PROCEEDING INTERNATIONAL CONFERENCE OF COMMUNICATION, INDUSTRY AND COMMUNITY Cetakan ke-1, Februari 2016 Hak cipta dilindungi oleh Undang-Undang Dilarang mengutip atau memperbanyak sebagian atau Seluruh isi buku ini tanpa izin tertulis dari penerbit Editor: Widayatmoko, Septia Winduwati Desain dan tata letak: Xenia Angelica Cetakan ke-1, Jakarta, FIKom UNTAR 2016 ix-385 hlm, ukuran 7,17 x 10,12 inch ISBN: 978-602-74139-1-7 Diterbitkan oleh: Fakultas Ilmu Komunikasi Universitas Tarumanagara Jl. Letjen S. Parman No. 1 Jakarta Barat 11440 i PROCEEDING INTERNATIONAL CONFERENCE OF COMMUNICATION, INDUSTRY AND COMMUNITY Reviewer: Ahmad Djunaidi Asep Muhtadi Atwar Bajari Chairy Dorien Kartikawangi Eko Harry Susanto Endah Murwani I Nengah Duija Juliana Abdul Wahab Kurniawan Hari Siswoko Nurdin Abd Halim ii KATA PENGANTAR International Conference of Communication, Industry and Community atau ICCIC mengajak untuk melihat fenomena dan realitas sosial. Pertumbuhan pesat di sektor ini telah bersinggungan dengan praktek perkembangan teknologi informasi dan komunikasi yang bersinggungan dengan praktik perkembangan media industri serta komunitas di kehidupan masyarakat yang sangat dinamis. Ilmu komunikasi tidak dapat disangkal memiliki kontribusi besar pada perkembangan bisnis dan usaha bidang industri, baik di segi pemasaran, pengembangan branding dan image serta pembangungan masyarakat. Pada kesempatan ini International Conference Of Communication, Industry And Community mengundang seluruh akademisi; praktisi baik dari pihak industri komersial, pihak pemerintah dan praktisi media; mahasiswa, dan peneliti, untuk berpartisipasi dalam Call For Paper ICCIC 2016. Penyelenggaraan International Conference Of Communication, Industry And Community dapat terselenggara berkat kerjasama antara Fakulras Ilmu Komunikasi Universitas Tarumanagara berkolaborasi dengan Universiti Sains Malaysia dan Institut Hindu Dharma Negeri di Bali. Subtema dalam International Conference Of Communication, Industry And Community adalah media industry, Public Relations, communication & community, marketing communication, communication tourism industry and creative economy. Setiap paper yang masuk ke dalam prosiding ICCIC telah melalui serangkaian proses review oleh tim reviewer yang berasal dari delapan institusi berbeda. Jumlah paper yang diterima dalam ICCIC 2016 berjumlah 135 paper yang dibagi kedalam empat jilid buku prosiding. Akhirnya kami mengucapkan terima kasih kepada pimpinan Universiti Sains Malaysia dan Institut Hindu Dharma Negeri, pihak sponsor, media partners, tim reviewer, Pimpinan Universitas, dan panitia yang telah bekerja keras untuk mewujudkan konferensi ini terlaksana. Ketua Pelaksana ICCIC 2016 Suzy Azeharie iii KATA PENGANTAR Suatu kehormatan bagi Fakultas Ilmu Komunikasi Universitas Tarumanagara untuk dapat menyelenggarakan acara International Conference Of Communication, Industry And Community berkolaborasi dengan Universiti Sains Malaysia dan Institut Hindu Dharma Negeri. Konferensi internasional ini diselenggarakan sebagai wahana untuk mengembangkan dan berbagi pengetahuan khususnya di bidang Ilmu Komunikasi. Dewasa ini, Ilmu Komunikasi menjadi salah satu kajian yang semakin menarik perhatian khalayak terlebih lagi dengan hadirnya media baru sebagai salah satu sarana potensial dalam meningkatkan peradapan manusia di berbagai aspek kehidupan. Tidak dapat dipungkiri bahwa Ilmu Komunikasi telah banyak memberikan kontribusi bagi perkembangan industri dan masyarakat. Di industri media selain perkembangan media arus utama (mainstream) kemunculan portal media online menunjukkan pemanfaatan konvergensi media yang banyak diminati khalayak. Media baru serta pengaplikasian Ilmu Marketing Komunikasi juga dimanfaatkan oleh pihak industri, baik industri kecil, menengah maupun besar guna meningkatkan pelayanan dan memaksimalkan eksistensinya di dunia persaingan bisnis sekaligus untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Di kalangan masyarakat, Ilmu Komunikasi dianggap mampu untuk membedah isu-isu sosial dan budaya yang ada. Ilmu Komunikasi juga dimanfaatkan untuk mengembangkan komunitas yang kuat dan mampu bersaing di dunia internasional. Pada kesempatan ini, selayaknya saya menyampaikan terima kasih kepada seluruh pihak yang telah membantu dan mendukung terlaksananya acara ini – pimpinan Universiti Sains Malaysia dan Institut Hindu Dharma Negeri, pihak sponsor, media partners, tim reviewer, Pimpinan Universitas, dan panitia yang telah bekerja keras untuk mewujudkan konferensi ini terlaksana. Plh Dekan Fakultas Ilmu Komunikasi UNTAR. Widayatmoko iv PANITIA ICCIC Penanggung Jawab Ketua Steering Committee Wakil Ketua SC : Dr. Eko Harry Susanto, M.Si : Drs. Widayatmoko, MM, M.Ikom : Dr. Riris Loisa, M.Si Panitia Pelaksana Ketua Wakil Ketua Sekretaris Bendahara Koordinator Humas Sponsorship dan LO Publikasi & Dokumentasi Koordinator Acara Perlengkapan : Dra. Suzy S. Azeharie, M.A., M.Phil : Septia Winduwati, S,Sos., M.Si : Lusia Savitri Setyo Utami, S.Sos., M.Si : Candra Gustinar : Yugih Setyanto, S.Sos, M.Si : Wulan Purnama Sari, S.Ikom., M.Si : Xenia Angelica Wijayanto, S.H., M.Si : Sinta Paramita, SIP, MA : Ady Sulistyo v DAFTAR ISI REVIEWER KATA PENGANTAR Ketua Panitia ICCIC KATA PENGANTAR Dekan Fakultas Ilmu Komunikasi UNTAR PANITIA ICCIC i ii iii iv Lokalisasi Sistem Penyiaran Di Aceh: Analisis Terhadap Harapan, Peluang Dan Tantangan Hamdani M. Syam, Khairulyadi, Bukhari 1 – 17 Lisensi Sebagai Alternatif Strategi Bisnis Media Cetak Olahraga Di Indonesia Narayana Mahendra Prastya 18 – 30 Manajemen Radio Islam: Pergulatan AntaraIdeologi Dan Eksistensi Puji Hariyanti 31 – 42 Logika Jangka Pendek Jurnalisme Online (Studi Kasus Replubika Online) Ratna Puspita 43 – 57 Dampak Penggunaan Smartphone Pada Perubahan Perilaku Anak Taufik Suprihatini 58 – 68 Situs Online Dating Sebagai Sarana Membangun Hubungan Romantis Berkomitmen Reni Dyanasari, Tatya Mutiara Annisa 69 – 79 Gaya Hidup Dan Perilaku Seksual Pengguna Cybersex (Studi Kasus: Pada Mahasiswa Di Kota Padang) Elva Ronaning Roem 80 – 93 Fenomena Perilaku Narsisme Di Instagram (Studi Fenomenologi Laki-Laki Metroseksual) Welly Wirman, Emia Vintanta Kb, Eoudia Stefanie 94 –104 Ujaran Kebencian: Membangun Literasi Era Digital Benedictus A.S 105 –113 vi Pengalihan Ekspresi Wajah Dengan Emoticon Media Sosial (Studi Kasus: Penggunaan Stiker Pada Aplikasi Line) Cicy Amelia, Desy Kurnia Wati 114–124 Long Distance Communications (Ldc) (Perilaku Penggunaan Line Bagi Pasangan Hubungan Jarak Jauh) Feby Diani Bosma, Cicilia Margarettha 125–135 Konsep Diri Stalker Di Media Sosial (Study Kasus Stalking Mantan Kekasih) Vindriana Adios, Randi Saputra 136–144 Tingkat Literasi Media Internet Mahasiswa Konsentrasi Ilmu Komunikasi Dan Media Pascasarjana Ilmu Komunikasi Fisipol Ugm Clara Novita Anggraini 145–159 Media Digital Dalam Menciptakan Kesadaran Bermedia (Studi Kasus: Sanggar Ananda) Meilani Dhamayanti 160–166 Wattpad: Aplikasi Media Sosial, Media Convergence And Participatory Culture Fatma Dian Pratiwi 167–174 Penggunaan Tahapan E-Learning Dalam Sistem Pembelajaran Mahasiswa Dan Identifikasi Permasalahan Sistem E-Learning Berliana Sinaga, Devriani Rasitha Davron 175–185 Memahami Wacana “Korban” Pada Konflik Personal Selebgram Perempuan Hapsari Dwiningtyas Sulistyani 186–198 Representasi Opini Publik Di Media Sosial (Kasus Meme Bekasi Di Media Sosial Path Dan Twitter) Fitrie Handayani, Siti Dewi Sri Rs, Wira Respati 199–207 Aktivitas Budaya Partisipatif Remaja Dalam Menggunakan Media Baru Endah Murwani, Indiwan Seto W, .Joice Caroll S 208–220 Imbangi Hegemoni Jurnalisme Mainstream Melalui Jurnalisme Warga Feri Ferdinan Alamsyah 221–233 vii Apa Yang Memungkinkan Jurnalisme Warga Terselenggara? Kajian Terhadap Minat, Motivasi, Dan Jejaring Sosial Online Devie Rahmawati 234–240 Citizen Journalism Di Koran Konvensional (Studi Deskriptif Isi Rubrik Citizen Journalism Di Koran Tribun Jogja) Yanti Dwi Astut, Lukman Nusa 241–250 Representasi Media Dalam Menampilkan Masa Lalu: Studi Media Memori Atas Berita Penyelesaian Kasus-Kasus Pelanggaran Ham Doddy Salman 251–257 Komodifikasi Wartawan Dalam Industri Media Metha Madonna 258–264 Persaingan Stasiun Televisi Dengan Internet Untuk Meraih Iklan M. Adi Pribadi, M. Gafar Yoedtadi, Kurniawan Hs 265–274 Radio Komunitas Dan Pemberdayaan Masyarakat Perdesaan Ika Yuliasari, Euis Komalawati 275–287 Keterlibatan Audiens Dengan Media Personae (Studi Pada Proses Terbangunnya Hubungan Semu Antara Penggemar Dengan Idola Dalam Program Acara Running Man) Desideria Lumongga Dwihadiah Leksmono 288–299 Pengukuran Afek (Mood) Secara Kuantitatif Sebagai Motivasi Individu Dalam Mengkonsumsi Media Hiburan Interaktif Mochammad Kresna N 300–310 Kekuatan Media Massa Televisi Dan Konteks Sosial Budaya Dalam Mengkonstruksi Relasi Jender Sri Budi Lestari 311–320 Membaca Pilihan Penonton Pada Program Acara Ftv Di Televisi Swasta Indonesia Rama Kertamukti, Niken Puspitasari 321–331 Alay Sebagai Bagian Dari Industri Media Dicky Andika 332–338 viii Pelanggaran Etika Dalam Kerja Jurnalistik Di Industri Media Indonesia (Pemetaan Kasus-Kasus Pelanggaran Etika Dan Kode Etik Oleh Jurnalis Indonesia) Bonaventura Satya Bharata 339–353 Ledakan Maklumat Dan Teknologi Komunikasi Baru Di Bawah Bayu Intan S. Ibrahim, Nor Hs, Juliana A. Wahab, Suhaimi S 354–363 Karikatur-Karikatur Charlie Hebdo: Ekspresi Kebebasan Atau Kebencian? Triyono Lukmantoro 364–377 Konstruksi Realitas Bencana Pada Berita Banjir Jakarta Suraya 378–385 ix International Conference of Communication, Industry, and Community. Bali, 3-4 Maret 2016 ISBN: 978-602-74139-1-7 LOKALISASI SISTEM PENYIARAN DI ACEH: ANALISIS TERHADAP HARAPAN, PELUANG DAN TANTANGAN Hamdani M. Syam, Khairulyadi, Bukhari, Prodi Ilmu Komunikasi dan Prodi Sosiologi FISIP Universitas Syiah Kuala [email protected], [email protected], [email protected] Abstract Broadcast media not only as a medium of entertainment, but could serve as a medium that can be used for the development of a country. The aim of this study was to investigate the localization of the broadcasting system in Aceh. The research focuses on three aspects: first, the aspect of hope that examines what people's expectations related to the localization of the broadcasting system in Aceh. Second, aspects of opportunities including reviewing opportunities that are owned by the Aceh regional localization system that enables broadcasters to run in Aceh. Third, aspects of the challenges that examines the factors that challenge the localization of broadcasting in Aceh is hard to be executed. To get the results of the study, researchers used a qualitative approach to data collection through in-depth interviews, focus group discussions and analysis of documentation. The research results obtained are aspects of the expectations that people had great expectations for the government of Aceh in order to carry out regulation of broadcast content to broadcasters that broadcast in Aceh because according to them the broadcast that had been obtained did not fit with the context of the Acehnese people who are running the Islamic law. Aspects of the opportunities that the Aceh government legislation already provides opportunities for the Aceh government to regulate broadcast content broadcasting in Aceh so that it fits with the context of Islamic shari'ah that is being run in Aceh. Aspects of the challenge that is no small part of society, especially media practitioners so that the setting was not done because it would hamper the public to obtain information widely. Keywords: Localization, Broadcasting, Aceh Abstrak Media penyiaran bukan saja sebagai media hiburan, tetapi bisa berfungsi sebagai media yang dapat digunakan untuk pembangunan sesuatu negara. Penelitian ini bertujuan meneliti mengenai lokalisasi sistem penyiaran di Aceh. Untuk meneliti hal tersebut, maka penelitian ini menfokuskan pada tiga aspek yaitu pertama, aspek harapan yaitu mengkaji apa saja harapan masyarakat terkait dengan lokalisasi sistem penyiaran di Aceh. Kedua, aspek peluang yaitu mengkaji peluang yang dimiliki oleh daerah Aceh sehingga lokalisasi sistem penyiaran memungkinkan untuk dijalankan di Aceh. Ketiga, aspek tantangan yaitu mengkaji faktor-faktor tantangan sehingga lokalisasi penyiaran di Aceh sulit untuk bisa dijalankan. Untuk mendapatkan hasil penelitian, peneliti menggunakan pendekatan kualitatif dengan teknik pengumpulan data melalui 1 International Conference of Communication, Industry, and Community. Bali, 3-4 Maret 2016 ISBN: 978-602-74139-1-7 wawancara mendalam, FGD dan analisis dokumentasi. Adapun hasil penelitian yang didapatkan adalah aspek harapan yaitu masyarakat sangat menaruh harapan kepada pemerintah Aceh agar dapat melakukan pengaturan isi siaran kepada lembaga penyiaran yang bersiaran di Aceh karena menurut mereka siaran yang selama ini didapatkan tidak sesuai dengan konteks masyarakat Aceh yang sedang menjalankan syariat Islam. Aspek peluang yaitu undang-undang pemerintah Aceh sudah memberikan peluang kepada pemerintah Aceh untuk mengatur isi siaran lembaga penyiaran yang bersiaran di Aceh agar isinya sesuai dengan konteks syari’at Islam yang sedang dijalankan di Aceh. Aspek tantangan yaitu ada sebagian kecil masyarakat terutama praktisi media agar pengaturan itu tidak dilakukan karena hal itu akan menghambat masyarakat untuk mendapatkan informasi secara luas. Kata Kunci: Lokalisasi, Penyiaran, Aceh Pendahuluan Media penyiaran dalam suatu negara bukan saja sebagai media hiburan, namun ia berfungsi sebagai alat yang dapat digunakan untuk mencetuskan pembangunan. Banyak para pakar sains sosial mengatakan media penyiaran dapat digunakan sebagai alat pembangunan suatu negara. Sebab media penyiaran dapat digunakan sebagai media literasi, media sosialisasi, informasi dan sebagai media pembelajaran lainnya. Media penyiaran mampu berfungsi sebagai alat yang membantu mempercepatkan proses pembangunan baik dari segi kebendaan maupun moral. Banyak hasil penelitian dan penulisan yang telah dibuat oleh sebagian besar para pakar bidang ilmu sosial mengakui media penyiaran sebagai alat yang mampu mempengaruhi kehidupan sosial. Media penyiaran dapat membantu pembangunan negara untuk berubah tingkah laku manusia (Karthigesu 1994; McDaniel 1994; Asiah Sarji 1996; Karimov 1998; Boyd 1999; Johari Achee 2000; Hermin Indah Wahyuni 2000; Khiabany 2010; Ayish 2010; Henry Subiakto 2011). Aceh sebagai daerah yang sedang menerapkan Syari’at Islam dalam segala aspek kehidupan masyarakat, dan sebagai daerah yang sedang membangun terutama selepas konflik dan tsunami, maka Aceh memerlukan apa saja alat yang boleh membantu mempercepat proses pembangunan. Media penyiaran telah lama dikenali oleh para pakar sains sosial sebagai alat yang paling fleksibel untuk tujuan ini, karena media penyiaran mempunyai kekuatan yang besar dalam masyarakat dan mampu mengarahkan masyarakat untuk melakukan sesuatu perubahan, pandangan dan keyakinan. Namun demikian, hingga sekarang Pemerintah Aceh belum memberikan perhatian yang signifikan terhadap persoalan ini. Padahal apabila dilihat dalam undang-undang penyiaran yaitu Undang-Undang Penyiaran No. 32 Tahun 2002 yaitu pada pasal 6 dan Undang-Undang Pemerintah Aceh pada pasal 153, bahwa Aceh mempunyai peluang untuk membentuk penyiaran secara tersendiri. Maka itu, penelitian ini mengkaji mengenai lokalisasi sistem penyiaran di Aceh dari tiga aspek yaitu pertama, aspek harapan yaitu mengkaji apa saja harapan dan tanggapan 2 International Conference of Communication, Industry, and Community. Bali, 3-4 Maret 2016 ISBN: 978-602-74139-1-7 masyarakat Aceh terkait dengan lokalisasi sistem penyiaran di daerah Aceh. Kedua, aspek peluang yaitu mengkaji mengenai peluang yang dimiliki oleh daerah Aceh untuk menerapkan lokalisasi sistem penyiaran di daerah ini. Ketiga, aspek tantangan yaitu mengkaji mengenai aspek tantangan yang dimiliki oleh daerah Aceh untuk menjalankan lokalisasi sistem penyiaran di Aceh. Tinjauan Pustaka Konsep Perubahan Masyarakat Masyarakat modern yang wujud pada hari ini bukanlah wujud secara tiba-tiba, tetapi ia telah melalui proses dan berbagai peringkat perubahan dengan menggunakan berbagai pendekatan. Media penyiaran sebagai salah satu pendekatan yang digunakan dalam mewujudkan perubahan sikap manusia. Hakikat perubahan dan modernisasi yang berlaku pada hari ini tidak berlaku secara sendiri tapi ia berhubungan dengan faktor-faktor lain. Kemampuan media penyiaran, terutama televisi dalam mempengaruhi masyarakat telah banyak diteliti. Penelitian-penelitian yang dibuat Head (1974; 1976) di peringkat awal, sehingga penelitian yang dilakukan oleh Karthigesu (1994), McDaniel (1994), Karimov (1998), Johari Achee (2000), Khiabany (2010), Ayish 2010, dan Henry Subiakto (2011) sebagai contoh. Semuanya dalam penelitian mereka menyentuh aspek media penyiaran. Para peneliti tersebut juga telah menyentuh mengenai dampak yang ditinggalkan oleh media penyiaran terhadap khalayak pada suatu negara. Secara umum para peneliti dalam bidang penyiaran ini mengakui bahwa penyiaran ada meninggalkan pengaruh dalam mewujudkan perubahan masyarakat. Oleh karena itu, dengan meninjau semula secara sistematis hubungan antara penyiaran dan perubahan masyarakat, khususnya perubahan sikap masyarakat, kedudukan penyiaran sebagai saluran difusi yang boleh meninggalkan pengaruh yang kuat kepada khalayak dapat diperhatikan secara serius lagi. Sekurang-kurangnya penelitian ini dapat membantu baik memperkuat kepercayaan yang telah ada, atau mewujudkan rasa kepercayaan yang tinggi dalam membuat spekulasi-spekulasi mengenai kemampuan penyiaran dalam proses perubahan masyarakat terutama perubahan sikap dan keyakinan manusia. Lokalisasi Penyiaran di Indonesia Lokalisasi media penyiaran terutama media televisi adalah isu yang masih hangat diperbincangkan di kalangan masyarakat Indonesia sejak pasca disahkannya Undang-Undang No. 32 tahun 2002 tentang Penyiaran. UndangUndang Penyiaran ini dibuat untuk mengantikan Undang-Undang Penyiaran tahun 1997. Dengan penggantian undang-undang penyiaran ini, telah mengubah sistem penyiaran di Indonesia dari sistem sentralisasi kepada sistem desentralisasi. UU No. 32/2002 lebih bersifat desentralisasi, sementara UU No. 24/1997 bersifat sentralisasi. 3 International Conference of Communication, Industry, and Community. Bali, 3-4 Maret 2016 ISBN: 978-602-74139-1-7 Menurut Ade Armando (2011), pasca disahkan UU No.32/2002, tidak ada lagi istilah televisi swasta nasional. Semuanya televisi adalah lokal dan berjaringan. Pada awalnya, landasan kuat lahirnya Undang-Undang Penyiaran tahun 2002 tersebut diawali dari keinginan pemerintah untuk mewujudkan peran civil society dalam mengatur media penyiaran. Pemerintah melimpahkan kewenangan tersebut kepada masyarakat melalui badan legislator yang bernama Komisi Penyiaran Indonesia (KPI), baik di tingkat pusat maupun daerah, anggotanya terdiri dari unsur-unsur masyarakat. Ide awal untuk mewujudkan sistem lokalisasi penyiaran dilandasi oleh pemikiran diversity of ownership dan diversity of content terhadap sistem penyiaran di Indonesia. Dalam hal diversity of ownership, menurut Ade Armando (2011), dengan kehadiran UU No 32/2002 ini, masyarakat di daerah mempunyai kesempatan untuk memiliki lembaga penyiaran baik radio maupun televisi secara tersendiri. Undang-Undang Penyiaran ini juga memberikan kesempatan kepada masyarakat daerah untuk mendirikan stasiun televisi lokal yang berorientasi kedaerahan guna mengimbangi hegemonisasi siaran televisi Jakarta. Menurut Ade Armando (2011), banyak program siaran televisi Jakarta didominasi unsur seks, darah, dan mistik. Kemudian dalam hal diversity of content, menurut Ade Armando (2011), dengan tumbuhnya televisi-televisi lokal daerah, harapannya televisi menjadi lebih dekat dengan kebutuhan pemirsanya, adanya penyeimbang atas derasnya siaran Jakarta yang jauh dari akar dan tradisi kebudayaan daerah, serta potensi-potensi lokal yang ada di daerah menjadi tersalurkan, yang kemudian pada akhirnya akan menambahkan peluang lapangan pekerjaan. Amanah UU No. 32 tahun 2002 mengenai lokalisasi sistem penyiaran, Pasal 6 ayat 1 dan 3 dan Pasal 31 ayat 1, yakni: Pasal 6 Ayat 1 Penyiaran diselenggarakan dalam satu sistem penyiaran nasional. Ayat 3 Dalam sistem penyiaran nasional terdapat lembaga penyiaran dengan pola jaringan yang adil dan terpadu yang dikembangkan dengan membentuk stasiun jaringan dan stasiun lokal. Pasal 31 Ayat 1 Lembaga penyiaran yang menyelenggarakan jasa penyiaran radio atau jasa penyiaran televisi terdiri atas stasiun penyiaran jaringan dan/atau stasiun penyiaran lokal. Hal yang menarik disini, menurut Hinca Pandjaitan (2008) adalah stasiun televisi. Dengan ada kedua pasal ini, sudah tidak ada lagi stasiun televisi nasional Indonesia. Tapi yang ada sejumlah televisi lokal yang kemudian membentuk jaringan. Pendapat yang sama juga dikemukakan oleh Al-Faqih (2007). Menurutnya, ke depan tidak dikenal lagi dengan istilah televisi nasional, yang ada adalah televisi-televisi berdasarkan kedudukannya. RCTI, ANTV, TPI, Indosiar, Trans TV dan stasiun televisi swasta nasional lain yang ada sekarang 4 International Conference of Communication, Industry, and Community. Bali, 3-4 Maret 2016 ISBN: 978-602-74139-1-7 akan dikategorikan sebagai televisi Jakarta. Apabila televisi swasta nasional ini ingin menyiarkan siaran ke daerah-daerah, maka ia harus bekerjasama dengan stasiun televisi lokal yang ada di daerah tersebut. Bila televisi swasta nasional ini tidak mau berjaringan dengan televisi-televisi lokal yang sudah ada ataupun ada daerah yang belum mempunyai televisi lokal, maka mereka diperbolehkan dan dianjurkan oleh Pemerintah untuk membuat local company, dalam kepemilikan sahamnya ada sebagian milik mereka dan ada sebagian milik orang daerah. Ini bermaksud, izin penyelenggaraan penyiaran yang akan diberikan pada local company akan mempertimbangkan sejauhmana orang daerah mendapat kedudukan yang layak dalam perusahaan tersebut. Menurut Al-Faqih (2007), apabila posisi pengambil keputusan masih sepenuhnya dipegang oleh para pemodal Jakarta, kepentingan daerah tidak akan dapat terakomudasikan dalam sistem siaran berjaringan ini. Amanah dan tujuan UU No. 32 tahun 2002 adalah supaya orang-orang daerah yang terlibat dalam sistem ini mampu menjadi penyalur kepentingan masyarakat daerah. Apabila dicermati, negara Indonesia mempunyai luas wilayah yang cukup besar, terdiri dari banyak suku bangsa dan agama yang mendiami sebanyak 34 provinsi, dengan budaya yang sangat berbeda-beda pula. Maka menurut Ade Armando (2011), ide pemerintah melalui UU No. 32 tahun 2002 terkait dengan lokalisasi sistem penyiaran merupakan sesuatu ide yang bagus, perlu mendapat dukungan yang baik dari semua kalangan masyarakat Indonesia baik akademisi, politikus, dan bahkan hingga ibu rumah tangga. Menurut Ade Armando (2011), kehadiran televisi di tingkat lokal akan memberikan alternatif tontonan yang dapat mengakomodasikan khazanah lokalitas tersendiri. Faktor ini masih sangat kurang didapatkan pada televisi swasta nasional Jakarta yang ada sekarang. Kemudian, menurut Agus Sudibyo (2009), televisi Jakarta telah mencitrakan diri sebagai bagian dari model kebudayaan dunia yang lebih bersifat global, kadang-kadang ini sangat bertentangan dengan nilai-nilai moral dan budaya daerah-daerah tertentu. Fuziah Kartini Hassan Basri (2009), dalam penelitiannya telah menjelaskan mengenai peranan yang dimainkan oleh media penyiaran dalam mempengaruhi kehidupan masyarakat. Media penyiaran dikatakan ikut terlibat dalam mengubah warna kehidupan sosial. Misalnya, peningkatan perbuatan kriminalitas, pemerkosaan, seksualitas dan berbagai persoalan negatif lainnya. Dalam hal lain, media penyiaran turut dipuji karena mampu berfungi sebagai alat yang membantu mempercepat proses perubahan dan pembangunan suatu negara baik dari segi materil maupun spritual. Metodologi Penelitian ini menggunakan jenis penelitian kualitatif. Menurut Pawito (2007), penelitian kualitatif adalah penelitian yang bersifat kemanusiaan karena menepatkan manusia sebagai alat pengukuran data. Menurut Rachmat Kriyantono (2009:56) mengatakan penelitian kualitatif adalah penelitian yang 5 International Conference of Communication, Industry, and Community. Bali, 3-4 Maret 2016 ISBN: 978-602-74139-1-7 tidak menggunakan prosedur statistik. Bertujuan untuk menjelaskan fenomena dengan sedalam-dalamnya. Teknik pengumpulan data dalam penelitian ini adalah melalui wawancara mendalam, Focus Group Discussion FGD) dan analisis dokumen. Selain itu penelitian ini merujuk juga pada data-data dari penelitian terdahulu dan literatur lainnya yang dianggap relevan dan mendukung penelitian ini. Semua data yang didapat melalui wawancara mendalam, Focus Group Discussion dan analisis dokumen, kemudian dibuat kategorisasi yang berhubungan dengan penelitian ini. Adapun yang menjadi langkah-langkah analisis data dalam penelitian ini adalah sebagai berikut: 1. Semua data yang diperoleh di lapangan dikumpulkan, kemudian dibuat dalam bentuk trianggulasi. Data itu seterusnya direduksi dan dipilih halhal pokok sesuai dengan kategorisasi penelitian. 2. Setelah itu, data yang diperoleh tersebut direalisasikan menurut permasalahan yang ingin diteliti bagi memudahkan penulis menganalisis dalam bentuk uraian. 3. Selanjutnya penulis membuat kesimpulan akhir terkait dengan lokalisasi sistem penyiaran di Aceh baik dari segi harapan masyarakat, peluang dan tantangan. Hasil Temuan dan Diskusi Harapan Masyarakat Harapan masyarakat didapatkan melalui Focus Group Discusion (FGD) dengan masyarakat yang bertempat tinggal di Banda Aceh dan Aceh Besar. Ada dua harapan masyarakat yang signifikan terkait penyiaran di Aceh yaitu harapan mengenai kualitas isi siaran dan harapan mengenai peran pemerintah Aceh terhadap lembaga penyiaran di Aceh. Pertama, kualitas isi siaran. Masyarakat secara umum berpendapat bahwa isi siaran lembaga penyiaran khususnya televisi yang saat ini disiarkan masih jauh dari harapan masyarakat. Banyaknya intensitas siaran yang tidak mendidik seperti sinetron dan tayangan-tayangan midnight. Menurut kebanyakan kelompok masyarakat yang dilakukan FGD mengatakan, kualitas isi siaran televisi nasional tidak mencerminkan dengan nilai masyarakat Aceh yang sedang menerapkan syariat Islam. Apalagi siaran-siaran di atas jam tujuh malam, tontonan yang tidak mendidik, bahaya bagi anak-anak yang nantinya akan meniru adegan-adegan tersebut. Peserta FGD mengatakan, menyayangkan siaran-siaran bagus dan sesuai dengan syari’at Islam hanya muncul ketika bulan Ramadhan tiba sehingga setelah bulan Ramadhan usai, siaran kembali tidak mendidik sehingga sangat sulit untuk para orang tua memilih siaran yang membolehkan anak-anaknya menonton. Mereka juga mengatakan, ada juga siaran-siaran televisi swasta nasional yang sesuai dengan nilai-nilai syari’at Islam seperti Hafiz Al-Qur’an, Mozaik Islam, On The Spot, Islam itu indah. Namun siaran seperti ini sangat sedikit mendapatkan porsi siaran dalam televisi nasional yang bersiaran di Aceh. 6 International Conference of Communication, Industry, and Community. Bali, 3-4 Maret 2016 ISBN: 978-602-74139-1-7 Peserta FGD juga mengatakan, penerapan syari’at Islam yang telah berlaku di Aceh sejak tahun 2002, belum mampu dijawab oleh mayoritas isi siaran lembaga penyiaran yang bersiaran di daerah ini. Sebab kebanyakan lembaga penyiaran di Aceh masih bersifat nasional. Aceh belum mempunyai lembaga penyiaran sendiri. Masyarakat Aceh hanya menjadi konsumen saja terhadap siaran-siaran yang ada pada media penyiaran yang mereka punya di rumah-rumah. Aturan yang mengatur tentang isi siaran terhadap lembagalembaga penyiaran yang bersiaran di Aceh juga belum ada sehingga akan sangat mempengaruhi terhadap isi siaran tersebut. Maka kebanyakan peserta FGD mengatakan merasa kecewa dengan isi siaran lembaga penyiaran selama ini karena ketidaksesuai dengan Aceh yang sedang menjalankan syari’at Islam. Kedua, peran pemerintah Aceh terhadap lembaga penyiaran di Aceh. Mengenai isi siaran yang tidak mendidik dan kekerasan sampai pada siaran yang ketidaksesuaian dengan penerapan syari’at Islam di Aceh tentulah harus menjadi tanggung jawab bersama khususnya pemerintah Aceh dan lembaga penyiaran yang bersiaran di daerah ini. Menurut peserta FGD, pemerintah harus lebih memperhatikan lagi manfaat yang sebenarnya dari lembaga penyiaran terutama televisi kepada masyarakat, jangan sampai pihak pengusaha itu tidak lagi menyiarkan nilai-nilai Islam di dalam lembaga penyiaran mereka. Peserta FGD bersetuju apabila pemerintah Aceh memblok siaran-siaran yang tidak sesuai dengan penerapan syari’at Islam dan digantikan dengan siaran yang lebih berkualitas dan sesuai dengan penerapan syari’at Islam di Aceh. Pemerintah Aceh harus dapat mengganti atau menyiapkan materi-materi tontonan yang bagus. Kemudian, masalahan regulasi dan penerapannya juga belum sepenuhnya dilakukan oleh pemerintah. Kebanyakan masyarakat mengharapkan pemerintah seharusnya tegas terhadap penyiaran. Maka perlu dibuat aturan yang jelas, supaya penerapan syariat Islam di Aceh tidak terganggu oleh lembaga penyiaran yang bersiaran di daerah ini. Untuk lebih mendukung penerapan syariat Islam yang sedang berlangsung, maka Aceh perlu lembaga penyiaran ataupun ada aturan yang bisa mengatur lembaga penyiaran yang bersiaran di Aceh. Peluang Dari aspek peluang untuk lokalisasi sistem penyiaran di Aceh, itu tidak terlepas dari pemberian otonomi khusus kepada Aceh melalui Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh. Dengan adanya otonomi khusus tersebut, Aceh mendapatkan kewenangan secara khusus dalam bidang penyiaran. Hal ini disebutkan dalam pasal 153 ayat (1), (2), (3) dan (4), yaitu: (1) Pemerintah Aceh mempunyai kewenangan menetapkan ketentuan di bidang pers dan penyiaran berdasarkan nilai Islam. (2) Dalam rangka melaksanakan ketentuan sebagaimana dimaksudkan pada ayat (1), Pemerintah Aceh berkoordinasi dengan Komisi 7 International Conference of Communication, Industry, and Community. Bali, 3-4 Maret 2016 ISBN: 978-602-74139-1-7 Penyiaran Indonesia Daerah Aceh menetapkan pedoman etika penyiaran dan standar program siaran. (3) Ketentuan lebih lanjut mengenai hal sebagaimana dimaksudkan pada ayat (1) diatur dengan Qanun Aceh. (4) Kewenangan lain di bidang pers dan penyiaran bagi pemerintah Aceh, selain diatur dalam ayat (1) dan (2), dilakukan dengan berpedoman pada peraturan perundang-undangan. Dari pasal 153 ayat (1) di atas, bermaksud bahwa pemerintah Aceh mempunyai kewenangan untuk mengatur bidang penyiaran di wilayah pemerintahannya. Namun sebagaimana juga yang disebutkan dalam pasal 153 ayat (2) dan (4) di atas, pengaturan dalam bidang penyiaran yang dilakukan oleh pemerintah Aceh hanya sebatas menetapkan pedoman etika penyiaran dan standar program siaran. Sementara untuk bidang lainnya dalam bidang penyiaran, pemerintah Aceh harus berpedoman kepada peraturan perundang-undangan yang berlaku di negara Indonesia. Maka dengan begitu, bentuk otonomi yang diberikan pemerintah pusat untuk pemerintahan Aceh dalam bidang penyiaran adalah hanya sebatas menetapkan etika penyiaran dan standar program siaran bagi lembaga-lembaga penyiaran yang beroperasi di daerah ini. Pemberian otonomi bidang penyiaran kepada pemerintah Aceh ada kaitannya juga dengan aspek penyelanggaraan otonomi daerah yang dilaksanakan negara Indonesia setelah reformasi. Maka bidang penyiaran termasuk bidang yang diotonomikan sejak diterapkan undang-undang penyiaran yang baru mengantikan Undang-Undang Penyiaran 1997. Hal ini dapat dilihat pada konsideran menimbang haruf (c) Undang-Undang Penyiaran 2002, disebutkan bahwa: Untuk menjaga integrasi nasional, kemajemukan masyarakat Indonesia dan terlaksananya otonomi daerah, maka perlu dibentuk sistem penyiaran nasional yang menjamin terciptanya tatanan informasi nasional yang adil, merata, dan seimbang guna mewujudkan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Apabila dilihat dalam sistem penyiaran yang berlaku secara nasional. Maka otonomi bidang penyiaran untuk daerah Aceh ada hubungkait dengan sistem penyiaran yang berlaku di negara ini. Dengan diterapkan Undang-Undang Penyiaran 2002, pemerintah pusat mengubah sistem penyiaran yang berlaku di Indonesia dari sistem terpusat kepada sistem penyiaran lokal atau berjaringan. Dengan perubahan sistem penyiaran itu, bermakna masyarakat daerah sudah dibenarkan untuk memiliki penyiaran yang berkedudukan di daerahnya sendiri. Hal ini seperti termaktub dalam pasal 6 ayat (1), (2) dan (3), Undang-Undang Penyiaran tahun 2002 yaitu: (1) Penyiaran diselenggarakan dalam satu sistem penyiaran nasional. (2) Dalam sistem penyiaran nasional sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), negara menguasai spektrum frekuensi radio yang digunakan 8 International Conference of Communication, Industry, and Community. Bali, 3-4 Maret 2016 ISBN: 978-602-74139-1-7 untuk penyelenggaraan penyiaran guna sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. (3) Dalam sistem penyiaran nasional terdapat lembaga penyiaran dan pola jaringan yang adil dan terpadu yang dikembangkan dengan membentuk stasiun jaringan dan stasiun lokal. Kemudian pada pasal 31 ayat (1), (2) dan (3) disebutkan juga, yaitu: (1) Lembaga penyiaran yang menyelenggarakan jasa penyiaran radio atau jasa penyiaran televisi terdiri atas stasiun penyiaran jaringan dan/atau stasiun penyiaran lokal. (2) Lembaga Penyiaran Publik dapat menyelenggarakan siaran dengan sistem stasiun jaringan yang menjangkau seluruh wilayah negara Republik Indonesia. (3) Lembaga Penyiaran Swasta dapat menyelenggarakan siaran melalui sistem stasiun jaringan dengan jangkauan wilayah terbatas. Dengan sistem penyiaran lokal atau berjaringan, maka akan wujud siaransiaran yang lebih dekat dengan masyarakat daerah setempat. Keadaan demikian akan membuat potensi daerah akan tersalurkan melalui lembaga penyiaran yang ada di daerah berkenaan. Hal ini juga yang menjadi dasar pembentukan otonomi bidang penyiaran untuk daerah Aceh. Satu hal yang menarik diberikan perhatian dalam sistem penyiaran yang berlaku secara nasional adalah mengenai sistem penyiaran televisi swasta di Indonesia. Hal ini ada kaitan juga mengenai otonomi bidang penyiaran di negara ini. Sebelum berlaku Undang-Undang Penyiaran 2002, sepuluh stasiun televisi swasta di Indonesia yaitu SCTV, RCTI, MNCTV, Indosiar, ANTeve, Metro TV, Trans TV, TV One, Trans7 dan Global TV, disebutkan sebagai televisi swasta nasional. Kemudian kesepuluh stasiun ini dibenarkan untuk melakukan jangkauan siaran secara nasional yaitu ke seluruh daerah yang ada di Indonesia. Kemudian, apabila berlaku Undang-Undang Penyiaran 2002, kesepuluh stasiun swasta tersebut tidak dikatakan lagi sebagai stasiun televisi swasta nasional, tetapi dikatakan sebagai televisi lokal dengan mempunyai jangkauan siaran secara terbatas sesuai dengan wilayah jangkauan siaran yang telah ditetapkan. Menurut Ade Armando (2010), apabila stasiun televisi swasta tersebut berada di Jakarta, maka jangkauan siarannya adalah Jakarta dan sekitarnya. Jika stasiun televisi swasta ini menginginkan siarannya dapat diterima di daerah tertentu, maka ia harus menggunakan perantaraan dengan stasiun televisi yang berada di daerah bersangkutan. Misalnya, agar siaran stasiun televisi RCTI yang berada di Jakarta dapat ditangkap siarannya di Aceh, maka di daerah Aceh harus ada stasiun televisi yang berfungsi sebagai anggota jaringan RCTI tersebut. Begitu juga apabila RCTI ingin melakukan siaran ke seluruh wilayah yang ada di Indonesia, maka RCTI juga harus memiliki jaringan stasiun televisi RCTI di seluruh wilayah Indonesia. 9 International Conference of Communication, Industry, and Community. Bali, 3-4 Maret 2016 ISBN: 978-602-74139-1-7 Keadaan yang berlaku terhadap sistem penyiaran secara nasional memberi pengaruh juga terhadap bentuk penyiaran di Aceh. Maka amat wajar apabila pemerintah pusat memberikan otonomi dalam bidang penyiaran hanya sebatas pada penetapan etika penyiaran dan standar program siaran terhadap lembagalembaga penyiaran yang bersiaran di Aceh. Maka itu maksud otonomi penyiaran yang disebutkan dalam pasal 153 adalah hanya sebatas mengatur etika penyiaran yang sesuai dengan konteks masyarakat Aceh. Salah satu maksud dari pasal 153 dalam UUPA adalah pemerintah pusat telah membenarkan pemerintah Aceh menjadikan Islam sebagai landasan dalam menetapkan ketentuan di bidang penyiaran di daerahnya. Hal tersebut terkait dengan menerapkan syariat Islam di daerah ini. Pemerintah Aceh mempunyai kewenangan untuk menjadikan media penyiaran sebagai media pembelajaran dan penyampaian informasi sesuai nilainilai syariat Islam yang sedang dijalankan di daerah Aceh. Apabila dianalisis secara mendalam mendapatkan bahwa ada tiga hal yang menjadi alasan mengapa Islam menjadi landasan pembentukan penyiaran di Aceh. Hal pertama adalah Aceh mendapatkan kewenangan untuk menjalankan syariat Islam dalam kehidupan bermasyarakat. Keadaan demikian telah membuat segala sesuatu yang ingin dilakukan di Aceh disesuaikan dengan nilai-nilai Islam. Hal kedua yang menyebabkan Islam menjadi landasan pembentukan penyiaran di Aceh adalah berkaitan dengan siaran televisi swasta di Jakarta yang bersiaran di daerah Aceh kebanyakan siarannya tidak sesuai dengan nilai-nilai budaya dan agama masyarakat Aceh yang sedang menjalankan syariat Islam, terutama berkaitan dengan siaran hiburan. Siaran televisi swasta Jakarta kebanyakan siarannya mengandung unsur seks, kekerasan, pemerkosaan dan percintaan. Berdasarkan hasil kajian Naskah Akademik yang dilakukan Sayid Fadhil et al. (2010), mengatakan siaran televisi swasta nasional kebanyakan memutarkan berita gosip dan siaran yang bernuansa glamor dan hedonistik. Program film dan drama penuh kebohongan, khayal, mimpi, seks, mistik dan kekerasan. Walaupun ada juga program dan siaran yang baik, tetapi belum banyak yang sesuai dengan nilai-nilai kehidupan masyarakat Aceh. Keadaan demikian amat membimbangkan akan kerusakan generasi Aceh. Maka sebab itu sehingga pemerintah Aceh merasa perlu untuk mengatur siaran dari lembaga penyiaran yang bersiaran di Aceh. Dalam wawancara dengan Muhammad Hamzah (2015), mengatakan bahwa siaran televisi swasta nasional Jakarta yang bersiaran di Aceh terkadang siarannya jauh daripada nilai-nilai masyarakat Aceh yang Islami. Apabila qanun tentang penyiaran Aceh lahir, semua siaran yang masuk ke daerah Aceh akan dipilih yang sesuai dengan konteks masyarakat daerah ini. Kalau ada siaran yang tidak sesuai akan ditutup kemudian diganti dengan siaran lain. Kemudian hal ketiga yang menyebabkan Islam menjadi landasan pembentukan penyiaran di Aceh adalah ada perubahan dalam sistem penyiaran nasional dari sistem terpusat kepada sistem penyiaran lokal atau berjaringan. Perubahan itu telah memberi kekuasaan kepada pemerintah daerah di Indonesia untuk mengatur siaran-siaran yang sesuai dengan konteks daerahnya. Maka 10 International Conference of Communication, Industry, and Community. Bali, 3-4 Maret 2016 ISBN: 978-602-74139-1-7 dengan adanya sistem siaran berjaringan itu telah memberikan peluang kepada pemerintah Aceh untuk mengatur lembaga penyiaran yang bersiaran di daerah Aceh agar disesuaikan dengan budaya, nilai dan cara pandang masyarakat Aceh. Persoalan tersebut telah membuat pemerintah Aceh bersama KPI Aceh untuk merancang pengaturan penyiaran berlandaskan Islam. Tantangan Sebenarnya gagasan untuk pembentukan qanun penyiaran di Aceh sudah dimulai sejak tahun 2008, tetapi hingga sekarang draf itu qanun itu belum pernah dibahas oleh pihak Dewan Perwakilan Rakyat Aceh (DPRA). Sejak proses penyiapan draf rancangan qanun penyiaran telah dilakukan oleh Komisi Penyiaran Indonesia Aceh (KPIA), ada beberapa kritik dari sebagian masyarakat Aceh terkait dengan kepentingan qanun tersebut. Barangkali ini bisa dikatakan sebagai tantangan dalam proses melakukan kewujudan qanun tersebut di Aceh. Walaupun pihak KPI Aceh pada tanggal 29 Januari 2010 telah menyerahkan draf rancangan qanun tersebut kepada pihak eksekutif yaitu Dinas Perhubungan Komunikasi, Informasi dan Telematika, namun hingga sekarang qanun itu belum juga terwujud. Ketika proses pembahasan draf qanun ini terjadi pertentangan dari pelaku media terutama mereka yang bernaung dalam Aliansi Jurnalis Independen (AJI). Ketika pemerintah Aceh bersama KPI Aceh pada tahun 2008 merancang draf qanun penyiaran Islami di Aceh pihak AJI melakukan penolakan. Melalui hasil rekomendasi pada 25 Januari 2009, AJI mengambil sikap untuk menolak pembentukan dan kehadiran qanun tersebut di Aceh. Kemudian pada acara diskusi yang bertema “Mengkaji Gagasan Qanun Tentang Pers dan Penyiaran Islami” yang berlangsung di Hall Madina I Hotel Hermes Palace, Banda Aceh pada 3 Februari 2008, pihak AJI mengatakan bahwa Undang-Undang No. 40 tahun 1999 tentang Pers, Undang-Undang No. 32 tahun 2002 tentang Penyiaran dan sejumlah peraturan lainnya seperti Undang-Undang No. 44 tahun 2008 tentang Pornografi, Kode Etik Jurnalistik, Peraturan KPI tentang Pedoman Perilaku Penyiaran dan Standar Program Siaran sudah amat membantu untuk melakukan pengawasan terhadap siaran media penyiaran di Aceh, sehingga tidak perlu lagi qanun penyiaran yang akan bertentangan dengan peraturan yang lebih tinggi. Menurut mereka yang berada dalam organisasi AJI bahwa dari sejumlah pengaturan yang telah disebutkan itu telah dinyatakan bahwa pers harus jujur dalam pemberitaan, harus berbicara sesuai dengan fakta dan tidak menonjolkan hal-hal yang bersifat seks. Mereka yang tergabung dalam AJI sangat bimbang kalau qanun penyiaran Islami akan menjadi penghalang terhadap kebebasan pers dan menghambat penyampaian informasi kepada masyarakat umum dengan sejumlah aturan yang mengatur di Aceh. Ketua Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) Aceh, Said Firdaus (2015), ketika diwawancara mengatakan bahwa untuk memudahkan pelaksanaan syariat Islam di Aceh, maka pemerintah Aceh perlu membuat peraturan mengenai media penyiaran yang bersiaran di daerah ini. Meskipun demikian, KPI pusat telah menerapkan peraturan penyiaran secara nasional. Program-program televisi yang 11 International Conference of Communication, Industry, and Community. Bali, 3-4 Maret 2016 ISBN: 978-602-74139-1-7 berbau pornografi juga dilarang dalam aturan itu. Namun menurutnya, terdapat perbedaan pemahaman dan konteks tentang makna program televisi yang berbau pornografi. Maka itu yang perlu ditegaskan lagi dalam qanun penyiaran di Aceh. KPI memiliki peraturan secara nasional. Mungkin peraturan itu belum terlalu menjurus terhadap Aceh. AJI juga menentang mengenai bidang pers diatur oleh Komisi Penyiaran Indonesia (KPI). Padahal KPI hanya mempunyai tugas mengurus bidang penyiaran. Sementara pers mempunyai organisasi tersendiri, kode etik sendiri dan mempunyai undang-undang sendiri. Tapi menurut Said Firdaus (2015), apabila berbicara isi siaran, apapun itu apabila sudah dimasukkan dalam media penyiaran maka itu sudah ada kewenangan KPI untuk ikut campur tangan. Tantangan mengenai qanun penyiaran Islami juga muncul dari mereka yang bernaung dalam Masyarakat Komunikasi dan Informasi (MAKSI). Pada acara diskusi dengan tema “Rencana Pemberlakuan Qanun Penyiaran Aceh: Masalah dan Ancaman?” yang diselenggarakan pada 26 Mei 2010 di Diamond 3 Room, Hotel Nikko di Jakarta. Pada acara diskusi itu, MAKSI menilai draf qanun penyiaran yang telah dihasilkan KPI Aceh tersebut mempunyai sejumlah pasal yang dapat menghambat masyarakat untuk mendapatkan informasi melalui media penyiaran. Qanun itu memberi kesan seolah-olah lembaga penyiaran di Aceh hanya untuk kepentingan umat Islam saja. Hal ini dianggap amat bertentangan dengan prinsip-prinsip demokrasi dan Negara Kesatuan Republik Indonesia yang menghargai perbedaan agama. MAKSI menilai draft qanun penyiaran di Aceh yang disusun oleh KPI Aceh bermaksud untuk mengatur lembaga penyiaran di Aceh agar dapat menghormati pelaksanaan syariat Islam yang berlaku di daerah ini. Namun apabila ditelusuri dari maksud peraturannya, rancangan qanun tersebut hanya mengandung ketentuan-ketentuan yang menjadikan penyiaran ditujukan untuk kepentingan umat Islam saja seperti yang disebutkan dalam pasal 5, antara lain ialah lembaga penyiaran wajib menyiarkan azan shalat lima waktu, tanda waktu berbuka puasa dan imsak pada bulan Ramadhan, siaran langsung shalat Jumat, pengajian Alqur’an atau dakwah Islam menjelang sampai waktu shalat magrib, pengajian Alqur’an pada waktu mau mengudara dan tutup siaran, menghentikan siaran dari Jakarta semasa azan tiba, mengawal siaran yang tidak sesuai dengan nilai-nilai Islam, menyiarkan syariat Islam dan peringatan hari-hari besar Islam. Kemudian pada pasal 6 ayat (1) dalam draf rancangan qanun tersebut, melarang siaran langsung program penggalangan dana, pendidikan, dokumentari, film, drama, feature (berita investigasi), lagu, musik, iklan, pelayanan kesehatan, kuis, selain untuk kepentingan Islam. Sementara pada ayat (2), melarang siaran interaktif ketika waktu shalat tarawih berlangsung. Program yang menjurus dakwah agama selain agama Islam juga dilarang. Perayaan hari valentine atau hari yang sejenis dengannya yang tidak sesuai dengan nilai Islam, budaya dan masyarakat Aceh juga dilarang disiarkan di Aceh. KPI Aceh juga melarang siaran yang menyiarkan rekaan ulang perbuatan kriminal, mesum, khalwat dan pelecehan seksual. Siaran iklan selain produk berlogo halal dan pakaian yang bertentangan dengan syariat Islam juga dilarang dalam rancangan qanun ini. 12 International Conference of Communication, Industry, and Community. Bali, 3-4 Maret 2016 ISBN: 978-602-74139-1-7 Menurut pasal 7 ayat (2), penyiar, presenter, reporter dan semua yang terlibat dalam program acara siaran berkewajiban memakai pakaian yang sopan atau pakaian Islami serta melestarikan pakaian adat Aceh. Berdasarkan pasal 12 draf qanun ini akan dibentuk Lembaga Sensor Daerah. Maka setiap film, drama, iklan, program komedi, musik, klip video, feature, dan dokumentari wajib mendapatkan tanda kelulusan dari Lembaga Sensor Daerah. Selain itu, pada pasal 13 disebutkan bahwa setiap program siaran harus mendapat rekomendasi kelayakan yang dibuat oleh KPI Aceh atas pertimbangan dari Majelis Permusyawaratan Ulama (MPU) Aceh dan Majelis Adat Aceh (MAA). Draf qanun ini juga memberi peluang untuk memenjarakan produk pers khususnya produk pers media penyiaran dengan sejumlah pasal-pasal yang ada di dalamnya. Apabila ada pihak media penyiaran yang tidak mematuhi dengan maksud qanun tersebut selain dikenakan denda administrasi sebagaimana disebutkan pada pasal 24 ayat (1) dan (2). Kemudian dikenakan juga denda penjara yaitu minimal 3 bulan paling banyak 1 tahun dan dikenakan denda minimum Rp 25 juta atau maksimum Rp 50 juta sebagaimana disebutkan juga pada pasal 25 dalam Draf Rancangan Qanun Program dan Isi Siaran Lembaga Penyiaran di Aceh. Pasal 24 ayat (1) dan (2) tersebut, yaitu: (1) Setiap lembaga penyiaran yang melanggar ketentuan Qanun Program dan Isi Siaran Lembaga Penyiaran di Aceh sebagaimana dimaksudkan dalam pasal 5 ayat (1, 2, 3, 4), pasal 6 ayat (1, 2, 3, 4, 8), pasal 7 ayat (1, 2), pasal 9 ayat (1, 2), pasal 10 ayat (1, 2, 3), pasal 11 ayat (1, 2, 3), pasal 12 ayat (1, 2), pasal 14 ayat (3), pasal 15 ayat (5), pasal 16 ayat (1, 2, 3), pasal 21 ayat (2), pasal 22 ayat (1, 5) akan dikenakan sanksi administrasi. (2) Sanksi administrasi sebagaimana dimaksudkan pada ayat (1) dapat berupa: a. Teguran tertulis oleh KPI Aceh; b. Penghentian sementara mata acara yang bermasalah; c. Penghentian mata acara tersebut oleh KPI Aceh; d. Pencabutan dan/atau pembatalan rekomendasi kelayakan dari KPI Aceh; e. Tidak diberikan rekomendasi kelayakan perpanjangan izin penyelenggaraan penyiaran (IPP) oleh KPI Aceh; f. KPI Aceh dan pemerintah Aceh mengusulkan kepada KPI pusat dan Menteri Komunikasi dan Informasi untuk membatalkan dan/atau mencabut izin penyelenggaraan penyiaran. Pasal 25 tersebut, yaitu: Setiap lembaga penyiaran yang melanggar ketentuan Qanun Program dan Isi Siaran Lembaga Penyiaran di Aceh sebagaimana yang dimaksudkan dalam pasal 6 ayat (5, 6, 7), pasal 8 ayat (1, 2, 3, 4, 5), pasal 14 (4, 6), pasal 15 (1, 2, 3, 4) diancam dengan hukuman berupa kurungan paling lama 1 (satu) tahun, paling singkat 3 (tiga) bulan dan/atau denda paling banyak Rp. 13 International Conference of Communication, Industry, and Community. Bali, 3-4 Maret 2016 ISBN: 978-602-74139-1-7 50.000.000,- (lima puluh juta rupiah), paling sedikit Rp. 25.000.000,- (dua puluh lima juta rupiah). Maka itu MAKSI, AJI dan beberapa kalangan pelaku media ketika acara Diskusi Publik yang dilaksanakan oleh KPI Aceh pada tanggal 6 hingga 7 Oktober 2015 di Aula Balai Monitoring Aceh, masih terdengar suara penolakan terhadap draf rancangan qanun penyiaran tersebut. Kalangan pelaku media tersebut memintakan kepada pihak eksekutif, legislatif dan KPI Aceh untuk membuat pengkajian ulang mengenai draf rancangan qanun berkenaan. Kemudian memintakan juga dalam melakukan pembahasan mengenai qanun ini supaya melibatkan masyarakat secara luas agar isinya sesuai dengan keinginan masyarakat Aceh secara keseluruhan, sekaligus tidak bertentangan dengan demokrasi penyiaran yaitu Undang-Undang Pers tahun 1999, Undang-Undang Penyiaran 2002, Pedoman Perilaku Penyiaran dan Standar Program Siaran (S3SPS) yang dibuat oleh KPI pusat yang berlaku secara nasional. Simpulan Sebagian besar masyarakat mengatakan bahwa siaran lembaga penyiaran di Aceh terutama lembaga penyiaran televisi isi siarannya tidak sesuai dengan nilai-nilai masyarakat Aceh yang sedang menjalankan syariat Islam. Mereka mengharapkan agar memerlukan turun tangan pemerintah Aceh supaya bisa melakukan regulasi terkait dengan pengaturan isi siaran terhadap lembagalembaga penyiaran di Aceh. Mereka sangat menaruh kebimbangan dengan masa depan anak-anaknya kalau terus menerus menonton siaran-siaran yang tidak memberikan manfaat terhadap moral dan pendidikan anak-anaknya. Lokalisasi sistem penyiaran di Aceh dari maksud yang disebutkan dalam pasal 153 Undang-Undang Pemerintah Aceh dapat disimpulkan bahwa penyiaran di Aceh tidak terlepas dari sistem penyiaran yang berlaku dalam negara Indonesia. Pemberian otonomi bidang penyiaran terhadap Aceh melalui UndangUndang Pemerintahan Aceh ada kaitan pula dengan sistem penyiaran yang berlaku dalam negara ini. Undang-Undang No. 32 tahun 2002 yang mengatur bidang penyiaran di negara Indonesia lahir lebih awal dari Undang-Undang Pemerintahan Aceh yang lahir pada tahun 2006. Di mana dalam undang-undang penyiaran tersebut sudah memberi peluang kepada daerah untuk membentuk sistem penyiaran tersendiri yang sesuai dengan konteks daerahnya. Namun ketika daerah Aceh mendapatkan keistimewaan untuk melaksanakan syariat Islam, maka Peraturan KPI mengenai Pedoman Perilaku Penyiaran dan Standar Program Siaran belum cukup mampu untuk mengatur program dan isi siaran lembaga penyiaran yang bersiaran di Aceh, sehingga Aceh memerlukan peraturan di peringkat daerahnya sendiri. Walaupun peraturan KPI tersebut berlaku secara nasional, tapi tidak secara khusus mengatur program dan isi siaran lembaga penyiaran yang bersiaran di Aceh, sehingga dengan demikian masih banyak siaran di lembaga penyiaran swasta nasional yang tidak sesuai dengan konteks masyarakat Aceh yang sedang melaksanakan syariat Islam. 14 International Conference of Communication, Industry, and Community. Bali, 3-4 Maret 2016 ISBN: 978-602-74139-1-7 Daftar Pustaka Ade Armando. 2011. Televisi Jakarta di Atas Indonesia: Kisah Kegagalan Sistem Televisi Berjaringan di Indonesia. Yogyakarta: Bentang. Agus Sudibyo. 2009. Kebebasan Semu: Penjajahan Baru di Jagat Media. Jakarta: PT Kompas Media Nusantara. Al-Faqih. 2007. TV Jakarta, Bersiaplah Berjaringan. http://seputar-penyiaran. blogspot.com/2006/10/10/kpi-menegur-industri-berlalu.html. Diakses: 28 Februari 2014. Asiah Sarji. 1996. Pengaruh Persekitaran Politik dan Sosio Budaya Terhadap Pembangunan Radio Malaya di Antara Tahun 1920-1959. Desertasi. Bangi: Universiti Kebangsaan Malaysia. Ayish, M. 2010. Arab State Broadcasting System in Transition: the Promise of the Public Service Broadcating Model. Middle East Journal of Culture Communication. Vol. 3(2): 9-25. Boyd, D. 1999. Broadcasting in the Arab World. Ames: Iowa State University Press. Fuziah Kartini Hassan Basri. 2009. Televisyen dan Islam Hadhari: Potensi dan Kekangan. Dalam Mohd. Safar Hasim dan Zulkiple Abd. Ghani (penyunting). Komunikasi di Malaysia: Suatu Penelitian Awal, Pendekatan Islam Hadhari. Bangi: Institut Islam Hadhari, Universiti Kebangsaan Malaysia. Haris Herdiansyah. 2010. Metodologi Penelitian Kualitatif Untuk Ilmu-Ilmu Sosial. Jakarta: Salemba Humanika. Head, S., W. 1976. Broadcasting in America: a Survey of Television and Radio. Boston: Houghton Miffin Company. Head, S., W. 1974. Broadcasting in Africa: a Continental Survey of Radio and Television. Philadelphia: Temple University Press. Henry Subiakto. 2011. Kontestasi Wacana Civil Society, Negara dan Industri Penyiaran Dalam Demokratisasi Sistem Penyiaran Pasca Orde Baru. Jurnal Masyarakat, Kebudayaan dan Politik. Vol. 24(1): 24-34. Hermin Indah Wahyuni. 2000. Televisi dan Intervensi Negara: Konteks Politik Kebijakan Publik Industri Penyiaran Televisi pada Era Orde Baru. Yogyakarta: Media Pressindo. Hinca Pandjaitan. 2008. Pemusatan Kepentingan Stasiun Televisi. http://makasar-updating.blogspot.com/2008/03/uu-penyiaran-dan-pemusatankepemilikan. html. Diakses: 28 Februari 2014. Husni Jalil. 2005. Kedudukan qanun dalam peraturan perundang-undangan negara Indonesia. http://www.acehrecoveryforum.org/id/download/arf_artikel_husnijalil_kedudukan-qanun.pdf [8 Agustus 2010]. Iswandi Syahputra. 2013. Rezim Media: Pergulatan Demokrasi, Jurnalisme, dan Infotainment dalam Industri Televisi. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama. 15 International Conference of Communication, Industry, and Community. Bali, 3-4 Maret 2016 ISBN: 978-602-74139-1-7 Johari Achee. 2000. Berita Televisyen dan Pembangunan Negara: Kajian Kes Radio Televisyen Brunei. Bandar Seri Begawan: Dewan Bahasa dan Pustaka Brunei. Karimov, A. 1998. Radio and TV Broadcasting in Uzbekistan During the Years of Independence. Dalam Mohd. Safar Hasim, Samsuddin A. Rahim dan Bobir Tukhtabayev (penyunting). Mass Media and National Development: Experiences of Malaysia and Uzbekistan. Kuala Lumpur: International Center for Media Studies. Karthigesu, R. 1994. Sejarah Perkembangan Televisyen di Malaysia (19631983). Kuala Lumpur: Dewan Bahasa dan Pustaka. Khiabany, G. 2010. The Politics Broadcasting: Continuity and Change, Exspansion and Control. Dalam Gholam Kiabany. Iranian Media: The Paradox of Modernity. New York: Routledge. McDaniel. 1994. Broadcasting in the Malay World: Radio, Television, and Video in Brunei, Indonesia, Malaysia and Singapore. New Jersey: Ablex Publishing Company. Pawito. 2007. Penelitian Komunikasi Kualitatif. Yogyakarta: LKis. Rachmat Kriyantono. 2006. Teknik Praktis Riset Komunikasi: Disertai Contoh Praktis Riset Media, Public Relations. Advertising, Komunikasi Organisasi, Komunikasi Pemasaran. Jakarta: Prenada Media Group. Undang-Undang Republik Indonesia No. 24 tahun 1997 tentang Penyiaran. Undang-Undang Republik Indonesia No. 32 tahun 2002 tentang Penyiaran. Undang-Undang Republik Indonesia No. 11 tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh. Biografi Penulis Dr. Hamdani M. Syam, MA, lahir di Mns. Awe (Aceh Utara), 16 Agustus 1978. Dosen program studi Ilmu Komunikasi di Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIP) Universitas Syiah Kuala. Menamatkan program Doktor pada Program Ilmu Komunikasi di Fakultas Ilmu Sosial dan Kemanusiaan Universitas Kebangsaan Malaysia (UKM). Beberapa tulisan yang telah dipublikasi dengan judul: Persepsi Masyarakat Kota Banda Aceh Terhadap Komunitas Punk Di Kota Banda Aceh; Penyiaran Dalam Pembangunan Negara: Antara Kebebasan dan Regulasi; Globalisasi Media dan Penyerapan Budaya Asing, Analisis pada Pengaruh Budaya Populer Korea Di Kalangan Remaja Kota Banda Aceh. Aktif di beberapa organisasi seperti ISKI, Asosiasi Pendidikan Tinggi Ilmu Komunikasi (ASPIKOM) dan Himpunan Indonesia untuk Pengembangan Ilmu-Ilmu Sosial (HIPIIS). Khairulyadi, MHSc lahir di Paloh Aceh Pidie pada tanggal 30 Mei 1977. Dosen program studi Sosiologi di Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Syiah Kuala. Menamatkan program Sarjana (S1) pada Universitas Islam Negeri (UIN) Ar-Raniry pada tahun 2000 dalam bidang Perbandingan Hukum. Kemudian pada tahun 2008 menamatkan program Masters (S2) pada International Islamic University of Malaysia dalam bidang Sosiologi dengan tesis 16 International Conference of Communication, Industry, and Community. Bali, 3-4 Maret 2016 ISBN: 978-602-74139-1-7 berjudul Assimilation and Ethnic Identity of Malays of Acehnese Origin In Malaysia. Beberapa tulisan yang telah dipublikasikan dengan judul yaitu Media dan Perubahan Sosial; Motivasi Pendatang Etnik Jawa ke Banda Aceh Pasca Tsunami: Studi Komunikasi Antarbudaya Para Pekerja Informal Kelas Menengah ke Bawah. Bukhari, MHSc lahir di Pidie pada tanggal 24 Mei 1975. Dosen program studi Sosiologi pada Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Syiah Kuala. Menamatkan program Sarjana (S1) pada Universitas Syiah Kuala dalam bidang Ekonomi Manajemen pada tahun 1999. Kemudian menamatkan program Masters (S2) pada tahun 2007 dalam bidang Sosiologi di International Islamic University of Malaysia dengan tesis berjudul Occupational Mobility Among Indonesian Immigrans in Malaysia: With Special Referent to Acehnese Immigrants. Artikel yang telah dipublikasikan berjudul adalah Modal Sosial Solusi Pertumbuhan Ekonomi Masyarakat. 17 International Conference of Communication, Industry, and Community. Bali, 3-4 Maret 2016 ISBN: 978-602-74139-1-7 LISENSI SEBAGAI ALTERNATIF STRATEGI BISNIS MEDIA CETAK OLAHRAGA DI INDONESIA Narayana Mahendra Prastya Program Studi Ilmu Komunikasi, Fakultas Psikologi dan Ilmu Sosial Budaya, Universitas Islam Indonesia Yogyakarta [email protected] Abstract Sports print media business in Indonesia decline in recent years. In the last two years, a number of sports print media ended their publication. In general, print media at the national level is decline. But at the local level, the print media business still has good prospects. In the narrower context, public interest to local sports news quite high. This is an opportunity for sport print media business development. This paper discuss the business strategies that may be applied by the national sport print media in order to reach local market. The data in this study using literature sources related to sports media and media management. The authors give recommendations that licensing strategies can be an alternative print media sports business strategy in Indonesia. In this strategies, national sport print media become licensor for local media. Licensing strategies have excess financial savings and do not require strict supervision. National sport print media does not need to spend much money to cover the issue of local issues. Instead the local media that are partners obtain news national news on a regular basis. The challenge is the difference in the quality of its resources and potential conflicts of distribution of profits that may arise. Keywords: media business, media management, print media, sports media Abstrak Bisnis media cetak olahraga di Indonesia menunjukkan kelesuan. Dalam dua tahun terakhir, tercatat sejumlah media cetak olahraga berhenti terbit, termasuk yang merupakan media yang memiliki pengalaman. Padahal sebelumnya media cetak olahraga sempat bermunculan. Media cetak olahraga tersebut memiliki cakupan nasional. Secara umum media cetak di tingkat nasional memang tengah mengalami penurunan. Namun di tingkat lokal, bisnis media cetak masih punya prospek bagus. Dalam konteks yang lebih sempit yakni olahraga, minat masyarakat untuk berita olahraga lokal cukup tinggi. Hal ini merupakan peluang bagi pengembangan bisnis media cetak olahraga.Tulisan ini membahas tentang strategi bisnis yang dapat dilakukan oleh media cetak olahraga dalam rangka mearih pasar lokal. Data dalam penelitian ini menggunakan sumber sumber kepustakaan yang berkaitan dengan media olahraga dan manajemen media. Selanjutnya penulis memberikan rekomendasi bahwa strategi lisensi dapat menjadi alternatif strategi bisnis media cetak olahraga di Indonesia. Media cetak olahraga nasional menjadi lisensor/pemberi lisensi, berpartner dengan media lokal. Lisensi memiliki kelebihan lebih menghemat biaya dan tidak memerlukan pengawasan yang ketat. Media cetak olahraga nasional tidak perlu mengeluarkan 18 International Conference of Communication, Industry, and Community. Bali, 3-4 Maret 2016 ISBN: 978-602-74139-1-7 biaya untuk meliput isu isu lokal. Sebaliknya media lokal yang menjadi partner memperoleh berita berita nasional secara rutin. Tantangannya adalah perbedaan kualitas sumber daya yang dimiliki serta adanya potensi konflik tentang pembagian keuntungan yang mungkin muncul. Kata kunci: bisnis media, manajemen media, media cetak, media olahraga Pendahuluan Masyarakat Indonesia sangat menyukai olahraga. Sepakbola, bulutangkis, olahraga otomotif (MotoGP atau balap mobil), basket, merupakan cabang olahraga yang cukup digemari. Dengan situasi tersebut, maka asumsinya bisnis hal hal seputar olahraga memiliki prospek yang bagus, karena sudah pasti banyak konsumennya. Kegemaran akan olahraga bakal meningkatkan kebutuhan informasi mengenai olahraga. Kebutuhan informasi merupakan lahan bisnis bagi media. Bagi media, konten olahraga merupakan salah satu tema yang menjajikan pembaca dalam jumlah yang besar. Itu berarti, bisnis media olahraga cukup menjanjikan, karena dalam beberapa tahun terakhir, bermunculan media media olahraga dalam berbagai platform. Dalam platform media cetak misalkan, harian olahraga mulai menggeliat dengan kehadiran harian BOLA dan Tribun Super Ball dalam kurun waktu 2013 dan 2014. Sebelumnya TopSkor, terbit perdana tahun 2005, “sendirian” di pasar harian olahraga. Dalam platform online, bermunculan media yang mengkhususkan diri untuk berita olahraga, seperti msports.net, sportsatu.com, juara.net dan bola.com. Media asing pun ikut meramaikan kompetisi media online olahraga di Indonesia. Contohnya Goal Indonesia, yang merupakan salah satu edisi dari situs induk Goal. Pengelola Goal adalah Perform Group, perusahaan multimedia sports content berbasis internet dan platform digital asal Inggris. Goal telah berkembang dengan cakupan lebih dari 200 negara dan memiliki 36 edisi dalam 17 bahasa termasuk Indonesia (Mariatna, 2014: 3). Namun kenyataannya bisnis media olahraga tidak semulus yang diperkirakan. Dalam dua tahun terakhir yakni 2014 dan 2015, setidaknya ada dua media cetak olahraga di Indonesia berhenti terbit, yakni tabloid Soccer dan harian olahraga Bola. Sebagai tambahan informasi, tutupnya tabloid Soccer juga diikuti dengan penghentian operasional dari website www.duniasoccer.com, website berita sepakbola yang juga dikelola oleh redaksi tabloid Soccer. Untuk harian Bola, harian tersebut berusia tidak sampai tiga tahun dari sejak edisi perdana diluncurkan. Di dunia pertelevisian misalkan, tayangan Sport7 pagi di stasiun televisi Trans7 sudah tak lagi mengudara sejak Oktober 2014. Penyebab Soccer dan Sport7 berhenti, karena secara bisnis dipandang sudah tidak menguntungkan lagi (Hasbi, 2014). Dengan kondisi ini, lalu bagaimana sebaiknya strategi bisnis bagi media cetak olahraga di Indonesia? Mengapa media cetak? Karena secara umum media cetak tengah berada dalam fase penurunan akibat perkembangan teknologi yang 19 International Conference of Communication, Industry, and Community. Bali, 3-4 Maret 2016 ISBN: 978-602-74139-1-7 memunculkan pesaing berupa alternatif media-media baru yang lebih diminati karena lebih mudah dan murah. Namun di sisi lain, media cetak dipandang masih memiliki peluang untuk menggarap pasar pembaca yang belum terkena penetrasi internet. Data dalam penelitian ini menggunakan studi pustaka yang berasal dari media-media olahraga serta literatur mengenai manajemen media. Dari studi kepustakaan kemudian penulis mencoba memberikan masukan mengenai strategi bisnis apa yang dapat digunakan bagi media cetak olahraga di Indonesia. Dari hasil pembahasan tersebut, penulis menyimpulkan sebuah gagasan bahwa strategi lisensi dapat menjadi salah satu alternatif bagi bisnis media cetak olahraga di Indonesia. Lisensi memiliki kelebihan lebih menghemat biaya dan tidak memerlukan pengawasan yang ketat. Media cetak olahraga nasional tidak perlu mengeluarkan biaya untuk meliput isu isu lokal. Sebaliknya media lokal yang menjadi partner memperoleh berita berita nasional secara rutin. Tantangannya adalah perbedaan kualitas sumber daya yang dimiliki serta adanya potensi konflik tentang pembagian keuntungan yang mungkin muncul. Tinjauan Pustaka Perkembangan Bisnis Media Cetak Olahraga di Indonesia Semenjak reformasi tahun 1998, ratusan surat kabar baru muncul. Jika pada tahun 1997 tercatat 167 surat kabar, pada tahun 2008 jumlah ini berkembang pesat menjadi 515 surat kabar. Atau dengan kata lain, terjadi kenaikan sebesar 208% dari segi jumlah pemain pasar. Namun, lain lagi jika bicara mengenai audience share atau dalam terminologi media cetak disebut readership. Meskipun jumlah pemain pasar atau produsen naik signifikan, jumlah konsumen atau pembaca surat kabar dari tahun 1998 ke 2008 justru mengalami penurunan 2,6% sebanyak 300 ribu orang. Industri yang berada pada fase decline adalah industri surat kabar. Penurunan performa surat kabar dipengaruhi oleh faktor perkembangan teknologi yang memunculkan pesaing berupa alternatif media-media baru yang lebih diminati karena lebih mudah dan murah (Nastiti, 2011: 25) Kehadiran internet dianggap merupakan salah satu penyebab media cetak surat kabar menjadi tersisih. Namun, perlu diingat bahwa penetrasi internet belum menjangkau mayoritas penduduk di Indonesia. Penetrasi Internet di Indonesia pada Agustus 2013 yang masih berkisar antara 40 juta - 85 juta pengguna (penetrasi Internet di Indonesia sebesar 16,7 - 35,4 persen); sedangkan jumlah oplah/tiras seluruh media cetak di Indonesia mencapai 21 juta eksemplar (artinya tingkat penetrasi media cetak di Indonesia baru mencapai 8,75 persen); sedangkan komposisi penduduk Indonesia yang berjumlah sekitar 240 juta jiwa; masih terbuka peluang bisnis untuk mengembangkan industri media cetak di Indonesia (Supadiyanto, 2013: 691). Harus diakui, faktanya berita olahraga merupakan “menu wajib” bagi setiap media. Berita olahraga dapat meningkatkan jumlah konsumen media, terlebih lagi ketika berlangsung event event tertentu seperti Piala Dunia, final 20 International Conference of Communication, Industry, and Community. Bali, 3-4 Maret 2016 ISBN: 978-602-74139-1-7 Liga Champions Eropa, balap MotoGP, SEA Games, atau event di mana Indonesia ikut serta di dalamnya. Contohnya Kompas merupakan harian dengan mengangkat pemberitaanpemberitaan umum— yang mencatat sejarah dengan mencapai tiras 500 ribu lembar, berkat pemberitaan Piala Dunia 1986. Tidak hanya pemberitaan, apabila Kompas membikin kuis mengenai Piala Dunia, bisa ada satu juta kartu pos pengirim jawaban yang masuk (Hasbi, 2014). Mundur sekitar 60 tahun ke belakang, surat kabar lokal Yogyakarta, Kedaulatan Rakyat pada tahun 1962 menerbitkan “Madjalah Sport” yang memiliki tagline “Madjalah Lembaran Berisikan Chusus Olah-Raga”. Majalah yang terbit setiap Selasa itu mematok biaya Rp8,5 per bulan bagi warga Yogyakarta dan sekitarnya yang ingin berlangganan. “Madjalah Sport” terbit karena jumlah halaman berita olahraga yang hanya satu halaman yang dimiliki oleh Kedaulatan Rakyat saat itu. Space tersebut dirasa kurang untuk menampung berita berita olahraga yang ada (Hasbi, 2014). Berita olahraga hadir di media cetak baik itu media cetak yang membahas semua berita (koran umum) dan media cetak yang membahas khusus mengenai olahraga. Di Indonesia, semua harian memiliki rubrik khusus olahraga sebanyak 2-4 halaman. Sementara media cetak yang membahas khusus mengenai olahraga, pada umumnya berformat tabloid atau majalah. Untuk format tabloid atau majala misalkan ada tabloid BOLA, majalah Main Basket, hingga beberapa produk asing berbahasa Indonesia seperti Four Four Two atau Inside United. Top Skor merupakan pionir dan salah satu harian khusus olahraga yang masih eksis hingga saat ini. Top Skor mencuri perhatian ketika berada di posisi 4 readership share surat kabar dengan jumlah 745 ribu pembaca di tahun 2007. Sebagai surat kabar baru (terbit perdana tahun 2005), Top Skor langsung mampu merebut pembaca sebesar 8%. Keberhasilan tersebut diasumsikan akibat genre yang diambilnya. Dengan genre koran olahraga, Top Skor mampu membidik target pasar yang spesifik, yaitu para penikmat olahraga (Nastiti, 2011:6). Kompetisi harian olahraga mulai menggeliat dengan kehadiran harian BOLA dan Tribun Super Ball dalam kurun waktu 2013 dan 2014. Harian BOLA merupakan produk baru dari tabloid olahraga BOLA, sementara Tribun Super Ball adalah produk baru dari harian umum Tribun. Sebelumnya Super Ball merupakan nama rubrik olahraga di harian Tribun. Mulai tahun 2014 Super Ball dijual terpisah, dan rubrik olahraga di harian umum Tribun berubah nama menjadi Super Sport. Harian BOLA dan Super Ball membuat Top Skor yang selama hampir sepuluh tahun menjadi pemain tunggal, menjadi memiliki pesaing. Fokus dari BOLA dan Top Skor adalah pembaca di kawasan Jabodetabek dan Jawa Barat, sementara Super Ball berusaha meraih pasar di berbagai kota di Indonesia dengan cara menyajikan berita sepakbola lokal (Anshari “& Prastya, 2014; Pramesti, 2014). “Kontestan” kompetisi harian olahraga di Indonesia berkurang satu usai pada 31 Oktober 2015 harian BOLA memutuskan untuk berhenti terbit. Dalam penjelasaannya, Harian BOLA menyebut “atas berbagai pertimbangan dan perhitungan, kami terpaksa menghentikan kelangsungan hidup Harian BOLA”, 21 International Conference of Communication, Industry, and Community. Bali, 3-4 Maret 2016 ISBN: 978-602-74139-1-7 sembari menjelaskan bahwa sebenarnya mereka sudah unggul dalam penguasan pasar dibanding “dua produk serupa” dan telah menjadi “market leader di harian olahraga nasional” (“Notasi Redaksi” harian BOLA edisi No.III/118, SabtuMinggu 31 Oktober-1 November 2015, hal.11. Edisi tersebut merupakan edisi terakhir harian BOLA). BOLA sendiri masih memiliki produk media cetak berupa tabloid yang terbit setiap hari Kamis. Selepas mengakhiri Harian BOLA, BOLA kembali menghidupkan BOLA edisi Sabtu mulai 7 November 2015 Pasar Lokal bagi Masa Depan Media Cetak Di era digital, surat kabar diperkirakan akan mati. Di Amerika Serikat, hal tersebut sudah mulai terjadi. Di Indonesia, mungkin terlalu dini untuk mengatakan itu. Tetapi kejadian di mana harian Bola berhenti terbit; atau dalam situasi yang menimpa harian umum misalkan saat harian Jurnal Nasional dan Jakarta Globe berhenti terbit, juga bisa dipahami sebagai pertanda bahwa surat kabar tengah menuju kematian. Namun nada optimistis tetaplah ada. Yang akan tutup memang surat kabar dengan cakupan nasional. Tetapi bagi surat kabar lokal, kondisinya justru sebaliknya. Bisa dikatakan, pasar lokal merupakan masa depan bagi surat kabar. Di Indonesia ada pergeseran model distribusi dari koran nasional ke koran regional. Di medio awal tahun 2000-an, koran regional naik dari 20 judul menjadi 138 judul. Koran nasional yang didistribusikan antarkota dan antarpropinsi bersaing dengan koran regional yang diterbitkan hanya dalam kota di lingkup propinsi (Adiprasetyo, 2007: 240-241) Data Serikat Penerbit Suratkabar SPS (tahun 2007-2008) menujukkan bahwa media cetak tetap menjadi fenomena kota-kota besar. Sebanyak 71% media cetak beredar di Jakarta, dan hanya 29% beredar di luar Jakarta (Siregar, 2010: 13-14). Sementara data dari Media Scene (tahun 2008) menunjukkan media lokal menguasai pasar di daerah masing masing. Sebagai contoh, banyak yang menilai bahwa Kompas merupakan koran terbesar di Indonesia. Namun faktanya, Kompas menjadi nomor satu hanya di Jakarta. Di wilayah lain, pembaca Kompas selalu kalah dari koran terbesar di daerah itu, misal di Bandung: Pikiran Rakyat, di Medan: Pos Metro, dan di Makassar: Fajar (Armando, 2011:14). Karena pertumbuhan media cetak dalam sepuluh tahun terakhir masih terpusat di kota besar, berarti kota kota kecil merupakan potensi pasar yang dapat dikembangkan bagi penerbitan media cetak. Menurut Rahayu (2010) isu lokal dipandang penting dalam kajian ekonomi dan manajemen media karena lokal merupakan lokasi di mana praktek konkrit media terjadi. Di level ini interaksi antara media dengan audiens berlangsung. Di Malaysia dan Singapura misalkan, institusi media lokal melakukan adaptasi format terhadap program asing agar lebih sesuai dengan konteks Asia dan selera lokal. Di wilayah lokal, produk media lokal mendominasi pasar dibandingkan dengan produk asing. Dominasi tersebut terutama adalah berita dan hiburan (hal. 49-51). Bagi media cetak nasional, menggarap konten lokal (Supadiyanto, 2013: 695) merupakan peluang bisnis. Secara umum potensi iklan lokal di daerah 22 International Conference of Communication, Industry, and Community. Bali, 3-4 Maret 2016 ISBN: 978-602-74139-1-7 cukup besar, yakni sekitar Rp 1-2 juta rupiah per hari (Wangkar, 2013: 122). Secara khusus mengenai media olahraga, sudah banyak sekali situs berita/media online berbahasa Indonesia yang mengangkat berita olahraga luar negeri. Bahkan untuk konteks sepakbola, sejumlah klub sepakbola dari Eropa seperti Juventus, Inter Milan, Arsenal, dan lain lain telah memiliki website resmi dan/atau media sosial resmi yang berbahasa Indonesia.. Namun begitu konten lokal ini belum digarap secara baik oleh harian olahraga di Indonesia. Harian harian olahraga di Indonesia lebih sering menjadikan sepakbola Eropa sebagai berita utama sekaligus konten berita yang paling dominan. Padahal tuntutan untuk berita olahraga lokal cukup tinggi. Faktor inilah yang akhirnya membuat media lokal menggunakannya untuk meraih sebuah keuntungan. Akhirnya media lokal banyak membuat rubrik olahraga menjadi rubrik dengan space banyak halaman disertai grafis serta warna-warna yang menarik. Peranan media lokal dinilai penting dalam memberikan informasi pada masyarakat termasuk dalam olahraga. Pengambilan isu-isu spesifik di tingkat lokal memberikan variasi sendiri dan sangat cocok untuk masyarakat yang memiliki kedekatan geografis serta emosional di daerah tersebut (Pramesti, 2014: 83-86). Hasil Temuan dan Diskusi Tantangan Menembus Pasar Lokal bagi Media Cetak Olahraga di Indonesia Animo masyarakat tentang berita olaharaga lokal, teruama sepakbola, sangat tinggi. Batasan lokal dalam konteks sepakbola adalah batas geografis. Keberadaan kompetisi berbasis kedaerahan melahirkan keterbentukan jejaring pengelola klub, ofisial, pemain, penonton, atas dasar simpul-simpul geografis (Junaedi, 2014: 10-13). Bagi masyarakat, berita tentang tim dari kota asal mereka, itu lebih penting daripada berita mengenai tim tim besar dari kota lain. Sekali pun tim tersebut tidak berlanga di kompetisi kasta tertinggi, tidak memiliki pemain bintang, dan minim atau bahkan tidak memiliki prestasi (Anshari & Prastya, 2014). Tidak mudah bagi media nasional untuk menembus pasar lokal. Bahkan kompetisi yang terjadi dengan media lokal pun bisa menjurus ke persaingan tidak sehat (Wangkar, 2013: 108). Harian BOLA mengklaim memiliki brand yang kuat. Brand Bola memang pemain lama di bisnis media cetak olahraga, karena sudah terbit sejak 1984 sebagai tabloid. Namun saat menyajikan produk baru berupa harian, mereka menghadapi tantangan yang besar (Anshari & Prastya, 2014). Selama terbit, harian BOLA sempat menerbitkan edisi khusus di Bandung, bernama harian BOLA edisi Bandung. Berita sepakbola lokal didominasi oleh berita khusus Persib Bandung. Bahkan cover dan headline adalah mengenai Persib Bandung. Namun saat hal tersebut belum sempat berlanjut ke kota lain, harian BOLA sudah berhenti terbit. 23 International Conference of Communication, Industry, and Community. Bali, 3-4 Maret 2016 ISBN: 978-602-74139-1-7 Dari segi penyajian harian BOLA juga berbeda dengan tabloid BOLA. Harian BOLA menyajiakan berita dengan format straight news, menggunakan kata kata yang ringkas, panjang berita lebih singkat, dan menampilkan lebih banyak foto, ilustrasi, tabel, serta infografis. Singkatnya, harian BOLA berformat view paper. Ini berbeda dengan tabloid BOLA yang lebih banyak menyajiakn berita berupa ulasan, berita yang disajikan juga lebih panjang daripada harian, dan menggunakan format penulisan news story. Tidak jarang wartawan tabloid BOLA juga memberikan interpretasinya terhadap fakta yang diberitakan. Yang menjadi tantangan bagi tabloid BOLA adalah SDM di bagian redaksi, di mana edisi tabloid dan edisi harian dikerjakan oleh orang yang sama. Yang membedakan hanyalah posisi-posisi personelnya, misalkan di harian menjabat sebagai Redaktur namun di tabloid menjabat sebagai reporter begitu pula sebaliknya. SDM di redaksi BOLA sendiri memiliki basic pola kerja sebagai tabloid. Meski sama-sama media cetak, namun pola kerja tabloid dan harian tentu saja berbeda, dan membutuhkan pendekatan yang berbeda. Kesulitan juga dialami oleh TopSkor. Status sebagai pionir harian olahraga di Indonesia, tidak membuat mereka bisa dengan mudah menembus pasar lokal. TopSkor sejauh ini baru bisa menembus pasar di kota Bandung dan sekitarnya. Sementara di kota lain, Yogyakarta misalkan, TopSkor dijual dengan harga promosi yakni Rp 2.500,00. Padahal, di header TopSkor tertulis, harga jual Rp 4.000,00 di luar kawasan Jabodetabek dan Bandung (Anshari & Prastya, 2014) Sebagian besar dari harian olahraga tersebut merupakan media nasional. Untuk menembus pasar lokal, mereka menghadapi tantangan besar karena sudah ada pemain lama, yakni media media lokal. Tentu saja logika penentuan kelayakan berita, atau nilai berita antara media nasional dan media lokal bakal berbeda. Sebagai contoh Jawa Pos, perusahaan media nasional yang memiliki jaringan kuat di daerah. Namun pembaca akan kesulitan menemukan berita sepakbola lokal di rubrik olahraga Jawa Pos. Rubrik sepakbola lokal pun kebanyakan akan dipenuhi berita berita tentang Persebaya Surabaya. Meski klub tersebut praktis tidak ada aktivitas karena masih bermasalah dengan dualisme kepemilikan pun, berita tentang Persebaya tak pernah absen, bahkan kadang menjadi headline di rubrik “Sportainment”, nama rubrik olahraga Jawa Pos. Itu berarti, pembaca Jawa Pos di kota selain Surabaya, “dipaksa” untuk membaca berita tentang Persebaya. Seperti dituliskan Wangkar (2013: 109), Jawa Pos memposisikan diri sebagai “koran nasional yang terbit dari Surabaya”. Hal ini menunjukkan bahwa Jawa Pos, meski mengklaim diri sebagai koran nasional, namun tidak dapat melupakan akar mereka yakni Surabaya. Di Jawa Pos, pemberitaan mengenai sepakbola lokal mereka hadirkan melalui halaman Radar. Itu pun hanya ketika kompetisi berjalan. Halaman Radar adalah halaman khusus memuat berita lokal di tempat di mana Jawa Pos terbit. Misalkan di Jawa Pos yang terbit di Yogyakarta dilengkapi dengan suplemen Radar Jogja, yang terbit di Solo dilengkapi suplemen Radar Solo, dan sebagainya. 24 International Conference of Communication, Industry, and Community. Bali, 3-4 Maret 2016 ISBN: 978-602-74139-1-7 Satu terobosan dilakukan oleh Tribun Super Ball, yakni dengan menghadirkan halaman khusus berita sepakbola lokal di mana Tribun Super Ball tersebut terbit (Pramesti, 2014: 79). Berita tersebut ditempatkan di halaman belakang. Jadi contohnya, halaman terakhir Tribun Super Ball yang terbit di kawasan D.I.Yogyakarta akan berisi berita mengenai PSS Sleman, PSIM Yogyakarta, dan/atau Persiba Bantul; halaman terakhir Tribun Super Ball yang terbit di kawasan Jawa Tengah akan menyajikan berita mengenai Persis Solo, PSIS Semarang, PPSM Magelang, dan/atau PSCS Cilacap; dan sebagainya. Keunggulan Lisensi bagi Pengembangan Bisnis Media Cetak Olahraga Nasional Dalam profil perusahaan TopSkor tertulis “...sedang mencari mitra usaha untuk mengembangkan pasarnya baik dukungan iklan dan distribusi”. Point menarik kalimat tersebut yakni “mencari mitra usaha untuk mengembangkan pasar” (http://topskor.co.id//halaman/hal/tentang-kami, diakses 13 November 2015). Bagi harian olahraga nasional, merebut pasar lokal tentu tidak bisa sendirian. Sendirian artinya membangun kantor biro perwakilan di kota lain, kemudian mengupayakan Sumber Daya Manusia (SDM) untuk mengelola kantor biro perwakilan tersebut, mencari iklan sendiri, melakukan riset pasar secara rutin, dan lain-lain. Aktivitas aktivitas tersebut tentu saja menuntut biaya, tenaga, dan waktu yang tinggi. Hal tersebut tentu secara bisnis kurang menguntungkan. Ketika media nasional memutuskan untuk mengelola media lokal sendiri, maka tantangan yang dihadapi adalah efisiensi pengelolaan. Salah satu konsekuensinya adalah standar gaji karyawan sangat rendah, lebih rendah dari kualifikasi karyawan itu sendiri. Perlu menunggu hingga keuntungan akhir tahun untuk memperoleh gaji yang minimal sesuai kebutuhan. Bagi perusahaan, butuh waktu setidaknya lima tahun untuk meraih laba (Wangkar, 2013: 112, 122-123). Itu sebabnya media nasional membutuhkan mitra, yang dapat memudahkan kerja dari harian olahraga nasional dari segi SDM, distribusi, iklan, dan perluasan pasar. Namun kerjasama dengan mitra juga bukan hal yang mudah. Kerjasama antara Kompas dengan Sriwijaya Post misalkan, diwarnai problem tentang manajemen SDM dan pengelolaan keuangan. Dalam hal manajemen SDM, kerjasama itu membuat posisi-posisi penting diisi orang-orang dari Kompas Gramedia. Dalam pengelolaan keuangan, pihak Kompas Gramedia berkehendak untuk menangani hal tersebut karena mereka adalah pemegang saham mayoritas. Kondisi ini membuat pemegang saham lain merasa dirugikan. Di internal, karyawan pun terpecah. Singkatnya, permasalahan itu berujung pada konflik (Wijaya, 2013: 170-175). Bagaimana sistem kemitraan yang efisien? Pemberian lisensi bisa menjadi salah satu alternatif bagi media cetak nasional yang hendak memperluas pasar ke berbagai kota di Indonesia. Lisensi adalah salah satu bentuk dari sistem dari waralaba. Yang membedakan adalah dalam lisensi, pewaralaba (franchisee) tetap bisa beroperasi dengan namanya sendiri, dan nama pengwaralaba tetap bisa tampil (Khumarga, 2002: 19). Dalam sistem waralaba, pengwaralaba (franchisor) 25 International Conference of Communication, Industry, and Community. Bali, 3-4 Maret 2016 ISBN: 978-602-74139-1-7 memiliki memiliki akses permodalan untuk berbagi biaya dengan franchisee dengan resiko yang relatif lebih rendah. Hal ini menguntungkan bagi franchisor untuk melakukan ekspansi (Sudarmiatin, 2011: 4). Adanya strategi bisnis lisensi tidak perlu membuat media cetak olahraga nasional harus mengeluarkan biaya untuk mendirikan biro daerah, atau mengirim wartawan untuk mencari liputan di daerah secara rutin. Strategi lisensi dapat menekan biaya operasional dan biaya untuk Sumber Daya Manusia. Dengan lisensi, berita berita lokal langsung mendapat pasokan dari media lokal yang menjadi partner. Berita yang dihasilkan dari partner media lokal pun bisa lebih baik, karena dilakukan oleh para wartawan media lokal tersebut -- yang asumsinya sudah paham tentang isu isu apa yang menarik untuk dikembangkan. Keuntungan tak semata diperoleh media cetak olahraga nasional selaku pemberi lisensi. Bagi media lokal yang menjadi mitra, bisnis lisensi juga menguntungkan mereka untuk memperoleh berita berita nasional secara eksklusif. Di samping secara konten, kehadiran lisensi dari media nasional dapat meningkatkan nama/merk dari media lokal tersebut. Melalui strategi bisnis lisensi, media cetak olahraga nasional juga tidak perlu terlalu disibukkan melakukan fungsi pengawasan secara ketat terhadap partner bisnis, karena perjanjian lisensi tidak harus menuntut hubungan yang erat dan berkesinambungan dari kedua belah pihak. Relatif longgarnya fungsi pengawasan, membuat media cetak olahraga nasional selaku pemberi lisensi dapat menghemat biaya (sebagai perbandingan fungsi pengawasan di bisnis jaringan media daerah, baca Wangkar, 2013: 111). Lisensor (pemberi lisensi) jarang meminta ataupun mendapatkan kewenangan pengawasan operasional yang setingkat dengan kewenangan pengwaralaba (franchisor) (Khumarga, 2002: 20) Lisensi sebenarnya bukan hal asing dalam media olahraga di Indonesia. Contohnya majalah Liga Italia yang bekerjasama dengan majalah Football Italia dan selanjutnya Guerin Sportivo (keduanya dari Italia); Planet Football yang bekerjasama dengan majalah sepakbola Don Balon (Spanyol) (Hasbi, 2014). Sebagai catatan, majalah Liga Italia dan Planet Football saat ini sudah tidak terbit. Saat ini harian olahraga nasional yang masih melakukan kerjasama berupa lisensi adalah TopSkor, dengan La Gazzetta dello Sport (Italia) dan MARCA (Spanyol). Kerjasama ini membuat TopSkor memperoleh berita berita dan ulasan eksklusif mengenai sepakbola Italia dan Spanyol dari dua mitra kerja tersebut. Itu sebabnya berita berita tentang Liga Italia, Liga Spanyol, menjadi menu utama dari TopSkor. Kerjasama lisensi ini membuat TopSkor tidak perlu menambah sumber daya manusia untuk memperkuat harian mereka, terutama untuk meng-cover berita berita luar negeri. Wartawan internal TopSkor dapat fokus untuk berita berita olahraga di Indonesia. Dari sisi ekonomis, hal tersebut akan meningkatkan keuntungan dalam hal bisnis redaksional (Anshari & Prastya, 2014) Memang, saat ini adalah era internet. Berita berita olahraga dari luar negeri bisa dengan mudah diakses oleh media, baik itu yang gratis mau pun berlangganan. Namun kerjasama lisensi TopSkor ini menghadirkan sentuhan lain 26 International Conference of Communication, Industry, and Community. Bali, 3-4 Maret 2016 ISBN: 978-602-74139-1-7 dalam penyajian berita terutama dari Italia dan Spanyol. Pasalnya, wartawan olahraga di Eropa pada umumnya tidak sekadar menyajikan fakta, namun juga memberikan analisis secara mendalam dari berbagai sudut pandang. Dalam istilah jurnalistik olahraga, mereka adalah pundit. Tentunya analisis ini akan berbeda jika dibandingkan analisis yang dilakukan oleh wartawan internal TopSkor, dengan mengandalkan sumber sumber dari internet. Kelemahan, Hambatan dan Tantangan dalam Strategi Bisnis Lisensi Secara konseptual, strategi bisnis lisensi menguntungkan. Bagi pemberi lisensi, mereka akan lebih irit biaya. Namun yang harus diwaspadai adalah strategi ini juga bukannya tanpa cacat. Data tentang bisnis waralaba dan lisensi di Indonesia (tahun 2009) menunjukkan rata-rata pertumbuhan bisnis franchise lokal mencapai 8-9% per tahun, sedangkan franchise asing 12-13% per tahun. Namun perbedaan tingkat kegagalan dari keduanya sangat mencolok yaitu sebesar 50-60% untuk franchise lokal dan hanya 2-3% untuk franchise asing. Hal ini menunjukkan bahwa antusias masyarakat untuk membuka bisnis franchise belum dibarengi dengan kehati-hatian dan kejelian dalam pengelolaan (Sudarmiatin, 2011: 4). Tantangan yang mungkin muncul adalah adanya “jarak” antara harian olahraga nasional selaku pemberi lisensi dengan harian lokal selaku penerima lisensi. “Jarak” tersebut muncul dalam hal strategi bisnis, kualitas dari sumber daya yang dimiliki mencakup: sumber daya manusia, sumber daya teknologi, metode atau cara dalam bekerja, dan lain-lain. Tantangan lain adalah secara kultural media nasional masih “enggan” (misal baca Armando, 2011: 166-168) bekerjasama dengan media lokal karena adanya berbagai perbedaan tersebut. Selanjutnya adalah Upaya untuk Memanfaatkan Peluang Lisensi Meskipun pengawasan tidak terlalu ketat dan tidak perlu mengadakan SDM, pemberi lisensi hendaknya tetap memberikan dukungan kepada pemegang lisensi, baik itu di fase awal kerjasama atau pun ketika kerjasama tengah berjalan. Bentuk bentuk dukungan ini dapat mengadopsi dari sistem waralaba (Sudarmiatin, 2011: 21-22). Media cetak olahraga nasional selaku pemberi lisensi perlu juga memberikan pelatihan bagi sumber daya manusia di redaksi media lokal yang menjadi mitra. Secara teknik jurnalistik, sebenarnya pelatihan tidak terlalu perlu dilakukan. Asumsinya, SDM di media lokal yang menjadi mitra sudah mengetahui teknik dasar jurnalistik. Namun sebagai bentuk “tanggungjawab” dari media cetak olahraga nasional terhadap mitra kerjanya, pelatihan teknis juga perlu dilakukan, meski tidak rutin. Pelatihan ini lebih ke arah bagaimana menyepakati pola kerja redaksional, mekanisme deadline, pembagian tugas dan kewenangan, ukuran kualitas berita, dan lain-lain. Selain memuluskan kerja kedua media, dengan pelatihan ini harapannya media lokal yang menjadi mitra memperoleh tambahan pengetahuan yang dapat berguna untuk peningkatan kualitas kerja mereka 27 International Conference of Communication, Industry, and Community. Bali, 3-4 Maret 2016 ISBN: 978-602-74139-1-7 nantinya. Dengan adanya peningkatan kualitas kerja, maka otomatis harian olahraga nasional yang menjadi pemberi lisensi dapat lebih mudah dalam mengawasi. Pelatihan juga bisa diperluas ke unit unit organisasi media di luar redaksi, pelatihan untuk riset pemasaran dan konsumen, pengembangan teknologi informasi IT, workshop menyusun perencanaan pengembangan bisnis, workshop pengelolaan komunikasi pemasaran terpadu, dan sebagainya. Bagi media lokal, ini bermanfaat karena mereka mendapatkan ilmu tambahan tentang pengelolaan media nasional. Simpulan Minat masyarakat terhadap berita olahraga cukup tinggi. Hal ini dapat dimanfaatkan oleh industri media untuk memperoleh keuntungan finansial. Melalui pemberitaan mengenai olahraga, perusahaan media punya peluang untuk meningkatkan jumlah pembaca/penonton. Peluang tersebut juga dimiliki oleh media cetak. Di waktu lalu, berita olahraga terbukti sukses menambah jumlah pembaca media cetak. Bagaimana dengan saat ini? Kemajuan teknologi memungkinkan pembaca/penonton memperoleh informasi dengan lebih mudah dan murah. Media cetak menghadapi persaingan sengit terutama dengan media online. Guna menghadapi tantangan kompetisi tersebut, perusahaan media cetak memerlukan pendekatan lain dalam kebijakan redaksionalnya yakni dengan mengangkat berita mengenai olahraga lokal. Konten lokal merupakan peluang, mengingat kebanyakan pemberitaan didominasi berita tentang kompetisi olahraga di luar negeri. Meski merupakan favorit pembaca, tetapi apabila terlalu banyak informasi tentang kompetisi olahraga luar negeri tersebut dapat menimbulkan kejenuhan. Di sisi lain, berita olahraga lokal pun memiliki peminat yang banyak. Kebijakan redaksional tersebut tentu harus diiringi dengan strategi bisnis yang mendukung. Pada umumnya, perusahaan media membuka kantor biro di kota lain untuk memperluas pasar di kota tersebut. Strategi itu memiliki kelemahan yakni membutuhkan biaya yang banyak. Guna memperluas pasar lokal, perusahaan media cetak dapat melakukan bisnis lisensi dengan media di kota yang tengah dituju. Dengan lisensi, biaya operasional di tingkat lokal dapat lebih ditekan. Namun begitu strategi ini juga memiliki sejumlah kelemahan. Pengalaman membuktikan bahwa kerjasama antar media, tidak selalu berlangsung dengan lancar. Bahkan beberapa di antaranya berujung konflik. Tulisan ini berisi mengenai gagasan mengenai penggunaan strategi lisensi dalam pengembangan bisnis media cetak olahraga di Indonesia. Hal tersebut menjadikan data dan analisis masih berada pada aspek makro sehingga memerlukan penelitian lanjutan guna mengonfirmasi gagasan ini. Dua tema besar mengenai peneltian selanjutnya, yakni mengenai lisensi bagi bisnis media secara umum dan mengenai manajemen media cetak olahraga. 28 International Conference of Communication, Industry, and Community. Bali, 3-4 Maret 2016 ISBN: 978-602-74139-1-7 Pertama, mengenai lisensi dapat melakukan penelitian tentang praktek bisnis lisensi di media media yang ada di Indonesia, yang bekerjasama dengan media lain. Kedua, mengenai manajemen media cetak olahraga, penulis memberikan saran tentang penelitian mengenai komunikasi pemasaran dalam meraih pasar dan pengiklan di tingkat lokal, dan riset terhadap pembaca media cetak olahraga. Riset pembaca tersebut dapat berupa kesadaran merk (brand awareness) terhadap media olahraga. Tema lain adalah faktor-faktor yang mempengaruhi pengambilan keputusan dalam pembelian media olahraga. Daftar Pustaka Adiprasetyo, Agung. 2007. "Mengapa Bicara Soal "Kematian" Surat Kabar?" dalam KOMPAS Menulis dari Dalam. (Editor: St. Sularto).Jakarta: Penerbit Buku Kompas Anshari, Faridhian & Prastya, Narayana Mahendra. 2014. “Membaca Kompetisi Surat Kabar Olahraga di Indonesia dengan Pendekatan S-C-P”, prosiding The 1st Indonesia Media Research Award Summit (IMRAS) 2014: Tren Pola Konsumsi Media di Indonesia (ISBN 978-602-96140-2-2) Armando, Ade. 2011. Televisi Jakarta di Atas Indonesia: Kisah Kegagalan Sistem Televisi Berjaringan di Indonesia. Yogyakarta: Bentang Hasbi, Sirajudin. 2014. “Jejak Sepakbola di Media”. Pindai Media, 18 November 2014. URL: http://pindai.org/2014/11/18/jejak-sepak-bola-dalam-media/ , diakses 30 Oktober 2015 Junaedi, Fajar. 2014. Merayakan Sepakbola: Fans, Identitas, dan Media. Yogyakarta: Buku Litera Khumarga, D. 2002. "Penelitian tentang Waralaba Franchise Apakah Merupakan Salah Satu Bentuk Perjanjian Tertentu yang Diatur dalam KUHP Perdata", Law Review, Vol II, No, 1, Juli. URL: http://ojs.uph.edu/index.php/LR/article/download/30/27, diakses 10 November 2015 Mariatna, Sandy. 2014. “Manajemen Redaksi Media Online: Studi Kasus Manajemen Redaksi Goal Indonesia sebagai Portal Berita Sepakbola Berbasis Virtual Management”. Skripsi. Jurusan Ilmu Komunikasi, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Gadjah Mada Yogyakarta Nastiti, Aulia Dwi. 2011. Potret Industri Media Massa di Indonesia dalam Kerangka Analisis Ekonomi Media. Jakarta: Program Studi Komunikasi Media Departemen Ilmu Komunikasi Universitas Indonesia. URL: http://www.scribd.com/doc/67051026/Potret-Industri-Media-Massa-DiIndonesia-Dalam-Kerangka-Analisis-Ekonomi-Media#scribd , diakses 10 November 2015 Pramesti, Olivia Lewi. 2014. "Olah Raga, Media, dan Audiens: Pespektif Media Lokal dalam Meliput Isu Olahraga" dalam Sport, Komunikasi dan Audiens: Arena Olahraga dalam Diskursus Ekonomi-Politik, Bisnis, dan Cultural Studies. (Editor: Fajar Junaedi, Bonaventura Satya Bharata & Setio Budi HH). Yogyakarta: Departemen Litbang ASPIKOM 29 International Conference of Communication, Industry, and Community. Bali, 3-4 Maret 2016 ISBN: 978-602-74139-1-7 Rahayu. 2010. "Ekonomi dan Manajemen Media: Perkembangan Kajian, Otokritik, dan Eksplorasi terhadap Isu Lokalitas" dalam Potret Manajemen Media di Indonesia. (Editor: Dyah Hayu Rahmitasari). Yogyakarta: Total Media dan Program Studi Ilmu Komunikasi Universitas Islam Indonesia Siregar, Amir Effendi. 2010. "Kajian dan Posisi Manajemen Media serta Peta Media di Indonesia" dalam Potret Manajemen Media di Indonesia. (Editor: Dyah Hayu Rahmitasari). Yogyakarta: Total Media dan Program Studi Ilmu Komunikasi Universitas Islam Indonesia Sudarmiatin. 2011. “Praktik Bisnis Waralaba Franchise di Indonesia, Peluang Usaha dan Investasi”. Pidato Pengukuhan Guru Besar dalam Bidang Ilmu Manajemen pada Fakultas Ekonomi. Disampaikan dalam Sidang Terbuka Senat Universitas Negeri Malang (UM), Tanggal 28 April 2011. URL: http://library.um.ac.id/images/stories/pidatogurubesar/2011/Praktik%20Bisni s%20Waralaba%20Franchise%20Di%20Indonesia%20Peluang%20Usaha%2 0Dan%20Investasi.pdf. , diakses 10 November 2015 Supadiyanto. 2013. “Implikasi Teknologi Digital dan Internet (Paperless Newspaper) pada Industri Media Cetak di Indonesia” , Prosiding Seminar Nasional: Menuju Masyarakat Madani URL: http://dppm.uii.ac.id/dokumen/seminar/2013/G.Supadiyanto.pdf , diakses 22 Januari 2014 Wangkar, Max. 2013. "Jawa Pos adalah Dahlan Iskan" dalam Dapur Media : Antologi Liputan Media di Indonesia. (Editor: Basil Tri Haryanto & Fahri Salam). Jakarta: Pantau Wijaya, Taufik. 2013. "Baku Hantam Palembang" dalam Dapur Media : Antologi Liputan Media di Indonesia. (Editor: Basil Tri Haryanto & Fahri Salam). Jakarta: Pantau 30 International Conference of Communication, Industry, and Community. Bali, 3-4 Maret 2016 ISBN: 978-602-74139-1-7 MANAJEMEN RADIO ISLAM : PERGULATAN ANTARA IDEOLOGI DAN EKSISTENSI Puji Hariyanti Dosen Program Studi Ilmu Komunikasi, FPSB, Universitas Islam Indonesia [email protected] Abstract There is no Islamic mass media were able to accommodate all Islamic groups in Indonesia. Conflict of the spirit of Islam in media management with the media capitalism make the most of the Islamic mass media did not survive. Islamic radio became one of the da’wah media that still survive. Some surviving Islamic radio is community radio, which has a lot of limitations in creativity programs, human resources, infrastructure, funds and the range of the broadcast. Meanwhile other Islamic radio who is a private radio station are switching from the radio with da’wah content to regular one. This study wants to examine more deeply about Islamic radio management with research objects Radio Unisia Yogyakarta. This study uses descriptive qualitative method. The collection of data through observation and interviews. The results showed that Radio Unisia as da’wah radio have proved its existence with a 100% Islamic content and high quality program for Muslims. Keyword: media management, Radio Unisia, Islamic ideology Abstrak Belum ada media massa Islam yang mampu mewadahi seluruh kelompok Islam di Indonesia. Selain itu adanya benturan semangat manajemen untuk menjaga konsistensi pada ideologi Islam dengan sistem kapitalisme media membuat sebagian besar media massa Islam tidak bertahan. Radio Islam menjadi salah satu media dakwah yang masih bertahan. Beberapa radio Islam yang masih bertahan adalah radio komunitas, yang tentunya memiliki banyak keterbatasan, mulai dari kreativitas program, sumber daya manusia, infrastruktur dan dana serta jangkauan siaran. Sementara itu radio Islam lainnya yang merupakan radio swasta banyak yang beralih dari radio dengan konten dakwah ke konten dan segmen yang lebih umum. Penelitian ini ingin mengkaji lebih dalam tentang potret manajemen radio Islam dengan obyek penelitian Radio Unisia Yogyakarta. Metode penelitian yang digunakan metode kualitatif. Pengambilan data dengan observasi dan wawancara. Hasil penelitian menunjukkan Radio Unisia sebagai radio dakwah telah membuktikan eksistensinya dengan menyiarkan 100% isi siaran yang islami dan program yang bermutu bagi umat Islam. Kata kunci: Manajemen media, radio Unisia, ideologi Islam Pendahuluan Media Massa Islam, ―Save Our Soul‖!, demikian judul artikel yang ditulis M. Amien Rais (Ibrahim, et.al, 2005:360-366). Di dalamnya dituliskan 31 International Conference of Communication, Industry, and Community. Bali, 3-4 Maret 2016 ISBN: 978-602-74139-1-7 bagaimana bangsa Indonesia yang mayoritas penduduknya muslim namun belum memiliki media massa Islam yang cukup representatif dan bisa diandalkan. Padahal media Islam bisa berfungsi tidak hanya sebagai juru bicara umat Islam secara keseluruhan tetapi juga akan mempunyai fungsi konstruktif dalam rangka integrasi umat Islam. Kondisi media Islam di Indonesia yang ditulis M. Amien Rais satu dasawarsa yang lalu nampaknya belum mengalami perubahan. Sampai saat ini belum ada media Islam yang cukup representatif mewakili kepentingan umat Islam. Yang terjadi justru beberapa media Islam beralih segmentasi menjadi media massa umum dan ada juga yang tidak lagi beroperasi karena pimpinannya terjun ke dunia politik. Hal ini berbanding terbalik dengan semakin bertambah kompleksnya tantangan dakwah umat Islam. Seharusnya media Islam yang dikelola dengan baik akan sangat membantu gerakan dakwah Islam di Indonesia. Pada media cetak, sampai saat ini, masyarakat mengenal surat kabar harian Islam berskala nasional yang mempunyai komitmen pada umat Islam yakni Republika. Kendati banyak kritik tertuju pada Republika, namun sejauh ini, nampaknya surat kabar harian ini masih cukup konsisten dalam mengusung misi dakwah Islam. Ada juga majalah Islam bulanan seperti Ummi, Annida, Sabili, Tarbawi, Tarbiyah, dan Hidayah. Beberapa majalah tersebut masih bertahan kendati eksistensinya hanya pada sekelompok Muslim saja. Beberapa majalah Islam yang masih eksis juga menerbitkan edisi online, sementara yang lainnya menghilang. Sedangkan media televisi Islam belum ada yang menjangkau siaran nasional. Hanya ada beberapa televisi lokal yang bernuansa Islam (tidak sepenuhnya siaran Islami seperti Aditv di Yogyakarta) dan selebihnya televisi yang menggunakan sistem penyiaran satelit di mana siarannya hanya bisa ditangkap dengan menggunakan antena parabola, seperti Rodja TV dan Rasil TV. Media Islam yang relatif lebih banyak secara kuantitas dibanding media Islam lainnya adalah radio Islam atau biasa dikenal dengan radio dakwah. Ada beberapa radio dakwah yang berupa lembaga penyiaran swasta seperti Radio MQ FM (Bandung dan Yogyakarta), Radio Rodja 756 AM (Jakarta), namun radio dakwah paling banyak berupa radio komunitas. Studi tentang manajemen media selama ini lebih banyak pada televisi, mulai dari studi tentang kepemilikan, konvergensi, sampai dengan analisis isi program televisi. Studi tentang manajemen radio sepertinya memang kurang diminati sebagaimana halnya eksistensi radio yang selalu menjadi nomer dua setelah televisi. Padahal sebagai media massa, radio menjadi media yang relatif paling baik dari sisi keberagaman kepemilikan dan isi medianya.(Siregar, et.al, 2010: 27). Sedangkan menurut Alvin Toffler dalam (Herweg & Ashley,2004:351) radio adalah media –lebih dari yang lain—dapat memenuhi tuntutan komunikasi masa depan, yaitu interaktivitas, mobilitas, keselarasan, daya hubung, dan globalisasi. Walaupun tidak dapat dipungkiri, radio sebagai media penyiaran mendapatkan kritik. Rivers, et.al (2008: 335) menuliskan pada era 1930 - 1940an kritik terhadap radio tertuju pada praktik pemrograman atau penyusunan siaran 32 International Conference of Communication, Industry, and Community. Bali, 3-4 Maret 2016 ISBN: 978-602-74139-1-7 bukan oleh penyiarnya, namun oleh pengiklan. Kedua, penuhnya gelombang siaran dengan aneka iklan, sehingga pendengar kesulitan menikmati acara kesukaannya tanpa ganguan iklan. Ketiga, radio cenderung mengabaikan program-program penting, program hiburan yang disiarkan tidak selalu bermutu. Terakhir, kritik pada radio menyangkut terbatasnya pilihan program bagi pendengar, pada beberapa radio program yang disiarkan cenderung sama dan monoton. Kondisi radio yang dikritik oleh Rivers nampaknya masih berlaku sampai sekarang. Studi manajemen media kali ini ingin melihat potret manajemen radio khususnya radio Islam atau radio dakwah dan ruang lingkup penelitian sementara dibatasi pada radio Islam yang berada di Yogyakarta. Radio Unisia merupakan salah satu radio dakwah yang didirikan oleh Yayasan Badan Wakaf Universitas Islam Indonesia. Radio Unisia sejak awal pendiriannya diperuntukkan sebagai media dakwah yang khusus memberikan pencerahan bagi masyarakat. Studi ini diharapkan bisa menjadi studi awal untuk melihat potret manajemen radio islam di daerah lain di Indonesia. Tinjauan Pustaka Media Islam sebagai media alternatif dakwah Berbicara tentang media Islam, ada dua persetujuan yang disepakati dalam konferensi internasional pertama wartawan dan pekerja media muslim di Jakarta september 1981. ―Pertama, aturan berperilaku yang islami hendaknya menjadi dasar bagi setiap pekerja media muslim dalam kegiatan jurnalistiknya dan, kedua, kepribadian Islam. Kedua hal tersebut sangat menekankan pada konsolidasi keimanan individu muslim pada prinsip etika dan nilai-nilai Islam sebagai kewajiban utama media muslim.‖(Aslam dalam Ibrahim, et.al,2005:259) Sehingga media Islam didefinisikan menjadi media yang diperuntukkan bagi umat Islam, berisikan tentang kaum muslim dan dunia Islam pada umumnya serta dibuat berdasarkan perspektif Islam. Definisi ini membatasi media-media yang di buat negara-negara Barat dengan perspektif sekuler, sosialis, dan komunis kendatipun berisikan tentang Islam bukan sebagai media Islam. Jalaluddin Rakhmat memiliki beberapa definisi terkait media Islam. Pertama, media Islam adalah media yang pada tataran simbolik menggunakan nama Islam dan menyatakan dirinya sebagai media Islam. Kedua, media massa tersebut tidak menggunakan simbol-simbol Islam, tetapi secara tersirat dipersepsikan orang bahwa media tersebut mengemban misi Islam. Ketiga, media massa yang tidak memakai lambang-lambang Islam, tidak juga secara eksplisit membawa misi Islam, tetapi di media tersebut banyak orang islam yang berupaya memasukkan gagasan-gagasan keislaman mereka sehingga mewarnai program siaran atau wacana dalam media massa tersebut. (Rakhmat dalam Ibrahim, et.al ,2005:491-492) 33 International Conference of Communication, Industry, and Community. Bali, 3-4 Maret 2016 ISBN: 978-602-74139-1-7 Dalam hal ini penulis menggunakan definisi yang pertama dan kedua, bahwa yang dapat dikatakan sebagai media Islam adalah media yang baik itu menggunakan nama Islam atau tidak, yang menyatakan diri sebagai media Islam atau tidak, tetapi yang jelas mempunyai misi Islam. Jadi yang menjadi obyek penelitian adalah media Islam yang benar-benar mempunyai misi dakwah Islamiyah, fokusnya pada radio dakwah. Radio dakwah yang dimaksud adalah radio yang komposisi siarannya 100% dakwah. Karena beberapa radio sebenarnya ada juga yang menyelipkan konten dakwah dalam siarannya, namun tidak dominan, bercampur dengan konten-konten lainnya seperti musik barat, musik dangdut, infoinment, dan lain sebagainya yang tidak sesuai dengan nilai Islam. Beberapa radio dakwah merupakan radio komersil atau radio siaran swasta, namun lebih banyak radio dakwah yang merupakan radio komunitas. Nampaknya tantangan lebih besar dihadapi radio dakwah komersil karena dalam sistem pengelolaan media, mau atau tidak, harus berhadapan dengan sistem kapitalisme dan berurusan dengan iklan untuk menunjang eksistensinya. Sementara itu manajemen harus selektif terhadap iklan yang tayang karena tidak bisa sembarangan menerima iklan yang tidak sesuai dengan syariat Islam. Sedangkan radio dakwah komunitas yang tidak bersifat komersil. Radio komunitas tidak bergantung pada iklan untuk menunjang kelangsungan hidupnya. Radio komunitas lebih mengandalkan pendanaan dari komunitas dan sumbersumber dana alternatif selain iklan. Namun bukan berarti radio dakwah komunitas tidak mengalami kendala. Sebagai radio komunitas biasanya mengalami kendala di dalam jangkauan siaran yang terbatas dibanding radio komersil. Selain itu radio komunitas juga biasanya tergantung pada partisipasi komunitasnya, sehingga muncul masalah sumber daya manusia yang mengoperasikan radio yang biasanya kurang profesional. Baik sebagai radio siaran komersil maupun sebagai radio komunitas, radio dakwah dapat dijadikan media alternatif bagi umat Islam ditengah maraknya media arus utama yang menyajikan konten yang jauh dari ajaran Islam. Radio dakwah bisa menjadi media yang menguatkan semangat keberagamaan muslim Indonesia yang belakangan semakin nampak. Berbicara mengenai media alternatif biasanya diidentikkan dengan media yang produknya berlawanan dengan produk-produk media arus utama. Downing menjelaskan bahwa media alternatif pada dasarnya merupakan perwujudan resistensi khalayak terhadap media arus utama. Oleh karena itu untuk menilai keberhasilannya bukan pada ukuran persentase khalayak dan pendapatannya tetapi pada kemampuannya untuk membuka dialog dalam ruang publik yang ada di level komunitas atau melalui jaringan sosial yang ada (Maryani,2011: 65) Radio dakwah Islam sebagai media alternatif harus mampu menyediakan produk-produk Islami yang selama ini jarang ditemukan di radio-radio konvensional. Radio dakwah harus menjadi radio yang istimewa di telinga audiensnya dengan spirit keislaman yang diusung. Dengan pengelolaan yang baik, radio dakwah bisa meningkatkan partisipasi umat muslim untuk memperkuat eksistensi jaringan radio dakwah di negri ini utuk mengawal gerakan 34 International Conference of Communication, Industry, and Community. Bali, 3-4 Maret 2016 ISBN: 978-602-74139-1-7 sosial spiritual di kalangan umat Islam serta mengkonter konten-konten media non Islam yang menyerang Islam. Eksistensi radio dakwah menjadi penting dalam upaya membentuk citra Islam. Manajemen Radio Islam Mengadopsi definisi Suhandang (2007:14) tentang manajemen pers dakwah yaitu proses kerja jurnalistik lembaga masyarakat (berbentuk pers maupun lembaga dakwah atau lembaga kemasyarakatan lainnya) untuk mencapai masyarakat Islami yang madani. Maka manajemen radio Islam juga bisa diartikan sebagai proses kerja penyiaran radio Islam atau radio dakwah untuk mencapai masyarakat Islam yang madani. Prinsip utama dari manajemen pers dakwah yang juga bisa diterapkan dalam radio dakwah ada empat. Pertama, proses kerjanya mengarah pada pencapaian tujuan dakwah. Kedua, metode yang digunakan dalam upaya mencapai tujuan dakwah dimaksud adalah jurnalistik, dalam hal ini jurnalistik radio. Ketiga, sesuai dengan inti dari manajemen yaitu berupa organisasi, lembaga dakwah atau jamaah. Keempat, menggunakan manajemen yang Islami sesuai dengan akidah dan syariah yang diajarkan Islam. Morissan menjelaskan bahwa keberhasilan mengelola media penyiaran sejatinya ditopang oleh kreativitas manusia yang bekerja pada tiga pilar utama yang merupakan fungsi vital yang dimiliki setiap media penyiaran yaitu teknik, program dan pemasaran (Morissan, 2009: 125) Mengelola media penyiaran memiliki tantangan tersendiri, karena selain harus memenuhi keuntungan perusahaan, menghadapi kompetitor, juga harus memperhatikan kepentingan masyarakat di mana media tersebut berada. Selain itu media penyiaran juga dituntut harus mampu melaksanakan berbagai fungsi, antara lain sebagai media informasi, media pendidikan dan media hiburan Bahkan sebenarnya fungsi substansial radio bukan hanya ketiga fungsi di atas, informasi, pendidikan, dan hiburan saja. Fred wibowo menuliskan radio dapat dikatakan bermanfaat hanya jika bisa melaksanakan fungsi membangun kehidupan yang semakin berkebudayaan, menjadikan kehidupan manusia insani. (2012: 31). Tanpa fungsi ini radio siaran dapat dimanfaatkan untuk kepentingankepentingan tertentu yang menjadikan medium ini kehilangan fungsi substansinya Oleh karena itu, jika merujuk pada pengertian media Islam, maka media penyiaran Islam, berarti harus memperhatikan kepentingan umat Muslim. Kendati sebagai media harus menjalankan fungsi informasi dan hiburan namun pemilihan format dan komposisi siaran tidak boleh menyiarkan informasi dan hiburan yang menyimpang dari ajaran Islam dan sebaiknya tidak mencampur adukkan dengan program yang tidak Islami. Bahkan dalam pemasaran atau pemilihan iklan juga tidak boleh sembarangan, karena akan merusak citra media Islam tersebut. 35 International Conference of Communication, Industry, and Community. Bali, 3-4 Maret 2016 ISBN: 978-602-74139-1-7 Ada beberapa aspek utama yang harus diperhatikan dalam manajemen radio siaran (Prayudha, 2013: 9), yaitu: pendirian lembaga penyiaran radio, perusahaan radio secara hukum yang berlaku, program siaran, manajemen sumber daya manusia, teknik dan keuangan. Dalam pendirian lembaga penyiaran radio dapat diketahui sejarah dan latar belakang pendirian radio tersebut, dinamika kondisi masyarakat di wilayah layanan siar, kondisi lembaga penyiaran lainnya, segmentasi serta proyeksi pertumbuhan segmen. Biasanya radio dakwah diinisiasi atau didirikan oleh lembaga dakwah , pondok pesantren, maupun jamaah tertentu. Hal ini perlu dipersiapkan dengan jelas karena akan menyangkut visi, misi, dan tujuan radio dakwah. Pendiri juga harus memperhatikan dinamika kondisi masyarakat di sekitar untuk menjaga eksistensi radio dakwah di masa yang akan datang. Aspek yang kedua menyangkut kepemilikan radio dan permodalan untuk operasional radio. Aspek yang ketiga adalah program siaran. Beberapa yang perlu diperhatikan dalam program siaran adalah segmentasi, format dan komposisi siaran. Dalam aspek ini akan terlihat apakah radio yang berlabel Islam benarbenar memiliki format dan komposisi siaran dengan konten-konten islami atau konten islam hanya sebagai pemanis saja. Aspek selanjutnya aspek teknik yang lebih mempertimbangkan dan merencanakan studio produksi dan siaran, spesifikasi pemancar, menara, antena, dan sarana prasarana penunjang siaran lainnya. Aspek keuangan menyangkut proyeksi pendapatan iklan bagi lembaga penyiaran radio swasta, dan proyeksi dana-dana operasional bagi radio komunitas. Sedangkan aspek manajemen sumber daya manusia, perlu dipertimbangkan kebutuhan agar roda organisasi lembaga penyiaran radiao bisa berjalan optimal. Struktur organisasi, jumlah kepegawaian, data komisaris, direksi, dan beberapa posisi penting lainnya seperti: penanggung jawab penyiaran, teknik, pemasaran, dan keuangan. Prinsip manajemen pada media penyiaran mengadopsi prinsip manajemen secara umum yang memiliki empat fungsi: perencanaan, pengorganisasian, pengarahan dan pengevaluasian. Morissan (2009: 130) menjelaskan perencanaan mencakup kegiatan penentuan tujuan media penyiaran serta mempersiapkan rencana dan strategi yang akan digunakan untuk mencapai tujuan tersebut. Dalam perencanaan termasuk di dalamnya menyiapkan visi, misi, tujuan, rencana strategis dan rencana operasional. Pengorganisasian merupakan proses penyusunan struktur organisasi yang sesuai dengan tujuan organisasi, sumber daya yang dimiliki dan lingkungan yang melingkupinya. Aspek penting dalam pengorganisasian adalah departementalisasi dan pembagian kerja. Fungsi manajemen penyiaran ketiga adalah pengarahan. Fungsi ini merangsang antusiasme karyawan untuk melaksanakan tanggung jawab mereka secara efektif. Pengarahan meliputi kegiatan pemberian motivasi, komunikasi, kepemimpinan, dan pelatihan. 36 International Conference of Communication, Industry, and Community. Bali, 3-4 Maret 2016 ISBN: 978-602-74139-1-7 Fungsi terakhir adalah fungsi pengawasan yang mana fungsi ini merupakan proses untuk mengetahui ketercapaian tujuan organisasi yang telah disusun pada saat perencanaan. Proses ini harus terukur agar perencanaan berjalan efektif dan efisien. Pada prinsinya manajemen radio Islam tetap mengadopsi prinsip-prinsip manajemen media massa secara umum, hanya saja pada pelaksanaannya tidak boleh bertentangan dengan akidah dan syariat yang diajarkan Islam. Karena selain fungsi manajerial di atas, radio dakwah juga mengemban fungsi dakwah. Fungsi dakwah yang dapat diperankan yaitu menjaga agar radio dakwah selalu berpihak pada kebaikan, kebenaran, dan keadilan universal sesuai dengan fitrah dan kehanifan manusia, dengan selalu taat pada kode etiknya (Arifin, 2011: 95). Sebagai radio dakwah, tidak boleh menyiarkan berita bohong, pornografi, sensasi, dan segala sesuatu yang bertentangan dengan nilai-nilai Islam. Semua isi siaran radio dakwah hendaknya mengajak berbuat baik dan mencegah perbuatan jahat, sesuai dengan tujuan dakwah. Metodologi Penelitian ini bertujuan untuk memberikan gambaran tentang potret manajemen radio khususnya radio Islam atau radio dakwah. Radio Unisia dipilih sebagai obyek penelitian karena radio ini salah satu radio yang memiliki komitmen dalam dakwah selain itu radio ini lebih mengedepankan ilmiah dilihat dari kacamata islam, menghadikan ustad sesuai dibidangnya yang memiliki pengetahuan agama kuat. Metode yang digunakan pada penelitian ini adalah deskriptif kualitatif dengan paradigma konstruktivisme. Teknik pengumpulan data berupa observasi dan wawancara dengan Direktur Radio Unisia, Drs.Kecuk Sahana. Sumber sekunder berupa studi pustaka, dan data online. Analisis data pada penelitian ini sesuai yang dijelaskan Sugiyono (2007: 246) terdiri dari proses pengumpulan data, reduksi data, penyajiaan data pengambilan kesimpulan dan verifikasi. Hasil Temuan dan Diskusi Pemaparan tentang manajemen radio Unisia berikut ini diolah berdasarkan hasil wawancara dengan Direktur Radio Unisia, Drs.Kecuk Sahana dan dari dokumen pendirian radio Unisia. Radio Unisia memiliki visi sebagai radio Pendidikan dan Dakwah Islamiyah Modern dan Post Modern, Mencerdaskan Bangsa terpercaya dalam Informasi, Mengedepankan Ilmu Pengetahuan, Budaya dan Kaidah ke Islaman‖ – ― rahmatan lil alamin‖. Visi tersebut kemudian dirumuskan dalam misi radio Unisia sebagai berikut: 1. Radio yang mampu menyampaikan informasi yang benar, jujur, berimbang dan tidak berpihak. 37 International Conference of Communication, Industry, and Community. Bali, 3-4 Maret 2016 ISBN: 978-602-74139-1-7 2. Menjadi sarana pendidikan, dakwah yang berbudaya, santun dan menyejukan. 3. Membentuk dan memperdayakan masyarakat, komunitas dalam rangka peningkatan kualitas hidup, sehingga dapat menjadi sentra informasi, aktivitas dan wadah kegiatan di Daerah Istimewa Yogyakarta dan Jawa Tengah. 4. Mengokohkan ukhuwah islamiyah masyarakat muslim Daerah Istimewa Yogyakarta dan Jawa Tengah 5. Perusahaan yang mampu memberikan manfaat bagi semua pihak sesuai peran dan tanggung jawabnya. 6. Perusahaan yang keberadaannya dapat memberikan nilai tambah terhadap lingkungan sekitarnya. Meskipun Radio Unisia adalah radio dakwah yang didirikan sebagai Lembaga Nirlaba (bukan untuk mencari keuntungan), namun persyaratan untuk mendapatkan ijin siaran Lembaga/ Badan Penyelenggara Siaran Swasta diharuskan berbentuk Badan Hukum. Pengurus Yayasan Badan Wakaf UII penempatan saham dalam PT.UNISIA MEDIA UMAT sebesar 97,5% dan 2,5% PT.Radio Prima Unisi Yogya. Pada tanggal 16 September 2014, Surat Keputusan Menteri HAM RI Nomor: AHU-17564.AH. 01.01.Tahun 2014 Tentang Pengesahan Badan Hukum Perseroan PT.Unisia Media Umat berhasil didapatkan. Radio Unisia mengalami kendala dalam hal ijin siaran. Berhubung sampai saat ini Pemerintah belum menerbitkan PP (Peraturan Pemerintah) tentang pengaturan penyelenggaraan Penyiaran Radio difrekuensi AM (Amplitudo Modulasi), menyebabkan tidak terakomodasinya penataan dan penerbitan ijin Siaran AM. Sehingga pengajuan ijin Radio Unisia hingga saat ini mengalami kemandegkan, meskipun proses ijin siaran sudah dijalannya. Tidak dimilikinya legalitas ijin siaran mengakibatkan beberapa persoalan bagi Radio Unisia, diantaranya Radio Unisia diminta untuk menghentikan siaran karena menggunakan perangkat STL (Stasiun Transmitter Link) yaitu pemancar penghubung siaran antara studio Jl.Demanganbaru kelokasi pemancar di Pondok UII Seturan tidak berijin. Masalah lain tertundanyanya pengurusan Sertifisasi Alat /Pemancar sebagai syarat legalnya ijin penggunaan perangkat pemancar, Belum adanya pemetaan penataan chanel (frequensi) AM secara tetap, sehingga Radio Unisia masih bersiaran menggunakan chanel sementara. Namun hal ini bisa diatasi dengan menggunakan jaringan internet (STL IP) dipakailah Digigram Pyko STL-IP sebagai penghantar siaran studio kepemancar. Perangkat yang digunakan harus diimport dari luar negeri sehingga harus menyisihkan dana besar dan menunggu pemesanan yang cukup memakan waktu. Dengan menggunakan audio digital, kualitas audio siaran Radio Unisia lebih baik dibanding sebelumnya. Besarnya dana yang harus dikeluarkan cukup menjadi masalah karena Radio Unisia hanya berasal dari pendanaan yayasan. Radio Unisia juga menyediakan sarana streaming difasilitasi melalui jaringan UII Net. Alamat website adalah: www.radiounisia.com. Tampilan radio streaming juga dapat diakses melalui perangkat ponsel pintar. Dengan alamat: 38 International Conference of Communication, Industry, and Community. Bali, 3-4 Maret 2016 ISBN: 978-602-74139-1-7 m.radiounisia.com siaran bisa diakses secara mobile. Disamping melalui alamat mobile tersebut, radio juga bisa diaksses secara mudah melalui alamat-alamat radio streaming dunia di: TuneIn, NuxRadio, Blackbarry dll. Program siaran yang telah diproduksi Radio Unisia antara lain : Hadis, Fiqih, Tafsir, Kajian, Sirah, Pencerahan, Mutiara Iman, Motivasi Zakat, Kasanah, Musuah Insiklopedi Islam, Inspirasi Qolbu. Beberapa program baru tengah diproduksi antara lain: Fiqih Politik, Remaja dan Islam, Perbandingan Mazhab, Ekonomi Syariah sedangkan acara yang tengah dipersiapkan : Pendidikan Islam, Tasawuf. Keseluruhan siaran dalam bentuk rekaman / tunda. Setiap acara-acara peringatan keagaamaan, Ramadhan, Muharam, Qurban dll, dipersiapkan materi - materi khusus seperti pada Ramadhan disiarkan siaran Tarawih setiap malam dari Masjid Baitul Qohar Kampus UII Cik Ditiro, Ceramah setiap menjelang Sahur dan Buka Puasa. Menjelang pelaksanaan Qorban membuat paket talkshow pelaksanaan penyembelihan dan penerangan hewan yang sehat dll. Selain bahan siaran diproduksi sendiri, Radio Unisia juga bekerjasama dengan pihak luar dan masjid masjid yang memiliki bahan siaran yang memadai, seperti PPA Darul Quran, Dompet Duafa, Masjid Besar Kauman, Masjid Suhada, Masjid Al Hidayah, Masjid Ulil Albab dll. Gambar 1: Ruang Siaran Talkshow & Ruang Siaran rekaman Radio Unisia Keberadaan siaran Radio Unisia di masyarakat Yogyakarta mulai mendapat tanggapan positif, masyarakat dan mahasiswa mulai merespon acara dengan cara menelpon dan mengirimkan sms, e mail, dan bbm, umumnya menanyakan sesuatu masalah berkaitan dengan materi siaran. Tanggapan terhadap siaran juga diberikan pendengar secara langsung pada para pemateri saat berjumpa langsung. Materi siaran juga mendapat tanggapan positif dari para guru-guru agama dilingkungan SMU, menurut mereka bahan siaran sering menjadi rujukan para dai muda dan guru-guru disekolah. Respon mulai muncul dari kalangan mahasiswa, 39 International Conference of Communication, Industry, and Community. Bali, 3-4 Maret 2016 ISBN: 978-602-74139-1-7 Untuk memperluas pengenalan pada masyarakat Yogyakarta terhadap Radio Unisia melakukan pemasangan pemasangan poster, balio kecil, baner, pembagian selebaran diberbagai masjid-masjid dan fakultas dilingkungan UII, Masjid-masjid Besar di Yogya, Swalayan-toko muslim. Melakukan broadcast lewat BBM maupun Twitter. Materi siaran Radio Unisia juga disiarulangkan di Radio Unisi 104,5 FM setiap pagi (04.30-05.00) dengan demikian informasi Unisia dapat disebarluaskan melalui Radio UNISI. Gambar 2: Contoh Poster Radio Unisia Radio Unisia sudah mampu membuktikan eksistensinya sebagai radio dakwah. Dengan isi siaran yang 100% bermuatan dakwah, radio Unisia memposisikan dirinya sebagai radio yang mempunyai komitmen untuk ber amar ma’ruf nahyi munkar. Dengan dukungan dari masyarakat serta pengelolaan manajemen yang baik, bukan tidak mungkin, Radio Unisia bisa menjadi radio dakwah yang bisa diandalkan dan bisa membuka jaringan radio dakwah di kotakota lain di Indonesia. Sehingga bisa membuktikan bahwa radio dakwah yang tetap konsisten dalam mengusung misi Islam bisa tetap eksis dan diterima di masyarakat. Kendala legalitas ijin siaran yang masih terus diperjuangan hendaknya tidak menjadi penghalang bagi radio Unisia untuk terus menyajikan siaran yang bermutu bagi umat Islam. Karena seperti yang dikritik Rivers, pendengar radio sesungguhnya menginginkan program-program yang bermutu dan mendidik. Pendengar juga bosan dengan siaran radio yang seragam. Dan radio dakwah bisa muncul sebagai radio alternatif untuk mengatasi kejenuhan pendengar. Selain bisa menghibur, isi siaran yang mendidik dan memberikan manfaat akan menarik pendengar untuk mendengarkan radio dakwah. Selama ini radio dakwah, apalagi radio dakwah komunitas identik dengan kelompok Islam tertentu sehingga pendengarnya pun jadi tersegmentasi. Ada anggapan bahwa radio dakwah tertentu hanya untuk komunitas tertentu. Sehingga sulit menjalin kerja sama antar sesama radio dakwah. Padahal misi radio dakwah sama yaitu menyebarkan nilai-nilai kebaikan dan mencegah keburukan.Jika semua radio dakwah yang ada di Indonesia, baik radio siaran 40 International Conference of Communication, Industry, and Community. Bali, 3-4 Maret 2016 ISBN: 978-602-74139-1-7 swasta maupun komunitas bisa bekerja sama dan membentuk jaringan radio dakwah, maka gerakan dakwah Islam di Indonesia bisa maju dengan signifikan. Simpulan Radio Unisia Yogyakarta adalah salah satu contoh radio yang mengelola sumber daya yang dimilikinya untuk kepentingan dakwah. Radio ini memiliki visi dan misi dakwah islamiyah. Hal tersebut tercermin dalam komposisi siaran yang 100% islami. Radio ini bisa menjadi representasi radio Islam yang bisa menjaga ideologi dan eksistensinya di dunia penyiaran tanah air. Kendati masih ada kendala terkait ijin siaran, radio ini masih bisa mencari solusi untuk tetap bisa menyiarkan syiar Islam untuk umat Islam di Yogyakarta dan sekitar. Sehingga masyarakat mempunyai alternatif media yang menyiarkan program-program yang mendidik dan memberikan pencerahan. Radio dakwah menjalankan fungsinya sebagai media informasi, media pendidikan, media hiburan, dan media dakwah. Radio dakwah sebagai media alternatif harus mampu menyediakan program-program Islami yang selama ini jarang ditemukan di radio-radio konvensional. Radio dakwah bisa meningkatkan partisipasi umat muslim untuk memperkuat eksistensi jaringan radio dakwah di negri ini utuk mengawal gerakan sosial spiritual di kalangan umat Islam. Daftar Pustaka Arifin, Anwar. (2011). Dakwah Kontemporer: Sebuah Studi Komunikasi. Yogyakarta: Graha Ilmu Herweg, Godfrey W., Ashley Page Herweg. (2004). Revolusi Pemasaran Radio. Jakarta: Kantor Berita Radio 68H Ibrahim, Idy Subandy, et.al. (2005). Media dan Citra Muslim: Dari Spiritialitas untuk Berperang menuju Spiritualitas untuk Berdialog. Yogyakarta: Jalasutra Maryani, Eni. (2011). Media dan Perubahan Sosial: Suara Perlawanan Melalui Radio Komunitas. Bandung: PT Remaja Rosdakarya Morissan.(2009). Manajemen Media Penyiaran: Strategi Mengelola Radio & Televisi. Jakarta: Kencana Prayudha, Harliantara Harley, Andy Rustam M. (2013). Radio is Sound Only: Pengantar & Prinsip Penyiaran Radio di Era Digital. Jakarta: Broadcastmagz Rivers, William L., et.al. (2008). Media Massa dan masyarakat Modern. Jakarta: Kencana Siregar, Amir Effendi, et.al. (2010). Potret Manajemen Media di Indonesia. Yogyakarta: Total Media Sugiyono. (2007). Metode Penelitian Kualitatif dan R&D. Bandung: Alfabeta Suhandang, Kustadi.(2007). Manajemen Pers dakwah: Dari Perencanaan Hingga Pengawasan. Bandung: MARJA Wibowo, Fred. (2012). Teknik Produksi Program Radio Siaran: mengenal Medium dan Program Siaran Radio. Yogyakarta: Grasia Book Publisher 41 International Conference of Communication, Industry, and Community. Bali, 3-4 Maret 2016 ISBN: 978-602-74139-1-7 Biografi Penulis Puji Hariyanti, S.Sos., M.I.Kom adalah staf pengajar di program studi Ilmu Komunikasi, Universitas Islam Indonesia, fokus di bidang minat komunikasi strategis. Alumni S1 dari Jurusan Ilmu Komunikasi Universitas Diponegoro dan S2 Magister Ilmu Komunikasi Universitas Padjadjaran. Penulis melakukan beberapa penelitian terkait media dan komunikasi dakwah. Pernah menjadi editor buku Media Islam: Kajian Media dan Audiens, dan menulis artikel di beberapa buku, jurnal, dan media online. 