1 POLA KOMUNIKASI WARIA DI DALAM PONDOK PESANTREN WARIA (Studi Deskriptif Kualitatif Tentang Pola Komunikasi Waria Di Dalam Pondok Pesantren Waria Senin-Kamis Di Kampung Notoyudan, Daerah Istimewa Yogyakarta) Oleh HENNY KUSUMO ANGGOROWATI D 1207613 Diajukan Untuk Melengkapi Tugas-Tugas Dan Memenuhi Syarat-Syarat Guna Mencapai Gelar Sarjana Ilmu Sosial Dan Ilmu Politik Universitas Sebelas Maret Jurusan Ilmu Komunikasi Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Sebelas Maret Surakarta 2009 2 BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG Dalam kehidupannya manusia tidak dapat berdiri sendiri, oleh sebab itu manusia dikategorikan sebagai makhluk sosial yang perlu mengadakan komunikasi dengan manusia lainnya, bersosialisasi dan melakukan interaksi dengan lingkungan disekitarnya. Proses interaksi tersebut dilakukan dengan komunikasi baik secara langsung (tanpa media tertentu) maupun secara tidak langsung (dengan menggunakan media tertentu). Salah satu tempat manusia berinteraksi adalah melalui lembaga pendidikan. Di Indonesia pelaksanaan pendidikan merupakan tanggung jawab seluruh komponen bangsa. Dalam prakteknya, masyarakat ikut terlibat dalam upaya mencerdaskan kehidupan bangsa baik secara material maupun spiritual. Termasuk ke dalam jalur pendidikan luar sekolah yang diselenggarakan oleh masyarakat adalah pondok pesantren. Pondok pesantren merupakan lembaga pendidikan keagamaan Islam yang tumbuh dan berkembang di masyarakat. Pondok pesantren adalah lembaga tradisional yang dalam bacaan teknis berarti suatu tempat yang dihuni oleh para santri, orang yang mencari ilmu.1 1 Departemen Agama RI, Pola Pengembangan Pondok Pesantren, 2001, hal.1. 3 Perkembangan masyarakat dewasa ini menghendaki adanya pembinaan peserta didik yang dilaksanakan secara seimbang antara nilai dan sikap, pengetahuan, kecerdasan dan keterampilan, kemampuan berkomunikasi dan berinteraksi dengan masyarakat secara luas, serta meningkatkan kesadaran terhadap alam lingkungannya. Asas pembinaan seperti inilah yang ditawarkan oleh pondok pesantren sebagai lembaga agama Islam tertua di Indonesia. Pada masa-masa awal, pesantren sudah memiliki tingkatan yang berbeda-beda. Tingkatan pesantren yang paling sederhana hanya mengajarkan cara membaca huruf Arab, Al-Quran dan bacaan Sholat. Sementara pesantren yang sudah agak tinggi adalah pesantren yang mengajarkan berbagai kitab fiqh, ilmu akidah dan kadang-kadang amalan sufi, di samping tata bahasa Arab (nafwu sharf). 2 Pada mulanya tujuan pondok pesantren adalah 3 ; menyiapkan santri mendalami dan menguasai ilmu agama Islam atau lebih dikenal dengan tafaqquf fi al-din yang diharapkan dapat mencetak kader-kader ulama dan turut mencerdaskan masyarakat Indonesia, tugas dakwah menyebarkan agama Islam, benteng pertahanan umat dalam bidang akhlaq. Akibat dari perkembangan zaman dan tuntutannya, tujuan pondok pesantren pun bertambah dikarenakan peranannya yang signifikan, tujuan itu adalah berupaya meningkatkan pengembangan masyarakat di berbagai sektor kehidupan. Dalam perkembangan selanjutnya, karena dipengaruhi oleh perkembangan pendidikan dan tuntutan dinamika masyarakat keberadaan pondok 2 Sulthon Masyhud dan Moh. Khusnurdilo, Manajemen Pondok Pesantren, Diva Pustaka Jakarta, 2003, hal.2. 3 Op cit. hal.2. 4 pesantren semakin beragam. Keberagaman pondok pesantren dalam bentuk, peranan dan fungsi ini menjadikan adanya fenomena yang cukup berarti dalam upaya membuat suatu pola yang dapat dipahami sebagai acuan untuk pengembangan pondok pesantren masa depan. Selanjutnya, pada penelitian ini akan mengemukakan sebuah fenomena yang terjadi ditengah-tengah masyarakat. Fenomena ini sempat mengundang perhatian khalayak atau masyarakat luas. Munculnya pondok pesantren khusus untuk kaum waria ditengah-tengah masyarakat cukup menarik untuk diamati, yang kemudian dapat menimbulkan suatu pertanyaan penting dikalangan masyarakat itu sendiri. Representasi seks selama ini memang selalu menjadi pembahasan dalam Kajian Budaya (cultural studies). Isu seksual yang ditabukan seperti waria, lesbian, gay, transgender/transeksual seharusnya disosialisasikan secara meluas pada masyarakat. Pasalnya, masih banyak ketidakadilan dan penolakan masyarakat terhadap kaum waria yang masih dipinggirkan hingga sekarang. Dalam pandangan masyarakat pada umumnya, waria merupakan penyakit seks atau kondisi yang patologis sehingga harus diperangi. Titik tolak penilaian yang sangat ditentukan oleh orientasi seksual ini yang menjadi sebab, sehingga apapun aktivitasnya waria selalu terlihat aneh dan seolah menjijikkan. Sebagai sebuah orientasi seksual, waria memang banyak mengundang kontroversi. Banyak pandangan negatif yang terus bertumpuk karena orientasi seksual ini dianggap sebagai gejala abnormal, apalagi kemudian dikaitkan dengan agama. Apabila orientasi seksual disebabkan oleh faktor-faktor yang bersifat biologis 5 seorang waria sifatnya sangat kodrati. Dalam hal ini, tidak ada keputusan apa-apa kecuali melihatnya dalam perspektif kekuasaan Tuhan. Demikian juga apabila orientasi seks disebabkan oleh faktor non biologis, misalnya sosial, budaya, politik ataupun lainnya.4 Komunitas waria adalah minoritas dalam masyarakat, berasal dari kata ”wanita-pria” (shemale) karena pria tapi seperti wanita, merasa jiwa yang berada dalam tubuhnya adalah wanita, bahkan keseluruhan apa yang ditempatkan selayaknya seorang wanita. Berdandan, berpikir, perasaan, dan perilaku selayaknya seorang perempuan, yang membedakan adalah jenis alat kelamin yang dimiliki. Alat kelamin merupakan identitas ketika lahir, berbeda tapi fungsi tetap sama, untuk buang air kecil. Kehidupan dijalani seperti orang normal, kebutuhan biologis, aktifitas, dan bergaul dengan sesama atau orang yang bukan kelompoknya.5 Tingkah laku para waria yang sering berlebihan, berusaha untuk dapat seperti wanita pada umumnya dan cara bicara hingga perilaku seksual yang menyukai kaum pria, menyebabkan munculnya sikap dan pandangan negatif masyarakat terhadap mereka. Terlebih lagi, kehidupan kaum waria yang identik dengan kehidupan malam menyebabkan profesi pelacur selalu diderakan kepada mereka. Oleh karena itu, komunitas waria berada pada posisi sulit. Mereka 4 MYS. Kaum lesbian, http://www.kompas. com 5 gay, biseksual, transeksual masih terdiskriminasi. Artikel Ana. Waria Juga Manusia. Artikel http://laporanpenelitian.files.wordpress.com/2008/06/waria 6 dianggap tidak dapat melaksanakan fungsi sosial dan berinteraksi dengan lingkungan sosial yang sistem sosialnya relatif kuat yang diatur oleh norma. Tidak dapat dipungkiri bahwa selama para waria hidup berdampingan dengan orang lain dalam komunitas tertentu, mau tidak mau hal itu akan menuntut setiap individu untuk mempertimbangkan berbagai hal. Sehingga pada perkembangan kehidupan mereka nantinya akan dapat berjalan lancar. Baik itu hubungan antara individu dalam suatu komunitas tertentu dengan komunitas yang lain yang saling berdekatan. Ketika dihadapkan dengan kenyataan tersebut, seorang waria pasti mempunyai keinginan untuk dapat tetap bertahan dengan mengandalkan segala kemampuan yang dimilikinya. Bukan itu saja, apabila memungkinkan, bagi setiap waria pasti mempunyai keinginan untuk dapat terlibat dengan berbagai hal yang dapat membantu mereka beradaptasi dengan lingkungan sekitarnya. Sehingga keberadaan mereka akan dapat diakui bahkan sebisa mungkin untuk dapat dihargai oleh orang lain diluar kelompok waria. Sebuah proses adaptasi yang dialami oleh waria ketika harus berhadapan dengan komunitas diluar komunitas waria akan mampu membawa pengaruh tersendiri bagi waria yang bersangkutan. Akan tetapi, ketika para waria tersebut telah terkondisi untuk selalu menghadapi berbagai cemooh, ejekan, bahkan cercaan dari sebagian masyarakat, akhirnya akan dapat membentuk pribadi waria yang selalu merasa rendah diri, menutup diri dari pergaulan dunia luar, bahkan mungkin akan dapat menimbulkan ketakutan dan trauma yang berkepanjangan. 7 Dalam hal ini komunikasi antara kaum waria dengan masyarakat akan semakin tertutup. Jendela Johari (Johari window) 6 salah satu model inovatif untuk memahami tingkat-tingkat kesadaran dan penyingkapan diri dalam komunikasi insani menggambarkan kaum waria ini berada di Kuadran ketiga yaitu Kuadran tersembunyi. Kuadran tersembunyi merupakan semua hal yang mewakili usaha diri sendiri untuk membatasi masukan/informasi yang menyangkut diri sendiri ke pihak luar atau semua hal yang kita lebih suka tidak membeberkannya kepada orang lain. Kaum waria sebagai sebuah fenomena sosial dalam masyarakat sedikit banyak juga ikut andil dalam membentuk sebuah lingkungan sosial tertentu tempat dimana para waria tersebut tinggal. Ketika masyarakat mengalami perkembangan maupun berbagai perubahan, kaum waria sebagai salah satu bagian dari masyarakat juga ikut mempengaruhi berbagai hal dan peristiwa yang terjadi dalam masyarakat dan lingkungan yang bersangkutan. Sebuah contoh, kaum waria yang sebagian besar hidup secara berkelompok bersama-sama dengan komunitas waria lainnya mempunyai karakter, kebiasaan, bahasa dan perilaku tersendiri yang pada saat tertentu nantinya akan membentuk sebuah pola atau kultur yang dimiliki/dibentuk masyarakat secara umum. Hal ini mungkin yang menjadi salah satu faktor penyebab hingga saat sekarang ini komunitas waria sulit untuk menyesuaikan diri dengan lingkungan sekitarnya diluar komunitas waria. Keterasingan waria dalam masyarakat pada hakekatnya disebabkan oleh dua sumber. Pertama, persepsi masyarakat tentang dunia waria lebih didominasi 6 Stewart L.Tubbs and Sylvia Moss, Human Communication, PT. Remaja Rosdakarya Bandung, 1996, hal. 13-15. 8 oleh persepsi negatif. Persepsi yang diberikan masyarakat ini mempengaruhi kondisi psikologi waria, sehingga dapat membatasi jarak dan komunikasi yang mungkin terjalin diantara keduanya. Kedua, pihak waria sendiri yang kurang bisa mengendalikan diri dalam bersikap. Perilaku waria yang sering berlebihan membuat masyarakat membatasi bahkan menjauhi pergaulan dengan para waria. Namun demikian, kaum waria juga mempunyai hak untuk bersuara, tampil dan menunjukkan eksistensi mereka yang selama ini dibelenggu dalam diskriminasi. Oleh karena itu, upaya-upaya yang bertujuan untuk membatasi atau bahkan menutup akses bagi para waria untuk tampil ditengah masyarakat dengan berbagai alasan apalagi memakai agama adalah sikap yang sangat berlebihan. Kaum waria juga bagian dari masyarakat yang sejatinya memiliki hak yang sama sebagaimana yang dimiliki oleh semua individu. Terlepas dari segala kontroversi seputar “kodrat” dan “pilihan hidup”, kaum waria tidak sepantasnya diisolasi, dijauhi dan didiskriminasi. Perbedaan yang mereka miliki hanyalah satu dari sejuta perbedaan yang juga dimiliki semua orang karena setiap manusia mempunyai kedudukan yang sama dihadapan Tuhan dan hanya amal yang membedakannya. Tetapi faktanya, kaum waria masih banyak dipandang sebelah mata terutama ketika mereka berniat melaksanakan ibadah dan berlatih menata iman. Salah satu pemandangan yang khas terlihat di salah satu rumah di Kampung Notoyudan, Gendong Tengen, Yogyakarta. Ditempat ini berdiri sebuah pondok pesantren yang dikhususkan bagi para waria di Yogyakarta dan sekitarnya. Di pesantren ini setiap senin dan kamis para santri waria mulai dari pekerja salon, 9 PSK, dan pengamen meneguhkan iman dengan berbagai kegiatan keagamaan. Pondok Pesantren Waria Senin-Kamis ini berdiri sejak 8 Juli 2008 di rumah Maryani, yang juga salah seorang waria dan mendapat dukungan dari Ustdaz KH Hamroeli Harun. Setiap senin dan kamis sore para ustadz mendatangi mereka untuk memberikan pelajaran membaca Al Quran, mengaji dan aktivitas lain dengan para santri waria.7 Berdasarkan fenomena sosial yang terjadi tersebut, banyak hal yang menarik untuk diamati tentang keberadaan mereka. Pengertian dan pemahaman akan kebersamaan mereka dalam membangun sebuah komunitas pondok pesantren waria menampilkan kehidupan religi mereka secara langsung. Kaum waria yang sebagian besar hidup secara berkelompok bersama-sama dengan komunitas waria lainnya mempunyai karakter, kebiasaan, bahasa dan perilaku tersendiri yang pada saat tertentu nantinya akan membentuk sebuah pola atau kultur. Penelitian ini akan mengungkap latar belakang yang mendorong seseorang menentukan pilihan untuk menjadi seorang waria, faktor yang mendorong waria untuk mengikuti kegiatan di pondok pesantren waria dan bagaimana pola komunikasi secara umum yang terbentuk oleh para santri waria di dalam Pondok Pesantren Waria Senin-Kamis. 7 Desi. Peresmian Pondok Pesantren Waria ‘Senin-Kamis’. Artikel diy.info/index.php?lang=id&cid=6 http://www.pkbi- 10 B. RUMUSAN MASALAH Dengan melihat latar belakang diatas, maka peneliti dapat merumuskan masalah, sebagai berikut : Bagaimana pola komunikasi yang terbentuk oleh para santri waria di dalam Pondok Pesantren Waria Senin-Kamis Kampung Notoyudan DIY? C. TUJUAN PENELITIAN Untuk mendiskripsikan pola komunikasi yang terbentuk oleh para santri waria di dalam Pondok Pesantren Waria Senin-Kamis Kampung Notoyudan DIY. D. MANFAAT PENELITIAN 1. Manfaat teoritis Sebagai wacana tambahan dan bisa dijadikan sebagai bahan pembelajaran ataupun sebagai dasar untuk melakukan penelitian lain yang serupa. Hasil penilitian ini diharapkan dapat bermanfaat sebagai informasi bagi pihak-pihak yang tertarik dengan keberadaan kaum waria dan komunitasnya. 2. Manfaat praktis Dapat mengetahui fenomena sosial yang terjadi dalam lingkungan masyarakat serta dapat menjadi wacana atau gambaran untuk menghindari terjadinya diskriminasi sosial antar masyarakat dan peneliti mengharapkan adanya perubahan interaksi sosial yang semakin baik antara kaum waria dengan masyarakat lingkungan sekitar. 11 E. TELAAH PUSTAKA Banyak studi tentang pola komunikasi namun masih sedikit yang membahas tentang pola komunikasi pondok pesantren khususnya pondok pesantren waria. Didalam penelitian ini telaah pustaka dapat membantu dalam menentukan arah jalannya penelitian dan memilih konsep-konsep yang tepat untuk penelitian. Karena teori adalah definisi untuk mengemukakan suatu pandangan untuk menjelaskan sebuah penelitian. Awal dari telaah pustaka ini menjelaskan tentang pola komunikasi serta ruang lingkup komunikasi yang merupakan suatu proses informasi yang dapat mempengaruhi perilaku seseorang. 1. Pola Komunikasi Manusia sebagai makhluk sosial senantiasa tidak akan bisa lepas dari proses komunikasi, baik verbal maupun non verbal, disadari maupun tidak disadari. Dalam proses komunikasi/interaksi tersebut, masing-masing individu, masing-masing tempat tidak sama. Komunikasi adalah kegiatan pengoperan lambang yang mengandung arti/makna. Arti ini perlu dipahami bersama oleh pihak-pihak yang terlibat dalam suatu kegiatan komunikasi.8Komunikasi juga bisa didefinisikan sebagai hubungan kontak antar dan antara individu maupun kelompok, dalam kehidupan sehari-hari disadari atau tidak komunikasi adalah bagian dari kehidupan manusia itu sendiri, paling tidak sejak ia dilahirkan sudah berkomunikasi dengan lingkungannnya.9 8 Astrid S. Susanto, Komunikasi Sosial di Indonesia, Binacipta Bandung, 1985, hal. 1. A. W. Widjaja, Komunikasi:Komunikasi dan Hubungan Masyarakat, Bumi Aksara Jakarta, 1993, hal. 1. 9 12 Menurut Goyer 1970 dalam Katherine Miller10 “communications is the sharing of experience, observable as the extent to which the responses of a generator and perseiver (both of which are necessarily living organism) are systematically correlated to a referen stimulus.” Definisi lain diungkapkan oleh Colin Cherry (Jalaluddin, 1990:11) “Komunikasi merupakan pembentukan satuan sosial yang terdiri dari individuindividu melalui penggunaan bahasa dan tanda. Memiliki kebersamaan dalam peraturan-peraturan untuk berbagai aktivitas pencapaian tujuan.” Dalam bukunya Managing Organizational Behavior, John R. Schemerhon11 menyatakan bahwa “komunikasi itu dapat diartikan sebagai proses antar pribadi dalam mengirim dan menerima simbol-simbol yang berarti bagi kepentingan mereka.” Dari beberapa definisi komunikasi yang begitu banyak dan kompleks, Little John 12 dalam bukunya Theories of Human Communication menyebutkan beberapa komponen konseptual komunikasi. Salah satu komponen konseptual komunikasi tersebut adalah understanding, konseptual ini mendefinisikan komunikasi sebagai “communication is the process by which we understand others and in turn endeavor to be understood by them. It is dynamic, constantly changing and shifting in response to the total situation.” 10 Katherine Miller, Communication Theories : Perspective, Processes, and Contexts,United State of America : The Mc Graw Hill Companies, 2002, hal.4. 