG ditemukan 71,4% akut dan 28.6% kronik. Pada genotip GG ditemukan
73.9% akut dan 26.1% kronik. Tidak ditemukan pola khusus kondisi akut kronik
berdasarkan genotip polimorfisme gen CTLA-4(p=0.89) (Tabel 9).
Kontribusi Kecacingan Pada DA Anak Dan Kelompok Non DA
Penelitian kecacingan dilakukan pada kelompok DA dan non DA. Sesuai
dengan definisi operasional bila ditemukan salah satu telur cacing usus (Ascaris
lumbricoides, Trichuris trichiura, Ancylostoma duodenale), dianggap kecacingan.
Hasil ditampilkan pada tabel berikut:
9
Tabel 10. Perbedaan distribusi kecacingan pada DA anak dan kelompok non DA, K[UH, Makassar, 2011 (n=80)
Ke-cacingan
DA
n(%)
Non DA
n(%)
Ya
0 (0.0)
12 (36.4)
Tidak
47 (100.0)
21 (63.6)
Total
47
33
Keterangan: DA= dermatitis atopik; perbedaan bermakna pada p<0.05
Uji exact Fisher
p = 0.000
Hasil uji Exact Fisher menunjukkan adanya perbedaan distribusi kecacingan
pada anak yang menderita DA dengan kelompok non DA dengan p = 0.000. Tidak
ada satupun anak yang menderita DA yang cacingan, sedangkan pada kelompok non
DA ada sebanyak 36.4% (Tabel 10).
Kontribusi Kadar Sitokin IL-10 Terhadap DA pada Anak dan Kelompok Non DA
Pada hasil penelitian ini ditemukan kadar IL-10 berkisar antara 1.30–19,05
dengan nilai median 1.31 pg/ml. Sesuai definisi operasional kadar IL-10 tinggi bila
nilai >1.31 dan rendah bila <1.30.
Tabel 11. Distribusi kadar IL-10 serum tinggi pada DA Anak dan kelompok non DA,
FK Universitas Hasanuddin, Makassar, 2011 (n=80)
Kadar IL-10 serum
DA
n(%)
Non DA
n(%)
Uji Exact
Fisher
Tinggi
3 (6.4)
8 (24.2)
p = 0.044
Rendah
44 (93.6)
25 (75.8)
Total
47 (100.0)
33 (100.0)
Keterangan: DA= dermatitis atopik; IL= interleukin; perbedaan bermakna pada p<0.05
Hasil uji Exact Fisher menunjukkan adanya perbedaan distribusi kadar IL-10
serum yang tinggi antara anak yang menderita DA (6.4%) dengan kelompok non DA
(24.2%). Distribusi IL-10 serum yang tinggi lebih banyak secara bermakna pada
kelompok non DA dengan p = 0.044 (Tabel 11).
Distribusi kadar IL-10 dalam serum DA anak berdasarkan kelompok usia di bawah 5
tahun dan di atas 5 tahun, tampak pada tabel berikut:
10
Tabel 12. Distribusi kadar IL-10 dalam serum berdasarkan usia DA, FK Universitas
Hasanuddin, Makassar, 2011 (n=47)
Usia (tahun)
IL-10
Uji exact Fisher
≤ 1,30
> 1,31
p
≤5
3
1
p=0.239
>5
41
2
Total
44
3
Keterangan: DA= dermatitis atopik; IL= interleukin; perbedaan bermakna pada p<0.05.
Hanya terdapat 1 orang DA anak usia ≤5 tahun dan 2 orang DA anak usia >5
tahun yang memiliki IL-10 tinggi, pada umumnya anak DA memiliki IL-10 yang
rendah. Terutama pada usia >5 tahun. Namun, secara uji exact Fisher tidak terdapat
perbedaan bermakna (p>0.05).
Distribusi kadar IL-10 dalam serum DA Anak berdasarkan jumlah lesi DA, lesi
dianggap ringan bila jumlah lesi ≤2, terlihat pada tabel berikut:
Tabel 13. Distribusi kadar IL-10 dalam serum berdasarkan jumlah lesi pada DA
Anak, FK Universitas Hasanuddin, Makassar, 2011 (n=47)
Jumlah lesi
IL-10
(Fisher’s exact test)
≤ 1,30
> 1,31
P
≤2
30
0
P = 0.042
>2
14
3
Total
44
3
Keterangan: DA= dermatitis atopik; IL= interleukin; perbedaan bermakna pada p<0.05
Jumlah lesi berbanding terbalik dengan kadar IL-10, artinya pada DA anak
dengan kadar IL-10 yang rendah jumlah lesi DA yang ditemukan makin banyak,
begitu sebaliknya (p=0.042) (Tabel 13).
Dermatitis atopik seringkali muncul pada usia muda sebelum 2 tahun, hasil
analisis statistik berdasarkan distribusi kadar IL -10 pada kelompok usia awitan dini
(<2 tahun), ditampilkan pada tabel 14.
Tabel 14. Distribusi kadar IL-10 dalam serum berdasarkan usia awitan DA, FK-UH,
Makassar, 2011 (n=47)
Usia (tahun)
≤2
>2
Total
IL-10
≤ 1,30
20
(45.5)
24
(54.5)
44
(100.0)
> 1,31
0
Uji exact Fisher
P
P=0.180
3 (100.0)
3 (100.0)
Keterangan: DA= dermatitis atopik; IL= interleukin; perbedaan bermakna pada p<0.05
11
Pada usia awitan ≤ 2 tahun, didapatkan semua kadar IL-10 rendah pada
kelompok DA anak dengan usia awitan >2 tahun dan didapatkan 24 (54.5%) DA
anak kadar IL-10 rendah, sedangkan pada 3 (100%) DA anak dengan kadar IL-10
tinggi. Hasil analisis statistik tidak didapatkan perbedaan yang bermakna antara kadar
IL-10 pada 2 kelompok usia awitan DA (p=0.180) (Tabel 14).
