PENANAMAN NILAI – NILAI BERPIKIR MATEMATIS MELALUI PEMBELAJARAN MATERI PROGRAM LINIER PADA PESERTA DIDIK SMK N 2 GEDANGSARI 1 Esti Rahayu 1 Abdullah Sugeng Triyuwono 2 Guru SMK N 2 Gedangsari, Gunungkidu, DIY. Email : [email protected] 2 Guru SMK N 2 Gedangsari, Gunungkidu, DIY. Email : [email protected] Abstrak Pelaksanaan Masyarakat Ekonomi Asean (MEA) memberi dampak arus bebas tenaga kerja antar negara ASEAN. SMK N 2 Gedangsari merupakan salah satu tempat strategis dalam mencetak tenaga kerja tingkat menengah yang memiliki kemampuan berpikir matematis, agar Indonesia mampu bersaing dengan negara lain. Kemampuan berfikir matematis adalah kemampuan seseorang untuk mampu berfikir logis dan sistematis dalam menghadapi berbagai masalah baik dalam matematika maupun dalam menyelesaikan masalah kehidupannya. Kemampuan berpikir ini dapat mendorong peserta didik untuk selalu menyelesaikan permasalahan dengan melihat berbagai sudut pandang berdasarkan pengetahuan atau pengalaman sebelumnya dengan disertai alasan atau dasar yang tepat/logis. Program linier adalah salah satu materi dalam matematika yang dapat mengarahkan siswa untuk menerapkan kemampuan berpikir matematis. Pencarian nilai optimum dalam permasalahan program linier dilalui dengan tiga tahap yaitu menyajikan permasalahan dalam model matematika, kemudian membuat grafik himpunan penyelesaian dan mencari nilai optimumnya. Kata Kunci : MEA, nilai – nilai berpikir matematis, program linier. PENDAHULUAN A. Latar Belakang ASEAN merupakan kekuatan ekonomi yang terdiri dari 10 negara yaitu Indonesia, Malaysia, Filiphina, Singapura, Thailand, Brunai Darusalam, Vietnam, Laos, dan Kamboja. Pembentukan Masyarakat Ekonomi Asean (MEA) berawal dari kesepakatan para pemimpin ASEAN dalam Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) pada Desember 1997 di Kuala lumpur, Malaysia. Pelaksanaan Masyarakat ekonomi ASEAN (MEA) menjadikan ASEAN sebagai kawasan pasar dan produk tunggal. Dampak dari pelaksanaan MEA antara lain aliran bebas; barang, jasa, investasi, tenaga kerja dan modal bagi negara – negara ASEAN. Hambatan yang dialami Indonesia pada pelaksanaan MEA antara lain mutu pendidikan tenaga kerja masih rendah, kurangnya ketersediaan dan kualitas infrastruktur, lemahnya Indonesia dalam menghadapi produk impor sehingga produk lokal menjadi kalah bersaing di pasar negeri sendiri. Hambatan- hambatan ini harus segera di cari solusinya agar indonesia mampu bersaing dengan negara lain. Langkah strategis dalam menghadapi Masyarakat Ekonomi Asean (MEA) adalah mempersiapkan sumber daya manusia yang memiliki kualitas tinggi. Dalam menghadapi persaingan tenaga kerja di era MEA yang dibutuhkan adalah keahlian dan keterampilan yang berstandar internasional. SMK sebagai salah satu sekolah yang diharapkan mampu mencetak tenaga kerja yang ahli dan terampil hendaknya mempersiapkan peserta didiknya sebaik mungkin. Salah satu cara yang dapat dilakukan oleh SMK adalah mengembangkan program pendidikan yang berfokus pada pengembangan kemampuan berpikir. Matematika merupakan salah satu pelajaran di SMK yang secara substansial dapat mendorong pengembangan Pendidikan Matematika Universitas Muhammadiyah Purworejo, Ruang Seminar UMP, 28 Mei 2016 421 kemampuan berpikir peserta didik. Konsepkonsep dalam matematika tersusun secara hierarkis, terstruktur, logis, dan sistematis mulai dari konsep yang sederhana sampai yang paling kompleks, sehingga memerlukan kemampuan berpikir matematis yang baik untuk memahaminya. Program linier adalah salah satu materi dalam matematika yang diberikan pada peserta didik SMK N 2 Gedangsari kelas X. Dalam materi ini diajarkan metode matematik dalam mengalokasikan sumber daya yang langka atau terbatas untuk mencapai tujuan tunggal seperti memaksimumkan keuntungan atau meminimumkan biaya. Tahap tahap yang dilalui dalam mencapai tujuan tunggal tersebut dapat mengarahkan peserta didik untuk menanamkan nilai – nilai berpikir matematis pada dirinya. Nilai nilai inilah yang menjadi bekal peserta didik setela lulus, agar dapat bersaing dengan tenaga kerja terampil lainnya. B. Rumusan Masalah Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan di atas, dapat diperoleh rumusan masalah sebagai berikut : Apakah nilai – nilai berpikir matematis dapat ditanamkan pada peserta didik SMK N 2 Gedangsari melalui pembelajaran materi program linier? C. Tujuan Untuk menanamkan nilai – nilai berpikir matematis melalui materi program linier pada peserta didik SMK N 2 Gedangsari 422 KAJIAN LITERATUR A. Nilai - Nilai Berpikir Matematis Darmodiharjo (dalam Setiadi, 2006:117) mengungkapkan nilai merupakan sesuatu yang berguna bagi manusia baik jasmani maupun rohani . Pepper (dalam Soelaeman, 2005:35) mengatakan bahwa nilai adalah segala sesuatu tentang yang baik atau yang buruk. Sejalan dengan pengertian tersebut, Soelaeman (2005) juga menambahkan bahwa nilai adalah sesuatu yang dipentingkan manusia sebagai subjek, menyangkut segala sesuatu yang baik atau yang buruk, sebagai abstraksi, pandangan atau maksud dari berbagai pengalaman dalam seleksi perilaku yang ketat. Dari beberapa pengertian tersebut dapat diambil kesimpulan bahwa nilai adalah segala sesuatu yang baik maupun buruk(etika), benar maupun salah (logika) yang berguna bagi manuaia baik jasmani maupun rohani. Proses berpikir adalah suatu kejadian yang dialami seseorang ketika menerima respon sehingga menghasilkan kemampuan untuk menghubungkan sesuatu dengan sesuatu lainnya untuk memecahkan atau menjawab suatu permasalahan. Menurut Sumarmo, Utari (2010: 4) istilah berpikir matematis (mathematical thinking) diartikan sebagai cara berpikir berkenaan dengan proses matematika(doing math) atau cara berpikir dalam menyelesaikan tugas matematis (mathematical task) baik yang sederhana maupun yang kompleks. Menurut Henningsen dan Stein (1997, h. 525), kemampuan berpikir matematik tingkat tinggi pada hakekatnya merupakan kemampuan berpikir non prosedural yang antara lain mencakup hal hal berikut: kemampuan mencari dan mengeksplorasi pola untuk memahami struktur matematik serta hubungan yang mendasarinya, kemampuan menggunakan fakta fakta yang tersedia secara efektif dan Prosiding Seminar Nasional Matematika dan Pendidikan Matematika, “Internalisasi Nilainilai Berpikir Matematis Dalam Perannya di Era Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA)” tepat untuk memformulasikan serta menyelesaikan masalah kemampuan membuat ide ide matematik secara bermakna, kemampuan berpikir dan bernalar secara fleksibel melalui penyusunan konjektur, generalisasi, serta kemampuan menetapkan bahwa suatu hasil pemecahan masalah bersifat masuk akal atau logis. Dalam upaya mengidentifikasi perkembangan kemampuan berpikir matematik siswa, Shafer dan Foster (1997), mengajukan tiga tingkatan berpikir matematik yaitu tingkatan reproduksi, koneksi, dan analisis. Tingkatan reproduksi merupakan tingkatan berpikir paling rendah, sementara analisis adalah tingkatan berpikir yang paling tinggi. Dari uraian di atas dapat diambil kesimpulan bahwa nilai – nilai berpikir matematis adalah kemampuan menggunakan fakta- fakta secara efektif dan tepat untuk memformulasikan serta menyelesaiakan permaslahan yang berguna bagi peserta didik baik. B. Pembelajaran matematika Pembelajaran adalah suatu upaya yang dilakukan oleh guru untuk menyampaikan ilmu pengetahuan, mengorganisir, dan menciptakan sistem lingkungan dengan berbagai metode sehingga siswa dapat melakukan kegiatan belajar secara efektif dan efisien serta dengan hasil yang optimal Sugihartono (2007: 81). Pembelajaran matematika adalah proses interaksi antara guru dan siswa yang melibatkan pengembangan pola berfikir dan mengolah logika pada suatu lingkungan belajar yang sengaja diciptakan oleh guru dengan berbagai metode agar program belajar matematika tumbuh dan berkembang secara optimal dan siswa dapat melakukan kegiatan belajar secara efektif dan efisien Peserta didik adalah anak-anak Indonesia yang berada dalam batas usia sekolah dasar (6 atau 7 tahun) hingga sekolah menengah (18 atau 19 tahun). Mereka dibedakan dalam dua tahapan pendidikan yaitu Sekolah Dasar dan Sekolah Lanjutan Tingkat Pertama, dan tahap Pendidikan Menengah yang meliputi Sekolah Menengah Umum maupun Kejuruan. Semua tahapan pendidikan tersebut diberikan pelajaran matematika, yang disebut juga matematika sekolah. C. Program linier Model program linier dikembangkan dalam tiga tahap, antara lain pada tahun 1939-1947. Pertama kali dikembangkan oleh Leonid Vitaliyevich Kantorovich, ahli matematika Rusia yang memperoleh Soviet government‟s Leinin Prize pada tahun 1965 dan the Order of Lenin pada tahun 1967; kedua, oleh Tjalillng Charles Koopmans, ahli ekonomi dari belanda yang memulai karir intelektualnya sebagai fisikawan yang melontarkan teori Kuantum mekanik, dan ke3, George Bernard Dantzig yang mengembangkan Algoritma Simpleks. PEMBAHASAN Program linier (linear programming) merupakan metode matematik dalam mengalokasikan sumber daya yang langka atau terbatas untuk mencapai tujuan tunggal seperti memaksimumkan keuntungan atau meminimumkan biaya. Sumber daya tersebut dapat berupa sumber daya fisik seperti uang, tenaga ahli, material (bahan dan mesin) ataupun bukan fisik. Pemrograman linier berasal dari kata pemrograman dan linier. Pemrograman disini mempunyai arti kata perencanaan, dan linier ini berarti bahwa fungsi-fungsi yang digunakan merupakan fungsi linier. Secara Pendidikan Matematika Universitas Muhammadiyah Purworejo, Ruang Seminar UMP, 28 Mei 2016 423 umum arti dari pemrograman linier adalah suatu teknik perencanaan yang bersifat analisis yang analisis-analisisnya memakai model matematika, dengan tujuan menemukan beberapa kombinasi alternatif pemecahan masalah kemudian dipilih yang terbaik di antaranya dalam rangka menyusun strategi dan langkah-langkah kebijaksanaan lebih lanjut tentang alokasi sumber daya dan dana yang terbatas guna mencapai tujuan dan sasaran yang di inginkan secara optimal. Tahap – tahap untuk mencapai tujuan tunggal dalam program linier adalah : 1. Membuat model matematika Model matematika dalam program linier adalah suatu bentuk sistem pertidaksamaan atau persamaan linier yang dibentuk dengan menerjemahkan suatu persoalan dalam kehidupan seharihari ke dalam bahasa matematika. Model matematika terdiri dari fungsi kendala fungsi obyektif. 2. Membuat grafik himpunan penyelesaian dengan langkah-langkah : a. Menentukan batas daerah b. Menentukan daerah yang memenuhi pertidaksamaan dengan mengambil sembarang titik koordinat di luar garis Tahap tahap yang dilalui untuk mencapai tujuan tunggal dalam program linier dapat mengarahkan peserta didik untuk menanamkan nilai – nilai berpikir matematis. Materi program liniaer diberikan pada tahap pendidikan sekolah menengah. Di SMK Negeri 2 gedangsari khususnya jurusan Busana Butik, materi ini diberikan di kelas X semester genap. Dalam mempelajari materi program linier peserta didik diarahkan untuk menanamkan nilai – nilai berpikir matematis. Proses berpikir matematis dapat terlihat dalam contoh berikut: Soal program linier Seorang pengusaha ingin membuat roti jenis A dan jenis B, Untuk membuat roti jenis A diperlukan 200 gram tepung dan 80 gram gula. Sedangkan untuk membuat roti jenis B diperlukan 1 kg tepung dan 300 gram gula. Apabila disediakan 20 kg tepung dan 6 kg gula, berapakah roti yang harus dibuat agar diperoleh roti yang sebanyak-banyaknya? Jawab 1. Tahap 1, membuat model matematika (peserta didik diarahkan untuk mengubah fakta fakta menjadi bentuk matematika secara efektif dan tepat) persamaan linier. 3. Menentukan nilai optimum (maksimum Mengubah soal cerita ke dalam model matematika dan minimum) pada daerah penyelesaian sistem pertidaksamaan a. Menentukan daerah penyelesaian dari Bahan yang diperlukan Jenis baju A B Bahan yang disediakan Tepung 200 gr 1000 gr 20.000 gr Gula 80 gr 300 gr 6.000 gr sistem pertidaksamaan pada grafik b. Menentukan daerah titik koordinat penyelesaian sudut sistem pertidaksamaan Menentukan nilai fungsi objektif dari titik koordinat sudut daerah penyelesaian. 424 Misal roti jenis A dibuat sebanyak x dan roti jenis B dibuat sebanyak y, maka model matematikanya adalah sebagai berikut: Prosiding Seminar Nasional Matematika dan Pendidikan Matematika, “Internalisasi Nilainilai Berpikir Matematis Dalam Perannya di Era Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA)” 200x + 1000y 20.000 x + 5y 100 kesimpulan dari dari fakta – fakta maupun atau formulasi yang telah dibuat sebelumnya) Menentukan nilai f(x,y) = x + y pada titik sudut daerah penyelesaian 80x + 300y 6.000 4x + 15y 300 Pada titik O (0,0) nilai f = 0 + 0 = 0 x0;y0 x0;y0 Pada titik A (75,0) nilai f = 75 + 0 = 75 fungsi objektif adalah f(x,y) = x + y Pada titik B (0,20) nilai f = 0 + 20 = 20 2. Tahap 2, membuat grafik himpunan Jadi agar memperoleh roti yang sebanyakbanyaknya (maksimal) maka roti jenis A dibuat sebanyak 75 buah dan roti jenis B dibuat sebanyak 0 (tidak dibuat). penyelesaian ( Peserta didik diarahkan untuk mengubah model matematika menjadi bentuk grafik sehingga terlihat penyelesainnya) 50 Menentukan daerah himpunan penyelesaian sistem pertidaksamaan 40 x + 5y 100; 4x + 15y 300; x 0; y 0 B x + 5y = 100 30 x 0 100 y 20 0 (x,y) (0,20) (100,0) -10 A 10 20 30 40 50 60 70 80 90 100 110 20 PENUTUP A. Kesimpulan 1. 4x + 15y = 300 x 0 75 y 20 0 (x,y) (0,20) (75,0) Pada pelaksanaan MEA Indonesia membutuhkan tenaga kerja terampil tingkat menengah yang memiliki kemampuan berpikir matematis. Daerah OAB adalah daerah himpunan penyelesaian. Dimana titik O(0,0), A(75,0), B(0,20) 2. SMK adalah tempat strategis dalam mencetak tenaga kerja terampil tingkat menengah sehingga pembelajaran di SMK harus ditingkatkan kualitasnya 3. Materi program 3. Tahap 3, menentukan nilai optimum( mengarahkan peserta peserta didik diarahkan dapat membuat menanamkan nilai linier didik nilai dapat untuk berpikir matematis Pendidikan Matematika Universitas Muhammadiyah Purworejo, Ruang Seminar UMP, 28 Mei 2016 425 Nasional, Jakarta, PT Pustaka Utama, 2008 B. Gramedia Saran Nilai nilai berpikir matematis sangat dibutuhkan peserta didik sebagai bekal mereka setelah lulus agar dapat bersaing dengan tenaga kerja lain, jadi sebaiknya proses pembelajaran di SMK ditingkatkan kualitasnya. Daftar Pustaka Griyawardani.2011.Nilai – nilai pendidikan [online] https://griyawardani.wordpress.com tanggal 10 Mei 2016 Hakikat berpikir kritis dan implementasinnya [online] https://budie13.wordpress.com, tanggal 18 Mei 2016 P. Gendra Priyadi, Matematika Program keahlian Seni, Pariwisata, sosial, Administrasi perkantoran, dan teknologi kerumahtanggaan uuntuk MK dan MAK kelas X Sugihartono, dkk (2007) Psikologi Pendidikan, Yogyakarta : UNY Press Sumarmo, Utari. 2010. Berpikir dan Disposisi Matematik: Apa, Mengapa, dan Bagaimana Dikembangkan pada Peserta Didik. Artikel pada FPMIPA UPI Bandung. [online] https://www.academia.edu/, tanggal 10 Mei 2016 P. Gendra Priyadi, Matematika Program keahlian Seni, Pariwisata, sosial, Administrasi perkantoran, dan teknologi kerumahtanggaan uuntuk SMK dan MAK kelas X Kamus Besar Bahasa Indonesia Pusat Bahasa : Departemen Pendidikan 426 Prosiding Seminar Nasional Matematika dan Pendidikan Matematika, “Internalisasi Nilainilai Berpikir Matematis Dalam Perannya di Era Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA)” PENERAPAN MODEL PEMBELAJARAN STUDENT TEAM ACHIEVEMENT DIVISION DAN FLEMING UNTUK MENGEMBANGKAN KOMUNIKASI MATEMATIS Nita Susanti 1), Puji Nugraheni 2) , Riawan Yudi Purwoko 3 Prodi Pendidikan Matematika, Universitas Muhammadiyah Purworejo email: [email protected] 2 Prodi Pendidikan Matematika, Universitas Muhammadiyah Purworejo email: [email protected] 3 Prodi Pendidikan Matematika, Universitas Muhammadiyah Purworejo email: [email protected] 1 Abstrak Model Pembelajaran dalam suatu pembelajaran ini sangat mempengaruhi hasil belajar. Dengan demikian penelitian ini bertujuan untuk mengetahui apakah: kemampuan komunikasi matematis siswa dengan model pembelajaran STAD lebih baik dari pada model pembelajaran Fleming. Populasi dalam penelitian ini adalah seluruh kelas X Madrasah Aliyah Negeri Gombong tahun pelajaran 2015/2016 yang terdiri dari 5 kelas. Sampel dalam penelitian ini adalah 2 kelas dengan jumlah siswa seluruhnya 73 siswa. Pengambilan sampel menggunakan teknik simple random sampling. Pengujian hipotesis menggunakan analisis uji t univariat. Dari uji t univariat diperoleh: kemampuan komunikasi matematis siswa dengan model pembelajaran STAD lebih baik dari pada model pembelajaran Fleming. Sehingga model pembelajaran STAD dapat digunakan sebagai masukan bagi guru dan calon guru dalam pembelajaran untuk meningkatkan kemampuan komunikasi matematis siswa. Kata Kunci: Kemampuan komunikasi matematis, STAD dan Fleming. 1. PENDAHULUAN Matematika merupakan salah satu mata pelajaran yang mengembangkan kompetensi, berpikir yang sistematis, logis, kreatif, kritis, dan konsisten. Kompetensi-kompetensi ini diperlukan agar siswa dapat memiliki kemampuan mengelola, mengembangkan, dan mengkomunikasikan apa yang mereka dapat ketika dalam pembelajaran matematika. Salah satu hal yang penting dalam sebuah pembelajaran adalah komunikasi, karena dengan adanya komunikasi yang baik maka pembelajaran akan tersampaikan dan diterima dengan baik pula. Sejalan dengan permasalahan ini, maka perlu diterapkan suatu model pembelajaran yang berpusat pada siswa dan dapat melibatkan siswa dalam kegiatan pembelajaran guna meningkatakan komunikasi matematis, seperti siswa mampu memahami kalimat atau simbol dalam materi trigonometri. Dalam hal ini solusi yang memungkinkan menjadi alternatif model pembelajaran untuk mencapai suatu pembelajaran yang komunikatif dalam pembelajaran matematika adalah Student Team Achievement Division (STAD) dan Fleming. Tinjauan pustaka yang relevan dalam penelitian ini adalah: d. penelitian yang dilakukan oleh Penelitian Faad Maonde (2015) yang berjudul “The Discrepancy of Students’ Mathematic Achievement through Cooperative Learning Model, and the ability in mastering Languages and Science”. e. Penelitian Nurur Rosyidah (2014) yang berjudul “Eksperimentasi Pembelajaran Pendidikan Matematika Universitas Muhammadiyah Purworejo, Ruang Seminar UM Purworejo, 28 Mei 2016 427 f. CPS dan MMP Yang dimodifikasi STAD Pada Materi Trigonometri Dengan Berbantu Social Learning Network “EDMODO” Terhadap Kemampuan Pemecahan Masalah Matematika Siswa Kelas X MIPA Semester II SMA Negeri 1 Purworejo Tahun Pelajaran 2013/2014”. Penelitian Susilawati (2014) berjudul “Pengaruh Penggunaan Media Riil Terhadap Keterampilan Proses SAINS dan Gaya Belajar Siswa Sekolah Menengah Kejuruan”. 2. KAJIAN LITERATUR DAN PEGEMBANGAN HIPOTESIS Komunikasi matematis merupakan salah satu kemampuan penting yang harus dikembangkan dalam pembelajaran matematika, sebab salah satu fungsi pembelajaran matematika yaitu sebagai cara mengomunikasikan gagasan secara praktis, sistematis dan efisien. Siswa dikatakan memiliki kemampuan komunikasi matematis yang baik jika memenuhi indikator sebagai berikut: proses pembelajaran kooperatif tipe STAD melalui lima tahap yang meliputi: f. Presentasi Kelas: Guru mempresentasikan materi pelajaran. g. Tim: Tim terdiri dari empat atau lima siswa yang mewakili seluruh bagian dari kelas dalam hal kinerja akademik, jenis kelamin, ras dan etnisitas. h. Kuis: Setelah guru memberikan presentasi dan praktik dalam tim, para siswa akan mengerjakan kuis individual. i. Skor kemajuan Individual: Bertujuan untuk memberikan kepada tiap siswa tujuan kinerja yang akan dapat dicapai apabila mereka bekerja lebih giat dan memberikan kinerja yang lebih baik dari pada sebelumnya. j. Rekognisi Tim: Tim akan mendapatkan sertifikat atau bentuk penghargaan yang lain apabila skor rata-rata mereka mencapai kriteria tertentu. Selanjutnya, model pembelajaran STAD juga memiliki kelebihan dan kekurangan. Kelebihan model pembelajaran STAD dalam Majid (2014: 188) adalah sebagai berikut: e. d. Memiliki kemampuan mengekspresikan ide-ide matematika melalui lisan, dan mendemonstrasikan serta menggambarkannya secara visual. e. Mampu memahami, menginterpretasikan dan mengevaluasi ide-ide matematika baik secara lisan maupun dalam bentuk visual lainnya. f. Mampu menggunakan istilah, notasi matematika dan struktur-strukturnya untuk menyajikan ide, menggambarkan hubungan dan model situasi. Model Pembelajaran STAD STAD singkatan dari Student Team Achievement Division. STAD merupakan model pembelajaran kooperatif yang menekankan adanya aktivitas dan interaksi diantara siswa untuk saling memotivasi dan saling membantu dalam menguasai materi pelajaran guna mencapai prestasi yang maksimal. Menurut Slavin (2005: 143) pada 428 f. g. h. Dapat memberikan kesempatan kepada siswa untuk bekerjasama dengan siswa lain. Siswa dapat menguasai pelajaran yang disampaikan. Dalam proses belajar mengajar siswa saling ketergantungan positif. Setiap siswa dapat saling mengisi satu sama lain. Kekurangan model pembelajaran STAD dalam Majid (2014: 188) adalah sebagai berikut: f. Berdasarkan karakteristik STAD jika dibandingkan dengan pembelajaran konvensional (yang hanya penyajian materi dari guru), pembelajaran menggunakan model ini membutuhkan waktu yang relatif lama, dengan memperhatikan tiga langkah STAD yang menguras waktu seperti penyajian Prosiding Seminar Nasional Matematika dan Pendidikan Matematika, “Internalisasi Nilainilai Berpikir Matematis Dalam Perannya di Era Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA)” g. h. i. j. materi dari guru, kerja kelompok dan tes individual atau kuis. Siswa yang pandai cenderung enggan disatukan dengan temannya yang kurang pandai, dan yang kurang pandaipun merasa minder apabila digabungkan dengan temannya yang pandai, walaupun lama kelamaan perasaan itu akan hilang dengan sendirinya. Siswa diberi kuis dan tes secara perorangan. Pada tahapan ini setiap siswa harus memperhatikan kemampuannya dan menunjukkan apa yang diperoleh pada kegiatan kelompok dengan cara menjawab soal kuis atau tes sesuai dengan kemampuannya. Pada saat mengerjakan kuis atau tes ini, setiap siswa bekerja sendiri. Penentuan skor. Hasil kuis atau tes diperiksa oleh guru, setiap skor yang diperoleh siswa dimasukan ke dalam daftar skor individu, untuk melihat peningkatan kemampuan individu. Rata-rata skor peningkatan individu merupakan sumbangan bagi kinerja percapaian hasil kelompok. Penghargaan terhadap kelompok. Berdasarkan skor peningkatan individu, maka akan diperoleh skor kelompok. Dengan demikian, skor kelompok sangat tergantung dari sumbangan skor individu. Model pembelajaran Fleming Huda (2013: 180) menyatakan “salah satu kategorisasi yang paling banyak digunakan terkait dengan jenis-jenis gaya belajar adalah model VARK-nya Neil Fleming” (2001). VARK merupakan akronim dari empat kecenderungan utama yaitu Visual, Auditory, Read/Write and Kinesthetic. Model ini mencakup empat kategori utama pembelajaran, antara lain: e. Pembelajaran visual-pembelajaran yang di dalamnya ide-ide, konsep-konsep, dan informasi lain diasosiasikan dengan gambar-gambar dan teknik-teknik. Mereka yang memiliki pola belajar visual biasanya mampu memahami informasi dengan menggambarkannya secara nyata. f. Pembelajaran auditoris-pembelajaran yang didalamnya seseorang belajar melalui pendengaran. Pembelajar auditoris sangat bergantung pada pendengaran dan pembicaraan orang lain selama proses belajarnya. Pembelajaran auditoris harus mendengar apa yang dikatakan agar bisa memahami dan sebaliknya mereka sering kali kesulitan menghadapi instruksi-instruksi tertulis. g. Pembelajaran membaca atau menulispembelajaran yang di dalamnya seseorang cenderung belajar dengan cara mencatat dan membaca apa saja yang ia dengarkan dan peroleh dari lingkungan sekitar. Mereka yang memiliki kemampuan membaca dan menulis biasanya harus membaca untuk mencari informasi dan menulis informasi tersebut untuk dibaca ulang sebagai pengetahuan. h. Pembelajaran kinestetik atau taktilpembelajaran yang di dalam proses belajar dilakukan oleh siswa yang melakukan aktivitas fisik, dari pada mendengar ceramah atau melihat pertunjukan. Mereka memiliki kemampuan kinestetik biasanya belajar dengan cara mempraktikkannya. Selanjutnya, model pembelajaran Fleming juga memiliki kelebihan dan kekurangan. Menurut Colin (2002: 118) kelebihan model pembelajaran Fleming adalah sebagai berikut: f. Pembelajaran menjadi lebih efektif karena dapat mengkombinasikan keempat gaya belajar tersebut. g. Mampu melatih dan mengembangkan potensi siswa yang telah dimiliki oleh pribadi masing-masing. h. Memberikan pengalaman langsung kepada siswa. i. Mampu melibatkan siswa secara maksimal dalam menemukan dan memahami suatu konsep melalui kegiatan fisik seperti demonstrasi, percobaan, observasi dan diskusi aktif. j. Mampu menjangkau setiap gaya belajar siswa. Pendidikan Matematika Universitas Muhammadiyah Purworejo, Ruang Seminar UM Purworejo, 28 Mei 2016 429 Kekurangan model pembelajaran Fleming adalah sebagai berikut: c. Tidak banyak orang mampu mengkombinasikan keempat gaya belajar tersebut. d. Seorang yang hanya mampu menggunakan satu gaya belajar, maka hanya akan mampu menangkap materi jika menggunakan model yang lebih memfokuskan kepada salah satu gaya belajar yang didominasi. Dengan menggunakan beragam pengajaran dari masing-masing kategori ini, guru dapat mengcover gaya-gaya belajar yang berbeda-beda sekaligus mampu meningkatkan pola belajar dengan menghadapkan siswa pada situasi belajar yang berbeda-beda pula. 3. METODE PENELITIAN Penelitian ini dilakukan pada bulan Oktober 2015 sampai dengan bulan Agustus 2016 di Madrasah Aliyah Negeri Gombong. Populasi dalam penelitian ini adalah seluruh kelas X Madrasah Aliyah Negeri Gombong tahun pelajaran 2015/2016 yang terdiri dari 5 kelas. Sampel dalam penelitian ini adalah 2 kelas dengan jumlah siswa seluruhnya 73 siswa. Pengambilan sampel menggunakan teknik simple random sampling. Instrumen yang digunakan adalah komunikasi matematis (lisan) dengan tes lisan. Pengumpulan data dilakukan dengan metode tes lisan. Teknis analisis data yang dilakukan adalah analisis data awal berupa nilai Ujian Akhir Semester Gasal dan analisis data awal yaitu dilakukan dengan uji prasyarat yang meliputi uji normalitas dengan metode Lilliefors, uji homogenitas dengan uji Bartlett dan uji keseimbangan. Setelah data hasil tes komunikasi matematis 430 lisan diperoleh maka selanjutnya dilakukan uji prasyarat analisis variansi yaitu meliputi uji normalitas dengan metode Lilliefors dan uji homogenitas dengan menggunakan uji Bartlett. Pada tahap akhir dilakukan pengujian hipotesis menggunakan analisis uji t univariat, dengan taraf signifikansi ( ) = 0,05. Hipotesis dalam penelitian ini adalah: pembelajaran matematika dengan model pembelajaran STAD akan menghasilkan kemampuan komunikasi matematis yang lebih baik dari pada model pembelajaran Fleming pada kompetensi trigonometri terhadap siswa kelas X Madrasah Aliyah Negeri Gombong Tahun Pelajaran 2015/2016. 4. HASIL DAN PEMBAHASAN Sebelum perlakuan pada kelas 1 yang akan dikenai model pembelajaran STAD dan kelas 2 yang dikenai model Fleming, terlebih dahulu peneliti melakukan uji keseimbangan pada kelas satu dan dua sebelum diberi perlakuan. Hasil yang diperoleh yaitu bahwa kelas I dan II memiliki kemampuan awal yang sama. Kedua kelas diberi perlakuan dengan kelas satu dikenai model pembelajaran STAD dan kelas dua dikenai model pembelajaran Fleming. Setelah perlakuan selesai diberikan kemudian masing-masing kelas dievaluasi untuk mengetahui kemampuan komunikasi matematis (lisan) diberikan tes lisan. Pada tes lisan kelas satu diperoleh nilai tertinggi adalah 100 dan nilai terrendah adalah 40 dengan rata-rata 90,94. Untuk kelas dua diperoleh nilai terbesar 100, terkecil 25 dan rata-ratanya adalah 76,09. Setelah perlakuan selesai dilakukan dan data yang diperoleh dari tes lisan siswa berikutnya adalah melakukan analisis data akhir yang meliputi uji normalitas, uji Prosiding Seminar Nasional Matematika dan Pendidikan Matematika, “Internalisasi Nilainilai Berpikir Matematis Dalam Perannya di Era Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA)” homogenitas dan uji hipotesis. Uji normalitas data akhir kelas I dan II bahwa sampel berasal dari populasi yang berdistribusi normal. Uji Homogenitas data akhir kelas I dan II diperoleh bahwa variansi populasi homogen. Analisis hipotesis univariat pada variabel komunikasi matematis diperoleh adalah 3,083738 dan adalah 1,960, tampak bahwa ditolak maka didapat kesimpulan: rerata kemampuan komunikasi matematis menggunakan model pembelajaran STAD berbeda dengan rerata kemampuan komunikasi matematis dengan model pembelajaran Fleming. Dengan pembelajaran STAD tujuan dari pembelajaran tercapai, meski dalam pembelajaran memerlukan waktu yang lama. Sedangkan model pembelajaran Fleming, dalam pelaksanaan penelitian tidak sedikit anak yang dapat mengkombinasikan Visual, Auditory, Read/Write and Kinesthetic mereka, dan dalam pembelajaran juga membutuhkan waktu yang lama sehingga tujuan dari pembelajaran kurang tercapai. 5. KESIMPULAN Pembelajaran matematika dengan model pembelajaran STAD menghasilkan kemampuan komunikasi matematis yang lebih baik dari pada model pembelajaran Fleming pada kompetensi trigonometri terhadap siswa kelas X Madrasah Aliyah Negeri Gombong Tahun Pelajaran 2015/2016. Sehingga model pembelajaran STAD dapat digunakan sebagai masukan bagi guru dan calon guru dalam pembelajaran untuk meningkatkan kemampuan komunikasi matematis siswa. 6. REFERENSI Budiyono. 2004. Statistika Untuk Penelitian. Surakarta: Sebelas Maret University Press. Dwitayanti, Dewi. 2012. “Model Pembelajaran VAK Berbantu Media VCD Berpengaruh Terhadap Prestasi Belajar Matematika Siswa Kelas IV SD Gugus V Dr.Soetomo”. Universitas Pendidikan Ganesha. Diunduh dari http://ejournal.undiksha.ac.id/index.php/J JPGSD/article/download/1316/1177.Pad a tanggal 6 Desember 2015. Huda, Miftahul. 2013. Model-Model Pengajaran dan Pembelajaran. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Majid, Abdul. 2014. Strategi Pembelajaran. Bandung: Remaja Rosdakarya. Maonde, Faad. 2015. “The Discrepancy of Students’ Mathematic Achievement through Cooperative Learning Model, and the ability in mastering Languages and Science”. Diunduh dari http://www.ijern.com/journal/2015/Janua ry-2015/13.pdf. Pada tanggal 6 Desember 2015. Rosyidah, Nurur. 2014. “Eksperimentasi Pembelajaran CPS dan MMP Yang dimodifikasi STAD Pada Materi Trigonometri Dengan Berbantu Social Learning Network “EDMODO” Terhadap Kemampuan Pemecahan Masalah Matematika Siswa Kelas X MIPA Semester II SMA Negeri 1 Purworejo Tahun Pelajaran 2013/2014”. Universitas Muhammadiyah Purworejo. Slavin, Robert E. 2005. Cooperative Learning, Teori, Riset dan Praktik. andung: Nusa Media. Pendidikan Matematika Universitas Muhammadiyah Purworejo, Ruang Seminar UM Purworejo, 28 Mei 2016 431 Susanto, Ahmad. 2013. Teori Belajar dan Pembelajaran di Sekolah Dasar. Jakarta: Kencana. Susilawati. (2014). “Pengaruh Penggunaan Media Riil Terhadap Keterampilan Proses SAINS dan Gaya Belajar Siswa Sekolah Menengah Kejuruan”. Diunduh dari 432 http://journal.unnes.ac.id/artikel_nju/JPF I/3050. Pada tanggal 6 Desember 2015. Wibowo, Teguh. 2010. Diktat Kuliah Statistik Multivariat. Purworejo: Program Studi Pendidikan Matematika Universitas Muhammadiyah Purworejo. Prosiding Seminar Nasional Matematika dan Pendidikan Matematika, “Internalisasi Nilainilai Berpikir Matematis Dalam Perannya di Era Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA)” UPAYA MENUMBUHKAN JIWA KREATIF PESERTA DIDIK SMKN 2 GEDANGSARI DENGAN MEDIA PEMBELAJARAN MODEL KEPING JURING SETENGAH LINGKARAN PADA PENANAMAN KONSEP PENJUMLAHAN DAN PENGURANGAN BILANGAN BULAT. Joko Wisnu Catur 1 Abdullah Sugeng Tri Yuwono 2 Guru SMK N 2 Gedangsari, Gunungkidul, DIY. Email : [email protected] 2 Guru SMK N 2 Gedangsari, Gunungkidul, DIY. Email : [email protected] 1 Abstrak Persaingan bebas dalam Masyarakat Ekonomi Asean (MEA) berpengaruh pada persaingan bebas tenaga kerja dan perdagangan antar negara ASEAN. Kualitas dan pelayanan produk dan jasa sangat menentukan menang tidaknya dalam bersaing. SMK Negeri 2 Gedangsari merupakan salah satu tempat strategis dalam mencetak tenaga kerja tingkat menengah yang berkualitas bagus. Akhirnya Tenaga Kerja Indonesia mampu bersaing dengan negara anggota ASEAN lainnya. Kemampuan pemahaman peserta didik Kelas X SMKN 2 Gedangsari pada konsep penjumlahan dan pengurangan bilangan bulat masih rendah. Peserta didik merasa kurang menarik terhadap materi yang diajarkan guru. Peserta didik mengalami kesulitan pada, penjumlahan yang memuat bilangan bulat positif dan bilangan bulat negatif, pengurangan yang bilangan pengurangnya lebih dari pada bilangan yang dikurangi, pengurangan oleh bilangan bulat negatif. Penanaman konsep penjumlahan dan pengurangan bilangan bulat bagi peserta didik yang daya abstrak dan kognitifnya rendah tidaklah mudah diterima apalagi yang memuat bilangan bulat negatif. Permasalahan atau kesulitan tersebut dapat terpecahkan dengan media pembelajaran misal garis bilangan, peraga mistar bilangan, boneka, kubus dan tabung istimewa. Dalam pembahasan ini kami menggunakan alat peraga/ media pembelajaran yaitu model mirip bentuk mata uang logam. Kita perlu memperhatikan masalah ekonomi sering dikaitkan dengan ketersediaannya uang. Tetapi modelnya sejumlah keping berbentuk juring setengah lingkaran. Media pembelajaran/ alat bantu model keping berbentuk juring setengah lingkaran dua warna yang berbeda. Misal satu keping merah/ orange (bertanda +) mewakili bilangan + 1 ( positif satu), satu keping kuning (bertanda -) mewakili bilangan - 1 ( negatif satu). Operasi penjumlahan dapat dilakukan dengan cara menyediakan atau meletakan atau memberi sejumlah keping yang sesuai. Sedangkan operasi pengurangan dapat dilakukan dengan cara mengambil sebanyak keping yang sesuai. Selanjutnya keping-keping yang berbeda warna dipasang-pasangkan, kemudian keping-keping yang tersisa warna apa ? kita hitung, sebanyak berapa keping ? Hasil yang diperoleh dari pembelajaran menggunakan media pembelajaran/ alat bantu dengan model keping ini memicu peserta didik untuk usaha kreatif dan menyenangkan. Ketuntasan belajar dapat dicapai. Suasana kelas menjadi hidup diskusinya. Kompetisi antar kelompok belajar terjadi sangat tinggi. Guru dapat memfokuskan diri dalam membantu peserta didik yang belum mampu. Pembelajaran dengan media pembelajaran model keping memudahkan penanaman konsep penjumlahan dan pengurangan bilangan bulat yang memuat bilangan negatif. Kata Kunci : MEA, Usaha kreatif, Kualitas bagus, model keping 1. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Persaingan Masyarakat Ekonomi Asean (MEA) berpengaruh pada persaingan bebas tenaga kerja dalam anggota negara-negara Asia Tenggara. Tenaga kerja yang berkualitas baguslah yang sangat berperanan penting dalam Masyarakat Ekonomi Asean. Oleh karena itu Tenaga Kerja Indonesia perlu disiapkan untuk bisa memenuhi kriteria kualitas bagus terutama lulusan SMK. Sementara siswa dan alumni SMK di daerah Pegunungan Kabupaten Gunungkidul sebagian besar belum memenuhi kriteria. Kompetensi yang Pendidikan Matematika Universitas Muhammadiyah Purworejo, Ruang Seminar UM Purworejo, 28 Mei 2016 433 dimiliki siswa SMK terutama pada mata pelajaran Matematika dan Bahasa Inggris masih sangatlah kurang. Materi mata pelajaran Matematika di Kelas X SMK juga ada bilangan Riil, termasuk operasi hitung dasar penjumlahan dan pengurangan. Siswadituntut mampu melakukan operasi hitung bilangan bulat dan bilangan pecahan serta menggunakannya dalam pemecahan masalah. Walaupun operasi penjumlahan dan pengurangan bilangan bulat sudah pernah dipembelajarkan pada waktu belajar di jenjang SD / MI dan SMP / MTs namun masih kami temukan siswa SMK mengalami kesulitan. Bahkan masih kami temukan ada siswa kelas XI , XII SMK Jurusan TKR belum mampu operasi hitung dasar penjumlahan dan pengurangan bilangan bulat. Pada hari Jumat, 22 April 2016 pembelajaran matematika kelas XI semester genap jurusan otomotif (TKR) materi pengantar Limit Fungsi yaitu laju perubahan atau perbandingan perubahan nilai fungsi terhadap perubahan variabel. Kami memberi kesempatan Siswauntuk membaca, mengamati contoh perhitungannya ada siswa yang bertanya bagaimana pendapatannya bisa itu ? Padahal siswa tersebut termasuk yang antusias konsentrasi terhadap pelajaran tinggi. B. Rumusan Masalah. Dari latar belakang yang saya temukan di kelas pembelajaran atau pekerjaan siswa untuk mempersiapkan tenaga kerja yang berkualitas, dalam Makalah dirumuskan masalah sebagai berikut : 1. Apakah pembelajaran penanaman konsep operasi hitung dengan media keping lebih konstruktif ? 2. Apakah pembelajaran penanaman konsep operasi hitung dengan media 434 keping dapat menumbuhkan karakter usaha kreatif ? C. Tujuan Makalah pembelajaran penanaman konsep operasi hitung dengan media keping bertujuan, sebagai berikut. 1. Mendeskripsikan penggunaan media keping dalam penanaman konsep operasi hitung. 2. Membangun konsep operasi hitung yang kuat terutama yang memuat bilangan negatif. D. Rencana Pemecahan Masalah 1. Penerapan penggunaan media keping untuk siswa kelas X Akuntansi tahun pelajaran 2015/2016. 2. Penerapan penggunaan media keping untuk khusus siswa kelas XI, XII TKR yang mengalami hambatan atau belum mencapai kompetensi operasi hitung sebagai kegiatan klinik. 3. Penerapan penggunaan media keping untuk siswa kelas X TKR tahun pelajaran 2016/2017 karena saya prediksi umumnya siswa jurusan TKR banyak yang belum mempunyai kompetensi operasi hitung pada bilangan negatif. Setelah penerapan penggunaan media keping siswa diminta menyimpulkan. Dari simpulan tersebut selanjutnya siswa diharuskan memanfaatkan kesempatan untuk melatih keterampilan berhitung melalui kegiatan “drill”. 2. KAJIAN LITERATUR DAN PENGEMBANGAN HIPOTESIS A. Kajian Teoretis Walau operasi hitung penjumlahan dan pengurangan sudah mulai dipembelajarkan sejak pendidikan jenjang SD / MI namun masih perlu dipelajari lagi pada Matematika SMA/SMK. 1. Penjumlahan adalah menggabungkan jumlah dua atau lebih angka / bilangan sehingga menjadi angka / Prosiding Seminar Nasional Matematika dan Pendidikan Matematika, “Internalisasi Nilainilai Berpikir Matematis Dalam Perannya di Era Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA)” 2. 3. 4. 5. bilangan yang baru. (Definisi Matematika Dasar, rumushitng.com). Pengurangan adalah mengambil sejumlah angka/ bilangan dari angka / bilangan tertentu. (Definisi Matematika Dasar, rumushitng.com). Bilangan Bulat negatif adalah bilangan bulat yang memiliki tanda negati (-) sebelum angkanya. (Anonim, matematikasmpkelas7.blogspot.com ) Media Pembelajaran adalah alat bantu proses belajar mengajar berupa segala sesuatu yang dapat dipergunakan untuk merangsang pikiran, perasaan, perhatian dan kemampuan atau keterampilan pembelajar sehingga dapat mendorong terjadinya proses belajar. (Hariyanto, 2012, Pengertian Media Pembelajaran diakses dari belajarpsikologi.com ) Keping adalah sesuatu yang berbentuk pipih atau tipis.contoh ; papan, mata uang logam. (http://kbbi.web.id/) B. Kerangka Berpikir Pembelajaran penanaman konsep penjumlahan dan pengurangan yang memuat bilangan bulat negatif bagi siswa yang kompetensi kognitifnya rendah sangat memerlukan alat bantu. Misal alat bantu yang saya usulkan yaitu model keping minimal dua macam warna berbeda. Dengan warna-warna yang berbeda tersebut merupakan upaya mengarahkan siswa tertarik untuk mengkontekstualkan hal yang abstrak. Belajar secara kontekstual atau konkrit lebih menyenangkan, mengaktifkan siswa untuk mudah memahami materi yang sulit. C. Hipotesis Hipotesis Makalah ini, sebagai berikut, 1. Pembelajaran penanaman materi penjumlahan konsep dan 2. penggurangan bilangan bulat dengan media keping lebih konstruktif. Pembelajaran penanaman konsep materi penjumlahan dan penggurangan bilangan bulat dengan media keping dapat memacu karakter siswa untuk menumbuhkan jiwa berkreaktif dan berusaha. 3. METODE PENELITIAN A. Rancangan Kegiatan Sebelum pembelajaran setiap siswa diberi tugas membuat model keping dari kertas berwarna minimal dua macam berbeda masing-masing 5 keping. Perangkat pembelajaran, intrumen pengamatan dan instrumen penilaian juga disiapkan. Metode pembelajaran secara diskusi dan percobaan. Siswa menyimpulkan dari hasil percobaan, selanjutnya dari simpulan tersebut siswa melatih keterampilan penjumlahan dan pengurangan tanpa media keping. B. Ruang Lingkup Materi pembelajaran penanaman konsep penjumlahan dan pengurangan pada himpunan bilangan bulat termasuk di dalamnya bilangan bulat negatif. C. Bahan dan Alat Bahan untuk media model keping : Kertas berwarna (2 macam warna berbeda). Sebenarnya saya menghendaki dari bahan plat logam yang bermagnet tetapi belum ada sponsori atau pihak lain yang membantu pengadaannya. Alat; gunting atau cuter untuk membuat media model keping, instrumen pengamatan, intrumen angket dan intrumen penilaian. D. Tempat Ruang kelas atau tempat dimana bisa untuk belajar. Pendidikan Matematika Universitas Muhammadiyah Purworejo, Ruang Seminar UM Purworejo, 28 Mei 2016 435 E. Teknik Pengumpulan Data Teknik pengumpulan data menggunakan pengamatan, mengambil angket dan Penilaian 4. HASIL DAN PEMBAHASAN Sebelum pemaparan hasil dan pembahasan disampaikan contoh pembelajaran penanaman konsep penjumlahan dan pengurangan bilangan bulat ( termasuk bilangan bulat negatif) melalui slide presentasi. Hasil prestasi belajar pembelajaran sebagai berikut : Kelas X Ak2 X TKR X BB Jumlah siswa 24 Perse ntase Tunt as Penil aian ke 1 Persenta se Tuntas Penilaian ke 2 79,00 87,50 setelah Keterang an Tidak mengajar siswa kelas tersebut Tidak mengajar siswa kelas tersebut untuk berpikir bagaimana bisa mengambil sejumlah keping warna tertentu ? Siswa akan berusaha untuk mendapatkan telur ( sebutan lain bilangan nol ). Makalah ini tidak membahas telur apa ? dan bagaimana cara mendapatkan telur tersebut ? Model keping ini sengaja saya buat juga untuk lintas mata pelajaran lain misal Fisika, Kimia dan Biologi. Pada ilmu Fisika salah satunya ada logam bermagnet muatan positif dan negatif. Sifat Logam bermagnet inilah saya memberikan insprasi usaha perekonomian teknik pertanian dan kebesihan. Yang mana juga ada pemakalah yang mengambil judul terkaitan raskin. Bagaimana usaha produksi beras / padi yang berkualitas bagus dan bersih dari kotoran batu pasir dan lain-lainnya. 5. KESIMPULAN Jika semua siswa sudah siapkan peralatan pembelajarannya maka penanaman konsep penjumlahan dan pengurangan yang memuat bilangan bulat negatif sulit dipahami akan menjadi terasa mudah menggunakan media model keping. Siswa akan mempunyai bangunan konsep penjumlahan dan pengurangan bilangan yang kuat sehingga tidak segera lupa. Disamping itu muncul karakter siswa jiwa kreaktif dan jiwa ingin berusaha. Manfaat dari sebagai berikut; hasil Makalah ini, ada pembelajaran penanaman konsep penjumlahan bilangan bulat yang memuat bilangan bulat negatif muncul karakter siswa mampu memasang keping yang sesuai ketentuan diharapan siswa besok mampu memilih pasangan patner kerja atau usaha yang bagus. 1. Bagi guru; a. Sebagai bahan perbaikan pembelajaran yang lebih konstruktif. b. Sebagai perbendaharaan media pembelajaran. c. Sebagai wahana klinik bagi siswa yang belum mempunyai kompetensi operasi hitung. Penanam konsep pengurangan bilangan bulat yang bilangan pengurangnya lebih besar dari yang dikurangi , yang pengurangnya bilangan negatif siswa terpacu 2. Bagi Siswa; a. Siswa meningkatkan belajarnya. 436 prestasi Prosiding Seminar Nasional Matematika dan Pendidikan Matematika, “Internalisasi Nilainilai Berpikir Matematis Dalam Perannya di Era Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA)” b. Siswa dapat mengikuti pembelajaran yang menarik. c. Siswa dapat meningkatkan kompetensinya. 3. Bagi sekolah a. Memiliki inventaris media pembelajaran. b. Memiliki guru yang profesional dalam mengelola pembelajaran sesuai perkembangan zaman. 4. Masyarakat, Dunia usaha atau peneliti lain. Tercipta tenaga kerja yang kreatif dan berjiwa wirausaha (enterpheuner). 6. DAFTARPUSTAKA Tim Penyusun, 2011, Bridging Course Mata Pelajaran Matematika , Depdiknas Republik Indonesia. Anonim, Definisi Matematika Dasar, rumushitng.com Anonim, matematikasmpkelas7.blogspot.co m Hariyanto, 2012, Pengertian Media Pembelajaran diakses dari belajarpsikologi.com http:/kbbi.web.id/ (online) Pendidikan Matematika Universitas Muhammadiyah Purworejo, Ruang Seminar UM Purworejo, 28 Mei 2016 437 OPTIMALISASI APERSEPSI PEMBELAJARAN MATEMATIKA DENGAN CONCEPT MAPPING Aflah Mufidatul Mahmudah1), Caswita2) Universitas Lampung 1 email: [email protected] 2email: [email protected] Abstrak Concept Mapping merupakan suatu teknik yang telah digunakan secara ekstensif dalam pendidikan. Concept Mapping diilhami oleh teori belajar asimilasi kognitif Ausubel bahwa belajar bermakna terjadi dengan mudah apabila konsep – konsep baru dimasukan ke dalam konsep – konsep yang lebih inklusif, dengan kata lain proses belajar terjadi bila siswa mampu mengasimilasi yang ia miliki dengan pengetahuan yang baru. Beberapa penelitian tindakan dan eksperimen menyatakan concept mapping lebih efektif daripada pembelajaran yang menggunakan model pembelajaran konvensional terhadap pemahaman konsep, komunikasi matematika dan kualitas pembelajaran. Kami mencoba untuk mencari tahu pengaruh concept mapping terhadap fase apersepsi dalam pembelajaran matematika. Pada kegiatan pembelajaran, apersepsi merupakan proses menghubungkan pengetahuan lama dengan pengetahuan baru. Apersepsi dalam pembelajaran matematika merupakan kegiatan untuk memunculkan ketertarikan siswa terhadap konten, atau sekedar mengingat kembali konten yang berkaitan dan dilakukan pada tahap awal pembelajaran. Ketidakmampuan siswa menemukan konsep yang tepat dalam menyelesaikan masalah matematika, sangat dipengaruhi oleh kurangnya penekanan informasi pada saat apersepsi, sehingga tujuan dari pembelajaran itu tidak tercapai atau tidak sesuai dengan harapan. Concept Mapping menyediakan bantuan visual konkret untuk membantu mengorganisasikan informasi sebelum informasi tersebut dipelajari. Concept mapping membuat siswa belajar lebih mudah dan ringkas, sehingga membantu meningkatkan daya ingat siswa dalam pembelajaran. Kata Kunci: Apersepsi, Pembelajaran Matematika,Concept Mapping PENDAHULUAN Pembelajaran merupakan proses interaksi peserta didik dengan pendidik dan sumber belajar pada suatu lingkungan belajar. Kegiatan pembelajaran merupakan inti dari pelaksanaan kurikulum yang bertujuan untuk melihat perubahan sikap, perilaku, dan keterampilan yang dimiliki peserta didik setelah mengikuti proses pembelajaran. Berdasarkan Permendikbud Nomor 65 Tahun 2013 tentang Standar Proses Pendidikan Dasar dan Menengah dinyatakan bahwa pelaksanaan proses pembelajaran merupakan implementasi dari rencana pelaksanaan pembelajaran (RPP) meliputi kegiatan pendahuluan, kegiatan inti, dan kegiatan penutup. Pendahuluan merupakan kegiatan awal dalam suatu 438 kegiatan pembelajaran yang bertujuan untuk membangkitkan motivasi dan memfokuskan perhatian peserta didik untuk berpartisipasi aktif dalam proses pembelajaran. Sedangkan kegiatan inti merupakan serangkaian kegiatan utama dalam pembelajaran yang dilakukan untuk mencapai tujuan pembelajaran. Sementara kegiatan penutup adalah kegiatan yang dilakukan untuk mengakhiri aktivitas pembelajaran, yang meliputi pembuatan rangkuman atau kesimpulan, refleksi, penilaian, umpan balik, dan tindak lanjut. Menurut Mansur (2013: 13) kegiatan pembelajaran seharusnya selalu dimulai dengan apersepsi untuk memosisikan peserta didik pada kondisi (zona) alfa sebelum masuk pada kegiatan inti pembelajaran. Pada Prosiding Seminar Nasional Matematika dan Pendidikan Matematika, “Internalisasi Nilainilai Berpikir Matematis Dalam Perannya di Era Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA)” kondisi alfa peserta didik dalam keadaan siap menerima instruksi atau materi pelajaran yang disampaikan oleh pendidik sehingga peserta didik lebih mudah menyerap materi pelajaran dengan demikian, target pencapaian kompetensi atau tujuan pembelajaran yang telah ditetapkan lebih mudah tercapai sehingga pembelajaran menjadi lebih efektif.Apersepsi dimunculkan untuk memberikan pengantar pembelajaran yang terpadu pada kompetensi yang hendak dicapai. Di ranah pendidikan dasar, apersepsi bersifat tematik. Artinya, kegiatan tersebut dilakukan secara holistic dalam kajian keilmuan. Maka, pemilihan apersepsi harus tepat sesuai kompetensi yang diharapkan(Saifudin: 2014). Peserta didik dapat dianggap memiliki kopetensi apabila telah memiliki perubahan pada aspek pengetahuan, sikap dan keterampilan. Perubahan aspek pengetahuan peserta didik, ditandai dengan perubahan proses berfikir dan memahami konsep. Dalam pembelajaran matematika peserta didik masih ada saja yang belum mampu memahami konsep matematika, bahkan pada bagian yang paling sederhana sekalipun, banyak konsep yang dipahami secara keliru sehingga matematika dianggap sebagai ilmu yang sukar, ruwet, dan sulit. Ketidakmampuan siswa menemukan konsep yang tepat dalam menyelesaikan masalah matematika, sangat dipengaruhi oleh kurangnya penekanan informasi pada saat apersepsi, sehingga tujuan dari pembelajaran itu tidak tercapai atau tidak sesuai dengan harapan. Detunt (2016: 20) mengatakan konsep dapat diperoleh peserta didik melalui pengetahuan awal peserta didik itu sendiri. Kemudian konsep-konsep tersebut dapat dikembangkan menjadi kata-kata kunci. Setelah itu, kata-kata kunci saling dihubungkan menjadi semacam peta. Peta yang dimaksud dalam Concept Mapping berupa diagram yang dihubungkan dengan garis garis. Diagram tersebut kemudian dituliskan kata kata kunci materi pelajaran.Menurut Pandley (dalam Yunita, 2014: 2) peta konsep merupakan media pendidikan yang dapat menunjukkan konsep ilmu yang sistematis, yaitu dimulai dari inti permasalahan sampai pada bagian pendukung yang mempunyai hubungan satu dengan lainnya, sehingga dapat membentuk pengetahuan dan mempermudah pemahaman suatu topik pelajaran. Pendapat lain menyebutkan bahwa pembuatan peta konsep (Concept Mapping)merupakan suatu teknik untuk mengungkapkan konsep-konsep dan proposisi-proposisi yang ada dalam struktur kognitif anak. Pengungkapan ini dapat digunakan guru untuk mengetahui apa yang telah diketahui siswa mengenai topik yang akan di ajarkannya (Novak dalam Rosmiati,2011:12) Berdasarkan latar belakang tersebut, Concept Mappingmerupakan strategi yang dapat membantu peserta didik menghasilkan pembelajaran bermakna dalam kelas. Concept Mappingmenyediakan bantuan visual yang nyata untuk membantu mengorganisasikan informasi sebelum informasi itu di sampaikan. Beberapa penelitian tindakan dan eksperimen menyatakan concept mapping lebih efektif daripada pembelajaran yang menggunakan model pembelajaran konvensional terhadap pemahaman konsep, komunikasi matematika dan kualitas pembelajaran. Kami mencoba untuk memaparkan tentang pengaruh concept mapping terhadap fase apersepsi dalam pembelajaran matematika.Secara teoritis artikel ini diharapkan dapat memberikan sumbangan pengetahuan bagi pendidikan matematika tentang pengoptimalisasian apersepsi dengan menggunakan concept mapping. Pendidikan Matematika Universitas Muhammadiyah Purworejo, Ruang Seminar UM Purworejo, 28 Mei 2016 439 BAGIAN INTI Apersepsi Apersepsi berasal dari kata ”Apperception” yang berarti menyatupadukan dan mengasimilasikan suatu pengamatan dengan pengalaman yang telah dimiliki. Apersepsi dilakukan di awal pembelajaran mempunyai fungsi sebagai pengantar pembelajaran. Menurut Mansur (2015: 13)Kegiatan pembelajaran seharusnya selalu dimulai dengan apersepsi untuk memosisikan peserta didik pada kondisi (zona) alfa sebelum masuk pada kegiatan inti pembelajaran. Pada kondisi alfa peserta didik dalam keadaan siap menerima instruksi atau materi pelajaran yang disampaikan oleh pendidik dengan demikian, target pencapaian kompetensi atau tujuan pembelajaran yang telah ditetapkan lebih mudah tercapai dan pembelajaran menjadi lebih efektif. Apesepsi merupakan penyelarasan pemahaman yang berguna untuk mengabungkan pemahaman awal dengan pemahaman baru. Konsep Herbart ini menjadi tumpuan awal seorang guru untuk memantapkan langkah dalam proses pembelajaran. Pembelajaran yang dilakukan guru menjadi terpadu dan sinkron terhadap pemahaman siswa jika proses apersepsi in dilakukan dengan baik. Baik yang dimaksud adalah mampu menciptakan pemahaman siswa yang logis, sistematis, dan struktural (Herbart dalam Saifudin, 2008). Menurut Nurcahyo (2014: 48) sebelum melakukan apersepsi, seorang guru harus memahami 4 pilar pembentuk apersepsi pembelajaran: 1. Menciptakan alfa zone. Setelah bertatap muka dengan siswa, mulailah menuju kondisi awal yang menyenangkan. Kesiapan paling untuk memasukkan fakta dan 440 informasi. Dalam keadaan ini, pergerakan dendrite otak sudah harmonis. Menurut Munif Chatib, Stimulus khusus pada awal belajar yang bertujuan meraih perhatian dari para siswa adalah apersepsi (Munif Chatib, 2011: 93). 2. Warmer Menghangatkan ingatan yang sudah lalu. Jika pertemuan itu bukan yang pertama, warmer dimaksukan sebagai pembentuk pengetahuan konstruktivisme, yakni membangun makna baru berdasar pengetahuan yang sudah dimiliki siswa. 3. Pre-teach. Pre teach ini memberi informasi secara manual, bagaimana aturan diberlakukan. 4. Scene setting. Kondisi scene setting yang paling dekat dengan strategi. Sering pula disebut sebagai hook atau pengait menuju mata pelajaran inti.Berdasarkan beberapa sumber dalam tulisan ini, apersepsi merupakan asimilasi pengetahuan lama dengan pengetahuan baru. Pengetahuan tersebut diinformasikan kepada peserta didik, sebagai pengantar pembelajaran. Apersepsi berisikan tentang mengungkap kembali materi yang telah diberikan, deskripsi sigkat mengenai materi yang akan diberikan, dan relevansi materi yang telah dibahas dengan meteri yang akan diberikan. Prosiding Seminar Nasional Matematika dan Pendidikan Matematika, “Internalisasi Nilainilai Berpikir Matematis Dalam Perannya di Era Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA)” Pembelajaran terkadang merupakan suatu kesatuan materi yang saling berhubungan. Dengan melakukan apersepsi maka akan menyadarkan siswa bahwa materi yang akan dipelajari memiliki relevansi dengan materi yang telah dipelajari.Menurut Nurhasnawati (2013), apersepsi bertujuan untuk membentuk pemahaman. Guru akan mengajarkan materi pelajaran yang baru perlu dihubungkan dengan hal-hal yang telah dikuasai siswa atau mengaitkannya dengan pengalaman siswa terdahulu serta sesuai dengan kebutuhan untuk mempermudah pemahaman.Apersepsi meliputi kegiatan, (a) pemaparan deskripsi singkat dengan memberi informasi singkat tentang isi pelajaran yang akan diajarkan; (b) eksplorasi, mengungkap kembali materi yang telah diajarkan, dengan cara menanyakan perihal materi sebelumnya; (c) mengulas relevansi materi yang ditanyakan dengan materi yang akan diajarkan; dan (d) menghubungkan materi yang telah diajarkan dengan materi yang akan segera diajarkan (Nasution dalam Saifudin, 2014:182). Apersepsi Pembelajaran Matematika Menurut Nurcahyo (2014: 208) apersepsi berarti penghayatan tentang segala sesuatu yang menjadi dasar untuk menerima ide-ide baru. Secara umum fungsi apersepsi dalam kegiatan pembelajaran adalah untuk membawa dunia siswa ke dunia guru. Artinya, mengaitkan apa yang telah diketahui atau di alami dengan apa yang akan dipelajari, sehingga siswa lebih termotivasi untuk mengikuti pembelajaran. Selain materi, guru sebaiknya memahami bahwa peserta didik memiliki pengalaman, sikap dan kebiasaan yang berhubungan terhadap konsep yang akan diajarkan guru. Sebelum materi tertentu disampaikan, seorang guru sebaiknya mengaitkan terlebih dahulu pengalaman, sikap dan kebiasaan yang dimiliki siswa dan berkaitan dengan materi yang akan diajarkan. Namun, kebanyakan guru belum bisa atau kurang dalam membangun pengetahuan awal pada siswa. Sehingga banyak yang beranggapan bahwa kegiatan belajar mengajar adalah untuk memperoleh prestasi nilai yang baik saja tanpa diimbangi oleh pemahaman konsep dari materi yang telah disampaikan oleh guru. Matematika merupakan suatu disiplin ilmu yang terdiri dari kumpulan konsep-konsep. Memahami ilmu matematika, sama artinya dengan menguasai berbagai konsep dalam matematika. Menurut Skemp (dalam Kansil: 2008) “The particular problem (but also the power) of mathematics lies in its great abstractness and generality, achieved by successive generations of particularly intelligent individuals each of whom has been abstracting from, or generalizing, concepts of earlier generations”. Masalah-masalah khusus matematika memiliki keabstrakan dan sifat yang sangat umum, dimana generasi sekarang mendapatkannya dari hasil abstraksi, generalisasi, dan konsep-konsep yang telah dilakukan oleh generasi sebelumnya. Banyaknya konsep-konsep yang telah ada dan kurangnya minat seseorang terhadap pembelajaran matematika, membuat mereka memilih hanya menghafal saja konsep yang ada tanpa mengetahui secara lebih mendalam maksud dan tujuan konsep tersebut, sehingga proses belajar mengajar menjadi kurang bermakna. Concept Mapping Peta konsep atau concept mapping adalah suatu cara yang digunakan untuk membuat konsep atau kata-kata kunci dari suatu pokok persoalan sebagai rumusan inti pelajaran.Concept mappingmemperlihatkan bagaimana konsep-konsep saling terkait. Menurut Habibah (2014: 5) dalam mengajar, Pendidikan Matematika Universitas Muhammadiyah Purworejo, Ruang Seminar UM Purworejo, 28 Mei 2016 441 guru haruslah menanamkan suatu konsep pada diri siswa. Siswa dibimbing menemukan konsep-konsep dan memberikan nilai pada gagasan-gagasan semula dari siswa. Sebenarnya apa yang siswa lihat, dengar, pikir, sebagian tergantungpada konsep/gagasan-gagasan yang telah dimiliki siswa sebelumnya. Bimbingan dan pengarahan dari guru, dapat membantu siswadalam menuangkan konsep-konsep yang dimilikinya untuk membangun suatu bagan skematis yang disebut peta konsep. Konsep dapat diperoleh siswa melalui pengetahuan awal siswa itu sendiri. Kemudian konsep-konsep tersebut dapat dikembangkan menjadi kata-kata kunci. Setelah itu, kata-kata kunci saling dihubungkan menjadi semacam peta. Peta yang dimaksud dalam concept mapping berupa diagram yang dihubungkan dengan garis-garis. Diagram tersebut kemudian dituliskan menjadi kata-kata kunci materi pelajaran (Detunt, 2016: 20). Hal yang sama juga dijelaskan olehSuprijono namun dengan tambahan menggunakan media kartu (2012: 106) langkah-langkah pembelajaran yang menggunakan teknik concept mapping yaitu: 1) guru mempersiapkan potongan kartu-kartu yang bertuliskan konsep-konsep utama, 2) guru membagikan potongan-potongan kartu yang telah dituliskan konsep utama kepada peserta didik, 3) guru memberikan kesempatan pada peserta didik untuk mencoba beberapa kali membuat sebuah peta yang menggambarkan antar konsep, 4) guru memastikan peserta didik membuat garis penghubung antar konsep-konsep tersebut. tersebut tidak berupa belajar yang sesuka hati, tetapi pembelajar harus memilih untuk mencocokkan atau menghubungkan pengetahuan baru ke dalam struktur kognitif yang ada. Di samping itu belajar bermakna juga dapat dilakukan dengan cara substantive yaitu pembelajar dapat mengidentifikasi konsep-konsep kunci dan menghubungkan dengan pengalaman aktual. Alberta (dalam Yunita, 2014: 2) menjelaskan, bahwa peta konsep dapat digunakan sebagai alat untuk memecahkan masalah di dalam pendidikan sebagai pilihan solusi atau sebagai alternatif. Pembiasaan dalam penggunaan peta konsep dalam pendidikan juga dapat menambah keuntungan pada proses pembelajaran. Sholahudin (dalam Yunita, 2014: 2), memanfaatkan peta konsep sebagai alat untuk mengetahui apa yang telah diketahui oleh siswa sekaligus menghasilkan proses belajar bermakna. Sehingga, keuntungan peta konsep dijadikan alat studi untuk mengevaluasi pelajaran atau rencana di dalam suatu pelajaran, atau keseluruhan kurikulum. Habibbah (2014: 9) menunjukan pengaruh concept mapping terhadap pemahaman konsep siswa dalam pembelajaran matematika dengan sebuah grafik. Gambar di bawah ini menunjukkan grafik peningkatan pemahaman konsep siswa dalam belajar matematika. Adapun data hasil peningkatan indikator pemahaman konsep yang diamati disajikan dalam grafik sebagai berikut: Menurut Kansil (2008: 1) Peta konsep merupakan suatu alat yang efektif untuk menghadirkan secara visual hirarki generalisasi–generalisasi dan untuk mengekspresikan keterkaitan proposisi– proposisi materi dalam sistem konsep– konsep yang saling berhubungan. Dalam proses belajar bermakna pengaitan informasi 442 Prosiding Seminar Nasional Matematika dan Pendidikan Matematika, “Internalisasi Nilainilai Berpikir Matematis Dalam Perannya di Era Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA)” batasan waktu untuk pembuatan Concept Mapping, kemudian mengingatkan peserta didik untuk menuangkan Concept Mapping tersebut menjadi sebuah karangan sederhana. Concept Mapping Dalam Pembelajaran Matematika Grafik 1. Pemahaman Matematika dengan Mapping Konsep Concept Grafik di atas menunjukkan perubahan hasil belajar yang berkaitan dengan pemahaman konsep matematika dalam pembelajaran setelah dilakukan tidakan selama dua putaran (2 siklus). Pemahaman konsep siswa pada putaran pertama sampai dengan putaran terakhir mengalami peningkatan. Indikator menjawab pertanyaan guru dan mengerjakan soal di papan tulis secara tepat meningkat menjadi 21 siswa (70%). Indikator memberikan tanggapan tentang jawaban peserta didik lain meningkat menjadi 20 siswa (66,67%). Indikator membuat kesimpulan yang meliputi mendefinisikan konsep, menemukan sifat-sifat dari konsep dan memberikan contoh meningkat menjadi 16 siswa (53,33%). Hernacki dan Bobbi (2003: 172) menyatakan terdapat beberapa kelebihan menggunakan teknik Concept Mapping, yaitu: 1) lebih fleksibel, 2) dapat memusatkan perhatian peserta didik, 3) meningkatkan pemahaman dan 4) menyenangkan. Kelemahan teknik ini yaitu pada saat proses pembelajaran peserta didik lebih terfokus pada pembuatan Concept Mapping. Solusinya adalah dengan mengatur waktu dari guru. Guru harus memberikan Apersepsi Kegiatan pendahuluan merupakan kegiatan yang harus dilakukan dalam pembelajaran. Pada kegiatan pendahuluan guru mengucapkan salam, mengecek kehadiran, menanyakan ketidakhadiran peserta didik apabila ada yang tidak hadir, dan melakukan apersepsi, namun masih banyak guru dalam kegiatan pembelajaran tidak mengawalinya dengan apersepsi yang merupakan inti dari kegiatan pendahuluan. Beberapa diantara mereka belum memahami konsep apersepsi itu sendiri. Mereka menganggap bahwa menyampaikan salam, mengecek kehadiran siswa atau menyampaikan tujuan pembelajaran yang akan dicapai di awal pembelajaran sebagai apersepsi. Padahal tidak semua kegiatan yang dilakukan pada tahap pendahuluan itu adalah apersepsi. Menurut Mansur (2015: 12) Belajar adalah upaya untuk membentuk hubungan stimulus dan respons sebanyak-banyaknya. Keterkaitan stimulus dengan respon dalam pembelajaran dapat dilihat dalam hukumhukum belajar sebagai berikut: 1) Kesiapan,berdasarkan hukum belajar, stimulus dan respons akan mudah terbentuk manakala ada kesiapan dalam diri individu 2) Latihan, berdasarkan hukum belajar, stimulus dan respon akan semakin kuat manakala terus menerus dilatih atau diulang, sebaliknya hubungan stimulus respon akan semakin lemah manakala tidak pernah diulang. Implikasi dari hukum ini adalah makin sering suatu pelajaran diulang, maka akan semakin dikuasai pelajaran, kuat atau Pendidikan Matematika Universitas Muhammadiyah Purworejo, Ruang Seminar UM Purworejo, 28 Mei 2016 443 lemahnya hubungan stimulus dan respons, tergantung pada akibat yang ditimbulkannya. Apabila stimulus yang diberikan seseorang mendatangkan kesenangan, maka respons tersebut akan dipertahankan atau diulangi, dan apabila respons yang diberikan mendatangkan akibat yang tidak mengenakkan, maka respons tersebut akan dihentikan dan tidak akan diulangi lagi. Implikasi dari hukum ini adalah apabila mengharapkan agar seseorang dapat mengulangi respon yang sama, maka harus diupayakan agar menyenangkan dirinya, contoh dengan memberikan hadiah atau pujian. Sebaliknya apabila kita mengharapkan seseorang untuk tidak mengulangi respons yang diberikan, maka harus diberikan sesuatu yang tidak menyenangkan, contohnya dengan memberi hukuman. Setelah bertatap muka dengan siswa, guru mulai membawa siswa menuju kondisi awal yang menyenangkan. Kesiapan untuk memasukkan fakta dan informasi. Dalam keadaan ini, pergerakan dendrite otak sudah harmonis. Stimulus khusus pada awal belajar yang bertujuan meraih perhatian dari para siswa adalah apersepsi (Chatib dalam Nurcahyo, 2011: 93). Stimulus yang diberikan oleh guru terhadap siswa haruslah berupa informasi menarik yang dapat mengarahkan siswa berfikir secara terbuka, serta memudahkan dalam mencatat materi pelajaran sesuai alur pemikiran siswa sendiri agar lebih mudah untuk diingat, difahami, dan dikembangkan. Pada kegiatan apersepsi peserta didik melakukan pengamatan dengan penuh perhatian sambil memahami serta mengolah tanggapan-tanggapan baru dan memasukkannya ke dalam kategorial. Tanggapan-tanggapan baru itu dapat dipengaruhi oleh bahan apersepsi yang telah ada. Detunt (2016: 20) mengatakan konsep dapat diperoleh siswa melalui pengetahuan 444 awal siswa itu sendiri. Kemudian konsepkonsep tersebut dapat dikembangkan menjadi kata-kata kunci. Setelah itu, kata-kata kunci saling dihubungkan menjadi semacam peta. Peta yang dimaksud dalam Concept Mapping berupa diagram yang dihubungkan dengan garis garis. Diagram tersebut kemudian dituliskan kata kata kunci materi pelajaran. Langan (dalam Detunt, 2008: 30) menjelaskan bahwa “mapping is another that can be used to generate material for an easy”. Pendapat tersebut dapat dimaknai bahwa pemetaan merupakan salah satu strategi yang dapat digunakan untuk menghasilkan materi sebuah tulisan. Melalaui pemetaan kata-kata kunci itulah pemahaman siswa mengenai konsep kebahasaan bisa terwujud sehingga mampu menuangkannya berupa ide-ide yang sudah dimiliki kedalam sebuah tulisan sehingga dapat di artikan, concept mapping merupakan ilustrasi grafis konkrit yang mengindikasikan bagaimana sebuah konsep tunggal dihubungkan ke konsep-konsep lain pada kategori yang sama.Siswa dapat dianggap memiliki kopetensi apabila telah memiliki perubahan pada aspek pengetahuan, sikap dan keterampilan. Perubahan aspek pengetahuan siswa, ditandai dengan perubahan proses berfikir dan memahami konsep. Dalam pembelajaran matematika peserta didik masih ada saja yang belum mampu memahami konsep matematika, bahkan pada bagian yang paling sederhana sekalipun, banyak konsep yang dipahami secara keliru sehingga matematika dianggap sebagai ilmu yang sukar, ruwet, dan sulit. Ketidakmampuan siswa menemukan konsep yang tepat dalam menyelesaikan masalah matematika, sangat dipengaruhi oleh kurangnya penekanan informasi pada saat apersepsi, sehingga tujuan dari pembelajaran itu tidak tercapai atau tidak sesuai dengan harapan. Informasi baru yang di hubungkan dengan informasi relevan yang sudah Prosiding Seminar Nasional Matematika dan Pendidikan Matematika, “Internalisasi Nilainilai Berpikir Matematis Dalam Perannya di Era Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA)” diketahui akan menjadi pemahaman baru yang lebih kuat dibandingkan pemahaman sebelumnya. Konsep-konsep yang ada dalam struktur kognitif proses belajar bermakna mengalami modifikasi dan terdiferensiasi lebih lanjut yang diakibatkan oleh asimilasi pengetahuan baru selama belajar bermakna berlangsung. Inilah yang menyebabkan materi – materi yang dipelajari dengan cara bermakna akan relative lebih lama mengendap dibandingkan dengan materi – materi yang hanya dipelajari secara hafalan. Mengingat betapa pentingnya konsep dalam matematika, maka perlu adanya suatu usaha untuk merencanakan pembelajaran konsepkonsep yang sesuai dengan materi, mengingat kembali konsep-konsep yang telah dipelajari, dan merevisi kembali jika ada kesalahan-kesalahan konsep. Salah satu bentuk yang dapat dilakukan adalah dengan membuat peta konsep sehingga materi-materi yang dipelajari mempunyai jaringan-jaringan konsep yang mudah untuk didapatkan (diingat) kembali dan konsep-konsep itu dapat bertahan lebih lama serta belajar pun akan lebih bermakna. Concept mappingsebagai satu teknik telah digunakan secara ekstensif dalam pendidikan. Teknik concept mapping ini diilhami oleh teori belajar asimilasi kognitif (subsumption) David P. Ausubel yang mengatakan bahwa belajar bermakna (meaningful learning) terjadi dengan mudah apabila konsep-konsep baru dimasukan ke dalam konsep-konsep yang lebih inklusif. Dengan kata lain, proses belajar terjadi bila siswa mampu mengasimilasikan pengetahuan yang ia miliki dengan pengetahuan yang baru (Ambarwati, 2013: 52). Salah satu cara menyusun peta konsep adalah secara hirarki, artinya konsep – konsep yang lebih umum berada dipuncak peta sedangkan konsep – konsep yang sifatnya lebih khusus berada di bawahnya. Demikian disusun seterusnya sehingga makin kebawah konsep–konsep yang dikaitkan adalah yang lebih khusus lagi. Selain itu dapat juga disusun dengan cara konsep utama atau konsep yang lebih umum berada ditengah – tengah jaringan konsep – konsep yang lebih khusus atau konsep yang lebih khusus mengelilingi konsep utama. Menurut Margono (2010: 67) Penerapan metode pembelajaran concept mapping dalam kegiatan pembelajaran akan menambah variasi dalam kegiatan pembelajaran sehingga dapat menarik perhatian siswa dan membuat siswa lebih bersemangat dalam kegiatan pembelajaran. Ketertarikan peserta didik terhadap suatu pembelajaran merupakan modal awal seorang guru dalam menyampaikan materi agar terciptanya pembelajaran bermakna. PENUTUP Berdasarkan pembahasan diatas, dapat disimpulkan bahwa apesepsi merupakan asimilasi pengetahuan lama dengan pengetahuan baru. Pengetahuan tersebut diinformasikan kepada siswa, sebagai pengantar pembelajaran. Apersepsi berisikan tentang mengungkap kembali materi yang telah diberikan, deskripsi sigkat mengenai materi yang akan diberikan, dan relevansi materi yang telah dibahas dengan meteri yang akan diberikan. Sebelum melakukan apersepsi, seorang guru harus memahami 4 pilar apresepsi yaitu: 1) Alfa Zone (keadaan yang menyenangkan) 2) Warming (menghangatkan ingatan yang sudah lalu) 3) Pre – Teach (Aturan pedagogis) 4) Scene Setting. (pengait menuju mata pelajaran inti). Dalam pembelajaran matematika, apersepsi dilakukan dengan mengaitkan pemahaman konsep dan pengalaman yang dimiliki siswa.Konsep dapat diperoleh siswa melalui pengetahuan awal siswa itu sendiri. Kemudian konsepkonsep tersebut dapat dikembangkan menjadi kata-kata kunci. Setelah itu, kata-kata kunci saling dihubungkan menjadi semacam peta. Pendidikan Matematika Universitas Muhammadiyah Purworejo, Ruang Seminar UM Purworejo, 28 Mei 2016 445 Peta yang dimaksud dalam concept mappingberupa diagram yang dihubungkan dengan garis garis. Diagram tersebut kemudian dituliskan kata kata kunci materi pelajaran.Concept Mapping menyediakan bantuan visual konkret untuk membantu mengorganisasikan informasi sebelum informasi tersebut dipelajari. Concept mapping membuat siswa belajar lebih mudah dan ringkas, sehingga membantu meningkatkan daya ingat siswa dalam pembelajaran. Cara menyusun peta konsep adalah secara hirarki, artinya konsep – konsep yang lebih umum berada dipuncak peta sedangkan konsep – konsep yang sifatnya lebih khusus berada di bawahnya. Demikian disusun seterusnya sehingga makin kebawah konsep– konsep yang dikaitkan adalah yang lebih khusus lagi. Selain itu dapat juga disusun dengan cara konsep utama atau konsep yang lebih umum berada ditengah – tengah jaringan konsep – konsep yang lebih khusus atau konsep yang lebih khusus mengelilingi konsep utama. Kelebihan menggunakan teknik Concept Mapping, yaitu: 1) lebih fleksibel, 2) dapat memusatkan perhatian siswa, 3) meningkatkan pemahaman dan 4) menyenangkan. Kelemahan teknik ini yaitu pada saat proses pembelajaran peserta didik lebih terfokus pada pembuatan concept mapping. Solusinya adalah dengan mengatur waktu dari guru. Guru harus memberikan batasan waktu untuk pembuatan Concept Mapping, kemudian mengingatkan peserta didik untuk menuangkan Concept Mapping tersebut menjadi sebuah karangan sederhana. DAFTAR RUJUKAN Khuluquiyah dan Arief, Alimufi. 2016. Pengaruh Penerapan Zona Alfa Dengan Kegiatan Brain Gym Terhadap Hasil Belajar Siswa Pada Materi Alat-Alat Optikdi Kelas VIII 446 SMP Islam Krembung Sidoarjo(online) (ejournal.unesa.ac.id/article/614/32/ article.pdf),diakses 29 April 2016 Ningsih. 2013. Perbedaan Pengaruh Pemberian Apersepsi Terhadap Kesiapan Belajar Siswa Mata Pelajaran IPS Kelas VII A (online) (jurnal.untan.ac.id/index.php/jpdpb/a rticle/view/2348), diakses 29 April 2016 Nurcahyom Jito. 2014. Pengaruh Apersepsi Visual Dan Minat BelajarSiswa Terhadap Prestasi Belajar Siswa Pada Matapelajaran Teori Proses Pembubutan Dasar di SMK N 2 Pengasih Kulon Progo. Universitas Negeri Yogyakarta. (online) (eprints.uny.ac.id/29695/1/jito%20nu rcahyo.pdf), diakses 29 April 2016 Margono, Tri. 2010. Implementasi Metode Concept Mapping DalamPembelajaran Matematika SebagaiUpayapeningkatan Keaktifan Belajar Matematika. Universitas Muhammadiyah Surakarta. (online)(eprints.ums.ac.id/11677/2/0 1._Skripsi_Lengkap.pdf), diakses 29 April 2016 Rahmawati, Hartati, Sri dkk. Penerapan Concept Mapping dengan Media Gambar untuk Meningkatkan Kualitas Pembelajaran IPA. (online) (journal.walisongo.ac.id/index.php/P henomenon/article/.../92/6) diakses 29 April 2016 HR, Mansur. 2015. Menciptakan Pembelajaran Efektif Melalui Apersepsi. Widyaiswara LPMP Provinsi Sulawesi Selatan. (online) (www.lpmpsulsel.net/.../327_Mencip takan%20pembelajaran%20efe), diakses 29 April 2016 Yunita, Sofyan, Ahmad, dkk. Pemanfaatan Peta Konsep (Concept Mapping) Untuk Meningkatkan Pemahaman Prosiding Seminar Nasional Matematika dan Pendidikan Matematika, “Internalisasi Nilainilai Berpikir Matematis Dalam Perannya di Era Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA)” Siswa Tentang Konsep Senyawa Hidrokarbon. UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. (online) (ournal.uinjkt.ac.id/index.php/edusai ns/article/.../1050/46), diakses 29 April 2016 Rosmiati. 2011. Penerapan Metode Concept Mapping Untuk Meningkatkan Hasil Belajar Pendidikan Agama Islam Pada Siswa Kelas V Sekolah Dasar Negeri 018 Pulau Lawas Kecamatan Bangkinang Seberang Kabupaten Kampar. Universitas Islam Negeri Sultan Syarif Kasim Riau. (online) (epository.uinsuska.ac.id/80/1/2011_2011150.pdf), diakses 29 April 2016 Choeiriyah, Laelinatul. 2015. Penerapan Metode Concept Mapping Untuk Meningkatkan Hasil Belajar Pendidikan Agama Islam Pada Siswa Kelas V Sekolah Dasar Negeri 018 Pulau Lawas Kecamatan Bangkinang Seberang Kabupaten Kampar. Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga. (online) (repository.uinsuska.ac.id/2314/), diakses 29 April 2016 Ambarwati, Wahyu. 2013. Penerapan Strategi Concept Mapping Berbasis Multimedia Untuk Meningkatkan Kualitas Pembelajaran Pkn Pada Siswa Kelas Iv Sdn Purwoyoso 06 Kota Semarang. Universitas Negeri Semarang. (online) (lib.unnes.ac.id/19782/1/1401409044 .pdf), diakses 29 April 2016 Setyani, Wahyu Marta. 2013. Peningkatan Kualitas Pembelajaran IPS Melalui Strategi Pembelajaran Concept Mapping Dengan Audiovisual Pada Siswa Kelas Ii Sdn Karanganyar 01 Kota Semarang. (online) (Peningkatan Kualitas Pembelajaran IPS Melalui Strategi Pembelajaran Concept Mapping Dengan Audiovisual Pada Siswa Kelas Ii Sdn Karanganyar 01 Kota Semarang. (online) (lib.unnes.ac.id/18056/1/1401409382 .pdf), diakses 29 April 2016 Henarcki, Mike dan Bobbi Deporter. 2003. Quantum Learning. Bandung: PT Mandiri Pustaka. Syaifudin, M. Fakhrur. 2015. Optimalisasi Apersepsi Pembelajaran Melalui Folklor Sebagai Upaya Pembentukan Karakter Siswa Sekolah Dasar. (online) (https://publikasiilmiah.ums.ac.id/ha ndle/11617/6068), diakses 29 April 2016 Habibah, Umi. 2014. Penerapan Concept Mapping Untuk Meningkatkan Pemahaman Konsep Matematika Pada Siswa Kelas Vii C Semester Gasal Smp Muhammadiyah 2 Surakarta Tahun Ajaran 2013 / 2014 (online) (Eprints.Ums.Ac.Id/27935/15/Naskah _Publikasi.Pdf), diakses 29 April 2016 Detunt, Hafiz Otmeikal. 2016 Keefektifan Penggunaan Teknik Concept Mapping Dan Teknik Concept Sentence Pada Pembelajaran Keterampilan Menulis Bahasa Jerman Peserta Didik Kelas Xi Ipa Sma Negeri 1 Minggir Sleman. (online) (eprints.uny.ac.id/30490, diakses 29 April 2016 Kansil, Y. Eka Yana. 2008. Peta Konsep Dan Peranannya Dalam Pembelajaran Matematika. (online) (journal.uny.ac.id/index.php/didaktik a/article/download/.../2711, diakses 29 April 2016 Chatib, Munif. 2012. Gurunya Manusia. Bandung: PT. Mizan Pustaka. Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nomor 65 Tahun 2013 tentang Standar Proses Pendidikan Dasar dan Menengah. (online) (bsnpindonesia.org/.../03.-A.-SalinanPermendikbud-No.-65-th), siakses 29 April 2016. Pendidikan Matematika Universitas Muhammadiyah Purworejo, Ruang Seminar UM Purworejo, 28 Mei 2016 447 APLIKASI TEKNOLOGI WEB 2.0 UNTUK MENDUKUNG PEMBELAJARAN KOLABORATIF Kuswari Hernawati FMIPA, Universitas Negeri Yogyakarta [email protected] Abstrak Pembelajaran kolaboratif adalah situasi dimana terdapat dua atau lebih orang belajar atau berusaha untuk belajar sesuatu secara bersama-sama. Pembelajaran terjadi melalui interaksi sosial dengan bantuan guru atau teman sejawat. Saat ini pembelajaran kolaboratif telah dilakukan dengan memnafaatkan Teknologi Informasi. Web 2.0 merupakan istilah yang diberikan untuk menggambarkan generasi kedua dari World Wide Web yang difokuskan pada kemampuan orang untuk berkolaborasi dan berbagi informasi secara online. Dalam makalah ini, akan dieksplorasi berbagai aplikasi teknologi web 2.0 yang menyediakan fasilitas pembelajaran secara kolaboratif, seperti edmodo, Class Dojo, Socrative, Google Classroom, Schoology dan Otus. Selain menyediakan fasilitas kolaborasi dalam pembelajaran baik antar siswa, pengajar dan orang tua, banyak fasilitas yang tersedia dengan aplikasi tersebut diantaranya adalah pembuatan assesmen, penilaian, pengecekan kehadiran, polling, penyimpanan di Google drive serta kemudahan untuk berbagi sumber (resource sharing) yang dapat dimanfaatkan secara gratis. Dengan penggunaan aplikasi teknologi Web 2.0 tersebut, diharapkan dapat meningkatkan motivasi, minat dan prestasi belajar siswa, karena aplikasi tersebut selain dapat menjembatani kegemaran siswa yang senang berkolaborasi melalui sosial media, juga dapat memberi kesempatan kepada siswa menjadi partisipan aktif dalam proses belajar Kata Kunci: Teknologi Web 2.0, pembelajaran, kolaborasi 1. PENDAHULUAN Teknologi web semakin berkembang, seiring dengan perkembangan internet. Dimulai dari teknologi Web 1.0 yang secara umum dikembangkan untuk pengaksesan informasi dan interaktifitas yang masih minim, dilanjutkan dengan teknologi Web 2.0 yang dikembangkan mulai tahun 2004. Teknologi Web 2.0 mempunyai ciri share, collaborate dan exploit. Penggunaan web untuk berbagi, pertemanan dan kolaborasi menjadi sesuatu yang sangat penting. Web 2.0 hadir seiring maraknya pengguna media sosial seperti blog, Facebook, Instagram, Friendster, Myspace, Youtube dan Flickr. Keberadaan teknologi Web 2.0 ini mengakibatkan maraknya kehidupan sosial di dunia maya. Indonesia adalah negara dengan jumlah pengguna Facebook terbanyak keempat di dunia dengan jumlah pengguna aktif bulanan Facebook mencapai kisaran 82 juta orang 448 pada kuartal-IV 2015. Angka tersebut mendekati jumlah keseluruhan pengguna internet di Indonesia pada 2015, sebesar 88,1. (Yusuf, 2016). Dari angka tersebut dapat disimpulkan bahwa hampir semua pengguna internet di Indonesia menyukai dan menggunakan jejaring sosial facebook. Teknologi berbasis web yang mulai diterapkan dalam pendidikan mendorong perubahan paradigma peranan guru dan peserta didik dalam proses pembelajaran. Guru dapat memanfaatkan web sebagai fasilitator dalam menyampaikan informasi, merancang strategi dan metode dalam proses pembelajaran. Sedangkan peserta didik tidak lagi hanya sebagai penerima informasi tetapi juga dapat berperan aktif menyumbangkan pendapat dan pemikirannya terhadap suatu informasi dan dalam berbagai diskusi. Prosiding Seminar Nasional Matematika dan Pendidikan Matematika, “Internalisasi Nilainilai Berpikir Matematis Dalam Perannya di Era Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA)” Aktifitas yang dapat dilakukan dengan adanya Teknologi Web 2.0 meliputi pembuatan dokumen, melakukan penyuntingan, penyebaran informasi, penilaian, memberikan masukan dan feedback. Disamping itu, peranan peserta didik dalam mengeksplorasi, berperan aktif dalam menyampaikan pemikirannya diharapkan dapat membantu meningkatkan pencapaian dalam proses belajar mengajar. Dengan kemampuan teknologi Web 2.0 dalam memfasilitasi kolaborasi, memungkinkan untuk dilakukannya kolaborasi antara guru, murid dan orang tua. Guru dapat memberikan atau merekomendasikan materi pembelajaran dan melakukan diskusi dengan murid dan orang tua. Siswa dapat belajar sesuai dengan arahan guru, serta menyampaikan pendapat dan pertanyaan kepada guru, sedangkan orang tua dapat memantau aktivitas dan perkembangan anaknya dalam kelas yang dikelola. Banyak tool Web 2.0 yang bisa digunakan untuk kegiatan pembelajaran kolaboratif diantaranya adalah edmodo, Class Dojo, BuzzMob, Remind, Schoology dan Otus. Kesemua tool-tool tersebut dikemas dalam bentuk sosial media seperti facebook. Dengan kondisi masyarakat Indonesia sebagai pengguna internet yang juga memanfaatkan facebook, tampilan dan pembelajaran yang dikemas seperti itu, diharapkan dapat meningkatkan minat, motivasi belajar dan peran aktif siswa dalam proses pembelajaran. 2. KAJIAN LITERATUR A. Pembelajaran Kolaboratif Pembelajaran kolaborasi merupakan istilah umum untuk berbagai pendekatan pendidikan yang melibatkan upaya intelektual yang dilakukan bersama-sama antar siswa, atau siswa dengan guru. Pada umumnya, siswa bekerja dalam kelompok yang terdiri dari dua anggota atau lebih, saling mencari pemahaman, solusi, makna, atau menciptakan suatu produk. kegiatan pembelajaran kolaboratif bervariasi, tetapi kebanyakan berpusat pada eksplorasi siswa pada materi, bukan hanya presentasi atau penjelasan dari guru. Pembelajaran kolaboratif merupakan pergeseran dari pembelajaran yang berpusat pada guru. Dalam kelas kolaboratif, proses pembelajaran/ mendengarkan / mencatat mungkin tidak hilang sepenuhnya, tetapi tetap ada bersama proses-proses lain yang berbasis pada diskusi siswa dan bekerja aktif pada suatu materi. (Smith & MacGregor, 1992). Menurut (Dillenbourg, 1999) pembelajaran kolaboratif' adalah situasi dimana dua atau lebih orang belajar atau mencoba untuk belajar sesuatu bersama-sama. Setiap elemen didefinisikan berbagai berikut: a. "Dua atau lebih" dapat ditafsirkan sebagai pasangan, kelompok kecil (3-5 orang), kelas(20-30 orang), sebuah komunitas (ratusan atau ribuan orang) atau masyarakat (ribuan atau jutaan orang). b. "belajar sesuatu" dapat ditafsirkan sebagai "mengikuti kursus", mempelajari materi", "melakukan kegiatan belajar seperti pemecahan masalah", "belajar dari pengalaman hidup". c. "bersama-sama" dapat diartikan sebagai bentuk interaksi: tatap muka atau melalui komputer, secara sinkron atau tidak, dilakukan secara rutin/sering atau tidak, merupakan kerja yang dilakukan secara bersama secara keseluruhan ataupun dengan pembagian kerja secara sistematis. B. Pembelajaran kolaboratif berbantuan Komputer/Computer Supported collaborative learning Computer supported collaborative learning (CSCL) adalah pembelajaran kolaboratif dimana sekelompok pelajar berada dalam sebuah jaringan komputer dalam rangka memaksimalkan individu, tim, dan hasil pembelajaran untuk mencapai tujuan melalui diskusi dan asistensi yang bermanfaat. (Gitakarma & Tjahyanti, 2012). Banyak tool yang telah dikembangkan untuk memfasilitasi pembelajaran kooperatif dan kolaboratif. (Crook, 1996) telah banyak menganalisis Pendidikan Matematika Universitas Muhammadiyah Purworejo, Ruang Seminar UM Purworejo, 28 Mei 2016 449 bagaimana komputer dapat memfasilitasi pembelajaran kolaboratif di sekolah. Menurut Crook (1996), teknologi dapat mendukung kolaborasi dengan menyediakan sesuatu sebagai pusatnya. Kemampuan komputer dapat digunakan sebagai mediasi, alat yang membantu siswa untuk memusatkan perhatian mereka pada objek dan saling berbagi. Dalam interaksinya, pembelajaran kolaborasi melalui komputer mengacu pada penggunaan jaringan, yaitu jaringan lokal (LAN), jaringan luas (WAN) atau internet melalui e-mail, papan buletin elektronik, sistem konferensi, dan groupware khusus. Pembelajaran koaborasi berbantuan komputer dibagi menjadi: a. Aplikasi workstation tanpa jaringan 1) program single-user konvensional diterapkan kembali dalam konteks kolaboratif, misal penggunaan program LOGO 2) Aplikasi dengan antarmuka khusus untuk memfasilitasi kolaborasi, misal ALGEBRALAND dan GEOMETRY TUTOR b. Tool berbasis jaringan untuk pembelajaran kolaboratif 1) Sistem Client Server berbasis Lokal Area Network 2) Email sebagai tool untuk pembelajaran kolaboratif 3) Pembelajaran Kolaboratif melalui internet dan World Wide Web c. Sistem dengan kombinasi beberapa tool. C. Teknologi Web 2.0 Web 2.0 dicetuskan pertama kali oleh O'Reilly Media, pada tahun 3003 dan dipopulerkan pada konferensi web 2.0 pertama di tahun 200. Web 2.0 merupakan generasi kedua layanan berbasis web yang berupa situs jaringan sosial, wiki, perangkat komunikasi, dan folksonomi, yang menekankan pada kolaborasi online dan kemudahan berbagi antar pengguna. Perkembangan web 2.0 lebih menekankan pada perubahan cara berpikir dalam menyajikan konten dan tampilan di dalam sebuah website. (O'Reilly, 2006) 450 Menurut Brown(2010), Greenhow, Robelia, Hughes (2009) dalam (Bower, 2015) teknologi Web 2.0 menawarkan peluang bagi pendidik untuk meningkatkan komunikasi, produktivitas, sharing dan kolaborasi dalam kelas. Berdasarkan tipenya, teknologi pembelajaran berteknologi web 2.0, dibagi menjadi beberapa kategori 1. Tool berbasis teks/Text base tool a. Diskusi Teks Sinkron/Synchronous text discussion, tool yang memungkinkan user untuk bertukar komentar, memfasilitasi pebelajar untuk melakukan diskusi antar kelompok selama mengikuti presentasi live. Contohnya Twitter, Plurk, Chatzy, Today's Meet b. Forum diskusi/Discussion Forum, tool yang memfasilitasi kelompok pengguna untuk melakukan diskusi berbasis teks secara asinkronous, pada saat tidak diperlukan diskusi yang real time pada suatu topik tertentu. Contohnya Forum.com, ProBoards.com, ReadUps, Tackk. c. Pembuat catatan dan dokumen/Note taking and document creation, tool yang dapat memfasilitasi pekerjaan pembuatan teks atau dokumen secara kolaboratif, dimana pengguna satu dapat melihat perubahan yang dilakukan oleh pengguna lain dalam suatu dokumen yang sedang dikerjakan secara real time. Contohnya Etherpad, Evernote, Google Docs. 2. Tool berbasis Image/Image Base Tool, a. Image Sharing, tool untuk memfasilitasi asyncronous image sharing. Contohnya Flickr, Instagram, Pics4Learning, OpenClipart, Wikimedia Commons. b. Image creation and editing, adalah tool yang memungkinkan untuk membuat dan memodifikasi gambar yang selanjutnya dapat dishare melalui URL.Contohnya Befunky, PicJuice, DrPic, Pho.to, Pixlr, Sumopaint, DeviantArt. c. Drawing, adalah tool yang memungkinkan pengguna menggambar menggunakan mouse sebagai pena dan membaginya melalui URL. Contohnya Artpad, Slimber, Flockdraw. d. Online whiteboarding, tool yang menyediakan fasilitas pembuatan garis, shape, dan text tool untuk membuat suatu proses ilustrasi. Contohnya Whiteboard, Google Drawing, Board800, CoSketch, Prosiding Seminar Nasional Matematika dan Pendidikan Matematika, “Internalisasi Nilainilai Berpikir Matematis Dalam Perannya di Era Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA)” e. f. g. h. 3. a. b. 4. a. b. c. Dweeber, Sketchlot, Stoodle, Twidlla, Pixiclip. Diagramming, tool yang menyediakan fasilitas pembuatan gambar berupa diagram dan flowchart. Contohnya Gliffy, Lucidchart, Draw.io, Cacoo, Creately. Mindmapping, tool yang menyediakan fasilitas pembuatan gambar berupa konsep interelasi dalam bentuk jaringan pengetahuan yang dapat dibagi melalui URL. Contohnya Mindmup, Wisemapping, Popplet, Mind42, Mindmeister, Slatebox, Coggle, Text2Mindmap, Debategraph. Mapping, tool yang memfasilitasi penandaan pada peta yang selanjutnya ditautkan atau diembed pada situs lain. Contohnya Google Maps, Quickmaps, Scribblemaps, Woices, Umapper. Word Clouds, tool yang memungkinkan pengguna untuk membuat teks yang diatur berdasarkan kata kunci yang diberikan, sehingga pengajar dapat menyatakan materi/fokus dalam bentuk yang lebih menarik. Contohnya Wordle, Tagxedo, Tagul. Tool berbasis Audio/AudioTool Audio Sharing, tool yang memungkinkan pengguna untuk mengupload dan membagi audio yang telah direkam melalui open repositories. Contohnya SoundCloud, Audioboom, FreeSound, Chirbit, SoundBibble. Audio creation and editing, tool untuk merekam dan memodifikasi audio secara online melalui web browser. Contohnya Voxopop, Soundation Tool berbasis Video/VideoTool Video Sharing, tool yang memungkinkan pengguna untuk mengupload dan membagi video yang telah direkam melalui open repositories. Contohnya Youtube, Vimeo, Teachertube. Video creation and editing, tool untuk merekam dan memodifikasi video secara online melalui web browser. Pengajar dan siswa dapat membuat konten video untuk tujuan pembelajaran. Contohnya Youtube Video Editor, Video Toolbox, FileLab Video Editor, Mozzila Popcorn Maker, Muvee, Screencast-o-matic. Video Streaming, tool yang memungkinkan pengguna untuk menyiarkan video secara streaming secara live. Contohnya Google Hangouts On Air, 5. a. b. c. 6. a. b. c. 7. a. b. Ustream, LiveStream, Veetle, Vokle, YouNow Alat Produksi Multimoda/Multimodal production tools Digital Pinboard, memungkinkan sekelompok pengguna untuk mengatur dan membagi sumber misalnya web, file, foto dan catatan dengan menambahkannya ke dalam Free form canvas.Contohnya Pearltrees, Paddlet, Lino, Magnoto, Stormboard, Groupman. Presentasi/Presentation merupakan tool yang memungkinkan pembuatan konten multimoda berurutan untuk menyampaikan materi pembelajaran dan membaginya melalui URL. Contohnya Prezi. URL untuk menshare contohnya Google Slides, Haikudeck, Photopeach, Photosnack, Vcasmo, Authorstream Lesson Authoring, memungkinkan pengguna untuk membuat konten untuk modul pembelajaran dan menambahkan elemen yang interaktif. Contohnya LAMS, BlendSpace, SoftChalk, EasyGenerator, Nearpod, Udutu, Compisica, Zaption, Edpuzzle. Digital storytelling Tools Online book Creation,memungkinkan pengguna membuat cerita berdasarkan gambar dan teks dan membaginya melalui URL. Contohnya StoryJumper, Tikatok, StoryBird, MyStoryMaker, Mixbook Comic strip creation, memungkinkan pengguna untuk memilih dan meletakkan karakter dan background pada template yang telah disediakan. Biasanya digunakan untuk pembelajaran anak usia usia dini atau SD. Contohnya Storyboard That, MakebeliefsComix, Pixton, Toondoo, WittyComics, BitStrips. Video Animasi/Animated videos. Memungkinkan pembuatan video dan presentasi melalui tampilan drag & drop. Contohnya Powtoons, DigitalFilms, Moovly, Dvolver Tool Pembuat Website/Website Creation Tool Pembuatan website pribadi/Individual website creation. adalah tool untuk pembuatan website pribadi. Contohnya Google Sites, Tripod, Wix, Jimdo, Moonfruit. Wikis, adalah tool yang memungkinkan multipel user untuk membuat, memodifikasi, menautkan multipage website melalui web browser. Contohnya Pendidikan Matematika Universitas Muhammadiyah Purworejo, Ruang Seminar UM Purworejo, 28 Mei 2016 451 c. 8. a. b. c. d. 9. a. b. c. d. WikiSpaces, PBWork, Wikia, WikiFoundary, Central Desktop, MindTouch, Confluence dan SocialText. Blogs, merupakan tool untuk mengatur posting berdasarkan urutan waktu. Contohnya Wordpress, Edublogs, Kidblog, Tumblr, Blogger, Paper.li, RebelMouse, Penzu. Tool untuk mengorganisasi pengetahuan dan Sharing/Knowledge organization and sharing tools File Sharing, adalah tool yang memungkinkan pengguna untuk berbagi dokumen, gambar, audio dan video melalui web. Contohnya Dropbox, Mediafire, 4Shared, OneDrive, Google Drive. Social Bookmarking, merupakan situs yang memungkinkan pengguna untuk menyimpan, mengorganisasi, dan berbagi link ke website secara online. Contohnya Delicious, Diigo, lcyte, Memonic, Webnotes, Educlipper. Agregator, adalah penggunaan RSS untuk memanen informasi berbasis web dalam satu halaman. Contohnya Flipboard, Feedly, Bloglines. Republishing, tool yang memungkinkan selain untuk memanen informasi dalam sebuah web tetapi juga melakukan komentar dan menerbitkannya kembali. Contoh ScoopIt, Storify, Pinterest, LiveBinders. Tool untuk Analisis Data Conducting Surveys, tool untuk koleksi data melalui website. Contohnya Survey Monkey, Polldaddy, SurveyGizmo, FluidSurveys, Insightify, Ballet-Box, Google Form, Poll Everywhere Online Spreadsheet, adalah tool yang menyediakan fasilitas kolaborasi dalam membuat dan memodifikasi Spreadsheet. Contohnya Google Sheet, Live Document Spreadsheet, Ethercalc, Smartsheet Infographics, adalah tool dan template untuk merepresentasikan data numerik dan berbagi via URL. Contohnya Easelly, PictoChart Timeline Tool, adalah tool yang memungkinkan pengguna untuk mengorganisasi teks dan gambar pada halaman tunggal berdasarkan kronologi waktu, biasanya cocok untuk menyatakan sejarah. Contohnya Timetoast, Timeglider, Dipty, Tiki-Toki, Capzles, OurStory. 452 10. 3D modelling Tool, memungkinkan pengguna untuk membuat CAD 3D melalui web browser. Contohnya Shapeshifter, Tinkercad 11. Assesment Tool, tool yang menyediakan fasilitas pembuatan kuis secara online. Contohnya Quizstar, ProProfs Quizmaker, Quizlet, Cram, CoboCards, EasyTestMaker, Fifty Sneakers, Quia, Socrative 12. Social Networking System, tool yang menyediakan fasilitas untuk sharing gambar, video, text, poll melalui halaman profil pribadi. Contohnya Facebook, Google plus, Edmodo, Twiducate, Fakebook, Research Gate, Academia, Khan Academy 13. Syncronous Collaboration tool, tool yang menyediakan fasilitas share chat teks, baik audio video webcam melalui web browser. Contohnya Zoom, Google Hangouts, GoToMeeting, WizIQ, Speek, Vyew, FuzeMeeting. (Bower, 2015). Selengkapnya dapat dilihat pada Gambar 1 GAMBAR 1 TEKNOLOGI PEMBELAJARAN WEB 2.0 3. PEMBAHASAN Tool Teknologi Web 2.0 untuk mendukung pembelajaran Kolaboratif a. Edmodo Edmodo (Gambar 2) merupakan platform pembelajaran berbasis jejaring sosial yang ditujukan untuk guru, murid sekaligus orang tua murid, yang dapat diakses gratis melalui alamat http://www.edmodo.com Edmodo pertama kali dikembangkan pada akhir tahun 2008 oleh Nic Borg dan Jeff O‟hara. Edmodo merupakan program elearning yang menerapkan sistem Prosiding Seminar Nasional Matematika dan Pendidikan Matematika, “Internalisasi Nilainilai Berpikir Matematis Dalam Perannya di Era Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA)” pembelajaran kolaboratif yang mudah, efisien sekaligus lebih menyenangkan. GAMBAR 2 TAMPILAN EDMODO Fitur dalam Edmodo untuk menunjang proses pembelajaran: 1) Polling, merupakan fitur yang hanya dapat di gunakan oleh guru, untuk mengetahui tanggapan siswa mengenai hal tertentu. 2) Gradebook, merupakan fitur guru untuk memberi nilai kepada siswa baik secara manual maupun otomatis, juga memungkinkan guru untuk memanajemen penilaian hasil belajar dari seluruh siswa. Penilaian juga dapat diexport menjadi file .csv. 3) Quiz, merupakan fitur untuk membuat kuis bagi guru, sedangkan siswa hanya bisa mengerjakan soal kuis yang diberikan oleh guru. Soal-soal yang dibuat berupa soal pilihan ganda, isian singkat dan soal uraian. 4) File and Links, berfungsi untuk mengirimkan note dengan lampiran file dan link. Biasanya file tersebut berekstensi .doc, .ppt, .xls, .pdf dan lain-lain. 5) Library, merupakan fitur guru untuk mengunggah bahan ajar seperti materi, presentasi, gambar, video, sumber referensi, dan lain-lain, juga berfungsi sebagai wadah untuk menampung berbagai file dan link yang dimiliki oleh guru maupun murid. 6) Assignment, digunakan oleh guru untuk memberikan tugas kepada murid secara online, dilengkapi dengan waktu deadline, fitur attach file yang memungkinkan siswa untuk mengirimkan tugas secara langsung kepada guru dalam bentuk file document (pdf, doc, xls, ppt), dan juga tombol “Turn in” pada kiriman assignment yang berfungsi menandai bahwa siswa telah menyelesaikan tugas mereka. 7) Award Badge, digunakan untuk memberikan suatu penghargaan kepada siswa atau grup, 8) Parent Code, digunakan orang tua murid untuk memantau aktifitas belajar yang dilakukan anak-anak mereka. Untuk mendapatkan kode tersebut, orang tua murid dapat mendapatkannya dengan mengklik nama kelas/ grup anaknya di Edmodo atau dapat memperolehnya langsung dari guru yang bersangkutan. Dari fitur-fitur yang disediakan, edmodo merupakan media pembelajaran online yang mampu mendukung pembelajaran kolaboratif baik antar siswa, siswa dengan guru juga dengan orang tua. b. Class Dojo Classdojo adalah sebuah aplikasi yang menerapkan managemen kelas secara online, merekam semua aktivitas siswa dan catatan siswa selama pelajaran berlangsung. GAMBAR 3 TAMPILAN CLASSDOJO ClassDojo(Gambar 3) dapat membantu guru dalam meningkatkan keterlibatan dan aktifitas siswa di kelas, juga memungkinkan adanya komunikasi dan kolaborasi dalam pembelajaran antara guru, orang tua dan siswa. ClassDojo dapat diakses secara gratis di http://www. classdojo.com Fitur dalam ClassDojo: 1) Tampilan yang disesuaikan untuk kepentingan guru, siswa dan orang tua. Guru dapat mengelola akun siswa dan orang; orang tua dapat melihat kemajuan dan dapat mengakses pesan guru untuk Pendidikan Matematika Universitas Muhammadiyah Purworejo, Ruang Seminar UM Purworejo, 28 Mei 2016 453 anak mereka; siswa dapat mengikuti kemajuan mereka secara real-time. 2) ClassDojo Messaging. Kemampuan messaging dapat menjembatani guru dalam berkomunikasi langsung dengan orang tua. Selain pesan teks, pesan juga dapat disampaikan melalui Foto, Voice Notes, email dan stiker. 3) Antarmuka yang mirip dengan jejaring sosial facebook, sehingga familiar dan mudah digunakan. 4) Guru dapat dengan mudah mendorong siswa dan melibatkan orang tua, langsung dari layar kelas. Guru dapat mengambil tindakan - seperti memberikan umpan balik, berbagi foto dan pesan secara langsung melalui masing-masing profil siswa atau orang tua. 5) Orang tua dapat melihat kemajuan anak mereka secara real-time, dan mengirim pesan langsung ke guru langsung dari homescreen app. (www.educatorstechnology.com, 2015) c. Remind Remind merupakan aplikasi untuk guru, siswa dan orang tua yang dapat diakses secara gratis di alamat http://www.remind.com. GAMBAR 4 TAMPIAN REMIND Aplikasi ini juga dapat dipasang pada perangkat bergerak berbasis IOS dan android. Guru dapat mengirim pengingat, tugas, pekerjaan rumah, penilaian atau pesan motivasi langsung kepada siswa & orang tua melalui komputer/ponsel. Pesan relatif aman karena nomor telepon disimpan secara pribadi.Pengumuman atau Chat dapat dilakukan untuk komunikasi pribadi dengan 454 siswa atau orang tua. Untuk siswa dan orang tua, aplikasi Remind ini memberikan cara yang lebih mudah untuk tetap mendapatkan informasi walaupun sedang berada di luar kelas. Kelebihan dari alpkasi ini adalah dapat diakses dimana saja, merupakan sarana penyampaian informasi kepada orang tua dan siswa, serta dapat diakses menggunakan gadjet apapun selama bisa mengakses internet. d. BuzzMob BuzzMob merupakan aplikasi pembelajaran berbasis sosial media yang dapat menghubungkan komunitas sekolah melalui platform dan portal web yang dapat disesuaikan dengan tampilan ponsel, yang dapat diakses melalui situs https://www.buzzmob.com/ GAMBAR 5 TAMPILAN BUZZMOB Aplikasi ini memungkinkan proses pembelajaran kolaboratif antara guru, orang tua, dan siswa. Sebagaimana dalam aplikasi sosial media, BuzzMob juga memungkinkan untuk mengirim pesan, berbagi foto, video, dan menerima informasi penting secara realtime. Menerima pesan dan pemberitahuan penting tentang pekerjaan rumah, tanggal even, atau update informasi umum dalam jaringan yang aman. Fitur yang disediakan adalah: 1) Remider untuk mengingatkan hal-hal yang penting sekarang dan yang akan datang 2) Kalender untuk mengatur kegiatan yang dirancang 3) Message, memungkinkan anggota dalam kelas mengirim dan menerima langsung, pesan pribadi ke satu orang atau kelompok Prosiding Seminar Nasional Matematika dan Pendidikan Matematika, “Internalisasi Nilainilai Berpikir Matematis Dalam Perannya di Era Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA)” 4) Memungkinkan kolaborasi antara Guru, Orang Tua dan Siswa. e. Schoology Schoology adalah situs yang menggabungkan antara jejaring sosial dan Learning Management System(LMS). Didalamnya dapat dilakukan interaksi sosial baik antar siswa, guru maupun orang tua. Situs ini dapat diakses melalui http://schoology.com GAMBAR 6 TAMPILAN SCHOOLOGY Fitur-fitur yang dimiliki oleh Schoology: 1) Courses (kursus), yaitu fasilitas untuk membuat kelas mata pelajaran, sebagaimana fasilitas dalam LMS. Dalam menu Course ini dapat dibuat: 2) 3) f. Kuis/soal berbentuk pilihan ganda, benar salah, menjodohkan, isian singkat, dan lain-lain, juga bisa mengimport soal. Untuk pembuatan soal dilengkapi dengan Symbol, Equation, dan Latex. Assignment, untuk membuat tugas yang diberikan kepada siswa Forum, sebagai wadah diskusi antar siswa Groups (kelompok), yaitu fasilitas untuk membuat kelompok sebagaimana fasilitas dalam LMS maupun facebook. Resources (Sumber Belajar) Otus Otus adalah aplikasi gratis berbasis sosial media untuk iOS dan perangkat web yang memberikan fasilitas yang dibutuhkan oleh guru dan murid di dalam kelas. Fasilitas berupa tugas, penilaian, jajak pendapat, masukan, dll. (Karlin, 2015). Otu dapat diakses melalui alamat http://otus.com GAMBAR 7 TAMPILAN OTUS Fitur dalam Otus: 1) Mengumpulkan, berupa absensi, berbagai jenis data, dan membuat kelompok siswa. Memungkinkan kolaborasi antara guru dan siswa 2) Mengikutsertakan keterlibatan siswa, fasilitas membuat rencana pembelajaran, berbagi resource dengan siswa, membuat penilaian, membuat polling dll 3) Mengukur, mengamati dan mencatat perilaku, ketelibatan dan membuat skor penilaian. 4) Menganalisa. Otus menampilkan gambaran aktifitas dan ketelibatan siswa dalam kelas, sehingga guru dapat menganalisa data siswa. Dari beberapa tool yang disampaikan diatas, dapat dibandingkan fitur yang disediakan oleh masing-masing tool, yang disajikan pada Tabel 1 berikut Tabel 1 Perbandingan Fitur Tool Web 2.0 Fitur Akses gratis untuk semua fitur Class Dojo Ed- Schoo Otus Buzz- Remodo logy Mob mind Polling Kuis Membuat dan memberi penilaian Cek kehadiran Kemudahan berbagi resource dengan guru Tersedia aplikasi untuk ponsel (android) Pendidikan Matematika Universitas Muhammadiyah Purworejo, Ruang Seminar UM Purworejo, 28 Mei 2016 455 4. KESIMPULAN Perkembangan teknologi telah mengubah paradigma pembelajaran. Kebiasaan siswa dengan jejaring sosial melalui media internet dapat dimanfaatkan dalam kegiatan pembelajaran. Suasana pembelajaran yang dikemas seperti jejaring sosial semestinya akan menarik perhatian siswa. Dengan teknologi Web 2.0, banyak tool pembelajaran yang menyediakan fasilitas kolaborasi antar siswa, guru dan orang tua yang dapat diakses secara gratis, seperti ClassDojo, Edmodo, Otus, BuzzMob, Remind, dan Schoology. Guru dapat memilih tool-tool tersebut sebagai media pembelajaran, disesuaikan dengan kondisi masing-masing sekolah/siswa. 5. REFERENSI Dillenbourg, P. (1999). Collaborative-learning: Cognitive and Computational Approaches. Oxford: Elsevier. Gitakarma, M. S., & Tjahyanti, L. P. (2012). Modifikasi Claroline dengan Metode Pembelajaran Computer-Supported Collaborative Learning (CSCL) Berbasis Konstruktivisme. Jurnal Nasional Pendidikan Teknik Informatika (JANAPATI) Volume 1, Nomor 1, Maret 2012. Karlin, M. (2015). Otus: The Complete Management System fo the K-12 Classroom. http://www.edtechroundup.org. O'Reilly, T. (2006). What Is Web 2.0. O'Reilly Media, Inc. Smith, B. L., & MacGregor, J. T. (1992). Collaborative Learning: A Sourcebook for Higher Education. University Park: PA: National Center on Postsecondary Teaching, Learning, and Assessment (NCTLA). Bower, M. (2015). A Typology of Web 2.0 Learning Technologies. Sydney, Australia: Macquarie University. www.educatorstechnology.com. (2015). Classdojo Released 5 New Feature for Teacher and Parents. http://www.educatorstechnology.com. Crook, C. (1996). Computers and the collaborative experience of learning. London: Routledge. Yusuf, O. (2016). Hampir Semua Pengguna Internet Indonesia Memakai Facebook. http://tekno.kompas.com. 456 Prosiding Seminar Nasional Matematika dan Pendidikan Matematika, “Internalisasi Nilainilai Berpikir Matematis Dalam Perannya di Era Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA)” UBIQUITOUS COMPUTING UNTUK PEMBELAJARAN ANAK BERKEBUTUHAN KHUSUS Nur Hadi Waryanto Jurusan Pendidikan Matematika FMIPA UNY Email : [email protected] Abstrak Perkembangan Information Technology (IT) yang sangat pesat membawa manfaat yang dalam semua aspek, salah satunya dalam pembelajaran anak berkebutuhan khusus. Anak berkebutuhan khusus membutuhkan pembelajaran yang berbeda dengan siswa pada umumnya. Perkembangan IT sangat membantu dalam proses pembelajaran anak berkebutuhan khusus sehingga proses pembelajaran dalam berlangsung dengan menarik dan inovatif. IT dalam hal ini digunakan sebagai media pembelajaran. Ubiquitous Computing merupakan sebuah model interaksi mausia-komputer yang paling canggih dan modern. Ubiquitos Computing sangat diperlukan dalam proses pembelajaran anak berkebutuhan khusus. Hal ini berkaitan model interaksi antara anak berkebutuhan khusus dengan komputer tersebut. Kata Kunci: Ubiquitos Computing, Anak Berkebutuhan Khusus 1. PENDAHULUAN Data tentang jumlah anak berkebutuhan khusus di Indonesia secara pasti masih sulit didapatkan. Hal ini disebabkan data antara beberapa kementrian, yaitu Kementerian Kesehatan, Kementrian Sosial, Kementrian Pendidikan mempunyai data yang berbeda-beda. Sampai saat ini BPS masih dalam proses untuk memproleh data tunggal anak bekebutuhan khusus (ABK). Data yang terdapat di BPS saat ini masih merupakan data penyandang disabilitas secara keseluruhan belum secara rinci data data anak berkebutuhan khusus. Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS), data penyandang disabilitas dalam SUSENAS 2009 berjumlah 2.126.998 jiwa di Indonesia. Tabel 1. Penyandang Disabilitas di Indonesia Sumber : Data SUSENAS RI 2009 Sedangkan data dari Dirjen Pendidikan Dasar Menengah jumlah total Anak Berkebutuhan Khusus adalah 1,6 juta anak di Indonesia. Dari jumlah 1,6 juta ABK tersebut hanya sebesar 10-11 persen saja yang besekeloh. Hal ini menunjukan anagka Pendidikan Matematika Universitas Muhammadiyah Purworejo, Ruang Seminar UM Purworejo, 28 Mei 2016 457 partisipasi bersekolah anak berkebutuhan khusus di Indosedia masih sangat rendah. Kecilnya angka partisipasi bersekolah anak berkebutuhan khusus ini dapat disebabkan karena banyak faktor, diantaranya rendahnya kesadaran orang tua anak berkebutuhan khusus akan pentingnya pendidikan bagi anak berkebutuhan khusus, kurangnya tempat pendidikan anak berkebutuhan khusus, biaya pendidikan anak berkebutuhan khusus mahal, perhatian pemerintah akan anak berkebutuhan khusus masih kurang, rendahnya jumlah SDM/guru anak berkebutuhan khusus, dan masih banyak lagi. Saat ini, sekitar 30 persen anak berkebutuhan khusus yang diakomodir oleh pemerintah. Faktor banyak orang tua yang cenderung menyembunyikan anak berkebutuhan khusus karena merasa malu menjadi salah satu faktor selain biaya rendahnya data terebut. Data anak berkebutuhan khusus ada kecenderunagn meningkat, peningkatan ini disebabkan oleh beberapa faktor [1], yaitu : a. Faktor penyebab anak berkebutuhan khusus yang terjadi pada pra kelahiran, antara lain : Gangguan Genetika (Kelainan Kromosom, Transformasi); Infeksi Kehamilan; Usia Ibu Hamil (high risk group); Keracunan Saat Hamil; Pengguguran; dan Lahir Prematur. b. Faktor penyebab anak berkebutuhan khusus yang terjadi selama proses kelahiran adalah Proses kelahiran lama (Anoxia), prematur, kekurangan oksigen; Kelahiran dengan alat bantu (Vacum); Kehamilan terlalu lama: > 40 minggu. c. Faktor penyebab anak berkebutuhan khusus yang terjadi setelah proses kelahiran yaitu Penyakit infeksi bakteri (TBC/ virus); Kekurangan zat makanan (gizi, nutrisi); kecelakaan; dan keracunan. Jumlah anak cacat berdasarkan penyebab kecacatan terlihat dalam Tabel 2. Tabel 2. Jumlah anak cacat usia 0-17 berdasarkan penyebab kecacatan. Sumber : Survei Sosial Ekonomi Nasional Modul 2009, BPS Data dan uraian di atas menunjukkan bahwa anak berkebutuhan khusus masih sangat memerlukan perhatian dari semua pihak. Hak-hak anak berkebutuhan khusus masih sangat kurang yang terpenuhi. Terutama hak anak berkebutuhan khusus untuk mendapatkan pendidikan yang dapat 458 menjadi bekal anak berkebutuhan khusus untuk hidup mandiri. Pesatnya kemajuan teknologi dan informasi, cepatnya kemajuan pendidikan moderen saat ini sebagian besar masih hanya dirasakan oleh anak-anak normal. Kemajuan teknologi informasi, khususnya aplikasinya Prosiding Seminar Nasional Matematika dan Pendidikan Matematika, “Internalisasi Nilainilai Berpikir Matematis Dalam Perannya di Era Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA)” dalam duania pendidikan masih sangat rendah yang mengakomodasi anak berkebutuhan khusus. 1. ANAK BERKEBUTUHAN KHUSUS Istilah berkebutuhan khusus secara eksplisit ditujukan kepada anak yang dianggap mempunyai kelainan/penyimpangan dari kondisi rata-rata anak normal umumnya, dalam hal fisik, mental maupun karakteristik perilaku sosialnya [2]. Anak yang dikategorikan berkebutuhan dalam aspek fisik meliputi kelainan dalam indra penglihatan (tunanetra) kelainan indra pendengaran (tuna rungu), kelainan kemampuan berbicara (tuna wicara) dan kelainan fungsi anggota tubuh (tuna daksa), anak yang memiliki kebutuhan dalam aspek mental meliputi anak yang memiliki kemampuan mental lebih (super normal) yang dikenal sebagai anak berbakat atau anak unggul dan yang memiliki kemampuan mental sangat rendah (abnormal) yang dikenal sebagai tuna grahita, anak yang memiliki kelainan dalam aspek sosial adalah anak yang memiliki kesulitan dalam menyesuaikan perilakunya terhadap lingkungan sekitarnya, Anak yang termasuk dalam kelompok ini dikenal dengan sebutan tuna laras [3]. Selain aspek diatas, pengelempokan anak berkebutuhan khusus lainnya adalah [4] : a. Lamban belajar (slow learner) : Lamban belajar (slow learner) adalah anak yang memiliki potensi intelektual sedikit di bawah normal tetapi belum termasuk tunagrahita. b. Anak yang mengalami kesulitan belajar spesifik Anak yang berkesulitan belajar spesifik adalah anak yang secara nyata mengalami kesulitan dalam tugas-tugas akademik khusus , terutama dalam hal kemampuan membaca, menulis dan berhitung atau matematika. c. ADHD/GPPH (Gangguan Pemusatan Perhatian dan Hiperaktivitas) ADHD/GPPH adalah sebuah gangguan yang muncul pada anak dan dapat berlanjut hingga dewasa dengan gejala meliputi gangguan pemusatan perhatian dan kesulitan untuk fokus, kesulitan mengontrol perilaku, dan hiperaktif (overaktif).. d. Autisme Autisme adalah gangguan perkembangan yang kompleks, meliputi gangguan komunikasi, interaksi sosial, dan aktivitas imaginatif, yang mulai tampak sebelum anak berusia tiga tahun, bahkan anak yang termasuk autisme infantil gejalanya sudah muncul sejak lahir Di Indonesia pendidikan anak berkebutuhan khusus dilaksanakan di Sekolah Luar Biasa (SLB) dan sekolah umum yang menerima kelas inklusi. Pendidikan anak berkebutuhan khusus di Indonesia di klasisfikasikan sebagai berikut [3] : a. Bagian A adalah sebutan untuk kelompok anak tunanetra. b. Bagian B adalah sebutan untuk kelompok anak tunarungu. c. Bagian C adalah sebutan untuk kelompok anak tunagrahita. d. Bagian D adalah sebutan untuk kelompok anak tunadaksa. e. Bagian E adalah sebutan untuk kelompok anak tunalaras. f. Bagian F adalah sebutan untuk kelompok anak dengan kemampuan di atas ratarata/superior. g. Bagian G adalah sebutan untuk kelompok anak tunaganda. 2. MEDIA PEMBELAJARAN ANAK BERKEBUTUHAN KHUSUS Anak berkebutuhan khusus mendapatkan pendidikan yang berbeda (khusus) dengan anak-anak normal. Pendidikan anak berkebutuhan khusus adalah merupakan pendidikan yang diperuntukan bagi peserta didik yang memiliki tingkat kesulitan dalam mengikuti proses pembelajaran karena kelainan fisik, emosional, mental, sosial, dan/atau memiliki potensi kecerdasan dan bakat istimewa Pendidikan Matematika Universitas Muhammadiyah Purworejo, Ruang Seminar UM Purworejo, 28 Mei 2016 459 [5]. Dibutuhkan lingkungan belajar yang kondusif untuk mendorong kemampuan membelajarkan anak berkebutuhan khusus.Lingkungan yang kondusif ini meliputi tempat belajar, metoda, sistem penilaian, sarana dan prasarana serta tersedianya media pembelajaran yang memadai sesuai dengan kebutuhan anak berkebutuhan khusus. Media pembelajaran anak berkebutuhan khusus berdasarkan karakteristik siswa terlihat dalam Tabel 3 [5]: Tabel 3. Media Pembelajaran Anak Berkebutuhan Khusus No. 1. Jenis ABK dengan gangguan penglihatan Model Buta Total : Peta timbul, radio, audio, penggaris braille, blokies, papan baca, model anatomi mata, meteran braille, puzzel buahbuahan, talking watch, kompas braille, botol aroma, bentuk-bentuk geometri, tape recorder, komputer dengan sistem jaws, media tiga dimensi, media dua dimensi, lingkungan sekitar anak, Braille kit, mesin tik braille, kamus bicara, kompas bicara, komputer dan printer braille, collor sorting box. Low Vision : CCTV, Televisi, Microscope Magnifier Lens Set, View Scan, 2 ABK dengan gangguan pendengaran Foto-foto, video, kartu huruf, kartu kalimat, anatomi telinga, miniatur benda, finger alphabet, model telinga, torso setengah badan, puzzle buah-buahan, puzzle binatang, puzzle konstruksi, silinder, model geometri, menara segi tiga, menara gelang, menara segi empat, atlas, globe, peta dinding, miniatur rumah adat. 3. Tunagrahita/ anak lamban belajar Gradasi kubus, gradasi balok, silinder, manara gelang, kotak silinder, multi indra, puzzle binatang, puzzle konstruksi, puzzle bola, boks sortor warna, geometri tiga dimensi, papan geometri, konsentrasi mekanik, puzzle set, abacus, papan bilangan, kotak bilangan, sikat gigi, dresing prame set, pias huruf, pias kalimat, alphabet fibre box, bak pasir, papan keseinbangan, power raider, 4 ABK dengan gangguan motorik Kartu abjad, kartu kata, kartu kalimat, torso seluruh badan, geometri sharpe, menara gelang, menara segi tiga, gelas rasa, botol aroma, abacus dan washer, papan pasak, kotak bilangan. 5. Tunalaras Animal maching games, sand pits, konsentrasi mekanik, animal puzzle, fruits puzzle, rebana, flute, torso, constructive puzzle, organ 6. Anak berbakat Buku paket, buku referensi, buku pelengkap, buku bacaan, majalah, koran, internet, modul, lembar kerja, komputer, VCD, museum, perpustakaan, TV, OHP, chart, dsb 7 Kesulitan belajar Disleksia : kartu abjad, kartu kata, kartu kalimat 460 Prosiding Seminar Nasional Matematika dan Pendidikan Matematika, “Internalisasi Nilainilai Berpikir Matematis Dalam Perannya di Era Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA)” Disgrafia : kartu abjad, kartu kata, kartu kalimat, balok bilangan Diskalkulia: balok bilangan, pias angka, kotak bilangan, papan bilangan 8. Autis Kartu huruf, kartu kata, katu angka, kartu kalimat, konsentrasi mekanik, komputer, mnara segi tiga, menara gelang, fruit puzzel, construktiv puzzle 9. Tunaganda Disesuaikan dengan karakteristik kelainannya 10. HIV AIDS Disesuaikan dengan kondisi anak, berat ringan penyakit, dan setting pelayanan pendidikan 11. Korban Penyalahgunn Narkoba Disesuaikan dengan kondisi anak, berat ringan penyakit, dan setting pelayanan pendidikan Indigo Digunakan media seperti anak pada umumnya. 13. Sumber : http://nanaplb11.blogspot.co.id/2013/05/media-pembelajaran-bagi-anak.html Inti media pembelajaran anak berkebututuhan khusus adalah media pembelajaran merupakan perantara komunikasi antara guru dan murid yang disesuaikan dengan kebutuhan artinya bahwa proses belajar mengajar di SLB, penggunaan media sangat penting sekali terhadap keberhasilan belajar anak berkebutuhankhusus (ABK) 3. UBIQUITOUS COMPUTING Ubiquitous computing pertama kali dimunculkan oleh Mark Weiser, seorang peneliti senior pada Xerox Palo Alto Research Center (PARC) pada tahun 1988 pada sebuah forum diskusi di lingkungan internal pusat riset tersebut. Artikel dengan judul ”The Computer of the 21st Century” di Jurnal Scientific American terbitan ,September 1991 mempunyai andil yang cukup besar dalam menyebarkan secara luas istilah Ubiquitous Computing. Weisier menjelaskan bahwa Ubiquitous computing diartikan sebagai metode yang bertujuan menyediakan serangkaian komputer bagi lingkungan fisik pemakainya dengan tingkat efektifitas yang tinggi namun dengan tingkat visibilitas serendah mungkin Latar belakang munculnya ide dasar Ubiquitous computing berasal dari sejumlah pengamatan dan studi di PARC terhadap PC. Pendapat bahwa PC justru membuat pengguna harus tetap fokus pada unit dalam menyelesaikan suatu pekerjaan sehingga membuat user justru terisolasi karena keberadaan PC tersebut adalah salah satu aspek yang menjadi alasan/dasar munculnya konsep Ubiquitous Computing. PC yang mempunyai kegunaan dan manfaat demikian besar ternyata justru seringkali menghabiskan sumberdaya dan waktu bagi penggunanya Fokus dan sumberdaya tersedot secara berlipat ganda oleh PC apabila terjadi permasalahan yang mengarah pada teknologi, semacam serangan virus atau kerusakan teknis. [6]. Inti dari Ubiquitous computing atau yang dikenal juga sebagai Pervasive Computing melakukan pembagian resource yang ringan, wireless, tidak mahal dalam Pendidikan Matematika Universitas Muhammadiyah Purworejo, Ruang Seminar UM Purworejo, 28 Mei 2016 461 jaringan pemrosesan yang terdistribusi ke setiap aspek kehidupan sehari-hari. Mark Weiser mengenalkan 3 bentuk dasar dari mesin Ubiquitous yaitu ; tab, pad, dan board. 4. TREND PERKEMBANGAN UBIQUITOUS COMPUTING Arah trend teknologi informasi di Indonesia akan menuju ke Ubiquitous Computing. Ubiquitous computing merupakan konsep dasar dari teknologi Ambient Intelligence. Pertimbangan akan potensi penggunaan teknologi Ambient Intelligence di Indonesia dipengaruhu oleh beberapa faktor, yaitu : 1. Perkembangan teknologi jaringan khususnya jaringan nirkabel yang memungkinkan transfer data dapat dilakukan dengan lebih cepat dengan biaya yang relatif lebih kecil. 2. Kemampuan masyarakat meningkat dalam menggunakan atau daya beli komputer dengan kemampuan tinggi juga meningkat. 3. Perkembangan dan penyebaran teknologi komunikasi di kalangan masyarakat luas memenuhi kebutuhan ubiquitous communication semakin cepat 4. Sumber daya manusia di bidang teknologi informasi yang sudah semakin banyak tersedia. 5. Situasi lingkungan yang menuntut tersedianya fasilitas pelayanan yang lebih efisien dan cepat. Contoh konsep Ubiquitous computing yang ada saat ini adalah Handphone, Elearning, Virtual Reality, Augmented reality ,Google Glass, Day Made of Glass (SmartGlass) 6. KONSEP UBIQUITOUS COMPUTING DALAM PEMBELAJARAN ANAK BERKEBUTUHAN KHUSUS Tujuan dari Ubiquitous computing adalah membawa komputasi dalam dunia nyata dan memungkinkan manusia berinteraksi dengannya dengan cara yang lebih alami seperti berbicara, bergerak, menunjuk dan menyentuh. Dengan kata lain, Ubiquitous computing membuat komputasi menjadi bagian dari kehidupan sehari-hari. Gambar 1.Konsep Ubiquitous computing dalam Kehidupan Sumber : http://dailyhilman.blogspot.co.id/2015/06/ubiquitous-computing.html 462 Prosiding Seminar Nasional Matematika dan Pendidikan Matematika, “Internalisasi Nilainilai Berpikir Matematis Dalam Perannya di Era Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA)” Inti dari model Ubiquitous melakukan pembagian resource (sumber daya) yang ringan, tidak mahal, dalam jaringan pemrosesan handal secara bersama-sama dan terdistribusi ke dalam semua aspek kehidupan sehari-hari. Ubiquitous computing dapat meningkatkan penggunaan komputer dengan membuatnya tersedia (available) melalui lingkungan fisik namun membuatnya tidak terlihat oleh user. Selain itu, ubiquitous computing memungkinkan teknologi menjadi transparan. Transparansi dapat terjadi disebabkan karena lingkungan dari pervasive computing merupakan kumpulan dari bendabenda yang mudah dipakai, mudah diselipkan dan mudah di bawa ke mana-mana, juga terkoneksi secara wireless (tanpa kebel). ahmad, device perlu tahu pemilihan (preference) dan kebiasaan ahmad dalam mengemudi (yang dapat diambil dari profilenya) untuk membuat keputusan yang baik e. Dapat mengerti dan menggunakan informasi secara efektif Sebagai contoh, tidak cukup bagi sebuah alarm untuk mengetahui kapan user harus bangun, tapi juga harus membunyikan alarm untuk membangunkan user Berikut ini adalah beberapa karakteristik Ubiquitous computing [6], yaitu : a. Ketika memasuki rumah, tidak perlu lagi membawa kunci karena rumah akan tahu dengan sendirinya pemilik rumah akan masuk dan akan membuka kunci. b. Ketika tidak yakin bagaimana caranya untuk pergi ke suatu tempat, user akan diberitahukan tidak hanya bagaimana caranya kesana tapi juga jalan tercepat menuju kesana. c. Ketika pergi ke supermarket, user tidak perlu membawa daftar barang yang dibeli karena daftar tersebut dapat ditampilkan pada kartu belanja yang user bawa. Pembelajarna anak berkebutuhan khusus sangat berbeda dengan pembelajaran anak normal.Pembelajran anak berkebutuhan khusus membutuhan strategi pembelajran, metode pembelajran, model pembelajaran, media pembelajran yang perlu dipersiapkan secara rinci dan khusus. Tanpa adanya persiapan dan perencanaan yang tepat maka tujuan dari pembelajaran anak berkebutuhan khusus akan sulit dicapai. Terlebih jika pembelajran anak berkebutuhan khusus hanyan mengandalkan pembelajaran yang konvensional. Terdapat 10 saran praktis mengajar anak berkebutuhan khusus (ABK) , yaitu [8] : a. Dapat mengantisipasi kebutuhan user dan bertindak untuk itu. b. Peka terhadap context dari user c. Device perlu tidak terlihat (invisible). User tidak sadar bahwa sedang berinteraksi dengan komputer merupakan konsep invisible dalam Ubiquitous Computing. Melalui desaian/konsep miniaturisassi dari prosesor, chip, sensor, mikropon diselipkan ke benda-benda sehari-hari seperti pakaian, meja, kursi, pansil dan lain-lain adalah penerapan invisible ubiquitous computing. Dengan demikian komunikasi device akan terlihat lebih alami. d. Device yang proaktif dan pintar. Tidak seperti sistem komputasi konvensional dimana prilaku komputer merupakan respon dari interaksi user, dalam pervasive computing sistem komputer lebih proaktif dalam berinteraksi dengan user. Sebagai contoh jika ahmad mengendarai mobil untuk pergi ke pertemuan bisnis di kota lain. Kemacetan mungkin terjadi sewaktu-waktu. Pervasive device harus mampu mendeteksi kemacetan tersebut tanpa eksplisit harus disuruh untuk melakukan hal itu. Dalam mengidentifikasi rute alternatif untuk Berikut ini contoh dari pemanfaatan pervasive computing. a. Bersikap Baik Dan Positif b. Gunakan Setting Kelas Yang Sesuai c. Bicaralah Yang Jelas Dengan Posisi Wajah Menghadap Siswa d. Manfaatkan Semua Metode Komunikasi e. Gunakan Strategi Pengajaran Yang Efisien f. Utamakan Dukungan Teman Sebaya g. Manfaatkan Materi Pengajaran Yang Ada Dengan Sebaik Mungkin Pendidikan Matematika Universitas Muhammadiyah Purworejo, Ruang Seminar UM Purworejo, 28 Mei 2016 463 h. Beri Penjelasan Pada Semua Anak Mengenai Disabilitas i. Buatlah Kelas Anda Seaksesibel Mungkin j. Berbagilah Pengalaman Pemilihan model pembelajaran dan media pembelajran yang tepat sangat menentukan tercapainya tujuan pembelajaran anak berkebutuhan khusus. Mo no ton ,M em bo san kan Tujuan Pembelajaran MENARIK SU LIT , I N T E R A K T I F Media Konvensional M U D A H Pembelajaran Anak Berkebutuhan Khusus Gambar 2.Ubiquitous computing dalam Pembelajaran Anak Berkebutuhan Khusus Ubiquitous computing dalam pembelajaran anak berkebutuhan khusus dapat diibaratkan sebagai media pembelajaran. Berdasarkan karakteristik dan contoh pemanfaatan ubiquitous computing dalam uraian di atas, dengan memanfaatkan ubiquitous computing dalam pembelajaran anak berkebutuhan khusus diharapkan pembelajaran dapat berlangsung secara efektif, efisien, menarik dan interaktif. Berdasarkna hal itu tujuan pembelajaran anak berkebutuhan khusus dapat dicapai dengan baik. Berdasarkan karakteristik anak berkebutuhan khusus yang mempunyai perbedaan dengan anak normal, maka diharapkan ubiquitous computing mampu mengatasi segala keterbasan anak 464 berkebutuhan khusus. Dengan ubiquitous computing anak berkebutuhan khusus bisa lebih mudah dalam melakukan aktifitas salah satunya dalam pembelajaran. Seperti inti konsep ubiquitous computing yaitu, komputer dimanapun dalam kehidupan sehari-hari dan semua aktifitas menjadi mudah dengan ubiquitous computing. Berdasarkan computing yang telah beberapa contoh yang diterapkan untuk anak yaitu : contoh ubiquitous dituliskan diatas, ada cukup menarik untuk berkebutuhan khusus, a. Augmented Reality Augmented reality dideskripsikan sebagai penggabungan benda - benda nyata dan maya di lingkungan nyata, berjalan secara interaktif dalam waktu nyata, dan terdapat Prosiding Seminar Nasional Matematika dan Pendidikan Matematika, “Internalisasi Nilainilai Berpikir Matematis Dalam Perannya di Era Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA)” integrasi antarbenda dalam tiga dimensi, yaitu benda maya terintegrasi dalam dunia nyata [9]. Augmented reality secara garis besar prosesnya adalah dengan pembacaan citra pada marker yang secara automatis akan dicapture oleh kamera , camera akan mendeteksi marker tersebut dan akan di bandingkan dengan gambar marker yang telah mejadi acuan. Kemudian bila marker di kenali maka akan di tampilkan obyek 3D pada layar monitor. Augmented reality dapat diaplikasikan dalam pembelajran anak berkebutuhan khusus. Misalnya dalam pembelajran pengenalan benda, binatang, pekerjaan dll . Gambar 3. Pembelajaran Anak berkebutuhan Khusus dengan Augmented Reality b. A Day Made of Glass (Smart Glass) Corning merupakan perusahaan produsen kaca, keramik dan bahan sejenisnya terutama untuk aplikasi industri dan ilmiah dari Amerika Serikat yang merancang A Day Made of Glass. Konsep yang di gunakan dalam produksi ini adalah Digital Signage [10]. Digital Signage merupakan pengertian yang luas dari sebuah media baru yang menggantikan media konvensional dengan aplikasi dan teknologi-teknologi yang bervariasi. Dalam pengertian secara umum, Digital Signage mengarah kepada electronically controlled signs yang dapat diupdate/diperbaharui secara cepat, dengan biaya yang murah, dan pesan yang ingin disampaikan dapat terkirim ke ratusan atau bahkan ribuan display dalam satu waktu secara bersamaan (saat itu juga) [10]. “A Day Made Of Glass” merupakan suatu konsep di mana aktivitas keseharian manusia ditunjang melalui suatu teknologi yang berbasis Digital Signage dengan material dasarnya adalah kaca. Teknologi ini tentunya terintegrasi dengan suatu sistem smartphone yang dimilikinya yang kemudian tersambung pada kaca tersebut. Hal ini dapat menunjukkan konsep digital signage yang dapat diatur oleh manusia tersebut. Gambar 4. Siswa menggunakan Smart Glass dalam Pembelajaran. Pendidikan Matematika Universitas Muhammadiyah Purworejo, Ruang Seminar UM Purworejo, 28 Mei 2016 465 Gambar 5. Konsep Wall-Farmat Display Glass dalam Pembelajaran di Kelas Gambar 4 menunjukkan siswa menggunakan smart glass dalam proses pembelajaran dikelas. Dengan smart glass siswa tidak perlu harus menggunakan PC dalam proses pembelajrannya. Siswa dengan mudah menggunakan smart glass yang bersifat touch screen tanpa harus kesulitan menggunakan mouse maupun keyboard seperti PC pada umumnya. Gambar 5 menunjukkan seroang guru menggunakan konsep Wall-Format Display Glass dalam proses pembelaran. Guru dengan mudah berinteraksi dengan smart glass dengan tinggal menyentuh menumenu yang ada. 7. REFERENSI [1] Irwanto, Kasim Eva Rahmi, dkk. 2010. Analisis Situasi Penyandang Disabilitas diIndonesia. Pusat Kajian Disabilitas. Fakultas Ilmu Sosial dan Politi. Jakarta Komprehensif Bagi Anak Berkebutuhan Khusus di Sekolah Inklusif” http://staff.uny.ac.id/sites/default/files/pe ngabdian/dr-atien-nur-chamidahmdisst/mengenal-abk.pdf [5] Salim Choiri .2010. Media Pembelajaran ABK dalam setting sekolah inklusi. http://salimchoiri.blog.uns.ac.id/2010/0 6/02/media-pembelajaran-abk-dalamsetting-sekolah-inklusi/ [6] Retno Widowati dkk. 2015. PERVASIVE COMPUTING. www. IlmuKomputer.com [7] Andhika Erlangga. 2105. UBIQUITOUS COMPUTING. http://docslide.us/documents/ubiquito us-computing-kelompok-5pdf.html [8] Rini Andriani. 2015. 10 Saran Praktis Mengajar Anak Berkebutuhan Khusus (ABK). http://www.membumikanpendidi kan.com/2015/03/10-saranpraktis-mengajar-anak.html Efendi,M., 2006, Pengantar Psikopedagogik AnakBerkelainan, Jakarta, Bumi Aksara. [9] Azuma, Ronald T. (August 1997). "A Survey of Augmented Reality". Presence: Teleoperators and Virtual Environments. [3] Nandiyah Abdullah. 2013. MENGENAL ANAK BERKEBUTUHAN KHUSUS. Magistra No. 86 Th. XXV Desember 2013 [10]Ferdiansyah.2014.A Day Made of Glass. http://ferdi8ansyah.blogspot.co.id/2014/ 04/a-day-made-of-glass.html [2] [4] Atien Nur Chamidah. 2015. MENGENAL ANAK BERKEBUTUHAN KHUSUS.“Pelatihan Layanan 466 Prosiding Seminar Nasional Matematika dan Pendidikan Matematika, “Internalisasi Nilainilai Berpikir Matematis Dalam Perannya di Era Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA)” PENGARUH PENDEKATAN OPEN-ENDED PROBLEM TERHADAP HASIL BELAJAR SISWA Muhammad Amri Abdan Syakuro Prodi Pendidikan Matematika, Sekolah Tinggi Keguruan dan Ilmu Pendidikan AL HIKMAH Surabaya email : [email protected] Abstrak Sering kali proses pembelajaran matematika yang dilakukan oleh guru berfokus pada prosedur pengerjaan tugas. Jarang sekali tugas matematika yang diberikan terintegrasi dengan konsep lain dan memerlukan kemampuan berpikir tingkat tinggi. Akibatnya, saat siswa dihadapkan dengan tugas yang sulit dan membutuhkan kemampuan tingkat tinggi, maka siswa cenderung malas mengerjakannya, sehingga perlu cara pemberian tugas kepada siswa. Salah satu bentuk pemberian tugas berupa pemberian masalah konteksual yang mempunyai jawaban tidak tunggal (open problem). Dalam tulisan ini, akan dikemukakan pengaruh dari pemberian pembelajaran matematika dengan menggunakan pendekatan open ended problem. Strategi yang digunakan agar berpengaruh terhadap hasil belajar siswa adalah memberikan latihan soal terbuka yang sesuai dengan latar belakang siswa. Kata Kunci: Open-Ended Problem, Soal Terbuka. 