11 A. W. Widjaja, Op cit, hal. 8. 12 Stephen W. Littlejohn, Theories of Human Communication 3th ed, Belmont : Wadsworth Publishing Company, 1989, hal.5. 13 Faktor komunikasi memainkan peranan yang penting di dalam sebuah komunitas masyarakat, apalagi bagi manusia modern. Manusia modern yaitu manusia yang cara berpikirnya tidak spekulatif tetapi berdasarkan logika dan rasional dalam melaksanakan segala kegiatan dan aktivitasnya. Kegiatan dan aktivitasnya itu akan terselenggara dengan baik melalui proses komunikasi antar manusia. “Throughout history communication and information have been fundamental sources of power and counter-power, of domination and social change. This is because the fundamental battle being fought in society is the battle over the minds of the people. The way people think determines the fate of norms and values on which societies are constructed. While coercion and fear are critical sources for imposing the will of the dominants over the dominated, few institutional systems can last long if they are predominantly based on sheer repression.”13 (Sepanjang sejarah komunikasi dan informasi adalah sebuah sumber pokok kekuasaan dan kekuasaan balasan, dari dominasi dan perubahan sosial. Ini karena pokok dari perjuangan sosial adalah melalui perjuangan dari pemikiran manusia. Cara orang berpikir menentukan norma dan nilai yang terbentuk dalam masyarakat. Sementara itu, kekerasaan dan ketakutan adalah sumber-sumber yang mengesankan pemaksaan dominasi kemauan dari yang mendominasi, sistem institusional dapat bertahan lama jika mereka mengutamakan berdasarkan penekanan tajam.) Komunikasi selain merupakan kegiatan pengoperan dan penerimaan lambang atau keinginan mengubah pendapat orang lain, juga merupakan suatu usaha untuk mengadakan hubungan sosial. Hal ini dilakukan dengan jalan komunikasi yang serasi. 13 Manuel Castells, 2007, Communication, Power and Counter-power in the Network Society, Journal Interpersonal Communication, Vol.1, Hal. 238. 14 Dalam sistem sosial komunikasi berfungsi sebagai berikut :14 1. Informasi Pengumpulan, penyimpanan, pemrosesan, penyebaran berita, data, gambar, pesan opini, dan beraksi secara jelas terhadap kondisi lingkungan dan orang lain agar dapat mengambil keputusan yang tepat. 2. Sosialisasi Penyediaan sumber ilmu pengetahuan yang memungkinkan orang bersikap dan bertindak sebagai anggota masyarakat yang efektif sehingga ia sadar akan fungsi sosialnya sehingga ia dapat aktif di dalam masyarakat. 3. Motivasi Menjelaskan tujuan setiap masyarakat jangka pendek maupun jangka panjang, mendorong orang menentukan pilihannya dan keinginannya, mendorong kegiatan individu dan kelompok berdasarkan tujuan bersama yang akan dikejar. 4. Perdebatan dan diskusi Menyediakan dan saling menukar fakta yang diperlukan untuk memungkinkan persetujuan atau menyelesaikan perbedaan pendapat mengenai masalah publik. 5. Pendidikan Pengalihan ilmu pengetahuan sehingga mendorong perkembangan intelektual, pembentuk watak dan pendidikan ketrampilan dan kemahiran yang diperlukan pada semua bidang kehidupan. 14 A. W. Widjaja, Komunikasi:Komunikasi dan Hubungan Masyarakat, Bumi Aksara Jakarta, 1993, hal. 3. 15 6. Memajukan kebudayaan Penyebaran hasil kebudayaan dan seni dengan maksud melestarikan warisan masa lalu, perkembangan kebudayaan dengan memperluas horizon seseorang, membangun imajinasi, dan mendorong kreativitas estetikanya. 7. Hiburan Penyebarluasan sinyal, simbol, suara dan image dari drama, kesenian, kesusastraan, olahraga dan musik baik kelompok maupun individu. 8. Integrasi Menyediakan bagi bangsa, kelompok dan individu kesempatan untuk memperoleh berbagai pesan yang mereka perlukan agar mereka dapat saling kenal, mengerti dan menghargai kondisi, pandangan dan keinginan orang lain. Kegiatan komunikasi merupakan kunci awal untuk membentuk sebuah pola komunikasi. Wilbur Schramm 15 menyatakankan bahwa komunikasi akan berhasil apabila pesan yang disampaikan oleh komunikator cocok dengan kerangka acuan (frame of reference), yakni paduan pengalaman dan pengertian (collection of experiences and meaning) yang pernah diperoleh komunikan. Dalam proses komunikasi interpersonal yang melibatkan dua orang dalam situasi interaksi, komunikator menyandi (encode) suatu pesan, lalu menyampaikannya kepada komunikan dan komunikan mengawasandi (decode) pesan tersebut. 15 Onong Uchjana, Ilmu Komunikasi : Teori dan Praktek, PT Remaja Rosdakarya Bandung, 2001, hal.13. 16 Model komunikasi Wilbur Schramm 16 ini disebut sebagai model sirkular. Gambar 1.1 Model Sirkular Osgood dan Schramm Message Encoder Decoder Interpreter Interpreter Decoder Encoder Message Model sirkular Wilbur Schramm menitikberatkan perhatian langsung kepada saluran yang menghubungkan komunikator dan komunikan serta perilaku pelaku-pelaku utama dalam proses komunikasi. Jika bidang pengalaman komunikator sama dengan bidang pengalaman komunikan, komunikasi akan berlangsung lancar. Sebaliknya, bila pengalaman komunikasi tidak sama dengan pengalaman komunikator, akan timbul kesukaran untuk mengerti satu sama lain. Seperti yang telah dikatakan diatas bahwa dalam berkomunikasi setiap orang, setiap tempat mempunyai gaya yang berbeda. Hal ini kemudian akan mempengaruhi pola komunikasi yang terbangun dalam satu komunitas masyarakat tertentu. Banyak faktor yang mempengaruhi, seperti pergaulan, budaya yang disepakati, dan sistem kepercayaan/agama sehingga bisa dikatakan bahwa pola komunikasi tidak berbentuk baku tetapi fleksibel. 16 Onong Uchjana, Ilmu, Teori dan Filsafat Komunikasi, PT Citra Aditya Bakti Bandung, 1993, hal. 258. 17 Pola adalah sebuah sistem maupun cara kerja sesuatu yang memiliki bentuk dan struktur tetap. Pada tingkat masyarakat, komunikasi biasanya berpola dalam bentuk-bentuk fungsi, kategori ujaran dan sikap konsepsi tentang bahasa dan penutur. Komunikasi berpola menurut peran tertentu dan kelompok tertentu dalam suatu masyarakat, tingkat pendidikan, wilayah geografis, dan ciri-ciri organisasi sosial lainnya. Pada tingkat individual, komunikasi berpola pada tingkat ekspresi dan interpretasi kepribadian. Dalam bentuk fungsi, bahasa ditunjukkan lewat cara –dalam kasus ini- santri waria menyampaikan perasaan atau emosinya (ekspresif), memohon atau memerintah (direktif), beragumen (referensial), menunjukkan empati dan solidaritas (fatik) dan mereferensi pada bahasa itu sendiri (metalinguistik).17 Pola komunikasi yang kemudian dimaksud dalam penelitian ini adalah kebiasaan dari suatu kelompok untuk berinteraksi, bertukar informasi, pikiran dan pengetahuan yang terjadi dalam jangka waktu tertentu. Pola komunikasi juga dapat dikatakan sebagai cara seseorang atau kelompok berinteraksi dengan menggunakan simbol-simbol yang telah disepakati sebelumnya. Kaum waria merupakan sebuah kelompok kecil masyarakat yang mempunyai ciri khas yang berbeda dengan masyarakat lainnya. Dalam menjaga eksistensi, mereka membangun sebuah komunitas pondok pesantren. Kaum waria mengadakan sebuah pengajian yang dikhususkan bagi para waria yang diberi nama Pondok Pesantren Waria Senin-Kamis. Dalam pondok pesantren waria ini 17 Abd. Syukur Ibrahim, 1994, Panduan Penelitian Etnografi Komunikasi, Surabaya: Usaha Nasional, hal. 15. 18 secara umum terbentuk sebuah pola komunikasi dalam berinteraksi. Pola komunikasi ini dapat diamati melalui bahasa penutur atapun ekspresi simbolik. Pola komunikasi yang terbentuk dalam Pondok Pesantren Waria secara tidak langsung ada dua, yaitu Pola Komunikasi Formal dan Pola Komunikasi Informal. Pola komunikasi formal berkaitan dengan kegiatan waria yang lebih bersifat resmi, seperti : pengajian memperingati bulan nisfu syaban, sholat berjamaah, dan pengajian waria dengan mengundang Ustadz. Sedangkan, pola komunikasi informal adalah interaksi yang terjadi antar waria dalam berbagai kegiatan sehari-hari. Misalnya mengobrol di depan pondok, bercerita disela-sela kegiatan pondok dan acara ulang tahun salah satu santri. Kedua pola komunikasi ini dipengaruhi oleh simbol dan aturan yang mereka anut dan nampak pada cara/sikap saat berbicara, posisi duduk, bahasa yang digunakan oleh mereka serta pakaian yang dikenakan. Komunikasi adalah inti semua hubungan sosial, apabila orang telah mengadakan hubungan tetap, maka sistem komunikasi yang mereka lakukan akan menentukan apakah sistem tersebut dapat mempererat atau mempersatukan mereka, mengurangi ketegangan atau melenyapkan persengkataan apabila muncul. Dengan komunikasi, manusia dapat menyampaikan informasi, opini, ide, konsepsi, pengetahuan, perasaan, sikap, perbuatan dan sebagainya kepada sesamanya secara timbal balik, baik sebagai penyampai maupun penerima komunikasi. 19 2. Komunikasi Interpersonal dan Komunikasi Kelompok Kecil Komunikasi interpersonal merupakan komunikasi yang digunakan di dalam pondok pesantren waria. Komunikasi interpersonal menunjuk kepada komunikasi dengan orang lain. Komunikasi interpersonal juga sering disebut sebagai komunikasi diadik. Komunikasi diadik 18 merupakan komunikasi antarpribadi yang berlangsung antara dua orang yakni yang seorang adalah komunikator yang menyampaikan pesan dan seorang lagi komunikan yang menerima pesan. Dalam bukunya yang berjudul Manajemen, William F. Glueck19 menyatakan bahwa komunikasi interpersonal adalah: “Interpersonal communications, yaitu proses pertukaran informasi serta pemindahan pengertian antara 2 orang atau lebih di dalam suatu kelompok kecil manusia.” Komunikasi interpersonal pada dasarnya merupakan jalinan hubungan interaktif antara seorang individu dan individu lain dimana lambang-lambang pesan secara efektif digunakan, terutama lambang-lambang bahasa. 20 Jarang sekali orang menganggap bahasa sebagai media komunikasi. Hal ini menurut Onong 21 disebabkan oleh bahasa sebagai lambang (symbol) beserta (content) – yakni pikiran atau perasaan- yang dibawanya menjadi totalitas pesan yang tidak dapat dipisahkan. Sebagai media primer atau lambang yang paling banyak digunakan dalam komunikasi, bahasa memerankan banyak fungsi komunikatif. 18 Onong Uchjana, Ilmu, Teori dan Filsafat Komunikasi, PT Citra Aditya Bakti Bandung, 1993, hal.62. 19 A. W. Widjaja, Komunikasi:Komunikasi dan Hubungan Masyarakat, Bumi Aksara Jakarta, 1993, hal.8. 20 Pawito, Penelitian Komunikasi Kualitatif, PT. LkiS Pelangi Aksara Yogyakarta,2007, hal.2. 21 Onong Uchjana, 2001, Ilmu Komunikasi:Teori dan Praktek, Bandung : Remaja Rosdakarya, hal.11. 20 Bahwa bahasa yang paling banyak dipergunakan dalam proses komunikasi sudah jelas, mengingat hanya bahasalah yang mampu menerjemahkan pikiran seseorang kepada orang lain, baik gesture, gambar, warna, dan media primer lain kesulitan buat menerjemahkannya. Perbedaan latar belakang kadang menimbulkan konflik baik antar individu maupun individu dengan masyarakat. Namun apabila ditemukan suatu pemahaman dan jalinan komunikasi yang baik, maka konflik tersebut dapat dihindari. Konsep jalinan hubungan (relationship) sangat penting dalam komunikasi interpersonal. Jalinan hubungan merupakan seperangkat harapan yang ada pada partisipan yang dengan itu mereka menunjukkan perilaku tertentu di dalam berkomunikasi. Jalinan hubungan antar individu hampir senantiasa melatarbelakangi pola-pola interaksi di antara partisipan dalam komunikasi interpersonal.22 Dalam proses komunikasi, komunikasi interpersonal efektivitasnya paling tinggi karena komunikasinya timbal balik dan terkonsentrasi. Komunikator mengetahui pasti apakah komunikannya itu menanggapi dengan positif atau negatif, berhasil atau tidak. Pentingnya situasi seperti ini bagi komunikator adalah karena ia dapat mengetahui diri komunikan selengkap-lengkapnya dan yang penting artinya untuk mengubah sikap, pendapat atau perilakunya. Dengan demikian komunikator dapat mengarahkan ke suatu tujuan sebagaimana ia inginkan. 22 Pawito, Penelitian Komunikasi Kualitatif, PT. LkiS Pelangi Aksara Yogyakarta,2007, hal.3. 21 Komunikasi interpersonal didefinisikan oleh Joseph A. Devito dalam bukunya The Interpersonal Communication Book23 sebagai proses pengiriman dan penerimaan pesan-pesan antara dua orang atau di antara sekelompok kecil orangorang, dengan beberapa efek dan beberapa umpan balik seketika. Pesan komunikasi dapat mempunyai banyak bentuk. Kita mengirimkan dan menerima pesan ini melalui salah satu atau kombinasi tertentu dari panca indra kita. Kita bisa berkomunikasi secara verbal (lisan dan terrtulis) dan non verbal (tanpa kata). Saluran komunikasi adalah media yang dilalui pesan. Jarang sekali komunikasi berlangsung melalui hanya satu saluran, kita menggunakan tiga atau empat saluran yang berbeda secara simultan.24 Hubungan dalam komunikasi interpersonal terbina melalui tahap-tahap. Kita menumbuhkan keakraban secara bertahap, melalui langkah atau tahap. Kelima tahap ini adalah kontak, keterlibatan, keakraban, perusakan, dan pemutusan tahap-tahap ini menggambarkan hubungan seperti apa adanya. Tahaptahap ini tidak mengevaluasi atau menguraikan bagaimana seharusnya hubungan itu berlangsung.25 Tahap-tahap itu antara lain : Kontak, pada tahap pertama kita membuat kontak. Ada beberapa macam persepsi alat indra (melihat, mendengar, dan membaui seseorang). Menurut beberapa riset selama tahap inilah dalam empat menit pertama interaksi awal. Pada tahap ini penampilan fisik begitu penting karena dimensi fisik paling terbuka untuk diamati secara mudah. Namun demikian, kualitas-kualitas lain seperti sikap 23 Onong Uchjana, Ilmu, Teori dan Filsafat Komunikasi, PT Citra Aditya Bakti Bandung, 1993, hal. 59-60. 24 Joseph A.Devito, Komunikasi Antar Manusia, Professional Books Jakarta, 1997, hal.28. 25 Ibid, hal.233-235. 22 bersahabat, kehangatan, keterbukaan dan dinamisme juga terungkap pada tahap ini. Jika anda menyukai orang ini dan ingin melanjutkan hubungan maka akan beranjak ke tahap kedua. Keterlibatan, tahap keterlibatan adalah tahap pengenalan lebih jauh, ketika kita mengikatkan diri kita untuk mengenal orang lain dan juga mengungkapkan diri kita. Jika ini adalah hubungan yang romantik, maka ini disebut tahap kencan. Keakraban, pada tahap keakraban, kita mengikat diri lebih jauh dengan orang lain. Hubungan dalam keakraban disebut sebagai hubungan primer (primary relationship), dimana orang menjadi sahabat baik atau kekasih. Perusakan, dua tahap berikutnya merupakan penurunan hubungan, ketika ikatan di antara kedua pihak melemah. Pada tahap perusakan mulai merasa bahwa hubungan ini mungkin tidaklah sepenting apa yang dipikirkan sebelumnya. Hubungan akan semakin jauh. Makin sedikit waktu senggang yang dilalui bersama dan bila bertemu maka akan berdiam diri, tidak lagi banyak mengungkapkan diri. Jika tahap perusakan ini berlanjut maka memasuki tahap pemutusan. Pemutusan, tahap pemutusan adalah pemutusan ikatan yang mempertalikan kedua pihak. Jika bentuk ikatan itu adalah perkawinan, pemutusan hubungan dilambangkan dengan perceraian, walaupun pemutusan hubungan aktual dapat berupa hidup berpisah. Adakalanya terjadi peredaan, kadang-kadang ketegangan dan keresahan makin meningkat, saling tuduh dan permusuhan. 23 Pentingnya komunikasi interpersonal ialah karena prosesnya memungkinkan berlangsung secara dialogis. Komunikasi dialogis adalah bentuk komunikasi interpersonal yang menunjukkan terjadinya interaksi. Mereka yang terlibat dalam komunikasi bentuk ini berfungsi ganda, masing-masing menjadi pembicara dan pendengar secara bergantian. Dalam proses komunikasi dialogis nampak adanya upaya dari para pelaku komunikasi untuk terjadinya pengertian bersama (mutual understanding) dan empati. Walaupun demikian derajat keakraban dalam komunikasi interpersonal dialogis pada situasi tertentu bisa berbeda. Komunikasi horizontal selalu menimbulkan derajat keakraban yang lebih tinggi ketimbang komunikasi vertikal. Yang dimaksudkan horizontal adalah komunikasi antara orang-orang yang memiliki kesamaan dalam apa yang disebut Wilbur Schramm, frame of reference (kerangka referensi) yang kadang-kadang dinamakan juga field of experience (bidang pengalaman). Para pelaku komunikasi yang mempunyai kesamaan dalam frame of reference/field of experience itu adalah mereka yang sama atau hampir sama dalam tingkat pendidikan, jenis profesi atau pekerjaan, agama, bangsa, hobi, ideologi, dan lain sebagainya.26 Komunikasi interpersonal yang terjadi antara santri waria satu dengan santri waria lainya bertujuan untuk menciptakan suasana yang baik dan maksimal. Artinya, setiap individu yang terlibat didalamnya membutuhkan komunikasi interpersonal yang baik untuk membina suatu hubungan yang harmonis. Menurut 26 Onong Uchjana, Ilmu, Teori dan Filsafat Komunikasi, PT Citra Aditya Bakti Bandung, 1993, hal. 61. 