42 International Conference of Communication, Industry, and Community. Bali, 3-4 Maret 2016 ISBN: 978-602-74139-1-7 LOGIKA JANGKA PENDEK JURNALISME ONLINE (STUDI KASUS REPUBLIKA ONLINE) Ratna Puspita [email protected] Abstract This thesis aims to reveal the impact of the new capitalism on online journalism. The new capitalism is built with short-term logic, that the process should be fast to gain an advantage. This research uses a critical paradigm and a case study as a research strategy. Data were collected through interviews, observation, and analysis of the news. Data analysis methods, namely short-term logic belong to Richard Sennett. Determination encourage enterprise technology is constantly changing, so bring political uselessness and consumption put the news as a commodity. Journalism is characterized by short-term quick news, stripping, sensational, share content, hot topics, and viewers. The short-term logic in order to returns the yellow journalism to the new media and exploitation journalists. Keywords: new capitalism, short-term logic, online journalism Abstrak Tesis ini bertujuan mengungkap dampak kapitalisme baru terhadap jurnalisme online. Kapitalisme baru dibangun dengan logika jangka pendek, yaitu proses harus berlangsung dengan cepat untuk mendapatkan keuntungan. Penelitian ini menggunakan paradigma kritis dan studi kasus sebagai strategi penelitiannya. Data dikumpulkan melalui wawancara, observasi, dan analisis berita. Metode analisis data, yaitu logika jangka pendek milik Richard Sennett. Determinasi teknologi mendorong perusahaan terus berubah sehingga memunculkan ketidakgunaan dan politik konsumsi yang menempatkan berita sebagai komoditas. Jurnalisme jangka pendek ditandai dengan berita ringkas, stripping, sensasional, berbagi konten, topik terhangat, dan viewers. Logika jangka pendek mengembalikan jurnalisme kuning ke media baru dan mengeksploitasi wartawan. Kata Kunci:Kapitalisme baru, logika jangka pendek, jurnalisme online Pendahuluan Latar Belakang Masalah Musikus Ahmad Dhani melaporkan 17 media online ke Dewan Pers pada 21 Juli 2014. Sebanyak 17 media online tersebut memberitakan tentang ‘janji’ Dhani untuk memotong kemaluannya kalau Joko Widodo (Jokowi) memenangi Pemilihan Umum Presiden 2014. Ketika melapor, Dhani (2014) menyatakan pemberitaan tersebut sebagai fitnah. Media online tersebut telah menulis berita berdasarkan sumber yang tidak 43 International Conference of Communication, Industry, and Community. Bali, 3-4 Maret 2016 ISBN: 978-602-74139-1-7 kredibel. Dia pun mempertanyakan mengapa 17 media online tersebut mengambil bahan berita dari sumber fiktif.1 Beberapa media online yang dilaporkan Dhani tidak termasuk media online yang menghasilkan produk jurnalistik. Namun, sebagian lainnya merupakan media online yang menjadi ranah Dewan Pers, yaitu Liputan6.com, Republika Online, Haionline, Okezone, Merdeka.com, Detikforum, Kapanlagi.com, dan Kompasiana.2 Kasus tersebut menunjukkan media online telah mengabaikan verifikasi dan konfirmasi ketika memuat berita. Padahal, media online terikat pada prinsip jurnalistik yang mengharuskan adanya pemeriksaan dan verifikasi fakta agar tidak menyajikan berita fiktif. Bill Kovach dan Tom Rosentiels (2001) menyatakan esensi jurnalisme adalah disiplin verifikasi. Verifikasi membedakan karya jurnalisme dengan hiburan, propaganda, fiksi, atau seni. Disiplin verifikasi dilakukan dengan cara mewawancarai lebih banyak sumber berita dan meminta komentar dari berbagai pihak. (Kovach dan Rosentiels, 2001:85) Kemunculan media online seharusnya mendorong kreativitas wartawan. Sebab, media online melengkapi kekurangan surat kabar yang memiliki ruang terbatas. Setiap halaman di surat kabar hanya dapat memuat lima sampai enam berita. Setiap berita hanya dapat memuat paling banyak 4.000 karakter. Media online tidak memiliki batasan halaman dan karakter. Tidak ada lagi berita layak yang tidak bisa naik dengan alasan kekurangan ruang di koran. Wartawan pun dapat memilih angle atau sudut pandang berita yang lebih bervariasi. Wartawan juga dapat menuangkan ide dan menulis dengan lebih bebas karena tidak ada batasan karakter. Awalnya, wartawan pun menyambut baik konsep tersebut dan optimistis sinergi antara media cetak dan media online bakal berjalan. Kendati demikian, sindrom logika jangka pendek mengubah harapan tersebut. Sindrom logika jangka pendek ini merupakan buah dari kapitalisme baru. Kapitalisme baru merujuk pada era di mana nilai mata uang tidak stabil, meningkatnya penggunaan teknologi komunikasi massa lewat meledaknya dot.com, dan siklus pada 1990an. Istilah ‘kapitalisme baru’ bukan berarti menunjukkan tujuan yang berbeda dari pemilik modal. Tujuan kapitalisme baru tidak berbeda dengan kapitalisme era Karl Marx, yaitu mencari keuntungan bagi pemilik modal. (Doogan, 2009:2; Sennett, 2006:40) Tujuan Penelitian Tekanan teknologi dan ekonomi serta wajah jurnalisme media online di Indonesia ini membuat penulis tertarik. Karena itu, penulis ingin melihat beberapa hal yang dirumuskan melalui pertanyaan berikut ini: Bagaimana 1 http://www.tempo.co/read/news/2014/07/21/219594731/berita-potong-kelamin-ahmaddhani-ke-dewan-pers 2 http://www.tribunnews.com/pemilu-2014/2014/07/21/ahmad-dhani-laporkan-17-mediaonline-ke-dewan-pers 44 International Conference of Communication, Industry, and Community. Bali, 3-4 Maret 2016 ISBN: 978-602-74139-1-7 kapitalisme baru yang memunculkan logika jangka pendek berdampak pada praktik jurnalisme online di Indonesia? Beranjak dari rumusan masalah di atas, penelitian ini bertujuan mendeskripsikan determinasi ekonomi dan teknologi berdampak pada jurnalisme online di Indonesia. Jurnalisme online mengadopsi logika jangka pendek (shortterm thinking) sehingga tidak sadar wartawan bekerja hanya untuk kepentingan kapitalisme. Tinjauan Pustaka Logika Jangka Pendek Logika jangka pendek (short-term thinking) merupakan konsep milik Richard Sennett dalam bukunya The Culture of the New Capitalism (2006). Sennett (2006:176-177) menyatakan bahwa logika jangka pendek menekankan pada proses cepat dengan mencurigai kelambanan dan bentuk-bentuk perkembangan berkelanjutan atau ajeg. Logika jangka pendek menuntut proses berlangsung cepat, instan, dan tidak terlambat. Proses yang berjalan lambat dan ajeg dapat mengindikasikan kegagalan dan bisa menghambat tujuan perusahaan. Logika jangka pendek merupakan buah dari kapitalisme baru. Istilah ‘kapitalisme baru’ bukan berarti menunjukkan tujuan yang berbeda dari pemilik modal. Tujuan kapitalisme baru tidak berbeda dengan kapitalisme era Marx, yaitu mencari keuntungan bagi pemilik modal. (Sennett, 2006:40). Sennett menyodorkan argumen bahwa budaya kapitalisme baru bergerak tidak berbeda dengan era Karl Marx, ketika lapisan sosial hanya tersusun antara kelas pekerja dan pemilik modal. Pada kapitalisme baru, ekonomi masih menjadi struktur utama yang menentukan dasar kehidupan individu dan masyarakat. Perbedaannya terletak pada cara mendapatkan keuntungan. Kapitalisme baru ditandai dengan pemilik modal yang menginginkan hasil jangka pendek dibandingkan jangka panjang. Pemilik modal atau investor lebih berkepentingan pada keuntungan jangka pendek lewat harga saham daripada keuntungan jangka panjang dalam dividen. Pemilik modal yang berorientasi pada hasil jangka panjang ini menunjukkan ketidaksabaran. Sennett pun menggunakan istilah milik Bennet Harrison, yaitu kapitalisme tidak sabar (impatient capital). (Sennett, 2006:5-7 & 39-40) Pemilik modal yang tidak sabar akan memastikan perusahaan berorientasi pada tujuan dan hasil jangka pendek. Perusahaan harus dapat berubah dan beradaptasi dengan tren untuk mencapai tujuan jangka pendek. Pemilik modal pun akan memastikan perusahaan melakukan proses yang berlangsung dan tidak terlambat. Perusahaan yang berorientasi jangka pendek akan mendorong pekerja beradaptasi dengan perubahan dan tren. Kapitalisme baru pun mendorong para pekerja juga mengadopsi logika yang sama dengan para pemilik modal, yaitu logika jangka pendek. 45 International Conference of Communication, Industry, and Community. Bali, 3-4 Maret 2016 ISBN: 978-602-74139-1-7 Sennett (2006:5-7) mengatakan, semua pekerja yang berpikir dengan logika jangka pendek bahwa dia akan kaya dengan mengembangkan potensinya dan tidak menyesali apapun. Ketika seorang pekerja berorientasi jangka pendek maka dia bersedia melepaskan pengalaman masa lalu. Ini yang kemudian memunculkan prinsip ketidakgunaan dalam budaya kapitalisme baru. Pekerja merasa tidak berguna ketika dia tidak bisa beradaptasi dengan berbagai perubahan. Pekerja pun terdorong untuk selalu beradaptasi dan mengikuti tren terbaru agar perusahaan tetap menganggapnya berguna. Ketidakgunaan ini membuat pekerja khawatir akan kehilangan pekerjaan. Perubahan yang tiba-tiba dalam sebuah perusahaan akan memproduksi kecemasan dan kegelisahan. Budaya kapitalisme baru pun tidak mendatangkan pencerahan, melainkan mendorong terjadinya kerusakan struktural di masyarakat. Sebab, kapitalisme tidak sabar gagal menciptakan komunitas yang menekankan pada hubungan tatap muka berdasarkan kepercayaan dan solidaritas. Kapitalisme baru membuat hubungan harus terus diperbaharui, alam komunal di mana setiap peka terhadap kebutuhan orang lain (Sennett, 2006:177 & 2). Kapitalisme baru atau kapitalisme tidak sabar didasarkan pada logika jangka pendek yang mendorong setiap individu, baik itu pemilik modal, kelas menengah atau buruh intelektual, dan pekerja, untuk mencari keuntungan dan kekayaan pribadi. Pada era kapitalisme baru, perusahaan mendorong pekerja beradaptasi dengan perubahan dan menerapkan pola kerja dinamis. Perubahaan terus-menerus ini menyebabkan pekerja merasa tidak aman sehingga kapitalisme baru pun mengacaukan nilai-nilai di masyarakat. Jika dikaitkan dengan penelitian ini maka logika jangka pendek mendorong perusahaan media online, termasuk pemilik media online dan wartawan media online, hanya mengejar keuntungan dan kekayaan pribadi. Perusahaan media online harus beradaptasi dengan perubahan-perubahan dan mengikuti tren terbaru, termasuk perubahan teknologi. Proses selanjutnya, wartawan media online akan mengadopsi logika jangka pendek tersebut. Perubahan mendadak itu menyebabkan kekacauan nilai-nilai dan prinsip sehingga media online gagal menjadi pencerah bagi publik. Sennett (2006:12) menjelaskan bagaimana kerusakan struktural yang didasari logika jangka pendek terjadi dalam tiga hal, yaitu perubahan-perubahan dalam institusi atau organisasi, pekerja yang semakin teralienasi, dan perilaku konsumsi masyarakat. Komodifikasi Media Online Dallas Smythe mengumpakan berita sebagai ‘makan siang gratis’. Perusahaan media menyajikan berita dengan tujuan untuk membujuk calon pembaca dan mempertahankan perhatian mereka. Sebagai ‘makan siang gratis’, menyatakan, berita ditulis sesuai selera calon pengunjung media online agar mereka tertarik mengunjungi situs. (Smythe dalam Durham & Kellner: 2006:242) Upaya membujuk pembaca ini mengantarkan pada proses komodifikasi khalayak. Perusahaan media mendefinisikan khalayak sebagai komoditas karena industri-industri ingin memperlihatkan keberadaan mereka. Industri ingin 46 International Conference of Communication, Industry, and Community. Bali, 3-4 Maret 2016 ISBN: 978-602-74139-1-7 mengukur ide penonton. Perusahaan media memiliki kepentingan memvalidasi ide penonton agar memiliki makna dan koheren. Jika perusahaan media tidak dapat menentukan karakteristik khalayak untuk memvalidasi investasi oleh pendukung dan pengeluaran oleh pengiklan maka mereka tidak memiliki bisnis. (Mosco, 2009:12; Wayne, 2003:87) Komodifikasi khalayak terjadi ketika pemasang iklan membayar khalayak media dalam ukuran dan kualitas tertentu agar perusahaan media tersebut mendapat pemasukan. Herman dan Chomsky (1994) menyatakan bahwa sebagian besar media massa memiliki ketergantungan pada pemasukan iklan dan ini lah yang menekan bentuk konten media. (Wayne, 2003:83) Christian Fuchs (dalam McQuail, 2010:97) menggunakan pendekatan ekonomi politik media untuk meneliti komodifikasi di internet. Fuchs yang mengembangkan ide Smythe menyatakan pondasi ekonomi internet berada pada komodifikasi pengguna platform akses gratis. Kendati demikian, bukan berarti internet tidak melakukan komodifikasi khalayak. Fuchs (2012) menyatakan akses atau konten konten memang tidak dijual sebagai komoditas, namun perusahana media melakukan komoditas dalam bentuk lain seperti mengkomodifikasi data pengguna internet. Para pengiklan tidak hanya tertarik dengan waktu yang dihabiskan pengguna internet, namun konten yang bersifat user-generated dan kebiasaan-kebiasaan pengguna internet. Data para pengguna seperti informasi mengenai berbagai hal yang diunggah, jaringan sosial, hobi mereka, data demografis, laman-laman yang dikunjungi, dan interaksi dijual kepada para pengiklan sebagai komoditas. Para wartawan juga tidak lepas dari komodifikasi karena menukar kemampuan menulis dengan upah. Komodifikasi wartawan terjadi karena wartawan memiliki nilai tambah. Nilai tambah tersebut melekat pada berita yang ditulis, diedit, dan diunggah oleh wartawan. Mosco (2009) menyatakan bahwa peran wartawan sebagai pekerja yang diupah telah meningkat secara signifikan di perusahaan media. Penulis memahami bahwa perusahaan media telah melakukan komodifikasi. Proses komodifikasi yang dilakukan, yaitu penyajian berita untuk menjaring banyak pembaca. Media online menyajikan berita untuk mendapatkan banyak pembaca. Selanjutnya, perusahaan media online menjual data mengenai pembaca ini kepada para pengiklan. Dalam proses ini, wartawan menukar kemampuannya menulis dengan menulis berita-berita yang dapat menjaring berita sebanyak-banyaknya. Metodologi Penulis berencana menunjukkan bagaimana kapitalisme baru yang dibangun dengan logika jangka pendek berdampak terhadap jurnalisme media online di Indonesia. Penulis juga ingin mengungkapkan upaya perusahaan mencari keuntungan di media online berdampak terhadap praktik kerja wartawan di media online. Penulis berasumsi jurnalisme media online lebih sering mengedepankan pesan-pesan sensasional karena wartawan tanpa disadari bekerja 47 International Conference of Communication, Industry, and Community. Bali, 3-4 Maret 2016 ISBN: 978-602-74139-1-7 untuk keuntungan perusahaan. Penulis melihat kondisi itu memunculkan ancaman terhadap masa depan jurnalistik di Indonesia berdasarkan praktik yang berlaku di media online. Sebab, jurnalisme media online berada dalam situasi dilematis, yaitu sebagai sarana pendidikan dan sebagai sarana yang menjual pesan sensasional. Berdasarkan hal tersebut, penulis menggunakan paradigma kritis dalam penelitian ini. Agus Salim mengutip Dedy N Hidayat (2006:72) mengatakan, paradigma kritis mentakrifkan ilmu sosial sebagai proses kritis mengungkap the real structure di balik ilusi dan kebutuhan palsu yang ditampakkan dunia materi, guna mengembangkan kesadaran sosial untuk memperbaiki kondisi kehidupan subyek penelitian. Penulis akan menggambarkan logika yang mendasari penyajian berita di media online. Penulis juga akan berusaha mengungkap perusahaan media online telah ‘memaksa’ wartawan bekerja keras demi keuntungan pemilik modal. Namun, wartawan tidak menyadari proses tersebut karena kepatuhannya terhadap proses kerja di media online. Penulis berharap hasil penelitian ini dapat mengembangkan kesadaran sosial untuk memperbaiki kondisi kehidupan subyek penelitian. Metode penelitian dalam ilmu sosial, yaitu kualitatif dan kuantitatif. Penulis ingin menunjukkan praktik kerja di media massa yang diatur oleh motif mencari keuntungan. Data untuk penelitian ini bukan merupakan data yang bisa diukur dengan statistik. Karena itu, penelitian ini menggunakan metode kualitatif yang memberi peluang yang besar bagi dibuatnya interpretasi-interpretasi alternatif. Penggunaan metode kualitatif juga sejalan dengan paradigma kritis. Agus Salim (2006:80) mengatakan, paradigma kritis memandang hubungan antara periset dan objek sebagai hal yang tidak terpisahkan. Paradigma kritis menekankan konsep subjektivitas dalam melakukan penelitian. Penelitian kualitatif menekankan pada subyektivitas peneliti. John W Creswell (2010:4-5) menjelaskan penelitian kualititatif merupakan metode untuk mengeksplorasi dan memahami makna yang-oleh sejumlah individu atau sekelompok orang-dianggap berasal dari masalah sosial atau kemanusiaan. Proses penelitian kualitiatif ini melibatkan upaya-upaya penting, seperti mengajukan pertanyaan-pertanyaan dan prosedur-prosedur, mengumpulkan data yang spesifik dari partisipan, menganalisis data secara induktif mulai dari tema khusus ke tema umum, dan menafsirkan data. Penelitian kualitatif menekankan pada pertanyaan penelitian untuk mengarahkan peneliti. Pertanyaan penelitian menunjukkan konsep-konsep dalam permasalahan penelitian. Menurut Robert K Yin (2002:7), pertanyaan penelitian dapat membantu peneliti menentukan strategi penelitian yang akan digunakan. Penulis mengajukan pernyataan, bagaimana kapitalisme baru yang menghasilkan logika jangka pendek berdampak terhadap jurnalisme online? Menurut Yin, penulis dapat menggunakan strategi studi kasus kalau mengajukan pertanyaan ‘bagaimana’ atau ‘mengapa’. Yin (2002:9) menjelaskan pertanyaan ‘bagaimana’ lebih mengarah pada hasil temuan yang eksplanatoris. 48 International Conference of Communication, Industry, and Community. Bali, 3-4 Maret 2016 ISBN: 978-602-74139-1-7 Temuan tersebut berkenaan dengan kaitan-kaitan operasional yang menuntut pelacakan waktu tersendiri, dan bukan sekedar frekuensi atau kemunculan. Yin (2002:13) menyatakan syarat pemilihan studi kasus sebagi strategi studi kasus tidak hanya berdasarkan pertanyaan penelitian yang dimulai dengan ‘bagaimana’ atau ‘mengapa’. Syarat lainnya, yaitu pertanyaan penelitian diarahkan terhadap serangkaian peristiwa kontemporer sehingga peneliti hanya memiliki peluang yang sangat kecil atau tidak mempunyai peluang sama sekali untuk melakukan kendali terhadap peristiwa tersebut. Penelitian ini terkait dengan logika yang mendasari praktik kerja di media online berdampak pada jurnalisme online. Penulis berpendapat logika yang mendasari praktik kerja di media online merupakan hal yang kontemporer atau kekinian. Masalah tersebut masih berlangsung hingga kini. Penulis juga menempatkan praktik kerja di media online yang menjadi subyek penelitian sebagai kasus. Berdasarkan argumen tersebut, penelitian ini akan menggunakan studi kasus sebagai strategi penelitian. Creswell (2010:2) mengatakan, studi kasus merupakan strategi penelitian di mana peneliti menyelidiki dengan cermat suatu program, peristiwa, aktivitas, proses, atau sekelompok individu. Kasus-kasus dibatasi oleh waktu dan aktivitas. Penulis akan menyelidiki dengan cermat aktivitas dan proses penyajian berita media online. Aktivitas tersebut meliputi peliputan dan pengunggahan berita. Untuk menentukan subyek penelitian, penulis memilih perusahaan media online yang bisa memberikan data dan fakta paling kaya. Penulis memilih Republika Online yang termasuk media online tertua di Indonesia. Republika Online juga merupakan media online yang terafiliasi dengan media cetak, yaitu Republika. Penulis akan melakukan wawancara mendalam dengan wartawan Republika Online serta observasi di Republika Online. Wartawan Republika Online yang menjadi narasumber dalam penelitian ini, yaitu Redaktur Nasional Erik Purnama Putra, Redaktur Nasional Esthi Maharani, Wakil Redaktur Pelaksana Joko Sadewo, dan Redaktur Pelaksana Maman Sudiaman. Penulis juga akan melakukan analisis isi terhadap berita-berita yang ditayangkan Republika Online dalam periode waktu 7 sampai 10 Mei 2015. Penulis memilih berita berdasarkan isu yang menjadi perhatian (hot topic) Republika Online pada periode waktu tersebut. Isu-isu yang menjadi hot topic pada kurun tersebut, yaitu desain kafe milik putra Presiden Joko Widodo, Gibran Rakabuming Raka, kontroversi Sabda Raja Sulta Hamengku Buwono X, dan prostitusi artis. Penulis akan menganalisis berita dan wawancara dengan wartawan Republika Online dengan logika jangka pendek milik Richard Sennett. Hasil Temuan dan Diskusi Republika Online Harus Terus Berubah Republika Online merupakan situs berita pertama di Indonesia. Selama 13 tahun, Republika Online menjadi medium yang memuat ulang atau duplikasi 49 International Conference of Communication, Industry, and Community. Bali, 3-4 Maret 2016 ISBN: 978-602-74139-1-7 berita-berita yang telah dimuat di Harian Republika dengan cara lengkap. Tujuan utama penerbitan Republika versi internet adalah untuk melayani pembaca yang tidak terjangkau distribusi koran cetak dan untuk pembaca yang berada di luar negeri. Tujuan Republika Online tersebut seperti pernyataan Marshall McLuhan bahwa medium atau teknologi untuk memperluas fungsi karena adanya keterbatasan. Pada awal penerbitannya, Republika Online memperluas fungsi distribusi Harian Republika sehingga masyarakat yang tidak terjangkau bisa membaca berita-berita yang ditulis oleh wartawan Republika. Namun, Republika Online tidak memperluas fungsi menyampaikan berita dengan cepat. Determinasi teknologi dan ekonomi membuat Republika Online harus mengubah tujuan tersebut. Determinasi teknologi, yaitu meningkatnya penggunaan teknologi komunikasi. Determinasi ekonomi karena adanya tekanan mendapatkan keuntungan. Republika Online tidak bisa lagi hanya memperluas fungsi distribusi Harian Republika. Republika Online harus pula memperluas fungsi menyampaikan berita dengan cepat. Republika Online harus menjadi medium yang berbeda dari Harian Republika dan menayangkan berita-berita berbeda setiap detik. Republika Online menganggap bahwa adaptasi tersebut sesuatu yang wajar dan harus dilakukan karena perkembangan teknologi komunikasi. Sebab, penggunaan teknologi komunikasi seperti telepon pintar, yang memungkinkan setiap orang mengakses informasi di mana saja dan kapan saja, semakin meningkat. Semua harus ikut perkembangan teknologinya. Sekarang semua orang pakai gagdget, enggak punya waktu untuk beli koran, ya udah tinggal ekspansi aja ke media yang bisa diakses banyak orang. Peluangnya lebih besar, pasarnya lebih besar. Dari online, bisa hidup juga. Bisa punya pendapatan juga. Peluang bisnisnya memang ada. (Esthi Maharani, 2015) Republika Online pun beralasan bahwa berbagai perubahan tersebut untuk memenuhi kebutuhan pembaca atas informasi, dan berekspresi. Alasan memenuhi kebutuhan pembaca tersebut merupakan kesadaran palsu yang dibentuk kapitalisme baru. Determinasi teknologi tidak berjalan sendirian, melainkan beriringan dengan determinasi ekonomi. Bahkan, ekonomi menjadi landasan utama Republika Online mengubah tujuan utama penerbitan di internet. Republika Online beradaptasi dengan perkembangan teknologi komunikasi, mengubah tujuan utama penerbitan versi internet, melakukan perubahan struktur dan pola kerja, untuk mendapatkan keuntungan bagi perusahaan dan terutama pemilik modal (kapitalisme). Dorongan beradaptasi dengan teknologi pun membuat Republika Online melakukan perubahan struktur dan pola kerja. Ada dua hal yang menjadi perhatian penulis untuk menunjukkan perubahan Republika Online berdasarkan motif ekonomi, yaitu mencari keuntungan pemilik modal. Pertama, Republika Online harus menjadi organisasi yang fleksibel sehingga mampu beradaptasi dan 50 International Conference of Communication, Industry, and Community. Bali, 3-4 Maret 2016 ISBN: 978-602-74139-1-7 melakukan perubahan terus-menerus. Kedua, perusahaan yang terus mengalami perubahan membuat wartawan harus mampu berubah. Namun, perubahanperubahan tersebut memunculkan kecemasan (insecurity). Kecemasan itu membuat wartawan berpikir dia bekerja demi kesejahtraan dirinya. Wartawan tidak menyadari sebenarnya dia bekerja hanya keuntungan pemilik modal. Dalam kondisi ini, wartawan pun teralienasi ketika melakukan pekerjaannya. Determinasi ekonomi menuntut perusahaan untuk berubah, termasuk perusahaan media massa. Perubahan yang dilakukan oleh perusahaan, di antaranya adopsi perkembangan teknologi terbaru. Ini yang mempertemukan determinasi ekonomi dan teknologi. Perusahaan media massa seperti Republika harus beradaptasi dengan perkembangan teknologi komunikasi massa, yaitu internet. Ketika banyak orang menggunakan gadget maka penetrasi internet meningkat. Ini membuka peluang bisnis bagi perusahaan media cetak untuk melakukan ekspansi ke internet. Perusahaan media massa harus mengembangkan media online menjadi entitas bisnis yang menguntungkan. Karena itu, Republika pun mengikuti tren media cetak harus mengembangkan media online. Ini industri yang tidak bisa kita lawan juga. Trennya media cetak harus memiliki online. Mau enggak mau harus dikembangin, kedua-duanya harus dikembangin. (Erik Purnama Putra, 2015) Perubahan layanan berita Republika Online, yaitu dari medium yang mempromosikan Harian Republika menjadi medium yang mengandalkan kecepatan, mengubah penyajian berita. Republika Online menyajikan berita dengan cepat, breaking news, stripping, dan pendek. Republika Online ketika itu hanya mempromosikan berita-berita yang ada di koran. Semua berita yang muncul di koran ditempel di media online, tapi tidak ada berita yang model seperti sekarang, yang breaking news, kecepatan mengikuti peristiwa baru. (Joko Sadewo, 2015) Wartawan pun harus beradaptasi dengan cara kerja tersebut yang sesuai dengan penyajian tersebut. Wartawan harus siap dengan pola kerja yang dinamis dan berubah setiap saat. Ketika berita disajikan dengan cara breaking news karena kecepatan berita harus mengikuti peristiwa baru maka wartawan pun dituntut agar tidak ketinggalan menyajikan berita. Reporter tidak lagi berhadapan dengan tenggat pengiriman berita (deadline) pada sore hari seperti yang berlaku pada surat kabar, melainkan tenggat ‘setiap saat’. Reporter harus segera mengirimkan berita setelah dia mendapatkan fakta, baik peristiwa maupun komentar dari seorang narasumber. Reporter harus kembali mengirimkan tulisan untuk melengkapi berita pertama. Ketika komentar narasumber terlalu panjang, reporter juga harus bisa mengirimkannya secara terpisah-pisah. Reporter pun harus terbiasa berpikir cepat, mengirimkan berita dengan cepat, dan menuliskan informasi ringkas dengan cara memenggal informasi karena berita harus segera ditayangkan. 51 International Conference of Communication, Industry, and Community. Bali, 3-4 Maret 2016 ISBN: 978-602-74139-1-7 Reporter juga harus mengadopsi tren perangkat teknologi ketika mengirimkan berita. Perangkat teknologi yang menjadi tren, yaitu perangkat yang fleksibel dan dapat dibawa ke mana saja. Wartawan tidak bisa lagi mengolah berita dengan perangkat yang tidak fleksibel seperti komputer desktop. Tuntutan menyajikan berita dengan cepat mewajibkan wartawan menggunakan telepon seluler pintar, tablet, atau netbook. Perangkat itu juga harus terkoneksi dengan internet agar wartawan tidak mengalami kendala pengiriman berita dengan cepat. Pengiriman berita dengan cepat tidak cukup bagi perusahaan. Wartawan juga ‘terpaksa’ sepakat dengan konsep multiplatform, yaitu kewajiban menyuplai berita untuk media cetak dan media online. Determinasi teknologi memunculkan kecemasan profesi wartawan media cetak akan punah. Kecemasan profesi wartawan cetak akan punah menggambarkan adanya ketakutan menghilangnya keterampilan. Adanya kekhawatiran keterampilannya akan punah (skill extinction) memunculkan prinsip ketidakgunaan (Sennett, 2006:4). Jika tidak berguna maka wartawan bisa kehilangan pekerjaan. Wartawan mengikuti logika perusahaan bahwa konsep multiplatform merupakan jalan tengah agar profesi wartawan media cetak tetap langgeng dan media online bisa mendatangkan keuntungan. Padahal, wartawan sedang dimanfaatkan demi kepentingan bisnis pemilik modal. Jurnalisme dengan Logika Jangka Pendek Motif mencari keuntungan mendorong perusahaan media online untuk menjadi institusi yang tidak kaku dan fleksibel. Perusahaan media online harus mampu melakukan perubahan terus-menurun untuk beradaptasi dengan tren terbaru, termasuk perkembangan teknologi. Perusahaan yang fleksibel, pola kerja dinamis, dan keharusan mengadopsi teknologi terbaru mendorong wartawan tidak lagi menyelesaikan pekerjaan berdasarkan kemampuan yang dimiliki, melainkan tugas yang harus diselesaikan. Logika jangka pendek membuat wartawan mengadopsi kepribadian konsumen, yaitu berusaha mengkonsumsi tren terbaru. Gairah konsumsi menggerakan pola konsumsi wartawan. Selanjutnya, perusahaan media online dan wartawan menempatkan informasi sebagai barang dagangan. Kuantitas informasi menjadi lebih penting dalam komunikasi (Sennettt, 2006:172). Informasi yang mengandalkan kuantitas dibandingkan kualitas ini pun meminggirkan prinsip jurnalisme yang sudah berlangsung bertahun-tahun, sebelum perkembangan mdia online. Kapitalisme baru yang dibangun dengan logika jangka pendek pun berdampak pada penerapan prinsip dan nilai-nilai jurnalisme. Penulis akan menunjukkan kekacauan penerapan prinsip jurnalisme oleh media online melalui dua poin: jurnalisme dengan logika jangka pendek dan dilema wartawan. Republika Online berusaha menyajikan berita sesuai dengan karakteristik dan keinginan pembaca. Pembaca media online mengakses berita menggunakan gadget atau perangkat teknologi yang mudah dibawa (mobile) dan terkoneksi dengan internet. Ini mendorong media online hanya mengikuti logika penyajian berita berdasarkan karakter internet, yaitu kecepatan. Kecepatan pun menjadi 52 International Conference of Communication, Industry, and Community. Bali, 3-4 Maret 2016 ISBN: 978-602-74139-1-7 ‘dewa’ bagi perusahaan media online. Sebab, kecepatan menyajikan atau mengunggah berita ini juga merupakan upaya untuk menarik dan mempertahankan perhatian pembaca. Saya melihatnya, (kecepatan) itu karena ngejar rating, viewer, dan persepsi masyarakat bahwa media ini sering duluan sehingga bisa jadi media rujukan. …Karena jualan media online itu kan kecepatan, bikin berita duluan, isu yang enggak digarap media lain. Untuk menarik pembaca, kecepatan nomor satu. Logika jangka pendek ini membuat media online berada dalam tuntutan agar tidak terlambat menyajikan berita, tidak didahuli media lain. Penyajian berita mengandalkan kecepatan, yaitu kecepatan pengiriman berita mengikuti peristiwa baru. Berita-berita dikirim dan diunggah dalam jeda waktu sedekat mungkin dengan peristiwa yang terjadi atau wawancara narasumber. Penyerahan konten terhadap karakteristik pembaca ini menunjukkan transformasi berita menjadi komoditi atau barang dagangan. Berita yang menjadi ‘barang dagangan’ bukan berarti media online menjual berita kepada pembaca. Pembaca bisa mengakses berita-berita Republika Online dengan gratis. Namun, pembaca akan mempertahankan perhatiannya kalau penyajian berita sesuai dengan keinginannya. Media online menjadikan berita seperti apa yang disebut Dallas Smythe, ‘makan siang gratis’ untuk membujuk calon pembaca dan mempertahankan perhatian mereka. Sebagai ‘makan siang gratis’, Smythe (dalam Meenakshi Gigi Durham, Douglas M. Kellner: 2006:242) menyatakan, berita ditulis sesuai selera calon pengunjung media online agar mereka tertarik mengunjungi situs. Media online akan mendapatkan keuntungan dengan menjual data pembaca kepada pengiklan. Agar pengunjung situs tidak turun, media online mengadopsi logika jangka pendek. Ada enam hal untuk memahami penyajian jurnalisme online mengikuti logika jangka pendek, yaitu berita ringkas, stripping, sensasional, berbagi konten atau sharing content, topik terhangat (hot topic), serta clickers dan viewers. Simpulan Media online berlomba menyiarkan yang sensasional atau superfisial meski harus mengorbankan prinsip-prinsip jurnalisme agar pembaca, clickers, atau viewers tidak mengalami penurunan. Persaingan membuat media online menghalalkan semua cara untuk menyajikan berita paling cepat dan isu yang berbeda. Berita senasional dan bombatis merupakan bentuk terendah jurnalisme. Straubhaar, LaRose, dan Lucinda Davenport (2014:484) juga menyatakan bahwa sensasionalisme merupakan cara untuk memuaskan selera yang buruk. Sensasionalisme juga bukan hal yang baru dalam dunia jurnalisme. Sensasionalisme telah menjadi karakteristik jurnalisme kuning yang muncul ketika Joseph Pulitzer dari New York World William Randolph Hearst dan New 53 International Conference of Communication, Industry, and Community. Bali, 3-4 Maret 2016 ISBN: 978-602-74139-1-7 York Journal bersaing memperbutkan sirkulasi atau oplah surat kabar. Persaingan keduanya semakin memanas sehingga kedua surat kabar memanfaatkan segala cara untuk mengubah berita yang membosankan menjadi sensasional. Kedua surat kabar itu pun mengandalkan cerita penuh sensasi, detail seksual, dan grafis pada 1890an. Jurnalisme kuning adalah gaya jurnalistik yang digunakan untuk mengumpulkan pembaca yang lebih banyak sehingga menekankan pada foto dan pilihan cerita yang sensasional, dan sering kali hoax dan wawancara palsu. Hal ini menyebabkan wartawan untuk melupakan etika karena mereka menggunakan bahasa yang berbunga-bunga atau dengan kata lain penurunan kualitas jurnalistik (Straubhaar, LaRose, dan Lucinda Davenport, 2014:95). Tidak hanya jurnalisme kuning, kapitalisme baru pun telah menempatkan wartawan sebagai sumber daya untuk dieksploitasi, bukan sebagai modal yang perlu diperbaharui melalui pelatihan. Kapitalisme baru menukar kreativitas wartawan dengan uang. Penulis menyadari bahwa masih ada banyak hal yang belum diungkapkan dari media online. Karena itu, penulis menganggap perlu ada penelitian lanjutan terkait media online. Perlu ada penelitian lanjutan untuk mengetahui kredibilitas media online terkait dengan konten yang mereka tawarkan dan terkait juga dengan etika jurnalisme media online. Penelitian lanjutan lainnya terkait dengan laman penyedia konten analisis seperti Alexa, Effective Measure, dan Google Analytic. Penelitian lainnya seperti kanibalisme media cetak dan media online. Saran praktis, perusahaan media online harus mengubah pola kerja yang menempatkan wartawan sebagai pekerja untuk dieksploitasi. Perusahaan media online harus mengubah penilaian pada produktivitas. Sebab, sistem tersebut memunculkan ketidakadilan dan justru memenjara wartawan pada keharusan mengirim berita sebanyak-banyaknya. Daftar Pustaka Buku Agus, Salim. 2005. Teori dan Paradigma Penelitan Sosial. Yogyakarta: Tiara Wacana. Berkman, Robert I, dan Christopher A Shumway. 2003. Digital Dilemmas: Ethical Issues for Online Media Professionals. Iowa: Iowa State Press. Borden, Sandra. 2010. Journalism as Practice: MacIntyre, Virtue Ethics and the Press. York: Routledge. Boiko, Bob. 2005. Content Management Bible (2nd Edition). Indianapolis: Wily Publishing. Craig, Richard. 2005. Online Journalism: Reporting, Writing, and Editing For New Media. Thomson-Wadsworth. Creswell, John W. Penerjemah Achmad Fawaid. 2009 (Edisi Ketiga). Research Design: Pendekatan Kualitatif, Kuantitatif, dan Mixed. Denzin, NK, dan Lincoln YS (Ed). 1994. Handbook of Qualitative Research. London: Sage Publication. 54 International Conference of Communication, Industry, and Community. Bali, 3-4 Maret 2016 ISBN: 978-602-74139-1-7 Dominick, Joseph R. 2009 (tenth edition). The Dynamics of Mass Communication: Media in the Digital Age. New York: McGraw-Hill. Doogan, Kevin. 2009. New Capitalism?: The Transformation of Work. Cambridge: Polity Press. Durham, Meenakshi Gigi, dan Douglas M Keller. 2006. Media and Cultural Studies: Keyworks. Blackwell Publishing. E Kristi, Poerwandari. 2007 (edisi ketiga). Pendekatan Kualitatif untuk Penelitian Perilaku Manusia. Depok: Lembaga Pengembangan Sarana Pengukuran dan Pendidikan Psikologi (LPSP3). Fidler, Roger. 2003. Terjemahan Hartono Hadikusumo. Mediamorfosis: Memahami Media Baru. Yogyakarta: Bentang Budaya. Flew, Terry. 2005 (Second Edition). New Media: An Introduction. Oxford: Oxford University Press. Grant, August E, dan Jennifer H Meadows (Ed). 2010 (12th edition). Communication Technology Update and Fundamentals. Oxford: Focal Press. Griffin, EM. 2012 (eight edition). A First Look at Communication Theory. New York: McGraw-Hill. Haryatmoko. 2007. Etika Komunikasi: Manipulasi Media, Kekerasan, dan Pornografi. Yogyakarta: Penerbit Kanisius. Ignatius, Haryanto. 2014. Jurnalisme Era Digital: Tantangan Industri Media Abad 21. Jakarta: Kompas. Kovach, Bill, dan Tom Rosentiel. Terjemahan Yusi A Parenom. 2006. The Elements of Journalism. Jakarta: Yayasan Pantau. Littlejohn, Stephen W, dan Karen Foss (Ed). 2009. Encyclopedia of Communication Theory. California: Sage Publication. Margawati, Van Eymeren. 2014. Media Komunikasi dan Dampaknya terhadap Kebudayaan: Analisis Atas Pandangan Herbert Marshall McLuhan. Jakarta: Pusat Kajian Filsafat dan Pancasila. McLuhan, Marshall. 2001. Understanding Media: The Extensions of Man. London and New York: Routledge. McQuail, Denis. 2010 (Sixth Edition). Mass Communication Theory. Sage Publications. Patton, Michael Quinn. 2002 (Third Edition). Qualitative Research and Evaluation Methods. Sage Publication. Mosco, Vincent. 2009. The Political Economy of Communication. Sage Publications. Postman, Neil. 1993. Technopoly: The Surrender of Culture to Technology. New York: Random House. Sennet, Richard. 2006. The Culture of the New Capitalism. New Haven dan London: Yale University Press. Strubhaar, Joseph. LaRose, Robert. Davenport, Lucinda. 2013 (Seventh Edition). Media Now: Understanding Media, Culture, and Technology. Boston: Wadsworth. 55 International Conference of Communication, Industry, and Community. Bali, 3-4 Maret 2016 ISBN: 978-602-74139-1-7 Van Dijk, Jan AGM. 2006. The Network Society: Social Aspects of New Media. Second Edition. London: Sage Publication. Wayne, Mike. 2003. Marxism and Media Studies: Key Concepts and Contemporary Trends. London dan Virginia: Pluto Press. Yin, Robert K. Terjemahan M Djauzi Mudzakir. 1996. Studi Kasus: Desain dan Metode. Jakarta: Rajawali Pers. Jurnal Babe, Robert. 2008. Innis and the Emergence of Canadian Communication/Media Studies. Global Media Journal, Volume 1, Issue 1, pp. 9-23. http://www.gmj.uottawa.ca/0801/inaugural_babe.pdf. Burkitt, Ian. 2005. Situating Auto/biography: Biography and Narrative in the Times and Places of Everyday Life. Auto/Biography 2005; 13: 93–110. http://autobiography.stanford.clockss.org/aub_2005_13_2/10.1191_0967550 705ab025oa.pdf. Comor, Edward. Harold Innis and the Bias of Communication. Taylor and Francis Group Journals. www.tandfonline.com/doi/pdf/10.1080/713768518. Dahlan, M Alwi. 2012. The New Media and Islam: Communication Characteristics and Dynamics. Journal Communication Spectrum, Volume 2 Nomor 2 Februari-Juli 2012. Fuchs, Christian. 2012 Dallas Smythe Today - The Audience Commodity, the Digital Labour Debate, Marxist Political Economy and Critical Theory. Prolegomena to a Digital Labour Theory of Value. tripleC: Cognition, Communication, Co-operation Journal. Volume 10 Issue 2 p. 692-740. http://citeseerx.ist.psu.edu/viewdoc/download?doi=10.1.1.477.2523&rep=rep 1&type=pdf. Mosco, Vincent. Current Trends in the: Political Economy of Communication. Global Media Journal -- Canadian Edition, Volume 1, Issue 1, pp. 45-63, 2008. http://www.gmj.uottawa.ca/0801/inaugural_mosco.pdf. Publikasi Online J. Heru Margianto dan Asep Syaefullah. November 2013. Media Online: Pembaca, Laba, dan Etika Problematika Praktik Jurnalisme Online di Indonesia. Jakarta: Aliansi Jurnalis Independen Indonesia. Diunduh pada 5 September 2014. Berita Anwar Khumaini. Merdeka.com 7 Februari 2014 19:05 WIB. Digempur media online, media cetak di Indonesia makin ditinggal. http://www.merdeka.com/peristiwa/digempur-media-online-media-cetak-diindonesia-makin-ditinggal.html diakses pada 21 Oktober 2014. Alan Pamungkas. Okezone.com. Kamis, 24 Juli 2014 20:03 WIB. http://celebrity.okezone.com/read/2014/07/24/33/1017776/dewan-pers-namabaik-ahmad-dhani-harus-dipulihkan diakses pada 21 Oktober 2014 56 International Conference of Communication, Industry, and Community. Bali, 3-4 Maret 2016 ISBN: 978-602-74139-1-7 Anindya Lanindya Legia Putri. Tempo.co. Senin, 21 Juli 2014 20:09 WIB. Berita Potong Kelamin, Ahmad Dhani ke Dewan Pers. http://www.tempo.co/read/news/2014/07/21/219594731/berita-potongkelamin-ahmad-dhani-ke-dewan-pers diakses pada 21 Oktober 2014 Erik Purnama Putra. Republika.co.id. Rabu, 26 Juli 2014 10:54 WIB. Ahmad Dhani Bersumpah Potong Kemaluan Kalau Jokowi Menang Menang? http://www.republika.co.id/berita/pemilu/berita-pemilu/14/07/21/n8sdiuahmad-dhani-bersumpah-potong-kemaluan-kalau-jokowi-menang diakses pada 16 November 2014 INA. Kompas.com. Jumat, 17 Desember 2010 09.23 WIB. Perangkat Pemasaran Saat Ini http://regional.kompas.com/read/2010/12/17/09233276/Perangkat.Pemasaran .Saat.Ini diakses pada 14 November 2014 Willem Jonata, Willy Widianto. Tribunews.com. Senin, 21 Juli 2014, pukul 19:53 WIB. Ahmad Dhani Laporkan 17 Media Online ke Dewan Pers. http://www.tribunnews.com/pemilu-2014/2014/07/21/ahmad-dhani-laporkan17-media-online-ke-dewan-pers diakses pada 21 Oktober 2014 57 International Conference of Communication, Industry, and Community. Bali, 3-4 Maret 2016 ISBN: 978-602-74139-1-7 DAMPAK PENGGUNAAN SMARTPHONE PADA PERUBAHAN PERILAKU ANAK Taufik Suprihatini Jurusan Ilmu Komunikasi FISIP UNDIP [email protected] Abstract Rapid technological developments give a particular impact on use of smartphone. Most recent applipcation or innovation that has always appeared make active smartphone users try to update old application in order to open the latest features. It is consciously or unconsciously, the users of this smartphone has entered into a virtual world without limits of space and time. Because of the advantages of this media, smartphone users have penetrated to kindergarten, elementary and junior high schools students, especially those in urban areas. Most of them are already equipped a smartphone by their parents. For adults, the use of smartphone are likely to be controlled according to their desire and need. But what about the use of smartphone by children? Those who have recently grow and develop a very large curiosity, they might not be able to release the smartphone from his grasp. When the use of smartphone to be so intense, then what is the impact of smartphone on the social aspects, related to the children's behavior. This aim of this study is to describe of the impact of smartphones usage on children behavior changes. The researcher used survey research method. Media Equation Theory and Uses and Gratification Theory are theories that are used to assess the study. The population of study was all students in SMP Negeri 1 Semarang, aged 13-15 years as sample. The sampling technic used was probability sampling, with a simple random sampling method with the assumption that all students have a smartphone. The researcher concluded that the intensity of the students in SMP Negeri 1 in using Smartphone is not too high and the duration in using Smartphone is not too long. It related to applications of smartphone that are frequently opened i.e listening to music, self photos, take photos with friends, sms, play games, calculator, Line, Instagram, Film, Facebook, BBM, e-mail. Children who are already using a smartphone intensely have difficulty to share their time. It causes negative behaviors such as lack of concentration to study, a lot of time is spent just to play games, too lazy to do to tasks / homeworks. Because the smartphone have become part of students daily activities, then when the students are not using smartphone in a single day, many feelings occurred to them such anxious feelings because they can not communicate with the parents, anxious feeling because they can not communicate with friends, feeling confused about what to do and feeling like something is missing. But behind the negative impact arising from the use of smartphone, actualy smartphones can provide benefits for the children, such as to help them to do the tasks or homeworks, help to find out the latest information, find information from the outside world easily, they will not unresponsive to 58 International Conference of Communication, Industry, and Community. Bali, 3-4 Maret 2016 ISBN: 978-602-74139-1-7 technology, obtain various facilities to support their daily lives, and as a information center in scientific activities, Key words: Smartphone, Changes in behavior, children Abstrak Perkembangan teknologi yang demikian pesat memberikan imbas khususnya pada penggunaan smartphone. Aplikasi terbaru atau inovasi yang selalu muncul menjadikan para pengguna aktif smartphone berusaha untuk memperbaharui aplikasi yang lama agar selalu dapat membuka fitur-fitur terbaru. Disadari atau tidak, para pengguna smartphone ini sudah masuk kedalam sebuah dunia maya tanpa batas ruang dan waktu. Karena kelebihan yang ada pada media ini, menyebabkan pengguna smartphone sudah merambah kepada anak-anak TK,SD dan SMP khususnya yang berada di perkotaan. Mereka sebagian besar sudah dibekali smartphone oleh orang tuanya.Bagi orang dewasa, penggunaan smartphone kemungkinan besar dapat dikendalikan sesuai dengan keinginan atau kebutuhannya. Namun bagaimana penggunaan smartphone ini oleh anak-anak. Mereka yang baru saja tumbuh dan berkembang, dan rasa keingintahuannya masih sangat besar bisa jadi tidak bisa melepaskan dari genggamannya. Apabila penggunaan smartphone menjadi begitu intens, lalu sejauhmana dampak smartphone pada aspek-aspek sosial, terkait dengan perilaku anak. Penelitian ini bertujuan untuk mendeskripsikan Dampak Penggunaan Smartphone Pada Perubahan Perilaku Anak. Media Equation Theory dan Uses and Gratifications Theory merupakan teori yang digunakan untuk mengkaji penelitian ini, dengan metode penelitian survai. Populasi penelitian adalah seluruh siswa di SMP Negeri 1 Semarang, dengan sampel anak yang berusia 13-15 tahun.Teknik pengambilan sampel yang digunakan adalah probability Sampling, dengan metode simple random sampling dengan asumsi semua siswa memiliki smartphone. Dalam penelitian ini diambil kelas 7 dan kelas 8, dimana masingkelas ada 9 kelas dan masing-masing kelas berjumlah 32 orang. Dengan menggunakan rumus Frank Lynch, diperoleh jumlah responden sebesar 85 orang. Penelitian ini menyimpulkan bahwa anak-anak di SMP Negeri 1 Semarang memiliki intensitas menggunakan Smartphone cukup tinggi, dengan durasi yang cukup lama. Intensitas yang cukup tinggi terkait dengan aplikasi yang sering dibuka yakni mendengarkan musik, mengambil foto sendiri, mengambil foto dengan teman, SMS-an, game, kalkulator, Line, Instagram, Film, Facebook- an, BBM, e-mail/g-mail. Anak-anak yang sudah begitu intens menggunakan smartphone, sangat sulit bagi mereka untuk membagi waktu, sehingga menimbulkan perilaku negatif seperti kurangnya konsentrasi untuk belajar, banyak waktu yang dihabiskan hanya untuk bermain game, juga sikap malas mengerjakan tugas / PR. Karena smartphone dirasakan sudah menjadi bagian dari aktivitas sehari-hari, maka ketika anak-anak tidak menggunakan smartphone dalam satu hari saja berbagai perasaan muncul dalam dirinya seperti perasaan cemas karena tidak dapat berkomunikasi dengan orangtua, perasaan cemas karena tidak bisa berkomunikasi dengan teman perasaan bingung mau berbuat apa, dan perasaan seperti ada yang hilang. Namun dibalik dampak 59 International Conference of Communication, Industry, and Community. Bali, 3-4 Maret 2016 ISBN: 978-602-74139-1-7 negatif yang muncul akibat penggunaan smartphone, ternyata smartphone juga dapat memberikan manfaat bagi anak-anak seperti dapat membantu mereka mengerjakan tugas atau PR, dapat membantu untuk mengetahui informasi terkini, dapat mengetahui infomasi dari dunia luar dengan mudah, tidak akan gagap teknologi, memperoleh berbagai fasilitas untuk menunjang kehidupan mereka sehari-hari, sebagai sumber informasi dalam kegiatan ilmiah, Kata kunci: Smartphone, perubahan perilaku , anak Pendahuluan Penelitian ini dilatarbelakangi oleh rasa keprihatinan peneliti akan banyaknya pengguna smartphone dikalangan anak-anak. Hampir setiaphari mereka bermain dengan smartphone tanpa henti, seolah-olah hanya smartphone tempat mereka bermain.Telepon pintar yang sering disebut dengan telepon seluler, handphone, smartphone atau gadget sekarang ini bukanlah barang mewah,karena hampir setiap individu memilikinya dan jumlah yang dimilikinya cukup fantatstis, ada yang memiliki lebih dari 1 buah. Sebagaimana yang dikatakan Dirjen Informasi dan Komunikasi bahwa jumlah gadget yang beredar di Indonesia saat ini mencapai 240 juta. Angka ini melebihi jumlah penduduk di tanah air yang hanya di kisaran 230 juta. Secara total, tingkat penggunaannya mencapai 67%. Menurut Freddy H. Tulung di Pontianak selaku Dirjen Informasi dan Komunikasi Publik Kemenkominfo, Pulau Jawa mendominasi kememilikan smartphone dengan rata-rata dua gadget per orang.( http://sidomi.com/175258/jumlah-gadget-di-indonesia-melebihi-total-populasipenduduk/ diunduh tgl 31 Januari 2016, pk. 21.28) Julukan yang diberikan masyarakat tidaklah salah karena media tersebut benar-benar dapat memberikan kepuasan bagi pemiliknya, karena segala rencana, keinginan, harapan atau kebutuhannya semuanya tanpa terkecuali dapat terpenuhi, seakan akan media tersebut memahami apa yang dirasakan pemiliknya. Dengan kehidupan yang semakin modern ini menjadikan keberadaan media pintar ini semakin digandrungi karena kelebihan dan kemampuan yang melekat dan menjadikan segala aktivitas seolah-olah menjadi lebih praktis dan mudah. Kemampuan yang dimilikinya antara lain sebagai sarana berkomunikasi secara langsung maupun melalui sms, selain itu juga dapat bekerja layaknya sebuah komputer dimana dengan fungsi PDA (personal digital assistant), diantaranya dapat untuk mengirim email/g-mail mengakses web, mengakses facebook, twitter, blackberry messanger, memutar musik, film, bermain games, membuat video dsb. Dengan demikian hadirnya beragam fitur menarik ini semakin "mengikat" pengguna agar terus bermain dengan smartphone-nya sehingga bisa menjadi kecanduan. Kecanduan menggunakan smartphone bukan hal yang baik. Menurut informasi yang dilansir laman Press Examiner, Kamis (1/10/2015), kecanduan menggunakan smartphone secara berlebih disebut dalam istilah nomophobia, yakni semacam gangguan yang terjadi ketika penggunanya khawatir saat ia tidak memegang smartphone- 60 International Conference of Communication, Industry, and Community. Bali, 3-4 Maret 2016 ISBN: 978-602-74139-1-7 nya. (tekno.liputan6.com/read/2329307/ makin-banyak-remaja-di-asia-yangkecanduan-smartphone, diakses tgl 31 Januari 2016, pk. 21.37). Kecanduan menggunakan smartphone ini dapat dilihat pada di setiap rumah, dimana di dalam rumah masing-masing anak asyik memainkankan smarthphonenya, seakan-akan tidak ingin kehilangan waktu walau se detikpun. Sehingga ketika para pengguna smartphone ini dikatakan sudah mulai kecanduan, maka akan menimbulkan perasaan-perasaan tertentu yang tentunya merugikan diri mereka sendiri. Meski dari berbagai media yang ada masyarakat masih mengandalkan televisi sebagai media utama dibanding media lain untuk mengakses informasi, namun Smartphone masih berada di posisi kedua dan radio di tempat ketiga.(http://sidomi.com/175258/jumlah-gadget-di-indonesiamelebihi-total-populasi-penduduk/diakses tgl 31 Januari 2016, pk 21.30). Hal ini berarti smarthphone masih menjadi andalan yang utama untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. Dengan adanya rasa kekhawatiran apabila tidak menggunakan smarthphone dalam satu hari terutama pada anak-anak, tentunya hal ini akan berdampak pada perubahan perilaku mereka dalam kesehariannya. Artinya kecanduan menggunakan smarthphone secara intens pastinya akan merubah pola perilaku dan pola pikir mereka. Dari uraian diatas peneliti ingin mengetahui sejauhmana dampak penggunaan smartphone yang digunakan secara intens pada perubahan perilaku pada anak-anak di kota Semarang. Tinjauan Pustaka Media Equation Theory Teori ini diperkenalkan oleh Byron Reeves dan Clifford Nass dalam tulisannya The Media Equation: How People Treat Computers, Television, and New Media Like Real People and Places pada tahun 1996. Media Equation Theory ingin menjawab persoalan mengapa orang-orang secara tidak sadar dan bahkan secara otomatis merespons apa yang dikomunikasikan media, seolah-olah (media itu) manusia. Menurut asumsi teori ini, media diibaratkan manusia. Teori ini memperhatikan bahwa media juga bisa diajak berbicara. Media bisa menjadi lawan bicara individu seperti dalam komunikasi interpersonal yang melibatkan dua orang dalam situasi face to face. Ketika manusia berbicara (meminta pengolahan data) dengan komputer, seolah-olah komputer itu manusia. Manusia juga menggunakan media lain untuk berkomunikasi. Bahkan manusia berperilaku secara tidak sadar seolah-olah media itu manusia. Sebagaimana dalam komunikasi interpersonal, misalnya, manusia bisa belajar dari orang lain, bisa dimintai nasihat, bisa dikritik, bisa menjadi penyalur kekesalan atau kehimpitan hidup. Apa yang bisa dilakukan pada manusia, hal ini juga bisa dilakukan oleh media massa. Layaknya manusia, media bisa melakukan apa saja yang dikehendakinya bahkan bisa jadi lebih dari itu. Selanjutnya media bahkan dianggap seperti kehidupan nyata (media and real life are the same). Melalui komputer manusia bisa berbuat apa saja, bisa mencari hiburan dengan permainan yang disediakan, manusia bisa menjelajah ke seluruh dunia dengan perantaraan internet, manusia bisa berkirim surat secara 61 International Conference of Communication, Industry, and Community. Bali, 3-4 Maret 2016 ISBN: 978-602-74139-1-7 cepat melalui e-mail dengan teman yang ada di negara lain, dan bisa menghabiskan waktu berjam-jam untuk mencari kebutuhannya. Teori ekuasi media menemukan kebenarannya ketika digunakan untuk mengamati aktivitas manusia. (Nurudin, 2007:178-181) Media Siber sebagai Media Komunikasi Internet merupakan media komunikasi yang penting, karena salah satu dari karakteristik tersebut adalah sifat jejaring (network). Jejaring ini tidak hanya diartikan sebagai infrastruktur yang menghubungkan antar komputer dengan perangkat keras lainnya, namun juga menghubungkan antar individu (Hasan dan Thomas, 2006, 2005: 16; Gane dan Beer, 2008:16 dalam Nasrullah, 2014:75). Hubungan atau jejaring itu tidak hanya bertipe koneksi dengan dua individu, tetapi juga bisa melibatkan jumlah individu yang bahkan tidak dibatasi. Karakter yang kedua yaitu interaksi. Interaksi atau interactivity merupakan konsep yang sering digunakan untuk membedakan antar media baru digital dengan media tradisional yang menggunakan analog (Graham, 2004; Lev Manovich, 2001; Spiro Kiouis, 2002 dalam Nasrullah, 2014 : 76). Bagi Graham interactivity merupakan salah satu cara yang berjalan diantara pengguna dan mesin (teknologi) dengan memungkinkan para pengguna maupun perangkat saling terhubung secara interaktif. Kehadiran teknologi komunikasi pada dasarnya memberikan kemudahan bagi siapapun yang menggunakan teknologi untuk saling berinteraksi, saling terhubung dalam waktu yang bersamaan, bahkan teknologi telah mewakili kehadiran dan/atau keterlibatan fisik dalam berkomunikasi. Teknologi telah memediasi segala aktivitas manusia. Perbedaan wilayah misalnya tidak lagi menjadi kendala bagi 2 orang untuk melakukan komunikasi secara langsung; kehadiran skype, situs, perbincangan langsung (live chat) melalui video memungkinkan diantara pengguna untuk saling berkomunikasi langsung sekaligus melihat ekspresi wajah mereka melalui webcam atau kamera yang terhubung ke internet (Graham 2004:11, dalam Nasrullah, 2014: 76) Smartphone Teknologi telepon genggam berkembang tidak hanya sebagai perangkat untuk berkomunikasi seperti telepon atau SMS semata, namun alat ini kini telah dilengkapi oleh perangkat yang memungkinkan warga bisa terkoneksi dengan internet (smartphone). Perangkat telepon pintar (smartphone) umumnya dilengkapi dengan dengan kamera untuk mengambil foto atau merekam video, perangkat perekam suara, perangkat lunak mulai dari mengolah dokumen hingga foto, dan juga sambungan internet. Provider atau penyedia layanan ini juga menyediakan semacam toko aplikasi yang bisa diunduh oleh pengguna untuk mendukung koneksi layaknya komputer pribadi (personal computer).Aplikasi pesan melalui telepon genggam atau bahkan melalui telepon pintar (smartphone) juga bisa dilihat dari cara kerja seperti Line, Kakao Talk, atau WhatsApp yang menampilkan tidak hanya pesan (percakapan) teks, tetapi juga data pesan yang beragam dari audio, visual dan sebagainya. Meski cara kerja dari aplikasi ini bisa 62 International Conference of Communication, Industry, and Community. Bali, 3-4 Maret 2016 ISBN: 978-602-74139-1-7 juga dimasukkan dalam kategori peer-to-peer atau chatroom serta dapat pula diakses melalui perangkat komputer tablet, namun desain aplikasi ini lebih banyak dimanfaatkan pada perangkat telepon genggam. (Nasrullah, 2014:31) Uses and Gratifications Theory Herbert Blumer dan Elihu Katz sebagai orang pertama yang mengenalkan teori ini pada tahun 1974 dalam bukunya The Uses on Mass Communications: Current Perspectives on Gratification Research mengatakan bahwa pengguna media memainkan peran aktif untuk memilih dan menggunakan media tersebut. Pengguna media berusaha untuk mencari sumber media yang paling baik didalam usaha memenuhi kebutuhannya, dengan kata lain pengguna mempunyai pilihan alternatif untuk memuaskan kebutuhannya. Teori Uses and Gratificaions lebih menekankan pada pendekatan manusiawi dalam melihat media massa. Artinya manusia itu mempunyai otonomi, wewenang untuk memperlakukan media. Menurut Blummer dan Katz bahwa tidak hanya ada satu jalan bagi khalayak untuk memilih media. Konsumen media mempunyai kebebasan untuk memutuskan bagaimana (melalui media mana) mereka menggunakan media dan bagaimana media itu akan berdampak pada dirinya. Manusia bisa memahami interaksi orang dengan media melalui pemanfaatan media (uses) oleh orang itu dan kepuasaan yang diperoleh (gratification). Gratifikasi yang sifatnya umum antara lain pelarian dari rasa khawatir, peredaan rasa kesepian, dukungan emosional, perolehan informasi, dan kontak sosial. Teori ini juga menyatakan bahwa media dapat juga mempunyai pengaruh jahat dalam kehidupan. (Nurudin, 2007: 192-193) Uses and Gratifications Theory (kegunaan dan kepuasan) merupakan salah satu bentuk efek sekunder yang ditimbulkan saluran komunikasi massa. Menurut Swanson (1979) ide dasar yang melatarbelakangi efek ini adalah bahwa audience aktif dalam memanfaatkan media massa. Individu tidak secara spontan dan otomatis merespons pesan-pesan media massa. Individu menggunakan isi media tersebut untuk memenuhi tujuan mereka di dalam usaha menikmati media massa. Tujuan tersebut akan disesuaikan dengan kebutuhan dan keinginan individu masing-masing. Jika kebutuhan sudah terpenuhi melalui saluran komunikasi massa, berarti individu mencapai tingkat “kepuasan” (Keith R.Stamm dan John E. Bowes, 1990 dalam Nurudin, 2007: 210-211). Metodologi Metode penelitian yang digunakan adalah metode survai dengan mengintegrasikan pendekatan penelitian deskriptif kuantitatif dan kualitatif. Dalam penelitian ini lebih menekankan pada pendekatan kuantitatif, sedangkan pendekatan kualitatif digunakan untuk mendapatkan jawaban yang lebih dalam. Adapun populasi dalam penelitian ini adalah seluruh siswa di SMP Negeri 1 Semarang. Sedangkan sampel penelitian adalah anak remaja yang berusia 13-15 tahun yang masih duduk dibangku SMP di kota Semarang dan menggunakan 63 International Conference of Communication, Industry, and Community. Bali, 3-4 Maret 2016 ISBN: 978-602-74139-1-7 Smartphone secara intens, dengan teknik pengambilan sampel Probability Sampling, dengan metode simple random sampling. Dalam penelitian ini diambil kelas 7 dan kelas 8, dimana masing-kelas ada 9 kelas dan masing-masing kelas berjumlah 32 orang. Jumlah keseluruhan adalah 576 orang Dengan menggunakan rumus Frank Lynch, maka jumlah responden yang diperoleh 85 orang Teknik pengumpulan data dilakukan melalui wawancara secara terstruktur dan semiterstruktur. Analisis dan Interpretasi Data menggunakan Uji Reliabilitas dan uji validitas. Pada uji reliabilitas ini, akan dilihat apakah suatu kuesioner tepat, konsisten, dan dapat dipercaya untuk digunakan sebagai alat pengumpul data. Pada riset deskriptif, analisis data yang digunakan adalah analisis univariat yakni analisis terhadap satu variabel dan menggunakan statistik deskriptif (Kriyantono, 2010:168). Statistik deskriptif digunakan untuk menggambarkan peristiwa, perilaku atau objek tertentu lainnya antara lain dengan Tabel (Distribusi) Frekuensi, Tendensi Sentral, dan Standar Deviasi. Kualitas Penelitian (goodnes criteria) diukur dengan instrumen yang valid dan reliabel. Intrumen yang valid artinya alat ukur yang digunakan untuk mendapatkan data (mengukur) itu valid. Dengan kata lain instrumen tersebut dapat digunakan untuk mengukur apa yang seharusnya diukur. Instrumen yang reliabel adalah instrumen yang bila digunakan untuk mengukur beberapa kali untuk mengukur obyek yang sama akan menghasilkan data yang sama. Keterbatasan Penelitian Penelitian ini memiliki kelemahan antara lain tidak fleksibel, ada pertanyaan tidak terjawab karena responden dalam penelitian ini adalah para siswa SMP yang kurang dapat mengingat informasi atau menjawab pertanyaan secara baik dan benar Hasil Temuan dan Diskusi Responden yang mayoritas perempuan (53 orang), sebagian besar berusia 13 tahun (41 orang/ 48,23%) dan 12 tahun (34 orang/40%), sisanya berusia 14 tahun (8 orang/9,41%) dan 11 tahun (2 orang/2,35%). Sebagian besar responden menggunakan smartphone dengan brand Samsung (38,82 % ) dan OPPO (12,94%), dan sisanya menggunakan brand Asus, Xiaomi, Apple, Smartfren, lenovo dll. Alasan mereka memiliki smartphone karena memberikan manfaat yang cukup banyak yakni dapat membantu mengerjakan tugas atau pekerjaan rumah (80%), dapat membantu untuk mengetahui informasi terkini (52,94%), tidak gagap teknologi (52,94%), memperoleh berbagai fasilitas untuk menunjang kehidupan mereka sehari-hari (50,59%), mencari sumber informasi dalam kegiatan ilmiah mereka (50,59%), merasa lebih mudah bergaul dengan teman mereka (41,18%) Faktor yang mempengaruhi responden memiliki smartphone adalah saudara (60%), teman (56,47%) dan orang tua (50,59%). Waktu yang digunakan 64 International Conference of Communication, Industry, and Community. Bali, 3-4 Maret 2016 ISBN: 978-602-74139-1-7 untuk menggunakan smartphone seringkali pada siang, sore dan malam hari, sedangkan pagi hari responden mengatakan kadang-kadang saja. Intensitas Penggunaan smartphone yang paling lama adalah <10 kali 38,82%, dan 11-20 kali adalah 30,58%, Durasi sekali menggunakan adalah 30 menit (35,29%), > 1 jam (28,23%), 1 jam (25,88%), Aplikasi yang sering dibuka adalah mendengarkan lagu/musik (100%), mengambil foto (94,11%), SMS (91,76%), game (90,59%), kalkulator (84,71%), Line (82,35%), Instagram (77,64%), Film (71,76%), Facebook (71,76%), BBM (67,06), e-mail/g-mail (67,05%), musik/lagu (45,88%), mengambil gambar teman (45,88%), mengambil gambar teman (38,82%), Hal - hal yang terjadi saat asyik sendiri dengan smartphone mereka, kurangnya konsentrasi untuk belajar (77,65%), menghabiskan waktu hanya untuk bermain game (77,65%), malas mengerjakan tugas / PR (54,12%), malas mengerjakan pekerjaan rumah (40%). Hal-hal yang dirasakan apabila tidak menggunakan smartphone dalam satu hari adalah ada perasaan cemas karena tidak dapat berkomunikasi dengan orangtua (80%), ada perasaan cemas karena tidak bisa berkomunikasi dengan teman (62,35%), perasaan bingung mau berbuat apa (58,82%), seperti ada yang hilang (54,12%). Diskusi Berdasarkan hasil penelitian diketahui bahwa dari 85 responden, sebanyak 38,82% menggunakan smartphone sebanyak < 10 kali, sedangkan yang lebih dari 10 kali hanya 30,58 %. Meskipun frekuensi penggunaan smartphone rendah, namun mereka memanfaatkan penggunaan smartphone semaksimal mungkin. Hal ini terbukti dengan banyaknya aplikasi atau fitur yang dibuka seperti mendengarkan musik (100%), mengambil foto (94,11%), SMS (91,76%), game (90,59%), kalkulator (84,71%), Line (82,35%), Instagram (77,64%), Film (71,76%), Facebook (71,76%), BBM (67,06), e-mail/g-mail (67,05%), musik/lagu (45,88%), mengambil gambar bersama teman (45,88%), mengambil gambar teman (38,82%). Bahkan ketika responden asyik dengan smartphone mereka, mereka menjadi memiliki perilaku yang kurang baik seperti kurangnya konsentrasi untuk belajar (77,65%), menghabiskan waktu hanya untuk bermain game (77,65%), malas mengerjakan tugas / PR (54,12%), malas mengerjakan pekerjaan rumah (40%). Hal ini seperti yang dinyatakan dalam Media Equation Theory bahwa media diibaratkan manusia, media juga bisa diajak berbicara. Media bisa menjadi lawan bicara individu seperti dalam komunikasi interpersonal yang melibatkan dua orang dalam situasi face to face. Ketika manusia berbicara (meminta pengolahan data) dengan komputer, seolah-olah komputer itu manusia. Bahkan manusia berperilaku secara tidak sadar seolaholah media itu manusia. Sebagaimana dalam komunikasi interpersonal, misalnya, manusia bisa belajar dari orang lain, bisa dimintai nasihat, bisa dikritik, bisa menjadi penyalur kekesalan atau kehimpitan hidup. Penelitian yang dilakukan Beauty Manumpil, Yudi Ismanto, Franly Onibala mengenai Hubungan penggunaan Gadget Dengan Tingkat Prestasi Siswa 65 International Conference of Communication, Industry, and Community. Bali, 3-4 Maret 2016 ISBN: 978-602-74139-1-7 di SMA Negeri 9 Manado 2015 menunjukkan bahwa dari 41 responden sebanyak 18 responden menggunakan gadget lebih dari 11 jam perhari dan gadget digunakan untuk browsing bahkan paling banyak digunakan untuk bermain game online dan untuk mengakses berbagai media sosial yang ada ( Instagram, Path, Facebook, twitter), mereka cenderung memiliki gadget untuk mengikuti trend yang ada saat ini (Hasella, 2013).Penggunaan gadget yang terlalu lama dapat berpengaruh pada konsentrasi anak, selama jam pelajaran berlangsung dapat dilihat dampak dari tingkat prestasi anak di sekolah, dalam Internasional Journal Of Neuroscience bahwa gadget / Handphone dapat menganggu fungsi kerja otak manusia yaitu dengan melemahnya daya kerja otak atau lemah otak. Sebagaian besar yakni 30 responden menggunakan gadget untuk mengakses berbagai media sosial yang ada seperti Path, Instagram, Facebook, Twitter dan berbagai media sosial yang ada lainnya hal ini dapat berpengaruh buruk terhadap tingkat prestasi siswa. Di dalam penelitian juga ditemukan bahwa 22 (53,7 %) responden yang jarang menggunakan gadget, 20 (48,8 %) responden mendapatkan nilai tinggi, sedangkan 2 (4,9%) responden mendapatka nilai rendah, selain itu 10 (24,4 %) responden diantaranya mendapat nilai tinggi sedangkan 9 (22,0 %) responden lainnya mendapat niai rendah. Dalam penelitian juga didapatkan 30 (73,2 %) responden menggunakan gadget untuk mengakses media sosial sedangkan 11 (26,8 %) responden lainnya menggunakan gadget untuk menyelesaikan tugas sekolah. Penggunaan gadget dikarenakan tuntutan trend saat ini yang menuntuk mereka untuk aktif dalam dunia internet atau media sosial, oleh karena itu pada saat jam pelajaran, mereka juga sering menggunakan gadget unutk menutupi rasa bosan karena jam pelajaran yang panjang. Hal ini menyebabkan bahwa sebagaian materi yang dijelaskan oleh guru tidak lagi diserap dengan baik karena siswa tidak mampu berkonsentrasi lagi dengan pelajaran yang sedang berlangsung, yang dapat berakibat pada nilai akademik siswa, juga siswa menjadi jarang berkomunikasi dengan temannya karena lebih asik dengan gadget miliknya. Pada Sains Journal tahun 2013 membahas tentang penggunaan gadget yang berkebihan dapat berdampak buruk buat kesehatan, seperti mata kering, gangguan tidur, sakit pada leher, obesitas karena tidak teraturnya jadwal makan akibat keasikan bermain gadget.(ejoural Keperawatan (e-Kep) Volume 3. Nomor 2. April 2015, diunduh tgl 30 Januari, pk 9.41) Smartphone kini menjadi suatu kebutuhan bagi banyak orang dan beraneka ragam golongan menggunakannya. Penggunanyapun tidak hanya dari kalangan professional, bahkan siswa SMP pun sudah tak asing lagi dengan media ini. Banyak manfaat yang diperolehnya antara lain dapat menghubungi teman atau orang tua lebih mudah, dapat mengakses akun jejaring sosial atau blog langsung oleh mereka sendiri, mencari bahan pelajaran dari situs-situs di internet.Hingga saat ini, smartphone masih menjadi trend para remaja di Indonesia, Trend ponsel pintar ini memang telah menguasai pikiran para pelajar di Indonesia, bahkan tiada hari yang terlewati tanpa ponsel pintar. Hingga apabila dikatakan bahwa anak-anak cenderung kecanduan memang demikian faktanya 66 International Conference of Communication, Industry, and Community. Bali, 3-4 Maret 2016 ISBN: 978-602-74139-1-7 Simpulan Smartphone sebagai handphone pintar dengan bermacam-macam fitur canggih didalamnya, saat ini sudah menjadi trend dan gaya hidup di lingkungan masyarakat. Meski penggunaan smartphone rendah, namun smartphone tetap memiliki dampak positif dan negatif bagi para pengguna smartphone itu sendiri. Dampak positif dari penggunaan smarthphone adalah membantu mengerjakan tugas atau pekerjaan rumah, dapat membantu untuk mengetahui informasi terkini, tidak gagap teknologi, memperoleh berbagai fasilitas untuk menunjang kehidupan mereka sehari-hari, mencari sumber informasi dalam kegiatan ilmiah mereka, merasa lebih mudah bergaul dengan teman mereka. Sedangkan dampak negatif dari penggunaan smartphone adalah kurangnya konsentrasi untuk belajar, menghabiskan waktu hanya untuk bermain game, malas mengerjakan tugas / PR , malas mengerjakan pekerjaan rumah Daftar Pustaka Baran, Stanley J, and Davis, Dennis K, 1995, Mass Communication Theory, Foundations, Ferment, and Future,Wadsworth Publishing Company, Belmont, California Baran, Stanley J, and Davis, Dennis K, 2000, Mass Communication Theory, Foundations,Ferment, and Future,Wadsworth Publishing Company, Belmont, California Dudley, William, 2005, Mass Media, Opposing Viewpoints Series, Greenhaven Press, United States of America Frey, Lawrence R, and Botan, Carl H, Friedman, Paul G., Kreps, Gary L, 1991, Investigating Communication, An Introduction to Research Methods, Prentice Hall, Inc.A Division of Simon & Schuster Englewood Cliffs, New Jersey 07632 Griffin, EM, 2000, A First Look At Communication Theory, Fourth Edition, The McGraw-Hill Companies, Inc.The United States of America Kriyantono, Rachmat, 2010, Teknik Praktis Riset Komunikasi, Kencana Prenada Media Group, Jakarta Littlejohn, Stephen W. And Foss, Karen A., 2009, Teori Komunikasi, Edisi 9, Penerbit Salemba Humanika, Jakarta Nasrullah, Rulli, 2014, Teori dan Riset Media Siber (cybermedia), Edisi Pertama, Penerbit Kencana Prenadamedia Group, Jakarta Nurudin, 2007, Pengantar Komunikasi Massa, PT RajaGrafindo Persada, Jakarta Paxson, Peyton, 2010, Mass Communications and Media Studies, An Introduction, The Continuum International Publishing Group Inc 80 Maiden Lane, New York, NY 10038 Singarimbun, M dan Effendi, Sofyan, 1989, Metode Penelitian Survey, PT Pustaka LP3ES Indonesia, Jakarta Sugiyono, 2009, Metode Penelitian Kuantitatif Kualitatif dan R&D, Penerbit Alfabeta Bandung 67 International Conference of Communication, Industry, and Community. Bali, 3-4 Maret 2016 ISBN: 978-602-74139-1-7 Website http://sidomi.com/175258/jumlah-gadget-di-indonesia-melebihi-total-populasipenduduk/ diunduh tgl 31 Januari 2016, pk. 21.28 tekno.liputan6.com/read/2329307/makin-banyak-remaja-di-asia-yang-kecanduan smartphone, diakses tgl 31 Januari 2016, pk. 21.37 ejoural Keperawatan (e-Kep) Volume 3. Nomor 2. April 2015, diunduh tgl 30 Januari, pk 9.41 Biografi Penulis 1. Nama Lengkap 2. Tempat dan Tanggal Lahir 3. Pekerjaan : Dra Taufik Suprihatini M.Si : Semarang, 2 Maret 1953 : Dosen Jurusan Ilmu Komunikasi, FISIP, UNDIP 4. AlamatRumah 5. Telp./Fax 6. NomorHP 7.AlamatKantor 8. Telp./Fax 9. Mata Kuliah yang diampu 68 : Perum. BPI Blok G No. 1 Ngaliyan, Semarang : (024) 7604842 : 08164887113 : Jl. Prof. H. Soedarto, SH No. 1 Tembalang Semarang : (024) 7465408 : 1. Komunikasi Budaya 2. Pengantar Ilmu Komunikasi 3. Komunikasi dan Perubahan Sosial 4. Komunikasi Massa 5. Komunikasi Organisasi 6. Etika dan Filsafat Komunikasi 7. Pengantar Ilmu Sosial 8. Jurnalistuk Media Baru International Conference of Communication, Industry, and Community. Bali, 3-4 Maret 2016 ISBN: 978-602-74139-1-7 SITUS ONLINE DATING SEBAGAI SARANA MEMBANGUN HUBUNGAN ROMANTIS BERKOMITMEN Reni Dyanasari, Tatya Mutiara Annisa Universitas Pembangunan Jaya (UPJ) - Bintaro [email protected], [email protected] Abstract In two years later, online dating is one of famous medium to find a couple in Indonesia. It’s happened of internet users improvement. Urban society thinks that it’s more effective to find a couple via internet. If the couple feel comfortable they will discuss to meet personaly at the real world. Local online dating from Indonesia; Setipe.com, is one of competitive website that has a loyal users who feels satisfied to get a matched until they build a commited romantic relationship. Reza Thalib as a CEO and founder of Setipe.com has an unique selling point with “algoritma cinta” (love algorithm). Setipe.com has a target to increase users until 1.000.000 at the end of 2015 (Vemale, 2015). This research use the concept of through the step of romantic growth.This research will use qualitative method with case study approaches to find “how a relationship can standed from online dating?”, specially for commited romantic relationship. Resercher will find a data by in-depth interview with couples who has commited romantic relationship that started with online dating, then the data from in-house psychologist and product manager Setipe.com to know more about the system or feature that can matched many couple in Indonesia until they build a commited romantic relationship. This research find the fact that couple was througt the step of romantic growth with or without that sequence. It’s because of the sequence of every human who build romantic relationship is different. Focus on online dating users that meet each other via Setipe.com and they have an interested then they agree to continue their relationship into the real world until commited romantic relationship level. The role of Setipe.com that has a system or feature that could matched the couple based on their analitic system. This research share the information about commited romantic relationship that happed because of online dating. It’s suitable for urban society that has limited time to choose and find their parther in life via internet. That method considered to get an impact to meet their couple in effective time. Key Words: Online Dating, Romantic Relationship, Couple. Abstrak Situs online dating mulai ramai dibicarakan terutama pada dua tahun belakangan ini di Indonesia. Hal tersebut dibarengi dengan peningkatan jumlah pengguna internet Indonesia yang juga terus meningkat. Kehidupan masyarakat urban menganggap pencarian pasangan dapat lebih efektif dilakukan melalui dunia maya. Hubungan romantis dijajaki melalui dunia maya terlebih dahulu untuk selanjutnya menjadi bahan pertimbangan untuk diwujudkan di dunia nyata. Tidak hanya situs online dating internasional, berbagai situs online dating lokal hasil 69 International Conference of Communication, Industry, and Community. Bali, 3-4 Maret 2016 ISBN: 978-602-74139-1-7 karya anak bangsa mampu bersaing untuk memperoleh pengguna setia yang merasa sangat terbantu dengan kehadiran situs tersebut hingga mengantarkan banyak pasangan ke gerbang pernikahan. Setipe.com situs online dating yang dibangun oleh Razi Thalib memiliki keunikan tersendiri melalui algoritma cinta yang dimilikinya. Setipe.com memiliki target untuk meningkatkan jumlah pengguna sebanyak 1.000.000 pengguna pada akhir tahun 2015 (Vemale, 2015). Peneliti melihat tahapan dalam perkembangan hubungan romantis sebagai salah satu konsep yang dapat diaplikasikan untuk melihat perkembangan dalam membangun hubungan romantis pada online dating. Penelitian ini dilakukan dengan menggunakan metode penelitian kualitatif dengan pendekatan studi kasus, untuk mengetahui bagaimana suatu hubungan dapat terbentuk melaui situs online dating yang berakhir dengan suatu hubungan romantis yang berkomitmen. Pemaparan mengenai hubungan romantis yang berkomitmen melalui situs online dating akan diperoleh melalui wawancara dengan pengguna Setipe.com serta wawancara dengan in-house psychologist dan product manager Setipe.com untuk memperoleh pemaparan tentang sistem algoritma yang membuat pengguna dapat memperoleh pasangan yang tepat hingga membentuk hubungan romantis berkomitmen. Penelitian ini menemukan bahwa beberapa pasangan telah melewati beberapa tahapan perkembangan hubungan romantis yang terbentuk melalui online dating. Para pasangan tersebut tidak secara berurutan melalui tahap tersebut dan tidak pula melalui keseluruhan tahap pada tahapan yang ada. Penelitian ini memberikan informasi mengenai pembentukan hubungan romantis berkomitmen melalui online dating yang disesuaikan dengan kebutuhan masyarakat urban untuk dapat menyeleksi calon pasangannya secara online karena keterbatasan waktu yang dimiliki. Penyeleksian tersebut dianggap tidak sia-sia karena mampu mengasilkan hubungan yang berkomitmen. Kata Kunci: Online Dating, Kencan Online, Hubungan Romantis, Pasangan. Pendahuluan Perkembangan internet dan teknologi memberikan dampak dan pengaruh terhadap beragam aspek di dunia, mulai dari bisnis, pendidikan hingga gaya hidup masyarkat yang ada. Perubahan dan perkembangan dalam beberapa aspek dikehidupan ini sangat dipengaruhi dari internet dan teknologi. Hal tersebut memunculkan banyak tren-tren yang kini hadir dengan berbagai tujuan dan manfaatnya. Salah satunya adalah kemunculan online dating sebagai bentuk pemanfaatan teknologi sebagaimedia perantara untuk membangun sebuah hubugan. Online dating memberikan kemudahan bagi banyak pihak, terutama bagi mereka yang sudah waktunya menjalin sebuah hubungan yang romantis dan berkomitmen, tetapi tidak kunjung mendapatkan pasangan yang diharapkan. Situs online dating mulai marak digunakan di Amerika Serikat pada sekitar tahun 2007, dimana berbagai situs yang menyediakan layanan pencarian pasangan secara online bermunculan seperti OkCupid, Lovestruck.com, eHarmony, Match.com dan sebagainya. Situs online dating sendiri muncul pertama kali pada bulan april tahun 1995 yang diprakarsai oleh Gary Kremen 70 International Conference of Communication, Industry, and Community. Bali, 3-4 Maret 2016 ISBN: 978-602-74139-1-7 dengan nama situs Match.com yang dinobatkan sebagai situs online dating terbesar didunia. (Business Insider, 2011). Match.com sendiri kini melayani 24 negara di dunia dalam 15 bahasa yang berbeda dengan misi membantu para lajang menemukan pasangan dan hubungan romantic yang mereka cari dan harapkan selama ini. (Match, n.d.). Di Indonesia sendiri, online dating mulai ramai dibicarakan pada akhir tahun 2014 dimana situs online dating lokal Setipe.com, meningkat kepopulerannya ditengah kalangan pengguna internet. Hal ini dibuktikan dengan adanya peningkatan pengguna yang berjumlah dua kali lipat yakni dari 83.000 pengguna menjadi 200.000 pengguna pada awal tahun 2015. Seperti yang dilansir oleh CEO dan Founder Setipe.com, Razi Thalib, Setipe memiliki target untuk meningkatkan jumlah pengguna sebanyak 1.000.000 pengguna pada akhir tahun 2015 (Vemale, 2015). Setipe.com merupakan situs online dating lokal yang diciptakan oleh Razi Thalib dan tim co-founder untuk memudahkan para lajang dalam mencari pasangan atau jodoh mereka masingmasing. Dalam melakukan pencarian pasangan untuk para lajang Indonesia, Setipe.com dibantu oleh seorang pakar psikolog, Pingkan Rumondor, S.Psi., M.Psi, dalam membuat pertanyaan-pertanyaan mengenai kepribadian pengguna dengan rumus atau sistem algoritma sehingga pengguna dapat mengenal diri sendiri dan juga Setipe dapat merekomendasikan pasangan yang cocok dengan berdasarkan aspek fisik, intelektual, dan emosional yang sesuai dari hasil tes kepribadian dan kriteria pasangan pengguna (Setipe, n.d). Online dating saat ini menjadi hal yang sudah dapat diterima oleh banyak orang di Indonesia, pernyataan tersebut juga diperkuat dengan jumlah pengakses atau pengguna online dating pada setipe.com yang merupakan situs kencan online terbesar di Indonesia yang meningkat, pada desember 2013 lalu, jumlah penggunanya sudah mencapai 80.000 anggota dengan presentase 45% wanita dan 55% pria dengan usia mayoritas 20-30 tahun. (Vemale.com) Kehadiran online dating yang sudah sejak puluhan tahun lalu di Amerika Serikat, memunculkan pernyataan dan sebuah fakta dalam buku Modern Romance ; Aziz Ansari yang mengatakan bahwa online dating menjadi syarat utama jika ingin dikatakan sebagai seorang modern single. Modern Single yang erat kaitannya dengan perkembangan teknologi dan internet sebagai media utama dalam kehidupannya. Dengan adanya perkembangan teknologi dan internet, perubahan gaya hidup dan mencari pasangan, maka akan timbul berbagai permasalahan baru dan budaya-budaya baru yang akan berdampak pada aspek-aspek kehidupan lainnya dan dalam penelitian ini, peneliti ingin melihat bagaimana tahapan- tahapan dalam perkembangan sebuah hubungan mulai dari tahap awal hingga menjadi sebuah hubungan yang romantis dan berkomitmen. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui tahapan perkembangan sebuah hubungan yang romantis dan berkomitmen dengan melalui online dating. 71 International Conference of Communication, Industry, and Community. Bali, 3-4 Maret 2016 ISBN: 978-602-74139-1-7 Tinjauan Pustaka Terkait dengan latar belakang permasalahan yang terjadi mengenai online dating yang berkembang saat ini. Penelitian ini menggunakan teori menurut Julia T. Wood mengenai hubungan romantis dan berkomitmen dan juga tahapan perkembangan dalam hubungan. Menurut Julia T. Wood hubungan romantis yang berkomitmen adalah hubungan antar-individu yang berasumsi bahwa mereka akan secara mendasar dan terus-menerus menjadi bagian dari hidup orang lain, Hubungan yang bersifat sukarela. Kita tidak memilih keluarga, tetangga atau rekan kerja, tetapi kita memilih teman intim kita. Hubungan yang romantis dan berkomitmen dibuat dan dibangun oleh orang-orang unik yang taktergantikan. Hubungan yang romantis dan berkomitmen melibatkan perasaan romantis dan seksual, yang bukan merupakan tipikal hubungan dengan rekan kerja, teman atau sekedar tetangga (Wood, 2013: 288). Hubungan romantis dan berkomitmen terdiri dari tiga dimensi: keintiman, komitmen dan hasrat. (Acker&Davis, 1992; Hendrick & Hebdrick, 1989). 1. Hasrat Hasrat digambarkan sebagai perasaan positif yang intens dan gejolak yang kuat untuk orang lain. Hasrat tidak hanya terbatas pada perasaan seksual dan sensual. Sebagai perasaan seksual, hasrat melibatkan emosi yang luar biasa, spiritual dan interaksi intelektual. Harapan dan emosi yang tinggi untuk terlibat dalam cinta adalah percabangan dari hasrat, hal tersebut yang menyebabkan munculnya sensasi-sensasi tertentu saat mencintai seseorang. 2. Komitmen Komitmen adalah intensitas untuk tetap terlibat dalam hubungan. Komitmen berbeda dengan cinta. Cinta adalah perasaan yang didasari penghargaan terhadap keterlibatan kita dengan orang lain. Komitmen adalah keputusan untuk tetap berada dalam hubungan tersebut. Semakin banyak kita berinvestasi dalam hubungan, semakin besar komitmen yang kita berikan (Lund, 1985; Rusbult, Drigotas & Verrete, 1994). Komitmen memberikan fondasi yang lebih kokoh untuk kehidupan bersama. Komitmen adalah kebulatan tekad untuk tetap bersama walaupun diterpa masalah, perselisihan, kegelisahan sporadic dan hasrat yang menurun. Komitmen juga termasuk dalam menerima tanggung ajwab untuk menjaga hubungan (Swidler, 2001) Hasrat terjadi tanpa adanya usaha, komitmen berupa sebuah keinginan. Hasrat adalah perasaan; komitmen adalah pilihan. Hasrat dapat memudar karena perselisihan dan masalah; komitmen tetap kokoh. Hasrat muncul saat ini dan akan memudar, komitmen akan mengikat dan berlanjut ke masa depan. 72 International Conference of Communication, Industry, and Community. Bali, 3-4 Maret 2016 ISBN: 978-602-74139-1-7 3. Keintiman Keintiman adalah perasaan dekat, terhubung dan kelembutan. Keintiman mendasari hasrat dan komitmen (Acker & Davis, 1992; Brehm et al., 2001; Hasserbrauck & Fehr, 2002). Keintiman terkait dengan hasrat karena sama-sama melibatkan perasaan yang sangat kuat. Hubungan antara keintiman dan hasrat adalah komitmen, yaitu mengikuti partner tidak hanya pada saat ini saja, tetapi juga sepanjang waktu. Keintiman adalah perasaan yang kekal dan perasaan hangat untuk orang lain. Hal ini yang membuat satu sama lain nyaman dan menikmati saat bersama, bahkan saat tidak terjadi apapun didalam hubungan (Wood, 2013: 289-290). Sebuah hubungan yang romantis dan berkomitmen memiliki berbagai aspek yang melandasinya. Diantaranya adanya hasrat, komitmen dan keintiman yang harus terdapat didalam sebuah hubungan tersebut. Ketiga aspek tersebut menjadi satu-kesatuan yang saling melengkapi dalam terbentuknya sebuah hubungan hingga hubungan tersebut dapat dikatakan sebagai sebuah hubungan yang romantic dan berkomitmen. Hubungan yang romantic dan berkomitmen tidak hanya sebuah pernyataan biasa dan bukan hanya perasaan cinta biasa, tetapi sebuah perasaan memiliki yang dilandasi tanggung jawab, rasa mencintai dan juga kedekatan yang intim satu sama lain. Tahap Perkembangan Hubungan Dalam prosesnya, sebuah hubungan romantis berkomitmen akan mengalami perkembangan sejak tahap awal memulai hubungan tersebut. Layaknya perkembangan lainnya, dalam hubungan-pun akan menemui step yang semakin meningkat atau bahkan menurun dikemudian hari. Tahap awal adalah tahap pertumbuhan dalam tahap pertumbuhan ini terdapat langkah-langkah yang sangat penting dalam terbentuknya sebuah hubungan yang romantis dan berkomitmen. Pertama, Individualitas, setiap dari kita adalah individu dengan kebutuhan, tujuan, gaya mencintai, kecenderungan mempersepsi dan kualitas yang mempengaruhi apa yang kita cari dalam hubungan. (Wood, 2013 : 293) Tahap kedua adalah komunikasi yang mengundang, dimana orang-orang memberi tanda bahwa mereka tertarik untuk berinteraksi; selama tahap ini mereka juga menanggapi undangan dari orang lain. Kita juga dapat mengundang interaksi di chat room atau situs yang didesain untuk mempertemukan orangorang baru. Makna terpenting dari komunikasi yang mengundang adalah menemukan tingkatan hubungan, bukan tingkatan konten. (Wood, 2013:294) Tahap ketiga adalah komunikasi yang mengeksplorasi, tahap ini merupakan tahap ketiga dari eskalasi romantismedan tahap ini focus pada pertukaran informasi. Pada tahap ini orang-orang mencari tahu minat umum dan menjadikannya bahan untuk berinteraksi. Pada tahap ini mulai mencoba untuk mengurangi ketidakpastian mengenai orang lain sehingga kita mulai mengevaluasi kemungkinan hubungan yang lebih serius.(Wood, 2013:295) 73 International Conference of Communication, Industry, and Community. Bali, 3-4 Maret 2016 ISBN: 978-602-74139-1-7 Tahap keempat adalah mengintensifkan komunikasi atau bisa disebut sebagai fase euphoria untuk menekankan intensitas dan kesenangannya. Selama tahap ini, partner menghabiskan semakin banyak waktu bersama dan mereka mulai kurang bergantung pada struktur eksternal, seperti film dan pesta. Mereka melibatkan diri dalam hubungan dan merasa waktu kebersamaan tidaklah cukup. Pembukaan lebih mendalam muncul, biografi personal diisi dan partner belajar dengan pesat mengenai perasaan dan pikiran orang lain. Hal ini menurunkan ketidakpastian mengenai satu sama lain dan muncul keinginan mengenai hubungan jangka panjang (Berger, 1987; Berger & Gudykunst, 1991). (Wood, 2013 : 295-296) Tahap kelima adalah tahap merevisi komunikasi, tidak terjadi disemua hubungan romantic, tetapi penting saat dibutuhkan. Selama tahap ini, pasangan melihat hubungan denga lebih realistis. Masalah disadari dan pasangan mengevaluasi apakah mereka ingin melaluinya. (Wood, 2013:296) Tahap terakhir dalam perkembangan adalah keterikatan intim atau komitmen. Pada tahap ini berupa keputusan untuk menetap di dalam hubungan. Sebelum adanya komitmen, pasangan tidak mengasumsikan bahwa hubungan mereka akan berlanjut selamanya. Dengan komitmen, hubungan menjadi anugerah, bersama dengan pengaturan aspek lain dalam hidup mereka. Tahap dan langkah setelah melewati proses perkembangan dalam hubungan adalah tahap Navigasi. Navigasi adalah proses yang berjalan pada komitmen untuk hidup bersama melewati kondisi naik dan turun, suka maupun duka. Pasangan secara terus-menerus mengatur, berusaha melewati masalah, menemukan masalah baru dan mengakomodasi perubahan di dalam kehidupan individual dan hubungan mereka. Selama navigasi, pasangan secara terusmenerus mengalami ketegangan dari perbedaan yang muncul, yang tidak dapat dipecahkan semuanya. Saat partner menanggapi perbedaan ide, mereka merevisi dan menyaring sifat hubungan itu sendiri. (Wood, 2013: 296-297) Metodologi Penelitian ini akan menggunakan metode pendekatan penelitian kualitatif. Penelitian kualitatif menurut Creswell (1998) adalah sebuah proses penelitian ilmiah yang dimaksudkan untuk memahami permasalahanpermasalahan manusia dalam konteks sosial dengan menciptakan gambaran menyeluruh dan kompleks yang disajikan, melaporkan pandangan terperinci dari para sumber informasi, serta dilakukan dalam setting yang alamiah tanpa adanya intervensi apapun dari peneliti (Herdiansyah, 2010:8). Dalam Yin (2009), riset studi kasus mencakub studi tentang suatu kasus dalam kehidupan nyata, dalam konteks atau setting kontemporer (Creswell, 2014:135). Seperti yang dikatakan Creswell (2014:135-136), studi kasus adalah pendekatan kualitatif yang penelitinya mengeksplorasi kehidupan nyata, sistem terbata kontemporer (kasus) atau beragam sistem terbatas (berbagai kasus), melalui pengumpulan daya yang detail dan mendalam yang melibatkan beragam sumber informasi majemuk (misalnya pengamatan, wawancara, bahan audio 74 International Conference of Communication, Industry, and Community. Bali, 3-4 Maret 2016 ISBN: 978-602-74139-1-7 visual, dokumen, dan berbagai laporan, dan melaporkan deskripsi kasus dan tema kasus. Oleh karena itu penelitian ini masih penelitian studi kasus tahap awal yang nantinya akan dilanjutkan kembali guna memperoleh kesimpulan yang lebih maksimal dari data majemuk. Unit analisis merupakan satuan penelitian. Unit analisis dapat berupa seorang individu, kelompok, perilaku, ataupun informasi (Maryati & Suryawati 2006:111). Unit analisis dalam penelitian ini merupakan informasi yang diperoleh dari teks-teks artikel yang ditulis dan dipublikasikan oleh media massa online/ digital yang didalamnya berisi tentang kutipan pengalaman dari para pegguna situs online dating mengenai tahapan pembentukan hubungan romantis tang telah dilaluinya. Artikel/ tulisan tersebut akan memiliki kriteria sebagai berikut: a. Artikel ditulis oleh media digital lokal / nasional. b. Artikel dipublikasikan pada tahun 2010 – 2015 Bentuk data kualitatif yang baru terus bermunculan dalam literatur, tetapi semua bentuk tersebut dapat dikelompokan menjadi empat tipe informasi dasar: pengamatan (mulai dari non partisipan hingga partisipan), dokumen (dari yang bersifat pribadi hingga yang bersifat publik), dan bahan audiovisual (mencakub foto, CD, dan VCD). Krueger dan Casey (2009) membahas penggunaan data internet termasuk ruang obrolan (chat-room) dan papan buletin. Mereka membahas bagaimana mengelola data internet dan bagaimana mengembangkan pertanyaan-pertanyaan untuk data tersebut. Di samping itu, Stewart dan Williams (2005) membahas penggunaan data online untuk riset sosial (Creswell, 2014: 219-221). Studi literatur merupakan salah satu bentuk metode pengumpulan data yang sering dilakukan dalam penelitian kualitatif dengan melihat atau menganalisis dokumen-dokumen tertentu yang dibuat oleh subjek penelitian atau orang lain yang memiliki hubungan dekat dengan subjek (Herdiansyah, 2010:146). Analisis naratif merujuk pada sekumpulan metode untuk menafsirkan teks yang sama-sama memiliki bentuk paparan. Data yang dikumpulkan dalam studi naratif perlu dianalisis untuk cerita yang hendak mereka tuturkan, kronologi dari peristiwa yang tidak terungkap dan titik-titik balik atau epiphanies (Creswell, 2014: 263). Salah satu pendekatan naratif adalah proses yang disajikan Yussen dan Ozcan (1997) yang melibatkan analisis data teks untuk lima unsur dari unsur alur (yaitu karakter, setting, problem, aksi, dan resolusi) (Creswell, 2014: 266). Dalam suatu penelitian, penelitian harus bisa dinilai dengan suatu ukuran. Ukuran penilaian tersebut memiliki perbedaan masing-masing tergantung dengan metodologi atau pendekatan penelitian seperti apa yang digunakan. Ukuran kualitas dari sebuah penelitian terdapat pada kesahihan atau validitas data yang dikumpulkan selama penelitian berlangsung. Dalam penelitian kualitatif, penilaian validitas terjadi ketika proses pengumpulan data sedang berlangsung dan juga pada saat analisis-interpretasi data. Jenis-jenis validitas data dari penelitian kualitatif menurut Kriyantono (2009) adalah kompetensi subjek riset, 75 International Conference of Communication, Industry, and Community. Bali, 3-4 Maret 2016 ISBN: 978-602-74139-1-7 trustworthiness, intersubjectivity Agreement, dan Conscientization (Kriyantono, 2009:70). Berikut metode pengujian data yang akan digunakan dalam penelitian ini. Penelitian ini menggunakan analisis triangulasi yakni menganalisis jawaban subjek dengan meneliti kebenarannya dengan data empiris atau sumber data lain yang tersedia. Cara ini digunakan untuk menguji kebenaran dan kejujuran subjek dalam mengungkapkan realitas menurut apa yang dialami, dirasakan, atau dibayangkan. Dalam penelitian ini, cakupan triangulasi yang lebih ditekankan antara lain adalah triangulasi sumber dan triangulasi teknik. Triangulasi sumber:membandingkan dan mengecek ulang derajat kepercayaan suatu informasi yang diperoleh dari sumber yang berbeda. Dalam penelitian ini, jumlah subjek penelitian yang akan dijadikan objek adalah tiga artikel yang memaparkan tahapan hubungan romantis. Adapun batasan dari penelitian ini antara lain adalah penelitian ini hanya terbatas pada tahapan perkembanagan hubungan romantis melalui situs online dating dan tidak membahas permasalahan lain secara lebih dalam. Hasil Temuan dan Diskusi Berdasarkan tinjauan pustaka yang telah dipaparkan sebelumnya peneliti akan menjabarkan hasil analisis isi yang telah ditemukan sebelumnya melalui pemaparan berdasarkan teori tahapan perkembangan hubungan romantis. Tahapan ini tidak bersifat baku dan pasti dilewati oleh seluruh pasangan. Hasil temuan peneliti juga tidak menemukan keseluruhan tahap dalam perkembangan hubungan, peneliti akan membahas berdasarkan tahapan yang ditemui dalam artikel. Individulitas Pada tahap ini individu mengenali diri dan kebutuhannya akan sebuah hubungan romantis, sebelum membangun hubungan dengan pihak lain. Seperti hasil temuan peneliti dari situs CNN.com yang dipublikasikan pada 9 Oktober 2015 memaparkan bahwa Marcel (bukan nama sebenarnya) merupakan kaum LGBT. Menurut Marcel, dia merasa kesulitan mencari jodoh yang mengeri dirinya, oleh karena itu dia merasa cukup nyaman untuk mengenal dirinya lebih dalam dan mencari calon pasangan yang tepat untuknya melalui situs online dating. "Kalau mencari di dunia nyata yang sama seperti saya jumlahnya kecil," tuturnya saat dihubungi CNN Indonesia melalui sambungan telepon, Kamis (9/10) (CNN, 2014). Selain itu dia juga merasa lebih mengenal dirinya karena fitur situs online dating yang memunculkan banyak pertanyaan-pertanyaan sebelum dipertemukan dengan calon pasangan yang cocok untuk benar-benar mengevaluasi diri sehingga mengetahui kebutuhan akan pasangan, dan pasangan yang sesuai. Menurut Marcel di situs yang dia ikuti ada pertanyaan-pertanyaan yang bisa membuatnya semakin mengenal diri sendiri. Tak hanya itu lewat pertanyaan tersebut ia mengatakan dapat menilai kepribadian orang lain (CNN, 76 International Conference of Communication, Industry, and Community. Bali, 3-4 Maret 2016 ISBN: 978-602-74139-1-7 2014). Dalam tahap ini, hubungan belum terjalin dan mempersiapkan untuk menjalin hubungan. Komunikasi Mengundang Calon pasangan satu sama lain mulai bertemu dan berkenalan baik secara langsung maupun online. Dalam online datang calon pasangan akan dipertemukan melalui internet/ situs online dating yang mereka gunakan. Berdasarkan informasi yang diperoleh dari Vemale.com (2015), pasangan Delly dan Gita dipertemukan melalui situs online dating setipe.com, mereka mulai berkenalan di bulan Februari 2014. Tahap komunikasi mengundang memungkinkan pasangan bertukar informasi dan mencari kesamaan, hingga menunjukan ketertarikan. Hal terlebut juga pernah dialami Marcel. Sebelum bertemu dengan orang tersebut, ia telah saling berkirim pesan dan bertukar nomor ponsel dengan perantara situs kencan (CNN, 2014). Komunikasi Mengeksplorasi Tahap ini memungkinkan pertukaran informasi lebih dalam dan meningkatkan kualitas hubungan. Setelah berkenalan Gita dan Delly dapat dikatakan memasuki tahap pendekatan atau penjajakan secara online (Vemale, 2015). Marcel dan calon pasangannya juga melakukan kopi darat setelah bertukar kontak sebelumnya (CNN.com). Mengintensifkan Hubungan Setelah melalui tiga tahapan diatas, calon pasangan masuk tahap euforia yang selalu meningkatkan kesenangan dalam hubungan. Hal tersebut dilakukan Delly dan Gita. Delly memutuskan untuk terbang ke Jakarta pada Juli 2014 untuk mengenal Gita lebih jauh (Vemale, 2015). Tahap ini pasangan memiliki keinginan untuk menghabiskan waktu bersama. Komitmen Tahap merevisi komunikasi memang tidak selalu dilewati oleh semua pasangan, terutama bagi pasangan yang yang tidak menemui kendala atau konflik berarti dalam menuju komitmen. Seperti yang telah dipaparkan sebelumnya bahwa tahapan ini tidak baku dan sangat dimungkinkan pula untuk terjadi tidak berurutan. Hal ini terjadi pada salah satu pasangan yang membangun hubungan melalui online dating. Delly dan Gita sudah memutuskan untuk berkomitmen (berpacaran) sebelum mereka berdua saling bertemu (Vemale,2015). Navigasi Tahap navigasi dimaknai proses yang berjalan pada komitmen untuk hidup bersama melewati kondisi naik dan turun, suka dan duka. Tahapan ini umumnya di Indonesia dimaknai sebagai pertunangan hingga pernikahan. Pasangan Delly dan Gita memecahkan rekor perjodohan tercepat dari situs online dating setipe.com karena perkenalan bulan Februari 2014 dan bulan Juli 2014 Delly memutuskan untuk bertemu orang tua Gita dan segera melamar untuk 77 International Conference of Communication, Industry, and Community. Bali, 3-4 Maret 2016 ISBN: 978-602-74139-1-7 bertunangan (Vemale.com). Tahap ini juga dialami oleh Ade dan Vera yang bertemu melaui situs setipe.com. dan baru saja melangsungkan pernikahan, berita ini dipublikasikan oleh liputan6.com pada 2 April 2015. Berdasarkan tahapan peneliti hubungan yang dilalui dari sumber terbatas belum menemui tahap kemunduran. Situs online dating juga dianggap dapat memenuhi hasrat para pencari cinta yang bermasalah dengan masalah waktu dan geografis. “Setipe.com sangat mempermudah saya, mungkin ini adalah cupid di masa modern.” ujar Delly (Liputan 6, 2015). Selain itu keintiman juga dapat terbina melalui online dating dengan berbagai fitur yang dimilikinya. Hal itulah yang memungkinkan penggunanya dimungkinkan membangun komitmen dalam hubungan romantis hingga tahap navigasi. Simpulan Simpulan dari penelitian ini adalah perkembangan teknologi yang terjadi saat ini memberikan dampak bagi banyak aspek, salah satunya cara mencari pasangan hidup yang dilakukan melalui jaringan internet atau bersifat online. Adanya online dating memberikan banyak kemudahan bagi banyak pihak, sehingga mereka merasakan kemudahan dalam memulai atau menjalin sebuah hubungan yang romantis dan berkomitmen. Tahapan-tahapan dalam perkembangan hubungan tergambar dari awal permulaan dalam sebuah online dating. Tahapan yang terdapat dalam tahapan perkembangan hubungan, bersifat dinamis dan tidak baku, sehingga dalam sebuah hubungan tidak harus selalu keseluruhan tahapan dilalui atau tidak harus berurutan dari awal hingga akhir. Proses tahapan ini berbeda-beda dalam setiap hubungannya, tidak setiap hubungan memiliki dan melewati tahapan-tahapan yang sama. Penelitian ini membuktikan bahwa online dating bermanfaat bagi masyarakat modern dan perkotaan, karena bersifat fleksibel ditengah kesibukan warga perkotaan yang padat dan tidak memiliki banyak waktu untuk mencari jodoh atau sekedar memulai sebuah hubungan dengan orang baru atau lawan jenisnya. Saran bagi peneliti selanjutnya, agar lebih mendalam membahas mengenai online dating, membahas mengenai medianya, gaya komunikasinya dan proses lengkap terjadinya sebuah pertukaran komunikasi dalam online dating. Daftar Pustaka Creswell, John W. (2014). Penelitian Kualitatif & Desain Riset. Pustaka Pelajar, Yogyakarta, Indonesia. Herdiansyah, Haris. (2010). Metode Penelitian Kualitatif. Jakarta: Salemba Humanika. Kriyantono, Rachmat. (2009). Teknik Praktis Riset Komunikasi. Jakarta: PT Kencana Prenada Media Group. Maryati, Kun & Suryawati, Juju. (2006). Sosiologi Untuk SMA dan MA kelas X. Jakarta: Penerbit Erlangga. 78 International Conference of Communication, Industry, and Community. Bali, 3-4 Maret 2016 ISBN: 978-602-74139-1-7 Wood, Julia T. (2013). Komunikasi Interpersonal : Interaksi Keseharian. Salemba Humanika, Indonesia. CNN. (2014). Kencan online atau kilat, sah-sah saja. Diakses Pada 15 Januari 2016 dari www.cnnindonesia.com/hiburan/20141009172124-2415941/kencan-online-atau-kilat-sah-sah-saja/ Liputan 6. (2015). Cari Jodoh Melalui Situs Dating OnlineMenjadi Tren Baru. Diakses pada 15 Januari 2016 dari http://www.liputan6.com/read/2206185/cari-jodoh-melalui-situs-datingonline-menjadi-tren-baru/ Match. AboutMatch.com. Dikutip dari http://www.match.com/help/aboutus.aspx?Iid=4 Setipe. (n.d). Tentang Kami. Dikutip dari https://setipe.com/about Vemale. (2015). Setipe.com Berhasil Mengubah Stigma Online Dating. Dikutip dari http://www.Vemale.com/relationship/love/78624-setipe-com-berhasilmengubah-stigma-online-dating.html 79 International Conference of Communication, Industry, and Community. Bali, 3-4 Maret 2016 ISBN: 978-602-74139-1-7 GAYA HIDUP DAN PERILAKU SEKSUAL PENGGUNA CYBERSEX (STUDI KASUS: PADA MAHASISWA DI KOTA PADANG) Elva Ronaning Roem Jurusan Ilmu Komunikasi, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Andalas [email protected] Abstract This research studying how the effect online media on a person's lifestyle. Cybersex user online in this research are students of many university in Padang. Indirectly, they experiencing poor sexual behavior after interacting in the media online. This habbit became a lifestyle that is difficult to remove in their lives. The results of this research, on average tend to be closed cybersex users about their behavior. This is due that cybersex activities are regarded as deviant behavior that violates social norms and values in society. By using a social penetration theory, revealed that students who play online games first just to find friendship only in new media, but this should be a continuity and a way of life because of sexual behavior that they do among themselves without the knowledge of others in the online world. Keywords: Lifestyle, Cybersex, Social Penetration. Abstrak Penelitian ini membahas tentang bagaimana pengaruh dunia online dalam perkembangan new media di Kota Padang yang sangat berpengaruh pada gaya hidup seseorang dilingkungannya. Pengguna cybersex online yakni dalam penelitian ini adalah rata-rata mahasiswa dikota Padang yang berasal dari berbagai perguruan tinggi, secara tak langsung mengalami prilaku seksual yang buruk setelah berinteraksi dengan dunia maya dalam bermain games online. Kebiasaan ini menjadi gaya hidup yang sulit untuk di lepaskan dalam kehidupan mereka. Hasil penelitian menggungkapkan, rata-rata pengguna cybersex cenderung tertutup mengenai perilaku mereka. Hal ini disebabkan bahwa kegiatan cybersex yang dianggap sebagai prilaku menyimpang yang melanggar nilai dan norma sosial yang ada di masyarakat. Dengan menggunakan pisau bedah teori Penetrasi sosial terungkap bahwa mahasiswa yang bermain games online awalnya hanya untuk mencari pertemanan saja dalam new media, namun hal tersebut menjadi keterusan dan menjadi gaya hidup karena prilaku seksual yang biasa mereka lakukan antara sesamanya tanpa diketahui orang lain dalam dunia online. Kata Kunci: Gaya Hidup, Cybersex, Penetrasi Sosial. Pendahuluan Keberadaan internet dewasa ini merupakan bagian yang tak dapat dipisahkan dalam pergerakan kehidupan manusia. Kenyataan ini sangat terlihat 80 International Conference of Communication, Industry, and Community. Bali, 3-4 Maret 2016 ISBN: 978-602-74139-1-7 jelas, bahwa pelan-pelan internet pada akhirnya merevolusi cara berkomunikasi manusia, menembus jarak, ruang dan waktu, bahkan fenomena yang tak dapat disangkal dunia nyata seakan telah diganti dengan dunia maya, semua orang dapat bertemu tanpa terpisahkan oleh jarak yang jauh. Internetpun disesuaikan dengan kebutuhan penggunanya. Dibalik manfaat postif internet yang dikenal dengan istilah new media dalam keilmuwannya, banyak mendatangkan hal-hal yang berguna dan menambah pengetahuan yang tinggi bagi penggunanya. Namun dibalik sisi positif tersebut, internet juga memiliki sisi negatif yang jika tidak bisa dikendalikan dalam pemakaiannya dapat membuat seseorang menjadi buruk. Salah satunya adalah pengaksesan pornografi. Tjiptono dan Santoro dalam Nainggolan, mengatakan, tujuan yang buruk dalam penggunaan internet adalah mengakses situs-situs porno. (Naiggolan, 2008: 50). Situs-situs porno saat ini memang bisa diakses langsung tanpa perlu izin. Banyak jenis situs porno yang terdapat dalam internet. Bahkan pemerintahpun hingga kini belum mampu untuk menutup situs-situs porno secara keseluruhan yang muncul di new media. Bentuk situs porno tersebutpun jenisnya beragam, mulai dari video, gambar-gambar erotis bergerak serta game yang bertemakan seksual. Tidak butuh waktu lama untuk belajar membuka situs pornografi di internet. Cukup dengan sekali klik situs saja semua bisa bisa terlihat dengan cepat dan jelas. Apalagi saat ini banyak warung-warung internet yang berlebel “Play Game Online 24 Hour” yang dibuka mengundang anak-anak dibawah umur untuk bisa mengakses permainan apa saja yang mereka inginkan, dan semuanya terhubung dengan koneksi internet. Dan tak jarang dalam permainan game online tersebut juga memuat unsur seksual atau pornografi. Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh berbagai media, menunjukkan bahwa sebagian besar pengakses internet mengaku pernah mengunjungi situs porno (Asiku, 2005: 7). Bentuk perilaku cybersex, bermacammacam jenisnya, diantaranya adalah mengakses pornografi di internet (seperti gambar, video, cerita teks, majalah, film, dan game). (Carners, Delmonico, dan Griffin 2001: 120). Kebeadaan cybersex telah mengubah gaya seks manusia. Sebelum ada internet manusia mengenal seks sebatas hubungan intim nyata, bersentuhan fisik. Setelah ada internet, orang bisa berhubungan intim tanpa harus bersentuhan. Menurut (Daneback, Cooper, dan Mansson, bahwa yang paling banyak menggunakan internet untuk tujuan seksual adalah remaja yang beranjak dewasa (2002: 70). Kebiasaan melihat situs porno yang dilakukan remaja beranjak dewasa seperti mahasiswa yang dilakukan terus menerus akan menjadi sebuah habbit, atau kebiasaan bagi pengguna tersebut, karena mendatangkan kepuasaan tersendiri bagi diri mereka. Kebiasaan ini juga didukung bahwa banyak software gratis yang bisa diakses dengan mudah dengan menggunakan new media tersebut. kebiasaan ini lah yang menyebabkan seseorang menjadikannya sebagai gaya hidup. Mereka tak bisa lepas dari hasrat biologis yang merangsang nafsu mereka untuk terus melihat hal-hal yang bersifat pornografi. Menurut Kotler, gaya hidup adalah pola hidup seseorang di dunia yang di ekspresikan dalam aktivitas, minat, dan opininya. 81 International Conference of Communication, Industry, and Community. Bali, 3-4 Maret 2016 ISBN: 978-602-74139-1-7 Gaya hidup menggambarkan “keseluruhan diri seseorang” dalam berinteraksi dengan lingkungannya. (Kotler, 2002: 192). New media dan gaya hidup saat ini menjadi sesuatu yang tidak bisa dipisahkan bagi remaja yang mulai beranjak dewasa. Salah satunya adalah penggunakan handphone dengan akses internet. Tanpa internet mereka dianggap tidak gaul dan tidak moderen. Melihat fenomena ini dapat kita lihat bahwa saat ini sedang terjadi revolusi dengan hadirnya generasi yang selalu menginginkan kemudahan saat mengakses informasi. Kota Padang, merupakan kota semi Metropolitan yang juga terkenal dengan tingkat religius yang tinggi, kendati demikian jumlah keberadaan pengguna cybersex di Kota ini cukup tinggi, dan rata-rata pengguna berasal dari kalangan mahasiswa. Pengaksesan internetpun disesuaikan dengan keinginan pribadi mereka. Zaman yang serba canggih memungkinkan pengguna cybersex dapat mengakses internet kapanpun dan dimanapun mereka sukai baik dengan menggunakan komputer, laptop maupun notebook yang terkoneksi dengan internet atau dengan melalui handphone yang mempunyai aplikasi khusus internet. Dalam penggunaan teknologi canggih tersebut, pengguna cybersex biasanya mengakses internet secara sembunyi-sembunyi. Hasil penelitian Meirianita (2014), Pengguna cybersex dikota Padang juga tidak banyak yang terbuka mengenai kebiasaan mereka yang sering melakukan kegiatan tersebut kepada orang lain. Selain merasa malu karena ketahuan, perilaku seksual bagi mereka juga masih dianggap tabu dan masuk dalam perbuatan menyimpang (2014: 5). Hasil penelitian Meirianita tersebut menjadi hal yang menarik perhatian penulis untuk meneliti lebih lanjut, bahwa saat ini mahasiswa di Kota Padang memiliki angka yang cukup tinggi dalam tingkat seksualitas melalui online salah satunya adalah sebagai pengguna cybersex. Hal ini mungkin didorong oleh banyak faktor. Namun gaya hidup menjadi sesuatu yang tidak bisa dilepaskan dari kebiasaan cybersex. Untuk ini tujuan dari penelitian ini adalah untuk melihat bagaimana sesungguhnya bentuk gaya hidup dan perilaku seksual pengguna cybersex dikota Padang dengan mengambil mahasiswa sebagai informan penelitian sebagai pengguna cybersex tersebut. Tinjauan Pustaka Kecenderungan perilaku mengakses situs porno menurut Young dipengaruhi beberapa faktor internal yang berasal dari kondisi personal individu dapat dibagi menjadi dua yaitu faktor kepribadian; seperti tipe kepribadian dan kontrol diri, dan faktor situasional yang merujuk pada riwayat kesehatan dan kehidupan seks. (Young dan Rodgers, 1998: 125). Keberadaan situs porno juga didukung dengan munculnya new media atau yang akrab disebut dengan internet. New media adalah perantara baru. Namun pengertian secara istilah adalah perubahan media yang dulu dalam media yang terbentuk dari interaksi antara manusia, komputer dan internet secara khususnya. Termasuk di dalamnya 82 International Conference of Communication, Industry, and Community. Bali, 3-4 Maret 2016 ISBN: 978-602-74139-1-7 adalah web,blog,online social network yang menggunakan komputer sebagai medianya. Pandangan terhadap new media dapat berpengaruh positif dan negatif. Berpengaruh positifnya info dari media sangat mudah dan sangat cepat,dapat di akses di mana pun serta mendapatkannya sangat lah murah. Pengaruh negatif new media terhadat manusia adalah info dari media tersebut tanpa batas dan dapat masuknya budaya luar melalui media baru ini, jika tidak di dasarkan kepada ilmu pengetahuan maka akan menimbulkan hal-hal yang negatif terhadap masyarakat. (https://adilalaras.wordpress.com/2014/10/03/new-media/) Menurut Denis McQuail dalam bukunya Teori Komunikasi Massa, ciri utama media baru adalah adanya saling keterhubungan, aksesnya terhadap khalayak individu sebagai penerima maupun pengirim pesan, interaktivitasnya, kegunaan yang beragam sebagai karakter yang terbuka, dan sifatnya yang ada di mana-mana. (2011:43). Sementara itu Perubahan utama yang berkaitan dengan munculnya media baru yakni: Digitalisasi dan konvergensi atas segala aspek media, Interaksi dan konektivitas jaringan yang makin meningkat, Mobilitas dan deklokasi untuk mengirim dan menerima, Adaptasi terhadap peranan publikasi khalayak, Munculnya beragam bentuk baru „pintu‟ (gateway) media, Pemisahan dan pengaburan dari „lembaga media‟ (McQuail, 2011:151). Media baru yang bersifat negatif salah satunya adalah penggunaan cybersex. Cybersex adalah adalah bertemunya dua orang atau lebih melalui jaringan computer/internet dimana mereka saling mengirim pesan tentang sex dan berpura-pura sedang mengalami/menjalani sex yang sebenarnya. Menurut Mark Slauka, Dalam cybersex pelaku melalui pesan teks, suara atau video saling mengirim pesan yang merangsang dirinya sendiri dan pasangannya untuk mencapai orgasme seksual. Cybersex biasanya diikuti dengan masturbasi. Intensitas pertemuan pasangan atau kelompok pelaku cybersex didasari kemampuan para pelaku menggambarkan fantasi sex mereka baik melalui audio, video dan yang paling sering adalah teks (chatting). (Slauka, 1993: 34). Dalam hal ini bentuk perilaku cybersex yang seringkali terlihat adalah real time dengan pasangan fantasi atau chatting yang memuat obrolan erotis dengan teman chat di ruang mengobrol juga banyak diperbincangkan saat ini, bahkan beberapa orang sampai menggunakan kamera web untuk melihat pasangan mereka di ruang ngobrol (Carvalheira & Gomes, 2002: 40). Cooper dan Griffin-Shelley dalam Daneback, Cooper, & Mansson, mengatakan bahwa pada beberapa kasus, mereka saling tukar menukar gambar mereka sendiri atau gambar-gambar erotis dan gambar-gambar bergerak yang mereka dapat dari web internet. Biasanya orang yang terlibat dalam kasus ini tidak pernah ketemu sebelumnya di dunia nyata. Percakapan yang di lakukan oleh mereka mulai dari godaan dan kata-kata kotor untuk memberikan gambaran bahwa mereka sedang melakukan hubungan seksual, dan tak jarang dari mereka yang dapat merasakan orgasme, baik itu hanya dengan berfantasi (Daneback, Cooper, & Mansson, 2005: 62). Menurut Goldberg, seks menjadi bagian yang penting dan selalu diadopsi oleh teknologi baru. Kehadiran internet seks adalah sebagai media eksploitasi erotika dan pornografi. Internet juga menyediakan program seksual yang 83 International Conference of Communication, Industry, and Community. Bali, 3-4 Maret 2016 ISBN: 978-602-74139-1-7 bervariasi mulai dari layanan yang pasif seperti gambar porno sampai pada yang paling aktif, yaitu partisipasi langsung lewat interaktif video dan berbicara seksual di dalam ruang obrolan online (Goldberg, 2008: 40). Pengguna seks dalam media internet disebut dengan cybersex. Cybersex adalah hubungan erotik yang terjadi di alam maya. Internet relay service merupakan salah satu sarana chatting room yang sering digunakan pengguna Internet. Cybersex sering juga disebut internet sex atau komputer sex. Seiring perkembangan teknologi, fasilitas untuk terbang ke alam maya pun ikut berkembang. Dulu tampilan chatting room hanya sederhana, kini tersedia berbagai pilihan background, dari musik, web cam sampai layanan internet phone. Membuat pelanggan internet merasa lebih nyaman dan betah. (http://www.luvseks.com/2011/06/mengenal-lebih-dalamtentang-cybersex.html). Dalam lingkungan sosial, Pengguna Cybersex sesungguhnya telah mempraktikkan teori Penetrasi sosial. Dalam teori Penetrasi Sosial yang di kemukakan Altman dan Taylor dalam Bungin, dalam lingkungan sosial semua makhluk hidup memiliki proses dimana orang saling mengenal satu dengan yang lainnya. Penetrasi sosial merupakan hubungan yang bertahap, dimulai dari komunikasi basa-basi yang tidak akrab dan terus berlangsung hingga menyangkut topik pembicaraan yang lebih pribadi dan akrab, seiring dengan berkembangnya hubungan. (Bungin, 2008: 264). Jika dikaitakan dengan teori Penetrasi Sosial, pengguna cybersex, pada tahap awal memang berusaha menjalin hubungan yang bertahap, dimulai dari komunikasi basa-basi dengan lawan chatt seks mereka jika ada, dan selanjutnya bila telah akrab akan berlanjut hingga ke pembicaraan yang lebih seri tentang seksualitas, hingga akhirnya melakukan prilaku seksual tersebut meski melalui media maya. Dalam keilmuwannya, Altman dan Taylor dalam Griffin menyebutkan penetrasi sosial berbicara tentang membandingkan sebuah bawang dan manusia sebagai analogi untuk menjelaskan bagaimana orang melalui interaksi saling mengelupas lapisan-lapisan informasi mengenai diri masing-masing. Setiap lapisan yang terdapat pada bawang merupakan sebuah struktur penetrasi seseorang hingga pada akhirnya mereka mengungkap dirinya. (Griffin, 2012: 114) Dalam penelitian Meirinita (2014), tentang Self Disclosure Pengguna Cybersex Kepada Peer Group Mengenai Perilaku Seksualnya disebutkan Pengungkapan diri (self disclosure) merupakan hal yang penting dalam suatu hubungan karena self disclosure dapat meningkatkan komunikasi yang efektif. Self disclosure yang dilakukan oleh pengguna cybersex kepada peer group-nya yang bukan pengguna cybersex tidak langsung terjadi dalam satu waktu, tetapi mereka melakukannya secara bertahap seiring perkembangan hubungan mereka dengan peer group (2014: 78). Bila dikaitkan dengan teori Penetrasi Sosial, penelitian Meirina melihat bahwa, informan pengguna cybersex juga melakukan pengungkapan diri secara bertahap. Mulai dari mengungkapkan hal-hal yang bersifat sangat khusus atau hal-hal umum untuk diketahui orang banyak, hingga bergerak menuju hubungan yang sangat dekat yang mengungkapkan hal-hal yang 84 International Conference of Communication, Industry, and Community. Bali, 3-4 Maret 2016 ISBN: 978-602-74139-1-7 lebih bersifat pribadi. Self disclosure yang terjadi antara informan pengguna cybersex dan peer group-nya berbeda struktur lapisannya. Namun perkembangan hubungannya tetap bergerak dari pengungkapan mengenai hal-hal umum menuju pengungkapan mengenai hal yang lebih pribadi (private). Sementara itu dalam Jurnal Psikologia-online, yang dilakukan oleh Noni Novika Sari dan Ridhoi Meilona Purba (2012) yang berjudul Gambaran Perilaku Cybersex Pada Remaja Pelaku Cybersex Di Kota Medan, menyatakan bahwa mayoritas remaja pelaku Cybersex melakukan setidaknya empat perilaku cybersex setelah melihat tayangan pornografi di media online. Perilaku seks tersebut adalah kombinasi perilaku online sexual compulsivity, online sexual behavior social, online sexual behavior isolation, dan interest in online sexual behavior sebagai kombinasi perilaku terbanyak untuk tujuan rekreasi. Sementara itu situs yang paling banyak dikunjungi oleh subjek penelitian untuk mencari materi seksual adalah Youtube Porno, Youporn, Tube8, Google, World Sex, Lalat X, Red Tube, Americasex, dan Ceritaseks. Hasil penelitian juga menyebutkan remaja pengguna cybersex di kota Medan melakukan cybersex secara berulang, dan sulit untuk berhenti atau tidak dapat mengendalikan diri untuk tidak melakukannya tetapi hal ini dilakukan hanya untuk hiburan semata. Saat mereka memiliki waktu luang, cybersex merupakan alternative hiburan yang dapat mereka nikmati. Dalam relis sebuah media online, Androlog dari Fakultas Kedokteran, Universitas Katolik Fu Jen, Taiwan Dr. Han Sun Chiang, MD menyebut bahwa dalam sebuah penelitian yang dilakukan di Taipei terungkap sekitar 57 persen para siswa ini telah terbiasa dan merasa nyaman berkencan dengan orang asing lewat internet dan bahkan melakukan hubungan seksual dalam semalam. Yang memprihatinkan, sekitar 5 persen dari mereka bahkan telah terbiasa dengan hubungan seksual. (http://velocityvelas.blogdetik.com/2011/04/17/pengertiancyber-sex-di-era-sekarang). Dalam perkembanganya, tak jarang pengguna cybersex, terkadang dikatakan sebagai orang yang telah melakukan prilaku menyimpang. Kartini Kartono menyebutkan perilaku menyimpang merupakan tingkah laku yang menyimpang dari tendensi sentral atau ciri-ciri karakteristik rata-rata dari rakyat kebanyakan. Pelaku seks komersial termasuk kelompok orang yang memiliki perilaku menyimpang dalam kehidupan bermasyarakat. Adapun faktor penyebab perilaku menyimpang yang dilakukan pelaku seks komersial disebabkan beberapa faktor. Kartini Kartono menyatakan faktor-faktor tersebut antara lain: Sosialisasi Nilai-nilai Sub kebudayaan Menyimpang, Pengaruh lingkungan dan media massa, Sikap mental yang tidak sehat, Ketidaksanggupan menyerap norma, Kegagalan dalam proses sosialisasi, Ketidakharmonisan dalam keluarga, Pelampiasan rasa kecewa, Dorongan kebutuhan ekonomi, Keinginan untuk dipuji, Proses Belajar yang Menyimpang, Adanya Ikatan Sosial yang berlainan. (Kartini, Kartono, 2005: 15). 85 International Conference of Communication, Industry, and Community. Bali, 3-4 Maret 2016 ISBN: 978-602-74139-1-7 Kebiasaan yang berulang terus menerus dalam melihat hal-hal yang berisfat pornografi dalam dunia online, akhirnya menjadi sebuah gaya hidup yang sulit untuk dipisahkan dalam kehidupan sehari-hari, Secara umum dapat diartikan sebagai suatu gaya hidup yang dikenali dengan bagaimana orang menghabiskan waktunya (aktivitas), apa yang penting orang pertimbangkan pada lingkungan (minat), dan apa yang orang pikirkan tentang diri sendiri dan dunia di sekitar (opini). Sedangkan menurut Minor dan Mowen gaya hidup adalah menunjukkan bagaimana orang hidup, bagaimana membelanjakan uangnya, dan bagaimana mengalokasikan waktu (Mowen, 2002: 282). Menjadi Cyberseks saat ini di Indonesia juga didukung dengan pola gaya hidup seseorang yang tak lepas dari gairah seks yang tinggi, dan terlalu penasaran dengan hal-hal yang bersifat seksualitas. Apalagi didukung dengan akes penggunaan internet yang mudah dan murah pada masa sekarang. Kebiasaan yang terus diulang-ulang tersebut menjadi susah untuk dihilangkan dan pada akhirnya menjadi sebuah gaya hidup yang sulit untuk dilepas. Suratno dan Rismiati menyebutkan gaya hidup adalah pola hidup seseorang dalam dunia kehidupan sehari-hari yang dinyatakan dalam kegiatan, minat dan pendapat yang bersangkutan. Gaya hidup inilah akhirnya mencerminkan seseorang secara keseluruhan bagaimana cara pribadinya dalam berinteraksi dengan lingkungan (Rismawati dan Surtano, 2001: 174). Metodologi Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode penelitian kualitatif. Metode penelitian kualitatif adalah jenis penelitian yang temuantemuannya tidak diperoleh melalui prosedur kuantifikasi, perhitungan statistik, atau bentuk cara-cara lainnya yang menggunakan ukuran angka. Kualitatif berarti sesuatu yang berkaitan dengan aspek kualitas, nilai atau makna yang terdapat dibalik fakta. Kualitas, nilai atau makna hanya dapat diungkapkan dan dijelaskan melalui linguistik, bahasa, atau kata-kata. Oleh karena itu, bentuk data yang digunakan bukan berbentuk bilangan, angka, skor atau nilai; peringkat atau frekuensi; yang biasanya dianalisis dengan menggunakan perhitungan matematik atau statistik (Creswell, 2014: 166). Jenis penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah penelitian studi kasus. Menurut Creswell dalam studi kasus kualitatif, seseorang dapat menyusun pertanyaan maupun sub pertanyaan melalui isu dalam tema yang dieksplorasi, juga sub pertanyaan tersebut dapat mencakup langkah-langkah dalam prosedur pengumpulan data, analisis dan konstruksi format naratif. (Creswell, 2014: 172). Pada penelitian ini peneliti mengamati interaksi yang terjadi pada pengguna cybersex. Peneliti menggunakan metode kualitatif studi kasus, dimaksudkan agar peneliti dapat mengetahui bagaimana sesungguhnya perilaku informan penelitian, sehingga menjadikan media online sebagai tempat pelampiasan nafsu mereka, dan menjadi gaya hidup yang sulit untuk dilepaskan. Informasi ini peneliti peroleh melalui hasil wawancara mendalam dan observasi partisipan. 86 International Conference of Communication, Industry, and Community. Bali, 3-4 Maret 2016 ISBN: 978-602-74139-1-7 Mahasiswa dipilih menjadi informan dalam penelitian ini. Mahasiswa pengguna internet aktif tersebut dipilih secra teknik purposive sampling. Menurut Sugiyono, purposive sampling adalah teknik penentuan sampel dengan pertimbangan tertentu (Sugiyono, 2009: 85). Subjek yang dipilih berdasarkan kriteria tertentu sesuai dengan masalah dan tujuan penelitian. Kriteria informan yang peneliti ambil yaitu para pengguna cybersex yang mau terbuka dalam menceritakan kebiasaan mereka setelah melihan dan menggunakan cyberseks. Pencarian informan peneliti dapatkan dari guide yang memang mengetahui dan mengenal teman-temannya yang sering melakukan chatt seks serta memiliki kebiasaan buruk melakukan seks didunia maya setelah terangsang dengan website-website apa yang mereka buka. Peneliti hanya menggunakan tiga orang informan saja karena keterbatasan peneliti dalam menemukan informan penelitian. Selain itu tidak banyak pengguna cybersex yang mau terbuka serta mengungkapkan diri kepada orang lain yang bukan pengguna cybersex, sehingga peneliti menemukan kesulitan untuk mendapatkan informan yang mau terbuka untuk mengungkapkan mengenai perilaku mereka. Pertimbangan peneliti memutuskan untuk menggunakan tiga orang informan saja juga karena tiga orang informan ini telah memenuhi tujuan penelitian. Dalam penelitian peneliti melakukan studi kepada pengguna cybersex yang merupakan seorang mahasiswa yang ada di kota Padang. Hasil Temuan dan Diskusi Perilaku Seksual Pengguna Cybersex Sesuatu yang tidak diragukan lagi, bila banyak orang mengasosiasikan internet dengan seks, sebab dari berbagai penelitian didapat hasil bahwa situssitus internet yang orientasinya seksual termasuk yang paling banyak dilihat peselancar dunia maya. Namun mencari dan menikmati berbagai situs seks yang memiliki konten pornografi secara berkelanjutan mengakibatkan seseorang menjadi terbiasa dan akhirnya membawa diri seseorang tersebut melakukan perilaku seksual. YS, salah satu informan dalam penelitian ini mengaku, menjadikan internet menjadi medianya dalam mengeksplorasi fantasi seksual. Mahasiswa yang duduk pada semester tiga salah satu perguruan tinggi negeri di Kota padang menyebutkan lebih rinci bahwa internet merupaka media yang sangat aman dan pribadi baginya dalam perilaku seksual terhadap dirinya sendiri. Sementara itu BR informan lainnya, mengaku aktif sebagai pengguna cybersex sejak 2 tahun terkahir (2014 lalu) mengakses situs seks awalnya untuk penyaluran gairah seksual saja. Namun kebiasaan buruk tersebut terus diulangnya hanya untuk mendapat kepuasaan sesaat sehingga melahirkan perilaku seksual kecanduan seks siber (cybersex). Kecanduan seks bagi dir BR yang berusia 20 tahun ini, didorong karena berperilaku tertentu terus menerus. MM, informan penelitian ini juga menuturkan dirinya bisa berjam-jam setiap hari menghabiskan waktu untuk menjelajah situs seks. Dan MM sering melakukan masturbasi hanya dengan melihat gambar-gambar porno yang 87 International Conference of Communication, Industry, and Community. Bali, 3-4 Maret 2016 ISBN: 978-602-74139-1-7 merangsang atau melakukan chat seks dengan komunitas mereka. Cooper, Delmonico, dan Burg (dalam Carners, Delmonico & Griffin, 2001) mengatakan bahwa individu yang mengakses materi seksual untuk memenuhi rasa ingin tahu atau untuk hiburan dan merasa puas dengan ketersediaaan materi seksual yang diinginkan. individu melakukan cybersex semata-mata untuk kenikmatan fisik yang mana orgasme merupakan tujuan utamanya (dalam Widyastuti, 2009). Alasan Melakukan Cybersex Media online sebagai salah satu sarana media baru yang muncul seiring kemajuan internet. Munculnya media baru ini berpengaruh terhadap perilaku penyimpangan sosial, khususnya terhadap perilaku seksual kelompok usia remaja menuju dewasa. Cybersex, saat ini telah menjadi sebuah fenomena seksual yang berkembang sangat pesat, terutama di kota-kota besar dimana internet semakin mudah diakses. Kendati kota Padang dikenal sebagai kota yang masuk dalam kategori religius, namun tidak mentup praktik perilaku seksual yang dilakukan oleh kelompok usia muda. Kondisi ini ditambah pula semakin menjamurnya situs porno, fasilitas chatting yang menawarkan webcam dan telepon internet. YS mengaku, menjadi kecanduan sebagai pengguna cybersex, karena secara berulang menggunakan fasilitas internet guna pemuasan hasrat seksualnya. Situs-situs yang sering dilihatnya adalah gambar porno, dan cerita-cerita dengan topik “seksual” lewat dunia maya. YS juga menyebutkan Cybersex menawarkan kemudahan, dimana pelakunya tidak perlu takut dikenali masyarakat bila mengunjungi prostitusi, mengunjungi sex shop, serta identitas di dunia maya pun dapat dikaburkan. YS juga menyebutkan saat ini, fasilitas cybersex sangat terjangkau, dan internet juga cukup murah. Fasilitas chatting gratis, begitu pula materi-materi porno yang terkandung dalam berbagai situs porno juga banyak yang dapat dilihat tanpa biaya hingga dapat di-download dengan cepat. Menurut YS salah satu konten cybersex yang sering diselancarnya adalah, bermain game online seks yang terhubung dengan pengguna cybersex lainnya dibelahan dunia, YS merasa sangat puas dalam melakukan fantasi Cybersex karena dalam dunia game online pengguna bisa menentukan kriteria fisik lawan jenis yang diinginkan. Keisengan Melihat Situs Porno Menjadi Gaya Hidup Tidak hanya itu saja, keisengan BR, salah satu informan penelitian ini menceritakan, dirinya semakin tidak bisa mengendalikan diri karena kebiasaan yang pada akhirnya menjadi gaya hidupnya hingga kini untuk menjadi pengguna cybersex. Menurut BR, keisengan dirinyanya tersebut selalu dimulai dengan menggunakan fasilitas webcam sex, Multimedia-software: game erotis, video porno dan melakukan chatt dengan orang luar negeri bahkan sering kali melakukan oral ketika chatt bersama kelompok cybersex lainnya melalui online. BR mengaku, situs porno saat ini dalam penggunaannya sangat mudah untuk diakses. Apalagi konten-kontennya bisa dikonsumsi secara publik dari berbagai golongan sosial tanpa memandang usia, pekerjaan, jenis kelamin. 