1. PENDAHULUAN Matematika adalah salah satu mata pelajaran wajib yang harus dipelajari oleh siswa saat bersekolah di jenjang pendidikan dasar sampai pendidikan menengah. Berdasarkan PERMENDIKNAS No. 22 tahun 2006, tujuan dari pembelajaran matematika di sekolah adalah berikut : siswa memahami konsep matematika, menjelaskan keterkaitan antar konsep dan mengaplikasikan konsep matematika dalam pemecahan masalah, menggunakan penalaran matematik, melakukan manipulasi matematika dalam membuat generalisasi, menyusun bukti, dan memecahkan masalah yang meliputi kemampuan memahami masalah, merancang model matematika, menyelesaikan model, dan menafsirkan solusi yang diperoleh (Herman, 2007). Dari uraian tersebut disimpulkan bahwa pembelajaran matematika tidak berfokus pada penguasaan materi saja, namun juga menekankan pada aspek non materi matematika. Sedangkan, kenyataan di lapangan, guru sering kali hanya berfokus pada prosedur pengerjaan tugas. Pemberian tugas matematika rutin yang diberikan dalam bentuk latihan atau tugas-tugas kepada siswa selalu terfokus pada prosedur dan keakuratan (Sumarmo, 2004). Sebagai contoh kita ambil soal-soal yang berada di buku matematika kelas VIII pada bab bangun ruang sisi datar, maka akan ditemui soal-soal untuk mencari luas bangun datar. Jarang sekali tugas matematika yang diberikan terintegrasi dengan konsep lain dan juga jarang memuat soal yang memerlukan kemampuan berpikir tingkat tinggi. Dari uraian diatas dapat disimpulkan bahwa tujuan siswa belajar matematika yaitu agar siswa mampu mengerjakan soal-soal matematika, mulai dari ulangan harian sampai tes masuk perguruan tinggi. Jadi siswa belajar matematika hanya untuk dapat mengerjakan soal-soal matematika saja, sehingga tujuan pembelajaran matematika yang lain, seperti kemampuan bernalar, memecahkan masalah tidak tersentuh. Akibatnya ketika siswa dihadapkan dengan tugas yang sulit dan membutuhkan kemampuan berpikir tingkat tinggi, maka Pendidikan Matematika Universitas Muhammadiyah Purworejo, Ruang Seminar UM Purworejo, 28 Mei 2016 467 siswa cenderung malas mengerjakannya, sehingga perlu cara pemberian tugas kepada siswa (Jarnawi Afgani, n.d.). Salah satu cara pemberian tugas kepada siswa adalah dengan memberikan suatu permasalahan. Masalah yang diambil dapat diperoleh dari masalah kontekstual dan masalah matematika (Herman, 2007). Jika dilihat dari cara menjawab masalah, maka ada dua tipe masalah, yaitu tipe masalah yang diberikan mempunyai cara dan jawaban tunggal (close problem) atau tipe masalah yang mempunyai cara dan jawaban yang tidak tunggal (open problem) (Ali, 2008). Pertanyaan yang mempunyai jawaban tidak tunggal (open problem) menyebabkan yang ditanya untuk membuat hipotesis, perkiraan, mengemukakan pendapat, menilai dan menarik kesimpulan. Sehingga, dengan adanya pertanyaan terbuka, guru berpeluang untuk membantu siswa dalam memahami dan mengelaborasi kemampuan daya berpikir siswa sejauh dan sedalam mungkin. Oleh karena itu, peneliti ingin mengetahui pengaruh penerapan pembelajaran menggunakan pendekatan open-ended problem terhadap hasil belajar siswa dalam topik permutasi. Tujuan penelitian ini adalah untuk menjelaskan pengaruh dari penerapan pembelajaran matematika menggunakan pendekatan open-ended problem terhadap hasil belajar siswa. Hipotesis awal peneliti, bahwa penerapan pembelajaran matematika menggunakan pendekatan open-ended problem berpengaruh terhadap hasil belajar siswa. Pada penelitian ini, penerapan treatment open-ended hanya sebatas pemberian permasalahan nyata yang mengandung konsep permutasi yang bersifat open question. 468 2. KAJIAN LITERATUR 2.1.Pendekatan Open-Ended Problem Open-ended Problem merupakan salah satu inovasi dalam pendidikan matematika yang pertama kali dilakukan oleh para ahli matematika Jepang. Pendekatan ini lahir dari hasil penelitian yang dilakukan oleh Shigeru Shimada, Toshio Sawada, Yoshiko Yashimoto, dan Kenichi Shibuya. Tujuan dari penelitian yang dilakukan oleh Shimada adalah menguji keefektifan guru dalam mengajar dikelas. Munculnya pendekatan open-ended tersebut berawal dari pandangan bagaimana cara untuk menilai secara objektif kemampuan berfikir tingkat tinggi siswa dalam pelajaran matematika. Seperti diketahui, dalam pembelajaran matematika, pemberian rangkaian aturan, keterampilan, dan penjelasan konsep matematika kepada siswa diberikan secara langsung, sistematis dan tidak terpisah antara satu dengan yang lain, agar dalam otak siswa terbentuk suatu keteraturan atau pengorganisasian intelektual secara optimal. Untuk mengetahui kemampuan tingkat tinggi matematika siswa, guru harus menelaah, bagaimana cara agar seluruh kemampuan yang dimiliki oleh siswa dapat digunakan untuk mengatasi masalah yang dihadapi, sehingga guru harus memilih tes tertulis yang akan diberikan kepada siswa agar pola pikir matematis dan kemampuan yang telah dimiliki oleh siswa muncul (Syahbana, 2012). Namun, sering kali yang terjadi di lapangan, guru memberikan tes tertulis menggunakan close problem, hal tersebut mengakibatkan tidak munculnya kemampuan siswa dalam berfikir, karena siswa cenderung hanya menggunakan sebagian kecil dari pola pikir matematikanya. Akibatnya, muncul suatu pertanyaan, bagaimana cara agar tes tertulis yang diberikan oleh guru dalam bentuk soal rutin Prosiding Seminar Nasional Matematika dan Pendidikan Matematika, “Internalisasi Nilainilai Berpikir Matematis Dalam Perannya di Era Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA)” mempunyai probibalitas tinggi untuk mengukur secara objektif kemampuan tingkat tinggi anak ? Untuk menjawab pertanyaan tersebut, Shimada dan Becker (1997) mengelompokan langkah-langkah untuk mengukur secara objektif kedalam tiga bagian, yaitu : Pertama, perilaku apa dari siswa yang dapat dijadikan sebagai alat untuk mengukur kemampuan berfikir tingkat tinggi siswa secara objektif ? meskipun yang terjadi sebenarnya, sangat sulit untuk mengevaluasi secara langsung bagaimana proses berfikir tingkat tinggi siswa saat pembelajaran berlangsung, lalu muncul pertanyaan selanjutnya, perilaku apa yang dapat diukur dari siswa atau pola perilaku apa yang ditunjukan oleh siswa saat sedang berfikir tingkat tinggi? Kedua, bagaimana mengkaji perilaku siswa yang muncul saat pembelajaran sedemikian hingga perilaku yang muncul dapat digunakan untuk mengukur kemampuan berfikir tingkat tinggi siswa? Dengan kata lain, dapatkah kita berharap bahwa siswa yang mempunyai penampilan baik pada saat tes rutin juga berpenampilan baik pada saat tes non rutin. Ketiga, Serangkaian pengetahuan, keterampilan, dan cara-cara berfikir merupakan komponen-komponen yang penting dari berfikir tingkat tinggi, tetapi dapatkah komponen-komponen tersebut dikembangkan lebih lanjut dengan menambah pengajaran? Jika ya, mungkinkah semua guru berkonsentrasi pada pengajaran pengetahuan, keterampilan,dan lainnya? dalam mengobservasi pola perilaku siswa yang ditunjukan melalui tes rutin, maka langkah yang harus dilakukan oleh guru adalah menyusun atau mendesain suatu masalah yang dapat memunculkan cara berfikir matematik. Dengan kata lain, saat menganalisis masalah, siswa akan membawa permasalahan tersebut kedalam cara berfikir mereka dengan cara memobilisasi atau menggunakan kemampuan matematika yang telah dipelajarinya. Kedua, diperlukan suatu strategi bagaimana guru menyiapkan situasi permasalahan sedemikian hingga permasalahan yang diberikan, dapat memobilisasi segala kemampuan matematika yang dimiliki oleh siswa. Hal inilah yang diadopsi sebagai open-ended problem Sedangkan untuk pertanyaan terakhir, terdapat kesulitan saat mendesain pembelajaran tersebut. Namun, kesimpulan dari hasil penelitian yang dilakukan oleh Shimada dan Becker menunjukan bahwa kemampuan berfikir tingkat tinggi siswa akan muncul melalui proses pembelajaran open-ended. Dari penjelasan diatas, dapat diketahui bahwa terdapat kesulitan saat mendesain pembelajaran dengan menggunakan pendekatan open-ended problem. Namun dibalik kesulitan tersebut, pembelajaran menggunakan pendekatan open-ended problem memberikan ruang bebas kepada siswa untuk menganalisis permasalahan yang ada dan menyelesaikan permasalahan sesuai dengan kognitif masing-masing siswa (Japa & Ngurah, 2008). 2.2. Tipe dan Jenis permasalahan Selanjutnya jawaban dari pertanyaan diatas adalah sebagai berikut : Pertama, kita mengetahui bahwa tidak ada kriteria yang objektif yang digunakan Pada pembelajaran melalui pendekatan open-ended, masalah merupakan alat pembelajaran yang utama. Untuk mengondisikan siswa agar dapat memberikan Pendidikan Matematika Universitas Muhammadiyah Purworejo, Ruang Seminar UM Purworejo, 28 Mei 2016 469 reaksi terhadap situasi masalah yang diberikkan berbentuk open-ended tidaklah mudah. Masalah yang diberikan merupakan permasalahan non rutin (Johar, 2013), yaitu masalah yang mampu mengkonstruksi pemikiran siswa sedemikian hingga siswa tidak serta merta dapat menentukan konsep matematika dan algoritma cara penyelesaiannya. Ada tiga tipe masalah yang dapat diberikan dalam pembelajaran menggunakan pendekatan open ended, yaitu menemukan hubungan, pengklasifikasian, dan pengukuran (Becker & Shimada, 1997). Selanjutnya, jenis permasalahan yang digunakan dalam pembelajaran menggunakan pendekatan open-ended adalah masalah non rutin yang bersifat terbuka. Non rutin maksudnya adalah suatu permasalahan yang belum pernah diberikan guru kepada siswa dan bersifat terbuka, terbuka terhadap cara menjawab soal, jawaban soal, atau pengembangan lanjut dari soal tersebut (Ali, 2008). 2.3. Penelitian yang Relevan Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Hiro Ninomiya yang berjudul the Study of Openended Approach in Mathematics Teaching Using Jigsaw Method, Ninomiya menyimpulkan bahwa kemampuan berpikir siswa sangat baik dalam kefleksibilitasan memikir. Dalam aktifitas pembelajaran, pertanyaan yang bersifat open problem lebih baik dari pertanyaan yang menarik dan menantang, dan jika guru membuat pertanyaan yang berasal dari kondisi mereka saat ini, siswa akan terlibat untuk menyelesaikan permasalahan secara perlahan-lahan dan lebih memahami permasalahan yang diberikan oleh guru (NINOMIYA & PUSRI, n.d.) 3. METODE PENELITIAN Metode yang digunakan dalam penelitian ini menggunakan metode penelitian eksperimen dengan desain penelitian Pree eksperimental design. Dari berbagai macam bentuk pree eksperimental design, peneliti menggunakan bentuk one shoot case study yaitu dengan desain terdapat suatu kelompok diberi treatment atau perlakuan dan selanjutnya diobservasi hasilnya menggunakan post test. Adapun langkah penelitian dilakukan adalah sebagai berikut: yang Pertama kali, peneliti menentukan kelas yang akan digunakan dalam penelitian, yaitu menggunakan kelas XI. Kelas tersebut peneliti pilih karena banyak siswa pada kelas tersebut yang ideal. Banyak siswa dalam kelas tersebut sebanyak 33 siswa, dengan 9 siswa laki-laki dan 24 siswa perempuan. Pada hari berikutnya, peneliti melaksanakan observasi kelas, dengan tujuan agar peneliti mengetahui karakteristik siswa yang berada di dalam kelas tersebut. Selanjutnya, peneliti memetakan tiap siswa berdasarkan afektif siswa, dengan cara mengamati secara langsung siapa saja siswa yang aktif dan memperhatikan penjelasan yang diberikan oleh guru. Setelah observasi dilaksanakan, pada pertemuan selanjutnya peneliti menggantikan guru untuk mengajar di kelas. Dengan cara mengajar, siswa tidak merasa menjadi bahan penelitian saat penelitian berlangsung. Selanjutnya peneliti memberikan treatment kepada siswa. Sebelum treatment diberikan, peneliti mengajarkan materi prasyarat berupa materi aturan perkalian dan faktorial agar siswa lebih mudah memahami saat peneliti mengajarkan materi permutasi. Langkah selanjutnya, peneliti memberikan treatment kepada siswa berupa 470 Prosiding Seminar Nasional Matematika dan Pendidikan Matematika, “Internalisasi Nilainilai Berpikir Matematis Dalam Perannya di Era Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA)” penjelasan materi permutasi, mulai dari definisi permutasi beserta contoh soal rutin yang biasa diberikan oleh guru. Pada topik permutasi, ada berbagai macam bentuk permutasi mulai dari permutasi bentuk umum sampai dengan permutasi siklik. Agar siswa memahami berbagai macam bentuk permuttasi yang ada, maka peneliti memberikan latihan soal rutin pada setiap macam bentuk permutasi. Setelah siswa memahami definisi dari permutasi, dan berbagai macam bentuk dari permutasi, treatment selanjutnya yaitu memberikan latihan soal non rutin berbentuk pertanyaan open ended. Soal berbentuk openendeddiberikan kepada siswa setelah siswa memahami definisi dan berbagai macam bentuk permutasi, karena jika siswa tidak memahami definisi dan berbagai macam bentuk permutasi, siswa akan kesulitan saat mengerjakan soal berbentuk open ended, karena soal tersebut adalah soal dengan tipe berpikir yang tinggi. Pada pendekatan open-ended pemberian masalah merupakan hal yang sangat penting (Becker & Shimada, 1997), maka peneliti memberikan permasalahan yang berasal dari kehidupan sehari-hari yaitu fenomena susunan angka dan huruf pada pin BB (black berry). Setelah memberikan treatment, maka peneliti langsung memberikan post test kepada siswa. Pemberian post test dilaksanakan pada hari itu juga setelah penerapan treatment karena untuk menghindari kebiasan hasil. Penelitian ini dilaksanakan di salah satu SMK negeri di Surabaya. Waktu penelitian yaitu pada tanggal 21 maret 2016. Teknik mengumpulan data menggunakan tes dan instrumen penelitian menggunakan soal yang berasal dari buku detik-detik UN dan Ujian Nasional. Teknik analisis data menggunakan uji-t satu pihak kanan dengan ketentuan sebagai berikut. Hipotesis nol ( ) dalam penelitian ini adalah rata-rata hasil belajar matematika siswa yang diberi pembelajaran dengan menggunakan pendekatan open-ended problem lebih kecil atau sama dengan 75 (KKM), sedangankan hipotesis alternatif adalah rata-rata hasil belajar matematika siswa yang diberi pembelajaran dengan menggunakan pendekatan open-ended problem lebih dari 75 (KKM). Rumusan hipotesis di atas diuji menggunakan uji pihak kanan, dengan menggunakan rumus berikut. ̅ √ Keterangan: : hitung ̅ : skor rata-rata eksperimen kelompok : nilai yang dihipotesiskan : jumlah anggota sampel Langkah selanjutnya adalah membandingkan dengan dengan rincian berikut. diterima jika lebih dari , dan diterima jika kurang dari . Selanjutnya menarik kesimpulan dari hasil tersebut. 4. HASIL DAN PEMBAHASAN Penerapan pendekatan open-ended kepada siswa dalam bentuk fenomena penyusunan nomor pin merupakan salah satu Pendidikan Matematika Universitas Muhammadiyah Purworejo, Ruang Seminar UM Purworejo, 28 Mei 2016 471 cara yang peneliti tempuh agar siswa mau untuk berpikir tingkat tinggi. Permasalahan yang diambil tidak jauh dari kehidupan siswa, agar siswa tertarik untuk menyelesaikan permasalahan tersebut. (Krismanto, 2003). Nomor pin BB terdiri dari 8 susunan dengan 6 huruf kapital dan 3 angka yang disusun secara acak. Misal sebuah pin BB seperti berikut: 5AED7UI0, maka tugas siswa adalah mencari syaratsyarat yang diperlukan agar hasil tersebut muncul. Dari permasalahan tersebut, siswa melakukan berbagai percobaan untuk menemukan syarat yang diperlukan. Peneliti memberikan waktu 15 menit kepada siswa. Selama 15 menit tersebut siswa berkutat dengan soal dan suasana kelas menjadi hening, karena seluruh siswa sibuk dengan soal masing-masing. Setelah 15 menit, peneliti meminta siswa untuk mengumpulkan berapapun hasil yang telah mereka kerjakan. Setelah peneliti hitung, rata-rata siswa menemukan 3 cara berbeda, dan setiap cara memiliki syarat-syarat yang berbeda. Banyaknya cara yang didapatkan oleh siswa, akan peneliti gunakan sebagai nilai tambahan, jadi jika siswa mendapatkan 3 cara, maka 3 point tambahan untuk siswa tersebut. Nilai tambahan ddapat digunakan untuk nilai tambahan post test, tugas matematika, atau ulangan harian. Saat treatment dilakukan, kesan pertama yang didapatkan oleh siswa adalah kesulitan dalam memahami contoh soal yang diberikan, karena siswa belum pernah mendapatkan soal open-ended sebelumnya, oleh karena itu sebelum treatment dilakukan, peneliti menerangkan terlebih dahulu definisi dari permutasi dan saat treatment siswa akan lebih faham mengenai konsep permutasi tersebut karena contoh soal yang diberikan di desain agar siswa menemukan sendiri asal 472 rumus permutasi. Namun, yang terjadi siswa masih saja kesulitan, sehingga butuh beberapa waktu yang diberikan untuk memahami contoh soal. Dari kesulitan tersebut, kemampuan berfikir tingkat tinggi siswa muncul, karena segala usaha mereka libatkan dalam proses mencari jawaban permasalahan yang diberikan. Total siswa yang mengikuti post test sebanyak 24 siswa dari total 33 siswa. 9 siswa yang tidak hadir diantaranya 2 siswa mengundurkan diri dari sekolah, 1 siswa sakit, 2 siswa ijin dan 4 siswa tidak hadir tanpa keterangan. Setelah treatment dilakukan, peneliti memberikan post test berupa 5 soal uraian yang berasal dari soal UN SMA. Hasil yang didapatkan sebagai berikut. Tabel 1. Hasil post test N Ratarata Skor tertinggi Skot terendah 2 82,50 100 50 Dari tabel tersebut, nilai rata-rata siswa berada di atas nilai KKM. Selanjutnya peneliti menghitung hasil post test dengan cara uji-t dengan taraf signifikansi (∝) sebesar 0,05. Tabel 2. Uji-t ̅ s N 82,5 75 14,81 24 2,48 2,06 Berdasarkan hasil perhitungan, didapatkan t_hitung sebesar 2,48. Hasil hitung tersebut menunjukan bahwa . Menurut uji-t, jika , maka diterima. Sehingga Prosiding Seminar Nasional Matematika dan Pendidikan Matematika, “Internalisasi Nilainilai Berpikir Matematis Dalam Perannya di Era Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA)” kesimpulan dari uji-t tersebut adalah rata-rata hasil belajar matematika siswa yang diberi pembelajaran dengan menggunakan pendekatan open-ended problem lebih dari 75 (KKM) atau dengan kata lain penerapan pembelajaran menggunakan pendekatan open-ended problem berpengaruh terhadap hasil belajar siswa. 5. KESIMPULAN Berdasarkan hasil penelitian diperoleh hasil berikut Pembelajaran menggunakan pendekatan open-ended problem adalah suatu pembelajaran yang dilaksanakan untuk menggali kemampuan berfikir siswa serta memacu daya pemikiran siswa untuk berfikir tingkat tinggi. Pembelajaran menggunakan pendekatan open-ended problem sulit untuk dilakukan karena berbagai faktor, salah satunya adalah siswa kesulitan dalam memahami pertanyaan yang bersifat open problem. Namun, jika pembelajaran berhasil, maka siswa mendapatkan kesempatan untuk mengelaborasi seluruh kemampuan atau skill yang dimiliki untuk menyelesaikan permasalahan yang ada. Persiapan alat pembelajaran dan cara menerangkan sangat menentukan keberhasilan pembelajaran menggunakan pendekatan open-ended problem, sehingga guru hendaknya mempersiapkan dengan matang apa saja yang diperlukan saat mengajar di kelas. Sesuai dengan penelitian yang dilakukan oleh Shimada, pemberian masalah merupakan kunci utama dalam pendekatan ini. Diperlukan suatu strategi dalam memilih masalah yang akan diberikan kepada siswa, maka masalah yang diberikan kepada siswa adalah permasalahan kontekstual yang masih dapat dijangkau oleh pemikiran siswa, sehingga permasalahan yang di berikan hendaknya menyesuaikan latar belakang siswa. Terdapat peningkatan hasil belajar setelah mendapatkan pendekatan openended. Berdasarkan hasil perhitungan uji-t didapatkanhasil sebesar 2,49, yang menunjukan bahwa penerapan pendekatan open-ended berpengaruh terhadap hasil belajar siswa. Meskipun penerapan pembelajaran open-ended sedikit rumit, namun jika berhasil, siswa akan merasakan kebermaknaan dalam belajar matematika (Suandito, Darmawijoyo, & Purwoko, 2013), karena siswa mengetahui tujuan pembelajaran dalam belajar matematika. 6. REFERENSI Ali, M. (2008). Mengembangkan Soal Terbuka (Open-Ended Problem) dalam Pembelajaran Matematika. In PROSIDING SEMINAR NASIONAL MATEMATIKA DAN PENDIDIKAN MATEMATIKA. Jurusan Pendidikan Matematika Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Negeri Yogyakarta. Retrieved from http://eprints.uny.ac.id/6897/ Becker, J. P., & Shimada, S. (1997). The Open-Ended Approach: A New Proposal for Teaching Mathematics. ERIC. Retrieved from http://eric.ed.gov/?id=ED419689 Herman, T. (2007). Pembelajaran Berbasis Masalah untuk Meningkatkan Kemampuan Berpikir Matematis Tingkat Tinggi Siswa Sekolah Menengah Pertama. Educationist, 1(1), 47–56. Japa, I. G. N., & Ngurah, G. (2008). Peningkatan Kemampuan Pemecahan Pendidikan Matematika Universitas Muhammadiyah Purworejo, Ruang Seminar UM Purworejo, 28 Mei 2016 473 Masalah Matematika Terbuka Melalui Investigasi Bagi Siswa Kelas V SD 4 Kaliuntu. Jurnal Penelitian Dan Pengembangan Pendidikan. Lembaga Penelitian Undiksha, 2(1), 60–73. Jarnawi Afgani, D., & (first). (n.d.). Pendekatan Open-Ended dalam Pembelajaran Matematika. Retrieved from http://file.upi.edu/Direktori/FPMIPA/J UR._PEND._MATEMATIKA/196805 111991011JARNAWI_AFGANI_DAHLAN/Pere ncanaan_Pembelajaran_Matematika/o pen-ended.pdf. Johar, R. (2013). Domain Soal PISA untuk Literasi Matematika. Jurnal Peluang, 1(1), 30. Krismanto, A. (2003). Beberapa Teknik, Model, dan Strategi dalam Pembelajaran Matematika. Yogyakarta: Depdiknas Dirjen Pendidikan Dasar Dan Menengah. Retrieved from http://p4tkmatematika.org/downloads/s ma/STRATEGIPEMBELAJARANM ATEMATIKA.pdf. PENGEMBANGAN SOAL MATEMATIKA NON RUTIN DI SMA XAVERIUS 4 PALEMBANG. Jurnal Pendidikan Matematika, 3(2). Retrieved from http://ejournal.unsri.ac.id/index.php/jp m/article/view/325. Sumarmo, U. (2004). Kemandirian belajar: Apa, mengapa, dan bagaimana dikembangkan Pada peserta didik. Bandung: Universitas Pendidikan. Retrieved from http://uc.blogdetik.com/165/165047/fil es/2011/09/kemandirian-belajar-matdes-06-new.pdf. Syahbana, A. (2012). Peningkatan Kemampuan Berpikir Kritis Matematis Siswa SMP Melalui Pendekatan Contextual Teaching and Learning. Edumatica | Journal Pendidikan Matematika, 2(1). Retrieved from http://onlinejournal.unja.ac.id/index.php/edumatica /article/view/604 NINOMIYA, H., & PUSRI, P. (n.d.). The Study of Open-ended Approach in Mathematics Teaching Using Jigsaw Method. Retrieved from http://sucra. saitama-u.ac.jp/ modules/xoonips/download.php?file_i d=35306. Suandito, B., Purwoko, 474 Darmawijoyo, P. D., & (2013). Prosiding Seminar Nasional Matematika dan Pendidikan Matematika, “Internalisasi Nilainilai Berpikir Matematis Dalam Perannya di Era Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA)” IMPLEMENTASI LEARNING CYCLE 7E DALAM PENCAPAIAN KEMAMPUAN PEMECAHAN MASALAH MATEMATIS SISWA Suci Intan Sari Sekolah Pascasarjana Universitas Pendidikan Indonesia Email: [email protected] Abstrak Kemampuan pemecahan masalah matematika merupakan salah satu kemampuan berpikir tingkat tinggi matematis yang menjadi tuntutan dalam menghadapi era masa kini. Hal ini terlihat dari upaya untuk memasukkan kemampuan pemecahan masalah dalam kurikulum pendidikan, khususnya tingkat SMP. Penelitian ini dilatarbelakangi oleh fakta di lapangan bahwa kemampuan pemecahan masalah matematis siswa SMP belum sesuai dengan harapan. Salah satu penyebabnya adalah pembelajaran yang dominan dilakukan di sekolah belum mampu memfasilitasi dan mendorong siswa untuk dapat mengkonstruksi pengetahuan matematika yang mereka miliki dalam menyelesaikan masalah. Salah satu pembelajaran yang bisa digunakan untuk mengoptimalkan kemampuan tersebut adalah Learning Cycle 7E. Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis pencapaian kemampuan pemecahan masalah matematis siswa yang menggunakan Learning Cycle 7E dalam pembelajaran matematika. Metode penelitian yang digunakan adalah kuasi eksperimen dengan, populasi siswa kelas VIII SMP Negeri 4 Lembang Bandung Barat yang terdiri atas tujuh kelas dan diambil dua kelas sebagai sampel penelitian. Faktor kemampuan awal matematis siswa (KAM) juga menjadi pembahasan dalam penelitian ini. Hasil penelitian menunjukkan bahwa pencapaian kemampuan pemecahan masalah matematis siswa yang menggunakan Learning Cycle 7E lebih tinggi daripada siswa yang mendapatkan pembelajaran konvensional, baik secara keseluruhan maupun berdasarkan kategori KAM. Kata Kunci: Learning Cycle 7E, Kemampuan Pemecahan Masalah Matematis Siswa, Kemampuan Awal Matematis (KAM). 1. PENDAHULUAN Mathematics is Queen and Servant of Science berarti matematika merupakan salah satu ilmu dasar yang banyak digunakan dalam berbagai bidang keilmuan. Matematika selain sebagai fondasi ilmu pegetahuan lain, juga sebagai pembantu bagi ilmu pengetahuan lain, khususnya dalam pengembangan ilmu pengetahuan tersebut. Pentingnya matematika juga diamanatkan dalam UU No. 20 Tahun 2003 tentang Sisdiknas Pasal 37 yang menyebutkan bahwa matematika merupakan mata pelajaran wajib pada kurikulum pendidikan dasar dan menengah. Dalam praktik pembelajaran matematika di sekolah, untuk dapat menghadapi tantangan di era globalisasi dan Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA) setiap individu dituntut memiliki berbagai kemampuan. Menurut National Council of Teachers of Mathematics (NCTM) tahun 2000, kemampuan-kemampuan matematis yang harus dimiliki siswa dalam pembelajaran matematika antara lain: pemecahan masalah matematis (problem solving), penalaran dan pembuktian matematis (reasoning and proof), komunikasi matematis (communication), koneksi matematis (connections) dan representasi matematis (representation). Sejalan dengan hal tersebut, dalam Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP) tahun 2006, tujuan pembelajaran matematika di sekolah antara lain: memahami konsep matematika, menjelaskan keterkaitan antara konsep dan mengaplikasikan konsep atau algoritma Pendidikan Matematika Universitas Muhammadiyah Purworejo, Ruang Seminar UM Purworejo, 28 Mei 2016 475 secara luwes, akurat, efisien, dan tepat dalam pemecahan masalah; menggunakan penalaran pada pola dan sifat, melakukan manipulasi dalam membuat generalisasi, menyusun bukti atau menjelaskan gagasan dan pernyataan matematis; memecahkan masalah yang meliputi kemampuan memahami masalah, merancang model matematis, menyelesaikan model dan manafsirkan solusi yang diperoleh; mengkomunikasikan gagasan dengan simbol, tabel, diagram atau media lain untuk memperjelas keadaan atau masalah; dan memiliki sikap menghargai kegunaan matematika dalam kehidupan, yaitu memiliki rasa ingin tahu, perhatian dan minat dalam mempelajari matematika, serta sikap ulet dan percaya diri dalam pemecahan masalah. Dari uraian di atas, terlihat bahwa pemecahan masalah mendapat perhatian yang cukup besar. Hal itu terlihat dari upaya untuk memasukkan kemampuan pemecahan masalah dalam kurikulum atau strategi pembelajaran. Siswa dituntut untuk bisa menggunakan keterampilannya dalam pemecahan masalah. Lester (Branca, 1980) menyatakan bahwa „Problem solving is heart of mathematics‟. Kemampuan pemecahan masalah merupakan jantungnya matematika. Banyak negara yang menempatkan pemecahan masalah sebagai ruh dalam pembelajaran matematika. Di Indonesia, kemampuan pemecahan masalah matematis sangat dibutuhkan siswa, guru harus membekali siswa dengan kemampuan pemecahan masalah. Hal ini dilakukan supaya pembelajaran matematika di sekolah sejalan dengan kurikulum yang menjadikan kemampuan pemecahan masalah matematis sebagai kemampuan yang dituju oleh standar kompetensi pada umumnya. Pimta, ddk (2009) menyatakan bahwa kemampuan pemecahan masalah merupakan 476 kemampuan yang digunakan tidak hanya untuk membantu siswa dalam mengembangkan kemampuan berpikir siswa tetapi juga membantu siswa untuk mengembangkan kemampuan dasar dalam menyelesaikan masalah khususnya masalah dalam kehidupan sehari-hari. Tujuan pembelajaran matematika menjadi efektif saat siswa mampu menyelesaikan masalah yang diberikan dalam pembelajaran matematika. Menurutnya kemampuan pemecahan masalah dianggap sebagai jantung pembelajaran matematika karena tidak hanya kemampuan dalam mempelajari suatu pelajaran tetapi menekankan kepada mengembangkan kemampuan berpikir secara baik. Siswa dapat menggunakan pengetahuan dan kemampuan pemecahan masalah mereka untuk kehidupan sehari-hari mulai dari proses pemecahan masalah matematis sampai pemecahan masalah umum. Sejalan dengan hal di atas, Das dan Das (2013) menyatakan pemecahan masalah memainkan peranan penting dalam pembelajaran matematika. Melalui kemampuan pemecahan masalah, siswa bisa meningkatkan kemampuan berpikir mereka, menggunakan prosedur, memperdalam pemahaman konsep siswa. Pemecahan masalah sebagai sarana bagi siswa untuk memulai berpikir secara kritis. Pemecahan masalah merupakan bagian utama yang penting dalam pembelajaran matematika. Kemampuan pemecahan masalah merupakan sarana bagi siswa untuk membangun ide mereka sendiri, meningkatkan berpikir logis, transfer kemampuan pada situasi tak biasa dan untuk meningkatkan tanggung jawab terhadap perkembangan pembelajaran itu sendiri. Sehingga, pemecahan masalah menjadi komponen dalam pembelajaran matematika yang menjadi penekanan oleh pendidik, orang tua, dan sekolah. Mereka mengumpulkan catatan beberapa penelitian mengenai pentingnya karakteristik pemecahan masalah, antara lain: merupakan Prosiding Seminar Nasional Matematika dan Pendidikan Matematika, “Internalisasi Nilainilai Berpikir Matematis Dalam Perannya di Era Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA)” dialog dan persetujuan umum antara siswa; untuk mendorong siswa membuat generalisasi dari aturan dan konsep, guru menerima benar atau salah jawaban; guru membimbing, melatih, memberi pertanyaan wawasan dan berbagi dalam proses pemecahan masalah; guru mengetahui kapan waktu intervensi yang tepat, dan kapan untuk melanjutkan pembelajaran serta membiarkan siswa membuat cara mereka sendiri; interaksi antara siswa-siswa dan guru-siswa; dan guru memberikan informasi yang cukup untuk memperlihatkan maksud dari permasalahan dan siswa menjelaskan, mengartikan serta mencoba membangun satu atau lebih proses penyelesaian. Pentingnya kemampuan pemecahan masalah juga diungkapkan oleh Syaiful (2013) yang menyatakan bahwa kemampuan pemecahan masalah siswa dalam matematika penting karena sebagai berikut: (1) kemampuan pemecahan masalah merupakan tujuan umum pembelajaran matematika, merupakan jantung matematika; (2) pemecahan masalah yang terdiri dari metode, prosedur, dan strategi merupakan proses utama dan penting dalam kurikulum matematika; dan (3) pemecahan masalah merupakan kemampuan dasar dalam pembelajaran matematika. Sama halnya dengan Ersoy dan Guner (2015) yang menyatakan masalah dan pemecahan masalah merupakan kenyataan hidup yang diperlukan dan bagian utuh dalam matematika. Salah satu komponen penting dalam proses pemecahan masalah adalah strategi pemecahan masalah. Menggunakan strategi pemecahan masalah yang tepat akan menjadikan pemecahan masalahnya benar. Strategi pemecahan masalah merupakan rencana yang dibuat untuk mengetahui bagaimana persoalan bisa diselesaikan. Strategi pemecahan masalah pada umumnya meliputi literatur pengujian dan taksiran, membuat daftar, menemukan pola, menggambar diagram, menyelesaikan persamaan dan pertidaksamaan, perkiraan, menyelesaikan sebuah masalah sederhana, membuat tabel dan penalaran logis. Berdasarkan uraian di atas jelas bahwa kemampuan pemecahan masalah merupakan aspek yang penting yang harus dimiliki siswa. Dengan demikian, diharapkan siswa dapat mengembangkan kemampuan pemecahan masalah matematis. Akan tetapi, kenyataan di lapangan menunjukkan bahwa kemampuan pemecahan masalah matematis siswa pada umumnya masih belum maksimal. Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan Hanifah (2015) menyatakan bahwa siswa yang mendapatkan pembelajaran dengan Model Eliciting Activities (MEA) hanya memperoleh rata-rata skor 16,03 dari skor ideal 28. Hal ini menunjukkan bahwa kemampuan pemecahan masalah matematis siswa masih kurang optimal. Phil (2014) menyatakan bahwa kemampuan pemecahan masalah matematis siswa kelas IX masih rendah. Sejalan dengan hal di atas, dari hasil analisis nilai Ujian Nasional (UN), rendahnya nilai dan tingkat kelulusan nilai UN siswa salah satunya disebabkan oleh kurangnya kemampuan pemecahan masalah siswa. Dari data hasil UN tahun ajaran 20142015, yang diperoleh dari Puspendik BSNP Kemdikbud, didapatkan bahwa kemampuan pemecahan masalah masih menjadi indikator yang dominan dalam soal UN. Dari analisis hasil UN yang dilakukan, didapat soal pemecahan masalah matematis masih ada yang mendapat skor rata-rata 43,93. Dan masih tergolong rendah jika dibandingkan dengan batas kelulusan. Salah satu faktor penyebab kurangnya kemampuan pemecahan masalah matematis siswa adalah guru yang masih menggunakan pembelajaran konvensional berupa ceramah. Pendidikan Matematika Universitas Muhammadiyah Purworejo, Ruang Seminar UM Purworejo, 28 Mei 2016 477 Pembelajaran masih berpusat pada guru, karena siswa hanya mendengarkan dan menerima apa yang dijelaskan guru. Guru lebih dominan menggunakan pembelajaran dengan pendekatan transfer of knowledge. Guru melakukan pembelajaran dengan memberikan materi berupa rumus-rumus, kemudian contoh soal yang dilanjutkan dengan latihan soal yang serupa dengan contoh soal. Siswa kurang mampu mengoptimalkan kemampuannya, karena terbiasa „disuapi‟ materi. Dengan pembelajaran demikian, siswa menjadi kesulitan saat menyelesaikan persoalan tidak rutin, walaupun sebetulnya konsep untuk soalnya telah mereka kuasai. Untuk mengatasi permasalahan tersebut, diperlukan suatu model pembelajaran yang dapat mengoptimalkan kemampuan pemecahan masalah matematis siswa. Guru dituntut untuk mengetahui, memilih dan mampu menerapkan model pembelajaran yang efektif sehingga tercipta suasana belajar yang kondusif dan memberi kesempatan pada siswa untuk dapat berlatih memecahkan masalah yang dihadapi dalam pembelajaran matematika Pujiastuti, dkk (2014) menyatakan bahwa dibutuhkan pembelajaran yang mendukung dan mendorong siswa untuk melatih dan mengembangkan kemampuan pemecahan masalah secara optimal. Baykul dan Yazici (2011) menyatakan bahwa perhatian pada strategi pemecahan masalah dalam aktifitas pembelajaran dapat meningkatkan kemampuan pemecahan masalah matematis. Mataka, dkk (2014), menyatakan bahwa pendidik harus fokus dalam mengajarkan siswa bagaimana perencanaan ketika memecahkan masalah. Ersoy & Guner (2015), juga menyatakan salah satu cara meningkatkan kemampuan pemecahan masalah matematis siswa adalah dengan membentuk kelas dengan pembelajaran yang menekankan pemecahan masalah. Sejalan 478 dengan hal itu, Syaiful (2013) berpendapat diperlukan model pembelajaran alternatif yang dapat meningkatkan kemampuan pemecahan masalah matematis siswa. Tambychik & Meerah (2010), menyatakan bahwa pemahaman terhadap kemampuan, pengetahuan dan komitmen guru merupakan kunci yang mendorong siswa untuk mengembangkan kemampuan dalam pemecahan masalah matematis. Selain itu, Akinmola (2014) menyatakan guru harus selalu menekankan 5 komponen dalam hubungan (konsep, kemampuan, proses, sikap dan metakognisi) untuk mengembangkan kemampuan pemecahan masalah siswa yang akan membantu siswa menyelesaikan masalah sehari-hari. Dari analisis studi pendahuluan di atas, peneliti mencoba solusi alternatif dengan menerapkan model pembelajaran Learning Cycle 7E. Learning Cycle merupakan suatu model pembelajaran yang berpusat pada siswa serta berdasarkan pandangan konstruktivisme. Pengetahuan dibentuk dari pengetahuan siswa itu sendiri. Sehingga memungkinkan untuk mengembangkan kemampuan pemecahan masalah matematis siswa. Pada awalnya, Learning Cycle hanya terdiri dari tiga fase (exploration, concept interdiction, concept application). Tiga fase tersebut berkembang menjadi lima fase (Engage, Explore, Explain, Elaborate, serta Evaluate). Pada tahun 2003, Eisenkart mengembangkan Learning Cycle menjadi tujuh fase (Elicit, Engage, Explore, Explain, Elaborate, Evaluate dan Extend). Learning Cycle 7E dipilih karena bisa sejalan dengan pendekatan pembelajaran saintifik yang sedang trend saat ini. Sebagai variabel kontrol dalam penelitian, peneliti pun akan menggunakan Kemampuan Awal Matematika (KAM) siswa. KAM siswa terdiri atas tinggi, sedang, dan rendah. KAM ini akan digunakan Prosiding Seminar Nasional Matematika dan Pendidikan Matematika, “Internalisasi Nilainilai Berpikir Matematis Dalam Perannya di Era Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA)” sebagai pengontrol supaya hasil penelitian murni karena model pembelajaran yang digunakan dalam penelitian, bukan karena faktor lain, seperti faktor intelegensi siswa. Galton (Lestari, 2014) menyatakan bahwa dari sekelompok siswa yang dipilih secara acak akan selalu dijumpai siswa yang memiliki kemampuan tinggi, sedang dan rendah. Kemampuan awal matematis (KAM) siswa tinggi, sedang, dan rendah harus menjadi perhatian pada penerapan model pembelajaran tertentu. Hal ini terkait dengan efektivitas Learning Cycle 7E terhadap berbagai level kemampuan siswa. Jika hasilnya merata di semua level kemampuan siswa, yaitu tinggi, sedang dan rendah, maka dapat digeneralisasikan bahwa Learning Cycle 7E dapat diterapkan pada semua level kemampuan dalam pencapaian kemampuan pemecahan masalah matematis siswa. 2. KAJIAN LITERATUR DAN PEGEMBANGAN HIPOTESIS a. Kemampuan Pemecahan Masalah Matematis Suherman, dkk (2003) mengemukakan bahwa suatu masalah biasanya memuat suatu situasi yang mendorong seseorang untuk menyelesaikannya akan tetapi tidak mengetahui secara langsung apa yang harus dikerjakan untuk menyelesaikannya. Oleh karena itu, jika suatu persoalan diberikan kepada siswa dan siswa tersebut dapat langsung menjawab dengan benar terhadap persoalan itu, maka persoalan itu tidak bisa dikatakan masalah. Menurut Baroody (Dahlan, 2011) problems dapat didefinisikan sebagai suatu situasi puzzling, di mana seseorang tertarik untuk mengetahui penyelesaiannya, akan tetapi strategi penyelesaiannya tidak serta merta tersedia, lebih jelasnya suatu problem memuat: (1) Keinginan untuk mengetahui; (2) Tidak adanya cara yang jelas untuk mendapatkan penyelesaiannya; dan (3) Memerlukan suatu usaha dalam menyelesaikannya. Sejalan dengan pengertian di atas, Menurut Russefendi (2006) ada tiga syarat suatu persoalan dikatakan masalah, yaitu: (1) Apabila persoalan tersebut belum diketahui bagaimana prosedur menyelesaikannya; (2) Apabila persoalan sesuai dengan tingkat berpikir dan pengetahuan prasyarat siswa, soal yang terlalu mudah atau sebaliknya terlalu sulit bukan merupakan masalah; dan (3) Apabila siswa mempunyai niat untuk menyelesaikan persoalan tersebut. Menurut Fung dan Roland (2004), masalah matematik yang baik bagi siswa sekolah hendaknya memenuhi kriteria: (1) Masalah hendaknya memerlukan lebih dari satu langkah dalam menyelesaikannya; (2) Masalah hendaknya dapat diselesaikan dengan lebih dari satu cara/ metode; (3) Masalah hendaknya menggunakan bahasa yang jelas dan tidak menimbulkan salah tafsir; (4) Masalah hendaknya menarik (menantang) serta relevan dengan kehidupan siswa; dan (5) Masalah hendaknya mengandung nilai (konsep) matematika yang nyata sehingga masalah tersebut dapat meningkatkan pemahaman dan memperluas pengetahuan matematika siswa. Menurut Turmudi (2008) pemecahan masalah adalah proses melibatkan suatu tugas yang metode pemecahannya belum diketahui lebih dahulu, untuk mengetahui penyelesaiannya siswa hendaknya memetakan pengetahuan mereka, dan melalui proses ini mereka sering mengembangkan pengetahuan baru tentang matematika, sehingga pemecahan masalah merupakan bagian tak terpisahkan dalam semua bagian pembelajaran matematika, dan juga harus diajarkan secara terisolasi dari pembelajaran matematika. Branca (1980) mengemukakan bahwa pemecahan masalah memiliki tiga interpretasi, yaitu: pemecahan masalah (1) sebagai suatu tujuan utama; (2) sebagai suatu Pendidikan Matematika Universitas Muhammadiyah Purworejo, Ruang Seminar UM Purworejo, 28 Mei 2016 479 proses; dan (3) sebagai keterampilan dasar. Jika pemecahan masalah merupakan suatu tujuan, maka pemecahan masalah terlepas dari masalah atau prosedur yang spesifik, juga terlepas dari materi matematika, yang terpenting adalah bagaimana cara memecahkan masalah sampai berhasil. Dalam hal ini, pemecahan masalah sebagai alasan utama untuk belajar matematika. Jika pemecahan masalah dipandang sebagai suatu proses maka penekanannya bukan hanya pada hasil, melainkan bagaimana metode, prosedur, strategi, dan langkah-langkah tersebut dikembangkan melalui penalaran dan komunikasi untuk memecahkan masalah. Pemecahan masalah sebagai keterampilan dasar karena setiap manusia harus mampu memecahkan masalahnya sendiri. Jadi pemecahan masalah merupakan keterampilan dasar yang harus dimiliki siswa. Gagne, dkk. (Musriandi, 2013) menyatakan bahwa pemecahan masalah merupakan salah satu keterampilan intelektual yang lebih tinggi dan lebih kompleks dari tipe intelektual lainnya. Berdasarkan uraian di atas, hal terpenting dalam memecahkan masalah dalah proses mencari strategi solusi dari masalah. Artinya pemecahan masalah memerlukan usaha yang harus dilakukan dengan menggunakan kombinasi pengetahuan sebelumnya, seperti penggunaan langka-langkah, aturan atau prosedur, dan konsep agar masalah yang dihadapi bisa terselesaikan sesuai harapan. George Polya adalah tokoh utama dalam pemecahan masalah. Menurut Polya (Husna, 2013), dalam pemecahan masalah terdapat empat langkah yang harus dilakukan, yaitu: (1) Understanding the problem; (2) Devising a plan; (3) Carrying out the plan; dan (4) Looking Back. Keempat tahap pemecahan masalah dari Polya merupakan satu kesatuan yang sangat penting dikembangkan. Untuk mengukur kemampuan pemecahan masalah matematis diperlukan beberapa indikator. 480 Adapun indikator menurut Sumarmo (2012) adalah: (1) Mengidentifikasi unsur yang diketahui, ditanyakan, dan kecukupan unsur; (2) Membuat model matematika; (3) Menerapkan strategi menyelesaikan masalah dalam/ di luar matematika; (4) Menjelaskan/ menginterpretasikan hasil; (5) Menyelesaikan model matematika dan masalah nyata; dan (6) Menggunakan matematika secara bermakna. Untuk mengetahui kemampuan pemecahan masalah matematis pada siswa dapat dilakukan dengan memberikan persoalan yang harus diselesaikan secara tuntas. Siswa mengerjakan soal tersebut secara keseluruhan dan penilaiannya dilakukan secara komprehensif. Departemen Pendidikan Oregon (Amerika Serikat, 2003) menilai kemampuan pemecahan masalah matematis siswa dalam lima aspek yaitu pengetahuan konseptual, pengetahuan prosedural, keterampilan/ strategi pemecahan masalah, komunikasi, dan akurasi. Selain itu, Illinois mengukur kemampuan pemecahan masalah matematis berdasarkan tiga aspek, yaitu pengetahuan matematik, pengetahuan strategi, dan kemampuan menjelaskan. Menurut NCTM (2000), indikator dari kemampuan pemecahan masalah adalah menerapkan dan mengadaptasi berbagai strategi yang tepat untuk memecahkan masalah, menyelesaikan masalah yang timbul dalam matematika dan yang melibatkan matematika dalam konteks lain, membangun pengetahuan matematika baru melalui pemecahan masalah, serta memonitor dan merefleksi proses dalam pemecahan masalah matematis. Charles, dkk (1987) dan In Stenmark, Jean (1991) menilai kemampuan pemecahan masalah dengan menggunakan tiga skala yaitu memahami masalah, merencanakan solusi, dan mendapatkan jawaban. Sedangkan Szetela dan Nicol (1992) menilai kemampuan pemecahan masalah melalui tiga skala, yaitu memahami Prosiding Seminar Nasional Matematika dan Pendidikan Matematika, “Internalisasi Nilainilai Berpikir Matematis Dalam Perannya di Era Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA)” masalah, menyelesaikan menjawab masalah masalah, dan Berdasarkan uraian di atas, dalam penelitian ini indikator kemampuan pemecahan masalah matematis yang diukur melalui kemampuan siswa dalam menyelesaikan suatu persoalan adalah dengan mengadaptasi indikator dari berbagai ahli, yaitu memahami masalah, merencanakan berbagai strategi yang tepat untuk memecahkan masalah dan menjawab permasalahan dengan menerapkan strategi yang digunakan. b. Learning Cycle 7E Model Learning Cycle pertama kalinya dikembangkan oleh Karplus dan Their pada tahun 1967 (Indriyani, 2014). Model Learning Cycle merupakan suatu model pembelajaran yang berpusat pada siswa (student centered) yang mengadopsi prinsip konstruktivisme. Learning Cycle merupakan rangkaian tahap kegiatan (fase) yang terorganisasi sehingga siswa dapat menguasai kompetensi yang harus dicapai dalam pembelajaran aktif. Model Learning Cycle dikembangkan dari teori kognitif Piaget dan Vygotsky. Model ini menyarankan agar proses pembelajaran dapat melibatkan siswa dalam kegiatan pembelajaran yang aktif sehingga proses asimilasi, akomodasi, dan organisasi dalam struktur kognitif siswa tercapai. Selain itu prinsip scaffolding teori Vygotsky dapat digunakan pada tahap pembelajaran. Implementasi Learning Cycle dalam pembelajaran menempatkan guru sebagai fasilitator yang mengelola kelangsungan fase pembelajaran. Pada awalnya, Learning Cycle memiliki tiga fase, yaitu eksplorasi (Exploration), pengenalan konsep (Concept introduction), dan penerapan konsep (Concept application). Tiga fase siklus tersebut dikembangkan menjadi lima fase yang terdiri atas pembangkitan minat (Engage), eksplorasi (Explorate), penjelasan (Explain), elaborasi (Elaborate), dan evaluasi (Evaluate) atau disebut sebagai Learning Cycle 5E. Dan pada tahun 2003, Eisenkraft mengembangkan kelima fase tersebut menjadi 7 fase yang dikenal dengan Learning Cycle 7E. Gambar 1 Bagan Perubahan Learning Cycle 5E menjadi Learning Cycle 7E Perubahan Learning Cycle 5E menjadi Learning Cycle 7E terjadi pada fase Engage menjadi dua fase, yaitu Elicit dan Engage serta pada fase Elaborate dan Evaluate menjadi tiga fase, yaitu Elaborate, Evaluate, dan Extend. Pengembangan tahapan ini dilakukan dengan tambahan yang menekankan pada aktivasi pengetahuan dan transfer belajar. Penelitian tentang proses pembelajaran dan pengembangan kurikulum merupakan salah satu alasan yang menuntut model Learning Cycle 5E perlu diperluas ke model Learning Cycle 7E. Fase pada Learning Cycle 7E dapat dijelaskan sebagai berikut: a. Elicit (Mendatangkan Pengetahuan Awal Siswa) Fase ini merupakan tahap awal dari Learning Cycle. Guru berusaha mendatangkan pengetahuan awal siswa terhadap materi pelajaran yang akan dipelajari dengan memberikan pertanyaanpertanyaan mendasar yang berkaitan dengan materi yang akan dipelajari. Pertanyaan yang Pendidikan Matematika Universitas Muhammadiyah Purworejo, Ruang Seminar UM Purworejo, 28 Mei 2016 481 diberikan harus dapat memancing respon dan rasa ingin tahu siswa. Respon atau jawaban dari siswa dapat menjadi acuan bagi guru untuk mengetahui pengetahuan awal siswa tentang materi yang akan diajarkan. Fase ini dimulai dengan mengambil contoh dalam kehidupan sehari-hari. b. Engage (Melibatkan) Fase ini bertujuan untuk memfokuskan perhatian siswa, mendorong kemampuan berpikir siswa dan membangkitkan minat atau motivasi siswa terhadap konsep yang akan diajarkan. Pada fase ini, siswa dan guru saling bertukar informasi dan pengalaman tentang pertanyaan awal dan guru memberi tahu siswa tentang ide dan rencana pembelajaran. Siswa dilibatkan dalam kegiatan demonstrasi, diskusi, menceritakan fenomena, menonton video, memperhatika objek atau gambar, atau kegiatan lain yang dapat memotivasi siswa. c. Explore (Menyelidiki) Pada fase ini, siswa diberikan kesempatan untuk memperoleh pengetahuan dan pengalaman langsung melalui kerja sama secara mandiri dalam kelompok kecil tanpa pengarahan secara langsung dari guru. Siswa memanipulasi objek, melakukan percobaan/ penyelidikan/ pengamatan/ mengumpulkan data sampai membuat kesimpulan awal dari pengamatan tersebut. Guru berperan sebagai fasilitator dan motivator yang merangkai pertanyaan, memberi masukan, dan menilai pemahaman siswa. Dengan demikian, siswa akan memperoleh pengetahuan dengan pengalaman langsung yang berhubungan dengan konsep yang telah dipelajari. d. Explain (Menjelaskan) Kegiatan belajar pada fase ini bertujuan untuk melengkapi, menyempurnakan,, dan mengembangkan konsep yang diperoleh siswa. Siswa diperkenalkan dengan konsep dan teori baru. Siswa menyimpulkan dan mengemukakan hasil temuan pada fase sebelumnya. Guru mengenalkan siswa pada 482 beberapa kosa kata ilmiah, dan memberikan pertanyaan yang mendorong siswa agar menggunakan istilah ilmiah untuk menjelaskan temuannya. Guru mendorong siswa untuk menjelaskan konsep dengan kalimatnya sendiri, meminta bukti dan klarifikasi dari penjelasan siswa, dan mengarahkan kegiatan diskusi. Ketika siswa berdiskusi, guru berperan sebagai pembimbing dan pengarah dalam diskusi kelas. e. Elaborate (Menerapkan) Pada fase ini, siswa diberi kesempatan untuk menerapkan simbol, definisi, konsep, atau keterampilan pada permasalahan yang berkaitan dengan contoh dari pelajaran yang dipelajari. Guru memberikan permasalahan yang terkait dengan materi yang telah diajarkan untuk diselesaikan oleh siswa. Siswa dapat belajar secara bermakna karena telah dapat menerapkan atau mengaplikasikan konsep yang baru dipelajari. f. Evaluate (Menilai) Pada fase ini, guru mengevaluasi hasil pembelajaran yang telah dilakukan. Strategi penilaian yang dilakukan bisa dengan tes tulis disertai dengan lembar penilaian diri yang dikerjakan oleh siswa. Guru harus terus menerus melakukan observasi dan memperhatikan kemampuan, keterampilan, atau sikap siswa. g. Extend (Memperluas) Pada fase akhir ini, siswa didorong untuk berpikir, mencari, menemukan, dan menjelaskan conyoh penerapan konsep dan keterampilan baru yang telah dipelajari. Guru membimbing siswa untuk menerapkan pengetahuan yang telah didapat pada konteks baru. Dapat dilakukan dengan cara mengaitkan materi yang telah dipelajari dengan materi lain yang sudah atau belum dipelajari. Prosiding Seminar Nasional Matematika dan Pendidikan Matematika, “Internalisasi Nilainilai Berpikir Matematis Dalam Perannya di Era Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA)” Berdasarkan tahapan Learning Cycle 7E yang diuraikan di atas, tahap Elicit dan Engage sesuai dengan kerucut pengalaman belajar Edgar Dale dimana dinyatakan bahwa siswa mungkin mengingat 30% dari apa yang dilihat. Untuk awal pembelajaran, daya ingat sangat dibutuhkan supaya tujuan pembelajaran dapat tercapai dengan tuntas. Dengan demikian, siswa dapat menemukan alternatif solusi dari permasalahan yang akan diberikan. Pada tahap Explore, siswa akan dibimbing untuk menemukan solusi dengan mengkonstruksi sendiri pengetahuan yang telah mereka miliki. Hal ini sejalan dengan teori belajar Piaget dan Bruner. Pada tahap ini siswa akan terbiasa untuk menemukan strategi dari sebuah permasalahan. Permasalahan yang diberikan merupakan bahan yang dirasakan baru tepati tidak asing bagi peserta didik. Pada tahap ini, untuk mempermudah pembelajaran, siswa akan dikelompokkan menjadi kelompok-kelompok dengan jumlah anggota kecil (2-4 orang per kelompok). Guru hanya menjadi fasilitator yang menjembatani siswa saat mengalami kesulitan dalam memahami permasalahan. Hal ini sesuai dengan teori konstuktivisme sosial yang dikemukakan oleh Vygotsky. Pada tahap Evaluate siswa akan diberikan penilaian diri. Lembar penilaian diri ini bisa menjadi salah satu sarana bagi siswa dalam melakukan penilaian tentang diri dalam pembelajaran matematika. Pada tahap ini, siswa akan didorong untuk terbiasa melakukan penilaian tentang kelebihan dan kelemahannya dalam pembelajaran matematika. Hal ini dimaksudkan agar siswa mampu memperbaiki kekurangan dalam pembelajaran yang telah dilakukan, sehingga pembelajaran yang selanjutnya bisa lebih baik lagi. Pada tahap Elaborate siswa akan terbiasa untuk berpikir dalam menerapkan konsep dan keterampilan yang telah didapatkan yang berhubungan dengan kehidupan sehari-hari. Sesuai dengan teori belajar Bandura, umpan balik yang berhubungan dengan lingkungan sekitar dapat memotivasi siswa untuk lebih giat belajar. Dengan demikian, diharapkan siswa akan lebih mampu dalam mengembangkan kemampuan pemecahan masalah matematis siswa. Berdasarkan rumusan masalah dan kajian teori dalam penelitian ini, maka hipotesis yang diajukan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut: 1. Pencapaian kemampuan pemecahan masalah matematis siswa yang pembelajarannya menggunakan Learning Cycle 7E lebih tinggi secara signifikan daripada siswa dengan pembelajaran matematika secara konvensional. 2. a. b. c. Pencapaian kemampuan pemecahan masalah matematis kelompok siswa dengan KAM tinggi yang menggunakan Learning Cycle 7E lebih tinggi secara signifikan daripada kelompok siswa dengan KAM tinggi yang menggunakan pembelajaran matematika secara konvensional. Pencapaian kemampuan pemecahan masalah matematis kelompok siswa dengan KAM sedang yang menggunakan Learning Cycle 7E lebih tinggi secara signifikan daripada kelompok siswa dengan KAM sedang yang menggunakan pembelajaran matematika secara konvensional. Pencapaian kemampuan pemecahan masalah matematis kelompok siswa dengan KAM rendah yang menggunakan Learning Cycle 7E lebih tinggi secara signifikan daripada kelompok siswa dengan KAM rendah yang menggunakan pembelajaran matematika secara konvensional. 3. Terdapat perbedaan pencapaian kemampuan pemecahan masalah matematis siswa yang menggunakan Learning Cycle 7E ditinjau dari kemampuan awal matematis siswa (tinggi, sedang, dan rendah). 3. METODE PENELITIAN Penelitian ini dilakukan untuk melihat perbedaan pencapaian kemampuan pemecahan masalah matematis dan self- Pendidikan Matematika Universitas Muhammadiyah Purworejo, Ruang Seminar UM Purworejo, 28 Mei 2016 483 concept siswa yang mendapat perlakuan pembelajaran matematika menggunakan Learning Cycle 7E dengan siswa yang menggunakan pembelajaran matematika secara konvensional, sehingga penelitian ini merupakan penelitian eksperimen. Namun, dalam implementasinya peneliti tidak melakukan pengambilan sampel secara acak dari populasinya dikarenakan jika dilakukan pengacakan sampel maka akan mengganggu efektivitas kegiatan pembelajaran di sekolah. Dalam penelitian ini tidak dilaksanakan pretest dikarenakan kekhasan soal pemecahan masalah yang merupakan soal non rutin. Sehingga pretest dikhawatirkan akan mempengaruhi perlakuan eksperimen dan mempengaruhi hasil posttest. Selain itu, ada pertimbangan bahwa tes yang digunakan dikategorikan sebagai soal baru atau soal tidak rutin bagi subjek penelitian. Dengan demikian penelitian ini termasuk penelitian kuasi eksperimen dengan rancangan “post test only control group design”. Agar diperoleh data tentang pengaruh dari proses pembelajaran, maka peneliti menggunakan dua kelas sampel, yaitu kelas eksperimen yang menggunakan pembelajaran matematika dengan model Learning Cycle 7E dan kelas kontrol yang menggunakan pembelajaran matematika secara konvensional. genap tahun pelajaran 2015/2016, dengan pertimbangan bahwa kelas VIII merupakan siswa yang sudah dapat menyesuaikan diri dengan kondisi lingkungan sekolah dan berada pada rentang usia siswa yang dianggap sudah cukup matang untuk menerima pembaharuan dalam dalam penggunaan model pembelajaran (Nurhayati, 2015). Populasi pada penelitian ini adalah siswa di sebuah SMP Negeri di Kabupaten Bandung Barat. Alasan pemilihan sekolah ini adalah berada di tingkat kategori sedang. Banyak siswa pada tiap rombel di sekolah ini adalah 34 siswa. Pembagian siswa pada setiap rombel dilakukan berdasarkan nilai UN untuk kelas VII, dan berdasarkan nilai raport sebelumnya untuk kelas VIII dan IX. Pembagian siswa dilakukan secara merata dengan kemampuan cenderung heterogen setiap rombel. Setiap rombel terdiri atas siswa yang memiliki kemampuan akademis tinggi, sedang dan rendah. Subjek penelitian ini adalah siswa SMP kelas VIII semester Berikut ini adalah definisi dari beberapa istilah yang terdapat dalam penelitian: 484 Untuk sampel penelitian diambil dua rombel dari tujuh rombel kelas VIII di SMP Negeri 4 Lembang. Sebagaimana telah dijelaskan sebelumnya bahwa peneliti tidak memungkinkan mengambil sampel secara acak, maka sampel penelitian ditentukan berdasarkan purposive sampling. Peneliti melakukan wawancara dengan partisipan, walikelas, dan kepala sekolah sehingga dipertimbangkan untuk kelas kontrol diambil satu rombel, yaitu kelas VIII-A. Begitupula kelas eksperimen diambil satu rombel, yaitu kelas VIII-B. Pertimbangan didasarkan pada penyebaran siswa untuk kedua rombel tersebut merata ditinjau dari segi kemampuan akademisnya. Untuk selanjutnya, kelas kontrol akan diberi perlakuan dengan pembelajaran matematika secara konvensional dan kelas eksperimen akan diberi perlakuan dengan pembelajaran matematika dengan Learning Cycle 7E. a. Kemampuan Pemecahan Masalah Matematis Kemampuan pemecahan masalah matematis adalah kegiatan dalam menyelesaikan persoalan non rutin yang berkaitan dengan matematika yang merupakan suatu masalah pada saat persoalan itu diberikan. Adapun langkah pemecahan masalah dalam penelitian ini adalah: (a) Memahami masalah, (b) Membuat model matematika (c) Memilih strategi penyelesaian dari masalah atau Prosiding Seminar Nasional Matematika dan Pendidikan Matematika, “Internalisasi Nilainilai Berpikir Matematis Dalam Perannya di Era Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA)” model matematika dan (d) Menerapkan strategi dalam penyelesaian masalah atau model matematika. Dalam penelitian ini indikator kemampuan pemecahan masalah matematis yang akan diukur melalui kemampuan siswa dalam menyelesaikan suatu persoalan adalah dengan mengadaptasi indikator dari berbagai ahli, yaitu memahami masalah, merencanakan berbagai strategi yang tepat untuk memecahkan masalah dan menjawab permasalahan dengan menerapkan strategi yang didapatkan. b. Learning Cycle 7E Learning Cycle 7E merupakan salah satu model pembelajaran yang mengadaptasi pendekatan konstruktivisme yang merupakan penyempurnaan dari model Learning Cycle 5E. Learning Cycle 7E adalah pembelajaran bersiklus yang terdiri dari tujuh fase, yaitu: Elicit (mengidentifikasi pengetahuan awal siswa), Enggage (membangkitkan minat dan motivasi siswa), Explore (memperoleh pengetahuan dengan pengalaman langsung yang berhubungan dengan konsep yang akan dipelajari), Explain (menjelaskan konsep yang dipelajari), Elaborate (menerapkan pengetahuan baru pada permasalahan), Evaluate (mengevaluasi pengetahuan siswa yang baru diperoleh), dan Extend (menghubungkan konsep dengan permasalahan nyata sehari-hari). c. Pembelajaran Konvensional Pembelajaran konvensional dalam penelitian ini adalah pembelajaran yang berpusat pada guru. Pada pembelajaran konvensional guru hanya menyampaikan materi, mencatat hal penting pada papan tulis, memberikan soal-soal latihan, pembahasan soal latihan, tanya jawab, menyimpulkan, dan memberikan pekerjaan rumah. Biasanya materi yang disampaikan guru pun berurut mulai dari definisi, rumus, kemudian contoh soal. d. Kemampuan Awal Matematis Siswa Kemampuan awal matematis siswa ialah kemampuan matematis siswa yang didapat sebelum pembelajaran dimulai. Supaya menunjang pembelajaran yang akan dilakukan kemampuan awal matematis siswa yang digunakan adalah kemampuan pada materi prasyarat atau materi yang berhubungan dengan materi yang akan diajarkan. Instrumen yang digunakan dalam penelitian ini adalah berupa tes dan non tes. Instrumen tes berupa soal-soal Instrumen tes berupa soal-soal pilihan ganda pada tes kemampuan awal matematis (KAM) dan soal uraian pada tes kemampuan pemecahan masalah matematis siswa. Sedangkan instrument non tes berupa lembar penilaian diri dan lembar observasi yang memuat itemitem aktivitas guru dan siswa dalam pembelajaran. Untuk penilaian kemampuan pemecahan masalah matematis siswa digunakan kriteria pemberian skor yang diadaptasi dari the analytic scoring scale for math problem solving oleh Charles, dkk (1991). Tabel 1 Rubrik Penskoran Tes Kemampuan Pemecahan Masalah Pendidikan Matematika Universitas Muhammadiyah Purworejo, Ruang Seminar UM Purworejo, 28 Mei 2016 485 Data yang akan dianalisis adalah data kuantitatif berupa hasil tes kemampuan pemecahan masalah matematis siswa, dan data deskriptif berupa lembar observasi. Untuk pengolahan data secara statistik dilakukan pada hasil tes kemampuan pemecahan masalah matematis siswa, sedangkan lembar observasi tidak dilakukan pengolahan data secara statistik. Pengolahan data dilakukan dengan bantuan software SPSS 20.0 dan Microsoft Office Excel 2007. Untuk soal tes kemampuan pemecahan masalah sebelum digunakan dilakukan uji validitas dan reliabilitas soal. Kemudian setalah soal valid dan reliabel, soal digunakan untuk penelitian dan hasil dari penelitian diolah secara statistik. Sebelum melakukan uji hipotesis, dilakukan uji asumsi pada hasil penelitian kedua kelas. Untuk hipotesis 1 dan 2, uji statistik yang digunakan adalah t-Test atau Mann-Whitney Test, sedangkan untuk uji hipotesis 3 menggunakan ANOVA Test atau Krusskal Walis Test. Berikut disajikan alur tahap analisis data. Gambar 1 Tahap Analisis Data pencapaian kemampuan pemecahan masalah matematis siswa dengan Learning Cycle 7E dan pembelajaran konvensional. Selain itu, penelitian ini juga bertujuan menganalisis perbedaan pencapaian kemampuan pemecahan masalah siswa berdasarkan kelompok kemampuan awal matematis (KAM) siswa. Data kuantitatif dan kualitatif telah diperoleh dari instrumen penelitian berupa tes KAM, tes kemampuan pemecahan masalah matematis, lembar observasi aktivitas siswa, dan lembar observasi aktivitas guru selama pembelajaran. Untuk mencapai tujuan penelitian yang telah dikemukakan, dilakukan pengolahan data menggunakan bantuan program IBM SPSS Statistics 20 for windows dan Microsoft office Excel 2007. Adapun analisis terhadap hasil penelitian, pembahasan serta temuan penelitian dipaparkan sebagai berikut: a. Analisis Data Hasil Tes Kemampuan Awal Matematis (KAM) Siswa Data kemampuan awal matematis siswa didapat melalui proses pemberian tes kemampuan awal matematis tentang materi bilangan, aljabar, bangun datar dan teorema Pythagoras kepada sampel yang akan diteliti. Nilai dari tes kemampuan awal matematis kemudian dirata-ratakan dengan nilai tes kompetensi pada materi aljabar, bangun datar dan teorema Pythagoras yang didapatkan dari guru mata pelajaran matematika di kelas sampel. Tes KAM diberikan kepada 68 siswa yang terdiri atas 34 siswa kelas kontrol dan 34 siswa eksperimen. Siswa kelas kontrol selanjutnya akan menggunakan pembelajaran konvensional dan kelas eksperimen akan menggunakan Learning Cycle 7E pada pembelajaran matematika. Data hasil tes KAM tersebut disajikan dalam tabel berikut: 4. HASIL DAN PEMBAHASAN Tujuan dari penelitian ini salah satunya adalah untuk menganalisis perbedaan 486 Prosiding Seminar Nasional Matematika dan Pendidikan Matematika, “Internalisasi Nilainilai Berpikir Matematis Dalam Perannya di Era Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA)” Tabel 2 Data Hasil Tes KAM Siswa Selanjutnya, siswa pada setiap kelas dibagi ke dalam tiga kelompok kemampuan awal matematis, yaitu tinggi, sedang, dan rendah. Cara membagi kelompoknya dengan menggunakan rumus ̅ pada daerah kurva 68% dengan -1 simpangan baku di kiri dan +1 simpangan baku di kanan sebuah kurva distribusi normal. Rata-rata dan simpangan baku yang digunakan dalam menentukan sebaran kelompok siswa berdasarkan KAM adalah rata-rata dan simpangan baku dari semua siswa pada kedua kelas (Wahyudin, 2012). Adapun sebaran kelompok siswa berdasarkan KAM disajikan pada tabel berikut: Tabel 3 Sebaran Kelompok Siswa Berdasarkan Nilai KAM b. Analisis Data Hasil Tes Kemampuan Pemecahan Masalah Matematis Siswa 1) Analisis Nilai Awal Tes Kemampuan Pemecahan Masalah Matematis Siswa Sesuai dengan rancangan penelitian post test only control group design, maka tes kemampuan pemecahan masalah matematis diberikan kepada kedua kelas pada akhir proses penelitian di kelas. Namun, sebelum dilakukan penelitian, peneliti melakukan tes kemampuan pemecahan masalah matematis awal. Tes awal ini dilakukan untuk mengetahui kesamaan kemampuan pemecahan masalah matematis awal pada siswa kedua kelas penelitian. Soal yang diberikan, merupakan soal kemampuan pemecahan masalah matematis siswa yang setara dengan soal tes kemampuan pemecahan masalah matematis untuk penelitian. Adapun deskripsi dan analisis data disajikan pada tabel berikut: Untuk melakukan uji perbedaan, sebelumnya dilakukan uji asumsi pada data tes awal kemampuan pemecahan masalah matematis siswa. Dari hasil uji asumsi didapatkan bahwa salahsatu data berdistribusi tidak normal. Sehingga uji statistik dilakukan dengan uji non parametrik. Uji perbedaan yang digunakan adalah Mann-Whitney Test. Dari uji MannWhitney, didapatkan kesimpulan bahwa tidak terdapat perbedaan yang signifikan antara kemampuan pemecahan masalah matematis siswa kelas eksperimen dengan kemampuan pemecahan masalah matematis siswa kelas kontrol. Hal ini menunjukkan bahwa kemampuan pemecahan masalah matematis siswa antara kedua kelas tidak berbeda. 2) Analisis Nilai PostTest Kemampuan Pemecahan Masalah Matematis Siswa Di akhir penelitian dilakukan posttes kemampuan pemecahan masalah matematis siswa. Hasil dari tes kemampuan pemecahan masalah diperiksa dan diolah sesuai dengan rubrik penskoran yang telah ditetapkan. Proses pemeriksaan hasil tes kemampuan pemecahan masalah dilakukan dengan memeriksa tiap butir soal pada setiap subjek, setelah satu soal selesai diperiksa pada semua Pendidikan Matematika Universitas Muhammadiyah Purworejo, Ruang Seminar UM Purworejo, 28 Mei 2016 487 subjek, peneliti baru memeriksa butir soal selanjutnya, demikian seterusnya sampai semua soal diperiksa. Pemeriksaan dilakukan sebanyak dua kali. Hal ini dilakukan untuk mengurangi subjektivitas dan kekurangtelitian peneliti dalam melakukan pemeriksaan hasil tes. Adapun deskripsi dan analisis data disajikan pada tabel berikut: Dari hasil pengolahan data pada tabel di atas, dari hasil uji asumsi dapat dilihat bahwa untuk data tes kemampuan pemecahan masalah matematis siswa pada semua siswa dan pada kelompok siswa KAM sedang salah satu datanya berdistribusi tidak normal (data pada kelas B). Oleh karena itu, tidak perlu dilakukan tes homogenitas. Untuk pengujian hipotesis secara statistik langsung dilakukan uji statistik nonparametrik. Walaupun jumlah sampel pada kelompok KAM tinggi dan KAM rendah relatif sedikit, peneliti tidak langsung melakukan uji statistik non parametrik pada data-data tersebut. Peneliti tetap melakukan uji asumsi (normalitas dan homgenitas) dan jika memenuhi syarat, peneliti akan melakukan pengolahan data dengan uji statistik parametrik. Hal ini dilakukan untuk memperkuat hasil analisis. Untuk data tes kemampuan pemecahan masalah matematis siswa pada kelompok siswa KAM tinggi dan kelompok siswa KAM rendah semua datanya berdistribusi normal. Untuk itu, perlu dilakukan uji homgenitas pada data-data tersebut. Pada 488 siswa kelompok KAM tinggi, data kedua kelas diketahui memiliki variansi yang homogen, sedangkan untuk siswa kelompok KAM rendah data kedua kelasnya diketahui memiliki variansi yang tidak homogen. Setelah melakukan uji asumsi, dilakukan uji hipotesis. Untuk hasil pengolahan data pada tabel di atas dapat dilihat analisis uji hipotesis 1, uji hipotesis 2a, uji hipotesis 2b, dan uji hipotesis 2c. Sesuai dengan uraian di atas, karena salah satu data berdistribusi tidak normal, untuk uji hipotesis 1 dan uji hipotesis 2b langsung dilakukan uji statistik non parametrik. Untuk mengetahui ada tidaknya perbedaan kemampuan pemecahan masalah matematis pada kedua kelas, dilakukan pengujian menggunakan Mann-Whitney Test. Dari hasil dari Mann-Whitney Test tersebut dapat dilihat bahwa untuk data kemampuan pemecahan masalah matematis pada semua siswa nilai signifikansinya < α = 0,05. Hal ini berarti terdapat perbedaan kemampuan pemecahan masalah matematis siswa antara Kelas A dan Kelas B. Kemudian dihitung nilai sig. (1-Tailed) = 0,000. Karena sig. (1Tailed) dari Mann-Whitney Test bernilai < 0,05, sehingga dapat ditarik kesimpulan bahwa pencapaian kemampuan pemecahan masalah matematis siswa kelas eksperimen lebih tinggi secara signifikan dibandingkan dengan pencapaian kemampuan pemecahan masalah matematis siswa kelas kontrol. Untuk uji hipotesis 2b, uji perbedaan dilakukan pada kelompok siswa yang termasuk ke dalam KAM sedang. Dari hasil dari Mann-Whitney Test tersebut dapat dilihat bahwa untuk data kemampuan pemecahan masalah matematis pada kelompok siswa dengan KAM sedang nilai signifikansinya < α = 0,05. Hal ini berarti terdapat perbedaan kemampuan pemecahan masalah matematis siswa antara siswa KAM sedang pada Kelas A dan siswa KAM sedang pada Kelas B. Kemudian dihitung nilai sig. (1-Tailed) = 0,000. Karena sig. (1-Tailed) dari MannWhitney Test bernilai < 0,05, sehingga dapat ditarik kesimpulan bahwa pencapaian kemampuan pemecahan masalah matematis siswa dengan KAM sedang pada kelas eksperimen lebih tinggi secara signifikan dibandingkan dengan pencapaian kemampuan pemecahan masalah matematis Prosiding Seminar Nasional Matematika dan Pendidikan Matematika, “Internalisasi Nilainilai Berpikir Matematis Dalam Perannya di Era Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA)” siswa dengan KAM sedang pada kelas kontrol. Untuk uji hipotesis 2a, setelah uji asumsi dilakukan dan diketahui kedua data berdistribusi normal dan bervariansi homogen, selanjutnya dilakukan uji statistik parametrik untuk melakukan uji perbedaan pada kedua kelas. Uji statistik yang digunakan adalah t-Test. Dari hasil analisis tTest dapat dilihat bahwa nilai signifikansinya ≥ α. Hal ini berarti tidak terdapat perbedaan kemampuan pemecahan masalah matematis siswa antara siswa dengan KAM tinggi pada Kelas A dan siswa dengan KAM tinggi Kelas B. Kemudian dihitung nilai sig. (1-Tailed) = 0,056. Karena sig. (1-Tailed) dari t-Test bernilai ≥ 0,05, sehingga dapat ditarik kesimpulan bahwa pencapaian kemampuan pemecahan masalah matematis siswa dengan KAM tinggi pada kelas eksperimen tidak lebih tinggi secara signifikan dibandingkan dengan pencapaian kemampuan pemecahan masalah matematis siswa dengan KAM tinggi pada kelas kontrol. Untuk uji hipotesis 2c, setelah uji asumsi dilakukan dan diketahui kedua data berdistribusi normal dan bervariansi tidak homogen, selanjutnya dilakukan uji statistik parametrik untuk melakukan uji perbedaan pada kedua kelas. Uji statistik yang digunakan adalah t’-Test. Dari hasil analisis t’-Test dapat dilihat bahwa nilai signifikansinya < α. Hal ini berarti terdapat perbedaan kemampuan pemecahan masalah matematis siswa antara siswa dengan KAM rendah pada Kelas A dan siswa dengan KAM rendah pada Kelas B. Kemudian dihitung nilai sig. (1-Tailed) = 0,0015. Karena sig. (1-Tailed) dari t-Test bernilai < 0,05, sehingga dapat ditarik kesimpulan bahwa pencapaian kemampuan pemecahan masalah matematis siswa dengan KAM rendah pada kelas eksperimen lebih tinggi secara signifikan dibandingkan dengan pencapaian kemampuan pemecahan masalah matematis siswa dengan KAM rendah pada kelas kontrol. b. Analisis Nilai PostTest Kemampuan Pemecahan Masalah Matematis Siswa Kelas Eksperimen Nilai posttest kemampuan pemecahan masalah matematis siswa kelas eksperimen diperlukan untuk mengolah data dalam uji hipotesis 3. Adapun deskripsi dan analisis data disajikan pada tabel berikut: Dari tabel di atas dapat diketahui bahwa salah satu data, yaitu data kelompok kategori KAM sedang yang berdistribusi tidak normal. Karena ada data yang berdistribusi tidak normal, sehingga uji homogenitas tidak perlu dilakukan. Untuk melakukan uji hipotesis 3, dilakukan uji statistik non parametrik. Uji non parametrik yang digunakan adalah uji perbandingan KruskallWallis. Dari uji Kruskall-Wallis yang dilakukan, didapatkan nilai signifikansinya < α = 0,05. Hal ini berarti terdapat perbedaan kemampuan pemecahan masalah matematis siswa antara siswa kategori KAM tinggi, siswa kategori KAM sedang, dan siswa kategori KAM rendah pada kelas eksperimen. Pencapaian dari kemampuan pemecahan masalah matematis siswa dapat dilihat dari hasil analisis data, baik dari uji statistik maupun analisis deskriptif. Untuk lebih mudah mengetahui tentang pencapaian kemampuan pemecahan masalah matematis siswa, berikut ini merupakan rangkuman hasil pengujian hipotesis tes kemampuan pemecahan masalah matematis siswa: Pendidikan Matematika Universitas Muhammadiyah Purworejo, Ruang Seminar UM Purworejo, 28 Mei 2016 489 Dari tabel di atas, dapat diketahui bahwa secara keseluruhan pencapaian kemampuan pemecahan masalah matematis siswa kelas eksperimen lebih baik dibandingkan dengan pencapaian kemampuan pemecahan masalah matematis siswa kelas kontrol. Kelas eksperimen menggunakan pembelajaran matematika dengan Learning Cycle 7E sedangkan kelas kontrol menggunakan pembelajaran matematika dengan pembelajaran konvensional. Berdasarkan analisis data nilai posttest kemampuan pemecahan masalah matematis siswa, didapatkan rata-rata nilai kelas eksperimen 45,49 dengan simpangan baku 14,307. Sedangkan rata-rata nilai kelas kontrol 28,471 dengan simpangan baku 14,557. Pada kelas eksperimen ada satu siswa yang memperoleh nilai 100, sedangkan untuk kelas kontrol skor maksimumnya hanya 68. Walaupun hasil yang didapatkan siswa yang menggunakan Learning Cycle 7E masih belum bisa dikatakan tinggi, namun jika dibandingkan dengan kelas kontrol, siswa 490 kelas eksperimen lebih baik dibandingkan siswa kelas kontrol. Ketika berdiskusi dengan guru mata pelajaran matematika di sekolah tempat penelitian, nilai yang dicapai oleh siswa kelas eksperimen sudah cukup baik untuk soal pemecahan masalah. Hal ini dikarenakan soal pemecahan masalah yang menjadi soal posttest masih sangat baru bagi siswa di tempat penelitian. Karakteristik siswa yang tidak terbiasa dengan soal tidak rutin menjadi alasan nilai yang telah dicapai siswa. Selain itu, soal untuk tes kompetensi, ujian tengah semester dan ujian akhir semester juga tidak semuanya soal pemecahan masalah, sehingga kemungkinan siswa untuk lebih mampu mendapatkan nilai yang lebih tinggi pun akan semakin besar. Hal ini sesuai dengan Gagne yang menyatakan bahwa kemampuan pemecahan masalah merupakan keterampilan yang lebih tinggi dan lebih lebih kompleks dari tipe intelektual lainnya. Learning Cycle 7E dapat dijadikan alternatif pembelajaran dalam mengembangkan kemampuan pemecahan masalah matematis siswa. Hal ini dapat terlihat dari penguasaan tiap aspek dalam kemampuan pemecahan masalah matematis siswa. Penguasaan tiap aspek kemampuan pemecahan masalah dapat dilihat pada lampiran. Ringkasan data penguasaan tiap aspek kemampuan pemecahan masalah adalah sebagai berikut: Dari tabel di atas dapat terlihat bahwa siswa yang menggunakan pembelajaran Prosiding Seminar Nasional Matematika dan Pendidikan Matematika, “Internalisasi Nilainilai Berpikir Matematis Dalam Perannya di Era Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA)” matematika secara konvensional hanya mampu 61,32% memahami masalah, sedangkan siswa yang menggunakan Learning Cycle 7E mampu 73,97% memahami masalah. Pada kelas kontrol, sebagian besar siswa baru mampu memahami sebagian dari permasalahan, bahkan masih banyak yang tidak memahami masalah. Sementara untuk kelas eksperimen, sudah ada sebagian siswa yang memahami masalah secara lengkap, hanya sedikit yang tidak memahami masalah. Hal ini dikarenakan selama proses pembelajaran, siswa yang menggunakan Learning Cycle 7E terbiasa untuk menemukan sendiri hal yang menjadi permasalahan dalam soal yang diberikan pada LKS. Sebagian besar siswa mampu paling tidak setengah bagian dari masalah pada soal yang diberikan. Pada aspek merencanakan strategi pemecahan masalah matematis siswa, tingkat penguasaan kelas kontrol hanya 24,56%, sedangkan tingkat penguasaan kelas eksperimen hampir dua kali lipat dari kelas kontrol, yaitu sebesar 48,53%. Menurut Gagne, hal terpenting dalam memecahkan masalah adalah proses mencari strategi atau solusi dari masalah. Dengan pembelajaran Learning Cycle 7E siswa terbiasa untuk mengkonstruksi pengetahuannya sendiri dalam mencari solusi yang tepat dalam menyelesaikan permasalahan. Siswa terbiasa menemukan sendiri ide untuk menyelesaikan soal yang diberikan pada LKS. Sementara pada aspek menggunakan strategi masalah dalam menghitung dan menyelesaikan masalah, tingkat penguasaan kelas kontrol 11,93%, sedangkan untuk kelas eksperimen tingkat penguasaannya hampir 2,5 kali lipat dari kelas kontrol, yaitu 29,16%. Dalam aspek menggunakan strategi ini sebagian besar siswa salah dalam melakukan komputasi atau salah memasukkan angka, sehingga angka penguasaannya masih rendah. Dari analisis data pencapaian kemampuan pemecahan masalah matematis siswa berdasarkan kategori KAM, siswa dengan KAM tinggi yang menggunakan Learning Cycle 7E memiliki pencapaian kemampuan pemecahan masalah yang sama dengan siswa KAM tinggi yang menggunakan pembelajaran matematika secara konvensional. Rata-rata nilai kemampuan pemecahan masalah matematis siswa kelas eksperimen terlihat lebih besar dibandingkan dengan dengan rata-rata nilai siswa kelas kontrol, namun simpangan baku kelas eksperimen pun lebih besar dibandingkan kelas kontrol. Sehingga jika hanya melihat angka, kelas eksperimen jauh lebih baik dibandingkan kelas kontrol, hanya saja jika melihat kualitas, simpangan baku yang besar juga tidak baik yang berarti nilai tidak merata. Ada siswa yang mendapat nilai jauh di atas rata-rata namun ada juga siswa yang mendapat nilai jauh di bawah rata-rata. Namun, jika memperhatikan angka dari ratarata saja yang biasanya jadi patokan dalam menentukan ketuntasan belajar, siswa kelas eksperimen tentu lebih baik dibandingkan siswa kelas kontrol. Pencapaian kemampuan pemecahan masalah matematis siswa dengan kategori KAM sedang dan rendah memiliki kesimpulan yang sama, yaitu pencapaian kemampuan siswa yang menggunakan Learning Cycle 7E lebih tinggi secara signifikan dibandingkan siswa yang menggunakan pembelajaran matematika secara konvensional. Hal ini berarti, Learning Cycle 7E dapat menjadi alternatif pembelajaran dalam rangka mengembangkan kemampuan pemecahan masalah matematis siswa pada ketiga kategori KAM (tinggi, sedang, dan rendah). Dari hasil analisis pencapaian kemampuan pemecahan masalah matematis siswa yang menggunakan Learning Cycle 7E dalam pembelajaran matematika berdasarkan KAM Pendidikan Matematika Universitas Muhammadiyah Purworejo, Ruang Seminar UM Purworejo, 28 Mei 2016 491 siswa, didapatkan kesimpulan bahwa terdapat perbedaan yang signifikan pada kemampuan pemecahan masalah matematis siswa yang memiliki KAM tinggi, sedang, dan rendah. Perbedaan ini diuji lebih lanjut secara statistik. Dalam uji statistik lanjutan tersebut, diketahui bahwa pencapaian kemampuan pemecahan masalah matematis siswa dengan KAM tinggi yang menggunakan Learning Cycle 7E dalam pembelajaran matematika lebih tinggi dibandingkan dengan siswa dengan KAM sedang dan rendah. Untuk siswa dengan KAM sedang perbedaan yang tampak tidak begitu signifikan. Hal ini terjadi karena, pada saat diskusi kelompok, siswa yang termasuk KAM tinggi terbiasa menjadi tutor sebaya bagi siswa dengan KAM rendah. Sehingga siswa dengan KAM rendah dapat bersaing dengan siswa pada KAM sedang. Hal ini tampak pada saat peneliti melakukan evaluasi pada lembar penilaian diri siswa, siswa dengan KAM rendah mengatakan senang dalam pembelajaran karena bisa bertanya pada siswa yang pintar saat ada materi yang sulit. Secara keseluruhan pencapaian kemampuan pemecahan masalah matematis siswa yang menggunakan Learning Cycle 7E lebih tinggi secara signifikan dibandingkan dengan siswa yang pembelajaran matematikanya menggunakan pembelajaran konvensional. Pencapaian serupa terjadi pada setiap kategori KAM. Walaupun pada siswa dengan KAM tinggi perbedaan pencapaiannya tidak signifikan, tetapi jika dilihat dari angka tetap lebih tinggi siswa yang menggunakan Learning Cycle 7E. Sehingga, Learning Cycle 7E dapat menjadi solusi alternatif pembelajaran dalam rangka mengembangkan kemampuan pemecahan masalah matematis siswa. 492 5. KESIMPULAN Berdasarkan analisis dan pembahasan hasil penelitian pada bab sebelumnya, diperoleh beberapa kesimpulan, diantaranya: a. Pencapaian kemampuan pemecahan masalah matematis siswa yang menggunakan Learning Cycle 7E secara signifikan lebih tinggi dibandingkan siswa yang menggunakan pembelajaran matematika secara konvensional. b. Berdasarkan KAM: 1) Pencapaian kemampuan pemecahan masalah matematis siswa dengan kategori KAM tinggi yang menggunakan Learning Cycle 7E secara signifikan tidak lebih tinggi dibandingkan siswa dengan KAM tinggi yang menggunakan pembelajaran matematika secara konvensional. 2) Pencapaian kemampuan pemecahan masalah matematis siswa dengan kategori KAM sedang yang menggunakan Learning Cycle 7E secara signifikan lebih tinggi dibandingkan siswa dengan KAM sedang yang menggunakan pembelajaran matematika secara konvensional. 3) Pencapaian kemampuan pemecahan masalah matematis siswa dengan kategori KAM rendah yang menggunakan Learning Cycle 7E secara signifikan lebih tinggi dibandingkan siswa dengan KAM rendah yang menggunakan pembelajaran matematika secara konvensional. c. Terdapat perbedaan yang signifikan terhadap pencapaian kemampuan pemecahan masalah matematis siswa yang menggunakan Learning Cycle 7E antara kelompok KAM kategori tinggi, sedang, dan rendah. Kelompok siswa dengan KAM tinggi memiliki pencapaian yang lebih tinggi dibandingkan kelompok siswa dengan KAM sedang dan rendah. Kelompok siswa dengan KAM sedang memiliki pencapaian yang setara kelompok siswa dengan KAM rendah. Prosiding Seminar Nasional Matematika dan Pendidikan Matematika, “Internalisasi Nilainilai Berpikir Matematis Dalam Perannya di Era Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA)” 6. REFERENSI Akinmola, E. A. (2014). Developing mathematical problem solving ability: a panacea for a sustainable development in the 21st century. International Journal of Education and Research, 2 (2). Apriyani, S.A., dkk. (2014). Penerapan Model 7E Learning Cycle pada Pelajaran Fisika dalam Implementasi Kurikulum 2013. Prosiding Fisika 2014 Universitas Negeri Jakarta. Diakses Dari: http://snfunj.ac.id/files/8714/2345/2850/prosi ding_fisika_2014_fix12.pdf Arifin, Z. (2009). Evaluasi Pembelajaran. Bandung: PT Remaja Rosdakarya. Ayodele, O. J. (2011). Self-concept and performance of secondary school student in mathematics. Journal of Education and Developmental Psychology, 1 (1). hlm. 176-183. Reston, VA : National Council of Teachers Mathematics. Creswell, J.W. (2010). Research Design Pendekatan Kualitatif, Kuantitatif, dan Mixed. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Dahlan, J.A. (2011). Materi Pokok Analisis Kurikulum Matematika. Jakarta: Universitas Terbuka. Das, R dan Das, G. C. (2013). Math anxiety: the poor problem solving factor in school mathematics. International Journal of Scientific and Research Publications, 3 (4). Demirdag, dkk. (2011). Developing instructional activities based on constructivist 7e model: chemistry teachers‟ perspective. Journal of Turkish Science Education, 8 (4). hlm. 18-28 Badger, M. S., dkk. Teaching ProblemSolving in Undergraduate Mathematics. London: Conventry University. Einsenkraft, A. (2003). Expanding the 5E Model. Dalam Journal for High School Science Educators.[Online], Vol 70, (6), 56-59. Tersedia: http://www.its-abouttime.com/htmls/ap/eisenkrafttst.pdf Baykul, Y dan Yazici, E. (2011). Problem solving in elementary mathematics curriculum. International Journal on New Trends in Education and Their Implication, 2 (4). hlm. 29-37. Ersoy, E dan Guner, P. (2015). The place of problem solving and mathematical thinking in the mathematical teaching. The Online Journal of New Horizons in Education, 5 (1). Branca, N.A. (1980). Problem Solving as a Goal, Process, and Basic Skill. Problem Solving School Mathematics. Editor : Krulik, S. and Reys, R.E. Reston : National Council of Teacher Mathematics. Florida Departmen of Education. (2010). Classroom Cognitive and MetaCognitive Strategies for Teacher. Florida: Beraue of Exceptional Education and Student Service Charles, dkk. (1987). How to Evaluate Progress in Problem Solving. Fung, M.G. dan Roland L. (2004). Writing, Reading, and Assessing in an Elementary Problem Solving Class. In Problems, Resources, and Issues Pendidikan Matematika Universitas Muhammadiyah Purworejo, Ruang Seminar UM Purworejo, 28 Mei 2016 493 in Mathematics Undergraduate Studies: ProQuest Educatio Journals. Universitas Ahmad Dahlan: Tidak Diterbitkan. Kartika, Hanifah. (2015). Penerapan Pembelajaran Model Eliciting Activities (MEA) dengan Pendekatan Saintifik untuk Meningkatkan Kemampuan Representasi dan Pemecahan masalah Matematis Siswa. Tesis pada SPs UPI Bandung: Tidak Diterbitkan Hartono. (2013). Learning cycle-7e model to increase student‟s critical thinking on science. Jurnal Pendidikan Fisika Indonesia (9). hlm 58-66. Herman, T. (2000). Strategi Pemecahan Masalah (Problem-Solving) dalam Pembelajaran Matematika. Makalah Disajikan dalam Asistensi Guru Madrasah Ibtidaiyah dan Tsanawiyah Jawa Barat Tanggal 28 September s.d. 3 Oktober 2000. Husna, dkk. (2013). Peningkatan Kemampuan Pemecahan Masalah dan Komunikasi Matematis Siswa Sekolah Menengah Pertama Melalui Model Pembelajaran Kooperatif Tipe Think-Pair-Share (TPS). Jurnal Peluang, 1 (2), hlm. 81-92 In Stenmark, Jean. (1991). Mathematics Assessment: Myths, Models, Good Questions and Practical Suggestion. Reston, VA: National Council of Teachers of Mathematics. Indriyani, I.R. (2014). Pengembangan LKS Fisika Berbasis Learning Cycle 7E untuk Meningkatkan Hasil Belajar dan Mengembangan Kemampuan Berpikir Kritis pada Siswa SMA Kelas X Pokok Bahasan Elektromagnetik. Tesis pada SPs 494 I. dkk. (2011). Teori-Teori Pendidikan. Makalah Fakultas Ilmu Pendidikan Universitas Negeri Malang. Malang. Laelasari, dkk. (2014). Penerapan model pembelajaran learning cycle dalam kemampuan representasi matematis mahasiswa. Jurnal Euclid, 1 (2). hlm. 82-92. Lestari, W. D. (2014). Peningkatan Kemampuan Pemecahan Masalah Matematis dan Habits of Managing Impulsivity Siswa SMP Melalui Pembelajaran Kooperatif Tipe Group Investigation Berbartuan Proyek. Tesis pada SPs Universitas Pendidikan Indonesia: Tidak Diterbitkan. Lui, A. (2012). White Paper Teaching in Zone. [Online]. Diakses dari: www.childrensprogress.com Masrukan. (2014). Asesmen Otentik Pembelajaran Matematika. Semarang: CV Swadaya Manunggal. Mataka, L. M. dkk. (2014). The effect of using an explicit general problem solving teaching approach on elementary pre-service teachers‟ ability to solve heat transfer problems. International Journal of Education in Mathematics, Science and Technology, 2 (3). hlm. 164-174. Minstry of Education. A Guide to Effective Instruction in Mathematics, Volume Two. Ontario: Departmen of Education. Mullis, I.V.S. dkk. (2012). TIMSS 2011 International Results in Prosiding Seminar Nasional Matematika dan Pendidikan Matematika, “Internalisasi Nilainilai Berpikir Matematis Dalam Perannya di Era Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA)” Mathematics. College Boston: Boston Musriandi, R. (2013). Model Pembelajaran Matematika Tipe Group Investigation untuk Meningkatkan Kemampuan Pemecahan Masalah Matematis dan Self-Concept Siswa MTs. Tesis pada SPs Universitas Pendidikan Indonesia: Tidak Diterbitkan Nurhayati, A. (2015). Meningkatkan Kemampuan Koneksi Matematis, Self-Confidence Siswa Melalui Penerapan Pendekatan Pembelajaran Saintifik Berbantuan Persoalan Open-Ended. Tesis pada SPs Universitas Pendidikan Indonesia: Tidak Diterbitkan. Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Republik Indonesia Nomor 22 Tahun 2006 Tentang Standar Isi untuk Satuan Pendidikan Dasar dan Menengah. Peraturan Rektor Universitas Pendidikan Indonesia Nomor 4518/ UN40/ HK/ 2014 Tentang Pedoman Penulisan Karya Ilmiah UPI Tahun Akademik 2014/ 2015 Phil, M. (2014). A study on achievement motivation and problem solving ability in mathematics of ix standard student in relation to their sex and type of school. Indian Jornal of Apllied Research, 4 (12). hlm. 186188. Pimta, S. dkk. (2009). Factors influencing mathematics problem-solving ability of sixth grade students. Journal of Social Sciences, 5 (4), hlm. 381-385. Piraksa, C, dkk. (2009). Grade 10 students‟ physics problem solving ability of force and law of motion using 7e learning cycle and polya‟s problem solving technique. Third International Conference on Science and Mathematics Education. Pitriati. (2014). Pengaruh Penerapan Model Learning Cycle 7E terhadap Peningkatan Kemampuan Penalaran dan Kemampuan Komunikasi Matematis Siswa SMP. Tesis pada SPs UPI Bandung: Tidak Diterbitkan. Polyiem, T. dkk. (2011). Learning achievement, science process skill, and moral reasoning of ninth grade students learned by 7e learning cycle and socioscientific issue-based learning. Australian Journal of Basic and Apllied Sciences, 5 (10), hlm. 257-263. Priyatno, D. (2012). Cara Kilat Belajar Analisis Data dengn SPSS 20.Yogyakarta: PT Andi Pujiastuti, H. dkk. (2014). Inquiry cooperation model for enhancing junior high school students‟ mathematical problem solving ability. International Journal of Contemporary Educational Research, 1 (1). hlm. 51-60. Puspendik BSNP . (2014). Laporan Hasil Ujian Nasional SMP/ MTs Tahun Pelajaran 2013-2014. Jakarta: Kemdiknas Qarerah, A.O. (2012). The effect of using the learning cycle method in teaching science on the educational achievement of the sixth graders. Pendidikan Matematika Universitas Muhammadiyah Purworejo, Ruang Seminar UM Purworejo, 28 Mei 2016 495 International Journal Education Science, 4 (2). hlm. 123-132. Reksoatmodjo, T.N. (2009). Statistika untuk Psikologi dan Pendidikan. Bandung: PT. Refika Aditama. Riduwan. (2014). Dasar-Dasar Statistika. Bandung: Alfabeta. Ruseffendi, HET. (2006). Pengantar Kepada Membantu Guru Mengembangkan Kompetensinya dalam Pengajaran Matematika untuk Meningkatkan CBSA. Bandung: Tarsito Russeffendi, HET. (1998). Statistika Dasar untuk Penelitian Pendidikan. Bandung: IKIP Bandung Press Sani, R.A. (2013). Inovasi Pembelajaran. Jakarta: PT Bumi Aksara. Sari, N.M. (2013). Kemampuan Metagonisi dan Pemecahan Masalah Matematis Siswa SMP dalam Pembelajaran Metode Eksplorasi. Tesis SPs Universitas Pendidikan Indonesia: Tidak Diterbitkan. Santyasa, I.W. (2007). Model-Model Pembelajaran Inovatif. Makalah FPMIPA Universitas Pendidikan Ganesha. Bali Shadiq, F. Empat Objek Langsung Matematika Menurut Gagne. Diakses dari: www.fadjarp3g.wordpress.com Shadiq, F. (2004). Pemecahan Masalah, Penalaran, dan Komunikasi dalam Pembelajaran Matematika. Yogyakarta: Depdiknas Dirjen Dikdasmen PPPG Matematika. Sholihah, I. R. (2012). Pengaruh Model Pembelajaran Learning Cycle 7E 496 terhadap Kemampuan Koneksi Matematis Siswa SMP. Diakses dari: http://digilib.unpas.ac.id/gdl.php?mo d Siribunnam, R dan Tayraukham, S (2009). Effects of 7-e, kwl, and conventional instruction on analytical thinking, learning achievement an attitudes toward chemistry learning. Journal of Social Sciences, 5 (4). hlm. 279282. Sornsakda, S. dkk. (2009). Effects of learning environmental education using the 7e-learning cycle with metacognitive techniques and the teacher‟s handbook approaches on learning achievement, integrated sciences process skill and critical thinking of Mathayomsuksa 5 students with different learning achievement. Pakistan Journal of Social Sciences, 6 (5), hlm. 297-303 Sudjana. (2002). Metoda Statistika. Bandung: Tarsito Suherman, E. dkk. (2003). Strategi Pembelajaran Matematika Kontemporer. Bandung: FPMIPA UPI Sumarmo, U. (2012). Pendidikan Karakter serta Pengembangan Berpikir dan Disposisi Matematika dalam Pembelajaran Matematika. Makalah Disajikan pada Seminar Pendidikan Matematika di NTT tanggal 25 Februari 2012 Suprijono, A, (2009). Cooperative Learning Teori & Aplikasi PAIKEM. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Syaiful. (2013). The teaching model to enhance mathematical problem Prosiding Seminar Nasional Matematika dan Pendidikan Matematika, “Internalisasi Nilainilai Berpikir Matematis Dalam Perannya di Era Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA)” solving ability in junior high school teacher. International Journal of Education and Research, 1 (9). Szetela & Nicol. (1992). Evaluating problem solving in mathematics. Educational Leadership. hlm 42-45 Tambychik, T dan Meerah, T. S. M. (2010). Students‟ difficulties in mathematics problem-solving: what do they say?. Procedia Social and Behavioral Sciences, 8. hlm. 142-151. Tuna & Kacar. (2013). The effect of 5e learning cycle model in teaching trigonometry on students‟ academic achievement and the permanence of their knowledge. International Journal on New Trends in Education and Their Implications, 4 (1). hlm. 73-87 Turmudi. (2008). Pemecahan Masalah Matematika pdf. Diakses dari: http://file.upi.edu/browse.php?dir=Di rektori/FPMIPA/JUR PEND MATEMATIKA/196101121987031TURMUDI/ Wahyudin. (2012). Modul Statistik Terapan. Bandung: Mandiri Pendidikan Matematika Universitas Muhammadiyah Purworejo, Ruang Seminar UM Purworejo, 28 Mei 2016 497 PROFIL PEMAHAMAN SISWA SMA LEVEL IQ NORMAL TENTANG KONSEP JARAK PADA GEOMETRI RUANG DITINJAU DARI PERBEDAAN GENDER 1) Suprianto 1) Fakultas Teknik, Universitas Muhammadiyah Sidoarjo Email : [email protected] Abstrak Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui profil pemahaman konsep jarak pada geometri ruang siswa SLTA dengan level IQ normal ditinjau dari perbedaan Gender. Jumlah subyek dalam penelitian sebanyak satu (1) laki-laki, dan satu (1) wanita. Jenis Penelitian ini adalah penelitian kualitatif eksploratif, dimana peneliti sebagai instrumen utama yang kedudukannya tidak bisa diwakili dalam proses penelitian. Materi konsep jarak yang diteliti adalah konsep jarak dari titik ke titik, konsep jarak dari titik ke garis, titik ke bidang, garis ke garis, garis ke bidang, dan bidang ke bidang, dan studi kasus perhitungan jarak .Hasil temuan penelitian tentang profil subyek dalam memahami konsep jarak pada geometri ruang ditinjau dari empat (4) aspek, yaitu aspek definisi, aspek pemahaman konsep,aspek visualisasi jarak, dan aspek implementasi menghitung jarak. Hasil penelitian disimpulkan bahwa untuk level IQ normal secara umum kualitas pemahamaan konsep jarak subyek wanita lebih baik daripada subyek laki-laki. Kata Kunci : Profil, konsep, jarak, IQ, Gender.. 1. PENDAHULUAN Berkaitan dengan prestasi belajar, beberapa studi menunjukkan bahwa dalam pencapaian prestasi belajar siswa, ternyata terjadi perbedaan ditinjau dari gender siswa. Perempuan hampir selalu mempunyai prestasi belajar yang lebih rendah daripada laki-laki. Salah satu studi dilakukan oleh Meighan (1981) pada hasil General Certificate of Education (GCE) di Amerika, ternyata menghasilkan data. Pertama, sampai usia 11 tahun. Laki-laki dan perempuan pada umumnya mempunyai tingkat prestasi yang sama. Kedua, perbandingan jumlah siswa laki-laki dan perempuan yang memperoleh nilai "A", pada beberapa mata pelajaran, menunjukkan hasil: Fisika: 6:1; Matematika: 4:1; Kimia: 3:1; Biologi: 9:8; Menggambar: 200:1; Bahasa: 1:2. Dari pendapat dan hasil penelitian sebelumnya menunjukkan adanya perbedaan prestasi siswa ditinjau dari perbedaan gender siswa. Perbedaan prestasi tersebut dapat dimaknai bahwa ada perbedaan proses 498 pemahaman terhadap materi pembelajaran antara siswa laki-laki dan perempuan. Dari kondisi tersebut di atas muncul suatu pertanyaan, apakah perbedaan gender tersebut juga terjadi pada pemahaman konsep-konsep geometri ? Faktor dari dalam diri siswa selain gender adalah kecerdasan intelektual. Kecerdasan intelektual (IQ) merupakan faktor yang memiliki peran besar dalam menentukan hasil belajar siswa. Pada umumnya seseorang yang mempunyai taraf kecerdasan tinggi akan lebih baik prestasinya dibandingkan dengan seseorang yang mempunyai taraf kecerdasan sedang atau rendah. Berdasarkan latar belakang, maka pertanyaan penelitian secara umum adalah : “Bagaimanakah profile pemahaman siswa SMA level IQ Normal Tentang konsep jarak pada geometri ruang ditinjau dari perbedaan Gender ?” Prosiding Seminar Nasional Matematika dan Pendidikan Matematika, “Internalisasi Nilainilai Berpikir Matematis Dalam Perannya di Era Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA)” . 2. KAJIAN LITERATUR DAN PEGEMBANGAN HIPOTESIS (JIKA ADA) Menurut NCTM (1989) Pengetahuan dan pemahaman siswa terhadap konsep matematika dapat dilihat dari kemampuan siswa dalam: (1) Mendefinisikan konsep secara verbal dan tertulis; (2) Mengidentifikasi, membuat contoh dan bukan contoh; (3) Menggunakan model, diagram, dan simbol-simbol untuk mempresentasikan suatu konsep; (4) Mengubah suatu bentuk presentasi ke dalam bentuk lain; (5) Mengenal berbagai makna dan interpretasi konsep; (6) Mengidentifikasi sifat-sifat suatu konsep dan mengenal syarat yang menentukan suatu konsep;(7) Membandingkan dan membedakan konsepkonsep. Menurut Pieri (1992), pemahaman adalah kemampuan menjelaskan suatu situasi atau suatu tindakan. Dari pengertian ini, pemahaman mengandung tiga aspek, yaitu: (1) kemampuan mengenal, (2) kemampuan menjelaskan, dan (3) kemampuan mengiterpretasi. Pemahaman juga dipandang sebagai suatu pengalaman mental yang diperoleh dari aktivitas memahami sesuatu konsep. Menurut Sierpinska (1998), pemahaman merupakan pengalaman mental yang menghubungkan antar obyek yang satu dengan obyek yang lainnya. Terdapat dua aliran dalam psikologi pendidikan menyangkut perkembangan pemikiran geometri. Yang pertama adalah aliran Piere van Hiele dan Dina van Hiele yang memberikan urutan pemikiran geometri menurut tingkatannya yaitu: visual, descriptive/analytic, abstract/relational, formal deduction dan rigor / metamathematical. Menurut teori Piere van Hiele dan Dina van Hiele, siswa-siswa maju melalui tingkattingkat pemikiran dalam geometri dan tingkat visual seperti di atas. Teori van Hiele mempunyai karakteristik : belajar merupakan suatu proses yang diskontinu; tahap-tahap berpikir bersifat terurut dan hirarkis; pemahaman konsep yang implisit pada suatu tingkatan menjadi eksplisit pada pemahaman tingkatan berikutnya; dan tiap-tiap tingkatan mempunyai bahasa dan simbol tersendiri. Tiga unsur pangkal dalam geometri, yaitu titik, garis, dan bidang. Ketiga unsur tersebut, dapat juga disebut sebagai tiga unsur yang tak didefinisikan. Sebuah titik dipikirkan sebagai suatu tempat/posisi dalam ruang. Titik tidak memiliki panjang maupun ketebalan. Bekas tusukan jarum, atau bekas ujung pensil di atas kertas, dapat dipikirkan sebagai model fisik dari sebuah titik. Sebuah titik direpresentasikan dengan sebuah noktah dan diberi nama dengan suatu huruf kapital. Sebuah garis dipikirkan sebagai suatu himpunan titik berderet yang panjang tak terbatas, tetapi tidak memiliki lebar. Seutas benang yang diregangkan, goresan pensil mengikuti tepi sebuah penggaris dapat dipikirkan sebagai model sebuah garis. Sebuah garis direpresentasikan dengan sebuah gambar sinar dengan anak panah di kedua ujungnya yang menunjukkan bahwa garis tersebut tak berakhir. Definisi Jarak antara dua buah bangun adalah panjang ruas garis penghubung terpendek yang menghubungkan dua titik pada bangun-bangun tersebut . Tilik ruang adalah kemampuan pemahaman tingkat tinggi anak terhadap bangun-bangun ruang, apa yang mereka lihat dari bangun-bangun tersebut, dan apa pemberian namanya. Berdasarkan standar kurikulum K-4 (Walle, 1998: 388) untuk geometri dan tilik ruang, tertera bahwa Pendidikan Matematika Universitas Muhammadiyah Purworejo, Ruang Seminar UM Purworejo, 28 Mei 2016 499 kurikulum bertujuan untuk meningkatkan kemampuan tilik ruang yang merupakan bagian dari geometri berdasarkan teori Van Hiele. Pengertian Intelegensi berasal dari bahasa Inggris “Intelligence” , yang juga berasal dari bahasa Latin yaitu “Intellectus dan Intelligentia”. Teori tentang intelegensi pertama kali dikemukakan oleh Spearman dan Wynn Jones Pol pada tahun 1951 yang mengemukakan adanya konsep lama mengenai suatu kekuatan (power) yang dapat melengkapi akal pikiran manusia tunggal pengetahuan sejati. John W. Santrock (1996: 365) Gender adalah jenis kelamin yang mengacu pada dimensi sosial budaya seseorang pada dimensi sosial budaya seseorang sebagai laki-laki dan perempuan. Konsep gender adalah sifat yang melekat pada kaum lakilaki dan perempuan yang dibentuk oleh faktor-faktor sosial dan budaya. Pembedaan antara kata gender dan kata seks (jenis kelamin), merupakan langkah awal untuk memahami konsep gender dan persoalan yang dialami kaum perempuan yang disebabkan oleh perbedaan gender (gender differences) dan ketidakadilan gender (gender inequalities), karena secara mendasar gender berbeda dengan jenis kelamin biologis. Seks (jenis kelamin) merupakan pemberian atau ketentuan Tuhan (kodrat). Alat-alat tersebut secara biologis melekat pada manusia jenis laki-laki dan perempuan, artinya alat-alat tersebut tidak bisa dipertukarkan dan secara permanen tidak berubah. Sedangkan konsep gender adalah suatu sifat yang melekat pada kaum laki-laki maupun perempuan yang dikonstruksi secara sosial maupun kultural.. 500 3. METODE PENELITIAN a. Jenis Penelitian Jenis Penelitian ini termasuk penelitian eksploratif dengan pendekatan kualitatif. Disebut Penelitian eksploratif karena peneliti melakukan eksplorasi Profil pemahaman siswa, dengan data utama berupa kata-kata yang disusun menjadi suatu kalimat. Sedangkan pendekatan kualitatif berusaha untuk menghasilkan data deskriptif berupa kata-kata tertulis atau lisan dari setiap subyek dan perilaku yang diteliti. Pemilihan pendekatan kualitatif ini didasari beberapa alasan, yaitu (1) bersifat natural, maksudnya adalah penelitian dilakukan sesuai keadaan sebenarnya dan peneliti sebagai instrumen utama, (2) data bersifat deskriptif, (3) lebih menekankan proses daripada hasil, (4) pengolahan data cenderung dilakukan secara induktif, (5) perhatian utama pada setiap aktivitas yang dilakukan individu. Subyek penelitian adalah siswa SLTA yang telah memperoleh materi jarak pada geometri ruang. Subyek akan dipilih sebanyak dua (2) siswa dengan prosedur sebagai berikut : 1. Periksa data IQ siswa yang telah tersedia di sekolah dengan kriteria IQ terpilih adalah level IQ 110-119 (di atas normal ). Dasar pertimbangan rasional pemilihan tiga level IQ tersebut adalah (1) semua siswa yang masuk sekolah berstandar nasional telah melakukan tes IQ (data terdokumentasi) (2) SMAN 4 sidoarjo sebagai tempat penelitian bersedia untuk membantu dan menyediakan data yang diperlukan, (3) level IQ dibawah normal tidak dilibatkan karena tempat penelitian bukan sekolah inklusi. 2. Setelah data IQ yang dimaksud telah terpenuhi, kemudian ditentukan 1 siswa laki-laki dan 1 siswa perempuan berdasarkan kriteria nilai IPK dengan rata-rata ≥ 7. Dasar pertimbangan IPK rata-rata ≥ 7 adalah untuk mendukung ketersediaan data yang diperlukan dalam Prosiding Seminar Nasional Matematika dan Pendidikan Matematika, “Internalisasi Nilainilai Berpikir Matematis Dalam Perannya di Era Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA)” penelitian, dan rata-rata yang dimaksud tidak sulit untuk ditemukan. 3. Jika Kriteria level IQ, gender, dan IPK terpenuhi, maka pilih sebagai subyek penelitian. Instrumen penelitian digunakan untuk memperoleh data penelitian. Dalam penelitian ini digunakan dua macam instrumen, yaitu instrument utama dan instrument pendukung. Berikut ini dijelaskan instrument-instrumen yang dimaksud: 1. Instrumen Utama Instrumen utama pada penelitian ini adalah peneliti sendiri. Peran peneliti sebagai instrumen utama tidak dapat diganti, sehingga semua proses pengumpulan data dilakukan sendiri. Sebagai instrumen utama, peran peneliti sebagai pewawancara, proses wawancara dilakukan secara mendalam sebagai upaya untuk memperoleh data yang lengkap dan akurat dalam rangka menjawab pertanyaan penelitian yang dimaksud. 2. Instrumen Pendukung Untuk memperoleh data penelitian yang lengkap dan akurat, diperlukan instumen pendukung, instrumen tersebut yaitu: a. Soal-soal berkaitan dengan konsep jarak pada geometri ruang Setiap subyek penelitian akan diberi materi soal, yaitu : (1) konsep jarak dari titik ke titik, (2) konsep jarak dari titik ke garis, (3) konsep jarak dari titik ke bidang, (4) konsep jarak dari garis ke garis, (5) konsep jarak dari garis ke bidang, (6) konsep jarak dari bidang ke bidang Prosedur pengumpulan data dijelaskan dengan tahapan sebagai berikut : 1. Subyek yang telah dipilih yaitu : SLIN : siswa laki-laki dengan level IQ normal SWIN: siswa wanita dengan level IQ normal 2. Dilakukan proses wawancara terhadap semua subyek, yang berkaitan dengan materi Ikj-tt, Ikj-tg, Ikj-tb, Ikj-gg, Ikjgb, dan Ikj-bb. 3. Proses wawancara dilakukan beberapa kali sebagai bentuk triangulasi waktu dengan memberikan soal dengan bentuk yang berbeda sampai diperoleh jawaban yang konsisten. Selanjutnya data yang konsisten dalam penelitian ini disebut Data Valid. b. Prosedur Pengolahan Data Prosedur pengolahan data penelitian ini mengacu pada pendapat Miles dan Huberman (1992) yang menyatakan bahwa aktivitas analisis kualitatif dilakukan secara interaktif sampai tuntas dan berlangsung secara kontinyu pada setiap tahapan penelitian sampai pada kondisi jenuh. Tahap-tahap pengolahan data pada penelitian ini adalah : 1. 2. 3. 4. 5. Membuat transkrip data Menelaah data pada transkrip data Reduksi data Penafsiran Data Identifikasi temuan data yang menarik 6. Menarik kesimpulan dan membuat rekomendasi b. Pedoman wawancara berbasis tugas c. Alat perekam audio visual d. Prosedur Pengumpulan Data Untuk memperoleh data yang valid, perlu ditetapkan prosedur yang konstruktif. Data yang dipilih telah melalui proses dengan prosedur yang ditetapkan. c. Prosedur Penelitian 1. Tahap Persiapan Pada tahap persiapan penelitian mencakup kegiatan-kegiatan sebagai berikut: penyusunan proposal penelitian, penyusunan draft dan validasi instrumen pendukung Pendidikan Matematika Universitas Muhammadiyah Purworejo, Ruang Seminar UM Purworejo, 28 Mei 2016 501 pengumpulan data penelitian, dan proses penentuan calon subyek penelitian. 2. Pengumpulan dan Pengolahan Data Tahap pengumpulan dan pengolahan data meliputi: penentuan subyek penelitian, pelaksanaan wawancara (interview) terhadap subyek penelitian, penyusunan transkrip hasil wawancara, penelaahan dan reduksi data penelitian, dan analisis data hasil wawancara. 3. Pembahasan dan Penulisan Laporan Hasil Penelitian Kegiatan yang dilakukan pada tahap ini meliputi: interpretasi hasil dari pengolahan data penelitian, dan penyusunan laporan penelitian. 4. HASIL DAN PEMBAHASAN a. Profile Umum Subyek Laki-laki level IQ Normal (SLIN) Dari hasil analisis terhadap enam materi pokok konsep jarak dan studi kasus perhitungan jarak, secara skematik dapat disajikan pada table berikut : garis Garis Lemah ke bidang Bidang Lemah ke bidang Lemah Linier Lemah Linier Berdasarkan hasil komparasi kemampuan pemahaman konseptual dan implementasi menghitung jarak, ditinjau dari enam materi jarak, maka disimpulkan kemampuan subyek SLIN linier antara konsep dan implementasi menghitung jarak. b. Profile Umum Subyek Wanita level IQ Normal (SWIN) Dari hasil analisis terhadap enam materi pokok konsep jarak dan studi kasus perhitungan jarak, secara skematik dapat disajikan pada table berikut : Tabel 2 Hubungan Kemampuan Konseptual dan Implementasi Menghitung Jarak Subyek SWIN Tabel 1 Hubungan Kemampuan Konseptual dan Implementasi Menghitung Jarak Materi Pemahaman konsep Implementasi menghitung jarak Ket Titik ke titik Kuat Kuat Linier Titik ke garis Lemah Lemah Linier Titik ke bidang Kuat Lemah Tdk linier Garis Kuat Lemah Tdk Jarak Subyek SLIN Materi Jarak Pemahaman konsep Titik ke titik Titik ke garis Titik ke bidang Garis ke 502 Ket Lemah Implementasi menghitung jarak Lemah Lemah Lemah Linier Lemah Lemah Linier Lemah Lemah Linier Linier Prosiding Seminar Nasional Matematika dan Pendidikan Matematika, “Internalisasi Nilainilai Berpikir Matematis Dalam Perannya di Era Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA)” ke garis Garis ke bidang Kuat Lemah Bidan g ke bidang Lemah Lemah linier panjang sisi-sisinya, maka disimpulkan kognisi subyek SWIN (wanita) lebih baik daripada subyek SLIN (laki-laki) dalam memahami Tdk konsep jarak dari titikke titik, titik ke garis, linier titik ke bidang, garis ke garis, garis ke bidang, dan konsep jarak dari bidang ke bidang. Linier5. REFERENSI Al Krismanto, M.Sc. 2004. Dimensi tiga pembelajaran jarak. Departemen Pendidikan Nasional. Direktorat Jendrl Pendidikan Dasar dan Menengah. Pusat Informasi yang diperoleh dari analisis Pengembangan dan Penataran Guru kemampuan konsep dan implementasi, Matematika, Yogyakarta. berdasarkan tabel di atas, adalah pada materi Barmby, P., Harries, T., Higgins, S., and jarak dari titik ke titik, subyek kuat secara Suggate J., 2007. How Can we Assess konsep, dan kuat secara implementasi Mathematical Understanding? In menghitung jarak, untuk materi konsep jarak st Proceedings of The 31 Conference of dari titik ke garis dan jarak dari titik ke The International Group for The bidang adalah linier, lemah secara konsep, Psychology of Mathematics Education, lemah pula secara implementasi menghitung Vol. 2, pp 41-48. Seoul: PME jaraknya. Sedangkan yang tidak linier adalah pada materi jarak dari titik ke garis, jarak dari Brooks, J. G. 1993. In Search of garis ke bidang, dan jarak dari bidang ke Understanding: The case for bidang, subyek kuat secara konsep tetapi Constructivist Classroom. Alexandria, lemah dalam implementasi menghitung jarak. VA: Association forSupervision and Curriculum Development. Berdasarkan hasil kajian dari tabel di atas, maka disimpulkan bahwa kognisi subyek SLIN dan subyek SWIN adalah berbeda dari aspek pemahaman konsep jarak yang menjadi topik pembahasan. Secara umum kualitas pemahaman konsep jarak dari titik ke titik, disimpulkan kognisi subyek SWIN lebih baik daripada subyek SLIN.. 4. KESIMPULAN Berdasarkan hasil analisis terhadap subyek laki-laki dan subyek wanita tentang pemahaman konsep jarak pada geometri ruang, sesuai pengamatan dan analisis kualitatif terhada subyek dalam empat (4) aspek pengamatan yaitu aspek definisi, aspek pemahaman konsep, aspek visualisasi jarak, dan aspek implementasi menghitung jarak pada studi kasus balok yang telah diketahui Bunda, Lucy. 2010. Mendidik sesuai dengan minat dan bakat anak. PT. Tangga Pustaka. Jakarta Selatan. Bursill-Hall, P. (2002). Why do we study geometry? Answer through the ages. Departement of Pure Mathematics and Mathematical Statistics University Of Cambridge. Carr At all. 1999. Elementray school children’s strategy preference on mathematic education. . copyright 2007. by Edward Omolewa, Nicola D. David Fuys. 1988. The Van Hiele model of thinking in geometry. Resto. VA. NCTM. Pendidikan Matematika Universitas Muhammadiyah Purworejo, Ruang Seminar UM Purworejo, 28 Mei 2016 503 MINAT DAN MOTIVASI BELAJAR SERTA PENGARUHNYA PADA PRESTASI BELAJAR MATEMATIKA Lasia Agustina Fakultas Teknik dan MIPA ,Prodi.Pendidikan Matematika, Universitas Indraprasta PGRI, Jakarta Email : [email protected] Abstrak Proses belajar mengajar merupakan proses interaksi antara siswa dan guru. Dalam pembelajaran matematika banyak guru yang mengeluhkan rendahnya kemampuan siswa dalam menerapkan konsep matematika, yang terlihat dari rendahnya prestasi belajar matematika siswa. Banyak faktor yang mempengaruhi prestasi belajar siswa. Diantaranya bahan pelajaran, lingkungan siswa, kemampuan intelegensi, minat dan motivasi. Oleh karena itu, perlu adanya tinjauan dalam usaha meningkatkan prestasi belajar matematika siswa, terutama dalam hal ini pada pengaruh minat dan motivasi terhadap prestasi belajar matematika siswa. Dengan mengambil sampel siswa kelas V yang berjumlah 46 siswa SD Negeri 05 Cibinong Bogor. Metode yang digunakan survey analisis korelasional dan instrumen yang digunakan berupa kuisioner minat dan motivasi belajar. Setelah diyakini instrumen memiliki kelayakan dan kehandalan sesuai dengan harapan, selanjutnya instrumen disebar dan diedarkan kepada responden lalu dianalisis melalui teknik analisis data, yang dimaksudkan untuk menguji kebenaran hipotesis yang telah ditetapkan. Dan diperoleh hasil bahwa terdapat pengaruh minat dan motivasi belajar secara bersama-sama terhadap prestasi belajar matematika siswa, terdapat pengaruh minat terhadap prestasi belajar matematika dan terdapat pengaruh motivasi belajar terhadap prestasi belajar matematika. Kata Kunci : Minat, Motivasi Belajar, Prestasi Belajar Matematika 1. Pendahuluan Proses pendidikan hakekatnya merupakan interaksi antara pendidik dalam hal ini guru, dan peserta didik (murid atau siswa) maka pendidikan tidak dapat dipisahkan dari proses belajar mengajar. Dalam pembelajaran matematika banyak guru yang mengeluhkan rendahnya kemampuan siswa dalam menerapkan konsep matematika. Hal ini terlihat dari banyaknya kesalahan siswa dalam memahami konsep matematika sehingga mengakibatkan kesalahankesalahan dalam mengerjakan soal sehingga mengakibatkan rendahnya prestasi belajar siswa. Prestasi belajar yang baik adalah keinginan yang dicita-citakan oleh setiap siswa maupun pendidik (guru), maka minat dan motivasi merupakan hal yang utama dalam proses belajar mengajar karena sesuatu akan berjalan lancar apabila ada minat dan motivasi dari siswa terhadap suatu pelajaran. 504 2. Kajian Literatur Poerwadarminta (1987:767) menyatakan “prestasi belajar adalah hasil yang dicapai sebaik-baiknya menurut kemampuan anak pada waktu tertentu terhadap hal-hal yang dikerjakan atau dilakukan”. Sedangkan menurut Abu Ahmadi (2010 : 138) Prestasi belajar yang dicapai seseorang merupakan hasil interaksi berbagai faktor yang mempengaruhinya baik dari dalam diri (faktor internal) maupun dari luar diri (faktor eksternal) individu. Jadi prestasi belajar adalah hasil belajar yang telah dicapai dan ditandai dengan perkembangan serta perubahan tingkah laku pada diri seseorang yang diperlukan dari belajar dengan waktu tertentu, prestasi belajar ini dapat dinyatakan dalam bentuk nilai dan hasil tes atau ujian. Kecenderungan rasa suka terhadap sesuatu dibandingkan dengan yang lain inilah yang disebut minat. Sikap awal yang positif berupa rasa suka dari siswa turut menentukan keberhasilan proses belajar yang dilakukan. Prosiding Seminar Nasional Matematika dan Pendidikan Matematika, “Internalisasi Nilainilai Berpikir Matematis Dalam Perannya di Era Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA)” Semakin tinggi gairah atau keinginan terhadap sesuatu menjadi langkah awal menuju keberhasilan selanjutnya (Syah, 1995:134). Minat seseorang terhadap suatu obyek akan membawa kecenderungan untuk bergaul lebih dekat dengan objek yang diminatinya, dan guru sendiri hendaknya berusaha membangkitkan minat siswa terhadap belajar (Usman. M.U, 1996:27). Minat merupakan sumber motivasi yang mendorong manusia untuk melakukan apa yang mereka ingin kerjakan di saat mereka bebas untuk memilih. Motivasi berasal dari kata “motif” yang diartikan sebagai “daya penggerak yang telah menjadi aktif” (Sardiman,2003: 73). Motivasi menjadi sesuatu hal yang sangat penting tatkala kita akan melakukan sesuatu. Sedangkan McClelland dan Atkinson dalam (Sri Esti, 1989: 161) mengemukakan bahwa motivasi yang paling penting untuk psikologis pendidikan adalah motivasi berprestasi, dimana seseorang cenderung untuk berjuang mencapai sukses atau memilih kegiatan yang berorientasi untuk tujuan sukses atau gagal. Intensitas motivasi siswa akan sangat menentukan tingkat pencapaian prestasi belajar siswa tersebut. Terdapat beberapa cara untuk membangkitkan motivasi belajar pada diri individu siswa dalam melakukan aktivitas belajarnya. Menurut Nasution (1982:81) cara membangkitkan motivasi belajar antara lain memberi angka, memberi hadiah, hasrat untuk belajar, mengetahui hasil, memberikan pujian, menumbuhkan minat belajar, dan suasana yang menyenangkan. Dalam kaitannya dengan aktivitas belajar, guru harus dapat mengembangkan motivasi belajar dalam setiap kegiatan berinteraksi dengan siswanya. Bila seseorang sudah termotivasi untuk belajar, maka dia akan melakukan aktivitas belajar dalam rentangan waktu tertentu. Sedangkan metode yang digunakan adalah survey analisis korelasional, dengan desain sebagai berikut : X1 Y X2 Gambar 1 : Desain Penelitian Keterangan : X1 : Minat belajar pelajaran Matematika siswa terhadap X2 : Motivasi belajar siswa terhadap pelajaran Matematika Y : Prestasi belajar Matematika siswa 4. Hasil dan Pembahasan Prosedur pengolahan data dimulai dengan memilahkan data ke dalam masing-masing variabel diantaranya data variabel prestasi belajar, data variabel minat belajar siswa dan data variabel motivasi belajar siswa. Selanjutnya data yang diperoleh dianalisis menggunakan program SPSS 17. Data diperoleh dari pemberian angket (kuesioner) untuk mengungkapkan minat belajar siswa, motivasi belajar siswa dan data nilai prestasi belajar dalam bidang studi matematika pada semester II tahun ajaran 2013/2014 Adapun hasil perhitungan statistik dari data yang telah diperoleh sebagai berikut : 3. Metode Penelitian Kegiatan dilaksanakan di SDN 05 Cibinong Bogor. Dengan mengambil sampel siswa kelas V yang berjumlah 46 siswa secara acak (random) dan proposional. Instrumen yang digunakan berupa angket minat dan angket motivasi belajar yang masing-masing berjumlah 25 item dengan skala 1-5. Pendidikan Matematika Universitas Muhammadiyah Purworejo, Ruang Seminar UM Purworejo, 28 Mei 2016 505 Tabel 1. Statistik Deskriptif NValid Missing Minat Motivasi Prestasi 46 46 46 0 0 0 Mean 64.8696 73.9565 74.9130 Median 64.0000 73.5000 72.5000 Mode 64.00 Std. Deviation 4.51471 4.64259 9.23719 Variance 20.383 73.00 21.554 65.00 85.326 Dari data diatas, jumlah siswa yang diambil datanya sebanyak 46 siswa dari 2 kelas. Pada variable minat, nilai tertinggi 75 dan nilai terendah 54. Selanjutnya rata-rata minat belajar siswa adalah 64,89 dengan simpangan baku 4,51 dan didukung pula oleh median 64,00 dan modus sebesar 64,00. Pada variable motivasi, nilai tertinggi 86 dan nilai terendah 66. Selanjutnya ratarata motivasi belajar siswa adalah 73,95 dengan simpangan baku 4,64 dan didukung pula oleh median 73,50 dan modus sebesar 73,00. Pada variable prestasi, nilai tertinggi 96 dan nilai terendah 65. Selanjutnya ratarata prestasi belajar siswa adalah 74,91 dengan simpangan baku 9,23 dan didukung pula oleh median 72,50 dan modus sebesar 65,00. Uji Persyaratan Analisi Data a. Uji Normalitas Untuk menguji normal tidaknya sampel digunakan uji Liliefors (KolmogorovSumirnov) pada taraf signifikansi = 0,05. Pada variable minat, diperoleh nilai sign = 0,768 yang nilainya > 0,05 sehingga dapat dikatakan bahwa data variable minat berdistribusi normal . Pada variable motivasi, diperoleh nilai sign = 0,919 yang nilainya > 506 0,05 sehingga dapat dikatakan bahwa data variable motivasi berdistribusi normal. Dan pada variable prestasi, diperoleh nilai sign = 0,350 yang nilainya > 0,05 sehingga dapat dikatakan bahwa data variable prestasi berdistribusi normal. Karena kesemuanya lebih besar dari 0,05 maka ketiga variable tersebut berdistribusi normal. b. Uji Linieritas a.) Regresi X1 dan Y Dari perhitungan diperoleh bahwa nilai sig = 0,00 < 0,05, sehingga dapat disimpulkan bahwa persamaan regresi X1 terhadap Y adalah linier. b.) Regresi X2 dan Y Dari perhitungan diperoleh bahwa nilai sig = 0,017 < 0,05, sehingga dapat disimpulkan bahwa persamaan regresi X2 terhadap Y adalah linier. c. Koefisien Determinasi Diperoleh nilai koefisien determinasi sebesar 0,492 atau 49,2%. Nilai tersebut menunjukkan bahwa minat dan motivasi mempengaruhi prestasi belajar siswa sebesar 49,2% sedangkan sisanya dipengaruhi factor lain. d. Uji Hipotesis Uji Signifikansi Koefisien Regresi Dari hasil perhitungan dan analisis terhadap data hasil penelitian dapat disusun persamaan regresi dan berganda sebagai berikut Ŷ = -19,962 + 0,043X1 + 1,413X2. ANOVAb Sesuai dengan analisis dan persyaratan yang telah ditentukan dengan tingkat signifikansi 5 % atau = 0,05 dan dk pembilang = 1, dk penyebut = 45. Berpedoman pada hasil perhitungan Prosiding Seminar Nasional Matematika dan Pendidikan Matematika, “Internalisasi Nilainilai Berpikir Matematis Dalam Perannya di Era Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA)” diperoleh nilai F hitung = 20,801 sedangkan nilai F tabel adalah 4,05. Esti, Sri.1989 .Psikologi Pendidikan. Jakarta: Grafindo Dengan membandingkan nilai F hitung = 20,801 > F tabel = 4,05 diperoleh kesimpulan bahwa terdapat pengaruh langsung dari minat dan motivasi belajar terhadap prestasi belajar matematika siswa kelas V di SDN 05 Cibinong. Nasution. 1982. Teknologi Pendidikan. Bandung: Bumi Aksara 5. Simpulan dan Saran Berdasarkan temuan yang ada dapat disimpulkan bahwa prestasi belajar merupakan variabel yang sangat rentan terhadap perubahan. Prestasi belajar tidak hanya dipengaruhi oleh faktor internal siswa tetapi juga dipengaruhi oleh faktor lingkungan. Salah satu faktor internal yang cukup berperan dalam meningkatkan prestasi belajar siswa adalah minat belajar. Dalam data hasil penelitian disimpulkan bahwa 49,2% prestasi belajar matematika siswa dipengaruhi oleh minat dan motivasi belajar, selanjutnya 50,8 % lainnya dipengaruhi oleh beragam faktor lainnya. Dengan demikian perlu adanya bimbingan guru dan orang tua agar siswa dapat meningkatkan minat dan motivasi belajar yang lebih tinggi serta mampu mendukung pencapaian tujuan pendidikan. Poerwadarminta. W.J.S. 1987. Kamus umum bahasa Indonesia. Jakarta : Balai Pustaka. Sardiman. 2003. Interaksi Dan Motivasi Belajar Mengajar. Jakarta: Raja Grafindo Persada Syah, Muhibbin. 1995. Psikologi Suatu Pendekatan Baru. Bandung : Remaja Rosda Karya. Usman. M.U. 1996. Menjadi Guru Profesional. Bandung : Remaja Rosda Karya. Mengingat keterbatasan, penelitian ini hanya dilakukan pada siswa SDN Cibinong 05, sehingga generalisasinya hanya berlaku bagi subjek yang memiliki karakteristik yang sama dengan subjek pada penelitian ini. Oleh karena itu perlu pengkajian yang lebih lanjut untuk melengkapi hasil penelitian ini, terutama bagi subjek yang memiliki karakteristik yang berbeda. Daftar Pustaka Ahmadi, Abu dan Widodo. 2010. Psikologi Belajar. Jakarta: Rineka Cipta Pendidikan Matematika Universitas Muhammadiyah Purworejo, Ruang Seminar UM Purworejo, 28 Mei 2016 507 PENINGKATKAN KEMAMPUAN PENALARAN MATEMATIS SISWA SMP MELALUI MODEL DISCOVERY LEARNING Susianita Pascasarjana Univeritas Pendidikan Indonesia [email protected] Abstrak Kemampuan penalaran merupakan kemampuan berpikir matematika tingkat tinggi. Karena kemampuan penalaran membutuhkan kemampuan memahami lebih mendalam untuk dapat membuat kesimpulan secara logis. Namun pada kenyataannya kemampuan penalaran ini masih rendah, salah satu penyebab nya karena pembelajaran yang ada sekarang ini masih berpusat pada guru dan juga masih pada prosedural penyelesaian masalah tanpa membangun konsep yang matang pada siswa. Salah satu model pembelajaran yang diperkirakan oleh peneliti mampu meningkatkan kemampuan penalaran adalah model “Discovery Learning”. Model Discovery Learning dianggap dapat meningkatkan keaktifan siswa dalam belajar dan mengubah pembelajaran yang teacher oriented ke student oriented sehingga dapat meningkatkan kemampuan penalaran matematis siswa. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode kuasi eksperimen dengan desain kelompok Pretest-Postest Control Group Design. Populasi dalam penelitian ini adalah siswa kelas VII SMP Negeri 1 Lohbener Kabupaten Indramayu. Sedangkan sampel dalam penelitian ini kelas VII C sebagai kelompok eksperimen dan kelas VII D sebagai kelompok kontrol. Analisis hipotesis dilakukan dengan pengujian parametrik jika data berdistribusi normal dan homogen yaitu uji-t dan Anova satu jalur. Sedangkan jika data berdistribusi tidak normal maka digunakan pengujian non parametrik yaitu uji Mann whitney. Kata Kunci : Penalaran Matematis, Model Discovery Learning 1. PENDAHULUAN Depdiknas (2006) dalam menyusun Standar Isi (SI) mata pelajaran matematika untuk jenjang pendidikan dasar dan menengah, dengan tujuan agar siswa mampu: Memahami konsep matematika; Menggunakan penalaran pada pola dan sifat; Memecahkan masalah; Mengkomunikasikan gagasan dengan tabel, simbol, diagram, atau media lain untuk memperjelas keadaan atau masalah; Memiliki sikap menghargai kegunaan matematika dalam kehidupan, Demikian pula halnya tujuan dalam pembelajaran oleh National Council of Teachers Mathematics (NCTM,2000) yang menyebutkan terdapat setidaknya lima kemampuan yang ditumbuhkan pada siswa saat mereka mempelajari matematika, yakni 508 pemecahan masalah (problem solving), penalaran dan pembuktian (reasoning and proof), komunikasi (communication), koneksi (connection) dan representasi (representation). Berdasarkan uraian tersebut, dalam belajar matematika diperlukan kemampuankemampuan tersebut agar tercapai tujuan pembelajaran. Dari beberapa keterampilan matematis tersebut peneliti mengambil satu kemampuan yaitu penalaran, karena penalaran dibutuhkan dalam setiap pemecahan masalah baik dalam belajar matematika dan juga kehidupan sehari-hari. Kemampuan penalaran merupakan kemampuan berpikir matematika tingkat tinggi. Karena kemampuan penalaran membutuhkan kemampuan memahami lebih Prosiding Seminar Nasional Matematika dan Pendidikan Matematika, “Internalisasi Nilainilai Berpikir Matematis Dalam Perannya di Era Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA)” mendalam untuk dapat membuat kesimpulan secara logis. Jadi kemampuan penalaran merupakan salah satu kemampuan yang harus dimiliki oleh siswa, sehingga peneliti berminat untuk mengetahui kemapuan penalaran matematis siswa secara lebih lanjut. Namun kenyataannya pada hasil analisis Ujian Nasional tahun pelajaran 2013/2014 (Balitbang,2014) menunjukkan bahwa rata-rata nilai Ujian Nasional pada mata pelajaran matematika di tingkat nasional adalah 6,07(C), untuk tingkat Provinsi Jawa Barat adalah 5,58 (C), dan untuk tingkat Kabupaten Indramayu adalah 5,01 (D). Jika dilihat dari daya serap terhadap setiap butir soal, kemampuan yang memiliki nilai paling rendah adalah: (1) menentukan nilai data yang hilang berkaitan dengan nilai rerata (48,81%); (2) menentukan nilai fungsi jika tiga titik terletak pada satu garis lurus (51,98%); (3) menyelesaikan soal cerita berkaitan dengan panjang kawat menggunakan konsep rusuk pada limas persegi (53,32%); (4) menghitung luas juring atau panjang busur yang diketahui panjang jari-jari dan besar sudut pusatnya (54,91%). Hal tersebut menunjukkan bahwa kemampuan siswa dalam matematika masih rendah yang termasuk didalamnya kemampuan penalaran matematis siswa. Sejalan dengan hal tersebut rendahnya kemampuan penalaran juga ditemukan oleh beberapa penelitian sebelumnya baik diluar negeri maupun dalam negeri. Penelitian Cetin dan Ertekin (2011) menyebutkan siswa masih belum berkembang dalam kemampuan penalaran, dalam penelitian ini dikhususkan pada penalaran proposional. Penggunaan rumus secara dini membuat siswa menggunakan rumus tanpa berpikir sehingga kemampuan penalaran proposionalnya tidak berkembang. Dalam penelitian Lithner (2012) masih banyak siswa yang melakukan hafalan dalam belajar matematika, hal ini yang menjadi salah satu alasan dibalik kesulitan belajar matematika. Bahkan penggunaan prosedur pun kurang memadai meskipun menggunakan hafalan karena siswa menggunakan prosedur seperti robot. Selanjutnya dalam penelitian Bieda (2012) kemampuan siswa untuk terlibat dalam penalaran dan pembuktian menunjukkan kelemahan signifikan dalam kemampuan siswa untuk alasan deduktif dan abstrak di semua tingkatan kelas. Penelitian Putri (2013) melaporkan bahwa hasil rata-rata skor postes kemampuan penalaran matematis siswa SMP melalui pembelajaran matematika realistik sebesar 48,17% dari skor ideal. Demikian juga dari penelitian yang dilakukan Hadriani (2015) yang menyebutkan bahwa rata-rata skor postes kemampuan penalaran matematis siswa SMP sebesar 53,20% dari skor ideal. Penyebab rendahnya kemampuan penalaran siswa salah satunya siswa lebih cenderung menghapal dan mengikuti prosedur yang sudah baku dalam menyelesaikan masalah dan memecahkan masalah matematika tanpa menggunakan logika berpikirnya. Selain itu pembelajaran yang ada sekarang ini masih berpusat kepada guru, sedangkan siswa hanya duduk mendengarkan penjelasan guru, mencatat, kemudian mengerjakan soal-soal rutin. Pembelajaran yang selama ini terjadi lebih condong pada prosedural penyelesaian masalah tanpa membangun konsep yang matang pada diri siswa dan masih berpusat pada guru. Salah satu model pembelajaran yang diperkirakan oleh peneliti mampu meningkatkan kemampuan penalaran adalah model “Discovery Learning”. Metode Discovery Learning dianggap dapat meningkatkan keaktifan siswa dalam belajar dan mengubah pembelajaran yang teacher Pendidikan Matematika Universitas Muhammadiyah Purworejo, Ruang Seminar UM Purworejo, 28 Mei 2016 509 oriented ke student oriented. Karena dalam metode Discovery Learning bahan ajar tidak disajikan dalam bentuk akhir, siswa dituntut untuk melakukan berbagai kegiatan menghimpun informasi, membandingkan, mengkategorikan, menganalisis, mengintegrasikan, mereorganisasikan bahan serta membuat kesimpulan-kesimpulan (kurikulum 2013). Hal tersebut memungkinkan murid-murid menemukan arti bagi diri mereka sendiri, dan memungkinkan mereka untuk mempelajari konsep-konsep di dalam bahasa yang dimengerti mereka.. Dalam tahapan model Discovery Learning terdapat langkah pembuktian dan generalisasi yang memenuhi indikator dari kemampuan penalaran. Berdasarkan latar belakang permasalahan tersebut peneliti tertarik untuk melakukan penelitian yang berjudul: “ Peningkatan Kemampuan Penalaran Matematis dan Self-esteem Siswa SMP melalui Model Discovery Learning” Adapun tujuan dari penelitian ini yaitu : mengetahui perbedaan peningkatan kemampuan penalaran siswa yang memperoleh model Discovery Learning dengan siswa yang memperoleh pembelajaran konvensional. 