Hasil analisis dsitribusi IL-10 pada kelompok DA fase akut dan DA fase kronis
ditayangkan pada tabel berikut:
Tabel 15. Distribusi kadar IL-10 dalam
serum berdasarkan fase akut dan
kronis, FK-UH, Makassar, 2011
(n=47)
Fase DA
Akut
Kronik
Total
IL-10
≤ 1,30
32 (72.7)
12 (27.3)
44 (100.0)
> 1,31
3 (100.0)
0
3 (100.0)
Uji exact Fisher
p
P=0.404
Keterangan: DA= dermatitis atopik; IL= interleukin; perbedaan bermakna pada p<0.05
Kadar IL-10 yang yang rendah didapatkan pada 32 (72.7%) DA anak dengan
fase akut dan 12 (27.3%) DA anak dengan fase kronik. Kadar IL-10 yang tinggi
didapatkan pada 3 (100%) DA anak dengan lesi fase akut. Hasil analisis statistik tidak
didapatkan hubungan yang bermakna (p=0.404) antara kadar IL-10 pad fase akut dan
kronis DA (Tabel 15).
Hubungan Kecacingan Dan Kadar Sitokin IL-10 Terhadap DA Pada Anak Dan
Kelompok Non DA
Pada penelitian ini diamati hubungan kecacingan dan kadar IL-10 dalam
darah baik pada kelompok DA dan Non DA.
Tabel 16. Hubungan kecacingan dengan kadar IL-10 serum pada penderita DA dan
kelompok non DA, FK-UH, Makassar, 2011 (n=80)
Kadar IL-10 serum
Uji korelasi Phi dan
Tinggi
Rendah
Cramer’s V
n(%)
n(%)
Ya
6 (54.5)
6 (8.7)
r = 0.442
Tidak
5 (45.4)
63 (91.3)
p = 0.000
Total
11 (100.0)
69 (100.0)
Keterangan: DA= dermatitis atopik; IL= interleukin; perbedaan bermakna pada p<0.05
Kecacingan
12
Hasil uji korelasi Phi antara kecacingan dengan kadar IL-10 serum
menunjukkan adanya korelasi yang bermakna dengan r = 0.442 dan p = 0.000. Kadar
IL-10 yang tinggi lebih banyak (54.5%) ditemukan pada anak cacingan, sedangkan
kadar IL-10 rendah lebih banyak (91.3%) pada anak yang tidak cacingan (Tabel 16).
Hubungan Genotip Polimorfisme Gen CTLA-4 Dengan Kadar IL-10 Serum Terhadap
DA Pada Anak Dan Kelompok Non DA
Selanjutnya pada hasil penelitian ini dilakukan analisis hubungan antara
polimorfisme gen CTLA-4, kadar IL-10 dalam darah, pada kelompok DA Anak dan
Non DA.
Tabel 17.
Hubungan genotip polimorfisme gen CTLA-4 dengan kadar IL-10
serum pada penderita DA anak dan kelompok non DA, FK-UH,
Makassar, 2011 (n=80)
Kadar IL-10 serum
Uji korelasi Phi dan
Tinggi
Rendah
Cramer’s V
n(%)
n(%)
AA
3 (27.3)
18 (26.1)
r = 0.091
AG
5 (45.4)
24 (34.8)
p = 0.719
GG
3 (27.3)
7 (39.1)
Total
11 (100.0)
69 (100.0)
Keterangan: DA= dermatitis atopik; IL= interleukin; perbedaan bermakna pada p<0.05
Polimorfisme gen
(Genotip)
Hasil uji korelasi Phi antara polimorfisme gen CTLA-4 dengan kadar IL-10
serum tidak menunjukkan adanya hubungan yang bermakna (Tabel 17).
Patomekanisme Terjadinya DA Pada Anak Akibat Kontribusi Gen CTLA-4, Kadar
IL-10, Dan Kecacingan
Guna lebih memahami patomekanisme terjadinya DA Anak berdasrkan
temuan pada penelitian ini, dilakukan analsisis regresi.
13
Tabel 18. Rangkuman hasil analisis regresi logistik ganda antara polimorfisme gen
TLA-4, kecacingan dan kadar IL-10, FK-UH, Makassar, 2011 (n=80)
Variabel
Genotip GG
polimorfisme
gen CTLA-4
Kadar IL-10 tinggi
Koefisien regresi
(B)
Signifi-kansi (p)
Exp (B)
(OR)
0.656
0.034
1.928
-1.548
0.036
0.213
95% CI untuk OR
Baw
ah
Atas
1.05
0
3.539
0.05
0
0.907
Konstanta
1.269
0.399
3.558
Keterangan: DA= dermatitis atopik; IL= interleukin; perbedaan bermakna pada p<0.05
Hasil analisis regresi logistik ganda antara polimorfisme gen CTLA-4,
kecacingan, dan kadar IL-10 serum terhadap DA menunjukkan bahwa polimorfisme
gen CTLA-4 dan kadar IL-10 serum berkonstribusi langsung terhadap DA, tetapi
kecacingan tidak berkontribusi langsung. Kadar IL-10 yang tinggi menekan
terjadinya DA atau bersifat protektif, sedangkan genotip GG polimorfisme gen
CTLA-4 merupakan faktor predisposisi terjadinya DA dengan OR sebesar 1,9.