88 International Conference of Communication, Industry, and Community. Bali, 3-4 Maret 2016 ISBN: 978-602-74139-1-7 Sementara itu MM, Selalu merasa bersalah usai berselancar seks didunia maya. Meskipun ia sering menghabiskan menghabiskan banyak uang untuk mengakses situs-situs porno yang berbayar, namun ia bersikap sangat pendiam, karena selalu takut tertangkap basah oleh orang lain ketika sedang menyalurkan hasrat seksualnya. Proses Tahapan Perkembangan Hubungan Pengguna Cybersex dengan Komunitasnya dalam Teori Penetrasi Sosial. Hubungan Pengguna Cybersex dengan Komunitasnya dalam Teori Penetrasi Sosial. Salah satu infoman MM menyebutkan, selama menjadi pengguna cybersex mereka memiliki kelompok tertutup dalam mengakses cybersexs dalam dunia online. Bahkan memungkinkan mereka melakukan seks tidak hanya melalui game online saja tetapi bisa langsung secara nyata. Mereka berkenal dan akhirnya menjadi akrab karena sama-sama pengguna cybersex dalam dunia maya. Hasil penelitian yang telah penulis dapatkan menunjukkan bahwa proses keterbukaan yang dilakukan pengguna cybersex kepada komunitasnya seperti yang dikemukakan oleh Altman and Taylor. Keterbukaan atau self disclosere dilakukan secara bertahap dalam perkembangan hubungan dan melalui pengelupasan lapisan-lapisan informasi mengenai diri masingmasing. Lapisan pertama yang terjadi antara pengguna Cybersex dengan komunitasnya ini sesuai dengan asumsi teori penetrasi sosial atau onion theory yang dipaparkan oleh Altman dan Taylor (1973, dalam Rohim, 2009: 84) bahwa hubungan komunikasi diantara orang dimulai pada tahapan pengungkapan informasi yang umum dan bergerak pada sebuah hubungan yang lebih intim. Pada tahap kedua dalam proses keterbukaan diri dengan cybersex lainnya, biasanya pengguna cybersex mengungkapkan hal-hal mengenai nilai-nilai dan kepercayaan yang dimiliki. MM dan YS mengaku selama menjalin hubungan pertemanan bersama komunitas cybersex yang beda jenis kelamin lainnya mereka, sebenarnya jarang membicarakan persoalan nilai-nilai agama dan kepercayaan. Pada lapisan ketiga Pengguna Cybersex mulai menunjukkan konsep diri yang dimilikinya. Dalam penelitian ini BR salah seorang informan mengungkapkan dirinya, bahwa dirinya sering membuka cybersex di internet bukan atas kehendaknya sendiri, tapi karena suatu hari tidak sengaja melihat banyak video yang mengandung pornografi dalam sebuah situs yang dibukanya. Karena kebiasaan akhirnya BR sering mengakses dan men-download kontenkonten porno tersebut . Sejak saat itu, ia memutuskan untuk tidak bisa sehari saja untuk tidak membuka internet. Dirinya kecanduan untuk melihat hal-hal yang bersifat seksualitas. BR berusaha bergabung dalam sebuah komuniktas cybersex yang ditemukannya melalui media sosial. Semakin erat hubungan pertemanan BR dengan komunitas cybersexnya semakin membuat dirinya menjadi bergairah dan terbiasa. BR mengaku karena keseringan melihat situs-situs porno, dirinya pun pernah melakukan hubungan suami istri dengan sesama teman cybersexnya setelah menonton video porno. 89 International Conference of Communication, Industry, and Community. Bali, 3-4 Maret 2016 ISBN: 978-602-74139-1-7 Pada lapisan kelima, pengguna cybersex mengungkapkan mengenai tujuan dan keinginan yang ingin dicapainya. BR, MM dan YS menceritakan bahwa mereka melakukan kegiatan cybersex karena didorong oleh rasa penasarannya terhadap kegiatan seksual terpuaskan. Kegiatan cybersex juga dianggap sebagai suatu pengetahuan yang bisa dipraktikkan pada pasangan mereka kelak setelah menikah. Setelah melakukan keterbukaan mengenai konsep dirinya sebagai pengguna cybersex, para informan mengaku lebih luwes dalam menjalin perteman antar sesama mereka hubungan, bahkan mereka mengaku jika chatt terjadi dalam dunia maya, antar komunitas cybersex, mereka selalu berdiskusi dan mulai menceritakan hal-hal yang lebih pribadi kepada teman-teman tertutup mereka tersebut. Seperti halnya pengungkapan mengenai tujuan dan ketakutan yang terjadi pada lapisan kelima dan keenam dalam proses tahapan keterbukaan diri antar cybersex. Pada lapisan yang terakhir, rata-rata informan mengaku, merasa takut dan khawatir tentang keadaan mereka dengan lingkungan sosialnya seperti keluarga. Mereka juga merasa sangat berdosa dan tersadar telah melakukan prilaku menyimpang dalam hidup mereka. Dari penjelasan di atas dapat dilihat bahwa proses pengungkapan diri seseorang tidak berbeda-beda dan tidak selalu harus melalui semua lapisan yang ada seperti yang disebutkan dalam teori penetrasi sosial atau The Union Theory. Proses pengungkapan diri mengenai konsep diri, yang merupakan lapisan paling dalam menurut The onion theory, bisa saja terjadi di tengah-tengah tahapan. Hal ini disebabkan oleh faktor intensitas pertemuan yang dialami pengguna cybersex terhadap perilaku seksual menyimpang mereka. Selain itu, dapat dilihat bahwa hubungan yang terjadi antara informan penggguna cybersex dengan komunitas tertutupnya merupakan hubungan yang berkembang. Hubungan pertemanan mereka tidak berhenti sampai di situ, melainkan berlanjut bahkan menjadi semakin akrab. Pada hubungan mereka yang berkembang ini, pengungkapan lebih banyak terjadi. Seperti yang menjadi prinsip dasar teori ini yang menyatakan bahwa hubungan yang berkembang memiliki lebih banyak pengungkapan yang terjadi dari pada hubungan yang kurang berkembang (Littlejohn, 2009: 293). Dalam perkembangan hubungan yang terjadi, juga tidak terjadi seperti sebuah garis lurus yang bergerak dari sesuatu yang umum ke sesuatu yang pribadi. Hubungan dapat berkembang dalam berbagai cara, yang seringkali bergerak maju dan mundur dalam membagi informasi pribadi. Seperti ketika terjadi konflik atau perbedaan pendapat yang terjadi di antara mereka yang mengakibatkan hubungan mereka sedikit merenggang. Hubungan mereka yang sedikit merenggang itu bukan berarti hilang begitu saja. Hubungan pertemanan mereka akan kembali bergerak maju dan konflik yang terjadi telah hilang ataupun dilupakan. Hal ini sesuai dengan gagasan Altman dan Taylor yang mengemukakan bahwa menurut teori penetrasi sosial (Littlejohn, 2009: 293) sebuah proses yang berputar dan dialektis. Disebut berputar karena proses ini 90 International Conference of Communication, Industry, and Community. Bali, 3-4 Maret 2016 ISBN: 978-602-74139-1-7 bekerja dalam siklus yang maju mundur, dan disebut dialektis karena melibatkan pengaturan yang tak pernah habisnya antara yang umum dan yang pribadi. Simpulan Kebiasaan yang buruk dalam menggunakan media baru ke arah negatif, dapat nimbulkan masalah serius jika sampai kecanduan. Penggunaan media baru memang tidak bisa dikontrol dan diawasi secara ketat, namun pengendaliannya bisa dilakukan melalui diri sendiri. Dalam penelitian ini pengguna Cybersex yakni yang dilakukan mahasiswa dibeberapa perguruan tinggi di Kota Padang, telah kehilangan lost control pada diri mereka, disebabkan atas beberapa faktor, diantaranya adalah, kebiasaan yang terus menerus melakukan selancar pada situssitus porno di Internet. Pengguna Cybersex ini juga memiliki komunitas tertutup yang jumlahnya tidak diketahui. Melalui chatt tertutup mereka bisa melakukan perbuatan menyimpang seksual salah satu dengan berfantasi Cybersex menggunakan game online, dimana pengguna Cybersex bisa menentukan kriteria fisik lawan jenis yang diinginkan. Pada penelitian ini, informan pengguna cybersex juga melakukan pengungkapan diri secara bertahap seperti lapisan bawang yang terdapat dalam The Union Theory atau teori Penetrasi Sosial. Adapun saran yang ingin peneliti berikan dalam penelitian ini, mahasiswa yang memiliki perilaku buruk dalam memanfaatkan internet sebagai cybersex diharapkan bisa merubah perilaku mereka dengan memperdalam agama kepercayaannya masing-masing serta mengurangi kegiatan melakukan aktivitas cybersex karena memberikan pengaruh dan dampak yang buruk terhadap diri sendiri. Orangtua juga dianjurkan untuk mengawasi putra-putri mereka dalam pergaulan anak-anak mereka. Untuk penelitian lebih lanjut, sebaiknya peneliti perlu melakukan penelitian tentang berapa besar dampak media online dalam Cybersex tidak hanya dari kelompok mahasiswa namun juga remaja yang rentan dengan prilaku seksual mulai dari pendidikan dasar hingga tingkat pendidikan atas. Daftar Pustaka Buku Asiku, Ahmad D. (2005). Cybersex: Finally Exposed. Jakarta: Mahenjo Daro Publishing. [e-book] Bungin, Burhan. (2008). Sosiologi Komunikasi: Teori, Paradigma, dan Discourse Teknologi. Jakarta: Kencana Prenada Media Group. Carners, P. J., Delmonico, D. L., & Griffin, E. J. (2001). In the shadows of the net. Center City: Hazelden Foundation. Cooper, A. (2002). Sex and the internet. U.S.A: Brunner-Routledge Carvalheira, A. A., & Gomes, F.A. (2002). Cybersex in Portuguese chatrooms a study of sexual behaviors related to online sex. Brunner-Routlege. 91 International Conference of Communication, Industry, and Community. Bali, 3-4 Maret 2016 ISBN: 978-602-74139-1-7 Creswell, John W. Research. (2014). Design: Pendekatan Kualitatif, Kuantitatif, dan Mixed. Jakarta: Pustaka Pelajar Denis McQuail. (2011). Teori Komunikasi Massa. Jakarta: Salemba Humanika. Daneback, Cooper, & Mansson (2004). An internet study of cybersex participants. Business Media, Inc. Golberg, P. D. (2004). An Exploratory Study About The Impacts That Cybersex (The Use Of The Internet For Sexual Purposes) Is Having On Families And The Practices Of Marriage And Family Therapists. Tesis master yang tidak dipublikasikan, Virginia Polytechnic Institute and State University, Falls Church, Virginia, U.S.A. Kartini, Kartono. (2001). Patologi Sosial. Jakarta : Rajawali Press. Littlejohn, Stephen W. (2009). Theories Of Human Communication, Fifth Edition, Wadsworth Publishing Company, Belmont Californea. Minor, Michael, Mowen, John C. (2002). Perilaku Konsumen. Jakarta: Erlangga Slouka, Mark. (1999). Ruang Yang Hilang: Pandangan Humanis Tentang Budaya Cyber Space Yang Merisaukan. Bandung: Mizan. Rohim, Syaiful. (2009). Teori Komunikasi, Perspektif, Ragam, dan Aplikasi. Jakarta: Rineka Cipta. Sugiyono. (2009). Metode Penelitian Bisnis (Pendekatan Kuantitatif, Kualitatif). Bandung: Alfabeta. Suratno dan Rismiati (2001). Teori Gaya Hidup. Yogyakarta : Kanisius. Young, K. S. (1996.). Internet Addiction : The Emergence Caught in The Net. New York : John Willey & Sons. Widyastuti. (2009). Kesehatan Reproduksi. Yogyakarta: Fitra Maya Karya Ilmiah Meirianita, Aldina. (2014). Self Disclosure Pengguna Cybersex Kepada Peer Group Mengenai Perilaku Seksualnya (Studi Pada Mahasiswa Di Kota Padang). Padang: Universitas Andalas Jurnal Purba, Meilona, Ridhoi& Sari, Novika, Noni Sari Ridhoi, (2012). Gambaran Perilaku Cybersex Pada Remaja Pelaku Cybersex Di Kota Medan. Dimuat dalam Psikologia-online, 2012, Vol. 7, No. 2 Tahun 2012. Website https://adilalaras.wordpress.com/2014/10/03/new-media/) http://www.kompasiana.com/priskasp/new-media-sebagai-perubahan-gaya hidup_55100008813311cf36bc5fda http://www.luvseks.com/2011/06/mengenal-lebih-dalam-tentang-cybersex.html). http://munawarohnainggolan.blogspot.com/ Wawancara Informan YS, Padang Maret- July 2015 92 International Conference of Communication, Industry, and Community. Bali, 3-4 Maret 2016 ISBN: 978-602-74139-1-7 Informan BR, Padang Maret- July 2015 Informan MM, Padang Maret- July 2015 Biografi Singkat Penulis Elva Ronaning Roem, lahir di Pekanbaru 30 Maret 1980, saat ini sedang mengikuti Program Pascasarjana Doktor Ilmu Komunikasi FIKOM Universitas Padjadjaran. Bekerja sebagai dosen tetap di Jurusan Ilmu Komunikasi FISIP Universitas Andalas. Penulis aktif melakukan penelitian tentang Kajian media dan budaya, masalah-masalah Sosial, serta Gender. Sering menjadi penyaji makalah dalam Seminar nasional dan Internasional dan tulisan karya ilmiah banyak dimuat dalam jurnal nasional terakreditasi dan lokal. Saat ini sedang menggarap buku tentang Suara Pelaku Seks Komersial yang Tertindas yang diadopsi dari hasil penelitiannya. Penulis juga aktif dalam kegiatan ISKI dan ASPIKOM serta Forum Dosen Indonesia (FDI). 93 International Conference of Communication, Industry, and Community. Bali, 3-4 Maret 2016 ISBN: 978-602-74139-1-7 FENOMENA PERILAKU NARSISME DI INSTAGRAM (STUDI FENOMENOLOGI LAKI-LAKI METROSEKSUAL) Dr. Welly Wirman, S.IP., M.Si, Emia Vintanta K Br S, Eoudia Stefanie Fakultas Ilmu Sosial Ilmu Politik, Jurusan Ilmu Komunikasi, Universitas Riau [email protected], [email protected], [email protected] Abstract The use of social media lead some changes in social, cultural and human behavior. One of them is encourage the emergence of narcissism behavior. Act of narcississm can be defined as an excessive love toward oneself. Chaplin (Kristanto, 2012) revealed that people who like to taking pictures and show it to others, then upload it into their social networking as narcissism. The act of narcissism related to photography content. This is making instagram as one of popular social media in visual facilities become the widespread of narcissism behavior which affects not only women but also men, especially – in this city life nowadays – metrosexual men. The term of metrosexual men refer to men that care so much about their personal appearance. This type of men have been classified as effeminate type of men compared to men in general concept. Not only that, they have been deemed to have narcissistic lifestyle. From this phenomenon, a research being conducted by using descriptive qualitative approach and phenomenological theory that focus on someone’s motive in doing social action with metrosexual men as informant. Besides that, we also conducted research on how metrosexual men define their narcissism behavior in instagram. Through this research, we obtained result that the in-order to motive of using instagram is based on their desire to promote themselves and achieve economic opportunities. Therefore, they try to present themselves as a fashionable and trendy person through their preferred photography style in order to attract the attention of others. Meanwhile the because of motive of narcissism behavior in instagram is due to their hobby of take pictures and the influence of their friends who were also so narcissistic in instagram. Then, the informant define their narcissism behavior as a lifestyle, something fun and profitable. Keywords: Instagram, Narcissim, Metrosexual, Motive. Abstrak Penggunaan media sosial menimbulkan perubahan sosial, budaya dan perilaku manusia. Salah satunya, yaitu mendorong timbulnya perilaku narsisme. Perilaku narsisme sendiri diartikan sebagai perilaku yang menunjukan perasaan cinta terhadap diri sendiri yang berlebihan. Chaplin (Kristanto, 2012) mengungkapkan, bahwa mereka yang sering berfoto ria untuk dipamerkan kepada orang lain, salah satunya dengan diunggah ke dalam jejaring sosial miliknya disebut sebagai narsisme. Berhubungan erat dengan konten fotografi, membuat media sosial populer berfasilitaskan konten visual dan audiovisual instagram menjadi sarana merebaknya perilaku narsisme. Perilaku narsisme di instagram ini tidak hanya 94 International Conference of Communication, Industry, and Community. Bali, 3-4 Maret 2016 ISBN: 978-602-74139-1-7 menerpa kaum perempuan saja, melainkan juga kaum pria terutama – dari kehidupan kota saat ini – pria metroseksual. Istilah pria metroseksual sering disebutkan pada pria yang begitu peduli akan penampilan pribadinya. Pria tipe ini dinyatakan sebagai tipe pria yang lebih kemayu dari pada konsep pria pada umumnya. Selain itu, mereka juga dinilai memiliki gaya hidup yang narsistik. Atas fenomena ini, penelitian pun dilakukan dengan menggunakan pendekatan deskripstif kualititatif dan teori fenomenologi yang berpusat pada motif seseorang dalam melakukan tindakan sosial dengan informan pria metroseksual. Selain itu, dilakukan juga penelitian mengenai pemaknaan pria metroseksual terhadap perilaku narsismenya di instagram. Melalui penelitian ini, diperoleh hasil bahwa in-Order to motive penggunaan instagram didasarkan pada keinginan mereka untuk mempromosikan diri dan meraih peluang ekonomis. Oleh karenanya, mereka mencoba menampilkan diri mereka sebagai pribadi yang modis dan trendi melalui preferensi gaya berfoto agar menarik perhatian orang lain. Sementara Because of Motive perilaku narsis disebabkan oleh hobi atau kesukaan diri untuk berfoto dan karena pengaruh dari teman juga yang ternyata juga begitu narsis di instagram. Kemudian, para informan memaknai perilaku narsismenya di instagram sebagai gaya hidup, sesuatu yang menyenangkan dan menguntungkan. Kata kunci: Instagram, Narsisme, Metroseksual, Motif. Pendahuluan Salah satu bentuk perkembangan teknologi berbasis internet yang populer adalah media sosial. Dengan fasilitasnya yang interaktif, cepat dan meluas, media sosial secara nyata mampu menarik banyak pengguna internet lewat kemampuannya dalam penciptaan dan pertukaran konten kepada pengguna lainnnya. Seperti di Indonesia, dengan jumlah pengguna internet mencapai 88,1 juta pada 2014 lalu, akses media sosial menjadi hal paling sering dilakukan oleh netter Indonesia (APJII, 2015). Lambat laun, penggunaan media sosial menimbulkan perubahan sosial, budaya dan perilaku manusia. Salah satu bentuk perubahan sosial yang terjadi atas hadirnya media sosial ialah perilaku narsisme. Fasilitas media sosial sebagai sarana bersosial dan interaksi secara global, mengarahkan para penggunanya untuk mengekspresikan dan mengekspos mengenai siapa diri mereka. Hal ini dilakukan melalui tulisan dalam status, bahkan mengunggah foto maupun video yang bersifat privat sekalipun. Alhasil perilaku narsisme menjadi hal tidak terhindarkan. Seperti yang marak terjadi dalam salah satu media sosial 10 besar dunia (Global Web Indeks, 2015), instagram. Sebagai media sosial dengan fokus berbagi konten dalam bentuk visual, instagram menjadi sarana bagi timbulnya perilaku narsisme. Sebab perilaku narsisme berhubungan dengan hasrat untuk menyalurkan aktivitas dan penampilan fisik melalui fotografi. Sebagaimana layanan yang instagram berikan. Yang mana para penggunanya diajak berkreasi dengan mengunggah berbagai jenis foto dan video berdurasi maksimal 15 detik demi menampilkan sesuatu 95 International Conference of Communication, Industry, and Community. Bali, 3-4 Maret 2016 ISBN: 978-602-74139-1-7 yang mungkin memperoleh tanda like maupun follower (pengikut) yang banyak. Lebih jauh Chaplin (Kristanto, 2012) mengungkapkan, bahwa kata Narsisme atau Narsis, sering disebutkan pada mereka yang seringkali membanggakan dirinya sendiri atau mereka yang sering berfoto ria untuk dipamerkan kepada orang lain, salah satunya dengan diunggah ke dalam jejaring sosial miliknya. Perilaku narsisme di media sosial pun sudah berlaku universal. Tidak memandang latar belakang sosial, ekonomi maupun gender. Dan yang menarik perhatian peneliti dari kehidupan kota saat ini adalah pria metroseksual. Dikenal sebagai women-oriented men, pria metroseksual adalah pria sejati namun mempunyai kepedulian besar pada penampilan layaknya seorang perempuan (Leman, 2008: 106). Mereka dengan percaya diri mampu menampilkan sisi femininnya dengan melakukan perawatan diri lewat berbagai macam produk seperti wewangian, perawatan rambut dan kulit, tubuh – yang secara tradisional dikenal sebagai produk kaum hawa. Mereka juga dikenal memiliki gaya hidup hedonis, rela mengeluarkan biaya demi kebutuhan penampilan dirinya. Sehingga, tidak heran bila pria metroseksual mempunyai perilaku narsisme dan kini merambah lewat penggunaan instagram. Yang mana, konten fotografi yang mereka unggah tersebut cenderung mempromosikan diri lewat gaya hidupnya, prestasi, keindahan fisik dan penampilan yang mereka miliki, sebagaimana pandangan tentang perilaku narsisme menurut John & Robins (Buffardi & Campbell, 2008). Atas sejumlah hal inilah, tim peneliti tertarik melakukan penelitian dengan ruang lingkup yang mencakup pada motif dan makna diri dari fenomena perilaku narsisme oleh pria metroseksual di instagram berdasarkan studi fenomenologi. Adapun rumusan masalah dalam penelitian ini: bagaimana fenomena perilaku narsisme pria metroseksual di Instagram, dengan identiifkasi sebagai berikut: 1. Bagaimana motif pria metroseksual berperilaku narsisme di instragram? 2. Bagaimana pria metroseksual memaknai perilaku narsismenya di instagram? Penelitian ini mempunyai beberapa tujuan : 1. Mengetahui motif dibalik perilaku narsisme pria metroseksual di instagram; 2. Mengetahui bagaimana pria metroseksual memaknai perilaku narsismenya di instagram. Tinjauan Pustaka Perilaku Narsisme Robert Kwick (dalam Sunaryo, 2004: 3) mendefinisikan perilaku sebagai tindakan suatu organisme yang dapat diamati dan bahkan dapat dipelajari. Perilaku seseorang itu ditentukan oleh berbagai kebutuhan untuk memenuhi suatu tujuan atau tindakan akhir yang paling disukai dari suatu objek. Perilaku itu terjadi karena adanya dorongan-dorongan yang kuat dari diri dalam diri seseorang itu sendiri sesuai dengan apa yang dipikirkan, dipercayai dan apa yang dirasakan. 96 International Conference of Communication, Industry, and Community. Bali, 3-4 Maret 2016 ISBN: 978-602-74139-1-7 Narsisme didefinisikan sebagai pecinta diri, punya ketertarikan terhadap diri sendiri, membanggakan diri sendiri termasuk keunggunalan atau kemampuan secara mental dan fisik (Juju & Sulianta, 2010:28). Narsisme sudah berlaku universal dalam penggunaan media sosial. Menurut Chaplin (Kristanto, 2012), kata Narsisme atau Narsis, sering disebutkan pada mereka yang seringkali membanggakan dirinya sendiri atau mereka yang sering berfoto ria untuk dipamerkan kepada orang lain, salah satunya dengan diunggah ke dalam jejaring sosial miliknya. Dari uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa perilaku narsisme merupakan sebuah tindakan seseorang yang menunjukkan rasa kecintaan terhadap diri dan terkesan membanggakan diri, yang terkadang diekspresikan secara berlebihan dengan kesan mempromosikan diri lewat gaya hidupnya, prestasi, keindahan fisik dan penampilan yang mereka miliki Terutama lewat penggunaan media sosial saat ini. Survei dari Pew Internet & American Life Project menyatakan, 54% pengguna internet punya kebiasaan mengunggah potret dirinya ke dalam Facebook, Twitter, atau jejaring sosial lainnya http://health.kompas.com/read/2013/12/18/1151301/Apa.Kata.Psikolog.soal.Foto .Narsis.di.Jejaring.Sosial.). Sehingga indikator perilaku narsisme yang akan dimaksud diidentifikasi melalui konten visual berupa fotografi yang dengan sengaja diunggah ke media sosial. Pria Metroseksual Secara etimologis, kata metroseksual berasal dari kata Yunani, yaitu metropolis yang artinya ibu kota plus seksual. Lebih jelasnya didefinisikan sebagai sosok narsistik dengan penampilan dandy, yang jatuh cinta tidak hanya terhadap diri sendiri, tetapi juga gaya hidup urban. Kartajaya (2007:213) menyebutkan pria metroseksual sebagai pria normal yang segi emosionalnya semakin berkembang; pria yang semakin mampu mengekspresikan emosi dan perasaannya secara lembut. Mereka lebih senang ngobrol dan memiliki berkomunikasi lebih baik daripada pria kebanyakan. Dari yang paling nyata terlihat, pria metroseksual sangat fashionable serta sangat memperhatikan penampilan diri. Secara lebih jauh pria metroseksual dideskripsikan sebagai laki-laki yang cinta setengah mati tak hanya terhadap dirinya, tetapi juga gaya hidup kota besar yang dijalaninya (Simpson dalam Kartajaya dkk., 2004). Jadi, pria metroseksual adalah pria yang senang merawat diri, peduli akan penampilan, mempunyai minat dalam fashion dan kehidupan perkotaaan. Ciri-ciri Pria Metroseksual Beberapa ciri pria metroseksual dikemukakan oleh Kartajaya dkk. (2004). Yaitu: a) Pada umumnya hidup dan tinggal di kota besar dimana hal ini tentu berkaitan dengan kesempatan akses informasi, pergaulan dan gaya hidup yang dijalani. 97 International Conference of Communication, Industry, and Community. Bali, 3-4 Maret 2016 ISBN: 978-602-74139-1-7 b) Berasal dari kalangan berada dan memiliki banyak uang karena banyaknya materi yang dibutuhkan sebagai penunjang gaya hidup dijalani. c) Memiliki gaya hidup urban dan hedonis. d) Secara intens mengikuti perkembangan flutsion di majalah fashion. Makna Diri Makna diri merupakan salah satu komponen dari konsep diri. Sebagaimana konsep diri terdiri atas bagaimana cara kita melihat diri sendiri sebagai pribadi, bagaimana kita merasa tentang diri sendiri, dan bagaimana kita menginginkan diri sendiri menjadi manusia sebagaimana yang kita harapkan. Konsep diri bukan merupakan bawaan, melainkan berkembang dari pengalaman yang terus menerus dan terus terdiferensiasi. Sehingga makna diri yang dimiliki oleh seseorang berkembang pula dari pengalaman yang dimiliki olehnya. Makna diri yang dimaksud ialah bagaimana seseorang memandang dirinya atau memaknai dirinya maupun perilakunya. Sedangkan Centi (1993) mengemukakan konsep diri (self concept) tidak lain tidak bukan adalah gagasan tentang diri sendiri, konsep diri terdiri dari bagaimana kita melihat diri sendiri sebagai pribadi menjadi manusia sebagaimana yang di harapkan. Teori Fenomenologi Alfred Schutz Fenomenologi berasal dari bahasa Yunani phainomai yang berarti “menampak”. Phainomenon menunjuk pada “yang menampak”. Fenomena tiada lain adalah fakta yang disadari, dan masuk ke dalam pemahaman manusia. Fenomenologi mempelajari fenomena yang tampak di depan kita, dan bagaimana penampakannya (Kuswarno, 2009: 1). Fenomenologi merupakn metode yang berusaha untuk memahami bagaimana seseorang mengalami dan memberi makna pada sebuah pengalaman. Menurut Schutz, tugas fenomenologi adalah menghubungkan antara pengetahuan ilmiah dengan pengalaman sehari-hari. Dengan kata lain mendasarkan tindakan sosial pada pengalaman, makna dan kesadaran. Yang mana menurutnya, tindakan sosial merupakan tindakan yang berorientasi pada perilaku orang atau oran lain pada masa lalu, sekarang dan akan datang. Tindakan sosial inilah yang kemudian dicoba dimaknai melalui interpretasi atau penafsiran guna memperjelas atau memeriksa makna yang sesungguhnya (Kuswarno, 2009: 18). Untuk menggambarkan keseluruhan tindakan seseorang, Schutz mengelompokannya dalam dua fase, yaitu: a) Because of motives (well of motive), yaitu tindakan yang merujuk pada masa lalu. Dimana, tindakan yang di lakukan oleh seseorang pasti memiliki alasan dari masa lalu ketika ia melakukannya. Motif ini disebut pula sebagai motifsebab. b) in-order-to-motive (Um zu Motiv), yaitu motif yang merujuk pada tindakan di masa yang akan datang. Dimana, tindakan yang di lakukan oleh seseorang 98 International Conference of Communication, Industry, and Community. Bali, 3-4 Maret 2016 ISBN: 978-602-74139-1-7 pasti memliki tujuan yang telah di tetapkan. Motif ini disebut pula sebaagai motif-untuk atau motif-tujuan. Metodologi Penelitian ini menggunakan metode penelitian kualitatif dengan pendekatan fenomenologi. Lokasi penelitian adalah Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Riau (FISIP UR). Alasan pemilihan lokasi penelitian ini karena FISIP UR dikenal sebagai fakultas dengan mahasiswanya yang cukup high class dibandingkan fakultas lainnya. Kemudian, dengan fokus pada bidang politik dan sosial, mahasiswa FISIP dibimbing untuk peduli akan penampilan dan mahasiswanya juga memiliki kesadaran akan penggunaan media sosial yang besar, terutama jurusan Ilmu Komunikasi, Hubungan Internasional dan Pariwisata. Waktu penelitian sekitar 3, 5 bulan, mulai pertengahan Oktober 2015 hingga awal Januari 2016 dengan 10 informan yang memenuhi, baik pria metroseksual maupun perilaku narsisme di instagram. Adapun jenis data penelitian yang digunakan adalah sebaga berikut: 1) Data primer yang diperoleh dengan cara wawancara langsung dengan informan dan observasi pada keseharian dan akun instagram para informan. 2) Data sekunder tersusun dalam bentuk dokumen dan referensi yang peneliti peroleh dari dokumentasi pria metroseksual yang memiliki perilaku narsisme di instagram. Hasil Temuan dan Diskusi Berdasarkan penelitian yang dilakukan, diperoleh hasil bahwa informan memiliki orientasi metroseksual dan perilaku narsisme yang berbeda di dalam akun instagramnya. Walaupun telah dijelaskan sebelumnya bahwa pada dasarnya setiap pria metroseksual mempunyai perilaku narsisme dalam dirinya. Penulis pun mengelompokkan perbedaan tersebut dalam tiga tipe/kategori: 1. Body oriented Metrosexual men Mereka pria metroseksual yang berorientasi pada penampilan bentuk tubuh yang ideal. Mereka adalah tipe yang senang berolahraga atau pergi ke fitness. Dalam akun instagram, mereka juga tidak canggung mengunggah foto yang memamerkan keindahan tubuh mereka dan aktivitas mereka di pusat kebugaran. 99 International Conference of Communication, Industry, and Community. Bali, 3-4 Maret 2016 ISBN: 978-602-74139-1-7 Gambar 1: Body Oriented Metrosexual Men 2. Fashion oriented Metrosexual men Pria metroseksual tipe ini berorientasi pada tampilan luar seperti gaya berpakaian. Terkadang mereka bisa disebut sebagai fashion addict, mempunyai pengetahuan akan tren busana dan selera berpakaian yang bisa dikatakan unik serta menonjol dibandingkan pria kebanyakan. Tubuh bagus atau yang idealis, sehat, dan bugar bukan menjadi fokus mereka layaknya tipe pertama. Dalam akun instagram, mereka senang memposting foto mengenai gaya busana harian mereka. Gambar 2: Fashion Oriented Metrosexual Men 100 International Conference of Communication, Industry, and Community. Bali, 3-4 Maret 2016 ISBN: 978-602-74139-1-7 3. Mix Metrosexual men Pria metroseksual tipe ini merupakan campuran dari tipe pertama dan tipe kedua. Dalam artian, memiliki orientasi pada performa tubuh dan gaya pakaian. Mereka dengan tipe ini memilih gaya hidup sehat sekaligus tampilan trendi. Gambar 3: Mix Oriented Metrosexual Men Motif pria metroseksual berperilaku narsisme di instagram Motif menunjuk pada alasan seseorang melakukan sesuatu. Penelitian ini menemukan motif pria metroseksual berperilaku narsisme di instagram, dengan identifikasi sebagai berikut: 1. Because of Motive (Motif Sebab) a. Hobi Semua informan (10 orang) menyatakan bahwa dasar, motif mereka berperilaku narsis lewat konten visual di instagram karena hobi berfoto. Tidak jarang mereka berfoto sebanyak mungkin demi hasil terbaik, kemudian memilih salah satunya untuk diunggah. Kemudian 2 diantaranya mengaku memang sangat menyukai dunia fashion sehingga perilaku narsis mereka disebabkan oleh keinginan mereka bereksplorasi mengenai hobinya tersebut. Selain itu, seorang diantara 10 informan mengaku bahwa dirinya hobi pada hal-hal baru. Sehingga, sedapat mungkin dia mencoba memposting foto sesuai tren atau gaya baru di instagram. b. Di ajak teman Sebanyak 4 orang informan mengaku berperilaku narsis oleh karena ajakan dari teman atau pengaruh dari teman. Yang mana, kebanyakan dari 101 International Conference of Communication, Industry, and Community. Bali, 3-4 Maret 2016 ISBN: 978-602-74139-1-7 teman mereka, sudah banyak menggunakan instagram dan mempunyai gaya foto yang narsis pula. Sehingga para informan yang berinteraksi dalam lingkungan tersebut memiliki pola penggunaan instagram yang sama pula. 2. In order to motive (Motif Tujuan) a. Promosi diri Sebanyak 7 orang informan mengaku berperilaku narsis dengan tujuan untuk promosi diri, ingin dikenal atau bahkan terkenal. Oleh karena itu mereka menampilkan berbagai kelebihan mereka sebagai pria yang trendi, berkelas, tampan, mapan sebagaimana pria metroseksual itu. b. Sarana Ekonomi Sebanyak 5 orang informan mengaku berperilaku narsis dengan tujuan untuk mendapatkan peluang bisnis. Yang mana lewat jumlah follower mereka dapat memperoleh peluang menjadi bintang iklan atau endorse.. Makna Perilaku Narsisme di Instagram bagi Pria Metroseksual Pria metroseksual memaknai perilaku narsisme di instagram sebagai hal berikut: 1. Gaya Hidup Mereka memandang perilaku narsisme di instagram ini adalah gaya hidup dan sudah menjadi hal biasa serta umum pula. Menurut mereka hal ini sesuai dengan tujuan dari media sosial instagram yang memang untuk unggahmenggungah konten fotografi kita, menunjukkan siapa kita dan identitas yang dibawa dalam nama akun kita. Jadi segalanya tentang diri kita. 2. Sesuatu yang Menyenangkan Mereka merasa bahwa foto-foto yang narsis unggahan mereka sebagai ajang eksplorasi diri mereka. Sehingga mereka mampu mengekspresikan dirinya dalam foto-foto yang bebas, menarik dan sesuai dengan apa yang diinginkan. Di mana instagram mampu memenuhi kebutuhan mereka dalam mengekspresikan dirinya yang mungkin tidak bisa dilakukan di dunia nyata. Terutama dengan adanya follower dan like yang mampu memberikan dorongan dan nilai tambahan pada setiap foto yang diunggah. 3. Sesuatu yang Menguntungkan Mengunggah foto narsis di instagram merupakan sesuatu yang cukup menguntungkan. Selain bisa terkenal juga bisa memperoleh pekerjaan dan juga apresiasi dari followers. Seperti endorse, menjadi bintang iklan, dll. Beberapa informan secara konsisten menampilkan konten yang sama dengan tujuan untuk menarik perhatian orang yang ahli dalam bidang tersebut sehingga menjadi peluang kerja baginya. Diskusi Perkembangan teknologi, membuat perubahan pada gaya hidup. Alhasil berimplikasi pada perubahan sosial, budaya dan perilaku manusia. Tidak seorang pun dapat lepas dari dorongan akan perubahan tersebut. Seperti fenomena pria metroseksual di perkotaan. Yakni, pria normal yang begitu telaten dalam menjaga penampilan dirinya. Untuk penampilannya, mereka rela mengeluarkan biaya pada 102 International Conference of Communication, Industry, and Community. Bali, 3-4 Maret 2016 ISBN: 978-602-74139-1-7 sejumlah produk – identik milik wanita dulunya – yang kian merambah dengan tulisan “for men”. Besarnya kepedulian mereka akan penampilan diri mereka menyebabkan setiap pria metroseksual ini memiliki gaya hidup yang narsis, yang mencintai diri mereka. Perilaku narsisme ini kemudian merambah di media sosial. Manifestasi tersebut dapat dilihat dari foto yang diunggah di akun instagram – media sosial populer berfasilitas visual – mereka. Alhasil sering kali kita temui di instagram, sejumlah pria metroseksual dengan apik dan berani mengunggah foto dirinya dalam kesan feminis atau terjaga penampilannya layaknya wanita. Dari penelitian ini, para informan mengakui perilaku narsisme yang ditujukan lewat foto yang diunggah di instagram sebagai hal umum dan sewajarnya dilakukan dalam media sosial. Anggapan ini juga tampaknya menjadi corak penggunaan instagram bagi kebanyakan orang. Sehingga sudah kita akui biasa pula bila orang mengekpos apa yang mereka miliki, gaya hidup mereka, keseharian diri mereka pula di dalam instagram. Tatkala menampilkan hal yang dipandang narsis tersebut juga banyak disenangi serta membangkitkan perhatian netizen. Oleh karena itu, adanya kecenderungan peniruan dalam penggunaan media sosial instagram. Terlepas dari pandangan umum di atas, bagaimana baiknya kita melihat fenomena perilaku narsisme pria metroseksual di instagram ini? Simpulan 1. Motif pria metroseksual berperilaku narsis lewat foto unggahannya di instagram, yaitu a) because of motive: hobi dan diajak teman; b) in order to motive: promosi diri dan sarana ekonomi. 2. Pria metroseksual memaknai perilaku narsismenya di instagram sebagai gaya hidup, sesuatu yang menyenangkan dan sesuatu yang menguntungkan. Walaupun perilaku narsisme sudah menjadi hal umum di media sosial, namun sebaiknya tetap menjaga batasan. Sebab perilaku narsisme yang berlebihan akan menyebabkan timbulnya individu yang individualis. Tidak hanya pria metroseksual, tetapi para pengguna media sosial sebaiknya menguasai diri. Daftar Pustaka APJII. 2015. Profil Pengguna Internet Indonesia 2014. Jakarta: Asosiasi Penyelenggara Jasa Internet Indonesia. Buffardi, L. E. & Campbell, W.K. (2008). Narcissism and Social Networking Web Sites. Personality and Social Psychology Bulletin, Vol. 34 No. 10. (Online). (http://psp.sagepub.com), diunduh 26 Oktober 2015. Global Web Index. Q3 2015. GWI Social Summary: GlobalWebIndex’s quarterly report on the latest trends in social networking. (http://insight.globalwebindex.net/social), diunduh pada 3 Januari 2015. Juju, Dominikus dan Feri Sulianta. 2010. Hitam dan Putih Facebook. Jakarta: PT Elex Media Komputindo. 103 International Conference of Communication, Industry, and Community. Bali, 3-4 Maret 2016 ISBN: 978-602-74139-1-7 Kartajaya, H.. Yuswohady. Madyani. D.,Christynar, M. & Indrio. B.D. (2004). Metrosexuals in Venus : Pahami Perilakunya. Bidik Hatinya, Menangkan Pasarnya. Jakarta : Mark Plus & Co. Kartajaya, Hermawan. 2007. Hermawan Kartajaya on Marketing Mix. Bandung: Penerbit Mizan. Kristanto, S. (2012). Tingkat Kecenderungan Narsistik Pengguna Facebook. Journal of Social and Indutrial Psychology 1 (1). (Online). (http://journal.unnes.ac.id), diunduh 26 Oktober 2015. Kuswarno, Engkus. 2009. Metode Penelitian Komunikasi Fenomenologi: Konsepsi, Pedoman, dan Contoh Penelitiannya. Bandung: Widya Padjadjaran Leman. 2008. The Best Chinese Strategies. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama. Sunaryo. 2004. Psikologi untuk Keperawatan. Jakarta: EGC. Biografi Penulis Dr. Welly Wirman, S.IP., M.Si merupakan dosen tetap di jurusan Ilmu Komunikasi Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Riau. Beliau merupakan lulusan S1 Hubungan Internasional FISIP UR tahun 1995. Melanjutkan studi S2 dan S3 di Universitas Padjajaran dan taman pada tahun 2002 dan 2012. Kini, beliau menjabat sebagai ketua jurusan Ilmu Komunikasi FISIP UR. Emia Vintanta lahir di Kota Medan pada tanggal 31 Juli 1995. Saat ini tercatat sebagai salah satu mahasiswi Jurusan Ilmu Komunikasi FISIP Universitas Riau konsentrasi Hubungan Masyarakat angkatan 2013. Sebelumnya menjalani jenjang pendidikan SD Methodist, SMP Putri Cahaya hingga SMA Swasta Cahaya di Medan. Eoudia Stefanie dilahirkan di Surabaya pada tanggal 20 November 1995. Saat ini tercatat sebagai salah satu mahasiswi Jurusan Ilmu Komunikasi FISIP Universitas Riau konsentrasi Hubungan Masyarakat angkatan 2013. Sebelumnya menjalani jenjang pendidikan SD hingga SMA di Sekolah Kristen Kalam Kudus Pekanbaru. 104 International Conference of Communication, Industry, and Community. Bali, 3-4 Maret 2016 ISBN: 978-602-74139-1-7 UJARAN KEBENCIAN: MEMBANGUN LITERASI ERA DIGITAL Benedictus A.S Universitas Pelita Harapan [email protected] Abstract The development of technology nowadays promote a change from the way individuals communicate either through face-to-face interaction and the interaction thattec occurs interface, through writing. One form of the technological development is the existence of a web 2.0 platform that establishes an individual as a contributor in interaction with other humans, meaning that the individual could be creator of the message than the user. Therefore, the ability to manage the means of expression and followed the norms and rules in the surf in the virtual world became the foundation for the ability of digital literacy. This paper seeks to provide a description to prevent interaction with the speech of hatred in some cases the speech of hatred that has been going on and attempts to portray the way of prevention through digital literacy. Keywords: platform web 2.0, contributor, hate speech, digital literacy Abstrak Kemajuan teknologi mendorong terjadinya perubahan dari cara individu dalam berkomunikasi baik melalui interaksi tatap muka maupun interaksi yang terjadi antarmuka, melalui tulisan. Salah satu perkembangannya adalah keberadaan platform web 2.0 yang menetapkan individu menjadi kontributor dalam interaksi dengan manusia lain, artinya individu bisa menjadi pencipta pesan selain pengguna. Oleh karena itu kemampuan untuk mengelola cara berekspresi dan mengikuti norma dan aturan dalam berselancar di dunia virtual menjadi pijakan untuk mengetahui kemampuan melek digital. Tulisan ini berusaha memberikan deskripsi untuk mencegah interaksi dengan ujaran kebencian pada beberapa kasus mengenai ujaran kebencian yang sudah terjadi dan coba digambarkan mengenai cara untuk pencegahan melalui melek digital. Kata Kunci: platform web 2.0, contributor, ujaran kebencian, melek digital Pendahuluan Perkembangan teknologi hingga sekarang mencapai era informasi pada akhirnya mendorong perubahan dari tata cara dan sistem perbincangan yang terjadi antar manusia. Sebelumnya kita bisa berbicara secara tatap muka langsung, namun era informasi penggunaan medium menjadi faktor pembedanya, inilah yang bisa kita katakana sebagai komunikasi yang termediasi (mediated communication). Karakteristik sebuah komuunikasi yang termediasi adalah adanya sifat jejaring (network) serta sifat interaktivitas. Kedua sifat ini mengindikasikan bahwa era informasi, jarak, ruang, dan waktu sudah tidak dibatasi sehingga keterkaitan satu individu dengan individu lain kuat dan 105 International Conference of Communication, Industry, and Community. Bali, 3-4 Maret 2016 ISBN: 978-602-74139-1-7 interaktivitas sangat cepat, sehingga bisa dikatakan bahwa satu pesan yang dikirim atau disampaikan melalui sebuah laman atau melalui internet bisa „diketahui‟ oleh individu yang berada dalam sistem jaringannya, apalagi dengan adanya media sosial, seperti Facebook, Twitter, Path, ataupun lainnya. Menjamurnya media sosial, seperti data yang dikeluarkan oleh We Are Social dalam www.id.techinasia.com, memperlihatkan bahwa terdapat 1,86 miliar pengguna aktif media sosial di seluruh dunia dan aplikasi yang paling banyak digunakan adalah WeChat dengan 272 juta pengguna aktifnya. Lalu, bagaimana dengan Indonesia ? We Are Social juga merilis hasil datanya yang mengatakan bahwa dari total populasi 251 juta jiwa, pengguna internet adalah kurang lebih 38 juta jiwa (15 %) dan pengguna media sosial paling banyak adalah Facebook sebesar 62 juta dengan pengguna ponsel aktif adalah 281 juta (mengindikasikan bahwa seorang individu mempunyai lebih dari satu ponsel aktif). Kemudian bagaimana kita membaca data yang dirilis ini ? Data yang dirilis bila dikaitkan dengan karakteristik dari internet, maka bisa mengindikasikan bahwa pergerakan dari dinamika komunikasi antar manusia sangat cepat dan banyak, dan bisa mengindikasikan pula bahwa implikasi dari penggunaan media sosial akan sangat besar. Misalnya saja baru-baru ini terdapat kasus terorisme di Jalan M.H. Thamrin, Jakarta, maka penyiaran berita mengenai peristiwa dan pesan ketidaktakutan melalui tagar (#kamitidaktakut, #wearenotafraid) tersampaikan dengan cepat. Lalu, bagaimana bila pesan bersifat ujaran kebencian disampaikan melalui media sosial ? Fenomena mengenai ujaran kebencian sudah banyak terjadi di Indonesia, misalnya saja kasus Florence Sihombing di Yogyakarta yang memaki-maki SPBU, kemudian tukang tusuk sate yang memaki-maki Presiden Joko Widodo dan berujung pada permintaan maaf dari tukang sate tersebut. Dari data yang didapatkan mulai tahun 2013 ke 2014 terjadi kenaikan sekitar 53 persen (41 kasus dari 72 kasus UU ITE) dengan angka rata-rata hingga Oktober 2014 pelaporan sebanyak 4 kasus, seperti dikutip dari laman id.techinasia.com (diunduh, 18 Januari 2016). Masih dari laman yang sama diketahui bahwa terdapat 92 %1 dilaporkan dengan defamasi (pencemaran nama baik) yang sesuai dengan pasal 27 ayat 3 UU ITE, sedangkan sisanya 5 % mengenai pasal penistaan agama dan 1 % mengenai pengancaman. Kemudian bila menggunakan media sosial, maka Facebook menempati urutan pertama media yang menyampaikan ujaran kebencian sebanyak 49 %. Besarnya pelaporan mengenai ujaran kebencian, khususnya pencemaran nama baik mengindikasikan bahwa fenomena ini menarik untuk dikaji dan diangkat sebagai sebuah wacana analisis. Tulisan ini berusaha memberikan 1 Pelanggaran untuk Pasal 27 UU ITE bukan hanya pelanggaran yang berdiri sendiri, namun juga dikenakan bersamaan dengan pasal lainnya dengan rincian adalah Pasal 27 ayat 3 sebesar 59 %, Pasal 27 ayat 3 + KUHP 310-311 sebesar 33 %, Pasal 27 ayat 3 UU ITE dan Pasal 28 ayat 2 UU ITE sebesar 5 %, sedangkan sisanya 1 % adalah KUHP 310-311 dan Pasal 29 UU ITE (sumber : id.techniasia.com, 2 desember 2014, diunduh 18 Januari 2016) 106 International Conference of Communication, Industry, and Community. Bali, 3-4 Maret 2016 ISBN: 978-602-74139-1-7 deskripsi untuk mencegah interaksi dengan ujaran kebencian pada beberapa kasus mengenai ujaran kebencian yang sudah terjadi dan coba digambarkan mengenai cara untuk pencegahan melalui melek digital. Tinjauan Pustaka Ujaran kebencian (Hate speech) banyak didefinisikan oleh berbagai pemikir antara lain School of Peacemaking and Media Technology in Central Asia dikatakan bahwa scara luas pengertian ujaran kebencian (hate speech) adalah “.. refers to a range of negative discourse that incites hostility”; sedangkan menurut Lawrence, Matsuda, Delgado, & Crenshaw, 1993, p.1, kemudian Tajfel & Turner, 1986 :1 seperti dikutip dari Jones, Remland, & Sanford (2007 : 41) mengatakan bahwa “ hate speech is defined as “words that are used as weapons to ambush, terrorize, wound, humiliate, and degrade”, also directed at injuring person’s social identity”. Dari ketiga definisi diatas dapat terlihat beberapa konsep yang berkaitan dengan ujaran kebencian yakni adanya kata atau wacana yang sifatnya negatif atau menyerang atau menyakiti atau mendegradasikan identitas dari seseorang. Sehingga bisa dikatakan sekali seorang individu masuk dalam sebuah komunitas, maka identitas dari individu tersebut melekat pada dirinya. Definisi lain mengenai ujaran kebencian ditulis sebagai hasil kerjasama antara The Programme in Comparative Media Law and Policy, Universitas Oxford dengan Addis Ababa University (2014) mengatakan bahwa ujaran kebencian bisa dianalisis melalui 3 cara pandang, yakni Concept, context, and transmission. Konsep fokus pada pemahaman mengenai ujaran kebencian itu sendiri dan ujaran seperti apa yang bisa dikategorikan sebagai ujaran kebencian; konteks fokus pada bentuk situasi dan kondisi dimana ujaran tersebut terjadi; terakhir, transmisi fokus pada media yang digunakan untuk membahas mengenai penyebaran ujaran kebencian tersebut. Lalu apakah definisi dari ujaran kebencian secara konvensional berbeda dengan ujaran kebencian secara digital atau online. Facebook sebagai sebuah media sosial mengatakan bahwa ujaran kebencian dikatakan sebagai berikut : “Content that attacks people based on their actual or perceived race, ethnicity, national origin, religion, sex, gender, sexual orientation, disability or disease is not allowed.” They also add a significant note: “We do, however, allow clear attempts at humor or satire that might otherwise be considered a possible threat or attack. This includes content that many people may find to be in bad taste” Kemudian Twitter, seperti dikatakan oleh Lina Lanpiere, bahwa Twitter tidak mempunyai mengatakan mengenai ujaran kebencian sebagai berikut “publish or post direct, specific threats of violence against others”; sedangkan Youtube tidak memperkenankan adanya ujaran kebencian dan mereka memberikan definisi mengenai ujaran kebencian sebagai,”speech which attacks or demeans a group based on race or ethnic origin, religion, disability, gender, 107 International Conference of Communication, Industry, and Community. Bali, 3-4 Maret 2016 ISBN: 978-602-74139-1-7 age, veteran status and sexual orientation/gender identity”. Lalu, google memberikan pengertian mengenai ujaran kebencian dalam aturan mengenai User Content and Conduct Policy yang mengatakan bahwa,” do not distributes content that promotes hatred or violence toward groups of people based on their race or ethnic group, religion, disability, gender, age, veteran status, or sexual orientation/gender identity”. Dari media sosial diatas bisa tergambarkan bahwa mereka sebenarnya sudah menempatkan bahwa ujaran kebencian merupakan sebuah definisi yang sudah tertera dan diperuntukkan untuk pengguna agar menghindari hal yang erat hubungannya dengan ujaran kebencian. Kondisi lainnya bisa terlihat secara garis besar bahwa pemahaman mengenai ujaran kebencian tidak berbeda antara ujaran konvensional di media konvensional maupun di media digital. Hal membedakannya hanya medium yang digunakan, sehingga karena perbedaan tersebut cara untuk melakukan kajian mengenai ujaran kebencianpun akan berbeda pula. Dalam satu tulisannya, salah seorang pemerhati Indonesia, Mark Woodward (2012), seperti dikutip dalam laman http://dennyjaworld.com/ayomajukanindonesia/post/10, diunduh 25 Januari 2016, pernah meletakkan ujaran kebencian sebagai bagian dari contentious discourse. Khusus terkait isu agama, Woodward membedakan contentious discourse ke dalam empat rentang, berdasarkan sejauh mana seseorang atau suatu kelompok mendorong kekerasan fisik atau simbolik terhadap kelompok agama lain akibat ujaran (atau wacana, discourse) yang dikemukakan: 1. Dialog/diskusi terkait perbedaan agama, 2. Pengutukan unilateral terhadap keyakinan dan praktik keagamaan lain, 3. Justifikasi kekerasan secara implisit (dengan dehumanisasi dan demonisasi terhadap orang atau kelompok lain), 4. Provokasi kekerasan secara eksplisit. Menurut Woodward, level 1 dan 2 di atas masih berada dalam lingkup civil discourse karena keduanya tidak mengancam yang lain, baik secara implisit maupun eksplisit. Ujaran kebencian berada di level 3 dan 4 dan sudah mengancam, merendahkan martabat yang lain (tidak menganggapnya sebagai manusia, dehumanisasi) dan lebih jauh lagi menyetankan yang lain (menganggap yang lain sebagai jahat atau nista) dan karena itu harus dihancurkan. Pada tahap ini, kompromi dan negosiasi hampir mustahil dilakukan dan aksi-aksi kekerasan bahkan dibenarkan. Sedangkan kalau kita merujuk pada Surat Edaran yang dikeluakan oleh Kapolri No. SE/6/X/2015 mengatakan bahwa ujaran kebencian adalah “Menurut surat edaran tesebut, ujaran kebencian adalah tindak pidana yang berbentuk, penghinaan, pencemaran nama baik, penistaan, perbuatan tidak menyenangkan, memprovokasi, menghasut, penyebaran berita bohong, dan semua tindakan di atas memiliki tujuan atau bisa berdampak pada tindak diskriminasi, kekerasan, penghilangan nyawa, dan atau konflik sosial. Aspeknya meliputi suku, agama, aliran keagamaan, keyakinan dan 108 International Conference of Communication, Industry, and Community. Bali, 3-4 Maret 2016 ISBN: 978-602-74139-1-7 kepercayaan, ras, antar golongan, warna kulit, etnis, gender, kaum difabel, dan orientasi seksual” Artinya kalau kita coba menggabungkan antara keseluruhan pemahaman mengenai ujaran kebencian, maka bisa didapatkan bahwa pemikiran mengenai ujaran kebencian berkaitan dengan ujaran negative kepada orang lain sehingga orang lain merasa bahwa dirinya mengalami kondisi yang didominasi oleh pihak lain. Karena kondisi didominasi inilah yang mendorong keinginan untuk mempertahankan dirinya sehingga kemungkinan terjadinya perlawanan akan sangat besar. Oleh karena untuk menciptakan atau terbangunnya sebuah integrasi, maka diperlukan adanya sebuah literasi atau melek dalam berinteraksi apalagi menggunakan media sosial atau di era digital ini. Literasi Media Digital Pembahasan mengenai ujaran kebencian memang tidak akan terlepas dari bagaimana isi pesan tersebut dikonstruksikan dan pada akhirnya tidak terlepas dari pengaruh individu yang melakukan konstruksi tersebut. Individu yang melakukan konstruksi tentu saja kita dapat telusuri dari pengalaman interaksi yang ia lakukan (field of experiences) serta kerangka rujukan yang ia miliki (frame of reference), sehingga bisa dikatakan bahwa individu tidak membawa hasil pemikirannya sendiri, namun hasil pemikiran yang sudah bersifat bias atau subjektif. Subjektifitas dalam menyampaikan isi pesan tentu saja banyak dipengaruhi oleh faktor-faktor eksternal dan internal, seperti kondisi lingkungan ketika ia berinteraksi atau bahkan kondisi diri ketika interaksi terjadi. Literasi media menurut Potter (2005:22) adalah seperangkat cara pandang aktif kita untuk menampilkan diri kita pada sebuah media dalam rangka untuk menafsirkan makna pesan yang kita hadapi. Potter (2005) juga secara terbuka mengatakan bahwa terminologi „literasi‟ dikaitkan dengan media cetak atau dalam hal ini adalah dikaitkan dengan kemampuan membaca ; begitupun yang dikatakan oleh Lanham (1995:198) mengatakan bahwa konsep „literasi‟ secara semantik berarti „kemampuan untuk membaca dan menulis‟ atau dapat dikatakan sebagai kemampuan untuk memahami informasi yang disampaikan. Namun karena penulis menggunakan kasus yang berkaitan dengan pesan di internet, maka lebih tepat kalau menggunakan konsep literasi digital, yakni sebuah konsep yang mengaitkan pesan tersebut mediumnya. Buckingham (2003) membagi literasi media ke dalam 4 aspek konseptual, yakni representasi, bahasa, produksi dan pengguna (audiences). Representasi merujuk pada penggambaran mengenai dunia dimana ada pemilihan dan interpretasi realitas, bahasa menunjukkan kemampuan tidak hanya untuk menggunakan bahasa, tetapi juga memahami bagaimana bahasa itu bekerja. Dua aspek konseptual lainnya adalah produksi merujuk pada mengenai interaktan dalam komunikasi dan kenapa terjadi, dan terakhir pengguna merujuk pada tingkat perhatian mengenai posisi dirinya. Keempat aspek konseptual ini merupakan langkah kritikal untuk mencoba menggali mengenai literasi pada media digital. 109 International Conference of Communication, Industry, and Community. Bali, 3-4 Maret 2016 ISBN: 978-602-74139-1-7 Namun, hal yang perlu diperhatikan ketika kita ingin mencapai individu pengguna yang melek secara digital, seperti dikatakan oleh Lankshear & Noble (2008) bahwa orang yang melek secara digital adalah orang yang bisa bergerak cepat atau bergeser dari satu medium ke medium lainnya – mengetahui ekspresi yang akan ditampilkan disesuaikan dengan pengetahuan yang dimilikinya dan terampil dalam menampilkan informasi yang khalayak-pun mudah untuk mengakses dan memahaminya. Hasil Temuan dan Diskusi Seperti dikatakan oleh Woodward (2012) bahwa ujaran kebencian itu masuk ke dalam sebuah wilayah wacana yang disebutnya sebagai „contentious discourse‟ atau sebuah wacana yang kontroversial. Pemahaman mengenai kontroversial ini bisa dipahami sebagai sebuah kondisi dimana sebuah ujaran tidak sesuai dengan aturan, norma, adat istiadat, maupun sistem keyakinan yang ada di masyarakat atau bisa dikatakan sebagai sebuah wacana yang menimbulkan degradasi kepada individu maupun kelompok yang pada akhirnya akan mendorong terjadinya disintegrasi. Damar Junianto seperti dikutip dalam http://www.wakoka.co.id/surat-edaran-kepolisian-tentang-ujaran-kebencian-hatihati-dengan-ucapan-dimedia-sosial-haters/, diunduh 25 Januari 2016, memberikan contoh bahwa pernah ada seorang pembicara memberikan ilustrasi bahwa autis itu karena bermain gawai. Contoh lainnya seperti diungkapkan oleh http://harianbernas.com/berita1836-Tolak-Ujaran-Kebencian-di-Masyarakat.html, diunduh 25 Januari 2016, bahwa “belakangan ini seorang pengguna facebook mengirim komentar yang rasis dan menghasut. Pengguna facebook itu mengekspresikan kemarahannya dengan mengatakan ingin berburu dan menyembelih orang berdasarkan kebenciannya terhadap ras tertentu”. Kedua contoh diatas menandakan bahwa ujaran kebencian bisa merusak seseorang atau komunitas yang pada akhirnya berujung pada konflik bahkan bisa terjadi disintegrasi. Pertanyaannya akan muncul bagaimana caranya kita bisa melek media secara digital ? Apakah perlu kembali untuk memahami cara berkomunikasi atau cara penyampaian pesan kepada orang lain ? Melek Media Digital Paul Gilster (1997) secara sederhana mengatakan bahwa literasi digital adalah literasi untuk era digital. Oleh karena pemikiran tentang era digital selalu dikaitkan dengan masyarakat informasi dimana masyarakat menggunakan berbagai macam sumber digital, seperti adanya kemampuan untuk memilih, kompleksitas informasi, serta konstruksi sebagai seorang kontributor. Berikutnya yang perlu diperhatikan adalah bahwa melek digital adalah sebuah keterampilan untuk mengetahui cara melakukan tindak komunikasi, mengenali aturan yang berkaitan dengan tindakan komunikasi sehingga ketika manusia berkomunikasi, maka manusia mempunyai keterampilan untuk memilah, memilih, dan menentukan kata dan kalimat yang akan digunakan. 110 International Conference of Communication, Industry, and Community. Bali, 3-4 Maret 2016 ISBN: 978-602-74139-1-7 Seperti kita ketahui bahwa ketika manusia berkomunikasi satu dengan lainnya, maka manusia selalu ada dalam sebuah aturan. Dalam berkomunikasi, maka terdapat dua aturan penting untuk terciptanya komunikasi yang baik, yakni Constitutive rules dan Regulative Rules. Regulative Rules adalah sebuah aturan dalam berkomunikasi menurut aturan tertentu, biasanya aturan itu adalah aturan yang sudah diketahui atau sudah menjadi „common sense‟ diantara orang yang melakukan komunikasi. Aturan regulative ini adalah aturan yang sifatnya sesuai dengan norma, nilai, maupun adat istiadat sehingga ketika manusia berkomunikasi, maka ia sudah mengetahui cara melakukan komunikasi dengan orang lain. Sedangkan, constitutive rules adalah aturan dimana kita memaknai pesan yang kita interaksikan dengan orang lain dan memaknai pesan tersebut tergantung dari konteksnya. Kalau kita mengetahui kedua aturan tersebut dan diaplikasikan dalam dunia digital, maka yang perlu diketahui terlebih dahulu adalah aturan-aturan yang diperlukan dalam melakukan interaksi di dunia digital. Menurut Virginia Shea dalam http://www.albion.com/netiquette/introduction.html, diunduh 25 Januari 2016) mengatakan bahwa aturan dalam dunia digital bisa dinamakan dengan „netiquette‟ atau bisa dikatakan sebagai kepanjangan dari etiket di dunia digital (net + etiquette). Dalam dunia digital seperti dikatakan oleh Shea bahwa anda mungkin dapat menyerang orang lain tanpa ada maksud apapun atau anda mungkin salah paham akan apa yang orang lain katakan dan kemudian menyerang orang lain walau tanpa maksud. Sehingga bisa dikatakan bahwa ketika kita berinteraksi di dunia digital, kita bisa secara mudah melupakan dengan siapa kita berinteraksi dan karena itu pesan yang kita sampaikan-pun seolah-olah merupakan pesan yang berlalu begitu saja. Virginia Shea memberikan 10 etiket dalam melakukan interaksi di dunia virtual (http://www.albion.com/netiquette/corerules.html, diunduh 25 Januari 2016), yakni : 1. Remember the Human 2. Adhere to the same standards of behavior online that you follow in your real life 3. Know where you are in cyberspace 4. Respect other’s people time and bandwidth 5. Make yourself look good online 6. Share expert knowledge 7. Help keep flame wars under control 8. Respect other’s people privacy 9. Don’t abuse your power 10. Be forgiving of other’s people mistakes Kesepuluh aturan diatas memperlihatkan bahwa keterampilan dalam menggunakan internet sebagai sarana interaksi di dunia digital mutlak untuk diperlukan. Aturan nomor 1 memperlihatkan bahwa dalam berinteraksi di dunia digital yang kita hadapi adalah layar dalam hal ini Personal Computer (PC), layar sentuh di telepon selular, atau bahkan layar pada notebook kita. Ketika kita 111 International Conference of Communication, Industry, and Community. Bali, 3-4 Maret 2016 ISBN: 978-602-74139-1-7 menghadapi layar, maka yang harus kita pahami adalah kita bukan berhadapan dengan layar tetapi kita berhadapan dengan manusia dibalik layar. Oleh karena itu kita harus mengingat bahwa yang perlakukanlah orang lain, seperti yang orang lain lakukan untuk kita. Kalau kita mengingat pernyataan tersebut, maka keinginan untuk menyakiti orang lain tidak akan terjadi. Aturan dan tata cara lain untuk menjaga dan mempertahankan terciptanya sebuah interaksi melingkupi aturan diatas bisa dilakukan oleh sebuah Badan yang mengelola lalu lintas interaksi di dunia digital maupun diri sebagai penggunanya. Misalnya saja untuk diri sendiri maka pengguna harus mengetahui bahwa dirinya adalah seorang kontributor. Seorang kontributor adalah seorang yang tidak hanya sebagai pengguna, tetapi juga sebagai pencipta dari konten yang dibuatnya. Sebagai pencipta dari sebuah konten, menurut Kurbalija (2010:146), maka konsekuensinya pengguna harus mempunyai kemampuan untuk mengidentifikasi, menyaring, dan menandai situs yang “tidak pantas”. Dengan melakukan penyaringan, maka pengguna bertindak sebagai „gatekeeper‟ bagi dirinya sendiri dan dengan demikian konsekuensi dari pesan yang disampaikan adalah tanggungjawab pengguna pribadi sekaligus memperlihatkan kehati-hatian pengguna dalam menyampaikan konten pesan kepada orang lain. Hal lain yang patut diketahui oleh kita sebagai contributor dari sebuah web dalam dunia digital adalah pemahaman mengenai prinsip kebebasan dalam berekspresi. Kebebasan dalam berekspresi pada sebuah Web adalah bukan kebebasan dalam arti sebebas-bebasnya dan boleh menyampaikan pesan apapun, namun kebebasan dalam hal ini adalah kebebasan yang sifatnya terbatas dan bertanggungjawab. Seperti tercantum dalam Kovenan Internasional tentang HakHak Sipil dan Politik (www.hukumonline.com, diunduh 18 Januari 2016), Pasal 19) tertulis kesepakatan sebagai berikut : 1. Setiap orang berhak untuk berpendapat tanpa campur tangan. 2. Setiap orang berhak atas kebebasan untuk menyatakan pendapat; hak ini termasuk kebebasan untuk mencari, menerima dan memberikan informasi dan pemikiran apapun, terlepas dari pembatasan- pembatasan secara lisan, tertulis, atau dalam bentuk cetakan, karya seni atau melalui media lain sesuai dengan pilihannya. 3. Pelaksanaan hak-hak yang dicantumkan dalam ayat 2 pasal ini menimbulkan kewajiban dan tanggung jawab khusus. Oleh karenanya dapat dikenai pembatasan tertentu, tetapi hal ini hanya dapat dilakukan sesuai dengan hukum dan sepanjang diperlukan untuk: (a) Menghormati hak atau nama baik orang lain; (b) Melindungi keamanan nasional atau ketertiban umum atau kesehatan atau moral umum. Oleh karena itu bisa dikatakan bahwa keterampilan untuk melek secara digital tidak hanya berkaitan dengan aturan yang melingkupi penggunaannya, namun juga kemampuan untuk memaknai pesan yang disampaikan oleh manusia dibelakang layar, pada titik ini aturan yang bersifat konsitutif tercipta. 112 International Conference of Communication, Industry, and Community. Bali, 3-4 Maret 2016 ISBN: 978-602-74139-1-7 Pemaknaan terhadap digital sebagai alat dan digital sebagai sumber pesan dimana manusia yang mempunyai motif berinteraksi dengan manusia lainnya. Simpulan Ujaran kebencian merupakan sebuah motif pesan yang disampaikan oleh seorang individu kepada individu lain dengan tujuan untuk menyerang orang lain, mendominasi orang lain bahkan bisa menciptakan disintegrasi apabila berkaitan dengan sebuah kelompok atau bangsa. Untuk menciptakan sebuah ujaran yang tidak menyerang orang lain atau kelompok lainnya, oleh karena itu keterampilan untuk melek secara digital mutlak diperlukan. Virginia Shea mendorong 10 aturan untuk meningkatkan keterampilan dan melek secara digital ditambah dengan aturan mengenai hak-hak sipil sebagai warga Negara yang bisa dikenakan kepada pengguna dalam berinteraksi. Hal yang juga perlu diperhatikan dalam berinteraksi adalah 2 (dua) aturan penting, yakni regulative rules dan constitutive rules. Daftar Pustaka Jones, Tricia S., Remland, Martin S., & Rebecca Stanford. (2007) Interpersonal Communication : Through The Life Span, Houghton Mifflin Company, NY Kurbalija, Jovan. (2010). Tentang Tata Kelola Internet : Sebuah Pengantar. CV Goentor Printing. Potter, James W. (2005). Media Literacy, 3rd edition. Sage Publications, NY. The Programme in Comparative Media Law and Policy. (2014). Universitas Oxford dengan Addis Ababa University Damar Junianto : http://www.wakoka.co.id/surat-edaran-kepolisian-tentangujaran-kebencian-hati-hati-dengan-ucapan-dimedia-sosial-haters/, diunduh 25 Januari 2016 Virginia Shea : (http://www.albion.com/netiquette/corerules.html, diunduh 25 Januari 2016) http://harianbernas.com/berita-1836-Tolak-Ujaran-Kebencian-diMasyarakat.html, diunduh 25 Januari 2016 (www.hukumonline.com, diunduh 18 Januari 2016) (http://www.albion.com/netiquette/corerules.html, diunduh 25 Januari 2016) http://www.albion.com/netiquette/introduction.html, diunduh 25 Januari 2016) Biografi Penulis Sebagai Pengampu di Universités Pelita Harapan dan mendapatkan gelar s3 dari Universitas Padjajaran Bandung. Pada saat ini mengampu mata kuliah Teori Komunikasi, Metode Penelitian Komunikasi sera Media dan Budaya. Penulis sekarang ini tertarik pada masalah-masalah yang berkaitan dengan dunia digital, baik itu mengenai dampak maupun isi yang disampaikan dari digital media 113 International Conference of Communication, Industry, and Community. Bali, 3-4 Maret 2016 ISBN: 978-602-74139-1-7 PENGALIHAN EKSPRESI WAJAH DENGAN EMOTICON MEDIA SOSIAL (STUDI KASUS: PENGGUNAAN STIKER PADA APLIKASI LINE) Cicy Amelia, Desy Kurnia Wati Ilmu Komunikasi Universitas Riau [email protected], [email protected] Abstract Social media nowadays is taking a big role in the life of the gadget’s users. One of multiple social media that pretty much in demand by Indonesians is an application called Line: Free Calls & Messages. The facilities that available such as Sticker, serves as a replacement for face expressions, or replacing a message in the dimension of a person's face. Stickers means to represent emotion of the sender when interacting. People who send message with stickers, can be completely honest or dishonest. Dishonest means what the sender express and feel doesn’t match with the sticker that their sent. The temporary observations that come up from this phenomenon was like the distant of interpersonal communications, misunderstanding and the ineffectiveness of the communication process. With using descriptive qualitative method and supported by the Popular Culture and Symbolic Interaction Theory. Results from this study are to think positive and disclosure of self-concept that eroded, and taking conclusions too early and unilateral about the purpose of message that sender gave through Line. Keywords: Line, Stickers, Expression, Diversion. Abstrak Media sosial dewasa ini sudah mengambil peran besar dalam kehidupan pengguna gadget. Salah satu media sosial yang cukup banyak diminati oleh masyarakat Indonesia adalah aplikasi Line : Free Calls & Messages. Fasilitas tambahan seperti stiker, berfungsi sebagai pengganti ekspresi wajah atau pengalihan pesan dalam dimensi wajah seseorang atau tokoh tertentu. Stiker merupakan sarana untuk mewakili suasana hati atau emosi si pengirim pada saat berinteraksi. Ekspresi sipengirim pesan dengan stiker yang dipakai, bisa benarbenar jujur atau berkedok jujur. Berkedok jujur maksudnya apa yang si pengirim ekspresikan dan rasakan tidak sesuai dengan perwakilan stiker yang dikirim. Pengamatan sementara yang timbul dari pemanfaatan stiker ini seperti memberikan pengaruh renggangnya hubungan interpersonal, kesalahpahaman dan ketidakefektifan proses komunikasi. Menggunakan metode deskriptif kualitatif dengan didukung oleh teori Budaya Populer dan teori Interaksi Simbolik. Hasil dari penelitian ini adalah terkikisnya konsep diri untuk berpikir positif dan terbuka dan pengambilan kesimpulan terlalu dini dan sepihak tentang maksud penyampaian pesan seseorang melalui chat Line tersebut. Kata kunci: Line, Stiker, Ekspresif, Pengalihan. 114 International Conference of Communication, Industry, and Community. Bali, 3-4 Maret 2016 ISBN: 978-602-74139-1-7 Pendahuluan Di era teknologi komunikasi terkini, gadget sudah menjadi kebutuhan masyarakat. Smartphone bukan lagi termasuk barang mahal. Smartphone sendiri sudah ada di genggaman masing-masing manusia mulai dari pelajar, mahasiswa, pekerja kantoran, guru, artis, pengacara, teknisi, satpam, buruh bangunan, dan lain sebagainya. Apa artinya? Ini memberikan kesan bahwa telepon genggam berupa smartphone sudah menjadi kebutuhan hampir pokok dalam kehidupan manusia. Apa yang dibawanya? Hal menarik apa yang disuguhkan? Keberadaan smartphone sendiri merupakan salah satu elemen penting memenuhi kebiasaan kekinian manusia modern. Elemen tersebut berupa smartphone, aplikasi-aplikasi chat, aplikasi media sosial, jaringan internet dan kuota kartu internet. Kini kita berbicara mengenai salah satu elemen tersebut, yaitu aplikasi chat atau aplikasi media sosial. Media sosial didefinisikan sebagai alat elektronik yang tersedia untuk membantu mempercepat dan meningkatkan kemampuan kita dalam berhubungan, berkomunikasi dan berkolaborasi dengan orang lain (Kassotakis, L. Jue, Marr, 2010: 44). Layanan berbagai aplikasi yang disuguhkan, mempermudah para user (pengguna) untuk memilih dan menggunakan aplikasi tersebut. Dari berbagai macam bentuk aplikasi yang ada, pembagian untuk aplikasi chat atau aplikasi media sosial diantaranya yang sudah berkembang pesat di Indonesia adalah Line: Free Calls & Messages. Aplikasi buatan Korea Selatan ini telah menarik banyak minta warga Indonesia untuk menggunakan jasanya. Line memfokuskan pada layanan chat, diiringi pengadaan group chat, timeline, official account, dan lainlain. Wajah Line pada awalnya dikenal masyarakat dengan fasilitas stiker yang berkarakter. Dimulai dari karakter Brown, Cony, James, Moon, Sally, dan masih banyak yang lainnya hingga sekarang sudah diikuti oleh karakter-karakter wajah artis-artis Indonesia dimana tiap stiker mereka memiliki konsep dan cerita nya masing-masing. Sebut saja seperti Syahrini, Chelsea Olivia, Raisa, Afgan, Joe Taslim dan banyak lagi artis lainnya. Bertukar pesan melalui media, Line menyuguhkan wadah media tersebut dengan menopang pada kecanggihan alat teknologi dan bantuan jaringan internet. Komunikasi interpersonal maupun komunikasi kelompok yang tersedia sudah tidak memerlukan saling bertemunya para pelaku komunikasi tersebut. Namun seiring berjalannya waktu, banyak fenomena yang terjadi. Diantaranya adalah salah paham, variasi makna dan lain-lain. Keunikan dari Line dapat dilihat dari stikernya. Stiker ini dapat membuat percakapan lebih ekspresif ketika mengirim kepada lawan bicara, karena banyak sekali stiker yang dipilih untuk mengekspresikan perasaan atau emosi. Stiker yang dibagikan beragam dan lucu-lucu. Tingginya minat masyarakat terhadap penggunaan Line khususnya mahasiswa merupakan sebuah fenomena yang menarik untuk diteliti. Terkait dengan fenomena yang terjadi maka dari itu, penulis tertarik untuk memberi judul “Pengalihan Ekspresi Wajah Dengan Emoticon Media Sosial (Studi Kasus: Penggunaan Stiker Pada Aplikasi Line)”. Tujuan penelitian untuk meneliti kasus 115 International Conference of Communication, Industry, and Community. Bali, 3-4 Maret 2016 ISBN: 978-602-74139-1-7 Line sebagai tindakan kesalahpahaman dalam pengiriman stiker dan mengetahui bagaimana pengaruh melalui karakter Line yang di bagikan. Tinjauan Pustaka Budaya Populer (Tony Bennet) Budaya Pop selalu berubah dan muncul secara unik di berbagai tempat dan waktu. Budaya pop membentuk arus dan pusaran, dan mewakili suatu perspektif interdependent-mutual yang kompleks dan nilai-nilai yang memengaruhi masyarakat dan lembaga-lembaganya dengan berbagai cara. Budaya pop oleh Antonio Gramsci (1971) dikaitkan dengan konsep hegemoninya, mengacu pada cara kelompok dominan dalam suatu masyarakat mendapatkan dukungan dari kelompok subordinasi melalui proses kepemimpinan. Munculnya budaya populer dipahami sebagai tempat bersatunya praktik kehidupan sehari-hari dengan tekanan dari luar. Bagi Bennet, budaya populer khususnya dipahami sebagai tempat berinteraksinya kemampuan dan potensi kehidupan sehari-hari untuk memahami dunia dengan kemampuan konvensi untuk memasukkan berbagai makna dan menolak kebenaran makna lainnya (Tester, 2003:25). Ciri-ciri budaya populer mengandung kata tren, yang artinya disukai oleh banyak orang. Lalu adanya keseragaman bentuk, dimana hal-hal yang nge-tren diikuti oleh yang lain. Adaptabilitas, yaitu sebuah budaya populer yang mudah diadopsi dan dinikmati banyak orang.Dan yang terakhir profitabilitas, dimana dari sisi ekonomi budaya populer berpotensi menghasilkan keuntungan yang besar bagi industri yang mendukungnya. Kebudayaan popular berkaitan dengan masalah keseharian yang dapat dinikmati oleh semua orang atau kalangan orang tertentu seperti mega bintang, kendaraan pribadi, fashion, model rumah, perawatan tubuh, dan sebagainya. Menurut Ben Agger Sebuah budaya yang akan masuk dunia hiburan maka budaya itu umumnya menempatkan unsure popular sebagai unsure utamanya. Budaya itu akan memperoleh kekuatannya manakala media massa digunakan sebagai penyebaran pengaruh di masyarakat (Burhan Bungin, 2009:100). Teori Interaksi Simbolik (Herbert Mead) Interaksi simbolik pertama kali diperkenalkan oleh Herbert Mead tahun 1934 di Universitas Chicago Amerika Serikat (Suprapto, 2002: 127). Menurut Mead interaksi sosial dalam masyarakat terjadi dalam bentuk utama yaitu: (1) Percakapan isyarat (interaksi non-simbolik) dan (2) Penggunaan simbol-simbol penting (interaksi simbolik). Pernyataan tersebut menegaskan bahwa penekanan interaksi simbolik adalah pada simbol, sebab disini orang coba memahami makna atau maksud dari suatu aksi yang dilakukan satu dengan yang lainnya. Asumsi dasar teori interaksionisme simbolik menurut Herbert Mead dalam Suorapto (2002: 140) adalah: (1) Manusia bertindak terhadap benda berdasarkan “Arti” yang dimilikinya, (2) Asal-muasal arti atas benda-benda 116 International Conference of Communication, Industry, and Community. Bali, 3-4 Maret 2016 ISBN: 978-602-74139-1-7 tersebut muncul dari interaksi sosial yang dimiliki seseorang, (3) Makna yang demikian ini diperlakukan dan dimodifikasi melalui proses interpretasi yang digunakan oleh manusia dalam berurusan dengan benda-benda lain yang diterimanaya. Ketiga asumsi tersebut kemudian melahirkan pokok-pokok pemikiran interaksi simbolik yang menjadi ciri-ciri utamanya yaitu: (1) Interaksi simbolik adalah proses-proses formatif dalam haknya sendiri, (2) Karena hal tersebut maka ia (interaksi simbolik) membentuk proses terus-menerus yaitu proses pengembangan atau penyessuaian tingkah laku, dimana hal ini dilakukan melalui proses dualisme, definisi dan interpretasi, (3) Proses pembuatan interpretasi dan defenisi dari tindakan satu orang ke orang lain berpusat dalam diri manusia melalui interaksi simbolik yang menjangkau bentuk-bentuk umum hubungan manusia secara luas (Suprapto, 2002; 163). Metodologi Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah deskriptif kualitatif. Kualitatif adalah penelitian bermaksud untuk memahami fenomena tentang apa yang dialami subjek penelitian secara holistic dan dengan cara deskripsi dalam bentuk kata-kata dan bahasa, pada suatu konteks khusus yang alamiah yang memanfaatkan metode ilmiah. Sebagai penelitian kualitatif yang menggunakan manusia sebagai instrument utama penelitian, penulis menggunakan teknik wawancara dan observasi selama satu bulan. Subjek dalam penelitian ini adalah mahasiswa FISIP UR sebanyak 45 orang angkatan 2013. Objek penelitian ini adalah kegiatan komunikasi yang terjadi melalui media, khususnya pengguna aplikasi Line. Data primer merupakan data langsung diperoleh dari sumber data pertama lokasi penelitian atau objek penelitian. Data opini dapat berupa subjek secara individual atau kelompok observasi terhadap karakteristik benda (fisik), kejadian kegiatan dan hasil suatu pengujian tertentu. Data pendukung berupa jurnal, dokumen, serta tulisan yang berhubungan dengan cakupan penelitian (Bungin, 2005: 119). Hasil Temuan dan Diskusi Pertanyaan seperti “Akun FB nya apa?” atau “Pin BB nya berapa?” sudah lumrah didengar di era teknologi sekarang. Kini ada yang baru tambahan daripada daftar untuk pertanyaan mendapatkan informasi pribadi seseorang, yaitu “ID Line nya apa?”. Line, menjadi salah satu aplikasi terfavorit yang dipakai oleh khalayak pengguna smartphone untuk akun media sosial agar mudah dihubungi via media. Hubungan komunikasi interpersonal disediakan oleh fasilitas chat antar kontak Line, hubungan komunikasi kelompok disediakan oleh fasilitas chatroom group yang bisa di invite dengan maksimal 200 member, ataupun komunikasi massa yang disediakan oleh fasilitas timeline dengan membuat status-status pribadi dan bisa di share dan dilihat oleh seluruh kontak Line yang terdaftar di profilnya. 117 International Conference of Communication, Industry, and Community. Bali, 3-4 Maret 2016 ISBN: 978-602-74139-1-7 Dari semua fasilitas yang disuguhkan Line, memang sedikit banyak masih mempunyai kemiripan dengan aplikasi-aplikasi serupa. Namun yang menjadi daya tarik tersendiri oleh Line disini adalah Stiker yang berkarakter dan bervariasi gambar serta bentuknya. Perwakilan ekspresi wajah-wajah yang disuguhkan pun bisa dilakukan dengan mudah hanya dengan sekali click, maka akan mewakili penyampaian pesan daripada dengan cara mengetik pesannya. Sudah menjadi budaya populer di usia-usia yang memiliki kebutuhan tinggi akan informasi jarak jauh untuk mempunyai ID Line dan menggunakan Line. Manusia bertindak terhadap benda berdasarkan “arti” yang dimilikinya. Sesuai dengan asumsi dari teori interaksi simbolik bahwa manusia sebenarnya lebih memperhatikan bentuk-bentuk simbolik dalam berkomunikasi. Untuk berkomunikasi secara verbal pun dapat terjadi berdasarkan “pengamatan” dan “analisis” dari seseorang terhadap simbol-simbol disekitarnya. Line, dalam hal ini juga tidak lepas dari simbol-simbol yang ada melalui penciptaan stiker-stiker untuk pengalihan ekspresi wajah. Dalam waktu belakangan ini, pada akhirnya fenomena penggunaan stiker Line menjadi beragam. Penggunaan stiker dalam chat Line pun tidak terelakkan. Beragamnya mimik wajah yang tersedia dan mudah didapat akan memberikan ketertarikan sendiri oleh para pengguna Line. Hal ini juga didukung dengan sudah banyaknya versi dan variasi stiker yang ada, seperti karakter Brown, Cony, James, Moon, Sally, bahkan sampai pada tokoh-tokoh artis Indonesia. Iwan Fals dengan mengusung cerita sampaikan pesan melalui kata-kata dalam lagunya. Atau stiker versi Chelsea Olivia khusus untuk perayaan Natal dan Tahun Baru, atau bahkan positive spirit yang diwakili oleh wajah sang tokoh motivator Indonesia, Mario Teguh. Berbagai variasi, berbagai bentuk apakah stiker bergerak, stiker audio, atau stiker bergerak dan audio juga sudah ada dalam fasilitas stiker Line. Pemilihan ekspresi wajah yang ada dalam Line sudah menimbulkan fenomena-fenomena baru. Diantaranya adalah pengalihan ekspresi wajah yang benar-benar jujur atau berkedok jujur. Benar-benar jujur bisa bermaksud seperti perwakilan perasaan sesungguhnya atau perwakilan ekspresi sesungguhnya. Penggunaan penyampaian pesan secara tulisan dirasa tidak afdhol kalau tidak diiringi dengan penambahan stiker yang serupa dengan isi pesan. Ada lagi kejadian serupa dimana percakapan didalam Line yang saling berbalas stiker, namun tetap mempunyai makna meskipun tidak ada diiringi oleh pesan tulisannya. 118 International Conference of Communication, Industry, and Community. Bali, 3-4 Maret 2016 ISBN: 978-602-74139-1-7 Gambar 1: Percakapan Berbalas Stiker yang Tetap Komunikatif Sementara berkedok jujur atau dengan kata lain bohong, dimana stiker yang dikirim oleh pengirim terkadang tidak sesuai dengan apa yang sebenarnya dirasakan. Hal-hal yang bisa mengakibatkan bagaimana pengalihan ekspresi wajah melalui stiker ini bisa berkedok jujur, dikarenakan oleh beberapa faktor. Diantaranya adalah situasi dan kondisi dalam chat, kedekatan hubungan antara para pelaku komunikasi, sifat, peran dan posisi seseorang dalam hubungannya dengan lawan bicara dan tentu saja kurangnya pemahaman akan ekspresi nonverbal lawan bicara karena komunikasi dilakukan melalui media. Yang pada akhirnya, tidak sedikit yang akan memilih mewakilkan ekspresi wajah dalam dimensi stiker meskipun tidak sesuai dengan keadaan realita yang dialaminya, atau hanya memilih asal stiker, atau sekedar memberi respon berupa stiker agar tidak dianggap mengacuhkan, atau hanya ingin percakapan tersebut segera berakhir. Misalkan saat suasana dalam chat sedang kurang baik atau kesal, pengakhiran stiker yang dipilih adalah stiker bermakna senang (tertawa) padahal yang terjadi adalah kekesalan. Namun jalan tersebut dipilih dengan alasan agar tidak terlalu kelihatan bahwa sebenarnya si pengirim sedang kesal dengan penerima pesan, atau agar percakapan tersebut segera berakhir. Selain itu, adanya gangguan dalam proses komunikasi tentu tetap terjadi. Seperti kejadian dimana noise timbul oleh ketidakstabilan jaringan internet, mengakibatkan urutan conversation menjadi tidak runtut seperti yang seharusnya sehingga saat stiker yang sedari awal sudah dipilih namun lama sampai ke tujuan, bisa jadi akan salah tempat percakapan dan akhirnya salah pemaknaan dan timbullah salah paham. Contoh lain misalkan disaat sedang melayani chat dari lebih satu orang/ chat group, peralihan urutan ruang chat yang diatur Line 119 International Conference of Communication, Industry, and Community. Bali, 3-4 Maret 2016 ISBN: 978-602-74139-1-7 berdasarkan waktu sampainya isi chat, tidak menutup kemungkinan pesan yang ingin disampaikan ke A justru tersampaikan dalam ruang chat orang lain. Fenomena ini menjadi semakin berpeluang besar terjadi manakala gaya hidup menggunakan aplikasi chat Line semakin lama semakin menjamur dengan banyaknya kontak-kontak Line dan pembentukan grup-grup chat pun tak terelakkan, mulai dari grup organisasi, grup teman sepermainan, grup kelompok tugas, grup klub-klub, grup alumni, grup kelas, grup kerja satu tim, grup sesama dosen, grup asal dari suatu daerah yang sama, dan banyak lagi. Banyaknya bagian-bagian dari dalam diri individu untuk berperan sesuai dengan hubungannya dengan seseorang atau dalam suatu komunitas, makin menyulitkan individu tersebut untuk menempatkan diri sendiri pada posisi apa, karena interaksi Line tidak selalu berlangsung disaat kita ada waktu senggang. Berawal dari hal kecil yang penulis uraikan diatas, bisa memberikan efek negatif diantaranya perasaan menduga-duga, kesalahan memaknai sesuatu dan lain-lain. Intuisi manusia tidak semudah membalikkan telapak tangan untuk dibohongi. Penggunaan stiker yang tidak wajar dalam suasana yang sesungguhnya justru akan menimbulkan pertanyaan-pertanyaan baru, praduga atas hal-hal yang berkaitan, menebak-nebak, yang merumuskan segala kemungkinan yang ada tetapi tetap tidak dengan cara menghubungi yang bersangkutan secara langsung karena keadaan chat yang sudah dirasa tidak sesuai dengan realita sebenarnya. Hal ini tentu akan memberikan kesenjangan dalam bersosialisasi diantara mereka, dan akan diperparah jika masing-masing pada dunia nyata jarang bertemu face to face. Anggapan tentang lawan bicara akan selalu berdasar pada keadaan chat yang tidak real lagi dan permainan-permainan pikiran tentang maksud sebenarnya dari lawan bicara. Sticker akan mempengaruhi area otak yang sesuai dan benar-benar dapat memicu emosi. Secara tidak sadar, dengan melihat stiker yang dikirimkan melalui Line ternyata sudah merangsang volume otak yang akan memicu emosi. Pemaknaan tentang nonverbal seseorang dalam proses komunikasi, pada kenyataannya tetap memberikan banyak arti tergantung pribadi tiap individu dalam memaknainya. Saat berkomunikasi tatap muka saja sudah pasti terjadi kesalahpahaman makna, apalagi komunikasi melalui media. Walaupun tujuan pengadaan stiker adalah untuk memberikan efek yang lebih real terhadap mimik wajah seseorang, nyatanya pengadaan stiker juga memberikan efek lain yang ke arah negatif jika salah menyimpulkan maknanya. Fenomena lainnya yang timbul dari penggunaan Line adalah ekspresif dan tidak ekspresifnya seseorang dalam penggunaan stiker Line. Disaat kebanyakan pengguna Line memiliki kebiasaan memakai stiker sebagai perwakilan ekspresi wajah atau pelengkap pesan, namun ada yang memanfaatkan fasilitas ini untuk mengirimkan stiker dalam jumlah banyak untuk jarak waktu yang dekat. Ungkapan spam stiker mulai bermunculan dan diperuntukkan bagi orang-orang yang menggunakan jasa stiker Line lebih banyak. Karena banyaknya tema stiker yang tersedia, maka kebiasaan tersebut menjadi mudah dilakukan. Meskipun banyak tema stiker, tetapi pasti ada beberapa ekspresi stiker yang mewakilkan hal serupa. Misalnya seperti ekspresi marah dalam stiker karakter 120 International Conference of Communication, Industry, and Community. Bali, 3-4 Maret 2016 ISBN: 978-602-74139-1-7 Brown, juga ada di karakter Cony. Pemberian stiker dalam jumlah banyak yang mengandung makna ekspresi sama namun hanya berbeda tema, adalah salah satu kebiasaan seorang yang ekspresif menggunakan Line. Gambar 2: Contoh Spam Stiker Karakter Moon Apa yang terjadi selanjutnya? Spam stiker mulai benar-benar mewakili arti spam, yaitu pengiriman pesan secara bertubi-tubi tanpa dikehendaki oleh penerimanya. Menurut Kamus Bahasa Inggris Oxford, spam adalah “Pesan tanpa arti atau tidak pantas dikirim ke internet pada sejumlah newsgroup atau pengguna”. Cerita baru pun dimulai, dimana orang yang termasuk spammer, akan mengurangi keseriusan dalam percakapan di Line. Pada umumnya memang tujuan mereka untuk melakukan hal tersebut adalah untuk “meramaikan”, atau membuat heboh, atau menciptakan suasana seru, dan sejenisnya. Pengalihan ekspresi melalui stiker sudah mulai terkikis disini, dimana akhirnya orang-orang berkesimpulan bahwa kegiatan spam stiker adalah kegiatan untuk memancing lawan bicara agar lebih peduli dengan chat Line daripada ekspresi sebenarnya stiker tersebut. Dalam memenuhi kebutuhannya untuk melakukan spam stiker, akhirnya mulai muncul keinginan untuk menambah koleksi stiker. Dalam layanan Line, pemilikan stiker sudah diatur melalui berbagai cara. Diantaranya ada Free Stickers, Official Stickers, dan Creators Stickers. Untuk mendapatkan Free Stickers hanya langsung di download atau dengan syarat add akun-akun tertentu. Namun untuk Official Stickers dan Creators Stickers, maka pengguna Line harus “membeli”. Pembelian didasarkan pada jumlah coin yang dimiliki. Bagaimana cara mendapatkan coin tersebut? Bisa dengan mendownload aplikasi-aplikasi game yang ditawarkan, atau menonton video-video tertentu, dan yang terakhir 121 International Conference of Communication, Industry, and Community. Bali, 3-4 Maret 2016 ISBN: 978-602-74139-1-7 adalah dengan mentrasfer sejumlah uang dalam bentuk pulsa. Pada tahap ini, bagi sebagian orang menganggap itu hal yang diluar kewajaran namun bagi para pemakai jasa tersebut, hal itu tergolong wajar sejauh kepuasan mereka terpenuhi. Gambar 3: Salah Satu Koleksi Stiker Berbayar Selain untuk memenuhi kebutuhan mereka untuk spam stiker atau hanya sekedar dengan alasan stiker-stiker itu menarik dan lucu, kepemilikan akan suatu stiker yang tidak dipunyai oleh orang lain menjadi ciri tersendiri bagi pemakainya. Orang-orang yang dalam skala beberapa kali melihat mereka menggunakan stiker yang bercoin, akan menandai stiker tersebut sebagai perwakilan gambaran diri dari orang itu. Penandaan seseorang terhadap stiker yang dimiliknya, menjadi fenomena lain dalam penggunaan stiker di Line ini. Dengan kecanggihan teknologi yang sudah memudahkan masyarakat kini dalam berkomunikasi, untuk tiap aspek nya tetap memberikan pengaruh positif dan negatif. Memang jarak dan waktu sudah tidak menjadi halangan lagi, namun ternyata usaha untuk mengurangi gangguan-gangguan yang ada justru memunculkan gangguan-gangguan baru yang tetap berujung pada tidak efektifnya penyampaian pesan. Jadi, teknologi kah penentu efektifnya komunikasi? Simpulan Manusia akan semakin senang dengan bebagai hal yang di anggapnya mencari perhatian orang. Perhatian orang tentu akan tertuju pada kebiasaankebiasaan atau budaya yang banyak diminati, hingga tersebutlah istilah budaya populer. Dan budaya apakah yang sedang populer kini? dalam kalangan 122 International Conference of Communication, Industry, and Community. Bali, 3-4 Maret 2016 ISBN: 978-602-74139-1-7 mahasiswa, untuk saling bertukar informasi akhirnya menyerah pada kehebatan media sosial diantaranya adalah Line. Teknologi yang digunakan pun selalu didasarkan pada budaya yang diminati dan dianggap kekinian oleh masyarakat. Line merupakan aplikasi yang luar biasa menyenangkan, pengalaman dalam memakainya sungguh sesuai dengan pasar Asia. Kalau anda mencari sebuah aplikasi chat yang menarik, Line merupakan pilihan yang terbaik. Untuk menggunakan Line, tidak dipungut bayaran. Tetapi anda harus siap dengan kelengkapan elemennya seperti smartphone, jaringan internet, dan tentu saja lawan bicara yang harus menggunakan aplikasi serupa. Penggunaan stiker-stiker dalam Line, telah menimbulkan berbagai fenomena. Diantaranya adalah ketidaksesuaian antara ekspresi stiker yang dikirim dengan ekspresi realita, munculnya pribadi yang ekspresif dan tidak ekspresif menggunakan Line, dan terakhir menimbulkan pribadi yang maniak untuk mengoleksi stiker-stiker yang berbayar. Sebagai masyarakat yang tingal didalam era kecanggihan teknologi, justru banyak hal yang harus di filter. Karena sejatinya, teknologi selain memudahkan urusan manusia, ia juga memunculkan masalah. Dalam menghadapi masalah tersebut lah sebenarnya peran manusia yang cerdas dan melek media dituntut. Ambil yang positif, dan tinggalkan yang negatif. Kalimat tersebut tidak akan pernah berubah dalam praktik kehidupan sehari-hari. Masyarakat cerdas harus pandai mengambil sikap disaat ia berada dalam kungkungan teknologi komunikasi yang ada. Dengan begitu, maka manusia tidak akan kalah oleh nikmatnya suguhan teknologi yang baik maupun yang buruk, guna penyambung lorong untuk keberlangsungan hidup bermasyarakat yang tetap memiliki hakikat berkehidupan. Daftar Pustaka Bungin Burhan (2009) Sosiologi Komunikasi. Jakarta: Kencana Prenada Media Group Jue, Arthur L., Jackie Alcalde Marr, Mary Ellen Kassotakis (2010). Social media at work: how networking tools propel organizational performance (edisi ke 1 st ed) San Fransisco, CA: Jossey Bass Nurudin (2004). Komunikasi Massa. Yogyakarta: Pustaka Pelajar Yogyakarta Irawan, Atria Ramadanty (2014). Metode Penelitian. Suprapto, Riyadi (2002). Interaksi Simbolik: Perspektif Sosiologi Modern. Yogyakarta: Pustaka Pelajar Tester, Keith (2003). Media, Budaya dan Moralitas. Jakarta: Juxtapose dan ta:Kreasi Wacana 123 International Conference of Communication, Industry, and Community. Bali, 3-4 Maret 2016 ISBN: 978-602-74139-1-7 Lampiran Biografi Penulis Cicy Amelia dilahirkan di Merangin, Kabupaten Kampar pada 28 November 1994.Sekarang cercatat sebagai salah satu mahasiswi Jurusan Ilmu Komunikasi FISIP Universitas Riau semester 5.Menyelesaikan pendidikan di SDN 009 Langgini, SMP N 2 Bangkinang, dan terakhir di SMAN 8 Pekanbaru pada tahun 2013.Selain sebagai mahasiswi aktif kuliah, penulis juga sedang menjabat sebagai Kepala Divisi Infokom dalam organisasi HIMAKOM periode 2014-2015. Desy Kurnia Wati dilahirkan di Bono Tapung 13 Maret 1997. Sekarang tercatat sebagai mahasiswi Jurusan Ilmu Komunikasi FISIP UR semester 3 Menyelesaikan pendidikan SD 005 Tandun, SMP Negeri 4 Tandun dan SMA 1 Ujungbatu. Selain sebagai mahasiswa aktif kuliah, penulis juga sebagai bendahara umum di (Fisip Scientific Club) periode 2015-2016, kru tetap di Tabloid Tekad periode 2015-2016. 124 International Conference of Communication, Industry, and Community. Bali, 3-4 Maret 2016 ISBN: 978-602-74139-1-7 LONG DISTANCE COMMUNICATIONS/LDC (PERILAKU PENGGUNAAN LINE BAGI PASANGAN HUBUNGAN JARAK JAUH) Feby Diani Bosma, Cicilia Margarettha S Ilmu Komunikasi, Universitas Riau [email protected], [email protected] Abstract Line is an instant messenger or chatting application which categorized in nonconventional mass communication media. Line become a trend for every internet user, no exception used by long distance relationship couples. Line is one alternative communication for couples who have a long distance relationships with able to overcome the limitations of distance and time. So it can make the couple with long-distance relationships interact more easily. This causes a real impact to line user couple’s behavior. Seeing this phenomenon, researcherwant to do research using qualitative descriptive approach. Using the CMC by Wood's theory that describes the interactions of human communication withmedia communications in an Internet network. From this study showed that couples who have a long distance in relationship experienced many changes in behavior where they assume that media is an effective means used in communication with their partner. They show individualist attitudes and less concerned with the social environment. In addition, the perpetrators of long distance relationship show behavior dependence on their social media, that they always monitor or access their line accounts periodically and they also restrict other to use theirgadgets. In daily life, they are more comfortable communicating face-to-face communication than using the gadgets. Keywords: Long Distance Relation, Long Distance Communications, Line, Behavior. Abstrak Line merupakan aplikasi instant messenger atau chatting yang dikategorikan ke dalam media komunikasi massa non konvensional. Line menjadi tren bagi setiap pengguna internet, tidak terkecuali digunakan oleh pasangan long distance relationship. Penggunaan line yang merupakan salah satu alternatif komunikasi bagi pasangan yang menjalin hubungan jarak jauh mampu mengatasi batasan jarak dan waktu. Sehingga memungkinkan pasangan dengan hubungan jarak jauh berinteraksi secara lebih mudah. Hal ini menimbulkan dampak yang nyata dalam perilaku penggunaan line itu sendiri bagi pasangan tersebut. Melihat fenomena ini, peneliti pun berkeinginan melakukan penelitian dengan menggunakan pendekatan deskriptif kualitatif. Menggunakan teori CMC oleh Wood yang menjelaskan tentang interaksi komunikasi manusia dengan komputer atau media komunikasi dalam suatu jaringan internet. Dari penelitian ini diperoleh hasil bahwa pasangan yang menjalani hubungan jarak jauh banyak mengalami perubahan pada perilakunya dimana mereka menggangap bahwa media adalah alat yang efektif digunakan dalam berhubungan dengan pasangannya. 125 International Conference of Communication, Industry, and Community. Bali, 3-4 Maret 2016 ISBN: 978-602-74139-1-7 Menunjukkan sikap individualis dan kurang peduli dengan lingkungan sosialnya. Selain itu, terdapat perilaku ketergantungan oleh pelaku hubungan jarak jauh terhadap media sosialnya dengan melakukan pemantauan atau mengakses akun line-nya secara periodik serta membatasi penggunaan handphone atau gadget oleh orang lain. Dalam kesehariannya, mereka lebih menyenangi komunikasi tatap muka daripada menggunkan media sebagai saluran komunikasnya. Kata kunci: Long Distance Relation, Long Distance Communications, Line, Perilaku. Pendahuluan Seiring dengan perkembangan teknologi, jenis komunikasi pun berkembang. Teknologi komunikasi dapat membawa seorang individu melintasi batas ruang dan waktu serta mendapatkan informasi melalui internet yang tidak didapat sebelumnya. Penggunaan internet sangat dibutuhkan dalam bertukar informasi dan berkomunikasi secara cepat tanpa ada batasan wilayah, ruang dan waktu. Kemunculan media baru memberikan dampak yang besar terhadap kehidupan manusia. Media baru secara langsung telah merubah pola kehidupan masyarakat, budaya, cara berfikir, dan hampir segala aspek dalam kehidupan manusia. Media baru ini memberikan kemudahan bagi penggunanya untuk melakukan komunikasi dengan orang lain. Social media (media sosial) merupakan salah satu media online yang sangat populer saat ini. Keberadaan media sosial semakin mempermudah manusia dalam bersosialisasi dan berinteraksi dengan sesama manusia. Termasuk didalamnya adalah hubungan antar pribadi. Salah satu bentuk hubungan antar pribadi yang menggunakan media sosial sebagai media komunikasinya adalah pacaran. Menurut Daniel Taruli Asi Harahap (2008:1) Pacaran adalah proses pengenalan atau latihan kesetiaan. Setiap orang menjalin hubungan istimewa dengan orang lain yang disayangi sebagai sepasang kekasih. Dan setiap pasangan menghendaki kedekatannya antara satu sama lain, bahkan kalau bisa setiap saat. Namun dari kenyataan yang terjadi suatu pasangan harus terpisahkan oleh jarak dan mengalami pacaran jarak jauh (long distance relationship) karena suatu alasan misalkan sedang menuntut ilmu atau mendapat kesempatan untuk mengikuti program beasiswa internasional yang menuntut pasangan pergi meninggalkan kota atau negara asal untuk menuntut ilmu ke kota atau negara lain. Selama ini banyak yang beranggapan negatif terhadap hubungan pacaran jarak jauh. Sebagian besar orang banyak yang meragukan keberhasilannya dikarenakan keterbatasan waktu untuk saling bertemu dan berkomunikasi secara langsung. Namun dengan semakin berkembangnya teknologi komunikasi, jarak bukanlah menjadi hambatan dalam menjalin hubungan dengan pasangan. Komunikasi antarpribadi yang sebelumnya merupakan komunikasi tatap muka secara langsung (face to face), kini dapat dimediasi oleh alat, sehingga seseorang tidak harus selalu bertatap muka dengan lawan bicaranya pada saat berkomunikasi. 126 International Conference of Communication, Industry, and Community. Bali, 3-4 Maret 2016 ISBN: 978-602-74139-1-7 Penggunaan instant messenger memudahkan penggunannya untuk melakukan pengiriman pesan sebagai penganti fungsi SMS via telepon menjadi pesan singkat via internet yang jauh lebih murah dan praktis. Salah satu aplikasi instant messenger yang kini tengah naik pamornya di Indonesia adalah Line. Line merupakan aplikasi instant messenger atau chatting yang dibentuk di tahun 2011. Dalam perkembangannya, line mengalami pembaharuan dengan berbagai fitur menarik seperti layanan free call dan video call. Salah satu fitur yang menjadi ikon line adalah stiker dengan karakter-karakter yang lucu dan menarik. Melalui stiker ini, para penggunanya dapat mengekspresikan pesan mereka. Selain itu, hal menarik dari line adalah disediakan fasilitas berupa aplikasi-aplikasi program seperti game, aplikasi kamera, dan platform sosial media milik line sendiri. Bahkan platform tersebutjuga memiliki timeline dan homepage, mirip dengan Facebook. Jadi, line tampaknya telah memberikan sejumlah paket lengkap dari apa konsep sebuah media yang tidak rumit namun tetap memiliki fitur lengkap. Berbagai fitur pendukung dan praktis dari line tersebut telah banyak digunakan oleh berbagai kalangan, terkhususpasangan kekasih yang menjalani hubungan jarak jauh. Hal ini menjadi alternatif bagi pasangan yang menjalin hubungan jarak jauh karena line merupakan sarana komunikasi yang cukup efektik, praktis dimana pasangan jarak jauh dapat melalukan komunikasi kapan saja dan mereka dapat mengekspresikan apa yang dirasakan olehnya terhadap pasangannya. Inilah yang menyebabkan pasangan jarak jauh menggunkan line sebagai sarana komunikasi. Tanpa disadari penggunaan line pada akhirnya menimbulkan dampak positif dan negatif bagi para penggunanya, karena tidak lepas dari media dan pola interaksi komunikasi yang digunakan. Terkhusus pasangan jarak jauh yang menggunakan line sebagai media komunikasi mereka. Sebab pada dasarnya media komunikasi akan di jadikan sarana dalam berkomunikasi dengan harapan hubungan yang terjalin dapat terpelihara dengan baik. Berdasarkan latar belakang masalah di atas, maka peneliti ingin mengetahui bagaimana perilaku penggunaan line yang diungkapkan pasangan mahasiswa/i, di mana dalam hal ini peneliti memfokuskan penelitian terhadap mahasiswa/i yang sedang menjalin hubungan pacaran jarak jauh ataupun pernah menjalin hubungan pacaran jarak jauh dan menggunakan media komunikasi Line sebagai perangkat komunikasinya. Tinjauan Pustaka Perilaku Komunikasi Perilaku komunikasi yang dibentuk berdasarkan pemaknaan terhadap sesuatu hal atau peristiwa merupakan sebuah proses yang berurutan dan berkelanjutan. Kita kemudian melihat dan menyadari bahwa perilaku manusia selalu berkembang dan berubah, pengalaman masa lalu menjadi faktor utama yang berperan penting dalam mengubah perilaku manusia. Atribut perilaku komunikasi seperti kebiasaan, aksesoris yang dikenakan, istilah verbal yang 127 International Conference of Communication, Industry, and Community. Bali, 3-4 Maret 2016 ISBN: 978-602-74139-1-7 digunakan dan budaya merupakan beberapa point yang cukup sering digunakan dalam meneliti mengenai perilaku komunikasi. New Media (Media Baru) Mediabaru yang dibahas disini adalah berbagai perangkat teknologi komunikasi yang berbagi ciri yang sama selain baru dimungkinkan dengan digitalisasi dan ketersediaannya yang luas untuk penggunaan pribadi sebagai alat komunikasi. Secara umum, media baru telah disambut (juga oleh media lama) dengan ketertarikan yang kuat, positif dan bahkan pengharapan serta perkiraan yang bersifat eforia, serta perkiraan yang berlebihan mengenai signifikansi mereka (Rossler, 2001). Line Line adalah salah satu aplikasi messenger untuk smartphone, tablet, atau gadget yang diciptakan oleh NHN Corp, perusahaan komunikasi berpusat di Seoul, Korea Selatan.NHN Corp juga mengoperasikan Naver, mesin pencari online terbesar di Korea Selatan. Line diluncurkan pada 23 Juni 2011 oleh NHNcabang Jepang setelah terjadinya gempa bumi di Jepang. NHN Jepang menyadari kerusakan besar di sistem komunikasi dan menemukan bahwa layanan data akan bekerja lebih efisien. Maka, mereka memutuskan membuat aplikasi yang bisa diakses melalui smartphone, tablet dan deskop untuk melakukan instant messaging secara gratis. Pemberian nama line sendiri terinspirasi dari antrean banyak orang di telepon publik setelah gempa terjadi di Jepang. Komunikasi dan Hubungan Antar Pribadi Menuurut Kathleen S.Verderber el al (2007), komunikasi antar pribadi merupakan proses melalui nama mana orang menciptakan dan mengelolah hubungan mereka, melaksanakan tanggung jawab secara timbal balik dalam menciptakan makna. Lebih lanjut ia menjelaskan sebagai berikut: Pertama, komuniksi antar pribadi sebagai proses. Proses merupakan rangkaian sistematis prilakuyang bertujauan yang terjadi dari waktu ke waktu atau berulang kali. Kedua komunikasi antar pribadi bergantung kepada makna yang diciptakan oleh pihak yang terlibat. Ketiga, melalui komunikasi kita menciptakan dan mengelolah hubungan kita. Tanpa komunikasi hubungan tidak akan terjadi. Hubungsn dimulai atau terjadi apabila anda pertama kali berinteraksi dengan seseorangan. Berulang kali, melalui interaksi-interaksi Anda dengan orang itu anda menentukan secara berkelanjutan sifat dari hubungan tersebut yang akan terjadi. Apakah hubungan tersebut akan menjadi pribadi atau sebalikknya, menjdi romantis atau platonis, sehat atau tidak sehat, tergantung atau saling tergantungan. Jawaban terhadap pertanyaan-pertanyaan tersebut diatas bergantung kepada bagaimana orang-orang dalam hubungan tersebut berbicara dan berprilaku terhadap satu sama lain. 128 International Conference of Communication, Industry, and Community. Bali, 3-4 Maret 2016 ISBN: 978-602-74139-1-7 Berbeda dengan kedua ahli komunikasi antar pribadi tersebut diatas, Richard L. Weaver II (1993) tidak memberikan definisi komunikasi antarpribadi melainnkan menyebutkan karakteristik-karakteristik komunikasi antarpribadi. Menurutnya terdapat delapan karakteristik-karakteristik dalam komunikasi antarpribadi, yaitu: a. Melibatkan paling sedikit dua orang.. b. Adanya umpanbalik atau feedback. c. Tidak harus tatap muka. Komunikasi antar pribadi tidak harus tatap muka. Bagi komunikasi antar pribadi yang sudah terbentuk, adanya saling pengertian antara dua individu, kehadiran fisik dalam berkomunikasi tidaklah terlalu penting. d. Tidak harus bertujuan. e. Menghasilkan beberapa pengaruh atau effect. f. Tidak harus melibatkan atau menggunakan kata-kata. g. Dipengaruhi oleh konteks. h. Dipengaruhi oleh kegaduhan atau noise. Rahmat (2008:79) mengemukakan hubungan antar pribadi erat kaitannya dengan konsep diri yang vital bagi perkembangan kepribadian. Lebih lanjut dijelaskan konsep diri berpengaruh pada perilaku manusia, bagaimana anda memandang diri anda dan bagaimana orang lain memandang anda, akan mempengaruhi pola-pola interaksi anda dengan orang lain. Cangara (2011:32) mendefinisikan hubungan antar pribadi ialah proses komunikasi yang berlangsung antara dua orang atau lebih secara tatap muka. Pacaran Berpacaran (dating) dikenal sebagai suatu bentuk hubungan intim atau dekat antara laki‐laki dan perempuan. Ikhsan (2003) membedakan pengertian pacaran kedalam tiga versi pandangan, yaitu (a) pacaran adalah rasa cinta yang menggebu‐gebu pada seseorang; (b) pacaran adalah identik dengan kegiatan seks, sehingga jika seseorang berpacaran lebih sering diakhiri dengan hubungan seks yang dilakukan atas dasar suka sama suka, tanpa adanya unsur pemaksaan; dan (c) pacaran adalah sebuah ikatan perjanjian untuk saling mencintai, percaya mempercayai, saling setia dan hormat‐menghormati sebagai jalan menuju mahligai pernikahan yang sah. Dikatakan bahwa pandangan ketiga inilah yang paling banyak dianut. Di dalam pacaran individu dapat belajar berkomunikasi secara heteroseksual, membangun kedekatan emosi, kedekatan fisik, dan mengalami proses pendewasaan kepribadian (Gambit, 2000). Agar fungsi pacaran dapat dicapai secara optimal maka diperlukan sikap‐sikap yang mendukung. Pacaran merupakan proses pematangan pada pasangan untuk hidup berkeluarga (Adi, 2000). Dalam masa pacaran individu dimungkinkan akan lebih mengenal karakter masing‐masing pribadi. 129 International Conference of Communication, Industry, and Community. Bali, 3-4 Maret 2016 ISBN: 978-602-74139-1-7 Long Distance Relationship (LDR) Lydon, Pierce, dan O’Regan (1997) membedakan antara pacaran jarak jauh dan pacaran jarak dekat. Pacaran jarak jauh adalah hubungan pacaran yang terjadi pada dua orang yang tinggal pada dua kota yang berbeda. Sedangkan pacaran jarak dekat adalah hubungan pacaran yang terjadi pada dua orang yang tinggal pada kota yang sama. Pacaran jarak jauh adalah sebuah hubungan dimana kesempatan untuk berkomunikasi sangatlah terbatas dalam persepsi individu masing-masing yang menjalani dikarenakan batasan geografis dan individu di dalamnya terdapat ekspektasi untuk melanjutkan hubungan intim yang dekat menurut Stafford (2005:7). Turner dan Helms (1995) mengatakan, hubungan jarak jauh adalah hubungan antara dua pihak yang saling berkomitmen dimana keduanya tinggal terpisah minimal sejauh tiga jam tempuh kendaraan darat dan tidak dapat bertemu ketika mereka saling membutuhkan. Menurut Rohlfing (dalam Shantz dan Hartup, 1992) dalam penelitiannya mengenai hubungan pacaran jarak jauh, bahwa hubungan pacaran jarak jauh memiliki sisi negatif, yaitu dapat menimbulkan perasaan kecewa dan bahkan stres. Dalam penelitian ini Long Distance Relationship (LDR) atau hubungan jarak jauh yang kami maksud adalah ikatan antara dua orang yang membentuk suatu hubungan romantisme yang keduanya dibatasi oleh batasan geografis. Menurut Coleman (2000) dalam penelitiannya, pikiran dan perasaan yang muncul dalam hubungan jarak jauh, membutuhkan suatu alat komunikasi yang efektif untuk memperlancar suatu hubungan, seperti telepon dan Internet. Tetapi komunikasi itu sendiri dapat menjadi penyebab putusnya hubungan pasangan. Bird dan Melville (1994) mengatakan bahwa dengan komunikasi yang lebih intensif, pasangan menjadi lebih mampu memahami satu sama lain sehingga keintiman di antara mereka juga semakin erat terjalin (Bird & Melville, 1994). Rohlfing (dalam Shantz dan Hartup, 1992) menyebutkan dalam penelitiannya mengenai hubungan pacaran jarak jauh bahwa individu yang menjalani hubungan ini cenderung memiliki pengharapan yang tinggi akan kualitas waktu yang dihabiskan bersama pasangan. Teori Computer Mediated Communication (CMC) Wood (2005:227) menyatakan, keadaan dimana segala bentuk komunikasi dan perilaku manusia dapat diubah dengan cara saling bertukar informasi melalui ini disebut Computer Mediated Communication (CMC). Computer Mediated Communication menurut A.F Wood dan M.J Smith adalah segala bentuk komunikasi antar individu, individu dengan kelompok yang saling berinteraksi melalui computer dalam suatu jaringan internet. CMC mempelajari bagaimana perilaku manusia dibentuk atau diubah melalui pertukaran informasi menggunakan media computer. Dalam perkembangannya komunikasi lewat media computer terjadi peleburan antara komunikasi mediation (perantara) dan immediate (langsung). Mediation mengacu pada proses pertukaran pesan dimana pesan disampaikan melalui perantaraan media bentuk teknologi dari yang paling sederhana seperti kertas, sampai teknologi canggih seperti komputer internet. Immediate 130 International Conference of Communication, Industry, and Community. Bali, 3-4 Maret 2016 ISBN: 978-602-74139-1-7 merupakan proses komunikasi tatap muka secara langsung tanpa adanya media perantara apapun. Jadi disini masalah pilihan dan efektifitas tidak lagi menjadi perdebatan yang signifikan. Perdebatan mengenai efektif tidaknya penggunaan komunikasi langsung dan lewat media sudah terjadi sejak masa Socrates dan muridnya yaitu Plato, mereka filsuf Yunani yang pada waktu itu sangat menantang perkembangan teknologi kertas sebagai media penyampaian pesan. Mereka menyatakan bahwa ide dan pemikiran murni harus disampaikan secara lisan langsung kepada komunikan tanpa adanya perantara apapun. Teknologi tulis sebagai penyampaian pesan dikhawatirkan digunakan untuk menggeser makna pesan sehingga dapat menipu massa. Plato percaya bahwa gagasan murni individu tidak dapat didefinisikan ke dalam bentuk teks. Akibatnya, sebagaian kebudayaan besar yunani lenyap ditelan jaman. Realitasnya, dengan semakin berkembangnya teknologi komunikasi, komunikasi langsung tidak lagi menjadi wacana paling penting. Dengan kata lain untuk memberikan umpan balik terhadap pesan dari komunikator, komunikan tidak harus bertemu secara langsung. Dengan adanya Line sebagai media penyampai pesan menberikan pengaruh signifikan bagi pola komunikasi pasangan Long Distace Relationship. Metodologi Penelitian ini menggunakan pendekatan deskriptif-kualitatif, dimana peneliti akan memberikan pemaparan atau gambaran umum yang lebih detail mengenai bagaimana perilaku yang ditimbulkan akibat komunikasi yang terjadi pada pasangan jarak jauh melalui media komunikasi Line. Metode Penelitian kualitatif adalah penelitian yang dapat menjelaskan dan menganalisis fenomena, peristiwa, aktivitas sosial, sikap kepercayaan, presepsi seseorang atau kelompok terhadap sesuatu, selaras dengan Nana Syaodin (2010) menjelaskan bahwa penelitian kualitatif adalah suatu penelitian yang ditujukan untuk mendeskripsikan dan menganalisia fenomena, peristiwa, aktivitas sosial, sikap, kepercayaan, presepsi, pemikiran orang secara individual maupun kelompok. Penelitian ini menggunakan dua jenis data, data primer dan data sekunder. Data primer pada penelitian ini berupa pengamatan dan wawancara. Sementara data sekunder atau data pendukung berupa jurnal, dokumen, surat kabar serta tulisan yang berhubungan dengan cakupan penelitian. Untuk menganalisis data penelitian ini, peneliti menggunakan pendekatan analisis deskriptif. Dimana proses analisa yang dilakukan dalam pendekatan ini dilakukan sejak pengumpulan data di lapangan dan analisa intensif dilakukan setelah berakhirnya pengumpulan data lapangan. Analisis data diartikan sebagai upaya mengolah data menjadi informasi, sehingga karakteristik atau sifat-sifat data tersebut dapat dengan mudah dipahami dan bermanfaat untuk menjawab masalah-masalah yang berkaitan dengan kegiatan penelitian. Analisis data pada penelitian ini yaitu dengan proses mencari 131 International Conference of Communication, Industry, and Community. Bali, 3-4 Maret 2016 ISBN: 978-602-74139-1-7 dan menyusun secara sistematis data yang diperoleh dari hasil wawancara, catatan lapangan, dan dokumentasi, dengan cara mengorganisasikan data ke dalam kategori, menjabarkan ke dalam unit-unit, melakukan sintesa, menyusun ke dalam pola, memilih mana yang penting dan yang akan dipelajari, dan membuat kesimpulan sehingga mudah dipahami oleh orang lain dan diri sendiri. Model analisis data dalam penelitian ini mengikuti konsep Miles and Huberman. Maka pada penelitian ini tim peneliti melakukan penelitian dengan menggunakan metode wawancara, observasi, dan dokumentasi yang kemudian data hasil dari penelitian akan digabungkan sehingga saling melengkapi. Hasil Temuan dan Diskusi Gaya hidup manusia pada zaman sekarang ini tidak akan pernah lepas dari teknologi. Perkembangan teknologi yang sangat pesat saat ini, seakan-akan memudahkan dan memanjakan manusia dalam menjalankan aktivitas kehidupannya. Pada dasarnya, mereka hanya ingin menyesuaikan kebutuhan hidupnya dari manfaat perkembangan teknologi itu sendiri. Salah satunya membantu dalam menjalin hubungan dengan orang lain meskipun terpisah ribuan kilometer dan zona waktu yang berbeda. Berkomunikasi pun menjadi semudah membalikkan telapak tangan. Media sosial adalah salah satu perkembangan teknologi yang memiliki andil besar dalam memberikan kemudahan bagi manusia untuk berkomunikasi dan bersosialisasi. Salah satu media sosial yang paling populer dikalangan pengguna internet adalah situs jejaring sosial seperti facebook, twitter, skype, path, dan line. Media sosial yang populer saat ini adalah aplikasi line. Line sendiri dikembangkan oleh NAVER yaitu pengembang asal jepang, yaitu aplikasi messenger pengirim pesan cepat seperti BBM, whatsapp, dll. Pengguna line dapat berhubungan dengan pengguna line lainnya dengan gratis, namun dapat digunakan jika memiliki paket internet. Dengan menggunakan line, kita dapat melakukan chatting, free call, video call, dan masih banyak fitur lainnya. Line merupakan salah satu aplikasi yang dapat digunakan pada komputer, laptop, HP (biasanya android) atau Tablet, Notebook/Netbook maupun Iphone. Salah satu bentuk hubungan yang menggunakan aplikasi line sebagai media komunikasinya adalah hubungan pacaran. Istilah pacaran memang sudah tidak asing lagi di telinga kita. Di dalam pacaran memerlukan adanya komitmen, terutama pada pasangan yang menjalin hubungan jarak jauh atau long distance realationship (LDR). Komunikasi yang terjadi diantara pasangan LDR sangat tergantung kepada media. Karena sangat tidak mungkin untuk bertemu secara langsung mengingat jarak yang menghalangi. Tidak seperti pasangan pada umumnya yang berada di satu daerah. Mereka dapat bertemu kapanpun mereka inginkan. Sedangkan pada pasangan LDR mereka harus menahan rasa rindu sampai bertemu di satu saat yang jangka waktunya tidak pasti. Dari hasil temuan yang didapatkankan melalui wawancara dengan beberapa informan, media yang paling sering mereka gunakan adalah line dibandingkan media sosial lainnya, dengan alasan bahwa line menyediakan 132 International Conference of Communication, Industry, and Community. Bali, 3-4 Maret 2016 ISBN: 978-602-74139-1-7 banyak fitur yang mendukung komunikasi pasangan yang memiliki hubungan jarak jauh. Line juga memiliki banyak jenis sticker-sticker yang menarik dan ekspresif yang dapat menggambarkan ekspresi mereka saat berkirim pesan. Kemudian fitur free call dan video call yang membuat mereka lebih mudah berbicara satu sama lain kapanpun mereka inginkan. Video call membantu mereka dalam berkomunikasi tidak hanya melalui audio, namun juga secara visual. Hal ini membuat mereka merasa tetap dekat walaupun sebenarnya saling berjauhan. Namun dengan frekuensi penggunaan line yang cukup sering, mereka merasakan adanya perubahan terhadap diri mereka secara tidak langsung. Mereka menjadi kurang peduli terhadap lingkungan sekitar karena lebih fokus menggunakan gadget untuk terus berkomunikasi dengan pasangan. Kemudian mereka juga mendapatkan protes dari teman-teman yang merasa terabaikan, karena waktu berkumpul bersama mereka menjadi kurang efektif akibat penggunaan handphone demi menghubungi pasangan itu sendiri. Dampak lainnya dari pola penggunaan line, kehidupan keseharian mereka menjadi berubah. Seperti kurangnya waktu untuk beristirahat pada malam hari karena bertelefon hingga lupa waktu. Kemudian pada saat siang hari mereka lebih memilih melakukan video call dan melewatkan jam makan siang dengan alasan video call pada siang hari lebih mendapatkan pencahayaan yang bagus dibandingkan pada malam hari. Mereka juga sangat membatasi penggunaan gadget dan media sosial mereka seperti line oleh orang lain. Karena menurut mereka hal itu merupakan privasi yang tidak boleh sampai dilihat oleh orang lain. Dan mereka menjaga agar media sosial mereka tidak dibajak oleh teman-teman mereka karena dapat menimbulkan dampak yang tidak baik seperti pertengkaran kecil dengan pasangan mereka. Tetapi mereka tetap lebih menyenangi komunikasi secara langsung atau tatap muka karena mereka dapat melihat ekspresi dari pasangan mereka, sedangkan komunikasi melalui media tidak dan bisa saja berbohong seperti saat mengirimkan sticker tertawa ternyata mereka sedang menangis. Berdasarkan teori CMC, menurut Wood (2005:227) menyatakan, keadaan dimana segala bentuk komunikasi dan perilaku manusia dapat diubah dengan cara saling bertukar informasi melalui ini disebut Computer Mediated Communication (CMC). Dalam teori CMC mempelajari bagaimana perilaku manusia dibentuk atau diubah melalui pertukaran informasi menggunakan media computer. Realitasnya, dengan semakin berkembangnya teknologi komunikasi, komunikasi langsung tidak lagi menjadi wacana paling penting. Dengan kata lain untuk memberikan umpan balik terhadap pesan dari komunikator, komunikan tidak harus bertemu secara langsung. Dengan adanya Line sebagai media penyampai pesan memberikan pengaruh signifikan bagi pola komunikasi pasangan Long Distace Relationship. 133 International Conference of Communication, Industry, and Community. Bali, 3-4 Maret 2016 ISBN: 978-602-74139-1-7 Simpulan Dari hasil yang didapatkan peneliti menemukan bahwa informan sangat membutuhkan line sebagai alat komunikasinya dalam menjalani LDR (Long Distance Relationship) untuk berkomunikasi. Dengan menggunakan line berkomunikasi akan jauh lebih mudah daripada media lainnya. Dibandingkan dengan SMS untuk berkirim pesan mereka lebih senang menggunakan fitur chatting pada line karena memiliki sticker yang menarik. Melalui fitur free call, berbicara dapat dilakukan kapan saja dan melalui video call pasangan LDR bisa bertatap muka untuk melepas rasa rindu. Penggunaan line sangatlah efektif dan efisien karena pengguna tidak perlu sering-sering mengisi pulsa dan hanya perlu membeli paket internet saja. Namun penggunaan line ini seringkali memunculkan sikap individualis bagi penggunanya. Jarak membuat pasangan LDR mengharuskan mereka menguhubungi pasangan secara terus menerus dengan menggunakan media dan membuat pasangan LDR pun menjadi kurang peduli terhadap lingkungan sekitarnya. Beberapa saran yang ingin diberikan penulis dalam penulisan ini yaitu: pertama saran penelitian, studi kasus mengenai perubahan perilaku melalui line bagi pasangan jarak jauh ini tentu masih memiliki banyak kekurangan dan memerlukan perbaikan. Diharapkan nantinya akan ada penelitian lanjutan mengenai hal tersebut yang dapat menggali fakta lebih luas lagi. Kedua saran dalam kaitan praktis, individu-individu yang melakukan komunikasi melalui media komunikasi sosial untuk lebih bijaksana memilih media komunikasi yang digunakan dengan mempertimbangkan manfaatnya agar dapat berjalan dengan baik. Daftar Pustaka Ardhianita, Iis, dan Andayani, Budi. Kepuasan Pernikahan Ditinjau dari Berpacaran dan Tidak Berpacaran.Jurnal Psikologi Volume, 32 (2): 101111. Budyatna, Muhammad, dan Geniem, Mona, Leila(2011). Teori Komunikasi Antarpribadi. Jakarta: Kencana. Hamdi, Saepul, Hamdi, dan Baharuddin, E(2014). Metode Penelitian Kualitatif Aplikasi dalam Pendidikan. Yogyakarta: Deepublish. Lydon, J., Pierce, T., dan O’Regan, S(1997). Coping with Moral Commitment to Long-Distance Dating Relationships. Journal of Personality and Social Psychology, 73 (1): 104-113. McQuail, Denis (1986). Teori Komunikasi Massa: Suatu Pengantar, (edisi kedua).Jakarta: Airlangga. Severin, Werner, dan James(2008). Teori Komunikasi (Sejarah, Metode, dan Terapan di Dalam Media Massa). Jakarta: Kencana. Shantz, C.U, dan W.W. Hartup (1992). Conflict in Child Adolescence Development. New York: McGraw Hill Inc. Supratiknya, A, Dr. (1999). Komunikasi Antarpribadi. Tinjauan Psikologis, 134 International Conference of Communication, Industry, and Community. Bali, 3-4 Maret 2016 ISBN: 978-602-74139-1-7 cetakan keempat. Yogyakarta: Kanisius. Yunarinrin.2014. Aplikasi Social Media Line. Diakses pada 15 Januari 2016 padapukul 17:40) Lampiran Gambar 1: Wawancara dengan narasumber 1 Gambar 2: Wawancara denganNarasumber 2 Biografi Penulis Feby Diani Bosma dilahirkan pada tanggal 7 Januari 1996 di Padang, Sumatera Barat. Merupakan mahasiswa jurusan Ilmu Komunikasi FISIP Universitas Riau dengan konsentrasi Manajemen Komunikasi. Mendapatkan peringkat 5 pada Ujian Nasional tingkat SMK se-Kota Pekanbaru. Memiliki minat dan bakat dalam dunia design dan pernah menjadi finalis l’cheese sketchwalk competition. Saat ini menjabat sebagai bendahara umum pada Klub Montage Ilmu Komunikasi dan anggota Dinas Minat Bakat dan Kreatifitas Badan Eksekutif Mahasiswa FISIP UR periode 2015-2016. Cicilia Margarettha S dilahirkan pada tanggal 2 Maret 1995 di Bukittinggi, Sumatera Barat. Sekarang merupakan mahasiswa jurusan Ilmu Komunikasi FISIP Universitas Riau dengan konsentrasi Hubungan Masyarakat. Saat ini aktif diberbagai organisasi yang ada di FISIP Universits Riau. 135 International Conference of Communication, Industry, and Community. Bali, 3-4 Maret 2016 ISBN: 978-602-74139-1-7 KONSEP DIRI STALKER DI MEDIA SOSIAL (STUDY KASUS STALKING MANTAN KEKASIH) Vindriana Adios, Randi Saputra Ilmu Komunikasi Universitas Riau [email protected], [email protected] Abstract Social media nowdays being exits on people life, seems like a necessary to share our informations to social media and give probability to people looks our activity on cyber world. Many phenomenon coming, one of it is about stalking. Stalking is the activity to find out information about someone on social media without owner account knowing. Stalking will happend cause many factors, one of them causes a problem between stalker and someone their stalk and feel dignity to talk. It ussual happen with a couple after breakup on a relationship. This research intend to knowing self-concept of people who stalk their ex via social media with high intensity and still stalk altough make them more sick and brokenheart. This research using Reduction Uncertainty Theory with descriptive qualitative methods. The result is the Ex- girl/boyfriend stalkers on high intensity is for fullfil necesary information about someone loved, there is high curiosity about ex feelings to stalker and it happend causes loose feelings pasca breakup because changed communication patterns and decreasing intensity of communication drastically. Keyword: Stalker, Ex-girl/boyfriend, Social media Abstrak Media sosial hari ini menjadi eksis di kehidupan manusia, membagi informasi tentang diri kita ke media sosial adalah suatu kebutuhan sehingga membuka peluang kepada orang-orang untuk melihat aktifitas kita di dunia maya. Banyak fenomena yang terjadi, satu diantaranya adalah stalking. Stalking adalah aktifitas untuk mencari tau informasi tentang seseorang di media sosial tanpa pemilik akun mengetahui. Stalking dapat terjadi karena banyak faktor diantaranya karena telah terjadi konflik antara stalker dan pemilik akun dan merasa gengsi untuk berkomunikasi langsung. Hal ini kerap terjadi pada pasangan yang baru saja putus dari berpacaran. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui konsep diri dari orang orang yang stalking mantannya di media sosial dengan intensitas tinggi dan tetap stalking meski membuat mereka semakin patah hati. Penelitian ini menggunakan teori pengurangan ketidakpastian, konsep diri, dengan metode deskriptif kualitatif sehingga membuat penulis menemukan bahwa Konsep diri para stalker mantan dengan intensitas yang tinggi adalah bentuk usaha untuk memenuhi kebutuhan informasi tenang orang yang dicintainya, terdapat keingintahuan yang tinggi tentang perasaan mantan terhadap si stalker. Hal ini dipicu karena rasa kehilangan pasca putus sebab pola komunikasi berubah drastis dan berkurangnya intensitas komunikasi secara drastis. Kata Kunci: Stalker, Mantan kekasih, Media Sosial 136 International Conference of Communication, Industry, and Community. Bali, 3-4 Maret 2016 ISBN: 978-602-74139-1-7 Pendahuluan Kemajuan teknologi informasi hari ini seolah mampu menembus ruang dan waktu. Media sosial adalah salah satu produk dari kemajuan teknologi informasi yang membuat orang-orang memiliki dunia baru untuk saling berinteraksi. Media sosial memberikan pola komunikasi yang baru dan berbeda, menuntut setiap orang untuk membagi informasi tentang aktifitasnya sehari hari di dunia maya sehingga menjadi bahan untuk saling berinteraksi. Berbagai fitur yang dihadirkan, membuat masing masing sosial media memiliki karakternya masing masing. Fitur like dan komen yang selalu hadir disosial media menjadi jendela untuk saling berinteraksi. Chris Garret dalam website pribadinya Chrisg.com menyatakan bahwa media sosial adalah alat, jasa dan komunikasi yang memfasilitasi hubungan antara orang satu dengan yang lainnya serta memiliki kepentingan atau ketertarikan yang sama. Hadirnya media sosial membawa warna baru pada peradaban manusia khususnya dalam aktifitas berkomunikasi. Istilah global village menjadi semakin eksis ditengah masyarakat menandakan bahwa media sosial dianggap sebagai dimensi kedua kehidupan manusia selain dunia nyata. Dalam penelitian yang dilansir oleh CNN Indonesia bahwa remaja usia kuliah (19 - 25 tahun) hari ini menghabiskan waktunya hingga 10 jam dalam dunia maya. Hal ini menandakan bahwa dunia maya menjadi tempat untuk menghabiskan waktu bukan sekedar hiburan atau kebutuhan tersier semata. Seiring eksistensinya dan antusiasme netizen dalam menggunakannya, menghadirkan berbagai fenomena hangat dan menarik, salah satunya adalah stalking. Stalking atau menguntit adalah kegiatan mengintip kegiatan seseorang disosial media baik diketahui atau tanpa diketahui oleh orang yang memiliki akun. Sementara itu definisi stalking memiliki makna yang luas, Meloy dalam bukunya Psikologi Of Stalking mengatakan bahwa stlaking merupakan perilaku kriminal ketika seseorang memburu atau mengejar orang lain lebih dari batas kewajaran secara obsesif sehingga menjadi ancaman dan berpotensi membahayakan. Sementara itu stalking yang dimaksudkan disini adalah kegiatan sekedar membuka akun tanpa ada kegiatan membahayakan. Berbagai alasan timbul dari seorang stalker untuk melakukan aksinya. Namun pada umumnya disebabkan rasa ingin tahu oleh sipemilik akun namun ada hal yang menghalangi untuk menanyakan langsung. Banyak hal yang dapat menjadi penghalang untuk berkkomunikasi langsung, gengsi adalah salah satunya. Rasa gengsi dapat timbul dari berbagai alasan diantaranya adalah konflik yang terjadi pada si stalker dan orang yang di stalkingnya namun tetap penasaran dengan perkembangan yang terjadi tersebut. Sehingga fitur sosial media hadir untuk memenuhi kebutuhan informasi tersebut tanpa harus menanggung rasa gengsi. Sehingga kegiatan stalking mulai menjadi aktifitas yang hampir selalu dilakukan oleh pengguna sosial media. Tak terkecuali netizen yang baru saja putus cinta. Sosial media menjadi tempat untuk berinteraksi tak terkecuali berkomunikasi dengan pasangan kekasih. Seolah menjadi trend untuk update foto 137 International Conference of Communication, Industry, and Community. Bali, 3-4 Maret 2016 ISBN: 978-602-74139-1-7 dan status di sosial media bersama kekasih. Ketika suatu hubungan harus berakhir, jejak disosial media perlahan tentu harus dihapus. Pasca konflik penyebab putus membuat keduanya mengalami perubahan pola komunikasi secara drastis, serta intensitas berkomunikasi yang menurun pasca putus. Hal ini yang memicu seseorang tidak terbiasa dengan perubahan iklim komunikasi yang tercipta. Sehingga ingin tetap mendapatkan informasi seputar kekasihnya tanpa harus menanggung gengsi yakni dengan cara stalking. Namun tak jarang para stalker cendrung menyakiti dirinya pasca stalking karena informasi yang didapatkan tak sesuai harapan. Namun keingin tahuan yang besar membuat mereka tetap melakukannya seolah sebuah kepuasan untuk menyakiti dirinya sendiri. Untuk itu penulis sangat tertarik meneliti dan ingin menyelami lebih dalam tentang Konsep Diri Stalker Di Media Sosial (Study Kasus Stalking Mantan Kekasih). Tinjauan Pustaka Konsep Diri Menurut Hurlock (dalam Nia, 2011 : ) konsep diri adalah konsep seseorang dari siapa dan apa dia itu. Konsep ini merupakan bayangan cermin, ditentukan sebagian besar oleh peran dan hubungan dengan orang lain, dan apa yang kiranya reaksi orang lain terhadapnya. Konsep diri mencakup citra diri fisik dan psikologis. Citra diri fisik biasanya berkaitan dengan penampilan, sedangkan citra diri psikologis berdasarkan atas pikiran, perasaan, dan emosi. Song dan Hattie (dalam Nia, 2011 : ) mengemukakan bahwa konsep diri terdiri atas konsep diri akademis dan non akademis. Selanjutnya konsep diri non akademis dapat dibedakan menjadi konsep diri sosial dan penampilan diri. Jadi menurut Song dan Hattie, konsep diri secara umum dapat dibedakan menjadi konsep diri akademis, konsep diri sosial, dan penampilan diri. Menurut Burns (dalam Erawati, 2011 : ) konsep diri adalah suatu gambaran campuran dari apa yang kita pikirkan, orang-orang lain berpendapat mengenai diri kita, dan seperti apa diri yang kita inginkan. Menurut William D. brooks yang dikutip oleh Jalaludin Rakhmad (1985: 125) yang menyatakan konsep diri merupakan persepsi individu terhadap dirinya sendiri yang bersifat psikis dan sosial sebagai hasil interaksi dengan orang lain. Menurut (Mulyana, 2000:7) menyatakan konsep diri adalah pandangan individu mengenai siapa diri individu, dan itu bisa diperoleh lewat informasi yang diberikan lewat informasi yang diberikan orang lain pada diri individu. Sementara dalam hal ini konsep diri seorang stalker yang suka menguntit mantan kekasihnya dengan intensitas yang tinggi meski sering tersakiti dengan kepuasan informasi yang rendah. Sebab informasi yang didapat disosial media memiliki akurasi rendah akibat konsep diri seseorang disosial media dan dunia nyata sangat berbeda. 