2. KAJIAN LITERATUR 1. Penalaran Matematis Penalaran adalah suatu bentuk khusus dari berpikir dalam rangka mengambil simpulan dari penyelesaian yang digambarkan premis (Copi dalam Jacob, 2003). Sedngkan, menurut Yoong (2006) Penalaran matematis mengacu pada kemampuan untuk menganalisis suatu situasi matematika dan membangun argumen logis. Selanjutnya menurut Jhonson, Laird & Byrne (Christou,C, and Papageorgiou,E, 2007) Penalaran pada umumnya melibatkan kesimpulan yang diambil dari prinsip-prinsip 510 dan bukti-bukti dimana individual menyimpulkan kesimpulan baru atau mengevaluasi usulan kesimpulan dari apa yang sudah diketahui. Maka, dapat disimpulkan bahwa penalaran adalah kegiatan penarikan kesimpulan berdasarkan pernyataan yang telah ada sebelumnya. Ketika siswa mempelajari matematika, salah satu kemampuan yang dilatih adalah penalaran. Lohman dan Lakin (2009) menambahkan kemampuan penalaran selalu berkembang melalui pengalaman dan dibawakan dengan lebih mudah melalui latihan. Penalaran adalah alat yang penting (essential tool) untuk matematika dan kehidupan sehari-hari. Kemampuan ini dipakai untuk memeriksa apakah suatu argumen matematika benar atau salah, dan lebih lanjut dipakai untuk membangun argumen matematika. Dalam penelitian ini tipe penalaran yang digunakan yaitu Penalaran Induktif dan Penalaran Deduktif. Penalaran induktif dibangun dari mengamati suatu keteraturan. Dimulai dari contoh-contoh khusus untuk kemudian dilihat polanya sehingga dapat ditarik suatu kesimpulan yang bersifat umum. Beberapa kegiatan yang tergolong pada penalaran induktif, antara lain: (1) Transduktif, yaitu menarik kesimpulan dari suatu kasus atau sifat khusus yang satu diterapkan pada kasus khusus lainnya, (2) analogi, yaitu penarikan kesimpulan berdasarkan keserupaan data atau proses (3) generalisasi, yaitu penarikan kesimpulan umum berdasarkan sejumlah data yang teramati, (4) memperkirakan jawaban, solusi atau kecenderungan: interpolasi dan ekstrapolasi (5) memberi penjelasan terhadap model,fakta, sifat, hubungan atau pola yang ada, (6) menggunakan pola hubungan untuk menganalisis situasi, dan menyusun konjektur (Sumarmo,2010) Penalaran deduktif, dimulai dengan premis yang mutlak untuk suatu konklusi yang khusus . Kegiatan yang tergolong pada penalaran deduktif antara lain: (1) melaksanakan perhiutungan berdasarkan aturan atau rumus tertentu (2) menarik kesimpulan logis berdasarkan aturan inferensi, memeriksa validitas argumen, membuktikan dan menyusun argumen yang Prosiding Seminar Nasional Matematika dan Pendidikan Matematika, “Internalisasi Nilainilai Berpikir Matematis Dalam Perannya di Era Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA)” valid (3) menyusun pembuktian langsung, pembuktian tak langsung dan pembuktian dengan induksi matematika Beberapa indikator penalaran matematika yang dikemukakan oleh Sumarmo adalah, siswa dapat: 1. Menarik kesimpulan logis 2. Memberikan penjelasan dengan menggunakan model, fakta,sifat dan hubungan 3. Memperkirakan jawaban dan proses solusi 4. Menggunakan pola dan hubungan untuk menganalisis situasi matematis, menarik analogi dan generalisasi 5. Menyusun dan menguji konjektur 6. Memberikan lawan contoh (counter example) 7. Mengikuti aturan inferensi,memeriksa validitas argumen 8. Menyusun argumen yang valid 9. Menyusun pembuktian langsung , pembuktian tak langsung dan induksi matematis Sedangkan dalam penelitian ini indikator yang digunakan dalam penelitian ini adalah Menarik kesimpulan logis,Memberikan penjelasan dengan menggunakan model, fakta,sifat dan hubungan,Memperkirakan jawaban dan proses solusi,Menggunakan pola dan hubungan untuk menganalisis situasi matematis, menarik analogi dan generalisasi. 2. Discovery Learning Discovery Learning sering dianggap identik dengan istilah pembelajaran lain seperti Problem Based Learning, Inquiri Learning, Experiental Learning, dan Constructivist Learning (Kirschner, Sweller, dan Clark,2004). Walaupun beberapa ahli masih membedakan pembelajaranpembelajaran tersebut berdasarkan beberapa faktor, misalnya dalam Discovery Learning permasalahan yang diangkat tidak harus permasalahan sehari-hari (daily life problem), sedangkan dalam Problem Based Learning memang yang digunakan adalah masalah sehari-hari. Dalam penelitian ini masalah yang digunakan tidak terbatas hanya pada masalah kehidupan sehari-hari. Dalam strategi Discovery Learning diharapkan siswa dapat mengorganisasi konsep sendiri tanpa diberikan materi pelajaran dalam bentuk akhirnya. Siswa diharapkan secara mandiri dapat membangun pengetahuan sendiri. Discovery Learning meliputi model dan strategi yang fokus pada kesempatan siswa untuk belajar aktif dan hands-on (Dewey,1997). Oleh karenanya indikator terjadinya Discovery adalah adanya keterlibatan proses mental siswa dalam usaha menemukan konsep. Karena terdapat empat komponen untuk Discovery Learning : 1) rasa ingin tahu dan ketidakpastian; 2) struktur pengetahuan; 3) pengurutan; 4) motivasi (Thorsett,2002). Lebih lengkap, Bruner (1960) mengidentifikasi enam indikator pada Discovery Learning yang memunculkan perkembangan kognitif: 1) Menanggapi situasi dalam berbagai cara daripada selalu dengan cara yang sama; 2) Internalisasi peristiwa ke dalam “sistem penyimpanan” yang sesuai dengan lingkungan; 3) Meningkatkan kapasitas bahasa; 4) Interaksi sistematis dengan tutor (orang tua,guru,atau contoh tauladan lain); 5) Bahasa sebagai sebuah instrumen untuk memerintahkan lingkungan; 6) Meningkatkan kapasitas untuk berhadapan dengan lebih dari satu permintaan. Menurut Kemendikbud (2013) Discovery Learning dilakukan melalui observasi, klasifikasi, pengukuran, prediksi, penentuan, dan inferensi, dan Discovery Learning adalah pembentukan kategorikategori atau konsep-konsep yang dapat memungkinkan terjadinya generalisasi. Sejalan dengan apa yang dikemukakan Kemendikbud, Bickell, Holmes dan Hoffman (Mustafa,2014) menyatakan tiga atribut utama dari Discovery Learning adalah 1) mengeksplorasi dan memecahkan masalah untuk mencipta, mengintegrasi, dan menggeneralisasi pengetahuan, 2) dikendalikan siswa, aktivitas berbasis minat dengan siswa menentukan urutan dan frekuensi, 3) aktivitas untuk mendorong Pendidikan Matematika Universitas Muhammadiyah Purworejo, Ruang Seminar UM Purworejo, 28 Mei 2016 511 integrasi dari pengetahuan baru ke dasar pengetahuan yang telah siswa miliki. Kelebihan penerapan Discovery Learning (Kemendikbud,2013:1) antara lain: 1) Membantu siswa untuk meningkatkan keterampilan-keterampilan dan proses-proses kognitif; 2) Pengetahuan yang diperoleh melalui metode ini sangat pribadi dan ampuh karena menguatkan pengertian, ingatan, dan transfer; 3) Menimbulkan rasa senang pada siswa, karena tumbuhnya rasa menyelidiki dan berhasil; 4) Metode ini memungkinkan siswa berkembang dengan cepat dan sesuai dengan kecepatannya sendiri; 5) Peserta mengarahkan kegiatan belajarnya sendiri dengan melibatkan akal dan motivasinya; 6) Strategi ini dapat memperkuat konsep diri siswa, karena memperoleh kepercayaan bekerja dengan yang lain; 7) Berpusat pada siswa dan guru yang bersama berperan aktif mengeluarkan gagasan-gagasan; 8) Membantu siswa menghilangkan keraguraguan karena mengarah pada kebenaran yang final dan tertentu atau pasti; 9) Siswa akan mengerti ide-ide dasar dan konsep lebih baik; 10) Membantu dan mengembangkan ingatan dan transfer kepada suatu proses belajar yang baru; 11) Mendorong siswa berpikir dan bekerja atas inisiatif sendiri; 12) Mendorong siswa berpikir intuisi dan merumuskan hipotesis sendiri; 13) Memberikan keputusan yang bersifat intrinsik; 14) Situasi proses belajar menjadi lebih terangsang; 15) Proses belajar meliputi sesama aspeknya siswa menuju pada manusia seutuhnya; 16) Meningkatkan tingkat penghargaan pada siswa; 17) Kemungkinan siswa belajar dengan berbagai sumber belajar; 18) Dapat mengembangkan bakat dan kecakapan individu. Langkah-langkah operasional implementasi Discovery Learning yang diaplikasikan dalam penelitian ini terbagi menjadi tiga yaitu langkah persiapan, aplikasi, dan penilaian. Dalam langkah persiapan beberapa hal perlu dilakukan guru antara lain: a. Menentukan tujuan pembelajaran b. Melakukan identifikasi karakteristik peserta didik (kemampuan awal, minat, gaya belajar, dan sebagainya) c. Menguasai materi pelajaran 512 d. Menentukan topik-topik yang harus dipelajari peserta didik secara induktif (dari contoh menuju ke generalisasi) e. Mengembangkan bahan-bahan belajar yang berupa contoh-contoh, ilustrasi, tugas dan sebagainya untuk dipelajari peserta didik f. Mengatur topik-topik pelajaran dari yang sederhana ke kompleks, dari yang konkret ke abstrak, atau tahap enaktif, ikonik sampai ke simbolik g. Melakukan penilaian proses dan hasil belajar peserta didik Dalam langkah aplikasi prosedurnya adalah sebagai berikut: 1. Stimulation (Stimulasi/pemberian rangsang) 2. Problem Statement (pernyataan/ identifikasi masalah) 3. Data Collection (Pengumpulan Data) 4. Data Processing (pengolahan data) 5. Verification (pembuktian) 6. Generalization (menarik kesimpulan/ generalisasi) 3. Penelitian yang relevan Sebagai metode yang menekankan pada kemampuan guru untuk memacu dan memicu proses mental siswa, Discovery Learning memerlukan bukti empiris untuk memperkuat landasan teorinya. Dari kajian yang telah dilakukan, ditemukan beberapa fakta empiris yang mendukung keunggulan dari Discovery Learning. Balim (2009) mengkaji pengaruh dari Discovery Learning terhadap pencapaian prestasi dan kemampuan belajar inkuiri. Hasil yang diperoleh adalah kelompok yang mendapatkan Discovery Learning memperoleh nilai yang tinggi pada postes dan memiliki kemampuan belajar inkuiri yang tinggi. Jong (2011) mengkaji Discovery Learning secara kualitatif. Dengan mengobservasi Discovery Learning dalam suatu simulasi lingkungan pembelajaran yang diiringi dengan masalah-masalah yang mungkin akan dihadapi siswa ketika menggunakan metode ini. Penelitian ini memberikan kesimpulan bahwa Discovery Prosiding Seminar Nasional Matematika dan Pendidikan Matematika, “Internalisasi Nilainilai Berpikir Matematis Dalam Perannya di Era Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA)” Learning memberikan suatu lingkungan yang dapat mengundang siswa untuk meningkatkan self directed learning. Hasil penelitian Mustafa (2014) menunjukkan bahwa peningkatan kemampuan berpikir kritis dan kreatif serta self efficacy siswa yang mengikuti pembelajaran Discovery Learning lebih baik daripada siswa yang mengikuti pembelajaran konvensional. Selain itu Self Efficacy siswa yang memperoleh Discovery Learning juga lebih baik daripada siswa yang memperoleh pembelajaran konvensional. Sedangkan penelitian Hadriani (2015) menyebutkan bahwa secara keseluruhan pembelajaran penemuan lebih baik dalam peningkatan kemampuan penalaran matematis, koneksi matematis dan disposisi matematis siswa SMP. Selain itu penelitian Riyanto (2011) melaporkan bahwa kemampuan penalaran dan prestasi siswa yang mendapat pembelajaran pendekatan kontruktivisme lebih baik daripada siswa yang mendapat pembelajaran konvensional. Sedangkan hipotesis dalam penelitian ini adalah Terdapat perbedaan peningkatan kemampuan penalaran matematis antara siswa yang memperoleh model Discovery Learning dan siswa yang memperoleh pembelajaran konvensional. 3. METODE PENELITIAN A. Desain Penelitian Pada penelitian ini, Peneliti ingin menguji sebuah perlakuan yaitu pembelajaran dengan model Discovery Learning terhadap kemampuan penalaran matematis siswa. Oleh karena itu, penelitian ini merupakan penelitian kuasi eksperimen. Pada saat penelitian, Peneliti menggunakan kelas-kelas yang telah tersedia karena peneliti tidak mungkin mengelompokkan siswa secara acak. Jika dilakukan pengacakan kelas, maka akan mengganggu efektivitas kegiatan pembelajaran di sekolah. Agar diperoleh gambaran dari perlakuan maka dipilihlah kelompok pembanding. Tujuan penelitian ini adalah untuk memperoleh gambaran tentang penerapan pembelajaran Discovery Learning terhadap peningkatan kemampuan penalaran matematis siswa dalam matematika yang melibatkan dua kelompok siswa, yaitu kelompok eksperimen yang akan memperoleh perlakuan Discovery Learning dan kelompok kontrol yang mendapat pembelajaran konvensional. Desaian penelitian untuk kemampuan penalaran matematis menggunakan desain kuasi eksperimen yang berlandaskan pada Sugiyono (2012) yaitu desain kelompok kontrol non ekuivalen. Penelitian ini menggunakan desain kelompok PretestPostest Control Group Design sebagai berikut: Kelas Eksperimen :O Kelas Kontrol :O X O O Dimana: O : soal-soal pretest sama dengan soal-soal postest kemampuan penalaran matematis. X : perlakuan menggunakan Discovery Learning : subjek tidak secara acak dikelompokkan Desain di atas menggambarkan bahwa kedua kelas diberikan pretest, perlakuan, dan posttest. Pretest dan posttest yang diberikan pada kedua kelas ini adalah sama, dengan alasan materi bangun datar segi empat yang akan disampaikan pada Pendidikan Matematika Universitas Muhammadiyah Purworejo, Ruang Seminar UM Purworejo, 28 Mei 2016 513 penelitian ini adalah bukan merupakan suatu hal baru yang dikenal oleh siswa. Perlakuan yang dimaksud dalam penelitian ini adalah dimana kelas eksperimen diberikan suatu pembelajaran yaitu Discovery Learning, sedangkan kelas kontrol diberikan suatu metode konvensional. Populasi dan Sampel Menurut Sugiyono (2012), populasi adalah wilayah generalisasi yang terdiri atas objek/subjek yang mempunyai kualitas dan karakteristik tertentu yang ditetapkan oleh peneliti untuk dipelajari dan kemudian ditarik kesimpulannya. Populasi dalam penelitian ini dilakukan di kelas VII di SMPN Kabupaten Indramayu tahun pelajaran 2015/2016. Ditetapkan sebagai populasi dengan alasan yaitu tingkat perkembangan kognitif siswa berada pada tahap peralihan dari operasi konkrit ke operasi formal. Menurut teori Piaget, siswa SMP kelas VII sudah mulai memasuki tahap berpiikir formal. Oleh karena itu pada siswa SMP kelas VII ini sudah mulai dikenalkan dengan materimateri yang bersifat abstrak. Penelitian ini dilaksanakan di SMPN 1 Lohbener. administrasi. Dua kelompok yang dipilih sebagai sebagai sampel penelitian adalah kelompok eksperimen siswa kelas VII C sebanyak 32 siswa yang menggunakan pembelajaran dengan Discovery Learning, dan kelompok kontrol siswa kelas VII D sebanyak 30 siswa juga dengan pembelajaran konvensional. B. Menurut Sugiyono (2012), sampel adalah bagian dari jumlah dan karakteristik yang dimiliki oleh populasi tersebut. Sampel penelitian ditentukan berdasarkan purposive sampling, yaitu teknik pengambilan sampel yang berdasarkan pertimbangan tertentu (Sugiyono, 2012) sehingga dipilih dua kelas dari seluruh kelas VII di sekolah tersebut. Pertimbangan yang digunakan dalam pemilihan sampel adalah dari informasi yang diperoleh dari wakil kepala sekolah, wali kelas, dan guru bidang studi matematika yang mengajar yang menyatakan bahwa kelas VII memiliki kemampuan akademik yang hampir sama. Pemilihan sampel dengan purposive sampling bertujuan agar penelitian dapat berlangsung secara tepat, efektif, dan efisien dalam hal pelaksanaan penelitian, waktu penelitian, tempat penelitian, dan 514 Penelitian ini terdiri dari empat variabel, yaitu dua variabel terikat, satu variabel bebas, dan satu variabel kontrol. Adapu rincian variabelnya adalah: 1) Variabel terikat (dependent variable) dalam penelitian ini adalah kemampuan penalaran 2) Variabel bebas (independent variable) dalam penelitian ini adalah Discovery Learning. 3) Variabel kontrol dalam penelitian ini adalah kemampuan awal matematis siswa (tinggi, sedang, rendah). C. Perangkat Pembelajaran a) Silabus Silabus merupakan penjabaran dari standar kompetensi dan kompetensi dasar yang bertujuan agar peneliti mempunyai acuan yang jelas dalam melakukan penelitian dan tes yang diberikan dan disusun sesuai dengan prinsip yang berorientasi pada pencapaian kompetensi. Dalam silabus mata pelajaran matematika memuat identitas sekolah, standar kompetensi, kompetensi dasar, materi pokok, kegiatan pembelajaran, dan indikator, penilaian (jenis tes, bentuk tes, dan contoh instrumen). b) Rencana Pelaksanaan Pembelajaran RPP bertujuan untuk membantu peneliti dalam mengarahkan jalannya pembelajaran agar terlaksana dengan baik sehingga tujuan pembelajaran bisa tercapai dengan baik. Penyusunan RPP yaitu secara sistematis, yang memuat standar kompetensi, kompetensi dasar, indikator, tujuan pembelajaran, materi ajar, model dan metode pembelajaran, langkah-langkah pembelajaran, bahan atau sumber, bahan atau sumber dan penilaian hasil belajar. RPP yang disusun memuat indikator yang mengukur penguasaan siswa Prosiding Seminar Nasional Matematika dan Pendidikan Matematika, “Internalisasi Nilainilai Berpikir Matematis Dalam Perannya di Era Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA)” terhadap materi yang diajarkan yaitu bangun datar segi empat. Strategi dan langkahlangkah pembelajaran disesuaikan dengan pembelajaran yang digunakan yaitu untuk kelas eksperimen menggunakan Discovery Learning, sedangkan kelas kontrol menggunakan metode pembelajaran konvensional. Untuk materi, sumber belajar, dan penilaian hasil belajar untuk kedua kelas diberikan perlakuan yang sama. c) Bahan Ajar Bahan ajar yang digunakan dalam penelitian ini yaitu bahan ajar dengan menggunakan Discovery Learning untuk kelas eksperimen,. Bahan ajar yang dibuat mengacu pada Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan yang berlaku, sehingga diharapkan dapat meningkatkan kemampuan penalaran matematis siswa. Bahan ajar ini disajikan dalam bentuk Lembar Kerja Siswa (LKS) yang dirancang, disusun, dan dikembangkan dalam penelitian ini disesuaikan dengan indikator, dan tujuan pembelajaran, serta melalui pertimbangan dari dosen. Dalam penelitian ini, LKS berisi sejumlah soal yang dapat membuat siswa menguasai materi bangun datar segi empat. D. Instrumen Penelitian Instrumen yang digunakan dalam memperoleh data penelitian ini yaitu instrumen tes . Instrumen dalam bentuk tes terdiri atas seperangkat soal tes untuk mengukur kemampuan penalaran matematis. Fokus dari penelitian ini adalah uji coba penerapan pembelajaran Discovery Learning dalam upaya untuk meningkatkan kemampuan penalaran matematis siswa SMP sebagai upaya untuk mendapatkan informasi yang lengkap mengenai hal-hal yang ingin dikaji. Tahapan yang dilakukan pada uji coba tes kemampuan penalaran matematis adalah: a) Instrumen Tes Tes kemampuan penalaran matematis dibuat untuk mengukur sejauh mana kemampuan penalaran matematis yang telah dimiliki siswa pada materi bangun datar segi empat setelah menerima pembelajaran dengan Discovery Learning pada kelas eksperimen dan pembelajaran konvensional pada kelas kontrol. Tes yang diberikan adalah tes berbentuk uraian yang berjumlah 4 soal, karena dengan tipe uraian dapat melihat pola pikir siswa dengan jelas sehingga kemampuan penalaran matematisnya terlihat dengan jelas. Tes kemampuan penalaran yang akan digunakan dalam penelitian ini mencakup penalaran induktif dan penalaran deduktif untuk tingkat siswa SMP yaitu: (1) menarik kesimpulan secara logis; (2) analogi; (3) generalisasi; (4) pembuktikan secara langsung Dalam penelitian ini tes dilakukan dua kali yaitu pretest dengan tujuan untuk melihat kemampuan penalaran matematis awal siswa, selanjutnya postest dengan tujuan untuk mengukur kemampuan penalaran siswa setelah mendapatkan perlakuan. Tes disusun dan dikembangkan oleh peneliti berdasarkan prosedur penyusunan instrumen tes yang baik dan benar. Sebelum tes digunakan terlebih dahulu dilakukan validitas muka dan validitas isi instrumen oleh para ahli yang berpengalaman dibidangnya. Langkah selanjutnya yaitu tes diuji cobakan secara empiris kepada siswa kelas VIII A di SMPN 1 Lohbener sebanyak 34 siswa yang sudah menerima materi bangun datar segi empat. Hal tersebut dilakukan dengan tujuan agar susunan kalimat atau kata-kata dalam tes tersebut jelas pengertiannya, sehingga tidak terjadi salah pengertian saat diberikan kepada sampel penelitian serta disesuaikan dengan pengetahuan yang dimiliki oleh sampel penelitian. Tujuan dari validitas isi adalah untuk melihat kesesuaian butir soal dengan dengan kisi-kisi soal. Uji validitas isi dan muka ini dilakukan oleh satu orang dosen ahli, satu orang guru matematika yang sudah bersetifikasi di SMPN 1 Lohbener dengan kondisi yang setara dengan subjek penelitian. Setelah data hasil uji coba tersebut terkumpul, data-data tersebut kemudian dianalisis untuk mengetahui validitas, reliabilitas, indeks kesukaran, dan daya pembeda dari soal-soal tersebut. Setelah soal kemampuan penalaran matematis dianalisis, selanjutnya direvisi jika diperlukan sehingga diperoleh soal yang layak untuk digunakan sebagai instrumen penelitian. Pendidikan Matematika Universitas Muhammadiyah Purworejo, Ruang Seminar UM Purworejo, 28 Mei 2016 515 Adapun langkah-langkah penyusunan tes kemampuan penalaran matematis yang dimaksud adalah sebagai berikut: 1. Membuat kisi-kisi soal yang meliputi dasar dalam pembuatan soal tes kemampuan penalaran matematis siswa. 2. Menyusun soal tes kemampuan penalaran matematis. 3. Menilai kesesuaian antara materi, indikator, dan soal tes untuk mengetahui validitas isi. 4. Melakukan uji coba soal untuk memperoleh data hasil tes uji coba. Menghitung validitas, reliabilitas, indeks kesukaran, dan daya pembeda butir soal berdasarkan data yang diperoleh pada tes uji coba. Data kuantitatif diperoleh dari hasil uji coba instrumen dari hasil pretes dan n-gain kemampuan penalaran matematis. Data-data tersebut akan diolah menggunakan bantuan microcoft excel 2007 dan software SPSS versi 20. Instrumen yang digunakan diuji cobakan terlebih dahulu sebelum digunakan. Uji coba ini dilakukan dengan tujuan untuk mengetahui apakah instrumen tersebut sudah memenuhi syarat instrumen yang baik atau belum. Teknik Pengumpulan Data Pengumpulan data dilakukan melalui tes. Tes yang digunakan adalah pretes dan postes. Pretes dilakukan sebelum pelaksanaan pembelajaran dalam penelitian. Postes dilakukan setelah pembelajaran dilakukan dalam penelitian selasai. F. Teknik Analisis data Data yang diperoleh dari hasil penelitian ini berupa data hasil tes. Analisis data yang digunakan yaitu data kuantitatif yang berupa hasil tes kemampuan penalaran matematis siswa. Data yang diperoleh berupa pretest, postest, N-Gain. Tahap analisis data meliputi: kemampuan penalaran matematis siswa yang terdiri dari rataan dan simpang baku. Selanjutnya dilakukan analisis uji perbedaan rataan parametrik dan non parametrik. Uji perbedaan rataan dipakai untuk membandingkan antara dua keadaan, yaitu keadaan nilai rataan pretes siswa pada kelompok eksperimen dengan siswa kelompok kontrol. Sebelum data hasil penelitian diolah, terlebih dahulu dipersiapkan beberapa hal antara lain: a. Memberikan skor jawaban siswa sesuai dengan alternatif jawaban dan sistem penskoran yang digunakan. b. Membuat tabel skor pretes dan postest siswa kelas eksperimen dan kontrol. c. Menentukan skor pretes dan skor postes untuk mencari peningkatan yang terjadi sesudah pembelajaran pada masingmasing kelompok yang dihitung dengan rumus gain ternormalisasi (Meltzer, 2002), yaitu: Hasil dari perhitungan gain kemudian diinterpretasikan dengan menggunakan klasifikasi sebagai berikut: Tabel Klasifikasi Gain Ternormalisasi Besarnya gain (g) E. 1) Analisis Kemampuan Penalaran Matematis Pertama yang dilakukan adalah melakukan analisis deskriptif yang bertujuan untuk melihat gambaran umum pencapaian 516 Klasifikasi g ≥ 0,7 Tinggi 0,3 ≤ g ≤ 0,7 Sedang g < 0,3 Rendah d. Menentukan deskriptif statistik pretes dan postest secara gain. Hal pertama yang dilakukan dalam analisis data adalah melakukan analisis deskritptif bertujuan untuk melihat gambaran umum perbedaan peningkatan kemampuan penalaran matematis siswa yang terdiri dari rataan dan simpangan baku. Kemudian dilakukan uji statistik untuk membuktikan hipotesis pada penelitian. Sebelum dilakukan uji tersebut, perlu dilakukan uji prasyarat analisis yaitu uji normalitas dan uji homogentias varians. Prosiding Seminar Nasional Matematika dan Pendidikan Matematika, “Internalisasi Nilainilai Berpikir Matematis Dalam Perannya di Era Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA)” e. Uji hipotesis G. Prosedur Penelitian hipotesis yang akan diuji untuk perbedaan dua rerata skor N-Gain adalah: Prosedur penelitian mengenai kegitan dengan Discovery Learing untuk meningkatkan kemampuan penalaran matematis siswa ini dirancang untuk memudahkan dalam pelaksanaan penelitian. Adapun prosedur dalam penelitian ini dibagi dalam tiga tahap yaitu: Hipotesis : Terdapat perbedaan peningkatan kemampuan penalaran matematis antara siswa yang memperoleh model Discovery Learning dan siswa yang memperoleh pembelajaran konvensional. Adapun hipotesis statistik deskriptifnya adalah: H0 : Rata-rata N-gain kemampuan penalaran matematis siswa kelas eksperimen tidak berbeda dengan rata-rata N-gain kemampuan penalaran matematis siswa kelas kontrol. H1 : Rata-rata N-gain kemampuan penalaran matematis siswa kelas eksperimen berbeda dengan rata-rata N-gain kemampuan penalaran matematis siswa kelas kontrol. Keterangan: : Rata-rata N-gain kemampuan penalaran matematis siswa kelas eksperimen. : Rata-rata N-gain kemampuan penalaran matematis siswa kelas kontrol. Jika data berdistribusi normal dan homogen, maka uji statistik hipotesis 2 yang digunakan adalah Independent Samples tTest (uji-t) dengan menetapkan taraf signifikan α = 0,05. Kriteria pengujian adalah tolak H0 jika sig ≤ α, dan terima H0 jika sig > α. Jika data yang diperoleh normal tetapi tidak homogen maka menggunakan uji t‟. Apabila data tidak berdistribusi normal, maka digunakan kaidah statistik non parametrik, yaitu Uji U Mann Whitney (2Independent Samples). 1. Tahap persiapan a. Studi pendahuluan, identifikasi Masalah dan studi literature; b. Studi kepustakaan mengenai Discovery Learning, kemampuan penalaran matematis. c. Menetapkan materi pelajaran yang akan diajarkan dan digunakan dalam penelitian; d. Pembuatan perangkat bahan ajar, seperti RPP dan instrument penelitian yang terlebih dahulu dinilai oleh para ahli; e. Melakukan uji coba instrumen yang akan digunakan dalam mengetahui kualitasnya; f. Merevisi instrument penelitian (jika diperlukan); g. Melakukan uji coba instrumen penelitian hasil revisi (jika diperlukan) 2. Pelaksanaan penelitian a. Memberikan kemampuan awal matematika (KAM) yang merupakan kemampuan prasyarat b. Memberikan pretest (tes awal) kemampuan berpikir logis matematis pada kelas kontrol dan kelas eksperimen c. Melakukan kegiatan pembelajaran. Pada kelas kontrol dilakukan pembelajaran konvensional dan kelas eksperimen dilakukan pembelajaran matematika dengan Discovery Learning. d. Observasi terhadap pembelajaran kelas eksperimen dan kontrol 3. Analisis data dan Penulisan Laporan Hasil Penelitian Pendidikan Matematika Universitas Muhammadiyah Purworejo, Ruang Seminar UM Purworejo, 28 Mei 2016 517 a. Menganalisis data pretes dan postes kemampuan penalaran matematis b. Melakukan pengujan hipotesis penelitian c. Melakukan pembahasan hasil analisis d. Menyimpulkan hasil penelitian H. Lokasi dan Jadwal Penelitian Penelitian ini akan dilakukan di SMPN 1 Lohbener, mulai dari bulan Oktober 2015 sampai dengan bulan April 2016. International Journal Of Instruction. Vol 4, No. 1. Turkey. Christou, C, and Papageorgiou, E. (2007). A Framework of Mathematics Inductive Reasoning. Learning and Instruction 17 (2007) 55-56, Elsevier. Dewey, 4. REFERENSI Balım, A., G. (2009). The Effects of Discovery Learning on Students‟ Success and Inquiry Learning Skills. Egitim ArastirmalariEurasian Journal of Educational Research, 35, 1-20. Balitbang Kemdikbud. (2014). Analisis Hasil Ujian Nasinal Tahun Pelajaran 2013/2014. Jakarta: Kemdikbud. Bieda, Kristen N. (2012). Reasoning and Prooving Opportunities in Elementary Mathematics Textbooks. International Journal of educational Research. Bruner, J. (1960). The Process of Education. Cambridge,MA: Harvard University Press. Cetin, H and Ertekin, E. (2011). The Relationsheep Between Eight Grade Primary School Student’ Proportional Reasoning Skills and Success in Solving Equations. 518 J. (1997). Democracy and Education. New York: Simon and Schuster. Depdiknas.(2006). Standar Kompetensi Mata Pelajaran Matematika Sekolah Menengah Atas dan Madrasah Aliyah. Jakarta. Depdiknas. Hadriani. (2015). Pembelajaran Penemuan Untuk Mengembangkan Kemampuan Penalaran, Koneksi, dan Disposisi Matematis Siswa SMP. Tesis. Bandung: UPI. Jacob, C. (2003). Pemecahan Masalah, Penalaran Logis, Berpikir Kritis Dan Pengkomunikasian. FPMIPA UPI Bandung: Tidak Dipublikasikan. Jong, T. D. (2011). Scientific Discovery Learning with Computer Simulation of Conceptual Domains. [online] Tersedia: tecfa.unige.ch/tecfa/teaching/aei/pa piers deJong.pdf . Kirschner, P., Sweller, J., & Clark, R.E.(2004). Why Unguided Learning Does not work: An Analysis of the failure of Discovery Learning, Problem Based Learning, Experiental Learning and Inquiry, Based learning, Educational Psychologist, May 8. Kemendikbud. (2013a). Kurikulum 2013 Disesuaikan dengan Tuntutan Perbandingan Internasional. [online] diposting pada Rabu, 15/05/2013, tersedia: Prosiding Seminar Nasional Matematika dan Pendidikan Matematika, “Internalisasi Nilainilai Berpikir Matematis Dalam Perannya di Era Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA)” http://kemdikbud.go.id/kemdikbud/b erita/1334. Kemendikbud. (2013b). Pendekatan Saintifik. Pelatihan Pendampingan Kurikulum 2013. Pusat Pengembangan Tenaga Kependidikan Kemendikbud. (2013c). Strategi Discovery Learning. Slide Presentasi dalam Pelatihan Pendampingan Kurikulum 2013. Pusat Pengembangan Tenaga Kependidikan. Lithner, J. (2012). Learning Mathematics by Creative or Imitative Reasoning. 12th International Congress on Mathematical Education. 8 july - 15 july 2012. CEOX, Seoul, Korea. Lohman and Lakin. (2009). .Reasoning and Intelegence. Handbook of Intelegence (2nd ed.). New York: Cambridge University Press Meltzer, D.E. (2002). The Relationship Between Mathematics Preparation and Conceptual Learning Gain in Physics : A possible Hidden variable in Diagnostics Pretest Scores. American Journal Physics, 70 (2): 275-286. Mustafa, A.N (2014) Upaya Meningkatkan Kemampuan Berpikir Kritis dan Kreatif serta Self-efficacy dalam Pembelajaran Matematis melalui Discovery Learning. Tesis. Bandung: UPI. Siswa SMP. Dimuat dalam Edumatika Volume 03 Nomor 01, April 2013, ISSN: 2088-2157. [online] Tersedia di: http://download.portalgaruda.org/arti cle.php?article=144681&val=870 Riyanto, B. (2011). Meningkatkan Kemampuan Penalaran dan Prestasi Matematis dengan Pendekatan Konstruktivisme pada Siswa Sekolah Menengah Atas. Dimuat dalam Jurmal Pendidikan Matematika, VOLUME 5 NO 2 JULI 2011. [online] Tersedia di: ejournal.unsri.ac.id/index.php/jpm/ar ticle/.../174 Sugiyono. (2012). Metode Penelitian Kuantitatif Kualitatif dan R&D. Alfabeta: Bandung. Sumarmo, U. (2010). Berfikir dan Disposisi Matematik : Apa,Mengapa, dan Bagaimana Dikembangkan pada Peserta Didik. Thorsett, P. (2002). Discovery Learning Theory: A Primer for Discussion. [online]tersedia:http://beceneslp.edu. mx/PLANES2012/3er%20Sem/Ingl %E9s%20A1/Ma terial/2/F)%20bruner_discovery_lear ning.pdf. Yoong, W.K (2006) Enhancing Mathematical Reasoning at Secondary School Level. NCTM.(2000). Principles and Standards for School Mathematics.Tersedia di www.nctm.org. Putri,F. M. (2013). Pengaruh Pembelajaran Matematika Realistik terhadap Kemampuan Penalaran Matematis Pendidikan Matematika Universitas Muhammadiyah Purworejo, Ruang Seminar UM Purworejo, 28 Mei 2016 519 EFEKTIVITAS MODEL PEMBELAJARAN MURDER DAN TUTOR SEBAYA TERHADAP PRESTASI BELAJAR MATA KULIAH STATISTIKA MATEMATIKA DITINJAU DARI KEMAMPUAN METAKOGNITIF MAHASISWA Isnaeni Maryam Program Studi Pendidikan Matematika Universitas Muhammadiyah Purworejo Email: [email protected] Abstrak Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui: 1) manakah yang memberikan prestasi belajar yang lebih baik antara model murder atau tutor sebaya?, 2) manakah yang memberikan prestasi belajar lebih baik antara kemampuan metakognitif tinggi, sedang, atau rendah?, 3) adakah interaksi antara model pembelajaran dengan kemampuan metakognitif. Penelitian ini merupakan penelitian eksperimental semu. Populasi dalam penelitian ini adalah seluruh mahasiswa semester IV program studi pendidikan matematika UMP tahun ajaran 2015/2016. Teknik sampling yang digunakan adalah cluster random sampling. Sampel dari penelitian ini mahasiswa kelas IV C sebagai kelas eksperimen 1 yang dikenai model Murder dan kelas IV sebagai kelas eksperimen 2 yang dikenai model tutor sebaya. Teknik pengumpulan data yang digunakan adalah dokumentasi, angket, dan tes prestasi. Sedangkan instrumen yang digunakan adalah angket kemampuan kognitif yang berisikan 30 pernyataan dan tes prestasi yang berisikan 5 soal essay. Teknik analisis data yang digunakan anava dua jalur sel tak sama. Berdasarkan hasil analisis dapat ditarik kesimpulan: model pembelajaran murder dan tutor sebaya memberikan prestasi belajar yang sama; 2) mahasiswa dengan kemampuan metakognitif tinggi memiliki prestasi belajar yang sama dengan mahasiswa dengan kemampuan metakognitif sedang, tetapi lebih baik jika dibandingkan dengan mahasiswa dengan kemampuan metakognitif rendah, mahasiswa dengan kemampuan metakognitif sedang memiliki prestasi belajar yang sama dengan mahasiswa dengan kemampuan metakognitif rendah; 3) tidak terdapat interaksi antara model pembelajaran dengan kemampuan metakognitif. Kata Kunci: model pembelajaran, murder, tutor sebaya, kemampuan metakognitif A. PENDAHULUAN Perkembangan dunia pendidikan matematika saat ini tidak terlepas dari perkembangan matematika yang disertai oleh perkembangan psikologi pendidikan. Sebagaimana diketahui bersama bahwa filsafat konstruktivisme telah diterima luas dalam dunia pendidikan, tak terkecuali pendidikan matematika. Indikator keberhasilan seorang mahasiswa untuk mencapai tujuan pengajaran pada setiap akhir program pengajaran adalah kemampuan belajar mahasiswa yang diwujudkan dalam bentuk nilai akhir mata kuliah. Nilai akhir mata kuliah Statistika 520 Matematika yang diperoleh mahasiswa program studi Pendidikan Matematika UMP dari tahun ke tahun kurang menggembirakan. Prestasi belajar statistika matematika yang diperoleh mahasiswa program studi pendidikan matematika UMP mencerminkan kemampuan kognitif yang mereka miliki setelah mereka mempelajari statistika matematika. Kemampuan kognitif seseorang mempunyai keterkaitan dengan kemampuan metakognitif yang mereka miliki. Fadjar Shadiq (2005: 40) menyatakan bahwa siswa yang memiliki Prosiding Seminar Nasional Matematika dan Pendidikan Matematika, “Internalisasi Nilainilai Berpikir Matematis Dalam Perannya di Era Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA)” kemampuan metakognitif akan jauh lebih berhasil dalam mempelajari matematika daripada siswa yang tidak memilikinya. Dengan demikian, dapat dipastikan bahwa siswa yang berhasil mempelajari matematika adalah siswa yang mempunyai kemampuan metakognitif yang baik. Jacob (dalam Asep Sapa‟at, 2005: 2) menjelaskan tentang kemampuan metakognitif sebagai kesadaran berpikir sehingga seseorang dapat melakukan tugastugas khusus, dan kemudian menggunakan kesadaran tersebut untuk mengontrol apa yang dikerjakan. Menurut Marzano et al. (dalam Adkins, 1997: 2), dengan kemampuan metakognitif yang dimiliki oleh siswa dapat dipastikan bahwa siswa tersebut akan mampu menyusun makna informasi yang mereka peroleh. Agar hal ini tercapai, siswa harus mempunyai pengetahuan dan keyakinan mengenai fenomena kognitif mereka dan siswa harus mampu melakukan pengaturan dan kontrol terhadap tindakan kognitif mereka. Gagalnya seorang mahasiswa belajar statistika matematikadapat disebabkan oleh dosen yang mengajar berdasarkan asumsi tersembunyi bahwa pengetahuan dapat dipindahkan secara utuh dari pikiran dosen ke pikiran mahasiswanya. Dosen cenderung menggunakan model pembelajaran yang memfokuskan diri pada upaya penuangan pengetahuan ke dalam otak para mahasiswanya. Model tersebut sangat bertentangan dengan paham kontrusktivis yang berasumsi bahwa pengetahuan dibangun di dalam diri mahasiswa. Mahasiswa sendirilah yang harus mengaitkan pengetahuan baru yang mereka peroleh dengan pengetahuan yang sudah mereka miliki sebelumnya. Dengan demikian, pengetahuan baru tersebut akan mempunyai bagi mereka (paham konstruktivistik). Salah satu model yang sesuai dengan paham konstruktivistik adalah model Murder dan Tutor sebaya. Model murder merupakan salah satu model pembelajaran kooperatife yang menekankan pentingnya interaksi dalam pembelajaran. Keunggulan model pembelajaran ini terletak pada keenam kegiatan pembelajarannya, yaitu: 1) mood, menciptakan suasana yang rileks dan memotivasi siswa, 2) understand, pemaknaan dan pembentukan pemahaman, 3) recall, mengkomunikasikan pemahaman dan ide yang dimiliki, 4) detect, mencermati penyampaian informasi, 5) elaborate, elaborasi dengan contoh dan aplikasi, 6) review, membuat kesimpulan. Tutor sebaya merupakan pembelajaran yang terpusat pada siswa, dalam hal ini siswa belajar dari siswa yang lain yang memiliki kemampuan yang lebih pandai. Belajar dengan teman sebaya dapat mengurangi kecanggungan, bahasa teman sebaya dapat mudah dipahami, tidak ada rasa enggan, rendah diri, malu, dan sebagainya. Sehingga diharapkan siswa yang kurang paham tidak segan-segan untuk mengungkapkan kesulitan-kesulitan yang dihadapinya. Tujuan dalam penelitian ini adalah: 1) manakah yang memberikan prestasi belajar statistika matematika yang lebih baik antara model murder atau tutor sebaya?, 2) manakah yang memberikan prestasi belajar statistika matematika lebih baik antara kemampuan metakognitif tinggi, sedang, atau rendah?, 3) adakah interaksi antara model pembelajaran dengan kemampuan metakognitif. B. METODE PENELITIAN Penellitianini merupakan penelitian eksperimental semu yang dilaksanakan di UM Purworejo.Populasi dalam penelitian ini adalah seluruh mahasiswa semester IV Pendidikan Matematika Universitas Muhammadiyah Purworejo, Ruang Seminar UM Purworejo, 28 Mei 2016 521 prodi Pendidikan Matematika. Teknik sampling yang digunakan dalam penelitian ini adalah teknik cluster random sampling. Kelas-kelas secara acak diundi. Dari pengundian tersebut diperoleh hasil: kelas IVC sebagai kelas eksperimen I yang dikenai model Murder dan kleas IVF sebagai kelas eksperimen II yang dikenai model Tutor Sebaya. Dalampenelitian ini metode yang digunakan untuk mengumpulkan data adalah dokumentasi, tes, dan angket. Metode dokumentasi digunakan untuk mengetahui daftar nama mahasiswa dan IP semester III. Data nilai tersebut digunakan untuk uji keseimbangan. Angket dalam penelitian ini digunakan untuk mengetahui tingkat kemampuanmetakognitifmahasiswa semester IV yang menjadi responden penelitian. Metode tes yang dalam penelitian ini digunakan untuk mengetahui prestasi belajar statistikamatematika. Instrumen dalam penelitian ini adalah angket dan tes. Dalam penelitian ini instrumen angket tentang kemampuan metakognitif mahasiswa berupa pernyataan dengan lima opsisebanyak 30 pernyataan. Sebelum digunakan untuk mengumpulkan data, angket terlebih dahulu diujicobakan. Dalam uji coba angket diujikan sebanyak 40 butir pernyataan. Kemudian dihitung tingkat kesukaran, konsistensi internal, validitas dan reliabilitas. Soal-soal tes yang digunakan untuk mengetahui prestasi belajar siswa dalam penelitian ini berbentuk tes essay sebanyak 5 soal pada materi probailitas. Tes tersebut di uji coba kemudian dihitung kemudian dihitung tingkat kesukaran, daya pembeda, validitas dan reliabilitas. Sebelum kelas diberi perlakuan, maka dilakukan uji keseimbangan. Statistik uji yang digunakan adalah uji t, sedangkan data yang digunakan untuk uji keseimbangan berasal dari data dokumen IP semester III. Setelah kelas dalam keadaan seimbang, maka kelas ekserimen I dikenai model murder dan kelas eksperimen II dikenai tutor sebaya. Dalam penelitian ini digunakan uji hipotesis dengan analisis variansi dua jalan dengan sel tak sama dan Untuk uji lebih lanjut setelah Anava, digunakan metode Scheffe. 522 HASIL PENELITIAN PEMBAHASAN DAN Sebelum perlakuan di lakukan uji keseimbangan.Uji keseimbangan bertujuan untuk mengetahui apakah kelompok eksperimen I dan kelompok eksperimen II tersebut seimbang atau mempunyai kemampuan awal sama sebelum eksperimen dilakukan. Statistik uji yang digunakan adalah uji t. Data yang digunakan untuk uji keseimbangan adalah IP semester 3. Sebelum dilakukan uji keseimbangan, terlebih dahulu dilakukan uji prasyarat analisis untuk uji –t sebagai berikut: Tabel 1. Hasil Uji Normalitas Setiap Kelompok Eksperimen Kelom -pok Keputu -san uji Kesim pulan 0,1730 H0 diterima Berdis tribusi normal 0,1738 H0 diterima Berdis tribusi normal Lmaks L(0,05; n) Eksperimen 1 0,1675 Eksperimen 2 0,1538 Tabel 2. Hasil uji homogenitas variansi pada pasangan kelompok eksperimen Pasangan kelompok 2 hitung Eksperimen 1 vs 0,3631 eksperimen 2 (20,05;k 1) Keput Kesim usan uji pulan 3,841 H0 diteri ma Variansi homogen Berdasarkan hasil perhitungan uji keseimbangan diperoleh thitung = -0.9304 dan ttabel = 1,96 dengan daerah kritik DK = { t | t< -1,96 atau t> 1,96 }. Dengan Prosiding Seminar Nasional Matematika dan Pendidikan Matematika, “Internalisasi Nilainilai Berpikir Matematis Dalam Perannya di Era Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA)” demikian thitung DK dan keputusan ujinya adalah H0 diterima. sedangkan eksperimen II dikenai tutor sebaya. Setelah perlakuan kedua kelas diberi tes sebanyak 5 soal. Kemudian dari data tersebut kemudian dilakukan uji normalitas, homogenitas, dan uji analisis variansi dua jalan tak sama. Adapun hasilnya dapat dilihat pada tabel: Berdasarkan keputusan uji tersebut, maka dapat disimpulkan bahwa kedua kelompok dalam keadaan seimbang atau memiliki kemampuan awal sama. Kelas eksperimen I dikenai model murder Tabel 3. Rangkuman Hasil Uji Normalitas Setiap Kelompok Kelompok Lmaks L(0,05; n) Eksperimen 1 0,1480 Eksperimen 2 0,1264 Metakognitif tinggi 0,1664 Metakognitif sedang 0,1349 Metakognitif rendah 0,1889 0,1730 0,1738 0,2200 0,1900 0,2130 Keputusan uji Kesimpulan H0 diterima Berdistribusi normal H0 diterima Berdistribusi normal H0 diterima Berdistribusi normal H0 diterima Berdistribusi normal H0 diterima Berdistribusi normal Tabel 4. Rangkuman hasil uji homogenitas variansi setiap pasangan kelompok Pasangan kelompok 2 hitung Eksperimen 1 vs 0.0598 eksperimen 2 Metakognit if tinggi vs 1,9209 sedang vs rendah (20,05;k 1) Keputusan uji 3.841 Kesimpulan H0 diterima Variansi homogen H0diterima Variansi homogen 5.991 Tabel 5. Rangkuman hasil uji Analisis Variansi Dua Jalan Sumber JK dk RK Fobs Fa Pendidikan Matematika Universitas Muhammadiyah Purworejo, Ruang Seminar UM Purworejo, 28 Mei 2016 P 523 Model Pembelajaran (A) 11,5714 1 11,5714 0,0575 4,06 < 0.05 metakogn itif (B) 1439,44161 2 719,7208 3,5746 3,21 > 0.05 Interaksi (AB) 0,4959 2 0,2480 0,0012 3,21 < 0.05 Galat 9060,4227 45 201,3427 ~ ~ ~ Total 10511,932 50 ~ ~ ~ ~ Dari hasil rangkuman analisis variansi dua jalan menunjukkan bahwa: a. Model pembelajaran tidak berpengaruh terhadap prestasi belajar statistika matematika. Dengan kata lain, prestasi belajar siswa yang dihasilkan oleh model murder tidak berbeda dengan prestasi belajar siswa yang dihasilkan model tutor sebaya. b. Kemampuan metakognitif berpengaruh terhadap prestasi belajar. Dengan kata lain, prestasi belajar siswa dengan kemampuan metakognitif tinggi berbeda dengan prestasi belajar siswa dengan kemampuan metakognitif sedang serta berbeda dengan prestasi belajar siswa dengan kemampuan metakognitif rendah. c. Tidaka dan interaksi antara model pembelajaran dan kemampuan metakognitif terhadap prestasi belajar. Berdasarkan hasil uji anava, keputusan uji H0B ditolak. Variabel kemampuan metakognitif mempunyai tiga kategori, maka untuk mengetahui perbedaan efek diantara kategori motivasi belajar perlu dilakukan uji lanjut pasca anava. Hal ini berarti perlu dilakukan komparasi ganda antar kolom. Untuk melakukan komparasi ganda, dicari dulu rerata marginal dan rerata masing-masing sel. Berikut rerata marginal dan rerata masing-masing sel. 524 Setelah dilakukan komparasi ganda rerata antar kolom, berikut rangkuman komparasi ganda antar kolom: Tabel 6. Rangkuman komparasi ganda antar kolom H0 Fobs 2.F(0,05;2;45 DK ) .1 .2 Keputusan Uji 2,6569 6,42 {F | F> 6} H0 diterima .1 .3 6,7506 6,42 {F | F> 6} H0 ditolak 6,42 {F | F> 6} H0 diterima .2 .3 1,2636 Berdasarkan tabel diatas dapat ditarik kesimpulan: mahasiswa dengan kemampuan metakognitif tinggi memiliki prestasi yang sama dengan mahasiswa dengan kemampuan metakognitif sedang, tetapi memiliki prestasi yang lebih baik jika dibandingkan mahasiswa dengan kemampuan metakognitif rendah, sedangkan mahasiswa dengan kemampuan metakognitif sedang memiliki prestasi yang sama dengan mahasiswa dengan kemampuan metakognitif rendah. Prosiding Seminar Nasional Matematika dan Pendidikan Matematika, “Internalisasi Nilainilai Berpikir Matematis Dalam Perannya di Era Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA)” KESIMPULAN DAN SARAN Berdasarkan analisis data yang telah dilakukan, maka kesimpulan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut: 1. Model pembelajaran murder dan tutor sebaya memberikan prestasi belajar yang sama pada mata kuliah statistika matematika. 2. Mahasiswa dengan kemampuan metakognitif tinggi memiliki prestasi yang sama dengan mahasiswa dengan kemampuan metakognitif sedang, tetapi memiliki prestasi yang lebih baik jika dibandingkan mahasiswa dengan kemampuan metakognitif rendah, sedangkan mahasiswa dengan kemampuan metakognitif sedang memiliki prestasi yang sama dengan mahasiswa dengan kemampuan metakognitif rendah. 3. tidak terdapat interaksi antara model pembelajaran dengan kemampuan metakognitif. Berdasarkankesimpulan di atas, maka saran dalampenelitianiniadalah: Matematik Siswa. http://www.lpidd.net/artikel/9.rtf. Diakses tanggal 20 Januari 2016. Budiyono. 2003. MetodologiPenelitianPendidika n. Surakarta: SebelasMaret University Press. _______ . 2009. Statistika untuk Penelitian. Surakarta: Sebelas Maret University Press. Sudjana. 2005. Metode dan Teknik Pembelajaran Partisipatif. Bandung: Falah Production. Wina sanjaya.2006. Strategi Pembelajaran Berorientasi Standar Proses Pendidikan. Jakarta: Kencana. 1. Dosen dapat menggunakan model murder dan tutor sebaya dalam perkuliahannya untuk variasi pembelajaran. 2. Mahasiswa hendaknya berperan aktif dalam pembelajaran agar tujuan pembelajaran dapat tercapai. DAFTAR PUSTAKA Adkins, J. 1997. Metacognition: Designing For Transfer. http://www.usask.ca/education/cour sework/802papers/Adkins/. Diakses tanggal 20 Januari 2016. Asep Sapa‟at. 2005. Pembelajaran dengan Pendekatan Keterampilan Metakognitif untuk Mengembangkan Kompetensi Pendidikan Matematika Universitas Muhammadiyah Purworejo, Ruang Seminar UM Purworejo, 28 Mei 2016 525 PENGARUH MODEL PEMBELAJARAN PROBLEM BASED LEARNING MATERI GEOMETRI TERHADAP HASIL BELAJAR SISWA Imam Zubaidi1), Anisa Fatwa Sari2) 1 STKIP Al Hikmah Surabaya email: [email protected] 2 STKIP Al Hikmah Surabaya email: [email protected] Abstrak Penelitian ini dilatarbelakangi oleh pembelajaran geometri yang konsepnya selalu diberikan oleh guru tanpa adanya inisiatif dari siswa sehingga siswa kurang aktif dalam belajar geometri dan rendahnya hasil belajar siswa. Salah satu upaya yang ditempuh oleh peneliti adalah dengan menerapkan model pembelajaran Problem Based Learning. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui pengaruh model pembelajaran Problem Based Learning terhadap hasil belajar siswa Problem Based Learning diharapkan dapat meningkatkan partisipasi siswa dan dengan meningkatnya partisipasi siswa diharapkan dapat meningkatkan hasil belajar mereka terhadap pembelajaran matematika. Metode penelitian adalah eksperimen kuantitatif. Desain penelitian yang digunakan One Shot Case Study yang melakukan treatmen pada awal pertemuan dan melihat hasil pada akhir pertemuan. Teknik pengumpulan data menggunakan metode tes dengan soal uraian yang dilakukan pada sesi akhir . Berdasarkan hasil analisis data dapat disimpulkan pembelajaran geometri dengan Problem Based-Learning meningkatkan hasil belajar siswa. Kata Kunci: Problem Based-Learning, Kuantitatif, Hasil Belajar, Geometri sangat kurang di dalam kelas. Siswa hanya 1. PENDAHULUAN diajarkan bagaimana cara dalam menghafal sebuah teori dalam konsep matematika Salah satu permasalahan yang dialami namun kurang dalam pengajaran terkait oleh Negeri ini sejak dulu hingga sekarang pemahaman siswa mengenai konsep yang adalah pendidikan. Menurut Sudarman erat kaitannya dalam kehidupan sehari-hari, (2007:68) mengenai realita yang ada bahwa agar siswa memiliki keterampilan berpikir dalam proses pembelajaran siswa kurang dalam memecahkan permasalahan hidup. didorong dalam mengembangkan Hal ini sesuai dengan pendapat Mahar, dkk. keterampilan berpikir mereka, melainkan (2015:14) bahwa Dalam pembelajaran sekedar terjadinya proses mentransfer matematika, siswa sering kali informasi dari guru ke siswa padahal seperti menyelesaikan permasalahan dengan yang kita ketahui bahwa proses menggunakan rumus atau aturan yang pembelajaran merupakan sebuah komponen umum atau sifat penalaran matematika yang sangat penting dalam menentukan yang terdapat pada buku pegangan siswa suatu hasil dari kegiatan belajar mengajar. dan siswa terkadang tidak dapat berpikir Menurut Bungel (2014:1) kritis dalam menyelesaikan suatu Mengungkapkan bahwa matematika permasalahan karena siswa sudah terpaku merupakan pelajaran yang dapat dengan rumus yang ada. menumbuhkan cara berpikir logis, Dalam pembelajaran matematika sistematis, kritis, dan rasional. Namun pada biasanya didominasi oleh metode ceramah, kenyataannya siswa kurang dalam langsung, tanya jawab, dan pemberian mengembangkan kemampuan berpikir tugas. Model pembelajaran seperti ini mereka secara kritis, sistematis, kreatif dan belum memberikan kesempatan kepada inovatif, karena kebanyakan dalam proses siswa dalam mengembangkan interaksi pembelajaran penggunaan strategi berpikir 526 Prosiding Seminar Nasional Matematika dan Pendidikan Matematika, “Internalisasi Nilainilai Berpikir Matematis Dalam Perannya di Era Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA)” mereka terhadap guru. Karena interaksi siwa terhadap guru diperlukan agar guru dapat mengecek pemahaman siswa. Hasil observasi yang dilakukan oleh peneliti pada tanggal 21 Maret – 19 April 2016 di kelas X IIS 2 di salah satu SMA yang ada di Sidoarjo, diketahui bahwa dari 20 siswa hanya terdapat 5 siswa yang aktif bertanya dan menjawab pertanyaan atau sekitar 25% dari total keseluruhan, sedangkan siswa yang aktif menyatakan ide hanya ada 3 dari 20 siswa, atau sekitar 15% dari total keseluruhan. Hal ini menunjukkan bahwa tingkat partisipasi dan daya berpikir kritis siswa masih kurang. Menurut Happy (2014:49) Mengatakan bahwa lemahnya kemampuan berpikir kritis dan kreatif matematis siswa dapat disebabkan oleh beberapa faktor. Salah satu diantaranya adalah proses pembelajaran yang dilaksanakan. Pembelajaran matematika haruslah melibatkan siswa secara aktif serta memfasilitasi siswa untuk dapat menggunakan kemampuan berpikir kritis dan kreatifnya. Menurut Nurafiah, dkk (2013:3) Mengatakan bahwa untuk mengembangkan kemampuan berpikir kritis matematis pada kegiatan belajar mengajar, maka harus dikembangkan model pembelajaran yang tidak hanya sekadar meningkatkan pengetahuan saja untuk siswa tetapi juga untuk membantu siswa menganalisis dan mengevaluasi langkah-langkah pengerjaan dalam mencari solusi yang benar dari permasalahan yang dihadapi. Salah satu cara untuk mengatasinya adalah pemilihan model pembelajaran dengan memperhatikan kondisi pembelajaran sehingga mampu meningkatkan kemampuan berpikir kritis siswa. Salah satu alternatif pembelajaran untuk mendorong partisipasi dan daya berpikir kritis siswa adalah dengan menggunakan model pembelajaran Problem Based Learning. Model ini dapat meningkatkan interaksi siswa dengan siswa lain dan juga terhadap guru melalui eksplorasi masalah. Dengan meningkatnya partisipasi siswa diharapkan siswa dapat meningkatkan hasil belajar mereka. Oleh karena itu dalam artikel ini akan diuraikan hasil pengaruh model pembelajaran problem based learning materi geometri terhadap hasil belajar siswa. 2. KAJIAN LITERATUR DAN PEGEMBANGAN HIPOTESIS a. Belajar Berdasarkan pendapat para ahli mengenai definisi belajar memiliki banyak perbedaan pendapat. Namun semua itu apabila kita taris garis secara implisit ataupun eksplisit terdapat beberapa kesamaan. Menurut Hintzman dalam bukunya The Psychology of Learning and Memory, mengatakan bahwa“learning is a change in organism due to experience which can affect the organism’s behavior”. Artinya belajar adalah suatu perubahan yang terjadi dalam diri organisme, manusia atau hewan, disebabkan oleh pengalaman yang dapat mempengaruhi tingkah laku organisme tersebut. (Hintzman : 1978). Jadi, perubahan yang ditimbulkan akibat pengalaman dikatakan belajar apabila mempengaruhi tingkah laku suatu organisme. Belajar juga dapat diartikan sebagai proses perubahan yang bersifat menetap pada diri seseorang yang diperoleh dari perjalanannya sendiri serta interaksi aktif antar individu dan lingkungan. Perubahan yang dimaksudkan adalah perubahan pengetahuan, pemahaman, tingkah laku, serta keterampilan. Purwanto (dalam Nanik : 2005). Dari penjelasan di atas maka dapat ditarik sebuah kesimpulan bahwa belajar Pendidikan Matematika Universitas Muhammadiyah Purworejo, Ruang Seminar UM Purworejo, 28 Mei 2016 527 adalah proses terjadinya perubahan tingkah laku suatu individu ke arah yang lebih baik yang sifatnya relatif tetap akibat adanya suatu interaksi dan latihan yang dialaminya. Ciri khas bahwa seseorang telah melakukan kegiatan belajar ialah dengan adanya perubahan pada diri orang tersebut, yaitu dari belum mampu menjadi mampu. b. Ketuntasan Belajar melalui suatu usaha belajar yang dikerjakan pada saat tertentu”. Sedangkan menurut Djamarah (1994:21), “hasil belajar adalah penilaian pendidikan tentang perkembangan dan kemajuan siswa yang berkenaan dengan penguasaan bahan pengajaran yang diberikan kepada siswa serta nilai-nilai yang terdapat pada kurikulum”. Belajar tuntas (mastery learning) adalah suatu sistem belajar yang mengharapkan sebagian besar siswa dapat menguasai tujuan instruksional umum dari suatu satuan atau unit pelajaran secara tuntas. Sadirman (2007:167). Dapat disimpulkan bahwa hasil belajar merupakan hasil yang dicapai oleh siswa setelah melakukan kegiatan belajar mengajar. Yamin Fakihuddin (2007:52) menjelaskan “belajar tuntas merupakan proses pembelajaran yang dilakukan dengan sistematis dan terstruktur, bertujuan untuk mengadaptasikan pembelajaran pada siswa kelompok besar (pengajaran klasikal), membantu perbedaan-perbedaan yang terdapat pada siswa, dan berguna untuk menciptakan kecepatan belajar (rate of program)”. Pembelajaran berdasarkan masalah secara garis besar merupakan kegiatan menyajikan situasi masalah yang bermakna dan dapat memberikan kemudahan kepada siswa untuk melakukan penyelidikan dan inkuiri untuk memberikan sebuah gambaran tentang materi yang dibahas. Pembelajaran ini memiliki ciri utama yakni pengajuan pertanyaan atau masalah, memusatkan pada keterkaitan antar disiplin, penyelidikan autentik, kerjasama dan menghasilkan karya atau hasil peraga. Batas ketuntasan minimum yang diterapkan oleh beberapa ahli berbedabeda. Oleh karena itu pemerintah menerapkan suatu kurikulum yang didalamnya termuat unsur-unsur-unsur pelaksanaan pendekatan belajar tuntas. Kurikulum tersebut adalah kurikulum 2013. Dalam K-13 acuan penilaian yang digunakan adalah berbentuk huruf layaknya pada perguruan tinggi, namun lebih bervariasi yakni A, A-, B+, B, B-, C+, C, C-, D+, dan D, dengan ketentuan batas minimal kelulusan (ketuntasan) adalah Batau 2,66 atau rentang dari 66-70. c. Hasil Belajar Menurut Sudjana (2001:22), menjelaskan bahwa “hasil belajar adalah suatu yang telah dicapai siswa sesuai dengan kemampuan yang dimilikinya 528 d. Pembelajaran Berdasarkan Masalah (Problem Based Learning) Model ini bercirikan penggunaan masalah kehidupan nyata sebagai hal yang harus dipelajari siswa dalam melatih dan meningkatkan kemampuan berfikir kritis dan menyelesaikan masalah, serta mendapat pengetahuan konsep-konsep penting. Hal ini dikuatkan oleh pendapat Fatimah (2012:251) bahwa model pembelajaran ini memiliki ciri khas yaitu selalu dimulai dan berpusat pada masalah. Sehingga pendekatan ini mengutamakan proses belajar dimana tugas guru hanya membantu dan mengarahkan siswa pada keterampilan yang akan dicapai. Penggunaan model pembelajaran Problem Based-Learning ini dapat membuat siswa terlibat secara aktif dalam Prosiding Seminar Nasional Matematika dan Pendidikan Matematika, “Internalisasi Nilainilai Berpikir Matematis Dalam Perannya di Era Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA)” pembelajaran. Keterlibatan siswa dapat membuat siswa dapat menggunakan keterampilan berpikir mereka. Hal ini sesuai dengan teori belajar konstruktivistik (Budiningsih : 2007) yang mengatakan bahwa “siswa aktif melakukan kegiatan, aktif berpikir, menyusun konsep dan memberi makna tentang hal-hal yang sedang dipelajari”. Dengan menggunakan model Problem Based-Learning ini, harapannya siswa tidak mudah lupa dan dapat memahami dan menguasai suatu konsep dan juga terjadinya kenaikan hasil belajar siswa. Guru dalam pembelajaran Problem Based-Learning ini berperan sebagai penyaji masalah, penanya, mengadakan dialog, memberi fasilitas penelitian. Selain itu juga memberikan dukungan dan dorongan yang dapat meningkatkan intelektual siswa. Lingkungan kelas yang diperlukan harus terbuka dan adanya pertukaran gagasan antar siswa. 2.5 Penelitian yang Relevan Penggunaan model Problem BasedLearning ini juga pernah digunakan oleh beberapa peneliti, diantaranya penelitian yang dilakukan oleh Achmat Efendi (2009) dengan hasil penelitian yang diperoleh bahwa penggunaan model Problem BasedLearning dapat meningkatkan keaktifan belajar siswa kelas XI Pemasaran 1 di SMK Negeri 2 Kediri. (PBL) dalam materi geometri terhadap hasil belajar siswa”. 3. METODE PENELITIAN a. Jenis Penelitian Penelitian ini termasuk penelitian dengan mengunakan design pre-experiment atau weak experimental dengan desain secara spesifik adalah One Shoot Case Study. Dalam desain One Shoot Case Study (Studi kasus satu tembakan) digunakan untuk mengetahui nilai ilmiah dalam suatu pengukuran dalam penelitian eksperimen. Dimana dalam desain ini, ada satu kelompok yang diberi perlakuan yang kemudian hasil dari perlakuan tersebut diobservasi, perlakuan dalam hal ini merupakan variabel bebas dan hasilnya adalah variabel terikat. Adapun bagan dari One Shoot Case Study yakni: X = Perlakuan terhadap variabel bebas (treatment). O2 = Observasi atau pengukuran terhadap variabel terikat (Observation). Dengan pola seperti berikut: Contohnya: X = Pengaruh model pembelajaran Problem Based-Learning O = Terhadap aktivitas belajar siswa. 2.6 Pengembangan Hipotesis Berdasarkan uraian kajian literatur di atas, maka hipotesis awal yang diajukan dalam penelitian ini adalah penerapan model pembelajaran Problem BasedLearning dapat meningkatkan keaktifan dan hasil belajar siswa. Sehingga hipotesis akhir menyatakan “Pengaruh model pembelajaran Problem Based-Learning b. Subjek Penelitian Peneliti memilih sekolah dan berkoordinasi dengan pihak sekolah dalam menentukan ruang lingkup atau obyek penelitian. Kelas yang dipilih oleh peneliti untuk dijadikan lingkungan penelitian adalah kelas X IIS 2. Alasan peneliti memilih kelas ini karena kelas tersebut memiliki kapasitas siswa yang ideal yakni Pendidikan Matematika Universitas Muhammadiyah Purworejo, Ruang Seminar UM Purworejo, 28 Mei 2016 529 20 siswa dengan 6 siswa putra dan 14 siswi putri. Kelas tersebut juga memiliki tingkat hasil belajar yang rendah terutama dalam bidang matematika. c. Teknik Pengumpulan Data Metode dalam pengumpulan dan pengambilan data dilakukan dengan cara: (1) Observasi Observasi dalam penelitian ini dilakukan dengan tujuan untuk mengetahui aktivitas belajar siswa, hasil belajar siswa, dan perencanaan penggunaan model pengajaran PBL di kelas tersebut. (2) Dokumentasi Dalam penelitian ini dokumen yang didapat adalah jadwal pelajaran, rekapan presensi siswa, nilai hasil belajar siswa dalam PBL. (3) Test Test adalah salah satu metode dalam mengumpulkan data dimana peneliti memperoleh informasi dari nilai siswa. Data diperoleh dari nilai siswa untuk mengetahui ketuntasan hasil belajar siswa dalam penggunaan model PBL. Dalam hal ini peneliti melakukan test akhir (UH) materi geometri bangun ruang yang dilaksanakan setelah pemberian treatment model pembelajaran Problem Based-Learning pada materi tersebut. d. Teknik Analisis Data Teknik pengujian data dilakukan dengan menggunakan teknik uji-t satu pihak kanan dengan mempertimbangkan penerimaan hipotesis awal dengan acuan taraf signifikansi (∝) dan . pembahasan dari analisis dan penyajian data: a. Ketuntasan Belajar Siswa Dalam Penggunaan Model Pembelajaran Problem Based-Learning. Hasil test akhir siswa dalam penggunaan model pembelajaran Problem BasedLearning menunjukkan bahwa adanya peningkatan hasil belajar. Patokan yang digunakan oleh peneliti dalam menentukan ketuntasan hasil belajar siswa adalah KKM yakni 70. Data yang telah dianalisis menunjukkan bahwa nilai rata-rata siswa dalam model pembelajaran problem basedlearning ini adalah 77,44 yang bila dipandang secara langsung memenuhi hipotesis awal dengan nilai rata-rata lebih dari nilai kriteria ketuntasan minimum. Untuk memperjelas hasil dari analisis tersebut maka peneliti menggunakan serangkaian uji yakni dengan uji-t atau (Distribusi Student). Uji-t dilaksanakan dengan menentukan taraf signifikansi (∝) sebesar 0,01 dengan t tabel sebesar 2,60. Kemudian data hasil test akhir 16 siswa dalam tabel yang telah diperoleh peneliti diuji dengan rumus umum uji-t dan berdasarkan perhitungan didapatkan bahwa t hitung sebesar 2,67. Sehingga apabila kita bandingkan antara t hitung dengan t tabel maka dapat disimpulkan bahwa . Dengan demikian hipotesis awal peneliti diterima, bahwa adanya pengaruh pemberian model pembelajaran PBL dalam bidang matematika terhadap ketuntasan hasil belajar siswa. Berikut ini tabel data penilaian akhir. 4. HASIL DAN PEMBAHASAN Untuk memperjelas mengenai data dan analisis data yang telah di paparkan sebelumnya pada bagian penyajian dan analisis data, maka berikut merupakan 530 Prosiding Seminar Nasional Matematika dan Pendidikan Matematika, “Internalisasi Nilainilai Berpikir Matematis Dalam Perannya di Era Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA)” 4 Palu Pada Materi Prisma. Jurnal Elektronik Pendidikan Matematika Tadulako. Volume 2, Nomor 1, September 2014. Djamarah, Syaiful Bahri dan Aswan. 2006. Strategi Belajar Mengajar. Jakarta: PT.RINEKA CIPTA. Gambar tabel.1 5. KESIMPULAN DAN SARAN Berdasarkan data penelitian yang telah dianalisis diperoleh sebuah hasil yakni terdapat peningkatan hasil belajar siswa setelah mendapatkan pembelajaran dengan model PBL ini meskipun mereka belum mengetahui sebelumnya. Berdasarkan uji-t yang telah dilakukan oleh peneliti menunjukkan sebuah nilai yang lebih besar pada t hitung daripada t tabel yakni sebesar 2,67. Hal ini juga menunjukkan bahwa terdapat pengaruh antara model pembelajaran PBL ini dengan peningkatan hasil belajar siswa. Penelitian ini hanya melihat hasil belajar siswa dalam penggunaan model pembelajaran Problem Based Learning. Penelitian ini belum meneliti tentang komponen lain dalam model pembelajaran Problem Based Learning seperti tingkat partisipasi siswa dan motivasi siswa dalam belajar matematika. 6. REFERENSI Budiningsih, Asri. (2007). Belajar dan Pembelajaran. Jakarta: Rineka Cipta. Bungel, Moh. Fikri. 2014. Penerapan Model Pembelajaran Problem Based Learning Untuk Meningkatkan Hasil Belajar Siswa Kelas VIII SMP Negeri Efendi, Achmat. 2009. Penerapan Problem Based Learning (PBL) Sebagai Upaya Untuk Meningkatkan Aktivitas Belajar Siswa Pada Mata Pelajaran Kewirausahaan Kelas XI Pemasaran 1 Di SMK Negeri 2 Kediri. (Artikel Online). Diakses pada tanggal 22 Februari 2016. Fakihuddin, L. 2007. Pengajaran Remedial dan Pengayaan (Sebuah Tuntutan Ideal dalam KTSP).Malang : Bayumedia. Fatimah, Fatia. 2012. Kemampuan Komunikasi Matematis dan Pemecahan Masalah Melalui Problem Based Learning. Jurnal Penelitian dan Evaluasi Pendidikan. Tahun 16, Nomor 1, 2012. Happy, Nurina dan Djamilah Bondan Widjajanti. 2014. Keefektifan PBL Ditinjau Dari Kemampuan Berpikir Kritis Dan Kreatif Matematis Serta Self-Esteem Siswa SMP. Jurnal Riset Pendidikan Matematika. Volume 1, Nomor 1, Mei 2014. Hintzman, Douglas L. 1978. Psychology of learning and memory. New York: W.H. Freeman. Mahar, Harmei, dkk. 2015. Eksperimentasi Model Pembelajaran Berbasis Masalah Dan Pembelajaran Kooperatif Tipe Think Pair Share Pada Materi Bangun Ruang Sisi Datar Ditinjau Dari Kreativitas Siswa Kelas Viii Smp Pendidikan Matematika Universitas Muhammadiyah Purworejo, Ruang Seminar UM Purworejo, 28 Mei 2016 531 Negeri Se-Kabupaten Pacitan Tahun Pelajaran 2013/2014. Jurnal Elektronik Pembelajaran Matematika. Vol.3, No.1, hal 12-26, Maret 2015. Nana. 1989. Dasar- dasar poses belajar mengajar. Bandung. Sinar baru. Nurafiah, Fifi, dkk. 2013. Perbandingan Peningkatan Kemampuan Berpikir Kritis Siswa SMP Antara Yang Memperoleh Pembelajaran MENSENDS ANALYSIS (MEA) Dan Problem Based Learning (PBL). Jurnal 532 Pengajaran MIPA. Volume 18, Nomor 1, April 2013, hlm. 1-8. Sardiman.2003. Interaksi dan Motivasi Belajar Mengajar. Jakarta: PT.Raja Grafindo Persada. Sudarman, 2007. Problem Based Learning: Suatu Model Pembelajaran Untuk Mengembangkan Dan Meningkatkan Kemampuan Memecahkan Masalah. Jurnal Pendidikan Inovatif. Volume 2, Nomor 2, Maret 2007. Prosiding Seminar Nasional Matematika dan Pendidikan Matematika, “Internalisasi Nilainilai Berpikir Matematis Dalam Perannya di Era Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA)” PENGARUH KOMPETENSI PROFESIONAL GURU DAN PERSEPSI IKLIM SEKOLAH TERHADAP KINERJA GURU MATEMATIKA (SURVEY PADA SMP DI KECAMATAN JAGAKARSA) Yuan Andinny FTMIPA, Universitas Indraprasta PGRI [email protected] Abstrak Tujuan Penelitian ini adalah untuk mengetahui seberapa besar pengaruh kompetensi profesional guru dan persepsi iklim sekolah terhadap kinerja guru matematika. Metode Penelitian adalah Metode Survei Korelasional. Sampel penelitian ini diambil populasi terjangkau dengan teknik proporsional acak, yaitu sebanyak 60 guru. Instrumen yang digunakan dalam penelitian ini adalah instrumen angket, untuk mengukur variabel persepsi iklim sekolah dan variabel kinerja guru matematika, serta instrumen tes, untuk mengukur kompetensi profesional guru. Setelah dilakukan uji coba, ketiga instrumen tersebut dinyatakan valid dan reliabel, sehingga layak digunakan untuk pengumpulan data. Selanjutnya data yang diperoleh dianalisis secara deskriptif dan dilakukan uji persyaratan analisis, yang meliputi uji normalitas dan uji linieritas, yang hasilnya data berdistribusi normal dan regresi berpola linier, sehingga analisis selanjutnya menggunakan analisis statistik parametrik, yaitu menggunakan korelasi dan regresi baik sederhana maupun ganda. Dari pengolahan data diperoleh hasil secara simultan : kompetensi profesional guru dan persepsi iklim sekolah secara bersama-sama memberikan pengaruh positif dan signifikan terhadap kinerja guru matematika, hal ini diperlihatkan dari koefisien korelasi antara kompetensi profesional guru dan persepsi iklim sekolah secara bersama-sama dengan kinerja guru matematika sebesar 0,299 (koefisien determinasi R2 = 29,9% degan nilai uji F = 11,757). Lanjut Persamaan regresi yang terbentuk adalah Y =36,888 + 0,324X1 + 0,352X2. Hal ini dapat diartikan bahwa semakin baik kompetensi profesional guru maka semakin baik pula kinerja guru matematika dan semakin tinggi persepsi iklim sekolah maka semakin tinggi kinerja guru matematika. Kata Kunci : Kompetensi Profesional Guru, Persepsi Iklim Sekolah, Kinerja Guru Matematika 1. PENDAHULUAN Dalam dunia pendidikan guru sebagai ujung tombak dalam pengajaran. Keberhasilan untuk mewujudkan pendidikan yang bermutu tidak terlepas dari peran penting seorang pendidik. Guru adalah unsur utama dalam proses pendidikan. Dalam proses pendidikan disekolah guru mempunyai peran ganda yaitu sebagai pendidik dan pengajar. Sebagai pengajar guru bertugas menuangkan dan menyampaikan sejumlah bahan pengajaran sedangkan sebagai pendidik guru bertugas membimbing dan membina anak didik agar menjadi manusia bukan hanya mempunyai intelektual yang tinggi tetapi juga terciptanya manusia yang berbudi luhur dan beraklak mulia. Seorang guru termasuk mengajar mata pelajaran yang sesuai dengan bidangnya. Tanggung jawab guru sangat besar dan jabatan guru tidak bisa tergantikan oleh siapapun. Seorang guru melakukan pekerjaan mulai dari persiapan bahan ajar, melaksanakan tugas pembelajaran hingga melaksanakan pembelajaran . Ketiga prosedur diatas yaitu: perencanaan, implementasi dan evaluasi pengajaran merupakan harapan dan tuntutan berbagai pihak yang berkepentingan. Rendahnya kinerja guru dalam melaksanakan pengajaran akan menurunkan mutu lulusan. Peningkatan kinerja guru dalam melaksanakan Pendidikan Matematika Universitas Muhammadiyah Purworejo, Ruang Seminar UM Purworejo, 28 Mei 2016 533 pengajaran merupakan harapan dan tuntutan berbagai pihak. Ada beberapa faktor yang mempengaruhi kinerja seseorang dalam melaksanakan tugasnya yaitu faktor individu, psikologi dan organisasi. Faktor-faktor individu meliputi kemampuan, keterampilan, latar belakang keluarga, tingkat sosial, pengalaman dan karakteristik demografis (umur, etnis, jenis kelamin). Faktor-faktor psikologis antara lain persepsi, sikap, kepribadian dan motivasi. Sedangkan faktor-faktor organisasi meliputi sumber daya, kepemimpinan, imbalan, struktur dan desain penelitian. Kinerja atau prestasi kerja (performance) dapat diartikan sebagai pencapaian hasil kerja yang sesuai dengan aturan dan standar yang berlaku pada masing-masing organisasi dalam hal ini sekolah. Simamora menyatakan bahwa kinerja merupakan suatu persyaratan-persyaratan tertentu yang akhirnya secara langsung dapat tercermin dari output yang dihasilkan baik berupa kuantitas maupun kualitasnya. Seorang guru yang mengerjakan tugasnya dengan baik, seringkali ditentukan oleh penilaian terhadap kinerjanya. Penilaian terhadap kinerja merupakan faktor penting untuk meningkatkan kinerja. Selain dua komponen diatas iklim sekolah juga memegang peran penting dalam pendidikan. Guru adalah pengganti orang tua ketika siswa berada disekolah tetapi peran orang tua juga sangat menetukan keberhasilan siswa dalam menempuh pendidikan, karena waktu yang banyak dimiliki oleh siswa adalah waktu mereka berada dirumah selain itu orang tua lebih mengerti dan 534 memahami tentang keadaan anak. Selama ini, kinerja guru atas segala tugas yang seharusnya diselesaikan dengan baik belum terlihat hasil yang maksimal. Hal ini terlihat dari bagaimana guru menyiapkan bahan ajar, proses belajar evaluasi setelah selesai mengajar kurang mendapat perhatian dari guru. Iklim sekolah dimaksudkan pengaruh keseluruhan sistim dari kelompok manusia atau organisasi, mencakup perasaan dan sikap sebagai suatu sistim, sub sistim, sistim pribadi, tugas-tugas, prosedur atau konsep-konsep. Dengan norma perilaku yang dilaksanakan dalam suatu organisasi, maka iklim yang baik diharapkan dapat terciptakan untuk mempercepat pencapaian tujuan organisasi. Iklim sekolah yang positip merupakan suatu kondisi dimana keadaan sekolah dan lingkungannya dalam keadaan yang sangat aman, damai dan menyenangkan untuk kegiatan belajar mengajar (Moedjiarto, 2003:28). Iklim sekolah mempunyai peran dalam proses belajar mangajar. Siswa merasa nyaman belajar dan guru merasa betah mengajar tidak lain karena ada dukungan dan sarana prasarana yang memadai serta lingkungan yang aman dan nyaman. Dari berbagai permasalahan diatas, maka peningkatan mutu pendidikan di sekolah memerlukan kinerja guru. Kinerja guru di sekolah diantaranya dipengaruhi oleh kompetensi profesinal guru dan persepsi pada iklim sekolah. Berdasar pemikiran diatas maka peneliti sangat tertarik untuk meneliti mengenai pengaruh kompetensi profesional guru dan persepsi pada iklim sekolah secara bersama-sama terhadap kinerja guru matematika. Prosiding Seminar Nasional Matematika dan Pendidikan Matematika, “Internalisasi Nilainilai Berpikir Matematis Dalam Perannya di Era Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA)” Merujuk pada rumusan masalah tersebut, maka tujuan yang ingin dicapai melalui penelitian ini adalah Untuk mengetahui pengaruh kompetensi profesional guru terhadap kinerja guru matematika SMP di Jagakarsa, Untuk mengetahui pengaruh persepsi pada iklim sekolah terhadap kinerja guru matematika SMP di Jagakarsa, Untuk mengetahui pengaruh secara bersamasama antara kompetensi profesional guru dan persepsi pada iklim sekolah terhadap kinerja guru matematika SMP di Jagakarsa 2. KAJIAN LITERATUR DAN PENGEMBANGAN HIPOTESIS Kinerja Guru Kinerja atau prestasi kerja (performance) diartikan sebagai ungkapan kemampuan yang didasari oleh pengetahuan, sikap, keterampilan dan motivasi dalam menghasilkan sesuatu. Simamora (2000:423) menyatakan bahwa prestasi kerja (performance) diartikan suatu pencapaian persyaratan pekerjaan tertentu yang akhirnya secara langsung dapat tercermin dari out put yang dihasilkan baik kuantitas maupun kualitas. Pengertian diatas menyoroti kinerja berdasarkan hasil yang dicapai seseorang setelah melakukan pekerjaan. Kinerja Guru Matematika Jean D. Grambs dan C. Morris MC Clare dalam Foundation of Teaching, An Introduction to Modern Education menyatakan : “teacher are those persons who consciously direct the experiences and behavior of an individual so that education takes places.” Sedangkan menurut Laurence D. Hazkew dan Jonathan C. Mc Lendon dalam buku This is Teaching:”Teacher is professional person who conducts classes.” Jadi, guru adalah orang dewasa yang secara sadar bertanggung jawab dalam mendidik, mengajar,dan membimbing peserta didik. Orang yang disebut guru adalah orang yang memiliki kemampuan merancang program pembelajaran serta mampu menata dan mengelola kelas agar peserta didik dapat belajar dan pada akhirnya dapat mencapai tingkat kedewasaan sebagai tujuan akhir dari proses pendidikan. Sementara itu, tugas utama guru pada hakekatnya adalah merencanakan, mengelolah, menilai proses belajar-mengajar yang didalamnya terdapat berbagai kegiatan memilih, menilai dan mengambil keputusan. Persepsi Iklim Sekolah Sekolah sebagai suatu organisasi kerja terdiri atas unsur-unsur yang melekat pada suatu organisasi dalam praktek sehari-hari. Iklim sekolah sering dianalogikan dengan kepribadian individu dan dipandang sebagai bagian dari lingkungan sekolah yang berkaitan dengan aspek-aspek psikologis serta direfleksikan melalui interaksi didalam maupun diluar kelas. Berbagai studi yang dilakukan, iklim sekolah telah terbukti memberikan pengaruh yang kuat terhadap pencapaian hasil-hasil akademik siswa. Ada beberapa ahli mendifinisikan iklim sekolah. Iklim menurut Hoy dan Miskell (1982) dalam Hadiyanto (2004:153) merupakan kualitas dari lingkungan yang terus menerus dialami oleh guru-guru, mempengaruhi tingkah laku dan Pendidikan Matematika Universitas Muhammadiyah Purworejo, Ruang Seminar UM Purworejo, 28 Mei 2016 535 berdasar pada persepsi kolektif tingkah laku mereka. Kompetensi Profesional Guru. Seorang guru disamping senantiasa dituntut untuk mengembangkan pribadi dan profesinya secara terus-menerus juga dituntut untuk mampu dan siap berperan secara professional dalam lingkungan sekolah dan masyarakat. Mengajar bukan hanya sekedar menyam Pada umumnya pendidikan nasional ditujukan sebagaimana yang tersimpulkan dan dilukiskan oleh Wilds dalam buku dasar-dasar ilmu pendidikan (1996:121) :”nasionalisme in education aims, in its ultimate analysis, as the preservation and glorification of the state. The state is usually conceived of as a society organized for the primary purpose of protecting those who make up this society from the denger of external attack and internal disintegration” Oleh sebab itu, dalam proses belajar mengajar terdapat kegiatan membimbing siswa agar berkembang sesuai dengan tugas-tugas perkembangannya, melatih keterampilan baik keterampilan intelektual maupun keterampilan motorik, memotivasi siswa agar dapat memecahkan berbagai persoalan hidup dalam masyarakat yang penuh tantangan dan rintangan. Pengaruh Kompetensi Profesional Guru Terhadap Kinerja Guru Matematika. Kehadiran guru dalam proses belajar mengajar tetap memegang peranan penting, karena peran guru 536 dalam proses tugas belajar mengajar belum dapat digantikan oleh siapapun. Masih banyak unsur manusiawi seperti : sikap, sistem nilai, perasaan, motivasi dan kebiasaan yang diharapkan merupakan hasil dari proses belajar mengajar, hal tersebut tidak dapat dicapai tanpa adanya guru. Dengan demikian untuk mencapai keberhasilan siswa, guru harus memiliki kemampuan dasar dalam melaksanakan tugasnya. Salah satu kemampuan tersebut adalah kemampuan pribadi guru itu sendiri. Cece Wijaya dan Tabrani Rusyan (1991:78) menyatakan guru harus : 1) Menguasai bahan pelajaran 2) Mampu mengolah program belajar mengajar 3) Mampu mengelola kelas 4) Mampu mengelola dan menggunakan media serta sumber belajar 5) Mampu menilai prestasi belajar mengajar 6) Memahami prinsip-prinsip pengelolaan lembaga dan program pendidikan di sekolah 7) Menguasai metode berpikir 8) Terampil memberikan bantuan dan bimbingan kepada siswa 9) Meningkatkan kemampuan dalam mendalami ilmu pengetahuan dan teknologi yang terus berkembang 10) Memiliki wawasan tentang penelitian pendidikan 11) Mampu mengadakan penelitian sederhana untuk keperluan pengajaran 12) Mampu memahami karakteristik siswa 13) Mampu menjalankan administrasi sekolah 14) Memiliki wawasan tentang inovasi pendidikan 15) Berani mengambil keputusan 16) Memahami kurikulum dan perkembangannya 17) Mampu bekerja berencana dan terprogram 18) Mampu menggunakan waktu secara tepat. Kinerja guru dapat diartikan sebagai prestasi yang dicapai oleh guru setelah melaksanakan tugasnya sebagai Prosiding Seminar Nasional Matematika dan Pendidikan Matematika, “Internalisasi Nilainilai Berpikir Matematis Dalam Perannya di Era Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA)” pengajar. Kinerja guru sangat erat kaitannya dengan keberhasilan tujuan organisasi (keberhasilan pendidikan) dimana guru sebagai pelaku utamanya, oleh karena itu guru dituntut untuk selalu meningkatkan kinerjanya. Kinerja guru dapat dilihat dari hasil atau prestasi guru dalam menjalankan profesinya sebagai pendidik terutama dalam tugasnya sebagai pengajar. Kinerja guru yang optimal akan tercapai jika guru tersebut melaksanakan tugasnya dengan baik, mampu mengembangkan pribadi dan profesinya secara terus menerus juga dituntut mampu dan siap berperan secara profesional dalam lingkungan sekolah juga dimasyarakat. Berdasarkan deskripsi diatas, disimpulkan bahwa kompetensi profesional guru diduga mempunyai korelasi positif dengan kinerja guru matematika. Jika kompetensi profesional guru sangat baik dan tinggi maka guru akan mempunyai kinerja yang tinggi pula. Dengan demikian “diduga terdapat korelasi positif antara kompetensi professional guru dangan kinerja guru matematika”. Pengaruh Persepsi Iklim Sekolah Terhadap Kinerja Guru Iklim sekolah yang dirasakan dan dipersepsikan para guru dapat menunjang tumbuhnya suasana kerja dalam suatu organisasi sekolah merupakan hal yang harus diciptakan. Memperhatikan dan membina persepsi iklim sekolah sekolah berarti sekaligus menjunjung martabat para personalia sebagai manusia. Sebab dengan memperbaiki persepsi iklim sekolah akan mengembangkan sikap-sikap social, toleransi, menghargai pendapat orang lain, bekerja sama menyelesaikan masalah. Semua perilaku ini adalah cermin dari cara kerja yang baik dan bila perilaku ini dapat dipertahankan relatif lama akan menjadi tradisi / kebiasaan bekerja. Bila guru memiliki kebiasaan bekerja secara efektif dan efisien dengan kata lain memiliki kinerja yang baik dapat meningkatkan produktifitas , sebaliknya apabila mereka mempunyai kebiasaan bekerja secara santai dan kurang cermat akan dapat merugikan organisasi. Oleh karena itu iklim sekolah yang baik perlu diciptakan dan ditingkatkan agar dapat membangkitkan suasana kerja sehingga dapat mencapai hasil kerja yang berkualitas. Hal ini ditunjang oleh adanya keterkaitan antara indikator struktur organisasi yang merupakan pengelompokkan kegiatan dan tugastugas yang diterima oleh guru akan membantu memperlancar guru dalam melaksanakan proses belajar-mengajar, karena ada batasan dan pembagian tugas-tugas yang menjadi tanggung jawab guru. Kinerja guru yang optimal akan tercapai jika ditunjang dengan iklim sekolah yang memadai. Tanpa adanya suasana iklim sekolah yang baik dari sekolah mustahil kinerja guru akan tercapai, karena adanya iklim sekolah yang baik akan medorong seorang guru untuk meningkatkan prestasi sebagai perwujudan dari kebanggaan dan peningkatan karier. Dari uraian “diduga terdapat korelasi yang positif antara persepsi iklim sekolah dan kinerja guru matematika” Pendidikan Matematika Universitas Muhammadiyah Purworejo, Ruang Seminar UM Purworejo, 28 Mei 2016 537 Pengaruh Kompetensi Profesional Guru dan Persepsi Iklim Sekolah Terhadap Kinerja Guru Matematika Kompetensi profesional guru adalah kemampuan yang ditampilkan oleh guru dalam melaksanakan kewajibannya memberikan layanan pendidikan kepada masyarakat sesuai dengan kemampuan yang dimiliki dan mempunyai pengetahuan tentang belajar dan tingkah laku manusia, mempunyai pengetahuan dan menguasai bidang studi yang dibina, mempunyai sikap yang tepat tentang diri sendiri, teman sejawat dan mempunyai keterampilan teknik mengajar. Persepsi iklim sekolah adalah merupakan suatu kondisi, dimana keadaan sekolah dan lingkungannya dalam keadaan yang sangat aman, nyaman, damai dan menyenangkan untuk kegiatan belajar mengajar. Dan merupakan karakteristik yang ada, yang menggambarkan cirri-ciri psikologis dari suatu sekolah tertentu yang mempengaruhi tingkah laku guru dan peserta didik dan seluruh personil yang ada di lingkungan sekolah. Kinerja guru adalah kemampuan dan usaha guru untuk melaksanakan tugas pembelajaran sebaik-baiknya dalam meremcanakan program pengajaran, pelaksanaan kegiatan pembelajaran dan evaluasi hasil pembelajaran. Kinerja akan optimal, bilamana diintegrasikan dengan komponen sekolah baik kepala sekolah, iklim sekolah, guru, karyawan maupun anak didik. Faktor-faktor yang mempengaruhi kinerja guru dalam melaksanakan tugasnya yaitu : Kepemimpinan kepala 538 sekolah, iklim sekolah, harapanharapan, kepercayaan personalia sekolah, punya kemampuan dan dedikasi yang tinggi dalam mengajar. Dengan demikian nampaklah bahwa keprofesional guru dan persepsi iklim sekolah akan ikut menentukan baik buruknya kinerja guru. Kerangka berpikir diatas memberi inspirasi penulis untuk mengatakan secara logis bahwa “ diduga terdapat korelasi positip antara kompetensi profesional guru dan persepsi pada iklim sekolah terhadap kinerja guru matematika “. Hipotesa Penelitian Dalam penelitian ini dirumuskan beberapa hipotesis sesuai dengan perumusan yang telah disebutkan. Rumusan hipotesis yaitu : Terdapat pengaruh kompetensi professional guru terhadap kinerja guru matematika Terdapat pengaruh persepsi iklim sekolah terhadap kinerja guru matematika Terdapat pengaruh kompetensi professional guru dan persepsi pada iklim sekolah terhadap kinerja guru matematika SMP di Jagakarsa METODE PENELITIAN Penelitian ini dilakukan pada Sekolah Menengah Pertama di Kecamatan Jagakarsa Jakarta Selatan tahun ajaran 2009/2010 semester genap, karena penulis ingin memberikan kontribusi kepada sekolah yang berada di sekitar tempat tinggal penulis. Ada 21 Sekolah Menengah pertama yang terdiri dari 6 SMP Negeri dan 15 SMP Swasta. Metode yang dilakukan dalam penelitian ini adalah metode survei. Prosiding Seminar Nasional Matematika dan Pendidikan Matematika, “Internalisasi Nilainilai Berpikir Matematis Dalam Perannya di Era Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA)” Sebelum melakukan analisa data tentang pengaruh variabel data kemudian teknik analisa data dengan menggunakan statistik inferensial korelasi sederhana dan korelasi ganda, regresi sederhana dan regresi ganda. Korelasi minimal memerlukan minimal dua variabel, sedangkan korelasi ganda memerlukan tiga variabel. Pada penelitian ini, variabel bebas adalah kompetensi profesional guru matematika ( X1 ), persepsi pada iklim sekolah ( X2 ) dan variabel terikatnya kinerja guru ( Y ). Adapun rancangan penelitian tersebut menggunakan desain sebagai berikut: TABEL 1. DESAIN PENELITIAN X1 Y X2 Populasi target dalam penelitian ini adalah seluruh guru SMP baik negeri maupun swasta yang berada di Kecamatan Jagakarsa Jakarta Selatan. Populasi terjangkau dalam penelitian ini adalah seluruh guru Matematika yang berada di Kecamatan Jagakarsa yang terdiri dari 21 Sekolah Menengah Pertama pada tahun ajaran 2009/2010 . Teknik sampling yang digunakan dalam penelitian ini adalah cluster sampling. Yang menjadi sampel dalam penelitian ini adalah guru Matematika yang berasal dari Sekolah Menengah Pertama baik negeri maupun swasta di Kecamatan Jagakarsa Jakarta Selatan yang berjumlah 60 orang. Sumber data dalam penelitian ini adalah untuk kompetensi profesional guru matematika (X1) berasal dari guru matematika yang mengajar di kelas VII sampai kelas IX yang menjadi subjek penelitian. Untuk persepsi pada iklim sekolah (X2) berasal dari guru yang menjadi subjek penelian. Untuk kinerja guru (Y) berasal dari guru yang menjadi subjek penelitian. Teknik Mendapatkan Data Tentang Kompetensi Professional guru Matematika . Pengumpulan data tentang kompetensi professional guru matematika dilakukan dengan memberikan tes berbentuk pilihan ganda kepada guru matematika yang terpilih sebagai sampel. Pengumpulan data tentang persepsi iklim sekolah dilakukan dengan cara menyebarkan angket pada guru matematika yang terpilih sebagai sampel. Pengumpulan data tentang persepsi iklim sekolah dilakukan dengan cara menyebarkan angket pada guru matematika yang terpilih sebagai sampel. 3. HASIL DAN PEMBAHASAN Hasil Penelitian Dari data hasil tes kompetensi profesional guru, terletak pada rentangan skor 70 – 93, dengan nilai rata-rata sebesar 80,13; nilai modus sebesar 87; median sebesar 80 dan simpangan baku sebesar 6,688. Dari data hasil angket persepsi iklim sekolah, terletak pada rentangan skor 90 – 125, dengan nilai rata-rata sebesar 101,55; nilai modus sebesar 100; median sebesar Pendidikan Matematika Universitas Muhammadiyah Purworejo, Ruang Seminar UM Purworejo, 28 Mei 2016 539 100,00 dan simpangan baku sebesar 6,74. Dari data hasil kinerja guru matematika, terletak pada rentangan skor 80 – 113, dengan nilai rata-rata sebesar 98,02; nilai modus sebesar 97; median sebesar 99 dan simpangan baku sebesar 6,443. Dari analisis deskriptif di atas dapat disimpulkan bahwa hasil angket terletak pada kategori tinggi, hal ini terlihat dari besar modus dan median yang berada di atas rata-rata. Uji Persyaratan Analisis Data Uji Normalitas Hasil dari uji normalitas bertujuan untuk menguji apakah dalam model regresi mempunyai distribusi sebaran normal atau tidak. Dengan menggunakan Analisis Kolmogorov Smirnov dalam SPSS 16.0. Tabel 2 Hasil Uji Normalitas Dengan Kolmogorov-Smirnov One-Sample Kolmogorov-Smirnov Test iklim_ kinerj kompe sekola a_gur tensi_g h u uru N 60 60 60 Normal Mean 101.55 98.02 80.13 Parametersa Std. 6.374 6.443 6.688 Deviation Most Absolute .239 .121 .164 Extreme Positive .239 .070 .140 Differences Negative -.189 -.121 -.164 Kolmogorov-Smirnov Z 1.848 .934 1.273 Asymp. Sig. (2-tailed) .002 .347 .078 a. Test distribution is Normal. Dari tabel di atas diperoleh hasil bahwa nilai sig persepsi iklim sekolah= 0,002; nilai sig untuk kinerja guru matematika = 0,347; dan nilai sig untuk kompetensi profsional guru = 0,078. Dari hasil ini diperoleh kesimpulan bahwa nilai sig untuk seluruh variabel di atas 0,05 (sig > 0,05); sehingga dapat disimpulkan bahwa data berdistribusi normal, sehingga proses analisis data dapat dilakukan dengan menggunakan statistik parametrik. Tabel 3 Hasil Uji Linieritas Kompetensi Profesional Guru Matematika ANOVA Table Sum of Squares kinerja_guru * Between kompetensi_guru Groups (Combined) Linearity Deviation from Linearity 540 Mean Square Df F Sig. 505.282 9 56.142 .684 .719 32.409 1 32.409 .395 .533 472.873 8 59.109 .721 .672 Prosiding Seminar Nasional Matematika dan Pendidikan Matematika, “Internalisasi Nilainilai Berpikir Matematis Dalam Perannya di Era Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA)” Within Groups 4101.568 50 Total 4606.850 59 Hasil di atas adalah pengujian linieritas variabel terhadap komptensi professional guru matematika, terlihat bahwa nilai sig = 0,672> 0,05; sehingga 82.031 dapat disimpulkan persamaan linier yang terbentuk antara kinerja guru matematika dan kompetensi professional guru matematika memenuhi uji linieritas. Tabel 4 Hasil Uji Linieritas Persepsi iklim sekolah Terhadap Kinerja guru matematika ANOVA Table Sum of Squares kinerja_guru * iklim_sekolah Between Groups (Combi ned) Linearit y Deviati on from Linearit y df Mean Square 2792.767 29 540.243 F 96.302 1.593 .105 1 540.243 8.934 .006 2252.524 28 80.447 1.330 Within Groups 1814.083 30 60.469 Total 4606.850 59 Hasil di atas adalah pengujian linieritas variabel persepsi iklim sekolah terhadap kinerja guru matematika, terlihat bahwa nilai sig = 0,222>0,05; sehingga dapat disimpulkan persamaan linier yang terbentuk antara persepsi iklim sekolah dan kinerja guru matematika memenuhi uji linieritas. Sig. .222 Uji Multikolinearitas Penerapan uji multikolinearitas dilakukan untuk menguji apakah model regresi yang terbentuk memiliki korelasi antar variabel bebas (independen). Dari pelaksanaan uji multikolinearitas diperoleh nilai berikut: Pendidikan Matematika Universitas Muhammadiyah Purworejo, Ruang Seminar UM Purworejo, 28 Mei 2016 541 Tabel 5 Pengaruh Kompetensi Profesional Guru (X 1 ) terhadap Kinerja Guru Matematika (Y) Hasil Uji Multikolinearitas Coefficientsa Collinearity Statistics Model 1 Tolerance VIF kompetensi_guru .941 1.063 iklim_sekolah .941 1.063 a. Dependent Variable: kinerja_guru Dari tabel hasil uji multikolinieraitas diperoleh nilai VIF 1,063 dan tolerance 0,941 nilai tersebut mendekati 1 sehingga disimpulkan bahwa tidak terdeteksi sebagai multikolinieritas. Dengan demikian proses pengujian hipotesis dapat dilanjutkan. Dari pengolahan data diperoleh hasil secara simultan : kompetensi profesional guru dan persepsi iklim sekolah secara bersama-sama memberikan pengaruh positif dan signifikan terhadap kinerja guru matematika, hal ini diperlihatkan dari koefisien korelasi antara kompetensi profesional guru dan persepsi iklim sekolah secara bersama-sama dengan kinerja guru matematika sebesar 0,299 (koefisien determinasi R2 = 29,9% degan nilai uji F = 11,757). Lanjut Persamaan regresi yang terbentuk adalah Y =36,888 + 0,324X1 + 0,352X2. Hal ini dapat diartikan bahwa semakin baik kompetensi profesional guru maka semakin baik pula kinerja guru matematika dan semakin tinggi persepsi iklim sekolah maka semakin tinggi kinerja guru matematika. Pembahasan Hasil Penelitian Berdasarkan hasil penelitian tentang pengaruh kompetensi profesional guru (X1) dan persepsi iklim sekolah (X2) secara bersama-sama terhadap kinerja guru matematika (Y) adalah sebagai berikut : 542 Berdasarkan hasil analisis dapat diketahui bahwa kompetensi profesional guru memberikan pengaruh terhadap kinerja guru matematika sebesar 35,5 %. Artinya 35,5 % dapat dijelaskan oleh variabel kompetensi profesional guru. Sisanya 64,5 % dijelaskan oleh sebabsebab lain. Persamaan regresi Ŷ = 63,768 + 0,427 X 1. Yang berarti bahwa kenaikan satu skor kompetensi profesional guru akan memberikan kenaikan sebesar 0,427 terhadap skor rerata kinerja guru matematika. Dari data tersebut di atas, dapat dikatakan bahwa apabila kinerja guru matematika ditingkatkan secara optimal, maka perlu peningkatan kompetensi profesional guru tinggi. Kompetensi profesional guru baik akan memberikan kepercayan diri dan kenyamanan guru dalam menghadapi berbagai persoalan yang dihadapinya.Berdasarkan hasil perhitungan di atas, maka hasil penelitian ini sejalan dengan pengajuan hipotesis peneliti yang terdapat dalam bab II, yaitu bahwa kompetensi profesional guru memberikan pengaruh positif terhadap kinerja guru matematika SMP Negeri dan Swasta di wilayah Kecamatan Jagakarsa. Pengaruh Persepsi Iklim Sekolah (X 2 ) terhadap Kinerja Guru Matematika (Y) Berdasarkan hasil analisis data SPSS versi 16.0 dapat diketahui bahwa persepsi iklim sekolah memberikan pengaruh terhadap kinerja guru matematika sebesar 16,8 %. Artinya 16,8 % kinerja guru matematika dapat dijelaskan oleh variabel persepsi iklim sekolah. Sisanya 83,2 % dijelaskan oleh sebab-sebab lain. Persamaan regresi Ŷ =20,379 + 0,441 X 2. Yang berarti bahwa kenaikan satu skor persepsi iklim sekolah akan memberikan kenaikan sebesar 0,441 terhadap kinerja guru matematika. Dari data tersebut di atas, dapat dikatakan bahwa persepsi iklim sekolah memberikan Prosiding Seminar Nasional Matematika dan Pendidikan Matematika, “Internalisasi Nilainilai Berpikir Matematis Dalam Perannya di Era Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA)” sumbangan positif terhadap kinerja guru matematika, walaupun sumbangan positif yang diberikan variabel persepsi iklim sekolah sangat kecil. Berdasarkan hasil perhitungan di atas, maka hasil penelitian ini sejalan dengan pengajuan hipotesis peneliti yang terdapat dalam bab II, yaitu bahwa persepsi iklim sekolah memberikan pengaruh positif dan signifikan terhadap kinerja guru matematika SMP Negeri dan Swasta di wilayah Kecamatan Jagakarsa, walaupun hanya memberikan pengaruh yang kurang signifikan Pengaruh Kompetensi Profesional Guru (X 1 ) dan Persepsi Iklim Sekolah (X 2 ) secara bersama-sama terhadap Kinerja Guru Matematika (Y). Berdasarkan hasil analisis data SPSS versi 16.0 dapat diketahui bahwa kompetensi profesional guru dan persepsi iklim sekolah secara bersama-sama memberikan pengaruh terhadap kinerja guru matematika sebesar 29,9 %. Artinya 29,9 % kinerja guru matematika dapat dijelaskan oleh variabel kompetensi profesional guru dan persepsi iklim sekolah secara bersama-sama. Sisanya 70,1 % dijelaskan oleh sebab-sebab lain. Persamaan regresi Ŷ = 36,888 + 0,324 X 1 + 0,352 X2 yang berarti bahwa kenaikan satu skor status kompetensi profesional guru dan persepsi iklim sekolah secara bersama-sama akan memberikan kenaikan sebesar 0,324 untuk X 1 dan 0,352 untuk X 2 terhadap kinerja guru matematika. Dari data di atas, dapat dikemukakan bahwa kompetensi profesional guru dan persepsi iklim sekolah telah memberikan pengaruh terhadapkinerja guru matematika. Artinya, apabila kinerja guru matematika akan ditingkatkan, maka perlu ditingkatkan kompetensi profesional guru dan persepsi iklim sekolah. Semakin baik kompetensi profesional guru dan persepsi iklim sekolah, maka kinerja guru matematika akan semakin meningkat. Berdasarkan hasil perhitungan di atas, maka hasil penelitian ini sejalan dengan pengajuan hipotesis peneliti yang terdapat dalam bab II, yaitu bahwa kompetensi profesional guru dan persepsi iklim sekolah secara bersama-sama memberikan pengaruh positif dan signifikan terhadap kinerja guru matematika SMP Negeri dan Swasta di wilayah Kecamatan Jagakarsa. 4. KESIMPULAN Penelitian yang telah dilakukan oleh peneliti pada SMP di Kecamatan Jagakarsa ini menghasilkan beberapa temuan penelitian yang dapat menjawab tujuan dari penelitian ini, yaitu untuk mengetahui pengaruh atau hubungan kompetensi profesional guru dan persepsi iklim sekolah terhadap kinerja guru matematika. Dari uji statistik yang telah dilakukan untuk mengetahui adanya pengaruh tersebut, diperoleh hasil temuan sebagai berikut : Hipotesis 1 : Terdapat pengaruh kompetensi profesional guru (X1) terhadap kinerja guru matematika (Y) Hipotesis pada penelitian ini terbukti, hal ini berdasarkan pada perhitungan regresi secara parsial didapatkan nilai thitung > ttabel (3,770 > 1,671), maka dari hasil ini dapat disimpulkan bahwa kompetensi profesional guru berpengaruh positif secara signifikan terhadap kinerja guru matematika. Hipotesis 2 : Terdapat pengaruh persepsi iklim sekolah (X2) terhadap kinerja guru matematika (Y) Hipotesis pada penelitian ini terbukti, hal ini berdasarkan pada perhitungan regresi secara parsial didapatkan nilai thitung > ttabel (3,420 > 1,671), maka dari hasil ini dapat disimpulkan bahwa kompetensi profesional guru berpengaruh positif secara signifikan terhadap kinerja guru matematika. Hipotesis 3 : Terdapat pengaruh kompetensi profesional guru (X1) dan persepsi iklim sekolah (X2) secara bersamasama terhadap kinerja guru matematika (Y) Hipotesis pada penelitian ini terbukti, hal ini berdasarkan pada perhitungan regresi secara simultan didapatkan nilai Pendidikan Matematika Universitas Muhammadiyah Purworejo, Ruang Seminar UM Purworejo, 28 Mei 2016 543 Fhitung > Ftabel (11,757 > 3,159), maka dari hasil ini dapat disimpulkan bahwa ada pengaruh positif yang sigifikan antara kompetensi profesional guru dan persepsi iklim sekolah terhadap kinerja guru matematika. Hal ini diperlihatkan dari koefisien korelasi antara kompetensi profesional guru dan persepsi iklim sekolah secara bersama-sama dengan kinerja guru matematika sebesar 0,540 dan koeisien determinasi sebesar 29,2%. Persamaan regresi yang terbentuk adalah 36,888 + 0,324X1 + 0,352 X2.. Hal ini dapat diartikan bahwa semakin baik kompetensi profesional guru maka semakin baik pula kinerja guru matematika dan begitu pula semakin baik persepsi iklim sekolah maka semakin tinggi kinerja guru matematika. 5. REFERENSI Budi Raharjo, Manajemen Sekolah , 2007 Berbasis Dimyati dan Midjiono, Belajar dan Pembelajaran, Jakarta : Rineka Cipta 2002 Erman Suherman dan Udin S. Winata Putra, Strategi Belajar Mengajar Matematika, Jakarta : UT, 1993 E. mulyasa, Standar kompetensi dan sertifikasi, Bandung : Remaja Rosda Karya,2007 H. Hamzah B. Uno, Profesi Kependidikan , Jakarta : Bumi Akasara , 2009 J. Supranto, Analisis Multivariat, Jakarta : Rineka Cipta, 1996 J. Supranto, Metode Statistik, 2000 Kusnandar, Guru Profesional, Jakarta : Raja Grafindo Persada, 2008 Moh. Uzer Usman, Menjadi Guru Profesional, Bandung : Remaja Rosda Karya, 2006 M. Fullan, The Future Of Educational Change, the Meaning If Education Change Ontario : OISE Press 544 Nana Sudjana, Dasar-Dasar Proses Belajar Mengajar, Bandung : PT Sinar Baru Algasindo , 1997 Nana Sudjana, Metode Statistik, Bandung : Tarsito, 1992 Peterson, R, L dan Skiba, Creating School Climates Than Prevent School Violence. The Social Studies, Akademic Research Library, 1992 Rusefendi, Pengantar Kepada Membantu Guna Mengembangkan Kompetensi Dalam Pengajaran Matematika, Bandung : Tarsito, 1991 Soedjadi, Kiat Pendidikan Matematika Di Indonesia, Jakarta : Departemen Pendidikan Nasional, 2002 Soetjipto dan Raflis Kosasi, Profesi Keguruan, Jakarta : Rineka Cipta, 2009 Sudjana, Metode Statistika, Bandung : Tarsito, 1983 S. Nasution, Berbagai Pendekatan Dalam Proses Belajar Dan Mengajar, Jakarta : Bumi Aksara, 2008 Syaiful Bahri Djamarah Dan Aswan Zain, Strategi Belajar Mengajar, Jakarta : Rineka Cipta, 2006 Suharsimi Arikunto, Prosedur penelitian, Jakarta : Rieneka Cipta, Jakarta,1993 Wina Sanjaya, Strategi Pembelajaran Berorientasi Standar Proses Pendidikan, Jakarta : Prenada Media group, 2006. Prosiding Seminar Nasional Matematika dan Pendidikan Matematika, “Internalisasi Nilainilai Berpikir Matematis Dalam Perannya di Era Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA)” PENGARUH MODEL PEMBELAJARAN STUDENT FACILITATOR AND EXPLAINING TERHADAP HASIL BELAJAR MATEMATIKA SISWA Witri Lestari1), Nurul Hikmah2) Fakultas Teknik, Matematika, Dan IPA, Universitas Indraprasta PGRI Email : [email protected] 2 Fakultas Teknik, Matematika, Dan IPA, Universitas Indraprasta PGRI Email : [email protected] 1 Abstrak Tujuan dari penelitian ini untuk mengetahui apakah terdapat pengaruh dalam penggunaan metode pembelajaran Student Facilitator and Explaining terhadap hasil belajar matematika pada siswa kelas X SMK Kemala Bhayangkari Delog Jakarta. Metode penelitian yang digunakan adalah metode quasi eksperimen dan analisis komparasi. Sampel penelitian sebanyak 60 siswa yang terdiri dari 2 kelas, yaitu 1 kelas sebagai kelas eksperimen dan 1 kelas sebagai kelas kontrol. Instrumen penelitian secara objektif tes sebanyak 25 soal pilihan ganda dengan 5 pilihan jawaban. Pengujian normalitas menggunakan uji Chi Kuadrat dan hasil pengujian didapat bahwa kedua sampel berdistribusi normal. Pada pengujian persamaan varians (homogenitas) menggunakan uji Fisher, dan kedua kelompok dinyatakan homogen. Pengujian hipotesis menggunakan uji t dan berdasarkan hasil pengujian, maka disimpulkan bahwa dari hasil penelitian ini dapat dibuktikan bahwa model pembelajaran Student Facilitator and Explaining (SFE) lebih baik daripada model pembelajaran Jigsaw, artinya terdapat perbedaan yang signifikan terhadap hasil belajar matematika yang menggunakan model pembelajaran Student Facilitator and Explaining (SFE) dibanding model pembelajaran Jigsaw. Kata Kunci: Metode Pembelajaran, hasil belajar, matematika 1. PENDAHULUAN Dalam mengantisipasi perkembangan IPTEK yang selalu berubah, idealnya pendidikan tidak hanya berorientasi pada masa lalu dan masa kini, akan tetapi juga merupakan proses yang mengantisipasi dan membicarakan masa depan. Menurut Buchori dalam Trianto (2007: 1), “pendidikan yang baik adalah pendidikan yang tidak hanya mempersiapkan para siswanya untuk suatu profesi atau jabatan, tetapi untuk menyelesaikan masalah masalah yang dihadapinya dalam kehidupan sehari – hari”. Seiring dengan perkembangan kurikulum dalam tingkat satuan pendidikan, maka sekolah sebagai tingkat satuan pendidikan mengalami perubahan pola dalam proses pembelajaran. Mengingat proses pembelajaran merupakan kegiatan yang utama, maka sekolah sebagai suatu lembaga pendidikan formal memiliki tugas dan wewenang menyelenggarakan proses pendidikan dengan baik. Hal tersebut disebabkan melalui proses pembelajaran akan dicapai tujuan pendidikan. Salah satu masalah pokok dalam pembelajaran pada pendidikan formal (sekolah) dewasa ini adalah rendahnya daya serap peserta didik pada pelajaran yang dipelajari di dalam kelas. Hal ini terlihat pada hasil belajar siswa peserta didik yang senantiasa masih di bawah standar kelulusan minimum. Prestasi ini tentunya merupakan hasil kondisi pembelajaran yang masih bersifat konvensional dan tidak menyentuh ranah dimensi peseta didik itu Pendidikan Matematika Universitas Muhammadiyah Purworejo, Ruang Seminar UM Purworejo, 28 Mei 2016 545 sendiri, yaitu proses pembelajaran hingga dewasa ini masih memberikan dominasi guru dan tidak memberikan akses bagi peserta didik untuk berkembang secara mandiri melalui penemuan dan proses berpikirnya. Hal ini menyebabkan rendahnya hasil belajar peserta didik karena proses pembelajaran yang masih didominasi oleh pembelajaran konvensional. Pada pembelajaran ini suasana kelas cenderung kepada teacher oriented bukan student oriented, sehingga siswa menjadi pasif. Meskipun demikian guru lebih suka menerapkan metode tersebut, karena tidak memerlukan alat dan bahan praktek, cukup menjelaskan konsepkonsep yang ada pada buku ajar serta lebih mudah untuk menyampaikan materi dan mudah menyelesaikan materi. Dalam hal ini siswa tidak diajarkan pembelajaran yang dapat memahami bagaimana belajar, berpikir dan memotivasi diri sendiri. Masalah ini banyak dijumpai dalam Kegiatan proses Belajar Mengajar (KBM) di kelas. Oleh karena itu, perlu menerapkan suatu pembelajaran yang dapat membantu siswa untuk memahami materi ajar dan aplikasinya dalam kehidupan sehari-hari. Salah satu lembaga pendidikan formal yang masih menerapkan metode konvensional dalam kegiatan belajar matematika (KBM) adalah SMK Kemala Bhayangkari Delog Jakarta. Berdasarkan hasil pengamatan sebelum dilakukan penelitian dan mengacu kepada informasi yang diperoleh dari dialog non formal dengan siswa dan guru, pembelajaran matematika dikelas masih pasif. Siswa dikelas cenderung mengikuti pembelajaran terpusat kepada apa yang diterangkan oleh guru saja.Walaupun sudah direncanakan dengan baik, pada kenyataanya metode ceramah masih banyak kelemahan. “Penuturan lisan dari guru kepada peserta didik sering mengaburkan dan kadangkadang ditafsirkan salah oleh siswa” 546 (Sagala. S, 2005:201). Hal ini dapat diartikan seperti orang yang baru saja mengikuti ceramah, jika ditanya, tidak tahu apa-apa, sehingga dapat disimpulkan bahwa dengan menggunakan metode ceramah, guru berperan lebih aktif dan lebih banyak melakukan aktivitas tetapi hasilnya tidak maksimal. Guru yang berperan aktif juga sangat mempengaruhi siswa, dimana siswa tersebut cepat tanggap tetapi cepat lupa yang mengakibatkan timbulnya rasa bosan, ngantuk, dan jenuh sehingga siswa ngobrol, melamun dan tidak memperhatikan guru karena tidak semangat belajar. Maka hasil belajar yang diperoleh siswa rendah atau kurang memuaskan.Hal tersebut terbukti dengan hasil ujian akhir siswa yang belum maksimal. Menurut guru bidang studi matematika banyaknya siswa yang belum mencapai KKM karena mereka kesulitan dalam memahami konsep. Terbukti soal-soal yang mayoritas berisi konsep-konsep yang diberikan tidak bisa mereka jawab dengan tepat. Rendahnya tingkat pemahaman siswa terhadap konsep tersebut karena sulitnya materi yang bersifat fisik, penggunaan media yang terbatas dan kurang tepat, pemilihan metode ataupun model pembelajaran yang kurang sesuai dengan tujuan dan materi pembelajaran, penggunaan metode, model, dan media pembelajaran kurang kondusif bagi terjadinya peran aktif siswa dalam kegiatan pembelajaran. Salah satu metode pembelajaran yang dapat dijadikan solusi permasalahan tersebut adalah metode pembelajaran Student Facilitator and Explaining (SFE). Metode Student Facilitator and Explaining (SFE) merupakan “metode pembelajaran dimana peserta didik/siswa belajar mempresentasikan ide/pendapat pada rekan peserta didik lainnya. Metode pembelajaran ini efektif untuk melatih siswa berbicara Prosiding Seminar Nasional Matematika dan Pendidikan Matematika, “Internalisasi Nilainilai Berpikir Matematis Dalam Perannya di Era Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA)” untuk menyampaikan ide/gagasan atau pendapatnya sendiri” (Suprijono, 2009:71).Kegiatan yang terjadi pada metode ini memberikan kebebasan siswa baik untuk mengemukakan ide/gagasan mereka maupun menanggapi pendapat siswa lainnya, sehingga menuntut adanya komunikasi antar siswa agar proses pembelajaran menjadi optimal. Selain itu, tanggung jawab terhadap ide/pendapat yang mereka sampaikan sangat diperlukan. Dengan melihat permasalahan diatas maka perlu diupayakan suatu model pembelajaran yang dapat melibatkan siswa untuk aktif dalam proses pembelajaran. Pembelajaran yang dapat digunakan dengan keadaan tersebut adalah pembelajaran dengan metode Student Facilitator and Explaining. Dengan menggunakan metode Student Facilitator and Explaining diharapkan mampu meningkatkan hasil belajar matematika siswa di SMK Kemala Bhayangkari Delog Jakarta. Menurut Siregar dan Nara (2010:115) model pembelajaran kooperatif merupakan “model pembelajaran yang menekankan aktivitas kolaboratif siswa dalam belajar yang berbentuk kelompok, mempelajari materi pelajaran, dan memecahkan masalah secara kolektif kooperatif”.PendekatanBelajar kooperatif model Student Facilitator and Explaining (SFE) merupakan model pembelajaran dimana siswa atau peserta didik belajar mempresentasikan ide atau pendapat pada rekan peserta didik lainnya secara bergantian. Model pembelajaran ini efektif untuk melatih siswa berbicara untuk menyampaikan ide dan gagasan atau pendapatnya sendiri. Penggunaan model pembelajaran Student Facilitator and Explaining dalam pembelajaran matematika diharapkan dapat menghilangkan rasa bosan siswa dalam belajar. Siswa dapat saling bertukar pikiran dengan teman. Hal ini akan membuat kelas lebih hidup dan menyenangkan sehingga siswa akan lebih serius belajar dan hasil belajar matematika siswa akan lebih meningkat. Sedangkan Pendekatan belajar kooperatif model Jigsaw merupakan model pembelajaran kooperatif di mana siswa belajar dalam kelompok kecil yang terdiri dari 4-6 orang secara heterogen dan bekerja sama saling ketergantungan yang positif dan bertanggung jawab atas ketuntasan bagian materi pelajaran yang harus dipelajari dan menyampaikan materi tersebut kepada anggota kelompok yang lain. Berdasarkan uraian yang telah dikemukakan diatas, peneliti merasa perlu untuk melakukan penelitian dalam rangka mengetahui hasil belajar yang dapat dicapai oleh siswa dalam pembelajaran Matematika di SMK Kemala Bhayangkari Delog Jakarta dengan menggunakan metode pembelajaran Student Facilitator and Explaining, khususnya pada materi Program Linear. a. Pengertian Hasil Belajar Matematika Hasil belajar merupakan salah satu hal yang dijadikan pusat perhatian di dalam pendidikan, karena tingkat keberhasilan proses belajar dapat dilihat dari hasil belajar. Setiap individu yang melakukan kegiatan belajar akan mengalami perubahan-perubahan, baik perubahan dalam pengetahuan, sikap maupun keterampilan. Perubahan itu dihasilkan individu melalui pengalaman dalam interaksinya dengan lingkungan dan hal tersebut disebut sebagai hasil belajar. Menurut Sudjana (2001:22), ”hasil belajar adalah kemampuan yang dimiliki siswa setelah ia menerima pengalaman belajarnya”. Teori ini menjelaskan bahwa hasil belajar peserta didik terlihat setelah peserta didik tersebut menerima pengalaman belajarnya. Pendidikan Matematika Universitas Muhammadiyah Purworejo, Ruang Seminar UM Purworejo, 28 Mei 2016 547 Tujuan pendidikan yang ingin dicapai dapat dikategorikan menjadi tiga aspek, yakni aspek kognitif (penguasaan intelektual), aspek afektif (berhubungan dengan sikap dan nilai) dan aspek psikomotor (kemampuan/keterampilan bertindak). Hasil belajar ranah kognitif berkenaan dengan kemampuan intelektual yang terdiri dari enam aspek yaitu: pengetahuan/ingatan, pemahaman, aplikasi, analisis, sintesis dan evaluasi. Hasil belajar matematika dijadikan tolak ukur untuk siswa dalam penyelesaian masalah dalam matematika, hal tersebut telah dijelaskan dalam hakikat belajar matematika adalah suatu aktivitas mental untuk memahami arti dan hubunganhubungan serta simbol-simbol, kemudian diterapkannya pada situasi nyata. Schoenfeldyang dikutip Uno (2010:130), mendefinisikan bahwa “belajar matematika berkaitan dengan apa dan bagaimana menggunakannya dalam membuat keputusan untuk memecahkan masalah”. Hal ini menunjukkan bahwa dengan belajar matematika diharapkan dapat membuat peserta didik untuk mengambil keputusan secara tepat dan mampu dalam menyelesaikan masalah. Sedangkan menurut Suhendri (2010:19) menyatakan bahwa: “hasil belajar matematika adalah puncak dari kegiatan belajar yang berupa dalam bentuk kognitif, afektif, dan psikomotorik dalam hal kemampuan tentang bilangan, bangun, hubungan-hubungan konsep dan logika yang berkesinambungan serta dapat diukur dan diamati”. Jelas disini bahwa kegiatan belajar meliputi tiga aspek, yaitu kognitif, afektif, dan psikomotorik. Dimana kesemuanya saling berkaitan dan berhubungan sehingga hasilnya dapat diamati dan diukur. Adapun hasil belajar matematika di sekolah biasanya dapat dilihat dengan nilai (angka). Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa hasil belajar matematika adalah tolak ukur keberhasilan yang dicapai peserta didik dalam belajar matematika dengan tujuan kognitif, yaitu pengetahuan, pemahaman, penerapan, analisis, dan evaluasi. 548 b. Pengertian Metode Pembelajaran Student Facilitator and Explaining (SFE) Uno (2010:2) mendefinisikan metode pembelajaran sebagai “cara yang digunakan guru dalam menjalankan fungsinya yang merupakan alat untuk mencapai tujuan pembelajaran”. Dengan demikian bahwa fungsi dari metode pembelajaran adalah untuk membantu peserta didik mencapai tujuan pembelajarannya. Salah satu upaya pencapaian keberhasilan proses pembelajaran telah dibahas pada bagian sebelumnya, yaitu melalui pemilihan metode pembelajaran, salah satunya metode pembelajaran kooperatif. Pada model pembelajaran, perencanaan yang telah disusun sejak awal harus diimplementasikan berupa suatu metode agar tujuan yang telah disusun tercapai secara optimal. Implementasi metode/model pembelajaran kooperatif salah satunya dapat menggunakan metode Student Facilitator and Explaining (SFE). Menurut Suprijono (2009:71), “Metode Student Facilitator and Explaining (SFE) merupakan metode pembelajaran dimana siswa/peserta didik belajar mempresentasikan ide/pendapat pada rekan peserta didik lainnya”. Hal Ini berarti bahwa metode pembelajaran Student Facilitator and Explaining (SFE) efektif untuk melatih siswa berbicara untuk menyampaikan ide/gagasan atau pendapatnya sendiri. Kegiatan yang terjadi pada metode ini memberikan kebebasan siswa baik untuk mengemukakan ide/gagasan mereka mampu menanggapi pendapat siswa lainnya. Sehingga menuntut adanya komunikasi antar siswa agar proses pembelajaran menjadi optimal. Selain itu, tanggung jawab terhadap ide atau pendapat yang mereka sampaikan sangat diperlukan. Menurut Trianto (2007:52), “metode Student Facilitator and Explaining (SFE) merupakan salah satu dari tipe model pembelajaran kooperatif dengan menggunakan kelompok-kelompok kecil Prosiding Seminar Nasional Matematika dan Pendidikan Matematika, “Internalisasi Nilainilai Berpikir Matematis Dalam Perannya di Era Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA)” dengan jumlah 4-5 orang siswa secara heterogen”.Hal ini menunjukkan bahwa pembagian kelompok dalam metode Student Facilitator and Explaining (SFE) bersifat beragam. Sedangkan menurut Lie (2009:50), “metode Student Facilitator and Explaining (SFE) merupakan suatu metode dimana siswa mepresentasikan ide/pendapat pada siswa lainnya”.Dari pendapat ini dapat diartikan bahwa peserta didik harus berani mengemukakan pendapatnya di hadapan teman-temannya. Dari beberapa pengertian di atas dapat diambil kesimpulan bahwa metode Student Facilitator and Explaining (SFE) menjadikan siswa sebagai Fasilitator dan diajak berpikir secara kreatif sehingga menghasilkan pertukaran informasi yang lebih mendalam dan lebih menarik serta menimbulkan rasa percaya diri pada peserta didik. 1. Langkah – langkah Metode Pembelajaran Student Facilitator and Explaining (SFE) Menurut Riyanto (2009:283), Metode Student Facilitator and Explaining (SFE) mempunyai tahapan atau langkah-langkah seperti berikut : 1) Guru menyampaikan kompetensi yang ingin dicapai/kompetensi dasar, 2) Guru mendemonstrasikan/menyajikan garis-garis besar materi pembelajaran, 3) Memberikan kesempatan siswa untuk menjelaskan kepada siswa lainnya, misalnya melalui bagan/peta konsep. Hal ini bisa dilakukan secara bergiliran, 4) Guru menyimpulkan ide/pendapat dari siswa, 5) Guru menerangkan semua materi yang disajikan saat itu, 6) Penutup 7) Evaluasi. Sedangkan Menurut Johnson (2010:117) : “Peran siswa sebagai facilitator dan penjelas dalam metode ini yaitu merencanakan bagaimana cara mereka mengajari materi yang sedang dipelajari kepada satu sama lain dan menyampaikannya secara lisan melalui bagan kepada anggota kelompok lainnya. Selain itu, menggambarkan bagaimana cara menyelesaikan tugas yang diberikan (tanpa memberikan jawabannya), memberikan umpan balik yang spesifik mengenai pekerjaan siswa lain, dan menyelesaikan tugas dengan meminta siswa lain untuk mendemonstrasikan cara menyelesaikan tugas tersebut”. Hal ini berarti siswa harus mampu menjadi facilitator, dengan harapan penjelasan yang diberikan dari murid ke murid dapat lebih mudah dicerna kepada siswa lainnya. Suherman (2008) menjelaskan langkah-langkah metode student facilitataor and Explaining (SFE) adalah sebagai berikut : 1) Sajian materi 2) Siswa mengembangkannya dan menjelaskan lagi ke siswa lainnya. 3) Kesimpulan dan evaluasi 4) Refleksi Sedangkan menurut Santyasa (2007:6), “peran guru dalam metode ini adalah sebagai manager, guru memonitor disiplin kelas dan hubungan interpersonal, dan memonitor ketepatan penggunaan waktu dalam menyelesaikan tugas”. Hal ini dapat dipahami bahwa dalam metode ini tugas guru menjadi lebih sedikit karena peran guru sudah diambil alih oleh para facilitatoryang ditunjuk. Isjoni (2010:63) dalam bukunya mengungkapkan bahwa tugas guru selain sebagai manager dapatjuga menjadi mediator, “guru memandu menjembatani mengaitkan materi pembelajaran yang sedang dibahas dengan permasalahan nyata yang ditemukan di lapangan”. Hal ini berarti, guru harus memberikan arahan kepada kelompok dengan menyatakan tujuan dari materi yang diberikan, serta mendorong siswa untuk ikut berperan aktif dalam kelompoknya. Dari beberapa pendapat diatas dapat disimpulkan bahwa langkah-langkah dalam model pembelajaran kooperatif tipe Student Facilitator and Explaining (SFE) memiliki beberapa tahapan, diantaranya: Pendidikan Matematika Universitas Muhammadiyah Purworejo, Ruang Seminar UM Purworejo, 28 Mei 2016 549 1) Guru menyiapakan bahan ajar dan mengidentifikasi bagian-bagian yang sulit, kemudian menyusun strategiuntuk membantu siswa menghadapi kesulitan agar siswa bisa menyelesaikan bagian sulit tersebut. 2) Guru menyiapkan dan membagikan LKS (Lembar Kerja Siswa) kepada tiap kelompok. 3) Guru mengidentifikasi siswa yang menghadapi kesulitan belajar. 4) Ketua kelompok melaporkan keberhasilan kelompoknya dengan mempresentasikan hasil kerjanya 5) Pendidik menetapkan kelompok terbaik sampai kelompok yang kurang berhasil (jika ada) 2. a. METODE PENELITIAN Tempat Penelitian Penelitian ini dilaksanakan di SMK Kemala Bhayangkari Delog Jakarta, yang beralamat di Jl. C No. 1 Rt. 001 Rw.06 Komplek Polri Ragunan Kelurahan Ragunan, Kecamatan Pasar Minggu, Kota Jakarta Selatan 12550.Jumlah peserta didik seluruhnya 450peserta didik yang dibagi menjadi 16 rombrongan belajar, yaitu kelas X sebanyak 7 kelas, kelas XI sebanyak 5 kelas, kelas IX sebanyak 4 kelas. b. Jenis Penelitian Penelitian ini dilakukan dengan menggunakan metode quasi eksperimen (Eksperimen Semu), Menurut Sugiyono (2009: 114) bahwa “Quasi Experimental Design yaitu penelitian yang mempunyai kelompok kontrol, tetapi tidak dapat berfungsi sepenuhnya untuk mengambil variabel-variabel luar yang mempengaruhi pelaksanaan eksperimen”. Dalam penelitian ini, peneliti ikut serta dalam penelitian yaitu dengan mengajar menggunakan metode Student Facilitator and Explainingsetiap tatap muka pada kelas eksperimen yaitu kelas X PM-2 dan mengajar dengan metode Jigsaw pada kelas kontrol yaitu kelas X PM-3 di SMK Kemala Bhayangkari Delog Jakarta. 550 c. Sampel Dalam penelitian ini, sampel yang akan diteliti adalah kelas X PM-2 dan kelas X PM-3 SMK Kemala Bhayangkari Delog Jakarta, yaitu 30 siswa dari kelas eksperimen dan 30 siswa dari kelas kontrol sehingga total sampel menjadi 60 siswa. d. Teknik Pengumpulan Data Data hasil belajar matematika siswa diperoleh melalui tes tertulis. Tes yang digunakan berupa tes obyektif (pilihan ganda) dengan 5 pilihan jawaban A, B, C, D dan E sebanyak 25 soal dan soal yang akan diberikan pada kelas eksperimen sama dengan soal yang diberikan pada kelas kontrol pada pokok bahasan Program Linier kelas X SMK. e. Instrumen Penelitian Hasil Belajar Matematika 1. Definisi Konseptual Hasil belajar matematika adalah kemampuan yang dimiliki siswa pada tingkat penguasaan materi pelajaran berupa konsep matematika. Pemahaman konsep matematika meliputi aspek pengetahuan, sikap dan penerapan berbagai konsep matematika. Dalam penelitian ini pemahaman konsep matematika yang diukur meliputi pokok bahasan program linier yaitu, membuat grafik himpunan penyelesaian, menentukan model matematika, menentukan nilai optimum, dan menerapkan garis selidik. 2. Definisi Operasional Hasil belajar matematika adalah skor tentang kemampuan kognitif peserta didik setelah kegiatan pembelajaran matematika, dimana kemampuan siswa tersebut yang meliputi aspek pengetahuan, pemahaman, dan aplikasi.Adapaun tes yang akan diberikan yaitu tes pilihan ganda sebanyak 25 soal dengan lima opsi pilihan. Jawaban benar diberi skor 1 dan jawaban salah diberi skor 0. f. Teknik Analisis Data 1. Uji Persyaratan Analisis Data a. Uji Normalitas Prosiding Seminar Nasional Matematika dan Pendidikan Matematika, “Internalisasi Nilainilai Berpikir Matematis Dalam Perannya di Era Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA)” Uji Normalitas distribusi frekuensi dilakukan untuk mengetahui normal atau tidaknya distribusi yang menjadi syarat untuk menentukan jenis statistik apa yang dipakai dalam analisis lebih lanjut. Data yang perlu diuji normalitas distribusi frekuensi dalam penelitian ini ada 2 kelompok yaitu kelompok data 1 (X1) siswa yang diajar dengan menggunakan model pembelajaran Student fasilitator and explaining dan kelompok data 2 (X2) siswa yang diajar dengan menggunakan model pembelajaran Jigsaw. Perhitungan uji normalitas distribusi ini menggunakan rumus Chi-kuadrat. 1) Membuat daftar frekunsi yang diharapkan dengan cara : a) Menentukan batas kelas yaitu angka skor kiri kelas interval pertama dikurangi 0,5 dan kemudian angka skor-skor kanan kelas interval ditambah 0,5. b) Mencari nilai z-score untuk kelas interval dengan rumus : c) Mencari luas o – z dari tabel kurva normal dari o – z dengan menggunakan angka-angka untuk batas kelas. d) Mencari luas tiap kelas interval dengan cara mengurangkan angka o – z yaitu angka baris pertama dikurangi baris kedua, angka baris kedua dikurangi baris ketiga dan seterusnya. Kecuali untuk angka yang berbeda pada baris paling tengah ditambahkan dengan angka pada baris berikutnya. e) Mencari frekuensi yang diharapkan (fe) dengan cara mengalikan luas tiap interval dengan jumlah responden (n = 30) 2) Mencari Chi-Kuadrat Hitung (X2 hitung) 3) MembandingkanX2 hitung dengan X2 tabel dan membandingkan X2 hitung dengan X2 tabel untuk = 0,05 dan derajat kebebasan (dk) = k – 1 dengan kriteria pengujian sebagai berikut : Jika X2 hitung X2 tabel, artinya distribusi data tidak normal Jika X2 hitung X2 tabel, artinya distribusi data normal b. Uji Homogenitas Setelah uji normalitas memberi indikasi data hasil penelitian berdistribusi normal, maka dilakukan uji homogenitas dengan metode uji Fisher/Uji F (varians terbesar dibanding varians terkecil). - Uji homogenitas adalah pengujian mengenai sama tidaknya variansi-variansi dari dua distribusi atau lebih. Menurut Supardi (2012: 138), pengujian homogenitas dengan uji F dapat dilakukan apabila data yang akan diuji hanya ada dua kelompok data/sampel. Langkah-langkah pengujian homogenitas dengan uji F adalah sebagai berikut : 1) Tentukan taraf signifikansi (⍺) untuk menguji hipotesis: = ≠ Dimana: : Varians kelompok data hasil belajar kelas eksperimen. : Varians kelompok data hasil belajar kelas kontrol. Dengan kriteria pengujian: Terima jika Tolak jika . 2) Menghitung varians tiap kelompok data. 3) Tentukan nilai . Adapun rumus adalah sebagai berikut: Keterangan: : Varians terbesar : Varians terkecil. 4) Tentukan nilai untuk taraf signifikansi ⍺, dk1 = dkpembilang = na-1, dan dk2 = dkpenyebut = nb-1. Dalam hal ini, na = banyaknya data kelompok varians terbesar (pembilang) dan nb = banyaknya data kelompok varians terkecil (penyebut). Pendidikan Matematika Universitas Muhammadiyah Purworejo, Ruang Seminar UM Purworejo, 28 Mei 2016 551 5) Lakukan pengujian Kelom pok Sam pel Mean Eksperi men 30 72,96 dengan cara thitung ttabel 4,27 2,00 30 68,17 Kontrol membandingkan nilai dan . 2. Teknik Analisis Uji Hipotesis Penelitian Pengujian hipotesis pada penelitian ini menggunakan uji t dengan taraf signifikansi 5 % atau = 0,05 dan derajat kebebasan . Namun, “Uji t yang digunakan adalah uji t untuk dua kelompok data dari dua kelompok sampel (tidak berpasangan), karena analisis data dalam penelitian ini dilakukan dengan cara membandingkan data antara kelompok eksperimen dengan kelompok kontrol” (Supardi, 2012: 320). Kelas N 2 hitung Eksperimen 30 Kontrol 30 5% 5,02 5% 2,36 Kriteria Uji: Tolak Ho jika Terima Ho jika 2 tabel Kesimpulan 0,05 7,82 7,82 Kedua kelas berdistribusi normal dan 3. HASIL DAN PEMBAHASAN a. Uji Normalitas 2 Karena hitung pada kedua kelas kurang dari 2 table c. Uji Hipotesis Dari tabel tersebut terlihat bahwa t hitung lebih besar dari t tabel (4,27 2,00) maka dapat disimpulkan bahwa H0 ditolak dan H1diterima dengan taraf signifikansi 5%, 4. KESIMPULAN Berdasarkan data yang diperoleh dari hasil analisis data pengujian hipotesis, dapat disimpulkan bahwa terdapat perbedaan antara hasil belajar matematika siswa yang diajarkan menggunakan metode pembelajaran Student Facilitator and Explainning (SFE) dengan hasil belajar matematika siswa yang diajarkan menggunakan metode pembelajaran Jigsaw. Dan berdasarkan pengolahan data menunjukkan bahwa hasil belajar matematika siswa yang diajarkan dengan menggunakan metode pembelajaran Student Facilitator and Explainning (SFE) lebih tinggi dari pada hasil belajar matematika siswa yang diajarkan dengan menggunakan metode pembelajaran Jigsaw. maka dapat disimpulkan bahwa data populasi kedua kelompokberdistribusi normal. b. Uji Homogenitas Untuk pengujian homogenitas harus diketahui harga masing-masing variansi kedua data kelas. Kelompok variansi tersebut adalah : S12 = 158,6 S22 = 200,97 552 Dari perhitungan diketahui bahwa harga ftabel sebesar 1,86. Dengan demikian, kedua kelas mempunyai varians yang sama yaitu homogen karena fhitungkurang dari f tabel (1,27<1,86). 5. REFERENSI Johnson dan Johnson. 2010. Colaborative Learning. Bandung : Nusa Media Lie, A. 2009. Cooperatif Learning. Jakarta : PT Grasindo Riyanto, Y.2009. Paradigma Baru Pembelajaran Sebagai Referensi Bagi Pendidikan dalam Prosiding Seminar Nasional Matematika dan Pendidikan Matematika, “Internalisasi Nilainilai Berpikir Matematis Dalam Perannya di Era Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA)” Implementasi Pembelajaran Yang Efektif dan Berkualitas. Jakarta :Kencana Sagala, Syaiful. 2010. Konsep dan Makna Pembelajaran. Bandung :Alfabeta. Santyasa, I.W.2007. ”Model-model Pembelajaran Inovatif”. Makalah disajikan dalam pelatihan tentang PenelitianTindakanKelas bagi Guru-Guru SMP dan SMA di Nusa Penida, tanggal 29 Juni- 01 Juli 2007. Siregar, E dan Nara, H. 2010. Teori Balajar danPembelajaran. Bogor :Ghalia Indonesia. yang Paling Komprehensif. Jakarta :Ufuk Press. Suprijono, A. 2009. Cooperative Learning, TeoridanAplikasi PAIKEM. Yogyakarta :PustakaPelajar Trianto.2007. Model-model Pembelajaran Inovatif Berorientasi Konstruktivistik. Jakarta :Prestasi Pustaka. Uno, Hamzah B. 2010. Model Pembelajaran Menciptakan Proses Belajar Mengajar yang Kreatifdan Efektif. Jakarta: BumiAksara. Sudjana, N. 2001. Dasar-dasar Proses Belajar Mengajar. Bandung: Sinar Baru Algensindo. Sugiyono. 2010. Metode Penelitian Pendidikan : Pendekatan Kuantitatif, Kualitatif dan R&D. Bandung : Alfabeta. Suhendri, H. 2010. Pengaruh Kecerdasan Matematis Logis dan Rasa Percaya Diri Terhadap Hasil Belajar Matematika, Majalah Ilmiah Factor, UNINDRA, Edisi Nov-Des :halaman 19. Supardi. 2012. Aplikasi Statistika dalam Penelitian Buku Tentang Statistika Pendidikan Matematika Universitas Muhammadiyah Purworejo, Ruang Seminar UM Purworejo, 28 Mei 2016 553 PENGARUH PENGUASAAN KONSEP OPERASI BENTUK ALJABAR DAN EFIKASI DIRI TERHADAP HASIL BELAJAR LIMIT FUNGSI Indah Lestari Fakultas Teknik, Matematika dan IPA, Universitas Indraprasta PGRI email: [email protected] Abstrak Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui pengaruh penguasaan konsep operasi bentuk aljabar dan efikasi diri terhadap hasil belajar limit fungsi, mengetahui pengaruh konsep belajar matematika terhadap hasil belajar limit fungsi dan untuk mengetahui pengaruh efikasi diri terhadap hasil belajar limit fungsi. Metode penelitian yang digunakan adalah metode survey. Sampel yang berjumlah 40 orang dipilih secara random dari seluruh siswa di SMA swasta di kecamatan Cilandak. Pengumpulan data dilakukan dengan pemberian soal tes tertulis berupa soal pilihan ganda untuk variabel operasi bentuk aljabar (X1) dan hasil belajar limit fungsi (Y), serta angket untuk variabel efikasi diri (X2). Uji persyaratan analisis dilakukan uji normalitas menggunakan uji Chi Kuadrat dan uji kelinieran regresi. Analisis data dengan menggunakan metode statistik deskriptif, regresi dan korelasi.. Hasil penelitian menunjukkan: (1) Terdapat pengaruh antara penguasaan konsep operasi bentuk aljabar dan efikasi diri terhadap hasil belajar limit fungsi (2) Terdapat pengaruh penguasaan konsep operasi bentuk aljabar terhadap hasil belajar limit fungsi, (3) Terdapat pengaruh efikasi diri terhadap hasil belajar limit fungsi. Kata Kunci : Konsep Aljabar, Efikasi Diri, Limit 1. PENDAHULUAN Matematika berfungsi mengembangkan kemampuan menghitung, mengukur, menentukan dan menggunakan rumus matematika yang diperlukan dalam kehidupan sehari-hari mulai dari materi pengukuran, geometri, aljabar hingga materi trigonometri. Selain itu matematika juga berfungsi mengembangkan kemampuan mengkomunikasikan gagasan dengan bahasa melalui model matematika yang berupa kalimat maupun persamaan matematika, diagram, grafik dan tabel. Fungsi matematika ini sangat berguna dalam kehidupan manusia sehari–hari yang diaplikasikan secara langsung maupun tidak langsung. Matematika menjadi salah satu pelajaran wajib selain Bahasa Indonesia dan Bahasa Inggris. Hal ini dikarenakan Matematika baik pokok bahasan maupun aplikasinya sering digunakan dalam kehidupan sehari-hari manusia baik secara langsung maupun tidak langsung. Sebagai contoh kongkret penggunaan matematika 554 dalam kehidupan sehari-hari yaitu dalam perhitungan seorang pedagang yang menghitung untung dan rugi, pada saat itu pedagang harus bisa menguasai aritmetika sosial yang merupakan salah satu pokok bahasan matematika, contoh lain yang sangat nyata adalah aplikasi suatu pokok bahasan terhadap pokok bahasan lain dalam matematika yang memiliki kaitan. Pokok–pokok bahasan dalam matematika tersusun secara hirarkis, Matematika berkenaan dengan ide-ide atau konsep-konsep abstrak yang tersusun secara hirarkis dan penalarannya deduktif. karena kehirarkisannya, maka dalam mempelajari matematika, konsep sebelumnya merupakan prasyarat untuk mempelajarai konsep tertentu, artinya peserta didik tidak dapat mempelajari konsep B sebelum peserta didik memahami konsep A. Seorang peserta didik dalam mempelajari sebuah pokok bahasan, tingkat penguasaan peserta didik terhadap pokok Prosiding Seminar Nasional Matematika dan Pendidikan Matematika, “Internalisasi Nilainilai Berpikir Matematis Dalam Perannya di Era Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA)” bahasan yang sedang dipelajari dipengaruhi oleh beberapa faktor antara lain faktor dari dalam diri peserta didik yang meliputi minat, motivasi, serta pengetahuan dan faktor dari luar peserta didik antara lain lingkungan, keluarga, dan sekolah yang mencakup cara mengajar guru serta kurikulum yang berlaku saat itu. Satu lagi faktor yang tidak kalah pentingnya adalah penguasaan konsep prasyarat pokok bahasan tersebut, karena pada dasarnya setiap pokok bahasan pelajaran memiliki konsep prasyarat yang harus dikuasai terlebih dahulu, dan untuk pokok bahasan limit fungsi ini konsep prasyarat yang harus dipenuhi adalah konsep Aljabar khususnya operasi bentuk aljabar . Limit merupakan dasar dalam pembahasan kalkulus Diferensial, yaitu suatu konsep yang dapat menjawab persoalanpersoalan yang berkaitan dengan perubahan suatu variabel. Tingkat perubahan suatu variabel terikat sebagai akibat dari perubahan variabel bebas dapat ditentukan dengan konsep Kalkulus Diferensial. Karena pada dasarnya semua yang ada mengalami perubahan , maka Kalkulus sangat berguna sebagai dasar analisis matematik. Jika suatu keadaan dapat dinyatakan dalam suatu fungsi maka keadaan tersebut dapat dianalisis secara matematik dengan menggunakan Kalkulus. Dan untuk bisa mempelajari kalkulus, Limit merupakan dasarnya, Konsep limit dengan definisi formal akan sulit dimengerti tapi dengan definisi tidak formal konsep limit lebih mudah dimengerti. Dengan definisi tidak formal, Limit selalu dikaitkan dengan fungsi, karenanya Limit biasa disebut dengan Limit Fungsi. Dengan konsep limit dapat ditentukan nilai yang didekati oleh suatu fungsi jika peubahnya diketahui mendekati sebuah nilai. Dan untuk menyelesaikan suatu persoalan limit yang berupa fungsi dapat dilakukan dengan mensubstitusi nilai dari variabel yang diketahui, tetapi terkadang akan ditemukan jawaban dengan nilai tak-tentu dan untuk menyelesaikan persoalan limit fungsi ini adalah dengan konsep aljabar. Aljabar didefinisikan sebagai suatu bentuk matematika yang dapat mempermudah masalah-masalah yang sulit dengan menggunakan huruf-huruf sebagai variabel. Huruf-huruf ini mewakili bilangan yang belum diketahui dalam perhitungan. Misalnya pada masalah kebakaran diperoleh keterangan bahwa setiap t detik hutan yang terbakar seluas A m2, hubungan A dan t dinyatakan dalam persamaan A= 4t2 – 3 . Maka kita dapat menghitung luas hutan yang terbakar dalam waktu 1 jam dengan menggunakan konsep aljabar. Aljabar merupakan salah satu cabang matematika yang sangat penting karena menjadi dasar untuk mempelajari materi berikutnya seperti persamaan linier, persamaan garis, fungsi dan lain-lain termasuk limit fungsi. Dalam konsep aljabar, operasi hitung yang mencakup penjumlahan, pengurangan, perkalian dan pembagian disebut operasi bentuk aljabar, selain keempat operasi itu, operasi bentuk aljabar lain adalah pemfaktoran suku aljabar dan merasionalkan. Operasi bentuk aljabar ini sangat membantu dalam menyelesaikan suatu permasalan rumit yang tidak bisa diselesaikan hanya dengan mensubtitusi biasa saja. Soal limit fungsi dapat diselesaikan dengan cara mensubstitusi nilai x ke dalam fungsi yang ditanyakan, tetapi terkadang fungsi tersebut untuk menyelesaikannya banyak menggunakan konsep Aljabar terutama operasi bentuk aljabar yang mencakup penjumlahan, pengurangan, perkalian, pembagian dan faktorisasi aljabar serta merasionalkan, selain itu operasi bentuk aljabar dipelajari peserta didik terlebih dahulu sebelum pokok bahasan Limit Fungsi. Hal ini menimbulkan asumsi bahwa pokok bahasan operasi bentuk aljabar memiliki peranan cukup penting dalam mempelajari Pendidikan Matematika Universitas Muhammadiyah Purworejo, Ruang Seminar UM Purworejo, 28 Mei 2016 555 Limit Fungsi. Peserta didik akan lebih mudah untuk mempelajari Limit Fungsi jika ia telah menguasai konsep Operasi Bentuk Aljabar. 