Pendidikan Matematika Universitas - E

advertisement
PENANAMAN NILAI – NILAI BERPIKIR MATEMATIS
MELALUI PEMBELAJARAN MATERI PROGRAM LINIER
PADA PESERTA DIDIK SMK N 2 GEDANGSARI
1
Esti Rahayu 1 Abdullah Sugeng Triyuwono 2
Guru SMK N 2 Gedangsari, Gunungkidu, DIY. Email : [email protected]
2
Guru SMK N 2 Gedangsari, Gunungkidu, DIY. Email : [email protected]
Abstrak
Pelaksanaan Masyarakat Ekonomi Asean (MEA) memberi dampak arus bebas tenaga kerja antar
negara ASEAN. SMK N 2 Gedangsari merupakan salah satu tempat strategis dalam mencetak
tenaga kerja tingkat menengah yang memiliki kemampuan berpikir matematis, agar Indonesia
mampu bersaing dengan negara lain. Kemampuan berfikir matematis adalah kemampuan
seseorang untuk mampu berfikir logis dan sistematis dalam menghadapi berbagai masalah baik
dalam matematika maupun dalam menyelesaikan masalah kehidupannya. Kemampuan berpikir
ini dapat mendorong peserta didik untuk selalu menyelesaikan permasalahan dengan melihat
berbagai sudut pandang berdasarkan pengetahuan atau pengalaman sebelumnya dengan disertai
alasan atau dasar yang tepat/logis. Program linier adalah salah satu materi dalam matematika
yang dapat mengarahkan siswa untuk menerapkan kemampuan berpikir matematis. Pencarian
nilai optimum dalam permasalahan program linier dilalui dengan tiga tahap yaitu menyajikan
permasalahan dalam model matematika, kemudian membuat grafik himpunan penyelesaian dan
mencari nilai optimumnya.
Kata Kunci : MEA, nilai – nilai berpikir matematis, program linier.
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
ASEAN merupakan kekuatan ekonomi
yang terdiri dari 10 negara yaitu Indonesia,
Malaysia, Filiphina, Singapura, Thailand,
Brunai Darusalam, Vietnam, Laos, dan
Kamboja.
Pembentukan
Masyarakat
Ekonomi Asean (MEA) berawal dari
kesepakatan para pemimpin ASEAN dalam
Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) pada
Desember 1997 di Kuala lumpur, Malaysia.
Pelaksanaan Masyarakat ekonomi ASEAN
(MEA) menjadikan ASEAN sebagai
kawasan pasar dan produk tunggal. Dampak
dari pelaksanaan MEA antara lain aliran
bebas; barang, jasa, investasi, tenaga kerja
dan modal bagi negara – negara ASEAN.
Hambatan yang dialami Indonesia
pada pelaksanaan MEA antara lain mutu
pendidikan tenaga kerja masih rendah,
kurangnya
ketersediaan dan
kualitas
infrastruktur, lemahnya Indonesia dalam
menghadapi produk impor sehingga produk
lokal menjadi kalah bersaing di pasar negeri
sendiri. Hambatan- hambatan ini harus
segera di cari solusinya agar indonesia
mampu bersaing dengan negara lain.
Langkah strategis dalam menghadapi
Masyarakat Ekonomi Asean (MEA) adalah
mempersiapkan sumber daya manusia yang
memiliki kualitas tinggi. Dalam menghadapi
persaingan tenaga kerja di era MEA yang
dibutuhkan adalah keahlian dan keterampilan
yang berstandar internasional. SMK sebagai
salah satu sekolah yang diharapkan mampu
mencetak tenaga kerja yang ahli dan terampil
hendaknya mempersiapkan peserta didiknya
sebaik mungkin. Salah satu cara yang dapat
dilakukan oleh SMK adalah mengembangkan
program pendidikan yang berfokus pada
pengembangan kemampuan berpikir.
Matematika merupakan salah satu
pelajaran di SMK yang secara substansial
dapat
mendorong
pengembangan
Pendidikan Matematika Universitas Muhammadiyah Purworejo,
Ruang Seminar UMP, 28 Mei 2016
421
kemampuan berpikir peserta didik. Konsepkonsep dalam matematika tersusun secara
hierarkis, terstruktur, logis, dan sistematis
mulai dari konsep yang sederhana sampai
yang paling kompleks, sehingga memerlukan
kemampuan berpikir matematis yang baik
untuk memahaminya.
Program linier adalah salah satu materi
dalam matematika yang diberikan pada
peserta didik SMK N 2 Gedangsari kelas X.
Dalam materi ini diajarkan metode
matematik dalam mengalokasikan sumber
daya yang langka atau terbatas untuk
mencapai
tujuan
tunggal
seperti
memaksimumkan
keuntungan
atau
meminimumkan biaya. Tahap tahap yang
dilalui dalam mencapai tujuan tunggal
tersebut dapat mengarahkan peserta didik
untuk menanamkan nilai – nilai berpikir
matematis pada dirinya. Nilai nilai inilah
yang menjadi bekal peserta didik setela lulus,
agar dapat bersaing dengan tenaga kerja
terampil lainnya.
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang yang
telah diuraikan di atas, dapat diperoleh
rumusan masalah sebagai berikut :
Apakah nilai – nilai berpikir matematis dapat
ditanamkan pada peserta didik SMK N 2
Gedangsari melalui pembelajaran materi
program linier?
C. Tujuan
Untuk menanamkan nilai – nilai
berpikir matematis melalui materi program
linier pada peserta didik SMK N 2
Gedangsari
422
KAJIAN LITERATUR
A. Nilai - Nilai Berpikir Matematis
Darmodiharjo
(dalam
Setiadi,
2006:117) mengungkapkan nilai merupakan
sesuatu yang berguna bagi manusia baik
jasmani maupun rohani . Pepper (dalam
Soelaeman, 2005:35) mengatakan bahwa
nilai adalah segala sesuatu tentang yang baik
atau yang buruk. Sejalan dengan pengertian
tersebut,
Soelaeman
(2005)
juga
menambahkan bahwa nilai adalah sesuatu
yang dipentingkan manusia sebagai subjek,
menyangkut segala sesuatu yang baik atau
yang buruk, sebagai abstraksi, pandangan
atau maksud dari berbagai pengalaman
dalam seleksi perilaku yang ketat. Dari
beberapa pengertian tersebut dapat diambil
kesimpulan bahwa nilai adalah segala
sesuatu yang baik maupun buruk(etika),
benar maupun salah (logika) yang berguna
bagi manuaia baik jasmani maupun rohani.
Proses berpikir adalah suatu kejadian
yang dialami seseorang ketika menerima
respon sehingga menghasilkan kemampuan
untuk menghubungkan sesuatu dengan
sesuatu lainnya untuk memecahkan atau
menjawab suatu permasalahan. Menurut
Sumarmo, Utari (2010: 4) istilah berpikir
matematis (mathematical thinking) diartikan
sebagai cara berpikir berkenaan dengan
proses matematika(doing math) atau cara
berpikir
dalam
menyelesaikan
tugas
matematis (mathematical task) baik yang
sederhana maupun yang kompleks.
Menurut Henningsen dan Stein
(1997, h. 525), kemampuan berpikir
matematik tingkat tinggi pada hakekatnya
merupakan kemampuan berpikir non
prosedural yang antara lain mencakup hal hal
berikut:
kemampuan
mencari
dan
mengeksplorasi pola untuk memahami
struktur matematik serta hubungan yang
mendasarinya, kemampuan menggunakan
fakta fakta yang tersedia secara efektif dan
Prosiding Seminar Nasional Matematika dan Pendidikan Matematika, “Internalisasi Nilainilai Berpikir Matematis Dalam Perannya di Era Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA)”
tepat
untuk
memformulasikan
serta
menyelesaikan
masalah
kemampuan
membuat ide ide matematik secara
bermakna, kemampuan berpikir dan bernalar
secara
fleksibel
melalui
penyusunan
konjektur, generalisasi, serta kemampuan
menetapkan bahwa suatu hasil pemecahan
masalah bersifat masuk akal atau logis.
Dalam
upaya
mengidentifikasi
perkembangan
kemampuan
berpikir
matematik siswa, Shafer dan Foster (1997),
mengajukan
tiga
tingkatan
berpikir
matematik yaitu tingkatan reproduksi,
koneksi, dan analisis. Tingkatan reproduksi
merupakan tingkatan berpikir paling rendah,
sementara analisis adalah tingkatan berpikir
yang paling tinggi.
Dari uraian di atas dapat diambil
kesimpulan bahwa nilai – nilai berpikir
matematis adalah kemampuan menggunakan
fakta- fakta secara efektif dan tepat untuk
memformulasikan serta menyelesaiakan
permaslahan yang berguna bagi peserta didik
baik.
B.
Pembelajaran matematika
Pembelajaran adalah suatu upaya
yang
dilakukan
oleh
guru
untuk
menyampaikan
ilmu
pengetahuan,
mengorganisir, dan menciptakan sistem
lingkungan
dengan
berbagai
metode
sehingga siswa dapat melakukan kegiatan
belajar secara efektif dan efisien serta dengan
hasil yang optimal Sugihartono (2007: 81).
Pembelajaran matematika adalah proses
interaksi antara guru dan siswa yang
melibatkan pengembangan pola berfikir dan
mengolah logika pada suatu lingkungan
belajar yang sengaja diciptakan oleh guru
dengan berbagai metode agar program
belajar matematika tumbuh dan berkembang
secara optimal dan siswa dapat melakukan
kegiatan belajar secara efektif dan efisien
Peserta didik adalah anak-anak
Indonesia yang berada dalam batas usia
sekolah dasar (6 atau 7 tahun) hingga sekolah
menengah (18 atau 19 tahun). Mereka
dibedakan dalam dua tahapan pendidikan
yaitu Sekolah Dasar dan Sekolah Lanjutan
Tingkat Pertama, dan tahap Pendidikan
Menengah yang meliputi Sekolah Menengah
Umum maupun Kejuruan. Semua tahapan
pendidikan tersebut diberikan pelajaran
matematika, yang disebut juga matematika
sekolah.
C. Program linier
Model program linier dikembangkan
dalam tiga tahap, antara lain pada tahun
1939-1947. Pertama kali dikembangkan oleh
Leonid Vitaliyevich Kantorovich, ahli
matematika Rusia yang memperoleh Soviet
government‟s Leinin Prize pada tahun 1965
dan the Order of Lenin pada tahun 1967;
kedua, oleh Tjalillng Charles Koopmans, ahli
ekonomi dari belanda yang memulai karir
intelektualnya sebagai fisikawan yang
melontarkan teori Kuantum mekanik, dan ke3,
George
Bernard
Dantzig
yang
mengembangkan Algoritma Simpleks.
PEMBAHASAN
Program linier (linear programming)
merupakan metode matematik dalam
mengalokasikan sumber daya yang langka
atau terbatas untuk mencapai tujuan tunggal
seperti memaksimumkan keuntungan atau
meminimumkan biaya. Sumber daya tersebut
dapat berupa sumber daya fisik seperti uang,
tenaga ahli, material (bahan dan mesin)
ataupun bukan fisik.
Pemrograman linier berasal dari kata
pemrograman dan linier. Pemrograman disini
mempunyai arti kata perencanaan, dan linier
ini berarti bahwa fungsi-fungsi yang
digunakan merupakan fungsi linier. Secara
Pendidikan Matematika Universitas Muhammadiyah Purworejo,
Ruang Seminar UMP, 28 Mei 2016
423
umum arti dari pemrograman linier adalah
suatu teknik perencanaan yang bersifat
analisis yang analisis-analisisnya memakai
model
matematika,
dengan
tujuan
menemukan beberapa kombinasi alternatif
pemecahan masalah kemudian dipilih yang
terbaik di antaranya dalam rangka menyusun
strategi dan langkah-langkah kebijaksanaan
lebih lanjut tentang alokasi sumber daya dan
dana yang terbatas guna mencapai tujuan dan
sasaran yang di inginkan secara optimal.
Tahap – tahap untuk mencapai tujuan tunggal
dalam program linier adalah :
1. Membuat model matematika
Model matematika dalam program linier
adalah
suatu
bentuk
sistem
pertidaksamaan atau persamaan linier
yang dibentuk dengan menerjemahkan
suatu persoalan dalam kehidupan seharihari ke dalam bahasa matematika. Model
matematika terdiri dari fungsi kendala
fungsi obyektif.
2. Membuat grafik himpunan penyelesaian
dengan langkah-langkah :
a. Menentukan batas daerah
b. Menentukan daerah yang memenuhi
pertidaksamaan
dengan
mengambil
sembarang titik koordinat di luar garis
Tahap tahap yang dilalui untuk mencapai
tujuan tunggal dalam program linier dapat
mengarahkan
peserta
didik
untuk
menanamkan nilai – nilai berpikir matematis.
Materi program liniaer diberikan pada
tahap pendidikan sekolah menengah. Di
SMK Negeri 2 gedangsari khususnya jurusan
Busana Butik, materi ini diberikan di kelas X
semester genap. Dalam mempelajari materi
program linier peserta didik diarahkan untuk
menanamkan nilai – nilai berpikir matematis.
Proses berpikir matematis dapat terlihat
dalam contoh berikut:
Soal program linier
Seorang pengusaha ingin membuat roti jenis
A dan jenis B, Untuk membuat roti jenis A
diperlukan 200 gram tepung dan 80 gram
gula. Sedangkan untuk membuat roti jenis B
diperlukan 1 kg tepung dan 300 gram gula.
Apabila disediakan 20 kg tepung dan 6 kg
gula, berapakah roti yang harus dibuat agar
diperoleh roti yang sebanyak-banyaknya?
Jawab
1. Tahap 1, membuat model matematika
(peserta didik diarahkan untuk mengubah
fakta fakta menjadi bentuk matematika
secara efektif dan tepat)
persamaan linier.
3. Menentukan nilai optimum (maksimum
Mengubah soal cerita ke dalam model
matematika
dan minimum) pada daerah penyelesaian
sistem pertidaksamaan
a. Menentukan daerah penyelesaian dari
Bahan
yang
diperlukan
Jenis baju
A
B
Bahan
yang
disediakan
Tepung
200 gr
1000 gr
20.000 gr
Gula
80 gr
300 gr
6.000 gr
sistem pertidaksamaan pada grafik
b. Menentukan
daerah
titik
koordinat
penyelesaian
sudut
sistem
pertidaksamaan
Menentukan nilai fungsi objektif dari
titik
koordinat
sudut
daerah
penyelesaian.
424
Misal roti jenis A dibuat sebanyak x dan
roti jenis B dibuat sebanyak y, maka
model matematikanya adalah sebagai
berikut:
Prosiding Seminar Nasional Matematika dan Pendidikan Matematika, “Internalisasi Nilainilai Berpikir Matematis Dalam Perannya di Era Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA)”
200x + 1000y  20.000
x + 5y  100
kesimpulan dari dari fakta – fakta maupun
atau
formulasi yang telah dibuat sebelumnya)
Menentukan nilai f(x,y) = x + y pada titik
sudut daerah penyelesaian
80x + 300y  6.000
4x + 15y  300
Pada titik O (0,0) nilai f = 0 + 0 = 0
x0;y0
x0;y0
Pada titik A (75,0) nilai f = 75 + 0 = 75
fungsi objektif adalah f(x,y) = x + y
Pada titik B (0,20) nilai f = 0 + 20 = 20
2. Tahap 2, membuat grafik himpunan
Jadi agar memperoleh roti yang sebanyakbanyaknya (maksimal) maka roti jenis A
dibuat sebanyak 75 buah dan roti jenis B
dibuat sebanyak 0 (tidak dibuat).
penyelesaian ( Peserta didik diarahkan
untuk
mengubah
model
matematika
menjadi bentuk grafik sehingga terlihat
penyelesainnya)
50
Menentukan
daerah
himpunan
penyelesaian sistem pertidaksamaan
40
x + 5y  100; 4x + 15y  300; x  0; y  0
B
x + 5y = 100
30
x
0
100
y
20
0
(x,y)
(0,20)
(100,0)
-10
A
10 20 30 40 50 60 70 80 90 100 110
20
PENUTUP
A. Kesimpulan
1.
4x + 15y = 300
x
0
75
y
20
0
(x,y)
(0,20)
(75,0)
Pada
pelaksanaan
MEA
Indonesia
membutuhkan tenaga kerja terampil
tingkat
menengah
yang
memiliki
kemampuan berpikir matematis.
Daerah
OAB
adalah
daerah
himpunan penyelesaian. Dimana titik
O(0,0), A(75,0), B(0,20)
2.
SMK adalah tempat strategis dalam
mencetak tenaga kerja terampil tingkat
menengah sehingga pembelajaran di
SMK harus ditingkatkan kualitasnya
3.
Materi
program
3. Tahap 3, menentukan nilai optimum(
mengarahkan
peserta
peserta didik diarahkan dapat membuat
menanamkan
nilai
linier
didik
nilai
dapat
untuk
berpikir
matematis
Pendidikan Matematika Universitas Muhammadiyah Purworejo,
Ruang Seminar UMP, 28 Mei 2016
425
Nasional, Jakarta, PT
Pustaka Utama, 2008
B.
Gramedia
Saran
Nilai nilai berpikir matematis sangat
dibutuhkan peserta didik sebagai bekal
mereka setelah lulus agar dapat bersaing
dengan tenaga kerja lain, jadi sebaiknya
proses pembelajaran di SMK
ditingkatkan kualitasnya.
Daftar Pustaka
Griyawardani.2011.Nilai
–
nilai
pendidikan
[online]
https://griyawardani.wordpress.com
tanggal 10 Mei 2016
Hakikat
berpikir
kritis
dan
implementasinnya
[online]
https://budie13.wordpress.com,
tanggal 18 Mei 2016
P. Gendra Priyadi, Matematika Program
keahlian Seni, Pariwisata, sosial,
Administrasi
perkantoran,
dan
teknologi kerumahtanggaan uuntuk
MK dan MAK kelas X
Sugihartono, dkk (2007) Psikologi
Pendidikan, Yogyakarta : UNY Press
Sumarmo, Utari. 2010. Berpikir dan
Disposisi Matematik: Apa, Mengapa,
dan Bagaimana Dikembangkan pada
Peserta Didik. Artikel pada FPMIPA
UPI
Bandung.
[online]
https://www.academia.edu/, tanggal
10 Mei 2016
P. Gendra Priyadi, Matematika Program
keahlian Seni, Pariwisata, sosial,
Administrasi
perkantoran,
dan
teknologi kerumahtanggaan uuntuk
SMK dan MAK kelas X
Kamus Besar Bahasa Indonesia Pusat
Bahasa : Departemen Pendidikan
426
Prosiding Seminar Nasional Matematika dan Pendidikan Matematika, “Internalisasi Nilainilai Berpikir Matematis Dalam Perannya di Era Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA)”
PENERAPAN MODEL PEMBELAJARAN STUDENT TEAM ACHIEVEMENT
DIVISION DAN FLEMING UNTUK MENGEMBANGKAN
KOMUNIKASI MATEMATIS
Nita Susanti 1), Puji Nugraheni 2) , Riawan Yudi Purwoko 3
Prodi Pendidikan Matematika, Universitas Muhammadiyah Purworejo
email: [email protected]
2
Prodi Pendidikan Matematika, Universitas Muhammadiyah Purworejo
email: [email protected]
3
Prodi Pendidikan Matematika, Universitas Muhammadiyah Purworejo
email: [email protected]
1
Abstrak
Model Pembelajaran dalam suatu pembelajaran ini sangat mempengaruhi hasil belajar. Dengan
demikian penelitian ini bertujuan untuk mengetahui apakah: kemampuan komunikasi matematis
siswa dengan model pembelajaran STAD lebih baik dari pada model pembelajaran Fleming.
Populasi dalam penelitian ini adalah seluruh kelas X Madrasah Aliyah Negeri Gombong tahun
pelajaran 2015/2016 yang terdiri dari 5 kelas. Sampel dalam penelitian ini adalah 2 kelas dengan
jumlah siswa seluruhnya 73 siswa. Pengambilan sampel menggunakan teknik simple random
sampling. Pengujian hipotesis menggunakan analisis uji t univariat. Dari uji t univariat diperoleh:
kemampuan komunikasi matematis siswa dengan model pembelajaran STAD lebih baik dari
pada model pembelajaran Fleming. Sehingga model pembelajaran STAD dapat digunakan
sebagai masukan bagi guru dan calon guru dalam pembelajaran untuk meningkatkan
kemampuan komunikasi matematis siswa.
Kata Kunci: Kemampuan komunikasi matematis, STAD dan Fleming.
1. PENDAHULUAN
Matematika merupakan salah satu mata
pelajaran yang mengembangkan kompetensi,
berpikir yang sistematis, logis, kreatif, kritis,
dan konsisten. Kompetensi-kompetensi ini
diperlukan agar siswa dapat memiliki
kemampuan mengelola, mengembangkan,
dan mengkomunikasikan apa yang mereka
dapat
ketika
dalam
pembelajaran
matematika. Salah satu hal yang penting
dalam
sebuah
pembelajaran
adalah
komunikasi,
karena
dengan
adanya
komunikasi yang baik maka pembelajaran
akan tersampaikan dan diterima dengan baik
pula. Sejalan dengan permasalahan ini, maka
perlu diterapkan suatu model pembelajaran
yang berpusat pada siswa dan dapat
melibatkan
siswa
dalam
kegiatan
pembelajaran
guna
meningkatakan
komunikasi matematis, seperti siswa mampu
memahami kalimat atau simbol dalam materi
trigonometri. Dalam hal ini solusi yang
memungkinkan menjadi alternatif model
pembelajaran
untuk mencapai suatu
pembelajaran yang komunikatif dalam
pembelajaran matematika adalah Student
Team Achievement Division (STAD) dan
Fleming.
Tinjauan pustaka yang relevan dalam
penelitian ini adalah:
d. penelitian yang dilakukan oleh Penelitian
Faad Maonde (2015) yang berjudul “The
Discrepancy of Students’ Mathematic
Achievement
through
Cooperative
Learning Model, and the ability in
mastering Languages and Science”.
e. Penelitian Nurur Rosyidah (2014) yang
berjudul “Eksperimentasi Pembelajaran
Pendidikan Matematika Universitas Muhammadiyah Purworejo,
Ruang Seminar UM Purworejo, 28 Mei 2016
427
f.
CPS dan MMP Yang dimodifikasi STAD
Pada Materi Trigonometri Dengan
Berbantu Social Learning Network
“EDMODO” Terhadap Kemampuan
Pemecahan Masalah Matematika Siswa
Kelas X MIPA Semester II SMA Negeri 1
Purworejo Tahun Pelajaran 2013/2014”.
Penelitian Susilawati (2014) berjudul
“Pengaruh Penggunaan Media Riil
Terhadap Keterampilan Proses SAINS
dan Gaya Belajar Siswa Sekolah
Menengah Kejuruan”.
2. KAJIAN LITERATUR DAN
PEGEMBANGAN HIPOTESIS
Komunikasi matematis merupakan salah
satu kemampuan penting yang harus
dikembangkan
dalam
pembelajaran
matematika, sebab salah satu fungsi
pembelajaran matematika yaitu sebagai cara
mengomunikasikan gagasan secara praktis,
sistematis dan efisien. Siswa dikatakan
memiliki kemampuan komunikasi matematis
yang baik jika memenuhi indikator sebagai
berikut:
proses pembelajaran kooperatif tipe STAD
melalui lima tahap yang meliputi:
f.
Presentasi
Kelas:
Guru
mempresentasikan materi pelajaran.
g. Tim: Tim terdiri dari empat atau lima
siswa yang mewakili seluruh bagian dari
kelas dalam hal kinerja akademik, jenis
kelamin, ras dan etnisitas.
h. Kuis:
Setelah
guru
memberikan
presentasi dan praktik dalam tim, para
siswa akan mengerjakan kuis individual.
i. Skor kemajuan Individual: Bertujuan
untuk memberikan kepada tiap siswa
tujuan kinerja yang akan dapat dicapai
apabila mereka bekerja lebih giat dan
memberikan kinerja yang lebih baik dari
pada sebelumnya.
j. Rekognisi Tim: Tim akan mendapatkan
sertifikat atau bentuk penghargaan yang
lain apabila skor rata-rata mereka
mencapai kriteria tertentu.
Selanjutnya, model pembelajaran STAD
juga memiliki kelebihan dan kekurangan.
Kelebihan model pembelajaran STAD dalam
Majid (2014: 188) adalah sebagai berikut:
e.
d. Memiliki kemampuan mengekspresikan
ide-ide matematika melalui lisan, dan
mendemonstrasikan
serta
menggambarkannya secara visual.
e. Mampu memahami, menginterpretasikan
dan mengevaluasi ide-ide matematika
baik secara lisan maupun dalam bentuk
visual lainnya.
f. Mampu menggunakan istilah, notasi
matematika dan struktur-strukturnya
untuk menyajikan ide, menggambarkan
hubungan dan model situasi.
Model Pembelajaran STAD
STAD singkatan dari Student Team
Achievement Division. STAD merupakan
model pembelajaran kooperatif yang
menekankan adanya aktivitas dan interaksi
diantara siswa untuk saling memotivasi dan
saling membantu dalam menguasai materi
pelajaran guna mencapai prestasi yang
maksimal. Menurut Slavin (2005: 143) pada
428
f.
g.
h.
Dapat memberikan kesempatan kepada
siswa untuk bekerjasama dengan siswa
lain.
Siswa dapat menguasai pelajaran yang
disampaikan.
Dalam proses belajar mengajar siswa
saling ketergantungan positif.
Setiap siswa dapat saling mengisi satu
sama lain.
Kekurangan model pembelajaran STAD
dalam Majid (2014: 188) adalah sebagai
berikut:
f.
Berdasarkan karakteristik STAD jika
dibandingkan dengan pembelajaran
konvensional (yang hanya penyajian
materi dari guru), pembelajaran
menggunakan model ini membutuhkan
waktu yang relatif lama, dengan
memperhatikan tiga langkah STAD yang
menguras waktu seperti penyajian
Prosiding Seminar Nasional Matematika dan Pendidikan Matematika, “Internalisasi Nilainilai Berpikir Matematis Dalam Perannya di Era Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA)”
g.
h.
i.
j.
materi dari guru, kerja kelompok dan tes
individual atau kuis.
Siswa yang pandai cenderung enggan
disatukan dengan temannya yang
kurang pandai, dan yang kurang
pandaipun merasa minder apabila
digabungkan dengan temannya yang
pandai, walaupun lama kelamaan
perasaan itu akan hilang dengan
sendirinya.
Siswa diberi kuis dan tes secara
perorangan. Pada tahapan ini setiap
siswa
harus
memperhatikan
kemampuannya dan menunjukkan apa
yang diperoleh pada kegiatan kelompok
dengan cara menjawab soal kuis atau tes
sesuai dengan kemampuannya. Pada
saat mengerjakan kuis atau tes ini,
setiap siswa bekerja sendiri.
Penentuan skor. Hasil kuis atau tes
diperiksa oleh guru, setiap skor yang
diperoleh siswa dimasukan ke dalam
daftar skor individu, untuk melihat
peningkatan kemampuan individu.
Rata-rata skor peningkatan individu
merupakan sumbangan bagi kinerja
percapaian hasil kelompok.
Penghargaan
terhadap
kelompok.
Berdasarkan skor peningkatan individu,
maka akan diperoleh skor kelompok.
Dengan demikian, skor kelompok
sangat tergantung dari sumbangan skor
individu.
Model pembelajaran Fleming
Huda (2013: 180) menyatakan “salah
satu kategorisasi yang paling banyak
digunakan terkait dengan jenis-jenis gaya
belajar adalah model VARK-nya Neil
Fleming” (2001). VARK merupakan akronim
dari empat kecenderungan utama yaitu
Visual,
Auditory,
Read/Write
and
Kinesthetic. Model ini mencakup empat
kategori utama pembelajaran, antara lain:
e. Pembelajaran visual-pembelajaran yang
di dalamnya ide-ide, konsep-konsep, dan
informasi lain diasosiasikan dengan
gambar-gambar
dan
teknik-teknik.
Mereka yang memiliki pola belajar
visual biasanya mampu memahami
informasi dengan menggambarkannya
secara nyata.
f. Pembelajaran
auditoris-pembelajaran
yang didalamnya seseorang belajar
melalui
pendengaran.
Pembelajar
auditoris sangat bergantung pada
pendengaran dan pembicaraan orang lain
selama proses belajarnya. Pembelajaran
auditoris harus mendengar apa yang
dikatakan agar bisa memahami dan
sebaliknya mereka sering kali kesulitan
menghadapi instruksi-instruksi tertulis.
g. Pembelajaran membaca atau menulispembelajaran
yang
di
dalamnya
seseorang cenderung belajar dengan cara
mencatat dan membaca apa saja yang ia
dengarkan dan peroleh dari lingkungan
sekitar.
Mereka
yang
memiliki
kemampuan membaca dan menulis
biasanya harus membaca untuk mencari
informasi dan menulis informasi tersebut
untuk dibaca ulang sebagai pengetahuan.
h. Pembelajaran kinestetik atau taktilpembelajaran yang di dalam proses
belajar dilakukan oleh siswa yang
melakukan aktivitas fisik, dari pada
mendengar ceramah atau melihat
pertunjukan.
Mereka
memiliki
kemampuan kinestetik biasanya belajar
dengan cara mempraktikkannya.
Selanjutnya,
model
pembelajaran
Fleming juga memiliki kelebihan dan
kekurangan. Menurut Colin (2002: 118)
kelebihan model pembelajaran
Fleming
adalah sebagai berikut:
f. Pembelajaran menjadi lebih efektif
karena
dapat
mengkombinasikan
keempat gaya belajar tersebut.
g. Mampu melatih dan mengembangkan
potensi siswa yang telah dimiliki oleh
pribadi masing-masing.
h. Memberikan
pengalaman
langsung
kepada siswa.
i. Mampu melibatkan siswa secara
maksimal dalam menemukan dan
memahami suatu konsep melalui
kegiatan fisik seperti demonstrasi,
percobaan, observasi dan diskusi aktif.
j. Mampu menjangkau setiap gaya belajar
siswa.
Pendidikan Matematika Universitas Muhammadiyah Purworejo,
Ruang Seminar UM Purworejo, 28 Mei 2016
429
Kekurangan model pembelajaran Fleming
adalah sebagai berikut:
c. Tidak
banyak
orang
mampu
mengkombinasikan keempat gaya belajar
tersebut.
d. Seorang
yang
hanya
mampu
menggunakan satu gaya belajar, maka
hanya akan mampu menangkap materi
jika menggunakan model yang lebih
memfokuskan kepada salah satu gaya
belajar yang didominasi.
Dengan
menggunakan
beragam
pengajaran dari masing-masing kategori ini,
guru dapat mengcover gaya-gaya belajar
yang berbeda-beda sekaligus mampu
meningkatkan
pola
belajar
dengan
menghadapkan siswa pada situasi belajar
yang berbeda-beda pula.
3. METODE PENELITIAN
Penelitian ini dilakukan pada bulan
Oktober 2015 sampai dengan bulan Agustus
2016 di Madrasah Aliyah Negeri Gombong.
Populasi dalam penelitian ini adalah seluruh
kelas X Madrasah Aliyah Negeri Gombong
tahun pelajaran 2015/2016 yang terdiri dari 5
kelas. Sampel dalam penelitian ini adalah 2
kelas dengan jumlah siswa seluruhnya 73
siswa. Pengambilan sampel menggunakan
teknik simple random sampling. Instrumen
yang
digunakan
adalah
komunikasi
matematis (lisan) dengan tes lisan.
Pengumpulan data dilakukan dengan
metode tes lisan. Teknis analisis data yang
dilakukan adalah analisis data awal berupa
nilai Ujian Akhir Semester Gasal dan analisis
data awal yaitu dilakukan dengan uji
prasyarat yang meliputi uji normalitas
dengan metode Lilliefors, uji homogenitas
dengan uji Bartlett dan uji keseimbangan.
Setelah data hasil tes komunikasi matematis
430
lisan diperoleh maka selanjutnya dilakukan
uji prasyarat analisis variansi yaitu meliputi
uji normalitas dengan metode Lilliefors dan
uji homogenitas dengan menggunakan uji
Bartlett. Pada tahap akhir dilakukan
pengujian hipotesis menggunakan analisis uji
t univariat, dengan taraf signifikansi ( ) =
0,05.
Hipotesis dalam penelitian ini adalah:
pembelajaran matematika dengan model
pembelajaran STAD akan menghasilkan
kemampuan komunikasi matematis yang
lebih baik dari pada model pembelajaran
Fleming pada kompetensi trigonometri
terhadap siswa kelas X Madrasah Aliyah
Negeri
Gombong
Tahun
Pelajaran
2015/2016.
4. HASIL DAN PEMBAHASAN
Sebelum perlakuan pada kelas 1 yang
akan dikenai model pembelajaran STAD dan
kelas 2 yang dikenai model Fleming, terlebih
dahulu peneliti melakukan uji keseimbangan
pada kelas satu dan dua sebelum diberi
perlakuan. Hasil yang diperoleh yaitu bahwa
kelas I dan II memiliki kemampuan awal
yang sama.
Kedua kelas diberi perlakuan dengan
kelas satu dikenai model pembelajaran STAD
dan kelas dua dikenai model pembelajaran
Fleming. Setelah perlakuan selesai diberikan
kemudian masing-masing kelas dievaluasi
untuk mengetahui kemampuan komunikasi
matematis (lisan) diberikan tes lisan. Pada tes
lisan kelas satu diperoleh nilai tertinggi
adalah 100 dan nilai terrendah adalah 40
dengan rata-rata 90,94. Untuk kelas dua
diperoleh nilai terbesar 100, terkecil 25 dan
rata-ratanya adalah 76,09.
Setelah perlakuan selesai dilakukan dan
data yang diperoleh dari tes lisan siswa
berikutnya adalah melakukan analisis data
akhir yang meliputi uji normalitas, uji
Prosiding Seminar Nasional Matematika dan Pendidikan Matematika, “Internalisasi Nilainilai Berpikir Matematis Dalam Perannya di Era Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA)”
homogenitas dan uji hipotesis. Uji
normalitas data akhir kelas I dan II bahwa
sampel berasal dari populasi yang
berdistribusi normal. Uji Homogenitas data
akhir kelas I dan II diperoleh bahwa variansi
populasi homogen.
Analisis hipotesis univariat pada variabel
komunikasi matematis diperoleh
adalah
3,083738 dan
adalah 1,960, tampak
bahwa
ditolak maka didapat kesimpulan:
rerata kemampuan komunikasi matematis
menggunakan model pembelajaran STAD
berbeda
dengan
rerata
kemampuan
komunikasi matematis dengan model
pembelajaran Fleming.
Dengan pembelajaran STAD tujuan dari
pembelajaran
tercapai,
meski
dalam
pembelajaran memerlukan waktu yang lama.
Sedangkan model pembelajaran Fleming,
dalam pelaksanaan penelitian tidak sedikit
anak yang dapat mengkombinasikan Visual,
Auditory, Read/Write and Kinesthetic
mereka, dan dalam pembelajaran juga
membutuhkan waktu yang lama sehingga
tujuan dari pembelajaran kurang tercapai.
5. KESIMPULAN
Pembelajaran matematika dengan model
pembelajaran
STAD
menghasilkan
kemampuan komunikasi matematis yang
lebih baik dari pada model pembelajaran
Fleming pada kompetensi trigonometri
terhadap siswa kelas X Madrasah Aliyah
Negeri
Gombong
Tahun
Pelajaran
2015/2016.
Sehingga model pembelajaran STAD dapat
digunakan sebagai masukan bagi guru dan
calon guru dalam pembelajaran untuk
meningkatkan
kemampuan
komunikasi
matematis siswa.
6. REFERENSI
Budiyono. 2004. Statistika Untuk Penelitian.
Surakarta: Sebelas Maret University
Press.
Dwitayanti,
Dewi.
2012.
“Model
Pembelajaran VAK Berbantu Media
VCD Berpengaruh Terhadap Prestasi
Belajar Matematika Siswa Kelas IV SD
Gugus V Dr.Soetomo”. Universitas
Pendidikan Ganesha. Diunduh dari
http://ejournal.undiksha.ac.id/index.php/J
JPGSD/article/download/1316/1177.Pad
a tanggal 6 Desember 2015.
Huda, Miftahul. 2013. Model-Model
Pengajaran
dan
Pembelajaran.
Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Majid, Abdul. 2014. Strategi Pembelajaran.
Bandung: Remaja Rosdakarya.
Maonde, Faad. 2015. “The Discrepancy of
Students’
Mathematic
Achievement
through Cooperative Learning Model,
and the ability in mastering Languages
and
Science”.
Diunduh
dari
http://www.ijern.com/journal/2015/Janua
ry-2015/13.pdf.
Pada
tanggal
6
Desember 2015.
Rosyidah, Nurur. 2014. “Eksperimentasi
Pembelajaran CPS dan MMP Yang
dimodifikasi
STAD Pada Materi
Trigonometri Dengan Berbantu Social
Learning
Network
“EDMODO”
Terhadap
Kemampuan
Pemecahan
Masalah Matematika Siswa Kelas X
MIPA Semester II SMA Negeri 1
Purworejo Tahun Pelajaran 2013/2014”.
Universitas Muhammadiyah Purworejo.
Slavin, Robert E. 2005. Cooperative
Learning, Teori, Riset dan Praktik.
andung: Nusa Media.
Pendidikan Matematika Universitas Muhammadiyah Purworejo,
Ruang Seminar UM Purworejo, 28 Mei 2016
431
Susanto, Ahmad. 2013. Teori Belajar dan
Pembelajaran di Sekolah Dasar. Jakarta:
Kencana.
Susilawati. (2014). “Pengaruh Penggunaan
Media Riil Terhadap Keterampilan
Proses SAINS dan Gaya Belajar Siswa
Sekolah Menengah Kejuruan”. Diunduh
dari
432
http://journal.unnes.ac.id/artikel_nju/JPF
I/3050. Pada tanggal 6 Desember 2015.
Wibowo, Teguh. 2010. Diktat Kuliah
Statistik Multivariat. Purworejo: Program
Studi
Pendidikan
Matematika
Universitas Muhammadiyah Purworejo.
Prosiding Seminar Nasional Matematika dan Pendidikan Matematika, “Internalisasi Nilainilai Berpikir Matematis Dalam Perannya di Era Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA)”
UPAYA MENUMBUHKAN JIWA KREATIF PESERTA DIDIK SMKN 2
GEDANGSARI DENGAN MEDIA PEMBELAJARAN MODEL KEPING
JURING SETENGAH LINGKARAN PADA PENANAMAN KONSEP
PENJUMLAHAN DAN PENGURANGAN BILANGAN BULAT.
Joko Wisnu Catur 1 Abdullah Sugeng Tri Yuwono 2
Guru SMK N 2 Gedangsari, Gunungkidul, DIY. Email : [email protected]
2
Guru SMK N 2 Gedangsari, Gunungkidul, DIY. Email : [email protected]
1
Abstrak
Persaingan bebas dalam Masyarakat Ekonomi Asean (MEA) berpengaruh pada persaingan bebas
tenaga kerja dan perdagangan antar negara ASEAN. Kualitas dan pelayanan produk dan jasa
sangat menentukan menang tidaknya dalam bersaing. SMK Negeri 2 Gedangsari merupakan
salah satu tempat strategis dalam mencetak tenaga kerja tingkat menengah yang berkualitas
bagus. Akhirnya Tenaga Kerja Indonesia mampu bersaing dengan negara anggota ASEAN
lainnya. Kemampuan pemahaman peserta didik Kelas X SMKN 2 Gedangsari pada konsep
penjumlahan dan pengurangan bilangan bulat masih rendah. Peserta didik merasa kurang
menarik terhadap materi yang diajarkan guru. Peserta didik mengalami kesulitan pada,
penjumlahan yang memuat bilangan bulat positif dan bilangan bulat negatif, pengurangan yang
bilangan pengurangnya lebih dari pada bilangan yang dikurangi, pengurangan oleh bilangan bulat
negatif. Penanaman konsep penjumlahan dan pengurangan bilangan bulat bagi peserta didik yang
daya abstrak dan kognitifnya rendah tidaklah mudah diterima apalagi yang memuat bilangan
bulat negatif. Permasalahan atau kesulitan tersebut dapat terpecahkan dengan media
pembelajaran misal garis bilangan, peraga mistar bilangan, boneka, kubus dan tabung istimewa.
Dalam pembahasan ini kami menggunakan alat peraga/ media pembelajaran yaitu model mirip
bentuk mata uang logam. Kita perlu memperhatikan masalah ekonomi sering dikaitkan dengan
ketersediaannya uang. Tetapi modelnya sejumlah keping berbentuk juring setengah lingkaran.
Media pembelajaran/ alat bantu model keping berbentuk juring setengah lingkaran dua warna
yang berbeda. Misal satu keping merah/ orange (bertanda +) mewakili bilangan + 1 ( positif
satu), satu keping kuning (bertanda -) mewakili bilangan - 1 ( negatif satu). Operasi penjumlahan
dapat dilakukan dengan cara menyediakan atau meletakan atau memberi sejumlah keping yang
sesuai. Sedangkan operasi pengurangan dapat dilakukan dengan cara mengambil sebanyak
keping yang sesuai. Selanjutnya keping-keping yang berbeda warna dipasang-pasangkan,
kemudian keping-keping yang tersisa warna apa ? kita hitung, sebanyak berapa keping ? Hasil
yang diperoleh dari pembelajaran menggunakan media pembelajaran/ alat bantu dengan model
keping ini memicu peserta didik untuk usaha kreatif dan menyenangkan. Ketuntasan belajar
dapat dicapai. Suasana kelas menjadi hidup diskusinya. Kompetisi antar kelompok belajar terjadi
sangat tinggi. Guru dapat memfokuskan diri dalam membantu peserta didik yang belum mampu.
Pembelajaran dengan media pembelajaran model keping memudahkan penanaman konsep
penjumlahan dan pengurangan bilangan bulat yang memuat bilangan negatif.
Kata Kunci : MEA, Usaha kreatif, Kualitas bagus, model keping
1. PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Persaingan
Masyarakat Ekonomi
Asean
(MEA)
berpengaruh
pada
persaingan bebas tenaga kerja dalam
anggota negara-negara Asia Tenggara.
Tenaga kerja yang berkualitas baguslah
yang sangat berperanan penting dalam
Masyarakat Ekonomi Asean. Oleh karena
itu Tenaga Kerja Indonesia perlu
disiapkan untuk bisa memenuhi kriteria
kualitas bagus terutama lulusan SMK.
Sementara siswa dan alumni SMK di
daerah
Pegunungan
Kabupaten
Gunungkidul sebagian besar belum
memenuhi kriteria. Kompetensi yang
Pendidikan Matematika Universitas Muhammadiyah Purworejo,
Ruang Seminar UM Purworejo, 28 Mei 2016
433
dimiliki siswa SMK terutama pada mata
pelajaran Matematika dan Bahasa Inggris
masih sangatlah kurang.
Materi mata pelajaran Matematika di
Kelas X SMK juga ada bilangan Riil,
termasuk
operasi
hitung
dasar
penjumlahan
dan
pengurangan.
Siswadituntut mampu melakukan operasi
hitung bilangan bulat dan bilangan
pecahan serta menggunakannya dalam
pemecahan masalah. Walaupun operasi
penjumlahan dan pengurangan bilangan
bulat sudah pernah dipembelajarkan pada
waktu belajar di jenjang SD / MI dan
SMP / MTs namun masih kami temukan
siswa SMK mengalami kesulitan. Bahkan
masih kami temukan ada siswa kelas XI ,
XII SMK Jurusan TKR belum mampu
operasi hitung dasar penjumlahan dan
pengurangan bilangan bulat. Pada hari
Jumat, 22 April 2016 pembelajaran
matematika kelas XI semester genap
jurusan otomotif (TKR) materi pengantar
Limit Fungsi yaitu laju perubahan atau
perbandingan perubahan nilai fungsi
terhadap perubahan variabel. Kami
memberi
kesempatan
Siswauntuk
membaca,
mengamati
contoh
perhitungannya ada siswa yang bertanya
bagaimana pendapatannya bisa itu ?
Padahal siswa tersebut termasuk yang
antusias konsentrasi terhadap pelajaran
tinggi.
B. Rumusan Masalah.
Dari latar belakang yang saya temukan di
kelas pembelajaran atau pekerjaan siswa
untuk mempersiapkan tenaga kerja yang
berkualitas, dalam Makalah dirumuskan
masalah sebagai berikut :
1. Apakah pembelajaran penanaman
konsep operasi hitung dengan media
keping lebih konstruktif ?
2. Apakah pembelajaran penanaman
konsep operasi hitung dengan media
434
keping dapat menumbuhkan karakter
usaha kreatif ?
C. Tujuan
Makalah pembelajaran penanaman
konsep operasi hitung dengan media
keping bertujuan, sebagai berikut.
1. Mendeskripsikan penggunaan media
keping dalam penanaman konsep
operasi hitung.
2. Membangun konsep operasi hitung
yang kuat terutama yang memuat
bilangan negatif.
D. Rencana Pemecahan Masalah
1. Penerapan
penggunaan
media
keping untuk siswa kelas X
Akuntansi
tahun
pelajaran
2015/2016.
2. Penerapan
penggunaan
media
keping untuk khusus siswa kelas XI,
XII TKR yang mengalami hambatan
atau belum mencapai kompetensi
operasi hitung sebagai kegiatan
klinik.
3. Penerapan
penggunaan
media
keping untuk siswa kelas X TKR
tahun pelajaran 2016/2017 karena
saya prediksi umumnya siswa
jurusan TKR banyak yang belum
mempunyai kompetensi operasi
hitung pada bilangan negatif.
Setelah penerapan penggunaan media keping
siswa diminta menyimpulkan. Dari simpulan
tersebut selanjutnya siswa diharuskan
memanfaatkan kesempatan untuk melatih
keterampilan berhitung melalui kegiatan
“drill”.
2. KAJIAN
LITERATUR
DAN
PENGEMBANGAN HIPOTESIS
A. Kajian Teoretis
Walau operasi hitung penjumlahan
dan
pengurangan
sudah
mulai
dipembelajarkan sejak pendidikan jenjang
SD / MI namun masih perlu dipelajari lagi
pada Matematika SMA/SMK.
1. Penjumlahan adalah menggabungkan
jumlah dua atau lebih angka /
bilangan sehingga menjadi angka /
Prosiding Seminar Nasional Matematika dan Pendidikan Matematika, “Internalisasi Nilainilai Berpikir Matematis Dalam Perannya di Era Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA)”
2.
3.
4.
5.
bilangan yang baru. (Definisi
Matematika Dasar, rumushitng.com).
Pengurangan
adalah
mengambil
sejumlah angka/ bilangan dari angka /
bilangan
tertentu.
(Definisi
Matematika Dasar, rumushitng.com).
Bilangan Bulat negatif adalah
bilangan bulat yang memiliki tanda
negati
(-)
sebelum angkanya.
(Anonim,
matematikasmpkelas7.blogspot.com )
Media Pembelajaran adalah alat bantu
proses belajar mengajar berupa segala
sesuatu yang dapat dipergunakan
untuk merangsang pikiran, perasaan,
perhatian dan kemampuan atau
keterampilan pembelajar sehingga
dapat mendorong terjadinya proses
belajar. (Hariyanto, 2012, Pengertian
Media Pembelajaran diakses dari
belajarpsikologi.com )
Keping
adalah
sesuatu
yang
berbentuk pipih atau tipis.contoh ;
papan,
mata
uang
logam.
(http://kbbi.web.id/)
B. Kerangka Berpikir
Pembelajaran penanaman konsep
penjumlahan dan pengurangan yang
memuat bilangan bulat negatif bagi siswa
yang kompetensi kognitifnya rendah
sangat memerlukan alat bantu. Misal alat
bantu yang saya usulkan yaitu model
keping minimal dua macam warna
berbeda. Dengan
warna-warna yang
berbeda tersebut merupakan upaya
mengarahkan siswa tertarik untuk
mengkontekstualkan hal yang abstrak.
Belajar secara kontekstual atau konkrit
lebih menyenangkan, mengaktifkan siswa
untuk mudah memahami materi yang
sulit.
C. Hipotesis
Hipotesis Makalah ini, sebagai berikut,
1.
Pembelajaran penanaman
materi
penjumlahan
konsep
dan
2.
penggurangan bilangan bulat dengan
media keping lebih konstruktif.
Pembelajaran penanaman konsep
materi
penjumlahan
dan
penggurangan bilangan bulat dengan
media keping dapat memacu karakter
siswa untuk menumbuhkan jiwa
berkreaktif dan berusaha.
3. METODE PENELITIAN
A. Rancangan Kegiatan
Sebelum pembelajaran setiap
siswa diberi tugas membuat model
keping dari kertas berwarna minimal
dua macam berbeda masing-masing
5 keping. Perangkat pembelajaran,
intrumen pengamatan dan instrumen
penilaian juga disiapkan. Metode
pembelajaran secara diskusi dan
percobaan. Siswa menyimpulkan dari
hasil percobaan, selanjutnya dari
simpulan tersebut siswa melatih
keterampilan
penjumlahan
dan
pengurangan tanpa media keping.
B. Ruang Lingkup
Materi pembelajaran penanaman
konsep
penjumlahan
dan
pengurangan
pada
himpunan
bilangan bulat termasuk di dalamnya
bilangan bulat negatif.
C. Bahan dan Alat
Bahan untuk media model keping
: Kertas berwarna (2 macam warna
berbeda).
Sebenarnya
saya
menghendaki dari bahan plat logam
yang bermagnet tetapi belum ada
sponsori atau pihak lain yang
membantu pengadaannya.
Alat; gunting atau cuter untuk
membuat media model keping,
instrumen pengamatan, intrumen
angket dan intrumen penilaian.
D. Tempat
Ruang kelas atau tempat dimana
bisa untuk belajar.
Pendidikan Matematika Universitas Muhammadiyah Purworejo,
Ruang Seminar UM Purworejo, 28 Mei 2016
435
E. Teknik Pengumpulan Data
Teknik
pengumpulan
data
menggunakan
pengamatan,
mengambil angket dan Penilaian
4. HASIL DAN PEMBAHASAN
Sebelum pemaparan hasil dan
pembahasan
disampaikan
contoh
pembelajaran
penanaman
konsep
penjumlahan dan pengurangan bilangan bulat
( termasuk bilangan bulat negatif) melalui
slide presentasi.
Hasil prestasi belajar
pembelajaran sebagai berikut :
Kelas
X
Ak2
X
TKR
X BB
Jumlah
siswa
24
Perse
ntase
Tunt
as
Penil
aian
ke 1
Persenta
se
Tuntas
Penilaian
ke 2
79,00
87,50
setelah
Keterang
an
Tidak
mengajar
siswa
kelas
tersebut
Tidak
mengajar
siswa
kelas
tersebut
untuk berpikir bagaimana bisa mengambil
sejumlah keping warna tertentu ? Siswa akan
berusaha untuk mendapatkan telur ( sebutan
lain bilangan nol ). Makalah ini tidak
membahas telur apa ? dan bagaimana cara
mendapatkan telur tersebut ?
Model keping ini sengaja saya buat
juga untuk lintas mata pelajaran lain misal
Fisika, Kimia dan Biologi. Pada ilmu Fisika
salah satunya ada logam bermagnet muatan
positif dan negatif. Sifat Logam bermagnet
inilah saya memberikan insprasi usaha
perekonomian
teknik
pertanian
dan
kebesihan. Yang mana juga ada pemakalah
yang mengambil judul terkaitan raskin.
Bagaimana usaha produksi beras / padi yang
berkualitas bagus dan bersih dari kotoran
batu pasir dan lain-lainnya.
5. KESIMPULAN
Jika semua siswa sudah siapkan
peralatan pembelajarannya maka penanaman
konsep penjumlahan dan pengurangan yang
memuat bilangan bulat negatif sulit dipahami
akan menjadi terasa mudah menggunakan
media model keping.
Siswa akan mempunyai bangunan
konsep penjumlahan dan pengurangan
bilangan yang kuat sehingga tidak segera
lupa. Disamping itu muncul karakter siswa
jiwa kreaktif dan jiwa ingin berusaha.
Manfaat dari
sebagai berikut;
hasil
Makalah
ini,
ada
pembelajaran
penanaman
konsep penjumlahan bilangan bulat yang
memuat bilangan bulat negatif muncul
karakter siswa mampu memasang keping
yang sesuai ketentuan diharapan siswa besok
mampu memilih pasangan patner kerja atau
usaha yang bagus.
1. Bagi guru;
a. Sebagai bahan perbaikan pembelajaran
yang lebih konstruktif.
b. Sebagai
perbendaharaan
media
pembelajaran.
c. Sebagai wahana klinik bagi siswa yang
belum mempunyai kompetensi operasi
hitung.
Penanam konsep pengurangan
bilangan bulat yang bilangan pengurangnya
lebih besar dari yang dikurangi , yang
pengurangnya bilangan negatif siswa terpacu
2. Bagi Siswa;
a. Siswa
meningkatkan
belajarnya.
436
prestasi
Prosiding Seminar Nasional Matematika dan Pendidikan Matematika, “Internalisasi Nilainilai Berpikir Matematis Dalam Perannya di Era Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA)”
b. Siswa dapat mengikuti pembelajaran
yang menarik.
c. Siswa
dapat
meningkatkan
kompetensinya.
3. Bagi sekolah
a. Memiliki
inventaris
media
pembelajaran.
b. Memiliki guru yang profesional dalam
mengelola
pembelajaran
sesuai
perkembangan zaman.
4. Masyarakat, Dunia usaha atau peneliti
lain.
Tercipta tenaga kerja yang kreatif dan
berjiwa wirausaha (enterpheuner).
6. DAFTARPUSTAKA
Tim Penyusun, 2011, Bridging Course
Mata Pelajaran Matematika ,
Depdiknas Republik Indonesia.
Anonim, Definisi Matematika Dasar,
rumushitng.com
Anonim,
matematikasmpkelas7.blogspot.co
m
Hariyanto, 2012, Pengertian Media
Pembelajaran
diakses
dari
belajarpsikologi.com
http:/kbbi.web.id/ (online)
Pendidikan Matematika Universitas Muhammadiyah Purworejo,
Ruang Seminar UM Purworejo, 28 Mei 2016
437
OPTIMALISASI APERSEPSI PEMBELAJARAN MATEMATIKA DENGAN
CONCEPT MAPPING
Aflah Mufidatul Mahmudah1), Caswita2)
Universitas Lampung
1
email: [email protected] 2email: [email protected]
Abstrak
Concept Mapping merupakan suatu teknik yang telah digunakan secara ekstensif dalam
pendidikan. Concept Mapping diilhami oleh teori belajar asimilasi kognitif Ausubel bahwa
belajar bermakna terjadi dengan mudah apabila konsep – konsep baru dimasukan ke dalam
konsep – konsep yang lebih inklusif, dengan kata lain proses belajar terjadi bila siswa mampu
mengasimilasi yang ia miliki dengan pengetahuan yang baru. Beberapa penelitian tindakan dan
eksperimen menyatakan concept mapping lebih efektif daripada pembelajaran yang
menggunakan model pembelajaran konvensional terhadap pemahaman konsep, komunikasi
matematika dan kualitas pembelajaran. Kami mencoba untuk mencari tahu pengaruh concept
mapping terhadap fase apersepsi dalam pembelajaran matematika. Pada kegiatan pembelajaran,
apersepsi merupakan proses menghubungkan pengetahuan lama dengan pengetahuan baru.
Apersepsi dalam pembelajaran matematika merupakan kegiatan untuk memunculkan
ketertarikan siswa terhadap konten, atau sekedar mengingat kembali konten yang berkaitan dan
dilakukan pada tahap awal pembelajaran. Ketidakmampuan siswa menemukan konsep yang
tepat dalam menyelesaikan masalah matematika, sangat dipengaruhi oleh kurangnya penekanan
informasi pada saat apersepsi, sehingga tujuan dari pembelajaran itu tidak tercapai atau tidak
sesuai dengan harapan. Concept Mapping menyediakan bantuan visual konkret untuk membantu
mengorganisasikan informasi sebelum informasi tersebut dipelajari. Concept mapping membuat
siswa belajar lebih mudah dan ringkas, sehingga membantu meningkatkan daya ingat siswa
dalam pembelajaran.
Kata Kunci: Apersepsi, Pembelajaran Matematika,Concept Mapping
PENDAHULUAN
Pembelajaran merupakan proses
interaksi peserta didik dengan pendidik dan
sumber belajar pada suatu lingkungan
belajar. Kegiatan pembelajaran merupakan
inti dari pelaksanaan kurikulum yang
bertujuan untuk melihat perubahan sikap,
perilaku, dan keterampilan yang dimiliki
peserta didik setelah mengikuti proses
pembelajaran. Berdasarkan Permendikbud
Nomor 65 Tahun 2013 tentang Standar
Proses Pendidikan Dasar dan Menengah
dinyatakan bahwa pelaksanaan proses
pembelajaran merupakan implementasi dari
rencana pelaksanaan pembelajaran (RPP)
meliputi kegiatan pendahuluan, kegiatan inti,
dan
kegiatan
penutup.
Pendahuluan
merupakan kegiatan awal dalam suatu
438
kegiatan pembelajaran yang bertujuan untuk
membangkitkan motivasi dan memfokuskan
perhatian peserta didik untuk berpartisipasi
aktif dalam proses pembelajaran. Sedangkan
kegiatan inti merupakan serangkaian
kegiatan utama dalam pembelajaran yang
dilakukan
untuk
mencapai
tujuan
pembelajaran. Sementara kegiatan penutup
adalah kegiatan yang dilakukan untuk
mengakhiri aktivitas pembelajaran, yang
meliputi pembuatan rangkuman atau
kesimpulan, refleksi, penilaian, umpan balik,
dan tindak lanjut.
Menurut Mansur (2013: 13) kegiatan
pembelajaran seharusnya selalu dimulai
dengan apersepsi untuk memosisikan peserta
didik pada kondisi (zona) alfa sebelum
masuk pada kegiatan inti pembelajaran. Pada
Prosiding Seminar Nasional Matematika dan Pendidikan Matematika, “Internalisasi Nilainilai Berpikir Matematis Dalam Perannya di Era Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA)”
kondisi alfa peserta didik dalam keadaan siap
menerima instruksi atau materi pelajaran
yang disampaikan oleh pendidik sehingga
peserta didik lebih mudah menyerap materi
pelajaran dengan demikian, target pencapaian
kompetensi atau tujuan pembelajaran yang
telah ditetapkan lebih mudah tercapai
sehingga pembelajaran menjadi lebih
efektif.Apersepsi
dimunculkan
untuk
memberikan pengantar pembelajaran yang
terpadu pada kompetensi yang hendak
dicapai. Di ranah pendidikan dasar, apersepsi
bersifat tematik. Artinya, kegiatan tersebut
dilakukan secara holistic dalam kajian
keilmuan. Maka, pemilihan apersepsi harus
tepat
sesuai
kompetensi
yang
diharapkan(Saifudin: 2014).
Peserta didik dapat dianggap
memiliki kopetensi apabila telah memiliki
perubahan pada aspek pengetahuan, sikap
dan
keterampilan.
Perubahan
aspek
pengetahuan peserta didik, ditandai dengan
perubahan proses berfikir dan memahami
konsep. Dalam pembelajaran matematika
peserta didik masih ada saja yang belum
mampu memahami konsep matematika,
bahkan pada bagian yang paling sederhana
sekalipun, banyak konsep yang dipahami
secara keliru sehingga matematika dianggap
sebagai ilmu yang sukar, ruwet, dan sulit.
Ketidakmampuan siswa menemukan konsep
yang tepat dalam menyelesaikan masalah
matematika, sangat dipengaruhi oleh
kurangnya penekanan informasi pada saat
apersepsi, sehingga tujuan dari pembelajaran
itu tidak tercapai atau tidak sesuai dengan
harapan.
Detunt (2016: 20) mengatakan
konsep dapat diperoleh peserta didik melalui
pengetahuan awal peserta didik itu sendiri.
Kemudian konsep-konsep tersebut dapat
dikembangkan menjadi kata-kata kunci.
Setelah itu, kata-kata kunci saling
dihubungkan menjadi semacam peta. Peta
yang dimaksud dalam Concept Mapping
berupa diagram yang dihubungkan dengan
garis garis. Diagram tersebut kemudian
dituliskan
kata
kata
kunci
materi
pelajaran.Menurut Pandley (dalam Yunita,
2014: 2) peta konsep merupakan media
pendidikan yang dapat menunjukkan konsep
ilmu yang sistematis, yaitu dimulai dari inti
permasalahan
sampai
pada
bagian
pendukung yang mempunyai hubungan satu
dengan lainnya, sehingga dapat membentuk
pengetahuan dan mempermudah pemahaman
suatu topik pelajaran. Pendapat lain
menyebutkan bahwa pembuatan peta konsep
(Concept Mapping)merupakan suatu teknik
untuk mengungkapkan konsep-konsep dan
proposisi-proposisi yang ada dalam struktur
kognitif anak. Pengungkapan ini dapat
digunakan guru untuk mengetahui apa yang
telah diketahui siswa mengenai topik yang
akan di ajarkannya (Novak dalam
Rosmiati,2011:12)
Berdasarkan latar belakang tersebut,
Concept Mappingmerupakan strategi yang
dapat membantu peserta didik menghasilkan
pembelajaran bermakna dalam kelas.
Concept Mappingmenyediakan bantuan
visual yang nyata untuk membantu
mengorganisasikan
informasi
sebelum
informasi itu di sampaikan. Beberapa
penelitian
tindakan
dan
eksperimen
menyatakan concept mapping lebih efektif
daripada pembelajaran yang menggunakan
model pembelajaran konvensional terhadap
pemahaman konsep, komunikasi matematika
dan kualitas pembelajaran. Kami mencoba
untuk memaparkan tentang pengaruh concept
mapping terhadap fase apersepsi dalam
pembelajaran matematika.Secara teoritis
artikel ini diharapkan dapat memberikan
sumbangan pengetahuan bagi pendidikan
matematika tentang pengoptimalisasian
apersepsi dengan menggunakan concept
mapping.
Pendidikan Matematika Universitas Muhammadiyah Purworejo,
Ruang Seminar UM Purworejo, 28 Mei 2016
439
BAGIAN INTI
Apersepsi
Apersepsi
berasal
dari
kata
”Apperception”
yang
berarti
menyatupadukan dan mengasimilasikan
suatu pengamatan dengan pengalaman yang
telah dimiliki. Apersepsi dilakukan di awal
pembelajaran mempunyai fungsi sebagai
pengantar pembelajaran. Menurut Mansur
(2015: 13)Kegiatan pembelajaran seharusnya
selalu dimulai dengan apersepsi untuk
memosisikan peserta didik pada kondisi
(zona) alfa sebelum masuk pada kegiatan inti
pembelajaran. Pada kondisi alfa peserta didik
dalam keadaan siap menerima instruksi atau
materi pelajaran yang disampaikan oleh
pendidik dengan demikian, target pencapaian
kompetensi atau tujuan pembelajaran yang
telah ditetapkan lebih mudah tercapai dan
pembelajaran menjadi lebih efektif.
Apesepsi merupakan penyelarasan
pemahaman
yang
berguna
untuk
mengabungkan pemahaman awal dengan
pemahaman baru. Konsep Herbart ini
menjadi tumpuan awal seorang guru untuk
memantapkan
langkah
dalam proses
pembelajaran. Pembelajaran yang dilakukan
guru menjadi terpadu dan sinkron terhadap
pemahaman siswa jika proses apersepsi in
dilakukan dengan baik. Baik yang dimaksud
adalah mampu menciptakan pemahaman
siswa yang logis, sistematis, dan struktural
(Herbart dalam Saifudin, 2008).
Menurut Nurcahyo (2014: 48)
sebelum melakukan apersepsi, seorang guru
harus memahami 4 pilar pembentuk
apersepsi pembelajaran:
1. Menciptakan alfa zone.
Setelah bertatap muka dengan
siswa, mulailah menuju kondisi
awal
yang
menyenangkan.
Kesiapan
paling
untuk
memasukkan
fakta
dan
440
informasi. Dalam keadaan ini,
pergerakan dendrite otak sudah
harmonis.
Menurut
Munif
Chatib, Stimulus khusus pada
awal belajar yang bertujuan
meraih perhatian dari para siswa
adalah apersepsi
(Munif Chatib, 2011: 93).
2. Warmer
Menghangatkan ingatan yang
sudah lalu. Jika pertemuan itu
bukan yang pertama, warmer
dimaksukan sebagai pembentuk
pengetahuan
konstruktivisme,
yakni membangun makna baru
berdasar
pengetahuan yang
sudah dimiliki siswa.
3. Pre-teach.
Pre teach ini memberi informasi
secara manual, bagaimana aturan
diberlakukan.
4. Scene setting.
Kondisi scene setting yang
paling dekat dengan strategi.
Sering pula disebut sebagai hook
atau pengait menuju mata
pelajaran
inti.Berdasarkan
beberapa sumber dalam tulisan
ini,
apersepsi
merupakan
asimilasi pengetahuan lama
dengan
pengetahuan
baru.
Pengetahuan
tersebut
diinformasikan kepada peserta
didik,
sebagai
pengantar
pembelajaran.
Apersepsi
berisikan tentang mengungkap
kembali materi yang telah
diberikan,
deskripsi
sigkat
mengenai materi yang akan
diberikan, dan relevansi materi
yang telah dibahas dengan meteri
yang akan diberikan.
Prosiding Seminar Nasional Matematika dan Pendidikan Matematika, “Internalisasi Nilainilai Berpikir Matematis Dalam Perannya di Era Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA)”
Pembelajaran terkadang merupakan
suatu kesatuan materi yang saling
berhubungan. Dengan melakukan apersepsi
maka akan menyadarkan siswa bahwa materi
yang akan dipelajari memiliki relevansi
dengan materi yang telah dipelajari.Menurut
Nurhasnawati (2013), apersepsi bertujuan
untuk membentuk pemahaman. Guru akan
mengajarkan materi pelajaran yang baru
perlu dihubungkan dengan hal-hal yang telah
dikuasai siswa atau mengaitkannya dengan
pengalaman siswa terdahulu serta sesuai
dengan kebutuhan untuk mempermudah
pemahaman.Apersepsi meliputi kegiatan, (a)
pemaparan
deskripsi
singkat
dengan
memberi informasi singkat tentang isi
pelajaran yang akan diajarkan; (b) eksplorasi,
mengungkap kembali materi yang telah
diajarkan, dengan cara menanyakan perihal
materi sebelumnya; (c) mengulas relevansi
materi yang ditanyakan dengan materi yang
akan diajarkan; dan (d) menghubungkan
materi yang telah diajarkan dengan materi
yang akan segera diajarkan (Nasution dalam
Saifudin, 2014:182).
Apersepsi Pembelajaran Matematika
Menurut Nurcahyo (2014: 208)
apersepsi berarti penghayatan tentang segala
sesuatu yang menjadi dasar untuk menerima
ide-ide baru. Secara umum fungsi apersepsi
dalam kegiatan pembelajaran adalah untuk
membawa dunia siswa ke dunia guru.
Artinya, mengaitkan apa yang telah diketahui
atau di alami dengan apa yang akan
dipelajari, sehingga siswa lebih termotivasi
untuk mengikuti pembelajaran. Selain materi,
guru sebaiknya memahami bahwa peserta
didik memiliki pengalaman, sikap dan
kebiasaan yang berhubungan terhadap
konsep yang akan diajarkan guru. Sebelum
materi tertentu disampaikan, seorang guru
sebaiknya mengaitkan terlebih dahulu
pengalaman, sikap dan kebiasaan yang
dimiliki siswa dan berkaitan dengan materi
yang akan diajarkan. Namun, kebanyakan
guru belum bisa atau kurang dalam
membangun pengetahuan awal pada siswa.
Sehingga banyak yang beranggapan bahwa
kegiatan belajar mengajar adalah untuk
memperoleh prestasi nilai yang baik saja
tanpa diimbangi oleh pemahaman konsep
dari materi yang telah disampaikan oleh
guru.
Matematika
merupakan
suatu
disiplin ilmu yang terdiri dari kumpulan
konsep-konsep. Memahami ilmu matematika,
sama artinya dengan menguasai berbagai
konsep dalam matematika. Menurut Skemp
(dalam Kansil: 2008) “The particular
problem (but also the power) of mathematics
lies in its great abstractness and generality,
achieved by successive generations of
particularly intelligent individuals each of
whom has been abstracting from, or
generalizing,
concepts
of
earlier
generations”. Masalah-masalah
khusus
matematika memiliki keabstrakan dan sifat
yang sangat umum, dimana generasi
sekarang
mendapatkannya
dari
hasil
abstraksi, generalisasi, dan konsep-konsep
yang telah dilakukan oleh generasi
sebelumnya. Banyaknya konsep-konsep yang
telah ada dan kurangnya minat seseorang
terhadap pembelajaran matematika, membuat
mereka memilih hanya menghafal saja
konsep yang ada tanpa mengetahui secara
lebih mendalam maksud dan tujuan konsep
tersebut, sehingga proses belajar mengajar
menjadi kurang bermakna.
Concept Mapping
Peta konsep atau concept mapping
adalah suatu cara yang digunakan untuk
membuat konsep atau kata-kata kunci dari
suatu pokok persoalan sebagai rumusan inti
pelajaran.Concept mappingmemperlihatkan
bagaimana konsep-konsep saling terkait.
Menurut Habibah (2014: 5) dalam mengajar,
Pendidikan Matematika Universitas Muhammadiyah Purworejo,
Ruang Seminar UM Purworejo, 28 Mei 2016
441
guru haruslah menanamkan suatu konsep
pada
diri
siswa.
Siswa
dibimbing
menemukan konsep-konsep dan memberikan
nilai pada gagasan-gagasan semula dari
siswa. Sebenarnya apa yang siswa lihat,
dengar, pikir, sebagian tergantungpada
konsep/gagasan-gagasan yang telah dimiliki
siswa
sebelumnya.
Bimbingan
dan
pengarahan dari guru, dapat membantu
siswadalam menuangkan konsep-konsep
yang dimilikinya untuk membangun suatu
bagan skematis yang disebut peta konsep.
Konsep dapat diperoleh siswa
melalui pengetahuan awal siswa itu sendiri.
Kemudian konsep-konsep tersebut dapat
dikembangkan menjadi kata-kata kunci.
Setelah itu, kata-kata kunci saling
dihubungkan menjadi semacam peta. Peta
yang dimaksud dalam concept mapping
berupa diagram yang dihubungkan dengan
garis-garis. Diagram tersebut kemudian
dituliskan menjadi kata-kata kunci materi
pelajaran (Detunt, 2016: 20). Hal yang sama
juga dijelaskan olehSuprijono namun dengan
tambahan menggunakan media kartu (2012:
106) langkah-langkah pembelajaran yang
menggunakan teknik concept mapping yaitu:
1) guru mempersiapkan potongan kartu-kartu
yang bertuliskan konsep-konsep utama, 2)
guru membagikan potongan-potongan kartu
yang telah dituliskan konsep utama kepada
peserta didik, 3) guru memberikan
kesempatan pada peserta didik untuk
mencoba beberapa kali membuat sebuah peta
yang menggambarkan antar konsep, 4) guru
memastikan peserta didik membuat garis
penghubung antar konsep-konsep tersebut.
tersebut tidak berupa belajar yang sesuka
hati, tetapi pembelajar harus memilih untuk
mencocokkan
atau
menghubungkan
pengetahuan baru ke dalam struktur kognitif
yang ada. Di samping itu belajar bermakna
juga dapat dilakukan dengan cara substantive
yaitu pembelajar dapat mengidentifikasi
konsep-konsep kunci dan menghubungkan
dengan pengalaman aktual.
Alberta (dalam Yunita, 2014: 2)
menjelaskan, bahwa peta konsep dapat
digunakan sebagai alat untuk memecahkan
masalah di dalam pendidikan sebagai pilihan
solusi atau sebagai alternatif. Pembiasaan
dalam penggunaan peta konsep dalam
pendidikan
juga
dapat
menambah
keuntungan pada proses pembelajaran.
Sholahudin (dalam Yunita, 2014: 2),
memanfaatkan peta konsep sebagai alat
untuk mengetahui apa yang telah diketahui
oleh siswa sekaligus menghasilkan proses
belajar bermakna. Sehingga, keuntungan peta
konsep
dijadikan
alat
studi
untuk
mengevaluasi pelajaran atau rencana di
dalam suatu pelajaran, atau keseluruhan
kurikulum.
Habibbah (2014: 9) menunjukan
pengaruh
concept
mapping
terhadap
pemahaman
konsep
siswa
dalam
pembelajaran matematika dengan sebuah
grafik. Gambar di bawah ini menunjukkan
grafik peningkatan pemahaman konsep siswa
dalam belajar matematika. Adapun data hasil
peningkatan indikator pemahaman konsep
yang diamati disajikan dalam grafik sebagai
berikut:
Menurut Kansil (2008: 1) Peta
konsep merupakan suatu alat yang efektif
untuk menghadirkan secara visual hirarki
generalisasi–generalisasi
dan
untuk
mengekspresikan keterkaitan proposisi–
proposisi materi dalam sistem konsep–
konsep yang saling berhubungan. Dalam
proses belajar bermakna pengaitan informasi
442
Prosiding Seminar Nasional Matematika dan Pendidikan Matematika, “Internalisasi Nilainilai Berpikir Matematis Dalam Perannya di Era Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA)”
batasan waktu untuk pembuatan Concept
Mapping, kemudian mengingatkan peserta
didik untuk menuangkan Concept Mapping
tersebut menjadi sebuah karangan sederhana.
Concept Mapping Dalam
Pembelajaran Matematika
Grafik 1. Pemahaman
Matematika
dengan
Mapping
Konsep
Concept
Grafik di atas menunjukkan perubahan hasil
belajar yang berkaitan dengan pemahaman
konsep matematika dalam pembelajaran
setelah dilakukan tidakan selama dua putaran
(2 siklus). Pemahaman konsep siswa pada
putaran pertama sampai dengan putaran
terakhir mengalami peningkatan. Indikator
menjawab pertanyaan guru dan mengerjakan
soal di papan tulis secara tepat meningkat
menjadi 21 siswa (70%). Indikator
memberikan tanggapan tentang jawaban
peserta didik lain meningkat menjadi 20
siswa
(66,67%).
Indikator
membuat
kesimpulan yang meliputi mendefinisikan
konsep, menemukan sifat-sifat dari konsep
dan memberikan contoh meningkat menjadi
16 siswa (53,33%).
Hernacki dan Bobbi (2003: 172)
menyatakan terdapat beberapa kelebihan
menggunakan teknik Concept Mapping,
yaitu: 1) lebih fleksibel, 2) dapat
memusatkan perhatian peserta didik, 3)
meningkatkan
pemahaman
dan
4)
menyenangkan. Kelemahan teknik ini yaitu
pada saat proses pembelajaran peserta didik
lebih terfokus pada pembuatan Concept
Mapping. Solusinya adalah dengan mengatur
waktu dari guru. Guru harus memberikan
Apersepsi
Kegiatan pendahuluan merupakan
kegiatan yang harus dilakukan dalam
pembelajaran. Pada kegiatan pendahuluan
guru mengucapkan salam, mengecek
kehadiran,
menanyakan
ketidakhadiran
peserta didik apabila ada yang tidak hadir,
dan melakukan apersepsi, namun masih
banyak guru dalam kegiatan pembelajaran
tidak mengawalinya dengan apersepsi yang
merupakan inti dari kegiatan pendahuluan.
Beberapa diantara mereka belum memahami
konsep apersepsi itu sendiri. Mereka
menganggap bahwa menyampaikan salam,
mengecek
kehadiran
siswa
atau
menyampaikan tujuan pembelajaran yang
akan dicapai di awal pembelajaran sebagai
apersepsi. Padahal tidak semua kegiatan yang
dilakukan pada tahap pendahuluan itu adalah
apersepsi.
Menurut Mansur (2015: 12) Belajar
adalah upaya untuk membentuk hubungan
stimulus dan respons sebanyak-banyaknya.
Keterkaitan stimulus dengan respon dalam
pembelajaran dapat dilihat dalam hukumhukum belajar sebagai berikut: 1)
Kesiapan,berdasarkan
hukum
belajar,
stimulus dan respons akan mudah terbentuk
manakala ada kesiapan dalam diri individu 2)
Latihan, berdasarkan hukum belajar, stimulus
dan respon akan semakin kuat manakala
terus menerus dilatih atau diulang,
sebaliknya hubungan stimulus respon akan
semakin lemah manakala tidak pernah
diulang. Implikasi dari hukum ini adalah
makin sering suatu pelajaran diulang, maka
akan semakin dikuasai pelajaran, kuat atau
Pendidikan Matematika Universitas Muhammadiyah Purworejo,
Ruang Seminar UM Purworejo, 28 Mei 2016
443
lemahnya hubungan stimulus dan respons,
tergantung pada akibat yang ditimbulkannya.
Apabila stimulus yang diberikan seseorang
mendatangkan kesenangan, maka respons
tersebut akan dipertahankan atau diulangi,
dan apabila respons yang diberikan
mendatangkan
akibat
yang
tidak
mengenakkan, maka respons tersebut akan
dihentikan dan tidak akan diulangi lagi.
Implikasi dari hukum ini adalah apabila
mengharapkan
agar
seseorang
dapat
mengulangi respon yang sama, maka harus
diupayakan agar menyenangkan dirinya,
contoh dengan memberikan hadiah atau
pujian.
Sebaliknya
apabila
kita
mengharapkan seseorang untuk tidak
mengulangi respons yang diberikan, maka
harus diberikan sesuatu yang tidak
menyenangkan, contohnya dengan memberi
hukuman.
Setelah bertatap muka dengan siswa,
guru mulai membawa siswa menuju kondisi
awal yang menyenangkan. Kesiapan untuk
memasukkan fakta dan informasi. Dalam
keadaan ini, pergerakan dendrite otak sudah
harmonis. Stimulus khusus pada awal belajar
yang bertujuan meraih perhatian dari para
siswa adalah apersepsi (Chatib dalam
Nurcahyo, 2011: 93). Stimulus yang
diberikan oleh guru terhadap siswa haruslah
berupa informasi menarik yang dapat
mengarahkan siswa berfikir secara terbuka,
serta memudahkan dalam mencatat materi
pelajaran sesuai alur pemikiran siswa sendiri
agar lebih mudah untuk diingat, difahami,
dan dikembangkan.
Pada kegiatan apersepsi peserta didik
melakukan pengamatan dengan penuh
perhatian sambil memahami serta mengolah
tanggapan-tanggapan
baru
dan
memasukkannya ke dalam kategorial.
Tanggapan-tanggapan baru itu dapat
dipengaruhi oleh bahan apersepsi yang telah
ada. Detunt (2016: 20) mengatakan konsep
dapat diperoleh siswa melalui pengetahuan
444
awal siswa itu sendiri. Kemudian konsepkonsep tersebut dapat dikembangkan menjadi
kata-kata kunci. Setelah itu, kata-kata kunci
saling dihubungkan menjadi semacam peta.
Peta yang dimaksud dalam Concept Mapping
berupa diagram yang dihubungkan dengan
garis garis. Diagram tersebut kemudian
dituliskan kata kata kunci materi pelajaran.
Langan (dalam Detunt, 2008: 30)
menjelaskan bahwa “mapping is another that
can be used to generate material for an
easy”. Pendapat tersebut dapat dimaknai
bahwa pemetaan merupakan salah satu
strategi yang dapat digunakan untuk
menghasilkan
materi sebuah tulisan.
Melalaui pemetaan kata-kata kunci itulah
pemahaman
siswa
mengenai
konsep
kebahasaan bisa terwujud sehingga mampu
menuangkannya berupa ide-ide yang sudah
dimiliki kedalam sebuah tulisan sehingga
dapat di artikan, concept mapping merupakan
ilustrasi grafis konkrit yang mengindikasikan
bagaimana
sebuah
konsep
tunggal
dihubungkan ke konsep-konsep lain pada
kategori yang sama.Siswa dapat dianggap
memiliki kopetensi apabila telah memiliki
perubahan pada aspek pengetahuan, sikap
dan
keterampilan.
Perubahan
aspek
pengetahuan
siswa,
ditandai
dengan
perubahan proses berfikir dan memahami
konsep. Dalam pembelajaran matematika
peserta didik masih ada saja yang belum
mampu memahami konsep matematika,
bahkan pada bagian yang paling sederhana
sekalipun, banyak konsep yang dipahami
secara keliru sehingga matematika dianggap
sebagai ilmu yang sukar, ruwet, dan sulit.
Ketidakmampuan siswa menemukan konsep
yang tepat dalam menyelesaikan masalah
matematika, sangat dipengaruhi oleh
kurangnya penekanan informasi pada saat
apersepsi, sehingga tujuan dari pembelajaran
itu tidak tercapai atau tidak sesuai dengan
harapan.
Informasi baru yang di hubungkan
dengan informasi relevan yang sudah
Prosiding Seminar Nasional Matematika dan Pendidikan Matematika, “Internalisasi Nilainilai Berpikir Matematis Dalam Perannya di Era Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA)”
diketahui akan menjadi pemahaman baru
yang lebih kuat dibandingkan pemahaman
sebelumnya. Konsep-konsep yang ada dalam
struktur kognitif proses belajar bermakna
mengalami modifikasi dan terdiferensiasi
lebih lanjut yang diakibatkan oleh asimilasi
pengetahuan baru selama belajar bermakna
berlangsung. Inilah yang menyebabkan
materi – materi yang dipelajari dengan cara
bermakna akan relative lebih lama
mengendap dibandingkan dengan materi –
materi yang hanya dipelajari secara hafalan.
Mengingat betapa pentingnya konsep dalam
matematika, maka perlu adanya suatu usaha
untuk merencanakan pembelajaran konsepkonsep yang sesuai dengan materi,
mengingat kembali konsep-konsep yang
telah dipelajari, dan merevisi kembali jika
ada kesalahan-kesalahan konsep. Salah satu
bentuk yang dapat dilakukan adalah dengan
membuat peta konsep sehingga materi-materi
yang dipelajari mempunyai jaringan-jaringan
konsep yang mudah untuk didapatkan
(diingat) kembali dan konsep-konsep itu
dapat bertahan lebih lama serta belajar pun
akan lebih bermakna.
Concept mappingsebagai satu teknik
telah digunakan secara ekstensif dalam
pendidikan. Teknik concept mapping ini
diilhami oleh teori belajar asimilasi kognitif
(subsumption) David P. Ausubel yang
mengatakan bahwa belajar bermakna
(meaningful learning) terjadi dengan mudah
apabila konsep-konsep baru dimasukan ke
dalam konsep-konsep yang lebih inklusif.
Dengan kata lain, proses belajar terjadi bila
siswa mampu mengasimilasikan pengetahuan
yang ia miliki dengan pengetahuan yang baru
(Ambarwati, 2013: 52). Salah satu cara
menyusun peta konsep adalah secara hirarki,
artinya konsep – konsep yang lebih umum
berada dipuncak peta sedangkan konsep –
konsep yang sifatnya lebih khusus berada di
bawahnya. Demikian disusun seterusnya
sehingga makin kebawah konsep–konsep
yang dikaitkan adalah yang lebih khusus lagi.
Selain itu dapat juga disusun dengan cara
konsep utama atau konsep yang lebih umum
berada ditengah – tengah jaringan konsep –
konsep yang lebih khusus atau konsep yang
lebih khusus mengelilingi konsep utama.
Menurut Margono (2010: 67) Penerapan
metode pembelajaran concept mapping
dalam
kegiatan
pembelajaran
akan
menambah
variasi
dalam
kegiatan
pembelajaran sehingga dapat menarik
perhatian siswa dan membuat siswa lebih
bersemangat dalam kegiatan pembelajaran.
Ketertarikan peserta didik terhadap suatu
pembelajaran merupakan modal awal
seorang guru dalam menyampaikan materi
agar terciptanya pembelajaran bermakna.
PENUTUP
Berdasarkan pembahasan diatas,
dapat
disimpulkan
bahwa
apesepsi
merupakan asimilasi pengetahuan lama
dengan pengetahuan baru. Pengetahuan
tersebut diinformasikan kepada siswa,
sebagai pengantar pembelajaran. Apersepsi
berisikan tentang mengungkap kembali
materi yang telah diberikan, deskripsi sigkat
mengenai materi yang akan diberikan, dan
relevansi materi yang telah dibahas dengan
meteri yang akan diberikan. Sebelum
melakukan apersepsi, seorang guru harus
memahami 4 pilar apresepsi yaitu: 1) Alfa
Zone (keadaan yang menyenangkan) 2)
Warming (menghangatkan ingatan yang
sudah lalu) 3) Pre – Teach (Aturan
pedagogis) 4) Scene Setting. (pengait menuju
mata pelajaran inti). Dalam pembelajaran
matematika, apersepsi dilakukan dengan
mengaitkan
pemahaman
konsep
dan
pengalaman yang dimiliki siswa.Konsep
dapat diperoleh siswa melalui pengetahuan
awal siswa itu sendiri. Kemudian konsepkonsep tersebut dapat dikembangkan menjadi
kata-kata kunci. Setelah itu, kata-kata kunci
saling dihubungkan menjadi semacam peta.