Artinya, peluang dermatitis atopi 1,9 kali lebih mungkin terjadi pada anak dengan
genotip GG daripada genotip lainnya (tabel 18).
Pada penelitian ini dilakukan analisis regresi logistik ganda terhadap gen
CTLA-4 dan kadar IL-10 dan kecacingan,
Tabel 19. Rangkuman hasil analisis regresi logistik ganda antara polimorfisme gen
CTLA-4 dan kecacingan terhadap kadar IL-10 serum, FK-UH, Makassar,
2011 (n=80)
Variabel
Genotip GG
polimorfisme
gen CTLA-4
Kecacingan
Konstanta
95% CI untuk OR
Bawah
Atas
Koefisien regresi (B)
Signi-fikasi (p)
Exp (B)
(OR)
0.142
0.769
1.152
0.448
2.964
2.599
-2.918
0.001
0.109
13.455
0.054
2.917
62.068
Hasil analisis regresi logistik ganda antara polimorfisme gen CTLA-4 dan
kecacingan terhadap kadar IL-10 serum menunjukkan bahwa polimorfisme gen
CTLA-4 tidak berkonstribusi langsung terhadap tingginya kadar IL-10, tetapi
kecacingan pada anak berkonstribusi 13,5 kali untuk meningkatkan kadar IL-10
serum anak bila dibandingkan dengan anak tidak cacingan (tabel 19).
14
B. Pembahasan
Hasil penelitian ini secara statistik tidak terdapat perbedaan bermakna antara
jenis kelamin laki-laki dan perempuan pada kelompok DA maupun kelompok non
DA. Demikian pula nilai rerata usia pada kelompok DA maupun kelompok non DA
kedua kelompok setara.
Umumnya pada laki-laki dan perempuan awitan DA >2 tahun dengan lokasi
terbanyak adalah fossa poplitea diikuti fossa cubiti serta mata, leher, dan telinga.
Stigmata atopi yang terbanyak ditemukan adalah rinitis alergika
Karakteristik umum DA pada penelitian ini ditemukan: lokasi tersering adalah
fossa poplitea dan fossa cubiti, dan fase terbanyak adalah fase akut, dengan luas lesi
terbanyak ≤ 2 (lokal). Stigmata atopi yang sering ditemukan adalah rinitis alergi.
DA merupakan suatu penyakit dengan etiologi multifaktor, salah satunya
terkait faktor genetik. Dalam penelitian ini diteliti gen CTLA-4 berdasarkan atas
penelitian yang dilakukan oleh Jones et al. (2006) di Australia pada 112 DA anak dan
orang tuanya. Pada penelitian tersebut ditemukan polimorfisme gen CTLA-4
berhubungan dengan DA awitan dini (Jones et al., 2006). Hal tersebut juga didukung
oleh penelitian Munthe-Kaas et al. (2004) pada sekitar 100 keluarga penderita asma
di Eropa yang menemukan adanya polimorfisme gen CTLA-4 yang berpotensi
patogenik terhadap penyakit atopi (Munthe-Kaas et al., 2004).
Pada penelitian ini, gen CTLA-4 terdeteksi pada posisi 360 bp. Hasil PCR
sekuensing kelompok DA dan non DA (kontrol) menunjukkan genotip GG pada
kelompok DA sebesar 48,9% dan genotip AA sebesar 21,3%, sehingga genotip GG
pada kelompok DA lebih besar, yaitu 1,85 kali lipat dibandingkan dengan genotip
AA dengan nilai berbeda signifikan (p = 0,042). Hal ini menunjukkan bahwa genotip
GG berhubungan dengan DA dan menjadi faktor risiko mendekati dua kali terjadinya
DA pada anak. Telaah kepustakaan sejauh ini belum pernah ada laporan penelitian
mengenai polimorfisme gen CTLA-4 DA pada anak di Indonesia.
Molekul CTLA-4 berperan penting dalam homeostasis imunologik regulasi
sel T (Tivol et al., 1995). Molekul ini juga diekspresikan pada sel B dan berfungsi
untuk mensupresi sintesis IgE yang bersifat IL-4 dependent (Pioli et al., 2000). Gen
penyandi molekul CTLA-4 juga memiliki keterkaitan kerja sama dengan gen
penyandi molekul yang memiliki peran penting pada patogenesis DA, yaitu PHF11
(Jang et al., 2005), IL-13 (Liu et al., 2000), GM-CSF (Rafatpanah et al., 2003), dan
C-C kemokin RANTES (Nickel et al., 2000) dalam meregulasi sistem imun.
Polimorfisme yang terjadi pada gen penyandi CTLA-4 akan memberi dampak
kompleks terhadap regulasi sistem imun dan mengakibatkan bergulirnya proses
patogenesis DA (Jones et al., 2006).
Reseptor molekul CTLA-4 terekspresi pada sel T yang teraktivasi dan
membatasi proliferasi sel T dan sekresi sitokin. Reseptor molekul CTLA-4 dikode
oleh gen CTLA-4 pada kromosom 2q33 (Jones et al., 2006). Polimorfisme gen
CTLA-4 dapat mempengaruhi kemampuan CTLA-4 untuk berikatan dengan B7.1
kemudian mempengaruhi aktivasi sel T (Zheng et al., 2010). Polimorfisme gen
15
CTLA-4 dapat mengurangi fungsi molekul CTLA-4 dalam menghambat proliferasi
dan diferensiasi sel T (Zhu et al., 2009). Polimorfisme gen CTLA-4 terletak pada
kromosom 2q33 lokasi +49 di ekson 1 menyebabkan transisi A ke G sehingga
mengakibatkan perubahan asam amino Threonin menjadi Alanin (Chistiakov et al.,
2001). Dilaporkan bahwa produksi molekul CTLA-4 lebih sedikit pada genotip G di
posisi +49 daripada genotip A di posisi +49 (Sun et al., 2009) sehingga proliferasi sel
T pada individu dengan bronkitis kronik dengan genotip GG lebih tinggi
dibandingkan dengan genotip AA (Zhu et al., 2009, Maurer et al., 2002).