24 Joseph A.Devito, komunikasi interpersonal yang efektif dimulai dengan lima kualitas umum yang perlu dipertimbangkan, yaitu : 27 a. Keterbukaan Kualitas keterbukaan mengacu pada sedikitnya tiga aspek dari komunikasi interpersonal. Pertama, komunikator interpersonal yang efektif harus terbuka pada orang yang diajak berinteraksi. Sebaliknya, harus ada kesediaan untuk membuka diri mengungkapkan informasi yang biasanya disembunyikan. Kedua, mengacu pada kesediaan komunikator untuk bereaksi secara jujur terhadap stimulus yang datang. Orang yang diam, tidak kritis dan tanggap merupakan peserta percakapan yang menjemukan. Kita ingin setiap orang bereaksi secara terbuka terhadap apa yang kita ucapkan. Aspek ketiga, menyangkut kepemilikan perasaan hati dan pikiran. Terbuka dalam arti ini adalah mengakui bahwa perasaan dan pikiran yang kita lontarkan adalah milik kita dan kita bertanggungjawab atasnya. b. Empati Henry Backrack, dalam Devito mendefinisikan empati sebagai kemampuan seseorang untuk mengetahui apa yang sedang dialami orang lain pada suatu saat tertentu, dari sudut pandang orang lain itu, melalui kacamata orang lain itu. Pengertian empati itu akan membuat seseorang lebih mampu menyesuaikan komunikasinya. Langkah pertama dalam mencapai empati adalah menahan godaan untuk mengevaluasi, menilai, menafsirkan dan mengkritik. Bukan karena reaksi ini salah, tetapi seringkali menghambat pemahaman. Langkah kedua, semakin banyak anda mengenal seseorang-keinginannya, pengalamannya, 27 Joseph A.Devito, Komunikasi Antar Manusia, Professional Books Jakarta, 1997, hal.259. 25 kemampuannya, ketakutannya, dan sebagainya, maka anda akan mampu melihat apa yang dilihat dan dirasakan orang itu. c. Sikap mendukung Sikap mendukung adalah pandangan yang mendukung, membantu bersama- sama. Sebuah bentuk hubungan interpersonal yang efektif adalah sebuah hubungan dimana terdapat sikap mendukung (supportiveness). Komunikasi yang terbuka dan empatik tidak dapat berlangsung dalam suasana yang tidak mendukung. d. Sikap positif Sikap positif mengacu pada dua aspek komunikasi interpersonal. Pertama, komunikasi interpersonal terbina jika orang memiliki sikap positif terhadap diri mereka sendiri. Orang yang merasa positif mengisyaratkan perasaan ini ke orang lain dan selanjutnya merefleksikan perasaan positif ini. Kedua, perasaan positif untuk situasi komunikasi pada umumnya sangat penting untuk interaksi yang positif. Tidak ada hal yang lebih menyenangkan ketimbang berkomunikasi dengan orang yang tidak menikmati interaksi atau tidak bereaksi secara menyenangkan terhadap situasi interaksi. e. Kesetaraan Dalam setiap situasi, barangkali terjadi ketidak-setaraan salah seorang lebih pandai, lebih kaya, atau lebih cantik. Tidak pernah ada dua orang yang benarbenar setara dalam segala hal. Komunikasi interpersonal akan lebih efektif bila suasananya setara. Artinya harus ada pengakuan diam-diam bahwa kedua pihak 26 sama-sama bernilai dan berharga, dan bahwa masing-masing pihak mempunyai sesuatu yang penting untuk disumbangkan. Komunikasi interpersonal berperan dalam mentransfer pesan/informasi dari seseorang kepada orang lain berupa ide, fakta, pemikiran serta perasaan. Oleh karena itu, komunikasi interpersonal merupakan suatu jembatan bagi setiap individu, dimana mereka dapat bebas berbagi rasa, pengetahuan serta mempererat hubungan antara sesama individu pada masyarakat dilingkungannya sehingga tidak akan timbul suatu pemaksaan kehendak antara pihak satu dengan yang lainnya. Jadi komunikasi interpersonal selalu menimbulkan saling pengertian atau saling mempengaruhi antara seseorang dengan orang lain. Dari semua komponen tindak komunikasi yang paling penting adalah diri (self). 28 Siapa anda dan bagaimana anda mempersepsikan diri sendiri dan orang lain akan mempengaruhi komunikasi anda dan tanggapan anda terhadap komunikasi orang lain. Kesadaran diri menempati prioritas paling tinggi, kita semua ingin mengenal diri sendiri secara lebih baik karena kita mengendalikan pikiran dan perilaku kita sebagian besar sampai batas kita memahami diri sendirisebatas kita menyadari siapa diri kita. Kesadaran diri merupakan landasan bagi semua bentuk dan fungsi komunikasi. Ini dapat dijelaskan melalui Jendela Johari (Johari Window) 29, dibagi menjadi empat daerah kuadran pokok, yang masingmasing berisi diri (self) yang berbeda. Empat kuadran pokok itu adalah : 28 Joseph A.Devito, Komunikasi Antar Manusia, Professional Books Jakarta, 1997, hal.56. Stewart L. Tubbs dan Sylvia Moss, Human Communication;Konteks-Konteks Komunikasi, PT Remaja Rosdakarya Bandung, 1996, hal.13. 29 27 Daerah terbuka (open self), berisikan semua informasi, perilaku, sikap, perasaan, keinginan, motivasi, gagasan, dan sebagainya yang diketahui oleh diri sendiri dan oleh orang lain. Besarnya daerah terbuka juga berbeda-beda dari satu orang ke orang lain. Sebagian orang cenderung mengungkapkan keinginan dan perasaan mereka yang paling dalam. Lainnya lebih suka berdiam diri baik dalam hal yang penting maupun tidak penting. Daerah buta (blind self), berisikan informasi tentang diri kita yang diketahui orang lain tetapi kita sendiri tidak mengetahuinya. Sebagian orang mempunyai daerah buta yang luas dan tampaknya tidak menyadari berbagai kekeliruan yang dibuatnya. Daerah gelap (unknown self), adalah bagian dari diri kita yang tidak diketahui baik oleh kita sendiri maupun oleh orang lain. Ini adalah informasi yang tenggelam di alam bawah sadar atau sesuatu yang luput dari perhatian. Daerah tertutup (hidden self), mengandung semua hal yang anda ketahui tentang diri sendiri dan tentang orang lain tetapi anda simpan hanya untuk anda sendiri. Ini adalah daerah tempat anda merahasiakan segala sesuatu tentang diri sendiri dan tentang orang lain. Pada ujung-ujung ekstrim, terdapat mereka yang terlalu terbuka (overdiscloser) dan mereka yang terlalu tertutup (underdiscloser). Mereka yang terlalu terbuka menceritakan segalanya dan mereka yang terlalu tertutup tidak mau mengatakan apa-apa. Dalam pondok pesantren waria komunikasi interpersonal dapat dikatakan sukses apabila dalam interaksi sosial didalamnya terdapat aturan-aturan 28 dan harapan-harapan yang mengatur hubungan mereka. Sejalan dengan perkembangan hubungan santri waria, mereka juga mengembangkan sejenis masyarakat miniatur dan suatu sistem sosial kelompok kecil yang dilengkapi dengan harapan dan aturan yang berlaku didalamnya. Kelompok kecil30 adalah sekumpulan perorangan yang relatif kecil yang masing-masing dihubungkan oleh beberapa tujuan yang sama dan mempunyai derajat organisasi tertentu diantara mereka. Pada umumnya kelompok mengembangkan norma atau peraturan mengenai perilaku yang diinginkan. Norma31 adalah aturan, implisit maupun eksplisit mengenai perilaku. Terlepas dari apakah peraturan itu dinyatakan secara eksplisit maupun implisit, peraturan itu merupakan kekuatan yang mengatur perilaku para anggotanya. Norma ini berlaku bagi anggota perorangan maupun kelompok secara keseluruhan dan tentunya akan berbeda dari satu kelompok dengan kelompok lainnya. Norma muncul dalam sejumlah tingkat sosial dan kadang norma di setiap masyarakat itu berbeda. Dalam suatu budaya tertentu, beberapa norma berlaku bagi semua anggota budaya itu dan norma-norma lainnya berlaku hanya bagi sebagian anggotanya. Di dalam sebuah norma terdapat sebuah peranan. Peranan secara sederhana merupakan seperangkat norma yang berlaku bagi subkelas tertentu dalam masyarakat.32 Komunitas waria khususnya pada pondok pesantren waria secara tidak langsung juga terbentuk sebuah peranan yang 30 Joseph A.Devito, Komunikasi Antar Manusia, Professional Books Jakarta, 1997, hal.303. Stewart L. Tubbs dan Sylvia Moss, Human Communication;Konteks-Konteks Komunikasi, PT Remaja Rosdakarya Bandung, 1996, hal.3. 32 Ibid, hal.6. 31 29 dimiliki oleh setiap individunya. Kualitas hubungan akan efektif jika setiap individu memahami akan perannya dalam sistem sosial tersebut. Dalam sebuah kelompok kecil terdapat sebuah jaringan komunikasi. Yang dimaksud jaringan 33 di sini adalah saluran yang digunakan untuk meneruskan pesan dari satu orang ke orang lain. Jaringan ini dapat dilihat dengan dua perspektif. Pertama, kelompok kecil sesuai dengan sumber daya yang dimilikinya akan mengembangkan pola komunikasi yang menggabungkan beberapa struktur jaringan komunikasi. Jaringan komunikasi ini kemudian merupakan sistem komunikasi umum yang akan digunakan oleh kelompok dalam mengirimkan pesan dari satu orang ke orang lainnya. Kedua, jaringan komunikasi ini bisa dipandang sebagai struktur yang diformalkan yang diciptakan oleh organisasi sebagai sarana organisasi. Townsend 34 berbicara mengenai jaringan komunikasi yang merupakan pola interaksi manusia. Berikut merupakan lima jaringan komunikasi : Jaringan roda, struktur roda mempunyai pemimpin yang jelas, yaitu yang posisinya dipusat. Orang ini merupakan satu-satunya yang dapat mengirim dan menerima pesan dari semua anggota. Oleh karena itu, jika seorang anggota ingin berkomunikasi dengan anggota lain maka pesannya harus disampaikan melalui pemimpinnya. 33 Joseph A.Devito, Komunikasi Antar Manusia, Professional Books Jakarta, 1997, hal.344. Stewart L. Tubbs dan Sylvia Moss, Human Communication;Konteks-Konteks Komunikasi, PT Remaja Rosdakarya Bandung, 1996, hal.90-91. 34 30 Jaringan rantai, keadaan terpusat. Orang yang paling ujung hanya dapat berkomunikasi dengan satu orang saja. Orang yang ditengah lebih berperan sebagai pemimpin daripada mereka yang berada diposisi lain. Jaringan Y, struktur Y relatif kurang tersentralisasi dibanding dengan struktur roda, tetapi lebih tersentraliasasi dibanding dengan pola lainnya. Pemimpin jelas tetapi satu anggota lain berperan sebagai pemimpin kedua. Anggota ini dapat mengirimkan dan menerima pesan dari dua orang lainnya. Ketiga anggota lainnya komunikasinya terbatas hanya dengan satu orang lainnya. Jaringan lingkaran, struktur ini tidak memiliki pemimpin yang jelas yaitu yang posisinya dipusat. Semua memiliki wewenang dan kekuatan yang sama untuk mempengaruhi kelompok. Setiap anggota bisa berkomunikasi dengan dua anggota lain disisinya. Jaringan semua saluran, struktur semua saluran hampir sama dengan struktur lingkaran dalam arti semua anggota adalah sama dan semuanya juga memiliki kekuatan yang sama untuk mempengaruhi anggota lainnya. Akan tetapi, dalam struktur semua saluran setiap anggota bisa berkomunikasi dengan setiap anggota lainnya. Pola ini memungkinkan adanya partisipasi anggota secara optimum. Oleh karena itu, banyak kelompok kecil memilih struktur ini. 3. Interaksi Simbolik Sistem sosial merupakan terdapatnya unsur-unsur yang saling berkaitan atau berhubungan dalam satu kesatuan, terdapatnya himpunan bagian-bagian yang saling berkaitan dimana bagian masing-masing bekerja secara mandiri dan bersama-sama, satu sama lain saling dukung dan semuanya ditujukan pada 31 pencapaian tujuan bersama atau tujuan sistem. 35 Menurut Alvin L. Betrand (1980)36 bahwa di dalam sistem sosial, paling tidak harus terdapat dua orang atau lebih dan terjadi interaksi antara mereka, memiliki struktur, simbol, harapanharapan dan tujuan-tujuan yang telah dirumuskan bersama. Sehingga apabila pihak satu bereaksi, maka pihak lain pun akan bereaksi pula, yang pada akhirnya menimbulkan hubungan timbal balik yang disebut dengan interaksi sosial. Interaksi sosial adalah sebuah interaksi antar pelaku dan bukan antar faktor-faktor yang menghubungkan mereka atau yang membuat mereka berinteraksi. Teori interaksionisme simbolis melihat pentingnya interaksi sosial sebagai sebuah sarana ataupun sebagai sebuah penyebab ekspresi tingkah laku manusia.37 Interaksi simbolik merupakan sebuah teori yang berusaha menjelaskan tingkah laku manusia dalam kaitannya dengan makna melalui simbol-simbol yang nampak. Esensi dari interaksi sendiri adalah proses pemindahan diri pelaku yang terlibat secara mental ke dalam posisi orang lain melalui simbol yang diberi makna. 38 Simbol atau lambang yang digunakan merupakan hasil kesepakatan bersama untuk menunjukkan sesuatu, misalnya kata “Lekong” bagi kaum waria kata itu mempunyai arti yang sama dengan kata laki-laki. Simbol-simbol ini pun tidak hanya berupa perkataan saja tetapi juga meliputi benda dan perilaku. 35 Dr. H. R. Riyadi Soeprapto, M. S, Interaksionisme simbolik ; Perspektif Sosiologi Modern, Averroes Press, Malang, 2002, hal.30. 36 Ibid, hal.31. 37 Ibid, hal.143. 38 Onong Uchjana, Ilmu, Teori Dan Filsafat Komunikasi, PT. Citra Adtya Bakti Bandung, 2000, hal.395. 32 Menurut teoritisi interaksi simbolik, kehidupan sosial pada dasarnya adalah interaksi manusia dengan menggunakan simbol-simbol. 39 Pernyataan tersebut sesuai dengan kenyataan. Karena dalam setiap kita berinteraksi disadari maupun tidak, tersirat simbol-simbol yang mewakili diri kita. Seperti cara berbicara, dialek yang digunakan, intonasi dalam menekankan kata yang diucapkan dan gaya berpakaian. Ini semua dapat merepresentasikan apa yang dimaksud oleh seorang komunikator. Interaksi simbolik 40 mengakui bahwa interaksi adalah suatu proses interpretif dua arah. Salah satu fokus interaksi simbolik adalah efek dari interpretasi terhadap orang yang tindakannya sedang diinterpretasikan. Prinsipprinsip teori interaksi simbolik oleh George Ritzer, dalam Deddy Mulayana 41 diantaranya adalah : 39 1. Manusia, tidak seperti hewan lebih rendah, diberkahi dengan kemampuan berpikir. 2. Kemampuan berpikir itu dibentuk oleh interaksi sosial. 3. Dalam interaksi sosial orang belajar makna dan simbol yang memungkinkan mereka menerapkan kemampuan khas mereka sebagai manusia, yakni berpikir. 4. Makna dan simbol memungkinkan orang melanjutkan tindakan dan interaksi yang khas manusia. 5. Orang mampu memodifikasi atau mengubah makna dan simbol yang mereka gunakan dalam tindakan dan interaksi berdasarkan interpretasi mereka atas situasi. 6. Orang mampu melakukan modifikasi dan perubahan karena, antara lain, kemampuan mereka berinteraksi dengan dirinya sendiri, yang Deddy Mulyana, Metode Penelitian Kualitatif ; Paradigma Baru, Ilmu Komunikasi Dan Ilmu Sosial Lainnya, PT. Remaja Rosdakarya Bandung, 2004, hal.71. 40 Ibid, hal.105. 41 Ibid, hal.73. 33 memungkinkan mereka memeriksa tahapan-tahapan tindakan, menilai keuntungan dan kerugian relatif, dan kemudian memilih salah satunya. 7. Pola-pola tindakan dan interaksi yang jalin-menjalin ini membetuk kelompok dan masyarakat. Berdasarkan pada prinsip-prinsip tersebut, maka sangat mungkin satu simbol mempunyai makna yang beraneka ragam. Tergantung kepada interpretasi masing-masing individu, situasi yang mendukung saat simbol tersebut muncul dan juga latar belakang individu yang bersangkutan. F. OPERASIONALISASI KONSEP Operasionalisasi konsep adalah definisi yang dipakai oleh para peneliti untuk menggambarkan suatu fenomena dan realita secara sosial atau alami. a) Komunikasi Proses penyampaian pesan baik verbal maupun non verbal dari komunikator kepada penerima pesan dapat disebut sebagai proses komunikasi. Komunikasi penting untuk membangun konsep diri kita, aktualisasi diri, kelangsungan hidup, memperoleh kebahagiaan, terhindar dari tekanan dan ketegangan serta hal-hal lain yang bersifat menghibur dan menjalin hubungan dengan orang lain. b) Kaum Waria Waria adalah singkatan dari wanita-pria, golongan ini memiliki kelainan tingkah laku yang berlebihan baik itu dalam hal berdandan yang mencolok, seks dan cenderung berpenampilan seperti seorang wanita. 34 c) Pola Komunikasi Pola komunikasi adalah bagaimana kebiasaan dari suatu kelompok untuk berinteraksi, bertukar informasi, pikiran dan pengetahuan. Pola komunikasi juga dapat dikatakan sebagai cara seseorang atau kelompok berinteraksi dengan menggunakan simbol-simbol yang telah disepakati sebelumnya dalam kurun waktu tertentu dan terjadi berulang-ulang. G. METODOLOGI PENELITIAN Metodologi artinya pengetahuan tentang berbagai cara kerja yang disesuaikan dengan objek studi ilmu yang bersangkutan. Dengan kata lain metodologi itu menjelaskan tata cara dan langkah yang akan ditempuh utuk mencapai tujuan dari penelitian. 1. Metode dan Jenis Penelitian Dalam penelitian ini, penulis menggunakan metode penelitian deskriptif dan jenis penelitian kualitatif. Krik and Miller mendefinisikan bahwa penelitian kualitatif adalah tradisi tertentu dalam ilmu pengetahuan sosial yang secara fundamental bergantungan dengan orang-orang tersebut dalam bahasanya dan dalam peristilahannya. 