Pendidikan Matematika Universitas Muhammadiyah Purworejo,
Ruang Seminar UM Purworejo, 28 Mei 2016
445
Peta yang dimaksud dalam concept
mappingberupa diagram yang dihubungkan
dengan garis garis. Diagram tersebut
kemudian dituliskan kata kata kunci materi
pelajaran.Concept Mapping menyediakan
bantuan visual konkret untuk membantu
mengorganisasikan
informasi
sebelum
informasi tersebut dipelajari. Concept
mapping membuat siswa belajar lebih mudah
dan
ringkas,
sehingga
membantu
meningkatkan daya ingat siswa dalam
pembelajaran.
Cara menyusun peta konsep adalah
secara hirarki, artinya konsep – konsep yang
lebih umum berada dipuncak peta sedangkan
konsep – konsep yang sifatnya lebih khusus
berada di bawahnya. Demikian disusun
seterusnya sehingga makin kebawah konsep–
konsep yang dikaitkan adalah yang lebih
khusus lagi. Selain itu dapat juga disusun
dengan cara konsep utama atau konsep yang
lebih umum berada ditengah – tengah
jaringan konsep – konsep yang lebih khusus
atau konsep yang lebih khusus mengelilingi
konsep utama. Kelebihan menggunakan
teknik Concept Mapping, yaitu: 1) lebih
fleksibel, 2) dapat memusatkan perhatian
siswa, 3) meningkatkan pemahaman dan 4)
menyenangkan. Kelemahan teknik ini yaitu
pada saat proses pembelajaran peserta didik
lebih terfokus pada pembuatan concept
mapping. Solusinya adalah dengan mengatur
waktu dari guru. Guru harus memberikan
batasan waktu untuk pembuatan Concept
Mapping, kemudian mengingatkan peserta
didik untuk menuangkan Concept Mapping
tersebut menjadi sebuah karangan sederhana.
DAFTAR RUJUKAN
Khuluquiyah dan Arief, Alimufi. 2016.
Pengaruh Penerapan Zona Alfa
Dengan Kegiatan Brain Gym
Terhadap Hasil Belajar Siswa Pada
Materi Alat-Alat Optikdi Kelas VIII
446
SMP
Islam
Krembung
Sidoarjo(online)
(ejournal.unesa.ac.id/article/614/32/
article.pdf),diakses 29 April 2016
Ningsih.
2013.
Perbedaan
Pengaruh
Pemberian
Apersepsi
Terhadap
Kesiapan Belajar Siswa Mata
Pelajaran IPS Kelas VII A (online)
(jurnal.untan.ac.id/index.php/jpdpb/a
rticle/view/2348), diakses 29 April
2016
Nurcahyom Jito. 2014. Pengaruh Apersepsi
Visual Dan Minat BelajarSiswa
Terhadap Prestasi Belajar Siswa
Pada Matapelajaran Teori Proses
Pembubutan Dasar di SMK N 2
Pengasih Kulon Progo. Universitas
Negeri
Yogyakarta.
(online)
(eprints.uny.ac.id/29695/1/jito%20nu
rcahyo.pdf), diakses 29 April 2016
Margono, Tri. 2010. Implementasi Metode
Concept
Mapping
DalamPembelajaran
Matematika
SebagaiUpayapeningkatan Keaktifan
Belajar Matematika. Universitas
Muhammadiyah
Surakarta.
(online)(eprints.ums.ac.id/11677/2/0
1._Skripsi_Lengkap.pdf), diakses 29
April 2016
Rahmawati, Hartati, Sri dkk. Penerapan
Concept Mapping dengan Media
Gambar
untuk
Meningkatkan
Kualitas Pembelajaran IPA. (online)
(journal.walisongo.ac.id/index.php/P
henomenon/article/.../92/6) diakses
29 April 2016
HR,
Mansur.
2015.
Menciptakan
Pembelajaran
Efektif
Melalui
Apersepsi. Widyaiswara LPMP
Provinsi Sulawesi Selatan. (online)
(www.lpmpsulsel.net/.../327_Mencip
takan%20pembelajaran%20efe),
diakses 29 April 2016
Yunita, Sofyan, Ahmad, dkk. Pemanfaatan
Peta Konsep (Concept Mapping)
Untuk Meningkatkan Pemahaman
Prosiding Seminar Nasional Matematika dan Pendidikan Matematika, “Internalisasi Nilainilai Berpikir Matematis Dalam Perannya di Era Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA)”
Siswa Tentang Konsep Senyawa
Hidrokarbon.
UIN
Syarif
Hidayatullah
Jakarta.
(online)
(ournal.uinjkt.ac.id/index.php/edusai
ns/article/.../1050/46), diakses 29
April 2016
Rosmiati. 2011. Penerapan Metode Concept
Mapping Untuk Meningkatkan Hasil
Belajar Pendidikan Agama Islam
Pada Siswa Kelas V Sekolah Dasar
Negeri 018 Pulau Lawas Kecamatan
Bangkinang Seberang Kabupaten
Kampar. Universitas Islam Negeri
Sultan Syarif Kasim Riau. (online)
(epository.uinsuska.ac.id/80/1/2011_2011150.pdf),
diakses 29 April 2016
Choeiriyah, Laelinatul. 2015. Penerapan
Metode Concept Mapping Untuk
Meningkatkan
Hasil
Belajar
Pendidikan Agama Islam Pada Siswa
Kelas V Sekolah Dasar Negeri 018
Pulau Lawas Kecamatan Bangkinang
Seberang
Kabupaten
Kampar.
Universitas Islam Negeri Sunan
Kalijaga. (online) (repository.uinsuska.ac.id/2314/), diakses 29 April
2016
Ambarwati, Wahyu. 2013. Penerapan
Strategi Concept Mapping Berbasis
Multimedia Untuk Meningkatkan
Kualitas Pembelajaran Pkn Pada
Siswa Kelas Iv Sdn Purwoyoso 06
Kota Semarang. Universitas Negeri
Semarang.
(online)
(lib.unnes.ac.id/19782/1/1401409044
.pdf), diakses 29 April 2016
Setyani, Wahyu Marta. 2013. Peningkatan
Kualitas Pembelajaran IPS Melalui
Strategi
Pembelajaran
Concept
Mapping Dengan Audiovisual Pada
Siswa Kelas Ii Sdn Karanganyar 01
Kota
Semarang.
(online)
(Peningkatan Kualitas Pembelajaran
IPS Melalui Strategi Pembelajaran
Concept
Mapping
Dengan
Audiovisual Pada Siswa Kelas Ii Sdn
Karanganyar 01 Kota Semarang.
(online)
(lib.unnes.ac.id/18056/1/1401409382
.pdf), diakses 29 April 2016
Henarcki, Mike dan Bobbi Deporter. 2003.
Quantum Learning. Bandung: PT
Mandiri Pustaka.
Syaifudin, M. Fakhrur. 2015. Optimalisasi
Apersepsi Pembelajaran Melalui
Folklor Sebagai Upaya Pembentukan
Karakter Siswa Sekolah Dasar.
(online)
(https://publikasiilmiah.ums.ac.id/ha
ndle/11617/6068), diakses 29 April
2016
Habibah, Umi. 2014. Penerapan Concept
Mapping
Untuk
Meningkatkan
Pemahaman Konsep Matematika
Pada Siswa Kelas Vii C Semester
Gasal Smp Muhammadiyah 2
Surakarta Tahun Ajaran 2013 /
2014
(online)
(Eprints.Ums.Ac.Id/27935/15/Naskah
_Publikasi.Pdf), diakses 29 April
2016
Detunt, Hafiz Otmeikal. 2016 Keefektifan
Penggunaan
Teknik
Concept
Mapping Dan Teknik Concept
Sentence
Pada
Pembelajaran
Keterampilan
Menulis
Bahasa
Jerman Peserta Didik Kelas Xi Ipa
Sma Negeri 1 Minggir Sleman.
(online)
(eprints.uny.ac.id/30490,
diakses 29 April 2016
Kansil, Y. Eka Yana. 2008. Peta Konsep Dan
Peranannya Dalam Pembelajaran
Matematika.
(online)
(journal.uny.ac.id/index.php/didaktik
a/article/download/.../2711, diakses
29 April 2016
Chatib, Munif. 2012. Gurunya Manusia.
Bandung: PT. Mizan Pustaka.
Peraturan
Menteri
Pendidikan
dan
Kebudayaan Nomor 65 Tahun 2013 tentang
Standar Proses Pendidikan Dasar dan
Menengah.
(online)
(bsnpindonesia.org/.../03.-A.-SalinanPermendikbud-No.-65-th), siakses 29 April
2016.
Pendidikan Matematika Universitas Muhammadiyah Purworejo,
Ruang Seminar UM Purworejo, 28 Mei 2016
447
APLIKASI TEKNOLOGI WEB 2.0
UNTUK MENDUKUNG PEMBELAJARAN KOLABORATIF
Kuswari Hernawati
FMIPA, Universitas Negeri Yogyakarta
[email protected]
Abstrak
Pembelajaran kolaboratif adalah situasi dimana terdapat dua atau lebih orang belajar atau
berusaha untuk belajar sesuatu secara bersama-sama. Pembelajaran terjadi melalui interaksi sosial
dengan bantuan guru atau teman sejawat. Saat ini pembelajaran kolaboratif telah dilakukan
dengan memnafaatkan Teknologi Informasi. Web 2.0 merupakan istilah yang diberikan untuk
menggambarkan generasi kedua dari World Wide Web yang difokuskan pada kemampuan orang
untuk berkolaborasi dan berbagi informasi secara online. Dalam makalah ini, akan dieksplorasi
berbagai aplikasi teknologi web 2.0 yang menyediakan fasilitas pembelajaran secara kolaboratif,
seperti edmodo, Class Dojo, Socrative, Google Classroom, Schoology dan Otus. Selain
menyediakan fasilitas kolaborasi dalam pembelajaran baik antar siswa, pengajar dan orang tua,
banyak fasilitas yang tersedia dengan aplikasi tersebut diantaranya adalah pembuatan assesmen,
penilaian, pengecekan kehadiran, polling, penyimpanan di Google drive serta kemudahan untuk
berbagi sumber (resource sharing) yang dapat dimanfaatkan secara gratis. Dengan penggunaan
aplikasi teknologi Web 2.0 tersebut, diharapkan dapat meningkatkan motivasi, minat dan prestasi
belajar siswa, karena aplikasi tersebut selain dapat menjembatani kegemaran siswa yang senang
berkolaborasi melalui sosial media, juga dapat memberi kesempatan kepada siswa menjadi
partisipan aktif dalam proses belajar
Kata Kunci: Teknologi Web 2.0, pembelajaran, kolaborasi
1. PENDAHULUAN
Teknologi web semakin berkembang,
seiring dengan perkembangan internet.
Dimulai dari teknologi Web 1.0 yang secara
umum dikembangkan untuk pengaksesan
informasi dan interaktifitas yang masih
minim, dilanjutkan dengan teknologi Web 2.0
yang dikembangkan mulai tahun 2004.
Teknologi Web 2.0 mempunyai ciri share,
collaborate dan exploit. Penggunaan web
untuk berbagi, pertemanan dan kolaborasi
menjadi sesuatu yang sangat penting. Web 2.0
hadir seiring maraknya pengguna media sosial
seperti blog, Facebook, Instagram, Friendster,
Myspace, Youtube dan Flickr. Keberadaan
teknologi Web 2.0 ini
mengakibatkan
maraknya kehidupan sosial di dunia maya.
Indonesia adalah negara dengan jumlah
pengguna Facebook terbanyak keempat di
dunia dengan jumlah pengguna aktif bulanan
Facebook mencapai kisaran 82 juta orang
448
pada kuartal-IV 2015. Angka tersebut
mendekati jumlah keseluruhan pengguna
internet di Indonesia pada 2015, sebesar 88,1.
(Yusuf, 2016). Dari angka tersebut dapat
disimpulkan bahwa hampir semua pengguna
internet di Indonesia menyukai dan
menggunakan jejaring sosial facebook.
Teknologi berbasis web yang mulai
diterapkan dalam pendidikan mendorong
perubahan paradigma peranan guru dan
peserta didik dalam proses pembelajaran.
Guru dapat memanfaatkan web sebagai
fasilitator dalam menyampaikan informasi,
merancang strategi dan metode dalam proses
pembelajaran. Sedangkan peserta didik tidak
lagi hanya sebagai penerima informasi tetapi
juga dapat berperan aktif menyumbangkan
pendapat dan pemikirannya terhadap suatu
informasi dan dalam berbagai diskusi.
Prosiding Seminar Nasional Matematika dan Pendidikan Matematika, “Internalisasi Nilainilai Berpikir Matematis Dalam Perannya di Era Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA)”
Aktifitas yang dapat dilakukan dengan
adanya Teknologi Web 2.0 meliputi
pembuatan
dokumen,
melakukan
penyuntingan,
penyebaran
informasi,
penilaian,
memberikan
masukan
dan
feedback. Disamping itu, peranan peserta
didik dalam mengeksplorasi, berperan aktif
dalam
menyampaikan
pemikirannya
diharapkan dapat membantu meningkatkan
pencapaian dalam proses belajar mengajar.
Dengan kemampuan teknologi Web 2.0 dalam
memfasilitasi kolaborasi, memungkinkan
untuk dilakukannya kolaborasi antara guru,
murid dan orang tua. Guru dapat memberikan
atau merekomendasikan materi pembelajaran
dan melakukan diskusi dengan murid dan
orang tua. Siswa dapat belajar sesuai dengan
arahan guru, serta menyampaikan pendapat
dan pertanyaan kepada guru, sedangkan orang
tua dapat memantau aktivitas
dan
perkembangan anaknya dalam kelas yang
dikelola. Banyak tool Web 2.0 yang bisa
digunakan untuk kegiatan pembelajaran
kolaboratif diantaranya adalah edmodo, Class
Dojo, BuzzMob, Remind, Schoology dan
Otus. Kesemua tool-tool tersebut dikemas
dalam bentuk sosial media seperti facebook.
Dengan kondisi masyarakat Indonesia sebagai
pengguna internet yang juga memanfaatkan
facebook, tampilan dan pembelajaran yang
dikemas seperti itu, diharapkan dapat
meningkatkan minat, motivasi belajar dan
peran aktif siswa dalam proses pembelajaran.
2. KAJIAN LITERATUR
A. Pembelajaran Kolaboratif
Pembelajaran kolaborasi merupakan istilah
umum untuk berbagai pendekatan pendidikan
yang melibatkan upaya intelektual yang
dilakukan bersama-sama antar siswa, atau
siswa dengan guru. Pada umumnya, siswa
bekerja dalam kelompok yang terdiri dari dua
anggota atau lebih, saling mencari
pemahaman, solusi, makna, atau menciptakan
suatu
produk.
kegiatan
pembelajaran
kolaboratif bervariasi, tetapi kebanyakan
berpusat pada eksplorasi siswa pada materi,
bukan hanya presentasi atau penjelasan dari
guru. Pembelajaran kolaboratif merupakan
pergeseran dari pembelajaran yang berpusat
pada guru. Dalam kelas kolaboratif, proses
pembelajaran/ mendengarkan / mencatat
mungkin tidak hilang sepenuhnya, tetapi tetap
ada bersama proses-proses lain yang berbasis
pada diskusi siswa dan bekerja aktif pada
suatu materi. (Smith & MacGregor, 1992).
Menurut (Dillenbourg, 1999) pembelajaran
kolaboratif' adalah situasi dimana dua atau
lebih orang belajar atau mencoba untuk
belajar sesuatu bersama-sama. Setiap elemen
didefinisikan berbagai berikut:
a. "Dua atau lebih" dapat ditafsirkan sebagai
pasangan, kelompok kecil (3-5 orang),
kelas(20-30 orang), sebuah komunitas
(ratusan atau ribuan orang) atau
masyarakat (ribuan atau jutaan orang).
b. "belajar sesuatu" dapat ditafsirkan
sebagai "mengikuti kursus", mempelajari
materi", "melakukan kegiatan belajar
seperti pemecahan masalah", "belajar dari
pengalaman hidup".
c. "bersama-sama" dapat diartikan sebagai
bentuk interaksi: tatap muka atau melalui
komputer, secara sinkron atau tidak,
dilakukan secara rutin/sering atau tidak,
merupakan kerja yang dilakukan secara
bersama secara keseluruhan ataupun
dengan
pembagian
kerja
secara
sistematis.
B. Pembelajaran kolaboratif berbantuan
Komputer/Computer
Supported
collaborative learning
Computer supported collaborative learning
(CSCL) adalah pembelajaran kolaboratif
dimana sekelompok pelajar berada dalam
sebuah jaringan komputer dalam rangka
memaksimalkan individu, tim, dan hasil
pembelajaran untuk mencapai tujuan melalui
diskusi dan asistensi yang bermanfaat.
(Gitakarma & Tjahyanti, 2012). Banyak tool
yang telah dikembangkan untuk memfasilitasi
pembelajaran kooperatif dan kolaboratif.
(Crook, 1996) telah banyak menganalisis
Pendidikan Matematika Universitas Muhammadiyah Purworejo,
Ruang Seminar UM Purworejo, 28 Mei 2016
449
bagaimana komputer dapat memfasilitasi
pembelajaran kolaboratif di sekolah. Menurut
Crook (1996), teknologi dapat mendukung
kolaborasi dengan menyediakan sesuatu
sebagai pusatnya. Kemampuan komputer
dapat digunakan sebagai mediasi, alat yang
membantu siswa untuk memusatkan perhatian
mereka pada objek dan saling berbagi. Dalam
interaksinya, pembelajaran kolaborasi melalui
komputer mengacu pada penggunaan
jaringan, yaitu jaringan lokal (LAN), jaringan
luas (WAN) atau internet melalui e-mail,
papan buletin elektronik, sistem konferensi,
dan groupware khusus.
Pembelajaran
koaborasi
berbantuan
komputer dibagi menjadi:
a. Aplikasi workstation tanpa jaringan
1) program
single-user
konvensional
diterapkan kembali dalam konteks
kolaboratif, misal penggunaan program
LOGO
2) Aplikasi dengan antarmuka khusus untuk
memfasilitasi
kolaborasi,
misal
ALGEBRALAND dan GEOMETRY
TUTOR
b. Tool berbasis jaringan untuk pembelajaran
kolaboratif
1) Sistem Client Server berbasis Lokal Area
Network
2) Email sebagai tool untuk pembelajaran
kolaboratif
3) Pembelajaran Kolaboratif melalui internet
dan World Wide Web
c. Sistem dengan kombinasi beberapa tool.
C. Teknologi Web 2.0
Web 2.0 dicetuskan pertama kali oleh O'Reilly
Media, pada tahun 3003 dan dipopulerkan
pada konferensi web 2.0 pertama di tahun 200.
Web 2.0 merupakan generasi kedua layanan
berbasis web yang berupa situs jaringan sosial,
wiki, perangkat komunikasi, dan folksonomi,
yang menekankan pada kolaborasi online dan
kemudahan
berbagi
antar
pengguna.
Perkembangan web 2.0 lebih menekankan
pada perubahan cara berpikir dalam
menyajikan konten dan tampilan di dalam
sebuah website. (O'Reilly, 2006)
450
Menurut Brown(2010), Greenhow, Robelia,
Hughes (2009) dalam (Bower, 2015)
teknologi Web 2.0 menawarkan peluang bagi
pendidik untuk meningkatkan komunikasi,
produktivitas, sharing dan kolaborasi dalam
kelas.
Berdasarkan tipenya, teknologi pembelajaran
berteknologi web 2.0, dibagi menjadi
beberapa kategori
1. Tool berbasis teks/Text base tool
a. Diskusi Teks Sinkron/Synchronous text
discussion, tool yang memungkinkan user
untuk bertukar komentar, memfasilitasi
pebelajar untuk melakukan diskusi antar
kelompok selama mengikuti presentasi
live. Contohnya Twitter, Plurk, Chatzy,
Today's Meet
b. Forum diskusi/Discussion Forum, tool
yang memfasilitasi kelompok pengguna
untuk melakukan diskusi berbasis teks
secara asinkronous, pada saat tidak
diperlukan diskusi yang real time pada
suatu
topik
tertentu.
Contohnya
Forum.com, ProBoards.com, ReadUps,
Tackk.
c. Pembuat catatan dan dokumen/Note
taking and document creation, tool yang
dapat memfasilitasi pekerjaan pembuatan
teks atau dokumen secara kolaboratif,
dimana pengguna satu dapat melihat
perubahan yang dilakukan oleh pengguna
lain dalam suatu dokumen yang sedang
dikerjakan secara real time. Contohnya
Etherpad, Evernote, Google Docs.
2. Tool berbasis Image/Image Base Tool,
a. Image Sharing, tool untuk memfasilitasi
asyncronous image sharing. Contohnya
Flickr,
Instagram,
Pics4Learning,
OpenClipart, Wikimedia Commons.
b. Image creation and editing, adalah tool
yang memungkinkan untuk membuat dan
memodifikasi gambar yang selanjutnya
dapat dishare melalui URL.Contohnya
Befunky, PicJuice, DrPic, Pho.to, Pixlr,
Sumopaint, DeviantArt.
c. Drawing,
adalah
tool
yang
memungkinkan pengguna menggambar
menggunakan mouse sebagai pena dan
membaginya melalui URL. Contohnya
Artpad, Slimber, Flockdraw.
d. Online
whiteboarding,
tool
yang
menyediakan fasilitas pembuatan garis,
shape, dan text tool untuk membuat suatu
proses ilustrasi. Contohnya Whiteboard,
Google Drawing, Board800, CoSketch,
Prosiding Seminar Nasional Matematika dan Pendidikan Matematika, “Internalisasi Nilainilai Berpikir Matematis Dalam Perannya di Era Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA)”
e.
f.
g.
h.
3.
a.
b.
4.
a.
b.
c.
Dweeber, Sketchlot, Stoodle, Twidlla,
Pixiclip.
Diagramming, tool yang menyediakan
fasilitas pembuatan gambar berupa
diagram dan flowchart. Contohnya
Gliffy, Lucidchart, Draw.io, Cacoo,
Creately.
Mindmapping, tool yang menyediakan
fasilitas pembuatan gambar berupa
konsep interelasi dalam bentuk jaringan
pengetahuan yang dapat dibagi melalui
URL.
Contohnya
Mindmup,
Wisemapping,
Popplet,
Mind42,
Mindmeister,
Slatebox,
Coggle,
Text2Mindmap, Debategraph.
Mapping, tool yang memfasilitasi
penandaan pada peta yang selanjutnya
ditautkan atau diembed pada situs lain.
Contohnya Google Maps, Quickmaps,
Scribblemaps, Woices, Umapper.
Word Clouds, tool yang memungkinkan
pengguna untuk membuat teks yang
diatur berdasarkan kata kunci yang
diberikan, sehingga pengajar dapat
menyatakan materi/fokus dalam bentuk
yang lebih menarik. Contohnya Wordle,
Tagxedo, Tagul.
Tool berbasis Audio/AudioTool
Audio Sharing, tool yang memungkinkan
pengguna untuk mengupload dan
membagi audio yang telah direkam
melalui open repositories. Contohnya
SoundCloud, Audioboom, FreeSound,
Chirbit, SoundBibble.
Audio creation and editing, tool untuk
merekam dan memodifikasi audio secara
online melalui web browser. Contohnya
Voxopop, Soundation
Tool berbasis Video/VideoTool
Video Sharing, tool yang memungkinkan
pengguna untuk mengupload dan
membagi video yang telah direkam
melalui open repositories. Contohnya
Youtube, Vimeo, Teachertube.
Video creation and editing, tool untuk
merekam dan memodifikasi video secara
online melalui web browser. Pengajar dan
siswa dapat membuat konten video untuk
tujuan pembelajaran. Contohnya Youtube
Video Editor, Video Toolbox, FileLab
Video Editor, Mozzila Popcorn Maker,
Muvee, Screencast-o-matic.
Video
Streaming,
tool
yang
memungkinkan
pengguna
untuk
menyiarkan video secara streaming secara
live. Contohnya Google Hangouts On Air,
5.
a.
b.
c.
6.
a.
b.
c.
7.
a.
b.
Ustream, LiveStream, Veetle, Vokle,
YouNow
Alat Produksi Multimoda/Multimodal
production tools
Digital
Pinboard,
memungkinkan
sekelompok pengguna untuk mengatur
dan membagi sumber misalnya web, file,
foto
dan
catatan
dengan
menambahkannya ke dalam Free form
canvas.Contohnya Pearltrees, Paddlet,
Lino, Magnoto, Stormboard, Groupman.
Presentasi/Presentation merupakan tool
yang memungkinkan pembuatan konten
multimoda
berurutan
untuk
menyampaikan materi pembelajaran dan
membaginya melalui URL. Contohnya
Prezi. URL untuk menshare contohnya
Google Slides, Haikudeck, Photopeach,
Photosnack, Vcasmo, Authorstream
Lesson
Authoring,
memungkinkan
pengguna untuk membuat konten untuk
modul pembelajaran dan menambahkan
elemen yang interaktif. Contohnya
LAMS,
BlendSpace,
SoftChalk,
EasyGenerator,
Nearpod,
Udutu,
Compisica, Zaption, Edpuzzle.
Digital storytelling Tools
Online book Creation,memungkinkan
pengguna membuat cerita berdasarkan
gambar dan teks dan membaginya melalui
URL. Contohnya StoryJumper, Tikatok,
StoryBird, MyStoryMaker, Mixbook
Comic strip creation, memungkinkan
pengguna untuk memilih dan meletakkan
karakter dan background pada template
yang
telah
disediakan.
Biasanya
digunakan untuk pembelajaran anak usia
usia dini atau SD. Contohnya Storyboard
That,
MakebeliefsComix,
Pixton,
Toondoo, WittyComics, BitStrips.
Video
Animasi/Animated
videos.
Memungkinkan pembuatan video dan
presentasi melalui tampilan drag & drop.
Contohnya Powtoons, DigitalFilms,
Moovly, Dvolver
Tool Pembuat Website/Website Creation
Tool
Pembuatan website pribadi/Individual
website creation. adalah tool untuk
pembuatan website pribadi. Contohnya
Google Sites, Tripod, Wix, Jimdo,
Moonfruit.
Wikis, adalah tool yang memungkinkan
multipel
user
untuk
membuat,
memodifikasi, menautkan multipage
website melalui web browser. Contohnya
Pendidikan Matematika Universitas Muhammadiyah Purworejo,
Ruang Seminar UM Purworejo, 28 Mei 2016
451
c.
8.
a.
b.
c.
d.
9.
a.
b.
c.
d.
WikiSpaces,
PBWork,
Wikia,
WikiFoundary,
Central
Desktop,
MindTouch, Confluence dan SocialText.
Blogs, merupakan tool untuk mengatur
posting berdasarkan urutan waktu.
Contohnya
Wordpress,
Edublogs,
Kidblog, Tumblr, Blogger, Paper.li,
RebelMouse, Penzu.
Tool untuk mengorganisasi pengetahuan
dan Sharing/Knowledge organization and
sharing tools
File Sharing, adalah tool yang
memungkinkan pengguna untuk berbagi
dokumen, gambar, audio dan video
melalui web. Contohnya Dropbox,
Mediafire, 4Shared, OneDrive, Google
Drive.
Social Bookmarking, merupakan situs
yang memungkinkan pengguna untuk
menyimpan, mengorganisasi, dan berbagi
link ke website secara online. Contohnya
Delicious, Diigo, lcyte, Memonic,
Webnotes, Educlipper.
Agregator, adalah penggunaan RSS untuk
memanen informasi berbasis web dalam
satu halaman. Contohnya Flipboard,
Feedly, Bloglines.
Republishing, tool yang memungkinkan
selain untuk memanen informasi dalam
sebuah web tetapi juga melakukan
komentar dan menerbitkannya kembali.
Contoh ScoopIt, Storify, Pinterest,
LiveBinders.
Tool untuk Analisis Data
Conducting Surveys, tool untuk koleksi
data melalui website. Contohnya Survey
Monkey,
Polldaddy,
SurveyGizmo,
FluidSurveys, Insightify, Ballet-Box,
Google Form, Poll Everywhere
Online Spreadsheet, adalah tool yang
menyediakan fasilitas kolaborasi dalam
membuat dan memodifikasi Spreadsheet.
Contohnya Google Sheet, Live Document
Spreadsheet, Ethercalc, Smartsheet
Infographics, adalah tool dan template
untuk merepresentasikan data numerik
dan berbagi via URL. Contohnya Easelly,
PictoChart
Timeline Tool, adalah tool yang
memungkinkan
pengguna
untuk
mengorganisasi teks dan gambar pada
halaman tunggal berdasarkan kronologi
waktu, biasanya cocok untuk menyatakan
sejarah.
Contohnya
Timetoast,
Timeglider, Dipty, Tiki-Toki, Capzles,
OurStory.
452
10. 3D modelling Tool, memungkinkan
pengguna untuk membuat CAD 3D
melalui web browser. Contohnya
Shapeshifter, Tinkercad
11. Assesment Tool, tool yang menyediakan
fasilitas pembuatan kuis secara online.
Contohnya
Quizstar,
ProProfs
Quizmaker, Quizlet, Cram, CoboCards,
EasyTestMaker, Fifty Sneakers, Quia,
Socrative
12. Social Networking System, tool yang
menyediakan fasilitas untuk sharing
gambar, video, text, poll melalui halaman
profil pribadi. Contohnya Facebook,
Google plus, Edmodo, Twiducate,
Fakebook, Research Gate, Academia,
Khan Academy
13. Syncronous Collaboration tool, tool yang
menyediakan fasilitas share chat teks,
baik audio video webcam melalui web
browser. Contohnya Zoom, Google
Hangouts, GoToMeeting, WizIQ, Speek,
Vyew, FuzeMeeting. (Bower, 2015).
Selengkapnya dapat dilihat pada Gambar
1
GAMBAR 1 TEKNOLOGI PEMBELAJARAN
WEB 2.0
3. PEMBAHASAN
Tool Teknologi Web 2.0 untuk mendukung
pembelajaran Kolaboratif
a. Edmodo
Edmodo (Gambar 2) merupakan platform
pembelajaran berbasis jejaring sosial yang
ditujukan untuk guru, murid sekaligus orang
tua murid, yang dapat diakses gratis melalui
alamat http://www.edmodo.com
Edmodo pertama kali dikembangkan pada
akhir tahun 2008 oleh Nic Borg dan Jeff
O‟hara. Edmodo merupakan program elearning
yang
menerapkan
sistem
Prosiding Seminar Nasional Matematika dan Pendidikan Matematika, “Internalisasi Nilainilai Berpikir Matematis Dalam Perannya di Era Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA)”
pembelajaran kolaboratif yang mudah, efisien
sekaligus lebih menyenangkan.
GAMBAR 2 TAMPILAN EDMODO
Fitur dalam Edmodo untuk menunjang proses
pembelajaran:
1) Polling, merupakan fitur yang hanya
dapat di gunakan oleh guru, untuk
mengetahui tanggapan siswa mengenai
hal tertentu.
2) Gradebook,
merupakan fitur guru
untuk memberi nilai kepada siswa baik
secara manual maupun otomatis, juga
memungkinkan guru untuk memanajemen
penilaian hasil belajar dari seluruh siswa.
Penilaian juga dapat diexport menjadi
file .csv.
3) Quiz, merupakan fitur untuk membuat
kuis bagi guru, sedangkan siswa hanya
bisa mengerjakan soal kuis yang
diberikan oleh guru. Soal-soal yang
dibuat berupa soal pilihan ganda, isian
singkat dan soal uraian.
4) File and Links, berfungsi untuk
mengirimkan note dengan lampiran file
dan link. Biasanya file tersebut berekstensi .doc, .ppt, .xls, .pdf dan lain-lain.
5) Library, merupakan fitur guru untuk
mengunggah bahan ajar seperti materi,
presentasi, gambar, video, sumber
referensi, dan lain-lain, juga berfungsi
sebagai wadah untuk menampung
berbagai file dan link yang dimiliki oleh
guru maupun murid.
6) Assignment, digunakan oleh guru untuk
memberikan tugas kepada murid secara
online,
dilengkapi dengan waktu
deadline, fitur attach file yang
memungkinkan siswa untuk mengirimkan
tugas secara langsung kepada guru dalam
bentuk file document (pdf, doc, xls, ppt),
dan juga tombol “Turn in” pada kiriman
assignment yang berfungsi menandai
bahwa siswa telah menyelesaikan tugas
mereka.
7) Award Badge, digunakan untuk
memberikan suatu penghargaan kepada
siswa atau grup,
8) Parent Code, digunakan orang tua
murid untuk memantau aktifitas belajar
yang dilakukan anak-anak mereka. Untuk
mendapatkan kode tersebut, orang tua
murid dapat mendapatkannya dengan
mengklik nama kelas/ grup anaknya di
Edmodo atau dapat memperolehnya
langsung dari guru yang bersangkutan.
Dari fitur-fitur yang disediakan, edmodo
merupakan media pembelajaran online yang
mampu mendukung pembelajaran kolaboratif
baik antar siswa, siswa dengan guru juga
dengan orang tua.
b. Class Dojo
Classdojo adalah sebuah aplikasi yang
menerapkan managemen kelas secara online,
merekam semua aktivitas siswa dan catatan
siswa selama pelajaran berlangsung.
GAMBAR 3 TAMPILAN CLASSDOJO
ClassDojo(Gambar 3) dapat membantu guru
dalam meningkatkan keterlibatan dan aktifitas
siswa di kelas, juga memungkinkan adanya
komunikasi
dan
kolaborasi
dalam
pembelajaran antara guru, orang tua dan
siswa. ClassDojo dapat diakses secara gratis
di http://www. classdojo.com
Fitur dalam ClassDojo:
1) Tampilan yang disesuaikan untuk
kepentingan guru, siswa dan orang tua.
Guru dapat mengelola akun siswa dan
orang; orang tua dapat melihat kemajuan
dan dapat mengakses pesan guru untuk
Pendidikan Matematika Universitas Muhammadiyah Purworejo,
Ruang Seminar UM Purworejo, 28 Mei 2016
453
anak mereka; siswa dapat mengikuti
kemajuan mereka secara real-time.
2) ClassDojo Messaging.
Kemampuan
messaging
dapat
menjembatani guru dalam berkomunikasi
langsung dengan orang tua. Selain pesan
teks, pesan juga dapat disampaikan
melalui Foto, Voice Notes, email dan
stiker.
3) Antarmuka yang mirip dengan jejaring
sosial facebook, sehingga familiar dan
mudah digunakan.
4) Guru dapat dengan mudah mendorong
siswa dan melibatkan orang tua, langsung
dari layar kelas. Guru dapat mengambil
tindakan - seperti memberikan umpan
balik, berbagi foto dan pesan secara
langsung melalui masing-masing profil
siswa atau orang tua.
5) Orang tua dapat melihat kemajuan anak
mereka secara real-time, dan mengirim
pesan langsung ke guru langsung dari
homescreen app.
(www.educatorstechnology.com, 2015)
c. Remind
Remind merupakan aplikasi untuk guru,
siswa dan orang tua yang dapat diakses secara
gratis di alamat http://www.remind.com.
GAMBAR 4 TAMPIAN REMIND
Aplikasi ini juga dapat dipasang pada
perangkat bergerak berbasis IOS dan android.
Guru dapat mengirim pengingat, tugas,
pekerjaan rumah, penilaian atau pesan
motivasi langsung kepada siswa & orang tua
melalui komputer/ponsel. Pesan relatif aman
karena nomor telepon disimpan secara
pribadi.Pengumuman atau Chat dapat
dilakukan untuk komunikasi pribadi dengan
454
siswa atau orang tua. Untuk siswa dan orang
tua, aplikasi Remind ini memberikan cara
yang lebih mudah untuk tetap mendapatkan
informasi walaupun sedang berada di luar
kelas. Kelebihan dari alpkasi ini adalah dapat
diakses dimana saja, merupakan sarana
penyampaian informasi kepada orang tua dan
siswa, serta dapat diakses menggunakan
gadjet apapun selama bisa mengakses
internet.
d. BuzzMob
BuzzMob
merupakan
aplikasi
pembelajaran berbasis sosial media yang
dapat menghubungkan komunitas sekolah
melalui platform dan portal web yang dapat
disesuaikan dengan tampilan ponsel, yang
dapat
diakses
melalui
situs
https://www.buzzmob.com/
GAMBAR 5 TAMPILAN BUZZMOB
Aplikasi
ini
memungkinkan
proses
pembelajaran kolaboratif antara guru, orang
tua, dan siswa. Sebagaimana dalam aplikasi
sosial media, BuzzMob juga memungkinkan
untuk mengirim pesan, berbagi foto, video,
dan menerima informasi penting secara realtime. Menerima pesan dan pemberitahuan
penting tentang pekerjaan rumah, tanggal
even, atau update informasi umum dalam
jaringan yang aman.
Fitur yang disediakan adalah:
1) Remider untuk mengingatkan hal-hal
yang penting sekarang dan yang akan
datang
2) Kalender untuk mengatur kegiatan yang
dirancang
3) Message, memungkinkan anggota dalam
kelas mengirim dan menerima langsung,
pesan pribadi ke satu orang atau
kelompok
Prosiding Seminar Nasional Matematika dan Pendidikan Matematika, “Internalisasi Nilainilai Berpikir Matematis Dalam Perannya di Era Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA)”
4) Memungkinkan kolaborasi antara Guru,
Orang Tua dan Siswa.
e. Schoology
Schoology adalah situs yang menggabungkan
antara jejaring sosial dan Learning
Management System(LMS). Didalamnya
dapat dilakukan interaksi sosial baik antar
siswa, guru maupun orang tua. Situs ini dapat
diakses melalui http://schoology.com
GAMBAR 6 TAMPILAN SCHOOLOGY
Fitur-fitur yang dimiliki oleh Schoology:
1) Courses (kursus), yaitu fasilitas untuk
membuat
kelas
mata
pelajaran,
sebagaimana fasilitas dalam LMS.
Dalam menu Course ini dapat dibuat:



2)
3)
f.
Kuis/soal berbentuk pilihan ganda,
benar salah, menjodohkan, isian singkat,
dan lain-lain, juga bisa mengimport
soal. Untuk pembuatan soal dilengkapi
dengan Symbol, Equation, dan Latex.
Assignment, untuk membuat tugas yang
diberikan kepada siswa
Forum, sebagai wadah diskusi antar
siswa
Groups (kelompok), yaitu fasilitas untuk
membuat kelompok sebagaimana fasilitas
dalam LMS maupun facebook.
Resources (Sumber Belajar)
Otus
Otus adalah aplikasi gratis berbasis sosial
media untuk iOS dan perangkat web yang
memberikan fasilitas yang dibutuhkan oleh
guru dan murid di dalam kelas. Fasilitas
berupa
tugas, penilaian, jajak pendapat,
masukan, dll. (Karlin, 2015). Otu dapat
diakses melalui alamat http://otus.com
GAMBAR 7 TAMPILAN OTUS
Fitur dalam Otus:
1) Mengumpulkan, berupa absensi, berbagai
jenis data, dan membuat kelompok siswa.
Memungkinkan kolaborasi antara guru
dan siswa
2) Mengikutsertakan keterlibatan siswa,
fasilitas membuat rencana pembelajaran,
berbagi resource dengan siswa, membuat
penilaian, membuat polling dll
3) Mengukur, mengamati dan mencatat
perilaku, ketelibatan dan membuat skor
penilaian.
4) Menganalisa.
Otus
menampilkan
gambaran aktifitas dan ketelibatan siswa
dalam kelas, sehingga guru dapat
menganalisa data siswa.
Dari beberapa tool yang disampaikan diatas,
dapat dibandingkan fitur yang disediakan oleh
masing-masing tool, yang disajikan pada
Tabel 1 berikut
Tabel 1 Perbandingan Fitur Tool Web 2.0
Fitur
Akses gratis
untuk semua fitur
Class
Dojo
Ed- Schoo Otus Buzz- Remodo logy
Mob mind












Polling



Kuis





Membuat dan
memberi
penilaian
Cek kehadiran

Kemudahan
berbagi resource
dengan guru
Tersedia aplikasi
untuk ponsel
(android)

Pendidikan Matematika Universitas Muhammadiyah Purworejo,
Ruang Seminar UM Purworejo, 28 Mei 2016


455




4. KESIMPULAN
Perkembangan teknologi telah mengubah
paradigma pembelajaran. Kebiasaan siswa
dengan jejaring sosial melalui media internet
dapat
dimanfaatkan
dalam
kegiatan
pembelajaran. Suasana pembelajaran yang
dikemas seperti jejaring sosial semestinya akan
menarik perhatian siswa. Dengan teknologi
Web 2.0, banyak tool pembelajaran yang
menyediakan fasilitas kolaborasi antar siswa,
guru dan orang tua yang dapat diakses secara
gratis, seperti ClassDojo, Edmodo, Otus,
BuzzMob, Remind, dan Schoology. Guru dapat
memilih tool-tool tersebut sebagai media
pembelajaran, disesuaikan dengan kondisi
masing-masing sekolah/siswa.
5. REFERENSI
Dillenbourg, P. (1999). Collaborative-learning:
Cognitive and Computational Approaches.
Oxford: Elsevier.
Gitakarma, M. S., & Tjahyanti, L. P. (2012).
Modifikasi Claroline dengan Metode
Pembelajaran Computer-Supported
Collaborative Learning (CSCL) Berbasis
Konstruktivisme. Jurnal Nasional Pendidikan
Teknik Informatika (JANAPATI) Volume 1,
Nomor 1, Maret 2012.
Karlin, M. (2015). Otus: The Complete
Management System fo the K-12 Classroom.
http://www.edtechroundup.org.
O'Reilly, T. (2006). What Is Web 2.0. O'Reilly
Media, Inc.
Smith, B. L., & MacGregor, J. T. (1992).
Collaborative Learning: A Sourcebook for
Higher Education. University Park: PA:
National Center on Postsecondary Teaching,
Learning, and Assessment (NCTLA).
Bower, M. (2015). A Typology of Web 2.0
Learning Technologies. Sydney, Australia:
Macquarie University.
www.educatorstechnology.com. (2015). Classdojo
Released 5 New Feature for Teacher and
Parents. http://www.educatorstechnology.com.
Crook, C. (1996). Computers and the
collaborative experience of learning. London:
Routledge.
Yusuf, O. (2016). Hampir Semua Pengguna
Internet Indonesia Memakai Facebook.
http://tekno.kompas.com.
456
Prosiding Seminar Nasional Matematika dan Pendidikan Matematika, “Internalisasi Nilainilai Berpikir Matematis Dalam Perannya di Era Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA)”
UBIQUITOUS COMPUTING UNTUK PEMBELAJARAN
ANAK BERKEBUTUHAN KHUSUS
Nur Hadi Waryanto
Jurusan Pendidikan Matematika FMIPA UNY
Email : [email protected]
Abstrak
Perkembangan Information Technology (IT) yang sangat pesat membawa manfaat yang dalam
semua aspek, salah satunya dalam pembelajaran anak berkebutuhan khusus. Anak berkebutuhan
khusus membutuhkan pembelajaran yang berbeda dengan siswa pada umumnya. Perkembangan IT
sangat membantu dalam proses pembelajaran anak berkebutuhan khusus sehingga proses
pembelajaran dalam berlangsung dengan menarik dan inovatif. IT dalam hal ini digunakan sebagai
media pembelajaran. Ubiquitous Computing merupakan sebuah model interaksi mausia-komputer
yang paling canggih dan modern. Ubiquitos Computing sangat diperlukan dalam proses
pembelajaran anak berkebutuhan khusus. Hal ini berkaitan model interaksi antara anak
berkebutuhan khusus dengan komputer tersebut.
Kata Kunci: Ubiquitos Computing, Anak Berkebutuhan Khusus
1.
PENDAHULUAN
Data
tentang
jumlah
anak
berkebutuhan khusus di Indonesia secara pasti
masih sulit didapatkan. Hal ini disebabkan
data antara beberapa kementrian, yaitu
Kementerian Kesehatan, Kementrian Sosial,
Kementrian Pendidikan mempunyai data yang
berbeda-beda. Sampai saat ini BPS masih
dalam proses untuk memproleh data tunggal
anak bekebutuhan khusus (ABK). Data yang
terdapat di BPS saat ini masih merupakan
data
penyandang
disabilitas
secara
keseluruhan belum secara rinci data data anak
berkebutuhan khusus.
Berdasarkan data Badan Pusat
Statistik (BPS), data penyandang disabilitas
dalam SUSENAS 2009 berjumlah 2.126.998
jiwa di Indonesia.
Tabel 1. Penyandang Disabilitas di Indonesia
Sumber : Data SUSENAS RI 2009
Sedangkan
data
dari
Dirjen
Pendidikan Dasar Menengah jumlah total
Anak Berkebutuhan Khusus adalah 1,6 juta
anak di Indonesia. Dari jumlah 1,6 juta ABK
tersebut hanya sebesar 10-11 persen saja yang
besekeloh. Hal ini menunjukan anagka
Pendidikan Matematika Universitas Muhammadiyah Purworejo,
Ruang Seminar UM Purworejo, 28 Mei 2016
457
partisipasi bersekolah anak berkebutuhan
khusus di Indosedia masih sangat rendah.
Kecilnya angka partisipasi bersekolah anak
berkebutuhan khusus ini dapat disebabkan
karena banyak faktor, diantaranya rendahnya
kesadaran orang tua anak berkebutuhan
khusus akan pentingnya pendidikan bagi anak
berkebutuhan khusus, kurangnya tempat
pendidikan anak berkebutuhan khusus, biaya
pendidikan anak berkebutuhan khusus mahal,
perhatian pemerintah akan anak berkebutuhan
khusus masih kurang, rendahnya jumlah
SDM/guru anak berkebutuhan khusus, dan
masih banyak lagi.
Saat ini, sekitar 30 persen anak
berkebutuhan khusus yang diakomodir oleh
pemerintah. Faktor banyak orang tua yang
cenderung
menyembunyikan
anak
berkebutuhan khusus karena merasa malu
menjadi salah satu faktor selain biaya
rendahnya data terebut.
Data anak
berkebutuhan khusus ada kecenderunagn
meningkat, peningkatan ini disebabkan oleh
beberapa faktor [1], yaitu :
a. Faktor penyebab anak berkebutuhan
khusus yang terjadi pada pra kelahiran,
antara lain : Gangguan Genetika (Kelainan
Kromosom,
Transformasi);
Infeksi
Kehamilan; Usia Ibu Hamil (high risk
group);
Keracunan
Saat
Hamil;
Pengguguran; dan Lahir Prematur.
b. Faktor penyebab anak berkebutuhan
khusus yang terjadi selama proses
kelahiran adalah Proses kelahiran lama
(Anoxia), prematur, kekurangan oksigen;
Kelahiran dengan alat bantu (Vacum);
Kehamilan terlalu lama: > 40 minggu.
c. Faktor penyebab anak berkebutuhan
khusus yang terjadi setelah proses
kelahiran yaitu Penyakit infeksi bakteri
(TBC/ virus); Kekurangan zat makanan
(gizi, nutrisi); kecelakaan; dan keracunan.
Jumlah anak cacat berdasarkan
penyebab kecacatan terlihat dalam Tabel 2.
Tabel 2. Jumlah anak cacat usia 0-17 berdasarkan penyebab kecacatan.
Sumber : Survei Sosial Ekonomi Nasional Modul 2009, BPS
Data dan uraian di atas menunjukkan
bahwa anak berkebutuhan khusus masih
sangat memerlukan perhatian dari semua
pihak. Hak-hak anak berkebutuhan khusus
masih sangat kurang yang terpenuhi.
Terutama hak anak berkebutuhan khusus
untuk mendapatkan pendidikan yang dapat
458
menjadi bekal anak berkebutuhan khusus
untuk hidup mandiri.
Pesatnya kemajuan teknologi dan
informasi, cepatnya kemajuan pendidikan
moderen saat ini sebagian besar masih hanya
dirasakan oleh anak-anak normal. Kemajuan
teknologi informasi, khususnya aplikasinya
Prosiding Seminar Nasional Matematika dan Pendidikan Matematika, “Internalisasi Nilainilai Berpikir Matematis Dalam Perannya di Era Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA)”
dalam duania pendidikan masih sangat rendah
yang mengakomodasi anak berkebutuhan
khusus.
1.
ANAK BERKEBUTUHAN KHUSUS
Istilah berkebutuhan khusus secara
eksplisit ditujukan kepada anak yang
dianggap mempunyai kelainan/penyimpangan
dari kondisi rata-rata anak normal umumnya,
dalam hal fisik, mental maupun karakteristik
perilaku sosialnya
[2]. Anak yang
dikategorikan berkebutuhan dalam aspek fisik
meliputi kelainan dalam indra penglihatan
(tunanetra) kelainan indra pendengaran (tuna
rungu), kelainan kemampuan berbicara (tuna
wicara) dan kelainan fungsi anggota tubuh
(tuna daksa), anak yang memiliki kebutuhan
dalam aspek mental meliputi anak yang
memiliki kemampuan mental lebih (super
normal) yang dikenal sebagai anak berbakat
atau anak unggul dan yang memiliki
kemampuan mental sangat rendah (abnormal)
yang dikenal sebagai tuna grahita, anak yang
memiliki kelainan dalam aspek sosial adalah
anak yang memiliki kesulitan dalam
menyesuaikan
perilakunya
terhadap
lingkungan sekitarnya, Anak yang termasuk
dalam kelompok ini dikenal dengan sebutan
tuna laras [3].
Selain aspek diatas, pengelempokan
anak berkebutuhan khusus lainnya adalah [4]
:
a. Lamban belajar (slow learner) :
Lamban belajar (slow learner) adalah
anak yang memiliki potensi intelektual
sedikit di bawah normal tetapi belum
termasuk tunagrahita.
b. Anak yang mengalami kesulitan belajar
spesifik
Anak yang berkesulitan belajar
spesifik adalah anak yang secara nyata
mengalami kesulitan dalam tugas-tugas
akademik khusus , terutama dalam hal
kemampuan membaca, menulis dan
berhitung atau matematika.
c. ADHD/GPPH (Gangguan Pemusatan
Perhatian dan Hiperaktivitas)
ADHD/GPPH
adalah
sebuah
gangguan yang muncul pada anak dan
dapat berlanjut hingga dewasa dengan
gejala meliputi gangguan pemusatan
perhatian dan kesulitan untuk fokus,
kesulitan mengontrol perilaku, dan
hiperaktif (overaktif)..
d. Autisme
Autisme
adalah
gangguan
perkembangan yang kompleks, meliputi
gangguan komunikasi, interaksi sosial, dan
aktivitas imaginatif, yang mulai tampak
sebelum anak berusia tiga tahun, bahkan
anak yang termasuk autisme infantil
gejalanya sudah muncul sejak lahir
Di Indonesia pendidikan anak
berkebutuhan
khusus dilaksanakan di
Sekolah Luar Biasa (SLB) dan sekolah umum
yang menerima kelas inklusi. Pendidikan
anak berkebutuhan khusus di Indonesia di
klasisfikasikan sebagai berikut [3] :
a. Bagian A adalah sebutan untuk kelompok
anak tunanetra.
b. Bagian B adalah sebutan untuk kelompok
anak tunarungu.
c. Bagian C adalah sebutan untuk kelompok
anak tunagrahita.
d. Bagian D adalah sebutan untuk kelompok
anak tunadaksa.
e. Bagian E adalah sebutan untuk kelompok
anak tunalaras.
f. Bagian F adalah sebutan untuk kelompok
anak dengan kemampuan di atas ratarata/superior.
g. Bagian G adalah sebutan untuk kelompok
anak tunaganda.
2. MEDIA PEMBELAJARAN ANAK
BERKEBUTUHAN KHUSUS
Anak
berkebutuhan
khusus
mendapatkan pendidikan yang berbeda
(khusus)
dengan
anak-anak
normal.
Pendidikan anak berkebutuhan khusus adalah
merupakan pendidikan yang diperuntukan
bagi peserta didik yang memiliki tingkat
kesulitan
dalam
mengikuti
proses
pembelajaran
karena
kelainan
fisik,
emosional, mental, sosial, dan/atau memiliki
potensi kecerdasan dan bakat istimewa
Pendidikan Matematika Universitas Muhammadiyah Purworejo,
Ruang Seminar UM Purworejo, 28 Mei 2016
459
[5]. Dibutuhkan lingkungan belajar yang
kondusif untuk mendorong kemampuan
membelajarkan
anak
berkebutuhan
khusus.Lingkungan yang kondusif ini
meliputi tempat belajar, metoda, sistem
penilaian, sarana dan prasarana serta
tersedianya media pembelajaran yang
memadai sesuai dengan kebutuhan anak
berkebutuhan khusus. Media pembelajaran
anak berkebutuhan khusus berdasarkan
karakteristik siswa terlihat dalam Tabel 3 [5]:
Tabel 3. Media Pembelajaran Anak Berkebutuhan Khusus
No.
1.
Jenis
ABK dengan
gangguan
penglihatan
Model
Buta Total : Peta timbul, radio, audio, penggaris braille, blokies,
papan baca, model anatomi mata, meteran braille, puzzel buahbuahan, talking watch, kompas braille, botol aroma, bentuk-bentuk
geometri, tape recorder, komputer dengan sistem jaws, media tiga
dimensi, media dua dimensi, lingkungan sekitar anak, Braille kit,
mesin tik braille, kamus bicara, kompas bicara, komputer dan
printer braille, collor sorting box.
Low Vision : CCTV,
Televisi, Microscope
Magnifier
Lens
Set,
View
Scan,
2
ABK dengan
gangguan
pendengaran
Foto-foto, video, kartu huruf, kartu kalimat, anatomi telinga,
miniatur benda, finger alphabet, model telinga, torso setengah
badan, puzzle buah-buahan, puzzle binatang, puzzle konstruksi,
silinder, model geometri, menara segi tiga, menara gelang, menara
segi empat, atlas, globe, peta dinding, miniatur rumah adat.
3.
Tunagrahita/ anak
lamban belajar
Gradasi kubus, gradasi balok, silinder, manara gelang, kotak
silinder, multi indra, puzzle binatang, puzzle konstruksi, puzzle
bola, boks sortor warna, geometri tiga dimensi, papan geometri,
konsentrasi mekanik, puzzle set, abacus, papan bilangan, kotak
bilangan, sikat gigi, dresing prame set, pias huruf, pias kalimat,
alphabet fibre box, bak pasir, papan keseinbangan, power raider,
4
ABK dengan
gangguan motorik
Kartu abjad, kartu kata, kartu kalimat, torso seluruh badan, geometri
sharpe, menara gelang, menara segi tiga, gelas rasa, botol aroma,
abacus dan washer, papan pasak, kotak bilangan.
5.
Tunalaras
Animal maching games, sand pits, konsentrasi mekanik, animal
puzzle, fruits puzzle, rebana, flute, torso, constructive puzzle, organ
6.
Anak berbakat
Buku paket, buku referensi, buku pelengkap, buku bacaan, majalah,
koran, internet, modul, lembar kerja, komputer, VCD, museum,
perpustakaan, TV, OHP, chart, dsb
7
Kesulitan belajar
Disleksia : kartu abjad, kartu kata, kartu kalimat
460
Prosiding Seminar Nasional Matematika dan Pendidikan Matematika, “Internalisasi Nilainilai Berpikir Matematis Dalam Perannya di Era Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA)”
Disgrafia : kartu abjad, kartu kata, kartu kalimat, balok bilangan
Diskalkulia: balok bilangan, pias angka, kotak bilangan,
papan bilangan
8.
Autis
Kartu huruf, kartu kata, katu angka, kartu kalimat, konsentrasi
mekanik, komputer, mnara segi tiga, menara gelang, fruit puzzel,
construktiv puzzle
9.
Tunaganda
Disesuaikan dengan karakteristik kelainannya
10.
HIV AIDS
Disesuaikan dengan kondisi anak, berat ringan penyakit, dan setting
pelayanan pendidikan
11.
Korban
Penyalahgunn
Narkoba
Disesuaikan dengan kondisi anak, berat ringan penyakit, dan setting
pelayanan pendidikan
Indigo
Digunakan media seperti anak pada umumnya.
13.
Sumber : http://nanaplb11.blogspot.co.id/2013/05/media-pembelajaran-bagi-anak.html
Inti media pembelajaran anak
berkebututuhan
khusus adalah media
pembelajaran
merupakan
perantara
komunikasi antara guru dan murid yang
disesuaikan dengan kebutuhan artinya bahwa
proses belajar mengajar di SLB, penggunaan
media sangat penting sekali terhadap
keberhasilan
belajar
anak
berkebutuhankhusus (ABK)
3. UBIQUITOUS COMPUTING
Ubiquitous computing pertama kali
dimunculkan oleh Mark Weiser, seorang
peneliti senior pada Xerox Palo Alto Research
Center (PARC) pada tahun 1988 pada sebuah
forum diskusi di lingkungan internal pusat
riset tersebut. Artikel dengan judul ”The
Computer of the 21st Century” di Jurnal
Scientific American terbitan ,September 1991
mempunyai andil yang cukup besar dalam
menyebarkan secara luas istilah Ubiquitous
Computing. Weisier menjelaskan bahwa
Ubiquitous computing diartikan sebagai
metode
yang
bertujuan
menyediakan
serangkaian komputer bagi lingkungan fisik
pemakainya dengan tingkat efektifitas yang
tinggi namun dengan tingkat visibilitas
serendah mungkin
Latar belakang munculnya ide dasar
Ubiquitous computing berasal dari sejumlah
pengamatan dan studi di PARC terhadap PC.
Pendapat bahwa PC justru membuat
pengguna harus tetap fokus pada unit dalam
menyelesaikan suatu pekerjaan sehingga
membuat user justru terisolasi karena
keberadaan PC tersebut adalah salah satu
aspek yang menjadi alasan/dasar munculnya
konsep Ubiquitous Computing. PC yang
mempunyai kegunaan dan manfaat demikian
besar ternyata justru seringkali menghabiskan
sumberdaya dan waktu bagi penggunanya
Fokus dan sumberdaya
tersedot secara
berlipat ganda oleh PC apabila terjadi
permasalahan yang mengarah pada teknologi,
semacam serangan virus atau kerusakan
teknis. [6]. Inti dari Ubiquitous computing
atau yang dikenal juga sebagai Pervasive
Computing melakukan pembagian resource
yang ringan, wireless, tidak mahal dalam
Pendidikan Matematika Universitas Muhammadiyah Purworejo,
Ruang Seminar UM Purworejo, 28 Mei 2016
461
jaringan pemrosesan yang terdistribusi ke
setiap aspek kehidupan sehari-hari. Mark
Weiser mengenalkan 3 bentuk dasar dari
mesin Ubiquitous yaitu ; tab, pad, dan board.
4. TREND PERKEMBANGAN
UBIQUITOUS COMPUTING
Arah trend teknologi informasi di
Indonesia akan menuju ke Ubiquitous
Computing. Ubiquitous computing merupakan
konsep dasar dari teknologi Ambient
Intelligence. Pertimbangan akan potensi
penggunaan teknologi Ambient Intelligence
di Indonesia dipengaruhu oleh beberapa
faktor, yaitu :
1. Perkembangan
teknologi
jaringan
khususnya
jaringan
nirkabel
yang
memungkinkan transfer data dapat
dilakukan dengan lebih cepat dengan biaya
yang relatif lebih kecil.
2. Kemampuan masyarakat meningkat dalam
menggunakan atau daya beli komputer
dengan
kemampuan
tinggi
juga
meningkat.
3. Perkembangan dan penyebaran teknologi
komunikasi di kalangan masyarakat luas
memenuhi
kebutuhan
ubiquitous
communication semakin cepat
4. Sumber daya manusia di bidang teknologi
informasi yang sudah semakin banyak
tersedia.
5. Situasi lingkungan yang menuntut
tersedianya fasilitas pelayanan yang lebih
efisien dan cepat.
Contoh konsep Ubiquitous computing
yang ada saat ini adalah Handphone, Elearning, Virtual Reality, Augmented reality
,Google Glass,
Day Made of Glass
(SmartGlass)
6. KONSEP UBIQUITOUS COMPUTING
DALAM PEMBELAJARAN ANAK
BERKEBUTUHAN KHUSUS
Tujuan dari Ubiquitous computing
adalah membawa komputasi dalam dunia
nyata
dan
memungkinkan
manusia
berinteraksi dengannya dengan cara yang
lebih alami seperti berbicara, bergerak,
menunjuk dan menyentuh. Dengan kata lain,
Ubiquitous computing membuat komputasi
menjadi bagian dari kehidupan sehari-hari.
Gambar 1.Konsep Ubiquitous computing dalam Kehidupan
Sumber : http://dailyhilman.blogspot.co.id/2015/06/ubiquitous-computing.html
462
Prosiding Seminar Nasional Matematika dan Pendidikan Matematika, “Internalisasi Nilainilai Berpikir Matematis Dalam Perannya di Era Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA)”
Inti dari model Ubiquitous melakukan
pembagian resource (sumber daya) yang
ringan, tidak mahal, dalam jaringan
pemrosesan handal secara bersama-sama dan
terdistribusi ke dalam semua aspek kehidupan
sehari-hari. Ubiquitous computing
dapat
meningkatkan penggunaan komputer dengan
membuatnya tersedia (available) melalui
lingkungan fisik namun membuatnya tidak
terlihat oleh user. Selain itu, ubiquitous
computing memungkinkan teknologi menjadi
transparan. Transparansi dapat terjadi
disebabkan karena lingkungan dari pervasive
computing merupakan kumpulan dari bendabenda yang mudah dipakai, mudah diselipkan
dan mudah di bawa ke mana-mana, juga
terkoneksi secara wireless (tanpa kebel).
ahmad, device perlu tahu pemilihan
(preference) dan kebiasaan ahmad dalam
mengemudi (yang dapat diambil dari
profilenya) untuk membuat keputusan
yang baik
e. Dapat mengerti dan menggunakan
informasi secara efektif
Sebagai contoh, tidak cukup bagi
sebuah alarm untuk mengetahui kapan
user harus bangun, tapi juga harus
membunyikan
alarm
untuk
membangunkan user
Berikut
ini
adalah
beberapa
karakteristik Ubiquitous computing [6], yaitu
:
a. Ketika memasuki rumah, tidak perlu lagi
membawa kunci karena rumah akan tahu
dengan sendirinya pemilik rumah akan
masuk dan akan membuka kunci.
b. Ketika tidak yakin bagaimana caranya
untuk pergi ke suatu tempat, user akan
diberitahukan tidak hanya bagaimana
caranya kesana tapi juga jalan tercepat
menuju kesana.
c. Ketika pergi ke supermarket, user tidak
perlu membawa daftar barang yang dibeli
karena daftar tersebut dapat ditampilkan
pada kartu belanja yang user bawa.
Pembelajarna anak berkebutuhan
khusus sangat berbeda dengan pembelajaran
anak normal.Pembelajran anak berkebutuhan
khusus membutuhan strategi pembelajran,
metode pembelajran, model pembelajaran,
media pembelajran yang perlu dipersiapkan
secara rinci dan khusus. Tanpa adanya
persiapan dan perencanaan yang tepat maka
tujuan dari pembelajaran anak berkebutuhan
khusus akan sulit dicapai. Terlebih jika
pembelajran anak berkebutuhan khusus
hanyan mengandalkan pembelajaran yang
konvensional. Terdapat 10 saran praktis
mengajar anak berkebutuhan khusus (ABK) ,
yaitu [8] :
a. Dapat mengantisipasi kebutuhan user dan
bertindak untuk itu.
b. Peka terhadap context dari user
c. Device perlu tidak terlihat (invisible).
User tidak sadar bahwa sedang
berinteraksi dengan komputer merupakan
konsep invisible dalam Ubiquitous
Computing.
Melalui
desaian/konsep
miniaturisassi dari prosesor, chip, sensor,
mikropon diselipkan ke benda-benda
sehari-hari seperti pakaian, meja, kursi,
pansil dan lain-lain adalah penerapan
invisible ubiquitous computing. Dengan
demikian komunikasi device akan terlihat
lebih alami.
d. Device yang proaktif dan pintar.
Tidak seperti sistem komputasi
konvensional dimana prilaku komputer
merupakan respon dari interaksi user,
dalam pervasive computing sistem
komputer lebih proaktif dalam berinteraksi
dengan user. Sebagai contoh jika ahmad
mengendarai mobil untuk pergi ke
pertemuan bisnis di kota lain. Kemacetan
mungkin terjadi sewaktu-waktu. Pervasive
device
harus
mampu
mendeteksi
kemacetan tersebut tanpa eksplisit harus
disuruh untuk melakukan hal itu. Dalam
mengidentifikasi rute alternatif untuk
Berikut ini contoh dari pemanfaatan
pervasive computing.
a. Bersikap Baik Dan Positif
b. Gunakan Setting Kelas Yang Sesuai
c. Bicaralah Yang Jelas Dengan Posisi
Wajah Menghadap Siswa
d. Manfaatkan Semua Metode Komunikasi
e. Gunakan Strategi Pengajaran Yang Efisien
f. Utamakan Dukungan Teman Sebaya
g. Manfaatkan Materi Pengajaran Yang Ada
Dengan Sebaik Mungkin
Pendidikan Matematika Universitas Muhammadiyah Purworejo,
Ruang Seminar UM Purworejo, 28 Mei 2016
463
h. Beri Penjelasan Pada Semua Anak
Mengenai Disabilitas
i. Buatlah Kelas Anda Seaksesibel Mungkin
j. Berbagilah Pengalaman
Pemilihan model pembelajaran dan
media pembelajran yang tepat sangat
menentukan tercapainya tujuan pembelajaran
anak berkebutuhan khusus.
Mo
no
ton
,M
em
bo
san
kan
Tujuan Pembelajaran
MENARIK
SU
LIT
,
I
N
T
E
R
A
K
T
I
F
Media Konvensional
M
U
D
A
H
Pembelajaran
Anak Berkebutuhan Khusus
Gambar 2.Ubiquitous computing dalam Pembelajaran Anak Berkebutuhan Khusus
Ubiquitous
computing
dalam
pembelajaran anak berkebutuhan khusus
dapat
diibaratkan
sebagai
media
pembelajaran. Berdasarkan karakteristik dan
contoh pemanfaatan ubiquitous computing
dalam uraian di atas, dengan memanfaatkan
ubiquitous computing dalam pembelajaran
anak berkebutuhan khusus diharapkan
pembelajaran dapat berlangsung secara
efektif, efisien, menarik dan interaktif.
Berdasarkna hal itu tujuan pembelajaran anak
berkebutuhan khusus dapat dicapai dengan
baik.
Berdasarkan
karakteristik
anak
berkebutuhan khusus yang mempunyai
perbedaan dengan anak normal, maka
diharapkan ubiquitous computing mampu
mengatasi
segala
keterbasan
anak
464
berkebutuhan khusus. Dengan ubiquitous
computing anak berkebutuhan khusus bisa
lebih mudah dalam melakukan aktifitas salah
satunya dalam pembelajaran. Seperti inti
konsep ubiquitous computing yaitu, komputer
dimanapun dalam kehidupan sehari-hari dan
semua aktifitas menjadi mudah dengan
ubiquitous computing.
Berdasarkan
computing yang telah
beberapa contoh yang
diterapkan untuk anak
yaitu :
contoh
ubiquitous
dituliskan diatas, ada
cukup menarik untuk
berkebutuhan khusus,
a. Augmented Reality
Augmented
reality
dideskripsikan
sebagai penggabungan benda - benda nyata
dan maya di lingkungan nyata, berjalan secara
interaktif dalam waktu nyata, dan terdapat
Prosiding Seminar Nasional Matematika dan Pendidikan Matematika, “Internalisasi Nilainilai Berpikir Matematis Dalam Perannya di Era Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA)”
integrasi antarbenda dalam tiga dimensi, yaitu
benda maya terintegrasi dalam dunia nyata
[9]. Augmented reality secara garis besar
prosesnya adalah dengan pembacaan citra
pada marker yang secara automatis akan
dicapture oleh kamera , camera akan
mendeteksi marker tersebut dan akan di
bandingkan dengan gambar marker yang telah
mejadi acuan. Kemudian bila marker di kenali
maka akan di tampilkan obyek 3D pada layar
monitor.
Augmented reality dapat diaplikasikan
dalam pembelajran anak berkebutuhan
khusus. Misalnya dalam pembelajran
pengenalan benda, binatang, pekerjaan dll
.
Gambar 3. Pembelajaran Anak berkebutuhan Khusus dengan Augmented Reality
b.
A Day Made of Glass (Smart Glass)
Corning
merupakan
perusahaan
produsen kaca, keramik dan bahan sejenisnya
terutama untuk aplikasi industri dan ilmiah
dari Amerika Serikat yang merancang A Day
Made of Glass. Konsep yang di gunakan
dalam produksi ini adalah Digital Signage
[10]. Digital Signage merupakan pengertian
yang luas dari sebuah media baru yang
menggantikan media konvensional dengan
aplikasi dan teknologi-teknologi yang
bervariasi. Dalam pengertian secara umum,
Digital
Signage
mengarah
kepada
electronically controlled signs yang dapat diupdate/diperbaharui secara cepat, dengan
biaya yang murah, dan pesan yang ingin
disampaikan dapat terkirim ke ratusan atau
bahkan ribuan display dalam satu waktu
secara bersamaan (saat itu juga) [10]. “A Day
Made Of Glass” merupakan suatu konsep di
mana aktivitas keseharian manusia ditunjang
melalui suatu teknologi yang berbasis Digital
Signage dengan material dasarnya adalah
kaca. Teknologi ini tentunya terintegrasi
dengan suatu sistem smartphone yang
dimilikinya yang kemudian tersambung pada
kaca tersebut. Hal ini dapat menunjukkan
konsep digital signage yang dapat diatur oleh
manusia tersebut.
Gambar 4. Siswa menggunakan Smart Glass dalam Pembelajaran.
Pendidikan Matematika Universitas Muhammadiyah Purworejo,
Ruang Seminar UM Purworejo, 28 Mei 2016
465
Gambar 5. Konsep Wall-Farmat Display Glass dalam Pembelajaran di Kelas
Gambar 4 menunjukkan siswa menggunakan
smart glass dalam proses pembelajaran
dikelas. Dengan smart glass siswa tidak perlu
harus menggunakan PC dalam proses
pembelajrannya. Siswa dengan mudah
menggunakan smart glass yang bersifat touch
screen tanpa harus kesulitan menggunakan
mouse maupun keyboard seperti PC pada
umumnya. Gambar 5 menunjukkan seroang
guru menggunakan konsep Wall-Format
Display Glass dalam proses pembelaran.
Guru dengan mudah berinteraksi dengan
smart glass dengan tinggal menyentuh menumenu yang ada.
7. REFERENSI
[1] Irwanto, Kasim Eva Rahmi, dkk. 2010.
Analisis Situasi Penyandang Disabilitas
diIndonesia. Pusat Kajian Disabilitas.
Fakultas Ilmu Sosial dan Politi. Jakarta
Komprehensif Bagi Anak Berkebutuhan
Khusus
di
Sekolah
Inklusif”
http://staff.uny.ac.id/sites/default/files/pe
ngabdian/dr-atien-nur-chamidahmdisst/mengenal-abk.pdf
[5] Salim Choiri .2010. Media Pembelajaran
ABK dalam setting sekolah inklusi.
http://salimchoiri.blog.uns.ac.id/2010/0
6/02/media-pembelajaran-abk-dalamsetting-sekolah-inklusi/
[6] Retno Widowati dkk. 2015. PERVASIVE
COMPUTING.
www.
IlmuKomputer.com
[7] Andhika Erlangga. 2105. UBIQUITOUS
COMPUTING.
http://docslide.us/documents/ubiquito
us-computing-kelompok-5pdf.html
[8] Rini Andriani. 2015. 10 Saran
Praktis
Mengajar
Anak
Berkebutuhan Khusus (ABK).
http://www.membumikanpendidi
kan.com/2015/03/10-saranpraktis-mengajar-anak.html
Efendi,M.,
2006,
Pengantar
Psikopedagogik
AnakBerkelainan,
Jakarta, Bumi Aksara.
[9] Azuma, Ronald T. (August 1997). "A
Survey of Augmented Reality". Presence:
Teleoperators and Virtual Environments.
[3] Nandiyah Abdullah. 2013. MENGENAL
ANAK BERKEBUTUHAN KHUSUS.
Magistra No. 86 Th. XXV Desember
2013
[10]Ferdiansyah.2014.A Day Made of Glass.
http://ferdi8ansyah.blogspot.co.id/2014/
04/a-day-made-of-glass.html
[2]
[4] Atien Nur Chamidah. 2015. MENGENAL
ANAK
BERKEBUTUHAN
KHUSUS.“Pelatihan
Layanan
466
Prosiding Seminar Nasional Matematika dan Pendidikan Matematika, “Internalisasi Nilainilai Berpikir Matematis Dalam Perannya di Era Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA)”
PENGARUH PENDEKATAN OPEN-ENDED PROBLEM
TERHADAP HASIL BELAJAR SISWA
Muhammad Amri Abdan Syakuro
Prodi Pendidikan Matematika, Sekolah Tinggi Keguruan dan Ilmu Pendidikan
AL HIKMAH Surabaya
email : [email protected]
Abstrak
Sering kali proses pembelajaran matematika yang dilakukan oleh guru berfokus pada prosedur
pengerjaan tugas. Jarang sekali tugas matematika yang diberikan terintegrasi dengan konsep lain
dan memerlukan kemampuan berpikir tingkat tinggi. Akibatnya, saat siswa dihadapkan dengan
tugas yang sulit dan membutuhkan kemampuan tingkat tinggi, maka siswa cenderung malas
mengerjakannya, sehingga perlu cara pemberian tugas kepada siswa. Salah satu bentuk
pemberian tugas berupa pemberian masalah konteksual yang mempunyai jawaban tidak tunggal
(open problem). Dalam tulisan ini, akan dikemukakan pengaruh dari pemberian pembelajaran
matematika dengan menggunakan pendekatan open ended problem. Strategi yang digunakan agar
berpengaruh terhadap hasil belajar siswa adalah memberikan latihan soal terbuka yang sesuai
dengan latar belakang siswa.
Kata Kunci: Open-Ended Problem, Soal Terbuka.
1. PENDAHULUAN
Matematika adalah salah satu mata
pelajaran wajib yang harus dipelajari oleh
siswa saat bersekolah di jenjang pendidikan
dasar
sampai
pendidikan
menengah.
Berdasarkan PERMENDIKNAS No. 22
tahun 2006, tujuan dari pembelajaran
matematika di sekolah adalah berikut : siswa
memahami konsep matematika, menjelaskan
keterkaitan
antar
konsep
dan
mengaplikasikan konsep matematika dalam
pemecahan masalah, menggunakan penalaran
matematik,
melakukan
manipulasi
matematika dalam membuat generalisasi,
menyusun bukti, dan memecahkan masalah
yang meliputi kemampuan memahami
masalah, merancang model matematika,
menyelesaikan model, dan menafsirkan
solusi yang diperoleh (Herman, 2007). Dari
uraian
tersebut
disimpulkan
bahwa
pembelajaran matematika tidak berfokus
pada penguasaan materi saja, namun juga
menekankan pada aspek non materi
matematika.
Sedangkan, kenyataan di lapangan, guru
sering kali hanya berfokus pada prosedur
pengerjaan
tugas.
Pemberian
tugas
matematika rutin yang diberikan dalam
bentuk latihan atau tugas-tugas kepada siswa
selalu terfokus pada prosedur dan keakuratan
(Sumarmo, 2004).
Sebagai contoh kita
ambil soal-soal yang berada di buku
matematika kelas VIII pada bab bangun
ruang sisi datar, maka akan ditemui soal-soal
untuk mencari luas bangun datar. Jarang
sekali tugas matematika yang diberikan
terintegrasi dengan konsep lain dan juga
jarang memuat soal yang memerlukan
kemampuan berpikir tingkat tinggi.
Dari uraian diatas dapat disimpulkan
bahwa tujuan siswa belajar matematika yaitu
agar siswa mampu mengerjakan soal-soal
matematika, mulai dari ulangan harian
sampai tes masuk perguruan tinggi. Jadi
siswa belajar matematika hanya untuk dapat
mengerjakan soal-soal matematika saja,
sehingga tujuan pembelajaran matematika
yang lain, seperti kemampuan bernalar,
memecahkan masalah tidak tersentuh.
Akibatnya ketika siswa dihadapkan dengan
tugas yang sulit dan membutuhkan
kemampuan berpikir tingkat tinggi, maka
Pendidikan Matematika Universitas Muhammadiyah Purworejo,
Ruang Seminar UM Purworejo, 28 Mei 2016
467
siswa cenderung malas mengerjakannya,
sehingga perlu cara pemberian tugas kepada
siswa (Jarnawi Afgani, n.d.).
Salah satu cara pemberian tugas kepada
siswa adalah dengan memberikan suatu
permasalahan. Masalah yang diambil dapat
diperoleh dari masalah kontekstual dan
masalah matematika (Herman, 2007). Jika
dilihat dari cara menjawab masalah, maka
ada dua tipe masalah, yaitu tipe masalah
yang diberikan mempunyai cara dan jawaban
tunggal (close problem) atau tipe masalah
yang mempunyai cara dan jawaban yang
tidak tunggal (open problem) (Ali, 2008).
Pertanyaan yang mempunyai jawaban tidak
tunggal (open problem) menyebabkan yang
ditanya untuk membuat hipotesis, perkiraan,
mengemukakan pendapat, menilai dan
menarik kesimpulan. Sehingga, dengan
adanya pertanyaan terbuka, guru berpeluang
untuk membantu siswa dalam memahami dan
mengelaborasi kemampuan daya berpikir
siswa sejauh dan sedalam mungkin. Oleh
karena itu, peneliti ingin mengetahui
pengaruh
penerapan
pembelajaran
menggunakan
pendekatan
open-ended
problem terhadap hasil belajar siswa dalam
topik permutasi.
Tujuan penelitian ini adalah untuk
menjelaskan pengaruh dari penerapan
pembelajaran matematika menggunakan
pendekatan open-ended problem terhadap
hasil belajar siswa. Hipotesis awal peneliti,
bahwa penerapan pembelajaran matematika
menggunakan
pendekatan
open-ended
problem berpengaruh terhadap hasil belajar
siswa. Pada penelitian ini, penerapan
treatment
open-ended
hanya
sebatas
pemberian permasalahan nyata yang
mengandung konsep permutasi yang bersifat
open question.
468
2. KAJIAN LITERATUR
2.1.Pendekatan Open-Ended Problem
Open-ended Problem merupakan salah
satu inovasi dalam pendidikan matematika
yang pertama kali dilakukan oleh para ahli
matematika Jepang. Pendekatan ini lahir dari
hasil penelitian yang dilakukan oleh Shigeru
Shimada,
Toshio
Sawada,
Yoshiko
Yashimoto, dan Kenichi Shibuya. Tujuan
dari penelitian yang dilakukan oleh Shimada
adalah menguji keefektifan guru dalam
mengajar dikelas.
Munculnya pendekatan open-ended
tersebut berawal dari pandangan bagaimana
cara untuk menilai secara objektif
kemampuan berfikir tingkat tinggi siswa
dalam pelajaran matematika. Seperti
diketahui, dalam pembelajaran matematika,
pemberian rangkaian aturan, keterampilan,
dan penjelasan konsep matematika kepada
siswa diberikan secara langsung, sistematis
dan tidak terpisah antara satu dengan yang
lain, agar dalam otak siswa terbentuk suatu
keteraturan atau pengorganisasian intelektual
secara optimal.
Untuk mengetahui kemampuan tingkat
tinggi matematika siswa, guru harus
menelaah, bagaimana cara agar seluruh
kemampuan yang dimiliki oleh siswa dapat
digunakan untuk mengatasi masalah yang
dihadapi, sehingga guru harus memilih tes
tertulis yang akan diberikan kepada siswa
agar pola pikir matematis dan kemampuan
yang telah dimiliki oleh siswa muncul
(Syahbana, 2012). Namun, sering kali yang
terjadi di lapangan, guru memberikan tes
tertulis menggunakan close problem, hal
tersebut mengakibatkan tidak munculnya
kemampuan siswa dalam berfikir, karena
siswa cenderung hanya menggunakan
sebagian kecil dari pola pikir matematikanya.
Akibatnya, muncul suatu pertanyaan,
bagaimana cara agar tes tertulis yang
diberikan oleh guru dalam bentuk soal rutin
Prosiding Seminar Nasional Matematika dan Pendidikan Matematika, “Internalisasi Nilainilai Berpikir Matematis Dalam Perannya di Era Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA)”
mempunyai probibalitas tinggi untuk
mengukur secara objektif kemampuan
tingkat tinggi anak ?
Untuk menjawab pertanyaan tersebut,
Shimada dan Becker (1997) mengelompokan
langkah-langkah untuk mengukur secara
objektif kedalam tiga bagian, yaitu :
Pertama, perilaku apa dari siswa yang
dapat dijadikan sebagai alat untuk mengukur
kemampuan berfikir tingkat tinggi siswa
secara objektif ? meskipun yang terjadi
sebenarnya, sangat sulit untuk mengevaluasi
secara langsung bagaimana proses berfikir
tingkat tinggi siswa saat pembelajaran
berlangsung, lalu muncul pertanyaan
selanjutnya, perilaku apa yang dapat diukur
dari siswa atau pola perilaku apa yang
ditunjukan oleh siswa saat sedang berfikir
tingkat tinggi?
Kedua, bagaimana mengkaji perilaku
siswa yang muncul
saat pembelajaran
sedemikian hingga perilaku yang muncul
dapat
digunakan
untuk
mengukur
kemampuan berfikir tingkat tinggi siswa?
Dengan kata lain, dapatkah kita berharap
bahwa siswa yang mempunyai penampilan
baik pada saat tes rutin juga berpenampilan
baik pada saat tes non rutin.
Ketiga,
Serangkaian
pengetahuan,
keterampilan,
dan
cara-cara
berfikir
merupakan
komponen-komponen
yang
penting dari berfikir tingkat tinggi, tetapi
dapatkah komponen-komponen tersebut
dikembangkan
lebih
lanjut
dengan
menambah pengajaran? Jika ya, mungkinkah
semua guru berkonsentrasi pada pengajaran
pengetahuan, keterampilan,dan lainnya?
dalam mengobservasi pola perilaku siswa
yang ditunjukan melalui tes rutin, maka
langkah yang harus dilakukan oleh guru
adalah menyusun atau mendesain suatu
masalah yang dapat memunculkan cara
berfikir matematik. Dengan kata lain, saat
menganalisis masalah, siswa akan membawa
permasalahan tersebut kedalam cara berfikir
mereka dengan cara memobilisasi atau
menggunakan kemampuan matematika yang
telah dipelajarinya.
Kedua, diperlukan suatu strategi
bagaimana
guru
menyiapkan
situasi
permasalahan
sedemikian
hingga
permasalahan
yang
diberikan,
dapat
memobilisasi segala kemampuan matematika
yang dimiliki oleh siswa. Hal inilah yang
diadopsi sebagai open-ended problem
Sedangkan untuk pertanyaan terakhir,
terdapat
kesulitan
saat
mendesain
pembelajaran tersebut. Namun, kesimpulan
dari hasil penelitian yang dilakukan oleh
Shimada dan Becker menunjukan bahwa
kemampuan berfikir tingkat tinggi siswa
akan muncul melalui proses pembelajaran
open-ended.
Dari penjelasan diatas, dapat diketahui
bahwa terdapat kesulitan saat mendesain
pembelajaran
dengan
menggunakan
pendekatan open-ended problem. Namun
dibalik kesulitan tersebut, pembelajaran
menggunakan
pendekatan
open-ended
problem memberikan ruang bebas kepada
siswa untuk menganalisis permasalahan yang
ada dan menyelesaikan permasalahan sesuai
dengan kognitif masing-masing siswa (Japa
& Ngurah, 2008).
2.2. Tipe dan Jenis permasalahan
Selanjutnya jawaban dari pertanyaan
diatas adalah sebagai berikut :
Pertama, kita mengetahui bahwa tidak
ada kriteria yang objektif yang digunakan
Pada pembelajaran melalui pendekatan
open-ended, masalah merupakan alat
pembelajaran
yang
utama.
Untuk
mengondisikan siswa agar dapat memberikan
Pendidikan Matematika Universitas Muhammadiyah Purworejo,
Ruang Seminar UM Purworejo, 28 Mei 2016
469
reaksi terhadap situasi masalah yang
diberikkan berbentuk open-ended tidaklah
mudah. Masalah yang diberikan merupakan
permasalahan non rutin (Johar, 2013), yaitu
masalah yang mampu mengkonstruksi
pemikiran siswa sedemikian hingga siswa
tidak serta merta dapat menentukan konsep
matematika
dan
algoritma
cara
penyelesaiannya.