2. Selain dikarenakan materi prasarat ang harus dikuasai peserta didik dalam mempelajari sebuah materi dalam matematika. Dimyati dan Mudjiono (2006: 243) menyatakan bahwa kemampuan berprestasi tersebut terpengaruh oleh prosesproses penerimaan, pengaktifan prapengolahan, penyimpanan, serta pemanggilan untuk pembangkitan pesan dan pengalaman. Selain itu juga bisa disebabkan oleh efikasi diri yang rendah. Oleh karena itu proses-proses tersebut haruslah berjalan dengan lancar, juga efikasi diri peserta didik yang lebih ditingkatkan, agar hasil belajar limit fungsi juga dapat meningkat. Setiap manusia mengalami pertumbuhan dan perkembangan dalam hidup ia mengalami berbagai masalah dan tantangan. Untuk menghadapi itu diperlukan adanya penyesuaian-penyesuaian dalam dirinya dengan mengadakan perubahan tingkah laku sehingga memperoleh kesejahteraan. Hal ini senada dengan yang diungkapkan oleh Sudjana (2005:5) yang menyatakan bahwa belajar adalah perubahan tingkah laku yang disadari dan timbul akibat praktik pengalaman, latihan bukan secara kebetulan. Setiap peserta didik pasti memiliki efikasi diri, hanya tingkatannya yang berbeda-beda. Efikasi diri tersebut akan menentukan bagaimana cara peserta didik menyelesaikan tugas dan hasil yang akan dicapainya. Peserta didik dengan efikasi yang tinggi akan tetap tenang dalam menyelesaikan tugas meskipun dalam keadaan penuh tekanan. Mereka akan tetap berusaha dan gigih sehingga prestasi belajar yang dicapai akan memuaskan. Tetapi ada beberapa peserta didik yang merasa tidak percaya diri atau tidak yakin pada kemampuan dirinya dalam menyelesaikan suatu pekerjaan. Mereka merasa bahwa dirinya akan gagal dalam menyelesaikan tugas tersebut, sehingga prestasi belajarnya pun kurang baik. Uraian diatas mendorong terciptanya penelitian ini, yaitu untuk mengetahui bagaimana penguasaan konsep aljabar dan efikasi diri dapat meningkatkan hasil belajar limit fungsi. 556 KAJIAN LITERATUR Hasil Belajar Limit Fungsi Menurut Slameto yang dikutip oleh Djamarah (2002:13), “ Belajar adalah suatu proses usaha yang dilakukan individu untuk memperoleh suatu perubahan tingkah laku yang baru secara keseluruhan, sebagai hasil pengalaman individu itu sendiri dalam interaksi dengan lingkungannya.” Sedangkan menurut Dimyati dan Mudjiono (2006:295), “ Belajar adalah kegiatan individu memperoleh pengetahuan, perilaku, dan keterampilan dengan cara mengolah bahan belajar, dalam belajar tersebut individu menggunakan ranah-ranah kognitif, afektif dan psikomotorik. ” Belajar identik dengan peserta didik, jika membicarakan mengenai belajar maka kita akan membahas peserta didik, tapi pada dasarnya setiap manusia mengalami proses belajar, tidak hanya peserta didik saja, tapi akan lebih khususnya proses belajar tejadi pada peserta didik karena proses belajar peserta didik terjadi secara formal. Setelah seseorang belajar sudah pasti ia akan memperoleh suatu hasil yang disebut hasil belajar, untuk mengukur seberapa besar hasil belajar dapat dilihat dari seberapa besar penguasaan konsep yang ia miliki dan kemampuannya dalam menyelesaikan soal- Prosiding Seminar Nasional Matematika dan Pendidikan Matematika, “Internalisasi Nilainilai Berpikir Matematis Dalam Perannya di Era Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA)” soal yang diberikan. Menurut Dimyati dan Mudjiono (2006:250), ”Hasil belajar merupakan hal yang dapat dipandang dari dua sisi yaitu sisi peserta didik dan dari sisi guru. Dari sisi peserta didik, hasil belajar merupakan tingkat perkembangan mental yang lebih baik bila dibandingkan pada saat sebelum belajar. Menurut Hamalik (2006:30), “ Hasil belajar adalah bila seseorang telah belajar akan terjadi perubahan tingkah laku pada orang tersebut, misalnya dari tidak tahu menjadi tahu, dan dari tidak mengerti menjadi mengerti.” Dari uraian diatas dapat disimpulkan bahwa hasil belajar adalah perubahan yang terjadi pada peserta didik setelah mendapatkan pengetahuan dan informasi baru dari proses belajar melalui pengalaman dan latihan. Persoalan–persoalan yang berkaitan dengan perubahan rata-rata dari suatu peubah yang mempengaruhi peubah-peubah lain yang terkait, tidak dapat hanya dijabarkan dengan aljabar biasa, untuk itu dikembangkanlah suatu konsep yang dapat menjawab persoalan tersebut yang dikenal dengan nama kalkulus diferensial yang salah satu materinya adalah Limit Fungsi. Menurut Simangunsong (2002:2), “ Limit fungsi f(x) adalah suatu nilai yang didekati oleh fungsi F(x) jika x mendekati suatu nilai tertentu”. Misal untuk x mendekati a maka f(x) mendekati L, keadaan ini ditulis sebagai berikut : Lim f ( x) L x a dibaca : limit f(x) = L untuk x mendekati a “ x → a “ dibaca : “ x mendekati a”, mempunyai maksud bahwa nilai x sangat dekat dengan a tetapi tidak sama dengan a. Penentuan nilai limit f(x) dengan menyelidiki seperti contoh memerlukan waktu sangat lama. Karena itu diturunkan teorema-teorema yang dapat digunakan untuk menentukan nilai limit fungsi secara langsung. Teorema tersebut antara lain : (Simangunsong, 2002:9) 1. Untuk sembarang k yang konstan , maka Lim k k x a Lim x x 2. xa 3. Untuk sembarang k maka Lim kx k Lim x kx x a 4. x a Lim f ( x) g ( x) Lim f ( x) Lim g ( x) x a x a 5. xa 6. Jika x a Lim 0 maka Lim x a x a x a f ( x) f ( x) Lim x a g ( x) Lim g ( x) Lim f ( x) Lim f ( x) n 7. x a Lim f ( x).g ( x) Lim f ( x). Lim g ( x) x a x a x a n Berdasarkan toerema diatas maka dapat dirumuskan bahwa untuk menentukan nilai Limit suatu fungsi f(x) untuk x mendekati a, dapat dilakukan dengan cara mensubtitusi nilai x = a ke dalam fungsi f(x). Tetapi kadang kala, penentuan limit f(x) untuk x mendekati a, tidak cukup hanya dengan menggunakan konsep aljabar biasa yaitu mensubtitusi dan operasi bentuk aljabar (jumlah, kurang, kali dan bagi). Karena untuk bentuk – bentuk tertentu yang bila dimasukan nilai x = a ke fungsi f(x) dan 0 diperoleh hasil berupa 0 atau atau (∞ ∞), Bentuk-bentuk ini disebut bentukbentuk yang tidak dapat ditentukan atau dikenal dengan bentuk tak-tentu. Simangunsong (2002:12), menyatakan bahwa untuk soal limit yang diperoleh hasil yaitu berupa bentuk tak-tentu, diperlukan operasi bentuk aljabar lain seperti memfaktorkan, membagi, merasionalkan dan lainnya. Berdasarkan uraian diatas, disimpulkan bahwa Limit Fungsi adalah suatu cara menentukan nilai suatu fungsi f(x) untuk x mendekati suatu nilai tertentu yang dapat dilakukan dengan menyelidiki nilai limit, memahami teorema limit fungsi, mensubtitusi nilai x ke dalam fungsi f(x) dan memyelesaikan bentuk-bentuk tak-tentu dengan operasi bentuk aljabar. Pendidikan Matematika Universitas Muhammadiyah Purworejo, Ruang Seminar UM Purworejo, 28 Mei 2016 557 Maka hasil belajar limit fungsi didefinisikan sebagai perubahan positif yang dialami peserta didik setelah ia mengalami proses belajar dengan hasil yang mencakup pengetahuan mengenai definisi Limit fungsi, menentukan nilai limit dengan menyelidiki, memahami teorema-teorema limit fungsi dan menyelesaikan bentuk tak-tentu dengan aljabar. Penguasaan Konsep Operasi bentuk Aljabar Untuk meningkatkan kemampuan memecahkan masalah perlu dikembangkan keterampilan memahami masalah, membuat model matematika, menyelesaikan masalah dan menafsirkan solusinya. Dalam setiap kesempatan, pembelajaran matematika hendaknya dimulai dengan pengenalan masalah yang sesuai dengan situasi (Contextual problem), dengan mengajukan masalah konseptual, peserta didik secara bertahap dibimbing untuk menguasai konsep matematika . Menurut M. Sumantri yang dikutip oleh Sudjana (2005:67), “Konsep adalah tatanan proses yang tersusun secara apik berdasarkan pada pola berpikir yang telah ditetapkan.” Pentingnya penguasaan konsep dari setiap materi pelajaran akan mendorong dan memotivasi peserta didik untuk mengembangkan kemampuan berpikirnya. Proses atau cara yang merupakan bentuk penguasaan pelajaran harus didasari oleh konsep yang jelas dan matang. Purwanto (2004:67) menyatakan bahwa dalam memahami suatu persoalan yang berkaitan dengan pelajaran hendaknya didasari oleh konsep yang jelas sebagai landasan dalam berpikir. Terutama untuk materi pelajaran matematika, yang memiliki landasan konsep yang jelas dan terarah, maka untuk mempelajarinya harus benar–benar menguasai konsep yang ditujukan untuk mempermudah peserta didik dalam 558 mengerjakan soal-soal yang berhubungan dengan materi yang dipelajari dan disiplin ilmu lain yang merupakan penerapan dari matematika. Penguasaan konsep diartikan sebagai pemahaman atau kesanggupan peserta didik dalam menguasai materi atau pengetahuan yang sedang dipelajari, dan mampu mengaplikasikannya dalam menyelesaikan soal-soal yang diberikan, baik berhubungan dengan materi yang dipelajari maupun terapannya. Pada materi Aljabar, penguasaan konsep peserta didik sangat diperlukan untuk mempermudah menyelesaikan soal yang ditanyakan, Menurut Tampomas (2006:100), “Aljabar adalah suatu bentuk matematika yang dapat mempermudah masalah-masalah yang sangat sulit dengan menggunakan huruf - huruf”. Pada Aljabar dikenal simbol-simbol abjad seperti a, b, c, x, y, dan sebagainya sebagai pengganti bilangan seperti : x + y, ab, c - d, dan x:a. Dalam perkembangan selanjutnya aljabar tidak hanya menggunakan abjad sebagai lambang bilangan yang diketahui atau yang belum diketahui, tetapi juga menggunakan lambinglambang lain, seperti titik-titik ( contoh : 3 + … = 5 ), lebih besar ( > ), Lebih kecil (<) dan sebagainya. Dalam matematika bilangan-bilangan seperti 2x2y, -10x, dan sebagainya disebut bentuk aljabar, Menurut Tampomas (2006:101), “ Bentuk aljabar adalah suatu konstanta, suatu peubah atau suatu bentuk yang melibatkan konstanta dan peubah disertai sejumlah berhingga operasi aljabar”. Pada aljabar terdapat berbagai bentuk suku ada suku tunggal (hanya terdiri dari satu suku) 3a dan p2 ada yang terdiri dari 4 suku seperti 4a2 + 2a + 3a + 5. Pada bentuk 3a = 3 x a, 3 disebut faktor perkalian. Faktor perkalian yang berupa konstanta disebut koefisien.. Contoh pada bentuk 3a, 3 disebut koefisien dan a disebut variabel atau Prosiding Seminar Nasional Matematika dan Pendidikan Matematika, “Internalisasi Nilainilai Berpikir Matematis Dalam Perannya di Era Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA)” peubah. Pada bentuk aljabar 4a2 + 2a + 3a + 5, terdapat suku-suku sejenis, yaitu 2a dan 3a. Suku-suku sejenis pada bentuk aljabar hanya berbeda pada koefisiennya, sedangkan variablenya sama. Sehingga 4a2 dan 2a bukan suku sejenis, karena variabel a2 ≠ a. Aljabar merupakan cabang matematika yang memuat perhitungan dengan simbol-simbol abjad sebagai pengganti terhadap angka aritmetika dengan segala bentuk operasinya. Pada awalnya operasi hitung hanya dilakukan pada angka aritmetika dan bilangan, dalam perkembangan selanjutnya penggunaan bilangan dapat diganti dengan simbolsimbol abjad. Penggunaan abjad dalam aritmetika inilah yang kemudian dikenal dengan Aljabar, sedangkan operasi hitungnya disebut dengan Operasi Bentuk Aljabar. Operasi hitung bentuk aljabar mencakup penjumlahan, pengurangan, perkalian, pembagian dan pemfaktoran serta merasionalkan bentuk aljabar. Memfaktorkan dalam bentuk aljabar berarti mengubah bentuk penjumlahan suku-suku menjadi bentuk perkalian. Jadi penguasaan konsep operasi bentuk aljabar adalah pemahaman atau kesanggupan peserta didik dalam menguasai materi operasi bentuk aljabar meliputi operasi penjumlahan aljabar, pengurangan aljabar, perkalian aljabar, pembagian dan faktorisasi aljabar serta merasionalkan. Tingkat penguasaan konsep dari operasi bentuk aljabar dilihat berdasarkan kemampuan peserta didik dalam menyelesaikan soal-soal mengenai operasi bentuk aljabar serta terapannya salah satunya adalah Limit Fungsi. Efikasi Diri Efikasi berhubungan dengan keyakinan seseorang dalam menyelesaikan tugasnya. Seseorang bisa menyelesaikan tugas dalam proses belajarnya apabila dirinya memiliki keyakinan untuk bisa menyelesaikan tugas tersebut. Efikasi diri sangat penting bagi seseorang untuk mencapai keberhasilan. Kita hanya akan sukses mengerjakan suatu pekerjaan apabila mempunyai keyakinan mampu untuk menyelesaikan tugas atau pekerjaan yang menjadi tanggung jawab kita. Kreitner (2003: 169) menyatakan bahwa self-efficacy adalah keyakinan seseorang mengenai peluangnya untuk berhasil mencapai tugas tertentu. Seseorang dengan efikasi dirinya akan merasa yakin mampu menyelesaikan tugas dalam situasi apapun. Dipertegas dengan pendapat Yorra (2014: 1) , “Self-efficacy is an individual's belief in their ability to perform well in a variety of situations". Yang bila diartikan dalam bahasa Indonesia, efikasi diri adalah keyakinan individu akan kemampuan mereka untuk melakukan sesuatu dengan baik dalam berbagai situasi. Sependapat dengan Yorra, Wibowo (2013: 31) mengatakan self efficacy atau efikasi diri berkenaan pada keyakinan orang bahwa mereka dapat berhasil menyelesaikan tugas. Mereka yang mempunyai efikasi diri tinggi mempunyai sikap ‟saya dapat menyelesaikan tugas‟. Baron & Greenberg dalam Nurhasnah (2006: 16) mendefinisikan efikasi diri sebagai evaluasi seseorang mengenai kemampuan atau kompetensi dirinya untuk melakukan suatu tugas, mencapai tujuan atau mengatasi hambatan. Bandura dalam Ferridiyanto (2012: 5) menjelaskan “Perceived self efficacy refers to beliefs in one’s capabilities to organize and execute the course of action required to produce given attainments”. Self efficacy atau Pendidikan Matematika Universitas Muhammadiyah Purworejo, Ruang Seminar UM Purworejo, 28 Mei 2016 559 efikasi diri merupakan persepsi individu akan keyakinan kemampuannya melakukan tindakan yang diharapkan. Keyakinan efikasi diri mempengaruhi pilhan tindakan yang akan dilakukan, besarnya usaha dan ketahanan ketika berhadapan dengan hambatan atau kesulitan. Individu dengan efikasi diri tinggi memilih melakukan usaha lebih besar dan pantang menyerah. Sesuai dengan pendapat Schunk dalam Nurhasnah (2006: 15) mengatakan bahwa orang yang memiliki efikasi diri yang tinggi memilih untuk mengerjakan tugas- tugas yang lebih menantang, sedangkan orang dengan efikasi rendah cenderung menghindarinya. Ferridiyanto (2012: 5) menyatakan bahwa efikasi diri merupakan persepsi individu akan keyakinan kemampuannya melakukan tindakan yang diharapkan. Keyakinan efikasi diri mempengaruhi pilihan tindakan yang akan dilakukan, besarnya usaha dan ketahanan ketika berhadapan dengan hambatan atau kesulitan. Individu dengan efikasi diri tinggi memilih melakukan usaha lebih besar dan pantang menyerah. Schermerhorn dalam Wibowo (2013: 160) mendefinisikan efikasi diri sebagai keyakinan orang bahwa ia mempunyai kemampuan melakukan suatu tugas, dan merupakan bagian penting dari kontrol diri. Zimmerman dalam Harahap (2008: 44 ) mengungkapkan bahwa Peserta didik yang rendah tingkat efikasinya akan memilih tugas yang lebih mudah dan menghindar dari tugas secara keseluruhan serta berupaya untuk tidak bekerja dan peserta didik seperti ini lebih mudah menyerah. Hal ini menandakan bahwa peserta didik yang efikasi-diri rendah mudah putus asa, tidak suka menghadapi kesulitan dalam belajar, pesimis dengan pencapaian tujuan yang mengakibatkan motivasi untuk belajar kurang sehingga prestasi yang dicapai tidak memuaskan dan bahkan buruk. 560 Menurut Schermerhorn dalam Wibowo (2013: 162) ada empat cara untuk membangun atau meningkatkan efikasi diri, yaitu : (1) Enactive mastery atau penguasaan tetap yaitu mendapat kepercayaan melalui pengalaman yang positif. (2) Vicarious modeling atau contoh yang dilakukan oleh orang lain yaitu mendapatkan kepercayaan dengan mengamati orang lain yang melakukan tugas tersebut. (3) Verbal persuation atau bujukan verbal yaitu mendapatkan kepercayaan seseorang yang memberi tahu kita atau mendorong kita bahwa kita dapat menjalankan tugas tersebut. (4) Emotional arousal atau kemunculan yaitu mendapatkan kepercayaan ketika kita sangat di dorong atau di beri semangat untuk berkinerja baik dalam situasi. Orang dengan efikasi diri tinggi berkeyakinan bahwa mereka mempunyai kemampuan yang diperlukan untuk melakukan perkerjaan tertentu, bahwa mereka sanggup melakukan pekerjaan tertentu, bahwa mereka sanggup melakukan usaha yang diperlukan dan tidak ada kejadian diluar akan menghalangi mereka mencapai tingkat kinerja yang diharapkan. Sebaliknya, orang dengan efikasi diri rendah berkeyakinan bahwa betapa keras mereka berusaha, mereka tidak dapat mengelola lingkungan mereka dengan cukup baik untuk berhasil. Berdasarkan berbagai pendapat di atas, dapat disimpulkan bahwa efikasi diri adalah keyakinan pada kemampuan diri sendiri untuk menghadapi masalah dan memecahkan masalah dengan efektif, serta meyakini diri mampu berhasil dan sukses mengerjakan suatu pekerjaan. Orang dengan efikasi diri tinggi akan berpikir bahwa apapun tugas yang akan diterimanya, ia pasti akan mampu menyelesaikannya dengan baik. Prosiding Seminar Nasional Matematika dan Pendidikan Matematika, “Internalisasi Nilainilai Berpikir Matematis Dalam Perannya di Era Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA)” Dengan bermodal keyakinan inilah yang menjadi dasar berpikir positif untuk melakukan sesuatu. 3. METODE PENELITIAN Penelitian ini dilaksanakan pada peserta didik kelas XI SMA Swasta di Cilandak. Penelitian ini merupakan penelitian kuantitatif dengan menggunakan metode survey. Variabel bebas dalam penelitian ini adalah penguasaan konsep operasi bentuk aljabar dan efikasi diri, sedangkan variabel terikatnya adalah hasil belajar limit fungsi. Metode pengumpulan data dilakukan dengan memberikan soal tes berbentuk pilihan ganda berjumlah 30 soal untuk variabel penguasaan konsep aljabar dan hasil belajar limit fungsi serta angket berjumlah 40 untuk variabel efikasi diri. Teknik analisis statistik yang digunakan adalah regresi ganda dan korelasi ganda dengan desain penelitian pada gambar 1. Efikasi Diri Terhadap Belajar Limit Fungsi Hasil 2 : Pengaruh Penguasaan Konsep Operasi Bentuk Aljabar Terhadap Hasil Belajar Limit Fungsi 3 : Pengaruh Efikasi Diri Terhadap Hasil Belajar Limit Fungsi Populasi dalam penelitian ini adalah seluruh peserta didik kelas XI SMA Kemala Bhayangkari, Cilandak. Cara pengambilan sampel atau teknik sampling dilakukan dengan teknik random sampling, jumlah sampel yang diambil sebanyak 40 peserta didik yang akan diambil secara random. 4. HASIL PENELITIAN PEMBAHASAN Hasil Penelitian DAN 1. Analisis Statistik Deskriptif Untuk memperoleh data statistik deskriptif dari setiap variabel maka dilakukan perhitungan dengan menggunakan komputerisasi melalui program micosoft excel. Berikut iniadalah rangkuman hasil perhitunganna: Data hasil belajar limit fungsi memiliki nilai rata-rata = 78,375, median= 79, modus = 78,67, varians = 62,035, dan simpangan baku 7,88. Gambar 1. Desain Penelitian X1 : Penguasaan konsep operasi bentuk aljabar X2 : Efikasi Diri Y : Hasil Belajar Limit Fungsi 1 : Pengaruh Penguasaan Konsep Operasi Bentuk Aljabar dan Data penguasaan konsep operasi bentuk aljabar memiliki nilai rata-rata = 76,375, median= 77,5, modus = 81,72, varians = 205,93, dan simpangan baku 14,35. Data efikasi diri memiliki nilai rata-rata = 93,025, median= 93,57, modus = 93,5, varians = 144,18, dan simpangan baku 10,69. Pendidikan Matematika Universitas Muhammadiyah Purworejo, Ruang Seminar UM Purworejo, 28 Mei 2016 561 Dari uraian diatas dapat disimpulkanbahawa ketigadata tergolong baik untuk dijadikan sebagai data penelitian. Hasil analisis dan pengujian normalitas dengan teknik uji chi kuadrat, pengujian ini dilakukan secara komputerisasi melalui program Microsoft Excel, hasil dapat dilihat pada tabel 2. Uji Persyaratan Analisis Data a. Uji Normalitas Tabel 1. Hasil Pengujian Normalitas No Kelompok Data Harga χ2h Harga χ2t Kesimpulan 1. Instrument operasi bentuk aljabar 10,476 11,070 berdistribusi normal 2. Instrument limit fungsi 3,440 11,070 Berdistribusi normal 3. Efikasi Diri 9,298 11,070 Berdistribusi normal b. Uji Linieritas Analisis dan pengujian Linieritas dilakukan secara komputeisasi menggunakan Microsoft excel dan diperoleh hasil yang dapat dilihat pada tabel 2. Tabel 2. Hasil Pengujian Linieritaas No Kelompok Data Harga Fh Harga Ft Kesimpulan 1. Uji linier penguasaan konsep operasi bentuk aljabar terhadap hasil belajar limit fungsi 0,40 2,2538 Data Linier 2. Uji linier Efikasi diri terhadap hasil belajar limit fungsi 0,39 2,2538 Data Linier signifikan antara penguasaan konsep operasi bentuk aljabar (X1) terhadap hasil belajar limit fungsi (Y) 3. Pengujian Analisis Hipotesis Penelitian a. Korelasi Ganda 1) Korelasi Y atas X1 Hipotesis yang diuji : H0 562 : Tidak hubungan terdapat yang H1 : Terdapat hubungan yang signifikan antara Prosiding Seminar Nasional Matematika dan Pendidikan Matematika, “Internalisasi Nilainilai Berpikir Matematis Dalam Perannya di Era Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA)” penguasaan konsep operasi bentuk aljabar (X1) terhadap hasil belajar limit fungsi (Y) menerima H1 , dengan demikian disimpulkan terdapat hubungan yang signifikan antara efikasi diri (X2) terhadap hasil belajar limit fungsi (Y). Koefisien korelasi antara penguasaan konsep operasi bentuk aljabar (X1) terhadap hasil belajar limit fungsi (Y) sebesar 0,543 tergolong agak rendah. Kontribusi penguasaan konsep operasi bentuk aljabar terhadap hasil belajar limit fungsi sebesar 29,48% sedangkan 70,52% ditentukan oleh faktor (variabel) lain. Pengujian hipotesis korelasi sederhana antara X1 dan Y dilakukan denan uji-t dan diperoleh nilai thitung = 3,99. 3) Korelasi X1 dan X2 Dari perhitungan ang dilakukan diperoleh koefisien korelasi dari X1 dan X2 sebesar 0,443. Harga ttabel pada α = 0,05 dan dk = 40-2 = 38 untuk uji dua pihak ttabel adalah 2,021. Karena thitung > ttabel = 3,99 > 2,021 maka pengujian hipotesis menolak H0 dan menerima H1 , dengan demikian disimpulkan terdapat hubungan penguasaan konsep operasi bentuk aljabar (X1) terhadap hasil belajar limit fungsi (Y) 2) Korelasi Y atas X2 Hipotesis yang uji : H0 : Tidak terdapat hubungan yang signifikan antara efikasi diri (X2) terhadap hasil belajar limit fungsi (Y) H1 : Terdapat hubungan yang signifikan antara efikasi diri (X2) terhadap hasil belajar limit fungsi (Y) Koefisien korelasi antara efikasi diri (X2) terhadap hasil belajar limit fungsi (Y) sebesar 0,4745 tergolong agak rendah. Kontribusi efikasi diri terhadap hasil belajar limit fungsi sebesar 22,52% sedangkan 77,48% ditentukan oleh faktor (variabel) lain. Harga ttabel pada α = 0,05 dan dk = 40-2 = 38 untuk uji dua pihak ttabel adalah 2,021. Karena thitung > ttabel = 3,32 > 2,021 maka pengujian hipotesis menolak H0 dan 4) Korelasi ganda antara variabel X1 dan X2 secara bersama-sama dengan variabel Y. Hipotesis yang diuji : H0 : Tidak terdapat hubungan yang signifikan antara penguasaan konsep operasi bentuk aljabar (X1) dan efikasi diri (X2) secara bersama-sama terhadap hasil belajar limit fungsi (Y) H1 : Terdapat hubungan yang signifikan antara penguasaan konsep operasi bentuk aljabar (X1) dan efikasi diri (X2) secara bersama-sama terhadap hasil belajar limit fungsi (Y) Koefisien korelasi ganda antara penguasaan konsep operasi bentuk aljabar (X1) dan efikasi diri (X2) terhadap hasil belajar limit fungsi (Y) sebesar 0,602 tergolong cukup. Kontribusi variabel X1 dan X2 secara bersama-sama terhadap Y hanya sebesar 36,3% sedangkan 63,7 ditentukan oleh faktor lain. Harga Ftabel pada α = 0,05 ; dkpembilang = k = 2 ; dkpenyebut = n-k-1 = 40-2-1= 37 adalah 3,25 Karena Fhitung > Ftabel = 17,48 > 3,25 maka pengujian hipotesis menolak H0 dan menerima H1 , dengan demikian disimpulkan bahwa terdapat hubungan yang signifikan antara penguasaan konsep operasi bentuk aljabar (X1) dan efikasi diri (X2) secara Pendidikan Matematika Universitas Muhammadiyah Purworejo, Ruang Seminar UM Purworejo, 28 Mei 2016 563 bersama-sama terhadap hasil belajar limit fungsi (Y) b. Regresi Ganda Berdasarkan perhitungan diperoleh persamaan umum regresi ganda adalah Hipotesis yang diuji : H0 : β1 = β2 = 0 H1 : bukan H0 Karena Fhitung > Ftabel = 10,54 > 3.25 , maka H0 ditolak dan disimpulkan terdapat pengaruh yang signifikan penguasaan konsep operasi bentuk aljabar dan efikasi diri terhadap hasil belajar limit fungsi. 1) Menguji keberartian regresi b1 Hipotesis yang diuji : koefisien H0 : β1 = 0 H1 : β1 ≠ 0 Dari hasil perhitungan diatas diperoleh thitung > ttabel = 2,819 > 2,02, artinya H0 ditolak maka dapat disimpulkan terdapat pengaruh yang signifikan penguasaan konsep operasi bentuk aljabar terhadap hasil belajar limit fungsi. 2) Menguji keberartian regresi b2 Hipotesis yang diuji : koefisien H0 : β2 = 0 H1 : β2 ≠ 0 Dari hasil perhitungan diatas diperoleh thitung > ttabel = 2,052 > 2,02, artinya H0 ditolak maka dapat disimpulkan terdapat pengaruh yang signifikan efikasi diri terhadap hasil belajar limit fungsi. 564 Pembahasan Dari hasil penelitian terlihat Fhitung > Ftabel (10,54 > 3.25) maka dapat disimpulkan bahwa H0 ditolak dan H1 diterima dengan taraf signifikansi 5%. Hal ini berarti bahwa pengaruh penguasaan konsep operasi bentuk aljabar dan efikasi diri secara bersama-sama berpengaruh terhadap hasil belajar limit fungsi. Dimana peserta didik yang mempunyai penguasaan konsep operasi bentuk aljabar dan efikasi diri yang tinggi mempunyai hasil belajar limit fungsi yang tinggi pula. Hasil belajar limit fungsi pada umumna akan baik jika peserta didik memiliki kemampuan untuk menganalisa soal dengan baik, peserta didik memahami kapan harus mensubtitusi nilai x kedalam fungsi, kapan harus merasionalkan, memfaktorkan, bahkan menggunakan diferensial dalam dalil Hospital. Peserta didik yang telah mampu menganalisa soal juga harus menguasai operasi aljabar, karena walau ia mampu menganalisa soal tetapi tidak menguasai konsep aljabar, maka ia tetap tidak bisa menyelesaikan soal limit fungsi. Selain menguasai konsep aljabar, peserta didik juga harus memiliki rasa efikasi diri, Efikasi diri diperlukan dalam kehidupan sehari-hari terutama untuk mencapai keberhasilan dalam proses belajar mengajar. Sesuai dengan teori Wibowo (2013: 32) yang menyatakan bahwa efikasi diri sangat penting bagi seseorang untuk mencapai keberhasilan. Dan di perkuat oleh penelitian yang dilakukan oleh Apsari (2014: 98) mengatakan bahwa semakin tinggi efikasi diri yang dimiliki oleh peserta didik akan semakin tinggi pula prestasi belajar. Dengan efikasi diri peserta didik dapat merencanakan tindakan, merespon dengan aktif proses pembelajaran dikelas, serta mampu memberikan solusi dalam suatu proses pemecahan masalah karena didasari dengan sikap yang tidak mudah menyerah. Prosiding Seminar Nasional Matematika dan Pendidikan Matematika, “Internalisasi Nilainilai Berpikir Matematis Dalam Perannya di Era Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA)” Peserta didik yang memiliki konsep aljabar yang baik disertai memiliki efikasi diri yang tinggi akan memiliki hasil belajar limit fungsi yang tinggi pula, hal ini dikarenakan peserta didik tahu bagaimana harus menyelesaikan soal limit fungsi dan ia juga merasa yakin pada kemampuan dirinya bahwa ia dapat menyelesaikan soal limit fungsi dengan benar, tentunya karena peserta didik memiliki efikasi diri yang tinggi, lain halnya jika peserta didik menguasai konsep aljabar yang baik, tetapi ia tidak memiliki efikasi diri, maka ia akan ragu untuk mengerjakan soal limit fungsi, sehingga ia akan kehilangan konsentrasi dalam pengerjaan soal limit fungsi. Sebanding dengan itu seseorang yang tidak menguasai konsep aljabar walaupun memiliki efikasi diri yang tinggi juga akan sulit mengerjakan soal limit fungsi karena ia merasa yakin bahwa ia mampu mengerjakan soal, tetapi pada kenyataanya ia tidak bisa mengerjakan soal limit fungsi karena ia tidak tahu konsep aljabar mana yang harus digunakan, mensubtitusi, merasional atau memfaktorkan. Ketidaktahuan ini akan menyebabkan peserta didik tidak mampu menyelesaikan soal limit fungsi, walaupun ia memiliki efikasi diri yang tinggi. Hal inilah yang menyebabkan pengaruh penguasaan konsep aljabar terhadap hasil belajar limit fungsi tergolong rendah, begitu pula pengaruh efikasi diri terhadap hasil belajar limit fungsi. Kedua variabel bebas ini masing-masing memberi kontribusi yang tidak terlalu besar, tetpai jika penguasaan konsep operasi bentuk aljabar dan efikasi diri secara bersama-sama akan memberi pengaruh yang lebih tinggi untuk hasil belajar limit fungsi. 5. KESIMPULAN Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan, maka dapat disimpulkan: 1. Terdapat pengaruh antara penguasaan konsep operasi bentuk aljabar dan efikasi diri terhadap hasil belajar limit fungsi. 2. Terdapat pengaruh penguasaan konsep operasi bentuk aljabar terhadap hasil belajar limit fungsi. 3. Terdapat pengaruh efikasi diri terhadap hasil belajar limit fungsi. 6. REFERENSI Apsari, Bekti Susilo.Dkk. 2014. Pengaruh Efikasi Diri, Pemanfaatan Gaya Belajar dan Lingkungan Teman Sebaya terhadap Prestasi Belajar Akuntansi (Studi Kasus di SMK Negeri 1 Surakarta). Jurnal Pendidikan UNS, Vol. 3, No. 1 Dimyati dan Mudjiono. 2006. Belajar dan Pembelajaran. Jakarta: Rineka Cipta Djamarah, Syaiful Bahri. 2002. Psikologi Belajar. Jakarta : Rineka Cipta. Ferridiyanto, Eko. 2012. Pengaruh Efikasi Diri (Self Efficacy) dan Prestasi Belajar Kewirausahaan Terhadap Motivasi Bertechnopreneurship Siswa Jurusan Teknik Instalasi Tenaga Listrik SMK 1 Sedayu. Jurnal tugas akhir skripsi. http://eprints.uny.ac.id/8861/1/J URNAL.pdf . diakses tanggal 29 November 2014 pukul 11.32 Hamalik, Oemar. 2006. Proses Belajar Mengajar. Bandung : Tarsito. Harahap, Dakkal. 2008. Analisis Hubungan Antara Efikasi Diri Siswa Dengan Hasil Belajar Kimianya. Jurnal Pendidikan Kimia. http://digilib.unimed.ac.id/publi c/UNIMED-Article-23795Dakkal-UMTS.pdf diakses Pendidikan Matematika Universitas Muhammadiyah Purworejo, Ruang Seminar UM Purworejo, 28 Mei 2016 565 tanggal 11 Desember 2014 pukul 07.21 Kreitner, Robert dan Angelo Kinicki. 2003. Perilaku Organisasi. Jakarta: Salemba Empat Nurhasnah. 2006. Hubungan Efikasi Diri dan Indeks Prestasi Keberhasilan Belajar. Jurnal Publikasi Ilmiah Pusdiklat Migas Vol. 13 No. 3. http://www.pusdiklatmigas.com/o ld/modules/Publikasi_Ilmiah/3.pd f diakses tanggal 11 Desember 2014 pukul 07.25 Purwanto, Ngalim. 2004. Prinsipprinsip dan Teknik Evaluasi pengajaran. Bandung : Remaja Rosdakarya. Simangunsang, Wilson. 2002. Matematika Kelas 2 SMU Program Pemantapan Kemampuan Siswa. Jakarta : Gematama. Sudjana, Nana. 2005. Penilaian Hasil Proses Belajar Mengajar. Bandung: Remaja Rosdakarya. Tampomas, Husein. 2006. Matematika Plus 1A. Jakarta : Yudhistira. Wibowo. 2013. Organisasi. Press Perilaku Dalam Jakarta: Rajawali Yorra, Mark. L. 2014. Self-efficacy and self-esteem in third-year pharmacy students. American Journal of Pharmaceutical Education. http://www.ajpe.org/. diakses tgl 29 November 2014 pukul 12.12 566 Prosiding Seminar Nasional Matematika dan Pendidikan Matematika, “Internalisasi Nilainilai Berpikir Matematis Dalam Perannya di Era Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA)” PENGARUH PEMAHAMAN KONSEP MATEMATIKA DAN KONSEP DIRI TERHADAP SIKAP WIRAUSAHA SISWA Yogi Wiratomo1) Arif Rahman Hakim2) FT MIPA, Universitas Indraprasta PGRI Jakarta email: [email protected] 2 FT MIPA, Universitas Indraprasta PGRI Jakarta email: [email protected] 1 Abstrak Dalam menyambut Masyarakat Ekonomi Asia (MEA) maka diperlukan pengajaran yang berorientasi kepada pengembangan sikap wirausaha siswa, tujuan dari penelitian adalah untuk mengetahui pengaruh pemahaman konsep matematika dan konsep diri terhadap sikap wirausaha siswa. Metode penelitian yang digunakan adalah survey. Sampel penelitian berjumlah 100 siswa yang berasal dari tiga sekolah yaitu kelas XII SMA Tunas Jakasampurna, SMA Martia Bhakti dan SMA Putra Harapan dikecamatan Bekasi Selatan. Pengumpulan data dilakukan dengan wawancara, pemberian kuesioner dan dengan melaksanakan tes pemahaman konsep matematika. Analisa data dilakukan melalui statistik deskriptif, koefisienkorelsi ganda Pearson, koefisien determinasi dan analisis regresi. Uji statistik yang digunakan adalah uji-t dan uji-F. Penelitian dilaksanakan pada bulan Agustus – September 2013. Hasil penelitian menunjukkan ada pengaruh pemahaman konsep matematika dan konsep diri terhadap sikap wirausaha siswa kelas XII SMA di Kecamatan Bekasi Selatan. Kata Kunci: Pemahaman Konsep Matematika, Konsep Diri, Wirausaha 1. PENDAHULUAN Pendidikan adalah suatu cerminan kemajuan bangsa di tangan pendidikanlah kemajuan atau kemerosotan suatu bangsa ditentukan. Dengan bergulirnya Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA) maka perlu adanya peningkatan pendidikan yang terintegritas sehingga pendidikan dapat bermakna pada kemajuan bangsa. Namun, saat ini perkembangan pendidikan yang ada belum banyak berkontribusi pada perkembangan bangsa sehingga perlu adanya standar kualitas atau mutu yang berfokus pada kebutuhan pelajar. Masalah pengangguran di Indonesia cukup kritis dengan angka pengangguran terbuka yang cukup tinggi dengan mencapai 8.319.779 jiwa pada Agustus 2010 (sumber : http://pusdatinaker.balitfo.depnakertrans.go .id), angka pengangguran ini juga berpeluang meningkat seiring dengan penambahan jumlah kelulusan tingkat SMA tahun ajaran 2009/2010 sejumlah 1.691.018 jiwa dan perguruan tinggi tahun akademik 2009/2010 sejumlah 655.012 jiwa (sumber : http://www.psp.kemdiknas.go.id/uploads/St atistik%20Pendidikan/0910/index_pt(1)_09 10.pdf; http://www.psp.kemdiknas.go.id/uploads/St atistik%20Pendidikan/0910/index_sma_091 0.pdf). Dan ironisnya kebanyakan lulusan sekolah menengah atas dan perguruan tinggi di Indonesia bertujuan untuk mencari pekerjaan, bukan untuk menciptakan peluang kerja.Andaikan lulusan yang baru dan lama memiliki wawasan dan sikap wirausaha, maka masalah pengangguran akan sedikit teratasi. Dengan asumsi 20 % saja dari total lulusan atau pengangguran yang ada, dan bila satu orang mampu menyerap dua atau tiga orang lulusan sekolah menengah atau perguruan tinggi. Maka dari 2 juta pengangguran yang tidak terserap oleh pasar tenaga kerja saat ini Pendidikan Matematika Universitas Muhammadiyah Purworejo, Ruang Seminar UM Purworejo, 28 Mei 2016 567 akan terserap 60% nya dari lulusan yang mampu menciptakan peluang kerja tersebut. 2. KAJIAN LITERATUR A. Pengertian Pemahaman Matematika Konsep Matematika termasuk salah satu pengetahuan dasar yang merupakan cara atau metode berpikir dan nalar. Matematika tidak diketahui secara kongkrit apa yang menjadi objeknya, objek matematika bersifat abstrak. Yang dapat diketahui matematika berkaitan dengan simbol – simbol dan yang tersirat didalamnya, itulah yang menjadi objek matematika yang tidak dapat diketahui dengan mudah, namun eksistensinya diakui keberadaannya. Menurut Ruseffendi (1980: 154) objek langsung dari pengajaran matematika berupa konsep, prinsip dan keterampilan. Johnson dan Rising dalam Karso (1994 : 37) menyatakan bahwa : ”Matematika adalah pola berfikir, pola mengorganisasikan dengan pembuktian yang logis, matematika itu bahasa yang menggunakan istilah yang didefinisikan dengan cermat, jelas dan akurat, referensinya dengan simbol dan padat.” mengacu pada pengertian tersebut, hasil belajar matematika dapat dinyatakan melalui kemampuan menggunakan rumus, teorema atau dalil dalam menyelesaikan masalah. Semakin terampil seseorang menggunakan dan mengaplikasikan konsep, rumus atau dalil akan semakin tinggi pula hasil belajar yang akan dicapai. Ohlson (1987 : 319) menyampaikan bahwa dengan memahami konsep dan prinsip matematika menjadi lebih mudah. Dengan mengacu pada pernyataan tersebut, 568 dapat disimpulkan pula bahwa pemahaman konsep matematika dapat diukur dari kemampuan peserta didik memahami konsep matematika dan kemampuan menerapkan konsep tersebut dalam menyelesaikan masalah. Pemahaman konsep matematika berkaitan erat dengan proses belajar yang dialami peserta didik. semakin baik proses belajar yang diikuti akan semakin baik pula pemahaman konsep matematika yang dapat dicapai, Dalam hal ini peserta didik dengan penguasaan konsep matematika tinggi mampu membangun pengetahuan tentang matematika, terampil dalam memahami masalah, menyusun konsep matematika sesuai masalah yang dihadapi serta mampu mengembangkan aspek bakat dan kemampuan peserta didik didunia nyata seperti memiliki sikap wirausaha sebagai aplikasi dari penerapan beberapa konsep matematika.tetapi juga bukti-bukti empiris. B. Pengertian Konsep Diri Konsep diri berperan sebagai penentu arah dalam bertindak. Siswa dengan konsep diri yang positif cenderung bertindak lebih positif dalam belajar, tugas yang diberikan guru akan diselesaikan dengan penuh tanggung jawab dan hambatan belajar ia jadikan sebagai tantangan dan mampu semangat belajarnya. Beberapa faktor yang mempengaruhi konsep diri diantaranya adalah 1) cita-cita 2) citra diri dan 3) harga diri (Gunawan, 2007;22). Cita-cita yang dibangun siswa merupakan tujuan hidup yang ingin dicapai, untuk dapat meraih cita-cita siswa harus mampu menempatkan diri sesui dengan karakteristik dari cita-cita yang diharapkan. Siswa dengan cita-cita menjadi dokter akan Prosiding Seminar Nasional Matematika dan Pendidikan Matematika, “Internalisasi Nilainilai Berpikir Matematis Dalam Perannya di Era Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA)” menyesuaikan konsep dirinya dengan profesi seorang dokter. sesuai Konsep diri merupakan kemampuan melihat diri sendiri dengan segala kekurangan dan kelebihannya (Alo Liliweri,2006;34). Untuk mampu mengukur seberapa jauh kesanggupan dan kemampuan meraih cita-cita, setiap individu harus mampu melihat dan mengukur potensinya. Kondisi yang ada dan dimiliki akan memberi arah bagi sesesorang untuk mempersepsi diri dan selanjutnya membangun konsep diri sesuai dengan pemahaman atas potensi yang dimiliki. Untuk dapat sukses dalam menjalani kehidupan dibutuhkan pengembangan konsep diri ideal (Lama Surya Das, 2004;203). Siswa sebagai peserta didik diharapkan membangun konsep diri idel dan menghindarkan diri dari perilaku yang dapat memupus harga diri. Anggapan diri sebagai siswa yang pintar akan membuka peluang untuk tertib dan bertanggung jawab dalam belajar. Siswa yang menyatakan dirinya sebagai siswa yang malas dan bodoh, maka pada akhirnya ia akan menempatkan dirinya sesuai dengan persepsi yang ia bangun sesuai dengan persepsi yang mendasarinya. Mengacu pada pernyataan ini dapat dijelaskan bahwa konsep diri tidak hanya dibangun oleh siswa secara pribadi, namun konsep diri dipengaruhi langsung oleh lingkungan. Guru, orang tua dan teman sekolah memiliki pengaruh langsung terhadap konsep diri siswa. Gunawan dan Setyono (2007;47) menjelaskan bahwa konsep diri dibangun oleh tiga komponen yang diantaranya a) siapa yang memasang b) intensitas emosi c) repetisi. Dalam hal ini dapat dijelaskan bahwa konsep diri akan terpasang kokoh dalam diri siswa bergantung pada orang yang menanamkan konsep tersebut pada dirinya, sosok yang dapat mempengaruhi penanaman konsep tersebut diantaranya orang tua, guru, kakak, abang, teman, idola, pacar dan berbagai komponen lain yang memiliki akses terhadap siswa. Ainon dan Abdullah (2006;213) menjelaskan bahwa Konsep diri adalah semua ide, pikiran, kepercayaan dan pendirian yang diketahui individu tentang dirinya. Pernyataan ini secara nyata menggambarkan bahwa keberadaan lingkungan memiliki peran penting dalam pengembangan konsep diri. Dengan berpedoman pada teori dan konsepsi yang telah disampaikan di atas jelaslah bahwa usaha pengembangan konsep diri harus dilakukan oleh keinginan pribadi dan didukung oleh lingkungan yang kondusif. Langkah itu perlu perlu diikuti oleh kemampuan mengelola emosi dan mengarahkan setiap perilaku yang sesuai dengan konsep diri yang akan dibangun. Pengembangan konsep diri perlu pula didasari oleh sebuah keinginan untuk berubah secara total sesuai dengan keinginan sendiri disertai kepercayaan dan keyakinan pribadi. C. Pengertian Sikap Wirausaha Menurut Thomas W. Zimmerer (2005:32), Kewirausahaan adalah hasil dari suatu disiplin, proses sistematis penerapan kreatifitas dan inovasi dalam memenuhi kebutuhan dan peluang di pasar. Pada dasarnya kewirausahaan tidak hanya bakat bawaan sejak lahir atau urusan pengalaman lapangan tetapi kewirausahaan merupakan disiplin ilmu yang dapat diajarkan dan dipelajari. Pendidikan Matematika Universitas Muhammadiyah Purworejo, Ruang Seminar UM Purworejo, 28 Mei 2016 569 Beberapa konsep kewirausahaan seolah identik dengan kemampuan para wirausahawan dalam dunia usaha. Padahal, dalam kenyataannya, kewirausahaan tidak selalu identik dengan watak/ciri wirausahawan semata, karena sifat-sifat wirausahawanpun dimiliki oleh seorang yang bukan wirausahawan. Wirausaha mencakup semua aspek pekerjaan, baik karyawan swasta maupun pemerintahan (Soeparman Soemahamidjaja, 1980 dalam M Suparmoko 2007 : 12). Wirausahawan adalah mereka yang melakukan upayaupaya kreatif dan inovatif dengan jalan mengembangkan ide, dan meramu sumber daya untuk menemukan peluang (opportunity) dan perbaikan (preparation) hidup (Prawirokusumo, 2001 : 54) 3. METODE PENELITIAN A. Rancangan Penelitian Kewirausahaan pada hakikatnya adalah sifat, ciri dan watak seseorang yang memiliki kemauan dalam mewujudkan gagasan inovatif kedalam dunia nyata secara kreatif. Inti dari kewirausahaan adalah kemampuan menciptakan sesuatu yang baru dan berbeda. Kreatifitas adalah berfikir sesuatu yang baru, inovasi adalah bertindak melakukan sesuatu yang baru. Gambar variabel Sikap wirausaha adalah suatu sikap atau semangat kemandirian yang terdapat pada seseorang, kemandirian ini menyangkut kemampuannya untuk dapat bertahan dalam setiap keadaan dan mampu mengubah segala sesuatu menjadi peluang yang mendatangkan keuntungan yang universal, yaitu mendapatkan nilai manfaat bagi diri orang tersebut, orang lain maupun lingkungan secara luas, yang dapat diukur melalui indikator inisiatif, melihat dan memanfaatkan peluang, ketekunan, orientasi pada efisiensi, perencanaan yang sistematis, pemecahan masalah, kepercayaan diri, kemampuan persuasif, strategi untuk mempengaruhi dan ketegasan. 570 Penelitian ini menggunakan metode survey dengan random sampling, variabel penelitian terdiri dari variabel pemahaman konsep matematika (X1) dan konsep diri (X2) dengan variabel sikap wirausaha siswa (Y). Untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada gamber di bawah ini : X1 Y X2 Konstalasi hubungan antar B. Subjek Penelitian Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Agustus sampai September 2013 dengan populasi terjangkau adalah peserta didik kelas XII tahun ajaran 2011/2012 SMA Tunas Jakasampurna, SMA Martia Bhakti dan SMA Putra Harapan Bekasi sebanyak 100 orang peserta didik. C. Instrumen Penelitian Dalam penelitian ini pemahaman konsep matematika yang diukur meliputi pokok bahasan : Aljabar aritmatika sosial sederhana, logika matematika, statistik dan peluang dan program linear. Konsep diri yang diukur melalui indikator lingkungan internal, lingkungan eksternal, cita-cita diri, citra diri, harga diri, rasa percaya diri, kemampuan menghadapi kegagalan. Sikap wirausaha diukur melalui indikator inisiatif, melihat dan memanfaatkan peluang, ketekunan, Prosiding Seminar Nasional Matematika dan Pendidikan Matematika, “Internalisasi Nilainilai Berpikir Matematis Dalam Perannya di Era Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA)” orientasi pada efisiensi, perencanaan yang sistematis, pemecahan masalah, kepercayaan diri, kemampuan persuasif, strategi untuk mempengaruhi dan ketegasan. D. Analisis Data Hipotesis penelitian menggunakan teknik regresi dan korelasi sederhana maupun ganda dengan rumusan hipotesis statistik sebagai berikut : Hipotesis pertama Hipotesis kedua Hipotesis ketiga Ho : β y 12=0 Ho : β yl = 0 Ho : β y2 = 0 Hi : β y1 0 Hi : β y 12 0 Hi : β y2 0 Keterangan : β yl = Proporsi pemahaman konsep matematika dengan sikap wirausaha siswa β y2 = Proporsi konsep diri dengan sikap wirausaha siswa β yl2 = Proporsi pemahaman konsep matematika dan konsep diri dengan sikap wirausaha siswa secara bersama-sama. 4. HASIL DAN PEMBAHASAN A. Hasil Penelitian 1. Pemahaman konsep matematika dan konsep diri secara bersama-sama memberikan pengaruh positif dan signifikan terhadap sikap wirausaha siswa, hal ini diperlihatkan dari koefisien korelasi antara pemahaman konsep matematika dan konsep diri secara bersama-sama dengan sikap wirausaha siswa sebesar 0,300 atau ada kontribusi sebesar 30,0%. Persamaan regresi yang terbentuk adalah Y = 67,742 + 0,628 X1 +0,362 X2. Hal ini dapat diartikan bahwa semakin baik pemahaman konsep matematika semakin baik pula sikap wirausaha siswa dan begitu pula semakin baik konsep diri siswa maka semakin baik juga sikap wirausaha siswa. 2. Pengaruh pemahaman konsep matematika terhadap sikap wirausaha siswa dilakukan melalui uji t, dengan hipotesis berikut: Dengan membandingkan antara nilai thitung = 3, 226> ttabel = 1,664 disimpulkan bahwa terdapat pengaruh pemahaman konsep matematika terhadap sikap wirausaha siswa. 3. Pengaruh konsep diri terhadap sikap wirausaha siswa dilakukan melalui uji t, dengan hipotesis berikut: dengan membandingkan antara nilai thitung = 3,747 < ttabel = 1,664 disimpulkan bahwa terdapat pengaruh konsep diri terhadap sikap wirausaha siswa. B. Pembahasan Mengacu pada data hasil penelitian dan didukung oleh analisa statistik untuk penelitian tentang sikap wirausaha siswa (Y), pemahaman konsep matematik (X1) dan konsep diri (X2) disimpulkan bahwa ketiga variabel tersebut memiliki pengaruh positif dan signifikan, antara variabel satu dengan lainnya memiliki keterkaitan yang kuat. Berdasarkan temuan yang ada dapat disimpulkan bahwa sikap wirausaha siswa merupakan variabel yang sangat rentan terhadap perubahan, sikap wirausaha tidak hanya dipengaruhi oleh faktor internal siswa tetapi juga dipengaruhi oleh faktor lingkungan. Usaha mempertahankan sikap wirausaha dan sekaligus meningkatkan sikap wirausaha yang telah dicapai sebelumnya hanya mungkin dilakukan dengan membangun gerakan secara bersama-sama antara faktor internal dan faktor eksternal. Salah satu faktor external yang cukup berperan dalam meningkatkan sikap wirausaha siswa adalah pemahaman konsep matematika dan konsep diri. Pendidikan Matematika Universitas Muhammadiyah Purworejo, Ruang Seminar UM Purworejo, 28 Mei 2016 571 Tabel R Square X1 terhadap Y dan X2 terhadap y Measures of Association Eta R y * x1 R Squared 0,420 0,176 Eta 0,684 Squared 0,467 Measures of Association Eta R y * x2 R Squared 0,456 0,208 Eta 0,749 Squared 0,560 Dalam data hasil penelitian pada tabel dapat disimpulkan bahwa 17,6% sikap wirausaha siswa dipengaruhi oleh pemahaman konsep matematika, selanjutnya 82,4 % lainnya dipengaruhi oleh beragam faktor lainnya. Dengan demikian perlu adanya bimbingan guru dan orang tua agar siswa dapat memahami konsep matematika yang efektif dan efisien serta mampu mendukung pencapaian sikap wirausaha yang baik sehingga siswa dapat memiliki pandangan yang mandiri. Selanjutnya diperoleh pula kesimpulan bahwa 20,8 % sikap wirausaha siswa dipengaruhi oleh konsep diri dan 79,2 % sikap wirausaha siswa juga dipengaruhi oleh beragam faktor lain. Agar peningkatan sikap wirausaha siswa dapat lebih ditingkatkan, dibutuhkan pendekatan yang komprehensif dan terpadu agar siswa dapat memupuk kesadaran dan sikap berwirausaha sehingga melahirkan kemandirian dalam diri siswa, dan kondisi lingkungan belajar yang kurang kondusif mendapatkan penanganan yang baik sehingga pemahaman konsep matematika dapat diterima siswa dengan baik, bahkan perlu pula ada dukungan berkesinambungan 572 dari guru dan orangtua untuk membangun kesadaran akan sikap wirausaha yang baik bagi setiap diri peserta didik dengan cara memberikan konsep diri melalui pelatihan konsep diri, pemberikan tugas kewirausahaan seperti pekan wirausaha siswa, pembuatan dan pengembangan kantin kejujuran yang dikelola oleh siswa. 5. KESIMPULAN Dari hasil penelitian dan pembahasan dapat disimpulkan pemahaman konsep matematika dan konsep diri secara bersamasama memberikan pengaruh terhadap sikap wirausaha siswa, maka semakin baik pemahaman konsep matematika semakin baik pula sikap wirausaha siswa dan begitu pula semakin baik konsep diri siswa maka semakin baik juga sikap wirausaha siswa. Seluruh elemen pendidikan, siswa, orangtua, guru dan pemerintah harus mengupayakan agar peserta didik memiliki sikap yang positif terhadap matematika dan memiliki kemampuan pemahaman konsep matematika yang baik serta memiliki tingkat konsep diri yang baik, sehinga diharapkan dapat meningkatkan sikap wirausaha siswa. Penelitian ini menggunakan 2 variabel bebas yaitu pemahaman konsep matematika dan konsep diri dan satu variabel terikat yaitu sikap wirausaha siswa. Sedangkan untuk mengetahui kemampuan dari sikap wirausaha siswa masih banyak faktor atau variabel yang dapat mempengaruhinya. Maka perlu dilakukan penelitian lebih lanjut yang dapat mengungkapkan seberapa banyak faktor/variabel yang dapat mempengaruhinya. Perlu dicanangkan dalam kurikulum tingkat menengah, lanjutan dan tinggi untuk menetapkan kewirausahaan sebagai materi pelajaran dan materi kuliah yang berdiri sendiri maupun terintegrasi dengan mata pelajaran lain. Prosiding Seminar Nasional Matematika dan Pendidikan Matematika, “Internalisasi Nilainilai Berpikir Matematis Dalam Perannya di Era Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA)” 6. REFERENSI E.T. Ruseffendi. 1980. Pengajaran Matematika Modern Untuk Orang Tua, Guru dan SPG. Bandung : Tarsito. Karso. 1994. Dasar – Dasar Pendidikan MIPA, Jakarta : Universitas Terbuka. Lewis, Mike, and Kelly, Graham, 1986, 20 Activities For Developing managerial Efectiveness, a management Skill training manual, England : Gower Publishing Company Limited, craft Road, Heder shot M Suparmoko, 2007, Ekonomi 3 SMA Kelas XII, Jakarta: Yudhistira. Ohlson, S. 1987. Sense and reference in the design of interactive ilustrations;or rational number. Norwaad. NJ: Ablex Prawirokusumo Soeharto, 2001, Ekonomi Rakyat : Konsep, Kebijakan dan Strategi, Jakarta: BPFE. Purwanto, M. Ngalim, 2006, Psikologi Pendidikan, Bandung : Remaja Rosda Karya. Robbin, Stepen P, 2002, Prinsip-prinsip Perilaku Organisasi, Jakarta : Erlangga. Sters, Richard M dan Porter, Luman U, 1986, Motivation Theory and Research, California : Wood Sworth Inc. Uno, B. Hamzah. 2007. Model Pembelajaran. Bumi Aksara. Jakarta:Bumi Aksara. Zimmerer Thomas W., Scarborough (2005) ; Pengantar Kewirausahaan dan Manajemen Bisnis Kecil, Second edition Pent: Yanto Sidik Pratiknyo, Prenhalindo, Jakarta Jurnal : Sarjiman, P. 2006. Peningkatan Pemahaman Rumus Geometri Melalui Pendekatan Realistik di Sekolah Dasar. Cakrawala Pendidikan, Februari, Th. XXV, No. 1, 73-92 Internet : Angka lulusan Perguruan tinggi. 2013. Tersedia di http://www.psp.kemdiknas.go.id/upload s/Statistik%20Pendidikan/0910/index_ pt(1)_0910.pdf diunduh tanggal 24 maret 2013 Angka lulusan SMA. 2013. Tersedia di http://www.psp.kemdiknas.go.id/upload s/Statistik%20Pendidikan/0910/index_s ma_0910.pdf diunduh tanggal 24 Angka maret 2013 Pengangguran Tersedia Terbuka. 2013. di http://pusdatinaker.balitfo.depnakertra ns.go.id/ (diunduh tanggal 24 maret 2013). Pendidikan Matematika Universitas Muhammadiyah Purworejo, Ruang Seminar UM Purworejo, 28 Mei 2016 573 IMPLEMENTASI PEMBELAJARAN MODEL-ELICITING ACTIVITIES (MEAs) TERHADAP PENINGKATAN KEMAMPUAN KONEKSI MATEMATIS SISWA SEKOLAH MENENGAH PERTAMA 1 Sudrajat1) Program Studi Pendidikan Matematika, Sekolah Pascasarjana Universitas Pendidikan Indonesia email: [email protected] Abstrak Penelitian ini bertujuan untuk menelaah perbedaan peningkatan kemampuan koneksi matematis antara siswa yang melakukan pembelajaran Model-Eliciting Activities (MEas) dan siswa yang memperoleh pembelajaran konvensional. Selain itu untuk menelaah juga ada tidaknya pengaruh interaksi antara model pembelajaran dan kemampuan awal matematika tehadap peningkatan kemampuan koneksi matematis siswa. Jenis penelitian ini adalah kuasi eksperimen dengan desain penelitian pre-test post-test control group design. Sampel yang digunakan dalam penelitian adalah 56 siswa kelas VIII yang berasal dari dua kelas pada salah satu SMP negeri di Kabupaten Cilacap. Hasil penelitian menunjukan bahwa terdapat perbedaan peningkatan kemampuan koneksi matematis yang signifikan antara siswa yang melakukan pembelajaran Model-Eliciting Activities (MEAs) dan siswa yang memperoleh pembelajaran konvensional. Peningkatan kemampuan koneksi matematis siswa yang melakukan pembelajaran Model-Eliciting Activities lebih baik jika dibandingkan siswa yang memperoleh pembelajaran konvensional, baik dilihat secara keseluruhan maupun berdasarkan kategori kemampuan awal matematika siswa. Selain itu didapatkan simpulan bahwa terdapat pengaruh interaksi yang signifikan antara model pembelajaran dan kemampuan awal matematika terhadap peningkatan kemampuan koneksi matematis siswa Kata Kunci: Model-Eliciting Activities (MEAs), kemampuan koneksi matematis 1. PENDAHULUAN Matematika merupakan ilmu yang terstruktur dan terintegrasi. Maknanya bahwa matematika bukanlah kumpulan dari topik dan kemampuan yang terpisah-pisah, walaupun dalam praktiknya pelajaran matematika sering dipartisi dan diajarkan dalam beberapa cabang. Sifat matematika yang terstruktur dan terintegrasi tersebut satu sisi bisa dipandang sebagai keindahan matematika. Namun di sisi lain sifat matematika tersebut bisa menjadi celah bagi munculnya permasalahan dalam mempelajari matematika. Konsekuensi dari sifat matematika yang terstruktur adalah bahwa siswa tidak akan mendapatkan pemahaman yang memadai dalam mempelajari satu konsep matematika jika tidak memahami konsep yang menjadi prasyaratnya. Sedangkan konsekuensi logis 574 dari sifat matematika yang terintegrasi adalah bahwa untuk bisa memahami matematika secara mendalam maka harus bisa mengenali dan membuat hubungan antara ide-ide atau konsep-konsep matematika, sebagaimana disebutkan dalam NCTM bahwa apabila siswa mampu mengenali dan membuat hubungan antara ide-ide matematika, maka pemahaman matematika mereka menjadi lebih dalam dan lebih tahan lama (NCTM, 2000). Dari pemaparan di atas bisa diambil simpulan bahwa agar bisa memahami matematika secara mendalam diperlukan kemampuan koneksi matematis. Dalam NCTM (2000) disebutkan bahwa terdapat lima kemampuan dasar matematika yang merupakan mathematical power process standard yakni pemecahan masalah (problem solving), penalaran dan bukti Prosiding Seminar Nasional Matematika dan Pendidikan Matematika, “Internalisasi Nilainilai Berpikir Matematis Dalam Perannya di Era Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA)” (reasoning and proof), komunikasi (communication), koneksi (connection), dan representasi (representation). Dalam Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Republik Indonesia nomor 22 tahun 2006, juga disebutkan bahwa tujuan pembelajaran matematika salah satunya adalah untuk memahami konsep matematika, menjelaskan keterkaitan antar konsep dan mengaplikasikan konsep atau algoritma, secara luwes, akurat, efisien, dan tepat, dalam pemecahan masalah. Kemampuan koneksi matematis adalah kemampuan harus dibangun dan dikembangkan. Siswa yang menguasai konsep-konsep matematika tidak sertamerta cakap dalam membuat hubungan antar konsep-konsep tersebut. Dalam membangun kemampuan koneksi matematis siswa hendaknya diberikan kesempatan untuk melihat sendiri hubungan-hubungan dalam matematika. Hiebert and Carpenter sebagaimana dikutip dalam Bergesson (2000) mengungkapkan bahwa koneksi matematis yang diajarkan secara eksplisit oleh guru tidak akan bermakna dan tidak mendukung pemahaman siswa. Selain sifatnya yang terstruktur dan terintegrasi, matematika juga pelajaran yang erat kaitannya dengan kehidupan sehari-hari. Mempelajari hubungan antara konsep-konsep matematika dengan konsep lainnya atau dengan kehidupan sehari-hari akan sangat dibutuhkan oleh siswa, terutama untuk memecahkan masalah yang dihadapi dalam kehidupan sehari-hari (Rohendi dan Dulpaja, 2013). Oleh karena itu dalam pembelajaran matematika perlu menggunakan konteks. Konteks di sini adalah situasi yang menarik perhatian siswa, sesuatu yang dapat mereka kenali dengan baik, dan sesuatu yang dapat menyebabkan siswa membangkitkan pengetahuan yang telah mereka peroleh sebelumnya, sehingga membuat belajar sebagai suatu aktifitas yang bermakna bagi diri mereka sendiri. Fong sebagaimana dikutip Bergesson (2000) mengungkapkan bahwa guru perlu memilih kegiatan pembelajaran yang mengintegrasikan penggunaan matematika dalam kehidupan sehari-hari ke dalam proses pembelajaran di kelas karena hal itu akan meningkatkan minat dan prestasi siswa dalam matematika. Salah satu model pembelajaran yang menggunakan konteks dan melibatkan siswa secara aktif dalam pembelajaran serta memberikan ruang bagi siswa untuk aktif mengksplorasi dan mempresentasikan ideidenya adalah Model-Eliciting Activities (MEAs). Hamilton et al. (2008), mengungkapkan bahwa MEAs adalah model pembelajaran yang mengarahkan siswa pada situasi dunia nyata melalui kerja tim kecil yang beranggotakan 3-4 orang, untuk memecahkan permasalahan yang realistis. Pada pembelajaran MEAs, siswa dibiasakan untuk melatih sendiri kemampuan koneksi matematisnya dalam menyelesaikan suatu permasalahan yang nyata melalui diskusi kelompok dan diberikan kesempatan untuk mengeksplorasi ide-idenya terkait dengan konsep-konsep matematika yang telah diketahuinya dan membuat suatu model yang dianggap paling tepat untuk menyelesaikan suatu permasalahan. Selain faktor model pembelajaran yang digunakan, faktor yang juga mempengaruhi kemampuan matematis adalah faktor kemampuan awal matematika. Kemampuan awal (basic ability) matematika berperan interaktif dalam struktur kognitif peserta didik dalam arti turut menjembatani informasi baru dengan pengetahuan yang telah dimiliki (Puspaningrum, Khotimah, 2015). Berdasarkan uraian dikemukakan di atas, Pendidikan Matematika Universitas Muhammadiyah Purworejo, Ruang Seminar UM Purworejo, 28 Mei 2016 yang telah maka tujuan 575 penelitian ini adalah untuk menelaah ada tidaknya perbedaan peningkatan kemampuan koneksi matematis siswa yang melakukan pembelajaran Model-Eliciting Activities dengan siswa yang memperoleh pembelajaran konvensional. Selain itu juga untuk meneliti ada tidaknya pengaruh interaksi antara model pembelajaran dan kemampuan awal matematika terhadap peningkatan kemampuan koneksi matematis siswa. 2. KAJIAN LITERATUR DAN PENGEMBANGAN HIPOTESIS a. Koneksi Matematis NCTM (2000) menjelaskan bahwa koneksi matematis adalah kemampuan siswa untuk mengenali dan menggunakan koneksi antara ide-ide matematika, Memahami bagaimana ide matematis saling terhubung dan saling membangun satu sama lain untuk menghasilkan kesatuan yang utuh. Sedangkan menurut Kusuma (2008), dan Coxford (1995), kemampuan koneksi matematis adalah kemampuan dalam menyajikan koneksi internal dan eksternal matematika, yang meliputi koneksi antara topik matematika, koneksi dengan disiplin lain, dan koneksi dengan kehidupan sehari-hari. NCTM, (1989), Blum, Galbraith, Henn, dan Niss (2007) mengemukakan bahwa pada dasarnya koneksi matematis bisa dikelompokan menjadi dua tipe yaitu mathematical connection dan modeling connection. Mathematical connection menurut NCTM (1989) yaitu koneksi antara dua representasi yang ekuivalen, dan koneksi antara prosedur penyelesaian dari masing-masing representasi. Blum, Galbraith, Henn, dan Niss (2007) menyatakannya sebagai interkoneksi antara ide-ide di matematika. Sedangkan Lampert (2001) mengemukakan bahwa mathematical connection adalah kemampuan menghubungkan satu unit 576 konsep matematika yang tengah dipelajari dengan unit yang lain yang sebelumnya telah dipelajari dan membuat semua konten saling berhubungan. Adapun modeling connection merupakan koneksi antara situasi masalah yang mungkin timbul di dunia nyata atau pada disiplin ilmu selain matematika dengan representasi matematikanya atau hubungan antara matematika dengan disiplin ilmu yang lain dan dengan dunia nyata (NCTM, 1989, Blum, Galbraith, Henn, dan Niss, 2007). Sedangkan Mosvold (2003) menyatakan bahwa modeling connection dapat didefinisikan sebagai hubungan antara matematika yang diajarkan di sekolah dengan dunia luar. NCTM (2000) merumuskan indikator kemampuan koneksi matematis yaitu: a) Mengenali dan memanfaatkan hubungan-hubungan antara gagasan dalam matematika. b) Memahami bagaimana gagasangagasan dalam matematika saling berhubungan dan mendasari satu sama lain untuk menghasilkan suatu keutuhan koheren. c) Mengenali dan menerapkan matematika dalam konteks-konteks di luar matematika. Sejalan dengan apa yang diutarakan Sumarmo (2003), bahwa indikator kemampuan koneksi matematis yaitu: a) Mengenali representasi ekuivalen dari konsep yang sama; b) Mengenali hubungan prosedur matematika suatu representasi ke prosedur representasi yang ekuivalen; c) Menggunakan dan memahami keterkaitan antar topik matematika dengan topik di luar matematika; dan d) Menggunakan matematika dalam kehidupan sehari-hari. Berdasarkan uraian diatas, maka yang dimaksud kemampuan koneksi matematis adalah kemampuan untuk: 1) mengenali dan menggunakan hubungan antar konsep- Prosiding Seminar Nasional Matematika dan Pendidikan Matematika, “Internalisasi Nilainilai Berpikir Matematis Dalam Perannya di Era Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA)” konsep dalam matematika; 2) mengenali dan menggunakan hubungan antara konsep matematika dengan disiplin ilmu yang lain; dan 3) menerapkan konsep matematika dalam kehidupan sehari-hari. b. Model-Eliciting (MEAs) Activities Secara etimologi, Model-Eliciting Activities tersusun dari tiga kata, yaitu model, eliciting dan activity. Jika diterjemahkan dalam Bahasa Indonesia model dapat diartikan sebagai rumus atau langkah-langkah yang digunakan untuk menyelesaikan masalah matematika. Eliciting artinya membangun/ membentuk. Activity artinya aktivitas atau kegiatan. Dari tiga kata tersebut jelas bahwa modeleliciting activity adalah kegiatan membangun/ membentuk rumus atau langkah-langkah penyelesaian masalah matematika. Widyastuti (2010) menyatakan bahwa Model Eliciting Activities (MEAs) merupakan pembelajaran yang didasarkan pada situasi kehidupan nyata, siswa bekerja dalam kelompok kecil dan menyajikan sebuah model matematika sebagai solusi. Permana (2010) juga menyatakan bahwa pendekatan Model-Eliciting Activities merupakan pendekatan yang mengharapkan siswa untuk dapat mengkontruksi model matematis. Model yang dibuat tidak harus berupa konsep baru dalam matematika. Yang penting benar-benar asli hasil pemikiran siswa dan merupakan sesuatu yang baru bagi siswa. Chamberlin dan Moon (2005) menyatakan ada enam prinsip yang merupakan karakteristik yang harus ada dalam penerapan pembelajaran ModelEliciting Activities yaitu: 1. Model construction principle Prinsip ini menyatakan bahwa respon yang sangat baik yang dituntut dari sebuah permasalahan adalah penciptaan sebuah model. 2. The reality principle Prinsip realitas juga telah disebut sebagai prinsip kebermaknaan. Prinsip ini menyatakan bahwa skenario yang disajikan sebagai permasalahan harus realistis dan dapat terjadi dalam kehidupan siswa. Prinsip realitas dimaksudkan untuk meningkatkan minat siswa dan mensimulasikan jenis kegiatan yang nyata, menerapkan bagaimana cara seorang matematikawan dalam memecahkan suatu permasalahan. Permasalahan yang lebih realistis lebih memungkinkan memunculkan solusi kreatif dari siswa. 3. The self-assessment principle Prinsip penilaian diri menyatakan bahwa siswa harus mampu mengukur kesesuaian dan kegunaan solusi tanpa campur tangan dari guru. Pada gilirannya, siswa dapat menggunakan informasi ini untuk memperbaiki respon dalam iterasi berikutnya. Sekali lagi, prinsip ini konsisten dengan pengembangan kreativitas karena individu yang terlibat dalam bekerja kreatif harus terampil dalam mengevaluasi diri. 4. The construct documentation principle Prinsip ini menunjukkan bahwa siswa harus mampu mengungkapkan pemikiran mereka sendiri saat bekerja dalam MEAs dan bahwa proses berpikir mereka harus didokumentasikan dalam jawaban. 5. The construct shareability and reusability principle Prinsip ini menyatakan bahwa produk harus dapat digunakan dalam situasi lain yang sama. Jika model yang dikembangkan dapat digeneralisasi untuk situasi lain yang memerlukan model yang sama, maka model tersebut dikatakan sukses. 6. The effective prototype principle Prinsip ini menunjukkan bahwa model yang dibuat harus mudah diinterpretasi oleh orang lain. Dalam membuat sebuah model sebagai solusi atas sebuah permasalahan nyata, Pendidikan Matematika Universitas Muhammadiyah Purworejo, Ruang Seminar UM Purworejo, 28 Mei 2016 577 Lesh dan Doerr dalam Leavitt (2007) merumuskan empat langkah dasar yaitu: seperti musik, seni, psikologi, sains, dan bisnis. 1. mengubah situasi nyata menjadi sebuah model matematis yang dapat digeneralisasikan 2. memanipulasi model matematis yang telah didapat untuk menghasilkan solusi terkait dengan situasi pemecahan masalah yang sebenarmya, dengan kata lain mencari solusi dari masalah yang ada melalui model matematis. 3. mengubah solusi yang didapat menjadi penyelesaian untuk situasi masalah sebelumnya. 4. melakukan pembuktian tentang kegunaan dari solusi tadi, mengaitkan hasil yang didapat dengan kehidupan nyata dan melihat adanya kemungkinan solusi tersebut dapat berguna untuk situasi yang sejenis. Dalam pembelajaran Model-Eliciting Activities siswa diberikan kesempatan untuk membangun sendiri kemampuan koneksi matematisnya. Hal ini akan menjadikan kemampuan koneksi matematis yang dipelajari menjadi lebih bermakna dan mendukung pemahaman siswa (Hiebert and Carpenter dikutip dalam Bergesson, 2000). Dari uraian para ahli di atas, dapat disimpulkan bahwa pembelajaran ModelEliciting Activities adalah pembelajaran yang menggunakan konteks nyata sebagai permasalahannya. Terkait dengan pembelajaran dengan menggunakan konteks, hasil penelitian Harahap, R., Dewi, I., Sumarno (2010) mengungkapkan bahwa peningkatan kemampuan koneksi matematis siswa melalui pembelajaran kontekstual lebih baik daripada peningkatan kemampuan koneksi matematis melalui pembelajaran kooperatif tipe STAD, baik dilihat dari setiap aspek kemampuan koneksi maupun secara keseluruhan. Pembelajaran Model-Eliciting Activities adalah pembelajaran yang menuntut siswa menyusun sebuah model matematika sebagai solusi permasalahan. Coxford (1995:3-4) mengemukakan bahwa salah satu kegiatan yang mendukung terbangunnya koneksi matematis adalah dengan menerapkan kemampuan berfikir matematis dan membuat model yang dapat digunakan untuk menyelesaikan permasalahan dalam disiplin ilmu lain, 578 Berdasarkan kajian teori yang telah dipaparkan di atas, maka dapat disusun hipotesis penelitian yaitu pembelajaran Model-Eliciting Activities dapat meningkatkan kemampuan koneksi matematis. Terdapat perbedaan peningkatan kemampuan koneksi matematis siswa yang melakukan pembelajaran Model-Eliciting Activities dengan siswa yang memperoleh pembelajaran konvensional. 3. METODE PENELITIAN a. Jenis Penelitian Penelitian ini bertujuan untuk menguji dampak suatu treatment dalam hal ini pembelajaran Model-Eliciting Activities terhadap hasil penelitian yaitu kemampuan koneksi matematis. Maka jenis penelitian yang paling sesuai untuk digunakan dalam penelitian ini adalah penelitian eksperimen. Kemudian agar didapat suatu kesimpulan yang valid tentang hubungan kausal antara treatment dan hasil penelitian, maka perlu dilakukan pengontrolan pengaruh variabel lain terhadap variabel terikat. Pengontrolan ini menggunakan apa yang disebut dengan kelompok kontrol. Oleh karena itu penelitian ini menggunakan kelompok eksperimen dan kelompok konrol. Kelompok eksperimen dalam penelitian ini adalah kelompok yang mendapatkan pembelajaran Model-Eliciting Activities sedangkan kelompok kontrol adalah kelompok yang mendapatkan pembelajaran konvensional. Prosiding Seminar Nasional Matematika dan Pendidikan Matematika, “Internalisasi Nilainilai Berpikir Matematis Dalam Perannya di Era Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA)” Penelitian ini dilakukan di sekolah dimana tidak memungkinkan peneliti melakukan pengontrolan secara penuh terhadap sampel penelitian. Subjek penelitian tidak dikelompokan secara acak, tetapi peneliti menerima keadaan subjek seadanya. Hal ini dilakukan dengan pertimbangan bahwa apabila dilakukan pembentukan kelas yang baru maka akan menyebabkan kekacauan jadwal pelajaran yang telah disusun oleh pihak sekolah. Oleh sebab itu penelitian ini menggunakan metode penelitian eksperimental semu (quasi experimental research. b. Desain Penelitian Untuk melihat peningkatan kemampuan koneksi matematis kelompok eksperimen dan kelompok kontrol, maka masingmasing kelompok diberikan pre-test dan post-test. Berdasarkan alasan di atas maka desain penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah penelitian quasi experimental dengan nonequivalent pre-test and post-test control-group design. Menurut Cresswell (2010, hlm. 242) desain penelitiannya adalah sebagai berikut: Kelas eksperimen O Kelas kontrol O X O O Keterangan: X : Pembelajaran Activities Model-Eliciting pembelajaran Model Eliciting Activities, sedangkan siswa kelas 8d adalah kelas kontrol yang memperoleh pembelajaran ekspositori. 3.4. Variabel Penelitian Variabel dalam penelitian ini terdiri dai variabel bebas dan variabel terikat. Variabel bebasnya adalah pembelajaran ModelEliciting Activities, sedangkan variabel terikatnya adalah kemampuan koneksi matematis. 3.5. Instrument Penelitian Instrumen penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah instrumen tes berupa soal pre-test dan post-test kemampuan koneksi matematis. Untuk dapat melihat pola pikir siswa dengan jelas sehingga kemampuan koneksi matematisnya benar-benar terlihat, maka bentuk tes yang digunakan adalah tipe uraian. Tes dengan tipe uraian menurut Russefendi (2005, hlm. 118) memiliki keunggulan yaitu menimbulkan sifat kreatif pada diri siswa dan hanya siswa yang telah betul-betul menguasai materi yang bisa memberikan jawaban yang baik dan benar. Alat evaluasi berupa tes ini sebelum diberikan kepada siswa yang menjadi sampel penelitian terlebih dahulu dikonsultasikan dengan dosen pembimbing dan guru matematika di sekolah, kemudian diuji cobakan kepada siswa. Setelah data hasil uji coba tersebut terkumpul, data-data tersebut kemudian diberi skor dan dianalisis untuk mengetahui validitas, dan reliabilitas dari soal-soal tersebut. …. : Subjek tidak dikelompokan secara acak menyeluruh Pedoman pemberian skor koneksi matematis menggunakan focused holistic scoring scale ( Randal, 1987) yang dimodifikasi. 3.3. Populasi dan Sampel Penelitian 3.6. Teknik analisis data Populasi dalam penelitian ini adalah siswa SMP negeri 3 Bantarsari Kabupaten Cilacap yang terdiri dari 12 kelas. Sampel yang terpilih adalah siswa kelas 8c dan siswa kelas 8d. Siswa kelas 8c sebagai kelas eksperimen yang melaksanakan Data hasil tes yang diperoleh dari hasil pengumpulan data selanjutnya dianalisis melalui tahap-tahap berikut: O : pre-test dan post-test 1. Memberikan skor jawaban siswa sesuai dengan kunci jawaban dan pedoman penskoran yang digunakan. Pendidikan Matematika Universitas Muhammadiyah Purworejo, Ruang Seminar UM Purworejo, 28 Mei 2016 579 2. Membuat tabel skor hasil tes siswa baik pretes, postes, maupun gain ternormalisasi tes kemampuan koneksi matematis baik kelas eksperimen maupun kelas kontrol. 3. Menguji prasyarat analisis data hasil pretes dan N-gain yaitu uji normalitas dan homogenitas, baik secara klasikal maupun berdasarkan kategori kemampuan awal matematika. 4. Menguji dan menganalisis data hasil pretes dan N-gain dengan uji perbedaan dua rerata. 5. Menguji pengaruh interaksi antara model pembelajaran dan kemampuan awa matematika terhadap peningkatan kemampuan koneksi matematis siswa. 4. HASIL DAN PEMBAHASAN Pengolahan data hasil penelitian dilakukan untuk menganalisis data mentah yang diperoleh selama proses penelitian. Tujuan adalah untuk: Menelaah ada tidaknya perbedaan peningkatan kemampuan koneksi matematis siswa yang belajar menggunakan pembelajaran ModelEliciting Activities dan siswa yang memperoleh pembelajaran konvensional. Selanjutnya mengkaji ada tidaknya pengaruh interaksi antara model pembelajaran dan kemampuan awal matematika terhadap peningkatan kemampuan koneksi matematis siswa. Sebelum membahas data hasil penelitian, terlebih dahulu dipaparkan deskripsi pembelajaran Model-Eliciting Activities. a. Deskripsi Pembelajaran ModelEliciting Activities, Pada pembelajaran Model-Eliciting Activities, siswa bekerja dalam kelompokkelompok kecil yang beranggotakan empat orang. Anggota masing-masing kelompok disusun dengan mempertimbangkan faktor pemerataan kemampuan berdasarkan hasil tes kemampuan awal matematika, sehingga 580 bisa diasumsikan masing-masing kelompok memiliki anggota-anggota dengan kemampuan yang relatif heterogen. Pada awal pembelajaran guru membagikan Lembar Kerja Kelompok (LKK) kepada masing-masing kelompok. Setelah itu guru/salah seorang siswa membacakan artikel terkait dengan materi yang akan dipelajari. Artikel tersebut bisa merupakan artikel yang bersumber dari internet maupun artikel yang diambil dari surat kabar. Selanjutnya guru memberikan tantangan berdasarkan artikel tersebut. Tantangan inilah yang nantinya harus diselesaikan dalam diskusi kelompok. Sebelum proses diskusi kelompok berlangsung, guru memastikan bahwa setiap kelompok memahami tantangan yang harus diselesaikan dan memiliki pengetahuan awal yang memadai untuk menyelesaikan tantangan tersebut. Hal ini dilakukan dengan memberikan pertanyaanpertanyaan pancingan untuk menggali dan mendapatkan informasi dari siswa. Lembar kerja kelompok disusun sebagai bentuk intervensi guru dan merupakan scaffolding dalam membimbing siswa untuk mengadakan penyelidikan, membuat model matematika dari permasalahan yang disajikan, mengevaluasi kebenaran model matematika yang telah disusun, baru kemudian mengaplikasikan model matematika yang telah disusun untuk menyelesaikan tantangan. Tahap pembelajaran selanjutnya adalah presentasi hasil diskusi kelompok di depan kelas dilanjutkan diskusi secara klasikal. Guru berperan sebagai moderator pada saat diskusi. Setelah proses diskusi, tahap selanjutnya adalah konfirmasi dari rangkaian kegiatan dan temuan pada kegiatan pembelajaran yang telah dilakukan. Prosiding Seminar Nasional Matematika dan Pendidikan Matematika, “Internalisasi Nilainilai Berpikir Matematis Dalam Perannya di Era Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA)” 4.2. Kemampuan Koneksi Matematis Data kemampuan koneksi matematis diperoleh dari skor siswa pada pre-test dan post-test kemampuan koneksi matematis. Sedangkan data peningkatan kemampuan koneksi matematis diperoleh dari gain ternormalisasi (N-Gain). A. Data Hasil Pre-test, post-test dan Ngain tes Kemampuan Koneksi Matematis Nilai rerata skor pre-test, post-test, dan N-gain tes kemampuan koneksi matematis siswa disajikan pada tabel berikut. Tabel 4.1 Data Pre-test Kemampuan Koneksi Matematis Siswa Kelas Pre-test PostN-Gain test Eksperimen 1.07 6,96 0,54 Kontrol 1,18 4,32 0,28 Dari tabel 4.1 di atas terlihat bahwa rerata skor pre-test kelas eksperimen dan kelas kontrol relatif sama, meskipun terlihat rerata skor pre-test kelas kontrol sedikit lebih tinggi dibanding rerata skor pre-test kelas eksperimen. Lain halnya dengan rerata skor post-test, dan N-gain kelas eksperimen dan kelas kontrol. Rerata skor post-test dan N-gain kelas eksperimen terlihat lebih tinggi dibanding rerata kelas kontrol. Untuk mengetahui signifikansi kesamaan dan perbedaan rerata skor pretest, dan N-gain kelas eksperimen dan kelas kontrol maka perlu dilakuan uji secara statistik. B. Analisis Data Skor Pre-test Kemampuan Koneksi Matematis siswa Analisis uji kesamaan dua rerata skor hasil pre-test dilakukan untuk mengetahui apakah kelas eksperimen maupun kelas kontrol memiliki kemampuan awal koneksi matematis yang sama sebelum dilaksanakan proses pembelajaran. Hasil uji normalitas data skor pre-test kemampuan koneksi matematis mendapatkan simpulan bahwa data rerata skor pre-test tidak memenuhi asumsi normalitas. Maka untuk melakukan uji kesamaan dua rerata digunakan pengujian statistik non parametrik uji Mann-whitney. Hasil uji Mann-Whitney data skor pretest kemampuan koneksi matematis adalah sebagai berikut. Tabel 4.2 Uji Mann-Whitney Data Skor Pre-Test Kemampuan Koneksi Matematis Z Sig Kesimpulan Keterangan -0,875 0,382 H0 diterima Tidak ada perbedaan Berdasarkan Uji Mann-Whitney data pre-test kemampuan koneksi matematis, didapat simpulan bahwa tidak terdapat perbedaan yang signifikan antara kemampuan awal koneksi matematis kelas kontrol dan kelas eksperimen. Artinya, bahwa siswa kelas kontrol dan kelas eksperimen memiliki kemampuan koneksi matematis yang setara sebelum pembelajaran dilakukan. 5. Analisis Data Kemampuan Matematis siswa Peningkatan Koneksi Data peningkatan kemampuan koneksi matematis didapatkan dari N-gain skor pretest dan post-test kemampuan koneksi matematis. Untuk mengetahui ada tidaknya perbedaan peningkatan kemampuan koneksi matematis siswa kelas eksperimen dan kelas kontrol perlu dilakukan uji statistik kesamaan dua rerata. Hasil uji prasyarat analisis normalitas dan homogenitas memperlihatkan bahwa Pendidikan Matematika Universitas Muhammadiyah Purworejo, Ruang Seminar UM Purworejo, 28 Mei 2016 581 data N-gain peningkatan kemampuan koneksi matematis memenuhi asumsi normal dan homogen. Maka uji perbedaan dua rerata N-gain menggunakan pengujian statistik parametrik uji t sampel independen (independent sample t-test). Hasil uji t sampel independen bisa dilihat pada tabel berikut. Tabel 4.3 Uji t Sampel Independen (IndependentSamples T Test) Data Peningkatan Kemampuan Koneksi Matematis T Equal variances assumed Equal variances not assumed 5,68 Sig (2tailed) 0,000 5,68 0,000 Tabel di atas memperlihatkan bahwa pada taraf signifikansi = 0,05 dapat disimpukan terdapat perbedaan yang signifikan antara peningkatan kemampuan koneksi matematis antara siswa yang melakukan pembelajaran Model-Eliciting Activities dengan siswa yang memperoleh pembelajaran konvensional. Sebelumnya pada tabel 4.1 telah diketahui bahwa rerata N-gain siswa kelompok eksperimen lebih tinggi jika dibandingkan rerata N-gain kelas kontrol. Oleh karena itu bisa disimpulkan juga bahwa peningkatan kemampuan koneksi matematis siswa yang melakukan pembelajaran Model-Eliciting Activities lebih tinggi dibanding peningkatan kemampuan koneksi matematis siswa yang memperoleh pembelajaran konvensional. 6. Analisis pengaruh interaksi antara model pembelajaran dan kemampuan awal matematika terhadap peningkatan kemampuan koneksi matematis. 582 Setelah sebelumnya menguji dan memastikan terpenuhinya asumsi normalitas dan homogenitas data N-gain berdasarkan kategori kemampuan awal matematika, proses selanjutnya adalah menguji pengaruh interaksi antara model pembelajaran dan kemampuan awal matematika. Adapun uji yang digunakan adalah uji anova dua jalur IBM SPSS 20.0 dengan taraf signifikansi α=0,05. Berikut adalah tabel hasil pengujian Anova dua jalur. Tabel 4.4 Uji Anova Dua Jalur Data Peningkatan Kemampuan Koneksi Matematis F Sig Simpulan Pembelajaran 56.67 0,00 Tolak H0 KAM 19,74 0,00 Tolak H0 4,22 0,02 Tolak H0 Pembelajaran dan Kemampuan Awal Pada Tabel 4.4 kolom pembelajaran dan kemampuan awal didapatkan nilai signifikansi = 0,02. Hal ini menunjukkan bahwa terdapat terdapat pengaruh interaksi antara pembelajaran dan kategori kemampuan awal matematis terhadap peningkatan kemampuan koneksi matematika. Artinya, antara pembelajaran dan kategori kemampuan awal matematis secara bersama memberikan pengaruh terhadap peningkatan kemampuan koneksi matematis siswa. Pengaruh interaksi antara model pembelajaran dan kemampuan awal matematika terhadap peningkatan kemampuan koneksi matematis terlihat pada kurva output IBM SPSS versi 20.0 berikut. Prosiding Seminar Nasional Matematika dan Pendidikan Matematika, “Internalisasi Nilainilai Berpikir Matematis Dalam Perannya di Era Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA)” melaksanakan pembelajaran ModelEliciting Activities ditunjukan pada tabel 4.5 berikut. Tabel 4.5 Kurva tersebut memperlihatkan bahwa baik pada kategori rendah, sedang, maupun tinggi peningkatan kemampuan koneksi matematis siswa dengan pembelajaran Model-Eliciting Activities lebih tinggi dibanding siswa yang memperoleh pembelajaran konvensional. Perbedaan peningkatan kemampuan koneksi matematis paling tampak antara kedua model pembelajaran ditunjukan pada kategori tinggi. Artinya ada pengaruh interaksi antara model pembelajaran dan kemampuan awal matematika terhadap peningkatan kemampuan koneksi matematis siswa. Pembelajaran ModelEliciting Activities paling efektif meningkatkan kemampuan koneksi matematis siswa dengan kategori tinggi. 4.3. Pembahasan Hasil uji perbedaan dua rerata memperlihatkan bahwa terdapat perbedaan peningkatan kemampuan koneksi matematis yang signifikan antara kelas eksperimen yang melaksanakan pembelajaran Model-eliciting Activities dan kelas kontrol yang memperoleh pembelajaran konvensional. Peningkatan kemampuan koneksi matematis untuk masing-masing indicator kemampuan koneksi matematis siswa yang No Indikator N-gain 1 Mengenali dan menggunakan hubungan antar konsep- 0,37 konsep dalam matematika 2 Mengenali dan menggunakan hubungan antara konsep 0,55 matematika dengan konsep pada disiplin ilmu yang lain 3 Menerapkan konsep matematika dalam kehidupan 0,65 sehari-hari Dari tabel 4.5 di atas, terlihat peningkatan kemampuan koneksi matematis tertinggi adalah pada indikator menerapkan konsep matematika dalam kehidupan sehari-hari. Adapun peningkatan yang terendah adalah pada indicator mengenali dan menggunakan hubungan antar konsep-konsep dalam matematika. Tingginya peningkatan indikator menerapkan konsep matematika dalam kehidupan sehari-hari, karena permasalahan dalam pembelajaran Model-Eliciting Activities selalu didasarkan pada situasi nyata. Sedangkan peningkatan yang terendah pada indikator mengenali dan menggunakan hubungan antar konsepkonsep dalam matematika, karena banyaknya konsep-konsep matematika yang harus dihubungkan untuk menyelesaikan suatu permasalahan. Temuan ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan Lestari (2012) yang mengungkapkan bahwa siswa paling kesulitan dalam melakukan koneksi antar topik matematika. Hal ini disebabkan karena banyaknya topik matematika yang Pendidikan Matematika Universitas Muhammadiyah Purworejo, Ruang Seminar UM Purworejo, 28 Mei 2016 583 harus dikaitkan dalam penyelesaian soal sehingga memerlukan jangkauan pemikiran yang tinggi. Secara umum faktor-faktor yang menyebabkan perbedaan peningkatan kemampuan koneksi matematis siswa yang melakukan pembelajaran Model-Eliciting Activities dibanding siswa yang memperoleh pembelajaran konvensional antara lain : 1. Pembelajaran didasarkan pada konteks nyata. Pada pembelajaran Model-Eliciting activities Siswa diberikan tantangan berdasarkan artikel tentang kejadian nyata yang bersumber dari internet maupun surat kabar. Tantangan tersebut bisa saja berhubungan dengan materi pelajaran di luar matematika, sehingga selain membangun hubungan antara konsep matematika dengan kehidupan sehari-hari, juga menuntut siswa membangun hubungan baik antar konsep-konsep matematika, maupun antara konsep matematika dengan konsep di luar matematika. 2. Siswa belajar bersama dalam kelompok kecil. Belajar dalam kelompok-kelompok kecil memungkinkan terjadinya tutor sebaya. Siswa yang pandai dapat membantu teman yang kemampuannya kurang sehingga mereka lebih memahami dan mengerti. Menurut Vygotsky siswa yang belajar melalui interaksi dengan orang dewasa dan teman sebaya yang lebih mampu, akan memacu terbentuknya ide baru dan memperkaya perkembangan intelektual siswa. Konsep ini dikenal sebagai pemagangan kognitif (cognitive apprenticeship), yaitu proses di mana seseorang yang sedang belajar, tahap demi tahap memperoleh keahlian melalui interaksinya dengan pakar. 584 Pakar yang dimaksud di sini adalah orang yang menguasai permasalahan yang dipelajari. Jadi, dapat berupa orang dewasa atau kawan sebaya (Slavin dalam Yohanes, 2010). 3. Siswa membangun sendiri kemampuan koneksi matematisnya melalui kegiatan membuat model matematika sebagai penyelesaian, menguji model yang telah dibuat dan menerapkan model yang telah dibuat untuk menyelesaikan permasahan. Kegiatan membuat model menuntut siswa untuk terbiasa membangun hubungan antar konsepkonsep dalam matematika. 5. KESIMPULAN Simpulan yang diperoleh dari hasil penelitian ini adalah: 1. Peningkatan kemampuan koneksi matematis siswa yang melakukan pembelajaran Model-Eliciting Activities lebih tinggi daripada peningkatan kemampuan koneksi matematis siswa yang memperoleh pembelajaran konvensional. 2. Pembelajaran Model-Eliciting Activities efektif meningkatkan kemampuan koneksi matematis siswa pada semua kategori kemampuan siswa. Peningkatan kemampuan koneksi matematis yang paling tinggi dicapai oleh siswa kelompok atas. 3. Alasan siswa tertarik dengan pembelajaran matematika dengan pendekatan Model-Eliciting Activities antara lain: a) pembelajaran Model-Eliciting Activities didasarkan pada situasi yang realistis; b) pembelajaran Model-Eliciting Activities memberikan kebebasan dalam berfikir; c) Pembelajaran dalam kelompokkelompok kecil dengan kemampuan yang heterogen memungkinkan terjadinya tutor sebaya. Siswa yang kemampuannya rendah lebih leluasa untuk bertanya tentang hal yang belum dipahaminya kepada teman yang Prosiding Seminar Nasional Matematika dan Pendidikan Matematika, “Internalisasi Nilainilai Berpikir Matematis Dalam Perannya di Era Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA)” telah lebih dahulu memahami hal tersebut. mathematicians. The Journal of Secondary Gifted Education. Vol. XVII, No. 1, Fall 2005, pp. 37–47. 5.2. Saran Berdasarkan pada hasil analisa, pembahasan, dan kesimpulan serta teoriteori yang mendukung, maka penulis menyarankan hal-hal berikut ini: 1. pembelajaran Model-Eliciting Activities direkomendasikan sebagai salah satu alternatif dalam melaksanakan kegiatan pembelajaran matematika siswa SMP. Tetapi perlu diketahui bahwa tidak ada satupun model pembelajaran yang sempurna dan selalu cocok dengan materi matematika. sehingga, diperlukan ketelitian dalam memilih model pembelajaran sesuai dengan karakteristik siswa dan materi yang hendak dipelajari. 2. Kemampuan koneksi matematis adalah kemampuan yang penting dalam memahami matematika. Oleh sebab itu, kemampuan tersebut perlu terus diteliti, dilatih dan dikembangkan pada siswa. 3. Bagi peneliti selanjutnya, disarankan untuk mengkaji tentang pengaruh model pembelajaran pembelajaran Model-Eliciting Activities terhadap kemampuan berpikir matematis tingkat tinggi lainnya. Seperti, kemampuan berpikir kritis, penalaran, pemecahan masalah, dan lain sebagainya. Cresswell, John W. (2010). Research design pendekatan kualitatif, kuantitatif, dan mixed. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. 6. REFERENSI Bergeson, T. (2000). Teaching and learning mathematics: using research to shift from the “yesterday” mind to the “tommorow” mind. [online]. Diakses dari: www.k12.wa.us. Blum, W., Galbraith, P.L., Henn, H-W., & Niss, M. (eds). (2007). Modelling and aplications in mathematics sducation: the 14th ICMI study. New ICMI study series volume 10. New York: Springer Chamberlin, S. A., & Moon, S. (2005). Model-Eliciting Activities as a tool to develop and identify creatively gifted Cynthia. A, Leavitt, D. (2007). Implementation strategies for ModelEliciting Activities: A Teachers Guide. [online]. Diakses dari: http://site.educ.indiana.edu/Portals/161/ Public/Ahn%20&%20Leavitt.pdf Coxford, A.F. (1995). “The Case for connections”, in connecting mathematics across the curriculum. Editor: House, P.A. dan Coxford, A.F. Reston, Virginia: NCTM. Hamilton, E., Lesh, R., & Lester, F. (2008). Model-Eliciting Activities (MEAs) as a bridge between engineering education research and mathematics education research. advances in engineering education. [online]. Diakses dari: http://aaee.com.au/conferences/AAEE2 009/PDF/AUTHOR/AE090130.PDF Harahap, R., Dewi, I., Sumarno. (2010). Perbedaan peningkatan kemampuan komunikasi dan koneksi matematis siswa melalui pembelajaran kontekstual dengan kooperatif Tipe STAD di SMP Al Washlilah 8 Medan. Jurnal Pendidikan Matematika PARADIKMA, Vol 5 Nomor 2, hal 186-204 Kusuma, D.A. (2008). Meningkatkan kemampuan koneksi matematik dengan menggunakan pendekatan konstruktivisme. [online]. Diakses dari: http://pustaka.unpad.ac.id/wp.content/u ploads/2009/06/ meningkatkan kemampuan koneksi-matematik.pdf. [10 Desember 2015]. Pendidikan Matematika Universitas Muhammadiyah Purworejo, Ruang Seminar UM Purworejo, 28 Mei 2016 585 Lampert, M. (2001). Teaching problems and the problems in teaching. New Haven, CT: Yale University Press. NCTM. (1989). Curriculum and evaluation standards or school mathematics. Reston, VA: Authur. [online]. Diakses dari: http://educare.e-fkipunla.net Mosvold, R. (2009). Real-life connections in Japan and the Netherlands: National teaching patterns and cultural beliefs. University of Stavanger Stavanger, Norway solving. Reston, VA: National Council of Teacher of Mathematics. Rohendi, D, Dulpaja, J. (2013). Connected mathematics project (CMP) model based on presentation media to the mathematical connection ability of Junior High School student. Journal of Education and Practice. [online]. Diakses dari: www.iiste.org. ISSN 2222-1735 (Paper) ISSN 2222-288X (Online) Vol.4, No.4, 2013 NCTM. (2000). Principles and standards for School Mathematics. [online]. Diakses dari: www.nctm.org. Ruseffendi, E.T. (1991). Pengantar kepada membantu guru mengembangkan kompetensinya dalam pengajaran matematika untuk meningkatkan CBSA. Bandung: Tarsito. Permana, Y. (2011). Mengembangkan kemampuan komunikasi matematis dan disposisi siswa Sekolah Menengah Atas melalui Model-Eliciting Activities. Jurnal PPPPTK BMTI vol. 3 No. 1 hal 13-22. Sumarmo, U. (2003). Berfikir dan disposisi matematik : apa, mengapa, dan bagaimana dikembangkan pada siswa sekolah dasar dan menengah. Bandung: ITB Puspaningrum, I.R., Khotimah, R.P. (2015). Kontribusi kemampuan awal, minat, dan kemandirian mahasiswa terhadap hasil belajar mata kuliah persamaan diferensial. Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Matematika UMS 2015. ISBN : 978.602.719.934.7. [online]. Diakses dari: https://publikasiilmiah.ums.ac.id/bitstre am/handle/11617/6138/2_Ika%20Ratna %20Puspaningrum%2012_22.pdf?sequ ence=1 Randall, C, Lester, F, P. O‟Daffer. (1987). How to evaluate progress in problem 586 Widyastuti. (2010). Pengaruh model pembelajaran Model-Eliciting Activities terhadap kemampuan representasi matematis dan self-eficacy siswa.Tesis pada Sekolah Pascasarjana Universitas Pendidikan Indonesia. Bandung. Yohanes, R.S. (2010). Teori vygotsky dan implikasinya terhadap pembelajaran matematika. Widya Warta No. 02 Tahun XXXIV / Juli 2010 ISSN 08541981. [online]. Diakses dari: http://download.portalgaruda.org/article .php?article=116773&val=5324 Prosiding Seminar Nasional Matematika dan Pendidikan Matematika, “Internalisasi Nilainilai Berpikir Matematis Dalam Perannya di Era Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA)” PENGARUH DOMINO IDENTITAS TRIGONOMETRI TERHADAP HASIL BELAJAR SISWA Tamim Zainudin1), Moh. Lutfianto2) Tamim Zainudin, STKIP Al-Hikmah Surabaya email: [email protected] 2 Moch. Lutfianto, STKIP Al-Hikmah Surabaya email: [email protected] 1 Abstrak Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh Domino Identitas Trigonometri terhadap hasil belajar siswa. Domino Identitas Trigonometri adalah alat peraga kartu yang berfungsi untuk membantu siswa dalam mempelajari konsep Identitas Trigonometri. Metode penelitian yang digunakan adalah eksperimen kuantitatif dengan desain penelitian One Group Pretest-Postest Design. Populasi dalam penelitian ini adalah 30 siswa kelas X di salah satu SMA di Surabaya. Instrumen penelitian ini terdiri dari terdiri dari Pre Test dan Post Test yang masing-masing terdiri dari 2 soal. Berdasarkan hasil analisis data yang diuji menggunakan Uji-t, disimpulkan bahwa Domino Identitas Trigonometri berpengaruh hasil belajar siswa. Kata Kunci: Domino Identitas Trigonometri, Identitas Trigonometri 1. PENDAHULUAN Matematika merupakan salah satu ilmu eksak yang mengharuskan siswa untuk benar-benar memahami dan menguasai materi. Hal ini berdampak kepada siswa yang menyimpulkan bahwa matematika merupakan pelajaran yang sulit dipahami. akan mempengaruhi pemahaman konsep berikutnya. Contohnya penguasaan konsep trigonometri di kelas X akan mempengaruhi penguasaan konsep di kelas trigonometri di kelas XI dan XII, serta banyak materi yang terjalin dengan konsep trigonometri seperti limit, differensial, lingkaran dan yang lainya. Proses pembelajaran matematika selama ini masih banyak mengalami kendala antara lain dominasi guru dalam pembelajaran yang masih tinggi, kurangnya penggunaan media dan alat peraga, penggunaan strategi pembelajaran yang kurang tepat dan kurangnya guru memahami karakteristik siswa dengan meperlakukan siswa dengan perlakuan yang sama, walaupun kenyataan kemampuan siswa dalam menyerap materi pelajaran matematika berbeda-beda. Sebagian siswa dapat mengikuti dengan baik, namun banyak siswa yang mengalami kesulitan dalam menguasainya. Hal ini karena matematika adalah mata pelajaran yang abstrak dan banyak rumus yang harus diingat serta dipahami. Selain itu matematika memiliki keterkaitan di setiap konsep, sehingga pemahaman di dalam suatu konsep Salah satu standar kompetensi yang harus dikuasai di kelas X adalah menggunakan perbandingan, fungsi, persamaan dan identitas trigonometri dalam pemecahan masalah. Pada materi ini, siswa dituntut untuk memiliki kompetensi dasar yaitu: Melakukan manipulasi aljabar dalam perhitungan teknis yang berkaitan dengan perbandingan, fungsi, persamaan dan identitas trigonometri; Merancang model matematika dari masalah yang berkaitan dengan perbandingan, fungsi, persamaan dan identitas; Menyelesaikan model matematika dari masalah yang berkaitan perbandingan, fungsi, persamaan dan identitas trigonometri, dan penafsirannya. Materi ini banyak menuntut siswa untuk untuk mengkonstruksikan materi yang telah dipelajari sebelumnya. Dapat dikatakan Pendidikan Matematika Universitas Muhammadiyah Purworejo, Ruang Seminar UM Purworejo, 28 Mei 2016 587 bahwa materi perbandingan trigonometri, identitas trigonometri dan fungsi trigonometri merupakan materi pokok yang banyak menggunakan konsep yang akan terus berkembang dan bukan materi hafalan. Sehingga apabila siswa belum menguasai konsep materi sebelumnya maka siswa akan kesulitan materi selanjutnya terutama materi trigonometri di kelas XI dan XII. Oleh sebab itu, sangat diperlukan kompetensi guru dalam memilih dan menggunakan media pembelajaran kususnya materi trigonometri di kelas X. Dimana materi trigonometri kelas X merupakan prasyarat di kelas XI. Hal ini menunjukan betapa pentingnya penguasaan materi trigonometri dikelas X. Siswa tidak akan menguasai konsep yang rumit sebelum menguasai konsep yang sederhana. Kemampuan awal siswa akan berpengaruh terhadap tingkat berfikir dalam pemahaman konsep selanjutnya. Karena itu perlu pembelajaran yang bersifat konkrit. Dalam proses pembelajaran seringkali materi pokok trigonometri diberikan kurang menarik, dominasi guru masih tinggi dan tidak melibatkan siswa secara aktif. Sehingga banyak siswa yang masih mengalami kesulitan dalam pemahaman materi dan akibatnya mereka mendapatkan hasil belajar yang rendah.Trigonometri merupakan salah satu materi yang dikeluhkan siswa karena banyak rumus yang harus dihafal dan memerlukan pemahaman tinggi. Ada beberapa tahapan umum dalam pembelajaran matematika yang sering digunakan oleh guru yaitu pendahuluan, inti dan penutup. Dalam tahap pendahuluan berisi pembukaan, motivasi dan apersepsi. Pada tahap ini tugas guru adalah menyemangati, mengkondisikan dan mengarahkan siswa. Pada tahap inti berisi penyajian materi dari guru, dan pemberian soal latihan dari guru. Namun pada tahap ini siswa sering mengalami kejenuhan. Hal 588 tersebut karen pada tahap tersebut kurang berfariasi sehingga siswa kurang tertantang. Dari berbagai permasalahan tersebut terdapat masalah utama yaitu membuat proses pembelajaran yang menyenangkan dan menantang siswa serta dapat meningkatkan hasil belajar siswa. Upaya yang dimungkinkan dapat meningkatkan hasil belajar siswa tergantung pada model pembelajaran, metode pembelajaran dan media pembelajaran. Media pembelajaran adalah suatu alat atau sejenisnya yang dapat dipergunakan sebagai pembawa pesan (materi pelajaran) dalam suatu kegiatan pembelajaran (Sundayana, 2015: 6) dan menurut Rusefendi didalam Sundayana (2015: 7) alat peraga adalah alat yang menerangkan atau mewujudkan konsep matematika. Dalam pembelajaran matematika dengan menggunakan alat peraga kartu dirasakan akan lebih efektif dan berhasil karena dapat digunakan untuk permainan. Alat peraga kartu memiliki keasyikan tersendiri dalam proses belajar. Alat peraga kartu juga dianggap efektif, dan mudah dalam pembuatannya . Sehingga siswa akan lebih tertarik dan lebih mudah untuk menerima, mengerti serta memahami materi. Penggunaan alat peraga kartu merupakan suatu kegiatan yang dimainkan menurut aturan tertentu yang menimbulkan kesenangan, tantangan dan dapat mengembangkan ketrampilan, Puahadi (2015). . Sehingga menumbuhkan kesenangan siswa dalam pembelajaran sehingga hasil belajar siswa dapat meningkat. Penggunaan kartu trigonometri diharapkan dapat membuat siswa lebih memahami dan menemukan konsep-konsep yang berifat abstrak melalui permainan. Prosiding Seminar Nasional Matematika dan Pendidikan Matematika, “Internalisasi Nilainilai Berpikir Matematis Dalam Perannya di Era Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA)” Oleh sebab itu penelitian ini mengambil materi trigonometri dan penggunaan permainan kartu. Adapun judul penelitian ini adalah: “Pengeruh Domino Trigonometri terhadap Hasil Belajar Siswa” Berdasarkan latar belakang masalah dalam penelitian ini dapat di identifikasikan: a. Masih rendahnya hasil belajar siswa dalam hal penguasaan konsep trigonometri. b. Pembelajaran matematika khususnya dalam materi trigonometri dirasakan membosankan dan kurang menarik. c. Kemampuan siswa selama ini belum menjadi perhatian dalam pembelajaran. d. Media pembelajaran yang digunakan oleh guru pada pembelajaran matematika kurang menarik. e. Kecenderungan guru belum mencoba meggunakan kartu sebagai salah satu alat peraga dalam pembelajaran matematika. Untuk memberi kejelasan penelitian tentang penggunaan alat peraga kartu dalam penguasaan konsep trigonometri pada siswa kelas X-5 SMA Muhammadiyah 4 Surabaya tahun pelajaran 2015-2016 diperlukan pembatasan permasalahan sebagai berikut: a. Hasil belajar siswa yang dimaksudkan dalam penelitian ini dibatasi pada hasil belajar siswa pada kompetensi dasar trigonometri pada topik identitas trigonometri di kelas X-5. b. Penelitian ini menyangkut penggunaan kartu domino dengan mepertimbangkan kemampuan awal siswa. Kemampuan awal dalam penelitian ini adalah kemampuan yang dimiliki siswa sebelum mengikuti kegiatan pembelajaran dengan data diperoleh dari nilai pre-test identitas trigonometri kelas X. c. Kartu domino dalam penelitian ini adalah kartu yang bentuknya dibuat seperti kartu domino untuk menarik minat siswa dalam belajar matematika. Bentuk kartu yang digunakan sebagai media pembelajaran samadengan kartu domino biasa, namun terdapat perbedaan yang signifikan pada permukaan kartu. Pada kartu domino biasanya terdapat lingkaran (sebagai lambang dari bilangan) mulai dari kosong sampai lingkaran yang berjumlah 6. Pada penelitian ini kartu berisikan identitas trigononometri. Tugas siswa adalah mencari pasangan yang sesuai dengan rumus identitas trigonometri. Setelah kartu usai digunakan dalam pembelajaran siswa diarahkan untuk mengaplikasikan kedalam soal latihan. d. Hasil belajar dalam penelitian ini adalah hasil yang diperoleh siswa setelah pembelajaran trigonometri yang meliputi identitas trigonometri. Hasil belajar diperoleh dari nilai Post-test Trigonometri Adapaun permasalah dalam penelitian ini: yang diajukan a. Apakah terdapat pengaruh domino identitas trigonometri terhadap hasil belajar siswa? b. Apakah terdapat peningkatan hasil belajar siswa dengan menggunakan kartu Domino Trigonometri? Penelitian mengetahui: ini bertujuan untuk a. Interaksi antara penggunaan media dan kemampuan awal terhadap hasil belajar siswa. b. Mengetahui peningkatan hasil belajar siswa dengan menggunakan kartu Domino Trigonometri. Manfaat Praktis: a. Sebagai informasi keefektifan penggunaan kartu dalam proses pembelajaran. b. Sebagai informasi bagi guru bahwa dengan menggunakan kartu domino dapat meningkatkan hasil belajara siswa. c. Bagi siswa dapat mengurangi kejenuhan dalam belajar dan meningkatkan prestasi belajar siswa dalam pembelajaran trigonometri. Manfat teoritis: a. Memberikan sumbangan pemikiran dalam rangka terbangunya pengembangan keilmuan bagi pembelajaran khususnya. b. Mengembangkan konsep teknologi pembelajaran dalam kawasan pengelolaan pembelajaran. Pendidikan Matematika Universitas Muhammadiyah Purworejo, Ruang Seminar UM Purworejo, 28 Mei 2016 589 c. Dapat menambah referensi media pembelajaran yang belum banyak digunakan, karena domino trigonometri yang didesain dalam pembelajaran ini merupakan inovasi pembelajaran bagi pendidikan matematika. 2. KAJIAN LITERATUR DAN PEGEMBANGAN HIPOTESIS Matematika merupakan salah satu mata pelajaran yang diajarkan dari sekolah dasar hingga sekolah menengah atas. Budiastuti (2015) mengatakan bahwa matematika merupakan mata pelajaran yang membekali siswanya untuk memiliki kemampuan berfikir logis, analisis, sitematis, kritis dan kretif serta mampu bekerja sama. Namun, Tidak sedikit peserta didik merasa kesulitan dalam memahami konsep-konsep dalam mata pelajaran ini. Tidak jarang pula banyak siswa yang mengeluhkan bahwa matematika dianggap pelajaran yang mebosankan, menjenuhkan, menakutkan dan banyak sebutan lain yang bernilai negatif yang mengakibatkan rendahnya hasil belajar. Matematika merupakan ilmu yang mendasari perkembangan teknologi. Matematika pada materi trigometri dapat digunakan dalam menentukan arah kiblat Kuswidi (2003). Di Sekolah menengah atas Matematika sangat melandasi perkembangan teknologi, terutama membekali bagi siswa yang melanjutkan ke perguruan tinggi. Pelajaran matematika merupakan salah satu mata pelajaran yang dianggap sulit. Penyebab sulitnya pelajaran matematika dapat dikarenakan beberapa faktor. Diantaranya matematika merupakan suatu objek abstrak, cara mengajar buku, buku yang kurang menarik dan motivasi belajar siswa yang rendah. Pradana, G. S. (2015) menyatakan bahwa Perjudian dadu (domino) merupakan permainan yang popular di suatu daerah di 590 Surabaya, dikarenakan permainan tersebut dianggap mudah dalam permainannya. Kartu domino yang dimaksud disini bukanlah kartu domino yang digunakan untuk berjudi. Melainkan kartu domino disini merupakan hasil modifikasi kartu domino tersebut yang dikaitkan dengan materi trigonometri. Sehingga kartu domino ini dapat digunakan untuk menarik minat siswa dalam pembelajaran Matematika. Kartu domino Trigonometri cenderung mengarah kedalam pembelajaran yang bersifat permainan. Permainan Domino trigonometri selama kegiatan pembelajaran siswa akan berkelompok, sehingga terjadi interaksi antara siswa dengan siswa, siswa dengan guru maupun siswa dengan media belajar. Selama kegiatan belajar-mengajar sebagian besar aktivitas dilakukan oleh siswa (student center), guru hanya sebagai motivator dan vasilitator untuk siswa. Sehingga konsep materi ditanamkan sendiri oleh siswa. Beberapa penelitian yang relavan dengan penelitian ini adalah: a. Hasil Penelitian Tindakan kelas oleh Septy Cartika Sari (2014) menunjukkan bahwa penerapan permainan kartu dapat meningkatkan hasil belajar siswa pada materi identitas trigonometri b. Hasil Penelitian Ri Fazqi Marchi, Andy Sapta (2014) menunjukan bahwa dengan menggunakan TGT berbantukan domino trigonometri dapat meningkatkan hasil belajar siswa kelas X SMA Negeri 1 Aek Kuasan tahun ajaran 2013/2014. c. Hasil Penelitian Yogi Hestuaji, Suwarto WA dan Riyadi menunjukan bahwa hasil belajar matematika siswa dengan menggunakan media kartu domino lebih baik dibanding menggunakan media gambar diam. Dari beberapa penelitian di atas peneliti ingin mengetahui pengaruh domino identitas Prosiding Seminar Nasional Matematika dan Pendidikan Matematika, “Internalisasi Nilainilai Berpikir Matematis Dalam Perannya di Era Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA)” trigonometri. Peneliti memfokuskan pada hasil belajar siswa setelah diberi treatment domino identitas trigonometri. Hipotesis yang diajukan dalam penelitian ini adalah: : tidak terdapat pengaruh domino identitas trigonometri terhadap hasil belajar siswa. : terdapat pengaruh domino identitas trigonometri terhadap hasil belajar siswa. 3. METODE PENELITIAN Tempat Penelitian ini adalah SMA Muhammadiyah 4 Surabaya, dengan subyek penelitian adalah siswa kelas X semester genap tahun pelajaran 2015/2016. Jenis penelitian ini adalah eksperimen dengan pendekatan kuantitatif. Desain eksperimen dalam penelitian ini menggunakan bentuk desain Pre-Experimental Design. Metode eksperimen pada penelitian ini menggunakan One group pretest-posttest design. Rancangan penelitian dapat digambarkan sebagai berikut: Tabel 1. Rancangan Penelitian One Group Pretest-Posttest Design T1 X T2 Keterangan: = Pre-test = Pre-test Treatment domino identitas trigonometri. Populasi dalam penelitian ini adalah seluruh siswa SMA Muhammadiyah 4 Surabaya yang terdiri dari 5 kelas. Sedangkan sampel adalah satu kelas yaitu kelas X-5 (kelas eksperimen) tanpa kelas pembanding, dengan teknik pengambilan sampel Random Sampling. Variabel dalam penelitian ini ada dua yaitu variabel bebas dan variabel terikat. Variabel bebas disini Pembelajaran matematika dengan permainan domino identitas trigonometri. Sedangkan variabel terikatnya yaitu hasil belajar siswa. Instrumen penelitian ini terdiri dari terdiri dari Pre-test dan Post-test yang masingmasing terdiri dari 2 soal esai pembuktian identitas trigonometri. Instrumen pos tes diambil dari Buku Matematika Kurikulum 2013 Kelas X Edisi Revisi 2014. Peneliti berasumsi bahwa instrumen postes yang diambil dari sumber tsersebut telah valid dan reliabilitas. Soal-soal pre-test dilakukan untuk mengetahui kemampuan siswa sebelum diterapkan perlakuan, sedangkan pos-test dilakukan untuk mengetahui peningkatan hasil belajar siswa setelah diberi perlakuan. Teknik pengumpulan data yang digunakan yaitu teknik test. Teknik test digunakan untuk mengukur peningkatan pemahaman konsep dan hasil belajar siswa. Data yang dikumpulkan teknik ini adalah nilai Pre-Test sebelum diberikan treatment sebagai data awal yang digunakan untuk mengetahui tingkat kemampuan siswa di awal. Teknik yang digunakan dalam pengumpulan data adalah teknik Pengukuran. Pengukuran adalah cara pengumpulan data yang bersifat kuantitatif(Arikunto, 2015: 3). Teknik pengukuran adalah cara pengumpulan data yang bersifat kuantitatif, untuk mengetahui tingkat atau derajat aspek tertentu dibandingkan dengan norma tertentu sebagai satuan ukur yang relevan (Nawawi, 2005: 95). Teknik pengukuran yang dimaksud dalam penelitian ini adalah pemberian Pre-test sebelum diberi treatment dan Post-test setelah diberi treatment. Instrumen penelitian ini terdiri dari terdiri dari Pre-test dan Post-test yang masingmasing terdiri dari 2 soal pembuktian identitas trigonometri. Pendidikan Matematika Universitas Muhammadiyah Purworejo, Ruang Seminar UM Purworejo, 28 Mei 2016 591 4. HASIL DAN PEMBAHASAN Penelitian ini hanya terdiri dari 1 siklus yang dilaksanakan dua kali pertemuan . Perencanaan siklus I meliputi: a. b. c. d. e. Menyiapkan rencana pelaksaan (RPP). Menyiapkan materi. Menyiapkan pre-test. Meyiapkan domino identitas trigonometri Melakukan koordinasi antara peniliti dengan guru. Dari siklus I tersebut, pertemuan ke-1 meliputi meriview materi sebelumnya, perkenalan materi identitas trigonometri, pemberian contoh soal dan pemberian pretest. Pertemuan ke-2 meliputi review materi sebelumnya, peberian domino identitas trigonometri dan post-test. Pada Pengumpulan data selama penelitian, data yang diperoleh meliputi data hasil pre-test dan post-test. Setelah menerapkan pembelajaran (treatment). Peneliti menekankan kepada siswa untuk mengerjakan secara jujur dan tidak bekerja sama satu sama lain. Hal ini bertujuan agar data yang diperoleh akurat serta menghindari bias. Tabel 2. Hasil Pre-test dan Post-test. Kelas Eksperimen Keterangan Pre-test Post-test Rata-rata 13,00 74,80 Standar Deviasi 3,82 28,56 Untuk mengetahui seberapa besar pengaruh domino identitas trigonometri terhadap hasil belajar siswa dilakukan Uji-t satu sampel untuk uji hipotesis. Dari uji-t satu sampel diperoleh dan . Karena nilai yaitu dengan demikian diterima. Jadi dapat disimpulkan bahwa domino identitas 592 trigonometri memberikan pengaruh terhadap hasil belajar siswa. Hasil analisis data memperlihatkan bahwa hasil belajar siswa meningkat setelah diterapkan domino identitas trigonometri. Hal ini menunjukan bahwa penerapan domino identitas trigonometri memberi dampak positif terhadap hasil belajar siswa. 5. KESIMPULAN Berdasarkan hasil penelitian yang diperoleh setelah melakukan analisis dan pembahasan terhadap masalah yang telah dikemukakan dalam penelitian ini, dapat diambil kesimpulan bahwa: Domino identitas trigonometri memberikan pengaruh terhadap hasil belajar siswa, dengan demikian ditolak dan di terima. 6. REFERENSI Annisah, Siti.2014. Alat Peraga Pembelajaran Matematika. STAIN Jurai Siwo Metro: Jurnal Tarbawiyah Volume 11 Nomor 1 Edisi JanuariJuli 2014 Arikunto, Suharsimi.2015. Dasar-Dasar Evaluasi Pendidikan. Jakarta: Bumi Aksara. Budiastuti, Siti Amirah., Mardiyana., Triyanto. (2013). Eksperimentasi Model Pembelajaran Kooperatif Think Pair Share dan Team Assisted Individualization pada Materi Trigonometri Ditinjau dari Minat Belajar Matematika Siswa SMK di Kabupaten Ponorogo Tahun Pelajaran 2011/2012. Journal Article Volume1 Issue 4 Hestuaji,Yogi.,Riyadi,SuwartoWA. Pengaruh Media Kartu Domino Terhadap Pemahaman Konsep Pecahan. Surakarta: PGDS FKIP Universitas Sebelas Maret. Prosiding Seminar Nasional Matematika dan Pendidikan Matematika, “Internalisasi Nilainilai Berpikir Matematis Dalam Perannya di Era Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA)” Kuswidi, I. (2003). Aplikasi Trigonometri dalam Penentuan Arah Kiblat (Doctoral dissertation, UIN SUNAN KALIJAGA). Marchi, Ri Fazqi., Sapta2, Andy.2014. Meningkatkan Hasil Belajar Matematika Siswa Menggunakan Teams Games Tournaments Berbantukan Domino Trigonometri.Sumatra Utara: Jurusan Pendidikan Matematika, FKIP, Universitas Asahan. Faktor Jurnal Ilmiah Kependidikan Vol. I No. 2 Juli 2014 Nawawi. 1986. Metode Penelitian Bidang Sosial. Yogyakarta: Gajah University Pers Pradana, G. S. (2015). Eksistensi Dan Dinamika Transaksi Perjudian (Studi Kasus Judi Dadu di Stasiun Wonokromo Surabaya). Jurnal Ilmiah Mahasiswa FEB, 3(1). Puahadi, F. S., Tandiayuk, M. B., & Murdiana, I. N. (2015). Meningkatkan Hasil Belajar Siswa Kelas II SD GKST Hanggira Pada Materi Perkalian Dan Pembagian Bilangan Asli Melalui Penerapan Model Pembelajaran Kooperatif Tipe STAD Dengan Bantuan Alat Peraga Kartu Bergambar. Jurnal Kreatif Tadulako Online, 5(11). Sari, Septy Cartika .(2014). Penerapan Permainan Kartu Trigonometri dalam Materi Identitas Trigonometri untuk Meningkatkan Hasil Belajar Siswa. Undergraduate thesis, Faculty of Education. Sundayana, Rostina.2015. Media dan Alat Peraga dalam Pembelajaran Matematika. Bandung: ALFABETA. Pendidikan Matematika Universitas Muhammadiyah Purworejo, Ruang Seminar UM Purworejo, 28 Mei 2016 593 PENINGKATAN DISPOSISI MATEMATIS MELALUI METODE PEMBELAJARAN PROBLEM POSING Erni Puji Astuti1), Permanang Adiningsih2) FKP Pendidikan Matematika, Universitas Muhammadiyah Purworejo email: [email protected] 2 FKIP Pendidikan Matematika, Universitas Muhammadiyah Purworejo email: [email protected] 1 Abstrak Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui peningkatan disposisi matematis siswa kelas VII G SMP Negeri 1 Mirit melalui penerapan pembelajaran dengan metode Problem Posing. Jenis penelitiannya Penelitian Tindakan Kelas (PTK). Subjek penelitiannya siswa SMP Negeri 1 Mirit kelas VII G berjumlah 32 siswa yang terdiri dari 16 siswa perempuan dan 16 siswa laki-laki. Metode pengumpulan data menggunakan metode observasi, dokumentasi, wawancara tidak terstruktur, dan catatan lapangan. Analisis datanya secara kualitatif dan kuantitatif. Hasil penelitian menunjukkan bahwa metode pembelajaran problem posing dapat meningkatkan disposisi matematis siswa. Kata Kunci: Didposisi matematis, Problem Posing 1. PENDAHULUAN Tujuan Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP, 2006) untuk Sekolah Menengah Atas antara lain siswa memiliki sikap positif (disposisi) terhadap kegunaan matematika dalam kehidupan, kemampuan memahami konsep matematika serta kemampuan mengkomunikasikan gagasan atau ide matematika dengan menggunakan simbol, tabel, diagram, atau media lain. Berdasarkan observasi dan wawancara yang peneliti lakukan di SMP Negeri I Mirit kelas VII G pada hari Senin tanggal 2 November 2015 didapatkan berbagai informasi tentang berbagai permasalahan yang ada dalam proses pembelajaran matematika. Kepercayaan diri dan kegigihan siswa dalam memecahkan masalah masih rendah dan masih kesulitan ketika menjumpai soal cerita yang behubungan dengan kehidupan sehari-hari. Ketika mengerjakan soal latihan hanya terpaku dengan cara yang diajarkan oleh guru. Selain itu, ketertarikan, keingintahuan dalam belajar matematika rendah dan banyak siswa yang belum membuat ringkasan materi saat pelajaran berlangsung. Akhirnya, siswa merasa kesulitan dalam mengikuti kegiatan pembelajaran matematika serta kesulitan dalam membuat kesimpulan pada akhir 594 pembelajaran. Dari uraian di atas dapat ditarik kesimpulan bahwa disposisi matematis siswa rendah. Menurut Katz dalam Rifaatul Mahmuzah, dkk (2014) yang mengatakan bahwa disposisi matematis berkaitan dengan bagaimana siswa menyelesaikan masalah matematis, apakah mereka menyelesaikannya dengan penuh rasa percaya diri, tekun, berminat, dan berpikir fleksibel untuk menemukan berbagai alternatif penyelesaian masalah. Dari pendapat tersebut terlihat bahwa disposisi matematis sangat penting dimiliki oleh siswa untuk menunjang hasil belajar siswa. Faktor lain yang menyebabkan hasil belajar siswa rendah adalah kurang tepatnya guru dalam menggunakan model pembelajaran. Dalam penelitian ini peneliti menggunakan metode pembelajaran problem posing. Problem posing merupakan metode pembelajaran yang mengharuskan siswa menyusun pertanyaan sendiri atau memecah suatu soal menjadi pertanyaanpertanyaan yang lebih sederhana yang mengacu pada penyelesaian soal tersebut. Silver dan Cai dalam M. Thobroni (2015:288) menjelaskan bahwa pengajuan soal mandiri dapat diaplikasikan dalam tiga bentuk aktivitas kognitif matematika, yakni sebagai berikut. Pre-solution posing, yaitu Prosiding Seminar Nasional Matematika dan Pendidikan Matematika, “Internalisasi Nilainilai Berpikir Matematis Dalam Perannya di Era Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA)” jika seorang siswa membuat soal dari situasi yang diadakan. Jadi, guru diharapkan mampu membuat pertanyaan yang berkaitan dengan pernyataan yang dibuat sebelumnya. Within solution posing, yaitu jika seorang siswa mampu merumuskan ulang pertanyaan soal tersebut menjadi sub-sub pertanyaan baru yang urutan penyelesaiannya seperti yang telah diselesaikan sebelumnya. Jadi, diharapkan mampu membuat sub-sub pertanyaan baru dari sebuah pertanyaan yang ada pada soal yang bersangkutan. Dan post-solution posing, yaitu jika seorang siswa memodifikasi tujuan atau kondisi soal yang sudah diselesaikan untuk membuat soal yang baru yang sejenis. Penerapan metode pembelajaran problem posing adalah sebagai berikut. Guru menjelaskan materi pelajaran kepada para siswa dan memberikan latihan soal secukupnya. Penggunaan alat peraga untuk memperjelas konsep sangat disarankan. Siswa diminta mengajukan 1 atau 2 buah soal yang menantang dan siswa yang bersangkutan harus mampu menyelesaikannya. Tugas ini dapat pula dilakukan secara berkelompok. Pada pertemuan berikutnya, secara acak, guru menyuruh siswa untuk meyajikan soal temuannya di depan kelas. Dalam hal ini, guru dapat menentukan siswa secara selektif berdasarkan bobot soal yang diajukan oleh siswa M. Thobroni (2015:288). Untuk dapat membuat pengajuan soal dibutuhkan usaha yang tekun dan gigih serta rasa percata diri sehingga dapat meningkatkan disposisi matematis Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui bagaimana peningkatan disposisi matematis pembelajaran menggunakan metode pembelajaran problem posing. Sebagai bahan pembanding yang pertama yaitu hasil penelitian oleh Mahmuzah et al., (2014) menunjukkan bahwa peningkatan kemampuan berpikir kritis dan disposisi matematis siswa yang memperoleh pembelajaran dengan pendekatan problem posing secara signifikan lebih baik daripada siswa yang memperoleh pembelajaran konvensional baik secara keseluruhan maupun berdasarkan level siswa. 2. METODE PENELITIAN Penelitian ini merupakan Penelitian Tindakan Kelas (PTK) yang dilakukan secara kolaboratif dengan rekan sejawat. Penelitian ini dirancang dalam dua siklus yang dikembangkan dari empat komponen yang saling berhubungan dengan setiap empat komponen dipandang sebagai satu siklus. Secara umum, empat komponen itu yaitu perencanaan, pelaksanaan, pengamatan, dan refleksi (Arikunto Suharsimi 2008). Penelitian ini dilaksanakan pada semester genap tahun ajaran 2015/2016 yaitu pada bulan April sampai Mei 2014 dengan menyesuaikan jadwal pelajaran matematika yang ada di kelas. Subjek dalam penelitian ini adalah siswa kelas VII G semester II SMP Negeri 1 Mirit tahun pelajaran 2015/2016 sejumlah 32 siswa yang terdiri dari 16 siswa putra dan 16 siswa putri. Lokasinya di Desa Winong, Kecamatan Mirit, Kabupaten Kebumen. Metode pengumpulan data yang digunakan adalah metode observasi, dokumentasi, wawancara tidak terstruktur dan catatan lapangan. Instrumen yang digunakan berupa lembar observasi. Teknis analisis data yang dilakukan adalah analisis kualitatif dan kuantitatif. 3. HASIL DAN PEMBAHASAN Pengamatan dilakukan terhadap disposisi matematis siswa selama proses pembelajaran berlangsung. Hal ini dilakukan untuk mengetahui kelebihan dan kekurangan pada proses pembelajaran. Pengamatan dilakukan oleh guru mata pelajaran matematika dan observer dengan bantuan lembar observasi disposisi matematis yang diisi oleh observer. Berikut disajikan data dari masing-masing instrumen. Pada indikator percaya diri dalam menggunakan matematika, mengkomunikasikan ide-ide dan memberi alasan, rata-rata skor siswa meningkat dari siklus I ke siklus II yaitu rata-rata siswa sudah berani untuk menanggapi pendapat siswa lain ketika mengerjakan soal di depan kelas. Pada indikator fleksibel dalam Pendidikan Matematika Universitas Muhammadiyah Purworejo, Ruang Seminar UM Purworejo, 28 Mei 2016 595 mengeksplorasi ide-ide matematis dan mencoba berbagai metode alternatif untuk memecahkan masalah mengalami peningkatan yaitu pada awalnya siswa masih belum menggunakan berbagai alternatif jawaban dalam menyelesaiakan soal kemudian pada siklus II rata-rata siswa sudah bisa menggunakan berbagai alternatif jawaban dalam menyelesaiakan soal. Pada indikator bertekat kuat, gigih, ulet dalam menyelesaikan tugas-tugas matematika juga mengalami peningkatan yaitu pada siklus I masih ada bebrapa siswa yang berbicara sendiri ketika guru menjelaskan materi di depan dan mengerjakan PR kemudian pada siklus II sudah semua siswa tidak berbicara sendiri dan mengerjakan PR. Selanjutnya pada indikator ketertarikan, keingintahuan dan kemampuan dalam bermatematik mengalami peningkatan yatu dari siswa belum berani bertanya tentang hal yang belum dipahami menjadi berani untuk bertanya hal ang belum dipahami. Pada indikator melakukan refleksi diri terhadap cara berpikir dari siklus I ke siklus II mengalami peningkatan yaitu hampir semua siswa mampu membuat ringkasan materi sendiri. Pada indikator disposisi matematis yang terakhir yaitu menghargai aplikasi matematika siswa sudah bisa menggunakan permasalahan sehari-hari dalam membuat pengajuan soal dan dapat menyelesaikannya. Tabel 1 Peningkatan disposisi matematis melalui lembar observasi Indikator 1 Siklus I (%) 64,87 2 37,88 3 71,55 4 43,37 5 85,45 6 41,16 Rta-rata 64,87 5. SIMPULAN DAN SARAN Simpulan 596 Siklus II (%) 80,47 93,75 93,75 81,25 90,63 90,63 88,41 Berdasarkan hasil penelitian ini dapat disimpulkan bahwa melalui metode pembelajaran problem posing mampu meningkatkan disposisi matematis siswa kelas VII G SMP Negeri 1 Mirit tahun pelajaran 2015/2016 Saran Berdasarkan temuan dalam penelitian ini, maka saran yang dapat diberikan yaitu pembelajaran dengan pendekatan problem posing hendaknya dapat dijadikan sebagai salah satu alternatif model pembelajaran di SMP terutama untuk meningkatkan disposisi matematis siswa, serta untuk ke depan diharapkan pembelajaran dengan pendekatan problem posing juga diterapkan secara individu sehingga akan lebih melatih kemandirian siswa dalam pembelajaran. 6. REFERENSI Arikunto, Suharsimi. 2008. Penelitian Tindakan Kelas. Jakarta: Bumi Aksara. Depdiknas. 2006. Kurikulum Satuan Pendidikan. Depdiknas. Tingkat Jakarta: Thobroni. 2015. Belajar dan Pembelajaran. Yogyakarta: Ar-Ruzz media. Mahmuzah, Rifaatul dkk. 2014. Peningkatan Kemampuan Berpikir Kritis dan Disposisi MatematisSiswa SMP dengan Menggunakan Pendekatan Problem Posing. Kuala:Universitas Syiah Kuala. Tersedia di www.jurnal.unsyiah.ac.id/DM/article /dowload/2076/2030. Diunduh 8 November 2015. Prosiding Seminar Nasional Matematika dan Pendidikan Matematika, “Internalisasi Nilainilai Berpikir Matematis Dalam Perannya di Era Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA)” PENGARUH PEMBELAJARAN DENGAN PENDEKATAN ANALITIK SINTETIK TERHADAP PENINGKATAN KEMAMPUAN BERPIKIR KRITIS MATEMATIS SISWA SMP Mulfia Sari Departemen Pendidikan Matematika, Sekolah Pasca Sarjana, Universitas Pendidikan Indonesia Email: [email protected] Abstrak Tujuan utama dari penelitian ini adalah untuk mengetahui pengaruh pembelajaran matematika dengan pendekatan analitik sintetik terhadap peningkatan kemampuan berpikir kritis matematis pada siswa SMP. Penelitian ini merupakan kuasi eksperimen dengan subyek populasi adalah seluruh siswa SMPN 1 Lembah Gumanti Kabupaten Solok. Sampel penelitiannya adalah VIIA dan VII E. Banyak sampel 48 siswa yang terdistribusi dalam dua kelas. Sampel dipilih secara purposive sampling. Instrumen yang digunakan adalah tes kemampuan berpikir kritis matematis siswa. Analisis data dalam penelitian ini menggunakan Uji t dan Uji Anova Satu Jalur. Hasil penelitian menunjukan bahwa terdapat perbedaan pada peningkatan kemampuan berpikir kritis matematis siswa; terdapat perbedaan peningkatan kemampuan berpikir kritis matematis siswa kelas eksperimen antara kelompok tinggi dan kelompok sedang, kelompok tinggi dan kelompok rendah, namun tidak terdapat perbedaan antara kelompok sedang dan kelompok rendah. Peningkatan kemampuan berpikir kritis matematis kelompok tinggi berada pada kategori sedang, sedangkan pada kelompok sedang dan rendah berada pada kategori rendah. Kata Kunci: Pendekatan Pembelajaran Analitik Sintetik, Berpikir Kritis Matematis, dan SelfRegulated Learning. 1. PENDAHULUAN Fokus pendidikan dewasa ini adalah mengembangkan kemampuan berpikir logis, kritis, analitik, konsisten dan teliti, bertanggung jawab, responsif dan tidak mudah menyerah dalam memecahkan soal matematika. Menurut Chukwuyenum (2014) kemampuan berpikir kritis sangat diperlukan manusia dalam kehidupan sehari-hari untuk mencapai tujuan. Tujuan akan tercapai dengan menalar, memahami, menginterpretasi, menganalisis dan mengevaluasi informasi yang pada akhirnya berguna untuk pengambilan keputusan. Proses ini melibatkan berpikir kritis karena memungkinkan seseorang mengambil keputusan dengan reliabel dan valid, dan dapat beradaptasi dengan perubahan lingkungan tertentu. Kemampuan berpikir kritis dapat berkembang dengan baik jika pembelajaran yang dilakukan adalah pembelajaran yang memberikan kesempatan kepada siswa untuk mengembangkan kemampuan mereka dalam berpikir. Tetapi, metode yang sekarang digunakan di sekolah masih metode konvensional. Peter (2012), pemilihan metode pembelajaran yang selama ini dipilih merupakan salah satu penyebab siswa jarang menggunakan kemampuan berpikir kritis untuk memecahkan masalah kompleks maupun masalah di dunia nyata. Selama ini, guru hanya mengajar satu arah dengan memberikan materi kemudian contoh soal dan meminta siswa mengerjakan soal dengan prosedur yang telah diajarkan guru. Sehingga keadaan ini tidak lagi tidak lagi sesuai dengan target dan tujuan pembelajaran matematika. Beberapa penelitian tentang kemampuan berpikir kritis, misalnya penelitian . Mulyana (2008) menyatakan siswa masih mengalami kesulitan dalam menyelesaikan persoalan rutin terlebih lagi soal yang membutuhkan kemampuan berpikir tingkat tinggi, Lestari (2013) yang meneliti tentang kemampuan berpikir kritis pada materi geometri bangun ruang Kubus dan Balok menyimpulkan bahwa rata-rata skor postes kemampuan berpikir kritis matematis hanya sebesar 54% dari skor ideal setelah diberikan perlakuan pembelajaran dengan model Brain Based Learning. Pendidikan Matematika Universitas Muhammadiyah Purworejo , Ruang Seminar UMP, Sabtu, 28 Mei 2016 597 Jacqueline dan Brooks (Syahbana, 2012), kebiasaan berpikir kritis matematis belum ditradisikan di sekolah-sekolah. Sekolah justru mendorong siswa memberikan jawaban yang benar ketimbang memunculkan ide-ide baru atau memikirkan ulang kesimpulan yang sudah ada. Siswa telah terbiasa diarahkan dalam menghapal rumus daripada memahami konsep matematika, sehingga siswa menjadi kehilangan sense of learning. Akibatnya siswa bersikap pasif dan hanya menerima apa yang disampaikan oleh guru. Salah satu upaya yang dapat dilakukan untuk mengatasi permasalahan tersebut adalah dari pelaksanaan pembelajaran. Pembelajaran yang sebaiknya dilakukan adalah pembelajaran yang memberikan kesempatan kepada siswa untuk mengembangkan kemampuan mereka dalam berpikir. Salah satu solusi adalah dengan memilih pendekatan pembelajaran yang lebih banyak melibatkan siswa secara aktif dalam proses pembelajaran itu sendiri, sebagai kebijakan yang diambil guru untuk mencapai tujuan pembelajaran matematika. Penulis memandang bahwa pendekatan analitik sintetik dianggap dapat meningkatkan kemampuan intelektual siswa. Hal ini dikarenakan pendekatan analitik sintetik menerapkan sistem pembelajaran yang bertahap dan beranjak dari hal yang sederhana, sehingga siswa lebih mudah memahami apa yang menjadi proses menyelesaikan suatu persoalan matematika. Berdasarkan uraian di atas, maka perlu dilakukan studi mengenai pengaruh pembelajaran dengan pendekatan analitik sintetik terhadapa peningkatan kemampuan berpikir matematis siswa SMP. Selain faktor pembelajaran, terdapat faktor lain yang diduga dapat berkontribusi terhadap perkembangan kemampuan berpikir kritis, yaitu faktor kemampuan awal matematika siswa. Jumaisyaroh,dkk (2014) menyatakan bahwa kemampuan awal matematika siswa berkontribusi besar dalam belajar matematika karena matematika yang bersifat hirarki. Membagi siswa dalam tiga kelompok berdasarkan KAM bertujuan untuk melihat apakah model pembelajaran yang diterapkan berpengaruh terhadap seluruh kemampuan siswa atau hanya pada siswa dengan tingkat kemampuan tertentu Berdasarkan uraian di atas, tujuan yang akan dicapai pada penelitian ini adalah untuk: 598 a. Mengkaji perbedaan peningkatan kemampuan berpikir kritis matematis antara siswa yang memperoleh pembelajaran dengan pendekatan analitik sintetik dan siswa yang memperoleh pembelajaran secara konvensional? b. Mengkaji perbedaan peningkatan kemampuan berpikir kritis matematis siswa yang memperoleh pembelajaran dengan pendekatan analitik sintetik ditinjau dari KAM (tinggi, sedang, rendah)? 