Maurer et al. memeriksa respon sel T pada donor sehat antara homozigot A
dan G nukleotida pada posisi +49 dan menemukan bahwa alel G pada posisi +49 dari
ekson 1 mempengaruhi down-regulasi dari aktivasi sel T dan menjadi faktor penting
dalam patogenesis dari penyakit autoimun (Zhu et al., 2009, Maurer et al., 2002).
Telaah lanjut penelitian ini tentang kemungkinan kontribusi gen CTLA pada
DA Anak kelompok usia di bawah 5 tahun secara statistik tidak berbeda bermakna.
Demikian pula distribusi genotip gen CTLA-4 terhadap kemunculan DA pada usia
awitan dini, luas lesi, maupun fase akut dan kronik, tidak ditemukan berbeda
bermakna.
Pada penelitian ini terdapat kontribusi kecacingan (infestasi cacing Ascaris
lumbricoides, Trichuris trichiura, dan Ancylostoma duodenale) terhadap kejadian DA
pada anak dibandingkan dengan kelompok non DA. Hasil uji statistik menunjukkan
terdapat perbedaan bermakna antara kecacingan pada kelompok non DA dan
kelompok DA, dengan nilai p = 0.000 (p < 0.05). Kelompok DA tidak ada yang
mengalami kecacingan.
Hasil penelitian ini masih terdapat perbedaan pendapat mengenai hubungan
antara infestasi cacing usus dengan penyakit alergi, khususnya asma bronkial. Di
Etiopia, infestasi cacing tambang menunjukkan penurunan risiko sesak pada
penderita asma, sementara di Venezuela dan Ekuador infestasi cacing usus Ascaris
lumbricoides, Trichuris trichiura, dan Ancylostoma duodenale memberikan hasil
sebaliknya. Kejadian di Brazil dan Gabon, jenis cacing seperti Schitosoma mampu
mengendalikan reaksi atopi (Biggelaar et al., 2000). Tidak semua hasil penelitian
menunjukkan efek protektif cacing terhadap reaksi alergi, pada penelitian Sitti
Wahyuni (2006) yang menunjukkan bahwa infestasi cacing usus (baik oleh satu atau
lebih Ascaris lumbricoides, Trichuris trichiura, dan Ancylostoma duodenale) tidak
memberikan efek yang bermakna pada pengukuran alergi (Wahyuni, 2006).
Pada penelitian ini didapatkan hubungan antara kejadian DA pada anak
dengan kadar IL-10 serum yang tinggi. Hasil uji statistik menunjukkan terdapat
perbedaan bermakna antara kadar IL-10 serum yang tinggi pada kelompok DA dan
kelompok non DA, dengan nilai p = 0.044 (p < 0.05). Kadar IL-10 yang meningkat
pada penelitian ini merupakan faktor protektif terjadinya DA pada anak. Mekanisme
kerja dari IL-10 menekan terjadinya DA pada anak yaitu dengan menginhibisi
respons Th1 dan Th2.(Asadullah et al, 2003).
16
Pada DA, Ohmen et al. (1995) melaporkan adanya petanda ekspresi molekul
IL-10 yang berlebihan, khususnya pada monositik dan infiltrasi sel Th2 kulit
(Asadullah et al., 2003). Ekspresi berlebihan IL-10 pada kulit merefleksikan
ketidakseimbangan imunologik pada dermatitis atopik (Asadullah et al., 2003, Weiss
et al., 2004). Ekspresi berlebihan IL-10 pada DA dapat berkontribusi dalam
peningkatan regulasi respons humoral dan penurunan regulasi respons Th1 (Ohmen et
al., 1995). Rujukan tersebut dapat menerangkan temuan pada penelitian ini.
Pada penelitian ini juga didapatkan hubungan yang bermakna antara
kecacingan (infeksi cacing usus Ascaris lumbricoides, Trichuris trichiura, dan
Ancylostoma duodenale) dengan kadar IL-10 serum, nilai p = 0.000 (p < 0.05).
Dalam penelitian yang menggunakan IL-10 sebagai salah satu modulasi untuk
meredam terjadinya DA yang dihubungkan dengan infestasi cacing usus. Berdasarkan
penelitian yang mengindikasikan bahwa IL-10 memegang peranan penting dalam
menghambat reaksi inflamasi alergi termasuk DA pada individu dengan infestasi
cacing usus. (Ponte et al., 2007, Cooper, 2002, Anthony et al., 2007) Di kepustakaan
lain juga menyatakan bahwa IL-10 memainkan peran penting dalam regulasi respon
Th1 dan Th2 serta mengurangi berat penyakit akut selama infestasi cacing usus
berlangsung (MacDonald et al., 2002).
Cacing berinteraksi dengan sistem imun adaptif dari host yang ditempatinya
dengan menurunkan regulasi respons sel T dan sel B melalui induksi sel T reg atau
sitokin anti inflamasi seperti IL-10 dan TGF-β pada fase kronik (vanRiet et al.,
2007). Kejadian reaksi alergi jarang ditemukan pada individu dengan infeksi kronik
terhadap cacing oleh karena terjadinya peningkatan respons Th2 dan sekresi yang
signifikan terhadap sitokin imunosupresif seperti IL-10 dan TGF-β, respon imun yang
ditimbulkan berbeda dengan respons imun pada infestasi cacing akut (Cooper, 2002).