Ada tiga tipe masalah yang dapat
diberikan dalam pembelajaran menggunakan
pendekatan open ended, yaitu menemukan
hubungan,
pengklasifikasian,
dan
pengukuran (Becker & Shimada, 1997).
Selanjutnya, jenis permasalahan yang
digunakan
dalam
pembelajaran
menggunakan pendekatan open-ended adalah
masalah non rutin yang bersifat terbuka. Non
rutin maksudnya adalah suatu permasalahan
yang belum pernah diberikan guru kepada
siswa dan bersifat terbuka, terbuka terhadap
cara menjawab soal, jawaban soal, atau
pengembangan lanjut dari soal tersebut (Ali,
2008).
2.3.
Penelitian yang Relevan
Berdasarkan penelitian yang dilakukan
oleh Hiro Ninomiya yang berjudul the Study
of Openended Approach in Mathematics
Teaching Using Jigsaw Method, Ninomiya
menyimpulkan bahwa kemampuan berpikir
siswa sangat baik dalam kefleksibilitasan
memikir. Dalam aktifitas pembelajaran,
pertanyaan yang bersifat open problem lebih
baik dari pertanyaan yang menarik dan
menantang, dan jika guru membuat
pertanyaan yang berasal dari kondisi mereka
saat ini, siswa akan terlibat untuk
menyelesaikan
permasalahan
secara
perlahan-lahan dan lebih memahami
permasalahan yang diberikan oleh guru
(NINOMIYA & PUSRI, n.d.)
3. METODE PENELITIAN
Metode
yang
digunakan
dalam
penelitian
ini
menggunakan
metode
penelitian eksperimen dengan desain
penelitian Pree eksperimental design. Dari
berbagai macam bentuk pree eksperimental
design, peneliti menggunakan bentuk one
shoot case study yaitu dengan desain terdapat
suatu kelompok diberi treatment atau
perlakuan dan selanjutnya diobservasi
hasilnya menggunakan post test.
Adapun langkah penelitian
dilakukan adalah sebagai berikut:
yang
Pertama kali, peneliti menentukan kelas
yang akan digunakan dalam penelitian, yaitu
menggunakan kelas XI. Kelas tersebut
peneliti pilih karena banyak siswa pada kelas
tersebut yang ideal. Banyak siswa dalam
kelas tersebut sebanyak 33 siswa, dengan 9
siswa laki-laki dan 24 siswa perempuan.
Pada
hari
berikutnya,
peneliti
melaksanakan observasi kelas, dengan tujuan
agar peneliti mengetahui karakteristik siswa
yang berada di dalam kelas tersebut.
Selanjutnya, peneliti memetakan tiap siswa
berdasarkan afektif siswa,
dengan cara
mengamati secara langsung siapa saja siswa
yang aktif dan memperhatikan penjelasan
yang diberikan oleh guru. Setelah observasi
dilaksanakan, pada pertemuan selanjutnya
peneliti menggantikan guru untuk mengajar
di kelas. Dengan cara mengajar, siswa tidak
merasa menjadi bahan penelitian saat
penelitian berlangsung.
Selanjutnya
peneliti
memberikan
treatment kepada siswa. Sebelum treatment
diberikan, peneliti mengajarkan materi
prasyarat berupa materi aturan perkalian dan
faktorial agar siswa lebih mudah memahami
saat peneliti mengajarkan materi permutasi.
Langkah
selanjutnya,
peneliti
memberikan treatment kepada siswa berupa
470
Prosiding Seminar Nasional Matematika dan Pendidikan Matematika, “Internalisasi Nilainilai Berpikir Matematis Dalam Perannya di Era Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA)”
penjelasan materi permutasi, mulai dari
definisi permutasi beserta contoh soal rutin
yang biasa diberikan oleh guru. Pada topik
permutasi, ada berbagai macam bentuk
permutasi mulai dari permutasi bentuk umum
sampai dengan permutasi siklik. Agar siswa
memahami
berbagai
macam
bentuk
permuttasi yang ada, maka peneliti
memberikan latihan soal rutin pada setiap
macam bentuk permutasi. Setelah siswa
memahami definisi dari permutasi, dan
berbagai macam bentuk dari permutasi,
treatment selanjutnya yaitu memberikan
latihan soal non rutin berbentuk pertanyaan
open ended. Soal berbentuk openendeddiberikan kepada siswa setelah siswa
memahami definisi dan berbagai macam
bentuk permutasi, karena jika siswa tidak
memahami definisi dan berbagai macam
bentuk permutasi, siswa akan kesulitan saat
mengerjakan soal berbentuk open ended,
karena soal tersebut adalah soal dengan tipe
berpikir yang tinggi.
Pada pendekatan open-ended pemberian
masalah merupakan hal yang sangat penting
(Becker & Shimada, 1997), maka peneliti
memberikan permasalahan yang berasal dari
kehidupan sehari-hari yaitu fenomena
susunan angka dan huruf pada pin BB (black
berry).
Setelah memberikan treatment, maka
peneliti langsung memberikan post test
kepada siswa. Pemberian post test
dilaksanakan pada hari itu juga setelah
penerapan
treatment
karena
untuk
menghindari kebiasan hasil.
Penelitian ini dilaksanakan di salah satu
SMK negeri di Surabaya. Waktu penelitian
yaitu pada tanggal 21 maret 2016. Teknik
mengumpulan data menggunakan tes dan
instrumen penelitian menggunakan soal yang
berasal dari buku detik-detik UN dan Ujian
Nasional. Teknik analisis data menggunakan
uji-t satu pihak kanan dengan ketentuan
sebagai berikut.
Hipotesis nol ( ) dalam penelitian ini
adalah rata-rata hasil belajar matematika
siswa yang diberi pembelajaran dengan
menggunakan
pendekatan
open-ended
problem lebih kecil atau sama dengan 75
(KKM), sedangankan hipotesis alternatif
adalah rata-rata hasil belajar matematika
siswa yang diberi pembelajaran dengan
menggunakan
pendekatan
open-ended
problem lebih dari 75 (KKM).
Rumusan hipotesis di atas diuji
menggunakan uji pihak kanan, dengan
menggunakan rumus berikut.
̅
√
Keterangan:
: hitung
̅
:
skor
rata-rata
eksperimen
kelompok
: nilai yang dihipotesiskan
: jumlah anggota sampel
Langkah
selanjutnya
adalah
membandingkan
dengan
dengan rincian berikut.
diterima jika
lebih dari
, dan
diterima jika
kurang
dari
. Selanjutnya menarik kesimpulan
dari hasil tersebut.
4.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Penerapan pendekatan open-ended
kepada siswa dalam bentuk fenomena
penyusunan nomor pin merupakan salah satu
Pendidikan Matematika Universitas Muhammadiyah Purworejo,
Ruang Seminar UM Purworejo, 28 Mei 2016
471
cara yang peneliti tempuh agar siswa mau
untuk berpikir tingkat tinggi.
Permasalahan yang diambil tidak jauh
dari kehidupan siswa, agar siswa tertarik
untuk menyelesaikan permasalahan tersebut.
(Krismanto, 2003). Nomor pin BB terdiri
dari 8 susunan dengan 6 huruf kapital dan 3
angka yang disusun secara acak. Misal
sebuah pin BB seperti berikut: 5AED7UI0,
maka tugas siswa adalah mencari syaratsyarat yang diperlukan agar hasil tersebut
muncul.
Dari permasalahan tersebut, siswa
melakukan berbagai percobaan untuk
menemukan syarat yang diperlukan. Peneliti
memberikan waktu 15 menit kepada siswa.
Selama 15 menit tersebut siswa berkutat
dengan soal dan suasana kelas menjadi
hening, karena seluruh siswa sibuk dengan
soal masing-masing. Setelah 15 menit,
peneliti meminta siswa untuk mengumpulkan
berapapun hasil yang telah mereka kerjakan.
Setelah peneliti hitung, rata-rata siswa
menemukan 3 cara berbeda, dan setiap cara
memiliki syarat-syarat yang berbeda.
Banyaknya cara yang didapatkan oleh
siswa, akan peneliti gunakan sebagai nilai
tambahan, jadi jika siswa mendapatkan 3
cara, maka 3 point tambahan untuk siswa
tersebut. Nilai tambahan ddapat digunakan
untuk nilai tambahan post test, tugas
matematika, atau ulangan harian.
Saat treatment dilakukan, kesan pertama
yang didapatkan oleh siswa adalah kesulitan
dalam memahami contoh soal yang
diberikan, karena siswa belum pernah
mendapatkan soal open-ended sebelumnya,
oleh karena itu sebelum treatment dilakukan,
peneliti menerangkan terlebih dahulu definisi
dari permutasi dan saat treatment siswa akan
lebih faham mengenai konsep permutasi
tersebut karena contoh soal yang diberikan di
desain agar siswa menemukan sendiri asal
472
rumus permutasi. Namun, yang terjadi siswa
masih saja kesulitan, sehingga butuh
beberapa waktu yang diberikan untuk
memahami contoh soal. Dari kesulitan
tersebut, kemampuan berfikir tingkat tinggi
siswa muncul, karena segala usaha mereka
libatkan dalam proses mencari jawaban
permasalahan yang diberikan.
Total siswa yang mengikuti post test
sebanyak 24 siswa dari total 33 siswa. 9
siswa yang tidak hadir diantaranya 2 siswa
mengundurkan diri dari sekolah, 1 siswa
sakit, 2 siswa ijin dan 4 siswa tidak hadir
tanpa
keterangan.
Setelah
treatment
dilakukan, peneliti memberikan post test
berupa 5 soal uraian yang berasal dari soal
UN SMA. Hasil yang didapatkan sebagai
berikut.
Tabel 1. Hasil post test
N
Ratarata
Skor
tertinggi
Skot
terendah
2
82,50
100
50
Dari tabel tersebut, nilai rata-rata siswa
berada di atas nilai KKM. Selanjutnya
peneliti menghitung hasil post test dengan
cara uji-t dengan taraf signifikansi (∝)
sebesar 0,05.
Tabel 2. Uji-t
̅
s
N
82,5 75 14,81 24 2,48
2,06
Berdasarkan
hasil
perhitungan,
didapatkan t_hitung sebesar 2,48. Hasil
hitung
tersebut
menunjukan
bahwa
. Menurut uji-t,
jika
, maka
diterima. Sehingga
Prosiding Seminar Nasional Matematika dan Pendidikan Matematika, “Internalisasi Nilainilai Berpikir Matematis Dalam Perannya di Era Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA)”
kesimpulan dari uji-t tersebut adalah rata-rata
hasil belajar matematika siswa yang diberi
pembelajaran
dengan
menggunakan
pendekatan open-ended problem lebih dari
75 (KKM) atau dengan kata lain penerapan
pembelajaran menggunakan pendekatan
open-ended problem berpengaruh terhadap
hasil belajar siswa.
5.
KESIMPULAN
Berdasarkan hasil penelitian diperoleh
hasil berikut
Pembelajaran menggunakan pendekatan
open-ended problem
adalah suatu
pembelajaran yang dilaksanakan untuk
menggali kemampuan berfikir siswa serta
memacu daya pemikiran siswa untuk berfikir
tingkat tinggi.
Pembelajaran menggunakan pendekatan
open-ended problem sulit untuk dilakukan
karena berbagai faktor, salah satunya adalah
siswa kesulitan dalam memahami pertanyaan
yang bersifat open problem. Namun, jika
pembelajaran
berhasil,
maka
siswa
mendapatkan
kesempatan
untuk
mengelaborasi seluruh kemampuan atau skill
yang
dimiliki
untuk
menyelesaikan
permasalahan yang ada.
Persiapan alat pembelajaran dan cara
menerangkan
sangat
menentukan
keberhasilan pembelajaran menggunakan
pendekatan open-ended problem, sehingga
guru hendaknya mempersiapkan dengan
matang apa saja yang diperlukan saat
mengajar di kelas.
Sesuai dengan penelitian yang dilakukan
oleh
Shimada,
pemberian
masalah
merupakan kunci utama dalam pendekatan
ini. Diperlukan suatu strategi dalam memilih
masalah yang akan diberikan kepada siswa,
maka masalah yang diberikan kepada siswa
adalah permasalahan kontekstual yang masih
dapat dijangkau oleh pemikiran siswa,
sehingga permasalahan yang di berikan
hendaknya menyesuaikan latar belakang
siswa.
Terdapat peningkatan hasil belajar
setelah mendapatkan pendekatan openended. Berdasarkan hasil perhitungan uji-t
didapatkanhasil
sebesar
2,49,
yang
menunjukan bahwa penerapan pendekatan
open-ended berpengaruh terhadap hasil
belajar
siswa.
Meskipun
penerapan
pembelajaran open-ended sedikit rumit,
namun jika berhasil, siswa akan merasakan
kebermaknaan dalam belajar matematika
(Suandito, Darmawijoyo, & Purwoko, 2013),
karena
siswa
mengetahui
tujuan
pembelajaran dalam belajar matematika.
6. REFERENSI
Ali, M. (2008). Mengembangkan Soal
Terbuka (Open-Ended Problem) dalam
Pembelajaran
Matematika.
In
PROSIDING SEMINAR NASIONAL
MATEMATIKA DAN PENDIDIKAN
MATEMATIKA. Jurusan Pendidikan
Matematika Fakultas Matematika dan
Ilmu Pengetahuan Alam Universitas
Negeri Yogyakarta. Retrieved from
http://eprints.uny.ac.id/6897/
Becker, J. P., & Shimada, S. (1997). The
Open-Ended Approach: A New
Proposal for Teaching Mathematics.
ERIC.
Retrieved
from
http://eric.ed.gov/?id=ED419689
Herman, T. (2007). Pembelajaran Berbasis
Masalah
untuk
Meningkatkan
Kemampuan
Berpikir
Matematis
Tingkat Tinggi Siswa Sekolah
Menengah Pertama. Educationist, 1(1),
47–56.
Japa, I. G. N., & Ngurah, G. (2008).
Peningkatan Kemampuan Pemecahan
Pendidikan Matematika Universitas Muhammadiyah Purworejo,
Ruang Seminar UM Purworejo, 28 Mei 2016
473
Masalah Matematika Terbuka Melalui
Investigasi Bagi Siswa Kelas V SD 4
Kaliuntu. Jurnal Penelitian Dan
Pengembangan Pendidikan. Lembaga
Penelitian Undiksha, 2(1), 60–73.
Jarnawi Afgani, D., & (first). (n.d.).
Pendekatan
Open-Ended
dalam
Pembelajaran Matematika. Retrieved
from
http://file.upi.edu/Direktori/FPMIPA/J
UR._PEND._MATEMATIKA/196805
111991011JARNAWI_AFGANI_DAHLAN/Pere
ncanaan_Pembelajaran_Matematika/o
pen-ended.pdf.
Johar, R. (2013). Domain Soal PISA untuk
Literasi Matematika. Jurnal Peluang,
1(1), 30.
Krismanto, A. (2003). Beberapa Teknik,
Model,
dan
Strategi
dalam
Pembelajaran
Matematika.
Yogyakarta:
Depdiknas
Dirjen
Pendidikan Dasar Dan Menengah.
Retrieved
from
http://p4tkmatematika.org/downloads/s
ma/STRATEGIPEMBELAJARANM
ATEMATIKA.pdf.
PENGEMBANGAN
SOAL
MATEMATIKA NON RUTIN DI
SMA XAVERIUS 4 PALEMBANG.
Jurnal Pendidikan Matematika, 3(2).
Retrieved
from
http://ejournal.unsri.ac.id/index.php/jp
m/article/view/325.
Sumarmo, U. (2004). Kemandirian belajar:
Apa, mengapa, dan bagaimana
dikembangkan Pada peserta didik.
Bandung: Universitas Pendidikan.
Retrieved
from
http://uc.blogdetik.com/165/165047/fil
es/2011/09/kemandirian-belajar-matdes-06-new.pdf.
Syahbana,
A.
(2012).
Peningkatan
Kemampuan Berpikir Kritis Matematis
Siswa SMP Melalui Pendekatan
Contextual Teaching and Learning.
Edumatica | Journal Pendidikan
Matematika, 2(1). Retrieved from
http://onlinejournal.unja.ac.id/index.php/edumatica
/article/view/604
NINOMIYA, H., & PUSRI, P. (n.d.). The
Study of Open-ended Approach in
Mathematics Teaching Using Jigsaw
Method. Retrieved from http://sucra.
saitama-u.ac.jp/
modules/xoonips/download.php?file_i
d=35306.
Suandito, B.,
Purwoko,
474
Darmawijoyo,
P.
D., &
(2013).
Prosiding Seminar Nasional Matematika dan Pendidikan Matematika, “Internalisasi Nilainilai Berpikir Matematis Dalam Perannya di Era Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA)”
IMPLEMENTASI LEARNING CYCLE 7E DALAM PENCAPAIAN
KEMAMPUAN PEMECAHAN MASALAH MATEMATIS SISWA
Suci Intan Sari
Sekolah Pascasarjana Universitas Pendidikan Indonesia
Email: [email protected]
Abstrak
Kemampuan pemecahan masalah matematika merupakan salah satu kemampuan berpikir tingkat
tinggi matematis yang menjadi tuntutan dalam menghadapi era masa kini. Hal ini terlihat dari
upaya untuk memasukkan kemampuan pemecahan masalah dalam kurikulum pendidikan,
khususnya tingkat SMP. Penelitian ini dilatarbelakangi oleh fakta di lapangan bahwa kemampuan
pemecahan masalah matematis siswa SMP belum sesuai dengan harapan. Salah satu
penyebabnya adalah pembelajaran yang dominan dilakukan di sekolah belum mampu
memfasilitasi dan mendorong siswa untuk dapat mengkonstruksi pengetahuan matematika yang
mereka miliki dalam menyelesaikan masalah. Salah satu pembelajaran yang bisa digunakan
untuk mengoptimalkan kemampuan tersebut adalah Learning Cycle 7E. Penelitian ini bertujuan
untuk menganalisis pencapaian kemampuan pemecahan masalah matematis siswa yang
menggunakan Learning Cycle 7E dalam pembelajaran matematika. Metode penelitian yang
digunakan adalah kuasi eksperimen dengan, populasi siswa kelas VIII SMP Negeri 4 Lembang
Bandung Barat yang terdiri atas tujuh kelas dan diambil dua kelas sebagai sampel penelitian.
Faktor kemampuan awal matematis siswa (KAM) juga menjadi pembahasan dalam penelitian ini.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa pencapaian kemampuan pemecahan masalah matematis
siswa yang menggunakan Learning Cycle 7E lebih tinggi daripada siswa yang mendapatkan
pembelajaran konvensional, baik secara keseluruhan maupun berdasarkan kategori KAM.
Kata Kunci: Learning Cycle 7E, Kemampuan Pemecahan Masalah Matematis Siswa,
Kemampuan Awal Matematis (KAM).
1. PENDAHULUAN
Mathematics is Queen and Servant of
Science berarti matematika merupakan salah
satu ilmu dasar yang banyak digunakan
dalam
berbagai
bidang
keilmuan.
Matematika selain sebagai fondasi ilmu
pegetahuan lain, juga sebagai pembantu bagi
ilmu pengetahuan lain, khususnya dalam
pengembangan ilmu pengetahuan tersebut.
Pentingnya matematika juga diamanatkan
dalam UU No. 20 Tahun 2003 tentang
Sisdiknas Pasal 37 yang menyebutkan bahwa
matematika merupakan mata pelajaran wajib
pada kurikulum pendidikan dasar dan
menengah.
Dalam praktik pembelajaran matematika
di sekolah, untuk dapat menghadapi
tantangan di era globalisasi dan Masyarakat
Ekonomi ASEAN (MEA) setiap individu
dituntut memiliki berbagai kemampuan.
Menurut National Council of Teachers of
Mathematics
(NCTM)
tahun
2000,
kemampuan-kemampuan matematis yang
harus dimiliki siswa dalam pembelajaran
matematika antara lain: pemecahan masalah
matematis (problem solving), penalaran dan
pembuktian matematis (reasoning and
proof),
komunikasi
matematis
(communication),
koneksi
matematis
(connections) dan representasi matematis
(representation). Sejalan dengan hal tersebut,
dalam Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan
(KTSP) tahun 2006, tujuan pembelajaran
matematika di sekolah antara lain:
memahami konsep matematika, menjelaskan
keterkaitan
antara
konsep
dan
mengaplikasikan konsep atau algoritma
Pendidikan Matematika Universitas Muhammadiyah Purworejo,
Ruang Seminar UM Purworejo, 28 Mei 2016
475
secara luwes, akurat, efisien, dan tepat dalam
pemecahan masalah; menggunakan penalaran
pada pola dan sifat, melakukan manipulasi
dalam membuat generalisasi, menyusun bukti
atau menjelaskan gagasan dan pernyataan
matematis; memecahkan masalah yang
meliputi kemampuan memahami masalah,
merancang model matematis, menyelesaikan
model dan manafsirkan solusi yang
diperoleh; mengkomunikasikan gagasan
dengan simbol, tabel, diagram atau media
lain untuk memperjelas keadaan atau
masalah; dan memiliki sikap menghargai
kegunaan matematika dalam kehidupan,
yaitu memiliki rasa ingin tahu, perhatian dan
minat dalam mempelajari matematika, serta
sikap ulet dan percaya diri dalam pemecahan
masalah.
Dari uraian di atas, terlihat bahwa
pemecahan masalah mendapat perhatian
yang cukup besar. Hal itu terlihat dari upaya
untuk memasukkan kemampuan pemecahan
masalah dalam kurikulum atau strategi
pembelajaran. Siswa dituntut untuk bisa
menggunakan
keterampilannya
dalam
pemecahan masalah. Lester (Branca, 1980)
menyatakan bahwa „Problem solving is heart
of mathematics‟. Kemampuan pemecahan
masalah merupakan jantungnya matematika.
Banyak
negara
yang
menempatkan
pemecahan masalah sebagai ruh dalam
pembelajaran matematika.
Di Indonesia, kemampuan pemecahan
masalah matematis sangat dibutuhkan siswa,
guru harus membekali siswa dengan
kemampuan pemecahan masalah. Hal ini
dilakukan supaya pembelajaran matematika
di sekolah sejalan dengan kurikulum yang
menjadikan
kemampuan pemecahan
masalah matematis sebagai kemampuan yang
dituju oleh standar kompetensi pada
umumnya.
Pimta, ddk (2009) menyatakan bahwa
kemampuan pemecahan masalah merupakan
476
kemampuan yang digunakan tidak hanya
untuk
membantu
siswa
dalam
mengembangkan kemampuan berpikir siswa
tetapi juga membantu siswa untuk
mengembangkan kemampuan dasar dalam
menyelesaikan masalah khususnya masalah
dalam kehidupan sehari-hari. Tujuan
pembelajaran matematika menjadi efektif
saat siswa mampu menyelesaikan masalah
yang
diberikan
dalam
pembelajaran
matematika.
Menurutnya
kemampuan
pemecahan masalah dianggap sebagai
jantung pembelajaran matematika karena
tidak hanya kemampuan dalam mempelajari
suatu pelajaran tetapi menekankan kepada
mengembangkan kemampuan berpikir secara
baik. Siswa dapat menggunakan pengetahuan
dan kemampuan pemecahan masalah mereka
untuk kehidupan sehari-hari mulai dari
proses pemecahan masalah matematis sampai
pemecahan masalah umum.
Sejalan dengan hal di atas, Das dan Das
(2013) menyatakan pemecahan masalah
memainkan
peranan
penting
dalam
pembelajaran
matematika.
Melalui
kemampuan pemecahan masalah, siswa bisa
meningkatkan kemampuan berpikir mereka,
menggunakan
prosedur,
memperdalam
pemahaman konsep siswa. Pemecahan
masalah sebagai sarana bagi siswa untuk
memulai berpikir secara kritis. Pemecahan
masalah merupakan bagian utama yang
penting dalam pembelajaran matematika.
Kemampuan pemecahan masalah merupakan
sarana bagi siswa untuk membangun ide
mereka sendiri, meningkatkan berpikir logis,
transfer kemampuan pada situasi tak biasa
dan untuk meningkatkan tanggung jawab
terhadap perkembangan pembelajaran itu
sendiri. Sehingga, pemecahan masalah
menjadi komponen dalam pembelajaran
matematika yang menjadi penekanan oleh
pendidik, orang tua, dan sekolah. Mereka
mengumpulkan catatan beberapa penelitian
mengenai
pentingnya
karakteristik
pemecahan masalah, antara lain: merupakan
Prosiding Seminar Nasional Matematika dan Pendidikan Matematika, “Internalisasi Nilainilai Berpikir Matematis Dalam Perannya di Era Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA)”
dialog dan persetujuan umum antara siswa;
untuk
mendorong
siswa
membuat
generalisasi dari aturan dan konsep, guru
menerima benar atau salah jawaban; guru
membimbing, melatih, memberi pertanyaan
wawasan dan berbagi dalam proses
pemecahan masalah; guru mengetahui kapan
waktu intervensi yang tepat, dan kapan untuk
melanjutkan pembelajaran serta membiarkan
siswa membuat cara mereka sendiri; interaksi
antara siswa-siswa dan guru-siswa; dan guru
memberikan informasi yang cukup untuk
memperlihatkan maksud dari permasalahan
dan siswa menjelaskan, mengartikan serta
mencoba membangun satu atau lebih proses
penyelesaian.
Pentingnya
kemampuan
pemecahan
masalah juga diungkapkan oleh Syaiful
(2013) yang menyatakan bahwa kemampuan
pemecahan masalah siswa dalam matematika
penting karena sebagai berikut: (1)
kemampuan pemecahan masalah merupakan
tujuan umum pembelajaran matematika,
merupakan
jantung
matematika;
(2)
pemecahan masalah yang terdiri dari metode,
prosedur, dan strategi merupakan proses
utama dan penting dalam kurikulum
matematika; dan (3) pemecahan masalah
merupakan kemampuan dasar dalam
pembelajaran matematika.
Sama halnya dengan Ersoy dan Guner
(2015) yang menyatakan masalah dan
pemecahan masalah merupakan kenyataan
hidup yang diperlukan dan bagian utuh
dalam matematika. Salah satu komponen
penting dalam proses pemecahan masalah
adalah
strategi
pemecahan
masalah.
Menggunakan strategi pemecahan masalah
yang tepat akan menjadikan pemecahan
masalahnya benar. Strategi pemecahan
masalah merupakan rencana yang dibuat
untuk mengetahui bagaimana persoalan bisa
diselesaikan. Strategi pemecahan masalah
pada umumnya meliputi literatur pengujian
dan taksiran, membuat daftar, menemukan
pola, menggambar diagram, menyelesaikan
persamaan dan pertidaksamaan, perkiraan,
menyelesaikan sebuah masalah sederhana,
membuat tabel dan penalaran logis.
Berdasarkan uraian di atas jelas bahwa
kemampuan pemecahan masalah merupakan
aspek yang penting yang harus dimiliki
siswa. Dengan demikian, diharapkan siswa
dapat
mengembangkan
kemampuan
pemecahan masalah matematis.
Akan tetapi, kenyataan di lapangan
menunjukkan bahwa kemampuan pemecahan
masalah matematis siswa pada umumnya
masih belum maksimal. Berdasarkan hasil
penelitian yang dilakukan Hanifah (2015)
menyatakan bahwa siswa yang mendapatkan
pembelajaran dengan Model Eliciting
Activities (MEA) hanya memperoleh rata-rata
skor 16,03 dari skor ideal 28. Hal ini
menunjukkan bahwa kemampuan pemecahan
masalah matematis siswa masih kurang
optimal. Phil (2014) menyatakan bahwa
kemampuan pemecahan masalah matematis
siswa kelas IX masih rendah.
Sejalan dengan hal di atas, dari hasil
analisis nilai Ujian Nasional (UN),
rendahnya nilai dan tingkat kelulusan nilai
UN siswa salah satunya disebabkan oleh
kurangnya kemampuan pemecahan masalah
siswa. Dari data hasil UN tahun ajaran 20142015, yang diperoleh dari Puspendik BSNP
Kemdikbud, didapatkan bahwa kemampuan
pemecahan masalah masih menjadi indikator
yang dominan dalam soal UN. Dari analisis
hasil UN yang dilakukan, didapat soal
pemecahan masalah matematis masih ada
yang mendapat skor rata-rata 43,93. Dan
masih tergolong rendah jika dibandingkan
dengan batas kelulusan.
Salah satu faktor penyebab kurangnya
kemampuan pemecahan masalah matematis
siswa adalah guru yang masih menggunakan
pembelajaran konvensional berupa ceramah.
Pendidikan Matematika Universitas Muhammadiyah Purworejo,
Ruang Seminar UM Purworejo, 28 Mei 2016
477
Pembelajaran masih berpusat pada guru,
karena siswa hanya mendengarkan dan
menerima apa yang dijelaskan guru. Guru
lebih dominan menggunakan pembelajaran
dengan pendekatan transfer of knowledge.
Guru melakukan pembelajaran dengan
memberikan materi berupa rumus-rumus,
kemudian contoh soal yang dilanjutkan
dengan latihan soal yang serupa dengan
contoh soal. Siswa kurang mampu
mengoptimalkan kemampuannya, karena
terbiasa
„disuapi‟
materi.
Dengan
pembelajaran demikian, siswa menjadi
kesulitan saat menyelesaikan persoalan tidak
rutin, walaupun sebetulnya konsep untuk
soalnya telah mereka kuasai.
Untuk mengatasi permasalahan tersebut,
diperlukan suatu model pembelajaran yang
dapat
mengoptimalkan
kemampuan
pemecahan masalah matematis siswa. Guru
dituntut untuk mengetahui, memilih dan
mampu menerapkan model pembelajaran
yang efektif sehingga tercipta suasana belajar
yang kondusif dan memberi kesempatan pada
siswa untuk dapat berlatih memecahkan
masalah yang dihadapi dalam pembelajaran
matematika
Pujiastuti, dkk (2014) menyatakan bahwa
dibutuhkan pembelajaran yang mendukung
dan mendorong siswa untuk melatih dan
mengembangkan kemampuan pemecahan
masalah secara optimal. Baykul dan Yazici
(2011) menyatakan bahwa perhatian pada
strategi pemecahan masalah dalam aktifitas
pembelajaran
dapat
meningkatkan
kemampuan pemecahan masalah matematis.
Mataka, dkk (2014), menyatakan bahwa
pendidik harus fokus dalam mengajarkan
siswa bagaimana perencanaan ketika
memecahkan masalah. Ersoy & Guner
(2015), juga menyatakan salah satu cara
meningkatkan
kemampuan
pemecahan
masalah matematis siswa adalah dengan
membentuk kelas dengan pembelajaran yang
menekankan pemecahan masalah. Sejalan
478
dengan hal itu, Syaiful (2013) berpendapat
diperlukan model pembelajaran alternatif
yang dapat meningkatkan kemampuan
pemecahan masalah matematis siswa.
Tambychik
&
Meerah
(2010),
menyatakan bahwa pemahaman terhadap
kemampuan, pengetahuan dan komitmen
guru merupakan kunci yang mendorong
siswa untuk mengembangkan kemampuan
dalam pemecahan masalah matematis. Selain
itu, Akinmola (2014) menyatakan guru harus
selalu menekankan 5 komponen dalam
hubungan (konsep, kemampuan, proses,
sikap
dan
metakognisi)
untuk
mengembangkan kemampuan pemecahan
masalah siswa yang akan membantu siswa
menyelesaikan masalah sehari-hari.
Dari analisis studi pendahuluan di atas,
peneliti mencoba solusi alternatif dengan
menerapkan model pembelajaran Learning
Cycle 7E. Learning Cycle merupakan suatu
model pembelajaran yang berpusat pada
siswa
serta
berdasarkan
pandangan
konstruktivisme. Pengetahuan dibentuk dari
pengetahuan siswa itu sendiri. Sehingga
memungkinkan untuk mengembangkan
kemampuan pemecahan masalah matematis
siswa. Pada awalnya, Learning Cycle hanya
terdiri dari tiga fase (exploration, concept
interdiction, concept application). Tiga fase
tersebut berkembang menjadi lima fase
(Engage, Explore, Explain, Elaborate, serta
Evaluate). Pada tahun 2003, Eisenkart
mengembangkan Learning Cycle menjadi
tujuh fase (Elicit, Engage, Explore, Explain,
Elaborate, Evaluate dan Extend). Learning
Cycle 7E dipilih karena bisa sejalan dengan
pendekatan pembelajaran saintifik yang
sedang trend saat ini.
Sebagai
variabel
kontrol
dalam
penelitian, peneliti pun akan menggunakan
Kemampuan Awal Matematika (KAM)
siswa. KAM siswa terdiri atas tinggi, sedang,
dan rendah. KAM ini akan digunakan
Prosiding Seminar Nasional Matematika dan Pendidikan Matematika, “Internalisasi Nilainilai Berpikir Matematis Dalam Perannya di Era Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA)”
sebagai pengontrol supaya hasil penelitian
murni karena model pembelajaran yang
digunakan dalam penelitian, bukan karena
faktor lain, seperti faktor intelegensi siswa.
Galton (Lestari, 2014) menyatakan bahwa
dari sekelompok siswa yang dipilih secara
acak akan selalu dijumpai siswa yang
memiliki kemampuan tinggi, sedang dan
rendah. Kemampuan awal matematis (KAM)
siswa tinggi, sedang, dan rendah harus
menjadi perhatian pada penerapan model
pembelajaran tertentu. Hal ini terkait dengan
efektivitas Learning Cycle 7E terhadap
berbagai level kemampuan siswa. Jika
hasilnya merata di semua level kemampuan
siswa, yaitu tinggi, sedang dan rendah, maka
dapat digeneralisasikan bahwa Learning
Cycle 7E dapat diterapkan pada semua level
kemampuan dalam pencapaian kemampuan
pemecahan masalah matematis siswa.
2. KAJIAN
LITERATUR
DAN
PEGEMBANGAN HIPOTESIS
a. Kemampuan Pemecahan Masalah
Matematis
Suherman, dkk (2003) mengemukakan
bahwa suatu masalah biasanya memuat suatu
situasi yang mendorong seseorang untuk
menyelesaikannya
akan
tetapi
tidak
mengetahui secara langsung apa yang harus
dikerjakan untuk menyelesaikannya. Oleh
karena itu, jika suatu persoalan diberikan
kepada siswa dan siswa tersebut dapat
langsung menjawab dengan benar terhadap
persoalan itu, maka persoalan itu tidak bisa
dikatakan masalah. Menurut Baroody
(Dahlan, 2011) problems dapat didefinisikan
sebagai suatu situasi puzzling, di mana
seseorang
tertarik untuk
mengetahui
penyelesaiannya, akan tetapi strategi
penyelesaiannya tidak serta merta tersedia,
lebih jelasnya suatu problem memuat: (1)
Keinginan untuk mengetahui; (2) Tidak
adanya cara yang jelas untuk mendapatkan
penyelesaiannya; dan (3) Memerlukan suatu
usaha dalam menyelesaikannya.
Sejalan dengan pengertian di atas,
Menurut Russefendi (2006) ada tiga syarat
suatu persoalan dikatakan masalah, yaitu: (1)
Apabila persoalan tersebut belum diketahui
bagaimana prosedur menyelesaikannya; (2)
Apabila persoalan sesuai dengan tingkat
berpikir dan pengetahuan prasyarat siswa,
soal yang terlalu mudah atau sebaliknya
terlalu sulit bukan merupakan masalah; dan
(3) Apabila siswa mempunyai niat untuk
menyelesaikan persoalan tersebut. Menurut
Fung dan Roland (2004), masalah matematik
yang baik bagi siswa sekolah hendaknya
memenuhi kriteria: (1) Masalah hendaknya
memerlukan lebih dari satu langkah dalam
menyelesaikannya; (2) Masalah hendaknya
dapat diselesaikan dengan lebih dari satu
cara/ metode; (3) Masalah hendaknya
menggunakan bahasa yang jelas dan tidak
menimbulkan salah tafsir; (4) Masalah
hendaknya menarik (menantang) serta
relevan dengan kehidupan siswa; dan (5)
Masalah hendaknya mengandung nilai
(konsep) matematika yang nyata sehingga
masalah tersebut dapat meningkatkan
pemahaman dan memperluas pengetahuan
matematika siswa.
Menurut Turmudi (2008) pemecahan
masalah adalah proses melibatkan suatu
tugas yang metode pemecahannya belum
diketahui lebih dahulu, untuk mengetahui
penyelesaiannya
siswa
hendaknya
memetakan pengetahuan mereka, dan melalui
proses ini mereka sering mengembangkan
pengetahuan baru tentang matematika,
sehingga pemecahan masalah merupakan
bagian tak terpisahkan dalam semua bagian
pembelajaran matematika, dan juga harus
diajarkan secara terisolasi dari pembelajaran
matematika. Branca (1980) mengemukakan
bahwa pemecahan masalah memiliki tiga
interpretasi, yaitu: pemecahan masalah (1)
sebagai suatu tujuan utama; (2) sebagai suatu
Pendidikan Matematika Universitas Muhammadiyah Purworejo,
Ruang Seminar UM Purworejo, 28 Mei 2016
479
proses; dan (3) sebagai keterampilan dasar.
Jika pemecahan masalah merupakan suatu
tujuan, maka pemecahan masalah terlepas
dari masalah atau prosedur yang spesifik,
juga terlepas dari materi matematika, yang
terpenting
adalah
bagaimana
cara
memecahkan masalah sampai berhasil.
Dalam hal ini, pemecahan masalah sebagai
alasan utama untuk belajar matematika. Jika
pemecahan masalah dipandang sebagai suatu
proses maka penekanannya bukan hanya
pada hasil, melainkan bagaimana metode,
prosedur, strategi, dan langkah-langkah
tersebut dikembangkan melalui penalaran
dan komunikasi untuk memecahkan masalah.
Pemecahan masalah sebagai keterampilan
dasar karena setiap manusia harus mampu
memecahkan masalahnya sendiri. Jadi
pemecahan masalah merupakan keterampilan
dasar yang harus dimiliki siswa. Gagne, dkk.
(Musriandi, 2013) menyatakan bahwa
pemecahan masalah merupakan salah satu
keterampilan intelektual yang lebih tinggi
dan lebih kompleks dari tipe intelektual
lainnya.
Berdasarkan uraian di atas, hal terpenting
dalam memecahkan masalah dalah proses
mencari strategi solusi dari masalah. Artinya
pemecahan masalah memerlukan usaha yang
harus dilakukan dengan menggunakan
kombinasi pengetahuan sebelumnya, seperti
penggunaan langka-langkah, aturan atau
prosedur, dan konsep agar masalah yang
dihadapi bisa terselesaikan sesuai harapan.
George Polya adalah tokoh utama dalam
pemecahan masalah. Menurut Polya (Husna,
2013), dalam pemecahan masalah terdapat
empat langkah yang harus dilakukan, yaitu:
(1) Understanding the problem; (2) Devising
a plan; (3) Carrying out the plan; dan (4)
Looking Back. Keempat tahap pemecahan
masalah dari Polya merupakan satu kesatuan
yang sangat penting dikembangkan. Untuk
mengukur kemampuan pemecahan masalah
matematis diperlukan beberapa indikator.
480
Adapun indikator menurut Sumarmo (2012)
adalah: (1) Mengidentifikasi unsur yang
diketahui, ditanyakan, dan kecukupan unsur;
(2) Membuat model matematika; (3)
Menerapkan strategi menyelesaikan masalah
dalam/ di luar matematika; (4) Menjelaskan/
menginterpretasikan hasil; (5) Menyelesaikan
model matematika dan masalah nyata; dan
(6) Menggunakan matematika secara
bermakna.
Untuk
mengetahui
kemampuan
pemecahan masalah matematis pada siswa
dapat dilakukan dengan memberikan
persoalan yang harus diselesaikan secara
tuntas. Siswa mengerjakan soal tersebut
secara keseluruhan dan penilaiannya
dilakukan secara komprehensif. Departemen
Pendidikan Oregon (Amerika Serikat, 2003)
menilai kemampuan pemecahan masalah
matematis siswa dalam lima aspek yaitu
pengetahuan
konseptual,
pengetahuan
prosedural, keterampilan/ strategi pemecahan
masalah, komunikasi, dan akurasi. Selain itu,
Illinois mengukur kemampuan pemecahan
masalah matematis berdasarkan tiga aspek,
yaitu pengetahuan matematik, pengetahuan
strategi, dan kemampuan menjelaskan.
Menurut NCTM (2000), indikator dari
kemampuan pemecahan masalah adalah
menerapkan dan mengadaptasi berbagai
strategi yang tepat untuk memecahkan
masalah, menyelesaikan masalah yang timbul
dalam matematika dan yang melibatkan
matematika dalam konteks lain, membangun
pengetahuan matematika baru melalui
pemecahan masalah, serta memonitor dan
merefleksi proses dalam pemecahan masalah
matematis. Charles, dkk (1987) dan In
Stenmark, Jean (1991) menilai kemampuan
pemecahan masalah dengan menggunakan
tiga skala yaitu memahami masalah,
merencanakan solusi, dan mendapatkan
jawaban. Sedangkan Szetela dan Nicol
(1992) menilai kemampuan pemecahan
masalah melalui tiga skala, yaitu memahami
Prosiding Seminar Nasional Matematika dan Pendidikan Matematika, “Internalisasi Nilainilai Berpikir Matematis Dalam Perannya di Era Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA)”
masalah, menyelesaikan
menjawab masalah
masalah,
dan
Berdasarkan uraian di atas, dalam
penelitian
ini
indikator
kemampuan
pemecahan masalah matematis yang diukur
melalui
kemampuan
siswa
dalam
menyelesaikan suatu persoalan adalah
dengan mengadaptasi indikator dari berbagai
ahli,
yaitu
memahami
masalah,
merencanakan berbagai strategi yang tepat
untuk memecahkan masalah dan menjawab
permasalahan dengan menerapkan strategi
yang digunakan.
b. Learning Cycle 7E
Model Learning Cycle pertama kalinya
dikembangkan oleh Karplus dan Their pada
tahun 1967 (Indriyani, 2014). Model
Learning Cycle merupakan suatu model
pembelajaran yang berpusat pada siswa
(student centered) yang mengadopsi prinsip
konstruktivisme. Learning Cycle merupakan
rangkaian tahap kegiatan (fase) yang
terorganisasi
sehingga
siswa
dapat
menguasai kompetensi yang harus dicapai
dalam pembelajaran aktif.
Model Learning Cycle dikembangkan
dari teori kognitif Piaget dan Vygotsky.
Model ini menyarankan agar proses
pembelajaran dapat melibatkan siswa dalam
kegiatan pembelajaran yang aktif sehingga
proses asimilasi, akomodasi, dan organisasi
dalam struktur kognitif siswa tercapai. Selain
itu prinsip scaffolding teori Vygotsky dapat
digunakan pada tahap pembelajaran.
Implementasi Learning Cycle dalam
pembelajaran menempatkan guru sebagai
fasilitator yang mengelola kelangsungan fase
pembelajaran.
Pada awalnya, Learning Cycle memiliki
tiga fase, yaitu eksplorasi (Exploration),
pengenalan konsep (Concept introduction),
dan penerapan konsep (Concept application).
Tiga fase siklus tersebut dikembangkan
menjadi lima fase yang terdiri atas
pembangkitan minat (Engage), eksplorasi
(Explorate), penjelasan (Explain), elaborasi
(Elaborate), dan evaluasi (Evaluate) atau
disebut sebagai Learning Cycle 5E. Dan pada
tahun 2003, Eisenkraft mengembangkan
kelima fase tersebut menjadi 7 fase yang
dikenal dengan Learning Cycle 7E.
Gambar 1 Bagan Perubahan Learning
Cycle 5E menjadi Learning Cycle 7E
Perubahan Learning Cycle 5E menjadi
Learning Cycle 7E terjadi pada fase Engage
menjadi dua fase, yaitu Elicit dan Engage
serta pada fase Elaborate dan Evaluate
menjadi tiga fase, yaitu Elaborate, Evaluate,
dan Extend. Pengembangan tahapan ini
dilakukan
dengan
tambahan
yang
menekankan pada aktivasi pengetahuan dan
transfer belajar. Penelitian tentang proses
pembelajaran dan pengembangan kurikulum
merupakan salah satu alasan yang menuntut
model Learning Cycle 5E perlu diperluas ke
model Learning Cycle 7E. Fase pada
Learning Cycle 7E dapat dijelaskan sebagai
berikut:
a. Elicit (Mendatangkan Pengetahuan Awal
Siswa)
Fase ini merupakan tahap awal dari
Learning
Cycle.
Guru
berusaha
mendatangkan pengetahuan awal siswa
terhadap materi pelajaran yang akan
dipelajari dengan memberikan pertanyaanpertanyaan mendasar yang berkaitan dengan
materi yang akan dipelajari. Pertanyaan yang
Pendidikan Matematika Universitas Muhammadiyah Purworejo,
Ruang Seminar UM Purworejo, 28 Mei 2016
481
diberikan harus dapat memancing respon dan
rasa ingin tahu siswa. Respon atau jawaban
dari siswa dapat menjadi acuan bagi guru
untuk mengetahui pengetahuan awal siswa
tentang materi yang akan diajarkan. Fase ini
dimulai dengan mengambil contoh dalam
kehidupan sehari-hari.
b. Engage (Melibatkan)
Fase ini bertujuan untuk memfokuskan
perhatian siswa, mendorong kemampuan
berpikir siswa dan membangkitkan minat
atau motivasi siswa terhadap konsep yang
akan diajarkan. Pada fase ini, siswa dan guru
saling bertukar informasi dan pengalaman
tentang pertanyaan awal dan guru memberi
tahu siswa tentang ide dan rencana
pembelajaran. Siswa dilibatkan dalam
kegiatan demonstrasi, diskusi, menceritakan
fenomena, menonton video, memperhatika
objek atau gambar, atau kegiatan lain yang
dapat memotivasi siswa.
c. Explore (Menyelidiki)
Pada fase ini, siswa diberikan
kesempatan untuk memperoleh pengetahuan
dan pengalaman langsung melalui kerja sama
secara mandiri dalam kelompok kecil tanpa
pengarahan secara langsung dari guru. Siswa
memanipulasi objek, melakukan percobaan/
penyelidikan/ pengamatan/ mengumpulkan
data sampai membuat kesimpulan awal dari
pengamatan tersebut. Guru berperan sebagai
fasilitator dan motivator yang merangkai
pertanyaan, memberi masukan, dan menilai
pemahaman siswa. Dengan demikian, siswa
akan memperoleh pengetahuan dengan
pengalaman langsung yang berhubungan
dengan konsep yang telah dipelajari.
d. Explain (Menjelaskan)
Kegiatan belajar pada fase ini bertujuan
untuk melengkapi, menyempurnakan,, dan
mengembangkan konsep yang diperoleh
siswa. Siswa diperkenalkan dengan konsep
dan teori baru. Siswa menyimpulkan dan
mengemukakan hasil temuan pada fase
sebelumnya. Guru mengenalkan siswa pada
482
beberapa kosa kata ilmiah, dan memberikan
pertanyaan yang mendorong siswa agar
menggunakan
istilah
ilmiah
untuk
menjelaskan temuannya. Guru mendorong
siswa untuk menjelaskan konsep dengan
kalimatnya sendiri, meminta bukti dan
klarifikasi dari penjelasan siswa, dan
mengarahkan kegiatan diskusi. Ketika siswa
berdiskusi,
guru
berperan
sebagai
pembimbing dan pengarah dalam diskusi
kelas.
e. Elaborate (Menerapkan)
Pada fase ini, siswa diberi kesempatan
untuk menerapkan simbol, definisi, konsep,
atau keterampilan pada permasalahan yang
berkaitan dengan contoh dari pelajaran yang
dipelajari. Guru memberikan permasalahan
yang terkait dengan materi yang telah
diajarkan untuk diselesaikan oleh siswa.
Siswa dapat belajar secara bermakna karena
telah
dapat
menerapkan
atau
mengaplikasikan
konsep
yang
baru
dipelajari.
f.
Evaluate (Menilai)
Pada fase ini, guru mengevaluasi hasil
pembelajaran yang telah dilakukan. Strategi
penilaian yang dilakukan bisa dengan tes
tulis disertai dengan lembar penilaian diri
yang dikerjakan oleh siswa. Guru harus terus
menerus
melakukan
observasi
dan
memperhatikan kemampuan, keterampilan,
atau sikap siswa.
g. Extend (Memperluas)
Pada fase akhir ini, siswa didorong untuk
berpikir,
mencari,
menemukan,
dan
menjelaskan conyoh penerapan konsep dan
keterampilan baru yang telah dipelajari. Guru
membimbing siswa untuk menerapkan
pengetahuan yang telah didapat pada konteks
baru. Dapat dilakukan dengan cara
mengaitkan materi yang telah dipelajari
dengan materi lain yang sudah atau belum
dipelajari.
Prosiding Seminar Nasional Matematika dan Pendidikan Matematika, “Internalisasi Nilainilai Berpikir Matematis Dalam Perannya di Era Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA)”
Berdasarkan tahapan Learning Cycle 7E
yang diuraikan di atas, tahap Elicit dan
Engage sesuai dengan kerucut pengalaman
belajar Edgar Dale dimana dinyatakan bahwa
siswa mungkin mengingat 30% dari apa yang
dilihat. Untuk awal pembelajaran, daya ingat
sangat
dibutuhkan
supaya
tujuan
pembelajaran dapat tercapai dengan tuntas.
Dengan demikian, siswa dapat menemukan
alternatif solusi dari permasalahan yang akan
diberikan. Pada tahap Explore, siswa akan
dibimbing untuk menemukan solusi dengan
mengkonstruksi sendiri pengetahuan yang
telah mereka miliki. Hal ini sejalan dengan
teori belajar Piaget dan Bruner. Pada tahap
ini siswa akan terbiasa untuk menemukan
strategi
dari
sebuah
permasalahan.
Permasalahan yang diberikan merupakan
bahan yang dirasakan baru tepati tidak asing
bagi peserta didik. Pada tahap ini, untuk
mempermudah pembelajaran, siswa akan
dikelompokkan menjadi kelompok-kelompok
dengan jumlah anggota kecil (2-4 orang per
kelompok). Guru hanya menjadi fasilitator
yang menjembatani siswa saat mengalami
kesulitan dalam memahami permasalahan.
Hal ini sesuai dengan teori konstuktivisme
sosial yang dikemukakan oleh Vygotsky.
Pada tahap Evaluate siswa akan diberikan
penilaian diri. Lembar penilaian diri ini bisa
menjadi salah satu sarana bagi siswa dalam
melakukan penilaian tentang diri dalam
pembelajaran matematika. Pada tahap ini,
siswa akan didorong untuk terbiasa
melakukan penilaian tentang kelebihan dan
kelemahannya
dalam
pembelajaran
matematika. Hal ini dimaksudkan agar siswa
mampu memperbaiki kekurangan dalam
pembelajaran yang telah dilakukan, sehingga
pembelajaran yang selanjutnya bisa lebih
baik lagi. Pada tahap Elaborate siswa akan
terbiasa untuk berpikir dalam menerapkan
konsep dan keterampilan yang telah
didapatkan yang berhubungan dengan
kehidupan sehari-hari. Sesuai dengan teori
belajar Bandura, umpan balik yang
berhubungan dengan lingkungan sekitar
dapat memotivasi siswa untuk lebih giat
belajar. Dengan demikian, diharapkan siswa
akan lebih mampu dalam mengembangkan
kemampuan pemecahan masalah matematis
siswa.
Berdasarkan rumusan masalah dan kajian
teori dalam penelitian ini, maka hipotesis
yang diajukan dalam penelitian ini adalah
sebagai berikut:
1. Pencapaian kemampuan pemecahan
masalah
matematis
siswa
yang
pembelajarannya menggunakan Learning
Cycle 7E lebih tinggi secara signifikan
daripada siswa dengan pembelajaran
matematika secara konvensional.
2. a.
b.
c.
Pencapaian
kemampuan
pemecahan
masalah matematis kelompok siswa
dengan KAM tinggi yang menggunakan
Learning Cycle 7E lebih tinggi secara
signifikan daripada kelompok siswa
dengan KAM tinggi yang menggunakan
pembelajaran
matematika
secara
konvensional.
Pencapaian
kemampuan
pemecahan
masalah matematis kelompok siswa
dengan KAM sedang yang menggunakan
Learning Cycle 7E lebih tinggi secara
signifikan daripada kelompok siswa
dengan KAM sedang yang menggunakan
pembelajaran
matematika
secara
konvensional.
Pencapaian
kemampuan
pemecahan
masalah matematis kelompok siswa
dengan KAM rendah yang menggunakan
Learning Cycle 7E lebih tinggi secara
signifikan daripada kelompok siswa
dengan KAM rendah yang menggunakan
pembelajaran
matematika
secara
konvensional.
3. Terdapat
perbedaan
pencapaian
kemampuan
pemecahan
masalah
matematis siswa yang menggunakan
Learning Cycle 7E ditinjau dari
kemampuan awal matematis siswa
(tinggi, sedang, dan rendah).
3. METODE PENELITIAN
Penelitian ini dilakukan untuk melihat
perbedaan
pencapaian
kemampuan
pemecahan masalah matematis dan self-
Pendidikan Matematika Universitas Muhammadiyah Purworejo,
Ruang Seminar UM Purworejo, 28 Mei 2016
483
concept siswa yang mendapat perlakuan
pembelajaran matematika menggunakan
Learning Cycle 7E dengan siswa yang
menggunakan pembelajaran matematika
secara konvensional, sehingga penelitian ini
merupakan penelitian eksperimen. Namun,
dalam implementasinya peneliti tidak
melakukan pengambilan sampel secara acak
dari populasinya dikarenakan jika dilakukan
pengacakan sampel maka akan mengganggu
efektivitas kegiatan pembelajaran di sekolah.
Dalam penelitian ini tidak dilaksanakan
pretest
dikarenakan
kekhasan
soal
pemecahan masalah yang merupakan soal
non rutin. Sehingga pretest dikhawatirkan
akan mempengaruhi perlakuan eksperimen
dan mempengaruhi hasil posttest. Selain itu,
ada pertimbangan bahwa tes yang digunakan
dikategorikan sebagai soal baru atau soal
tidak rutin bagi subjek penelitian. Dengan
demikian penelitian ini termasuk penelitian
kuasi eksperimen dengan rancangan “post
test only control group design”. Agar
diperoleh data tentang pengaruh dari proses
pembelajaran, maka peneliti menggunakan
dua kelas sampel, yaitu kelas eksperimen
yang
menggunakan
pembelajaran
matematika dengan model Learning Cycle
7E dan kelas kontrol yang menggunakan
pembelajaran
matematika
secara
konvensional.
genap tahun pelajaran 2015/2016, dengan
pertimbangan bahwa kelas VIII merupakan
siswa yang sudah dapat menyesuaikan diri
dengan kondisi lingkungan sekolah dan
berada pada rentang usia siswa yang
dianggap sudah cukup matang untuk
menerima pembaharuan dalam dalam
penggunaan model pembelajaran (Nurhayati,
2015).
Populasi pada penelitian ini adalah siswa
di sebuah SMP Negeri di Kabupaten
Bandung Barat. Alasan pemilihan sekolah ini
adalah berada di tingkat kategori sedang.
Banyak siswa pada tiap rombel di sekolah ini
adalah 34 siswa. Pembagian siswa pada
setiap rombel dilakukan berdasarkan nilai
UN untuk kelas VII, dan berdasarkan nilai
raport sebelumnya untuk kelas VIII dan IX.
Pembagian siswa dilakukan secara merata
dengan kemampuan cenderung heterogen
setiap rombel. Setiap rombel terdiri atas
siswa yang memiliki kemampuan akademis
tinggi, sedang dan rendah. Subjek penelitian
ini adalah siswa SMP kelas VIII semester
Berikut ini adalah definisi dari beberapa
istilah yang terdapat dalam penelitian:
484
Untuk sampel penelitian diambil dua
rombel dari tujuh rombel kelas VIII di SMP
Negeri 4 Lembang. Sebagaimana telah
dijelaskan sebelumnya bahwa peneliti tidak
memungkinkan mengambil sampel secara
acak, maka sampel penelitian ditentukan
berdasarkan purposive sampling. Peneliti
melakukan wawancara dengan partisipan,
walikelas, dan kepala sekolah sehingga
dipertimbangkan untuk kelas kontrol diambil
satu rombel, yaitu kelas VIII-A. Begitupula
kelas eksperimen diambil satu rombel, yaitu
kelas VIII-B. Pertimbangan didasarkan pada
penyebaran siswa untuk kedua rombel
tersebut merata ditinjau dari segi kemampuan
akademisnya. Untuk selanjutnya, kelas
kontrol akan diberi perlakuan dengan
pembelajaran
matematika
secara
konvensional dan kelas eksperimen akan
diberi perlakuan dengan pembelajaran
matematika dengan Learning Cycle 7E.
a. Kemampuan Pemecahan Masalah
Matematis
Kemampuan
pemecahan
masalah
matematis
adalah
kegiatan
dalam
menyelesaikan persoalan non rutin yang
berkaitan
dengan
matematika
yang
merupakan suatu masalah pada saat
persoalan itu diberikan. Adapun langkah
pemecahan masalah dalam penelitian ini
adalah: (a) Memahami masalah, (b)
Membuat model matematika (c) Memilih
strategi penyelesaian dari masalah atau
Prosiding Seminar Nasional Matematika dan Pendidikan Matematika, “Internalisasi Nilainilai Berpikir Matematis Dalam Perannya di Era Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA)”
model matematika dan (d) Menerapkan
strategi dalam penyelesaian masalah atau
model matematika. Dalam penelitian ini
indikator kemampuan pemecahan masalah
matematis yang akan diukur melalui
kemampuan siswa dalam menyelesaikan
suatu persoalan adalah dengan mengadaptasi
indikator dari berbagai ahli, yaitu memahami
masalah, merencanakan berbagai strategi
yang tepat untuk memecahkan masalah dan
menjawab permasalahan dengan menerapkan
strategi yang didapatkan.
b. Learning Cycle 7E
Learning Cycle 7E merupakan salah satu
model pembelajaran yang mengadaptasi
pendekatan konstruktivisme yang merupakan
penyempurnaan dari model Learning Cycle
5E. Learning Cycle 7E adalah pembelajaran
bersiklus yang terdiri dari tujuh fase, yaitu:
Elicit (mengidentifikasi pengetahuan awal
siswa), Enggage (membangkitkan minat dan
motivasi siswa), Explore (memperoleh
pengetahuan dengan pengalaman langsung
yang berhubungan dengan konsep yang akan
dipelajari), Explain (menjelaskan konsep
yang dipelajari), Elaborate (menerapkan
pengetahuan baru pada permasalahan),
Evaluate (mengevaluasi pengetahuan siswa
yang baru diperoleh), dan
Extend
(menghubungkan
konsep
dengan
permasalahan nyata sehari-hari).
c. Pembelajaran Konvensional
Pembelajaran
konvensional
dalam
penelitian ini adalah pembelajaran yang
berpusat pada guru. Pada pembelajaran
konvensional guru hanya menyampaikan
materi, mencatat hal penting pada papan
tulis,
memberikan
soal-soal
latihan,
pembahasan soal latihan, tanya jawab,
menyimpulkan, dan memberikan pekerjaan
rumah. Biasanya materi yang disampaikan
guru pun berurut mulai dari definisi, rumus,
kemudian contoh soal.
d. Kemampuan Awal Matematis Siswa
Kemampuan awal matematis siswa ialah
kemampuan matematis siswa yang didapat
sebelum pembelajaran dimulai. Supaya
menunjang
pembelajaran
yang
akan
dilakukan kemampuan awal matematis siswa
yang digunakan adalah kemampuan pada
materi prasyarat atau materi yang
berhubungan dengan materi yang akan
diajarkan.
Instrumen yang digunakan dalam
penelitian ini adalah berupa tes dan non tes.
Instrumen tes berupa soal-soal Instrumen tes
berupa soal-soal pilihan ganda pada tes
kemampuan awal matematis (KAM) dan soal
uraian pada tes kemampuan pemecahan
masalah matematis siswa. Sedangkan
instrument non tes berupa lembar penilaian
diri dan lembar observasi yang memuat itemitem aktivitas guru dan siswa dalam
pembelajaran.
Untuk penilaian kemampuan pemecahan
masalah matematis siswa digunakan kriteria
pemberian skor yang diadaptasi dari the
analytic scoring scale for math problem
solving oleh Charles, dkk (1991).
Tabel 1
Rubrik Penskoran
Tes Kemampuan Pemecahan Masalah
Pendidikan Matematika Universitas Muhammadiyah Purworejo,
Ruang Seminar UM Purworejo, 28 Mei 2016
485
Data yang akan dianalisis adalah data
kuantitatif berupa hasil tes kemampuan
pemecahan masalah matematis siswa, dan
data deskriptif berupa lembar observasi.
Untuk pengolahan data secara statistik
dilakukan pada hasil tes kemampuan
pemecahan masalah matematis siswa,
sedangkan lembar observasi tidak dilakukan
pengolahan data secara statistik. Pengolahan
data dilakukan dengan bantuan software
SPSS 20.0 dan Microsoft Office Excel 2007.
Untuk soal tes kemampuan pemecahan
masalah sebelum digunakan dilakukan uji
validitas dan reliabilitas soal. Kemudian
setalah soal valid dan reliabel, soal
digunakan untuk penelitian dan hasil dari
penelitian diolah secara statistik. Sebelum
melakukan uji hipotesis, dilakukan uji asumsi
pada hasil penelitian kedua kelas. Untuk
hipotesis 1 dan 2, uji statistik yang digunakan
adalah t-Test atau Mann-Whitney Test,
sedangkan
untuk
uji
hipotesis
3
menggunakan ANOVA Test atau Krusskal
Walis Test. Berikut disajikan alur tahap
analisis data.
Gambar 1
Tahap Analisis Data
pencapaian kemampuan pemecahan masalah
matematis siswa dengan Learning Cycle 7E
dan pembelajaran konvensional. Selain itu,
penelitian ini juga bertujuan menganalisis
perbedaan
pencapaian
kemampuan
pemecahan masalah siswa berdasarkan
kelompok kemampuan awal matematis
(KAM) siswa.
Data kuantitatif dan kualitatif telah
diperoleh dari instrumen penelitian berupa tes
KAM, tes kemampuan pemecahan masalah
matematis, lembar observasi aktivitas siswa,
dan lembar observasi aktivitas guru selama
pembelajaran.
Untuk mencapai tujuan penelitian yang
telah dikemukakan, dilakukan pengolahan
data menggunakan bantuan program IBM
SPSS Statistics 20 for windows dan Microsoft
office Excel 2007. Adapun analisis terhadap
hasil penelitian, pembahasan serta temuan
penelitian dipaparkan sebagai berikut:
a. Analisis Data Hasil Tes Kemampuan
Awal Matematis (KAM) Siswa
Data kemampuan awal matematis siswa
didapat melalui proses pemberian tes
kemampuan awal matematis tentang materi
bilangan, aljabar, bangun datar dan teorema
Pythagoras kepada sampel yang akan diteliti.
Nilai dari tes kemampuan awal matematis
kemudian dirata-ratakan dengan nilai tes
kompetensi pada materi aljabar, bangun datar
dan teorema Pythagoras yang didapatkan dari
guru mata pelajaran matematika di kelas
sampel.
Tes KAM diberikan kepada 68 siswa yang
terdiri atas 34 siswa kelas kontrol dan 34
siswa eksperimen. Siswa kelas kontrol
selanjutnya akan menggunakan pembelajaran
konvensional dan kelas eksperimen akan
menggunakan Learning Cycle 7E pada
pembelajaran matematika. Data hasil tes
KAM tersebut disajikan dalam tabel berikut:
4. HASIL DAN PEMBAHASAN
Tujuan dari penelitian ini salah satunya
adalah
untuk menganalisis
perbedaan
486
Prosiding Seminar Nasional Matematika dan Pendidikan Matematika, “Internalisasi Nilainilai Berpikir Matematis Dalam Perannya di Era Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA)”
Tabel 2 Data Hasil Tes KAM Siswa
Selanjutnya, siswa pada setiap kelas
dibagi ke dalam tiga kelompok kemampuan
awal matematis, yaitu tinggi, sedang, dan
rendah. Cara membagi kelompoknya dengan
menggunakan rumus
̅
pada
daerah kurva 68% dengan -1 simpangan baku
di kiri dan +1 simpangan baku di kanan
sebuah kurva distribusi normal. Rata-rata dan
simpangan baku yang digunakan dalam
menentukan sebaran kelompok siswa
berdasarkan KAM adalah rata-rata dan
simpangan baku dari semua siswa pada
kedua kelas (Wahyudin, 2012). Adapun
sebaran kelompok siswa berdasarkan KAM
disajikan pada tabel berikut:
Tabel 3
Sebaran Kelompok Siswa
Berdasarkan Nilai KAM
b. Analisis Data Hasil Tes Kemampuan
Pemecahan Masalah Matematis Siswa
1) Analisis Nilai Awal Tes Kemampuan
Pemecahan Masalah Matematis Siswa
Sesuai dengan rancangan penelitian post
test only control group design, maka tes
kemampuan pemecahan masalah matematis
diberikan kepada kedua kelas pada akhir
proses penelitian di kelas. Namun, sebelum
dilakukan penelitian, peneliti melakukan tes
kemampuan pemecahan masalah matematis
awal. Tes awal ini dilakukan untuk
mengetahui
kesamaan
kemampuan
pemecahan masalah matematis awal pada
siswa kedua kelas penelitian. Soal yang
diberikan, merupakan soal kemampuan
pemecahan masalah matematis siswa yang
setara dengan soal tes kemampuan
pemecahan masalah matematis untuk
penelitian. Adapun deskripsi dan analisis
data disajikan pada tabel berikut:
Untuk
melakukan
uji
perbedaan,
sebelumnya dilakukan uji asumsi pada data
tes awal kemampuan pemecahan masalah
matematis siswa. Dari hasil uji asumsi
didapatkan
bahwa
salahsatu
data
berdistribusi tidak normal. Sehingga uji
statistik dilakukan dengan uji non
parametrik. Uji perbedaan yang digunakan
adalah Mann-Whitney Test. Dari uji MannWhitney, didapatkan kesimpulan bahwa tidak
terdapat perbedaan yang signifikan antara
kemampuan pemecahan masalah matematis
siswa kelas eksperimen dengan kemampuan
pemecahan masalah matematis siswa kelas
kontrol. Hal ini menunjukkan bahwa
kemampuan pemecahan masalah matematis
siswa antara kedua kelas tidak berbeda.
2) Analisis Nilai PostTest Kemampuan
Pemecahan Masalah Matematis Siswa
Di akhir penelitian dilakukan posttes
kemampuan pemecahan masalah matematis
siswa. Hasil dari tes kemampuan pemecahan
masalah diperiksa dan diolah sesuai dengan
rubrik penskoran yang telah ditetapkan.
Proses pemeriksaan hasil tes kemampuan
pemecahan masalah dilakukan dengan
memeriksa tiap butir soal pada setiap subjek,
setelah satu soal selesai diperiksa pada semua
Pendidikan Matematika Universitas Muhammadiyah Purworejo,
Ruang Seminar UM Purworejo, 28 Mei 2016
487
subjek, peneliti baru memeriksa butir soal
selanjutnya, demikian seterusnya sampai
semua soal diperiksa. Pemeriksaan dilakukan
sebanyak dua kali. Hal ini dilakukan untuk
mengurangi
subjektivitas
dan
kekurangtelitian peneliti dalam melakukan
pemeriksaan hasil tes. Adapun deskripsi dan
analisis data disajikan pada tabel berikut:
Dari hasil pengolahan data pada tabel di
atas, dari hasil uji asumsi dapat dilihat bahwa
untuk data tes kemampuan pemecahan
masalah matematis siswa pada semua siswa
dan pada kelompok siswa KAM sedang salah
satu datanya berdistribusi tidak normal (data
pada kelas B). Oleh karena itu, tidak perlu
dilakukan tes homogenitas. Untuk pengujian
hipotesis secara statistik langsung dilakukan
uji statistik nonparametrik. Walaupun jumlah
sampel pada kelompok KAM tinggi dan
KAM rendah relatif sedikit, peneliti tidak
langsung melakukan uji statistik non
parametrik pada data-data tersebut. Peneliti
tetap melakukan uji asumsi (normalitas dan
homgenitas) dan jika memenuhi syarat,
peneliti akan melakukan pengolahan data
dengan uji statistik parametrik. Hal ini
dilakukan untuk memperkuat hasil analisis.
Untuk data tes kemampuan pemecahan
masalah matematis siswa pada kelompok
siswa KAM tinggi dan kelompok siswa
KAM rendah semua datanya berdistribusi
normal. Untuk itu, perlu dilakukan uji
homgenitas pada data-data tersebut. Pada
488
siswa kelompok KAM tinggi, data kedua
kelas diketahui memiliki variansi yang
homogen, sedangkan untuk siswa kelompok
KAM rendah data kedua kelasnya diketahui
memiliki variansi yang tidak homogen.
Setelah melakukan uji asumsi, dilakukan
uji hipotesis. Untuk hasil pengolahan data
pada tabel di atas dapat dilihat analisis uji
hipotesis 1, uji hipotesis 2a, uji hipotesis 2b,
dan uji hipotesis 2c. Sesuai dengan uraian di
atas, karena salah satu data berdistribusi tidak
normal, untuk uji hipotesis 1 dan uji hipotesis
2b langsung dilakukan uji statistik non
parametrik. Untuk mengetahui ada tidaknya
perbedaan kemampuan pemecahan masalah
matematis pada kedua kelas, dilakukan
pengujian menggunakan Mann-Whitney Test.
Dari hasil dari Mann-Whitney Test tersebut
dapat dilihat bahwa untuk data kemampuan
pemecahan masalah matematis pada semua
siswa nilai signifikansinya < α = 0,05. Hal ini
berarti terdapat perbedaan kemampuan
pemecahan masalah matematis siswa antara
Kelas A dan Kelas B. Kemudian dihitung
nilai sig. (1-Tailed) = 0,000. Karena sig. (1Tailed) dari Mann-Whitney Test bernilai <
0,05, sehingga dapat ditarik kesimpulan
bahwa pencapaian kemampuan pemecahan
masalah matematis siswa kelas eksperimen
lebih tinggi secara signifikan dibandingkan
dengan pencapaian kemampuan pemecahan
masalah matematis siswa kelas kontrol.
Untuk uji hipotesis 2b, uji perbedaan
dilakukan pada kelompok siswa yang
termasuk ke dalam KAM sedang. Dari hasil
dari Mann-Whitney Test tersebut dapat dilihat
bahwa untuk data kemampuan pemecahan
masalah matematis pada kelompok siswa
dengan KAM sedang nilai signifikansinya <
α = 0,05. Hal ini berarti terdapat perbedaan
kemampuan pemecahan masalah matematis
siswa antara siswa KAM sedang pada Kelas
A dan siswa KAM sedang pada Kelas B.
Kemudian dihitung nilai sig. (1-Tailed) =
0,000. Karena sig. (1-Tailed) dari MannWhitney Test bernilai < 0,05, sehingga dapat
ditarik kesimpulan bahwa pencapaian
kemampuan pemecahan masalah matematis
siswa dengan KAM sedang pada kelas
eksperimen lebih tinggi secara signifikan
dibandingkan
dengan
pencapaian
kemampuan pemecahan masalah matematis
Prosiding Seminar Nasional Matematika dan Pendidikan Matematika, “Internalisasi Nilainilai Berpikir Matematis Dalam Perannya di Era Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA)”
siswa dengan KAM sedang pada kelas
kontrol.
Untuk uji hipotesis 2a, setelah uji asumsi
dilakukan dan diketahui kedua data
berdistribusi
normal
dan
bervariansi
homogen, selanjutnya dilakukan uji statistik
parametrik untuk melakukan uji perbedaan
pada kedua kelas. Uji statistik yang
digunakan adalah t-Test. Dari hasil analisis tTest dapat dilihat bahwa nilai signifikansinya
≥ α. Hal ini berarti tidak terdapat perbedaan
kemampuan pemecahan masalah matematis
siswa antara siswa dengan KAM tinggi pada
Kelas A dan siswa dengan KAM tinggi Kelas
B. Kemudian dihitung nilai sig. (1-Tailed) =
0,056. Karena sig. (1-Tailed) dari t-Test
bernilai ≥ 0,05, sehingga dapat ditarik
kesimpulan bahwa pencapaian kemampuan
pemecahan masalah matematis siswa dengan
KAM tinggi pada kelas eksperimen tidak
lebih tinggi secara signifikan dibandingkan
dengan pencapaian kemampuan pemecahan
masalah matematis siswa dengan KAM
tinggi pada kelas kontrol. Untuk uji hipotesis
2c, setelah uji asumsi dilakukan dan
diketahui kedua data berdistribusi normal dan
bervariansi tidak homogen, selanjutnya
dilakukan uji statistik parametrik untuk
melakukan uji perbedaan pada kedua kelas.
Uji statistik yang digunakan adalah t’-Test.
Dari hasil analisis t’-Test dapat dilihat bahwa
nilai signifikansinya < α. Hal ini berarti
terdapat perbedaan kemampuan pemecahan
masalah matematis siswa antara siswa
dengan KAM rendah pada Kelas A dan siswa
dengan KAM rendah pada Kelas B.
Kemudian dihitung nilai sig. (1-Tailed) =
0,0015. Karena sig. (1-Tailed) dari t-Test
bernilai < 0,05, sehingga dapat ditarik
kesimpulan bahwa pencapaian kemampuan
pemecahan masalah matematis siswa dengan
KAM rendah pada kelas eksperimen lebih
tinggi secara signifikan dibandingkan dengan
pencapaian kemampuan pemecahan masalah
matematis siswa dengan KAM rendah pada
kelas kontrol.
b. Analisis Nilai PostTest Kemampuan
Pemecahan Masalah Matematis Siswa
Kelas Eksperimen
Nilai posttest kemampuan pemecahan
masalah matematis siswa kelas eksperimen
diperlukan untuk mengolah data dalam uji
hipotesis 3. Adapun deskripsi dan analisis
data disajikan pada tabel berikut:
Dari tabel di atas dapat diketahui bahwa
salah satu data, yaitu data kelompok kategori
KAM sedang yang berdistribusi tidak
normal. Karena ada data yang berdistribusi
tidak normal, sehingga uji homogenitas tidak
perlu dilakukan. Untuk melakukan uji
hipotesis 3, dilakukan uji statistik non
parametrik. Uji non parametrik yang
digunakan adalah uji perbandingan KruskallWallis. Dari uji Kruskall-Wallis yang
dilakukan, didapatkan nilai signifikansinya <
α = 0,05. Hal ini berarti terdapat perbedaan
kemampuan pemecahan masalah matematis
siswa antara siswa kategori KAM tinggi,
siswa kategori KAM sedang, dan siswa
kategori
KAM
rendah pada
kelas
eksperimen.
Pencapaian dari kemampuan pemecahan
masalah matematis siswa dapat dilihat dari
hasil analisis data, baik dari uji statistik
maupun analisis deskriptif. Untuk lebih
mudah mengetahui tentang pencapaian
kemampuan pemecahan masalah matematis
siswa, berikut ini merupakan rangkuman
hasil pengujian hipotesis tes kemampuan
pemecahan masalah matematis siswa:
Pendidikan Matematika Universitas Muhammadiyah Purworejo,
Ruang Seminar UM Purworejo, 28 Mei 2016
489
Dari tabel di atas, dapat diketahui bahwa
secara keseluruhan pencapaian kemampuan
pemecahan masalah matematis siswa kelas
eksperimen lebih baik dibandingkan dengan
pencapaian kemampuan pemecahan masalah
matematis siswa kelas kontrol. Kelas
eksperimen menggunakan pembelajaran
matematika dengan Learning Cycle 7E
sedangkan kelas kontrol menggunakan
pembelajaran
matematika
dengan
pembelajaran konvensional.
Berdasarkan analisis data nilai posttest
kemampuan pemecahan masalah matematis
siswa, didapatkan rata-rata nilai kelas
eksperimen 45,49 dengan simpangan baku
14,307. Sedangkan rata-rata nilai kelas
kontrol 28,471 dengan simpangan baku
14,557. Pada kelas eksperimen ada satu
siswa yang memperoleh nilai 100, sedangkan
untuk kelas kontrol skor maksimumnya
hanya 68.
Walaupun hasil yang didapatkan siswa
yang menggunakan Learning Cycle 7E masih
belum bisa dikatakan tinggi, namun jika
dibandingkan dengan kelas kontrol, siswa
490
kelas eksperimen lebih baik dibandingkan
siswa kelas kontrol. Ketika berdiskusi
dengan guru mata pelajaran matematika di
sekolah tempat penelitian, nilai yang dicapai
oleh siswa kelas eksperimen sudah cukup
baik untuk soal pemecahan masalah. Hal ini
dikarenakan soal pemecahan masalah yang
menjadi soal posttest masih sangat baru bagi
siswa di tempat penelitian. Karakteristik
siswa yang tidak terbiasa dengan soal tidak
rutin menjadi alasan nilai yang telah dicapai
siswa. Selain itu, soal untuk tes kompetensi,
ujian tengah semester dan ujian akhir
semester juga tidak semuanya soal
pemecahan masalah, sehingga kemungkinan
siswa untuk lebih mampu mendapatkan nilai
yang lebih tinggi pun akan semakin besar.
Hal ini sesuai dengan Gagne yang
menyatakan bahwa kemampuan pemecahan
masalah merupakan keterampilan yang lebih
tinggi dan lebih lebih kompleks dari tipe
intelektual lainnya.
Learning Cycle 7E dapat dijadikan
alternatif
pembelajaran
dalam
mengembangkan kemampuan pemecahan
masalah matematis siswa. Hal ini dapat
terlihat dari penguasaan tiap aspek dalam
kemampuan pemecahan masalah matematis
siswa. Penguasaan tiap aspek kemampuan
pemecahan masalah dapat dilihat pada
lampiran. Ringkasan data penguasaan tiap
aspek kemampuan pemecahan masalah
adalah sebagai berikut:
Dari tabel di atas dapat terlihat bahwa
siswa yang menggunakan pembelajaran
Prosiding Seminar Nasional Matematika dan Pendidikan Matematika, “Internalisasi Nilainilai Berpikir Matematis Dalam Perannya di Era Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA)”
matematika secara konvensional hanya
mampu 61,32% memahami masalah,
sedangkan siswa yang menggunakan
Learning Cycle 7E mampu 73,97%
memahami masalah. Pada kelas kontrol,
sebagian besar siswa baru mampu memahami
sebagian dari permasalahan, bahkan masih
banyak yang tidak memahami masalah.
Sementara untuk kelas eksperimen, sudah
ada sebagian siswa yang memahami masalah
secara lengkap, hanya sedikit yang tidak
memahami masalah. Hal ini dikarenakan
selama proses pembelajaran, siswa yang
menggunakan Learning Cycle 7E terbiasa
untuk menemukan sendiri hal yang menjadi
permasalahan dalam soal yang diberikan
pada LKS. Sebagian besar siswa mampu
paling tidak setengah bagian dari masalah
pada soal yang diberikan.
Pada aspek merencanakan strategi
pemecahan masalah matematis siswa, tingkat
penguasaan kelas kontrol hanya 24,56%,
sedangkan
tingkat
penguasaan
kelas
eksperimen hampir dua kali lipat dari kelas
kontrol, yaitu sebesar 48,53%. Menurut
Gagne, hal terpenting dalam memecahkan
masalah adalah proses mencari strategi atau
solusi dari masalah. Dengan pembelajaran
Learning Cycle 7E siswa terbiasa untuk
mengkonstruksi pengetahuannya sendiri
dalam mencari solusi yang tepat dalam
menyelesaikan permasalahan. Siswa terbiasa
menemukan sendiri ide untuk menyelesaikan
soal yang diberikan pada LKS. Sementara
pada aspek menggunakan strategi masalah
dalam menghitung dan menyelesaikan
masalah, tingkat penguasaan kelas kontrol
11,93%, sedangkan untuk kelas eksperimen
tingkat penguasaannya hampir 2,5 kali lipat
dari kelas kontrol, yaitu 29,16%. Dalam
aspek menggunakan strategi ini sebagian
besar siswa salah dalam melakukan
komputasi atau salah memasukkan angka,
sehingga angka penguasaannya masih
rendah.
Dari analisis data pencapaian kemampuan
pemecahan masalah matematis siswa
berdasarkan kategori KAM, siswa dengan
KAM tinggi yang menggunakan Learning
Cycle 7E memiliki pencapaian kemampuan
pemecahan masalah yang sama dengan siswa
KAM
tinggi
yang
menggunakan
pembelajaran
matematika
secara
konvensional. Rata-rata nilai kemampuan
pemecahan masalah matematis siswa kelas
eksperimen terlihat lebih besar dibandingkan
dengan dengan rata-rata nilai siswa kelas
kontrol, namun simpangan baku kelas
eksperimen pun lebih besar dibandingkan
kelas kontrol. Sehingga jika hanya melihat
angka, kelas eksperimen jauh lebih baik
dibandingkan kelas kontrol, hanya saja jika
melihat kualitas, simpangan baku yang besar
juga tidak baik yang berarti nilai tidak
merata. Ada siswa yang mendapat nilai jauh
di atas rata-rata namun ada juga siswa yang
mendapat nilai jauh di bawah rata-rata.
Namun, jika memperhatikan angka dari ratarata saja yang biasanya jadi patokan dalam
menentukan ketuntasan belajar, siswa kelas
eksperimen tentu lebih baik dibandingkan
siswa kelas kontrol.
Pencapaian
kemampuan
pemecahan
masalah matematis siswa dengan kategori
KAM sedang dan rendah memiliki
kesimpulan yang sama, yaitu pencapaian
kemampuan siswa yang menggunakan
Learning Cycle 7E lebih tinggi secara
signifikan
dibandingkan
siswa
yang
menggunakan pembelajaran matematika
secara konvensional. Hal ini berarti,
Learning Cycle 7E dapat menjadi alternatif
pembelajaran dalam rangka mengembangkan
kemampuan pemecahan masalah matematis
siswa pada ketiga kategori KAM (tinggi,
sedang, dan rendah).
Dari hasil analisis pencapaian kemampuan
pemecahan masalah matematis siswa yang
menggunakan Learning Cycle 7E dalam
pembelajaran matematika berdasarkan KAM
Pendidikan Matematika Universitas Muhammadiyah Purworejo,
Ruang Seminar UM Purworejo, 28 Mei 2016
491
siswa, didapatkan kesimpulan bahwa terdapat
perbedaan yang signifikan pada kemampuan
pemecahan masalah matematis siswa yang
memiliki KAM tinggi, sedang, dan rendah.
Perbedaan ini diuji lebih lanjut secara
statistik. Dalam uji statistik lanjutan tersebut,
diketahui bahwa pencapaian kemampuan
pemecahan masalah matematis siswa dengan
KAM tinggi yang menggunakan Learning
Cycle 7E dalam pembelajaran matematika
lebih tinggi dibandingkan dengan siswa
dengan KAM sedang dan rendah. Untuk
siswa dengan KAM sedang perbedaan yang
tampak tidak begitu signifikan. Hal ini terjadi
karena, pada saat diskusi kelompok, siswa
yang termasuk KAM tinggi terbiasa menjadi
tutor sebaya bagi siswa dengan KAM rendah.
Sehingga siswa dengan KAM rendah dapat
bersaing dengan siswa pada KAM sedang.
Hal ini tampak pada saat peneliti melakukan
evaluasi pada lembar penilaian diri siswa,
siswa dengan KAM rendah mengatakan
senang dalam pembelajaran karena bisa
bertanya pada siswa yang pintar saat ada
materi yang sulit.
Secara
keseluruhan
pencapaian
kemampuan pemecahan masalah matematis
siswa yang menggunakan Learning Cycle 7E
lebih tinggi secara signifikan dibandingkan
dengan
siswa
yang
pembelajaran
matematikanya menggunakan pembelajaran
konvensional. Pencapaian serupa terjadi pada
setiap kategori KAM. Walaupun pada siswa
dengan
KAM
tinggi
perbedaan
pencapaiannya tidak signifikan, tetapi jika
dilihat dari angka tetap lebih tinggi siswa
yang menggunakan Learning Cycle 7E.
Sehingga, Learning Cycle 7E dapat menjadi
solusi alternatif pembelajaran dalam rangka
mengembangkan kemampuan pemecahan
masalah matematis siswa.
492
5. KESIMPULAN
Berdasarkan analisis dan pembahasan hasil
penelitian pada bab sebelumnya, diperoleh
beberapa kesimpulan, diantaranya:
a. Pencapaian kemampuan pemecahan
masalah
matematis
siswa
yang
menggunakan Learning Cycle 7E secara
signifikan lebih tinggi dibandingkan
siswa yang menggunakan pembelajaran
matematika secara konvensional.
b. Berdasarkan KAM:
1) Pencapaian kemampuan pemecahan
masalah matematis siswa dengan
kategori
KAM
tinggi
yang
menggunakan Learning Cycle 7E
secara signifikan tidak lebih tinggi
dibandingkan siswa dengan KAM
tinggi
yang
menggunakan
pembelajaran matematika secara
konvensional.