138 International Conference of Communication, Industry, and Community. Bali, 3-4 Maret 2016 ISBN: 978-602-74139-1-7 Reduction Certainty Theory Teori pengurangan ketidakpastian atau Uncertainty Reduction Theory dikemukakan oleh Charles Berger dan Richard Calabrese pada tahun 1975. Inti dari teori Pengurangan Ketidakpastian adalah untuk mengurangi ketidakpastian antara dua orang. Cara untuk mengurangi ketidakpastian adalah dengan mencari informasi melalui komunikasi dengan orang lain. Teori ini menyatakan bahwa ada dua tipe dari ketidakpastian dalam yaitu ketidakpastian kognitif dan ketidakpastian perilaku. Ketidakpastian kognitif adalah tingkatan ketidakpastian yang dihubungkan dengan keyakinan dan sikap. Ketidakpastian perilaku adalah berkenaan dengan luasnya perilaku yang dapat diprediksikan dalam situasi yang diberikan. Terdapat dua proses dalam mengurangi ketidakpastian, yaitu proaktif dan retroaktif. Pengurangan ketidakpastian proaktif terjadi ketika seseorang berpikir sebelum melakukan komunikasi dengan orang lain. Contohnya ketika seseorang yang baru putus cinta ada pergolakan dalam dirinya. Terdapat banyak ketidakpastian yang ingin dicari tahu, sehingga memilih untuk memikirkannya sendiri dan berekspektasi bahkan diam diam mencari informasi tanpa interaksi seperti stalking. Pengurangan ketidakpastian retroaktif terjadi ketika menjelaskan perilaku setelah perjumpaan. Contohnya adalah dengan menanyakan langsung dengan orang atau dalam kasus ini adalah mantan kekasihnya. Mereka menanyakannya secara langsung tanpa gengsi dan diam. Seperti berani like atau comment demi mendapatkan feedback dari mantan. Asumsi Teori Pengurangan Ketidakpastian Teori pengurangan ketidakpastian memiliki beberapa asumsi dasar yang sesuai dengan kasus stalking mantan, yaitu: 1. Orang mengalami ketidakpastian dalam latar interpesonal. Sebelum kita berinteraksi, kita memiliki berbagai harapan kepada lawan bicara kita. Pasca putus keduanya memiliki rasa ingin bertanya tanya dengan respon kekasih dan mantan kekasihnya. Terkhusus untuk pasangan kekasih yang pertama kali mengalami putus mereka akan memasuki fase baru dalam hubungan, dan bertanya tanya latar belakang mantan kekasihnya menghadapi putus cinta dan reaksinya, sehingga melakukan stalking. 2. Ketidakpastian adalah keadaan yang tidak mengenakkan, menimbulkan stress secara kognitif.Pasca putus selain mengalami kegalauan, pasangan kekasih yang sulit untuk berkomunikasi intens pra putus akan sulit untuk mendapatkan informasi akurat tentang kekasihnya, sehingga tersendatnya informasi tersebut membuat ketidakpastian semakin banyak, dan ketidakpastian itu membuat stress, sehingga dapat dikatakan kegalauan yang dialami oleh sepasang kekasih yang baru putus adalah kurangnya kepastian. 3. Kuantitas dan sifat informasi yang dibagi oleh orang lain akan berubah seiring berjalannya waktu. Diawal putus akan terjandi penurunan drastis dengan kuantitas pesan dan informasi, sifat informasi yang didapatkan dari stalking dan terima langsung akan berbeda rasanya. 139 International Conference of Communication, Industry, and Community. Bali, 3-4 Maret 2016 ISBN: 978-602-74139-1-7 Metodologi Jenis dan Pendekatan Penelitian Penelitian ini adalah penelitian deskriptif kualitatif, yaitu penelitian yang dilakukan untuk memberikan gambaran yang lebih detail mengenai suatu gejala atau fenomena dengan menggunakan pengamatan secara mendalam tentang suatu fenomena atau realita. Metode ini mempunyai prinsip objektivitas, dimana prinsip ini menganggap bahwa terdapat keteraturan atau hukum-hukum yang dapat digeneralisasikan dalam fenomena sosial. Karena itu, penelitian ini mensyaratkan bahwa penelitian harus membuat jarak dengan objek atau realitas yang diteliti (Wimmer dan Dominick, 2002:102) Berbeda dengan penelitan kuantitatif yang menekankan pada survey, penelitian kualitatif bermuara pada studi kasus. Adapun tujuan dari penelitian deskriptif (Rakhmat, 2005:25) adalah: Mengumpulkan informasi aktual secara rinci yang melukiskan gejala yang ada. Mengidentifikasikan masakah atau memeriksa kondisi dan praktek-praktek yang berlaku. Membuat perbandingan atau evaluasi. Menentukan apa yang dilakukan orang lain dalam menghadapi mesalaha yang sama dan belajar dari pengalaman mereka untuk menetapkann rencana dan keputusan pada waktu yang akan datang. Lokasi dan Jadwal Penelitian Lokasi Penelitian Lokasi penelitian dilakukan secara random di sosial media, dan mencari informan secara random. Waktu Penelitian Waktu penelitian adalah tanggal bulan dan tahun dimana kegiatan penelitian tersebut dilakukan. Untuk penelitian ini peneliti menetapkan waktu penelitian selama sebulan dari tanggal 1 Desember 2015 – 20 Januari 2016. Populasi Dan Sample Populasi Populasi adalah keseluruhan jumlah yang terdiri atas obyek atau subyek yang mempunyai karakteristik dan kualitas tertentu yang ditetapkan oleh peneliti untuk diteliti dan kemudia ditarik kesimpulannya. Populasi dalam penelitian ini adalah seluruh pengguna sosial media terutama twitter dan instagram. Sample Sampel adalah bagian dari sejumlah karakteristik yang dimiliki oleh populasi yang digunakan untuk penelitian. Bila populasi besar, peneliti tidak mungkin mengambil semua untuk penelitian misal karena keterbatasan dana, tenaga, dan waktu, maka peneliti dapat menggunakan sampel yang diambil dari 140 International Conference of Communication, Industry, and Community. Bali, 3-4 Maret 2016 ISBN: 978-602-74139-1-7 populasi itu. Apa yang dipelajari dari sampel, kesimpulannya akan dapat diberlakukan untuk populasi. Untuk itu sampel yang diambil dari populasi harus betul-betul mewakili dan harus valid, yaitu bisa mengukur sesuatu yang seharusnya diukur. Pengambilan sampel yang peneliti lakukan adalah menggunakan purposive sample, dimana penelitian sampel berdasarkan pada karakteristik tertentu yang dianggap mempunyai sangkut pautnya dengan karakteristik populasi yang sudah diketahui sebelumnya (Ruslan, 2003:157) Dalam penelitian ini peneliti akan mengambil sampel stalker mantan di twitter dan instagram saja. Jenis Dan Sumber Data Sumber data adalah subjek dari mana asal data penelitian itu diperoleh. Apabila peneliti misalnya menggunakan kuesioner atau wawancara dalam pengumpulan datanya, maka sumber data disebut responden, baik tertulis maupun lisan. Berdasarkan sumbernya, data dibagi menjadi: a. Data Primer adalah data yang dihimpun secara langsung dari sumber data pertama di lokasi penelitian (Bungin, 2005:122). Data ini masih baku dan memerlukan pengolahan lebih lanjut. Data primer merupakan data yang biasanya diperoleh dari responden melalui kuisioner, kelompok fokus dan panel, atau juga data hasil wawancara peneliti dengan narasumber. Dalam penelitian ini data primer adalah data informasi yang diambil langsung dari hasil wawancara kepada stalker mantan sosial media twitter dan instagram di pekanbaru. b. Data sekunder adalah data pendukung penulis yang didapat dari bacaan-bacaan atau laporan-laporan peneliti terdahulu biasanya berupa arsip kepustakaan. Data sekunder ini disebut juga data tersedia. Dalam penelitian ini berupa data-data referensi dari pustaka dan buku pendukung lainnya. Teknik Pengumpulan Data a. Wawancara Menurut nazir (dalam Bungin, 2005:126) wawancara atau interview adalah sebuah proses memperoleh keterangan untuk tujuan penelitian dengan cara tanya jawab sambil bertatap muka antara pewawancara dengan responden atau orang yang diwawancarai, dengan atau tanpa menggunakan pedoman wawancara. Wawancara juga merupkan salah satu instrumen yang digunkaan untuk menggali data secara lisan. Hal ini harus dilakukan secara mendalam agar kita mendapatkan data yang valid dan detail. Teknik wawancara digunakan untuk mewawancarai para gepeng, guna memperoleh informasi apakah mereka mempunyai akun instagram, twitter dan path atau tidak. Sehingga peneliti bisa 141 International Conference of Communication, Industry, and Community. Bali, 3-4 Maret 2016 ISBN: 978-602-74139-1-7 memilih mana siswi yang bisa dijadikan sampel dan mana yang tidak. b. Dokumentasi Merupakan upaya menggali data-data yang berhubungan dengan penelitian yang berasal dari surat kabar, buku-buku, majalah, artikel, brosur, atau wacana pada internet dan lain-lain. Setiap data diperoleh dikumpulkan dan digunakan sebagai bahan penunjang di dalam penelitian. Hasil Temuan dan Diskusi Dari hasil penelitian yang dilakukan oleh penulis melalui wawancara secara mendalam dan observasi langsung. Hal yang ditemukan adalah terjadi perbedaan significant antara stalker lelaki dan stalker perempuan. Hal ini terjadi karena konsep mencintai bagi stalker dan lawan jenis berbeda. Begitu pula dengan efek patah hati serta media sosial yang mereka sukai. Para stalker yang berjenis kelamin pria cendrung lebih suka melakukan stalking dengan sosial media, mereka merasa lebih dipuaskan dengan informasi secara visual dalam hal ini gambar. Mereka menganngap pasca putus foto di instagram dapat menunjukkan bagaimana keadaan terkini mantan kekasih mereka. Salah satu informan pria kami FM, mahasiswa 23 tahun mengatakan bahwa baginya meski instagram sangat rentan ketahuan stalking dengan fitur tap dua kali sama dengan love, baginya itu tidak masalah. “Ya kalau buat aku, instagram itu bikin kita nemuin kondisi real mantan kita, apakah dia baik-baik aja. Dan bikin lebih lega...” Bagi FM, stalking mantan kekasih adalah untuk kepuasan informasi pribadinya, sekaligus melepas rindu akibat komunikasi yang tersendat pasca putus. Ia pun menjelaskan memberikan like atau comment langsung lebih kepada kepuasan pribadinya untuk menjalin komunikasi, kalaupun tidak mendapat feedback dari sang mantan tidak masalah. Terpenting baginya isi hatinya tersampaikan dan postingan foto diinstagram cukup menjelaskan keadaan mantannya. “..Kalau aku stalking emang karena lagi kangen, dan kasih like atau comment biasanya dengan sengaja. Kalaupun gak dibales ya gapapa, buat aku sih yang penting isi hatiku tercurahkan hehe..” Lalu ia mengungkapkan bahwa stalking mantan biasanya sering dilakukan 1 minggu pasca putus karena 1 hari putus masih memiliki konflik dan cendrung menghindar. “... Baru putus banget ya males lah stalking, kan masih marahan atau masih ada konflik. Jadi butuh jeda waktu, kalau 1 minggu atau 1 bulan pasti di stalking, apalagi gak kontakan. Kangen soalnya, dan kepo juga hehe..”\ 142 International Conference of Communication, Industry, and Community. Bali, 3-4 Maret 2016 ISBN: 978-602-74139-1-7 FM mengaku frekuensi stalking mantan sesuai personal mantannya dan kesan yang ditinggalkan. Semakin mengesankan seorang mantan, maka akan semakin sering di stalking. FM mengaku sempat sehar 12 kali stalking mantannya. “... Mantan pernah hapus semua kontak, untuk gak diblokir, jadinya masih suka stalking. Akhirnya seminggu full liatin akun dia aja. Meski dikunci, akhirnya inget deh ada email dan hubungin doi via email, jayus baget yak.. Sementara itu berbeda dengan informan wanita kami ED seorang mahasiswi 20 tahun. ED mengaku lebih suka stalking mantan dengan menggunakan sosial media twitter. Baginya twitter dapat memberikan informasi secara akurat tentang apa yang sedang dirasakan sang mantan. ED mengaku lebih minati twitter karena informasi secara aksara tersebut mampu menunjukkan informasi akurat karena tertuliskan perasaannya. Sementara instagram hanya memberikan gambar yang ambigu. “..Kalau twitterkan kata kata tuh, jadi informasinya lebih akurat, tau dia lagi mention mentionan sama siapa, apa yang dia retweet pasti dia banget, kalo ig kan gambar dan masih ambigu infonya” ED mengatakan bahwa instagram rentan like dan baginya ketahuan stalkin adalah hal yan memalukan sehingga twitter lebih dirasa nyaman sebagai media untuk stalking. “... Ih ig ituh double tapnya sensi banget, ketauan kan gengsi, lagian kalo twitterkan susah kalo mau retweet atau apa juga tombolnya gak langsung, expand dulu, jadi twitter banget banget deh buat stalk” ED menyatakan pernah stalk mantan sambil nangis dan tetep mau stalk lagi karena kepo. Hal itu terjadi karena gengsi menanyakan langsung seputar kedekatan mantan dan gadis di foto yang ada diinstagram akun mantannya. Padahal ternyata itu sepupu si mantan yang dia gak pernah ketemu sebelumnya. “... Iyah lagian ig ituh ambigu parah, aku pernah nangis gara gara ngeliat foto mantan sama cewek, kaya iya banget pacarnya. Lebih cantik lagi eeeeh.. ternyata bukan, itu sepupunya. Sempat ketauan salah kan gengsi parah” ED mengaku melakukan stalking 22 jam nonstop di time line twitter mantannya karena hari itu mantan rajin sekali update dan terfokus pada itu saja, hal ini menunjukkan media twitter yang update secara cepat membuat penggunanya terfokus pada informasinya terutama bagi stalker “... Hari itu dia banyak update karna dia ulang tahung, jadi ada foto sureprice juga, 22 jam nonstop gamau ketinggalan timeline, tiap yang dia retweet aku stalking. Apalagi kalau cewek. “ 143 International Conference of Communication, Industry, and Community. Bali, 3-4 Maret 2016 ISBN: 978-602-74139-1-7 Sehingga dapat dijelaskan bahwa masing masing konsep diri stalker, dipengaruhi oleh latar belakang sang stalker. Perbedaan gender ternyata mempengaruhi cara pandang seseorang dalam melakukan stalking termasuk dalam pemilihan media sosial yang digunakan untuk stalking. Simpulan Kesimpulan yang dapat diambil dari penelitian ini adalah: 1. Perubahan pola komunikasi dan intensitas berkomunikasi antara stalker dan mantannya menjadi pemicu umum dan utama seseorang melakukan stalking 2. Pemilihan media, motifasi, dan cara mereka melakukan stalking ternyata dapat dibedakan oleh perbedaan gender. 3. Stalking mantan dengan intensitas tinggi dikarenakan banyaknya ketidakpastian yang tidak terjawab akibat putusnya komunikasi interpersonal dan gengsi untuk menjalin kembali pasca putus. 4. Stalking disosial media cendrung kurang akurat karena konsep diri seseorang didunia maya dan dunia nyata cendrung berbeda. Daftar Pustaka \ Littlejohn, Stephen W & Karen A. Foss. 2011. Teori Komunikasi; Theories of Human Communication. Jakarta : Salemba Humanika. West, Richard & Turner, Lynn H. 2012. PengantarTeoriKomunikasi :Analisisdan Aplikasi; Jakarta : SalembaHumanik Meloy, J R. 1998. Psikology of Stalking: Clinical and forensik perspektif. CA: Akademic press Kriyantono, Rahkmad. 2008. Teknuk Praktis Riset Komunikasi.Jakarta : Kencana https://chrisg.com diakses pada tanggal 11 januari 2016 pukul 23:47 Biografi Penulis Azhar Saputra; lahir di Dumai 12 April 1993. Saat ini sedang menjalani studi S1 jurusan ilmu komunikasi FISIP Universitas Riau. saat ini sedang menjabat sebagai Direktur Utama Sigma Entertainment, pernah meraih juara 2 pada ajang duta fisip 2013. Vindriana Adios; dilahirkan di Payakumbuah 13 Maret 1995. Saat ini sedang menjalani studi s1 jurusan ilmu komunikasi FISIP Universitas Riau. Pernah menjadi finalis Mawapres 2015 Universitas Riau, menjuarai debat bahasa antar mahasiswa se Universitas Riau tahun 2014 dan mengikuti travelling and teaching 1000 guru regional Riau. 144 International Conference of Communication, Industry, and Community. Bali, 3-4 Maret 2016 ISBN: 978-602-74139-1-7 TINGKAT LITERASI MEDIA INTERNET MAHASISWA KONSENTRASI ILMU KOMUNIKASI DAN MEDIA PASCASARJANA ILMU KOMUNIKASI FISIPOL UGM Clara Novita Anggraini Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Gajah Mada [email protected] Abstract The development of information and communication technology continues to evolve without being able to avoid. Positive impact is always followed by a negative impact of human hegemony, cause dependence and various new diseases in the information age. One way to cope is media literacy. Unfortunately the Indonesian people's knowledge about media literacy has not been adequate. Students, as an iron stock and agent of change in the nation's is required to have the ability of media literacy. This study aims to determine the level of internet media literacy Student of Communication sciences and Media Studies Graduate Program in Communication Sciences UGM, they are actively using the Internet as well as studying the development of information and communication technology in daily lectures. Using quantitative descriptive research type, survey methods with descriptive survey, this study resulted in that the level of internet media literacy students are at medium levels, with the acquisition of diverse skill levels in each category. Thus, the thesis that the higher the level of education a person it will be the literate is failed because of the results of this study. As Potter (2001) said, media literacy can not just arise, but must be nurtured from an early age. Therefore, considering the media literacy education in particular become urgent, to face the challenges of globalization so that Indonesian people do not continue to be swayed by the flow of information. Keywords: the level of media literacy, internet, communication science graduate student Abstrak Perkembangan teknologi komunikasi dan informasi terus berkembang tanpa bisa kita hindari. Dampak positifnya selalu diikuti oleh dampak negatif yang menghegemoni manusia, menyebabkan ketergantungan dan berbagai penyakit baru di era informasi. Salah satu cara untuk mengatasinya adalah literasi media. Sayangnya pengetahuan masyarakat Indonesia mengenai literasi media belum memadai. Mahasiswa, sebagai agen perubahan calon penerus bangsa wajib memiliki kemampuan literasi media. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui tingkat literasi media internet Mahasiswa Konsentrasi Ilmu Komunikasi dan Media Program Pascasarjana Ilmu Komunikasi UGM, mereka yang aktif menggunakan internet serta mengkaji perkembangan teknologi komunikasi dan informasi dalam perkuliahan 145 International Conference of Communication, Industry, and Community. Bali, 3-4 Maret 2016 ISBN: 978-602-74139-1-7 sehari-hari. Menggunakan tipe penelitian deskriptif kuantitatif dengan metode survey dan jenis survey deskriptif, penelitian ini menghasilkan bahwa tingkat literasi media internet mahasiswa berada pada level sedang, dengan perolehan yang beragam pada setiap kategori keterampilan. Dengan demikian, thesis bahwa semakin tinggi tingkat pendidikan seseorang maka akan semakin literat menjadi gagal karena hasil penelitian ini. Seperti yang dikatakan Potter (2001), literasi media tidak bisa muncul begitu saja, melainkan harus dipupuk sejak dini. Oleh karena itu, mempertimbangkan pendidikan literasi media secara khusus menjadi urgent, untuk menghadapi tantangan globalisasi agar masyarakat Indonesia tidak terus terombangambing oleh arus informasi. Kata Kunci: tingkat literasi media, internet, mahasiswa pascasarjana ilmu komunikasi Pendahuluan Nomophobia adalah jenis phobia yang ditandai ketakutan berlebihan jika seseorang kehilangan ponselnya (Mayasari, 2014). Sebuah studi yang dilakukan perusahaan pengesahan keamanan, SecurEnvoy, menyatakan bahwa nomophobia telah menjadi penyakit yang umum di zaman sekarang. Sebanyak 66 persen dari objek penelitian terbukti mengidap penyakit ini (Nomophobia, Kelainan Psikologis Akibat Ketergantungan terhadap Ponsel, 2014). Perkembangan teknologi komunikasi dan informasi terus berkembang tanpa bisa dihindari. Dampaknya bagai dua sisi mata uang. Positif dengan semua kebermanfaatannya dalam kehidupan manusia, negatif jika kecanggihan teknologi dan informasi ini berbalik mengendalikan manusia itu sendiri, seperti fenomena no moblie phone phobia ini. Dalam menghadapi pemilu 2014, kekhawatiran akan meningkatnya golongan putih dari kalangan pemilih muda disebabkan oleh belum mampunya pemerintah dan elemen partai politik memberikan pendidikan politik yang bermakna. Yang sering muncul malah manuver, saling intrik, dan kasus-kasus kriminal dalam politik diberbagai media massa yang notabene dimiliki para pemain politik itu sendiri. Hal ini menyebabkan masyarakat menjadi apatis terhadap politik, kalangan muda malah semakin takut dan menjauh dari politik (www.rockthevoteindonesia.org). Di internet, dengan karakter tanpa batasan ruang dan waktu, terpaan serupa dapat muncul setiap waktu. Padahal pemilu adalah moment penentu nasib masa depan sebuah bangsa. Demikian besarnya dampak terpaan kekaburan informasi melalui berbagai teknologi komunikasi. Sementara itu, anak-anak dan remaja dinilai secara psikologis belum memiliki kematangan memadai (Herlina, 2011). Akibat beredarnya video mesum ”Ariel”, berita8.com memberitakan Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) mencatat 40 anak jadi korban perkosaan. Selain menjadikan anak korban, materi pornografi juga berdampak buruk bagi perkembangan anak yang mengonsumsinya seperti kecanduan, mengganggu tumbuh kembang, dan membuat anak ingin meniru adegan porno. Dampak materi pornografi, lebih 146 International Conference of Communication, Industry, and Community. Bali, 3-4 Maret 2016 ISBN: 978-602-74139-1-7 berbahaya daripada narkoba (Selasa, 06 Juli 2010). Konten kekerasan media mempunyai peran krusial dalam pertumbuhan kesehatan anak-anak dan remaja. Sebuah hasil penelitian di Yogyakarta menunjukkan pentingnya pendidikan literasi media untuk anak oleh orang tua: “They (muslim families) realized that parental regulation of media consumption at home was more important and effective, because media consumption is based on individual needs and beliefs” (Rahayu, 2013). Tetapi sayangnya masih banyak orang dewasa yang diharapkan dapat mengedukasi dan melindungi anak serta remaja dari dampak buruk media massa belum memiliki pengetahuan yang memadai, baik tentang dampak yang ditimbulkan maupun cara mengatasinya. Menurut Wiratmo, perbedaan latar belakang publik pengakses media membedakan kemampuannya memilih dan memahami berbagai konten yang ditawarkan (Wiratmo, 2011, hal. 44). Oleh karena itu pendidikan literasi media bagi semua orang sangat penting. Bahkan para akademisi memunculkan beragam pemikiran tentang literasi media. Mereka menegaskan bahwa literasi media seharusnva diperlakukan sebagai isu kebijakan publik, isu budaya kritikal, seperangkat alat pedagogis untuk guru sekolah dasar, saran untuk orang tua atau sebuah topik kajian ilmiah (Rahardjo, 2012), mengingat dampak negatif media massa yang semakin tidak terbendung. Sebagai agen penerus bangsa dan kaum terdidik, mahasiswa harusnya mampu memahami, menganalisis, dan mengkritisi efek negatif perkembangan teknologi komunikasi dan informasi. Sayangnya malah banyak mahasiswa yang ikut terhegemoni. Kebergantungan pada gadget mengakibatkan penyalahgunaan. Misalnya, mereka menggunakan tabletnya untuk bermain game saat proses kuliah berlangsung (http://news.liputan6.com). Hasil pengamatan Mazdalifah (2011, hal. 74) ternyata belum banyak mahasiswa Ilmu Komunikasi FISIP USU yang memahami apa sebenarnya literasi media. Potter (dalam Tim peneliti PKMBP, 2013, hal. 16) mengatakan bahwa literasi media diperlukan ditengah kejenuhan informasi, tingginya terpaan media, dan berbagai permasalahan dalam informasi tersebut yang mengepung kehidupan kita sehari-hari. Semakin media literate seseorang, maka semakin mampu orang tersebut melihat batas antara dunia nyata dengan dunia yang dikonstruksi oleh media. Oleh karena itu, mahasiswa sebagai generasi muda penerus tampuk kepemimpinan, wajib menguasai literasi media. Kirsh (2012, hal. 295) mengkritik penelitian literasi media selama ini dalam tiga hal. Pertama, banyak studi pembuktian timbulnya perilaku agresif akibat terpaan kekerasan content media massa belum mengukur agresifitas itu sendiri. Kedua, efektifitas jangka panjang dari penelitian yang mendokumentasikan berbagai gerakan literasi media belum pernah dilakukan. Ketiga, kebanyakan penelitian berfokus pada televisi, belum pada media massa lainnya. Di Indonesia sendiri penelitian literasi media sejatinya sudah mulai banyak dilakukan, meskipun belum menjamur. Seperti yang dilakukan oleh (Rahayu, 2013) dalam “Muslim Families Mediating Childrens Television and Internet Use in Indonesia”. Hasil penelitian ini menjabarkan parental mediation, pendidikan literasi mediayang dilakukan oleh keluarga muslim sebagai entitas terbesar di Indonesia. Berfokus pada peran ibu, penelitian Rahayu menghasilkan 147 International Conference of Communication, Industry, and Community. Bali, 3-4 Maret 2016 ISBN: 978-602-74139-1-7 tiga point, yaitu media use and control in the muslim, role of muslim mother in parental mediation of children’s media use,dan the influence of religious beliefs. Kemudian Manuhoro (2012), dalam ”Memahami Pengalaman Literasi Media Guru PAUD”, studi kasus pada Gugus Matahari Kecamatan Bandungan, Kabupaten Semarang, memotret pendidikan literasi media bagi anak usia dini, menunjukkan bahwa pengetahuan guru tentang media massa yang didapat secara natural merupakan lokus personal yang relevan dengan pengandaian khalayak aktif. Meski struktur pengetahuan dan skill tidak lengkap, namun dari lokus personal guru dapat dikembangkan sebuah bangunan pemberdayaan literasi media dengan melibatkan guru, orang tua dan lingkungannya dapat memperkaya metode pendidikan literasi media bagi anak usia dini. Hasil penelitian ini hampir serupa dengan yang dilakukan oleh Binark & Bek (2007, hal. 757) di Turki. Penelitian ini menunjukkan bahwa para guru belum pernah diberikan pelatihan khusus mengenal media literasi, meskipun sudah menerapkan pendidikan media literasi. Banyak negara seperti Turki, Inggris, Kanada, Australia, dan Jepang sudah memasukkan literasi media kedalam kurikulum sekolah, sehingga banyak studi yang berfokus pada literasi media di sekolah. Walaupun belum menjadi kurikulum, mulai banyak sekolah swasta dan berbagai gerakan atau program literasi media bermunculan di Indonesia. Dalam penelitiannya ”Literasi Media Berbasis Komunitas”, Wiratmo (2011, hal. 63) menemukan bahwa beberapa komunitas yang menjadi objek penelitian termasuk salah satunya komunitas mahasiswa belum media literat. Begitu juga dengan penelitian yang dilakukan oleh Arif (2013, hal. 20) kepada mahasiswa Fakultas Dakwah dan Ilmu Komunikasi IAIN Sunan Ampel Surabaya menghasilkan bahwa tingkat literasi media mahasiswa tergolong medium, dengan tingkat kekritisan yang masih rendah. Selanjutnya, penelitian yang dilakukan oleh Mazdalifah (2011, hal. 76) mengenai ”Mengembangkan Literasi Media di Perguruan Tinggi” menunjukkan hasil ketertarikan mahasiswa Ilmu Komunikasi FISIP USU akan kajian dan penerapan kurikulum literasi media dalam pembelajaran, masih jauh untuk sampai pada pengukuran tingkat literasi media mahasiswa. Mengingat masih kurangnya penelitian yang mengukur efektivitas atau tingkat literasi media, penelitian ini akan melengkapi dengan mengukur tingkat literasi media mahasiswa dengan jenjang yang lebih tinggi, yaitu mahasiswa Konsentrasi Ilmu Komunikasi dan Media Program Pascasarjana Ilmu Komunikasi UGM dan berfokus pada penggunaan media internet, dimana seluruh mahasiswa yang menjadi objek penelitian ini memiliki perangkat untuk mengakses internet. Perumusan masalah dalam penelitian ini adalah bagaimana tingkat literasi media internet mahasiswa Konsentrasi Ilmu Komunikasi dan Media Program Pascasarjana Ilmu Komunikasi UGM? Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui konsumsi internet, pemahaman literasi media, dan tingkat literasi media internet mahasiswa Konsentrasi Ilmu Komunikasi dan Media Program Pascasarjana Ilmu Komunikasi UGM. 148 International Conference of Communication, Industry, and Community. Bali, 3-4 Maret 2016 ISBN: 978-602-74139-1-7 Tinjauan Pustaka Menurut Potter (2001), literasi media adalah sebuah perspektif yang secara aktif kita pakai ketika menerpa diri dengan media massa untuk menginterpretasikan makna pesan yang kita hadapi. Kita membangun perspektif kita dari struktur pengetahuan. Untuk membangun struktur pengetahuan kita, kita butuh alat dan bahan baku. Bahan baku adalah informasi dari media dan dari dunia nyata. Penggunaan aktif berarti bahwa kita memperhatikan pesan dan berinteraksi secara sadar dengan pesan-pesan itu (2001:4). Secara sederhana tim peneliti PKMBP merangkum 7 skill yang dibutuhkan untuk meraih kesadaran ktritis bermedia melalui literasi media oleh Potter, yaitu analisis, evaluasi, pengelompokkan, induksi, deduksi, sintesis, dan abstraksi. Kemampuan analisis menuntut kita untuk mengurai pesan ke dalam elemen-elemen yang berarti. Evaluasi adalah membuat penilaian atas makna elemen-elemen tersebut. Pengelompokan atau grouping adalah menentukan elemen-elemen yang memiliki kemiripanan elemen-elemen yang berbeda untuk dikelompokkan ke dalam kategori-kategori yang berbeda. Induksi adalah mengambil kesimpulan atas pengelompokkan diatas kemudian melakukan generalisasi atas pola-pola elemen tersebut ke dalam pesan yang lebih besar. Deduksi menggunakan prinsip-prinsip umum untuk menjelaskan sesuatu yang spesifik. Sintesis adalah mengumpulkan elemen-elemen tersebut menjadi satu struktur baru. Abstraksi adalah menciptakan deskripsi yang singkat, jelas, akurat untuk menggambarkan esensi pesan secara lebih singkat dari pesan aslinya (2013:9). Hasil penelitian Ioana Literat (2014) menunjukkan bahwa secara khusus orang-orang yang mengkonsumsi dan memproduksi informasi di media baru secara ekstensif mempunyai literasi media baru yang tinggi. Para mahasiswa yang menjadi objek penelitian ini merupakan pengakses aktif internet berkaitan dengan masa aktif dan bidang ilmu yang sedang digeluti saat ini.Dengan keaktifan mengakses ini, idealnya para mahasiswa ini literat terhadap media internet. Sosiawan (2011:1) dalam kajian “Internet Sebagai Media Komunikasi Interpersonal Dan Massa” menunjukkan bahwa internet memiliki tiga fasilitas utama yang digunakan dalam berkomunikasi, yaitu electronic mail (e-mail), web site, dan relay chatt (chatting). Mengenai waktu penggunaan internet yang sangat berpengaruh terhadap tingkat literasi media internet mahasiswa, SWA-Mark Plus & Co (dalam Rachdianti, 2011:16) merumuskan temuannya pada 1.100 orang pengguna internet, menggolongkan tipe-tipe pengguna internet berdasarkan lama waktu yang digunakan: pengguna berat (heavy users) adalah individu yang menggunakan internet selama lebih dari 40 jam per bulan, pengguna sedang (medium users) adalah individu yang menggunakan internet 10-40 jam per bulan, dan pengguna ringan (light users), yaitu individu yang menggunakan internet tidak lebih dari 10 jam per bulan. 149 International Conference of Communication, Industry, and Community. Bali, 3-4 Maret 2016 ISBN: 978-602-74139-1-7 Metodologi Tipe penelitian ini adalah deskriptif kuantitatif dan metode penelitian adalah metode survei. Pemilihan metode ini didasarkan atas penggunaan kuesioner sebagai instrumen pengumpulan data, untuk memperoleh data tingkat literasi media mahasiswa Konsentrasi Ilmu Komunikasi dan Media Program Pascasarjana Ilmu Komunikasi UGM. Jenis survei yang digunakan adalah survei deskriptif. Populasi dalam penelitian ini adalah mahasiswa Konsentrasi Ilmu Komunikasi dan Media Program Pascasarjana Ilmu Komunikasi UGM angkatan genap 2013-2014 yang berjumlah 15 orang. Para mahasiswa ini telah mempelajari media dan perkembangan teknologi komunikasi informasi beserta dampaknya secara khusus. Bidang keilmuan ini menyebabkan mereka wajib memiliki dan berinteraksi dengan teknologi komunikasi informasi internet. Sampel penelitian ini mengambil keseluruhan jumlah populasi yaitu 15 orang. Mereka adalah para mahasiswa yang masih aktif menjalani perkuliahan, berada di semester pertama, sehingga kesehariannya sangat dekat dengan pengkajian dan penggunaan internet. Teknik sampling yang digunakan adalah sensus atau total sampling, yaitu sebuah riset survei dimana periset mengambil seluruh anggota populasi sebagai responden (Kriyantono, 2008, hal. 159). Pengumpulan data penelitian ini dilakukan menggunakan kuesioner, daftar pertanyaan yang harus diisi oleh responden. Kuesioner yang digunakan adalah jenis angket tertutup dimana responden tinggal memilih jawaban yang telah disediakan peneliti. Kemudian dilengkapi dengan angket terbuka, dimana responden mempunyai kebebasan untuk menjawab tanpa adanya alternatif jawaban yang diberikan periset (Ibid, hal. 95-96), agar data yang diperoleh peneliti lebih komprehensif. Uji reliabilitas dalam penelitian ini menggunakan teknik reliabilitas Tes Uraian. Untuk menghitung reliabilitas tes bentuk uraian dapat dilakukan dengan menggunakan rumus Cronbach-Alpha, setelah melalui pengujian, di dapat nilai reliabilitas adalah 0.937: Cronbach's Alpha N of Items .937 50 Tabel 1. Reliability Statistics Sedangkan uji validitas yang dilakukan dalam penelitian ini adalah validitas konstruksi. Validitas ini mencakup hubungan antara instrumen penelitian dengan kerangka teori untuk meyakinkan bahwa pengukuran secara logis berkaitan dengan konsep-konsep dalam kerangka teori (Ibid, hal. 148). Peneliti mendefinisikan secara operasional konsep yang dapat diukur melalui studi literatur. Yaitu teori literasi media oleh Potter (2001) yang diurai dengan jelas kerangka-kerangkanya. Data yang dikumpulkan adalah data primer, yaitu data yang dikumpulkan langsung oleh peneliti kepada responden melalui kuesioner. Teknik analisis data adalah analisis data deskriptif dengan 150 International Conference of Communication, Industry, and Community. Bali, 3-4 Maret 2016 ISBN: 978-602-74139-1-7 memanfaatkan software SPSS (Bungin, 2011, hal. 258). Dengan jenis analisis univariat, yaitu analisis terhadap satu variabel, jenis yang digunakan pada riset deskripstif dan menggunakan statistik deskriptif (Ibid, hal. 166). Berikut operasionalisasi konsep literasi media internet mahasiswa Konsentrasi Ilmu Komunikasi dan Media Program Pascasarjana Ilmu Komunikasi UGM angkatan genap 2013-2014: Variable Indikator Skala Instrumen pengukuran Pengukuran Tingkat literasi Konsumsi media Skala nominal Kuesioner media internet internet dan skala mahasiswa interval Menganalisa Skala interval Kuesioner Mengevaluasi Skala interval Kuesioner Pengelom pokkan Skala interval Kuesioner Induksi Skala interval Kuesioner Deduksi Skala interval Kuesioner Sintesis Skala interval Kuesioner Abstraksi Skala interval Kuesioner Tabel 2 Operasionalisasi Konsep Literasi Media Internet Mahasiswa Konsentrasi Ilmu Komunikasi dan Media Program Pascasarjana Ilmu Komunikasi UGM Angkatan Genap 2013-2014 Hasil Temuan Dan Diskusi Beberapa temuan dalam penelitian ini adalah: A. Jumlah waktu penggunaan internet dalam satu hari oleh mahasiswa lebih tinggi (126,8 jam) dibandingkan dengan konsumsi media massa lainnya (televisi (16,25 jam), buku/majalah (19,4 jam), games (29,8 jam)). Gambar 1: Konsumsi Media Massa Mahasiswa jumlah waktu konsumsi media massa 15 mahasiswa (dalam jam) 29.8 internet televisi 19.4 16.25 126.8 media cetak games Akan tetapi pada fungsinya lebih banyak digunakan mahasiswa untuk belajar/bekerja (52,5 jam). Data selanjutnya menunjukan bahwa rata-rata 151 International Conference of Communication, Industry, and Community. Bali, 3-4 Maret 2016 ISBN: 978-602-74139-1-7 waktu penggunaan internet adalah untuk: belajar/bekerja 3,5 jam/hari; mengisi waktu luang 2,6 jam/hari; dan mencari hiburan 2,3 jam/hari. SWAMark Plus & Co (Rachdianti, 2011) menggolongkan tipe-tipe pengguna internet berdasarkan lama waktu yang digunakan: pengguna berat (≥ 81 menit/hari); pengguna sedang (21-80 menit/hari); dan pengguna ringan (≤ 20 menit/hari). Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa para mahasiswa Pascasarjana merupakan pengguna berat internet. Gambar 2: Konsumsi Internet Mahasiswa konsumsi internet mahasiswa (dalam jam) belajar/beke rja 35.06667 52.5 mengisi waktu hiburan 39.23333 B. Setengah dari jumlah keseluruhan mahasiswa menyatakan cukup familiar dengan istilah literasi media. Tetapi dalam pemahamannya masing-masing, peneliti menilai pemahaman ini belum utuh. 27% mahasiswa tidak dapat menjelaskan definisi media. Beberapa jawaban abstrak seperti agar tidak dibodohi media (7%) dan pendidikan bermedia (13%). Selebihnya (53%) menjawab beberapa keterampilan literasi media seperti: menganalisa (6%); memahami media (7%); menganalisa dan mengevaluasi (13%); mengakses media (13%); mengakses, memahami, dan mengevaluasi (7%); dan menyaring informasi (7%). Merujuk pada definisi literasi media milik Potter (2001), literasi media adalah sebuah perspektif yang secara aktif kita pakai ketika menerpa diri dengan media massa untuk menginterpretasikan makna pesan yang kita hadapi. Perspektif ini muncul melalui keterampilan analisis, evaluasi, pengelompokkan, induksi, deduksi, sintesis, dan abstraksi. Sehingga 53% jawaban mahasiswa yang berupa beberapa keterampilan ini tidak bisa dianggap salah. Sebagaimana juga definisi menurut National Association for Literasi media Education, literasi media merupakan kemampuan mengakses, menganalisis, mengevaluasi, dan mengkomunikasikan informasi dalam berbagai bentuk (Tim peneliti PKMBP, 2013, p. 18). Kedua jawaban abstrak yang muncul belum cukup untuk dibenarkan sebagai pemahaman literasi media. Pendidikan bermedia dan agar tidak dibodohi media adalah tujuan/peran literasi media itu sendiri. Dengan literat kita dapat memfilter diri dari pengaruh negatif media (Wiratmo, 2011, hal. 44), oleh karena itu pendidikan literasi media menjadi urgent. 152 International Conference of Communication, Industry, and Community. Bali, 3-4 Maret 2016 ISBN: 978-602-74139-1-7 Gambar 3: Pemahaman Literasi Media Mahasiswa C. Tingkat Literasi Media Internet Gambar 4: Rata-Rata Keterampilan Literasi Media Mahasiswa Analisis Dari skala 1-5, rata-rata kemampuan menganalisis mahasiswa yang peneliti turunkan dalam: mencari kebenaran di internet tentang isu yang beredar di lingkungan sekitar; merumuskan elemen perbedaan informasi dari berbagai situs; menyimpulkan elemen terpenting dari perbedaan tersebut; mengabaikan informasi yang tidak dibutuhkan saat browsing; memperhatikan frekuensi kemunculan sebuah informasi dalam sebuah situs, berturut-turut adalah adalah 3,2; 3; 3,4; 3,8; 2,8. Data menunjukkan bahwa kurva tertinggi cenderung ke arah angka 5 (selalu melakukan analisis, tingkat literasi tinggi), meskipun kebanyakan frekuensi tertinggi berada pada angka 3 (kadang-kadang menganalisis, tingkat literasi sedang) dan 4 (sering melakukan, tingkat literasi tinggi). Kecuali pada 153 International Conference of Communication, Industry, and Community. Bali, 3-4 Maret 2016 ISBN: 978-602-74139-1-7 keterampilan analisis “mengabaikan informasi yang tidak dibutuhkan saat browsing”, 6 dari 15 orang berada di angka 4, 5 orang berada di angka 5. Gambar 5: Salah Satu Kurva Kategori Analisis Dengan demikian, terutama merujuk pada angka rata-rata, dapat disimpulkan bahwa kemampuan analisis mahasiswa Pascasarjana berada pada level sedang. 1. Evaluasi Hasil temuan menunjukkan masing-masing rata-rata keterampilan evaluasi oleh mahasiswa: membandingkan frekuensi kemunculan pesan dengan realitas kekinian (2,7); memeriksa kebenaran statement pakar dalam informasi (3,1); memikirkan sebab dieksposenya sebuah informasi di dalam situs (3); memikirkan fungsi informasi di luar kebutuhan pribadi (2,8); memperhatikan pengemasan/struktur bahasa/konten informasi (3,6); menghubungkan pengemasan pesan dengan target audiens media (3,2); memperhatikan etika pemuatan informasi (3,1); menentukan nilai moral dalam sebuah informasi (3,1). Meskipun angka rata-rata dominan berkisar pada angka 3 (tingkat literasi sedang), standar deviasi kategori ini lebih luas, berkisar antara 0,8-1,25. Sehingga didapati seringkali frekuensi tertinggi berada pada angka 4, tetapi letak puncak kurva berkisar di angka 3 dan menuju angka 4. Maka dapat disimpulkan bahwa tingkat lietrasi media mahasiswa Pascasarjana dalam kategori evaluasi adalah sedang cenderung tinggi. 2. Pengelompokkan Nilai rata-rata keterampilan pengelompokkan mahasiswa adalah: mencari informasi yang sama pada situs lain (3,5); mencari persamaan dan perbedaan informasi dari berbagai situs (3,2); menganalisa perbedaaanperbedaan yang didapatkan untuk memilih yang terpenting (3,1); membandingkan perbedaan terpenting tersebut dengan realitas saat ini (3,1); membandingkan perbedaan terpenting dengan realitas masa lampau (2,8); membandingkan perbedaan terpenting berbagai situs dengan kepemilikan media (3,3); membandingkan frekuensi kemunculan 154 International Conference of Communication, Industry, and Community. Bali, 3-4 Maret 2016 ISBN: 978-602-74139-1-7 3. 4. 5. 6. informasi yang sama di situs lain (2,6); memikirkan tujuan pengemasan pesan dengan kepentingan pemilik media (3,1); memikirkan sedikitnya dua penyebab kejadian dalam informasi (2,8). Sama dengan keterampilan analisis, kurva keterampilan pengelompokkan cenderung menuju angka 5 (tingkat literasi tinggi), meskipun frekuensi tertinggi masing-masing berada pada angka 3 (tingkat literasi media sedang) dan 4 (tingkat literasi media tinggi). Sehingga didapatkan kesimpulan bahwa pada keterampilan pengelompokkan, tingkat literasi mahasiswa Pascasarjana dapat dikatakan sedang cenderung tinggi. Deduksi Dalam kateori deduksi, rata-rata nilai yang diperoleh untuk menghubungkan konglomerasi media dengan konten pesan adalah 3,5 dengan standard deviasi 0,99. 9 dari 15 orang berada pada angka 4 (tingkat literasi media tinggi). Untuk dapat menjelaskan pada orang lain mengenai konglomerasi media tersebut pada orang lain, diperoleh ratarata angka 3,3 dengan standard deviasi 1,033. 5 orang berada pada angka 3 (tingkat literasi media sedang), 6 orang berada pada angka 4 (tingkat literasi media tinggi). Sehingga didapatkan kesimpulan bahwa tingkat literasi media mahasiswa Pascasarjana pada kategori deduksi adalah sedang cenderung tinggi. Induksi Pada kategori induksi, dalam menghubungkan realitas yang ditemui dengan informasi di media, diperoleh angka rata-rata 2,5 dengan standard deviasi 1,06. Frekuensi tertinggi ada pada angka 3 (tingkat literasi media sedang) disusul angka 2 (tingkat literasi media rendah). Dalam kemampuan menjelaskan pada orang lain mengenai hubungan realitas dengan informasi di media, diperoleh rata-rata 2,8 dengan standard deviasi 0,83. Frekuensi tertinggi ada pada angka 3 (literasi media sedang). Sehingga dapat disimpulkan bahwa tingkat literasi media pada kategori induksi adalah rendah cenderung sedang. Sintesis Pada kategori sintesis, nilai rata-rata yang diperoleh adalah: memberi feedback langsung pada informasi negatif di internet (2,3); memberi feedback langsung pada konten positif di internet (2,3); merumuskan solusi terhadap konten negatif tersebut (3); membuat tulisan hasil analisa/evaluasi pesan media (2,87); dan dapat menebak arah/jalan cerita informasi (2,9). Pada kategori ini letak kurva dominan berada diantara angka 2 (tingkat literasi media rendah) dan cenderung menuju angka 3 (tingkat literasi media sedang), dengan standard deviasi berkisar antara 0,59-0,97. Sehingga dapat disimpulkan literasi media pada kategori sintesis adalah rendah cenderung sedang. Abstraksi Rata-rata nilai yang diperoleh untuk kategori abstraksi: membicarakan konten positif internet pada orang-orang di lingkungan sekitar (3,3); membagikan pendapat mengenai konten negatif media di internet (3); 155 International Conference of Communication, Industry, and Community. Bali, 3-4 Maret 2016 ISBN: 978-602-74139-1-7 membagikan pendapat mengenai konten positif media di internet (3,3); kebiasaan membagikan hasil pemikiran di internet (2,7). Perolehan frekuensi tertinggi mulai dari angka 2, 3, dan 4 sehingga letak kurva pada kategori ini cukup beragam, terletak pada angka 2 menuju angka 3 (tingkat literasi rendah cenderung sedang), tepat di angka 3 (sedang), dan angka 3 menuju angka 4 (sedang menuju tinggi). Meskipun demikian, data tetap menunjukkan bahwa tingkat literasi media pada kategori abstraksi adalah sedang. Dari pemaparan temuan penelitian diatas, didapatkan tingkat literasi media internet mahasiswa Pascasarjana untuk masing-masing kategori adalah: sedang untuk kategori analisis dan abstraksi; sedang cenderung tinggi untuk kategori evaluasi, pengelompokkan, dan deduksi; rendah cenderung sedang untuk kategori induksi dan sintesis. Dominasi ditunjukkan oleh tingkat sedang. Hasil ini menunjukkan bahwa tingginya tingkat pendidikan tidak berkorelasi dengan tingginya tingkat literasi media seseorang. Ditambah lagi, objek penelitian merupakan mahasiswa aktif yang kesehariannya mengkaji media massa serta informasi di dalamnya. Hasil yang sama juga didapatkan oleh Arif (2013) yang meneliti tingkat literasi media berbasis kompetensi individual mahasiswa FDIK IAIN Sunan Ampel Surabaya, data menunjukkan bahwa kisaran persentase kemampuan mengakses media berada pada persentase 67%-71%, menganalisis dan mengevaluasi mahasiswa antara 21%-68%, aktif memproduksi konten dan partisipasi sosial antara 20%-85%, sehingga diperoleh kesimpulan bahwa tingkat literasi media mahasiswa berada pada pada level sedang atau medium. Mahasiswa pada penelitian Arif berada pada jenjang pendidikan strata 1, tetapi memperoleh hasil yang sama dengan temuan peneliti pada mahasiswa jenjang pendidikan strata 2. Hal ini berbanding terbalik dengan pemikiran Zamroni & Sukiratnasari (2011, hal. 89) yang mengatakan bahwa tingkat literasi biasanya berhubungan dengan tingkat pendidikan dan daya kritis masyarakat. Makin tinggi pendidikan dan daya kritis seseorang, makin tinggi tingkat literasinya. Tingkat pendidikan ternyata tidak berbanding lurus dengan tingkat literasi media seseorang. Belajar dari negara-negara maju yang tingkat literasi medianya sudah tinggi, jika ditilik dari sejarah media massa kemunculan radio (Briggs & Burke, 2006, pp. 189-198) pada 1895 ditemukan oleh Marconi, pada 1899 radio digunakan untuk meliput pertandingan yacht piala amerika, kemudian digunakan untuk mengirimkan pesan pada 1901. Tahun 1904 radio menjadi headline karena melaporkan penahanan seorang pembunuh yang melarikan diri dari Inggris ke Kanada melalui laut. Delapan tahun kemudian, radio kembali menghebohkan masyarakat dengan menangkap pesan-pesan SOS dari peristiwa tenggelamnya Titanic dan melaporkannya ke gedung putih. Tahun 1925, setelah dimulainya siaran radio, Beam and Broadcast (A.B.Morse), siaran radio menceritakan kisah perkembangan radio dalam catatan kantor paten tentang penemuan-penemuan terhadulu dan sedang dipakai pada masa itu. Pada tahun 1920 Marconi menyiarkan konser yang langsung disambut tidak ramah oleh pihak militer, karena dianggap dapat mengganggu pesan-pesan pertahanan, dan juga mengubah 156 International Conference of Communication, Industry, and Community. Bali, 3-4 Maret 2016 ISBN: 978-602-74139-1-7 arti teknologi tidak lagi sebagai “abdi umat manusia”, hingga izin siaran ditarik. Pada tahun 1921, konser kembali disiarkan dengan dalih konser amal agar dapat diterima pihak yang menentang fungsi hiburan radio. Pada saat ini belum nampak tanda-tanda akan mendapat jumlah pendengar yang banyak. Selanjutnya pada 1923 disiarkan sandiwara radio yang pertama, Cyrano De Bergerac. Dapat kita lihat bahwa kemunculan fungsi hiburan pada radio tidak serta muncul. Sebelum dapat diterima masyarakat luas, malah sempat ditentang karena dianggap mengaburkan fungsi informasi, meskipun lama-kelamaan respon yang diberikan masyarakat berkembang menjadi sangat positif. Fungsi hiburan baru muncul setelah 21 tahun sejak radio pertama kali digunakan. Dapat disimpulkan bahwa masyarakat Amerika dan Eropa pada saat itu menikmati fungsi informasi radio selama 21 tahun. Lengkap dengan pengalaman kontroversi kemunculan fungsi hiburan, iklan (pergeseran fungsi untuk kepentingan bisnis), konvergensi radio dengan surat kabar, serta bentuk-bentuk acara siaran yang muncul susul-menyusul sesuai dengan kepentingan khalayak setempat sehingga pilihan acara bagi pendengar menjadi beragam. Masyarakat Amerika dan Eropa menikmati proses pembelajaran yang diakibatkan oleh kemunculan media massa radio. Masyarakat Indonesia tidak memiliki sejarah yang sama dengan kedua negara tempat lahirnya revolusi media tersebut, sehingga kita seolah mengalami “serbuan” berbagai teknologi informasi dan komunikasi (Wiratmo, 2011, hal. 45). Belum selesai menikmati fungsi informasi kita sudah langsung diserbu fungsi hiburan media yang akhirnya mendominasi dan melupakan fungsi pokok hadirnya kemajuan TIK sendiri, yaitu untuk membantu manusia, bukan malah membuat manusia kehilangan otoritas diri. Abrar menegaskan mengenai kedudukan manusia terhadap TIK: “Yang menjadi pengontrol pesan adalah khalayak” (2003). Hasil penelitian yang diperoleh dalam penelitian ini menunjukkan bahwa literasi media memang tidak bisa muncul tiba-tiba, tetapi harus dibangun sedari kecil. Jenjang pendidikan yang lebih tinggi ternyata belum cukup untuk bisa membuat seseorang menjadi literat. Serangkaian kemampuan literasi media mempunyai sifat yang sangat terstruktur dan saling menunjang akan tercapainya keterampilan tingkat lanjut. Masing-masing kategori keterampilan literasi media juga sangat sistematis dan rapat. Meskipun seringkali kita melakukan masingmasing kategori ini tanpa disadari dalam kehidupan keseharian (Potter, 2014), pada kenyataannya tidak mudah untuk menjadi literat. Maka menjadi wajar bila beberapa negara maju memasukkan literasi media ke dalam agenda kurikulum pendidikan, seperti Jepang, Korea, dan Turki. Simpulan Pertama, konsumsi tertinggi media massa mahasiswa adalah internet dengan fungsi dominan pada kepentingan belajar/bekerja, mahasiswa Pascasarjana ini merupakan pengguna berat internet. Kedua, 53% objek penelitian memiliki pemahaman yang tidak utuh terhadap literasi media, 157 International Conference of Communication, Industry, and Community. Bali, 3-4 Maret 2016 ISBN: 978-602-74139-1-7 sementara 47% lainnya belum paham. Ketiga, meskipun secara aktif menggunakan dan mengkaji perkembangan TIK serta dampak yang ditimbulkannya, tingkat literasi media internet mahasiswa adalah sedang, tidak berbeda dengan hasil penelitian pada mahasiswa S1. Pada kategori keterampilan tertentu bahkan menjadi rendah cenderung sedang. Hal ini menunjukkan bahwa kemampuan literasi media yang memang cukup kompleks harus dibangun perlahan sejak kecil. Dengan demikian thesis mengenai semakin tinggi pendidikan seseorang akan semakin literat terhadap media menjadi gagal dengan adanya hasil penelitian ini. Rekomendasi dari peneliti adalah selayaknya literasi media masuk menjadi agenda kurikulum pendidikan di Indonesia. Karena melalui pendidikan sejak dini literasi media dapat menjadi budaya dan nilai yang menetap dalam kehidupan keseharian masyarakat Indonesia. Di sisi lain, temuan keberagaman tingkat literasi media internet pada masing-masing kategori yang cenderung turun naik masih perlu dikaji lebih jauh dalam penelitian selanjutnya. Selain itu, faktorfaktor penyebab tinggi rendahnya tingkat literasi media objek penelitian belum tergambar dalam penelitian ini. Daftar Pustaka Nomophobia, Kelainan Psikologis Akibat Ketergantungan terhadap Ponsel. (2014). Dipetik Juni 29, 2014, dari http://www.jagatreview.com Abrar, A. N. (2003). Teknologi Komunikasi: Perspektif Ilmu Komunikasi. Yogyakarta: LESFI. Arif, M. (2013). Tingkat Literasi Media Berbasis Kompetensi Individual Mahasiswa Fakultas Dakwah Dan Ilmu Komunikasi Iain Sunan Ampel Surabaya. Dipetik Juni 12, 2014, dari Uinsby.ac.id Binark, & Bek. (2007). How Rural Schoolchildren and Teachers Read TV Dramas: A Case Study on Critical Literasi media in Turkey. Dipetik April 29, 2014, dari http://uex.sagepub.com Briggs, A., & Burke, P. (2006). Sejarah Sosial Media dari Gutenberg Sampai Internet. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia. Bungin, B. (2011). Metodologi Penelitian Kuantitatif. Jakarta : Prenada Media. Herlina, D. (2011). Gerakan Literasi Media Indonesia. Yogyakarta: Rumah Sinema. Kirsh, S. J. (2012). Children, Adolescents, And Media Violence: A Critical Look At The Research. Thousand Oaks: Sage Publications, Inc. Kriyantono, R. (2008). Teknik Praktis Riset Komunikasi. Jakarta: Kencana. Manuhoro, R. (2012). Memahami Pengalaman Literasi Media Guru PAUD (Studi Kasus pada Gugus Matahari Kecamatan Bandungan, Kabupaten Semarang). Dipetik April 29, 2014, dari Repository Undip: http://eprints.undip.ac.id Mayasari, L. (2014). Dipetik Juni 29, 2014, dari Tidak Bisa Jauh dari Ponsel? Anda Mungkin Menderita Nomophobia: http://health.detik.com Mazdalifah. (2011). Mengembangkan Literasi Media di Perguruan Tinggi. Dalam 158 International Conference of Communication, Industry, and Community. Bali, 3-4 Maret 2016 ISBN: 978-602-74139-1-7 D. Herlina, Gerakan Literasi Media Indonesia (hal. 66-82). Yogyakarta: Rumah Sinema. Potter, W. J. (2001). Media Literacy. California: Sage Publications. Potter, W. J. (2014). Media Literacy (Seventh Edition). USA: SAGE. Rachdianti, Y. (2011). Hubungan Antara Self-Control Dengan Intensitas Penggunaan Internet Remaja Akhir. Dipetik Juli 1, 2014, dari http://repository.uinjkt.ac.id Rahardjo, T. (2012). Mernahami Literasi Media (Perspektif Teoritis). Dalam Rahardjo, & dkk, Literasi Media Dan Kearifan Lokal. eprints.undip.ac.id. Rahayu. (2013). Muslim Families Mediating Children's Television and Internet Use in Indonesia. Global Science and Technology Forum (GSTF) Journal on Media and Communication1(1), 36-43. Tim peneliti PKMBP. (2013). Model-Model Gerakan Literasi Media Dan Pemantauan Media di Indonesia. Yogyakarta: PKMBP dan Yayasan TIFA. Wiratmo, L. B. (2011). Literasi Media Berbasis Komunitas. Dalam D. Herlina, Gerakan Literasi Media Indonesia (hal. 44-65). Yogyakarta: Rumah Sinema. Zamroni, M., & Sukiratnasari. (2011). KPID DIY Membumikan Literasi Media Bagi Masyarakat di Daerah Istimewa Yogyakarta. Dalam D. Herlina, Gerakan Literasi Media Indonesia (hal. 83-100). Yogyakarta: Rumah Sinema. Biografi penulis Clara Novita Anggraini. Perempuan berdarah Palembang ini adalah Mahasiswa Pascasarjana Ilmu Komunikasi UGM angkatan 2013 genap dan merupakan alumni Ilmu Komunikasi Universitas Diponegoro angkatan 2005. Mengambil konsentrasi Ilmu Komunikasi dan Media, saat ini Ia mengerjakan thesis berjudul “Literasi Media dan Penyebaran Informasi Hoax” sebagai tindak lanjut penelitian yang dimuat dalam prosiding ini. Karyanya yang pernah dimuat antara lain “Akankah Bandeng Semarang Menghilang Karena Rob” di Radio BBC London Siaran Indonesia (2007), “Saatnya Mahasiswa Berpolitik” di Media Indonesia (2008), “Penerapan Parental Mediation dikalangan Dosen FISIP Undip” (penelitian, 2008), dan “Sekolah Bisa Atasi Dampak Buruk Televisi Pada Anak” di Lombok Pos (2013) serta beberapa feature di Buku Keluaran Sekolah Guru Indonesia Dompet Dhuafa. Pernah menjadi relawan pengajar di pelosok Dompu NTB, saat ini Ia mengabdi di TPA Al-Ittihaad Sleman dan aktif mengkaji tentang Literasi Media. 159 International Conference of Communication, Industry, and Community. Bali, 3-4 Maret 2016 ISBN: 978-602-74139-1-7 MEDIA DIGITAL DALAM MENCIPTAKAN KESADARAN BERMEDIA (STUDI KASUS: SANGGAR ANANDA) Meilani Dhamayanti Mahasiswa S3 di Pasca Sarjana Fakultas Ilmu Komunikasi, Universitas Padjadjaran [email protected] Abstract The digital age has given new changes for mankind in every way. The advantages of digital media in the speed of information and can penerate space and time have made the digital media is more superior than other medias. Many organizations utilize digital media to promote the programs and its intution. Sanggar Ananda have used media digital to promote their program to build awareness of media (literacy media). The goal of reseach to know how Sanggar literasi Ananda use media digital in their program of literacy media and know the obstacle their programs. This article used communication thories, social media and CMC (Communication Mediated Computer). This research use methodology of qualitative. The technique of research are observation and interview and documentation. Writer is interview one informan, she is a founder and activist Sanggar literasi Ananda. The conclution is Sanggar literasi Ananda has utilized media digital to support their program. Their obstacles are person who knows and capable in digital media and funds. Keywords: media digital, literasi media Abstrak Era digital telah memberikan perubahan kepada umat manusia dalam segala hal. Kelebihan media digital dalam kecepatan informasi serta kemampuan menembus ruang dan waktu telah menjadikan media berinternet ini menjadi primadona dalam banyak hal. Pemanfaatan media internet juga dilakukan berbagai organisasi untuk melakukan mempromosikan program programnya. Sanggar literasi Ananda di Jawa Tengah memanfaatkan media digital dengan tujuan menciptakan kesadaran dalam bermedia (literasi media). Penelitian ini bertujuan bagaimana sanggar literasi Ananda memanfaatkan media digital untuk mendukung kegiatannya melakukan literasi media. Tujuan lainnya dari penelitian ini adalah mengetahui hambatan hambatan dalam menjalankan program dengan menggunakan media digital. Tulisan ini mempergunakan teori-teori komunikasi, media sosial dan CMC (communication mediated computer). Adapun metodelogi yang dipergunakan adalah kualitatif. Teknik pengumpulan data yang dilakukan adalah dengan melakukan observasi dan wawancara mendalam. Penulis mewawancarai narasumber, yaitu pendiri sekaligus pengurus sangar Ananda. Selain itu teknik pengumpulan data yang dilakukan adalah dengan riset dokumentasi. Kesimpulan sementara dari penelitian ini adalah Sanggar Ananda telah memanfaatkan media digital untuk memperkenalkan lembaga serta program-programnya. Hambatan tentu yang ditemukan adalah keterbatasan sdm 160 International Conference of Communication, Industry, and Community. Bali, 3-4 Maret 2016 ISBN: 978-602-74139-1-7 (sumber daya manusia) yang memahami teknloginya serta pendanaan untuk dukungan program literasi. Kata Kunci: media digital, literasi media Pendahuluan Manusia dan informasi tidak dapat dipisahkan . Kebutuhan manusia akan informasi membuat manusia sangat tergantung pada media, khususnya media massa. Kehadiran media massa telah memberikan kemudahan pada manusia untuk mendapatkan berbagai hal diantaranya hiburan. Sajian hiburan yang diberikan media massa membuat media sangat diminati oleh banyak orang. Siaran tentang sepak bola, sinetron, musik menjadi program yang paling banyak diminati oleh masyarakat. Bagi lembaga media memenuhi kebutuhan masyarakat akan informasi itu menjadi tanggungjawabnya. Hal ini mengingat media memiliki fungsi sebagai hiburan, edukasi, tanggungjawab sosial dan lainnya sebagainya. Kemasan informasi yang memikat masyarakat akan meningkatkan minat masyarakat terhadap media yang otomatis berdampak pada nilai ekonomis media tersebut. Semakin tergantung masyarakat pada sajian media maka pemasukan untuk media tersebut semakin tinggi. Televisi sebagai media yang dapat dilihat dan didengat memiliki keunggulan yang membuat penikmat acara televisi menjadi tertarik. Gambar dan suara yang hidup membuat sebuah kejadian dan peristiwa menjadi seakan nyata. Alhasil tidak heran bila berbagai usia betah duduk berlama lama di depan televisi. Sederet acara yang diminati masyarakat adalah sinetron, musik, kartun animasi, komedi merupakan acara acara yang memiliki rating tinggi. Nilai ekonomis yang dimiliki program program yang berrating tinggi membuat media berlomba lomba dalam menyajikan acara yang diminati masyarakat. Tuntutan ini membuat media menyajikan program yang lebih banyak bernuansa hiburan serta kurang mendidik. Hal ini bisa dilihat bagaimana televisi menyajikan lebih banyak porsi hiburan dibandingkan program yang mendidik. Pelanggaran media dalam penyiaran memang telah disikapi oleh KPI (Komisi Penyiaran Indonesia). Dalam tugasnya mengawasi acara acara televisi di Indonesia, KPI terhitung telah menegur banyak stasiun televisi serta program seperti Bukan 4 mata, YKS, Manusia harimau, catatan hati seorang istri dan masih banyak lagi. KPI yang didirikan pemerintah ini pada prinsipnya berupaya agar media tetap pada koridornya untuk menjalankan tugas dan tanggungjawabnya dalam menyediakan informasi yang sehat dan mendidik untuk masyarakat. Pengawasan terhadap media bukanlah menjadi tanggungjawab pemerintah ataupun KPI semata. Diperlukan dukungan dan kerjasama dari berbagai pihak dalam mengkritisi keberadaan media yang menyimpang. Sangat diperlukan lembaga yang dapat melakukan kegiatan literasi media dalam pencerdasan terhadap masyarakat agar kritis dan selektif dalam menikmati media. Literasi media diharapkan dapat meminimalkan dampak media sekaligus 161 International Conference of Communication, Industry, and Community. Bali, 3-4 Maret 2016 ISBN: 978-602-74139-1-7 mencerdaskan bangsa. Saat ini tercatat cukup banyak lembaga literasi di Indonesia. Namun demikian keberadaannya sangat belum begitu dirasakan mengingat dampak serta banyaknya tingkat pelanggaran media di Indonesia. Pengaruh media televisi yang sangat kuat dan jauh dari unsur pendidikan membuat lembaga literasi sangat diperlukan untuk mencerdaskan masyarakat. Di satu sisi keberadaan media digital yang cukup kompleks memberi pengaruh beragam juga sangat perlu dikritisi. Terlebih semua orang mengetahui kekuatan media digital dapat melebihi media massa lainya. Media digital yang memiliki kekuatan menembus ruang dan waktu serta unggul dalam kecepatan seringkali digunakan pula untuk kegiatan lembaga, diantaranya adalah kegiatan literasi. Seperti yang dilakukan oleh Sangar Ananda yang memanfaat media digital untuk mendukung kegiatan literasi yang dilakukannya. Sanggar Ananda yang berlokasi di Tulungagung didirikan pada tanggal 1 Agustus 2008 yang juga merupakan lembaga literasi pertama di Tulungagung. Adapun tujuannya adalah mendorong terciptanya dukungan untuk budaya literasi, khususnya membaca, menulis dan mendokumentasi. Tahun 2015 kemarin Sanggar Ananda mendapat penghargaan sebagai TBM Kreatif . Penghargaan diberikan atas dasar keberhasilan Sanggar Ananda melakukan literasi media dan memajukan minat membaca masyarakat setempat. Dalam melakukan kegiatan literasi Sanggar Ananda mengandalkan media digital untuk mendukung kegiatannya. Dari latar belakang tersebut di atas, penulis memiliki tujuan dalam mini riset ini, yaitu untuk mengetahui bagaimana pemanfaatan media digital dalam kegiatan literasi media yang dilakukan sanggar Ananda. Tinjauan Pustaka Media Literasi Masyarakat mungkin belum begitu memahami konsep atau istilah media literasi. Secara sederhana, media literasi pada dasarnya merupakan kepedulian masyarakat terhadap dampak buruk dari media, khususnya media massa. Perkembangan teknologi komunikasi, khususnya berkenaan dengan keberadaan media massa, di samping memberikan manfaat untuk kehidupan manusia ternyata juga memberikan dampak lain yang kurang baik. Beberapa dampak tersebut antara lain (1) Mengurangi tingkat privasi individu, (2) Meningkatkan potensi kriminal, (3) Anggota suatu komunitas akan sulit dibatasi mengenai apa yang dilihat dan didengarnya, (4) internet akan mempengaruhi masyarakat madani dan kohesi sosial, serta (5) Akan overload-nya informasi (Fukuyama dan Wagner, 2000). Para ahli pun memiliki konsep yang beragam tentang pengertian Media Literasi, Mc Cannon mengartikan Media Literacy sebagai kemampuan secara efektif dan secara efesien memahami dan menggunakan komunikasi massa (Strasburger & Wilson, 2002). Ahli lain James W Potter (2005) mendefinisikan Media Literacy sebagai satu perangkat perspektif dimana kita secara aktif 162 International Conference of Communication, Industry, and Community. Bali, 3-4 Maret 2016 ISBN: 978-602-74139-1-7 memberdayakan diri kita sendiri dalam menafsirkan pesan-pesan yang kita terima dan bagaimana cara mengantisipasinya. Media Sosial Media sosial adalah sebuah media online, dengan para penggunanya bisa dengan mudah berpartisipasi, berbagi, dan menciptakan isi meliputi blog,jejaring sosial, wiki, forum dan dunia virtual. Blog, jejaring sosial dan wiki merupakan bentuk media sosial yang paling umum digunakan oleh masyarakat di seluruh dunia. Andreas Kaplan dan Michael Haenlein mendefinisikan media sosial sebagai "sebuah kelompok aplikasi berbasis internet yang membangun di atas dasar ideologi dan teknologi Web 2.0 , dan yang memungkinkan penciptaan dan pertukaran user-generated content". (Kaplan: 2010 : 52) Ciri-ciri Media Sosial Menurut Gamble Media sosial mempunyai ciri - ciri sebagai berikut : Pesan yang di sampaikan tidak hanya untuk satu orang saja namun bisa keberbagai banyak orang contohnya pesan melalui SMS ataupun internet Pesan yang di sampaikan bebas, tanpa harus melalui suatu Gatekeeper Pesan yang di sampaikan cenderung lebih cepat di banding media lainnya Penerima pesan yang menentukan waktu interaksi Metodelogi Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode penelitian kualitatif deskriptif. Penelitian kualitatif adalah penelitian yang menekankan pada kualitas atau hal yang terpenting dari sifat suatu barang atau jasa. Hal terpenting dari suatu barang atau jasa berupa kejadian atau fenimena atau gejalah sosial adalah makna dibalik kejadian tersebut yang dapat dijadikan pelajaran berharga bagi suatu pengembangan konsep teori (Satoari dan Komariah, 2009:22). Sehingga dapat ditarik kesimpulan metode penelitian kualitatif deskriptif adalah penelitian yang dilakukan untuk mengumpulkan suatu informasi menurut pandangan peneliti atau secara subjektif melalui persepsi dan kinerja individu, kelompok serta organisasi yang dikaji secara komprehensif dan holistik dengan cara deskriptif atau dengan merangkai dan menyusun data-data yang tersedia, yang berupa kata-kata, bahasa dan gambar bukan angka-angka yang sesuai melalui hasil observasi atau pengamatan secara alamiah. Dalam penelitian ini, peneliti menggunakan metode penelitian deskriptif kualitatif dengan tujuan memberikan suatu gambaran tentang bagaimana Pola komunikasi antar terapis dengan anak autis dalam meningkatkan kemampuan berinteraksi. Menurut Denzin dan Lincoln, penelitian kualitatif adalah penelitian yang menggunakan latar alamiah, dengan maksud menafsirkan fenomena yang terjadi dan dilakukan dengan jalan melibatkan berbagai metode yang ada. Metode yang dimaksud adalah wawancara, pengamatan, dan pemanfaatan dokumen (Denzin dan Lincoln (Moleong), 2007:5). 163 International Conference of Communication, Industry, and Community. Bali, 3-4 Maret 2016 ISBN: 978-602-74139-1-7 Wawancara merupakan suatu cara untuk mendapatkan informasi dan data yang diperlukan dengan cara bertanya jawab secara langsung, antara peneliti dengan individu yang berkaitan dengan penelitian. Maksud mengadakan wawancara seperti ditegaskan oleh Lincoln dan Guba (1985:226) antara lain : mengkonsruksi mengenai orang, kejadian, organisasi, perasaan, motivasi, tuntutan, kepedulian dan lain-lain. (Moleong, 2007:186). Pelaksanaan pengumpulan data di lapangan, peneliti sosial dapat menggunakan metode wawancara mendalam. Dalam hal ini wawancara dilakukan kepada Tjut Zakiyah Anshari atau dikenal Mbak Kiki. Hasil Temuan dan Diskusi Sanggar Ananda yang berlokasi di Tulungagung didirikan pada tanggal 1 Agustus 2008 yang juga merupakan lembaga literasi pertama di Tulungagung. Adapun tujuannya adalah mendorong terciptanya dukungan untuk budaya literasi, khususnya membaca, menulis dan mendokumentasi. Tahun 2015 kemarin Sanggar Ananda mendapat penghargaan sebagai TBM Kreatif . Penghargaan diberikan atas dasar keberhasilan Sanggar Ananda melakukan literasi media dan memajukan minat membaca masyarakat setempat. Dalam melakukan kegiatan literasi Sanggar Ananda mengandalkan media digital untuk mendukung kegiatannya. Sanggar literasi Ananda merupakan lembaga literasi pertama di Tulungagung. Saat ini ada lembaga sejenis di Tulung agung , yaitu komunitas sastra Jawa Tri Wida, dan beberapa komunitas yang baru selama 2 tahun terakhir ini lahir, namun masih belum memunculkan diri ke publik. Kehadiran Lembaga literasi Sanggar Ananda adalah tidak lepas dari kiprah dan pengalaman pribadi pendirinya, yaitu Tjut Dzakiyah Anshari atau lebih dikenal Mbak Kiki. “Saya besar dalam keluarga yang dibiasakan dengan membaca dan menulis, hingga keduanya menjadi bagian penting namun menyenangkan dalam kehidupan pribadi saya. Alasan yang paling utama: seluruh pengetahuan akarnya adalah pada budaya baca, tulis, dan dokumentasi. Budaya itulah yang menguatkan identitas sebuah bangsa hingga terbangunnya sebuah peradaban. Gagasan besar inilah yang melatarbelakangi, dan kemudian kami urai menjadi cita-cita kecil di tingkat lokal sebagai wujud kontribusinya,”Jelas Mbak Kiki. Target sasaran Secara khusus pada anak-anak, dibawah usia 18 tahun, secara umum, dewasa. Mengapa orang dewasa karena dengan pertimbangan orang dewasa memiliki tingkat pendidikan sudah cukup tinggi dan baik, yang tentunya memiliki kemampuan mengkritisi media. Hal ini sejalan dengan pengertian media literasi menurut para ahli yang telah dijelaskan sebelumnya. Dari pendapat para ahli tersebut sangat jelas bahwa memang media literasi sebaiknya dimiliki oleh orang dewasa, karena hanya orang dewasa yang memiliki persyaratan tersebut. Di satu sisi, orang dewasa juga berperan dalam keluarga dan masyarakat. 164 International Conference of Communication, Industry, and Community. Bali, 3-4 Maret 2016 ISBN: 978-602-74139-1-7 “Saya katakan orang dewasa, bukan hanya orangtua. Guru, seluruh anggota keluarga yang dewasa, wajib lebih dahulu melek media. Selanjutnya, mereka mau tidak mau harus menjadi sahabat bagi yang lebih muda dalam memanfaatkan media. Karena, anak-anak takkan pernah kenal media jika tidak diperkenalkan oleh orang dewasa. Sayangnya, ketika mengenalkan media, orang dewasa tak serta merta mengenalkan bagaimana mereka dapat aman dengan media itu”, Kata Mbak Kiki. Kegiatan literasi sanggar Ananda yang utama adalah pendampingan menulis dan pengembangluasan minat membaca. Dari kedua kegiatan itulah, literasi informasi dan media juga kita lakukan. Misal dengan cara mendiskusikan apa yang mereka tonton dari TV, baca dan lihat dari internet, dan kemudian diramu menjadi ide tulisan. Dari diskusi dan menuliskan itu mulailah proses menimbang dan mengkaji tayangan, informasi, gambar, hingga secara perlahan mereka akan melakukan penilaian, lalu memilah dan memilih mana yang baik untuk kepentingan mereka. Kepentingan mereka yang kita tanamkan adalah “menulis yang menginspirasi – menulis yang keren”. Dalam aktifitasnya, Sanggar literasi Ananda juga memanfaatkan media sosial untuk literasi? Dengan cara mempunyai FB fanpage Sanggar Kepenulisan PENA Ananda CLUB. Pemanfaatan Media sosial menurut Mbak Kiki adalah alternatif yang paling memungkinkan untuk melakukan publikasi ketika media arus utama tidak terjangkau oleh kami. Awalnya, pemanfaatan medsos adalah untuk publikasi, namun kemudian berkembang sebagai media komunikasi, bahkan pembelajaran yaitu dengan adanya Pelatihan dan Kelas Menulis Online. Dengan demikian jangkauan Pena Ananda Club tidak hanya terbatas untuk warga wilayah Tulungagung saja. Menurut Mbak Kiki hambatan jaringan internet, sudah tidak lagi dirasakan. Pena Ananda yang berdomisili masih dekat dengan perotaan, dengan wilayah geografis yang landai sehingga pembangunan infrastruktur relatif terjangkau dengan mudah; jaringan internet sudah terpenuhi. Pertama, SDM merupakan tantangan yang besar, baik secara kuantitas maupun kualitas. Pena Ananda sedang berupaya melakukan perengkuhan relawan yang memiliki komitmen tinggi. Kedua, adalah anggaran.Diluar kegiatan kampanye secara online, kampanye offline pun sudah dirancang untuk dilaksanakan. Tidak hanya sekedar menempel pada kegiatan pelatihan dan kelas menulis saja, namun ada kegiatan khusus untuk melek media, melalui kampanye ataupun pembelajaran pemanfaat media secara cerdas, kreatif, dan produktif. Sayangnya, untuk kegiatan-kegiatan literasi semacam ini, belum dianggap kegiatan yang seksi dan marketable, sehingga sulit untuk mendapatkan mitra sponsor dan donatur. Dalam pengelolaan media online, penulisan artikel banyak dilakukan oleh Mbak Kiki. Isi dari Fanpage itu adalah lebih kepada program sanggar literasi Ananda serta tulisan tulisan yang bersifat positif dan mengandung pendidikan. “Untuk update termasuk sering. Dalam sehari dapat beberapa kali tulisan. Hanya saja mayoritas tulisan berasal dari saya,”tutur Mbak Kiki. 165 International Conference of Communication, Industry, and Community. Bali, 3-4 Maret 2016 ISBN: 978-602-74139-1-7 Saat ini banyak orang memanfaatkan media online untuk kegiatan lembaganya. Begitupula ada banyak lembaga sejenis yang juga menggunakan media online. Sanggar Ananda memiliki strategi cara meraih pengunjung, yaitu dengan mempopulerkan fanpage melalui kegiatan offline , diantaranya adalah: a. Melalui Cangkruk Baca dan Kreasi, yang dilaksanakan di ruang publik tepatnya di aloon-aloon Tulungagung. Ruang terbuka ini memungkinkan warga untuk melihat kegiatan membaca. b. Sekarang ini sepanjang tahun 2016, Pena Ananda bersama dengan pemuda literasi Tulungagung akan mengenaldekatkan model ini ke beberapa pelosok Tulungagung. Minggu (10/01/2016) lalu telah dimulai ke lereng gunung Wilis, yaitu dusun Beji, Desa Geger, Kecamatan Sendang, yang berjarak sekitar 30 km dari pusat kota. Jum’at (15/01/2016) ini akan ke wilayah pantai Sine dengan jarak yang sama dari pusat kota, dan akan kami lanjutkan ke wilayah-wilayah lainnya. c. Kegiatan-kegiatan di sanggar secara insidental dapat menjadi penyegar yang menghadirkan warga secara besar, misalnya beberapa lomba sederhana, mendongeng bersama senja, berkarya dengan daur ulang limbah, dsb. Menurut Teh Kiki lebih memberi dampak negatif dibanding positif adalah Media online. Karena siapapun dapat mengakses dengan cepat, mudah, murah, kapan saja. Bahkan media ini juga menyajikan tvsmart yang tak lagi harus pilih dan tonton di rumah atau kamar pribadi, tapi dimana saja dan kapan saja. Berkaitan dengan pendanaannya, sanggar literasi Ananda selama 7 tahun lebih ini, seluruh kegiatan masih didanai dengan dana pribadi pengelola, saving dari pelatihan dan kelas menulis. Simpulan Sanggar literasi Ananda melakukan literasi dengan menggunakan berbagai media. Penggunaan media online yaitu fanpage mempermudah Sanggar literasi Ananda dalam melakukan kegiatan literasi hal ini disebabkan ada beberapa keunggulan media online, diantaranya adalah jangkauan yang luas, cepat serta bisa menembus waktu. Namun demikian ada beberapa hambatan yang ditemukan dalam menggunakan fanpage sebagai media literasi yaitu keterbatasan SDM yang menguasai media digital tersebut.. Saran: Sangat baik jika masalah SDM dapat disiasati dengan memberi pelatihan tentang keterampilan pengelolaan media digital. Dengan demikian sukarelawan akan memiliki keterampilan yang baik tentang media digital. Di satu sisi, Sanggar literasi Ananda juga dapat memanfaatkan jenis media digital atau media online yang lainnya yang memang tidak mahal sesusai dengan kemampuan lembaga, seperti blog website. 166 International Conference of Communication, Industry, and Community. Bali, 3-4 Maret 2016 ISBN: 978-602-74139-1-7 WATTPAD: APLIKASI MEDIA SOSIAL MEDIA CONVERGENCE AND PARTICIPATORY CULTURE Fatma Dian Pratiwi Program Studi Ilmu Komunikasi, UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta [email protected] Abstract This article tend to describe the development of communication and informastion technology, especially in the field of Literature. There are books and novel that can be produced, shared as well as consumed within one application called Wattpad. In this application, one have the possibility to produce a novel, short story or a poem that can be consumed by anyone for free. In the same time this one also has the ability to consumes other product and share them. Studied from the perspective of media convergence and cultural participatory, the Wattpad application become the right case study to describe how media right now not just in single form but many. And how the consumer of the media will no longer just have the role as a consumer buat also as the producer and distributor as well. Keyword: Wattpad, Media Convergence, Participatory Culture Abstract Artikel ini memaparkan tentang perkembangan teknologi komunikasi dan informasi, terutama di ranah literatur. Berupa buku dan novel yang saat ini dapat diproduksi, dibagikan sekaligus dikonsumsi dalam sebuah aplikasi yang disebut Wattpad. Dalam aplikasi ini memungkinkan seseorang memroduksi sebuah karya novel, cerita pendek ataupun puisi yang dapat dikonsumsi oleh berbagai pihak tanpa dikenakan biaya. Pada saat yang sama seseorang tersebut juga dapat mengonsumsi karya penulis lain dan bahkan membagikannya. Dikaji menggunakan perspektif media convergence dan cultural partisipatory, aplikasi Wattpad menjadi studi kasus yang tepat untuk menggambarkan betapa saat ini media tidak lagi berbentuk tunggal melainkan banyak. Dan bagaimana konsumen media tidak lagi hanya berperan sebagai konsumen akan tetapi pada saat yang sama dia bertindak sebagai produsen sekaligus distributor. Kata Kunci: Wattpad, Media Convergence, Participatory Culture Pendahuluan Kehidupan yang modern salah satunya ditandai dengan semakin pesatnya perkembangan teknologi informasi dan komunikasi. Dan percepatan perkembangan ini telah membentuk peradaban baru kehidupan manusia yang dibentuk oleh karakteristik media baru. David Holmes (2005:13) memaparkan lompatan besar ini dengan menjabarkan pemahaman yang lebih jauh mengenai The Second Media Age, yang tidak hanya menjadi bagian dari evolusi sarana media komunikasi atau dengan kata lain bukan hanya sebuah hasil pergeseran 167 International Conference of Communication, Industry, and Community. Bali, 3-4 Maret 2016 ISBN: 978-602-74139-1-7 dari tautan perkembangan zaman-zaman penting, namun juga sebagai sebuah level integrasi komunikasi dari beragam medium komunikasi. Bentuk media konvensional dikombinasikan dengan bentuk yang baru telah merubah pola konsumsi, kehidupan manusia itu sendiri sekaligus lingkungan masyarakat yang ditinggali. Ilustrasi sederhananya adalah ketika seseorang menggunakan telepon genggamnya untuk mengunduh email, kemudian memberi suara untuk salah seorang kontestan sebuah ajang pencarian bakat, menonton video klip sebuah lagu atau hanya sekedar mendengarkan musik, telah merasakan pengalaman berpadunya media massa konvensional menjadi bentuk media baru melalui jaringan teknologi dan telekomunikasi. Sebagaimana yang dituliskan Hjarvard (2008) memaparkan masyarakat pada abad ini telah terserap ke dalam media, hingga media tidak dapat lagi dipisahkan dengan budaya dan kehidupan atau institusi sosial. Media atau teknologi komunikasi tidak dapat dilihat semata-mata sebagai sarana yang digunakan institusi, kelompok atau individu. Berbicara mengenai media cetak, dirunut dari sejarahnya tidak dapat dilepaskan dari ditemukannya alat cetak oleh Guttenberg. Dan ini menjadi tonggak sejarah media cetak yang merupakan lingkaran yang berkesinambungan dari inovasi teknolog, kompetisi di antara bentuk-bentuk baru dan penggunaan media, meningkatnya permintaan pasar, tumbuhnya literasi dan perubahan masyarakat disebabkan oleh media. Tren teknologi saat ini bergeser dari era chapbook –buku kecil yang dijual pedagang asongan- menuju ebook –buku elektronik. Tiga evolusi era komputer dalam memengaruhi industri penerbitan buku : digitasi buku cetak oleh Google, dampak Kindle terhadap penerimaan e-books dan penerbitan buku berdasarkan permintaan (Straubhaar, LaRose and Davenport, 2012 :68). Saat ini dengan adanya toko buku virtual semacam Amazon.com, moda pembelian buku beralih dari yang sebelumnya, para pembeli mendatangi toku buku, memilih buku kemudian membelinya. Saat ini tidak lagi. Pembeli buku berselancar memilih buku mana yang akan dipilih dan akhirnya dibeli tanpa harus meninggalkan rumah sama sekali. Tren terbaru saat ini adalah kemunculan aplikasi-aplikasi media sosial pembacaan dan penulisan novel semacam goodread.com dan wattpad.com yang memungkinkan seseorang menulis, membaca dan membagikan sebuah hasil tulisan, berupa novel, cerita pendek atau puisi. Seseorang harus mendaftarkan diri terlebih dahulu dan akan mendapatkan sebuah akun yang di namai sesuai keinginan yang bersangkutan. Penulis novel dapat mengunggah hasil karyanya, kemudian berinteraksi dengan pembacanya melalui kolom komentar yang disediakan, sekaligus dapat pula membaca karya penulis lain dan menjadi follower atau followed. Mekanismenya sama dengan aplikasi media sosial lain semacam Facebook, Instagram ataupun Twitter, perbedaanya terletak pada apa yang diunggah, diunduh ataupun dibagikan. Jika Facebook berkutat dengan berbagi kegiatan ataupun sesuatu yang sedang dipikirkan (what’s on your mind), begitu pula halnya dengan Twitter. Instagram adalah media sosial yang berhubungan dengan mengunggah, mengunduh dan berbagi hasil karya fotografi. 168 International Conference of Communication, Industry, and Community. Bali, 3-4 Maret 2016 ISBN: 978-602-74139-1-7 Sedangkan Wattpad adalah media sosial yang berhubungan dengan mengunggah, mengunduh dan membagikan karya literatur berupa novel, cerita pendek ataupun puisi dalam berbagai genre. Artikel ini akan memusatkan pada aplikasi media sosial Wattpad berdasarkan pada survey sederhana yang dilakukan terhadap sejumlah mahasiswi program studi Ilmu Komunikasi Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga Yogyakarta. Rata-rata mereka mengonsumsi Wattpad dibandingkan aplikasi sejenis yang lain. Oleh karena itu, artikel ini akan memusatkan aktivitas memroduksi, mengonsumsi dan membagi konten media berupa novel pada aplikasi media sosial Wattpad. Akan dikaji menggunakan sudut pandang media convergence untuk melihat berpadunya beberapa bentuk media menjadi satu, dan participatory culture untuk melihat praktek konsumsi media berbasis media baru. Tinjauan Pustaka Aplikasi Media Sosial Wattpad Dalam lamannya https://www.wattpad.com, menyebutkan definisi Wattpad is a place to discover and share stories : a social platform that connect people through words. It is a community that spans borders, interests, languages. With Wattpad, anyone can read or write on any device : phone, tablet or computer. Sementara itu Margaret Atwood, seorang penulis buku, membagi pendapatnya tentang wattpad di https://www.guardian.com. Dia menuliskan, wattpad was just another story-sharing application that using your computer, tablet or phone – you can post your own writing. No one need to know how old you are, what your social background is, or where you live. Your readers can be anywhere and anyplace that maybe far far away. Genre dalam Wattpad ada beberapa macam. Romance, Chicklit, Science Fiction, Fantasy, Action, Adventure, Classic, Fanfiction, General Fiction, Historical Fiction, Horror, Humor, Mystery/Thriller, Non-Fiction, Paranormal, Poetry, Random, Short Story (cerita pendek), Spiritual, Teen Fiction, Vampire dan Werewolf. Seseorang dapat memilih dalam genre apa dia akan mengunggah karyanya, ataupun untuk sekedar membaca. Jika dia sering beraktivitas dalam genre tertentu, maka Wattpad akan memberikan semacam rekomendasi bacaan apa yang akan dia konsumsi atau produksi. Jika dia telah memilih, dia dapat memasukkan bacaan yang dia pilih ke dalam Library/perpustakaan sehingga dia dapat membaca dalam waktu tidak terbatas. Selain itu, untuk meminimalkan ruang penyimpanan data dalam gadgetnya, maka bacaan yang telah dipilih tersebut dimasukkan ke dalam Archive/arsip. Banyak ditemui seseorang membaca sebuah novel yang sama berulang kali, sehingga archive/arsip dibuat untuk keperluan tersebut. 169 International Conference of Communication, Industry, and Community. Bali, 3-4 Maret 2016 ISBN: 978-602-74139-1-7 Media Convergence Secara sederhana, konvergensi media adalah penggabungan atau menyatunya saluran-saluran keluar (outlet) komunikasi massa seperti media cetak, radio, televisi, internet bersama dengan teknologi-teknologi portabel dan interaktifnya, melalui berbagai platform presentasi digital. Selanjutnya jika lebih disederhanakan lagi, konvergensi media adalah bergabungnya atau terkombinasinya berbagai jenis media, yang sebelumnya dianggap terpisah dan berbeda (misalnya komputer, televisi, radio, surat kabar), ke dalam sebuah media tunggal. (Munandar, academia.edu) Dalam bukunya, book Media Convergence: Networked Digital Media in Everyday Life, Graham Meikle and Sherman Young mengamati bahwa konvergensi dapat diamati dalam 4 dimensi: Technological, sebuah kombinasi dari computing, communications dan content (isi) diantara bentuk media digital network ; Industrial—sebuah ikatan dari institusi media yang telah berdiri di dalam lingkungan media digital, dan tumbuhnya perusahaan berbasis digital semacam Google, Apple, Microsoft dan yang significant media content providers; Social—munculnya media jaringan sosial semacam Facebook, Twitter and YouTube, dan tumbuhnya konten yang diciptakan oleh pengguna Textual—penggunaan dan memadukan kembali media ke dalam apa yang telah dinamakan model ‗transmedia‘, ketika cerita dan konten media (sebagai contoh, suara, gambar, teks tertulis) yang disebar melalui bentuk banyak media media platforms (http://www.alrc.gov.au/publications/3-media-convergence-andtransformed-media-environment/media-convergence-and-transform) Lebih jauh, konvergensi media bergerak dan tumbuh berkat adanya kemajuan teknologi akhir-akhir ini, khususnya dari munculnya Internet dan digitalisasi informasi. Konvergensi media ini menyatukan dari dimensi teknologi ―tiga-C‖ (computing, communication, content). Sedangkan dalam dimensi Sosial, munculnya social media. Berdasarkan penggabungan ini maka, disaat audiens media lama baik itu pembaca maupun pemirsa, tidak dapat memberikan umpan balik secara langsung. Tidak demikian halnya dengan audiens media baru, mereka dapat memberikan umpan balik karena mereka dapat berinteraksi dengan media massa bahkan mengisi konten media massa. Audiens dapat mengontrol kapan dan dimana dan bagaimana mereka mengakses dan berhubungan dengan informasi dalam berbagai jenisnya. Participatory Culture Participatory culture refers to the new style of consumerism that emerges in this environment (Jenkins dalam Durham and Kellner, 2006 : 554). Jika media convergence berkaitan dengan konsumen yang telah belajar cara baru berinteraksi dengan media, maka participatory culture bergerak lebih maju pada bentuk 170 International Conference of Communication, Industry, and Community. Bali, 3-4 Maret 2016 ISBN: 978-602-74139-1-7 konsumen berpartisipasi pada menciptakan dan membagikan narasi media. Konsumen media ingin menjadi produser media, sementara produser media ingin menjaga dominasi tradisional mereka atas konten media (Ibid) Hasil Temuan dan Diskusi Wattpad dilihat dari perspektif Media Convergence Dilihat dari 4 dimensi media convergence seperti yang dituliskan Graham Meikle and Sherman Young, Dalam bukunya, book Media Convergence: Networked Digital Media in Everyday Life, aplikasi media sosial Wattpad menjadi representasi konvergensi media komunikasi yang termasuk ke dalam dimensi sosial. Berkaitan dengan karakteristik Wattpad yang memungkinkan penggunanya untuk menghasilkan tulisan, mengunggah, kemudian membaginya. Selain itu juga dapat saling berbagi komentar pada kolom yang disediakan. Salah satu contoh novel yang ada di media sosial Wattpad adalah The Mischivous Mrs. Maxfield yang telah dibaca hampir 32 juta orang. Gambar 1: Cover Novel The Mischivious Mrs. Maxfield Pengarangnya adalah seseorang yang memiliki akun dengan nama @ninyatippet. Dalam deskripsi profilnya, dia menyatakan berasal dari Kanada yang memulai kegemarannya menulis sejak duduk di bangku sekolah menengah umum. Jika seseorang menjadi follower akun @ninyatippet, maka dia akan selalu 171 International Conference of Communication, Industry, and Community. Bali, 3-4 Maret 2016 ISBN: 978-602-74139-1-7 mendapatkan informasi yang berkaitan dengan segala aktivitas yang dilakukan oleh @ninyatippett ini. Terutama yang berkaitan dengan hasil karya yang dia unggah dalam akun media sosial Wattpad miliknya. Pada gambar diatas terdapat tiga fitur yang dapat dimanfaatkan oleh pengguna. Kolom read, untuk membaca. Pengguna tinggal mengklik kolom read ini untuk membaca novel yang dia pilih. Jika dia belum dapat menyelesaikan novel tersebut dalam satu waktu, maka dia dapat memasukkannya ke dalam kolom in library sehingga dia dapat membacanya di waktu yang lain. Sedangkan kolom send, digunakan jika ingin mengirimkan novel ini kepada teman atau orang-orang yang dia anggap akan menyukai novel ini sama seperti dirinya. Selain membaca, seseorang juga dapat memberi komentar pada kalimat yang dia anggap menarik untuk dikomentari. Novel The Mischivious Mrs. Maxfield ini termasuk novel yang memiliki basis penggemar yang cukup massiv, sehingga tidak mengherankan jika komentar yang diberikan juga termasuk banyak. Salah satu contohnya ada pada gambar di bawah ini. Gambar 2: Contoh Komentar yang Terdapat Dalam Novel Seperti terlihat dalam gambar, jumlah komentar pada satu kalimat, ―Charlotte Maxfield was mine, and mine forever‖, berjumlah sekitar 798 komentar. Salah satu contohnya adalah komentar pemilik akun @Itwasonlyadream801, yang menuliskan komentar, ―I can never get tired if this book, a true fairytale indeed. Still reading and loving it after years of rereading this book over and over again” Seluruh aktivitas yang ada dalam aplikasi media sosial Wattpad ini adalah gratis. Semata-mata digunakan dengan tujuan saling berbagi hasil karya 172 International Conference of Communication, Industry, and Community. Bali, 3-4 Maret 2016 ISBN: 978-602-74139-1-7 literatur untuk mengasah kemampuan yang dimiliki. Jika jumlah pembaca dan komentator banyak, dalam hitungan ribu bahkan juta, maka dapat dipastikan novel tersebut masuk dalam kategori populer. Tidak menutup kemungkinan akan ada penerbit yang tertarik untuk menerbitkannya dalam format paperback dan dipasarkan melalui toko buku online semacam amazon.com. Wattpad dilihat dari perspektif Participatory Culture Akan memulai pembahasan ini dengan satu pertanyaan dari ranah kajian sosiologi media, bagaimanakah media memengaruhi masyarakat dan kultur? Tidak semata-mata akan membahas secara luas, akan tetapi dilihat dari perspektif participatory culture yang berlandaskan pada suksesi media baru yang memungkin average citizens atau warga negara biasa untuk berpartisipasi dalam melakukan pengarsipan, anotasi, apropriasi, transformasi dan resirkulasi konten media (Jenkins dalam Durham and Kellner, 2006 :554). Aplikasi media sosial Wattpad memungkinkan seseorang tanpa mengindahkan asal usul biologis, biografis, sosial ekonomi, dapat melakukan segala praktek yang berhubungan dengan konten media dalam hal ini produk literatur berupa novel tanpa ada hambatan yang berarti. Kemampuan untuk memamerkan produksi kultur akar rumput inilah kemudian memunculkan semacam kegairahan tentang ekspresi diri dan kreativitas. Sesuatu yang di masa lalu menjadi tidak mungkin, saat ini menjadi peluang yang semakin luas. Tidak sedikit dari penulis yang menuangkan hasil karyanya pada media sosial Wattpad menjadi seorang penulis profesional, yang menjadikan kemampuan menulisnya sumber pendapatan secara ekonomi. Simpulan Terdapat satu persilangan antara media convergence dan participatory culture ketika membahas tentang aplikasi media sosial Wattpad. Bahwa kultur masyarakat digital berubah seiring dengan berkembangnya teknologi komunikasi dan informasi yang memungkinkan seseorang untuk melakukan praktek produksi, konsumsi dan distribusi dalam waktu yang bersamaan dan dari media yang satu berupa smart phone, ataupun tablet dan Ipad. Jika dilihat dari kaca mata optimistik, fenomena ini akan menjadi sesuatu yang menjanjikan. Memberikan ruang bagi kaum yang selama ini tidak memiliki akses pada konten media, sekarang mereka dapat melakukannya dengan tak terbatas. Akan tetapi jika dilihat dari kacamata pesimistik, apa yang terjadi mungkin dapat menjadi ancaman terutama untuk pemiliki budaya yang telah mapan, apakah akan memberi ruang yang seluas-luasnya bagi para kreator akar rumput ini untuk mengekspresikan dirinya dan berkreasi sebebas mungkin tanpa ada aturan yang diberikan. 173 International Conference of Communication, Industry, and Community. Bali, 3-4 Maret 2016 ISBN: 978-602-74139-1-7 Daftar Pustaka Durham, Gigi Meenakshi and Douglas M. Kellner (ed). Media and Cultural Studies KeyWork. 2006. Blackwell Publishing, Australia Hjarvard, S. 2008. The Mediatization of Society : A Theory of the Media as Agents of Social and Cultural Change. Nordicom Review 29, pp.105-134 Holmes, David.2005. Communication Theory : Media, Technology and Society. Sage Straubhaar, Joseph, Robert LaRose, Lucinda Davenport. 2012. Media Now 7th. Understanding Media, Culture, and Technology.Wadsworth Internet https://www.wattpad.com, https://www.guardian.com. (http://www.alrc.gov.au/publications/3-media-convergence-and-transformedmedia-environment/media-convergence-and-transform Biografi Penulis Penulis lahir di surakarta, 7 maret 1975, saat ini menjadi staf pengajar prodi ilmu komunikasi uin sunan kalijaga yogyakarta. Mendapatkan gelar s1 ilmu komunikasi universitas sebelas maret surakarta, dan gelar s2 ilmu komunikasi universitas sebelas maret surakarta. Saat ini sedang menempuh pendidikan doktoral pada program pasca sarjana kajian budaya dan media universitas gadjah mada yogyakarta 174 International Conference of Communication, Industry, and Community. Bali, 3-4 Maret 2016 ISBN: 978-602-74139-1-7 PENGGUNAAN TAHAPAN E-LEARNING DALAM SISTEM PEMBELAJARAN MAHASISWA DAN IDENTIFIKASI PERMASALAHAN SISTEM E-LEARNING Berliana Naftali Esmalia Sinaga, Devriani Rasitha Davron Universitas Pembangunan Jaya Sinaga.liana66@gmail, [email protected] Abstract Technology is very important for human life. The development of technology give a new touch on every aspect of human life. One aspect that greatly influenced is the educational aspect. Along with the development of technology, new media such as the Internet began to be applied in education, especially male and female students at the university. The presence of new media, improving the interaction faster and easier in the lives of students and mahasiwi. The development of new media in education is also called e-learning. The existence of a new concept in the learning system can be a study to look at the relationship between the development of new media in the stage of e-learning system to academic achievement that can be achieved by a student or a student. The aim of this study was to determine the stage of implementation of e-learning systems in student learning systems and identification of problems that occur. This research is a descriptive study using quantitative methods. This study may found an informations that will study the problems and constraints related to e-learning system that has been applied in accordance with the existing stages. The object of research to be taken are students of the University Building Jaya, which has the characteristics of students who are already aware of technological developments. The student population at the University Building Jaya amounted to 600 people, the technique of this research is random sampling, samples taken are as many as 168 students. The data collection method to be used is to use a questionnaire with a significance level of 0.05%. Questionnaires will be distributed using a Likert scale as a measure of measurement data. Before the distribution of the questionnaire study will begin with pilot testing taking as many as 30 people. After the validity of the data will be analyzed through the SPSS program. Results of the data to be retrieved is expected to be accurate data to look at various aspects that affect the stages of e-learning in student scores. To examine the relationship of e-learning system, this study wanted to assess at this stage whether that was done by male and female students in applying e-learning system on learning methods. Then the results obtained are the validity of 26 questions and reliability of 0.6 indicates that the e-learning phases of the highest and have been applied by the students of the University Building Jaya was 75.80% at the design stage or stages of data collection and to create a data resume from the data that has been searched on the internet. The research team found the existence of problems that occur, 85.5% of the students are still not able to implement the fourth phase of the e-elarning system that is in the deployment phase by using scientific papers. This is evident from the data that only 14.5% of 175 International Conference of Communication, Industry, and Community. Bali, 3-4 Maret 2016 ISBN: 978-602-74139-1-7 students who have made any scientific work as a pattern in the spread of the data after doing a search on the internet. Problems seen from the student’s lack of knowledge about access accurate information such as the use academia.edu that accessed only by 18% of students. Keywords: Students, learning system, new media, e-learning, e-learning phases Abstrak Teknologi merupakan hal yang sangat penting bagi kehidupan manusia. Adanya perkembangan teknologi memberikan sentuhan baru di setiap aspek kehidupan manusia. Salah satu aspek yang sangat dipengaruhi adalah aspek pendidikan. Seiring perkembangan teknologi, media baru seperti internet mulai diterapkan dalam pendidikan terutama mahasiswa dan mahasiswi di universitas. Adanya media baru, meningkatkan adanya interaksi yang lebih cepat dan mudah di kehidupan mahasiswa dan mahasiwi. Perkembangan media baru di dunia pendidikan disebut juga dengan e-learning. Adanya konsep baru dalam sistem pembelajaran dapat menjadi satu kajian untuk melihat adanya hubungan antara perkembangan media baru dalam tahapan sistem e-learning terhadap prestasi akademik yang dapat diraih mahasiswa atau pun mahasiswi. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui penerapan tahapan sistem e-learning dalam sistem pembelajaran mahasiswa dan identifikasi permasalahan yang terjadi. Penelitian ini merupakan penelitian deskriptif dengan menggunakan metode kuantitatif. Penelitian ini dapat menjadi data yang akan mengkaji permasalahan maupun kendala terkait sistem e-learning yang sudah diterapkan sesuai dengan tahapan yang ada. Objek penelitian yang akan diambil adalah mahasiswa dan mahasiswi Universitas Pembangunan Jaya yang memiliki karakteristik mahasiswa yang sudah sadar akan perkembangan teknologi. Populasi mahasiswa pada Universitas Pembangunan Jaya adalah sebesar 600 orang, dengan teknik random sampling, sampel yang diambil adalah sebanyak 168 mahasiswa. Metode pengambilan data yang akan digunakan adalah dengan menggunakan kuesioner dengan taraf signifikansi 0,05%. Kuesioner yang akan disebarkan menggunakan skala likert sebagai takaran pengukuran data. Sebelum penyebaran kuesioner penelitian akan dimulai dengan pengambilan pilot testing sebanyak 30 orang. Setelah itu validitas data akan dikaji melalui program SPSS. Hasil data yang akan diambil diharapkan mampu menjadi data akurat untuk melihat berbagai aspek yang mempengaruhi tahapan e-learning dalam mencetak prestasi mahasiswa. Untuk mengkaji hubungan sistem e-learning, penelitian ini ingin mengkaji sampai pada tahap apakah yang sudah dilakukan oleh mahasiswa dan mahasiswi dalam menerapkan sistem e-learning pada metode pembelajaran. Maka hasil penelitian yang didapatkan adalah dengan validitas 26 pertanyaan dan reabilitas 0,6 menunjukkan bahwa tahapan e-learning yang paling tinggi dan sudah diterapkan oleh mahasiswa dan mahasiswi Universitas Pembangunan Jaya adalah 75,80% berada pada tahap design atau tahap pengumpulan data dan membuat resume data dari data yang sudah dicari. Tim peneliti menemukan adanya permasalah yang terjadi, bahwa 85,5% mahasiswa masih belum mampu menerapkan tahap ke-empat sistem e-elarning yaitu dalam tahap penyebaran 176 International Conference of Communication, Industry, and Community. Bali, 3-4 Maret 2016 ISBN: 978-602-74139-1-7 dengan menggunakan karya ilmiah. Hal ini terlihat dari data bahwa hanya 14,5 % saja mahasiswa yang sudah menjadikan karya ilmiah sebagai pola dalam penyebaran data setelah melakukan pencarian di internet. Permasalahan terlihat dari kurangnya pengetahuan akan akses informasi yang akurat seperti penggunaan academia.edu yang diakses hanya oleh 18% mahasiswa. Kata Kunci: Mahasiswa, Sistem belajar, Media baru, e-learning, tahapan elearning Pendahuluan Latar Belakang Setiap individu di masyarakat pasti membutuhkan pendidikan untuk mendukung kegiatannya sehari-hari. Pendidikan sendiri bisa didapat dari kegiatan formal dan non-formal. Umumnya, jika berbicara pendidikan formal, setiap individu pertama kali akan mengalami pendidikan pada strata taman kanak-kanak kemudian sekolah dasar yang terdiri dari enam tahun, sekolah menengah pertama yang terdiri dari tiga tahun, sekolah menengah atas yang terdiri dari tiga tahun, dan strata terakhir adalah bangku kuliah. Menurut Ardiyansyah Yuniar Firdaus, pendidikan formal menjadi salah satu faktor pembentuk karakter dan sikap bagi seseorang untuk kehidupannya mendatang. (Dalam Kompasiana, 2014) Bangku kuliah merupakan pendidikan dimana setiap individu sudah mulai menentukan masa depannya. Pada bangku kuliah pula individu mulai dituntut mandiri dalam kegiatan belajarnya. Pada era seperti sekarang ini, metode belajar yang digunakan mahasiswa adalah menggunakan internet. Menurut kompasiana.com, internet memang mampu mengubah berbagai aspek dari kehidupan. Keunggulan internet yang cepat dan praktis untuk digunakan membuat para penggunanya merasa puas dan ketagihan menggunakan internet. Internet memang merupakan media baru mampu mengkonvergensi hal-hal tradisional menjadi modern. Perkembangan pesat internet mampu menjadikan internet sebagai media baru yang berkuasa. Croteau (1997:12) menyatakan bahwa media baru ini muncul akibat inovasi teknologi dalam bidang media meliputi televisi kabel, satellites, teknologi optic fiber dan komputer. Media baru internet pun terus berkembang seperti munculnya media sosial. Menurut data Tempo tahun 2014, pengguna internet khususnya remaja menggunakan internet untuk sosial media, dari 30 juta pengguna, 84,2 persen mengakses sosial media. Internet mampu menjadi hiburan bagi masyarakat khususnya pelajar dan mahasiswa. Melalui internet seseorang dapat mencari tahu informasi terkait konten yang menarik dan mampu menumbuhkan kesenangan untuk dirinya. Melalui internet seseorang dapat mengakses informasi tanpa batas seperti film, video, artikel, dan lain sebagainya yang menjadi penghibur untuk diri sendiri. Salah satu inovasi internet yang berkaitan dengan pendidikan adalah metode pembelajaran e-learning. E-learning adalah pembelajaran yang dilakukan menggunakan teknologi salah satunya menggunakan internet. Internet memang memiliki pengaruh besar salah satunya dapat dilihat dari perkembangan metode 177 International Conference of Communication, Industry, and Community. Bali, 3-4 Maret 2016 ISBN: 978-602-74139-1-7 e-learning. Menurut Dr. P Nagarajan dan Dr. G, Wiselin Jiji, metode pembelajaran e-learning mampu membentuk pribadi mahasiswa yang independen dan ontime, meningkatkan kemampuan membaca dan menulis, dan menciptakan beberapa ruang pribadi. Rumusan Masalah Kami ingin menggambarkan tahapan dan mengidentifikasi masalah yangdi hadapi mahasiswa dalam penggunaan E-Learning. Tujuan Mengetahui sejauh mana mahasiswa dapat menggunakan E-Learning dari segi tahapan dan identifikasi masalah yang dalam kegiatan belajarnya. Ruang Lingkup Penelitian ini memilih objek penelitian yaitu mahasiswa dan mahasiswi Universitas Pembangunan Jaya sebagai responden untuk mengkaji tahapan sistem e-learning di universitas dengan melihat sampai manakah tahapan e-learning yang sudah dilewati oleh mahasiswa dan mahasiswi UPJ. Tinjauan Pustaka Karena adanya perkembangan teknologi yang mempengaruhi kehidupan manusia, proses kehidupan kita pun juga akan disesuaikan seiring berkembangnya teknologi tersebut. Salah satu aspek kehidupan manusia yang penting adalah pendidikan dan pengatahuan. Menurut buku Theory and Practice Of Online Learning oleh Terry Anderson (2004:5) Sistem pembelajaran manusia semakin berkembang dari waktu ke waktu, tahap pertama diawali dengan sumber informasi dari televisi, radio, dan media cetak, lalu tahap kedua, mulai muncul teknologi komputer dimana pada tahap ini dinamakan database semantic learning. Tahap yang ketiga lah yang merupakan kombinasi dari dua tahap diatas, dimana ada kombinasi antara video, audio, komputerisasi bahkan interaksi langsung antara individu yang ada. Sehingga, adanya tahap yang ketiga ini memberikan perubahan terhadap sistem belajar mahasiswa ataupun mahasiswi. E-learning secara umum, merupakan sistem pembelajaran yang menggunakan “elektronik” atau teknologi sebagai media yaitu video, audio dan komputerisasi. Sistem teknologi itu sendiri, dibagi menjadi dua tipe ada yang dinamakan Technology Based Learning dan Technology Web Learning. Menurut Sivasailam Thiagarajan, Dorothy S. Semmel, dan Melvyn I. Semmel dalam bukunya Instructional Development for Training Teachers of Exeptional Children terdapat model pembelajaran 4D dengan tahapan sebagai berikut : 178 International Conference of Communication, Industry, and Community. Bali, 3-4 Maret 2016 ISBN: 978-602-74139-1-7 Tabel 1. Tahapan Empat Metode Belajar Siswa E-learning Oleh Thiagarajan. Tahap pertama dari pembelajaran e-learning adalah define (pendefinisian). Tahap pendefisinian merupakan keadaan dimana seseorang mulai menetapkan dan mendefinisikan syarat-syarat atau dasar-dasar dalam sebuah pembelajaran. Inilah tahap dimana seseorang menentukan materi-materi apa saja yang akan dicari melalui internet. Tahap kedua adalah design (perancangan) yang bertujuan untuk merancang berbagai alat atau perangkat pembelajaran dengan melalui empat tahap yaitu penyusunan standar tes, pemilihan media, pemilihan format, dan membuat rancangan awal. Tahap peracangan adalah keadaan dimana seseorang mengumpulkan informasi dan menyusunnya sesuai dengan yang dibutuhkan serta sudah menentukan media apa yang akan digunakan sehingga sesuai dengan konten yang hendak dicari. Tahap ketiga adalah develop (pengembangan) yaitu tahapan yang bertujuan untuk menghasilkan konsep yang sudah dikembangkan melalui dua langkah yaitu pengujian oleh ahli (validasi) dan uji coba pengembangan. Pada tahap ini, seseorang mulai menganalisis bahan-bahan atau data terkait tugas yang sudah didapatkan kemudian mengujinya apakah hal tersebut benar atau salah. Tahap terakhir dari model 4D adalah disseminate (penyebaran). Tahap penyebaran adalah mepromosikan dan melakukan sharing data atau konsep agar bisa diterima oleh individu maupun kelompok. A) Tahap Definisi ( Define) Tahap ini adalah tahap awal yang bisa pengguna internet lakukan saat melakukan sistem e-learning dalam proses belajar. Pada saat seseorang melakukan pencarian data ada yang mengikuti secara sistematis baik itu dari penggunaan kata kunci, frase, objek dokumen, dan di tahap ini para pengguna memiliki satu tujuan yang sama yaitu menemukan data dengan cepat dan relevan. (Purwono : 2008) Pada tahap ini lah pengguna atau dalam kasus ini kita sebut sebagai mahasiswa, melakukan pencarian data sesuai dengan materi yang ingin dipelajarinya. B) Tahap Merancang ( Design) Tahap ini adalah tahap ketika pengguna mulai mengumpulkan, menyatukan, bahkan mencatat kembali data yang ditemukan di awal. Hal ini dilakukan setelah data yang diawal sudah ditemukan, lalu data atau 179 International Conference of Communication, Industry, and Community. Bali, 3-4 Maret 2016 ISBN: 978-602-74139-1-7 informasi tadi harus disimpan agar tidak hilang dan tersusun dalam satu media yang bisa membantu pengguna mengumpulkan data tersebut. Mahasiswa dan mahasiswi tentu sudah membuat perancangan dengan mengumpulkan data tadi dan akan dijadikan sebagai data yang valid nantinya. C) Tahap Perkembangan ( Develop) Tahap ini adalah tahap dimana pengguna, mulai mengobservasi, menganalisis, dan memastikan apakah data yang sudah ditemukan tadi sesuai dan bisa dinyatakan valid untuk keperluan belajar mahasiswa. Apabila valid, biasanya pengguna akan melanjutkan ke tahap berikutnya. Namun, apabila tidak maka idealnya pengguna harus mulai dari awal yaitu tahap pencarian data atau definisi. D) Tahap Penyebaran ( Dissaminate) Tahap yang terakhir adalah tahap ketika pengguna sudah benar-benar memastikan, menyusun, dan mengobservasi data hingga valid, dan akhirnya pengguna akan melakukan yang dinamakan penyebaran. Penyebaran ini tentu dengan tujuan baik, yaitu membagi informasi dengan orang lain demi pemecahan suatu masalah. Hal ini sering juga disebut sosialisasi dengan menyebarluaskan informasi yang berisi data lengkap sesuai dengan apa yang sudah dianggap valid oleh pengguna ( Purwono:2008) Implikasi sistem E-learning sangat dibutuhkan untuk penerapannya pada mahasiswa dan mahasiswi. Hal yang perlu diperhatikan menurut buku Theory and Practice Of Online Learning:2004, Metode yang ada dalam sistem elearning harus disesuaikan dengan gaya belajar mahasiswa sehingga, metode yang ada bisa diserap oleh mahasiswa/i dengan mudah. interaksi yang terjadi di dunia internet yang sangat cepat dan interaktif yang bisa memicu penyebaran informasi sangat cepat dan tidak terarah. Sehingga, Mahasiswa dan mahasiswi harus diberikan sosialisasi metode yang ideal dalam sistem e-learning pada saat belajar. Metodologi Metode penelitian merupakan data elektronik, yang digunakan dalam sebuah data yang mengandung, cerita, pesan, dan segala penjabaran data yang didasari oada hasil pencarian data yang akurat. Ada dua macam penelitian, penelitian kuantitatif dan penelitian kualitatif. Penelitian ini menggunakan metode penelitian kuantitatif, yaitu metode penelitian yang menekankan analisisnya pada angka yang diperoleh dengan menggunakan perhitungan statistik atau data kualitatif yang diangkakan (Sugiyono 2003:14). Proses penelitian ini dimulai dengan observasi berupa pengalaman pendahuluan terhadap fenomena-fenomena dalam penggunaan internet pada mahasiswa. Kami menentukan variabel penelitian kami yaitu tahapan e-learning dalam sistem belajar mahasiswa. Responden yang kami pilih untuk penelitian ini adalah mahasiswa-mahasiswi Universitas Pembangunan Jaya sebagai sampel. Setelah 180 International Conference of Communication, Industry, and Community. Bali, 3-4 Maret 2016 ISBN: 978-602-74139-1-7 penentuan sampel, kami akan melakukan survey. Survey merupakan rancangan untuk menjelaskan fenomena, perilaku, dengan mengkaji sampel dari sebuah populasi. (Creswell 2009:174). Selanjutnya, masalah yang dapat kami kaji dengan teori lalu di akhiri dengan kesimpulan. Maka dari itu didalam penelitian ini, kami akan melakukan survey dengan tujuan agar kami dapat melihat pada tahap atau level mana kan paramahasiswa menggunakan internet untuk mendukung mereka dalam proses belajar. Selain itu kami ingin mengkaji ragam masalah yang dapat terjadi di dalam proses pembelajaran e-learning. Sehingga, kami dapat mendeksripsikan dan menarik kesimpulan dari hasil survey yang kami lakukan. Intinya pada saat melakukan penelitian, tim peneliti harus jelas menampilkan posis. (Creswell 2014:66). Tim kami memilih desaign penelitian yang berbentuk kuantitatif dikarenakan penelitian kami untuk melihat tahapantahapan dalam penggunaan e-learning sehingga kami membutuhkan banyak responden untuk penelitian kami dan teknik kuantitatiflah yang paling sesuai untuk jenis penelitian yang kami buat. Teknik penelitian kami yang berbentuk kuantitatif tersebut kami menggunakan metode cross-sectional kami memilih metode tersebut dikarenakan kami ingin melifat faktor dan dampak dari penggunaan e-learning dalam kehidupan asli mahasiswa di Universitas Pembangunan Jaya. Hasil Temuan dan Diskusi Berdasarkan hasil penelitian, kuesioner yang disebar adalah sebanyak 186 responden. Dari 186 responden kami telah menerima 186 data jawaban kuesioner. Artinya kami telah mengumpulkan 100% data responden mahasiswa Universitas Pembangunan Jaya yang terdiri dari sepuluh program studi di Universitas Pembangunan Jaya. Total kuesioner yang digunakan adalah 100%. Dari keseluruhan jawaban kuesioner, kami sudah mendapatkan data yang valid tanpa adanya missing value. Responden dengan jenis kelamin laki-laki adalah sebanyak 86 orang yaitu dengan persentase 46,2% sedangkan responden dengan jenis kelamin perempuan sebanyak 100 orang dengan persentase 53,8%. Hal ini membuktikan bahwa demografi mahasiswa – mahasiswi UPJ jenis kelamin perempuan memang lebih banyak dibandingkan laki-laki. Responden dengan penggunaan gadget kurang dari 5 jam sebanyak 25 orang yaitu dengan persentase 13,4% sedangkan responden dengan pemakaian gadget 5-8 jam perhari sebanyak 89 orang dengan persentase 47,8%. Sedangkan responden dengan penggunaan gadget lebih dari8 jam perhari sebanyak 25 orang dengan presentase 38.2%. Hal ini membuktikan bahwa demografi mahasiswa – mahasiswi UPJ menggunakan gadget rata-rata 5-8 jam perhari. Jika dilihat dari data diatas, terlihat bahwa seluruh responden dengan suka rela mengeluarkan pengeluaran khusus penggunaan internet. Sehingga dapat disimpulkan faktor ekonomi bukanlah hal utama yang mendasari mahasisawa tidak menggunakan sistem E-learning. Dari 186 responden 85 diantaranya atau 45,7% hanya menggunakan Handphone sebagai alat komunikasi para responden. dan 10 responden aau 5,4% diantaranya hanya menggunakan laptop sebagai alat 181 International Conference of Communication, Industry, and Community. Bali, 3-4 Maret 2016 ISBN: 978-602-74139-1-7 komunikasi yang responden gunakan dan 3 orang atau 1,6% hanya menggunakan tablet sebagai alat komunikasi yang mereka gunakan. Terdapat pula 69 responden yang menggunakian handphone dan laptop dalam kegiatan komunikasi yang mereka lakukan atau dapat dikatakan mencapai 37,1%. Dan terdapat pula 3 orang atau sebesar 1,6% responden yang memiliki handphone dan tablet secara bersamaan.menurut dara diatas juga mendapatkan data bahwa terdapat 1 responden atau sebesar 5% yang memiliki alat komunikasi yang berbentuk laptop dan tablet secara bersamaan. Dan yang terakhir tercatat bahwa 15 responden atau sebesar 8,1% responden memiliki ketiga dari alat komunikasi tersebut baik itu handphone,tablet, maupun laptop. Hasil penelitian yang menjawab rumusan masalah kami, terlihat dari data berikut yang sesuai dengan hasil analisis dan kuesioner yang disebarkan. 80% 70% 60% 50% 40% 30% 75.80% 60% 69.60% 57.70% 20% 10% 0% Define Design Develop Disseminate Tabel 1. Hasil Gambaran Tahapan E-learning Pada Mahasiswa Universitas Pembangunan Jaya Tabel diatas menggambarkan bahwa mahasiswa dan mahasiswi UPJ sudah melalui ke-empat tahapan e-learning. Data diatas menunjukkan bahwa 75,8% responden sudah melakukan tahap design atau dapat diartikan mahasiswa sudah melakukan pengumpulan data dan melakukan resume terhadap data yang dicarinya. Keunikan dari data ini adalah, mahasiswa tidak mencari data dengan akurat yaitu pada tahapan pertama, bahwa ada beberapa mahasiswa belum mampu melakukan pencarian data secara utuh dan menjadikan pencarian data sebagai pola belajar mereka yang utama. Ada beberapa mahasiswa yang memang sudah melakukan pemanfaatan ke-empat tahapan, namun pemanfaatan ini belum dijadikan pola oleh mahasiswa dan mahasiswi, hal ini dibuktikan oleh hasil penelitian yang kami analisis bahwa hanya 14,5% dari mahasiswa yang sudah sangat setuju dan sering melakukan ke-empat tahapan e-learning sebagai pola belajar mereka. Berdasarkan data terkait dengan identifikasi masalah, kepemilikan gadget, maupun pengetahuan akan media di internet bukan menjadi sumber masalah atau kendala bagi pola sistem belajar e-learning di mahasiswa. Karena 182 International Conference of Communication, Industry, and Community. Bali, 3-4 Maret 2016 ISBN: 978-602-74139-1-7 berdsarkan data, seluruh responden sudah sangat sadar akan teknologi dan mengetahui fungsi dari internet sendiri. Hal ini dibuktikan dengan data hasil penelitian kami bahwa, dari 10 program studi yang ada sebanyak 85 responden memiliki alat komunikasi berupa handphone, sebanyak 10 responden memiliki alat komunikasi berupa laptop, 3 responden memiliki alat komunikasi berupa tablet, 69 responden memiliki alat komunikasi berupa handphone dan laptop, 3 responden memiliki alat komunikasi berupa handphone dan tablet, 1 responden memiliki alat komunikasi berupa laptop dan tablet, serta 15 responden memiliki alat komunikasi berupa laptop, handphone, dan tablet. Hal ini berarti setiap responden pasti memiliki alat komunikasi yang akan memudahkan mereka dalam pengerjaan tugas bahkan banyak pula dari responden yang memiliki lebih dari satu alat komunikasi yang memiliki arti bahwa kemungkinan besar para responden dapat menggunakan internet secara aktif dan berkala terkait dengan pemanfaatan tugas. Maka, permasalahan yang sangat mendukung dalam menghambat pola sistem pembelajaran e-learning adalah dari pemanfaatan internet itu sendiri. Bagaimana mahasiswa melakukan penggunaan internet untuk kegiatan akademik, dan permasalahan biasanya datang dari ketidaktahuan mahasiswa terkait dengan cara mengakses data yang baik. Hal ini dikarenakan tidak adannya dukungan dari sistem kurikulum universitas dan juga bimbingan dalam menerapkan keempatsistem e-learning tersebut. Karena berdasarkan data, 90% mahasiswa dan mahasiswi UPJ menggunakan situs-situs seperti CNN.co.id dan Detik.com sebagai situs pencarian data yang mereka gunakan. Hal ini menunjukkan bahwa metode pengaksesan data yang dilakukan masih bergantung pada situs-situs yang memang sangat mudah untuk digunakan, sangat cepat untuk diakses, dan data ini bisa menjadi sumber permasalahan. Karena, mahasiswa dan mahasiswi akan mudah percaya dengan adanya informasi yang terlalu cepat dan mudah untuk didapatkan. Idealnya mahasiswa bisa menerima, mencari dan menganalisis informasi dari sumber manapun dengan baik dan akurat. Untuk mendukung penambahan data agar lebih lengkap dan akurat, ada beberapa pilihan penelitian lanjutan yang terkait dengan penelitian ini. 1. Penelitian sistem e-learning pada setiap program studi di Universitas Pembangunan Jaya agar dapat mengkaji lebih dalam setiap pola belajar di internet pada setiap program studi yang memiliki kompetensi dan pola belajar yang berbeda-beda 2. Penelitian terhadap dosen atau pembimbing di universitas karena sesuai dengan teori e-learning. Salah satu komponen penting dalam penerapan e-learning adalah panduan dari pembimbing di universitas. Kedua penelitian lanjutan ini bisa melengkapi dan mendukung penerapan e-learning dalam sistem belajar mahasiswa dan menambah identifikasi permasalahan dari kendala yang dihadapi oleh mahasiswa. 183 International Conference of Communication, Industry, and Community. Bali, 3-4 Maret 2016 ISBN: 978-602-74139-1-7 Simpulan Berdasarkan hasil kuesioner, penerapan sistem belajar e-learnig di kalangan mahasiswa memang sudah terjadi. Mahasiswa-mahasiswi UPJ sudah menyadari adanya internet dan sudah memanfaatkan untuk kegiatan belajar namun pemanfaatan tersebut masih belum maksimal. Mahasiswa dan mahasiswi memang sudah berada pada tahap ke empat dari pola sistem e-learning yaitu tahap Disseminate. Namun, tahap disseminate tersebut masih belum dijadikan pola seutuhnya terhadap sistem belajar mahasiswa. Hal ini terbukti dari salah satu komponen tahap disseminate mengenai karya ilmiah.Terlihat dari data yang sudah dianalisis bahwa mahasiswa masih belum menjadikan karya ilmiah sebagai media untuk menyebarluaskan hasil data yang dicari lewat internet. Sesuai dengan penelitian yang kami lakukan, mahasiswa-mahasiswi Universitas Pembangunan Jaya paling tinggi berada pada tahap design data ini dibuktikan dengan hasil penelitian kami yang menyatakan dari 100% responden, 75,80% sudah berada pada tahap design yang artinya ada pada tahap dimana mahasiswa sudah melakukan pencarian data dan mengumpulkan data dengan cara mengetik ulang. Menurut teori Sivasailam Thiagarajan, Dorothy S. Semmel, dan Melvyn I. Semmel dalam bukunya Instructional Development for Training Teachers of Exeptional Children pada tahap ini, mahasiswa sudah bisa memilih media yang ia gunakan untuk mencari data yang ingin dia gunakan di internet. Tim peneliti juga telah menemukan data ternyata, kepemilikan gadget, maupun pengetahuan akan media di internet bukan menjadi sumber masalah atau kendala bagi pola sistem belajar e-learning di mahasiswa. Karena berdsarkan data, seluruh responden sudah sangat sadar akan teknologi dan mengetahui fungsi dari internet sendiri. Seluruh responden juga sudah memahami bagaimana mengakses internet lewat media yang mereka miliki. Menurut data yang kami temukan, mahasiswa UPJ belum menjadikan tahap develop dan disseminate sebagai pola dalam sistem pembelajaran mereka, menurut teori Sivasailam Thiagarajan, Dorothy S. Semmel, dan Melvyn I. Semmel dalam bukunya Instructional Development for Training Teachers of Exeptional Children menyatakan bahwa adanya ketidaktertarikan terhadap pendalaman pola sistem belajar e-learning di kalangan mahasiswa. Selain itu, kurangnya komponen sistem e-learning seperti kurikulum pendidikan yang diterapkan melalui dosen atau pembimbing akademik maupun infrastruktur di unversitas juga kerap menjadi masalah dalam pembelajaran sistem e-learning di kalangan mahasiswa. Dari penelitian yang sudah kami lakukan ada beberapa saran dan pertanyaan yang belum kami terapkan untuk mendukung penelitian kami. Pertama, penyebaran yang kami lakukan masih belum merata di setiap prodi. Ada beberapa prodi yang kuotanya lebih banyak seperti Ilmu komunikasi dan juga psikologi. Di penelitian lainnya kami akan mencoba untuk menggunakan nonrandom sampling agar lebih terukur. Contohnya dengan membatasi setiap program studi dengan jumlah yang diinginkan. Selain itu, kuesioner yang kami buat belum mengidentifikasikan persentase penggunaan internet untuk hiburan. Padahal dengan begitu kami bisa melakukan perbandingan dengan pemanfaatan 184 International Conference of Communication, Industry, and Community. Bali, 3-4 Maret 2016 ISBN: 978-602-74139-1-7 e-learning. Sepeti halnya konten atau informasi yang sering mereka buka lewat internet. Bahkan, tingkat ketertarikan responden dalam menggunakan internet sebagai media belajar atau pendukung dari sistem belajar mereka di universitas. Selain itu saran yang kami berikan untuk pengidentifikasian masalah adalah adanya penerapan komponen e-learning dalam kurikulum universitas sehingga, dosen maupun pembimbing akademik bisa lebih mengarahkan mahasiswa dalam melakukan penerapan e-learning. Selain itu, adanya perbaikan infrastruktur dengan cara menambahkan peralatan komputer di perpustakaan, lalu koneksi internet yang baik. Saran-saran ini bisa diterapkan di penelitian lanjutan atau selanjutnya dari penerapan atau pemanfaatan sistem e-learning terhadap pola belajar mahasiswa. Bahkan identifikasi apakah sistem e-learning bisa membantu mahasiswa dan mahasiswi dalam mencetak prestasi mereka. Daftar Pustaka Anderson, Terry.(2004).Theory and Practice of Online Learning. Canada: USA. John W. Craswell.(2014).Research design. Newyork : Sage. Prof.Dr.Sugiyono.(2013).Metode Kualitatif,Kuantitatif, dan R dan d.Bandung:Alfabeta. Thiagarajan, Sivasailam, dkk. (1974). Instructional Development for Training Teachers of Exceptional Children. Indiana University : Indiana. Biografi Penulis Nama : Berliana Naftali Esmalia Sinaga Usia : 21 Tahun Alamat : Jl Waru Komplek Mahogany grove Blok c No 6 Tangerang Selatan Status Pekerjaan : Mahasiswa Institusi : Universitas Pembangunan Jaya Organisasi : HIMAKOM UPJ 2015/2016 185 International Conference of Communication, Industry, and Community. Bali, 3-4 Maret 2016 ISBN: 978-602-74139-1-7 MEMAHAMI WACANA “KORBAN” PADA KONFLIK PERSONAL SELEBGRAM PEREMPUAN Hapsari Dwiningtyas Sulistyani Jurusan Ilmu Komunikasi, Universitas Diponegoro [email protected] Abstract Being a "victim" of injustice is one main discourse strategy used by some women in dealing with their personal conflicts. Predominantly, researches on women's issues still focus on the position of women as victims. The main concepts used in this research are dualism logics and the discourse of “victim” in women studies. Both concepts emerge from the dominant social construction that places men in a more dominant, strong, and powerful positions than women. The dualistic logic can be seen in the use of language including women’s language in social media. Instagram is one of the social media that provide opportunities for marginalized groups to express and share ideas. Some people gain fame by having many followers on instagram or refer as selebgram. The focus of this research is analyzing texts in two instagram accounts (NE and RRK). Both accounts involve in personal conflicts. The study uses textual analysis to describe the language logics used by NE and RRK in uttering their arguments in their instagram accounts. The results indicate that the dualistic logic in their instagram accounts is in line with the dominant construction of good and bad women. The dualistic logic can be seen in their instagram texts (images and captions) particularly that are related to the following themes: women’s social position, love, body and desire. Keywords: Social Media, Power Feminism, Victim Feminism Abstrak Menjadi “korban” ketidakadilan merupakan salah satu cara pembelaan diri yang dilakukan oleh beberapa perempuan ketika menghadapi konflik personal. Secara dominan penelitian dan pembahasan permasalahan perempuan, termasuk di Indonesia, masih fokus kepada posisi perempuan sebagai korban. Konsep utama yang akan dikaji di dalam penelitian ini adalah pemikiran dualisme maskulin dan wacana perempuan sebagai korban. Kedua konsep tersebut muncul dari pemaknaan sosial mengenai perbedaan seksual yang menempatkan laki-laki pada posisi yang lebih dominan, kuat, dan berkuasa. Sedangkan perempuan memiliki karakteristik yang sebaliknya seperti; subordinat, lemah, dan dikuasai. Logika dualisme tersebut bisa terlihat di dalam penggunaan bahasa sehari-hari termasuk di media sosial. Instagram adalah salah satu media sosial yang memberikan peluang bagi masyarakat kebanyakan untuk mengekspresikan diri dan berbagi pemikiran. Beberapa orang bahkan menjadi terkenal karena memiliki banyak pengikut di instagram atau disebut sebagai selebgram. Fokus analisis dari penelitian ini adalah akun instagram dari NE dan RRK di mana keduanya terlibat di dalam konflik personal. Konflik personal yang dialami oleh perempuan 186 International Conference of Communication, Industry, and Community. Bali, 3-4 Maret 2016 ISBN: 978-602-74139-1-7 seringkali berubah menjadi wacana publik ketika perempuan tersebut menjadikan media sosial sebagai sarana untuk menjelaskan posisi mereka. Penelitian ini menggunakan tekstual analisis untuk melihat bagaimana logika kebenaran yang digunakan oleh akun instagram NE dan RRK baik itu melalui foto dan penjelasan foto ketika merujuk kepada konflik personal yang mereka hadapi. Hasil penelitian menunjukkan bahwa logika dualisme masih digunakan untuk memposisikan diri mereka sebagai korban terutama pemikiran yang sejalan dengan konstruksi dominan mengenai perempuan baik-baik (yang tersakiti/menjadi korban sehingga harus dibela) dan perempuan tidak baik-baik yang secara sosial dianggap pantas untuk mendapatkan hukuman. Logika dualisme terutama bisa dilihat pada teks-teks (foto dan keterangan foto) yang bertema: posisi perempuan, cinta, ekspresi tubuh dan ekspesi hasrat. Kata Kunci: Wacana Korban, Media Sosial, Power Feminism Pendahuluan Menjadi korban ketidakadilan tampaknya menjadi strategi utama beberapa perempuan untuk mempertahankan posisi tawar mereka ketika mengalami konflik personal. Wacana korban tersebut sejalan dengan kritik yang ditujukan kepada gerakan feminis yang lebih memberi perhatian pada posisi perempuan sebagai ”korban” subordinasi di dalam masyarakat patriarki. Fokus pada posisi perempuan sebagai korban dikhawatirkan justru bisa membuat perempuan tidak mampu untuk meraih kuasa. Oleh sebab itu, beberapa pemikir feminis gelombang ketiga menyarankan gerakan feminisme untuk lebih fokus kepada memberikan kesempatan perempuan untuk meraih kuasa. Salah satu perspektif feminis yang mencoba keluar dari posisi perempuan sebagai korban adalah “power feminism,” yaitu pandangan feminisme yang mulai merubah fokus perhatian dari posisi perempuan sebagai korban (victim) menuju ke arah emansipasi perempuan untuk meraih “kuasa.” Salah satu faktor yang oleh para pemikir power feminism dianggap memiliki potensi untuk merubah posisi perempuan sebagai korban adalah bahasa perempuan. Posmodern feminis salah satu bidang yang mengkaji bagaimana bahasa bisa menjadi sarana untuk merubah posisi sosial perempuan. Namun sayangnya pendekatan feminisme tersebut belum secara jelas menunjukkan bagaimana perubahan sosial tersebut bisa berlaku di dalam konteks sehari-hari. Fokus teori-teori tersebut pada upaya menciptakan bahasa perempuan ”baru” yang lepas dari bahasa bapak (male-oriented language) menunjukkan bahwa teori-teori tersebut dikembangkan atas dasar pengalaman perempuan kulit putih Barat. Kajian-kajian posfeminis lebih berupaya menunjukkan bagaimana bahasa yang seharusnya digunakan perempuan, namun belum secara jelas menunjukkan bagaimana bahasa tersebut bisa diterapkan pada masyarakat yang masih mengangap bahasa dominan sebagai bahasa yang tidak perlu dipertanyakan lagi. Maraknya media sosial memberikan kesempatan bagi perempuan untuk berekpresi di luar bahasa maskulin dominan. Ruang lingkup dari penelitian ini merujuk pada ekspresi logika bahasa perempuan di dalam media sosial instragram. Sehingga tujuan utama dari 187 International Conference of Communication, Industry, and Community. Bali, 3-4 Maret 2016 ISBN: 978-602-74139-1-7 penelitian ini adalah mendeskripsikan logika bahasa perempuan di dalam akun instagram ketika mengalami konflik personal. Tinjauan Pustaka Media sosial memberi kesempatan bagi kelompok-kelompok marginal termasuk perempuan untuk menyuarakan pendapat, ide, dan sudut pandang yang selama ini tidak terdengar. Menurut Genz dan Brabon (2009), teks-teks feminis baru membahas hubungan antara perempuan dan kuasa. Teks-teks tersebut berargumen bahwa feminis sebaiknya kembali lagi melihat fokus awal pergerakan perempuan yaitu berbagai permasalahan material mengenai ketidaksejajaran. Kunci dari gerakan feminisme baru adalah memisahkan personal dari politis (merupakan tanda yang menunjukkan perbedaan dengan feminis gelombang kedua) dan pengurangan fokus terkait perempuan sebagai korban. Menurut Genz dan Brabon (2009), penulis-penulis seperti Naomi Wolf, Katie Roiphe, dan Rene Denfeld juga mendiskusikan perbedaan antara “feminisme korban” (victim feminism) dan “feminisme kuasa” (power feminism), mereka berpendapat bahwa perempuan sebenarnya memiliki kemampuan untuk mendefinisikan diri mereka sendiri. Kuasa adalah sebuah hubungan. Kuasa tampak di dalam perbedaan dan merupakan dinamika antara kontrol dan dikontrol, antara wacana dan subjek, dan diciptakan oleh wacana (Foucault dalam Weedon, 1992:113). Kuasa diterapkan di dalam wacana, tempat di mana subjek-subjek individu dibentuk dan diatur. Penguasaan dan kesadaran terhadap tubuh seseorang, misalnya, dapat diperoleh sebagai efek dari investasi kuasa di dalam tubuh: pergi ke tempat kebugaran, olah raga, pembentukan otot, dan perayaan keindahan tubuh (Foucault, 1980). Beragam hubungan kuasa integral di dalam ruang di mana mereka beroperasi. Hubungan-hubungan tersebut menciptakan pengaturannya sendiri dan merupakan sebuah proses perjuangan dan konfrontasi untuk merubah, memperkuat, ataupun melakukan membalikkan yang berlangsung terus menerus. Berbagai hubungan kuasa bisa membentuk sebuah rantai atau sebuah sistem, dan juga sebaliknya membuat keterputusan atau kontradiksi yang mengisolasikan satu sama lain. Kuasa juga merupakan sebuah strategi yang memunculkan efek tertentu. Rancangan umum atau kristalisasi institusional dari strategi kuasa bisa dilihat di dalam aparatur-aparatur negara, formulasi hukum, dan di dalam berbagai hegemoni sosial (Foucault dalam Weedon, 1992:113). Kebergantungan feminis gelombang kedua terhadap status perempuan sebagai korban yang dianggap sebagai faktor pemersatu secara politis dipandang sebagai sesuatu yang melemahkan dan ketinggalan zaman, dan oleh sebab itu sebaiknya digantikan dengan power feminism yang lebih menekankan pada kuasa yaitu; seksual tanpa rasa bersalah, kebebasan berpikir, kenyamanan mencintai, dan percaya diri untuk mengungkapkan pendapat (Wolf dalam Genz dan Brabon, 2009). Bahasa merupakan sarana yang penting untuk bisa membuat perempuan bisa secara bebas mengungkapkan perasaan dan pikirannya. 