Selama infestasi cacing pada fase kronik, respon Th2 terpolarisasi dan terjadi
hiporesponsif dari sel T yang disertai peningkatan IL-10. Alasan ini menjelaskan
bahwa imunosupresif yang muncul merupakan cara cacing untuk menjaga
kelangsungan hidupnya melalui induksi sel Treg. Seseorang yang menderita
onchocerciasis, antigen spesifik sel Treg dapat diisolasi dan ditandai dengan
terdapatnya peningkatan kadar IL-10 dan atau TGF-β dan penekanan terhadap
proliferasi sel T yang lain (Smits et al., 2005).
IL-10 dan TGF-β merupakan sitokin yang memiliki kemampuan untuk
menekan proses inflamasi dan mempertahankan respon imun. Kedua sitokin ini
diproduksi oleh sel Treg. Treg atau sel T supresif sangat penting mengontrol sel T
efektor dalam sistem imun yang bekerja melalui kontak antar sel dan melalui
produksi sitokin inhibitor seperti IL-10 dan TGF-β yang akan menurunkan proliferasi
dan produksi sitokin oleh Th1 dan Th2 (Wahyuni, 2006). Pada penelitian ini TGF-β
tidak diteliti.
Pada penelitian ini terdapat 1 orang DA anak kelompok usia ≤5 tahun dan 2
orang DA anak kelompok usia >5 tahun yang memiliki IL-10 tinggi, sedangkan 44
orang DA anak memiliki IL-10 yang rendah. Namun, secara statistik perbedaan
17
tersebut tidak bermakna (p>0.05). Tidak didapatkan perbedaan bermakna antara
kadar IL-10 pada usia awitan dini dan usia awitan >2 tahun, demikian pula antara
kadar IL-10 dan fase akut dan kronik lesi DA.
Hasil analsisi distribusi kadar IL-10 dan jumlah lesi menunjukkan bahwa
jumlah lesi berbanding terbalik dengan kadar IL-10, artinya makin rendah kadar IL10 makin banyak jumlah lesi DA, begitu sebaliknya.
Hasil penelitian ini didapatkan bahwa polimorfisme gen CTLA-4 dan kadar
IL-10 serum berkonstribusi langsung terhadap DA, tetapi kecacingan tidak
berkontribusi langsung. Hal tersebut menunjukkan bahwa kontribusi genotip GG
polimorfisme gen CTLA-4 tidak melalui peningkatan atau penurunan kadar sitokin
IL-10, mungkin saja melalui sitokin lain atau tidak sama sekali. Perlu penelitian lebih
lanjut yang melibatkan sitokin lain untuk memperjelas hal ini.
Kadar IL-10 yang tinggi menekan terjadinya DA atau bersifat protektif.
Genotip GG polimorfisme gen CTLA-4 memicu terjadinya DA, dengan OR sebesar
1,9 yang artinya kejadian DA 1,9 kali lebih mungkin terjadi pada anak dengan
genotip GG daripada genotip lainnya. Hubungan polimorfisme gen CTLA-4,
kecacingan, dan kadar IL-10 serum terhadap kejadian DA dianalisis dengan
menggunakan uji regresi logistik ganda.
Hasil penelitian ini pula didapatkan bahwa polimorfisme gen CTLA-4 tidak
berkonstribusi terhadap tingginya kadar IL-10, tetapi kecacingan pada anak
berkonstribusi 13,5 kali untuk meninggikan kadar IL-10 serum anak bila
dibandingkan dengan anak tidak cacingan. Kecacingan berkontribusi dalam proses
terjadinya DA pada anak. Kecacingan menekan terjadinya DA pada anak tetapi tidak
secara langsung, ternyata melibatkan IL-10. Kecacingan pada anak meningkatkan IL10 tetapi penelitian ini belum dapat menjelaskan bagaimana cacing dapat
meningkatkan IL-10, sehingga masih perlu penelitian lebih lanjut. Tidak
ditemukannya DA pada penderita cacingan terjadi oleh karena melalui peningkatan
IL-10, sehingga upaya untuk menekan respons imun melalui peningkatan IL-10 dapat
merupakan upaya untuk menangani DA. Penelitian ini mendukung hygiene hipotesis
untuk terjadinya DA. Ternyata melalui proses inflamasi dengan meningkatnya IL-10
untuk selanjutnya dapat diteliti lebih jauh. Terungkapnya hubungan ini dapat
memberikan peluang untuk menciptakan obat-obat yang dapat meningkatkan IL-10
agar penanganan DA pada anak. Oleh karenanya perlu penelitian lebih lanjut apakah
ada obat serupa itu atau pemberian substitusi IL-10, sebagaimana hasil penelitian
pemberian IL-10 pada psoriasis atau penyakit autoimun (Weiss et al., 2004;
Asadullah et al, 1999).
Aspek lainnya adalah bahwa faktor imunologi ternyata terkait dengan
penyakit infeksi, termasuk infestasi cacing usus, sementara kita ketahui bahwa
penyakit infeksi sangat terkait dengan hygiene perorangan dan lingkungan. Hal ini
mengingatkan kita bahwa kebersihan perorangan dan lingkungan dapat
menghindarkan diri dari penyakit infeksi, tetapi di sisi lain ternyata status
perkembangan imunologi seseorang bergantung pada interaksinya dengan penyakit
18
antar infeksi lain yang akan memproteksi diri secara berlebihan, kemungkinan besar
proses imunologi seseorang tidak mengalami perkembangan yang optimal.