2) Pencapaian kemampuan pemecahan
masalah matematis siswa dengan
kategori
KAM
sedang
yang
menggunakan Learning Cycle 7E
secara signifikan lebih tinggi
dibandingkan siswa dengan KAM
sedang
yang
menggunakan
pembelajaran matematika secara
konvensional.
3) Pencapaian kemampuan pemecahan
masalah matematis siswa dengan
kategori
KAM
rendah
yang
menggunakan Learning Cycle 7E
secara signifikan lebih tinggi
dibandingkan siswa dengan KAM
rendah
yang
menggunakan
pembelajaran matematika secara
konvensional.
c. Terdapat perbedaan yang signifikan
terhadap
pencapaian
kemampuan
pemecahan masalah matematis siswa
yang menggunakan Learning Cycle 7E
antara kelompok KAM kategori tinggi,
sedang, dan rendah. Kelompok siswa
dengan KAM tinggi memiliki pencapaian
yang
lebih
tinggi
dibandingkan
kelompok siswa dengan KAM sedang
dan rendah. Kelompok siswa dengan
KAM sedang memiliki pencapaian yang
setara kelompok siswa dengan KAM
rendah.
Prosiding Seminar Nasional Matematika dan Pendidikan Matematika, “Internalisasi Nilainilai Berpikir Matematis Dalam Perannya di Era Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA)”
6. REFERENSI
Akinmola, E. A. (2014). Developing
mathematical
problem
solving
ability: a panacea for a sustainable
development in the 21st century.
International Journal of Education
and Research, 2 (2).
Apriyani, S.A., dkk. (2014). Penerapan
Model 7E Learning Cycle pada
Pelajaran
Fisika
dalam
Implementasi
Kurikulum
2013.
Prosiding Fisika 2014 Universitas
Negeri Jakarta. Diakses Dari:
http://snfunj.ac.id/files/8714/2345/2850/prosi
ding_fisika_2014_fix12.pdf
Arifin, Z. (2009). Evaluasi Pembelajaran.
Bandung: PT Remaja Rosdakarya.
Ayodele, O. J. (2011). Self-concept and
performance of secondary school
student in mathematics. Journal of
Education
and
Developmental
Psychology, 1 (1). hlm. 176-183.
Reston, VA : National Council of
Teachers Mathematics.
Creswell, J.W. (2010). Research Design
Pendekatan Kualitatif, Kuantitatif,
dan Mixed. Yogyakarta: Pustaka
Pelajar.
Dahlan, J.A. (2011). Materi Pokok Analisis
Kurikulum Matematika. Jakarta:
Universitas Terbuka.
Das, R dan Das, G. C. (2013). Math anxiety:
the poor problem solving factor in
school mathematics. International
Journal of Scientific and Research
Publications, 3 (4).
Demirdag,
dkk.
(2011).
Developing
instructional activities based on
constructivist 7e model: chemistry
teachers‟ perspective. Journal of
Turkish Science Education, 8 (4).
hlm. 18-28
Badger, M. S., dkk. Teaching ProblemSolving
in
Undergraduate
Mathematics. London: Conventry
University.
Einsenkraft, A. (2003). Expanding the 5E
Model. Dalam Journal for High
School Science Educators.[Online],
Vol 70, (6), 56-59. Tersedia:
http://www.its-abouttime.com/htmls/ap/eisenkrafttst.pdf
Baykul, Y dan Yazici, E. (2011). Problem
solving in elementary mathematics
curriculum. International Journal on
New Trends in Education and Their
Implication, 2 (4). hlm. 29-37.
Ersoy, E dan Guner, P. (2015). The place of
problem solving and mathematical
thinking in the mathematical
teaching. The Online Journal of New
Horizons in Education, 5 (1).
Branca, N.A. (1980). Problem Solving as a
Goal, Process, and Basic Skill.
Problem
Solving
School
Mathematics. Editor : Krulik, S. and
Reys, R.E. Reston : National Council
of Teacher Mathematics.
Florida Departmen of Education. (2010).
Classroom Cognitive and MetaCognitive Strategies for Teacher.
Florida: Beraue of Exceptional
Education and Student Service
Charles, dkk. (1987). How to Evaluate
Progress in Problem Solving.
Fung, M.G. dan Roland L. (2004). Writing,
Reading, and Assessing in an
Elementary Problem Solving Class.
In Problems, Resources, and Issues
Pendidikan Matematika Universitas Muhammadiyah Purworejo,
Ruang Seminar UM Purworejo, 28 Mei 2016
493
in
Mathematics
Undergraduate
Studies:
ProQuest
Educatio
Journals.
Universitas Ahmad Dahlan: Tidak
Diterbitkan.
Kartika,
Hanifah. (2015). Penerapan Pembelajaran
Model Eliciting Activities (MEA)
dengan Pendekatan Saintifik untuk
Meningkatkan
Kemampuan
Representasi
dan
Pemecahan
masalah Matematis Siswa. Tesis
pada SPs UPI Bandung: Tidak
Diterbitkan
Hartono. (2013). Learning cycle-7e model to
increase student‟s critical thinking on
science. Jurnal Pendidikan Fisika
Indonesia (9). hlm 58-66.
Herman, T. (2000). Strategi Pemecahan
Masalah (Problem-Solving) dalam
Pembelajaran Matematika. Makalah
Disajikan dalam Asistensi Guru
Madrasah Ibtidaiyah dan Tsanawiyah
Jawa Barat Tanggal 28 September
s.d. 3 Oktober 2000.
Husna,
dkk.
(2013).
Peningkatan
Kemampuan Pemecahan Masalah
dan Komunikasi Matematis Siswa
Sekolah Menengah Pertama Melalui
Model Pembelajaran Kooperatif Tipe
Think-Pair-Share (TPS). Jurnal
Peluang, 1 (2), hlm. 81-92
In Stenmark, Jean. (1991). Mathematics
Assessment: Myths, Models, Good
Questions and Practical Suggestion.
Reston, VA: National Council of
Teachers of Mathematics.
Indriyani, I.R. (2014). Pengembangan LKS
Fisika Berbasis Learning Cycle 7E
untuk Meningkatkan Hasil Belajar
dan Mengembangan Kemampuan
Berpikir Kritis pada Siswa SMA
Kelas
X
Pokok
Bahasan
Elektromagnetik. Tesis pada SPs
494
I. dkk. (2011). Teori-Teori
Pendidikan. Makalah Fakultas Ilmu
Pendidikan
Universitas
Negeri
Malang. Malang.
Laelasari, dkk. (2014). Penerapan model
pembelajaran learning cycle dalam
kemampuan representasi matematis
mahasiswa. Jurnal Euclid, 1 (2).
hlm. 82-92.
Lestari,
W. D. (2014). Peningkatan
Kemampuan Pemecahan Masalah
Matematis dan Habits of Managing
Impulsivity Siswa SMP Melalui
Pembelajaran
Kooperatif
Tipe
Group Investigation Berbartuan
Proyek. Tesis pada SPs Universitas
Pendidikan
Indonesia:
Tidak
Diterbitkan.
Lui, A. (2012). White Paper Teaching in
Zone. [Online]. Diakses dari:
www.childrensprogress.com
Masrukan.
(2014).
Asesmen
Otentik
Pembelajaran
Matematika.
Semarang: CV Swadaya Manunggal.
Mataka, L. M. dkk. (2014). The effect of
using an explicit general problem
solving teaching approach on
elementary pre-service teachers‟
ability to solve heat transfer
problems. International Journal of
Education in Mathematics, Science
and Technology, 2 (3). hlm. 164-174.
Minstry of Education. A Guide to Effective
Instruction in Mathematics, Volume
Two. Ontario: Departmen of
Education.
Mullis, I.V.S. dkk. (2012). TIMSS 2011
International
Results
in
Prosiding Seminar Nasional Matematika dan Pendidikan Matematika, “Internalisasi Nilainilai Berpikir Matematis Dalam Perannya di Era Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA)”
Mathematics.
College
Boston:
Boston
Musriandi, R. (2013). Model Pembelajaran
Matematika
Tipe
Group
Investigation untuk Meningkatkan
Kemampuan Pemecahan Masalah
Matematis dan Self-Concept Siswa
MTs. Tesis pada SPs Universitas
Pendidikan
Indonesia:
Tidak
Diterbitkan
Nurhayati, A. (2015). Meningkatkan
Kemampuan Koneksi Matematis,
Self-Confidence
Siswa
Melalui
Penerapan
Pendekatan
Pembelajaran Saintifik Berbantuan
Persoalan Open-Ended. Tesis pada
SPs
Universitas
Pendidikan
Indonesia: Tidak Diterbitkan.
Peraturan Menteri Pendidikan Nasional
Republik Indonesia Nomor 22 Tahun
2006 Tentang Standar Isi untuk
Satuan Pendidikan Dasar dan
Menengah.
Peraturan Rektor Universitas Pendidikan
Indonesia Nomor 4518/ UN40/ HK/
2014 Tentang Pedoman Penulisan
Karya Ilmiah UPI Tahun Akademik
2014/ 2015
Phil, M. (2014). A study on achievement
motivation and problem solving
ability in mathematics of ix standard
student in relation to their sex and
type of school. Indian Jornal of
Apllied Research, 4 (12). hlm. 186188.
Pimta, S. dkk. (2009). Factors influencing
mathematics problem-solving ability
of sixth grade students. Journal of
Social Sciences, 5 (4), hlm. 381-385.
Piraksa, C, dkk. (2009). Grade 10 students‟
physics problem solving ability of
force and law of motion using 7e
learning cycle and polya‟s problem
solving
technique.
Third
International Conference on Science
and Mathematics Education.
Pitriati. (2014). Pengaruh Penerapan Model
Learning Cycle 7E terhadap
Peningkatan Kemampuan Penalaran
dan
Kemampuan
Komunikasi
Matematis Siswa SMP. Tesis pada
SPs
UPI
Bandung:
Tidak
Diterbitkan.
Polyiem, T. dkk. (2011). Learning
achievement, science process skill,
and moral reasoning of ninth grade
students learned by 7e learning cycle
and
socioscientific
issue-based
learning. Australian Journal of Basic
and Apllied Sciences, 5 (10), hlm.
257-263.
Priyatno, D. (2012). Cara Kilat Belajar
Analisis
Data
dengn
SPSS
20.Yogyakarta: PT Andi
Pujiastuti, H. dkk. (2014). Inquiry cooperation model for enhancing junior
high school students‟ mathematical
problem
solving
ability.
International
Journal
of
Contemporary
Educational
Research, 1 (1). hlm. 51-60.
Puspendik BSNP . (2014). Laporan Hasil
Ujian Nasional SMP/ MTs Tahun
Pelajaran
2013-2014. Jakarta:
Kemdiknas
Qarerah, A.O. (2012). The effect of using the
learning cycle method in teaching
science
on
the
educational
achievement of the sixth graders.
Pendidikan Matematika Universitas Muhammadiyah Purworejo,
Ruang Seminar UM Purworejo, 28 Mei 2016
495
International Journal Education
Science, 4 (2). hlm. 123-132.
Reksoatmodjo, T.N. (2009). Statistika untuk
Psikologi dan Pendidikan. Bandung:
PT. Refika Aditama.
Riduwan. (2014). Dasar-Dasar Statistika.
Bandung: Alfabeta.
Ruseffendi, HET. (2006). Pengantar Kepada
Membantu Guru Mengembangkan
Kompetensinya dalam Pengajaran
Matematika untuk Meningkatkan
CBSA. Bandung: Tarsito
Russeffendi, HET. (1998). Statistika Dasar
untuk
Penelitian
Pendidikan.
Bandung: IKIP Bandung Press
Sani, R.A. (2013). Inovasi Pembelajaran.
Jakarta: PT Bumi Aksara.
Sari, N.M. (2013). Kemampuan Metagonisi
dan Pemecahan Masalah Matematis
Siswa SMP dalam Pembelajaran
Metode Eksplorasi. Tesis SPs
Universitas Pendidikan Indonesia:
Tidak Diterbitkan.
Santyasa, I.W. (2007). Model-Model
Pembelajaran Inovatif. Makalah
FPMIPA Universitas Pendidikan
Ganesha. Bali
Shadiq,
F. Empat Objek Langsung
Matematika
Menurut
Gagne.
Diakses
dari:
www.fadjarp3g.wordpress.com
Shadiq, F. (2004). Pemecahan Masalah,
Penalaran, dan Komunikasi dalam
Pembelajaran
Matematika.
Yogyakarta:
Depdiknas
Dirjen
Dikdasmen PPPG Matematika.
Sholihah, I. R. (2012). Pengaruh Model
Pembelajaran Learning Cycle 7E
496
terhadap
Kemampuan
Koneksi
Matematis Siswa SMP. Diakses dari:
http://digilib.unpas.ac.id/gdl.php?mo
d
Siribunnam, R dan Tayraukham, S (2009).
Effects of 7-e, kwl, and conventional
instruction on analytical thinking,
learning achievement an attitudes
toward chemistry learning. Journal
of Social Sciences, 5 (4). hlm. 279282.
Sornsakda, S. dkk. (2009). Effects of
learning environmental education
using the 7e-learning cycle with
metacognitive techniques and the
teacher‟s handbook approaches on
learning achievement, integrated
sciences process skill and critical
thinking of Mathayomsuksa 5
students with different learning
achievement. Pakistan Journal of
Social Sciences, 6 (5), hlm. 297-303
Sudjana. (2002). Metoda Statistika. Bandung:
Tarsito
Suherman, E. dkk. (2003). Strategi
Pembelajaran
Matematika
Kontemporer. Bandung: FPMIPA
UPI
Sumarmo, U. (2012). Pendidikan Karakter
serta Pengembangan Berpikir dan
Disposisi
Matematika
dalam
Pembelajaran Matematika. Makalah
Disajikan pada Seminar Pendidikan
Matematika di NTT tanggal 25
Februari 2012
Suprijono, A, (2009). Cooperative Learning
Teori
&
Aplikasi
PAIKEM.
Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Syaiful. (2013). The teaching model to
enhance
mathematical
problem
Prosiding Seminar Nasional Matematika dan Pendidikan Matematika, “Internalisasi Nilainilai Berpikir Matematis Dalam Perannya di Era Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA)”
solving ability in junior high school
teacher. International Journal of
Education and Research, 1 (9).
Szetela & Nicol. (1992). Evaluating problem
solving in mathematics. Educational
Leadership. hlm 42-45
Tambychik, T dan Meerah, T. S. M. (2010).
Students‟ difficulties in mathematics
problem-solving: what do they say?.
Procedia Social and Behavioral
Sciences, 8. hlm. 142-151.
Tuna & Kacar. (2013). The effect of 5e
learning cycle model in teaching
trigonometry on students‟ academic
achievement and the permanence of
their
knowledge.
International
Journal on New Trends in Education
and Their Implications, 4 (1). hlm.
73-87
Turmudi. (2008). Pemecahan Masalah
Matematika pdf. Diakses dari:
http://file.upi.edu/browse.php?dir=Di
rektori/FPMIPA/JUR
PEND
MATEMATIKA/196101121987031TURMUDI/
Wahyudin. (2012). Modul Statistik Terapan.
Bandung: Mandiri
Pendidikan Matematika Universitas Muhammadiyah Purworejo,
Ruang Seminar UM Purworejo, 28 Mei 2016
497
PROFIL PEMAHAMAN SISWA SMA LEVEL IQ NORMAL TENTANG
KONSEP JARAK PADA GEOMETRI RUANG DITINJAU DARI PERBEDAAN
GENDER
1)
Suprianto 1)
Fakultas Teknik, Universitas Muhammadiyah Sidoarjo
Email : [email protected]
Abstrak
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui profil pemahaman konsep jarak pada geometri ruang
siswa SLTA dengan level IQ normal ditinjau dari perbedaan Gender. Jumlah subyek dalam
penelitian sebanyak satu (1) laki-laki, dan satu (1) wanita. Jenis Penelitian ini adalah penelitian
kualitatif eksploratif, dimana peneliti sebagai instrumen utama yang kedudukannya tidak bisa
diwakili dalam proses penelitian. Materi konsep jarak yang diteliti adalah konsep jarak dari titik
ke titik, konsep jarak dari titik ke garis, titik ke bidang, garis ke garis, garis ke bidang, dan bidang
ke bidang, dan studi kasus perhitungan jarak .Hasil temuan penelitian tentang profil subyek
dalam memahami konsep jarak pada geometri ruang ditinjau dari empat (4) aspek, yaitu aspek
definisi, aspek pemahaman konsep,aspek visualisasi jarak, dan aspek implementasi menghitung
jarak. Hasil penelitian disimpulkan bahwa untuk level IQ normal secara umum kualitas
pemahamaan konsep jarak subyek wanita lebih baik daripada subyek laki-laki.
Kata Kunci : Profil, konsep, jarak, IQ, Gender..
1. PENDAHULUAN
Berkaitan dengan prestasi belajar,
beberapa studi menunjukkan bahwa dalam
pencapaian prestasi belajar siswa, ternyata
terjadi perbedaan ditinjau dari gender siswa.
Perempuan
hampir selalu mempunyai
prestasi belajar yang lebih rendah daripada
laki-laki. Salah satu studi dilakukan oleh
Meighan (1981) pada hasil General
Certificate of Education (GCE) di Amerika,
ternyata menghasilkan data. Pertama, sampai
usia 11 tahun. Laki-laki dan perempuan pada
umumnya mempunyai tingkat prestasi yang
sama. Kedua, perbandingan jumlah siswa
laki-laki dan perempuan yang memperoleh
nilai "A", pada beberapa mata pelajaran,
menunjukkan hasil: Fisika:
6:1;
Matematika: 4:1; Kimia: 3:1; Biologi: 9:8;
Menggambar: 200:1; Bahasa: 1:2.
Dari pendapat dan hasil penelitian
sebelumnya menunjukkan adanya perbedaan
prestasi siswa ditinjau dari perbedaan gender
siswa.
Perbedaan prestasi tersebut dapat
dimaknai bahwa ada perbedaan proses
498
pemahaman terhadap materi pembelajaran
antara siswa laki-laki dan perempuan. Dari
kondisi tersebut di atas muncul suatu
pertanyaan, apakah perbedaan gender
tersebut juga terjadi pada pemahaman
konsep-konsep geometri ?
Faktor dari dalam diri siswa selain
gender adalah
kecerdasan intelektual.
Kecerdasan intelektual (IQ)
merupakan
faktor yang memiliki peran besar dalam
menentukan hasil belajar siswa.
Pada
umumnya seseorang yang mempunyai taraf
kecerdasan tinggi akan lebih baik prestasinya
dibandingkan dengan seseorang yang
mempunyai taraf kecerdasan sedang atau
rendah.
Berdasarkan
latar belakang, maka
pertanyaan penelitian secara umum adalah :
“Bagaimanakah profile pemahaman siswa
SMA level IQ Normal Tentang konsep jarak
pada geometri ruang ditinjau dari perbedaan
Gender ?”
Prosiding Seminar Nasional Matematika dan Pendidikan Matematika, “Internalisasi Nilainilai Berpikir Matematis Dalam Perannya di Era Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA)”
.
2. KAJIAN
LITERATUR
DAN
PEGEMBANGAN HIPOTESIS (JIKA
ADA)
Menurut NCTM (1989) Pengetahuan
dan pemahaman siswa terhadap konsep
matematika dapat dilihat dari kemampuan
siswa dalam: (1) Mendefinisikan konsep
secara
verbal
dan
tertulis;
(2)
Mengidentifikasi,
membuat contoh dan
bukan contoh; (3) Menggunakan model,
diagram,
dan
simbol-simbol
untuk
mempresentasikan suatu konsep; (4)
Mengubah suatu bentuk presentasi ke dalam
bentuk lain; (5) Mengenal berbagai makna
dan interpretasi konsep; (6) Mengidentifikasi
sifat-sifat suatu konsep dan mengenal syarat
yang
menentukan
suatu
konsep;(7)
Membandingkan dan membedakan konsepkonsep.
Menurut Pieri (1992), pemahaman
adalah kemampuan menjelaskan suatu situasi
atau suatu tindakan. Dari pengertian ini,
pemahaman mengandung tiga aspek, yaitu:
(1) kemampuan mengenal, (2) kemampuan
menjelaskan,
dan
(3)
kemampuan
mengiterpretasi.
Pemahaman juga dipandang sebagai
suatu pengalaman mental yang diperoleh dari
aktivitas memahami sesuatu konsep. Menurut
Sierpinska (1998), pemahaman merupakan
pengalaman mental yang menghubungkan
antar obyek yang satu dengan obyek yang
lainnya.
Terdapat dua aliran dalam psikologi
pendidikan
menyangkut
perkembangan
pemikiran geometri. Yang pertama adalah
aliran Piere van Hiele dan Dina van Hiele
yang memberikan urutan pemikiran geometri
menurut
tingkatannya
yaitu:
visual,
descriptive/analytic,
abstract/relational,
formal
deduction
dan
rigor
/
metamathematical.
Menurut teori Piere van Hiele dan Dina
van Hiele, siswa-siswa maju melalui tingkattingkat pemikiran dalam geometri dan tingkat
visual seperti di atas.
Teori van Hiele
mempunyai karakteristik : belajar merupakan
suatu proses yang diskontinu; tahap-tahap
berpikir bersifat terurut dan hirarkis;
pemahaman konsep yang implisit pada suatu
tingkatan menjadi eksplisit pada pemahaman
tingkatan berikutnya; dan tiap-tiap tingkatan
mempunyai bahasa dan simbol tersendiri.
Tiga unsur pangkal dalam geometri, yaitu
titik, garis, dan bidang.
Ketiga unsur
tersebut, dapat juga disebut sebagai tiga
unsur yang tak didefinisikan. Sebuah titik
dipikirkan sebagai
suatu tempat/posisi
dalam ruang. Titik tidak memiliki panjang
maupun ketebalan. Bekas tusukan jarum,
atau bekas ujung pensil di atas kertas, dapat
dipikirkan sebagai model fisik dari sebuah
titik. Sebuah titik direpresentasikan dengan
sebuah noktah dan diberi nama dengan suatu
huruf kapital. Sebuah garis dipikirkan
sebagai suatu himpunan titik berderet yang
panjang tak terbatas, tetapi tidak memiliki
lebar. Seutas benang yang diregangkan,
goresan pensil mengikuti tepi sebuah
penggaris dapat dipikirkan sebagai model
sebuah garis. Sebuah garis direpresentasikan
dengan sebuah gambar sinar dengan anak
panah
di
kedua
ujungnya yang
menunjukkan bahwa garis tersebut tak
berakhir.
Definisi Jarak antara dua buah bangun
adalah panjang ruas garis penghubung
terpendek yang menghubungkan dua titik
pada bangun-bangun tersebut .
Tilik
ruang
adalah
kemampuan
pemahaman tingkat tinggi anak terhadap
bangun-bangun ruang, apa yang mereka lihat
dari bangun-bangun tersebut, dan apa
pemberian namanya. Berdasarkan standar
kurikulum K-4 (Walle, 1998: 388) untuk
geometri dan tilik ruang, tertera bahwa
Pendidikan Matematika Universitas Muhammadiyah Purworejo,
Ruang Seminar UM Purworejo, 28 Mei 2016
499
kurikulum bertujuan untuk meningkatkan
kemampuan tilik ruang yang merupakan
bagian dari geometri berdasarkan teori Van
Hiele.
Pengertian Intelegensi berasal dari
bahasa Inggris “Intelligence” , yang juga
berasal dari bahasa Latin yaitu “Intellectus
dan Intelligentia”. Teori tentang intelegensi
pertama kali dikemukakan oleh Spearman
dan Wynn Jones Pol pada tahun 1951 yang
mengemukakan adanya konsep lama
mengenai suatu kekuatan (power) yang dapat
melengkapi akal pikiran manusia tunggal
pengetahuan sejati.
John W. Santrock (1996: 365) Gender
adalah jenis kelamin yang mengacu pada
dimensi sosial budaya seseorang pada
dimensi sosial budaya seseorang sebagai
laki-laki dan perempuan. Konsep gender
adalah sifat yang melekat pada kaum lakilaki dan perempuan yang dibentuk oleh
faktor-faktor sosial dan budaya.
Pembedaan antara kata gender dan kata
seks (jenis kelamin), merupakan langkah
awal untuk memahami konsep gender dan
persoalan yang dialami kaum perempuan
yang disebabkan oleh perbedaan gender
(gender differences) dan ketidakadilan
gender (gender inequalities), karena secara
mendasar gender berbeda dengan jenis
kelamin biologis. Seks (jenis kelamin)
merupakan pemberian atau ketentuan Tuhan
(kodrat). Alat-alat tersebut secara biologis
melekat pada manusia jenis laki-laki dan
perempuan, artinya alat-alat tersebut tidak
bisa dipertukarkan dan secara permanen tidak
berubah. Sedangkan konsep gender adalah
suatu sifat yang melekat pada kaum laki-laki
maupun perempuan yang dikonstruksi secara
sosial maupun kultural..
500
3. METODE PENELITIAN
a. Jenis Penelitian
Jenis Penelitian ini
termasuk
penelitian eksploratif dengan pendekatan
kualitatif. Disebut Penelitian eksploratif
karena peneliti melakukan eksplorasi Profil
pemahaman siswa, dengan data utama berupa
kata-kata yang disusun menjadi suatu
kalimat. Sedangkan pendekatan kualitatif
berusaha untuk menghasilkan data deskriptif
berupa kata-kata tertulis atau lisan dari setiap
subyek dan perilaku yang diteliti.
Pemilihan pendekatan kualitatif ini
didasari beberapa alasan, yaitu (1) bersifat
natural, maksudnya adalah penelitian
dilakukan sesuai keadaan sebenarnya dan
peneliti sebagai instrumen utama, (2) data
bersifat deskriptif, (3) lebih menekankan
proses daripada hasil, (4) pengolahan data
cenderung dilakukan secara induktif, (5)
perhatian utama pada setiap aktivitas yang
dilakukan individu.
Subyek penelitian adalah siswa SLTA
yang telah memperoleh materi jarak pada
geometri ruang.
Subyek akan dipilih
sebanyak dua (2) siswa dengan prosedur
sebagai berikut :
1. Periksa data
IQ siswa yang telah
tersedia di sekolah dengan kriteria
IQ terpilih adalah level IQ 110-119 (di
atas normal ). Dasar pertimbangan
rasional pemilihan tiga level IQ tersebut
adalah (1) semua siswa yang masuk
sekolah berstandar nasional telah
melakukan tes IQ (data terdokumentasi)
(2) SMAN 4 sidoarjo sebagai tempat
penelitian bersedia untuk membantu dan
menyediakan data yang diperlukan,
(3) level IQ dibawah normal tidak
dilibatkan karena tempat penelitian
bukan sekolah inklusi.
2. Setelah data IQ yang dimaksud telah
terpenuhi, kemudian ditentukan 1 siswa
laki-laki dan 1 siswa perempuan
berdasarkan kriteria nilai IPK dengan
rata-rata ≥ 7. Dasar pertimbangan IPK
rata-rata ≥ 7 adalah untuk mendukung
ketersediaan data yang diperlukan dalam
Prosiding Seminar Nasional Matematika dan Pendidikan Matematika, “Internalisasi Nilainilai Berpikir Matematis Dalam Perannya di Era Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA)”
penelitian, dan rata-rata yang dimaksud
tidak sulit untuk ditemukan.
3. Jika Kriteria level IQ, gender, dan
IPK terpenuhi, maka pilih sebagai
subyek penelitian.
Instrumen penelitian digunakan
untuk memperoleh data penelitian. Dalam
penelitian ini digunakan dua macam
instrumen, yaitu instrument utama dan
instrument pendukung. Berikut ini dijelaskan
instrument-instrumen yang dimaksud:
1. Instrumen Utama
Instrumen utama pada penelitian ini
adalah peneliti sendiri.
Peran
peneliti sebagai instrumen utama
tidak dapat diganti, sehingga semua
proses pengumpulan data dilakukan
sendiri. Sebagai instrumen utama,
peran peneliti sebagai pewawancara,
proses wawancara dilakukan secara
mendalam sebagai upaya untuk
memperoleh data yang lengkap dan
akurat dalam rangka menjawab
pertanyaan
penelitian
yang
dimaksud.
2. Instrumen Pendukung
Untuk memperoleh data
penelitian yang lengkap dan akurat,
diperlukan instumen pendukung,
instrumen tersebut yaitu:
a. Soal-soal berkaitan dengan konsep
jarak pada geometri ruang
Setiap subyek penelitian akan
diberi materi soal, yaitu : (1)
konsep jarak dari titik ke titik, (2)
konsep jarak dari titik ke garis, (3)
konsep jarak dari titik ke bidang,
(4) konsep jarak dari garis ke garis,
(5) konsep jarak dari garis ke
bidang, (6) konsep jarak dari
bidang ke bidang
Prosedur pengumpulan data dijelaskan
dengan tahapan sebagai berikut :
1. Subyek yang telah dipilih yaitu :
SLIN : siswa laki-laki dengan level
IQ normal
SWIN: siswa wanita dengan level
IQ normal
2. Dilakukan proses wawancara terhadap
semua subyek, yang berkaitan dengan
materi Ikj-tt, Ikj-tg, Ikj-tb, Ikj-gg, Ikjgb, dan Ikj-bb.
3. Proses wawancara dilakukan beberapa
kali sebagai bentuk triangulasi waktu
dengan memberikan soal dengan bentuk
yang berbeda sampai diperoleh jawaban
yang konsisten. Selanjutnya data yang
konsisten dalam penelitian ini disebut
Data Valid.
b.
Prosedur Pengolahan Data
Prosedur
pengolahan
data
penelitian ini mengacu pada pendapat Miles
dan Huberman (1992) yang menyatakan
bahwa aktivitas analisis kualitatif dilakukan
secara interaktif sampai tuntas dan
berlangsung secara kontinyu pada setiap
tahapan penelitian sampai pada kondisi
jenuh.
Tahap-tahap pengolahan data pada
penelitian ini adalah :
1.
2.
3.
4.
5.
Membuat transkrip data
Menelaah data pada transkrip data
Reduksi data
Penafsiran Data
Identifikasi temuan data yang
menarik
6. Menarik kesimpulan dan membuat
rekomendasi
b. Pedoman wawancara berbasis tugas
c. Alat perekam audio visual
d. Prosedur Pengumpulan Data
Untuk memperoleh data yang
valid, perlu ditetapkan prosedur yang
konstruktif. Data yang dipilih telah melalui
proses dengan prosedur yang ditetapkan.
c. Prosedur Penelitian
1. Tahap Persiapan
Pada tahap persiapan penelitian
mencakup kegiatan-kegiatan sebagai
berikut:
penyusunan
proposal
penelitian, penyusunan draft dan
validasi
instrumen
pendukung
Pendidikan Matematika Universitas Muhammadiyah Purworejo,
Ruang Seminar UM Purworejo, 28 Mei 2016
501
pengumpulan data penelitian, dan
proses penentuan calon subyek
penelitian.
2. Pengumpulan dan Pengolahan Data
Tahap pengumpulan dan pengolahan
data meliputi: penentuan subyek
penelitian, pelaksanaan wawancara
(interview)
terhadap
subyek
penelitian, penyusunan transkrip
hasil wawancara, penelaahan dan
reduksi data penelitian, dan analisis
data hasil wawancara.
3. Pembahasan dan Penulisan Laporan
Hasil Penelitian
Kegiatan yang dilakukan pada tahap
ini meliputi: interpretasi hasil dari
pengolahan data penelitian, dan penyusunan
laporan penelitian.
4. HASIL DAN PEMBAHASAN
a. Profile Umum Subyek Laki-laki
level IQ Normal (SLIN)
Dari hasil analisis terhadap enam
materi pokok konsep jarak dan studi kasus
perhitungan jarak, secara skematik dapat
disajikan pada table berikut :
garis
Garis
Lemah
ke
bidang
Bidang Lemah
ke
bidang
Lemah
Linier
Lemah
Linier
Berdasarkan
hasil
komparasi
kemampuan pemahaman konseptual dan
implementasi menghitung jarak, ditinjau dari
enam materi jarak, maka disimpulkan
kemampuan subyek SLIN linier antara
konsep dan implementasi menghitung jarak.
b. Profile Umum Subyek Wanita level
IQ Normal (SWIN)
Dari hasil analisis terhadap enam
materi pokok konsep jarak dan studi kasus
perhitungan jarak, secara skematik dapat
disajikan pada table berikut :
Tabel 2
Hubungan Kemampuan Konseptual
dan Implementasi Menghitung Jarak
Subyek SWIN
Tabel 1
Hubungan Kemampuan Konseptual
dan Implementasi Menghitung Jarak
Materi
Pemahaman
konsep
Implementasi
menghitung
jarak
Ket
Titik
ke
titik
Kuat
Kuat
Linier
Titik
ke
garis
Lemah
Lemah
Linier
Titik
ke
bidang
Kuat
Lemah
Tdk
linier
Garis
Kuat
Lemah
Tdk
Jarak
Subyek SLIN
Materi
Jarak
Pemahaman
konsep
Titik
ke titik
Titik
ke
garis
Titik
ke
bidang
Garis
ke
502
Ket
Lemah
Implementasi
menghitung
jarak
Lemah
Lemah
Lemah
Linier
Lemah
Lemah
Linier
Lemah
Lemah
Linier
Linier
Prosiding Seminar Nasional Matematika dan Pendidikan Matematika, “Internalisasi Nilainilai Berpikir Matematis Dalam Perannya di Era Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA)”
ke
garis
Garis
ke
bidang
Kuat
Lemah
Bidan
g ke
bidang
Lemah
Lemah
linier panjang sisi-sisinya, maka disimpulkan kognisi
subyek SWIN (wanita) lebih baik daripada
subyek SLIN (laki-laki) dalam memahami
Tdk konsep jarak dari titikke titik, titik ke garis,
linier titik ke bidang, garis ke garis, garis ke bidang,
dan konsep jarak dari bidang ke bidang.
Linier5. REFERENSI
Al Krismanto, M.Sc. 2004. Dimensi tiga
pembelajaran jarak.
Departemen
Pendidikan Nasional. Direktorat Jendrl
Pendidikan Dasar dan Menengah. Pusat
Informasi yang diperoleh dari analisis
Pengembangan dan Penataran Guru
kemampuan konsep dan implementasi,
Matematika, Yogyakarta.
berdasarkan tabel di atas, adalah pada materi
Barmby, P., Harries, T., Higgins, S., and
jarak dari titik ke titik, subyek kuat secara
Suggate J., 2007. How Can we Assess
konsep, dan kuat secara implementasi
Mathematical
Understanding?
In
menghitung jarak, untuk materi konsep jarak
st
Proceedings of The 31 Conference of
dari titik ke garis dan jarak dari titik ke
The International Group for The
bidang adalah linier, lemah secara konsep,
Psychology of Mathematics Education,
lemah pula secara implementasi menghitung
Vol. 2, pp 41-48. Seoul: PME
jaraknya. Sedangkan yang tidak linier adalah
pada materi jarak dari titik ke garis, jarak dari
Brooks, J. G. 1993. In Search of
garis ke bidang, dan jarak dari bidang ke
Understanding:
The
case
for
bidang, subyek kuat secara konsep tetapi
Constructivist Classroom. Alexandria,
lemah dalam implementasi menghitung jarak.
VA: Association forSupervision and
Curriculum Development.
Berdasarkan hasil kajian dari tabel di
atas, maka disimpulkan bahwa kognisi
subyek SLIN dan subyek SWIN adalah
berbeda dari aspek pemahaman konsep jarak
yang menjadi topik pembahasan. Secara
umum kualitas pemahaman konsep jarak dari
titik ke titik, disimpulkan kognisi subyek
SWIN lebih baik daripada subyek SLIN..
4. KESIMPULAN
Berdasarkan hasil analisis terhadap subyek
laki-laki dan subyek wanita tentang
pemahaman konsep jarak pada geometri ruang,
sesuai pengamatan dan analisis kualitatif
terhada subyek dalam empat (4) aspek
pengamatan yaitu aspek definisi, aspek
pemahaman konsep, aspek visualisasi jarak,
dan aspek implementasi menghitung jarak
pada studi kasus balok yang telah diketahui
Bunda, Lucy. 2010. Mendidik sesuai dengan
minat dan bakat anak. PT. Tangga
Pustaka. Jakarta Selatan.
Bursill-Hall, P. (2002). Why do we study
geometry? Answer through the ages.
Departement of Pure Mathematics and
Mathematical Statistics University Of
Cambridge.
Carr At all. 1999.
Elementray school
children’s strategy
preference on
mathematic education. . copyright 2007.
by Edward Omolewa, Nicola D.
David Fuys. 1988. The Van Hiele model of
thinking in geometry. Resto. VA.
NCTM.
Pendidikan Matematika Universitas Muhammadiyah Purworejo,
Ruang Seminar UM Purworejo, 28 Mei 2016
503
MINAT DAN MOTIVASI BELAJAR SERTA PENGARUHNYA PADA
PRESTASI BELAJAR MATEMATIKA
Lasia Agustina
Fakultas Teknik dan MIPA ,Prodi.Pendidikan Matematika,
Universitas Indraprasta PGRI, Jakarta
Email : [email protected]
Abstrak
Proses belajar mengajar merupakan proses interaksi antara siswa dan guru. Dalam pembelajaran
matematika banyak guru yang mengeluhkan rendahnya kemampuan siswa dalam menerapkan
konsep matematika, yang terlihat dari rendahnya prestasi belajar matematika siswa. Banyak
faktor yang mempengaruhi prestasi belajar siswa. Diantaranya bahan pelajaran, lingkungan
siswa, kemampuan intelegensi, minat dan motivasi. Oleh karena itu, perlu adanya tinjauan dalam
usaha meningkatkan prestasi belajar matematika siswa, terutama dalam hal ini pada pengaruh
minat dan motivasi terhadap prestasi belajar matematika siswa. Dengan mengambil sampel siswa
kelas V yang berjumlah 46 siswa SD Negeri 05 Cibinong Bogor. Metode yang digunakan survey
analisis korelasional dan instrumen yang digunakan berupa kuisioner minat dan motivasi belajar.
Setelah diyakini instrumen memiliki kelayakan dan kehandalan sesuai dengan harapan,
selanjutnya instrumen disebar dan diedarkan kepada responden lalu dianalisis melalui teknik
analisis data, yang dimaksudkan untuk menguji kebenaran hipotesis yang telah ditetapkan. Dan
diperoleh hasil bahwa terdapat pengaruh minat dan motivasi belajar secara bersama-sama
terhadap prestasi belajar matematika siswa, terdapat pengaruh minat terhadap prestasi belajar
matematika dan terdapat pengaruh motivasi belajar terhadap prestasi belajar matematika.
Kata Kunci : Minat, Motivasi Belajar, Prestasi Belajar Matematika
1. Pendahuluan
Proses pendidikan hakekatnya merupakan
interaksi antara pendidik dalam hal ini guru,
dan peserta didik (murid atau siswa) maka
pendidikan tidak dapat dipisahkan dari proses
belajar mengajar. Dalam pembelajaran
matematika banyak guru yang mengeluhkan
rendahnya
kemampuan
siswa
dalam
menerapkan konsep matematika. Hal ini
terlihat dari banyaknya kesalahan siswa
dalam memahami konsep matematika
sehingga
mengakibatkan
kesalahankesalahan dalam mengerjakan soal sehingga
mengakibatkan rendahnya prestasi belajar
siswa. Prestasi belajar yang baik adalah
keinginan yang dicita-citakan oleh setiap
siswa maupun pendidik (guru), maka minat
dan motivasi merupakan hal yang utama
dalam proses belajar mengajar karena sesuatu
akan berjalan lancar apabila ada minat dan
motivasi dari siswa terhadap suatu pelajaran.
504
2. Kajian Literatur
Poerwadarminta (1987:767) menyatakan
“prestasi belajar adalah hasil yang dicapai
sebaik-baiknya menurut kemampuan anak
pada waktu tertentu terhadap hal-hal yang
dikerjakan atau dilakukan”. Sedangkan
menurut Abu Ahmadi (2010 : 138) Prestasi
belajar yang dicapai seseorang merupakan
hasil interaksi berbagai faktor yang
mempengaruhinya baik dari dalam diri
(faktor internal) maupun dari luar diri (faktor
eksternal)
individu.
Jadi
prestasi
belajar adalah hasil belajar yang telah
dicapai dan ditandai dengan perkembangan
serta perubahan tingkah laku pada diri
seseorang yang diperlukan dari belajar
dengan waktu tertentu, prestasi belajar ini
dapat dinyatakan dalam bentuk nilai dan
hasil tes atau ujian.
Kecenderungan rasa suka terhadap sesuatu
dibandingkan dengan yang lain inilah yang
disebut minat. Sikap awal yang positif berupa
rasa suka dari siswa turut menentukan
keberhasilan proses belajar yang dilakukan.
Prosiding Seminar Nasional Matematika dan Pendidikan Matematika, “Internalisasi Nilainilai Berpikir Matematis Dalam Perannya di Era Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA)”
Semakin tinggi gairah atau keinginan
terhadap sesuatu menjadi langkah awal
menuju keberhasilan selanjutnya (Syah,
1995:134). Minat seseorang terhadap suatu
obyek akan membawa kecenderungan untuk
bergaul lebih dekat dengan objek yang
diminatinya, dan guru sendiri hendaknya
berusaha membangkitkan minat siswa
terhadap belajar (Usman. M.U, 1996:27).
Minat merupakan sumber motivasi yang
mendorong manusia untuk melakukan apa
yang mereka ingin kerjakan di saat mereka
bebas untuk memilih.
Motivasi berasal dari kata “motif” yang
diartikan sebagai “daya penggerak yang telah
menjadi
aktif”
(Sardiman,2003:
73).
Motivasi menjadi sesuatu hal yang sangat
penting tatkala kita akan melakukan sesuatu.
Sedangkan McClelland dan Atkinson dalam
(Sri Esti, 1989: 161) mengemukakan bahwa
motivasi yang paling penting untuk
psikologis pendidikan adalah motivasi
berprestasi, dimana seseorang cenderung
untuk berjuang mencapai sukses atau
memilih kegiatan yang berorientasi untuk
tujuan sukses atau gagal. Intensitas motivasi
siswa akan sangat menentukan tingkat
pencapaian prestasi belajar siswa tersebut.
Terdapat
beberapa
cara
untuk
membangkitkan motivasi belajar pada diri
individu siswa dalam melakukan aktivitas
belajarnya. Menurut Nasution (1982:81)
cara membangkitkan motivasi belajar antara
lain memberi angka, memberi hadiah, hasrat
untuk belajar, mengetahui hasil, memberikan
pujian, menumbuhkan minat belajar, dan
suasana yang menyenangkan. Dalam
kaitannya dengan aktivitas belajar, guru
harus dapat mengembangkan motivasi
belajar dalam setiap kegiatan berinteraksi
dengan siswanya. Bila seseorang sudah
termotivasi untuk belajar, maka dia akan
melakukan aktivitas belajar dalam rentangan
waktu tertentu.
Sedangkan metode yang digunakan adalah
survey analisis korelasional, dengan desain
sebagai berikut :
X1
Y
X2
Gambar 1 : Desain Penelitian
Keterangan :
X1 : Minat belajar
pelajaran Matematika
siswa
terhadap
X2 : Motivasi belajar siswa terhadap
pelajaran Matematika
Y : Prestasi belajar Matematika siswa
4. Hasil dan Pembahasan
Prosedur pengolahan data dimulai dengan
memilahkan data ke dalam masing-masing
variabel diantaranya data variabel prestasi
belajar, data variabel minat belajar siswa dan
data variabel motivasi belajar siswa.
Selanjutnya data yang diperoleh dianalisis
menggunakan program SPSS 17. Data
diperoleh dari pemberian angket (kuesioner)
untuk mengungkapkan minat belajar siswa,
motivasi belajar siswa dan data nilai prestasi
belajar dalam bidang studi matematika pada
semester II tahun ajaran 2013/2014
Adapun hasil perhitungan statistik dari data
yang telah diperoleh sebagai berikut :
3. Metode Penelitian
Kegiatan dilaksanakan di SDN 05 Cibinong
Bogor. Dengan mengambil sampel siswa
kelas V yang berjumlah 46 siswa secara acak
(random) dan proposional. Instrumen yang
digunakan berupa angket minat dan angket
motivasi belajar yang masing-masing
berjumlah 25 item dengan skala 1-5.
Pendidikan Matematika Universitas Muhammadiyah Purworejo,
Ruang Seminar UM Purworejo, 28 Mei 2016
505
Tabel 1. Statistik Deskriptif
NValid
Missing
Minat
Motivasi Prestasi
46
46
46
0
0
0
Mean
64.8696 73.9565 74.9130
Median
64.0000 73.5000 72.5000
Mode
64.00
Std.
Deviation
4.51471 4.64259 9.23719
Variance
20.383
73.00
21.554
65.00
85.326
Dari data diatas, jumlah siswa yang diambil
datanya sebanyak 46 siswa dari 2 kelas. Pada
variable minat, nilai tertinggi 75 dan nilai
terendah 54. Selanjutnya rata-rata minat
belajar siswa adalah 64,89 dengan simpangan
baku 4,51 dan didukung pula oleh median
64,00 dan modus sebesar 64,00.
Pada variable motivasi, nilai tertinggi
86 dan nilai terendah 66. Selanjutnya ratarata motivasi belajar siswa adalah 73,95
dengan simpangan baku 4,64 dan didukung
pula oleh median 73,50 dan modus sebesar
73,00.
Pada variable prestasi, nilai tertinggi
96 dan nilai terendah 65. Selanjutnya ratarata prestasi belajar siswa adalah 74,91
dengan simpangan baku 9,23 dan didukung
pula oleh median 72,50 dan modus sebesar
65,00.
Uji Persyaratan Analisi Data
a. Uji Normalitas
Untuk menguji normal tidaknya
sampel digunakan uji Liliefors (KolmogorovSumirnov) pada taraf signifikansi  = 0,05.
Pada variable minat, diperoleh nilai sign =
0,768 yang nilainya > 0,05 sehingga dapat
dikatakan bahwa data variable minat
berdistribusi normal . Pada variable motivasi,
diperoleh nilai sign = 0,919 yang nilainya >
506
0,05 sehingga dapat dikatakan bahwa data
variable motivasi berdistribusi normal. Dan
pada variable prestasi, diperoleh nilai sign =
0,350 yang nilainya > 0,05 sehingga dapat
dikatakan bahwa data variable prestasi
berdistribusi normal. Karena kesemuanya
lebih besar dari 0,05 maka ketiga variable
tersebut berdistribusi normal.
b. Uji Linieritas
a.) Regresi X1 dan Y
Dari perhitungan diperoleh bahwa nilai
sig = 0,00 < 0,05, sehingga dapat
disimpulkan bahwa persamaan regresi
X1 terhadap Y adalah linier.
b.) Regresi X2 dan Y
Dari perhitungan diperoleh bahwa nilai
sig = 0,017 < 0,05, sehingga dapat
disimpulkan bahwa persamaan regresi
X2 terhadap Y adalah linier.
c. Koefisien Determinasi
Diperoleh nilai koefisien determinasi
sebesar 0,492 atau 49,2%. Nilai tersebut
menunjukkan bahwa minat dan motivasi
mempengaruhi prestasi belajar siswa
sebesar 49,2% sedangkan sisanya
dipengaruhi factor lain.
d. Uji Hipotesis
Uji Signifikansi Koefisien Regresi
Dari hasil perhitungan dan analisis
terhadap data hasil penelitian dapat
disusun persamaan regresi dan berganda
sebagai berikut Ŷ = -19,962 + 0,043X1 +
1,413X2.
ANOVAb
Sesuai dengan analisis dan persyaratan
yang telah ditentukan dengan tingkat
signifikansi 5 % atau  = 0,05 dan dk
pembilang = 1, dk penyebut = 45.
Berpedoman pada hasil perhitungan
Prosiding Seminar Nasional Matematika dan Pendidikan Matematika, “Internalisasi Nilainilai Berpikir Matematis Dalam Perannya di Era Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA)”
diperoleh nilai F hitung = 20,801
sedangkan nilai F tabel adalah 4,05.
Esti, Sri.1989 .Psikologi Pendidikan. Jakarta:
Grafindo
Dengan membandingkan nilai F hitung
= 20,801 > F tabel = 4,05 diperoleh
kesimpulan bahwa terdapat pengaruh
langsung dari minat dan motivasi belajar
terhadap prestasi belajar matematika siswa
kelas V di SDN 05 Cibinong.
Nasution. 1982. Teknologi Pendidikan.
Bandung: Bumi Aksara
5. Simpulan dan Saran
Berdasarkan temuan yang ada dapat
disimpulkan bahwa prestasi belajar
merupakan variabel yang sangat rentan
terhadap perubahan. Prestasi belajar tidak
hanya dipengaruhi oleh faktor internal siswa
tetapi juga dipengaruhi oleh faktor
lingkungan. Salah satu faktor internal yang
cukup berperan dalam meningkatkan prestasi
belajar siswa adalah minat belajar. Dalam
data hasil penelitian disimpulkan bahwa
49,2% prestasi belajar matematika siswa
dipengaruhi oleh minat dan motivasi belajar,
selanjutnya 50,8 % lainnya dipengaruhi oleh
beragam faktor lainnya. Dengan demikian
perlu adanya bimbingan guru dan orang tua
agar siswa dapat meningkatkan minat dan
motivasi belajar yang lebih tinggi serta
mampu mendukung pencapaian tujuan
pendidikan.
Poerwadarminta. W.J.S. 1987. Kamus umum
bahasa Indonesia. Jakarta : Balai
Pustaka.
Sardiman. 2003. Interaksi Dan Motivasi
Belajar Mengajar. Jakarta: Raja
Grafindo Persada
Syah, Muhibbin. 1995. Psikologi Suatu
Pendekatan Baru. Bandung : Remaja
Rosda Karya.
Usman.
M.U. 1996. Menjadi Guru
Profesional. Bandung : Remaja
Rosda Karya.
Mengingat keterbatasan, penelitian ini
hanya dilakukan pada siswa SDN Cibinong
05, sehingga generalisasinya hanya berlaku
bagi subjek yang memiliki karakteristik yang
sama dengan subjek pada penelitian ini. Oleh
karena itu perlu pengkajian yang lebih lanjut
untuk melengkapi hasil penelitian ini,
terutama bagi subjek yang memiliki
karakteristik yang berbeda.
Daftar Pustaka
Ahmadi, Abu dan Widodo. 2010. Psikologi
Belajar. Jakarta: Rineka Cipta
Pendidikan Matematika Universitas Muhammadiyah Purworejo,
Ruang Seminar UM Purworejo, 28 Mei 2016
507
PENINGKATKAN KEMAMPUAN PENALARAN MATEMATIS
SISWA SMP MELALUI MODEL DISCOVERY LEARNING
Susianita
Pascasarjana Univeritas Pendidikan Indonesia
[email protected]
Abstrak
Kemampuan penalaran merupakan kemampuan berpikir matematika tingkat tinggi. Karena
kemampuan penalaran membutuhkan kemampuan memahami lebih mendalam untuk dapat
membuat kesimpulan secara logis. Namun pada kenyataannya kemampuan penalaran ini masih
rendah, salah satu penyebab nya karena pembelajaran yang ada sekarang ini masih berpusat pada
guru dan juga masih pada prosedural penyelesaian masalah tanpa membangun konsep yang
matang pada siswa. Salah satu model pembelajaran yang diperkirakan oleh peneliti mampu
meningkatkan kemampuan penalaran adalah model “Discovery Learning”. Model Discovery
Learning dianggap dapat meningkatkan keaktifan siswa dalam belajar dan mengubah
pembelajaran yang teacher oriented ke student oriented sehingga dapat meningkatkan
kemampuan penalaran matematis siswa. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah
metode kuasi eksperimen dengan desain kelompok Pretest-Postest Control Group Design.
Populasi dalam penelitian ini adalah siswa kelas VII SMP Negeri 1 Lohbener Kabupaten
Indramayu. Sedangkan sampel dalam penelitian ini kelas VII C sebagai kelompok eksperimen
dan kelas VII D sebagai kelompok kontrol. Analisis hipotesis dilakukan dengan pengujian
parametrik jika data berdistribusi normal dan homogen yaitu uji-t dan Anova satu jalur.
Sedangkan jika data berdistribusi tidak normal maka digunakan pengujian non parametrik yaitu
uji Mann whitney.
Kata Kunci : Penalaran Matematis, Model Discovery Learning
1.
PENDAHULUAN
Depdiknas (2006) dalam menyusun
Standar Isi (SI) mata pelajaran matematika
untuk jenjang pendidikan dasar dan
menengah, dengan tujuan agar siswa mampu:
Memahami
konsep
matematika;
Menggunakan penalaran pada pola dan sifat;
Memecahkan masalah; Mengkomunikasikan
gagasan dengan tabel, simbol, diagram, atau
media lain untuk memperjelas keadaan atau
masalah; Memiliki sikap menghargai
kegunaan matematika dalam kehidupan,
Demikian pula halnya tujuan dalam
pembelajaran oleh National Council of
Teachers Mathematics (NCTM,2000) yang
menyebutkan
terdapat setidaknya lima
kemampuan yang ditumbuhkan pada siswa
saat mereka mempelajari matematika, yakni
508
pemecahan masalah (problem solving),
penalaran dan pembuktian (reasoning and
proof),
komunikasi
(communication),
koneksi (connection) dan representasi
(representation).
Berdasarkan uraian tersebut, dalam
belajar matematika diperlukan kemampuankemampuan tersebut agar tercapai tujuan
pembelajaran. Dari beberapa keterampilan
matematis tersebut peneliti mengambil satu
kemampuan
yaitu
penalaran,
karena
penalaran
dibutuhkan
dalam
setiap
pemecahan masalah baik dalam belajar
matematika dan juga kehidupan sehari-hari.
Kemampuan
penalaran
merupakan
kemampuan berpikir matematika tingkat
tinggi. Karena
kemampuan penalaran
membutuhkan kemampuan memahami lebih
Prosiding Seminar Nasional Matematika dan Pendidikan Matematika, “Internalisasi Nilainilai Berpikir Matematis Dalam Perannya di Era Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA)”
mendalam untuk dapat membuat kesimpulan
secara logis. Jadi kemampuan penalaran
merupakan salah satu kemampuan yang
harus dimiliki oleh siswa, sehingga peneliti
berminat untuk mengetahui kemapuan
penalaran matematis siswa secara lebih
lanjut.
Namun kenyataannya pada hasil
analisis Ujian Nasional tahun pelajaran
2013/2014 (Balitbang,2014) menunjukkan
bahwa rata-rata nilai Ujian Nasional pada
mata pelajaran matematika di tingkat
nasional adalah
6,07(C), untuk tingkat
Provinsi Jawa Barat adalah 5,58 (C), dan
untuk tingkat Kabupaten Indramayu adalah
5,01 (D). Jika dilihat dari daya serap terhadap
setiap butir soal, kemampuan yang memiliki
nilai paling rendah adalah: (1) menentukan
nilai data yang hilang berkaitan dengan nilai
rerata (48,81%); (2) menentukan nilai fungsi
jika tiga titik terletak pada satu garis lurus
(51,98%); (3) menyelesaikan soal cerita
berkaitan
dengan
panjang
kawat
menggunakan konsep rusuk pada limas
persegi (53,32%); (4) menghitung luas juring
atau panjang busur yang diketahui panjang
jari-jari dan besar sudut pusatnya (54,91%).
Hal
tersebut
menunjukkan
bahwa
kemampuan siswa dalam matematika masih
rendah
yang
termasuk
didalamnya
kemampuan penalaran matematis siswa.
Sejalan dengan hal tersebut rendahnya
kemampuan penalaran juga ditemukan oleh
beberapa penelitian sebelumnya baik diluar
negeri maupun dalam negeri. Penelitian
Cetin dan Ertekin (2011) menyebutkan siswa
masih belum berkembang dalam kemampuan
penalaran, dalam penelitian ini dikhususkan
pada penalaran proposional. Penggunaan
rumus secara dini membuat siswa
menggunakan rumus tanpa berpikir sehingga
kemampuan penalaran proposionalnya tidak
berkembang. Dalam penelitian Lithner
(2012) masih banyak siswa yang melakukan
hafalan dalam belajar matematika, hal ini
yang menjadi salah satu alasan dibalik
kesulitan belajar matematika. Bahkan
penggunaan prosedur pun kurang memadai
meskipun menggunakan hafalan karena
siswa menggunakan prosedur seperti robot.
Selanjutnya dalam penelitian Bieda (2012)
kemampuan siswa untuk terlibat dalam
penalaran dan pembuktian menunjukkan
kelemahan signifikan dalam kemampuan
siswa untuk alasan deduktif dan abstrak di
semua tingkatan kelas.
Penelitian Putri (2013) melaporkan
bahwa hasil rata-rata skor postes kemampuan
penalaran matematis siswa SMP melalui
pembelajaran matematika realistik sebesar
48,17% dari skor ideal. Demikian juga dari
penelitian yang dilakukan Hadriani (2015)
yang menyebutkan bahwa rata-rata skor
postes kemampuan penalaran matematis
siswa SMP sebesar 53,20% dari skor ideal.
Penyebab rendahnya kemampuan
penalaran siswa salah satunya siswa lebih
cenderung menghapal dan mengikuti
prosedur
yang
sudah
baku
dalam
menyelesaikan masalah dan memecahkan
masalah matematika tanpa menggunakan
logika berpikirnya.
Selain itu pembelajaran yang ada
sekarang ini masih berpusat kepada guru,
sedangkan siswa hanya duduk mendengarkan
penjelasan guru, mencatat, kemudian
mengerjakan soal-soal rutin. Pembelajaran
yang selama ini terjadi lebih condong pada
prosedural penyelesaian masalah tanpa
membangun konsep yang matang pada diri
siswa dan masih berpusat pada guru.
Salah satu model pembelajaran yang
diperkirakan
oleh
peneliti
mampu
meningkatkan kemampuan penalaran adalah
model “Discovery Learning”. Metode
Discovery
Learning
dianggap
dapat
meningkatkan keaktifan siswa dalam belajar
dan mengubah pembelajaran yang teacher
Pendidikan Matematika Universitas Muhammadiyah Purworejo,
Ruang Seminar UM Purworejo, 28 Mei 2016
509
oriented ke student oriented. Karena dalam
metode Discovery Learning bahan ajar tidak
disajikan dalam bentuk akhir, siswa dituntut
untuk
melakukan
berbagai
kegiatan
menghimpun informasi, membandingkan,
mengkategorikan,
menganalisis,
mengintegrasikan, mereorganisasikan bahan
serta
membuat
kesimpulan-kesimpulan
(kurikulum
2013).
Hal
tersebut
memungkinkan murid-murid menemukan arti
bagi diri mereka sendiri, dan memungkinkan
mereka untuk mempelajari konsep-konsep di
dalam bahasa yang dimengerti mereka..
Dalam tahapan model Discovery Learning
terdapat langkah pembuktian dan generalisasi
yang memenuhi indikator dari kemampuan
penalaran.
Berdasarkan
latar
belakang
permasalahan tersebut peneliti tertarik untuk
melakukan penelitian yang berjudul: “
Peningkatan Kemampuan Penalaran
Matematis dan Self-esteem Siswa SMP
melalui Model Discovery Learning”
Adapun tujuan dari penelitian ini
yaitu : mengetahui perbedaan peningkatan
kemampuan
penalaran
siswa
yang
memperoleh model Discovery Learning
dengan
siswa
yang
memperoleh
pembelajaran konvensional.
2.
KAJIAN LITERATUR
1. Penalaran Matematis
Penalaran adalah suatu bentuk
khusus dari berpikir dalam rangka
mengambil simpulan dari penyelesaian yang
digambarkan premis (Copi dalam Jacob,
2003). Sedngkan, menurut Yoong (2006)
Penalaran
matematis
mengacu
pada
kemampuan untuk menganalisis suatu situasi
matematika dan membangun argumen logis.
Selanjutnya menurut Jhonson, Laird & Byrne
(Christou,C, and Papageorgiou,E, 2007)
Penalaran pada umumnya melibatkan
kesimpulan yang diambil dari prinsip-prinsip
510
dan
bukti-bukti
dimana
individual
menyimpulkan kesimpulan baru atau
mengevaluasi usulan kesimpulan dari apa
yang sudah diketahui. Maka, dapat
disimpulkan bahwa penalaran adalah
kegiatan penarikan kesimpulan berdasarkan
pernyataan yang telah ada sebelumnya.
Ketika
siswa
mempelajari
matematika, salah satu kemampuan yang
dilatih adalah penalaran. Lohman dan Lakin
(2009) menambahkan kemampuan penalaran
selalu berkembang melalui pengalaman dan
dibawakan dengan lebih mudah melalui
latihan. Penalaran adalah alat yang penting
(essential tool) untuk matematika dan
kehidupan sehari-hari. Kemampuan ini
dipakai untuk memeriksa apakah suatu
argumen matematika benar atau salah, dan
lebih lanjut dipakai untuk membangun
argumen matematika.
Dalam penelitian ini tipe penalaran
yang digunakan yaitu Penalaran Induktif dan
Penalaran Deduktif. Penalaran induktif
dibangun dari mengamati suatu keteraturan.
Dimulai dari contoh-contoh khusus untuk
kemudian dilihat polanya sehingga dapat
ditarik suatu kesimpulan yang bersifat
umum.
Beberapa kegiatan yang tergolong
pada penalaran induktif, antara lain: (1)
Transduktif, yaitu menarik kesimpulan dari
suatu kasus atau sifat khusus yang satu
diterapkan pada kasus khusus lainnya, (2)
analogi,
yaitu
penarikan
kesimpulan
berdasarkan keserupaan data atau proses (3)
generalisasi, yaitu penarikan kesimpulan
umum berdasarkan sejumlah data yang
teramati, (4) memperkirakan jawaban, solusi
atau
kecenderungan:
interpolasi
dan
ekstrapolasi (5) memberi penjelasan terhadap
model,fakta, sifat, hubungan atau pola yang
ada, (6) menggunakan pola hubungan untuk
menganalisis
situasi,
dan
menyusun
konjektur (Sumarmo,2010)
Penalaran deduktif, dimulai dengan
premis yang mutlak untuk suatu konklusi
yang khusus . Kegiatan yang tergolong pada
penalaran deduktif antara lain: (1)
melaksanakan perhiutungan berdasarkan
aturan atau rumus tertentu (2) menarik
kesimpulan logis berdasarkan aturan
inferensi, memeriksa validitas argumen,
membuktikan dan menyusun argumen yang
Prosiding Seminar Nasional Matematika dan Pendidikan Matematika, “Internalisasi Nilainilai Berpikir Matematis Dalam Perannya di Era Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA)”
valid (3) menyusun pembuktian langsung,
pembuktian tak langsung dan pembuktian
dengan induksi matematika
Beberapa
indikator
penalaran
matematika
yang
dikemukakan
oleh
Sumarmo adalah, siswa dapat:
1. Menarik kesimpulan logis
2. Memberikan
penjelasan
dengan
menggunakan model, fakta,sifat dan
hubungan
3. Memperkirakan jawaban dan proses
solusi
4. Menggunakan pola dan hubungan
untuk menganalisis situasi matematis,
menarik analogi dan generalisasi
5. Menyusun dan menguji konjektur
6. Memberikan lawan contoh (counter
example)
7. Mengikuti aturan inferensi,memeriksa
validitas argumen
8. Menyusun argumen yang valid
9. Menyusun pembuktian langsung ,
pembuktian tak langsung dan induksi
matematis
Sedangkan dalam penelitian ini
indikator yang digunakan dalam penelitian
ini
adalah
Menarik
kesimpulan
logis,Memberikan
penjelasan
dengan
menggunakan
model,
fakta,sifat
dan
hubungan,Memperkirakan jawaban dan
proses solusi,Menggunakan pola dan
hubungan untuk menganalisis situasi
matematis, menarik analogi dan generalisasi.
2. Discovery Learning
Discovery Learning sering dianggap
identik dengan istilah pembelajaran lain
seperti Problem Based Learning, Inquiri
Learning, Experiental Learning, dan
Constructivist Learning (Kirschner, Sweller,
dan Clark,2004). Walaupun beberapa ahli
masih
membedakan
pembelajaranpembelajaran tersebut berdasarkan beberapa
faktor, misalnya dalam Discovery Learning
permasalahan yang diangkat tidak harus
permasalahan sehari-hari (daily life problem),
sedangkan dalam Problem Based Learning
memang yang digunakan adalah masalah
sehari-hari. Dalam penelitian ini masalah
yang digunakan tidak terbatas hanya pada
masalah kehidupan sehari-hari.
Dalam strategi Discovery Learning
diharapkan siswa dapat mengorganisasi
konsep sendiri tanpa diberikan materi
pelajaran dalam bentuk akhirnya. Siswa
diharapkan secara mandiri dapat membangun
pengetahuan sendiri. Discovery Learning
meliputi model dan strategi yang fokus pada
kesempatan siswa untuk belajar aktif dan
hands-on (Dewey,1997). Oleh karenanya
indikator terjadinya Discovery adalah adanya
keterlibatan proses mental siswa dalam usaha
menemukan konsep. Karena terdapat empat
komponen untuk Discovery Learning : 1)
rasa ingin tahu dan ketidakpastian; 2)
struktur pengetahuan; 3) pengurutan; 4)
motivasi (Thorsett,2002).
Lebih lengkap, Bruner (1960)
mengidentifikasi enam indikator pada
Discovery Learning yang memunculkan
perkembangan kognitif: 1) Menanggapi
situasi dalam berbagai cara daripada selalu
dengan cara yang sama; 2) Internalisasi
peristiwa ke dalam “sistem penyimpanan”
yang sesuai dengan lingkungan; 3)
Meningkatkan kapasitas bahasa; 4) Interaksi
sistematis dengan tutor (orang tua,guru,atau
contoh tauladan lain); 5) Bahasa sebagai
sebuah instrumen untuk memerintahkan
lingkungan; 6) Meningkatkan kapasitas
untuk berhadapan dengan lebih dari satu
permintaan.
Menurut
Kemendikbud
(2013)
Discovery Learning dilakukan melalui
observasi, klasifikasi, pengukuran, prediksi,
penentuan, dan inferensi, dan Discovery
Learning adalah pembentukan kategorikategori atau konsep-konsep yang dapat
memungkinkan
terjadinya
generalisasi.
Sejalan dengan apa yang dikemukakan
Kemendikbud, Bickell, Holmes dan Hoffman
(Mustafa,2014) menyatakan tiga atribut
utama dari Discovery Learning adalah 1)
mengeksplorasi dan memecahkan masalah
untuk
mencipta,
mengintegrasi,
dan
menggeneralisasi
pengetahuan,
2)
dikendalikan siswa, aktivitas berbasis minat
dengan siswa menentukan urutan dan
frekuensi, 3) aktivitas untuk mendorong
Pendidikan Matematika Universitas Muhammadiyah Purworejo,
Ruang Seminar UM Purworejo, 28 Mei 2016
511
integrasi dari pengetahuan baru ke dasar
pengetahuan yang telah siswa miliki.
Kelebihan penerapan Discovery
Learning (Kemendikbud,2013:1) antara lain:
1) Membantu siswa untuk meningkatkan
keterampilan-keterampilan dan proses-proses
kognitif; 2) Pengetahuan yang diperoleh
melalui metode ini sangat pribadi dan ampuh
karena menguatkan pengertian, ingatan, dan
transfer; 3) Menimbulkan rasa senang pada
siswa, karena tumbuhnya rasa menyelidiki
dan berhasil; 4) Metode ini memungkinkan
siswa berkembang dengan cepat dan sesuai
dengan kecepatannya sendiri; 5) Peserta
mengarahkan kegiatan belajarnya sendiri
dengan melibatkan akal dan motivasinya; 6)
Strategi ini dapat memperkuat konsep diri
siswa, karena memperoleh kepercayaan
bekerja dengan yang lain; 7) Berpusat pada
siswa dan guru yang bersama berperan aktif
mengeluarkan
gagasan-gagasan;
8)
Membantu siswa menghilangkan keraguraguan karena mengarah pada kebenaran
yang final dan tertentu atau pasti; 9) Siswa
akan mengerti ide-ide dasar dan konsep lebih
baik; 10) Membantu dan mengembangkan
ingatan dan transfer kepada suatu proses
belajar yang baru; 11) Mendorong siswa
berpikir dan bekerja atas inisiatif sendiri; 12)
Mendorong siswa berpikir intuisi dan
merumuskan
hipotesis
sendiri;
13)
Memberikan keputusan yang bersifat
intrinsik; 14) Situasi proses belajar menjadi
lebih terangsang; 15) Proses belajar meliputi
sesama aspeknya siswa menuju pada manusia
seutuhnya; 16) Meningkatkan tingkat
penghargaan pada siswa; 17) Kemungkinan
siswa belajar dengan berbagai sumber
belajar; 18) Dapat mengembangkan bakat
dan kecakapan individu.
Langkah-langkah
operasional
implementasi Discovery Learning yang
diaplikasikan dalam penelitian ini terbagi
menjadi tiga yaitu langkah persiapan,
aplikasi, dan penilaian. Dalam langkah
persiapan beberapa hal perlu dilakukan guru
antara lain:
a. Menentukan tujuan pembelajaran
b. Melakukan identifikasi karakteristik
peserta didik (kemampuan awal,
minat, gaya belajar, dan sebagainya)
c. Menguasai materi pelajaran
512
d. Menentukan topik-topik yang harus
dipelajari peserta didik secara
induktif (dari contoh menuju ke
generalisasi)
e. Mengembangkan
bahan-bahan
belajar yang berupa contoh-contoh,
ilustrasi, tugas dan sebagainya untuk
dipelajari peserta didik
f. Mengatur topik-topik pelajaran dari
yang sederhana ke kompleks, dari
yang konkret ke abstrak, atau tahap
enaktif, ikonik sampai ke simbolik
g. Melakukan penilaian proses dan
hasil belajar peserta didik
Dalam langkah aplikasi prosedurnya
adalah sebagai berikut:
1. Stimulation
(Stimulasi/pemberian
rangsang)
2. Problem
Statement
(pernyataan/
identifikasi masalah)
3. Data Collection (Pengumpulan Data)
4. Data Processing (pengolahan data)
5. Verification (pembuktian)
6. Generalization (menarik kesimpulan/
generalisasi)
3. Penelitian yang relevan
Sebagai metode yang menekankan
pada kemampuan guru untuk memacu dan
memicu proses mental siswa, Discovery
Learning memerlukan bukti empiris untuk
memperkuat landasan teorinya. Dari kajian
yang telah dilakukan, ditemukan beberapa
fakta empiris yang mendukung keunggulan
dari Discovery Learning.
Balim (2009) mengkaji pengaruh
dari Discovery Learning terhadap pencapaian
prestasi dan kemampuan belajar inkuiri.
Hasil yang diperoleh adalah kelompok yang
mendapatkan
Discovery
Learning
memperoleh nilai yang tinggi pada postes
dan memiliki kemampuan belajar inkuiri
yang tinggi.
Jong (2011) mengkaji Discovery
Learning
secara
kualitatif.
Dengan
mengobservasi Discovery Learning dalam
suatu simulasi lingkungan pembelajaran yang
diiringi dengan masalah-masalah yang
mungkin akan dihadapi siswa ketika
menggunakan metode ini. Penelitian ini
memberikan kesimpulan bahwa Discovery
Prosiding Seminar Nasional Matematika dan Pendidikan Matematika, “Internalisasi Nilainilai Berpikir Matematis Dalam Perannya di Era Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA)”
Learning memberikan suatu lingkungan yang
dapat
mengundang
siswa
untuk
meningkatkan self directed learning.
Hasil penelitian Mustafa (2014)
menunjukkan
bahwa
peningkatan
kemampuan berpikir kritis dan kreatif serta
self efficacy siswa yang mengikuti
pembelajaran Discovery Learning lebih baik
daripada siswa yang mengikuti pembelajaran
konvensional. Selain itu Self Efficacy siswa
yang memperoleh Discovery Learning juga
lebih baik daripada siswa yang memperoleh
pembelajaran konvensional.
Sedangkan
penelitian
Hadriani
(2015)
menyebutkan
bahwa
secara
keseluruhan pembelajaran penemuan lebih
baik dalam peningkatan kemampuan
penalaran matematis, koneksi matematis dan
disposisi matematis siswa SMP. Selain itu
penelitian Riyanto (2011) melaporkan bahwa
kemampuan penalaran dan prestasi siswa
yang mendapat pembelajaran pendekatan
kontruktivisme lebih baik daripada siswa
yang mendapat pembelajaran konvensional.
Sedangkan
hipotesis
dalam
penelitian ini adalah Terdapat perbedaan
peningkatan
kemampuan
penalaran
matematis antara siswa yang memperoleh
model Discovery Learning dan siswa yang
memperoleh pembelajaran konvensional.
3. METODE PENELITIAN
A. Desain Penelitian
Pada penelitian ini, Peneliti ingin
menguji
sebuah
perlakuan
yaitu
pembelajaran dengan model Discovery
Learning terhadap kemampuan penalaran
matematis siswa. Oleh karena itu, penelitian
ini merupakan penelitian kuasi eksperimen.
Pada saat penelitian, Peneliti menggunakan
kelas-kelas yang telah tersedia karena
peneliti tidak mungkin mengelompokkan
siswa secara acak. Jika dilakukan
pengacakan kelas, maka akan mengganggu
efektivitas kegiatan pembelajaran di sekolah.
Agar diperoleh gambaran dari perlakuan
maka dipilihlah kelompok pembanding.
Tujuan penelitian ini adalah untuk
memperoleh gambaran tentang penerapan
pembelajaran Discovery Learning terhadap
peningkatan
kemampuan
penalaran
matematis siswa dalam matematika yang
melibatkan dua kelompok siswa, yaitu
kelompok
eksperimen
yang
akan
memperoleh perlakuan Discovery Learning
dan kelompok kontrol yang mendapat
pembelajaran konvensional.
Desaian penelitian untuk kemampuan
penalaran matematis menggunakan desain
kuasi eksperimen yang berlandaskan pada
Sugiyono (2012) yaitu desain kelompok
kontrol non ekuivalen. Penelitian ini
menggunakan desain kelompok PretestPostest Control Group Design
sebagai
berikut:
Kelas Eksperimen
:O
Kelas Kontrol
:O
X
O
O
Dimana:
O
: soal-soal pretest sama dengan
soal-soal postest kemampuan
penalaran matematis.
X
:
perlakuan menggunakan
Discovery Learning
:
subjek tidak
secara acak
dikelompokkan
Desain di atas menggambarkan
bahwa kedua kelas diberikan pretest,
perlakuan, dan posttest. Pretest dan posttest
yang diberikan pada kedua kelas ini adalah
sama, dengan alasan materi bangun datar segi
empat yang akan disampaikan pada
Pendidikan Matematika Universitas Muhammadiyah Purworejo,
Ruang Seminar UM Purworejo, 28 Mei 2016
513
penelitian ini adalah bukan merupakan suatu
hal baru yang dikenal oleh siswa. Perlakuan
yang dimaksud dalam penelitian ini adalah
dimana kelas eksperimen diberikan suatu
pembelajaran yaitu Discovery Learning,
sedangkan kelas kontrol diberikan suatu
metode konvensional.
Populasi dan Sampel
Menurut Sugiyono (2012), populasi
adalah wilayah generalisasi yang terdiri atas
objek/subjek yang mempunyai kualitas dan
karakteristik tertentu yang ditetapkan oleh
peneliti untuk dipelajari dan kemudian ditarik
kesimpulannya. Populasi dalam penelitian ini
dilakukan di kelas VII di SMPN Kabupaten
Indramayu tahun pelajaran 2015/2016.
Ditetapkan sebagai populasi dengan alasan
yaitu tingkat perkembangan kognitif siswa
berada pada tahap peralihan dari operasi
konkrit ke operasi formal. Menurut teori
Piaget, siswa SMP kelas VII sudah mulai
memasuki tahap berpiikir formal. Oleh
karena itu pada siswa SMP kelas VII ini
sudah mulai dikenalkan dengan materimateri yang bersifat abstrak. Penelitian ini
dilaksanakan di SMPN 1 Lohbener.
administrasi. Dua kelompok yang dipilih
sebagai sebagai sampel penelitian adalah
kelompok eksperimen siswa kelas VII C
sebanyak 32 siswa yang menggunakan
pembelajaran dengan Discovery Learning,
dan kelompok kontrol siswa kelas VII D
sebanyak 30 siswa juga dengan pembelajaran
konvensional.
B.
Menurut Sugiyono (2012), sampel
adalah bagian dari jumlah dan karakteristik
yang dimiliki oleh populasi tersebut. Sampel
penelitian ditentukan berdasarkan purposive
sampling, yaitu teknik pengambilan sampel
yang berdasarkan pertimbangan tertentu
(Sugiyono, 2012) sehingga dipilih dua kelas
dari seluruh kelas VII di sekolah tersebut.
Pertimbangan yang digunakan dalam
pemilihan sampel adalah dari informasi yang
diperoleh dari wakil kepala sekolah, wali
kelas, dan guru bidang studi matematika
yang mengajar yang menyatakan bahwa
kelas VII memiliki kemampuan akademik
yang hampir sama. Pemilihan sampel dengan
purposive sampling bertujuan agar penelitian
dapat berlangsung secara tepat, efektif, dan
efisien dalam hal pelaksanaan penelitian,
waktu penelitian, tempat penelitian, dan
514
Penelitian ini terdiri dari empat
variabel, yaitu dua variabel terikat, satu
variabel bebas, dan satu variabel kontrol.
Adapu rincian variabelnya adalah:
1) Variabel terikat (dependent variable)
dalam penelitian ini adalah kemampuan
penalaran
2) Variabel bebas (independent variable)
dalam penelitian ini adalah Discovery
Learning.
3) Variabel kontrol dalam penelitian ini
adalah kemampuan awal matematis
siswa (tinggi, sedang, rendah).
C. Perangkat Pembelajaran
a) Silabus
Silabus merupakan penjabaran dari
standar kompetensi dan kompetensi dasar
yang bertujuan agar peneliti mempunyai
acuan yang jelas dalam melakukan penelitian
dan tes yang diberikan dan disusun sesuai
dengan prinsip yang berorientasi pada
pencapaian kompetensi. Dalam silabus mata
pelajaran matematika memuat identitas
sekolah, standar kompetensi, kompetensi
dasar, materi pokok, kegiatan pembelajaran,
dan indikator, penilaian (jenis tes, bentuk tes,
dan contoh instrumen).
b) Rencana Pelaksanaan Pembelajaran
RPP bertujuan untuk membantu
peneliti dalam mengarahkan jalannya
pembelajaran agar terlaksana dengan baik
sehingga tujuan pembelajaran bisa tercapai
dengan baik. Penyusunan RPP yaitu secara
sistematis, yang memuat standar kompetensi,
kompetensi
dasar,
indikator,
tujuan
pembelajaran, materi ajar, model dan metode
pembelajaran,
langkah-langkah
pembelajaran, bahan atau sumber, bahan atau
sumber dan penilaian hasil belajar.
RPP yang disusun memuat
indikator yang mengukur penguasaan siswa
Prosiding Seminar Nasional Matematika dan Pendidikan Matematika, “Internalisasi Nilainilai Berpikir Matematis Dalam Perannya di Era Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA)”
terhadap materi yang diajarkan yaitu bangun
datar segi empat. Strategi dan langkahlangkah pembelajaran disesuaikan dengan
pembelajaran yang digunakan yaitu untuk
kelas eksperimen menggunakan Discovery
Learning,
sedangkan
kelas
kontrol
menggunakan
metode
pembelajaran
konvensional. Untuk materi, sumber belajar,
dan penilaian hasil belajar untuk kedua kelas
diberikan perlakuan yang sama.
c) Bahan Ajar
Bahan ajar yang digunakan dalam
penelitian ini yaitu bahan ajar dengan
menggunakan Discovery Learning untuk
kelas eksperimen,. Bahan ajar yang dibuat
mengacu pada Kurikulum Tingkat Satuan
Pendidikan
yang
berlaku,
sehingga
diharapkan dapat meningkatkan kemampuan
penalaran matematis siswa.
Bahan ajar ini disajikan dalam
bentuk Lembar Kerja Siswa (LKS) yang
dirancang, disusun, dan dikembangkan dalam
penelitian ini disesuaikan dengan indikator,
dan tujuan pembelajaran, serta melalui
pertimbangan dari dosen. Dalam penelitian
ini, LKS berisi sejumlah soal yang dapat
membuat siswa menguasai materi bangun
datar segi empat.
D. Instrumen Penelitian
Instrumen yang digunakan dalam
memperoleh data penelitian ini yaitu
instrumen tes . Instrumen dalam bentuk tes
terdiri atas seperangkat soal tes untuk
mengukur kemampuan penalaran matematis.
Fokus dari penelitian ini adalah uji
coba penerapan pembelajaran Discovery
Learning dalam upaya untuk meningkatkan
kemampuan penalaran matematis siswa SMP
sebagai upaya untuk mendapatkan informasi
yang lengkap mengenai hal-hal yang ingin
dikaji. Tahapan yang dilakukan pada uji coba
tes kemampuan penalaran matematis adalah:
a) Instrumen Tes
Tes
kemampuan
penalaran
matematis dibuat untuk mengukur sejauh
mana kemampuan penalaran matematis yang
telah dimiliki siswa pada materi bangun datar
segi empat setelah menerima pembelajaran
dengan Discovery Learning pada kelas
eksperimen dan pembelajaran konvensional
pada kelas kontrol. Tes yang diberikan
adalah tes berbentuk uraian yang berjumlah 4
soal, karena dengan tipe uraian dapat melihat
pola pikir siswa dengan jelas sehingga
kemampuan penalaran matematisnya terlihat
dengan jelas. Tes kemampuan penalaran
yang akan digunakan dalam penelitian ini
mencakup penalaran induktif dan penalaran
deduktif untuk tingkat siswa SMP yaitu: (1)
menarik kesimpulan secara logis; (2) analogi;
(3) generalisasi; (4) pembuktikan secara
langsung
Dalam penelitian ini tes dilakukan
dua kali yaitu pretest dengan tujuan untuk
melihat kemampuan penalaran matematis
awal siswa, selanjutnya postest dengan
tujuan
untuk
mengukur
kemampuan
penalaran siswa setelah mendapatkan
perlakuan. Tes disusun dan dikembangkan
oleh
peneliti
berdasarkan
prosedur
penyusunan instrumen tes yang baik dan
benar. Sebelum tes digunakan terlebih dahulu
dilakukan validitas muka dan validitas isi
instrumen
oleh
para
ahli
yang
berpengalaman
dibidangnya.
Langkah
selanjutnya yaitu tes diuji cobakan secara
empiris kepada siswa kelas VIII A di SMPN
1 Lohbener sebanyak 34 siswa yang sudah
menerima materi bangun datar segi empat.
Hal tersebut dilakukan dengan tujuan agar
susunan kalimat atau kata-kata dalam tes
tersebut jelas pengertiannya, sehingga tidak
terjadi salah pengertian saat diberikan kepada
sampel penelitian serta disesuaikan dengan
pengetahuan yang dimiliki oleh sampel
penelitian. Tujuan dari validitas isi adalah
untuk melihat kesesuaian butir soal dengan
dengan kisi-kisi soal.
Uji validitas isi dan muka ini
dilakukan oleh satu orang dosen ahli, satu
orang guru matematika yang sudah
bersetifikasi di SMPN 1 Lohbener dengan
kondisi yang setara dengan subjek penelitian.
Setelah data hasil uji coba tersebut
terkumpul, data-data tersebut kemudian
dianalisis untuk mengetahui validitas,
reliabilitas, indeks kesukaran, dan daya
pembeda dari soal-soal tersebut. Setelah soal
kemampuan penalaran matematis dianalisis,
selanjutnya direvisi jika diperlukan sehingga
diperoleh soal yang layak untuk digunakan
sebagai instrumen penelitian.
Pendidikan Matematika Universitas Muhammadiyah Purworejo,
Ruang Seminar UM Purworejo, 28 Mei 2016
515
Adapun langkah-langkah penyusunan
tes kemampuan penalaran matematis yang
dimaksud adalah sebagai berikut:
1. Membuat kisi-kisi soal yang meliputi
dasar dalam pembuatan soal
tes
kemampuan penalaran matematis
siswa.
2. Menyusun soal tes kemampuan
penalaran matematis.
3. Menilai kesesuaian antara materi,
indikator, dan soal tes untuk
mengetahui validitas isi.
4. Melakukan uji coba soal untuk
memperoleh data hasil tes uji coba.
Menghitung validitas, reliabilitas,
indeks kesukaran, dan daya pembeda
butir soal berdasarkan data yang
diperoleh pada tes uji coba.