2. KAJIAN LITERATUR DAN HIPOTESIS a. Berpikir Berpikir dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia adalah mempertimbangkan dan memutuskan sesuatu dan menimbang-nimbang dalam ingatan. Berpikir menurut Bochenski (Suriasumantri, 2007) adalah berkembangnya ide dan konsep diri seseorang. Gagasan dan konsep dari seseorang dapat berkembang karena adanya informasi yang baru masuk. Jika tidak terjadi keseimbangan antara informasi yang sudah ada dengan informasi yang baru, maka pemikiran manusia secara kritis dapat memilah apakah informasi baru dapat menyatu dengan gagasan yang sudah ada atau akan dibiarkan hilang saja. Berdasarkan pembahasan di atas dapat disimpulkan bahwa berpikir adalah proses menganalisis dengan pertimbangan tertentu untuk menentukan suatu keputusan terhadap persoalan yang dihadapi. b. Berpikir Kritis Matematis Menurut Ennis (1996) berpikir kritis adalah suatu proses berpikir yang bertujuan untuk membuat keputusan yang rasional yang diarahkan untuk memutuskan apakah meyakini atau melakukan sesuatu. Chukwuyenum (2014) menyatakan bahwa kemampuan berpikir kritis matematis merupakan kemampuan memecahkan beberapa masalah dengan meibatkan penalaran logis, menafsirkan, menganalisis dan mengevaluasi informasi untuk menghasilkan keputusan yang valid. Berpikir kritis (Pamungkas, 2014) merupakan alur berpikir matematis dimana siswa memulai dengan melihat apa yang disajikan, mengidentifikasi masalah, menjastifikasi, mengeksplorasi, mengkonstruksi, menggunakan, menerangkan, mengembangkan dan membuktikan apa yang Prosiding Seminar Nasional Matematika dan Pendidikan Matematika, “Internalisasi Nilainilai Berpikir Matematis Dalam Perannya di Era Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA)” sedang berlangsung secara social interaktif dan reflektif. Sehingga pengajaran yang dilakukan tidak hanya bertujuan agar siswa mudah memahami pelajaran tapi juga dapat mengembangkan kemampuan berpikir kritis siswa. Ennis (1996) mengungkapkan indikator berpikir kritis yang berkaitan dengan pembelajaran di dalam kelas. Indikator umum terdiri dari (1) Kemampuan (abilities) yaitu fokus pada suatu isu spesifik, menyimpan tujuan utama dalam pikiran, menanyakan pertanyaan-pertanyaan klarifikasi, menanyakan pertanyaan-pertanyaan penjelas, memperhatikan pendapat siswa, salah maupun benar, dan mendiskusikannya, mengkoneksikan pengetahuan sebelumnya dengan pengetahuan yang baru, secara tepat menggunakan pernyataan dan simbol, menyediakan informasi dalam suatu cara yang sistematis, menekankan pada urutan logis, kekonsistenan dalam pernyataan-pernyataan. (2) Pengaturan (dispositions) yaitu menekankan kebutuhan untuk mengidentifikasi tujuan dan apa yang seharusnya dikerjakan sebelum menjawab, menekankan kebutuhan untuk mengidentifikasi informasi yang diberikan sebelum menjawab, mendorong siswa untuk mencari informasi yang diperlukan, mendorong siswa untuk menguji solusi yang diperoleh, memberi kesempatan kepada siswa untuk merepresentasi informasi dengan menggunakan tabel, grafik, dan lain-lain. Selanjutnya Ennis (Innabi, 2003) menyatakan untuk indikator yang berkaitan dengan isi (konten), yaitu (1) Konsep (concept) yaitu mengidentifikasi karakteristik konsep, membandingkan konsep dengan konsep lain, mengidentifikasi contoh konsep dengan jastifikasi yang diberikan, mengidentifikasi kontra contoh konsep dengan jastifikasi yang diberikan. (2) Generalisasi (generalizations) yaitu menentukan konsepkonsep yang termuat dalam generalisasi dan keterkaitannya, menentukan kondisi-kondisi dalam menerapkan generalisasi, menentukan rumusan-rumusan yang berbeda dari generalisasi (situasi khusus), menyediakan bukti pendukung untuk generalisasi. (3) Algoritma dan keterampilan (algorithms and skills) yaitu mengklarifikasi dasar konseptual dari keterampilan, membandingkan performan siswa dengan performan yang patut dicontoh. (4) Pemecahan masalah (problem solving) yaitu merancang bentuk umum untuk tujuan penyelesaian menentukan informasi yang diberikan, menentukan relevansi dan tidak relevansinya suatu informasi, memilih dan menjastifikasi suatu strategi untuk memecahkan masalah, menentukan dan mendeduksi sub-tujuan, yang mengarah pada tujuan, menyarankan metode alternatif untuk memecahkan masalah, menentukan keserupaan dan perbedaan antara masalah yang diberikan dan masalah lain. Berdasarkan pembahasan di atas, dapat disimpulkan bahwa kemampuan berpikir kritis adalah kemampuan mengidentifikasi konsep, menggeneralisasi, memeriksa algoritma dan memecahkan masalah matematika. Salah satu pembelajaran yang mengacu pada proses pembelajaran yang memuat unsur konstruktif dan reflektif adalah dengan pembelajaran dengan pendekatan analitik sintetik. Karena dengan penggunaan pendekatan ini, siswa akan diajarkan untuk menganalisis suatu permasalahan matematika dengan memberikan intervensi jika siswa mengalami kesulitan sehingga siswa merasa tertantang dan tertarik untuk belajar, yang berimbas dengan meningkatnya kemampuan berpikir kritis siswa. c. Pendekatan Analitik Sintetik Pendekatan analitik sintetik merupakan gabungan antara pendekatan analitik dan pendekatan sintetik. Munandar (1999) menyatakan bahwa pendekatan analitik adalah pendekatan yang menampilkan kegiatan siswa dalam hal membedakan, menguji, menggolongkan, menyususn, menguraikan, membandingkan, membuat deduksi dan memeriksa. Menurut Rubiyanto (2013), pendekatan analitik merupakan proses penyelesaian masalah dilakukan selangkah demi selangkah dan tiap langkah dapat dijelaskan karena berasal dari informasi dan operasi yang benar. Sementara pendekatan sintetik merupakan lawan dari pendekatan analitik. Pendekatan sintetik menurut Munandar (1999) mengatakan bahwa kegiatan sintetik meliputi kegiatan merancang, Pendidikan Matematika Universitas Muhammadiyah Purworejo , Ruang Seminar UMP, Sabtu, 28 Mei 2016 599 menggabungkan, menambah, membangun, mengembangkan, mengelola, merencanakan, mengusulkan dan membuat hipotesis. Menurut Budiharsono (Rubiyanto,2013) pendekatan sintetik adalah proses pembelajaran yang lebih mengarah pada suatu hal bersifat umum yang diketahui oleh siswa sehingga dalam prosesnya peserta didik bisa menjelaskan kembali sebagai hasil dari proses pembelajaran. Ritchey (1996) menyatakan bahwa analisis dan sintesis selalu berjalan beriringan dan saling melengkapi satu sama lain. Setiap kegiatan sintetik dibangun di atas hasil analisis sebelumnya, dan setiap kegiatan analisis membutuhkan sintesis berikutnya untuk memverifikasi dan memperbaiki hasilnya. Menurut Mulyana (2008), Pembelajaran Analitik Sintetik merupakan pembelajaran pemecahan masalah yang diberikan dari dan tidak diketahui, kemudian menuliskan persamaan yang sebenarnya setelah menggunakan arti kata dan alasan matematika, manipulasi aljabar, dan kalkulasi aljabar. Stenberg (Mulyana, 2008) memberikan langkah-langkah pembelajaran analitik sintetik sebagai barikut: 1. Menganalisis suatu masalah menjadi bagian yang lebih khusus atau lebih sederhana, seperti menganalisis elemen, menganalisis hubungan, menganalisis pola dan menganalisis tautan 2. Memadukan bagian secara logik sehingga diperoleh penyelesaian suatu masalah seperti menemukan hubungan, menemukan konsep, dan menyusun pembuktian 3. Membuat kesimpulan. Pembelajaran dengan menggunakan pendekatan ini dapat memudahkan siswa dalam menyelesaikan masalah matematika. Karena pendekatan ini digunakan sebagai landasan berpikir analisis, langkah-langkah yang diatur secara runtun dan sedemikian rupa yang dapat memudahkan siswa dalam mengerjakan soal yang diberikan. Karakteristik dari pembelajaran analitik sintetik adalah (Mulyana, 2008): Pembelajaran diawali dengan pengajuan masalah matematika kepada siswa sehingga terjadi konflik kognitif yang akan mengakibatkan terjadinya proses asimilasi, akomodasi, dan ekuilibrasi; masalah dianalisis 600 dari hal yang cukup besar dan umum dan menjadi bagian-bagian yang lebih khusus atau sederhana; konjektur dan pembuktian konjektur disintesis oleh siswa secara berkelompok; pemberian intervensi dari guru ketika menganalisis masalah, mensintesis konjektur dan pembuktian konjektur dan ketika menyelesaikan masalah; menyajikan hasil kegiatan analisis dan sintesisnya di forum kelas; dan menerapkan teorema yang sudah diperoleh dalam menyelesaikan soal-soal terutama tipe analisis, sintesis dan evaluasi. Berdasarkan tujuan penelitian, maka rumusan hipotesisnya adalah: 1. Terdapat perbedaan signifikan peningkatan kemampuan berpikir kritis matematis antara siswa yang memperoleh pembelajaran dengan pendekatan analitik sintetik dan siswa yang memperoleh pembelajaran secara konvensional. 2. Terdapat perbedaan signifikan peningkatan kemampuan berpikir kritis matematis siswa yang memperoleh pembelajaran dengan pendekatan analitik sintetik ditinjau dari KAM (tinggi, sedang, rendah). 3. METODE PENELITIAN Penelitian ini merupakan penelitian kuasi eksperimen dengan desain pretes-postes kontrol. Adapun desain penelitian di gambar sebagai berikut: Kelas eksperimen Kelas Kontrol O X O ------------------O O Pengukuran kemampuan berpikir kritis matematis siswa dilakukan sebelum dan sesudah diberi perlakuan baik kepada kelompok eksperimen maupun kepada kelompok kontrol. Pengukuran sebelum diberikan perlakukan (pretes) bertujuan untuk melihat kesetaraan kemampuan awal kedua kelompok. Populasi pada penelitian ini dilaksanakan pada siswa salah satu Sekolah Menengah Pertama Negeri di Kabupaten Solok Sumatera Barat. Sampel pada penelitian ini, kelas VII A menjadi kelas eksperimen sebanyak 24 siswa dan kelas VII menjadi kelas kontrol juga sebanyak 24 siswa. Pemilihan sampel dilakukan dengan teknik purposive Prosiding Seminar Nasional Matematika dan Pendidikan Matematika, “Internalisasi Nilainilai Berpikir Matematis Dalam Perannya di Era Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA)” sampling. Kelas tersebut dipilih dari kelas yang ada. Instrumen penelitian ini adalah tes kemampuan awal dan tes kemampuan berpikir kritis matematis. Tes kemampuan awal adalah tes untuk materi prasyarat sebelum pembelajaran berlangsung. Hasil dari tes kemampuan awal digunakan untuk mengelompokan siswa kelas eksperimen berdasarkan kategori nilai tinggi, sedang dan rendah. Sedangkan, tes kemampuan berpikir kritis bertujuan untuk mengukur sejauh mana siswa bisa berpikir secara kritis pada materi segi empat sebelum dan sesudah pembelajaran dengan pendekatan analitik sitetik dilaksanakan. Tes kemampuan berpikir kritis pada penelitian ini berupa pretes dan postes dalam bentuk uraian. Soal terdiri dari 4 soal yang diberikan kepada kelas eksperimen dan kelas kontrol. Tes ini dilakukan untuk mengetahui pengetahuan awal siswa dan untuk memperoleh kesetaraan nilai rata-rata kelas eksperimen dan kelas kontrol. Analisis data yang dilakukan adalah secara kuantitatif adalah uji normalitas, uji homogenitas dan uji hipotesis (uji-t dan Uji anova satu jalur dengan uji lanjutan Games Howell) Untuk menghindari terjadinya perbedaan pendapat mengenai hal-hal yang dimaksudkan dalam penelitian ini, maka peneliti membatasi definisi dalam definisi operasional, yaitu: a. Kemampuan berpikir kritis matematis adalah kemampuan mengidentifikasi konsep, menggeneralisasi, memeriksa algoritma dan memecahkan masalah. Mengidentifikasi konsep adalah kemampuan mengidentifikasi sifat-sifat/ karakteristik suatu konsep dan menghubungkan dengan konsep lain. Menggeneralisasi adalah kemampuan menemukan aturan umum suatu konsep. Memeriksa algoritma adalah kemampuan memeriksa dan memberikan kesimpulan dengan benar. Memecahkan masalah adalah kemampuan mengidentifikasi unsur yang diketahui, yang ditanyakan dan memilih strategi yang dipandang tepat sehingga didapatkan kesimpulan dari penyelesaian masalah. b. Pendekatan analitik sintetik adalah pendekatan pembelajaran yang menganalisis suatu persoalan yang ada dan menyelesaikannya secara runtut atau sintetis untuk menemukan hasil dengan langkah menganalisis suatu masalah menjadi bagian yang lebih sederhana, memadukan bagian secara logik sehingga diperoleh penyelesaian dan membuat kesimpulan. c. Pembelajaran konvensional adalah pembelajaran yang berpusat pada guru atau metode ceramah, memberi contoh soal, dan memberikan latihan soal dan tanya jawab. 4. HASIL DAN PEMBAHASAN a. Hasil dan Analisis Peningkatan Kemampuan Berpikir Kritis Matematis Siswa Tabel 1 Statistik Deskriptif Skor pretes, Postes dan N-Gain Kemampuan Berpikir Kritis Matematika Kelas Pretes Min Maks Eksperimen 0 4 Kontrol 0 5 Postes s Min Maks 2,13 1,19 3 15 1,88 1,51 2 13 N-gain s Min Maks s 8,33 2,58 0,13 0,92 0,45 0,17 6,67 3,03 0,07 0,73 0,34 0,19 Keterangan: Skor ideal tes berpikir kritis matematis adalah 16 Tabel 1 menunjukkan hasil penelitian ini secara deskriptif . Rerata n-gain kelas eksperimen sebesar 0,45 dengan standar deviasi 0,17 dan rerata n-gain kelas kontrol sebesar 0,34 dengan standar deviasi 0,19. Artinya siswa kelas yang mendapat pembelajaran analitik sintetik lebih baik dari pada siswa kelas konvensional. Pendidikan Matematika Universitas Muhammadiyah Purworejo , Ruang Seminar UMP, Sabtu, 28 Mei 2016 601 Selanjutnya dilakukan pengujian hipotesis perbedaan rerata untuk melihat peningkatan kemampuan berpikir kritis matematis kelas eksperimen dan kelas kontrol berbeda atau tidak secara signifikan. Tapi sebelumnya dilakukan uji normalitas dan uji homogenitas sebagai prasyarat untuk menentukan statistik uji yang akan digunakan pada analisis data. Setelah dilakukan uji normalitas terhadap populasi dimana sampel tersebut ternyata memenuhi asumsi normalitas dan homogenitas, maka selanjutnya dilakukan uji statistik menggunakan uji-t. Hasil uji statistik disajikan dalam tabel 2 berikut: Tabel 2 Hasil Uji Perbedaan Rerata Data N-Gain Berpikir Kritis Matematis t-tes for Equality of Means Equal variances assumed t Df 2,018 46 Pada tabel 2 terlihat bahwa terdapat perbedaan peningkatan kemampuan berpikir kritis matematis antara siswa memperoleh pembelajaran dengan pendekatan analitik sintetik dan siswa yang memperoleh pembelajaran konvensional. Berdasarkan analisis data terdapat temuan yang menunjukan bahwa peningkatan kemampuan berpikir kritis matematis berbeda antara kelas eksperimen dan kelas kontrol. Hal ini sejalan dengan penelitian yang dilkakukan Keterangan oleh Mulyan Tolak Ho a (2008) yang menyatakan bahwa dengan penggunaan model ini dapat mengembangkan kemampuan berpikir siswa baik berpikir kritis maupuan berpikir kreatif. Sig. (2-tailed) 0,049 b. Hasil dan Analisis Peningkatan kemampuan berpikir Kritis Matematis Siswa Kelas Eksperimen Ditinjau dari KAM (tiggi, sedang rendah) Tabel 3 Hasil Uji Data N-Gain Kemampuan Berpikir Kritis Matematis Berdasarkan KAM Ukuran Statistik Kategori Rerata N-Gain Jumlah Siswa Sedang 7 0,05 Rendah 11 0,04 rendah 6 No Kelompok 1 Tinggi 0,54 Standar Deviasi 0,21 2 Sedang 0,14 3 Rendah 0,12 Rerata Selanjutnya dilakukan uji normalitas dan uji homogenitas sebagai prasyarat untuk menentukan statistik uji yang akan digunakan pada analisis data. Setelah diuji, ternyata data memenuhi asumsi normalitas tapi tidak homogenitas, maka selanjutnya dilakukan uji statistik menggunakan uji Anova satu jalur dengan uji lanjutan uji Gomes -Howell. Hasil analisis disajikan dalam tabel 4 berikut: Tabel 4 Hasil Uji Perbedaan Data N-Gain Berpikir Kritis Matematis Berdasarkan KAM 602 Sum of Squares df Mean Square F Sig. Between Groups ,807 2 ,404 30,110 ,000 Within Groups ,282 21 ,013 Prosiding Seminar Nasional Matematika dan Pendidikan Matematika, “Internalisasi Nilainilai Berpikir Matematis Dalam Perannya di Era Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA)” Total 1,089 23 Pada tabel 4 terlihat bahwa terdapat perbedaan peningkatan kemampuan berpikir kritis matematis antara siswa memperoleh pembelajaran dengan pendekatan analitik sintetik dan siswa yng memperoleh pembelajaran konvensional. Karena pengujian dengan Anova satu jalur menunjukkan bahwa terdapat perbedaan maka dilakukan uji lanjut (post hoc) untuk melihat kelompok mana yang berbeda. Dan karena varians sampel tidak homogen maka uji post hoc dapat ditempuh dengan uji Games-Howell. Tabel 5 Hasil Uji Post Hoc N-Gain Kemampuan Berpikir Kritis Matematis Ditinjau dari KAM (I) grup (J) grup 1 2 3 2 3 1 3 1 2 Mean Std. Error Difference (IJ) ,39299* ,07838 ,42071* ,07917 -,39299* ,07838 ,02773 ,02296 -,42071* ,07917 -,02773 ,02296 Keterangan: 1 : Kemampuan berpikir kritis matematis siswa kelompok tinggi. 2 : Kemampuan berpikir kritis matematis siswa kelompok sedang. 3 : Kemampuan berpikir kritis matematis siswa kelompok rendah. Berdasarkan tabel 5 menunjukkan bahwa: kemampuan berpikir kritis matematis siswa kelompok tinggi lebih baik daripada siswa kelompok sedang; kemampuan berpikir kritis matematis siswa kelompok tinggi lebih baik daripada siswa kelompok rendah; dan kemampuan berpikir kritis matematis siswa kelompok sedang tidak lebih baik daripada siswa kelompok rendah. Penerapan pembelajaran dengan pendekatan analitik sintetik adalah dengan memberikan Lembar kerja siswa (LKS) yang memandu siswa dalam melakukan kegiatannya sendiri dari awal hingga membuat kesimpulan. Siswa diminta untuk menemukan sendiri konsep-konsep yang akan dipelajari sehingga pembelajarannya menjadi lebih bermakna dalam kelompok belajar. Hal ini sejalan dengan teori Vigotski (Wulandari, 2015) yang menyatakan bahwa interaksi antara individu dengan individu lain merupakan faktor terpenting yang dapat memicu perkembangan kognitif. Saat diskusi, siswa diperbolehkan bertanya jika menghadapi kesulitan sebagai Sig. 95% Confidence Interval Lower Bound Upper Bound ,005 ,1569 ,6291 ,003 ,1846 ,6569 ,005 -,6291 -,1569 ,473 -,0343 ,0897 ,003 -,6569 -,1846 ,473 -,0897 ,0343 bentuk intervensi guru (scaffolding). Guru tidak memberikan solusi secara langsung tapi hanya memberikan arahan agar siswa dapat menemukan solusi sendiri. Hal ini mendukung teori Vigotsky (Wulandari, 2015) yang menyatakan bahwa scaffolding merupakan bantuan secara bertahap yang diberikan oleh guru ataupun orang lain yang dipandang lebih paham, kemudian mengurangi bantuan tersebut hingga siswa bisa mengerjakan sendiri. Tahap selanjutnya adalah presentasi oleh perwakilan kelompok. Pada tahap ini siswa dari kelompok lain, diperbolehkan bertanya dan memberikan pernyataan jika hasilnya tidak sesuai dengan hasil yang mereka dapat. Hal ini membuat siswa termotivasi untuk proaktif dalam pembelajaran, sehingga juga dapat memacu kemampuan berpikir kritis mereka. Kemudia guru bersama siswa membuat kesimpulan untuk konsep yang diberikan pada LKS, sehingga terbentuklan satu pemahaman pada siswa. Ditambah lagi, dengan pemberian soal penerapan konsep yang telah diperoleh, hal ini sesuai dengan Abdurrahman dan Sintawati (2013) yang menyatakan dengan pemberian soal penerapan akan diikuti dengan rasa ingin tahu dan berusaha untuk menemukan penyelesaian dari persoalan matematika tersebut. Pendidikan Matematika Universitas Muhammadiyah Purworejo , Ruang Seminar UMP, Sabtu, 28 Mei 2016 603 Jika ditinjau berdasarkan KAM (tinggi, sedang, rendah) pada kelas eksperimen, hasil penelitian menunjukan bahwa KAM memberikan pengaruh terhadap peningkatan kemampuan berpikir kritis matematis. Dimana terlihat pada hasil analisis data bahwa terdapat perbedaan rerata peningkatan kemampuan berpikir kritis matematis siswa pada kelas eksperimen jika ditinjau dari KAM. Secara lebih lanjut, dengan uji Games-Howell diperoleh perbedaan rinci dari kelompok tinggi, sedang dan rendah tersebut. Hasil pengujian Games Howell menyatakan bahwa peningkatan kemampuan berpikir kritis matematis kelompok tinggi lebih baik jika dibanding kelompok sedang dan rendah, tapi tidak terdapat perbedaan pada peningkatan kemampuan berpikir kritis matematis siswa kelompok sedang dan rendah. 5. KESIMPULAN Berdasarkan hasil temuan dan analisis data hasil penelitian, mengenai kemampuan berpikir kritis matematis siswa melalui pembelajaran dengan pendekatan analitik sintetik dan pembelajaran konvensional, maka peneliti memperoleh beberapa kesimpulan sebagai berikut: (1) Terdapat perbedaan peningkatan kemampuan berpikir kritis matematis siswa yang memperoleh pembelajaran dengan pendekatan analitik sintetik dengan siswa yang memperoleh pembelajaran konvensional. (2) Terdapat perbedaan signifikan peningkatan kemampuan berpikir krits matematis pada kelas eksperimen antara siswa kelompok tinggi dan siswa kelompok sedang, antara siswa kelompok tinggi dengan siswa kelompok rendah, sedangkan peningkatan kemampuan berpikir kritis matematis siswa kelompok sedang tidak berbeda dengan siswa kelompok rendah. Peningkatan kemampuan berpikir kritis matematis siswa kelompok tinggi lebih baik dari pada siswa kelompok sedang dan kelompok rendah. Peningkatan kemampuan berpikir kritis matematis siswa kelompok tinggi termasuk kategori sedang, sdangkan peningkatan kemampuan berpikir kritis matematis kelompok sedang dan rendah termasuk kategori rendah. 604 6. REFERENSI Abdurrahman, G. & Sintawati, M. (2013). Strategi Brain –based Learning dalam Pembelajaran Matematika untuk Mengembangkan Kemampuan Berpikir Kritis dan Kreatif Siswa. Hand-Out Seminar Nasional Matematika dan Aplikasinta. Yogyakarta : Tidak Dipublikasikan. Chukwuyenum, A.N. (2013). Impact of Critical thingking of Performance in Mathematics among Secondary School Students in Lagos State [online]. Tersedia : www.Iosrjournals.org Ennis, R. H. (1996). Critical Thinking. New Jersey: Prentice Hall, Inc. Innabi, H. (2003). Aspect of Critical Thinking in Clasroom Instruction of Secondary School Mathematics Teacher in Jordan. Proceeding Konferensi Internasional The Decidable and the Undecidable in Mathematics Education. Brno, Czech Republic, September Jumaisyaroh, T., Napitupulu, E.E., & Hasratuddin. (2014). Peningkatan Kemampuan Berpikir Kritis dan Kemandirian Belajar Siswa SMP melalui Pembelajaran Berbasis Masalah. Jurnal Kreano FMIPA UNNES, 5(2). Lestari, K. A. (2013). Implementasi Brain Based Learning Untuk Meningkatkan Kemampuan Koneksi dan Kemampuan Berpikir Kritis Matematis Siswa Sekolah Menengah Pertama. Tesis Pada Jurusan Pendidikan Matematika UPI Bandung: tidak diterbitkan Mulyana, T. (2008). Pembelajaran Analitik Sintetik untuk Meningkatkan Kemampuan Berpikir Kritis dan Kreatif Siswa SMA. Disertasi pada Jurusan Pendidikan Matematika UPI Bandung: tidak diterbitkan Munandar, S.C.U. (2004). Pengembangan Kreativitas Anak Berbakat. Jakarta: Rineka Cipta Pamungkas, S.R. (2014). Peningkatan Kemampuan Berpikir Kritis dan Kreatif Matematis siswa SMP melalui Model Pembelajaran ASSURE. Tesis. SPs UPI. Bandung: Tidak Diterbitkan Prosiding Seminar Nasional Matematika dan Pendidikan Matematika, “Internalisasi Nilainilai Berpikir Matematis Dalam Perannya di Era Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA)” Peter, E.E. (2012). Critical Thinking: Essence for Teaching Mathematics and Mathematics Problem Solving Skills. African Journal of Mathematics and Computer Science Research, 5(3), hlm. 39-43 Richey, T. (1996). Analysis and Synthesis on Scientific Method-Based on a Study by Bernard Riemann. [online]. Tersedia: www.swemorph.com/pdf/anaeng-r.pdf. Akses: 1 desember 2015 Rubiyanto. (2013). Pendekatan Analitik dan Sintetik Matematika. Tersedia on-line: https://ekorubiyanto84.wordpress.com /2013/01/11/pendekatan-analitik-dansintetik-matematika/ akses: 10 desember 2015 Suriasumantri, J.S. (2007). Filsafat Ilmu, Sebuah Pengantar Populer. Jakarta: Pustaka Sinar Harapan. Syahbana, A. (2012). Peningkatan Kemampuan Berpikir Kritis Matematis Siswa SMP Melalui Pendekatan Contextual Teaching and Learning.[online]. Tersedia: www.unja.ac.id/online-journal/onlinejournal/index.php/., 2 (01), Akses: 15 Januari 2016 Pendidikan Matematika Universitas Muhammadiyah Purworejo , Ruang Seminar UMP, Sabtu, 28 Mei 2016 605 PENERAPAN STRATEGI THINKING ALOUD PAIR PROBLEM SOLVING (TAPPS) UNTUK MENINGKATKAN KEMAMPUAN BERPIKIR LOGIS MATEMATIS SISWA SMP Oktavera Departemen Pendidikan Matematika Universitas Pendidikan Indonesia Email: [email protected] Abstrak Penelitian ini dilatarbelakangi oleh kemampuan berpikir logis matematis siswa yang masih rendah. Salah satu cara untuk meningkatkan kemampuan tersebut adalah dengan strategi TAPPS dalam pembelajaran. Penelitian ini merupakan quasi experiment dengan desain untuk aspek kognitif kemampuan berpikir logis matematis yaitu Non-equivalent Control Group Design. Populasi penelitian adalah siswa kelas VII SMPN 4 Lembang Kabupaten Bandung barat yang terdaftar pada tahun pelajaran 2015/2016. Sampel yang digunakan adalah kelas VIIF yang melibatkan 38 siswa sebagai kelas eksperimen dan VIIB yang melibatkan 38 siswa sebagai kelas kontrol. Instrumen yang digunakan berupa tes kemampuan berpikir logis matematis (Pretest dan postest), lembar observasi, pedoman wawancara. Analisis statistik yang dilakukan adalah independent sample t-test dan uji ANOVA satu jalur. Hasil penelitian yang diperoleh adalah (1) terdapat perbedaan pencapaian dan peningkatan secara signifikan kemampuan berpikir logis matematis siswa yang belajar dengan pembelajaran strategi TAPPS dan siswa yang belajar dengan pembelajaran konvensional; (2) terdapat perbedaan peningkatan kemampuan berpikir logis matematis siswa yang belajar dengan pembelajaran strategi TAPPS ditinjau dari Kemampuan Awal Matematis (KAM). Kata Kunci: 1. Thinking Aloud Pair Problem Solving (TAPPS), Kemampuan berpikir logis matematis. PENDAHULUAN 1) Latar Belakang Masalah Perkembangan pengetahuan teknologi dikembangkan dan Menurut Piaget dimiliki (Incabi, yang harus oleh siswa. Tuna, dan Biber:2013), berpikir logis adalah prosedur pada mental yang digunakan ketika suatu masalah kebutuhan pendidikan bagi seluruh bangsa yang tidak diketahui terjadi. Diantara tahapan Indonesia. Sasaran yang hendak dicapai perkembangan kognitif Piaget, kemampuan pemerintah Indonesia yang tercantum dalam berpikir logis termasuk dalam tahap konkrit pembukaan operasional dan formal operasional (Incabi, dampak UUD yang RI dewasa ilmu matematika ini mempunyai dan kemajuan pembelajaran nyata 1945 yaitu mencerdaskan kehidupan bangsa. Hal ini Tuna, merupakan salah satu tujuan nasional. Salah kemampuan satu cara dalam mewujudkan tujuan nasional menengah pertama dinyatakan oleh Malik itu yaitu melalui pendidikan. (2011) yaitu agar siswa selalu tanggap Pada dasarnya, kemampuan berpikir terhadap dan Biber:2013). berpikir logis permasalahan Pentingnya untuk yang siswa dihadapi, logis matematis sebagai komponen dalam 606 Prosiding Seminar Nasional Matematika dan Pendidikan Matematika. “Internalisasi Nilainilai Berpikir Matematis Dalam Peranannya di Era Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA)” memberikan ide-ide yang terstruktur secara bahasa daerah. Jadi ketika bertemu soal-soal logis dan nyata. matematika yang mana bahasanya merupakan Berdasarkan hasil studi pendahuluan bahasa nasional mereka, sehingga mereka yang dilakukan oleh Peneliti ditemukan bahwa kesulitan siswa matematika masih belum optimal dalam dalam menjawab soal-soal Menurut Usdiyana, tersebut. menyelesaikan soal yang memuat kemampuan Purniati, Yulianti, dan Harningsih (2009), berpikir penyebab rendahnya hasil belajar matematika logis matematis. Studi tersebut melibatkan 31 siswa kelas VIIIA di salah satu disebabkan SMP Barat. penyampaian informasi secara aktif, sementara Berdasarkan hasil tersebut hanya dua orang siswa pasif mendengarkan dan menyalin, siswa yang menjawab soal dengan tepat. Pada sesekali guru bertanya dan siswa menjawab, soal studi pendahuluan tersebut, kebanyakan guru siswa tidak mampu menghubungkan suatu jawabannya hanya berupa prosedur saja tanpa konsep dengan konsep lain, siswa juga masih menerapkan pemahaman konsep matematis, kesulitan dalam membuat strategi yang tepat guru kurang melatih daya nalar siswa, serta dalam menyelesaikan masalah, siswa kurang guru mampu mendeteksi perbedaan antar konsep, konvensional (biasa). di Kabupaten Bandung serta menarik kesimpulan umum berdasarkan data yang terbatas. oleh guru memberikan lebih sering bertindak contoh soal menggunakan sebagai yang metode Strategi pembelajaran yang mampu membuat siswa aktif, berkolaborasi, Penelitian yang dilakukan oleh Riyanto menemukan sendiri dan memahami materi (2010), mengungkapkan bahwa salah satu yang diberikan adalah strategi Thinking Aloud penyebab kurangnya kemampuan penalaran Pair Problem Solving (TAPPS). Menurut (berpikir logis) dan prestasi matematika siswa Barkley, Cros, Major (2005), TAPPS adalah adalah proses pembelajaran yang dilakukan sebuah teknik dimana siswa menyelesaikan oleh guru di kelas kurang melibatkan siswa masalah secara lisan untuk menunjukkan dalam proses pembelajaran atau tidak terjadi penalaran mereka kepada temannya yang diskusi atara siswa dengan siswa dan guru mendengarkan. Jika kita menggunakan strategi dengan siswa. Guru hanya bertindak sebagai TAPPS, maka ide dasar dari pembelajaran penyampai informasi sedangkan siswa hanya tersebut adalah memotivasi siswa dalam pasif mendengarkan dan menyalin informasi kelompok agar mereka dapat saling membantu yang diberikan oleh guru. dan Menurut penelitian yang dilakukan oleh mendorong satu sama lain dalam menguasai materi pelajaran. Lierde, Kalpakian, Jarid (2013) penyebab Salah satu penelitian yang menggunakan rendah hasil belajar matematika yaitu guru strategi TAPPS yaitu yang dilakukan oleh mengajar kepada siswa hanya menggunakan Stice (1987), dia menjanjikan bahwa adanya Pendidikan Matematika Universitas Muhammadiyah Purworejo , Ruang Seminar UMP, Sabtu, 28 Mei 2016 607 peningkatan kemampuan pemecahan masalah pembelajaran dengan strategi TAPPS ditinjau siswa jika dibandingkan dengan siswa yang dari KAM (tinggi, sedang, rendah). mendapatkan pembelajaran biasa. Selain faktor pembelajaran yang telah 4) Manfaat Penelitian diuraikan, terdapat faktor lain yang diduga penelitian ini dapat menjadi sumbangan dapat berkontribusi terhadap perkembangan kepada kemampuan berpikir logis matematis siswa pengembangan kemampuan berpikir logis yaitu faktor Kemampuan Awal Matematika matematis siswa dan memberikan gambaran (KAM) siswa. KAM siswa dikategorikan yang jelas pada guru tentang strategi Thinking dalam tiga kelompok, yaitu: tinggi, sedang dan Aloud Pair Problem Solving (TAPPS) dalam rendah. Penelitian dari Usdiyana, dkk (2009), rangka mutu pendidikan. faktor KAM juga Berpikir menurut Suriasumantri (2009) dalam penelitian ini adalah sebagai berikut: adalah suatu kegiatan untuk menemukan Apakah terdapat perbedaan pencapaian dan pengetahuan yang benar. Apa yang disebut peningkatan logis benar bagi setiap orang belum tentu sama. matematis siswa yang mendapat pembelajaran Oleh sebab itu, kegiatan proses berpikir untuk dengan strategi TAPPS dengan siswa yang menghasilkan pengetahuan yang benar itu pun memperoleh pembelajaran konvensional? juga Apakah peningkatan Suryabrata (Retna, Mubarokah, dan suhartatik, kemampuan berpikir logis matematis siswa 2013) adalah proses dinamis yang dapat yang dengan dilukiskan menurut proses dan jalannya. Hal strategi TAPPS ditinjau dari KAM (tinggi, ini bearti bahwa dalam berpikir seseorang pasti sedang, rendah)? melakukan sebuah proses untuk menemukan kemampuan terdapat memperoleh berpikir perbedaan pembelajaran penelitian ini bertujuan untuk mengkaji: Perbedaan pencapaian berbeda-beda. Berpikir menurut suatu kesimpulan atau penyelesaian tentang 3) Tujuan Penelitian b) rangka a) Kemampuan berpikir Logis rumusan masalah yang menjadi kajian a) dalam 2. KAJIAN LITERATUR 2) Rumusan Masalah b) pendidikan berpengaruh terhadap kemampuan berpikir logis matematis. a) dunia dan peningkatan sesuatu yang dipikirkan. Menurut Suriasumantri (2009), kemampuan berpikir logis matematis siswa kemampuan berpikir logis adalah kemampuan yang mendapat pembelajaran dengan strategi menemukan suatu kebenaran berdasarkan pola TAPPS dengan siswa yang memperoleh atau logika tertentu. Berpikir logis adalah pembelajaran konvensional. suatu proses berpikir yang menggunakan nalar Perbedaan peningkatan kemampuan berpikir secara konsisten sehingga memperoleh suatu logis matematis siswa yang memperoleh kesimpulan yang diharapkan secara sistematis. Seorang siswa bisa dikatakan berpikir logis 608 Prosiding Seminar Nasional Matematika dan Pendidikan Matematika. “Internalisasi Nilainilai Berpikir Matematis Dalam Peranannya di Era Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA)” apabila dia mampu mengungkapkan ide dalam diharapkan. Dalam penelitian ini indikator urutan kemampuan kata yang terstruktur sehingga argumennya menjadi benar berpikir memperkirakan Menurut Kati (2012), berpikir logis Generalisasi; adalah (1) (2) Analogi; (3) solusi; (4) adalah berpikir atas dasar pengetahuan, apa langsung. yang diketahui dengan jelas dan apa yang bisa b) Strategi TAPPS dibuktikan. Ada lima langkah berpikir logis logis Membuktikan secara Menurut Barkley, dkk (2005), strategi menurut Kati yaitu (1) ada tujuan yang jelas; TAPPS (2) menyelesaikan masalah secara lisan untuk perencanaan yang sistematis; (3) adalah suatu menunjukkan memeriksa kesimpulan. Langkah diatas mirip temannya yang mendengarkan. Strategi ini dengan langkah-langkah dalam penyelesaian berguna masalah yang dikembangkan oleh Polya. penyelesaian masalah (bukan hasilnya) dan (Sumarmo, untuk mereka dalam menggunakan informasi; (4) penalaran; (5) Keraf penalaran strategi menekankan kepada proses dkk, 2012), membantu siswa mengidentifikasi kesalahan- serupa dengan kesalahan logika. TAPPS dapat meningkatkan penalaran proposisional atau penalaran logis keterampilan cara menyelesaikan soal dengan dalam tes Longeot yaitu proses berpikir yang membantu siswa melatih konsep, memahami memuat kesimpulan susunan langkah yang mendasari pemikiran berdasarkan data dan peristiwa yang ada. mereka, dan mengidentifikasi kesalahan dalam Dalam matematika, untuk memperoleh suatu penalaran orang lain. mendefenisikan penalaran kegiatan menarik kebenaran atau kesimpulan harus melalui Pada strategi ini, siswa untuk guru dapat proses yang benar. Hal ini dapat dilakukan mengajarkan memecahkan dengan cara berpikir induktif dan deduktif. masalah, bagaimana memecahkan masalah Menurut Sumarmo (Saragih, 2011), berpikir secara berpasangan, dan bagaimana untuk induktif adalah proses berpikir untuk menarik berpikir keras serta menyuarakan pikirannya kesimpulan dari hal-hal khusus ke hal yang dalam memecahkan masalah yang dihadapi. umum, sedangkan berpikir deduktif adalah Pada strategi TAPPS, siswa dikelas dibagi proes pengambilan kesimpulan yang berjalan menjadi beberapa tim, dan tiap tim terdiri dari dari prinsip umum ke hal yang khusus. dua orang atau tiga orang anggota. Satu orang Berdasarkan paparan di atas, Peneliti menjadi problem solver (PS), dan satu orang menyimpulkan bahwa yang dimaksud dengan lagi menjadi listener (L). Jika jumlah siswa kemampuan berpikir logis matematis adalah dalam satu kelas ganjil, maka memungkinkan suatu proses berpikir yang menggunakan nalar, terdapat anggota tim yang jumlahnya tiga dan konsisten orang. Apabila hal itu terjadi, maka peran PS sehingga diperoleh suatu kesimpulan yang dan L dilakukan secara bergantian. Setiap logika matematika secara Pendidikan Matematika Universitas Muhammadiyah Purworejo , Ruang Seminar UMP, Sabtu, 28 Mei 2016 609 anggota tim memiliki tugas masing-masing 3. METODE PENELITIAN yang mengikuti aturan yang sudah ditetapkan (Stice, 1987). Desaian penelitian menggunakan desain kuasi eksperimen yang Berdasarkan paparaan di atas, strategi Sugiyono (2012) yaitu desain kelompok pembelajaran Thinking Aloud Pair Problem kontrol Solving menggunakan (TAPPS) pembelajaran adalah yang suatu strategi bertujuan untuk berlandaskan pada non ekuivalen. desain Penelitian kelompok ini Pretest- Postest Control Group Design (Lestari dan memecahkan masalah yang dihadapi oleh Yudhanegara, 2015) sebagai berikut: siswa, dimana pembelajaran dalam strategi ini Kelas Eksperimen :O X O dilaksanakan secara berpasangan yaitu sebagai problem solver dan listener yang kemudian Kelas Kontrol :O O bertukar tugas setelah masalah terpecahkan. Problem solver membacakan masalah, dan menyampaikan bagaimana Dimana: solusi O dari : soal-soal pretest sama dengan permasalahan tersebut. Listener mendengarkan soal-soal postest semua yang disampaikan problem Xsolver, : perlakuan menggunakan strategi TAPPS. termasuk : langkah-langkah solusi dari permasalahan tersebut. subjek tidak dikelompokkan secara acak. Populasi dalam penelitian ini dilakukan c) Hipotesis penelitian 1) Terdapat perbedaan pencapaian kemampuan di kelas VII di salah satu SMPN Kabupaten berpikir logis matematis siswa yang signifikan Bandung Barat tahun pelajaran 2015/2016. antara siswa yang memperoleh pembelajaran Ditetapkan sebagai populasi dengan alasan dengan strategi TAPPS dengan siswa yang yaitu tingkat perkembangan kognitif siswa memperoleh pembelajaran konvensional. berada pada tahap peralihan dari operasi 2) Terdapat perbedaan peningkatan kemampuan konkrit ke operasi formal. Menurut teori berpikir logis matematis secara signifikan Piaget, siswa SMP kelas VII sudah mulai antara siswa yang memperoleh pembelajaran memasuki tahap berpiikir formal. Oleh karena dengan strategi TAPPS dengan siswa yang itu pada siswa SMP kelas VII ini sudah mulai memperoleh pembelajaran konvensional. dikenalkan dengan materi-materi yang bersifat 3) Terdapat perbedaan peningkatan kemampuan berpikir logis matematis siswa yang memperoleh pembelajaran dengan strategi abstrak. Penelitian ini dilaksanakan di SMPN 4 Lembang Kabupaten Bandung Barat. Sampel penelitian ditentukan TAPPS ditinjau dari KAM (tinggi, sedang, berdasarkan purposive sampling, yaitu teknik rendah). pengambilan sampel yang pertimbangan tertentu (Sugiyono, berdasarkan 2012) sehingga dipilih dua kelas dari seluruh kelas 610 Prosiding Seminar Nasional Matematika dan Pendidikan Matematika. “Internalisasi Nilainilai Berpikir Matematis Dalam Peranannya di Era Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA)” VII di sekolah tersebut. Pertimbangan yang dalam kelas. Dalam pembelajaran ini, guru digunakana dalam pemilihan sampel adalah menjelaskan materi pelajaran, siswa diberikan dari informasi yang diperoleh dari wakil persoalan, selanjutnya siswa ditugaskan untuk kepala sekolah, wali kelas, dan guru bidang memecahkan studi waktu matematika menyatakan yang diberikan guru untuk kemampuan akademik yang relatif sama. Dua siswa diminta untuk melaporkan hasil yang kelompok yang dipilih sebagai sebagai sampel diperoleh. Setelah kegiatan ini terlaksana, guru penelitian adalah kelompok eksperimen siswa bersama siswa membuat rangkuman. sebanyak 38 VII yang Jika menyelesaikan persoalan sudah habis, maka VIIF kelas yang tersebut. memiliki kelas bahwa mengajar permasalahan siswa yang 2. Kemampuan berpikir logis matematis yaitu menggunakan pembelajaran dengan strategi suatu proses berpikir yang menggunakan nalar, TAPPS, dan kelompok kontrol siswa kelas dan VIIB sebanyak 38 siswa dengan pembelajaran sehingga diperoleh suatu kesimpulan yang konvensional. diharapkan. Dalam penelitian ini indikator Pengumpulan data dilakukan melalui tes, logika matematika kemampuan berpikir lembar observasi, dan wawancara. Tes yang memperkirakan digunakan adalah pretest dan postest. Pretest Generalisasi; dilakukan sebelum pelaksanaan pembelajaran langsung. dalam penelitian. Postest dilakukan setelah pembelajaran dilakukan dalam solusi; (4) secara konsisten logis adalah (1) (2) Analogi; (3) Membuktikan secara Data yang diperoleh dari hasil penelitian penelitian ini berupa data hasil tes dan non tes. Analisis selasai, lembar observasi diberikan pada saat data yang digunakan yaitu data kuantitatif pembelajaran berlangsung, wawancara. yang berupa hasil tes kemampuan berpikir Dalam rangka mendapatkan persamaan logis matematis siswa. Data yang diperoleh persepsi dan menghindarkan penafsiran yang berupa pretest, postest, N-Gain. Selanjutnya, berbeda dari beberapa istilah dalam penelitian data kualitatif diperoleh dari analisis lembar ini, observasi, wawancara. maka peneliti memberikan defenisi operasional sebagai berikut : Strategi Thinking Aloud Pair Problem Solving 4. (TAPPS) adalah suatu strategi pembelajaran 4. HASIL DAN PEMBAHASAN Data kemampuan berpikir logis pemecahan masalah yang melibatkan dua matematis diperoleh melalui pretest dan orang postest. siswa yang bekerja sama untuk Dari skor postest, selanjutnya sebagai problem solver dan listener. berpikir logis matematis baik kelas eksperimen konvensional adalah N-gain dan memecahkan masalah, yang memiliki peran 1. Pembelajaran dihitung pretest kemampuan suatu maupun kelas kontrol. Rerata N-gain yang pembelajaran yang biasa dilakukan guru di diperoleh dari perhitungan ini merupakan Pendidikan Matematika Universitas Muhammadiyah Purworejo , Ruang Seminar UMP, Sabtu, 28 Mei 2016 611 gambaran peningkatan kemampuan berpikir pembelajaran konvensional. Hasil skor pretest, logis matematis siswa yang belajar dengan postest, dan N-gain dapat dilihat pada tabel di strategi TAPPS dan siswa yang belajar dengan bawah ini: Tabel 1 Statistik Deskriptif Kemampuan Berpikir Logis Matematis Pretest Kelas Eksperimen Kontrol 38 38 2,7 2,5 SB 1,2 1,5 Postest SB 10,9 2,9 7,7 1,7 N-gain <g> SB 0,6 0,2 0,4 0,1 Uji perbedaan rata-rata pencapaian kemampuan berpikir logis matematis siswa menggunakan uji t‟ dengan bantuan Software SPSS V.20 for Windows. Tabel 2 Data Hasil Uji Perbedaan Rerata Postest Kemampua Berpikir Logis Matematis t-test for equality of means T df Sig.(2-tailed) 5,961 60,186 0,000 Kesimpulan Ket H0 ditolak Terdapat perbedaan Berdasarkan tabel di atas diperoleh nilai berasal Sig.(2-tailed) = 0,000 lebih kecil dari α = 0,05. normal, Hal ini menunjukkan bahwa H0 ditolak. Ini hommogenitas. Setelah diuji homogenitas, berarti terdapat perbedaan yang signifikan maka didapatkan hasil bahwa varians populasi antara data postest (pencapaian) kemampuan dari populasi maka N-gain yang dilanjutkan kemampuan berdistribusi dengan berpikir uji logis berpikir logis matematis yang signifikan antara matematis siswa kelas eksperimen dan kontrol siswa kelas eksperimen dan kontrol. tidak homogen dan dilanjutkan dengan uji t‟ Selanjutnya, Rerata N-gain memberi dengan rangkuman hasil uji perbedaan rerata gambaran tentang peningkatan kemampuan data N-gain pada taraf signifikansi α = 0,05 berpikir logis matematis yang belajar dengan seperti pada tabel di bawah ini. pembelajaran strategi TAPPS maupun siswa yang belajar konvensional. dengan Pada pembelajaran pengujian hipotesis penelitian 2, maka terlebih dahulu dilakukan uji prasyarat yaitu uji normalitas dan homogenitas terhadap skor N-gain pada kedua kelas. Setelah diuji normalitas, ternyata skor N-gain iswa kelas eksperimen dan kontrol 612 Prosiding Seminar Nasional Matematika dan Pendidikan Matematika. “Internalisasi Nilainilai Berpikir Matematis Dalam Peranannya di Era Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA)” Tabel 3 Data Hasil Uji Perbedaan Rerata N-Gain Kemampuan Berpikir Logis Matematis t t-test for equality of means df Sig.(2-tailed) 6,205 54,322 0,000 Kesimpulan Ket H0 ditolak Terdapat perbedaan Berdasarkan tabel di atas diperoleh nilai Selanjutnya, data N-gain kemampuan Sig.(2-tailed) = 0,000 lebih kecil dari α = 0,05. berpikir logis matematis kelompok tinggi, Hal ini menunjukkan bahwa H0 ditolak. Hal ini sedang, dan rendah berdistribusi normal dan dapat disimpulkan bahwa terdapat perbedaan homogen. secara peningkatan selanjutnya menggunakan ANOVA satu jalur kemampuan berpikir logis matematis siswa dan dilanjutkan dengan uji lanjutan Post Hoc yang belajar dengan pembelajaran strategi Multiple Comparison. Uji Post Hoc yang dapat TAPPS dan siswa yang belajar digunakan yaitu uji Scheffe karena variansi signifikan rerata dengan pembelajaran konvensional. Oleh karena itu, pengujian kategori KAM homogen. Hasil perhitungannya dapat disajikan pada tebel 4 berikut ini: Tabel 4 Data Hasil Uji Scheffe Rerata N-Gain Kemampuan Berpikir Logis Matematis Ditinjau dari KAM KAM (I) KAM (J) Perbedan Rerata (I-J) Sig. Kesimp ulan Sedang 0,18307 0,041 Tolak H0 Rendah 0,29273 0,002 Tolak H0 Tinggi -0,18307 0,041 Tolak H0 Rendah 0,10966 0,298 Terima H0 Tinggi -0,29273 0,002 Tolak H0 Sedang -0,10966 0,298 Terima H0 Ket Tinggi Sedang Rendah Terdapat perbedaan Terdapat perbedaan Terdapat perbedaan Tidak terdapat perbedaan Terdapat perbedaan Tidak terdapat perbedaan Berdasarkan hasil analisis di atas, dapat tinggi dan rendah. Namun, pasangan siswa disimpulkan bahwa perbedaan kemampuan kelompok sedang dan rendah tidak terdapat berpikir logis matematis terjadi pada siswa perbedaan antara kelompok tinggi dan sedang, kelompok dikarenakan bahwa pada pasangan kelompok yang signifikan. Hal Pendidikan Matematika Universitas Muhammadiyah Purworejo , Ruang Seminar UMP, Sabtu, 28 Mei 2016 ini 613 sedang dan rendah mempunyai kesamaan peningkatan yang signifikan, dimana pada dalam pertemuan berpikir untuk menyelesaikan permasalahan. ini 31 siswa sudah mampu menerapkan strategi TAPPS tetapi lebih Peningkatan kemampuan berpikir logis dominanya pada problem solving (pemecahan matematis yang secara signifikan untuk kelas masalah). Hal ini juga didukung wawancara yang belajar dengan pembelajaran strategi kepada siswa yang menyatakan siswa mampu TAPPS dapat dilihat dari lembar observasi memahami materi pada hari ini walaupun yang menyatakan bahwa pada pertemuan materinya pertama, siswa belum bisa menerapkan strategi sebelumnya. Sealnjutnya, pada pertemuan TAPPS tetapi hanya 20% dari jumlah siswa terakhir juga mengalami peningkatan, dimana yang bisa thinking (berpikir) saja. Pada 93% pertemuan kedua mengalami peningkatan, menerapkan strategi TAPPS dengan baik dan hanya 12 siswa yang mampu menerapakan didukung juga dari wawancara Peneliti kepada strategi TAPPS tetapi dominannya pada siswa yang menyatakan bahwa pembelajaran thinking untuk yang seperti ini bisa membuat mereka memecahkan permasalahan matematika. Hal memahami materi dengan baik serta mampu ini juga didukung oleh wawancara peneliti mengatasi kepada siswa yang menyatakan siswa sudah berbagai permasalahan. aloud (berpikir keras) dari lebih sulit jumlah dari siswa kesulitan pertemuan sudah dalam mampu menghadapi mulai menyenangi pelajaran matematika pada Dalam kegiatan implementasi secara pertemuan hari ini (kedua). Selanjutnya, pada menyeluruh sudah baik, hanya saja terdapat pertemuan 7% dari jumlah siswa yang belum sempurna ketiga juga mengalami peningkatan, dimana pada pertemuan ini hanya menerapkan strategi TAPPS, untuk lebih 50% dari jumlah siswa yang sudah mampu memotivasi siswa agar siswa terbiasa untuk menerapkan strategi TAPPS tetapi yang lebih berpikir logis perlu waktu yang banyak agar dominannya pada thinking aloud (berpikir siswa mampu menerapkan strategi TAPPS, keras). Pada pertemuan empat juga mengalami karena strategi ini merupakan salah satu peningkatan, dimana pada pertemuan ini hanya strategi untuk memotivasi siswa mampu 55% dari jumlah siswa yang sudah mampu berkomunikasi dengan pasangannya, aktif menerapakan strategi TAPPS. Pada pertemuan berdiskusi, dan bekerjasama dalam kelompok kelima mengalami peningkatan, dimana 64% untuk memecahkan permasalahan yang ada. dari jumlah siswa sudah mampu menerapkan strategi TAPPS. Hal ini juga didukung oleh 5. 5. KESIMPULAN wawancara kepada siswa yang menyatakan 1) Terdapat bahwa sebagian besar siswa senang belajar signifikan matematika walaupun materinya cukup sulit. matematis Pada pertemuan ke-enam juga mengalami pembelajaran dengan strategi TAPPS dengan 614 perbedaan pencapaian yang berpikir logis kemampuan siswa yang memperoleh Prosiding Seminar Nasional Matematika dan Pendidikan Matematika. “Internalisasi Nilainilai Berpikir Matematis Dalam Peranannya di Era Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA)” siswa yang memperoleh pembelajaran konvensional. 2) Terdapat perbedaan signifikan peningkatan yang berpikir logis kemampuan matematis siswa yang memperoleh pembelajaran dengan strategi TAPPS dengan siswa yang memperoleh pembelajaran konvensional. 3) Terdapat perbedaan peningkatan kemampuan berpikir logis matematis siswa yang memperoleh pembelajaran dengan strategi TAPPS ditinjau dari kategori KAM (tinggi, sedang, dan rendah). REFERENSI Barkley, E.E., Cross, K.P., Major, C.H. (2005). Collaborative Learning Techniques. San Francisco: Jossey-Base. Incikabi, L., Tuna, A & Biber, A.C. (2013). An Analysis of Mathematics Teacher Candidate‟ Critical Thinking Dispositions and Their Logical Thinking Skills. Journal of International Education Research. 9(3), 257266. Kati. (2012). Logical Thinking; How to Use Your Brain to Tour Anvantage? [Online]. Tersedia: http://bookboon.com/blog/2012/02/logicalthinking-how-to-use-your-brain-to-youradvantage/.[23Maret2015] Lierde, V. V., Kalpakian, J., Jarid, N. E. (2013). Students, Logical Thinking and Teaching Efficiency:A Maroccan Case. An Online Journal of the African Educational Research Network. 13(2), 52-60. Malik, A. (2011). Meningkatkan Kemampuan Berpikir Logis dan Sikap Positif Siswa terhadap Matematika melalui Realistic Mathematics Education (RME) pada Materi Aritmatika Sosial Siswa Kelas VII MTs Surya Buana Malang. Jurnal JP3, Vol 1 No 1, 76-84. Proses Berpikir Siswa dalam Menyelesaikan Soal Cerita ditinjau Berdasarkan Kemampuan Matematika. Jurnal Pendidikan Matematika STKIP PGRI Sidoarjo, 1(2), 71082. Riyanto, B. (2014). Meningkatkan Kemampuan Penalaran dan Prestasi Matematika dengan Pendekatan Kontruktivisme pada Siswa Sekolah Menengah Atas. Jurnal Pendidikan Matematika, 5(2), 111-128. Saragih, S. (2011). Penerapan Matematika Realistik dan Kelompok Kecil untuk meningkatkan Kemampuan Keruangan, Berpikir Logis, dan Sikap Positif Terhadap Matematika Siswa kelas VIII. Disertasi SPS UPI Bandung: Tidak Diterbitkan. Stice, J.E. (1987). Teaching Problem Solving. [online]. Tersedia: http://wwwcsi.unian.it./educa/problemsolvi ng/Stice_ps.htm.[5Oktober2015] Sugiyono. (2012). Metode penlitian pendidikan (pendekatan kuantitatif, kualitatif, dan R & B). Bandung:Alfabeta. Sumarmo, U., Hidayat, W., Zulkarnaen, R., Hamidah dan Sariningsih, R. (2012). Kemampuan dan Disposisi Berpikir Logis, Kritis, dan Kreatif Matematik: Eksperimen terhadap Siswa SMA menggunakan Pembelajaran Berbasis Masalah dan Strategi Think-Talk-Write. Jurnal Pengajaran MIPA, Vol. 17, No.1, 17-33. Suriasumantri, J. S. (2009). Filsafat Ilmu Sebuah Pengantar Populer. Jakarta: Pustaka Sinar Harapan. Usdiyana, D., Purniati, T., Yulianti, K., Harningsih, E. (2009). Meningkatkan Kemampuan Berpikir Logis Matematis Siswa SMP melalui Pembelajaran Matematika Realistik. Jurnal Pengajaran MIPA, 13 (1), 1412-09172. Retna, M., Muborakah, L & Suhartatik. (2013). Pendidikan Matematika Universitas Muhammadiyah Purworejo , Ruang Seminar UMP, Sabtu, 28 Mei 2016 615 PENGARUH PAHAM-RANGKUM TERHADAP KEBERHASILAN BELAJAR SISWA Aditya Juliant1) , Kurnia Noviartati22) 1 STKIP Al-Hikmah Surabaya email: [email protected] 2 Universitas Negeri Surabaya) email: [email protected] Abstrak Abstract. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh belajar siswa dengan cara memahami materi pelajaran kemudian merangkumnya. Metode penelitian ini adalah penelitian eksperimen dengan desain One-Group Pre-test-Posttest. Populasi penelitian ini adalah siswa kelas X1 SMA Muhammadiyah Surabaya tahun pelajaran 2015-2016. Analisis data menggunakan melalui uji r korelasi. Berdasarkan hasil analisis data diperoleh kesimpulan bahwa terdapat pengaruh positif paham-rangkum terhadap keberhasilan belajar siswa. Kata Kunci: paham-rangkum, keberhasilan belajar 1. PENDAHULUAN Matematika adalah ilmu yang eksak dan logis. Melalui matematika diharapkan seseorang dapat meningkatkan nalar berpikir dan menyelesaikan permasalahanpermasalahan dalam kehidupan sehari-hari. Namun pada kenyataan siswa dan siswi di Indonesia mengalami kesulitan dalam mempelajari matematika. Hal ini dibuktikan juga oleh Programme for International Student Assesment (PISA) di bawah Organization Economic Cooperation and Development (OECD) yang dilakukan pada 65 negara di dunia tahun 2012, mengatakan bahwa kemampuan matematika siswa-siswi di Indonesia menduduki peringkat bawah dengan skor 375. Kurang dari 1 persen siswa Indonesia yang memiliki kemampuan bagus di bidang matematika. Padahal terdapat peranperan penting matematika yang tidak secara langsung akan melatih seseorang untuk menyelesaikan permasalahan. Menurut Kustiningsih (2010), banyak guru yang mengajar secara teaher sentris/tradisional sehingga banyak siswa yang kesulitan dalam belajar matematika. Pada jurnal yang 616 dituliskan Linto (2012:83) yaitu dalam pembelajaran, siswa masih sulit menghubungkan materi yang mereka pelajari dengan materi prasyarat yang sudah mereka kuasai. Konsep yang telah dipelajari tidak bertahan lama dalam ingatan siswa, akibatnya koneksi kemampuan mereka belum optimal. Dua uraian diatas menjelaskan tentang rendahnya kemampuan dan kurang pemahaman siswa terhadap pembelajaran. Padahal, pada dasarnya setiap manusia mempunyai kapasitas berfikir yang besar, hal ini diperkuat oleh Buzan (1993) bahwa setiap manusia memiliki berjuta-juta sel otak untuk meningkatkan kapasitas berfikirnya. Salah satu potensi besar untuk berfikir menurut Rose, Collin dan Malcocm J. (1997) adalah Banyak membaca, meringkas, dan menyelesaikan permasalahan di setiap waktu. Menurut Degeng (1997) mendefinisikan rangkuman sebagai pernyataan singkat mengenai isi mata pelajaran yang telah dipelajari dan contoh-contoh acuan yang mudah diingat untuk setiap konsep, prosedur, atau prinsip. Sama halnya dengan Hamid dan Membraku (1992) yang menggunakan Prosiding Seminar Nasional Matematika dan Pendidikan Matematika. “Internalisasi Nilainilai Berpikir Matematis Dalam Peranannya di Era Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA)” rancangan eksperimen menemukan bahwa pemberian rangkuman terhadap mahasiswa, lebih meningkatkan perolehan belajar dari pada tanpa rangkuman. Dalam konteks siswa di tingkat sekolah, rangkuman dapat dijadikan sebuah alternatif untuk meningkatkan keberhasilan belajar siswa. Sehingga pada penelitian ini akan ditingkatkannya kemampuan dan pemahaman siswa dengan merangkum. Tujuan penelitian ini adalah mengetahui pengaruh siswa yang diberikan pembelajaran paham-rangkum. Secara arti yaitu, siswa diberikan materi hingga paham. Kemudian mereka merangkumnya dengan bahasanya sendiri. 2. KAJIAN LITERATUR DAN PENGEMBANGAN HIPOTESIS Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia minimal satu siswa yang kurang tepat dalam Paham mempunyai pengertian yaitu menjawab pertanyaan. Maka, peneliti menjelas (memiliki) pengetahuan banyak atau benarkembali materi yang telah disampaikan secara benar mengetahui akan proses, cara maupun lebih rinci. perbuatan. Rangkum adalah singkatan dari Keberhasilan Belajar menurut pendapat kata rangkuman. Rangkuman menurut Kunandar (2010: 277), adalah hasil yang Djuharni (2001) merupakan hasil kegiatan diperoleh siswa setelah mengikuti suatu materi merangkum. Rangkuman dapat di artikan tertentu dari mata pelajaran yang berupa data sebagai suatu hasil merangkum atau meringkas kualitatif maupun kuantitatif. Indikator suatu tulisan atau pembicaraan menjadi suatu keberhasilan belajar berupa nilai post-test yang uraian yang lebih singkat dengan perbandingan berada diatas standar nilai KKM. secara proporsional antara bagian yang dirangkum dengan rangkumannya. Salah satu Reder (dalam Degeng:1997) menemukan hasil kegiatan merangkum adalah menulis. bahwa rangkuman lebih unggul meskipun ideMenurut Mayer (dalam Armiati:2009) dalam ide pokok yang terdapat dalam teks yang asli jurnalnya menulis adalah proses bermakna telah diberi garis bawah. Walaupun siswa dimana siswa secara aktif membangun sudah diberi ide-ide pokok yang tertuang hubungan antara konsep yang sedang ia dalam buku teks pelajaran dengan cara pelajari dengan konsep yang sudah ia pahami. menggarisbawahi ide-ide pokok tersebut, bila Dari sini peneliti dapat menyimpulkan bahwa Paham-Rangkum Materi adalah sebuah pembelajaran dimana sebelum siswa merangkum materi, siswa benar-benar diminta untuk memahami akan materi yang disampaikan oleh guru. Kemudian, siswa merangkum dengan bahasanya sendiri dan tanpa melihat cacatan. Indikator siswa benarbenar paham terhadap materi adalah pertama, peneliti bertanya kepada semua siswa dikelas, adakah yang belum memahami materi yang telah disampaikan. Kedua, peneliti bertanya hal terkait dengan materi kepada 3 siswa secara acak dalam kelas, dan ketiganya harus dapat menjawab pertanyaan itu. Jika ada dibandingkan dengan siswa yang diberi rangkuman, hasil belajar lebih unggul terhadap kelompok siswa yang diberi rangkuman. Salah satu teknik merangkum adalah membut peta pikiran. Adirti (2012) menyatakan bahwa peta pikiran adalah cara termudah untuk menempatkan informasi ke dalam otak dan mengambil informasi ke luar dari otak. Cara tersebut sangatlah efektif untuk memetakan pikiran secara sederhana. Temuan lain tentang pengaruh rangkuman terhadap hasil belajar mahasiswa dikemukakan oleh Hamid (1992) dengan mengunakan rancangan eksperimen menemukan bahwa pemberian rangkuman terhadap mahasiswa, Pendidikan Matematika Universitas Muhammadiyah Purworejo , Ruang Seminar UMP, Sabtu, 28 Mei 2016 617 lebih meningkatkan perolehan belajar dari pada tanpa rangkuman. 3. METODE PENELITIAN Subjek penelitian yang diteliti adalah salah satu SMA swasta di Surabaya. Sampel yang digunakan adalah kelas X yang berjumlah 31 siswa. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah penelitian eksperimen dengan desain One-Group Pretest-Posttest yaitu terdapat satu kelompok yang digunakan untuk penelitian, sebelum diberi perlakuan, siswa diminta mengerjakan soal pre-test kemudian diberi perlakuan dan pada akhir diberikan soal posttest. Pentingnya diberikan soal post-test adalah agar dapat membandingkan keadaan sebelum dan sesudah diberi perlakuan. One-Group Pre-test-Posttest Design : Nilai pre-test (sebelum diberi perlakuan) : Perlakuan : Nilai post-test (setelah diberi perlakuan) Adapun prosedur penelitian yang dilakukan adalah : mengetahui sejauh mana kemampuan siswa pada saat pembelajaran. 6. Peneliti memberi perlakuan berupa pembelajaran secara langsung dengan deskripsi bahwa siswa harus dipastikan paham dengan tes pertanyaan langsung secara lisan yang diajukan kepada 3 sampel siswa dalam kelas. Kemudian 1 kelas diminta untuk merangkum dari apa yang telah disampaikan. Jika tes pertanyaan langsung secara lisan tidak bisa dijawab min. 3 orang siswa, maka peneliti akan menjelaskan kembali apa yang belum dipahami siswa. Sehingga siswa paham dan akan merangkum materi dengan bahasanya sendiri. 7. Setelah siswa diberi perlakuan, siswa diberikan soal post-test dari buku Matematika SMA Kelas X. Standar Isi KTSP 2006. Penerbit Erlangga sebagai tolak ukur dari keberhasilan belajar siswa memahami materi. 8. Dari 2 soal pre-test dan post-test tesebut akan diuji pengaruh siswa yang sebelum dan sesudah diberi perlakuan. Salah satu metode uji yang diujikan adalah uji r (korelasi). Untuk memudahkan menginterpretasikan data yang diperoleh, Sarwono memberi kriteria sebagai berikut Dengan koefisien nilai, maka 0 = tidak ada korelasi antara dua variabel. 0 – 0,25 = korelasi sangat lemah. 0,25 – 0,5 = korelasi cukup. 0,5 – 0,75 = korelasi kuat 0,75 – 0,99 = korelasi sangat kuat. 1 = korelasi sempurna. 1. Melakukan kunjungan ke salah satu sekolah swasta untuk meminta kerjasaa dari pihak sekolah. 2. Konfirmasi kerjasama kepada pihak sekolah atas kondisi yang akan diteliti. 3. Menentukan waktu yang tepat untuk 4. HASIL DAN PEMBAHASAN Berikut saya lampirkan daftar nilai pre-test dan melakukan penelitian pada pihak sekolah post-test yang diberikan sebelum dan sesudah 4. Observasi untuk melihat kondisi siswa sebelumnya. perlakuan. Pada bagian ini juga disampaikan 5. Saat berlangsungnya waktu praktek bahwa pelajaran ini adalah pelajaran yang mengajar, peneliti memberikan soal presudah dipelajari dipertemuan sebelumnya dan test dari Buku Matematika SMA Kelas diulang dengan perlakuan dari paham-rangkum X. Standar Isi KTSP 2006. Penerbit berikut: Erlangga yang berkaitan dengan materi kepada siswa. Sehingga peneliti 618 Prosiding Seminar Nasional Matematika dan Pendidikan Matematika. “Internalisasi Nilainilai Berpikir Matematis Dalam Peranannya di Era Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA)” Tabel 1: Nilai pre-test dan post-test 31 siswa di sekolah swasta di Surabaya. PreTest PostTest 1 40 100 1600 10000 4000 2 20 80 400 6400 1600 3 10 45 100 2025 450 4 10 40 100 1600 400 5 10 30 100 900 300 6 50 65 2500 4225 3250 8 0 65 0 4225 0 9 100 100 10000 10000 10000 10 40 30 1600 900 1200 11 50 100 2500 10000 5000 13 20 50 400 2500 1000 14 20 55 400 3025 1100 17 50 55 2500 3025 2750 18 100 100 10000 10000 10000 19 100 100 10000 10000 10000 20 50 100 2500 10000 5000 21 40 30 1600 900 1200 22 40 65 1600 4225 2600 23 40 75 1600 5625 3000 24 60 10 3600 100 600 28 50 70 2500 4900 3500 29 5 5 25 25 25 31 10 65 100 4225 650 32 0 65 0 4225 0 33 40 65 1600 4225 2600 34 10 40 100 1600 400 35 20 100 400 10000 2000 36 0 70 0 4900 0 37 20 20 400 400 400 38 70 35 4900 1225 2450 40 70 85 4900 7225 5950 1145 1915 68025 142625 81425 No Tabel tersebut mendeskripsikan nilai siswa mulai dari sebelum dan sesudah diberikan perlakuan. Nomor yang tidak disertakan pada tabel adalah siswa yang tidak mengikuti jam pelajaran. Maka, pada uji-r ditentukan Berdasarkan uji-r korelasi berikut, bahwa terdapat pengaruh positif paham-rangkum terhadap keberhasilan belajar. Didapatkan hasil sebesar 0,4274 yang menunjukkan ada pengaruh dengan “tingkat sedang” terhadap hasil belajar siswa. Dalam pembelajaran paham-rangkum ini guru harus bisa mengkondisikan kelas dan mengajar dengan penuh variasi. Sehingga, siswa tetap fokus dan kondusif. 5. KESIMPULAN Peneliti menyimpulkan bahwa terdapat pengaruh positif paham-rangkum terhadap keberhasilan belajar siswa. Merupakan solusi efektif, membangun konstruk berfikir siswa untuk memahami suatu pengetahuan dengan bahasanya sendiri. Berdasarkan simpulan dapat dikemukakan beberapa saran sebagai berikut: 1) Pembelajaran paham-rangkum dapat dijadikan sebagai salah satu metode dalam pembelajaran, karena dapat meningkatkan hasil belajar siswa terhadap matematika. 2) Pembelajaran paham-rangkum ini membutuhkan waktu yang cukup panjang dikarenakan siswa yang kemampuan dibawah rata-rata masih mengkonstruk pemikirannya. 6. REFERENSI Adiarti, Wulan. 2012. Penerapan Strategi Mind Mapping untuk Meningkatkan Pemahaman Mahasiswa pada Mata Kuliah Metode Pengembangan Kognitif dan Kreativitas Anak Usia Dini. Indonesian Journal of Early Childhood Education Studies (IJECES). Vol 1 No.1 Armiati. 2009. Komunikasi Matematis dan Kecerdaasan Emosional. Jurnal Pendidikan Matematika FMIPA UNY. No 16. Hal 274. 5 Desember 2016 Buzan, Tony. 1993. The Mind Map. London: Butler & Tanner Ltd. Degeng, I Nyoman Sudana. 1997. Strategi Pembelajaran: Mengorganisasi Isi Pendidikan Matematika Universitas Muhammadiyah Purworejo , Ruang Seminar UMP, Sabtu, 28 Mei 2016 619 Pembelajaran dengan Model Jurnal Pendidikan Matematika UNP. Vol. 1, Elaborasi. Disertasi Bahasan No.1 (2012) Part:2. Hal 83-87 Tentang Temuan Penelitian. Membraku. 1992. Pengaruh Review Rangkuman Malang: IKIP MALANG. dan Gaya Kognitif terhadap Perolehan Hamid, A.K. 1992. Pengaruh Pemberian Belajar dan Retensi dengan Ceramah Rangkuman dan Gaya Kognitif Bermedia OHP. Tesis Magister Teknologi Mahasiswa terhadap Perolehan Pembelajaran, PPS IKIP MALANG, tidak Belajar. Tesis Magister Teknologi diterbitkan. Pembelajaran, PPS IKIP MALANG, Rose, Collin and Malcolm J. Nicholl. 1997. tidak diterbitkan. Accelerated Learning for The 21st Century. Kunandar. 2010. Langkah Mudah Penelitian New York: A Dell Trade Paperback. Tindakan Kelas sebagai Pengembangan Sarwono, Jonathan. Korelasi. Profesi Guru. Jakarta: Rajawali Press. http://jonathansarwono.info/korelasi/korelasi Kustiningsih. 2010. Optimalitation the .htm, diakses pada 10 April 2016; 16:45 Undestanding of Mathematics Content using Learning Model Barter. Prosiding Sugiyono, 2015. Metode Penelitian Pendidikan (Pendekatan Kuantitatif, Kualitatif, dan Seminar Nasional Matematika dan R&D).Alfabeta. Bandung. Pendidikan Matematika. Linto, R., dkk. 2012. Kemampuan Koneksi Matematis dan Metode Pembelaran Quantum Teaching dengan Peta Pikiran. 620 Prosiding Seminar Nasional Matematika dan Pendidikan Matematika. “Internalisasi Nilainilai Berpikir Matematis Dalam Peranannya di Era Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA)” PENERAPAN PEMBELAJARAN THINKING ALOUD PAIR PROBLEM SOLVING (TAPPS) UNTUK MENINGKATKAN KEMAMPUAN KOMUNIKASI MATEMATIS SISWA SMP Norliyana Sekolah Pascasarjana Universitas Pendidikan Indonesia Bandung [email protected] Abstrak Penelitian ini bertujuan untuk menelaah peningkatan kemampuan komunikasi matematis dan siswa yang belajar dengan pembelajaran TAPPS dan siswa yang belajar dengan pembelajaran langsung. Penelitian ini merupakan kuasi eksperimen dengan desain kelompok komtrol non-ekuivalen. Populasinya adalah seluruh siswa kelas VII salah satu SMP Negeri di Kabupaten Banjar dengan mengambil sampel siswa kelas VII SMP Negeri 3 Kertak Hanyar, Kabupaten Banjar. Kelas eksperimen diberi perlakuan dengan pembelajaran TAPPS dan kelas kontrol menggunakan pembelajaran yang biasa digunakan guru di kelas yaitu pembelajaran langsung. Masalah yang diteliti yaitu peningkatan kemampuan komunikasi matematis siswa. Instrumen yang digunakan adalah tes kemampuan komunikasi matematis. Analisis kuantitatif menggunakan uji-t dan uji MannWhitney. Sedangkan analisis kualitatif dilakukan secara deskriptif. Berdasarkan analisa data yang diperoleh dalam penelitian ini, diperoleh bahwa kemampuan komunikasi matematis siswa yang belajar dengan pembelajaran TAPPS lebih tinggi dibandingkan siswa yang belajar dengan pembelajaran langsung. Kata Kunci: kemampuan komunikasi matematis, pembelajaran TAPPS, pembelajaran langsung 1. PENDAHULUAN Komunikasi matematis merupakan suatu cara bagi siswa untuk bertukar ide dan merepresentasikan pemahaman matematis mereka. Melalui komunikasi matematis, siswa dapat menyampaikan apa yang ia pikirkan dan mengungkapkan hasil penalarannya. Hal ini sejalan dengan pendapat Sumarmo (2013) yang menyatakan bahwa komunikasi matematis merupakan alat untuk bertukar ide dan pemahaman matematis siswa. Oleh karena itu, menurut NCTM (2000) kemampuan komunikasi matematis perlu menjadi fokus perhatian dalam pembelajaran matematika. Karena melalui komunikasi matematis siswa dapat mengorganisasi dan mengkonsolidasi berpikir matematis, menyampaikan pemikiran matematika secara koheren, menganalisis dan mengevaluasi strategi dan berpikir matematis yang lain, dan dapat mengeksplorasi ide-ide matematis. Kimberly (2008) menyatakan bahwa komunikasi memiliki kaitan erat dengan proses pembelajaran. Dalam hal ini, komunikasi matematis menjadi kemampuan dasar yang penting dalam pembelajaran matematika, karena melalui komunikasi matematis siswa memiliki kemampuan untuk mengaplikasikan dan mengeskpresikan pemahaman tentang konsep dan proses matematis yang mereka pelajari. Selain itu, melalui komunikasi matematis siswa dapat mengorganisasikanberpikir matematisnya baik itu secara lisan maupun tulisan. Barody (1993) menyatakan bahwa terdapat paling tidak dua alasan mengapa kemampuan komunikasi matematis penting dikembangkan dalam diri siswa. Pertama, mathematics is language, yang berarti matematik tidak hanya sekedar alat bantu berpikir, alat untuk menemukan pola, menyelesaikan masalah atau mengambil keputusan. Namun, matematika juga Pendidikan Matematika Universitas Muhammadiyah Purworejo , Ruang Seminar UMP, Sabtu, 28 Mei 2016 621 merupakan alat yang bernilai untuk mengomunikasikan berbagai ide dengan jelas, tepat dan cermat. Kedua, mathematics learning as social activity, artinya sebagai aktivitas sosial dalam pembelajaran matematika, juga sebagai wahana interaksi antar siswa, dan juga komunikasi antara guru dan siswa. Pentingnya kemampuan komunikasi matematis dalam pembelajaran matematika pada kenyataannya tidak didukung oleh kondisi di lapangan. Siswa masih belum memiliki kemampuan komunikasi matematis sesuai dengan yang diharapkan. Qohar (2010) dalam penelitiannya menyatakan bahwa kemampuan komunikasi matematis siswa masih kurang, baik dalam melakukan komunikasi secara lisan maupun tulisan. Hestaliana (2015) menyatakan bahwa siswa masih lemah dalam komunikasi matematis. Jika diberikan masalah yang tidak rutin, siswa kesulitan dalam menyampaikan ide dan mengomunikasikan masalah yang tidak biasa mereka dapatkan. Siswa belum mampu menyampaikan ide permasalahan yang diberikan sehingga mereka tidak mampu menyelesaikan permasalahan tersebut. Penelitian Nurningsih (2013) mengungkapkan bahwa respon siswa terhadap soal-soal komunikasi matematis secara umum masih kurang. Hal ini dikarenakan soal-soal pemecahan masalah dan komunikasi matematis masih jarang diberikan. Demikian pula penelitian yang dilakukan oleh oleh Fachrurazi (2011), Izzati dan Suryadi (2012) mengungkapkan bahwa rata-rata kemampuan komunikasi matematis siswa berada pada kualifikasi kurang (rendah). Pemilihan pembelajaran yang tepat menjadi sesuatu yang penting dalam rangka memaksimalkan kemampuan komunikasi matematis siswa. Hudiono (2005) menyatakan 622 bahwa rendahnya kemampuan komunikasi matematis bisa dikarenakan pembelajaran dengan cara biasa belum memungkinkan untuk mengembangkan kemampuan komunikasi matematis siswa. Suyadi (2013) menyatakan bahwa pembelajaran yang aktif dapat memberikan motivasi bagi siswa secara lebih maksimal sehingga dapat menghindarkan peserta didik dari sifat malas, mengantuk, melamun, dan sejenisnya. Pembelajaran ini bertujuan memberikan kesempatan kepada siswa untuk berdiskusi bersama siswa yang lain. Oleh karena itu, dibutuhkan pembelajaran aktif yang dapat memicu aktifitas siswa secara lebih maksimal dalam pembelajaran. Pembelajaran aktif yang diharapkan mampu meningkatkan kemampuan komunikasi matematis dalah Thinking Aloud Pair Problem Solving (TAPPS). TAPPS diartikan sebagai pembelajaran yang menyelesaikan masalah berpasangan secara lisan. TAPPS merupakan kombinasi dari thinking aloud dan teachback techniques. Jonassen, et al (2003) menyatakan bahwa TAPPS tidak hanya melihat pemahaman siswa melalui cara berfikirnya dalam memecahkan masalah. Tetapi juga melaui cara mengerjakan kembali apa yang telah mereka pelajari kepada orang lain. Aktivitas TAPPS dilakukan dalam kelompok kecil yang heterogen. Hal ini memungkinkan terjadinya interaksi yang positif antar siswa sehingga merasa lebih nyaman dan percaya diri dalam menyelesaikan masalah-masalah matematis. Rosyana (2013) menyebutkan bahwa dalama TAPPS, siswa yang berpasangan menerima sejumlah masalah, dimana salah satu siswa berperan sebagai problem solver yang memecahkan masalah dan menyampaikan semua gagasan dan pemikirannya kepada pasangannya, sedangkan siswa yang lain berperan sebagai listener yang mengikuti dan mengoreksi dengan cara mendengarkan seluruh proses Prosiding Seminar Nasional Matematika dan Pendidikan Matematika. “Internalisasi Nilainilai Berpikir Matematis Dalam Peranannya di Era Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA)” problem solver. Setelah menyelesaikan masalah, kemudian bertukar peran sehingga semua siswa memperoleh kesempatan menjadi problem solver dan listener. Berdasarkan kondisi di atas maka dirasa perlu untuk melakukan penelitian terhadap efektivitas penerapan pembelajaran TAPPS dalam meningkatkan kemampuan komunikasi matematis siswa SMP. Adapun tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui apakah peningkatan komunikasi matematis siswa yang belajar dengan pembelajaran TAPPS lebih tinggi dibandingkan siswa yang belajar dengan pembelajaran langsung. 2. kemampuan seseorang menggambarkan proses pemecahan masalah dan menggambarkan pemikiran mereka tentang proses pemecahan masalah tersebut; (2) komunikasi dalam matematika, kemampuan menggunakan bahasa dan simbol-simbol matematika yang telah disepakati bersama; (3) komunikasi dengan matematika, kemampuan menggunakan matematika sebagai alat pemecahan masalah dan mencari makna dari masalah-masalah tersebut. KAJIAN LITERATUR DAN PEGEMBANGAN HIPOTESIS a. Komunikasi Matematis Komunikasi dapat diartikan sebagai suatu peristiwa saling menyampaikan informasi dari komunikator kepada komunikan dalam suatu komunitas. Berkomunikasi dalam matematika memiliki peran yang cukup penting mencakup keterampilan atau kemampuan membaca, menulis, menelaah dan merespon suatu informasi. Sedangkan komunikasi matematis menurut Yeager dan Yeager (2008) adalah kemampuan untuk mengomunikasikan matematika baik secara lisan, visual, maupun dalam bentuk tertulis dengan menggunakan kosakata matematika yang tepat dan berbagai representasi yang sesuai, serta memperhatikan kaidah-kaidah matematis. Los Angeles County Office of Education (LACOE) (Mahmudi, 2009) menyatakan bahwa komunikasi matematis mencakup komunikasi tertulis maupun lisan atau verbal. Komunikasi tertulis dapat berupa penggunaan kata-kata, gambar, tabel, dan sebagainya yang menggambarkan proses berpikir siswa. komunikasi tertulis juga dapat berupa uraian pemecahan masalah atau pembuktian matematika yang menggambarkan kemampuan siswa dalam mengorganisasi berbagai konsep untuk menyelesaikan masalah. Brunner (1998) menyatakan bahwa komunikasi matematis terdiri dari tiga aspek. Ketiga aspek itu adalah (1) komunikasi tentang matematika, menunjukkan NCTM (2000) mengemukakan bahwa komunikasi matematis adalah kemampuan siswa dalam hal: (a) mengorganisasikan dan mengonsolidasikan pemikiran matematis mereka melalui komunikasi; (b) mengomunikasikan (menyampaikan) pemikiran matematis mereka secara jelas dan terarah kepada teman, guru, atau orang lain; (c) menganalisis dan mengevaluasi pemikiran matematis dan strategi yang dibuat orang lain; (d) menggunakan bahasa matematika untuk mengungkapkan ide matematika dengan tepat. Jadi, dalam pembelajaran matematika, ketika sebuah konsep informasi matematika diberikan oleh seorang guru kepada siswa ataupun siswa dilibatkan secara aktif dalam mengerjakan matematika, memikirkan ide-ide mereka, menulis atau berbicara dengan dan mendengarkan siswa lain. Maka, saat itu sedang terjadi transfer informasi dari komunikator kepada komunikan atau dapat dikatakan sedang terjadi komunikasi matematis. Pendidikan Matematika Universitas Muhammadiyah Purworejo , Ruang Seminar UMP, Sabtu, 28 Mei 2016 623 b. Thinking Aloud Pair Problem Solving (TAPPS) Thinking Aloud Pair Problem Solving (TAPPS) diperkenalkan oleh Claparade yang kemudian digunakan oleh Bloom dan Broder dalam penelitiannya untuk meneliti proses pemecahan masalah pada siswa SMA. Kemudian Arthur Wimbey dan Jack Lochead (Stice, 1996) telah mengembangkan model ini pada pengajaran fisika dan matematika. TAPPS merupakan salah satu jenis dari pembelajaran kolaboratif, karena melibatkan siswa yang berkolaborasi. TAPPS dapat membantu siswa berpikir tingkat tinggi dalam memformulasikan gagasan, melatih konsep, memahami susunan langkah dalam suatu pengerjaan yang mendasari pemikiran mereka, dan mengidentifikasi kesalahan dari penalaran orang lain. Menurut Barkley, Cross dan Major (2012), “TAPPS juga dapat mendorong terbentuknya pemahaman yang lebih dalam dan lebih lengkap”. Siswa pada pembelajaran TAPPS dibagi kedalam kelompok-kelompok yang mana setiap kelompoknya terdiri dari 2 orang (berpasangan). Satu orang sebagai sebagai problem solver dan satu orang lagi menjadi listener. Setiap angota tim memiliki tugas masing-masing yang akan mengikuti aturan tertentu (Stice, 1996). Guru mengarahkan siswa sesuai prosedur yang ditentukan. Problem solver membacakan soal lalu mengungkapkan semua hal yang terpikirkan untuk menyelesaikan masalah dalam soal tersebut. Listener mengamati langkah yang diambil problem solver dan menunjukkan bila terjadi kesalahan tetapi tidak menyebutkan letak kesalahannya dan listener berusaha untuk tidak menyelesaikan permasalahan problem solver. Seorang problem solver mempunyai tugas untuk membaca soal dan kemudian dilanjutkan dengan mengungkapkan semua hal yang terpikirkan baik berupa gagasan maupun ide untuk menyelesaikan 624 masalah dalam soal tersebut, mengungkapkan semua tahap-tahap yang akan dilakukan untuk memecahkan masalah jangan sampai ada yang terlewat dari yang kecil, mudah, jelas atau yang tidak penting untuk diungkapkan, misalnya: apa yang akan dilakukan, kapan, mengapa, dan bagaimana, mengemukakan semua pikiran yang digunakan saat menyelesaikan masalah. Seorang listener bertugas untuk membantu problem solver melihat apa yang mereka kerjakan, ini berarti seorang listener harus membuat problem solver mengungkapkan apa yang problem solver lakukan. Seorang listener tidak boleh memberikan jawaban permasalahan yang sedang dipecahkan oleh problem solver. Listener memiliki tugas untuk ikut berpikir bersama problem solver, mengikuti setiap tahap dan mengerti setiap tahap tersebut. Setelah problem solver mengidentifikasi dan mendefinisikan istilah, variabel, aturan dan prosedur yang penting kemudian yakinkan apakah problem solver telah melakukan semua tahapan dengan benar. Jika listener menemukan kesalahan yang dibuat oleh problem solver hindarkan untuk mengoreksi, bantu problem solver memecahkan masalah dengan cara memberikan pertanyaan penuntun yang mengarah pada jawaban yang benar. Peran guru di kelas sangatlah terbatas, biasanya guru hanya mengamati di antara pasangan siswa, memonitor aktivitas mereka dan memberikan perhatian khusus kepada listener. Selain itu guru dapat berkeliling memonitor seluruh kelompok dan melatih listener mengajukan pertanyaan. Hal ini diperlukan karena keberhasilan TAPPS akan tercapai bila listener berhasil membuat problem solver memberikan alasan dan menjelaskan apa yang mereka lakukan untuk memecahkan masalah, guru dapat membantu kelompok tersebut dengan menjadi listener. Prosiding Seminar Nasional Matematika dan Pendidikan Matematika. “Internalisasi Nilainilai Berpikir Matematis Dalam Peranannya di Era Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA)” c. Hipotesis Penelitian Hipotesis yang ingin diuji pada penelitian ini adalah sebagai berikut: Peningkatan komunikasi matematis siswa yang belajar dengan pembelajaran TAPPS lebih tinggi dibandingkan siswa yang belajar dengan pembelajaran langsung. 3. METODE PENELITIAN Penelitian ini dilaksanakan di SMP Negeri 3 Kertak Hanyar yang beralamat di Jl. A. Yani Km.8.200 Kertak Hanyar Kabupaten Banjar Kalimantan Selatan. Populasi dalam penelitian ini adalah seluruh siswa pada salah satu SMP Negeri di Kabupaten Banjar. Sampel dalam penelitian ini siswa kelas VII SMP Negeri 3 Kertak Hanyar yang diambil dengan teknik Purposive Sampling. Jenis penelitian yang digunakan adalah penelitian kuasi eksperimen. Sementara Desain penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah non-equivalent control group design (Ruseffendi, 2005). Desain tersebut digambarkan sebagai berikut. instrumen tes. Instrumen tes berupa seperangkat soal yang mengukur kemampuan komunikasi matematis siswa. Selain itu juga diberikan bahan ajar berupa LKS yang digunakan oleh kelas eksperimen. Sebelum peneltian dilakukan, peneliti terlebih dahulu melakukan uji coba instrumen soal kemampuan komunikasi matematis yang diberikan pada siswa kelas VIII SMP Negeri 3 Kertak Hanyar. Uji coba ini bertujuan untuk mengetahui validitas dan reliabilitas tiap butir soal yang akan digunakan sebagai alat ukur kemampuan komunikasi matematis. Selain itu instrumen juga divalidasi oleh dosen pembimbing dan guru yang bersangkutan agar instrumen layak untuk digunakan. Data kemampuan komunikasi matematis dikumpulkan melalui prates dan pascates. Prates diberikan kepada kelas eksperimen dan kelas kontrol sebelum diberi perlakuan. Pascates diberikan setelah kedua kelas mendapatkan perlakuan. Analisis kuantitatif menggunakan uji-t dan uji Mann-Whitney. Sedangkan analisis kualitatif dilakukan secara deskriptif. Definisi operasional dalam penelitian ini meliputi Variabel dalam penelitian ini melibatkan dua jenis variabel yang terdiri dari variabel bebas dan terikat. Adapun yang merupakan variabel bebas adalah pembelajaran TAPPS, variabel terikatnya yaitu kemampuan komunikasi matematis. Instrumen yang didigunakan dalam penelitian ini yaitu a. Think Aloud Pair Problem Solving (TAPPS) TAPPS adalah pembelajaran melibatkan kelompok heterogen yang terdiri atas dua orang siswa yang saling bekerja sama dalam menyelesaikan suatu masalah. Dimana salah satu siswa berperan sebagai problem solver yang memecahkan masalah dan menyampaikan semua gagasan dan pemikirannya kepada pasangannya, sedangkan siswa yang lain berperan sebagai listener yang mengikuti dan mengoreksi dengan cara mendengarkan seluruh proses problem solver. Setelah menyelesaikan masalah, kemudian bertukar peran sehingga semua siswa memperoleh kesempatan menjadi problem solver dan listener dan guru bertugas Pendidikan Matematika Universitas Muhammadiyah Purworejo , Ruang Seminar UMP, Sabtu, 28 Mei 2016 625 mengarahkan siswa sesuai prosedur yang ditentukan dan guru dapat membantu kelompok tersebut dengan menjadi listener. b. Komunikasi Matematis Kemampuan komunikasi yang dimaksud dalam penelitian ini adalah kemampuan komunikasi siswa secara tertulis yang mencakup kemampuan representasi dan menulis dengan indikator kemampuan (1) menyatakan suatu situasi, gambar, diagram atau benda nyata ke dalam bahasa simbol, ide, atau model matematika; (2) mengekspresikan, mendemonstrasikan dan melukiskan ide-ide matematika ke dalam bentuk gambar, tabel, grafik atau model matematika lain. 4. HASIL DAN PEMBAHASAN Tabel 1 Deskripsi Statistik Kemampuan Komunikasi Matematis Kelas Prates Pascates s s N-G s Eksperimen 3.38 2.60 14.58 4.23 0.47 2.77 Kontrol 2,54 2,23 11,00 3,08 0,30 0,09 Skor Maksimum Ideal = 40 Skor N-Gain antara kedua kelompok pembelajaran digambarkan juga secara grafik pada gambar di bawah ini. 1) Hasil Penelitian Penelitian ini melibatkan 48 siswa dimana 24 siswa pada kelas eksperimen yang belajar dengan pembelajaran TAPPS dan 24 siswa pada kelas kontrol yang belajar dengan pembelajaran langsung. Data pada penelitian ini diperoleh melalui hasil tes kemampuan komunikasi matematis yang dilaksanakan pada awal dan akhir pembelajaran berupa prates dan pascates untuk kemampuan komunikasi matematis. Setelah skor prates dan pascates diperoleh maka dihitunglah nilai gain ternormalisasi (N-Gain) kemampuan komunikasi matematis dari kedua kelas tersebut. Rata-rata N-Gain yang diperoleh menggambarkan peningkatan kemampuan komunikasi matematis siswa kelas eksperimen dan kelas kontrol. Hasil prates, pascates dan dideskripsikan sebagai berikut. 626 N-Gain Gambar 1. Perbandingan N-Gain Komunikasi Matematis a. Analisis skor Prates Kemampuan komunikasi Matematis Analisis skor prates kemampuan komunikasi matematis menggunakan uji perbedaan rata-rata prates. Hal ini dilakukan untuk mengetahui apakah terdapat perbedaan yang signifikan atau tidak antara kelas eksperimen dan kelas kontrol untuk kemampuan komunikasi matematis. Sebelumnya dilakukan terlebih dahulu uji Prosiding Seminar Nasional Matematika dan Pendidikan Matematika. “Internalisasi Nilainilai Berpikir Matematis Dalam Peranannya di Era Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA)” normalitas data prates melalui uji Shapiro-Wilk dan dihitung menngunakan SPSS21 yang dapat dilihat pada tabel di bawah ini. tabel berikut. Tabel 3 Hasil Uji Perbedaan Rata-rata Data Prates SKOR Tabel 2 Asymp Sig (2-tailed) 0,260 Uji Normalitas Prates Kelas Sig. Eksperimen 0,001 Kontrol 0,000 Kesimpulan Tidak normal Tidak normal Kedua data pada kelas eksperimen dan kelas kontrol berdistribusi tidak normal maka pengujian hipotesis menggunakan uji hipotesis non-parametrik Mann-Whitney. Hipotesis penelitian yang akan diuji adalah. “Tidak terdapat perbedaan rata-rata skor prates komunikasi matematis siswa yang belajar dengan pembelajaran TAPPS dan siswa yang belajar dengan pembelajaran biasa.” Hipotesis H0 : μe = μk H1 : μe μk Berdasarkan uji Mann-Whitney yang telah dilakukan, diperoleh nilai Sig. (2-tailed) = 0,260> α = 0,05 sehingga hipotesis H0 diterima, artinya tidak terdapat perbedaan antara skor prates komunikasi matematis siswa antara kelas eksperimen dan kelas kontrol pada taraf signifikansi α = 0,05. b. Analisis N-Gain Komunikasi Matematis Rata-rata N-Gain menggambarkan peningkatan komunikasi matematis siswa yang belajar dengan pembelajaran TAPPS dan pembelajaran biasa. Uji statistik diperlukan untuk membuktikan hipotesis, sehingga perlu dilakukan uji prasyarat yaitu uji normalitas dan uji homogenitas terhadap N-Gain kedua kelas tersebut. Secara ringkas hasil pengujian normalitas dapat dilihat sebagai berikut. Keterangan: μe : rata-rata skor prates komunikasi matematis siswa yang belajar dengan pembelajaran TAPPS Tabel 4 Uji Normalitas N-Gain μk : rata-rata skor prates komunikasi matematis siswa yang belajar dengan pembelajaran langsung Kelas Sig. Eksperimen 0,303 Kontrol 0,078 Kesimpulan Normal Normal Hasilnya secara ringkas dapat dilihat pada Pendidikan Matematika Universitas Muhammadiyah Purworejo , Ruang Seminar UMP, Sabtu, 28 Mei 2016 627 Berdasarkan pada tabel di atas data berdistribusi normal maka dilakukan uji homogenitas yang diringkas sebagai berikut. Tabel 6 Hasil Uji Perbedaan Rata-rata N-Gain Komunikasi Matematis Tabel 5 Uji Homogenitas N-Gain Hasil <g> Sig. Kesimpulan 0,001 Tidak homogen t-test for Equality of Means (variances not assumed) Sig.2-tailed) 0,000 Hasil yang disajikan pada tabel 5, nilai Sig. = 0,001 < α = 0,05 yang berarti hipotesis ditolak. Hal ini menunjukkan bahwa N-Gain kemampuan komunikasi matematis berasal dari populasi bervariansi tidak homogen sehingga dilanjutkan dengan uji t’. Hipotesis penelitian yang diajukan adalah. “Peningkatan komunikasi matematis siswa yang belajar dengan pembelajaran TAPPS lebih tinggi secara signifikan dibandingkan siswa yang belajar dengan pembelajaran biasa.” Hipotesis H0 : μe ≤ μk H1 : μe μk Keterangan μe : rata-rata N-Gain komunikasi matematis siswa yang belajar dengan pembelajaran TAPPS μk : rata-rata N-Gain komunikasi matematis siswa yang belajar dengan pembelajaran biasa Adapun hasil uji t’ dapat dilihat secara ringkas pada tabel berikut. 628 Keterangan H0 ditolak Hasil uji t’ menunjukkan bahwa nilai Sig. (2-tailed) yaitu 0,000 < α = 0,05 sehingga H0 ditolak. Jadi, dapat disimpulkan bahwa peningkatan komunikasi matematis siswa yang belajar dengan pembelajaran TAPPS lebih tinggi secara signifikan dibandingkan siswa yang belajar dengan pembelajaran langsung. 2) Pembahasan Kondisi awal siswa yang digambarkan dengan hasil prates menunjukkan bahwa ratarata hasil kemampuan komunikasi matematis siswa masih rendah pada kedua kelas. Selain itu, hal ini menujukkan bahwa kemampuan awal kedua kelas relatif sama. Hasil penelitian menunjukkan bahwa terdapat peningkatan nilai siswa yang menggunakan pembelajaran TAPPS sebesar 0,47 yang berarti berada pada kategori sedang. Sementara untuk kelas kontrol peningkatannya sebesar 0,30 yang masih berada pada kategori rendah. Hal ini menunjukkan bahwa peningkatan untuk kelas eksperimen lebih tinggi dibandingkan kelas kontrol. Hasil yang telah didapat menunjukkan bahwa pembelajaran dengan TAPPS dapat meningkatkan kemampuan komunikasi matematis siswa. Peningkatan ini dikarenakan Prosiding Seminar Nasional Matematika dan Pendidikan Matematika. “Internalisasi Nilainilai Berpikir Matematis Dalam Peranannya di Era Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA)” Karakteristik pembelajaran TAPPS itu sendiri dimana siswa dituntut untuk berpikir keras secara berpasangan dalam menyelesaikan masalah. Masalah yang diberikan dapat melatih siswa dalam melakukan kebiasaankebiasaan matematis yang akan berpengaruh kepada kemampuan tingkat tinggi siswa. Kemampuan yang dimaksud seperti membiasakan untuk dapat mengkomunikasikan sesuatu yang memunculkan ungkapan-ungkapan dari gagasan atau ide-ide matematis yang ditampilkan siswa dalam upaya mencari solusi dari masalah yang sedang dihadapinya. Hartman (1998) mengungkapkan bahwa metode TAPPS ini telah menjadi suatu cara yang popular untuk membantu siswa memikirkan pemecahan dari suatu masalah. Ini merupakan suatu pemikiran tingkat tinggi, metode ini juga dapat memonitor siswa sehingga siswa dapat mengetahui apa yang dipahami dan apa yang belum dipahaminya. Pada pembelajaran TAPPS ini guru dapat mengajarkan kepada siswa untuk memecahkan masalah, khususnya bagaimana untuk memecahkan masalah secara berpasangan dan juga bagaimana untuk berpikir keras serta menyuarakan pikirannya dalam memecahkan suatu masalah. Hasil penelitian di atas menunjukkan bahwa pembelajaran TAPPS memberikan peran yang berarti dalam meningkatkan kemampuan komunikasi matematis. Siswa belajar matematika melalui LKS yang diberikan dan mengkonstruksi sendiri kemampuanya sesuai dengan indikator dalam pembelajaran TAPPS tersebut. Pembelajaran berkelompok berpasangan ini sesuai untuk siswa, karena berdasarkan pengalaman peneliti sebagai guru, kelompok yang lebih dari dua orang siswa kurang efisien dalam pelaksanaannya untuk menyampaikan ide matematis yang mereka peroleh. Oleh karena itu, berdasarkan analisis data hasil penelitian, diketahui bahwa metode pembelajaran TAPPS ini memberikan peningkatan hasil belajar siswa. Hal ini ditunjukkan dengan adanya perbedaan ratarata skor gain ternormalisasi kemampuan komunikasi matematis yang diperoleh siswa pada kelompok eksperimen dan kelompok kontrol setelah diberikan perlakuan. Dimana hasil pada kelas eksperimen lebih tinggi secara signifikan dibandingkan kelas kontrol. 5. KESIMPULAN Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan yang telah dikemukakan dapat disimpulkan bahwa peningkatan kemampuan komunikasi matematis siswa yang belajar dengan pembelajaran TAPPS lebih tinggi dibandingkan siswa yang belajar dengan pembelajaran langsung. 6. REFERENSI Baroody, A.J. (1993). Problem Solving, Reasoning, and Communicating, K-8 Helping Children Think Mathematically. New York: Macmillan Publishing Company. Fachrurazi.(2011). “Penerapan Pembelajaran Berbasis Masalah untuk Meningkatkan Kemampuan Berpikir Kritis dan Komunikasi Matematis Siswa Sekolah Dasar”. Jurnal UPI.[online]. Vol 1, halaman 76. Hartman. (1998). Improving Student’s Problem Solving Skills [Online]. Tersedia:http://www.ccny.cuny.edu/ctl/ha ndbook/hartman.html [16 Desember 2006]. Hestaliana. A. (2015). Meningkatkan Kemampuan Pemecahan Masalah, Komunikasi, Dan Self Regulation Matematis Melalui Penerapan Model Pendidikan Matematika Universitas Muhammadiyah Purworejo , Ruang Seminar UMP, Sabtu, 28 Mei 2016 629 Pembelajaran Reciprocal Teaching Berbasis Saintifik Pada Siswa SMP. Tesis SPs UPI Bandung: Tidak diterbitkan. Hudiono. (2005). Peran Pembelajaran Diskursus Multirepresentasi Terhadap Perkembangan Kemampuan Matematik dan Daya Representasi pada Siswa SLTP. Tesis SPs UPI Bandung: Tidak diterbitkan. Izzati, N dan Suryadi, D. (2010). Komunikasi Rosyana, T. (2013). Strategi Thinking Aloud Pair Problem Solving (TAPPS) untuk Meningkatkan Kemampuan Kelancaran Berprosedur dan Kompetensi Strategis Matematis Siswa SMP. Tesis SPs UPI Bandung: Tidak diterbitkan. Suyadi. (2013). Strategi Pembelajaran Pendidikan Karakter. Bandung: Remaja Rosdakarya. Matematik dan Pendidikan Matematika Realistik. Makalah Seminar Nasional Matematika dan Pendidikan Matematika. UNY. Yogyakarta. Stice, J. E. (1996). Teaching Problem Solving. Article. Austin: The University of Texas. Tersedia: http://inst.eecs.berkeley.edu/~ee301/fa13/ Readings/teaching_problem_solving_stic e.pdf Mahmudi, A. 2009. “Komunikasi dalam Pembelajaran Matematika”. Makalah Termuat pada Jurnal MIPMIPA UNHALU/ Vol.8 No.1 Yeager, A. dan Yeager, R. (2008. Teaching through the Mathematical Processe. [Online]. Tersedia: gainscamppp.wikispaces.com [17 Juni 2009] National Council of Teacher of Mathematics (NCTM). (2000). Principles and Standards for School Mathematics. Reston, VA: NCTM. Nurningsih. 2013. Meningkatkan Kemampuan Komunikasi Dan Berpikir Kritis Matematis Siswa SMP Melalui Pembelajaran Berbasis Masalah Dengan Strategi Teams Assisted Individualization. Tesis SPs UPI Bandung: Tidak diterbitkan. Qohar, Abdul. (2010). Developing Mathematical Undrestanding, Mathematical Connection and Mathematics Self Regulated Of Secondary School Students Using Reciprocal Teaching. Disertasi SPs UPI Bandung: Tidak diterbitkan. Ruseffendi, E. T. (2005). Dasar-dasar Penelitian Pendidikan dan Bidang NonEksakta Lainnya. Bandung : Tarsito. 630 Prosiding Seminar Nasional Matematika dan Pendidikan Matematika. “Internalisasi Nilainilai Berpikir Matematis Dalam Peranannya di Era Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA)” MENINGKATKAN KEMAMPUAN KOMUNIKASI MATEMATIS SISWA MELALUI PEMBELAJARAN KOOPERATIF TIPE TWO STAY TWO STRAY 1 Budiono1, Sugeng Sutiarso2. Pascasarjana Pendidikan Matematika, Universitas Lampung [email protected] Abstrak Artikel ini merupakan hasil kajian tentang pembelajaran kooperatif tipe two stay two stray yang dapat meningkatkan kemampuan komunikasi matematis siswa. Komunikasi adalah istilah yang sering didengar dalam kehidupan sehari-hari. Kemampuan komuniasi matematis merupakan salah satu kemampuan yang harus dimiliki siswa karena komunikasi merupakan bagian yang sangat penting pada proses pembelajaran matematika. Kemampuan komunikasi merupakan kemampuan siswa dalam menyampaikan ide/gagasan matematika baik melalui tulisan dengan simbol-simbol, garfik atau diagram untuk menjelaskan masalah informasi yang diperoleh. Komunikasi matematis dalam pembelajaran dapat ditimbulkan dalam pembelajaran berkelompok seperti pembelajaran kooperatif. Pembeljaran kooperatif adalah pembelajaran dalam kelompok-kelompok kecil yang bertugas untuk memecahkan masalah yang diberikan oleh guru secara berkelompok. Pembelajaran kooperatif menuntut siswa turut serta aktif dalam pembelajran dikelas, selain itu mengajarkan siswa untuk menerima perbedaan yang terdapat dalam kelompok. Terdapat banyak model pembelajaran kooperatis diantaranya adlah pembelajaran kooperatif tipe TSTS. Pembelajaran TSTS adalah model pembelajran kooperatif yang terdri dari empat orang dengan konsep dua tinggal dan dua berkunjung. Pembelajaran TSTS terdiri dari beberapa tahapan sebagai berikut;(1) persiapan,(2) presentasi guru, (3)kegiatan kelompok,(4) formalisai, dan (5) evaluasi kelompok dan penghargaan. Dalam makalah ini akan dipaparkan pengunaan pembelajaran kooperatif tipe TSTS untuk meningkatkann kemampuan komunikasi matematis siswa dalam pembelajaran matematika. Kata Kunci: Komunikasi Matematis, Kooperatif tipe TSTS 1. PENDAHULUAN Matematika merupakan salah satu ilmu mata pelajaran matematika bertujuan agar dasar bagi perkembangan dan peradaban peserta didik mempunyai kemampuan untuk manusia. Matematika juga sangat dibutuhkan memahami konsep matematika, menggunakan dalam menyelesaikan masalah yang terjadi penalaran, memecahkan masalah, dalam kehidupan sehari-hari. Pelajaran mengkomunikasikan gagasan dengan simbol, matematika perlu diberikan kepada semua tabel, diagram atau media lain untuk peserta didik mulai dari sekolah dasar hingga memperjelas keadaan atau masalah serta sekolah menengah. Sebagaimana disebutkan memiliki sikap menghargai kegunaan matedalam Permendiknas Nomor 22 Tahun 2006, matika dalam kehidupan. Untuk mencapai bahwa mata pelajaran matematika perlu tujuan pembelajaran matematika, salah satu diberikan di setiap jenjang pendidikan untuk aspek yang harus dikuasai adalah kemampuan membekali peserta didik dengan kemampuan komunikasi matematis. berpikir logis, kritis, analitis, sistematis, dan Dalam pembelajaran matematika, komunikasi kreatif serta kemampuan bekerja sama. Sesuai memang sangat penting karena dalam pembelajaran dengan tujuan pembelajaran matematika. matematika siswa ditantang untuk berpikir dan Tujuan pembelajaran matematika yang mengkomunikasikannya kepada siswa lain sehingga dirumuskan kurikulum tingkat satuan pendi- mereka memahami. Selain itu, dalam pembelajaran dikan (Depdiknas, 2006) menyatakan bahwa matematika juga terdapat banyak simbol yang dapat Pendidikan Matematika Universitas Muhammadiyah Purworejo , Ruang Seminar UMP, Sabtu, 28 Mei 2016 631 digunakan untuk menyampaikan informasi. Kegiatan ini menuntun siswa untuk mengekspresikan ide-ide matematika ke dalam bahasa yang dapat dimengerti sehingga siswa belajar untuk mengembangkan kemampuan komunikasi matematis. Namun faktanya, kemampuan matematis siswa di Indonesia belum memuaskan berdasarkan hasil survey TIMSS 2011 yang menunjukkan kemampuan matematika Indonesia berada pada urutan ke-38 dari 42 negara peserta dengan skor rata-rata kelas VIII SMP 386 dan skor internasionalnya adalah 500. Laporan hasil studi TIMMS 2003 (Meliana: 2013) menyebutkan bahwa Indonesia lemah dalam mengerjakan soal-soal yang menuntut kemampuan pemecahan masalah, berargumentasi, dan berkomunikasi yaitu hanya 3,0 % saja dari siswa yang menjawab benar sebagian, sementara sisanya menjawab salah. Selain TIMMS, survey terhadap kemampuan peserta didik secara Internasional dilakukan oleh PISA 2009 dan didapatkan bahwa Indonesia berada pada urutan ke 61 dari 65 negara dengan skor 371 dan Indonesia berada di Level 1. Survey PISA dilakukan untuk menilai kemampuan peserta didik di dalam memecahkan masalah, kemampuan bernalar, dan kemampuan berkomunikasi. Untuk meningkatkan kemampuan komunikasi matematis siswa di kelas, guru harus membantu siswa ketika mereka berbagi ide-ide matematika dengan satu sama lain sehingga siswa lain memahami. Selain itu guru juga harus membentuk kelompok sehingga siswa bebas memberikan pendapat, menanggapi, dan mengeskpresikan ide-ide matematika. Guru pula harus menerapkan model pembelajaran yang tepat untuk meningkatkan kemampuan komunikasi di atas. Salah satu model pembelajaran yang tepat untuk meningkatkan kemampuan komunikasi matematis siswa adalah model pembelajaran kooperatif tipe Two Stay Two Stray (TSTS). Model pembelajaran kooperatif tipe TSTS adalah model pembelajaran pengelompokkan kecil yang beranggotakan empat orang dengan konsep “dua tinggal dua berkunjung”. Model pembelajaran 632 kooperatif tipe TSTS merupakan model pembelajaran yang menuntun siswa untuk aktif dalam kegiatan pembelajaran di kelas, berpikir kreatif, dan menerima serta membagikan hasil diskusi kelompok kepada kelompok lain sehingga mengembangkan sikap menerima perbedaan pendapat anatar individu maupun kelompok. Kemampuan komunikasi matematis dalam pembelajaran kooperatif tipe TSTS dapat dikembangkan melalui pengungkapan ide-ide matematis mereka kepada anggota kelompok mereka, kemudian mereka tuangkan berbagai macam ide tersebut kedalam bentuk tulisan atau ekspresi matematis. Setelah itu kemampuan komunikasi pada model ini juga dikembangkan saat siswa dikunjungi oleh kelompok lain, saat inilah siswa dituntut untuk membagikan atau mengkomunikasikan hasil diskusi mereka kepada tamu mereka yang datang. Kemampuan berinteraksi disini lebih dikembangkan untuk meningkatkan kemampuan komunikasi matematis siswa. Dari tahapan-tahapan tersebut kemudian akan tercipta kemampuan komunikasi matematis siswa. Dengan demikian, kemampuan komunikasi matematis siswa dapat dikembangkan memalui pembelajaran kooperatif tipe TSTS Rumusan Masalah Berdasarkan uraian di atas, maka permasalahan yang dikaji dalam artikel adalah 1. Apa yang dimaksud dengan kemampuan komunikasi matematis siswa? 2. Apa yang dimaksud dengan ko-operatif tipe TSTS? 3. Bagaimana kooperatif tipe TSTS dapat meningkatkanan kemampuan komunikasi matematis siswa? Tujuan Tujuan penulisan artikel ini adalah untuk mengetahui kemampuan komunikasi matematis siswa, kooperatif tipe TSTS, dan penggunaan kooperatif tipe TSTS untuk Prosiding Seminar Nasional Matematika dan Pendidikan Matematika. “Internalisasi Nilainilai Berpikir Matematis Dalam Peranannya di Era Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA)” meningkatkan kemampuan komuniksi matematis siswa. Manfaat Sesuai dengan tujuan yang hendak dicapai diharapkan berguna sebagai masukan terhadap perkembangan pembelajaran matematika terutama terkait kemampuan komunikasi matematis siswa, kooperatuf tipe TSTS dan penggunaan kooperatif tipe tsts untuk meningkatkan kemampuan komunikasi matematis siswa. 2. PEMBAHASAN A. Komunikasi Matematis Siswa Komunikasi adalah istilah yang sering didengar dalam kehidupan sehari-hari. Komunikasi merupakan suatu hubungan, dimana dalam berkomunikasi tersirat adanya interaksi. Interaksi tersebut terjadi karena ada sesuatu yang dapat berupa informasi atau pesan yang ingin disampaikan. Seperti yang dikemukakan Wiryawan dan Noorhadi dalam Wardani (2001) bahwa komunikasi diartikan sebagai proses penciptaan arti terhadap gagasan atau ide yang disampaikan. Komunikasi merupakan cara berbagi gagasan dan mengklasifikasikan pemahaman. Melalui komunikasi, gagasan menjadi objekobjek refleksi, penghalusan, diskusi, dan perombakan (Wahyudin, 2008). Berelson & Steiner dalam Vardiansyah (2005) mengemukakan bahwa “Komunikasi adalah suatu proses penyampaian informasi, gagasan, emosi, keahlian, dan lain-lain melalui penggunaan simbol-simbol seperti kata-kata, gambar-gambar, angka-angka, dan lain-lain”. Berdasarkan uraian-uraian di atas, disimpulkan bahwa komunikasi adalah usaha penyampaian pesan, gagasan, atau informasi dari komunikator kepada komunikan dan sebaliknya. Komunikasi berperan dalam proses pembelajaran termasuk pembelajaran matematika. Komunikasi merupakan bagian esensial dalam matematika dan pendidikan matematis (Turmudi, 2008). Dalam pembelajaran matematika, siswa dituntut untuk memiliki kemampuan. Sumarmo (Mustikawati, 2013) mengemukakan bahwa kemampuan matematika yang diharapkan dimiliki oleh siswa pada jenjang sekolah, dapat diklasifikasikan dalam lima standar kemampuan: a) mengenal, memahami dan menerapkan konsep, prosedur, prinsip, dan ide matematika; b) menyelesaikan masalah matematis (mathematical problem solving); c) bernalar matematis (mathematical reasoning); d) melakukan koneksi matematis (mathematical connection), dan; e) komunikasi matematis (mathematical communication). Kemampuan komunikasi matematis siswa merupakan salah satu kemampuan yang sangat penting untuk dimiliki siswa dan pendidik dalam kegiatan pembelajaran matematika. Berdasarkan PISA (2012), komunikasi merupakan salah satu dari tujuh kemampuan yang diperlukan dalam pembelajaran matematika. Tujuh kemampuan tersebut yaitu : a) communication; b) mathematising; c) representation; d) reasoning and argument; e) devising strategies; f) using symbolic, formal and technical language and operations, dan; g) using mathematical tools. Menurut Greenes dan Schulman dalam Sapa‟at (2006), komunikasi matematis merupakan: a) kekuatan sentral bagi siswa dalam merumuskan konsep dan strategi matematis; b) modal keberhasilan bagi siswa terhadap pendekatan dan penyelesaian dalam eksplorasi dan investigasi matematis; c) wadah bagi siswa dalam berkomunikasi dengan temannya untuk memperoleh informasi, membagi pikiran dan penemuan, curah pendapat, menilai dan mempertajam ide untuk meyakinkan yang lain. Greenes dan Schulman dalam Ansari (2003: 17) mengemukakan bahwa komunikasi matematis adalah kemampuan menyatakan ide Pendidikan Matematika Universitas Muhammadiyah Purworejo , Ruang Seminar UMP, Sabtu, 28 Mei 2016 633 matematis melalui ucapan, tulisan, demonstrasi dan melukiskannya secara visual dalam tipe yang berbeda, memahami, menafsirkan dan menilai ide yang disajikan dalam tulisan, lisan atau dalam bentuk visual, mengonstruksi, menafsirkan dan menghubungkan bermacam-macam reprentasi ide dan hubungannya. Schoen, Bean, dan Ziebarth dalam Qohar (2009) mengemukakan bahwa “Kemampuan komunikasi matematis adalah kemampuan siswa dalam hal menjelaskan suatu algoritma dan cara unik untuk pemecahan masalah, kemampuan siswa mengkonstruksi dan menjelaskan sajian fenomena dunia nyata secara grafik, kata-kata/kalimat, persamaan, table, dan sajian secara fisik atau kemampuan siswa memberikan dugaan tentang gambargambar geometri”. Manfaat dari sebuah komunikasi dalam pembelajaran matematika yaitu dapat mendorong siswa belajar konsep baru dalam matematika, karena dalam belajar matematika siswa dapat mengunakan alat atau benda, menggambar, memberikan penjelasan atau pertimbangan, menggunakan diagram, menulis, dan menggunakan symbol matematika menurut Darhim dalam Amalia (2013). Ada beberapa faktor yang berkaitan dengan kemampuan komunikasi matematis seperti yang diungkapkan Satriawati (2006), sebagai berikut: a) Pengetahuan prasyarat, merupakan pengetahuan yang telah dimiliki siswa sebagai akibat proses belajar sebelumnya. b) Kemampuan membaca, diskusi, dan menulis dapat membantu siswa memperjelas pemikiran dan dapat mempertajam pemahaman. Diskusi dan menulis adalah dua aspek penting dari komunikasi untuk semua level. c) Pemahaman matematika (mathematical knowledge). Adapun aspek-aspek yang dapat diukur dalam kemampuan komunikasi 634 matematis menurut Baroody (Ansari, 2003) adalah sebagai berikut : a. Representasi, bentuk baru sebagai hasil translasi dari suatu masalah atau ide; translasi suatu diagram atau model fisik ke dalam symbol kata-kata. b. Mendengar, aspek yang sangat penting untuk dapat terjadinya komunikasi yang baik. c. Membaca, aktifitas membaca secara aktif untuk mencari jawaban atas pertanyaan yang telah disusun. d. Diskusi, mendiskusikan sebuah ide merupakan cara yang baik untuk menjauhi ketidakkonsistenan, atau suatu keberhasilan kemurnian berpikir. e. Menulis, aktifitas yang dilakukan dengan sadar untuk mengungkapkan dan merefleksikan pikiran. Dengan menulis, seseorang telah melalui tahap proses berpikir keras yang kemudian dituangkan ke dalam kertas. Berdasarkan NCTM (2000: 268), standar kemampuan komunikasi dari pra-TK sampai kelas 12 adalah: a. Mengorganisasikan dan menggabungkan pemikiran matematis mereka melalui komunikasi; b. Mengkomunikasikan pemikiran matematis mereka dengan jelas kepada teman sebaya, guru, dan yang lainnya; c. Menganalisis dan mengevaluasi pemikiran matematis; d. Menggunakan bahasa matematika untuk mengekspresikan ide matematis dengan tepat. Adapun indikator untuk mengukur kemampuan komunikasi matematis menurut Sumarno dalam Mufrika (2011: 17) adalah : (1) menyatakan situasi, gambar, diagram ke dalam bahasa, simbol, ide, model matematika; (2) menjelaskan ide, situasi, dan relasi matematis secara tulisan; (3) mendengarkan, berdiskusi, presentasi, menulis matematika; (4) membaca representasi matematis; (5) Prosiding Seminar Nasional Matematika dan Pendidikan Matematika. “Internalisasi Nilainilai Berpikir Matematis Dalam Peranannya di Era Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA)” mengungkapkan kembali suatu uraian matematis dengan bahasa sendiri. Satriawati dalam Mufrika (2011: 17) membagi kemampuan komunikasi matematis menjadi tiga yaitu: 1) Written text, yaitu memberikan jawaban dengan menggunakan bahasa sendiri, membuat model situasi atau persoalan menggunakan lisan, tulisan, konkrit, grafik dan aljabar, menjelaskan dan membuat pertanyaan tentang matematika yang telah dipelajari, mendengarkan, mendiskusikan, dan menulis tentang matematika, membuat konjektur, menyusun argument dan generalisasi. 2) Drawing, yaitu merefleksikan bendabenda nyata, gambar, dan diagram ke dalam ide-ide matematika. 3) Mathematical expressions, yaitu mengekspresikan konsep matematika dengan menyatakan peristiwa sehari-hari dalam bahasa atau simbol matematika. Berdasarkan pengertian, manfaat, aspek, dan indikator yang telah dibahas sebelumnya , dapat disimpulkan bahwa kemampuan komunikasi merupakan kemampuan siswa dalam menyampaikan ide/gagasan matematika baik melalui lisan maupun tulisan dengan simbol-simbol, grafik atau diagram untuk menjelaskan masalah dari informasi yang diperoleh. Komunikasi matematis dalam pembelajaran dapat ditimbulkan dalam pembelajaran berkelompok seperti pembelajaran kooperatif. B. Model Pembelajaran Kooperatif tipe TSTS Pembelajaran merupakan interaksi yang terjadi dalam proses belajar dan mengajar antar siswa dan guru dimana dalam proses tersebut memungkinkan siswa memperoleh pengetahuan. Menurut Trianto (2009), pembelajaran komunikasi adalah proses komunikasi fungsional antara peserta didik dengan guru, dan peserta didik dengan peserta didik, dalam rangka perubahan pola pikir. Guru sebagai komunikator dan peserta didik sebagai komunikan, serta materi yang disampaikan berupa pesan-pesan berupa ilmu pengetahuan. Dengan demikian, komunikasi banyak arah terjadi dalam kegiatan pembelajaran. Proses pembelajaran merupakan proses yang sistematis karena dirancang, dilaksanakan, dan dievaluasi agar tujuan-tujuan pembelajaran tercapai. Keberhasilan proses pembelajaran tidak terlepas dari kemampuan guru memilih atau mengembangkan model-model pembelajaran yang sesuai. Menurut Slavin (2008), pembelajaran kooperatif mengandung pengertian bahwa siswa belajar bersama, saling berbagi ide, dan bertanggung jawab terhadap pencapaian hasil belajar baik secara individu maupun kelompok. Pendapat lain dikemukakan oleh Johnson & Johnson dalam Isjoni (2009 :17) bahwa “cooperative learning adalah mengelempokkan siswa di dalam kelas ke dalam suatu kelompok kecil agar siswa dapat bekerja sama dengan kemampuan maksimal yang mereka miliki dan mempelajari satu sama lain dalam kelompok tersebut Melalui pembelajaran kooperatif siswa diberi kesempatan untuk bekerja sama dengan sesama siswa dalam tugas-tugas yang terstruktur.” Seperti yang diungkapkan oleh Suherman, dkk. (2003: 260) bahwa pembelajaran kooperatif mencakup suatu kelompok kecil siswa yang bekerja sebagai sebuah tim untuk menyelesaikan masalah, menyelesaikan suatu tugas, atau mengerjakan sesuatu untuk mencapai tujuan bersama lainnya. Pembelajaran kooperatif menuntut siswa untuk bekerjasama memecahkan masalah yang diberikan oleh guru dan menuntut siswa secara aktif selama pembelajaran berlangsung. Sedangkan Rifaldi (2010: 20) mengungkapkan bahwa kooperatif merupakan suatu pembelajaran yang didasarkan atas kerja Pendidikan Matematika Universitas Muhammadiyah Purworejo , Ruang Seminar UMP, Sabtu, 28 Mei 2016 635 kelompok, yang menuntut keaktifan siswa untuk saling bekerjasama dan membantu dalam menyelesaikan masalah atau tugas yang diberikan oleh guru. Melalui pembelajaran kooperatif siswa didorong untuk bekerjasama secara maksimal sesuai dengan keadaan kelompoknya. Kerjasama yang dimaksud dalam pembelajaran kooperatif adalah setiap anggota kelompok harus saling membantu menguasai bahan ajar. Menurut Trianto (2009: 57) Tujuan pokok belajar kooperatif dalam adalah memaksimalkan belajar siswa untuk meningkatkan prestasi akademik dan pemahaman baik secara individu maupun secara kelompok. Siswa bekerja dalam satu tim yang di dalamnya melibatkan siswa bekerja secara berkolaborasi untuk mencapai tujuan bersama. Dalam pembelajaran kooperatif tidak ada perbedaan antar siswa tetapi siswa bekerja sama untuk tujuan bersama, sama halnya dengan kehidupan di dunia ini tidak bisa hidup dengan sendiri tetapi membutuhkan orang lain. Berdasarkan penjelasan di atas dapat disimpulkan, pembelajaran kooperatif adalah pembelajaran dalam kelompok-kelompok kecil yang bertugas untuk memecahkan masalah yang diberikan oleh guru secara berkelompok. Pembelajaran kooperatif menuntut siswa turut serta aktif dalam pembelajaran di kelas, selain itu mengajarkan siswa untuk menerima perbedaan yang terdapat dalam kelompok. Terdapat banyak model pembelajaran kooperatif diantaranya adalah pembelajaran kooperatif tipe TSTS. Model pembelajaran kooperatif tipe two stay two stray (dua tinggal, dua berkunjung) dikembangkan oleh Spencer Kagan. TSTS bisa digunakan dengan kepala bernomor. Teknik ini memberikan kesempatan kepada siswa untuk membagikan hasil 636 informasi kepada kelompok lain (Isjoni, 2013:113). Menurut Suprijono (2013: 93-94), pembelajaran dengan metode TSTS terdiri dari beberapa tahapan, yaitu: 1. Guru membagi siswa kedalam kelompokkelompok secara heterogen. 2. Setelah kelompok terbentuk, guru memberikan tugas berupa permasalahanpermasalahan kepada setiap kelompok kemudian mereka mendiskusikannya. 3. Setelah diskusi kelompok selesai, dua orang masing-masing kelompok berkunjung ke kelompok lain untuk menerima hasil kerja kelompok lain. Sedangkan, dua orang yang tinggal memiliki tanggung jawab untuk menerima tamu dan membagikan hasil kerja kelompoknya kepada yang berkunjung. Setelah selesai, dua tamu tersebut kembali ke kelompoknya masing-masing. 4. Setiap kelompok membahas dan mencocokkan hasil kerja yang mereka dapatkan. Menurut Santoso (2011) model pembelajaran kooperatif tipe TSTS terdiri dari beberapa tahapan sebagai berikut. (1) persiapan, (2) presentasi guru, (3) kegiatan ke-lompok, (4) formalisasi, dan (5) evaluasi kelompok dan penghargaan. Menurut Daryono (2011) model pembelajaran TSTS memiliki kelebihan, diantaranya: a. memberikan kesempatan terhadap siswa untuk menentukan konsep sendiri dengan cara memecahkan masalah; memberikan kesempatan kepada siswa untuk menciptakan kreatifitas dalam melakukan komunikasi dengan teman sekelompoknya; b. membiasakan siswa untuk bersikap terbuka terhadap teman; c. meningkatkan motivasi belajar siswa; dan d. membantu guru dalam pencapaian pembelajaran, karena langkah pem- Prosiding Seminar Nasional Matematika dan Pendidikan Matematika. “Internalisasi Nilainilai Berpikir Matematis Dalam Peranannya di Era Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA)” belajaran kooperatif mudah diterapkan di sekolah. Berdasarkan pengertian dan penjelasan di atas, pengertian model pembelajaran TSTS adalah model pembelajaran kooperatif yang terdiri dari empat orang dengan konsep dua tinggal dan dua berkunjung. Langkah-langkah model pembelajaran TSTS meliputi pembagian kelompok secara heterogen beranggotakan empat orang lalu guru membagikan tugas yang akan didiskusikan kepada kelompok masingmasing. Setelah selesai berdiskusi, dua orang dari setiap kelompok berkunjung ke kelompok lain untuk mendapatkan informasi dari kelompok yang akan dikunjungi. Sedangkan dua orang tinggal bertanggung jawab untuk membagikan hasil kerja kelompoknya kepada dua tamu yang berkunjung. Apabila telas selesai, dua orang yang bertugas sebagai tamu kembali ke kelompok masing-masing kemudian mereka membahas serta mencocokkan hasil kerja dan informasi yang mereka dapatkan. C. Pembelajaran Kooperatif tipe TSTS untuk Meningkatkan Komunikasi Matematis Siswa Pembelajaran matematika adalah proses belajar mengajar yang melibatkan guru dan siswa secara simultan, di mana perubahan tingkah laku siswa diarahkan pada pemahaman konsep-konsep matematika yang akan mengantarkan siswa pada berpikir matematis dan mengembangkan potensi siswa serta kemampuan matematis siswa. Salah satu kemampuan matematis siswa adalah kemampuan komunikasi matematis siswa. Kemampuan komunikasi matematis dapat diartikan sebagai kemampuan seorang komunikator untuk menyampaikan pesan berupa materi matematika kepada komunikan yang disajikan dalam berbagai bentuk ide, symbol, tulisan ataupun diagram. Kemampuan komunikasi matematis siswa dapat ditimbulkan dalam pembelajaran berkelompok seperti pembelajaran kooperatif. Terdapat banyak model pembelajaran kooperatif diantaranya adalah pembelajaran kooperatif tipe TSTS. Model pembelajaran TSTS adalah model pembelajaran kooperatif yang terdiri dari empat orang dengan konsep dua tinggal dan dua berkunjung. Langkah-langkah model pembelajaran TSTS meliputi pembagian kelompok secara heterogen beranggotakan empat orang lalu guru membagikan tugas yang akan didiskusikan kepada kelompok masingmasing. Pada saat diskusi, siswa saling bertukar ide dalam memecahkan masalah yang dapat mereka tuangkan dalam bahasa matematis seperti symbol, ataupun diagram. siswa dituntun untuk mengembangkan kemampuan komunikasi mate-matisnya disini, karena mereka bekerjasama mencoba menghubungkan ide-ide yang didapat dari masing-masing siswa. Setelah selesai berdiskusi, dua orang dari setiap kelompok berkunjung ke kelompok lain untuk mendapatkan informasi dari kelompok yang akan dikunjungi. Dalam kunjungan ke kelompok lain, komunikasi matematis siswa juga digunakan karena siswa yang dikunjungi bertanggung jawab menyampaikan hasil diskusi kelompoknya kepada tamu yang berkunjung. Apabila telah selesai, dua orang yang bertugas sebagai tamu kembali ke kelompok masingmasing kemudian mereka membahas serta mencocokkan hasil kerja dan informasi yang mereka dapatkan. Jadi, diharapkan pembelajaran TSTS dapat meningkatkan kemampuan komunikasi matematis siswa. 3. SIMPULAN DAN SARAN Berdasarkan hasil analisis yang telah dilakukan, pembelajaran tipe TSTS dapat Pendidikan Matematika Universitas Muhammadiyah Purworejo , Ruang Seminar UMP, Sabtu, 28 Mei 2016 637 mebantu meningkatkan kemampuan komunikasi matematis siswa. hal tersenut terliat dari tahapan-tahapan pada pembelajaran kooperatif tipe TSTS yang memuat kemampuan dasar pada proses komunikasi siswa. Dengan demikian, untuk membantu meningkatkan kemampuan komunikasi matematis siswa, dapat menggunakan pembelajaran Kooperatif tipe TSTS dengan menggunakan masalah yang disesuaikan dengan kemampuan komunikasi yang ingin dicapai. 4. REFERENSI Amalia, Lia. 2013. Pengaruh Penerapan Quantum Learning Prinsip Tandur Terhadap Peningkatan Kemampuan Komunikasi Matematis Pada Siswa. [online]. Tersedia: http://repository.upi.edu/view/divisions/PMAT/2013.html. [05 April 2016]. Ansari, Bansu Irianto. 2003. Menumbuh kembangkan Kemampuan Pemahaman dan Komunikasi Matematik Siswa SMU Melalui Strategi Think-Talk Write. Daryono. 2011. Teknik Pembelajaran Cooperatif Tipe Two Stay Two Stray. [online]. Tersedia: http://ptkguru.com/?darmajaya=index &daryono=base&action=listmenu&ski ns=1&id=494&tkt=2. [04 April 2016]. Departemen Pendidikan Nasional. 2008. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Balai Pustaka: Jakarta. Isjoni, Drs. 2013. Pembelajaran Kooperatif. Pustaka Pelajar.113: Yogyakarta. Meliana, Dinda. 2013. Penerapan Model Pembelajaran Kooperatif Tipe Learning Cell Untuk Meningkatkan Kemampuan Komunikasi Matematik Pada Siswa SMP. [online]. Tersedia: http://repository.upi.edu/1678/4/S_MT 638 K_0809095_CHAPTER1.pdf. April 2016] [6 Mufrika, Tika. 2011. Pengaruh Model Pembelajaran Kooperatif Metode Student Facilitator and Explaining Terhadap Kemampuan Komunikasi Metamtika Siswa. [online]. Tersedia: http://repository.uinjkt.ac.id/dspace/bit stream/123456789/1255/1/98866TIKA%20MUFRIKA-FITK.pdf. [6 April 2016]. Mustikawati, Mega.2013. Penerapan Pembelajaran Matematika Dengan Strategi REACT Dalam Meningkatkan Kemampuan komunikasi Matematis Siswa SMP. [online]. Tersedia: http://repository.upi.edu/view/divisions/PMAT/2 013.html. [6]. NCTM. 2000. Principles and Standars for School Mathematics. Reston VA: NCTM. [online]. Tersedia: http://www.nctm.org [05 April 2016]. PISA. 2012. PISA 2012. Assesment and Analitycal Framework: Mathematics, Reading, Science, Problem Solving and Financial Literacy. SecretaryGeneral of OECD. [online]. Tersedia: www.oecd.org. [05 April 2016]. Qohar, Abdul. 2009. Mengembangkan Kemampuan Pemahaman, Komunikasi, dan Koneksi Matematis Siswa SMP Melalui Reciprocal Teaching. Laporan Akhir Pascasarjana UPI. Sagala, Syaiful. 2010. Konsep dan Makna Pembelajaran. Bandung: Alfabeta. Sapa‟at, Asep. 2006. Pendekatan Ketrampilan Metakognitif Untuk Mengembangkan Kompetensi Matematika Siswa. Prosiding Seminar Nasional Matematika dan Pendidikan Matematika. “Internalisasi Nilainilai Berpikir Matematis Dalam Peranannya di Era Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA)” Suherman, E dan Kusumah, Y. S. 2001. Petunjuk Praktis untuk Melaksanakan Evaluasi Pendidikan Matematika. Bandung: Wijayakusumah. Rifaldi, Muamar Agung. 2010. Penerapan Pembelajaran Kooperatif Model Two Stay Two Stray Untuk Meningkatkan Aspek Kognitif dan Aspek Afektif Siswa Kelas X.5 SMAN 2 Junrejo, Kota Batu. [online]. Tersedia: http://www.academia.edu [05 April 2016] Pendidikan Matematika Universitas Muhammadiyah Purworejo , Ruang Seminar UMP, Sabtu, 28 Mei 2016 639 PENGARUH MODEL QUANTUM TEACHING TERHADAP PENINGKATAN KEMAMPUAN VISUAL THINKING MATEMATIS SISWA SMP Mira Rosita Dewi FKIP MIPA, Universitas Pendidikan Indonesia Email: [email protected] Abstrak Penelitian ini difokuskan pada peningkatan kemampuan visual thinking matematis siswa SMP ditinjau dari kategori gaya belajar siswa (visual, auditori dan kinestetik), dimana selama ini siswa masih kurang terlatih dalam menerjemahkan masalah kedalam bentuk ganbar, grafik dan yang lainnya. Siswa kurang berkembang dalam berpikir untuk menyelesaikan suatu masalah secara bebas, karena siswa selalu di tuntut untuk berpikir secara prosedural. Ini menandakan masih lemahnya kemampuan visual thinking matematis para siswa. Gaya belajar merupakan cara belajar yang khas bagi siswa, bersifat individual yang kerapkali tidak disadari siswa. Gaya belajar terbagi tiga yaitu visual, auditori dan kinestetik. Dalam kegiatan pembelajaran, bukan hanya hasil yang diperhatikan melainkan prosesnya pun harus diperhatikan. Hal ini berpengaruh kepada hasil belajar. Quantum teaching merupakan model pembelajaran yang didasari atas perbedaan gaya belajar yang dimiliki anak dalam belajar, yaitu visual, auditorial dan kinestetik. Kerangka rancangan belajar quantum teaching dikenal dengan TANDUR. Adapun dalam pengajarannya memodelkan filosofi pengajaran dan strateginya dengan “maestro” pada konser. Pendekatan yang digunakan adalah kontruktivisme. Data penelitian ini dikumpulkan melalui tes kemampuan visual thinking matematis dan skala gaya belajar. Dari hasil analisis disimpulkan: Secara keseluruhan peningkatan kemampuan visual thinking matematis siswa yang memperoleh pembelajaran quantum teaching lebih baik secara signifikan dibandingkan dengan siswa yang memperoleh pembelajaran konvensional. Pada kelas eksperimen yang diberikan pembelajaran quantum teaching, tidak terdapat perbedaan yang signifikan peningkatan kemampuan visual thinking matematis siswa yang memiliki gaya belajar visual, auditori dan kinestetik. Kata Kunci: Quantum Teaching, Kemampuan Visual Thinking Matematis, Gaya Belajar Siswa. 1. PENDAHULUAN Di era perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, semuanya berubah dengan cepat. Tenaga otaklah yang sekarang lebih di pioritaskan, karena dengan otak kita bisa berpikir bagaimana cara menjalankan mesin-mesin. Oleh karena itu, dari sejak dini kemampuan berpikir siswa harus sering dilatih. Salah satu upaya agar dapat mengatasi kendala dunia kerja, para siswa harus diberikan pembelajaran matematis yang lebih meningkatkan pada proses berpikir tingkat tinggi, seperti visual thinking. Visualisasi merupakan bagian penting yang dibutuhkan dalam pengajaran matematis untuk mengembangkan kemampuan berpikir matematis. Kemampuan visual thiking merupakan kemampuan tahapan dasar yang 640 harus dimiliki siswa dalam pembelajaran matematis terutama pada materi geometri (Hadamard dalam Thornton. 2001). Kemampuan visual thinking matamatis siswa perlu sekali untuk dikembangkan. Ketika siswa menghadapi masalah yang kompleks dalam pembelajaran matematis, visual thinking dapat membuat masalah kompleks mudah dipahami, mudah mengkomunikasikan bagi orang lain untuk menyelesaikannya. Pada bagian ini dijelaskan tujuan dilaksanakannya penelitian adalah untuk mengetahui peningkatan kemampuan visual thinking matematis siswa yang memperoleh pembelajaran model quantum teaching lebih baik daripada siswa yang memperoleh pembelajaran model konvesiona lsertauntuk Prosiding Seminar Nasional Matematika dan Pendidikan Matematika. “Internalisasi Nilainilai Berpikir Matematis Dalam Peranannya di Era Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA)” mengetahui peningkatan kemampuan visual thinking matematis siswa yang memperoleh pembelajaran model quantum teaching ditinjau dari gaya belajar siswa. Tinjauan pustaka: Kemampuan visual thinking matematis adalah hasil kreasi dari kemampuan berpikir dan proses berpikir secara aktif mengenai gambar, image ataupun diagram dengan menggunakan imajinasi atau gambaran pada keadaan nyata dalam memandang suatu permasalahan sehingga dapat menghubungkan, menggambarkan dan mengkomunikasikan informasi yang ada menjadi lebih spesifik dalam memecahkan suatu masalah. Quantum teaching merupakan model pembelajaran yang didasari atas perbedaan gaya belajar anak atau gaya belajar yang dimiliki anak dalam belajar, yaitu visual, auditorial dan kinestetik. Kerangka rancangan belajar quantum teaching dikenal dengan TANDUR. Adapun dalam pengajarannya memodelkan filosofi Meskipun kebanyakan siswa memiliki ketiga akses gaya belajar yaitu visual, auditorial dan kinestetik, namun tidak semua juga yang memiliki kecenderungan pada salah satu gaya belajar belajar saja. Bisa visual saja, bisa auditorial saja ataupun kinestetik saja. Gaya belajar siswa visual biasanya mereka belajar dengan melihat sesuatu yang berbentuk gambar atau diagram, pertunjukan, penayangan video. Gaya belajar siswa auditori biasanya mereka belajar dengan mendengarkan sesuatu melalui kaset, ceramah, diskusi, debat dan intruksi verbal. Gaya belajar siswa kinestetik biasanya mereka belajar melalui aktivitas fisik dan keterlibatan langsung.. 2. KAJIAN LITERATUR a. Kemampuan visual thinking Visual thinking atau berpikir visual adalah proses intelektual intuitif dan ide imajinasi visual, baik dalam pencitraan mental atau melalui gambar (Brasseur dalam Surya. 2011). Namun visual thinking memerlukan lebih banyak dari pada visualisasi atau representasi. John Steiner dalam surya. (2011) menyatakan visualisai ini adalah mewakili sensasi pengetahuan dalam bentuk struktur ide, aliran ide itu bisa sebagai gambar, diagram, penjelasan model, lukisan yang diatur ide-ide besar dan penyelesaian sederhana. Pada hakekatnya belajar matematika adalah berpikir dan berbuat atau mengerjakan matematika. Disinilah makna dan strategi pembelajaran matematika adalah strategi pembelajaran yang aktif, yang ditandai oleh dua faktor: a) Interaksi optimal antara seluruh komponen dalam proses belajar mengajar di antarnya antara komponen utama yaitu guru dan siswa, b) Berfungsinya secara optimal seluruh „‟sense‟‟ yang meliputi indera, emosi, karsa, karya, dan nalar. b. Quantum teaching Menurut De Porter. (2005: 3), quantum teaching adalah sebuah strategi pembelajaran yang bertumpu pada prinsipprinsip dan teknik-teknik quantum learning, yang dalam pelaksanaannya mendukung prinsip bahwa pembelajaran adalah sebuah sistem. Hal ini terlihat dari buku “Quantum Teaching”, mempraktikkan quantum learning di ruang-ruang kelas. Quantum teaching mampu mengorganisasi dan memadukan interaksi-interaksi yang ada di dalam dan sekitar momen belajar atau dengan kata lain mengelola unsur-unsur yang terkait dengan kegiatan belajar mengajar dan memanfaatkannya untuk mencapai tujuan. Kerangka rancangan quantum teaching, tumbuhkan, alami, namai, demonstrasikan, ulangi, rayakan, dapat disingkat dengan istilah “TANDUR”. a. Tumbuhkan, menumbuhkan hasrat siswa untuk belajar. Minat adalah suatu landasan yang paling meyakinkan demi keberhasilan suatu proses belajar. Jika seorang siswa memiliki rasa ingin belajar, dia akan cepat mengerti dan mengingatnya. b. Alami, menciptakan dan mendatangkan pengalaman umum yang dapat dimengerti semua siswa. Pendidikan Matematika Universitas Muhammadiyah Purworejo , Ruang Seminar UMP, Sabtu, 28 Mei 2016 641 c. Namai, memberi data tepat saat minat memuncak. Untuk ini dibutuhkan kata kunci, konsep, model, rumus, strategi yang bisa menjadi masukan bagi siswa. d. Demonstrasikan, memberikan kesempatan bagi siswa untuk mengkaitkan pengalaman dengan nama baru, sehingga mereka menghayati dan membuatnya sebagai pengalaman pribadi. e. Ulangi, dengan menunjukkan kepada siswa mengenai caracara mengulang materi dan menegaskan “Aku tahu bahwa aku memang tahu ini”. f. Rayakan, jika layak untuk dipelajari maka layak juga untuk dirayakan. Setiap usaha belajar memerlukan sebuah perjuangan, sehingga hasil yang diperoleh perlu mendapatkan penghargaan, pengakuan sebagai hasil dari jerih payah (biasa dengan pujian, tepuk tangan dan lain sebagainya). c. Gaya belajar siswa Setiap siswa memiliki cara belajar yang berbeda-beda. Cara belajar ini sering disebut dengan gaya belajar atau gaya belajar. Menurut DePorter dan Hernacki. (2014) gaya belajar siswa adalah cara belajar yang khas, bersifat konsisten dan merupakan kombinasi dari bagaimana siswa tersebut menyerap dan mengatur serta mengolah informasi.Pada penelitian ini akan menggunakan indikator menurut De Porter. (2014) ketiga gaya belajar belajar siswa memiliki ciri-ciri sebagai berikut:Visual memiliki ciri-ciri teratur, memperhatikan segala sesuatu, menjaga penampilan, mengingat dengan gambar, lebih suka membaca daripada dibacakan dan membutuhkan gambaran dan tujuan menyeluruh dan menangkap detail: mengingat apa yang dilihat. Kemudian auditorial memiliki ciri-ciri perhatiannya mudah terpecah, berbicara dengan pola berirama, belajar dengan cara mendengarkan, menggerakkan bibir/bersuara saat membaca dan berdialog secara internal dan eksternal. Selanjutnya kenestetik menyentuh orang dan berdiri berdekatan, banyak bergerak, belajar dengan melakukan, menunjuk tulisan saat membaca, menanggapi secara fisik dan mengingat sambil berjalan dan melihat. d. Teori belajar 642 Ide-ide Piaget, Vygotsky, Bruner dan lain-lain membentuk suatu teori pembelajaran yang dikenal dengan teori konstruktivis. Ide utama teori ini adalah: (1) siswa secara aktif membangun pengetahuannya sendiri; (2) agar benar-benar dapat memahami dan dapat menerapkan pengetahuan siswa harus bekerja memecahkan masalah, menemukan segala sesuatu untuk dirinya sendiri; (3) belajar adalah proses membangun pengetahuan bukan penyerapan atau absorbsi; dan (4) belajar adalah proses membangun pengetahuan yang selalu diubah secara berkelanjutan melalui asimilasi dan akomodasi informasi baru. e. Hasil penelitian yang relevan Berdasarkan beberapa penelitian yaitu: Penelitian Rahmi. (2014) dari Universitas Pendidikan Indonesia menerangkan penerapan Model quantum teaching dapat meningkatkan kemampuan berpikir kritis siswa dan menurunkan tingkat kecemasan matematika. Penelitian Gumanti. (2014) dari Universitas Pendidikan Indonesia menerangkan terdapat peningkatan kemampuan visual thinking siswa yang mendapat pembelajaran berbantuan Geogebra. 