188 International Conference of Communication, Industry, and Community. Bali, 3-4 Maret 2016 ISBN: 978-602-74139-1-7 Bahasa perempuan adalah cara bicara yang secara ideologis terkait dengan perempuan dan konstruksi femininitas. Bahasa perempuan menunjukkan bagaimana perempuan menegosiasikan pemahaman mengenai jender yang bersifat ideologis dengan kondisi sosial maupun budaya yang dialaminya. Dengan kata lain, percakapan sehari-hari dari perempuan bisa menunjukkan posisi sosialnya di dalam suatu komunitas (Hall, 2004:171-178). Pengaitan bahasa perempuan dengan femininitas membuat munculnya beberapa pemikiran yang mencoba menunjukkan karakteristik feminin pada bahasa perempuan. Seperti yang diungkapkan oleh Deborah Cameron dan Don Kulick (2003:47-51) mengenai penelitian Lakoff terkait bahasa yang menunjukkan beberapa karakteristik dari bahasa perempuan antara lain: - Perempuan menampilkan bentuk-bentuk intonasi yang lebih beragam dibandingkan laki-laki. - Perempuan lebih banyak menggunakan eufimisme dan kata-kata yang mengacu kepada sesuatu yang kecil/mungil dibandingkan laki-laki. - Perempuan lebih banyak menggunakan bentuk-bentuk ekspresif yang menggambarkan ekspresi emosional (bukan evaluasi intelektual) dibandingkan laki-laki, seperti: cantik, mengagumkan. - Perempuan menggunakan bahasa yang menujukkan sesuatu yang kurang akurat: barangkali, seperti. - Perempuan lebih menggunakan bahasa yang berputar dibanding laki-laki [“Jadi…; „Saya tidak begitu tahu, tapi mungkin…‟]. - Suara perempuan lebih mendesah dibandingkan laki-laki. - Di dalam percakapan, perempuan lebih sering diinterupsi, dan lebih jarang mengusulkan topik-topik yang menjadi bahan pembicaraan. - Perempuan lebih sopan dan tidak langsung ke sasaran ketika berbicara. - Gaya komunikasi perempuan cenderung kolaboratif bukan kompetitif. - Perempuan lebih banyak memanfaatkan komunikasi non verbal (melalui bahasa tubuh dan intonasi dibandingkan laki-laki. - Perempuan lebih berhati-hati untuk bicara secara “benar”, menggunakan tata bahasa yang lebih baik dan lebih sedikit bahasa vulgar dibandingkan laki-laki. Secara sekilas karakteristik bahasa perempuan tidak terkait dengan isu perbedaan seksual maupun seksualitas, namun menurut Cameron dan Kulick (2003: 47-51), terdapat hubungan antara femininitas yang disimbolkan oleh women language dan posisi perempuan di dalam hubungan heteroseksual. Karakteristik bahasa perempuan menurut Lakoff adalah bentuk-bentuk yang sangat sopan dan penghindaran terhadap kata-kata umpatan yang kasar (menggunakan kata “fudge” bukan kata-kata seperti “damn” atau “shit”), menaikkan intonasi pada kalimat-kalimat deklaratif, menambahkan kata tanya pada proposisi-proposisi di mana keabsahan pembicara sebenarnya tidak perlu dicek (“Hari yang indah, iya kan?”) dan kata-kata yang trivial seperti “lovely”, dan “divine” (Cameron dan Kulick, 2003:47-51). Kecenderungan yang terlihat dari karakteristik bahasa perempuan adalah penggunaan ungkapan atau tuturan yang membuat pembicara terdengar tidak begitu yakin, kurang percaya diri dan 189 International Conference of Communication, Industry, and Community. Bali, 3-4 Maret 2016 ISBN: 978-602-74139-1-7 lemah. Kaplan (dalam Kramarae, 1981) percaya bahwa jika perempuan memahami kembali bahasa yang berlaku akan memungkinkan mereka untuk bisa melihat bagaimana hubungan perempuan dengan bahasa dan budaya dapat dirubah. Sifat media sosial yang interaktif dan bisa diakses dengan mudah bisa memberi kesempatan bagi perempuan untuk bersuara. Penelitian ini berupaya untuk melihat apakah pola pikir dualisme yang berasal dari dominasi maskulin masih mewarnai bahasa perempuan ketika mereka berkomunikasi di media sosial mengenai konflik personal yang mereka alami. Metodologi Penelitian ini adalah penelitian desktiptif kualitatif dengan menggunakan tekstual analisis yang tidak mengacu pada nilai-nilai keseragaman maupun sebuah upaya untuk merubah struktur besar. Pernyataan teoritis yang terdapat pada penelitian ini lebih mengacu kepada cara pandang yang mengacu bahwa permasalahan yang ada di dalam masyarakat telah terdistorsi oleh hubungan kuasa yang terlibat di dalam konstruksi permasalahan tersebut (Heiner, 2006). Melalui analisis tekstual Barthes penelitian ini melihat makna denotatif dan konotatif dari dua akun instagram dua selebgram perempuan (NE dan RRK) yang mengalami konflik personal. Hasil Temuan dan Diskusi Dua akun instagram yang dianalisis di dalam penelitian ini adalah akun instagram RRK dan NE. RRK dan NE memiliki banyak pengikutnya setelah mereka terlibat konflik personal yang berkaitan dengan hubungan romantis dengan seorang pria bernama ZRD. Konflik keduanya berawal dari liburan berdua yang dilakukan oleh RRK dan ZRD selama 12 hari di Eropa. Menurut RRK, ZRD mengaku tidak memiliki pasangan sehingga RRK bersedia merubah jadwal liburannya untuk bisa liburan bersama ZRD. Padahal, di sisi lain, ZRD ternyata sudah memiliki calon istri yang bernama NE. NE memutuskan untuk tidak percaya dengan cerita perselingkuhan tersebut dan tetap percaya bahwa calon suaminya tidak memiliki hubungan dengan RRK. Penelitian ini menganalisis posisi yang dimunculkan oleh NE dan RRK melalui akun istagram mereka. Analisis teks dilakukan dengan melihat tiga tema utama yaitu: posisi perempuan dan cinta, ekspresi tubuh, dan ekspresi hasrat. Posisi Perempuan dan Memaknai Cinta Pemaknaan posisi perempuan di dalam hubungan berpasangan dan cinta tampaknya tidak bisa jauh dari pola pikir dualisme yang menempatkan perempuan pada posisi subordinat. Menurut Luce Irigaray (2004:8), perbedaan seksual diawali dari kondisi di mana subjek selalu ditulis sebagai laki-laki (man), dan itu dianggap sebagai hal yang universal atau netral. Meskipun kenyataannya hal tersebut tidak netral melainkan memiliki pretensi seksual (seksis). Keseluruhan permasalahan ruang dan waktu harus dipertimbangkan untuk 190 International Conference of Communication, Industry, and Community. Bali, 3-4 Maret 2016 ISBN: 978-602-74139-1-7 mengkaji secara mendalam mengenai perbedaan seksual. Awalnya, terdapat ruang dan penciptaan ruang. Tuhan, atau para dewa menciptakan ruang dan waktu ada di dalamnya, untuk melayani keberadaan ruang (Irigaray, 2005:8). Laki-laki telah menjadi subjek dari wacana, baik itu di dalam konteks teori, moralitas, ataupun politik. Pada konteks masyarakat barat, jender dari Tuhan, pelindung semua subjek dan semua wacana selalu maskulin dan paternal. Pola pikir laki-laki sebagai pemimpin dan pelindung tampaknya ditunjukkan oleh NE ketika mengunggah foto menggunakan seragam yang menunjukkan posisinya sebagai calon istri TNI. Penampilan sebagai calon istri yang diakui secara sah oleh profesi suami juga menjadi sarana untuk mengukuhkan citra pasangan “resmi” sehingga perempuan lain yang memiliki hubungan khusus dengan calon suaminya adalah pengganggu. Dengan kata lain, NE menempatkan diri menjadi korban yang hubungan harmonisnya diganggu oleh RRK. Gambar 1: Posisi Pendamping “Resmi” Secara denotatif makna yang muncul dari foto dan caption yang diunggah oleh NE adalah pas foto pasangan yang akan dipasang di dompet (menambah koleksi foto di dompet). Namun secara konotatif foto tersebut mengindikasikan makna bahwa NE memiliki posisi sebagai pasangan resmi yang diakui oleh calon suami dan tempat kerja suami. Makna konotatif tersebut semakin jelas di dalam komen yang diberikan oleh followers NE. Kata kunci “ibu Persit” menunjukkan posisi calon istri resmi yang nantinya akan bergabung dengan kelompok istri-istri para suami yang berprofesi sebagai tentara. Komentar yang memojokkan dan menghina kepada RRK mengindikasikan bahwa sebagai calon istri resmi dan “normal”, NE dianggap sebagai korban yang kebahagiaannya diganggu oleh RRK. Pada sisi yang lain, RRK dipersepsi sebagai “orang gila” yang tidak tahu diri. Melalui unggahan foto yang menunjukkan posisi sbagai pasangan resmi dari ZRD, NE juga menempatkan dirinya sebagai korban yang diganggu hubungannya oleh RRK. Posisi sebagai calon pendamping yang baik juga ditampilkan melalui kegiatan domestik yang dilakukan sebagai bagian pelatihan sebagai istri yang “baik.” Hal tersebut sejalan dengan pendapat Irigaray (2005:8) yang menyatakan perempuan selalu berada di dalam ritual domestifikasi minoritas: memasak, merajut, bordir, dan menjahit. NE adalah seorang perempuan yang memiliki 191 International Conference of Communication, Industry, and Community. Bali, 3-4 Maret 2016 ISBN: 978-602-74139-1-7 pendidikan tinggi dan lulusan luar negeri. Namun demikian, NE menunjukkan bahwa dia tetap melakukan beberapa ritual domestik dalam rangka untuk menjadi calon istri yang “ideal.” “Pelatihan” ritual domestik yang diunggah NE di instagram antara lain: setrika dan memasak. Gambar 2: Ritual Pendamping “Ideal” Beberapa kali NE mengunggah foto yang menunjukkan kegiatankegiatan domestik yang dilakukannya. Secara denotatif status instagram NE (yang menampilkan: foto masakan, foto NE sedang memasak, dan keterangan gambar) memunculkan makna NE sedang belajar memasak beberapa jenis masakan. Secara konotatif jika digabungkan dengan berbagai komentar yang ada maka makna pada level kedua adalah; belajar masak merupakan suatu upaya untuk bisa menjadi istri yang “baik.” Dengan kata lain, pelatihan pekerjaanpekerjaan domestik adalah sarana yang menunjukkan upaya untuk menjadi istri yang ideal. Berbeda dengan NE yang diakui sebagai pasangan resmi, posisi RRK yang tidak diakui oleh pihak laki-laki membuat RRK memunculkan wacana bahwa dia menjadi korban yang diberi janji untuk dinikahi tetapi kemudian diingkari. Beberapa kata kunci yang digunakan oleh RRK adalah; tanggung jawab, dinikahi, dan menuntut pemenuhan janji. RRK menghadapi berbagai cercaan yang diberikan oleh simpatisan NE. RRK membela diri dengan memberikan penekanan pada posisinya sebagai korban yang tidak tahu hubungan NE dan ZRD ketika mereka pergi liburan bersama di Eropa. 192 International Conference of Communication, Industry, and Community. Bali, 3-4 Maret 2016 ISBN: 978-602-74139-1-7 Gambar 3: Memaknai Tanggung Jawab dan Posisi Korban Secara denotatif foto, dan keterangan yang menyertai foto tersebut menunjukkan bahwa RRK menuntut untuk dinikahi secara agama dan aturan TNI. Sedangkan makna konotatif menunjukkan bahwa menjadi istri TNI merupakan kebanggaan tersendiri bagi beberapa perempuan tertentu. Kebanggaan tersebut membuat beberapa perempuan berharap untuk bisa menjadi istri TNI dan mau berkorban agar bisa menjadi istri TNI. RRK mau berkorban untuk merubah tiket pesawat dan hotel agar bisa berlibur bersama ZRD selama 12 hari. Selain posisi di dalam hubungan antara laki-laki dan perempuan, pengakuan cinta juga menjadi wacana yang penting bagi perempuan. Cinta menjadi fokus utama hidup perempuan adalah hasil dari penanaman ideologi yang dilakukan oleh berbagai aparatur ideologi seperti; dongeng, media massa dan bahkan buku-buku pelajaran di sekolah. NE mengunggah foto yang menunjukkan pernyataan cinta dari ZRD yang dilengkapi tanggal pernyataan cinta tersebut. Gambar 4: Pengakuan Cinta 193 International Conference of Communication, Industry, and Community. Bali, 3-4 Maret 2016 ISBN: 978-602-74139-1-7 Gambar di atas tidak hanya menunjukkan pernyataan cinta tetapi juga menyerang RRK dengan menyebutkan bahwa foto-foto yang diunggah oleh RRK adalah foto-foto masa lalu sedangkan apa yang dibina oleh NE dan ZRD adalah saat ini. Makna konotatif dari gambar di atas adalah saat ini NE adalah pasangan yang “sebenarnya” dari ZRD. RRK, di sisi yang lain, juga menunjukkan bukti cinta yang terbina dengan ZRD. Gambar 5: “Korban” Cinta Makna yang diindikasikan dari foto yang diunggah RRK adalah janji dan tanda cinta yang diberikan oleh ZRD kepadanya. Menurut Karla Mantila (2004:30-31), bahkan seorang perempuan yang mempelajari dan setuju dengan pemikiran-pemikiran feminis sekalipun bisa terjebak di dalam hubungan percintaan yang tidak sehat atau tidak sejajar. Mantila berpendapat hal ini disebabkan karena dibanding dengan pemikiran feminis yang ada pada diri seorang perempuan, sosialisasi mengenai cinta, perasaan dan hasrat jauh lebih mendalam. Kondisi tersebut disebabkan karena sosialisasi mengenai normalitas “cinta” sudah dimulai semenjak kecil dan dilakukan oleh orang-orang terdekat bagi perempuan (keluarga). Salah satu cara untuk membebaskan dari belenggu “cinta” adalah membuat pemaknaan mengenai cinta yang tercipta dari pengalaman tubuh perempuan sehingga memungkinkan munculnya makna cinta yang beroposisi dengan pemikiran patriarki mengenai bagaimana seharusnya perempuan. Namun, tidak mudah untuk bisa keluar dari makna dominan mengenai cinta. NE dan RRK bahkan mengekspresikan cinta mereka terhadap ZRD melalui ekspresi tubuh dan hasrat. Ekspresi Tubuh Tubuh perempuan secara terus menerus dijadikan sebagai obyek baik sebagai hal yang suci di mana tubuh harus tertutup tidak menunjukkan aurat yang merupakan penanda perempuan baik-baik ataupun tubuh perempuan juga menjadi penanda perempuan “tidak baik” ketika menggunakan baju terbuka. Selain itu tubuh juga bisa menunjukkan kecantikan seperti apa yang diinginkan 194 International Conference of Communication, Industry, and Community. Bali, 3-4 Maret 2016 ISBN: 978-602-74139-1-7 oleh suatu komunitas. Konstruksi tubuh yang diinginkan tentu tidak sama antara komunitas yang satu dengan yang lain. Bagaimana perempuan menampilkan tubuhnya merupakan penanda dari posisi sosial perempuan di komunitas tersebut. Tubuh juga merupakan sarana ekspresi perempuan untuk mengkomunikasikan siapa dirinya. Serangan yang diarahkan kepada RRK oleh pengikut NE lebih banyak berkaitan dengan usianya yang sudah lebih dari 40 tahun sehingga tubuhnya disebut sebagai keriput, bergelambir, dan tidak seksi lagi. RRK menjawab serangan tersebut dengan mengunggah foto-foto yang menunjukkan bagian-bagian tubuhnya seperti; wajah, paha, dan dada. Gambar 6: Ekspresi Tubuh RRK menyatakan bahwa dirinya adalah “hot sexy mom”, dia bahkan menyatakan bahwa tubuhnya membuat ZRD terpikat sehingga sekamar berdua ketika liburan di Eropa. RRK ingin menunjukkan bahwa tubuhnya tidak kalah seksi dari NE yang jauh lebih muda darinya. NE, di sisi yang lain, juga mengunggah foto yang menunjukkan ekpresi tubuh menandingi ekspresi tubuh dari RRK. 195 International Conference of Communication, Industry, and Community. Bali, 3-4 Maret 2016 ISBN: 978-602-74139-1-7 Gambar 7: Ekspresi Tubuh NE tampaknya menonjolkan tubuh yang lebih muda dibandingkan dengan RRK. Bahasa verbal yang dominan adalah bahasa yang memiliki cara berpikir yang berorientasi pada logika laki-laki. Pengalaman bertubuh dari perempuan seringkali tidak bisa diekspresikan melalui bahasa verbal yang dominan. Kondisi ini membuat perempuan harus memanfaatkan bahasa yang bersifat non verbal termasuk mengekspresikan perasaan dan juga resistensi mereka melalui berbagai tindakan yang berkaitan dengan tubuh mereka. Namun demikian jika kita lihat dari ekpresi tubuh NE dan RRK, mereka masih menggunakan logika dualisme (tua-muda, seksi-tidak seksi) dan menggunakan logika tersebut untuk menyerang perempuan yang dianggap sebagai pesaing. Ekspresi Hasrat Menurut Kullick (2003), hasrat untuk pengakuan, keintiman, pemenuhan erotis bukanlah hal yang spesifik kepada jenis orang dengan orientasi seksual tertentu. Berbagai hal spesifik yang terkait dengan kelompok atau jenis orang tertentu mengindikasikan hal khusus yang mereka inginkan dan juga merupakan cara pengkodean budaya dalam rangka menunjukkan keinginan/hasrat tersebut. Hasrat seksual seorang laki-laki kepada perempuan, misalnya, disampaikan melalui serangkaian kode-kode semiotik yang secara secara sadar ataupun tidak dilakukan melalui cara penyampaian yang dikenali. Kode-kode tersebut dikenali karena merupakan tanda-tanda yang terus diulang dan berputar di dalam kehidupan sosial. Kode-kode yang terus diulang pada berbagai konteks membuat kita bisa mengenali hasrat sebagai hasrat. Dengan kata lain, hasrat tidak bisa dipahami dengan baik hanya dengan mengandalkan maksud/keinginan individu saja (Kulick, 2003:119-141). Hasrat adalah permasalahan hubungan kuasa dan berbagai domain sosial/budaya. Secara dominan perempuan diaggap sebagai kelompok yang lebih pasif secara seksual dibandingkan laki-laki. Logika ini tampaknya juga digunakan oleh RRK untuk memposisikan dirinya sebagai korban rayuan dari ZRD sehingga mau berhubungan intim dengan ZRD. 196 International Conference of Communication, Industry, and Community. Bali, 3-4 Maret 2016 ISBN: 978-602-74139-1-7 Gambar 8: Ekspresi Hasrat Banyak faktor yang ikut mempengaruhi cara seseorang mengkomunikasikan hasrat. Terkait dengan fenomena tersebut maka penelitian ini di dalam memaknai ekspresi hasrat perempuan tidak hanya akan mengkaji yang terucap namun juga akan melihat represi dan motivasi di dalam hubunganhubungan kuasa yang terjadi. Melakukan intertekstual dengan berbagai kondisi, sejarah, modal yang dimiliki oleh semua individu yang terlibat di dalam arena sosial akan membantu pemahaman terhadap hal-hal yang tidak terucap secara jelas di dalam ekspresi hasrat. Pembicaraan mengenai hasrat tidak bisa lepas dari pendisiplinan tubuh feminin dan seksualitas perempuan. Simpulan Media sosial seperti instagram memang bisa memberi kesempatan kelompok marginal untuk bersuara. Namun, penelitian ini menunjukkan bahwa tidak mudah untuk bisa keluar dari pola pikir dualisme yang secara dominan telah menjadi habitus bahasa sehari-hari perempuan. Analisis teks dari dua selebgram perempuan menunjukkan bahwa ketika perempuan terlibat konflik tema-tema seperti posisi sosial, cinta, ekspresi tubuh, dan ekspresi hasrat menjadi topik utama yang digunakan untuk menunjukkan cara pandang dan posisi tawar (modalitas) yang mereka miliki. Meskipun media sosial bisa memberikan kesempatan kepada perempuan untuk lebih bebas bersuara tetapi tampaknya banyak perempuan yang masih menggunakan pola pikir dualisme ketika mereka mengalami koflik personal. Daftar Pustaka Cameron, D. K., Don. (2003). Language and Sexuality. Cambridge: Cambridge University Press. Genz, S. B., Benjamin A. (2009). Postfeminism: Cultural Texts and Theories. Edinburgh: Edinburgh University Press. 197 International Conference of Communication, Industry, and Community. Bali, 3-4 Maret 2016 ISBN: 978-602-74139-1-7 Hall, K. (2004). Language and Marginalized Places. In M. Bucholtz (Ed.), Language and Woman's Place: Text and Commentaries (pp. 171-178). Oxford: Oxford University Press. Heiner, R. (2006). Social problems: an introduction to critical constructionism (2 ed.). New York: Oxford University Press. Irigaray, L. (2005). Aku, Kamu, Kita: Belajar Berbeda. Jakarta: KPG. Kramarae, C. (1981). Women and Men Speaking. Rowley: Newbury House Publishers. Kulick, D. (2003). Language and Desire. In J. H. M. Mayerhoff (Ed.), The Handbook of Language and Power (pp. 119-141). Maiden: Blackwell Publishing. Mantila, K. (2004). When Love Hits the Fan. Off Our Backs, 34(5/6), 30-31. McHugh, N. A. (2007). Feminist Philosophies A–Z. Edinburgh: Edinburgh University Press. Weedon, C. (1992). Feminist Practice and Poststucturalist Theory. Oxford: Blackwell Publishers.. Biografi Singkat Penulis Hapsari Dwiningtyas Sulistyani adalah dosen Jurusan Ilmu Komunikasi, FISIP, UNDIP. Penulis lahir di Banjarnegara, 23 Juli 1975. Penulis bergabung menjadi tenaga pengajar di Undip sejak tahun 1998. Mata kuliah yang diampu oleh penulis antara lain: Komunikasi Gender, Manajemen Pemasaran Sosial, Pengantar Ilmu Komunikasi, Komunikasi Kelompok, Human Relations, dan Media dan Isu-isu Minoritas. Pendidikan S1 dari penulis ditempuh di Jurusan Ilmu Komunikasi Universitas Diponegoro, S2 di Communication and Cultural Studies, Curtin University of Technology, dan S3 di program pasca sarjana Ilmu Komunikasi, Universitas Indonesia. Fokus utama penelitian dan publikasi dari penulis adalah tema-tema yang berkaitan dengan bidang: media, budaya, dan gender. 198 International Conference of Communication, Industry, and Community. Bali, 3-4 Maret 2016 ISBN: 978-602-74139-1-7 REPRESENTASI OPINI PUBLIK DI MEDIA SOSIAL (KASUS MEME BEKASI DI MEDIA SOSIAL PATH DAN TWITTER) Fitrie Handayani, Siti Dewi Sri Ratna Sari, Wira Respati Marketing Communication Department, BINUS University [email protected]; [email protected]; [email protected] Abstract The fast pacing technology and internet offer more channels/media to express one’s opinion. Social media becomes popular alternative for expressing opinion. Cases show how personal opinion that were posted in social media easily became viral and trending topics in society. Expression of thought is perfectly facilitated by meme in social media. Object examined in this study is meme about social condition in Bekasi. This study aims at revealing how meme in social media (Path and Twitter) represents public opinion. A qualitative descriptive method is applied to analyse issues that are expressed by meme about Bekasi and the purpose of distributing them in social media. The result shows that issues that being concerned were about distance, bad traffic, extreme hot temperature and bumpy roads. The purpose of using meme is because it is funny and easily get response. The result also shows that responding to a meme by retweeting or repathing do not necessarily means agreement to the issues. Keywords: public opinion, representation theory, social media, meme Abstrak Berkembangnya teknologi dan internet, menyebabkan media untuk mengekspresikan pendapat semakin beragam. Media sosial menjadi alternatif populer dalam mengekspresikan pendapat. Banyak kasus opini pribadi yang diunggah di media sosial kemudian menjadi viral dan menjadi diskusi di masyarakat. Pernyataan ekspresi dengan sempurna difasilitasi oleh media sosial dalam bentuk meme (baca: mim). Salah satu kasus pemanfaatan meme sebagai ekspresi tentang kondisi sosial adalah meme tentang Bekasi. Penelitian ini bertujuan untuk mengungkap bagaimana representasi opini publik yang tersebar melalui meme di media sosial, seperti Path dan Twitter. Penelitian ini akan menggunakan pendekatan kualitatif deskriptif. Hasil penelitian menunjukkan bahwa isu yang diangkat melalui meme adalah tentang: jauh, macet, panas dan jalan rusak. Adapun tujuan menyebarkan meme adalah karena lucu dan agar mendapat respon. Hasil wawancara juga menunjukkan bahwa dengan meretweet atau merepath suatu meme bukan berarti setuju dengan isu dimaksud. Kata Kunci: opini publik, teori representasi, media sosial, meme Pendahuluan Komunikasi merupakan suatu proses yang dinamis, yang selalu berkembang seiring perkembangan zaman. Dengan teknologi komputer dan internet sebagai media baru telah menambah bahkan mengubah cara komunikasi 199 International Conference of Communication, Industry, and Community. Bali, 3-4 Maret 2016 ISBN: 978-602-74139-1-7 manusia.. Media untuk mengekspresikan pendapat semakin beragam. Media sosial menjadi alternative popular dalam mengekspresikan pendapat. Banyak kasus opini pribadi yang diunggah di media sosial kemudian dengan cepat menyebar dan menjadi diskusi di masyarakat. Diskusi ini kemudian menjadi viral dan menimbulkan pro dan kontra dan berkembang menjadi opini publik. Pemanfaatan media sosial saat ini menjadi tempat bagi masyarakat menyampaikan opini publik dari suatu isu yang dianggap melukai rasa keadilan masyarakat atau yang bersifat human interest. Tahun 2012-2015, media sosial telah banyak digunakan individu ataupun kelompok untuk mengungkapkan pendapat (opini) mengenai kejadian dalam masyarakat yang cukup mengundang perhatian masyarakat diantaranya adalah kasus Koin untuk Prita, dan Koin untuk Balqis. Kasus Rasyid Rajasa anak seorang menteri yang menjadi tersangka utama kecelakaan maut di sebuah ruas Jalan Tol di Jakarta. Lalu, kasus Florence yang mengungkapkan kekesalannya terhadap Jogjakarta di Path yang menimbulkan reaksi luas dari masyarakat Jogja. Opini merupakan expressed statement yang bisa diucapkan dengan katakata, juga bisa dinyatakan dengan isyarat atau cara-cara lain yang mengandung arti dan segera dapat dipahami maksudnya (Arifin, 2010). Pernyataan ekspresi yang marak dan dengan sempurna difasilitasi oleh media sosial adalah meme. Akhir-akhir ini geliat visual di dunia internet Indonesia tengah berada pada tingkatan yang masif. Puluhan hingga ratusan citraan foto bergerak-berseliweran setiap hari di media sosial kita. Citraan-citraan tersebut biasanya disertai dengan teks-teks dengan gaya kritik menggelitik. Isu yang disampaikan pun merupakan representasi dari kejadian-kejadian populer yang sedang ramai menjadi perbincangan masyarakat, meskipun tidak jarang juga mengangkat isu keseharian seperti tentang percintaan, pengalaman hidup, pendidikan, sampai agama. Citraan-citraan tersebut disebut dengan meme (baca: mim) atau internet meme. Salah satu kasus kritik sosial yang disebarkan melalui meme adalah kritik tentang Bekasi. Meme yang lucu namun sarat kritik merupakan pernyataan ekspresi masyarakat . Meme tentang Bekasi merupakan representasi opini masyarakat tentang kondisi jarak tempuh, kemacetan, suhu panas dan transportasi di Bekasi. Berdasarkan latar belakang tersebut, peneliti tertarik untuk melakukan penelitian yang berjudul “REPRESENTASI OPINI PUBLIK DI MEDIA SOSIAL TENTANG KONDISI BEKASI (STUDI KASUS MEME BEKASI DI MEDIA SOSIAL PATH DAN TWITTER) Tujuan dari penelitian ini secara khusus adalah untuk memahami bagaimana opini yang berkembang di masyarakat tentang kondisi yang kurang nyaman tentang Bekasi diekspresikan melalui penyebaran meme di media sosial Path dan Twitter. Penelitian ini juga bertujuan untuk memahami alasan mengangkat isu tersebut melalui meme sehingga menjadi wacana di kalangan netizen. Adapun secara umum penelitian ini dimaksudkan untuk mendapatkan jawaban dari permasalahan komunikasi yang sedang berkembang sehingga dapat digunakan dalam mengembangkan dan menjawab permasalahan komunikasi dan mengembangkan teori-teori dalam kajian komunikasi yang sejenis dengan hasil penelitian yang akan dilaksanakan nantinya. 200 International Conference of Communication, Industry, and Community. Bali, 3-4 Maret 2016 ISBN: 978-602-74139-1-7 Tinjauan Pustaka Teori Representasi Dalam kajian mengenai media, Graeme Burton (2008: 19) mendefinisikan representasi sebagai sebuah konsep yang merujuk pada presentasi media terhadap berbagai kelompok sosial, yang dikategorikan dengan banyak cara-antara lain melalui gender, etnisitas, umur, dan kelas sosial. Secara lebih spesifik Stuart Hall mengatakan bahwa representasi adalah proses pengkonstruksian identitas kelompok-kelompok sosial oleh media (Burton, 2008: 32). Konsep representasi ini berkaitan dengan stereotip dan pembuatan makna. Apa yang direpresentasikan pada kita melalui media, adalah maknamakna tentang dunia, cara kita memahami dunia (Burton, 2008:133). Contoh stereotip dalam representasi pada meme adalah letak Bekasi yang berada diantara bumi dan matahari. Representasi semacam itu menunjukkan panasnya suhu Bekasi yang dikarenakan tatakota yang kurang tepat sehingga lahan hijau kurang. Proses representasi tidak sekedar membuat suatu identitas menjadi tampak nyata, tetapi sesungguhnya merekalah yang membuat identitas itu (Webb, 2009:10). Opini Publik Cutlip dan Center (Olli: 2007) menyatakan bahwa opini publik adalah sejumlah akumulasi pendapat individual tentang suatu isu dalam pembicaraan secara terbuka dan berpengaruh terhadap sekelompok orang. Opini atau pendapat dipahami sebagai jawaban atas pertanyaan atau permasalahan yang dihadapi dalam suatu situasi tertentu. Walau validitasnya lebih tipis dibanding pengetahuan positif, namun lebih kuat dari dugaan atau sekedar kesan. Sebagaimana diformulasikan Robert E.Lane dan David O.Sears (1965) “..an opinion is an answer that is given to a question in a given situation.” Dan ditambahkan Kimbal Young dalam Arifin (2010) “opinion means a belief or a conviction more verifiable and stronger in intensity than a mere hunch or impression but less valid than truly verifiable or positive knowledge.” Opini merupakan expressed statement yang bisa diucapkan dengan katakata, juga bisa dinyatakan dengan isyarat atau cara-cara lain yang mengandung arti dan segera dapat dipahami maksudnya (Arifin, 2010). R.P Abelson (dalam Ruslan 1999) bahwa untuk memahami proses pembentukan opini seseroang dan Publik berkaitan erat dengan sikap mental (Attitude), persepsi (perception) yaitu proses pemberian makna dan hingga kepercayaan tentang sesuatu (belief). Meme Istilah meme pertama kali diperkenalkan oleh seorang ahli biologi asal Britania Raya, Richard Dawkins. Akar katanya berasal dari bahasa Yunani, yakni mimesis, yang berarti tiruan. Dawkins memaknai meme sebagai suatu unit informasi budaya (berupa pemikiran, ide, gagasan, kebiasaan, lagu, fesyen) yang membentuk pola-pola kebudayaan tertentu. Ia menganalogikan meme dengan 201 International Conference of Communication, Industry, and Community. Bali, 3-4 Maret 2016 ISBN: 978-602-74139-1-7 gen, gen seperti yang ada di tubuh manusia.. Dalam bukunya yang berjudul The Selfish Gene dijelaskan jika gen bereplika dari satu tubuh pada tubuh keturunannya, sedangkan meme bereplika dari kognisi manusia yang satu ke kognisi manusia lainnya melalui berbagai media, misalnya melalui interaksi manusia, iklan, video, gambar, ceramah, buku, dan lain-lain. Dalam konteks budaya visual internet, khususnya fotografi digital, meme diciptakan melalui proses replikasi dan modifikasi dari citra-citra fotografis yang telah tersedia di mesin google. Sang kreator biasanya hanya tinggal melengkapi foto temuannya itu dengan teks, atau dengan mengurangi dan menambahkan elemen gambar melalui proses olah digital sederhana, tergantung kesesuaian konteks informasi apa yang ingin disampaikan. Setelah proses penciptaan selesai, meme foto atau gambar akan disebar dan menyebar melalui layanan share, retweet, atau repost di media sosial. Metodologi Penelitian ini dilakukan degan pendekatan kualitatif deskriptif melalui metode observasi. Objek penelitiannya adalah meme di media sosial Path dan Twitter yang mengangkat tentang Bekasi. Selain itu juga akan dilakukan wawancara mendalam untuk mengetahui alasan menyebarkan meme di media sosial. Wawancara dilakukan secara tatap muka. Jika tidak memungkinkan melalui tatap muka, wawancara dilakukan melalui daftar pertanyaan secara terstruktur melalui email. Proses analisis data melalui reduksi data sebelum dilakukan interpretasi. Penelitian ini menggunakan metode analisis triangulasi, yaitu: triangulasi data (menggunakan data hasil wawancara) dan triangulasi teori (menggunakan tinjauan pustaka untuk menginterpretasikan hasil wawancara). Informan dalam penelitian ini dipilih berdasarkan aktivitasnya di media sosial. Semua informan dalam penelitian ini telah aktif di media sosial lebih dari 4 tahun, bahkan tiga diantara mereka telah menjadi digital influencer atau tokoh yang memiliki pengaruh di media sosial (dilihat dari impact postingan mereka, peran mereka sebagai buzzer dan jumlah follower nya). Nama Informan Usia (thn) Pekerja an Domisili Mulai kenal Media Sosial Wicaksono @ndorokakun g 45 Penggiat Media Tangeran g Derry Yan @derry_yan @pejuangkuis 22 Karyawa n Swasta Bekasi 2004 (blog), Twitter & FB (lupa) Path (2012) 2011 (Twitter dan Path) 202 Media Sosial yang Aktif Twitter, Path Twitter International Conference of Communication, Industry, and Community. Bali, 3-4 Maret 2016 ISBN: 978-602-74139-1-7 Yuna Davina @ydavina Yustina Tantri @yustinaw 37 Karyawa Jakarta 2009 (Twitter) n Swasta 2012 (Path) 30 Penggiat Jakarta Media dan Penulis Tabel 1. Data informan Hasil Temuan dan Diskusi Path Twitter Isu-isu yang diangkat melalui meme Bekasi Dari hasil observasi yang dilakukan, ada beberapa kategori isu yang diangkat dalam meme tentang Bekasi. Isu-isu tersebut merupakan representasi kondisi Bekasi yang dirasakan: jauh, macet, panas, jalan rusak. Semua informan menyebutkan isu yang sama, yaitu jauhnya jarak antara Jakarta-Bekasi. Ketika dielaborasi lebih lanjut, „jauh‟ ini cenderung kepada lamanya „jarak tempuh‟ yang diperlukan untuk menuju Bekasi. Beberapa meme bahkan dapat diinterpretasi ke dalam beberapa isu. Hal ini terjadi karena isu-isu tersebut bisa sangat berkaitan dan berdampak satu sama lain, misalnya karena jalanan rusak maka lalu lintas menjadi tersendat sehingga waktu tempuh menjadi lama sehingga terasa jauh. Gambar 1: Salah Satu Meme Yang Mengangkat Isu Jauh Dan Macet 203 International Conference of Communication, Industry, and Community. Bali, 3-4 Maret 2016 ISBN: 978-602-74139-1-7 Yustina dari Awesometrics mengatakan bahwa meme-meme tersebut menyiratkan kritikan, atau keluhan publik, termasuk dari warga Bekasi sendiri, khususnya soal tata perkotaan. Pembangunan perumahan dan mal yang sangat pesat justru memunculkan berbagai masalah seperti kemacetan, jalan raya yang rusak disana-sini. Kondisi yang kian hari kian parah ini berdampak juga pada udaranya yang makin tercemar, sehingga hawa di kawasan Bekasi makin panas. Faktor yang menyebabkan meme Bekasi menjadi trending Media Sosial yang dinamis memungkinkan beredarnya berbagai opini secara cepat. Tidak banyak dari ratusan bahkan ribuan opini tersebut yang menarik perhatian publik secara massif. Hampir semua informan mengatakan faktor yang menyebabkan suatu meme menjadi trending (ramai dibahas) adalah karena lucu. Wicaksono menganggap adanya kecenderungan netizen untuk me’like’, ‘share’ atau ‘retweet’ segala hal di media sosial, tanpa selalu memiliki maksud tertentu. Menurut istilah Wicaksono, para netizen seperti itu disebut generasi ‘clicking monkey’. Akibatnya, apapun yang dibagikan di media sosial menjadi lebih cepat menyebar, mengundang lebih banyak perhatian bahkan kemudian menjadi trending. Alasan menggunakan meme untuk mengekspresikan opini Menurut Yustina Tantri dari Awesometric “Meme bisa merangkum satu hingga lebih pesan atau kritikan, dan bentuknya lebih menarik untuk disebarkan karena ada gambar, foto, dan quote yang “menyentil”. Karenanya, meme yang disebarkan di media sosial lebih cepat viral daripada sekadar kata-kata.” Wicaksono menyampaikan bahwa orang membuat meme untuk merespon terhadap situasi yang mereka lihat. Biasanya tidak ada maksud serius. Pada kasus meme Bekasi, alasan penyebaran meme lebih karena lucu. Menurut Yuna, penggunaan meme juga bisa menjadi jalan untuk seseorang menjadi „terkenal‟ ketika meme buatannya di repath/retweet oleh pengguna sosial media. Hal senada juga diungkapkan Derry (@derry_yan), yang ikut memposting dan membuat meme tentang Bekasi agar eksis, tidak ketinggalan trend dan agar meninggalkan jejak di media sosial Seperti apa yang telah disampaikan oleh Mc Luhan medium is the message, komputer dan internet sebagai media yang membawa pesan berupa teks dan gambar yang khusus telah membentuk cara-cara manusia berbagi pengalaman dan berkomunikasi. Hampir semua informan setuju bahwa ketertarikan mereka terhadap meme adalah karena visualisasi berupa teks dan gambar yang lucu. Pendapat tentang meme dan opini publik “Opini public bisa muncul dalam bentuk meme. Meme adalah salah satu wujud opini publik”. ungkap Wicaksono. Hal yang senada juga disampaikan para informan lainnya.. Hal ini sesuai dengan yang disampaikan Arifin (2010) yaitu “Opini merupakan expressed statement yang bisa diucapkan dengan kata-kata, juga bisa dinyatakan dengan isyarat atau cara-cara lain yang mengandung arti dan segera dapat dipahami maksudnya.” 204 International Conference of Communication, Industry, and Community. Bali, 3-4 Maret 2016 ISBN: 978-602-74139-1-7 Moore (2004:55) berpendapat akar dari proses pembentukan opini adalah sikap (attitude). Sikap adalah perasaan atau suasana hati seseorang mengenai orang, organisasi, persoalan atau objek. Sikap menggambarkan predisposisi seseorang untuk mengevaluasi masalah kontroversional dengan cara menyenangkan ataupun tidak menyenangkan. Secara singkat, sikap adalah suatu cara untuk melihat situasi. Sikap yang diungkapkan adalah opini. Latarbelakang kebudayaan, ras, dan agama seringkali menentukan sikap seseorang. Representasi Kondisi melalui gambar dan teks Semua informan setuju bahwa ketertarikan mereka terhadap meme adalah karena visualisasi berupa teks dan gambar yang lucu. Teks dan gambar yang disajikan dalam meme merupakan representasi dari kondisi/keadaan di dunia nyata. Representasi yang terdapat dalam meme Bekasi antara lain: 1. Penggambaran „jauh‟nya jarak antara Bekasi dan Jakarta diwakili oleh gambar dan teks antara lain: - Menggunakan Apollo atau sejenis pesawat luar angkasa untuk pergi ke Bekasi - Diperlukan persiapan waktu lama bahkan berhari-hari untuk bepergian dari Bekasi ke Jakarta 2. Penggambaran suhu di Bekasi diwakili oleh gambar dan teks antara lain - Posisi Bekasi yang berada diantara bumi dan matahari (lebih dekat ke matahari) sehingga lebih panas 3. Penggambaran kondisi jalan-jalan di Bekasi diwakili oleh gambar dan teks antara lain: - Jika lagi jalan tiba-tiba melewati jalan yang rusak artinya sudah berada di Bekasi 4. Penggambaran „macet‟ nya dari dan menuju Bekasi diwakili oleh gambar dan teks antara lain: - Penyesalan orang yang baru membeli rumah di Bekasi karena harus berangkat ke tempat kerja dinihari kalau tidak ingin terjebak macet Gambar 2: Meme Tentang Jalan Rusak Di Bekasi 205 International Conference of Communication, Industry, and Community. Bali, 3-4 Maret 2016 ISBN: 978-602-74139-1-7 Simpulan Dari hasil penelitian dan pembahasan di atas dapat disimpulkan bahwa media sosial banyak dimanfaatkan untuk mengekspresikan pendapat/opini pribadi. Ekspresi pribadi ini juga kini banyak dituangkan dalam bentuk meme, berupa kombinasi gambar dan kata-kata yang lucu, sehingga mudah menarik perhatian masyarakat. Representasi opini yang dituangkan melalui meme ini lebih digandrungi karena bisa multi interpretasi dan …. Kecenderungan untuk mereplika atau meneruskan meme ternyata tidak selalu berbanding lurus dengan „persetujuan‟ terhadap isu yang diangkat dalam meme. Kecanggihan gadget dan koneksi internet membuat orang cenderung membagi segala hal yang mereka dapatkan di media sosial, tanpa selalu ada maksud serius. Kebutuhan untuk meninggalkan jejak di media sosial lebih menjadi faktor para netizen untuk meneruskan (retweet/repath) meme yang mereka dapatkan. Meme dapat merupakan wujud opini yang ada di masyarakat. Namun karena dinamisnya media sosial, isu yang diangkat meme cenderung tidak bertahan lama, karena akan selalui ada hal baru yang diangkat di media sosial. Karena itu dampak dari meme yang berupa kritik sosial pun tidak akan signifikan bagi perubahan kebijakan publik. Perkembangan internet dan media sosial telah membawa beberapa fenomena baru dalam pola komunikasi. Hal ini membuka banyak peluang untuk dapat dilakukan riset. Oleh karenanya, dari hasil penelitian disini perlu dilakukan riset dan kajian yang lebih mendalam tentang perkembangan dan budaya manusia dalam berkomunikasi melalui saluran internet terutama melalui media sosial. Daftar Pustaka Safko, Lon. (2010). The Social Media Bible: Tactics, Tools & Strategies for Business Success. New Jersey: Wiley Griffin, EM. (2012). A First Look at Communication Theory. McGraw-Hill. NewYork. Kriyantono, R. (2006). Teknis Praktis Riset Komunikasi. Jakarta: Kencana. Samovar.Richard E. Porter dan Edwin McDaniel.2006. Intercultural Communication. Belmont: Thomson Learning. Livingstone, Sonia (2007). Handbook of New Media Sage Publications London:. McQuail, Dennis. (2005). Mass Communication Theory; Fifth Edition. Oxfordshire: Alden Press. Nasrullah, Rulli. (2014). Cetakan Ke II. Komunikasi Antarbudaya: di Era Budaya Siber. Jakarta: Kencana Prenada Media Group. Wibowo, Indowan Seto Wahyu. (2014). New Media dan Multikulturalisme. Jurnal Ultimacomm Vol.1 1979-1232. 206 International Conference of Communication, Industry, and Community. Bali, 3-4 Maret 2016 ISBN: 978-602-74139-1-7 Biografi Penulis Penulis lahir di Jakarta 16 Oktober 1974. Saat ini aktif menjadi dosen di Universitas Bina Nusantara. Penulis mendapatkan gelar sarjana teknik industri di Universitas Trisakti pada tahun 1998 dan mendapatkan gelar master marketing komunikasi di Universitas Indonesia pada tahun 2003. 207 International Conference of Communication, Industry, and Community. Bali, 3-4 Maret 2016 ISBN: 978-602-74139-1-7 AKTIVITAS BUDAYA PARTISIPATIF REMAJA DALAM MENGGUNAKAN MEDIA BARU Endah Murwani, Indiwan Seto Wibowo, Joice Caroll Siagian Universitas Multimedia Nusantara [email protected] Abstract This research is motivated digital natives growing phenomenon in Indonesia. The new media has become a center for the life of young people who provide ease of access and interaction opportunities wider and faster to build a social network, a means of expression, share ideas and opinions. The potential use of this new media form a community of convergence that leads to a participatory culture and allows people to become prosumer - producers and consumers. The question is whether digital natives Indonesia has been using new media optimally to be an innovator, producer or contributors can change the media environment? This study aims to identify the youth participatory cultural activities, in this case the high school students in Jakarta. Reference the underlying concept of this study is the participatory culture of new media from Henry Jenkins is classified in the category of affiliation, expression, collaborative problem solving and circulation. The study used survey method, by taking a sample of 200 high school students in Jakarta through multistage sampling technique. The results showed that: 1) affiliate activity has been carried out by joining the various social networks; 2) While the expression activity which produces creative content, not many high school students do. The position they still tend as a connoisseur and observer creative contents; 3) For the activity of collaboration - although limited in scope but has already done the Jakarta high school students, especially in cooperation complements and completing school assignments; 4) For the circulation activity a form of participatory culture which distributes the flow of information, do a lot of activities that are particularly podcasting download music, movies, programs. While blogging is still less do. Therefore a literacy about forms of participatory culture that is more productive content creation. Keywords: partisipatory culture, affiliation, expression, collaboration, sirculation Abstrak Penelitian ini dilatarbelakangi fenomena tumbuhnya digital natives di Indonesia. Media baru telah menjadi tempat pusat bagi kehidupan anak-anak muda yang memberikan akses kemudahan dan kesempatan interaksi yang semakin luas dan cepat untuk membangun jejaring sosial, sarana berekspresi, berbagi gagasan dan pendapat. Potensi penggunaan media baru ini membentuk masyarakat konvergensi yang mengarah pada budaya partisipatif dan memungkinkan orangorang menjadi prosumer - produsen sekaligus konsumen. Persoalannya adalah apakah digital natives Indonesia telah menggunakan media baru secara optimal untuk menjadi inovator, produser atau kontributor yang bisa merubah lingkungan 208 International Conference of Communication, Industry, and Community. Bali, 3-4 Maret 2016 ISBN: 978-602-74139-1-7 media ? Penelitian ini bertujuan untuk mengidentifikasi aktivitas budaya partisipasif para remaja, dalam hal ini pelajar SMA di DKI Jakarta. Acuan konsep yang mendasari penelitian ini adalah budaya partisipatif media baru dari Henry Jenkins yang diklasifikasikan dalam kategori afiliasi, ekspresi, pemecahan masalah kolaboratif dan sirkulasi. Penelitian menggunakan metode survey, dengan mengambil sampel 200 pelajar SMA di DKI Jakarta melalui teknik multistage sampling. Hasil penelitian menunjukkan bahwa : 1) aktivitas afiliasi telah dilakukan dengan bergabung dalam berbagai jejaring sosial; 2) Sedangkan aktivitas ekspresi yang menghasilkan konten kreatif, belum banyak dilakukan para pelajar SMA. Posisi mereka masih cenderung sebagai penikmat dan pengamat konten-konten kreatif; 3) Untuk aktivitas kolaborasi – meskipun dalam lingkup terbatas tetapi sudah dilakukan para pelajar SMA DKI Jakarta, terutama dalam kerjasama melengkapi dan menyelesaikan tugas-tugas sekolah; 4) Untuk aktivitas sirkulasi – bentuk budaya partisipatif yang mendistribusikan aliran informasi, aktivitas yang banyak dilakukan adalah podcasting terutama mengunduh musik, film, program acara. Sedangkan blogging masih kurang dilakukan. Oleh karenanya diperlukan literasi tentang bentuk-bentuk budaya partisipatif yang lebih produktif yaitu kreasi konten. Kata Kunci: budaya partisipatif, afiliasi, ekspresi, kolaborasi, sirkulasi Pendahuluan Fenomena digital natives sedang tumbuh di Indonesia. Hal ini tampak tergambar dari data statistik yang dikeluarkan oleh www.internetworldstats.com yang menunjukkan bahwa pengakses internet di wilayah Asia, Indonesia menempati urutan kelima setelah China, Jepang, India, dan Korea Selatan. Data yang dilansir oleh Asosiasi Penyelenggara Jasa Internet Indonesia (APJII) juga menunjukkan pertumbuhan penggunaan internet di Indonesia terus meningkat. Tahun 2014 penetrasi pengguna internet di Indonesia telah mencapai 88,1 juta orang atau 34.9% dari total penduduk Indonesia. Berdasarkan usia pengguna, hampir setengah dari total jumlah pengguna internet di Indonesia yakni 49% adalah berusia 18-25 tahun. Hal ini menunjukkan bahwa segmen pengguna internet di Indonesia adalah mereka yang termasuk dalam kategori digital natives. Sedangkan alat yang digunakan untuk mengakses internet mayoritas menggunakan telepon selular (85%). Demikian pula dari sisi penggunaan media komunikasi, jejaring sosial telah mengubah cara orang berinteraksi. Jejaring sosial telah menggeser penggunaan email dan messenger sebagai sarana orang berkomunikasi. Munculnya jejaring sosial baru yang menawarkan layanan fitur-fitur lebih lengkap menggeser juga jejaring sosial yang telah ada sebelumnya. Bila 2-3 tahun yang lalu facebook dan twitter masih bertengger sebagai jejaring sosial dengan jumlah pengguna terbanyak. Akan tetapi, saat ini para remaja berangsurangsur beralih ke jejaring sosial dan layanan aplikasi berbasis web seperti Instagram, Path, Snapchat dan LINE. Data yang dilansir bulan Agustus 2015 209 International Conference of Communication, Industry, and Community. Bali, 3-4 Maret 2016 ISBN: 978-602-74139-1-7 memperlihatkan trend penggunaan media LINE oleh para remaja, menempatkan Indonesia menjadi negara ke 3 terbesar penggunaan LINE. Hasil penelitian diatas memperlihatkan bahwa media baru telah menjadi tempat pusat bagi kehidupan sosial dan budaya anak-anak muda. Kekuatan besar media baru ini telah digenggam oleh anak-anak muda. Dunia masa depan adalah dunia para digital natives. Budaya dan gaya hidup masa depan adalah budaya dan gaya hidup digital natives. Bagi mereka, media baru memberikan akses kemudahan dan kesempatan interaksi yang semakin luas dan cepat untuk membangun jejaring sosial, sarana berekspresi, berbagi gagasan dan pendapat. Menurut Livingstone (2002 : 2) media baru membuka kesempatan bagi partisipasi demokratis dan komunitas untuk berkreativitas, ekspresi diri dan tak terbatasnya pengetahuan dapat mendukung keberagaman, perbedaan dan debat yang sehat. Bahkan Jenkins (2006) melihat potensi penggunaan media baru ini akan memunculkan budaya partisipatif yang memungkinkan orang-orang menjadi prosumer - produsen sekaligus konsumen. Paparan diatas memperlihatkan bahwa budaya partisipatif ini sangat potensial sehingga remaja perlu dikembangkan kemampuan untuk menjadi produser, kreator dan distributor yang mumpuni. Persoalannya, apakah digital native Indonesia hanya berbangga sebagai pengguna internet dan jejaring sosial terbesar ? apakah digital native Indonesia telah menggunakan media baru secara optimal untuk menjadi inovator, produser atau kontributor yang bisa merubah lingkungan media ? Untuk itu, penelitian ini bertujuan mengidentifikasi aktivitas budaya partisipatif remaja melalui jejaring sosial ke dalam kategori afiliasi, ekspresi, pemecahan masalah kolaboratif dan sirkulasi Tinjauan Pustaka Jenkins (2006) menyatakan bahwa sifat interaktivitas teknologi mendorong munculnya budaya partisipatif. Lebih lanjut Jenkins memaparkan bahwa budaya partisipatif adalah budaya dimana orang-orang (baik sebagai pribadi maupun publik) tidak dapat bertindak sebagai konsumen saja, tetapi juga menjadi kontributor atau produser (prosumers). Internet memungkinkan orang secara pribadi untuk menciptakan dan mempublikasikan media melalui internet. Budaya baru ini menghubungkan internet yang digambarkan sebagai web 2.0. Dalam budaya partisipatif ‘orang-orang muda secara kreatif merespon signalsignal elektronik dan komoditas-komoditas budaya’ Meningkatnya akses ke internet telah menjadi suatu bagian integral dalam ekspansi budaya karena meningkatkan kemampuan orang bekerja kolaboratif yakni mengembangkan dan menyebarkan berita, ide dan karya-karya kreatif dan berhubungan dengan orang yang memiliki tujuan dan kepentingan yang sama. Potensi budaya partisipatif untuk keterlibatan dan ekspresi kreatif telah diteliti oleh Jenkins. Budaya partisipatif dianggap potensial karena 1) hambatan untuk ekspresi artistik dan keterlibatan anggota termasuk relatif rendah; 2) adanya dukungan yang kuat untuk menciptakan dan membagi kreasi 210 International Conference of Communication, Industry, and Community. Bali, 3-4 Maret 2016 ISBN: 978-602-74139-1-7 dengan orang lain; 3) kepercayaan diantara para anggota tentang cara mereka saling memberi kontribusi; 4) adanya tingkat koneksi sosial dengan orang lain Dalam budaya partisipatif, konsumen aktif berhubungan dengan partisipan lainnya untuk merubah lingkungan media. Teknologi baru menjadi alat dalam suatu „multimedia sandbox‟ yang memberdayakan konsumen menjadi kreator, artis dan visioner. Seseorang dengan mudah mengedit video, memanipulasi grafik dan menempatkan di YouTube. Bagi Jenkins “the power of participation comes not from destroying commercial culture, but from writing over it, modding it, amending it, expanding it, adding greater diversity of perspective, and then re-circulating it, feeding it back into the mainstream media.” Bentuk-bentuk budaya komunikasi partisipatif menurut Jenkins : 1) Afiliasi – keanggotaan formal dan informal dalam kelompok atau komunitas online seperti facebook, twitter ataupun mailing list; 2) Ekspresi – menghasilkan bentuk-bentuk kreatif baru seperti fan fiction; 3) Penyelesaian Masalah Kolaboratif – bekerjasama dalam tim, formal dan informal – untuk melengkapi tugas dan mengembangkan pengetahuan baru (misal melalui Wikepedia); 4) Sirkulasi – membentuk aliran media (seperti podcasting atau bogging). Sebuah budaya partisipatif juga merupakan salah satu di mana para anggotanya percaya dengan kontribusi mereka, dan merasa memiliki kesamaan derajat hubungan sosial satu sama lain. Setidaknya, mereka peduli dengan apa yang orang lain pikirkan mengenai apa yang mereka ciptakan (Jenkins, 2007: 3). Metodelogi Penelitian ini dilakukan untuk memperoleh gambaran umum (deskripsi) tentang aktivitas budaya partisipatif para pelajar SMA dalam jejaring sosial. Metode survey dipilih dalam penelitian ini dengan menggunakan kuesioner sebagai alat pengumpulan data yang pokok dan disebarkan pada para pelajar SMA di DKI Jakarta Populasi penelitian ini adalah seluruh pelajar SMA di DKI Jakarta. Pelajar SMA dipilih sebagai obyek penelitian, dengan pertimbangan sebagai berikut : 1) pelajar SMA termasuk dalam kategori usia remaja; 2) pelajar SMA merupakan digital native yang diasumsikan lahir dan tumbuh dalam era media baru; 3) pelajar SMA potensial untuk dikembangkan budaya partisipatif dalam komunitas on line. Mengenai dipilihnya wilayah DKI Jakarta, penelitian ini merujuk pada hasil survey APJII tahun 2014 bahwa pengguna internet didominasi oleh mereka yang tinggal di wilayah urban Indonesia. Artinya, fenomena gaya hidup digital native bertumbuh di Jakarta sebagai kota urban dan metropolitan. Dari data yang diperoleh Dinas Pendidikan Provinsi DKI Jakarta terdapat sebanyak 116 SMA Negeri dan 426 SMA Swasta yang tersebar di 5 wilayah kotamadya DKI Jakarta. Sedangkan teknik penarikan sampel dalam penelitian ini menggunakan teknik probabalitas, yakni area sampling. Lima kotamadya yang ada di DKI Jakarta diasumsikan sebagai area. Dalam upaya memperoleh 211 International Conference of Communication, Industry, and Community. Bali, 3-4 Maret 2016 ISBN: 978-602-74139-1-7 keterwakilan dari berbagai kondisi, pemilihan sampel dilakukan melalui beberapa tahap. Langkah-langkah pengambilan sampel dilakukan dengan prosedur sebagai berikut a. Langkah pertama menentukan 2 SMA (SMA Negeri dan SMA Swasta) yang berada di masing-masing wilayah kotamadya. Pemilihan dilakukan secara acak atas sekolah yang berada pada masing-masing wilayah kotamadya. Langkah ini menghasilkan 10 SMA Negeri dan SMA Swasta yang berada di 5 wilayah kotamadya di DKI Jakarta yaitu : SMA Negeri 112, SMA Tunas Muda, SMA Negeri 8, SMA Islam Al Azhar 1, SMA Negeri 68, SMA Muhamadiyah 1, SMA Negeri 81, SMA Kristen Penabur 7, SMA Negeri 45, SMA Don Bosco. b. Langkah kedua memilih sampel secara acak dari populasi di SMA NegeriSMA Swasta terpilih. Jumlah sampel ditentukan berdasarkan populasi dari masing-masing SMA Negeri-SMA Swasta yang terpilih di wilayah kotamadya DKI Jakarta yaitu sebanyak 200 responden. Kuesioner disebarkan kepada responden terpilih dalam rentang waktu dari tanggal 26 Agustus – 15 September 2015. Hasil Temuan dan Diskusi Pemetaan aktivitas budaya partisipatif responden dalam menggunakan media baru dikategorikan menjadi : 1) Afiliasi, penggunaan media baru menjadikan keanggotaan formal maupun informal dalam komunitas online; 2) Ekspresi, penggunaan media baru menghasilkan bentuk-bentuk kreatif baru; 3) Penyelesaian masalah kolaboratif - penggunaan media baru untuk bekerjasama dalam tim, baik secara formal maupun informal, untuk menyelesaikan tugas dan mengembangkan pengetahuan baru. 4) Sirkulasi, media baru digunakan untuk membentuk sirkulasi media. Afiliasi Hasil penelitian memperlihatkan seluruh responden telah bergabung dalam keanggotaan dari berbagai jejaring sosial seperti Path, Instagram, Snapchat, Twitter maupun layanan aplikasi web seperti LINE dan Whatsapp. Jejaring sosial yang digunakan para remaja mengalami pergeseran, Facebook dan Twitter mulai ditinggalkan dan beralih ke LINE, Instagram, Path dan Snapchat. Dari berbagai jejaring sosial, responden paling aktif menggunakan aplikasi LINE. Hampir seluruh responden (90.6%) mengaku setiap hari membuka dan aktif terlibat dalam LINE. Aktivitas yang dilakukan mayoritas responden dalam menggunakan LINE adalah untuk chatting dan mengecek group-group LINE. Hasil diskusi terbatas dengan FGD terungkap pula bahwa mereka tergabung dalam group-group LINE untuk memudahkan komunikasi diantara mereka terkait dengan tugas-tugas sekolah, kepanitiaan, dan sebagainya. Instagram merupakan jejaring sosial yang aktif digunakan responden, hasil penelitian menunjukkan bahwa 62.5% responden aktif menggunakan 212 International Conference of Communication, Industry, and Community. Bali, 3-4 Maret 2016 ISBN: 978-602-74139-1-7 Instagram setiap hari. Aktivitas yang dilakukan ketika menggunakan Instagram adalah untuk posting foto dan video, ‘stalking’ – mengikuti aktivitas seseorang melalui akun Instagram dengan melihat foto-foto yang diposting. Bagi para pelajar yang hobi fotografi dan videografi, media sosial Instagram merupakan media yang digunakan untuk unjuk karya kreatif fotografi dan videografi, bahan perbandingan dan sarana belajar dengan teman-teman dalam jejaring sosial Instagram. Temuan menarik yang ditemukan dalam penelitian ini adalah menurunnya keaktifan dalam menggunakan jejaring sosial Twitter dan Facebook. Dari 182 responden yang memiliki akun Twitter, hanya 25.2% responden yang masih aktif setiap hari membuka Twitter. Fenomena ini merupakan anti klimaks dimana pada tahun 2012-2013 pengguna twitter di Indonesia termasuk peringkat 3 pengguna terbanyak di dunia dan pengguna yang aktif berkicau. Akan tetapi tanda-tanda Twitter mulai ditinggalkan para remaja sudah mulai tampak pada tahun 2014, ketika mulai muncul aplikasi-aplikasi lainnya. Temuan ini semakin memperkuat data dari Digital Spy (Antara News 29 Oktober 2015) dimana pertumbuhan jumlah pengguna tahun ke tahun dilaporkan hanya 8% per akhir September 2015, angka yang jauh lebih sedikit dibanding tahun 2014 dengan pertumbuhan 23%. Demikian pula halnya dengan jejaring Facebook yang lebih dulu mengalami nasib serupa Twitter – mulai ditinggalkan responden. Temuan penelitian menunjukkan hanya 10.7% dari 173 responden yang memiliki akun facebook aktif menggunakan Facebook setiap hari. Grafik 1: Keaktifan dalam Jejaring Sosial 100 80 60 40 20 0 Setiap hari 4-6 kali seminggu 2-3 kali seminggu Sekali seminggu Namun secara garis besarnya, aktivitas yang dilakukan responden dalam jejaring sosial sebagian cenderung dapat dikategorikan pasif - hanya untuk „stalking‟ yakni memantau atau mengikuti aktivitas yang dilakukan pengguna jejaring sosial. Aktivitas berbagi konten seperti informasi, pengetahuan, pengalaman, ide, foto, video masih belum optimal. Oleh karenanya, meskipun seluruh responden sudah bergabung dalam jejaring sosial dan komunitas online, 213 International Conference of Communication, Industry, and Community. Bali, 3-4 Maret 2016 ISBN: 978-602-74139-1-7 potensi untuk mengoptimalkan afiliasi sebagai bentuk budaya partisipatif ini perlu segera dilakukan. Ekspresi Bentuk budaya partisipatif yang kedua adalah ekspresi, penggunaan media baru menghasilkan bentuk-bentuk kreatif baru seperti Fan Fiction, Fan Vdeo, Fan Art, Updated Photo, Zine, Mush-up,Moding dan skining. Grafik 2: Budaya Partisipatif : Aktivitas Ekspresi Hasil penelitian menunjukkan hanya 18% responden mengaku pernah menulis Fan Fiction yang biasa disingkat FanFic. FanFic ini merupakan sebuah karya yang dibuat oleh penggemar (fans) berdasarkan pada kisah, karakter atau setting yang sudah ada. FanFic bisa berlaku untuk film, TV, komik, novel, selebritis dan karakter terkenal lainnya yang diceritakan menurut persepsi mereka. Selebihnya mereka hanya penikmat dan pengamat FanFic atau disebut sebagai silent reader, melalui situs-situs blog komunitas FanFic yang paling terkenal yaitu www.fanfiction.com atau www.fanfiction.net yang merupakan komunitas terbesar penulis FanFic dunia. Sedangkan untuk Fan Video, sebesar 36% responden pernah membuat fan video. Selebihnya para responden menjadi penikmat fan video. Sementara untuk Fan Art, sebanyak 16% responden yang telah menghasilkan suatu hasil karya seni yang berdasarkan pada suatu karakter/kostum/cerita. Untuk updated photo, sebanyak 38% responden menyatakan pernah melakukannya dengan aplikasi-aplikasi seperti Photoshop, Corell Draw, atau aplikasi yang ada dalam telepon selular, seperti InstaMag, Bentuk ekspresi lainnya adalah Zine, yakni suatu bentuk publikasi yang diterbitkan oleh pembuatnya – otonom dan non komersial. Hasil penelitian menunjukkan hanya 11% responden yang pernah membuat Zine. Sedangkan modding – suatu bentuk ekspresi yang berkaitan dengan memodifikasi/mengedit telepon seluler baik software maupun hardware. Sebanyak 13% responden mengaku pernah melakukan aktivitas modding dengan memodifikasi telepon 214 International Conference of Communication, Industry, and Community. Bali, 3-4 Maret 2016 ISBN: 978-602-74139-1-7 seluler yang standar menjadi lebih lengkap. Selain itu, ada yang pernah melakukan modding games. Bentuk budaya partsipatif ekspresi lainnya adalah Mashup – aplikasi web yang mengkombinasikan data lebih dari satu sumber ke dalam satu aplikasi yang terintegrasi. Mashup bisa dilakukan untuk music maupun video. Music Mashup merupakan teknik menggabungkan dua lagu atau lebih menjadi satu lagu secara online, sedangkan Video Mashup adalah teknik pengeditan video secara online yang menggabungkan berbagai sumber seperti videoklip, suara, lagu, foto, grafik mupun efek khusus yang diolah dan ditampilkan menjadi video yang lebih lengkap. Dari data yang terkumpul di lapangan, hanya 10% responden yang menyatakan pernah melakukan mashup video dan musik. Secara keseluruhan hasil penelitian memperlihatkan belum optimalnya aktivitas para pelajar SMA di DKI Jakarta menghasilkan konten kreatif dan inovatif, terutama menulis Fan Fiction, Zine, Modding dan Mashup. Posisi para pelajar masih cenderung sebagai penikmat dan pengamat bentuk-bentuk kreatif tersebut. Bentuk ekspresi budaya partisipatif ini perlu dikembangkan sehingga para pelajar SMA DKI Jakarta bisa menjadi creator dan innovator bukan hanya sebagai silent reader. Penyelesaian Masalah Kolaborasi Hasil penelitian memperlihatkan kolaborasi sebagai bentuk budaya partisipatif sudah dilakukan para siswa SMA DKI Jakarta, terutama dalam kerjasama melengkapi dan menyelesaikan tugas-tugas sekolah. Selain itu, sebagian sudah melakukan kolaborasi project melalui keanggotaan mereka dalam komunitas online, terutama untuk alternative gaming. Meskipun sifat kolaborasi ini masih dalam lingkup sekolah dan komunitas, setidaknya akan memberikan peluang untuk melakukan kolaborasi dalam lingkup lebih luas. Grafik 3: Budaya Partisipatif – Penyelesaian Masalah Kolaboratif Sirkulasi Bentuk budaya partisipatif yang keempat adalah sirkulasi – kegiatan membentuk aliran informasi dalam media baru. Salah satu bentuk sirkulasi media 215 International Conference of Communication, Industry, and Community. Bali, 3-4 Maret 2016 ISBN: 978-602-74139-1-7 adalah blogging dan podcasting. Blogging adalah aplikasi web yang berupa tulisan atau gambar – sebagai suatu cara mengkomunikasikan gagasan, pikiran atau ide-ide. Penelitian ini hanya menemukan hanya 25.5% dari 200 siswa SMA di DKI Jakarta yang memiliki blog pribadi. Beberapa orang yang memiliki blog pribadi mengaku sudah tidak aktif lagi untuk memposting informasi dan karya diri sendiri. Grafik 5: Budaya Partisipatif – Sirkulasi melalui Blog/Website Aktivitas lain yang termasuk kategori blogging adalah memposting informasi di website atau blog orang lain dan memberikan comment di situs web atau blog orang lain. Hasil penelitian menunjukkan hanya 26.5% responden yang pernah melakukannya. Demikian pula dengan aktivitas memberikan komentar di web dan blog orang lain, lebih dari separuh responden (59%) mengaku tidak pernah melakukan aktivitas tsb. Dari 51 responden yang memiliki blog pribadi, data yang terkumpul menunjukkan sebanyak 45,1% responden memposting seminggu sekali di blog pribadinya. Hal-hal apa saja yang diposting oleh responden di blog pribadinya ? Menurut penuturan responden, yang diposting biasanya adalah kegiatan yang dilakukan di sekolah, pengalaman menarik dan unik. Bentuk budaya partisipasi sirkulasi lainnya adalah Podcasting yang merupakan jenis media digital terdiri dari serangkaian episodic audio, video radio, PDF atau file ePub berlangganan dan download melalui sindikasi web atau streaming secara online ke komputer atau telepon seluller. Hasil penelitian menunjukkan bahwa 43% responden telah melakukan aktivitas download program acara TV maupun radio dalam computer atau telepon seluler dengan streaming online. Sedangkan untuk download lagu, music, pidato, ceramah, dan sebagainya – sebanyak 86% responden pernah melakukan aktivitas download ini, terutama melalui Youtube. 216 International Conference of Communication, Industry, and Community. Bali, 3-4 Maret 2016 ISBN: 978-602-74139-1-7 Grafik 6: Budaya Partispatif Sirkulasi- Podcasting Data-data yang tertera dalam table diatas, memperlihatkan bahwa aktivitas upload karya sendiri baik berupa music, video, puisi, dan sebagainya dilakukan seminggu sekali oleh 36.6% dari 41 responden, 24.4% responden melakukannya hanya sebulan sekali. Sedangkan frekuensi responden mengunggah karya orang lain dalam penelitian ini mencapai 60 responden. Dari 60 responden yang pernah mengunggah karya orang lain, sebanyak 45% melakukannya seminggu sekali dan 18.3% responden melakukannya 2x seminggu. Sebaliknya, responden yang melakukan aktivitas download sebanyak 172 orang. Temuan penelitian memperlihatkan lebih dari setengah jumlah responden (54.7%) melakukan download music/video, dsb bahkan 39% responden melakukannya 2x seminggu. Sementara responden yang pernah melakukan aktivitas download program acara TV dan radio online, 47.9% diantaranya melakukan download setiap minggu. Benang merah yang dapat ditarik dalam penelitian ini adalah aktivitasaktivitas penggunaan media baru masih cenderung sebatas sebagai consumer, belum mengarah pada prosumer (produser sekaligus consumer) dan budaya partisipatif. Dari pemetaan penggunaan media baru dan bentuk budaya partisipatif diatas, dapat dikatakan tingkat penggunaan media baru termasuk tinggi akan tetapi aktivitas-aktivitas yang dilakukan masih sebatas pada content exchange bukan pada content creation. Artinya, konsep budaya partisipatif dan konsep prosumer (producer-consumer) belum sepenuhnya terwujud. Simpulan Untuk menjawab tujuan penelitian ini, maka simpulan yang dapat ditarik dari hasil penelitian ini adalah teridentifikasinya aktivitas-aktivitas budaya partisipatif melalui penggunaan media baru yang dilakukan para siswa SMA kedalam 4 kategori budaya partisipatif yaitu: 1) Afiliasi – aktivitas afiliasi telah dilakukan para pelajar SMA yang tergabung dalam berbagai jejaring sosial. Aktivitas yang dilakukan dalam jejaring sosial 217 International Conference of Communication, Industry, and Community. Bali, 3-4 Maret 2016 ISBN: 978-602-74139-1-7 cenderung pasif, hanya untuk „stalking‟ yakni memantau atau mengikuti aktivitas yang dilakukan pengguna jejaring sosial. Untuk itu, perlu ditingkatkan kemampuan kultural para siswa dalam berinteraksi. 2) Ekspresi – bentuk budaya partisipatif yang menghasilkan konten kreatif seperti Fan Fiction, Zine, Modding dan Mashup ini belum banyak dilakukan para pelajar SMA. Posisi mereka masih cenderung sebagai penikmat dan pengamat konten-konten kreatif. 3) Penyelesaian Masalah Kolaborasi - sudah dilakukan para siswa SMA DKI Jakarta, terutama dalam menyelesaikan tugas-tugas sekolah. Aktivitas kolaborasi yang masih belum banyak dilakukan para siswa adalah menyunting Wikipedia dan diskusi dalam forum online; 4) Sirkulasi – bentuk budaya partisipatif yang mendistribusikan aliran informasi, salah satunya melalui aktivitas blogging masih kurang dilakukan para siswa SMA karena tidak banyak siswa yang memiliki blog pribadi. Untuk aktivitas podcasting terutama mengunduh musik, film, program acara, dan sebagainya sudah banyak dilakukan Implikasi dari simpulan diatas mengerucutkan perlunya literasi tentang pentingnya mengembangkan budaya partisipatif dalam jejaring sosial. Potensi penggunaan jejaring sosial oleh para remaja sangat besar, sehingga potensi para remaja perlu dikembangkan menjadi creator, innovator dan produser yang dapat merubah lingkungan media. Selain itu, untuk mengembangkan budaya kolaborasi dan sirkulasi – para guru bisa mengoptimalkan kemampuan kolaborasi dan sirkulasi melalui pelajaran dan tugas-tugas yang diberikan pada para siswa. Demikian pula dengan orang tua yang dapat ikut berkontribusi mengembangkan budaya partisipatif melalui sosialisasi nilai-nilai. Ucapan Terima Kasih Ucapan terima kasih kami sampaikan kepada Direktur Riset dan Pemberdayaan Masyarakat Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi, Kementerian Ristek dan Pendidikan Tinggi, yang telah membiayai penelitian ini melalui skema Hibah Bersaing. Ucapan yang sama juga kami sampaikan kepada Rektor dan Direktur LPPM Universitas Multimedia Nusantara yang telah memberikan dukungan selama proses pelaksanaan penelitian. Daftar Pustaka Buku Consalvo, Mia & Charles Ess. 2011. The Handbook of Internet Studies. Blackwell Publishing Ltd. Jenkins, Henry. 2006 Convergence Culture: Where Old and New Media Collide.NYU Press ___________, 2007. Confronting the Challenges of Participatory Culture: Media Education for the 21stCentury. Chicago: MacArthur Foundation. 218 International Conference of Communication, Industry, and Community. Bali, 3-4 Maret 2016 ISBN: 978-602-74139-1-7 McQuail, Denis. 2010. Mass Communication Theory, 6th edition, LondonThousand Oaks-New Delhi, Sage Publications, 2010. Lister, Martin, Jon Dovey, Seth Giddings, Iain Grant, Kieran Kelly. 2009. New Media : A Critical Introduction. Second Edition. London & New York : Routledge Livingstone, Sonia & Lievrouw, Leah A. 2002. Handbook of New Media: Social Shaping and Social Consequences of ICTs, London : Sage Publications Mueller, Bryan. 2014. Particapatory Culture on Youtube : A Case Study of the Multichannel Network Machinima, London : Media@LSE Pacey, Arnold. 2003. The Culture of Technology. MIT Press. Palfrey, John. dan Gasser, Urs. 2008. Born Digital: Understanding the First Generation of Digital Natives.New York. Potter, James W. 2008. Media Literacy 4th ed. Thousand Oaks: Sage Publications. Safko, Lon. 2010. The Social Media Bible. Tactics, Tools, and Strategies for Business Success. Second Edition. New Jersey : John Wiley & Sons, Inc Straubhaar D. Joseph, Robert LaRose & Lucinda Davenport. 2015. Media Now : Understanding Media, Culture and Technology, 9th edition, Thomson Wadsworth, Tapscott, Don.2009. Grown up digital. How the net generation is changing your world. United States : Mc Graw Hill Wood, Andrew F. & Matthew J. Smith, 2005. Online Communication : Linking Technology, Identity and Culture, Lawrence Erlbaum Associate Jurnal Christine, Larabie. 2011. Participatory Culture and The Hidden Costs of Sharing. The McMaster Journal of Communication vol 7, Issue I, 2011. https://journals.mcmaster.ca/mjc/article/.../222 Hardey, Marrian. Generation C : content, creation, connections and choice. International Journal of Market Research, vol 53 no 6, 2011. http://www.ijmr.com/AboutIJMR/Samples/Sample2.pdf Joanna Goode, The digital identity divide: how technology knowledge impacts college students. New Media & Society May 2010. 12: 497513, doi:10.1177/1461444809343560 Tomasello, Tami K. & Youngwon Lee & April P. Baer. „New media‟ research publication trends and outlets in communication, 1990-2006. New Media & Society June 2010 12: 531-548, doi:10.1177/1461444809342762 Biografi Penulis Endah Murwani S1 : Ilmu Komunikasi FISIP Universitas Diponegoro Semarang S2 : Ilmu Komunikasi FISIP Universitas Indonesia Jakarta S3 : Ilmu Komunikasi FISIP Universitas Indonesia Jakarta Dosen Universitas Multimedia Nusantara Tangerang 219 International Conference of Communication, Industry, and Community. Bali, 3-4 Maret 2016 ISBN: 978-602-74139-1-7 Indiwan Wahyu Seto Wibowo S1 : Ilmu Komunikasi FISIPOL Universitas Gajah Mada Yogyakarta S2 : Ilmu Komunikasi FISIP Universitas Indonesia Jakarta S3 : Ilmu Komunikasi FISIP Universitas Indonesia Jakarta Dosen Universitas Multimedia Nusantara Tangerang Joice Caroll Siagian S1 : Fakultas Ilmu Komunikasi Universitas Padjadjaran Bandung S2 : Kebijakan Publik Fakultas Ilmu Sosial Universitas Padjadjaran Bandung Sedang menempuh S3 Ilmu Komunikasi di UNPAD Dosen Universitas Multimedia Nusantara Tangerang 220 International Conference of Communication, Industry, and Community. Bali, 3-4 Maret 2016 ISBN: 978-602-74139-1-7 IMBANGI HEGEMONI JURNALISME MAINSTREAM MELALUI JURNALISME WARGA Feri Ferdinan Alamsyah Prodi Ilmu Komunikasi FISIB, Universitas Pakuan Bogor [email protected] Abstract In Indonesia, the hegemony of mainstream journalism clearly visible especially when the media broadcasting live footage events of 2014 presidential election. The media implied that the information broadcasted puts more weight to certain party. It shows as if the media taking sides by carrying certain interest. This broadcast practise in contrary to the spirit of journalism which supposed to be in serve for public interest.This study focuses on how citizen journalism can counterbalance the hegemony of mainstream journalism. Through the theory of social construction from Berger and Luckmann, citizen journalism constructed simultaneously with aspects of externalization, objectivation and internalization. That citizens or society could apply citizen journalism on the basis willing to share, which run continuously, so it becomes a habit and finally the society has certain purport against him that have concern for the situation surrounding. Citizen journalism is an activity to collect, process and communicate information through public areas, both virtual and conventional. This activity is carried out by citizens that are laymen and amateurs to the activity. Citizen journalism can counterbalance the hegemony of mainstream journalism. He gave alternative information to the public about an event. In addition, citizen journalism also supplements the information had not submitted the mainstream mass media, so that the information is displayed in full. Keyword: citizen journalism, hegemony Abstrak Di Indonesia, hegemoni jurnalistik mainstream terlihat secara jelas ketika menyiarkan peristiwa pemilihan presiden pada 2014 lalu. Secara tersirat, sejumlah media menyiarkan informasi yang memenangkan salah satu pihak. Seolah-olah media massa ditumpangi kepentingan tertentu, seolah-olah berpihak pada satu selompok. Hal ini bertolak belakang dengan semangat jurnalisme yang seyogyanya mengabdi kepada kepentingan masyarakat. Penelitian ini fokus pada bagaimana cara jurnalisme warga dapat mengimbangi hegemoni jurnalisme mainstream.Melalui teori konstruksi sosial dari Berger dan Luckmann, jurnalisme warga dikonstruksi secara simultan dengan aspek eksternalisasi, objektivasi dan internalisasi. Bahwa warga atau masyarakat melakukan jurnalisme warga atas dasar senang berbagi yang dijalankan terus menerus sehingga menjadi kebiasaan dan akhirnya masyarakat mempunyai pemaknaan tertentu terhadap dirinya yang mempunyai kepedulian terhadap situasi sekitarnya. Jurnalisme warga adalah kegiatan mengumpulkan, mengolah dan menyampaikan informasi melalui wilayah publik, baik secara virtual maupun konvensional. 221 International Conference of Communication, Industry, and Community. Bali, 3-4 Maret 2016 ISBN: 978-602-74139-1-7 Kegiatan ini dilakukan oleh warga yang sifatnya awam dan amatir terhadap kegiatan tersebut. Jurnalisme warga dapat mengimbangi hegemoni jurnalisme mainstream. Ia memberikan informasi alternatif bagi masyarakat mengenai sebuah peristiwa. Selain itu, jurnalisme warga juga melengkapi informasi yang tidak sempat disampaikan media massa mainstream, sehingga informasi ditampilkan secara utuh. Kata Kunci: jurnalisme warga, hegemoni Pendahuluan Latar Belakang Masalah Musim pilpres terakhir pada 2014 lalu bisa menjadi salah satu contoh ketidakobjektifan media massa dalam pemberitaan. Aroma keberpihakan sangat terasa ketika Tvone dan Metro tv memberitakan masing-masing calon presiden. Tvone dinilai berpihak pada calon presiden Prabowo Subianto dan Hatta Radjasa, sementara Metro tv berpihak kepada calon presiden Joko Widodo dan Jusuf Kalla. Akibat keberpihakkan mereka, beberapa kali Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) sempat melayangkan surat peringatan pemberian sanksi administratif teguran tertulis kepada kedua stasiun televisi tersebut. Selain itu, KPI juga memberikan rekomendasi kepada Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kemenkominfo) untuk melakukan evaluasi atas Izin Penyelenggaraan Penyiaran (IPP). Diantaranya, teguran tertulis untuk Tvone dan Metro tv itu bertanda No. 1225/K/KPI/05/14 yang dilayangkan pada 30 Mei 2014. Media daring Tempo (2 Juni 2014) juga mengungkapkan pernyataan anggota KPI Iddy Muzzayad, berdasarkan pemantauan Komisi Pemilihan Umum (KPU) yang dilakukan pada 19-25 Mei 2014, Metro tv memberikan porsi yang lebih banyak kepada pasangan Capres Joko Widodo dan Jusuf Kalla yang totalnya mencapai 187 kali, angka ini jauh di atas tayangan pemberitaan pasangan Capres Prabowo dan Hatta Radjasa yang hanya 110 kali. Sebaliknya, Tvone dalam periode ini, menampilkan pemberitaan pasangan Capres Prabowo dan Hatta Radjasa sebanyak 153 kali, sementara pasangan Capres Joko Widodo dan Jusuf Kalla muncul 79 kali. Dari kasus tersebut, rasanya tidak berlebihan jika kita menyimpulkan bahwa media massa, khususnya di Indonesia secara tidak langsung telah berpihak kepada kepentingan tertentu. Meskipun tetap menampilkan fakta dan data dari setiap informasi yang diberitakan, namun pemilihan porsi dan jumlah berita yang terkesan memihak pada kepentingan tertentu membuat media massa sudah tidak objektif lagi. Sementara itu, di sisi lain kini berkembang konsep jurnalisme warga. Secara sederhana, jurnalisme warga diartikan bahwa kegiatan jurnalistik yang dilakukan oleh masyarkat biasa. Masyarakat ini mungkin saja awam dengan kegiatan tersebut. Dalam beberapa kesempatan, sering pula disebut sebagai amatir. Namun, meski demikian, kegiatan jurnalisme warga saat ini tidak bisa dipandang sebelah mata. 222 International Conference of Communication, Industry, and Community. Bali, 3-4 Maret 2016 ISBN: 978-602-74139-1-7 Ruang Lingkup Kajian dalam penelitian ini akan difokuskan pada seberapa besar kualitas jurnalisme warga seandainya bisa mengimbangi jurnalisme mainstream. Sesuai dari contoh di atas, maka jurnalisme warga tidak bisa dipandang sebelah mata, dalam beberapa hal, produk jurnalisme warga memberikan efek signifikan, tak kalah dengan efek dari jurnalisme maintstream. Berangkat dari pemahaman tersebut, maka muncul pertanyaan berikut: 1. Apa definisi dan konsep jurnalisme warga? 2. Apakah jurnalisme warga dapat mengimbangi jurnalisme mainstream? Tujuan Penelitian 1. Mengetahui definisi dan konsep jurnalisme warga. 2. Mengetahui jurnalisme warga dapat mengimbangi mainstream. jurnalisme Tinjauan Pustaka Komunikasi Massa Komunikasi massa adalah komunikasi yang menggunakan media massa, baik cetak (surat kabar, majalah) atau elektronik (radio, televisi) yang dikelola oleh suatu lembaga atau orang yang dilembagakan, yang ditunjukkan kepada sejumlah besar orang yang tersebar di banyak tempat, anonim dan heterogen. (Mulyana, 2001: 75) Komunikasi massa adalah komunikasi melalui media massa, jelasnya merupakan singkatan dari komunikasi media massa. Pengertian komunikasi massa dibatasi pada penggunaan media massa, seperti surat kabar, majalah, radio, televisi atau film. (Effendy, 2007: 20) Konteks komunikasi massa menyasar khalayak dalam jumlah besar. Komunikasi kepada khalayak yang luas dengan menggunakan saluran media massa berupa surat kabar, video, cd-rom, komputer, tv, radio dan sebagainya. Komunikasi massa juga bisa dilakukan pada media-media baru seperti, e-mail, internet, televisi kabel digital, pesan instan (IM) dan telepon genggam. (West dan Turner, 2008: 41) Jurnalisme Warga Tamburaka (2013: 244) Jurnalisme warga adalah aktivitas peliputan berita yang dilakukan oleh warga dari tempat kejadian. Hamdani (2014: 47) jurnalisme warga atau publik atau jurnalisme partisipatif (juga dikenal dengan nama jurnalisme demokratik) adalah partisipasi aktif warga dalam mengoleksi, melaporkan, menganalisis dan menyebarluaskan berita dan informasi. Jurnalisme warga adalah bentuk khusus dari media warga yang informasinya berasal dari warga itu sendiri. D. Lasica dalam tamburaka (2013: 245) klasifikasi jurnalisme warga: partisipasi audiens (komentar pengguna melampirkan liputan berita media, blog pribadi, cuplikan foto atau video yang 223 International Conference of Communication, Industry, and Community. Bali, 3-4 Maret 2016 ISBN: 978-602-74139-1-7 ditangkap/direkam mobile cameras, atau berita lokal yang ditulis oleh warga atau komunitas). Berita independen dan informasi website (Consumer Reports, the Drudge Report). Partisipasi penuh dalam situs berita media (NowPublic, OhmyNews, DigitalJournal.com, GroundReport). Kolaborasi dan kontribusi terhadap situs berita media (Slashdot, Kuro5hin, Newsvine). Bentuk lain dari “thin media.” (mailing lists, email newsletters). Website penyiaran pribadi (video broadcast sites such as KenRadio). Menurut Jay Rosen dalam Tamburaka (2013: 244) bahwa jurnalisme warga adalah “the people formerly knowns as audience, “who” were on the receiving end of a media system that ran one way, in a broadcasting pattern, with high entry fees and a few firms competing to speak very loudly while the rest of population listened in isolation like that all.... the people formerly known as the audience are simply the public made realer, less fictional, more able, less predictable. Pada dasarnya jurnalisme warga dikenal juga sebagai khalayak/audiens sebagai bagian dari rantai berita media yang mampu menyuarakan secara jelas aspirasinya secara sederhana. Dengan kata lain, pandangan ini menegaskan jika khalayak tidak hanya menjadi konsumen informasi di media massa, melainkan mereka juga mampu menjadi produsen informasi. Hegemoni Hegemoni berasal dari kata Yunani, hegemon yang berarti pemimpin, konsep yang dikembangkan seorang komunis asal Italia Antonio Gramsci. Sesuai definisinya, hegemoni merujuk pada dominasi kepemimpinan sebuah wilayah (negara atau kota) terhadap wilayah-wilayah lain. Sesuai yang dikatakan T.J Jackson Lears dalam jurnalnya: Hegemony as “the spontaneous” consent given by the great masses of the population to the general direction imposed on social life by the dominant fundamental group; this consent is “historically” caused by the prestige (and concequent confidence) which the dominant group enjoys because of it’s position and function in the world of production (Lears, 200: 568) Gramsci dikembangkan atas dasar dekonstruksi terhadap konsep-konsep Marxis ortodoks. Secara umum, hegemoni adalah sebuah dominasi kekuasaan suatu kelas sosial terhadap kelas sosial lainnya. Pada perkembangannya, konsep hegemoni diartikan menjadi dua pengertian. Versi pertama menurut Marxis Ortodoks yang beranggapan bahwa 224 International Conference of Communication, Industry, and Community. Bali, 3-4 Maret 2016 ISBN: 978-602-74139-1-7 kebudayaan manusia semata-mata cerminan dari dasar ekonomi masyarakat. Sementara, Gramsci fokus pada upaya untuk mengadakan perubahan sosial secara radikal dan revolusioner, yang mengandung isu-isu kultural seperto pluralisme, multikultural dan budaya marginal. Teori Konstruksi Sosial The Sosial Construction of Reality. A Treatise in the Sociological of Knowledge adalah istilah kontruksi sosial atas realitas yang menjadi terkenal sejak diperkenalkan oleh Peter L. Berger dan Thomas Luckmann (1966:75) dalam menggambarkan proses sosial individu, yang melalui tindakan dan interaksinya menciptakan secara terus menerus suatu realitas yang dimiliki dan dialami bersama secara subjektif. Realitas sosial dijelaskan dengan memisahkan pemahaman akan “kenyataan” dan “pengetahuan”. Realitas diartikan sebagai kualitas yang terdapat dalam realitas-realitas yang diakui memiliki keberadaan “being” yang tidak tergantung kepada kehendak kita sendiri. Sedangkan “pengetahuan” didefinisikan sebagai kepastian bahwa realitas-realitas itu nyata dan memiliki karakteristik yang spesifik. (Berger & Luckmann, 1990:1) Realitas sosial yang dimaksud oleh Berger dan Luckmann terdiri dari realitas objektif, realitas simbolik dan realitas subjektif. Realitas objektif adalah realitas yang terbentuk dari pengalaman di dunia objektif yang berada di luar diri individu, dan realitas ini dianggap sebagai kenyataan. Realitas simbolik merupakan ekspresi simbolik dari realitas objektif dalam berbagai bentuk. Sedangkan realitas subjektif adalah realitas yang terbetuk sebagai proses penyerapan kembali realitas objektif dan simbolik ke dalam individu melalui proses internalisasi. Hasil Temuan dan Diskusi Seperti pagi-pagi sebelumnya, Asep selalu bangun pukul lima. Mengambil air wudhu, shalat, mandi, sarapan lalu bergegas menuju kantor. Kantor tempat ia bekerja hanya berjarak 800 meter saja, oleh sebab itu, Asep selalu berjalan kaki dari rumahnya. Pagi ini tidak seperti biasanya, baru berjalan 200 meter, ketika ia melewati persimpangan di ujung jalan, orang sudah ramai mengerubuti salah satu pabrik pembuatan petasan yang meledak dan terbakar sejak dini hari. Di sela-sela keramaian kebakaran itu, Asep malah mengeluarkan telepon pintarnya, lalu mengaktifkan fitur kamera yang ada di dalamnya. Ia mulai berkeliling, mengambil gambar dari segala sudut. Orang-orang yang saling bantu mengestafetkan air, petugas pemadam kebakaran, korban yang dievakuasi dan tentu saja bangunan yang terbakar lengkap dengan api yang membelalak tak luput dari sorotan kamera. Selepas mengambil gambar, ia lalu bertanya pada orang sekitar termasuk ketua RT dan kepala pemadam yang bertugas di situ, Asep bertanya mengenai kapan tepatnya kebakaran terjadi, bagaimana awalnya, siapa pemilik pabrik, berapa kerugian yang ditaksir, berapa korban yang jatuh dan lain- 225 International Conference of Communication, Industry, and Community. Bali, 3-4 Maret 2016 ISBN: 978-602-74139-1-7 lain. Selepas itu, ia langsung melanjutkan perjalanan lagi menuju kantornya. Setiba di kantor, karena jadwal masuk masih lama, Asep mengotakngatik telepon pintarnya. Ia ternyata tengah mengolah data video kebakaran yang sudah ia ambil, lengkap dengan narasi mengenai penjelasan kebakarannya. Setelah itu, ia mengirimkan ke jejaring media sosial dan ke media massa yang mengakomodasi konten-konten pemberitaan yang bersumber dari masyarakat. Penggalan kisah tersebut, saat ini mulai menjadi aktivitas yang biasa. Tidak hanya informasi sebuah peristiwa, orang-orang juga bisa menuangkan ide atau gagasan ke dalam tulisan, foto, video dan bentuk media lainnya, lalu berupaya untuk mengunggah ide tersebut ke semua media yang mengakomodasi fitur unggah. Bisa blog, twitter, facebook, youtube, instagram, path, atau bahkan media massa terkemuka. Kegiatan ini lazim disebut jurnalisme warga atau citizen journalism. Seiring dengan perkembangan teknologi, jurnalisme warga juga turut berkembang. Kemunculan teknologi yang memudahkan manusia untuk merekam dan menyebarkan informasi memengaruhi minat warga pada kegiatan jurnalistik. Misalnya, perkembangan konsol telepon genggam yang kini sudah bisa mengakomodasi aktivitas komunikasi. Manusia dengan sangat mudah bisa merekam semua aktivitas, salah satunya merekam kegiatan perjalanan liburan. Kegiatan mereka saat di candi Borobudur misalnya, dari kegiatan tersebut, mereka bisa bercerita mengenai keunikan dan sejarah berdirinya candi. Setelah merekam, mereka bisa langsung mengunggah materi tersebut ke situs-situs media sosial yang sudah terafiliasi dengan konsol telepon pintar mereka. Atau untuk beberapa orang, ada yang mengirimkan materi tersebut ke beberapa media massa yang menerima kontribusi konten dari masyarakat. Dengan demikian, masyarakat lain dapat menyaksikan dan mengetahui informasi mengenai candi Borobudur. Di Indonesia, menurut Suparyo (2008) dalam Hamdani (2014: 12) dijelaskan bahwa jurnalisme warga sangat dipengaruhi oleh kegiatan radio siaran. Pada tahun 1983, radio Surabaya memiliki program siaran informasi lalu lintas. Program tersebut berkembang menjadi konsep interaktif, konsep ini mengubah cara kerja radio yang awalnya satu arah (dari radio ke pendengar) menjadi dua arah atau interaktif (memberikan kesempatan pendengar untuk aktif memberikan informasi dan menyampaikan pendapat). Dalam ranah komunikasi, secara sederhana jurnalisme warga adalah kegiatan jurnalistik yang dilakukan oleh warga. Warga yang tadinya bersikap hanya menerima atau memperoleh informasi dari media massa, kini mereka menjadi pihak yang memberikan informasi. Dengan kata lain, warga yang tadinya hanya menjadi komunikan, kini mereka juga berperan sebagai komunikator. Gambar 1: Bagan Komunikasi Pada Jurnalisme Warga Komunikator 226 Komunikan Komunikan Komunikan International Conference of Communication, Industry, and Community. Bali, 3-4 Maret 2016 ISBN: 978-602-74139-1-7 Konstruksi Kegiatan Jurnalisme warga Berdasarkan ilustrasi di atas, kegiatan jurnalisme warga bisa dikategorikan menjadi dua: yakni, jurnalisme warga yang berbasis situs media sosial dan jurnalisme warga berbasis media massa. Keduanya mempunyai karakter dan cara kerja yang berbeda, namun keduanya tetap mempunyai efek yang relatif sama. Merujuk pada Berger dan Luckmann, realitas sosial merupakan konstruksi sosial yang diciptakan oleh pengalaman individu yang tidak terpisahkan dengan masyarakat. Penciptaan sosial ini terbangun melalui tiga momen dialektis yang simultan, yakni, Eksternalisasi, objektivasi dan internalisasi. Eksternalisasi Eksternalisasi adalah penyesuaian diri dengan sosio-kultural sebagai produk manusia, (society is a human product). Eksternalisasi adalah suatu pencurahan kedirian manusia terus menerus ke dalam dunia, baik dalam aktivitas fisis maupun mentalnya. Eksternalisasi merupakan keharusan antropologis; keberadaan manusia tidak mungkin berlangsung dalam lingkungan interioritas yang tertutup dan tanpa gerak. Keharusan antropologis itu berakar dalam kelengkapan biologis manusia yang tidak stabil untuk berhadapan dengan lingkungannya. (Berger dan Luckmann, 1990: 75) Proses eksternalisasi dalam kegiatan jurnalisme warga ketika warga atau masyarakat mulai melakukan pengumpulan, pengolahan dan menyebarkan informasi yang mereka dapatkan melalui media-media yang tersedia, baik itu media massa ataupun media sosial. Senang berbagi menjadi motif utama masyarakat Indonesia dalam melakukan jurnalisme warga. Kepala pengembangan bisnis dan pertumbuhan Path Andreas Bezamat (2013) menjelaskan dalam media daring liputan6.com bahwa Indonesia berada di posisi tiga besar pengguna jejaring sosial path. Menurutnya, orang Indonesia senang berbagi setiap aktivitas sehari-hari yang dilakukannya, mengunggah foto, video dan komentar cukup banyak. Kemunculan beragamnya media memungkinkan masyarakat untuk menyebarkan informasi membuat mereka mudah untuk melakukan jurnalisme warga. Objektivasi Objektivasi adalah interaksi sosial dalam dunia intersubjektif yang dilembagakan atau mengalami institusionalisasi, (society is an objective reality). Semua aktivitas manusia yang terjadi dalam eksternalisasi, menurut Berger dan Luckmann (1990:75-76), dapat mengalami proses pembiasaan (habitualisasi) yang kemudian melembaga (institusionalisasi). Kegiatan jurnalisme warga dilakukan secara terus-menerus dengan frekuensi yang relatif konsisten. Artinya, pelaku-pelaku komunikasi dalam kegiatan jurnalisme warga mengalami proses pembiasaan (habitualisasi) yang kemudian melembaga (institusional). Seperti gemar dan rajin mengunggah 227 International Conference of Communication, Industry, and Community. Bali, 3-4 Maret 2016 ISBN: 978-602-74139-1-7 informasi dalam bentuk apapun melalui media sosial maupun media massa. Internalisasi Internalisasi adalah individu mengidentifikasi diri di tengah lembagalembaga sosial atau organisasi sosial di mana individu tersebut menjadi anggotanya, (man is social product). Masyarakat dipahami sebagai kenyataan subjektif yang terbentuk dari internalisasi. Internalisasi adalah suatu pemahaman atau penafsiran individu secara langsung atas peristiwa objektif sebagai pengungkapan makna. Berger dan Luckmann (1990: 87) menyatakan, dalam internalisasi, individu mengidentifikasikan diri dengan berbagai lembaga sosial atau organisasi sosial dimana individu menjadi anggotanya. Proses internalisasi dalam kegiatan jurnalisme warga dapat dilihat saat pelaku jurnalisme warga melakukan aktivitas jurnalisme. Ia merpakan individu yang menjadi anggota dari produk sosial, yakni masyarakat. Ia mempunyai pemaknaan tertentu terhadap dirinya sebagai bagian dari masyarakat dengan memahami peristiwa objektif yang terjadi di sekitarnya. Umumnya, karena ia merasa peduli dengan apa yang terjadi dengan sekitarnya maka ia harus melakukan sesuatu, sesuatu tersebut dalam hal ini dilakukan dengan kegiatan jurnalisme warga. Peristiwa bencana tsunami di Aceh adalah salah satu contoh bagaimana warga menjadi sumber informasi yang sangat utama dalam pemberitaan bencana tersebut. Banyak sekali gambar-gambar video yang berasal dari masyarakat (juru kamera amatir) untuk menggambarkan kedahsyatan tsunami. Masih hangat dalam ingatan, peristiwa yang baru saja terjadi, yakni pengeboman pos polisi dan kedai kopi yang berlokasi di pusat perbelanjaan Sarinah di Jakarta, orang-orang yang berada di sekitar lokasi kejadian segera mengabadikan peristiwa dan mengunggah ke media sosial dan media massa. Dengan mengunggah konten tersebut, mereka sudah mempunyai kepedulian terhadap peristiwa tersebut. Seolah-olah mempunyai kewajiban untuk menginformasikannya, laiknya jurnalis profesional. Gambar 2: Konstruksi Tindakan Pelaku Jurnalisme Warga JW Pelaku JW Eksternalisasi Adaptasi Objektivasi Habitualisasi Internalisasi Identifikasi diri Jurnalisme warga dilakukan masyarakat karena mempunyai kebiasaan senang berbagi, khususnya informasi. Jurnalisme warga dilakukan secara terus-menerus dengan frekuensi yang konsisten, sehingga menjadi sarana informasi alternatif selain dari media massa mainstream Masyarakat mempunyai pemaknaan tertentu terhadap dirinya yang mempunyai kepedulian terhadap situasi sekitarnya sehingga ingin berbagi 228 International Conference of Communication, Industry, and Community. Bali, 3-4 Maret 2016 ISBN: 978-602-74139-1-7 Jurnalisme Warga Imbangi Jurnalisme mainstream Untuk menjelaskan bagaimana jurnalisme warga dapat mengimbangi jurnalisme mainstream akan lebih baik jika berangkat dari membedakan antara kedua konsep tersebut. Kusnadi dan Priono (2010: 5-6) dalam jurnalnya mengutip penjelasan Badio (2009) mengenai perbedaan karakteristik jurnalisme warga dengan jurnalisme mainstream. Jurnalisme Warga Pewarta (reporternya) adalah pembaca, khalayak ramai, siapapun yang mempunyai informasi atas sesuatu 2. Siapa pun dapat memberikan komentar, koreksi, klarifikasi atas berita yang diterbitkan 3. Biasanya non-profit oriented 4. Masih didominasi oleh media-media daring (online) 5. Memiliki komunitas-komunitas yang sering melakukan gathering 6. Walaupun ada kritik, tidak ada persaingan antarpenulis (reporter) 7. Tidak membedakan pewarta profesional atau amatir 8. Tidak ada seleksi ketat terhadap berita-beritanya 9. Ada yang dikelola secara profesional ada pula yang dikelola secara amatir 10. Pembaca dapat langsung berinteraksi dengan penulisnya melalui kotak komentar atau e-mail. 1. Jurnalisme Mainstream 1. Reporternya adalah karyawan khusus yang digaji dan bekerja secara profesional sesuai bidangnya 2. Koreksi, klarifikasi, atau pun komentar hanya dapat diberikan melalui 6 birokrasi dan pemuatannya pun melalui proses seleksi ketat 3. Berorientasi pada profit 4. Didominasi oleh media cetak 5. Berjalan satu arah, tidak pernah melibatkan masyarakat jika tidak menguntungkan 6. Selalu bersaing dengan media lain 7. Tidak memberi kesempatan pada reporter amatir, bahkan membedakan antara wartawan biasa dengan senior 8. Semua beritanya diseleksi secara ketat 9. Pengelolaannya profesional 10. Tidak ada interaksi langsung antara pembaca dengan penulis, jika ada komentar, koreksi, atau klarifikasi, semuanya harus melalui meja redaktur Tabel 1. Perbedaan Karakteristik Jurnalisme Warga dan Jurnalisme Mainstream Dari perbedaan tersebut, maka bisa kita bisa temukan kelebihan dan kekurangan dari keduanya. Jurnalisme warga biasanya dikelola secara amatir, frekuensi pengunggahan informasi terkadang tidak konsisten karena seringkali dilandasi kehendak hati. Ditambah dengan pembubuhan identitas pembuat atau pengunggah yang samar bahkan anonim. Perbuatan seperti ini membuat informasi dari pelaku jurnalisme warga kerap diragukan kebenarannya dan tidak dapat dipertanggungjawabkan. Dalam mengunggah informasi, seorang pelaku jurnalisme warga jarang 229 International Conference of Communication, Industry, and Community. Bali, 3-4 Maret 2016 ISBN: 978-602-74139-1-7 memberikan seleksi terhadap fakta dan data yang dihasilkan di lapangan. Informasi ditampilkan apa adanya, tanpa memikirkan dampak yang akan terjadi dari masyarakat yang membaca atau melihat informasi tersebut secara utuh. Misalnya ketika di lapangan, seorang jurnalis warga memotret korban pengeboman yang tubuh dan darahnya bercecer. Tanpa pikir panjang ia langsung mengunggah foto tersebut, foto yang polos tanpa dibubuhi efek mozaik atau blur. Di sisi lain, pemberian informasi yang utuh tanpa sensor sesungguhnya memberikan alternatif atau pilihan pada masyarakat untuk mencerna informasi tersebut. Oleh sebab itu, jurnalisme warga juga bisa melatih masyarakat untuk cerdas memilih informasi yang tepat mengenai sebuah pemberitaan. Karakteristik jurnalisme warga yang hampir tidak berorientasi pada profit atau keuntungan, membuat jurnalis-jurnalis warga tidak mudah digiring untuk menambah, mengurangi atau membelokkan informasi sehingga bisa menguntungkan pihak-pihak tertentu. Komunikasi antara pelaku jurnalisme warga dengan masyarakat yang membaca produk jurnalistiknya biasanya lebih interaktif ketimbang di jurnalisme maintream. Pembaca bisa dengan mudah memberikan kritik terhadap informasi dari jurnalis warga melalui fasilitas komentar di masing-masing situs. Artinya, melalui jurnalisme warga, masyarakat dapat menambah pemahaman mengenai bagaimana cara menampilkan informasi secara baik dan benar. Karena baik pelaku jurnalisme warga maupun pembacanya mendiskusikan baik dan buruk dari informasi yang diunggah tersebut. Selain itu, konsep ini melatih masyarakat untuk lebih peka terhadap proses pengolahan informasi menjadi berita. Mereka menjadi tahu mengenai berita yang digemari dan berita yang tidak digemari, serta berita yang menyebabkan konflik atau tidak. Dengan demikian, baik jurnalis warga maupun pembacanya dapat menggunakan media sebagai sarana komunikasi dengan baik dan benar. Media massa mainstream biasanya kurang mengindahkan berita-berita lokal dan daerah, karena letak kantor pusatnya berada di Jakarta. Seringkali porsi informasi dari Jakarta lebih besar ketimbang informasi-informasi dari daerah. Berita-berita dari Jakarta dianggap sebagai isu nasional. Jurnalisme warga yang mempunyai sistem lebih ringan memungkinkan pengangkatan isu-isu kedaerahan menjadi ranah nasional. Misalnya, mengangkat tema-tema mengenai tempattempat yang belum tersambangi atau terakses oleh media mainstream nasional dan lokal. Selain membuka akses daerah, melalui jurnalisme warga, pandanganpandangan masyarakat yang tinggal di luar pulau Jawa bisa lebih terdengar. Meskipun tidak berorientasi pada profit, Jurnalisme warga sangat potensial untuk menghasilkan profit. Misalnya jika berbasiskan jejaring sosial, seorang netizen yang aktif mengunggah informasi orisinal di situs blogger atau youtube dapat menghasilkan keuntungan. salah satunya melalui fasilitas dari situs-situs terkait yang memungkinkan pemasangan iklan. Bisa juga dari media massa mainstream sendiri yang membuka kesempatan untuk pelaku jurnalisme warga menampilkan beritanya, mereka biasanya diberi kompensasi tertentu seandainya beritanya ditampilkan, misalnya program “Citizen Journalism” yang diusung NET TV. 230 International Conference of Communication, Industry, and Community. Bali, 3-4 Maret 2016 ISBN: 978-602-74139-1-7 Potensi Tantangan 1. Melengkapi informasi dari media 1. Pengguna dengan identitas mainstream samar atau anonim membuat 2. Memberikan pilihan atau alternatif bagi kredibilitas komunikator khalayak media lemah 3. Melatih masyarakat menjadi melek 2. Efek yang tidak terkontrol media 3. Lemahnya regulasi 4. Melatih masyarakat peka terhadap 4. Kurangnya konsistensi informasi / peduli frekuensi pengunggahan 5. Promosi kedaerahan 5. Pengetahuan minim 6. Mendidik masyarakat lebih pintar mengenai kegiatan 7. Eksistensi jurnalistik 8. Enterpreunership Tabel 2: Potensi dan Tantangan Jurnalisme Warga Simpulan 1. Jurnalisme warga adalah kegiatan mengumpulkan, mengolah dan menyampaikan informasi melalui wilayah publik, baik secara virtual maupun konvensional. Kegiatan ini dilakukan oleh warga yang sifatnya awam dan amatir terhadap kegiatan tersebut. 2. Jurnalisme warga dapat mengimbangi hegemoni jurnalisme mainstream. Ia memberikan informasi alternatif bagi masyarakat mengenai sebuah peristiwa. Selain itu, jurnalisme warga juga melengkapi informasi yang tidak sempat disampaikan media massa mainstream, sehingga informasi ditampilkan secara utuh. Sifatnya yang non-profit, membuat informasi yang ditampilkan jurnalisme warga tidak bisa digiring pihak-pihak tertentu. Saran 1. Jurnalisme warga pada dasarnya mempunyai manfaat yang luar biasa, sayangnya dalam penyampaiannya seringkali disampaikan oleh pengguna yang samar atau anonim, sehingga kredibilitasnya diragukan. Oleh sebab itu, sebaiknya pelaku jurnalisme warga wajib menggunakan identitas asli. 2. Pemerintah membuat regulasi yang bisa mengatur dan melindungi pelaku jurnalisme warga dalam bentuk undang-undang dan kode etik seperti pada jurnalisme mainstream. 3. Pemerintah dan jurnalis profesional bisa lebih mendidik masyarakat untuk lebih melek media, misalnya cara berbahasa di wilayah publik, mengetahui cara memilih informasi yang tepat untuk diunggah dan mengetahui etika jurnalistik sehingga mereka cerdas dalam menggunakan media di wilayah publik. 231 International Conference of Communication, Industry, and Community. Bali, 3-4 Maret 2016 ISBN: 978-602-74139-1-7 Daftar Pustaka Berger, Peter L. and Thomas Luckmann. (1966). The social of Reality: A Treatise in the Sociology of Knowledge. Garden City, NY: doubleday. Diterjemahkan oleh Basari, Hasan., 1990. Tafsir sosial atas Kenyataan: Sebuah Risalah tentang Sosiologi Pengetahuan. Jakarta LP3ES DeVito, Joseph A. (1997). Komunikasi Antarmanusia Kuliah Dasar. Terjemahan Agus Maulana. Jakarta. Professional books. Effendy, Onong Uchajana. (2007). Ilmu Komunikasi, Teori dan Praktek. PT Remaja Rosda Karya. Bandung. Hamdani, Firmansyah S. (2014). Panduan Jurnalisme Warga untuk Mendorong Peningkatan Pelayanan Publik. USAID-Jakarta Mufid, Muhammad. (2009). Etika dan Filsafat Komunikasi. Kencana Prenada Media Group, Jakarta Mulyana, Deddy. (2001). Ilmu Komunikasi Suatu Pengantar. PT. Remaja Rosda Karya. Bandung. Subiakto, Henry dan Rachmah Ida. (2014). Komunikasi Politik, Media dan Demokrasi. Kencana Prenadamedia Group, Jakarta Tamburaka, Apriadi. (2013). Literasi Media Cara Cerdas Bermedia Khalayak Media Massa. PT Raja Grafindo Persada Jakarta West, Richard dan Lynn H. Turner. (2008). Pengantar Teori Komunikasi, Analisis dan Aplikasi. Salemba Humanika. Jakarta. Sumber lain Hidayat, Dedy N. Konstruksi Sosial Industri Penyiaran : Kerangka Teori Mengamati Pertarungan di Sektor Penyiaran, Makalah dalam diskusi “UU Penyiaran, KPI dan Kebebasan Pers, 8 Desember 2015 Kusnadi dan M. Priono. (2010). Citizen Journalism Indonesia: Suatu Wujud dari Demokratisasi di Indonesia. E-Jurnal dalam www.pustaka.ut.ac.id (15 Januari 2016) Lears, T.J. Jackson. 2000. The Concept of Cultural Hegemony: Problems and Possibilities, 6 Januari 2016 Undang-undang nomor 32 tahun 2002 tentang penyiaran Undang-undang nomor 40 tahun 1999 tentang pers http://nasional.tempo.co/read/news/2014/06/25/078588020/dekan-unpad-tak-adamedia-massa-yang-netral (diakses 22 Desember 2015) http://www.merdeka.com/peristiwa/terkait-berita-pilpres-kpi-ancam-cabut-izintvone-dan-metrotv.html (diakses 22 Desember 2015) http://tekno.liputan6.com/read/649283/alasan-path-jadi-favorit-orang-indonesiasuka-berbagi (diakses 16 Januari 2016) http://www.kpi.go.id/index.php/lihat-terkini/38-dalam-negeri/32106pemberitaan-tidak-netral-kpi-pusat-tegur-metro-tv-dan-tv-one (diakses 23 Desember 2015) http://www.tempo.co/read/news/2014/06/02/269581863/memihak-capres-kpitegur-lima-stasiun-tv (diakses 23 Desember 2015) 232 International Conference of Communication, Industry, and Community. Bali, 3-4 Maret 2016 ISBN: 978-602-74139-1-7 http://www.cnnindonesia.com/teknologi/20151218100935-185-99057/laranggojek-kebijakan-menhub-jonan-jadi-guyonan/ (diakses 31 Desember 2015) http://www.antaranews.com/berita/535822/jokowi-akan-panggil-menhub-terkaitpelarangan-gojek (diakses 31 des 2015) Biografi Penulis Feri Ferdinan Alamsyah, dilahirkan 24 Mei 1982 di Cililin, Kabupaten Bandung, Jawa Barat. Menyelesaikan pendidikan S2 di Universitas Padjadjaran Bandung pada tahun 2013. S1 selesai pada tahun 2006. Saat ini aktif sebagai staf pengajar dengan kompentensi Penyiaran di program studi Ilmu Komunikasi, FISIP Universitas Pakuan Bogor. 233 International Conference of Communication, Industry, and Community. Bali, 3-4 Maret 2016 ISBN: 978-602-74139-1-7 APA YANG MEMUNGKINKAN JURNALISME WARGA TERSELENGGARA? KAJIAN TERHADAP MINAT, MOTIVASI, DAN JEJARING SOSIAL ONLINE Devie Rahmawati Laboratorium Vokasi Komunikasi, Universitas Indonesia [email protected] Abstract Citizen journalism is a pretty interesting contemporary development of journalism. Journalism is not done by professional journalists but by the citizens. The question is, if it does not run with the principles of professionalism, then what encourages ordinary citizens to write articles that are classified as citizen journalism? Why a citizen-based journalism coverage actually have more depth than professional journalism. By examining some of the sites were quite successful in implementing citizen journalism, the authors wanted to show that the reward received by the author is not limited to money. Social recognition that is now possible with the rise of social media allows authors citizen journalism gained prestige and privilege that encourage continued and continue to write again. Keywords: citizen journalism, social acknowledgement, professional journalism Abstrak Citizen journalism adalah perkembangan kontemporer yang cukup menarik dari jurnalisme. Jurnalisme tidak dilakukan oleh wartawan profesional melainkan oleh warga. Pertanyaannya, apabila tak dijalankan dengan asas-asas profesionalitas, maka apa yang mendorong warga awam menuliskan artikel-artikel yang tergolong sebagai citizen journalism? Mengapa sejumlah liputan jurnalisme berbasis warga justru mempunyai kedalaman yang lebih ketimbang jurnalisme profesional. Dengan mengkaji beberapa situs yang cukup sukses menerapkan citizen journalism, penulis ingin memperlihatkan bahwa reward yang diterima oleh penulis tidak sebatas uang. Pengakuan sosial yang kini dimungkinkan dengan maraknya media sosial memungkinkan penulis citizen journalism memperoleh prestise dan privilese yang mendorongnya untuk terus dan terus menulis lagi. Kata Kunci: Citizen Journalisme, pengakuan sosial, jurnalisme profesional Pendahuluan Citizen journalism atau jurnalisme warga merupakan satu buzzword yang cukup marak pada masa-masa awal media daring di Indonesia. Premisnya sendiri memang cukup menarik. Pemberitaan dari media massa tidak lagi ditentukan oleh kantor media maupun redaksi. Warga dapat ambil andil dalam melaporkan, menulis, serta menelaah hal-hal aktual yang terjadi di sekeliling mereka. Dalam salah satu definisinya yang dicetuskan oleh Bowman dan Wilis (2003), ia 234 International Conference of Communication, Industry, and Community. Bali, 3-4 Maret 2016 ISBN: 978-602-74139-1-7 merupakan jurnalisme di mana ―warga memainkan peranan yang aktif dalam proses penghimpunan, pelaporan, analisis, dan diseminasi berita serta informasi.‖ Aspek partisipasi merupakan kata kunci yang penting ditonjolkan di sini. Jurnalisme warga, sejak awal kemunculannya sampai dengan saat ini, mengusung banyak harapan dari para aktor. Ia dianggap sebagai satu bentuk jurnalisme yang dapat menjadi alternatif kalau bukan tandingan dari jurnalisme profesional. Dalam pandangan Terry Flew, terdapat tiga elemen yang memberikan ancang-ancang untuk kemunculan jurnalisme warga. Ketiganya antara lain penerbitan terbuka, penyuntingan kolaboratif, serta informasi yang terdistribusi (Flew 2005). Tiga elemen ini dianggap tidak ada dalam jurnalisme konvensional dan mendesak satu konsep baru, jurnalisme warga, untuk muncul. Secara lebih gamblang, terdapat pandangan yang menekankan jurnalisme warga memang merupakan jurnalisme alternatif (Atton 2003). Ia dapat dikatakan demikian lantaran memberikan tantangan terhadap praktik jurnalisme yang sudah terlembaga dan terprofesionalkan oleh media arus utama. Pengarusutamaan media merupakan situasi yang tidak melulu dipandang sehat, pasalnya, media arus utama mempunyai kecenderungan untuk mereproduksi berita secara monolitik sepanjang topik bersangkutan memiliki nilai jual yang tinggi. Media arus utama dianggap didikte oleh prinsip ekonomi. Namun seiring bermunculannya harapan terhadap praktik jurnalisme warga, skeptisme pun turut berkembang. Pertanyaan pun lantas muncul terhadap premis bahwa jurnalisme berbasis partisipatif voluntaristik akan mendorong praktik jurnalisme berkembang ke arah yang lebih baik. Satu arus di antara berbagai arus kritik yang menghunjam jurnalisme warga mempertanyakan perihal kualitasnya. Tom Grubisich (2005), sebagai contoh, menganggap jurnalisme warga memiliki defisit dibandingkan jurnalisme konvensional dalam hal kualitasnya. Hal ini wajar mengingat mereka yang bekerja untuk melakukan pemberitaan bukan hanya tidak terlatih melainkan juga tidak menjadikannya sebagai sumber penghidupan serta tak melewati jenjang karier di sana. Pandangan lain datang dari David Simon yang mengkritik bahwa para hobiis tak mungkin menggantikan jurnalis terlatih. Menurutnya, pelembagaan profesional merupakan sesuatu yang ditujukan untuk menyediakan sumber daya manusia yang terlatih di bidangnya, dan demikianlah halnya dengan jurnalisme profesional dan media massa. Kritik kedua mengkritik perihal objektivitas dari jurnalisme warga. Jurnalisme warga dianggap cenderung subjektif dan bahkan rentan bias serta penyimpangan-penyimpangan. Wartawan media massa lazim dilatih untuk melakukan pengecekan seara berimbang. Dengan melakukan wawancara lebih dari satu sumber serta memeriksa ulang wawasan yang sudah didapat, jurnalisme konvensional mengembangkan satu metode yang dianggap reliabel sehingga orang-orang semestinya dapat mengandalkan informasi yang terlaporkan di dalamnya. Selain itu, nama besar media bersangkutan juga menjadi taruhan apabila berita yang ditulis terbukti keliru; selain juga dengan adanya institusi besar yang menaungi sang wartawan, pengkritikan maupun penggugatan terhadap pemberitaan keliru senantiasa terbuka. Para jurnalis warga, di sisi lain, tak 235 International Conference of Communication, Industry, and Community. Bali, 3-4 Maret 2016 ISBN: 978-602-74139-1-7 memiliki institusi formal yang menaunginya dan dengan sendirinya diasumsikan mereka tak memiliki beban untuk mempertanggungjawabkan apa yang dilaporkannya seberat para jurnalis profesional. Di samping itu pula, dalam praktiknya portal-portal jurnalisme warga memang lazim dipergunakan untuk melakukan kampanye hitam maupun penyebaran kabar-kabar fitnah oleh pihakpihak anonim. Baik dalam kritik pertama maupun kritik kedua, kita dapat menarik benang merah, keduanya menganggap jurnalisme warga tak dapat disejajarkan dengan jurnalisme profesional. Dua bentuk jurnalisme ini tak mungkin disetarakan dari sisi reliabilitas serta kualitasnya. Namun, pada paper ini saya ingin mengulas relevansi kritik-kritik tersebut dengan mengangkat beberapa praktik yang masih masuk dalam koridor jurnalisme warga yang saat ini berkembang. Beberapa situs berita yang hidup melalui jejaring komunitas menunjukkan bahwa kualitas berita yang ditayangkan justru mempunyai kualitas yang dimiliki oleh situs berita pada umumnya. Saya ingin memperlihatkan variabel apa sajakah yang mempunyai kontribusi dalam memungkinkan jurnalisme warga tertentu memiliki kualitas penulisan yang eksepsional. Penulis sadar bahwa sebagian dari jurnalisme warga masih belum cukup memadai untuk dikatakan sebagai jurnalisme yang bernas. Oleh karena itu melalui kajian ini, saya berharap dapat menemukan aspek-aspek yang mengondisikan penulisanpenulisan voluntaristis sehingga menjadi bentuk diseminasi informasi yang dapat dibandingkan dengan jurnalisme profesional dan bahkan melampauinya. Gairah dan Kekomunitasan Pada saat kita menyebut jurnalisme warga, situs yang paling pertama terbayang mungkin tak lain portal semacam Kompasiana, Indonesiana, jurnalisme warga Liputan 6, dan portal-portal lain yang menginduk kepada media pada umumnya. Bayangan ini sama sekali tidak keliru. Portal-portal semacam ini pun tak jarang menghasilkan tulisan-tulisan yang memang dapat dipuji kualitasnya. Namun, apa yang dapat kita pelajari dari portal-portal semacam ini adalah kualitas daripada jurnalisme warga biasanya sangat ditentukan oleh gairah sang penulis itu sendiri. Dari beberapa penulis yang lebih menonjol ketimbang yang lainnya, tampak bahwa kualitas tulisannya terasah karena adanya perasaan ketidaknyamanan pada diri sang penulis sendiri alih-alih adanya mekanisme pengawasan dari redaktur atau kurator. Akan tetapi, satu hal yang dapat disayangkan dari situs portal yang menginduk ke situs berita semacam demikian adalah jumlah tulisan yang tidak dapat diandalkan jauh lebih banyak lagi. Portal-portal ini tidak membangun satu sistem yang memungkinkan tulisan-tulisan terseleksi berdasarkan kualitasnya dan bukan hal yang sulit untuk memahami alasannya, pasalnya, apa yang menjadi orientasi dari portal semacam adalah jumlah anggota serta besaran lalu lintas situsnya. Apa yang dituliskan oleh para anggota di laman mereka, alih-alih sesuatu yang dapat dikatakan informasi yang bermanfaat untuk publik luas serta teruji, lebih menyerupai catatan serta komentar pribadi. Upaya-upaya peliputan tak akan ditemukan. Banyak yang berefleksi kepada pengalaman atau perasaan 236 International Conference of Communication, Industry, and Community. Bali, 3-4 Maret 2016 ISBN: 978-602-74139-1-7 pribadi untuk melakukan penulisan. Kita mungkin untuk mendapatkan tulisan yang baik yang hasilnya dapat dibandingkan dengan apa yang disusun oleh para jurnalis profesional papan atas. Akan tetapi, tulisan tersebut pun belum tentu akan menjadi tulisan yang menonjol di antara tulisan-tulisan para anggota lainnya; proses penentuan mana tulisan yang akan menonjol maupun yang tidak biasanya ditentukan dari popularitas artikel dan artikel yang berangkat dari informasi palsu pun, sepanjang ia memikat perhatian banyak orang, akan menjadi artikel yang menonjol. Dari kasus-kasus berbagai portal ini kita, memang, bisa menunjuk gairah sang penulis untuk menulis menjadi satu variabel penentu jurnalisme berkualitas karena ia mendorong sang penulis sendiri menjadi pengawas ketat akan kebernasan tulisannya. Anggota yang sudah dianggap sebagai sumber informasi otoritatif di Kompasiana akan berusaha untuk terus-menerus menjaga reputasinya tersebut dan dengannnya ia akan tak henti-hentinya berusaha untuk menyuplai informasi-informasi yang dapat dipercaya. Di sinilah gairah pribadi untuk menjadi sosok yang diandalkan, diutamakan bermain. Namun, kebanyakan di antara penulis yang ada tetap saja menulis dengan kualitas yang tak bisa diandalkan. Informasi yang ditayangkan cenderung klise atau mengulang sumber informasi yang sudah ada. Untuk itu, kita nampaknya perlu untuk melihat beberapa situs lain di luar situs utama ini Beberapa situs berita yang dapat segera menjadi contoh dari apa yang saya ajukan adalah IndoProgress, JakartaBeat, Pabrikultur, Cinema Poetica, Selasar, dan beberapa lainnya yang akan saya sebutkan seiring penulisan ini. Media-media tersebut sangat bertumpu pada komunitas pembaca serta penulisnya yang tak memperoleh bayaran sebagaimana seorang jurnalis profesional. Keterlibatan para proponen di dalamnya didorong oleh gairah mereka terhadap isu yang diangkat oleh media-media tersebut. Satu hal ini sama dengan hal yang mendorong para anggota eksepsional portal seperti Kompasiana untuk terusmenerus mempublikasikan pandangannya di situs bersangkutan. Mereka yang terlibat dan menjadi seseorang yang setara dengan jurnalis warga adalah mereka yang merasa memiliki tanggung jawab dan berusaha menunaikannya sepenuhnya. Kini, perkenankan saya mengulas beberapa dari antara situs yang dianggap berhasil menjaga proses kurasinya sehingga tulisan yang bermunculan dapat dipastikan memenuhi kaidah citra bernas. Situs IndoProgress, sebagai misal, merupakan media alternatif yang mengajukan gagasan-gagasan kritis. Kebanyakan tulisan yang ditampilkan di situs tersebut adalah ulassan terhadap situasi sosial yang berkembang serta kebijakan dari sudut pandang yang kritis. Tulisan-tulisan yang tampil bukan hanya memiliki artikulasi gagassan yang memadai, pengutipan sumber data yang baik melainkan juga memiliki nuansa akademik yang cukup kental. Ada satu kultur intelektual yang berkembang dalam situs ini dan hal ini jarang akan ditemukan pada situs-situs lain mana pun. Sementara Pabrikultur berisi ulasan-ulasan alternatif tentang berbagai hal bertema kebudayaan. Para kontributor dari Pabrikultur adalah para jurnalis yang ingin meluangkan waktu mereka untuk menyediakan tulisan yang memberikan wawasan lain kepada para pembaca, dan hasilnya adalah ulasan-ulasan ekstensif 237 International Conference of Communication, Industry, and Community. Bali, 3-4 Maret 2016 ISBN: 978-602-74139-1-7 dan mendalam yang tak akan kita temukan di media tempat para wartawan bersangkutan bekerja secara profesional. Selain itu, kita juga mendapati Jakarta Beat. Jakarta Beat dirintis oleh peneliti dan wartawan Indonesia ketika tengah berkuliah di Amerika Serikat. Awalnya berfokus mengulas perihal musik, Jakarta Beat kemudian melibatkan ulasan-ulasan populer lainnya dan apa yang dapat dengan mudah kita temukan dari ulasan-ulasannya adalah perspektif yang tajam serta orisinil tentang apa-apa yang dikaji para penulisnya. Kemudian ada CinemaPoetica. Situs ini merupakan satu situs yang berkonsentrasi pada ulasan film. Film-film diulas dengan gaya telaahan lebih mudah kita temukan padanannya di antara para pengkritik film cakap luar negeri alih-alih di antara rubrik-rubrik ulassan film berbagai media dalam negeri. Ulasan-ulasan yang mereka lakukan menyenangkan untuk dibaca serta jauh lebih mendalam. Kendati terdapat beberapa penulis tetap untuk situs-situs semacam ini, mereka tetap menerima tulisan dari pihak-pihak yang ingin mengirimkan tulisannya. Dengan pola semacam ini—ditambah reputasi tiap situs ini yang sudah cukup mumpuni di bidangnya—artikel yang masuk pun tidak sedikit. Setelahnya, artikel masih akan melalui proses penyuntingan dan penulis tak jarang masih harus melakukan revisi berarti untuk tulisannya. Masing-masing situs dianggap sebagai sumber informasi berotoritas di antara komunitasnya. CinemaPoetica dianggap sebagai referensi kajian film yang mumpuni sebagaimana IndoProgress menjadi rujukan mahasiswa untuk memperoleh kajian kritis tentang isu-isu sosial aktual di Indonesia. Ditambah dengan adanya proses review terhadap tulisan yang ada oleh para redaktur yang disegani di bidangnya, tulisan yang diterima masuk dalam situs-situs ini akan dianggap tulisan yang cukup baik. Penulis pun, dengan demikian, akan menuntut diri mereka sendiri untuk menghasilkan tulisan yang tajam, menarik, memenuhi kualifikasi. Apa yang kita temukan di sini sebenarnya masih mengingatkan kita dengan pola yang berkembang di antara para akademisi. Di antara para akademisi, terdapat kultur kolegial yang cukup kental. Masing-masing akademisi biasanya mengembangkan serta memeriksa hasil kerjanya sendiri melalui para koleganya. Dalam praktik yang dapat disebut jurnalisme warga ini, kita menemukan para pelapor memiliki kecenderungan untuk memantapkan kualitas tulisannya karena ia harus menayangkannya di antara para kolega yang dianggapnya berotoritas dalam bidang yang digelutinya. Dengan demikian, di sini kita menjumpai uang atau penghargaan profesional tak selalu menjadi reward atau piala paling utama untuk mendirikan kultur menulis serta mendiseminasikan warga yang baik. Kultur ini dapat muncul melalui reward dalam bentuk lain. Di sini, bentuk reward yang kita jumpai berlaku sebenarnya adalah pengakuan. Pengakuan dari pihak yang dianggap mempunyai wewenang menentukan mana tulisan yang dianggap dalam bidang serta komunitasnya. Gairah terlibat dalam isu yang digeluti komunitas serta komunitas itu sendiri rupanya merupakan variabel yang sangat berperan dalam memastikan tulisan yang baik dihasilkan oleh para jurnalis warga ini. 238 International Conference of Communication, Industry, and Community. Bali, 3-4 Maret 2016 ISBN: 978-602-74139-1-7 Hasil Temuan dan Diskusi Berada dalam era media sosial, kita sebenarnya dapat dengan mudah meraba pola yang digunakan oleh media-media warga bersangkutan untuk merampungkan kontennya tanpa mensyaratkan sumber daya yang berlimpah. Bahkan, sumber daya yang mereka miliki pada kenyataannya cukup minim. Kita sadar bahwa Facebook tak pernah memproduksi kontennya sendiri. Demikian juga halnya dengan Twitter, Path, Instagram. Semua informasi yang berseliweran dalam situs mereka dan mengundang orang untuk terus-menerus berkunjung serta tak henti-hentinya mendatangkan anggota baru untuk mendaftar, kalau kita cermati secara seksama, bukanlah produk dari pihak pengelola media sosial itu sendiri. Apa yang mereka lakukan sejauh ini hanyalah menerapkan satu algoritma sehingga apa yang diunggah oleh para pengguna akan tertata sendiri untuk pengguna lain dalam format yang ramah untuk mereka. Untuk mengentalkan gambaran ini, kita dapat melihat pada fakta bahwa mereka tidak memberikan penghargaan profesional sama sekali kepada para pengunggah informasi bersangkutan. Apa yang dilakukan oleh media-media sosial untuk memastikan situsnya terus-menerus didatangi? Media-media sosial bersangkutan menyusun alogaritma yang bergulir sendiri sehingga yang terjadi adalah otokurasi di mana konten yang bagus akan terus-menerus tampil di laman newsfeed depan banyak orang dan mendatangkan pengakuan dalam bentuk ―like‖ secara terus-menerus. Jumlah like yang diperoleh, pada berbagai kasus, mendorong seseorang untuk terus menerus mengunggah sesuatu ke jejaring media sosialnya. Mereka melakukan satu kerja cuma-cuma yang dapat mempromosikan media sosial bersangkutan dan pada saat yang sama dilakukan dengan kerelaan yang sangat tinggi. Kita sebenarnya dapat menemukan pola seperti ini pada situs-situs yang mengedepankan informasi berkualitas yang diproduksinya sendiri. Mereka diganjar sama halnya dengan yang diberikan media sosial—dengan pengakuan yang diorganisir dalam sistem yang dibangunnya. Melalui cara yang demikian, rupanya, tulisan serta laporan berkualitas terbaik dapat dihasilkan dan malah pada taraf tertentu lebih efektif ketimbang sistem yang dibangun oleh media massa. Bagi saya, hal ini sepatutnya menjadi pembelajaran bukan hanya untuk menumbuhkan lebih jauh jurnalisme warga di Indonesia. Ia juga dapat berguna untuk memberi masukan terhadap jurnalisme profesional di Indonesia yang rentan melakukan kekeliruan. Pengecekan jurnalisme profesional ini pun dapat terbilang minim. Pada kasus pemboman di Sarinah tempo hari, misalkan, salah satu stasiun TV memberitakan rumor yang belum bisa dikonfirmasi sama sekali dan akhirnya terbukti keliru. Masih banyak hal yang perlu dipelajari bukan hanya oleh jurnalisme warga melainkan oleh jurnalisme konvensional di bawah sana. Daftar Pustaka Atton, Chris. 2003. What is "alternative journalism"? Journalism: Theory, Practice and Criticism 4, 239 International Conference of Communication, Industry, and Community. Bali, 3-4 Maret 2016 ISBN: 978-602-74139-1-7 Bowman, S. and Willis, C. "We Media: How Audiences are Shaping the Future of News and Information." 2003, The Media Center at the American Press Institute. Flew, Terry. 2005. New media: An introduction. South Melbourne, Vic. ; New York: Oxford University Press. Grubisich, T. "Grassroots journalism: Actual content vs. shining ideal." October 6, 2005, USC Annenberg, Online Journalism Review. Biografi Penulis Devie Rahmawati, Dosen Tetap Program Komunikasi Vokasi UI ini adalah seorang praktisi komunikasi dalam bidang Public Relations (PR) yang telah meniti karir professional selama 15 tahun (tahun 2000 – sekarang) dengan menjadi seorang jurnalis; konsultan PR; PR di korporasi dan NGO nasional dan global; event manager tamu-tamu internasional; pendiri portal nasional dan lembaga riset. 