42 Oleh karena itu, strategi penelitian ini terarah pada penelitian kualitatif yang bersifat deskriptif. Bogdan dan taylor 43 mengatakan metodelogi kualitatif sebagai prosedur-prosedur penelitian yang digunakan untuk menghasilkan data deskriptif, yang ditulis atau yang diucapkan orang dan perilaku-perilaku yang dapat diamati. Studi deskriptif kualitatif adalah suatu metode untuk menggambarkan suatu gejala-gejala sosial atau berusaha 42 43 Lexy J Moleong, Metodologi Penelitian Kualitatif, PT Rosdakarya Bandung, 2002, hal. 3. Pawito, Penelitian Komunikasi Kualitatif, PT. LkiS Pelangi Aksara Yogyakarta,2007, hal. 84. 35 mendiskripsikan fenomena sosial tertentu secara terperinci.44 2. Lokasi Penelitian Pondok Pesantren Waria Senin-Kamis secara administratif berada di wilayah kampung Notoyudan, Gendong Tengen, Daerah Istimewa Yogyakarta. Lokasi pondok pesantren waria tidak jauh dari jalan raya dan berbaur dengan perkampungan penduduk, terletak sekitar 3 km dari Malioboro. Mata pencaharian utama dari santri pondok pesantren waria adalah perias salon kecantikan, pengamen, desainer, catering, aktivis LSM HIV AIDS, dan beberapa yang masih nyebong (pekerja malam). 3. Sumber Informan Penelitian Dalam penelitian ini sumber data diperoleh melalui wawancara maupun observasi. Sumber data atau informan penelitian ini adalah para santri waria yang berperan dalam membentuk pola komunikasi pondok pesantren waria secara umum dan ustadz yang menjadi pemimpin informal dari pondok pesantren waria. Sumber data tertulis yang digunakan meliputi mengutip buku, dokumen, arsip dan catatan lain yang mendukung. Foto dan rekaman digunakan sebagai pendukung dari data-data sebelumnya dan memperkuat gambaran keadaan melalui bahasa audio dan visual. 44 Mamo Adi. Proposal Penelitian. Artikel http://one.indoskripsi.com/content/proposal-penelitian 36 4. Teknik Pengumpulan Data a. Observasi Observasi dilakukan sebelum dan selama penelitian ini berlangsung yang meliputi gambaran umum berupa peristiwa, tempat dan lokasi serta bendabenda dan rekaman audio. Dilakukan secara langsung dan menggunakan komunikasi interpersonal. Dikatakan secara langsung karena memiliki pengertian bahwa peneliti hadir dan mengamati kejadian-kejadian di lokasi (Pawito, 2007:114). Metode observasi sendiri ada dua jenis, yaitu : observasi dengan ikut terlibat dalam kegiatan komunitas yang diteliti (participant observation) dan observasi tidak terlibat (non participant observation). Metode observasi dengan ikut terlibat dalam kegiatan komunitas yang diteliti (participant observation) masih dibedakan menjadi dua jenis dengan berdasarkan tingkat keterlibatan/tingkat partisipasi, yakni berpartisipasi secara aktif dan penuh (total participant observation), serta berpartisipasi aktif (active participant observation).45 Observasi yang digunakan dalam penelitian ini adalah observasi berperan aktif (active participant observation), peneliti ikut aktif dalam kegiatan pondok pesantren waria dan melakukan pengamatan. Akan tetapi, peneliti tidak menjadi bagian dari masyarakat yang diteliti. Observasi yang dilakukan menghasilkan catatan-catatan lapangan yang kemudian akan menjadi arsip dan dokumen tertulis dari setiap perilaku yang 45 Pawito, Op. Cit, hal. 114-115. 37 teramati selama masa observasi, serta menjadi sumber data yang cukup penting. b. Wawancara Mendalam Sumber data penting dalam penelitian kualitatif adalah berupa manusia yang dalam posisi sebagai narasumber atau informan. Maka untuk mengumpulkan informasi diperlukan teknik wawancara untuk menambah informasi mengenai masalah yang sedang diteliti. Wawancara mendalam dilakukan dengan pengelola pondok pesantren waria, pemimpin informal pondok pesantren waria, santri waria yang mengikuti pengajian dan ustadz yang menjadi pembimbing pondok pesantren waria. c. Studi Kepustakaan Studi pustaka adalah metode pengumpulan data dan informasi dengan menggunakan data yang diperoleh orang lain melalui penelitian sebelumnya, atau yang diperoleh dari sumber tertulis yang terdapat dalam berbagai referensi buku, surat kabar dan lain sebagainya. 5. Teknik Sampling Penelitian lapangan sering melibatkan keputusan sesaat tentang pengambilan sampel untuk mendapatkan keuntungan peluang baru selama pengumpulan data aktual. Ketika melakukan pengamatan, orang tidak mungkin menangkap segalanya. Oleh karena itu, perlu membuat keputusan tentang aktivitas yang diamati, orang yang diamati dan diwawancarai, dan periode waktu seperti apa yang akan diseleksi untuk mengumpulkan data. Sehingga dapat diambil secara acak sampel dalam periode waktu tertentu (Patton, 2006:97). 38 Dalam konteks penelitian kualitatif, logika sampel sebagaimana dikemukakan di atas tidak dapat berjalan. Persoalannya terlalu banyak gejala komunikasi yang bersifat kompleks dan laten. Setidaknya, untuk banyak hal sangat sulit untuk memenuhi tuntutan representativitas sampel dengan prinsip acak (random). Dalam penelitian komunikasi kualitatif prinsip keterwakilan dengan mendasarkan diri pada random dan probabilitas tidak dibutuhkan karena dinilai tidak efisien dan justru dapat menimbulkan kesesatan (Pawito, 2007:87). Oleh karena itu, teknik pengambilan sampel dalam penelitian komunikasi kualitatif berbeda dengan kuantitatif, lebih mendasarkan diri pada alasan atau pertimbangan-pertimbangan tertentu sesuai dengan tujuan penelitian. Sifat metode sampling dari penelitian kualitatif adalah purposive sampling. 46 Informan dalam penelitian ini yaitu pengelola pondok pesantren waria, pemimpin informal pondok pesantren, santri waria yang mengikuti pengajian dan ustadz yang menjadi pembimbing pondok pesantren waria. 6. Validitas Data Validitas data dalam penelitian ini dilakukan dengan menggunakan teknik triangulasi data. Teknik dimana pemeriksaan keabsahan data yang memanfaatkan suatu yang lain diluar data itu untuk keperluan pengecekan atau sebagai perbandingan terhadap data itu (Moleong, 2002:178). Penelitian ini menggunakan beberapa sumber data dengan tujuan untuk memberikan kebenaran dan memperoleh kepercayaan terhadap suatu data. Dengan membandingkan data yang diperoleh dari sumber yang berbeda. Dimana 46 Pawito, Op. Cit, hal. 88. 39 data tersebut dikontrol oleh data yang sama tetapi dari sumber yang berbeda dan juga mengontrol data yang sama, pada situasi yang berbeda. Triangulasi dengan sumber berarti membandingkan dan mengecek balik derajad kepercayaan atau informasi yang diperoleh melalui waktu dan alat yang berbeda dalam metode kualitatif. Ini dapat dilakukan dengan membandingkan data hasil pengamatan dengan hasil wawancara, membandingkan keadaan perspektif seseorang dengan berbagai pendapat dan pandangan, membandingkan hasil wawancara dengan isi dalam suatu sub bab dokumen yang berkaitan. 7. Analisis Data Dalam proses pelaksanaannya, tahap pengolahan data tidak cukup hanya terdiri atas tabulasi dan rekapitulasi saja, akan tetapi mencakup banyak tahap. Di antaranya adalah tahap reduksi data, penyajian data, interpretasi data dan penarikan kesimpulan/verifikasi. Lebih dari sekedar itu, pengolahan data, yang tidak lain merupakan tahap analisis dan interpretasi data mencakup langkahlangkah reduksi data, penyajian data, interpretasi data dan penarikan kesimpulan /verifikasi. Penelitian ini menggunakan proses analisis data model interaktif Miles and Huberman Pawito (2007:104), yaitu analisis yang terdiri dari tiga alur kegiatan secara bersamaan, yang terdiri dari reduksi data, penyajian data, dan penarikan kesimpulan. Reduksi data diartikan secara sempit sebagai proses pengurangan data, namun dalam arti yang lebih luas adalah proses penyempurnaan data, baik pengurangan terhadap data yang kurang perlu dan tidak relevan, maupun 40 penambahan terhadap data yang dirasa masih kurang. Penyajian data merupakan proses pengumpulan informasi yang disusun berdasar kategori atau pengelompokan-pengelompokan yang diperlukan. Interpretasi data merupakan proses pemahaman makna dari serangkaian data yang telah tersaji, dalam wujud yang tidak sekedar melihat apa yang tersurat, namun lebih pada memahami atau menafsirkan mengenai apa yang tersirat di dalam data yang telah disajikan. Penarikan kesimpulan merupakan proses perumusan makna dari hasil penelitian yang diungkapkan dengan kalimat yang singkat-padat dan mudah difahami, serta dilakukan dengan cara berulangkali melakukan peninjauan mengenai kebenaran dari penyimpulan itu, khususnya berkaitan dengan relevansi dan konsistensinya terhadap judul, tujuan dan perumusan masalah yang ada. Gambar 1.2 Analisis Data Model Interaktif dari Miles and Huberman Pengumpulan Data Reduksi Data Penyajian Data Penarikan Kesimpulan Sumber : HB. Sutopo (2002:96) 41 42 BAB II DESKRIPSI SUBYEK PENELITIAN A. KOMUNITAS WARIA DI YOGYAKARTA Fakta tentang hadirnya kehidupan malam di seluruh Indonesia memang tidak akan dapat dipungkiri. Kehidupan yang penuh dengan liku dan seluk beluk hubungan manusia yang dilihat dari segi seksualitas terbentang dengan begitu jelasnya. Tanpa dapat dihilangkan atau dicegah walaupun sudah banyak cara oleh pemerintah untuk mengatasinya. Begitu pula yang terjadi di wilayah Yogyakarta. Di Yogyakarta dapat kita temukan berbagai sebutan yang ada di masyarakat yang mengacu kepada istilah-istilah khusus untuk menandai sekelompok orang seperti waria (banci), pelacur, gay, lesbi, gigolo, dsb. Dan semua sebutan yang ada itu, acap kali muncul di kehidupan malam, meskipun dalam keseharian kita tetap dapat menemukan mereka. Salah satu yang sangat menarik untuk dipahami lebih lanjut adalah kehidupan sekelompok masyarakat minoritas, karena jumlahnya sudah cukup banyak, yaitu kaum waria (wanita-pria). Komunitas waria adalah komunitas yang memiliki paham seks bebas menyimpang, komunitas waria memiliki orientasi seksual yang berbeda dengan orientasi manusia pada umumnya. Yakni komunitas kaum waria melakukan hubungan seksual dengan sesama jenis kelamin yang dimilikinya, namun para waria merasa identitas diri mereka adalah wanita, berpenampilan sebagai wanita dan berperilaku seperti wanita. Orientasi seksual kaum waria disebut sebagai jenis 43 orientasi transeksual, dimana jiwa seorang wanita yang terperangkap di tubuh seorang laki-laki, sehingga laki-laki tersebut menjadi seperti layaknya seorang wanita. Tetapi walaupun demikian kaum waria disebut juga kaum homoseksual yang suka dengan sesama jenis serta melakukan hubungan seksual dengan sesama jenis kelamin. Bahkan di California negara bagian Amerika Serikat, hak untuk menikah bagi kaum waria khususnya kaum homoseksual mulai diperjuangkan. “The vote on California’s Proposition 8 in the November lection shocked and dismayed the gay community and surprised others who thought it was a shoo-in vote for the liberal state. Prop 8 amended the state constitution to read, “Only marriage between a man and woman is valid and recognized in California”; the measure is upheld by the court, it will rescind a May 2008 California Supreme Court decision sanctioning same sex marriage. (Since November 5, same-sex marriages are prohibited in California; those that took place between May and November 2008 are in litigation).”47 (Pemilihan pada dalil California 8 pada bulan November mengejutkan dan mencemaskan komunitas gay dan mengagetkan lainnya yang berpikir merupakan kemenangan suara dari Negara bagian liberal. Dalil 8 diamandemen oleh konstitusi Negara bagian yang berbunyi, “Di California hanya pernikahan antara laki-laki dan wanita yang syah dan diakui”; Ukurannya ditentukan oleh pengadilan, yang berkaitan dengan pernikahan sesama jenis akan dibatalkan Mei 2008 melalui keputusan dari pengadilan tertinggi California. Sejak November 2005, pelarangan pernikahan sesama jenis di California; ini terjadi pada proses pengadilan antara Mei dan November 2008) Yogyakarta sendiri kini dikenal sebagai kota besar. Gemerlap gaya hidup metropolispun mulai merebak di kota ini, hal ini dicerminkan dengan semakin menjamurnya tempat-tempat hiburan malam di kota Yogyakarta. Pribadi masyarakatpun mulai bergeser dari pribadi yang kolektif menjadi pribadi yang lebih individualis, walaupun masih ada sisa-sisa nilai-nilai kebersamaan (gotong 47 Margaret O'Brien Steinfels, 2009, Sex, Religion & Prop 8. Jurnal Gender Proquest, Vol. 136, hal. 10. 44 royong) diantara mereka. Dalam menyikapi fenomena waria, warga kota Yogyakarta memiliki sikap yang mendua, yakni antara permisif dan restriktif. Kehadiran sosok wariapun kemudian dikaji lewat 2 sudut pandang, yakni penerimaan sebagai seorang individu secara patologis dan penerimaan sebagai sebuah komunitas. Secara umum, sikap permisif tercerminkan dari sikap masyarakat kota Yogyakarta yang individualis. Hal ini seperti halnya yang dapat kita jumpai pada penerimaan waria secara patologis sebagai bagian dari lingkungan tempat tinggalnya. Ketika kita telusuri lebih dalam lagi fenomena penerimaan tersebut, secara khusus, sikap permisif dapat kita jumpai lewat penerimaan masyarakat terhadap sosok waria di lingkungan tempat tinggalnya, yang tak luput dari kehadiran masyarakat normal. Keadaan demikian seringkali dijumpai pada lingkungan sosial yang memiliki aturan norma yang cukup permisif terhadap kehidupan seks bebas, perjudian, dan kekerasaan, sehingga fenomena waria bukan lagi merupakan hal yang asing. Adapula alasan historis, di mana bahwa sebelumnya kelompok waria telah hadir dan menyatu dengan masyarakat yang berkembang bersama, sehingga keberadaannya bukan merupakan hal baru bagi mereka, sehingga sosok waria dapat diterima dan berbaur dengan masyarakat pada umumnya. Adanya sikap permisif tersebut kemudian memberikan tempat dan kesempatan kepada waria itu sendiri untuk hidup secara normal, serta turut mengambil peran pada lingkungan tersebut. Sehingga tak jarang dari hasil pengamatan peneliti, beberapa waria yang tinggal di lingkungan yang permisif mendapatkan perlakuan yang positif dari masyarakatnya. Selain turut ambil 45 bagian dalam kegiatan lingkungan yang ada, mereka juga diterima apa adanya sebagai seorang waria, bahkan seringkali diposisikan sebagai wanita dalam aktivitas kesehariannnya. Sehingga di sini peran yang dijalankan waria pada lingkungan tersebut adalah peran seorang wanita. Namun, untuk mendapatkan penerimaan sedemikian rupa, mereka tetap dikenakan norma-norma tegas yang harus ditaati untuk menjaga ketentraman hidup bersama masyarakat yang lain. Adakalanya mereka juga dituntut untuk berpartisipasi dalam kegiatan lingkungan, sebagai upayanya bernegosiasi dengan lingkungannya (seperti halnya mau ikut kerja bakti kampung, memberi penyuluhan salon ketika PKK dan sebagainya). Kaum waria di kota Yogyakarta jumlahnya sudah cukup banyak meskipun masih merupakan minoritas. Jumlah waria di Yogyakarta menurut data Kebaya berjumlah sekitar 380 dan yang baru di data 208. 48 Keberadaannya di tengah masyarakat memang sangat tertutup, meskipun sudah berani untuk membuka dirinya dan menyatakan bahwa mereka adalah seorang waria. Komunitas waria di kota Yogyakarta memiliki wadah khusus untuk menyatukan mereka, sedikitnya ada 3 komunitas waria yakni Keluarga Besar Waria Yogya (Kebaya), Ebenezer (Komunitas waria, pengamen dan anak jalanan di Yogyakarta) dan Ikatan Waria Yogya (Iwayo). Inilah lambang identitas waria di kota Yogyakarta, disinilah mereka bisa berekspresi dan menunjukkan jati dirinya. Selain itu, tujuan didirikan komunitas ini adalah untuk mengantisipasi penyebaran virus HIV/AIDS yang lekat dengan kehidupan malam waria. 48 Hasil wawancara dengan Wulan, waria staff Kebaya Yogyakarta pada tanggal 9 Agustus 2009. “Jumlah waria di Yogyakarta sebenarnya sudah cukup banyak, ada sekitar 380 orang dan yang telah di data Kebaya cuma 208. Hal ini terjadi karena banyaknya bermunculan waria yang mudamuda yang belum melapor ke Kebaya.” 46 Dalam pergaulan kaum waria sehari-hari, mereka sering menggunakan bahasa yang hanya mereka sendiri yang mengetahui artinya. Dalam sebuah proses komunikasi bahasa sangat berperan penting, walaupun sebenarnya dalam berkomunikasi bisa saja tidak menggunakan bahasa yang biasa disebut komunikasi non verbal. Namun tidak dapat dipungkiri bahwa bahasa adalah yang paling banyak dipergunakan dalam komunikasi karena bahasa mampu menterjemahkan pikiran seseorang kepada orang lain dengan jelas dan dimengerti. Bahasa merupakan institusi sosial, bahasa ada karena manusia berinteraksi dalam kelompok-kelompok sosial. 