Melalui analisis tree diagram untuk melihat proporsi DA pada tiga komponen
independen didapatkan kontribusi faktor risiko polimorfisme GG, faktor risiko
kecacingan, dan faktor risiko kadar IL-10, peluang kejadian DA 88.4% dan non DA
11.54%, dengan kata lain 9 dari 10 sampel menderita DA. Bila faktor tidak
kecacingan dan IL-10 rendah positif, tapi faktor polimorfisme GG negatif, maka
kejadian DA 56,76% dan non DA 43,24%, dengan kata lain 6 dari 10 sampel
menderita DA. Kesimpulan sementara yang dapat diambil, yaitu kontribusi faktor
tidak kecacingan dan kadar IL-10 yang rendah didapatkan cukup tinggi dan
kontribusi polimorfisme GG secara sendiri cukup juga tinggi.
KESIMPULAN
DA pada anak terbukti merupakan suatu penyakit yang melibatkan gen dan
proses imunologik (imunogenetik). Genotip GG dari gen CTLA-4 terbukti
merupakan faktor risiko pada terjadinya DA anak tanpa melalui IL-10. Kadar IL-10
yang tinggi dapat menekan terjadinya DA pada anak, sedangkan makin rendah kadar
IL-10 makin banyak jumlah lesi pada DA. Kecacingan pada anak dapat menekan
terjadinya DA karena kecacingan dapat meningkatkan kadar IL-10.
DAFTAR PUSTAKA
Abramovits, W. 2005 Atopic dermatitis. J Am Acad Dermatol 53: S86-93.
Anthony, R., Rutitzky, L., Urban, J., Stadecker, M. & Gause, W. 2007 Protective immune mechanisms
in helminth infection. Nat Rev Immunol. 12: 975-87.
Asadullah, K., Sterry, W. & Volk, H. 2003 Interleukin-10 therapy-review of a new approach.
Pharmacol Rev. 55: 241-69.
Biggelaar, A. & Ree, R. 2002 Treatment of intestinal helminths increases atopic reactivity,
Amsterdam, University of Amsterdam.
Biggelaar, A., Ree, R., Rodrigues, L., Lell, B., Deelder, A., Kremsner, P., et al. 2000 Decreased atopy
in children infected with Schistosoma haematobium: a role for parasite-induced interleukin10. Lancet. 356: 1723-7.
Charman, C. & Williams, H. 2002 Epidemiology. dalam Bieber, T. & Leung, D. (Eds.) Atopic
dermatitis. New York, Marcel Dekker Inc.
Chistiakov, D., Savostanov, K. & Nosikov, V. 2001 CTLA-4 gene polymorphisms are associated with
and linked to, insulin dependent diadetes mellitus in a Russian population. BMC genetics. 2:
6-11.
Coleman, R., Trembath, R. & Harper, J. 1997 Genetic studies of atopy and atopic dermatitis. Br J
Dermatol. 136: 1-5.
Cooper, P. 2002 Can intestinal helminth infections (geohelminths) affect the development and
expression of asthma and allergic disease? Clin Exp Immunol. 128: 398-404.
Flohr, C. 2003 Dirt, worms and atopic dermatitis. Br J Dermatol. 148: 871-7.
Flohr, C., Quinnell, R. & Britton, J. 2009 Do helminth parasites protect against atopy and allergic
disease? . Clin Exp Allergy. 39: 20-32.
Friedmann, P. & Holden, C. 2004 Atopic dermatitis. dalam Burns, T., Breathnach, S., Cox, N. &
Griffiths, C. (Eds.) Rook’s Textbook of Dermatology. 7th ed. Oxford, Wiley Blackwell.
Green, J. 2000 The B7/CD28/CTLA-4 T-cell activation pathway. Am J Respr Cell Mol Biol. 22: 2614.
19
Hidi, R., Riches, V., Al-Ali, M., Cruikshank, W., Center, D., Holgate, S., et al. 2000 Role of B7CD28/CTLA-4 costimulation and NF-kappa B in allergen induced T cell chemotaxis by IL-16
and RANTES. J Immunol 164: 412-8.
Howard, T., Postma, D., Hawkins, G., Koppelman, G., Zheng, S., Wysong, A., et al. 2002 Fine
mapping of an IgE-controlling gene on chromosome 2q: Analysis of CTLA-4 and CD28. J
Allergy Clin Immunol 110: 743-51.
Idris, I. 2009 Peran polimorfisme gen angiotensin converting enzyme, polimorfisme gen endothelin-1,
dan faktor risiko maternal pada kejadian hipertensi gestasi. Disertasi tidak diterbitkan.
Makassar, Program Pasacasarjana Universitas Hasanuddin.
Janeway, C., Travers, P., Walpot, M. & Shlomlick, M. 2005 Immunobiology; The immune system in
health and disease, New York, Churchil Livingstone.
Jang, N., Stewart, G. & Jones, G. 2005 Polymorphism within PHF11 gene at chromosome 13q14 are
associated with childhood atopic dermatitis. Genes Immun. 6: 262-4.
Jirapongsananuruk, O., Hofer, M., Trumble, A., Norris, D. & Leung, D. 1998 Enhanced expression of
B7.2 (CD 86) in patients with atopic dermatitis: A potential role in the modulation of IgE
synthesis. J Immunol. 160: 4622-7.