240 International Conference of Communication, Industry, and Community. Bali, 3-4 Maret 2016 ISBN: 978-602-74139-1-7 CITIZEN JOURNALISM DI KORAN KONVENSIONAL (STUDI DESKRIPTIF ISI RUBRIK CITIZEN JOURNALISM DI KORAN TRIBUN JOGJA) Yanti Dwi Astuti, Lukman Nusa UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta [email protected], [email protected] Abstract This research was motivated by the presence of citizen journalism that was originally to be a trend in online media. Recognizing the magnitude of the potential of citizen journalism pushed one conventional media Jogja Tribune newspaper to collaborate with citizen journalism by giving a special page for citizen journalists through one of the columns that are named rubric Citizen Journalism. This becomes interesting because of the merger of two opposites is between freedom of expression in the information by filtering information of citizen journalism done by the manager of the Tribune newspaper Jogja. Various citizen journalist content delivered through one of his columns that rubric Citizen Journalism in select and published by the management section. News content that appear on the rubric in every time of publication only 1-2 posts. In fact, in a day of citizen journalists who sends news to Tribune managers. Then came the question how the image contents of the section on Citizen Journalism Tribune newspaper Jogja? This research uses descriptive qualitative method. Data collections by observation, in-depth interviews and a literature review. The concept of content management is divided into the planning, organizing, implementing and monitoring. Descriptive analysis showed that the content of the rubric Citizen Journalism presenting diverse themes with interesting and fresh content. Then Tribune Jogja is active role in selecting and editing the contents of text that is sent from residents. Citizen journalism in the newspaper that there is very limited by the room and there is no interaction and debate between journalists critical of its citizens. However, many managers do not set the theme of the news that sent residents. In addition research findings also indicate that the manager has made use of Jogja Tribune on citizen journalism that was becoming a trend in society for economic interests by making use of the content and citizen journalists to attract readers and advertisers. It can be concluded that citizen journalism is in Jogja Tribune newspaper is covered by the industry centered vortex profit and loss. Keywords: Citizen journalism, Content of rubric Citizen Journalism, Management Redaction Abstrak Penelitian ini dilatarbelakangi oleh adanya citizen journalism yang pada awalnya menjadi tren di media online. Menyadari besarnya potensi jurnalisme warga mendorong salah satu media surat kabar Jogja Tribune konvensional untuk berkolaborasi dengan jurnalisme warga dengan memberikan halaman khusus 241 International Conference of Communication, Industry, and Community. Bali, 3-4 Maret 2016 ISBN: 978-602-74139-1-7 untuk jurnalis warga melalui salah satu kolom yang diberi nama rubrik Citizen Journalism. Hal ini menjadi menarik karena penggabungan dua lawan adalah antara kebebasan berekspresi dalam informasi dengan menyaring informasi dari jurnalisme warga dilakukan oleh pengelola surat kabar Tribune Jogja. Berbagai konten jurnalis warga yang disampaikan melalui salah satu kolom bahwa rubrik Citizen Journalism di pilih dan diterbitkan oleh bagian manajemen. konten berita yang muncul di rubrik di setiap saat publikasi hanya 1-2 posting. Bahkan, dalam satu hari dari jurnalis warga yang mengirim berita ke manajer Tribune. Lalu muncul pertanyaan bagaimana isi gambar dari bagian atas koran Citizen Journalism Tribun Jogja? Penelitian ini menggunakan metode deskriptif kualitatif. koleksi data dengan wawancara observasi, mendalam dan kajian literatur. Konsep manajemen konten dibagi ke dalam perencanaan, pengorganisasian, pelaksanaan dan pengawasan. analisis deskriptif menunjukkan bahwa kandungan rubrik Citizen Journalism menyajikan tema yang beragam dengan konten yang menarik dan segar. Kemudian Tribune Jogja adalah peran aktif dalam memilih dan mengedit isi teks yang dikirim dari warga. Citizen journalism di koran bahwa ada sangat terbatas oleh ruang dan tidak ada interaksi dan perdebatan antara wartawan kritis warganya. Namun, banyak manajer tidak menetapkan tema berita yang dikirim warga. Selain temuan penelitian juga menunjukkan bahwa manajer telah membuat penggunaan Jogja Tribune pada jurnalisme warga yang menjadi tren di masyarakat untuk kepentingan ekonomi dengan memanfaatkan konten dan warga wartawan untuk menarik pembaca dan pengiklan. Dapat disimpulkan bahwa jurnalisme warga di koran Jogja Tribune ditutupi oleh industri berpusat laba vortex rugi. Kata Kunci: Citizen journalism, isi Citizen journalism, manajemen redaksi Pendahuluan Menyadari besarnya potensi yang dimiliki jurnalisme warga mendorong salah satu media konvensional yaitu koran Tribun Jogja untuk ikut berkolaborasi dengan jurnalisme warga dengan memberikan halaman khusus bagi jurnalis warga lewat salah satu rubriknya yang diberi nama rubrik Citizen Journalism. Rubrik ini lahir beriringan dengan awal terbitnya Tribun Jogja yaitu pada 11 April 2011. Rubrik ini merupakan media jurnalisme warga yang disediakan pengelola Tribun Jogja dan menjadi icon pembeda dengan koran lokal yang ada di Jogja lainnya. Seluruh warga boleh mengirimkan laporan berita disekitar mereka kepada pengelola Tribun Jogja. Saat ini memang jurnalisme warga tengah menjadi tren yang menjadi idola masyarakat di media online. Tribun Jogja melihat kekuatan jurnalisme warga yang sebenarnya dapat memberikan berbagai keuntungan finansial bagi industri media. Sehingga media konvensional ikut memanfaatkan tren ini dengan menyediakan media jurnalisme warga dalam koran mereka. Disini koran Tribun Jogja mencoba menayangkan konten (isi) yang dikirimkan oleh warga melalui rubrik Citizen Journalism nya. Konten yang dimuat adalah konten yang menuliskan sesuatu yang fresh dan menarik seperti 242 International Conference of Communication, Industry, and Community. Bali, 3-4 Maret 2016 ISBN: 978-602-74139-1-7 seni budaya, entertainment, promosi hingga pengalaman-pengalaman pribadi seseorang ketika melakukan perjalanan wisata keluar negeri. Namun sebelum konten tersebut dimuat dalam rubrik, pengelola terlebih dahulu melakukan penseleksian terhadap konten-konten berita tersebut. Mengingat dalam seharinya terdapat lebih dari 3 konten yang dikirimkan oleh jurnalis warga kepada pengelola. Sedangkan rubrik Citizen Journalism tersebut hanya menayangkan satu atau dua konten berita jurnalis warga dalam setiap penerbitannya. Hal ini menunjukkan bahwa telah terjadi kesalahan dalam pemaknaan jurnalisme warga oleh pengelola Tribun Jogja. Karena pada dasarnya jurnalisme warga merupakan sebuah bentuk partisipasi aktif masyarakat untuk menyuarakan pendapat secara leluasa, interaktifitas, tidak terbatasi oleh halaman (unlimited space), tidak ada persaingan antar penulis, dan tidak adanya penseleksian ketat terhadap konten beritanya. Namun dalam penerapannya di koran Tribun Jogja melalui rubrik Citizen Journalism nya, karakter dari jurnalisme warga tersebut nyaris tidak terpenuhi dengan baik. Realitas empiris yang telah digambarkan di atas justeru memperlihatkan secara gamblang bagaimana industri media hanya sekedar memanfaatkan jurnalis warga yang saat ini tengah menjadi tren dalam masyarakat namun tidak memperhatikan prinsip-prinsip dasar yang terkandung dalam jurnalisme warga itu sendiri. Padahal idealnya media diharapkan dapat menciptakan dan memperluas ruang publik. Hal ini dianggap menarik oleh penulis karena menggabungkan dua hal yang berlawanan yaitu antara kebebasan menyampaikan informasi dalam jurnalisme warga dengan penyaringan informasi yang dilakukan oleh pengelola koran konvensional. Berdasarkan fenomena tersebut, pada akhirnya mendorong peneliti untuk menggambarkan bagaimana isi dari rubrik Citizen Journalism di koran Tribun Jogja? Jurnalisme Warga Terdapat beberapa istilah yang biasa digunakan untuk menunjuk pada arti jurnalisme warga seperti grassroot journalism (jurnalisme akar rumput), participatory journalism (jurnalisme partisipasi), civic journalism (jurnalisme kewarganegaraan), dan public journalism (jurnalisme publik). Dua istilah terakhir (civic journalism dan public jurnalism) adalah satu model jurnalisme yang merupakan cikal bakal lahirnya jurnalisme warga. Dalam Jurnalisme warga, antara produsen dan konsumen berita tidak bisa lagi diidentifikasi secara rigid karena setiap orang dapat memerankan keduanya (Gillmor, 2004:12-15). Shayne Bowman dan Chris Willis (2003:48), mendefinisikan jurnalisme warga sebagai: “…the act of citizens playing an active role in the process of collecting, reporting, analyzing, and disseminating news and information. The intent of this participation is to provide independent, reliable, accurate, wideranging and relevant information that a democracy requires”. 243 International Conference of Communication, Industry, and Community. Bali, 3-4 Maret 2016 ISBN: 978-602-74139-1-7 Steve Outing (2005) memilah jurnalisme warga kedalam 11 kategori seperti berikut ini: 1. Membuka ruang untuk menampung komentar publik. Pembaca bisa bereaksi, memuji, mengkritik, atau menambahkan bahan tulisan jurnalis profesional. Ruang ini berupa surat pembaca pada media konvensional, dan berupa kolom komentar pada media online. 2. Menambahkan pendapat masyarakat menjadi bagian dari artikel jurnalis profesional. Bentuk ini diadopsi oleh oleh media mainstream atau media online berita yang tidak berbasis warga. 3. Kolaborasi antara jurnalis profesional dengan warga non jurnalis yang dinilai memiliki kemampuan pengetahuan pada materi yang akan dibahas. Bentuk ini dapat ditemui pada media konvensional seperti The Spokesman-Review/APME reader panel. 4. Bloghouse, website yang mengundang pembaca untuk ikut membaca. 5. Newsroom citizen „transparency‟ blogs. Blog yang dibuat oleh organisasi media untuk lebih transparan terhadap pola kerja media. Pada blog ini pembaca dapat memasukkan kritikan, pujian, ataupun keluhan atas pekerjaan media. 6. Stand alone citizen journalis site-dengan proses editing yaitu website yang dibangun atas dasar kontribusi sepenuhnya dari komunitas, terpisah dari media pemberitaan namun memiliki editor yang melakukan fungsi editorial. Misalnya, Mymissourian (Columbia, Mo, student-run site). 7. Stand-alone citizen journalism site tanpa proses editing. Segala tulisan yang dikirimkan warga tidak diedit oleh editor. Warga bebas untuk menuliskan apa saja yang ingin mereka tuliskan. Seperti www.DailyHeights.com. 8. Stand alone citizen journalism website dengan tambahan edisi cetak yang didisribusikan satu kali dalam satu minggu dengan menyisipkannya pada surat kabar harian atau majalah mingguan, atau membagikannya secara sporadik ke rumah-rumah. Contoh, My Town (The Daily Camera, Boulder, Colo). 9. Hybrid: Pro+Citizen Journalism. Mengkombinasikan jurnalisme warga dengan pekerja profesional. Warga mengendalikan isi websitenya dan memindahkannya ke edisi cetak dengan bantuan editor. Disini ada peran para editor dalam menilai dan memilih berita yang akan diangkat ke halaman utama. Contoh OhMyNews 10. Penggabungan antara jurnalis profesional dan jurnalis warga dalam satu atap, seperti yang diaplikasikan pada Radio Elshinta. 11. Model Wiki, pembaca betindak sebagai editor. Siapa saja diberi kesempatan untuk menulis artikel, serta memberi tambahan atau komentar terhadap artikel yang terbit. Pada penelitian ini, 11 lapisan CJ yang dikemukakan oleh Outing diatas akan dipakai sebagai salah satu titik pedoman analisa untuk mengetahui CJ yang menjadi obyek penelitian masuk pada area lapisan tidak. 244 International Conference of Communication, Industry, and Community. Bali, 3-4 Maret 2016 ISBN: 978-602-74139-1-7 Manajemen Redaksional Redaksi bertanggung jawab untuk membuat konten agar sesuai dengan ideologi yang diusung oleh media. Keredaksian media massa sendiri masih terbagi dalam beberapa jabatan khusus untuk pendelegasian tugas secara lebih detail. Jabatan tersebut antara lain pemimpin redaksi, sekretaris redaksi, redaktur pelaksana, redaktur, wartawan, dan koresponden (Totok Djuroto, 2002:12). 1. Karakteristik Redaksional Redaksi ialah bagian atau sekumpulan orang dalam sebuah organisasi perusahaan media massa (cetak, elektronik, online) yang bertugas untuk menolak atau mengizinkan pemuatan sebuah tulisan atau berita melalui berbagai pertimbangan, di antaranya ialah bentuk tulisan berupa berita atau bukan, bahasa, akurasi, dan kebenaran tulisan (Djunaedhi, 1991). Dari definisi di atas, secara ringkas dapat disimpulkan bahwa redaksi ialah sekumpulan orang tim atau tim kerja (team work) dalam sebuah organisasi media massa yang bekerja sama dan bersinergi untuk mencapai tujuan bersama yang tugas utamanya ialah mempertimbangkan atau memilih berita mana yang layak muat dan tidak layak muat baik dari segi bahasa, akurasi maupun kebenaran tulisan. Kesemuanya itu akan dipertimbangkan oleh redaktur pada sebuah media, ada beberapa dasar pertimbangan media untuk menyiarkan atau tidaknya suatu peristiwa, diantaranya adalah pertimbangan Ideologis, Politik dan Ekonomi (Djunaedhi, 1991). 2. Tahapan Manajemen Redaksional Menurut Conrand C. Fink, kekuatan dan daya tarik sebuah media cetak dimata pembaca adalah terletak pada berita dan informasi yang disajikan (Conrad C. Fink. 1988). Sebelum disajikan, terlebih dahulu melalui proses yang terdiri dari tahapan yang telah dipersiapkan, dan menjadi tanggungjawab bidang redaksional beserta unsur-unsur yang terkait di dalamnya dalam mengelola penerbitan tersebut. Tahapantahapannya adalah Perencanaan (Planning), Pengorganisasian (Organizing), Pelaksanaan (Actuating) dan Pengawasan (Controlling). Metodologi Penelitian ini menggunakan metode kualitatif yang menurut Denzin dan Lincoln (2009:2) penelitian kualitatif memiliki ciri bahwa data yang disajikan dalam bentuk deskripsi yang berupa teks naratif, kata-kata, ungkapan, pendapat, gagasan yang dikumpulkan oleh peneliti dari beberapa sumber sesuai dengan teknik atau cara pengumpulan data. Kemudian data di kelompokkan berdasarkan kebutuhan dengan pendekatan interpretatif terhadap subjek selanjutnya dianalisis. Penelitian menggunakan 3 teknik pengumpulan data, yaitu wawancara mendalam (in depth interviewing) berdasarkan interview guide yang telah dipersiapkan, observasi langsung dan pemanfaatan dokumen tertulis. 245 International Conference of Communication, Industry, and Community. Bali, 3-4 Maret 2016 ISBN: 978-602-74139-1-7 Mekanisme analisis penelitian ini adalah menggambarkan isi dalam rubrik Citizen Journalism dan menggambarkan manajemen redaksional di Koran Tribun Jogja. Analisis tersebut akan mengarahkan pada pemaparan yang lebih konkrit tentang pengelolaan isi rubrik Citizen Journalism koran Tribun Jogja. Untuk melihat keunikan dari fenomena terkait pertanyaan penelitian ini, maka pemilihan contoh kasus dilakukan dengan prosedur sebagaimana digunakan dalam metode deskriptif dengan jenis studi kasus atau case study (2009). Analisis dilakukan sejak data terkumpul, yaitu dengan mereduksi (memilah-milah) data, penyajian data, dan penarikan kesimpulan. Kemudian analisis data berhenti bersamaan dengan selesainya penelitian. Hasil Temuan dan Diskusi Isi Rubrik Citizen Journalism dalam Koran Tribun Jogja Menurut hasil temuan data di lapangan menunjukkan bahwa isi dalam rubrik Citizen Journalism di Koran Tribun Jogja sepanjang edisi 2011-2013 dalam setiap harinya lebih kurang berjumlah 3-4 item yang dikirimkan oleh warga yang kemudian dilakukan seleksi oleh pengelola redaksi rubrik ini. Isi rubrik Citizen Journalism ini mayoritas cenderung lebih pada topik-topik ringan seputar hiburan, traveling, gaya hidup, kuliner dan laporan kegiatan sebuah lembaga seperti beberapa contoh tulisan dalam isi rubrik yang berjudul “Death Valley dan Indian” ditulis oleh Bernadus Supranyoto, WNI di California, tulisan ini masuk kategori traveling yang menceritakan kisah mengenai WNI yang mengunjungi Death Valley (lembah kematian) di AS dengan pemandangannya yang menarik, kemudian “Mengedukasi Pengguna Gadget” ditulis oleh Anton Trianto, masuk dalam kategori gaya hidup, tulisan ini menceritakan maraknya penggunaan notebook, smartphone yang membawa efek positif maupun negative. Setelah itu isi rubrik dengan tema kuliner “Saya Kangen Berat Masakan Indonesia” ditulis oleh Kurnia Nurul Hidayat menceritakan tentang Pengalaman seorang pelayar rute Jepang, China dan Korea yang merindukan masakan Indonesia. Kemudian isi rubrik yang mempromosikan lembaga bisnisnya pada tulisan “Terobosan Bisnis Dot.Com” oleh Anggit Tut Pinilih Owner mbakdiskon.com. Seorang pebisnis muda yang memperkenalkan cara baru bisnis dot-com untuk mendapatkan berbagai deal menarik yaitu mbakdisko.com dengan menawarkan diskon besar dan berbagai merchandise. Meskipun begitu isi rubrik ini juga beberapa kali menampilkan tema yang mengangkat tentang isu-isu ekonomi, politik, sosial, pendidikan dan agama seperti pada tulisan “Duri Pendidikan” yang ditulis oleh Dwi Astuti Dharma Putri, dimuat pada edisi 24 Juni 2011. Berita ini masuk kategori pendidikan dengan tema ” Menceritakan mengenai terjalnya dunia pendidikan di Indonesia, terbukti dengan kerap berubahnya peraturan system pendidikan oleh pemerintah”. Isi rubrik tentang politik terdapat pada berita yang dituliskan oleh I Gede Ery Purwaka yang berjudul “Mendidik Calon Pemimpin” tulisan ini mengkritisi pemerintah mengenai ketidakberdayaan masyarakat sipil Indonesia yang saat harus berhadapan langsung dengan kekuatan negara dan pasar. Pada 246 International Conference of Communication, Industry, and Community. Bali, 3-4 Maret 2016 ISBN: 978-602-74139-1-7 kategori sosial dengan tema ”Mengenai permasalahan-permasalahan yang hinggap pada perempuan terutama relasi sosialnya dengan laki-laki” tulisan ini mencoba untuk mengkaji permasalahan-permasalahan yang sering terjadi pada perempuan yang belum menunjukkan trend perbaikan bahkan terkesan stagnan. Kategori dengan tema-tema politik, ekonomi, sosial dan agama sangat jarang muncul, pengelola Tribun lebih mengedepankan tulisan yang berisikan berita ringan dan yang menghibur. Nilai- nilai jurnalisme warga belumlah tampak jelas dalam rubrik ini. Ditambah lagi jarang nya terdapat berita yang ada perdebatannya baik itu perdebatan masalah ekonomi, sosial, hukum dan politik dalam topik beritanya menambah kekurang optimalan nilai jurnalisme warga dalam rubrik ini. Pada prakteknya ketiga kriteria isi berita rubrik yang bebas, terdapat perdebatan dan terdapat ideology driven memanglah belum mencapai titik maksimal dikarenakan beberapa aturan yang lazimnya berlaku pada media konvensional yaitu adanya managemen redaksi dan agenda setting media yang bermain, ini semua mengikuti kepentingan sebuah industry media yaitu kepentingan ideology, politik dan ekonomi. Kebijakan tersebut sangatlah mempengaruhi isi dari sebuah media cetak konvensional dalam hal ini rubrik Citizen Journalism. Pengelolaan Isi Rubrik Citizen Journalism Koran Tribun Jogja Pada tahap perencanaan, pengelola Tribun telah melakukan perencanaan yang matang terhadap rubrik Citizen Journalism. Hal ini dari terlihat dari kebijakan pengelola Tribun berkolaborasi dengan junalisme warga yang tengah menjadi tren di masyarakat khususnya kalangan anak muda. ini sejalan dengan target marketing Tribun yang berorientasi kepada pembaca muda. Selain itu rencana design dan rencana penentuan tema pun sesuai dengan selera anak muda yaitu design koran yang colourfull dan pengangkatan tema konten berita yang menarik. Tema dalam konten berita di rubrik Citizen Journalism mayoritas membahas mengenai entertainment, seni budaya, pariwisata dan hal-hal menarik lainnya yang dikirimkan oleh jurnalis warga. Pada Pengorganisasian (Organizing), pengelola Tribun telah menerapkan posisi personal sesuai kapasitas dan fungsinya serta melakukan tugas dan peran yang diberikan. Ini terlihat pada bidang redaksi yang berfungsi untuk memperbaiki berita dari wartawan dan memeriksa ulang artikel-artikel serta mengelompokkan artikel berita berdasarkan jenis-jenis topic berita, pengelola merekrutnya melalui rekruitmen khusus. Untuk pemimpin redaksi, ada sebagian personil yang di ambil dari grup Tribun yang sudah exist sehingga hanya transfer tempat saja. Misalnya dari Tribun Jabar. Ini semata untuk membuat proses penerbitan menjadi cepat karena pihak pengelola mengganggap mereka ini sudah mengenal konsep penerbitan Koran. Sedangkan pada tahap pelaksanaan produksi konten rubrik Citizen Journalism dalam penelitian ini, pengelola membaginya menjadi empat tahapan yaitu meliputi Input berita, Seleksi berita, Keputusan memilih berita dan Aplikasi nilai berita melalui persyaratan teknis yaitu hanya mengambil konten berita yang diproduksi oleh jurnalis warga yang memiliki unsur-unsur nilai berita sesuai standarisasi pengelola Tribun. 247 International Conference of Communication, Industry, and Community. Bali, 3-4 Maret 2016 ISBN: 978-602-74139-1-7 Bentuk jurnalisme warga yang terjadi di koran Tribun ini dapat diklasifikasikan ke dalam bentuk citizen journalism menurut Steve Outing yakni bentuk Standalone citizen journalism site, dan Hybrid: pro + citizen journalism. Stand-alonecitizen journalism site, adalah yang melalui proses editing. Sumbangan laporan dari warga, biasanya tentang hal-hal yang sifatnya sangat lokal, yang dialami langsung oleh warga. Editor berperan untuk menjaga kualitas laporan, dan mendidik jurnalis warga tentang pemilihan topik-topik yang menarik dan layak untuk dilaporkan. Dalam rubrik ini semua kiriman dari warga akan melalui proses editing untuk nantinya ditayangkan. Sedangkan Hybrid: pro + citizen journalism adalah suatu kerja organisasi media yang menggabungkan pekerjaan jurnalis profesional dengan jurnalis warga. Disini redaksi sebagi jurnalis professional melakukan pendampingan dari tahap produksi hingga produksi, nantinya dalam tahap pasca produksi yakni proses editing hanya redaksi yang mengolahnya. Dan yang terakhir pada tahapan Pengawasan (controlling), Kegiatan jurnalisme warga dalam program ini tidak banyak peraturan yang mengikat atau membatasi karya warga, Koran Tribun Jogja sebagai media penyalur disini berperan dalam menyebarkan secara luas informasi dari warga juga sebagai kontrol terhadap liputan warga dengan bertanggung terhadap liputan tersebut. Pengelolaan Isi Rubrik Citizen Journalism Berujung Pada Berbagai Pemanfaatan Berdasarkan temuan penelitian, jurnalisme warga di koran konvensional melalui rubrik Citizen Journalism ini ternyata juga tidaklah terlepas dari kepentingan dan pemanfaatan. Jurnalis warga disini diberdayakan oleh pengelola untuk menjalankan roda media sementara industry media hanya membangun perangkatnya dalam hal ini melalui rubrik Citizen Journalism. Pengelola rubrik memiliki kepentingan tersembunyi dalam menyediakan media jurnalisme warga. Ini masuk dalam kategori komodifikasi media yang oleh Vincent Mosco (1996) di perkenalkan dalam tiga bentuk komodifikasi media atau pemanfaatan media yaitu pemanfaatan isi (konten), pemanfaatan khalayak sebagai konsumen dan pemanfaatan khalayak sebagai pekerja. Pertama, pada pemanfaatan isi (konten) media, pengelola mengandalkan warga dalam hal memproduksi isi dan memanfaatkannya. Isi yang tertuang di dalam rubrik merupakan liputan-liputan yang luput oleh industry media. Mayoritas isi dari rubrik bertemakan entertainment, pariwisata, seni dan budaya yang menyajikan cerita-cerita menarik baik dari luar dan dalam negeri. Bahkan dalam salah satu kasusnya menunjukkan bahwa isi di rubrik Citizen Journalism tidak hanya di produksi dan dikirimkan oleh khalayak ke pengelola namun pengelola mengambilnya secara langsung melalui blog di media online tanpa permisi. Selain itu, pada perkembangannya media jurnalisme warga yang ada di Tribun berkembang tidak hanya terdapat pada rubrik Citizen Journalism saja, namun berkembang menjadi satu halaman penuh dengan nama i-Tribunners yang berisi media jurnalisme dalam bentuk lain yang diberi nama rubrik facebooker bicara dan rubrik tuit…tuit. Pada bentuk media jurnalisme warga yang baru ini 248 International Conference of Communication, Industry, and Community. Bali, 3-4 Maret 2016 ISBN: 978-602-74139-1-7 pemanfaatan isi pun tak luput terjadi, semua isinya di ambil secara langsung dari media online Tribun dan dipublikasikan ke dalam rubrik facebooker bicara dan rubrik tuit…tuit.. Kedua, pemanfaatan jurnalis warga sebagai konsumen, artinya media jurnalis warga digunakan oleh industry media untuk menjual sekaligus menjadikan rubrik Citizen Journalism sebagai sasaran pengiklan. Halaman yang memuat media jurnalisme warga dengan tambahan beberapa rubriknya di koran Tribun tersebut dijual kepada perusahaan maupun agensi periklanan dengan daya tawar bahwa rubrik tersebut adalah ruang publik yang menawarkan informasi segar dan menarik agar perusahaan dan pihak pengiklan memasang iklan di koran mereka. Selain itu, penambahan media jurnalisme warga pada halaman Tribun juga bertujuan untuk mendapatkan konsumen yang banyak dengan strategi pemunculan foto diri para jurnalis warga. Dengan cara itu pengelola memanfaatkan warga sebagai konsumen, karena warga akan senang jika foto dirinya dimuat dalam koran dan akan membeli koran tersebut. Ketiga, pemanfaatan warga sebagai pekerja dalam rubrik Citizen Journalism Tribun Jogja. Disini jurnalis warga dijadikan pekerja oleh pengelola Tribun. Jurnalis warga melakukan pengumpulan dan pelaporan berita kepada masyarakat dengan sukarela (free labour). Padahal koran merupakan industry media yang mencari dan menghasilkan keuntungan. Maka dengan memanfaatkan jurnalis warga industri media tersebut akan mendapatkan keuntungan yang lebih besar. Simpulan Berdasarkan atas analisis dan pembahasan yang telah dilakukan maka, hasil penelitian menunjukkan bahwa isi rubrik Citizen Juurnalism memiliki tema yang beragam mulai dari tema-tema ringan hiburan, traveling, gaya hidup, kuliner dan laporan kegiatan sebuah lembaga, tema ini memiliki frekuensi kemunculan yang besar. Sedangkan pada tema-tema isi rubrik dengan kategori ekonomi, sosial, pendidikan, politik, budaya dan agama sangat jarang dimunculkan. Tribun membebaskan setiap warga untuk memproduksi berita, namun harus mematuhi syarat-syarat yang telah ditentukan dalam rubrik. Disini editor sangat berperan dalam rubrik Citizen Journalism. Berdasarkan hasil penelitian ternyata rubrik ini diselimuti oleh beberapa kepentingan yaitu kepentingan ideology, politik dan ekonomi media. Padahal pada dasarnya jurnalisme warga itu bebas dalam hal menyampaikan informasi. Namun ketika jurnalisme warga diterapkan dikoran konvensional keterlibatan editor (pengelola) tidak dapat terhindarkan. Pengelola media tersebut masih memiliki kekuasaan dalam hal menyeleksi dan menentukan konten jurnalis warga yang akan diangkat ke dalam rubrik Citizen Journalism. Dalam pengelolaan isi rubrik Citizen Journalism melaliu 4 tahapan yaitu tahapan perencanaan (planning), pengorganisasian (organizing), pelaksanaan (actuating) dan pengawasan (controlling). Dengan temuan ini, maka tipologi jurnalisme warga yang ada di rubrik Citizen Journalism koran Tribun Jogja masuk dalam tipe jurnalisme warga 249 International Conference of Communication, Industry, and Community. Bali, 3-4 Maret 2016 ISBN: 978-602-74139-1-7 bentuk Standalone citizen journalism site yang melalui proses editing, dan Hybrid: pro + citizen journalism yaitu suatu kerja organisasi media yang menggabungkan pekerjaan jurnalis profesional dengan jurnalis warga. Daftar Pustaka Bowman, Shayne dan Chris Willis. 2003. We Media. United States of America: The Media Center at The American Press Institute. Djuroto, Totok, 2004, Manajemen Penerbitan Pers, Bandung : PT Remaja Rosdakarya Offset Gillmor, Dan, 2004, We The Media: Grassroots Journalism by the People, for the People, California: O’Reilly Media, Inc. Kurniawan, Junaedhie, 1991, Ensiklopedi Pers Indonesia, Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama Lincoln, & Denzin. 2009. Handbook of Qualitatif Research. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. McQuail, Denis. 2008. McQuail‟s Mass Communication Theory. (5th edt), London: Sage publication. Mosco, Vincent, 1996, The Political Economy of Communication, London: Sage Publication Smythe, Dallas W, 1997, “Communication: Blindspot of Western Marxism”, Canadian Journal of Political and Social Theory, Vol. 1, No.3, hal. 1-27. Djuraid N, Husnun, 2013, Optimisme masa depan media cetak, diakses 15 Januari 2014 dari http://padangekspres.co.id/?news=nberita&id=3517 Outing, Steve. 2005, 15 Juni. The 11 layers of Citizen Journalism, diakses 15 Agustus, 2013, dari http://www.poynter.org/content/content_view.asp?id=83126 250 International Conference of Communication, Industry, and Community. Bali, 3-4 Maret 2016 ISBN: 978-602-74139-1-7 REPRESENTASI MEDIA DALAM MENAMPILKAN MASA LALU:STUDI MEDIA MEMORI ATAS BERITA PENYELESAIAN KASUS-KASUS PELANGGARAN HAM Doddy Salman Fakultas Ilmu Komunikasi Universitas Tarumanagara [email protected] Abstrak The media is the main source of recording,constructing, archiving and disseminating public and private history in the 21st century (Garde-Hansen, 2011: 1). Media generally obsessed with topicality and focus on the latest events, here and now. But actually at the same time the media plays a role as an agent and a source of reminders in situations diverse society. This study investigates how the mass media to form and cultivate the memory of the settlement of past human rights violations. The corpus of this research is the text of the news published by Kompas daily discourse relating to the settlement of cases of serious human rights violations. The news text published in the reign of Joko Widodo (inaugurated October 20, 2014) Daily Kompas chosen as a source of news text because it is a national daily with a circulation of two million readers through 530 thousand copies per day (http://profile.print.kompas.com/ profile/).The news text will be analyzed using critical discourse analysis (CDA) from Fairclough. This study tries to analyze using Fokasz Nikosz and Kopper Akosz thesis The Media and Collective Memory Places and milieus of Remembering. Keywords: media, memory, human rights Abstrak Media adalah sumber utama mencatat (recording), mengonstruksi (constructing), menyimpan (archiving) dan menyebarluaskan (disseminating) sejarah publik maupun pribadi pada abad 21 (Garde-Hansen,2011:1). Media umumnya terobsesi dengan aktualitas dan fokus pada peristiwa terbaru, di sini (here) dan sekarang (now). Namun sesungguhnya pada saat yang sama media memainkan peran sebagai agen dan sumber pengingat dalam situasi masyarakat yang beragam. Penelitian ini ingin mengetahui bagaimana media massa membentuk dan mengolah memori dari penyelesaian pelanggaran HAM masa lalu. Korpus penelitian ini adalah teks berita yang dimuat harian Kompas yang berkaitan dengan wacana penyelesaian kasus-kasus pelanggaran hak asasi manusia berat. Teks berita tersebut terbit dalam masa pemerintahan Joko Widodo (dilantik 20 Oktober 2014) Harian Kompas dipilih sebagai sumber teks berita karena merupakan harian nasional dengan dua juta pembaca melalui tiras 530 ribu eksemplar setiap harinya (http://profile.print.kompas.com/profil/). teks berita tersebut akan dianalisi dengan menggunakan analisis wacana kritis (Critical Discourse Analysis atau (CDA) dari Fairclough. Penelitian ini mencoba menganalisis dengan menggunakan tesis Fokasz Nikosz dan Kopper Akosz 251 International Conference of Communication, Industry, and Community. Bali, 3-4 Maret 2016 ISBN: 978-602-74139-1-7 dalam tulisannya The Media and Collective Memory Places and Milieus of Remembering Kata Kunci: media, memori, HAM Pendahuluan Memori dalam konteks sosial menjadi tesis Maurice Halbwach dalam karyanya On Collective Memory. Menurut Halbwach memori selalu bersifat sosial. Memori individu (personal) selalu memiliki relasi dengan memori kolektif (bersama) (Halbwach,1992:43). Dalam konteks inilah upaya penyelesaian kasus-kasus HAM sebagai kerja penting kabinet kerja Presiden Joko Widodo(Jokowi) menjadi menarik untuk dianalisis dalam perspektif studi memori. Dalam pidato kenegaraan 14 Agustus 2015 Jokowi menginginkan agar generasi mendatang tidak memikul beban sejarah masa lalu.( http://news.liputan6.com/read/2293713/isi-lengkappidato-kenegaraan-perdana-presiden-jokowi). Penelitian ini ingin mengetahui bagaimana media massa membentuk dan mengolah memori dari penyelesaian pelanggaran HAM masa lalu. Korpus penelitian ini adalah teks berita yang dimuat harian Kompas yang berkaitan dengan wacana penyelesaian kasus-kasus pelanggaran hak asasi manusia berat. Teks berita tersebut terbit dalam masa pemerintahan Joko Widodo (dilantik 20 Oktober 2014) Harian Kompas dipilih sebagai sumber teks berita karena merupakan harian nasional dengan dua juta pembaca melalui tiras 530 ribu eksemplar setiap harinya (http://profile.print.kompas.com/profil/). Surat kabar yang terbit pertama kali 28 Juni 1965 ini mengusung moto Amanat Hati Nurani Rakyat. Adapun 7 judul teks berita terpilih yang akan dianalisis adalah: Pemerintah bertekad tuntaskan kasus lama (Kompas, 22 April 2015); Langkah nonyudisial disepakati (Kompas, 22 Mei 2015); Presiden pastikan penuntasan kasus masa lalu (Kompas, 29 Mei 2015); Komisi Gabungan bertugas selama setahun (Kompas, 12 Juni 2015); Sudah saling memaafkan (Kompas, 26 Juni 2015); Militer ikut komite penyelesaian pelanggaran HAM berat (Kompas, 3 Juli 2015); Komite jangan jadi arena cuci tangan (Kompas, 6 Juli 2015). Tinjauan Pustaka Bangsa lahir tidak dengan sendirinya, namun bermula dari komunitas imajiner (imagined community) bersamaan dengan sejarah yang diangankan. Modernitas merusak komunitas yang melakukan pengingatan (milleux de memoire) dan menciptakan situs memori (lieux de memoire).Meskipun demikian hasrat untuk mengingat tetap ada walau tradisi mengingat di masyarakat berangsur lenyap. Situs memori merujuk pada tempat terjadinya suatu peristiwa bersejarah (Monumen Jogja Kembali,misalnya), pemimpin kharismatis (patung Proklamator,misalnya), perayaan nasional (maraknya bendera merah putih di bulan Agustus,misalnya) yang memungkinkan masyarakat mengingat mitos dan tafsir atas identitas komunitas. 252 International Conference of Communication, Industry, and Community. Bali, 3-4 Maret 2016 ISBN: 978-602-74139-1-7 Di sisi lain media fokus kepada kekinian sehingga menjadi antithesis tradisi.Meskipun demikian media memelihara keberlanjutan dan memelihara kohesi masyarakat sebagai kendaraan mengingat di masa modern. Ada peristiwa yang berkaitan dengan hari bersejarah, tokoh kharismatis, atau perayaan nasional yang diliput media. Di sinilah media ambil bagian secara sadar membentuk masa lalu dan membentuk opini masyarakat tentang masa lalu. Media bergabung dalam etos zaman untuk mencatat dan mendokumentasikan. Di sinilah media secara sadar terlibat dalam membentuk masa lalu dan mengingat. Penelitian ini mencoba menganalisis dengan menggunakan tesis Fokasz Nikosz dan Kopper Akosz dalam tulisannya The Media and Collective Memory Places and Milieus of Remembering. Ada tiga tesis yang diajukan Fokasz Nikosz dan Kopper Akosz saat mengaitkan antara media dengan memori kolektif. Tesis pertama adalah: media menjaga keberlangsungan antara masa lalu dan masa kini melalui kebaruan/keaktualitasan (topicality). Logika operasional media berbasiskan berita dan tak ada berita. Informasi berganti menjadi berita jika ada kebaruan. Berita hari ini menjadi bukan berita esok hari. Proses menjadi berita sendiri beragam walau ada pola umum yang selalu sama khususnya pada peristiwa yang sudah diagendakan/terjadual. Misalnya pada peristiwa pemilihan umum(pemilu). Ketika jelang pemilihan umum maka berita seputar pemilihan umum akan banyak diberitakan sementara jika pemilu usai maka intensitas dan jumlah beritanya pun menurun. Jika dijadikan kurva maka kemungkinan akan terjadi kurva bel (perlahan naik, ada puncak, kemudian menurun). Ini artinya jumlah berita bertambah dan setelah puncaknya jumlahnya turun. Jika kurva S yaitu kurya yang perlahan naik lalu mendatar setelah puncaknya artinya jumlah berita naik dan setelah puncak berita tetap muncul namun dengan jumlah yang sama.Inilah yang disebut ada berita berganti menjadi tidak ada berita (news turn to no-news). Inilah yang bisa diidentifikasikan sebagai waktu horizon (time-horizon) media.Suatu periode ketika suatu topik berita kehilangan perhatian media Tesis kedua adalah: media menjaga keberlangsungan antara masa lalu dan masa kini melalui evergreen topic (topik yang selalu dicari audiens). Selain kebaruan media juga memiliki repetisi, pengulangan. Topik tertentu yang muncul setiap waktu tertentu, Program berita tertentu yang muncul rutin sesuai waktu tertentu adalah ritual yang dimiliki media. Melalui ritual tersebut media menciptakan makna dan signifikansi. Topik-topik yang selalu diangkat oleh media walau dengan intensitas tinggi atau rendah dapat kita sebut “evergreen” (topik yang selalu dicari audiens kapan pun). Tesis ketiga adalah: media menjaga keberlangsungan antara masa lalu dan masa kini dengan menampilkan sensasi. Kriteria sensasi adalah tak terduga, istimewa, menghebohkan (shocking) atau skandal. Unsur utama kriteria sensasi adalah emosi yang intensif. Emosi yang sensitif adalah pengalaman kolektif yang menyatukan komunitas. Sensasi, walau sesaat, memaksa masyarakat bersatu dan ini mirip dengan metafora Nora, mileus of memory (millieux de memoire). 253 International Conference of Communication, Industry, and Community. Bali, 3-4 Maret 2016 ISBN: 978-602-74139-1-7 Metodologi Ke-7 teks berita akan dianalisis dengan menggunakan analisis wacana kritis (Critical Discourse Analysis atau (CDA) dari Fairclough. Analisis wacana kritis sendiri memiliki karakteristik tersendiri : wacana dipahami sebagai sebuah tindakan; analisis wacana kritis mempertimbangkan konteks, situasi, peristiwa dan kondisi; menempatkan wacana dalam konteks sosial tertentu; selalu menyertakan elemen kekuasaan (power) dan mengungkap ideologi yang tersebunyi dari teks tersebut (Eriyanto,2009:8-13). Penelitian ini mengasumsikan bahwa bahasa (lisan maupun tulisan) adalah bagian tak terpisahkan dari kehidupan sosial sehingga secara dialektikal memiliki interkoneksi dengan elemen lain kehidupan sosial (Fairclough,2003;13). Kerangka kerja (framework) CDA memiliki 6 langkah (Fairclough,2003:125): Fokus pada permasalahan sosial yang memiliki aspek semiotik, Identifikasi halangan yang dapat diselesaikan, mempertimbangkan social order (jaringan kerja praktis) dalam konteks kebutuhan masalah, identifikasi kemungkinan penyelesaian halangan merefleksi tahap 1-4 secara kritis Hasil Temuan dan Diskusi Setiap upaya yang berkaitan dengan masa lalu itu menyakitkan, penuh resiko dan tidak selalu sukses (Zurbuchen,2005:11). Zurbuchen memang benar. Pemberitaan pelanggaran hak asasi manusia di masa lalu di Indonesia, walaupun menarik, namun tidaklah mudah diungkapkan. Tujuh berita yang memuat upaya penyelesaian pelanggaran hak asasi manusia bersinggungan dengan masa lalu. Sebagai lembaga yang hidup dalam masyarakat, media memang tidak bisa lepas dari pengaruh masyarakatnya. Agenda media selalu bersinggungan dengan agenda publik. Begitu juga dengan persoalan masa lalu. Memori nasional yang terbentuk melalui penulisan sejarah telah menciptakan sekaligus mengkonstruksikan ideologi penguasa yang tanpa sadar menjadi bagian memori nasional. Dengan membandingkan antara ideologisasi sejarah nasional zaman Soekarno dan Soeharto terlihat bahwa kedua rezim berusaha menciptakan generasi yag mengalami amnesia sejarah (Ningsih,2013:17). Penyelesaian pelanggaran hak asasi manusia masa lalu lebih menitikberatkan kepada hasil dari pada proses. Sebagaimana kutipan berita berikut: Tahap pertama adalah menelaah apakah hasil penyelidikan Komnas HAM dapat ditindaklanjuti dengan penyidikan dan penuntutan oleh Kejaksaan Agung. Kejagung lalu membuat gelar perkara bersama secara terbuka untuk memilah kasus yang diselesaikan yudisial atau non-yudisial. Proses selanjutnya merancang mekanisme penyelesaian melalui komite gabungan pengungkap kebenaran dan rekonsiliasi dengan keputusan presiden atau peraturan presiden.Tahap kedua, komite mulai bekerja setelah Presiden Jokowi berpidato pada 15 Agustus 2015, dilanjutkan dengan pencarian 254 International Conference of Communication, Industry, and Community. Bali, 3-4 Maret 2016 ISBN: 978-602-74139-1-7 serta pengungkapan kebenaran, dan diakhiri pernyataan Presiden pada 10 Desember 2015.Tahap ketiga, pemerintah memulihkan dan merehabilitasi korban pelanggaran HAM berat dan keluarganya. Presiden Jokowi akan menyampaikan hal tersebut dalam Pidato Kenegaraan pada 16 Agustus 2016 yang menyatakan kasus pelanggaran HAM berat masa lalu sudah diselesaikan sebaik-baiknya (Komite gabungan bertugas selama setahun, Kompas,12 Juni 2015). Penitikberatan kepada hasil adalah formalisme hukum sejatinya mengabaikan rasa keadilan,khususnya para korban tindakan pelanggaran HAM (Haryatmoko,Kompas 23 Juli 2015). Jika dikaitkan dengan tesis Fokasz Nikosz dan Kopper Akosz saat mengaitkan antara media dengan memori kolektif maka Kompas bertindak sebagai media yang menjaga keberlangsungan antara masa lalu dan masa kini dengan menampilkan sensasi. Berita berjudul Militer ikut komite Meskipun diakui pula kasus-kasus pelanggaran hak asasi manusia di Indonesia cenderung melibatkan pihak militer. "Pihak militer penting untuk terlibat dalam mengungkap kebenaran.Akhirnya, Pak Moeldoko (Panglima TNI Jenderal Moeldoko) hadir juga dalam rapat koordinasi ini.Pada dua rapat sebelumnya, tidak pernah hadir. Tadi Pak Moeldoko juga sudah mulai membuka dialog terkait penyelesaian ini," kata Ketua Komisi Nasional HAM Nur Kholis, Kamis (2/7), di Kompleks Kejaksaan Agung, Jakarta (Kompas, 3 Juli 2015) Melibatkan pihak militer dalam penyelesaian kasus pelanggaran hak asasi manusia menjadikannya bersifat paradoks. Di satu sisi militer diduga terlibat dalam pelanggaran HAM di sisi lain militer bertindak sebagai bagian dari penyelesaian kasus yang diduga melibatkan dirinya.Kebenaran yang seharusnya terungkap dan sejak awal diwacanakan menjadi turun harkat sekedar formalitas hukum. Penekanan pada formalitas hukum ditransformasikan dengan terminologi menyelesaikan kasus pelanggaran HAM secara non yudisial.Dalih yang disampaikan pemerintah lewat Jaksa Agung adalah sulitnya mencari saksi-saksi kasus pelanggaran HAM masa lalu. Jaksa Agung HM Prasetyo mengungkapkan, pengambilan keputusan untuk menyelesaikan perkara ini dengan pendekatan nonyudisial dilandasi kesulitan mencari bukti dan saksi. "Terutama untuk kasus-kasus yang sudah lama, seperti kasus pada 1965," kata Prasetyo.(Kompas, 6 Juli 2015). Terminologi penyelesaian secara non yudisial termuat secara berulang kali dalam pemberitaan yang dimuat Kompas. Penyelesaian non yudisial merujuk kepada penyelesaian kasus di luar pengadilan.Proses ini membuat proses pedagogis masyarakat menghadapi narasi masa lalu terabaikan.Proses hukum yang mengabaikan rasa keadilan berarti tidak peduli terhadap aspek pedagogis peradilan. Menurut Haryatmoko (Kompas, 23 Juli 2015) proses penegakan 255 International Conference of Communication, Industry, and Community. Bali, 3-4 Maret 2016 ISBN: 978-602-74139-1-7 hukum bisa membantu mengusik kesadaran publik untuk becermin kadar keterlibatan dirinya. Setiap orang diajak memeriksa nuraninya sehingga mencegah dorongan mengulangi masa lalu yang kelam tanpa kritik. Jadi proses hukum memiliki fungsi pedagogis bagi masyarakat agar tidak mudah terhasut sehingga kritis terhadap penegak hukum yang sewenang-wenang Dari tujuh berita yang dimuat Kompas maka hanya berita berjudul Komite jangan jadi arena cuci tangan (Kompas, 6 Juli 2015) yang memuat opini yang berpihak kepada para korban pelanggaran HAM. Berita tersebut memuat pernyataan-pernyataan para peneliti dan aktivis hak asasi manusia yang mengingatkan agar proses penyelesaian kasus-kasus pelanggaran HAM haruslah dilandasi prinsip pertanggungjawaban hukum dan pemenuhan kewajiban negara kepada korban sehingga bukan menjadi sarana lari dari tanggung jawab. "Jangan sampai pembentukan komite ini justru menjadi ajang cuci tangan bagi Kejaksaan Agung untuk mengambangkan proses hukum yang sudah berjalan. Komnas HAM sudah memiliki hasil penyelidikannya, itu tidak bisa dikesampingkan," kata peneliti Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat (Elsam), Wahyudi Djafar, saat diskusi "Pelanggaran HAM Masa Lalu: Usulan Pelembagaan untuk Penyelesaian yang Berkeadilan",(Kompas,6 Juli 2015). Media sejatinya bisa menjadi sarana pembelajaran masyarakat untuk memahami masa lalu.Lewat media, masyarakat bisa belajar memahami masa silam khususnya melawan kelupaan dan penglupaan sejarah. Agar hal terbut terwujud masyarakat harus dibiasakan menyampaikan narasi memori yang dimilikinya ke ruang publik (baca:media massa). Sehingga diharapkan pemahaman publik atas dirinya makin kaya dan mendorong lahirnya identitas bersama (Hardiman,2005:180) Simpulan Surat kabar Kompas dalam menampilkan berita penyelesaian kasus HAM cenderung mengaitkan masa lalu dengan masa kini dengan menggunakan sensasi.Pengambilan narasumber yang lebih dominan pihak pemerintah mengindikasikan narasi penguasa menjadi pegangan uatama dalam pemberitaan.Hal ini menyebabkan posisi korban pelanggaran HAM cenderung termajinalkan.Jika Kompas dapat memposisikan sebagai agen memori maka seharusnya masa lalu dan masa kini dapat tampil melalui topik yang aktual dan topik yang selalu abadi (evergreen topic). Daftar Pustaka Ball, Mike et al (eds) (1999).Acts of Memory:Cultural Recal in The Present.University Press of New England:Hanover Budiawan (2015). Sejarah sebagai Humaniora.Penerbit Ombak:Yogyakarta 256 International Conference of Communication, Industry, and Community. Bali, 3-4 Maret 2016 ISBN: 978-602-74139-1-7 Connell, I. (1980). Television news and the social contrast. In S. Hall, D. Hobson, A. Lowe, & P. Willis (Eds.), Culture, media, language: Working papers in cultural studies, 1972–1979 (pp. 139–156). London: Hutchinson. Edy, Jill A.(2006).Troubled Past:News and the Collective Memory of Social Unrest.Temple University Press:Pennsylvania USA Eriyanto (2009). Analisis Wacana:Pengantar Analisis Teks Media. Cet.VII.Penerbit LKiS:Yogyakarta. Fairclough, Norman.( 2003).Analysing Discourse Textual Analysis for social research.Routledge UK London. Fentress,James and Chris Wickham (1992).Social Memory.Blackwell Publisher:Oxford UK Foucault,Michel (2009). Arkeologi Pengetahuan. Penerbit:IRCiSoD:Yogyakarta. Halbwach, Maurice (1992). On Collective Memory. Lewis A.Coser (trans).The University of Chicago Press:Chicago Hardiman,F.Budi.(2005). Memahami Negativitas:Diskursus tentang Massa, Teror dan Trauma.Penerbit Kompas:Jakarta Haryatmoko,J.(2005).Reorganising Collective Memory and Creating Public Space: Towards Cultural and Religious Transformation in Indonesia dalam Cultural Traditions and Contemporary Chalenges in South East Asia. Warayuth Sriwarakuel et al (Eds).The Council for Reseach in Values and Philosophy:USA DISCOURSE ON HUMAN RIGHTS IN THE United STATES AND CHINA, Critical Discourse Studies, 4:1, 75-94, DOI: 10.1080/17405900601149491 McGregor, Katherine E.(2013). Memory Studies and Human Rights in Indonesia dalam Asian Studies Review Vol.37, No.3,350-361.Routledge Nikosz,Fokasz dan Kopper Akoz .The Media and Collective Memory Places and Milieus of Remembering.Peripato Research Group (tanpa tahun). Ningsih, Widya Fitria.(2013).Politik Memori dan Ideologisasi Sejarah Nasional: Masa Soekarno dan Soeharto dalam Sejarah dan Memori: Titik Simpang dan Titik Temu. Budiawan (ed).Penerbit Ombak:Yogyakarta. Nora,Pierre (1989).Between Memory and History. Representations No. 26, Special Issue: Memory and Counter-Memory (Spring, 1989), pp. 7-24 Wertsch, James ( 2004).Voices of Collective Remembering.Cambridge University Press:Cambridge UK Zurbuchen, Mary S.(2005).Historical Memory in Contemporary Indonesia dalam Beginning to Remember:The Past in Indonesian Present. Mary S Zurbuchen (ed).Singapore University Press:Singapore. Sumber online http://news.liputan6.com/read/2293713/isi-lengkap-pidato-kenegaraan-perdanapresiden-jokowi https://www.hrw.org/news/2015/08/14/reconciliation-should-not-sideline-justice 257 International Conference of Communication, Industry, and Community. Bali, 3-4 Maret 2016 ISBN: 978-602-74139-1-7 KOMODIFIKASI WARTAWAN DALAM INDUSTRI MEDIA Metha Madonna Universitas Bhayangkara Jakarta [email protected] Abstract The rapid development of the mass media to force everyone (people) get information from various directions. This condition is used by the media to disseminate information as possible. Even for investors who have an interest, media tame like a horse that can be ridden anywhere at will of the owner. The development of the use of Themedia is not only in keeping the imaging and defend a position, more than it can for the promotion, the promotion of products and activities that are political and other commercial. In Indonesia the development of the mass media is influenced by several factors such as capital owners, managers of media and political activity that is increasingly familiar with the media. In the end the media have become an industry that has a target to sell each sheet page, but the economic activities of the mass media are often in conflict with the ideals of journalists which basically work is the work ofprofessional journalists. On the other hand should be run in a professional work, but on the other hand required to meet the wishes of the boss in this case the owners of capital who has a big hand in determining the topics to be discussed at every piece of newspaper pages on a daily basis. Media is an industry that is highly commercial character, where each sheet page worth selling, as a result of media companies should be required to be able to look for revenue or sources of funds as much as possible in addition to selling circulation. Including a tool or partner authorities, politicalparties, leaders, companies, institutions and individuals for imaging facilities and promotion. The impact occurred commodification of workers, whichinvolve journalists in fulfilling the desires of the capital, in the form of five models: as a facilitator, adv. agencies, newspaper vendors, lobbyists and campaign brokers (brokers) Key Words: Media Industry, Reporter Comodification, Independence Abstrak Pesatnya perkembangan media massa memaksa setiap orang (individu) mendapatkan informasi dari berbagai arah. Kondisi ini dimanfaatkan oleh media untuk menyebarkan informasi sebaik mungkin. Bahkan bagi pemilik modal yang mempunyai kepentingan, media layaknya seekor kuda jinak yang dapat dikendarai kemanapun sesuka hati si pemiliknya. Perkembangan pemanfaatan media tidak hanya dalam menjaga pencitraan dan mempertahankan suatu posisi, lebih dari itu bisa untuk promosi jabatan, promosi produk dan kegiatan yang bersifat politis dan komersil lainnya. Di Indonesia sendiri perkembangan media massa dipengaruhi oleh beberapa faktor seperti pemilik modal, pengelola media dan kegiatan politik yang semakin hari semakin akrab dengan media. Pada akhirnya media telah menjadi sebuah industri yang memiliki target untuk menjual 258 International Conference of Communication, Industry, and Community. Bali, 3-4 Maret 2016 ISBN: 978-602-74139-1-7 setiap lembar halamannya, namun kegiatan ekonomi media massa seringkali berbenturan dengan idealisme wartawan dimana pada dasarnya pekerjaan jurnalis merupakan pekerjaan yang profesional. Pada sisi lain harus menjalankan kerjanya secara profesional tapi di pihak lain dituntut untuk memenuhi keinginan atasan dalam hal ini pemilik modal yang mempunyai andil besar didalam menentukan topik yang akan dibahas pada setiap helai halaman surat kabar di setiap harinya. Media adalah sebuah industri yang sangat bersifat komersil, dimana setiap lembar halamannya bernilai jual, akibatnya perusahaan media harus dituntut harus mampu mencari pemasukan atau sumber dana sebesar-besarnya selain menjual oplah. Termasuk menjadi alat atau mitra penguasa, partai politik, tokoh, perusahaan, lembaga dan individu untuk sarana pencitraan dan promosi. Dampaknya terjadi komodifikasi pekerja yaitu melibatkan wartawan dalam memenuhi keinginan pemilik modal, dalam bentuk lima model: sebagai fasilitator, agen iklan, penjual koran, pelobi dan calo promosi (broker). Kata Kunci: Industri Media, Komodifikasi Wartawan, Independensi Pendahuluan ‘Booming’ media di Tanah Air tidak lepas dari peran seorang teknokrat, BJ Habibie dan veteran Yunus Yosfiah ketika menjabat sebagai presiden RI dan menteri penerangan di era reformasi. Meski usia kepemimpinan Habibie tidak lebih dari enam bulan, tapi kebijakannya yang mencabut Undang-Undang nomor 11 Tahun 1966 tentang kewajiban perubahan pers bagi pengusaha media untuk memiliki SIUPP (Surat Izin Usaha Penerbitan Pers) nyatanya membawa dampak besar hari ini. Bukan saja lahirnya, banyak media baru yang sebagian besar berhaluan politik seperti Tabloid Amanat (diterbitkan DPP Partai Amanat Nasional). Syiar (PKS), AKSI, OBOR dst. Tapi juga media cetak lainnya dengan beragam isi dan format segera bertebaran di masyarakat sebagai kelanjutan euforia kebebasan pers yaitu Tabloid Pop dan POWER, majalah Cosmopolitan hingga Playboy untuk jenis majalah dewasa. Lalu media olahraga seperti majalah Sportif, LIGA, MOBIL MOTOR, BERKUDA dll. Termasuk entertainment dan musik seperti Dangdut, Tabloid O, Dangdut, BINTANG INDONESIA, Gossip, ROCK, dll serta beragam media lainnya yang berupaya mengisi ceruk pasar di negara dengan populasi rakyat terbesar ke-5 di dunia. Booming tidak saja terjadi di arena penerbitan media cetak, tapi juga merambah di pentas penyiaran (broadcasting). Ditambah stasiun televisi swasta nasional bermodal besar muncul di pesawat televisi; seperti GLOBAL TV, LATIVI (kini TV ONE), METRO TV dll. Belum lagi tambah stasiun lokal yang didanai Pemerintah Daerah (Pemda) atau swasta seperti JAK TV, BANTEN TV, RTV dll. Kehadiran media cetak maupun elektronik pasca reformasi tentu saja disambut antusias masyarakat. Selain memberi pencerahan dalam hal pengetahuan soal politik, kesehatan, hiburan atau informasi terkini, pada sisi lain kehadiran media baru, menggairahkan bisnis penerbitan dan penyiaran. 259 International Conference of Communication, Industry, and Community. Bali, 3-4 Maret 2016 ISBN: 978-602-74139-1-7 Bahkan boleh dikatakan bukan lagi sekedar bisnis, tapi media telah bermetamorfosis menjadi sebuah industri nasional yang padat modal dan banyak menarik investor. Karena aktivitas bisnis maka tidak lagi terbatas pada ongkos cetak, harga kertas izin operasional atau biaya hak siar, namun industri media juga menyangkut iklan. Sosialisasi kebijakan dan percetakan yang ujungnya pendapatan yang menggiurkan. Pernyataan tersebut dipertegas kembali oleh Henry Subiakto dan Rachmah Ida (2012:83) bahwa dalam perkembangan pers tidak lagi sekadar sebagai institusi sosial dan politik. Pers telah menjadi lahan bisnis dan tempat orang berusaha. Para pelaku ekonomi banyak yang mulai merambah pada sektor pers dengan berbagai kepentingan ekonomi dan politiknya. Bahkan menurut Metha Madonna (2013:30) dapat dibuat sebuah sintesa yaitu, 1.Narasumber berhubungan dengan wartawan akan menghasilkan informasi atau berita. 2.Industri berhubungan dengan media akan menghasilkan iklan. 3.Partai politik atau tokoh berhubungan dengan media akan menghasilkan pencitraan. Demikian pesatnya perkembangan industri media nasional, apalagi aktivitas bisnis ini tidak cuma pada jualan informasi, tapi juga produksi isi (content). Produksi tayangan talk show, infotainment atau reality show pastinya melibatkan sebuah Production House (PH) yang di dalamnya melibatkan pemilik modal, pekerja seni, produksen barang seni, artis dan banyak lagi. Artinya uang bergulir tidak saja di perusahaan media, tapi juga usaha bisnis seputar yang teraviliasi. Begitu juga di penerbitan media cetak, iklan adalah sumber kehidupan utama. Divisi iklan pada sebuah media cetak juga berkaitan dengan perusahaan periklanan (adverstising) sebagaimana PH, sebuah perusahaan adverstising juga banyak melibatkan orang selain pemasang iklan seperti pekerja pekerja seni, fotografer, disainer grafis dst. Ditambah iklan semi komersial yang bersifat seperti sosialisasi dan publikasi kebijakan publik. Pastinya butuh dana besar untuk membangun sebuah perusahaan media yang profitable.Besarnya biaya bukan saja pada penyediaan sarana seperti gedung, peralatan kantor dan hardware, tapi paling banyak menyedot dana adalah operasional perusahaan seperti gaji/honorarium SDM, Upgrade teknologi, distribusi, komunikasi serta tidak ketinggalan ongkos publikasi. Ketersediaan dana menjadi fundamental dalam operasional sebuah penerbitan maupun broadcasting. Karena bila terputus sekali saja terbitan atau off siaran beberapa menit saja, artinya peluang dan pendapatan hilang! Mengapa demikian? Bagi pemasang iklan di media cetak, jika tidak terbit sesuai jadwal artinya tidak sesuai dengan target pasar. Sama halnya dengan hilangnya siaran beberapa menit saja melewatkan momentum tertentu yang disasar pemasang iklan. Setiap PH, biro adverstising maupun perusahaan pemasang iklan telah melakukan riset, minimal melakukan analisa awal tentang jam-jam tayang efektif atau hari-hari dimana konsumen yang dituju diperkirakan sedang aktif menonton stasiun televisi tertentu atau waktu baca media cetak tertentu. 260 International Conference of Communication, Industry, and Community. Bali, 3-4 Maret 2016 ISBN: 978-602-74139-1-7 Begitu besarnya pengeluaran uang maka konsekuensinya perusahaan harus menyiapkan petty cash (dana tunai) guna menjga konsistensi operasional penerbitan atau penyiaran. Uang tunai dalam jumlah besar mutlak tersimpan di rekening perusahaan media, bahkan kalau perlu dalam bentuk tunai yang tersimpan di safety box!. Selanjutnya persaingan dalam merangkul pemasangn iklan pun kian panas. Mulai dari paket iklan, murah dengan durasi atau waktu pemuatan lebih panjang, sampai promo gratis dan sponsorship kegiatan. Persaingan perebutan pemasangan iklan berlangsung jor-joran, mulai dari menurunkan tarif, servis tayang pemuatan dirancang menarik seperti lama waktu (durasi) atau frekuensi intens. Akibatnya perusahaan media yang tak mampu bersaing akan terlempar dari kompetisi dan ditinggalkan pemasang iklan. Menurunnya pemasang iklan, artinya pendapatan berkurang, korelasinya kegiatan operasional akan terhambat, mulai dari tersendatnya gaji pegawai, tunggakan tagihan biaya produksi dan lain sebagainya. Ujungnya kondite kerja menurun, kualitas produksi juga rendah. Padahal dalam hukum ekonomi media, content (isi) yang bagus akan menarik perhatian pembaca, jumlah pembaca yang banyak artinya mengundang pemasang iklan yang banyak. Sejumlah perusahaan media telah merasakan dampak merosotnya iklan, sebut saja seperti Jurnal Nasional, Sinar Harapan, Harian Umum Pelita mulai mengalami penurunan oplag akibatnya terpaksa beberapa kali tidak terbit karena minimnya dana yang masuk lewat iklan, selain memang karena pemilik modal tak berdaya lagi mengeluarkan dana segar bagi bisnis media yang tergolong padat modal tersebut. Solusinya pihak manajemen/perusahaan harus mencari terobosan agar pemasang iklan termasuk kalau perlu investor, mau menambah uangnya salah satu kuncinya yaitu kedekatan pemilik dengan industri pemasang iklan atau faktor hubungan kedekatan wartawan dengan narasumber menjadi alternatif menjaring iklan. Ruang lingkup dalam penelitian ini adalah perubahan peran dan fungsi wartawan (komodifikasi) untuk mendukung kelancaran pencarian sumber dana perusahaan pers baik dalam bentuk iklan, suntikan modal, donasi, pembelian oplag dalam jumlah besar sampai dengan barter. Adapun tujuan penelitian ini yaitu untuk mengungkapkan telah terjadinya komodifikasi pekerja pers (wartawan) demi menunjang kerberlangsungan hidup media industri itu sendiri. Tinjauan Pustaka Ekonomi politik media mengemukakan ketergantungan ideologi pada kekuatan ekonomi dan mengarahkan perhatian penelitian pada analisis empiris terhadap struktur pemilikan dan mekanisme kerja kekuatan pasar media. Salah satu kelemahan pendekatan politik-ekonomi ialah unsur-unsur media yang berada dalam kontrol politik tidak begitu mudah dijelaskan dalam pengertian mekanisme kerja pasar bebas. 261 International Conference of Communication, Industry, and Community. Bali, 3-4 Maret 2016 ISBN: 978-602-74139-1-7 Walaupun pendekatan ini memusatkan perhatian pada media sebagai proses ekonomi yang menghasilkan komoditi (isi), pendekatan ini kemudian melahirkan ragam pendekatan baru yang menarik, yaitu ragam pendekatan yang menyebutkan bahwa media sebenarnya menciptakan khalayak dalam pengertian bahwa media mengarahkan perhatian khalayak ke pemasang iklan dan membentuk perilaku publik media sampai pada batas-batas tertentu (Smythe, 1977). Kemudian Henry Subiakto dan Rachmah Ida (2012) bahwa dalam perkembangan pers tidak lagi sekedar sebagai institusi sosial dan politik. Pers telah menjadi lahan bisnis dan tempat orang berusaha. Para pelaku ekonomi banyak yang mulai merambah sektor pers dengan berbagai kepentingan ekonomi dan politiknya. Institusi media harus dinilai sebagai bagian dari sistem ekonomi yang juga bertalian erat dengan sistem politik. Kualitas pengetahuan tentang masyarakat, yang diproduksi oleh media untuk masyarakat, sebagian besar dapat ditentukan oleh nilai tukar pelbagai ragam isi dalam kondisi yang memaksakan perluasan pasar dan juga ditentukan oleh kepentingan ekonomi para pemilik dan penentu kebijakan (Garnham, 1979). Berbagai kepentingan di atas berkaitan dengan kebutuhan untuk memperoleh keuntungan dari hasil kerja media sebagaimana dengan keinginan bidang usaha dalam memperoleh laba, sebagai akibat dari adanya kecenderungan monopolistis dan proses integrasi, baik secara vertikal maupun horizontal. Dengan demikian media tergantung pada kebijakan pemilik dan condong kian komersil. Konsekuensi keadaan seperti itu tampak dalam wujud berkurangnya jumlah sumber media independen, terciptanya konsentrasi pada pasar besar, munculnya sikap masa bodoh terhadap calon khalayak pada sektor kecil. Komodifikasi Pekerja Pers Vincent Mosco (2009) mengatakan 'the particular form that product take when their production is principally of transforming use values into exchange value' yaitu proses mengubah barang dan jasa menjadi komoditas atau barang dagangan sebagai alat untuk mendapatkan keuntungan (bagaimana mengubah nilai guna menjadi nilai tukar). Jadi dijelaskan bahwa proses komodifikasi erat kaitannya dengan produk, sedangkan proses produksi erat dengan fungsi atau guna pekerjanya. Pekerja telah menjadi komoditas dan telah dikomodifikasikan oleh pemilik modal. Dengan demikian komodifikasi adalah sebuah bentuk komersialisasi segala bentuk nilai dari buatan manusia. Namun realitanya komodifikasi bukan saja atas motif pemilik modal, tapi juga karena inisiatif pekerjanya sendiri (wartawan). Seperti halnya fenomena kegiatan wartawan yang mencari tambahan dengan menjadi perantara acara (broker). Tentunya keberadaan wartawan broker sepertinya cukup membantu narasumber yang ingin melakukan publikasi tanpa biaya yang besar. Fenomena komodifikasi pekerja pers (wartawan) bukan saja terjadi karena faktor eksternal yaitu karena tekanan pemilik modal atau kebutuhan 262 International Conference of Communication, Industry, and Community. Bali, 3-4 Maret 2016 ISBN: 978-602-74139-1-7 perusahaan. Tapi pada sisi lain menurut Pamela J. Shoemaker dan Stephen D. Reese dalam buku Werner J. Severin dan James W. Tankard, Jr (2011) terdapat juga alasan secara internal yaitu dari dalam diri individu wartawan itu sendiri. Metodologi Berkaitan dengan penelitian ini, maka metodologi yang digunakan untuk mengkaji dan menganalisis berbagai pertemuan menggunakan pendekatan kualitatif. Dimana Penelitian kualitatif merupakan sebuah pendekatan yang tidak menekankan pada angka, melainkan tetapi terfokus pada hasil pengumpulan data di lapangan yang dilakukan melalui proses wawancara secara individu dan intensif, investigasi, pengamatan secara mendalam maupun dokumen resmi lainnya. Jadi tujuan dari penelitian kualitatif adalah untuk menggambarkan realita empirik secara detail, rinci, dan mendalam di balik sebuah fenomena yang terjadi di dunia jurnalistik. Hasil Temuan dan Diskusi Berdasarkan observasi dan investigasi di lapangan terdapat beberapa bentuk komodifakasi pekerja pers (wartawan) seperti Fasilitator yaitu wartawan berfungsi sebagai fasilitator yaitu menjadi penghubung antara perusahaan dengan narasumber. Kemudian sebagai Agen Iklan yaitu wartawan diperbantukan untuk mencari iklan. Wartawan sebagai Agen Koran dimana wartawan juga diperbantukan untuk memasarkan dan menjual koran. Wartawan juga harus bisa menjadi Pelobi yaitu wartawan digunakan sebagai pelobi dan terakhir wartawan harus bisa menjadi calo promosi (broker). Simpulan Ditemukan komodifikasi wartawan di sejumlah perusahaan penerbitan pers. Dengan demikian sepatutnya wartawan secara individu harus bisa bekerja secara profesional dan mengedepankan independensi. Daftar Pustaka Buku Haryanto, Ignatius. (2006). The New York Times: Menulis Berita Tanpa Takut atau Memihak. Jakarta:Yayasan Obor Indonesia. Herman, Edward.S. (2002). The Political Economy of the Mass Media. Inggris: Pantheon. McManus, John H. (1994). Market-Driven Journalism: Let The Citizen Beware?. New Delhi:Sage Publications. Mosco, Vincent. (2009). The Political Economy of Communication. Second Edition. California:SAGE Publications India Pvt Ltd. 263 International Conference of Communication, Industry, and Community. Bali, 3-4 Maret 2016 ISBN: 978-602-74139-1-7 Shoemaker, Pamela.J. & Stephen D. Reese. (1991). Mediating the Message Theories of Influences on Mass Media Content. New York & London: Longman Publishing Group. Tesis Madonna, Metha. (2013).”Independensi Wartawan Menghadapi Pemasang Iklan (Studi Kasus: Komodifikasi Pekerja Pers di Surat Kabar TOP)”. IISIP Jakarta. Biografi Penulis Metha Madonna, kelahiran Bogor 18 Agustus 1976, saat ini bertugas sebagai Dosen di Fakultas Ilmu Komunikasi Universitas Bhayangkara Jakarta (UBJ) sejak 2013 dan kini juga berprofesi sebagai konsultan media dan komunikasi di PT Merah Biru Oranye. Sebelumnya wanita keturunan Minang ini berprofesi sebagai jurnalis di sebuah surat kabar nasional di Ibukota Jakarta selama 13 tahun. Pengalamannya selama menjadi wartawan selain melakukan peliputan kerap kali menjuarai berbagai lomba penulisan baik tingkat regional maupun nasional, diantaranya pada 2006 mendapatkan Penghargaan dari Kepala Dinas Pendidikan DKI Jakarta, Bapak Margani M. Mustar untuk penulisan berita pendidikan terbanyak. Kemudian pada 2007 Juara III Tingkat Nasional, untuk kategori penulisan berita pendidikan dengan judul 'Memperluas Pendidikan di Rumah Ibadah' pada saat Menteri Pendidikan Bambang Sudibyo. Menyelesaikan program studi pasca sarjana Magister Ilmu Komunikasi (S2) di Institut Ilmu Sosial dan Politik (IISIP) Jakarta pada 2013, dimana sebelumnya menyelesaikan sarjana ilmu sosial (S1) di kampus yang sama 2001. Disamping itu dirinya aktif di berbagai organisasi diantaranya di Forum Wartawan Pendidikan (Fortadik) sebagai Bendahara, Forum Wartawan Kesra (Forwara) sebagai Sekretaris II dan sebagai anggota di Masyarakat Penulis Ilmu Pengetahuan dan Teknologi (Mapiptek) serta masih aktif sebagai Ketua Yayasan Cahaya Kuntum Bangsa. Ibu dari dua putri yaitu Azzuri Raja Neesha (12 tahun) dan Laviola Putri Azizah (8 tahun) dan suami yang bernama Ariya Hadi Paula S.Sos dan saat ini berdomisili di Jalan Raya Lenteng Agung Jakarta Selatan. Email: [email protected] Handphone:082122575668/021.92070991. 264 International Conference of Communication, Industry, and Community. Bali, 3-4 Maret 2016 ISBN: 978-602-74139-1-7 PERSAINGAN STASIUN TELEVISI DENGAN INTERNET UNTUK MERAIH IKLAN Muhammad Adi Pribadi, M. Gafar Yoedtadi, Kurniawan Hari Siswoko Fikom Universitas Tarumanagara [email protected], [email protected], [email protected] Abstract The development of technology particularly in mass media has started to change the habit of Indonesian society in finding information and communications. They are no longer seeking information from television, radio, newspapers or magazine but the Internet. The social media becomes an attraction for Internet users as they can interact one another through this media, the function of which cannot be found in traditional media. Advertisers are aware of the shift in society's habit in using the Internet as a medium to communicate and to seek information and so they adapt the condition. They start marketing communication through the Internet to help ease the people in seeing the goods and services on offer. When advertisers start using the Internet as a tool of communication with the public, they also begin to dump other media such as television. For television companies, this condition is a challenge especially on how to keep the advertisers keep putting ads. One way taken by television companies is to integrate television with the Internet particularly in content. Such strategy is taken to maintain the number of audience that keep looking for latest data so that it will convince the advertisers that television remains a choice.This research reveals the efforts by television companies in Indonesia in keeping producers of goods and services to stay putting ads on television. The research involves deep interviews with high officials from three private television companies which are included in AC Nielsen’s list of top 10 television companies. Keywords: TV, Internet, marketing Abstrak Perkembangan teknologi media Massa mulai merubah prilaku masyarakat Indonesia dalam mencari informasi dan berkomunikasi. Mereka tidak hanya mencari informasi melalui televisi, radio, koran dan majalah tetapi internet menjadi media yang digunakan oleh masyarakat. Media sosial menjadi daya tarik tersendiri bagi para pengguna internet karena mereka bisa berinteraksi satu sama lain dengan media ini, dimana fasilitas ini tidak ditemukan pada media tradisional. Pengiklan melihat perkembangan perilaku masyarakat yang mulai menggunakan internet sebagai media untuk berkomunikasi dan mencari informasi sehingga para pengiklan perlu beradaptasi dengan kondisi tersebut. Mereka mulai melakukan komunikasi pemasaran melalui internet untuk mempermudah masyarakat dalam melihat barang dan jasa yang ditawarkan. Disaat pengiklan mulai menggunakan internet sebagai alat komunikasi dengan target khalayaknya, Mereka juga mulai meninggalkan media lainnya seperti 265 International Conference of Communication, Industry, and Community. Bali, 3-4 Maret 2016 ISBN: 978-602-74139-1-7 televisi. Bagi para pengelola media televisi, Kondisi ini menjadi tantangan tersendiri bagi stasiun televisi dalam mempertahankan dan mencari pengiklan di televisi karena iklan adalah sumber pendapatan usaha. Salah satu cara yang dilakukan pengelola televisi adalah mengintegrasikan televisi dengan internet untuk mengelola kontennya. Strategi ini dilakukan untuk mempertahankan jumlah pemirsa yang selalu mencari data terkini sehingga bisa meyakinkan pengiklan, jika televisi masih menjadi pilihan pemirsa. Penelitian ini mengungkap upaya yang dilakukan oleh pengelola media televisi di Indonesia dalam mempertahankan para produsen barang dan jasa untuk tetap beriklan di Televisi. Metode penelitian yang digunakan adalah studi kasus dengan wawancara mendalam kepada para pejabat tinggi di tiga stasiun televisi swasta, yang masuk dalam 10 besar stasiun televisi berdasar ukuran AC Nielsen. Kata Kunci: TV, Internet, Marketing Pendahuluan Iklan masih menjadi sumber pendapatan terbesar bagi televisi saat ini dibandingkan dengan media lainnya. Menurut Nielsen Advertising Information Service, stasiun televisi di Indonesia masih mendapatkan pendapatan tertinggi dari iklan dibandingkan dengan koran, majalah dan internet (Persatuan Perusahaan Periklanan Indonesia. 2015). Hal ini menunjukkan banyak produsen di Indonesia masih percaya menggunakan media televisi sebagai tempat yang tepat untuk mengenalkan dan mengingatkan kembali merek dan produk mereka. Iklan diartikan oleh Persatuan Perusahaan Periklanan Indonesia (P3I) sebagai segala bentuk penyampaian pesan atas produk yang disampaikan melalui media, dan dibiayai oleh pemrakarsa yang dikenal, untuk sebagian atau seluruh masyarakat (P3I, 2015). Dari pemahaman ini, televisi bukan satu-satunya media yang digunakan oleh produsen untuk menciptakan kesadaran atas keberadaan merek dan produk tetapi terdapat media lain seperti radio, koran, majalah, media luar ruang, internet dan masih banyak lagi sehingga produsen tidak hanya menggunakan televisi sebagai media. Stasiun televisi tidak hanya memperhitungkan stasiun televisi lain untuk mendapatkan pengiklan tetapi harus memperhitungkan media lain yang cenderung berkembang dari tahun ke tahun. Radio, majalah, dan koran tidak menjadi masalah bagi stasiun televisi untuk bersaing meraih iklan karena pengiklan mulai meninggalkan media-media tersebut untuk beriklan setiap tahunnya. Namun para pengembang situs berita dan non berita menjadi ancaman tersendiri bagi stasiun televisi untuk meraih pengiklan karena jumlah pengguna internet di Indonesia meningkat setiap tahunnya sehingga pengiklan bisa melihat internet sebagai media lain selain televisi untuk beriklan. Produk yang dihasilkan melalui media internet tidak berbeda dengan televisi. Berita, sinetron, film, hiburan, pendidikan, agama, olah raga dan masih banyak lagi program bisa ditawarkan oleh internet. Persaingan televisi dengan internet menjadi lebih ketat karena kemampuan internet memberikan informasi 266 International Conference of Communication, Industry, and Community. Bali, 3-4 Maret 2016 ISBN: 978-602-74139-1-7 dimana saja, informasi bersifat global, penyebaran informasi yang cepat dan kemampuan untuk berinteraksi diantara pengguna internet. Kemampuan internet menjadi pilihan menggiurkan bagi para pengiklan karena daya jangkau yang luas untuk menyebarkan informasi tetapi mereka tidak mengeluarkan biaya yang besar dibandingkan beriklan melalui televisi. Misalnya, youtube.com telah digunakan oleh pengiklan Indonesia untuk menginformasikan merek dan produk kepada masyarakat lokal dan global. Tentu ini menjadi hal yang perlu diantisipasi oleh statusiun televisi karena perkembangan internet membuat koran Washington post tidak terbit di Amerika Serikat. Pembaca koran Washington Post yang berkurang signifikan membuat pengiklan lebih memilih internet sebagai media tempat beriklan dibandingkan koran tersebut. Namun begitu, Washington Post tetap menyediakan berita dalam bentuk online Penelitian ini ingin mengungkap upaya stasiun televisi dalam mempertahankan keberadaanya agar tidak ditinggalkan pengiklan yang menjadi sumber pendapatan mereka Tinjauan Pustaka Target Khalayak Jumlah penduduk indonesia hingga tahun 2014 adalah 253.609.643 orang (Persatuan Perusahaan Periklanan Indonesia. 2015). Indonesia yang terdiri dari kepulauan dengan 34 provinsi membuat jumlah penduduk tidak merata di satu daerah dibandingkan dengan daerah lainnya sehingga banyak produsen perlu memperhitungkan daerah-daerah yang memiliki jumlah penduduk yang banyak sebagai daerah sasaran komunikasi pemasaran. Persatuan Perusahaan Periklanan Indonesia (2015) membuat enam pengelompokkan kota-kota yang memiliki jumlah penduduk yang banyak, hingga tahun 2011, seperti Jakarta (9.769.000 orang), Surabaya (2.787.000), Bandung (2.429.000), Medan (2.118.000 orang), Semarang (1.573.000 orang) dan Palembang (1.455.000 orang). Kota-kota seperti ini menjadi daerah sasaran para pengiklan karena memiliki jumlah penduduk yang besar. Dari data-data ini, pengiklan bisa menentukan media apa yang bisa digunakan untuk berkomunikasi dengan mereka. Misalnya, jika target pasarnya adalah ke enam daerah ini maka pengiklan bisa memilih televisi dan internet karena kedua media ini memiliki daya jangkau yang luas untuk menyebarkan informasi. Radio dan koran bisa menjadi pilihan lain untuk beriklan karena beberapa stasiun radio dan koran memiliki banyak cabang di daerah seperti koran KOMPAS yang dijual tidak hanya di Jakarta tetapi dijual juga di 34 provinsi di Indonesia. Televisi Perkembangan stasiun televisi di Indonesia memiliki keunikan tersendiri dibandingkan dengan stasiun televisi dari luar negeri karena kebijakan 267 International Conference of Communication, Industry, and Community. Bali, 3-4 Maret 2016 ISBN: 978-602-74139-1-7 pemerintah Indonesia di era orde baru menyebabkan pertumbuhan stasiun televisi berjalan lambat. Televisi Republik Indonesia (TVRI) adalah televisi pertama di Indonesia yang berdiri sejak tahun 1962 hingga sekarang (Persatuan Perusahaan Periklanan Indonesia. 2005. Namun sejak berdiirnya hingga tahun 1987, TVRI menjadi satusatunya media televisi yang dikendalikan pemerintah dalam memberikan informasi untuk pemirsa di Indonesia. Pada tahun 1988 muncul RCTI (Rajawali Citra Televisi Indonesia). RCTI menjadi stasiun televisi swasta pertama yang ada di Indonesia. Sejak berdirinya RCTI menjadi inspirasi bagi pengusaha lain untuk mendirikan televisi swasta seperti Surya Citra Televisi (SCTV), Televisi Pendidikan Indonesia (TPI), ANTV, INDOSIAR, METRO TV, TRANS TV dan masih banyak lagi. Menurut catatan AC Nielsen, hingga juni 2014, Stasiun televisi yang sering ditonton oleh masyarakat Indonesia adalah RCTI, SCTV, INDOSIAR, ANTV, MNCTV, Metro TV, Trans TV, Global TV, Trans 7, TV One, TVRI, KOMPAS TV, dan RTV (Persatuan Perusahaan Periklanan Indonesia, 2015). Stasiun televisi di Indonesia dibagi menjadi dua kelompok tayangang oleh AC Nielsen yaitu tayangan berita dan tayangan bukan berita. Stasiun televisi yang masuk dalam kategori tayangan berita diartikan bahwa televisi tersebut lebih banyak memberikan informasi berita dibandingkan informasi yang bukan berita sedangkan stasiun televisi yang masuk dalam tayangan bukan berita memberikan informasi lebih banyak berisi hiburan, film, agama, olah raga dll dibandingkan berita. Kebiasaan pemirsa televisi di kanal Televisi bukan berita menghabiskan waktu hingga 776 jam dalam periode Januari hingga desember 2014 sedangkan pemirsa televisi berita menghabiskan waktu hingga 840 jam menurut AC Nielsen (Persatuan Perusahaan Periklanan Indonesia. 2015). Dari data ini terlihat, lebih banyak pemirsa Indonesia yang memilih untuk menonton di televisi – televisi berita daripada televisi-televisi bukan berita. Para pengiklan mempertimbangkan media yang digunakan untuk beriklan bergantung kepada kebiasaan target pasarnya dalam mencari informasi. Dilihat dari kebiasaan pengiklan menurut Nielsen Advertising Information Service, televisi tetap menjadi favorit pengiklan dibandingkan dengan koran, dan majalah selama periode tahun 2008 hingga 2014 (Persatuan Perusahaan Periklanan Indonesia. 2015). Dilihat dari pertumbuhan pendapatan menurut Nielsen Advertising Information Service (Persatuan Perusahaan Periklanan Indonesia. 2015), pendapatan periklanan stasiun televisi memang mengalami pertumbuhan setiap tahunnya tetapi dilihat dari selisih pertumbuhan pendapatan dari iklan, periode tahun 2013 - 2014 adalah yang terkecil jika dibandingkan dengan lima periode sebelumnya. Hal yang sama terjadi pada radio, selisih pertumbuhan pendapatan dari iklan dalam periode 2013-2014 adalah yang terkecil dibandingkan dengan enam periode sebelumnya. Yang mengkhawatirkan adalah majalah karena mulai periode 2012, pendapatan iklan di majalah mengalami penurunan hingga tahun 2014. 268 International Conference of Communication, Industry, and Community. Bali, 3-4 Maret 2016 ISBN: 978-602-74139-1-7 Lima besar merek yang banyak mengeluarkan biaya untuk beriklan di televisi dalam periode tahun 2013 hingga 2014, menurut Nielsen Advertising Information Service, adalah INDOMIE mencapai Rp 914.681.180.000, SEDAAP mencapai Rp 590.654.300.000, CLEAR ANTI KETOMBE mencapai Rp 585.092.050.000, MASTIN mencapai Rp 585.097.990.000 dan WALL’S PADDLE POP mencapai biaya iklan Rp 402.958.600 (Persatuan Perusahaan Periklanan Indonesia, 2015). Sudah menjadi suatu hal yang wajar jika pengiklan menggelontorkan dana yang tidak sedikit untuk beriklan di televisi karena mereka menyadari kekuatan media televisi untuk mempengaruhi pemirsanya. Banyak teori-teori komunikasi massa menunjukkan kemampuan media televisi dan media massa yang lainnya untuk mempengaruhi pemirsanya. Proses komunikasi massa yang dipaparkan oleh Harold Lasswell menjadi inspirasi dalam membuat perencanaan komunikasi massa, yang terdiri dari siapa (who), berkata apa (says what), melalui saluran apa (in which channel ), kepada siapa (to whom), dengan efek apa (with what effect) (Ardianto, komala, Karlinah, 2009; Bryant, Thompson, Finklea, 2013). Teori pembelajaran sosial yang dipopulerkan oleh Albert Bandura menunjukkan bahwa masyarakat belajar dan berprilaku seperti yang ada di televisi (Ardianto, Komala, Karlinah, 2009). Melihat kedua teori ini, kemampuan merencanakan pesan memang menjadi penentu dalam keberhasilan untuk mempengaruhi target khalayak tetapi televisi memiliki kekuatan tersendiri yang mampu mempengaruhi pemirsanya. Internet Internet menyediakan informasi yang sama dengan televisi tetapi informasi yang diberikan bisa diterima kapan dan dimana saja oleh penggunanya sehingga Internet memberikan nilai lebih dibandingkan televisi. Namun begitu, Internet memiliki kelemahan seperti masih lemahnya tingkat akurasi informasi dan pertanggung jawabannya kepada masyarakat sehingga masyarakat sering dibikin khawatir oleh informasi yang belum jelas karena setiap individu memiliki kemampuan untuk menyampaikan informasi dengan penuh tanggung jawab dan tidak bertanggung jawab sedangkan televisi memiliki kewajiban untuk menyampaikan informasi yang harus dipertanggung jawabkan kepada masyarakat. Jumlah pengguna internet mengalami peningkatan dari tahun ketahun. Menurut Roy Morgan, Pengguna internet di Indonesia, hingga juni 2014, berjumlah 19.766.000 orang dimana 55 persen diantaranya adalah pria dan 45 persen adalah perempuan. Pria menggunakan internet selama 13 jam dalam sehari sedangkan perempuan bisa menghabiskan waktu selama 12 jam untuk internet. Dari segi pendidikan terdapat enam persen masih berada di bangku sekolah dasar, 18 persen berpendidikan Sekolah Menengah Pertama (SMP), 60 persen menjalani Sekolah Menengah Atas (SMA) dan 16 persen menjalani pendidikan tinggi/universitas (Persatuan Perusahaan Periklanan Indonesia, 2015). 269 International Conference of Communication, Industry, and Community. Bali, 3-4 Maret 2016 ISBN: 978-602-74139-1-7 Sepuluh besar kegiatan pengguna internet di Indonesia di tahun 2014, secara berurut menurut Nielsen Consumer & media View, adalah berkaitan dengan social networking, mencari informasi di laman, bermain, mengunduh program, mencari berita, mencari informasi produk, layanan pendidikan, mencari berita luar negeri, dan surat elektronik (Persatuan Perusahaan Periklanan Indonesia. 2015) Melihat kondisi demografi dan psikografi pengguna internet, internet menjadi media yang perlu digunakan oleh pengiklan untuk kegiatan komunikasi pemasaran. Internet memberi kemampuan kepada pengiklan untuk melakukan interaksi kepada target penggunanya. Media sosial adalah sarana yang terdapat pada internet yang dapat digunakan untuk oleh perusahaan untuk berinteraksi dengan pelanggan. Pengiriman pesan dalam bentuk tertulis, gambar, suara dan video bisa dilakukan dengan menggunakan sosial media. Sosial media di kelompokkan menjadi tiga yaitu komunitas online dan forum, bloggers, dan social network (facebook, twitter, dll) (Kotler dan Keller, 2012). Komunitas online biasanya dibuat oleh konsumen. Melalui komunitas online, produsen bisa memperkenalkan dan memperkuat hubungan dengan konsumen dengan memberi dukungan informasi kepada komunitas online yang berkaitan dengan merek produsen. misalnya komunitas merek Apple yang diselenggarakan oleh perusahaan Apple dan masyarakat untuk menyediakan informasi dan berdiskusi berkaitan dengan produk-produk Apple kepada target khalayaknya yang telah menjadi anggota komunitas (Kotler dan Keller, 2012). Blogs adalah jurnal online yang terus diperbaharui setiap waktu. Produsen perlu membuat blogs khusus berkaitan dengan produk-produk yang dimilikinya karena banyak konsumen yang mencari informasi tentang produk sebelum mereka membeli. Selain itu, para konsumen dapat melihat tanggapan dari para konsumen atas informasi yang diberikan oleh produsen sebagai bahan pertimbangan mereka untuk membeli produk (Kotler dan Keller, 2012). Social network banyak dimiliki oleh perusahaan – perusahaan untuk melakukan komunikasi dengan konsumen. Pada umumnya perusahaan memiliki facebook untuk melakukan komunikasi pemasaran dengan para konsumennya dan twitter sebagai sarana pendukung komunikasi lainnya (Kotler dan Keller, 2012). Berbicara mengenai efek internet terhadap konsumen dalam komunikasi pemasaran beberapa ilmuwan sempat meragukan efektifitasnya. Larry Percy, John R Rossiter dan Richard Elliot (2004) adalah para peneliti yang sempat meragukan efektifitas internet dalam komunikasi pemasaran. Namun dengan berjalannya waktu, Percy dan Elliot (2012) mengakui efektifitas komunikasi pemasaran melalui internet. Metodologi Metodologi yang digunakan dalam penelitian ini adalah kualitatif dengan pendekatan metode Studi Kasus. Wawancara mendalam dengan tiga perwakilan stasiun televisi yang masuk dalam kategori 10 besar, dari AC Nielsen, menjadi 270 International Conference of Communication, Industry, and Community. Bali, 3-4 Maret 2016 ISBN: 978-602-74139-1-7 strategi peneliti untuk mengungkap upaya tiga stasiun televisi dalam menghadapi perkembangan internet di Indonesia agar stasiun televisi tetap menjadi pilihan untuk beriklan. Jabatan pihak-pihak yang diwawancara adalah mereka yang berada pada posisi pemimpin redaksi dan manajer. nama stasiun televisi dan nama pihakpihak yang diwawancara dirahasiakan untuk menjaga privasi mereka dalam bekerja di masing-masing stasiun televisi. Narasumber pertama dianggap sebagai perwakilan dari stasiun televisi A, Narasumber kedua menjadi perwakilan dari stasiun televisi B, dan narasumber ketiga menjadi perwakilan dari stasiun televisi C. Wawancara untuk setiap peserta dilakukan sebanyak dua kali. Wawancara pertama adalah untuk mendapatkan informasi dari para narasumber sedangkan wawancara kedua adalah untuk mengklarifikasi kembali informasi yang telah diterima peneliti dari hasil wawancara pertama dengan para narasumber untuk meyakinkan peneliti dan narasumber bahwa data-data dari para narasumber adalah benar. Hingga saat ini, peneliti telah melakukan wawancara mendalam kepada satu narasumber sehingga hasil penelitian yang disampaikan pada seminar ini masih bersifat sementara. Hasil Temuan dan Diskusi Dari data wawancara menunjukkan bahwa narasumber pertama dari stasiun televisi A menyadari adanya upaya masyarakat untuk mencari informasi dari internet selain televisi. Berikut adalah petikan wawancaranya Saya melihatnya…eee…media internet itu sudah menguasai semua aspek kehidupan apalagi media ya jadi eee itu sebuah keniscayaan ya jadi tidak bisa ditolak dalam dunia yang terus bergerak seperti ini..eee..dan semua dikendalikan oleh internet…eee…apalagi anak jaman sekarang gitu ya ..eee…ya nyaris mereka itu tergantung pada dunia internet, dunia online. Saya punya anak kelas tiga SMA nyaris tidak pernah nonton TV karena semua ada digenggaman dia jadi dia dikamar aja, dia tahu perkembangan TV tapi dia melihatnya dari internet kan bisa dengan satu genggaman tangan ini atau di HP Narasumber mengungkapkan bahwa stasiun televisi perlu mengantisipasi perubahan ini agar tidak ditinggalkan oleh pemirsanya seperti yang terjadi pada surat kabar atau koran yang ada di Indonesia yang ditinggalkan oleh para pembacanya. Sekarangkan..eee… media print media cetak ya meskipun tidak semua tetapi …eee.. beberapa sudah termasuk di amerika mas adi tahulah soal gulung tikarnya sebuah media cetak di Indonesia sudah mulai juga kan yang Jakarta Globe dan sinar harapan. Jakarta Globe beberapa hari lalu sudah tutup juga jadi ya itu salah satu indikasi bahwa siapa yang tidak mengikuti perkembangan teknologi akan digilas. 271 International Conference of Communication, Industry, and Community. Bali, 3-4 Maret 2016 ISBN: 978-602-74139-1-7 Stasiun televisi melakukan beberapa perubahan untuk mengantasipasi perubahan masyarakat dalam mencari informasi yaitu dengan cara berintegrasi dengan internet sehingga kelemahan yang dimiliki oleh stasiun televisi dalam kecepatan menyampaikan informasi dan interaksi dengan pemirsanya bisa dihilangkan. Berikut adalah kutipannya ………Saya yakin hanya televisi jauh lebih siap melakukan perubahan itu yang akan tetap lead (memimpin) sebagai… eee … media industri televisi. Jadi TV terrestrial boleh jadi…eee… mulai surut. Kita juga akan merasakan mungkin dalam tahun kedepan sih masih (bertahan) tapi saya nggak tahu dalam 10 tahun kedepan jangan-jangan sudah berubah eee tetapi kan televisi tidak hanya terrestrial sekarang sudah mulai masuk di handphone di…eee…. tab entah nanti kemana lagi. Kalo di desktop sih sudah lama sudah ada nah sehingga industri televisipun sudah semestinya untuk ikut masuk kedalam…eee… menggunakan teknologi internet itu dan yang Saya tahu ya untuk di Indonesia ini eee dua perusahaan media televisi yang lebih siap memasuki itu adalah stasiun televisi kami serta MNC, yang lain Saya belum melihat ada integrasi ya….... Pemahaman integrasi antara televisi dan internet adalah ketika televisi menyampaikan berita kepada pemirsanya, disaat yang bersamaan informasi yang terdapat pada televisi disampaikan secara langsung melalui media internet. Pada umumnya, stasiun televisi yang lain menyampaikan informasi pada televisi terlebih dahulu, kemudian informasi tersebut baru disampaikan melalui internet, hal ini tidak bisa disebut sebagai integrasi antara televisi dan internet. berikut adalah kutipannya “…..kemudian kaya eee TV DEF juga punya tetapi itu bukan-bukan dijadikan sebagai wahana untuk mengintegrasikan dunia terrestrial dengan dunia online saya masih melihatnya berita yang ada di TV DEF kemudian dimasukkan kedalam online….” Untuk menciptakan integrasi antara televisi dan internet membutuhkan alat-alat dengan teknologi terkini dengan nilai investasi yang besar sehingga perlu banyak pertimbangan sebelum membeli teknologi tersebut. Berikut adalah kutipannya ….. Perkembangan teknologi (televisi) itu kan sama seperti perkembangan hp gitu kan tiap tahun berubah-ubah teknologi TV juga sama alat-alat itu jadi ketika kan alat-alat itu juga mahal. Alat-alat seperti (itu) bukan jutajuta lagi tapi miliar tapi ketika kita membelanjakan sesuatu untuk studio untuk alat-alat yang terkoneksi kemana-mana itu miliaran sehingga ketika kita mau membeli itu jangan misalnya tahun depan saya mau beli jangan barang yang sudah dipake setahun dua tahun terakhir tetapi barang yang baru mucul tetapi barang-barang yang akan dipake lima tahun kedepan jadi ya investasinya akan mahal jadi harus berfikir seperti itu nah eee karena NET TV sama Kompas TV baru sehingga alat-alat baru, orangorangnya juga dari berbagai TV itu memang dengan semagnat baru untuk 272 International Conference of Communication, Industry, and Community. Bali, 3-4 Maret 2016 ISBN: 978-602-74139-1-7 membuat entitas yang baru sehingga sangat gampang muncul NET TV yang terintegrasi diantara tv dan juga online eee ya itu internet dan terrestrial bergabung disitu Upaya untuk meyakinkan pengiklan untuk beriklan di telivisi dilakukan dengan berbagai upaya seperti bagian marketing mendatangi para pengiklan dan meyakinkan mereka bahwa stasiun televisinya masih menjadi pilihan pemirsa. Berikut adalah kutipannya …ini lo stasiun kami punya program-program bagus dsb” tolak ukurnya apa ya share tadi. Kitakan tolak ukurnya AC NIELSEN nah ketika kita yakinkan dalam lima tahun terahir liputan6 nomer satu lo, mereka bilang “apa ukurannya?”, ini nielsen dan patokan produsenpun sama Nielsen juga… Simpulan Dari hasil wawancara, kesimpulan sementara persiapan salah satu stasiun televisi dalam menghadapi persaingan dengan para pengembang internet untuk mendapatkan iklan adalah 1. Mereka Menyadari perubahan prilaku pemirsa televisi yang juga mencari informasi melalui internet. 2. Televisi perlu mengintegrasikan dengan internet agar pemirsa televisi tetap setia. Dengan menjaga jumlah pemirsa, para pengiklan tetap percaya untuk menggunakan televisi dalam beriklan 3. Upaya untuk mengintegrasikan televisi dengan internet memerlukan dana investasi yang banyak dan harus jeli dengan perkembangan teknologi agar teknologi yang sudah dibeli bisa mendukung integrasi antara TV dan internet dalam jangka panjang. 4. Bagian pemasaran perlu melakukan jalinan komunikasi secara langsung kepada pengiklan untuk meyakinkan mereka bahwa beriklan di televisi masih mampu mencapai harapan mereka, dengan memperlihatkan data-data yang dipercaya oleh pengiklan, seperti AC NIELSEN. . Penelitian ini masih berjalan sehingga kesimpulan yang dihasilkan masih bersifat sementara. Peneliti merasa yakin dengan hasil penelitian ini setelah melakukan wawancara mendalam kepada dua televisi swasta yang lain untuk melihat kesiapan televisi swasta di Indonesia dalam menghadapi persaingan dari pemilik laman berita dan bukan berita untuk meraih pengiklan. Daftar Pustaka Ardianto, Elvinaro., Komala, Lukiati., Karlina, Siti. 2009. Komunikasi Massa: Suatu Pengantar. Simbiosa. Bandug. 273 International Conference of Communication, Industry, and Community. Bali, 3-4 Maret 2016 ISBN: 978-602-74139-1-7 Bryant, Jennings., Thompson, Susan., Finklea, Bruce. 2013. Fundamentals of Media Effect. Waveland Press. United States of America Kotler, Philip., Keller, Kevin Lane. 2012. Marketing Management. Pearson. USA Persatuan Perusahaan Periklanan Indonesia. 2015. Indonesia Media Guide 2015. Persatuan Perusahaan Periklanan Indonesia. 2005. Indonesia Media Guide 2005. P3I. 2015. Diunduh dari www.p3i-pusat.com, pada tanggal 8 Januari 2015 Percy, Larry., Rossiter, John R., Elliot, Richard. 2004 Strategic Advertising Management. Oxford University Press. USA Percy, Larry., Elliot, Richard. 2012. Strategic Advertisng Management. Oxford University Press. USA Biografi Penulis Muhammad Adi Pribadi, SE., MIB., MComm adalah seorang dosen di Fakultas ilmu komunikasi, Universitas Tarumanagara. Beliau dipercaya untuk mengajar pada konsentrasi periklanan. Pendidikan terakhir yang pernah di jalani adalah di University of Sydney, Australia, dengan mendapat dua gelar strata dua yaitu Master of International Business dan Master of Commerce Drs. M. Gafar Yoedtadi Msi adalah seorang dosen yang mengajar di Fakultas Ilmu Komunikasi Universitas Tarumanagara. Beliau mengajar pada konsentrasi Jurnalistik. pendidikan terakhir yang pernah dijalani adalah S2 Komunikasi Pasca Sarjana di Universitas Indonesia, Indonesia Kurniawan Hari Siswoko, SIP., M.A adalah seorang dosen yang mengajar di Fakultas Ilmu Komunikasi, Universitas Tarumanagara. Beliau mengajar pada konsentrasi jurnalistik. pendidikan terakhir yang pernah di jalani adalah strata dua di Ateneo De Manila University, Manila. Filipina. 274 International Conference of Communication, Industry, and Community. Bali, 3-4 Maret 2016 ISBN: 978-602-74139-1-7 RADIO KOMUNITAS DAN PEMBERDAYAAN MASYARAKAT PERDESAAN Ika Yuliasari, Euis Komalawati Universitas Jayabaya, Universitas Jayabaya [email protected], [email protected] Abstract This article describes about the existence of community radio as an information agent in rural area in Yogyakarta. As a social change agent and empowerment media, the operation of community radio linked with the concept of structuration. In this research, there are two community radios that has built by people in Gadingsari village (Bantul Regency) and Kaliagung village (Kulon Progo Regency) more ten years ago. Paworo FM (Gadingsari village) and Trisna Alami FM (Kaliagung village) are known as the community radio which disemminate information continuosly. A qualitative approach and constructivism paradigm used to interpret the living world and emphasize the significance of social reality.Furthermore, this research used data collection techniques such as interview, observation, focus group discussion, and documentation. Ethnography of communication has been applied as an attempt to explore the behavior and communication pattern of media practice. The implementation of social semiotics carried out some important discourse of development information in those villages. Keywords: development communication, community radio, information agent, empowerment Abstrak Artikel ini mengemukakan tentang eksistensi radio komunitas sebagai agen informasi perdesaan di wilayah Yogyakarta. Sebagai agen perubahan sosial dan media pemberdayaan, operasionalisasi radio komunitas dapat dikaitkan dengan konsep sturkturasi. Dalam penelitian ini, terdapat dua radio komunitas yang didirikan oleh warga Desa Gadingsari Kabupaten Bantul dan warga Desa Kaliagung Kabupaten Kulon Progo. Radio Paworo FM di Desa Gadingsari dan Trisna Alami FM di Desa Kaliagung dikenal sebagai radio komunitas yang melakukan diseminasi informasi secara berkesinambungan. Pendekatan kualitatif dan paradigma konstruktivisme digunakan untuk menginterpretasikan dunia kehidupan dan menekankan pada signifikansi tentang realitas sosial. Penelitian ini menggunakan teknik pengumpulan data seperti wawancara, observasi, diskusi kelompok , dan dokumentasi. Etnografi komunikasi dilakukan sebagai upaya untuk menelusuri perilaku dan pola komunikasi dalam praktek media.Penggunaan metode analisis semiotika bertujuan untuk memperoleh luaran wacana tentang informasi pembangunan di desa. Kata kunci: komunikasi pembangunan, radio komunitas, agen informasi, pemberdayaan 275 International Conference of Communication, Industry, and Community. Bali, 3-4 Maret 2016 ISBN: 978-602-74139-1-7 Pendahuluan Pembangunan memiliki potensi dalam peningkatan kualitas hidup masyarakat dan mendukung perubahan sosial. Model pembangunan Trickle Down Effect seperti yang diterapkan di negara ketiga memberikan beberapa implikasi buruk bagi masyarakat dunia ketiga seperti di kawasan Asia dan Amerika Latin. Mosse (2007: 27). Pasca reformasi, Pemerintah RI menetapkan kebijakan UU No.40 tahun 1999 tentang Pers dan UU No. 32 tahun 2002 tentang Penyiaran. Momentum kebebasan informasi publik dan transparansi publik hadir di Indonesia dan mengindikasikan adanya keterbukaan dan transformasi sistem informasi. Demikian pula sistem informasi yang dikembangkan harus mendukung program pembangunan di berbagai wilayah perkotaan dan perdesaan. Pemberdayaan masyarakat perdesaan dalam program pembangunan kualitas hidup menunjukkan bahwa masyarakat berperan bukan sekedar obyek tetapi juga sebagai subyek pembangunan. Dibutuhkan langkah strategis untuk menggapai tujuan pemberdayaan masyarakat, sehingga partisipasi masyarakat dapat dibangkitkan untuk mendorong „pembangunan‟ kehidupan mereka sendiri. Gagasan pemberdayaan berpijak pada istilah keberdayaan individu. Dengan demikian pemberdayaan bertujuan meningkatkan keberdayaan dari mereka yang dirugikan. Wrihatnolo (2007:75) mengemukakan bahwa keberdayaan mencakup unsur-unsur seperti kemampuan individu untuk bertahan, mengembangkan diri, dan mencapai kemajuan. Nasution (2007: 103) menjelaskan bahwa komunikasi pembangunan memiliki kontribusi bagi masyarakat dalam menemukan norma baru, mendorong partisipasi dalam pengambilan keputusan, mengubah struktur kekuasaan pada masyarakat yang bercirikan tradisional, dan menciptakan kesetiaan pada nilainilai lokal tradisional. Peraturan Pemerintah No. 51 Tahun 2005 memuat ketentuan bahwa media komunitas bersifat independen, nonkomersial, dan diharapkan dapat menggalang partisipasi komunikasi warga desa (Kemenkominfo, 2011: 393). Kementerian Komunikasi dan Informatika RI mencanangkan Program Desa Informasi yang disinergikan dengan program Desa Dering (desa yang memiliki telepon), Desa Pinter (desa yang memiliki akses internet), Pusat Layanan Internet Kecamatan (PLIK), Mobil Pusat Layanan dan Internet Kecamatan (M-PLIK), Media Komunitas, dan Kelompok Informasi Masyarakat. Kemitraan program pembangunan daerah dengan sinergi media komunikasi di daerah terpencil, wilayah perbatasan, dan komunitas telah ditentukan dalam Peraturan Menteri Kominfo RI Nomor: 07/per/m.kominfo/6/2010. Leeuwis (2009: 89) menjelaskan bahwa media komunikasi dapat dipergunakan untuk intervensi komunikatif dengan selektivitas khalayak. Pemilihan jenis media komunitas dan target khalayak akan mempengaruhi ide yang akan dikomunikasikan, strategi komunikasi, penentuan peran pekerja komunikasi, dan identifikasi masalah komunikasi. 276 International Conference of Communication, Industry, and Community. Bali, 3-4 Maret 2016 ISBN: 978-602-74139-1-7 Di Provinsi DI Yogyakarta telah dirintis organisasi JRKY (Jaringan Radio Komunitas Yogyakarta) yang memiliki 80 jaringan radio komunitas.Radio komunitas didirikan dan tumbuh dalam komunitas masyarakat (CRI, 2009: 47). Latar belakang pendirian JRKY adalah mendukung potensi radio komunitas sebagai media komunikasi lokal yang bersifat independen, nonkomersial, dan melayani kepentingan komunitas. Permasalahan komunikasi yang muncul di perdesaan pada umumnya adalah kesenjangan informasi, keterbatasan media komunikasi, dan rendahnya respon masyarakat terhadap media komunitas. Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan sebelumnya, mengindikasikan adanya permasalahan dalam pengembangan radio komunitas yakni: rendahnya respons masyarakat dan tidak tersedianya fasilitas teknologi (Wahyono, 2011: 42), hegemoni pemerintah dalam proses informasi (Subarkah, 2012: 13), resistensi radio komunitas dengan kemunculan masyarakat organik (Maryani, 2007: 56), dan keterkaitan bahasa etnik sebagai sarana transformasi kultural dari aspek wacana media (Liswijayanti, 2005: 69; Johnson, 2001: 168; Deuze, 2006: 280; Georgiou, 2001: 311). Tulisan ini mengemukakan kajian terhadap dua radio komunitas di Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY), yakni: Radio Paworo Buana Mahawira FM di Desa Gadingsari Kecamatan Sanden Kabupaten Bantul dan Radio Trisna Alami FM di Desa Kaliagung Kecamatan Sentolo Kabupaten Kulon Progo. Wilayah Kecamatan Sanden terletak di pesisir selatan Kabupaten Bantul. Warga desa di wilayah Sanden berinisiatif untuk mendirikan radio Paworo FM sebagai pusat informasi dengan motivasi publikasi mitigasi bencana alam dan berkembang menjadi radio komunitas yang melakukan diseminasi informasi di bidang perikanan dan kelautan, kesehatan, dan budaya. Pengelola media komunitas mengutamakan prinsip independen, nonpartisan, dan nonkomersial. Keterbatasan informasi di tingkat lokal menjadi pertimbangan pengelola radio komunitas untuk memenuhi kebutuhan informasi warga desa dengan muatan kearifan lokal. Radio Trisna Alami FM di Desa Kaliagung merupakan radio komunitas petani yang berdiri atas prakarsa warga desa dan Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) Lestari Mandiri. Sebagian besar warga desa memiliki mata pencaharian sebagai petani dan buruh tani. Kebutuhan informasi di bidang pertanian mutlak dibutuhkan karena warga desa bertahan hidup di wilayah yang berbukit dan kesulitan memperoleh air. Berdasarkan latar belakang dan permasalahan yang diuraikan, artikel ini bertujuan untuk memperoleh luaran sebagai berikut: 1. Analisis eksistensi radio komunitas sebagai media pemberdayaan masyarakat perdesaan. 2. Analisis peranan radio komunitas dalam upaya pemberdayaan masyarakat di perdesaan. 277 International Conference of Communication, Industry, and Community. Bali, 3-4 Maret 2016 ISBN: 978-602-74139-1-7 Tinjauan Pustaka Konsisten dengan peranan media komunitas, Jankowski (2002: 36) menekankan penggunaan radio komunitas untuk memberikan kesempatan bersuara bagi kelompok marjinal dan komunitas-komunitas yang jauh dari pusat kota besar. Empat konsep yang harus diperhatikan adalah: karakteristik komunitas, karakteristik individu, aspek media komunitas, dan penggunaan media komunitas. Wilkins dan Mody seperti dikutip oleh Manyozo (2012: 112) menjelaskan bahwa komunikasi pembangunan merupakan proses dan strategi intervensi untuk mencapai perubahan sosial yang diinisiasi oleh institusi dan komunitas. Masyarakat pedesaan memiliki karakter agraris, meskipun beberapa masyarakat pedesaan bercirikan kehidupan yang penuh aktivitas ekonomis. Desa merupakan kawasan lingkungan yang memiliki penduduk kurang dari 2.500 orang yang berada dalam suatu lingkungan dimana penduduknya sebagian besar memiliki ketergantungan pada sektor pertanian dan memiliki hubungan yang akrab dan serba informal di antara sesama warganya (Soekanto, 2005: 37). Ife (2008: 130) menjelaskan bahwa gagasan pemberdayaan (empowerment) merupakan sentral dari strategi keadilan sosial dan hak asasi manusia. Keberdayaan individu merupakan kemampuan individu masyarakat dalam membangun keberdayaan masyarakat. Dengan demikian pemberdayaan bertujuan meningkatkan keberdayaan dari mereka yang dirugikan. Merujuk pada pemikiran Giddens (2010: 32), struktur sosial dapat berubah karena adanya reproduksi tindakan berulang agen. Agen manusia (level mikro) dan struktur sosial (level makro) secara kontinu saling berhubungan satu sama lain. Tulisan ini menekankan pada aspek signifikansi dimana wacana media mendukung proses pemberdayaan warga desa. Interaksi antara media komunitas sebagai agen komunikasi dengan struktur sosial memiliki peranan dalam mengkonstruksikan realitas. Pegiat radio komunitas adalah individu-individu yang mengonstruksikan realitas berita sebagai materi siaran radio komunitas. Berger dan Luckmann (1990: 46) mengungkapkan bahwa realitas dibentuk dan dikonstruksi oleh individu dengan upaya dan bentuk berbeda-beda, hal tersebut disebabkan karena adanya perbedaan pengalaman, preferensi, tingkat pendidikan, dan lingkungan sosial. Metodologi Paradigma secara ilmiah merupakan sistem berpikir secara keseluruhan melibatkan asumsi-asumsi dasar, pertanyaan-pertanyaan penting yang harus dijawab, teknik riset yang digunakan, dan memberikan contoh tentang riset ilmiah yang baik (Neuman, 2003: 117). Penulis melakukan kajian tentang eksistensi radio komunitas dan proses signifikansi media komunitas berkaitan dengan wacana pemberdayaan masyarakat. Secara ontologis penelitian ini akan mengungkapkan realitas 278 International Conference of Communication, Industry, and Community. Bali, 3-4 Maret 2016 ISBN: 978-602-74139-1-7 berdasarkan pemaknaan aktor dan khalayak media komunitas di desa. Informasi yang dikomunikasikan melalui berita yang disiarkan radio komunitas merupakan serangkaian produk teks komunikasi dan dikonstruksikan oleh para aktor. Paradigma yang dipergunakan dalam penelitian ini adalah paradigma konstruktivis. Denzin dan Lincoln (2009: 157) menjelaskan tentang pandangan kalangan konstruktivis yang menekankan pada sistem-sistem representasi, praktik-praktik sosial dan material, aturan-aturan diskursus, dan efek-efek ideologis. Goodness Criteria untuk penelitian ini berdasarkan pada paradigma konstruktivisme. Kriteria tersebut adalah trustworthiness (dapat dipercaya) dan authenticity. Authenticity adalah proses dimana peneliti dapat membangkitkan empati dengan aktor, sehingga dapat menggali informasi sesuai keyakinan, pola pikir, dan keinginan aktor penyusun pesan media serta kepada masyarakat penerima pesan. Pengumpulan data dilakukan pada bulan April-Agustus 2015 sesuai pendekatan penelitian kualitatif (Creswell, 2010: 267) yakni: merekam teks berita, wawancara pegiat radio komunitas, wawancara komunitas pendengar radio, focus group discussion (FGD), observasi terhadap operasionalisasi media komunitas dan perilaku komunikasi. Sebagai data pendukung digunakan beberapa sumber, yakni monografi Desa Gadingsari Kecamatan Sanden tahun 2014, monografi Desa Kaliagung Kecamatan Sentolo 2014, Katalog Biro Pusat Statistik Kabupaten Bantul 2014, Katalog Biro Pusat Statistik Kabupaten Kulon Progo 2014, Himpunan Peraturan Perundang-undangan di Bidang Penyiaran 2011, arsip naskah berita radio komunitas, arsip naskah iklan radio komunitas, arsip media komunitas, dokumentasi Komisi Penyiaran Indonesia tentang Izin Penyelenggaraan Penyiaran, dan berita media massa. Studi pustaka dilakukan dengan menelusuri jurnal, hasil penelitian, buku, dan rujukan ilmiah yang berkaitan dengan topik penelitian. Triangulasi data dilakukan dengan proses mengecek ulang data yang diperoleh dengan menjumpai narasumber yang berkompeten di bidang media penyiaran, pemangku kebijakan pembangunan diperdesaan, pemerhati media komunitas, lembaga swadaya masyarakat, dan budayawan Jawa. Analisis wacana dilakukan dengan metode analisis semiotika Halliday. Analisis semiotika Halliday diterapkan untuk menganalisis naskah siaran berita media komunitas seperti wacana di bidang mitigasi bencana alam, perikanan dan kelautan, pertanian, kesehatan, dan budaya. Analisis wacana dilaksanakan dengan membedah tiga aspek utama seperti medan wacana, pelibat wacana, dan sarana wacana. Etnografi komunikasi dilakukan dengan mengamati pola komunikasi pengelola media dan komunitas pendengar radio komunitas. Peneliti secara optimal melakukan pengamatan selama satu bulan di masing-masing lokasi untuk mendukung implementasi metode etnografi komunikasi. Hasil Temuan dan Diskusi Berdasarkan tujuan penulisan artikel ini, dikemukakan hasil temuan sebagai berikut. 279 International Conference of Communication, Industry, and Community. Bali, 3-4 Maret 2016 ISBN: 978-602-74139-1-7 Sekilas tentang wilayah penelitian Penelitian dilakukan di Provinsi DI Yogyakarta pada dua lokasi berbeda, yakni di Desa Gadingsari Kecamatan Sanden Kabupaten Bantul dan Desa Kaliagung Kecamatan Sentolo Kabupaten Kulon Progo. Berdasarkan penelusuran data sekunder, peneliti menyajikan data demografi dan topografi dari dua desa tersebut. Luas wilayah Kecamatan Sanden adalah 2.316 Ha (4,5% dari luas wilayah Kabupaten Bantul) dan membawahi 4 (empat) wilayah desa administratif yakni: Gadingharjo, Gadingsari, Srigading, dan Murtigading (BPS Bantul ,2014:5). Desa Gadingsari terletak di wilayah pesisir selatan Samudera Indonesia. Luas wilayah Desa Gadingsari adalah 6.414.033,94 Ha dengan dominasi wilayah pemukiman (3.483.760 Ha) dan persawahan (2.930.190 Ha). Menilik dari luasnya areal persawahan, jumlah keluarga petani berjumlah 2.145 keluarga dari 2.890 keluarga yang memiliki lahan pertanian. Berdasarkan data sumber daya manusia, jumlah penduduk total sebesar 12.196 orang dan 4.397 Kepala Keluarga (KK). Penduduk usia 18-56 tahun yang bekerja berjumlah 2.548 orang. Di wilayah Desa Gadingsari, warga desa berprofesi sebagai buruh tani (2.462 orang), petani (2.138 orang), pengrajin (1.398 orang), karyawan pemerintah (1.294 orang), karyawan perusahaan swasta (1.353 orang), dan sisanya adalah buruh migran, Pegawai Negeri Sipil, seniman, POLRI, purnawirawan, peternak, nelayan, dan TNI. Tingkat pendidikan masyarakat di Desa Gadingsari yang terbanyak dimiliki adalah lulusan SD/sederajat (2.975 orang), lulusan SLTP/sederajat (1.375 orang), lulusan SMU/sederajat (892 orang), lulusan D1D3 (347), lulusan S1 (161 orang), dan sisanya adalah pelajar SD, pelajar SMP, pelajar SMU, serta mahasiswa (Monografi Desa Gadingsari, 2014: 12). Kecamatan Sentolo merupakan bagian dari wilayah administratif Kabupaten Kulon Progo dengan luas area sebesar 5.265,340 Ha dan menunjukkan angka prosentase sebesar 8,09% dari luas area kabupaten. Kecamatan Sentolo berpenduduk 47.926 jiwa yang mendiami wilayah administratif pemerintahan 8 (delapan) desa, yakni: Demangrejo, Sri Kayangan, Tuksono, Sulamrejo, Sukoreno, Kaliagung, Sentolo, dan Banguncipto (BPS Kulon Progo, 2014 : 9). Secara geografis, Kecamatan Sentolo berada di wilayah Kulon Progo yang berada di daerah datar dan dikelilingi pegunungan yang sebagian besar terletak pada wilayah utara. Desa Kaliagung memiliki luas wilayah sebesar 717,1105 Ha (13,6194% dari wilayah Kecamatan Sentolo). Sebagian besar wilayah Desa Kaliagung dikelilingi oleh perbukitan dengan ketinggian tanah pemukiman dan persawahan yang tidak datar. Secara administratif, Kaliagung memiliki dusun berjumlah 12 (dua belas) yaitu: Kemiri, Degung, Kleben, Jetak, Kaliwilut, Tegowanu, Ngrandu, Banyunganti Lor, Banyunganti Kidul, Kaligalang, dan Nglotak. Jumlah penduduk di wilayah Desa Kaliagung adalah 6144 orang dengan komposisi jumlah perempuan 3.161 orang dan laki-laki 2983 orang. Profesi yang digeluti oleh penduduk Desa Kaliagung sebagian besar adalah petani. Uraian profesi penduduk Kaliagung adalah sebagai berikut: petani (1523 orang), mengurus 280 International Conference of Communication, Industry, and Community. Bali, 3-4 Maret 2016 ISBN: 978-602-74139-1-7 rumahtangga (742 orang), pelajar dan mahasiswa (978 orang), karyawan swasta (698 orang), buruh harian (224 orang), buruh tani dan ternak (206 orang), wiraswasta (145 orang), guru (25 orang), dan profesi lain sebagai pedagang, tukang, Pegawai Negeri Sipil (PNS), Tentara Nasional Indonesia (TNI), perangkat desa, dan sopir. Tingkat pendidikan sesuai urutan jenjang pendidikan warga desa adalah: Pascasarjana (7 orang), Sarjana (200 orang), lulusan SMU (1309 orang), lulusan SMP (936 orang), lulusan SD (1.701 orang), belum tamat SD (674 orang), dan sisanya lebih dari 1.000 orang tidak mengenyam bangku pendidikan (Monografi Desa Kaliagung, 2014: 12). No Kategori Paworo FM 1 Latar belakang Peristiwa bencana alam pendirian gempa bumi di pesisir selatan di Provinsi DIY tahun 2006 Berdirinya radio di prakarsai oleh warga desa di Kecamatan Sanden dan sekitarnya 2 Operasionalisasi Media : Organisasi Memiliki struktur media organisasi dan bersifat independen Legalitas Sedang mempersiapkan pengajuan izin penyiaran ke Komisi Penyiaran Informasi Daerah DIY . Pengelolaan Organisasi media dikelola oleh pegiat media yakni warga desa secara mandiri dengan koordinasi pemerintah desa . Pengelola Radio Paworo diantaranya adalah warga desa Sanden yakni: Ng, BS, Mar, AH, dan Rob. Beberapa penyiar radio yang aktif mengudara adalah: Les, BS, SD, P, S, Su, D, dan M. Pembiayaan Trisna Alami FM Motivasi untuk menyiarkan informasi pertanian di wilayah yang terletak di perbukitan dan pegunungan . Radio berdiri pada tahun 2003 dengan prakarsa Lembaga Swadaya Masyarakat Lestari Mandiri (Lesman) dan warga desa Kaliagung Memiliki struktur organisasi dan bersifat independen Sudah mengurus izin penyiaran ke Komisi Penyiaran Indonesia Daerah (KPID) DIY dan menunggu hasil Evaluasi Dengar Pendapat. Pengelolaan radio Trisna Alami FM dilaksanakan secara mandiri oleh warga desa dengan koordinasi Kelompok Tani di wilayah Kaliagung dan pemerintah desa. Koordinator radio Trisna Alami FM adalah Gi, seorang pegiat radio komunitas. Radio Trisna Alami FM beroperasi dengan dukungan teknisi dan penyiar yaitu: Yu, Bek, Riy, Wah, Ek, Rat, Im, dan Sla Pembiayaan operasionalisasi radio Trisna Alami diperoleh 281 International Conference of Communication, Industry, and Community. Bali, 3-4 Maret 2016 ISBN: 978-602-74139-1-7 Kemitraan 3 4 5 6 7 8 282 operasionalisasi radio Paworo diperoleh dari bantuan pemerintah Desa Gadingsari dan warga desa. Pemerintah desa, BKKBN, Puskesmas Sanden, pengusaha dan pedagang lokal di lingkungan desa, Forum Pengurangan Resiko Bencana (FPRB) Kabupaten Bantul, Perguruan Tinggi, dan Komunitas Monitor Paworo dari bantuan warga desa. Pemerintah desa (Kelurahan Kaliagung), Dinas Pertanian dan Kehutanan Kulon Progo, Jaringan Radio Komunitas Yogyakarta, BKKBN, pengusaha dan pedagang di lingkungan desa, Gabungan kelompok tani (Gapoktan) Sido Mulyo Kaliagung, dan Kelompok Tani di wilayah Kaliagung, komunitas pendengar radio. Frekuensi dan Frekuensi siaran pada Frekuensi siaran pada I07,7 jangkauan 107,9 FM FM wilayah siaran Waktu dan Nonstop ( 24 jam ) 19.00- 24.00 WIB Lokasi lokasi siaran Lokasi siaran di siaran di sekretariat Kelompok kompleks Kelurahan Tani “Tani Mulya” Desa Gadingsari , Sanden . Ngrandu, Kaliagung, Sentolo. Wacana siaran Budaya, Informasi cuaca Pertanian, agama, iklan radio dan iklim, perikanan, layanan masyarakat, iklan agama , iklan lokal lokal nonkomersial, informasi nonkomersial, informasi pemerintah desa, dan hiburan. dari pemerintah desa, dan hiburan Bahasa yang Bahasa Jawa Krama Bahasa Jawa Krama Inggil dan dipergunakan Inggil dan bahasa bahasa Indonesia Indonesia Target khalayak Warga desa berusia 30- Warga desa berusia 20-65 65 tahun dan memiliki tahun dan memiliki target target khalayak yang khalayak para petani di desa. profesinya beragam Kolaborasi Memanfaatkan komputer Menggunakan perangkat teknologi dan jaringan internet komputer dan internet sebagai informasi sebagai bagian sistem pendukung siaran, namun komunikasi informasi internet di belum terjalin dengan sistem (TIK) desa Gadingsari. internet desa. Siaran dilaksanakan Siaran dilakukan secara secara interaktif dengan interaktif dengan sarana fasilitas telepon. telepon. International Conference of Communication, Industry, and Community. Bali, 3-4 Maret 2016 ISBN: 978-602-74139-1-7 9 Hambatan Biaya operasionalisasi media, perizinan, frekuensi siaran yang terbatas, dan kaderisasi pengurus media belum optimal. Tabel 1. Eksistensi Radio Paworo FM Biaya operasionalisasi media, perizinan, frekuensi yang terbatas, dan kaderisasi pengurus media belum optimal. dan Trisna Alami FM Peranan Radio Komunitas dalam Pemberdayaan Masyarakat 1. Radio komunitas melakukan diseminasi informasi di bidang mitigasi bencana, perikanan dan kelautan, pertanian, budaya, dan kesehatan. Selaras dengan proses signifikansi, penulis menyajikan tabel analisis wacana sesuai metode analisis semiotika Halliday. Berita yang disajikan pada periode bulan Mei 2015 telah dianalisis dengan tiga unsur wacana seperti medan wacana, pelibat wacana, dan sarana wacana. Hasil analisis berita Radio Paworo FM dapat dilihat pada Tabel 2. No 1 Kategori Penyiar Bahasa Informasi pengantar Prakiraan BS Bahasa cuaca dan Indonesia mitigasi bencana 2 Perikanan dan kelautan Les Bahasa Jawa 3 Ngungak Budaya RD Bahasa Jawa Unsur analisis semiotika sosial Halliday Medan wacana adalah gempa bumi, sistem peringatan dini banjir di DIY, puting beliung di DIY. Pelibat wacana adalah Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika (BMKG), Tribun Jogja, ahli iklim dan cuaca Universitas Gadjah Mada (UGM) Sarana wacana tidak dijumpai dalam penyajian berita Medan wacana adalah pranata mangsa (ketentuan musim dalam penanggalan budaya Jawa). Pelibat wacana adalah Dinas Perikanan dan Kelautan DIY, nelayan di pesisir, dan pendengar di pesisir. Sarana wacana adalah pranata mangsa, ulam awis awis medal. Les jarang menggunakan metafora. Medan wacana adalah petangan dinten sae, piwulang basa Jawa, lan parikan. Pelibat wacana adalah pendengar siaran Ngungak Budaya. Sarana wacana adalah blarak disampirke, orang aring, reca kayu, timun sigarane. 283 International Conference of Communication, Industry, and Community. Bali, 3-4 Maret 2016 ISBN: 978-602-74139-1-7 4 Kesehatan Ngad Ad Bahasa Indonesia dan Jawa Medan wacana adalah sanitasi lingkungan dan pencegahan demam berdarah. Pelibat wacana adalah Puskesmas Sanden, Fakultas Kedokteran Universitas Kristen Duta Wacana (UKDW) Yogyakarta, dan pendengar radio. Sarana wacana tidak dipergunakan dalam pengomunikasian berita kesehatan. Tabel 2. Hasil analisis semiotika berita mitigasi bencana, perikanan dan kelautan, budaya, dan kesehatan Radio Paworo FM 2015 Berdasarkan hasil wawancara dan FGD, penyusunan naskah berita dilakukan oleh penyiar dan pengelola dengan referensi laman BMKG, bahan pendidikan dan pelatihan dinas perikanan dan Kelautan DIY, Dinas Kesehatan Kabupaten Bantul, bacaan pedoman filosofi budaya Jawa, dan pengalaman hidup sehari-hari. Hasil analisis berita Radio Trisna Alami FM dapat dilihat pada tabel 3 di bawah ini Kategori Penyiar Bahasa Unsur analisis semiotika Halliday Informasi pengantar Pertanian Bek Jawa Medan wacana adalah pranata mangsa , Yud kegiatan Gapoktan Agungmulyo, pembuatan Gi biostarter, pembuatan kompos, modernisasi pertanian, irigasi, lahan pertanian, minuman herbal. Pelibat wacana adalah pengelola radio Trisna Alami FM, pemerintah Desa Kaliagung, Dinas Pertanian dan Kehutanan Kulon Progo, Kementerian Pertanian, BP3K, KP4K, Gapoktan Agungmulyo. Sarana wacana adalah metafora pranata mangsa, tirta sat, watak wantunipun, nggrengsengaken Tabel 3. Hasil analisis semiotika berita pertanian Radio Trisna Alami FM 2015 Penyusunan naskah berita pertanian dikonstruksikan dengan materi dari bahan pendidikan dan pelatihan Dinas Pertanian dan Kehutanan Kulon Progo, materi penyuluhan pertanian, pedoman tatacara musim , dan pengalaman seharihari sebagai petani 2. Radio komunitas menjalin kemitraan dengan pihak terkait seperti Forum Pengurangan Risiko Bencana (FPRB) Kabupaten Bantul, Pemerintah Desa 284 International Conference of Communication, Industry, and Community. Bali, 3-4 Maret 2016 ISBN: 978-602-74139-1-7 Gadingsari, Pusat Kesehatan Masyarakat Kecamatan Sanden, Perguruan Tinggi, Dinas Pertanian dan Kehutanan Kulon Progo, Pemerintah Desa Kaliagung, Gabungan Kelompok Tani (Gapoktan) Agung Mulyo, Badan Koordinasi Keluarga Berencana Nasional (BKKBN), pengusaha di desa, dan kelompok monitor atau pendengar radio komunitas. Bentuk kemitraan yang terjalin bersifat independen dimana mitra kerja tidak mengintervensi operasionalisasi radio komunitas baik secara ekonomi maupun secara politik. Prinsip radio komunitas untuk menginformasikan ide atau gagasan berkenaan dengan solusi masalah di perdesaan tetap menjadi dasar penyelenggaraan program siaran. 3. Pegiat radio komunitas terlibat dalam kegiatan kemitraan dan langsung terjun ke lapangan berbaur dengan warga desa . Sebagai contoh adalah pada saat dilakukan sosialisasi pola tanam oleh Dinas Pertanian dan Kehutanan Kulon Progo, Bek selaku penyuluh pertanian swadaya sekaligus penyiar Radio Trisna Alami FM turut melakukan sosialisasi program pertanian . Simpulan Berdasarkan uraian hasil analisis dapat diajukan simpulan sebagai berikut: a. Radio komunitas Paworo FM dan Trisna Alami FM tetap bertahan sebagai radio di perdesaan yang bersifat nonkomersial, nonpartisan, dan independen. Hambatan yang dihadapi adalah faktor pembiayaan, perizinan, frekuensi siaran, dan kaderisasi pengelola. b. Peranan radio komunitas dalam pemberdayaan masyarakat desa adalah menyelenggarakan program siaran sesuai kebutuhan informasi warga desa, menjalin kemitraan dengan pihak terkait program pemberdayaan, dan keterlibatan langsung pegiat media dalam program pemberdayaan. Saran yang dapat diajukan adalah peningkatan upaya kaderisasi pengelola media, proses perizinan yang lebih mudah, alokasi frekuensi yang memadai , dan adanya dukungan teknologi informasi bagi media komunitas. Daftar Pustaka Berger P, & Luckmann T. (1990). Tafsir Sosial atas Kenyataan (terjemahan). Jakarta: LP3ES. [BPS]Biro Pusat Statistik .( 2014). Bantul Dalam Angka. Yogyakarta : BPS Kabupaten Bantul [BPS]Biro Pusat Statistik .(2014). Kabupaten Kulon ProgoDalam Angka. Yogyakarta : BPS Kulon Progo Creswell W (2010). Research Design: Pendekatan Kualitatif, Kuantitatif, dan Mixed.Yogyakarta: Pustaka Pelajar. [CRI] Combine Resource Institution. (2009). Radio Komunitas dan Pelayanan Publik. Yogyakarta: CRI. 285 International Conference of Communication, Industry, and Community. Bali, 3-4 Maret 2016 ISBN: 978-602-74139-1-7 Denzin NK, Lincoln YS. (2009). Handbook of Qualitative Research. California: Sage Publications, Inc. Deuze M. (2006). Ethnic Media, Community Media, and Participatory Culture. J Sage. 7(3). 262-280. Georgiou M. (2001). Crossing The Boundaries of The Ethnic Home: Media Consumption and Ethnic Identity Construction in The Public Sphere. Sage. 63(4). 311-328. Giddens A. (2010). Teori Strukturasi. Dasar-Dasar Pembentukan Struktur Sosial Masyarakat. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Jankowski NW. (2002). Community Media in the Information Age. Hampton: Hampton Press. Johnson K. (2001). Media, Culture, Society: Media and Social Change, The Modernizing Influences of Television in Rural India. Sage. 23(2). 147-169. Ife J, & Tesoriero F. (2008). Community Development, Alternatif Pengembangan Masyarakat di Era Globalisasi (terjemahan). Yogyakarta: Pustaka Pelajar. [Kemenkominfo] Kementrian Komunikasi dan Informasi RI. (2011). Himpunan Peraturan Perundang-Undangan di Bidang Penyiaran 2002 – 2007. Jakarta: Kemenkominfo. Leeuwis C. (2009). Komunikasi untuk Inovasi Perdesaan. Berpikir Kembali tentang Penyuluhan Pertanian. Yogyakarta: Kanisius. Liswijayanti F. (2005). Media dan Identitas Etnis Tionghoa. J Thesis .1(1). 6988. Manyozo L. (2012). Media, Communication, and Development. India: Sage Publications India.Pvt. Ltd. Maryani E. (2007). Resistansi Komunitas melalui Media Alternatif. Disertasi. Jakarta: Universitas Indonesia. Monografi Desa Kaliagung. (2014). Monogrofi Semester II (Juli – Desember) Tahun 2014. Kulon Progo. Mosse JC. (2007). Gender dan Pembangunan. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Nasution Z. (2007). Komunikasi Pembangunan: Pengenalan Teori dan Penerapannya. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada. Neuman LW. (2003). Social Research Methods: Qualitative and Quantitative Approaches.5thedition. New York: Allyn and Bacon. Soekanto S. (2005). Sosiologi Suatu Pengantar. Jakarta: Rajawali Press. Subarkah A. (2012). Radio Komunitas dan Kegagalannya sebagai Media Counter Hegemony: Studi Kasus Radio Angkringan dan Radio Panagati di Provinsi DI Yogyakarta. J Communication Spectrum. 2(1). 13-29. Wahyono SB. (2011). Optimalisasi Desa Informasi melalui Penguatan Kelembagaan. IPTEK KOM.13 (2). 1-42. Wrihatnolo RR. (2007). Manajemen Pemberdayaan: Sebuah Pengantar dan Panduan untuk Pemberdayaan Masyarakat. Jakarta: PT Elok Komputindo. 286 International Conference of Communication, Industry, and Community. Bali, 3-4 Maret 2016 ISBN: 978-602-74139-1-7 Lampiran Siaran pertanian Radio Trisna Alami Paworo FM Siaran Ngungak Budaya Radio Biografi Penulis Ika Yuliasari ,lahir di Yogyakarta tanggal 22-Juli -1974. Menyelesaikan jenjang pendidikan S1 di jurusan Ilmu Komunikasi Universitas Gadjah Mada(1999), jenjang S2 di Departemen Ilmu Komunikasi FISIP Universitas Indonesia(2007), dan sedang menyelesaikan studi S3 dengan kajian Komunikasi Pembangunan Pertanian dan Perdesaan Institut Pertanian Bogor (IPB). Saat ini bekerja sebagai dosen tetap di FIKOM Universitas Jayabaya Jakarta dan melakukan penelitian tentang media lokal dengan dana Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi. Euis Komalawati, lahir di Jayapura 9 Oktober 1976. Dosen Tetap di Fakultas Ilmu Komunikasi Universitas Jayabaya (2000 – sekarang). Pendidikan terakhir diselesaikan di Program Doktor Ilmu Komunikasi Universitas Indonesia tahun 2015, menamatkan studi Magister Ilmu Komunikasi di Universitas Indonesia tahun 2007 dan studi Sarjana diraihnya di Fakultas Ilmu Komunikasi Universitas Padjadjaran tahun 1999. Selain mengajar, ia juga aktif melakukan penelitian pada kajian media studies, film, dan political economy yang didanai Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi. Disamping mengajar dan meneliti, saat ini ia juga dipercaya sebagai Wakil Bendahara Umum Ikatan Sarjana Komunikasi Indonesia (ISKI) dan Ketua Bidang Hubungan Masyarakat Asosiasi Pendidikan Tinggi Ilmu Komunikasi (ASPIKOM) Wilayah Jabodetabek 287 International Conference of Communication, Industry, and Community. Bali, 3-4 Maret 2016 ISBN: 978-602-74139-1-7 KETERLIBATAN AUDIENS DENGAN MEDIA PERSONAE (STUDI PADA PROSES TERBANGUNNYA HUBUNGAN SEMU ANTARA PENGGEMAR DENGAN IDOLA DALAM PROGRAM ACARA RUNNING MAN) Desideria Lumongga Dwihadiah Leksmono Universitas Pelita Harapan [email protected],[email protected] Abstract Running Man is a variety show which becoming the latest part of Korean Popular Culture’s product after the popularity of Korean Drama and Korean Pop (K-Pop). As a product of pop culture which made based on the market’s taste, variety show also has to observe the target market’s desire from an entertainment product. Audience who love the variety show has different characteristics than casual audience, therefore they are called fans. The different characteristics lay on the involvement of emotional and intellectual capabilities’ of fans. Because of the emotional and intellectual capabilities involvement, the fans think that they have special relations with the media personae, in which the relations are not real, called Pseudo Relationship. The fans’ involvement consist of four processes which are: Transportation, Parasocial Interaction (PSI), Identification and Worship. Key Words: pseudo relationship, fans, media personae, running man Abstrak Running Man adalah sebuah program varietas yang merupakan bagian dari produk budaya populer Korea Selatan dan muncul paling akhir sesudah kepopuleran drama seri TV Korea (Korean Drama) dan musik pop Korea (KPop). Sebagai sebuah produk budaya pop yang dibuat berdasarkan selera pasar, program varietas juga dibuat dengan memperhatikan kehendak penonton yang menggemari program hiburan. Penonton yang menggemari program varietas Running Man memiliki ciri yang berbeda dengan penonton biasa karena adanya keterlibatan emosi dan intelektual dalam aktivitas menonton. Keterlibatan emosi dan intelektual para penggemar ini menyebabkan mereka merasa seolah-olah memiliki hubungan. Hubungan tersebut bukanlah hubungan yang nyata (hubungan semu) dengan figur yang ditampilkan media, yang biasa dikenal dengan istilah media personae. Keterlibatan penggemar yang merupakan audiens dari program varietas Running Man dengan media personae dapat dilihat dalam empat tahapan proses : Transportasi, Parasocial Interaction (PSI), Identification dan Worship. Kata kunci: hubungan semu, penggemar, media personae, running man 288 International Conference of Communication, Industry, and Community. Bali, 3-4 Maret 2016 ISBN: 978-602-74139-1-7 Pendahuluan Latar Belakang Penelitian tentang pengaruh media pada audiens maupun pengaruh dari figur yang tampil di media baik figur imajinatif seperti tokoh kartun atau tokoh dalam sebuah cerita novel maupun figur publik seperti selebritis dan artis pada audiens sudah banyak dibahas selama ini. Akan tetapi penelitian bagaimana audiens terlibat dengan tokoh yang ditampilkan dalam media ataupun bagaimana audiens memahami lalu mengolah sebuah tontonan sebagai sesuatu yang menarik dan memberikan manfaat menurut audiens sendiri, belum banyak diamati dalam penelitian-penelitian komunikasi, penelitian-penelitian seperti ini bertitik tolak dari studi tentang audiens (Audience Studies). Dalam penelitian ini yang didasarkan pada studi tentang audiens, yang menjadi fokus adalah keterlibatan audiens atau penonton sebuah program acara TV dengan figur yang ditampilkan di media. Figur yang dimaksudkan dalam penelitian ini adalah artis atau aktor yang menjadi tokoh utama dalam sebuah program varietas (variety show) yang berasal dari Korea Selatan. Program yang dimaksud adalah Running Man, sebuah program varietas yang menampilkan berbagai permainan yang harus dilakukan secara berkelompok dengan menekankan pada unsur humor dari berbagai aksi pemainnya. Running Man merupakan sebuah program varietas yang paling lama yang pernah diproduksi stasiun TV Seoul Broadcasting System (SBS) karena telah berusia lima tahun sejak pertama kali diproduksi tahun 2010 dan hingga saat tulisan ini dibuat dari hasil penulusuran peneliti sudah mencapai lebih dari 280 episode dan setiap pengambilan gambar selalu mengambil tempat di berbagai lokasi landmark yang unik dan khas pemandangannya. Running Man dibintangi oleh delapan orang aktor dan artis sebagai pemain tetap yaitu Yoo Jae-suk, Ji Suk-jin, Kim Jong-kook, Gary, Haha, Song Ji-hyo, dan Lee Kwang-soo yang menjadi pemain tetap. Dalam setiap episode program ini sering mendatangkan bintang-bintang tamu para artis K-Pop seperti G Dragon, Tae Yang dari Big Bang, para artis yang tergabung dalam Girls’ Generation (Taeyeon, Hyoyeon, Seohyun,Yoona, Yuri, Jessica), Choi Siwon, Kim Hee Chul, Shindong dan Eunhyuk dari Super Junior. Di Indonesia Running Man diputar oleh stasiun Rajawali Televisi (RTV) sejak Februari 2015 setelah sebelumnya hanya dapat disaksikan di saluran TV berlangganan yaitu Sony Entertainment Television dan LBS TV Drama. 