49 Komunitas waria sendiri mempunyai dan menggunakan bahasa gaul atau binan untuk berkomunikasi dengan sesamanya didepan atau di lingkungan luar dengan tujuan agar orang atau masyarakat tidak mengetahui apa yang sedang dibicarakan oleh kaum waria dan hal ini juga bisa dikatakan trend bagi kaum waria. Adapun beberapa contoh bahasa yang digunakan oleh komunitas kaum waria, mereka menyebutnya dengan bahasa gaul adalah sebagai berikut : · Akika/eke : Aku · Makasar : Makan · Lekong : Laki-laki · Fere : Perempuan · Cekong : Cakep · Lapangan : Lapar · Malaysia : Malas 49 Joseph A.Devito, Komunikasi Antar Manusia, Professional Books Jakarta, 1997, hal.157. 47 · Aida Mustafa : AIDS (Sumber : Para waria, bahasa yang digunakan dalam keseharian) Kehidupan malam waria mulai dapat ditemui setelah pukul 22.00 wib. Beberapa tempat di Yogyakarta yang merupakan daerah komunitas waria atau disebut tempat “mangkal” waria untuk melakukan transaksi dan aktivitas seksual mereka sebut “cebongan”. Sejak tahun tujuh puluhan tempat mangkal waria yang terkenal adalah di daerah Bumijo, sekarang bergeser di daerah Depan Bank Indonesia daerah Malioboro, Pasar Kembang, Stasiun Tugu sepanjang rel kereta api, sekitar kali code dan Winongo sungai belakang malioboro. Sedangkan, untuk lingkungan pemukiman, khususnya yang sering dilabeli sebagai pemukiman miskin yang tumbuh di kampung-kampung padat penduduk di belakang jalan besar, pertokoan, perumahan, atau sepanjang kali atau rel kereta api menjadi kawasan yang relatif dapat menerima waria seperti halnya kampung-kampung tersebut bisa menampung pemulung, pengemis, pengamen, pelacur, atau gali dan preman-preman kota di Yogyakarta, pemukiman semacam ini berkembang antara lain, di kawasan pinggir Winongo. Banyak anggapan di tengah masyarakat yang mengatakan bahwa kaum waria sangat tertutup dan sulit diketahui keberadaannya tetapi ada juga yang gampang ditemui. Masyarakat umum sering pula beranggapan bahwa mereka adalah sekelompok orang yang tidak memiliki rasa malu terutama bila melihat laki-laki yang lumayan untuk dijadikan teman kencan bagi komunitas waria. Selain itu, jika mendengar kata waria masyarakat cenderung merasa jijik, takut, geli dan berusaha menghindari hubungan dengan kaum ini. Masyarakat berfikir 48 bahwa komunitas waria adalah kaum free sex dan sering bergantian pasangan sehingga bisa menyebarkan virus HIV/AIDS. Anggapan tersebut tidak semuanya benar, mengapa dikatakan demikian karena banyak juga anggapan lain yang muncul dari masyarakat luas, yakni pertama adanya cerita bahwa kaum waria sangat tertutup tapi tidak terlalu sulit ditemukan keberadaannya. Kedua, anggapan yang menyatakan bahwa komunitas waria terkenal sangat sensitif. Sensitif disini berartikan komunitas ini mudah tersinggung apalagi terhadap pelanggan atau klien kalau mereka merasa dipermainkan tidak menutup kemunginan naluri lelaki keluar tanpa disadari. Selain itu, biasanya kaum waria merasa tersaingi apabila berdekatan dengan seorang perempuan, karena merasa dirinya kurang cantik kalau dibandingkan dengan perempuan asli. Ketiga, kaum waria ini memiliki sifat yang nekat, mereka akan berusaha sekeras dan sekuat mungkin dalam mengejar para klien agar mereka bisa berkencan dan mendapatkan penghasilan buat hidup. Keempat, adanya perasaan jijik, takut, geli dan sikap menghindar dari masyarakat luas jika mendengar kata waria. Hal ini muncul karena masyarakat belum mengetahui sejauh mana kehidupan kaum waria itu. Yang ada dibenak masyarakat hanyalah perasaan benci melihat mereka yang berpenampilan wanita tetapi sebenarnya lakilaki. Masyarakat menganggap itu merupakan suatu penyimpangan bukan sebagai hak asasi pribadi untuk memiliki orientasi yang berbeda dengan orang lain pada umumnya. Sedangkan, perasaan takut yang muncul ditengah masyarakat untuk bergaul dengan kalangan kaum waria hanya saja karena masyarakat menganggap 49 kaum waria sebagai orientasi seksual yang menyimpang yang dapat menularkan penyakit HIV/AIDS. Komunitas waria ini menyadari bahwa mereka memiliki kesan yang negatif di mata masyarakat, namun walaupun demikian ada sebagian kaum waria berusaha untuk masuk dan mengambil simpati masyarakat dengan mengikuti kegiatan sosial yang dilaksanakan oleh masyarakat. Ini tidak mudah dilakukan oleh mereka karena sebagian besar masyarakat sama sekali tidak ingin tahu apa dan bagaimana kehidupan kaum waria. Memang tidak mudah mengambil simpati seseorang atau simpati komunitas masyarakat di luar kaum waria. Tapi dengan usaha yang keras yang dilakukan oleh mereka diharapkaan mendapatkan hasil yang memuaskan bagi kaum waria ini. Menurut masyarakat komunitas waria memiliki sifat yang tidak punya sopan santun, sering merugikan orang dan membuat orang merasa takut. Kalau dilihat dari segi kehidupan yang ada, setiap manusia memiliki sifat, sikap dan tingkah laku yang berbeda-beda ini adalah realita kehidupan. Untuk menjalankan kehidupan yang selalu berjalan lurus tidak mudah tetapi di suatu sisi manusia harus saling menghargai satu dengan yang lain dan berusaha untuk tidak saling merugikan. Pada kenyataan yang ada, dalam praktek kesehariannya tidak semua ruang sosial memberikan tempat bagi kehidupan seorang waria. Kehadiran sosok waria masih diterima secara dilematis, di satu sisi diterima namun di sisi yang lain mereka ditolak. Pada akhirnya, menjadi sosok waria di kota Yogyakarta merupakan sebuah proses negosiasi terhadap lingkungan yang tiada akhir. Seorang waria diterima atau ditolak di dalam masyarakat akan sangat ditentukan 50 dari bagaimana mereka membangun negosiasi dengan masyarakat untuk menjadi bagian dari lingkungan sosial itu sendiri. Sehingga keputusan masyarakat untuk menolak atau menerima kehadiran waria, pada akhirnya ditentukan oleh kemampuan seorang waria, baik secara individual maupun kolektif dalam mempresentasikan perilakunya sehari-hari Komunitas waria, mereka adalah manusia yang juga memiliki perasaan yang sama, seperti yang dimiliki manusia lainnya. Hanya saja kaum ini lebih melenceng ke kehidupan yang kurang logika karena melawan kodrat seorang manusia sebagai makhluk ciptaan Tuhan, ini dilihat dari sisi kepercayaan atau religius. Tetapi kalau dilihat dari segi hukum dan hak asasi sebagai seorang manusia, komunitas waria memiliki hak untuk hidup dan dihargai oleh orang diluar komunitas waria. Setiap manusia memiliki hak untuk melakukan apa saja yang diinginkan tapi dengan begitu manusia juga harus memiliki tanggung jawab atas apa yang dilakukannya dan apa yang telah diputuskan untuk dirinya. Memang tidak mudah menyatukan dua pendapat yang berbeda, tapi setiap permasalahan yang muncul memiliki sebuah jalan keluar. Begitu juga dengan komunitas waria yang berusaha untuk masuk dan bergabung dengan masyarakat di lingkungan dimana mereka berada. Ada sebagian kaum waria yang sama sekali tidak memperdulikan tanggapan dari masyarakat diluar komunitas ini, karena kaum waria merasa sakit dengan cercahan dan olokan yang sudah pernah dilemparkan kepada dirinya. Masyarakat komunitas waria dan masyarakat diluar komunitas waria masing-masing memiliki pendapat, tanggapan, serta pola pikir yang berbeda. 51 Untuk menyatukan dan menyelaraskan pemikiran satu dengan yang lain dibutuhkan proses, usaha dan strategi yang tepat untuk ini. Saat ini sudah banyak kaum waria yang tinggal dan hidup bertetanggaan sebagai warga kampung, mereka tetap aktif berkegiatan mencari nafkah, antara lain sebagai perias salon, pengamen, pengurus LSM HIV/AIDS, bahkan pekerja malam. Salah satu tempat berbaurnya masyarakat dengan komunitas waria ada di kampung Notoyudan, Gendong tengen, Yogyakarta. Di kampung ini bahkan berdiri sebuah pondok pesantren waria. Pondok pesantren ini berdiri di rumah Maryani yang juga seorang waria. Kerinduan waria akan Tuhan mendorong Maryani untuk mendirikan pondok pesantren Senin-Kamis khusus untuk waria. B. LOKASI PONDOK PESANTREN WARIA Pondok Pesantren Waria Senin-Kamis berada di kampung Notoyudan. Notoyudan adalah salah satu kampung di kelurahan Pringgokusuman. Berada di wilayah Kelurahan Pringgokusuman yang memiliki luas wilayah 0,46 km2, Kecamatan Gendongtengen, Kota Yogyakarta, Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta. Kode pos kelurahan Pringgokusuman adalah 55272. Lokasi kantor Kelurahan Pringgokusuman berada di Jalan Letjend Soeprapto, Yogyakarta. Kampung Notoyudan terbagi atas 4 Rukun Warga (RW) dan 19 Rukun Tetangga (RT). Batas-batas wilayah Kampung Notoyudan adalah : · Utara : Kampung Pringgokusuman (Pringgokusuman, Gendongtengen) · Timur : Kampung Sutodirjan (Pringgokusuman, Gendongtengen) · Selatan : Kampung Sanggrahan (Ngampilan, Ngampilan) 52 · Barat : Sungai Winongo dan Kampung Sudagaran (Tegalrejo, Tegalrejo) Gambar 2.1. Denah Lokasi Pondok Pesantren Khusus Waria Senin-Kamis Pondok Pesantren Waria Senin-Kamis yang berada di tengah pemukiman ini sulit dikenali andai saja tidak ada papan nama yang menyebut jelas “Pondok Pesantren Waria Senin-Kamis” di bagian depannya. Sebab aktivitas yang terlihat di rumah ini adalah salon kecantikan Ariyani milik Maryani. Pondok Pesantren Waria Senin-Kamis memang menyatu dengan salon Ariyani dan juga tempat tinggal Maryani. Bangunan rumah ini tidak luas dan terdiri dari beberapa ruang. Ruang tamu merangkap salon, ruang tengah sekaligus ruang tidur para santri, tiga kamar tidur kecil, ruang dapur dan kamar mandi. Kegiatan keagamaan rutin dilakukan sehari sebelum hari senin atau kamis, misalnya hari senin kegiatan akan dimulai pada hari minggu sore mulai pukul 16.00 kemudian berlanjut sampai senin subuh dengan dilanjutkan puasa sunah. Kegiatan di pondok pesantren 53 dibimbing oleh 21 ustadz50 yang akan mengisi pengajian secara bergiliran setiap minggunya. Setiap minggunya ada sekitar 20 orang jamaah51 yang semuanya waria mengikuti pengajian ini. Pengelola pondok pesantren semuanya seorang waria tetapi dibina oleh Ustadz KH. Hamroeli Harun pemimpin pondok Mujaddah Al Fatah yang menjadi pemimpin informal pondok pesantren waria. Kepengurusan pondok pesantren waria senin-kamis adalah sebagai berikut: · Ketua : Maryani · Sekretaris : Shinta dan Sonya · Bendahara : Wulan Rincian kegiatan Pondok Pesantren Waria Senin-Kamis dalam satu bulan adalah sebagai berikut : · JAM 17.00 Minggu I dan III MATERI USTADZ Shalawat Nariyah 1. Ust. Heri Bandara Sholat Maghrib berjamaah 2. Ust. Bambang Belajar membaca Al-Quran 3. Ust. Astri Shalat Isya berjamaah 4. Ust. Marsono Hafalan doa sehari-hari Belajar bacaan sholat 50 Wawancara dengan KH. Hamroeli Harun, pembina atau pembimbing pondok pesantren waria, pada tanggal 6 Agustus 2009. Ada sekitar 21 ustadz dari pondok pesantren Mujahaddah Al Fatah yang membimbing pondok pesantren waria dan semuanya laki-laki. 51 Wawancara dengan Maryani, Pengelola pondok pesantren waria pada tanggal 25 Juli 2009. Tanpa paksaan. Para waria memang tidak bisa dipaksa. Dia datang ke mari kalau hatinya sendiri yang menggerakkan. Alhamdulillah, tanggapan teman-teman memang bagus. Mereka saya cakup semua. Mulai dari waria pengamen, salon, sampai yang masih keluar malam. Ada 20-30 orang. 54 21.00 Sholat hajat 1. Ust. Sutrisno Dzikir kesehatan 2. Ust. Agus Bandara Sholat tahajud 1. Ust. Irfan Dzikir ekonomi 2. Ust. Adnan Sahur puasa sunah senin 3. Ust.Edi Sholat Fajar 1. Ust. Joko Wirid istigfar 2. Ust. Adit Sholat shubuh 3. Ust. Agus Cengho Dzikir keluarga bahagia 02.00 03.00 Kultum · Minggu II dan IV JAM 17.00 MATERI USTADZ Shalawat Nariyah 1. Ust. H. Andrian Sholat Maghrib berjamaah 2. Ust. Maryono Belajar membaca Al-Quran 3. Ust. Budi Prayetno Sholat hajat 1. Ust. Susiyanto Dzikir kesehatan 2. Ust. Umar Dzikir keluarga bahagia 3. Ust. Gandung Sholat tahajud 1. Ust. Aris Shalat Isya berjamaah Hafalan doa sehari-hari Belajar bacaan sholat 21.00 02.00 55 03.00 Dzikir ekonomi 2. Ust. Andi Sahur puasa sunah senin 4. Ust. Utut Sholat Fajar 1. Ust. H. Seno Pujo Wirid istigfar 2. Ust. Aji Sholat shubuh Kultum Gambar 2.2. Jadwal kegiatan santri waria setiap hari minggu Tujuan utama didirikan pondok pesantren waria adalah untuk membantu kaum waria beribadah, sedangkan tujuan khususnya untuk mendekatkan diri kepada Allah sehingga mendapat hidayah untuk bisa hidup sebagaimana kodrat aslinya sebagai seorang laki-laki. Dalam pondok pesantren waria terdapat 2 sifat utama yaitu : “sabar lan narimo” akan semua ketetapan Allah dan “sregep bekel nggone makarya” rajin 56 dan giat bekerja untuk berikhtiar. Sedangkan untuk kesehariannya ada 9 amalan rutin :52 · Sholat berjamaah · Sholat Tasbih · Sholat dhuha · Sholat tahajud · Puasa Senin-Kamis · Tadarus Al Quran · Silaturahmi · Infaq 2,5 % dari penghasilan · Menghadiri mujahaddah setiap 35 hari sekali Gambar 2.3. Pondok Pesantren Khusus Waria Senin-Kamis C. 52 DATA INFORMAN Wawancara dengan ustadz Andrian, ustadz pembimbing pondok pesantren waria, pada tanggal 25 Januari 2009. Di dalam pondok pesantren Mujaddah Al Fatah terdapat 2 sifat utama yaitu : “sabar lan narimo” akan semua ketetapan Allah dan “sregep bekel nggone makarya” rajin dan giat bekerja untuk berikhtiar. Sedangkan untuk kesehariannya ada 9 amalan rutin : sholat berjamaah, sholat tasbih, sholat dhuha, puasa senin-kamis, tadarus Al Quran, silaturahmi, infaq 2,5%, dan menghadiri pengajian Mujaddah Al Fatah. Dan semua sifat dan amalan itu juga berlaku di dalam pondok pesantren. 57 1. Maryani : Pengelola pondok pesantren waria Pekerjaan : Perias salon Alamat : Notoyudan, Gendongtengen, Yogyakarta Seorang waria berasal dari Yogyakarta dan berdomisili di wilayah Notoyudan. Maryani berusia 50 tahun dan mencari nafkah dengan membuka salon Ariyani. Maryani hidup dengan ayah dan anak angkatnya Rizky yang berusia 9 tahun. Sejak kecil Maryani merasa dirinya seorang wanita, berpenampilan dan bermain dengan teman-teman yang semuanya perempuan. Setelah umurnya menginjak 20 tahun, Maryani baru berani mengakui kepada keluarganya bahwa dia seorang waria. Maryani menganut agama Kristen saat kecil dan saat usianya menginjak 17 tahun dia menjadi seorang muallaf. Meskipun Maryani tahu agama manapun melarang menyalahi kodrat, menjadi seorang waria bukanlah pilihan hidupnya tetapi itu berasal dari dalam diri sejak dia masih kecil. Pendidikan formal hanya didapat Maryani sampai sekolah dasar karena berasal dari keluarga sederhana. 2. Wulan : Santri pondok pesantren Pekerjaan : Staff Kebaya (Keluarga Besar Waria Yogya) Alamat : Daerah Badran, Yogyakarta Wulan merupakan waria yang berasal dari Jawa Barat tepatnya daerah Subang. Wulan berusia 45 tahun, sejak tahun 1985 dia pindah ke Yogyakarta untuk mencari pekerjaan sebagai pekerja malam. Setelah meninggalkan dunia malam, wulan aktif dalam PKBI (Perkumpulan Keluarga Berencana Indonesia) yang mengusung isu gender dan sekarang aktif sebagai staff di LSM Kebaya 58 (Keluarga Besar Waria Jogja) yang membantu para waria dalam penanggulangan HIV/AIDS. 3. Novi Pekerjaan : Nyebong (pekerja malam) Alamat : Jl. Bugisan 13, Patangpuluhan, Yogyakarta Teman-teman warianya memanggil dia dengan nama Novi, sedangkan nama aslinya Ali Mujaiyin. Novi berasal dari Surabaya, sejak lulus SMA dia pindah ke Jogja. Novi berasal dari keluarga yang mempunyai pondok pesantren meskipun demikian Novi tetap mengikuti panggilan jiwanya untuk menjadi waria. Ajaran agama yang begitu dekat dengan kehidupan Novi dari kecil tidak bisa mengubah keadaannya. Meskipun menjadi seorang waria, Novi tidak pernah sekalipun meninggalkan sholat. Bahkan di lingkungan tempat tinggalnya Novi sering menjadi muadzin. 4. KH. Hamroeli Harun Pekerjaan : Pemimpin pondok pesantren di wilayah Yogyakarta Alamat : Jl. Godean, Gamping, Yogyakarta Beliau merupakan ustadz yang menjadi pembina atau pembimbing pondok pesantren waria. KH. Hamroeli merupakan pemilik pondok pesantren Mujahaddah Al-Fatah lulusan pertanian di Universitas Los Banos, Filipina. Beliau merasa sangat tersentuh dengan kehidupan kaum abangan di Yogyakarta, salah satunya kaum waria. Oleh karena itu, beliau menyambut niat baik Maryani untuk mendirikan pondok pesantren waria senin-kamis. 5. Ustadz Andrian 59 Pekerjaan : Staff bandara Adi Sucipto Yogyakarta Alamat : Jl. Solo km 11, Yogyakarta H. Andrian merupakan salah satu ustadz yang membimbing di pondok pesantren waria. Beliau merupakan salah satu santri dari K.H Hamroeli Harun pemilik Pondok Pesantren Mujaddalah Al Fatah. Beliau bekerja di Bandar Udara Adi Sucipto. 6. Ustadz Andi Yusuf Pekerjaan : Web design Alamat : Jl. Tamansari, Yogyakarta Ustadz andi merupakan salah satu ustadz yang aktif membimbing di dalam pondok pesantren waria. Beliau merupakan pemimpin di Pondok Pesantren Akhir Pekan Saubari-Ham di daerah Demakan, Yogyakarta. 