3. METODE PENELITIAN Sesuai dengan tujuan penelitian , yaitu untuk mengetahui pengaruh pembelajaran model quantum teaching terhadap kemampuan visual thinking matematis siswa SMP selain itu juga, penelitian ini ditinjau dari gaya belajar siswa yang terbagi kedalam tiga kategori yaitu visual, auditori dan kinestetik, maka metode penelitian yang digunakan adalah metode kuasi eksperimen.Dalam penelitian ini diambil dua kelas sebagai sampel, yaitu kelas eksperimen yang diberi treatment berupa pembelajaran model quantum teaching dan kelas kontrol yang menggunakan pembelajaran model konvensional. Populsai dalam penelitian ini siswa kelas VIII di suatu SMP Negeri yang berada dikabupaten Bandung Barat. Pre-test diberikan di awal penelitian dan post-test diberikan di akhir penelitian. Adapun desain penelitian yang digunakan adalah desain kelompok kontrol nonekuivalen, yaitu subjek penelitian tidak dikelompokkan secara acak (Ruseffendi, 2006) berikut: Prosiding Seminar Nasional Matematika dan Pendidikan Matematika. “Internalisasi Nilainilai Berpikir Matematis Dalam Peranannya di Era Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA)” 2. Variabel terikat adalah variabel yang Kelas eksperimen: O X O dipengaruhi oleh variabel bebas. Dalam -----------------------------penelitian ini yang menjadi variabel Kelas kontrol :O O terikatnya adalah kemampuan visual Keterangan: thinking dan berpikir kreatif matematis. O : pre-test dan post-test kemampuan visual 3. Variabel kontrol pada penelitian ini yaitu thinking dan berpikir kreatif kategori gaya belajar siswa (visual, X : model quantum teaching auditorial, kinestetik). --- : subjek dikelompokan secara acak Perolehan data dalam penelitian ini 4. HASIL DAN PEMBAHASAN melalui dua jenis instrumen, yaitu instrumen Pada bagian ini akan dijabarkan inti dan instrumen penunjang.Instrumen inti analisis dan pembahasan dari hasil penelitian terdiri dari instrumen tes dan instrumen non tentang pengaruh model quantum teaching tes. Instrumen tes berupa seperangkat soal tes terhadap peningkatan kemampuan visual untuk mengukur kemampuan visual thinking thinking matematis.Data kemampuan visual thinking yang akan diolah dan dianalisis dalam matematis.Selain instrumen tes, juga ada penelitian ini meliputi skor pre-test dan skor instrumen skala gaya belajar siswa dan lembar post-test. Telah dikemukakan sebelumnya observasi yang memuat indikator-indikator bahwa penelitian ini hendak mengetahui aktivitas guru dan siswa dalam pembelajaran. sejauh mana pengaruh model pembelajaran Variabel dalam penelitian ini terdiri quantum teaching mampu meningkatkan atas tiga variabel, yaitu variabel bebas, kemampuan visual thinking matematis siswa. Hal ini dapat diketahui dengan cara variabel terikat dan variabel kontrol. Variabel membandingkan hasil pencapaian kelas tersebut adalah: eksperimen dengan kelas kontrol pada saat 1. Variabel bebas adalah variabel yang sebelum dan sesudah diberi perlakuan yang mempengaruhi variabel terikat. Dalam berbeda. penelitian ini yang menjadi variabel bebas Hasil penelitian ini secara deskriktif adalah model quantum teaching. disajikan pada tabel 1 sebagai berikut: Tabel 4.1 Statistik Deskriptif Skor Kemampuan Visual ThinkingMatematis Kategori Data Statistik Visual SD N Auditori SD N Kinestetik SD N Total SD N Eksperimen Kontrol NPre-Test Post-Test Gain 4,88 13,25 0,66 2,42 3,80 0,25 8 8 8 4,83 13,83 0,77 1,47 2,40 0,26 6 6 6 5,91 12,27 0,78 1,76 2,53 0,24 11 11 11 5,32 12,96 0,74 1,93 2,92 0,24 25 25 25 Skor maksimum ideal = 16 Pada tabel 4.1 terlihat bahwa hasil rata-rata skor kemampuan visual thinking matematis siswa pada saat tahap awal kelas eksperimen dan kelas kontrol adalah 5,32 dan 5,21. Dapat dilihat bahwa selisih dari Pre-Test Post-Test 5,35 1,53 17 5,00 1,73 3 4,75 0,96 4 5,21 1,44 24 9,47 1,28 17 9,00 1,73 3 9,00 1,15 4 9,33 1,27 24 NGain 0,38 0,13 17 0,37 0,06 3 0,38 0,06 4 0,38 0,12 24 rata-rata kemampuan visual thinking matematis siswa pada tahap awal di kelas eksperimen dan kelas kontrol tidak terlalu jauh yaitu 0,11. Selanjutnya setelah kegiatan pembelajaran quantum teaching yang Pendidikan Matematika Universitas Muhammadiyah Purworejo , Ruang Seminar UMP, Sabtu, 28 Mei 2016 643 dilakukan di kelas eksperimen dan pembelajaran konvensional dikelas kontrol, terlihat peningkatan skor rata-rata kemampuan visual thinking matematis dikedua kelas. Untuk kelas eksperimen meningkat menjadi 12,96 dan untuk kelas kontrol meningkat menjadi 9,33. Berdasatkan hasil penelitian ini terungkap bahwa secara keseluruhan ratarata post-test kemampuan visual thinking matematis siswa dikelas eksperimen lebih baik daripada kelas kontrol. Hasil yang didapat dari kelas eksperimen adalah ratarata post-testnya 12,96 atau 81% dari skor maksimal ideal, sedangkan pada kelas kontrol rata-rata post-testnya adalah 9,33 atau 58% dari skor maksimal idealnya. . Pada kelas eksperimen, rata-rata ngain kemampuan visual thinking matematis siswa yang gaya belajar visual, auditori dan kinestetik berturut-turut 0,66; 0,77 dan 0,78. Peningkatan kemampuan visual thinking matematis siswa pada kelas eksperimen ditnjau berdasarkan gaya belajar siswa (visual, auditori dan kinestetik) dengan menggunakan uji kruskal-willis menunjukkan tidak ada perbedaan secara signifikan. artinya, quantum teaching sama baiknya dalam meningkatkan kemampuan visual thinking matematis untuk setiap gaya belajar yang dimiliki siswa Gambar 4.3 Peningkatan Kemampuan Visual Thinking Dilihat Dari Indikator Penelitian 644 Prosiding Seminar Nasional Matematika dan Pendidikan Matematika. “Internalisasi Nilainilai Berpikir Matematis Dalam Peranannya di Era Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA)” Berdasarkan grafik pada gambar 4.3, menunjukkan peningkatan kemampuan visual thinking yang lebih tinggi pada indikator representation, kemudian pada indikator showing & telling, lalu imagining dan yang terakhir dalam indikator looking & seeing. Pada indikator looking & seeing, peningkatan kemampuan visual thingking tidak terlalu jauh antara skor pre-test dan skor post-test. Hal ini menandakan pada indikator ini siswa sudah dapat menguasai. 5. KESIMPULAN Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan pada bab IV, maka dapat diambil kesimpulan bahwa pengaruh model pembelajaran quantum teaching dapat menghasilkan peningkatan pada kemampuan visual thinking matematis siswa. Secara keseluruhan peningkatan kemampuan visual thinking matematis siswa yang memperoleh pembelajaran quantum teaching lebih baik secara signifikan dibandingkan dengan siswa yang memperoleh pembelajaran konvensional. Selanjutnya berdasarkan gaya belajar siswa diperoleh: (a) Pada kelas eksperimen yang diberikan pembelajaran quantum teaching, tidak terdapat perbedaan yang signifikan peningkatan kemampuan visual thinking matematis siswa yang memiliki gaya belajar visual, auditori dan kinestetik. (b) Diperkirakan tidak terdapat interaksi antara model pembelajaran (quantum teaching dan konvensional) dengan faktor gaya belajar (visual, auditori dan kinestetik) terhadap kemampuan visual thinking matematis siswa. Berdasarkan kesimpulan dari penelitian ini, selanjutnya dikemukakan saran-saran sebagai berikut: 1. Quantum teaching dapat dijadikan salah satu alternatif model pembelajaran yang dipilih guru dalam pembelajaran matematika untuk meningkatkan kemampuan visual thinkingmatematis siswa. 2. Perlu diteliti bagaimana pengaruh quantum teaching pada sekolah level tinggi dan rendah. 3. Perlu dilakukan penelitian yang lebih lama misalnya satu semester, untuk melihat peningkatan kemampuan visual thinking matematis lebih optimal. 6. REFERENSI Arief S. Sadiman dkk (2011). Media Pendidikan: Pengertian, Pengembangan Dan Pemanfaatannya. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada. Cai, et.al. (1996). Assesing Students Mathimatical Communication. Oficial Journal of The Science and Mathematics. 96 (5) 238-246. De Porter, B., & Hernacki. (2001). Quantum Learning: Membiasakan Belajar Nyaman Dan Menyenangkan. Penerjemah: Alwiyah Abdurrahman. Bandung: Kaifa. De Porter, B. (2005). Quantum Teaching Mempraktikkan Quantum Learning Di Ruang-Ruang Kelas. Bandung: Kaifa Edy Surya, Jozua Sabandar, Yaya S. Kusumah, Darhim. (2013). Improving of Junior High School Visual Thinking Representation Ability in Mathematical Problem Solving by CTL, IndoMS. J.M.E Vol. 4 No. 1 Januari 2013, pp.113-126 Gumanti, Sri. (2014). Pendekatan Saintifik Berbantuan Geo Gebra dapat Meningkatkan Pemahaman Matematis dan Visual Thinking. Tesis SPs UPI Bandung. Hake, RR. (1999). Analyzing Change/Gain Scores. [online]. Tersedia http://www.physics.indiana.edu/~sdi/A nalyzingchange.Gain.Pdf. Kania, N. (2013). Perbandingan Efektivitas Pendidikan Matematika Universitas Muhammadiyah Purworejo , Ruang Seminar UMP, Sabtu, 28 Mei 2016 645 Penggunaan Alat Peraga konkret dengan alat peraga maya (virtual manipulative) terhadap Peningkatan Visual Thinking Siswa. Tesis SPs UPI Bandung. Nurdin, E.(2012). Meningkatkan Kemampuan Pemecahan Masalah Dan Koneksi Matematis Siswa Melalui Pendekatan Pembelajaran Visual Thinking: Kuasi Eksperimen Pada Siswa Salah Satu Mts Negeri Di Tembilahan. Tesis Jurusan Pendidikan Matematika SPs UPI Bandung. Presmeg, N. (1986). Visualisation in High School Mathematics. Educational Resources Information Center (ERIC) Rahmi, H. (2014). Penerapan Model Quantum Teaching Dapat Meningkatkan Kemampuan Berpikir Kritis Siswa Dan Menurukan Tingkat Kecemasan Matematika. Tesis SPs UPI Bandung. Sudjana, N. (1996). Penilaian Hasil Proses Belajar Mengajar, Bandung: Rosdakarya. Sugiyanto. (2008). Model-Model Pembelajaran Inovatif. Surakarta: Panitia Sertifikasi Guru Rayon 13 Surakarta. Suherman. (2003). Evaluasi Matematika. Bandung: JICA Pembelajaran Surya, E. (2011). Visual Thinking Dalam Memaksimalkan Pembelajaran Matematika. Jurnal Penelitian dan Pembelajaran Matematika, 5(1).pp.4150. ISSN 1979-3545 29 Maret 2016. http://digilib.Unimed.ac.id/id.eprint/81 7 Thornton, (2001), A picture is worth a thousand word [onlina]. Tersedia: http://math.unipa.it/~grain/Athornton25 1.pdf. Ruseffendi, E.F. (1991). Pengantar Kepada Guru Mengembangkan Kompetensinya Dalam Pengajaran Matematika Unuk Meningkatkan CBSA. Bandung: Tarsito Ruseffendi, E.F. (2010). Dasar-dasar Penelitian Pendidikan dan Bidang Non-Eksak lainnya. Bandung: Tarsito 646 Prosiding Seminar Nasional Matematika dan Pendidikan Matematika. “Internalisasi Nilainilai Berpikir Matematis Dalam Peranannya di Era Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA)” MENINGKATKAN KEMAMPUAN BERFIKIR KREATIF PESERTA DIDIK MELALUI MODEL DISCOVERY LEARNING Ipah Muzdalipah Fakultas Keguruan dan Ilmu pendidikan, Universitas Siliwangi [email protected] Abstrak Kurikulum Dua Ribu Tiga Belas (Kurtilas) menghendaki materi pembelajaran tidak hanya tersusun atas hal-hal sederhana yang bersifat hafalan dan pemahaman, tetapi tersusun atas materi yang kompleks yang memerlukan analisis, aplikasi dan sintesis. Di sisi lain peserta didik memerlukan suatu pembelajaran yang lebih variatif, inovatif dan konstruktif dalam meningkatkan aktivitas dan kreativitas peserta didik. Untuk mengembangkan kemampuan berfikir kreatif secara optimal, dalam tulisan ini penulis mencoba menerapkan Model Discovery Learning . Dicovery learning merupakan suatu model pembelajaran yang bertujuan untuk membimbing siswa menemukan suatu konsep atau memecahkan suatu permasalahan sehingga dapat memberikan kesempatan kepada sia tersebut untuk berinovasi dengan ide-ide dan cara-cara yang berbeda. Di dalam model ini guru membimbing peserta didik mengkonstruksi pengetahuannya secara aktif melalui stimulation, problem statement, data collection, data processing, verification dan generalization. Kegiatan-kegiatan ini berkaitan dengan proses berpikir kreatif peserta didik. Tujuan penelitian ini untuk mengetahui peningkatan kemampuan berpikir kreatif peserta didik manakah yang lebih baik antara yang menggunakan model Discovery Learning dengan model pembelajaran konvensional. Pada penelitian ini menggunakan metode kuasi eksperimen. Berdasarkan hasil analisis data, diperoleh kesimpulan bahwa: (1) Peserta didik yang memperoleh model dicovery learning memiliki peningkatan kemampuan berpikir kreatif lebih baik daripada peserta didik yang memperoleh pembelajaran konvensional ( = 5%); (2) Terdapat asosiasi yang signifikan antara kemampuan awal matematik peserta didik dengan kemampuan berpikir kreatif peserta didik melalui model discovery learning Kata Kunci: Model Problem Based Learning, Model Discovery Learning, dan Berpikir Kreatif Matematik Peserta Didik. 1. PENDAHULUAN Pendidikan merupakan aspek yang sangat penting dalam kehidupan, karena pendidikan merupakan salah satu upaya untuk mencetak Sumber Daya Manusia (SDM) yang berkualitas baik dari segi intelektual, spiritual, maupun emosional. Sumber daya manusia yang diharapkan adalah yang menguasai ilmu pengetahuan dan teknologi agar dapat memperoleh banyak informasi dengan cepat dan mudah. Dengan demikian diperlukan kemampuan pemikiran yang kritis, sistematis, logis, kreatif, dan kemampuan bekerja sama yang efektif. Kemampuan-kemampuan tersebut dapat dikembangkan melalui Kemampuan pendidikan matematika. Berlakunya Kurikulum 2013 menuntut paradigma baru dalam pendidikan dan pembelajaran, khususnya pada jenis dan jenjang pendidikan formal (persekolahan). Salah satu perubahan paradigma pembelajaran tersebut adalah orientasi pembelajaran yang semula berpusat pada guru beralih berpusat pada peserta didik, dengan menggunakan pendekatan saintifis lebih bersifat kontekstual. Kurtilas juga menghendaki materi pembelajaran tidak hanya tersusun atas halhal sederhana yang bersifat hafalan dan pemahaman, tetapi tersusun atas materi yang kompleks yang memerlukan analisis, aplikasi Pendidikan Matematika Universitas Muhammadiyah Purworejo , Ruang Seminar UMP, Sabtu, 28 Mei 2016 647 dan sintesis. Untuk itu diperlukan suatu pembelajaran yang lebih variatif, inovatif dan konstruktif dalam meningkatkan aktivitas dan kreativitas peserta didik. Untuk mengembangkan kemampuan berpikir kreatif secara optimal, penulis telah menerapkan model Discovery Learning. Model Discovery Learning merupakan model pembelajaran yang menekankan pada ditemukannya konsep/prinsip yang sebelumnya tidak diketahui oleh peserta didik. Dalam Discovery Learning, peserta didik mengorganisasi sendiri bahan pelajaran yang akan dipelajari oleh mereka, dengan kata lain, materi pelajaran tidak disajikan dalam bentuk akhir, tetapi lebih menekankan peserta didik untuk menemukannya sendiri. Menurut Kemendikbud (2013:212), “Prinsip belajar yang tampak jelas dalam Discovery Learning adalah materi atau bahan pelajaran yang akan disampaikan tidak disampaikan dalam bentuk final, akan tetapi siswa sebagai peserta didik didorong untuk mengidentifikasi apa yang ingin diketahui dilanjutkan dengan mencari informasi sendiri kemudian mengorganisasi atau membentuk (konstruktif) pengetahuan dalam bentuk akhir”. Melalui tahapan-tahapan tersebut, kemampuan berpikir kreatif peserta didik dipercaya bisa dikembangkan lebih baik dibanding melalui pembelajaran konvensional. Walaupun sebenarnya kemampuan berpikir kreatif peserta didik ini tidak hanya dipengaruhi oleh model atau pendekatan yang digunakan saja, melainkan juga dipengaruhi oleh daya dukung, fasilitas belajar, intensitas belajar di rumah, perkembangan kognisi termasuk kemampuan awal matematika peserta didik sendiri. Berdasarkan seluruh uraian yang dikemukakan di atas permasalahan dalam penelitian ini dirumuskan sebagai berikut: 1. Manakah peningkatan kemampuan berpikir kreatif matematik peserta didik yang lebih baik antara yang menggunakan model Discovery Learning model konvensional?; 648 2. Apakah terdapat asosiasi antara kualitas kemampuan berpikir kritis dan kreatif matematik siswa? 2. a. KAJIAN PUSTAKA Berpikir Kreatif Matematik Menurut Risnanosanti (2010:27) “Berpikir merupakan suatu kegiatan mental yang dialami seseorang bila mereka dihadapkan pada suatu masalah atau situasi yang harus dipecahkan”. Selanjutnya Ruggiero (Risnanosanti, 2010:28) mengemukakan “Berpikir sebagai aktivitas mental untuk membantu memformulasikan atau memecahkan suatu masalah, membuat suatu keputusan, atau memenuhi hasrat keingintahuan (fulfill a desire to understand)”. Berpikir dapat diartikan sebagai aktivitas mental seseorang untuk mengetahui segala sesuatu yang belum diketahuinya dan untuk mencari solusi dari permasalahan yang sedang dihadapinya. Menurut Risnanosanti (2010:28) “Berpikir sebagai suatu kemampuan mental seseorang dapat dibedakan menjadi beberapa jenis, yaitu berpikir logis, analitis, sistematis, kritis, dan kreatif”. Dalam penelitian ini lebih difokuskan pada berpikir kreatif. Berpikir kreatif tidak lepas dari istilah kreativitas. Keduanya selalu berhubungan erat, namun mempunyai pengertian yang berbeda. Menurut Puccio dan Murdock (Sumarmo, Utari, 2014:245) ”Kreativitas merupakan konstruksi payung sebagai produk kreatif dari individu yang kreatif, memuat tahapan proses berpikir kreatif dan lingkungan yang kondusif untuk berlangsungnya berpikir kreatif”. Banyak para ahli yang berpendapat mengenai definisi kreativitas, tetapi tidak ada satu definisi pun yang dapat diterima secara umum. Hal ini sejalan dengan pendapat Evans (Ratnaningsih, Nani, 2007:29) “Tidak ada definisi kreativitas yang dapat diterima secara umum”. Definisi kreativitas dapat dilihat dari berbagai aspek yang saling berhubungan, tetapi mempunyai tekanan yang berbeda. Prosiding Seminar Nasional Matematika dan Pendidikan Matematika. “Internalisasi Nilainilai Berpikir Matematis Dalam Peranannya di Era Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA)” Definisi kreativitas yang dikemukakan para ahli cenderung merujuk pada satu aspek saja, sehingga perbedaan definisi kreativitas yang dikemukakan oleh banyak ahli merupakan definisi yang saling melengkapi. Rhodes (Munandar, Utami, 2012:20) bahwa pada umumnya kreativitas dirumuskan dalam istilah “Four P’s of Creativity: Person, Process, Press, Product”. Kreativitas sebagai pribadi (person) merupakan sifat pribadi seseorang dalam menciptakan ide-ide baru dan produk-produk yang baru. Kreativitas sebagai proses (process) maksudnya kreativitas merupakan sebuah proses dalam membuat produk-produk yang baru. Kreativitas sebagai dorongan (press) merupakan inisiatif seseorang yang diwujudkan oleh kemampuannya untuk melakukan sesuatu dan menghasilkan suatu hasil yang baru. Kreativitas sebagai produk (product), maksudnya bahwa kreativitas merupakan kemampuan untuk menghasilkan sesuatu yang baru Guilford (Munandar, Utami, 2012:31) berpendapat “Kreativitas atau berpikir kreatif sebagai kemampuan untuk melihat bermacammacam kemungkinan penyelesaian terhadap suatu masalah”. Pendapat tersebut dapat diartikan bahwa seseorang dikatakan berpikir kreatif jika ia mampu menunjukkan kemungkinan jawaban yang sesuai dan tepat dalam menyelesaikan suatu permasalahan. Pendapat lain mengenai definisi Berpikir kreatif dikemukakan oleh Risnanosanti (2010:30) “Berpikir kreatif diartikan suatu kegiatan seseorang untuk membangun ide atau gagasan yang baru”. Dari definisi kemampuan berpikir kreatif yang telah dikemukakan di atas, maka dapat disimpulkan bahwa berpikir kreatif merupakan suatu aktivitas mental seseorang dalam menemukan kemungkinan jawaban dari suatu masalah dan membangun ide atau gagasan yang baru. Williams (Risnanosanti, 2010:33) mengungkapkan “Ciri kemampuan berpikir kreatif, yaitu kefasihan, fleksibilitas, orisinalitas, dan elaborasi”. Menurut Risnanosanti (2010:33), “Kefasihan adalah kemampuan untuk menghasilkan pemikiran atau pertanyaan dalam jumlah yang banyak. Fleksibilitas adalah kemampuan untuk menghasilkan banyak macam pemikiran, dan mudah berpindah dari jenis pemikiran tertentu pada jenis pemikiran lainnya. Orisinalitas adalah kemampuan untuk berpikir dengan cara yang baru atau dengan ungkapan yang unik”. Selanjutnya Munandar, Utami (2014:359) mengemukakan ciri-ciri kemampuan berpikir kreatif, yaitu: Ciri-ciri fluency meliputi: a) mencetuskan banyak ide, banyak jawaban, banyak penyelesaian masalah, banyak pertanyaan dengan lancar; b) memberikan banyak cara atau saran untuk melakukan berbagai hal; c) selalu memikirkan lebih dari satu jawaban. Ciri-ciri flexibility antara lain adalah: a) menghasilkan gagasan, jawaban, atau pertanyaan yang bervariasi, dapat melihat suatu masalah dari sudut pandang yang berbeda-beda; b) mencari banyak alternatif atau arah yang berbeda-beda; c) mampu mengubah cara pendekatan atau cara pemikiran. Ciri-ciri originality antara lain: a) mampu melahirkan ungkapan yang baru dan unik; b) memikirkan cara yang tidak lazim untuk mengungkapkan diri; c) mampu membuat kombinasi- kombinasi yang tidak lazim dari bagian-bagian atau unsur-unsur. Ciri-ciri elaboration antara lain: a) mampu memperkaya dan mengembangkan suatu gagasan atau produk; b) menambah atau memperinci detail-detail dari suatu obyek, gagasan, atau situasi sehingga menjadi lebih menarik. b. Model Discovery Learning Discovery Learning pertama kali diperkenalkan oleh Bruner, seorang tokoh pendidikan dari Polandia yang memperkenalkan strategi pembelajaran melalui pengamatan dan penyelidikan secara konsisten dan sistematis. Discovery Learning Pendidikan Matematika Universitas Muhammadiyah Purworejo , Ruang Seminar UMP, Sabtu, 28 Mei 2016 649 bisa juga disebut dengan Discovery Strategy seperti yang diungkapkan oleh Illahi, Mohammad Takdir (2012:41) “Discovery Learning atau yang biasa disebut dengan Discovery Strategy”. Dalam pembelajaran Discovery (penemuan) kegiatan pembelajaran dirancang sedemikian rupa, sehingga peserta didik dapat menemukan konsep-konsep dan prinsip-prinsip melalui proses mentalnya sendiri. Menurut Mulyasa (Illahi, Mohammad Takdir, 2012:32) “Discovery Strategy merupakan strategi pembelajaran yang menekankan pengalaman langsung di lapangan, tanpa harus selalu bergantung pada teori-teori pembelajaran yang ada dalam pedoman buku pelajaran”. Selanjutnya Masarudin Siregar (Illahi, Mohammad Takdir, 2012:30) mengemukakan, “Discovery by Learning adalah proses pembelajaran untuk menemukan sesuatu yang baru dalam kegiatan belajar-mengajar. Dalam konteks ini, menemukan sesuatu berarti mereka mengenal, menghayati, dan memahami sesuatu yang belum pernah diketahui sebelumnya”. Pada pembelajaran Discovery Learning, peserta didik dituntut untuk terlibat aktif di dalam kelas dalam menemukan suatu teori atau konsep yang belum diketahuinya. Peserta didik tidak hanya mengacu pada buku pelajaran yang telah disediakan di sekolah, tetapi dapat mencari informasi dari beberapa sumber yang relevan seperti berbagai buku, internet, percobaan atau observasi Menurut Syah (Kemendikbud, 2013:216217) Langkah-langkah pembelajaran discovery adalah sebagai berikut. 1) Stimulasi Pada tahap ini siswa dihadapkan pada sesuatu yang menimbulkan kebingungan dan dirangsang untuk melakukan kegiatan penyelidikan guna menjawab kebingungan tersebut. 2) Menyatakan masalah Pada tahap ini siswa diarahkan untuk mengidentifikasi sebanyak mungkin masalah 650 yang relevan dengan bahan pelajaran, kemudian salah satunya dipilih dan dirumuskan dalam bentuk hipotesis. 3) Pengumpulan data Pada tahap ini siswa ditugaskan untuk melakukan kegiatan eksplorasi, pencarian, dan penelusuran dalam rangka mengumpulkan informasi yang sebanyak-banyaknya yang relevan untuk membuktikan benar hipotesis yang diajukannya 4) Pengolahan data Pada tahap ini siswa mengolah data dan informasi yang telah diperolehnya, baik melalui wawancara, observasi, dan sebagainya, lalu ditafsirkan 5) Pembuktian Pada tahap ini siswa melakukan pemeriksaan secara cermat untuk membuktikan benar atau tidaknya hipotesis yang ditetapkan tadi dengan temuan alternatif, dihubungkan dengan pengolahan data. 6) Menarik Kesimpulan Pada tahap ini siswa menarik sebuah kesimpulan yang dapat dijadikan prinsip umum dan berlaku untuk semua kejadian atau masalah yang sama, dengan memperhatikan hasil verifikasi. 3. METODE PENELITIAN Penelitian ini merupakan suatu kuasi eksperimen dengan desain yang digambarkan sebagai berikut A O X O A O O dengan A O X = Pengelompokan subjek secara acak = Pretes dan postes kemampuan berpikir kreatif = Penggunaan model discovery learning Subjek populasi dalam penelitian ini adalah seluruh peserta didik SMKN 2 di Kota Tasikmalaya. Pengambilan sampel menggunakan purposive sampling dan random sampling. Sampel penelitian yang diambil Prosiding Seminar Nasional Matematika dan Pendidikan Matematika. “Internalisasi Nilainilai Berpikir Matematis Dalam Peranannya di Era Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA)” adalah kelas X TKJ. Instrumen yang digunakan untuk mengukur kemampuan berpikir kreatif matematik yaitu seperangkat soal kemampuan berpikir kreatif matematik yang berbentuk uraian. Sebelum digunakan, instrumen tersebut terlebih dahulu diuji coba secara empiris pada peserta didik di luar sampel, untuk melihat validitas butir soal dan reliabilitas instrumen. Untuk menguji hipotesis pertama digunakan uji perbedaan dua rerata yaitu dengan menggunakan Uji-t sedangkan hipotesis kedua diuji dengan uji korelasi. Untuk kepentingan pengujian hipotesis tersebut seluruh perhitungan statistika dalam penelitian ini menggunakan perangkat lunak SPSS 21 dan Microsoft-Office-Excel 2007, dengan tingkat kepercayaan 95%. 4. HASIL DAN PEMBAHASAN Gambaran umum kualitas kemampuan berpikir kreatif matematik peserta didik berdasarkan model Discovery Learning yang diterapkan, diperoleh rata-rata skor pretes 6,11 dan rata-rata skor postesnya 16,89. Rata-rata normal gain yang diperoleh di kelas eksperimen yaitu 0,75 dengan nilai normal gain terbesar sebesar 1,00 dan nilai normal gain terkecil sebesar 0,3. Untuk kelas konvensional diperoleh rata-rata skor pretes 4,31 dan rata-rata skor postesnya 14,72. Ratarata normal gain yang diperoleh di kelas kontrol yaitu 0,66 dengan nilai normal gain terbesar sebesar 0,89 dan nilai normal gain terkecil sebesar 0,38. Gambaran secara umum menunjukkan adanya perbedaan yang signifikan. Selanjutnya dilakukan uji-t, diperoleh ttab = 1,67 dan thit = 10,90, dengan demikian H0 ditolak berarti terdapat perbedaan yang signifikan antara kemampuan berpikir kreatif matematik melalui model Discovery Learning. Berdasarkan hasil analisis terhadap proses penyelesaian soal-soal berpikir kreatif matematika diidentifikasi bahwa pada tahap fluency dan flexibility, peserta didik belum mampu menuangkan ide secara beragam. Hampir setiap ide yang diungkapkan oleh seluruh peserta didik sama. Setelah diamati ternyata peserta didik lebih cenderung menggunakan cara yang diajarkan gurunya dibanding menyusun caranya sendiri. Beberapa peserta didik ada yang menuangkan gagasan berbeda, namun ketika divalidasi lebih lanjut ternyata cara yang mereka tuangkan masih berupa konjektur tanpa mereka pahami pembuktiannya. Dari aspek originality diidentifikasi bahwa kemampuan berpikir peserta didik sudah baik, hal ini bisa dipastikan dari cara mereka menjawab saat diwawancara oleh penulis berdasarkan jawaban yang mereka tulis. Aspek elaboration tidak terjadi secara merata pada seluruh peserta didik, melainkan hanya berhasil pada sebagian kecil peserta didik. Setelah diobservasi lebih lanjut ternyata peserta didik yang mampu mencapai tahapan ini dengan baik memiliki kemampuan awal matematika yang bagus. Artinya sebelum diberikan pembelajaran, peserta didik yang masuk ke dalam kelompok ini telah memiliki modal pengetahuan yang lebih baik. Hasil analisis kedua menyatakan bahwa terdapat asosiasi antara kemampuan awal matematika peserta didik dengan kemampuan berpikir kreatifnya. Hal ini sesuai dengan hasil yang digambarkan oleh analisis pertama bahwa peserta didik yang kemampuan awal matematiknya lebih tinggi cenderung memiliki kemampuan berpikir kreatif yang lebih baik. Hubungan keduanya tergolong kuat dengan nilai koefisien korelasi r = 0.73 yang signifikan pada Hasil penelitian menunjukkan terdapat 2 orang peserta didik yang tergolong ke dalam data pencilan tetapi tidak dibuang dalam penelitian ini. Ke dua peserta didik tersebut memiliki kemampuan awal yang paling rendah dibanding yang lainnya tetapi memiliki kemampuan berpikir kreatif yang paling tinggi. Kasus ini bisa terjadi pada dua kemungkinan, pertama mereka tidak Pendidikan Matematika Universitas Muhammadiyah Purworejo , Ruang Seminar UMP, Sabtu, 28 Mei 2016 651 mengerjakan tes KAM dengan baik atau kedua, mereka memiliki kemampuan mengasimilasi dan mengakomodasi pengetahuan dengan sangat baik. Hal ini terlihat bahwa ketika pembelajaran berlangsung, kedua peserta didik ini sangat aktif. 5. KESIMPULAN Berdasarkan hasil pengolahan data penelitian, dapat disimpulkan bahwa: 1) Peserta didik yang memperoleh model Discovery Learning memiliki peningkatan kemampuan berpikir kreatif lebih baik daripada peserta didik yang memperoleh pembelajaran konvensional ( = 5%); 2) Terdapat asosiasi yang signifikan antara kemampuan awal matematik peserta didik dengan kemampuan berpikir kreatif peserta didik melalui model Discovery Learning. Penulis berharap ada yang peneliti berikutnya yang mengamati proses berpikir kreatif matematik peserta didik dilihat dari tingkat perkembangan kognisinya. 6. REFERENSI Abidin, Yunus (2014). Desain Sistem Pembelajaran dalam Konteks Kurikulum 2013. Bandung: PT. Refika Aditama Huda, Miftahul (2014). Model-model Pengajaran dan Pembelajaran. Yogyakarta: Pustaka Belajar Illahi, Mohammad Takdir. (2012). Pembelajaran Discovery Strategy dan Mental Vocational Skill. Yogyakarta: DIVA Press Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan. (2013). Materi Pelatihan Guru Implementasi Kurikulum 2013. Jakarta: Badan Pengembangan Sumber Daya Manusia Pendidikan dan Kebudayaan dan Penjaminan Mutu Pendidikan. 652 Kurniasih, Imas dan Berlin Sani. (2014). Sukses Implementasi Kurikulum 2013. Yogyakarta: Kata Pena. Munandar, Utami (2012). Perkembangan Kreativitas Anak Berbakat. Jakarta: Rineka Cipta. Purnama, Nita (2014). “Pengaruh Penggunaan Model Discovery Learning Terhadap Kemampuan Berpikir Kreatif Matematik Peserta Didik”. Skripsi UNSIL. Tasikmalaya: Tidak diterbitkan. Risnanosanti (2010). Kemampuan Berpikir Kreatif Matematis dan Self Efficacy terhadap Matematika Siswa Sekolah Menengah Atas (SMA) dalam Pembelajaran Inkuiri. Disertasi UPI. Bandung: Tidak diterbitkan. Rosliana, Priasti (2011). “Pengaruh Penggunaan Model Problem Based Learning Terhadap Kemampuan Berpikir Kreatif Matematik Peserta Didik”. Skripsi UNSIL. Tasikmalaya: Tidak diterbitkan. Rusman (2013). Model-Model Pembelajaran Mengembangkan Profesionalisme Guru. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada Sani, Ridwan Abdulloh (2014). Pembelajaran Saintifik untuk Implementasi Kurikulum 2013. Jakarta: Bumi Aksara Sanjaya, Wina (2010). Strategi Pembelajaran Berorientasi Standar Proes Pendidikan. Jakarta: Prenada Media Grup. Somantri, Ating dan Sambas Ali Muhidin (2006). Aplikasi Statistika Dalam Penelitian. Bandung: Pustaka Setia. Sumarmo, Utari (2014). Kumpulan Makalah Berpikir dan Disposisi Matematik Serta Pembelajarannya. Bandung: Tidak diterbtkan. TIM MKPBM. (2001). Strategi Pembelajaran Matematika Kontemporer. Bandung: JICA UPI. Prosiding Seminar Nasional Matematika dan Pendidikan Matematika. “Internalisasi Nilainilai Berpikir Matematis Dalam Peranannya di Era Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA)” GEOMETRI DALAM STUKTUR BANGUNAN CANDI BOROBUDUR UNTUK PEMBELAJARAN BERBASIS ETNOMATEMATIKA Almu Noor Romadoni1), Akmal Hi Dahlan22) 1 FKIP, Universitas Sanata Dharma Yogyakarta email: [email protected] 2 FKIP, Universitas Sanata Dharma Yogyakarta email: [email protected] Abstrak Penelitian ini bertujuan untuk mengungkap etnomatematika terdapat dalam candi Borobudur dan Penggunaan candi Borobudur untuk pembelajaran di sekolah berbasis etnomatematika. Pada Penelitian ini digunakan foto sebagai media pembelajaran. Penelitian ini merupakan penelitian deskriftif kualitatif. Subjek dalam penelitian ini terbagi dua yaitu narasumber yang mengetahui informasi tentang Candi Borobudur dan siswa kelas VII SMP Pangudi luhur Srumbung, Muntilan, Magelang, Jawa Tengah yang akan menggunakan model pembelajaran Tipe TSTS dalam pembelajaran. Objek dalam penelitian ini adalah Candi Borobudur serta unsur-unsur matematika sederhana yang terdapat dalam candi tersebut. Candi Borobudur dan Sekolah yang berada di dekat candi Borobudur yang mengetahui, memahami, serta dekat dengan kesaharian dengan candi beserta budaya di Candi Borobudur dipilih sebagai sumber data penelitian. Hasil penelitian menunjukkan bahwa etnomatematika baik digunakan untuk pembelajaran disekolah yang dekat dengan kehidupan nyata siswa. Hasil penelitian menunjukkan bahwa setelah diterapkan pembelajaran berbasis etnomatematika yang menggunakan model pembelajaran tipe TSTS dapat meningkatkan keaktifan dan kepercayaan diri siswa dalam mengemukakan pendapat. Saran, sebagai tenaga pengajar hendaknya menciptakan suatu inovasi yang dapat mengembangkan bakat, menumbuhkan minat dan meningkatkan kebiasaan belajar siswa, sehingga konsep belajar matematika yang diperolehnya diharapkan lebih baik dan dipertimbangkan masalah budaya sehingga matematika tidak terlalu jauh dari kehidupan nyata siswa. Kata Kunci: Etnomatematika, Budaya, Borobudur 1. PENDAHULUAN Indonesia memiliki sebuah catatan sejarah budaya yang dilakukan oleh dua negeri besar di Benua Asia, dengan tingkat beradabannya yang tinggi. Kedua negara tersebut adalah India dan Cina. Jalinan kerjasama ini melalui jalur darat maupun laut. Salah satu jalur yang menguntungkan bagi Indonesia adalah perdagangan melalui jalur laut. Arus lalulintas yang dilewati India-Cina dalam perdagangan dan pelayaran adalah selat Malaka. Indonesia yang terletak pada jalur strategis yaitu posisi silang dua benua dan dua samudra, serta berada didekat selat Malaka memiliki keuntungan. Keterlibatan bangsa Indonesia dalam perdagangan dan pelayaran internasional mengakibatkan timbulnya percampuran budaya. Salah satu negara yang memberikan pengaruh budaya terhadap Indonesia adalah India. India merupakan negara pertama yang memberikan pengaruh terhadap Indonesia, yaitu dalam bentuk budaya Hindu Budha. Sebaga bukti bercoraknya budaya Budha adalah dengan adanya berbagai macam percandian yang tersebar di Indonesia khusunya di pulau Jawa tidak terkecuali Candi Borobudur. Budaya adalah buah atau hasil karya cipta dan rasa masyarakat (Soelaiman Soemardi dan Selo Soemardjan). Budaya adalah hasil perjuangan masyarakat terhadap alam dan Pendidikan Matematika Universitas Muhammadiyah Purworejo , Ruang Seminar UMP, Sabtu, 28 Mei 2016 653 zaman yang membuktikan kemakmuran dan kejayaan hidup masyarakat yang menyikapi atau menghadapi kesulitan dan rintangan untuk mencapai kemakmuran, keselamatan dan kebahagiaan hidupnya (Ki Hajar Dewantara). Jadi budaya dapat diartikan sebagai hasil dari pola hidup yang meliputi unsur-unsur sosial kegiatan manusia yang didalamnya terdapat pengetahuan yang berasal dari anggota masyarakat. Bermula dari budaya Budha yang melahirkan sebuah Candi Borobudur, maka jika diteliti ternyata akan menimbulkan banyak ilmu pengetahuan yang tersirat dalam pembangunan itu sendiri, dengan menggunakan berbagai macam disiplin ilmu kita dapat mengembangan pengetahuan dari setiap sudut pandang keilmuan. Misalnya dengan menggunakan pendekatan matematika. Perkembangan peradapan manusia itu sendiri tidak terlepas dari ilmu-ilmu dasar (Basic Sciences ) sebagai dasar logika berfikir. Manusia telah banyak belajar matematika bagaimana untuk mengenal dan menjelaskaan fenomena-fenomena yang terjadi disekelilingnya. Dengan matematika manusia dapat mempelajari dan mendapatkan pengetahuan atas fenomena yang terjadi atau yang diamati (Ensiklopedia Matematika). Salah satu pembelajaran matematika yang inovatif dapat dilakukan melalui pendekatan budaya atau yang disebut ethnomatematika. Ethnomatematika bisa didefenisikan sebagai cara-cara khusus yang dapat dilakukan oleh suatu kelompok dalam melukan aktivitas matematika. Bentuk dari ethnomatematika berupa hasil dari aktivitas matematika yang dimiliki atau berkembang pada kelompok itu sendiri, meliputi konsep matematika pada peninggalan budaya berupa candi dan prasati, peralatan tradisional, permainan tradisional, dan berbagai macam hasil aktifitas yang yang sudah membudaya. dan berkelanjutan dalam pengetahuan siswa di ruang kelas pada pembelajaran matematika. Beberapa ahli telah mengembangkan teori belajar yang berhubungan dengan budaya yang relevan dalam proses belajar-mengajar dalam paradigma kritis dan melalui koneksi eksplisit antara budaya siswa dan materi pelajaran sekolah. D‟Ambrosio mengatakan bahwa etnomatematika adalah studi tentang matematika yang memperhitungkan budaya dimana matematika muncul dengan memahami penalaran dan sistem matematika yang mereka gunakan. Sangat penting bahwa ethnomathematics dibahas ketika melakukan penelitian yang meneliti budaya dan matematika. "Ethnomathematics digunakan untuk menyatakan hubungan antara budaya dan matematika "(D'Ambrosio). Koneksi ethnomathematics dalam penelitian ini mengacu pada matematika seperti yang dipraktikkan di banyak sekolah dalam kaitannya dengan penggunaan masalah cerita buku teks tradisional dalam kurikulum. D'Ambrosio (2001) Berdasarkan uraian latar belakang permasalahan tersebut maka masalah yang diajukan dalam pelelitian ini adalah : Apa saja unsur matematis geometri sederhana pada Candi Borobudur? Bagaimana penerapan ertnomatematika dalam pembelajaran matematika? Sesuai dengan rumusan masalah tersebut, penelitian ini dilakukan dengan tujuan: Untuk mengetahui unsur matematis pada Candi Borobudur. Untuk mengetahui bagaimana penerapan ertnomatematika dalam candi Borobudur dalam pembelajaran matematika Perubahan penting dalam pembelajaran matematika memerlukan sebuah tempat untuk mengakomodasi perubahan yang terus-menerus 654 Prosiding Seminar Nasional Matematika dan Pendidikan Matematika. “Internalisasi Nilainilai Berpikir Matematis Dalam Peranannya di Era Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA)” 2. KAJIAN LITERATUR Candi Borobudur merupakan candi yang dibangun sekitar tahun 824 M pada masa pemerintahan Wangsa Syailendra. Berdasarkan prasasti Karangtengah dan Kahulungan, JG de Casparis (peneliti dari Belanda) Borobudur di dirikan oleh seorang Raja Samaratungga dari Dinasti Syailendra. Casparis menyimpulkan bahwa nama lengkap monumen ini adalah Bhumisambharabhuddhara yang berarti “Gunung himpunan kebijakan sepuluh tingkat Bodhisatwa”. Bangunan raksasa itu dapat dirampungkan pada masa pemerintahan putrinya, Ratu Pramodhawardhani (Casparis: 1950 dalam Hudaya: 2004). Candi Borobudur juga merupakan objek wisata kebanggaan bangsa Indonesia dan termasuk dalam tujuh keajaiban dunia, yang terletak di desa Borobudur Kecamatan Magelang. Selain merupakan salah objek wisata yang memiliki keindahan alam karena letaknya diketinggian gunung yang menjulang tinggi, candi Borobudur juga banyak menyimpan nilai-nilai religius. Salah satunya adalah sebagai tempat ziarah untuk memberikan tuntunan bagi umat manusia agar beralih dari alam nafsu duniawi menuju pencerahan dharma dan kebijaksanaan (Hudaya: 2004). Bangunan raksasa candi borobudur tersebut baru dapat di rampungkan pembangunannya pada masa pemerintahan Ratu Pramodhawardhani yaitu putrinya raja Samatungga sendiri diperkirakan menghabiskan waktu sekitar setengah abad. Geometri adalah cabang matematika yang bersangkutan dengan pertanyaan bentuk, ukuran, posisi relatif tokoh, dan sifat ruang. benda-benda ruang beserta sifat-sifatnya, ukuran-ukurannya dan hubungan antara satu dengan yang lain. Dari beberapa definisi geometri diatas, dapat disimpulkan bahwa geometri adalah salah satu cabang matematika yang mempelajari tentang bentuk, ruang, komposisi beserta sifatsifatnya, ukuran-ukurannya dan hubungan antara satu dengan yang lain. Etnomatematika diperkenalkan oleh D'Ambrosio, seorang matematikawan Brasil pada tahun 1977. Definisi etnomatematika menurut D'Ambrosio adalah: Secara bahasa, awalan “ethno” diartikan sebagai sesuatu yang sangat luas yang mengacu pada konteks sosial budaya, termasuk bahasa, jargon, kode perilaku, mitos, dan symbol. Kata dasar “mathema” cenderung berarti menjelaskan, mengetahui, memahami, dan melakukan kegiatan seperti pengkodean, mengukur, mengklasifikasi. Sedangkan secara istilah etnomatematika diartikan sebagai: matematika yang dipraktekkan diantara kelompok budaya diidentifikasi seperti masyarakat nasional suku, kelompok buruh, anak-anak dari kelompok usia tertentu dan kelas profesional" (D'Ambrosio, 1985). Dari definisi tersebut maka ethnomnatematika memiliki pengertian yang lebih luas dari hanya sekedar ethno (etnik) maka etnomatematika didefinisikan sebagai antropology budaya (culture antropology of mathematics) dari matematika dan pendidikan matematika. Muhmmad Fakhri Aulia menyebutkan bahwa geometri dalam pengertian dasar adalah sebuah cabang ilmu yang mempelajari pengukuran bumi dan proyeksinya dalam sebuah bidang dua dimensi. Dari definisi tersebut etnomatematika dapat diartikan sebagai matematika yag dipraktikkan oleh kelompok budaya, seperti masyarakat perkotaan dan pedesaan, kelompok buruh, anak-anak dari kelompok usia tertentu, masyarakatadat, dan lainnya. Alders menyatakan bahwa geometri adalah salah satu cabang matematika yang mempelajari tentang titik, garis, bidang dan D'Ambrosio (1985) menyatakan bahwa tujuan dari adanya etnomatematika adalah untuk mengakui bahwa ada cara-cara berbeda Pendidikan Matematika Universitas Muhammadiyah Purworejo , Ruang Seminar UMP, Sabtu, 28 Mei 2016 655 dalam melakukan matematika dengan mempertimbangkan pengetahuan matematika akademik yang dikembangkan oleh berbagai sektor masyarakat serta dengan mempertimbangkan modus yang berbeda dimana budaya yang berbeda merundingkan praktek matematika mereka (cara mengelompokkan, berhitung, mengukur, merancang bangunan atau alat, bermain danlainnya). Dengan demikian, sebagai hasil dari sejarah budaya matematika dapat memiliki bentuk yang berbeda-beda dan berkembang sesuai dengan perkembangan masyarakat pemakainya. Etnomatematika menggunakan konsep matematika secara luas yang terkait dengan berbagai aktivitas matematika, meliputi aktivitas mengelompokkan, berhitung, mengukur, merancang bangunan atau alat, bermain, menentukan lokasi, dan lain sebagainya Model pembelajaran tipe TSTS (Two Stay Two Stray) ialah salah satu model pembelajaran kooperatif yang dikembangkan oleh Spencer Kagan pada tahun 1990 dan bisa dikembangkan dengan teknik kepala bernomor dan dapat digunakan dalam semua mata pelajaran dan untuk semua tingkatan usia anak didik (Anita Lie, 2008 : 61). Pembelajaran kooperatif tipe Two Stay Two Stray (TSTS)), merupakan salah datu dari metode pembelajaran kooperatif yang berarti dalam bahasa adalah metode dua tinggal dua tamu. Menurut Agus Suprijono (2009:93-94), pembelajaran dengan metode ini diawali dengan pembagian kelompok. Setelah kelompok terbentuk guru memberikan tugas berupa permasalahan-permasalahan yang harus mereka diskusikan jawabannya. Setelah diskusi intrakelompok usai, dua orang dari masingmasing kelompok meninggalkan kelompoknya untuk bertamu kepada kelompok yang lain. Anggota kelompok yang tidak mendapat tugas sebagai tamu mempunyai kewajiban menerima 656 tamu dari suatu kelompok. Tugas mereka adalah menyajikan hasil kerja kelompoknya kepada tamu tersebut. Dua orang yang bertugas sebagai tamu diwajibkan bertamu kepada semua kelompok. Jika mereka telah usai menunaikan tugasnya, mereka kembali ke kelompoknya masing-masing. Setelah kembali ke kelompok asal, baik siswa yang bertugas bertamu maupun mereka yang bertugas menerima tamu mencocokkan dan membahas hasil kerja yang telah mereka tunaikan serta membuat laporan. Problem posing adalah pembelajaran yang mengharuskan siswa menyusun pertanyaan sendiri atau memecah suatu soal menjadi pertanyaan-pertanyaan yang lebih sederhana yang mengacu pada penyelesaian soal tersebut Herdian (2009: 1). Suryanto (Nursalam, 2008) mengemukakan bahwa problem posing merupakan istilah dalam bahasa Inggris yang sebagai padanan katanya digunakan istilah “merumuskan masalah (soal)” atau “membuat masalah (soal)”. Problem posing adalah suatu bentuk pendekatan dalam pembelajaran matematika yang menekankan pada perumusan soal, yang dapat mengembangkan kemampuan berpikir matematis atau menggunakan pola pikir matematis Menurut Brown dan Walter (1990:15) informasi atau situasi problem posing dapat berupa gambar, benda manipulatif, permainan, teorema atau konsep, alat peraga, soal, atau selesaian dari suatu soal. Dari uraian ini kita dapat menyimpulkan bahwa problem posing merupakan suatu pembentukan soal atau pengajuan soal yang dilakukan oleh siswa dengan cara membuat soal tidak jauh beda dengan soal yang diberikan oleh guru ataupun dari situasi dan pengalaman siswa itu sendiri baik yang bersumber berupa gambar, alat peraga, teorema atau gambar, serta bendabenda yang dapat dimanipulatif oleh siswa sendiri. Prosiding Seminar Nasional Matematika dan Pendidikan Matematika. “Internalisasi Nilainilai Berpikir Matematis Dalam Peranannya di Era Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA)” Oleh karena itu pada prinsipnya, model pembelajaran problem posing adalah suatu model pembelajaran yang mewajibkan para siswa untuk mengajukan soal sendiri melalui belajar soal (berlatih soal) secara mandiri. metode yang dilakukan dengan cara mengadakan pengamatan secara teliti serta pencatatan secara sistematis, (Arikunto, 2011:30). Observasi digunakan untuk memperoleh data guna memperkuat data yang diperoleh 3. METODE PENELITIAN Jenis dari penelitian yang dilakukan yaitu penelitian kualitatif. Penelitian kualitatif adalah penelitian yang dilakukan dengan meneliti suatu masalah secara alamiah dan dilakukan untuk menganalisis dan mendeskripsikan masalah tersebut. Penelitian deskriptif kualitatif adalah penelitian yang menggambarkan secara tepat sifat, keaadaan, gejala atau kelompok tertentu. Penelitian ini akan menggambarkan informasi tentang hasil penelitian. Observasi merupakan salah satu metode yang dilakukan untuk menggali informasi tentang motif candi Borobudur. Obervasi dilakukan antara lain dengan mencari informasi tentang struktur candi Borobudur dan menggali informasi tentang siswa di SMP Pangudi Luhur Srumbung. Subjek dalam penelitian ini adalah narasumber yang mengetahui informasi tentang Borobudur yaitu salah seorang ahli tentang sejarah kesenian Indonesia kuno yang juga merupakan dosen Ilmu sejarah Universitas Sanata Dharma. Drs.Hb.Herry Santosa, M.Hum dan siswa kelas vii SMP Pangudi luhur Srumbung, Muntilan, Magelang, Jawa Tengah Objek dalam penelitian ini adalah Candi Borobudur serta unsur-unsur matematika sederhana yang terdapat dalam candi tersebut. Bentuk data dalam penelitian ini berupa data kualitatif yang diperoleh berdasarkan hasil observasi, wawancara, serta analisis dokumen. Penelitian ini dilakukan di Candi Borobudur yang beralamat di desa Borobudur, Kecamatan Borobudur, Magelang, Jawa Tengah pada tahun 2015 dan di SMP Pangudi luhur Srumbung, Muntilan, Magelang, Jawa Tengah pada tahun 2016. Metode pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut: Metode lain yang digunakan dalam mencari informasi mengenai Candi Borobudur yaitu wawancara. Wawancara dilakukan terhadap narasumber yang mengetahui informasi tentang motif Candi Borobudur berdasarkan pedoman wawancara yang dipersiapkan peneliti. Metode analisis dokumen juga dilakukan untuk mengumpulkan data berupa informasi Candi Borobudur. Dokumen yang dianalisis untuk menggali informasi-informasi tersebut antara lain berupa buku, artikel, karya ilmiah, arsip atau dokumen lainnya. Hasil penelitian dari observasi akan lebih kredibel atau dapat dipercaya apabila didukung foto-foto, tulisan, atau karya-karya dari responden yang diteliti. Namun dokumen yang dipakai haruslah dokumen yang mencerminkan keadaan yang sebenarnya bukan dokumen yang dibuat untuk kepentingan tertentu. Instrumen penelitian adalah alat atau fasilitas yang digunakan untuk mengumpulkan data agar pekerjaan lebih mudah dan hasilnya lebih baik dalam arti lebih cermat, lengkap, dan sistematis agar mudah diolah, (Arikunto, 2006: 160). Instrumen dalam penelitian ini meliputi. Instrumen pengumpulan data yang Observasi atau pengamatan adalah suatu Pendidikan Matematika Universitas Muhammadiyah Purworejo , Ruang Seminar UMP, Sabtu, 28 Mei 2016 657 digunakan dalam penelitian ini yaitu foto 4. HASIL DAN PEMBAHASAN tentang candi Borobudur dan kertas asturo Berdasarkan hasil kerja siswa yang dilihat untuk pembuatan poster mini. dari pembuatan poster mini dan hasil laporan oleh siswa, diperoleh topik-topik data berupa aspek matematis geometri sederhana yang terdapat dalam candi borobudur yang dapat dilihat pada deskripsi berikut: Gambar 1 Foto hasil poster mini dari kelompok 1 Tabel 1 Deskripsi hasil poster mini siswa kelompok 1 Kelompok 1 1) Borobudur merupakan tempat wisata 2) Pemandangan yang mengesankan 3) Termasuk candi Budha 4) Candinya besar 5) Ukirannya indah 6) Tempatnya bersih 7) Unik 8) Merupakan tempat bersejarah 9) Banyak orang berjualan 10) Termasuk Keajaiban dunia 11) Banyak barang oleh-oleh 12) Banyak pepohonan 658 13) Letaknya strategis 14) Bentuk candi berbeda dengan yang lain 15) Tempat merayakan hari raya waisak 16) Banyak cerita yang terukir di dalamnya 17) Salah satu keindahan Indonesia 18) Salah satu tujuan orang manca Negara untuk berwisata 19) Relief yang tergambar di candi menggambarkan kehidupan di masa lampau Prosiding Seminar Nasional Matematika dan Pendidikan Matematika. “Internalisasi Nilainilai Berpikir Matematis Dalam Peranannya di Era Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA)” 1) Harga tiket masuk candi Borobudur senilai Rp.50.000,2) Pengunjung dalam sehari mencapai lebih dari 100 orang 3) Wisatawan dari manca Negara mencapai 68% 4) Wisatawan local mencapai 32% 5) Harga souvenir untuk seluruh wisatawan Rp.30.000,6) Parkir roda 4 Rp.5.000,7) Parkir roda 2 Rp.2.000,1) Candi Borobudur berbentuk berucut 2) Apa bentuk alas dari kerucut -Lingkaran 3) Ada berapa sisi yang terdapat -2 sisi 5) Ada bangunan yang dari depan bentuknya persegi panjang, yang mempunyai rumus panjang x lebar dan dari atas berbentuk balok, balok jika dihitung volumenya maka kita akan menggunakan rumus p x l x t. 6) Terdapat juga relief yang berbentuk lingkaran yang bediameter 14 cm. Luas? Keliling? a) Luas= = .7.7= 154 cm 4) Waktu yang ditembuh dari candi ke rumah b) Keliling=2 =2 7=44 cm Gambar 2 Foto hasil poster mini dari kelompok 2 Pendidikan Matematika Universitas Muhammadiyah Purworejo , Ruang Seminar UMP, Sabtu, 28 Mei 2016 659 Tabel 2 Deskripsi hasil poster mini siswa kelompok 2 Kelompok II Yang kami ketahui tentang candi Borobudur 1) 2) 3) 4) 5) 6) 7) Sebagai tempat wisata di daerah Magelang Peninggalan sejarah kerajaan Budha Candi Borobudur pernah masuk 7 keajaiban dunia Memiliki banyak sejarah Candi Borobudur adalah salah satu candi yang memiliki punden berundak Sebagai penarik wisatawan domestic dan mancanegara Memiliki 10 tingkatan yang berbeda Permasalahan Matematika 1) 2) 3) 4) Berapa diameter setiap lingkaran stupa Stupa candi berbentuk menyerupai kerucut Batu candi dikombinasikan batu berbentuk kubus dan balok Patung Dewa bagian lengan berbentuk segitiga Ilustrasi Permasalahan Geometri 1) Misalkan diameter lingkaran stupa tersebut 14 m. Berapakah keliling dan luasnya: 2) K=2 3) L= Keliling lingkaran=2 Luas lingkaran= = .7.7= 154 m 2 7= 44 m Misalkan sisi kubus 25 cm berapakah volume kubusnya V=s x s x s = 25 x 25 x 25 =15.625 Misalkan panjang balok 5cm, tinggi balok 7 cm, lebar balok 3 cm, Berapakah volumenya…. V=p x l x t =5 x 3 x 7 = 115 660 Prosiding Seminar Nasional Matematika dan Pendidikan Matematika. “Internalisasi Nilainilai Berpikir Matematis Dalam Peranannya di Era Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA)” Misalkan sebuah kerucut dalam stupa candi mempunyai alas 6 m dan tinggi 12m, berapakah volumenya…. V= = . 6. 12 = . 72 =24 Misalkan alas segitiga tersebut 5cm, dan tingginya 6 cm, berapakah luasnya… L= . a. t = .5. 6 =15 c Pendidikan Matematika Universitas Muhammadiyah Purworejo , Ruang Seminar UMP, Sabtu, 28 Mei 2016 661 Tabel 3 Deskripsi hasil poster mini siswa kelompok 3 Kelompok 3 1.Tuliskan apa yang kalian ketahui tentang candi Bobobudur 1) Candi Borobudur adalah salah satu keajaiban dunia 2) Candi Borobudur adalah peninggalan agama Budha 3) Candi Borobudur terletak di Magelang, Jawa Tengah 4) Candi Borobudur wisata yang banyak dikunjungi turis 5) Candi Borobudur berbeda dengan candi lainnya 6) Candi Borobudur terletak secara strategis 7) Sejarah Candi Borobudur sangat kental adatnya dan bentuknya beraneka ragam dan unik 8) Bentuk candinya lebar dan luas 2. Tuliskan Permasalahan matematika yang kamu ketahui 1) Harga tiket masuk candi Borobudur senilai Rp.50.000,Maka totalnya : 50.000 x 10 orang =5.000.000 2) Jarak Muntilan-Magelang 25 km dengan lama perjalanan 1 jam. Berapa kecepatan kendaraan untuk mencapai lokasi… Rumus: V= = = 25 km 1 jam 3. Tuliskan dab berikan ilustrasipermasalahan geometri yang kalian ketahui di candi Borobudur Belah ketupat 1.Rusuk belah ketupat ada 4 2.Titik sudut belah ketupat 4 Kubus 1.sisi kubus ada 6 2. volume kubus= s x s x s 3.Luas belah ketupat L= =8x8x8 = 512 3. rusuk kubus = 12 4. Titik sudut 8 662 Prosiding Seminar Nasional Matematika dan Pendidikan Matematika. “Internalisasi Nilainilai Berpikir Matematis Dalam Peranannya di Era Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA)” Lingkaran Luas = = =616 Keliling=2 =2 14=88 cm Gambar 4 Foto hasil poster mini dari kelompok 4 Pendidikan Matematika Universitas Muhammadiyah Purworejo , Ruang Seminar UMP, Sabtu, 28 Mei 2016 663 Tabel 4 Deskripsi hasil poster mini siswa kelompok 4 Kelompok 4 Yang kami ketahui tentang candi Borobudur 1) Borobudur merupakan salah satu peninggalan Budha 2) Menurut penelitian candi Borobudur termasuk dalam keajaiban dunia 3) Candi Borobudur terletak di Magelang 4) Borobudur merupakan peninggalan Majapahit 5) Pemandangan pada sore hari pemandangan yang sangat menarik Permasalahan matematika yang kami ketahui 1) Harga tiket masuk candi Borobudur senilai Rp.50.000,2) Setiap hari pengunjung melebihi 100 orang 3) Candi Borobudur memiliki 7 tingkatan Permasalahan geometri 1) Batu di candi berbentuk kubus Misalkan panjang sisi kubus 20 cm, maka volume kubus tersebut: V= Sisi x sisi x sisi V=20 x 20 x 20 = 8000 2) Lantai-lantai di candi berbentuk candi Borobudur berbentuk balok Misalkan panjangnya 15 cm, lebar 5 cm, tinggi 5 cm, maka volumenya : V= p x l x t V=15 x 5 x 5 V= 375 3) Bentuk stupa candi Borobudur menyerupai kerucut , kerucut dapat dipandang sebagai limas. Misalkan luas alas kerucut 75 cm, tinggi 25 cm, maka volumenya: V= V= 664 = 625 Prosiding Seminar Nasional Matematika dan Pendidikan Matematika. “Internalisasi Nilainilai Berpikir Matematis Dalam Peranannya di Era Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA)” Gambar 5 Foto hasil poster mini dari kelompok 5 Pendidikan Matematika Universitas Muhammadiyah Purworejo , Ruang Seminar UMP, Sabtu, 28 Mei 2016 665 Tabel 5 Deskripsi hasil poster mini siswa kelompok 5Kelompok 5 1. Sejarah candi Borobudur 1) Borobudur merupakan peninggalan agama Buddha 2) Borobudur dibangun oleh dinasti/wangsa Syeilendra 3) Borobudur dibangan pada tahun 850 masehi 4) Borobudur terletak di Magelang,Jawa Tengah. 5) Borobudur terdapat 3 tingkat dalam dewa 6) Borobudur merupakan candi terbesar di dunia 7) Dulu Borobudur digunakan untuk pemujaan para Dewa 8) Borobudur masuk dalam 7 keajaiban dunia 9) Borobudur banyak dikunjungin wisatawan domestik maupun manca Negara. 2. Permasalahan matematika di Candi Borobudur 1) Harga tiket masuk di Candi Borobudur senilai Rp.50.000,2) Diperkirakan jarak dari Muntilan ke Magelang kurang lebih 25 km 3) Pengunjung candi Borobudur di perkirakan setiap harinya kurang lebih 500 orang 4) Harga tariff untuk menaiki gajah berkeliling lokasi candi seharga Rp.180.000/orang 3. Ilustrasi permasalahan geometri 1) Batu di Candi Borobudur ada yang berbentuk kubus dan balok Misalkan panjang sisi kubus 8 cm volume kubus= s x s x s =8x8x8 = 512 Misalkan panjang balok 10 cm, lebar 4 cm dan tinggi 6 cm V=p x l x t =10 x 4 x 6 = 240 2) Batu yang disusun di stupa misalkan = 10 L= = = 50 Misalkan a=12 cm , b=8 cm, t= 6 cm L= 666 t= 6 =60 Prosiding Seminar Nasional Matematika dan Pendidikan Matematika. “Internalisasi Nilainilai Berpikir Matematis Dalam Peranannya di Era Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA)” Pembahasan. Mula-mula siswa dibagi dalam setiap kelompok. Pada proses pembelajaran ini jumlah siswa yang hadir sebanyak 22 orang. Oleh karena itu, jumlah kelompok yang dibagi sebanyak 5 kelompok yang beranggotaka 4-5 orang. Setelah pembagian kelompok, siswa diarahkan untuk memilih topik (gambar) yang telah di sediakan oleh guru (peneliti). Kemudian masing-masing kelompok memilih salah satu topik (gambar) yang disukai oleh kelompok. Siswa di arahkan untuk memcari masalah-masalah bedasarkan gambar yang telah dipilih. Masalah-masalah tersebut dapat bersifat matematis (Geometris) dan nonmatematis (sejarah, agama, dll). Siswa mengamati gambar yang telah dipilih dengan membayangkan kesamaan struktur bangunan dengan bangun datar maupun bangun ruang. Selain itu, siswa juga menyebutkan asal mula candi Borobudur dibangun serta ritual-ritual yang dilakukan pada candi tersebut. Hasil kerja kelompok di tuliskan dalam sebuah poster untuk ditampilkan dalam pameran mini nanti. Selain menuliskan hasil dalam kertas asturo, siswa juga diberikan kebebasan untuk menghias kertsa tersebut agar bisa menarik perhatian dari kelompok lain jika dilihat/dikunjungi Berdasakan hasil pembagian kelompok, terdapat tiga kelompok beranggotakan 4 orang dan dua kelompok lainnya beranggotakan 5 orang. Presentasi kelompok dilakukan dalam bentuk pameran mini. Prosedur presentase dilakukan dengan membagi dua orang siswa yang akan bertamu ke kelompok lain untuk mendengarkan presentase yang dilakukan oleh kelompok yang didatangi dan sisanya sebagai pemandu dalam kelompoknya sendiri. Alur bertamu perwakilan dari setiap kelompok sebagai berikut: Waktu presentase yang diberikan guru (peneliti) untuk setiap kelompok adalah 10 menit. Setiap utusan kelompok akan bertamu ke kelompok lain secara bergantian hingga selesai. Utusan kelompok akan berpindah dari satu kelompok ke kelompok lain dengan mendengarkan aba-aba (perintah) dari guru. Setelah semua utusan kelompok selesai bertamu dan kembali ke kelompoknya masingmasing, kemudian utusan kelompok tersebut mempresentasikan kembali ke kelompoknya. Analisis Hasil Hasil dari setiap kelompok dapat dilihat sebagai berikut: Kelompok I Kelompok I menyebutkan Candi Borobudur sebagai salah satu tempat wisata di Indonesia serta merupakan merupakan salah satu dari tujuh keajaiban dunia. Selain itu kelopmpok ini juga menyebutkan Candi Borobudur sebagai salah satu tempat perayaan hari raya Waisak. Selain menyebutkan hal di atas, kelopok I juga menguraikan unsur matematis yang terdapat pada Candi Borobudur diantaranya adalah (a) hubuang antara jarak, waktu dan kecepatan, (b) bentuk aljabar dan (c) bentuk geometri. Sasaran dalam penelitian ini yaitu siswa mampu menyebutkan struktur bangunan Pendidikan Matematika Universitas Muhammadiyah Purworejo , Ruang Seminar UMP, Sabtu, 28 Mei 2016 667 pada Candi Borobudur yang dapat dieksplor dalam bentuk geometri. Dari hasil kelompok I mereka menyebutkan dua bentuk geometri yaitu balok dan kerucut. Kelompok II Kelompok II hanya mampu menyebutkan Candi Borobudur sebagai salah satu tempat wisata di Indonesia dan merupakan merupakan salah satu dari tujuh keajaiban dunia. Berdasarkan hasil pengamatan kelompok II, mereka mengidentifikasi masalah matematis yang terdapat pada Candi Borobudur diantaranya adalah (a) bentuk lingkaran pada diameter stupa, (b) stupa Candi berbentuk Kerucut, (c) dinding pada Candi berbentuk Kubus dan Balok, dan (d) berbentuk Segitiga pada bagian lengan Dewa. Dari hasil identifikasi tersebut kelompok ini juga mengilustrasikan dalam bentuk rumus untuk mencari luas, keliling dan volume deri bangun-bangu tersebut. Kelompok III Kelompok III menyebutkan tentang: letak Candi Borobudur berada, merupakan merupakan salah satu keajaiban dunia, salah satu tempat wisata di Indonesia serta merupaka peninggalan dari agama Budha. Selain menyebutkan hal di atas, kelopok III menguraikan unsur matematis yang terdapat pada Candi Borobudur diantaranya adalah (a) hubuang antara jarak, waktu dan kecepatan, (b) bentuk aljabar dan (c) bentuk geometri. Bedasar hasil pengamatan kelompok III, menyebutkan terdapat dua bentuk bangun datar dan satu bentuk bangun ruang. Bentuk bangun datar yang diperoleh diantaranya adalah lingkaran dan belah ketupat sedangkan bentuk bangun ruang yang diperoleh adalah berupa kubus. 668 Kelompok IV Kelompok IV menyebutkan diantaranya adalah: letak Candi Borobudur berada, merupakan merupakan salah satu keajaiban dunia, keindahan Candi Borobudur diwaktu sore, serta merupaka peninggalan dari kerjaan Majapahit. Bentuk geometri yang diperoleh dari hasil pengamatan kelompok IV, diantaranya adalah: (a) batu Candi berbentuk kubus, (b) lantai Candi berbentuk balok dan (c) bentuk stupa dari Candi berbentuk kerucut yang dipandang sebagai limas. Dari hasil identifikasi tersebut, mereka menyelesaikan dengan cara menghitung volume dari setiap bangun tersebut. Kelompok V Kelompok V menyebutkan Candi Borobudur sebagai: tempat wisata, peninggalan agama Budha, dibangun oleh dinasti Wangsa Saylendra sekitar tahun 850 Masehi, memiliki tiga tingkat dalam Dewa, sebagai tempat pemujaan Dewa, serta merupaka tujuh keajaiban dunia. Bedasar hasil pengamatan kelompok V, diperoleh dua bentuk bangun datar dan dua bentuk bangun ruang. Bentuk bangun datar yang diperoleh diantaranya adalah jajar genjang dan belah ketupat sedangkan bentuk bangun ruang yang diperoleh adalah berupa kubus dan balok. Selain itu, pada bangun ruang mereka hanya mengilustrasikan dengan menghitung volumenya, sedangkan pada bangun datar mereka hanya mengilustrasikan dengan cara menghitung luas dari bangun tersebut 5) KESIMPULAN Berdasarkan pelaksanaan pembelajaran yang dilakukan, peneliti dapat mengungkapkan beberapa hal yaitu: Prosiding Seminar Nasional Matematika dan Pendidikan Matematika. “Internalisasi Nilainilai Berpikir Matematis Dalam Peranannya di Era Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA)” Dengan menerapkan pembelajaran menggunakan pendekatan etnomatematika. sebagian besar siswa merasa bahwa matematika tidak terlalu jauh dengan kehidupan sehari-hari mereka candi Borobudur sendiri merupakan salah satu candi Budha terbesar. Hampir setiap unsur bangunan di candi memiliki aspek matematis serta bisa dikolaborasikan dengan materi pembelajaran matematika di sekolah Proses pembelajaran model pembelajaran tipe TSTS yang meliputi : mengidentifikasikan topik dan mengatur murid ke dalam kelompok, merencanakan tugas yang akan dipelajari, melaksanakan investigasi, menyiapkan laporan akhir, mempresentasikan laporan akhir, dan evaluasi. Saran, sebagai tenaga pengajar hendaknya menciptakan suatu inovasi yang dapat mengembangkan bakat, menumbuhkan minat dan meningkatkan kebiasaan belajar siswa, sehingga konsep belajar matematika yang diperolehnya diharapkan lebih baik Saran khusus untuk pembelajaran berbasis etnomatematika kedepannya perlu dipersiapkan lebih matang seperti perhitungan kecukupan waktu pembelajaran, step by step yang akan di jalani oleh siswa, juga perlu beberapa inovasi dalam media pembelajaran agar menumbuhkan rasa senang dan rasa tertarik pada pembelajaran matematika di dalam diri peserta didik peserta. Herdian. (2009). Model Pembelajaran Problem Posing. jurnal online. Diakses pada tanggal tanggal 7 Mei 2016 Nursalam. (2008). Meningkatkan Aktivitas Belajar Matematika Melalui Metode Problem Posing.jurnal online. Diakses pada tanggal 7 Mei 2016. Rulam Ahmadi,.2014. Metodologi Penelitian Kualitatif. Yogyakarta: Ar-Ruzz Media Stephen I. Brown, Marion I. Walter. (1990). The Art of Problem Posing. New Jersey: Lawrence Erlbaum Associates. Suyono, Harianto, 2012. Belajar dan Pembelajaran: Teori dan Konsep Dasar. Bandung: Remaja Rosdakarya. Ubiratan D‟Ambrosio.(2006). Ethnomathematics Link Between Traditions and Modernity.Sao Paulo, Brazil. Ebook online. Ubiratan D‟Ambrosio (2006) Ethnomathematics And Mathematics Education Proceedings of the 10th International Congress of Mathematics Education. Copenhagen.Italia 6) REFERENSI Anita Lie. 2007. Cooperatif Learning: Mempraktikkan Cooperatif Learning Di Ruang-ruang Kelas. Jakarta: Grasindo. Arikunto, Suharsimi. 2010. Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktik. Jakarta : PT Rineka Cipta. Pendidikan Matematika Universitas Muhammadiyah Purworejo , Ruang Seminar UMP, Sabtu, 28 Mei 2016 669 670 Prosiding Seminar Nasional Matematika dan Pendidikan Matematika. “Internalisasi Nilainilai Berpikir Matematis Dalam Peranannya di Era Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA)” PENINGKATAN KEMAMPUAN REPRESENTASI MATEMATIS BERAGAM SISWA SMP MELALUI PEMBELAJARAN RESIPROCAL TEACHING MENGGUNAKAN MASALAH KONTEKSTUAL. Sri Rohma Nurfaida Pendidikan Matematika, Sekolah Pasca Sarjana, Universitas Pendidikan Indonesia Email: [email protected] Abstrak Tujuan utama dari penelitian ini adalah untuk mengetahui peningkatan kemampuan representasi matematis beragam siswa SMP melalui pembelajaran matematika dengan pendekatan Reciprocal Teaching menggunakan masalah kontekstual. Metode penelitian yang digunakan adalah kuasi eksperimen yang berdesain kelompok kontrol pretes-postes. Populasi dalam penelitian ini adalah seluruh siswa SMPN 5 Lembang. Banyak sampel 60 siswa yang terdistribusi dalam dua kelas, yaitu siswa kelas VII A dan VII B SMPN 5 Lembang. Sampel dipilih secara purposive sampling. Instrumen penelitian terdiri dari tes kemampuan representasi matematis beragam. Analisis data dalam penelitian menggunakan uji Mann-Whitney dan uji-t. Data untuk kelompok tinggi, sedang, dan rendah diuji dengan menggunakan ANOVA satu jalur. Hasil penelitian menunjukkan: (1) terdapat peningkatan yang signifikan pada kemampuan representasi matematis beragam antara yang belajar dengan pembelajaran Reciprocal Teaching menggunakan masalah kontekstual dan siswa yang memperoleh pembelajaran konvensional (2) tidak terdapat perbedaan yang signifikan antara kemampuan representasi matematis beragam yang belajar dengan pembelajaran Reciprocal Teaching menggunakan masalah kontekstual terhadap KAM (tinggi, sedang, rendah). Kata Kunci: Pendekatan Pembelajaran Reciprocal Teaching Menggunakan Masalah Kontekstual dan Representasi Matematis Beragam. PENDAHULUAN Sesuai dengan rumusan NCTM (2000) tentang standar matematika sekolah meliputi standar isi atau materi (mathematical content) dan standar proses (mathematical proces). Standar proses meliputi pemecahan masalah (problem solving), penalaran dan pembuktian (reasoning and proof), koneksi (connection), komunikasi (communication), dan representasi (representation). Kemampuan representasi sangat diperlukan dalam mempelajari matematika, hal ini terkait dengan penelitian yang dilakukan Jones (2000) yang mengemukakan tiga alasan yang mendasari representasi sebagai salah satu standar proses yaitu: (1) kelancaran dalam melakukan translasi di antara berbagai jenis representasi yang berbeda merupakan kemampuan dasar yang perlu dimiliki siswa untuk membangun suatu konsep dan berpikir matematik; (2) ide-ide matematika yang disajikan guru melalui berbagai representasi akan memberikan pengaruh yang sangat besar terhadap siswa dalam mempelajari matematika; (3) siswa membutuhkan latihan dalam membangun representasinya sendiri sehingga siswa memiliki kemampuan dan pemahaman konsep yang baik dan flekibel yang dapat digunakan dalam pemecahan masalah. Pentingnya kemampuan representasi matematis dijabarkan secara jelas oleh NCTM (2000) yang menyatakan bahwa siswa dapat membuat hubungan, mengembangkan, dan memperdalam pemahaman mereka tentang konsep matematika dengan menggunakan berbagai representasi. Representasi seperti bendabenda fisik, gambar, diagram, grafik dan simbol juga membantu siswa mengkomunikasikan pemikiran mereka. NCTM (2000) menyatakan bahwa penggunaan representasi beragam ide Pendidikan Matematika Universitas Muhammadiyah Purworejo , Ruang Seminar UMP, Sabtu, 28 Mei 2016 671 matematis oleh siswa dapat mendukung dan memperdalam pengetahuan matematika siswa itu sendiri. Pembelajaran matematika tidak sekedar menyampaikan berbagai informasi seperti aturan, definisi dan prosedur. Melainkan mencari hubungan antara pengetahuan dan kehidupan nyata juga merupakan hal penting, guru harus melibatkan siswa secara aktif. Keikutsertaan siswa secara aktif akan memperkuat pemahamannya terhadap konsep-konsep matematika. Hal ini sesuai dengan prinsip-prinsip kontruktivisme yakni pengetahuan dibangun oleh siswa sendiri. Pada kenyataannya kemampuan representasi yang dimiliki siswa masih rendah. Hal ini didukung oleh penelitian Hutagaol (2007) yang menyatakan bahwa terdapatnya permasalahan dalam penyampaian materi pembelajaran matematika, yaitu kurang berkembangnya kemampuan representasi siswa, khususnya pada siswa SMP, siswa tidak pernah diberi kesempatan untuk menghadirkan representasinya sendiri. Selanjutnya Chen, dkk (2015) berpendapat bahwa sebagian besar kesulitan dalam masalah pemecahan masalah terjadi pada tahap representasi. Akibatnya, proses menerjemahkan masalah menjadi representasi internal merupakan kunci bagi peserta didik agar berhasil memecahkan masalah. Penggunaan model pembelajaran yang tepat akan membantu siswa mencapai tujuan pembelajaran. Oleh karena itu diperlukan suatu model pembelajaran yang dapat meningkatkan motivasi belajar, sehingga pada akhirnya akan berdampak positif pada prestasi belajar siswa dan tujuan-tujuan pembelajarannya akan tercapai. maka diperlukan pembelajaran yang inovatif, memperhatikan tugas yang relevan, memberi peluang siswa lebih aktif melakukan “reinvention”, diskusi dan berkomunikasi dengan sesama temannya, untuk menumbuhkan kemampuan representasi dan pemecahan masalah matematik (Sumarmo, 2013). Salah satu pendekatan pembelajaran yang memiliki karakteristik tersebut adalah pendekatan Resiprokal Teaching. Menurut pendapat Palinscar dan Brown (1984), Reciprocal Teaching merupakan suatu 672 prosedur pembelajaran yang didesain untuk mempertinggi pemahaman dan bernalar siswa terhadap suatu materi. Pembelajaran matematika dengan pendekatan Reciprocal Teaching dapat membantu mengembangkan kegiatan membaca, menulis, dan pola pikir matematika serta dapat memberikan kesempatan kepada siswa untuk saling menjelaskan, mengkomunikasikan ide, saling berbagi informasi dan bekerja sama membangun pemahaman matematika dalam kelompok belajar. Menurut Alverman dan Phelps (1998), Reciprocal Teaching mempunyai dua ciri utama yaitu instruksi dan praktek, dimana para siswa belajar untuk menggantikan peran guru dalam membantu mereka membangun pemahaman. Guru lebih berperan sebagai model yang menjadi contoh, fasilitator (memberi fasilitas) yang memberikan kemudahan dan pembimbing yang melakukan scaffolding. Scaffolding adalah bimbingan yang diberikan oleh orang yang lebih tahu terhadap orang yang kurang atau belum tahu. Palinscar dan Brown (1984) menyatakan bahwa guru mengajar keterampilanketerampilan kognitif (pengetahuan) yang penting kepada siswa dengan cara menciptakan pengalaman-pengalaman belajar. Menurut Palinscar (1986), Reciprocal Teaching dapat disusun dengan menggunakan empat tahapan yang bisa diterapkan secara fleksibel yaitu ringkasan, membuat pertanyaan lanjutan, klarifikasi dan prediksi. Pada tahapan ringkasan dan membuat pertanyaan lanjutan, dua hal tersebut dapat melatih kemampuan representasi, sedangkan klarifikasi dan prediksi dapat melatih kemampuan representasi visual dan persamaan matematika. Penelitian yang dilakukan Wahidin (2012) bahwa kemampuan berpikir kritis dan disposisi matematis siswa yang menggunakan pembelajaran matematika dengan Reciprocal Teaching lebih baik daripada siswa yang menggunakan pembelajaran konvensional. Selain itu Giangrave (2006), Reciprocal Teaching efektif dapat meningkatkan kemampuan membaca dan pemahaman siswa SMP. Prosiding Seminar Nasional Matematika dan Pendidikan Matematika. “Internalisasi Nilainilai Berpikir Matematis Dalam Peranannya di Era Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA)” Berdasarkan pengamatan dan penilaian yang dilakukan terhadap aktivitas siswa selama mengikuti kegiatan pembelajaran diperoleh: keaktifan siswa dalam pembelajaran ini adanya peningkatan persentase aktivitas siswa secara klasikal. Hasil tersebut menunjukkan bahwa pembelajaran matematika dengan menggunakan Reciprocal Teaching dapat digunakan sebagai salah satu alternatif model pembelajaran di kelas. Penggunaan Reciprocal Teaching dalam pembelajaran matematika diharapkan dapat meningkatkan motivasi, hasil belajar dan dapat mengembangkan kemampuan komunikasi dan disposisi matematis siswa terutama pada siswa SMP Kemampuan matematis siswa yang diklasifikasikan dalam kelompok tinggi, sedang, dan rendah memberikan kontribusi pada kemampuan representasi matematis siswa terhadap matematika sehingga pada akhirnya dapat memperngaruhi hasil belajar matematika. Pendapat yang terkait dengan perbedaan kemampuan yang dimiliki setiap individu atau siswa dikemukakan oleh Hamalik (2009) mengatakan perlu dipertimbangkan dan diperhatikan perbedaan individual dalam situasi pembelajaran. Pencapaian tingkat pertumbuhan dan perkembangan yang diharapkan pada diri siswa maka guru harus memperhatikan keadaan individu seperti minat, kemampuan dan latar belakangnya. Pendapat yang sejalan dengan hal ini dikemukakan Suherman dkk (2003) mengatakan perbedaan individu di kelas berimplikasi bahwa guru diisyaratkan untuk mempertimbangkan bagaimana menerapkan pembelajaran matematika agar dapat melayani secara cukup perbedaanperbedaan individu siswa. Pembelajaran Reciprocal Teaching dimungkinkan dapat mengembangkan kemampuan representasi matematis siswa kategori sedang bahkan siswa kategori rendah. Meskipun demikian, masih ada kemungkinan pembelajaran Reciprocal Teaching berhasil diterapkan pada siswa berkemampuan matematika tinggi. Jika dibandingkan pada siswa dengan kemampuan awal matematis sedang dan rendah. Oleh karena itu, kemampuan awal matematis siswa menjadi salah satu aspek yang dijadikan parameter dalam melihat peningkatan kemampuan siswa. Berdasarkan uraian di atas, penulis tertarik untuk meneliti apakah pembelajaran Reciprocal Teaching dengan menggunakan masalah kontekstual dapat mengembangkan kemampuan representasi matematis beragam. Oleh karena itu, penulis mengajukan penelitian dengan judul: “Peningkatan Kemampuan Representasi Matematis Beragam Siswa SMP Melalui Pembelajaran Resiprocal Teaching menggunakan Masalah Kontekstual” 2. KAJIAN LITERATUR DAN PENGEMBANGAN HIPOTESIS Untuk dapat mengkomunikasikan sesuatu, seseorang perlu representasi baik berupa gambar, grafik, diagram, maupun bentuk representasi lainnya. Menurut Pape & Tchoshanov (Luitel, 2001) ada empat gagasan yang digunakan dalam memahami konsep representasi, yaitu: (1) representasi dapat dipandang sebagai abstraksi internal dari ide-ide matematika atau skemata kognitif yang dibangun oleh siswa melalui pengalaman; (2) sebagai reproduksi mental dari keadaan mental yang sebelumnya; (3) sebagai sajian secara struktur melalui gambar, simbol ataupun lambang; (4) sebagai pengetahuan tentang sesuatu yang mewakili sesuatu yang lain. Cai, Lane, dan Jacabcsin (1996: 243) menyatakan bahwa ragam representasi yang sering digunakan dalam mengkomunikasikan matematika antara lain: tabel, gambar, grafik, pernyataan matematika, teks tertulis, ataupun kombinasi semuanya. Hiebert dan Carpenter (dalam Hudoyo, 2002) mengemukakan bahwa pada dasarnya representasi dapat dibedakan dalam dua bentuk, yakni representasi internal dan representasi eksternal. Berpikir tentang ide matematika yang kemudian dikomunikasikan memerlukan representasi eksternal yang wujudnya antara lain: verbal, gambar dan benda konkrit. Berpikir tentang ide matematika yang memungkinkan pikiran seseorang bekerja atas dasar ide tersebut merupakan representasi internal. Schnotz (dalam Gagatsis, 2004) membagi Pendidikan Matematika Universitas Muhammadiyah Purworejo , Ruang Seminar UMP, Sabtu, 28 Mei 2016 673 representasi eksternal dalam dua kelas yang berbeda yaitu representasi descriptive dan depictive. Representasi descriptive terdiri dari simbol dihubungkan dengan isi yang dinyatakan secara sederhana dengan makna dari suatu konvensi, yaitu teks. Sedangkan representasi depictive merupakan tandatanda iconic yang dihubungkan dengan isi yang dinyatakan melalui fitur structural yang umum secara konkret atau pada tingkat yang lebih abstrak, yaitu display visual.Penggunaan representasi yang beragam akan memperkaya pengalaman belajar. Sependapat dengan McCoy (Kartini, 2009) menyatakan bahwa dalam pembelajaran matematika di kelas representasi tidak harus terkait pada perubahan satu bentuk ke bentuk lainnya dalam satu cara, tetapi bisa dua cara atau multi cara. Palincsar dan Brown (1984) menjelaskan bahwa Reciprocal Teaching adalah pendekatan konstruktivis yang didasarkan pada prinsip-prinsip membuat pertanyaan, mengajarkan keterampilan, metakognitif melalui pengajaran, dan pemodelan oleh guru untuk meningkatkan keterampilan membaca dan pemahaman pada siswa yang berkemampuan rendah. Menurut Palinscar (1986) Reciprocal Teaching dapat disusun dengan menggunakan empat tahapan yang bisa diterapkan secara fleksibel yaitu: menyimpulkan (summarization), membuat pertanyaan (question generation), klarifikasi (clarification) dan prediksi (prediction). Kegiatan pembelajaran ini siswa dilatih untuk memahami suatu bacaan materi dan memberikan penjelasan pada temannya, sehingga para ahli sering menyebut Reciprocal Teaching sebagai Peer Practice (latihan dengan teman sebaya). Dimana dalam pembelajaran guru berperan sebagai fasilitator yang melakukan bimbingan secara bertahap (scaffolding). Scaffolding merupakan bantuan yang diberikan oleh guru ataupun siswa kepada siswa lainnya untuk belajar dan menyelesaikan masalah matematis. Bantuan tersebut dapat berupa petunjuk, dorongan, pemberian contoh, dan tindakan-tindakan lain yang memungkinkan siswa itu belajar mandiri. 674 Langkah-langkah pembelajaran Reciprocal Teaching menurut Palinscar dan Brown (1984) sebagai berikut: (1). Guru bertanggung jawab dalam melaksanakan tahapan Reciprocal Teaching yaitu meringkas, menyusun pertanyaan, mengklarifikasi atau menjelaskan, dan memprediksi siswa membaca bahan ajar; (2). Guru menjelaskan bagaimana cara menyusun pertanyaan, menjelaskan kembali, memprediksi, dan merangkum setelah membaca materi yang dipelajari; (3). Guru memberi bimbingan (scaffolding) kepada siswa dalam menyelesaikan tugas sesuai dengan tingkat kemampuan siswa; (4). Siswa belajar memimpin diskusi dengan atau tanpa adanya guru; (5). Guru bertindak sebagai fasilitator dengan memberikan penilaian berkenaan dengan penampilan siswa dan mendorong siswa untuk berpartisipasi aktif dalam tanya jawab ke tingkat yang lebih tinggi. Kelebihan Reciprocal Teaching adalah semua pembelajaran terpusat pada siswa sehingga siswa terlibat langsung secara aktif dan akan lebih membuat siswa mengingat konsep yang dipelajari serta dapat meningkatkan kemampuan komunikasi siswa dan kelemahan Reciprocal Teaching adalah guru harus bekerja ekstra dalam membimbing siswa agar tidak salah dalam memahami konsep yang dipelajari serta tidak semua materi pelajaran dalam matematika dapat diterapkan dengan Reciprocal Teaching. Cara mengatasi kelemahan penggunaan pembelajaran Reciprocal Teaching, guru selalu memberikan bimbingan dan pengarahan dalam berbagai kesempatan. Pada penelitian ini pembelajaran Reciprocal Teaching yang dipakai menggunakan masalah kontekstual. Masalah kontekstual yang dimaksud adalah dengan mengambil permasalahan kehidupan seharihari. Bahan ajar yang gunakan oleh peneliti memuat masalah kontektual yang di selesaikan dengan tahapan yang ada pada pembelajaran Resiprocal Teaching. HIPOTESIS 1. Terdapat perbedaan signifikan peningkatan kemampuan representasi matematis beragam antara siswa yang Prosiding Seminar Nasional Matematika dan Pendidikan Matematika. “Internalisasi Nilainilai Berpikir Matematis Dalam Peranannya di Era Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA)” belajar melalui pembelajaran resiprocal teaching menggunakan masalah kontekstual dan siswa yang belajar dengan pembelajaran konvensional. 2. Terdapat perbedaan signifikan peningkatan kemampuan representasi matematis beragam siswa yang memperoleh pembelajaran resiprocal teaching menggunakan masalah kontekstual ditinjau dari kategori Kemampuan Awal Matematis (tinggi, sedang, dan rendah). 3. METODE PENELITIAN Penelitian ini merupakan suatu eksperimen semu (quasi experiment) berdesain kelompok kontrol pretes-postes yang bertujuan untuk menelaah pengaruh pembelajaran melalui pembelajaran resiprocal teaching menggunakan masalah kontekstual dan kemampuan awal matematis siswa terhadap peningkatan kemampuan representasi matematis beragam. Penggunaan quasi experiment dikarenakan penelitian dilakukan dalam setting sosial dan berasal dari suatu lingkungan yang telah ada yaitu siswa dalam kelas dan tidak memungkinkan adanya pemilihan sampel secara acak. Desain penelitian untuk aspek kognitif yaitu kemampuan representasi matematis beragam menggunakan desain kelompok kontrol nonekuivalen. Penelitian ini menggunakan desain kelompok Pretest-Posttest Control Group Design sebagai berikut . Kelas eksperimen Kelas kontrol PreTest O O Perlakua n X PostTest O O VIIB. Siswa kelas kontrol dan eksperimen kemudian dikelompokkan berdasarkan kemampuan awal matematis (KAM) siswa dengan kategori tinggi, sedang, dan rendah. Untuk menunjang pelaksanaan penelitian ini digunakan beberapa instrument penelitian, yaitu: tes KAM dan tes kemampuan representasi matematis beragam. Definisi operasional pada penelitian ini adalah sebagai berikut: Kemampuan representasi matematis beragam adalah kemampuan mengungkapkan ide-ide matematika (masalah, pernyataan, solusi, definisi, dan lain-lain) ke dalam berbagai bentuk seperti : (1) Gambar, diagram grafik, atau tabel; (2) Notasi matematik, numerik/simbol aljabar; dan (3) Teks tertulis/kata-kata, sebagai interpretasi dari pikirannya. Reciprocal Teaching adalah pendekatan pembelajaran dimana cara guru menyampaikan bahan ajar pembelajaran dalam diskusi kelompok kecil yang diawali dengan tugas membaca bahan ajar dan dilanjutkan dengan melaksanakan empat tahapan meliputi merangkum bacaan (meringkas), membuat atau menyusun pertanyaan, memberikan klarifikasi (penjelasan), dan prediksi atau membuat permasalahan lanjutan dan dibahas secara kelompok melalui bimbingan guru. Teknik analisis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah uji mann whitney U dan ANOVA satu jalur. Sebelum melakukan analisis, dilakukan uji prasyarat yaitu uji normalitas dan uji homogenitas. Hasil yang diperoleh menunjukkan bahwa skor N-gain kemampuan representasi matematis beragam pada kelas eksperimen berdistribusi normal, lalu untuk uji homogenitas bervasiansi homogeny dilanjutnya dengan ANOVA satu jalur. Keterangan: O = Pretest dan Posttest kemampuan 4. HASIL DAN PEMBAHASAN representasi matematis beragam Penelitian ini dilaksanakan di dua kelas, X = Pembelajaran matematika menggunakan yaitu kelas eksperimen pembelajaran pendekatan Resiprocal Teaching reciprocal teaching menggunakan masalah ------- = Subjek tidak dipilih secara acak kontekstual dan kelas kontrol menggunakan Populasi penelitian ini adalah seluruh pembelajaran konvensional. Berikut siswa kelas VII tahun ajaran 2015/2016 SMP disajikan hasil deskripsi dari penelitian yang N 5 Lembang. Kelas eksperimen dan control telah dilaksanakan. dipilih dengan menggunakan teknik purposive sampling yaitu kelas VIIA dan Pendidikan Matematika Universitas Muhammadiyah Purworejo , Ruang Seminar UMP, Sabtu, 28 Mei 2016 675 Tabel 1 Statistik Deskriptif Kemampuan Representasi Beragam Kelas N Eksperim en Kontrol 3 0 3 0 Sko r Ide al 56 56 Mi n Pretest Ma x x S Mi n Postest Ma x x S 2 16 7,96 3,64 17 46 33,50 8,15 2 27 11,6 0 5,54 14 49 24,30 9,04 Skor ideal: 56 Dari tabel 1 terlihat bahwa rerata kemampuan representasi matematis beragam siswa sebelum dan sesudah pembelajaran masih rendah jika dibandingkan dengan skor ideal. Dari kedua kelas dapat dilihat memiliki rerata yang relatif sama, hal ini menunjukkan bahwa kedua kelas mempunyai kemampuan yang tidak berbeda secara signifikan. Kemudian dilihat dari besarnya standar deviasi diperoleh kesimpulan bahwa pada pretest dan posttest kelas kontrol lebih menyebar daripada kelas eksperimen. Untuk menjawab hipotesis 1 dilakukan uji prasyarat yaitu uji normalitas adapun rumus hipotesisnya adalah : H0 : Data berdistribusi normal H1 : Data tidak berdistribusi normal Dengan kriteria uji sebagai berikut : Jika nilai Sig. (p-value) < α (α = 0,05), maka H0 ditolak Jika nilai Sig. (p-value) ≥ α (α = 0,05), maka H0 diterima Perhitungan uji normalitas menggunakan tes Shapiro Wilk pada SPSS 20.0 dan hasil perhitungan disajikan pada tabel 2 berikut: 676 Prosiding Seminar Nasional Matematika dan Pendidikan Matematika. “Internalisasi Nilainilai Berpikir Matematis Dalam Peranannya di Era Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA)” Kelas Tabel 2. Tests of Normality Kolmogorov-Smirnova Statistic N-Gain Representasi Statistic df Sig. * .951 30 .178 .821 30 .000 .122 30 .200 2 .228 30 .000 Tabel 3 Test Statisticsa N-Gain Representasi 149.000 614.000 -4.451 .000 Berdasarkan hasil perhitungan dengan uji mann whitney U diperoleh signfikan 0,00 hasil tersebut lebih kecil dari nilai α = 0,05 itu berarti H0 ditolak. Artinya terdapat perbedaan peningkatan yang signifikan pada kemampuan representasi matematis beragam antara siswa yang belajar dengan pembelajaran Reciprocal Teaching menggunakan masalah kontekstual dan siswa yang memperoleh pembelajaran konvensional. Jika dilihat langkah-langkah pada pembelajaran resiprocal teaching n-gain Sig. 1 Berdasarkan tabel uji normalitas untuk kelas eksperimen memperoleh nilai signifikan 0,178 hasil tersebut lebih besar dari nilai α = 0,05 itu berarti H0 diterima sehingga data berdistribusi normal. Sedangkan untuk kelas kontrol memperoleh nilai signifikan 0,000 hasil tersebut lebih kecil dari nilai α itu berarti H0 ditolak sehingga data berdistribusi tidak normal. Karena salah satu kelas berdistribusi tidak normal maka dilakukan uji non parametric yaitu uji mann whitney U yang hasilnya dapat dilihat pada tabel 3 sebagai berikut: Mann-Whitney U Wilcoxon W Z Asymp. Sig. (2-tailed) df Shapiro-Wilk menggunakan masalah kontekstual sebagaimana telah dijelaskan sebelumnya, maka kondisi ini bisa saja terjadi. Siswa yang belajar dengan pembelajaran reciprocal teaching belajar secara berkelompok melalui proses masalah yang terdapat pada Lembar Kerja Siswa (LKS). Pada proses pembelajaran siswa dibimbing oleh guru untuk berdiskusi secara kelompok untuk membaca bahan ajar, lalu diminta untuk menyimpulkan materi. Lalu siswa diminta membuat pertanyaan beserta solusi yang berkaitan dengan materi tersebut dan siswa diminta untuk mempresentasikan. Dengan kegiatan tersebut siswa lebih terlatih dan mulai terbiasa untuk mengembangkan kemampuan representasi matematisnya. Kegiatan diskusi kelompok pada penelitian ini melatih siswa untuk bisa saling berinteraksi dalam menyampaikan gagasan, menanggapi dan menjawab pertanyaan dari kelompok lain. Guru sebagai fasilitator meluruskan semua pendapat yang berbeda dari setiap kelompok. Untuk menjawab hipotesis 2 dilakukan uji prasyarat yaitu perhitungan uji normalitas menggunakan tes Shapiro Wilk pada SPSS 20.0 dan hasil perhitungan disajikan pada tabel 4 berikut Tabel 4 Tests of Normality Kolmogorov-Smirnova Shapiro-Wilk Statistic df Sig. Statistic df ,122 30 ,200* ,951 30 Sig. ,178 Pendidikan Matematika Universitas Muhammadiyah Purworejo , Ruang Seminar UMP, Sabtu, 28 Mei 2016 677 Berdasarkan tabel uji normalitas untuk kelas eksperimen memperoleh nilai signifikan 0,178 hasil tersebut lebih besar dari nilai α = 0,05 itu berarti H0 diterima sehingga data berdistribusi normal. Selanjutnya dilakukan uji homogenitas dengan uji levene adapun rumus hipotesisnya adalah : H0 : (varians skor kelompok eksperimen dan kelompok kontrol homogen) H1 : (varians skor kelompok eksperimen dan kelompok kontrol tidak homogen) Hasil dari perhitungan homogenitas disajikan pada tabel 5 sebagai berikut: Tabel 5 Test of Homogeneity of Variances n-gain Levene Statistic 1,058 df1 df2 2 27 Sig. ,361 Berdasarkan tabel 5 nilai signifikan data distribusi normal dan variansi homogen, n-gain kemampuan representasi matematis maka uji perbedaan rerata kedua kelas yang adalah 0,361 lebih dari taraf signifikan 0,05, digunakan adalah uji ANOVA satu jalur, maka terima H0 yang artinya data n-gain hasil perhitungan disajikan pada tabel 6 kelas eksperimen mempunyai variansi sebagai berikut: homogen. Karena data berasal dari populasi b Tabel 6 e ANOVA r n-gain Sum of Squares Df Mean Square F Sig. Between Groups ,032 2 ,016 ,523 ,599 Within Groups ,836 27 ,031 Total ,869 29 Berdasarkan tabel 6 nilai signifikan data siswa kategori sedang dan rendah. Mereka n-gain kemampuan representasi matematis membantu menyampaikan pendapat atau ideadalah 0,599 lebih dari taraf signifikan 0,05, ide disaat diskusi kelas berlangsung maupun maka terima H0 yang artinya tidak terdapat disaat guru mencoba mengajukan perbedaan yang signifikan antara pertanyaan-pertanyaan untuk mengupayakan kemampuan representasi matematis beragam akomodasi kemampuan kognitif siswa. yang belajar dengan pembelajaran Dengan seringnya mereka aktif dalam Reciprocal Teaching menggunakan masalah diskusi kelompok berdampak pada kontekstual ditinjau berdasarkan KAM peningkatan kemampuan representasi (tinggi, sedang, rendah). matematis beragam. Berdasarkan hasil penelitian kemampuan awal matematis siswa pada kelas eksperimen 5. KESIMPULAN Berdasarkan analisis data dan tidak berpengaruh terhadap peningkatan pembahasan hasil penelitian, diperoleh kemampuan representasi matematis beragam. kesimpulan sebagai berikut: (1) terdapat Hal ini terlihat selama pembelajaran perbedaan peningkatan yang signifikan pada berlangsung di kelas, siswa kategori tinggi kemampuan representasi matematis beragam berperan aktif dalam diskusi dan membantu 678 Prosiding Seminar Nasional Matematika dan Pendidikan Matematika. “Internalisasi Nilainilai Berpikir Matematis Dalam Peranannya di Era Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA)” antara siswa yang belajar dengan pembelajaran Reciprocal Teaching menggunakan masalah kontekstual dan siswa yang memperoleh pembelajaran konvensional (2) tidak terdapat perbedaan yang signifikan antara kemampuan representasi matematis beragam yang belajar dengan pembelajaran Reciprocal Teaching menggunakan masalah kontekstual ditinjau berdasarkan KAM (tinggi, sedang, rendah). 6. REFERENSI Alverman & Phelps. (1998). Reading Strategies “Scaffolding Student’s Interactions With Texts” Reciprocal Teaching. [Online]. Tersedia: http://www.sdcoe.k12.ca.us/score/pr omising/tips/rec.html. Cai, Lane, Jacabcsin (1996). “Assesing Students‟ mathematical communication”. Official Journal of Science and Mathematics. vol. 5. Hal. 96. Chen, N.S., Hwang, W.Y, Dung, J.J., Yang, Y. L. (2015). Influence of Mathematical Representation and Mathematics Self-Efficacy on the Learning Effectiveness of Fifth Graders in Pattern Reasoning. International Journal of Learning, Teaching and Educational Research Vol. 13, No. 1, pp. 1-16,[on-line] Gagatsis. (2004). The Role of Representasi in Seconcary Mathematics Education. Proccedings of 10th International Congress on Mathematical Education. Giangrave, A. B. (2006). The Impact of Reciprocal Teaching on Literacy Achievement of Seventh Grade Boys. A Dissertation, Connecticut State University, New Britain, Connecticut. [Online]. Tersedia: http://www.cprints.vvsu.edu/Diss22 FT.pdf. Hudoyo, H (2002). Representasi Belajar Berbasis Masalah. Jurnal Matematika dan Pembelajarannya. ISSN: 085-7792. Volume VIII, edisi khusus. Hutagaol, K. (2007). Pembelajaran Matematika Kontekstual untuk Meningkatkan Kemampuan Representasi Matematis Siswa Sekolah Menengah Pertama. Tesis. UPI: Tidak diterbitkan. Jones, A. D. (2000). The Fifth Process Standard: An Argument to Include Representation in Standar 2000. [Online]: http://www.math.umd.edu/~dac/650/ jonespaper.html. Kartini. (2009). Peranan Representasi dalam Pembelajaran Matematika. [Online]. Tersedia: http:/eprints.uny.ac.id/7036/1/P22Kartini-pdf. Luitel, B.C. (2001). Multiple Representations of Mathematical Learning. [online]. Available: http://www. matedu.cinvestav.mx/adalira.pdf NCTM. (2000). Principles and Standards for School Mathematics. Reston, VA: NCTM Palinscar, A. S. & Brown, A. (1984). “Reciprocal teaching of Comprehension Fostering and Comprehension Mentoring Activities”. Cognition and Instruction, Vol. 1, No. 2 PP. 117175. Palinscar, A. S. (1986). Reciprocal Teaching. [Online]. Tersedia: http://www.ncrel.org/sdrs/areas/issue s/student/atrisk/at6lk38.html. Sumarmo, U. (2013). Berpikir dan Disposisi Matematik Serta Pembelajarannya. Bandung : Jurdikmat FPMIPA- UPI. Wahidin, N. (2012). Pengaruh Penggunaan Strategi Reciprocal Teaching terhadap Kemampuan Berpikir Kritis dan Disposisi Matematis Siswa SMP. Tesis UPI: Tidak Diterbitkan Pendidikan Matematika Universitas Muhammadiyah Purworejo , Ruang Seminar UMP, Sabtu, 28 Mei 2016 679 PENGARUH PENERAPAN TUTOR SEBAYA TERHADAP HASIL BELAJAR Imam Mukhlish1), Zainal Abidin2) 1 STKIP Al Hikmah email: [email protected] 2 STKIP Al Hikmah email: Abstrak Penelitian ini menggambarkan pengaruh metode tutor sebaya terhadap hasil belajar siswa pada pembelajaran matematika di salah satu SMK di Surabaya yang bertujuan untuk menganalisis apakah penggunaan metode tutor sebaya berpengaruh terhadap hasil belajar siswa pada pembelajaran mata pelajaran matematika serta untuk mengetahui perbedaan antara metode tutor sebaya dengan metode konvensional. Metode yang digunakan yaitu metode eksperimen, dengan jenis one shot case study, serta menggunakan teknik analisis data dengan uji t. Sampel yang digunakan adalah siswa kelas XI. Instrument yang digunakan dalam pengumpulan data dilakukan melalui tes dengan bentuk soal pilihan ganda. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa terdapat perbedaan yang signifikan hasil belajar mata pelajaran matematika di salah satu SMK di Surabaya, dimana kelas metode tutor sebaya memiliki hasil belajar lebih tinggi dibandingkan dengan kelas metode konvensional. Kata Kunci: metode tutor sebaya, metode konvensional, hasil belajar 1. PENDAHULUAN Dalam keseluruhan proses pendidikan, kegiatan belajar mengajar adalah proses pokok yang harus dilalui oleh seorang pendidik atau guru. Berhasil dan tidaknya suatu tujuan pendidikan bergantung kepada bagaimana proses belajar mengajar dirancang dan disajikan. Tenaga kependidikan meruakan suatu komponen komponen yang penting dalam penyelenggaraan pendidikan, yang bertugas menyelenggarakan kegiatan mengajar, melatih, mengembangkan, mengelola dan memberikan pelayanan teknis dalam bidang pendidikan. Salah satu unsur tenaga kependidikan adalah tenaga pengajar yang tugas utamanya adalah mengajar. Karena tugasnya adalah mengajar, maka dia harus mempunyai wewenang mengajar berdasarkan kualifikasi sebagai tenaga pengajar/guru (Hamalik, 2007:91). Matematika adalah mata pelajaran yang memuat banyak konsep-konsep abstrak (Fauziah, 2012), biasanya metode yang digunakan oleh guru adalah metode 680 konvensional yaitu ceramah. Guru dalam melaksanakan pembelajaran matematika ini menularkan pengetahuan dan informasi dengan menggunakan lisan. Kebanyakan guru yang meggunakan metode ini cenderung tidak memperhatikan siswanya, guru hanya memberikan materi kemudian eminta siswa untuk mengerjakan soal. Dari hal ini dapat dilihat bahwa siswa kurang berperan aktif dalam pembelajaran, sehingga untuk berpikir kreatif pun siswa mengalami hambatan, di sisi lain metode ceramah ini dapat menimbulkan kebosanan pada siswa (Khanifah,dkk,2012), sehingga metode ini dirasa kurang efektif. Oleh karena itu dalam proses belajar mengajar perlu adanya pendekatan pembelajaran yang lebih efektif dan mampu menciptakan suasana yang bisa membuat siswa berperan aktif dalam pembelajaran khususnya pada mata pelajaran matematika. SMK Dharma Bhakti Surabaya adalah salah satu sekolah swasta dengan status terakreditasi B. Jika dilihat dari siswa, kebanyakan siswa dan siswi SMK Dharma Bhakti Surabaya berasal dari berbagai daerah Prosiding Seminar Nasional Matematika dan Pendidikan Matematika. “Internalisasi Nilainilai Berpikir Matematis Dalam Peranannya di Era Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA)” di sekitar Sidoarjo dan Surabaya, hal ini dikarenakan SMK Dharma Bhakti Surabaya ini beralamatkan di jl. Menanggal I/32 Surabaya yang dekat dengan terminal Bungurasih. Sekilas jika dilihat banyak sekali permasalahan yang dialami siswa dan siswinya. Misalnya, banyak dari siswa siswi SMK Dharma Bhakti Surabaya yang kerja untuk menyambung hidupnya setiap hari. Kita ketahui sendiri bahwa di Surabaya dan Sidoarjo untuk bekerja saja sangatlah keras, apalagi ditambah mereka harus sekolah dipagi harinya. Hal ini berimbas pada saat di sekolah banyak dari mereka yang terlambat, bahkan lebih banyak dari mereka yang tidak masuk sekolah karena harus kerja. Selain hal itu siswa juga mempunya prestasi hasil belajar yang kurang, jika dilihat dari daftar nilai yang dihasilkan. Sedikit sekali minat siswa dalam mengikuti pelajaran, hal ini dapat terlihat dari keadaan siswa saat menerima pelajaran banyak yang berbicara sendiri, bahkan terkadang mereka mengutak ngutik handphone tanpa memperhatikan guru. Selain itu jarang sekali siswa yang mau bertanya saat kegiatan belajar mengajar, ditambah dari kesuluruhan siswa di kelas yang harusnya ada 30 siswa, hanya ada sekitar 10 siswa saja yang sering masuk sekolah sehingga sulit bagi guru agar semua siswa memenuhi ketuntasan belajar semuanya. Hal tersebut yaitu mampu menyelesaikan, menguasai kompetensi atau mencapai tujuan pembelajaran minimal 65% dari seluruh tujuan pembelajaran (Mulyasa, 2004:99). Berdasarkan hal tersebut, maka dalam pokok bahasan ini perlu diberikan metode lain dalam penyampaian materi pelajarannya yaitu dengan menggunakan metode tutor sebaya yang mana metode ini dilakukan dengan cara memberdayakan kemampuan siswa yang memiliki daya serap tinggi, siswa tersebut mengajarkan materi kepada teman-temannya yang belum paham sehingga memenuhi ketuntasan belajar semuanya. Hal tersebut yaitu mampu menyelesaikan,menguasai kompetensi menurut standar kompetensi SMK, pokok bahasan dalam matematika teknik pada kelas XI semester ganjil. Untuk itulah peneliti mengambil sampel kelas XI TKJ SMK Dharma Bhakti Surabaya. Hal tersebut dilihat dari hasil belajar para siswa yang belum memuaskan. Hal ini dapat didukung oleh hasil nilai siswa pada pengajaran konvensional terhadap pelajaran (khususnya dalam pembelajaran matematika) sangat jauh dibawah rata-rata, adapun penyebabnya pada umumnya terletak pada metodenya kurang sesuai sehingga anak-anak jenuh mengikuti pelajaran khususnya pembelajaran matematika yang ditemui selama ini sangat membosankan dan masih menekankan pada tuntutan kurikulum dan penyampaian tekstual semata dari pada mengembangkan kemampuan belajar dan membangunkan individu. Kondisi ini tidak akan menumbuh kembangkan aspek kemauan dan aktivitas siswa seperti yang diharapkan. Dalam kelas tutor sebaya, tugas guru adalah sebagai fasilitator, mediator, directormotivator, dan evaluator. Disamping itu, guru juga berperan dalam menyediakan sarana pembelajaran, agar suasana belajar tidak monoton dan membosankan. Dengan kreativitasnya, sang guru dapat mengatasi keterbatasan sarana, sehingga proses belajar mengajar tidak terhambat. (Hamalik, 2007:63) Salah satu model pembelajaran yang dapat dilakukan untuk mengatasi kendala-kendala diatas adalah metode pembelajaran tutor sebaya. Kita tahu bahwa dalam kenyataan anak yang belajar dari anak-anak lain yang memiliki status dan umur yang sama, kematangan / harga diri yang tidak jauh berbeda, maka dia tidak akan merasa begitu terpaksa untuk menerima ide-ide dan sikapsikap dari guru-gurunya tersebut. Sebab gurugurunya, yaitu teman sebayanya itu, tidaklah Pendidikan Matematika Universitas Muhammadiyah Purworejo , Ruang Seminar UMP, Sabtu, 28 Mei 2016 681 begitu lebih bijaksana dan berpengalaman dari padanya. Anak relatif bebas bersikap dan berpikir, anak relatif bebas memilih perilaku yang dapat diterima / tidak diterima oleh teman- teman sebayanya.anak bebas mencari hubungan yang bersifat pribadi dan bebas pula menguji dirinya dengan teman-teman lain. Dengan perasaan bebas yang dimiliki itu maka diharapkan anak dapat lebih aktif dalam berkomunikasi,sehingga dapat mempermudah mereka dalam memahami konsep / materi yang sedang diajarkan oleh guru. Dengan demikian penggunaan model pembelajaran tutor sebaya ini selain dapat meningkatkan kecakapan siswa dalam berkomunikasi juga dapat memberi solusi kepada siswa dalam memahami suatu konsep mata pelajaran sehingga dapat meningkatkan hasil belajar mereka. Pembelajaran tutor sebaya dapat dilakukan diberbagai tingkatan pendidikan dan tanpa terbatas pada pokok bahasan tertentu, sehingga dalam setiap jenjang pendidikan dapat diterapkan model pembelajaran tutor sebaya tanpa harus terpancing pada suatu pokok bahasan tertentu. Pembelajaran tutor sebaya adalah salah satu bentuk pembelajaran yang berdasarkan faham kontruktivis. Pembelajaran tutor sebaya merupakan strategi belajar dengan sejumlah siswa sebagai anggota kelompok kecil yang tingkat kemampuannya berbeda. Dalam pembelajaran, setiap siswa harus bekerja sama dan saling membantu dalam memahami materi pelajaran. Sehingga pada pembelajaran tutor sebaya ini belajar dikatakan belum selesai apabila salah satu teman dalam kelompoknya belum menguasai materi pelajaran. Maka dari itu peneliti tertarik untuk melakukan penelitian pembelajaran matematika dengan pendekatan pembelajaran tutor sebaya. Dengan berdasarkan pada uraian di atas maka peneliti mengambil judul: 682 pengaruh penerapan tutor sebaya terhadap hasil belajar. Adapun tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui pengaruh penerapan tutor sebaya terhadap hasil belajar.Berdasarkan wawancara yang dilakukan peneliti dengan guru matematika di SMK tersebut, metode pembelajaran tersebut belum pernah diterapkan dalam pembelajaran. Oleh karena itu peneliti akan menerapkan metode pembelajaran tutor sebaya dalam pelajaran matematika materi vektor di SMK tersebut 2. KAJIAN LITERATUR Metode berasal dari dua kata yaitu meta dan hodos. Meta artinya melaui dan hodos yang artinya jalan atau cara, dengan demikian definisi metode adalah suatu jalan atau cara yang harus dilalui untuk mencapai suatu tujuan. (Nata, 1997:91). Sumber yang lain menyebutkan bahwa metode berasal dari kata dalam bahasa Jerman methodica yang artinya ajaran tentang metode. Dalam bahasa Yunani metode berasal dari kata methodos yang artinya jalan. (Hasanuddin, 1996:35). Dari pengertian tersebut dapat dijabarkan bahwa metode adaa suatu cara atau jalan yang digunakan untuk mencapai suatu tujuan. Adapun manfaat dari penggunaan metode dalam proses belajar mengajar adalah sebagai alat untuk mempermudah seorang guru dalam menyampaikan materi pelajaran. Hal ini bertujuan untuk memudahkan siswa dalam menyerap materi yang disampaikan oleh guru selain itu juga dapat berfungsi sebagai suatu alat evaluasi pembelajaran. Pada dasarnya istilah metode telah tercangkup dalam pengertian metodologi yaitu sebagai bagian dari kumpulan dari metodemetode di dalam pengajaran. Sebagai mana yang kita ketahui, bahwa metode mengahar Prosiding Seminar Nasional Matematika dan Pendidikan Matematika. “Internalisasi Nilainilai Berpikir Matematis Dalam Peranannya di Era Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA)” merupakan sasaran interaksi antara guru dengan siswa dalam melakukan kegiatan belajar mengajar. Dengan demikian yang perlu diperhatikan adalah ketepatan sebuah metode mengajar yang dipilih dengan tujuan, jenis dan juga sifat materi pengajaran, serta kemampuan guru dalam memahami dan melaksanakan metode tersebut. Guru hendaknya cermat dalam memilih dan menggunakan metode mengajar terutama yang banyak melibatkan siswa secara aktif. Pembelajaran adalah proses interaksi peserta didik dengan pendidik dan sumber belajar pada suatu lingkungan belajar. Pembelajaran merupakan bantuan yang diberikan pendidik agar dapat terjadi proses pemerolehan ilmu dan pengetahuan, penguasaan kemahiran dan tabiat, serta pembentukan sikap dan kepercayaan pada peserta didik agar dapat belajar dengan baik. Proses pembelajaran dialami sepanjang hayat seorang manusia serta dapat berlaku di manapun dan kapanpun. Pembelajaran mempunyai pengertian yang mirip dengan pengajaran, walaupun mempunyai konotasi yang berbeda. Dalam konteks pendidikan, guru mengajar supaya peserta didik dapat belajar dan menguasai isi pelajaran hingga mencapai sesuatu objektif yang ditentukan (aspek kognitif), juga dapat mempengaruhi perubahan sikap (aspek afektif), serta keterampilan (aspek psikomotor) seorang peserta didik. Pengajaran memberi kesan hanya sebagai pekerjaan satu pihak, yaitu pekerjaan guru saja. Sedangkan pembelajaran juga menyiratkan adanya interaksi antara guru dengan peserta didik. Dalam UU No. 20/2003, Bab I Pasal 1 Ayat 20 dijelaskan bahwa istilah “pembelajaran” sama dengan “instruction atau “pengajaran”. Pengajaran mempunyai arti cara mengajar atau mengajarkan. Dengan demikian pengajaran diartikan sama dengan perbuatan belajar (oleh siswa) dan mengajar (oleh guru). Kegiatan belajar mengajar adalah satu kesatuan dari dua kegiatan yang searah. Kegiatan belajar adalah kegiatan primer, sedangkan mengajar adalah kegiatan sekunder yang dimaksudkan agar terjadi kegiatan secara optimal. Dapat ditarik kesimpulan bahwa pembelajaran adalah usaha sadar dari guru untuk membuat siswa belajar, yaitu terjadinya perubahan tingkah laku pada diri siswa yang belajar, dimana perubahan itu dengan didapatkannya kemampuan baru yang berlaku dalam waktu yang relatif lama dan karena adanya usaha. Dengan demikian dapa diketahui bahwa kegiaan pembelajaran merupakan kegiatan yang melibatkan beberapa komponen: siswa,guru,tujuan,isi pelajarn, metode,metode,media bahan pengajaran,dan evaluasi Jadi dapat disimpulkan bahwa metode pembelajaran yaitu suatu cara yang digunakan dalam proses interaksi peserta didik dengan pendidik dan sumber belajar pada suatu lingkungan belajar guna mencapai suatu tujuan secara lebih optimal. Menurut etimologi tutor adalah guru pribadi, mengajar ekstra atau memberi pengajaran. Undang-undang RI Nomor 20 Tahun 2005 tentang guru dan dosen menyebutkan pendidik adalah tenaga kependidikan yang berkualifikasi sebagai guru, dosen, konselor, pamong belajar, tutor, instruktur, fasilitator dan sebutan lain yang sesuai dengan kekhususannya, serta berpartisipasi dalam menyelenggarakan pendidikan. Tutor merupakan sebutan bagi orang yang mengajar dalam pendidikan non-formal, walaupun yang menjadi tutor adalah seorang guru dalam pendidikan formal. Metode tutorial merupakan cara penyampaian bahan pelajaran yang telah dikembangkan dalam bentuk modul untuk dipelajari siswa secara mandiri. Siswa dapat mengkonsultasikan tentang masalah- Pendidikan Matematika Universitas Muhammadiyah Purworejo , Ruang Seminar UMP, Sabtu, 28 Mei 2016 683 masalah dan kemajuan yang ditemui secara periodik. Para tutor yang telah terlatih dalam menggunakan pedoman belajar mengajar membawakannya dengan langkah-langkah sebagaimana diperintahkan di dalam pedoman itu, pada jam-jam tertentu yang telah ditetapkan. Langkah-langkah itu ada beberapa macam, sesuai dengan sifat bahan pelajaran, sehingga tutor akan mengajar secara berlainan pada waktu membawakan bagian modul satu ke bagian modul yang lain. Amun pola umum yang dilakukan para tutor adalah meminta murid-murid membuka buku pelajaran, menanyakan suatu pelajaran, memuji jawaban yang benar, meluruskan jawaban yang salah, menggilir latihan, mengetes, dan meng paraf pedoman itu ketika selesai diajarkan. Tutor mengadakan evaluasi pada tiap-tiap bagian modul yang memang telah diajarkan guna mengetahui apakah tujuan pengajaran telah dicapai atau belum. Apabila belum sesuai dengan apa yang diharapkan, maka seorang tutor harus mengulang materi sehingga sang murid dapat menguasai materi secara keseluruhan atau tidak pindah dari modul satu ke modul yang lain karena tujuan belum tercapai. Menurut Ischak (1987:102) tutor sebaya artinya siswa yang mengalami kesulitan belajar diberi bantuan oleh teman-teman mereka sekelas yang punya umur sebaya dengan dia. Tutor sebaya adalah seorang teman atau beberapa orang siswa yang ditunjuk oleh guru (sesuai kriteria menjadi tutor sebaya) dan ditugaskan untuk membantu siswa yang mengalami kesulitan belajar. Pengajaran dengan tutor sebaya adalah kegiatan belajar siswa dengan memanfaatkan teman sekelas yang mempunyai kemampuan lebih untuk membantu temannya dalam melaksanakan suatu kegiatan atau memahami suatu konsep. (Winataputra, 1999:380) Berdasarkan definisi tentang tutor sebaya di atas, maka dapat disimpulkan bahwa istilah tutor sebaya yang dimaksud dalam penelitian ini yaitu bagaimana mengoptimalkan kemampuan siswa yang berprestasi Seorang guru disini sebagai pengawas, mengawasi jalannya pengajaran terprogram, mereka membantu mengatur kelompok, menyesuaikan jadwal, membantu mengatasi kesulitan, menyempurnakan kompetensi yang belum dicapai secara sempurna dan mengelola keseluruhan administrasi pendidikan (Muntasir, 1985:64) dalam satu kelas untuk mengajarkan atau menularkan kepada teman sebaya mereka yang kurang berprestasi.Sehingga siswa yang kurang berprestasi bisa mengatasi ketertinggalan. Pembimbingan dalam pelajaran yang diberikan oleh seorang siswa kepada siswa lain, sedangkan mereka (antara pembimbing dan yang dibimbing) adalah teman sekelas atau teman sebangku yang usianya relatif sama, dan siswa yang kurang paham bisa bertanya langsung kepada teman sebangkunya (tutor yang di tunjuk) sehingga kondisi kelas pun bisa hidup karena siswa tidak malu bertanya ketika mereka tidak paham. Menurut Dedi Supriyadi mengemukakan, bahwa tutor sebaya adalah seorang atau beberapa orang siswa yang ditunjuk dan ditugaskan untuk membantu siswa yang mengalami kesulitan belajar. (Suherman, dkk, 2003:276) Ada yang beranggapan, bahwa penilaian hanya sebagian kecil dalam proses pendidikan, yang menyatakan penilaian sama artinya dengan pemberian angka atas prestasi belajar siswa. Padahal makna penilaian sangat luas dan merupakan bagian sangat 684 Prosiding Seminar Nasional Matematika dan Pendidikan Matematika. “Internalisasi Nilainilai Berpikir Matematis Dalam Peranannya di Era Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA)” pentingdalam upaya mengetahui hasil pendidikan. Evaluasi hasil belajar peserta didik dilakukan oleh pendidik untuk memantau proses, kemajuan, dan perbaikan hasil belajar peserta didik secara berkesinambungan. Evaluasi hasil belajar adalah keseluruhan kegiatan pengukuhan (pengumpulan data dan Informasi), pengelola, penafsiran dan pertimbangan untuk membuat keputusan tentang tingkat hasil belajar yang di capai oleh siswa setelah melakukan kegiatan belajar dalam upaya mencapai tujuan pembelajaran yang telah di tetapkan. Hasil belajar menuju pada prestasi. Khusus metode mengajar di dalam kelas, efektifitas suatu metode dipengaruhi oleh faktor tujuan, faktor siswa, faktor situasi, dan faktor guru itu sendiri. Dengan memiliki pengetahuan secara umum mengenai sifat berbagai metode, seorang guru akan lebih mudah menetapkan metode yang paling sesuai dalam situasi. Dalam prosespembelajaran pelajaran matematika, metode mempunyai kedudukan yang sangat penting dalam upaya pencapaian tujuan, termasuk di dalamnya adalah prestasi belajar siswa. Karena itu, menjadi sarana yang membermaknakan materi pelajaran yang tersusun dalam kurikulum pendidikan sedemikian rupa sehingga dapat di pahami atau di serap oleh anak didik menjadi pengertian yang fungsional terhadap tingkah laku dan prestasi belajar. Tanpa metode, suatu materi pelajaran tidak dapat memproses secara efesien dalam kegiatan belajar menuju tujuan pendidikan, terhadap prestasi belajar. Metode pembelajaran yang sesuai dengan tujuan kurikulum dan potensi siswa merupakan kemampuan dan keterampilan dasar yang harus dimiliki oleh seorang guru. Hal ini didasari oleh asumsi, bahwa ketepatan guru dalam memilih model dan metode pembelajaran akan berpengaruh terhadap keberhasilan dan hasil belajar siswa, karena model dan metode pembelajaran yang di gunakan oleh guru berpengaruh terhadap kualitas PBM yang di lakukannya. Dalam pelaksanaan metode Tutor sebaya ini lebih menekankan pada sistem pembelajaran yang kreatif, inovati, dan mandiri bagi siswa. siswa lebih banyak yang berperan, sedangkan guru sebagai fasilitator. Dalam metode ini, siswa bisa leluasa bertanya, karena yang menjadi tutornya adalah teman sendiri. adapun kendala utamanya, selama ini model pembelajaran kurang menekankan aspek pengembangan potensi dan kreatifitas siswa. Guru sebenarnya adalah innovator atau kreator di depan kelas atau di tempat praktek. iklim belajar yang berlangsung dalam suasana keterbukaan dan demokratis akan memberikan kesempatan yang optimal bagi siswa untuk memperoleh informasi yang lebih banyak mengenai materi yang dipelajari. Hasil penelitian Yuvitta Indriani, Wahyudi, H Setyo Budi “penerapan metode pembelajaran tutor sebaya untuk peningkatan pembelajaran matematika tentang pecahan bagi siswa kelas V SDN 1 Bojongsari tahun 2012/2013” yang hasilnya penerapan metode pembelajaran Tutor sebaya memberikan kontribusi pada tes hasil belajar siswa. Sedangkan hasil dari penelitian Evie Hafizah “pengaruh metode tutor sebaya terhadap hasil belajar d kelas V sekolah dasar kota Pontianak” menunjukkan bahwa terdapat pengaruh yang signifikan antara penggunaan metode tutor sebaya terhadap hasil belajar bahasa Indonesia siswa kelas V Sekolah Dasar Negeri 28 Pontianak Kota. Ada penelitian lain lagi Pendidikan Matematika Universitas Muhammadiyah Purworejo , Ruang Seminar UMP, Sabtu, 28 Mei 2016 yang 685 menggunakan tutor sebaya sebagai pokok bahasannya, kali ini adalah penelitian dari Agung Wicaksono “Persepsi siswa terhadap penggunaan metode tutor sebaya dalam pembelajaran seni musik di kelas VIII SMP Negeri 1 Larangan Brebes” disimpulkan sebagian besar di kelas VIII SMP Negeri 1 Larangan Brebes ada 21 dari 40 siswa (52,5%) termasuk dalam kategori Setuju. 3. METODE PENELITIAN Penelitian ini dilakukan dengan mengambil subjek penelitian dari 15 siswa kelas XI TKJ SMK Dharma Bhakti Surabaya dengan metode penelitian kuantitatif untuk menguji pengaruh penerapan tutor sebaya terhadap hasil belajar. Metode yang digunakan yaitu metode eksperimen. Dengan jenis one shot case study serta menggunakan teknik analisis data uji t. Peneliti membuat perencanaan, menerapkan pembelajaran dengan menggunakan tutor sebaya, mengumpulkan data, menganalisis data serta melaporkan hasil penelitian. Pada tahap perencanaan, peneliti merancang pembelajaran materi vektor yang menggunakan metode pembelajaran tutor sebaya dan membuat instrumen penelitan. Data yang dikumpulkan dalam penelitian ini adalah data yang berhubungan dengan hasil pembelajaran menggunakan metode tutor sebaya dan hasil pembelajaran dengan metode konvensional. Data hasil postes siswa digunakan untuk melihat apakah penerapan tutor sebaya berpengaruh pada hasil belajar siswa Pada tahap penerapan pembelajaran, peneliti langsung menerapkan metode pembelajaran tutor sebaya pada pengajarannya, pada tahap ini seluruh siswa dituntut untuk aktif dalam pembelajaran. Peneliti tidak berdiam diri saja, peneliti juga berkeliling mengawasi siswa siswanya. Pada akhir treatment siswa diberi 686 postes yang akan digunakan untuk melihat pemahaman siswa dan ketuntasan yang berpedoman pada nilai KKM sekolah dan mata pelajaran tersebut. Pada tahap pengumpulan data peneliti memberian postes yang terdiri dari 5 soal dengan alokasi waktu 20 menit setelah menerapkan treatment. Peneliti menekankan kepada siswa untuk mengerjakan postes secara jujur dan tidak bekerja sama satu sama lain. Hal ini bertujuan agar data yang diperoleh akurat serta menghindari bias.Instrumen pos test diambil dari buku matematika XI teknik-SMK kurikulum KTSP. peneliti berasumsi bahwa instrumen postes yang diambil dari sumber tersebut telah valid dan reliabilitas. Pada tahap analisis data, data dianalisis dengan langkah-langkah: mendeskripsikan data, menganalisis secara kuantitaif untuk data berupa skor, dan menyimpulkan data. Sedangan data postes dilakukan analisis kuantitatif yaitu dengan uji-T satu sampel.uji hipotesis ini menggunakan rumus t-test dengan ketentuan sebagai berikut: Hipotesis nol : “penerapan metode pembelajaran tutor sebaya tidak dapat meningkatkan hasil belajar siswa yaitu kurang dari 75 (KKM)” Hipotesis alternatif : “penerapan metode pembelajaran tutor sebaya dapat meningkatkan hasil belajar siswa yaitu lebih dari 75 (KKM)” Atau dapat ditulis Dengan : : rata-rata hasil belajar siswa yang diberi treatment dengan tutor sebaya Prosiding Seminar Nasional Matematika dan Pendidikan Matematika. “Internalisasi Nilainilai Berpikir Matematis Dalam Peranannya di Era Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA)” KKM: kriteria Ketuntasan Minimum menghitung rata-rata dan simpangan bakunya Mencari t_tabel dengan derajat kebebasan (dk) = n-1, dengan n adalah banyak sampel, taraf signifikan 5 %. Membandingkan dengan _tabel = nilai rata-rata hasil belajar siswa = jumlah nilai hasil belajar siswa = banyak siswa = simpangan baku = jumlah frekuensi kelas I dikalikan kuadrat tanda kelas atau nilai tengah kelas dikurangi nilai rata-rata Menghitung t_hitung dengan rumus : Rumusan hipotesis di atas pengujiannya dilakukan dengan uji pihak kanan, dengan menggunakan rumus sebagai berikut. Ho diterima : _hitung > _tabel Ho ditolak : _hitung < _tabel : skor eksperimen : nilai rata-rata dari kelompok yang dihitung, selanjutnya disebut hitung : nilai yang dihipotesiskan : simpangan baku : jumlah anggota sampel _hitung Menarik kesimpulan berdasarkan hipotesis yang telah dibuat. Desain penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah “One-Shot case study” yaitu pemberian perlakuan atau treatment (variabel Independent) (Sugiyono : 2015), lalu observasi hasil (variabel dependent) yang dilakukan dengan pemberian postes. Treatment dan postes diberikan pada hari yang sama dengan tujuan menghindari bias dan melihat pengaruh treatment yang dilakukan yang kemudian akan dibandingkan dengan KKM mata pelajaran Matematika. Pada tahap akhir , laporan dilakukan setelah penelitian berlangsung 4. Keterangan : perhitungan HASIL DAN PEMBAHASAN Berikut ini dibahas tentang pelaksanaan tindakan, serta analisis pembelajaran menggunakan metode pembelajaran tutor sebaya. Penelitian ini hanya terdiri dari satu kali pertemuan (2 x 45 menit). Pertemuan tersebut menerapkan pembelajaran vektor dengan menggunakan metode pembelajaran tutor sebaya. Perencanaan meliputi : menyiapkan rencana pelaksanaan (RPP), menyiapkan materi untuk presentasi kelas, menyiapkan postes dan melakukan koordinasi antara peneliti dengan Pendidikan Matematika Universitas Muhammadiyah Purworejo , Ruang Seminar UMP, Sabtu, 28 Mei 2016 687 guru. Pada saat pembelajaran, peneliti memberikan review tentang vektor di bidang sebelum menyampaikan tujuan pembelajaran yaitu menerapkan konsep vektor pada bangun ruang,siswa diminta untuk berkumpul bersama kelompoknya untuk membahas soal yang akan diberikan peneliti Lalu peneliti memberikan soal kepada siswa untuk didiskusikan dan nantinya salah satu siswa diminta siswa untuk maju menjelaskan hasil pekerjaannya. Pada saat yang bersamaan, guru memantau siswa dan berkeliling untuk mengecek jawaban siswa dan memberikan umpan balik. Siswa diberi kesempatan untuk memaparkan hasil pekerjaannya di depan kelas. Di akhir pembelajaran peneliti memberikan 5 soal postes. Postes hanya diikuti oleh 15 siswa, hal ini dikarenakan 5 siswa lain berhalangan hadir atau izin. Berdasarkan hasil analisis postes diperoleh data sebagai berikut: sebanyak 11 siswa mendapat nilai 75, sebanyak 4 siswa mendapat nilai 75, rata-rata tes akhir tindakan 85, nilai t tabel dengan 15 siswa adalah 2,13 Berdasarkan data hasil analisis postes diperoleh bahwa t hitung <t tabel, sehingga Ho diterima yaitu penerapan metode pembelajaran tutor sebaya dapat meningkatkan hasil belajar siswa yaitu lebih dari 75 (KKM) 5. KESIMPULAN Penerapan metode pembelajaran tutor sebaya dapat meningkatkan hasil belajar siswa yaitu lebih dari 75 (KKM). 6. REFERENSI Agung. (2012). metodologi penelitian pendidikan. singaraja: Fakultas Ilmu Pendidikan Undiksha. Hafizah, E. (2013). pengaruh metode tutor sebaya terhadap hasil belajar di kelas V Sekolah Dasar kota Pontianak. 688 pontianak: Universitas Tanjungpura Pontianak. hamalik, & oemar. (2007). kurikulum pembelajaran. jakarta: bumi aksara. hasanuddin. (1996). drama karya dalam dua dimensi. bandung: angkasa. indriani, Y. d. (2013). penerapan metode pembelajaran tutor sebaya untuk meningkatkan pembelajaran matematika tentang pecahan bagi siswa kelas v SDN 1 Bojongsari tahun 2012/2013. Surakarta: Universitas Sebelas Maret. Isa, A. (2010). keefektifan pembelajaran berbantuan multimedia menggunakan metode inkuiri terbimbing untung meningkatkan minat dan pemahaman siswa. jurnal pendidikan fisika indonesia, 6(1). Janwardi, T. (2014). perbedaan hasil belajar antara pembelajaran tutor sebaya dengan konvensional siswa kelas X SMKN 1 Padang pada mata pelajaran menganalisis rangkaian listrik. Padang: Universitas Negeri Padang. muntasir. (1985). pengajaran terprogram. jogjakarta: karya anda. Sugiyono. (2015). metode penelitian pendidikan : pendekatan kuantitatif, kualitatif dan R&D. Bandung: Alfabeta. suherman, E. d. (2003). strategi pembelajaran matematika kontemporer. bandung: UPI. wicaksono, A. (2013). persepsi siswa terhadap penggunaan metode tutor sebaya dalam pembelajaran seni musik di SMP Negeri 1 Larangan Brebes. semarang: Universitas Negeri Semarang. Khanifah, S., Pukan, K. K., & Sukaesih, S. (2012). Pemanfaatan Lingkungan Sekolah sebagai Sumber Belajar untuk Meningkatkan Hasil Belajar Siswa. Unnes Journal of Biology Education, 1(1). Prosiding Seminar Nasional Matematika dan Pendidikan Matematika. “Internalisasi Nilainilai Berpikir Matematis Dalam Peranannya di Era Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA)” Nasional, S. P. (2003). Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2003. Tentang: Sistem Pendidikan Nasional, Jakarta, Depdiknas. Pendidikan Matematika Universitas Muhammadiyah Purworejo , Ruang Seminar UMP, Sabtu, 28 Mei 2016 689 PROSES BERNALAR SISWA DALAM MENEMUKAN KONSEP MATEMATIKA BERBASIS LKPD Teguh Wibowo Program Studi Pendidikan Matematika, Universitas Muhammadiyah Purworejo e-mail: [email protected] Abstrak Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui proses bernalar siswa dalam menemukan konsep matematika berbasis lembar kerja peserta didik (LKPD). Metode yang digunakan adalah metode kualitatif dengan teknik analisis data triangulasi. Konsep matematika dalam penelitian ini dibatasi pada menemukan konsep pada materi jarak dua garis atau bidang yang sejajar. Hasil penelitian menunjukkan bahwa proses bernalar siswa dalam menemukan konsep jarak titik ke garis meliputi: 1) memahami keterangan atau informasi yang sudah disediakan untuk menemukan konsep jarak dua garis atau bidang yang sejajar, 2) menggambar berdasarkan perintah yang ada di LKPD, 3) memeriksa gambar yang sudah dibuat, 4) mencari hubungan berdasarkan gambar, 5) menggeneralisasi menggunakan kalimatnya sendiri dan 6) melengkapi kesimpulan dengan kata yang tepat. Kata Kunci: Penalaran, LKPD 1. PENDAHULUAN Pembelajaran matematika terbentuk dan berkembang melalui proses penalaran. Kemampuan memahami konsep merupakan prasyarat bagi peserta didik untuk bernalar dengan baik, mengingat penalaran merupakan bagian yang sangat penting dalam belajar matematika. Shadiq (2004) mengatakan bahwa materi matematika dan penalaran matematika merupakan dua hal yang tidak dapat dipisahkan yaitu materi matematika dipahami melalui penalaran dan penalaran dipahami serta dilatih melalui belajar materi matematika. Oleh karena itu, kemampuan penalaran peserta didik perlu dikembangkan agar tujuan pembelajaran matematika dapat tercapai. Pada kenyataannya siswa masih banyak yang belum optimal menggunakan nalarnya untuk memecahkan masalah matematika. Hal ini bisa dilihat dari hasil pemecahan masalah matematika baik secara nasional maupun internasional belum menggembirakan. Berdasarkan hasil Trends In International Mathematics And Science Study (TIMSS) dalam www.kemendikbud.go.id menunjukkan bahwa hasil belajar matematika siswa kelas VIII di Indonesia masih berada di bawah rata-rata internasional. Indonesia menduduki peringkat 34 dari 38 negara pada tahun 1999, kemudian di 690 tahun 2003 menduduki peringkat 35 dari 46 negara, dan di tahun 2007 menduduki peringkat 36 dari 49 negara. Adapun aspek kognitif yang dinilai yaitu pengetahuan, penerapan, dan penalaran. Hal ini menunjukkan bahwa tingkat pengetahuan dan penalaran siswa di Indonesia masih tergolong rendah. Hanya peserta didik Indonesia yang mampu mengembangkan dan mengerjakan pemodelan matematika yang menuntut keterampilan berpikir dan penalaran (Wijaya, 2012). Proses bernalar peserta didik untuk menemukan sebuah konsep, sejatinya perlu diperhatikan oleh guru. Banyak cara yang dapat digunakan guru untuk mengetahui proses bernalar siswa, salah satunya menggunakan sumber pembelajaran berupa lembar kerja peserta didik (LKPD). Pemanfaatan LKPD dapat membantu guru dalam mengarahkan peserta didiknya untuk dapat menemukan konsep-konsep melalui aktivitas sendiri dan dalam kelompok kerja. Sehingga tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui proses bernalar siswa kelas X SMA dalam menemukan konsep matematika berbasis LKPD. Prosiding Seminar Nasional Matematika dan Pendidikan Matematika. “Internalisasi Nilainilai Berpikir Matematis Dalam Peranannya di Era Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA)” 2. PENALARAN MATEMATIS Menurut Keraf dalam Shadiq (2004) penalaran atau reasoning adalah proses berpikir yang berusaha menghubungkan fakta atau evidensi yang diketahui menuju pada suatu kesimpulan. Pada hakikatnya, penalaran merupakan suatu proses atau kegiatan berpikir berdasarkan pernyataan yang kebenarannya sudah dibuktikan atau diasumsikan sebelumnya membentuk suatu kesimpulan. Ciri utama matematika adalah penalaran deduktif, yaitu kebenaran suatu konsep atau pernyataan diperoleh sebagai akibat logis dari kebenaran sebelumnya (Shadiq, 2009). Namun demikian, dalam pembelajaran, pemahaman konsep sering diawali secara induktif melalui pengalaman peristiwa nyata atau intuisi. Proses induktif dan deduktif dapat digunakan untuk mempelajari konsep matematika. Matematika sebagai ilmu pengetahuan dengan penalaran deduktif tidak menerima generalisasi secara umum atau kesimpulan yang didapat dengan penalaran induktif. Namun konsep atau pernyataan didasarkan atas pernyataan sebelumnya. Bernalar secara deduktif lebih banyak menggunakan logika yang masuk akal untuk membuktikan bahwa konsep atau pernyataan itu dianggap benar. Namun tidak dapat dipungkiri, dalam proses pembelajaran guru sering menggunakan penalaran induktif dengan mengaitkan peristiwa nyata dalam kehidupan sehari-hari untuk memudahkan siswa memahami konsep baru. Melalui kegiatan penalaran induktif dan deduktif, siswa dapat melihat bahwa matematika merupakan kajian yang masuk akal dan logis. Indikator-indikator penalaran yang harus dicapai oleh siswa dalam penelitian ini adalah: 1) kemampuan menyajikan pernyataan matematika secara lisan, tertulis, gambar dan diagram, 2) kemampuan mengajukan dugaan (conjectures), 3) kemampuan melakukan manipulasi matematika, 4) menarik kesimpulan, menyusun bukti, memberikan alasan atau bukti terhadap solusi, 5) kemampuan menarik kesimpulan dari pernyataan, 6) kemampuan memeriksa kesahihan suatu argument, 7) menemukan pola atau sifat dari gejala matematis untuk membuat generalisasi. 