Data kuantitatif diperoleh dari hasil uji
coba instrumen dari hasil pretes dan n-gain
kemampuan penalaran matematis. Data-data
tersebut akan diolah menggunakan bantuan
microcoft excel 2007 dan software SPSS
versi 20. Instrumen yang digunakan diuji
cobakan terlebih dahulu sebelum digunakan.
Uji coba ini dilakukan dengan tujuan untuk
mengetahui apakah instrumen tersebut sudah
memenuhi syarat instrumen yang baik atau
belum.
Teknik Pengumpulan Data
Pengumpulan data dilakukan melalui
tes. Tes yang digunakan adalah pretes dan
postes.
Pretes
dilakukan
sebelum
pelaksanaan pembelajaran dalam penelitian.
Postes dilakukan setelah pembelajaran
dilakukan dalam penelitian selasai.
F. Teknik Analisis data
Data yang diperoleh dari hasil
penelitian ini berupa data hasil tes. Analisis
data yang digunakan yaitu data kuantitatif
yang berupa hasil tes kemampuan penalaran
matematis siswa. Data yang diperoleh berupa
pretest, postest, N-Gain. Tahap analisis data
meliputi:
kemampuan penalaran matematis siswa yang
terdiri dari rataan dan simpang baku.
Selanjutnya dilakukan analisis uji perbedaan
rataan parametrik dan non parametrik. Uji
perbedaan
rataan
dipakai
untuk
membandingkan antara dua keadaan, yaitu
keadaan nilai rataan pretes siswa pada
kelompok
eksperimen
dengan
siswa
kelompok kontrol. Sebelum data hasil
penelitian
diolah,
terlebih
dahulu
dipersiapkan beberapa hal antara lain:
a. Memberikan skor jawaban siswa sesuai
dengan alternatif jawaban dan sistem
penskoran yang digunakan.
b. Membuat tabel skor pretes dan postest
siswa kelas eksperimen dan kontrol.
c. Menentukan skor pretes dan skor postes
untuk mencari peningkatan yang terjadi
sesudah pembelajaran pada masingmasing kelompok yang dihitung dengan
rumus gain ternormalisasi (Meltzer,
2002), yaitu:
Hasil dari perhitungan gain kemudian
diinterpretasikan
dengan
menggunakan
klasifikasi sebagai berikut:
Tabel
Klasifikasi Gain Ternormalisasi
Besarnya gain (g)
E.
1)
Analisis
Kemampuan Penalaran
Matematis
Pertama yang dilakukan adalah
melakukan analisis deskriptif yang bertujuan
untuk melihat gambaran umum pencapaian
516
Klasifikasi
g ≥ 0,7
Tinggi
0,3 ≤ g ≤ 0,7
Sedang
g < 0,3
Rendah
d.
Menentukan deskriptif statistik pretes
dan postest secara gain.
Hal pertama yang dilakukan dalam
analisis data adalah melakukan analisis
deskritptif bertujuan untuk melihat gambaran
umum perbedaan peningkatan kemampuan
penalaran matematis siswa yang terdiri dari
rataan dan simpangan baku. Kemudian
dilakukan uji statistik untuk membuktikan
hipotesis pada penelitian. Sebelum dilakukan
uji tersebut, perlu dilakukan uji prasyarat
analisis yaitu uji normalitas dan uji
homogentias varians.
Prosiding Seminar Nasional Matematika dan Pendidikan Matematika, “Internalisasi Nilainilai Berpikir Matematis Dalam Perannya di Era Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA)”
e. Uji hipotesis
G. Prosedur Penelitian
hipotesis yang akan diuji untuk
perbedaan dua rerata skor N-Gain adalah:
Prosedur penelitian mengenai
kegitan dengan Discovery Learing untuk
meningkatkan
kemampuan
penalaran
matematis siswa ini dirancang untuk
memudahkan dalam pelaksanaan penelitian.
Adapun prosedur dalam penelitian ini dibagi
dalam tiga tahap yaitu:
Hipotesis : Terdapat perbedaan peningkatan
kemampuan penalaran matematis antara
siswa yang memperoleh model Discovery
Learning dan siswa yang memperoleh
pembelajaran
konvensional.
Adapun
hipotesis statistik deskriptifnya adalah:
H0 :
Rata-rata N-gain kemampuan penalaran
matematis siswa kelas eksperimen tidak
berbeda
dengan
rata-rata
N-gain
kemampuan penalaran matematis siswa
kelas kontrol.
H1 :
Rata-rata N-gain kemampuan penalaran
matematis siswa kelas eksperimen
berbeda
dengan
rata-rata
N-gain
kemampuan penalaran matematis siswa
kelas kontrol.
Keterangan:
:
Rata-rata
N-gain
kemampuan penalaran matematis siswa kelas
eksperimen.
: Rata-rata N-gain kemampuan
penalaran matematis siswa kelas
kontrol.
Jika data berdistribusi normal dan
homogen, maka uji statistik hipotesis 2 yang
digunakan adalah Independent Samples tTest (uji-t) dengan menetapkan taraf
signifikan α = 0,05. Kriteria pengujian adalah
tolak H0 jika sig ≤ α, dan terima H0 jika sig >
α. Jika data yang diperoleh normal tetapi
tidak homogen maka menggunakan uji t‟.
Apabila data tidak berdistribusi normal,
maka digunakan kaidah statistik non
parametrik, yaitu Uji U Mann Whitney (2Independent Samples).
1. Tahap persiapan
a. Studi
pendahuluan,
identifikasi
Masalah dan studi literature;
b. Studi kepustakaan
mengenai
Discovery Learning, kemampuan
penalaran matematis.
c. Menetapkan materi pelajaran yang
akan diajarkan dan digunakan dalam
penelitian;
d. Pembuatan perangkat bahan ajar,
seperti
RPP
dan
instrument
penelitian yang terlebih dahulu
dinilai oleh para ahli;
e. Melakukan uji coba instrumen yang
akan digunakan dalam mengetahui
kualitasnya;
f. Merevisi instrument penelitian (jika
diperlukan);
g. Melakukan uji coba instrumen
penelitian
hasil
revisi
(jika
diperlukan)
2. Pelaksanaan penelitian
a. Memberikan
kemampuan
awal
matematika (KAM) yang merupakan
kemampuan prasyarat
b. Memberikan pretest (tes awal)
kemampuan berpikir logis matematis
pada kelas kontrol dan kelas
eksperimen
c. Melakukan kegiatan pembelajaran.
Pada kelas kontrol dilakukan
pembelajaran konvensional dan kelas
eksperimen dilakukan pembelajaran
matematika
dengan
Discovery
Learning.
d. Observasi terhadap pembelajaran
kelas eksperimen dan kontrol
3. Analisis data dan Penulisan Laporan
Hasil Penelitian
Pendidikan Matematika Universitas Muhammadiyah Purworejo,
Ruang Seminar UM Purworejo, 28 Mei 2016
517
a. Menganalisis data pretes dan postes
kemampuan penalaran matematis
b. Melakukan
pengujan
hipotesis
penelitian
c. Melakukan pembahasan hasil analisis
d. Menyimpulkan hasil penelitian
H. Lokasi dan Jadwal Penelitian
Penelitian ini akan dilakukan di SMPN 1
Lohbener, mulai dari bulan Oktober 2015
sampai dengan bulan April 2016.
International Journal Of Instruction.
Vol 4, No. 1. Turkey.
Christou, C, and Papageorgiou, E. (2007). A
Framework
of
Mathematics
Inductive Reasoning. Learning and
Instruction 17 (2007) 55-56,
Elsevier.
Dewey,
4. REFERENSI
Balım, A., G. (2009). The Effects of
Discovery Learning on Students‟
Success and Inquiry Learning
Skills.
Egitim
ArastirmalariEurasian Journal of Educational
Research, 35, 1-20.
Balitbang Kemdikbud. (2014). Analisis Hasil
Ujian Nasinal Tahun Pelajaran
2013/2014. Jakarta: Kemdikbud.
Bieda, Kristen N. (2012). Reasoning and
Prooving
Opportunities
in
Elementary
Mathematics
Textbooks. International Journal of
educational Research.
Bruner, J. (1960). The Process of Education.
Cambridge,MA:
Harvard
University Press.
Cetin, H and Ertekin, E. (2011). The
Relationsheep
Between
Eight
Grade Primary School Student’
Proportional Reasoning Skills and
Success in Solving Equations.
518
J. (1997). Democracy and
Education. New York: Simon and
Schuster.
Depdiknas.(2006). Standar Kompetensi Mata
Pelajaran Matematika Sekolah
Menengah Atas dan Madrasah
Aliyah. Jakarta. Depdiknas.
Hadriani. (2015). Pembelajaran Penemuan
Untuk Mengembangkan Kemampuan
Penalaran, Koneksi, dan Disposisi
Matematis Siswa SMP. Tesis.
Bandung: UPI.
Jacob, C. (2003). Pemecahan Masalah,
Penalaran Logis, Berpikir Kritis Dan
Pengkomunikasian. FPMIPA UPI
Bandung: Tidak Dipublikasikan.
Jong, T. D. (2011). Scientific Discovery
Learning with Computer Simulation
of Conceptual Domains. [online]
Tersedia:
tecfa.unige.ch/tecfa/teaching/aei/pa
piers deJong.pdf .
Kirschner, P., Sweller, J., & Clark,
R.E.(2004). Why Unguided Learning
Does not work: An Analysis of the
failure of Discovery Learning,
Problem Based Learning, Experiental
Learning and Inquiry, Based
learning, Educational Psychologist,
May 8.
Kemendikbud. (2013a). Kurikulum 2013
Disesuaikan
dengan
Tuntutan
Perbandingan Internasional. [online]
diposting pada Rabu, 15/05/2013,
tersedia:
Prosiding Seminar Nasional Matematika dan Pendidikan Matematika, “Internalisasi Nilainilai Berpikir Matematis Dalam Perannya di Era Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA)”
http://kemdikbud.go.id/kemdikbud/b
erita/1334.
Kemendikbud.
(2013b).
Pendekatan
Saintifik. Pelatihan Pendampingan
Kurikulum
2013.
Pusat
Pengembangan
Tenaga
Kependidikan
Kemendikbud. (2013c). Strategi Discovery
Learning. Slide Presentasi dalam
Pelatihan Pendampingan Kurikulum
2013. Pusat Pengembangan Tenaga
Kependidikan.
Lithner, J. (2012). Learning Mathematics by
Creative or Imitative Reasoning. 12th
International
Congress
on
Mathematical Education. 8 july - 15
july 2012. CEOX, Seoul, Korea.
Lohman and Lakin. (2009). .Reasoning and
Intelegence.
Handbook
of
Intelegence (2nd ed.). New York:
Cambridge University Press
Meltzer, D.E. (2002). The Relationship
Between Mathematics Preparation
and Conceptual Learning Gain in
Physics : A possible Hidden variable
in Diagnostics Pretest Scores.
American Journal Physics, 70 (2):
275-286.
Mustafa, A.N (2014) Upaya Meningkatkan
Kemampuan Berpikir Kritis dan
Kreatif serta Self-efficacy dalam
Pembelajaran Matematis melalui
Discovery Learning. Tesis. Bandung:
UPI.
Siswa
SMP.
Dimuat
dalam
Edumatika Volume 03 Nomor 01,
April 2013, ISSN: 2088-2157.
[online]
Tersedia
di:
http://download.portalgaruda.org/arti
cle.php?article=144681&val=870
Riyanto,
B.
(2011).
Meningkatkan
Kemampuan Penalaran dan Prestasi
Matematis
dengan
Pendekatan
Konstruktivisme pada Siswa Sekolah
Menengah Atas. Dimuat dalam
Jurmal Pendidikan Matematika,
VOLUME 5 NO 2 JULI 2011.
[online]
Tersedia
di:
ejournal.unsri.ac.id/index.php/jpm/ar
ticle/.../174
Sugiyono. (2012). Metode Penelitian
Kuantitatif Kualitatif dan R&D.
Alfabeta: Bandung.
Sumarmo, U. (2010). Berfikir dan Disposisi
Matematik : Apa,Mengapa, dan
Bagaimana Dikembangkan pada
Peserta Didik.
Thorsett, P. (2002). Discovery Learning
Theory: A Primer for Discussion.
[online]tersedia:http://beceneslp.edu.
mx/PLANES2012/3er%20Sem/Ingl
%E9s%20A1/Ma
terial/2/F)%20bruner_discovery_lear
ning.pdf.
Yoong,
W.K
(2006)
Enhancing
Mathematical
Reasoning
at
Secondary School Level.
NCTM.(2000). Principles and Standards for
School Mathematics.Tersedia di
www.nctm.org.
Putri,F. M. (2013). Pengaruh Pembelajaran
Matematika
Realistik
terhadap
Kemampuan Penalaran Matematis
Pendidikan Matematika Universitas Muhammadiyah Purworejo,
Ruang Seminar UM Purworejo, 28 Mei 2016
519
EFEKTIVITAS MODEL PEMBELAJARAN MURDER DAN TUTOR SEBAYA
TERHADAP PRESTASI BELAJAR MATA KULIAH STATISTIKA MATEMATIKA
DITINJAU DARI KEMAMPUAN METAKOGNITIF MAHASISWA
Isnaeni Maryam
Program Studi Pendidikan Matematika
Universitas Muhammadiyah Purworejo
Email: [email protected]
Abstrak
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui: 1) manakah yang memberikan prestasi belajar yang
lebih baik antara model murder atau tutor sebaya?, 2) manakah yang memberikan prestasi belajar
lebih baik antara kemampuan metakognitif tinggi, sedang, atau rendah?, 3) adakah interaksi
antara model pembelajaran dengan kemampuan metakognitif. Penelitian ini merupakan penelitian
eksperimental semu. Populasi dalam penelitian ini adalah seluruh mahasiswa semester IV
program studi pendidikan matematika UMP tahun ajaran 2015/2016. Teknik sampling yang
digunakan adalah cluster random sampling. Sampel dari penelitian ini mahasiswa kelas IV C
sebagai kelas eksperimen 1 yang dikenai model Murder dan kelas IV sebagai kelas eksperimen 2
yang dikenai model tutor sebaya. Teknik pengumpulan data yang digunakan adalah dokumentasi,
angket, dan tes prestasi. Sedangkan instrumen yang digunakan adalah angket kemampuan
kognitif yang berisikan 30 pernyataan dan tes prestasi yang berisikan 5 soal essay. Teknik
analisis data yang digunakan anava dua jalur sel tak sama. Berdasarkan hasil analisis dapat ditarik
kesimpulan: model pembelajaran murder dan tutor sebaya memberikan prestasi belajar yang
sama; 2) mahasiswa dengan kemampuan metakognitif tinggi memiliki prestasi belajar yang sama
dengan mahasiswa dengan kemampuan metakognitif sedang, tetapi lebih baik jika dibandingkan
dengan mahasiswa dengan kemampuan metakognitif rendah, mahasiswa dengan kemampuan
metakognitif sedang memiliki prestasi belajar yang sama dengan mahasiswa dengan kemampuan
metakognitif rendah; 3) tidak terdapat interaksi antara model pembelajaran dengan kemampuan
metakognitif.
Kata Kunci: model pembelajaran, murder, tutor sebaya, kemampuan metakognitif
A. PENDAHULUAN
Perkembangan dunia pendidikan
matematika saat ini tidak terlepas dari
perkembangan matematika yang disertai
oleh perkembangan psikologi pendidikan.
Sebagaimana diketahui bersama bahwa
filsafat konstruktivisme telah diterima luas
dalam dunia pendidikan, tak terkecuali
pendidikan
matematika.
Indikator
keberhasilan seorang mahasiswa untuk
mencapai tujuan pengajaran pada setiap
akhir
program
pengajaran
adalah
kemampuan belajar mahasiswa yang
diwujudkan dalam bentuk nilai akhir mata
kuliah. Nilai akhir mata kuliah Statistika
520
Matematika yang diperoleh mahasiswa
program studi Pendidikan Matematika
UMP dari tahun ke tahun kurang
menggembirakan.
Prestasi
belajar
statistika
matematika yang diperoleh mahasiswa
program studi pendidikan matematika UMP
mencerminkan kemampuan kognitif yang
mereka miliki setelah mereka mempelajari
statistika matematika. Kemampuan kognitif
seseorang mempunyai keterkaitan dengan
kemampuan metakognitif yang mereka
miliki. Fadjar Shadiq (2005: 40)
menyatakan bahwa siswa yang memiliki
Prosiding Seminar Nasional Matematika dan Pendidikan Matematika, “Internalisasi Nilainilai Berpikir Matematis Dalam Perannya di Era Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA)”
kemampuan metakognitif akan jauh lebih
berhasil dalam mempelajari matematika
daripada siswa yang tidak memilikinya.
Dengan demikian, dapat dipastikan bahwa
siswa
yang
berhasil
mempelajari
matematika adalah siswa yang mempunyai
kemampuan metakognitif yang baik.
Jacob (dalam Asep Sapa‟at, 2005:
2) menjelaskan tentang kemampuan
metakognitif sebagai kesadaran berpikir
sehingga seseorang dapat melakukan tugastugas khusus, dan kemudian menggunakan
kesadaran tersebut untuk mengontrol apa
yang dikerjakan. Menurut Marzano et al.
(dalam Adkins, 1997: 2), dengan
kemampuan metakognitif yang dimiliki
oleh siswa dapat dipastikan bahwa siswa
tersebut akan mampu menyusun makna
informasi yang mereka peroleh. Agar hal
ini tercapai, siswa harus mempunyai
pengetahuan dan keyakinan mengenai
fenomena kognitif mereka dan siswa harus
mampu melakukan pengaturan dan kontrol
terhadap tindakan kognitif mereka.
Gagalnya
seorang
mahasiswa
belajar
statistika
matematikadapat
disebabkan oleh dosen yang mengajar
berdasarkan asumsi tersembunyi bahwa
pengetahuan dapat dipindahkan secara utuh
dari
pikiran
dosen
ke
pikiran
mahasiswanya.
Dosen
cenderung
menggunakan model pembelajaran yang
memfokuskan diri pada upaya penuangan
pengetahuan ke dalam otak para
mahasiswanya. Model tersebut sangat
bertentangan dengan paham kontrusktivis
yang berasumsi bahwa pengetahuan
dibangun di dalam diri mahasiswa.
Mahasiswa
sendirilah
yang
harus
mengaitkan pengetahuan baru yang mereka
peroleh dengan pengetahuan yang sudah
mereka miliki sebelumnya. Dengan
demikian, pengetahuan baru tersebut akan
mempunyai
bagi
mereka
(paham
konstruktivistik). Salah satu model yang
sesuai dengan paham konstruktivistik
adalah model Murder dan Tutor sebaya.
Model murder merupakan salah satu model
pembelajaran
kooperatife
yang
menekankan pentingnya interaksi dalam
pembelajaran.
Keunggulan
model
pembelajaran ini terletak pada keenam
kegiatan pembelajarannya, yaitu: 1) mood,
menciptakan suasana yang rileks dan
memotivasi
siswa,
2)
understand,
pemaknaan dan pembentukan pemahaman,
3) recall, mengkomunikasikan pemahaman
dan ide yang dimiliki, 4) detect,
mencermati penyampaian informasi, 5)
elaborate, elaborasi dengan contoh dan
aplikasi, 6) review, membuat kesimpulan.
Tutor
sebaya
merupakan
pembelajaran yang terpusat pada siswa,
dalam hal ini siswa belajar dari siswa yang
lain yang memiliki kemampuan yang lebih
pandai. Belajar dengan teman sebaya dapat
mengurangi kecanggungan, bahasa teman
sebaya dapat mudah dipahami, tidak ada
rasa enggan, rendah diri, malu, dan
sebagainya. Sehingga diharapkan siswa
yang kurang paham tidak segan-segan
untuk mengungkapkan kesulitan-kesulitan
yang dihadapinya.
Tujuan dalam penelitian ini adalah:
1) manakah yang memberikan prestasi
belajar statistika matematika yang lebih
baik antara model murder atau tutor
sebaya?, 2) manakah yang memberikan
prestasi belajar statistika matematika lebih
baik antara kemampuan metakognitif
tinggi, sedang, atau rendah?, 3) adakah
interaksi antara model pembelajaran dengan
kemampuan metakognitif.
B. METODE PENELITIAN
Penellitianini merupakan penelitian
eksperimental semu yang dilaksanakan di
UM Purworejo.Populasi dalam penelitian
ini adalah seluruh mahasiswa semester IV
Pendidikan Matematika Universitas Muhammadiyah Purworejo,
Ruang Seminar UM Purworejo, 28 Mei 2016
521
prodi Pendidikan Matematika. Teknik
sampling yang digunakan dalam penelitian
ini adalah teknik cluster random sampling.
Kelas-kelas secara acak diundi. Dari
pengundian tersebut diperoleh hasil: kelas
IVC sebagai kelas eksperimen I yang
dikenai model Murder dan kleas IVF
sebagai kelas eksperimen II yang dikenai
model Tutor Sebaya.
Dalampenelitian ini metode yang
digunakan untuk mengumpulkan data
adalah dokumentasi, tes, dan angket.
Metode dokumentasi digunakan untuk
mengetahui daftar nama mahasiswa dan IP
semester III. Data nilai tersebut digunakan
untuk uji keseimbangan. Angket dalam
penelitian ini digunakan untuk mengetahui
tingkat kemampuanmetakognitifmahasiswa
semester IV yang menjadi responden
penelitian. Metode tes yang dalam
penelitian ini digunakan untuk mengetahui
prestasi belajar statistikamatematika.
Instrumen dalam penelitian ini
adalah angket dan tes. Dalam penelitian ini
instrumen angket tentang kemampuan
metakognitif mahasiswa berupa pernyataan
dengan lima opsisebanyak 30 pernyataan.
Sebelum digunakan untuk mengumpulkan
data, angket terlebih dahulu diujicobakan.
Dalam uji coba angket diujikan sebanyak
40 butir pernyataan. Kemudian dihitung
tingkat kesukaran, konsistensi internal,
validitas dan reliabilitas. Soal-soal tes yang
digunakan untuk mengetahui prestasi
belajar siswa dalam penelitian ini berbentuk
tes essay sebanyak 5 soal pada materi
probailitas. Tes tersebut di uji coba
kemudian dihitung kemudian dihitung
tingkat kesukaran, daya pembeda, validitas
dan reliabilitas.
Sebelum kelas diberi perlakuan,
maka dilakukan uji keseimbangan. Statistik
uji yang digunakan adalah uji t, sedangkan
data
yang
digunakan
untuk
uji
keseimbangan berasal dari data dokumen IP
semester III. Setelah kelas dalam keadaan
seimbang, maka kelas ekserimen I dikenai
model murder dan kelas eksperimen II
dikenai tutor sebaya. Dalam penelitian ini
digunakan uji hipotesis dengan analisis
variansi dua jalan dengan sel tak sama dan
Untuk uji lebih lanjut setelah Anava,
digunakan metode Scheffe.
522
HASIL
PENELITIAN
PEMBAHASAN
DAN
Sebelum perlakuan di lakukan uji
keseimbangan.Uji keseimbangan bertujuan
untuk mengetahui apakah
kelompok
eksperimen I dan kelompok eksperimen II
tersebut seimbang atau mempunyai
kemampuan
awal
sama
sebelum
eksperimen dilakukan. Statistik uji yang
digunakan adalah uji t. Data yang
digunakan untuk uji keseimbangan adalah
IP semester 3. Sebelum dilakukan uji
keseimbangan, terlebih dahulu dilakukan
uji prasyarat analisis untuk uji –t sebagai
berikut:
Tabel 1. Hasil Uji Normalitas Setiap
Kelompok Eksperimen
Kelom
-pok
Keputu
-san uji
Kesim
pulan
0,1730
H0
diterima
Berdis
tribusi
normal
0,1738
H0
diterima
Berdis
tribusi
normal
Lmaks
L(0,05; n)
Eksperimen
1
0,1675
Eksperimen
2
0,1538
Tabel 2. Hasil uji homogenitas variansi
pada pasangan kelompok eksperimen
Pasangan
kelompok

2
hitung
Eksperimen
1
vs 0,3631
eksperimen
2
 (20,05;k 1)
Keput Kesim
usan uji
pulan
3,841
H0
diteri
ma
Variansi
homogen
Berdasarkan hasil perhitungan uji
keseimbangan diperoleh thitung = -0.9304
dan ttabel = 1,96 dengan daerah kritik DK =
{ t | t< -1,96 atau t> 1,96 }. Dengan
Prosiding Seminar Nasional Matematika dan Pendidikan Matematika, “Internalisasi Nilainilai Berpikir Matematis Dalam Perannya di Era Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA)”
demikian thitung  DK dan keputusan ujinya
adalah H0 diterima.
sedangkan eksperimen II dikenai tutor
sebaya. Setelah perlakuan kedua kelas
diberi tes sebanyak 5 soal. Kemudian dari
data tersebut kemudian dilakukan uji
normalitas, homogenitas, dan uji analisis
variansi dua jalan tak sama. Adapun
hasilnya dapat dilihat pada tabel:
Berdasarkan keputusan uji tersebut,
maka dapat disimpulkan bahwa kedua
kelompok dalam keadaan seimbang atau
memiliki kemampuan awal sama. Kelas
eksperimen I dikenai model murder
Tabel 3. Rangkuman Hasil Uji Normalitas Setiap Kelompok
Kelompok
Lmaks
L(0,05; n)
Eksperimen 1
0,1480
Eksperimen 2
0,1264
Metakognitif tinggi 0,1664
Metakognitif sedang 0,1349
Metakognitif rendah 0,1889
0,1730
0,1738
0,2200
0,1900
0,2130
Keputusan uji
Kesimpulan
H0 diterima Berdistribusi normal
H0 diterima Berdistribusi normal
H0 diterima Berdistribusi normal
H0 diterima Berdistribusi normal
H0 diterima Berdistribusi normal
Tabel 4. Rangkuman hasil uji homogenitas variansi setiap pasangan kelompok
Pasangan
kelompok
2
 hitung
Eksperimen 1 vs 0.0598
eksperimen 2
Metakognit
if tinggi vs 1,9209
sedang vs
rendah
 (20,05;k 1) Keputusan
uji
3.841
Kesimpulan
H0 diterima
Variansi
homogen
H0diterima
Variansi
homogen
5.991
Tabel 5. Rangkuman hasil uji Analisis Variansi Dua Jalan
Sumber
JK
dk
RK
Fobs
Fa
Pendidikan Matematika Universitas Muhammadiyah Purworejo,
Ruang Seminar UM Purworejo, 28 Mei 2016
P
523
Model
Pembelajaran (A)
11,5714
1
11,5714
0,0575
4,06
< 0.05
metakogn
itif (B)
1439,44161
2
719,7208
3,5746
3,21
> 0.05
Interaksi
(AB)
0,4959
2
0,2480
0,0012
3,21
< 0.05
Galat
9060,4227
45
201,3427
~
~
~
Total
10511,932
50
~
~
~
~
Dari hasil rangkuman analisis
variansi dua jalan menunjukkan bahwa:
a. Model pembelajaran tidak berpengaruh
terhadap prestasi belajar statistika
matematika. Dengan kata lain, prestasi
belajar siswa yang dihasilkan oleh
model murder tidak berbeda dengan
prestasi belajar siswa yang dihasilkan
model tutor sebaya.
b. Kemampuan metakognitif berpengaruh
terhadap prestasi belajar. Dengan kata
lain, prestasi belajar siswa dengan
kemampuan metakognitif tinggi berbeda
dengan prestasi belajar siswa dengan
kemampuan metakognitif sedang serta
berbeda dengan prestasi belajar siswa
dengan
kemampuan
metakognitif
rendah.
c. Tidaka dan interaksi antara model
pembelajaran
dan
kemampuan
metakognitif terhadap prestasi belajar.
Berdasarkan
hasil
uji
anava,
keputusan uji H0B ditolak. Variabel
kemampuan metakognitif mempunyai tiga
kategori,
maka
untuk
mengetahui
perbedaan efek diantara kategori motivasi
belajar perlu dilakukan uji lanjut pasca
anava. Hal ini berarti perlu dilakukan
komparasi ganda antar kolom. Untuk
melakukan komparasi ganda, dicari dulu
rerata marginal dan rerata masing-masing
sel. Berikut rerata marginal dan rerata
masing-masing sel.
524
Setelah dilakukan komparasi ganda
rerata antar kolom, berikut rangkuman
komparasi ganda antar kolom:
Tabel 6. Rangkuman komparasi ganda
antar kolom
H0
Fobs
2.F(0,05;2;45
DK
)
.1  .2
Keputusan Uji
2,6569
6,42
{F | F> 6}
H0
diterima
.1  .3 6,7506
6,42
{F | F> 6}
H0
ditolak
6,42
{F | F> 6}
H0
diterima
.2  .3
1,2636
Berdasarkan tabel diatas dapat ditarik
kesimpulan:
mahasiswa
dengan
kemampuan metakognitif tinggi memiliki
prestasi yang sama dengan mahasiswa
dengan kemampuan metakognitif sedang,
tetapi memiliki prestasi yang lebih baik jika
dibandingkan
mahasiswa
dengan
kemampuan
metakognitif
rendah,
sedangkan mahasiswa dengan kemampuan
metakognitif sedang memiliki prestasi yang
sama
dengan
mahasiswa
dengan
kemampuan metakognitif rendah.
Prosiding Seminar Nasional Matematika dan Pendidikan Matematika, “Internalisasi Nilainilai Berpikir Matematis Dalam Perannya di Era Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA)”
KESIMPULAN DAN SARAN
Berdasarkan analisis data yang
telah dilakukan, maka kesimpulan dalam
penelitian ini adalah sebagai berikut:
1. Model pembelajaran murder dan tutor
sebaya memberikan prestasi belajar
yang sama pada mata kuliah statistika
matematika.
2. Mahasiswa
dengan
kemampuan
metakognitif tinggi memiliki prestasi
yang sama dengan mahasiswa dengan
kemampuan metakognitif sedang, tetapi
memiliki prestasi yang lebih baik jika
dibandingkan
mahasiswa
dengan
kemampuan
metakognitif
rendah,
sedangkan
mahasiswa
dengan
kemampuan
metakognitif
sedang
memiliki prestasi yang sama dengan
mahasiswa
dengan
kemampuan
metakognitif rendah.
3. tidak terdapat interaksi antara model
pembelajaran dengan kemampuan
metakognitif.
Berdasarkankesimpulan di atas, maka saran
dalampenelitianiniadalah:
Matematik Siswa. http://www.lpidd.net/artikel/9.rtf. Diakses tanggal
20 Januari 2016.
Budiyono.
2003.
MetodologiPenelitianPendidika
n. Surakarta: SebelasMaret
University Press.
_______ . 2009. Statistika untuk Penelitian.
Surakarta:
Sebelas
Maret
University Press.
Sudjana.
2005. Metode dan Teknik
Pembelajaran
Partisipatif.
Bandung: Falah Production.
Wina sanjaya.2006. Strategi Pembelajaran
Berorientasi Standar Proses
Pendidikan. Jakarta: Kencana.
1. Dosen dapat menggunakan model
murder dan tutor sebaya dalam
perkuliahannya
untuk
variasi
pembelajaran.
2. Mahasiswa hendaknya berperan aktif
dalam pembelajaran agar tujuan
pembelajaran dapat tercapai.
DAFTAR PUSTAKA
Adkins, J. 1997. Metacognition: Designing
For
Transfer.
http://www.usask.ca/education/cour
sework/802papers/Adkins/. Diakses
tanggal 20 Januari 2016.
Asep Sapa‟at. 2005. Pembelajaran dengan
Pendekatan
Keterampilan
Metakognitif
untuk
Mengembangkan
Kompetensi
Pendidikan Matematika Universitas Muhammadiyah Purworejo,
Ruang Seminar UM Purworejo, 28 Mei 2016
525
PENGARUH MODEL PEMBELAJARAN PROBLEM BASED LEARNING
MATERI GEOMETRI TERHADAP HASIL BELAJAR SISWA
Imam Zubaidi1), Anisa Fatwa Sari2)
1
STKIP Al Hikmah Surabaya
email: [email protected]
2
STKIP Al Hikmah Surabaya
email: [email protected]
Abstrak
Penelitian ini dilatarbelakangi oleh pembelajaran geometri yang konsepnya selalu diberikan oleh
guru tanpa adanya inisiatif dari siswa sehingga siswa kurang aktif dalam belajar geometri dan
rendahnya hasil belajar siswa. Salah satu upaya yang ditempuh oleh peneliti adalah dengan
menerapkan model pembelajaran Problem Based Learning. Tujuan dari penelitian ini adalah
untuk mengetahui pengaruh model pembelajaran Problem Based Learning terhadap hasil belajar
siswa Problem Based Learning diharapkan dapat meningkatkan partisipasi siswa dan dengan
meningkatnya partisipasi siswa diharapkan dapat meningkatkan hasil belajar mereka terhadap
pembelajaran matematika. Metode penelitian adalah eksperimen kuantitatif. Desain penelitian
yang digunakan One Shot Case Study yang melakukan treatmen pada awal pertemuan dan
melihat hasil pada akhir pertemuan. Teknik pengumpulan data menggunakan metode tes dengan
soal uraian yang dilakukan pada sesi akhir . Berdasarkan hasil analisis data dapat disimpulkan
pembelajaran geometri dengan Problem Based-Learning meningkatkan hasil belajar siswa.
Kata Kunci: Problem Based-Learning, Kuantitatif, Hasil Belajar, Geometri
sangat kurang di dalam kelas. Siswa hanya
1. PENDAHULUAN
diajarkan bagaimana cara dalam menghafal
sebuah teori dalam konsep matematika
Salah satu permasalahan yang dialami
namun kurang dalam pengajaran terkait
oleh Negeri ini sejak dulu hingga sekarang
pemahaman siswa mengenai konsep yang
adalah pendidikan. Menurut Sudarman
erat kaitannya dalam kehidupan sehari-hari,
(2007:68) mengenai realita yang ada bahwa
agar siswa memiliki keterampilan berpikir
dalam proses pembelajaran siswa kurang
dalam memecahkan permasalahan hidup.
didorong
dalam
mengembangkan
Hal ini sesuai dengan pendapat Mahar, dkk.
keterampilan berpikir mereka, melainkan
(2015:14) bahwa Dalam pembelajaran
sekedar terjadinya proses mentransfer
matematika,
siswa
sering
kali
informasi dari guru ke siswa padahal seperti
menyelesaikan
permasalahan
dengan
yang
kita
ketahui
bahwa
proses
menggunakan rumus atau aturan yang
pembelajaran merupakan sebuah komponen
umum atau sifat penalaran matematika
yang sangat penting dalam menentukan
yang terdapat pada buku pegangan siswa
suatu hasil dari kegiatan belajar mengajar.
dan siswa terkadang tidak dapat berpikir
Menurut
Bungel
(2014:1)
kritis
dalam
menyelesaikan
suatu
Mengungkapkan
bahwa
matematika
permasalahan karena siswa sudah terpaku
merupakan
pelajaran
yang
dapat
dengan rumus yang ada.
menumbuhkan
cara
berpikir
logis,
Dalam
pembelajaran
matematika
sistematis, kritis, dan rasional. Namun pada
biasanya
didominasi
oleh
metode
ceramah,
kenyataannya
siswa
kurang
dalam
langsung, tanya jawab, dan pemberian
mengembangkan kemampuan berpikir
tugas. Model pembelajaran seperti ini
mereka secara kritis, sistematis, kreatif dan
belum memberikan kesempatan kepada
inovatif, karena kebanyakan dalam proses
siswa dalam mengembangkan interaksi
pembelajaran penggunaan strategi berpikir
526
Prosiding Seminar Nasional Matematika dan Pendidikan Matematika, “Internalisasi Nilainilai Berpikir Matematis Dalam Perannya di Era Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA)”
mereka terhadap guru. Karena interaksi
siwa terhadap guru diperlukan agar guru
dapat mengecek pemahaman siswa.
Hasil observasi yang dilakukan oleh
peneliti pada tanggal 21 Maret – 19 April
2016 di kelas X IIS 2 di salah satu SMA
yang ada di Sidoarjo, diketahui bahwa dari
20 siswa hanya terdapat 5 siswa yang aktif
bertanya dan menjawab pertanyaan atau
sekitar 25% dari total keseluruhan,
sedangkan siswa yang aktif menyatakan ide
hanya ada 3 dari 20 siswa, atau sekitar 15%
dari total keseluruhan. Hal ini menunjukkan
bahwa tingkat partisipasi dan daya berpikir
kritis siswa masih kurang.
Menurut Happy (2014:49) Mengatakan
bahwa lemahnya kemampuan berpikir kritis
dan kreatif matematis siswa dapat
disebabkan oleh beberapa faktor. Salah satu
diantaranya adalah proses pembelajaran
yang
dilaksanakan.
Pembelajaran
matematika haruslah melibatkan siswa
secara aktif serta memfasilitasi siswa untuk
dapat menggunakan kemampuan berpikir
kritis dan kreatifnya.
Menurut Nurafiah, dkk (2013:3)
Mengatakan bahwa untuk mengembangkan
kemampuan berpikir kritis matematis pada
kegiatan belajar mengajar, maka harus
dikembangkan model pembelajaran yang
tidak
hanya
sekadar
meningkatkan
pengetahuan saja untuk siswa tetapi juga
untuk membantu siswa menganalisis dan
mengevaluasi langkah-langkah pengerjaan
dalam mencari solusi yang benar dari
permasalahan yang dihadapi. Salah satu
cara untuk mengatasinya adalah pemilihan
model
pembelajaran
dengan
memperhatikan
kondisi
pembelajaran
sehingga
mampu
meningkatkan
kemampuan berpikir kritis siswa.
Salah satu alternatif pembelajaran
untuk mendorong partisipasi dan daya
berpikir kritis siswa adalah dengan
menggunakan
model
pembelajaran
Problem Based Learning. Model ini dapat
meningkatkan interaksi siswa dengan siswa
lain dan juga terhadap guru melalui
eksplorasi masalah. Dengan meningkatnya
partisipasi siswa diharapkan siswa dapat
meningkatkan hasil belajar mereka.
Oleh karena itu dalam artikel ini akan
diuraikan
hasil
pengaruh
model
pembelajaran problem based learning
materi geometri terhadap hasil belajar
siswa.
2. KAJIAN LITERATUR DAN
PEGEMBANGAN HIPOTESIS
a. Belajar
Berdasarkan pendapat para ahli
mengenai definisi belajar memiliki banyak
perbedaan pendapat. Namun semua itu
apabila kita taris garis secara implisit
ataupun eksplisit terdapat beberapa
kesamaan. Menurut Hintzman dalam
bukunya The Psychology of Learning and
Memory, mengatakan bahwa“learning is a
change in organism due to experience
which can affect the organism’s behavior”.
Artinya belajar adalah suatu perubahan
yang terjadi dalam diri organisme, manusia
atau hewan, disebabkan oleh pengalaman
yang dapat mempengaruhi tingkah laku
organisme tersebut. (Hintzman : 1978).
Jadi, perubahan yang ditimbulkan akibat
pengalaman dikatakan belajar apabila
mempengaruhi
tingkah
laku
suatu
organisme.
Belajar juga dapat diartikan sebagai
proses perubahan yang bersifat menetap
pada diri seseorang yang diperoleh dari
perjalanannya sendiri serta interaksi aktif
antar individu dan lingkungan. Perubahan
yang dimaksudkan adalah perubahan
pengetahuan, pemahaman, tingkah laku,
serta keterampilan. Purwanto (dalam Nanik
: 2005).
Dari penjelasan di atas maka dapat
ditarik sebuah kesimpulan bahwa belajar
Pendidikan Matematika Universitas Muhammadiyah Purworejo,
Ruang Seminar UM Purworejo, 28 Mei 2016
527
adalah proses terjadinya perubahan tingkah
laku suatu individu ke arah yang lebih baik
yang sifatnya relatif tetap akibat adanya
suatu interaksi dan latihan yang dialaminya.
Ciri khas bahwa seseorang telah melakukan
kegiatan belajar ialah dengan adanya
perubahan pada diri orang tersebut, yaitu
dari belum mampu menjadi mampu.
b. Ketuntasan Belajar
melalui suatu usaha belajar yang dikerjakan
pada saat tertentu”.
Sedangkan
menurut
Djamarah
(1994:21), “hasil belajar adalah penilaian
pendidikan tentang perkembangan dan
kemajuan siswa yang berkenaan dengan
penguasaan bahan pengajaran yang
diberikan kepada siswa serta nilai-nilai
yang terdapat pada kurikulum”.
Belajar tuntas (mastery learning)
adalah suatu sistem belajar yang
mengharapkan sebagian besar siswa dapat
menguasai tujuan instruksional umum dari
suatu satuan atau unit pelajaran secara
tuntas. Sadirman (2007:167).
Dapat disimpulkan bahwa hasil belajar
merupakan hasil yang dicapai oleh siswa
setelah melakukan kegiatan belajar
mengajar.
Yamin
Fakihuddin
(2007:52)
menjelaskan “belajar tuntas merupakan
proses pembelajaran yang dilakukan
dengan sistematis dan terstruktur, bertujuan
untuk mengadaptasikan pembelajaran pada
siswa
kelompok
besar
(pengajaran
klasikal), membantu perbedaan-perbedaan
yang terdapat pada siswa, dan berguna
untuk menciptakan kecepatan belajar (rate
of program)”.
Pembelajaran berdasarkan masalah
secara garis besar merupakan kegiatan
menyajikan situasi masalah yang bermakna
dan dapat memberikan kemudahan kepada
siswa untuk melakukan penyelidikan dan
inkuiri untuk memberikan sebuah gambaran
tentang materi yang dibahas. Pembelajaran
ini memiliki ciri utama yakni pengajuan
pertanyaan atau masalah, memusatkan pada
keterkaitan antar disiplin, penyelidikan
autentik, kerjasama dan menghasilkan
karya atau hasil peraga.
Batas ketuntasan minimum yang
diterapkan oleh beberapa ahli berbedabeda. Oleh karena itu pemerintah
menerapkan
suatu
kurikulum yang
didalamnya termuat unsur-unsur-unsur
pelaksanaan pendekatan belajar tuntas.
Kurikulum tersebut adalah kurikulum 2013.
Dalam K-13 acuan penilaian yang
digunakan adalah berbentuk huruf layaknya
pada perguruan tinggi, namun lebih
bervariasi yakni A, A-, B+, B, B-, C+, C,
C-, D+, dan D, dengan ketentuan batas
minimal kelulusan (ketuntasan) adalah Batau 2,66 atau rentang dari 66-70.
c. Hasil Belajar
Menurut
Sudjana
(2001:22),
menjelaskan bahwa “hasil belajar adalah
suatu yang telah dicapai siswa sesuai
dengan kemampuan yang dimilikinya
528
d. Pembelajaran Berdasarkan Masalah
(Problem Based Learning)
Model ini bercirikan penggunaan
masalah kehidupan nyata sebagai hal yang
harus dipelajari siswa dalam melatih dan
meningkatkan kemampuan berfikir kritis
dan
menyelesaikan
masalah,
serta
mendapat pengetahuan konsep-konsep
penting. Hal ini dikuatkan oleh pendapat
Fatimah
(2012:251)
bahwa
model
pembelajaran ini memiliki ciri khas yaitu
selalu dimulai dan berpusat pada masalah.
Sehingga pendekatan ini mengutamakan
proses belajar dimana tugas guru hanya
membantu dan mengarahkan siswa pada
keterampilan yang akan dicapai.
Penggunaan
model
pembelajaran
Problem
Based-Learning
ini
dapat
membuat siswa terlibat secara aktif dalam
Prosiding Seminar Nasional Matematika dan Pendidikan Matematika, “Internalisasi Nilainilai Berpikir Matematis Dalam Perannya di Era Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA)”
pembelajaran. Keterlibatan siswa dapat
membuat siswa dapat menggunakan
keterampilan berpikir mereka. Hal ini
sesuai dengan teori belajar konstruktivistik
(Budiningsih : 2007) yang mengatakan
bahwa “siswa aktif melakukan kegiatan,
aktif berpikir, menyusun konsep dan
memberi makna tentang hal-hal yang
sedang dipelajari”. Dengan menggunakan
model Problem Based-Learning ini,
harapannya siswa tidak mudah lupa dan
dapat memahami dan menguasai suatu
konsep dan juga terjadinya kenaikan hasil
belajar siswa.
Guru dalam pembelajaran Problem
Based-Learning ini berperan sebagai
penyaji masalah, penanya, mengadakan
dialog, memberi fasilitas penelitian. Selain
itu juga memberikan dukungan dan
dorongan yang dapat meningkatkan
intelektual siswa. Lingkungan kelas yang
diperlukan harus terbuka dan adanya
pertukaran gagasan antar siswa.
2.5 Penelitian yang Relevan
Penggunaan model Problem BasedLearning ini juga pernah digunakan oleh
beberapa peneliti, diantaranya penelitian
yang dilakukan oleh Achmat Efendi (2009)
dengan hasil penelitian yang diperoleh
bahwa penggunaan model Problem BasedLearning dapat meningkatkan keaktifan
belajar siswa kelas XI Pemasaran 1 di SMK
Negeri 2 Kediri.
(PBL) dalam materi geometri terhadap hasil
belajar siswa”.
3. METODE PENELITIAN
a. Jenis Penelitian
Penelitian ini termasuk penelitian
dengan mengunakan design pre-experiment
atau weak experimental dengan desain
secara spesifik adalah One Shoot Case
Study. Dalam desain One Shoot Case Study
(Studi kasus satu tembakan) digunakan
untuk mengetahui nilai ilmiah dalam suatu
pengukuran dalam penelitian eksperimen.
Dimana dalam desain ini, ada satu
kelompok yang diberi perlakuan yang
kemudian hasil dari perlakuan tersebut
diobservasi, perlakuan dalam hal ini
merupakan variabel bebas dan hasilnya
adalah variabel terikat. Adapun bagan dari
One Shoot Case Study yakni:
X = Perlakuan terhadap variabel bebas
(treatment).
O2 = Observasi atau pengukuran
terhadap
variabel
terikat
(Observation).
Dengan pola seperti berikut:
Contohnya:
X = Pengaruh model pembelajaran
Problem Based-Learning
O = Terhadap aktivitas belajar siswa.
2.6 Pengembangan Hipotesis
Berdasarkan uraian kajian literatur di
atas, maka hipotesis awal yang diajukan
dalam penelitian ini adalah penerapan
model pembelajaran Problem BasedLearning dapat meningkatkan keaktifan dan
hasil belajar siswa. Sehingga hipotesis akhir
menyatakan
“Pengaruh
model
pembelajaran Problem Based-Learning
b. Subjek Penelitian
Peneliti
memilih
sekolah
dan
berkoordinasi dengan pihak sekolah dalam
menentukan ruang lingkup atau obyek
penelitian. Kelas yang dipilih oleh peneliti
untuk dijadikan lingkungan penelitian
adalah kelas X IIS 2. Alasan peneliti
memilih kelas ini karena kelas tersebut
memiliki kapasitas siswa yang ideal yakni
Pendidikan Matematika Universitas Muhammadiyah Purworejo,
Ruang Seminar UM Purworejo, 28 Mei 2016
529
20 siswa dengan 6 siswa putra dan 14 siswi
putri. Kelas tersebut juga memiliki tingkat
hasil belajar yang rendah terutama dalam
bidang matematika.
c. Teknik Pengumpulan Data
Metode dalam pengumpulan dan
pengambilan data dilakukan dengan cara:
(1) Observasi
Observasi
dalam
penelitian
ini
dilakukan dengan tujuan untuk
mengetahui aktivitas belajar siswa,
hasil belajar siswa, dan perencanaan
penggunaan model pengajaran PBL di
kelas tersebut.
(2) Dokumentasi
Dalam penelitian ini dokumen yang
didapat adalah jadwal pelajaran,
rekapan presensi siswa, nilai hasil
belajar siswa dalam PBL.
(3) Test
Test adalah salah satu metode dalam
mengumpulkan data dimana peneliti
memperoleh informasi dari nilai siswa.
Data diperoleh dari nilai siswa untuk
mengetahui ketuntasan hasil belajar
siswa dalam penggunaan model PBL.
Dalam hal ini peneliti melakukan test
akhir (UH) materi geometri bangun
ruang yang dilaksanakan setelah
pemberian
treatment
model
pembelajaran Problem Based-Learning
pada materi tersebut.
d. Teknik Analisis Data
Teknik pengujian data dilakukan
dengan menggunakan teknik uji-t satu
pihak kanan dengan mempertimbangkan
penerimaan hipotesis awal dengan acuan
taraf signifikansi (∝) dan
.
pembahasan dari analisis dan penyajian
data:
a. Ketuntasan Belajar Siswa Dalam
Penggunaan Model Pembelajaran
Problem Based-Learning.
Hasil test akhir siswa dalam penggunaan
model pembelajaran Problem BasedLearning menunjukkan bahwa adanya
peningkatan hasil belajar. Patokan yang
digunakan oleh peneliti dalam menentukan
ketuntasan hasil belajar siswa adalah KKM
yakni 70. Data yang telah dianalisis
menunjukkan bahwa nilai rata-rata siswa
dalam model pembelajaran problem basedlearning ini adalah 77,44 yang bila
dipandang secara langsung memenuhi
hipotesis awal dengan nilai rata-rata lebih
dari nilai kriteria ketuntasan minimum.
Untuk memperjelas hasil dari analisis
tersebut maka peneliti menggunakan
serangkaian uji yakni dengan uji-t atau
(Distribusi Student). Uji-t dilaksanakan
dengan menentukan taraf signifikansi (∝)
sebesar 0,01 dengan t tabel sebesar 2,60.
Kemudian data hasil test akhir 16 siswa
dalam tabel yang telah diperoleh peneliti
diuji dengan rumus umum uji-t dan
berdasarkan perhitungan didapatkan bahwa
t hitung sebesar 2,67. Sehingga apabila kita
bandingkan antara t hitung dengan t tabel
maka dapat disimpulkan bahwa
. Dengan demikian hipotesis awal
peneliti diterima, bahwa adanya pengaruh
pemberian model pembelajaran PBL dalam
bidang matematika terhadap ketuntasan
hasil belajar siswa.
Berikut ini tabel data penilaian akhir.
4. HASIL DAN PEMBAHASAN
Untuk memperjelas mengenai data dan
analisis data yang telah di paparkan
sebelumnya pada bagian penyajian dan
analisis data, maka berikut merupakan
530
Prosiding Seminar Nasional Matematika dan Pendidikan Matematika, “Internalisasi Nilainilai Berpikir Matematis Dalam Perannya di Era Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA)”
4 Palu Pada Materi Prisma. Jurnal
Elektronik Pendidikan Matematika
Tadulako. Volume 2, Nomor 1,
September 2014.
Djamarah, Syaiful Bahri dan Aswan. 2006.
Strategi Belajar Mengajar. Jakarta:
PT.RINEKA CIPTA.
Gambar tabel.1
5. KESIMPULAN DAN SARAN
Berdasarkan data penelitian yang telah
dianalisis diperoleh sebuah hasil yakni
terdapat peningkatan hasil belajar siswa
setelah mendapatkan pembelajaran dengan
model PBL ini meskipun mereka belum
mengetahui sebelumnya. Berdasarkan uji-t
yang telah dilakukan oleh peneliti
menunjukkan sebuah nilai yang lebih besar
pada t hitung daripada t tabel yakni sebesar
2,67. Hal ini juga menunjukkan bahwa
terdapat pengaruh antara model pembelajaran
PBL ini dengan peningkatan hasil belajar
siswa.
Penelitian ini hanya melihat hasil belajar
siswa
dalam
penggunaan
model
pembelajaran Problem Based Learning.
Penelitian ini belum meneliti tentang
komponen lain dalam model pembelajaran
Problem Based Learning seperti tingkat
partisipasi siswa dan motivasi siswa dalam
belajar matematika.
6. REFERENSI
Budiningsih, Asri. (2007). Belajar dan
Pembelajaran. Jakarta: Rineka Cipta.
Bungel, Moh. Fikri. 2014. Penerapan Model
Pembelajaran
Problem
Based
Learning Untuk Meningkatkan Hasil
Belajar Siswa Kelas VIII SMP Negeri
Efendi, Achmat. 2009. Penerapan Problem
Based Learning (PBL) Sebagai Upaya
Untuk Meningkatkan Aktivitas Belajar
Siswa
Pada
Mata
Pelajaran
Kewirausahaan Kelas XI Pemasaran 1
Di SMK Negeri 2 Kediri. (Artikel
Online). Diakses pada tanggal 22
Februari 2016.
Fakihuddin, L. 2007. Pengajaran Remedial
dan Pengayaan (Sebuah Tuntutan
Ideal
dalam
KTSP).Malang
:
Bayumedia.
Fatimah,
Fatia.
2012.
Kemampuan
Komunikasi
Matematis
dan
Pemecahan Masalah Melalui Problem
Based Learning. Jurnal Penelitian dan
Evaluasi Pendidikan. Tahun 16,
Nomor 1, 2012.
Happy, Nurina dan Djamilah Bondan
Widjajanti. 2014. Keefektifan PBL
Ditinjau Dari Kemampuan Berpikir
Kritis Dan Kreatif Matematis Serta
Self-Esteem Siswa SMP. Jurnal Riset
Pendidikan Matematika. Volume 1,
Nomor 1, Mei 2014.
Hintzman, Douglas L. 1978. Psychology of
learning and memory. New York:
W.H. Freeman.
Mahar, Harmei, dkk. 2015. Eksperimentasi
Model Pembelajaran Berbasis Masalah
Dan Pembelajaran Kooperatif Tipe
Think Pair Share Pada Materi Bangun
Ruang Sisi Datar Ditinjau Dari
Kreativitas Siswa Kelas Viii Smp
Pendidikan Matematika Universitas Muhammadiyah Purworejo,
Ruang Seminar UM Purworejo, 28 Mei 2016
531
Negeri Se-Kabupaten Pacitan Tahun
Pelajaran
2013/2014.
Jurnal
Elektronik Pembelajaran Matematika.
Vol.3, No.1, hal 12-26, Maret 2015.
Nana. 1989. Dasar- dasar poses belajar
mengajar. Bandung. Sinar baru.
Nurafiah, Fifi, dkk. 2013. Perbandingan
Peningkatan Kemampuan Berpikir
Kritis Siswa SMP Antara Yang
Memperoleh Pembelajaran MENSENDS ANALYSIS (MEA) Dan Problem
Based Learning (PBL). Jurnal
532
Pengajaran MIPA. Volume 18, Nomor
1, April 2013, hlm. 1-8.
Sardiman.2003. Interaksi dan Motivasi
Belajar Mengajar. Jakarta: PT.Raja
Grafindo Persada.
Sudarman, 2007. Problem Based Learning:
Suatu
Model
Pembelajaran
Untuk
Mengembangkan
Dan
Meningkatkan
Kemampuan Memecahkan Masalah. Jurnal
Pendidikan Inovatif. Volume 2, Nomor 2,
Maret 2007.
Prosiding Seminar Nasional Matematika dan Pendidikan Matematika, “Internalisasi Nilainilai Berpikir Matematis Dalam Perannya di Era Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA)”
PENGARUH KOMPETENSI PROFESIONAL GURU DAN PERSEPSI IKLIM
SEKOLAH TERHADAP KINERJA GURU MATEMATIKA
(SURVEY PADA SMP DI KECAMATAN JAGAKARSA)
Yuan Andinny
FTMIPA, Universitas Indraprasta PGRI
[email protected]
Abstrak
Tujuan Penelitian ini adalah untuk mengetahui seberapa besar pengaruh kompetensi profesional
guru dan persepsi iklim sekolah terhadap kinerja guru matematika. Metode Penelitian adalah
Metode Survei Korelasional. Sampel penelitian ini diambil populasi terjangkau dengan teknik
proporsional acak, yaitu sebanyak 60 guru. Instrumen yang digunakan dalam penelitian ini adalah
instrumen angket, untuk mengukur variabel persepsi iklim sekolah dan variabel kinerja guru
matematika, serta instrumen tes, untuk mengukur kompetensi profesional guru. Setelah dilakukan
uji coba, ketiga instrumen tersebut dinyatakan valid dan reliabel, sehingga layak digunakan untuk
pengumpulan data. Selanjutnya data yang diperoleh dianalisis secara deskriptif dan dilakukan uji
persyaratan analisis, yang meliputi uji normalitas dan uji linieritas, yang hasilnya data
berdistribusi normal dan regresi berpola linier, sehingga analisis selanjutnya menggunakan
analisis statistik parametrik, yaitu menggunakan korelasi dan regresi baik sederhana maupun
ganda. Dari pengolahan data diperoleh hasil secara simultan : kompetensi profesional guru dan
persepsi iklim sekolah secara bersama-sama memberikan pengaruh positif dan signifikan
terhadap kinerja guru matematika, hal ini diperlihatkan dari koefisien korelasi antara kompetensi
profesional guru dan persepsi iklim sekolah secara bersama-sama dengan kinerja guru
matematika sebesar 0,299 (koefisien determinasi R2 = 29,9% degan nilai uji F = 11,757). Lanjut
Persamaan regresi yang terbentuk adalah Y =36,888 + 0,324X1 + 0,352X2. Hal ini dapat diartikan
bahwa semakin baik kompetensi profesional guru maka semakin baik pula kinerja guru
matematika dan semakin tinggi persepsi iklim sekolah maka semakin tinggi kinerja guru
matematika.
Kata Kunci : Kompetensi Profesional Guru, Persepsi Iklim Sekolah, Kinerja Guru Matematika
1. PENDAHULUAN
Dalam dunia pendidikan guru
sebagai ujung tombak dalam pengajaran.
Keberhasilan
untuk
mewujudkan
pendidikan yang bermutu tidak terlepas
dari peran penting seorang pendidik.
Guru adalah unsur utama dalam proses
pendidikan. Dalam proses pendidikan
disekolah guru mempunyai peran ganda
yaitu sebagai pendidik dan pengajar.
Sebagai
pengajar
guru
bertugas
menuangkan
dan
menyampaikan
sejumlah bahan pengajaran sedangkan
sebagai
pendidik
guru
bertugas
membimbing dan membina anak didik
agar menjadi manusia bukan hanya
mempunyai intelektual yang tinggi
tetapi juga terciptanya manusia yang
berbudi luhur dan beraklak mulia.
Seorang guru termasuk mengajar mata
pelajaran yang sesuai dengan bidangnya.
Tanggung jawab guru sangat besar dan
jabatan guru tidak bisa tergantikan oleh
siapapun. Seorang guru melakukan
pekerjaan mulai dari persiapan bahan
ajar, melaksanakan tugas pembelajaran
hingga melaksanakan pembelajaran .
Ketiga
prosedur
diatas
yaitu:
perencanaan, implementasi dan evaluasi
pengajaran merupakan harapan dan
tuntutan
berbagai
pihak
yang
berkepentingan. Rendahnya kinerja guru
dalam melaksanakan pengajaran akan
menurunkan mutu lulusan. Peningkatan
kinerja guru dalam melaksanakan
Pendidikan Matematika Universitas Muhammadiyah Purworejo,
Ruang Seminar UM Purworejo, 28 Mei 2016
533
pengajaran merupakan harapan dan
tuntutan berbagai pihak.
Ada beberapa faktor yang
mempengaruhi kinerja seseorang dalam
melaksanakan tugasnya yaitu faktor
individu, psikologi dan organisasi.
Faktor-faktor
individu
meliputi
kemampuan,
keterampilan,
latar
belakang keluarga, tingkat sosial,
pengalaman
dan
karakteristik
demografis (umur, etnis, jenis kelamin).
Faktor-faktor psikologis antara lain
persepsi, sikap, kepribadian dan
motivasi.
Sedangkan
faktor-faktor
organisasi meliputi sumber daya,
kepemimpinan, imbalan, struktur dan
desain penelitian.
Kinerja atau prestasi kerja
(performance) dapat diartikan sebagai
pencapaian hasil kerja yang sesuai
dengan aturan dan standar yang berlaku
pada masing-masing organisasi dalam
hal ini sekolah. Simamora menyatakan
bahwa kinerja merupakan suatu
persyaratan-persyaratan tertentu yang
akhirnya
secara
langsung
dapat
tercermin dari output yang dihasilkan
baik
berupa
kuantitas
maupun
kualitasnya.
Seorang guru yang
mengerjakan tugasnya dengan baik,
seringkali ditentukan oleh penilaian
terhadap kinerjanya. Penilaian terhadap
kinerja merupakan faktor penting untuk
meningkatkan kinerja.
Selain dua komponen diatas iklim
sekolah juga memegang peran penting
dalam
pendidikan.
Guru
adalah
pengganti orang tua ketika siswa berada
disekolah tetapi peran orang tua juga
sangat menetukan keberhasilan siswa
dalam menempuh pendidikan, karena
waktu yang banyak dimiliki oleh siswa
adalah waktu mereka berada dirumah
selain itu orang tua lebih mengerti dan
534
memahami tentang keadaan anak.
Selama ini, kinerja guru atas segala
tugas yang seharusnya diselesaikan
dengan baik belum terlihat hasil yang
maksimal. Hal ini terlihat dari
bagaimana guru menyiapkan bahan ajar,
proses belajar evaluasi setelah selesai
mengajar kurang mendapat perhatian
dari guru.
Iklim sekolah dimaksudkan pengaruh
keseluruhan sistim dari kelompok
manusia atau organisasi, mencakup
perasaan dan sikap sebagai suatu sistim,
sub sistim, sistim pribadi, tugas-tugas,
prosedur atau konsep-konsep. Dengan
norma perilaku yang dilaksanakan
dalam suatu organisasi, maka iklim yang
baik diharapkan dapat terciptakan untuk
mempercepat
pencapaian
tujuan
organisasi. Iklim sekolah yang positip
merupakan suatu kondisi dimana
keadaan sekolah dan lingkungannya
dalam keadaan yang sangat aman, damai
dan menyenangkan untuk kegiatan
belajar mengajar (Moedjiarto, 2003:28).
Iklim sekolah mempunyai peran dalam
proses belajar mangajar. Siswa merasa
nyaman belajar dan guru merasa betah
mengajar tidak lain karena ada
dukungan dan sarana prasarana yang
memadai serta lingkungan yang aman
dan nyaman.
Dari
berbagai
permasalahan
diatas,
maka
peningkatan
mutu
pendidikan di sekolah memerlukan
kinerja guru. Kinerja guru di sekolah
diantaranya
dipengaruhi
oleh
kompetensi profesinal guru dan persepsi
pada iklim sekolah. Berdasar pemikiran
diatas maka peneliti sangat tertarik
untuk meneliti mengenai pengaruh
kompetensi profesional guru dan
persepsi pada iklim sekolah secara
bersama-sama terhadap kinerja guru
matematika.
Prosiding Seminar Nasional Matematika dan Pendidikan Matematika, “Internalisasi Nilainilai Berpikir Matematis Dalam Perannya di Era Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA)”
Merujuk pada rumusan masalah
tersebut, maka tujuan yang ingin dicapai
melalui penelitian ini adalah Untuk
mengetahui
pengaruh kompetensi
profesional guru terhadap kinerja guru
matematika SMP di Jagakarsa, Untuk
mengetahui pengaruh persepsi pada
iklim sekolah terhadap kinerja guru
matematika SMP di Jagakarsa, Untuk
mengetahui pengaruh secara bersamasama antara kompetensi profesional
guru dan persepsi pada iklim sekolah
terhadap kinerja guru matematika SMP
di Jagakarsa
2. KAJIAN
LITERATUR
DAN
PENGEMBANGAN HIPOTESIS
Kinerja Guru
Kinerja atau prestasi kerja
(performance)
diartikan
sebagai
ungkapan kemampuan yang didasari
oleh pengetahuan, sikap, keterampilan
dan motivasi dalam menghasilkan
sesuatu.
Simamora
(2000:423)
menyatakan bahwa prestasi kerja
(performance)
diartikan
suatu
pencapaian
persyaratan
pekerjaan
tertentu yang akhirnya secara langsung
dapat tercermin dari out put yang
dihasilkan baik kuantitas maupun
kualitas. Pengertian diatas menyoroti
kinerja berdasarkan hasil yang dicapai
seseorang setelah melakukan pekerjaan.
Kinerja Guru Matematika
Jean D. Grambs dan C. Morris
MC Clare dalam Foundation of
Teaching, An Introduction to Modern
Education menyatakan : “teacher are
those persons who consciously direct the
experiences and behavior of an
individual so that education takes
places.” Sedangkan menurut Laurence
D. Hazkew dan Jonathan C. Mc Lendon
dalam buku This is Teaching:”Teacher
is professional person who conducts
classes.”
Jadi, guru adalah orang dewasa
yang secara sadar bertanggung jawab
dalam
mendidik,
mengajar,dan
membimbing peserta didik. Orang yang
disebut guru adalah orang yang
memiliki
kemampuan
merancang
program pembelajaran serta mampu
menata dan mengelola kelas agar peserta
didik dapat belajar dan pada akhirnya
dapat mencapai tingkat kedewasaan
sebagai tujuan akhir dari proses
pendidikan. Sementara itu, tugas utama
guru
pada
hakekatnya
adalah
merencanakan, mengelolah, menilai
proses
belajar-mengajar
yang
didalamnya terdapat berbagai kegiatan
memilih, menilai dan mengambil
keputusan.
Persepsi Iklim Sekolah
Sekolah sebagai suatu organisasi
kerja terdiri atas unsur-unsur yang
melekat pada suatu organisasi dalam
praktek sehari-hari. Iklim sekolah sering
dianalogikan
dengan
kepribadian
individu dan dipandang sebagai bagian
dari lingkungan sekolah yang berkaitan
dengan aspek-aspek psikologis serta
direfleksikan melalui interaksi didalam
maupun diluar kelas. Berbagai studi
yang dilakukan, iklim sekolah telah
terbukti memberikan pengaruh yang
kuat terhadap pencapaian hasil-hasil
akademik siswa. Ada beberapa ahli
mendifinisikan iklim sekolah. Iklim
menurut Hoy dan Miskell (1982) dalam
Hadiyanto
(2004:153)
merupakan
kualitas dari lingkungan yang terus
menerus dialami oleh guru-guru,
mempengaruhi tingkah laku dan
Pendidikan Matematika Universitas Muhammadiyah Purworejo,
Ruang Seminar UM Purworejo, 28 Mei 2016
535
berdasar pada persepsi kolektif tingkah
laku mereka.
Kompetensi Profesional Guru.
Seorang
guru
disamping
senantiasa
dituntut
untuk
mengembangkan pribadi dan profesinya
secara terus-menerus juga dituntut untuk
mampu dan siap berperan secara
professional dalam lingkungan sekolah
dan masyarakat. Mengajar bukan hanya
sekedar menyam
Pada
umumnya
pendidikan
nasional ditujukan sebagaimana yang
tersimpulkan dan dilukiskan oleh Wilds
dalam buku dasar-dasar ilmu pendidikan
(1996:121) :”nasionalisme in education
aims, in its ultimate analysis, as the
preservation and glorification of the
state. The state is usually conceived of
as a society organized for the primary
purpose of protecting those who make
up this society from the denger of
external
attack
and
internal
disintegration”
Oleh sebab itu, dalam proses
belajar mengajar terdapat kegiatan
membimbing siswa agar berkembang
sesuai
dengan
tugas-tugas
perkembangannya, melatih keterampilan
baik keterampilan intelektual maupun
keterampilan motorik, memotivasi siswa
agar dapat memecahkan berbagai
persoalan hidup dalam masyarakat yang
penuh tantangan dan rintangan.
Pengaruh
Kompetensi
Profesional
Guru Terhadap
Kinerja Guru Matematika.
Kehadiran guru dalam proses
belajar mengajar tetap memegang
peranan penting, karena peran guru
536
dalam proses tugas belajar mengajar
belum dapat digantikan oleh siapapun.
Masih banyak unsur manusiawi seperti
: sikap, sistem nilai, perasaan, motivasi
dan
kebiasaan
yang
diharapkan
merupakan hasil dari proses belajar
mengajar, hal tersebut
tidak dapat
dicapai tanpa adanya guru.
Dengan demikian untuk mencapai
keberhasilan siswa, guru harus memiliki
kemampuan dasar dalam melaksanakan
tugasnya. Salah satu kemampuan
tersebut adalah kemampuan pribadi guru
itu sendiri. Cece Wijaya dan Tabrani
Rusyan (1991:78) menyatakan guru
harus : 1) Menguasai bahan pelajaran 2)
Mampu mengolah program belajar
mengajar 3) Mampu mengelola kelas
4) Mampu mengelola dan menggunakan
media serta sumber belajar 5) Mampu
menilai prestasi belajar mengajar 6)
Memahami prinsip-prinsip pengelolaan
lembaga dan program pendidikan di
sekolah 7) Menguasai metode berpikir
8) Terampil memberikan bantuan dan
bimbingan
kepada
siswa
9)
Meningkatkan
kemampuan
dalam
mendalami ilmu pengetahuan dan
teknologi yang terus berkembang 10)
Memiliki wawasan tentang penelitian
pendidikan 11) Mampu mengadakan
penelitian sederhana untuk keperluan
pengajaran 12) Mampu memahami
karakteristik
siswa
13)
Mampu
menjalankan administrasi sekolah 14)
Memiliki wawasan tentang inovasi
pendidikan 15) Berani mengambil
keputusan 16) Memahami kurikulum
dan perkembangannya 17) Mampu
bekerja berencana dan terprogram 18)
Mampu menggunakan waktu secara
tepat.
Kinerja guru dapat diartikan
sebagai prestasi yang dicapai oleh guru
setelah melaksanakan tugasnya sebagai
Prosiding Seminar Nasional Matematika dan Pendidikan Matematika, “Internalisasi Nilainilai Berpikir Matematis Dalam Perannya di Era Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA)”
pengajar. Kinerja guru sangat erat
kaitannya dengan keberhasilan tujuan
organisasi (keberhasilan pendidikan)
dimana guru sebagai pelaku utamanya,
oleh karena itu guru dituntut untuk
selalu meningkatkan kinerjanya. Kinerja
guru dapat dilihat dari hasil atau prestasi
guru dalam menjalankan profesinya
sebagai pendidik terutama dalam
tugasnya sebagai pengajar.
Kinerja guru yang optimal akan
tercapai jika guru tersebut melaksanakan
tugasnya
dengan
baik,
mampu
mengembangkan pribadi dan profesinya
secara terus menerus juga dituntut
mampu dan siap berperan secara
profesional dalam lingkungan sekolah
juga dimasyarakat.
Berdasarkan deskripsi diatas,
disimpulkan
bahwa
kompetensi
profesional guru diduga mempunyai
korelasi positif dengan kinerja guru
matematika.
Jika
kompetensi
profesional guru sangat baik dan tinggi
maka guru akan mempunyai kinerja
yang tinggi pula. Dengan demikian
“diduga terdapat korelasi positif antara
kompetensi professional guru dangan
kinerja guru matematika”.
Pengaruh Persepsi Iklim Sekolah
Terhadap Kinerja Guru
Iklim sekolah yang dirasakan dan
dipersepsikan
para
guru
dapat
menunjang tumbuhnya suasana kerja
dalam
suatu
organisasi
sekolah
merupakan hal yang harus diciptakan.
Memperhatikan dan membina persepsi
iklim sekolah sekolah berarti sekaligus
menjunjung martabat para personalia
sebagai manusia. Sebab dengan
memperbaiki persepsi iklim sekolah
akan
mengembangkan
sikap-sikap
social, toleransi, menghargai pendapat
orang lain, bekerja sama menyelesaikan
masalah. Semua perilaku ini adalah
cermin dari cara kerja yang baik dan bila
perilaku ini dapat dipertahankan relatif
lama akan menjadi tradisi / kebiasaan
bekerja.
Bila guru memiliki kebiasaan
bekerja secara efektif dan efisien dengan
kata lain memiliki kinerja yang baik
dapat meningkatkan
produktifitas ,
sebaliknya apabila mereka mempunyai
kebiasaan bekerja secara santai dan
kurang cermat akan dapat merugikan
organisasi. Oleh karena itu iklim
sekolah yang baik perlu diciptakan dan
ditingkatkan agar dapat membangkitkan
suasana kerja sehingga dapat mencapai
hasil kerja yang berkualitas.
Hal ini ditunjang oleh adanya
keterkaitan antara indikator struktur
organisasi
yang
merupakan
pengelompokkan kegiatan dan tugastugas yang diterima oleh guru akan
membantu memperlancar guru dalam
melaksanakan proses belajar-mengajar,
karena ada batasan dan pembagian
tugas-tugas yang menjadi tanggung
jawab guru.
Kinerja guru yang optimal akan
tercapai jika ditunjang dengan iklim
sekolah yang memadai. Tanpa adanya
suasana iklim sekolah yang baik dari
sekolah mustahil kinerja guru akan
tercapai, karena adanya iklim sekolah
yang baik akan medorong seorang guru
untuk meningkatkan prestasi sebagai
perwujudan dari kebanggaan dan
peningkatan karier.
Dari uraian “diduga terdapat
korelasi yang positif antara persepsi
iklim sekolah dan kinerja guru
matematika”
Pendidikan Matematika Universitas Muhammadiyah Purworejo,
Ruang Seminar UM Purworejo, 28 Mei 2016
537
Pengaruh Kompetensi Profesional
Guru dan Persepsi Iklim Sekolah
Terhadap Kinerja Guru Matematika
Kompetensi profesional guru
adalah kemampuan yang ditampilkan
oleh
guru
dalam
melaksanakan
kewajibannya memberikan layanan
pendidikan kepada masyarakat sesuai
dengan kemampuan yang dimiliki dan
mempunyai pengetahuan tentang belajar
dan tingkah laku manusia, mempunyai
pengetahuan dan menguasai bidang
studi yang dibina, mempunyai sikap
yang tepat tentang diri sendiri, teman
sejawat dan mempunyai keterampilan
teknik mengajar.
Persepsi iklim sekolah adalah
merupakan suatu kondisi, dimana
keadaan sekolah dan lingkungannya
dalam keadaan yang sangat aman,
nyaman, damai dan menyenangkan
untuk kegiatan belajar mengajar. Dan
merupakan karakteristik yang ada, yang
menggambarkan cirri-ciri psikologis
dari suatu sekolah tertentu yang
mempengaruhi tingkah laku guru dan
peserta didik dan seluruh personil yang
ada di lingkungan sekolah.
Kinerja guru adalah kemampuan
dan usaha guru untuk melaksanakan
tugas pembelajaran sebaik-baiknya
dalam
meremcanakan
program
pengajaran,
pelaksanaan
kegiatan
pembelajaran dan evaluasi hasil
pembelajaran.
Kinerja akan optimal, bilamana
diintegrasikan
dengan
komponen
sekolah baik kepala sekolah, iklim
sekolah, guru, karyawan maupun anak
didik. Faktor-faktor yang mempengaruhi
kinerja guru dalam melaksanakan
tugasnya yaitu : Kepemimpinan kepala
538
sekolah, iklim sekolah, harapanharapan,
kepercayaan
personalia
sekolah, punya kemampuan dan
dedikasi yang tinggi dalam mengajar.
Dengan demikian nampaklah
bahwa keprofesional guru dan persepsi
iklim sekolah akan ikut menentukan
baik buruknya kinerja guru. Kerangka
berpikir diatas memberi inspirasi penulis
untuk mengatakan secara logis bahwa “
diduga terdapat korelasi positip antara
kompetensi profesional guru dan
persepsi pada iklim sekolah terhadap
kinerja guru matematika “.
Hipotesa Penelitian
Dalam
penelitian
ini
dirumuskan beberapa hipotesis sesuai
dengan
perumusan
yang
telah
disebutkan. Rumusan hipotesis yaitu :
Terdapat pengaruh kompetensi
professional guru terhadap kinerja guru
matematika
Terdapat pengaruh persepsi iklim
sekolah
terhadap
kinerja
guru
matematika
Terdapat pengaruh kompetensi
professional guru dan persepsi pada
iklim sekolah terhadap kinerja guru
matematika SMP di Jagakarsa
METODE PENELITIAN
Penelitian ini dilakukan pada
Sekolah
Menengah
Pertama
di
Kecamatan Jagakarsa Jakarta Selatan
tahun ajaran 2009/2010 semester genap,
karena penulis ingin memberikan
kontribusi kepada sekolah yang berada
di sekitar tempat tinggal penulis. Ada
21 Sekolah Menengah pertama yang
terdiri dari 6 SMP Negeri dan 15 SMP
Swasta. Metode yang dilakukan dalam
penelitian ini adalah metode survei.
Prosiding Seminar Nasional Matematika dan Pendidikan Matematika, “Internalisasi Nilainilai Berpikir Matematis Dalam Perannya di Era Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA)”
Sebelum melakukan analisa data
tentang
pengaruh
variabel
data
kemudian teknik analisa data dengan
menggunakan
statistik
inferensial
korelasi sederhana dan korelasi ganda,
regresi sederhana dan regresi ganda.
Korelasi minimal memerlukan minimal
dua variabel, sedangkan korelasi ganda
memerlukan tiga variabel. Pada
penelitian ini, variabel bebas adalah
kompetensi profesional guru matematika
( X1 ), persepsi pada iklim sekolah ( X2 )
dan variabel terikatnya kinerja guru ( Y
).
Adapun rancangan penelitian
tersebut menggunakan desain sebagai
berikut:
TABEL 1. DESAIN PENELITIAN
X1
Y
X2
Populasi target dalam penelitian
ini adalah seluruh guru SMP
baik
negeri maupun swasta yang berada di
Kecamatan Jagakarsa Jakarta Selatan.
Populasi terjangkau dalam penelitian ini
adalah seluruh guru Matematika yang
berada di Kecamatan Jagakarsa yang
terdiri dari 21 Sekolah Menengah
Pertama pada tahun ajaran 2009/2010 .
Teknik sampling yang digunakan dalam
penelitian ini adalah cluster sampling.
Yang menjadi sampel dalam penelitian
ini adalah guru Matematika yang berasal
dari Sekolah Menengah Pertama baik
negeri maupun swasta di Kecamatan
Jagakarsa Jakarta Selatan
yang
berjumlah 60 orang.
Sumber data dalam penelitian ini
adalah untuk kompetensi profesional
guru matematika (X1) berasal dari guru
matematika yang mengajar di kelas VII
sampai kelas IX yang menjadi subjek
penelitian. Untuk persepsi pada iklim
sekolah (X2) berasal dari guru yang
menjadi subjek penelian. Untuk kinerja
guru (Y) berasal dari guru yang menjadi
subjek penelitian. Teknik Mendapatkan
Data Tentang Kompetensi Professional
guru Matematika .
Pengumpulan
data
tentang
kompetensi
professional
guru
matematika
dilakukan
dengan
memberikan tes berbentuk pilihan ganda
kepada guru matematika yang terpilih
sebagai sampel. Pengumpulan data
tentang persepsi iklim sekolah dilakukan
dengan cara menyebarkan angket pada
guru matematika yang terpilih sebagai
sampel. Pengumpulan data tentang
persepsi iklim sekolah dilakukan
dengan cara menyebarkan angket pada
guru matematika yang terpilih sebagai
sampel.
3. HASIL DAN PEMBAHASAN
Hasil Penelitian
Dari data hasil tes kompetensi
profesional
guru,
terletak
pada
rentangan skor 70 – 93, dengan nilai
rata-rata sebesar 80,13; nilai modus
sebesar 87; median sebesar 80 dan
simpangan baku sebesar 6,688. Dari
data hasil angket persepsi iklim sekolah,
terletak pada rentangan skor 90 – 125,
dengan nilai rata-rata sebesar 101,55;
nilai modus sebesar 100; median sebesar
Pendidikan Matematika Universitas Muhammadiyah Purworejo,
Ruang Seminar UM Purworejo, 28 Mei 2016
539
100,00 dan simpangan baku sebesar
6,74. Dari data hasil kinerja guru
matematika, terletak pada rentangan
skor 80 – 113, dengan nilai rata-rata
sebesar 98,02; nilai modus sebesar 97;
median sebesar 99 dan simpangan baku
sebesar 6,443. Dari analisis deskriptif di
atas dapat disimpulkan bahwa hasil
angket terletak pada kategori tinggi, hal
ini terlihat dari besar modus dan median
yang berada di atas rata-rata.
Uji Persyaratan Analisis Data
Uji Normalitas
Hasil dari uji normalitas bertujuan
untuk menguji apakah dalam model regresi
mempunyai distribusi sebaran normal atau
tidak. Dengan menggunakan Analisis
Kolmogorov Smirnov dalam SPSS 16.0.
Tabel 2
Hasil Uji Normalitas Dengan
Kolmogorov-Smirnov
One-Sample Kolmogorov-Smirnov Test
iklim_ kinerj kompe
sekola a_gur tensi_g
h
u
uru
N
60
60
60
Normal
Mean
101.55 98.02 80.13
Parametersa Std.
6.374 6.443 6.688
Deviation
Most
Absolute
.239 .121 .164
Extreme
Positive
.239 .070 .140
Differences
Negative
-.189 -.121 -.164
Kolmogorov-Smirnov Z 1.848 .934 1.273
Asymp. Sig. (2-tailed)
.002 .347 .078
a. Test distribution is
Normal.
Dari tabel di atas diperoleh hasil
bahwa nilai sig persepsi iklim sekolah=
0,002; nilai sig untuk kinerja guru
matematika = 0,347; dan nilai sig untuk
kompetensi profsional guru = 0,078. Dari
hasil ini diperoleh kesimpulan bahwa
nilai sig untuk seluruh variabel di atas
0,05 (sig > 0,05); sehingga dapat
disimpulkan bahwa data berdistribusi
normal, sehingga proses analisis data
dapat dilakukan dengan menggunakan
statistik parametrik.
Tabel 3
Hasil Uji Linieritas Kompetensi Profesional Guru Matematika
ANOVA Table
Sum of
Squares
kinerja_guru *
Between
kompetensi_guru Groups
(Combined)
Linearity
Deviation from
Linearity
540
Mean
Square
Df
F
Sig.
505.282
9
56.142
.684
.719
32.409
1
32.409
.395
.533
472.873
8
59.109
.721
.672
Prosiding Seminar Nasional Matematika dan Pendidikan Matematika, “Internalisasi Nilainilai Berpikir Matematis Dalam Perannya di Era Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA)”
Within Groups
4101.568
50
Total
4606.850
59
Hasil di atas adalah
pengujian
linieritas
variabel
terhadap komptensi professional
guru matematika, terlihat bahwa
nilai sig = 0,672> 0,05; sehingga
82.031
dapat disimpulkan persamaan linier
yang terbentuk antara kinerja guru
matematika
dan
kompetensi
professional guru matematika
memenuhi uji linieritas.
Tabel 4
Hasil Uji Linieritas Persepsi iklim sekolah Terhadap Kinerja guru matematika
ANOVA Table
Sum of
Squares
kinerja_guru * iklim_sekolah
Between
Groups
(Combi
ned)
Linearit
y
Deviati
on from
Linearit
y
df
Mean
Square
2792.767 29
540.243
F
96.302 1.593
.105
1 540.243 8.934
.006
2252.524 28
80.447 1.330
Within Groups
1814.083 30
60.469
Total
4606.850 59
Hasil di atas adalah pengujian
linieritas variabel persepsi iklim sekolah
terhadap kinerja guru matematika, terlihat
bahwa nilai sig = 0,222>0,05; sehingga
dapat disimpulkan persamaan linier yang
terbentuk antara persepsi iklim sekolah dan
kinerja guru matematika memenuhi uji
linieritas.
Sig.
.222
Uji Multikolinearitas
Penerapan uji
multikolinearitas
dilakukan untuk menguji apakah model
regresi yang terbentuk memiliki korelasi
antar variabel bebas (independen). Dari
pelaksanaan uji multikolinearitas diperoleh
nilai berikut:
Pendidikan Matematika Universitas Muhammadiyah Purworejo,
Ruang Seminar UM Purworejo, 28 Mei 2016
541
Tabel 5
Pengaruh Kompetensi Profesional
Guru (X 1 ) terhadap Kinerja Guru
Matematika (Y)
Hasil Uji Multikolinearitas
Coefficientsa
Collinearity Statistics
Model
1
Tolerance
VIF
kompetensi_guru
.941
1.063
iklim_sekolah
.941
1.063
a. Dependent Variable: kinerja_guru
Dari tabel hasil uji multikolinieraitas
diperoleh nilai VIF 1,063 dan tolerance
0,941 nilai tersebut mendekati 1 sehingga
disimpulkan bahwa tidak terdeteksi sebagai
multikolinieritas. Dengan demikian proses
pengujian hipotesis dapat dilanjutkan. Dari
pengolahan data diperoleh hasil secara
simultan : kompetensi profesional guru dan
persepsi iklim sekolah secara bersama-sama
memberikan
pengaruh
positif
dan
signifikan
terhadap
kinerja
guru
matematika, hal ini diperlihatkan dari
koefisien korelasi antara kompetensi
profesional guru dan persepsi iklim sekolah
secara bersama-sama dengan kinerja guru
matematika sebesar 0,299 (koefisien
determinasi R2 = 29,9% degan nilai uji F =
11,757). Lanjut Persamaan regresi yang
terbentuk adalah Y =36,888 + 0,324X1 +
0,352X2. Hal ini dapat diartikan bahwa
semakin baik kompetensi profesional guru
maka semakin baik pula kinerja guru
matematika dan semakin tinggi persepsi
iklim sekolah maka semakin tinggi kinerja
guru matematika.