60 BAB III PENYAJIAN DAN ANALISIS DATA A. KOMUNITAS WARIA SEBAGAI FENOMENA KEHIDUPAN SOSIAL Komunitas waria adalah salah satu fakta sosial yang ada dimanapun di dunia, termasuk di wilayah Yogyakarta. Bagaimanapun waria ingin agar jati dirinya diakui, butuh pekerjaan untuk menompang hidupnya, butuh berinteraksi dengan sesamanya dalam suatu aktivitas sosial maupun budaya dan kebutuhankebutuhan manusia pada umumnya. Waria atau bisa disebut dengan transeksual merupakan kependekan dari wanita pria yang bersifat dan bertingkah laku seperti wanita; pria yang berperasaan seperti wanita (1998:1008). Dilihat dari definisi sosiologi, waria adalah suatu transgender. Maksudnya adalah mereka menentang konstruksi gender yang diberikan oleh masyarakat pada umumnya, yaitu laki-laki atau perempuan saja. Transgender disini mempunyai pengertian perempuan yang terperangkap dalam tubuh laki-laki.53 Ciri perilaku seorang waria adalah perlu ber make-up dan berpakaian seperti wanita, berjalan dengan menggoyangkan panggulnya dan nada suara yang 53 Hesti Puspitosari, Sugeng Pujileksono, Waria dan Tekanan Sosial, UMM Press : Malang, 2005, hal. 9-10. 61 dikeluarkan agak manja atau kewanita-wanitaan dan dalam hubungan seks seorang waria tidak bisa bertindak sebagai laki-laki, waria hanya akan bahagia jika diperlakukan sebagai wanita. Selain itu, waria punya kecenderungan menyukai laki-laki atau homoseksual. Waria dalam konteks psikologis sebagai penderita transeksual, yakni seseorang yang secara jasmaniah jenis kelaminnya laki-laki, namun secara psikis cenderung berpenampilan wanita. Sedangkan, secara seksual waria menyukai laki-laki, orientasi seksualnya itu sama halnya dengan homoseks. Bagi orang biasa, para homoseksual dikenal dengan istilah waria. Sedangkan arti homoseksual menurut Dede Oetomo (2003:6) “orang homoseks adalah orang yang orientasi atau pilihan seks pokok atau dasarnya, entah diwujudkan atau tidak, diarahkan kepada sesama jenis kelaminnya.”54 Dalam Islam, waria dikenal lewat kitab-kitab fikih dengan istilah khuntsa, yaitu orang yang mempunyai dua alat kelamin atau kedua-duanya. Sementara itu, di dalam hadis, waria juga dikenal dengan dengan mukhannats, yaitu orang yang menyerupai perilaku lawan jenisnya. Mukhannats ini dibagi menjadi dua, yaitu mukhannats yang diciptakan seperti itu dan kedua menjadi mukhannats yang dengan kesengajaan.55 Dalam konteks hadis, keberadaan waria tidak selamanya ditolak atau dilaknat. Karena sebenarnya hadis melihat waria dalam dua kelompok, seorang 54 Hesti Puspitosari, Sugeng Pujileksono, Waria dan Tekanan Sosial, UMM Press : Malang, 2005, hal. 9-10. 55 Zunly Nadia, Waria Laknat atau Kodrat, Pustaka Marwa : Yogyakarta, 2005, hal. 115. 62 waria yang secara fisik normal namun ia memaksakan diri untuk menjadi lawan jenisnya. Waria dalam kelompok ini dilaknat Rasulullah. Sebaliknya, seorang yang diciptakakn sebagai waria tanpa pengaruh dan paksaan sosial, dia tidak termasuk orang yang dilaknat.56 1. Ruang Sosial Waria Di sini akan dijabarkan ruang sosial waria dalam keluarga, masyarakat, cebongan dan pondok pesantren khusus waria senin-kamis. Kehadiran waria di dalam sebuah keluarga merupakan sebuah proses historis. Pembentukan kepribadian waria juga merupakan proses yang cukup panjang. Demikian juga munculnya maskulinitas dan feminitas merupakan proses yang terbentuk setelah adanya pengenalan identitas jenis kelamin yang tepat. Dan lagi sejumlah orang yang berusaha mengembangkan identitas jenis kelamin merupakan suatu masalah. Misalnya, kehadiran waria yang merupakan orang-orang yang terjebak dalam tubuh yang salah dan merasa lebih cocok dengan mengenakan busana yang biasa dipakai lawan jenisnya, yakni dalam hal ini perempuan. Munculnya fenomena kewariaan memang tidak lepas dari sebuah konteks kultural. Kebiasaan-kebiasaan pada masa anak-anak ketika mereka dibesarkan di dalam keluarga kemudian mendapat penegasan pada masa remaja, menjadi penyumbang terciptanya waria. Tidak satupun waria yang menjadi waria karena proses mendadak. Proses menjadi waria diawali dengan satu perilaku yang terjadi pada masa anak-anak melalui pola-pola bermain dan bergaul. 56 Zunly Nadia, Waria Laknat atau Kodrat, Pustaka Marwa : Yogyakarta, 2005, hal. 115. 63 Kebanyakan waria memang merasakan kecenderungan untuk menjadi waria semenjak kecil dan merasa bahwa keberadaan mereka merupakan suatu kodrat yang tidak bisa dipungkiri. Maka peran dokter jiwa, psikiater untuk menyembuhkan mereka menjadi manusia yang normal (laki-laki atau perempuan) merupakan suatu hal yang percuma, kecuali dengan mengubah alat kelamin yang disesuaikan dengan keadaan psikisnya. Adapun konteks waria di dalam masyarakat, bisa dilihat bagaimana penerimaan masyarakat terhadap waria dalam dua konteks, yakni individual dan dalam komunitas. Konteks individual ini bergantung pada perilaku sosial seharihari oleh seorang waria. Konteks ini terlepas dari dunia mereka yang umumnya diidentikkan dengan pelacur. Perilaku seorang waria dipahami oleh masyarakat sebagaimana memahami perilaku bukan waria. Jika dia berbuat baik maka dipandang sejajar dengan orang-orang yang berbuat baik lainnya. Sementara itu, dalam konteks komunitas, dunia waria dipandang dalam suatu kontruksi yang sangat historis. Hal demikian mengakibatkan dunia waria dipandang oleh masyarakat dengan sikap ambigu. Di satu sisi waria senantiasa dipandang dekat dengan pelacuran, seks bebas, dan penyakit kotor. Namun di sisi lain, mereka menerima kaum waria hidup bersama di dalam lingkungan, baik karena kepentingan ekonomis dan pertimbangan lain. Akibatnya, meski masyarakat memahami seorang waria dalam perilakunya sehari-hari, namun ia juga dibatasi oleh konteks kultural, sehingga peraturan-peraturan ketat diterapkan kepada mereka tanpa terkecuali. 64 Demikian, respon masyarakat terhadap seorang waria sangat bergantung pada presentasi perilaku waria di dalam masyarakat, terlepas apakah dia seorang waria pelacur atau bukan. Di samping itu, penerimaan atau penolakan kehadiran waria dalam masyarakat akhirnya bergantung pada proses keberadaan waria dalam lingkungan sosial yang muncul secara dialektis, bagaimana dia membangun satu negosiasi dengan masyarakat untuk menjadi bagian dari lingkungan sosial itu sendiri. Sementara itu, masyarakat menerima atau menolak kehadiran waria ditentukan oleh kemampuan waria, baik secara individual maupun kolektif dalam mempresentasikan perilakunya sehari-hari. Pada akhirnya, ruang sosial itu sendiri memiliki dua fungsi yang berjalan sejajar, yakni penekan dan fasilitator. Dunia cebongan (sebuah istilah di kalangan kaum waria yang berarti tempat pelacuran), bagi waria merupakan subkultur tersendiri. Ini bisa dilihat bagaimana dalam dunia cebongan kaum waria mengembangkan satu model komunikasi dengan bahasa-bahasa yang sangat khas. Dunia cebongan dalam kehidupan waria bukan hanya berperan untuk memenuhi kepentingan ekonomi semata tetapi juga merupakan media yang sangat berperan dalam menegaskan jati diri untuk tampil menjadi waria. Karena itulah, dalam lingkungan cebongan kehadiran waria diterima dalam dunia yang utuh selain juga sebagai media sosialisasi dan membangun solidaritas sosial waria. Berbagai macam pandangan dan persepsi terhadap waria lebih banyak dibingkai oleh dunia pelacuran jalanan dan perilaku-perilaku seksual yang bebas 65 dari hal-hal yang sejenis. Hal ini disebabkan karena realitas waria memang lebih banyak sebagai pekerja seksual. Selain itu, munculnya komunitas waria yang dikenal sebagai cebongan, yang pada akhirnya membentuk subkultur tersendiri, memang menciptakan sebuah persepsi bahwa kehidupan waria identik dengan pelacuran maka terjadilah sebuah kesenjangan antara kehidupan waria dan masyarakat pada umumnya. Selain itu, pemahaman agama juga menjadi bagian yang tak terpisahkan dari ide-ide yang mendasari penolakan perilaku waria. Pandangan tersebut akhirnya membuat keluarga bahkan juga masyarakat mencari jalan keluar untuk menghambat proses menjadi waria. Namun bagaimana pun juga menjadi waria sudah sebuah tuntutan nurani yang sulit untuk dihalangi ataupun disembuhkan. Karenanya, jalan keluar terbaik adalah bagaimana upaya masyarakat dalam menerima keberadaan waria sebagaimana layaknya manusia. B. POLA KOMUNIKASI WARIA DI DALAM PONDOK PESANTREN WARIA Sebagaimana telah dikemukakan di bagian awal, fokus penelitian ini adalah Pola komunikasi yang berkembang di dalam pondok pesantren waria. Peneliti mendapati kenyataan bahwa pada dasarnya pola komunikasi yang terdapat pada Pondok Pesantren Senin-Kamis Waria dapat dibedakan menjadi dua jenis yaitu yang bersifat resmi dan tidak resmi. Kedua jenis komunikasi ini dapat diamati dalam bentuk komunikasi verbal dan non verbal. Komunikasi verbal dalam konteks komunikasi santri waria nampak dalam percakapan di berbagai kesempatan maupun tulisan-tulisan dalam berbagai kepentingan dan dokumen. 66 Sedangkan, komunikasi non verbal dalam tanda dapat diamati dalam berbagai ekspresi simbolik non verbal yang terdapat dalam pakaian, kebiasaan, dan budaya yang terbentuk di dalam pondok pesantren waria. Pola komunikasi formal yaitu komunikasi yang berkaitan dengan nilai atau norma yang telah disepakati, misalnya interaksi yang terjadi dalam sebuah pengajian baik secara verbal maupun non verbal. Selain itu, komunikasi formal juga komunikasi yang berhubungan dengan para ustadz, misalnya saat ceramah dan sholat berjamaah. Sedangkan, komunikasi informal adalah komunikasi yang berkaitan dengan siklus hidup, terutama dengan aktivitas disela-sela kegiatan pondok pesantren, misalnya berbincang-bincang disela-sela pengajian. Lalu komunikasi interpersonal, memuat tingkah laku yang menyertai seorang santri waria dalam berkomunikasi dengan orang lain. 1. Pola Komunikasi Formal Pola komunikasi formal yaitu bentuk-bentuk komunikasi yang terjadi berkaitan dengan forum yang bersifat seremonial atau resmi, misalnya dalam pelaksanaan pengajian nisfu syaban, sholat berjamaah, saat mendengarkan ceramah dan forum-forum yang terjadi berkaitan dengan kegiatan keagamaan. a. Pengajian nisfu syaban Aktivitas berpikir manusia rupanya telah mendorongnya untuk mempercayai dan meyakini bahwa ada kekuatan ataupun kekuasaan yang berada di luar jangkauan kekuatan dan kekuasaan manusia. Pemikiran semacam ini merupakan dasar dari suatu sistem religi. Dalam setiap kebudayaan dan 67 masyarakat, religi atau sistem kepercayaan mempunyai arti yang sangat penting, bahkan bisa dibilang menempati posisi sentral, dalam arti bahwa aspek religi ini mempengaruhi berbagai aspek kehidupan lainnya. Pengajian nisfu syaban atau dalam tradisi jawa disebut bulan ruwah merupakan salah satu bentuk komunikasi formal. Pengajian ini secara tidak langsung menunjukkan hubungan interpersonal antara para santri waria dengan para ustadz. Kelompok pengajian adalah suatu identitas sosial bagi setiap individu yang ada didalamnya dan mereka akan melakukan interaksi sosial secara personal (hubungan interpersonal) sehingga terbangun suatu komunikasi yang kolektif. Interaksi ustadz di dalam kelompok-kelompok kegiatan pengajian akan lebih memudahkannya untuk berperan sebagai penghubung kepentingankepentingan pondok. Selain membahas persoalan-persoalan keagamaan, dalam kelompok kegiatan keagamaan biasanya ustadz akan menghubungkannya dengan persoalan-persoalan sosial yang menjadi isu yang berkembang di dalam pondok pesantren maupun di dalam masyarakat. Pengajian nisfu syaban bertepatan pada tanggal 6 Agustus 2009. Peneliti mempunyai kesempatan untuk mengikuti jalannya pengajian nisfu syaban serta melihat para santri waria mempersiapkan makanan (bisa disebut sebagai sesajen untuk ruwahan) yang akan dibawa ke pengajian. Persiapan yang dilakukan meliputi membuat apem, kolak, dan ketan. Apem ini nantinya digunakan dalam pengajian dan didoakan sebagai simbol agar selalu diberi keberkahan oleh Allah SWT dan sebagai sarana untuk mendoakan para leluhur yang sudah meninggal. 68 Pengajian nisfu sya’ban itu kan klo orang jawa menyebutnya dengan bulan ruwah mau datangnya bulan ramadhan. Klo orang jawa biasanya nyekar ke makam leluhur, klo seperti kami ya mengirim doa buat ibu, buat saudara-saudara. Klo di adat jawa kemudian membuat apem, kolak, ketan untuk sesajen buat leluhur. Tapi klo di pengajian ini cuma digunakan sebagai simbol untuk berdoa saja.57 Pelaksanaan pengajian nisfu syaban seluruh ritual dipimpin oleh pembina pondok pesantren waria KH. Hamroeli Harun dan bertempat di pondok pesantren Mujaddah Al Fatah. Pondok pesantren waria merupakan bagian dari pondok pesantren Mujaddah Al Fatah. Kegiatan pengajian nisfu syaban rutin dilakukan satu tahun sekali menjelang bulan Ramadhan. Pengajian ini bukan hanya diikuti oleh pondok pesantren waria tetapi semua pondok pesantren yang dibina oleh KH. Hamroeli Harun. 57 Wawancara dengan Maryani, waria pengelola Pondok Pesantren khusus Waria Senin-Kamis pada tanggal 6 Agustus 2009. 69 Gambar 3.1. Seorang waria yaitu Ibu Maryani yang sedang mengikuti pengajian nisfu sya’ban dan sedang menjalankan sholat tasbih berjamaah (6 Agustus 2009) Gambar 3.2. Tanggapan positif dari masyarakat saat waria ingin beribadah terlihat dengan banyaknya santri dari pondok pesantren lainnya menerima ibu Maryani dalam mengikuti pengajian ini (6 Agustus 2009) Dalam kegiatan pengajian ini hubungan interpersonal dan kelompok yang terjalin antara santri waria dengan masyarakat juga dilakukan. Sebagaimana hubungan antara santri waria dengan ustadznya, hubungan ini terkesan begitu mempribadi, bersifat vertikal dan tidak terbatas. Santri waria berusaha untuk membangun komunikasi sehingga bisa menyatu dengan masyarakat umum. Komunikasi merupakan sarana untuk menghubungkan seorang individu dengan 70 individu lainnya. Dengan adanya komunikasi maka bisa terjalin hubungan yang efektif. Keinginan santri waria untuk dapat diterima ditengah-tengah masyarakat adalah dengan melibatkan diri secara langsung dengan kegiatan masyarakat. Seperti teori komunikasi sirkular Wilbur Schramm 58 bahwa komunikasi akan berhasil apabila pesan yang disampaikan oleh komunikator cocok dengan kerangka acuan (frame of reference), yakni paduan pengalaman dan pengertian (collection of experiences and meaning) yang pernah diperoleh komunikan. Acara terakhir sebelum kembali ke pondok pesantren waria setiap santri waria berjabat tangan dengan KH. Hamroeli Harun, para ustadz dan masyarakat sebagai rasa hormat dan untuk menjalin silaturahmi. Dalam pengajian nisfu syaban terbentuk suatu pola komunikasi non verbal. Pola komunikasi non verbal yang terbentuk adalah adanya gerakan tangan saling berjabat tangan. Gerakan tangan sering bersifat simbolik dan setiap budaya cenderung mempunyai apresiasi sendiri. Dalam konteks ini gerakan tangan merupakan suatu bentuk komunikasi untuk menghormati orang lain. b. Sholat berjamaah Sholat berjamaah rutin dilakukan setiap kali pengajian. Sholat berjamaah untuk sholat wajib mempunyai jadwal yang tetap yaitu subuh, dzuhur, ashar, maghrib dan isya. Sholat berjamaah di pondok pesantren bertujuan yang pertama 58 Onong Uchjana, Ilmu Komunikasi : Teori dan Praktek, PT Remaja Rosdakarya Bandung, 2001, hal.13. 71 menjalankan sunah rasul dan kedua untuk memberi contoh kepada santri waria, oleh karenanya menggunakan surat-surat pendek agar mudah dihapal dan diamalkan.59 Dalam pelaksanaan sholat berjamaah dipimpin oleh ustadz pembimbing dan dilakukan bergiliran. Dalam kegiatannya para santri waria diperbolehkan memakai sarung atau mukena. Hal ini menjukkan Islam yang universal dan tanpa paksaan. Seperti yang diungkapkan Maryani Terserah kawan-kawan mau pakai apa. Sarung silakan, mau pakai mukena juga boleh. Yang penting kami bisa sembahyang. Soal diterima atau tidak, hanya Allah yang mengetahui.60 Sholat berjamaah menjadi salah satu kegiatan wajib yang dimiliki pondok pesantren waria. Sholat berjamaah bisa digunakan sebagai media tidak langsung mereka untuk menjalankan kehidupan sesuai tuntunan Islam, yaitu bersama-sama berbuat dalam hal kebaikan dan mempererat tali persaudaraan. Kegiatan sholat berjamaah juga merupakan media utama bagi ustadz untuk menyalurkan aktivitasnya di pondok pesantren dan sebagai media interaksi sosial ustadz dengan para santri waria. Selain itu, keutamaan sholat berjamaah untuk 59 Wawancara dengan ustadz Andi, ustadz pembibing Pondok Pesantren khusus Waria Senin-Kamis pada tanggal 30 Agustus 2009. Keuntungan sholat berjamaah agar tahu bahwa itu sunah dan kedua tau bacaannya. Makanya memakai surat-surat pendek diharapkan mereka bisa mengamalkan dimanapun makanya diberi contoh agar diikuti oleh para santri waria. Karena pertolongan Allah itu bisa datang sewaktu-waktu tergantung niat mereka moga-moga diberi jalan yang lebih baik di dunia dan akhirat. 60 Wawancara dengan Maryani, waria pengelola Pondok Pesantren khusus Waria Senin-Kamis pada tanggal 25 Juli 2009. 