3. METODE PENELITIAN Penelitian ini merupakan penelitian kualitatif, karena menggunakan data kualitatif yang memaparkan dan mendiskripsikan proses bernalar peserta didik dalam menemukan konsep matematika berbasis LKPD. Penelitian ini dilakukan pada siswa kelas X SMA/ MA di kabupaten Kebumen. Dalam penelitian ini subjek penelitian ditentukan berdasarkan purposive sampling untuk mendapatkan key informan yang kompeten sesuai dengan tujuan penelitian. Purposive sampling adalah teknik pengambilan sampel sumber data dengan pertimbangan tertentu (Sugiyono, 2014). Sedangkan menurut Bungin (2007) purposive sampling adalah menentukan kelompok peserta yang menjadi informan sesuai dengan kriteria terpilih yang relevan dengan masalah penelitian tertentu. Teknik pengumpulan data yang digunakan peneliti dalam penelitian ini adalah observasi, wawancara, dokumentasi dan metode pemberian soal. Data yang terkumpul adalah data primer dan data sekunder. Data primer adalah data dalam bentuk verbal atau kata-kata yang diucapkan secara lisan, gerak-gerik atau perilaku yang dilakukan oleh subjek yang dapat dipercaya, dalam hal ini adalah subjek penelitian (informan) yang berkenaan dengan variabel yang diteliti (Arikunto, 2013). Sedangkan sumber data sekunder dapat diperoleh dari dokumendokumen grafis (tabel, catatan), foto-foto, film, rekaman video, benda-benda dan lain-lain yang dapat memperkaya data primer. Teknik analisis data dalam penelitian ini peneliti menggunakan model Miles dan Huberman. Miles dan Huberman mengemukakan bahwa aktivitas dalam analisis data kualitatif dilakukan secara interaktif dan berlangsung secara terus menerus sampai tuntas, sehingga datanya sudah jenuh. Aktivitas dalam analisis data, yaitu data reduction, data display, dan conclusion drawing/verivicatio. Pendidikan Matematika Universitas Muhammadiyah Purworejo , Ruang Seminar UMP, Sabtu, 28 Mei 2016 691 4. HASIL DAN PEMBAHASAN Dalam penelitian ini peneliti memilih 3 subjek berdasarkan hasil test pada tahap awal. Data yang terkumpul dari tiga subjek ini identik, sehingga cukup satu subjek yang digunakan dalam pembahasan ini. Ada empat data yang terkumpul dalam penelitian ini yaitu dari Hasil Observasi, Hasil Pekerjaan Subjek, Hasil Catatan Lapangan dan Hasil Wawancara. Empat data ini akan menjadi tolok ukur untuk menyimpulkan bagaimana proses bernalar peserta didik dalam menemukan konsep matematika berbasis LKPD. Pemberian LKPD kepada Subjek dilakukan pada hari Sabtu tanggal 8 Agustus 2015 yang dimulai pada pukul 16.00 sampai 16.45. Lalu dilanjutkan wawancara pada tanggal 10 Agustus 2015 yang dimulai pukul 18.30 sampai 19.00. Sub materi pertama yang harus dikerjaan Subjek dalam LKPD yaitu berkaitan dengan Kedudukan Titik. Berdasarkan hasil dari Observasi, Pekerjaan Subjek, Catatan Lapangan dan Wawancara, proses bernalar Subjek dalam menemukan konsep kedudukan titik menggunakan LKPD meliputi 1) mendiskripsikan objek gambar, 2) mengidentifikasi objek gambar, 3) mengubah bentuk verbal ke bentuk gambar, 4) mencari hubungan berdasarkan gambar dan 5) melengkapi kesimpulan dengan kata yang tepat. Pada submateri ke dua mengenai konsep jarak, Subjek dihadapkan pada masalah untuk menemukan konsep jarak. Pada tahapan awal yang dilakukan subjek untuk menemukan konsep jarak adalah memahami semua keterangan serta proses untuk menemukan konsep jarak. Dari data yang diperoleh menunjukkan bahwa subjek dapat menemukan konsep mengenai jarak melalui tahapan 1) memahami keterangan yang ada di LKPD, 2) kemampuan menemukan hubungan antar keterangan, 3) kemampuan untuk mengadakan perbandingan dan 4) kemampuan untuk melengkapi kesimpulan. Pada sub materi ketiga berkaitan dengan jarak titik ke titik, subjek pada tahapan awal berdasarkan hasil observasi menuliskan apa yang 692 diketahui dari persoalan yang diberikan. Selanjutnya subjek juga menuliskan apa yang ditanyakan dari soal. Berdasarkan hasil penelitian menunjukkan proses bernalar subjek pada sub materi ini meliputi: 1) menulis apa yang diketahui dan apa yang ditanyakan, 2) melengkapi permisalan yang ada di LKPD, 3) menggambar permasalahan, 4) melengkapi rumus, 5) melengkapi algoritma penyelesaian sehingga terbentuk jawaban yang benar dan 6) melengkapi kesimpulan dengan menggunakan simbol matematika. Pada sub materi jarak titik ke garis subjek dihadapkan pada aktivitas yang menuntut kemampuan subjek untuk membuat gambar berdasarkan langkah kerja yang sudah ditentukan. Berdasarkan analisis data pada subjek pada sub materi jarak titik ke garis, dapat disimpulkan bahwa proses bernalar subjek dalam menemukan konsep jarak titik ke garis meliputi: 1) memahami keterangan atau informasi yang ada untuk menemukan konsep jarak titik ke garis, 2) menggambar berdasarkan perintah yang ada di LKPD, 3) memeriksa gambar yang sudah dibuat, 4) memperbaiki gambar dengan gambar baru yang menurut subjek benar, 5) mencari hubungan berdasarkan gambar, 6) menggeneralisasi menggunakan kalimatnya sendiri dan 7) melengkapi kesimpulan dengan kata yang tepat. Temuan lain adalah sifat kemampuan bernalar, subjek melakukan beberapa kali pemahaman terhadap gambar yang dibuatnya sehingga subjek dapat menemukan kejanggalan dari gambar yang dibuatnya. Subjek merepresentasikan gambar yang menurut subjek salah dengan gambar baru yang menurut subjek benar. Selanjutnya subjek dihadapkan pada sub materi jarak titik ke bidang. Subjek dihadapkan pada aktivitas yang menuntut kemampuan subjek untuk membuat gambar berdasarkan langkah kerja yang sudah ditentukan. Berdasarkan analisis data subjek pada sub materi jarak titik ke bidang, dapat disimpulkan bahwa proses bernalar subjek dalam menemukan konsep jarak titik ke garis meliputi: 1) memahami keterangan atau Prosiding Seminar Nasional Matematika dan Pendidikan Matematika. “Internalisasi Nilainilai Berpikir Matematis Dalam Peranannya di Era Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA)” informasi yang sudah disedian untuk menemukan konsep jarak titik ke bidang, 2) menggambar berdasarkan perintah yang ada di LKPD, 3) memeriksa gambar yang sudah dibuat, 4) mencari hubungan berdasarkan gambar, 5) menggeneralisasi menggunakan kalimatnya sendiri dan 6) melengkapi kesimpulan dengan kata yang tepat. Pada sub materi berikutnya mengenai jarak dua garis atau bidang yang sejajar. Subjek dihadapkan pada aktivitas 3 yang menuntut kemampuan subjek untuk membuat gambar berdasarkan langkah kerja yang sudah ditentukan. Berdasarkan analisis data subjek pada sub materi jarak dua garis atau bidang yang sejajar, dapat disimpulkan bahwa proses bernalar Objek gambar Keduduk an titik subjek dalam menemukan konsep jarak titik ke garis meliputi: 1) memahami keterangan atau informasi yang sudah disedian untuk menemukan konsep jarak dua garis atau bidang yang sejajar, 2) menggambar berdasarkan perintah yang ada di LKPD, 3) memeriksa gambar yang sudah dibuat, 4) mencari hubungan berdasarkan gambar, 5) menggeneralisasi menggunakan kalimatnya sendiri dan 6) melengkapi kesimpulan dengan kata yang tepat. 5. KESIMPULAN Dari hasil paparan di atas proses bernalar subjek dalam menemukan konsep menggunakan LKPD dapat dilihat pada flowchat berikut ini. Mencari hubungan berdasarkan gambar 1.Mendiskripsikan objek gambar 2.Identifikasi objek gambar 3.menggambar Melengkapi kesimpulan Ilustrasi gambar dan kumpulan keterangan. Konsep jarak Mencari hubungan Melengkapi kesimpulan 1.Memahami keterangan untuk menemukan konsep jarak 2.mengadakan perbandingan Jarak titik ke titik LKPD Jarak titik ke garis Menuliskan informasi: 1.apa yang diketahui, 2.apa yang ditanyakan 1.Melengkapi permisalan 2.Membuat gambar permasalahan 3.Melengkapi algoritma penyelesaian Melengkapi kesimpulan Cara kerja untuk menentukan konsep jarak titik ke garis Menggambar langkah cara kerja Mengecek gambar yang sudah dibuat Memahami langkah cara kerja Mencari hubungan berdasarkan gambar yang dibuat subjek 1 Jarak titik ke bidang Menemukan konsep menggunakan LKPD Menggambar kembali Membuat kesimpulan dengan menggunakan kalimat sendiri Cara kerja untuk menentukan konsep jarak titik ke bidang Menggambar langkah cara kerja Mengecek gambar yang sudah dibuat Melengkapi kesimpulan Mencari hubungan berdasarkan gambar yang dibuat subjek 1 Memahami langkah cara kerja Jarak dua garis atau bidang yang sejajar Cara kerja untuk menentukan konsep jarak titik ke bidang Membuat kesimpulan dengan menggunakan kalimat sendiri Menggambar langkah cara kerja Mengecek gambar yang sudah dibuat Melengkapi kesimpulan Mencari hubungan berdasarkan gambar yang dibuat subjek 1 Memahami langkah cara kerja Membuat kesimpulan dengan menggunakan kalimat sendiri Melengkapi kesimpulan Pendidikan Matematika Universitas Muhammadiyah Purworejo , Ruang Seminar UMP, Sabtu, 28 Mei 2016 693 DAFTAR PUSTAKA Arikunto, S. 2013. Prosedur penelitian Suatu Pendekatan Praktek. Jakarta: PT Rineka Cipta. Bungin, B. 2007. Penelitian Kualitatif. Jakarta: Kencana Prenada Media Group. Shadiq, F. 2009. “Kemahiran Matematika”. Diklat Instruktur Pengembangan Matematika SMA Jenjang Lanjut. Yogyakarta. Jenjang Dasar Tanggal 6 s.d 19 agustus 2004 di PPPG Matematika. Sugiyono. 2014. Memahami Kualitatif. Bandung: Alfabeta. Penelitian Tim TIMSS Indonesia. 2007. Survai Internasional TIMSS. Terdapat dalam http://litbang.kemdikbud.go.id/index.php/ti mss diakses pada tanggal 20 November 2014. Shadiq, F. 2004. “Pemecahan Masalah, Wijaya, A. 2012. Pendidikan Metematika Penalaran dan Komunikasi”. Diklat Realistik. Yogyakarta: Graha Ilmu Instruktur Pengembangan Matematika SMA 694 Prosiding Seminar Nasional Matematika dan Pendidikan Matematika. “Internalisasi Nilainilai Berpikir Matematis Dalam Peranannya di Era Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA)” PERANCANGAN MODEL PEMBELAJARAN SESUAI TUNTUTAN KURIKULUM 2013 UNTUK MENINGKATKAN PEMAHAMAN KONSEP DAN KETERAMPILAN BERPIKIR MAHASISWA CALON GURU MATEMATIKA Sutji Rochaminah dan Anggraeni FKIP Universitas Tadulako [email protected] Abstrak Tujuan penelitian ini menghasilkan model pembelajaran sesuai tuntutan Kurikulum 2013 yang dapat meningkatkan pemahaman konsep dan keterampilan berpikir mahasiswa calon guru matematika. Target khusus penelitian ini untuk mengatasi miskonsepsi atau kesulitan konseptual yang dialami mahasiswa calon guru matematika dan meningkatkan keterampilan berpikirnya. Tujuan tersebut dicapai secara bertahap melalui penyusunan, implementasi, evaluasi dan desiminasi model pembelajaran sesuai tuntutan kurikulum 2013. Penelitian ini merupakan survey yang bersifat teoritik dan empirik. Studi teoritik dilaksanakan ketika menyusun model pembelajaran dan studi empirik ketika menganalisis hasil uji coba pelaksanaan model pembelajaran. Subjek penelitian ini adalah mahasiswa calon guru matematika Universitas Tadulako. Pada tahap pertama yaitu menyusun model pembelajaran sesuai tuntutan kurikulum 2013 dan dilanjutkan dengan uji coba terbatas. Model pembelajaran yang sesuai tuntutan kurikulum 2013 berlandaskan pandangan konstruktivis yang terdiri atas 7 fase yaitu fase 1) Pengenalan materi, fase 2) Pemberian stimulus, fase 3) Pengumpulan dan pengolahan data, fase 4) Verifikasi, fase 5) Generalisasi, fase 6) Pemberian latihan, fase 7) Mengecek pemahaman dan memberikan umpan balik. Kata Kunci: Model pembelajaran, kurikulum 2013, pemahaman konsep, keterampilan berpikir 1. PENDAHULUAN Kurikulum 2013 menekankan pentingnya keseimbangan kompetensi sikap, pengetahuan dan keterampilan. Kemampuan matematika yang dituntut dibentuk melalui pembelajaran berkelanjutan: dimulai dengan meningkatkan pengetahuan tentang metodemetode matematika, dilanjutkan dengan keterampilan menyajikan suatu permasalahan secara matematis dan menyelesaikannya, dan bermuara pada pembentukan sikap jujur, kritis, kreatif, teliti, dan taat aturan (Kemdikbud, 2013). Program studi pendidikan matematika Universitas Tadulako diharapkan mendesain kurikulumnya yang mengarah pada keterampilan berpikir. Hal ini sejalan dengan petunjuk Committee on the Undergraduate Program in Mathematics (CUPM) 2004 dari Mathematical Association of America memberikan 6 rekomendasi dasar untuk jurusan, program dan semua mata kuliah dalam matematika. Salah satu rekomendasinya menerangkan bahwa setiap mata kuliah dalam matematika hendaknya merupakan aktivitas yang akan membantu mahasiswa dalam pengembangan analitis, penalaran kritis, pemecahan masalah dan keterampilan komunikasi. Keterampilan berpikir analitis, penalaran kritis, pemecahan masalah sangat diperlukan dalam menghadapi kemajuan IPTEK dan persaingan global. Tuntutan kurikulum 2013 dan rekomendasi CUPM 2004 memerlukan perhatian dan upaya pembenahan dalam proses Pendidikan Matematika Universitas Muhammadiyah Purworejo , Ruang Seminar UMP, Sabtu, 28 Mei 2016 695 belajar dan mengajar di LPTK yang akan menghasilkan guru matematika SLTP dan SLTA. Hal ini dikarenakan dalam proses pembelajaran, nampaknya belum tercipta kondisi dan situasi yang memungkinkan mahasiswa untuk melakukan proses berpikir yang analitis, logis dan kritis. Hal ini terlihat dari kegiatan dosen dan mahasiswa pada saat kegiatan belajar-mengajar. Dosen cenderung memberikan soal latihan yang bersifat rutin dan prosedural. Mahasiswa hanya mencatat atau menyalin dan cenderung menghafal rumus-rumus atau aturan-aturan matematika dengan tanpa makna dan pengertian. Berdasarkan kondisi kegiatan pembelajaran tersebut, mahasiswa tidak terlatih terampil berpikir dan cara belajar seperti ini belum tentu meningkatkan pemahaman mahasiswa terhadap konsep matematika. Penelitian yang dilakukan Rochaminah (2012) menunjukkan kemampuan berpikir kritis mahasiswa mahasiswa program studi pendidikan matematika kelas PGMIPABI yang sedang belajar kalkulus II pada tahun akademik 2011/2012 yang berjumlah 32 orang masih rendah. Selain itu investigasi yang dilakukan oleh Rochaminah (2013) menunjukkan bahwa skor rata-rata mahasiswa terhadap masalah konseptual lebih rendah dari pada skor rata-ratanya terhadap masalah hitungan. Berdasarkan hasil penelitian ini, perlu dilakukan penelitian untuk mengidentifikasi kesulitan konseptual atau miskonsepsi yang dialami calon guru matematika. Selain mengidentifikasi miskonsepsi juga perlu dikembangkan model pembelajaran sesuai tuntutan kurikulum 2013 untuk mengatasi miskonsepsi dan meningkatkan keterampilan berpikir. Dengan melakukan perbaikan miskonsepsi dan mengajarkan keterampilan berpikir kepada calon guru matematika diharapkan kelak ketika mereka mengajar 696 dapat memberikan pemahaman konsep yang benar kepada siswanya . Oleh Karena itu calon guru matematika harus diberikan pemahaman konsep dengan benar dengan cara membuat skenario pembelajaran yang dapat memotivasi mereka belajar memahami konsep dan memberikan tugas-tugas konseptual yang disertai dengan proses berpikir. Pembelajaran yang menciptakan proses berpikir merupakan sarana dosen untuk mengajarkan mahasiswa cara berpikir. Clement dan Lochead (Steven, 1991: 1) menyatakan kita harus mengajar para siswa bagaimana cara berpikir, daripada mengajar apa yang harus dipikirkan. Keterampilan berpikir yang dapat diajarkan melalui pembelajaran matematika diantaranya cara berpikir rasional, logis, kritis, kreatif dan inovatif. Tujuan diajarkan keterampilan berpikir tersebut agar mahasiswa menjadi individu yang bisa mengkategorikan, mengevaluasi informasi, dan membuat kesimpulan yang tepat dalam menghadapi permasalahan hidup serta kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi. Selain itu penanaman keterampilan berpikir bertujuan supaya mahasiswa menjadi individu yang bisa membuat keputusan dan siap mempertanggungjawabkan tiap akibat dari keputusan yang dibuat. Berkaitan dengan upaya mengkonstruksi model pembelajaran untuk mengatasi miskonsepsi serta mengajarkan keterampilan berpikir, maka penelitian yang berfokus pada perancangan model pembelajaran sesuai kurikulum 2013 menjadi sangat mendesak untuk segera dilakukan. Melalui penelitian ini dikonstruksi model pembelajaran matematika sesuai kurikulum 2013. Sehubungan dengan hal tersebut, rumuan masalah dalam penelitian ini adalah bagaimana konstruksi model pembelajaran sesuai tuntutan kurikulum 2013 yang dapat meningkatkan pemahaman konsep dan Prosiding Seminar Nasional Matematika dan Pendidikan Matematika. “Internalisasi Nilainilai Berpikir Matematis Dalam Peranannya di Era Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA)” keterampilan berpikir mahasiswa calon guru matematika? 2. KAJIAN LITERATUR 2.1. Pemahaman Konsep Pemahaman konsep merupakan kompetensi yang ditunjukkan siswa dalam memahami konsep dan dalam prosedur (algoritma) secara luwes, akurat, efisien dan tepat. Untuk memahami sebuah materi secara benar diperlukan penguasaan pengetahuan konseptual dan pengetahuan prosedural. Hiebert dan Carpenter (1992: 78) menyatakan bahwa pengetahuan konseptual dan pengetahuan prosedural diperlukan dalam keahlian matematika. Pengetahuan konseptual merupakan pengetahuan yang memiliki banyak keterhubungan antara objek-objek matematika (fakta, skill, konsep atau prinsip) yang dapat dipandang sebagai suatu jaringan pengetahuan yang memuat keterkaitan antara satu dengan lainnya. Pemahaman konsep diartikan dari kata Understanding of concept. Skemp dan Pollatsek (Sumarmo, 1987: 24) menyatakan ada dua jenis pemahaman konsep, yaitu pemahaman instrumental dan pemahaman rasional. Pemahaman instrumental dapat diartikan sebagai pemahaman atas konsep yang saling terpisah dan hanya rumus yang dihafal dalam melakukan perhitungan sederhana, sedangkan pemahaman rasional termuat satu skema atau strukstur yang dapat digunakan pada penyelesaian masalah yang lebih luas. Suatu ide, fakta, atau prosedur matematika dapat dipahami sepenuhnya jika dikaitkan dengan jaringan dari sejumlah kekuatan. Salah satu karakteristik dari matematika adalah bahwa konsep-konsep dalam matematika memiliki keterkaitan yang kuat. Pemahaman konsep sebelumnya akan mempengaruhi pemahaman konsep selanjutnya. Setelah siswa memahami konsep, ia harus hafal simbol, notasi, definisi, aturan, prosedur, rumus, dan dalil agar penerapan dalam memecahkan masalah lancar. RittleJhonson dan Alibali (1999) menyatakan bahwa dalam matematika anak harus belajar konsep dasar dan prosedur yang benar untuk menyelesaikan soal. Dengan belajar konsep anak akan memiliki pengetahuan konseptual. 2.2. Keterampilan Berpikir Berpikir umumnya diasumsikan sebagai suatu proses koginitif yang tidak dapat dilihat secara fisik, yaitu berupa suatu aktivitas mental dalam usaha memperoleh pengetahuan (Presseisen, 1985). Hasil dari berpikir dapat berupa ide-ide, pengetahuan, alasan-alasan dan untuk proses berpikir yang lebih tinggi hasilnya dapat berupa keputusan. Hal ini sejalan dengan pendapat Hudoyo (1989 : 62) yang menyatakan dengan berpikir orang dapat menyampaikan ide-idenya serta menampilkan suatu tingkah laku sebagai keterampilan atau penggambaran atas penguasaan terhadap sesuatu yang dipelajari Menurut Galotti (Matlin 1994 : 379), proses kegiatan berpikir meliputi tiga bagian yaitu penalaran, pengambilan keputusan, dan pemecahan masalah. Ketiga proses tersebut merupakan aktivitas mental yang membentuk inti berpikir. Proses kognitif tersebut saling berhubungan yang satu dengan yang lain. Dalam menghadapi berbagai masalah, seseorang perlu melakukan penalaran (berpikir secara cermat) sebelum mengambil keputusan yang tepat untuk memecahkan masalah tersebut. Dalam penelitian ini dikembangkan 4 komponen keterampilan berpikir yaitu (1) berpikir kritis, meliputi analisis, pembuktikan, generalisasi,dan evaluasi, (2) berpikir kreatif meliputi sintesis, (3) pemecahan masalah tidak Pendidikan Matematika Universitas Muhammadiyah Purworejo , Ruang Seminar UMP, Sabtu, 28 Mei 2016 697 rutin dan (4) pengambilan keputusan. Komponen-komponen tersebut tidak muncul secara sendiri-sendiri melainkan saling berkaitan satu sama lain. 2.3. Model Pembelajaran Model pembelajaran merupakan kerangka atau desain pembelajaran yang berguna sebagai pedoman dalam melaksanakan pembelajaran. Eggen dan Kauchak (1988: 9) menyatakan model pembelajaran merupakan petunjuk strategi pembelajaran yang didesain untuk melaksanakan suatu tujuan pembelajaran tertentu. Bila diibaratkan pembelajaran sebagai sebuah bangunan, maka model pembelajaran sama dengan desain (cetak biru) suatu bangunan. Penelitian ini berfokus pada pembuatan model pembelajaran sesuai tuntutan kurikulum 2013. 3. METODE PENELITIAN Metode penelitian yang digunakan adalah mengikuti rangkaian penelitian pengembangan (development research). Penelitian ini dilakukan dalam dua tahap. Tahap I adalah tahap studi pendahuluan, tahap perencanaan, dan tahap pengembangan terbatas. Sedangkan tahap II adalah tahap pengembangan secara luas. Yang menjadi target pengguna model pembelajaran ini adalah mahasiswa calon guru matematika Universitas Tadulako. Untuk uji terbatas adalah menggunakan satu kelompok (kelas) mahasiswa. Sedangkan pada uji lebih luas menggunakan lebih dari satu kelas. Instrumen yang digunakan untuk menjaring data pada kegiatan studi pendahuluan adalah kuesioner, panduan observasi kelas, dan panduan wawancara serta 698 tes pemahaman konsep dan keterampilan berpikir. Landasan perancangan model pembelajaran ini sepenuhnya perpijak pada profil permasalahan, kebutuhan, potensi yang dimiliki, serta temuan-temuan lain yang diperoleh pada penelitian tahap pertama (need assesment). Dengan demikian, pengumpulan dan penganalisisan data pada fase identifikasi masalah difokuskan untuk memperoleh informasi yang cukup dalam penyusunan model pembelajaran 4. HASIL DAN PEMBAHASAN Bersdasarkan analisis tes identifikasi keterampilan berpikir kritis, kemampuan dalam mengevaluasi suatu permasalahan matematika masih rendah. Mahasiswa masih kesulitan dengan soal-soal yang memerlukan keterampilan berpikir kritis. Hasil analisis literatur, model pembelajaran yang sesuai tuntutan kurikulum 2013 berlandaskan pada pandangan konstruktivis yaitu memposisikan mahasiswa sebagai pusat dari proses pembelajaran. Dosen tidak secara langsung menerangkan konsep dan tidak memberikan langsung definisi, teorema dan aturan. Mahasiswa dikondisikan mengkonstruksi sendiri definisi, teorema dan aturan. Dosen berperan sebagai fasilitator Karakteristik model pembelajaran pemahaman konsep dan keterampilan berpikir yang sesuai tuntutan K13 adalah sebagai berikut 1) Pemahaman konsep dan keterampilan berpikir diperoleh melalui kegiatan mengamati, (observing), menanya (questioning), mencoba/mengumpulkan informasi (experimenting/ collecting information), mengasosiasi/menalar (assosiating), dan mengomunikasikan (communicating) dan bukannya pemahaman konsep itu diberikan dosen. Prosiding Seminar Nasional Matematika dan Pendidikan Matematika. “Internalisasi Nilainilai Berpikir Matematis Dalam Peranannya di Era Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA)” 2) Mahasiswa belajar dalam kelompok sehingga dapat berlatih mengkomunikasikan pendapat dengan memberikan alasannya, serta dapat berlatih menanya sesama teman dengan mengeksplorasi fenomena. 3) Kelompok terdiri atas 4-5 mahasiswa dengan kemampuan tinggi, sedang dan rendah dan jenis kelaminnya juga heterogen. Dengan kemampuan yang heterogen 4) Melaui pemberian stimulus yang berbentuk bacaan atau pertanyaanpertanyaan, dosen membimbing mahasiswa memahami konsep dan mengkondisikan mahasiswa berpikir secara dalam. Berdasar karakteristik tersebut keberhasilan mahasiswa dalam memahami konsep dan terampil berpikir dengan model pembelajaran sesuai tuntutan K13 bergantung pada stimulus yang diberikan dosen. Pertanyaan-pertanyaan atau bacaan yang diberikan dosen sangat diperlukan dalam merangsang mahasiswa melakukan berpikir (menalar) dan memahami konsep. Dengan demikian rancangan model pembelajaran yang sesuai dengan tuntutan kurikulum 2013 adalah pembelajaran berpusatkan pada mahasiswa. Pembelajaran mengkondisikan mahasiswa untuk kekerja sama dalam memahami/membangun konsep melalui pertanyaan-pertanyaan dosen yang digunakan untuk membimbing mahasiswa. Rancangan model pembelajaran yang sesuai dengan tuntutan kurikulum 2013 terdiri atas 7 fase. Berikut ketujuh fase tersebut Fase 1: Pengenalan materi Pada fase pengenalan materi dosen menyampaikan judul materi dan sasaran perkuliahan. Dosen mengingatkan kembali materi sebelumnya atau prasyarat materi yang sedang dipelajari. Dosen memotivasi mahasiswa dan mempersiapkan mahasiswa untuk belajar dengan mengorganisasikan mahasiswa ke dalam kelompok-kelompok belajar. Fase 2: Pemberikan stimulus Dosen memberikan stimulus berbentuk bacaan atau pertanyaan-pertanyaan, sesuai dengan materi pembelajaran/topik/tema yang akan dibahas, sehingga mahasiswa mendapat pengalaman belajar mengamati pengetahuan konseptual melalui kegiatan membaca, mengamati situasi dan membandingkan Fase 3 Pengumpulan dan pengolahan data Mahasiswa mengumpulkan dan mengolah data untuk memecahkan masalah atau menemukan prinsip, aturan maupun membentuk definisi. Fase 4: Verifikasi Tahapan ini mengarahkan mahasswa untuk mengecek kebenaran atau keabsahan hasil pengolahan data, melalui berbagai kegiatan, antara lain bertanya kepada teman, berdiskusi, atau mencari sumber yang relevan baik dari buku atau media, serta mengasosiasikannya sehingga menjadi suatu kesimpulan. Fase 5: Generalisasi Pada kegiatan ini mahasiswa dibimbing untuk menggeneralisasikan hasil simpulannya pada suatu kejadian atau permasalahan yang serupa, sehingga kegiatan ini juga dapat melatih pengetahuan metakognisi mahasiswa. Fase 6: Pemberian Latihan Dosen memberikan latihan soal sebagai bentuk penerapan definisi suatu konsep atau mendeskripsikan suatu prinsip, generalisasi atau aturan yang merefleksikan pemahaman mereka dan dosen berkeliling untuk mengamati kerjasama dalam kelompok belajar serta memberikan bantuan dengan teknik Pendidikan Matematika Universitas Muhammadiyah Purworejo , Ruang Seminar UMP, Sabtu, 28 Mei 2016 699 scafolding. Fase 7: Mengecek pemahaman memberikan umpan balik dan Pada fase ini dosen berperan mengecek kemampuan mahasiswa seperti memberi kuis terkini atau memanggil mahasiswa untuk memberikan jawaban dan memberi umpan balik seperti membuka diskusi untuk mahasiswa 5. KESIMPULAN . Model pembelajaran yang sesuai tuntutan kurikulum 2013 adalah pembelajaran yang bersifat pemahaman konsep dan keterampilan berpikir diperoleh melalui kegiatan mengamati, (observing), menanya (questioning), mencoba/mengumpulkan informasi (experimenting/ collecting information), mengasosiasi/menalar (assosiating), dan mengomunikasikan (communicating) dan bukannya pemahaman konsep itu diberikan oleh dosen. Model pembelajaran yang sesuai tuntutan kurikulum 2013 berlandaskan pandangan konstruktivis yang terdiri atas 7 fase yaitu fase 1 Pengenalan materi, fase 2 Pemberian stimulus, fase 3 Pengumpulan dan pengolahan data, fase 4 Verifikasi, fase 5 generalisasi, fase 6 Pemberian latihan, fase 7 Mengecek pemahaman dan memberikan umpan balik. 6. REFERENSI Eggen, P.D, Kauchak, D.P. (1996). Strateges for Techer, Teaching Content and Thingking Skills (Ed 3rd ). USA : Allyn & Bacon. Hiebert, James dan Carpenter, Thomas. (1991). Learning and Teaching with Understanding. Dalam Douglas A 700 Grouws (Editor). Handbook Research on Mathematics Teaching and Learning. New York: Macmilan Publishing company. Hudoyo, H. (1989). Tes Obyektif dalam Kaitannya dengan Hasil Proses Belajar Mengajar Matematika. Forum Penelitian 1 (1), 61 – 81. Matlin, M.W. (1994). Cognition. Orlondo : Hardcourt Publisher. Presseisen, B.Z. (1985). Thinking Skill : Meanings and Models. Dalam Arthur L. Costa (editor). Developing Minds. A Resource Book for Teaching Thinking. Virginia : ASCD Rittle-Jhonson dan Alibali. 1999. Conceptual and Procedural Knowledge of Mathematics: Does One Lead to the Other? Journal of Educational Psychology, Vol. 91, No. 1, 175-189. Rochaminah, Sutji. 2013. Pengetahuan Konseptual Dan Prosedural Mahasiswa Program Studi Pendidikan Fisika Universitas Tadulako Dalam Materi Turunan. Prosiding Seminar Nasional Penelitian, Pendidikan, dan Penerapan MIPA,Fakultas MIPA, Universitas Negeri Yogyakarta, 18Mei 2013 ISBN: 978 – 979 -96880 – 7 – 1, PM 279. Rochaminah, Sutji. 2012. Kemampuan Berpikir Kritis Matematis Mahasiswa PGMIPABI Universitas Tadulako. Prosiding Seminar Nasional MIPA dan Pembelajaran 2012 Fakultas Matematika Dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Negeri Malang 13 Oktober 2012, ISBN 978-602-978956-0, 82-85. Steven D. Schafersmen (1991). An Introduction to Critical Thinking. Prosiding Seminar Nasional Matematika dan Pendidikan Matematika. “Internalisasi Nilainilai Berpikir Matematis Dalam Peranannya di Era Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA)” www. Com/naturalism.html. Freeinquiry. Sumarmo, U. (1987). Kemampuan Pemahaman dan Penalaran Matematik Siswa SMA Dikaitkan dengan Penalaran Logik Siswa dan Beberapa Unsur Proses Belajar Mengajar. Disertasi pada Pascasarjana IKIP Bandung: tidak diterbitkan. Pendidikan Matematika Universitas Muhammadiyah Purworejo , Ruang Seminar UMP, Sabtu, 28 Mei 2016 701 ANALISIS KESALAHAN MAHASISWA DALAM MENYELESAIKAN MASALAH KOMBINATORIK Sri Rahayuningsih1), Cynthia Tri Octavianti2) Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan, Universitas Wisnuwardhana Malang email: [email protected] 2 Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan, Universitas Wisnuwardhana Malang email: [email protected] 1 Abstrak Analisis kombinatorial memberikan keterampilan menghitung banyak objek sebagai salah satu kemampuan dasar untuk memecahkan masalah. Kombinatorial dan Peluang Diskrit tanpa kita sadari juga banyak sekali ditemukan di sekitar kita. Misalnya pada pengambilan undian. Peluang seseorang akan mendapatkan undian dapat dihitung menggunakan permutasi atau kombinasi tergantung apakah urutan berpengaruh atau tidak. Oleh karena itu mata kuliah ini cenderung membingungkan mahasiswa, sehingga membuat mereka merasa bahwa kapan soal diselesaikan dengan permutasi dan kapan soal diselesaikan dengan menggunakan kombinasi. Dosen perlu mengetahui jenis, penyebab, serta alternatif pemecahan yang dihadapi mahasiswa sehingga pada akhirnya dosen dapat membantu menyelesaikan masalah kesalahan belajar mahasiswa. Melihat seberapa besar pentingnya kombinatorial dari berbagai macam ilmu, baik dalam bidang sains maupun teknologi, penelitian ini bermaksud untuk menelusuri jenis kesalahan yang dialami mahasiswa pendidikan matematika semester III di Universitas Wisnuwardhana Malang dalam menyelesaikan soal kombinatorik. Pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah pendekatan kualitatif, karena pendekatan ini lebih mementingkan proses mahasiswa dalam menyelesaiakan soal kombinatorik daripada hasil yang diperoleh. Hasil penelitian menunjukkan bahwa letak kesalahan mahasiswa dalam menyelesaikan masalah kombinatorik terdiri dari kesalahan konsep, kesalahan prosedur dan kesalahan pemodelan dalam bentuk matematik. Kata Kunci: analisis kesalahan, kombinatorik 1. PENDAHULUAN Perkuliahan dewasa ini harus dilakukan tidak lagi berpusat pada dosen, melainkan berpusat pada mahasiswa seperti pada pembelajaran di sekolah-sekolah pada umumnya. Dosen hanya sebagai fasilitator dalam proses pembelajaran. Dalam proses pembelajaran perlu juga dilihat, dievaluasi, dan diperbaiki bahkan ditingkatkan tentang kualitas proses dan hasil pembelajaran matematika, sehingga kesulitan belajar matematika yang terjadi dan dialami mahasiswa pada materi dan topik bahasan tertentu dapat dianalisis dan diberikan solusi atau pemecahannya, sehingga diharapkan akan terjadi perubahan perilaku dan prestasi belajar matematika mahasiswa (Ronald, 2014). Matematika dipandang sebagai ilmu yang paling sulit dan bagi sebagian besar mahasiswa 702 menganggap matematika sebagai suatu matakuliah yang paling menakutkan sehingga minat dan semangat belajar mereka juga menurun. Hal ini dibuktikan dengan hasil belajar mahasiswa pada matakuliah matematika diskrit khususnya pada subpokok bahasan kombinatorik masih tergolong rendah dibandingkan dengan hasil belajar mahasiswa pada matakuliah lain. Meskipun demikian, mahasiswa harus tetap mempelajarinya karena subpokok bahasan kombinatorik sangat berperan penting dalam kehidupan sehari-hari dan begitu juga dalam disiplin ilmu lainnya. Oleh karena itu, sedini mungkin kesalahan mahasiswa dalam menyelesaikan masalah kombinatorik segera diketahui dan diberikan solusi yang tepat untuk menyelesaikannnya. Prosiding Seminar Nasional Matematika dan Pendidikan Matematika. “Internalisasi Nilainilai Berpikir Matematis Dalam Peranannya di Era Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA)” Hasil belajar yang diperoleh mahasiswa pada matakuliah matematika diskrit khususnya pada pokok bahasan kombinatorik terutama pada materi permutasi dan kombinasi cenderung rendah. Mahasiswa banyak mengeluhkan dalam menyelesaikan masalah matematika yang berhubungan dengan materi kombinatorik. Setiap kali diberikan kuis yang berhubungan dengan materi tersebut, mahasiswa banyak yang melakukan kesalahankesalahan yang sama dari tahun-tahun sebelumnya. Tercapainya tujuan pembelajaran matematika, salah satunya dapat dilihat dari keberhasilan mahasiswa dalam memahami matematika dan menerapkannya untuk menyelesaikan masalah dalam kehidupan sehari-hari. Kemampuan matematika mahasiswa dapat dilihat dari penguasaan mahasiswa terhadap materi, hal ini juga dapat dibuktikan dengan cara mengevaluasi mahasiswa pada setiap subpokok bahasan yang telah diterima oleh mahasiswa. Dalam kehidupan sehari-hari kita sering menghadapi masalah pengaturan suatu obyek yang terdiri dari beberapa unsur, baik yang disusun dengan mempertimbangkan urutan sesuai dengan posisi yang diinginkan maupun yang tidak. Misalnya menyusun kepanitiaan yang terdiri dari Ketua, Sekretaris dan Bendahara dimana urutan untuk posisi tersebut dipertimbangkan atau memilih beberapa orang untuk mewakili sekelompok orang dalam mengikuti suatu kegiatan yang dalam hal ini urutan tidak menjadi pertimbangan. Dalam matematika, penyusunan obyek yang terdiri dari beberapa unsur dengan mempertimbangkan urutan disebut dengan permutasi, sedangkan yang tidak mempertimbangkan urutan disebut dengan kombinasi. Menurut Widdiharto (2008), bahwa dorongan untuk memecahkan masalah kesalahan siswa merupakan salah satu unsur dalam pengembangan profesi dosen. Hal ini dilandaskan pada prisip diagnostis dalam konteks pemecahan masalah. Dosen perlu mengetahui jenis, penyebab, serta alternatif pemecahan yang dihadapi mahasiswa sehingga pada akhirnya dosen dapat membantu menyelesaikan masalah kesalahan belajar mahasiswa. Direktorat Jendral Manajemen Dikdasmen Direktorat PSMA Depdiknas (2008) menyatakan bahwa keperluan pemberian pembelajaran perlu dipilih strategi dan langkah-langkah yang tepat setelah terlebih dahulu diadakan diagnosis kesalahan belajar yang dialami mahasiswa. Berdasarkan penjelasan tersebut, dosen sebaiknya tidak hanya mengajar, tetapi juga melakukan menelusuri kesalahan belajar yang dialami mahasiswa agar pembelajaran dapat diserap secara optimal. Mulyadi (2010) menyatakan bahwa penelusuran kesalahan belajar yang penting adalah menemukan letak kesalahan dan jenis kesalahan belajar. Adanya kesalahan penyelesaian oleh mahasiswa dalam soal-soal matematika perlu mendapat perhatian. Kesalahan yang dilakukan mahasiswa dalam penyelesaian soal perlu di identifikasi. Identifikasi tersebut bertujuan untuk mengetahui jenis-jenis kesalahan yang dilakukan oleh mahasiswa dan faktor-faktor yang menyebabkan mahasiswa melakukan kesalahan dalam menyelesaikan soal matematika. Informasi tentang kesalahan dalam menyelesaikan soal matematika dapat digunakan untuk meningkatkan mutu kegiatan belajar mengajar matematika dan akhirnya diharapkan dapat meningkatkan prestasi belajar matematika. Kesalahan mahasiswa dalam mempelajari kombinatorik terletak pada bagaimana menyelesaikan masalah yang berhubungan dengan kombinasi dan permutasi. Kapan masalah tersebut diselesaikan dengan permutasi dan kapan masalah diselesaikan dengan kombinasi. Pendidikan Matematika Universitas Muhammadiyah Purworejo , Ruang Seminar UMP, Sabtu, 28 Mei 2016 703 Dari uraian diatas, mengingat pentingnya analisis kombinatorik dalam kehidupan sehari-hari maka peneliti bermaksud untuk melakukan analisis terhadap jenis kesalahan yang dialami mahasiswa pendidikan matematika semester gasal di universitas Wisnuwardhana Malang dalam menyelesaikan masalah kombinatorik. 2. KAJIAN LITERATUR 2.1 KESALAHAN DALAM MATEMATIKA Kesalahan dalam konteks belajar mengajar berarti kekeliruan dalam mempersepsi mata pelajaran atau kealpaan dalam memproduksi kembali memori belajar. Seseorang dapat melakukan kesalahan akibat salah mempersepsi, demikian halnya seseorang dapat melakukan kesalahan dalam belajar akibat memorinya tidak mampu lagi memproduksi ulang pengetahuan yang telah disimpannya. Persepsi merupakan proses yang didahului oleh proses pengindraan, yaitu merupakan proses diterimanya stimulus oleh individu melalui alat indra atau juga disebut proses sensoris (Walgito, 2004). Persepsi juga dapat diartikan sebagai proses yang menyangkut masuknya pesan atau informasi kedalam otak manusia (Slameto, 2003). Maka kepastian bahwa persepsi benar-benar shahih akan memberikan sumbangan bagi berkurangnya kesalahan. Disini mengandung arti bahwa persepsi bisa benar dan bisa juga salah, dengan demikian kesalahan mempunyai kaitan dengan persepsi. Adapun memori atau ingatan merupakan daya yang dapat menerima, menyimpan, dan memproduksi kembali kesankesan/tanggapan/pengertian (Hamadi & supriyono, 2008). Sistem memori bisa merekam sekaligus juga bisa memproduksi kembali hasil rekamannya. Namun kekuatanya juga tergantung pada kondisi memori yang dimiliki oleh setiap orang. Apabila memori 704 tidak mampu merekam atau tidak mampu memproduksi kembali hasil rekamannya, maka seseorang akan membuat suatu kesalahan. 2.2 ANALISIS KESALAHAN Menurut kamus besar Bahasa Indonesia (1990), pengertian analisis adalah penyelidikan terhadap suatu peristiwa (karangan, perbuatan dan sebagainya). Analisis mempunyai tujuan untuk mengetahui keadaan yang sebenarnya (sebabnya, duduk perkaranya, dan sebagainya), penguraian suatu pokok atas berbagai bagiannya dan penelaahan bagian itu sendiri serta hubungan antar bagian untuk memperoleh pengertian yang tepat dan pemahaman arti keseluruhan. Kesalahan yang dilakukan siswa perlu dianalisa lebih lanjut, agar kita mendapatkan gambaran tentang kelemahan - kelemahan siswa yang kita tes. Berdasarkan keterangan diatas maka dalam penelitian ini, analisis kesalahan yang dilakukan adalah: a) Mengumpulkan data kesalahan, b) Mengidentifikasi dan mengklasifikasikan kesalahan, dan c) Mengoreksi kesalahan. 2.3 KOMBINATORIKA Kombinatorika adalah studi tentang pengaturan objek-objek yaitu pemasangan, pengelompokan, pengurutan, pemilihan, atau penempatan objek-objek dengan karakteristik tertentu. Pembahasan mengenai kombinatorika diawali dengan pengenalan dua kaidah pencacahan, yaitu kaidah penjumlahan dan kaidah perkalian. Kedua kaidah ini sangat bermanfaat untuk menyelesaikan masalah yang kompleks dengan cara memecah atau mengurai masalah tersebut menjadi beberapa bagian yang lebih sederhana yang selanjutnya dapat diselesaikan dengan kedua kaidah tersebut. Misalnya, kaidah pencacahan bermanfaat untuk menentukan apakah terdapat cukup nomor telepon atau alamat internet Prosiding Seminar Nasional Matematika dan Pendidikan Matematika. “Internalisasi Nilainilai Berpikir Matematis Dalam Peranannya di Era Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA)” protocol untuk pelanggan. memenuhi permintaan Terdapat dua kaidah pencacahan, yaitu kaidah penjumlahan dan kaidah perkalian. Terdapat dua kaidah pencacahan, yaitu kaidah penjumlahan dan kaidah perkalian. Kaidah penjumlahan menganut prinsip umum bahwa keseluruhan sama dengan jumlah dari bagianbagiannya. Kaidah penjumlahan menganut prinsip umum bahwa keseluruhan sama dengan jumlah dari bagian-bagiannya. Secara umum, kaidah penjumlahan dijelaskan sebagai berikut. Jika pekerjaan pertama dapat dilakukan dalam cara dan pekerjaan kedua dapat dilakukan dalam cara, dan kedua pekerjaan tersebut tidak dapat dilakukan secara simultan, maka untuk menyelesaikan kedua pekerjaan tersebut dapat dilakukan dalam cara. Contoh 1: Untuk bepergian ke Cirebon dari Yogya dapat melalui jalur Purwokerto, jalur semarang, atau melalui jalur Temanggung. Dengan menggunakan kaidah penjumlahan, dapat ditentukan bahwa terdapat tiga cara bepergian dari Yogya ke Cirebon. Contoh 2: Suatu perpustakaan memiliki koleksi 40 buku sosiologi dan 50 buku antropologi. Dengan menggunakan kaidah penjumlahan dapat ditentukan banyaknya kemungkinan bagi siswa dalam memilih sebuah buku dari kedua jenis buku tersebut tanpa memperhatikan jenis buku, yaitu 40 + 50 = 90 cara. Untuk memahami kaidah perkalian, perhatikan ilustrasi sebagai berikut. Pak Budi bermaksud membeli sepeda motor. Saat ini di pasaran terdapat 4 merek sepeda motor yang terkenal, yakni Scorpio, Alfa, Mercury, dan Jossa. Tersedia 3 jenis kapasitas silinder untuk masing-masing sepeda motor tersebut, yaitu 100 cc, 110 cc, dan 125 cc. Masing-masing sepeda motor menyediakan 2 macam pilihan warna, yakni hitam dan merah. Berapa macam pilihan yang dapat dipilih Pak Budi dalam membeli sepeda motor? Untuk menggambarkan berbagai pilihan yang dapat dipilih Pak Budi, perhatikan alur berpikir sebagai berikut: Mula-mula Pak Budi menentukan merek sepeda motor yang akan ia beli, karena hal ini akan mempengaruhi harga sepeda motor. Dalam hal ini Pak Budi dapat memilih salah satu dari 4 merek sepeda motor yang tersedia. Jelasnya, Pak Budi mempunyai 4 pilihan. Setelah menentukan merek, Pak Budi harus menentukan kapasitas silinder, karena hal inipun mempengaruhi harga sepeda motor. Dalam hal ini, pak Budi dapat memilih 3 kapasitas silinder yang tersedia. Jelasnya Pak Budi mempunyai 3 macam pilihan terakhir, Pak Budi harus memilih salah satu dari dua warna yang tersedia. Jelasnya, Pak Budi mempunyai 2 pilihan. Ketika Pak Budi memilih merek sepeda motor, pikirannya bercabang 4. Ketika memilih kapasitas silinder, pikiran Pak Budi bercabang 3, dan sewaktu harus memilih warna, pikiran pak Budi bercabang 2. Jadi banyaknya semua pilihan adalah . Kaidah perkalian, yang secara umum dijelaskan sebagai berikut. Jika kegiatan pertama dapat dikerjakan dengan cara yang berbeda, kegiatan kedua dapat dilakukan dengan cara yang berbeda, kegiatan ketiga dapat dikerjakan dengan cara yang berbeda, dan seterusnya maka banyaknya cara untuk melakukan semua kegiatan tersebut secara berurutan adalah: cara. Permutasi Dari 5 orang yang bersedia menjadi pengurus suatu organisasi kampus, yakni Ali, Budi, Cici, Dini, dan Endro, hanya akan Pendidikan Matematika Universitas Muhammadiyah Purworejo , Ruang Seminar UMP, Sabtu, 28 Mei 2016 705 dipilih 2 orang yang akan menempati posisi (jabatan) sebagai ketua dan wakil ketua. Banyaknya semua cara yang mungkin dalam menyusun permutasi tersebut dapat ditentukan dengan penggunakan berikut. Jabatan Banyak cara kaidah Ketua 5 perkalian sebagai Wakil Ketua Dari 5 pengurus harian Himpunan Mahasiswa Jurusan Matematika, yakni Anto, Badrun, Candra, Dini, dan Endro akan ditentukan 2 orang yang akan mewakili organisasi itu untuk mengikuti pertemuan organisasi-organisasi mahasiswa tingkat nasional. Ada berapa kemungkinan susunan wakil organisasi itu? Beberapa susunan wakil pengurus untuk mengikuti pertemuan tersebut adalah sebagai berikut. 4 Anto – Candra Jadi, banyaknya cara dimaksud adalah 5 x 4 = 20 cara. Secara matematis kita dapat mengubah (memanipulasi) cara perhitungan di atas sebagai berikut. Candra – Anto Badrun – Dini Dini – Badrun dan sebagainya Hasil terakhir ini selanjutnya dinotasikan sebagai berikut. Perhatikan bahwa susunan Anto – Candra dan Candra – Anto sesungguhnya sama, yakni Anto dan Candra yang akan mewakili organisasi itu. Perhatikan bahwa, dalam hal ini, urutan tidak diperhatikan. Perhatikan kembali kemungkinan susunan 2 pengurus dari 5 orang pengurus harian organisasi itu. Perhatikan bahwa ketika kita menentukan susunan pengurus organisasi tersebut yang terdiri atas ketua dan wakil ketua dari 5 mahasiswa yang bersedia menjadi pengurus organisasi tersebut. Dalam hal ini, secara matematis kita telah menyusun permutasi 2 objek dari 5 objek yang diketahui dan dinotasikan dengan P(5, 2). Banyaknya permutasi dua objek dari 5 objek yang diketahui (yakni 5 pengurus) adalah P(5, 2). Banyaknya susunan yang sama dari setiap pasangan 2 objek adalah 2! (misalnya pasangan Anto – Candra sama dengan susunan Candra – Anto). Dengan demikian, banyaknya kombinasi 2 objek dari 5 objek yang dinotasikan dengan C(5,2) adalah sebagai berikut. Kombinasi Kata kombinasi lebih sering dijumpai dalam kehidupan sehari-hari daripada kata permutasi. Perhatikan contoh berikut. 706 Pengambilan k objek dari n objek yang berbeda menghasilkan permutasi k objek dari n objek atau P(n, k) . Banyaknya susunan yang Prosiding Seminar Nasional Matematika dan Pendidikan Matematika. “Internalisasi Nilainilai Berpikir Matematis Dalam Peranannya di Era Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA)” sama dari pengambilan k objek tadi adalah k!, sehingga banyaknya kombinasi dari k objek dari n objek yang berbeda yang dinotasikan dengan C(n, k) adalah sebagai berikut. 3. METODE PENELITIAN Jenis penelitian ini adalah deskriptif kualitatif. Penelitian ini dilaksanakan pada mahasiswa Program Studi Pendidikan Matematika semester gasal tahun akademik 2015/2016 Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Wisnuwardhana Malang. Teknik yang digunakan dalam pengumpulan data pada penelitian ini adalah (1) Tes kognitif, (2) Wawancara. Wawancara dalam penelitian ini menggunakan wawancara bebas. Dimana dalam menentukan subjek wawancara yaitu mengambil beberapa mahasiswa semester gasal yang memperoleh hasil belajar pada materi kombinatorika rendah. Analisis data dalam penelitian ini dimulai sejak proses pengumpulan data sampai penyusunan laporan. Data yang terkumpul dianalisis secara rinci dan apa adanya sesuai dengan tujuan dalam penelitian ini. Karena penelitian ini adalah penelitian kualitatif, maka analisis data yang digunakan disesuaikan dengan jenis datanya. Selanjutnya, data tersebut diolah menjadi kalimat yang bermakna, ilmiah, dan dianalisis secara kualitatif. Model analisis ini merupakan model dari Miles dan Huberman (1992) yang terdiri dari tiga komponen yaitu: kegiatan reduksi data, paparan data, serta penarikan kesimpulan dan verifikasi. Mereduksi data adalah kegiatan menyeleksi data, memfokuskan, dan menyederhanakan semua data yang telah diperoleh mulai dari awal sampai pada saat menjelang penyusunan laporan. Menurut Moleong (2007), reduksi data dilakukan dengan jalan abstraksi. Abstraksi yang dimaksud adalah usaha membuat rangkuman inti, proses, dan pernyataan-pernyataan yang perlu dijaga keberadaannya yang selanjutnya disusun dalam satuan-satuan. Hal ini dimaksudkan untuk lebih memudahkan kegiatan pengolahan data pada langkah berikutnya. Reduksi data (penyeleksian) dilakukan secara terus-menerus selama pengumpulan data sampai penyusunan laporan akhir selesai dilakukan. Data yang diperoleh ditulis dalam lembar rekaman data yang telah disiapkan, kemudian ditulis kembali dengan menambah dan mengurangi catatan yang ada tanpa mengubah maksud dan inti yang diperoleh. Penyajian data dilakukan dengan mengorganisasikan data dari hasil reduksi dalam bentuk naratif, sehingga dapat menolong peneliti menarik kesimpulan dan mengambil tindakan yang diperlukan. Data yang telah disajikan tersebut selanjutnya ditafsirkan dan dievaluasi. Penafsiran data ini menurut Moleong (2007) dijabarkan ke dalam; (1) tujuan, (2) prosedur, (3) peranan hubungan kunci, (4) peranan interogasi data, dan (5) langkah-langkah penafsiran data dengan menggunakan metode analisis komparatif. Proses ini berlangsung sepanjang penelitian berjalan. Penarikan kesimpulan terhadap temuan penelitian yang berupa kesalahan-kesalahan mahasiswa dalam menyelesaikan masalaah kombinatorik. Dari data yang diperoleh tersebut selanjutnya disusun kesimpulan awal yang disebut temuan penelitian. Kesimpulan itu pada awalnya masih bersifat sementara dan dapat diverifikasi atau dilakukan pengecekan keabsahan temuan selama penelitian berlangsung. Dari temuan-temuan yang berupa Pendidikan Matematika Universitas Muhammadiyah Purworejo , Ruang Seminar UMP, Sabtu, 28 Mei 2016 707 indikator-indikator selanjutnya dilakukan pemaknaan (refleksi) sehingga diperoleh kesimpulan akhir. 4 4. HASIL DAN PEMBAHASAN Data analisis hasil kuis mata kuliah matematika diskrit pokok bahasan kombinatorik khususnya materi permutasi dan kombinasi diperoleh hasil kesalahan yang dilakukan mahasiswa seperti pada tabel berikut. No Soal Jenis kesalahan yang ditemukan 1 Sebuah bioskop mempunyai jajaran kursi yang disusun perbaris. Tiap baris terdiri dari 6 tempat kursi. Jika 2 orang akan duduk, berapa banyak pengaturan tempat duduk yang mungkin pada suatu baris. Berapa jumlah kemungkinan membentuk 3 angka dari 5 angka berikut: 1, 2, 3, 4, 5 jika tidak boleh ada pengulangan angka. 1. Menyelesaikan soal menggunakan kombinasi 2. Sudah menyelesaikan soal dengan permutasi, tetapi menggunakan langkah kombinasi 2 3 708 Dalam suatu ujian, setiap mahasiswa harus mengerjakan 5 soal dari 8 soal yang disediakan. Tentukan: a) banyaknya cara memilih soal; b) banyak cara memilih 2 soal dari 4 soal pertama dan 1. Memodelkan ke dalam bentuk matematika 2. Menyelesaikan soal menggunakan kombinasi 3. Sudah menyelesaikan soal dengan permutasi, tetapi menggunakan langkah kombinasi 1. Menyelesaikan soal menggunakan permutasi 2. Sudah menyelesaikan soal dengan kombinasi, tetapi menggunakan langkah permutasi 3 soal dari 4 soal kedua harus dikerjakan Sebuah klub beranggotakan 8 pria dan 10 wanita. Berapa banyak cara memilih panitia yang terdiri dari 6 orang dengan jumlah wanita lebih banyak daripada pria. 1. Memodelkan ke dalam bentuk matematika 2. Menyelesaikan soal menggunakan permutasi 3. Sudah menyelesaikan soal dengan kombinasi, tetapi menggunakan langkah permutasi Contoh salah satu pekerjaan siswa adalah sebagai berikut Gambar 1. Salah satu contoh pekerjaan siswa yang mengalami kesalahan konsep Gambar 2. Contoh kesalahan siswa secara prosedur Gambar 3. Contoh kesalahan siswa yang mengalami kesulitan dalam memodelkan kedalam bentuk matematika Dari hasil wawancara yang dilakukan peneliti, kebanyakan dari mahasiswa masih bingung dalam menyelesaikan soal menggunakan permutasi ataukah Prosiding Seminar Nasional Matematika dan Pendidikan Matematika. “Internalisasi Nilainilai Berpikir Matematis Dalam Peranannya di Era Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA)” menggunakan kombinasi. Selain itu dalam memodelkan ke dalam bentuk matematika kebanyakan juga masih belum bisa. Dari data diatas diperoleh beberapa kesalahan yang dialami oleh mahasiswa dalam menyelesaikan soal kombinatorika, yaitu 1. Kesalahan konsep Kesalahan konsep yang dilakukan adalah cara menyelesaikan soal yang seharusnya menggunakan permutasi tetapi dikerjakan dengan cara kombinasi atau bahkan sebaliknya. Selain itu, dalam menggunakan rumus permutasi atau kombinasi kadang-kadang masih terbalik. Kesulitan pemahaman konsep terjadi karena siswa cenderung menghafal tanpa pemahaman konsep secara jelas. Hasil penelitian ini sejalan dengan penelitian Fakhrul Jamal (2014: 18) kesulitan siswa dalam materi peluang adalah kurangnya pemahaman siswa dalam memahami konsep peluang, sering salah menggunakan rumus dalam menyelesaikan soal, juga kebiasaan guru dalam belajar matematika hanya dengan cara mencatat saja di papan tulis, 2. Kesalahan prosedur Kesalahan prosedur yang sering dilakukan mahasiswa diantaranya kurang menuliskan tanda faktorial pada operasi permutasi atau kombinasi, sehingga diperoleh hasil akhir salah. 3. Kesalahan dalam memodelkan ke dalam bentuk matematika Kesalahan dalam memodelkan ke dalam bentuk matematika sering dialami siswa dalam mengerjakan soal nomer 2 dan 4. Dari hasil wawancara yang telah dilakukan peneliti, mahasiswa masih bingung dalam menterjemhakan kedalam bentuk matematika, sehingga dalam macet dalam mengerjakan langkah berikutnya. Pemahaman konseptual dan prosedural yang benar merupakan landasan yang memungkinkan terbentuknya pemahaman yang benar terhadap konsep-konsep lain yang berhubungan, konsep yang lebih kompleks, fakta, hukum, prinsip dan teori-teori dalam matematika. Terlebih lagi jika diingat bahwa salah satu karakteristik dari konsep matematika adalah adanya saling keterkaitan dan perkembangan dari konsep yang sederhana menuju konsep yang lebih kompleks (Middlecamp dan Kean, 1989; Sastrawijaya, 1988). Pemahaman suatu konsep yang tidak benar memungkinkan terbentuknya konsepkonsep lain berkaitan yang tidak benar pula. Menurut Dahar (1989), untuk dapat memecahkan masalah dalam matematika seseorang harus mengetahui aturan-aturan yang relevan dan aturan-aturan ini didasarkan pada konsep yang diperolehnya. Oleh karena itu dapat dikatakan bahwa konsep dan prosedur merupakan pondasi berfikir, sehingga pemahaman konseptual dan prosedural yang benar menjadi sangat penting untuk dimiliki. Pemahaman konseptual dan prosedural yang benar merupakan landasan dalam memahami fakta-fakta, hukum-hukum, prinsip-prinsip dan teori-teori dalam ilmu matematika secara benar. Selain itu, pemahaman secara benar akan menghasilkan penerapan konsep yang benar sebagai landasan untuk memecahkan masalah dalam kehidupan sehari-hari dan perkembangan IPTEK. 5. KESIMPULAN Berdasarkan dari hasil penelitian dan pembahasan, diperoleh kesimpulan bahwa letak kesalahan mahasiswa dalam menyelesaikan masalah kombinatorik terdiri dari kesalahan konsep, kesalahan prosedur dan kesalahan pemodelan dalam bentuk matematika. 6. REFERENSI Dahar, R.W. 1988. Teori-Teori Belajar. Jakarta: P2LPTK. Pendidikan Matematika Universitas Muhammadiyah Purworejo , Ruang Seminar UMP, Sabtu, 28 Mei 2016 709 Depdiknas Dirjen Manajemen Dikdasmen PSMA. 2008. Sistem Penilaian KTSP Panduan Penyelenggaraan Pembelajaran Remidial. Makalah disajikan dalam Workshop Asistensi dan Sinkronisasi Program RSKM/SSN di SMA,Dirjen Manajemen Dikdasmen,Surabaya,30 Juni-3 Juli 2008 Hamadi, Abu dan Widodo Supriyono. Psikologi Belajar, Jakarta: PT Asdi Mahasatya, 2008. http://www.duniapelajar.com/2012/12/08/kesal ahan-konseptual-dan-prosedural-siswadalam-belajar-aljabar/ di unduh pada 10 Mei 2016 Mahmudi, Ali. Kombinatorika http://staff.uny.ac.id/sites/default/files/ Matematika%20Diskret%20_Kombinat orika_.pdf, di unduh pada 10 Mei 2016. Middlecamp, C. & Kean, E. 1985. Panduan Belajar Matematika Dasar. Jakarta: Gramedia. Milles, M.B. and Huberman, M.A. 1992. Qualitative Data Analysis. London: Sage Publication 710 Moleong, Lexy J. 2007. Metodologi Penelitian Kualitatif-Edisi Revisi. Bandung: PT. Remaja Rosdakarya. Mulyadi. 2010. Diagnosis Kesalahan Belajar dan Bimbingan Terhadap Kesalahan Belajar Khusus. Yogyakarta: Nuha Lentera. Ronald M, Mardiyana, Dewi R. 2014. Analisis Kesalahan Siswa dalam Menyelesaikan Soal Persamaan Kuadrat Berdasarkan Taksonomi Solopada Kelas X SMA Negeri 1 Plus Di Kabupaten Nabire Papua. Diunduh dari http://jurnal.fkip.uns.ac.id pada 10 Mei 2016. Slameto. 2003. Belajar dan Faktor-Faktor yang Mempengaruhinya, Jakarta: Rineka Cipta. Walgito, Bimo. Pengantar Psikologi Umum. Yogyakarta: Andi, 2004. Widhiharto, Rachmadi. 2008. Diagnosis Kesalahan Belajar Matematika SMP dan Alternatif Proses Remidinya. Jakarta: Depdiknas Direktorat PMPTK PPPG Matematika. Prosiding Seminar Nasional Matematika dan Pendidikan Matematika. “Internalisasi Nilainilai Berpikir Matematis Dalam Peranannya di Era Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA)” PENGEMBANGAN VIDEO PEMBELAJARAN UNTUK IMPLEMENTASI KURIKULUM 2013 PADA PEMBELAJARAN MATEMATIKA TOPIK SEGI EMPAT DAN SEGITIGA SMP KELAS VII Nurafni Retno Kurniasih1), Azmi Yanianti2) Program Pascasarjana Pendidikan Matematika, Universitas Negeri Yogyakarta email: [email protected] 2 Program Pascasarjana Pendidikan Matematika, Universitas Negeri Yogyakarta email: [email protected] 1 Abstrak Implementasi kurikulum 2013, pendidik mengalami kendala dalam menerapkan pembelajaran dengan menggunakan pendekatan saintifik dan penilaian autentik. Diperlukan contoh pembelajaran dengan menggunakan pendekatan tersebut. Salah satu contoh yang diharapkan pendidik adalah dalam bentuk video pembelajaran. Penelitian ini bertujuan untuk: (1) mengetahui bagaimanakah cara mengembangkan video pembelajaran,(2) mengetahui seberapa besar tingkat kelayakan video pembelajaran,(3) mengetahui respon guru terhadap video pembelajaran,dan (4) untuk mengetahui respon siswa terhadap pembelajaran matematika topik segi empat dan segitiga SMP kelas VII. Penelitian pengembangan ini menggunakan model ADDIE (Analysis, Design, Development, Implementation and Evaluation). Langkah-langkah yang harus diikuti meliputi lima langkah yaitu (1) Analisis, dengan menganalisis kebutuhan, kurikulum, lokasi dan teknologi (2) Desain, dengan membuat RPP, skenario pembelajaran, treatment, shooting list, reading-rehearsal talent, rencana anggaran, dan menyusun instrumen penelitian, (3) Pengembangan, dengan melakukan shooting dan editing video (4) Implementasi, dengan melakukan uji coba video dan (5) Evaluasi .Penelitian dilaksanakan di SMP N 1 Imogiri. Data penelitian didapat dari wawancara dan angket. Data tersebut dianalisis secara kuantitatif dan kualitatif untuk keperluan evaluasi media. Penelitian ini telah mengembangkan video pembelajaran untuk implementasi kurikulum 2013 pada pembelajaran matematika topik segi empat dan segitiga dengan menggunakan model ADDIE. Hasil penelitian menunjukkan bahwa kualitas media dan materi video pembelajaran tergolong dalam kategori sangat baik dengan persentase sebesar 86,89% dan 88,33%. Hasil respon guru tergolong dalam kategori sangat baik dengan persentase sebesar 86,04% dan respon siswa tergolong dalam kategori baik dengan persentase sebesar 83,67%. Video pembelajaran matematika untuk implementasi kurikulum 2013 pada pembelajaran matematika topik segi empat dan segitiga dinyatakan layak untuk digunakan sebagai sumber belajar. Kata Kunci: video pembelajaran, kurikulum 2013, segi empat 1. PENDAHULUAN Dalam kehidupan suatu negara, bidang pendidikan memegang peranan yang sangat penting, yaitu sebagai faktor penentu keberhasilan pembangunan suatu negara. Kegagalan suatu negara dalam pendidikan dapat mengancam stabilitas nasional serta keutuhan negara tersebut. Dalam laporan hasil TIMSS (Trends in International Mathematics and Science Study) yaitu studi internasional tentang prestasi matematika dan sains siswa sekolah lanjutan tingkat pertama kelas VIII pada tahun 2011, Indonesia berada pada posisi 5 besar dari bawah setelah Syria, Maroko, Oman, dan Ghana. Indonesia mendapat peringkat 38 dari Pendidikan Matematika Universitas Muhammadiyah Purworejo , Ruang Seminar UMP, Sabtu, 28 Mei 2016 711 42 negara dengan nilai 386. (Mullis dkk, 2012: 42). Kurikulum yang dirubah dan diperbaharui terus menerus dengan tujuan untuk perbaikan pendidikan menjadi salah satu faktor penyebab rendahnya tingkat pendidikan di Indonesia. Proses untuk beradaptasi dengan kurikulum baru membutuhkan waktu yang tidak singkat, ditambah lagi ketika kurikulum baru tersebut belum sepenuhnya diimplementasikan ke seluruh Indonesia, sudah ada kurikulum yang lebih baru lagi. Berdasarkan wawancara dengan guru matematika di SMP N 1 Imogiri dan SMP N 14 Yogyakarta, perubahan dari kurikulum lama ke kurikulum 2013 saat ini serta pada implementasi kurikulum 2013 didapat kendalakendala sebagai berikut: 1. Perkembangan kurikulum 2013 dirasa sulit dalam hal persiapan dan pelaksanaannya bagi sebagian besar pendidik di Indonesia karena kompetensi ataupun pengetahuan yang dimiliki para pendidik belum cukup memadai. 2. Pendidik masih mengalami kendala dan kesulitan dalam menerapkan pembelajaran menggunakan pendekatan saintifik dan penilaian autentik yang ada dalam kurikulum 2013. 3. Sebagian pendidik belum siap secara mental dengan kurikulum 2013 ini, karena kurikulum 2013 menuntut guru untuk lebih inovatif dan kreatif. 4. Sebelum ini yang dilakukan pendidik dalam melaksanakan pembelajaran masih bersifat instan dan belum ada proses penemuan ilmu pengetahuan. 5. Kurangnya pemahaman konsep dasar pada topik segi empat dan segitiga serta aplikasinya dalam kehidupan sehari-hari. 6. Pendidik masih membutuhkan lebih banyak referensi video pembelajaran matematika untuk implementasi kurikulum 2013. 7. Pendidik membutuhkan video pembelajaran matematika dengan menggunakan 712 pendekatan saintifik yang dapat direalisasikan dalam pembelajaran. Untuk itu, peneliti tertarik untuk mengembangkan video pembelajaran matematika untuk implementasi kurikulum 2013 pada topik segi empat dan segitiga yang berisi contoh pembelajaran dengan menggunakan pendekatan saintifik dan penilaian autentik sebagai sumber belajar. Berdasarkan latar belakang masalah diatas, maka peneliti perlu melakukan penelitian dengan judul ”Pengembangan Video Pembelajaran Untuk Implementasi Kurikulum 2013 pada Pembelajaran Matematika Topik Segi Empat dan Segitiga SMP Kelas VII”. Penelitian ini bertujuan untuk : (1) mengetahui bagaimanakah cara mengembangkan video pembelajaran, (2) mengetahui seberapa besar tingkat kelayakan video pembelajaran, (3) mengetahui respon guru terhadap video pembelajaran,dan (4) untuk mengetahui respon siswa terhadap pembelajaran matematika topik segi empat dan segitiga SMP kelas VII. Produk yang diharapkan dalam penelitian pengembangan berupa video pembelajaran yang berisi tentang pembelajaran matematika untuk implementasi kurikulum 2013 pada topik segi empat dan segitiga SMP kelas VII, kemudian dikemas dalam bentuk CD. 2. METODE PENELITIAN Penelitian ini merupakan penelitian pengembangan media audio visual, yaitu pengembangan video pembelajaran untuk implementasi Kurikulum 2013 pada mata pelajaran matematika topik segi empat dan segitiga. Model pengembangan yang akan digunakan dalam mengembangkan video pembelajaran dalam penelitian ini adalah dengan menggunakan model ADDIE, Analisis (Analysis), Perencanaan (Design), Pengembangan (Development), Implementasi (Implementation) dan Evaluasi (Evaluation) Endang Mulyatiningsih (2012: 185). Prosiding Seminar Nasional Matematika dan Pendidikan Matematika. “Internalisasi Nilainilai Berpikir Matematis Dalam Peranannya di Era Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA)” Langkah-langkah pengembangan video pembelajaran matematika dilakukan dengan mengikuti model pengembangan ADDIE adalah : (1) Analisis (Analysis); Analisis kebutuhan, Analisis kurikulum, Analisis lokasi, dan Analisis teknologi. (2) Perencanaan (Design); membuat rencana pelaksanaan pembelajaran (rpp), membuat skenario pembelajaran, membuat treatment, membuat shooting list, reading – rehearsal talent, membuat rencana anggaran, dan menyusun instrumen-instrumen penelitian. (3) Pengembangan (Development); produksi video pembelajaran, proses editing video, validasi instrumen dan penilaian kelayakan video. (4) Implementasi (Implementation); uji coba kepada guru dan siswa. (5) Evaluasi (Evaluation); mengevaluasi hal yang terkait dengan pengembangan video pembelajaran. Desain uji coba pada pengembangan ini terdiri dari 3 tahap, yaitu uji perseorangan, dilakukan pengujian keterbacaan video oleh peneliti sendiri; uji kelompok kecil yang dilakukan pengujian validasi media audio visual dan materi oleh ahli media dan materi; uji lapangan untuk mengetahui respon guru terhadap video pembelajaran yang melibatkan guru SMP N 1 Imogiri dan guru SMP N 14 Yogyakarta, serta respon siswa SMP N 1 Imogiri terhadap pembelajaran di kelas. Subjek dalam penelitian ini adalah ahli materi yaitu dosen matematika UAD di bidang geometri dan guru matematika kelas VII SMP N 1 Imogiri, ahli media yaitu ahli media dari PPPPTK Matematika, produser ADiTV dan video editor dari ADiTV, guru matematika SMP N 1 Imogiri dan guru matematika SMP N 14 Yogyakarta, dan siswa kelas VIIB SMP N 1 Imogiri. Objek dalam penelitian ini adalah video pembelajaran untuk implementasi kurikulum 2013 pada pembelajaran matematika topik segi empat dan segitiga serta siswa kelas VIIB SMP N 1 Imogiri. Instrumen yang digunakan dalam penelitian ini adalah berupa pedoman wawancara dengan guru matermatika, angket penilaian untuk ahli materi dan media, angket respon guru terhadap video pembelajaran matematika, dan angket respon siswa terhadap pembelajaran matematika. Teknik analisis data dilakukan untuk mendapatkan perangkat pembelajaran yang layak digunakan dan berkualitas. Adapun langkah-langkah dalam menganalisis produk yang dikembangkan adalah sebagai berikut : 1. Jenis data yang diambil berupa data kualitatif, yaitu data yang diperoleh melalui angket oleh ahli materi, ahli media, guru, dan siswa. Selanjutnya data kemudian diubah menjadi kuantitatif dengan ketentuan yang dapat dilihat dalam tabel berikut: Tabel 1. Aturan pemberian skor Pilihan Jawaban Skor Pernyataan Sangat setuju (SS) 5 Setuju (S) 4 Ragu-ragu (R) 3 Tidak setuju (TS) 2 Sangat (STS) tidak setuju 1 Dari hasil penilaian tersebut dihitung skor rata-rata, dengan rumus sebagai berikut : Keterangan : = skor rata-rata = jumlah skor yang diperoleh = banyaknya butir pernyataan 2. Mengubah nilai tiap aspek kriteria dalam masing-masing komponen angket menjadi nilai kualitatif skala lima dengan kriteria Pendidikan Matematika Universitas Muhammadiyah Purworejo , Ruang Seminar UMP, Sabtu, 28 Mei 2016 713 penilaian ideal merujuk pada Eko Putro Widyoko (2011: 238) Tabel 2. Konversi Data Kuantitatif ke Data Kualitatif dengan Skala Lima Interval Tabel 3. Kriteria Kelayakan Media Video Pembelajaran No Skor Nilai Kategori 1 Sangat baik Sangat baik 2 Baik Baik 3 Cukup Cukup 4 Kurang Kurang 5 Sangat Kurang Sangat Kurang Tabel 4. Kriteria Kelayakan Materi Video Pembelajaran Keterangan : : rerata skor ideal yang dapat dicari dengan menggunakan rumus = x (skor maksimal ideal + skor minimal ideal) : simpangan baku ideal yang dapat dicari dengan rumus = x (skor maksimal ideal – skor minimal ideal) No Skor Nilai 1 Sangat baik 2 Baik 3 Cukup 4 Kurang 5 Sangat Kurang : skor rata-rata Skor maksimal ideal = ∑ butir kriteria x skor tertinggi Tabel 5. Kriteria Respon Guru Terhadap Video Pembelajaran Skor minimum ideal = ∑ butir kriteria x skor terendah No 3. Menentukan persentase kelayakan video pembelajaran dari tiap komponen penilaian dihitung menggunakan rumus: Dari persentase yang diperoleh kemudian ditransformasikan ke dalam tabel supaya pembacaan hasil penelitian menjadi mudah. Adapun tabel kriteria penilaian yaitu: 714 Skor Nilai 1 Sangat baik 2 Baik 3 Cukup 4 Kurang 5 Sangat Kurang Prosiding Seminar Nasional Matematika dan Pendidikan Matematika. “Internalisasi Nilainilai Berpikir Matematis Dalam Peranannya di Era Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA)” Tabel 6. Kriteria Respon Siswa Terhadap Pembelajaran No Skor Nilai 1 Sangat baik 2 Baik 3 Cukup 4 Kurang 5 Sangat Kurang 3. HASIL DAN PEMBAHASAN Pengembangan video pembelajaran menggunakan model ADDIE. Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan, diperoleh hasil penelitian dan pembahasan pada setiap tahap pengembangan sebagai berikut : 1. Analisis (Analysis) Dalam penelitian ini dipilih SMP N 1 Imogiri karena SMP tersebut sudah menerapkan kurikulum 2013 untuk siswa kelas VII. Kelas yang dipakai untuk penelitian adalah kelas VIIB dengan jumlah siswa 31 orang. Berdasarkan hasil wawancara kepada guru matematika SMP, guru sangat terbantu dengan adanya video pembelajaran karena dapat memberikan gambaran nyata penerapan pembelajaran saintifik serta dapat menginspirasi guru dalam memilih modelmodel pembelajaran. Guru masih membutuhkan lebih banyak referensi video pembelajaran matematika untuk implementasi kurikulum 2013, terutama video pembelajaran matematika yang ideal namun bisa diikuti oleh guru dari berbagai daerah. Kurikulum yang digunakan adalah kurikulum 2013. Hasil dari analisis kurikulum adalah peneliti mendapatkan data Kompetensi Inti (KI) dan Kompetensi Dasar (KD) pada Kurikulum 2013. Pada tahap ini analisis lokasi dilakukan melalui observasi secara langsung mengenai jauh dekatnya lokasi, keterjangkauannya, ada tidaknya sumber energi, fasilitas ruang kelas yang akan dipakai, serta properti yang akan digunakan. Dalam penelitian ini, peneliti memilih SMP N 1 Imogiri. Dalam analisis teknologi peneliti menentukan peralatan apa saja yang dipakai untuk proses pengambilan gambar, proses perekaman suara dan proses editing video. 2. Perencanaan (Design) Tahap persiapan atau perancangan sebelum produksi sebuah video disebut tahap pra produksi. Adapun kegiatannya yaitu: (1) Membuat Rencana Pelaksanaan Pembelajaran (RPP); Pada tahap ini peneliti membuat RPP mata pelajaran matematika untuk kelas VII semester genap. RPP disusun dengan menerapkan pendekatan saintifik sesuai model belajar yang relevan serta merancang penilaian autentik pada proses dan hasil belajar. (2) Membuat skenario pembelajaran; Skenario kegiatan pembelajaran disusun sesuai dengan RPP, tahapan kegiatan yang dilakukan dalam pembelajaran meliputi kegiatan pendahuluan, kegiatan inti, dan kegiatan penutup. (3) Membuat Treatment; dengan sketsa dari sebuah skenario ini maka dimungkinkan untuk mengubah urutan peristiwa hingga ditemukan sebuah ramuan plot yang proporsional dan tepat. (4) Membuat Shoting list; daftar shot dibuat untuk dijadikan acuan mengetahui berapa jumlah shot pada sebuah scene sehingga dapat dilihat tempo cerita. (5) Reading – Rehearsal Talent; Aktivitas ini dilakukan sebelum masa shooting atau produksi, dimana talent yang memerankan tokoh Pendidikan Matematika Universitas Muhammadiyah Purworejo , Ruang Seminar UMP, Sabtu, 28 Mei 2016 715 dalam skenario dilatih agar sesuai dengan apa yang diinginkan. Dalam penelitian ini, talent adalah peneliti yang berperan sebagai guru dan siswanya adalah siswa kelas VIIB SMP N 1 Imogiri. (6) Membuat rencana anggaran; Dengan merinci kebutuhankebutuhan dalam mengembangkan video pembelajaran mulai dari tahap pra produksi, produksi hingga pasca produksi, total biaya yang dikeluarkan dalam pembuatan video pembelajaran untuk implementasi kurikulum 2013 ini sebesar Rp. 5.700.000. (7) Menyusun instrumen-instrumen penelitian; Instrumen-instrumen yang digunakan dalam penelitian ini yaitu pedoman wawancara, penilaian ahli media, lembar penilaian ahli materi, angket respon guru terhadap video pembelajaran, dan angket respon siswa terhadap pembelajaran. 3. Pengembangan (Development) Tahap pengembangan video pembelajaran dalam penelitian ini adalah kegiatan produksi video pembelajaran. proses pengambilan gambar di lakukan di lokasi shooting. Proses pengambilan gambar dilakukan dengan memperhatikan komposisi framing. Setelah pengambilan gambar selesai, kemudian masuk ke dalam tahap pasca produksi. Pada tahap pasca produksi yang dilakukan adalah proses editing dimana gambar disusun menjadi sebuah jalinan cerita yang sesuai skenario. Pada tahap ini peneliti juga melakukan validasi instrumen yang telah disusun. Selanjutnya video dan instrumen diberikan kepada ahli media dan ahli materi 716 untuk dilakukan penilaian kelayakan dan mendapatkan saran masukan. 4. Implementasi (Implementation) Video pembelajaran yang telah selesai dibuat kemudian dilakukan uji coba. Pada tahap implementasi, video pembelajaran di ujicobakan kepada guru. Uji coba dilaksanakan di SMP N 1 Imogiri dan SMP N 14 Yogyakarta. Uji coba dilakukan untuk mengetahui kesesuaian video pembelajaran yang dikembangkan dilihat dari komponen kelayakan isi, kebahasaan, sajian, kegrafisan, pendekatan saintifik dalam kurikulum 2013 dan penilaian autentik dalam kurikulum 2013. Dalam penelitian ini peneliti juga melakukan uji coba untuk mengetahui respon siswa terhadap pembelajaran matematika yang dilihat dari komponen dalam kegiatan pembelajaran, yaitu kegiatan pendahuluan, kegiatan inti dan kegiatan penutup. Responden adalah siswa kelas VIIB SMP N 1 Imogiri yang berjumlah 31 siswa. 5. Evaluasi (Evaluation) Pada tahap evaluasi, peneliti menganalisis kesalahan-kesalahan yang terjadi selama proses pengembangan video pembelajaran. Berdasarkan teknik analisis data yang digunakan, data yang diperoleh dari penilaian ahli media, penilaian ahli materi, penilaian respon guru dan respon siswa diolah dan hasilnya dapat terlihat dengan lebih spesifik tiap komponen penilaian pada gambar 1 berikut: Prosiding Seminar Nasional Matematika dan Pendidikan Matematika. “Internalisasi Nilainilai Berpikir Matematis Dalam Peranannya di Era Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA)” Gambar 1. Grafik Analisis Angket Kelayakan Media Dari grafik diatas, dapat terlihat dengan lebih spesifik hasil analisis kelayakan media tiap komponen penilaian. Dari komponen penggunaan font; jenis dan ukuran, desain tampilan, pengarahan sinematografi, pengarahan artistik, penataan suara, penataan musik dan pemeranan mendapat nilai dengan kategori sangat baik. Selanjutnya komponen penilaian dari komponen lay out atau tata letak, ilustrasi, gambar, atau foto, dan penyuntingan mendapat nilai dengan kategori baik. Berdasarkan perhitungan, diperoleh rata-rata skor hasil penilaian kelayakan video pembelajaran oleh ahli media adalah 130,33 dari skor maksimal ideal 150 dan persentase penilaian kelayakan video pembelajaran sebesar 86,89%. Hasil tersebut menunjukkan bahwa video pembelajaran untuk implementasi kurikulum 2013 pada pembelajaran matematika topik segi empat dan segitiga termasuk dalam kategori sangat baik dan layak untuk digunakan. Gambar 2. Grafik Analisis Angket Kelayakan Materi Dari gambar 2 grafik analisis angket dengan kategori sangat baik. kelayakan materi diatas, dapat terlihat dengan Berdasarkan perhitungan, diperoleh lebih spesifik hasil analisis kelayakan materi rata-rata skor hasil penilaian kelayakan video tiap komponen penilaian. Dari komponen pembelajaran oleh ahli media adalah 132,5 dari kelayakan isi, kebahasaan, sajian, pendekatan skor maksimal ideal 150 dan persentase saintifik dalam kurikulum 2013 dan penilaian penilaian kelayakan video pembelajaran autentik dalam kurikulum 2013 mendapat nilai sebesar 88,83%. Hasil tersebut menunjukkan Pendidikan Matematika Universitas Muhammadiyah Purworejo , Ruang Seminar UMP, Sabtu, 28 Mei 2016 717 bahwa video pembelajaran untuk implementasi kurikulum 2013 pada pembelajaran matematika topik segi empat dan segitiga termasuk dalam kategori sangat baik dan layak untuk digunakan. Gambar 3. Grafik Analisis Angket Respon Guru Terhadap Video Pembelajaran Dari grafik gambar 3 diatas, dapat terlihat dengan lebih spesifik hasil analisis angket respon guru terhadap video pembelajaran tiap komponen penilaian. Dari komponen kelayakan isi, kebahasaan, kegrafisan dan pendekatan saintifik mendapat nilai dengan kategori sangat baik. Selanjutnya komponen penilaian dari komponen sajian dan penilaian autentik mendapat nilai dengan kategori baik. Berdasarkan perhitungan, dapat dilihat bahwa rata-rata skor hasil penilaian respon guru terhadap video pembelajaran adalah 137,67 dari skor maksimal ideal 160 dan persentase penilaian kelayakan video pembelajaran sebesar 86,04%. Hasil tersebut menunjukkan bahwa video pembelajaran untuk implementasi kurikulum 2013 pada pembelajaran matematika topik segi empat dan segitiga termasuk dalam kategori sangat baik dan layak untuk digunakan. Gambar 4. Grafik Analisis Angket Respon Siswa Terhadap Pembelajaran 718 Prosiding Seminar Nasional Matematika dan Pendidikan Matematika. “Internalisasi Nilainilai Berpikir Matematis Dalam Peranannya di Era Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA)” Berdasarkan perhitungan dapat dilihat bahwa rata-rata skor hasil penilaian respon siswa terhadap pembelajaran adalah 133,87 dari skor maksimal ideal 160 dan persentase hasil penilaian sebesar 83,67%. Hasil tersebut menunjukkan bahwa video pembelajaran untuk implementasi kurikulum 2013 pada pembelajaran matematika topik segi empat dan segitiga termasuk dalam kategori baik dan layak untuk digunakan. Dari gambar grafik 4 diatas, dapat terlihat dengan lebih spesifik hasil analisis angket respon siswa terhadap pembelajaran tiap komponen penilaian. Dari komponen apersepsi dan motivasi, penerapan strategi pembelajaran yang mendidik dan penutup pembelajaran mendapat nilai dengan kategori sangat baik. Selanjutnya komponen penilaian dari penyampaian kompetensi dan rencana kegiatan, penguasaan materi pelajaran, penerapan pendekatan saintifik, pemanfaatan sumber/media dalam pembelajaran, pelibatan peserta didik dalam pembelajaran dan penggunaan bahasa mendapat nilai dengan kategori baik Produk akhir dari penelitian ini adalah sebuah video pembelajaran untuk implementasi kurikulum 2013 pada pembelajaran matematika topik segi empat dan segitiga yang sudah direvisi dan dikemas dalam bentuk CD. Pendekatan saintifik dan penilaian autentik yang sesuai dengan kurikulum 2013 termuat dalam kegiatan pembelajaran matematika. 4. KESIMPULAN Penelitian ini telah mengembangkan video pembelajaran untuk implementasi kurikulum 2013 pada pembelajaran matematika topik segi empat dan segitiga dengan menggunakan model ADDIE, yaitu dilakukan melalui 5 tahap yaitu Analisis (Analysis), Perencanaan (Design), Pengembangan (Development), Implementasi (Implementation) dan Evaluasi (Evaluation). Subyek penelitian adalah dosen ahli materi, guru ahli materi, ahli media, guru matematika SMP N 1 Imogiri dan SMP N 14 Yogyakarta , dan siswa kelas VIIB SMP N 1 Imogiri. Pengumpulan data menggunakan pedoman wawancara dan angket. Kualitas video pembelajaran yang dikembangkan yaitu dari kualitas kegrafisan dan gaya sinematik dengan validator ahli media diperoleh skor rata-rata 130,33 dari skor maksimal ideal 150 dan persentase penilaian kelayakan video pembelajaran sebesar 86,89% yang menunjukkan kategori sangat baik. Dari kelayakan isi, kebahasaan, sajian, pendekatan saintifik kurikulum 2013 dan penilaian autentik kurikulum 2013 dengan validator ahli materi diperoleh skor rata-rata 132,5 dari skor maksimal ideal 150 dan persentase penilaian kelayakan video pembelajaran sebesar 88,33% yang menunjukkan kategori sangat baik. Sehingga video pembelajaran yang dikembangkan layak untuk digunakan sebagai sumber belajar. Respon guru terhadap video pembelajaran matematika topik segi empat dan segitiga dalam rangka implementasi kurikulum 2013 pada pembelajaran matematika topik segi empat dan segitiga dari segi kelayakan isi, kebahasaan, sajian, kegrafisan, pendekatan saintifik kurikulum 2013 dan penilaian autentik kurikulum 2013 diperoleh skor ratarata 137,67 dari skor maksimal ideal 160 dan persentase hasil 86,04% yang menunjukkan kategori sangat baik. Respon siswa terhadap terhadap pembelajaran matematika topik segi empat dan segitiga dalam rangka implementasi kurikulum 2013 pada pembelajaran matematika topik segi empat dan segitiga mulai dari kegiatan pendahuluan, kegiatan inti, dam kegiatan penutup diperoleh skor rata-rata 133,87 dari skor maksimal ideal 160 dan persentase hasil Pendidikan Matematika Universitas Muhammadiyah Purworejo , Ruang Seminar UMP, Sabtu, 28 Mei 2016 719 penilaian sebesar 83,67% yang menunjukkan kategori baik. Saran - saran yang dapat disampaikan berdasarkan hasil kesimpulan penelitian ini adalah video pembelajaran ini digunakan sebagai sumber belajar khususnya bagi guru, sebagai bahan tayang dalam diklat kurikulum 2013, Penelitian lanjutan video pembelajaran untuk implementasi kurikulum 2013 menayangkan tahap menanya dalam pendekatan saintifik yang kurang tampak dalam video ini, ada pihak yang mau mengembangkan lebih lanjut agar video pembelajaran lebih sempurna lagi, dan pembaca terinspirasi untuk melakukan penelitian lanjutan dengan melakukan produksi video atau film pendek terkait implementasi kurikulum 2013. 720 5. REFERENSI Mullis, Martin, Foy & Arora. 2012. TIMSS 2011 International Results in Mathematics. Chestnut Hill USA: Boston Collage. Mulyatiningsih, Endang. 2011. Riset Terapan Bidang Pendidikan dan Teknik. Yogyakarta: UNY Press. Widyoko, Eko Putro. 2009. Evaluasi Program Pembelajaran. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Prosiding Seminar Nasional Matematika dan Pendidikan Matematika. “Internalisasi Nilainilai Berpikir Matematis Dalam Peranannya di Era Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA)” KELAS MATEMATIKA BERINSPIRASI UNTUK INOVASI PENDIDIKAN INDONESIA Lokana Firda Amrina1), Nurafni Retno Kurniasih2) Program Pascasarjana Pendidikan Matematika, Universitas Negeri Yogyakarta [email protected] 2 Program Pascasarjana Pendidikan Matematika, Universitas Negeri Yogyakarta [email protected] 1 Abstract Title : Mathematics class is inspire for Indonesian Education Inovasion. Learning Mathematics is needed the desire and logic power. As a mathematics teacher, many of them that ignorance to creativity innovation in their class. Focus on the learning but in the created inspiring class is rare. It is one of obstacle to increase the mathematics study desire. In this paper, writers make efforts to give creativity advice and knowledge for mathematics class prosess. So, it can be inspires for the teacher and students. Inspire mathematicsclass will be able to give strong desire to study mathematics or others subject, so the atmosphere class that expected. This is the teacher contribution and effort to raise the teacher knowledge provisioning and student readiness in the global era. Keyword : Desire of mathematics, logic power, innovation, inspire, creativity class 1. PENDAHULUAN Matematika merupakan salah satu ilmu eksakta yang pasti dipelajari di setiap jenjang pendidikan. Mulai dari sekolah sebelum Sekolah Dasar (SD), seseorang sudah dikenalkan angka-angka. Masuk jenjang SD, sudah mempelajari mengenai operasi matematika. Hingga duduk di bangku Sekolah Menengah baik Pertama maupun Atas, matematika dipelajari lebih mengembang, mendalam dan memaknai. Namun sayangnya, semakin tinggi jenjang pendidikan siswa, minat belajar matematika justru menurun. Anggapan dari lingkungan dan diri siswa bahwa matematika adalah pelajaran paling sulit, hingga anggapan itu pun terpatri kuat dalam benak dan pikirannya. Berbagai kurikulum yang telah diujikan oleh pemerintah, sebagai upaya memperbaiki dan meningkatkan kualitas pendidikan, ternyata justru tidak mengurangi kondisi awal siswa. Hingga tahun-tahun berikutnya berganti generasi, anggapan matematika sulit seolah terkader dengan baik. Selain itu, berbagai model dan metode pembelajaran yang dilakukan oleh guru dikelas, sudah sangat baik jika dilakukan secara berkala. Sekalipun menguras energi untuk berkreativitas dalam pembelajaran. Kreativitas guru dalam memanfaatkan model dan metode pembelajaran matematika, sudah barang tentu menyenangkan siswa-siswanya. Matematika menjadi sangat menyenangkan. Namun, anggapan bahwa matematika mudah dan menyenangkan tentu akan kembali pada posisi sebelumnya, matematika Pendidikan Matematika Universitas Muhammadiyah Purworejo , Ruang Seminar UMP, Sabtu, 28 Mei 2016 721 sulit, ketika hasil pekerjaan maupun ulangan matematika masih mendapatkan nilai yang belum memuaskan. Untuk itulah, perlunya kesadaran dalam belajar matematika dan membangun semangat dari dalam diri siswa. Seorang guru dapat berperan aktif membangun semangat dalam diri siswa. Sebagai seorang guru matematika yang kreatif dapat memberikan motivasi, memberikan trik-trik menyelesaikan persoalan matematika juga menjadikan lingkungan belajar yang mendukung nuansa matematika. Dalam tulisan ini penulis berupaya menyalurkan wawasannya terkait dengan kelas yang inspiratif matematika yaitu kelas yang bernuansa matematika sehingga matematika akan bersemayam lama dalam benak siswa sekalipun pelajaran matematika telah berlalu. Dari berbagai literature atau referensi, observasi dan diskusi yang dilakukan oleh penulis, memberikan stimulus yang menyenangkan bagi siswa akan memberikan respon yang baik terhadap pelajaran matematika khususnya. Belajar matematika membutuhkan selera dan logika1 sehingga selera pembelajaran baik lingkungan maupun perilaku belajar perlu dibangun sehingga konsentrasi dalam meningkatkan logika berpikir menjadi lebih maksimal. KAJIAN LITERATUR Menjadikan kelas penuh dengan kehidupan manusia yang haus akan ilmu tidaklah mudah. Menuntut kreatifitas guru mengajar, menuntut orang tua untuk memperhatikan anak-anaknya serta menuntut kita semua untuk menciptakan situasi belajar yang lebih kondusif. Sebelum kita membahas lebih jauh terkait dengan kelas inspirasi, kita harus memahami input anak dan latar belakang anak. Karena dalam kelas inspirasi, seorang guru pun harus memahami keadaan anak didiknya. a. Lingkungan dalam keluarga 722 Peran orang tua dalam mengasuh anak tentu menjadi hal yang utama dan pertama, terutama seorang ibu. Mulai dari memperhatikan ibadah, kegiatan sehari-hari anak dan gizi. Dibawah ini beberapa hal yang direkomendasikan perlu diperhatikan oleh orang tua si anak-anak untuk meningkatkan daya konsentrasi sebelum belajar disekolah yaitu : 1) Memperhatikan gizi anak 2) Memperbanyak air putih 3) Menyediakan fasilitas atau buku-buku yang dibutuhkan anak-anak 4) Memperhatikan perkembangan anak Empat hal pokok sederhana tersebut merupakan hal penting yang sering kali dilewatkan oleh para orang tua. Sehingga dalam meningkatkan konsentrasi dan gairah belajar dari dalam diri siswa. b. Kreatifitas guru mengajar Charles & Lester (1982) dalam Al Krismanto, bahwa “Banyak siswa tumbuh tanpa menyukai matematika sama sekali. Mereka merasa minder dan kesulitan saat dihadapkan dengan persoalan matematika yang belum terpecahkan. Apalagi dihadapkan guru yang kurang menyenangkan dan keadaan kelas yang sangat tidak kondusif untuk belajar.” Dalam meningkatkan rasa minat atau selera belajar siswa, tentu guru harus menghidangkan pembelajaran dengan penuh bumbu kreativitas. Mengajar adalah penggilan hati, dimana mengajar harus siap menghadirkan hati juga harus mencurahkan kreativitas model dan metode yang cocok pada aktivitas materi yang hendak disampaikan. Talmagae dan Hart (1977) dalam Al Krismanto (2003), Mereka menemukan bahwa “kelas dengan suasana investigasi mendorong siswa untuk mau menggali dan memperdalam cara mereka berpikir dengan Prosiding Seminar Nasional Matematika dan Pendidikan Matematika. “Internalisasi Nilainilai Berpikir Matematis Dalam Peranannya di Era Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA)” menemukan berbagai alternative berpikir, menganalisis data dan belajar menerima masukan dari orang lain atau lingkungannya.” c. Bagaimana otak menerima pembelajaran yang unik? Ketika orang tua sudah memikirkan dan mencukupi kebutuhan input sang anak, maka kewajiban guru adalah memikirkan dan mencukupi gizi otak anak didik. Guru harus mampu membuat konsep pembelajaran yang matang sehingga pada outputnya, guru mampu menghasilkan anak didik lebih dari yang diharapkan karena mendidik antara orang tua dan guru saling bekerja sama. Saling berkomunikasi dan saling mencukupi kebutuhan anak sesuai dengan prioritas dan kapasitas sebagai orang tua. Otak Reptil, menurut ilmu kesehatan bahwa otak reptile merupakan pengendali aktivitas fisik manusia. Segala informasi yang diterima oleh otak lainnya akan melalui otak reptile. Sehingga kita harus mampu menghadirkan stimulus yang baik terhadap otak tersebut supaya arus informasi tersampaikan dengan baik dan cepat. Salah satunya adalah mendesain lingkungan belajar supaya rasa puas dalam benak siswa mampu menghadirkan stimulus yang baik pula terhadap otak. Otak limbik, merupakan otak pengendali emosi. Otak ini juga berpengaruh terhadap ingatan manusia karena melibatkan emosi yang mendalam. Sehingga emosional yang mempengaruhi diri siswa harus memberikan energi positif supaya emosional stimulus dapat merespon ingatan yang kuat terhadap informasi yang diterima. Otak neokorteks, merupakan otak yang berfungsi dalam rangsangan berpikir, berbicara, menciptakan dan melihat. Sehingga sudah dipastikan bahwa otak ini mencakup segala kecerdasan anak dan segala informasi yang tidak dapat diterima oleh pancaindra, karena otak berpengaruh terhadap intuisi anak. Ketika stimulus baik atau positif maka intuisi yang timbul akan positif juga, begitu sebaliknya. Setelah kita memahami input dan keadaan semestinya anak didik kita, maka kita akan lebih mengenal untuk memperhatikan anak didik kita. Beberapa literature dan pengamatan yang kita wacanakan, bahwa kelas yang memiliki keunikan tersendiri mampu menghadirkan gairah belajar yang berbeda pula daripada kelas yang polos tanpa sedikitpun inspirasi yang dihadirkan. a. Kelas yang selalu hidup Kelas yang selalu hidup bukanlah kelas yang hanya pembelajarannya yang aktif namun juga kelas yang selalu memberikan inspiratif pada desain atau displaynya. Hidup karena kelas tersebut selalu memperbincangkan hal yang positif. Mulai dari tempelan kata mutiara, doa-doa dan kisah inspiratif yang sangat menstimulus siswa, yang tertempel rapi di setiap sudut kelas. Pohon cita-cita dan berbagai catatan kecil siswa yang tertempel pada dinding dan terbaca oleh siswa yang lain atau bahkan guru yang mengajar, akan mendorong dan menstimulus inspirasi dalam diri siswa. 1) Dukungan dari lingkungan sekitar Menurut Fraser dan Fisher (1983) dalam Al Krismanto (2003) bahwa hasil belajar siswa akan lebih baik jika suasana belajar sesuai dengan yang mereka harapkan, bahkan banyak pendidik yang sependapat bahwa perubahan suasana sesuai Pendidikan Matematika Universitas Muhammadiyah Purworejo , Ruang Seminar UMP, Sabtu, 28 Mei 2016 723 harapan siswa mempengaruhi hasil belajar siswa. Lingkungan sekitar adalah lingkungan sekolah. Ini merupakan lingkungan yang dapat membantu kelas inspirasi. Semua wewenang kelas merupakan bagian dari kebijakan sekolah. Oleh karena itu sekolah harus mendukung terciptanya kelas inspirasi tersebut. 2) Menciptakan Kelas Inspirasi Menciptakan kelas yang berinspirasi matematika memang tidaklah mudah namun juga tidak begitu rumit. Hal tersebut dapat disinergikan antara guru matematika dan siswa. Hal tersebut meliputi : a) Kata motivasi matematika Ini berisi terkait hal-hal yang mengasumsikan bahwa matematika mudah, menyenangkan, menantang, dan sebagainya. Hal ini akan menstimulus otak bahwasannya matematika bukanlah salah satu pelajaran yang menakutkan. Sekalipun ia bukan siswa yang pandai, namun pola berpikir positif matematika setidaknya terbangun dengan baik. b) Curhat matematika Dalam mempelajari suatu hal, tentu siswa mengalami berbagai problematika baik yang berkaitan erat dengan matematika maupun yang lainnya. Persoalan tersebut dapat dicurhatkan melalui catatan kecil dan ditempel dalam kolom yang sudah disediakan. Disini adalah forum guru untuk menjawab persoalan tersebut. Jika persoalan bersifat rahasia boleh 724 c) d) e) f) jadi dibuatkan kotak surat untuk guru yang mengajar. Sehingga persoalan yang dialami siswa akan terjawab. Menulis rumus matematika Menulis rumus matematika tidak harus tulisan yang kemudian ditempel. Tulisan tersebut disajikan dalam bentuk kertas yang unik dan penyajian yang unik pula. Misalnya diagram, label atau semacam macam-macam kendaraan, segala sesuatu yang berbau unik tentunya akan menarik simpati tersendiri pada siswa. Membuat bentuk matematika Bentuk matematika ini dapat pula dimodelkan dalam relaistik di ruang kelas. Misalnya adalah bentuk bangun ruang yang termodelkan beserta rumus yang ada, dimanfaatkan untuk tempat spidol, kapur, lampu kelas atau bahkan hanya hiasan gantungan biasa. Gantungan yang melayang pada ruang kelas akan memberikan nada tersendiri didalam kelas. Papan Inspiratif Papan ini berisi tentang “apa yang kita dapat dari pelajaran matematika hari ini” hal ini perlu peranan guru dalam mendorog siswa-siswanya untuk mengungkapkan. Setidaknya guru akan lebih mengenal siswa saat pelajaran berlangsung. Tokoh matematika Tokoh ini dapat di pajang pada dinding-dinding kelas. Hal ini untuk menumbuhkan rasa cinta dan bangga siswa pada matematika. Tokoh ini sedikit diulaskan terkait temuan-temuan oleh tokoh matematika tersebut Prosiding Seminar Nasional Matematika dan Pendidikan Matematika. “Internalisasi Nilainilai Berpikir Matematis Dalam Peranannya di Era Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA)” sehingga secara tidak langsung lainnya juga untuk belajar akan memberikan wawasan bersosialisasi dengan baik. matematika diluar materi yang 5) Tema desain kelas inspirasi diajarkan. matematika 3) Kolom ide Desain yang dibuat tentu tidak Anak-anak tentunya memiliki rasa sembarangan atau acak-acakan. yang ingin tersalurkan, minimal apa Namun harus di buat tema sehingga yang ia pikirkan dapat didengar dan suasana ketika masuk kelas benardihargai oleh orang lain, baik orang benar berubah dan menstimulus. tua atau guru dan teman sebayanya. Misalnya membuat tema Paris, maka Kolom ide ini sangat memungkinkan kelas didesain seolah ketika kita anak untuk mencurahkan segala idemasuk dalam kelas maka suasana ide unik yang secara umum akan seperti di Paris. Ini akan menciptakan tersampaikan dengan baik. Segala suasana yang baru dan lebih jenis ide dituliskan pada kertas-kertas menyenangkan. Kemudian kecil kemudian ditempel pada papan menyisipkan dunia matematika, yang telah disediakan di kelas. Ini sehingga seolah kita belajar berguna untuk memberikan ide pada matematika di kota Paris. Suasana ini orang lain, kreatifitas dan mensurvei akan terasa sangat santai dan rileks anak yang aktif memproduksi ide dan sehingga pembelajaran matematika kreatifitas dalam dirinya. tidak terkesan menegangkan. 4) Membuat nama dan syiar kelas 6) Membuat aturan kelas Nama kelas juga berfungsi Aturan kelas didesain bersama dan memberikan stimulus terhadap otak. ditaati bersama pula. Ini demi Misalnya, kelas diberi nama kenyamanan bersama sehingga CERDAS BERHITUNG. Maka akan mindset diri harus saling menciptakan endapan yang baik yaitu diungkapkan. Misalnya peraturan anggapan bahwa dirinya mampu kerapian kelas, kebersihan kelas, dan menyelesaikan masalah matematika. sikap di dalam kelas. Sehingga siswa Sugesti yang baik ini memang belajar menata diri dan mengimbangi sebaiknya ditimbulkan supaya arah sesama sesuai dengan harapan sikap pemikiran atau kinerja otak selalu matematika. Peraturan ini disepakati mengarah pada sugesti yang telah bersama dan ditempel dalam kelas, diciptakan. jika perlu mendapat persetujuan wali Syiar kelas, atau biasa disebut dengan kelas untuk menjadikan kontroling yel-yel kelas. Hal ini akan siswa. memberikan semangat dan saling menyemangati antar teman. Kekompakan dalam belajar akan 2. HASIL DAN PEMBAHASAN timbul sehingga kesenjangan sosial Berdasarkan hasil literature yang kami antar siswa sedikit mungkin tidak himpun dari beberapa referensi buku dan akan terjadi. Ini tentu menciptakan jurnal serta observasi yang kami lakukan dunia kelas yang penuh kedamaian dikelas, bahwa menciptakan kelas inspiratif dan ketenangan untuk belajar dalam pembelajaran matematika diperlukan matematika maupun mata pelajaran kelas yang di desain secara kreatif dan Pendidikan Matematika Universitas Muhammadiyah Purworejo , Ruang Seminar UMP, Sabtu, 28 Mei 2016 725 pembelajaran yang kreatif, akan matematika siswa sehingga persoalan meningkatkan selera belajar matematika yang matematika sedikit demi sedikit meningkat. Sehingga selain memberikan mampu di terima dan di hadapi oleh pengajaran yang Aktif Kreatif Efektif dan siswa. Menyenangkan, desain kelas inspirasi matematika mampu menghadirkan rasa matematika sehingga anak lebih siap dan 4. REFERENSI tertantang untuk menerima persoalan Krismanto. (2003). Beberapa teknik, model matematika daripada anak yang belum dan strategi dalam pembelajaran dihadirkan rasa matematika dalam dirinya. matematika. Yogyakarta : PPPPTK. 3. KESIMPULAN Orang tua berkewajiban memenuhi kebutuhan anak secara gizi tubuh dan fasilitas belajar serta mendukung atau memotivasi anak. Pembelajaran yang aktif tidak cukup untuk membuat anak kreatif dan menyukai matematika namun harus dicukupkan dengan desain kelas yang menyenangkan. Desain kelas sangat membantu meningkatkan selera belajar 726 Deporter, Bobbi dan Mike. (2002). Quantum Learning. Bandung : Kaifa PT Mizan Pustaka. Joice, dkk. (2013). Pengaruh Lingkungan Kelas Terhadap Sikap Siswa Untuk Pembelajaran Matematika. Surabaya : Prosiding. Chatib, Munif dan Irma. (2013). Kelasnya Manusia. Bandung : Kaifa. Prosiding Seminar Nasional Matematika dan Pendidikan Matematika. “Internalisasi Nilainilai Berpikir Matematis Dalam Peranannya di Era Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA)” METAKOGNITIF DALAM KEBERHASILAN BELAJAR MATEMATIKA Sri Ulfa Insani1), Danu Jati Pradipta2) Pascasarjana, Universitas Negeri Yogyakarta [email protected] 2 Pascasarjana, Universitas Negeri Yogyakarta [email protected] 1 Abstrak Dalam menentukan keberhasilan siswa dalam belajar, tentunya salah satu poin penting yang harus dimiliki adalah kemampuan kognitif. Perkembangan kognitif dipandang sebagai penentu kecerdasan intelektual siswa, terlebih terhadap pembelajaran matematika. Ketika seseorang menggunakan kemampuan kognitif, maka dibutuhkan kemampuan lain untuk mengontrolnya. Karena itu diperlukan kesadaran kemampuan berpikir. Kemudian dalam belajar terkadang siswa juga mengalami hambatan dalam mengingat atau memikirkan sesuatu. Untuk menghadapi permasalahan tersebut dibutuhkan kemampuan metakognisi. Metakognisi didefinsikan sebagai memikirkan kembali apa yang telah dipikirkan. Metakognisi dapat juga dipahami sebagai kognisi tentang kognisi, pengetahuan tentang pengetahuan atau berpikir tentang berpikir. Makalah ini bertujuan untuk memberikan gambaran bagaimana penerapan metakognisi dan bagaimana seharusnya belajar dilakukan di dalamnya. Dengan mengembangkan metakognisi siswa, berarti guru dapat membangun fondasi untuk belajar secara aktif. Karena keberhasilan seseorang dalam belajar dapat dipengaruhi oleh kemampuan metakognisinya. Kata Kunci: Pembelajaran matematika, keberhasilan belajar, metakognisi. belajar siswa. 1. PENDAHULUAN Dalam proses belajar mengajar, tentunya kemampuan kognitif merupakan hal yang memiliki peran penting bagi siswa dalam memahami suatu materi ajar. Perkembangan dan kemampuan kognitif siswa akan berkembang sejalan dengan perkembangan otak dan proses pendidikan serta pembelajaran yang diperoleh siswa. Dalam menerima suatu pengetahuan tak jarang siswa memiliki beberapa hambatan, misalnya siswa kurang memahami informasi yang disajikan atau bahkan tidak mengerti maksud dari informasi yang disampaikan tersebut. Kesulitan yang dialami siswa dalam menerima suatu informasi bisa saja disebabkan oleh kemampuan berpikir siswa yang masih kurang baik, sehingga menyebabkan siswa kurang dapat mencapai tujuan pembelajaran. Hal ini tentunya berpengaruh terhadap hasil Terlebih lagi terhadap pelajaran matematika yang memiliki banyak rumus dan menuntut siswa agar mampu menyelesaikan permasalahan matematis yang ada. Terkadang dalam belajar matematika siswa merasa sulit untuk memahami maksud dari soal atau permasalahan yang disediakan, apalagi untuk menyelesaikannya. Kemudian banyaknya rumus yang digunakan, bahkan terkadang siswa kurang memahami manfaat dari mempelajari matematika itu sendiri. Siswa merasa matematika itu abstrak dan sulit dicerna serta tidak memahami apa maknanya serta keterkaitannya dalam kehidupan seharihari. Untuk itu diperlukan suatu cara untuk mendukung perkembangan kemampuan kognitif siswa dan pemahaman siswa dalam belajar matematika. Salah satu cara yang dapat Pendidikan Matematika Universitas Muhammadiyah Purworejo , Ruang Seminar UMP, Sabtu, 28 Mei 2016 727 dilakukan untuk meningkatkan keberhasilan siswa dalam belajar adalah dengan mengembangkan kemampuan metakognitif siswa. Metakognitif mengacu pada pengontrolan kesadaran yang disengaja pada aktivitas kognitif (Brown, 1980; Matlin, 2009 dalam (Schunk, 2012)). Metakognisi berperan dalam berbagai aktivitas kognitif, termasuk dalam mengkomunikasikan informasi secara oral, persuasi oral, pemahaman oral, pemahaman bacaan, menulis, kemahiran berbahasa, persepsi, perhatian, memori, pemecahan soal, kognisi sosial, dan berbagai jenis pengajaran diri dan kontrol diri (Flavell, 1985 dalam (Schunk, 2012)). Dalam hal ini metakognisi merupakan kognitif seseorang dan bagaimana kognitif tersebut bekerja serta bagaimana mengaturnya. Kemampuan ini sangat penting terutama untuk keperluan kognitif ketika menyelesaikan masalah. Dari sejumlah pandangan di atas, maka penulis menganggap bahwa penting untuk melakukan kajian tentang bagaimana aktivitas metakognisi dapat dilakukan sebagai salah satu cara untuk meningkatkan keberhasilan siswa dalam belajar matematika. Diharapkan dengan menggunakan pengetahuan metakognitifnya, siswa dapat meningkatkan hasil belajarnya, terutama hasil belajar matematika. Hal ini penting untuk mengarahkan mereka agar bisa secara sadar mengontrol proses berpikir dalam pembelajaran matematika. 2. KAJIAN LITERATUR a. Belajar Belajar menurut Trianto (2010) secara umum diartikan sebagai perubahan pada individu yang terjadi melalui pengalaman, dan bukan karena pertumbuhan atau perkembangan tubuhnya atau karakteristik 728 seseorang sejak lahir. Sementara itu menurut Reber (dalam Agus, 2010: 3) Belajar dapat diartikan sebagai proses mendapatkan pengetahuan. Kemudian Sanjaya (2008) mengatakan bahwa belajar pada dasarnya adalah suatu proses aktivitas mental seseorang dalam berinteraksi dengan lingkungannya sehingga menghasilkan perubahan tingkah laku yang bersifat positif baik perubahan aspek pengetahuan, sikap, maupun psikomotor. Dimyati and Mudjiono (2009) mengatakan bahwa belajar merupakan tindakan dan prilaku siswa yang kompleks. Sebagai tindakan, maka belajar hanya dialami oleh siswa itu sendiri, karena siswa adalah penentu terjadinya proses belajar. Dari pendapat di atas dapat disimpulkan bahwa belajar merupakan perubahan yang terjadi pada seseorang baik berupa tingkah laku, pemahaman, pengetahuan, dan kemampuan yang dimiliki untuk dapat berinteraksi dengan lingkungan sekitarnya. b. Pembelajaran matematika Keberhasilan sebuah pembelajaran tidak hanya diperoleh dari hasil belajar atau prestasi siswa di sekolah, namun pembelajaran yang berhasil adalah pembelajaran yang mampu mengembangkan apa yang telah dipelajari di sekolah dan mengaplikasikan ke dalam kehidupan sehari-hari. Sudjana (2008) mengatakan hasil belajar adalah kemampuan-kemampuan yang dimiliki siswa setelah ia menerima pengalaman belajarnya. Menurut Suprijono (2010) hasil belajar adalah perubahan perilaku secara keseluruhan bukan hanya salah satu aspek potensi kemanusiaan saja. Hasil belajar adalah pola-pola perbuatan, nilai-nilai, pengertianpengertian, sikap-sikap, apresiasi, dan keterampilan. Prosiding Seminar Nasional Matematika dan Pendidikan Matematika. “Internalisasi Nilainilai Berpikir Matematis Dalam Peranannya di Era Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA)” Pembelajaran Matematika merupakan proses pemberian pengalaman belajar kepada siswa melalui serangkaian kegiatan yang terencana sehingga siswa memperoleh kompetensi tentang bahan matematika yang dipelajari. Sehingga dapat disimpulkan bahwa pembelajaran matematika juga mengarah pada bagaimana siswa memahami dengan baik materi matematika yang akan diajarkan, memanfaatkan cara belajar matematika yang efektif, dan menerapkan serta memanfaatkan media sebagai alat bantu belajar matematika. c. Keberhasilan Belajar Matematika Keberhasilan belajar menurut Djamarah and Zain (2006) suatu bahan pengajaran dapat dikatakan berhasil apabila Tujuan Instruksional Khusus (TIK)-nya dapat dicapai oleh peserta didik. Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa keberhasilan belajar merupakan kecakapan dari suatu usaha atau latihan pengalaman dalam bentuk perubahan tingkah laku yang mengandung pengetahuan (kognitif), keterampilan (psikomotor), sikap (afektif) serta nilai-nilai yang konstruktif (value) Keberhasilan belajar matematika merupakan prestasi peserta didik yang dicapai dalam proses belajar mengajar matematika. Untuk mengatahui keberhasilan belajar tersebut terdapat beberapa indikator yang dapat dijadikan petunjuk bahwa proses belajar mengajar tersebut dianggap berhasil atau tidak. Djamarah and Zain (2006) mengemukakan bahwa indikator keberhasilan belajar, di antaranya yaitu: (1) daya serap terhadap bahan pengajaran yang diajarkan mencapai prestasi tinggi, baik secara individual maupun kelompok, dan (2) perilaku yang digariskan dalam Tujuan pengajaran Instruksional Khusus (TIK) telah dicapai oleh peserta didik, baik secara individual maupun kelompok. Ketika siswa mampu mencapai prestasi yang baik dalam belajar matematika, misalnya siswa memperoleh hasil tes yang bagus, terampil dalam menggunakan konsep atau rumus matematika dan siswa mampu mengungkapkan ide atau pemikirannya terhadap materi yang diajarkan, maka siswa dapat dikatakan berhasil dalam belajar matematika. Berdasarkan uraian di atas, maka indikator keberhasilan belajar siswa dapat diketahui dari kemampuan atau pemahaman siswa terhadap materi ajar atau pengajaran yang telah diajarkan atau dapat dikatakan bahwa siswa mampu memecahkan masalah matematika dengan benar sesuai dengan pamahamannya serta dari sikap atau perilaku siswa yang telah ditentukan dalam tujuan pembelajaran, baik secara indvidual maupun kelompok. d. Metakognitif Flavell (1979) mengatakan bahwa metakognitif merujuk pada pengetahuan dan aturan-aturan dari aktivitas kognitif seseorang dalam proses pembelajaran (Veenman, Van Hout-Wolters, & Afflerbach, 2006). Metakognitif sering digambarkan secara sederhana sebagai berpikir tentang pikiran kita sendiri (Stillman & Mevarech, 2010). Secara lebih sederhana metakognisi dapat didefinisikan sebagai berpikir mengenai berpikir atau kognisi seseorang mengenai kognisi. Misalnya seorang guru yang tahu bahwa ia tidak mampu mengingat nama dengan baik, ia akan menugaskan siswanya untuk menggunakan name tag untuk beberapa hari. Metakognisi merupakan proses sekuensial atau serangkaian urutan dari proses yang digunakan untuk mengontrol aktivitas kognitif dan juga untuk memastikan bahwa tujuan kognitif telah dipenuhi (misalnya memahami suatu teks) (Ghasempour, Bakar, & Jahanshahloo, 2013). Proses ini membantu untuk mengatur dan mengawasi belajar, dan Pendidikan Matematika Universitas Muhammadiyah Purworejo , Ruang Seminar UMP, Sabtu, 28 Mei 2016 729 terdiri dari perencanaan dan monitoring kegiatan kognitif, serta memeriksa hasil dari kegiatan tersebut. Metakognitif sendiri secara naluriah diperoleh dari keluarga seperti orangtua, teman sekelas, maupun guru. Keterampilan metakognisi merupakan kesadaran berpikir, berpikir tentang apa yang dipikirkan dan bagaimana proses berpikirnya, yaitu aktivitas individu untuk memikirkan kembali apa yang telah terpikir serta berpikir dampak sebagai akibat dari buah pikiran terdahulu (Ormrod, 2008 dalam (Windrianti, 2013)). Mengembangkan keterampilan metakognisi dalam matematika dapat dilakukan dengan cara siswa memprediksi, merencanakan, memonitor, dan mengevaluasi pembelajaran yang diberikan. sesuatu dan kita melakukannya dengan sadar (Santrock, 2013). Kemudian pengetahuan prosedural adalah pengetahuan yang berkaitan dengan prosedur. pengetahuan prosedural ini merujuk pada pengetahuan tentang cara mengerjakan sesuatu. Menurut Slavin (2009) pengetahuan prosedural adalah kemampuan mengingat kembali cara melakukan sesuatu, khususnya tugas fisik. Pengetahuan prosedural ini terdiri dari konsep-konsep, aturan-aturan dan algoritma (Schunk, 2012). Metakognisi terdiri dari 2 kemampuan yang saling berhubungan. Pertama, seseorang harus memahami kemampuan, strategi, dan sumber yang dibutuhkan dalam mengerjakan tugas. Kedua, seseorang harus tahu bagaimana dan kapan menggunakan kemampuankemampuan dan strategi tersebut untuk memastikan agar tugas bisa diselesaikan dengan sempurna. Selanjutnya pengetahuan kondisional merupakan pengetahuan yang mengetahui kapan dan mengapa menggunakan bentukbentuk pengetahuan deklarasi dan prosedural. Dalam hal ini pengetahuan kondisional digunakan untuk mencocokkan antara konsep yang dipelajari dengan prosedur kerja yang sesuai. Pengetahuan kondisional merupakan kesadaran kondisi yang mempengaruhi belajar dan mengetahui alasan mengapa menggunakan suatu strategi tertentu dan mengapa melakukan sesuatu. Ketika siswa mengerjakan tugas, mereka menaksirkan kemajuan dalam tugas (misalnya, tingkat pemahaman mereka) dengan menggunakan proses metakognitif (Schunk, 2012). Ketika pemahaman masalah telah didapatkan, siswa mengubah strategi mereka berdasarkan pengetahuan kondisional mengenai apa yang bisa terbukti lebih efektif. Aktivitas metakognisi merupakan pencerminan penerapan strategi dari pengetahuan deklaratif, prosedural dan kondisional terhadap tugas-tugas. Pengetahuan deklaratif disebut sebagai “pengetahuan bahwa/apa”, yang mana pengetahuan ini adalah rekoleksi atau pengingatan kembali informasi secara sadar, seperti fakta spesifik atau kejadian yang dapat dikomunikasikan secara verbal. Ingatan yang kita munculkan kembali ke kesadaran untuk digunakan dengan sengaja, artinya ketika berusaha mengingat Kesadaran metakognisi dipengaruhi oleh variabel-variabel yang terkait dengan variabel pembelajar, variabel tugas-tugas, dan variabel strategi (Duell, 1986; Flavell & Wellman, 1977 dalam (Schunk, 2012)). Pada variabel pembelajar, tingkat perkembangan siswa mempengaruhi metakognisi mereka. Siswa yang lebih tua akan lebih memahami dan memiliki kemampuan mengingat yang lebih baik daripada siswa yang lebih muda. Mereka juga menyadari bahwa kemampuan memori mereka berbeda dari tiap konteks. Namun Sehingga dapat metakognisi adalah disimpulkan bahwa kesadaran tentang kognitif diri sendiri dan bagaimana kita mengontrolnya serta bagaimana kognitif kita bekerja dan bagaimana cara mengaturnya. Kemampuan ini sangat berguna dalam menyelesaikan permasalahan. 730 Prosiding Seminar Nasional Matematika dan Pendidikan Matematika. “Internalisasi Nilainilai Berpikir Matematis Dalam Peranannya di Era Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA)” siswa dengan usia yang sama akan menunjukkan berbagai variasi dalam kemampuan mengingat. Misalnya siswa dengan usia 8-10 tahun akan lebih akurat dalam mengingat semua hal yang harus mereka ingat dan berbagai informasi yang harus diingat dibandingkan dengan siswa usia 5-7 tahun. Kemudian variabel tugas, yang mana tingkat kesulitan dari tiap materi tentunya berbeda-berbeda. Maka ketika siswa mampu menarik informasi penting dari tugas tersebut itu juga merupakan kesadaran dari metakognitif. Misalnya ketika diberi tugas untuk menamai dan mengidentifikasi ciri-ciri bangun datar seperti persegi, layang-layang, segitiga siku-siku, segitiga sembarang, jajargenjang dan lainnya. Siswa akan lebih mudah ketika menamai bangun tersebut dengan mengelompokkan mana yang merupakan bangun datar segiempat dan mana bangun datar segitiga, tentunya dengan pengelompokan tersebut membantu siswa dalam mengingat atau mengidentifikasi dari masing-masing bangun tersebut. Biasanya siswa dengan usia yang lebih tua akan meyakini bahwa ketika suatu pembahasan disusun secara terorganisir, maka ia akan lebih mudah diingat dari pada terpisah. Selanjutnya variabel strategi, dimana metakognitif juga bergantung dari strategi belajar yang digunakan. Penggunaan strategi yang tepat dapat membantu siswa dalam mengingat berbagai hal. Oleh sebab itu guru harus bisa membimbing siswa merancang kegiatan belajar mengajar yang mampu memberikan kesempatan untuk mengembangkan metakognisi siswa. e. Peran Metakognitif dalam Keberhasilan Belajar Matematika Flavell (1979) menganggap bahwa metakognisi sebagai prediktor yang kuat dari kinerja belajar. Lebih jauh lagi Flavell menyatakan bahwa metakognisi berperan penting dalam komunikasi lisan, pemahaman lisan, pemahaman dalam membaca, menulis, kemahiran berbahasa, perhatian memori, penyelesaian masalah, kognisi sosial, dan tipe lainnya dari pengontrolan diri. Pada tahap awal pemecahan masalah, keterampilan metakognitif berperan penting dalam perencanaan dan orientasi pencegahan siswa dari pendekatan trial and error dan mengarahkan siswa untuk menggunakan prior knowledge (pengetahuan yang sudah dimiliki) dalam jalan strategis dengan menentukan informasi apa yang telah diberikan dan apa yang dinyatakan (Stel, Veenman, Deelen, & Haenen, 2009). Keterampilan metakognitif berupa pemantauan dan evaluasi, memfasilitasi siswa untuk menghindari atau memperbaiki kesalahan-kesalahan selama proses penyelesaian masalah matematika, mendeteksi perkembangan yang disusun dan membandingkan jawaban yang diperoleh dengan persoalannya. Dengan kata lain, metakognisi hadir disetiap pemecahan masalah matematis. Kemampuan mengontrol diri dalam metakognitif membantu siswa dalam pembelajaran. Metakognitif berpotensi untuk mengurangi beban belajar siswa, meningkatkan self-efficacy, dan meningkatkan kemandirian belajar Peran metakognitif dalam keberhasilan belajar matematika dapat kita lihat dari sejumlah penelitian yang telah dilakukan oleh sejumlah peneliti. Berikut diantaranya, berdasarkan paper “Aktivitas Metakognisi Sebagai Salah Satu Alat Untuk Meningkatkan Kemampuan Siswa dalam Pemecahan Masalah Matematika”, diperoleh bahwa self regulasi merupakan komponen aktivitas Pendidikan Matematika Universitas Muhammadiyah Purworejo , Ruang Seminar UMP, Sabtu, 28 Mei 2016 731 metakognisi yang dapat digunakan sebagai alat untuk meningkatkan kemampuan siswa dalam pemecahan masalah matematika. Selanjutnya penelitian oleh Laily Agustina Mahromah dan Janet Trineke Manoy tentang “Identifikasi Tingkat Metakognisi Siswa dalam Memecahkan Masalah Matematika Berdasarkan Perbedaan Skor Matematika”. Di sini peneliti melakukan penelitian terhadap siswa kelas VII-B di SMP Muhammadiyah 6 Surabaya dengan memberikan serangkaian tes yang terdiri dari tes I secara tertulis dan tes II (tes pemecahan masalah) serta mengadakan wawancara. Berdasarkan hasil data tes I (tes awal) dapat digolongkan kriteria skor matematika sebagai berikut: Kategori skor tinggi, semua siswa dengan nilai: x ≥ 72 yang terdiri dari 4 orang Kategori skor sedang, semua siswa dengan nilai: 38 < x < 72 yang terdiri dari 22 orang Kategori skor rendah, semua siswa dengan nilai: x ≤ 38 yang terdiri dari 5 orang Berdasarkan tingkat skor matematika siswa dan pertimbangan guru matematika, maka diperoleh 6 siswa yang dijadikan subjek penelitian, yaitu 2 orang siswa dengan kategori skor tinggi, 2 orang siswa skor sedang, dan 2 orang skor rendah. Dari hasil penelitian tersebut terdapat aktivitas metakognisi yang berbeda dari masing-masing subjek. Dua siswa dengan skor tertinggi menunjukkan bahwa mereka dapat menyelesaikan permasalahan dan mengungkapkannnya dengan jelas serta mampu memberikan alasan yang mendukung terhadap proses berpikir. Dua siswa dengan kemampuan sedang mengalami kesulitan untuk memikirkan konsep (rumus) yang digunakan (karena bingung terhadap cara apa yang akan dikerjakan setelah memahami soal), namun mampu mengungkapkan masalah yang diberikan dengan jelas (karena dapat mengungkapkan apa yang dicari dan informasi apa yang diketahui pada soal), dan menyadari kesalahan konsep (rumus) yang telah digunakan namun tidak dapat memperbaikinya 732 (karena menyadari kesalahan dalam pengubahan satuan namun tidak dapat membenarkannya). Kemudian dua siswa dengan kemampuan rendah tidak dapat menjelaskan masalah yang diberikan dengan jelas (karena bingung dan tidak mengetahui informasi apa yang diketahui dan ditanya dari soal), tidak menyadari apa saja yang dipantau serta tidak menyadari kesalahan konsep (rumus) yang telah digunakan dan tidak menyadari kesalahan hasil jawabannya (karena mengerjakan soal dengan asal coba). Selain itu, siswa tidak melakukan evaluasi terhadap kedua hasil jawabannya (karena cara yang digunakan asal coba sehingga siswa bingung mengapa bisa memperoleh hasil jawaban seperti yang dikerjakannya). Dari penelitian yang telah dilakukan, maka solusi yang ditawarkan untuk melatih kemampuan penggunaan fungsi metakognisi siswa adalah sebaiknya guru sering meminta siswa untuk menjelaskan setiap jawaban yang diperolehnya baik secara lisan maupun tertulis. Selanjutnya penelitian yang dilakukan oleh Maria Gerrin Windrianti dengan judul “Penerapan Challenge Based Learning (CBL) dengan Pendekatan Keterampilan Metakognisi Terhadap Hasil Belajar Matematika Pada Materi Persegi Kelas VII SMP Kristen 2 Salatiga”. Peneliti melakukan penelitian quasi eksperimen dengan subyek kelas VIIA sebagai kelas eksperimen dan kelas VIIC sebagai kelas kontrol. Kedua kelas berdistribusi normal dan homogen. Untuk kedua kelas diberikan tes pretest dan posttest. Rata-rata hasil pretest untuk kelas VIIA adalah 46,35 dan untuk kelas VIIC adalah 46,04. Namun terhadap hasil posttest kedua kelas tersebut memiliki perbedaan rata-rata yang cukup signifikan, yaitu kelas yang menggunakan penerapan CBL dengan pendekatan keterampilan metakognisi (VIIA) mempunyai rata-rata 74.87 dan kelas dengan pembelajaran Prosiding Seminar Nasional Matematika dan Pendidikan Matematika. “Internalisasi Nilainilai Berpikir Matematis Dalam Peranannya di Era Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA)” konvensional (VIIC) mempunyai rata-rata 52,83. Kelas VIIA dengan menggunakan penerapan CBL dengan pendekatan keterampilan metakognisi mempunyai ratarata hasil belajar yang lebih tinggi dari kelas VIIC yang menggunakan pembelajaran konvensional. Dari penelitian tersebut dapat disimpulkan bahwa terdapat perbedaan hasil belajar antara siswa yang diajar menggunakan penerapan CBL dengan pendekatan keterampilan metakognisi dengan pembelajaran konvensional. Penelitian lainnya yang meneliti mengenai “Pengaruh Penggunaan Pertanyaan Metakognisi Diri Terhadap Kemampuan Pemecahan Masalah dan Kecemasan Matematika”, yang dilakukan oleh Kramarski, Weisse dan Kolsher menunjukkan bahwa kemampuan pemecahan masalah siswa yang dibimbing secara metakognitif lebih baik dari pada siswa pada kelas kontrol (tidak dibimbing secara metakognitif). Selain itu kecemasan matematika siswa yang dibimbing secara metakognitif lebih rendah dari pada siswa pada kelas kontrol (Stillman & Mevarech, 2010). Penelitian tersebut menunjukkan bahwa pengetahuan metakognitif mampu meningkatkan kemampuan siswa dalam pemecahan masalah serta mampu mengurangi kecemasan matematika siswa. Dengan demikian pengetahuan metakognitif dapat membantu siswa dalam mencapai keberhasilan dalam belajar matematika. Metakognisi sangat berperan dalam keberhasilan belajar, hal ini dapat didukung dengan melakukan serangkaian aktivitasaktvitas seperti mengembangkan suatu rencana kegiatan belajar; kemudian mengidentifikasi kelebihan dan kekurangan yang berkenaan dengan kegiatan belajar; setelah itu menyusun suatu program belajar seperti konsep, keterampilan, dan ide-ide yang baru. Siswa juga dapat mengidentifikasi dan menggunakan pengalaman sehari-hari sebagai sumber belajar. Hal ini juga hendaknya didukung dengan memanfaatkan teknologi modern sebagai sumber belajar siswa. Kemudian siswa mampu memimpin dan berperan serta pada diskusi dan pemecahan masalah dalam kelompok. Siswa juga dapat memanfaatkan pengalaman belajar dari orang-orang tertentu yang telah berhasil dalam bidang tertentu serta memahami faktor-faktor pendukung keberhasilan belajarnya. 3. KESIMPULAN Metakognisi dapat menjadi salah satu alternatif bagi guru untuk mengembangkan kemampuan siswa terhadap keberhasilan belajar matematika. Metakognisi merupakan aktivitas kognitif dari siswa dalam memahami sesuatu. Dan ini merupakan salah satu cara untuk membantu siswa memahami apa yang mereka pikirkan. Terhadap proses belajar matematika guru dapat melatih keterampilan metakognisi siswa. Salah satu caranya adalah dalam penyelesaian tantangan, dapat dilihat ketika siswa diminta untuk mengemukakan ide-ide matematika, atau berdiskusi dalam kelompok. Selanjutnya keterampilan metakognisi yang baik adalah ketika siswa dapat memahami masalah, kemudian siswa mampu merencanakan strategi penyelesaian, setelah itu membuat keputusan terhadap apa yang akan dilakukan, serta melaksanakan keputusan tersebut. Siswa juga memonitoring dan mengecek kembali apa yang telah dikerjakan. 4. REFERENSI Dimyati, & Mudjiono. (2009). Belajar dan Pembelajaran. Jakarta: Rineka Cipta. Pendidikan Matematika Universitas Muhammadiyah Purworejo , Ruang Seminar UMP, Sabtu, 28 Mei 2016 733 Djamarah, S. B., & Zain, A. (2006). Strategi Belajar Mengajar. Jakarta: Rineka Cipta. Ghasempour, Z., Bakar, M. N., & Jahanshahloo, G. R. (2013). Innovation in Teaching and Learning through Problem Posing Tasks and Metacognitive Strategies. Int. J. Ped. Inn, 1(1), 53-62. Sanjaya, W. (2008). Kurikulum dan Pembelajaran: Teori dan Praktik Pengembangan Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP). Jakarta: Kencana Prenada Media Group. Santrock, J. W. (2013). Psikologi Pendidikan (T. Wibowo, Trans. Second ed.). McGraw: Hill Company. Schunk, D. H. (2012). Teori-teori Pembelajaran: Perspektif Pendidikan (E. Hamdiah & R. Fajar, Trans. Sixth ed.). Upper Saddler River, NJ: Pearson Education. Slavin, R. E. (2009). Psikologi Pendidikan: Teori dan Praktik (M. Samosir, Trans. Ninth ed.). Upper Saddler River, NJ: Pearson Education. Stillman, G., & Mevarech, Z. (2010). Metacognition research in mathematics education: from hot topic to mature field. Zdm, 42(2), 145-148. doi: 10.1007/s11858-010-0245-x Sudjana, N. (2008). Penilaian Hasil Proses Belajar Mengajar. Bandung: PT Remaja Rosdakarya. Suprijono, A. (2010). Cooperatif Learning Teori dan Aplikasi PAIKEM. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Trianto. (2010). Mendesain Model Pembelajaran Inovatif-Progresif. Jakarta: Kencana Prenada Media Group. Veenman, M. V., Van Hout-Wolters, B. H., & Afflerbach, P. (2006). Metacognition and learning: Conceptual and methodological consideration. Metacognition and learning, 1(1), 3-14. Windrianti, M. (2013). Penerapan Challenge Based learning (CBL) dengan Pendekatan Keterampilan Metakognisi Terhadap hasil Belajar Matematika Pada Materi Persegi Kelas VII SMP Kristen 2 Salatiga. Universitas Kristen Satya Wacana. Stel, M., Veenman, M. V. J., Deelen, K., & Haenen, J. (2009). The increasing role of metacognitive skills in math: a crosssectional study from a developmental perspective. Zdm, 42(2), 219-229. doi: 10.1007/s11858-009-0224-2 . 734 Prosiding Seminar Nasional Matematika dan Pendidikan Matematika. “Internalisasi Nilainilai Berpikir Matematis Dalam Peranannya di Era Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA)” KEMAMPUAN PENALARAN DAN KOMUNIKASI MATEMATIS SISWA DALAM AKTIVITAS WRITING TO LEARN Fauziah Artanti1), Tria Utari2) PPs Pendidikan Matematika, Universitas Negeri Yogyakarta email: [email protected] 2 PPs Pendidikan Matematika, Universitas Negeri Yogyakarta email: [email protected] 1 Abstrak Artikel ini bertujuan untuk mengkaji kemampuan bernalar dan berkomunikasi siswa secara matematis dalam aktivitas writing to learn. Penalaran adalah suatu proses belajar berfikir dengan menghubung-hubungkan bukti, fakta, petunjuk menuju pada suatu kesimpulan. Kegiatan penalaran dan pembuktian dalam latihan dibagi menjadi tiga kelompok, yakni membuat dan menyelidiki rumus, mengembangkan dan mengevaluasi pernyataan, serta kegiatan pembuktian lainnya. Dalam pembelajaran matematika, siswa dikatakan memiliki kemampuan komunikasi matematika apabila, siswa mampu memenuhi tiga indikator, yakni: 1) mengartikulasikan ide dan pemikiran matematika menggunakan kemampuan komunikasi oral dan tertulis, menggunakan penalaran kuantitatif dan abstrak dengan memperhatikan ketelitian, mengkonstruksikan argumen aktif dan menganalisa penalaran lainnya 2) secara berpasangan dengan temannya mendengarkan hasil penalaran satu sama lain dengan efektif; 3) bekerja secara efisien dan secara bertanggung jawab dalam tim heterogen, mengartikulasi pemikiran dan ide matematika secara efektif, menggunakan kemampuan komunikasi oral, tertulis dan nonverbal, mendemonstrasikan bagaimana matematika digunakan untuk model masalah sosial. Aktivitas writing to learn dalam matematika yaitu aktivitas dimana siswa menjelaskan konsep matematika dengan bahasa sendiri, membuat suatu kalimat matematika menjadi suatu model matematika, dan menginterprestasikan grafik. Aktivitas tersebut mengajak siswa untuk menerapkan, memanipulasi dan membuat ulang struktur pengetahuan untuk digunakan dan menerapkannya sebagai suatu pengetahuan sebelumnya, konsep dan kepercayaan. Dari kajian teori disimpulkan bahwa, kegiatan penjelasan konesep matematika dalam writing to learn secara langsung memberi kesempatan siswa mengembangkan kemampuan komunikasi matematis melalui artikulasi ide dan pikiran yang kemudian dikembangkan menjadi model matematika. Dalam pengkonstruksian argumen, siswa melakukan kegiatan penalaran. Hal ini menunjukkan bahwa kegiatan writing to learn juga memberikan kesempatan siswa mengembangkan kemampuan penalaran. Kata Kunci: Penalaran, Komunikasi, Writing to Learn PENDAHULUAN Menulis merupakan kemampuan yang harus dimiliki setiap manusia, terlebih para ilmuwan karena para ilmuwan harus mendeskripsikan hasil pemikirannya melalui tulisan. Tulisan para ilmuwan tersebut akan menjadi dasar pemikiran-pemikiran lainnya di generasi yang akan datang sehingga pengetahuan tidak akan hilang begitu saja. Sejak kecil setiap manusia memiliki kemampuan menulis tetapi ada beberapa dari mereka yang mengembangkannya dengan baik dan ada juga yang mengabaikannya. Di Indonesia, kemampuan menulis masih sangatlah jauh dibanding dengan negara-negara tetangga. Kemampuan menulis sangatlah penting diasah sejak dini dengan harapan dapat memajukan pengetahuan suatu bangsa. Kemampuan menulis identik dengan kemampuan berbahasa yang baik dan benar. Banyak diantara penulis yang masih kurang dalam hal berbahasa, itulah salah satu penyebab Pendidikan Matematika Universitas Muhammadiyah Purworejo , Ruang Seminar UMP, Sabtu, 28 Mei 2016 735 rendahnya kemampuan menulis di Indonesia. Untuk itu di sekolah pada setiap pembelajaran sebaiknya diselipkan aktivitas menulis sehingga sedikit demi sedikit kemampuan menulis siswa akan berkembang. Banyak masyarakat yang mengganggap bahwa kemampuan meulis dalam matematika tidaklah penting karena dalam matematika yang terpenting hanyalah kemampuan berhitung. Anggapan tersebut jelas sekali tidak benar karena kemampuan menulis secara tidak langsung tersirat dalam tujuan mata pelajaran matematika. Tujuan mata pelajaran matematika yaitu agar peserta didik memiliki kemampuan untuk memahami konsep, menggunakan penalaran, memecahkan masalah, mengkomunikasikan gagasan dan memiliki sikap menghargai matematika. David pugalee (2005), menyatakan bahwa menulis dapat mendukung penalaran matematika dan pemecahan masalah serta membantu siswa menginternalisasi karakteristik dari komunikasi yang efektif. David juga menyarankan kepada guru dengan membaca tulisan siswa sebagai bukti dari konklusi yang logis, pembenaran dari jawaban dan proses, dan menggunakan fakta untuk menjelaskan pemikiran mereka. Berpikir matematika dengan bahasa dapat mempengaruhi bagaimana suatu materi diajarkan dan dipelajari. Ketika mempelajari bahasa maka yang akan kita lakukan adalah berbicara, membaca, mendengarkan, menulis. Hal ini akan membuat kita membangun konsep yang akan menjadi dasar dari ide-ide lainnya sehingga kita dapat mengkomunikasikannya dengan pengertian. Dalam aktivitas menulis tentunya siswa terlebih dahulu akan berpikir mengenai apa isi tulisannya, hal ini siswa akan menggunakan kemampuan penalarannya kemudian siswa akan berpikir bagaimana cara mengkomunikasikan hasil penalarannya dengan tepat sehingga nantinya semua pembaca akan paham mengenai apa yang ia tulis. 736 KAJIAN LITERATUR A. Penalaran Menurut Lohman dan Lakin (2009) penalaran adalah pengeratan secara terpadu dengan daerah asal lainnya dari penemuan di psikologi. Penalaran dapat didefinisikan sebagai penggunaan berpikir secara logis untuk membuat kepekaan dari sebuah situasi atau ide. (sumber: www.learner.org). Artinya, ada proses koneksi antara ide/ situasi lama dan baru yang terimplementasi dalam berpikir logis. Penalaran matematis adalah kemampuan mengkritisi dimana memungkinan siswa untuk membuat penggunaan dari semua kemampuan matematika lainnya dengan pengembangan dari penalaran matematika. Dalam hal ini, siswa belajar bagaimana untuk mengevaluasi situasi, memilih strategi pemecahan masalah, menggambarkan konklusi secara logis, mengembangkan dan mendeskripsikan solusi, dan mengetahui bagaimana solusi mereka bisa diaplikasikan (NJMCF, 1996). Penalaran matematika memiliki 6 subkategori: mengembangkan notasi dan perbendaharaan kata, mengembangkan algoritma, menggeneralisasikan, menduga, memberikan alasan dan pembuktian, dan pengaksiomaan. (Thompson, Senk & Johnson, 2012:280) B. Komunikasi Matematis National Education Assosiation mengemukakan bahwa komunikasi merupakan mengartikulasikan pemikiran dan ide secara efektif menggunakan kemampuan komunikasi oral, tertulis, dan nonverbal dalam suatu variasi bentuk dan konteks, komunikasi juga dapat diartikan mendengar secara efektif untuk menguraikan makna, termasuk pengetahuan, nilai, sikap dan perhatian. Dalam pembelajaran matematika, komunikasi merupakan alat untuk proses mediasi antara subyek dan obyek, sedangkan komunikasi matematika merupakan suatu cara untuk mempelajari matematika dan mengembangkan keterampilan. (Santos & Semana ,2015:66). Artinya, komunikasi Prosiding Seminar Nasional Matematika dan Pendidikan Matematika. “Internalisasi Nilainilai Berpikir Matematis Dalam Peranannya di Era Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA)” merupakan bentuk artikulasi ide yang menjadi cara dalam mempelajari matematika. Komunikasi dalam menulis dapat secara khusus efisien dalam pengembangan pemahaman matematika (Santos & Semana, 2015:66). National Education Assosiation mengemukakan bahwa Komunikasi digunakan untuk suatu tujuan (co: menginformasikan, menginstruksi, memotivasi, dan meyakinan), Dalam penerapannya, komunikasi perlu menggunakan teknologi dan media yang banyak dan mengetahui bagaimana menaksir dampak dan efektivitas pemikiran. Salah satu hal yang perlu kita perhatikan dalam pembelajaran ialah, bagaimana komunikasi yang efektif dalam lingkungan yang beragam (termasuk multibahasa dan multikultural). Dalam pembelajaran matematika, siswa dikatakan memiliki kemampuan komunikasi matematika apabila, siswa mampu memenuhi tiga indikator, yakni: 1) mengartikulasikan ide dan pemikiran matematika menggunakan kemampuan komunikasi oral dan tertulis, menggunakan penalaran kuantitatif dan abstrak dengan memperhatikan ketelitian, mengkonstruksikan argumen aktif dan menganalisa penalaran lainnya 2) secara berpasangan dengan temannya mendengarkan hasil penalaran satu sama lain dengan efektif; 3) bekerja secara efisien dan secara bertanggung jawab dalam tim heterogen, mengartikulasi pemikiran dan ide matematika secara efektif, menggunakan kemampuan komunikasi oral, tertulis dan nonverbal, mendemonstrasikan bagaimana matematika digunakan untuk model masalah sosial. (NCTM & MAA, 2011) C. Aktivitas Writing to Learn Menulis menjadi aktivitas yang penting dalam penalaran dan komunikasi siswa. Menulis dapat diartikan sebagai tindakan umum yang mendukung siswa seperti menganalisis, menggabungkan fakta dan mensintesis informasi (Farrell dalam Lim & David, 2003). Menurut definisi lain, menulis adalah kemampuan untuk menulis teks yang efektif untuk tujuan dan pembaca yang berbeda. (Vicki,2009). Writing to learn adalah strategi dimana siswa bisa mengembangkan ide, kemampuan berpikir kritis dan kemampuan menulis (Robinson & Psarovarkas, 2013). Dapat disimpulkan bahwa menulis merupakan kegiatan penting bagi siswa dalam pengembangan ide dan kemampuan keterampilan berpikir. Menulis merupakan alat penilaian yang berharga. Russek (1998) menyatakan bahwa menulis digunakan untuk menilai sikap, kepercayaan, kemampuan matematika, dan kemampuan untuk mengekspresikan ide secara jelas. Menulis juga bisa digunakan sebagai refleksi siswa pada pekerjaan mereka sendiri, seperti dalam pembuatan portofolio. Proses menulis adalah refleksi dari proses kognitif, biasanya digunakan untuk menilai kemampuan pembelajaran yang lebih tinggi dan kemampuan berpikir kritis (sumber: web.csulb.edu). Artinya, menulis juga memiliki peran lain selain sebagai pengembangan kemampuan, yakni sebagai alat ukur kemampuan yang lebih tinggi. D. Penalaran dan Komunikasi dalam Writing to Learn Berdasarkan landasan teori yang telah dikemukakan sebelumnya, dapat dilihat hubungan erat antara penalaran, komunikasi dan writing to learn. Hubungan tersebut dapat digambarkan dalam dua arah. Kegiatan pembelajaran matematika tidak terlepas dari proses penalaran yang menjadi pusat kegiatannya. Hasil penalaran ini kemudian disampaikan melalui media komunikasi matematis dengan cara menulis. Ini merupakan bentuk hubungan dari arah pertama.Dari arah kedua, bisa dilihat hubungan ketiga komponen tersebut dengan Pendidikan Matematika Universitas Muhammadiyah Purworejo , Ruang Seminar UMP, Sabtu, 28 Mei 2016 737 cara memposisikan menulis sebagai alat penilaian dari pengekspresian ide matematika. Dimana, ide tersebut didapatkan dari proses pengkomunikasian dan penalaran . Penalaran Memerlukan media Sumber ide Komunikasi Dilakukan dengan cara Alat Penilaian Ide Writing to Learn Gambar 1. Bagan Hubungan Dua Arah Penalaran, komunikasi dan Writing to Learn Berdasarkan landasan teori, juga dapat disimpulkan, bahwa Writing to learn mendukung siswa dalam menganalisis, menggabungkan fakta dan mensintesis informasi yang selaras dengan proses penalaran yakni koneksi ide. Ide ini kemudian diartikulasikan dan dikembangkan dengan komunikasi dalam bentuk aktivitas writing to learn. masing komponen. Dari fungsi tersebut dapat disimpulkan bahwa terdapat pengembangan kemampuan komunikasi matematis dan penalaran dalam aktivitas writing to learn. KESIMPULAN Kegiatan penjelasan dalam konsep matematika dalam writing to learn secara langsung memberi kesempatan kepada siswa untuk mengembangkan kemampuan komunikasi matematis yang dimiliki melalui artikulasi ide dan pikiran yang kemudian dikembangkan menjadi model matematika. Sedangkan dalam kegiatan pengkonstruksian argumen, siswa melakukan kegiatan dengan bernalar. Hal ini menunjukkan bahwa kegiatan writing to learn juga memberikan kesempatan siswa mengembangkan kemampuan penalaran. REFERENSI Russek, Bernadette. 