Pembahasan Hasil Penelitian
Berdasarkan hasil penelitian tentang
pengaruh kompetensi profesional guru (X1)
dan persepsi iklim sekolah (X2) secara
bersama-sama terhadap kinerja guru
matematika (Y) adalah sebagai berikut :
542
Berdasarkan hasil analisis dapat
diketahui bahwa kompetensi profesional
guru memberikan pengaruh terhadap
kinerja guru matematika sebesar 35,5 %.
Artinya 35,5 % dapat dijelaskan oleh
variabel kompetensi profesional guru.
Sisanya 64,5 % dijelaskan oleh sebabsebab lain. Persamaan regresi Ŷ = 63,768
+ 0,427 X 1. Yang berarti bahwa kenaikan
satu skor kompetensi profesional guru akan
memberikan kenaikan sebesar 0,427 terhadap
skor rerata kinerja guru matematika. Dari
data tersebut di atas, dapat dikatakan bahwa
apabila kinerja
guru matematika
ditingkatkan secara optimal, maka perlu
peningkatan kompetensi profesional guru
tinggi. Kompetensi profesional guru baik
akan memberikan kepercayan diri dan
kenyamanan guru dalam menghadapi
berbagai
persoalan
yang
dihadapinya.Berdasarkan hasil perhitungan
di atas, maka hasil penelitian ini sejalan
dengan pengajuan hipotesis peneliti yang
terdapat dalam bab II, yaitu bahwa
kompetensi profesional guru memberikan
pengaruh positif terhadap kinerja guru
matematika SMP Negeri dan Swasta di
wilayah Kecamatan Jagakarsa.
Pengaruh Persepsi Iklim Sekolah
(X 2 )
terhadap
Kinerja
Guru
Matematika (Y)
Berdasarkan hasil analisis data SPSS
versi 16.0 dapat diketahui bahwa persepsi
iklim sekolah memberikan pengaruh
terhadap kinerja guru matematika sebesar
16,8 %. Artinya 16,8 % kinerja guru
matematika dapat dijelaskan oleh variabel
persepsi iklim sekolah. Sisanya 83,2 %
dijelaskan
oleh
sebab-sebab
lain.
Persamaan regresi Ŷ =20,379 + 0,441
X 2. Yang berarti bahwa kenaikan satu
skor persepsi iklim sekolah akan
memberikan kenaikan sebesar
0,441
terhadap kinerja guru matematika. Dari data
tersebut di atas, dapat dikatakan bahwa
persepsi iklim sekolah memberikan
Prosiding Seminar Nasional Matematika dan Pendidikan Matematika, “Internalisasi Nilainilai Berpikir Matematis Dalam Perannya di Era Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA)”
sumbangan positif terhadap kinerja guru
matematika, walaupun sumbangan positif
yang diberikan variabel persepsi iklim
sekolah sangat kecil. Berdasarkan hasil
perhitungan di atas, maka hasil penelitian
ini sejalan dengan pengajuan hipotesis
peneliti yang terdapat dalam bab II, yaitu
bahwa persepsi iklim sekolah memberikan
pengaruh positif dan signifikan terhadap
kinerja guru matematika SMP Negeri dan
Swasta di wilayah Kecamatan Jagakarsa,
walaupun hanya memberikan pengaruh
yang kurang signifikan
Pengaruh Kompetensi Profesional
Guru (X 1 ) dan Persepsi Iklim
Sekolah (X 2 ) secara bersama-sama
terhadap Kinerja Guru Matematika
(Y).
Berdasarkan hasil analisis
data
SPSS versi 16.0 dapat diketahui bahwa
kompetensi profesional guru dan persepsi
iklim sekolah secara bersama-sama
memberikan pengaruh terhadap kinerja
guru matematika sebesar 29,9 %. Artinya
29,9 % kinerja guru matematika dapat
dijelaskan oleh variabel kompetensi
profesional guru dan persepsi iklim sekolah
secara bersama-sama. Sisanya 70,1 %
dijelaskan
oleh
sebab-sebab
lain.
Persamaan regresi Ŷ = 36,888 + 0,324
X 1 + 0,352 X2 yang berarti bahwa
kenaikan satu skor status kompetensi
profesional guru dan persepsi iklim
sekolah
secara bersama-sama akan
memberikan kenaikan sebesar 0,324
untuk X 1 dan 0,352 untuk X 2 terhadap
kinerja guru matematika. Dari data di atas,
dapat dikemukakan bahwa kompetensi
profesional guru dan persepsi iklim sekolah
telah memberikan pengaruh terhadapkinerja
guru matematika. Artinya, apabila kinerja
guru matematika akan ditingkatkan, maka
perlu ditingkatkan kompetensi profesional
guru dan persepsi iklim sekolah. Semakin
baik kompetensi profesional guru dan
persepsi iklim sekolah, maka kinerja guru
matematika akan semakin meningkat.
Berdasarkan hasil perhitungan di atas, maka
hasil penelitian ini sejalan dengan
pengajuan hipotesis peneliti yang terdapat
dalam bab II, yaitu bahwa kompetensi
profesional guru dan persepsi iklim sekolah
secara
bersama-sama
memberikan
pengaruh positif dan signifikan terhadap
kinerja guru matematika SMP Negeri dan
Swasta di wilayah Kecamatan Jagakarsa.
4. KESIMPULAN
Penelitian yang telah dilakukan oleh
peneliti pada SMP di Kecamatan Jagakarsa
ini menghasilkan
beberapa
temuan
penelitian yang dapat menjawab tujuan dari
penelitian ini, yaitu untuk mengetahui
pengaruh atau hubungan kompetensi
profesional guru dan persepsi iklim sekolah
terhadap kinerja guru matematika.
Dari uji statistik yang telah dilakukan
untuk mengetahui adanya pengaruh
tersebut, diperoleh hasil temuan sebagai
berikut :
Hipotesis 1 : Terdapat pengaruh
kompetensi profesional guru (X1)
terhadap kinerja guru matematika
(Y)
Hipotesis pada penelitian ini
terbukti, hal ini berdasarkan pada
perhitungan
regresi
secara
parsial
didapatkan nilai thitung > ttabel (3,770 >
1,671), maka dari hasil ini dapat
disimpulkan bahwa kompetensi profesional
guru berpengaruh positif secara signifikan
terhadap kinerja guru matematika.
Hipotesis 2 : Terdapat pengaruh
persepsi iklim sekolah (X2)
terhadap kinerja guru matematika
(Y)
Hipotesis pada penelitian ini
terbukti, hal ini berdasarkan pada
perhitungan
regresi
secara
parsial
didapatkan nilai thitung > ttabel (3,420 >
1,671), maka dari hasil ini dapat
disimpulkan bahwa kompetensi profesional
guru berpengaruh positif secara signifikan
terhadap kinerja guru matematika.
Hipotesis 3 : Terdapat pengaruh
kompetensi profesional guru (X1) dan
persepsi iklim sekolah (X2) secara bersamasama terhadap kinerja guru matematika (Y)
Hipotesis pada penelitian ini terbukti,
hal ini berdasarkan pada perhitungan
regresi secara simultan didapatkan nilai
Pendidikan Matematika Universitas Muhammadiyah Purworejo,
Ruang Seminar UM Purworejo, 28 Mei 2016
543
Fhitung > Ftabel (11,757 > 3,159), maka dari
hasil ini dapat disimpulkan bahwa ada
pengaruh positif yang sigifikan antara
kompetensi profesional guru dan persepsi
iklim sekolah terhadap kinerja guru
matematika. Hal ini diperlihatkan dari
koefisien korelasi antara kompetensi
profesional guru dan persepsi iklim sekolah
secara bersama-sama dengan kinerja guru
matematika sebesar 0,540 dan koeisien
determinasi sebesar 29,2%. Persamaan
regresi yang terbentuk adalah 36,888 +
0,324X1 + 0,352 X2.. Hal ini dapat diartikan
bahwa
semakin
baik
kompetensi
profesional guru maka semakin baik pula
kinerja guru matematika dan begitu pula
semakin baik persepsi iklim sekolah maka
semakin tinggi kinerja guru matematika.
5. REFERENSI
Budi Raharjo, Manajemen
Sekolah , 2007
Berbasis
Dimyati dan Midjiono, Belajar dan
Pembelajaran, Jakarta : Rineka
Cipta 2002
Erman Suherman dan Udin S. Winata
Putra, Strategi Belajar Mengajar
Matematika,
Jakarta : UT, 1993
E.
mulyasa, Standar kompetensi dan
sertifikasi, Bandung : Remaja
Rosda Karya,2007
H. Hamzah B. Uno, Profesi Kependidikan ,
Jakarta : Bumi Akasara , 2009
J. Supranto, Analisis Multivariat, Jakarta :
Rineka Cipta, 1996
J. Supranto, Metode Statistik, 2000
Kusnandar, Guru Profesional, Jakarta : Raja
Grafindo Persada, 2008
Moh.
Uzer Usman, Menjadi Guru
Profesional, Bandung : Remaja
Rosda Karya,
2006
M. Fullan, The Future Of Educational
Change, the Meaning If Education
Change Ontario :
OISE Press
544
Nana Sudjana, Dasar-Dasar Proses Belajar
Mengajar, Bandung : PT Sinar Baru
Algasindo , 1997
Nana Sudjana, Metode Statistik, Bandung :
Tarsito, 1992
Peterson, R, L dan Skiba, Creating School
Climates Than Prevent School
Violence.
The
Social
Studies,
Akademic Research
Library, 1992
Rusefendi, Pengantar Kepada Membantu
Guna Mengembangkan Kompetensi
Dalam
Pengajaran
Matematika, Bandung : Tarsito,
1991
Soedjadi, Kiat Pendidikan Matematika Di
Indonesia, Jakarta : Departemen
Pendidikan Nasional, 2002
Soetjipto dan Raflis Kosasi, Profesi
Keguruan, Jakarta : Rineka Cipta,
2009
Sudjana, Metode Statistika, Bandung :
Tarsito, 1983
S. Nasution, Berbagai Pendekatan Dalam
Proses Belajar Dan Mengajar,
Jakarta : Bumi Aksara, 2008
Syaiful Bahri Djamarah Dan Aswan Zain,
Strategi
Belajar
Mengajar,
Jakarta :
Rineka
Cipta, 2006
Suharsimi Arikunto, Prosedur penelitian,
Jakarta
:
Rieneka
Cipta,
Jakarta,1993
Wina
Sanjaya, Strategi Pembelajaran
Berorientasi
Standar
Proses
Pendidikan,
Jakarta :
Prenada Media group, 2006.
Prosiding Seminar Nasional Matematika dan Pendidikan Matematika, “Internalisasi Nilainilai Berpikir Matematis Dalam Perannya di Era Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA)”
PENGARUH MODEL PEMBELAJARAN STUDENT FACILITATOR AND
EXPLAINING TERHADAP HASIL BELAJAR MATEMATIKA SISWA
Witri Lestari1), Nurul Hikmah2)
Fakultas Teknik, Matematika, Dan IPA, Universitas Indraprasta PGRI
Email : [email protected]
2
Fakultas Teknik, Matematika, Dan IPA, Universitas Indraprasta PGRI
Email : [email protected]
1
Abstrak
Tujuan dari penelitian ini untuk mengetahui apakah terdapat pengaruh dalam penggunaan metode
pembelajaran Student Facilitator and Explaining terhadap hasil belajar matematika pada siswa
kelas X SMK Kemala Bhayangkari Delog Jakarta. Metode penelitian yang digunakan adalah
metode quasi eksperimen dan analisis komparasi. Sampel penelitian sebanyak 60 siswa yang
terdiri dari 2 kelas, yaitu 1 kelas sebagai kelas eksperimen dan 1 kelas sebagai kelas kontrol.
Instrumen penelitian secara objektif tes sebanyak 25 soal pilihan ganda dengan 5 pilihan
jawaban. Pengujian normalitas menggunakan uji Chi Kuadrat dan hasil pengujian didapat bahwa
kedua sampel berdistribusi normal. Pada pengujian persamaan varians (homogenitas)
menggunakan uji Fisher, dan kedua kelompok dinyatakan homogen. Pengujian hipotesis
menggunakan uji t dan berdasarkan hasil pengujian, maka disimpulkan bahwa dari hasil
penelitian ini dapat dibuktikan bahwa model pembelajaran Student Facilitator and Explaining
(SFE) lebih baik daripada model pembelajaran Jigsaw, artinya terdapat perbedaan yang
signifikan terhadap hasil belajar matematika yang menggunakan model pembelajaran Student
Facilitator and Explaining (SFE) dibanding model pembelajaran Jigsaw.
Kata Kunci: Metode Pembelajaran, hasil belajar, matematika
1.
PENDAHULUAN
Dalam mengantisipasi perkembangan
IPTEK yang selalu berubah, idealnya
pendidikan tidak hanya berorientasi pada
masa lalu dan masa kini, akan tetapi juga
merupakan proses yang mengantisipasi dan
membicarakan masa depan. Menurut
Buchori dalam Trianto (2007: 1),
“pendidikan yang baik adalah pendidikan
yang tidak hanya mempersiapkan para
siswanya untuk suatu profesi atau jabatan,
tetapi untuk menyelesaikan masalah masalah
yang
dihadapinya
dalam
kehidupan sehari – hari”. Seiring dengan
perkembangan kurikulum dalam tingkat
satuan pendidikan, maka sekolah sebagai
tingkat satuan pendidikan mengalami
perubahan pola dalam proses pembelajaran.
Mengingat proses pembelajaran merupakan
kegiatan yang utama, maka sekolah sebagai
suatu lembaga pendidikan formal memiliki
tugas dan wewenang menyelenggarakan
proses pendidikan dengan baik. Hal
tersebut disebabkan melalui proses
pembelajaran
akan
dicapai
tujuan
pendidikan.
Salah satu masalah pokok dalam
pembelajaran pada pendidikan formal
(sekolah) dewasa ini adalah rendahnya daya
serap peserta didik pada pelajaran yang
dipelajari di dalam kelas. Hal ini terlihat
pada hasil belajar siswa peserta didik yang
senantiasa masih di bawah standar
kelulusan minimum. Prestasi ini tentunya
merupakan hasil kondisi pembelajaran yang
masih bersifat konvensional dan tidak
menyentuh ranah dimensi peseta didik itu
Pendidikan Matematika Universitas Muhammadiyah Purworejo,
Ruang Seminar UM Purworejo, 28 Mei 2016
545
sendiri, yaitu proses pembelajaran hingga
dewasa ini masih memberikan dominasi
guru dan tidak memberikan akses bagi
peserta didik untuk berkembang secara
mandiri melalui penemuan dan proses
berpikirnya.
Hal
ini
menyebabkan
rendahnya hasil belajar peserta didik karena
proses
pembelajaran
yang
masih
didominasi
oleh
pembelajaran
konvensional. Pada pembelajaran ini
suasana kelas cenderung kepada teacher
oriented bukan student oriented, sehingga
siswa menjadi pasif. Meskipun demikian
guru lebih suka menerapkan metode
tersebut, karena tidak memerlukan alat dan
bahan praktek, cukup menjelaskan konsepkonsep yang ada pada buku ajar serta lebih
mudah untuk menyampaikan materi dan
mudah menyelesaikan materi. Dalam hal ini
siswa tidak diajarkan pembelajaran yang
dapat memahami bagaimana belajar,
berpikir dan memotivasi diri sendiri.
Masalah ini banyak dijumpai dalam
Kegiatan proses Belajar Mengajar (KBM)
di kelas. Oleh karena itu, perlu menerapkan
suatu pembelajaran yang dapat membantu
siswa untuk memahami materi ajar dan
aplikasinya dalam kehidupan sehari-hari.
Salah satu lembaga pendidikan formal
yang
masih
menerapkan
metode
konvensional dalam kegiatan belajar
matematika (KBM) adalah SMK Kemala
Bhayangkari Delog Jakarta. Berdasarkan
hasil pengamatan sebelum dilakukan
penelitian dan mengacu kepada informasi
yang diperoleh dari dialog non formal
dengan siswa dan guru, pembelajaran
matematika dikelas masih pasif. Siswa
dikelas cenderung mengikuti pembelajaran
terpusat kepada apa yang diterangkan oleh
guru saja.Walaupun sudah direncanakan
dengan baik, pada kenyataanya metode
ceramah masih banyak kelemahan.
“Penuturan lisan dari guru kepada peserta
didik sering mengaburkan dan kadangkadang ditafsirkan salah oleh siswa”
546
(Sagala. S, 2005:201). Hal ini dapat
diartikan seperti orang yang baru saja
mengikuti ceramah, jika ditanya, tidak tahu
apa-apa, sehingga dapat disimpulkan bahwa
dengan menggunakan metode ceramah,
guru berperan lebih aktif dan lebih banyak
melakukan aktivitas tetapi hasilnya tidak
maksimal. Guru yang berperan aktif juga
sangat mempengaruhi siswa, dimana siswa
tersebut cepat tanggap tetapi cepat lupa
yang mengakibatkan timbulnya rasa bosan,
ngantuk, dan jenuh sehingga siswa ngobrol,
melamun dan tidak memperhatikan guru
karena tidak semangat belajar. Maka hasil
belajar yang diperoleh siswa rendah atau
kurang memuaskan.Hal tersebut terbukti
dengan hasil ujian akhir siswa yang belum
maksimal.
Menurut guru bidang studi matematika
banyaknya siswa yang belum mencapai
KKM karena mereka kesulitan dalam
memahami konsep. Terbukti soal-soal yang
mayoritas berisi konsep-konsep yang
diberikan tidak bisa mereka jawab dengan
tepat. Rendahnya tingkat pemahaman siswa
terhadap konsep tersebut karena sulitnya
materi yang bersifat fisik, penggunaan
media yang terbatas dan kurang tepat,
pemilihan
metode
ataupun
model
pembelajaran yang kurang sesuai dengan
tujuan
dan
materi
pembelajaran,
penggunaan metode, model, dan media
pembelajaran kurang kondusif bagi
terjadinya peran aktif siswa dalam kegiatan
pembelajaran.
Salah satu metode pembelajaran yang
dapat dijadikan solusi permasalahan
tersebut adalah metode pembelajaran
Student Facilitator and Explaining (SFE).
Metode Student Facilitator and Explaining
(SFE) merupakan “metode pembelajaran
dimana
peserta
didik/siswa
belajar
mempresentasikan ide/pendapat pada rekan
peserta didik lainnya. Metode pembelajaran
ini efektif untuk melatih siswa berbicara
Prosiding Seminar Nasional Matematika dan Pendidikan Matematika, “Internalisasi Nilainilai Berpikir Matematis Dalam Perannya di Era Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA)”
untuk menyampaikan ide/gagasan atau
pendapatnya
sendiri”
(Suprijono,
2009:71).Kegiatan yang terjadi pada
metode ini memberikan kebebasan siswa
baik untuk mengemukakan ide/gagasan
mereka maupun menanggapi pendapat
siswa lainnya, sehingga menuntut adanya
komunikasi antar siswa agar proses
pembelajaran menjadi optimal. Selain itu,
tanggung jawab terhadap ide/pendapat yang
mereka sampaikan sangat diperlukan.
Dengan melihat permasalahan diatas
maka perlu diupayakan suatu model
pembelajaran yang dapat melibatkan siswa
untuk aktif dalam proses pembelajaran.
Pembelajaran yang dapat digunakan dengan
keadaan tersebut adalah pembelajaran
dengan metode Student Facilitator and
Explaining. Dengan menggunakan metode
Student Facilitator and Explaining
diharapkan mampu meningkatkan hasil
belajar matematika siswa di SMK Kemala
Bhayangkari Delog Jakarta.
Menurut Siregar dan Nara (2010:115)
model pembelajaran kooperatif merupakan
“model pembelajaran yang menekankan
aktivitas kolaboratif siswa dalam belajar
yang berbentuk kelompok, mempelajari
materi pelajaran, dan memecahkan masalah
secara
kolektif
kooperatif”.PendekatanBelajar kooperatif
model Student
Facilitator
and
Explaining (SFE)
merupakan
model
pembelajaran dimana siswa atau peserta
didik belajar mempresentasikan ide atau
pendapat pada rekan peserta didik lainnya
secara bergantian. Model pembelajaran ini
efektif untuk melatih siswa berbicara untuk
menyampaikan ide dan gagasan atau
pendapatnya sendiri. Penggunaan model
pembelajaran Student Facilitator and
Explaining dalam pembelajaran matematika
diharapkan dapat menghilangkan rasa
bosan siswa dalam belajar. Siswa dapat
saling bertukar pikiran dengan teman. Hal
ini akan membuat kelas lebih hidup dan
menyenangkan sehingga siswa akan lebih
serius belajar dan hasil belajar matematika
siswa akan lebih meningkat.
Sedangkan
Pendekatan
belajar
kooperatif model Jigsaw merupakan model
pembelajaran kooperatif di mana siswa
belajar dalam kelompok kecil yang terdiri
dari 4-6 orang secara heterogen dan bekerja
sama saling ketergantungan yang positif
dan bertanggung jawab atas ketuntasan
bagian materi pelajaran yang harus
dipelajari dan menyampaikan materi
tersebut kepada anggota kelompok yang
lain.
Berdasarkan
uraian
yang
telah
dikemukakan diatas, peneliti merasa perlu
untuk melakukan penelitian dalam rangka
mengetahui hasil belajar yang dapat dicapai
oleh siswa dalam pembelajaran Matematika
di SMK Kemala Bhayangkari Delog
Jakarta dengan menggunakan metode
pembelajaran Student Facilitator and
Explaining, khususnya pada materi
Program Linear.
a. Pengertian Hasil Belajar Matematika
Hasil belajar merupakan salah satu
hal yang dijadikan pusat perhatian di dalam
pendidikan, karena tingkat keberhasilan
proses belajar dapat dilihat dari hasil
belajar. Setiap individu yang melakukan
kegiatan
belajar
akan
mengalami
perubahan-perubahan, baik perubahan
dalam
pengetahuan,
sikap
maupun
keterampilan. Perubahan itu dihasilkan
individu melalui pengalaman dalam
interaksinya dengan lingkungan dan hal
tersebut disebut sebagai hasil belajar.
Menurut Sudjana (2001:22), ”hasil
belajar adalah kemampuan yang dimiliki
siswa setelah ia menerima pengalaman
belajarnya”. Teori ini menjelaskan bahwa
hasil belajar peserta didik terlihat setelah
peserta
didik
tersebut
menerima
pengalaman belajarnya.
Pendidikan Matematika Universitas Muhammadiyah Purworejo,
Ruang Seminar UM Purworejo, 28 Mei 2016
547
Tujuan pendidikan yang ingin
dicapai dapat dikategorikan menjadi tiga
aspek, yakni aspek kognitif (penguasaan
intelektual), aspek afektif (berhubungan
dengan sikap dan nilai) dan aspek
psikomotor
(kemampuan/keterampilan
bertindak). Hasil belajar ranah kognitif
berkenaan dengan kemampuan intelektual
yang terdiri dari enam aspek yaitu:
pengetahuan/ingatan, pemahaman, aplikasi,
analisis, sintesis dan evaluasi.
Hasil belajar matematika dijadikan
tolak ukur untuk siswa dalam penyelesaian
masalah dalam matematika, hal tersebut
telah dijelaskan dalam hakikat belajar
matematika adalah suatu aktivitas mental
untuk memahami arti dan hubunganhubungan serta simbol-simbol, kemudian
diterapkannya
pada
situasi
nyata.
Schoenfeldyang dikutip Uno (2010:130),
mendefinisikan bahwa “belajar matematika
berkaitan dengan apa dan bagaimana
menggunakannya
dalam
membuat
keputusan untuk memecahkan masalah”.
Hal ini menunjukkan bahwa dengan belajar
matematika diharapkan dapat membuat
peserta didik untuk mengambil keputusan
secara
tepat
dan
mampu
dalam
menyelesaikan masalah.
Sedangkan
menurut
Suhendri
(2010:19) menyatakan bahwa: “hasil
belajar matematika adalah puncak dari
kegiatan belajar yang berupa dalam bentuk
kognitif, afektif, dan psikomotorik dalam
hal kemampuan tentang bilangan, bangun,
hubungan-hubungan konsep dan logika
yang berkesinambungan serta dapat diukur
dan diamati”. Jelas disini bahwa kegiatan
belajar meliputi tiga aspek, yaitu kognitif,
afektif,
dan
psikomotorik.
Dimana
kesemuanya
saling
berkaitan
dan
berhubungan sehingga hasilnya dapat
diamati dan diukur. Adapun hasil belajar
matematika di sekolah biasanya dapat
dilihat dengan nilai (angka).
Dari uraian di atas dapat
disimpulkan
bahwa
hasil
belajar
matematika adalah tolak ukur keberhasilan
yang dicapai peserta didik dalam belajar
matematika dengan tujuan kognitif, yaitu
pengetahuan, pemahaman, penerapan,
analisis, dan evaluasi.
548
b.
Pengertian Metode Pembelajaran
Student Facilitator and Explaining
(SFE)
Uno
(2010:2)
mendefinisikan
metode pembelajaran sebagai “cara yang
digunakan guru dalam menjalankan
fungsinya yang merupakan alat untuk
mencapai tujuan pembelajaran”. Dengan
demikian bahwa fungsi dari metode
pembelajaran adalah untuk membantu
peserta
didik
mencapai
tujuan
pembelajarannya.
Salah satu upaya pencapaian
keberhasilan proses pembelajaran telah
dibahas pada bagian sebelumnya, yaitu
melalui pemilihan metode pembelajaran,
salah satunya metode pembelajaran
kooperatif. Pada model pembelajaran,
perencanaan yang telah disusun sejak awal
harus diimplementasikan berupa suatu
metode agar tujuan yang telah disusun
tercapai secara optimal.
Implementasi
metode/model
pembelajaran kooperatif salah satunya
dapat menggunakan metode Student
Facilitator and Explaining (SFE). Menurut
Suprijono (2009:71), “Metode Student
Facilitator
and
Explaining
(SFE)
merupakan metode pembelajaran dimana
siswa/peserta
didik
belajar
mempresentasikan ide/pendapat pada rekan
peserta didik lainnya”. Hal Ini berarti
bahwa metode pembelajaran Student
Facilitator and Explaining (SFE) efektif
untuk melatih siswa berbicara untuk
menyampaikan
ide/gagasan
atau
pendapatnya sendiri.
Kegiatan yang terjadi pada metode
ini memberikan kebebasan siswa baik
untuk mengemukakan ide/gagasan mereka
mampu menanggapi pendapat siswa
lainnya. Sehingga menuntut adanya
komunikasi antar siswa agar proses
pembelajaran menjadi optimal. Selain itu,
tanggung jawab terhadap ide atau pendapat
yang mereka sampaikan sangat diperlukan.
Menurut Trianto (2007:52), “metode
Student Facilitator and Explaining (SFE)
merupakan salah satu dari tipe model
pembelajaran
kooperatif
dengan
menggunakan kelompok-kelompok kecil
Prosiding Seminar Nasional Matematika dan Pendidikan Matematika, “Internalisasi Nilainilai Berpikir Matematis Dalam Perannya di Era Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA)”
dengan jumlah 4-5 orang siswa secara
heterogen”.Hal ini menunjukkan bahwa
pembagian kelompok dalam metode
Student Facilitator and Explaining (SFE)
bersifat beragam.
Sedangkan menurut Lie (2009:50),
“metode Student Facilitator and Explaining
(SFE) merupakan suatu metode dimana
siswa mepresentasikan ide/pendapat pada
siswa lainnya”.Dari pendapat ini dapat
diartikan bahwa peserta didik harus berani
mengemukakan pendapatnya di hadapan
teman-temannya.
Dari beberapa pengertian di atas
dapat diambil kesimpulan bahwa metode
Student Facilitator and Explaining (SFE)
menjadikan siswa sebagai Fasilitator dan
diajak berpikir secara kreatif sehingga
menghasilkan pertukaran informasi yang
lebih mendalam dan lebih menarik serta
menimbulkan rasa percaya diri pada peserta
didik.
1. Langkah
–
langkah
Metode
Pembelajaran Student Facilitator and
Explaining (SFE)
Menurut Riyanto (2009:283),
Metode Student Facilitator and
Explaining (SFE) mempunyai tahapan
atau langkah-langkah seperti berikut :
1) Guru menyampaikan kompetensi
yang ingin dicapai/kompetensi
dasar,
2) Guru
mendemonstrasikan/menyajikan
garis-garis
besar
materi
pembelajaran,
3) Memberikan kesempatan siswa
untuk menjelaskan kepada siswa
lainnya,
misalnya
melalui
bagan/peta konsep. Hal ini bisa
dilakukan secara bergiliran,
4) Guru menyimpulkan ide/pendapat
dari siswa,
5) Guru menerangkan semua materi
yang disajikan saat itu,
6) Penutup
7) Evaluasi.
Sedangkan Menurut Johnson (2010:117) :
“Peran siswa sebagai facilitator dan
penjelas dalam metode ini yaitu
merencanakan bagaimana cara mereka
mengajari materi yang sedang dipelajari
kepada
satu
sama
lain
dan
menyampaikannya secara lisan melalui
bagan kepada anggota kelompok lainnya.
Selain itu, menggambarkan bagaimana cara
menyelesaikan tugas yang diberikan (tanpa
memberikan jawabannya), memberikan
umpan balik yang spesifik mengenai
pekerjaan siswa lain, dan menyelesaikan
tugas dengan meminta siswa lain untuk
mendemonstrasikan cara menyelesaikan
tugas tersebut”.
Hal ini berarti siswa harus mampu
menjadi facilitator, dengan harapan
penjelasan yang diberikan dari murid ke
murid dapat lebih mudah dicerna kepada
siswa lainnya.
Suherman
(2008)
menjelaskan
langkah-langkah metode student facilitataor
and Explaining (SFE) adalah sebagai
berikut :
1) Sajian materi
2) Siswa
mengembangkannya
dan
menjelaskan lagi ke siswa lainnya.
3) Kesimpulan dan evaluasi
4) Refleksi
Sedangkan
menurut
Santyasa
(2007:6), “peran guru dalam metode ini
adalah sebagai manager, guru memonitor
disiplin kelas dan hubungan interpersonal,
dan memonitor ketepatan penggunaan
waktu dalam menyelesaikan tugas”. Hal ini
dapat dipahami bahwa dalam metode ini
tugas guru menjadi lebih sedikit karena
peran guru sudah diambil alih oleh para
facilitatoryang ditunjuk.
Isjoni (2010:63) dalam bukunya
mengungkapkan bahwa tugas guru selain
sebagai manager dapatjuga menjadi
mediator, “guru memandu menjembatani
mengaitkan materi pembelajaran yang
sedang dibahas dengan permasalahan nyata
yang ditemukan di lapangan”. Hal ini
berarti, guru harus memberikan arahan
kepada kelompok dengan menyatakan
tujuan dari materi yang diberikan, serta
mendorong siswa untuk ikut berperan aktif
dalam kelompoknya.
Dari beberapa pendapat diatas dapat
disimpulkan bahwa langkah-langkah dalam
model pembelajaran kooperatif tipe Student
Facilitator and Explaining (SFE) memiliki
beberapa tahapan, diantaranya:
Pendidikan Matematika Universitas Muhammadiyah Purworejo,
Ruang Seminar UM Purworejo, 28 Mei 2016
549
1)
Guru menyiapakan bahan ajar dan
mengidentifikasi bagian-bagian yang
sulit,
kemudian
menyusun
strategiuntuk
membantu
siswa
menghadapi kesulitan agar siswa bisa
menyelesaikan bagian sulit tersebut.
2)
Guru menyiapkan dan membagikan
LKS (Lembar Kerja Siswa) kepada
tiap kelompok.
3)
Guru mengidentifikasi siswa yang
menghadapi kesulitan belajar.
4)
Ketua
kelompok
melaporkan
keberhasilan kelompoknya dengan
mempresentasikan hasil kerjanya
5) Pendidik
menetapkan
kelompok
terbaik sampai kelompok yang kurang
berhasil (jika ada)
2.
a.
METODE PENELITIAN
Tempat Penelitian
Penelitian ini dilaksanakan di SMK
Kemala Bhayangkari Delog Jakarta, yang
beralamat di Jl. C No. 1 Rt. 001 Rw.06
Komplek Polri Ragunan Kelurahan
Ragunan, Kecamatan Pasar Minggu, Kota
Jakarta Selatan 12550.Jumlah peserta didik
seluruhnya 450peserta didik yang dibagi
menjadi 16 rombrongan belajar, yaitu kelas
X sebanyak 7 kelas, kelas XI sebanyak 5
kelas, kelas IX sebanyak 4 kelas.
b. Jenis Penelitian
Penelitian ini dilakukan dengan
menggunakan metode quasi eksperimen
(Eksperimen Semu), Menurut Sugiyono
(2009: 114) bahwa “Quasi Experimental
Design yaitu penelitian yang mempunyai
kelompok kontrol, tetapi tidak dapat
berfungsi sepenuhnya untuk mengambil
variabel-variabel luar yang mempengaruhi
pelaksanaan eksperimen”. Dalam penelitian
ini, peneliti ikut serta dalam penelitian yaitu
dengan mengajar menggunakan metode
Student Facilitator and Explainingsetiap
tatap muka pada kelas eksperimen yaitu
kelas X PM-2 dan mengajar dengan metode
Jigsaw pada kelas kontrol yaitu kelas X
PM-3 di SMK Kemala Bhayangkari Delog
Jakarta.
550
c. Sampel
Dalam penelitian ini, sampel yang
akan diteliti adalah kelas X PM-2 dan kelas
X PM-3 SMK Kemala Bhayangkari Delog
Jakarta, yaitu 30 siswa dari kelas
eksperimen dan 30 siswa dari kelas kontrol
sehingga total sampel menjadi 60 siswa.
d. Teknik Pengumpulan Data
Data hasil belajar matematika siswa
diperoleh melalui tes tertulis. Tes yang
digunakan berupa tes obyektif (pilihan
ganda) dengan 5 pilihan jawaban A, B, C,
D dan E sebanyak 25 soal dan soal yang
akan diberikan pada kelas eksperimen sama
dengan soal yang diberikan pada kelas
kontrol pada pokok bahasan Program Linier
kelas X SMK.
e. Instrumen Penelitian Hasil Belajar
Matematika
1. Definisi Konseptual
Hasil belajar matematika adalah
kemampuan yang dimiliki siswa pada
tingkat penguasaan materi pelajaran
berupa konsep matematika. Pemahaman
konsep matematika meliputi aspek
pengetahuan, sikap dan penerapan
berbagai konsep matematika. Dalam
penelitian ini pemahaman konsep
matematika yang diukur meliputi pokok
bahasan program linier yaitu, membuat
grafik
himpunan
penyelesaian,
menentukan
model
matematika,
menentukan nilai optimum, dan
menerapkan garis selidik.
2. Definisi Operasional
Hasil belajar matematika adalah
skor tentang kemampuan kognitif
peserta
didik
setelah
kegiatan
pembelajaran
matematika,
dimana
kemampuan siswa tersebut yang
meliputi
aspek
pengetahuan,
pemahaman, dan aplikasi.Adapaun tes
yang akan diberikan yaitu tes pilihan
ganda sebanyak 25 soal dengan lima
opsi pilihan. Jawaban benar diberi skor
1 dan jawaban salah diberi skor 0.
f. Teknik Analisis Data
1. Uji Persyaratan Analisis Data
a. Uji Normalitas
Prosiding Seminar Nasional Matematika dan Pendidikan Matematika, “Internalisasi Nilainilai Berpikir Matematis Dalam Perannya di Era Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA)”
Uji Normalitas distribusi frekuensi
dilakukan untuk mengetahui normal atau
tidaknya distribusi yang menjadi syarat
untuk menentukan jenis statistik apa yang
dipakai dalam analisis lebih lanjut.
Data yang perlu diuji normalitas
distribusi frekuensi dalam penelitian ini ada
2 kelompok yaitu kelompok data 1 (X1)
siswa yang diajar dengan menggunakan
model pembelajaran Student fasilitator and
explaining dan kelompok data 2 (X2) siswa
yang diajar dengan menggunakan model
pembelajaran Jigsaw. Perhitungan uji
normalitas distribusi ini menggunakan
rumus Chi-kuadrat.
1)
Membuat daftar frekunsi yang
diharapkan dengan cara :
a) Menentukan batas kelas yaitu
angka skor kiri kelas interval
pertama
dikurangi
0,5
dan
kemudian angka skor-skor kanan
kelas interval ditambah 0,5.
b) Mencari nilai z-score untuk kelas
interval dengan rumus :
c) Mencari luas o – z dari tabel kurva
normal dari o – z dengan
menggunakan angka-angka untuk
batas kelas.
d) Mencari luas tiap kelas interval
dengan cara mengurangkan angka o
– z yaitu angka baris pertama
dikurangi baris kedua, angka baris
kedua dikurangi baris ketiga dan
seterusnya. Kecuali untuk angka
yang berbeda pada baris paling
tengah ditambahkan dengan angka
pada baris berikutnya.
e) Mencari frekuensi yang diharapkan
(fe) dengan cara mengalikan luas
tiap interval dengan jumlah
responden (n = 30)
2) Mencari Chi-Kuadrat Hitung (X2 hitung)
3) MembandingkanX2 hitung dengan X2
tabel dan membandingkan X2 hitung
dengan X2 tabel untuk  = 0,05 dan
derajat kebebasan (dk) = k – 1 dengan
kriteria pengujian sebagai berikut :
Jika X2 hitung  X2 tabel, artinya
distribusi data tidak normal
Jika X2 hitung  X2 tabel, artinya
distribusi data normal
b. Uji Homogenitas
Setelah uji normalitas memberi indikasi
data hasil penelitian berdistribusi normal,
maka dilakukan uji homogenitas dengan
metode uji Fisher/Uji F (varians terbesar
dibanding varians terkecil).
-
Uji homogenitas adalah pengujian
mengenai sama tidaknya variansi-variansi
dari dua distribusi atau lebih. Menurut
Supardi
(2012:
138),
pengujian
homogenitas dengan uji F dapat dilakukan
apabila data yang akan diuji hanya ada dua
kelompok data/sampel.
Langkah-langkah pengujian homogenitas
dengan uji F adalah sebagai berikut :
1) Tentukan taraf signifikansi (⍺) untuk
menguji hipotesis:
=
≠
Dimana:
: Varians kelompok data hasil
belajar kelas eksperimen.
: Varians kelompok data hasil
belajar kelas kontrol.
Dengan kriteria pengujian:
Terima
jika
Tolak jika
.
2) Menghitung varians tiap kelompok data.
3) Tentukan nilai
. Adapun rumus
adalah sebagai berikut:
Keterangan:
: Varians terbesar
: Varians terkecil.
4) Tentukan
nilai
untuk
taraf
signifikansi ⍺, dk1 = dkpembilang = na-1,
dan dk2 = dkpenyebut = nb-1. Dalam hal ini,
na = banyaknya data kelompok varians
terbesar (pembilang) dan nb =
banyaknya data kelompok varians
terkecil (penyebut).
Pendidikan Matematika Universitas Muhammadiyah Purworejo,
Ruang Seminar UM Purworejo, 28 Mei 2016
551
5) Lakukan
pengujian
Kelom
pok
Sam
pel
Mean
Eksperi
men
30
72,96
dengan
cara
thitung
ttabel
4,27
2,00
30
68,17
Kontrol
membandingkan nilai
dan
.
2. Teknik
Analisis
Uji
Hipotesis
Penelitian
Pengujian hipotesis pada penelitian
ini menggunakan uji t dengan taraf
signifikansi 5 % atau = 0,05 dan derajat
kebebasan
. Namun, “Uji
t yang digunakan adalah uji t untuk dua
kelompok data dari dua kelompok sampel
(tidak berpasangan), karena analisis data
dalam penelitian ini dilakukan dengan cara
membandingkan data antara kelompok
eksperimen dengan kelompok kontrol”
(Supardi, 2012: 320).
Kelas

N
2
hitung
Eksperimen
30
Kontrol
30
5%
5,02
5%
2,36
Kriteria Uji:
Tolak Ho jika
Terima Ho jika
 2 tabel
Kesimpulan
  0,05
7,82
7,82
Kedua kelas
berdistribusi
normal
dan
3. HASIL DAN PEMBAHASAN
a. Uji Normalitas
2
Karena  hitung pada kedua kelas kurang
dari 
2
table
c. Uji Hipotesis
Dari tabel tersebut terlihat bahwa t hitung
lebih besar dari t tabel (4,27  2,00) maka
dapat disimpulkan bahwa H0 ditolak dan
H1diterima dengan taraf signifikansi 5%,
4. KESIMPULAN
Berdasarkan
data
yang
diperoleh dari hasil analisis data
pengujian hipotesis, dapat disimpulkan
bahwa terdapat perbedaan antara hasil
belajar matematika siswa yang
diajarkan
menggunakan
metode
pembelajaran Student Facilitator and
Explainning (SFE) dengan hasil belajar
matematika siswa yang diajarkan
menggunakan metode pembelajaran
Jigsaw. Dan berdasarkan pengolahan
data menunjukkan bahwa hasil belajar
matematika siswa yang diajarkan
dengan
menggunakan
metode
pembelajaran Student Facilitator and
Explainning (SFE) lebih tinggi dari
pada hasil belajar matematika siswa
yang diajarkan dengan menggunakan
metode pembelajaran Jigsaw.
maka dapat disimpulkan bahwa
data populasi kedua kelompokberdistribusi
normal.
b. Uji Homogenitas
Untuk pengujian homogenitas harus
diketahui harga masing-masing variansi
kedua data kelas. Kelompok variansi
tersebut adalah :
S12 = 158,6
S22 = 200,97
552
Dari perhitungan diketahui bahwa harga
ftabel sebesar 1,86. Dengan demikian, kedua
kelas mempunyai varians yang sama yaitu
homogen karena fhitungkurang dari f tabel
(1,27<1,86).
5. REFERENSI
Johnson dan Johnson. 2010. Colaborative
Learning. Bandung : Nusa Media
Lie, A. 2009. Cooperatif Learning. Jakarta :
PT Grasindo
Riyanto, Y.2009.
Paradigma
Baru
Pembelajaran Sebagai Referensi
Bagi
Pendidikan
dalam
Prosiding Seminar Nasional Matematika dan Pendidikan Matematika, “Internalisasi Nilainilai Berpikir Matematis Dalam Perannya di Era Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA)”
Implementasi Pembelajaran Yang
Efektif dan Berkualitas. Jakarta
:Kencana
Sagala, Syaiful. 2010. Konsep dan Makna
Pembelajaran. Bandung :Alfabeta.
Santyasa,
I.W.2007.
”Model-model
Pembelajaran Inovatif”. Makalah
disajikan dalam pelatihan tentang
PenelitianTindakanKelas
bagi
Guru-Guru SMP dan SMA di Nusa
Penida, tanggal 29 Juni- 01 Juli
2007.
Siregar, E dan Nara, H. 2010. Teori Balajar
danPembelajaran. Bogor :Ghalia
Indonesia.
yang Paling Komprehensif. Jakarta
:Ufuk Press.
Suprijono, A. 2009. Cooperative Learning,
TeoridanAplikasi
PAIKEM.
Yogyakarta :PustakaPelajar
Trianto.2007. Model-model Pembelajaran
Inovatif
Berorientasi
Konstruktivistik. Jakarta :Prestasi
Pustaka.
Uno,
Hamzah B. 2010. Model
Pembelajaran
Menciptakan
Proses Belajar Mengajar yang
Kreatifdan Efektif. Jakarta:
BumiAksara.
Sudjana, N. 2001. Dasar-dasar Proses
Belajar Mengajar. Bandung: Sinar
Baru Algensindo.
Sugiyono. 2010. Metode Penelitian
Pendidikan
:
Pendekatan
Kuantitatif, Kualitatif dan R&D.
Bandung : Alfabeta.
Suhendri, H. 2010. Pengaruh Kecerdasan
Matematis Logis dan Rasa
Percaya Diri Terhadap Hasil
Belajar Matematika, Majalah
Ilmiah Factor, UNINDRA, Edisi
Nov-Des :halaman 19.
Supardi. 2012. Aplikasi Statistika dalam
Penelitian Buku Tentang Statistika
Pendidikan Matematika Universitas Muhammadiyah Purworejo,
Ruang Seminar UM Purworejo, 28 Mei 2016
553
PENGARUH PENGUASAAN KONSEP OPERASI BENTUK ALJABAR DAN
EFIKASI DIRI TERHADAP HASIL BELAJAR LIMIT FUNGSI
Indah Lestari
Fakultas Teknik, Matematika dan IPA, Universitas Indraprasta PGRI
email: [email protected]
Abstrak
Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui pengaruh penguasaan konsep operasi bentuk
aljabar dan efikasi diri terhadap hasil belajar limit fungsi, mengetahui pengaruh konsep belajar
matematika terhadap hasil belajar limit fungsi dan untuk mengetahui pengaruh efikasi diri terhadap
hasil belajar limit fungsi. Metode penelitian yang digunakan adalah metode survey. Sampel yang
berjumlah 40 orang dipilih secara random dari seluruh siswa di SMA swasta di kecamatan Cilandak.
Pengumpulan data dilakukan dengan pemberian soal tes tertulis berupa soal pilihan ganda untuk
variabel operasi bentuk aljabar (X1) dan hasil belajar limit fungsi (Y), serta angket untuk variabel
efikasi diri (X2). Uji persyaratan analisis dilakukan uji normalitas menggunakan uji Chi Kuadrat dan
uji kelinieran regresi. Analisis data dengan menggunakan metode statistik deskriptif, regresi dan
korelasi.. Hasil penelitian menunjukkan: (1) Terdapat pengaruh antara penguasaan konsep operasi
bentuk aljabar dan efikasi diri terhadap hasil belajar limit fungsi (2) Terdapat pengaruh penguasaan
konsep operasi bentuk aljabar terhadap hasil belajar limit fungsi, (3) Terdapat pengaruh efikasi diri
terhadap hasil belajar limit fungsi.
Kata Kunci : Konsep Aljabar, Efikasi Diri, Limit
1. PENDAHULUAN
Matematika
berfungsi
mengembangkan kemampuan menghitung,
mengukur, menentukan dan menggunakan
rumus matematika yang diperlukan dalam
kehidupan sehari-hari mulai dari materi
pengukuran, geometri, aljabar hingga materi
trigonometri. Selain itu matematika juga
berfungsi mengembangkan kemampuan
mengkomunikasikan gagasan dengan bahasa
melalui model matematika yang berupa
kalimat maupun persamaan matematika,
diagram, grafik dan tabel. Fungsi matematika
ini sangat berguna dalam kehidupan manusia
sehari–hari yang diaplikasikan secara
langsung maupun tidak langsung.
Matematika menjadi salah satu
pelajaran wajib selain Bahasa Indonesia dan
Bahasa Inggris. Hal ini dikarenakan
Matematika baik pokok bahasan maupun
aplikasinya
sering
digunakan
dalam
kehidupan sehari-hari manusia baik secara
langsung maupun tidak langsung. Sebagai
contoh kongkret penggunaan matematika
554
dalam kehidupan sehari-hari yaitu dalam
perhitungan
seorang
pedagang
yang
menghitung untung dan rugi, pada saat itu
pedagang harus bisa menguasai aritmetika
sosial yang merupakan salah satu pokok
bahasan matematika, contoh lain yang sangat
nyata adalah aplikasi suatu pokok bahasan
terhadap pokok bahasan lain dalam
matematika yang memiliki kaitan.
Pokok–pokok
bahasan
dalam
matematika
tersusun secara hirarkis,
Matematika berkenaan dengan ide-ide atau
konsep-konsep abstrak yang tersusun secara
hirarkis dan penalarannya deduktif. karena
kehirarkisannya, maka dalam mempelajari
matematika, konsep sebelumnya merupakan
prasyarat untuk mempelajarai konsep
tertentu, artinya peserta didik tidak dapat
mempelajari konsep B sebelum peserta didik
memahami konsep A.
Seorang
peserta
didik
dalam
mempelajari sebuah pokok bahasan, tingkat
penguasaan peserta didik terhadap pokok
Prosiding Seminar Nasional Matematika dan Pendidikan Matematika, “Internalisasi Nilainilai Berpikir Matematis Dalam Perannya di Era Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA)”
bahasan yang sedang dipelajari dipengaruhi
oleh beberapa faktor antara lain faktor dari
dalam diri peserta didik yang meliputi minat,
motivasi, serta pengetahuan dan faktor dari
luar peserta didik antara lain lingkungan,
keluarga, dan sekolah yang mencakup cara
mengajar guru serta kurikulum yang berlaku
saat itu. Satu lagi faktor yang tidak kalah
pentingnya adalah penguasaan konsep
prasyarat pokok bahasan tersebut, karena
pada dasarnya setiap pokok bahasan
pelajaran memiliki konsep prasyarat yang
harus dikuasai terlebih dahulu, dan untuk
pokok bahasan limit fungsi ini konsep
prasyarat yang harus dipenuhi adalah konsep
Aljabar khususnya operasi bentuk aljabar .
Limit
merupakan dasar dalam
pembahasan kalkulus Diferensial, yaitu suatu
konsep yang dapat menjawab persoalanpersoalan yang berkaitan dengan perubahan
suatu variabel. Tingkat perubahan suatu
variabel terikat sebagai akibat dari perubahan
variabel bebas dapat ditentukan dengan
konsep Kalkulus Diferensial. Karena pada
dasarnya semua yang ada mengalami
perubahan , maka Kalkulus sangat berguna
sebagai dasar analisis matematik. Jika suatu
keadaan dapat dinyatakan dalam suatu fungsi
maka keadaan tersebut dapat dianalisis
secara matematik dengan menggunakan
Kalkulus. Dan untuk bisa mempelajari
kalkulus, Limit merupakan dasarnya, Konsep
limit dengan definisi formal akan sulit
dimengerti tapi dengan definisi tidak formal
konsep limit lebih mudah dimengerti.
Dengan definisi tidak formal, Limit
selalu dikaitkan dengan fungsi, karenanya
Limit biasa disebut dengan Limit Fungsi.
Dengan konsep limit dapat ditentukan nilai
yang didekati oleh suatu fungsi jika
peubahnya diketahui mendekati sebuah nilai.
Dan untuk menyelesaikan suatu persoalan
limit yang berupa fungsi dapat dilakukan
dengan mensubstitusi nilai dari variabel yang
diketahui, tetapi terkadang akan ditemukan
jawaban dengan nilai tak-tentu dan untuk
menyelesaikan persoalan limit fungsi ini
adalah dengan konsep aljabar.
Aljabar didefinisikan sebagai suatu
bentuk
matematika
yang
dapat
mempermudah masalah-masalah yang sulit
dengan menggunakan huruf-huruf sebagai
variabel. Huruf-huruf ini mewakili bilangan
yang belum diketahui dalam perhitungan.
Misalnya pada masalah kebakaran diperoleh
keterangan bahwa setiap t detik hutan yang
terbakar seluas A m2, hubungan A dan t
dinyatakan dalam persamaan A= 4t2 – 3 .
Maka kita dapat menghitung luas hutan yang
terbakar dalam waktu 1 jam dengan
menggunakan konsep aljabar.
Aljabar
merupakan salah satu cabang matematika
yang sangat penting karena menjadi dasar
untuk mempelajari materi berikutnya seperti
persamaan linier, persamaan garis, fungsi
dan lain-lain termasuk limit fungsi. Dalam
konsep aljabar, operasi hitung yang
mencakup
penjumlahan,
pengurangan,
perkalian dan pembagian disebut operasi
bentuk aljabar, selain keempat operasi itu,
operasi bentuk aljabar lain adalah
pemfaktoran suku aljabar dan merasionalkan.
Operasi bentuk aljabar ini sangat membantu
dalam menyelesaikan suatu permasalan rumit
yang tidak bisa diselesaikan hanya dengan
mensubtitusi biasa saja.
Soal limit fungsi dapat diselesaikan
dengan cara mensubstitusi nilai x ke dalam
fungsi yang ditanyakan, tetapi terkadang
fungsi tersebut untuk menyelesaikannya
banyak menggunakan konsep Aljabar
terutama operasi bentuk aljabar yang
mencakup
penjumlahan,
pengurangan,
perkalian, pembagian dan faktorisasi aljabar
serta merasionalkan, selain itu operasi bentuk
aljabar dipelajari peserta didik terlebih
dahulu sebelum pokok bahasan Limit Fungsi.
Hal ini menimbulkan asumsi bahwa pokok
bahasan operasi bentuk aljabar memiliki
peranan cukup penting dalam mempelajari
Pendidikan Matematika Universitas Muhammadiyah Purworejo,
Ruang Seminar UM Purworejo, 28 Mei 2016
555
Limit Fungsi. Peserta didik akan lebih mudah
untuk mempelajari Limit Fungsi jika ia telah
menguasai konsep Operasi Bentuk Aljabar.
2.
Selain dikarenakan materi prasarat ang
harus dikuasai peserta didik dalam
mempelajari
sebuah
materi
dalam
matematika. Dimyati dan Mudjiono (2006:
243) menyatakan bahwa kemampuan
berprestasi tersebut terpengaruh oleh prosesproses penerimaan, pengaktifan prapengolahan,
penyimpanan,
serta
pemanggilan untuk pembangkitan pesan dan
pengalaman. Selain itu juga bisa disebabkan
oleh efikasi diri yang rendah. Oleh karena itu
proses-proses tersebut haruslah berjalan
dengan lancar, juga efikasi diri peserta didik
yang lebih ditingkatkan, agar hasil belajar
limit fungsi juga dapat meningkat.
Setiap
manusia
mengalami
pertumbuhan dan perkembangan dalam
hidup ia mengalami berbagai masalah dan
tantangan. Untuk menghadapi itu diperlukan
adanya penyesuaian-penyesuaian dalam
dirinya dengan mengadakan perubahan
tingkah
laku
sehingga
memperoleh
kesejahteraan. Hal ini senada dengan yang
diungkapkan oleh Sudjana (2005:5) yang
menyatakan bahwa belajar adalah perubahan
tingkah laku yang disadari dan timbul akibat
praktik pengalaman, latihan bukan secara
kebetulan.
Setiap peserta didik pasti memiliki
efikasi diri, hanya tingkatannya yang
berbeda-beda. Efikasi diri tersebut akan
menentukan bagaimana cara peserta didik
menyelesaikan tugas dan hasil yang akan
dicapainya. Peserta didik dengan efikasi
yang tinggi akan tetap tenang dalam
menyelesaikan tugas meskipun dalam
keadaan penuh tekanan. Mereka akan tetap
berusaha dan gigih sehingga prestasi belajar
yang dicapai akan memuaskan. Tetapi ada
beberapa peserta didik yang merasa tidak
percaya diri atau tidak yakin pada
kemampuan dirinya dalam menyelesaikan
suatu pekerjaan. Mereka merasa bahwa
dirinya akan gagal dalam menyelesaikan
tugas tersebut, sehingga prestasi belajarnya
pun kurang baik. Uraian diatas mendorong
terciptanya penelitian ini, yaitu untuk
mengetahui bagaimana penguasaan konsep
aljabar dan efikasi diri dapat meningkatkan
hasil belajar limit fungsi.
556
KAJIAN LITERATUR
Hasil Belajar Limit Fungsi
Menurut Slameto yang dikutip oleh
Djamarah (2002:13), “ Belajar adalah suatu
proses usaha yang dilakukan individu untuk
memperoleh suatu perubahan tingkah laku
yang baru secara keseluruhan, sebagai hasil
pengalaman individu itu sendiri dalam
interaksi dengan lingkungannya.” Sedangkan
menurut Dimyati dan Mudjiono (2006:295),
“ Belajar adalah kegiatan individu
memperoleh pengetahuan, perilaku, dan
keterampilan dengan cara mengolah bahan
belajar, dalam belajar tersebut individu
menggunakan ranah-ranah kognitif, afektif
dan psikomotorik. ”
Belajar identik dengan peserta didik,
jika membicarakan mengenai belajar maka
kita akan membahas peserta didik, tapi pada
dasarnya setiap manusia mengalami proses
belajar, tidak hanya peserta didik saja, tapi
akan lebih khususnya proses belajar tejadi
pada peserta didik karena proses belajar
peserta didik terjadi secara formal.
Setelah seseorang belajar sudah pasti ia
akan memperoleh suatu hasil yang disebut
hasil belajar, untuk mengukur seberapa besar
hasil belajar dapat dilihat dari seberapa besar
penguasaan konsep yang ia miliki dan
kemampuannya dalam menyelesaikan soal-
Prosiding Seminar Nasional Matematika dan Pendidikan Matematika, “Internalisasi Nilainilai Berpikir Matematis Dalam Perannya di Era Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA)”
soal yang diberikan. Menurut Dimyati dan
Mudjiono (2006:250), ”Hasil belajar
merupakan hal yang dapat dipandang dari
dua sisi yaitu sisi peserta didik dan dari sisi
guru. Dari sisi peserta didik, hasil belajar
merupakan tingkat perkembangan mental
yang lebih baik bila dibandingkan pada saat
sebelum
belajar.
Menurut
Hamalik
(2006:30), “ Hasil belajar adalah bila
seseorang telah belajar akan terjadi
perubahan tingkah laku pada orang tersebut,
misalnya dari tidak tahu menjadi tahu, dan
dari tidak mengerti menjadi mengerti.”
Dari uraian diatas dapat disimpulkan
bahwa hasil belajar adalah perubahan yang
terjadi
pada
peserta
didik
setelah
mendapatkan pengetahuan dan informasi
baru dari proses belajar melalui pengalaman
dan latihan.
Persoalan–persoalan yang berkaitan
dengan perubahan rata-rata dari suatu peubah
yang mempengaruhi peubah-peubah lain
yang terkait, tidak dapat hanya dijabarkan
dengan
aljabar
biasa,
untuk
itu
dikembangkanlah suatu konsep yang dapat
menjawab persoalan tersebut yang dikenal
dengan nama kalkulus diferensial yang salah
satu materinya adalah Limit Fungsi. Menurut
Simangunsong (2002:2), “ Limit fungsi f(x)
adalah suatu nilai yang didekati oleh fungsi
F(x) jika x mendekati suatu nilai tertentu”.
Misal untuk x mendekati a maka f(x)
mendekati L, keadaan ini ditulis sebagai
berikut :
Lim f ( x)  L
x a
dibaca : limit f(x) =
L untuk x mendekati a
“ x → a “ dibaca : “ x mendekati a”,
mempunyai maksud bahwa nilai x sangat
dekat dengan a tetapi tidak sama dengan a.
Penentuan nilai limit f(x) dengan
menyelidiki seperti contoh memerlukan
waktu sangat lama. Karena itu diturunkan
teorema-teorema yang dapat digunakan
untuk menentukan nilai limit fungsi secara
langsung. Teorema tersebut antara lain :
(Simangunsong, 2002:9)
1. Untuk sembarang k yang konstan , maka
Lim k  k
x a
Lim x  x
2. xa
3. Untuk
sembarang
k
maka
Lim kx  k Lim x  kx
x a
4.
x a
Lim  f ( x)  g ( x)  Lim f ( x)  Lim g ( x)
x a
x a
5. xa
6. Jika
x a
Lim  0 maka Lim
x a

x a
x a
f ( x)
f ( x) Lim
 x a
g ( x) Lim g ( x)
Lim f ( x)  Lim f ( x)
n
7.
x a
Lim f ( x).g ( x)  Lim f ( x). Lim g ( x)
x a
x a

x a
n
Berdasarkan toerema diatas maka
dapat dirumuskan bahwa untuk menentukan
nilai Limit suatu fungsi f(x) untuk x
mendekati a, dapat dilakukan dengan cara
mensubtitusi nilai x = a ke dalam fungsi
f(x). Tetapi kadang kala, penentuan limit
f(x) untuk x mendekati a, tidak cukup hanya
dengan menggunakan konsep aljabar biasa
yaitu mensubtitusi dan operasi bentuk
aljabar (jumlah, kurang, kali dan bagi).
Karena untuk bentuk – bentuk tertentu yang
bila dimasukan nilai x = a ke fungsi f(x) dan
0

diperoleh hasil berupa 0 atau  atau (∞ ∞), Bentuk-bentuk ini disebut bentukbentuk yang tidak dapat ditentukan atau
dikenal dengan bentuk tak-tentu.
Simangunsong (2002:12), menyatakan
bahwa untuk soal limit yang diperoleh hasil
yaitu berupa bentuk tak-tentu, diperlukan
operasi bentuk aljabar lain seperti
memfaktorkan, membagi, merasionalkan dan
lainnya.
Berdasarkan
uraian
diatas,
disimpulkan bahwa Limit Fungsi adalah
suatu cara menentukan nilai suatu fungsi f(x)
untuk x mendekati suatu nilai tertentu yang
dapat dilakukan dengan menyelidiki nilai
limit, memahami teorema limit fungsi,
mensubtitusi nilai x ke dalam fungsi f(x) dan
memyelesaikan bentuk-bentuk tak-tentu
dengan operasi bentuk aljabar.
Pendidikan Matematika Universitas Muhammadiyah Purworejo,
Ruang Seminar UM Purworejo, 28 Mei 2016
557
Maka hasil belajar limit fungsi
didefinisikan sebagai perubahan positif yang
dialami peserta didik setelah ia mengalami
proses belajar dengan hasil yang mencakup
pengetahuan mengenai definisi Limit fungsi,
menentukan nilai limit dengan menyelidiki,
memahami teorema-teorema limit fungsi dan
menyelesaikan bentuk tak-tentu dengan
aljabar.
Penguasaan Konsep Operasi bentuk
Aljabar
Untuk meningkatkan kemampuan
memecahkan masalah perlu dikembangkan
keterampilan memahami masalah, membuat
model matematika, menyelesaikan masalah
dan menafsirkan solusinya. Dalam setiap
kesempatan,
pembelajaran
matematika
hendaknya dimulai dengan pengenalan
masalah yang sesuai dengan situasi
(Contextual problem), dengan mengajukan
masalah konseptual, peserta didik secara
bertahap dibimbing untuk menguasai konsep
matematika .
Menurut M. Sumantri yang dikutip
oleh Sudjana (2005:67), “Konsep adalah
tatanan proses yang tersusun secara apik
berdasarkan pada pola berpikir yang telah
ditetapkan.” Pentingnya penguasaan konsep
dari setiap materi pelajaran akan mendorong
dan memotivasi peserta didik untuk
mengembangkan kemampuan berpikirnya.
Proses atau cara yang merupakan bentuk
penguasaan pelajaran harus didasari oleh
konsep yang jelas dan matang. Purwanto
(2004:67) menyatakan bahwa dalam
memahami suatu persoalan yang berkaitan
dengan pelajaran hendaknya didasari oleh
konsep yang jelas sebagai landasan dalam
berpikir. Terutama untuk materi pelajaran
matematika, yang memiliki landasan konsep
yang jelas dan terarah, maka untuk
mempelajarinya
harus
benar–benar
menguasai konsep yang ditujukan untuk
mempermudah
peserta
didik
dalam
558
mengerjakan soal-soal yang berhubungan
dengan materi yang dipelajari dan disiplin
ilmu lain yang merupakan penerapan dari
matematika.
Penguasaan konsep diartikan sebagai
pemahaman atau kesanggupan peserta didik
dalam menguasai materi atau pengetahuan
yang sedang dipelajari, dan mampu
mengaplikasikannya dalam menyelesaikan
soal-soal yang diberikan, baik berhubungan
dengan materi yang dipelajari maupun
terapannya. Pada materi Aljabar, penguasaan
konsep peserta didik sangat diperlukan untuk
mempermudah menyelesaikan soal yang
ditanyakan, Menurut Tampomas (2006:100),
“Aljabar adalah suatu bentuk matematika
yang dapat mempermudah masalah-masalah
yang sangat sulit dengan menggunakan huruf
- huruf”. Pada Aljabar dikenal simbol-simbol
abjad seperti a, b, c, x, y, dan sebagainya
sebagai pengganti bilangan seperti : x + y,
ab, c - d, dan x:a. Dalam perkembangan
selanjutnya
aljabar
tidak
hanya
menggunakan abjad sebagai lambang
bilangan yang diketahui atau yang belum
diketahui, tetapi juga menggunakan lambinglambang lain, seperti titik-titik ( contoh : 3 +
… = 5 ), lebih besar ( > ), Lebih kecil (<) dan
sebagainya.
Dalam matematika bilangan-bilangan
seperti 2x2y, -10x, dan sebagainya disebut
bentuk aljabar, Menurut Tampomas
(2006:101), “ Bentuk aljabar adalah suatu
konstanta, suatu peubah atau suatu bentuk
yang melibatkan konstanta dan peubah
disertai sejumlah berhingga operasi aljabar”.
Pada aljabar terdapat berbagai bentuk
suku ada suku tunggal (hanya terdiri dari
satu suku) 3a dan p2 ada yang terdiri dari 4
suku seperti 4a2 + 2a + 3a + 5. Pada bentuk
3a = 3 x a, 3 disebut faktor perkalian. Faktor
perkalian yang berupa konstanta disebut
koefisien.. Contoh pada bentuk 3a, 3 disebut
koefisien dan a disebut variabel atau
Prosiding Seminar Nasional Matematika dan Pendidikan Matematika, “Internalisasi Nilainilai Berpikir Matematis Dalam Perannya di Era Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA)”
peubah. Pada bentuk aljabar 4a2 + 2a + 3a +
5, terdapat suku-suku sejenis, yaitu 2a dan
3a. Suku-suku sejenis pada bentuk aljabar
hanya
berbeda
pada
koefisiennya,
sedangkan variablenya sama. Sehingga 4a2
dan 2a bukan suku sejenis, karena variabel
a2 ≠ a.
Aljabar
merupakan
cabang
matematika yang memuat perhitungan
dengan simbol-simbol abjad sebagai
pengganti terhadap angka aritmetika dengan
segala bentuk operasinya. Pada awalnya
operasi hitung hanya dilakukan pada angka
aritmetika
dan
bilangan,
dalam
perkembangan selanjutnya penggunaan
bilangan dapat diganti dengan simbolsimbol abjad. Penggunaan abjad dalam
aritmetika inilah yang kemudian dikenal
dengan
Aljabar,
sedangkan
operasi
hitungnya disebut dengan Operasi Bentuk
Aljabar. Operasi hitung bentuk aljabar
mencakup penjumlahan, pengurangan,
perkalian, pembagian dan pemfaktoran serta
merasionalkan
bentuk
aljabar.
Memfaktorkan dalam bentuk aljabar berarti
mengubah bentuk penjumlahan suku-suku
menjadi bentuk perkalian.
Jadi penguasaan konsep operasi
bentuk aljabar adalah pemahaman atau
kesanggupan peserta didik dalam menguasai
materi operasi bentuk aljabar meliputi
operasi penjumlahan aljabar, pengurangan
aljabar, perkalian aljabar, pembagian dan
faktorisasi aljabar serta merasionalkan.
Tingkat penguasaan konsep dari operasi
bentuk
aljabar
dilihat
berdasarkan
kemampuan
peserta
didik
dalam
menyelesaikan soal-soal mengenai operasi
bentuk aljabar serta terapannya salah
satunya adalah Limit Fungsi.
Efikasi Diri
Efikasi
berhubungan
dengan
keyakinan seseorang dalam menyelesaikan
tugasnya. Seseorang bisa menyelesaikan
tugas dalam proses belajarnya apabila
dirinya memiliki keyakinan untuk bisa
menyelesaikan tugas tersebut. Efikasi diri
sangat penting bagi seseorang untuk
mencapai keberhasilan. Kita hanya akan
sukses mengerjakan suatu pekerjaan apabila
mempunyai keyakinan mampu untuk
menyelesaikan tugas atau pekerjaan yang
menjadi tanggung jawab kita.
Kreitner (2003: 169) menyatakan
bahwa self-efficacy adalah keyakinan
seseorang mengenai peluangnya untuk
berhasil mencapai tugas tertentu. Seseorang
dengan efikasi dirinya akan merasa yakin
mampu menyelesaikan tugas dalam situasi
apapun. Dipertegas dengan pendapat Yorra
(2014: 1) , “Self-efficacy is an individual's
belief in their ability to perform well in a
variety of situations". Yang bila diartikan
dalam bahasa Indonesia, efikasi diri adalah
keyakinan individu akan kemampuan
mereka untuk melakukan sesuatu dengan
baik dalam berbagai situasi. Sependapat
dengan Yorra, Wibowo (2013: 31)
mengatakan self efficacy atau efikasi diri
berkenaan pada keyakinan orang bahwa
mereka dapat berhasil menyelesaikan tugas.
Mereka yang mempunyai efikasi diri tinggi
mempunyai
sikap
‟saya
dapat
menyelesaikan tugas‟.
Baron & Greenberg dalam Nurhasnah
(2006: 16) mendefinisikan efikasi diri
sebagai evaluasi seseorang mengenai
kemampuan atau kompetensi dirinya untuk
melakukan suatu tugas, mencapai tujuan
atau mengatasi hambatan. Bandura dalam
Ferridiyanto (2012: 5) menjelaskan
“Perceived self efficacy refers to beliefs in
one’s capabilities to organize and execute
the course of action required to produce
given attainments”. Self efficacy atau
Pendidikan Matematika Universitas Muhammadiyah Purworejo,
Ruang Seminar UM Purworejo, 28 Mei 2016
559
efikasi diri merupakan persepsi individu
akan keyakinan kemampuannya melakukan
tindakan yang diharapkan. Keyakinan
efikasi diri mempengaruhi pilhan tindakan
yang akan dilakukan, besarnya usaha dan
ketahanan ketika berhadapan dengan
hambatan atau kesulitan.
Individu dengan efikasi diri tinggi
memilih melakukan usaha lebih besar dan
pantang menyerah. Sesuai dengan pendapat
Schunk dalam Nurhasnah (2006: 15)
mengatakan bahwa orang yang memiliki
efikasi diri yang tinggi memilih untuk
mengerjakan tugas- tugas yang lebih
menantang, sedangkan orang dengan efikasi
rendah
cenderung menghindarinya.
Ferridiyanto (2012: 5) menyatakan bahwa
efikasi diri merupakan persepsi individu
akan keyakinan kemampuannya melakukan
tindakan yang diharapkan. Keyakinan
efikasi diri mempengaruhi pilihan tindakan
yang akan dilakukan, besarnya usaha dan
ketahanan ketika berhadapan dengan
hambatan atau kesulitan. Individu dengan
efikasi diri tinggi memilih melakukan usaha
lebih besar dan pantang menyerah.
Schermerhorn dalam Wibowo (2013:
160) mendefinisikan efikasi diri sebagai
keyakinan orang bahwa ia mempunyai
kemampuan melakukan suatu tugas, dan
merupakan bagian penting dari kontrol diri.
Zimmerman dalam Harahap (2008: 44 )
mengungkapkan bahwa Peserta didik yang
rendah tingkat efikasinya akan memilih
tugas yang lebih mudah dan menghindar
dari tugas secara keseluruhan serta berupaya
untuk tidak bekerja dan peserta didik seperti
ini lebih mudah menyerah. Hal ini
menandakan bahwa peserta didik yang
efikasi-diri rendah mudah putus asa, tidak
suka menghadapi kesulitan dalam belajar,
pesimis dengan pencapaian tujuan yang
mengakibatkan motivasi untuk belajar
kurang sehingga prestasi yang dicapai tidak
memuaskan dan bahkan buruk.
560
Menurut
Schermerhorn
dalam
Wibowo (2013: 162) ada empat cara untuk
membangun atau meningkatkan efikasi diri,
yaitu : (1) Enactive mastery atau
penguasaan
tetap
yaitu
mendapat
kepercayaan melalui pengalaman yang
positif. (2) Vicarious modeling atau contoh
yang dilakukan oleh orang lain yaitu
mendapatkan
kepercayaan
dengan
mengamati orang lain yang melakukan
tugas tersebut. (3) Verbal persuation atau
bujukan
verbal
yaitu
mendapatkan
kepercayaan seseorang yang memberi tahu
kita atau mendorong kita bahwa kita dapat
menjalankan tugas tersebut. (4) Emotional
arousal
atau
kemunculan
yaitu
mendapatkan kepercayaan ketika kita sangat
di dorong atau di beri semangat untuk
berkinerja baik dalam situasi.
Orang dengan efikasi diri tinggi
berkeyakinan bahwa mereka mempunyai
kemampuan yang diperlukan untuk
melakukan perkerjaan tertentu, bahwa
mereka sanggup melakukan pekerjaan
tertentu, bahwa mereka sanggup melakukan
usaha yang diperlukan dan tidak ada
kejadian diluar akan menghalangi mereka
mencapai tingkat kinerja yang diharapkan.
Sebaliknya, orang dengan efikasi diri
rendah berkeyakinan bahwa betapa keras
mereka berusaha, mereka tidak dapat
mengelola lingkungan mereka dengan
cukup baik untuk berhasil.
Berdasarkan berbagai pendapat
di atas, dapat disimpulkan bahwa
efikasi diri adalah keyakinan pada
kemampuan
diri
sendiri
untuk
menghadapi masalah dan memecahkan
masalah dengan efektif, serta meyakini
diri mampu berhasil dan sukses
mengerjakan suatu pekerjaan. Orang
dengan efikasi diri tinggi akan berpikir
bahwa apapun tugas yang akan
diterimanya, ia pasti akan mampu
menyelesaikannya
dengan
baik.
Prosiding Seminar Nasional Matematika dan Pendidikan Matematika, “Internalisasi Nilainilai Berpikir Matematis Dalam Perannya di Era Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA)”
Dengan bermodal keyakinan inilah
yang menjadi dasar berpikir positif
untuk melakukan sesuatu.
3. METODE PENELITIAN
Penelitian ini dilaksanakan pada
peserta didik kelas XI SMA Swasta di
Cilandak. Penelitian ini merupakan
penelitian
kuantitatif
dengan
menggunakan metode survey. Variabel
bebas dalam penelitian ini adalah
penguasaan konsep operasi bentuk
aljabar dan efikasi diri, sedangkan
variabel terikatnya adalah hasil belajar
limit fungsi. Metode pengumpulan
data dilakukan dengan memberikan
soal tes berbentuk pilihan ganda
berjumlah 30 soal untuk variabel
penguasaan konsep aljabar dan hasil
belajar limit fungsi serta angket
berjumlah 40 untuk variabel efikasi
diri. Teknik analisis statistik yang
digunakan adalah regresi ganda dan
korelasi
ganda
dengan
desain
penelitian pada gambar 1.
Efikasi Diri Terhadap
Belajar Limit Fungsi
Hasil
2
:
Pengaruh Penguasaan Konsep
Operasi Bentuk Aljabar Terhadap
Hasil Belajar Limit Fungsi
3
:
Pengaruh Efikasi Diri Terhadap
Hasil Belajar Limit Fungsi
Populasi dalam penelitian ini adalah
seluruh peserta didik kelas XI SMA
Kemala Bhayangkari, Cilandak. Cara
pengambilan sampel atau teknik
sampling dilakukan dengan teknik
random sampling, jumlah sampel yang
diambil sebanyak 40 peserta didik yang
akan diambil secara random.
4. HASIL PENELITIAN
PEMBAHASAN
Hasil Penelitian
DAN
1.
Analisis Statistik
Deskriptif
Untuk
memperoleh
data
statistik deskriptif dari setiap
variabel maka dilakukan perhitungan
dengan menggunakan komputerisasi
melalui program micosoft excel.
Berikut iniadalah rangkuman hasil
perhitunganna:
Data hasil belajar limit fungsi
memiliki nilai rata-rata = 78,375,
median= 79, modus = 78,67, varians
= 62,035, dan simpangan baku 7,88.
Gambar 1. Desain Penelitian
X1 : Penguasaan konsep operasi bentuk
aljabar
X2 : Efikasi Diri
Y : Hasil Belajar Limit Fungsi
1
:
Pengaruh Penguasaan Konsep
Operasi Bentuk Aljabar dan
Data
penguasaan
konsep
operasi bentuk aljabar memiliki nilai
rata-rata = 76,375, median= 77,5,
modus = 81,72, varians = 205,93,
dan simpangan baku 14,35.
Data efikasi diri memiliki nilai
rata-rata = 93,025, median= 93,57,
modus = 93,5, varians = 144,18, dan
simpangan baku 10,69.
Pendidikan Matematika Universitas Muhammadiyah Purworejo,
Ruang Seminar UM Purworejo, 28 Mei 2016
561
Dari uraian diatas dapat
disimpulkanbahawa
ketigadata
tergolong baik untuk dijadikan
sebagai data penelitian.
Hasil analisis dan pengujian
normalitas dengan teknik uji chi
kuadrat, pengujian ini dilakukan
secara komputerisasi melalui
program Microsoft Excel, hasil
dapat
dilihat
pada
tabel
2. Uji Persyaratan Analisis Data
a. Uji Normalitas
Tabel 1. Hasil Pengujian Normalitas
No
Kelompok Data
Harga
χ2h
Harga
χ2t
Kesimpulan
1.
Instrument operasi bentuk aljabar
10,476
11,070
berdistribusi normal
2.
Instrument limit fungsi
3,440
11,070
Berdistribusi normal
3.
Efikasi Diri
9,298
11,070
Berdistribusi normal
b. Uji Linieritas
Analisis dan pengujian Linieritas
dilakukan secara komputeisasi
menggunakan Microsoft excel
dan diperoleh hasil yang dapat
dilihat pada tabel 2.
Tabel 2. Hasil Pengujian Linieritaas
No
Kelompok Data
Harga
Fh
Harga
Ft
Kesimpulan
1.
Uji linier penguasaan konsep operasi bentuk
aljabar terhadap hasil belajar limit fungsi
0,40
2,2538
Data Linier
2.
Uji linier Efikasi diri terhadap hasil belajar
limit fungsi
0,39
2,2538
Data Linier
signifikan
antara
penguasaan
konsep
operasi bentuk aljabar
(X1) terhadap hasil
belajar limit fungsi (Y)
3. Pengujian
Analisis
Hipotesis
Penelitian
a. Korelasi Ganda
1) Korelasi Y atas X1
Hipotesis yang diuji :
H0
562
:
Tidak
hubungan
terdapat
yang
H1
: Terdapat hubungan
yang signifikan antara
Prosiding Seminar Nasional Matematika dan Pendidikan Matematika, “Internalisasi Nilainilai Berpikir Matematis Dalam Perannya di Era Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA)”
penguasaan
konsep
operasi bentuk aljabar
(X1) terhadap hasil
belajar limit fungsi (Y)
menerima H1 , dengan demikian
disimpulkan terdapat hubungan yang
signifikan antara efikasi diri (X2) terhadap
hasil belajar limit fungsi (Y).
Koefisien korelasi antara penguasaan
konsep operasi bentuk aljabar
(X1)
terhadap hasil belajar limit fungsi (Y)
sebesar 0,543 tergolong agak rendah.
Kontribusi penguasaan konsep operasi
bentuk aljabar terhadap hasil belajar limit
fungsi sebesar 29,48% sedangkan 70,52%
ditentukan oleh faktor (variabel) lain.
Pengujian hipotesis korelasi sederhana
antara X1 dan Y dilakukan denan uji-t dan
diperoleh nilai thitung = 3,99.
3) Korelasi X1 dan X2
Dari perhitungan ang dilakukan
diperoleh koefisien korelasi dari X1
dan X2 sebesar 0,443.
Harga ttabel pada α = 0,05 dan dk =
40-2 = 38 untuk uji dua pihak ttabel adalah
2,021. Karena thitung > ttabel = 3,99 > 2,021
maka pengujian hipotesis menolak H0 dan
menerima H1 , dengan demikian
disimpulkan terdapat hubungan penguasaan
konsep operasi bentuk aljabar
(X1)
terhadap hasil belajar limit fungsi (Y)
2) Korelasi Y atas X2
Hipotesis yang uji :
H0
:
Tidak terdapat hubungan yang
signifikan antara efikasi diri (X2)
terhadap hasil belajar limit fungsi (Y)
H1
:
Terdapat hubungan yang
signifikan antara efikasi diri (X2)
terhadap hasil belajar limit fungsi (Y)
Koefisien korelasi antara efikasi diri
(X2) terhadap hasil belajar limit fungsi
(Y) sebesar 0,4745 tergolong agak
rendah. Kontribusi efikasi diri
terhadap hasil belajar limit fungsi
sebesar 22,52% sedangkan 77,48%
ditentukan oleh faktor (variabel) lain.
Harga ttabel pada α = 0,05 dan dk = 40-2 =
38 untuk uji dua pihak ttabel adalah 2,021.
Karena thitung > ttabel = 3,32 > 2,021 maka
pengujian hipotesis menolak H0 dan
4) Korelasi ganda antara variabel X1 dan
X2 secara bersama-sama dengan
variabel Y.
Hipotesis yang diuji :
H0
: Tidak terdapat hubungan yang
signifikan antara penguasaan
konsep operasi bentuk aljabar
(X1) dan efikasi diri (X2) secara
bersama-sama terhadap hasil
belajar limit fungsi (Y)
H1
: Terdapat hubungan
yang
signifikan antara penguasaan
konsep operasi bentuk aljabar
(X1) dan efikasi diri (X2) secara
bersama-sama terhadap hasil
belajar limit fungsi (Y)
Koefisien korelasi ganda antara
penguasaan konsep operasi bentuk aljabar
(X1) dan efikasi diri (X2) terhadap hasil
belajar limit fungsi (Y) sebesar 0,602
tergolong cukup. Kontribusi variabel X1 dan
X2 secara bersama-sama terhadap Y hanya
sebesar 36,3% sedangkan 63,7 ditentukan
oleh faktor lain.
Harga Ftabel pada α = 0,05 ; dkpembilang =
k = 2 ; dkpenyebut = n-k-1 = 40-2-1= 37 adalah
3,25
Karena Fhitung > Ftabel = 17,48 > 3,25
maka pengujian hipotesis menolak H0 dan
menerima H1 , dengan demikian disimpulkan
bahwa terdapat hubungan yang signifikan
antara penguasaan konsep operasi bentuk
aljabar (X1) dan efikasi diri (X2) secara
Pendidikan Matematika Universitas Muhammadiyah Purworejo,
Ruang Seminar UM Purworejo, 28 Mei 2016
563
bersama-sama terhadap hasil belajar limit
fungsi (Y)
b. Regresi Ganda
Berdasarkan perhitungan diperoleh
persamaan umum regresi ganda adalah
Hipotesis yang diuji :
H0 : β1 = β2 = 0
H1 : bukan H0
Karena Fhitung > Ftabel = 10,54 > 3.25
, maka H0 ditolak dan disimpulkan
terdapat pengaruh yang signifikan
penguasaan konsep operasi bentuk aljabar
dan efikasi diri terhadap hasil belajar limit
fungsi.
1) Menguji
keberartian
regresi b1
Hipotesis yang diuji :
koefisien
H0 : β1 = 0
H1 : β1 ≠ 0
Dari hasil perhitungan diatas diperoleh
thitung > ttabel = 2,819 > 2,02, artinya H0
ditolak maka dapat disimpulkan terdapat
pengaruh yang signifikan penguasaan
konsep operasi bentuk aljabar terhadap
hasil belajar limit fungsi.
2) Menguji
keberartian
regresi b2
Hipotesis yang diuji :
koefisien
H0 : β2 = 0
H1 : β2 ≠ 0
Dari hasil perhitungan diatas diperoleh
thitung > ttabel = 2,052 > 2,02, artinya H0
ditolak maka dapat disimpulkan terdapat
pengaruh yang signifikan efikasi diri
terhadap hasil belajar limit fungsi.
564
Pembahasan
Dari hasil penelitian terlihat Fhitung >
Ftabel (10,54 > 3.25) maka dapat disimpulkan
bahwa H0 ditolak dan H1 diterima dengan
taraf signifikansi 5%. Hal ini berarti bahwa
pengaruh penguasaan konsep operasi bentuk
aljabar dan efikasi diri secara bersama-sama
berpengaruh terhadap hasil belajar limit
fungsi. Dimana peserta didik yang
mempunyai penguasaan konsep operasi
bentuk aljabar dan efikasi diri yang tinggi
mempunyai hasil belajar limit fungsi yang
tinggi pula.
Hasil belajar limit fungsi pada
umumna akan baik jika peserta didik
memiliki kemampuan untuk menganalisa
soal dengan baik, peserta didik memahami
kapan harus mensubtitusi nilai x kedalam
fungsi,
kapan
harus
merasionalkan,
memfaktorkan,
bahkan
menggunakan
diferensial dalam dalil Hospital. Peserta
didik yang telah mampu menganalisa soal
juga harus menguasai operasi aljabar, karena
walau ia mampu menganalisa soal tetapi
tidak menguasai konsep aljabar, maka ia
tetap tidak bisa menyelesaikan soal limit
fungsi. Selain menguasai konsep aljabar,
peserta didik juga harus memiliki rasa efikasi
diri, Efikasi diri diperlukan dalam kehidupan
sehari-hari terutama untuk mencapai
keberhasilan dalam proses belajar mengajar.