72 mendekatkan para santri kepada Allah SWT. Dengan sholat berjamah diharapkan para santri mendapat hidayah dari Allah sehingga kembali ke fitroh aslinya sebagai laki-laki. Pola shaff atau aturan dalam sholat berjamaah yang dilakukan santri waria sedikit berbeda dengan sholat berjamaah pada umunya. Shaff santri waria yang memakai sarung dan peci berada di depan sedangkan shaff yang memakai mukena berada dibelakangnya. Seperti shaff antara laki-laki dan perempuan. Selama peneliti berada di sana dan mengikuti sholat berjamaah, peneliti selalu berdiri sejajar dengan shaff para waria yang memakai mukena. Gambar 3.3. Kegiatan rutin yaitu sholat berjamaah yang dijalankan setiap kegiatan pondok pesantren (9 Agustus 2009) Disini terlihat hal penting yang perlu diperhatikan seorang komunitor dalam menghadapi kelompok kecil, ialah bahwa setiap kelompok kecil 73 mempunyai norma sendiri-sendiri. Norma muncul dalam sejumlah tingkat sosial dan kadang norma di setiap masyarakat itu berbeda. Dalam suatu budaya tertentu, beberapa norma berlaku bagi semua anggota budaya itu dan norma-norma lainnya berlaku hanya bagi sebagian anggotanya. 61 Komunitas waria khususnya pada pondok pesantren waria secara tidak langsung terbentuk sebuah norma yang merupakan ukuran hidup yang menentukan mana yang tidak boleh dilakukan dan mana yang boleh dilakukan. Norma tentang shaff antara santri waria yang memakai sarung dengan santri yang memakai mukena menjadi dasar hidup bagi para anggota kelompok kecil ini. Ketaatan mereka terhadap norma itu menentukan ketaatan mereka terhadap kelompoknya. c. Tadarus Al Quran, Dzikir, dan Shalawat Kegiatan tadarus merupakan media utama bagi ustadz untuk menyalurkan aktivitasnya di pondok pesantren dan sebagai media interaksi sosial ustadz dengan para santri waria. Tadarus Al Quran, dzikir dan Shalawat termasuk kegiatan wajib dalam seluruh rangkaian kegiatan di dalam pondok. Dalam melakukan kegiatan untuk para santri waria tersebut, para ustadz pembimbing menggunakan metode yang cukup berbeda, diantaranya mereka duduk membuat lingkaran dan berpegangan sambil menyanyikan lagu kemesraannya Iwan Fals. Namun secara kesuluruhan adalah sama, kemudian baru diajarkan cara membaca Juz ‘Amma dan Al Quran, dimana yang satu membaca dan yang lain menyimaknya. Mereka juga diajak dzikir dan berdoa bersama menyebut nama 61 Stewart L. Tubbs dan Sylvia Moss, Human Communication;Konteks-Konteks Komunikasi, PT Remaja Rosdakarya Bandung, 1996, hal.6. 74 Allah meminta ampunan-Nya dan memohon kesembuhan akan penyakit kejiwaan mereka. Dzikir yang diberikan pun ada beberapa yaitu dzikir kesehatan, dzikir keluarga bahagia, dan dzikir ekonomi. Sedangkan yang paling banyak adalah dzikir kesehatan. Apabila menjadi seorang waria adalah sebuah penyakit maka dengan dzikir atau shalawat kesehatan, para santri meminta Allah untuk menyembuhkannya. 62 Kelompok kecil ini melaksanakan kegiatannya dengan berbagai format. Dalam kegiatan tadarus Al Quran, dzikir dan shalawat ini formatnya melingkar. Para santri mengatur sendiri pola melingkar ini dengan ustadz berada sejajar dengan mereka sehingga lebih mudah untuk ustadz menyimaknya. 62 Wawancara dengan KH. Hamroeli Harun pada tanggal 6 Agustus 2009. Waria itu butuh tuntunan agama dan butuh tuntunan agama yang keras seperti membaca Al Fatihah 100 kali. Dan jika waria ini termasuk penyakit maka ada amalan shalawat kesehatan yang dibaca 100 kali biar cepat sembuh dan dibukakan pintu hidayah dari Allah. 75 Gambar 3.4. Tadarus Al Quran yang dibaca oleh santri waria dan disimak oleh ustadz Andrian sebagai pembimbing (25 Januari 2009) Dalam komunikasi formal ini juga terbangun suatu pola komunikasi kharismatik dari seorang pembimbing, dalam hal ini adalah ustadz pondok pesantren waria. Pola komunikasi kharismatik ditunjukkan dengan kuatnya ketaatan dari para santri dalam menjalankan kegiatan keagaman dan menjalankan metode pembelajaran yang diberikan oleh para ustadz, meskipun dalam pelaksanaannya tidak ada paksaan. Munculnya pola komunikasi kharismatik ini berdasarkan kuatnya latar belakang yang dimiliki oleh para santri waria. Mereka mempercayai bahwa para ustadz adalah orang yang akan membimbing mereka dalam hal kebaikan untuk mendapat ridho dan hidayah Allah. 2. Pola Komunikasi Informal Dalam berkomunikasi sehari-hari santri pondok pesantren waria menggunakan bahasa Indonesia, bahasa Jawa dan bahasa Binan (gaul/trend). Bahasa Indonesia digunakan dengan para ustadz dan pengunjung dari luar pondok pesantren waria sedangkan bahasa Jawa dan bahasa Binan sering mereka gunakan dengan sesama santri waria. Bahasa sebagai alat komunikasi verbal yang digunakan oleh pondok pesantren waria mencerminkan satu pola komunikasi yang menunjukan tidak 76 adanya perbedaan tingkatan antara satu individu dengan individu lainnya baik secara sosial maupun usia. Hanya saja penggunaannya sedikit berbeda antara para santri dengan santri dan para santri dengan ustadz. Pola komunikasi yang terbentuk ini dipengaruhi oleh nilai/pandangan hidup yang telah mereka sepakati sebagai kaum minoritas. Bahasa sebagai suatu sistem simbol yang digunakan dalam rutinitas sehari-hari di dalam pondok merupakan campuran bahasa jawa dengan bahasa binan. Dalam penggunakan bahasa setiap tempat mempunyai kebebasan dalam menentukan maknanya. Simbol atau lambang yang digunakan merupakan hasil kesepakatan bersama untuk menunjukkan sesuatu, misalnya kata “Lekong” bagi kaum waria kata itu mempunyai arti yang sama dengan kata laki-laki. Simbolsimbol ini pun tidak hanya berupa perkataan saja tetapi juga meliputi benda dan perilaku. Para santri waria memang menentukan bahasa khusus komunitas mereka sebagai bahasa rahasia. Secara umum dapat diterangkan bahwa pembentukan bahasa kaum waria memiliki beberapa jenis, yakni : 1. Menambahkan vocal pada akhir kata dengan kata (sar), seperti makan menjadi makasar. 2. Melibatkan sisipan (in) diantara konsonan dan vocal tiap suku kata, umumnya dengan membedakan hasilnya menjadi dua suku kata, seperti banci menjadi binancini atau binan. 77 3. Khusus di daerah bahasa Jawa yang menambahkan awalan (si) dan menyisakan hanya satu suku pertama (ditambah konsonan kata berikutnya apabila suku kata itu berakhir dengan vocal), seperti aku menjadi siak.63 Penciptaan bahasa khusus atau gaul ini memiliki fungsi tertentu bagi kaum waria. Pertama, sebagai kontrabudaya dan sarana pertahanan diri, terutama bagi kelompok yang hidup di lingkungan yang memusuhi mereka. Kedua, bahasa gaul berfungsi sebagai sarana kebencian kelompok tersebut terhadap budaya dominan dan dihukum oleh mereka. Ketiga, bahasa gaul berfungsi sebagai sarana memelihara identitas dan solidaritas kelompok. Bahasa khusus/gaul memungkinkan mereka mengenal orang dalam dan membedakan mereka dengan orang luar. Dalam menjalani kehidupan sehari-hari santri waria di dalam pondok pesantren terbiasa dengan segala sesuatu yang menurut pandangan mereka sederhana. Hal ini nampak dari perkakas pondok pesantren, pakaian, dan cara beribadah. Sebagaimana dikemukakan oleh Maryani Pakaian yang digunakan oleh para santri waria pada setiap kali datang ke pondok pesantren memang pakaian sehari-hari mereka sebagai seorang waria, tetapi sesampai pondok mereka berganti pakaian dengan mukena atau sarung dan peci.64 63 Wawancara dengan Nungki dan Ifah, santri Pondok Pesantren Khusus Waria Senin-Kamis pada tanggal 30 Agustus 2009. Klo di dalam bahasa gaul waria ya, makan itu bisa jadi makasar atau klo bahasa gaul waria jakarta makan jadinya maki-maki. Klo waria jawa bilang aku depannya ditambah dengan si jadinya siak. Beda lagi klo Jakarta, aku jadinya eke. Sama seperti kamus gaul Debby Sahertian itu. 64 Wawancara dengan Maryani, waria pengelola Pondok Pesantren khusus Waria Senin-Kamis pada tanggal 25 Juli 2009. 78 Hal yang disampaikan oleh Maryani sama dengan yang dilihat oleh peneliti. Setiap kali datang ke pondok pesantren para waria memang memakai pakaian keseharian mereka yaitu pakaian wanita tetapi ketika akan mengikuti kegiatan pondok pesantren mereka mengganti pakaian dengan mukena atau sarung dan peci. Penggunaan mukena atau sarung tidak ada paksaan, identitas ini digunakan berdasarkan pada kenyamanan dari dalam diri setiap individunya. Seperti wawancara peneliti dengan Novi. Dalam keseharian bergaul dengan sesama waria atau tetangga sekitar aku biasanya memakai celana dan kaos. Pakaian wanita kugunakan saat pergi-pergi saja dan saat nyebong. Jika sholat aku memakai baju koko, peci dan sarung.65 Meskipun tak menampik adanya jiwa perempuan dalam dirinya, namun Novi menyadari secara kodrati dia diciptakan sebagai laki-laki. Karenanya dalam berhubungan dengan Sang Pencipta dia memutuskan untuk kembali pada kodratnya sebagai laki-laki. Pakaian sebagai salah satu simbol mempunyai peran dalam membangun pola komunikasi di dalam pondok pesantren waria. Pakaian yang biasa dikenakan oleh mereka satu sisi memberikan gambaran yang jelas (perbedaan) antara apa yang dikenakan di dalam pondok pesantren waria dan apa yang dikenakan saat di luar kegiatan pondok. 65 Wawancara dengan Novi, santri waria Pondok Pesantren khusus Waria Senin-Kamis pada tanggal 30 Agustus 2009. 79 Gambar 3.5. Pakaian yang digunakan waria dalam kehidupan keseharian (10 Agustus 2009) 80 Gambar 3.6. Pakaian yang digunakan di dalam pondok pesantren waria, ada santri yang memakai mukena (9 Agustus 2009) 81 Gambar 3.7. Di dalam pondok pesantren ini waria diperbolehkan memakai mukena atau sarung dan peci. Tidak ada paksaan dalam berpakaian, semua tergantung dengan kenyamanan dan hati nurani mereka (9 Agustus 2009) Kesederhanaan dalam berpakaian di dalam pondok pesantren lebih tampak lagi dalam pakaian yang digunakan saat pengajian nisfu syaban, yaitu pakaian yang serba putih dari atas sampai bawah bagi yang wanita dan atasan putih dengan kain sarung batik dan penutup kepala seperti sorban bagi laki-laki. 82 Gambar 3.8. Pakaian yang digunakan dalam pengajian nisfu sya’ban (6 Agustus 2009) Hal lain yang menurut peneliti cukup unik adalah saat mereka menerima tamu. Anggapan bahwa para waria itu arogan dan tidak bisa diatur sangat bertolak belakang dengan apa yang peneliti alami di dalam pondok pesantren ini. Sambutan hangat dan sangat baik dari para pengelola pondok pesantren setiap kali peneliti datang mengubah seluruh pandangan negatif terhadap waria. Nilai tentang baik dan buruk pun sama dengan yang dianut oleh masyarakat pada umumnya. Menjaga hubungan komunikasi dengan baik dengan orang lain akan memberikan manfaat yang baik untuk hubungan selanjutnya sehingga menjauhkan dari konflik. Tidak hanya saling menghormati, sifat yang masih kental terlihat di dalam pondok pesantren waria adalah gotong royong. Pondok pesantren waria merupakan kelompok sosial dimana seorang waria akan belajar dan menyatakan diri sebagai manusia sosial dalam menjalin interaksi dengan kelompoknya. Dalam pondok pesantren, santri waria pertama-tama belajar memperhatikan keinginankeinginan orang lain, belajar bekerjasama, dan saling tolong-menolong. Apabila salah satu terkena musibah maka yang lain akan membantu dalam bentuk tenaga atau materi. Begitu pula jika ada acara di dalam pondok pesantren seperti memperingati satu tahun berdirinya pondok pada 8 Juli 2009. Semua santri waria bergotong royong untuk menyukseskan acara ini dengan menyiapkan makanan yang digunakan sebagai hidangan. Ada hal yang membanggakan bagi para santri waria, yaitu acara syukuran ini diliput oleh stasiun televisi Metro TV untuk penayangan di bulan Ramadhan. 83 Salah satu pola komunikasi informal yang terjadi di dalam pondok pesantren waria adalah saat acara syukuran ulang tahun Maryani. Acara syukuran pada tanggal 10 Agustus 2009 ini merupakan salah satu tempat untuk para santri waria berkumpul. Sebagai kaum minoritas, komunikasi di dalam sebuah kelompok kecil yang efektif terjadi apabila tidak terdapat kekakuan dan formalitas di dalam kelompok tersebut. Sehingga antara anggota pondok pesantren waria dapat melakukan komunikasi dari hati ke hati secara dialogis dalam berbagai kondisi dan situasi dengan santai dan penuh keterbukaan serta keakraban sehingga bisa membangun kebersamaan diantara mereka. Gambar 3.9. Ucapan terimakasih Maryani kepada teman-teman waria karena telah hadir dalam syukuran ulang tahunnya yang ke 50 (10 Agustus 2009) 84 Menghabiskan waktu sore atau waktu disela-sela kegiatan keagamaan bersama-sama di dalam pondok sambil mengobrol atau pun sekedar bercanda adalah bentuk lain dari forum-forum informal. Obrolan-obrolan yang sempat terekam dalam ingatan peneliti adalah mengenai ziarah makam yang akan mereka lakukan menjelang puasa Ramadhan, membetulkan makam waria yang sudah tidak diakui dan tidak punya keluarga, dan obrolan tentang pekerjaan mereka sebagai pekerja malam yang masih sering terkena razia polisi. Dari obrolan-obrolan ringan itu akan memunculkan sebuah penyingkapan diri dari masing-masing santri waria. Penyingkapan diri adalah membeberkan informasi tentang diri sendiri. Banyak sekali yang bisa diungkapkan tentang diri melalui ekspresi wajah, sikap tubuh, pakaian, nada suara, dan melalui isyarat-isyarat nonverbal lainnya yang tidak terhitung jumlahnya, meskipun banyak di antara perilaku tersebut tidak sengaja. Namun, penyingkapan diri yang dipakai di sini merupakan perilaku yang disengaja. Penyingkapan diri tidak hanya merupakan bagian integral dari komunikasi dua orang, penyingkapan diri lebih sering muncul dalam konteks hubungan dua orang daripada dalam konteks jenis komunikasi lainnya. Penyingkapan diri yang dilakukan para santri waria, misalnya tentang kehidupan cinta mereka dan pekerjaan mereka. Dalam johari window penyingkapan diri ini masuk dalam kuadran terbuka, yaitu semua aspek diri yang diketahui diri sendiri dan orang lain. Hal-hal seperti diataslah yang dapat membangun jalinan komunikasi dengan baik. Perbedaan latar belakang kadang menimbulkan konflik antar 85 individu Namun apabila ditemukan suatu pemahaman dan jalinan komunikasi yang baik, maka konflik tersebut dapat dihindari. Komunikasi memang sangat penting dalam sebuah kelompok, oleh karena itu mereka harus berkomunikasi dengan baik dan efektif. Dengan komunikasi yang efektif, kehidupan akan berjalan lancar, dan kesuksesan juga mudah menghampiri. Komunikasi berperan serta dalam kehidupan kelompok maupun lingkungan. Kelompok kecil yang melakukan komunikasi dengan baik, maka kelompok kecil itu akan kokoh, kuat, sejahtera dan harmonis dibandingkan dengan lainnya. Gambar 3.10. Obrolan ringan yang dilakukan disela-sela kegiatan pondok pesantren (9 Agustus 2009) Aktivitas di pondok pesantren waria lebih banyak dilakukan pada minggu sore, untuk hari-hari biasa para santri memiliki pekerjaan di luar pondok pesantren. Pondok pesantren khusus waria senin-kamis ini memang hanya 86 beraktivitas pada minggu sore sampai senin pagi dan rabu sore sampai kamis pagi, selain hari itu tidak ada kegiatan sama sekali di dalam pondok pesantren. Pada minggu sore sekitar pukul 17.00 para santri waria mulai berdatangan ke pondok, ada yang masih berdandan seperti seorang wanita tapi juga ada yang sudah memakai baju koko, sarung dan peci. 87 Gambar 3.11. Santri-santri waria yang mulai berdatangan pada minggu sore. Mereka mengobrol sebentar untuk nantinya meneruskan sholat maghrib berjamaah (30 Agustus 2009) Forum-forum informal seperti itulah yang bisa mempererat silaturahmi antara para santri waria. Cara berkomunikasi yang mereka gunakan antara campuran bahasa jawa dan bahasa binan (gaul) membuat peneliti kadang tidak mengerti apa yang sedang mereka bicarakan. Sebagai sebuah kaum minoritas mereka memang mempunyai simbol-simbol tersendiri yang mereka gunakan untuk berbicara sehingga tidak diketahui oleh masyarakat umum. Hal ini tentunya mempunyai tujuan dan apabila melihat dari aturan-aturan yang mereka anut bisa saja bertujuan untuk menjaga rahasia kaum minoritas ini. Pada bulan ramadhan kegiatan di pondok pesantren waria bertambah dengan adanya buka bersama, sholat tarawih kemudian dilanjutkan dengan sahur. Kami belajar mengaji bersama, berbuka puasa bersama, tarawih, zikir, tahajud, sahur. Semua aktivitas kami lakukan bersama-sama,ungkap Maryani.66 66 Wawancara dengan Maryani, waria pengelola Pondok Pesantren khusus Waria Senin-Kamis pada tanggal 6 Agustus 2009. 