289 International Conference of Communication, Industry, and Community. Bali, 3-4 Maret 2016 ISBN: 978-602-74139-1-7 Gambar 1: Berbagai Permainan Dalam Tayangan Running Man Penonton di Indonesia sangat menggemari Running Man karena humor yang terkandung di dalam tiap aksi permainan yang dilakukan oleh pemain tetap dan bintang tamu, terlebih lagi karena seluruh pemain dan tamu berwajah tampan dan cantik sehingga tidak masalah bagi mereka jika telihat konyol dan bodoh dalam tiap episode (Yee, 2013). Mereka bukan lagi hanya menjadi penonton sebuah tayangan program TV biasa akan tetapi telah menjadi penggemar dari program varietas dari Korea karena tidak pernah melewatkan setiap tayangan yang diputar. Sebagaimana penggemar produk budaya populer lainnya maka penggemar Running Man ini juga mayoritas adalah remaja dan anak-anak muda yang senang dengan hiburan yang mengandung humor dan tingkah konyol. Karena itulah ketika program ini sempat berhenti ditayangkan para penggemar di tanah air beramai-ramai menuliskan protesnya di berbagai media sosial milik stasiun-stasiun TV dan media sosial yang khusus dibuat oleh para penggemar (fanbase social media). Akun media sosial milik stasiun TV yang menyiarkan Running Man dipenuhi dengan protes menggunakan tanda pagar (hashtag) seperti #saverunningman dan ketika akhirnya pengumuman tentang penayangan kembali maka tagar seperti #runningmanisbackonRTV? memenuhi media sosial (Dwifantya, 2015). Bahkan dari pengamatan peneliti pada akun media sosial milik LBS TV Drama dan twitter fanbase Running Man hingga bulan Februari 2016 ini masih banyak penggemar yang meminta untuk Running Man diputar kembali oleh stasiun TV tersebut. Gambar 2: Protes Penggemar di media sosial tentang Penghentian Tayangan Running Man 290 International Conference of Communication, Industry, and Community. Bali, 3-4 Maret 2016 ISBN: 978-602-74139-1-7 Protes yang demikian menandakan bahwa program varietas ini memang memiliki penggemar yang setia dengan jumlah yang tidak sedikit di Indonesia, sehingga begitu program dihentikan tayangannya, protes langsung datang bertubi-tubi. Dari situlah produsen Running Man mengetahui bahwa mereka memiliki penggemar yang setia dalam jumlah yang cukup banyak di Indonesia hingga mereka pernah melakukan pengambilan gambar di Taman Safari Indonesia di Cisarua bulan Oktober tahun 2014. Sebelumnya pada awal tahun yang sama para pemain Running Man juga pernah ke Indonesia dan mengadakan pertandingan persahabatan melawan kesebelasan Indonesia All Star di Stadion GBK Jakarta yang mengundang penonton memadati stadion layaknya sebuah pertandingan sepakbola sesungguhnya. Mengapa sebuah program varietas seperti ini dapat menarik penggemar hingga menjadi audiens setia di tengah-tengah banyaknya program varietas lainnya di berbagai stasiun TV di Indonesia? Jika dilihat kembali program varietas merupakan produk unggulan terbaru yang dihasilkan oleh produsen media hiburan dari Korea Selatan sesudah Korean Drama atau K-Drama dan Korean Pop Music (K-Pop) terlebih dulu populer dan mendunia. Sebagai sebuah produk terbaru yang menjadi bagian dari penyebaran budaya populer Korea Selatan (untuk selanjutnya disebut Korea saja) program varietas menyebar ke berbagai negara dan menarik banyak penggemar walaupun baru beberapa tahun saja, seperti Running Man yang berhasil meraih 39 penghargaan sebagai produk hiburan terbaik dan terpopuler dalam beberapa tahun sejak pertama kali diproduksi tahun 2015 (Choe, 2015; Yip, 2013: 1; Whitman, 2013). Melalui program varietas Korea seperti Running Man ini, produsen budaya populer Korea ingin menunjukkan berbagai lokasi indah khas negaranya, makanan lokal dan perilaku serta kebiasaan orang Korea (Yip, 2015) untuk menarik perhatian penonton internasional. Strategi ini sebenarnya juga telah dijalankan oleh berbagai K-Drama yang populer ke seluruh dunia sejak kurang lebih tahun 2002. Karena kepopuleran K-Drama maka nama Korea terangkat dan dikenal ke seluruh dunia termasuk Indonesia (Jung, 2013). Sebagai sebuah produk budaya pop, program varietas ini juga harus memperhatikan selera pasar. Lingkup Permasalahan Seperti telah dikemukakan sebelumnya yang dimaksudkan sebagai para penggemar dalam penelitian ini adalah mereka yang merupakan penonton setia program varietas Running Man, bukan penonton biasa (casual audience) yang menonton bilamana memiliki kesempatan. Perbedaan antara penonton biasa dan penggemar selain pada intensitas menonton tayangan program juga pada intensitas keterlibatan emosi dan intelektual saat menikmati tayangan program yang digemari, karena menonton TV sebagai penggemar melibatkan tingkatan perhatian yang berbeda dari penonton biasa (Jenkins, 1992: 56). Penggemar atau dalam istilah Bahasa Inggris disebut fans (yang merupakan singkatan dari fanatic) memiliki keterlibatan perasaan yang mendalam dengan figur yang ditampilkan oleh media, perasaan mendalam 291 International Conference of Communication, Industry, and Community. Bali, 3-4 Maret 2016 ISBN: 978-602-74139-1-7 tersebut meliputi kekaguman, kecintaan dan memuja segala sesuatu yang berkaitan dengan figur yang mereka tersebut. Karena keterlibatan perasaan penggemar yang mendalam pada figur yang ditampilkan di media maka mereka juga dapat dipengaruhi oleh figur tersebut. Dalam keterlibatan penggemar tersebut ada empat proses tahapan yang akan menggambarkan bagaimana mereka dapat terlibat dan dipengaruhi dengan figur yang ditampilkan media yang disebut dengan istilah media personae. Brown (2015: 259-260) dan Guse (2015) menjelaskan tentang ke empat proses keterlibatan audiens dengan media personae yang meliputi: Transportation (transportasi), Parasocial Interaction (PSI), Identification (identifikasi) dan Worship (pemujaan), ke empat proses yang dijabarkan oleh ke dua ahli tersebut yang akan dibahas dalam penelitian ini dalam kaitannya dengan hubungan yang dibangun oleh penonton yang menggemari Running Man dengan para pemain yang menjadi bintang dalam program varietas tersebut. Tujuan Penelitian Sehingga tujuan penelitian ini dilakukan adalah untuk menganalisa: Bagaimana keterlibatan penggemar program Running Man dengan media personae yang terjadi dilihat melalui empat proses keterlibatan yang meliputi Transportation, Parasocial Interaction (PSI), Identification dan Worship? Dan Bagaimana hubungan semu dapat terbangun antara penggemar program Running Man dengan media personae? Tinjauan Pustaka Keterlibatan Audience (Audience Involvement) Yang dimaksud dengan keterlibatan audiens adalah tingkat respon psikologis dari seseorang terhadap pesan yang dimediasi atau persona/ karakter yang dimediasi, keterlibatan yang dimaksud adalah sebuah proses yang dinamis yang menghubungkan antara mengkonsumsi media dan memproduksi bersama (co produksi) media melalui interaksi termediasi (Brown, 2015). Konsep tentang keterlibatan dalam riset komunikasi yang berakar pada ilmu sosial memfokuskan perhatian terutama pada pengalaman individual mengkonsumsi media bukan pada pengalaman secara kolektif atau pada mereka yang bersama-sama mengkonsumsi media. Rubin & Perse (1987) menjelaskan bahwa keterlibatan meliputi aspek-aspek kognitif, afektif dan partisipasi behavioral karena terpaan media (media exposure). Transportation Dalam proses pertama yang termasuk dalam keterlibatan audiens ini menjelaskan tentang bagaimana audiens/ penonton terlibat dalam narasi yang sedang ditampilkan di media oleh figur yang tampil (media personae). Transportasi yang dimaksud di sini adalah keterlibatan (penonton) dengan cerita dan keterlibatan dengan karakter yang ada dalam cerita (Green & Brock dalam Brown, 2015). Yang terjadi di sini adalah penonton/ audiens begitu ikut terlibat 292 International Conference of Communication, Industry, and Community. Bali, 3-4 Maret 2016 ISBN: 978-602-74139-1-7 dalam cerita/ narasi seolah-olah mereka sendiri yang sedang berperan dalam cerita yang sedang ditampilkan di media. Dalam proses transportasi ini, audiens atau penonton terlibat secara emosional dan psikologis dengan narasi/ cerita dan karakter yang ada di dalamnya dan audiens sering berimajinasi bahwa mereka sendiri berada di hadapan media personae (figur/ karakter yang ditampilkan dalam narasi). Parasocial Interaction/ PSI (Interaksi Parasosial) dan Kaitannya dengan Hubungan Semu Konsep Parasocial Interaction (PSI) atau Interaksi Parasosial menjadi sebuah konsep yang dipahami dalam ranah ilmu komunikasi dan studi media setelah diperkenalkan oleh Horton dan Wohl dalam artikel mereka di tahun 1956. Menurut ke dua ahli tersebut pemahaman tentang PSI pada awalnya adalah seperti interaksi tatap muka yang dapat terjadi antara karakter yang ada di media dengan audiensnya (Ballantine & Martin, 2005: 198). Audiens yang dimaksud adalah penonton atau pengguna media massa sedangkan karakter yang ada di media dapat meliputi penyiar, artis dan aktor maupun selebritis. Karakteristik dari PSI antara lain bersifat komunikasi satu arah/ non dialektik, dikontrol oleh figur yang tampil di media, penonton dapat menarik diri kapan saja dari hubungan tersebut dan bebas memilih bentuk hubungan berbeda yang ditawarkan (Laken,2009: 6). Bentuk hubungan berbeda misalnya dengan menganggap figur yang tampil di media sebagai anggota keluarga, kekasih, teman sahabat bahkan musuh. Sedangkan komunikasi satu arah atau non dialektik yang dimaksud di sini adalah komunikasi yang terjadi hanya dari pihak figur yang ditampilkan di media yang mengetengahkan sebuah narasi dan mengkontrol narasi yang dikirimkan melalui media kepada audiens. Oleh karena itu fFigur yang tampil di media menjadi seolah-olah dikenal dekat oleh audiens karena narasi yang ditampilkannya disukai, dinikmati dan dipahami oleh audiens (Ruddock, 2007: 125). Sehingga Parasocial Interaction (PSI) jika ditilik secara harfiah dari asal katanya dalam bahasa Indonesia, para- artinya bukan atau di luar atau melampaui, sedangkan sosial berarti kumpulan orang-orang atau masyarakat, jadi PSI adalah sebuah interaksi atau hubungan yang bukan dibangun dengan orang (lain) atau dapat dikatakan sebuah hubungan yang semu. Media Personae Konsep media personae tidak dapat dipisahkan dari diskusi tentang PSI karena istilah personae adalah bagian dari konsep parasosial. Personae adalah karakter fiksi yang ditampilkan di media yaitu figur yang dengan siapa penggemar membangun hubungan parasosial dan personae hadir bagi audiens hanya dalam interaksi atau hubungan parasosial (Laken, 2009 :7). Horton dan Wohl (1956) menjelaskan bahwa personae tidak ada dalam bentuk hubungan sosial yang lain di luar media. Audiens mengenal personae seolah mengenal teman sendiri dan hal itu diperoleh dari pengamatan dan interpretasi langsung 293 International Conference of Communication, Industry, and Community. Bali, 3-4 Maret 2016 ISBN: 978-602-74139-1-7 dari penampilan personae (di media), gerakan tubuh dan suara serta percakapan dan tingkah laku dalam beragam situasi. C.G. Jung sebagaimana dikutip Brown (2015: 261) mendefinisikan personae sebagai aktor atau pejabat terkenal, selebritis, peran sosial dan citra seseorang. Lebih lanjut Brown juga mendefinisikan bahwa personae dapat juga tokoh nyata atau fiksi yang dijumpai melalui berbagai bentuk interaksi yang dimediasi (interaksi secara tidak langsung atau melalui media). Sehingga dapat dikatakan bahwa yang dimaksud dengan media personae adalah selebritis atau tokoh/ figur baik nyata maupun imajinatif yang menjadi karakter dalam suatu narasi/ cerita yang digemari oleh penonton/ audiens. Identification Dalam proses Identifikasi ini yang terjadi adalah adaptasi dari perilaku yang dilakukan oleh media personae oleh audiens, karena dalam tahap ini terjadi pengaruh sosial di mana ada internalisasi tingkah laku, kepercayaan (beliefs) dan nilai dari obyek yang diidentifikasikan yaitu media personae kepada audiens dalam hal ini adalah penonton. Proses identifikasi terjadi jika penonton mengambil peran media personae sehingga ada perasaan kedekatan dan hubungan emosional dengan karakter/ figure yang ditampilkan di media (Cohen dalam Brown, 2015). Lebih lanjut dijelaskan bahwa dalam proses identifikasi terjadi dengan cepat dan cepat berlalu dengan intensitas yang berbeda-beda. Selama proses ini audiens membayangkan diri sendirilah yang menjadi karakter itu dan menggantikan identitas pribadinya sesuai dengan peran karakter yang ada dalam narasi/ cerita. mereka ingin meniru satu atau lebih kualitas yang ditunjukkan oleh karakter. Worship Dalam proses ini yang diamati adalah keterlibatan penonton dengan media personae yang begitu kuat di mana penonton memandang bahwa selebritis atau media personae dengan status dan perhatian yang kurang lebih sama dengan yang seharusnya diberikan kepada Tuhan. Hal ini terjadi karena penonton yang merupakan konsumen media cenderung mengidolakan selebritis personae hingga pada tingkatan di mana keterlibatan tersebut sudah sama tingkatannya dengan pemujaan/ penyembahan (worship). Dalam proses worship ini Maltby, Giles et al (2005) membagi pemujaan (worship) kepada selebritis/ media personae dalam tiga tingkatan : tingkatan rendah (low level) berfokus pada nilai hiburan – sosial darimedia personae, seperti mengikuti kehidupannya melalui media, membicarakan tentang selebritis yang dipujanya dengan orang lain dan senang berkumpul bersama orang lain yang memiliki ketertarikan yang sama dengan media personae yang dipuja. Tingkatan menengah fokus pada intensitas perasaan pribadi yang dimiliki audiens terhadap media personae atau selebritis yang dikagumi, misalnya dengan menganggap dan berpikir bahwa sang selebritis adalah pasangan hidupnya atau menjadi orang yang terobsesi dengan hal-hal mendetil tentang kehidupan pribadi 294 International Conference of Communication, Industry, and Community. Bali, 3-4 Maret 2016 ISBN: 978-602-74139-1-7 sang selebritis. Tingkatan ke tiga adalah tingkatan yang abnormal dan berbahaya karena kesediaan audiens melakukan apapun untuk menyenangkan media personae. Metodologi Penelitian ini dilakukan dengan menggunakan pendekatan kualitatif dengan metode deskriptif. Adapun metode pengumpulan data dilakukan dengan melakukan in depth interview kepada para informan dalam penelitian ini, yaitu anak muda dan remaja yang menjadi penggemar Running Man dan setia selalu menonton setiap tayangannya bahkan beberapa orang diantara informan sudah menonton program ini sejak pertama kali ditayangkan di Indonesia. Selain itu peneliti juga melakukan observasi non partisipan di mana peneliti ikut menonton program tayangan bersama dengan informan secara terpisah untuk mendapatkan gambaran dengan lebih jelas bagaimana keterlibatan informan secara emosional dan psikologis dengan pemain selama tayangan. Adapun jumlah informan dalam penelitian ini sebanyak empat orang. Penggemar yang diwawancarai dalam penelitian ini juga pernah menonton acara Running Man Fan Meeting dan Asia Dream Cup di Jakarta tahun 2014 yang lalu. Hasil Temuan dan Diskusi Dalam bagian ini secara umum akan dijelaskan temuan yang didapatkan peneliti mengenai gambaran keterlibatan audiens dengan media personae yaitu selebritis yang menjadi pemain dalam program varietas Running Man. Informan 1 : NAL Perempuan, berusia 17 tahun dan berdomisili di Jakarta Selatan, saat ini menjadi siswa kelas XI sebuah SMA swasta. NAL sudah lama menjadi penggemar K-Pop terutama grup boyband seperti EXO, Big Bang dan BTS. Menonton program Running Man sejak awal secara tidak sengaja karena selalu memutar saluran TV berbayar di stasiun khusus yang menyiarkan acara-acara dan konser K-Pop dan saat ada pengumuman acara baru NAL mencoba menonton dan langsung menyukai. Menurut NAL pemain yang paling disukai dan menjadi idolanya adalah Jong Kook yang pura-pura hebat dan Gary yang sangat lucu dan bodoh karena selalu tertipu pemain lain. Saat menonton NAL sering berteriak-teriak memberi arahan dan komentar kepada pemain sambil bertepuk tangan. NAL belum pernah mengunjungi Korea karena itulah ia senang dengan pemandangan yang menjadi lokasi shooting Running Man yang selalu berganti-ganti. NAL memiliki keinginan berkunjung ke Korea dan mendatangi tempat-tempat shooting tersebut. NAL ingin memiliki pacar seperti Gary yang kocak dan bercita-cita ikut acara Fan Meeting jika Running Man kembali berkunjung ke Jakarta. 295 International Conference of Communication, Industry, and Community. Bali, 3-4 Maret 2016 ISBN: 978-602-74139-1-7 Informan 2: EW Laki-laki berusia 19 tahun, berdomisili di Bogor, saat ini menjadi mahasiswa semester 4 di sebuah PTS. EW mengaku menyukai program Running Man karena idolanya Yoona salah satu anggota girlband SNSD menjadi bintang tamu. Menurut EW dia baru mengetahui bahwa Yoona adalah seorang yang lucu, sporty dan bisa melawak setelah menonton acara Running Man ini. Sejak menonton Yoona menjadi bintang tamu dalam program ini EW lalu menjadi penggemar setia Running Man. Bahkan EW membeli kaos souvenir resmi secara online saat Running Man berkunjung ke Indonesia. EW paling menyukai Song Jihyo di antara para pemain tetap Running Man karena menurut dia Jihyo dapat mengimbangi pemain laki-laki saat berlomba dalam setiap games yang diadakan. Saat menonton EW hanya sesekali mengomentari kecurangan yang dilakukan oleh para pemain, EW sangat terhibur dengan tayangan Running Man karena permainan yang dinilainya sering aneh-aneh. Informan 3 : EV Perempuan, berusia 17 tahun berdomisili di Jakarta Barat dan saat ini masih menjadi siswa kelas XI. EV merupakan teman les dari NAL dan mereka berdua sama-sama menggemari Running Man sehingga setiap kali mereka bertemu saat les, EV dan NAL selalu berdiskusi tentang program Running Man yang baru mereka saksikan. EV awalnya adalah penggemar K-Drama karena mamanya adalah penggemar setia film drama seri Korea, karena mendengar lagu-lagu sound track film drama EV lalu menggemari K-Pop. Idola EV adalah Shinee dan Super Junior. Sama dengan NAL, EV menonton Running Man sejak pertama kali tayang karena dia sudah terlebih dulu setia menonton stasiun yang memutar program Running Man. EV mengkoleksi kaos-kaos resmi Running Man, ia juga ikut menonton pertandingan persahabatan di GBK antara Indonesian All Stars dengan tim Running Man. EV mengidolakan Song Joongki yang menurut dia sangat tampan dan pintar. EV juga berencana kuliah ke Korea agar dapat bertemu dengan idolanya tersebut dan berharap dapat menjadi pacar Song Joongki. Informan 4: VY Perempuan berusia 19 tahun berdomisili di Bandung saat ini menjadi mahasiswa program D3 di sebuah kampus swasta di Jakarta. VY menggemari acara Running Man sesudah menonton bersama teman-teman kampusnya, sebelumnya VY tidak terlalu mempedulikan K-Pop walaupun saat itu sedang populer. VY mengidolakan Haha di antara pemain Running Man lainnya karena menurut dia Haha adalah personil yang paling lucu di antara yang lain. VY juga menilai bahwa Haha adalah yang pemain yang paling tampan dibanding pemain Running Man lainnya. VY selalu menonton acara Running Man di antara kesibukannya belajar. Di kamarnya VY memiliki beberapa poster bergambar para pemain Running Man yang ditempel di dinding. Saat menonton VY sering kali berteriakteriak dan tertawa terbahak-bahak melihat permainan para personil Running Man terutama Haha yang diidolakannya. 296 International Conference of Communication, Industry, and Community. Bali, 3-4 Maret 2016 ISBN: 978-602-74139-1-7 Simpulan Hasil penelitian menunjukkan bahwa keterlibatan audiens dengan media personae lebih pada proses transportation, identification dan low level worship, sedangkan Parasocial Interaction hanya terjadi pada informan perempuan.Untuk mendapatkan gambaran tentang pola keterlibatan audiens sebaiknya ada penelitian tentang ke empat proses dengan responden lebih banyak dan metode kuantitatif sehingga akan tampak jelas pola keterlibatan penggemar yang ada di Indonesia dengan selebritis yang menjadi media personae dan tingkat kedalaman masing-masing proses dapat terlihat lebih jelas. Daftar Pustaka Aquina, Dwifantya. (2015, 11 Februari). Running Man New Season Tayang di RTV Pekan Ini. Diambil dari http://rtv.co.id/read/entertainment/1825/running-man-new-season-tayang-dirtv-pekan-ini Aquina, Dwifantya. (2015, 14 Februari). Running Man New Season Hadir di RTV Hari Ini. Diambil dari http://rtv.co.id/read/entertainment/1884/running-mannew-season-hadir-di-rtv-hari-ini Ballantine, Paul W & Martin, Brett AS. (2005). Forming Parasocial Relationship in Online Communities. NA – Advances in Consumer Research Volume 32, eds. Geeta Menon and Akshay R. Rao, Duluth, MN : Association for Consumer Research Biany. (2015). Hello, Running Man. Diambil dari https://www.users.miamioh.edu/BIANY2/IM5201 Bordelon, Lance. (2014). “Les Miserables: Twitter Revolution” A Study of Fan Activity, Parasocial Relationship and Audience- Persona Interaction. Thesis Master. The Manship School of Mass Communication, Louisiana State University Brown, William J. (2015). Examining Four Processes of Audience Involvement With Media Personae : Transportation, Parasocial Interaction, Identification, and Worship. Journal of Communication Theory, Vol. 25 No. 3, August 2015 Choe, Grace. (2015). PAS 6 : Running Man. https://sites.psu.edu/rclyunieverse/2015/10/08/pas-6-running-man Dwihadiah, Desideria L. (2015). Media dan Imperialisme Budaya: Studi pada Subkultur Penggemar K-Pop di Indonesia. Universitas Indonesia: Program Pasca Sarjana Departemen Ilmu Komunikasi Dwihadiah, Desideria L.& Mayasari, Fitria. (2014). The Influence of Korean Pop Music (K-Pop) Towards Y Generation in Indonesia.. Jakarta: Universitas Indonesia & Universitas Pelita Harapan, The 4th Korean Studies Association of Southeast Asia International Conference,18-20 January 2014 Epstein, Joseph. 2005. Celebrity Culture. The Hedgehog Review, Vol. 7 No.1 297 International Conference of Communication, Industry, and Community. Bali, 3-4 Maret 2016 ISBN: 978-602-74139-1-7 Gailbraith, Patrick W & Karlin, Jason G. (2012). Introduction: The Mirror of Idols and Celebrity. In Gailbraith, Patrick W & Karlin, Jason G (Eds), Idols and Celebrity in Japanese Media Culture. New York: Palgrave MacMillan Guse, Emily M. (2015). Extending the Examination of Audience Involvement with Media Personae. Journal of Communication Theory. Vo. 25 No. 3, Aug 2015 Hakim, Faturrahman.(2015, 14 Desember). K-Pop Bantu Talenta Muda Indonesia dalam Bermusik. Koransindo.com Hallyu: The Flow and Spread of Korea: Korean Pop Music. (n.d.). Diambil dari http://sites.duke.edu/hallyu/korean-pop-music/ Hong, Euny. 2014. The Birth of Korean Cool: How One Nation is Conquering The World Through Pop Culture. New York: Picador Books Karlin, Jason G. (2012).Through a Looking Glass Darkly: Television Advertising, Idols and The Making of Fan Audiences. In Gailbraith, Patrick W. & Karlin, Jason G (Eds), Idols and Celebrity in Japanese Media Culture. New York: Palgrave MacMillan Kertapati, Lesthia & Tasya Paramitha. (2014, 25 Oktober). Taman Safari Indonesia, Episode Favorit Bintang Running Man. http://life.viva.co.id/news/read/551522-taman-safari--indonesia--episodefavorit-bintang-running-man Kim, Myung O.& Jaffe, Sam. (2013). The New Korea: Mengungkap Kebangkitan Ekonomi Korea Selatan. Jakarta: Elex Media Komputindo Kim, Regina.(2011). South Korean Cultural Diplomacy and Efforts to Promote The ROK’s Brand Image in The United States and Around The World. Stanford Journal of East Asian Affairs, Vol. 11 No.1 Laken, Amanda. (2009). Parasocial Relationships with Celebrities: An Illusion of Intimacy.Thesis Master. Las Vegas: University of Nevada. Leung, Sarah. (2012). Catching The K-Pop Wave: Globality in The Production, Distribution, and Consumption of South Korean Popular Music. Senior Capstone Project. New York: Vassar College Maltby, J, Giles, DC, Barber, L & McCutcheon, LE. (2005). Intense-Personal Celebrity Worship and Body Image.: Evidence of A Link Among Female Adolescents. British Journal of Health Psychology, Vol. 10, p. 17-32 Marboen, Ade. (2015, 14 Desember). Badan Ekonomi Kreatif Akan Kawal Investor Korea Selatan. Antaranews.com Nugroho, Suray A. (2011). Apresiasi K-pop di Kalangan Generasi Muda Yogyakarta: Studi Kasus Pengunjung K-Pop Festival UKDW 2010. Diambil dari http://www.academia.edu. Oh, Ingyu & Lee, Hyo Jung. (2013). K-Pop in Korea: How The Pop Music Industry is Changing A Post-Developmental Society. Cross Current: East Asian History and Culture Review E-Journal, No. 9. California: Berkeley. Rubin, RB & Perse, EM. (1987). Audience Activity and Soap Opera Involvement : A Uses and Gratifications Involvement. Human Communication Research Vol. 14, 246 -268 Ruddock, Andy. (2007). Investigating Audiences. London: Sage Publications 298 International Conference of Communication, Industry, and Community. Bali, 3-4 Maret 2016 ISBN: 978-602-74139-1-7 Siriyuvasak, U & Hyunjoon,Shin. (2007). Asianizing K-Pop: Production, Consumption and Identification Patterns Among Thai Youth. Inter-Asia Cultural Studies 8:1 (2007): 109-36 Sun Jung. (2013, 18 Oktober). Social Distribution: K-pop Fan Practices in Indonesia and the “Gangnam Style” Phenomenon. International Journal of Cultural Studies Sun Jung. 2011. Race and Ethnicity In Fandom: Praxis. Artikel dalam Jurnal Transformative Works and Cultures, Vol. 8 tahun 2011, diakses dari http://journal.transformativeworks.com/index.php/twc/rt, Diakses 26 Juni 2013 Whitman, Allie. (2013, 20 November). Kolor Me Korean: Korean Variety Show Games. https://sites.psu.edu/alliewhitmanrcl/2013/11/20/korean-varietyshow-games Yang, Danni. (2015). The Introduction of South Korean Reality Shows in The Chinese Market (thesis master). Diambil dari https://idea.library.drexel.edu/.../ introduction Yip, Wai Yee. (2013, 24 Oktober). The Winning Formula for Running Man’s Roaring Success. http://www.straitstimes.com/lifestyle/entertainment/fromthe-straits-times-archives-the-winning-formula-for-running-mans-roaring Yip, Wan Yee (Willa). (2015). Entertainment Ideological of Reality Show – Running Man. Diambil dari www.academia.edu 5 Variety Show Korea yang Terkenal di Indonesia. (n.d). Diambil dari: https://www.selasar.com/budaya/5-variety-show-korea-yang-terkenal-diindonesia Biografi Penulis Penulis adalah dosen tetap di Jurusan Ilmu Komunikasi, FISIP Universitas Pelita Harapan dan sudah mengabdi di tempat yang sama sejak tahun 1999 sebagai dosen tidak tetap hingga tahun 2001, dan akhirnya menjadi dosen tetap sejak tahun 2002. Sebelumnya penulis berkarier di sebuah perusahaan minuman berskala internasional. Latar belakang pendidikan penulis: Sarjana Linguistik dari Jurusan Bahasa & Sastra Inggris, FISIP Universitas Airlangga, Magister Sains dari Program Manajemen Komunikasi, FISIP Universitas Indonesia dan Doktor Ilmu Komunikasi dari Departemen Ilmu Komunikasi, FISIP Universitas Indonesia. Ketertarikan pada budaya populer Korea membuat penulis melakukan berbagai penelitian yang berfokus pada produk budaya pop Korea dan sejak tahun 2007 mempresentasikan penelitian yang dibuatnya baik di Sydney, Jakarta dan Dubai. Tahun 2015 penulis diangkat sebagai Presiden untuk Regional Indonesia bagi World Association for Hallyu Studies (WAHS), sebuah asosiasi yang berpusat di Seoul, Korea dan beranggotakan para peneliti dan akademisi yang memfokuskan perhatiannya pada pengaruh Hallyu ke seluruh dunia dalam berbagai bidang termasuk bidang komunikasi. 299 International Conference of Communication, Industry, and Community. Bali, 3-4 Maret 2016 ISBN: 978-602-74139-1-7 PENGUKURAN AFEK (MOOD) SECARA KUANTITATIF SEBAGAI MOTIVASI INDIVIDU DALAM MENGKONSUMSI MEDIA HIBURAN INTERAKTIF Mochammad Kresna N Universitas Indonesia [email protected] Abstract One person's motivation in consuming entertainment media is to set the mood, as proposed in theory by Peter Vorderer entertainment media. For example, when someone was in a bad mood often encountered individuals listen to music to set the mood. In regulating mood by Peter Vorderer not always change the mood sad perk but in regulating mood also possible to maintain the feeling of sadness to protracted or maintain a feeling of joy. In the book Theory of Mass Communication Baran and Davis (2009) that there is limited research in proving Mood Management Theory (Theory of Management Mood) that can only be done by an experimental method because it is considered quite difficult to define the limits a person's mood. Disadvantages of experimental methods compared to the survey in general can only test a small amount of treatment (treatment) so it is difficult to test a number of variables and the relationship between the variables that influence each other in a theoretical model. But the researchers found in the journal of psychology how to measure quantitatively mood, so the research on motivation in consuming entertainment media can be done by survey method to test a certain theoretical models that will be presented in this discussion. Keywords: media interactive, media consumption motivation, communication theory Abstrak Salah satu motivasi seseorang dalam mengkonsumsi media hiburan adalah untuk mengatur suasana hatinya, seperti yang dikemukakan dalam teori media entertainment oleh Peter Vorderer. Sebagai contoh, ketika suasana hati seseorang sedang buruk sering dijumpai individu tersebut mendengarkan musik untuk mengatur suasana hatinya. Dalam mengatur suasana hati menurut Peter Vorderer tidak selalu merubah suasana hati yang sedih menjadi gembira namun dalam mengatur suasana hati juga dimungkinkan menjaga perasaan sedih sampai berlarut-larut atau mempertahankan perasaan gembira. Di dalam buku Teori Komunikasi Massa Baran dan Davis (2009) bahwa terdapat keterbatasan penelitian dalam membuktikan Mood Management Theory (Teori Manajemen Suasana Hati) yang hanya bisa dilakukan dengan metode eksperimen karena dinilai cukup sulit untuk mendefinisikan batasan suasana hati seseorang. Kekurangan metode eksperimen dibandingkan dengan survey pada umumnya hanya bisa menguji sejumlah kecil perlakuan (treatment) sehingga sulit untuk menguji sejumlah variabel dan hubungan di antara variabel yang saling mempengaruhi dalam suatu model teoritik. Namun peneliti menemukan dalam 300 International Conference of Communication, Industry, and Community. Bali, 3-4 Maret 2016 ISBN: 978-602-74139-1-7 jurnal ilmu psikologi bagaimana mengukur suasana hati secara kuantitatif, sehingga penelitian mengenai motivasi dalam mengkonsumsi media hiburan dapat dilakukan dengan metode survey untuk menguji sebuah model teoritik tertentu yang akan disajikan dalam pembahasan ini. Kata Kunci: media interaktif, motivasi konsumsi media, teori komunikasi Pendahuluan Salah satu kebutuhan manusia dalam hidup adalah kebutuhan akan hiburan. Menurut Sayre hiburan bisa didapatkan baik secara langsung seperti menonton konser musik secara live maupun melalui media seperti menonton acara di televisi, bermain video game dan mendengarkan musik melalui radio (Sayre, 2002: 2). Apabila berbicara mengenai entertainment atau hiburan dalam konteks teori media dan masyarakat maka tidak boleh dilupakan bahwa entertainment merupakan salah satu tugas atau fungsi media dalam masyarakat (Mc Quail, 2010: 99), selain itu juga perlu diingat kembali sejarahnya bahwa salah satu dari empat fungsi utama dari komunikasi yang disempurnakan oleh Wright (1960) adalah hiburan/ entertainment. Hal itu mengapa fungsi media sebagai penyedia hiburan menjadi penting untuk diteliti. Salah satu teori dalam ilmu komunikasi yang membahas mengenai hiburan melalui media adalah Teori Media Entertainment. Melalui model teori media entertainment yang dikemukakan oleh Peter Vorderer terdapat beberapa hal yang menjadi motivasi seseorang ketika mengkonsumsi materi hiburan untuk mendapatkan enjoyment atau kenikmatan melalui media, yaitu: escapism, mood management serta achievement dan competition. Namun metode penelitian dalam membuktikan motivasi mood management ketika mengkonsumsi hiburan melalui media masih terbatas pada metode eksperimen karena terdapat beberapa asumsi dari para ahli yang menggap sulit untuk mengkuantifikasi perasaan seseorang. Studi mengenai mood management sebagai motivasi seseorang dalam mengkonsumsi media hiburan pada umumnya menggunakan bentuk penelitian eksperimen. Namun metode eksperimen memiliki kelemahan hanya bisa menguji satu atau dua buah variabel untuk melahirkan sebuah model. Selain itu juga sengaja diberikan sejumlah perlakuan (treatment) sehingga tidak sesuai dengan realitas yang terjadi di lapangan. Pada pembahasan mengenai mood management kali ini peneliti memilih untuk menggunakan metode survey karena lebih memungkinkan peneliti untuk menguji sejumlah variabel dan hubungan di antara variabel yang mempengaruhi enjoyment experiences dalam suatu model teoritik. Dengan menggunakan survei maka peneliti bisa menguji lebih banyak variabel yang mempengaruhi enjoyment experiences dalam mengkonsumsi media hiburan. Penggunaan metode ini bukan tanpa dasar, berawal dari model sirkumfleks afek yang dikemukakan oleh James A. Russel (Russel, 1980: 1161) dengan pengembangan dari peneliti maka perasaan seseorang sangat mungkin dikuantifikasi lewat penalaran kognitif. Pada penelitian ini sampel yang dipilih adalah mahasiswa dengan media hiburan yang dipilih adalah video game, pertimbangannya adalah penelitian tentang media interaktif masih perlu banyak 301 International Conference of Communication, Industry, and Community. Bali, 3-4 Maret 2016 ISBN: 978-602-74139-1-7 dilakukan pengembangan dibandingkan dengan media non interaktif yang sudah lebih banyak dilakukan, karena kehadirannya yang lebih awal dibandingkan media interaktif. Tinjauan Pustaka Media Entertainment Banyak teori yang mengulas media dan dampaknya seperti hypordemic theory, uses and gratifications theory, cultivation theory dan lain sebagainya. Sebagian besar membahas dampak dari media namun belum banyak pembahasan yang terjadi ketika mengkonsumsi media. Seperti kenapa seorang individu bisa menghabiskan waktu berjam-jam bahkan berhari-hari untuk bermain game, kenapa seseorang lebih memanfaatkan waktunya untuk menonton sinetron di televisi atau sekedar mendengarkan musik. Salah satu teori yang bisa menjelaskan hal ini adalah teori media entertainment. Seperti pada judul diatas bahwa enjoyment atau kenikmatan adalah inti dari media entertainment. Ketika seseorang lebih memilih menonton acara hiburan, bermain game dan lain sebagainya yang berkaitan didalamnya maka dijelaskan dalam teori ini ketika mengkonsumsi sebuah media terjadi sensasi kenikmatan (pleasure/ enjoyment) di dalamnya. Motivasi seseorang mengkonsumsi media untuk mendapatkan enjoyment tersebut diantaranya: 1. Escapism, seseorang ingin mengkonsumsi media bisa jadi karena ingin mencari pelarian dari kepenatan dan rutinitas sehari-hari, yang akrab di masyarakat Indonesia dengan kata-kata seperti “mau cari hiburan, bosen”. 2. Mood management, berikutnya seseorang mengkonsumsi media juga karena ingin mengatur “mood” atau suasana hatinya. Contohnya ketika menonton sebuah acara humor bisa jadi mood yang sedang kesal berubah menjadi senang atau ketika kita mendengarkan lagu ketika sedang sedih dan terus larut dalam kesedihan bersama lagu tersebut. 3. Seseorang mengkonsumsi media karena kompetisi, pembuktian diri atau meraih sebuah pencapaian. Contohnya seseorang yang bermain game untuk mencapai poin dan tingkat kesulitan tertentu. Mengukur Afek Secara Kuantitatif Menurut Stephen Robbins afek adalah sebuah istilah umum yang mencakup beragam perasaan yang dialami orang. Afek adalah sebuah konsep yang meliputi baik emosi maupun suasana hati (mood). Emosi adalah perasaanperasaan intens yang ditujukan kepada sesorang atau sesuatu. Suasana hati (mood) adalah perasaan-perasaan yang cenderung kurang intens dibandingkan emosi dan seringkali tanpa rangsangan konstektual. Berikut tabel penjelasan yang lebih rinci untuk melihat perbedaan keduanya: 302 International Conference of Communication, Industry, and Community. Bali, 3-4 Maret 2016 ISBN: 978-602-74139-1-7 No Emosi No Suasana Hati (Mood) 1 Disebabkan oleh kejadian 1 Sebabnya seringkali umum & spesifik tidak jelas 2 Sangat cepat dalam durasi detik 2 Lebih lama dari emosi (jam atau atau menit hari) 3 Bersifat spesifik dan banyak 3 Lebih umum 4 Disertai oleh ekspresi wajah yang 4 Tidak disertai oleh ekspresi yang jelas jelas. 5 Bersifat berorientasi tindakan 5 Bersifat Kognitif Tabel 1. Perbedaan Emosi dan Mood Model afek ini dihadirkan sebagai cara untuk ahli psikologi agar dapat menghadirkan kembali struktur dari pengalaman afektif sebagai representasi dari struktur kognitif yang orang awam gunakan dalam mendefinisikan afek. Bukti yang mendukung diperoleh dengan memasukkan 28 kata sifat yang merujuk kepada afek. Keadaan-keadaan afektif tidak bersifat independen antara satu dengan yang lain, akan tetapi terlihat berhubungan dalam sebuah sistem. Tidak hanya itu, seringkali struktur yang sama juga akan digunakan dalam menafsirkan bukti non-verbal terkait keadaan afektif, yang mencakup ekspresi wajah, nada bicara, kesalahan pengucapan, tindakan jelas, muka yang memerah atau tanda apapun yang dapat memunculkan petunjuk. Struktur kognitif tersebut juga akan digunakan dalam mendefinisikan dan melaporkan keadaan perasaan seseorang. Contoh sederhananya adalah petunjuk kognitif mata melotot, muka memerah adalah untuk menggambarkan afek marah. Pada awalnya James A. Russel membagi 8 (delapan) kata-kata yang menggambarkan afek menjadi 4 kuadran seperti gambar yang ada pada halaman selanjutnya: Gambar 1: Kata yang Menggambarkan Afek 303 International Conference of Communication, Industry, and Community. Bali, 3-4 Maret 2016 ISBN: 978-602-74139-1-7 Dalam menggambarkan perasaan tidak hanya terbatas pada 8 atau 28 kata, namun berjumlah 512 kata. Seluruh 512 kata tersebut dikategorikan dengan melakukan FGD dan analisis faktor sehingga terbagi menjadi 4 kuadran dan beberapa kata seperti yang ada di bawah ini: Gambar 2: Model yang telah di sempurnakan Berbekal dari Jurnal A Circumplex Model of Affect dan bahan kuliah dari Prof. Dr. Umi Narimawati, M.Si. maka peneliti membuat dimensi dan indikator variabel mood management yang terangkum dalam tabel di bawah ini: Variabel Dimensi Indikator Tegang Gugup Arousal Tertekan Marah Awas Mood Management Theory Senang Teori manajemen suasana hati Pleasure Gembira (Zillmann, 2003) memprediksi Bahagia bahwa individu akan memilih konten media yang menjanjikan Puas untuk mengoptimalkan suasana Tenteram Sleepiness hati mereka. Mengoptimalkan Rileks bisa menjadi perasaan tersebut Tenang lebih dalam atau merubahnya. Sedih Depresi Bosan Misery Capai 304 International Conference of Communication, Industry, and Community. Bali, 3-4 Maret 2016 ISBN: 978-602-74139-1-7 Contoh pertanyaan dalam kuesioner: 1. Suasana hati saya saat ini sedang sedih, saya bermain game agar saya: a. tetap merasa sedih seperti saat saya sebelum bermain game (Skor 1) b. merasa lebih sedih dari sebelumnya (Skor 2) c. tidak merasa sedih lagi (Skor 3) Tabel 2. Operasionalisasi Konsep Mood Management Dalam menuangkan variabel yang ada ke dalam pertanyaan kuesioner, peneliti kembali kepada definisi operasional teori manajemen suasana hati yaitu apabila seseorang mengoptimalkan atau merubah suasana hatinya tentu akan mendapatkan skor yang lebih tinggi daripada mempertahankan suasana hati yang sama. Metodologi Peneliti akan menggunakan metode yang berbeda dalam penelitian ini untuk menyempurnakan dan menguji kembali model yang sudah ada, apakah juga sesuai apabila diterapkan pada kultur di Indonesia. Penelitian ini masih ada pada tahap uji validitas dan reliabilitas kepada 30 responden, menggunakan paradigma positivistik dan pendekatan kuantitatif (survey) untuk menunjukkan variabel-variabel yang diteliti dan menguji relavansi suatu teori. Pertimbangannya yang pertama, metode survei lebih memungkinkan peneliti untuk menguji sejumlah variabel dan hubungan di antara variabel yang mempengaruhi enjoyment experiences dalam suatu model teoritik. Apabila dibandingkan dengan metode eksperimen pada umumnya hanya bisa menguji sejumlah kecil perlakuan (treatment) dan juga variabel-variabel lain diluar variabel teoritik. Nantinya populasi dalam penelitian ini populasinya adalah Mahasiswa di wilayah DKI Jakarta. Mahasiswa dipilih untuk mewakili remaja di Jakarta karena menurut Pardede (Pardede, 2002: 138), masa remaja akhir ditandai dengan persiapan untuk peran sebagai orang dewasa, termasuk klarifikasi tujuan pekerjaan dan internalisasi suatu sistem nilai pribadi sehingga mahasiswa dipandang paling tepat untuk mewakili remaja tahap akhir dengan usia maksimal 21 tahun. Selain itu, apabila diterapkan indikator mood tersebut pada usia remaja akan lebih valid dan reliabel daripada diterapkan kepada anak-anak. Uji validitas dan reliabilitas dilakukan dengan bantuan perangkat lunak SPSS 19. Uji validitas dengan melihat Product Moment Correlation dan uji reliabilitas dengan melihat nilai Alpha Cornbach harus lebih besar dari 0,5. Hasil Temuan dan Diskusi Dari 16 indikator mood management kesemuanya lulus uji reliabilitas dengan nilai Alpha Cornbach sebesar 0,743. Namun dari 16 indikator hanya 11 indikator saja yang valid. Selanjutnya, ketika ke 5 indikator tersebut dihilangkan 305 International Conference of Communication, Industry, and Community. Bali, 3-4 Maret 2016 ISBN: 978-602-74139-1-7 reliabilitasnya meningkat menjadi sebesar 0,840. Lima indikator tersebut adalah afek awas, tegang, sedih, depresi dan bosan. Berdasarkan hasil Focus Group Discussion (FGD) dan catatan dari responden peserta uji validitas dan reliabilitas indikator awas dan tegang menjadi tidak valid karena responden tidak mengetahui maksud dari kata awas dan lebih baik diganti menjadi waspada. Berikutnya afek tegang menjadi tidak valid dalam penelitian ini karena mereka bermain game untuk mendapatkan sensasi ketegangan bukan karena sebelumnya mereka sudah merasa tegang. Untuk indikator sedih, depresi dan bosan terletak pada satu dimensi yaitu misery atau kesedihan yang asumsinya untuk mengatur suasana hatinya mereka lebih memilih media lain seperti mendengarkan lagu atau menonton film. Apabila hanya berhenti pada uji validitas dan reliabilitas saja tentunya masih belum menjawab bagaimana jika indikator yang valid dan reliabel dari mood management dan escapism diregresikan dengan variabel enjoyment untuk melihat pengaruhnya demi menguji kebenaran sebuah teori. Berikut tabelnya: Model 1 R .220a Model Summary Adjusted R R Square Square .048 .014 Std. Error of the Estimate 12.43691 ANOVAb 1 Sum of Squares df Mean Square F Sig. 220.019 1 220.019 1.422 .243a 4330.948 28 154.677 4550.967 29 a. Predictors: (Constant), TotMMrev b. Dependent Variable: Totenjrev Tabel 3. Hasil Regresi Variabel Mood Management dan Variabel Enjoyment Model Regression Residual Total Model Summary Model 1 306 R .575a R Square .330 Adjusted R Std. Error of the Square Estimate .306 10.43319 International Conference of Communication, Industry, and Community. Bali, 3-4 Maret 2016 ISBN: 978-602-74139-1-7 ANOVAb Sum of Squares df Mean Square F Sig. 1503.128 1 1503.128 13.809 .001a 3047.839 28 108.851 4550.967 29 a. Predictors: (Constant), Tesc b. Dependent Variable: Totenjrev Tabel 4. Hasil Regresi Variabel Escapism dan Variabel Enjoyment Model 1 Regression Residual Total Dari hasil regresi di atas terlihat bahwa tidak ada pengaruh yang signifikan motivasi mood management untuk mendapatkan enjoyment dalam mengkonsumsi media hiburan khususnya game. Namun escapism mempengaruhi sebesar 33% sebagai motivasi seseorang mengkonsumsi media hiburan untuk mendapatkan enjoyment. Simpulan Walaupun penelitian ini dilakukan dengan metode lain yaitu survey (bukan eksperimen), penelitian ini berhasil membuktikan hipotesis teori media entertainment yang dikemukakan oleh Peter Vorderer benar adanya. Bahwa terdapat motivasi escapism dalam bermain game untuk mendapatkan enjoyment namun motivasi individu untuk mengatur mood dengan bermain game tidak terbukti. Berikut kutipannya: Although escapism may play some role in an individual decision to select and play a computer game, mood management hardly appears to be the reason a player would identify as the motive that triggers and guides his or her actions. (Vorderer 2004: 400). Selain itu dalam penelitian ini juga terbukti bahwa suasana hati seseorang dapat dikuantifikasi. Walaupun sifatnya afektif suasana hati bisa terdeteksi secara kognitif misalnya dari parameter-parameter di setiap individu bisa mengukur afek individu lain apakah sedang marah, senang, bosan, atau tegang. Misalnya saja perasaan sedih terwakili dengan wajah murung dan menitikan air mata. Parameter kognitif itulah yang digunakan untuk mengkuantifikasi afek seseorang dengan mengkategorikannya menjadi 4 (empat) kuadran yang terbukti secara metodologis melalui ilmu psikologi. Hal tersebut juga memperkuat ilmu komunikasi sebagai ilmu interdisipliner. Keterbatasan dalam penelitian ini adalah masih pada tahap uji reliabilitas dan validitas namun sudah memenuhi persyaratan bahwa studi korelasional dan kausal minimal 30 sampel. Nantinya untuk mendapatkan sampel dalam penelitian ini akan dilakukan secara acak dengan jumlah sesuai dengan aturan perhitungan sampel dari jumlah populasinya. Berikutnya untuk indikator yang tidak valid 307 International Conference of Communication, Industry, and Community. Bali, 3-4 Maret 2016 ISBN: 978-602-74139-1-7 akan disempurnakan dan dilakukan pengujian kembali agar indikator-indikator yang ada sesuai dengan definisi operasional variabelnya dan bisa diandalkan. Saran untuk penelitian selanjutnya adalah mengeksplorasi motivasi lain seseorang dalam mengkonsumsi media hiburan interaktif untuk menyempurnakan teori media entertainment dengan variasi variabel lain maupun demografi populasinya. Daftar Pustaka Baran, Stanley J., and Dennis K. Davis. (2005). Mass Communication Theory Foundations, Ferment, and Future). Belmont: Wadsworth. McQuail, D. (2010). McQuail's mass communication theory. London: Sage Publications. Pardede, Nancy. (2002). Tumbuh Kembang Anak dan Remaja. Jakarta: Sagung Seto. Posner, Jonathan; Russell, James A.; Peterson, Bradley S. (2005). The circumplex model of affect: An integrative approach to affective neuroscience, cognitive development, and psychopathology. Development and Psychopathology, Vol 17(3), 715-734. Robbins, S. P., & Judge, T. (2007). Organizational behavior (6th Ed.). New Jersey: Prentice Hall. Russell, J. A. (1980). A circumplex model of affect. Journal of Personality and Social Psychology, 39, 1161–1178. Sayre, S. (2002). Entertainment marketing and communication: selling branded performance people and places. New Jersey: Pearson Prentice Hall. Vorderer, P., Klimmt, C. & Ritterfeld, U. (2004). Enjoyment: At the Heart of Media Entertainment. Communication Theory, 14, 388-408. Zillmann, D. (2000b). The coming of media entertainment: The psychology of its appeal. New Jersey: Erlbaum. Lampiran Regresi Escapism & Enjoyment: Model 1 R .575a Model 1 Regression Residual Total 308 Model Summary Adjusted R R Square Square .330 .306 ANOVAb Sum of Squares df 1503.128 1 3047.839 28 4550.967 29 Std. Error of the Estimate 10.43319 Mean Square F 1503.128 13.809 108.851 Sig. .001a International Conference of Communication, Industry, and Community. Bali, 3-4 Maret 2016 ISBN: 978-602-74139-1-7 Coefficientsa Unstandardized Coefficients B Std. Error 50.989 5.805 2.223 .598 Model 1 (Constant) Tesc Standardized Coefficients Beta .575 t 8.783 3.716 Sig. .000 .001 Regresi Mood Management & Enjoyment: Model 1 Model 1 R .220a Regression Residual Total Model Summary Adjusted R R Square Square .048 .014 ANOVAb Sum of Squares df 220.019 1 4330.948 28 4550.967 29 Std. Error of the Estimate 12.43691 Mean Square 220.019 154.677 F 1.422 Sig. .243a Coefficientsa Model 1 (Constant) TotMMrev Unstandardized Coefficients B Std. Error 51.942 16.444 1.035 .868 Standardized Coefficients Beta .220 t 3.159 1.193 Sig. .004 .243 a Reabilitas dan Validitas Mood Management: Reliability Statistics Cronbach's Alpha N of Items .840 11 Correlations mm2 mm3 1 .626** .199 .000 .293 30 30 30 .626** 1 .553** .000 .002 30 30 30 mm1 mm1 mm2 Pearson Correlation Sig. (2-tailed) N Pearson Correlation Sig. (2-tailed) N mm4 .354 .055 30 .725** .000 30 mm5 .354 .055 30 .725** .000 30 mm6 .274 .143 30 .596** .001 30 309 International Conference of Communication, Industry, and Community. Bali, 3-4 Maret 2016 ISBN: 978-602-74139-1-7 mm3 mm4 mm5 mm6 mm7 mm10 mm11 mm12 mm16 Tmm Pearson Correlation Sig. (2-tailed) N Pearson Correlation Sig. (2-tailed) N Pearson Correlation Sig. (2-tailed) N Pearson Correlation Sig. (2-tailed) N Pearson Correlation Sig. (2-tailed) N Pearson Correlation Sig. (2-tailed) N Pearson Correlation Sig. (2-tailed) N Pearson Correlation Sig. (2-tailed) N Pearson Correlation Sig. (2-tailed) N Pearson Correlation Sig. (2-tailed) N .199 .293 30 .354 .055 30 .354 .055 30 .274 .143 30 .106 .576 30 .171 .366 30 .171 .366 30 .171 .366 30 .161 .396 30 .486** .006 30 .553** .002 30 .725** .000 30 .725** .000 30 .596** .001 30 .485** .007 30 .165 .384 30 .165 .384 30 .165 .384 30 .139 .465 30 .710** .000 30 1 30 .932** .000 30 .649** .000 30 .628** .000 30 .294 .114 30 .141 .456 30 .141 .456 30 .141 .456 30 .238 .206 30 .765** .000 30 .932** .000 30 1 30 .583** .001 30 .697** .000 30 .468** .009 30 .152 .424 30 .152 .424 30 .152 .424 30 .255 .174 30 .789** .000 30 .649** .000 30 .583** .001 30 1 30 .324 .081 30 .134 .481 30 .152 .424 30 .152 .424 30 .152 .424 30 .096 .615 30 .661** .000 30 .628** .000 30 .697** .000 30 .324 .081 30 1 30 .559** .001 30 .125 .512 30 .125 .512 30 .125 .512 30 .209 .267 30 .655** .000 30 Biografi Singkat Penulis Mochammad Kresna N lahir pada tanggal 22 November 1987 di Jakarta. Setelah menamatkan pendidikan SMA, penulis melanjutkan studi di Jurusan Ilmu Komunikasi Universitas Indonesia pada tahun 2006. Pada tahun 2010 penulis melanjutkan pendidikan S2 di jurusan Manajemen Komunikasi Korporasi Universitas Indonesia dan sekaligus terjun ke dunia profesional menjadi Praktisi Public Relations di beberapa perusahaan multi nasional dan pada tahun 2013 aktif menjadi dosen ilmu komunikasi. Saat ini penulis sedang dalam tahap proses menyelesaikan studi S3 di Jurusan Ilmu Komunikasi Universitas Indonesia. 310 International Conference of Communication, Industry, and Community. Bali, 3-4 Maret 2016 ISBN: 978-602-74139-1-7 KEKUATAN MEDIA MASSA TELEVISI DAN KONTEKS SOSIAL BUDAYA DALAM MENGKONSTRUKSI RELASI JENDER Sri Budi Lestari Ilmu Komunikasi-FISIP UNDIP [email protected] Abstract Television’s intervention in society increasing because the audio-visual owned made television has both creation, and strength persuasive capable of effecting emotion audience. Unfortunately features is less accompanied by the efforts adequate from various parties to make it information and a pleasant media most educative. The television’s power constructed message especially in exploit women almost in any exposure often discussed. Women who are in the domestic sector became the main target market of television offerings are entirely based on personal tastes producer, not a creative work. Using a critical paradigm that is descriptive qualitative as well as the use of reception theory, reader - response theory, muted theory and feminist media studies analyzed by analysis of reception that takes informan from different strata domicile. The research found: that gender relations in the household informant gedongan interpreted as roles that have been awakened and manifested since the wedding and sharing to achieve harmony in the household. . As for the township’ informant still oriented patriarchal ideology, which puts the inferiority of women with attitude stereotypes weak, timid, submissive and dependent on others. Similarly, in the family decision-making, women still must be obedient and responsible in their domestic role. Keywords: Women, gender and mass media Abstrak Intervensi televisi dalam kehidupan masyarakat semakin meningkat karena kekuatan audio-visual yang dimiliki menjadikan televisi memiliki sisi kreasi,dan kekuatan persuasif yang mampu mempengaruhi emosi khalayak. Sayangnya keistimewaan ini kurang diimbangi dengan upaya yang memadai dari berbagai pihak untuk menjadikannya media informasi sekaligus media hiburan paling edukatif. Kekuatan televisi dalam mengkonstruksi pesan terutama dalam mengeksploitasi perempuan hampir dalam setiap tayangannya sering diperbincangkan. Perempuan yang berada di sektor domestik menjadi pasar sasaran utama dari sajian televisi yang sepenuhnya berdasarkan selera pribadi produser, bukan karya kreatif. Menggunakan paradigma kritis yang bersifat deskriptif kualitatif serta menggunakan reception theory, reader – response theory, muted theory dan feminist media studies ini dianalisis dengan analisa resepsi yang mengambil narasumber dari strata domisili berbeda. Penelitian ini menemukan : bahwa relasi jender dalam rumahtangga informan gedongan dimaknai sebagai pembagian peran yang sudah terbangun dan dimanifestasikan sejak pernikahan dan saling berbagi untuk mewujudkan harmoni dalam 311 International Conference of Communication, Industry, and Community. Bali, 3-4 Maret 2016 ISBN: 978-602-74139-1-7 rumahtangganya. Sedang bagi informan perkampungan masih berorientasi pada ideologi patriarkhi, yang menempatkan inferioritas perempuan dengan stereotipe sikap lemah, penakut, penurut, dan tergantung dengan orang lain. Demikian pula dalam pengambilan keputusan keluarga, perempuan tetap harus patuh dan bertanggungjawab pada peran domestiknya. Kata Kunci: Perempuan, jender dan media massa Latar Belakang Perkembangan teknologi komunikasi disatu sisi membawa konsekuensi berkembangnya segala aspek kehidupam sosial, khususnya terkait perkembangan media massa. Sementara disisi lain dunia pertelevisian di Indonesia turut berkembang, ditandai dengan munculnya berbagai stasiun televisi swasta nasional maupun lokal sekaligus deregulasi pertelevisan Indonesia yang lebih baik dari sebelumnya. Sayangnya kemunculan stasiun televisi swasta baik yang tayang secara nasional maupun lokal saat ini dirasakan belum mampu menghadirkan tayangan program yang berkualitas dan bermuatan pendidikan. Demikian pula halnya dengan penayangan informasi serta hiburan saat ini belum mampu ditayangkan secara proporsional. Kalaupun ada, program tersebut masih sangat terbatas jumlahnya. Media dikatakan mampu menstimuli individu untuk menikmati sajian pesan atau program yang ditampilkan. Isi media juga mampu menjadi wacana perbincangan (penerimaan khalayak) yang menarik apabila dikaitkan dengan konteks budaya misalnya efek dramatisasi visual yang ditimbulkan; pemirsa mampu mengontruksi makna sesuai dengan teks dan konteks. Sampai saat ini media massa masih secara rutin menayangkan gambaran tentang perempuan dalam banyak konten programnya; mulai dari iklan, diskusi, lawak serta mayoritas sinetron tidak luput menggambarkan tentang kehidupan sosial maupun individu seorang perempuan. Kesemua gambaran tersebut umumnya masih memosisikan perempuan dalam ranah yang tidak menguntungkan, mereka selalu berada di wilayah domestik ataupun second liner, dalam posisi yang marjinal. Tayangan komedi yang menjadi perhatian dalam tulisan ini merupakan hasil peneltian salahsatu tayangan sinetron yang beberapa waktu lalu sempat mengundang kontroversi baik dari masyarakat pemirsa maupun beberapa peringatan KPI yang ditujukan pada stasiun televisi penayangnya. Sinetron – sinetron yang bertujuan mengundang tawa penonton di layar kaca saat ini makin marak ditemui hampir pada setiap stasiun televisi lokal maupun nasional. Acaraacara komedi yang ditayangkan umumnya dikemas dengan beragam cara baik pentas komedi, talk show dengan gaya komedi, hingga sinetron yang mengandung banyak unsur komedi. Tidak hanya itu, tayangan-tayangan tersebut mengambil porsi yang cukup besar dari jam tayang televisi dalam sehari. Bahkan, beberapa stasiun televisi swasta mengisi jam tayang prime time (pkl. 19.0021.00) beberapa hari dengan tayangan komedi. 312 International Conference of Communication, Industry, and Community. Bali, 3-4 Maret 2016 ISBN: 978-602-74139-1-7 Menurut Komisi Penyiaran Indonesia (KPI), secara nasional komedi menjadi salah satu dari lima besar jenis tayangan yang paling banyak diadukan (Kompas, 29/12/2012). Bahkan di Yogyakarta, menurut KPID DIY, dalam kurun waktu Januari-November 2012, komedi juga menjadi tayangan yang paling banyak mendapatkan pengaduan yakni sebanyak 578 aduan dalam periode tersebut; jika dilihat sekilas, fenomena maraknya tayangan tersebut karena berbanding lurus dengan permintaan (demand) pasar atau penonton. Selama suatu acara masih disukai dan diminati penontonnya maka acaranyapun masih akan terus berlanjut. Namun apakah sesederhana itu logikanya mengingat porsi penayangannya di layar televisi relatif tinggi, sementara televisi hingga kini masih menjadi media penyiaran paling favorit dan berpengaruh karena sifatnya yang audio-visual-„langsung‟ (Riswandi, 2009:2). Televisi adalah media massa utama yang saat ini terdapat dihampir setiap rumah penduduk, televisi sudah menjadi media domestik. Sebagai media penyiaran (broadcast media) memberikan kontribusi dalam membangun ritme stabil untuk kehidupan sehari-hari melalui program yang ditayangkan setiap hari sepanjang tahun. Rumah tangga menjadi ruang sosial pertama kali dikembangkan pada masa borjuis periode awal modernitas, ketika tempat kerja dan rumah menjadi terpisah. Dalam budaya Barat pemisahan ini menjadi dasar yang signifikan, rumah yang awalnya memperoleh status sebagai 'inner' zona intim, dimana didalamnya terdapat hubungan dekat, kehangatan, kasih sayang dan kepekaan diantara anggotanya, berlawanan dengan kehidupan di luar rumah, menjadi berbeda sejak kehadiran televisi (Gripsrud , 2002:25). Televisi adalah sebuah fenomena, sebuah tanda bahwa rumah sekarang menjadi tempat yang jauh lebih kompleks dan kontradiktif daripada sebelumnya. Hubungan serta budaya antara ruang publik dan pribadi terus berubah dan televisi terkait dengan hal ini. Televisi terlibat dalam perjuangan kekuasaan antara ibu, ayah dan anak-anak (yang mengendalikan remote), baik dalam program faktual dan fiksi, dengan opera sabun sebagai genre utama dalam kategori fiksi. Informasi politik, ekonomi, perdagangan dan kehidupan budaya masyarakat masuk ke ruang pribadi dan lebih dihargai dari sebelumnya. Uraian tersebut menyiratkan betapa media khususnya televisi menguasai kehidupan setiap individu saat ini, hingga tidak terbayangkan jika dalam sehari saja seseorang samasekali tidak berelasi dengan media apapun. Ketergantungan setiap individu dengan media saat ini memunculkan adanya inter relasi diantara keduanya yang pada gilirannya memungkinkan munculnya perbedaan penerimaan (resepsi) pada setiap program yang disuguhkan oleh media. Ruang lingkup tulisan ini ingin mengurai hasil penelitian yang mendeskripsikan bagaimana televisi dengan kemampuan audio visualnya mampu mengukuhkan budaya patriarkhi dalam mengkonstruksi relasi jender yang sudah tertanam sebagai kesepakatan oleh mayoritas etnis di Indonesia. Adapun tujuan penelitian ingin melihat bagaimana penerimaan perempuan dalam konteks sosial yang berbeda memaknai relasi jender yang terdapat dalam salahsatu suguhan sinetron tayangan televisi. 313 International Conference of Communication, Industry, and Community. Bali, 3-4 Maret 2016 ISBN: 978-602-74139-1-7 Sinetron komedi yang diambil sebagai kasus terkait relasi jender, ditulis dan disutradarai oleh Imam Tantowi yang tertarik pada rumor disebagian masyarakat Indonesia tentang suami suami yang takut pada istri mereka, sehingga pria-pria dalam kelompok ini biasanya dijuluki sebagai anggota asosiasi suami yang takut istri mereka atau ikatan suami-suami takut istri (isti). Sinetron komedi “Suami-suami Takut Istri” ini menceritakan tentang kekuasaan dan kendali kaum perempuan (para istri) terhadap kaum laki-laki (para suami). Hal yang membuat sinetron komedi ini berbeda dari yang lain adalah, tayangan yang semula dianggap hanya sebagai hiburan dan tontonan santai, sebenarnya melibatkan konsep jender yang menjelaskan bahwa sifat-sifat perempuan dan laki-laki yang dikonstruk secara sosial maupun kultural sebenarnya merupakan sifat yang dapat dipertukarkan. Jadi sikap maskulin yang selalu diidentikkan dengan kekuasaan, agresif dan kuat bukanlah mutlak hanya dimiliki oleh laki-laki, begitu juga sikap feminin yang sering diidentikkan dengan sikap lemah, penakut, selalu menurut, dan tergantung dengan orang lain tidak hanya dimiliki oleh kaum perempuan. Keberadaan sinetron komedi ini bila dilihat sekilas, tampaknya sudah berhasil mematahkan budaya patriarkhi yang selalu menempatkan perempuan sebagai subordinat; akan tetapi bila dicermati lebih dalam sinetron komedi “SSTI” secara tidak langsung juga menggambarkan sosok subordinat perempuan, ditunjukkan dari sekian banyak istri yang ada hanya ada satu perempuan yang mampu untuk bekerja disektor publik. Gambaran ini sekaligus menyiratkan bahwa sudah sewajarnya perempuan hanya berkutat di wilayah domestik. Sikap kuasa dan sewenang-wenang para istri memang sangat ditonjolkan dalam sinetron ini, sehingga penonton tidak terlalu memperhatikan bagaimana sosok subordinat perempuan direpresentasikan. Bila dalam sinetron komedi lain kondisi perempuan selalu berada pada posisi second line, selalu dianggap negatif dan selalu ditempatkan pada posisi yang kurang menyenangkan, peran perempuan dalam tayangan ini secara tidak langsung juga menggambarkan hal yang serupa (negatif), walaupun perempuan ditampilkan maskulin, yang diperlihatkan dengan adanya sikap kuasa dan agresif serta kedudukannya telah dipertukarkan menjadi di atas laki-laki. Bahkan dalam budaya tertentu dijelaskan bahwa perempuan yang menunjukkan karakteristik maskulin bukanlah perempuan yang sesungguhnya (Tong, Rosemarie, Anne Donchin 2004 : 51). Jadi, walaupun peran dan kedudukannya telah dipertukarkan, keberadaan perempuan dalam sinetron komedi tersebut jauh dari karakter ideal yang selama ini didamba oleh banyak perempuan, karena ketika perempuan berada di wilayah publik, ataupun ia mampu setara dengan suaminya, bukan berarti ia kemudian menjadi sosok yang sangat mengerikan dan menindas laki-laki. Inilah pemutar balikan yang terjadi, sangat berbeda dengan fakta yang ada di sebagian besar masyarakat Indonesia yang menganut budaya patriarkhi. 314 International Conference of Communication, Industry, and Community. Bali, 3-4 Maret 2016 ISBN: 978-602-74139-1-7 Tinjauan Pustaka Hasil penelusuran terhadap kajian-kajian tentang sinetron „SSTI‟ terdapat pada beberapa penelitian sebelumnya yang pernah dilakukan, antara lain tentang „Representasi Dominasi Perempuan dalam Rumah Tangga‟: Analisis tekstual terhadap Sinetron komedi “SSTI”, yang dilakukan oleh Sri Kusumo Habsari, Fitria Akhmerti Primasita dan Taufiq Al Makmun (2011) , bertujuan mendeskripsikan bagaimana dominasi perempuan dalam rumahtangga direpresentasikan, apakah untuk mendukung feminisme atau melestarikan patriarkat pada sitkom “SSTI” dan konsekuensi sosial politis dari eksploitasi terhadap citra perempuan sendiri, citra laki-laki dan relasi jender. Hasil analisis secara deskriptif kualitatif dengan menerapkan pendekatan tekstual dan kajian budaya feminis menunjukkan: bahwa dominasi perempuan direpresentasikan dan dieksploitasi untuk melestarikan ideologi patriarkat dengan menyajikan secara negatif kekuasaan perempuan sebagai dominasi yang semu, bukan sebagai kekuasaan yang menghasilkan penghormatan terhadap para perempuan yang berkuasa. Cara para perempuan tersebut menunjukkan kekuasaan juga dikontruksi secara negatif, yaitu dengan melakukan bentuk kekerasan dalam rumahtangga. Hasil analisis juga menunjukkan bahwa konsekuensi logis dari kontruksi negatif dominasi perempuan dalam rumahtangga ini adalah citra negatif bagi perempuan yang berkuasa dan relasi jender, namun mempertahankan citra positif laki-laki,yang dengan demikian ideologi patriarkat dipertahankan. (Jurnal HUMANIORA,vol 23,Oktober 2011.hlm 256-268) Sebuah studi penting tentang konsumsi media dan jender adalah karya Ien Ang, yang melihat popularitas Dallas dikalangan pemirsa perempuan dalam bukunya Watching Dallas (1985). Di salahsatu majalah perempuan dia memperlihatkan pertanyaan tentang ketertarikan perempuan dalam serial tersebut dan dia menerima jawaban yang mendasari studinya dalam bentuk respon yang diterima para pemirsa perempuan, yang dapat diidentifikasi dalam tiga jenis, yaitu: ideologi budaya massa pemirsa yang menyukai program ini menyatakan bahwa Dallas merupakan potret keberhasilan sekelompok kecil kelas tinggi Amerika dalam budaya televisi populer; ironisnya meskipun penonton mengetahui bahwa serial tersebut tidak menarik akan tetapi mereka tetap ingin melihat karena orang lain juga melihat. Meskipun mereka mungkin mengakui bahwa yang mereka lihat itu adalah 'sampah' namun ideologi populisme yang didasarkan pada rutinitas masyarakat 'sehari-hari' dan pengalaman 'kesenangan' yang mereka dapatkan dari menonton Dallas, lebih mendasari keinginan mereka untuk tetap menonton (Rayner ,Wall and Kruger, 2004:137). 315 International Conference of Communication, Industry, and Community. Bali, 3-4 Maret 2016 ISBN: 978-602-74139-1-7 Beberapa penelitian lain yang menunjukkan adanya dikotomi antara laki laki dan perempuan dalam mengonsumsi acara-acara televisi juga ditemukan dalam penelitian seorang feminis Dorothy Hobson (1982) yang telah mencoba untuk memahami popularitas opera sabun “crossroads” dengan mempelajari para penonton di rumah saat mereka melihat program tersebut. Hobson mengamati bagaimana program tersebut sesuai dengan struktur peran di rumah mereka, sementara opera sabun yang biasa sebagai cemoohan telah menjadi pelarian yang fantastis bagi penontonnya. Hobson dalam Downing,Mohammadi and Sreberny (1990:239) selanjutnya menemukan bahwa penonton perempuan tertarik dalam resolusi masalah bersama program ini karena terdapat dalam kehidupan nyata. Dia juga menyimpulkan bahwa penonton bukanlah penerima pasif tetapi pencipta teks aktif, yaitu mereka mengulas alur cerita pada ide dibalik cerita dan membangun satu pemahaman dari kerangka cerita yang tidak disertakan. Penyelesaian mereka yang simpatik pada serial tersebut berperan penting pada perubahan bentuk teks menjadi sesuatu yang relevan dan bermakna bagi mereka. Penelitian penonton berdasarkan jender berlangsung lebih dari setengah abad, meskipun limapuluh tahun yang lalu terdapat pandangan kontradiktif pada jenis produk budaya populer yang dikonsumsi perempuan seperti sinetron. Sebagai contoh, studi yang dilakukan Arnheim (1944); Warner & Henry (1948) dalam “Women and Media” Byerly, M Carolyn and Karen Ross (2006:57) mengidentifikasi tipikal konsumen opera sabun radio adalah kelas pekerja perempuan berpendidikan rendah dan kemungkinan untuk maju terbatas. Selanjutnya sumber yang sama juga menyebutkan bahwa pada periode yang sama Herzog (1944) mengatakan bahwa perempuan disemua kelas sosial menikmati sinetron. Namun, terdapat sedikit kesepakatan lebih tentang karakteristik yang khas dari penonton perempuan, bahwa mereka biasanya sudah menikah dan berusia antara 18– 35 tahun, dengan pendidikan tertentu . Analisis Herzog dari konsumen sinetron lebih "positif" dibandingkan penelitian lain karena dia berpendapat bahwa penonton sinetron digunakan untuk belajar tentang aspirasi kelas menengah, nilainilai dan perilaku. Penelitian berikutnya dilakukan oleh Compesi (1980) dalam Byerly, Carolyn M dan Karen Ros (2006:57) yang mulai mengonsep khalayak sinetron dengan pendidikan lebih tinggi daripada penelitian sebelumnya, yang masih ditandai bahwa mereka adalah perempuan yang secara sosial terisolasi, menonton sinetron untuk melarikan diri dari kebosanan hidup mereka. Di Indonesia analisis resepsi terhadap khalayak perempuan pernah dilakukan, diantaranya oleh Rachmah Ida (th 2005) yang meneliti fenomena perempuan kampung menonton tayangan sinetron dan representasi figur-figur perempuan konstruksi realitas sosial kaum perkotaan. Billy Sarwono pada tahun yang sama meneliti bagaimana ibu rumah tangga kelas menengah di Jabotabek memberikan pemaknaan 316 International Conference of Communication, Industry, and Community. Bali, 3-4 Maret 2016 ISBN: 978-602-74139-1-7 terhadap karir politik Presiden Megawati Soekarno Putri sebagai presiden perempuan di Indonesia melalui permberitaan di media massa. Hasil penelitian dari dua peneliti tersebut menunjukkan bahwa para penonton bersifat dinamis, aktif dan memperlihatkan perilaku budaya yang tidak monoton atau pun pasif. Penelitian ini antaralain mengacu pada reception theory, reader – response theory, muted theory dan feminist media studies.. Metodologi Studi yang bersifat kualitatif ini tidak mengutamakan besarnya populasi ataupun sampel. Menggunakan analisis resepsi yang mencoba mengungkap berbagai interpretasi atas isi media oleh sejumlah kecil penonton atau pembaca (Downing, 1990: 162). Situs penelitian mengambil lokasi perumahan dan perkampungan di kecamatan Tembalang kota Semarang, dengan pemilihan subyek sesuai rekomendasi AGB Nielsen dalam newsletter yang diterbitkan tahun 2009, bahwa penonton sinetron SSTI mayoritas perempuan, berusia diatas 40 tahun dari kalangan kelas menengah, serta mengacu pada penelitian-penelitian terdahulu dimana penonton perempuan mayoritas menyukai sinetron (cerita fiksi, opera sabun). Hasil Temuan dan Diskusi Penelituan ini ingin melihat bagaimana penerimaan perempuan dalam konteks sosial yang berbeda memaknai relasi jender yang terdapat dalam SSTI, salahsatu suguhan sinetron tayangan televisi. Para perempuan narasumber penelitian tidak sependapat dengan konstruksi media yang ditayangkan dalam sinetron SSTI. Baik narasumber di perumahan maupun perkampungan menolak gambaran tersebut karena gambaran konstruksi media tidak sesuai dengan realita dalam konteks sosial mereka. Gambaran tentang perilaku perempuan maskulin yang identik dengan sikap berkuasa, agresif dan kuat tidak disepakati oleh para informan di kedua lokasi. Konstruksi media yang mempertukarkan sifat laki-laki dengan perempuan justru dimaknai informan di perumahan sebagai olok-olok, mereka sadar jika gambaran tersebut tetap menempatkan bahkan memperkuat posisi perempuan pada second line, selalu ditempatkan pada posisi yang kurang menyenangkan, peran perempuan dalam tayangan ini secara tidak langsung juga menggambarkan hal yang negatif, walaupun perempuan ditampilkan maskulin. Demikian pula pada informan di perkampungan memaknai relasi jender tidak identik dengan sikap berkuasa dan menang-menangan, sebagaimana konstruksi media dalam tayangan sinetron SSTI. Mereka berharap tetap ada rasa saling menghormati diantara laki-laki dan perempuan dalam relasi jender. 317 International Conference of Communication, Industry, and Community. Bali, 3-4 Maret 2016 ISBN: 978-602-74139-1-7 Temuan selanjutnya merekomendasikan bahwa informan perumahan memandang relasi jender sebagai suatu kerjasama antara laki-laki dan perempuan, yang sudah terbangun sejak mereka berumah tangga. Meskipun realitanya mereka adalah para perempuan yang bekerja di sektor publik, konstruksi media dalam sinetron bukanlah keadaan yang mereka harapkan; mereka lebih sepakat dengan nilai-nilai budaya patriarkhi yang telah tertanam dan menjadi kesepakatan sosial. Pandangan para informan mendukung tulisan Reeves and Baden (2000:10) bahwa relasi jender (Gender Relation) adalah relasi kuasa yang hirarkis antara laki-laki dan perempuan dan merupakan relasi kuasa yang cenderung merugikan perempuan. Relasi jender yang terjadi secara simultan ini ditandai dengan kerjasama, ketertautan, saling mendukung, konflik, bahkan perpisahan dan persaingan yang terjadi karena perbedaan dan ketidaksetaraan. Hal ini terkait dengan bagaimana kuasa (power) didistribusikan diantara laki-laki dan perempuan, dimana relasi jender yang hirarkis seringkali dianggap sebagai relasi yang „normal‟, meskipun relasi tersebut dibentuk secara sosial dan budaya dan bisa berubah dari waktu ke waktu. Diskriminasi terhadap perempuan yang terus terjadi di berbagai belahan dunia masih menunjukkan bahwa pemahaman serta usaha-usaha untuk mewujudkan relasi jender yang setara masih banyak menemukan kendala. Kuatnya budaya patriarkhi (budaya yang didasarkan pada kekuasaan laki-laki) menjadikan perempuan pada strereotipe, peran, dan posisi yang termarginalkan. Karenanya terwujudnya relasi yang seimbang (kesetaraan gender) antara laki-laki dan perempuan dalam segala aspek kehidupan yang dilandasi nilai-nilai kemanusiaan tanpa adanya inferioritas jenis kelamin di satu sisi dan superioritas jenis kelamin di sisi lainnya saat ini masih merupakan dambaan mayoritas perempuan dalam perwujudannya. Jender penting pada saat berlangsungnya produksi makna, kepentingannya tergantung pada bagaimana pemirsa bernegosiasi dengan orientasi mereka dalam produksi makna tersebut ( Littlejohn, Foss, 2008:306). Masih sejalan dengan pemahaman jender untuk membedakan antara karakteristik serta penggambaran perempuan dan laki-laki. Cheris Kramarae dalam muted group theory (Littlejohn dan Foss,2008:116) menghubungkan implikasi bahasa dan jender untuk pertamakalinya dan mengembangkan dimana pesan memperlakukan perempuan dan laki-laki dengan cara berbeda. Kramarae mencatat pentingnya bahasa dalam menginterpretasikan pengalaman, baginya setiap bahasa memiliki relasi kekuasaan yang tertanam didalamnya; mereka yang merupakan bagian dari sistem bahasa dominan cenderung memiliki persepsi, pengalaman, dan cara berekspresi kedalam bahasa. Kramarae percaya bahwa bahasa adalah „buatan' dan dengan demikian diwujudkan lebih pada perspektif maskulin dari feminin. Selanjutnya Kramarae juga mengungkapkan gagasan bahwa kekuatan sosial yang sebagian besar mengatur penciptaan bahasa seringkali didalamnya tertanam pembungkaman terhadap perempuan dengan cara yang mendalam. Pada pengujian lebih lanjut, namun tampaknya menguat bahwa budaya bahasa 318 International Conference of Communication, Industry, and Community. Bali, 3-4 Maret 2016 ISBN: 978-602-74139-1-7 sebenarnya memiliki bias laki-laki yang melekat, bahwa laki-laki menciptakan makna bagi kelompok, dan bahwa suara feminin ditekan atau 'diredam'. Shirley Ardener pada sumber yang sama menyebutkan bahwa pembungkaman perempuan ini menyebabkan ketidak mampuannya untuk mengekspresikan diri mereka fasih dalam bahasa laki-laki. Keheningan perempuan memiliki beberapa manifestasi dan sangat jelas dalam wacana publik. Perempuan merasa kurang nyaman dan kurang ekspresif dalam situasi publik daripada laki-laki, mereka merasa lebih nyaman dalam situasi pribadinya. Akibatnya, perempuan memantau komunikasi mereka sendiri lebih intens daripada laki-laki. Perempuan cenderung melihat apa yang mereka katakan dan menerjemahkan apa yang mereka rasakan dan berpikir dalam istilah laki-laki. Ketika makna maskulin dan feminin dalam ekspresi konflik, maskulin cenderung menang karena adanya dominasi laki-laki dalam masyarakat. Hasilnya adalah wanita menjadi bungkam. Uraian muted teori dianalogikan dalam temuan yang menunjukkan bahwa konstruksi media adalah bahasa laki-laki yang memperkuat posisinya dengan menampilkan suatu kondisi berbeda dengan budaya patriarkhi yang telah tertanam pada mayoritas masyarakat. Jadi, walaupun peran dan kedudukan perempuan telah dipertukarkan, keberadaan perempuan dalam sinetron komedi tersebut jauh dari karakter ideal yang selama ini didamba oleh banyak perempuan, karena ketika perempuan berada di wilayah publik, ataupun ia mampu setara dengan suaminya, bukan berarti ia kemudian menjadi sosok yang sangat mengerikan dan menindas laki-laki. Simpulan Kekuatan media dalam konstruksi relasi jender tidak sejalan dengan pemaknaan para perempuan sebagai audience. Pemaknaan berbeda ini dilandasi dengan kuatnya konteks sosial dan budaya patriarkhi yang sudah tertanam secara turun menurun. Relasi jender dimaknai sebagai kesetaraan yang didasari adanya saling mnghormati antara perempuan dan laki-laki. Demikian pula relasi ini juga menuntut adanya kebersamaan, kerjasama dan saling berbagi antara laki-laki dan perempuan yang disepakati saat membangun keluarga. Bagi penggiat media perlu dioertmbangkan agar dalam setiap produksi acara berorientasi pada bias jender. Temuan ini mempunyai implikasi penting bagi studi-studi resepsi audien, yaitu resepsi audien tidak cukup digali dari resepsi individual namun juga harus disertai resepsi kelompok. Daftar Pustaka Byerly, Carolyn M and Karen Ross, 2006, Women and Media A Critical Introduction, First published 2006 by Blackwell Publishing Ltd. Danesi, Marcel. 2009. “Dictionary of Media and Communications”. NewYork Copyright by M.E. Sharpe, Inc 80 Business Park Drive, Armonk 319 International Conference of Communication, Industry, and Community. Bali, 3-4 Maret 2016 ISBN: 978-602-74139-1-7 Downing, John, Ali Mohammadi and Annabelle Sreberny-Mohammadi,1990, “Questioning The Media: A Critical Introduction”. California, Sage Publication Gripsrud, Jostein, 2002, “Understanding Media Culture” ,Oxford University Press, Inc. Littlejohn, Stephen W and Karen A.Foss, 2008, ” Theories of Human Communication, ninth edition, USA, Thomson Wadsworth, Publishing Company. Rayner Philip, Peter Wall and Stephen Kruger, 2004, Media Studies:The Essential Resource, London and New York, Routledge. Riswandi. 2009. “Dasar-Dasar Penyiaran”. Jakarta: Graha Ilmu & Universitas Mercu Buana Tong, Rosemarie and Anne Donchin , 2004, Linking Visions: Feminist Bioethics, Human Rights, And The Developing World, Rowman and Littlefield. Kamus Dictionary of Media Studies,2006, A & C Black, London Jurnal Sri Kusumo Habsari, Fitria Akhmerti Primasita dan M.Taufiq AM. 2011, “Representasi Dominasi Perempuan dalam Rumah Tangga”, Analisis Tekstual terhadap sitkom Suami-suami Takut Istri. Jurnal Humaniora, volume 23,nomor 3, Oktober .ISSN 0852-0801 Newsletter : AGB Nielsen Media Research, November 2009 Reeves, Hazel and Baden, Sally, 2000, BRIDGE-development gender , Gender and Development: Concepts and Definitions, report no. 55, Institute of Development Studies University of Sussex. Biografi Singkat Penulis Menamatkan studi S1 jurusan Publisistik di Undip dan mengabdi di perguruan tinggi yang sama sejak tahun 1980. Menyelesaikan S2 dalam bidang ilmu-ilmu sosial jurusan Sosiologi di UGM. Menyelesaikan S3 dalam bidang Kajian Budaya dan Media di UGM. Menikah dengan drs.Didiek Samadikun,Msi dan dikaruniai tiga orang anak, semuanya laki-laki, yang pertama menyelesaikan S3 Ilmu Lingkungan di UGM dan diwisuda bersama ibunya, yang kedua senior Architect di PT.Ciputra Recidence Citra Raya, dan yang ketiga bekerja di BTN kantor pusat Jakarta. 320 International Conference of Communication, Industry, and Community. Bali, 3-4 Maret 2016 ISBN: 978-602-74139-1-7 MEMBACA PILIHAN PENONTON PADA PROGRAM ACARA FTV DI TELEVISI SWASTA INDONESIA Rama Kertamukti, Niken Puspitasari UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta [email protected], [email protected] Abstract This research is motivated by the position measurement rating which is very important for television in Indonesia. Figures rating is the number of people who watch a particular program on television stastiun is a very important position in the world of television Indonesia. For television, rating the main reference, perhaps even the only one in designing television programs, because the popular media in Indonesia is television. Of all the existing communication media, television is the most influential in human life. Though the audience is not passive, there is hope the audience is supposed to be more readable Television in producing events like FTV program to be studied. The method used in this study is the Method Mix, beginning with a survey to know the audience votes on impressions FTV program aired, and then be done with open-ended questions on the assessment that they have done on the questionnaire. Rate the audience on a television program may be a reference for society, the television industry, and advertisers to determine the willingness of the audience at the starting point. Keywords: audience measurement, rating, TV program Abstrak Penelitian ini dilatarbelakangi oleh posisi pengukuran rating yang sangat penting bagi televisi di Indonesia. Angka rating adalah jumlah orang yang menonton program acara tertentu di stastiun televisi adalah menempati posisi sangat penting di dunia televisi Indonesia. Bagi televisi, rating menjadi acuan utama, bahkan mungkin satu-satunya dalam merancang program televisi, karena media popular di Indonesia adalah televisi. Dari semua media komunikasi yang ada, televisi lah yang paling berpengaruh pada kehidupan manusia. Padahal penonton tidaklah pasif, ada harapan yang dimiliki penonton yang seharusnya lebih dibaca Stasiun Televisi dalam memproduksi Program Acara seperti FTV yang akan diteliti. Metode penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah Mix Method, diawali dengan survey untuk mengetahui penilaian penonton atas tayangan program acara FTV yang tayang, kemudian dilakukan dengan pertanyaan terbuka atas penilaian yang telah mereka lakukan pada kuesioner. Penilaian penonton pada program televisi ini bisa menjadi rujukan bagi masyakarat, industri televisi, dan pengiklan untuk mengetahui kemauan penonton pada titik awal. Kata Kunci: Pengukuran Audience, Rating, Program TV 321 International Conference of Communication, Industry, and Community. Bali, 3-4 Maret 2016 ISBN: 978-602-74139-1-7 Pendahuluan Di zaman modern saat ini, perkembangan teknologi informasi semakin pesat. Untuk mendapatkan informasi pun semakin mudah dan cepat. Media massa adalah salah satu sarana untuk mendapatkan informasi. Informasi yang diterima pun harus di telaah dengan baik agar makna dari informasi tersebut dapat diterima dengan seutuhnya. Televisi merupakan salah satu media massa yang menarik banyak perhatian masyarakat. Informasi yang diterima melalui televisi ditampilkan dalam format audio visual, yang berarti gabungan antara suara dan gambar. Televisi tidak hanya sebagai sarana untuk mendapatkan informasi saja, namun dapat menjadi sarana hiburan. Salah satu program yang paling menarik untuk dilihat adalah program tayangan drama atau FTV. FTV adalah Film televisi (bahasa Inggris: television movie atau lebih sering dikenal sebagai FTV jenis film yang diproduksi untuk televisi yang dibuat oleh stasiun televisi ataupun rumah produksi berdurasi 120 menit sampai 180 menit dengan tema yang beragam seperti remaja, tragedi kehidupan, cinta dan agama. Film layar lebar yang ditayangkan di televisi tidak dianggap sebagai FTV. FTV sendiri merupakan sebuah tayangan program cerita dalam sebuah media massa televisi yang dibuat berdasarkan sebuah naskah cerita yang telah disusun sedemikan rupa, sehingga cerita tersebut menarik bagi penonton nya. Tayangan berupa FTV ini sangat menarik bagi masyarakat pada umumnya, cerita FTV ini dibuat lebih banyak drama, sehingga masyarakat mengikuti hingga akhir tayangan program FTV tersebut untuk mengetahui cerita keseluruhannya. Di Indonesia, perkembangan industri televisi ditengah persaingan yang ketat. Stasiun televisi berlomba-lomba menyajikan acara-acara yang menarik. Mulai dari acara musik, FTV, FTV, reality show, feature, dan berita. Sajian acara FTV pun menjadi acara yang menjual saat ini. Banyak stasiun televisi yang menyajikan FTV. Dengan berbagai tema mereka jual dengan beragam. Bahkan keseragaman tema cerita seringkali menjadi lomba bagi para stasiun televisi di Indonesia dalam mencari perhatian penonton. berdasarkan kriteria lembaga rating AC Nielsen, tayangan ini cukup menjanjikan sebagai salah satu gacoan stasiun televisi dalam meraih rating. Pada minggu ke 47( 22-28 Nopember 2015), sejumlah FTV masuk dalam peringkat 100 besar acara dengan raihan rating dan share tertinggi. Ternyata SCTV yang dikenal sebagai pelopor FTV memiliki 19 program FTV yang ada di 100 besar Program berating tertinggi. Sementara Televisi lain seperti Indosiar (6 FTV), MNC TV (3 FTV) dan RCTI (3 FTV). Atau dari 100 program tersebut total ada 31 tayangan FTV atau 30 persen berjenis film atau sinetron lepas alias selesai tanpa seri atau lanjutan. Di SCTV sendiri ada 26 judul FTV yang ditayangkan pada minggu ke 47, sementara lainnya Indosiar (17 judul), RCTI (7 judul), MNC TV (12 judul termasuk tayangan FTV buatan India), Trans TV (3 judul),dan Trans 7 (4 judul termasuk tayangan luar). Total lebih dari 60 FTV dalam minggu ke 47 ditayangkan,dan 50 persen masuk ke 100 besar acara berating tinggi (RPTI, 2015). Pengembangan cerita program FTV sebenarnya mencakup pengembangan kreatif, pengembangan naskah, konsep perencanaan dan 322 International Conference of Communication, Industry, and Community. Bali, 3-4 Maret 2016 ISBN: 978-602-74139-1-7 pembuatan, proses produksi, dan aplikasi langsung dalam proses syuting. Cara pengembangan tersebut harus benar- benar diperhatikan dan dilihat dalam waktu tertentu dan bukan hanya dengan proses yang sebentar saja. Pengembangan program menjadi suatu kekuatan bagi keberhasilan program FTV itu sendiri, para stasiun TV menginginkan program yang disajikan berbeda dengan program yang lain yang ada di stasiun TV di Indonesia. Dalam penelitian ini peneliti ingin mengetahui ketertarikan tema cerita penonton dalam menonton FTV di televisi swasta di Indonesia. Peneltian ini diharapkan menjadi masukan dan memberikan kontribusi bagi televise swasta di Indonesia dalam menerapkan strategi komunikasi tema cerita yang tepat untuk sebuah FTV yang akan diproduksi dan mengetahui ketertarikan penonton di Indonesia. Design Penelitian Sampel responden yang disertakan dalam survei ini adalah seorang ahli, merujuk kepada orang yang mengikuti (menonton) televisi dan bisa memberikan penilaian atas program televisi. Penelitian ini akan melibatkan 90 orang responden di kota Yogyakarta. Teknik penarikan sampel yang dipakai adalah sampel acak bertahap (multistage random sampling). Responden yang disertakan dalam survei ini harus mempunyai karakteristik atau persyaratan sebagai berikut: Pendidikan minimal SMA, Paham mengenai acara televisi dan bisa menilai secara kritis program acara televisi. Responden dapat diambil dari ibu rumah tangga, pengajar, aktivis LSM, dan sebagainya. Alur penganalisasn data pertama responden diminta untuk menilai setiap program acara untuk masing-masing indikator, dengan memberikan skor 1 hingga 10, di mana 1 adalah sangat buruk dan 10 adalah sangat baik. Total skor dengan demikian adalah 10 hingga 100. Masing-masing nilai skor untuk masing-masing aspek kategori kualitas itu nantinya, bisa dibuat rata-rata dan dibuat indeks untuk masing-masing program televisi. Dimana suatu program televisi nantinya bisa dikategorikan ke dalam 4 penilaian umum; sangat bagus, bagus, buruk dan sangat buruk. Dalam analisis penilaian program ini akan dipaparkan secara mendetail bagaimana penilaian yang dilakukan oleh responden terhadap tema cerita program FTV secara umum dengan memaparkan beberapa kategori program siaran TV yang sudah dinilai berdasarkan aspek-aspek kualitas dengan menggunakan nilai rentang kualitas. Titik perhatian dari penelitian ini adalah kualitas dari suatu FTV yaitu seberapa baik dan berkualitas suatu cerita yang diusung. Kualitas yang dimaksud dalam penelitian ini adalah kualitas dalam arti sosial, kegunaan atau fungsi dari suatu program acara dalam masyarakat. Tinjauan Pustaka Komunikasi Secara epistemologis, istilah kata komunikasi berasal dari bahasa latin, yakni communication dan bersumber dari kata communis yang berarti “sama”. Jika diartikan secara sederhana, berarti komunikasi adalah sebuah proses yang bermuara pada usaha untuk mendapatkan kesamaan makna dan pemahaman pada 323 International Conference of Communication, Industry, and Community. Bali, 3-4 Maret 2016 ISBN: 978-602-74139-1-7 subjek yang melakukan proses komunikasi tersebut. Menurut Dr. Everett Kleinjan dari East West Center Hawaii, komunikasi merupakan bagian kekal dari kehidupan manusia seperti halnya dengan bernafas, jadi sepanjang manusia ingin hidup, maka ia perlu berkomunikasi (Cangara, 2003: 1). Wilbur Schramm menyatakan bahwa komunikasi dan masyarakat adalah dua kata yang tidak dapat dipisahkan karena kedua aspek itu saling melengkapi dalam pelaksanaannya. Sedangkan Harold Lasswell juga mengatakan bahwa cara terbaik untuk menerangkan kegiatan komunikasi adalah dengan menjawab pertanyaan “siapa berkata apa - melalui saluran apa - kepada siapa - dengan efek apa” Harold D.Laswell menyebutkan hal yang menyebabkan manusia berkomunikasi, yaitu: a. Hasrat manusia untuk mengontrol lingkungannya b. Upaya manusia untuk dapat beradaptasi dengan lingkungannya c. Upaya untuk melakukan transformasi warisan sosial Jika dilihat dari definisi komunikasi yang telah diuraikan sebelumnya, maka pada dasarnya komunikasi dapat dilihat dari berbagai dimensi yakni sebagai proses, sebagai simbolik, sebagai sistem dan sebagai multi-dimensional. Maka tidak heran bila komunikasi juga mempunyai tujuan yang sangat universal. Tujuan dari sebuah proses komunikasi yaitu: a. Untuk mengubah sikap (to change the attitude) b. Untuk mengubah opini dan/pendapat/pandangan (to change the opinion) c. Untuk mengubah perilaku (to change the behaviour) d. Untuk mengubah masyarakat (to change the society) Oleh sebab itu, komunikasi dapat berjalan baik dan lancar jika pesan yang disampaikan seseorang yang didasari dengan tujuan tertentu dapat diterimanya dengan baik dan dimengerti. Komunikasi Massa Komunikasi massa adalah studi ilmiah tentang media massa beserta pesan yang dihasilkan,pembaca/pendengar/penonton yang akan coba diraihnya dan efeknya terhadap mereka. Sejak diketemukannya media cetak, langkah aktivitas komunikasi mulai menanjak cepat. Apalagi dengan penemuan telegraph, semua itu menjadi kenyataan. Walaupun bukan sebagai media massa komunikasi, peralatan ini menjadi elemen penting bagi akumulasi teknologi yang akhirnya akan mengarahkan masyarakat memasuki era media massa elektronik. Sehingga muncullah era dunia motion picture yang sering kita sebut sebagai filmfilm bioskop dan televisi. Pada permulaan abad ke-20, film-film bioskop dan televisi menjadi bentuk hiburan keluarga. Hal ini diikuti dengan pengembangan radio rumah tangga pada tahun 1920-an dan pada tahun 1940an diikuti dengan pengembangan televisi rumah tangga (Nurudin, 2004:56). Hal ini menunjukkan peralihan kemampuan manusia dalam berkomunikasi yang ditunjukkan dengan”revolusi” komunikasi yang sedang terjadi sepanjang keberadaan manusia. Dan juga pertumbuhan media massa telah terjadi dengan sangat luar 324 International Conference of Communication, Industry, and Community. Bali, 3-4 Maret 2016 ISBN: 978-602-74139-1-7 biasa akhir-akhir ini yang ditunjukkan dengan penayangan peristiwa-peristiwa besar didunia melalui media massa. Media massa yang dimaksud adalah media massa yang dihasilkan oleh teknologi modern. Komunikasi yang menggunakan media massa atau komunikasi yang “mass mediated”. Dalam hal ini, juga perlu membedakan massa dalam arti umum dengan massa dalam arti komunikasi massa. Kata massa dalam hal ini lebih mendekati arti secara sosiologis. Dengan kata lain, massa yang dimaksud adalah kumpulan individu yang berada di suatu lokasi tertentu. Massa dalam komunikasi massa lebih menunjuk pada penerima pesan yang berkaitan dengan media massa. Dengan kata lain, massa yang dalam sikap dan perilakunya berkaitan dengan peran media massa. Oleh karena itu, massa disini menunjuk kepada khalayak, audience, penonton atau pembaca. Jadi dapat ditarik kesimpulan, bahwa komunikasi massa diartikan sebagai jenis komunikasi yang ditujukan kepada sejumlah khalayak yang tersebar, heterogen, dan anonim melalui media cetak atau elektronik, sehingga pesan yang sama dapat diterima secara serentak dan sesaat (Ardianto, 2004: 7). Perlu kita ketahui bahwa komunikasi massa mempunyai titik tekan dan bahasan tersendiri. Misalnya Wilbur Schramm (1958) dalam bukunya Introduction of Mass Communication Research menunjukkan, beberapa penelitian yang dilakukan pada tahun1920-an dan 1930-an memusatkan perhatiannya pada analisis sejarah surat kabar dan majalah atau deskripsi interprestasi pesan media (Nurudin, 2004: 57). Bahkan dalam jurnal ilmiah tertua komunikasi Journalism Quaterly dikemukakan bahwa wilayah kajian jurnalistik dan komunikasi massa bisa ditekankan pada sejarah, hukum dan analisis isi media. Banyak definisi tentang komunikasi massa yang telah dikemukakan para ahli komunikasi. Dalam hal ini kata “massa” lebih menunjuk pada penerima pesan yang berkaitan dengan media massa. Dengan kata lain, “massa” menunjuk pada khalayak, audience, penonton, pemirsa, atau pembaca. Menurut Michael W Gamble dan Teri Kwal Gamble (1986), sesuatu bisa didefininisikan sebagai komunikasi massa jika mencakup (Nurudin, 2013:8) : a). Komunikator dalam komunikasi massa mengandalkan peralatan modern untuk menyebarkan atau memancarkan pesan secara cepat kepada khalayak yang luas dan tersebar. Pesan-pesan itu disebarkan melalui media modern antara lain surat kabar, majalah, televisi, dan lain-lain. b). Komunikator dalam komunikasi massa dalam menyebarkan pesan-pesannya bermaksud mencoba berbagi pengertian dengan jutaan orang yang saling tidak kenal atau mengetahui satu sama lain. c). Pesan adalah publik. Artinya bahwa pesan ini bisa didapatkan dan diterima oleh banyak orang. Karena itu, diartikan milik publik. d). Sebagai sumber, komunikator massa biasanya organisasi formal seperti jaringan, ikatan, atau perkumpulan. Jadi komunikatornya tidak berasal dari seseorang tapi lembaga yang biasanya berorientasi pada keuntungan bukan organisasi sukarela atau nirlaba. 325 International Conference of Communication, Industry, and Community. Bali, 3-4 Maret 2016 ISBN: 978-602-74139-1-7 e). Komunikasi massa dikontrol oleh gatekeeper (pentapis informasi), artinya, pesan-pesan yang disebarkan atau dipancarkan dikontrol oleh sejumlah individu dalam lembaga tersebut sebelum disiarkan lewat media massa. f). Umpan balik dalam komunikasi massa sifatnya tertunda yang artinya umpan balik dari pesan yang kita sampaikan tidak langsung terlihat. Sedangkan menurut Josep A Devito mengartikan komunikasi massa adalah komunikasi yang ditujukan kepada massa, kepada khalayak yang luar biasa banyaknya dan komunikasi yang disalurkan oleh pemancar-pemancar yang audio atau yang visual. Hal ini dipertegas lagi oleh Alexis Tan yang menyatakan bahwa komunikator dalam komunikasi. Ciri-ciri komunikasi massa yang pertama adalah komunikatornya melibatkan lembaga serta bergerak dalam organisasi yang kompleks. Contohnya saja jika komunikasi massa dilakukan menggunakan media televisi, maka komunikator yang dilibatkan banyak sekali, mulai dari orang-orang yang menyiapkan acara dibalik layar seperti produser, reporter, camera person sampai ke hal yang sangat teknis seperti make up, floor director, lighting man, sutradara, petugas audio dan lain sebagainya. Komunikasi massa merupakan suatu proses yang melukiskan bagaimana komunikator menggunakan teknologi media massa guna menyebarluaskan pesannya melampaui jarak untuk mempengaruhi khalayak dalam jumlah yang banyak. Severin (Ardianto, 2004 :32) mengemukakan bahwa pengertian komunikasi massa pada intinya merupakan komunikasi yang menggunakan saluran (media) untuk menghubungkan komunikator dengan komunikan secara massal, bertempat tinggal jauh, heterogen, anonim, dan menimbulkan efek-efek tertentu. Harold D Laswell (dalam Ardianto & Komala, 2004 : 33), seorang ahli politik di Amerika Serikat mengemukakan suatu ungkapan yang sangat terkenal yaitu formula yang menentukan proses komunikasi massa. Dengan menjawab pertanyaan : Who (siapa)? Says what (berkata apa)? In which channel (melalui saluran apa)? To whom (kepada siapa)? With what effect (dengan efek apa)? Dalam proses formula Laswell, secara langsung menggambarkan bahwa proses komunikasi memerlukan media. Komunikasi massa media televisi ialah proses komunikasi antara komunikator dan komunikan (massa) melalui sebuah sarana, yaitu televisi bersifat periodik. Dalam komunikasi massa tersebut, lembaga penyelenggara komunikasi bukan secara perorangan, melainkan melibatkan sejumlah orang dengan organisasi yang kompleks serta pembiayaan yang besar. Karena media televisi bersifat transitory (hanya meneruskan) maka pesan-pesan yang disampaikan melalui komunikasi massa media tersebut hanya dapat didengar dan dilihat sekilas (J.B Wahyudi, 1991 dalam Kuswandi, 1996 : 16). 326 International Conference of Communication, Industry, and Community. Bali, 3-4 Maret 2016 ISBN: 978-602-74139-1-7 Televisi Sebagai Komunikasi Massa Salah satu media dalam komunikasi adalah televisi. Dari semua media komunikasi yang ada, televisilah yang paling berpengaruh pada kehidupan manusia (Ardianto, 2004: 125). Istilah televisi terdiri dari dua suku kata, yaitu “tele” yang berarti jauh dan “vision” yang berarti penglihatan. Televisi adalah salah satu bentuk media komunikasi massa yang selain mempunyai daya tarik yang kuat, disebabkan unsur-unsur kata, musik, dan sound effect, juga memiliki keunggulan yang lain yaitu berupa unsur visual berupa gambar hidup yang menimbulkan pesan yang mendalam bagi pemirsanya dalam usaha untuk mempengaruhi khalayak dengan mengubah emosi dan pikiran pemirsanya. Penayangan sebuah program televisi bukan hanya bergantung pada konsep penyutradaraan atau kreatifitas penulisan naskah, melainkan sangat bergantung pada kemampuan profesionalisme dari seluruh kelompok kerja di dunia broadcast dengan seluruh mata rantai divisinya. Format acara televisi merupakan suatu perencanaan dasar suatu konsep acara televisi yang akan menjadi landasan kreatifitas dan desain produksi yang akan terbagi dalam beberapa kriteria utama yang disesuaikan dengan tujuan dan target pemirsa acara tersebut. Jadi, harus dilakukan eksploitasi dalam format acara televisi yang terancang dan terencana. Ada tiga bagian dari format acara televisi yaitu: 1. Fiksi (drama), yaitu acara televisi yang diproduksi dan dicipta melalui proses imajinasi kreatif dan kisah drama fiksi yang direkayasa dan dikreasi ulang. Format yang digunakan merupakan interpretasi kisah kehidupan yang diwujudkan dalam suatu runtutan cerita dalam sejumlah adegan 2. Non fiksi (non drama), yaitu format acara televisi yang diproduksinya dan penciptanya melalui proses pengolahan imajinasi kreatif dan realitas kehidupan tanpa harus menginterpretasi ulang dan tanpa harus menjadi dunia khayalan. Non drama bukanlah runtutan cerita fiksi dari setiap pelakunya. Contohnya: konser musik, reality show, dan talkshow. 3. Berita, yaitu sebuah format acara televisi yang diproduksi berdasarkan informasi dan fakta atau kejadian dan peristiwa yang berlangsung pada kehidupan sehari-hari. Format ini memerlukan nilai faktual dan aktual yang disajikan dengan ketepatan dan kecepatan waktu dimana dibutuhkan sifat liputan yang independen. Contohnya, berita ekonomi, liputan siang dan laporan olahraga (Naratama, 2004:62-66). Uses and Gratifications Theory (Model Kegunaan dan Kepuasan) Pendekatan uses and gratification untuk pertama kali dijelaskan oleh Elihu Katz (1959) dalam suatu artikel sebagai reaksi bahwa penelitian komunikasi tampaknya mati. Teori uses and gratification ini menunjukkan bahwa yang menjadi permasalahan utama bukanlah bagaimana media mengubah sikap dan perilaku khalayak tetapi bagaimana media memenuhi kebutuhan pribadi dan social khalayak. Jadi, khalayak atau pemirsa televise dianggap aktif dan menggunakan media sebagai tujuan yang khusus baginya (Efendi, 1993:289). Dengan kata lain pengguna media adalah pihak yang aktif dalam proses 327 International Conference of Communication, Industry, and Community. Bali, 3-4 Maret 2016 ISBN: 978-602-74139-1-7 komunikasi. Pengguna media berusaha untuk mencari sumber media yang paling baik di dalam usaha memenuhi kebutuhannya, teori ini mengansumsikan bahwa pengguna mempunyai pilihan alternative untuk memuaskan kebutuhan. Teori uses and gratification lebih menekankan pada pendekatan manusiawi dalam melihat media massa, artinya manusia itu mempunyai otonomi, wewenang untuk memperlakukan media (Nurudin, 2013:192). Tidak hanya satu jalan bagi khalayak untuk menggunakan media, banyak alas an khalayak untuk menggunakan media. Konsumen media mempunyai kebebasan untuk memutuskan bagaimana-lewat media mana mereka menggunakan media dan bagaimana media itu akan berdampak pada dirinya. Mengapa pula khalayak aktif memilih media? Alasannya adalah karena masing-masing orang berbeda tingkat pemanfaatan media tergantung reference dan experience mereka. Teori ini beroperasi dalam beberapa cara seperti bagan dibawah (Nuruddin, 2013:194): Lingkungan Sosial : - ciri-ciri Demografis - Afiliasi Kelompok - ciri-ciri Kebutuhan Khalayak: - Kognitif - Afektif - Integratif Personal - Integratif Sosial - Pelepasan Ketegangan Sumber Pemuasan Kebutuhan yang berhubungan dengan non Media Pemuasan Kebutuhan Penggunaan Media Massa Hasil Temuan dan Diskusi Penelitian ini tidak masuk dalam ranah estetis menilai kualitas suatu program acara dari aspek teknis artistitik dari suatu acara, misalnya tata pengambilan gambar, cerita, skenario, akting para pemain dan sebagainya. Kualitas di sini dilihat dari sejauh mana tema cerita FTV telah memenuhi ketertarikan pada penonton, terlepas dari apakah suatu program acara itu secara estetis baik atau bukan. Populasi dari penelitian ini adalah semua FTV yang ditayangkan di 15 stasiun televisi nasional (ANTV, Global, Indosiar, MetroTV, MNCTV, RCTI, SCTV, TransTV, Trans7, TVOne, NET-TV, Kompas TV, Rajawali TV dan TVRI) dengan penarikan sampling pada setiap program acara. Program acara FTV merupakan salah satu program unggulan dari stasiun televisi yang memperoleh perhatian yang signifikan dari masyarakat. Sungguh pun demikian, dari data yang diperoleh berdasarkan aspek kualitas menunjukan bahwa sebagian besar penilaian responden menunjukan bahwa program acara tersebut di nilai tidak berkualitas. Berdasarkan hasil data yang diperoleh dari responden, pada kategori Program FTV hampir rata-rata responden memberikan nilai bahwa program tersebut sangat tidak berkualitas. Hal ini bisa dilihat bahwa penilaian yang terbanyak pada setiap aspek kualitas adalah di dominasi oleh nilai sangat tidak berkualitas. Sebagai contoh, pada aspek kualitas hiburan yang sehat, hampir 62,2 % dari jumlah responden memberikan nilai sanggat tidak berkualitas dibanding dengan penilaian yang lain. Selain itu, pada aspek kualitas lain seperti 328 International Conference of Communication, Industry, and Community. Bali, 3-4 Maret 2016 ISBN: 978-602-74139-1-7 aspek kualitas edukatif juga mendapatkan penilaian tidak berkualitas dengan prosentase 62,2% dari keseluruhan responden yang berjumlah 90 orang. Paparan lebih jelas kita bisa lihat pada tabel skor penilaian dibawah ini berdasarkan aspek kualitas. Angka itu tidak menilai apakah program acara itu penting atau tidak, baik atau tidak bagi bagi pemirsa. Karenanya rating hanya mencerminkan program acara yang disukai oleh masyarakat. Hal ini karena orientasi utama dari stasiun televisi adalah membuat program acara yang angka ratingnya tinggi dengan harapan bisa menarik minat pengiklan. Ketiga, dengan motivasi membuat program acara yang mempunyai rating tinggi, kerap kali stasiun televisi tidak memperhitungkan dampak suatu program bagi publik. Pemirsa televisi di Indonesia mempunyai sikap kurang kritis terhadap media televisi. Pemirsa televisi masih banyak yang tidak bisa membedakan mana program acara yang bagus dan mana yang jelek. Lebih lanjut pemirsa televisi juga belum banyak menyadari dampak dari televisi terhadap keluarga terutama anak-anak. NO 1 2 3 4 5 6. 7 8 9 10 11 12 13 14 15 Aspek Kualitas Tema Cerita Memperkokoh persatuan dan kesatuan bangsa Membentuk jati diri bangsa Indonesia yang bertaqwa dan beriman Membangun mental mandiri Informatif Edukatif Hiburan yang sehat Perekat sosial/ empati sosial Transfer budaya, nilai-nilai bangsa dan kearifan lokal Pengawasan Menghormati nilainilai kesukuan, agama, ras, dan antar golongan Menghormati nilai dan norma kesopanan dan kesusilaan Menghormati kehidupan publik Menghormati kehidupan pribadi Melindungi kepentingan anakanak dan/atau remaja Melindungi orang atau kelompok 1 24 2 3 36 26 2 5 Err 2 1 15 52 18 3 2 1 90 21 45 18 6 1 90 12 27 13 11 30 56 56 37 12 2 6 12 1 1 1 2 1 1 90 90 90 90 18 34 35 3 1 90 19 12 34 31 25 38 6 13 1 2 1 90 90 16 44 26 2 2 90 17 39 28 5 1 1 90 16 39 27 7 1 1 90 34 40 9 7 1 90 16 52 15 7 1 90 36 16 13 30 4 Jml 90 329 International Conference of Communication, Industry, and Community. Bali, 3-4 Maret 2016 ISBN: 978-602-74139-1-7 16 17 18 19 20 masyarakat tertentu Tidak bermuatan seksual Tidak bermuatan kekerasan Tidak bermuatan mistik, horor, dan supranatural Tidak bermuatan rokok, napza, dan minuman berakohol Tidak bermuatan perjudian 8 21 50 8 3 1 90 14 20 34 19 3 1 90 9 36 20 22 3 1 90 5 10 29 32 14 1 90 5 25 14 32 14 1 90 Tabel 1. Penilaian Tema Cerita Program Sinetron Skor penilaian yang paling tinggi diberikan oleh responden, Nilai angka dalam kolom: 1: Sangat tidak berkualitas, 2: Tidak berkualitas, 3: Antara Berkualitas dan tidak Berkualitas, 4: Berkualitas, 5: Sangat Berkualitas. Responden sebagai penonton FTV, merasakan hal-hal yang menjadi tema cerita seringkali tidak melindungi penonton secara kualitas tema. Penonton televisi di Indonesia masih memperhatikan kualitas tema cerita, tidak banyak penilaian sangat berkualitas diberikan kepada tayangan FTV, hanya penilaian bahwa tema cerita tidak memuat rokok penilaiannya tinggi, karena memang sangat tidak ditolerir menayangkan secara visual di televisi. Untuk yang lainnya dinilai rendah. Bahkan FTV tidak berpihak pada anakanak secara tema padahal sering mengambil porsi waktu pada jam anak-anak menonton. Simpulan Berdasarkan hasil data yang diperoleh dari responden, pada FTV hampir rata-rata responden memberikan nilai bahwa tema cerita FTV tersebut tidak berkualitas dalam menyajikan cerita. Hal ini bisa dilihat bahwa penilaian yang terbanyak pada setiap aspek kualitas adalah di dominasi oleh nilai sangat tidak berkualitas. Daftar Pustaka Ardianto, Elvinaro dan Lukrati. 2004. Komunikasi Massa Suatu Pengantar. Bandung: Simbiosa Rekatama Media. Cangara, Hafied. 2003. Pengantar Ilmu Komunikasi. Jakarta: Raja Grafindo Persada Nurudin. 2004. Komunikasi Massa. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Nurudin. 2014. Pengantar Komunikasi Massa. Jakarta: RajaGrafindo Persada. Naratama. 2004. Menjadi Sutradara Televisi. Jakarta: Grasindo. Effendi, Onong Uchjana. 1993. Ilmu, Teori dan Filsafat Komunikasi, Bandung: PT. Citra Aditya Bakti. 330 International Conference of Communication, Industry, and Community. Bali, 3-4 Maret 2016 ISBN: 978-602-74139-1-7 https: atau atau www.facebook.com atau RatingProgramTelevisiIndonesia http: atau atau en.wikipedia.org atau wiki atau Film_industry Biografi Penulis Penulis pertama Rama Kertamukti lahir di Jombang, 26 Oktober 1972. Mendapatkan gelar Sarjana Manajemen Komunikasi di Universitas Padjadjaran pada tahun 1996 dan menyelesaikan studi master di bidang Desain Komunikasi Visual di Institute Seni Jakarta pada tahun 2007. Sejak tahun 2010 aktif menjadi dosen di UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta Penulis kedua Niken Puspitasari lahir di Pontianak, 11 Januari 1983. Pada tahun 2007 mendapatkan gelar sarjana Hubungan Internasional di Universitas Pembangunan Nasional “Veteran” Yogyakarta. Kemudian pada tahun 2009 menyelesaikan gelar master Ilmu Komunikasi di Universitas Gadjah Mada Yogyakarta. 331 International Conference of Communication, Industry, and Community. Bali, 3-4 Maret 2016 ISBN: 978-602-74139-1-7 Alay Sebagai Bagian dari Industri Media Dicky Andika Fakultas Ilmu Komunikasi Universitas Mercu Buana Jakarta [email protected] Abstract The phenomenon of young people with clothing mimic the style of the artist and perform movements unique to the music programs and talk shows on television swasata. Their position was laid out to get the current image variations program the event. They are the one spectator fee or often referred to as "Alay". Alay is an acronym of "child kites" that in fact his dirty blond. Existence is a dynamic process, a "being" or "ridiculous". Alay existence as viewers of television programs is the existence of a program which require viewers to enliven an event. The method used in this research is a case study to give a detailed description of the background, characteristics and characters typical of the case, or from individuals who later of distinctive properties above that will be the case of a general nature. This study uses data collection through interviews, observation, and literature or documentation data.Teknik collection of data analysis using triangulation. From the results of research and discussion can be concluded that the existence of a television program that tracks the spectator becomes the most important part of the program. Because the audience paid (Alay) is needed to enliven the program itself so that the program becomes lively atmosphere and meet the needs of the image to make it look more crowded. Keywords: mass media, audience, television Abstrak Fenomena anak muda dengan pakaian meniru gaya artis dan melakukan gerakangerakan unik pada program musik dan talkshow di televise swasata. Posisi mereka ditata untuk mendapatkan variasi gambar saat program acara tersebut berlangsung. Mereka lah penonton bayaran atau yang sering disebut dengan istilah “alay”. Alay merupakan akronim dari “anak layangan” yang notabene-nya dekil dan berambut pirang. Eksistensi adalah suatu proses yang dinamis, suatu “menjadi” atau “mengada”. Eksistensi alay sebagai penonton program televisi adalah keberadaan dimana suatu program membutuhkan penonton untuk memeriahkan suatu acara. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah studi kasus untuk memberikan gambaran secara rinci tentang latar belakang, sifat-sifat serta karakter-karakter yang khas dari kasus, ataupun dari individu yang kemudian dari sifat-sifat khas diatas yang akan dijadikan hal yang bersifat umum. Penelitian ini menggunakan teknik pengumpulan data melalui wawancara, pengamatan, dan studi pustaka atau dokumentasi pengumpulan data.Teknik analisis data menggunakan triangulasi sumber. Dari hasil penelitian dan pembahasan yang dilakukan dapat disimpulkan bahwa eksistensi alay sebagai penonton program televisi menjadi bagian terpenting dalam suatu program. Karena penonton bayaran (alay) sangat dibutuhkan untuk memeriahkan 332 International Conference of Communication, Industry, and Community. Bali, 3-4 Maret 2016 ISBN: 978-602-74139-1-7 program itu sendiri agar atmosfer program tersebut menjadi hidup dan memenuhi kebutuhan gambar agar terlihat lebih ramai. Kata Kunci: Media Massa, Penonton, Televisi Pendahuluan Kajian tentang audiens televisi banyak bergeser pada abad kedua puluh, jauh dari keprihatinan tentang bagaimana audiens massa (atau audiens khusus seperti anak–anak) dipengaruhi oleh televisi. Kajian ini mencakup teori pengaruh atau efek-biasanya tidak sesuai dengan fakta dan didominasi oleh minat terhadap seks, kekerasan, dan politik. Hasil evolusi teknologi baru seperti teknologi radio, film, televisi, dan internet telah mewujudkan berbagai penonton seperti penonton film, penonton televisi dan sebagainya. Penonton memiliki peranan penting, penonton atau audien dianggap sebagai agen prima yang penting terhadap industri media massa. Kebanyakan produk yang dihasilkan oleh industri media berasal dari penonton dengan melibatkan penonton dengan jumlah yang besar (Burton, 2000: 45). Definisi penonton yang biasa disebut dengan istilah penerima, sasaran, pembaca, pendengar, pemirsa, audience, decoder atau komunikan. Penonton adalah salah satu aktor dari proses komunikasi. Karena itu unsur penonton tidak boleh diabaikan, sebab berhasil tidaknya suatu program televisi ditentukan oleh penonton (Cangara, 2007: 157). Menurut Burton (2000: 300) Penonton dibagi menjadi dua bagian, yaitu penonton yang terkonstruksi dan penonton aktif. Penonton yang terkonstruksi adalah dalam konteks membuat penonton bermakna, yakni dalam hal mengajak orang ke hadapan televisi. Mereka hanya ada didepan layar. Industri mencari jalan untuk mendapatkan mereka dan menggambarkan mereka ketika mereka ada disana. Deskripsi yang dipakai bersifat kualitatif dan kuantitatif. Sedangkan penonton aktif adalah terdapat proses mental aktif yang dilakukan oleh audiens pada saat menonton. Mengurai kode (decoding) televisi, membaca teks, melibatkan pemahaman terhadap kode-kode yang beraneka ragam dalam medium polisemik ini. Tetap duduk tidak sama dengan aktif. Teori kegunaan dan gratifikasi (uses anad gratification theory) kerap dipakai untuk memahami jenis aktivitas terinternalisasi ini (Burton, 2000: 303). Dari beberapa media massa yang ada saat ini, televisi masih menjadi media massa yang digemari oleh masyarakat, hal ini disebabkan televisi sebagai media massa sangat dirasakan manfaatnya. Televisi telah menjadi bagian tak terpisahkan dari kehidupan manusia. Banyak orang yang menghabiskan waktunya lebih lama didepan televisi dibandingkan dengan waktu yang digunakan untuk ngobrol dengan keluarga atau pasangan mereka. Bagi banyak orang, televisi adalah teman, televisi menjadi cermin perilaku masyarakat dan televisi menjadi candu (Morissan, 2005:1). Proses jual-beli pemirsa televisi ini akan sedikit berbeda logika dengan penonton program tersebut secara langsung. Stasiun televisi tidak bisa menjual penonton tipe ini kepada korporasi atau biro iklan. Alih-alih menjual, stasiun 333 International Conference of Communication, Industry, and Community. Bali, 3-4 Maret 2016 ISBN: 978-602-74139-1-7 televisi justru membeli sejumlah penonton yang seperti ini. Mereka dibayar untuk tepuk tangan, teriak-teriak, bersorak, ketawa-ketawa. Alay secara harfiah berasal dari kata “a” dan “Lay” yang merupakan akronim dari Anak Layangan, yang notabene-nya dekil (berkulit hitam kepanasan) dan berambut pirang matahari (rambut merah karena kepanasan). Alay pada awalnya dianggap sebagai pola hidup remaja kelas menengah ke bawah yang mengenakan dandanan trendy ala artis namun seadanya lengkap dengan gadget dan asesorisnya untuk sekedar mejeng dan gaya-gayaan (Shinta, 2011: 13). Penonton bayaran pada sebuah media televisi dihadirkan karena mudah diarahkan sesuai image satu acara, lebih tertib, dan selain itu kehadiran penonton dalam satu acara televisi sangat penting, bahkan tidak kalah pentingnya dengan pengisi acara. Penonton yang ekspresif, ramai dan mudah diarahkan membuat acara lebih hidup. Namun kendalanya tidak semua penonton seperti itu. Mereka akan dengan mudah diminta untuk bersorak, tepuk tangan, ketawa-ketawa atau bahkan menampilkan wajah sedih oleh pengarah acara. Berdasarkan uraian latar belakang permasalahan di atas, maka tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui alay sebagai bagian dari Industri Media. Tinjauan Pustaka Televisi adalah sebuah pengalaman yang kita terima begitu saja. Kendati demikian, televisi juga merupakan sesuatu yang membentuk cara berfikir kita tentang dunia. Televisi merupakan aktivitas industri dan sebentuk teknologi. Pandangan ini lebih tertarik pada kontrol sosial (dan kekuasaan) para perusahaanperusahaan televisi, pada globalisasi, pada implikasi perubahan teknologi terhadap masyarakat (dan audiens). Televisi pada hakikatnya adalah sebuah fenomena kultural, sekaligus medium dimana sepenggal aktivitas budaya menjamah kita di dalam rumah (Burton, 2000: 2). Menurut Elvinaro (2007: 137) banyak pakar memberikan pendapat tentang fungsi televisi bagi kehidupan masyarakat, namun dari banyaknya pendapat tersebut dapat disimpulkan tentang fungsi televisi, yaitu: 1. Sebagai media informasi 2. Sebagai media pendidikan 3. Sebagai media hiburan, dan 4. Sebagai media promosi Televisi sebagai media massa mempunyai banyak kelebihan dalam penyampaian pesan dibandingkan media massa lainnya, karena pesan yang disampaikan melalui gambar dan suara secara bersamaan dan hidup, sangat cepat dan dapat menjangkau ruang yang sangat luas. Televisi sebagai media hiburan menyajikan banyak program. Menurut Morissan (2005: 208-213) mengatakan bahwa program hiburan adalah segala bentuk siaran yang bertujuan untuk menghibur penonton dalam bentuk musik, 334 International Conference of Communication, Industry, and Community. Bali, 3-4 Maret 2016 ISBN: 978-602-74139-1-7 lagu, cerita dan permainan. Program yang masuk dalam kategori hiburan adalah drama, musik, permaianan (games). a. Drama: pertunjukan (show) yang menyajikan cerita mengenai kehidupan atau karakter seseorang atau beberapa orang (tokoh) yang diperankan oleh pemain (artis) yang melibatkan konflik serta emosi. b. Musik: program yang dapat ditampilkan dalam dua format yaitu video klip ataupun konser. Program musik ini sangat ditentukan oleh kemampuan artis untuk menarik penontonnya. Baik itu dari segi kualitas suara maupun penampilan artis tersebut. c. Permainan (games): bentuk permainan yang melibatkan sejumlah orang baik secara individu atau kelompok yang saling bersaing unruk mendapatkan sesuatu. Daya tarik televisi yang sangat luar biasa juga menimbulkan pengaruh yang sangat kuat akan dampak dari sebuah televisi. Kekuatan untuk membentuk opini masyarakat secara global dan cepat akan menciptakan efek-efek yang luarbiasa yang mampu mengubah dan mempengaruhi perilaku pemirsanya harus diimbangi dengan lahirnya kebijakan maupun etika dalam mengatur media ini agar dapat berfungsi sebagaimana mestinya. Televisi merupakan bagian dari media massa. Menurut Burhan Bungin (2008: 85), Media massa memiliki beberapa peranan diantaranya: 1. Sebagai intitusi pencerahan masyarakat, yaitu perannya sebgai media pendidikan. Media massa menjadi media yang setiap saat mendidik masyarakat supaya cerdas, terbuka pikirannya dan menjadi masyarakat yang maju. 2. Media massa menjadi media informasi, yaitu media yang setiap saat menyampaikan informasi kepada masyarakat. Dengan informasi yang terbuka, jujur, dan bener disampaikan media massa kepada masyarakat, maka masyarakat akan menjadi masyarakat yang kaya akan infromasi masyarakat yang terbuka dengan informasi, dan masyarakat akan menjadi informati, masyarakat yang dapat menyampaikan informasi dengan jujur kepada media massa. 3. Media massa sebagai hiburan, sebagai agent of change (institusi pelopor perubahan) media massa juga menjadi institusi budaya yaitu institusi yang setiap saat menjadi corong kebudayaan. Selanjutnya secara spesifik peran media massa saat ini lebih menyentuh persoalan – persoalan yang terjadi dimasyarakat secara aktual (Bungin, 2005: 86), yaitu: 1. Harus lebih spesifik dan proposional dalam melihat sebuah persoalan, sehingga mampu menjadi media edukasi dan media informasi sebagaimana diharapkan oleh masyarakat. 2. Dalam memotret realitas media massa harus fokus pada realitas masyarakat bukan pada kekuasaan yang ada dimasyarakat itu sehingga informasi tidak menjadi propaganda kekuasaan 335 International Conference of Communication, Industry, and Community. Bali, 3-4 Maret 2016 ISBN: 978-602-74139-1-7 3. 4. Sebgai lembaga pendidikan, media massa harus dapat memilah kepentingan pencerahan dengan kepentingan media massa sebgai lembaga produksi. Media massa harus juga menjadi early warning system. Hal ini terkait dengan peran media massa sebagai media informasi, dimana lingkungan saat ini menjadi sumber ancaman. Alay secara harfiah berasal dari kata “a” dan “Lay” yang merupakan akronim dari Anak Layangan, yang notabene-nya dekil (berkulit hitam kepanasan) dan berambut pirang matahari (rambut merah karena kepanasan). Alay muncul pada tahun 2000-an yang pada awalnya dianggap sebagai pola hidup remaja kelas menengah ke bawah yang mengenakan dandanan trendy ala artis namun seadanya lengkap dengan gadget dan asesorisnya untuk sekedar mejeng dan gaya-gayaan (Shinta, 2011, 13). Metodologi Metode penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah studi kasus, dengan menggunakan pendekatan kualitatif. Metode penelitian ini dilaksanakan dengan melakukan wawancara secara mendalam. Studi kasus merupakan salah satu metode penelitian ilmu sosial yang lebih cocok bila pokok pertanyaan suatu penelitian berkenaan dengan “how” atau “why”, bila penelitian hanya memiliki sedikit peluang untuk mengontrol peristiwa – peristiwa yang akan di selidiki dan bagaimana fokus penelitiannya terletak pada fenomena kontemporer (masa kini) di dalam konteks kehidupan nyata (Yin, 1995). Hasil Temuan dan Diskusi Kehadiran penonton dalam satu acara televisi sangat penting, bahkan tidak kalah pentingnya dengan pengisi acara. Tanpa adanya penonton bayaran (alay) akan terlihat sepi dan monoton. Bahkan dari hasil pengamatan peneliti, hampir semua acara televisi yang menghadirkan penonton menggunakan jasa penonton bayaran (alay). Satu dari sekian stasiun televisi yang seringkali menggunakan jasa penonton bayaran (alay) disetiap programnya adalah program-program di ANTV seperti program talk show Mel’s Update dan program musik Mantap. Berdasarkan hasil pengamatan, program “Mel’s Update dan Mantap” di ANTV adalah program yang tidak lepas dalam menggunakan jasa penonton bayaran (alay), penggunaan penonton bayaran (alay) digunakan untuk memancing penonton yang berada di rumah agar dapat merasakan atmosfer acara yang sedang berlangsung. Keberadaan penonton bayaran (alay) mampu mempengaruhi penonton yang ada di rumah seakan apa yang ditampilkan di lokasi sangat ramai. Mereka dipekerjakan untuk memeriahkan acara. Kebutuhan gambar dilayar memang menjadi kebutuhan utama. Semakin meriah dan ramai, maka program tersebut akan menarik minat pemirsa di rumah. 