Sesuai dengan teori Wibowo (2013: 32) yang
menyatakan bahwa efikasi diri sangat
penting bagi seseorang untuk mencapai
keberhasilan. Dan di perkuat oleh penelitian
yang dilakukan oleh Apsari (2014: 98)
mengatakan bahwa semakin tinggi efikasi
diri yang dimiliki oleh peserta didik akan
semakin tinggi pula prestasi belajar. Dengan
efikasi diri peserta didik dapat merencanakan
tindakan, merespon dengan aktif proses
pembelajaran
dikelas,
serta
mampu
memberikan solusi dalam suatu proses
pemecahan masalah karena didasari dengan
sikap yang tidak mudah menyerah.
Prosiding Seminar Nasional Matematika dan Pendidikan Matematika, “Internalisasi Nilainilai Berpikir Matematis Dalam Perannya di Era Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA)”
Peserta didik yang memiliki konsep
aljabar yang baik disertai memiliki efikasi
diri yang tinggi akan memiliki hasil belajar
limit fungsi yang tinggi pula, hal ini
dikarenakan peserta didik tahu bagaimana
harus menyelesaikan soal limit fungsi dan ia
juga merasa yakin pada kemampuan dirinya
bahwa ia dapat menyelesaikan soal limit
fungsi dengan benar, tentunya karena peserta
didik memiliki efikasi diri yang tinggi, lain
halnya jika peserta didik menguasai konsep
aljabar yang baik, tetapi ia tidak memiliki
efikasi diri, maka ia akan ragu untuk
mengerjakan soal limit fungsi, sehingga ia
akan
kehilangan
konsentrasi
dalam
pengerjaan soal limit fungsi. Sebanding
dengan itu seseorang yang tidak menguasai
konsep aljabar walaupun memiliki efikasi
diri yang tinggi juga akan sulit mengerjakan
soal limit fungsi karena ia merasa yakin
bahwa ia mampu mengerjakan soal, tetapi
pada kenyataanya ia tidak bisa mengerjakan
soal limit fungsi karena ia tidak tahu konsep
aljabar mana yang harus digunakan,
mensubtitusi, merasional atau memfaktorkan.
Ketidaktahuan ini akan menyebabkan peserta
didik tidak mampu menyelesaikan soal limit
fungsi, walaupun ia memiliki efikasi diri
yang tinggi.
Hal
inilah
yang
menyebabkan
pengaruh penguasaan konsep aljabar
terhadap hasil belajar limit fungsi tergolong
rendah, begitu pula pengaruh efikasi diri
terhadap hasil belajar limit fungsi. Kedua
variabel bebas ini masing-masing memberi
kontribusi yang tidak terlalu besar, tetpai jika
penguasaan konsep operasi bentuk aljabar
dan efikasi diri secara bersama-sama akan
memberi pengaruh yang lebih tinggi untuk
hasil belajar limit fungsi.
5. KESIMPULAN
Berdasarkan hasil penelitian dan
pembahasan, maka dapat disimpulkan:
1. Terdapat pengaruh antara penguasaan
konsep operasi bentuk aljabar dan efikasi
diri terhadap hasil belajar limit fungsi.
2. Terdapat pengaruh penguasaan konsep
operasi bentuk aljabar terhadap hasil belajar
limit fungsi.
3. Terdapat pengaruh efikasi diri terhadap
hasil belajar limit fungsi.
6. REFERENSI
Apsari,
Bekti
Susilo.Dkk.
2014.
Pengaruh
Efikasi
Diri,
Pemanfaatan Gaya Belajar dan
Lingkungan Teman Sebaya
terhadap
Prestasi
Belajar
Akuntansi (Studi Kasus di SMK
Negeri 1 Surakarta). Jurnal
Pendidikan UNS, Vol. 3, No. 1
Dimyati dan Mudjiono. 2006. Belajar
dan Pembelajaran. Jakarta:
Rineka Cipta
Djamarah, Syaiful Bahri. 2002. Psikologi
Belajar. Jakarta : Rineka Cipta.
Ferridiyanto, Eko. 2012. Pengaruh
Efikasi Diri (Self Efficacy) dan
Prestasi
Belajar
Kewirausahaan
Terhadap
Motivasi Bertechnopreneurship
Siswa Jurusan Teknik Instalasi
Tenaga Listrik SMK 1 Sedayu.
Jurnal tugas akhir skripsi.
http://eprints.uny.ac.id/8861/1/J
URNAL.pdf . diakses tanggal
29 November 2014 pukul 11.32
Hamalik, Oemar. 2006. Proses Belajar
Mengajar. Bandung : Tarsito.
Harahap,
Dakkal. 2008. Analisis
Hubungan Antara Efikasi Diri
Siswa Dengan Hasil Belajar
Kimianya. Jurnal Pendidikan
Kimia.
http://digilib.unimed.ac.id/publi
c/UNIMED-Article-23795Dakkal-UMTS.pdf
diakses
Pendidikan Matematika Universitas Muhammadiyah Purworejo,
Ruang Seminar UM Purworejo, 28 Mei 2016
565
tanggal 11 Desember 2014
pukul 07.21
Kreitner, Robert dan Angelo Kinicki.
2003.
Perilaku
Organisasi.
Jakarta: Salemba Empat
Nurhasnah. 2006. Hubungan Efikasi Diri
dan Indeks Prestasi Keberhasilan
Belajar. Jurnal Publikasi Ilmiah
Pusdiklat Migas Vol. 13 No. 3.
http://www.pusdiklatmigas.com/o
ld/modules/Publikasi_Ilmiah/3.pd
f diakses tanggal 11 Desember
2014 pukul 07.25
Purwanto, Ngalim.
2004. Prinsipprinsip dan Teknik Evaluasi
pengajaran. Bandung : Remaja
Rosdakarya.
Simangunsang,
Wilson.
2002.
Matematika Kelas 2 SMU
Program
Pemantapan
Kemampuan Siswa. Jakarta :
Gematama.
Sudjana, Nana. 2005. Penilaian Hasil
Proses
Belajar
Mengajar.
Bandung: Remaja Rosdakarya.
Tampomas, Husein. 2006. Matematika
Plus 1A. Jakarta : Yudhistira.
Wibowo. 2013.
Organisasi.
Press
Perilaku
Dalam
Jakarta: Rajawali
Yorra, Mark. L. 2014. Self-efficacy and
self-esteem
in
third-year
pharmacy students. American
Journal
of
Pharmaceutical
Education. http://www.ajpe.org/.
diakses tgl 29 November 2014
pukul 12.12
566
Prosiding Seminar Nasional Matematika dan Pendidikan Matematika, “Internalisasi Nilainilai Berpikir Matematis Dalam Perannya di Era Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA)”
PENGARUH PEMAHAMAN KONSEP MATEMATIKA DAN KONSEP DIRI
TERHADAP SIKAP WIRAUSAHA SISWA
Yogi Wiratomo1) Arif Rahman Hakim2)
FT MIPA, Universitas Indraprasta PGRI Jakarta
email: [email protected]
2
FT MIPA, Universitas Indraprasta PGRI Jakarta
email: [email protected]
1
Abstrak
Dalam menyambut Masyarakat Ekonomi Asia (MEA) maka diperlukan pengajaran yang
berorientasi kepada pengembangan sikap wirausaha siswa, tujuan dari penelitian adalah untuk
mengetahui pengaruh pemahaman konsep matematika dan konsep diri terhadap sikap wirausaha
siswa. Metode penelitian yang digunakan adalah survey. Sampel penelitian berjumlah 100 siswa
yang berasal dari tiga sekolah yaitu kelas XII SMA Tunas Jakasampurna, SMA Martia Bhakti
dan SMA Putra Harapan dikecamatan Bekasi Selatan. Pengumpulan data dilakukan dengan
wawancara, pemberian kuesioner dan dengan melaksanakan tes pemahaman konsep matematika.
Analisa data dilakukan melalui statistik deskriptif, koefisienkorelsi ganda Pearson, koefisien
determinasi dan analisis regresi. Uji statistik yang digunakan adalah uji-t dan uji-F. Penelitian
dilaksanakan pada bulan Agustus – September 2013. Hasil penelitian menunjukkan ada pengaruh
pemahaman konsep matematika dan konsep diri terhadap sikap wirausaha siswa kelas XII SMA
di Kecamatan Bekasi Selatan.
Kata Kunci: Pemahaman Konsep Matematika, Konsep Diri, Wirausaha
1. PENDAHULUAN
Pendidikan adalah suatu cerminan
kemajuan bangsa di tangan pendidikanlah
kemajuan atau kemerosotan suatu bangsa
ditentukan. Dengan bergulirnya Masyarakat
Ekonomi ASEAN (MEA) maka perlu
adanya peningkatan pendidikan yang
terintegritas sehingga pendidikan dapat
bermakna pada kemajuan bangsa. Namun,
saat ini perkembangan pendidikan yang ada
belum
banyak
berkontribusi
pada
perkembangan bangsa sehingga perlu
adanya standar kualitas atau mutu yang
berfokus pada kebutuhan pelajar.
Masalah pengangguran di Indonesia
cukup kritis dengan angka pengangguran
terbuka yang cukup tinggi dengan
mencapai 8.319.779 jiwa pada Agustus
2010
(sumber
:
http://pusdatinaker.balitfo.depnakertrans.go
.id), angka pengangguran ini juga
berpeluang meningkat seiring dengan
penambahan jumlah kelulusan tingkat SMA
tahun ajaran 2009/2010 sejumlah 1.691.018
jiwa dan perguruan tinggi tahun akademik
2009/2010 sejumlah 655.012 jiwa (sumber :
http://www.psp.kemdiknas.go.id/uploads/St
atistik%20Pendidikan/0910/index_pt(1)_09
10.pdf;
http://www.psp.kemdiknas.go.id/uploads/St
atistik%20Pendidikan/0910/index_sma_091
0.pdf). Dan ironisnya kebanyakan lulusan
sekolah menengah atas dan perguruan
tinggi di Indonesia bertujuan untuk mencari
pekerjaan, bukan untuk menciptakan
peluang kerja.Andaikan lulusan yang baru
dan lama memiliki wawasan dan sikap
wirausaha, maka masalah pengangguran
akan sedikit teratasi. Dengan asumsi 20 %
saja dari total lulusan atau pengangguran
yang ada, dan bila satu orang mampu
menyerap dua atau tiga orang lulusan
sekolah menengah atau perguruan tinggi.
Maka dari 2 juta pengangguran yang tidak
terserap oleh pasar tenaga kerja saat ini
Pendidikan Matematika Universitas Muhammadiyah Purworejo,
Ruang Seminar UM Purworejo, 28 Mei 2016
567
akan terserap 60% nya dari lulusan yang
mampu menciptakan peluang kerja
tersebut.
2. KAJIAN LITERATUR
A. Pengertian Pemahaman
Matematika
Konsep
Matematika termasuk salah satu
pengetahuan dasar yang merupakan cara
atau metode berpikir dan nalar. Matematika
tidak diketahui secara kongkrit apa yang
menjadi objeknya, objek matematika
bersifat abstrak. Yang dapat diketahui
matematika berkaitan dengan simbol –
simbol dan yang tersirat didalamnya, itulah
yang menjadi objek matematika yang tidak
dapat diketahui dengan mudah, namun
eksistensinya diakui keberadaannya.
Menurut Ruseffendi (1980: 154) objek
langsung dari pengajaran matematika
berupa konsep, prinsip dan keterampilan.
Johnson dan Rising dalam Karso (1994
: 37) menyatakan bahwa : ”Matematika
adalah
pola
berfikir,
pola
mengorganisasikan dengan pembuktian
yang logis, matematika itu bahasa yang
menggunakan istilah yang didefinisikan
dengan cermat, jelas dan akurat,
referensinya dengan simbol dan padat.”
mengacu pada pengertian tersebut, hasil
belajar matematika dapat dinyatakan
melalui kemampuan menggunakan rumus,
teorema atau dalil dalam menyelesaikan
masalah. Semakin terampil seseorang
menggunakan dan mengaplikasikan konsep,
rumus atau dalil akan semakin tinggi pula
hasil belajar yang akan dicapai.
Ohlson (1987 : 319) menyampaikan
bahwa dengan memahami konsep dan
prinsip matematika menjadi lebih mudah.
Dengan mengacu pada pernyataan tersebut,
568
dapat disimpulkan pula bahwa pemahaman
konsep matematika dapat diukur dari
kemampuan peserta didik memahami
konsep matematika dan kemampuan
menerapkan konsep tersebut dalam
menyelesaikan masalah.
Pemahaman
konsep
matematika
berkaitan erat dengan proses belajar yang
dialami peserta didik. semakin baik proses
belajar yang diikuti akan semakin baik pula
pemahaman konsep matematika yang dapat
dicapai,
Dalam hal ini peserta didik dengan
penguasaan konsep matematika tinggi
mampu membangun pengetahuan tentang
matematika, terampil dalam memahami
masalah, menyusun konsep matematika
sesuai masalah yang dihadapi serta mampu
mengembangkan
aspek
bakat
dan
kemampuan peserta didik didunia nyata
seperti memiliki sikap wirausaha sebagai
aplikasi dari penerapan beberapa konsep
matematika.tetapi juga bukti-bukti empiris.
B. Pengertian Konsep Diri
Konsep diri berperan sebagai penentu arah
dalam bertindak. Siswa dengan konsep diri
yang positif cenderung bertindak lebih
positif dalam belajar, tugas yang diberikan
guru akan diselesaikan dengan penuh
tanggung jawab dan hambatan belajar ia
jadikan sebagai tantangan dan mampu
semangat belajarnya.
Beberapa faktor yang mempengaruhi
konsep diri diantaranya adalah 1) cita-cita
2) citra diri dan 3) harga diri (Gunawan,
2007;22). Cita-cita yang dibangun siswa
merupakan tujuan hidup yang ingin dicapai,
untuk dapat meraih cita-cita siswa harus
mampu menempatkan diri sesui dengan
karakteristik dari cita-cita yang diharapkan.
Siswa dengan cita-cita menjadi dokter akan
Prosiding Seminar Nasional Matematika dan Pendidikan Matematika, “Internalisasi Nilainilai Berpikir Matematis Dalam Perannya di Era Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA)”
menyesuaikan konsep dirinya
dengan profesi seorang dokter.
sesuai
Konsep diri merupakan kemampuan
melihat diri sendiri dengan segala
kekurangan dan kelebihannya (Alo
Liliweri,2006;34). Untuk mampu mengukur
seberapa
jauh
kesanggupan
dan
kemampuan meraih cita-cita, setiap
individu harus mampu melihat dan
mengukur potensinya. Kondisi yang ada
dan dimiliki akan memberi arah bagi
sesesorang untuk mempersepsi diri dan
selanjutnya membangun konsep diri sesuai
dengan pemahaman atas potensi yang
dimiliki.
Untuk dapat sukses dalam menjalani
kehidupan dibutuhkan pengembangan
konsep diri ideal (Lama Surya Das,
2004;203). Siswa sebagai peserta didik
diharapkan membangun konsep diri idel
dan menghindarkan diri dari perilaku yang
dapat memupus harga diri. Anggapan diri
sebagai siswa yang pintar akan membuka
peluang untuk tertib dan bertanggung jawab
dalam belajar. Siswa yang menyatakan
dirinya sebagai siswa yang malas dan
bodoh, maka pada akhirnya ia akan
menempatkan dirinya sesuai dengan
persepsi yang ia bangun sesuai dengan
persepsi yang mendasarinya.
Mengacu pada pernyataan ini dapat
dijelaskan bahwa konsep diri tidak hanya
dibangun oleh siswa secara pribadi, namun
konsep diri dipengaruhi langsung oleh
lingkungan. Guru, orang tua dan teman
sekolah memiliki pengaruh langsung
terhadap konsep diri siswa.
Gunawan
dan
Setyono
(2007;47)
menjelaskan bahwa konsep diri dibangun
oleh tiga komponen yang diantaranya a)
siapa yang memasang
b)
intensitas emosi c) repetisi. Dalam hal ini
dapat dijelaskan bahwa konsep diri akan
terpasang kokoh dalam diri siswa
bergantung pada orang yang menanamkan
konsep tersebut pada dirinya, sosok yang
dapat mempengaruhi penanaman konsep
tersebut diantaranya orang tua, guru, kakak,
abang, teman, idola, pacar dan berbagai
komponen lain yang memiliki akses
terhadap siswa.
Ainon
dan
Abdullah
(2006;213)
menjelaskan bahwa Konsep diri adalah
semua ide, pikiran, kepercayaan dan
pendirian yang diketahui individu tentang
dirinya. Pernyataan ini secara nyata
menggambarkan
bahwa
keberadaan
lingkungan memiliki peran penting dalam
pengembangan konsep diri.
Dengan berpedoman pada teori dan
konsepsi yang telah disampaikan di atas
jelaslah bahwa usaha pengembangan
konsep diri harus dilakukan oleh keinginan
pribadi dan didukung oleh lingkungan yang
kondusif. Langkah itu perlu perlu diikuti
oleh kemampuan mengelola emosi dan
mengarahkan setiap perilaku yang sesuai
dengan konsep diri yang akan dibangun.
Pengembangan konsep diri perlu pula
didasari oleh sebuah keinginan untuk
berubah secara total sesuai dengan
keinginan sendiri disertai kepercayaan dan
keyakinan pribadi.
C. Pengertian Sikap Wirausaha
Menurut Thomas W. Zimmerer (2005:32),
Kewirausahaan adalah hasil dari suatu
disiplin, proses sistematis penerapan
kreatifitas dan inovasi dalam memenuhi
kebutuhan dan peluang di pasar. Pada
dasarnya kewirausahaan tidak hanya bakat
bawaan sejak lahir atau urusan pengalaman
lapangan tetapi kewirausahaan merupakan
disiplin ilmu yang dapat diajarkan dan
dipelajari.
Pendidikan Matematika Universitas Muhammadiyah Purworejo,
Ruang Seminar UM Purworejo, 28 Mei 2016
569
Beberapa konsep kewirausahaan seolah
identik
dengan
kemampuan
para
wirausahawan dalam dunia usaha. Padahal,
dalam kenyataannya, kewirausahaan tidak
selalu
identik
dengan
watak/ciri
wirausahawan semata, karena sifat-sifat
wirausahawanpun dimiliki oleh seorang
yang bukan wirausahawan. Wirausaha
mencakup semua aspek pekerjaan, baik
karyawan swasta maupun pemerintahan
(Soeparman Soemahamidjaja, 1980 dalam
M Suparmoko 2007 : 12). Wirausahawan
adalah mereka yang melakukan upayaupaya kreatif dan inovatif dengan jalan
mengembangkan ide, dan meramu sumber
daya
untuk
menemukan
peluang
(opportunity) dan perbaikan (preparation)
hidup (Prawirokusumo, 2001 : 54)
3. METODE PENELITIAN
A. Rancangan Penelitian
Kewirausahaan pada hakikatnya adalah
sifat, ciri dan watak seseorang yang
memiliki kemauan dalam mewujudkan
gagasan inovatif kedalam dunia nyata
secara kreatif. Inti dari kewirausahaan
adalah kemampuan menciptakan sesuatu
yang baru dan berbeda. Kreatifitas adalah
berfikir sesuatu yang baru, inovasi adalah
bertindak melakukan sesuatu yang baru.
Gambar
variabel
Sikap wirausaha adalah suatu sikap atau
semangat kemandirian yang terdapat pada
seseorang, kemandirian ini menyangkut
kemampuannya untuk dapat bertahan dalam
setiap keadaan dan mampu mengubah
segala sesuatu menjadi peluang yang
mendatangkan keuntungan yang universal,
yaitu mendapatkan nilai manfaat bagi diri
orang tersebut, orang lain maupun
lingkungan secara luas, yang dapat diukur
melalui indikator inisiatif, melihat dan
memanfaatkan
peluang,
ketekunan,
orientasi pada efisiensi, perencanaan yang
sistematis,
pemecahan
masalah,
kepercayaan diri, kemampuan persuasif,
strategi
untuk
mempengaruhi
dan
ketegasan.
570
Penelitian ini menggunakan metode
survey dengan random sampling, variabel
penelitian terdiri dari variabel pemahaman
konsep matematika (X1) dan konsep diri
(X2) dengan variabel sikap wirausaha siswa
(Y). Untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada
gamber di bawah ini :
X1
Y
X2
Konstalasi
hubungan
antar
B. Subjek Penelitian
Penelitian ini dilaksanakan pada
bulan Agustus sampai September 2013
dengan populasi terjangkau adalah peserta
didik kelas XII tahun ajaran 2011/2012
SMA Tunas Jakasampurna, SMA Martia
Bhakti dan SMA Putra Harapan Bekasi
sebanyak 100 orang peserta didik.
C. Instrumen Penelitian
Dalam penelitian ini pemahaman
konsep matematika yang diukur meliputi
pokok bahasan : Aljabar aritmatika sosial
sederhana, logika matematika, statistik dan
peluang dan program linear.
Konsep diri yang diukur melalui
indikator
lingkungan
internal,
lingkungan eksternal, cita-cita diri, citra
diri, harga diri, rasa percaya diri,
kemampuan menghadapi kegagalan.
Sikap wirausaha diukur melalui
indikator
inisiatif,
melihat
dan
memanfaatkan
peluang,
ketekunan,
Prosiding Seminar Nasional Matematika dan Pendidikan Matematika, “Internalisasi Nilainilai Berpikir Matematis Dalam Perannya di Era Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA)”
orientasi pada efisiensi, perencanaan yang
sistematis,
pemecahan
masalah,
kepercayaan diri, kemampuan persuasif,
strategi
untuk
mempengaruhi
dan
ketegasan.
D. Analisis Data
Hipotesis penelitian menggunakan
teknik regresi dan korelasi sederhana
maupun ganda dengan rumusan hipotesis
statistik sebagai berikut :
Hipotesis
pertama
Hipotesis
kedua
Hipotesis
ketiga
Ho : β y 12=0
Ho : β yl = 0 Ho : β y2 = 0
Hi : β y1  0
Hi : β y 12  0
Hi : β y2  0
Keterangan :
β yl
= Proporsi pemahaman konsep
matematika
dengan
sikap
wirausaha siswa
β y2
= Proporsi konsep diri dengan
sikap wirausaha siswa
β yl2
= Proporsi pemahaman konsep
matematika dan konsep diri
dengan sikap wirausaha siswa
secara bersama-sama.
4. HASIL DAN PEMBAHASAN
A. Hasil Penelitian
1. Pemahaman konsep matematika dan
konsep diri secara bersama-sama
memberikan pengaruh positif dan
signifikan terhadap sikap wirausaha
siswa, hal ini diperlihatkan dari
koefisien korelasi antara pemahaman
konsep matematika dan konsep diri
secara bersama-sama dengan sikap
wirausaha siswa sebesar 0,300 atau
ada kontribusi sebesar 30,0%.
Persamaan regresi yang terbentuk
adalah Y = 67,742 + 0,628 X1 +0,362
X2. Hal ini dapat diartikan bahwa
semakin baik pemahaman konsep
matematika semakin baik pula sikap
wirausaha siswa dan begitu pula
semakin baik konsep diri siswa maka
semakin baik juga sikap wirausaha
siswa.
2. Pengaruh
pemahaman
konsep
matematika terhadap sikap wirausaha
siswa dilakukan melalui uji t, dengan
hipotesis
berikut:
Dengan
membandingkan antara nilai thitung =
3, 226> ttabel = 1,664 disimpulkan
bahwa terdapat pengaruh pemahaman
konsep matematika terhadap sikap
wirausaha siswa.
3. Pengaruh konsep diri terhadap sikap
wirausaha siswa dilakukan melalui uji
t, dengan hipotesis berikut: dengan
membandingkan antara nilai thitung =
3,747 < ttabel = 1,664 disimpulkan
bahwa terdapat pengaruh konsep diri
terhadap sikap wirausaha siswa.
B. Pembahasan
Mengacu pada data hasil penelitian dan
didukung oleh analisa statistik untuk
penelitian tentang sikap wirausaha siswa (Y),
pemahaman konsep matematik (X1) dan
konsep diri (X2) disimpulkan bahwa ketiga
variabel tersebut memiliki pengaruh positif
dan signifikan, antara variabel satu dengan
lainnya memiliki keterkaitan yang kuat.
Berdasarkan temuan yang ada dapat
disimpulkan bahwa sikap wirausaha siswa
merupakan variabel yang sangat rentan
terhadap perubahan, sikap wirausaha tidak
hanya dipengaruhi oleh faktor internal siswa
tetapi juga dipengaruhi oleh faktor
lingkungan. Usaha mempertahankan sikap
wirausaha dan sekaligus meningkatkan sikap
wirausaha yang telah dicapai sebelumnya
hanya
mungkin
dilakukan
dengan
membangun gerakan secara bersama-sama
antara faktor internal dan faktor eksternal.
Salah satu faktor external yang cukup
berperan
dalam
meningkatkan
sikap
wirausaha siswa adalah pemahaman konsep
matematika dan konsep diri.
Pendidikan Matematika Universitas Muhammadiyah Purworejo,
Ruang Seminar UM Purworejo, 28 Mei 2016
571
Tabel R Square X1 terhadap Y dan
X2 terhadap y
Measures of Association
Eta
R
y * x1
R Squared
0,420
0,176
Eta
0,684
Squared
0,467
Measures of Association
Eta
R
y * x2
R Squared
0,456
0,208
Eta
0,749
Squared
0,560
Dalam data hasil penelitian pada tabel
dapat disimpulkan bahwa 17,6% sikap
wirausaha
siswa
dipengaruhi
oleh
pemahaman konsep matematika, selanjutnya
82,4 % lainnya dipengaruhi oleh beragam
faktor lainnya. Dengan demikian perlu
adanya bimbingan guru dan orang tua agar
siswa dapat memahami konsep matematika
yang efektif dan efisien serta mampu
mendukung pencapaian sikap wirausaha
yang baik sehingga siswa dapat memiliki
pandangan yang mandiri. Selanjutnya
diperoleh pula kesimpulan bahwa 20,8 %
sikap wirausaha siswa dipengaruhi oleh
konsep diri dan 79,2 % sikap wirausaha
siswa juga dipengaruhi oleh beragam faktor
lain.
Agar peningkatan sikap wirausaha siswa
dapat lebih ditingkatkan, dibutuhkan
pendekatan yang komprehensif dan terpadu
agar siswa dapat memupuk kesadaran dan
sikap berwirausaha sehingga melahirkan
kemandirian dalam diri siswa, dan kondisi
lingkungan belajar yang kurang kondusif
mendapatkan
penanganan
yang
baik
sehingga pemahaman konsep matematika
dapat diterima siswa dengan baik, bahkan
perlu pula ada dukungan berkesinambungan
572
dari guru dan orangtua untuk membangun
kesadaran akan sikap wirausaha yang baik
bagi setiap diri peserta didik dengan cara
memberikan konsep diri melalui pelatihan
konsep diri, pemberikan tugas kewirausahaan
seperti pekan wirausaha siswa, pembuatan
dan pengembangan kantin kejujuran yang
dikelola oleh siswa.
5. KESIMPULAN
Dari hasil penelitian dan pembahasan
dapat disimpulkan pemahaman konsep
matematika dan konsep diri secara bersamasama memberikan pengaruh terhadap sikap
wirausaha siswa, maka semakin baik
pemahaman konsep matematika semakin
baik pula sikap wirausaha siswa dan begitu
pula semakin baik konsep diri siswa maka
semakin baik juga sikap wirausaha siswa.
Seluruh elemen pendidikan, siswa,
orangtua, guru dan pemerintah harus
mengupayakan agar peserta didik memiliki
sikap yang positif terhadap matematika dan
memiliki kemampuan pemahaman konsep
matematika yang baik serta memiliki tingkat
konsep diri yang baik, sehinga diharapkan
dapat meningkatkan sikap wirausaha siswa.
Penelitian ini menggunakan 2 variabel
bebas yaitu pemahaman konsep matematika
dan konsep diri dan satu variabel terikat yaitu
sikap wirausaha siswa. Sedangkan untuk
mengetahui kemampuan dari sikap wirausaha
siswa masih banyak faktor atau variabel
yang dapat mempengaruhinya. Maka perlu
dilakukan penelitian lebih lanjut yang dapat
mengungkapkan
seberapa
banyak
faktor/variabel
yang
dapat
mempengaruhinya.
Perlu dicanangkan dalam kurikulum
tingkat menengah, lanjutan dan tinggi untuk
menetapkan kewirausahaan sebagai materi
pelajaran dan materi kuliah yang berdiri
sendiri maupun terintegrasi dengan mata
pelajaran lain.
Prosiding Seminar Nasional Matematika dan Pendidikan Matematika, “Internalisasi Nilainilai Berpikir Matematis Dalam Perannya di Era Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA)”
6. REFERENSI
E.T.
Ruseffendi.
1980.
Pengajaran
Matematika Modern Untuk Orang
Tua, Guru dan SPG. Bandung :
Tarsito.
Karso. 1994. Dasar – Dasar Pendidikan
MIPA, Jakarta : Universitas
Terbuka.
Lewis, Mike, and Kelly, Graham, 1986, 20
Activities
For
Developing
managerial
Efectiveness,
a
management Skill training manual,
England : Gower Publishing
Company Limited, craft Road,
Heder shot
M Suparmoko, 2007, Ekonomi 3 SMA Kelas
XII, Jakarta: Yudhistira.
Ohlson, S. 1987. Sense and reference in the
design of interactive ilustrations;or
rational number. Norwaad. NJ:
Ablex
Prawirokusumo Soeharto, 2001, Ekonomi
Rakyat : Konsep, Kebijakan dan
Strategi, Jakarta: BPFE.
Purwanto, M. Ngalim, 2006, Psikologi
Pendidikan, Bandung : Remaja
Rosda Karya.
Robbin, Stepen P, 2002, Prinsip-prinsip
Perilaku Organisasi, Jakarta :
Erlangga.
Sters, Richard M dan Porter, Luman U,
1986,
Motivation Theory and
Research, California : Wood
Sworth Inc.
Uno,
B.
Hamzah.
2007.
Model
Pembelajaran.
Bumi
Aksara.
Jakarta:Bumi Aksara.
Zimmerer Thomas W., Scarborough (2005)
; Pengantar Kewirausahaan dan
Manajemen Bisnis Kecil, Second
edition
Pent:
Yanto
Sidik
Pratiknyo, Prenhalindo, Jakarta
Jurnal :
Sarjiman,
P.
2006.
Peningkatan
Pemahaman Rumus Geometri
Melalui Pendekatan Realistik di
Sekolah Dasar.
Cakrawala
Pendidikan, Februari, Th. XXV,
No. 1, 73-92
Internet :
Angka lulusan Perguruan tinggi. 2013.
Tersedia
di
http://www.psp.kemdiknas.go.id/upload
s/Statistik%20Pendidikan/0910/index_
pt(1)_0910.pdf diunduh tanggal 24
maret 2013
Angka lulusan SMA. 2013. Tersedia di
http://www.psp.kemdiknas.go.id/upload
s/Statistik%20Pendidikan/0910/index_s
ma_0910.pdf diunduh tanggal 24
Angka
maret 2013
Pengangguran
Tersedia
Terbuka.
2013.
di
http://pusdatinaker.balitfo.depnakertra
ns.go.id/ (diunduh tanggal 24 maret
2013).
Pendidikan Matematika Universitas Muhammadiyah Purworejo,
Ruang Seminar UM Purworejo, 28 Mei 2016
573
IMPLEMENTASI PEMBELAJARAN MODEL-ELICITING ACTIVITIES (MEAs)
TERHADAP PENINGKATAN KEMAMPUAN KONEKSI MATEMATIS SISWA
SEKOLAH MENENGAH PERTAMA
1
Sudrajat1)
Program Studi Pendidikan Matematika, Sekolah Pascasarjana Universitas Pendidikan Indonesia
email: [email protected]
Abstrak
Penelitian ini bertujuan untuk menelaah perbedaan peningkatan kemampuan koneksi matematis
antara siswa yang melakukan pembelajaran Model-Eliciting Activities (MEas) dan siswa yang
memperoleh pembelajaran konvensional. Selain itu untuk menelaah juga ada tidaknya pengaruh
interaksi antara model pembelajaran dan kemampuan awal matematika tehadap peningkatan
kemampuan koneksi matematis siswa. Jenis penelitian ini adalah kuasi eksperimen dengan desain
penelitian pre-test post-test control group design. Sampel yang digunakan dalam penelitian
adalah 56 siswa kelas VIII yang berasal dari dua kelas pada salah satu SMP negeri di Kabupaten
Cilacap. Hasil penelitian menunjukan bahwa terdapat perbedaan peningkatan kemampuan
koneksi matematis yang signifikan antara siswa yang melakukan pembelajaran Model-Eliciting
Activities (MEAs) dan siswa yang memperoleh pembelajaran konvensional. Peningkatan
kemampuan koneksi matematis siswa yang melakukan pembelajaran Model-Eliciting Activities
lebih baik jika dibandingkan siswa yang memperoleh pembelajaran konvensional, baik dilihat
secara keseluruhan maupun berdasarkan kategori kemampuan awal matematika siswa. Selain itu
didapatkan simpulan bahwa terdapat pengaruh interaksi yang signifikan antara model
pembelajaran dan kemampuan awal matematika terhadap peningkatan kemampuan koneksi
matematis siswa
Kata Kunci: Model-Eliciting Activities (MEAs), kemampuan koneksi matematis
1. PENDAHULUAN
Matematika merupakan ilmu yang
terstruktur dan terintegrasi. Maknanya
bahwa matematika bukanlah kumpulan dari
topik dan kemampuan yang terpisah-pisah,
walaupun dalam praktiknya pelajaran
matematika sering dipartisi dan diajarkan
dalam beberapa cabang. Sifat matematika
yang terstruktur dan terintegrasi tersebut
satu sisi bisa dipandang sebagai keindahan
matematika. Namun di sisi lain sifat
matematika tersebut bisa menjadi celah
bagi munculnya permasalahan dalam
mempelajari matematika. Konsekuensi dari
sifat matematika yang terstruktur adalah
bahwa siswa tidak akan mendapatkan
pemahaman
yang
memadai
dalam
mempelajari satu konsep matematika jika
tidak memahami konsep yang menjadi
prasyaratnya. Sedangkan konsekuensi logis
574
dari sifat matematika yang terintegrasi
adalah bahwa untuk bisa memahami
matematika secara mendalam maka harus
bisa mengenali dan membuat hubungan
antara
ide-ide
atau
konsep-konsep
matematika, sebagaimana disebutkan dalam
NCTM bahwa apabila siswa mampu
mengenali dan membuat hubungan antara
ide-ide matematika, maka pemahaman
matematika mereka menjadi lebih dalam
dan lebih tahan lama (NCTM, 2000).
Dari pemaparan di atas bisa diambil
simpulan bahwa agar bisa memahami
matematika secara mendalam diperlukan
kemampuan koneksi matematis. Dalam
NCTM (2000) disebutkan bahwa terdapat
lima kemampuan dasar matematika yang
merupakan mathematical power process
standard yakni pemecahan masalah
(problem solving), penalaran dan bukti
Prosiding Seminar Nasional Matematika dan Pendidikan Matematika, “Internalisasi Nilainilai Berpikir Matematis Dalam Perannya di Era Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA)”
(reasoning and proof), komunikasi
(communication), koneksi (connection),
dan representasi (representation). Dalam
Peraturan Menteri Pendidikan Nasional
Republik Indonesia nomor 22 tahun 2006,
juga disebutkan bahwa tujuan pembelajaran
matematika salah satunya adalah untuk
memahami
konsep
matematika,
menjelaskan keterkaitan antar konsep dan
mengaplikasikan konsep atau algoritma,
secara luwes, akurat, efisien, dan tepat,
dalam pemecahan masalah.
Kemampuan koneksi matematis adalah
kemampuan
harus
dibangun
dan
dikembangkan. Siswa yang menguasai
konsep-konsep matematika tidak sertamerta
cakap dalam membuat hubungan antar
konsep-konsep
tersebut.
Dalam
membangun
kemampuan
koneksi
matematis siswa hendaknya diberikan
kesempatan
untuk
melihat
sendiri
hubungan-hubungan dalam matematika.
Hiebert and Carpenter sebagaimana dikutip
dalam Bergesson (2000) mengungkapkan
bahwa koneksi matematis yang diajarkan
secara eksplisit oleh guru tidak akan
bermakna
dan
tidak
mendukung
pemahaman siswa.
Selain sifatnya yang terstruktur dan
terintegrasi, matematika juga pelajaran
yang erat kaitannya dengan kehidupan
sehari-hari. Mempelajari hubungan antara
konsep-konsep matematika dengan konsep
lainnya atau dengan kehidupan sehari-hari
akan sangat dibutuhkan oleh siswa,
terutama untuk memecahkan masalah yang
dihadapi dalam kehidupan sehari-hari
(Rohendi dan Dulpaja, 2013).
Oleh karena itu dalam pembelajaran
matematika perlu menggunakan konteks.
Konteks di sini adalah situasi yang menarik
perhatian siswa, sesuatu yang dapat mereka
kenali dengan baik, dan sesuatu yang dapat
menyebabkan
siswa
membangkitkan
pengetahuan yang telah mereka peroleh
sebelumnya, sehingga membuat belajar
sebagai suatu aktifitas yang bermakna bagi
diri mereka sendiri. Fong sebagaimana
dikutip Bergesson (2000) mengungkapkan
bahwa guru perlu memilih kegiatan
pembelajaran
yang
mengintegrasikan
penggunaan matematika dalam kehidupan
sehari-hari ke dalam proses pembelajaran di
kelas karena hal itu akan meningkatkan
minat dan prestasi siswa dalam matematika.
Salah satu model pembelajaran yang
menggunakan konteks dan melibatkan
siswa secara aktif dalam pembelajaran serta
memberikan ruang bagi siswa untuk aktif
mengksplorasi dan mempresentasikan ideidenya adalah Model-Eliciting Activities
(MEAs). Hamilton et al. (2008),
mengungkapkan bahwa MEAs adalah
model pembelajaran yang mengarahkan
siswa pada situasi dunia nyata melalui kerja
tim kecil yang beranggotakan 3-4 orang,
untuk memecahkan permasalahan yang
realistis. Pada pembelajaran MEAs, siswa
dibiasakan
untuk
melatih
sendiri
kemampuan koneksi matematisnya dalam
menyelesaikan suatu permasalahan yang
nyata melalui diskusi kelompok dan
diberikan
kesempatan
untuk
mengeksplorasi ide-idenya terkait dengan
konsep-konsep matematika yang telah
diketahuinya dan membuat suatu model
yang dianggap paling tepat untuk
menyelesaikan suatu permasalahan.
Selain faktor model pembelajaran yang
digunakan, faktor yang juga mempengaruhi
kemampuan matematis adalah faktor
kemampuan awal matematika. Kemampuan
awal (basic ability) matematika berperan
interaktif dalam struktur kognitif peserta
didik dalam arti turut menjembatani
informasi baru dengan pengetahuan yang
telah dimiliki (Puspaningrum, Khotimah,
2015).
Berdasarkan
uraian
dikemukakan di atas,
Pendidikan Matematika Universitas Muhammadiyah Purworejo,
Ruang Seminar UM Purworejo, 28 Mei 2016
yang
telah
maka tujuan
575
penelitian ini adalah untuk menelaah ada
tidaknya
perbedaan
peningkatan
kemampuan koneksi matematis siswa yang
melakukan pembelajaran Model-Eliciting
Activities dengan siswa yang memperoleh
pembelajaran konvensional. Selain itu juga
untuk meneliti ada tidaknya pengaruh
interaksi antara model pembelajaran dan
kemampuan awal matematika terhadap
peningkatan
kemampuan
koneksi
matematis siswa.
2. KAJIAN LITERATUR DAN
PENGEMBANGAN HIPOTESIS
a. Koneksi Matematis
NCTM (2000) menjelaskan bahwa
koneksi matematis adalah kemampuan
siswa untuk mengenali dan menggunakan
koneksi antara ide-ide matematika,
Memahami bagaimana ide matematis saling
terhubung dan saling membangun satu
sama lain untuk menghasilkan kesatuan
yang utuh. Sedangkan menurut Kusuma
(2008), dan Coxford (1995), kemampuan
koneksi matematis adalah kemampuan
dalam menyajikan koneksi internal dan
eksternal matematika, yang meliputi
koneksi antara topik matematika, koneksi
dengan disiplin lain, dan koneksi dengan
kehidupan sehari-hari.
NCTM, (1989), Blum, Galbraith, Henn,
dan Niss (2007) mengemukakan bahwa
pada dasarnya koneksi matematis bisa
dikelompokan menjadi dua tipe yaitu
mathematical connection dan modeling
connection.
Mathematical
connection
menurut NCTM (1989) yaitu koneksi
antara dua representasi yang ekuivalen, dan
koneksi antara prosedur penyelesaian dari
masing-masing
representasi.
Blum,
Galbraith, Henn, dan Niss (2007)
menyatakannya sebagai interkoneksi antara
ide-ide di matematika. Sedangkan Lampert
(2001)
mengemukakan
bahwa
mathematical
connection
adalah
kemampuan menghubungkan satu unit
576
konsep matematika yang tengah dipelajari
dengan unit yang lain yang sebelumnya
telah dipelajari dan membuat semua konten
saling berhubungan.
Adapun
modeling
connection
merupakan koneksi antara situasi masalah
yang mungkin timbul di dunia nyata atau
pada disiplin ilmu selain matematika
dengan representasi matematikanya atau
hubungan antara matematika dengan
disiplin ilmu yang lain dan dengan dunia
nyata (NCTM, 1989, Blum, Galbraith,
Henn, dan Niss, 2007). Sedangkan Mosvold
(2003) menyatakan bahwa modeling
connection dapat didefinisikan sebagai
hubungan
antara
matematika
yang
diajarkan di sekolah dengan dunia luar.
NCTM (2000) merumuskan indikator
kemampuan koneksi matematis yaitu:
a) Mengenali
dan
memanfaatkan
hubungan-hubungan antara gagasan
dalam matematika.
b) Memahami
bagaimana
gagasangagasan dalam matematika saling
berhubungan dan mendasari satu sama
lain
untuk
menghasilkan
suatu
keutuhan koheren.
c) Mengenali dan menerapkan matematika
dalam
konteks-konteks
di
luar
matematika.
Sejalan dengan apa yang diutarakan
Sumarmo
(2003),
bahwa
indikator
kemampuan koneksi matematis yaitu:
a) Mengenali representasi ekuivalen dari
konsep yang sama;
b) Mengenali
hubungan
prosedur
matematika suatu representasi ke
prosedur representasi yang ekuivalen;
c) Menggunakan
dan
memahami
keterkaitan antar topik matematika
dengan topik di luar matematika; dan
d) Menggunakan
matematika
dalam
kehidupan sehari-hari.
Berdasarkan uraian diatas, maka yang
dimaksud kemampuan koneksi matematis
adalah kemampuan untuk: 1) mengenali
dan menggunakan hubungan antar konsep-
Prosiding Seminar Nasional Matematika dan Pendidikan Matematika, “Internalisasi Nilainilai Berpikir Matematis Dalam Perannya di Era Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA)”
konsep dalam matematika; 2) mengenali
dan menggunakan hubungan antara konsep
matematika dengan disiplin ilmu yang lain;
dan 3) menerapkan konsep matematika
dalam kehidupan sehari-hari.
b. Model-Eliciting
(MEAs)
Activities
Secara etimologi, Model-Eliciting
Activities tersusun dari tiga kata, yaitu
model, eliciting dan activity. Jika
diterjemahkan dalam Bahasa Indonesia
model dapat diartikan sebagai rumus atau
langkah-langkah yang digunakan untuk
menyelesaikan
masalah
matematika.
Eliciting artinya membangun/ membentuk.
Activity artinya aktivitas atau kegiatan. Dari
tiga kata tersebut jelas bahwa modeleliciting
activity
adalah
kegiatan
membangun/ membentuk rumus atau
langkah-langkah penyelesaian masalah
matematika.
Widyastuti (2010) menyatakan bahwa
Model
Eliciting
Activities
(MEAs)
merupakan pembelajaran yang didasarkan
pada situasi kehidupan nyata, siswa bekerja
dalam kelompok kecil dan menyajikan
sebuah model matematika sebagai solusi.
Permana (2010) juga menyatakan bahwa
pendekatan
Model-Eliciting
Activities
merupakan pendekatan yang mengharapkan
siswa untuk dapat mengkontruksi model
matematis. Model yang dibuat tidak harus
berupa konsep baru dalam matematika.
Yang penting benar-benar asli hasil
pemikiran siswa dan merupakan sesuatu
yang baru bagi siswa.
Chamberlin
dan
Moon
(2005)
menyatakan ada enam prinsip yang
merupakan karakteristik yang harus ada
dalam penerapan pembelajaran ModelEliciting Activities yaitu:
1. Model construction principle
Prinsip ini menyatakan bahwa respon
yang sangat baik yang dituntut dari sebuah
permasalahan adalah penciptaan sebuah
model.
2. The reality principle
Prinsip realitas juga telah disebut
sebagai prinsip kebermaknaan. Prinsip ini
menyatakan bahwa skenario yang disajikan
sebagai permasalahan harus realistis dan
dapat terjadi dalam kehidupan siswa.
Prinsip realitas dimaksudkan untuk
meningkatkan
minat
siswa
dan
mensimulasikan jenis kegiatan yang nyata,
menerapkan bagaimana cara seorang
matematikawan dalam memecahkan suatu
permasalahan. Permasalahan yang lebih
realistis
lebih
memungkinkan
memunculkan solusi kreatif dari siswa.
3. The self-assessment principle
Prinsip penilaian diri menyatakan
bahwa siswa harus mampu mengukur
kesesuaian dan kegunaan solusi tanpa
campur tangan dari guru. Pada gilirannya,
siswa dapat menggunakan informasi ini
untuk memperbaiki respon dalam iterasi
berikutnya. Sekali lagi, prinsip ini konsisten
dengan pengembangan kreativitas karena
individu yang terlibat dalam bekerja kreatif
harus terampil dalam mengevaluasi diri.
4. The construct documentation principle
Prinsip ini menunjukkan bahwa siswa
harus mampu mengungkapkan pemikiran
mereka sendiri saat bekerja dalam MEAs
dan bahwa proses berpikir mereka harus
didokumentasikan dalam jawaban.
5. The
construct
shareability
and
reusability principle
Prinsip ini menyatakan bahwa produk
harus dapat digunakan dalam situasi lain
yang sama. Jika model yang dikembangkan
dapat digeneralisasi untuk situasi lain yang
memerlukan model yang sama, maka model
tersebut dikatakan sukses.
6. The effective prototype principle
Prinsip ini menunjukkan bahwa model
yang dibuat harus mudah diinterpretasi oleh
orang lain.
Dalam membuat sebuah model sebagai
solusi atas sebuah permasalahan nyata,
Pendidikan Matematika Universitas Muhammadiyah Purworejo,
Ruang Seminar UM Purworejo, 28 Mei 2016
577
Lesh dan Doerr dalam Leavitt (2007)
merumuskan empat langkah dasar yaitu:
seperti musik, seni, psikologi, sains, dan
bisnis.
1. mengubah situasi nyata menjadi sebuah
model
matematis
yang
dapat
digeneralisasikan
2. memanipulasi model matematis yang
telah didapat untuk menghasilkan
solusi terkait dengan situasi pemecahan
masalah yang sebenarmya, dengan kata
lain mencari solusi dari masalah yang
ada melalui model matematis.
3. mengubah solusi yang didapat menjadi
penyelesaian untuk situasi masalah
sebelumnya.
4. melakukan
pembuktian
tentang
kegunaan dari solusi tadi, mengaitkan
hasil yang didapat dengan kehidupan
nyata dan melihat adanya kemungkinan
solusi tersebut dapat berguna untuk
situasi yang sejenis.
Dalam pembelajaran Model-Eliciting
Activities siswa diberikan kesempatan
untuk membangun sendiri kemampuan
koneksi matematisnya. Hal ini akan
menjadikan kemampuan koneksi matematis
yang dipelajari menjadi lebih bermakna dan
mendukung pemahaman siswa (Hiebert and
Carpenter dikutip dalam Bergesson, 2000).
Dari uraian para ahli di atas, dapat
disimpulkan bahwa pembelajaran ModelEliciting Activities adalah pembelajaran
yang menggunakan konteks nyata sebagai
permasalahannya.
Terkait
dengan
pembelajaran
dengan
menggunakan
konteks, hasil penelitian Harahap, R., Dewi,
I., Sumarno (2010) mengungkapkan bahwa
peningkatan
kemampuan
koneksi
matematis siswa melalui pembelajaran
kontekstual lebih baik daripada peningkatan
kemampuan koneksi matematis melalui
pembelajaran kooperatif tipe STAD, baik
dilihat dari setiap aspek kemampuan
koneksi maupun secara keseluruhan.
Pembelajaran Model-Eliciting Activities
adalah pembelajaran yang menuntut siswa
menyusun sebuah model matematika
sebagai solusi permasalahan. Coxford
(1995:3-4) mengemukakan bahwa salah
satu
kegiatan
yang
mendukung
terbangunnya koneksi matematis adalah
dengan menerapkan kemampuan berfikir
matematis dan membuat model yang dapat
digunakan
untuk
menyelesaikan
permasalahan dalam disiplin ilmu lain,
578
Berdasarkan kajian teori yang telah
dipaparkan di atas, maka dapat disusun
hipotesis penelitian yaitu pembelajaran
Model-Eliciting
Activities
dapat
meningkatkan
kemampuan
koneksi
matematis.
Terdapat
perbedaan
peningkatan
kemampuan
koneksi
matematis
siswa
yang
melakukan
pembelajaran Model-Eliciting Activities
dengan
siswa
yang
memperoleh
pembelajaran konvensional.
3. METODE PENELITIAN
a. Jenis Penelitian
Penelitian ini bertujuan untuk menguji
dampak suatu treatment dalam hal ini
pembelajaran Model-Eliciting Activities
terhadap hasil penelitian yaitu kemampuan
koneksi matematis. Maka jenis penelitian
yang paling sesuai untuk digunakan dalam
penelitian ini adalah penelitian eksperimen.
Kemudian agar didapat suatu kesimpulan
yang valid tentang hubungan kausal antara
treatment dan hasil penelitian, maka perlu
dilakukan pengontrolan pengaruh variabel
lain terhadap variabel terikat. Pengontrolan
ini menggunakan apa yang disebut dengan
kelompok kontrol. Oleh karena itu
penelitian ini menggunakan kelompok
eksperimen
dan
kelompok
konrol.
Kelompok eksperimen dalam penelitian ini
adalah kelompok yang mendapatkan
pembelajaran Model-Eliciting Activities
sedangkan kelompok kontrol adalah
kelompok yang mendapatkan pembelajaran
konvensional.
Prosiding Seminar Nasional Matematika dan Pendidikan Matematika, “Internalisasi Nilainilai Berpikir Matematis Dalam Perannya di Era Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA)”
Penelitian ini dilakukan di sekolah
dimana tidak memungkinkan peneliti
melakukan pengontrolan secara penuh
terhadap sampel penelitian. Subjek
penelitian tidak dikelompokan secara acak,
tetapi peneliti menerima keadaan subjek
seadanya. Hal ini dilakukan dengan
pertimbangan bahwa apabila dilakukan
pembentukan kelas yang baru maka akan
menyebabkan kekacauan jadwal pelajaran
yang telah disusun oleh pihak sekolah. Oleh
sebab itu penelitian ini menggunakan
metode penelitian eksperimental semu
(quasi experimental research.
b. Desain Penelitian
Untuk melihat peningkatan kemampuan
koneksi matematis kelompok eksperimen
dan kelompok kontrol, maka masingmasing kelompok diberikan pre-test dan
post-test. Berdasarkan alasan di atas maka
desain penelitian yang digunakan dalam
penelitian ini adalah penelitian quasi
experimental dengan nonequivalent pre-test
and post-test control-group design.
Menurut Cresswell (2010, hlm. 242) desain
penelitiannya adalah sebagai berikut:
Kelas eksperimen
O
Kelas kontrol
O
X
O
O
Keterangan:
X :
Pembelajaran
Activities
Model-Eliciting
pembelajaran Model Eliciting Activities,
sedangkan siswa kelas 8d adalah kelas
kontrol yang memperoleh pembelajaran
ekspositori.
3.4. Variabel Penelitian
Variabel dalam penelitian ini terdiri dai
variabel bebas dan variabel terikat. Variabel
bebasnya adalah pembelajaran ModelEliciting Activities, sedangkan variabel
terikatnya adalah kemampuan koneksi
matematis.
3.5. Instrument Penelitian
Instrumen penelitian yang digunakan
dalam penelitian ini adalah instrumen tes
berupa soal pre-test dan post-test
kemampuan koneksi matematis.
Untuk dapat melihat pola pikir siswa
dengan jelas sehingga kemampuan koneksi
matematisnya benar-benar terlihat, maka
bentuk tes yang digunakan adalah tipe
uraian. Tes dengan tipe uraian menurut
Russefendi (2005, hlm. 118) memiliki
keunggulan yaitu menimbulkan sifat kreatif
pada diri siswa dan hanya siswa yang telah
betul-betul menguasai materi yang bisa
memberikan jawaban yang baik dan benar.
Alat evaluasi berupa tes ini sebelum
diberikan kepada siswa yang menjadi
sampel
penelitian
terlebih
dahulu
dikonsultasikan dengan dosen pembimbing
dan guru matematika di sekolah, kemudian
diuji cobakan kepada siswa. Setelah data
hasil uji coba tersebut terkumpul, data-data
tersebut kemudian diberi skor dan dianalisis
untuk mengetahui validitas, dan reliabilitas
dari soal-soal tersebut.
…. : Subjek tidak dikelompokan secara
acak menyeluruh
Pedoman pemberian skor koneksi
matematis menggunakan focused holistic
scoring scale ( Randal, 1987) yang
dimodifikasi.
3.3. Populasi dan Sampel Penelitian
3.6. Teknik analisis data
Populasi dalam penelitian ini adalah
siswa SMP negeri 3 Bantarsari Kabupaten
Cilacap yang terdiri dari 12 kelas. Sampel
yang terpilih adalah siswa kelas 8c dan
siswa kelas 8d. Siswa kelas 8c sebagai
kelas eksperimen yang melaksanakan
Data hasil tes yang diperoleh dari hasil
pengumpulan data selanjutnya dianalisis
melalui tahap-tahap berikut:
O : pre-test dan post-test
1. Memberikan skor jawaban siswa sesuai
dengan kunci jawaban dan pedoman
penskoran yang digunakan.
Pendidikan Matematika Universitas Muhammadiyah Purworejo,
Ruang Seminar UM Purworejo, 28 Mei 2016
579
2. Membuat tabel skor hasil tes siswa baik
pretes,
postes,
maupun
gain
ternormalisasi tes kemampuan koneksi
matematis baik kelas eksperimen
maupun kelas kontrol.
3. Menguji prasyarat analisis data hasil
pretes dan N-gain yaitu uji normalitas
dan homogenitas, baik secara klasikal
maupun
berdasarkan
kategori
kemampuan awal matematika.
4. Menguji dan menganalisis data hasil
pretes dan N-gain dengan uji perbedaan
dua rerata.
5. Menguji pengaruh interaksi antara
model pembelajaran dan kemampuan
awa matematika terhadap peningkatan
kemampuan koneksi matematis siswa.
4.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Pengolahan data hasil penelitian
dilakukan untuk menganalisis data mentah
yang diperoleh selama proses penelitian.
Tujuan adalah untuk:
Menelaah ada
tidaknya
perbedaan
peningkatan
kemampuan koneksi matematis siswa yang
belajar menggunakan pembelajaran ModelEliciting Activities dan siswa yang
memperoleh pembelajaran konvensional.
Selanjutnya mengkaji ada tidaknya
pengaruh
interaksi
antara
model
pembelajaran dan kemampuan awal
matematika
terhadap
peningkatan
kemampuan koneksi matematis siswa.
Sebelum
membahas
data
hasil
penelitian, terlebih dahulu dipaparkan
deskripsi pembelajaran Model-Eliciting
Activities.
a. Deskripsi Pembelajaran ModelEliciting Activities,
Pada pembelajaran Model-Eliciting
Activities, siswa bekerja dalam kelompokkelompok kecil yang beranggotakan empat
orang. Anggota masing-masing kelompok
disusun dengan mempertimbangkan faktor
pemerataan kemampuan berdasarkan hasil
tes kemampuan awal matematika, sehingga
580
bisa diasumsikan masing-masing kelompok
memiliki
anggota-anggota
dengan
kemampuan yang relatif heterogen.
Pada
awal
pembelajaran
guru
membagikan Lembar Kerja Kelompok
(LKK) kepada masing-masing kelompok.
Setelah itu guru/salah seorang siswa
membacakan artikel terkait dengan materi
yang akan dipelajari. Artikel tersebut bisa
merupakan artikel yang bersumber dari
internet maupun artikel yang diambil dari
surat kabar. Selanjutnya guru memberikan
tantangan berdasarkan artikel tersebut.
Tantangan inilah yang nantinya harus
diselesaikan dalam diskusi kelompok.
Sebelum proses diskusi kelompok
berlangsung, guru memastikan bahwa
setiap kelompok memahami tantangan yang
harus
diselesaikan
dan
memiliki
pengetahuan awal yang memadai untuk
menyelesaikan tantangan tersebut. Hal ini
dilakukan dengan memberikan pertanyaanpertanyaan pancingan untuk menggali dan
mendapatkan informasi dari siswa.
Lembar kerja kelompok disusun
sebagai bentuk intervensi guru dan
merupakan scaffolding dalam membimbing
siswa untuk mengadakan penyelidikan,
membuat
model
matematika
dari
permasalahan yang disajikan, mengevaluasi
kebenaran model matematika yang telah
disusun, baru kemudian mengaplikasikan
model matematika yang telah disusun untuk
menyelesaikan tantangan.
Tahap pembelajaran selanjutnya adalah
presentasi hasil diskusi kelompok di depan
kelas dilanjutkan diskusi secara klasikal.
Guru berperan sebagai moderator pada saat
diskusi. Setelah proses diskusi, tahap
selanjutnya
adalah
konfirmasi
dari
rangkaian kegiatan dan temuan pada
kegiatan
pembelajaran
yang
telah
dilakukan.
Prosiding Seminar Nasional Matematika dan Pendidikan Matematika, “Internalisasi Nilainilai Berpikir Matematis Dalam Perannya di Era Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA)”
4.2. Kemampuan Koneksi Matematis
Data kemampuan koneksi matematis
diperoleh dari skor siswa pada pre-test dan
post-test kemampuan koneksi matematis.
Sedangkan data peningkatan kemampuan
koneksi matematis diperoleh dari gain
ternormalisasi (N-Gain).
A. Data Hasil Pre-test, post-test dan Ngain
tes
Kemampuan
Koneksi
Matematis
Nilai rerata skor pre-test, post-test, dan
N-gain tes kemampuan koneksi matematis
siswa disajikan pada tabel berikut.
Tabel 4.1
Data Pre-test Kemampuan Koneksi
Matematis Siswa
Kelas
Pre-test
PostN-Gain
test
Eksperimen
1.07
6,96
0,54
Kontrol
1,18
4,32
0,28
Dari tabel 4.1 di atas terlihat bahwa
rerata skor pre-test kelas eksperimen dan
kelas kontrol relatif sama, meskipun terlihat
rerata skor pre-test kelas kontrol sedikit
lebih tinggi dibanding rerata skor pre-test
kelas eksperimen. Lain halnya dengan
rerata skor post-test, dan N-gain kelas
eksperimen dan kelas kontrol. Rerata skor
post-test dan N-gain kelas eksperimen
terlihat lebih tinggi dibanding rerata kelas
kontrol.
Untuk
mengetahui
signifikansi
kesamaan dan perbedaan rerata skor pretest, dan N-gain kelas eksperimen dan kelas
kontrol maka perlu dilakuan uji secara
statistik.
B. Analisis
Data
Skor
Pre-test
Kemampuan Koneksi Matematis siswa
Analisis uji kesamaan dua rerata skor
hasil pre-test dilakukan untuk mengetahui
apakah kelas eksperimen maupun kelas
kontrol memiliki kemampuan awal koneksi
matematis yang sama sebelum dilaksanakan
proses pembelajaran.
Hasil uji normalitas data skor pre-test
kemampuan
koneksi
matematis
mendapatkan simpulan bahwa data rerata
skor pre-test tidak memenuhi asumsi
normalitas. Maka untuk melakukan uji
kesamaan dua rerata digunakan pengujian
statistik non parametrik uji Mann-whitney.
Hasil uji Mann-Whitney data skor pretest kemampuan koneksi matematis adalah
sebagai berikut.
Tabel 4.2
Uji Mann-Whitney Data Skor Pre-Test
Kemampuan Koneksi Matematis
Z
Sig
Kesimpulan Keterangan
-0,875
0,382
H0 diterima
Tidak ada
perbedaan
Berdasarkan Uji Mann-Whitney data
pre-test kemampuan koneksi matematis,
didapat simpulan bahwa tidak terdapat
perbedaan
yang
signifikan
antara
kemampuan awal koneksi matematis kelas
kontrol dan kelas eksperimen. Artinya,
bahwa siswa kelas kontrol dan kelas
eksperimen memiliki kemampuan koneksi
matematis
yang
setara
sebelum
pembelajaran dilakukan.
5. Analisis Data
Kemampuan
Matematis siswa
Peningkatan
Koneksi
Data peningkatan kemampuan koneksi
matematis didapatkan dari N-gain skor pretest dan post-test kemampuan koneksi
matematis. Untuk mengetahui ada tidaknya
perbedaan
peningkatan
kemampuan
koneksi matematis siswa kelas eksperimen
dan kelas kontrol perlu dilakukan uji
statistik kesamaan dua rerata.
Hasil uji prasyarat analisis normalitas
dan homogenitas memperlihatkan bahwa
Pendidikan Matematika Universitas Muhammadiyah Purworejo,
Ruang Seminar UM Purworejo, 28 Mei 2016
581
data N-gain peningkatan kemampuan
koneksi matematis memenuhi asumsi
normal dan homogen. Maka uji perbedaan
dua rerata N-gain menggunakan pengujian
statistik parametrik uji t sampel independen
(independent sample t-test). Hasil uji t
sampel independen bisa dilihat pada tabel
berikut.
Tabel 4.3
Uji t Sampel Independen (IndependentSamples T Test) Data Peningkatan
Kemampuan Koneksi Matematis
T
Equal variances
assumed
Equal variances
not assumed
5,68
Sig (2tailed)
0,000
5,68
0,000
Tabel di atas memperlihatkan bahwa
pada taraf signifikansi  = 0,05 dapat
disimpukan terdapat perbedaan
yang
signifikan antara peningkatan kemampuan
koneksi matematis antara
siswa yang
melakukan pembelajaran Model-Eliciting
Activities dengan siswa yang memperoleh
pembelajaran konvensional.
Sebelumnya pada tabel 4.1 telah
diketahui bahwa rerata N-gain siswa
kelompok eksperimen lebih tinggi jika
dibandingkan rerata N-gain kelas kontrol.
Oleh karena itu bisa disimpulkan juga
bahwa peningkatan kemampuan koneksi
matematis
siswa
yang
melakukan
pembelajaran Model-Eliciting Activities
lebih tinggi dibanding peningkatan
kemampuan koneksi matematis siswa yang
memperoleh pembelajaran konvensional.
6. Analisis pengaruh interaksi
antara model pembelajaran dan
kemampuan awal matematika
terhadap
peningkatan
kemampuan
koneksi
matematis.
582
Setelah sebelumnya menguji dan
memastikan
terpenuhinya
asumsi
normalitas dan homogenitas data N-gain
berdasarkan kategori kemampuan awal
matematika, proses selanjutnya adalah
menguji pengaruh interaksi antara model
pembelajaran dan kemampuan awal
matematika. Adapun uji yang digunakan
adalah uji anova dua jalur IBM SPSS 20.0
dengan taraf signifikansi α=0,05. Berikut
adalah tabel hasil pengujian Anova dua
jalur.
Tabel 4.4
Uji Anova Dua Jalur
Data Peningkatan Kemampuan Koneksi
Matematis
F
Sig Simpulan
Pembelajaran
56.67
0,00
Tolak H0
KAM
19,74
0,00
Tolak H0
4,22
0,02
Tolak H0
Pembelajaran dan
Kemampuan Awal
Pada Tabel 4.4 kolom pembelajaran
dan kemampuan awal didapatkan nilai
signifikansi = 0,02. Hal ini menunjukkan
bahwa terdapat terdapat pengaruh interaksi
antara
pembelajaran
dan
kategori
kemampuan awal matematis terhadap
peningkatan
kemampuan
koneksi
matematika. Artinya, antara pembelajaran
dan kategori kemampuan awal matematis
secara bersama memberikan pengaruh
terhadap peningkatan kemampuan koneksi
matematis siswa.
Pengaruh interaksi antara model
pembelajaran dan kemampuan awal
matematika
terhadap
peningkatan
kemampuan koneksi matematis terlihat
pada kurva output IBM SPSS versi 20.0
berikut.
Prosiding Seminar Nasional Matematika dan Pendidikan Matematika, “Internalisasi Nilainilai Berpikir Matematis Dalam Perannya di Era Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA)”
melaksanakan
pembelajaran
ModelEliciting Activities ditunjukan pada tabel
4.5 berikut.
Tabel 4.5
Kurva tersebut memperlihatkan bahwa
baik pada kategori rendah, sedang, maupun
tinggi peningkatan kemampuan koneksi
matematis siswa dengan pembelajaran
Model-Eliciting Activities lebih tinggi
dibanding siswa yang memperoleh
pembelajaran konvensional. Perbedaan
peningkatan
kemampuan
koneksi
matematis paling tampak antara kedua
model pembelajaran ditunjukan pada
kategori tinggi. Artinya ada pengaruh
interaksi antara model pembelajaran dan
kemampuan awal matematika terhadap
peningkatan
kemampuan
koneksi
matematis siswa. Pembelajaran ModelEliciting
Activities
paling
efektif
meningkatkan
kemampuan
koneksi
matematis siswa dengan kategori tinggi.
4.3. Pembahasan
Hasil uji perbedaan dua rerata
memperlihatkan bahwa terdapat perbedaan
peningkatan
kemampuan
koneksi
matematis yang signifikan antara kelas
eksperimen
yang
melaksanakan
pembelajaran Model-eliciting Activities dan
kelas
kontrol
yang
memperoleh
pembelajaran konvensional.
Peningkatan
kemampuan
koneksi
matematis untuk masing-masing indicator
kemampuan koneksi matematis siswa yang
No
Indikator
N-gain
1
Mengenali dan menggunakan
hubungan
antar
konsep- 0,37
konsep dalam matematika
2
Mengenali dan menggunakan
hubungan antara konsep
0,55
matematika dengan konsep
pada disiplin ilmu yang lain
3
Menerapkan
konsep
matematika dalam kehidupan 0,65
sehari-hari
Dari tabel 4.5 di atas, terlihat
peningkatan
kemampuan
koneksi
matematis tertinggi adalah pada indikator
menerapkan konsep matematika dalam
kehidupan sehari-hari. Adapun peningkatan
yang terendah adalah pada indicator
mengenali dan menggunakan hubungan
antar konsep-konsep dalam matematika.
Tingginya
peningkatan
indikator
menerapkan konsep matematika dalam
kehidupan sehari-hari, karena permasalahan
dalam
pembelajaran
Model-Eliciting
Activities selalu didasarkan pada situasi
nyata. Sedangkan peningkatan yang
terendah pada indikator mengenali dan
menggunakan hubungan antar konsepkonsep
dalam
matematika,
karena
banyaknya konsep-konsep matematika
yang
harus
dihubungkan
untuk
menyelesaikan suatu permasalahan.
Temuan ini sejalan dengan penelitian
yang dilakukan Lestari (2012) yang
mengungkapkan bahwa siswa paling
kesulitan dalam melakukan koneksi antar
topik matematika. Hal ini disebabkan
karena banyaknya topik matematika yang
Pendidikan Matematika Universitas Muhammadiyah Purworejo,
Ruang Seminar UM Purworejo, 28 Mei 2016
583
harus dikaitkan dalam penyelesaian soal
sehingga memerlukan jangkauan pemikiran
yang tinggi.
Secara umum faktor-faktor yang
menyebabkan
perbedaan
peningkatan
kemampuan koneksi matematis siswa yang
melakukan pembelajaran Model-Eliciting
Activities
dibanding
siswa
yang
memperoleh pembelajaran konvensional
antara lain :
1. Pembelajaran didasarkan pada konteks
nyata.
Pada pembelajaran Model-Eliciting
activities Siswa diberikan tantangan
berdasarkan artikel tentang kejadian
nyata yang bersumber dari internet
maupun surat kabar.
Tantangan
tersebut bisa saja berhubungan dengan
materi pelajaran di luar matematika,
sehingga selain membangun hubungan
antara konsep matematika dengan
kehidupan sehari-hari, juga menuntut
siswa membangun hubungan baik antar
konsep-konsep matematika, maupun
antara konsep matematika dengan
konsep di luar matematika.
2. Siswa belajar bersama dalam kelompok
kecil.
Belajar dalam kelompok-kelompok
kecil memungkinkan terjadinya tutor
sebaya. Siswa yang pandai dapat
membantu teman yang kemampuannya
kurang
sehingga
mereka
lebih
memahami dan mengerti. Menurut
Vygotsky siswa yang belajar melalui
interaksi dengan orang dewasa dan
teman sebaya yang lebih mampu, akan
memacu terbentuknya ide baru dan
memperkaya perkembangan intelektual
siswa. Konsep ini dikenal sebagai
pemagangan
kognitif
(cognitive
apprenticeship), yaitu proses di mana
seseorang yang sedang belajar, tahap
demi tahap memperoleh keahlian
melalui interaksinya dengan pakar.
584
Pakar yang dimaksud di sini adalah
orang yang menguasai permasalahan
yang dipelajari. Jadi, dapat berupa
orang dewasa atau kawan sebaya
(Slavin dalam Yohanes, 2010).
3. Siswa membangun sendiri kemampuan
koneksi matematisnya melalui kegiatan
membuat model matematika sebagai
penyelesaian, menguji model yang
telah dibuat dan menerapkan model
yang telah dibuat untuk menyelesaikan
permasahan. Kegiatan membuat model
menuntut
siswa
untuk
terbiasa
membangun hubungan antar konsepkonsep dalam matematika.
5. KESIMPULAN
Simpulan yang diperoleh dari hasil
penelitian ini adalah:
1. Peningkatan
kemampuan
koneksi
matematis siswa yang melakukan
pembelajaran Model-Eliciting Activities
lebih tinggi daripada peningkatan
kemampuan koneksi matematis siswa
yang
memperoleh
pembelajaran
konvensional.
2. Pembelajaran Model-Eliciting Activities
efektif meningkatkan kemampuan
koneksi matematis siswa pada semua
kategori
kemampuan
siswa.
Peningkatan
kemampuan
koneksi
matematis yang paling tinggi dicapai
oleh siswa kelompok atas.
3. Alasan
siswa
tertarik
dengan
pembelajaran
matematika
dengan
pendekatan Model-Eliciting Activities
antara lain:
a) pembelajaran
Model-Eliciting
Activities didasarkan pada situasi
yang realistis;
b) pembelajaran
Model-Eliciting
Activities memberikan kebebasan
dalam berfikir;
c) Pembelajaran dalam kelompokkelompok
kecil
dengan
kemampuan
yang
heterogen
memungkinkan terjadinya tutor
sebaya. Siswa yang kemampuannya
rendah lebih leluasa untuk bertanya
tentang
hal
yang
belum
dipahaminya kepada teman yang
Prosiding Seminar Nasional Matematika dan Pendidikan Matematika, “Internalisasi Nilainilai Berpikir Matematis Dalam Perannya di Era Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA)”
telah lebih dahulu memahami hal
tersebut.
mathematicians. The Journal of
Secondary Gifted Education. Vol. XVII,
No. 1, Fall 2005, pp. 37–47.
5.2. Saran
Berdasarkan pada hasil analisa,
pembahasan, dan kesimpulan serta teoriteori yang mendukung, maka penulis
menyarankan hal-hal berikut ini:
1. pembelajaran
Model-Eliciting
Activities direkomendasikan sebagai
salah
satu
alternatif
dalam
melaksanakan kegiatan pembelajaran
matematika siswa SMP. Tetapi perlu
diketahui bahwa tidak ada satupun
model pembelajaran yang sempurna
dan selalu cocok dengan materi
matematika. sehingga, diperlukan
ketelitian dalam memilih model
pembelajaran
sesuai
dengan
karakteristik siswa dan materi yang
hendak dipelajari.
2. Kemampuan koneksi matematis adalah
kemampuan yang penting dalam
memahami matematika. Oleh sebab
itu, kemampuan tersebut perlu terus
diteliti, dilatih dan dikembangkan pada
siswa.
3. Bagi peneliti selanjutnya, disarankan
untuk mengkaji tentang pengaruh
model pembelajaran pembelajaran
Model-Eliciting Activities terhadap
kemampuan berpikir matematis tingkat
tinggi lainnya. Seperti, kemampuan
berpikir kritis, penalaran, pemecahan
masalah, dan lain sebagainya.
Cresswell, John W. (2010). Research
design
pendekatan
kualitatif,
kuantitatif, dan mixed. Yogyakarta:
Pustaka Pelajar.
6. REFERENSI
Bergeson, T. (2000). Teaching and learning
mathematics: using research to shift
from the “yesterday” mind to the
“tommorow” mind. [online]. Diakses
dari: www.k12.wa.us.
Blum, W., Galbraith, P.L., Henn, H-W., &
Niss, M. (eds). (2007). Modelling and
aplications in mathematics sducation:
the 14th ICMI study. New ICMI study
series volume 10. New York: Springer
Chamberlin, S. A., & Moon, S. (2005).
Model-Eliciting Activities as a tool to
develop and identify creatively gifted
Cynthia.
A,
Leavitt,
D.
(2007).
Implementation strategies for ModelEliciting Activities: A Teachers Guide.
[online].
Diakses
dari:
http://site.educ.indiana.edu/Portals/161/
Public/Ahn%20&%20Leavitt.pdf
Coxford, A.F. (1995). “The Case for
connections”,
in
connecting
mathematics across the curriculum.
Editor: House, P.A. dan Coxford, A.F.
Reston, Virginia: NCTM.
Hamilton, E., Lesh, R., & Lester, F. (2008).
Model-Eliciting Activities (MEAs) as a
bridge between engineering education
research and mathematics education
research. advances in engineering
education. [online]. Diakses dari:
http://aaee.com.au/conferences/AAEE2
009/PDF/AUTHOR/AE090130.PDF
Harahap, R., Dewi, I., Sumarno. (2010).
Perbedaan peningkatan kemampuan
komunikasi dan koneksi matematis
siswa melalui pembelajaran kontekstual
dengan kooperatif Tipe STAD di SMP
Al Washlilah 8 Medan. Jurnal
Pendidikan Matematika PARADIKMA,
Vol 5 Nomor 2, hal 186-204
Kusuma, D.A. (2008). Meningkatkan
kemampuan koneksi matematik dengan
menggunakan
pendekatan
konstruktivisme. [online]. Diakses dari:
http://pustaka.unpad.ac.id/wp.content/u
ploads/2009/06/
meningkatkan
kemampuan
koneksi-matematik.pdf.
[10 Desember 2015].
Pendidikan Matematika Universitas Muhammadiyah Purworejo,
Ruang Seminar UM Purworejo, 28 Mei 2016
585
Lampert, M. (2001). Teaching problems
and the problems in teaching. New
Haven, CT: Yale University Press.
NCTM. (1989). Curriculum and evaluation
standards or school mathematics.
Reston, VA: Authur. [online]. Diakses
dari: http://educare.e-fkipunla.net
Mosvold, R. (2009). Real-life connections
in Japan and the Netherlands: National
teaching patterns and cultural beliefs.
University of Stavanger Stavanger,
Norway
solving. Reston, VA: National Council
of Teacher of Mathematics.
Rohendi, D, Dulpaja, J. (2013). Connected
mathematics project (CMP) model
based on presentation media to the
mathematical connection ability of
Junior High School student. Journal of
Education and Practice. [online].
Diakses dari: www.iiste.org. ISSN
2222-1735 (Paper) ISSN 2222-288X
(Online) Vol.4, No.4, 2013
NCTM. (2000). Principles and standards
for School Mathematics. [online].
Diakses dari: www.nctm.org.
Ruseffendi, E.T. (1991). Pengantar kepada
membantu
guru
mengembangkan
kompetensinya dalam pengajaran
matematika untuk meningkatkan CBSA.
Bandung: Tarsito.
Permana, Y. (2011). Mengembangkan
kemampuan komunikasi matematis dan
disposisi siswa Sekolah Menengah Atas
melalui Model-Eliciting Activities.
Jurnal PPPPTK BMTI vol. 3 No. 1 hal
13-22.
Sumarmo, U. (2003). Berfikir dan disposisi
matematik : apa, mengapa, dan
bagaimana dikembangkan pada siswa
sekolah
dasar
dan
menengah.
Bandung: ITB
Puspaningrum, I.R., Khotimah, R.P. (2015).
Kontribusi kemampuan awal, minat,
dan kemandirian mahasiswa terhadap
hasil belajar mata kuliah persamaan
diferensial.
Prosiding
Seminar
Nasional Pendidikan Matematika UMS
2015. ISBN : 978.602.719.934.7.
[online].
Diakses
dari:
https://publikasiilmiah.ums.ac.id/bitstre
am/handle/11617/6138/2_Ika%20Ratna
%20Puspaningrum%2012_22.pdf?sequ
ence=1
Randall, C, Lester, F, P. O‟Daffer. (1987).
How to evaluate progress in problem
586
Widyastuti. (2010). Pengaruh model
pembelajaran
Model-Eliciting
Activities
terhadap
kemampuan
representasi matematis dan self-eficacy
siswa.Tesis pada Sekolah Pascasarjana
Universitas Pendidikan Indonesia.
Bandung.
Yohanes, R.S. (2010). Teori vygotsky dan
implikasinya terhadap pembelajaran
matematika. Widya Warta No. 02
Tahun XXXIV / Juli 2010 ISSN 08541981.
[online].
Diakses
dari:
http://download.portalgaruda.org/article
.php?article=116773&val=5324
Prosiding Seminar Nasional Matematika dan Pendidikan Matematika, “Internalisasi Nilainilai Berpikir Matematis Dalam Perannya di Era Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA)”
PENGARUH DOMINO IDENTITAS TRIGONOMETRI
TERHADAP HASIL BELAJAR SISWA
Tamim Zainudin1), Moh. Lutfianto2)
Tamim Zainudin, STKIP Al-Hikmah Surabaya
email: [email protected]
2
Moch. Lutfianto, STKIP Al-Hikmah Surabaya
email: [email protected]
1
Abstrak
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh Domino Identitas Trigonometri terhadap
hasil belajar siswa. Domino Identitas Trigonometri adalah alat peraga kartu yang berfungsi untuk
membantu siswa dalam mempelajari konsep Identitas Trigonometri. Metode penelitian yang
digunakan adalah eksperimen kuantitatif dengan desain penelitian One Group Pretest-Postest
Design. Populasi dalam penelitian ini adalah 30 siswa kelas X di salah satu SMA di Surabaya.
Instrumen penelitian ini terdiri dari terdiri dari Pre Test dan Post Test yang masing-masing terdiri
dari 2 soal. Berdasarkan hasil analisis data yang diuji menggunakan Uji-t, disimpulkan bahwa
Domino Identitas Trigonometri berpengaruh hasil belajar siswa.
Kata Kunci: Domino Identitas Trigonometri, Identitas Trigonometri
1. PENDAHULUAN
Matematika merupakan salah satu ilmu
eksak yang mengharuskan siswa untuk
benar-benar memahami dan menguasai
materi. Hal ini berdampak kepada siswa yang
menyimpulkan
bahwa
matematika
merupakan pelajaran yang sulit dipahami.
akan mempengaruhi pemahaman konsep
berikutnya. Contohnya penguasaan konsep
trigonometri di kelas X akan mempengaruhi
penguasaan konsep di kelas trigonometri di
kelas XI dan XII, serta banyak materi yang
terjalin dengan konsep trigonometri seperti
limit, differensial, lingkaran dan yang lainya.
Proses pembelajaran matematika selama
ini masih banyak mengalami kendala antara
lain dominasi guru dalam pembelajaran yang
masih tinggi, kurangnya penggunaan media
dan alat peraga, penggunaan strategi
pembelajaran yang kurang tepat dan
kurangnya guru memahami karakteristik
siswa dengan meperlakukan siswa dengan
perlakuan yang sama, walaupun kenyataan
kemampuan siswa dalam menyerap materi
pelajaran
matematika
berbeda-beda.
Sebagian siswa dapat mengikuti dengan baik,
namun banyak siswa yang mengalami
kesulitan dalam menguasainya. Hal ini
karena matematika adalah mata pelajaran
yang abstrak dan banyak rumus yang harus
diingat serta dipahami. Selain itu matematika
memiliki keterkaitan di setiap konsep,
sehingga pemahaman di dalam suatu konsep
Salah satu standar kompetensi yang
harus dikuasai di kelas X adalah
menggunakan
perbandingan,
fungsi,
persamaan dan identitas trigonometri dalam
pemecahan masalah. Pada materi ini, siswa
dituntut untuk memiliki kompetensi dasar
yaitu: Melakukan manipulasi aljabar dalam
perhitungan teknis yang berkaitan dengan
perbandingan, fungsi, persamaan dan
identitas trigonometri; Merancang model
matematika dari masalah yang berkaitan
dengan perbandingan, fungsi, persamaan dan
identitas; Menyelesaikan model matematika
dari masalah yang berkaitan perbandingan,
fungsi, persamaan dan identitas trigonometri,
dan penafsirannya.
Materi ini banyak menuntut siswa untuk
untuk mengkonstruksikan materi yang telah
dipelajari sebelumnya. Dapat dikatakan
Pendidikan Matematika Universitas Muhammadiyah Purworejo,
Ruang Seminar UM Purworejo, 28 Mei 2016
587
bahwa materi perbandingan trigonometri,
identitas
trigonometri
dan
fungsi
trigonometri merupakan materi pokok yang
banyak menggunakan konsep yang akan
terus berkembang dan bukan materi hafalan.
Sehingga apabila siswa belum menguasai
konsep materi sebelumnya maka siswa akan
kesulitan materi selanjutnya terutama materi
trigonometri di kelas XI dan XII.
Oleh sebab itu, sangat diperlukan
kompetensi guru dalam memilih dan
menggunakan media pembelajaran kususnya
materi trigonometri di kelas X. Dimana
materi trigonometri kelas X merupakan
prasyarat di kelas XI. Hal ini menunjukan
betapa pentingnya penguasaan materi
trigonometri dikelas X.
Siswa tidak akan menguasai konsep yang
rumit sebelum menguasai konsep yang
sederhana. Kemampuan awal siswa akan
berpengaruh terhadap tingkat berfikir dalam
pemahaman konsep selanjutnya. Karena itu
perlu pembelajaran yang bersifat konkrit.
Dalam proses pembelajaran seringkali
materi pokok trigonometri diberikan kurang
menarik, dominasi guru masih tinggi dan
tidak melibatkan siswa secara aktif. Sehingga
banyak siswa yang masih mengalami
kesulitan dalam pemahaman materi dan
akibatnya mereka mendapatkan hasil belajar
yang rendah.Trigonometri merupakan salah
satu materi yang dikeluhkan siswa karena
banyak rumus yang harus dihafal dan
memerlukan pemahaman tinggi.
Ada beberapa tahapan umum dalam
pembelajaran matematika yang sering
digunakan oleh guru yaitu pendahuluan, inti
dan penutup. Dalam tahap pendahuluan
berisi pembukaan, motivasi dan apersepsi.
Pada tahap ini tugas guru adalah
menyemangati,
mengkondisikan
dan
mengarahkan siswa. Pada tahap inti berisi
penyajian materi dari guru, dan pemberian
soal latihan dari guru. Namun pada tahap ini
siswa sering mengalami kejenuhan. Hal
588
tersebut karen pada tahap tersebut kurang
berfariasi sehingga siswa kurang tertantang.
Dari berbagai permasalahan tersebut
terdapat masalah utama yaitu membuat
proses pembelajaran yang menyenangkan
dan
menantang
siswa
serta
dapat
meningkatkan hasil belajar siswa.
Upaya yang dimungkinkan dapat
meningkatkan hasil belajar siswa tergantung
pada
model
pembelajaran,
metode
pembelajaran dan media pembelajaran.
Media pembelajaran adalah suatu alat
atau sejenisnya yang dapat dipergunakan
sebagai pembawa pesan (materi pelajaran)
dalam
suatu
kegiatan
pembelajaran
(Sundayana, 2015: 6) dan menurut Rusefendi
didalam Sundayana (2015: 7) alat peraga
adalah alat yang menerangkan atau
mewujudkan konsep matematika.