88 Gambar 3.12. Para santri waria yang sedang buka bersama. (30 Agustus 2009) Sebelum sholat maghrib berjamaah, para santri waria menikmati makanan kecil buka puasa (snack) dan kolak. Kemudian setelah membatalkan puasa, salah satu santri waria mengumandangkan adzan. Pada tanggal 30 Agustus 2009, santri waria yang mendapat giliran adzan adalah Novi. 89 Gambar 3.13. Novi yang sedang adzan maghrib. Novi merupakan santri waria yang dulu kecilnya pernah mengikuti pendidikan di pondok pesantren di Surabaya Pada bulan Ramadhan pondok pesantren waria mulai banyak dikunjungi. Santri waria yang datang bukan hanya dari wilayah Yogyakarta saja tetapi banyak yang dari luar kota, seperti Semarang, Jakarta dan Surabaya. Meskipun merupakan kaum minoritas yang dianggap negatif oleh masyarakat, kaum waria mempunyai jaringan komunikasi yang kuat. Jaringan komunikasi merupakan pola interaksi manusia dalam sebuah kelompok. Dalam sebuah kelompok kecil seperti pondok pesantren ini jaringan komunikasi digunakan dalam memecahkan sebuah masalah, berbagi informasi dan pola hubungan antarpersona didalamnya. Secara tidak langsung pondok pesantren waria menggunakan jaringan komunikasi untuk pola interaksinya. Pondok pesantren waria memang bukan sebuah organisasi formal, akan tetapi kelompok kecil ini mempunyai struktur kelompok. Dengan posisi tertinggi yaitu pembina pondok pesantren KH Hamroeli Harun, para ustadz, dan pengelola pondok. Jaringan komunikasi yang terbentuk di dalam pondok pesantren waria yaitu pola semua saluran, dengan komunikasi yang terbuka; setiap orang dapat berkomunikasi dan berbagi informasi dengan semua anggota lainnya. 90 POLA KOMUNIKASI Pola komunikasi yang terbentuk secara umum dapat disimpulkan sebagai berikut : Pola Komunikasi No Keterangan Formal 1 Simbol-simbol : Pakaian Informal Pakaian yang digunakan lebih Pakaian yang digunakan lebih bersifat resmi, misalnya : bersifat pakaian santai sehari- memakai sarung, peci, mukena, hari. Dalam keseharian baju koko, sorban. biasanya waria memakai pakaian wanita, seperti : rok, t-shirt, tanktop, dress, dsb. 2 Cara bicara Di dalam pondok, waria Kegiatan informal yang menggunakan logat atau cara terjadi biasanya diawali bicara yang agak berbeda dengan berbincang-bincang dengan pergaulan sehari-hari, disela-sela kegiatan pondok. karena kegiatan pondok Logat bicara yang mereka merupakan kegiatan keagamaan gunakan sama dengan logat secara tidak langsung mereka yang biasa digunakan para kadang mengeluarkan suara waria, logat bicara/cara bicara yang tidak kemayu. yang kemayu dan dibuat-buat seperti perempuan. 3 Bahasa Dalam kegiatan formal, disini Sedangkan, bahasa yang kegiatan formal dalam arti digunakan para santri waria hubungan top to down (antara saat kegiatan yang tidak para ustadz dengan waria) dan berhubungan dengan kegiatan hubungan antara waria dengan keagamaan, mereka lebih orang dari luar pondok banyak menggunakan bahasa pesantren. Mereka menggunakan 91 bahasa Indonesia sebagai bahasa jawa atau binan. yang dirasa lebih menghormati orang yang diajak berbicara. 4 Aturan-aturan atau Dalam situasi yang lebih resmi nilai-nilai biasanya mereka duduk bersila. yang disepakati : Mereka menganggap cara duduk Cara duduk 5 Pola shaff ini lebih sopan. Kegiatan informal tidak bergantung pada sikap duduk yang bersila, mereka lebih memilih kepada kenyamanan diri masing-masing. Pola shaff termasuk dalam - kegiatan dalam konteks formal. Pola shaff mereka berasal dari kesepakatan mereka bersama. Kesepakatan ini merupakan aturan-aturan yang mereka anut dan lakukan untuk menghargai dan menjaga eksistensi kelompok kecil mereka. Pola shaff yang terbentuk dalam ponpes waria ini adalah shaff depan untuk para santri waria yang memakai sarung kemudian belakangnya para santri waria yang memakai mukena. C. RESOLUSI KONFLIK DI DALAM PONDOK PESANTREN WARIA 1. Konflik Internal 92 Peneliti melihat permasalahan yang sangat mungkin muncul dalam lingkup internal pondok pesantren waria adalah mulai berkurangnya jumlah para santri yang mengikuti kegiatan pengajian di pondok pesantren waria. Menurut Maryani berkurangnya para santri ini karena adanya isu diantara para waria bahwa pendirian pondok pesantren ini hanyalah untuk mencari keuntungan semata bagi pengelolanya. Hal ini disebabkan banyaknya wartawan, peneliti dan liputan dari televisi baik dari dalam maupun luar negeri yang meliput pondok pesantren. Anggapan bahwa pondok pesantren menerima banyak dana dari liputan yang menyebabkan para santri waria meninggalkan pondok pesantren. Para santri menganggap kegiatan mereka untuk beribadah bukan untuk konsumsi umum tetapi hanya hubungan dengan Sang Pencipta, jadi tidaklah layak jika saat mereka beribadah dilihat banyak orang. Fenomena ini tentunya lambat laun akan mengikis keinginan para waria untuk beribadah, karena kemungkinan mereka merasa enggan dengan banyaknya kamera yang meliput kehidupan rohani mereka. Permasalahan lain yang mungkin muncul yaitu terbatasnya lahan atau lokasi yang dimiliki pondok pesantren waria. Pondok Pesantren Waria SeninKamis yang berada di tengah pemukiman ini sulit dikenali andai saja tidak ada papan nama yang menyebut jelas “Pondok Pesantren Waria Senin-Kamis” di bagian depannya. Sebab aktivitas yang terlihat di rumah ini adalah salon kecantikan Ariyani milik Maryani. Pondok Pesantren Waria Senin-Kamis memang menyatu dengan salon Ariyani dan juga tempat tinggal Maryani. Bangunan rumah ini tidak luas dan hanya terdiri dari beberapa ruang. Ruang tamu merangkap salon, ruang tengah sekaligus ruang tidur para santri, tiga kamar tidur 93 kecil, ruang dapur dan kamar mandi. Kemungkinan untuk menambah bangunan lagi memang tidak mungkin, masalah ini tentunya akan mempengaruhi jalannya kegiatan pondok pesantren dengan banyaknya santri waria dengan fasilitas yang minim. Solusi satu-satunya seandainya pondok pesantren sudah tidak bisa menampung banyaknya santri memang harus pindah. Dan ini tidak mudah, di daerah lain belum tentu pondok pesantren waria dapat diterima masyarakat dengan terbuka seperti di kampung Notoyudan ini. 94 Gambar 3.14. Ruangan yang berukuran 4 x 5 inilah yang biasanya digunakan oleh para santri untuk kegiatan keagamaan seperti tadarus, sholat berjamaah dan mengobrol (9 Agustus 2009) Ikatan sosio kultural yang terbentuk di kalangan waria pun kadang tidak begitu kuat sehingga sangat mungkin terjadinya konflik secara personal yang nantinya akan menjadi konflik internal di komunitas ini. Ikatan sosio kultural yang tidak begitu kuat tumbuh karena nilai-nilai yang mereka anut dan sepakati membuat mereka untuk terus bersaing. Nilai-nilai yang berasal dari komunitas cebongan kadang mereka terapkan dalam kehidupan sehari-hari. Di sisi lain, diketahui bahwa dunia waria kerap terlihat keras. Cermin ini hadir mengingat sifat dasar mereka yang tidak mau dinomorduakan dan selalu merasa cemburu. Hal inilah yang menurut mereka, lahir sebagai sumber konflik. Tak jarang para waria terlibat perseteruan yang berujung pada kontak fisik. Karena waria memang selalu ingin jadi nomor satu bagi pasangannya. 2. Konflik Eksternal Konflik eskternal merupakan permasalahan yang timbul dengan pihak di luar pondok pesantren waria yaitu dengan masyarakat umum dan pro kontra dari para ustadz. Konflik terjadi karena adanya perbedaan kepentingan. Permasalahan yang muncul dengan masyarakat umum berkaitan dengan stigma negatif yang terlanjur diberikan masyarakat kepada kaum waria. Waria mendirikan pondok pesatren hanyalah sebagai sensasi untuk mendapatkan uang bukan untuk kegiatan beribadah. Berbagai anggapan masyarakat yang kurang menguntungkan waria 95 menyebabkan para waria itu menemukan kesulitan untuk melakukan hal-hal yang baik. Sedangkan, kontra yang terjadi pada kalangan para ustadz adalah kegiatan pesantren waria ini dianggap menodai agama karena menjalankan ibadah dengan tidak semestinya. Ini karena Islam membedakan tata cara ibadah bagi pria dan wanita dan sudah menjadi ketentuan baku dari Allah serta Allah tidak pernah salah dalam mencipta makhluknya. Pandangan bahwa menjadi waria itu merupakan laknat Allah, menyalahi kodrat sebagai makhluk ciptaan Allah yang memang hanya laki-laki dan perempuan. Oleh karena itu, kaum waria tidak mempunyai hak untuk memperjuangkan identitas mereka yang setengahsetengah..Waria itu haram hukumnya dan mereka harus kembali kepada kodrat aslinya sebagai laki-laki baru diterima ibadahnya. Kenyataan tersebut, dapat memberi gambaran pada masyarakat luas bahwa kaum waria mempunyai keinginan dan harapan sebagaimana yang dimiliki manusia pada umumnya. Tidak dapat dipungkiri bahwa ada beberapa waria yang lebih menyukai dan menikmati kehidupan mereka dari kehidupan malam. Namun juga tidak sedikit waria yang mulai atau telah merubah sikap mereka untuk lebih berkonsentrasi pada kehidupan nyata sebagaimana telah dijalani dan dialami masyarakat secara umum, yaitu kehidupan yang mapan dan seimbang antara lahir dan batin. 96 BAB IV KESIMPULAN DAN SARAN A. Kesimpulan Pada bagian kesimpulan ini penting untuk dikemukakan bahwa, pertama, pola komunikasi yang berkembang di dalam Pondok Pesantren Waria Senin-Kamis mencakup dua karakter besar yaitu yang bersifat formal dan bersifat informal. Pola komunikasi formal atau resmi merupakan komunikasi yang berkaitan erat dengan kegiatan rutin keagamaan yang berlaku di dalam Pondok Pesantren Waria Senin-Kamis terutama dalam pengajian, sholat berjamaah dan tadarus Al Quran. Sedangkan pola komunikasi informal adalah pola komunikasi yang berkembang dalam aktivitas kehidupan sehari-hari, misalnya aktivitas bercakap-cakap disela-sela pengajian. Dua karakter pola komunikasi tersebut mempunyai nilai-nilai kesederhanaan, keterbukaan dan kebersamaan/keterpaduan yang kemudian tercermin dalam pola shaff dalam sholat berjamaah, cara berbicara, cara pengajaran kegiatan keagamaan dan cara berpakaian. Nilai-nilai tersebut tersirat dalam simbol dan norma yang berlaku di dalam Pondok Pesantren Waria Senin-Kamis dan memberikan pengaruh kepada pola komunikasi yang kemudian berkembang. Dua karakter pola komunikasi ini juga saling berkaitan dan saling melengkapi satu dengan yang lainnya. Ketika sore hari saat akan dimulainya kegiatan pengajian santri waria bercakap-cakap kadang-kadang mereka membicarakan mengenai pengajian dan kegiatan sholat berjamaah. Komunikasi resmi 97 yang berlangsung dalam kegiatan keagamaan ikut mewarnai forum-forum yang tidak resmi. Kedua, ditekankan bahwa dalam pola komunikasi, bahasa selalu berperan penting dan karenanya sangat krusial untuk mengetahui yang digunakan oleh kelompok tersebut. Bahasa khusus/gaul/binan, sebagai sebuah bahasa tutur dari santri waria, merupakan sebuah karakteristik tersendiri. Tidak ditemukan hirerarki bahasa, atau variasi berdasarkan peran. Sebaliknya, jika ada yang cukup terlihat adalah variasi bahasa berdasarkan setting, yaitu setting yang bersifat formal dan informal. Untuk bentuk formal adalah bahasa yang digunakan dengan para ustadz dan orang luar pondok, misalnya seperti peneliti. Bahasa yang digunakan adalah bahasa Indonesia. Sedangkan, untuk bentuk bahasa informalnya yakni pada interaksi keseharian di dalam pondok pesantren menggunakan bahasa binan dengan bahasa jawa. Berdasarkan hal tersebut, dapat juga ditarik kesimpulan bahwa karena tidak mengenal hierarki bahasa, maka bahasa khusus/binan/gaul merupakan bahasa tutur yang menunjukkan hubungan keakraban anggota kelompoknya di mana semua orang pada prinsipnya adalah sederajat. Ketiga, santri waria mempunyai ikatan sosial yang kuat. Mereka sangat guyub sehingga jarang terjadi konflik internal meskipun kerentanan terhadap konflik itu sangat besar. Sebagai komunitas yang termarjinal pondok pesantren waria senin-kamis dapat dikatakan mulai membuka diri kepada masyarakat. Komunitas waria di dalam pondok pesantren waria memberikan keleluasaan kepada siapa saja yang ingin berkunjung dan mengikuti pengajian maupun mengambil foto. Komunitas waria ini menyadari bahwa mereka memiliki kesan yang negatif di mata masyarakat, namun para santri waria berusaha untuk masuk dan menggambil simpati masyarakat. B. Saran 98 Dalam melakukan penelitian ini tidak sedikit kendala yang dihadapi oleh peneliti misalnya dalam hal perijinan, yang mana pada saat itu bertepatan dengan banyaknya penelitian dari dalam dan luar negeri sehingga dikhawatirkan akan mengganggu dalam aktivitas di dalam pondok pesantren waria. Namun, melalui proses pendekatan dan berusaha menanamkan kepercayaan bahwa penelitian ini tidak akan merugikan pondok pesantren waria akhirnya bisa mendapatkan ijin dari Ibu Maryani dan PKBI yang menaungi pondok pesantren ini. Disamping hal tersebut diatas, untuk melakukan penelitian dengan metode observasi partisipan, lebih baik dilakukan oleh tim dari pada perorangan ini berkaitan dengan banyaknya hal yang perlu dilihat (di observasi). Penelitian yang dilakukan lebih dari satu orang bisa saling melengkapi baik dalam bentuk data gambar maupun informasi. Hal lain yang perlu kita ingat adalah kebiasaan yang seringkali terjadi apabila berhadapan dengan kelompok minoritas, seringkali mereka sangat tertutup dengan segala informasi yang berhubungan dengan kaum mereka. Ada rasa untuk saling melindungi mengingat mereka adalah kaum abangan yang termarjinal. Penelitian ini tentunya jauh dari sempurna banyak keterbatasan di dalamnya. Salah satunya adalah luasnya kajian dalam pola komunikasi dalam suatu masyarakat. Banyak hal yang harus dilihat/dikaji didalamnya, sedangkan peneliti sendiri terbatas pada pengalaman, jumlah personil dan lama waktu penelitian. Mungkin akan lebih tepat penelitian ini dikaji dengan menggunakan metode etnografi atau untuk penelitian selanjutnya lebih menfokuskan pada satu permasalahan yang cakupannya tidak luas. Misalnya mengkaji permasalahan berkaitan dengan penggunaan media eletronik. 99 DAFTAR PUSTAKA Bungin, Burhan. Metode Penelitian Kualitatif : Aktualisasi Metodologis Ke Arah Ragam Varian Kontemporer. Jakarta : PT RajaGrafindo Persada, 2001. Effendy, Onong. Ilmu Komunikasi : Teori dan Praktek. Bandung : PT Remaja Rosdakarya, 2001. _____________. Ilmu, Teori Dan Filsafat Komunikasi. Bandung : PT Citra Aditya Bakti, 2000. 100 Littlejohn, Stephen W. Theories of Human Communication 3th ed. Belmont : Wadsworth Publishing Company, 1989. Miller, Katherine. Communication Theories : Perspective, Processes, and Contexts.United State of America : The Mc Graw Hill Companies, 2002. Moleong, Lexy J. Metodologi Penelitian Kualitatif. Cetakan ketujuhbelas. Bandung : PT Remaja Rosdakarya, 2002. Nadia, Zunly. Waria Laknat Atau Kodrat. Yogyakarta : Pustaka Marwa, 2005. Patton, Michael. Metode Evaluasi Kualitatif. Yogyakarta : Pustaka Pelajar, 2006. Pawito. Penelitian Komunikasi Kualitatif. Yogyakarta : PT. LkiS Pelangi Aksara Yogyakarta,2007. Puspitosari, Hesti, Sugeng Pujileksono. Waria dan Tekanan Sosial. Malang : UMM Press, 2005. Rakhmat, Jalaluddin. Teori-Teori Komunikasi. Bandung : PT Remaja Rosdakarya, 1990. Rakhmat, Jalaluddin. Psikologi Komunikasi. Bandung : PT Remaja Rosdakarya, 1990. Soekanto, Soerjono. Sosiologi Suatu Pengantar. Edisi Keempat. Jakarta : PT RajaGrafindo Persada, 2004. Susanto, Astrid S. Komunikasi Sosial di Indonesia. Bandung : Binacipta, 1985. ______________. Komunikasi Dalam Teori dan Praktek. Bandung : Binacipta, 1989. Sutopo, HB. Metodologi Penelitian Kualitatif : Dasar Teori dan Terapannya Dalam Penelitian. Surakarta : Sebelas Maret University Press, 2002. Syukur Ibrahim, Abd. Panduan Penelitian Etnografi Komunikasi. Surabaya: Usaha Nasional, 1994. Widjaja, A. W. Komunikasi : Komunikasi dan Hubungan Masyarakat. Cetakan kedua. Jakarta : Bumi Aksara, 1993. SUMBER INTERNET Ana. “Waria Juga Manusia.” Artikel Wordpress 30 Juni 2008. 25 Desember 2008 < http://laporanpenelitian.files.wordpress.com/2008/06/waria> Desi. “Peresmian Pondok Pesantren Waria ‘Senin-Kamis’ 9 Juli 2008. “ 3 Desember 2008 <http://www.pkbi-diy.info/index.php?lang=id&cid=6> Mamo Adi. “Proposal Penelitian.” Indoskripsi.com 2 Desember 2007. 13 Februari 2009 <http://one.indoskripsi.com/content/proposal-penelitian> MYS. ”lesbian, gay, biseksual, transeksual masih terdiskriminasi.” Kompas Online November 2008. 27 Januari 2009 <http://www.kompas.com/read/xml/2008/11/11/17152378/Kaum.lesbian.ga y.biseksual.transeksual.masih.terdiskriminasi> Sofa. “Sosialisasi dan Stratifikasi Sosial.” Artikel Wordpress 25 Januari 2008. 26 Februari 2008. <http://sosialisasidanstratifikasisosial.files.wordpress.com/2008/01/> BAHAN LAIN Mustafa, Hasan. Jurnal Sosialisasi. Maret 2000. Manuel Castells, 2007, Communication, Power and Counter-power in the Network Society, Jurnal Interpersonal Communication, Vol.1, Hal. 238. <http://ijoc.org.> 101 Margaret O'Brien Steinfels, 2009, Sex, Religion & Prop 8. Jurnal Gender Proquest, Vol. 136, Hal. 10. <http://proquest.com> Tim Penyusun Kamus. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Balai Pustaka : Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa, 1989.