336 International Conference of Communication, Industry, and Community. Bali, 3-4 Maret 2016 ISBN: 978-602-74139-1-7 Dari hasil wawancara yang didapat, karena penayangan program Mel’s Update dan Mantap ditayangkan secara “live”, penonton bayaran (alay) menjadi hal penting, penonton bayaran (alay) dimanfaatkan untuk menjaga kestabilan ramainya acara dari awal hingga akhir acara. Faktor-faktor penentu kemeriahan dan keramaian dianggap penting selama proses produksi suatu program televisi. Penonton dapat menjadi kunci untuk meningkatkan daya tarik khalayak atau audien di rumah ketika ditayangkan di televisi. Daya tarik ini ditujukan untuk meningkatkan rating dan share acara yang bersangkutan dan akhirnya menarik pengiklan. Penonton bayaran atau alay ini sangat diperlukan karena sulit untuk mencari penonton biasa yang mau meramaikan sebuah acara televisi. Penonton bayaran (alay) juga lebih mudah diatur karena itulah tugas mereka. Mereka akan mudah diminta bersorak, tepuk tangan, ketawa, atau bahkan menampilkan wajah sedih. Dari hasil wawancara yang didapat, motivasi penonton bayaran (alay) yang sebagai penonton bayaran juga bermacam-macam. Mulai dari yang murni soal uang, ingin masuk televisi, mengisi waktu luang atau bahkan yang menjadikan profesi penonton bayaran ini sebagai batu loncatan untuk menjadi artis. Bayaran untuk penonton bayaran ini pun bermacam-macam, tergantung dari ara stasiun televisi yang mengundang. Umumnya mereka dibayar antara 25 ribu hingga 100 ribu per acara dan dalam sehari mereka dapat menjadi penonton bayaran untuk 2-3 acara yang berbeda.. Penonton bayaran (alay) selalu dituntut untuk tampil menarik dan meriah. Mereka mau tidak mau atau suka tidak suka akan menuruti tuntutan tersebut untuk tetap bisa menerima bayaran. Selain itu, hal ini pun telah menjadi lapangan pekerjaan baru atau bisa dikatakan sebagai profesi, karena dengan menjadi penonton bayaran mereka dapat memperoleh penghasilan untuk memenuhi kebutuhan hidup mereka sehari-hari. Simpulan Kesimpulan dari penelitian secara keseluruhan berikut ini: 1. Keberadaan alay atau penonton bayaran ini adalah warna baru dalam dunia pertelevisian, adanya alay atau penonton bayaran sangat membantu saat proses produksi berlangsung untuk mencapai hasil yang diinginkan. Alay atau penonton bayaran banyak membantu beberapa item yang tercetus dari sebuah ide kreatif, misalnya “gimmick”. Alay atau penonton bayaran tersebut akan siap menjalankan tugasnya dengan baik. 2. Motivasi penonton bayaran atau alay ini awalnya adalah ingin meramaikan saja dan membuat meriah acara tersebut, selain itu mereka juga ingin bertemu dengan artis dan mencari uang, karena tidak ada kegiatan apa-apa akhirnya menjadi penonton bayaran. Hal ini pun telah menjadi lapangan pekerjaan baru atau bisa dikatakan sebagai profesi mereka, karena dengan menjadi 337 International Conference of Communication, Industry, and Community. Bali, 3-4 Maret 2016 ISBN: 978-602-74139-1-7 penonton bayaran mereka dapat memperoleh penghasilan untuk memenuhi kebutuhan hidup mereka sehari-hari. Daftar Pustaka Ardianto, Elvinaro, (2007), Komunikasi Massa, Simbiosa Rekatama Media, Bandung Bungin, Burhan, (2008), Sosiologi Komunikasi, Jakarta, kencana. Burton, Graeme, (2000), Membincangkan Televisi, Jalasutra, Yogyakarta Cangara, Hafied (2007), Pengantar Ilmu Komunikasi, PT. RajaGrafindo Persada, Jakarta K. Yin, Robert, (2003), Studi Kasus Design dan Metode, PT. RajaGrafindo Persada, Morrisan, (2005), Jurnalistik Televisi, Ramdina Prakarsa, Jakarta , (2005), Media Penyiaran, Ramdina Prakarsa, Tangerang Moleong Lexy J, (2007), Metode Penelitian Kualitatif, Rosdakarya, Bandung, Jakarta Mulyana, Deddy, (2005)Ilmu Komunikasi Suatu Pengantar, PT. Remaja Rosdakarya, Bandung Riswandi, (2009), Ilmu Komunikasi : Graha Ilmu, Ygyakarta Shinta, Ayu, (2011), Handbook Alay “Kamus Pintar Bahasa Alay”, Araska, Yogyakarta Biografi Penulis Dicky Andika, lahir Palembang pada tanggal 14 april 1982. Menempuh pendidikan sarjana S1 di Universitas Islam Negeri Syarif Hidatullah pada tahun 2000-2004, dan melanjutkan pendidikan pascasarjana Departemen Ilmu Komunikasi Universitas Indonesia pada tahun 2005-2007. Sekarang sebagai dosen tetap Fakultas Ilmu Komunikasi dan menjabat sekretaris Fakultas Ilmu Komunikasi Univ. Mercu Buana Jakarta. Aktif sebagai peneliti dan pengapdian masyarakat di Universitas Mercu Buana Jakarta. Serta aktif menjadi pembicara dalam kajian Literacy media dan komunikasi antar budaya dan komunikasi politik. Penghargaan yang pernah diraih yaitu Dosen Terbaik Universitas Mercu Buana Jakarta Tahun 2012. Organaisasi aktif sebagai pengurus ISKI PUSAT sebagai ketua Dept. Organisasi dan aktif sebagai pengurus ASPIKOM JABODETABEK Bidang Kurikulum. email: [email protected] 338 International Conference of Communication, Industry, and Community. Bali, 3-4 Maret 2016 ISBN: 978-602-74139-1-7 PELANGGARAN ETIKA DALAM KERJA JURNALISTIK DI INDUSTRI MEDIA INDONESIA (PEMETAAN KASUS-KASUS PELANGGARAN ETIKA DAN KODE ETIK OLEH JURNALIS INDONESIA) Bonaventura Satya Bharata (Program Studi Ilmu Komunikasi FISIP-Universitas Atma Jaya Yogyakarta) [email protected] Abstract Journalism is an activity to do news coverage (news gathering), news writing (news writing), and the issuance of the news (news publishing). News generated normally be widely publicized through various media used, whether in print, electronic media, and online media. Impact of the news can be very broad and significant. Because of the journalistic work in contact with many people and have broad impact for the community, no doubt this process can not escape from the demands of ethics. Ethics became a kind of guidance or guidelines for journalistic work, so that the news generated a factual news, accurate, and proportionate. However, for Indonesia, it is not easy to uphold journalistic ethics is given so much importance and pressure that played during the journalistic process takes place. Intense competition and the situation boils down to economic interests, the interests of owners of media for imaging of politics, pressure repression community groups, and also pressure governments often make journalistic be prone ethics violations. Keywords: journalist, journalism, ethics Abstrak Jurnalistik merupakan kegiatan untuk melakukan peliputan berita (news gathering), penulisan berita (news writing), dan penerbitan berita (news publishing). Berita yang dihasilkan biasanya akan dipublikasi secara luas melalui berbagai media yang digunakan, baik media cetak, media elektronik, dan media online. Dampak berita pun bisa sangat luas dan signifikan. Karena pekerjaan jurnalistik bersinggungan dengan banyak orang dan berdampak luas bagi masyarakat, tidak pelak proses ini tidak dapat melepaskan diri dari tuntutan etika. Etika menjadi semacam panduan atau pedoman bagi kerja jurnalistik, agar berita yang dihasilkan merupakan berita yang faktual, akurat, dan proporsional. Akan tetapi, untuk di Indonesia, tidak mudah menegakkan etika jurnalistik ini mengingat demikian banyak kepentingan dan tekanan yang bermain selama proses jurnalistik berlangsung. Situasi kompetisi yang ketat dan bermuara pada kepentingan ekonomi, kepentingan pemilik media untuk pencitraan politik, tekanan represi kelompok-kelompok masyarakat, dan juga tekanan pemerintah sering membuat kerja jurnalistik menjadi rawan pelanggaran etika. Kata Kunci : jurnalis, jurnalistik, etika, dan kode etik 339 International Conference of Communication, Industry, and Community. Bali, 3-4 Maret 2016 ISBN: 978-602-74139-1-7 Pendahuluan Berita sebagai produk dari proses jurnalistik telah menjadi salah satu kebutuhan masyarakat. Di beberapa negara maju yang sudah melek informasi bahkan jumlah tiras suratkabar mampu melebihi jumlah penduduknya (Siregar, 2014: 5). Walau di beberapa tempat di belahan dunia yang lain, suratkabar mengalami penurunan tiras bahkan penutupan versi cetak suratkabar karena derasnya perkembangan teknologi dan informasi, namun berita sebagai produk jurnalistik sekiranya tidak akan pernah mati. Perkembangan teknologi ini justru memberikan bentuk-bentuk baru bagi produk jurnalistik. Produk jurnalistik memiliki posisi sentral dalam kehidupan manusia dan masyarakat karena perannya yang tidak kecil bagi kehidupan. Ketika anggota masyarakat berlangganan suratkabar misalnya, hal ini bukan hanya karena adanya dorongan untuk memenuhi kebutuhan informasi. Akan tetapi hal ini terjadi karena adanya kebutuhan untuk dapat memposisikan diri dalam kehidupan (Siregar, 1998: 19). Maksudnya dengan mendapatkan informasi dari berita, masyarakat mampu menentukan apa yang sebaiknya harus dilakukan pada situasi dan kondisi tertentu. Peran sentral produk jurnalistik ini berjalan seiring dengan fungsi media sebagai salah satu bentuk komunikasi massa. Salah satu fungsi komunikasi massa adalah pengawasan (surveillance). Fungsi pengawasan maksudnya adalah fungsi mengingatkan akan adanya potensi-potensi peristiwa atau kejadian krusial di masyarakat (Dominick, 2011: 31). Misalnya potensi bencana alam, potensi situasi ekonomi yang dapat memburuk, potensi wabah penyakit, potensi bahaya terorisme, dan sebagainya. Ketika berita menginformasikan adanya potensipotensi kejadian ini, tentu masyarakat mampu berjaga-jaga untuk melakukan tindakan antisipasi. Adanya fungsi dan peran penting dari produk jurnalistik ini sekaligus membuat posisi jurnalis atau wartawan yang bekerja di belakangnya menjadi penting dan istimewa. Seperti yang dinyatakan Ashadi Siregar (1998: 21) bahwa di satu pihak seorang jurnalis atau wartawan memang bertugas untuk merekonstruksi peristiwa tertentu yang diyakini perlu untuk diketahui masyarakat. Di sisi lain peristiwa tersebut diberitakan karena ia sebagai jurnalis atau wartawan sebenarnya telah menerima mandat dari masyarakat untuk melakukan proses rekonstruksi peristiwa sehingga bermanfaat bagi masyarakat. Mandat ini diberikan berdasarkan kepercayaan bahwa jurnalis atau wartawan tersebut memang mampu (baik dari sisi keahlian, intuisi, atau pengalaman) untuk melakukan proses rekonstruksi tersebut. Akan tetapi dalam realitasnya, tidak semua jurnalis atau wartawan mampu menjaga mandat istimewa ini. Tengok saja media penyiaran pada saat Teror Bom Thamrin 14 Januari 2016. Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) memberikan teguran tertulis kepada beberapa televisi swasta dan radio swasta Jakarta karena beberapa tindak pelanggaran, seperti menyiarkan berita tidak akurat (belum diverifikasi) mengenai lokasi bom di Jakarta dan penyiaran korban bom yang vulgar (tanpa teknik blur) sehingga penonton televisi dapat melihat 340 International Conference of Communication, Industry, and Community. Bali, 3-4 Maret 2016 ISBN: 978-602-74139-1-7 dengan sangat jelas bagaimana wujud korban bom tersebut. Wakil ketua Komisi Penyiaran Indonesia (KPI), Idy Muzayyad (dalam http://www.kpi.go.id/index.php/lihat-terkini/38-dalam-negeri/33157-liputanledakan-di-kawasan-thamrin-kpi-minta-televisi-dan-radio-sampaikan-beritaakurat diakses tanggal 16 Januari 2016) menyatakan bahwa liputan berita yang tidak akurat dan penayangan korban bom secara vulgar tentu dapat lebih memicu kepanikan warga. Tidak hanya pada media penyiaran televisi dan radio saja. Media online pun banyak yang masih bermasalah. Dewan Pers bahkan menyampaikan bahwa dari 2000 media onlile yang ada, hanya 10 persen atau tepatnya 211 saja yang sesuai dengan kaidah-kaidah jurnalistik walaupun mereka tetap mengaku sebagai media berita online (sumber : http://www.news.detik.com/read/2016/01/20/160939/3122996/10/dewan-persada-2000-media-online-hanya-211-yang-sesuai-kaidah-jurnalistik diakses tanggal 20 Januari 2016). Tentu dapatlah dibayangkan bagaimana kualitas berita yang dihasilkan, bila dalam prosesnya tidak menaati kaidah-kaidah jurnalistik. Bagaimana pula berita yang tidak taat kaidah jurnalistik ini dapat menjadi pedoman atau panduan bagi masyarakat untuk menjalani kehidupannya ? Di titik inilah sekiranya wacana mengenai etika jurnalisme dan kode etik masih relevan untuk diperbincangkan. Ketidakakuratan pemberitaan, penayangan korban teror yang vulgar, dan diabaikannya kaidah-kaidah jurnalistik dalam proses news gathering dan news writing senyatanya adalah bagian dari persoalan etika dan kode etik. Tulisan ini mencoba untuk mendeskripsikan beberapa bentuk pelanggaran etika dan kode etik yang terjadi pada realitas jurnalistik di Indonesia. Tulisan ini berangkat dari permasalahan sederhana, yakni apa dan bagaimana pelanggaran etika dan kode etik berlangsung di beberapa lembaga media di Indonesia ? Tinjauan Pustaka Etika berasal dari bahasa Yunani ‘ethos’ yang berarti adat kebiasaan, pemakaian, atau karakter. Etika merefleksikan ide atau gagasan masyarakat mengenai apa yang benar dan apa yang salah. Etika juga sering dideskripsikan sebagai satu unit prinsip-prinsip atau kode etik moral atau pedoman perilaku yang digunakan oleh manusia untuk melakukan suatu tindakan tertentu (Day, 2006: 3). Sedangkan etika menurut Franz Magnis Suseno (2001: 6) adalah refleksi sistematis berkaitan dengan pendapat-pendapat, norma-norma, dan istilah-istilah moral. Ada juga yang menyatakan bahwa etika dalam konteks jurnalistik merupakan cabang filsafat yang membantu jurnalis untuk menentukan apa yang benar dalam aktivitas atau praktek jurnalistik mereka. Etika seharusnya memberikan sejumlah prinsip atau pedoman bagi jurnalis yang dapat digunakan untuk memutuskan mana tindakan yang benar dan mana tindakan yang salah, mana tindakan yang baik dan mana tindakan yang buruk, mana tindakan yang 341 International Conference of Communication, Industry, and Community. Bali, 3-4 Maret 2016 ISBN: 978-602-74139-1-7 bertanggung jawab dan mana tindakan yang tidak bertanggung jawab (Itule dan Anderson, 2008: 469). Bill Kovach dan Tom Rosentiel menuliskan seperangkat etika atau sejumlah pedoman perilaku dalam jurnalistik bagi para jurnalis di Amerika Serikat pada tahun 2001 dan dibukukan dalam The Elements of Journalisme, What Newspeople Should Know and The Public Should Expect. Buku yang telah diterjemahkan ke dalam berbagai bahasa ini berangkat dari kegelisahan Kovach akan praktek jurnalisme di Amerika Serikat yang dirasakan semakin lama semakin jauh dari tujuan ideal jurnalisme. Kovach bersama Rosenstiel menuliskan sembilan pedoman perilaku atau etika yang sebaiknya dihayati dan dilaksanakan dengan baik oleh mereka yang memang memiliki keinginan kuat menjadi jurnalis. Adapun ke sembilan elemen tersebut adalah (1). Kewajiban pertama jurnalisme adalah pada kebenaran, (2). Loyalitas jurnalisme adalah kepada warga (citizens), (3). Intisari jurnalisme adalah disiplin verifikasi, (4). Para prakstisi jurnalisme harus dapat menjaga independensi terhadap sumber berita, (5). Jurnalisme harus berlaku sebagai pemantau kekuasaan, (6). Jurnalisme harus menyediakan forum publik untuk kritik maupun dukungan warga, (7). Jurnalis harus mampu membuat hal yang penting menjadi menarik dan relevan, (8). Jurnalis harus menjaga agar berita komprehensif dan proporsional, dan akhirnya (9). Para praktisi jurnalis harus diperbolehkan mengikuti nurani mereka (Kovach dan Rosentiel, 2003: 6). Bentuk praktis atau kongkret dari etika biasanya akan muncul dalam wujud kode etik. Kode etik biasanya dimiliki oleh kelompok-kelompok profesi tertentu. Selama ini kita mengenal kode etik dokter, kode etik apoteker, kode etik advokat atau pengacara, kode etik guru dan dosen, dan sebagainya. Sebagai sebuah profesi yang diakui masyarakat, jurnalis juga memiliki kode etik. Roy L. Moore dan Michael D. Murray (2012: 110) menyatakan bahwa kode etik merupakan standar pedoman perilaku bagi anggotanya biasanya disusun oleh organisasi profesi tertentu. Terdapat kode etik jurnalis yang berlaku umum, seperti kode etik jurnalis Indonesia (KEJI). Kode etik ini disepakati oleh beberapa organisasi profesi jurnalis yang ada di Indonesia. Selain itu ada pula kode etik yang disusun oleh masing-masing kelompok profesi jurnalis yang ada, seperti misalnya kode etik Persatuan Wartawan Indonesia (PWI), kode etik Asosiasi Jurnalis independen (AJI), dan kode etik Ikatan Jurnalis Televisi Indonesia (IJTI). Fungsi penting dari kode etik jurnalis profesional adalah membantu menguraikan dan mengingatkan kembali para jurnalis mengenai pilihan-pilihan moral yang sangat mungkin mereka hadapi dalam proses jurnalistik. Kode etik jurnalis ini memberikan sentuhan tanggung jawab dan apa yang diharapkan oleh jurnalis ketika menjalankan tugas-tugas mereka (Jacquette, 2007: 3). Pada akhirnya kode etik jurnalis profesional memberikan sejumlah pedoman apa yang seharusnya dilakukan oleh jurnalis ketika mereka menjalankan tugasnya dalam sebuah proses jurnalistik. 342 International Conference of Communication, Industry, and Community. Bali, 3-4 Maret 2016 ISBN: 978-602-74139-1-7 Kode Etik Jurnalis Indonesia misalnya. Kode etik ini berisi 11 pasal yang telah disepakati bersama oleh 29 asosiasi jurnalis di Indonesia pada tahun 2006 lalu. Pasal 1 kode etik ini berbicara tentang wartawan Indonesia yang sebaiknya bersikap independen, menghasilkan berita yang akurat, berimbang dan tidak beritikad buruk. Sedangkan pasal 2 menyatakan bahwa wartawan Indonesia menempuh cara-cara profesional dalam melaksanakan tugas jurnalistik. Kemudian pasal 4 berisi tentang wartawan Indonesia tidak membuat berita bohong, fitnah, sadis, dan cabul. (Syah, 2011: 173) Demikian pula kode etik jurnalis yang tergabung dalam organisasi Aliansi Jurnalis Independen Indonesia (AJI Indonesia). Kode etik ini memiliki 21 butir pedoman bagi jurnalis AJI Indonesia dalam melaksanakan tugasnya. Beberapa di antaranya : butir (1). Jurnalis menghormati hak masyarakat untuk memperoleh informasi yang benar; butir (5). Jurnalis memberikan tempat bagi pihak yang tidak memiliki kemampuan dan kesempatan untuk menyuarakan pendapat mereka; butir (10). Jurnalis menggunakan cara yang etis dan profesional untuk memperoleh berita, gambar, dan dokumen; dan butir (14). Jurnalis tidak menjiplak. (sumber: http://aji.or.id/read/kode-etik.html, diakses tanggal 16 Januari 2016). Metodologi Sumber tulisan untuk artikel ilmiah ini bersumber pada penelitian yang bersifat deskriptif. Metode penelitian deskriptif berarti teknik penelitian yang berupaya memaparkan data dengan sistematis, akurat, dan mendalam (Rakhmat, 2001: 24). Penelitian ini juga hanya bersifat menjelaskan peristiwa yang diteliti, tanpa berupaya mencari hubungan antar gejala atau hipotesis. Penulis mencoba menggambarkan beberapa bentuk pelanggaran etika dan kode etik sekaligus melakukan diskusi mengenai bentuk-bentuk pelanggaran tersebut didialogkan dengan beberapa konsep etika dan kode etik yang berlaku. Sumber data berasal dari hasil wawancara focus group discussion (FGD) terhadap delapan mahasiswa aktif FISIP Universitas Atma Jaya Yogyakarta yang melakukan kuliah magang di beberapa industri media baik cetak maupun elektronik dalam kurun waktu tahun 2014-2015. Menurut Monique Hennink, Inge Hutter, dan Ajay Bailey (2011: 136), FGD merupakan diskusi interaktif antara enam sampai delapan peserta yang diseleksi dan dipandu oleh seorang moderator terlatih serta fokus membahas isu tertentu. Hasil Temuan Data Dan Diskusi Berbasis pada hasil wawancara penelitian melalui focus group discussion (FGD), ditemukan beberapa bentuk pelanggaran etika dan kode etik jurnalistik. Adapun beberapa bentuk pelanggaran tersebut adalah sebagai berikut : 343 International Conference of Communication, Industry, and Community. Bali, 3-4 Maret 2016 ISBN: 978-602-74139-1-7 Narasumber Berita Fiktif Salah satu bentuk pelanggaran yang terjadi pada saat proses peliputan berita (news gathering) khususnya pada berita televisi, adalah narasumber berita fiktif. Narasumber berita fiktif ini maksudnya adalah mengada-adakan narasumber berita yang sebenarnya tidak ada atau tidak berhasil ditemukan dalam proses liputan berita. Seperti yang diketahui, salah satu teknik peliputan berita yang sering digunakan dalam jurnalistik televisi adalah wawancara. Wawancara dilakukan kepada narasumber tertentu biasanya dilakukan untuk melengkapi atau bahkan menguatkan deskripsi berita yang akan disampaikan. Jarang sekali ditemui berita televisi dilakukan tanpa adanya dialog atau wawancara dengan narasumber ini. Akan tetapi dalam operasional di lapangan, reporter jurnalistik televisi tidak selalu berhasil menemukan narasumber yang dimaksud dalam setiap proses peliputan berita. Pada titik ini, tidak jarang tim liputan, yakni reporter, kamerawan, dan bahkan driver liputan mendesain adanya narasumber fiktif guna melengkapi deskripsi berita. Biasanya terkait dengan metode vox-pop dalam peliputan berita. Vox-pop itu kan ibaratnya pendapat warga atau anggota masyarakat tentang sebuah keadaan atau situasi. Nah ... pernah suatu kali liputan tentang kenaikan harga sembako menjelang hari raya Lebaran. Salah satunya itu telur ayam. Tim liputan diminta untuk mencari pendapat warga yang dirugikan atas kenaikan ini, khsususnya pemilik warung makan. Misalnya pendapat warga yang biasanya buka rumah makan jadi susah mendapatkan telur ayam. Tetapi sampai di lapangan, nggak ada warga merasa keberatan dengan naiknya harga telur ayam tersebut. Warga merasa bahwa kenaikan tersebut merupakan hal yang wajar, yang pasti terjadi rutin pada saat menjelang hari raya. Jadi karena nggak dapat narasumber yang dimaksud dan sudah mulai dikejar deadline, jadi ya terus reporternya minta tolong sama ibu-ibu di pasar buat pura-pura mereka mau beli telur ayam tapi keberatan. Jadi pas diwawancara nantinya, ibunya ini diminta menjawab sama seperti yang disuruh. Jadi seperti diskenario begitu (wawancara FGD dengan Anggit Pramesti, mahasiswa magang di stasiun televisi swasta Jakarta, pada 15 Desember 2015). Seperti yang dituturkan oleh Anggit Pramesti ini yang melakukan kuliah magang di sebuah stasiun televisi swasta di Jakarta, jelas terjadi bagaimana dalam sebuah liputan berita, tim liputan dengan secara sengaja melakukan manipulasi narasumber berita, berupa narasumber fiktif. Sebenarnya tidak ditemukan warga yang merasa keberatan dengan kenaikan harga telur ayam tersebut karena menganggap bahwa kenaikan harga tersebut memang sudah pasti terjadi pada saat menjelang hari raya, sama seperti tahun-tahun sebelumnya. Tetapi karena dalam berita televisi membutuhkan fakta penguat agar berita tidak tampak subyektif, maka disusunlah narasumber fiktif untuk memberikan 344 International Conference of Communication, Industry, and Community. Bali, 3-4 Maret 2016 ISBN: 978-602-74139-1-7 tambahan fakta bahwa kenaikan harga telah memunculkan keberatan warga tersebut menjadi benar adanya. Pelanggaran seperti ini ternyata sudah jamak dilakukan oleh tim liputan berita televisi dan diyakini sebagai sebuah tindakan yang lumrah. Bahkan bila tidak berhasil menemukan narasumber fiktif tersebut, tim liputan berita bisa saja meminta bantuan pada mahasiswa yang sedang magang atau driver tim liputan untuk berperan sebagai narasumber fiktif tersebut. Tentu hal ini disesuaikan antara usia narasumber dengan tema berita yang sedang diangkat. Nggak cuma itu sih. Misalnya tim liputan nggak dapat narasumber untuk vox pop, maka nanti anak-anak maganglah yang disuruh pura-pura menjadi narasumber. Bahkan driver tim liputannya kadang-kadang juga diminta (menjadi narasumber). Dan seperti itu redaksinya tahu, kalau yang menjadi narasumber itu anak magang atau itu driver-nya. Tanggapannya hanya “nanti kalau mau seperti itu, jangan (mahasiswa atau driver) yang ini lagi, nanti takutnya ada penonton yang tahu. (wawancara FGD dengan Anggit Pramesti, mahasiswa magang di stasiun televisi swasta Jakarta, pada 15 Desember 2015). Masalah narasumber fiktif ini tentu meningatkan kita pada kasus serupa di beberapa tahun lalu, ketika sebuah stasiun televisi swasta Jakarta akhirnya pernah ketahuan menggunakan cara ini. Kasus tersebut adalah pada berita makelar kasus (markus) di kepolisian. Ketika itu memang sedang marak pemberitaan mengenai makelar jual beli kasus (markus). Sebuah stasiun televisi swasta Jakarta bahkan berani membayar seseorang untuk berpura-pura menjadi seorang makelar kasus. Kasus ini terbuka ketika narasumber fiktif tersebut berhasil dicokok oleh pihak kepolisian dan akhirnya mengaku bila ia hanya dibayar oleh stasiun televisi untuk berpura-pura menjadi narasumber berita yang sedang disiarkan. Penggunaan narasumber fiktif tentu tidak diperbolehkan dalam proses jurnalisme. Kovach dan Rosenstiel (2003: 37) menyatakan bahwa kewajiban jurnalisme adalah pada kebenaran. Kebenaran di sini tentu juga mengacu pada pemahaman bahwa fakta-fakta dalam jurnalisme harus benar adanya. Denis McQuail dalam buku lawasnya Media Performance, Mass Communication and The Public Interest (1992: 197) menyatakan bahwa kebenaran (truth) merupakan aspek penting dari faktualitas (factuality) di samping aspek relevansi (relevance) dan derajat informasi (informativeness) untuk membangun obyektivitas (objectivity) sebuah berita. Dengan demikian berita yang berbasis pada narasumber fiktif tentu tidak berkesesuaian etika jurnalisme yang ada. Dramatisasi Peristiwa. Selain narasumber fiktif, pelanggaran etika dan kode etik yang lain adalah dramatisasi peristiwa. Dramatisasi peristiwa merupakan upaya dari pengelola pemberitaan suatu media untuk mengemas peristiwa agar lebih tampak menarik untuk disimak. Jadi sebuah peristiwa layak berita biasa, namun dibuat menjadi lebih menarik agar mendapatkan perhatian dari audiens. Berbeda dengan 345 International Conference of Communication, Industry, and Community. Bali, 3-4 Maret 2016 ISBN: 978-602-74139-1-7 framing dalam jurnalistik yang juga merupakan upaya pekerja media untuk membuat berita menjadi lebih menarik, dalam dramatisasi persitiwa ini bagaimana peristiwa tersebut diberikan tambahan fakta yang sebenarnya tidak sesuai dengan peristiwa aslinya. Pernah terjadi pada kasus seorang bapak yang berniat menjual ginjalnya untuk biaya menebus ijazah kelulusan anaknya. Awalnya tidak ada cerita bahwa si bapak ini hendak bertemu dengan Presiden Jokowi untuk menyampaikan niatnya ini. Si bapak ini sebenarnya juga tahu kalau nggak mungkin bisa ketemu Presiden Jokowi. Tetapi ketika diundang ke studio untuk wawancara, si bapak ini diminta untuk mempunyai niat bertemu Presiden. Jadi dialog didesain sedemikian rupa, dan jawabanjawaban pertanyaan si bapak ini sudah di-skenario hingga terkesan lebih mengena. (wawancara FGD dengan Anggit Pramesti, mahasiswa magang di stasiun televisi swasta Jakarta, pada 15 Desember 2015) Kejadian mendramatisasi peristiwa ini mirip dengan narasumber fiktif pada pelanggaran sebelumnya. Narasumber berita awalnya hanya murni ingin menjual ginjalnya saja untuk menebus ijazah kelulusan anaknya yang ditahan pihak sekolah. Akan tetapi agar peristiwa ini tampak lebih menarik, didesainlah peristiwa tersebut dengan mengimbuhkan adanya keinginan si bapak tersebut untuk bertemu Presiden Jokowi dalam melaksanakan niatnya tersebut. Ini tentu dilakukan agar peristiwa ini menjadi lebih menarik perhatian pemirsa dibandingkan dengan hanya keinginan untuk menjual ginjal semata. Bila menilik pada kode etik jurnalis Indonesia dan kode etik Asosiasi Jurnalis Independen Indonesia (AJI Indonesia), tentu peristiwa ini bisa disebut sebagai pelanggaran. Kode etik AJI Indonesia butir pertama misalnya, menyatakan bahwa jurnalis menghormati hak masyarakat untuk memperoleh informasi yang benar sumber : http://aji.or.id/read/kode-etik.html, diakses tanggal 16 Januari 2016). Kode etik jurnalis Indonesia pasal 1 juga menyatakan bahwa wartawan Indonesia bersikap independen, menghasilkan berita akurat, berimbang, dan tidak beritikad buruk. Pada bagian penafsiran pasal 1 butir kedua (b) disebutkan bahwa akurat berarti dipercaya benar sesuai dengan keadaan obyektif ketika peristiwa itu terjadi (Syah, 2011: 174). Komersialisasi Ruang Berita Bila sebenarnya di dunia jurnalistik terdapat konsep firewall (dinding api atau pagar api) untuk memilah dengan tegas antara kepentingan bisnis dengan kepentingan redaksional di ruang berita (newsroom), namun dalam kenyataannya praktek jual beli ruang berita kepada pihak-pihak tertentu juga terjadi di newsroom suratkabar lokal atau suratkabar daerah. Dalih argumentasi yang digunakan biasanya adalah kerja sama antara manajemen redaksi dengan lembaga tertentu. Dasar argumentasi ini tentu merupakan eufimisme semata, karena pada kenyataannya, lembaga yang diajak atau mengajak kerja sama tersebut membayar sejumlah uang untuk dapat muncul di ruang berita suratkabar. 346 International Conference of Communication, Industry, and Community. Bali, 3-4 Maret 2016 ISBN: 978-602-74139-1-7 Di suratkabar tempat saya magang, beberapa kali melakukan kerja sama dengan beberapa lembaga tertentu. Istilahnya adalah sistem kontrak. Wartawan senior di suratkabar ini menjelaskan bahwa hal tersebut sebagai kerja sama antara suratkabar yang bersangkutan dengan beberapa lembaga, misalnya dengan dinas pendidikan atau pemerintah daerah (entah pemprov atau pemkot). Akan tetapi apapun namanya, keterikatan ini tentu mempengaruhi isi berita. Isi berita menjadi dangkal, dan terkesan hanya seremoni belaka ketika memberitakan instansi-instansi tersebut. Celakanya adalah ketika instansi tersebut memiliki masalah, masalah hukum misalnya, maka suratkabar ini akhirnya tidak mampu menjaga jarak ketika melakukan proses pemberitaan. (Wawancara FGD dengan Nancy Sitorus, mahasiswa magang di sebuah suratkabar lokal di Provinsi Jambi, pada 15 Desember 2015). Kejadian ini menunjukkan bahwa secara kelembagaan wartawan atau jurnalis gagal mempertahankan independensi ruang berita (newsroom) sesuai yang diamanatkan oleh Kovach dan Rosentiel (2003: 119). Bila jurnalis tersebut merupakan anggota AJI Indonesia, maka wartawan tersebut gagal memenuhi butir 6 dan 7 kode etik AJI Indonesia. Butir 6 menyebutkan bahwa jurnalis mempertahankan prinsip-prinsip kebebasan dan keberimbangan dalam peliputan, pemberitaan, serta kritik dan komentar. Sedangkan pasal 7 berbunyi jurnalis menolak segala bentuk campur tangan pihak manapun yang menghambat kebebasan pers dan independensi ruang berita (sumber : http://aji.or.id/read/kodeetik.html, diakses tanggal 16 Januari 2016). Lalu bagaimana caranya suratkabar tersebut mencari lembaga-lembaga yang bisa diajak untuk melakukan sistem kontrak atau kerja sama ? Ternyata wartawan-wartawan di suratkabar tersebut tidak hanya bertugas mencari dan menulis berita ketika melakukan proses jurnalistik. Bila berkenan dan ingin, wartawan-wartawan ini juga dapat dimintakan bantuannya untuk mencari iklan dalam bentuk apapun, entah iklan baris, iklan ruang, advertorial, bahkan juga kerja sama atau sistem kontrak seperti yang diceritakan di atas. Satu hal yang unik di suratkabar ini adalah wartawan selain bertugas mencari dan menulis berita, mereka dapat juga mencari calon pengiklan agar mau memasang iklan (apapun bentuknya) di suratkabar. Keberhasilan untuk mendapatkan pengiklan ini dapat merupakan penghasilan tambahan bagi si wartawan yang membawa pengiklan tersebut. (Wawancara FGD dengan Nancy Sitorus mahasiswa magang di sebuah suratkabar lokal di Provinsi Jambi, pada 15 Desember 2015). Dalam manajemen marketing atau pemasaran di lembaga media massa, sebenarnya dikenal adanya istilah advertorial. Advertorial (dalam Lane, King, Reichert, 2011: 509) merupakan bentuk periklanan yang disajikan dalam gaya bahasa jurnalistik. Gaya penulisan advertorial mirip dengan penulisan produk jurnalistik, namun isinya bukanlah berita, melainkan promosi mengenai lembaga, kegiatan, ataupun pandangan tertentu. Karena tetap merupakan bentuk iklan, 347 International Conference of Communication, Industry, and Community. Bali, 3-4 Maret 2016 ISBN: 978-602-74139-1-7 maka perlakuannya pun tetap merupakan bagian dari promosi dan pemasaran. Pada saat diterbitkan di suratkabar misalnya, posisinya pun ada di bagian iklan, tidak bercampur dengan berita. Itu juga mengapa ada konsep firewall (pagar api atau dinding api) dalam jurnalistik. Firewall merupakan batas antara manajemen redaksional dengan manajemen bisnis dalam sebuah lembaga media (Harsono, 2010: 45). Artinya adalah bahwa tidak boleh ada campur aduk antara urusan bisnis dengan redaksional, demikian pula sebaliknya. Praktek firewall dalam jurnalistik ini bahkan bisa berupa batas jelas di halaman suratkabar mana bagian yang diisi oleh berita dan mana bagian yang diisi oleh iklan. Biasanya ditunjukkan dalam garis pemisah yang jelas antara berita dengan iklan. Eksploitasi Teknik Pengumpulan Fakta Berita Observasi, wawancara, dan riset dokumentasi merupakan teknik-teknik pengumpulan fakta yang dilakukan oleh jurnalis dalam proses news gathering. Teknik-teknik inilah yang membantu jurnalis untuk memperoleh bahan baku berita yang pada tahap berikutnya siap untuk ditulis, diedit, dan diterbitkan atau disiarkan. Integritas jurnalis diperlukan dalam proses ini. Akan tetapi pelanggaran terhadap cara memperoleh bahan baku berita ini juga pernah terjadi Redaktur pernah meminta saya untuk melakukan liputan tentang peristiwa budaya. Kebetulan di Jogja waktu itu kan ada acara Kirab Budaya dan event ini merupakan event tahunan. Namun entah mengapa, tulisan saya tentang kirab budaya ini tidak jadi diterima. Redaktur menggantinya dengan mengutip dari internet mengenai acara Kirab Budaya tersebut. Seharusnya kan ketika mengutip dari internet, wartawan perlu menjelaskan kepada pembaca bahwa tulisan berita tersebut bersumber dari situs-situs tertentu di internet. Tetapi kalau saya perhatikan, tidak ada pemberitahuan kepada pembaca mengenai hal ini. Gaya tulisannya juga lebih bernuansa bahwa berita tersebut ditulis melalui observasi bukan melalui riset dokumentasi. Padahal si redaktur ini tidak hadir di acara tersebut. (Wawancara FGD dengan Mechtildis Wieke, mahasiswa magang di suratkabar nasional biro Yogyakarta, pada 15 Desember 2015). Ironisnya ternyata tidak media ini saja yang melakukan hal seperti di kutipan wawancara di atas, namun banyak media cetak lain juga melakukan hal ini. Artinya penulisan berita sebenarnya tidak berbasis pada teknik observasi, akan tetapi hanya sebatas pada riset dokumentasi melalui penelusuran situs-situ tertentu di internet. Akan tetapi gaya penulisan yang dilakukan lebih mengesankan bahwa tulisan berita ini diambil dengan metode observasi. Keberanian wartawan untuk melakukan cara ini memang tidak berlaku untuk semua jenis berita. Teknik-teknik ini lazim dilakukan untuk berita dengan kategori berita ringan atau soft news. Suratkabar ini tidak takut melakukan hal seperti ini karena ternyata banyak media lain yang melakukan hal yang serupa. Tetapi memang 348 International Conference of Communication, Industry, and Community. Bali, 3-4 Maret 2016 ISBN: 978-602-74139-1-7 mereka beraninya hanya pada berita-berita pada tataran soft news saja. Khususnya berita-berita yang berbasis pada event tahunan, seperti acara Kirab Budaya. Event tersebut biasanya tidak banyak perubahan dalam penyelenggaraannya dari tahun ke tahun. (Wawancara FGD dengan Mechtildis Wieke, mahasiswa magang di suratkabar nasional biro Yogyakarta, pada 15 Desember 2015). Bila redaktur dari lembaga suratkabar ini merupakan anggota AJI Indonesia, tentu ini merupakan bentuk pelanggaran terhadap butir 14 kode etik AJI Indonesia. Butir 14 menyatakan bahwa jurnalis tidak boleh menjiplak sumber: http://aji.or.id/read/kode-etik.html, diakses tanggal 16 Januari 2016).. Sekaligus redaktur ini melanggar pasal 2 kode etik jurnalis Indonesia (KEJI) yang berbunyi bahwa wartawan Indonesia menempuh cara-cara profesional dalam melaksanakan tugas jurnalistik. Pada penjelasan penafsiran pasal 2 ini disebutkan juga bahwa wartawan tidak melakukan plagiat, termasuk menyatakan hasil liputan wartawan lain sebagai karya sendiri (Syah, 2011: 174). Intervensi Pemilik Media Intervensi pemilik media dalam proses jurnalistik sebenarnya bukan cerita baru di industri media Indonesia. Intervensi pemilik media terjadi karena banyaknya pemilik media yang mempunyai kepentingan atas pemberitaan media terutama yang menyangkut kepentingan pribadi si pemilik media tersebut. Apalagi dalam beberapa tahun terakhir, ketika banyak pemilik media turun gelanggang ke dunia politik, media massa semakin memiliki posisi krusial untuk memuluskan tujuan dari si pemilik media tersebut. Intervensi pemilik media pada isi berita biasanya muncul dalam bentuk tidak langsung atau bersifat hegemonik. Artinya pekerja media yang dalam hal ini adalah jurnalis biasanya sudah memahami apa yang sekiranya diinginkan oleh si pemilik media terutama ketika peristiwa yang diberikan jelas-jelas menyangkut kepentingan si pemilik media atau bahkan si pemilik media tersebut sedang menjadi subyek pemberitaan. Selain itu jurnalis meyakini bahwa hal tersebut merupakan sebuah kewajaran. Jadi misalnya dalam Pemilu 2014 kemarin, stasiun televisi kami memiliki program yang dinamakan sebagai Program Khusus (ProgSus). Produser di redaksi menjelaskan bahwa program khusus seperti ini wajar dimiliki oleh stasiun televisi tersebut karena stasiun televisi lain yang pemilik medianya terjun ke politik juga memiliki program siaran serupa. Yang menjadi narasumber biasanya ya direksi dan komisaris di televisi masingmasing. Produser juga sampaikan bahwa ini nggak salah juga, karena lembaga media ini dimiliki oleh pemilik media yang posisinya adalah direksi dan komisaris di lembaga media tersebut. Jadi progsus ini nantinya akan memberitakan berita-berita orang yang terlibat di kegiatan direksi, komisaris, istri pemilik medianya bahkan partai politik di mana direksi atau komisaris atau juga pemilik media aktif di dalamnya. 349 International Conference of Communication, Industry, and Community. Bali, 3-4 Maret 2016 ISBN: 978-602-74139-1-7 (wawancara FGD dengan Anggit Pramesti, mahasiswa magang di stasiun televisi swasta Jakarta, pada 15 Desember 2015) Akan tetapi yang menjadi unik di sini adalah bahwa intervensi pemilik media tersebut di titik-titik tertentu ternyata sering pula berupa tindakan nyata. Maksudnya pemilik media ikut serta dalam proses jurnalistik yang sedang berlangsung. Hal ini terutama terjadi, bila peristiwa yang diberitakan menyangkut di pemilik media tersebut. Misalnya ketika pemberitaan mengenai Pemilu 2014 kemarin, redaksi memberitakan si pemilik media yang kebetulan menjadi pengurus dari partai politik tertentu dalam sebuah peristiwa. Sering kali via sekretarisnya tahu-tahu menelepon bahwa “maaf mbak, bapak mau lihat dulu naskahnya sebelum diterbitkan”. Dan bila si bapak ini ternyata tidak berkenan, maka ketika naskah berita ini dikembalikan ke redaksi, sekretarisnya juga akan menyampaikan bahwa “naskahnya jangan kayak gini mbak, tapi kayak gitu sesuai dengan keinginan bapak” (Wawancara FGD dengan Mechtildis Wieke, mahasiswa magang di suratkabar nasional biro Yogyakarta, pada 15 Desember 2015) Upaya menanamkan citra positif si pemilik media di mata publik menyebabkan news room sering menjadi tidak independen. Pekerja media dalam hal ini para jurnalis yang bekerja di lembaga-lembaga media tersebut sering akhirnya tidak berkutik ketika pemberitaan media harus sesuai dengan arah kepentingan si pemilik media. Para pekerja media sering terpaksa mengamini keinginan si pemilik media walaupun sebenarnya mereka paham benar bahwa hal tersebut tidak sesuai dengan idealisme tujuan jurnalistik. Di titik tertentu ada keinginan untuk melakukan resistensi, namun lebih sering untuk tidak dilaksanakan karena tekanan ekonomi yag kuat di kalangan para jurnalis. Muaranya sesama pekerja media tersebut hanya mampu mengeluh di belakang kantor. Iya cuma bisa mengeluh di belakang saja sih, di pantry misalnya. Mereka saling berkeluh kesah, semacam bentuk keberatan kalau media mereka hanya menampilkan parpol si pemilik media secara terus-menerus. Ada keinginan untuk melawan, tapi belum punya kekuatan. (Wawancara FGD dengan Stephanus Aranditio, mahasiswa magang di stasiun televisi swasta Jakarta. Pada 15 Desember 2015) Intervensi pemilik media ternyata tidak hanya untuk kepentingan politik semata, namun intervensi tersebut bisa terjadi dalam rangka kepentingan ekonomi media itu sendiri. Liputan terpaksa dilakukan karena ada instruksi langsung dari pemilik media, walaupun bila ditelaah berbasis pada kaidah-kaidah jurnalistik, terkadang liputan tersebut sama sekali tidak memiliki kekhasan untuk diberitakan. Yang lucu itu ketika saya diperintahkan untuk meliput ultah seorang oma (baca: nenek). Saya tanya ke mentor saya, kenapa oma ini harus diliput ? 350 International Conference of Communication, Industry, and Community. Bali, 3-4 Maret 2016 ISBN: 978-602-74139-1-7 Jawabannya ya itu karena disuruh pemilik media. Oma itu temannya pemilik media ini. Saya masih bertanya lebih lanjut, kenapa harus diliput majalah ini ? apa relevansinya, ya ? Mentor saya menjawab, sebenernya lebih untuk menjaga relasinya antara si oma ini dengan si pemilik media, supaya dibeli majalahnya. Oma ini kebetulan memiliki jaringan luas dengan hotel-hotel dan para pelaku industri wisata di Yogyakarta. Nah .... karena oma ini punya pengaruh yang cukup luas dan mampu untuk mempromosikan majalah ini, sosok oma ini perlu diliput. (Wawancara FGD dengan Ratna Patria, mahasiswa magang di majalah berita bulanan wisata di Yogyakarta, pada 15 Desember 2015) Intervensi pemilik pada proses jurnalisme jelas merupakan pelanggaran pada etika jurnalisme, khususnya berbicara mengenai independensi ruang berita (news room). Bill Kovach dan Tom Rosentiel (2003: 119) jelas menyampaikan bahwa para jurnalis harus memiliki kebebasan dari sumber yang mereka liput. Dalam hal ini, kebetulan yang menjadi sumber berita atau sumber liputan adalah aktivitas dan profil dari pemilik media. Pemilik media yang dengan hegemonik atu bahkan turun langsung di ruang redaksi, tentu merupakan upaya untuk mempengaruhi kebebasan jurnalis dalam melaporkan peristiwa. Jurnalis tentu menjadi tidak berdaya menghadapi situasi ini karena pada dasarnya jurnalis adalah juga karyawan dari lembaga si pemilik media. Bahkan untuk mereka yang menyadari dan keberatan akan situasi ini, mereka juga tidak dapat mengikuti kata hati atau nuraninya masing-masing. Padahal Bill Kovach dan Tom Rosentiel (2003: 233) mengamanatkan bahwa jurnalis harus diperbolehkan mengikuti hati nurani mereka ketika berada dalam posisi dilematis semacam ini. Simpulan Sebenarnya masih banyak lagi kasus-kasus pelanggaran etika jurnalistik yang unik terjadi dalam proses news gathering dan news writing. Walaupun tidak semua jurnalis atau wartawan Indonesia melakukan tindak pelanggaran ini, namun tentunya ini menjadi keprihatinan tersendiri tidak hanya bagi kalangan jurnalis dan juga bagi masyarakat selaku audiens dari media. Masyarakat atau publik tentu memiliki harapan untuk mendapatkan informasi berita yang baik dan akurat. Akan tetapi bila ternyata terdapat pelanggaran etika yang bermuara pada manipulasi, tentu publik patut ragu akan kualitas produk jurnalistik yang dihasilkan. Bila menilik deskripsi pelanggaran di atas, perlu pula dipahami bahwa pelanggaran etika yang terjadi bukan hanya karena faktor individu jurnalis yang ada di lapangan semata, tetapi juga berlangsung secara sistemik. Pelanggaran yang terjadi juga melibatkan individu manajemen redaksi bahkan hingga ke pemilik media. Oleh karena itu, kesadaran mengenai pentingnya etika jurnalitik perlu dipahami tidak hanya oleh jurnalis yang berada di lapangan saja, namun juga oleh semua pihak yang terlibat dalam proses jurnalistik itu sendiri. 351 International Conference of Communication, Industry, and Community. Bali, 3-4 Maret 2016 ISBN: 978-602-74139-1-7 Daftar Pustaka Buku Day, Louis Alvin. (2006). Ethics in Media Communication (5th Ed). Belmont: Thomson Wadsworth Dominick, Joseph R. (2011). The Dynamics of Mass Communication : Media in Transition (11th Ed). New York: McGraw-Hill International Harsono, Andreas. (2010). Agama Saya adalah Jurnalisme. Yogyakarta: Penerbit-Percetakan Kanisius Hennink, Monique, Inge Hutter, and Ajay Bailey. (2011). Qualitative Research Methods. London: Sage Publications Itule, Bruce D. and Douglas A. Anderson. (2008). News Writing and Reporting for Today’s Media. New York: McGraw Hill Jacquette, Dale. (2007). Journalistic Ethics, Moral Responsibility in The Media. New Jersey: Pearson Education-Prentice Hall Kovach, Bill dan Tom Rosentiel. (2003). Sembilan Elemen Jurnalisme, Apa yang Seharusnya Diketahui Wartawan dan yang Diharapkan Publik. Jakarta: Yayasan Pantau Lane, Ron. Karen King and Tom Reichert. (2011). Kleppner’s Advertising Procedure (18th Ed). New Jersey: Prentice Hall McQuail, Denis. (1992). Media Performance, Mass Communication and The Public Interest. London: Sage Publication Moore, Roy L. and Michael D. Murray. (2012). Media Law and Ethics (4th Ed). New York: Routledge Rakhmat, Jalaluddin. (2001). Metode Penelitian Komunikasi, Dilengkapi Contoh Analisis Statistik (9th Ed): Bandung. CV Rosda Karya Siregar, Amir Effendi. (2014). Mengawal Demokratisasi Media: Menolak Konsentrasi, Membangun Keberagaman. Jakarta: Penerbit Buku Kompas Siregar, Ashadi. (1998). Bagaimana Meliput dan Menulis Berita untuk Media Massa. Yogyakarta: Lembaga Penelitian, Pendidikan, dan Penerbitan Yogyakarta (LP3Y) Suseno, Franz Magnis (2001). Etika Jawa. Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama Syah, Sirikit. (2011). Rambu-Rambu Jurnalistik, dari Undang-Undang hingga Hati Nurani. Yogyakarta: Pustaka Pelajar Sumber Internet http://www.kpi.go.id/index.php/lihat-terkini/38-dalam-negeri/33157-liputanledakan-di-kawasan-thamrin-kpi-minta-televisi-dan-radio-sampaikan-beritaakurat http://www.news.detik.com/read/2016/01/20/160939/3122996/10/dewan-persada-2000-media-online-hanya-211-yang-sesuai-kaidah-jurnalistik http://aji.or.id/read/kode-etik.html 352 International Conference of Communication, Industry, and Community. Bali, 3-4 Maret 2016 ISBN: 978-602-74139-1-7 Biografi Penulis Bonaventura Satya Bharata, SIP, M.Si, lahir di Jakarta, 5 Agustus 1971. Menamatkan studi S-1 di Jurusan Ilmu Komunikasi FISIPOL-UGM Yogyakarta (1990-1995) dan S-2 di Pasca Sarjana Manajemen Komunikasi-Ilmu Komunikasi UI Jakarta dengan spesialisasi Manajemen Media (2001-2003). Tercatat sebagai Dosen Tetap di Program Studi Ilmu Komunikasi FISIP-Universitas Atma Jaya Yogyakarta (1998-sekarang). Sempat pula menjadi konsultan dan trainer untuk materi Media Relations bersama Jogja Education Partners (JEP) pada 20072010. Sekarang sedang menjadi trainer Kementerian Komunikasi dan Informatika untuk program Training for Trainer (TOT) Competency Based Training (CBT) Methodology (2015-sekarang). Menjadi salah satu kontributor penulis untuk beberapa buku, seperti Metode Penelitian Komunikasi :Teori dan Aplikasi (2005), Quo Vadis Televisi : Masa Depan TV dan TV Masa Depan (2010), Mixed Methodoloy dalam Penelitian Komunikasi (2011), Mozaik Indonesia : Catatan atas Fenomena Komunikasi, Politik, Sosial, dan Hukum di Indonesia (2012), Komunikasi dan Konflik (2012), Sport, Komunikasi, dan Audiens (2014), dan Komunikasi untuk Membangun Masyarakat Daerah (2014). Menulis pula artikel opini di beberapa suratkabar lokal Yogyakarta, seperti Radar Jogja, Harian Jogja, dan Bernas Jogja. 353 International Conference of Communication, Industry, and Community. Bali, 3-4 Maret 2016 ISBN: 978-602-74139-1-7 LEDAKAN MAKLUMAT DAN TEKNOLOGI KOMUNIKASI BARU DI BAWAH BAYU Intan Soliha Ibrahim, Nor Hissam Sulaiman, Juliana Abdul Wahab, Suhaimi Salleh Universiti Malaysia Sabah, Universiti Sains Malaysia [email protected] Abstract Multimedia Super Corridor (MSC) is a government platform towards penetration of information technology to the public through various mediums. Among these is the medium of print media (newspapers and magazines), electronic media (TV and radio), interactive media (online and digital broadcasting). In an era of spreading and sharing of information, the public should enrich themselves with information. This paper discusses and examines the explosion of new information and communication technologies in Sabah. Through observation, Sabah was among the states that are lagging behind in terms of ICT compared with other states in Malaysia. Therefore, the scope of discussion include accessibility and information literacy in Sabah which is influenced by two main indicators of technological change and involve the public awareness on the importance of information. Technological changes occur as a result of the request and also influenced by the growing economy. Public awareness of the importance of the dissemination and use of information lead to an explosion of information happening in Sabah, Sabah although a bit behind in terms of ICT compared with other states in Malaysia. However, it does not negate the geographic factor among the causes of the failure of the explosion of information in Sabah especially in rural and remote areas. The explosion of new information and communication technologies eventually have an impact on the people of Sabah, especially in terms of community development, and social mentality. The research used the quantitative and qualitative methodologies. Location study involving four zones in Sabah. Keywords: technology, Sabah and SDC Abstrak Koridor Raya Multimedia (MSC) merupakan platform kerajaan ke arah ketembusan teknologi maklumat kepada masyarakat melalui pelbagai medium. Antara medium tersebut adalah media cetak (akhbar dan majalah), media elektronik (TV dan radio), media interaktif (online dan penyiaran secara digital). Dalam era penularan dan perkongsian maklumat, masyarakat Malaysia harus memperkayakan diri dengan maklumat. Makalah ini membincangkan dan meneliti ledakan maklumat dan teknologi komunikasi baru di Sabah. Menerusi pemerhatian, Sabah merupakan antara negeri yang agak ketinggalan dari aspek ICT berbanding negeri lain di Malaysia. Oleh itu, skop perbincangan meliputi ketersampaian dan kecelikan maklumat di Sabah yang dipengaruhi oleh dua indikator utama iaitu perubahan teknologi dan melibatkan kesedaran masyarakat 354 International Conference of Communication, Industry, and Community. Bali, 3-4 Maret 2016 ISBN: 978-602-74139-1-7 mengenai kepentingan maklumat. Perubahan teknologi berlaku akibat adanya permintaan dan turut dipengaruhi oleh faktor ekonomi yang semakin berkembang. Kesedaran masyarakat terhadap pentingnya penyaluran dan penggunaan maklumat menyebabkan ledakan maklumat berlaku di Sabah, walaupun Sabah agak ketinggalan dari aspek ICT berbanding negeri lain di Malaysia. Namun, tidak menafikan faktor geografi antara penyebab kepada kegagalan ledakan maklumat di Sabah terutamanya di kawasan desa dan pedalaman. Ledakan teknologi maklumat dan komunikasi baru ini akhirnya memberikan impak kepada penduduk Sabah terutamanya dari aspek pembangunan masyarakat, mentaliti dan sosial. Kajian ini menggunakan dua metodologi iaitu kuantitatif dan kualitatif. Lokasi kajian melibatkan empat zon di Sabah. Kata Kunci: Ketembusan maklumat, perubahan teknologi, Sabah dan SDC Pendahuluan Koridor Raya Multimedia (MSC) merupakan platform kerajaan ke arah ketembusan teknologi maklumat kepada masyarakat melalui pelbagai medium. Antara medium tersebut adalah media cetak (akhbar dan majalah), media elektronik (TV dan radio), media interaktif (online dan penyiaran secara digital). Dalam era penularan dan perkongsian maklumat, masyarakat Malaysia harus memperkayakan diri dengan maklumat (Sumber: Wawasan 2020, 1991:36) dan atas dasar tersebut MSC dilancarkan pada 1 Ogos 1996. MSC menjadi mercu kemajuan bangsa dan Malaysia selaras dengan pembentukan wawasan 2020. Tun Dr.Mahathir Mohamed, mantan Perdana Menteri Ke-4 Malaysia bertanggungjawab dalam memperkenalkan Wawasan 2020 dan MSC. Selepas 12 tahun Koridor Raya Multimedia dilaksanakan, Datuk Seri Abdullah Ahmad Badawi, mantan Perdana Menteri Malaysia ke-5 melancarkan Koridor Pembangunan Sabah (SDC) pada 29 Januari 2008. Sebelum menyertai Malaysia pada tahun 1963, Sabah dikenali sebagai Borneo Utara. Uniknya Sabah berbanding semenanjung Malaysia adalah mempunyai lebih 50 etnik dan bahasa. Sejarah negeri Sabah turut dicatat dalam sejarah negara Brunei dan Malaysia. Pada abad ke-15 Sabah dipimpin oleh kerajaan Brunei sebelum diberikan kepada pihak British. Bentuk muka bumi (topografi) Sabah menarik kerana bergunungganang dan mempunyai kawasan hutan tebal. Oleh itu, SDC ditubuhkan atas dasar inisiatif kerajaan bagi meningkatkan kualiti kehidupan penduduk Sabah dengan memacu pertumbuhan ekonomi Sabah, mempromosikan keseimbangan wilayah, dan menghapuskan jurang antara bandar dan luar bandar. Ini penting dalam memastikan pengurusan lestari bagi sumber negeri Sabah. Tempoh perlaksanaan SDC dijangka selama 18 tahun, bermula dari tahun 2008 sehingga 2025. Sabah dijangka boleh meningkatkan pembangunan dalam semua aspek sama ada sosial, ekonomi, fizikal dan alam sekitar. Antara salah satu wawasan yang ingin dicapai adalah menjadikan Sabah sebuah negeri mahir teknologi yang menggunakan dan memperagakan teknologi dalam usaha 355 International Conference of Communication, Industry, and Community. Bali, 3-4 Maret 2016 ISBN: 978-602-74139-1-7 meningkatkan kualiti kehidupan seharian. Manakala misi SDC adalah untuk meningkatkan keupayaan penerimaan ilmu dan inovasi serta memupuk ‘daya fikir kelas pertama’ (sumber: Koridor Pembangunan Sabah, 2008: 23). Menerusi pemerhatian, Sabah merupakan antara negeri yang agak ketinggalan dari aspek ICT berbanding negeri lain di Malaysia. Terdapat dua faktor utama yang menyumbang kepada fenomena ini iaitu faktor geografi (topografi) dan aspek teknologi (akses kepada peralatan). Isu ini membawa kepada ketersampaian dan kecelikan maklumat di Sabah. Tinjauan Pustaka Kajian ICT menyumbang kepada pembangunan negara dan masyarakat. Justeru, menerusi pangkalan data Krisalis Discovery terdapat 20,338,258 kajian mengenai ICT secara umumnya dan terdiri daripada pelbagai disiplin ilmu. Ledakan teknologi komunikasi maklumat menjadi pendokong utama kepada proses pembangunan negara sama ada dalam bandar dan luar bandar (Berita Harian, 2003). Dalam konteks kajian ini, ledakan maklumat merujuk kepada ketembusan maklumat di seluruh kawasan di negeri Sabah dan tujuan penggunaan ICT di kawasan pedalaman Sabah. Ini kerana penggunaan ICT dalam ketersampaian dan kecelikan maklumat adalah selaras dengan konsep SDC dalam membangunkan Sabah. Selain itu, faktor geografi (topografi) dan akses mendapatkan maklumat merupakan cabaran kepada ketersampaian dan kecelikan maklumat di Sabah. Menurut Wan Mustama (2004) ini memperlihatkan unsur keupayaan perhubungan teknologi maklumat seperti televisyen, radio, email, dan akhbar online kepada masyarakat. Terdapat tiga unsur dalam teknologi maklumat dan komunikasi di Sabah iaitu yang pertama melibatkan manusia yang mana masyarakat menggunakan ICT untuk tujuan pembangunan kemahiran dan pendidikan. Keduanya, unsur infrastruktur yang mana melibatkan penggunaan rangkaian dan peralatan yang mampu milik dan ketiga adalah aplikasi yang merujuk kepada interaktiviti dan hiburan. Untuk itu, dalam usaha mewujudkan komuniti yang celik maklumat di Sabah, pengemblengan usaha dari semua pihak (kerajaan dan swasta) penting untuk mencapai objektif SDC. Metodologi Untuk mendapatkan maklumat mengenai ketembusan dan kecelikan maklumat di Sabah, kajian ini menggunakan pendekatan kuantitatif dan kualitatif. Pendekatan kuantitatif adalah dengan menggunakan borang soalselidik sebagai instrumen utama dalam mendapatkan data. Manakala pendekatan kualitatif diaplikasi untuk tujuan mendapatkan maklumat yang mendalam dan menyokong dapatan kajian kuantitatif bagi tujuan validasi. Bagi tujuan persampelan dan kutipan data, pilot study telah dilakukan terlebih dahulu bagi tujuan menguji reliabiliti dan validiti soal-selidik. Untuk tujuan itu, sebanyak 50 orang responden telah dipilih daripada zon bandaraya Kota Kinabalu. Jumlah 356 International Conference of Communication, Industry, and Community. Bali, 3-4 Maret 2016 ISBN: 978-602-74139-1-7 keseluruhan responden yang terlibat dalam kajian ini adalah seramai 822 responden. Manakala lokasi kajian terdiri daripada Zon A (Kota Kinabalu, Kota Marudu, Kudat, Kota Belud dan Ranau-Kundasang), Zon B (Keningau, Sipitang, Tenom dan Beaufort), Zon C (Beluran dan Sandakan) serta Zon D (Semporna, Tawau dan Sebatik). Rajah 1.1 menunjukkan peta lokasi kajian. Gambar 1: Peta Lokasi Kajian Kaedah analisis data yang digunakan adalah analisis statistikal dan spatial yang diaplikasi bagi tujuan menguji set data, analisis deskriptif, Principle Component Analysis (PCA) dan GIS spatial interpolation. Hanya keputusan yang mencapai tahap signifikasi 95% dan keatas diinterpretasi oleh penyelidik. Hasil Temuan dan Diskusi Saluran Teknologi Maklumat Di Sabah Schramm dan Porter (1982:343) menyatakan ketersampaian dan kecelikan maklumat sebenarnya melibatkan banyak saluran (medium) dan pengguna. Oleh itu, ketersampaian dan kecelikan maklumat banyak bergantung kepada peranan sesebuah saluran sebagai medium perantara dan penyampai. Menurut Katz (2003:4), seiring dengan perkembangan teknologi, medium tersebut menjadi lebih sofistikated untuk meningkatkan kualiti kehidupan masyarakat malah memainkan peranan yang penting dalam membentuk perlakuan masyarakat (what we do, where we go or how we behave). Jika ditelusuri sejarah teknologi maklumat dan komunikasi (ICT) sebenarnya bermula dengan teknologi percetakan iaitu suratkhabar dan majalah. Menurut De Fleur dan Ball-Rokeach (1977, dalam Samsuddin A. Rahim, 2003:49) kertas mula digunakan sebagai alat tulis bagi menggantikan kulit 357 International Conference of Communication, Industry, and Community. Bali, 3-4 Maret 2016 ISBN: 978-602-74139-1-7 kambing yang digunakan sebagai kertas tulis atau ‘parchment’ dalam dunia Islam pada kurun yang kelapan. Dari dunia Islam, penggunaan kertas mula tersebar ke dunia Barat, terutama apabila suku Moors menakluki Sepanyol. Dari kurun tersebut hinggalah mesin cetak dicipta pada kurun ke-15, kebanyakan tulisan hanyalah tersebar dalam kalangan golongan yang tertentu sahaja, terutama golongan agama, elit politik dan para cendiakiawan. Daripada perkembangan teknologi cetak kurun ke-19, komunikasi massa dikatakan telah mengalami satu revolusi pada kurun ke-20. Pada kurun tersebut teknologi media elektronik mulai berkembang. Pada dekad pertama kurun ke-20, wayang gambar mulai diperkenalkan sebagai satu corak hiburan keluarga. Kemudian pada tahun 1920-an, radio telah mulai dicipta dan menembusi ruang tamu setiap rumah di Barat dan tidak lama kemudian televisyen muncul (Walter I. Romanow & Walter C. Soderlund, 1996). Dengan adanya penciptaan inovasi, saluran seperti suratkhabar, majalah, radio, dan televisyen mula mengalami evolusi dari aspek teknologi (dari teknologi analog (tradisional) kepada teknologi digital) apabila muncul teknologi maklumat. Saluran teknologi maklumat menjadi perantara penting bagi memastikan ketersampaian maklumat kepada masyarakat di Sabah. Jadual 1.1 merupakan medium yang menjadi saluran penyampaian maklumat di Sabah hasil daripada dapatan kajian. Saluran Internet Jenis E-mel Pelayar Web Bilik Sembang (IRC) Kumpulan Berita Mesej Segera (Instant Messaging) Sidang Video (Videoconferencing) Majalah Tradisional Online Suratkhabar Tradisional Online Radio Radio Analog (FM & AM) Radio Satelite (Astro) Radio Internet Televisyen Free-to-air (FTA) Satelite (Astro) Television Receive-Only (TVRO) Tabel 1. Jenis Saluran Teknologi Maklumat di Sabah Saluran dalam Jadual 1.1 disediakan oleh pihak Kerajaan dan swasta bagi memastikan ketersampaian maklumat, hiburan, dan pendidikan kepada masyarakat di Sabah bagi menghasilkan masyarakat yang celik penggunaan ICT. Justeru itu, SDC diperkenalkan bagi membantu dalam merapatkan jurang digital 358 International Conference of Communication, Industry, and Community. Bali, 3-4 Maret 2016 ISBN: 978-602-74139-1-7 antara kawasan bandar dan luar bandar. Saluran dalam jadual 1.1 merupakan saluran yang turut digunakan di Malaysia kecuali penggunaan television-receiveonly (TVRO). TVRO merujuk kepada TV parabola. Penggunaan TVRO di Semenanjung Malaysia adalah tidak dibenarkan, begitu juga di Sabah dan Sarawak. Namun begitu, atas faktor geografi (bentuk muka bumi Sabah) dan akses penerimaan teknologi yang lemah telah menyumbang kepada penggunaan TVRO di Sabah sebagai sebuah saluran untuk masyarakat mendapatkan maklumat dan hiburan. Ketembusan & Kecelikan Maklumat Di Sabah Sehingga kini, perkembangan ICT di Sabah masih ketinggalan berbanding dengan negeri lain di Malaysia. Antara saluran popular yang sering digunakan oleh penduduk Sabah, bagi mendapatkan maklumat dan hiburan adalah surat khabar, radio, televisyen (FTA, Astro & TVRO) dan internet. Gambar 2: Akses Maklumat Gambar 1.2 menunjukkan sebab kepada penggunaan saluran tersebut adalah untuk mendapatkan akses kepada pendidikan dan maklumat, isu-isu semasa, isu keagamaan dan budaya, dokumentari dan program antarabangsa. Akses ini adalah mengikut jantina dan mendapati bahawa akses kepada hiburan menerusi rancangan antarabangsa adalah tinggi berbanding akses kepada pendidikan dan maklumat. Kecenderungan kedua-dua jantina dalam memilih hiburan adalah selari dengan item Teori Kegunaan dan Pemuasan iaitu melepaskan diri daripada tekanan (escapism) setelah penat berkerja dan belajar. Namun begitu, tetap ada kekangan untuk sesetengah penduduk Sabah dalam mendapatkan akses kepada penggunaan ICT. Faktor geografi yang bergunung-ganang dan berhutan tebal menyumbang kepada kesukaran untuk mendapatkan akses tersebut di kawasan pedalaman Sabah. Terutamanya akses penggunaan yang melibatkan transmisi analog dan satelit tidak dapat menembusi sesetengah kawasan pedalaman. Perkara ini merupakan punca sesetengah kawasan pedalaman di Sabah agak ketinggalan dan terpaksa menggunakan 359 International Conference of Communication, Industry, and Community. Bali, 3-4 Maret 2016 ISBN: 978-602-74139-1-7 alternatif akses penggunaan ICT yang lain. Sebagai contohnya, siaran televisyen FTA (free-to-air) yang terdiri daripada RTM 1, RTM 2, TV3,NTV7, TV 8 dan TV 9 tidak dapat diterima disesetengah kawasan di Sabah terutamanya di Beluran, dan beberapa kawasan pedalaman di Keningau. Ini dapat dibuktikan melalui dapatan kajian dalam rajah 1.3. Gambar 3: Penggunaan FTA Berdasarkan rajah 1.3, dapat dijelaskan bahawa penggunaan siaran FTA tidak begitu memberangsangkan di kawasan Sandakan, dan Tawau. Penggunaan siaran FTA yang rendah dikawasan tersebut turut disebabkan oleh faktor topografi (keadaan muka bumi). Sebaliknya, penggunaan siaran FTA lebih berpengaruh di kawasan Pantai Barat (Kota Kinabalu, Ranau & Kudat). Untuk tidak ketinggalan, penduduk yang tidak dapat menerima siaran FTA terpaksa mencari alternatif lain seperti menggunakan perkhidmatan TVRO (parabola) atau ASTRO bagi mendapatkan maklumat dan hiburan dari perkhidmatan tersebut. Ini dapat dibuktikan melalui rajah 1.4 mewakili corak penggunaan Astro dan rajah 1.5 mewakili corak penggunaan TVRO. 360 International Conference of Communication, Industry, and Community. Bali, 3-4 Maret 2016 ISBN: 978-602-74139-1-7 Gambar 4: Penggunaan ASTRO Gambar 5: Penggunaan TVRO Berdasarkan rajah 1.4 dan 1.5, penggunaan TVRO adalah lebih tinggi berbanding Astro di kawasan pedalaman Sabah. Dapatan kajian menerusi temu bual mendapati bahawa faktor geografi (topografi) mempengaruhi pemilihan penggunaan saluran. Ini kerana, jarak antara bandar dan pekan bagi sesebuah kawasan pedalaman adalah sangat jauh dan mengambil masa dua hingga tiga jam bagi perjalanan sehala. Oleh itu, masyarakat pedalaman lebih memilih TVRO kerana tidak perlu membuat pembayaran setiap bulan seperti Astro dan dalam masa yang sama tidak ketinggalan daripada mendapat maklumat dan hiburan. Dalam kata lain, penggunaan TVRO adalah lebih bersifat ekonomikal daripada aspek masa dan jarak bagi penduduk pedalaman Sabah. Hal ini membuktikan bahawa ledakan teknologi maklumat dan komunikasi (ICT) di Sabah memberi kesedaran kepada penduduknya untuk mendapat akses kepada maklumat tanpa mengira jenis saluran yang digunakan. 361 International Conference of Communication, Industry, and Community. Bali, 3-4 Maret 2016 ISBN: 978-602-74139-1-7 Bagi membangunkan perkembangan ICT di Sabah, SDC telah mengambil inisiatif untuk memastikan Sabah bersedia dan berupaya mengikuti perkembangan ICT supaya industri berkaitan kekal berdaya saing di samping mengurangkan jurang digital desa dan Bandar. Walaupun infrastruktur merupakan fokus penting SDC, segala usaha akan dilakukan untuk memastikan pelaksanaan dijalankan dalam keadaan mampan dan mesra alam sekitar (Sumber: Koridor Pembangunan Sabah, 2008:125). Ledakan ini menyebabkan berlakunya ketersampaian dan kecelikan maklumat dalam kalangan masyarakat. Terdapat dua indikator; 1) perubahan teknologi, dan 2) kesedaran masyarakat mengenai kepentingan maklumat. Perubahan teknologi ini disebabkan oleh faktor ekonomi dan wujudnya permintaan daripada masyarakat. Manakala, kesedaran masyarakat mengenai kepentingan maklumat didorong oleh faktor keinginan untuk menguasai sesuatu bidang. Hal ini kerana teknologi maklumat dan komunikasi (ICT) merupakan satu keperluan dalam kehidupan harian masyarakat dalam membuat urusan sama ada di sektor kerajaan, swasta mahupun persendirian (pendidikan dan sebagainya). Indikator perubahan teknologi dan kesedaran masyarakat ini disokong oleh Gates (Taylor, 1996:1) yang menyatakan perubahan teknologi akan menyebabkan masyarakat berubah dari aspek menjalankan aktiviti harian, serta masyarakat mula belajar untuk menguasai sesuatu bidang dan belajar untuk mencari ketenangan (hiburan). Simpulan Ledakan teknologi komunikasi dan maklumat telah menyumbang kepada ketembusan dan kecelikan maklumat dalam kalangan masyarakat di Sabah. Atas kesedaran itu, masyarakat mengambil pelbagai inisiatif untuk memperkasakan diri dengan ilmu dan maklumat melalui pelbagai jenis medium (TVRO, FTA, radio analog, radio digital, Internet, dan akhbar), walaupun terdapat kekangan daripada aspek geografi dan akses peralatan. Untuk itu, pihak berkuasa seperti badan kerajaan perlu meningkatkan keupayaan transmisi FTA dan capaian internet di kawasan pedalaman Sabah bagi memastikan kawasan pedalaman Sabah tidak ketingalan dalam mendapatkan informasi. Selain itu, pihak Astro perlu menyediakan satu kemudahan seperti kiosk pembayaran di kawasan pedalaman Sabah yang jauh daripada pekan bagi memudahkan golongan tersebut melanggan kemudahan TV dan radio satelit. Rujukan Berita Harian. (2003) ICT Penggerak utama pembangunan bandar. Dipetik daripada aplikasi.kpkt.gov.my Katz, H. 2003. The Media Handbook. Lawrence Erlbaum Associates: United States of America. Rangka Tindakan Koridor Pembangunan Sabah 2008-2025. 362 International Conference of Communication, Industry, and Community. Bali, 3-4 Maret 2016 ISBN: 978-602-74139-1-7 Samsuddin A. Rahim. 2003. Asas Komunikasi. Kuala Lumpur: Dewan Bahasa dan Pustaka. Schramm, Wilbur & Porter, William E. 1982. Men, Women, Messages, and Media: Understanding Human Communication, 2nd ed. New York: HarperCollins Publisher. Syahruddin, A.A. (2010). Kempen dan Pembujukan. Universiti Malaysia Sabah. Wawasan 2020. 1991. Ucapan Dato’ Seri Dr.Mahathir Mohamad. Malaysian Business Council. Walter I. Romanow & Walter C. Soderlund.(ed.). 1996. Media Canada: An Introductory Analysis. Toronto: Copp Clark Ltd Wan Mustama Wan Abd Hayat (2004). Integrasi ICT dalam pengurusan dan kepimpinan pendidikan: Isu dan Cabaran. Jurnal Pengurusan dan Kepimpinan Pendidikan, 14 (2). Biografi Penulis Intan Soliha Ibrahim adalah pensyarah muda di Fakulti Kemanusiaan, Seni dan Warisan, Universiti Malaysia Sabah dan merupakan pelajar Doktor Falsafah di Pusat Pengajian Komunikasi, Universiti Sains Malaysia. Nor Hissam Sulaiman adalah pensyarah di Universiti Utara Malaysia dan merupakan pelajar Doktor Falsafah di Pusat Pengajian Komunikasi, Universiti Sains Malaysia. Juliana Abdul Wahab adalah pensyarah kanan Bahagian Filem dan Penyiaran di Pusat Pengajian Komunikasi, Universiti Sains Malaysia. Suhaimi Salleh adalah pensyarah kanan di Fakulti Kemanusiaan, Seni dan Warisan, Universiti Malasyia Sabah. 363 International Conference of Communication, Industry, and Community. Bali, 3-4 Maret 2016 ISBN: 978-602-74139-1-7 KARIKATUR-KARIKATUR CHARLIE HEBDO: EKSPRESI KEBEBASAN ATAU KEBENCIAN? Triyono Lukmantoro Jurusan Ilmu Komunikasi FISIP Universitas Diponegoro Semarang [email protected] Abstract Caricatures not only give funny effects. The drawings that are interpreted as contain humor and criticism present debates about freedom of expression and hate speech. The phenomenon can be seen when the office of Charlie Hebdo on Paris, France, was attacked by terrorists. The tragic event happened on January 7, 2015, several days after the tabloid presented Prophet Mohammed caricature. Twelve people became victims of the deadly attack, ten of them are members of Charlie Hebdo editors and two others are the police. In fact, Charlie Hebdo not only satirizes the groups of Islam, but also the Jewish and the Christians. It can be stated that the Charlie Hebdo caricatures actually offense the others by mocking and even harassing. On the one aspect, sarcastic criticism can be considered as usual act, even fair and reasonable. It is because in European countries, the basic principle is individualism. But, on the other aspect, caricatures that exist in any countries, Paris, France, no exception, surely are read by people who are interested. Even more the caricatures evoke controversy. The Charlie Hebdo caricatures can no longer be assessed as freedom of expression, but as the expression of hate speech. It is because the caricatures express honor killings for the others based on religious. The Charlie Hebdo cases give contemplations that caricatures are journalism products. In the ethical perspective, caricatures makers must consider morality standard of communities. Caricatures admittedly quip the certain communities while give humor. But, if caricatures too nosy and harassing the others, tragedy will be happened. Expressly to be declared that hate speech can not be justified by excusing as freedom of expression. Keywords: caricatures, Charlie Hebdo, freedom of expression, hate speech Abstrak Karikatur-karikatur tidak hanya mampu memberikan efek kelucuan. Ternyata, berbagai gambar yang dianggap memuat humor dan kritik itu menghadirkan perdebatan tentang kebebasan berbicara (freedom of expression) dan ujaran kebencian (hate speech). Fenomena itu dapat dilihat ketika kantor redaksi tabloid Charlie Hebdo di Paris, Prancis, diserang para teroris. Peristiwa tragis itu terjadi pada 7 Januari 2015, beberapa hari setelah media itu memuat karikatur Nabi Muhammad. Dua belas orang menjadi korban serangan mematikan itu, sepuluh di antaranya adalah anggota redaksi Charlie Hebdo dan dua orang lainnya adalah polisi. Sebenarnya, Charlie Hebdo tidak hanya menyerang kelompok Islam, melainkan juga kaum Yahudi dan Nasrani. Sejumlah karikatur yang dimuat Charlie Hebdo justru memberikan keinginan menyerang pihak lain dengan 364 International Conference of Communication, Industry, and Community. Bali, 3-4 Maret 2016 ISBN: 978-602-74139-1-7 mengolok-olok dan bahkan melecehkannya. Pada satu aspek, hal yang dapat ditegaskan adalah mengritik dengan gaya sarkastik dianggap sebagai ekspresi yang biasa saja, bahkan wajar dan masuk akal. Hal ini disebabkan bahwa di negara-negara Eropa, prinsip dasar yang dianut adalah individualisme. Pada aspek lain, karikatur-karikatur yang dimuat di sebuah negeri, tidak terkecuali Paris, Prancis, pasti akan dikonsumsi oleh orang-orang yang berkepentingan dari seluruh penjuru dunia. Terlebih lagi ketika karikatur-karikatur itu menimbulkan kontroversi. Dengan demikian, karikatur-karikatur Charlie Hebdo tidak hanya dapat dinilai sebagai sebentuk ekspresi kebebasan. Namun, melainkan juga realisasi dari ujaran kebencian. Sebab, karikatur-karikatur itu memperlihatkan secara eksplisit perendahan martabat kepada pihak lain atas dasar keagamaan. Hal yang dapat direnungkan dari kasus ini adalah karikatur-karikatur merupakan produk jurnalistik. Dalam perspektif etika, para pembuat karikatur itu pun harus mempertimbangkan standar moralitas masyarakat. Karikatur-karikatur memang dilandasi maksud untuk menyindir seraya menebarkan kelucuan. Tapi, kalau karikatur-karikatur itu terlalu nyinyir dan melecehkan pihak lain, hal yang muncul adalah tragedi. Artinya ialah ujaran kebencian tidak bisa dibenarkan dan dipermaklumkan dengan berdalih sebagai kebebasan berekspresi. Kata kunci: karikatur, Charlie Hebdo, kebebasan berekspresi, ujaran kebencian Pendahuluan Charlie Hebdo tidak pernah berhenti membuat kontroversi. Buktinya adalah pada 7 Januari 2016, setahun persis ketika kantor redaksi tabloid itu diserbu para teroris, diturunkanlah edisi peringatan tragedi berdarah itu. Sampul depan secara jelas menghadirkan sebuah karikatur yang mendeskripsikan “Tuhan sebagai teroris membawa pistol”. Karikatur itu diberi judul “Satu tahun berlalu: Pembunuh masih di luar sana”. Osservatore Romano, surat kabar Vatikan, mengecam karikatur itu. Koran ini berkata: "Dalam pandangan Charlie Hebdo, ada paradoks menyedihkan dari dunia yang semakin sensitif tentang menjadi benar secara politis, hampir ke titik mengejek, namun tidak ingin mengakui atau menghormati pemeluk iman yang percaya kepada Tuhan, tak menghiraukan agama" (Republika.co.id edisi Kamis, 7 Januari 2016, 08:32 WIB). Tentu saja, ada lontaran rasa penyesalan terhadap apa yang dijalankan Charlie Hebdo. Tabloid itu seolah-olah tidak pernah mengenal jera dan terkesan mengundang provokasi kalangan para penganut agama dari mana saja. Memainkan karikatur untuk mengundang perhatian, atau memancing rasa penasaran, bahkan telah dijalankan Charlie Hebdo seminggu setelah serbuan teroris itu masih dalam ingatan. Karikatur yang menggambarkan Nabi Muhammad, sekali lagi, ditampilkan. Kali ini tokoh itu dihadirkan sedang membawa tanda bertuliskan “Saya adalah Charlie” di bawah judul “Semua Dimaafkan”. Edisi perdana sesudah penyerbuan itu memang laku keras. Tapi, sejumlah pihak menyampaikan kecaman dan menganggap Charlie Hebdo sudah menjalankan penghinaan dan bertindak provokatif. Sebenarnya, Charlie Hebdo bukan terbitan yang laris. Bahkan, dengan angka cetak dalam kisaran 60.000 365 International Conference of Communication, Industry, and Community. Bali, 3-4 Maret 2016 ISBN: 978-602-74139-1-7 eksemplar dan penjualan sekitar 30.000 setiap hari, tabloid ini dikategorisasikan sebagai media marjinal (Kompas edisi Kamis, 15 Januari 2015). Mungkin saja begitulah teknik atau muslihat yang dijalankan Charlie Hebdo untuk menarik perhatian publik. Memasang karikatur yang menggambarkan tokoh agama tertentu untuk mengundang kontroversi dan provokasi. Dampaknya adalah oplahnya melonjak tinggi. Tapi, tentu saja, dalih komersial itu gampang disanggah. Charlie Hebdo berprinsip mengkritik keyakinan apa pun adalah wajib. Ideologi dalam konteks permainan karikatur yang ditunjukkan oleh Charlie Hebdo tidak bisa sekadar dilihat sebagai keyakinan terhadap kebenaran. Ideologi untuk mengritik, mengolok-olok, dan bahkan merendahkan agama mana pun telah menjadi keimanan tersendiri bagi tabloid ini. Prinsip yang dikerahkan adalah aksi-aksi antagonistik terhadap aneka agama yang dipandang irasional. Artinya adalah menggugat dan menjungkirbalikkan tokoh-tokoh yang dipandang suci oleh para penganut agama telah menjadi bukan sekadar kredo, melainkan agama yang harus juga didukung secara militan. Sebenarnya, ada ironi yang terdapat dalam prinsip semacam itu: kemutlakan keyakinan dihadapi pula dengan sikap absolutisme pada kepongahan dengan cara memainkan karikatur-karikatur. Menertawakan kebenaran pihak lain sambil menyanggah dalam dirinya tidak boleh pula ditertawakan. Tapi, begitulah Charlie Hebdo. Tidak sedikit orang yang mendukungnya begitu serius. Seusai penyerangan yang mengakibatkan korban tewas dan juga terluka, hampir semua komentar yang muncul adalah menyesalkan kejadian itu. Presiden Prancis Francois Hollande menyatakan kejadian itu sebagai “sebuah tindakan yang luar biasa barbar baru saja terjadi di Paris terhadap sebuah media”. Hal itu dinilai sebagai bertentangan dengan kebebasan berekspresi. Perdana Menteri Inggris David Cameron menyatakan bahwa “Kita membela kejujuran untuk kebebasan menyampaikan pendapat dan demokrasi”. Presiden Amerika Serikat Barack Obama selain mengecam pelaku aksi teror, juga mengemukakan bahwa kejadian itu adalah serangan terhadap kebebasan menyampaikan pendapat dan kebebasan pers. Vatikan melalui juru bicaranya, Ciro Benedettini, mengemukakan bahwa aksi teror itu adalah kekejaman ganda karena menyerang orang dan juga kebebasan pers. Bahkan, kalangan pemimpin Muslim Prancis pun mengecam penyerangan tersebut dan menyebutnya sebagai serangan terhadap kebebasan pers (Kompas edisi Kamis, 8 Januari 2015). Tidak ada satu pun komentar yang membenarkan serangan teror yang telah menumpahkan banyak darah itu. Sebab, memang, teror atas nama agama atau Tuhan sekalipun tidak bisa dibenarkan. Komentar para tokoh dunia pun sangat mengecam, terlebih lagi ketika kebebasan berekspresi direpresi dan dibikin mati. Memang benar bahwa aksi teror itu sengaja dirancang kalangan pelakunya untuk menghabisi para pembuat karikatur di Charlie Hebdo. Seorang dokter yang merawat korban selamat kepada CNN mengatakan, penyerang memisahkan laki-laki dan perempuan, lalu memanggil nama-nama kartunis yang akan ditembak (Kompas edisi Jumat, 9 Januari 2015). Kalangan pelaku teror itu, dengan demikian, sengaja membuat tangan-tangan mereka berlumur darah. Para 366 International Conference of Communication, Industry, and Community. Bali, 3-4 Maret 2016 ISBN: 978-602-74139-1-7 teroris itu, tentu saja, sangat tersinggung dengan ulah para pencipta karikatur yang telah berulang kali membuat gambar-gambar yang merendahkan tokohtokoh yang demikian sakral. Di tangan-tangan kalangan karikaturis itu, para tokoh yang dianggap suci dan tanpa dosa itu justru sekadar dijadikan bahan lelucon atau olok-olokan. Maka, hanya peluru yang pantas dihadiahkan kepada mereka. Itulah cara berpikir para teroris itu. Perlakuan para teroris yang begitu keji itu dikecam banyak pihak. Kalangan penulis dan kartunis dari seluruh penjuru dunia menunjukkan kesedihan dan solidaritas melalui pena atau pensil yang digambarkan dalam perbandingan dengan senapan. Di media sosial, dunia memperlihatkan solidaritas mereka terhadap tabloid itu dengan memasang hashtag #JeSuisCharlie atau “Saya adalah Charlie”. Sejumlah harian di Inggris mendukung rekan Prancis mereka dengan cara mendesak mereka tidak mengekang semangat provokasi Charlie Hebdo yang telah terkenal itu. Beberapa media menggambarkan aksi teror berdarah terhadap tabloid itu sebagai “Perang pada Kebebasan”, “Serangan pada Kebebasan”, dan “Serangan pada Demokrasi” (Kompas edisi Jumat, 9 Januari 2015). Kalangan pendukung kebebasan berekspresi mengutuk keras aksi teror tidak berperikemanusiaan itu. Sebenarnya tidak hanya mereka yang mengecam keras. Siapa pun yang memiliki nalar waras akan menunjukkan dan berbuat hal yang sama. Tidak selayaknya aneka coretan karikatur itu dibalas dengan tembakan senapan bertubi-tubi yang telah menewaskan banyak nyawa dan mengancam kebebasan. Tidak sepantasnya pena atau pensil dibalas dengan bedil yang mematikan. Hanya saja, pada sisi yang lain, ternyata Charlie Hebdo juga memiliki sejarah dan kontroversi yang panjang dengan karikatur-karikaturnya. Tabloid itu diposisikan sebagai ahli waris pengkritik era abad ke-18. Hugh Schofield, seorang jurnalis BBC, menyatakan bahwa Charlie Hebdo adalah bagian dari tradisi mulia dalam jurnalisme Prancis yang dengan berani mengecam skandal Marie Antoinette yang lantas menimbulkan Revolusi Prancis. Tradisi yang diwarisi tabloid ini adalah gabungan radikalisme sayap kiri dengan kemesuman yang cenderung provokatif. Banyak tokoh dunia yang telah dibuat satirenya oleh Charlie Hebdo, dari mantan Presiden Perancis Nicolas Sarkozy yang dideskripsikan mirip vampir sakit, Paus Benediktus XVI yang berpelukan dengan pengawal Vatikan, sampai satire terhadap Nabi Muhammad, Yesus, dan ibunya, Maria (Kompas edisi Jumat, 9 Januari 2015). Di “tangan-tangan kreatif” para karikaturis Charlie Hebdo, siapa saja tanpa perlu dikecualikan, bisa dijadikan materi tertawaan. Uraian mengenai serangan teroris terhadap kantor redaksi Charlie Hebdo tidak bisa hanya dipandang sebagai persoalan terorisme itu sendiri. Salah satu isu yang layak dibicarakan dalam konteks demikian adalah kebebasan berekspresi (freedom of expression). Tapi, persoalan kebebasan berekspresi itu sendiri harus mendapatkan problematisasi. Sebabnya adalah dalam lingkup persoalan itu pastilah bergulir pertanyaan: Apakah kebebasan berekspresi dapat digunakan sebagai dalih yang membenarkan untuk mengolok-olok dan merendahkan pihak lain? Apakah kebebasan berekspresi dapat dikerahkan tanpa mengenal batas, 367 International Conference of Communication, Industry, and Community. Bali, 3-4 Maret 2016 ISBN: 978-602-74139-1-7 termasuk juga merendahkan martabat dan keyakinan pihak-pihak lain? Bukankah, dengan begitu, kebebasan berekspresi dapat juga digunakan sebagai topeng yang memberikan justifikasi untuk melontarkan ujaran kebencian (hate speech)? Atau, dapat saja dikemukakan bahwa ujaran kebencian itu sengaja dibungkus dan memang disembunyikan secara rapi dalam wujud yang bernama kebebasan berekspresi. Tujuan dari penulisan ini adalah: Pertama, mendeskripsikan peristiwa penyerangan terhadap kantor redaksi Charlie Hebdo. Kedua, membahas karikatur-karikatur yang ditampilkan Charlie Hebdo. Dan, ketiga, membahas kontroversi antara kebebasan berekspresi dan ujaran kebencian Tinjauan Pustaka Karikatur bukan sekadar gambar yang berisi kelucuan. Karikatur diyakini mempunyai kemampuan untuk mengemukakan kritik, sindiran, dan bahkan aneka serangan yang tajam kepada pihak-pihak tertentu yang tidak disukai. Karikatur tidak sama dengan gambar yang berkedudukan sekadar sebagai ilustrasi atau pun dekorasi dalam penerbitan surat kabar, tabloid, maupun majalah. Posisi karikatur dapat independen dan bahkan menjadi menu utama dalam pemberitaan media. Hal itu mengandaikan bahwa karikatur mampu memuat pesan-pesan politik yang tidak tergantung dengan tulisan-tulisan yang dihadirkan sebagai pemberitaan. Bahkan, ada sejumlah penerbitan media yang isinya adalah karikatur-karikatur saja. Charlie Hebdo, misalnya, sengaja menampilkan isu-isu politik, sekaligus menyerang pihak lain secara provokatif, melalui karikatur-karikatur yang secara rutin digulirkannya. Karikatur, sebagaimana diuraikan Oxford Advanced Learner’s Dictionary 7th Edition (2010: 224), memiliki pengertian sebagai gambar atau lukisan yang lucu tentang seseorang dengan cara melebih-lebihkan bagian-bagian tertentu mereka. Karikatur dapat juga dimengerti sebagai sebuah deskripsi tentang seseorang atau sesuatu yang menjadikannya nampak konyol dengan melebih-lebihkan sejumlah karakteristik mereka. Melalui definisi ini dapat diartikan bahwa ciri khas utama karikatur adalah menampilkan apa yang menjadi ciri khas yang dimiliki seseorang semakin ditonjol-tonjolkan dalam penggambarannya. Politisi yang memiliki ukuran dagu panjang, misalnya, akan semakin mudah dikarikaturkan karena ciri khusus tersebut. Demikian pula politisi yang berhidung bulat layaknya jambu bangkok akan dihadirkan sesuai dengan spesifikasi bagian tubuhnya yang istimewa tersebut. Melalui penggambaran dalam karikatur itulah, maka tampang-tampang mereka lekas bisa dikenali dan pada saat yang sama digunakan untuk mengolok-oloknya. Karikatur muncul di Paris pada abad ke-18, yang bagi para penulis, kaum pengritik, dan kalangan sejarawan sosial pada generasi Romantik atau Realis, dipakai sebagai medium untuk mendekatkan jarak antara seni dengan kehidupan. Karikatur mengadopsi temuan caricatura di Italia—pelebih-lebihan bagianbagian dari wajah dan tubuh secara grafis untuk menimbulkan efek kelucuan— dan mengombinasikannya dengan repertoar metafor visual, personifikasi, dan 368 International Conference of Communication, Industry, and Community. Bali, 3-4 Maret 2016 ISBN: 978-602-74139-1-7 atribut-atribut alegoris. Karikatur merupakan sebentuk tampilan untuk menyerang pula tampilan (Wechsler, 1983: 317-318). Dalam karikatur terdapat keinginan untuk menjalankan peniruan terhadap ciri-ciri wajah dan bagian-bagian tubuh tokoh tertentu. Itulah yang menjadikan karikatur pasti menghasilkan tampilan. Hanya saja, tampilan wajah dan tubuh yang sudah membentuk karikatur itu digunakan untuk menyerang balik sosok-sosok yang telah ditirunya tersebut. Serangan yang dilontarkan karikatur itu memang tajam, namun dipadukan dengan efek kelucuan yang mampu menimbulkan perasaan geli. Terdapat perbedaan antara karikatur dengan kartun. Karikatur berkenaan dengan representasi yang sangat aneh (grotesque) dan lucu dengan maksud untuk mencemooh atau mengejek keburukan-keburukan atau kebodohan-kebodohan dari seseorang dengan cara melebih-lebihkan melalui perangkat-perangkat imaji grafis. Kartun bisa dipahami sebagai teknik-teknik “pembangunan” dan “pembongkaran” melalui presentasi grafis terhadap aktor-aktor di atas panggung manusia. Dalam pemahaman metodologis, kartun memiliki nilai yang netral. Sebaliknya, karikatur pasti bersifat negatif. Efek senyum yang dihadirkan karikatur bisa beraneka rupa, dari senyum alami hingga nyengir kuda (Streicher, 1967: 431-432). Karikatur pasti agresif karena memang berkeinginan untuk menyerang dan menelanjangi seseorang yang dianggap terlalu berkuasa dan bertindak sewenang-wenang. Dengan sendirinya karikatur mempunyai watak politis dan sosial. Secara politis, karikatur menyerang pihak-pihak lain yang dianggap musuh dengan daya yang begitu agresif. Siapa pun musuh itu bakal dihabisi dan ditelanjangi. Secara sosial, karikatur dianggap mampu menyuarakan suara masyarakat yang selama ini terbungkam. Tidak ada karikatur yang bercorak personal karena dalam diri gambar ini yang disuarakan adalah aspirasi-aspirasi masyarakat kebanyakan. Karikatur dalam kedudukan demikian mampu menjadi penanda pada setiap zaman tertentu. Ketika secara sosiologis masyarakat berada dalam penindasan rezim agama yang demikian otoriter, maka tokoh-tokoh agama yang dianggap sakral sekalipun pasti akan diserang habis-habisan. Fundamentalisme agama akan dilawan semakin sengit dengan fundamentalisme karikatur yang siap mencemooh dan mengolok-olok. Karikatur-karikatur yang dimaksudkan untuk menjalankan kritik mampu tumbuh secara subur ketika kebebasan berekspresi mendapatkan jaminan. Tentu saja, kebebasan berekspresi dimengerti sebagai kebebasan yang dimiliki seseorang untuk menyampaikan segala aspirasi yang dikehendakinya ke dalam ruang-ruang sosial. Tidak ada pembatasan yang menjadikan kebebasan itu mengalami defisit. Demikian pula ketika karikatur-karikatur dipahami sebagai sarana komunikasi untuk membuktikan tentang kebebasan berekspresi, maka berbagai gambar yang diidentikkan dengan humor itu dapat dibuat dan serentak dengan itu diakses oleh setiap orang. Pihak mana pun tidak boleh menghalanghalangi, melarang, dan bahkan mengancam keselamatan jiwa dari para pembuat karikatur-karikatur itu. 369 International Conference of Communication, Industry, and Community. Bali, 3-4 Maret 2016 ISBN: 978-602-74139-1-7 Kebebasan berekspresi bukan sekadar keleluasaan untuk menyampaikan pikiran atau usulan tertentu. Secara tegas bahkan dinyatakan kebebasan berekspresi mencakup juga semua jenis media komunikasi. Kebebasan berekspresi dimiliki secara hak oleh khalayak yang secara potensial berekspresi, dan bukan sebagai hak pembicara. Kebebasan berekspresi diimplikasikan oleh tujuan-tujuan pemerintah dalam menindas ekspresi daripada efek-efek penindasan itu (Alexander, 2005: 7-11). Dalam kasus ditampilkannya karikaturkarikatur oleh berbagai jenis media, maka di situlah bukti kebeasan berekspresi itu memang masih ada. Ketika khalayak memberikan respon yang bagus terhadap karikatur-karikatur yang ditampilkan, sekalipun karikatur itu demikian nyinyir terhadap keyakinan atau agama tertentu, maka karikatur-karikatur itu dianggap masih layak untuk dikonsumsi oleh lingkup sosialnya. Terlebih lagi ketika pemerintah, sebagai wakil dari kekuasaan rakyat, masih memperbolehkan karrikatur-karikatur itu beredar secara leluasa. Ketika karikatur-karikatur itu dianggap mampu mengungkap kebenaran dan merealisasikan otonomi individual, maka karikatur-karikatur semacam itu masih berada dalam ruang demokrasi. Sebabnya adalah kebebasan berekspresi harus memiliki dasar bersama yang kuat. Kebebasan berekspresi harus tetap terus dilindungi apabila mampu menunjukkan salah satu aspek atau kombinasi dari tiga aspek berikut ini, yakni kebenaran, demokrasi, dan otonomi individual. Sehingga, kebebasan berekspresi harus dilindungi apabila memberikan kontribusi terhadap kebenaran atau pertumbuhan pengetahuan publik, tetap beroperasinya bentuk pemerintahan yang demokratis, atau memungkinkan bagi individu-individu untuk menjalankan realisasi-diri (Moon, 2000: 8-9). Karikatur-karikatur tetap harus dapat dilindungi dan para penciptanya wajib benar-benar mendapatkan proteksi apabila ketiga prinsip itu hendak digapai secara maksimal. Namun, persoalannya tidaklah semudah itu. Sebabnya adalah dapat saja kebebasan berekspresi dijadikan kedok atau tameng untuk bersembunyi dari kritik pihak-pihak lain. Karikatur-karikatur yang dimaksudkan untuk melontarkan aneka sindiran dan serangan yang tajam itu didasari oleh keinginan untuk mengemukakan kebencian terhadap pihak lain yang tidak disukainya. Kebencian dalam konteks ini bukan sekadar sebentuk ketidaksukaan, melainkan sebagai dorongan untuk terus-menerus mengolok-olok, mengejek, dan merendahkan pihak lain karena didasari alasan-alasan yang bercorak primordial, seperti keyakinan atau ras atau etnisitas. Kebencian itu disulut oleh perbedaan yang menganggap diri sendiri sebagai lebih unggul dan pihak lain layak untuk dimusnahkan, atau setidaknya terus diserang dan tanpa henti dipermalukan, karena dianggap lebih rendah. Kebencian itu mampu dikemas dalam aneka media, termasuk di dalamnya adalah karikatur. Dalam konteks demikian, maka karikatur dapat saja digunakan sebagai sarana untuk mengekspresikan kebencian. Pada titik itulah muncul persoalan tentang ujaran kebencian. Secara konseptual, ujaran kebencian adalah pernyataan yang menjelek-jelekkan, melecehkan, mengintimidasi, atau menghasut dengan dasar kebencian seseorang atau kelompok tertentu dengan berdasarkan pada karakteristik, seperti ras, etnisitas, agama, jender, atau orientasi seksual. Kata 370 International Conference of Communication, Industry, and Community. Bali, 3-4 Maret 2016 ISBN: 978-602-74139-1-7 “ujaran” dalam hal ini tidak sebatas tulisan atau pernyataan-pernyataan verbal, melainkan juga dalam bentuk representasi-representasi gambar atau simbolsimbol. Dalam konteks ujaran kebencian, kebebasan berekspresi dapat dibatasi oleh hak-hak orang lain, dengan berlandaskan pada hak-hak martabat, kehormatan, dan kesederajatan (Brison, 2013). Kebebasan berekspresi tidak dapat dimutlakkan, terlebih lagi ketika hal itu terjadi dalam masyrakat majemuk. Setiap individu atau kelompok yang memiliki keunikan-keunikan primordial harus tetap dihormati keberadaannya. Pelecehan terhadap mereka dengan berdalih pada kebebasan berekspresi merupakan siasat yang sama sekali tidak bisa diterima. Karikatur-karikatur yang semula dianggap sebagai wujud dari kebebasan berekspresi tidak dapat dibiarkan diproduksi apabila isinya adalah ujaran kebencian. Karikatur-karikatur itu dapat saja dipandang sebagai bukti dari beroperasinya pemerintahan yang demokratis. Namun, apakah berbagai karikatur itu menghadirkan kebenaran atau pengetahuan yang sehat bagi publik dan mampu mendorong realisasi-diri dari individu-individu lain yang merasa terus diserang? Ujaran kebencian merupakan sisi lain yang sedemikian gelap dari kebebasan berekspresi. Hasil Temuan dan Diskusi Karikatur-karikatur yang ditampilkan Charlie Hebdo adalah satire tajam yang diarahkan kepada kelompok-kelompok lain, terutama kalangan beragama. Satire, demikian Merriam-Webster Dictionary (2004) menjelaskan, adalah lelucon, ironi, atau sarkasme yang digunakan untuk mengungkapkan kejahatan maupun kebodohan. Ketika tabloid ini menampilkan sejumlah tokoh yang dianggap sakral oleh penganut keyakinan tertentu, maka dengan sendirinya figurfigur yang sangat dihormati itu diposisikan pula sebagai orang-orang yang jahat dan bodoh. Hanya saja, figur-figur itu dihadirkan demikian jenaka untuk memancing tawa yang begitu membahana. Inilah penjungkirbalikan yang dijalankan secara demikian telak. Siapa pun, apalagi tokoh-tokoh dari kelompok beragama, suatu ketika nanti akan menjadi bahan olok-olok yang sebegitu konyol dalam karikatur-karikatur tabloid itu. Dalam satire, sebagaimana diuraikan LeBoeuf (2007), ada tiga karakteristik yang dapat dikenali. Pertama, kritik. Satire selalu merupakan kritik terhadap sejumlah bentuk perilaku manusia, kejahatan, atau pun kebodohan. Kritik ini dimaksudkan mengajak khalayak untuk melihatnya sebagai penuh penghinaan dan mendorong perubahan sosial. Kedua, ironi. Satire memakai ironi, seringkali dengan cara yang lucu, untuk menunjuk secara langsung masalahmasalah yang terdapat pada perilaku tertentu yang sedang dikritik. Dan, ketiga, implisit. Satire bukanlah pernyataan yang terbuka karena memang tidak dimaksudkan ungkapan eksplisit. Satire membongkar aneka perilaku yang jelasjelas sudah absurd. Penggambaran yang serba terselubung itu dapat dilihat pada deskripsi tokoh-tokoh tertentu dengan cara berlebih-lebihan, sehingga telah keluar dari konteks yang normal. Pada dasarnya karikatur menciptakan keberlebihan untuk menampilkan yang implisit. 371 International Conference of Communication, Industry, and Community. Bali, 3-4 Maret 2016 ISBN: 978-602-74139-1-7 Hanya saja pada saat tokoh-tokoh dari agama tertentu, yang demikian dihormati oleh pengikutnya, sengaja dijadikan obyek karikatur, maka persoalan besar muncul. Memang benar bahwa aksi-aski tertentu dari kaum fundamentalis yang menjalankan teror pantas dikritik dan dikutuk. Namun, apakah menempatkan kalangan figur yang dihormati sebagai sasaran kritik yang kasar layak dijalankan? Terlebih lagi ketika tokoh-tokoh agama itu dijadikan bahan banyolan untuk mampu menimbulkan efek kejenakaan yang luar biasa. Di situlah persalan penghormatan terhadap kelompok beragama menjadi relevan dibicarakan. Karikatur-karikatur itu, karena telah dibebani keinginan untuk menjalankan kritik dan menertawakan pihak-pihak beragama, telah terpelanting menjadi penghinaan yang begitu vulgar. Sifat implisit, yang menunjukkan ketersembunyian yang memancing kecerdasan publik, akhirnya menjadi kekasaran yang ditargetkan menghina keyakinan pihak lain. Lebih tegas dapat dikemukakan bahwa karikatur-karikatur Charlie Hebdo merupakan ungkapan-ungkapan cercaan yang direalisasikan dalam tuturan visual. Biasanya cercaan diformulasikan dalam bahasa verbal. Cercaan (slur) adalah sebutan-sebutan yang begitu melecehkan yang sengaja diarahkan kepada beberapa individu atau kelompok dengan berbasis pada ras, nasionalitas, agama, atau pun orientasi seksual (Bianchi, 2014) yang bisa dikemukakan secara deskriptif atau pun ekspresif (Croom, 2011). Dapat saja dinyatakan bahwa karikatur-karikatur itu sekadar memberikan deskripsi tentang tokoh-tokoh agama tertentu. Namun, karena karikatur pada prinsipnya ialah memberikan sindiran untuk mengungkapkan kejahatan dan ketololan seseorang, maka apa yang deskriptif itu memiliki maksud ekspresif. Karikatur tidak sekadar menggambarkan, juga memberikan penilaian. Karikatur-karikatur memang identik dengan kelucuan. Itulah yang membuat karikatur-karikatur Charlie Hebdo juga dianggap bermuatan humor. Hanya saja, humor itu sendiri bukanlah konsep yang tunggal. Humor memang hal yang membuat seseorang tertawa. Namun, tertawa yang dimunculkan itu bukan berasal dari sumber yang misterius. Pada konteks demikian, humor memiliki tiga teori, yakni superioritas yang berarti humor sebagai menertawakan pihak lain yang dianggap berposisi lebih rendah; inkongruitas yang bermakna humor sebagai menertawakan karena ada sesuatu atau pun perilaku tertentu yang menunjukkan keganjilan; dan humor sebagai katup pelepasan yang membebaskan manusia dari situasi sosial dan politik yang penuh kepengapan (Morreall, 2009). Dalam kaitan dengan karikatur-karikatur Charlie Hebdo, apa yang ditampilkan ialah gambar-gambar yang bermaksud mengkritik dan menertawakan pihak lain. Hanya saja karena pokok persoalan yang disoroti adalah agama beserta tokohtokohnya, maka para pembuat karikatur-karikatur Charlie Hebdo sengaja memposisikan diri lebih tinggi daripada phak-pihak yang secara terus-menerus dikritiknya. Pada konteks itulah Charlie Hebdo menempatkan diri sebagai pihak yang superior, yang berkuasa dan tentu saja merasa lebih beradab, dibandingkan pihak-pihak lain. Mereka yang ditertawakan dalam karikatur-karikatur Charlie Hebdo itu sengaja ditempatkan sebagai sekelompok atau kawanan manusia yang demikian inferior. Itulah satire getir yang diproduksi oleh tabloid itu. 372 International Conference of Communication, Industry, and Community. Bali, 3-4 Maret 2016 ISBN: 978-602-74139-1-7 Obyek yang menjadi target serangan Charlie Hebdo, pada akhirnya, adalah agama. Secara sosiologis, agama bukanlah keyakinan yang bersifat personal. Hal itu disebabkan bahwa keyakinan yang terdapat pada agama telah mengalami proses pelembagaan secara sosial. Salah satu karakteristik agama adalah basis pada daya yang dianggap memiliki kesakralan, sesuatu yang diperlakukan sebagai hal yang suci, dan diproteksi dalam berbagai ritual. Lebih dari itu semua, agama juga mempunyai kekuatan untuk memberikan jawabanjawaban terhadap aneka pertanyaan yang bersifat terakhir (ultimate questions). Pertanyaan-pertanyaan itu tidak mampu didapatkan jawabannya dari penjelasan ilmiah maupun nalar yang bercorak sekuler (Andersen dan Taylor, 2011: 331332). Demikianlah, maka dalam agama selalu ada sosok-sosok yang begitu dihormati dan dimuliakan. Tidak hanya itu, bagi kalangan penganut agama, terdapat sekian banyak jawaban yang tidak dapat ditemukan dalam eksplanasi ilmiah maupun nalar, konsep takdir misalnya. Ketika kekuatan yang demikian sakral, lantas diporakporandakan begitu rupa dalam berbagai karikatur yang sekadar menciptakan olok-olok yang sangat merendahkan, maka terjadilah penjungkirbalikan martabat. Di situlah dapat dijelaskan tentang sebab-musabab aksi-aksi teror yang terjadi pada kantor redaksi Charlie Hebdo. Aksi-aksi keji yang dijalankan oleh kalangan teroris itu tidak dapat dipermaklumkan dan jelas-jelas layak untuk dikecam dan sangat tidak pantas untuk mendapatkan puja-puji. Namun, ketika olok-olok itu sudah melampaui batas kewajaran, teror yang begitu kejam pun tidak dapat dihindarkan. Terlebih lagi, ketika Charlie Hebdo telah dianggap menjalankan blasphemy, yakni menyerang, melukai, dan menghancurkan keyakinan agama (Nash, 2007). Boleh saja terdapat anggapan bahwa dunia ini telah mengalami sekulerisasi, sehingga apa pun yang berkenaan dengan blasphemy telah dipandang tidak relevan lagi. Tapi, dalam dunia yang sekuler itu masih terdapat orang-orang yang menganut keyakinan tertentu. Di situlah justru sekulerisasi menunjukkan kedewasaannya ketika tetap bertoleransi terhadap siapa pun yang masih berkeyakinan pada kekuatan-kekuatan yang dilihat sebagai hal yang sakral dan tidak dapat dijawab oleh ilmu pengetahuan maupun nalar yang sehebat apa pun. Itulah makna menghargai agama dan para penganutnya dalam dunia yang sedemikian beragam keyakinan dan ideologinya ini. Apa yang dilakukan Charlie Hebdo melalui aneka karikaturnya yang begitu menyerang agama itu justru berpunggungan dengan liberalisme. Justru liberalisme tidak bermusuhan dengan keyakinan dan bahkan mampu hidup berdampingan. Liberalisme, sebagaimana dijelaskan oleh Bunin dan Yu (2004: 385-386), adalah sebuah teori politik dan sosial yang secara fundamental menekankan pada prioritas kebebasan dan kesederajatan individu-individu. Masyarakat dan pemerintah wajib melindungi dan mendorong kebebasan individu daripada merintanginya. Menjadi mandat pemerintah untuk menghormati hak-hak ndividual. Kemajemukan dan sifat keanekaragaman masyarakat harus didorong. Masyarakat harus dalam keadaan setara dan berkeadilan dalam distribusi berbagai peluang dan sumberdaya. Proses politik 373 International Conference of Communication, Industry, and Community. Bali, 3-4 Maret 2016 ISBN: 978-602-74139-1-7 harus melalui prosedur yang adil dan jujur untuk memecahkan perdebatan ketika berbagai kepentingan dari individu-individu mengalami perbenturan. Ketika Charlie Hebdo tidak sepakat dengan berbagai keyakinan yang ada, maka tidak semestinya tabloid itu melakukan berbagai tindakan provokatif dengan mengerahkan karikatur-karikaturnya. Dalam konteks liberalisme sebagai paham dasar yang diyakini secara luas di Eropa, maka seharusnya berbagai perbedaan dengan alasan apa pun, termasuk keyakinan atau ideologi, tidak dapat diselesaikan dengan berbagai muslihat. Karikatur-karikatur tidak layak digunakan sebagai alat pembenar untuk menyerang pihak lain hanya karena beberapa bagian dari penganut keyakinan agama itu menjalankan aksi-aksi terorisme. Menjalankan kritik secara provokatf dalam situasi demikian justru menghasilkan aksi-aksi kontraproduktif. Karikatur-karikatur, pada puncaknya, dibalas dengan teror yang demikian brutal. Pena atau pensil berbalas dengan senapan. Jelas ini bukanlah dialog, melainkan sebentuk pengkhianatan terhadap liberalisme yang selama ini digelorakan. Terlebih lagi apabila dalil yang dipakai adalah kebebasan berekspresi. Hak untuk menyatakan gagasan secara bebas dalam konteks itu tidak dapat berlaku secara mutlak dan asal-asalan. Sebabnya adalah kebebasan berekspresi itu sendiri pada dasarnya dapat dibatasi dan dikesampingkan. Di bawah kondisikondisi yang demikian tidak baik, pemerintah dapat saja melakukan pembatasan dan bahkan pengesampingan terhadap kebebasan berekspresi itu. Secara gamblang dapat diberi penegasan bahwa warga negara memang mempunyai hak kebebasan berekspresi. Hanya saja pemerintah dapat saja membatasinya dengan tujuan mencegah ancaman terhadap tatanan publik, keamanan negara, atau pun pihak-pihak ketiga yang harus mendapatkan perlindungan, misalnya saja anakanak (Cohen-Almagor, 2001: xiii). Kebebasan berekspresi tidak bisa berlaku absolut. Ada sejumlah keadaan yang menjadikan kebebasan ini harus ditunda karena berkonsekuensi dengan keburukan. Kebebasan berekspresi itu, secara otomatis, dapat ditunda dan bahkan tidak diberlakukan untuk beberapa waktu justru untuk menegakkan filosofi liberalisme itu sendiri. Selain dari perspektif liberalisme, kebebasan berekspresi juga dapat dikritik melalui paham filsafat yang dikemukakan Emmanuel Levinas (1906-1995). Filosof Prancis itu mengemukakan konsep tentang Wajah. Apa yang disebut sebagai Wajah dalam konteks ini bukanlah suatu hal yang bercorak fisis maupun empiris. Wajah adalah orang lain sebagai lain, orang lain menurut keberlainannya. Dalam uraian selanjutnya dapat dikemukakan bahwa orang lain ini bukan merupakan bagian dari totalitas. Orang lain ini tidak bisa dimasukkan dalam suatu keseluruhan. Orang lain ini selalu tinggal tersendiri, selalu mempertahankan otonomi, dan kepadatan yang tidak terselami (Bertens, 2006: 320). Dalam sudut pandang filsafat Levinas ini siapa yang disebut Orang Lain adalah berbagai komunitas atau pemeluk keyakinan agama tertentu. Pihak yang berada dalam kekuasaan sehingga mampu menciptakan totalitas adalah kalangan karikaturis Charlie Hebdo sebagai kekuatan yang selalu ingin merengkuh serta menundukkan yang lain. Melalui berbagai karikatur yang provokatif itu menjadi 374 International Conference of Communication, Industry, and Community. Bali, 3-4 Maret 2016 ISBN: 978-602-74139-1-7 terlihat secara eksplisit bahwa Charlie Hebdo menempatkan diri sebagai Aku yang selalu hendak menyamakan pihak-pihak lain berada di luar Sang Aku. Jika mereka tidak sudi dan tidak mampu dijadikan sebagai bagian dari Sang Aku tersebut, maka apa yang dijalankannya adalah melakukan olok-lok, melecehkan, merendahkan, dan bahkan membuat berbagai hujatan yang sedemikian kasar dan vulgar. Untuk menunjukkan kekuatannya, maka Sang Aku berupaya bersembunyi dalam kredo yang disebut secara bertubi-tubi sebagai kebebasan berekspresi. Padahal, itu semua tak lebih sebagai dalih dan muslihat untuk melakukan dominasi terhadap yang lain. Penjelasan lain yang dapat juga digunakan untuk menyanggah karikaturkarikatur Charlie Hebdo sebagai realisasi dari kebebasan berekspresi adalah etika dalam berkomunikasi. Sebab, komunikasi tidak sekadar persoalan teknis mengirim dan menerima pesan dari komunikator kepada komunikan. Dalam komunikasi terdapat implikasi etis yang tidak mungkin dapat disanggah lagi. Salah satu isu etika dalam komunikasi ialah hormat terhadap pihak yang lain. Maksudnya adalah dalam berkomunikasi dengan siapa pun, maka kalangan partisipan dalam komunikasi harus memperlihatkan penghargaan dan kepatutan terhadap pihak lain, sekalipun mereka tidak setuju dengan pendapat-pendapat pihak lain (Verdeber, Verdeber, dan Sellnow, 2010: 14-15). Apa yang terjadi pada Charlie Hebdo tidaklah demikian. Daripada tabloid ini memberikan penghormatan terhadap pihak lain yang memiliki keyakinan atau agama tertentu, justru yang dilakukannya adalah melecehkannya dengan berkedok pada hak warga untuk menggunakan kebebasan berekspresi. Simpulan Kasus teror begitu brutal yang terjadi pada Charlie Hebdo adalah sebuah tragedi yang berkenaan dengan kebebasan berekspresi. Karikatur-karikatur yang dihadirkan tabloid itu menunjukkan provokasi yang demikian tajam terhadap agama dan para penganutnya. Kalangan tokoh agama yang selama ini dijunjung tinggi karena dipandang sangat suci, justru dalam genggaman karikatur-karikatur Charlie Hebdo tidak lebih menjadi obyek olok-olokan yang pantas dianggap jenaka dan mengundang tawa yang membahana. Persoalan penting lain yang harus ditegaskan adalah karikatur-karikatur merupakan produk jurnalistik yang tetap harus memperhatikan etika. Dalam konteks itu, para pembuat karikatur harus melihat standar-standar moral yang ditetapkan oleh komunitas-komunitas tertentu. Terlebih lagi, komunitas-komunitas itu dapat mengakses karikaturkarikatur yang diciptakan pihak mana pun melalui kemajuan teknologi internet. Hal lain yang menjadi persoalan utama pada kasus Charlie Hebdo adalah perdebatan tentang kebebasan berekspresi dan ujaran kebencian. Secara tegas dapat dikemukakan bahwa karikatur-karikatur yang telah diproduksi tabloid itu, terutama yang berkenaan dengan perendahan martabat dan pelecehan kehormatan terhadap tokoh-tokoh agama tertentu, bukanlah sebentuk kebebasan ekspresi, melainkan lontaran ujaran kebencian yang dijalankan secara eksesif. Kebebasan berekspresi tidak dapat digunakan sebagai selubung yang menyajikan 375 International Conference of Communication, Industry, and Community. Bali, 3-4 Maret 2016 ISBN: 978-602-74139-1-7 pembenaran untuk mengekspresikan kebencian. Tapi, membalas karikaturkarikatur yang meluapkan kebencian dengan aksi-aksi teror yang brutal pun sama sekali tidak bisa dibenarkan. Daftar Pustaka Alexander, Larry (2005). Is There A Right of Freedom of Expression. Cambridge:Cambridge University Press. Andersen, Margaret L. dan Howard F. Taylor (2011). Sociology: The Essentials 6th Edition. Belmont, California: Wadsworth. Bertens, K. (2006). Filsafat Barat Kontemporer: Jilid II Prancis, Jakarta: Gramedia Pustaka Utama. Bianchi, Claudia (2014). Slurs and Appropriation: An Echic Account. Journal ofPragmatics 66, hal. 35-44. Brison, Susan (2013). Hate Speech. The International Encyclopedia of Ethics,disunting oleh Hugh LaFollette, hal. 2332-2342. Bunin, Nicholas dan Jiyuan Yu (2004). The Blackwell Dictionary of WesternPhilosophy. Malden, MA: Blackwell Publishing. Cohen-Almagor, Raphael (2001). Speech, Media and Ethics: The Limits of FreeExpression. New York: Palgrave. Croom, Adam M. (2011). Slurs. Language Sciences 33, hal. 343-358. Kompas (2015). Teror Terburuk, 12 Orang Tewas Tertembak. Kamis, 8 Januari. ____________. Perancis Waspada, Dua Pelaku Diburu. Jumat, 9 Januari. ____________. Dunia Kecam Penembakan. Jumat, 9 Januari. ____________. Sejarah Panjang Satire “Charlie Hebdo”. Jumat, 9 Januari. ____________. Laku Keras Sekaligus Dikecam. Kamis, 15 Januari. LeBoeuf, Megan (2007). The Power of Ridicule: An Analysis of Satire. Senior Honors Projects. Paper 63. http://digitalcommons.uri.edu/srhonorsprog/63 Moon, Richard (2000). The Constitutional Protection of Freedom of Expression.Toronto: University of Toronto Press. Morreall, John (2009). Comic Relief: A Comprehensive Philosophy of Humor.Malden, MA: Wiley Blackwell. Nash, David (2007). Blasphemy in the Christian World: A History. Oxford: Oxford University Press. Oxford Advanced Leaner’s Dictionary (7th ed.). (2010). Oxford: Oxford University Press. Republika.co.id (2016). Surat Kabar Vatikan Kecam Edisi Spesial Charlie Hebdo. Kamis 7 Januari, 08:32 WIB. Streicher, Lawrence H (1967). On a Theory of Political Caricature. Comparative Studies in Society and History, Vol. 9. No. 4 (Jul.), hal. 427-445. The Merriam-Webster Dictionary (2004). Springfield, MA: Merriam-Webster. Verderber, Kathleen S., Rudolph F. Verderber, dan Deanna D. Sellnow (2010).Communicate! 13th Edition, Canada: Wadsworth. Wechsler, Judith (1983). The Issue of Caricature. Art Journal, Vol. 43, No. 4 (Winter), hal. 317-318. 376 International Conference of Communication, Industry, and Community. Bali, 3-4 Maret 2016 ISBN: 978-602-74139-1-7 Biografi Penulis Triyono Lukmantoro, lahir di Kudus pada tanggal 11 Desember 1970. Menempuh pendidikan di Jurusan Ilmu Komunikasi FISIP Universitas Diponegoro Semarang (1997) dan Sosiologi Sekolah Pascasarjana UGM Yogyakarta (2006). Sejak 1998 mengajar di Jurusan Ilmu Komunikasi FISIP Undip dan mengampu beberapa mata kuliah, antara lain Sosiologi Komunikasi, Etika Profesi Komunikasi, Media dan Kajian Budaya, dan Komunikasi Pembangunan. Hobinya membaca esai-esai politik, kebudayaan, dan prosa. Beberapa artikelnya pernah dimuat di Kompas, Sinar Harapan, Koran Tempo, Koran Sindo, Jawa Pos, Media Indonesia, Republika, Suara Pembaruan, Suara Merdeka, Solopos, dan Wawasan. Saat ini, tinggal di Perumahan Pudak Payung Sejati Blok B No. 21 Semarang. 377 International Conference of Communication, Industry, and Community. Bali, 3-4 Maret 2016 ISBN: 978-602-74139-1-7 KONSTRUKSI REALITAS BENCANA PADA BERITA BANJIR JAKARTA Suraya Staf Dosen Ilmu Komunikasi Universitas Paramadina Jakarta [email protected] Abstract Province of DKI Jakarta experienced flood almost every year. Flood not only caused from geographical aspect, but also the human behavior as well. Mass Media has the power by language to form a reality construction. This research was done in order to understand how Media Indonesia’s construct their news coverage concerning DKI Jakarta’s flood phenomena. This Research used Qualitative perspective and the method used Pan and Kosicki’s Framing Analysis in four structures, such as Syntaxes, Script, Thematic, and Rhetorical. Research resulted that, (1) Syntaxes structure In Media Indonesia shows Flood in Jakarta disturbs citizens’ activity therefore government’s special attention is needed. (2) Script Structure shows that Media Indonesia’s construction focused on the flood and citizen’s activity. (3) Thematic Structure shows that Media Indonesia give the impression of how bad the citizen of Jakarta’s activity was disturbed because of the heavy rain. (4) Rhetorical Structure shows that Media Indonesia fixated on the citizen of Jakarta’s as active subject and the flood victim as passive object. Summary: Media show the differences on how they construct their news depend on their ideology. Recommendation: Government need to optimize UU Pokok Pers. Komisi Penyiaran Indonesia (KPI), media-related NGOs, practitioner (media workers), and scholars need to focus on centralization issues concerning journalism of disaster reporting. Keyword: Flood, Disaster Journalism, Framing, Media Indonesia Abstrak DKI Jakarta selalu diwarnai banjir setiap tahunnya. Hal ini terjadi karena letak geografis dan sikap manusianya. Media massa yang memiliki kuasa lewat bahasanya melakukan konstruksi realitas. Oleh karena itu, penelitian ini bertujuan untuk mengetahui konstruksi pemberitaan pemberitaan banjir di Ibu Kota Jakarta di Media Indonesia. Penelitian mengunakan pendekatan kualitatif dengan metode analisis framing perspektif Pan dan Kosicki yang dibagi ke dalam empat struktur, antara lain: sintaksis, skrip, tematik, dan retoris. Hasil penelitian menunjukan: (1) Struktur sintaksis Media Indonesia menonjolkan banjir Jakarta yang mengganggu aktivitas warga dan mendapat perhatian khusus dari pemerintah. (2) Struktur skrip diketahui Media Indonesia hanya merekonstruksi peristiwa banjir dan aktivitas warga (3) Struktur tematik Media Indonesia memberikan kesan kacaunya aktivitas warga Kota Jakarta karena hujan deras. (4) Struktur retoris, Media Indonesia menonjolkan warga Jakarta sebagai subjek yang aktif dan korban sebagai objek penderita yang pasif. Kesimpulan : Media Indonesia menframing bencana banjir Jakarta sebagai bencana nasional dalam 378 International Conference of Communication, Industry, and Community. Bali, 3-4 Maret 2016 ISBN: 978-602-74139-1-7 pemberitaannya. Saran : pemerintah mau menjalankan pelaksanaan UU Pokok Pers tentang keberpihakan Media. Komisi Penyiaran Indonsia (KPI), LSM pemerhati media, praktisi (pekerja media) dan akademisi memberikan perhatian lebih terhadap isu sentralisasi khususnya menyangkut jurnalisme bencana. Kata Kunci: Banjir, Jurnalisme Bencana, Framing, Media Indonesia Pendahuluan Di Indonesia, bencana alam dibagi menurut status dan tingkatannya menjadi bencana nasional dan daerah atau local. Bencana Banjir di Jakarta pada tahun 2014 ditetapkan oleh Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) sebagai bencana nasional. Menurut data Pusdalops BPBD DKI Jakarta, dampak banjir Jakarta sejak 14 Januari hingga 21 Januari 2014 jumlah terdampak 34 kecamatan, 100 kelurahan, 444 RW, 1.227 RT, 38.672 KK, dan 134.662 jiwa. Pengungsi sebanyak 62.819 jiwa di 253 titik. Korban jiwa 12 orang meninggal dunia baik terdampak langsung maupun tindak langsung. (bnpb.go.id) Berdasarkan kondisi Indonesia yang rawan terhadap bencana tersebut, peran media sangatlah diharapkan. Masyarakat memerlukan informasi yang terkait dengan bencana. Seperti: jumlah korban, wilayah terdampak, sampai pada bagaimana menyalurkan bantuan kepada para korban. Disinilah media memainkan perannya untuk menyiarkan informasi dan memberikan pengaruh kepada masyarakat. Selain itu, media bisa memberikan informasi secara rinci dan cepat sehingga dapat mempengaruhi para pengambil kebijakan. Menurut Nazaruddin (2008:1) “Dalam situasi bencana, informasi yang disampaikan media massa akan menjadi the first, the most important, bahkan the only one information yang akan membentuk pengetahuan masyarakat”. Informasi yang disampaikan kepada masyarakat berupa pemberitaan di media massa. “Berita (news) berasal dari kata new (baru) dengan konotasi kepada hal-hal yang baru. Segala yang baru merupakan informasi yang penting bagi khalayak”. (Tamburaka, 2012:134) Berita disebut Eriyanto sebagai “Realisme ala positivistik. Dalam pembingkaian pemberitaan merupakan laporan seuah peristiwa nyata, paling tidak bukan cerita fiktif dengan tokoh dan setting yang juga fiktif. Begitupula dengan bingkai berita yang dikonstruksikan oleh media massa akan mempengaruhi masyarakat dalam memahami realitas yang direpresentasikan oleh media massa, begitu pula oleh Media Indonesia. Penelitian ini akan menganalisis teks media dengan pendekatan Pan dan Kosicki (Eriyanto, 2002:251) yang terdiri dari empat struktur besar : 1) struktur sintaksis; 2) struktur skrip; 3) struktur tematik; 4) struktur retoris. Sehingga apabila media massa telah menyampaikan berita secara jujur, adil dan bermanfaat bagi khalayaknya maka akan berdampak positif secara nyata. Berdasarkan hal tersebut maka pertanyaan yang akan dijawab dalam penelitian ini sebagai berikut: bagaimana Media Indonesia mengkonstruksikan realitas bencana dalam pemberitaan Banjir di Jakarta? 379 International Conference of Communication, Industry, and Community. Bali, 3-4 Maret 2016 ISBN: 978-602-74139-1-7 Tinjauan Pustaka Perhatian masyarakat terhadap suatu isu sangat bergantung pada kesediaan media massa member tempat pada isu itu (De Fleur dan Ball Rokoeach dalam Halim, 2013:94). Ibnu Hamad menyatakan bahwa medi adinilai memiliki peran sebagai agenda setter. Lebih jauh Hamad merinci dalam tiga strategi pengkonstruksian Discourse, yakni : signing, framing dan priming. Strategi signing dalam praktik membuat sebuah wacana adalah dengan cara memilih katakata, angka, gambar dan lain-lain tanda bahasa dan merangkainya hingga membentuk wacana yang dianggapnya mampu mengkonstruksi realitas. Strategi framing atau praktik pemilihan kata yang (tidak) akan dimasukan ke dalam wacana merupakan hal yang tidak terelakan dalam membuat wacana. Penyebabnya, di satu sisi karena fakta yang terkait dengan realitas sering lebih banyak dibandingkan dengan tempat dan waktu yang tersedia. Di sisi lain, pemilahan dan pemilihan itu dilakukan berdasarkan pertimbangan tertentu yang digunakan oleh si pembuat wacana, baik factor internal maupun eksternal. Strategi priming adalah strategi mengatur ruang atau waktu untuk pempublikasian wacana di hadapan khalayak. Konstruksi realitas social yang disajikan oleh media massa secara sederhana bisa membentuk opini publik, seperti yang diungkapkan oleh Hamad (2004:16)), yakni : (1) menggunakan symbol-simbol; (2) melaksanakan strategi pengemasan pesan; (3) melakukan fungsi agenda media. Hal ini seperti yang diungkapkan di atas, bahwa ketiga media melakukan agendanya dengan memilih isu yang paling penting dijadikan headline, maka apa yang dianggap penting oleh media akan dianggap penting pula oleh masyarakat. Ketika, isu itu sudah dianggap penting oleh masyarakat, maka akan terbentuklah opini publik. Ibnu Hamad (2004:16) selanjutnya menjelaskan mengenai pemilihan symbol (fungsi bahasa): apapun symbol yang dipilih akan mempengaruhi makna yang muncul. Fungsi lainnya adalah untuk menyadarkan pendengar akan sesuatu yang dinyatakan untuk kemudian supaya memikirkannya. Tanda-tanda dan symbol-simbol dalam hal ini adalah berita, gambar dan foto pemberitaan banjir di Jakarta yang disajikan di Kompas dan Media Indonesia. Media melakukan strategi pengemasan pesan, atas nama kaidah jurnalistik, peristiwa yang panjang, lebar, dan rumit, dicoba “disederhanakan” melalui mekanisme pembingkaian (framing) fakta-fakta dalam bentuk berita sehingga layak terbit atau layak tayang. Untuk kepentingan pemberitaan tersebut, komunikator massa seringkali hanya menyoroti hal-hal yang “penting” (mempunyai nilai berita) …. Cara membentuk wacana di media massa adalah dengan mengemas (packaging) realitas ke dalam sebuah struktur sehingga sebuah isu mempunyai makna. DI dalamnya terhimpun sejumlah fakta pilihan yang diperlakukan sedemikian rupa – atas dasar frame tertentu – sehingga ada fakta yang ditonjolkan, disembunyikan, bahkan dihilangkan satu urutan cerita yang mempunyai makna. Analisis ini membantu kita melihat secara lebih mendalam bagaimana pesan diorganisir, digunakan dan dipahami (Hamad, 2004:21). 380 International Conference of Communication, Industry, and Community. Bali, 3-4 Maret 2016 ISBN: 978-602-74139-1-7 Pemberitaan bencana banjir di Jakarta dapat diasumsikan dikemas sedemikian rupa oleh para pekerja media sehingga da fakta-fakta yang ditonjolkan, disembunyikan bahkan bisa jadi dihilangkan sehingga maknanya menjadi berbeda. Inilah yang bisa kita katakana sebagai konstruksi realitas yang dikemas oleh media. Pemberitaan di media massa tidak lahir begitu saja, ada beberapa proses yang harus dilalui, sejak dari pencarian bahan berita sampai layak disiarkan. Hal inilah yang disebut sebagai pembentukan konstruksi realitas. Hamad (2004:11) menjelaskan tentang proses konstruksi realitas, prinsipnya setiap upaya “menceritakan” (konseptualisasi) sebuah peristiwa, keadaan, atau benda.. adalah usaha mengkonstruksi realitas. Proses konstruksi realitas yang dibedah dalam penelitian ini menggunakan analisis framing dengan perspektif Zhongdang Pan dan Gerald M. Kosicki. Eriyanto (2002:3) menyatakan analisis framing dapat digunakan untuk mengetahui bagaimana realitas dikonstruksi oleh media. Dengan cara dan teknik apa peristiwa ditekankan dan ditonjolkan. Apakah dalam berita itu ada bagian yang dihilangkan, luput atau bahkan disembunyikan dalam pemberitaan. Disini realitas social dimaknai dan dikonstruksi dengan makna tertentu, peristiwa dipahamid engan bentukan tertentu. Haislnya, pemberitaan media pada isi tertentu atau wawancara dengan orang-orang tertentu. Semua elemen tersebut tidak hanya bagian dari teknik jurnalistik, tetapi menandakan bagaimana peristiwa dimaknai dan ditampilkan. Artinya media mampu membawa khalayaknya memaknai realitas melalui teks yang sudah dibingkai oleh para pekerja medianya sesuai dengan ideology yang dimiliki oleh media tersebut. Framing oleh Pan dan Kosicki (Eriyanto, 2002:252) didefinisikan sebagai proses membuat suatu pesan lebih menonjol, menempatkan informasi lebih daripada yang lain sehingga khalayak tertuju pada pesan tersebut. Pan dan Kosicki menggunakan empat struktur besar analisisnya, yaitu : (1) struktur sintaksis, sintaksis berhubungan dengan bagaimana wartawan menyusun peristiwa-pernyataan, opini, kutipan, pengamatan atas peristiwa ke dalam bentuk susunan umum berita. Ia mengamati bagaimana wartawan memahami peritiwa yang dapat dilihat dari cara menyusun fakta ke dalam bentuk umum berita; (2) struktur skrip, skrip berhubungan dengan bagaimana wartawan mengisahkan atau menceritakan peristiwa ke dalam bentuk berita; (3) struktur tematik, tematik berhubungan dengan bagaimana wartawan mengungkapkan pandangannya atas peristiwa ke dalam proposisi, kalimat atau hubungan antar kalimat yang membentuk teks secara keseluruhan dan (4) struktur retoris. Retoris berhubungan dengan bagaimana wartawan menekankan arti tertentu ke dalam berita. Metodologi Penelitian ini menggunakan analisis framing Pan dan Kosicki dengan pendekatan kualitatif konstruktivis. Penelitian ini bersifat deskriptif. Kedudukan peneliti sebagai pengamat yang memungkinkan peneliti untuk mengumpulkan data dengan mengoptimalkan kemampuan peneliti dari segi motif, kepercayaan, 381 International Conference of Communication, Industry, and Community. Bali, 3-4 Maret 2016 ISBN: 978-602-74139-1-7 perhatian, perilaku tak sadar, kebiasaan, dan sebagainya. Pengumpulan data dilakukan dengan mengkliping pemberitaan banjir Jakarta baik di Kompas maupun Media Indonesia dari tanggal 5-25 Januari 2014. Bahan penelitian ini sebanyak 248 berita Banjir di Media Indonesia dan 185 berita di Kompas, dengan unit Analisisnya keseluruhan tanda-tanda pada teks berita. Analisa data dilakukan dengan mengolah teks berita tentang berita bencana banjir yang telah dipilih menggunakan analisis framing Pan dan Kosicki. STRUKTUR SINTAKSIS Cara wartawan menyusun fakta SKRIP Cara wartawan mengisahkan fakta TEMATIK Cara wartawan menulis fakta RETORIS Cara wartawan menekankan fakta PERANGKAT FRAMING Skema Berita Kelengkapan Berita Detail, Koherensi, Bentuk Kalimat, Kata Ganti Leksikon, Grafis, Metafora UNIT YANG DIAMATI Headline, Lead, latar informasi, kutipan sumber, pernyataan, penutup 5W + 1 H Paragraf, proposisi, kalimat, hubungan antar kalimat Kata, Idiom, gambar/foto, grafik Tabel 1. Skema Analisis Framing Pan dan Kosicki Hasil Temuan dan Diskusi Struktur Sintaksis. Menonjolkan persoalan banjir yang terjadi di beberapa titik di Kota Jakarta beserta sebab dan akibatnya. Berita ditampilkan secara rinci sehingga beberapa berita tidak memiliki nilai informasi. Berita banjir Jakarta dijadikan sebagai persoalan besar karena mengganggu arus lalu lintas di Kota Jakarta hingga mengganggu aktivitas warga. Narasumber diambil secara adil dari berbagai pihak (berimbang) walaupun hampir secara keseluruhan memberi pernyataan dengan tone positif. Salah satu narasumber dari NTMC Polri merupakan sumber yang capable melaporkan informasi arus lalu lintas di titik-titik banjir kota Jakarta. Kesan memprihatinkan dibangun melalui wawancara dan pernyataan reporter. Persoalan Jakarta ditonjolkan sebagai persoalan Indonesia sehingga harus menjadi perhatian bersama. MI membingkai kondisi bencana banjir Jakarta sebagai persoalan darurat. MI membangun perspektif bahwa pemerintah propinsi sudah “hadir” dalam penanganan bencana banjir di Jakarta. MI mengarahkan berita sebagai bencana alam yang terjadi karena siklus cuaca sedangkan Pemprof DKI Jakarta sudah berusaha menangani dampak hujan deras Struktur Skrip. Menonjolkan aspek where untuk menginformasikan lokasi bencana yang terkena dampak hujan deras. Aspek Why : menjelaskan latar belakang pembatalan pembangunan sodetan oleh pemprof DKI Jakarta. Aspek How: Merekonstruksi detai peristiwa ke dalam berita untuk menjelaskan 382 International Conference of Communication, Industry, and Community. Bali, 3-4 Maret 2016 ISBN: 978-602-74139-1-7 bagaimana peristiwa berlangsung. Aspek Who : Aktor utama pemberitaan adalah Pemprov DKI Jakarta. Dua aspek yang tidak ditonjolkan adalah When dan What, artinya tidak terlalu member perhatian pada peristiwa apa yang terjadi dan kapan kejadian tersebut berlangsung. Struktur Tematik. MI membangun tema aktivitas warga kota Jakarta yang kacau karena hujan deras yang mengakibatkan banjir dan macet. Imajinasi khalayak dibangun mengenai betapa besarnya masalah dan dampak dari hujan deras di Jakarta. Manajemen penanganan banjir yang sudah hampir maksimal oleh pemprov DKI Jakarta. Konstruksi tematik penyebab banjir adalah system drainase buruk dan hujan deras. Siklus alam yang selalu terjadi setiap akhir hingga awal tahun seolah menjadi “kambing hitam” dari kegagalan pemprov menangani masalah banjir. Konstruksi tematik mengenai akibat hujan deras adalah banjir dan macet yang sangat mengganggu aktivitas warga Jakarta. Membingkai kerja pemprov DKI Jakarta sudah baik dan akan segera mengatasi masalah banjir. Struktur Retoris. Media Indonesia lebih banyak menggunakan kata : Masih terendam banjir: kata “masih” mengartikan banjir sudah merendam pemukiman sejak berita ini belum ditayangkan. Kata : Korban Banjir : orang yang menderita karena suatu kejadian dalam hal ini banjir. Kata: Tetap Bertahan: Masih harus terus hidup dalam ketidaknyamanan. Kata: Tidak punya pilihan: banjir membuat warga harus tidur di bantaran rel atau pengungsian. Kata: Langganan banjir: pemukiman yang seringkali terkena banjir. Mengguyur: Air yang turun dalam jumlah yang sangat banyak. Selain itu, kata : genangan air: aliran air yang berhenti. Kata : terpaksa harus menuntun sepeda motor: digunakan sebagai ganti kata mogok. Kalimat ini terdengar lebih dramatis karena “terpaksa” berarti melakukan sesuatu yang sangat tidak diinginkan. Sedangkan “harus menuntun” menggambarkan usaha yang dilakukan pengendara. Kata Saking luasnya : kata sangking untuk menggambarkan luas area yang tidak biasa. Kata Mirip sungai adalah kiasan untuk menggambarkan luasnya wilayah yang tergenang banjir. Kata kiasan yang bersifat hiperbola ini “banjir” menjadi terdengar lebih dramatis. Kata kepadatan digunakan sebagai kata ganti macet. “Padat” seolah tanpa celah, sedangkan penggunaan kata “macet” adalah hal yang biasa. Kata Mega Proyek : menyatakan proyek yang besar. Kata tanda tanya besar : masalah banjir adaah persoalan yang belum terjawab sejak lama. Kata Resah dan khawatir adalah gambaran emosi warga Bidara Cina. Kata Jeritan : penggunaan kata ini sangat hiperbola untuk menggambarkan ketidak setujuan pihak tertentu mengenai pembangunan sodetan CIliwung-Cisadane. MI Menggunakan kata “ibukota” sebagai kata ganti “Jakarta”. Hal ini menggambarkan bahwa bencana banjir di Jakarta sebagai bencana nasional (Indonesia), sehingga membangun kesadaran masyarakat untuk ikut merasakan isi berita bencana banjir Jakarta menjadi perhatian bersama. MI menggunakan kata dan konotasi hiperbola untuk menggambarkan besarnya bencana yang sangat mengganggu aktivitas warga Jakarta. MI menggunakan Majas Totem Pro Parte sebagai permainan bahasa dalam kalimat “Indonesia Darurat Bencana” dan “Ibu Kota Banjir”. MI juga menggunakan kata yang menekankan warga Jakarta 383 International Conference of Communication, Industry, and Community. Bali, 3-4 Maret 2016 ISBN: 978-602-74139-1-7 sudah biasa menghadapi bencana banjir, dan kata yang menggambarkan pemprov DKI Jakarta telah melakukan penanganan banjir secara luar biasa Ada beberapa fakta yang ditonjolkan : (1) Banjir Jakarta disebabkan oleh gejala alam; (2) Walaupun sudah menjadi bencana langganan, banjir tetap sangat mengganggu aktivitas warga; (3) Bagaimana kondisi pengungsi dan pengungsian di Jakarta; (4) Polisi tetap merupakan pelayan masyarakat di tengah situasi bencana; (5) Pemprov DKI Jakarta sudah melakukan kerja maksimal untuk menanggulangi banjir dan mendapatkan dukungan dari masyarakat. Pembingkaian berita ini bukan hanya memberikan pemahaman kepada masyarakat tentang bencana alam itu sendiri, namun juga tentang kinerja pemerintah dalam penanganan bencana. Hal ini juga membuktikan bahwa media massa memiliki keberpihakan kepada pemerintah. Media massa yang dimiliki oleh salah satu pengusaha ataupun yang berafiliasi pada salah satu partai politik, akan memperlihatkan keberpihakan atau kontra-nya kepada pemerintah. Media Indonesia yang kepemilikannya dimiliki oleh Surya Paloh yang dalam hal ini sebagai ketua partai politik Nasional Demokrat (Nasdem) sangat memperlihatkan keberpihakannya dalam pemberitaan bencana alam banjir. Analisa terhadap gambar atau foto-foto yang dimuat di Media Indonesia menghasilkan sebagai berikut: peranan polisi khususnya polisi lalu lintas ditonjolkan positif oleh Media Indonesia. Gambar diambil secara long shot oleh fotografer yang menggambarkan polisi dengan latar banjir dan macet. Hal ini mengkonstruk citra polisi sebagai pelayan dan pengayom masyarakat sekalipun berada di tengah bencana. MI juga menggambarkan genangan air yang luas dan mengganggu lalu lintas. MI menggambarkan kondisi pengungsi di daerah pengungsian yang memprihatinkan melalui gambar pengungsian di atas rel dan lokasi banjir yang mobilisasinya menggunakan perahu. Foto yang menggambarkan “kerja” instansi-instansi tertentu seperti polisi dan petugas kesehatan. Simpulan Media Indonesia dalam membingkai pemberitaannya mengenai bencana banjir telah memberikan informasi secara rinci dan lengkap mengenai wilayah yang terkena banjir dan macet. Media Indonesia menonjolkan besarnya dampak hujan deras di Jakarta yang banyak mengganggu aktivitas warga dan penanganan bencana oleh pemerintah propinsi DKI Jakarta yang sudah maksimal. Berita mengenai kondisi pengungsi dan situasi warga di pengungsian diinformasikan secara lengkap. Banjir Jakarta di konstruk sebagai bencana Indonesia yang “langganan” terjadi akibat hujan deras dan akans egera diatasi oleh pemerintah propinsi DKI Jakarta.Pemerintah sudah “hadir” dalam persoalan banjir Jakarta. Polisi berperan aktif dalam situasi banjir. Berita mengkonstruksikan polisi sebagai pihak yang selalu siaga untuk masyarakat. Banjir merupakan bencana alam langganan, sudah biasa terjadi bahkan menyenangkan bagi anak-anak. Bencana Jakarta sebagai bencana nasional. Media Indonesia membangun tema mengenai kacaunya aktivitas warga kota Jakarta karena hujan deras yang 384 International Conference of Communication, Industry, and Community. Bali, 3-4 Maret 2016 ISBN: 978-602-74139-1-7 menyebabkan banjir dan macet. Penyebab banjir adalah gejala alam dan pemerintah propinsi sudah melakukan manajemen penanganan bencana secara maksimal. Peneliti menyimpulkan Media Indonesia belum sepenuhnya melakukan jurnalisme bencana dalam memberitakan bencana banjir di Jakarta. Daftar Pustaka Buku Eriyanto (2002) Analisis Framing : Konstruksi, Ideologi dan Politik Media, Yogyakarta: LKiS Yogyakarta Halim, SYaiful (2013) Postmodifikasi Media, Yogyakarta : Jalasutra Hamad, Ibnu (2004) Konstruksi Realitas Politik dalam Media Massa : Sebuah Studi Critical Discourse Analisis terhadap Berita-Berita Politik, Jakarta: Granit Haryatmoko (2003) Etika Politik dan Kekuasaan, Jakarta : Kompas Iriantara, Yosal (2009) Literasi Media : Apa, Mengapa, Bagaimana, Bandung : Simbiosa Rekatama Media Junaedi, Fajar (2013) Jurnalisme Penyiaran dan Reportase Televisi, Jakarta : Kencana Persada Media Nazaruddin, Muzayin (2008) Jurnalisme Bencana : Analisis Wacana Kritis terhadap berita-berita Bencana di Harian Kompas, JawaPos, Kedaulatan Rakyat dan Bernas Jogja, Yogyakarta Sumadiria, Haris (2005) Jurnalistik Indonesia, Menulis Berita dan Feature, Panduan Praktis Jurnalis Profesional. Bandung : PT. Remaja Rosdakarya Tamburaka, Apriadi (2012) Agenda Setting Media Massa, Jakarta : Rajawali Press Internet www.bnpb.go.id Biografi Penulis Dr. Suraya, M. Si., M.M was born on November 27, 1968 as the eldest daughter to her parent’s five children. Author’s get her bachelor degree in 1991 from the Jakarta Institute of Social and Political Science (IISIP) in 1987, through Communication Studies Faculty, majoring in Journalistic. She continued her study onto the Graduate program of Communication Studies in the University of Indonesia (UI) in 1997. She also attended Paramadina Graduate School of Business in 2006 for her second Postgraduate Studies in Islamic Business and Finance program, and graduated in 2010. She earned her Doctoral Degree in Communication Development from Bogor Agricultural Institute (IPB) in 2012. Since 2002 and up to present day, Suraya has joined the faculty member of Paramadina Graduate School of Communication, and currently take the responsibility as the Head of Paramadina Graduate School of Communication. 385