Jones, G., Wu, S., Jang, N., Fulcher, D., Hogan, P. & Stewart, G. 2006 Polymorphisms within the
CTLA4 gene are associated with infant atopic dermatitis. Br J Dermatol 154: 467-71.
Kluken, H., Wienker, T. & Beiber, T. 2003 Atopic eczema/dermatitis syndrome-a genetically complex
disease. New advances in discovering the genetic contribution. Allergy. 58: 5-12.
Kouki, T., Sawai, Y., Gardine, C., Fisfalen, M., Alegre, M. & DeGroot, L. 2000 CTLA-4 gene
polymorphism at position 49 in exon 1 reduces the inhibitory function of CTLA-4 and
contributes to the pathogenesis of graves’ disease. J Immunol. 165: 6606-11.
Kunz, B. & Ring, J. 2006 Clinical features and diagnostic criteria of atopic dermatitis. dalam Harper,
J., Oranje, A. & Prose, N. (Eds.) Textbook of pediatric dermatology. 2nd ed. London,
Blackwell Publishing.
Kwok, P. & Chen, X. 2003 Detection of single nucleotide polymorphisms. Curr Issues Mol Biol. 5:
43-60.
Larsen, F., Holm, N. & Heningsen, K. 1986 Atopic dermatitis; a genetic epidemiology study in a
population based twin sample. J Am Acad Dermatol 15: 487-94.
Laughter, D., Istvan, J., Tofte, S. & Hanifin, J. 2000 The prevalence of atopic dermatitis in Oregon
school children. J Am Acad Dermatol. 43: 649-55.
Lei, C., Dongqing, Z., Yeqing, S., Oaks, M., Lishan, C., Jianzhong, J., et al. 2005 Association of the
CTLA-4 gene with rheumatoid asthritis in Chinese Han population. Eur J Hum Genet. 13:
823-8.
Leung, D. 2000 Atopic dermatitis: new insights and opportunities for therapeutic intervention. J
Allergy Clin Immunol. 105: 860-76.
Leung, D., Boguniewicz, M., Howell, M., Nomura, I. & Hamid, Q. 2004 New insights into atopic
dermatitis. J Clin Invest. 113: 651-7.
Leung, D., Eichenfield, L. & Boguniewicz, M. 2008 Atopic dermatitis. dalam Wolff, K., Goldsmith,
L., Katz, S., Gilchrest, B., Paller, A. & Leffell, D. (Eds.) Fitzpatrick's Dermatology in
General Medicine. 7th ed. New York, McGraw-Hill Book Co.
Leung, D. & Soter, N. 2001 Cellular and immunologic mechanisms in atopic dermatitis. J Am Acad
Dermatol 44: S1-12.
Liu, X., Nickel, R., Beyer, K., Wahn, U., Ehrlich, E., Freidhoff, L., et al. 2000 An IL13 coding region
variant is associated with a high total serum IgE level and atopic dermatitis in the German
multicenter atopy study (MAS-90). J Allergy Clin Immunol. 106: 167-70.
MacDonald, A., Araujo, M. & Pearce, E. 2002 Immunology of parasitic helminth infections. Infect
Immun 70: 427–33.
MacLean, J. & Eidelman, F. 2001 The genetics of atopy and atopic eczema. Arch Dermatol. 137:
1474-6.
20
Maurer, M., Loserth, S., Kolb-Maurer, A., Ponath, A., Wiese, S., Kruse, N., et al. 2002 A
polymorphism in the human cytotoxic T-lymphocyte antigen 4 (CTLA-4) gene (exon 1 +49)
alters T-cell activation. Immunogenetics. 54: 1-8.
McGrath, J. & McLean, W. 2008 Genetics in relation to the skin. dalam Wolff, K., Goldsmith, L.,
Katz, S., Gilchrest, B., Paller, A. & Leffell, D. (Eds.) Fitzpatrick's Dermatology in General
Medicine. 7th ed. New York, McGraw-Hill Book Co.
Morikawa, H. & Nagashima, S. 2000 The role of costimulary molecules (B7-1 and B7-2) on allergenstimulated B cells in cedar pollinosis subjects. Clin Exp Allergy. 30: 383-92.
Motala, C. 2003 Atopic dermatitis and food hypersensitivity. Curr Allergy Clin Immunol 16: 89-95.
Munthe-Kaas, M., Carlsen, K., Helms, P., Gerritsen, J., Whyte, M., Feijen, M., et al. 2004 CTLA-4
polymorphisms in allergy and asthma and the TH1/Th2 paradigm. J Allergy Clin Immunol
114: 280-7.
Nickel, R., Casolaro, V., Wahn, U., Beyer, K., Barnes, K., Plunkett, B., et al. 2000 Atopic dermatitis is
associated with a functional mutation in the promoter of the 2-C chemokine RANTES. J
Immunol. 164: 1612-6.
O'Connor, D. 2001. Allergic response less frequent in third world. (Online), (URL:
http://www.respiratoryreviews.com/mar01/rr_mar01_allergicresponse.html, diakses Nov 13
2009)
Ohmen, J., Hanifin, J., Nickoloff, B., Rea, T., Wyzykowski, R., Kim, J., et al. 1995 Overexpression of
IL-10 in atopic dermatitis.Contrasting cytokine patterns with delayed-type hypersensitivity
reactions. J Immunol. 154: 1956-63.
Ong, P. & Leung, D. 2002 Atopic dermatitis. dalam Grammar, L. & Greenberger, P. (Eds.) Patterson’s
allergic diseases. 6th ed. Philadelphia, Lippincot Williams & Wilkins.
Pacciani, V. 2006 Potential role of IL-10 treated dendritic cells in the control of the immune response
to allergens. Public health and cellular biology, Rome, Tor Vergata.