1998. Writing to learn mathematics. Journal Writing Across the Curriculum vol. 9: agustus 1998. 36-45. web.csulb.edu/divisions/aa/gwar/faculty/ documents/WritingtoLearnActivities. Writing to Learn Sebagai bentuk Komunikasi Mendukung Media Penalaran Gambar 2. Bagan Hubungan Fungsional Penalaran, Komunikasi dan Writing to Learn Lim, louis dan Pugalee, Dr. David K.. 2003. Using Journal Writing to Explore “They Communicate to Learn Mathematics and They Learn to Communicate Mathematically”: 2 Urquhart, Vicky. 2009. Using Writing in Mathematics to Deepen Student Learning. www.mcrel.org. . Writing to Learn. Strategies for Enganging for 21st Century Learner. 2013. 1. New Jersey Mathematics Curriculum Framework, 1996 New Jersey Mathematics Coalition. Kedua hubungan antara penalaran, komunikasi dan aktivitas writing to learn www.learner.org telah menjelaskan apa fungsi masingProsiding Seminar Nasional Matematika dan Pendidikan Matematika. “Internalisasi Nilai738 nilai Berpikir Matematis Dalam Peranannya di Era Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA)” Lohman, David F. dan Lakin, Joni M. 2009. Reasoning and Intelligence. New York: Cambridge University Press. National Education Association. Preparing 21st century students for global society: An educator‟s guide to the “Four Cs”. Santos, L & Semana, S. (2015). Developing mathematics written communication through expository writing supported by assessment strategies. Educational Study Mathematics, 88, 65-87. Thompson, D.R., Senk, L.S., & Johnson, G.J. (2012). Oppurtunities to learn reasoning and proof in high school mathematics textbooks. Journal for Research in Mathematics Education, 43, 253-295. National Council of Teachers of Mathematics & Mathematical Association of Amerika. (2011). 21st century skills map. Pendidikan Matematika Universitas Muhammadiyah Purworejo , Ruang Seminar UMP, Sabtu, 28 Mei 2016 739 MEDIA MINDMANAGER UNTUK MENINGKATKAN HASIL BELAJAR MATEMATIKA SISWA Novalinda Puspita Ayu Pendidikan Matematika, Program Pasca Sarjana Universitas Negeri Yogyakarta [email protected] Abstrak Media pembelajaran digunakan dalam rangka upaya meningkatkan mutu proses kegiatan belajar mengajar. Agar pembelajaran tidak lagi menggunakan metode konvensional. Namun ketika memilih media yang digunakan untuk kepentingan pengajaran, hendaknya disesuaikan dengan kebutuhan materi yang akan diajarkan. Ini dikarenakan banyaknya media yang dapat digunakan untuk memperoleh suatu pengetahuan. Media pembelajaran yang banyak digunakan saat ini adalah media pembelajaran berbasis komputer, salah satunya yang diperkenalkan dalam pendidikan adalah membuat peta pikir yaitu MindManager dengan tujuan untuk meningkatkan hasil belajar siswa. Penggunaan MindManager dalam proses belajar siswa khususnya dalam kegiatan mencatat akan meransang siswa secara individual untuk mengorganisasi informasi mengenai konsep tertentu secara terstruktur dan sistematis. Pola pencatatan ini membentuk skema (jejaring) informasi ke dalam struktur dua dimensi yang dapat mengakomodir bentuk keseluruhan dari suatu topik, kepentingan serta hubungan relatif antar masing-masing komponen dan mekanisme penghubungnya. Sehingga siswa dapat melihat gambaran mengenai konsep tertentu secara lebih utuh. Oleh karena itu, penggunaan media MindManager dalam proses pembelajaran matematika dikelas dapat meningkatkan hasil belajar siswa dengan berbagai macam keunggulan dan manfaat dari MindManager itu sendiri. Kata Kunci: Media pembelajaran matematika, Media Pembelajaran Berbasis Komputer, MindManager, Hasil Belajar Matematika. 1. PENDAHULUAN Salah satu masalah yang sedang dihadapi dalam dunia pendidikan saat ini adalah masalah lemahnya proses pembelajaran. Dalam proses pembelajaran, anak kurang didorong untuk mengembangkan kemampuan berpikir. Proses pembelajaran di dalam kelas diarahkan kepada kemampuan anak untuk menghafal informasi, otak anak dipaksa untuk mengingat dan menimbun berbagai informasi tanpa dituntut untuk memahami informasi yang diingatnya dan menghubungkannya dengan kehidupan sehari-hari. Akibatnya, ketika anak didik kita lulus dari sekolah, mereka pintar secara teoritis, tetapi mereka kurang dalam hal aplikasi.Ketika proses pembelajaran berlangsung, seseoang anak dapat memperoleh pengetahuannya dari berbagai macam proses. Dalam hal ini proses pembelajarannya dipengaruhi oleh bebergai 740 macam faktor pendukung lainnya, misalnya alat bantu belajar, bahan ajar, media dan lainlain. Peranan dari media pembelajaran sangatlah penting dalam proses mentransformasi ilmu pengetahuan yang dimiliki, sehingga pembelajaran menjadi lebih bermakna dan efisien. Jika dikaitkan dengan teknologi, untuk menciptakan suatu media dapat digunakan media yang berbasis komputer. Untuk penggunaan media pembelajaran dengan meciptakan peta pikir diperkenalkan software MindManager untuk menampilkan materi pelajaran untuk kemudian disampaikan kepada peserta didik. MindManager merupakan salah satu program yang mempunyai kelebihan yaitu mengatur informasi dan pola pikir dengan membentuk peta konsep, dapat memuat data berupa gambar, catatan atau teks, dapat di link ke program web dan powerpoint sehingga dapat Prosiding Seminar Nasional Matematika dan Pendidikan Matematika. “Internalisasi Nilainilai Berpikir Matematis Dalam Peranannya di Era Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA)” meningkatkan minat, motivasi siswa, dan dapat mengaktifkan siswa pada saat proses pembelajaran berlangsung. Penggunaan MindManager dalam proses belajar siswa khususnya dalam kegiatan mencatat akan merangsang siswa secara individual untuk mengorganisasi informasi mengenai konsep tertentu secara terstruktur dan sistematis. Pola pencatatan ini membentuk skema (jejaring) informasi ke dalam struktur dua dimensi yang dapat mengakomodir bentuk keseluruhan dari suatu topik, kepentingan serta hubungan relatif antar masing-masing komponen dan mekanisme penghubungnya. Sehingga siswa dapat melihat gambaran mengenai konsep tertentu secara lebih utuh. Ada beberapa penelitian yang telah membuktikan bahwa dengan menggunakan software MindManager akan dapat meningkatkan hasil belajar siswa, yaitu: a. Berdasarkan penelitian yang dilakukan Yooke Tjuparmah terhadap siswa kelas XI IPS 2 SMA Negeri 1 Banjar, Jawa Barat, diungkapkan bahwa: (1) Pengolaan konsep menggunakan software MindManager mendorong peningkatan pemahaman konsep siswa, (2) Pemahaman siswa setelah menggunakan software MindManager sudah cukup baik, hasil tespun menunjukkan bahwa adanya peningkatan hasil belajar pada mata pelajaran ekonomi setelah menggunakan software MindManager, (3) Penggunaan software MindManager dapat menjadi media yang tepat digunakan untuk mengelolah konsep dalam dalam ilmuilmu sosial. Namun penelitian ini direkomendasikan untuk dilakukan penelitian lebuh lanjut. b. Tardi mengungkapkan bahwa dampak penggunaan pendekatan kontekstual bermedia MindManager selama penelitian berjalan menunjukkan adanya peningkatan pemahaman materi kimia yang ditunjukkan perolehan hasil ulangan harian pra siklus, siklus I dan siklus II selalu mengalami perkembangan. Pada pra siklus nilai rata-rata 77,61 dengan ketuntatasan belajar 87,09 %, siklus I nilai rata-ratanya 78,77 dengan ketuntasan belajar 93,55 % dan pada siklus II nilai rata-ratanya 80,16 dengan ketuntasan belajar 96,77 % dengan menggunakan Kriteria Ketuntasan Minimal 75. Kenaikan nilai rata-rata ini menunjukkan daya serap cukup signifikan dan terjadi peningkatan prestasi belajar. Seperti kita ketahui bahwa mata pelajaran matematika marupakan mata pelajaran adaptif, rumit, dan terkadang dikatakan sulit bagi sebagian besar siswa, untuk itulah ada pemikiran untuk memberikan pembelajaran matematika melalui media pembelajaran MindManager. Hal ini didasarkan pada guru pada umumnya dalam pengajarannya masih menggunakan metode ceramah. Metode yang digunakan dalam pembelajaran kemungkinan salah satu penyebab kurangnya minat dan pemahaman siswa. Selain itu, pembelajaran yang masih belum terstandar yaitu pembelajaran dengan cara konvensional yang bersandar pada buku teks, modul, LKS menjadi penyebab kurangnya pemahaman siswas serta kurangnya minat dan pemahaman siswa pada pelajaran matematika. Siwa juga kesulitan menemukan asalnya rumus yang telah diberikan guru, kurang memahami penggunaan rumus tersebut karena selama ini mereka hanya menghafal saja, apalagi jika dikaitkan dengan kehidupan sehari-hari. Kesulitan yang dialami siswa dalam memecahkan masalah sebagian besar terletak pada ketidakpahaman siswa serta keterbatasan verbal yaitu kemampuan memahami soal berbentuk cerita dan kemampuan mengubah soal verbal menjadi model matematika. Oleh karena itu, melalui tulisan ini akan ditunjukan bahwa jika dalam peroses belajar mengajar digunakan media MindManager akan dapat mengatasi kesulitan-kesulitan yang dihadapi siswa serta dapat meningkatkan hasil belajar siswa terkait pelajaran matematika, ini karena media MindManager memiliki beberapa keunggulan diantaranya dapat memvisualisasikan peta (pikiran) untuk mengikat, mengatur, mengkomunikasikan ide dan informasi secara efektif serta menarik perhatian peserta didik. 1. KAJIAN LITERATUR A. Media Pembelajaran Menurut Azhar (2011:3) , Kata media berasal dari bahasa Latin medius yang secara harfiah berarti tengah, perantara atau Pendidikan Matematika Universitas Muhammadiyah Purworejo , Ruang Seminar UMP, Sabtu, 28 Mei 2016 741 pengantar. Dalam pengertian ini, media dalam proses belajar mengajar diartikan sebagai alatalat grafis, phootografis atau elektronis untuk menangkap, memproses dan menyusun informasi yang diterima baik berupa visual maupun verbal. Heinich dalam Azhar (2011:4) ,mengatakan bahwa istilah medium sebagai perantara antara yang mengantar informasi antara sumber dan penerima. Apabila media itu membawa pesan-pesan atau informasi yang bertujuan instruksional untuk mengandung maksud-maksud pengajaran maka media itu disebut media pembelajaran. Menurur Nana Sudjana dan Ahmad Rivai (2009:4-5) Dalam memilih media untuk kepentingan pengajaran sebaiknya memperhatikan kriteria-kriteria sebagai berikut: 1. Ketepatannya dengan tujuan pengajaran; artinya media pengajaran dipilih atas dasar tujuan tujuan instruksional yang telah ditetapkan. 2. Dukungan terhadap isi bahan pelajaran; artinya bahan pelajaran yang sifatnya fakta, prinsip konsep dan generalisasi sangat memerlukan bantuan media agar mudah dipahami siswa. 3. Kemudahan memperoleh media; artinya media yang diperlukan mudah diperoleh, setidak-tidaknya mudah dibuat oleh guru pada waktu mengajar. 4. Keterampilan guru dalam menggunakannya; apapun jenis media yang diperlukan syarat utamanya adalah guru dapat menggunakannya dalam proses pengajaran. 5. Tersedia waktu untuk menggunakannya; sehingga media tersebut dapat bermanfaat bagi siswa selama pengajaran berlangsung. 6. Sesuai dengan taraf berfikir siswa; memilih media untuk pendidikan dan pengajaran harus sesuai dengan taraf berfikir siswa, sehingga makna yang terkandung di dalamnya dapat dipahami oleh para siswa. Terdapat banyak cara atau media yang dapat digunakan untuk menuntut ilmu karena semuanya memiliki tujuan yang sama yakni untuk mendapatkan ilmu pengetahuan. Lebih khusus dapat dikatakan bahwa dalam pembelajaran dapat pula digunakan berbagai 742 media sebagai sumber untuk memperoleh ilmu pengetahuan. B. Media Pembelajaran Berbasis Komputer Pada saat ini, pemanfaaran teknologi komputer telah banyak memberikan kontribusi terhadap proses pembelajaran salah satunya adalah dengan penerapan pembelajaran berbasis komputer. Penggunaan komputer dalam pembelajaran memungkinkan berlangsungnya proses pembelajaran secara individual (individual learning) dengan menumbuhkan kemandirian dalam proses belajar, sehingga siswa akan mengalami proses yang jauh lebih bermakna dibanding dengan pembelajaran konvensional. Menurut Arsyad dalam Rusman (2012:128), adapun manfaat komputer untuk tujuan pendidikan, yaitu: a. Komputer dapat mengakomodasi siswa yang lamban menerima pelajaran karena ia dapat memberikan iklim yang lebih bersifat efektif dengan cara yang lebih individual, tidak pernah lupa, tidak pernah bosan, sangat sabar dalam menjalankan instruksi seperti yang diinginkan program yang digunakan. b. Komputer dapat merangsang siswa untuk mengerjakan latihan, melakukan kegiatan laboraturium atau simulasi karena tersedianya animasi grafik, warna dan musik yang dapat menambah realisme. c. Kendali berada di tangan siswa, sehingga tingkat kecepatan belajar siswa dapat disesuaikan dengan tingkat penguasaannya. Dengan kata lain, komputer dapat berinteraksi dengan siswa secara individual misalnya dengan bertanya atau menilai jawaban. d. Kemampuan merekan aktivitas selama menggunakan program pembelajaran, memberi kesempatan lebih baik untuk pembelajaran secara perorangan dan perkembangan setiap siswa selalu dapat dipantau. e. Dapat berhubungan dengan, dan mengendalikan peralatan lain seperti CD interaktif, vidio, dan lain-lain dengan program pengendali dengan komputer. Pada masa sekarang ini aplikasi-aplikasi pada komputer terus berkembang bahkan pemakai komputer atau user juga Prosiding Seminar Nasional Matematika dan Pendidikan Matematika. “Internalisasi Nilainilai Berpikir Matematis Dalam Peranannya di Era Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA)” dimungkinkan untuk dapat melakukan interaksi langsung dengan sumber informasi baik secara online maupun offline. Salah satu jenis produk aplikasi komputer sebagai langkah inovatif adalah pembelajaran berbasis komputer, baik itu berupa CAI, CBI, maupun e-learning. Dalam dunia pendidikan diperkenalkan software untuk membuat peta pikir yaitu MindManager. C. 1. Media MindManager Asal Media MindManager Konsep Mind Map ala Tony Buzan sedikit banyak membutuhkan kemampuan dan waktu untuk menggambar. Dan usaha ini tentunya memakan waktu yang tidak sedikit. Namun,tidak perlu kuatir akan hambatan ini karena telah hadir aplikasi MindManager yang akan membantu bekerja dengan kreatif namun dengan waktu yang relatif singkat. Menurut Jubilee Enterprise (2008:11), dengan penggunaan yang relatif mudah, MindManager ini akan membantu membuat peta pikiran yang interaktif dan terorganisir sehingga mampu menyampaikan ide serta informasi secara efektif, menarik dan mudah dipahami. Dengan kata lain bahwa software MindManager ada karena adanya Mind Map, kendala yang muncul pada saat membuat peta pikir berupa kemampuan dan waktu untuk menggambar maka dimunculkan MindManager untuk mempercepat proses pembuatan peta pikir dan menambah inovasi dalam pembuatannya. 2. Pengertian MindManager Berdasarkan (Anonim,2013) “Secara harfiah kata MindManager berasal dari penggabungan kata Mind yang berarti ”semangat; hati; ingatan” dan manager ”pengurus; pemimpin” . Berdasarkan makna harfiah tersebut maka dapat dikatakan bahwa MindManager bermakna sebagai pengurus (pengatur) pikiran. MindManager adalah sebuah software peta (pikiran) visual interaktif untuk mengikat, mengatur, dan mengkomunikasikan ide dan informasi secara efektif. Informasi disajikan dalam format peta sehingga sangat mudah untuk diatur, dimengerti dan dipanggil kembali). (Anonim,2013) Software ini menyediakan bentuk intuitif sebuah interface visual yang mampu mempercepat proses mengikat, mengatur, dan membagi ide dan informasi. 3. Penggunaan MindManager dalam Pembelajaran Penggunaan MindManager dalam proses belajar siswa khususnya dalam kegiatan mencatat akan meransang siswa secara individual untuk mengorganisasi informasi mengenai konsep tertentu secara terstruktur dan sistematis. Pola pencatatan ini membentuk skema (jejaring) informasi ke dalam struktur dua dimensi yang dapat mengakomodir bentuk keseluruhan dari suatu topik, kepentingan serta hubungan relatif antar masing-masing komponen dan mekanisme penghubungnya. Sehingga siswa dapat melihat gambaran mengenai konsep tertentu secara lebih utuh. Struktur informasi menggunakan software MindManager ini melibatkan beberapa komponen utama, yakni : 1) Central topic (Topik Sentral) merupakan tema utama atau judul peta pikiran yang akan dibuat. Langsung muncul secara otomastis ketika siswa membuat halaman peta baru. Bagian Central Topic ini mewakili tema/judul utama materi/konsep yang sedang dipelajari yang selanjutnya akan menurunkan secara otomatis topik-topik turunan secara terstruktur. 2) Main topics (Topik utama) merupakan ide mayor yang mewakili tema. Diturunkan dari Central Topic dan akan menyusun informasi secara otomatis searah dengan arah jarum jam. Berisi topik-topik utama yang mewakili tema utama. 3) Subtopics (sub topik) merupakan detail mengenai topik. Rincian lebih khusus dari hal-hal yang berhubungan dengan informasi pada Mind Topic. Subtopic ini secara otomatis menysusun informasi secara terstruktur dari arah atas menurun ke bawah. 4) Callout (balok kata-kata) merupakan informasi tambahan untuk topik yang spesifik atau keterhubungan tertentu. Pendidikan Matematika Universitas Muhammadiyah Purworejo , Ruang Seminar UMP, Sabtu, 28 Mei 2016 743 Berisi keterangan untuk memperjelas informasi. 5) Floating topic (topik pengembangan) merupakan topik yang berbeda namun masih memiliki keterhubungan. Berfungsi untuk mencatat informasi yang tidak terkait langsung dengan topik utama yang pencatatannya bila disatukan akan mempengaruhi keutuhan pemahaman konsep yang sedang dipelajari. Floating topic dapat dibuat dengan bebas dimanapun di area latar belakang peta utama. Selain informasi yang terstruktur secara alami, siswa dapat memahami suatu konsep tak hanya dengan melakukan pencatatan materi dalam bentuk kata-kata saja tetapi juga dapat melengkapi informasinya dengan simbol, gambar, arti emosional, dan warna dalam struktur logis yang memetakan persis seperti cara otak memprosesnya. Beberapa fasilitas yang dapat digunakan untuk hal ini dianataranya : 1) Boundary, informasi ditandai dengan sebuah bulatan sebagai kelompok atau menandakan kesimpulan tertentu. 2) Relationship, untuk menandai hubungan antara dua informasi atau lebih. 3) Library, berisi beragam simbol (icon), gambar (image) dan latar belakang (background) untuk peta Anda.Map Markers, berfungsi dalam pengaturan dan penggunaan penanda (markers) untuk pengkodean topik peta. 4) My Maps untuk menorganisasikan peta terpilih (favorit) dengan akses yang cepat. 5) Search untuk penelusuran peta dengan mengisikan teks yang spesifik. 6) Task Info untuk menandai informasi tugas atau pekerjaan pada topik. 7) Map Parts untuk menerapkan, mengorganisasikan, dan menciptakan struktur peta dengan menggunakan struktur topik yang telah disediakan, serta menghubungkannya ke RSS feeds dan pelayanan Web lainnya. 744 4. Manfaat Media MindManager Menurut (Sonnleitner Erik & Schauer Hannes,2003). Manfaat utama dari MindManager, yaitu: 1) Menangkap ide-ide; pemetaan secara grafis untuk pendokumentasian ide-ide. 2) Membuat pemetaan secara visual; menggambar hubungan-hubungan antara ide-ide, menambahkan penamaanpenamaan dan warna untuk menyorot informasi penting, mengelompokkan ideide yang sama dengan batas-batas dan memasukkan ikon-ikon serta gambar. 3) Menbuat presentasi; gunakan MindManager Presentation Mode atau mengekspor isi-isi pemetaan ke Microsoft Power Point. 4) Integrasi dengan Microsoft Office; memungkinkan impor dan ekspor data ke produk Microsoft. 5) Web-Ability; meng-emaikan pemetaan dan mempublikasikannya melalui HTML dan mengerkspor ke internet atau WWW. Sedangkan untuk kepentingan akademis, MindManager menurut (Wiwit Siswoutomo,2005) dapat digunakan untuk: 1) Memperbaiki proses membuat kursus online. 2) Membuat silabus dan mengomunikasikan silabus dengan jelas dan efektif. 3) Mempresentasikan konsep dengan peta pikiran. 4) Menagkap informasi dengan cepat. 5. Keunggulan Media MindManager Menurut (Anton Pranata, 2012), kekuatan nyata yang ada pada sofware MindManager adalah: 1) Meningkatkan produktivitas individu dan tim. 2) Mengakselerasi proyek dan perencanaan proses. 3) Mengembangkan kualitas berpikir yang strategis. 4) Untuk menginovasi gambaran (capture) dalam berpikir dan isi (content) dari peta pikiran. 5) Untuk mengorganisasi informasi dan ide. 6) Saling bertukar peta pikiran (sharing map) dengan sesama partner. 7) Kemudahan dalam membuat mapping dengan software MindManager. Prosiding Seminar Nasional Matematika dan Pendidikan Matematika. “Internalisasi Nilainilai Berpikir Matematis Dalam Peranannya di Era Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA)” 8) Menampilkan dan membangun ide yang besar. D. Hasil Belajar Mulyono Abdurrahman (2003:37-38) berpendapat bahwa hasil belajar merupakan kemampuan yang diperoleh anak setelah melalui kegiatan belajar. Belajar itu sendiri merupakan suatu proses dari seseorang yang berusaha untuk memperoleh suatu bentuk perubahan perilaku yang relatif menetap. Dalam kegiatan belajar yang terprogram dan terkontrol yang disebut kegiatan pembelajaran atau kegiatan instruksional, tujuan belajar ditetapkan lebih dahulu oleh guru. Siswa yang berhasil dalam belajar ialah yang berhasil mencapai tujuan-tujuan pembelajaran atau tujuan-tujuan instruksional. Sehinnga, dapat disimpulkan bahwa hasil belajar merupakan hal yang ditekankan setelah melalui proses belajar. Hasil belajar terdiri dari dua kata, yaknin “hasil” dan belajar”. Dalam kamus lengkap bahasa Indonesia, Poerwadarminta (2002:384),mengemukakan bahwa hasil adalah sesuatu yang diperoleh setelah berusaha. Sedangkan Sahabudin (2008:82), mendifinisikan belajar sebagai suatu proses kegiatan yang menimbulkan kelakuan baru atau mengubah kelakuan lama sehingga seseorang lebih mampu memecahkan dan menyesuaian diri terhadap situasi-situasi yang dihadapi dalam hidupnya. Perumusan aspek-aspek kemampuan yang menggambarkan output peserta didik yang dihasilkan dari proses pembelajaran dapat digolongkan ke dalam tiga klasifikasi berdasarkan taksonomi Bloom. Menurut Bloom dalam Rusman (2012:125), tujuan pembelajaran dapat diklasifikasikan ke dalam tiga ranah (domain), yaitu: a. Domain kognitif; berkenaan dengan kemampuan dan kecakapan-kecakapan intelektual berpikir; b. Domain afektif; berkenaan dengan sikap kemampuan dan penguasaan segi-segi emosional, yaitu perasaan, sikap dan nilai; c. Domain Psikomotor; berkenaan dengan suatu keterampilan-keterampilan atau gerakan-gerakan fisik. Terkait dengan pembelajaran matematika, hasil belajar Matematika merupakan proses hasil belajar yang diperoleh dari taraf kemampuan aktual yang bersifat terukur, beberapa penguasaan ilmu pengetahuan, keterampilan dan sikap yang dicapai peserta didik. Selain itu, menurut Ramli (2010:32) hasil belajar Matematika juga berhubungan dengan kreativitas dan minat belajar siswa dan beberapa faktor lain sehingga dapat menunjang pemahaman dan penyerapan bahan pelajaran yang dipelajari. Hasil belajar matematika merupakan hasil belajar yang dicapai oleh siswa setelah mengikuti proses belajar mengajar matematika dalam selang waktu tertentu. Hasil belajar juga dapat diartikan sebagai suatu tingkat keberhasilan yang dicapai pada akhir suatu kegiatan pembelajaran. Jadi hasil belajar matematika dapat diartikan sebagai hasil belajar yang dicapai oleh siswa setelah mengalami kegiatan belajar mengajar pada mata pelajaran matematika. 2. METODE PENELITIAN Pada tulisan ini, metode penelitian yng digunakan adalah mengkaji literatur dan studi kasus sehubungan penelitian dengan judul diatas Untuk ruang lingkup dalam tulisan ini adalah seluruh siswa baik itu siswa SD, SMP, ataupun SMA. Jadi, seluruh siswa dapat menggunakan software MindManager dalam proses pembelajaran matematika didalam kelas. Penggunaan media pembelajaran dengan software MindManager dapat menggunakan alat atau bahan yang sangat sederhana dan mdah didapatkan dimana saja dan sangat terjangkau, yaitu dengan menggunakan alat peraga sederhana dari karton. Definisi Operasional A. Penggunaan Media MindManager Penggunaan media MindManager yang dimaksud adalah media pembelajaran berbasis komputer dengan menggunakan software MindManager sebagai visualisasi peta (pikiran) untuk mengikat, mengatur, dan mengkomunikasikan ide dan informasi secara efektif. Informasi disajikan dalam format peta pikir. Untuk peningkatan hasil belajar, maka dapat digunakan media MindManager dalam kegiatan mencatat akan meransang siswa secara individual untuk mengorganisasi informasi mengenai konsep tertentu secara terstruktur dan sistematis. Dimana guru Pendidikan Matematika Universitas Muhammadiyah Purworejo , Ruang Seminar UMP, Sabtu, 28 Mei 2016 745 menyajikan materi dengan media pembelajaran yang telah dibuat menggunakan software MindManager. Penggunaan media MindManager dapat menggunakan alat peraga sederhana yang terbuat dari kertas karton. B. Hasil Belajar Siswa Menurut Rusman(2012:123), hasil belajar adalah sejumlah pengalaman yang diperoleh siswa yang mencakup ranah kognitif, afektif, dan psikomotorik. Belajar tidak hanya penguasaan konsep teori mata pelajaran saja, tetapi juga penguasaan kebiasaan, persepsi, kesenangan, minat-bakat, penyesuaian sosial, macam-macam keinginan, cita-cita, keinginan dan harapan.Senada dengan hal tersebut, Oemar Hamalik dalam Rusman (2012:123) menyatakan bahwa “hasil belajar itu dapat terlihat dari terjadinya perubahan dari persepsi dan perilaku, termasuk juga perbaikan perilaku”. Jadi yang dimaksud dengan hasil belajar di sini adalah perubahan persepsi atau perilaku siswa setelah mengikuti mata pelajaran matematika yang ditunjukkan siswa dengan jawaban terhadap evaluasi yang diberikan guru setelah proses pembelajaran. Dengan demikian secara operasional yang dimaksudkan dari tulisan ini adalah suatu kajian tentang pengaruh media MindManager terhadap hasil belajar matematika siswa. Hasil belajar siswa yang diukur pada penelitian ini adalah ranah kognitif siswa. Untuk hasil kesimpulan pada tulisan ini diperoleh dengan menyimpulkan hasil studi kasus penelitian yang relevan dengan kajian pada tulisan ini. 3. HASIL DAN PEMBAHASAN Dengan mengkaji penelitian yang relevan ( penelitian menggunakan software MindManager dalam pembelajaran ekonomi dan kimia) ,maka dapat diperoleh hasil bahwa dengan menggunakan software MindManager dalam proses pembelajaran matematika akan dapat meningkatkan hasil belajar matematika siswa. Berdasarkan yang dijelaskan sebelumnya pada literatur, bahwa hasil belajar yang diteliti bukan hanya berdasarkan tes hasil belajar siswa tetapi juga hasil belajar dalam bentuk perubahan tingkah laku. Ini 746 dikarenakan, dengan software MindManager siswa akan mudah dalam memahami materi yang diajarkan, dan paradigma bahwa pembelajaran matematika menakutkan dapat terpatahkan. Apabila dikaitkan dengan manfaat serta keunggulan dari software MindManager tersebut, maka pembelajaran dapat menjadi menarik dan menyenangkan, sebab pembelajaran konvensional yang sering digunakan dalam proses pembelajaran telah berubah menjadi pembelajaran yang kreatif dengan menggunakan media yang inovatif. Namun, dalam proses pembelajaran tidaklah selalu sesuai dengan harapan, ada beberapa faktor yang mempengaruhinya. Seperti telah diabahas diawal tulisan ini, banyak faktor yang menjadi kendala guru dalam menyampaikan materi ajar kepada anak didik secara tuntas. Ini merupakan masalah yang cukup sulit bagi seorang guru. Hal ini dikarenakan anak didik bukan hanya sebagai individu dengan segala keunikannya, mealinkan mereka juga berasal dari latar belakang yang berbeda-beda. Guru merupakan faktor ekstrinsik yang memiliki peranan yang sangat penting dalam proses belajar mengajar. Namun tak jarang keluhankeluhan seorang guru sering terlontar hanya karena masalah sukarnya mengelola kelas. Akibat kegagalan seorang guru dalam mengelola kelas, tujuan pengajarsn pun sukar tercapai. Mengaplikasikan beberapa prinsip pengelolaan kelas adalah upaya lain yang tidak bisa diabaikan.Media pembelajaran yang tepat dapat memberikan efek yang sangat bagus kepada siswa sehingga dapat meningkatkan hasil belajar siswa. Dan guru harus lebih peka terhadap kemampuan siswa yang diajarnya agar siswa yang cenderung memiliki hasil belajar yang rendah dapat ditangani dengan tepat sehingga siswa tersebut tidak mengalami kegagalan. Selain itu seorang guru harus lebih jeli dalam memilih media pembeajaran yang sesuai dengan materi dan kondisi anak didik yang dihadapinya. Media MindManager merupakan media pembelajaran yang memberikan guru suatu kemudahan dalam mevisualisasikan materi yang akan diajarkan, guru dapat dengan mudah menyampaikan materi tanpa harus mencatat secara manual di papan tulis sehingga tidak banyak waktu yang terbuang. Prosiding Seminar Nasional Matematika dan Pendidikan Matematika. “Internalisasi Nilainilai Berpikir Matematis Dalam Peranannya di Era Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA)” Model pembelajaran ini juga bisa dijadikan alat untuk menumbuhkan minat dan motivasi siswa di dalam kelas karena pada dasarnya media pembelajaran ini menuntut keaktifan siswa dalam proses belajar. 4. KESIMPULAN Berdasarkan hasil pemabahasan diatas, dapat disimpulkan bahwa penggunaan media MindManager pada pembelajaran matematika akan dapat memudahkan guru dalam penyampaian materi yang akan disajikan dan dapat meminimalisir efektivitas penggunaan waktu, sehingga siswa pun termotivasi untuk lebih aktif dalam kegiatan pembelajaran dan dapat mengkondtruk sendiri pemikiran mereka. Oleh karena itu, akan dapat meningkatkan hasil belajar matematika siswa. 5. REFERENSI Abdurrahman, M. (2003). Pendidikan Bagi Anak Berkesulitan Belajar (II ed.). Jakarta: Rineka Cipta. Anonim. (2012). Berfikir Sistematis dan Terstruktur Menggunakan Software MindManager. Retrieved 13, 2012, from http://cafeajar.wordpress.com/2009/0 9/24/berfikir-sistematik-danterstruktur-menggunakan-softwaremindmanager/. Tjuparmah, Y. (2009). Studi tentang Software Mindmanager untuk Meningkatkan Pemahaman Siswa terhadap Ilmu Sosial Laporan Hasil Penelitian Pusat Penelitian UPI (pp. 1). Bandung: UPI. Enterprise, J. (2008). Seni Berpikir Cerdas dengan MIndmanager 7 (1 ed.). Jakarta: Alex Media Komputindo Ramli. (2010). Kontribusi Kreativitas dan Minat Belajar Matematika terhadap Hasil Belajar Matematika Siswa Kelas VIII SMP Negeri 4 Makassar (pp. 32). Makassar: SMP Negeri 4 Makassar. Sahabuddin. (2007). Mangajar dan Belajar. Makassar: Badan Penerbit UNM. Siswoutomo, W. (2005). Teknik Jitu Mengelola Kreativitas Menggunakan MindManager. Jakarta: Elex Media Komputindo. Sudjana, N., & Rivai, A. (2009). Media Pengajaran (VII ed.). Bandung: Sinar Baru Algesindo. Sonnleitner, E., & Schauer, H. (2003). Computer Support for Enhancement of Creativity. Tardi. (2011). Peningkatan Prestasi Belajar Kimia Larutan Melalui Pendekatan Kontekstual Bermedia Mindjet Penelitian Tindakan Kelas Guru SMK Negeri 2 Wonogiri (pp. 1). Wonogiri: SMK Negeri 2 Wonogiri. Poerwadarminta. (Ed.) (2002) Kamus Umum Bahasa Indonesia (XVII ed.). Jakarta: Balai Pustaka. Pranata, A. (2012). Benefit Mapping dengan MindManager. Retrieved 13 Desember, 2012, from http://finance.dir.groups.yahoo.com/g roup/TheProfec/message/25806 Pendidikan Matematika Universitas Muhammadiyah Purworejo , Ruang Seminar UMP, Sabtu, 28 Mei 2016 747 PENGEMBANGAN MEDIA PERMAINAN BALOK PECAHAN DI KELAS IV SEKOLAH DASAR Dwi Ardi Meylana1), Santhy Hawanti2), Sony Irianto3) 1 FKIP, Universitas Negeri Yogyakarta [email protected] 2 FKIP, Universitas Muhammadiyah Purwokerto [email protected] 3 FKIP, Universitas Muhammadiyah Purwokerto [email protected] Abstrak Penggunaan media dalam pembelajaran matematika dapat membantu siswa memahami materi pelajaran. Penelitian ini menggunakan pendekatan penelitian dan pengembangan (Research and Development). Tujuan penelitian ini untuk mengembangkan media permainan balok pecahan dalam pembelajaran matematika di sekolah dasar, mengetahui kelayakan media permainan balok pecahan, mengetahui pengaruh media permainan balok pecahan terhadap prestasi belajar matematika, dan mengetahui respon guru dan siswa terhadap media permainan balok pecahan. Tahapan penelitian dan pengembangan ini mengacu pada model pengembangan media menurut Susilana dan Riyana (2011: 28). Data diperoleh melalui teknik tes berupa pretest dan posttest dan nontes berupa angket. Eksperimen dalam penelitian ini dilakukan pada skala terbatas yaitu di kelas IV di salah satu SD UPK Purwokerto Selatan dengan desain eksperimen the true control group design. Hasil penelitian menunjukkan bahwa media permainan balok pecahan dapat dikembangkan lebih efektif untuk pembelajaran matematika materi pecahan di sekolah dasar. Hal tersebut dibuktikan dengan rata-rata hasil validasi ahli yaitu 4,35 yang menunjukkan bahwa media permainan balok pecahan layak digunakan dalam proses pembelajaran. Hasil penelitian juga menunjukkan bahwa terdapat pengaruh media permainan balok pecahan terhadap prestasi belajar matematika materi pecahan. Hasil respon guru dan siswa sangat baik dengan rata-rata respon guru 4,7 dan respon siswa 3,51. Kata Kunci: matematika, materi pecahan, media pembelajaran, permainan balok pecahan PENDAHULUAN Pembelajaran matematika merupakan kegiatan belajar yang membutuhkan daya nalar dan keterampilan dari siswa. Kemampuan matematika siswa di Indonesia masih tergolong rendah dibandingkan dengan negara lain. Hal ini didukung oleh hasil Programme for International Student Assessment (PISA) tahun 2012 yang menunjukkan skor rata-rata matematika atau mean mathematics score dari 64 negara. Pada hasil tersebut, Indonesia memperoleh rata-rata paling rendah setelah Peru. Observasi awal di salah satu Sekolah Dasar (SD) di Unit Pendidikan Kecamatan (UPK) Purwokerto Selatan Kabupaten Banyumas menunjukkan bahwa penggunaan media pembelajaran pada 748 pembelajaran matematika di sekolah masih kurang optimal. Pembelajaran masih bersifat konvensional, yaitu masih berpusat pada guru (teacher centered) dan belum terciptanya pembelajaran yang menyenangkan bagi siswa melalui penggunaan media. Kondisi ini menyebabkan siswa merasa cepat jenuh. Dilihat dari sikap siswa selama mengikuti pembelajaran, beberapa dari mereka kurang memperhatikan penjelasan guru, kurang aktif, dan belum melaksanakan instruksi guru dengan baik. Pembelajaran matematika pada dasarnya harus melalui tahapan-tahapan yang urut. Tim Direktorat Pembinaan Sekolah Dasar (2011: 1) menyatakan tahapan aktivitas penguasaan Prosiding Seminar Nasional Matematika dan Pendidikan Matematika. “Internalisasi Nilainilai Berpikir Matematis Dalam Peranannya di Era Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA)” materi pelajaran matematika yaitu penanaman konsep, pemahaman konsep, pembinaan keterampilan, dan penerapan konsep. Untuk menanamkan konsep kepada siswa, guru dapat menggunakan alat peraga yang konkret. Penggunaan alat peraga mulai dikurangi pada tahap pemahaman konsep. Tahap selanjutnya adalah pembinaan keterampilan untuk mengembangkan keterampilan siswa dalam mengoperasikan konsep yang telah dipelajarinya. Dalam pembinaan keterampilan, guru dapat memberikan suatu simulasi atau permainan agar siswa memperoleh pengalaman baru dan termotivasi dalam proses pembelajaran. Menurut Neville dkk (2005: 171-172) permainan menyediakan pengalaman relevan dan bermakna yang memungkinkan anak-anak menyelenggarakan otonomi dan bertanggung jawab atas pembelajaran mereka sendiri. Dengan penjelasan tersebut, permainan memiliki peran penting dalam memberikan kesan yang menarik dalam proses pembelajaran. Setelah tahap pembinaan keterampilan, siswa dapat menerapkan konsep yang sudah dipelajarinya pada soal cerita maupun dalam persoalan yang dijumpainya sehari-hari. Hasil wawancara dengan salah satu guru kelas IV SD (Guru R) di UPK Purwokerto Selatan terkait penggunaan media pembelajaran matematika masih sangat sederhana dan kurang menarik perhatian siswa. Guru R juga menjelaskan bahwa siswa masih merasa kesulitan pada mata pelajaran matematika materi pecahan. Lebih lanjut dijelaskan bahwa media permainan kartu domino pecahan yang pernah digunakan dalam pembelajaran masih belum mampu dilalui dengan baik oleh siswa. Berdasarkan hasil wawancara tersebut, penulis melakukan evaluasi bersama guru terhadap media kartu domino pecahan yang pernah digunakan dengan mengacu pada kriteria evaluasi media menurut Susilana dan Riyana (2011: 227). Beberapa kriterianya meliputi kesesuaian media dengan tujuan pembelajaran, ketersediaan waktu penggunaannya, dan kemudahan memperoleh media. Hasil evaluasi menunjukkan bahwa masih terdapat kekurangan pada media kartu domino pecahan, diantaranya media tidak menggunakan beragam warna untuk menarik perhatian siswa, kurang awet karena bahan medianya terbuat dari kertas, jumlah soal terbatas hanya sampai dua buah, dan tidak tersedia lembar petunjuk penggunaan, baik untuk pembelajaran konsep maupun permainannya. Dari hasil evaluasi tersebut, penulis bermaksud mengembangkan media permainan kartu domino menjadi media permainan balok pecahan. Pengembangan didasarkan pada konsep belajar dan bermain melalui learning by doing maupun learning by playing sehingga dapat membuat siswa lebih bersemangat dalam belajar dan bisa memahami suatu materi dengan baik. Ada beberapa penelitian yang relevan dengan penelitian yang dilakukan oleh penulis. Penelitian yang diperoleh dijadikan pula pertimbangan oleh penulis dalam melakukan penelitian. Penelitian yang dimaksud dilakukan oleh Bainuddin Yani tahun 2009 tentang “Pembelajaran Pecahan Di Kelas III SD melalui Model Pembelajaran Kooperatif dan Metode Permainan”. Dalam penelitiannya, siswa yang diajarkan dengan menggunakan model pembelajaran kooperatif dan metode permainan berupa media model kartu domino memperoleh prestasi belajar yang lebih baik daripada siswa yang diajarkan dengan model pembelajaran kooperatif saja. Penelitian lainnya dilakukan oleh Budiman tahun 2013 tentang “Pembelajaran Pecahan Di Kelas III SD melalui Pendekatan Kontekstual dan Metode Permainan”. Hasil penelitiannya menunjukkan bahwa proses pembelajaran menggunakan pendekatan kontekstual dan metode permainan memberikan efek positif terhadap pemahaman pecahan sederhana dan perbandingan dua Pendidikan Matematika Universitas Muhammadiyah Purworejo , Ruang Seminar UMP, Sabtu, 28 Mei 2016 749 pecahan. Hasil analisis datanya juga menunjukkan bahwa siswa yang diajarkan menggunakan pendekatan kontekstual dan metode permainan melalui media model kartu domino memperoleh prestasi belajar yang baik daripada siswa yang diajarkan dengan metode konvensional. Dari penjelasan di atas, rumusan masalah pada penelitian ini meliputi: bagaimana bentuk pengembangan media permainan balok pecahan dalam mengembangkan keterampilan mengoperasikan pecahan? bagaimana kelayakan media permainan balok pecahan dalam mengembangkan keterampilan mengoperasikan pecahan? bagaimana pengaruh media permainan balok pecahan terhadap prestasi belajar matematika? bagaimana respon guru terhadap media permainan balok pecahan dalam mengembangkan keterampilan mengoperasikan pecahan? dan bagaimana respon siswa terhadap media permainan balok pecahan dalam mengembangkan keterampilan mengoperasikan pecahan? Tujuan dilakukannya penelitian ini antara lain untuk mengetahui bentuk pengembangan media permainan balok pecahan dalam mengembangkan keterampilan mengoperasikan pecahan, media permainan balok pecahan layak digunakan dalam mengembangkan keterampilan mengoperasikan pecahan, terdapat pengaruh media permainan balok pecahan terhadap prestasi belajar matematika, dan respon guru dan siswa baik terhadap media permainan balok pecahan dalam mengembangkan keterampilan mengoperasikan pecahan. Hipotesis penelitiannya meliputi media permainan balok pecahan dapat dikembangkan dalam pembelajaran matematika materi pecahan, pengembangan media permainan balok pecahan layak digunakan dalam pembelajaran matematika materi pecahan, prestasi belajar siswa meningkat setelah menggunakan media permainan balok 750 pecahan, respon guru dan siswa baik terhadap penggunaan media permainan balok pecahan pada pembelajaran matematika materi pecahan. METODE PENELITIAN Penelitian ini termasuk ke dalam jenis penelitian dan pengembangan atau Research and Development (R&D) karena penulis melakukan penelitian terhadap media kartu domino pecahan dan mengembangkan media permainan balok pecahan untuk meningkatkan keterampilan siswa kelas IV SD pada materi pecahan. Sebelum proses penelitian dilakukan, penulis melakukan ujicoba 10 soal untuk menganalisis instrumen tesnya, meliputi validitas, reliabilitas, daya pembeda, dan tingkat kesukaran. Ujicoba tersebut dilakukan di salah satu kelas IV B di UPK Sokaraja. Setelah terpilih lima buah soal yang akan digunakan untuk pretest dan posttest, penulis menentukan kelas yang berperan sebagai kelas kontrol dan eksperimen. Ujicoba media permainan balok pecahan dilakukan pada siswa kelas IV di salah satu SD di UPK Purwokerto Selatan. Kelas tersebut menjadi kelas eksperimen sedangkan untuk kelas kontrolnya dilangsungkan di salah satu kelas IV A di UPK Sokaraja. Teknik pengumpulan data bertujuan untuk mengumpulkan informasi yang disajikan dalam data-data pendukung penelitian. Teknik pengumpulan data pada penelitian ini melalui non-tes dan tes. Teknik non-tes meliputi pemberian angket kepada validator ahli, guru, dan siswa. Angket validasi meliputi angket validator ahli media, materi, dan bahasa. Pada penelitian ini, skala penelitian yang digunakan adalah 1 sampai 5 dimana 1 sebagai skor terendah dan 5 sebagai skor tertinggi. Penentuan rentang dapat diketahui melalui rumus berikut (Riduwan dan Akdon, 2009: 36). Rentang Skala = skor max – min Prosiding Seminar Nasional Matematika dan Pendidikan Matematika. “Internalisasi Nilainilai Berpikir Matematis Dalam Peranannya di Era Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA)” jumlah kelas = 5 – 1 = 4 = 0,8 5 5 Berdasarkan penentuan rentang di atas diperoleh rentang 0,8 sehingga kriteria respon guru yang digunakan dapat dilihat pada rubrik penilaian berikut (Mundir, 2013: 51). Tabel 1. Rubrik Penilaian Non-Tes Nilai Rata-Rata 4,2 ≤ Kriteria Sangat Baik ≤5,0 Baik 3,4 ≤ < 4,2 Cukup Baik 2,6 ≤ < 3,4 Tidak Baik 1,8 ≤ < 2,6 Sangat Tidak Baik 1,0 ≤ < 1,8 Teknik tes yang digunakan meliputi pretest dan posttest. Pretest diberikan sebelum berlangsungnya permainan balok pecahan sedangkan posttest diberikan setelah permainan dilangsungkan. Pada teknik pengumpulan data non-tes, penulis menggunakan angket untuk memperoleh beberapa informasi. Angket diberikan kepada validator ahli, guru, dan siswa. Angket validator ahli diberikan untuk memperoleh masukan dalam merevisi media yang dikembangkan sebelum diujicobakan. Angket respon guru dan siswa diberikan setelah ujicoba berlangsung di kelas eksperimen. Angket respon guru dan siswa berfungsi untuk mengetahui tanggapan mereka terhadap media permainan balok pecahan. Tes yang meliputi pretest dan posttest diberikan untuk siswa di kelas kontrol dan eksperimen. Soal posttest yang dibuat tidak jauh berbeda dari soal pretest untuk kedua kelas. Hasil pretest kedua kelas digunakan untuk uji homogenitas dan normalitas data sedangkan hasil posttest kedua kelas digunakan untuk uji normalitas data. Untuk menguji hipotesis yang telah dibuat, penulis membandingkan hasil posttest kedua kelas menggunakan independent sample t-test. HASIL DAN PEMBAHASAN Pengembangan yang dilakukan oleh penulis pada awalnya memperhatikan beberapa kekurangan dari media permainan kartu domino pecahan yang pernah digunakan oleh Guru R. Neville dkk (2005: 23) menyebutkan bahwa permainan adalah motivator yang penuh daya, mendorong anak menjadi kreatif dan mengembangkan gagasan, pemahaman, dan bahasa mereka. Dari penjelasan tersebut, tujuan pengembangan yang dilakukan adalah untuk meningkatkan pemahaman dan keterampilan siswa mengoperasikan pecahan. Setelah dilakukan penelitian dan pengembangan, dapat diketahui kembali bahwa terdapat kesamaan dari penelitian lain yang relevan dengan penelitian penulis. Pada hasil identifikasi awal, metode yang digunakan dalam pembelajaran matematika khususnya materi pecahan masih konvensional. Perbedaan dari penelitian lain yang relevan adalah pada media yang digunakan. Untuk meningkatkan kualitas proses dan hasil pembelajaran, kedua penelitian lain yang relevan lebih memilih menggunakan media permainan kartu domino pecahan sedangkan penulis menggunakan media permainan balok pecahan. Adapun hasil dan pembahasan dari penelitian dan pengembangan yang dilakukan penulis sebagai berikut. a. Bentuk Pengembangan Media Pengembangan media yang dilakukan oleh penulis adalah media permainan kartu domino pecahan menjadi balok pecahan. Silvestre dkk (2013: 309) menjelaskan Pendidikan Matematika Universitas Muhammadiyah Purworejo , Ruang Seminar UMP, Sabtu, 28 Mei 2016 751 bahwa permainan domino terdiri dari 28 kartu dengan masing-masing kartu dibagi menjadi dua bagian yang sama dan dengan kombinasi yang berbeda dari bilangan bulat 0 sampai 6. Pada media permainan kartu domino pecahan, dua bagian yang ada di setiap kartunya berisi soal maupun jawaban tentang materi pecahan. Bentuk pengembangan yang dilakukan oleh penulis pada awalnya memperhatikan beberapa kekurangan dari media permainan kartu domino pecahan yang pernah digunakan oleh Guru R. Pengembangannya meliputi media tidak menggunakan beragam warna untuk menarik perhatian siswa, bahan kurang awet karena terbuat dari kertas, jumlah soal terbatas sampai dua buah, dan tidak tersedia lembar petunjuk penggunaan. Dari hasil evaluasi tersebut, penulis telah mengembangkan media permainan balok pecahan untuk meningkatkan keterampilan siswa mengoperasikan pecahan. Pengembangannya meliputi bentuk media yang diubah dari dua dimensi menjadi tiga dimensi sehingga berbentuk balok, jumlah soal pada setiap balok dapat berjumlah tiga buah, penggunaan warna balok dan tulisan dibuat lebih beragam agar lebih menarik, jumlah balok tidak sebanyak jumlah kartu pada permainan kartu domino pecahan, dan tersedianya lembar petunjuk pembelajaran konsep dan permainan. Dengan adanya pengembangan ini diharapkan siswa dapat senang dan aktif dalam pembelajaran matematika materi pecahan. Seperti yang dijelaskan oleh Dryden & Vos (2000) dalam (Darmansyah, 2010: 11) bahwa semangat belajar muncul ketika suasana begitu menyenangkan dan belajar akan efektif bila seseorang dalam keadaan gembira dalam belajar. Pengembangan ini juga telah disesuaikan dengan karakteristik siswa kelas tinggi seperti yang dijelaskan oleh Djamarah (2008: 124-125) bahwa siswa pada masa 752 ini gemar membentuk kelompok sebaya dan bermain bersama-sama. b. Kelayakan Media Permainan Balok Pecahan Kelayakan media diperoleh setelah berlangsungnya proses validasi. Selama proses validasi, penulis telah melakukan revisi atau perbaikan atas saran tiga validator ahli. Pada validasi media, penulis telah mengganti bahan media dari kertas karton menjadi kayu. Selain lebih awet, media balok berbahan kayu lebih lebih efektif dan efisien daripada menggunakan kertas karton. Perbaikan berikutnya adalah letak sisi putih yang dijodohkan diletakkan pada bagian luar agar dapat dilihat dengan mudah dan semua siswa yang bermain dapat mengecek kebenaran jawabannya. Pada aspek kegrafisan, tulisan soal dibuat lebih besar dengan beragam warna. Adapun produk media balok pecahan hasil validasi dapat dilihat pada gambar 1. . Gambar 1. Produk Media Hasil Validasi Pada validasi materi, penulis telah menyediakan petunjuk pembelajaran konsep dan permainan balok pecahan. Perbaikan pada validasi materi adalah Prosiding Seminar Nasional Matematika dan Pendidikan Matematika. “Internalisasi Nilainilai Berpikir Matematis Dalam Peranannya di Era Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA)” gambar lembar petunjuk pembelajaran konsep harus lebih menarik dan teratur. Kemudian pada validasi bahasa, perbaikan yang dilakukan adalah pemberian tanda bold atau italic untuk kata-kata yang penting pada lembar petunjuk yang dibuat. Petunjuk pembelajaran konsep dan permainan balok pecahan dapat dilihat pada gambar 2 dan gambar 3. Gambar 3. Petunjuk Permainan Balok Pecahan Pada proses validasi, setiap validator memberikan penilaiannya terkait aspekaspek yang ada pada angket validator ahli. Beberapa aspek dan penilaiannya dapat dilihat pada tabel 2. Tabel 2. Hasil Penilaian Validator Ahli Gambar 2. Petunjuk Pembelajaran Konsep Pecahan Petunjuk pembelajaran konsep pecahan bertujuan untuk membantu siswa mengingat kembali konsep pecahan yang pernah dipelajarinya. Setelah selesai menggunakan petunjuk pembelajaran konsep, siswa dapat melangsungkan permainan balok pecahan secara kelompok dengan mengacu petunjuk permainan pada gambar 3. Rata- Kriteria Rata Sangat 5 Valid No. Aspek 1. Judul Media 2. Format 3. Bermanfaat (validasi media 4,5 dan materi) Sangat Valid 4. Kegrafikaan 4 Valid 5. Konsep 4 Valid 6. Cakupan Materi 4 Valid 7. Bahasa Petunjuk 3,8 Valid 5 Sangat Valid Dari tabel di atas dapat diketahui Pendidikan Matematika Universitas Muhammadiyah Purworejo , Ruang Seminar UMP, Sabtu, 28 Mei 2016 753 bahwa seluruh aspek sudah valid. Rata-rata total untuk keseluruhan aspek yaitu 4,35. Menurut Mundir (2013: 51) kriteria untuk skor rata-rata total antara 4,2 sampai 5,0 adalah sangat valid dan layak digunakan dalam proses pembelajaran. c. Pengaruh Media terhadap Prestasi Belajar Matematika Media yang telah dinyatakan valid selanjutnya diujicobakan pada proses pembelajaran. Desain penelitian yang digunakan untuk ujicoba adalah the true control group design. Tayibnapis (2008: 88) telah menjelaskan bahwa pada desain ini terdiri dari dua kelompok, satu kelompok diberi Program X atau perlakuan dan satu kelompok tidak. Pada penelitian ini penulis menggunakan dua kelas, yaitu kelas kontrol dan eksperimen. Kedua kelas diberikan pretest dan posttest dengan tipe soal yang sama. Pengujian yang pertama kali dilakukan adalah uji homogenitas dan normalitas data menggunakan data hasil pretest. Hasil yang diperoleh adalah kedua kelas dalam kondisi awal yang sama atau homogen dan berdistribusi normal. Setelah penelitian selesai dilakukan, uji normalitas data berikutnya menggunakan data hasil posttest. Hasilnya menunjukkan bahwa data posttest kedua kelas berdistribusi normal. Setelah diketahui bahwa kedua kelas homogen dan berdistribusi normal, selanjutnya dilakukan uji hipotesis dengan membandingkan hasil posttest kedua kelas menggunakan independent sample t-test. Pengujian dilakukan menggunakan Statistical Product and Service Solutions (SPSS). Tabel 3. Independent Sample T-test Sig. (2tailed) Equal 754 F Sig. t ,267 ,607 2,127 variances assumed Equal variances not assumed 2,128 61,908 ,037 Priyatno (2012: 24) menjelaskan bahwa dalam pengambilan keputusan berdasarkan signifikansi apabila signifikansi lebih dari 0,05 maka Ho diterima sedangkan kurang dari 0,05 maka Ho ditolak. Dari tabel 3 diperoleh nilai sig.(2-tailed) adalah 0,037. Hasil tersebut lebih kecil dari 0,05 sehingga Ho ditolak atau terdapat pengaruh media permainan balok pecahan terhadap prestasi belajar matematika. Selain mengetahui adanya pengaruh dari media permainan balok pecahan terhadap prestasi belajar matematika, ratarata hasil posttest yang diperoleh dari kedua kelas menunjukkan bahwa kelas eksperimen memiliki skor rata-rata yang lebih tinggi daripada kelas kontrol. Tayibnapis (2008: 82) menjelaskan bahwa apabila pada akhir program nilai posttest kelas eksperimen lebih baik secara signifikan daripada kelas kontrol, maka dapat dikatakan perbedaan tersebut sebagai akibat dari program X. Berdasarkan pendapat tersebut, skor posttest untuk kelas eksperimen lebih baik karena adanya pengaruh dari media permainan balok pecahan. Berbeda dengan kelas kontrol yang tidak mendapat perlakuan, skor posttest yang diperoleh lebih rendah. d. Respon Guru Respon guru diperoleh setelah dilakukan ujicoba media dalam proses pembelajaran. Respon guru bertujuan sebagai data pendukung tentang tanggapan terhadap media permainan balok pecahan. Tabel berikut menunjukkan skor dari setiap nomor pada angket respon guru. df 62 ,037 Prosiding Seminar Nasional Matematika dan Pendidikan Matematika. “Internalisasi Nilainilai Berpikir Matematis Dalam Peranannya di Era Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA)” Tabel 4. Hasil Angket Respon Guru No. 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 Skor 5 5 5 4 4 4 5 5 5 5 Skor rata-rata yang diperoleh dari 10 aspek yang dinilai yaitu 4,7. Mundir (2013: 51) telah menentukan rentang skor untuk pengklasifikasian kriteria angket respon guru. Dari klasifikasi yang ada, kriteria yang diperoleh untuk skor rata-rata antara 4,2 sampai 5,0 adalah sangat baik. Mengacu pada ketentuan tersebut, respon guru dalam penelitian ini adalah sangat baik terhadap penggunaan media permainan balok pecahan dalam pembelajaran matematika materi pecahan. e. Respon Siswa Respon siswa diperoleh setelah siswa menyelesaikan proses pembelajaran menggunakan media permainan balok pecahan. Respon siswa berfungsi untuk memperoleh data tentang tanggapan siswa terhadap media permainan balok pecahan yang diterapkan dalam pembelajaran. Tabel 5. Hasil Angket Respon Siswa Kriteria Jumlah Siswa Sangat Baik 25 Baik 6 Tidak Baik - Sangat Tidak Baik - Dari tabel 5 dapat diketahui jumlah siswa yang telah memberikan tanggapannya terhadap penggunaan media permainan balok pecahan. Rata-rata akhir untuk empat kriteria respon siswa yaitu 3,51. Mengacu pada pengklasifikasian kriteria menurut Mundir (2013: 51), respon siswa terhadap penggunaan media permainan balok pecahan secara keseluruhan dinyatakan sangat baik. KESIMPULAN Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan maka dapat disimpulkan bahwa: a. Bentuk pengembangan media permainan balok pecahan merupakan pengembangan dari media permainan kartu domino pecahan. Pengembangan dilakukan karena terdapat beberapa kekurangan dari media awal yang digunakan oleh Guru R. Bentuk pengembangan telah disesuaikan dengan kebutuhan dan karakteristik siswa, tahapan pembinaan keterampilan, dan indikator pada materi pecahan. Bentuk pengembangan meliputi perubahan bentuk awal, bahan, warna, jumlah balok, ketersediaan lembar petunjuk pembelajaran konsep dan petunjuk permainan. b. Kelayakan media permainan balok pecahan diperoleh dari hasil analisis angket validasi ahli. Angket diberikan kepada validator ahli media, materi, dan bahasa. Setelah dianalisis, diperoleh rata-rata total untuk keseluruhan aspek yaitu 4,35. Dari hasil tersebut, media permainan balok pecahan dinyatakan layak digunakan dalam proses pembelajaran. c. Terdapat pengaruh media permainan balok pecahan terhadap prestasi belajar matematika. Dari hasil uji hipotesis menggunakan independent sample t-test menunjukkan bahwa signifikansi yang diperoleh adalah 0,037. Hasil tersebut lebih kecil dari 0,05 sehingga Ho ditolak atau terdapat pengaruh media permainan balok pecahan terhadap prestasi belajar matematika. d. Respon guru terhadap media permainan balok pecahan yang digunakan dalam proses pembelajaran adalah sangat baik. Hal ini ditandai dengan rata-rata angket respon guru yang diperoleh dari 10 aspek pernyataan yaitu 4,7. e. Respon siswa sangat baik terhadap penggunaan media permainan balok pecahan dalam proses pembelajaran. Hal Pendidikan Matematika Universitas Muhammadiyah Purworejo , Ruang Seminar UMP, Sabtu, 28 Mei 2016 755 ini terbukti dari hasil rata-rata akhir respon siswa adalah 3,51. REFERENSI Budiman. (2013). Pembelajaran Pecahan di Kelas III SD melalui Pendekatan Kontekstual dan Metode Permainan. Jurnal Pendidikan Serambi Ilmu. 14 (2), 77. Darmansyah. (2010). Strategi Pembelajaran Menyenangkan dengan Humor. Jakarta: PT Bumi Aksara. Djamarah, Syaiful B. (2008). Psikologi Belajar. Jakarta: Rineka Cipta. Mundir. (2013). Statistik Pendidikan: Pengantar Analisis Data untuk Penulisan Skripsi dan Tesis. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Neville, dkk. (2005). Mengajar Lewat Permainan Pemikiran Para Guru dan Praktik di Kelas. Jakarta: PT Grasindo Anggota Ikapi. PISA 2012 Results in Focus: What 15-yearolds know and what they can do with what they know. OECD. 756 Priyatno, D. (2012). Belajar Praktis Analisis Parametrik dan Non Parametrik dengan SPSS. Yogyakarta: Gava Media. Riduwan dan Akdon. (2009). Rumus dan Data dalam Analisis Statistika. Bandung: Alfabeta. Silvestre, dkk. (2013). The Domino Game and The Euler Cycle. International Journal of Computer Science and Information Technology & Security, 3 (5), 309. Susilana, Rudi dan Cepi Riyana. (2011). Media Pembelajaran. Bandung: CV Wacana Prima. Tayibnapis, Farida Y. (2008). Evaluasi Program dan Instrumen Evaluasi untuk Program Pendidikan dan Penelitian. Jakarta: Rineka Cipta. Tim Direktorat Pembinaan Sekolah Dasar. (2011). Pedoman Pembelajaran Matematika Sekolah Dasar. Jakarta: Kemendiknas. Yani, Bainuddin. (2009). Pembelajaran Pecahan di Kelas III SD melalui Model Pembelajaran Kooperatif dan Metode Permainan. Jurnal Pencerahan, 6 (1), 54. Prosiding Seminar Nasional Matematika dan Pendidikan Matematika. “Internalisasi Nilainilai Berpikir Matematis Dalam Peranannya di Era Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA)” APLIKASI METODE PEMBELAJARAN KUMON UNTUK MENINGKATKAN PRESTASI BELAJAR MATEMATIKA MATERI HUBUNGAN ANTARSATUAN DI KELAS III SD NEGERI 1 PEKAJA Desi Setiyadi1, Sony Irianto2 Fakultas Keguruan Dan Ilmu Pendidikan Universitas Muhammadiyah Purwokerto email : [email protected] 2 Fakultas Keguruan Dan Ilmu Pendidikan Universitas Muhammadiyah Purwokerto 1 Abstrak Penelitian ini bertujuan untuk meningkatkan prestasi belajar matematika materi hubungan antarsatuan di kelas III SD Negeri 1 Pekaja. Subyek penelitian ini adalah peserta didik kelas III SD Negeri 1 Pekaja Kecamatan Kalibagor Kabupaten Banyumas yang berjumlah 32 peserta didik yang terdiri dari 15 peserta didik laki-laki dan 17 peserta didik perempuan. Penelitian merupakan penelitian tindakan kelas yang dilaksanakan dalam 2 siklus di mana setiap siklusnya terdiri dari dua kali pertemuan. Setiap siklus terdiri dari perencanaan, pelaksanaan, observasi, evaluasi, dan refleksi. Setiap pertemuan diadakan evaluasi dengan menggunakan tes tertulis. Data hasil penelitian dianalisis dengan menggunakan analisis deskriptif. Hasil penelitian pada pembelajaran matematika dengan menggunakan metode pembelajaran Kumon dapat meningkatkan prestasi belajar peserta didik. Hasil prestasi belajar peserta didik ditandai dengan meningkatnya presentasi kelulusan dari siklus I ke siklus II yaitu dari 71,87% menjadi 93,75%. Dapat disimpulkan bahwa metode pembelajaran Kumon dapat meningkatkan hasil prestasi belajar matematika di kelas III SD Negeri 1 Pekaja Kecamatan Kalibagor Kabupaten Banyumas. Kata Kunci : Prestasi Belajar, Pembelajaran Kumon, Matematika.. I. PENDAHULUAN Pendidikan sangat penting bagi setiap individu yang dimulai sejak dari individu berada di kandungan ibunda sampai individu tersebut meninggal. Pendidikan dimulai dari lingkungan keluarga, yaitu pendidikan yang didapat dari orang tua, dan anggota keluarga yang lain seperti kakak, paman, bibi dan kakek nenek. Ketika individu sudah mulai berkembang maka selanjutnya dari lingkungan sekitar yaitu berupa pendidikan formal maupun non formal. Setiap individu yang berada di sekolah maka ada yang bertanggungjawab untuk membimbing menjadi seorang yang menjadi lebih dewasa yaitu pendidik. Matematika masih dianggap sebagai mata pelajaran yang sulit. Bahkan dalam fenomena yang ada menunjukan bahwa proses belajar yang tidak menggunakan media dan metode pembelajaran yang menyenangkan akan mengakibatkan anak menjadi lebih pasif untuk mempelajari mata pelajaran matematika. Heruman (2007: 1) berpendapat matematika didefinisikan secara akurat pada umumnya mempunyai satu cabang matematika elementer disebut aritmatika Pendidikan Matematika Universitas Muhammadiyah Purworejo , Ruang Seminar UMP, Sabtu, 28 Mei 2016 757 atau ilmu hitung yang secara informal dapat bahwa metode pembelajaran sangat penting diartikan sebagai ilmu tentang berbagai dalam pembelajaran berlangsung. bilangan yang diperoleh dari bilangan bulat Tujuan dari penelitian sebagai berikut 0, 1, 2, 3,.., dst, yang melalui operasi ini : a) Mengkaji metode pembelajaran matematika pertambahan, Kumon pada mata pelajaran matematika pengurangan, perkalian, dan pembagian. materi Hubungan Antarsatuan siswa kelas Observasi yang telah membuktikan bahwa III SD Negeri 1 Pekaja, b) Meningkatkan kelas III B di SD Negeri 1 Pekaja prestasi menggunakan alat peraga yang sangat Hubungan Antarsatuan siswa kelas III SD sederhana Negeri yaitu yaitu penggaris dan jam. belajar 1 matematika Pekaja Pembelajaran dengan alat peraga yang pembelajaran Kumon. minim akan membuat hasil pembelajaran TINJAUAN PUSTAKA tidak bisa maksimal. Peneliti melalui materi metode a. Prestasi Belajar langsung Slameto (2010 : 2) berpendapat pembelajaran yang ada, dan mendapatkan bahwa belajar adalah suatu proses usaha hasil yang ulangan telah melihat pada materi Hubungan dilakukan seseorang untuk Antarsatuan dengan Kriteria Ketuntasan memperoleh suatu perubahan tingkah laku Minimal (KKM) sebesar 63 sebagai berikut. yang baru secara keseluruhan, sebagai hasil Tabel 1.1 Hasil Ulangan Materi Hubungan Antarsatuan Tahun Ajaran 2011/ 2012 Jml siswa 16 Tahun Ajaran 2011/ 2012 Tuntas 56,25 % Tidak Tuntas 43,75% RataRata 65,31 yang diharapkan bisa meningkatkan hasil materi Hubungan Antarsatuan. Metode pembelajaran Kumon dapat meningkatkan kecepatan intelegensi, dalam berpikir kreativitas, karena dalam lingkungannya. interaksi Poerwodarminto belajar yaitu penguasaan pengetahuan atau solusi yaitu metode pembelajaran Kumon matematika dengan sendiri (1994 : 769) berpendapat bahwa prestasi untuk itu peneliti akan memberikan sebuah belajar pengalamannya di dalamnya mengacu siswa agar cepat dan tanggap menghadapi soal yang diberikan guru, jika salah diperbaiki sendiri oleh siswa, jika siswa salah sebanyak lima kali keterampilan yang dikembangkan melalui mata pelajaran, lazimnya ditunjukkan dengan nilai tes atau angka nilai yang diberikan oleh guru. Berdasarkan beberapa pendapat di atas dapat disimpulkan bahwa prestasi belajar merupakan suatu keberhasilan yang diperoleh seseorang dari proses perubahan yang terjadi pada seseorang karena berinteraksi dengan lingkungan sebagai hasil dari pengalaman yang dinamakan sebagai poses belajar. guru membimbing. Maka dapat disimpulkan 758 Prosiding Seminar Nasional Matematika dan Pendidikan Matematika. “Internalisasi Nilainilai Berpikir Matematis Dalam Peranannya di Era Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA)” b. Pengertian Metode Pembelajaran Kumon digunakan pembelajaran dengan Metode Kumon adalah suatu metode menggunakan beberapa langkah, antara lain belajar dari Jepang dan dikembangkan sebagai berikut : 1) Guru menyajikan pertama kali oleh Toru Kumon, seorang konsep dan siswa memperhatikan penyajian. guru matematika SMU yang pada awalnya 2) Siswa mengambil buku saku yang telah ingin matematika disediakan, menyerahkan lembar kerja PR anaknya yang bernama Takeshi Kumon yang sudah dikerjakannya di rumah, dan waktu itu masih duduk di kelas 2 SD. mengambil membantu pelajaran Maftukhi (2011) berpendapat bahwa lembar kerja yang telah dipersiapkan guru untuk dikerjakan siswa metode Kumon adalah sistem belajar yang pada memberikan mengerjakan lembar kerjanya. 4) Setelah program belajar secara hari tersebut. 3) lembar mulai selesai masing-masing, yang memungkinkan siswa diserahkan kepada guru untuk diperiksa dan menggali potensi mengerjakan, Siswa perseorangan sesuai dengan kemampuan kerja dirinya dan diberi nilai. Di sisi lain, siswa berlatih kemampuannya secara dengan alat bantu belajar. e) Setelah lembar maksimal dan menambahkan pembelajaran kerja selesai diperiksa dan diberi nilai, guru Kumon mencatat hasil belajar hari itu pada “Daftar mengembangkan adalah pembelajaran yang mengaitkan antarkonsep, keterampilan, kerja Nilai”. individual dan menjaga suasana nyaman penyusunan program belajar berikutnya. menyenangkan. f) Bila ada bagian yang masih salah, siswa Maka dapat Hasil tersebut dianalisa untuk metode diminta untuk membetulkan bagian tersebut Kumon adalah belajar perseorangan. Siswa hingga semua lembar kerjanya memperoleh mulai dari level yang dikerjakan sendiri nilai 100, agar siswa menguasai pelajaran dengan mudah, tanpa kesalahan. Lembar dan tidak mengulangi kesalahan yang sama. kerja dibuat sedemikian rupa sehingga siswa g) Jika siswa sampai mengulang lima kali, dapat bagaimana maka guru melakukan pendekatan kepada menyelesaikan soalnya. Jika siswa terus siswa dan menanyakan tentang kesulitan- belajar dengan kemampuannya sendiri, ia kesulitan yang dihadapi. h) Setelah selesai, akan mengejar bahan pelajaran yang setara siswa mengikuti latihan secara lisan. dengan tingkatan kelasnya bahkan maju d. Pengertian Matematika memahami disimpulkan sendiri melampauinya. c. dalam Penggunaan Hamzah dan Kuadrat (2009: 109) Metode Kumon dalam Maftukhi (2011) berpendapat bahwa Kumon bahwa sebagai suatu Pembelajaran metode berpendapat adalah metode yang matematika bidang ilmu adalah yang merupakan alat pikir, berkomunikasi, alat untuk memecahkan berbagai persoalan Pendidikan Matematika Universitas Muhammadiyah Purworejo , Ruang Seminar UMP, Sabtu, 28 Mei 2016 759 praktis, yang unsur-unsurnya logika dan konsep matematika, menjelaskan keterkaitan intuisi, analisis, dan kontruksi, generalitas antar konsep atau alogaritma, secara luwes, dan individualitas dan mempunyai cabang- akurat, dan cabang antara lain aritmatika, pemecahan geometri dan (Suwansih aljabar, analisis. Sedangkan Kline dan Tiurlina, dalam masalah. b) Menggunakan penalaran pada pola dan 4) sifat, melakukan manipulasi matematika berpendapat bahwa matematika itu bukan dalam membuat generalisasi, menyusun pengetahuan bukti, menyendiri 2006: efisien, dan tepat yang dapat atau menjelaskan gagasan dan sempurna karena dirinya sendiri, tetapi pernyataan matematika. c) Memecahkan adanya matematika itu terutama untuk masalah membantu dalam memakai dan menguasai memahami masalah, merancang metode permasalahan sosial, ekonomi, dan alam. matematika, menyelesaikan metode dan Maka dapat disimpulkan bahwa yang menafsirkan meliputi solusi yang kemampuan diperoleh. matematika adalah ilmu deduktif yang d) Mengkomunikasikan gagasan dengan teroranisasikan dari unsur-unsur yang tidak simbol, tabel, diagram, atau media lain didefinisikan dan dapat digunakan untuk untuk memperjelas keadaan atau masala. membantu e) Memiliki sikap menghargai kegunaan dalam memberikan cara menyelesaikan berbagai persoalan. matematika dalam kehidupan yaitu memiliki Tujuan mata pelajaran matematika rasa ingin tahu, perhatian dan minat dalam KTSP 2006 di SD/ MI (BNSP, 2006: mempelajari matematika serta sikap ulet dan 148) percaya diri dalam memecahkan masalah. agar peserta didik memiliki kemampuan sebagai berikut : a) Memahami e. Materi Hubungan Antarsatuan a. Panjang km hm dam : 10 Setiap naik 1 tangga dibagi 10 x 10 Setiap turun 1 m tangga dikalikan 10 dm cm b. Waktu 760 Catatan : 1 km = 1.000 m 1m = 100 cm 1 dm = 10 cm 1 cm = 10 mm mm c. Berat 1) Satu tahun ada 12 bulan. 1) 1 kg = 1000 gram 2) Satu bulan ada 30 hari. 2) 1 kg = 10 ons 3) Satu minggu ada 7 hari. 3) 1 ons = 100 gram Prosiding Seminar Nasional Matematika dan Pendidikan Matematika. “Internalisasi Nilainilai Berpikir Matematis Dalam Peranannya di Era Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA)” II. METODE PENDEKATAN a. Data dan Cara Pengambilan Penelitian ini dibutuhkan data kualitatif dan kuantitatif sehingga digunakan metode pengumpulan data sebagai berikut : 1) Metode Observasi yaitu digunakan untuk mengumpulkan data kualitatif yang berkaitan dengan perilaku anak didik selama proses pembelajaran berlangsung. Proses pengumpulan data ini dilakukan oleh pengamat, dengan mengisi lembar observasi yang telah disiapkan. 2) Metode Tes yaitu digunakan untuk memperoleh data prestasi anak didik, untuk mengukur tingkat penguasaan materi sesudah diberi tindakan. 3) Metode Wawancara merupakan cara III. untuk memperoleh data kuantitatif dan mengetahui apabila ada anak didik yang bermasalah sesudah dilakukan pelaksanaan tindakan berakhir. b. Metode Analisis Data Data yang dikumpulkan pada setiap kegiatan observasi dari pelaksanaan siklus penelitian dianalisis secara deskriptif dengan menggunakan teknik persentase untuk melihat kecenderungan yang terjadi dalam kegiatan pembelajaran. 1) Prestasi belajar adalah menganalisis nilai rata-rata ulangan harian. Kemudian dikategorikan dalam klasifikasi tinggi, sedang, dan rendah. 2) Aktivitas peserta didik dalam proses belajar mengajar matematika yaitu dengan menganalisis tingkat keaktifan peserta didik dalam proses belajar mengajar matematika. Kemudian dikategorikan dalam kategori tinggi, sedang dan rendah. 3) Implementasi pembelajaran metode Kumon yaitu dengan manganalisis tingkat keberhasilan implementasi metode Kumon kemudian dikategorikan dalam klasifikasi berhasil dan tidak berhasil. c. Indikator Keberhasilan Penelitian ini dinyatakan berhasil apabila memenuhi indikator-indikator sebagai berikut : 1) Sekurang-kurangnya 85% jumlah peserta didik telah memenuhi KKM mata pelajaran matematika materi Hubungan Antarsatuan yaitu 71. 2) Adanya peningkatan prestasi peserta didik pada materi hubungan antar satuan dengan menggunakan metode Kumon sekurang-kurangnya 85% dari skor maksimal seluruh peserta didik. 3) Metode Kumon dikatakan berhasil jika kedua indikator di atas sudah tercapai. HASIL DAN PEMBAHASAN a. Siklus I Siklus I ini dilakukan dalam dua kali pertemuan. Berikut hasil pada siklus I: 1) Sudah ditemukannya metode pembelajaran matematika yang mampu membuat suasana pembelajaran yang aktif dan menyenangkan dengan melibatkan peserta didik dalam proses pembelajaran, yaitu dengan metode Kumon. Terbukti pada saat kami melaksanakan pembelajaran menggunakan metode Kumon ditambah dengan media “Tangga Ceritaku”, peserta didik kelas III SD Negeri 1 Pekaja terlihat sangat antusias dan sangat senang pada saat proses pembelajaran. 2) Dalam proses pembelajaran peserta didik masih bingung karena belum terbiasa dengan metode pembelajaran Kumon. Dengan kata lain proses pembelajaran yang selama ini dilaksanakan pada kelas III SD Negeri 1 Pekaja masih konvensional. 3) Memperbaiki pembelajaran guru dalam penyampaian materi tentang matematika di kelas III SD Negeri 1 Pekaja. 4) Saat pelaksanaan siklus I, sudah terlihat adanya peningkatan Pendidikan Matematika Universitas Muhammadiyah Purworejo , Ruang Seminar UMP, Sabtu, 28 Mei 2016 761 prestasi dan minat peserta didik kelas III pada mata pelajaran matematika materi Hubungan Antarsatuan. Walaupun tidak semua peserta didik tuntas, akan tetapi persentase ketuntasan sudah mencapai 71,87% dibandingkan nilai sebelumnya yang hanya 43,75%. 5) Rata-rata perolehan hasil tes peserta didik terhadap materi pembelajaran masih tergolong sedang, yaitu hanya mencapai 85,94. 6) Karena pelaksaan siklus I belum mencapai indikator keberhasilan, maka dilaksanakan siklus II. b. Siklus II Siklus II ini dilakukan dalam dua kali pertemuan. Berikut hasil pada siklus II : Sudah ditemukannya metode pembelajaran matematika yang mampu membuat suasana pembelajaran yang aktif dan menyenangkan dengan melibatkan peserta didik dalam proses pembelajaran, yaitu dengan metode Kumon. Terbukti pada saat kami melaksanakan pembelajaran menggunakan metode Kumon ditambah dengan media “Tangga Ceritaku”, IV. peserta didik kelas III SD Negeri 1 Pekaja terlihat sangat antusias dan sangat senang pada saat proses pembelajaran. Dalam proses pembelajaran pertemuan pertama, peserta didik mulai terbiasa dengan metode pembelajaran Kumon. Dan pada pertemuan kedua, peserta didik sudah lancar dan mengetahui bagaimana langkah-langkah metode pembelajaran Kumon. V. 2) Meningkatkan kualitas standar kompetensi dalam mata pelajaran matematika di kelas III SD Negeri 1 Pekaja. Saat pelaksanaan siklus II, sudah terlihat adanya peningkatan prestasi dan minat peserta didik kelas III pada mata pelajaran matematika materi Hubungan Antarsatuan dari siklus I ke siklus II. Walaupun tidak semua peserta didik tuntas, akan tetapi persentasi ketuntasan sudah mencapai 93,75% dibandingkan 762 nilai sebelumnya pada siklus I yang hanya 71,87% . 3) Rata-rata perolehan hasil tes peserta didik terhadap materi pembelajaran masih tergolong tinggi, yaitu mencapai 88,75. 4) Karena pelaksaan siklus II sudah mencapai indikator keberhasilan, maka dapat dinyatakan bahwa pembelajaran matematika dengan menggunakan metode Kumon sudah berhasil. Gambar 1. Diagram Siklus KESIMPULAN Aplikasi metode pembelajaran Kumon dapat meningkatkan prestasi belajar matematika materi Hubungan Antarsatuan di kelas III SD Negeri 1 Pekaja. Preastasi meningkat dari 71,87% di siklus I menjadi 93,75% di siklus II. REFERENSI Badan Standar Nasional Pendidikan. 2006. Standar Kompetensi dan Kompetensi Dasar. Jakarta Hamzah dan Kuadrat, M. 2009. Mengelola Kecerdasan dalam Pembelajaran sebuah Konsep Pembelajaran Berbasis Kecerdasan. Jakarta: PT Bumi Aksara. Heruman. 2007. Metode Pembelajaran Matematika di Sekolah Dasar. Bandung : PT Remaja Rosdakarya. Prosiding Seminar Nasional Matematika dan Pendidikan Matematika. “Internalisasi Nilainilai Berpikir Matematis Dalam Peranannya di Era Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA)” Maftukhi. 2011. Metode Pembelajaran Kumon. Tersedia di http://muvtukhi.blogspot.com/2011/02/Metode -pembelajaran-kumon.html diakses pada tanggal 19 Maret 2013. Poerwodarminto. 1994. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Yogyakarta : IKIP. Slameto. 2010. Belajar dan Faktor–faktor yang Mempengaruhinya. Jakarta: Rineka Cipta. Suwangsih, E dan Tiurlina. 2006. Model Pembelajaran Matematika. Bandung: UPI PRES Pendidikan Matematika Universitas Muhammadiyah Purworejo , Ruang Seminar UMP, Sabtu, 28 Mei 2016 763 PENINGKATAN KREATIFITAS MAHASISWA DALAM PENERAPAN PRINSIP KALKULUS MELALUI MODEL PEMBELAJARAN IMPROVE Eka Nurdini1), Iffah Ulyalina2) Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam, Universitas Negeri Semarang email: [email protected] 2 Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam, Universitas Negeri Semarang email: [email protected] 1 Abstrak Sumber daya manusia merupakan faktor yang harus dikembangkan untuk menghadapi MEA. Sabella dan Redish (2011) menyatakan bahwa kebanyakan mahasiswa memiliki pemahaman yang dangkal dan tidak lengkap tentang konsep dasar dalam kalkulus. Kalkulus merupakan cabang ilmu yang mendasari teknik pemodelan untuk menyelesaikan suatu masalah di kehidupan sehari-hari. Sehingga peneliti menghadirkan suatu model pembelajaran yaitu IMPROVE dengan tujuan untuk meningkatkan pemahaman serta kreatifitas mahasiswa dalam menerapkan prinsip kalkulus. Penelitian ini merupakan penelitian tindakan kelas dengan responden adalah mahasiswa jurusan matematika FMIPA Unnes sebanyak 50 orang yang dibagi menjadi 2 kelas dengan perlakuan yang berbeda. Peneliti membandingkan model presentasi dan model IMPROVE dengan menggunakan analisis data kualitatif. Hasil penelitian menunjukkan bahwa model IMPROVE dapat meningkatkan pemahaman dan kreatifitas mahasiswa dalam menerapkan prinsip kalkulus untuk menyelesaikan masalah kehidupan sehari-hari. Kata Kunci: Model IMPROVE, Model Presentasi, Pemahaman, Kreatifitas, Penerapan Kalkulus PENDAHULUAN Menurut laporan dari UNDP tahun 2014, dilihat dari Human Development Indeks (HDI) atau Indeks Pembangunan Manusia (IPM), Indonesia berada pada peringkat ke 108 dari 187 negara. Kita berada di bawah negaranegara tetangga seperti Singapura (peringkat 18), Malaysia (peringkat 64), Thailand (peringkat 103), dan Filipina (peringkat 114). Data tersebut menunjukkan bahwa kesiapan Indonesia untuk menghadapi MEA masih belum matang. Disebutkan di dalam NCTM (2000) bahwa barangsiapa mengerti dan dapat menerapkan matematika akan memiliki kesempatan dan pilihan yang signifikan untuk membentuk masa depan mereka. Kompetensi matematika membuka pintu untuk masa depan yang produktif. Peneliti telah melakukan observasi kegiatan perkuliahan dan pengumpulan data kuesioner di 764 jurusan matematika FMIPA Unnes. Berdasarkan hasil tersebut, diketahui mahasiswa mengalami kesulitan memahami materi kalkulus serta belum ada upaya eksplorasi mengenai penerapan kalkulus. Salah satu model pembelajaran mata kuliah kalkulus yang diterapkan di jurusan matematika FMIPA Unnes adalah model presentasi. Model presentasi mendorong mahasiswa untuk memelajari materi kalkulus secara mandiri dan memungkinkan mahasiswa saling berinteraksi satu sama lain, tetapi model ini sering kali tidak menjadikan mahasiswa paham terhadap materi yang sedang dipelajari. Banyak mahasiswa yang mendapat sedikit pemahaman dan memelajari materi yang sekiranya dapat disampaikan di depan kelas. Pemahaman yang kurang terhadap mata kuliah kalkulus menjadikan mahasiswa memiliki rasa ingin tahu yang rendah terhadap penerapan kalkulus sehingga mahasiswa kurang mengekspor keberadaan penerapan kalkulus. Sehingga Prosiding Seminar Nasional Matematika dan Pendidikan Matematika. “Internalisasi Nilainilai Berpikir Matematis Dalam Peranannya di Era Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA)” kreativitas mahasiswa kalkulus rendah. terkait penerapan Berdasarkan uraian di atas, perlu diadakan penelitian yang bertujuan meningkatkan pemahaman sekaligus kreativitas mahasiswa dalam penerapan kalkulus melalui model pembelajaran IMPROVE. Permasalahan pada penelitian ini adalah (1) apakah pemahaman mahasiswa terhadap materi kalkulus melalui model IMPROVE dapat terbentuk?; (2) apakah kreativitas mahasiswa terhadap penerapan materi kalkulus melalui model IMPROVE dapat terbentuk?. Tujuan penelitian ini adalah (1) untuk mengetahui peningkatan pemahaman mahasiswa terhadap materi kalkulus melalui penerapan model IMPROVE; (2) untuk mengetahui peningkatan kreativitas mahasiswa terhadap penerapan materi kalkulus melalui penerapan model IMPROVE. KAJIAN LITERATUR DAN PEGEMBANGAN HIPOTESIS Model IMPROVE Model IMPROVE adalah model pembelajaran yang mendorong siswa menemukan sendiri suatu konsep dengan bimbingan dari fasilitator. Mavarech dan Kramarski (1997: 365-394) menyebutkan bahwa IMPROVE merupakan akronim dari Introducing the new concepts, Metacognitive questioning, Practicing, Reviewing and reducing difficulties, Obtaining mastery, Verification, and Enrichment. Berdasarkan akronim tersebut, maka metode ini dapat dijabarkan sebagai berikut. a. Menghantarkan konsep-konsep baru (Introducing the new concepts) Pada tahap ini guru berperan sebagai fasilitator untuk membimbing siswa menemukan konsep secara mandiri. Hal ini dicirikan dengan guru tidak memberikan begitu saja hasil akhir dari suatu konsep. Guru membimbing siswa menemukan suatu konsep dengan memberikan pertanyaan-pertanyaan yang mengarah pada penemuan suatu konsep. b. Mengajukan pertanyaan metakognitif. Menurut Kramarski (2003:170) pertanyaan metakognitif itu sebagai berikut. 1) Pertanyaan pemahaman masalah Pertanyaan yang mendorong siswa membaca soal, menggambarkan konsepnya dengan katakata sendiri dan mencoba memahami makna konsepnya. Contoh: “Keseluruhan masalah ini menggambarkan tentang apa?” 2) Pertanyaan strategi Pertanyaan yang didesain untuk mendorong siswa agar mempertimbangkan strategi yang cocok untuk memecahkan masalah yang diberikan dan memberikan alasannya. Contoh: “Strategi, taktik, atau prinsip apa yang cocok untuk memecahkan masalah tersebut? Mengapa?” 3) Pertanyaan koneksi Pertanyaan yang mendorong siswa untuk melihat persamaan dan perbedaan suatu konsep atau permasalahan. Contoh: “Apa persamaan atau perbedaan antara permasalahan sekarang dengan permasalahan yang telah dipecahkan waktu lalu? Mengapa ?” Pada tahap ini guru berperan sebagai fasilitator dalam membuat pertanyaan-pertanyaan metakognitif dan mengarahkan siswa untuk menjawab pertanyaan tersebut. c. Berlatih (Practicing) Pada tahap ini guru memberikan latihan kepada siswa secara kelompok dalam bentuk soal-soal. d. Mengulas dan mereduksi kesulitan (Reviewing and reducing difficulties) Pada tahap ini guru melakukan pengulasan atau pembahasan terhadap kesulitan-kesulitan yang dialami siswa sewaktu memahami materi atau menjawab soal-soal. Guru dapat melakukan hal ini dengan diskusi kelas. Selanjutnya guru memberikan solusi guna menjawab kesulitan-kesulitan yang dialami siswa. e. Penguasaan materi (Obtaining mastery) Pada tahap ini guru akan mengetahui tingkat penguasaan materi siswa secara individu atau keseluruhan. Hal ini dapat dilakukan dengan memberikan tes kepada siswa sesuai dengan materi yang telah dipelajari. f. Melakukan verifikasi (Verification) Pada Pendidikan Matematika Universitas Muhammadiyah Purworejo , Ruang Seminar UMP, Sabtu, 28 Mei 2016 765 tahap ini guru mengidentifikasi siswa yang telah memahami atau menguasai materi dan siswa yang belum menguasai materi dengan melihat hasil tes yang telah diberikan pada tahap sebelumnya. g. Pengayaan (Enrichment) Pada tahap ini guru memberikan respon terhadap hasil verifikasi yaitu dengan memberikan soal pengayaan kepada siswa. Teori Metakognisi Menurut Tim MKPBM (2001: 95) metakognisi adalah suatu bentuk kemampuan untuk melihat pada diri sendiri sehingga apa yang dia lakukan dapat terkontrol secara optimal. Penerapan teori metakognisi pada proses pembelajaran dapat menjadikan mahasiswa mengerti sejauh mana mereka memahami materi, apa yang belum dipahami, apa faktor penghambat pemahaman, serta strategi apa yang harus dilakukan. Model Presentasi Model presentasi yang peneliti maksud adalah presentasi yang dilakukan oleh mahasiswa kepada teman sekelasnya. Pada awal mula pertemuan, mahasiswa dibagi menjadi beberapa kelompok kecil dan setiap kelompok diberi tugas untuk mempresentasikan sebuah bab secara bergiliran dalam satu semester. Penelitian Model IMPROVE yang Pernah Dilakukan Sebelumnya Penelitian terdahulu tentang model IMPROVE adalah penelitian oleh Jesyich Anjras Purnamadewi (2013) tentang Keefektifan Pembelajaran Metode Improve dengan Pendekatan Pmri Terhadap Kemampuan Pemecahan Masalah Siswa KelasVii Materi Segiempat. Hasil penelitian tersebut menyatakan bahwa rata-rata hasil belajar siswa pada aspek kemampuan pemecahan masalah model IMPROVE dengan pendekatan PMRI lebih baik daripada menggunakan pembelajaran 766 ekspositori. Karena pembelajaran dilaksanakan dalam bentuk kelompok-kelompok kecil sehinggan siswa dapat berdiskusi dalam menyelesaikan masalah. Selain itu, hasil penelitian oleh Hawa Liberna (2011) tentang Peningkatan Kemampuan Berpikir Kritis Matematis Siswa Melalui Penggunaan Metode Improve pada Materi Sistem Persamaan Linear Dua Variabel menyatakan bahwa penerapan metode Improve untuk meningkatkan kemampuan berpikir kritis terhadap hasil belajar matematika lebih baik dengan metode konvensional. METODE PENELITIAN Penelitian ini merupakan penelitian kualitatif. Peneliti mengadakan penelitian dengan responden adalah mahasiswa jurusan matematika FMIPA Unnes sebanyak 50 orang yang dibagi menjadi 2 kelas dengan perlakuan yang berbeda. Subjek penelitian ditentukan secara purposive dengan memberikan pertanyaan dalam bentuk kuisioner. Untuk memperoleh kelengkapan data digunakan instrumen penunjang berupa lembar observasi. Deskripsi hasil penelitian menggunakan analisis data kualitatif yang meliputi 3 langkah yaitu (1) Observasi; (2) Dokumentasi; (3) Triangulasi dan penarikan kesimpulan (Sugiyono, 2015) HASIL DAN PEMBAHASAN Berdasarkan penelitian yang dilakukan, diperoleh hasil bahwa sebanyak 73,83% mahasiswa setuju menggunakan model pembelajaran IMPROVE dan sebanyak 26,17% mahasiswa setuju menggunakan model pembelajaran presentasi. Sebanyak 96% dari mahasiswa yang dikenai model pembelajaran IMPROVE merasa dapat memahami materi dengan baik, sedangkan sebanyak 8% dari mahasiswa yang Prosiding Seminar Nasional Matematika dan Pendidikan Matematika. “Internalisasi Nilainilai Berpikir Matematis Dalam Peranannya di Era Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA)” dikenai model pembelajaran presentasi merasa dapat memahami materi dengan baik. Kemudian sebanyak 94% dari mahasiswa yang dikenai model pembelajaran IMPROVE merasa lebih terampil mengerjakan latihan mata kuliah kalkulus dan 28% dari mahasiswa yang dikenai model pembelajaran presentasi merasa lebih terampil mengerjakan latihan mata kuliah kalkulus. Mahasiswa setuju menggunakan model pembelajaran IMPROVE karena dinilai dapat lebih memahamkan dan memicu kreativitas. Pemikiran Strategik Mengenai Human Capital Indonesia. Cetakan Pertama. Jakarta : Gramedia Pustaka Utama. National Council of Teachers of Mathematics. 2000. Principles And Standards with the Learning from Assessment Materials. Reston, VA: National Council of Teachers of Mathematics. Liberna, Hawa. 2011. Peningkatan Kemampuan Berpikir Kritis Matematis Siswa melalui Penggunaan Metode Improve pada Materi Sistem Persamaan Linear Dua Variabel. Jurnal Formatif 2(3):190-197 Jesyich Anjras Purnamadewi. 2013. Keefektifan Pembelajaran Metode Improve dengan Pendekatan Pmri Terhadap Kemampuan Pemecahan Masalah Siswa Kelas-VII Materi Segiempat. Skripsi S1 Universitas Negeri Semarang. KESIMPULAN Simpulan penelitian ini adalah model IMPROVE dapat meningkatkan pemahaman dan kreativitas mahasiswa dalam menerapkan prinsip kalkulus untuk menyelesaikan masalah kehidupan sehari-hari. Saran dari peneliti adalah pada mata kuliah kalkulus perlu dikembangkan model pembelajaran IMPROVE. REFERENSI Forum Human Capital Indonesia (2007). Excellent People Excellent Business, Mevarech, Z. R. & Kramarski, B. 1997. IMPROVE: A Multidimensional Method for Teaching Mathematics in Heterogeneous classroom. American Educational Reasearch Journal, 34(2). Kramarski, B. 2003. Enhanching Mathematical Literacy with the Use of Metacognitive Guidance in Forum Discussion. Israel: Bar-Ilan University. Sugiyono. 2015. Metode Penelitian Pendidikan : Pendekatan Kuantitatif, Kualitatif, dan R&D. Bandung: Alfabeta. Pendidikan Matematika Universitas Muhammadiyah Purworejo , Ruang Seminar UMP, Sabtu, 28 Mei 2016 767 MENINGKATKAN KEMAMPUAN KOMUNIKASI MATEMATISSISWA SMP MELALUI PEMBELAJARAN BERBASIS MASALAH DENGAN STRATEGI TALKING STICK Kuasi Eksperimen di SMPN 1 Bulakamba Kab. Brebes Faizal Ananda Tohara Al Ghazali Pendidikan Matematika, SPs UPI Bandung [email protected] Abstrak Upaya pemerintah dalam meningkatkan kualitas pendidikan di Indonesia hingga sekarang terus digalakan. Terlihat dari beberapa perubahan dalam kurikulum yang berusaha untuk menyesuaikan dengan perkembangan dan kebutuhan masyarakat global. Guru diharapkan mampu menggunakan model pembelajaran yang dapat mengoptimalisasikan kemampuan siswa. Komunikasi dalam hal ini sangat penting dalam menggali potensi siswa, baik komunikasi verbal maupun non verbal. Seperti halnya matematika merupakan bahasa simbol dimana setiap orang yang belajar matematika dituntut untuk memiliki kemampuan berkomunikasi dengan menggunakan bahasa simbol tersebut. Tujuan dalam penelitian ini adalah menganalisis perbedaan pencapaian dan peningkatan kemampuan komunikasi matematis antara siswa yang belajar menggunakan model PBM dengan strategi talking stick dengan sisiwa yang menggunakan pembelajaran ekspositori secara keseluruhan dan berdasarkan kemampuan matematika awal. Desain penilitian dalam penelitian ini adalah penelitian quasi experimental dengan nonequivalent pretest and posttes control group design. Sampel dalam penelitian ini adalah siswa kelas VIII D dan VIII F SMPN 1 Bulakamba dengan populasi seluruh siswa SMPN 1 Bulakamba. Hasil dari penelitian ini bahwa terdapat perbedaan pencapaian dan peningkatan kemampuan komunikasi matematis siswa antara siswa yang belajar dengan PBM TS dengan siswa yang belajar dengan konvensional. Lebih khusus lagi PBM TS memiliki peran yang berarti dalam meningkatkan kemampuan komunikasi matematis untuk kategori KMA sedang dan tinggi pada materi SPLDV Kata Kunci: Komunikasi matematis, Pembelajaran Berbasis Masalah, Talking Stick 1. PENDAHULUAN Perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi tidak terlepas dari peranan matemaika, baik dalam menemukan suatu pola, rumusan dan penyelesaian suatu masalah bahkan hingga prediksi statistik beberapa bidang ilmu eksak, social dan ekonomi. Selain matematika sebagai alat yang dapat membantu untuk memecahkan berbagai masalah kehidupan manusia, matematika juga merupakan bahasa universal yang dapat menyatukan berbagai produk dan disiplin ilmu lainnya. 768 Kemampuan komunikasi matematis akan membuat seseorang dapat memanfaatkan matematika untuk kepentingan diri sendiri maupun orang lain, sehingga akan meningkatkan sikap positif terhadap matematika baik dari dalam diri sendiri maupun orang lain. Sumarmo (2006) mengemukakan bahwa matematika sebagai bahasa simbol mengandung makna bahwa matematika bersifat universal dan dapat dipahami oleh setiap orang kapan dan dimana saja. Setiap simbol mempunyai arti yang jelas, dan disepakati secara bersama oleh semua Prosiding Seminar Nasional Matematika dan Pendidikan Matematika. “Internalisasi Nilainilai Berpikir Matematis Dalam Peranannya di Era Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA)” orang, seperti simbol untuk angka, operasi hitung dan variabel yang dapat dimengerti dalam suatu rumusan aljabar Pentingnya komunikasi matematis terlihat dari beberapa standar pendidikan baik dalam KTSP, Kurikulum 2013 hingga NCTM, dimana kemampuan ini menjadi tujuan yang ingin dicapai dalam suatu pembelajaran. Dalam NCTM (2000: 60), dijelaskan bahwa komunikasi matematis merupakan bagian esensial dari matematika dan pendidikan matematika. Pendapat ini mengisyaratkan pentingnya komunikasi dalam pembelajaran matematika. Melalui komunikasi, siswa dapat menyampaikan ide-idenya kepada guru dan kepada siswa lainnya. Komunikasi ini merupakan salah satu dari lima standar proses yang ditekankan dalam NCTM (2000: 29), yaitu pemecahan masalah (problem solving), penalaran dan bukti (reasoning and proof), komunikasi (communication), koneksi (connections), dan representasi (representation). Sedangkan pada sekolah yang masih menggunakan KTSP, dalam pembelajaran guru masih menggunakan model pembelajaran konvensional karakteristiknya sama dengan model pembelajaran ekspositori, yakni aktivitas belajar mengajar terpusat pada guru, materi matematika disampaikan melalui ceramah (chalk-and-talk), siswa pasif, pertanyaan dari siswa jarang muncul, berorientasi pada satu jawaban yang benar, dan kegiatan mencatat masih menyita waktu. Kegiatan pembelajaran seperti ini kurang memberi kesempatan yang luas bagi berkembangannya kemampuan siswa dalam pemecahan masalah, penalaran, koneksi, dan komunikasi matematis, karena aktivitas siswa tergolong rendah dan siswa lebih berperan sebagai penerima ilmu yang diberikan langsung oleh guru (Herman, 2007) Berdasarkan hasil wawancara dengan beberapa siswa juga menjelaskan bahwa tidak satupun siswa dari beberapa kelas matematika pernah diminta untuk menjelaskan bagaimana dan mengapa mereka memecahkan masalah dengan cara yang ia pilih. Ini juga menunjukkan bahwa guru belum maksimal dalam mengeksplorasi kemampuan matematis siswa dalam pembelajaran Pemerintah dalam hal ini Kemdikbud, telah memperbarui kurikulum sekolah. Perubahan dilakukan tidak saja dalam restrukturisasi substansi matematika yang dipelajari, namun yang sangat mendasar adalah paradigma dari bagaimana guru mengajar ke bagaimana siswa belajar dan pembelajaran berpusat pada siswa. Meskipun implementasi kurikulum 2013 masih bertahap dan berjenjang terlihat dalam observasi peneliti bahwa beberapa sekolah model yang menerapkan system dan model pembelajaran yang ada pada kurikulum 2013 masih belum maksimal mengaktifkan siswa terlihat dari: siswa tidak siap dalam memecahkan masalah secara mandiri, siswa tidak dapat mengkomunikasikan ide/gagasan, siswa tidak paham dengan apa yang harus dilakukan, sedikit siswa yang berpartisipasi dan sebagian lainnya hanya diam bahkan bercanda. Disadari pentingnya kemampuan komunikasi matematis dan hubungannya dengan kondisi sekarang, salah satu cara konkrit adalah dengan pembelajaran yang menekankan pada belajar siswa aktif. Hal tersebut mengindikasikan diperlukannya model pembelajaran yang fokus pada pembelajaran siswa bukan pengajaran guru. Pembelajaran dalam hal ini lebih menanamkan pemahaman akan konsep matematika dan mengaktifkan komunikasi matematis siswa. Menurut Safery & Duffy (dalam Juandi & Jupri, 2013) Salah satu pendekatan belajarmengajar yang berpotensi memberikan banyak kesempatan untuk mengaktifkan siswa dalam diskusi, komunikasi, dan memfasilitasi Pendidikan Matematika Universitas Muhammadiyah Purworejo , Ruang Seminar UMP, Sabtu, 28 Mei 2016 769 pengembangan representasi matematis adalah PBL. PBL adalah pendekatan pembelajaran yang berdasarkan konstruktivisme, yang mengasumsikan bahwa pemahaman akan muncul melalui interaksi dengan lingkungan belajar, dan konflik kognitif. Barrow (Ismaimuza, 2010) mendefinisikan Pembelajaran Berbasis Masalah (Problem Based Learning/ PBL) sebagai “pembelajaran yang diperoleh melalui proses menuju pemahaman akan resolusi suatu masalah. Masalah tersebut dipertemukan pertama-tama dalam proses pembelajaran”. Jadi fokusnya adalah pada pembelajaran siswa dan bukan pada pengajaran guru. Menurut Silver dkk (2007) bahwa PBL bukan merupakan pembelajaran minim bimbingan, namun syarat dengan scaffolding sehingga mengurangi beban kognitif dan memungkinkan siswa untuk belajar dari sumber yang banyak. PBL mencakup pengetahuan konten praktek dan soft skill termasuk koaborasi dan kemandirian belajar. Sejalan dengan PBM, untuk lebih mengaktifkan komunikasi matematis dan self confidence siswa, Talking stick merupakan strategi pembelajaran kelompok dengan bantuan tongkat. Kelompok yang memegang tongkat terlebih dahulu wajib menjawab pertanyaan dari guru dalam proses PBM maupun setelah mereka mempelajari materi pokoknya. Kegiatan ini diulang terus-menerus sampai semua kelompok mendapat giliran untuk menjawab pertanyaan guru. Prosedur strategi talking stick diharapkan mampu membiasakan siswa dalam mengkomunikasikan ide dan pemahamannya didepan kelas, sehingga siswa memiliki kepercayaan diri dalam pembelajaran matematika dikelas. Dengan kepercayaan diri berkomunikasi matematis, guru dapat menilai pemahaman dan komunikasi matematis dari bahasa yang mereka gunakan. 770 Tujuan dalam penelitian ini adalah menganalisis perbedaan pencapaian dan peningkatan kemampuan komunikasi matematis antara siswa yang belajar menggunakan model PBM dengan strategi talking stick dengan sisiwa yang menggunakan pembelajaran konvensional (ekspositori) secara keseluruhan dan berdasarkan kemampuan matematika awal. 2. KAJIAN LITERATUR A. Komunikasi Matematis Keterampilan komunikasi matematis sangat diperlukan ketika memperoleh suatu pemahaman maupun mengembangkan pemahaman tersebut menjadi lebih kritis guna mendapatkan suatu pembelajaran yang bermakna. Menurut Wood (2012) “Mathematical communication is the ability to communicate mathematical knowledge properly and effectively”. Menggunakan komunikasi matematika secara benar dan efektif sangat bergantung pada bahasa matematika, yang merupakan notasi dan kosakata matematika yang digunakan untuk mewakili ide-ide abstrak Hal ini dijelaskan juga oleh Wahyudin (2008; 500), dalam suatu bahasa, kita mengekspresikan gagasan dengan simbolsimbol yang disebut kata-kata, yang disusun dalam bentuk pola-pola untuk membentuk kalimat-kalimat. Didalam matematika, kita mengekspresikan gagasan dengan simbolsimbol matematis, yang disusun dalam polapola bermakna yang disebut kalimat matematis. Kumpulan dari kalimat matematis yang koheren yang menjelaskan suatu maksud yang perlu diajarkan kepada siswa sehingga dapat berkomunikasi melalui bahasa matematis baik lisan maupun tertulis Bahasa matematika yang dikenal sebagai bahasa yang tepat dan bebas dari ambiguitas, dalam hubungan kata-kata sebagai terminology bukan merupakan kosakata yang samar (Baber, 2011). Dengan demikian bahasa Prosiding Seminar Nasional Matematika dan Pendidikan Matematika. “Internalisasi Nilainilai Berpikir Matematis Dalam Peranannya di Era Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA)” matematika sangat penting untuk komunikasi matematika yang secara alami mendominasi dengan jelas. Kemudahan bahasa merupakan prasyarat untuk memahami dan menerapkan matematika secara efektif, oleh karena itu tidak heran siswa mengalami kesulitan dengan matematika ketika mereka tidak sepenuhnya memahami bahasanya. “Creating understanding and developing language must exist together because they spur each other on to produce greater growth” (Huang & Normandia, 2009). Bahasa merupakan cara dimana individu membuat makna dan mendapatkan pengetahuan karena bahasa adalah landasan komunikasi. Sebagaimana dikatakan Pressini dan Bassett (NCTM,1966) bahwa tanpa komunikasi matematika kita akan memiliki sedikit keterangan, data dan fakta tentang pemahaman siswa dalam melakukan proses dan aplikasi matematika. Dalam bagian lainnya, Lindquist berpendapat, “Jika kita sepakat bahwa matematika itu merupakan suatu bahasa dan bahasa tersebut sebagai bahasan terbaik dalam komunitasnya, maka mudah dipahami bahwa komunikasi merupakan esensi dari mengajar, belajar dan meng-assess matematika”. Jadi jelaslah bahwa komunikasi dalam matematika merupakan kemampuan penting yang harus dimiliki pelaku dan pengguna matematika selama belajar, mengajar dan meng-assess matematika. Kemampuan komunikasi matematis merupakan kemampuan siswa membaca wacana matematika dengan pemahaman, mampu menggunakan bahasa dan simbol matematika sehingga dapat mengkomunikasikan secara lisan maupun tertulis, mampu menggambarkan secara visual dan merefleksikan gambar atau diagram ke dalam ide matematika. Namun fokus dalam penelitian ini adalah kemampuan komunikasi tertutlis. Jordak et al. (Kosko & Wilkins, 2012) menambahkan bahwa kemampuan komunikasi matematika secara tertulis akan membantu siswa untuk mengekspresikan pemikiran mereka dalam menjelaskan strategi, meningkatkan pengetahuan mereka dalam menulis algoritma dan umumnya untuk meningkatkan kemampuan kognitif. Oleh karena itu kemampuan komunikasi matematis yang dimaksud dalam penelitian ini adalah kemampuan komunikasi tertutlis yang meliputi ; menghubungkan benda nyata, gambar dan diagram ke dalam ide matematika; menjelaskan ide, situasi, dan relasi matematika secara tertulis dengan benda nyata, gambar, dan aljabar; serta menyatakan peristiwa sehari-hari dalam bahasa atau simbol matematika B. Pembelajaran Berbasis Masalah dengan Strategi Talking Stick Pembelajaran berbasis masalah merupakan suatu model pembelajaran yang memicu siswa belajar bagaimana memperoleh informasi yang diperlukan untuk mempelajari dan menyelesaikan masalah, yang diberikan pada awal pertemuan sebagai pemicu, serta untuk memperoleh pemahaman konsep yang esensial dari materi pelajaran. Selanjutnya Barrow (Ismaimuza, 2010) mengungkapkan bahwa masalah dalam PBM adalah masalah yang tidak terstruktur (ill-structure), atau kontekstual dan menarik (contextual and engaging), sehingga meransang siswa untuk bertanya dari berbagai perspektif. Menurut Slavin (Ismaimuza, 2010) karakteristik lain dari PBM meliputi pengajuan pertanyaan terhadap masalah, fokus pada keterkaitan antar disiplin, penyelidikan authentik, kerja sama, dan menghasilkan produk atau karya yang Pendidikan Matematika Universitas Muhammadiyah Purworejo , Ruang Seminar UMP, Sabtu, 28 Mei 2016 771 harus dipamerkan. Menurut Paul (Corputty, 2012) mengatkan bahwa pengetahuan hanya dapat diperoleh dengan berfikir, dan pengetahuan hanya merupakan alat untuk berbagi keperluan seperti menerangkan, mengklarifikasi, menentukan/ menetapkan, menyelesaikan masalah, memberikan informasi dan sebagainya. Demikianlah, melalui langkahlangkah dalam PBM siswa diharapkan dapat meneruskan proses pembelajaran mereka untuk mendapatkan informasi baru dengan menggunakan masalah sebagai pemicu diawal pembelajaran PBM terbagi atas 5 fase utama, yakni: 1) Orientasi siswa pada masalah; menjelaskan tujuan pembelajaran, motivasi siswa dan mengajukan masalah 2) Mengorganisasikan siswa; Membantu siswa mengidentifikasikan dan mengorganisasikan tugas belajar yang berhubungan dengan masalah tersebut 3) Membimbing penyelidikan individu dan kelompok Mendorong siswa untuk mengumpulkan informasi yang sesuai, melaksanakan eksperimen untuk mendapatkan penjelasan dan pemecahan masalah. Fase dalam menerapkan penyelidikan: a. Mengidentifikasi pertanyaan. Guru atau (idealnya) siswa mengidentifikasi satu pertanyaan yang akan coba dijawab siswa b. Membuat hipotesis Siswa membuat hipotesis yang berusaha menjawab pertanyaan. c. Mengumpulkan & menganalisis data Siswa mengumpulkan data terkait dengan hipotesis dan menyusun serta menampilkannya supaya dat itu bias dianalisis 772 d. Menilai hipotesis dan membuat generalisasi Guru memandu diskusi tentang hasil dan sejauh mana hasil-hasil itu mendukung hipotesis. Juga siswa melakukan generalisasi terhadap hasil berdasarkan asesmen terhadap hipotesis 4) Mengembangkan dan menyajikan hasil karya 5) Menganalisa dan mengevaluasi proses pemecahan masalah Agar siswa dapat aktif dalam setiap fase PBM, maka strategi talking stick diaplikasikan dalam penelitian ini. Talking stick (tongkat berbicara) adalah metode yang pada mulanya digunakan oleh penduduk asli Amerika untuk mengajak semua orang berbicara atau menyampaikan pendapat dalam suatu forum (pertemuan antar suku). talking stick (tongkat berbicara) telah digunakan selama berabadabad oleh suku-suku Indian sebagai alat menyimak secara adil dan tidak memihak. Tongkat berbicara sering digunakan kalangan dewan untuk memutuskan siapa yang mempunyai hak berbicara. Pada saat pimpinan rapat mulai berdiskusi dan membahas masalah, ia harus memegang tongkat. Tongkat akan pindah ke orang lain apabila ia ingin berbicara atau menanggapinya. Dengan cara ini tongkat berbicara akan berpindah dari satu orang ke orang lain jika orang tersebut ingin mengemukakan pendapatnya. Apabila semua mendapatkan giliran berbicara, tongkat itu lalu dikembalikan lagi ke ketua/pimpinan rapat. Dari penjelasan di atas bahwa talking stick dipakai sebagai tanda seseorang mempunyai hak suara (berbicara) yang diberikan secara bergiliran/bergantian Menurut Fujiko (2015) “The talking stick was a method used by native Americans, to let everyone speak their mind during a council meeting, a type of tribal meeting. According to the indigenous American's tradition, the stick Prosiding Seminar Nasional Matematika dan Pendidikan Matematika. “Internalisasi Nilainilai Berpikir Matematis Dalam Peranannya di Era Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA)” was imbued with spiritual qualities, that called up the spirit of their ancestors to guide them in making good decisions. The stick ensured that all members, who wished to speak, had their ideas heard. All members of the circle were valued equally”. Strategi pembelajaran talking stick termasuk salah satu model pembelajaran kooperatif. Strategi pembelajaran ini dilakukan dengan bantuan tongkat, siapa yang memegang tongkat wajib menjawab pertanyaan dari guru setelah peserta didik mempelajari materi pokoknya. Pembelajaran talking stick sangat cocok diterapkan bagi peserta didik SD, SMP, dan SMA/SMK. Selain untuk melatih berbicara, pembelajaran ini akan menciptakan suasana yang menyenangkan dan membuat peserta didik aktif dan lebih percaya diri Strategi inilah yang diadopsi dalam suatu pembelajaran, namun perubahannya pada pemegang stick bukan menjadi subjek yang memiliki hak bersuara karena semua siswa berhak untuk bersuara dalam mengkomunikasikan untuk memperoleh suatu pemahaman, tetapi pemegang stick dalam pembelajaran ini menjadi objek yang memiliki kewajiban untuk menjawab suatu pertanyaan dari guru maupun siswa lainnya dalam suatu pembelajaran. Strategi ini dimaksudkan untuk mengaktifkan siswa dalam suatu model pembelajaran, karena kebanyakan siswa memiliki kepercayaan diri (self-confidence) yang rendah untuk ikut berperan aktif dalam suatu pembelajaran sehingga harus dengan intervensi aturan yang mendorong mereka untuk berperanserta sehingga diharapkan akan terbiasa dalam merepresentasikan ide mereka. Dalam hal ini PBM ditunjang dengan strategi talking stick untuk lebih menggali kemampuan baik kognitif maupun avektifnya. Adapun implementasi PBM dengan strategi Talking Stick menyatu dalam setiap fase. Model dan strategi ini berbasis kooperatif learning. Oleh sebab itu, guru dapat memulai kegiatan pembelajaran dengan membentuk kelompok-kelompok siswa dimana masingmasing kelompok akan memilih dan memecahkan masalah yang berbeda. Prinsipprinsip pengelompokan siswa dalam pembelajaran kooperatif dapat digunakan dalam konteks ini seperti: kelompok harus heterogen, pentingnya interaksi antar anggota, komunikasi yang efektif, adanya tutor sebaya, dan sebagainya. C. Pembelajaran Konvensional Pembelajaran konvensional merupakan pembelajaran yang biasa diterapkan dalam populasi penelitian. Pembelajaran konvensional dalam penelitian ini adalah pembelajaran ekspositori. Menurut Sunarto, Sumarni dan Suci (2008) bahwa pembelajaran ekspositori merupakan metode mengajar yang bertujuan untuk menjabarkan pengetahuan guru kepada siswa secara tepat. Materi yang diajarkan kepada siswa telah disusun guru secara sistematik dan dipersiapkan secara baik, sehingga yang terjadi dalam proses pembelajaran adalah guru memberikan penjelasan kepada siswa tentang fakta dan informasi penting. Philip R. Wallace (dalam Sunarto, 2009) memandang pembelajaran ekspositori adalah proses pembelajaran yang dilakukan sebagaimana umumnya guru membelajarkan materi kepada peserta didiknya. Guru mentransfer ilmu pengetahuannya kepada peserta didik, sedangkan peserta didik lebih banyak sebagai penerima. System pembelajaran konvensional (faculty teaching) cenderung kental dengan suasana instruksional. Meskipun pembelajaran ekspositori menggabungkan metode ceramah, tanya jawab dan penugasan, namun masih berpusat pada Pendidikan Matematika Universitas Muhammadiyah Purworejo , Ruang Seminar UMP, Sabtu, 28 Mei 2016 773 guru (teacher center). Guru sebagai sumber utama pemberi informasi mendominasi pembelajaran, sedangkan siswa hanya mendengarkan sehingga proses membangun pengetahuan oleh guru. Dengan demikian, dalam penelitian ini pembelajaran konvensional yang dimaksud adalah pembelajaran ekspositori yaitu metode penyampaian materi pelajaran yang meliputi gabungan dari metode ceramah, metode tanya jawab dan metode penugansan agar siswa dapat menguasai materi pelajaran secara optimal. 3. METODE PENELITIAN Desain penilitian dalam penelitian ini adalah penelitian quasi experimental dengan nonequivalent pretest and posttes control group design. Pada penelitian ini, subjek tidak dikelompokkan secara acak, tetapi peneliti menerima keadaan subjek apa adanya (Ruseffendi, 2010). Pertimbangan penggunaan desain ini untuk merngefektifkan waktu penelitian agar tidak membentuk kelas baru yang akan menyebabkan perubahan jadwal yang telah ada karena akan mengganggu kegitan belajar mengajar di Sekolah tersebut. Sampel yang digunakan terdiri dari dua kelompok, yaitu kelompok pertama meupakan kelompok eksperimen yang belajar menggungakan model Pembelajaran Berbasis Masalah dengan stategi Talking Stick, dan kelompok kedua yaitu kelompok kontrol yang belajar menggunakan model konvensional (ekspositori). Kemudian untuk melihat peningkatan kemampuan komunikasi matematis maka masing-masing kelompok diberi pre test dan post test. Desain rencana penilitian yang akan digunakan dalam penelitian ini adalah penelitian quasi experimental dengan nonequivalent pretest and posttes control group design. Menurut Cresswell (2010, hlm 242): 774 Kelas eksperimen O Kelas kontrol O X O O Keterangan: X : perlakuan pembelajaran dengan menggunakan model PBM dengan strategi talking stick O : pretest dan posttest komunikasi matematis kemampuan …. : Subjek tidak dikelompokan secara acak menyeluruh Untuk melihat lebih mendalam pengaruh penggunaan model PBM dengan strategi Talking Stick terhadap kemampuan komunkiasi matematis siswa, maka dalam penelitian ini dilibatkan kategori kemampuan awal matematis siswa (tinggi, sedang dan rendah). Selanjutnya pemilihan siswa SMP sebagai responden sampel penelitian didasarkan pada pertimbangan ; 1) Tingkat perkembangan kognitif siswa SMP sudah pada tahap peralihan dari operasi konkrit ke operasi formal sehingga ingin dilihat bagaimana penerapan pembelajaran matematika dengan model PBM dengan Talking Stick bagi siswa SMP; 2) Tingkatan sekolah ini yang menjadi lingkup peneliti dalam menjalankan profesinya sehingga diharapkan akan mendukung dan bermanfaat pada peningkatan kualitas dalam pendidikan nasional. Sehingga dengan pertimbangan inilah maka dipilih populasi pada penelitian ini adalah siswa SMP Negeri 1 Bulakamba Kabupaten Brebes yang terdiri atas 24 kelas sebanyak 918 siswa. Alasan pemilihan ini adalah 1) Sekolah tersebut termasuk dalam klasifikasi sedang (Balitbang, 2015); 2) Nilai penerimaan peserta didik baru relative sama; 3) Kelas tidak diklasifikasikan berdasarkan nilai akademis, kriteria penempatan siswa dalam tiap kelas secara merata dengan Prosiding Seminar Nasional Matematika dan Pendidikan Matematika. “Internalisasi Nilainilai Berpikir Matematis Dalam Peranannya di Era Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA)” kemampuan cenderung heterogen berdasarkan nilai UN SD untuk kelas VII, dan berdasarkan nilai raport sebelumnya untuk kelas VIII dan IX. Setiap rombel terdiri atas siswa yang memiliki kemampuan akademis tinggi, sedang dan rendah. Pengambilan sampel pada penelitian ini ditentukan dengan teknik cluster random sampling. Dari delapan kelas VIII yang ada di SMP Negeri 1 Bulakamba yang setiap kelompok kelasnya memiliki karakteristik yang sama, dipilih dua kelas secara acak dengan, sehingga terpilih kelas VIII D sebagai kelas kontrol dengan pembelajaran konvensional dan kelas VIII F sebagai kelas eksperimen dengan PBM TS. Instrumen tes terdiri atas soal pretes dan postes kemampuan komunikasi matematis yang mencakup 3 indikator kemampuan komunikasi matematis tertulis. Soal pretes diberikan sebelum kedua kelas memperoleh pembelajaran, sedangkan postes diberikan setelah pembelajaran. Baik pretes maupun postes memiliki bobot soal yang sama. Definisi Operasional a. Kemampuan Komunikasi Matematis adalah kemampuan komunikasi tertulis yang meliputi ; menghubungkan benda nyata, gambar dan diagram ke dalam ide matematika; menjelaskan ide, situasi, dan relasi matematika secara tertulis dengan benda nyata, gambar, dan aljabar; serta menyatakan peristiwa sehari-hari dalam bahasa atau simbol matematika b. Pembelajaran Berbasis Masalah dengan Strategi Talking Stick (PBM TS) adalah model pembelajaran PBM yang memanfaatkan stick sebagai alat penunjang strategi mengaktifkan siswa dengan kesepakatan/aturan bahwa siswa/ kelompok yang mendapat giliran sebagai pemegang stick berkewajiban menjawab pertanyaan yang muncul dalam setiap sintak yang berkaitan dengan mengkonstruksi/ membangun maupun pengecekan pemahaman konsep dalam kegiatan belajar mengajar. c. Pembelajaran Konvensional Dalam penelitian ini pembelajaran konvensional yang dimaksud adalah pembelajaran ekspositori yaitu metode penyampaian materi pelajaran yang meliputi gabungan dari metode ceramah, metode tanya jawab dan metode penugansan agar siswa dapat menguasai materi pelajaran secara optimal. Teknik Analisis Data Data hasil pretes, postes dan n-gain kemampuan komunikasi matematis diolah dengan menggunakan statistik deskriptif untuk melihat gambaran umum pencapaian kemampuan komunikasi matematis. Statistik deskriptif terdiri dari rata-rata dan simpangan baku. Selanjutnya, dilakukan uji inferensial untuk menguji hipotesis menggunakan uji parametrik ataupun non parametrik untuk melihat hasil pencapaian dan peningkatan kemampuan komunikasi matematis siswa secara keseluruhan maupun berdasarkan KMA. Adapun untuk lebih jelasnya tahapan pengolahan dan analisis data hasil pretes dan postes adalah sebagai berikut: a. Pengelompokkan siswa berdasarkan Kemampuan Matematik Awal (KMA). Kategori ini dikelompokkan menjadi tiga, yaitu siswa yang berkemampuan rendah, sedang dan tinggi. Penentuan KMA berdasarkan rata-rata nilai UAS dan hasil tes uji prasyarat b. Memberikan skor jawaban siswa sesuai dengan alternatif jawaban dan rubrik penskoran yang digunakan c. Membuat tabel skor pretes, postes dan ngain yang terjadi di kelas PBM TS dan kelas PE secara keseluruhan maupun Pendidikan Matematika Universitas Muhammadiyah Purworejo , Ruang Seminar UMP, Sabtu, 28 Mei 2016 775 berdasarkan KMA siswa d. Membandingkan skor pretest dan posttest untuk mencari peningkatan (gain) yang terjadi sesudah pembelajaran pada masingmasing kelompok kemudian menentukan skor gain ternormalisasi (n-gain) e. Menetapkan tingkat kesalahan atau tingkat signifikansi yaitu 5% (α = 0,05) f. Sebelum dilakukan uji hipotesis, perlu dilakukan uji normalitas dan uji homogenitas variansi data g. Hipotesis penelitian diuji menggunakan statistik inferensia. Hipotesis yang diuji adalah : 1) Terdapat perbedaan pencapaian kemampuan komunikasi matematis antara siswa yang menggunakan model PBM strategi talking stick dengan siswa yang menggunakan model pembelajaran konvensional 2) Terdapat perbedaan peningkatan kemampuan komunikasi matematis antara siswa yang menggunakan model PBM strategi talking stick dengan siswa yang menggunakan model pembelajaran konvensional 3) Terdapat perbedaan peningkatan kemampuan komunikasi matematis antara siswa yang menggunakan model PBM strategi talking stick dengan siswa yang menggunakan model pembelajaran konvensional untuk siswa kategori KMA rendah 4) Terdapat perbedaan peningkatan kemampuan komunikasi matematis antara siswa yang menggunakan model PBM strategi talking stick dengan siswa yang menggunakan model pembelajaran konvensional untuk siswa kategori KMA sedang 5) Terdapat perbedaan peningkatan kemampuan komunikasi matematis antara siswa yang menggunakan model PBM strategi talking stick dengan siswa yang menggunakan model pembelajaran konvensional untuk siswa kategori KMA tinggi 4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 HASIL a. Deskripsi pencapaian dan peningkatan kemampuan komunikasi komunikasi matematis siswa Data kemampuan komunikasi matematis siswa diperoleh melalui pretes, postes dan ngain. Rangkuman deskripsi hasil pretes, postes, dan n-gain siswa yang menggunakan Pembelajaran Berbasis Masalah dengan strategi Talking Stick (PBM TS) dan siswa yang memperoleh pembelajaran konvensional (PK) pada Tabel 4.1 Tabel 4.1 Statistik Deskriptif Kemampuan Komunikasi Matematis Kel as Pretes KMA N-Gain N S S S Rendah 8 28 5,9 5 68, 63 9,7 8 0, 57 0, 12 Sedang 2 6 38, 54 9,5 8 83 9,9 6 0, 72 0, 17 6 51, 33 3,2 7 93 8,3 4 0, 86 0, 17 Keseluru han 4 0 38, 35 10, 70 81, 63 12, 06 0, 71 0, 18 Rendah 4 35, 50 8,1 9 60, 50 12, 56 0, 37 0, 23 Sedang 2 3 36, 96 8,0 1 69, 17 10, 81 0, 51 0, 16 Tinggi 1 2 48 12, 74 81, 25 12, 93 0, 65 0, 24 Keseluru han 3 9 40, 21 10, 82 72 13, 20 0, 54 0, 21 PB M Tinggi TS PK Postes Skor maksimal pada penelitian ini adalah 12, namun dalam penyajiannya sudah diolah dalam skala 100. Pencapaian kemampuan komunikasi matematis siswa pada 776 Prosiding Seminar Nasional Matematika dan Pendidikan Matematika. “Internalisasi Nilainilai Berpikir Matematis Dalam Peranannya di Era Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA)” kedua kelas dapat dilihat pada hasil postes. Secara umum kondisi kemampuan siswa setelah pembelajaran mengalami peningkatan. Berdasarkan Tabel 4.1 terlihat bahwa rata-rata postes kemampuan komunikasi matematis siswa pada kelas PBM TS 81,63 dan kelas PK 72,00 terdapat selisih 9,63 yang menunjukkan bahwa pencapaian kemampuan komunikasi matematis siswa kelas PBM TS cenderung lebih tinggi dibandingkan kelas PK atau terdapat perbedaan pencapaian kemampuan komunikasi matematis pada kelas PBM TS dan PK. Namun untuk menguji asumsi tersebut perlu dilakukan pengujian statistik terhadap hasil postes kedua kelas. Pada Tabel 4.1 memperlihatkan bahwa sebelum pembelajaran, skor rata-rata kemampuan awal komunikasi matematis siswa yang belajar menggunakan PBM TS sebesar 38,35 kemudian skor rata-rata kemampuan akhir sebesar 81,63. Berdasarkan nilai pretes dan postes tersebut, terdapat peningkatan sebesar 43,28 % dengan kualitas ( 0,71 yang termasuk dalam klasifikasi tinggi, sedangkan kelas yang menggunakan pembelajaran konvensional, rata-rata nilai kemampuan awal komunikasi matematis siswa mencapai 40,21 dan rata-rata nilai kemampuan akhir sebesar 72,00. Dengan demikian, peningkatan kemampuan komunikasi matematis siswa sebesar 31,79 % dengan kualitas 0,54 yang termasuk dalam klasifikasi sedang. Perbedaan rata-rata kemampuan komunikasi matematis dari kedua kelompok pembelajaran secara grafik diperlihatkan pada Gambar 4.1 berikut Gambar 4.1 Perbandingan Rata-rata Nilai Pretes dan Postes Kemampuan Komunikasi Matematis Berdasarkan diagram batang pada gambar 4.1 terlihat bahwa nilai pretes kelas PBM TS dan PK tidak berbeda jauh. Setelah pembelajaran dilaksanakan terjadi peningkatan pada kemampuan komunikasi matematis siswa yang ditunjukkan oleh nilai postes. b. Analisis Kemampuan Awal Komunikasi Matematis Sebelum dilakukan uji perbedaan rerata, terlebih dahulu dilakukan uji normalitas, sebagai prasyarat dalam menentukan uji statistik yang akan digunakan. Untuk melihat apakah data berdistribusi normal, dilakukan uji normalitas dengan menggunakan uji statistik Shapiro Wilk. Hipotesis uji normalitas nilai pretes kemampuan komunikasi matematis kelas PK dan kelas PBM TS pada masingmasing KMA (rendah, sedang, tinggi) adalah: H0 : data berdistribusi normal Ha : data berdistribusi tidak normal Dengan kriteria, tolak H0 jika nilai Sig. < α = 0,05. Hasil rangkuman uji normalitas disajikan pada Tabel 4.2 Pendidikan Matematika Universitas Muhammadiyah Purworejo , Ruang Seminar UMP, Sabtu, 28 Mei 2016 777 Tabel 4.2 Hasil Uji Normalitas Skor Pretes Kemampuan Komunikasi Matematis Shapiro Wilk Kela s KMA Keseluruh an Rendah Sedang Tinggi Kesimpul an Statist ic Sig PB M TS 0,944 0,046 H0 Ditolak PK 0,947 0,065 H0 Diterima PB M TS 0,962 0,027 H0 Ditolak serta kategori KMA tinggi kelas PBM TS. Selanjutnya karena setiap kategori terdapat data berdistribusi tidak normal, maka pada semua kategori KMA dilanjutkan pada uji perbedaan rata-rata ranking skor pretes dengan menggunakan uji statistik Mann-Whitney pada keseluruhan dan masing-masing ketiga kategori. Hipotesis penelitian yang akan diuji adalah “Tidak terdapat perbedaan rata-rata rangking nilai pretes kemampuan komunikasi matematis siswa yang menggunakan PBM TS dengan siswa yang menggunakan pembelajaran konvensional.” Hipotesis PK 0,864 0,276 H0 Diterima PB M TS 0,931 0,005 H0 Ditolak PK 0,920 0,012 H0 Ditolak PB M TS 0,776 0,000 H0 Ditolak PK 0,931 0,110 H0 Diterima H0 : = Ha : ≠ dengan : rata-rata rangking nilai pretes kemampuan komunikasi matematis siswa yang menggunakan PBM TS (kelas eksperimen) : rata-rata rangking nilai pretes kemampuan komunikasi matematis siswa yang menggunakan pembelajaran konvensional (kelas kontrol) Kriteria pengujian Dari tabel 4.6 diperoleh nilai signifikansi semua kategori terdapat kelas yang Sig < α = 0,05. Pada keseluruhan PBM TS (0,046), kategori rendah kelas PBM TS (0,027), kategori sedang kedua kelas PE (0,012) dan PBM TS (0,005), serta pada kategori tinggi kelas PBM TS (0,000) masing-masing Sig < α = 0,05. Sehingga H0 ditolak, artinya data berdistribusi tidak normal pada keseluruhan kelas PBM TS, kategori rendah kelas PBM TS, kategori sedang kelas PK dan PBM TS, 778 Tolak H0 jika nilai Sig. < α = 0,05 dan terima H0 untuk lainnya. Hasil rangkuman uji perbedaan disajikan pada Tabel 4.3 Tabel 4.3 Uji Mann-Whitney Kemampuan Awal Komunikasi Matematis Siswa KMA Keseluruha n Kela s PB M Asymp . Sig. (Sig 2 tailed) 0,463 Kesimpula n Keteranga n H0 diterima Tidak terdapat Prosiding Seminar Nasional Matematika dan Pendidikan Matematika. “Internalisasi Nilainilai Berpikir Matematis Dalam Peranannya di Era Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA)” TS >< PK PB M TS >< PK PB M TS >< PK Rendah Sedang perbedaan rerata H0 diterima 0,567 H0 diterima Tidak terdapat perbedaan Tidak terdapat perbedaan PB M TS >< PK Tinggi 0,126 0,487 H0 diterima Tidak terdapat perbedaan Berdasarkan uji Mann-Whitney, diperoleh nilai signifikansi kelas PBM TS dan PK baik secara keseluruhan maupun berdasarkan KMA siswa memiliki nilai signifikansi yang lebih besar dari α = 0,05. Hal ini menunjukkan bahwa H0 diterima, artinya baik secara keseluruhan maupun berdasarkan kategori KMA rendah, sedang dan tinggi, siswa yang memperoleh pembelajaran PBM TS dengan siswa yang menggunakan pembelajaran konvensional memiliki kemampuan yang sama. c. Analisis Kemampuan Akhir Komunikasi Matematis Berdasarkan pengolahan terhadap kedua kelas data nilai postes, diperoleh sebagai berikut. Tabel 4.4 Hasil Postes Kemampuan Komunikasi Matematis postes pada kelas PBM TS dan kelas PK memiliki perbedaan. Persentase nilai kelas PBM TS 9,65% lebih tinggi daripada kelas PK. Rata-rata skor postes atau pencapaian kemampuan komunikasi matematis siswa kelas PBM TS lebih tinggi dari kelas PK. Namun, perlu dilakukan uji perbedaan rerata untuk menunjukkan bahwa rerata skor porstes kedua kelas berbeda atau tidak secara signifikan. Uji perbedaan rerata ini dilakkukan unuk menjawab pertanyaan penelitian terkait dengan hipotesis penelitian 1. Sebelum dilakukan uji perbedaan rerata, terlebih dahulu dilakukan uji normalitas, sebagai persyaratan dalam menentukan uni statistik yang digunakan, rangkuman hasil uji normalitas dan homogenitas dapat dilihat pada lampiran. Untuk mengetahui secara signifikansi adanya perbedaan pencapaian tersebut maka diajujkan hipotesis berikut: Hipotesis 1 H0: Tidak terdapat perbedaan nilai postes kemampuan komunikasi matematis siswa yang menggunakan pembelajaran PBM TS dengan siswa yang menggunakan pembelajaran konvensional HA: Terdapat perbedaan nilai postes kemampuan komunikasi matematis siswa yang menggunakan pembelajaran PBM TS dengan siswa yang menggunakan pembelajaran konvensional Krieteria pengujian Kela s Jumla h Siswa PBM TS 40 Nila i Idea l Pretes S 58 100 81,6 3 11,9 6 50 100 71,9 8 13,1 7 100 PK 39 Tabel 4.4 menunjukkan bahwa rerata hasil Tolak H0 jika nilai Sig. < α = 0,05 dan terima H0 untuk lainnya hasil rangkuman uji perbedaan rata-rata data postes kemampuan komunikasi matematis disajikan pada Tabel 4.5 Tabel 4.5 Pendidikan Matematika Universitas Muhammadiyah Purworejo , Ruang Seminar UMP, Sabtu, 28 Mei 2016 779 Uji Mann-Whitney Kemampuan Akhir Komunikasi Matematis Siswa Data Postes Asymp. Sig. (Sig 2 tailed) 0,002 Kesimpulan Keterangan H0 ditolak Terdapat perbedaan rerata Nilai signifikansi uji Mann- Whitney untuk skor postes adalah 0,002, nilai ini lebih kecil daripada taraf signifikansi α = 0,05 sehingga H0 ditolak, Jadi dapat disimpulkan bahwa terdapat perbedaan pencapaian kemampuan komunikasi matematis antara siswa yang meggunakan PBM TS dengan siswa yang menggunakan pembelajaran konvensional. d. Analisis Peningkatan Komunikasi Matematis Kemampuan Untuk melihat peningkatan kemampuan komunikasi matematis yang dicapai oleh siswa digunakan data gain ternormalisasi (N-gain). Sehingga data yang dianalisis dalam penelitian ini adalah gain yang telah ternormalisasi. Berikut adalah rata-rata n-gain kemampuan komunikasi matematis baik dengan PBM TS maupun dengan PE pada masing-masing KAM. Berikut ini disajikan rekapitulasi rerata N-gain beserta klasifikasinya. Tabel 4.6 Rata-rata N-gain Kemampuan Komunikasi Matematis Pembela jaran Kate gori S Rend ah PBM TS Seda ng 0, 57 0, 71 Tingg i Konvens 780 Rend 0, 72 0, 18 0, 86 0, 0, 0, ah ional 54 37 21 3 ng Seda ng 0, 51 0, 16 2 3 Seda ng Tingg i 0, 65 0, 24 1 2 Seda ng Kategori N-gain : g ≥ 0,7 (Tinggi); 0,7> g ≥0,3 (Sedang); g < 0,3 (Rendah) Pada tabel 4.13 menunjukkan bahwa rata-rata n-gain seluruh siswa PBM TS lebih tinggi dari seluruh siswa kelas PE dengan selisih 0,17. Peningkatan kemampuan komunikasi matematis siswa KMA rendah kelas PBM TS lebih tinggi dari pada siswa KMA rendah kelas konvensional dengan selisih 0,20, siswa KMA sedang kelas PBM TS lebih tinggi dari pada siswa KMA sedang kelas konvensinonal dengan selisih 0,21, dan siswa KMA tinggi kelas PBM TS lebih tinggi dari pada siswa KMA tinggi kelas konvensional dengan selisih 0,21. Namun, perlu dilakukan uji perbedaan rata-rata untuk menunjukkan bahwa rata-rata n-gain kedua kelas berbeda atau tidak secara signifikan. Untuk mengetahui signifikansi perbedaan peningkatan kemampuan penalaran matematis siswa secara keseluruhan, perlu dilakukan perhitungan pengujian statistik dengan menggunakan uji perbedaan rata-rata dua kelompok Sebelum dilakukan uji perbedaan rata-rata, terlebih dahulu dilakukan uji normalitas dan uji homogenitas terhadap n-gain pada kedua kelas, sebagai persyaratan dalam menentukan uji statistik yang akan digunakan dapat dilihat pada lampiran. N Kate gori 0, 12 8 Seda ng 0, 17 2 6 Tingg i Untuk mengetahui secara signifikansi adanya perbedaan peningkatan tersebut maka diajujkan hipotesis berikut: 0, 17 6 Tingg i Hipotesis 2 0, 4 Seda H0: Tidak terdapat perbedaan peningkatan kemampuan komunikasi matematis siswa Prosiding Seminar Nasional Matematika dan Pendidikan Matematika. “Internalisasi Nilainilai Berpikir Matematis Dalam Peranannya di Era Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA)” yang menggunakan pembelajaran PBM TS dengan siswa yang menggunakan pembelajaran konvensional HA: kelompok rendah HA: Terdapat perbedaan peningkatan kemampuan komunikasi matematis siswa yang menggunakan pembelajaran PBM TS dengan siswa yang menggunakan pembelajaran konvensional Terdapat perbedaan peningkatan kemampuan komunikasi matematis siswa yang menggunakan pembelajaran PBM TS dengan siswa yang menggunakan pembelajaran konvensional untuk kelompok rendah Krieteria pengujian Krieteria pengujian Tolak H0 jika nilai Sig. < α = 0,05 dan terima H0 untuk lainnya Tabel 4.7 Hasil Uji Perbedaan Rata-rata Data N-Gain Kemampuan Komunikasi Matematis Siswa Kelas PBM TS dan Kelas PE 3,864 Df Sig(2tiled) 77 0,000 Tabel 4.8 Hasil Uji Perbedaan Rata-rata Data N-Gain Kemampuan Komunikasi Matematis Siswa Kelas PBM TS dan Kelas PE Kategori KMA Rendah t-tes for Equality of Means t-tes for Equality of Means T Tolak H0 jika nilai Sig. < α = 0,05 dan terima H0 untuk lainnya Keterangan Kesimpulan H0 Ditolak Terdapat perbedaan Dari tabel 4.7 didapat nilai signifikansi sebesar 0,000 lebih kecil dari α = 0,05. Sehingga dapat disimpulkan bahwa hipotesis nol ditolak, atau dapat dikatakan bahwa terdapat perbedaan peningkatan kemampuan komunikasi matematis antara siswa yang menggunakan pembelajaran PBM TS dengan siswa yang menggunakan pembelajaran konvensional. Hipotesis 3 H0: Tidak terdapat perbedaan peningkatan kemampuan komunikasi matematis siswa yang menggunakan pembelajaran PBM TS dengan siswa yang menggunakan pembelajaran konvensional untuk T df Sig(2tiled) 1,924 10 0,083 Keteran gan Kesimpulan H0 Diterima Tidak terdapat perbedaan Dari tabel 4.8 hasil uji independent samples t-test didapat nilai signifikansi sebesar 0,083 lebih besar dari α = 0,05. Sehingga dapat disimpulkan bahwa H0 diterima. Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa tidak terdapat perbedaan peningkatan kemampuan komunikasi matematis antara siswa yang menggunakan model PBM TS dengan siswa yang menggunakan model pembelajaran konvensional untuk siswa kategori KMA rendah. Hipotesis 4 H0: Tidak terdapat perbedaan peningkatan kemampuan komunikasi matematis siswa yang menggunakan pembelajaran PBM TS dengan siswa yang menggunakan pembelajaran konvensional untuk Pendidikan Matematika Universitas Muhammadiyah Purworejo , Ruang Seminar UMP, Sabtu, 28 Mei 2016 781 Tolak H0 jika nilai Sig. < α = 0,05 dan terima H0 untuk lainnya kelompok sedang HA: Terdapat perbedaan peningkatan kemampuan komunikasi matematis siswa yang menggunakan pembelajaran PBM TS dengan siswa yang menggunakan pembelajaran konvensional untuk kelompok sedang Tabel 4.10 Uji Perbedaan Rata-rata Data N-Gain Kemampuan Komunikasi Matematis Siswa Kelas PBM TS dan Kelas PE Kategori KMA Tinggi Data Asymp Sig (Sig. 2 tailed) Kesimp ulan Keterangan Ngain 0,096 H0 diterima Tidak terdapat perbedaan ratarata Krieteria pengujian Tolak H0 jika nilai Sig. < α = 0,05 dan terima H0 untuk lainnya Tabel 4.9 Hasil Uji Perbedaan Rata-rata Data N-Gain Kemampuan Komunikasi Matematis Siswa Kelas PBM TS dan Kelas PE Kategori KMA Sedang Dari tabel 4.10 uji Mann-Whitney , Dari tabel 4.9 didapat nilai signifikansi sebesar 0,000 lebih kecil dari α = 0,05. Sehingga dapat disimpulkan bahwa H0 ditolak. Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa terdapat perbedaan peningkatan kemampuan komunikasi matematis antara siswa yang menggunakan model PBM TS dengan siswa yang menggunakan model pembelajaran konvensional untuk siswa kategori KMA sedang. Hipotesis 5 H0: Tidak terdapat perbedaan peningkatan kemampuan komunikasi matematis siswa yang menggunakan pembelajaran PBM TS dengan siswa yang menggunakan pembelajaran konvensional untuk kelompok tinggi HA: Terdapat perbedaan peningkatan kemampuan komunikasi matematis siswa yang menggunakan pembelajaran PBM TS dengan siswa yang menggunakan pembelajaran konvensional untuk kelompok tinggi Krieteria pengujian 782 t-tes for Equality of Means T -4,350 df Sig(2tiled) 47 0,000 Ketera ngan H0 Ditolak Kesimpulan Terdapat perbedaan diperoleh nilai signifikansinya adalah 0,096. Nilai tersebut lebih besar dari taraf signifikansi α = 0,05. Sehingga H0 diterima, artinya tidak terdapat perbedaan peningkatan kemampuan komunikasi matematis antara siswa yang menggunakan model PBM dengan strategi talking stick dengan siswa yang menggunakan model pembelajaran konvensional untuk siswa kategori KMA tinggi 4.2 PEMBAHASAN Hasil analisis pretes menunjukkan kedua kelas sampel bereda pada kondisi yang sama sebelum pembelajaran. Pada pelaksanaan pembelajaran, pertemuan pertama hingga akhir berdasarkan pengamatan, siswa mengalami peningkatan tingkat kepercayaan diri/ self confidence dan komunikasi secara verbal. Prosiding Seminar Nasional Matematika dan Pendidikan Matematika. “Internalisasi Nilainilai Berpikir Matematis Dalam Peranannya di Era Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA)” Terlihat dari aktifitas siswa dalam menyampaikan pendapat, mengungkapkan ide, dan meningkatnya antusias dalam mempresentasikan hasil karya. Strategi talking stick yang awalnya bertujuan untuk mengaktifkan siswa dalam model pembelajaran, yaitu mendorong siswa untuk menjawab atau mempresentasikan hasil karyanya, justru setelah beberapa pertemuan pada kelas eksperimen yang menggunakan model PBM dengan strategi talking stick ini bukan lagi untuk menentukan siswa/kelompok yang berkewajiban menjawab pertanyaan dari guru/ kelompok penyaji, namun untuk menentukan siswa/ kelompok yang berhak menjawab/ mempresentasikan hasil karya. Tingginya antusias ini disebabkan karena meningkatnya self confiden