Pajno, G., Peroni, D., Barberio, G., Pietrobelli, A. & Boner, A. 2003 Predictive features for persistence
of atopic dermatitis in children. Pediatr Allergy Immunol. 14: 292-5.
Piccirillo, C. & Thornton, A. 2004 Cornestone of peripheral tolerence: naturally occuring CD4+CD25+
regulatory T cells. Trends Immunol. 25: 374-80.
Pioli, C., Gatta, L., Ubaldi, V. & Doria, G. 2000 Inhibition of IgG1 and IgE production by stimulation
f the B cell CTLA-4 receptor. J Immunol. 165: 5530-6.
Ponte, E., Rizzo, A. & Cruz, A. 2007 Interrelationship among asthma, atopy and helminth infections. J
Bras Pneumol. 33: 335-42.
Rafatpanah, H., Bennett, E., Pravica, V., McCoy, M., David, T., Hutchinson, I., et al. 2003 Association
between novel GM-CSF gene polymorphisms and the frequency and severity of atopic
dermatitis. J Allergy Clin Immunol. 112: 593-8.
Rusmartini, T. 2009 Teknik pemeriksaan cacing parasitik. dalam Natadisastra, D. & Agoes, R. (Eds.)
Parasitologi kedokteran: Ditinjau dari organ tubuh yang diserang. Jakarta, Penerbit Buku
Kedokteran EGC.
Sampson, H. 1997 Food sensitivity and the pathogenesis of atopic dermatitis. J R Soc Med. 90: 2-8.
Smits, H., Hartgers, F. & Yazdanbakhsh, M. 2005 Helminth infections: Protection from atopic
disorders. Curr Allergy and Asthma. 5: 42-50.
Sun, T., Hu, Z., Shen, H. & Lin, D. 2009 Genetic polymorphisms in Cytotoxic T-Lymphocyte Antigen
4 and cancer: the dialetical nature of subtle human immune dysregulation. Cancer Res. 69:
6011-4.
Takahashi, T., Nakamura, Y., Okano, Y., Ge, N. & Sone, S. 2000 Interleukin-10 inhibits the
production if inflammatory cytokine by antigen-stimulated mononuclear cells from asthmatic
patients. Allergo Int. 49: 55-62.
Tay, Y., Kong, K., Khoo, L., Goh, C. & Ciam, Y. 2002 The prevalence and descriptive epidemiology
of atopic dermatitis in Singapura school children. Br J Dermatol. 146: 101-6.
21
Tivol, E., Borriello, F., Schweitzer, A., Lynch, W., Bluestone, J. & Sharpe, A. 1995 Loss of CTLA-4
lead to massive lymphoproliferation and fatal multiorgan tissue destruction, revealing critical
negative regulatory role of CTLA-4. Immunity. 3: 541-7.
Ueda, H., Howson, J., Esposito, L., Heward, J., Snook, H., Chamberlain, G., et al. 2003 Association of
T-cell regulatory gene CTLA-4 with susceptibility to autoimmune disease. Nature. 423: 50611.
Vaidya, B., Pearce, S., Charlton, S., Marshall, N., Rowan, A., Griffiths, I., et al. 2002 An association
between the CTLA4 exon 1 polymorphism and early rheumatoid arthritis with autoimmune
endocrinopathies. Rheumatol. 41: 180-3.
vanRiet, E., Hager, F. & Yazdanbakhsh, M. 2007 Chronic helminth infections induce
immunomodulation: Consequences and mechanisms. Immunol. 212: 475-90.
vonMutius, E. 2002 Risk factors in atopic dermatitis. dalam Beiber, T. & Leung, D. (Eds.) Atopic
Dermatitis. Basel, Marcel Dekker.
Wahyuni, S. 2006 General introduction. dalam Wahyuni, S. (Ed.) Helminth infections, allergic
disorders and immune responses: studies in Indonesia. Netherlands, Leyden University.
Weiss, E., Mamelak, A., La Morgia, S., Wang, B., Feliciani, C., Tulli, A., et al. 2004 The role of
interleukin 10 in the pathogenesis and potential tretament of skin disease. J Am Acad
Dermatol. 50: 657-75.
Williams, H. 2000 Epidemiology of atopic dermatitis. Clin Exp Dermatol 25: 522-9.
Wollenberg, A. & Bieber, T. 2000 Atopic dermatitis: from the genes to skin lesions. Allergy. 55: 20513.
Xu, J., Postma, D., Howard, T., Koppelman, G., Zheng, S., Stine, O., et al. 2000 Major genes
regulating total serum immunoglobulin E levels in families with asthma. Am J Hum Genet.
67: 1163-73.
Yuwono, T. 2006 Penggunaan PCR untuk identifikasi polimorfisme gen, Yogyakarta, Andi press.
Yuwono, T. 2009 Biologi molekular, Jakarta, Erlangga.
Zdanov, A. 2006 Structure and function of IL-10 and the IL-10 receptor. dalam Marincola, F. (Ed.)
Interleukin-10. Texas, Landes Bioscience.
Zheng, J., Yu, X., Jiang, L., Xiao, M., Bai, B., Lu, J., et al. 2010 Association between the Cytotoxic TLymphocyte Antigen 4 +49G > A polymorphism and cancer risk: a meta-analysis. BMC
Cancer. 10: 522.
Zhu, G., Agusti, A., Gulsvik, A., Bakke, P., Coxsone, H., Lomas, D., et al. 2009 CTLA4 gene
polymorphisms are associated with chronic bronchitis. Eur Respir J. 34: 598–604.
22
Download