Dalam pembelajaran matematika dengan
menggunakan alat peraga kartu dirasakan
akan lebih efektif dan berhasil karena dapat
digunakan untuk permainan. Alat peraga
kartu memiliki keasyikan tersendiri dalam
proses belajar. Alat peraga kartu
juga
dianggap efektif, dan mudah dalam
pembuatannya . Sehingga siswa akan lebih
tertarik dan lebih mudah untuk menerima,
mengerti serta memahami materi.
Penggunaan alat peraga kartu merupakan
suatu kegiatan yang dimainkan menurut
aturan
tertentu
yang
menimbulkan
kesenangan,
tantangan
dan
dapat
mengembangkan
ketrampilan,
Puahadi
(2015).
. Sehingga menumbuhkan
kesenangan siswa dalam pembelajaran
sehingga hasil belajar siswa dapat
meningkat.
Penggunaan
kartu
trigonometri
diharapkan dapat membuat siswa lebih
memahami dan menemukan konsep-konsep
yang berifat abstrak melalui permainan.
Prosiding Seminar Nasional Matematika dan Pendidikan Matematika, “Internalisasi Nilainilai Berpikir Matematis Dalam Perannya di Era Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA)”
Oleh sebab itu penelitian ini mengambil
materi trigonometri
dan penggunaan
permainan kartu. Adapun judul penelitian ini
adalah: “Pengeruh Domino Trigonometri
terhadap Hasil Belajar Siswa”
Berdasarkan latar belakang masalah
dalam penelitian ini dapat di identifikasikan:
a. Masih rendahnya hasil belajar siswa
dalam
hal
penguasaan
konsep
trigonometri.
b. Pembelajaran matematika khususnya
dalam materi trigonometri dirasakan
membosankan dan kurang menarik.
c. Kemampuan siswa selama ini belum
menjadi perhatian dalam pembelajaran.
d. Media pembelajaran yang digunakan oleh
guru pada pembelajaran matematika
kurang menarik.
e. Kecenderungan guru belum mencoba
meggunakan kartu sebagai salah satu alat
peraga dalam pembelajaran matematika.
Untuk memberi kejelasan penelitian
tentang penggunaan alat peraga kartu dalam
penguasaan konsep trigonometri pada siswa
kelas X-5 SMA Muhammadiyah 4 Surabaya
tahun pelajaran 2015-2016 diperlukan
pembatasan permasalahan sebagai berikut:
a. Hasil belajar siswa yang dimaksudkan
dalam penelitian ini dibatasi pada hasil
belajar siswa pada kompetensi dasar
trigonometri
pada
topik
identitas
trigonometri di kelas X-5.
b. Penelitian ini menyangkut penggunaan
kartu domino dengan mepertimbangkan
kemampuan awal siswa. Kemampuan
awal dalam penelitian ini adalah
kemampuan yang dimiliki siswa sebelum
mengikuti kegiatan pembelajaran dengan
data diperoleh dari nilai pre-test identitas
trigonometri kelas X.
c. Kartu domino dalam penelitian ini adalah
kartu yang bentuknya dibuat seperti kartu
domino untuk menarik minat siswa dalam
belajar matematika. Bentuk kartu yang
digunakan sebagai media pembelajaran
samadengan kartu domino biasa, namun
terdapat perbedaan yang signifikan pada
permukaan kartu. Pada kartu domino
biasanya terdapat lingkaran (sebagai
lambang dari bilangan) mulai dari kosong
sampai lingkaran yang berjumlah 6. Pada
penelitian ini kartu berisikan identitas
trigononometri. Tugas siswa adalah
mencari pasangan yang sesuai dengan
rumus identitas trigonometri. Setelah
kartu usai digunakan dalam pembelajaran
siswa diarahkan untuk mengaplikasikan
kedalam soal latihan.
d. Hasil belajar dalam penelitian ini adalah
hasil yang diperoleh siswa setelah
pembelajaran trigonometri yang meliputi
identitas trigonometri. Hasil belajar
diperoleh
dari
nilai
Post-test
Trigonometri
Adapaun permasalah
dalam penelitian ini:
yang
diajukan
a. Apakah terdapat pengaruh domino
identitas trigonometri terhadap hasil
belajar siswa?
b. Apakah terdapat peningkatan hasil belajar
siswa dengan menggunakan kartu
Domino Trigonometri?
Penelitian
mengetahui:
ini
bertujuan
untuk
a. Interaksi antara penggunaan media dan
kemampuan awal terhadap hasil belajar
siswa.
b. Mengetahui peningkatan hasil belajar
siswa dengan menggunakan kartu
Domino Trigonometri.
Manfaat Praktis:
a. Sebagai
informasi
keefektifan
penggunaan
kartu
dalam
proses
pembelajaran.
b. Sebagai informasi bagi guru bahwa
dengan menggunakan kartu domino dapat
meningkatkan hasil belajara siswa.
c. Bagi siswa dapat mengurangi kejenuhan
dalam belajar dan meningkatkan prestasi
belajar siswa dalam pembelajaran
trigonometri.
Manfat teoritis:
a. Memberikan sumbangan pemikiran dalam
rangka
terbangunya
pengembangan
keilmuan bagi pembelajaran khususnya.
b. Mengembangkan
konsep
teknologi
pembelajaran dalam kawasan pengelolaan
pembelajaran.
Pendidikan Matematika Universitas Muhammadiyah Purworejo,
Ruang Seminar UM Purworejo, 28 Mei 2016
589
c. Dapat menambah referensi media
pembelajaran yang belum banyak
digunakan, karena domino trigonometri
yang didesain dalam pembelajaran ini
merupakan inovasi pembelajaran bagi
pendidikan matematika.
2. KAJIAN
LITERATUR
DAN
PEGEMBANGAN HIPOTESIS
Matematika merupakan salah satu mata
pelajaran yang diajarkan dari sekolah dasar
hingga sekolah menengah atas. Budiastuti
(2015) mengatakan bahwa matematika
merupakan mata pelajaran yang membekali
siswanya untuk memiliki kemampuan
berfikir logis, analisis, sitematis, kritis dan
kretif serta mampu bekerja sama. Namun,
Tidak sedikit peserta didik merasa kesulitan
dalam memahami konsep-konsep dalam
mata pelajaran ini. Tidak jarang pula banyak
siswa yang mengeluhkan bahwa matematika
dianggap pelajaran yang mebosankan,
menjenuhkan, menakutkan dan banyak
sebutan lain yang bernilai negatif yang
mengakibatkan rendahnya hasil belajar.
Matematika merupakan ilmu yang
mendasari
perkembangan
teknologi.
Matematika pada materi trigometri dapat
digunakan dalam menentukan arah kiblat
Kuswidi (2003). Di Sekolah menengah atas
Matematika sangat melandasi perkembangan
teknologi, terutama membekali bagi siswa
yang melanjutkan ke perguruan tinggi.
Pelajaran matematika merupakan salah
satu mata pelajaran yang dianggap sulit.
Penyebab sulitnya pelajaran matematika
dapat
dikarenakan
beberapa
faktor.
Diantaranya matematika merupakan suatu
objek abstrak, cara mengajar buku, buku
yang kurang menarik dan motivasi belajar
siswa yang rendah.
Pradana, G. S. (2015) menyatakan bahwa
Perjudian dadu (domino) merupakan
permainan yang popular di suatu daerah di
590
Surabaya, dikarenakan permainan tersebut
dianggap mudah dalam permainannya.
Kartu domino yang dimaksud disini
bukanlah kartu domino yang digunakan
untuk berjudi. Melainkan kartu domino disini
merupakan hasil modifikasi kartu domino
tersebut yang dikaitkan dengan materi
trigonometri. Sehingga kartu domino ini
dapat digunakan untuk menarik minat siswa
dalam pembelajaran Matematika. Kartu
domino Trigonometri cenderung mengarah
kedalam pembelajaran
yang
bersifat
permainan.
Permainan Domino trigonometri selama
kegiatan
pembelajaran
siswa
akan
berkelompok, sehingga terjadi interaksi
antara siswa dengan siswa, siswa dengan
guru maupun siswa dengan media belajar.
Selama kegiatan belajar-mengajar sebagian
besar aktivitas dilakukan oleh siswa (student
center), guru hanya sebagai motivator dan
vasilitator untuk siswa. Sehingga konsep
materi ditanamkan sendiri oleh siswa.
Beberapa penelitian yang relavan dengan
penelitian ini adalah:
a. Hasil Penelitian Tindakan kelas oleh
Septy Cartika Sari (2014) menunjukkan
bahwa penerapan permainan kartu dapat
meningkatkan hasil belajar siswa pada
materi identitas trigonometri
b. Hasil Penelitian Ri Fazqi Marchi, Andy
Sapta (2014) menunjukan bahwa dengan
menggunakan TGT berbantukan domino
trigonometri dapat meningkatkan hasil
belajar siswa kelas X SMA Negeri 1 Aek
Kuasan tahun ajaran 2013/2014.
c. Hasil Penelitian Yogi Hestuaji, Suwarto
WA dan Riyadi menunjukan bahwa hasil
belajar matematika siswa dengan
menggunakan media kartu domino lebih
baik dibanding menggunakan media
gambar diam.
Dari beberapa penelitian di atas peneliti
ingin mengetahui pengaruh domino identitas
Prosiding Seminar Nasional Matematika dan Pendidikan Matematika, “Internalisasi Nilainilai Berpikir Matematis Dalam Perannya di Era Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA)”
trigonometri. Peneliti memfokuskan pada
hasil belajar siswa setelah diberi treatment
domino identitas trigonometri.
Hipotesis yang diajukan dalam penelitian
ini adalah:
: tidak terdapat pengaruh domino
identitas trigonometri terhadap hasil belajar
siswa.
: terdapat pengaruh domino identitas
trigonometri terhadap hasil belajar siswa.
3. METODE PENELITIAN
Tempat Penelitian ini adalah SMA
Muhammadiyah 4 Surabaya, dengan subyek
penelitian adalah siswa kelas X semester
genap tahun pelajaran 2015/2016.
Jenis penelitian ini adalah eksperimen
dengan pendekatan kuantitatif. Desain
eksperimen dalam penelitian ini menggunakan
bentuk desain Pre-Experimental Design.
Metode eksperimen pada penelitian ini
menggunakan One group pretest-posttest
design.
Rancangan
penelitian
dapat
digambarkan sebagai berikut:
Tabel 1. Rancangan Penelitian One Group
Pretest-Posttest Design
T1
X
T2
Keterangan:
= Pre-test
= Pre-test
Treatment domino identitas trigonometri.
Populasi dalam penelitian ini adalah
seluruh siswa SMA Muhammadiyah 4
Surabaya yang terdiri dari 5 kelas. Sedangkan
sampel adalah satu kelas yaitu kelas X-5 (kelas
eksperimen) tanpa kelas pembanding, dengan
teknik pengambilan sampel Random Sampling.
Variabel dalam penelitian ini ada dua yaitu
variabel bebas dan variabel terikat. Variabel
bebas disini Pembelajaran matematika dengan
permainan domino identitas trigonometri.
Sedangkan variabel terikatnya yaitu hasil
belajar siswa.
Instrumen penelitian ini terdiri dari
terdiri dari Pre-test dan Post-test yang masingmasing terdiri dari 2 soal esai pembuktian
identitas trigonometri. Instrumen pos tes
diambil dari Buku Matematika Kurikulum
2013 Kelas X Edisi Revisi 2014. Peneliti
berasumsi bahwa instrumen postes yang
diambil dari sumber tsersebut telah valid dan
reliabilitas. Soal-soal pre-test dilakukan untuk
mengetahui kemampuan siswa sebelum
diterapkan perlakuan, sedangkan pos-test
dilakukan untuk mengetahui peningkatan hasil
belajar siswa setelah diberi perlakuan.
Teknik
pengumpulan
data
yang
digunakan yaitu teknik test. Teknik test
digunakan untuk mengukur peningkatan
pemahaman konsep dan hasil belajar siswa.
Data yang dikumpulkan teknik ini adalah nilai
Pre-Test sebelum diberikan treatment sebagai
data awal yang digunakan untuk mengetahui
tingkat kemampuan siswa di awal.
Teknik
yang
digunakan
dalam
pengumpulan data adalah teknik Pengukuran.
Pengukuran adalah cara pengumpulan data
yang bersifat kuantitatif(Arikunto, 2015: 3).
Teknik pengukuran adalah cara pengumpulan
data yang bersifat kuantitatif, untuk
mengetahui tingkat atau derajat aspek tertentu
dibandingkan dengan norma tertentu sebagai
satuan ukur yang relevan (Nawawi, 2005: 95).
Teknik pengukuran yang dimaksud dalam
penelitian ini adalah pemberian Pre-test
sebelum diberi treatment dan Post-test setelah
diberi treatment.
Instrumen penelitian ini terdiri dari
terdiri dari Pre-test dan Post-test yang masingmasing terdiri dari 2 soal pembuktian identitas
trigonometri.
Pendidikan Matematika Universitas Muhammadiyah Purworejo,
Ruang Seminar UM Purworejo, 28 Mei 2016
591
4. HASIL DAN PEMBAHASAN
Penelitian ini hanya terdiri dari 1 siklus
yang dilaksanakan dua kali pertemuan
. Perencanaan siklus I
meliputi:
a.
b.
c.
d.
e.
Menyiapkan rencana pelaksaan (RPP).
Menyiapkan materi.
Menyiapkan pre-test.
Meyiapkan domino identitas trigonometri
Melakukan koordinasi antara peniliti
dengan guru.
Dari siklus I tersebut, pertemuan ke-1
meliputi meriview materi sebelumnya,
perkenalan materi identitas trigonometri,
pemberian contoh soal dan pemberian pretest. Pertemuan ke-2 meliputi review materi
sebelumnya,
peberian domino identitas
trigonometri dan post-test.
Pada Pengumpulan data selama penelitian,
data yang diperoleh meliputi data hasil pre-test
dan
post-test.
Setelah
menerapkan
pembelajaran
(treatment).
Peneliti
menekankan kepada siswa untuk mengerjakan
secara jujur dan tidak bekerja sama satu sama
lain. Hal ini bertujuan agar data yang diperoleh
akurat serta menghindari bias.
Tabel 2. Hasil Pre-test dan Post-test.
Kelas Eksperimen
Keterangan
Pre-test
Post-test
Rata-rata
13,00
74,80
Standar Deviasi
3,82
28,56
Untuk mengetahui seberapa besar pengaruh
domino identitas trigonometri terhadap hasil
belajar siswa dilakukan Uji-t satu sampel
untuk uji hipotesis. Dari uji-t satu sampel
diperoleh
dan
.
Karena nilai
yaitu
dengan demikian
diterima. Jadi dapat
disimpulkan
bahwa
domino
identitas
592
trigonometri memberikan pengaruh terhadap
hasil belajar siswa.
Hasil analisis data memperlihatkan bahwa
hasil belajar siswa meningkat setelah
diterapkan domino identitas trigonometri. Hal
ini menunjukan bahwa penerapan domino
identitas trigonometri memberi dampak positif
terhadap hasil belajar siswa.
5. KESIMPULAN
Berdasarkan hasil penelitian yang diperoleh
setelah melakukan analisis dan pembahasan
terhadap masalah yang telah dikemukakan
dalam penelitian ini, dapat diambil kesimpulan
bahwa: Domino identitas trigonometri
memberikan pengaruh terhadap hasil belajar
siswa, dengan demikian
ditolak dan
di
terima.
6. REFERENSI
Annisah,
Siti.2014.
Alat
Peraga
Pembelajaran Matematika. STAIN
Jurai Siwo Metro: Jurnal Tarbawiyah
Volume 11 Nomor 1 Edisi JanuariJuli 2014
Arikunto, Suharsimi.2015. Dasar-Dasar
Evaluasi Pendidikan. Jakarta: Bumi
Aksara.
Budiastuti, Siti Amirah., Mardiyana.,
Triyanto. (2013). Eksperimentasi
Model Pembelajaran Kooperatif Think
Pair Share dan Team Assisted
Individualization
pada
Materi
Trigonometri Ditinjau dari Minat
Belajar Matematika Siswa SMK di
Kabupaten Ponorogo Tahun Pelajaran
2011/2012. Journal Article Volume1
Issue 4
Hestuaji,Yogi.,Riyadi,SuwartoWA.
Pengaruh Media Kartu Domino
Terhadap
Pemahaman
Konsep
Pecahan. Surakarta: PGDS FKIP
Universitas Sebelas Maret.
Prosiding Seminar Nasional Matematika dan Pendidikan Matematika, “Internalisasi Nilainilai Berpikir Matematis Dalam Perannya di Era Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA)”
Kuswidi, I. (2003). Aplikasi Trigonometri
dalam
Penentuan
Arah
Kiblat
(Doctoral dissertation, UIN SUNAN
KALIJAGA).
Marchi, Ri Fazqi., Sapta2, Andy.2014.
Meningkatkan
Hasil
Belajar
Matematika Siswa Menggunakan
Teams
Games
Tournaments
Berbantukan
Domino
Trigonometri.Sumatra Utara: Jurusan
Pendidikan
Matematika,
FKIP,
Universitas Asahan. Faktor Jurnal
Ilmiah
Kependidikan
Vol. I No. 2 Juli 2014
Nawawi. 1986. Metode Penelitian Bidang
Sosial. Yogyakarta: Gajah University
Pers
Pradana, G. S. (2015). Eksistensi Dan
Dinamika Transaksi Perjudian (Studi
Kasus Judi Dadu di Stasiun
Wonokromo Surabaya). Jurnal Ilmiah
Mahasiswa FEB, 3(1).
Puahadi, F. S., Tandiayuk, M. B., &
Murdiana, I. N. (2015). Meningkatkan
Hasil Belajar Siswa Kelas II SD
GKST
Hanggira
Pada
Materi
Perkalian Dan Pembagian Bilangan
Asli Melalui Penerapan Model
Pembelajaran Kooperatif Tipe STAD
Dengan Bantuan Alat Peraga Kartu
Bergambar. Jurnal Kreatif Tadulako
Online, 5(11).
Sari, Septy Cartika .(2014). Penerapan
Permainan Kartu Trigonometri dalam
Materi Identitas Trigonometri untuk
Meningkatkan Hasil Belajar Siswa.
Undergraduate thesis, Faculty of
Education.
Sundayana, Rostina.2015. Media dan Alat
Peraga
dalam
Pembelajaran
Matematika. Bandung: ALFABETA.
Pendidikan Matematika Universitas Muhammadiyah Purworejo,
Ruang Seminar UM Purworejo, 28 Mei 2016
593
PENINGKATAN DISPOSISI MATEMATIS
MELALUI METODE PEMBELAJARAN PROBLEM POSING
Erni Puji Astuti1), Permanang Adiningsih2)
FKP Pendidikan Matematika, Universitas Muhammadiyah Purworejo
email: [email protected]
2
FKIP Pendidikan Matematika, Universitas Muhammadiyah Purworejo
email: [email protected]
1
Abstrak
Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui peningkatan disposisi matematis siswa kelas VII
G SMP Negeri 1 Mirit melalui penerapan pembelajaran dengan metode Problem Posing. Jenis
penelitiannya Penelitian Tindakan Kelas (PTK). Subjek penelitiannya siswa SMP Negeri 1 Mirit
kelas VII G berjumlah 32 siswa yang terdiri dari 16 siswa perempuan dan 16 siswa laki-laki.
Metode pengumpulan data menggunakan metode observasi, dokumentasi, wawancara tidak
terstruktur, dan catatan lapangan. Analisis datanya secara kualitatif dan kuantitatif. Hasil
penelitian menunjukkan bahwa metode pembelajaran problem posing dapat meningkatkan
disposisi matematis siswa.
Kata Kunci: Didposisi matematis, Problem Posing
1. PENDAHULUAN
Tujuan Kurikulum Tingkat Satuan
Pendidikan (KTSP, 2006) untuk Sekolah
Menengah Atas antara lain siswa memiliki
sikap positif (disposisi) terhadap kegunaan
matematika dalam kehidupan, kemampuan
memahami konsep matematika serta
kemampuan mengkomunikasikan gagasan
atau ide matematika dengan menggunakan
simbol, tabel, diagram, atau media lain.
Berdasarkan observasi dan wawancara yang
peneliti lakukan di SMP Negeri I
Mirit kelas VII G pada hari Senin tanggal 2
November 2015 didapatkan berbagai
informasi tentang berbagai permasalahan
yang ada dalam proses pembelajaran
matematika.
Kepercayaan
diri
dan
kegigihan siswa dalam memecahkan
masalah masih rendah dan masih kesulitan
ketika menjumpai soal cerita yang
behubungan dengan kehidupan sehari-hari.
Ketika mengerjakan soal latihan hanya
terpaku dengan cara yang diajarkan oleh
guru. Selain itu, ketertarikan, keingintahuan
dalam belajar matematika rendah dan
banyak siswa yang belum membuat
ringkasan
materi
saat
pelajaran
berlangsung. Akhirnya, siswa merasa
kesulitan dalam mengikuti kegiatan
pembelajaran matematika serta kesulitan
dalam membuat kesimpulan pada akhir
594
pembelajaran. Dari uraian di atas dapat
ditarik kesimpulan bahwa disposisi
matematis siswa rendah.
Menurut Katz dalam Rifaatul
Mahmuzah, dkk (2014) yang mengatakan
bahwa disposisi matematis berkaitan
dengan bagaimana siswa menyelesaikan
masalah matematis, apakah mereka
menyelesaikannya dengan penuh rasa
percaya diri, tekun, berminat, dan berpikir
fleksibel untuk menemukan berbagai
alternatif penyelesaian masalah. Dari
pendapat tersebut terlihat bahwa disposisi
matematis sangat penting dimiliki oleh
siswa untuk menunjang hasil belajar siswa.
Faktor lain yang menyebabkan hasil belajar
siswa rendah adalah kurang tepatnya guru
dalam menggunakan model pembelajaran.
Dalam penelitian ini peneliti menggunakan
metode pembelajaran problem posing.
Problem posing merupakan metode
pembelajaran yang mengharuskan siswa
menyusun
pertanyaan
sendiri
atau
memecah suatu soal menjadi pertanyaanpertanyaan yang lebih sederhana yang
mengacu pada penyelesaian soal tersebut.
Silver dan Cai dalam M. Thobroni
(2015:288) menjelaskan bahwa pengajuan
soal mandiri dapat diaplikasikan dalam tiga
bentuk aktivitas kognitif matematika, yakni
sebagai berikut. Pre-solution posing, yaitu
Prosiding Seminar Nasional Matematika dan Pendidikan Matematika, “Internalisasi Nilainilai Berpikir Matematis Dalam Perannya di Era Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA)”
jika seorang siswa membuat soal dari
situasi yang diadakan. Jadi, guru
diharapkan mampu membuat pertanyaan
yang berkaitan dengan pernyataan yang
dibuat sebelumnya. Within solution posing,
yaitu jika seorang siswa mampu
merumuskan ulang pertanyaan soal tersebut
menjadi sub-sub pertanyaan baru yang
urutan penyelesaiannya seperti yang telah
diselesaikan sebelumnya. Jadi, diharapkan
mampu membuat sub-sub pertanyaan baru
dari sebuah pertanyaan yang ada pada soal
yang bersangkutan. Dan post-solution
posing, yaitu jika seorang siswa
memodifikasi tujuan atau kondisi soal yang
sudah diselesaikan untuk membuat soal
yang baru yang sejenis.
Penerapan metode pembelajaran
problem posing adalah sebagai berikut.
Guru menjelaskan materi pelajaran kepada
para siswa dan memberikan latihan soal
secukupnya. Penggunaan alat peraga untuk
memperjelas konsep sangat disarankan.
Siswa diminta mengajukan 1 atau 2 buah
soal yang menantang dan siswa yang
bersangkutan
harus
mampu
menyelesaikannya. Tugas ini dapat pula
dilakukan secara berkelompok. Pada
pertemuan berikutnya, secara acak, guru
menyuruh siswa untuk meyajikan soal
temuannya di depan kelas. Dalam hal ini,
guru dapat menentukan siswa secara
selektif berdasarkan bobot soal yang
diajukan oleh siswa M. Thobroni
(2015:288).
Untuk
dapat
membuat
pengajuan soal dibutuhkan usaha yang
tekun dan gigih serta rasa percata diri
sehingga dapat meningkatkan disposisi
matematis
Tujuan penelitian ini adalah untuk
mengetahui
bagaimana
peningkatan
disposisi
matematis
pembelajaran
menggunakan
metode
pembelajaran
problem
posing.
Sebagai
bahan
pembanding yang pertama yaitu hasil
penelitian oleh Mahmuzah et al., (2014)
menunjukkan
bahwa
peningkatan
kemampuan berpikir kritis dan disposisi
matematis siswa yang memperoleh
pembelajaran dengan pendekatan problem
posing secara signifikan lebih baik daripada
siswa yang memperoleh pembelajaran
konvensional baik secara keseluruhan
maupun berdasarkan level siswa.
2. METODE PENELITIAN
Penelitian ini merupakan Penelitian
Tindakan Kelas (PTK) yang dilakukan
secara kolaboratif dengan rekan sejawat.
Penelitian ini dirancang dalam dua
siklus yang dikembangkan dari empat
komponen yang saling berhubungan dengan
setiap empat komponen dipandang sebagai
satu siklus. Secara umum, empat komponen
itu yaitu perencanaan, pelaksanaan,
pengamatan, dan refleksi (Arikunto
Suharsimi
2008).
Penelitian
ini
dilaksanakan pada semester genap tahun
ajaran
2015/2016 yaitu pada bulan April sampai
Mei 2014 dengan menyesuaikan jadwal
pelajaran matematika yang ada di kelas.
Subjek dalam penelitian ini adalah siswa
kelas VII G semester II SMP Negeri 1 Mirit
tahun pelajaran 2015/2016 sejumlah 32
siswa yang terdiri dari 16 siswa putra dan
16 siswa putri. Lokasinya di Desa Winong,
Kecamatan Mirit, Kabupaten Kebumen.
Metode pengumpulan data yang digunakan
adalah metode observasi, dokumentasi,
wawancara tidak terstruktur dan catatan
lapangan. Instrumen yang digunakan
berupa lembar observasi. Teknis analisis
data
yang
dilakukan
adalah analisis kualitatif dan kuantitatif.
3. HASIL DAN PEMBAHASAN
Pengamatan dilakukan terhadap
disposisi matematis siswa selama proses
pembelajaran
berlangsung.
Hal
ini
dilakukan untuk mengetahui kelebihan dan
kekurangan pada proses pembelajaran.
Pengamatan dilakukan oleh guru mata
pelajaran matematika dan observer dengan
bantuan lembar observasi disposisi
matematis yang diisi oleh observer. Berikut
disajikan
data
dari
masing-masing
instrumen. Pada indikator percaya diri
dalam
menggunakan
matematika,
mengkomunikasikan ide-ide dan memberi
alasan, rata-rata skor siswa meningkat dari
siklus I ke siklus II yaitu rata-rata siswa
sudah berani untuk menanggapi pendapat
siswa lain ketika mengerjakan soal di depan
kelas. Pada indikator fleksibel dalam
Pendidikan Matematika Universitas Muhammadiyah Purworejo,
Ruang Seminar UM Purworejo, 28 Mei 2016
595
mengeksplorasi ide-ide matematis dan
mencoba berbagai metode alternatif untuk
memecahkan
masalah
mengalami
peningkatan yaitu pada awalnya siswa
masih belum menggunakan berbagai
alternatif jawaban dalam menyelesaiakan
soal kemudian pada siklus II rata-rata siswa
sudah bisa menggunakan berbagai alternatif
jawaban dalam menyelesaiakan soal. Pada
indikator bertekat kuat, gigih, ulet dalam
menyelesaikan tugas-tugas matematika juga
mengalami peningkatan yaitu pada siklus I
masih ada bebrapa siswa yang berbicara
sendiri ketika guru menjelaskan materi di
depan dan mengerjakan PR kemudian pada
siklus II sudah semua siswa tidak berbicara
sendiri dan mengerjakan PR. Selanjutnya
pada indikator ketertarikan, keingintahuan
dan kemampuan dalam bermatematik
mengalami peningkatan yatu dari siswa
belum berani bertanya tentang hal yang
belum dipahami menjadi berani untuk
bertanya hal ang belum dipahami. Pada
indikator melakukan refleksi diri terhadap
cara berpikir dari siklus I ke siklus II
mengalami peningkatan yaitu hampir
semua siswa mampu membuat ringkasan
materi sendiri. Pada indikator disposisi
matematis yang terakhir yaitu menghargai
aplikasi matematika siswa sudah bisa
menggunakan permasalahan sehari-hari
dalam membuat pengajuan soal dan dapat
menyelesaikannya.
Tabel 1
Peningkatan disposisi matematis melalui
lembar observasi
Indikator
1
Siklus I (%)
64,87
2
37,88
3
71,55
4
43,37
5
85,45
6
41,16
Rta-rata
64,87
5. SIMPULAN DAN SARAN
Simpulan
596
Siklus II (%)
80,47
93,75
93,75
81,25
90,63
90,63
88,41
Berdasarkan hasil penelitian ini
dapat disimpulkan bahwa melalui metode
pembelajaran problem posing mampu
meningkatkan disposisi matematis siswa
kelas VII G SMP Negeri 1 Mirit tahun
pelajaran 2015/2016
Saran
Berdasarkan
temuan
dalam
penelitian ini, maka saran yang dapat
diberikan
yaitu pembelajaran dengan pendekatan
problem posing hendaknya dapat dijadikan
sebagai salah satu alternatif model
pembelajaran di SMP terutama untuk
meningkatkan disposisi matematis siswa,
serta untuk ke depan diharapkan
pembelajaran dengan pendekatan problem
posing juga diterapkan secara individu
sehingga akan lebih melatih kemandirian
siswa dalam pembelajaran.
6. REFERENSI
Arikunto, Suharsimi. 2008. Penelitian
Tindakan Kelas. Jakarta: Bumi
Aksara.
Depdiknas. 2006. Kurikulum
Satuan
Pendidikan.
Depdiknas.
Tingkat
Jakarta:
Thobroni. 2015. Belajar dan Pembelajaran.
Yogyakarta: Ar-Ruzz media.
Mahmuzah,
Rifaatul
dkk.
2014.
Peningkatan Kemampuan Berpikir
Kritis dan Disposisi MatematisSiswa
SMP
dengan
Menggunakan
Pendekatan
Problem
Posing.
Kuala:Universitas Syiah Kuala.
Tersedia
di
www.jurnal.unsyiah.ac.id/DM/article
/dowload/2076/2030. Diunduh 8
November 2015.
Prosiding Seminar Nasional Matematika dan Pendidikan Matematika, “Internalisasi Nilainilai Berpikir Matematis Dalam Perannya di Era Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA)”
PENGARUH PEMBELAJARAN DENGAN PENDEKATAN
ANALITIK SINTETIK TERHADAP PENINGKATAN KEMAMPUAN BERPIKIR
KRITIS MATEMATIS SISWA SMP
Mulfia Sari
Departemen Pendidikan Matematika, Sekolah Pasca Sarjana, Universitas Pendidikan Indonesia
Email: [email protected]
Abstrak
Tujuan utama dari penelitian ini adalah untuk mengetahui pengaruh pembelajaran matematika
dengan pendekatan analitik sintetik terhadap peningkatan kemampuan berpikir kritis matematis pada
siswa SMP. Penelitian ini merupakan kuasi eksperimen dengan subyek populasi adalah seluruh
siswa SMPN 1 Lembah Gumanti Kabupaten Solok. Sampel penelitiannya adalah VIIA dan VII E.
Banyak sampel 48 siswa yang terdistribusi dalam dua kelas. Sampel dipilih secara purposive
sampling. Instrumen yang digunakan adalah tes kemampuan berpikir kritis matematis siswa.
Analisis data dalam penelitian ini menggunakan Uji t dan Uji Anova Satu Jalur. Hasil penelitian
menunjukan bahwa terdapat perbedaan pada peningkatan kemampuan berpikir kritis matematis
siswa; terdapat perbedaan peningkatan kemampuan berpikir kritis matematis siswa kelas eksperimen
antara kelompok tinggi dan kelompok sedang, kelompok tinggi dan kelompok rendah, namun tidak
terdapat perbedaan antara kelompok sedang dan kelompok rendah. Peningkatan kemampuan
berpikir kritis matematis kelompok tinggi berada pada kategori sedang, sedangkan pada kelompok
sedang dan rendah berada pada kategori rendah.
Kata Kunci: Pendekatan Pembelajaran Analitik Sintetik, Berpikir Kritis Matematis, dan SelfRegulated Learning.
1. PENDAHULUAN
Fokus pendidikan dewasa ini adalah
mengembangkan kemampuan berpikir logis,
kritis,
analitik, konsisten
dan
teliti,
bertanggung jawab, responsif dan tidak mudah
menyerah
dalam
memecahkan
soal
matematika. Menurut Chukwuyenum (2014)
kemampuan berpikir kritis sangat diperlukan
manusia dalam kehidupan sehari-hari untuk
mencapai tujuan. Tujuan akan tercapai dengan
menalar,
memahami,
menginterpretasi,
menganalisis dan mengevaluasi informasi
yang
pada
akhirnya
berguna
untuk
pengambilan keputusan. Proses ini melibatkan
berpikir
kritis
karena
memungkinkan
seseorang mengambil keputusan dengan
reliabel dan valid, dan dapat beradaptasi
dengan perubahan lingkungan tertentu.
Kemampuan berpikir kritis dapat
berkembang dengan baik jika pembelajaran
yang dilakukan adalah pembelajaran yang
memberikan kesempatan kepada siswa untuk
mengembangkan kemampuan mereka dalam
berpikir. Tetapi, metode
yang sekarang
digunakan di sekolah masih metode
konvensional. Peter (2012), pemilihan metode
pembelajaran yang selama ini dipilih
merupakan salah satu penyebab siswa jarang
menggunakan kemampuan berpikir kritis
untuk memecahkan masalah kompleks
maupun masalah di dunia nyata. Selama ini,
guru hanya mengajar satu arah dengan
memberikan materi kemudian contoh soal dan
meminta siswa mengerjakan soal dengan
prosedur yang telah diajarkan guru. Sehingga
keadaan ini tidak lagi tidak lagi sesuai dengan
target dan tujuan pembelajaran matematika.
Beberapa penelitian tentang kemampuan
berpikir kritis, misalnya penelitian . Mulyana
(2008) menyatakan siswa masih mengalami
kesulitan dalam menyelesaikan persoalan rutin
terlebih lagi soal yang membutuhkan
kemampuan berpikir tingkat tinggi, Lestari
(2013) yang meneliti tentang kemampuan
berpikir kritis pada materi geometri bangun
ruang Kubus dan Balok menyimpulkan bahwa
rata-rata skor postes kemampuan berpikir
kritis matematis hanya sebesar 54% dari skor
ideal setelah diberikan perlakuan pembelajaran
dengan model Brain Based Learning.
Pendidikan Matematika Universitas Muhammadiyah Purworejo ,
Ruang Seminar UMP, Sabtu, 28 Mei 2016
597
Jacqueline dan Brooks (Syahbana, 2012),
kebiasaan berpikir kritis matematis belum
ditradisikan di sekolah-sekolah. Sekolah justru
mendorong siswa memberikan jawaban yang
benar ketimbang memunculkan ide-ide baru
atau memikirkan ulang kesimpulan yang sudah
ada. Siswa telah terbiasa diarahkan dalam
menghapal rumus daripada memahami konsep
matematika,
sehingga
siswa
menjadi
kehilangan sense of learning. Akibatnya siswa
bersikap pasif dan hanya menerima apa yang
disampaikan oleh guru.
Salah satu upaya yang dapat dilakukan
untuk mengatasi permasalahan tersebut adalah
dari pelaksanaan pembelajaran. Pembelajaran
yang sebaiknya dilakukan adalah pembelajaran
yang memberikan kesempatan kepada siswa
untuk mengembangkan kemampuan mereka
dalam berpikir. Salah satu solusi adalah
dengan memilih pendekatan pembelajaran
yang lebih banyak melibatkan siswa secara
aktif dalam proses pembelajaran itu sendiri,
sebagai kebijakan yang diambil guru untuk
mencapai tujuan pembelajaran matematika.
Penulis memandang bahwa pendekatan
analitik sintetik dianggap dapat meningkatkan
kemampuan intelektual siswa. Hal ini
dikarenakan pendekatan analitik sintetik
menerapkan sistem pembelajaran yang
bertahap dan beranjak dari hal yang sederhana,
sehingga siswa lebih mudah memahami apa
yang menjadi proses menyelesaikan suatu
persoalan matematika. Berdasarkan uraian di
atas, maka perlu dilakukan studi mengenai
pengaruh pembelajaran dengan pendekatan
analitik sintetik terhadapa peningkatan
kemampuan berpikir matematis siswa SMP.
Selain faktor pembelajaran, terdapat
faktor lain yang diduga dapat berkontribusi
terhadap perkembangan kemampuan berpikir
kritis, yaitu faktor kemampuan awal
matematika siswa. Jumaisyaroh,dkk (2014)
menyatakan
bahwa
kemampuan
awal
matematika siswa berkontribusi besar dalam
belajar matematika karena matematika yang
bersifat hirarki. Membagi siswa dalam tiga
kelompok berdasarkan KAM bertujuan untuk
melihat apakah model pembelajaran yang
diterapkan berpengaruh terhadap seluruh
kemampuan siswa atau hanya pada siswa
dengan tingkat kemampuan tertentu
Berdasarkan uraian di atas, tujuan yang
akan dicapai pada penelitian ini adalah untuk:
598
a. Mengkaji
perbedaan
peningkatan
kemampuan berpikir kritis matematis
antara
siswa
yang
memperoleh
pembelajaran dengan pendekatan analitik
sintetik dan siswa yang memperoleh
pembelajaran secara konvensional?
b. Mengkaji
perbedaan
peningkatan
kemampuan berpikir kritis matematis siswa
yang memperoleh pembelajaran dengan
pendekatan analitik sintetik ditinjau dari
KAM (tinggi, sedang, rendah)?
2. KAJIAN LITERATUR DAN
HIPOTESIS
a. Berpikir
Berpikir dalam Kamus Besar Bahasa
Indonesia adalah mempertimbangkan dan
memutuskan sesuatu dan menimbang-nimbang
dalam ingatan. Berpikir menurut Bochenski
(Suriasumantri, 2007) adalah berkembangnya
ide dan konsep diri seseorang. Gagasan dan
konsep dari seseorang dapat berkembang
karena adanya informasi yang baru masuk.
Jika tidak terjadi keseimbangan antara
informasi yang sudah ada dengan informasi
yang baru, maka pemikiran manusia secara
kritis dapat memilah apakah informasi baru
dapat menyatu dengan gagasan yang sudah ada
atau akan dibiarkan hilang saja. Berdasarkan
pembahasan di atas dapat disimpulkan bahwa
berpikir adalah proses menganalisis dengan
pertimbangan tertentu untuk menentukan suatu
keputusan terhadap persoalan yang dihadapi.
b. Berpikir Kritis Matematis
Menurut Ennis (1996) berpikir kritis
adalah suatu proses berpikir yang bertujuan
untuk membuat keputusan yang rasional yang
diarahkan untuk memutuskan apakah meyakini
atau melakukan sesuatu. Chukwuyenum
(2014) menyatakan bahwa kemampuan
berpikir
kritis
matematis
merupakan
kemampuan memecahkan beberapa masalah
dengan
meibatkan
penalaran
logis,
menafsirkan, menganalisis dan mengevaluasi
informasi untuk menghasilkan keputusan yang
valid. Berpikir kritis (Pamungkas, 2014)
merupakan alur berpikir matematis dimana
siswa memulai dengan melihat apa yang
disajikan,
mengidentifikasi
masalah,
menjastifikasi,
mengeksplorasi,
mengkonstruksi, menggunakan, menerangkan,
mengembangkan dan membuktikan apa yang
Prosiding Seminar Nasional Matematika dan Pendidikan Matematika, “Internalisasi Nilainilai Berpikir Matematis Dalam Perannya di Era Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA)”
sedang berlangsung secara social interaktif dan
reflektif. Sehingga pengajaran yang dilakukan
tidak hanya bertujuan agar siswa mudah
memahami pelajaran tapi juga dapat
mengembangkan kemampuan berpikir kritis
siswa.
Ennis
(1996)
mengungkapkan
indikator berpikir kritis yang berkaitan dengan
pembelajaran di dalam kelas. Indikator umum
terdiri dari (1) Kemampuan (abilities) yaitu
fokus pada suatu isu spesifik, menyimpan
tujuan utama dalam pikiran, menanyakan
pertanyaan-pertanyaan
klarifikasi,
menanyakan pertanyaan-pertanyaan penjelas,
memperhatikan pendapat siswa, salah maupun
benar,
dan
mendiskusikannya,
mengkoneksikan pengetahuan sebelumnya
dengan pengetahuan yang baru, secara tepat
menggunakan pernyataan dan simbol,
menyediakan informasi dalam suatu cara yang
sistematis, menekankan pada urutan logis,
kekonsistenan dalam pernyataan-pernyataan.
(2)
Pengaturan
(dispositions)
yaitu
menekankan
kebutuhan
untuk
mengidentifikasi tujuan dan apa yang
seharusnya dikerjakan sebelum menjawab,
menekankan
kebutuhan
untuk
mengidentifikasi informasi yang diberikan
sebelum menjawab, mendorong siswa untuk
mencari
informasi
yang
diperlukan,
mendorong siswa untuk menguji solusi yang
diperoleh, memberi kesempatan kepada siswa
untuk merepresentasi informasi dengan
menggunakan tabel, grafik, dan lain-lain.
Selanjutnya Ennis (Innabi, 2003)
menyatakan untuk indikator yang berkaitan
dengan isi (konten), yaitu (1) Konsep
(concept) yaitu mengidentifikasi karakteristik
konsep, membandingkan konsep dengan
konsep lain, mengidentifikasi contoh konsep
dengan
jastifikasi
yang
diberikan,
mengidentifikasi kontra contoh konsep dengan
jastifikasi yang diberikan. (2) Generalisasi
(generalizations) yaitu menentukan konsepkonsep yang termuat dalam generalisasi dan
keterkaitannya, menentukan kondisi-kondisi
dalam menerapkan generalisasi, menentukan
rumusan-rumusan
yang
berbeda
dari
generalisasi (situasi khusus), menyediakan
bukti pendukung untuk generalisasi. (3)
Algoritma dan keterampilan (algorithms and
skills) yaitu mengklarifikasi dasar konseptual
dari keterampilan, membandingkan performan
siswa dengan performan yang patut dicontoh.
(4) Pemecahan masalah (problem solving)
yaitu merancang bentuk umum untuk tujuan
penyelesaian menentukan informasi yang
diberikan, menentukan relevansi dan tidak
relevansinya suatu informasi, memilih dan
menjastifikasi
suatu
strategi
untuk
memecahkan masalah, menentukan dan
mendeduksi sub-tujuan, yang mengarah pada
tujuan, menyarankan metode alternatif untuk
memecahkan
masalah,
menentukan
keserupaan dan perbedaan antara masalah
yang diberikan dan masalah lain.
Berdasarkan pembahasan di atas,
dapat disimpulkan bahwa kemampuan berpikir
kritis adalah kemampuan mengidentifikasi
konsep,
menggeneralisasi,
memeriksa
algoritma
dan
memecahkan
masalah
matematika. Salah satu pembelajaran yang
mengacu pada proses pembelajaran yang
memuat unsur konstruktif dan reflektif adalah
dengan pembelajaran dengan pendekatan
analitik sintetik. Karena dengan penggunaan
pendekatan ini, siswa akan diajarkan untuk
menganalisis suatu permasalahan matematika
dengan memberikan intervensi jika siswa
mengalami kesulitan sehingga siswa merasa
tertantang dan tertarik untuk belajar, yang
berimbas dengan meningkatnya kemampuan
berpikir kritis siswa.
c.
Pendekatan Analitik Sintetik
Pendekatan
analitik
sintetik
merupakan gabungan antara pendekatan
analitik dan pendekatan sintetik. Munandar
(1999) menyatakan bahwa pendekatan analitik
adalah pendekatan yang menampilkan
kegiatan siswa dalam hal membedakan,
menguji,
menggolongkan,
menyususn,
menguraikan, membandingkan, membuat
deduksi dan memeriksa. Menurut Rubiyanto
(2013), pendekatan analitik merupakan proses
penyelesaian masalah dilakukan selangkah
demi selangkah dan tiap langkah dapat
dijelaskan karena berasal dari informasi dan
operasi yang benar. Sementara pendekatan
sintetik merupakan lawan dari pendekatan
analitik.
Pendekatan
sintetik
menurut
Munandar (1999) mengatakan bahwa kegiatan
sintetik
meliputi
kegiatan
merancang,
Pendidikan Matematika Universitas Muhammadiyah Purworejo ,
Ruang Seminar UMP, Sabtu, 28 Mei 2016
599
menggabungkan, menambah, membangun,
mengembangkan, mengelola, merencanakan,
mengusulkan dan membuat hipotesis. Menurut
Budiharsono (Rubiyanto,2013) pendekatan
sintetik adalah proses pembelajaran yang lebih
mengarah pada suatu hal bersifat umum yang
diketahui oleh siswa sehingga dalam
prosesnya peserta didik bisa menjelaskan
kembali
sebagai
hasil
dari
proses
pembelajaran.
Ritchey (1996) menyatakan bahwa
analisis dan sintesis selalu berjalan beriringan
dan saling melengkapi satu sama lain. Setiap
kegiatan sintetik dibangun di atas hasil analisis
sebelumnya, dan setiap kegiatan analisis
membutuhkan sintesis berikutnya untuk
memverifikasi dan memperbaiki hasilnya.
Menurut Mulyana (2008), Pembelajaran
Analitik Sintetik merupakan pembelajaran
pemecahan masalah yang diberikan dari dan
tidak diketahui, kemudian menuliskan
persamaan
yang
sebenarnya
setelah
menggunakan arti kata dan alasan matematika,
manipulasi aljabar, dan kalkulasi aljabar.
Stenberg
(Mulyana,
2008)
memberikan langkah-langkah pembelajaran
analitik sintetik sebagai barikut:
1. Menganalisis suatu masalah menjadi
bagian yang lebih khusus atau lebih
sederhana, seperti menganalisis elemen,
menganalisis hubungan, menganalisis
pola dan menganalisis tautan
2. Memadukan bagian secara logik sehingga
diperoleh penyelesaian suatu masalah
seperti
menemukan
hubungan,
menemukan konsep, dan menyusun
pembuktian
3. Membuat kesimpulan.
Pembelajaran dengan menggunakan
pendekatan ini dapat memudahkan siswa
dalam menyelesaikan masalah matematika.
Karena pendekatan ini digunakan sebagai
landasan berpikir analisis, langkah-langkah
yang diatur secara runtun dan sedemikian rupa
yang dapat memudahkan siswa dalam
mengerjakan soal yang diberikan.
Karakteristik
dari
pembelajaran
analitik sintetik adalah (Mulyana, 2008):
Pembelajaran diawali dengan pengajuan
masalah matematika kepada siswa sehingga
terjadi
konflik
kognitif
yang
akan
mengakibatkan terjadinya proses asimilasi,
akomodasi, dan ekuilibrasi; masalah dianalisis
600
dari hal yang cukup besar dan umum dan
menjadi bagian-bagian yang lebih khusus atau
sederhana;
konjektur
dan
pembuktian
konjektur disintesis oleh siswa secara
berkelompok; pemberian intervensi dari guru
ketika menganalisis masalah, mensintesis
konjektur dan pembuktian konjektur dan
ketika menyelesaikan masalah; menyajikan
hasil kegiatan analisis dan sintesisnya di forum
kelas; dan menerapkan teorema yang sudah
diperoleh dalam menyelesaikan soal-soal
terutama tipe analisis, sintesis dan evaluasi.
Berdasarkan tujuan penelitian, maka
rumusan hipotesisnya adalah:
1. Terdapat
perbedaan
signifikan
peningkatan kemampuan berpikir kritis
matematis antara siswa yang memperoleh
pembelajaran dengan pendekatan analitik
sintetik dan siswa yang memperoleh
pembelajaran secara konvensional.
2. Terdapat
perbedaan
signifikan
peningkatan kemampuan berpikir kritis
matematis siswa yang memperoleh
pembelajaran dengan pendekatan analitik
sintetik ditinjau dari KAM (tinggi,
sedang, rendah).
3. METODE PENELITIAN
Penelitian ini merupakan penelitian
kuasi eksperimen dengan desain pretes-postes
kontrol. Adapun desain penelitian di gambar
sebagai berikut:
Kelas eksperimen
Kelas Kontrol
O
X O
------------------O
O
Pengukuran kemampuan berpikir
kritis matematis siswa dilakukan sebelum dan
sesudah diberi perlakuan baik kepada
kelompok eksperimen maupun kepada
kelompok kontrol. Pengukuran sebelum
diberikan perlakukan (pretes) bertujuan untuk
melihat kesetaraan kemampuan awal kedua
kelompok. Populasi pada penelitian ini
dilaksanakan pada siswa salah satu Sekolah
Menengah Pertama Negeri di Kabupaten
Solok Sumatera Barat. Sampel pada penelitian
ini, kelas VII A menjadi kelas eksperimen
sebanyak 24 siswa dan kelas VII menjadi kelas
kontrol juga sebanyak 24 siswa. Pemilihan
sampel dilakukan dengan teknik purposive
Prosiding Seminar Nasional Matematika dan Pendidikan Matematika, “Internalisasi Nilainilai Berpikir Matematis Dalam Perannya di Era Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA)”
sampling. Kelas tersebut dipilih dari kelas
yang ada.
Instrumen penelitian ini adalah tes
kemampuan awal dan tes kemampuan berpikir
kritis matematis. Tes kemampuan awal adalah
tes untuk materi prasyarat sebelum
pembelajaran berlangsung. Hasil dari tes
kemampuan
awal
digunakan
untuk
mengelompokan siswa kelas eksperimen
berdasarkan kategori nilai tinggi, sedang dan
rendah. Sedangkan, tes kemampuan berpikir
kritis bertujuan untuk mengukur sejauh mana
siswa bisa berpikir secara kritis pada materi
segi empat sebelum dan sesudah pembelajaran
dengan
pendekatan
analitik
sitetik
dilaksanakan. Tes kemampuan berpikir kritis
pada penelitian ini berupa pretes dan postes
dalam bentuk uraian. Soal terdiri dari 4 soal
yang diberikan kepada kelas eksperimen dan
kelas kontrol. Tes ini dilakukan untuk
mengetahui pengetahuan awal siswa dan untuk
memperoleh kesetaraan nilai rata-rata kelas
eksperimen dan kelas kontrol.
Analisis data yang dilakukan adalah
secara kuantitatif adalah uji normalitas, uji
homogenitas dan uji hipotesis (uji-t dan Uji
anova satu jalur dengan uji lanjutan Games
Howell)
Untuk
menghindari
terjadinya
perbedaan pendapat mengenai hal-hal yang
dimaksudkan dalam penelitian ini, maka
peneliti membatasi definisi dalam definisi
operasional, yaitu:
a. Kemampuan berpikir kritis matematis
adalah kemampuan mengidentifikasi
konsep, menggeneralisasi, memeriksa
algoritma dan memecahkan masalah.
Mengidentifikasi
konsep
adalah
kemampuan mengidentifikasi sifat-sifat/
karakteristik
suatu
konsep
dan
menghubungkan dengan konsep lain.
Menggeneralisasi adalah kemampuan
menemukan aturan umum suatu konsep.
Memeriksa algoritma adalah kemampuan
memeriksa dan memberikan kesimpulan
dengan benar. Memecahkan masalah
adalah kemampuan mengidentifikasi
unsur yang diketahui, yang ditanyakan
dan memilih strategi yang dipandang
tepat sehingga didapatkan kesimpulan
dari penyelesaian masalah.
b. Pendekatan analitik sintetik adalah
pendekatan
pembelajaran
yang
menganalisis suatu persoalan yang ada dan
menyelesaikannya secara runtut atau
sintetis untuk menemukan hasil dengan
langkah menganalisis suatu masalah
menjadi bagian yang lebih sederhana,
memadukan bagian secara logik sehingga
diperoleh penyelesaian dan membuat
kesimpulan.
c. Pembelajaran
konvensional
adalah
pembelajaran yang berpusat pada guru
atau metode ceramah, memberi contoh
soal, dan memberikan latihan soal dan
tanya jawab.
4. HASIL DAN PEMBAHASAN
a. Hasil
dan
Analisis
Peningkatan
Kemampuan Berpikir Kritis Matematis
Siswa
Tabel 1
Statistik Deskriptif Skor pretes, Postes dan N-Gain Kemampuan Berpikir Kritis
Matematika
Kelas
Pretes
Min
Maks
Eksperimen
0
4
Kontrol
0
5
Postes
s
Min
Maks
2,13
1,19
3
15
1,88
1,51
2
13
N-gain
s
Min
Maks
s
8,33
2,58
0,13
0,92
0,45
0,17
6,67
3,03
0,07
0,73
0,34
0,19
Keterangan: Skor ideal tes berpikir kritis matematis adalah 16
Tabel 1 menunjukkan hasil penelitian
ini secara deskriptif . Rerata n-gain kelas
eksperimen sebesar 0,45 dengan standar
deviasi 0,17 dan rerata n-gain kelas kontrol
sebesar 0,34 dengan standar deviasi 0,19.
Artinya siswa kelas yang mendapat
pembelajaran analitik sintetik lebih baik dari
pada siswa kelas konvensional.
Pendidikan Matematika Universitas Muhammadiyah Purworejo ,
Ruang Seminar UMP, Sabtu, 28 Mei 2016
601
Selanjutnya
dilakukan
pengujian
hipotesis perbedaan rerata untuk melihat
peningkatan kemampuan berpikir kritis
matematis kelas eksperimen dan kelas kontrol
berbeda atau tidak secara signifikan. Tapi
sebelumnya dilakukan uji normalitas dan uji
homogenitas
sebagai
prasyarat
untuk
menentukan statistik uji yang akan digunakan
pada analisis data. Setelah dilakukan uji
normalitas terhadap populasi dimana sampel
tersebut ternyata memenuhi asumsi normalitas
dan homogenitas, maka selanjutnya dilakukan
uji statistik menggunakan uji-t. Hasil uji
statistik disajikan dalam tabel 2 berikut:
Tabel 2
Hasil Uji Perbedaan Rerata Data N-Gain Berpikir Kritis Matematis
t-tes for Equality of Means
Equal variances assumed
t
Df
2,018
46
Pada tabel 2 terlihat bahwa terdapat
perbedaan peningkatan kemampuan berpikir
kritis matematis antara siswa memperoleh
pembelajaran dengan pendekatan analitik
sintetik dan siswa yang memperoleh
pembelajaran konvensional.
Berdasarkan analisis data terdapat temuan
yang
menunjukan
bahwa
peningkatan
kemampuan berpikir kritis matematis berbeda
antara kelas eksperimen dan kelas kontrol. Hal
ini sejalan dengan penelitian yang dilkakukan
Keterangan
oleh
Mulyan
Tolak Ho
a (2008)
yang
menyatakan bahwa dengan penggunaan model
ini dapat mengembangkan kemampuan
berpikir siswa baik berpikir kritis maupuan
berpikir kreatif.
Sig. (2-tailed)
0,049
b. Hasil
dan
Analisis
Peningkatan
kemampuan berpikir Kritis Matematis
Siswa Kelas Eksperimen Ditinjau dari
KAM (tiggi, sedang rendah)
Tabel 3
Hasil Uji Data N-Gain Kemampuan Berpikir Kritis Matematis
Berdasarkan KAM
Ukuran Statistik
Kategori Rerata
N-Gain
Jumlah Siswa
Sedang
7
0,05
Rendah
11
0,04
rendah
6
No
Kelompok
1
Tinggi
0,54
Standar
Deviasi
0,21
2
Sedang
0,14
3
Rendah
0,12
Rerata
Selanjutnya dilakukan uji normalitas
dan uji homogenitas sebagai prasyarat
untuk menentukan statistik uji yang akan
digunakan pada analisis data. Setelah diuji,
ternyata data memenuhi asumsi normalitas
tapi tidak homogenitas, maka selanjutnya
dilakukan uji statistik menggunakan uji
Anova satu jalur dengan uji lanjutan uji
Gomes -Howell. Hasil analisis disajikan
dalam tabel 4 berikut:
Tabel 4
Hasil Uji Perbedaan Data N-Gain Berpikir Kritis Matematis Berdasarkan KAM
602
Sum of
Squares
df
Mean Square
F
Sig.
Between Groups
,807
2
,404
30,110
,000
Within Groups
,282
21
,013
Prosiding Seminar Nasional Matematika dan Pendidikan Matematika, “Internalisasi Nilainilai Berpikir Matematis Dalam Perannya di Era Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA)”
Total
1,089
23
Pada tabel 4 terlihat bahwa terdapat
perbedaan peningkatan kemampuan berpikir
kritis matematis antara siswa memperoleh
pembelajaran dengan pendekatan analitik
sintetik dan siswa yng memperoleh
pembelajaran konvensional. Karena pengujian
dengan Anova satu jalur menunjukkan bahwa
terdapat perbedaan maka dilakukan uji lanjut
(post hoc) untuk melihat kelompok mana yang
berbeda. Dan karena varians sampel tidak
homogen maka uji post hoc dapat ditempuh
dengan uji Games-Howell.
Tabel 5
Hasil Uji Post Hoc N-Gain Kemampuan Berpikir Kritis Matematis Ditinjau dari KAM
(I) grup (J) grup
1
2
3
2
3
1
3
1
2
Mean
Std. Error
Difference (IJ)
,39299*
,07838
,42071*
,07917
-,39299*
,07838
,02773
,02296
-,42071*
,07917
-,02773
,02296
Keterangan:
1 : Kemampuan berpikir kritis matematis
siswa kelompok tinggi.
2 : Kemampuan berpikir kritis matematis
siswa kelompok sedang.
3 : Kemampuan berpikir kritis matematis
siswa kelompok rendah.
Berdasarkan tabel 5 menunjukkan
bahwa: kemampuan berpikir kritis matematis
siswa kelompok tinggi lebih baik daripada
siswa kelompok sedang; kemampuan berpikir
kritis matematis siswa kelompok tinggi lebih
baik daripada siswa kelompok rendah; dan
kemampuan berpikir kritis matematis siswa
kelompok sedang tidak lebih baik daripada
siswa kelompok rendah.
Penerapan
pembelajaran
dengan
pendekatan analitik sintetik adalah dengan
memberikan Lembar kerja siswa (LKS) yang
memandu siswa dalam melakukan kegiatannya
sendiri dari awal hingga membuat kesimpulan.
Siswa diminta untuk menemukan sendiri
konsep-konsep yang akan dipelajari sehingga
pembelajarannya menjadi lebih bermakna
dalam kelompok belajar. Hal ini sejalan
dengan teori Vigotski (Wulandari, 2015) yang
menyatakan bahwa interaksi antara individu
dengan individu lain merupakan faktor
terpenting yang dapat memicu perkembangan
kognitif. Saat diskusi, siswa diperbolehkan
bertanya jika menghadapi kesulitan sebagai
Sig.
95% Confidence Interval
Lower Bound Upper Bound
,005
,1569
,6291
,003
,1846
,6569
,005
-,6291
-,1569
,473
-,0343
,0897
,003
-,6569
-,1846
,473
-,0897
,0343
bentuk intervensi guru (scaffolding). Guru
tidak memberikan solusi secara langsung tapi
hanya memberikan arahan agar siswa dapat
menemukan solusi sendiri. Hal ini mendukung
teori Vigotsky (Wulandari, 2015) yang
menyatakan bahwa scaffolding merupakan
bantuan secara bertahap yang diberikan oleh
guru ataupun orang lain yang dipandang lebih
paham, kemudian mengurangi bantuan
tersebut hingga siswa bisa mengerjakan
sendiri.
Tahap selanjutnya adalah presentasi
oleh perwakilan kelompok. Pada tahap ini
siswa dari kelompok lain, diperbolehkan
bertanya dan memberikan pernyataan jika
hasilnya tidak sesuai dengan hasil yang
mereka dapat. Hal ini membuat siswa
termotivasi
untuk
proaktif
dalam
pembelajaran, sehingga juga dapat memacu
kemampuan berpikir kritis mereka. Kemudia
guru bersama siswa membuat kesimpulan
untuk konsep yang diberikan pada LKS,
sehingga terbentuklan satu pemahaman pada
siswa. Ditambah lagi, dengan pemberian soal
penerapan konsep yang telah diperoleh, hal ini
sesuai dengan Abdurrahman dan Sintawati
(2013) yang menyatakan dengan pemberian
soal penerapan akan diikuti dengan rasa ingin
tahu dan berusaha untuk menemukan
penyelesaian dari persoalan matematika
tersebut.
Pendidikan Matematika Universitas Muhammadiyah Purworejo ,
Ruang Seminar UMP, Sabtu, 28 Mei 2016
603
Jika ditinjau berdasarkan KAM
(tinggi, sedang, rendah) pada kelas
eksperimen, hasil penelitian menunjukan
bahwa KAM memberikan pengaruh terhadap
peningkatan kemampuan berpikir kritis
matematis. Dimana terlihat pada hasil analisis
data bahwa terdapat perbedaan rerata
peningkatan kemampuan berpikir kritis
matematis siswa pada kelas eksperimen jika
ditinjau dari KAM. Secara lebih lanjut, dengan
uji Games-Howell diperoleh perbedaan rinci
dari kelompok tinggi, sedang dan rendah
tersebut.
Hasil pengujian Games Howell
menyatakan bahwa peningkatan kemampuan
berpikir kritis matematis kelompok tinggi
lebih baik jika dibanding kelompok sedang
dan rendah, tapi tidak terdapat perbedaan pada
peningkatan kemampuan berpikir kritis
matematis siswa kelompok sedang dan rendah.
5. KESIMPULAN
Berdasarkan hasil temuan dan analisis
data hasil penelitian, mengenai kemampuan
berpikir kritis matematis siswa melalui
pembelajaran dengan pendekatan analitik
sintetik dan pembelajaran konvensional, maka
peneliti memperoleh beberapa kesimpulan
sebagai berikut: (1) Terdapat perbedaan
peningkatan kemampuan berpikir kritis
matematis
siswa
yang
memperoleh
pembelajaran dengan pendekatan analitik
sintetik dengan siswa yang memperoleh
pembelajaran konvensional. (2) Terdapat
perbedaan signifikan peningkatan kemampuan
berpikir krits matematis pada kelas eksperimen
antara siswa kelompok tinggi dan siswa
kelompok sedang, antara siswa kelompok
tinggi dengan siswa kelompok rendah,
sedangkan peningkatan kemampuan berpikir
kritis matematis siswa kelompok sedang tidak
berbeda dengan siswa kelompok rendah.
Peningkatan kemampuan berpikir kritis
matematis siswa kelompok tinggi lebih baik
dari pada siswa kelompok sedang dan
kelompok rendah. Peningkatan kemampuan
berpikir kritis matematis siswa kelompok
tinggi termasuk kategori sedang, sdangkan
peningkatan kemampuan berpikir kritis
matematis kelompok sedang dan rendah
termasuk kategori rendah.
604
6. REFERENSI
Abdurrahman, G. & Sintawati, M. (2013).
Strategi Brain –based Learning dalam
Pembelajaran Matematika untuk
Mengembangkan Kemampuan
Berpikir Kritis dan Kreatif Siswa.
Hand-Out Seminar Nasional
Matematika dan Aplikasinta.
Yogyakarta : Tidak Dipublikasikan.
Chukwuyenum, A.N. (2013). Impact of
Critical thingking of Performance in
Mathematics among Secondary School
Students in Lagos State [online].
Tersedia : www.Iosrjournals.org
Ennis, R. H. (1996). Critical Thinking. New
Jersey: Prentice Hall, Inc.
Innabi, H. (2003). Aspect of Critical Thinking
in Clasroom Instruction of Secondary
School Mathematics Teacher in
Jordan.
Proceeding
Konferensi
Internasional The Decidable and the
Undecidable
in
Mathematics
Education. Brno, Czech Republic,
September
Jumaisyaroh, T., Napitupulu, E.E., &
Hasratuddin. (2014). Peningkatan
Kemampuan Berpikir Kritis dan
Kemandirian Belajar Siswa SMP
melalui
Pembelajaran
Berbasis
Masalah. Jurnal Kreano FMIPA
UNNES, 5(2).
Lestari, K. A. (2013). Implementasi Brain
Based Learning Untuk Meningkatkan
Kemampuan Koneksi dan Kemampuan
Berpikir Kritis Matematis Siswa
Sekolah Menengah Pertama. Tesis
Pada Jurusan Pendidikan Matematika
UPI Bandung: tidak diterbitkan
Mulyana, T. (2008). Pembelajaran Analitik
Sintetik
untuk
Meningkatkan
Kemampuan Berpikir Kritis dan
Kreatif Siswa SMA. Disertasi pada
Jurusan Pendidikan Matematika UPI
Bandung: tidak diterbitkan
Munandar, S.C.U. (2004). Pengembangan
Kreativitas Anak Berbakat. Jakarta:
Rineka Cipta
Pamungkas, S.R. (2014). Peningkatan
Kemampuan Berpikir Kritis dan
Kreatif Matematis siswa SMP melalui
Model Pembelajaran ASSURE. Tesis.
SPs UPI. Bandung: Tidak Diterbitkan
Prosiding Seminar Nasional Matematika dan Pendidikan Matematika, “Internalisasi Nilainilai Berpikir Matematis Dalam Perannya di Era Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA)”
Peter, E.E. (2012). Critical Thinking: Essence
for Teaching Mathematics and
Mathematics Problem Solving Skills.
African Journal of Mathematics and
Computer Science Research, 5(3),
hlm. 39-43
Richey, T. (1996). Analysis and Synthesis on
Scientific Method-Based on a Study
by Bernard Riemann. [online].
Tersedia:
www.swemorph.com/pdf/anaeng-r.pdf.
Akses: 1 desember 2015
Rubiyanto. (2013). Pendekatan Analitik dan
Sintetik Matematika. Tersedia on-line:
https://ekorubiyanto84.wordpress.com
/2013/01/11/pendekatan-analitik-dansintetik-matematika/
akses:
10
desember 2015
Suriasumantri, J.S. (2007). Filsafat Ilmu,
Sebuah Pengantar Populer. Jakarta:
Pustaka Sinar Harapan.
Syahbana,
A.
(2012).
Peningkatan
Kemampuan
Berpikir
Kritis
Matematis Siswa SMP Melalui
Pendekatan Contextual Teaching and
Learning.[online].
Tersedia:
www.unja.ac.id/online-journal/onlinejournal/index.php/., 2 (01), Akses: 15
Januari 2016
Pendidikan Matematika Universitas Muhammadiyah Purworejo ,
Ruang Seminar UMP, Sabtu, 28 Mei 2016
605
PENERAPAN STRATEGI THINKING ALOUD PAIR PROBLEM SOLVING (TAPPS)
UNTUK MENINGKATKAN KEMAMPUAN BERPIKIR LOGIS MATEMATIS
SISWA SMP
Oktavera
Departemen Pendidikan Matematika Universitas Pendidikan Indonesia
Email: [email protected]
Abstrak
Penelitian ini dilatarbelakangi oleh kemampuan berpikir logis matematis siswa yang masih rendah.
Salah satu cara untuk meningkatkan kemampuan tersebut adalah dengan strategi TAPPS dalam
pembelajaran. Penelitian ini merupakan quasi experiment dengan desain untuk aspek kognitif
kemampuan berpikir logis matematis yaitu Non-equivalent Control Group Design. Populasi
penelitian adalah siswa kelas VII SMPN 4 Lembang Kabupaten Bandung barat yang terdaftar pada
tahun pelajaran 2015/2016. Sampel yang digunakan adalah kelas VIIF yang melibatkan 38 siswa
sebagai kelas eksperimen dan VIIB yang melibatkan 38 siswa sebagai kelas kontrol. Instrumen yang
digunakan berupa tes kemampuan berpikir logis matematis (Pretest dan postest), lembar observasi,
pedoman wawancara. Analisis statistik yang dilakukan adalah independent sample t-test dan uji
ANOVA satu jalur. Hasil penelitian yang diperoleh adalah (1) terdapat perbedaan pencapaian dan
peningkatan secara signifikan kemampuan berpikir logis matematis siswa yang belajar dengan
pembelajaran strategi TAPPS dan siswa yang belajar dengan pembelajaran konvensional; (2)
terdapat perbedaan peningkatan kemampuan berpikir logis matematis siswa yang belajar dengan
pembelajaran strategi TAPPS ditinjau dari Kemampuan Awal Matematis (KAM).
Kata Kunci:
1.
Thinking Aloud Pair Problem Solving (TAPPS), Kemampuan berpikir logis
matematis.
PENDAHULUAN
1) Latar Belakang Masalah
Perkembangan
pengetahuan
teknologi
dikembangkan
dan
Menurut
Piaget
dimiliki
(Incabi,
yang
harus
oleh
siswa.
Tuna,
dan
Biber:2013), berpikir logis adalah prosedur
pada
mental yang digunakan ketika suatu masalah
kebutuhan pendidikan bagi seluruh bangsa
yang tidak diketahui terjadi. Diantara tahapan
Indonesia. Sasaran yang hendak dicapai
perkembangan kognitif Piaget, kemampuan
pemerintah Indonesia yang tercantum dalam
berpikir logis termasuk dalam tahap konkrit
pembukaan
operasional dan formal operasional (Incabi,
dampak
UUD
yang
RI
dewasa
ilmu
matematika
ini
mempunyai
dan
kemajuan
pembelajaran
nyata
1945
yaitu
mencerdaskan kehidupan bangsa. Hal ini
Tuna,
merupakan salah satu tujuan nasional. Salah
kemampuan
satu cara dalam mewujudkan tujuan nasional
menengah pertama dinyatakan oleh Malik
itu yaitu melalui pendidikan.
(2011) yaitu agar siswa selalu tanggap
Pada dasarnya, kemampuan berpikir
terhadap
dan
Biber:2013).
berpikir
logis
permasalahan
Pentingnya
untuk
yang
siswa
dihadapi,
logis matematis sebagai komponen dalam
606
Prosiding Seminar Nasional Matematika dan Pendidikan Matematika. “Internalisasi Nilainilai Berpikir Matematis Dalam Peranannya di Era Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA)”
memberikan ide-ide yang terstruktur secara
bahasa daerah. Jadi ketika bertemu soal-soal
logis dan nyata.
matematika yang mana bahasanya merupakan
Berdasarkan hasil studi pendahuluan
bahasa nasional mereka, sehingga mereka
yang dilakukan oleh Peneliti ditemukan bahwa
kesulitan
siswa
matematika
masih
belum
optimal
dalam
dalam
menjawab
soal-soal
Menurut
Usdiyana,
tersebut.
menyelesaikan soal yang memuat kemampuan
Purniati, Yulianti, dan Harningsih (2009),
berpikir
penyebab rendahnya hasil belajar matematika
logis
matematis.
Studi
tersebut
melibatkan 31 siswa kelas VIIIA di salah satu
disebabkan
SMP
Barat.
penyampaian informasi secara aktif, sementara
Berdasarkan hasil tersebut hanya dua orang
siswa pasif mendengarkan dan menyalin,
siswa yang menjawab soal dengan tepat. Pada
sesekali guru bertanya dan siswa menjawab,
soal studi pendahuluan tersebut, kebanyakan
guru
siswa tidak mampu menghubungkan suatu
jawabannya hanya berupa prosedur saja tanpa
konsep dengan konsep lain, siswa juga masih
menerapkan pemahaman konsep matematis,
kesulitan dalam membuat strategi yang tepat
guru kurang melatih daya nalar siswa, serta
dalam menyelesaikan masalah, siswa kurang
guru
mampu mendeteksi perbedaan antar konsep,
konvensional (biasa).
di
Kabupaten
Bandung
serta menarik kesimpulan umum berdasarkan
data yang terbatas.
oleh
guru
memberikan
lebih
sering
bertindak
contoh
soal
menggunakan
sebagai
yang
metode
Strategi pembelajaran yang mampu
membuat
siswa
aktif,
berkolaborasi,
Penelitian yang dilakukan oleh Riyanto
menemukan sendiri dan memahami materi
(2010), mengungkapkan bahwa salah satu
yang diberikan adalah strategi Thinking Aloud
penyebab kurangnya kemampuan penalaran
Pair Problem Solving (TAPPS). Menurut
(berpikir logis) dan prestasi matematika siswa
Barkley, Cros, Major (2005), TAPPS adalah
adalah proses pembelajaran yang dilakukan
sebuah teknik dimana siswa menyelesaikan
oleh guru di kelas kurang melibatkan siswa
masalah secara lisan untuk menunjukkan
dalam proses pembelajaran atau tidak terjadi
penalaran mereka kepada temannya yang
diskusi atara siswa dengan siswa dan guru
mendengarkan. Jika kita menggunakan strategi
dengan siswa. Guru hanya bertindak sebagai
TAPPS, maka ide dasar dari pembelajaran
penyampai informasi sedangkan siswa hanya
tersebut adalah memotivasi siswa dalam
pasif mendengarkan dan menyalin informasi
kelompok agar mereka dapat saling membantu
yang diberikan oleh guru.
dan
Menurut penelitian yang dilakukan oleh
mendorong
satu
sama
lain
dalam
menguasai materi pelajaran.
Lierde, Kalpakian, Jarid (2013) penyebab
Salah satu penelitian yang menggunakan
rendah hasil belajar matematika yaitu guru
strategi TAPPS yaitu yang dilakukan oleh
mengajar kepada siswa hanya menggunakan
Stice (1987), dia menjanjikan bahwa adanya
Pendidikan Matematika Universitas Muhammadiyah Purworejo ,
Ruang Seminar UMP, Sabtu, 28 Mei 2016
607
peningkatan kemampuan pemecahan masalah
pembelajaran dengan strategi TAPPS ditinjau
siswa jika dibandingkan dengan siswa yang
dari KAM (tinggi, sedang, rendah).
mendapatkan pembelajaran biasa.
Selain faktor pembelajaran yang telah
4) Manfaat Penelitian
diuraikan, terdapat faktor lain yang diduga
penelitian ini dapat menjadi sumbangan
dapat berkontribusi terhadap perkembangan
kepada
kemampuan berpikir logis matematis siswa
pengembangan kemampuan berpikir logis
yaitu faktor Kemampuan Awal Matematika
matematis siswa dan memberikan gambaran
(KAM) siswa. KAM siswa dikategorikan
yang jelas pada guru tentang strategi Thinking
dalam tiga kelompok, yaitu: tinggi, sedang dan
Aloud Pair Problem Solving (TAPPS) dalam
rendah. Penelitian dari Usdiyana, dkk (2009),
rangka mutu pendidikan.
faktor
KAM juga
Berpikir menurut Suriasumantri (2009)
dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:
adalah suatu kegiatan untuk menemukan
Apakah terdapat perbedaan pencapaian dan
pengetahuan yang benar. Apa yang disebut
peningkatan
logis
benar bagi setiap orang belum tentu sama.
matematis siswa yang mendapat pembelajaran
Oleh sebab itu, kegiatan proses berpikir untuk
dengan strategi TAPPS dengan siswa yang
menghasilkan pengetahuan yang benar itu pun
memperoleh pembelajaran konvensional?
juga
Apakah
peningkatan
Suryabrata (Retna, Mubarokah, dan suhartatik,
kemampuan berpikir logis matematis siswa
2013) adalah proses dinamis yang dapat
yang
dengan
dilukiskan menurut proses dan jalannya. Hal
strategi TAPPS ditinjau dari KAM (tinggi,
ini bearti bahwa dalam berpikir seseorang pasti
sedang, rendah)?
melakukan sebuah proses untuk menemukan
kemampuan
terdapat
memperoleh
berpikir
perbedaan
pembelajaran
penelitian ini bertujuan untuk mengkaji:
Perbedaan
pencapaian
berbeda-beda.
Berpikir
menurut
suatu kesimpulan atau penyelesaian tentang
3) Tujuan Penelitian
b)
rangka
a) Kemampuan berpikir Logis
rumusan masalah yang menjadi kajian
a)
dalam
2. KAJIAN LITERATUR
2) Rumusan Masalah
b)
pendidikan
berpengaruh terhadap
kemampuan berpikir logis matematis.
a)
dunia
dan
peningkatan
sesuatu yang dipikirkan.
Menurut
Suriasumantri
(2009),
kemampuan berpikir logis matematis siswa
kemampuan berpikir logis adalah kemampuan
yang mendapat pembelajaran dengan strategi
menemukan suatu kebenaran berdasarkan pola
TAPPS dengan siswa yang memperoleh
atau logika tertentu. Berpikir logis adalah
pembelajaran konvensional.
suatu proses berpikir yang menggunakan nalar
Perbedaan peningkatan kemampuan berpikir
secara konsisten sehingga memperoleh suatu
logis matematis siswa yang memperoleh
kesimpulan yang diharapkan secara sistematis.
Seorang siswa bisa dikatakan berpikir logis
608
Prosiding Seminar Nasional Matematika dan Pendidikan Matematika. “Internalisasi Nilainilai Berpikir Matematis Dalam Peranannya di Era Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA)”
apabila dia mampu mengungkapkan ide dalam
diharapkan. Dalam penelitian ini indikator
urutan
kemampuan
kata
yang
terstruktur
sehingga
argumennya menjadi benar
berpikir
memperkirakan
Menurut Kati (2012), berpikir logis
Generalisasi;
adalah
(1)
(2)
Analogi;
(3)
solusi;
(4)
adalah berpikir atas dasar pengetahuan, apa
langsung.
yang diketahui dengan jelas dan apa yang bisa
b) Strategi TAPPS
dibuktikan. Ada lima langkah berpikir logis
logis
Membuktikan
secara
Menurut Barkley, dkk (2005), strategi
menurut Kati yaitu (1) ada tujuan yang jelas;
TAPPS
(2)
menyelesaikan masalah secara lisan untuk
perencanaan
yang
sistematis;
(3)
adalah
suatu
menunjukkan
memeriksa kesimpulan. Langkah diatas mirip
temannya yang mendengarkan. Strategi ini
dengan langkah-langkah dalam penyelesaian
berguna
masalah yang dikembangkan oleh Polya.
penyelesaian masalah (bukan hasilnya) dan
(Sumarmo,
untuk
mereka
dalam
menggunakan informasi; (4) penalaran; (5)
Keraf
penalaran
strategi
menekankan
kepada
proses
dkk,
2012),
membantu siswa mengidentifikasi kesalahan-
serupa
dengan
kesalahan logika. TAPPS dapat meningkatkan
penalaran proposisional atau penalaran logis
keterampilan cara menyelesaikan soal dengan
dalam tes Longeot yaitu proses berpikir yang
membantu siswa melatih konsep, memahami
memuat
kesimpulan
susunan langkah yang mendasari pemikiran
berdasarkan data dan peristiwa yang ada.
mereka, dan mengidentifikasi kesalahan dalam
Dalam matematika, untuk memperoleh suatu
penalaran orang lain.
mendefenisikan
penalaran
kegiatan
menarik
kebenaran atau kesimpulan harus melalui
Pada
strategi
ini,
siswa
untuk
guru
dapat
proses yang benar. Hal ini dapat dilakukan
mengajarkan
memecahkan
dengan cara berpikir induktif dan deduktif.
masalah, bagaimana memecahkan masalah
Menurut Sumarmo (Saragih, 2011), berpikir
secara berpasangan, dan bagaimana untuk
induktif adalah proses berpikir untuk menarik
berpikir keras serta menyuarakan pikirannya
kesimpulan dari hal-hal khusus ke hal yang
dalam memecahkan masalah yang dihadapi.
umum, sedangkan berpikir deduktif adalah
Pada strategi TAPPS, siswa dikelas dibagi
proes pengambilan kesimpulan yang berjalan
menjadi beberapa tim, dan tiap tim terdiri dari
dari prinsip umum ke hal yang khusus.
dua orang atau tiga orang anggota. Satu orang
Berdasarkan paparan di atas, Peneliti
menjadi problem solver (PS), dan satu orang
menyimpulkan bahwa yang dimaksud dengan
lagi menjadi listener (L). Jika jumlah siswa
kemampuan berpikir logis matematis adalah
dalam satu kelas ganjil, maka memungkinkan
suatu proses berpikir yang menggunakan nalar,
terdapat anggota tim yang jumlahnya tiga
dan
konsisten
orang. Apabila hal itu terjadi, maka peran PS
sehingga diperoleh suatu kesimpulan yang
dan L dilakukan secara bergantian. Setiap
logika
matematika
secara
Pendidikan Matematika Universitas Muhammadiyah Purworejo ,
Ruang Seminar UMP, Sabtu, 28 Mei 2016
609
anggota tim memiliki tugas masing-masing 3.
METODE PENELITIAN
yang mengikuti aturan yang sudah ditetapkan
(Stice, 1987).
Desaian penelitian menggunakan desain
kuasi eksperimen yang
Berdasarkan paparaan di atas, strategi
Sugiyono (2012) yaitu desain kelompok
pembelajaran Thinking Aloud Pair Problem
kontrol
Solving
menggunakan
(TAPPS)
pembelajaran
adalah
yang
suatu
strategi
bertujuan
untuk
berlandaskan pada
non
ekuivalen.
desain
Penelitian
kelompok
ini
Pretest-
Postest Control Group Design (Lestari dan
memecahkan masalah yang dihadapi oleh
Yudhanegara, 2015) sebagai berikut:
siswa, dimana pembelajaran dalam strategi ini
Kelas Eksperimen
:O
X
O
dilaksanakan secara berpasangan yaitu sebagai
problem solver dan listener yang kemudian
Kelas Kontrol
:O
O
bertukar tugas setelah masalah terpecahkan.
Problem solver membacakan masalah, dan
menyampaikan
bagaimana
Dimana:
solusi O dari
:
soal-soal pretest sama dengan
permasalahan tersebut. Listener mendengarkan
soal-soal postest
semua yang disampaikan problem Xsolver,
: perlakuan menggunakan strategi TAPPS.
termasuk
:
langkah-langkah
solusi
dari
permasalahan tersebut.
subjek tidak dikelompokkan
secara acak.
Populasi dalam penelitian ini dilakukan
c) Hipotesis penelitian
1) Terdapat perbedaan pencapaian kemampuan
di kelas VII di salah satu SMPN Kabupaten
berpikir logis matematis siswa yang signifikan
Bandung Barat tahun pelajaran 2015/2016.
antara siswa yang memperoleh pembelajaran
Ditetapkan sebagai populasi dengan alasan
dengan strategi TAPPS dengan siswa yang
yaitu tingkat perkembangan kognitif siswa
memperoleh pembelajaran konvensional.
berada pada tahap peralihan dari operasi
2) Terdapat perbedaan peningkatan kemampuan
konkrit ke operasi formal. Menurut teori
berpikir logis matematis secara signifikan
Piaget, siswa SMP kelas VII sudah mulai
antara siswa yang memperoleh pembelajaran
memasuki tahap berpiikir formal. Oleh karena
dengan strategi TAPPS dengan siswa yang
itu pada siswa SMP kelas VII ini sudah mulai
memperoleh pembelajaran konvensional.
dikenalkan dengan materi-materi yang bersifat
3) Terdapat perbedaan peningkatan kemampuan
berpikir
logis
matematis
siswa
yang
memperoleh pembelajaran dengan strategi
abstrak. Penelitian ini dilaksanakan di SMPN
4 Lembang Kabupaten Bandung Barat.
Sampel
penelitian
ditentukan
TAPPS ditinjau dari KAM (tinggi, sedang,
berdasarkan purposive sampling, yaitu teknik
rendah).
pengambilan
sampel
yang
pertimbangan
tertentu
(Sugiyono,
berdasarkan
2012)
sehingga dipilih dua kelas dari seluruh kelas
610
Prosiding Seminar Nasional Matematika dan Pendidikan Matematika. “Internalisasi Nilainilai Berpikir Matematis Dalam Peranannya di Era Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA)”
VII di sekolah tersebut. Pertimbangan yang
dalam kelas. Dalam pembelajaran ini, guru
digunakana dalam pemilihan sampel adalah
menjelaskan materi pelajaran, siswa diberikan
dari informasi yang diperoleh dari wakil
persoalan, selanjutnya siswa ditugaskan untuk
kepala sekolah, wali kelas, dan guru bidang
memecahkan
studi
waktu
matematika
menyatakan
yang
diberikan
guru
untuk
kemampuan akademik yang relatif sama. Dua
siswa diminta untuk melaporkan hasil yang
kelompok yang dipilih sebagai sebagai sampel
diperoleh. Setelah kegiatan ini terlaksana, guru
penelitian adalah kelompok eksperimen siswa
bersama siswa membuat rangkuman.
sebanyak
38
VII
yang
Jika
menyelesaikan persoalan sudah habis, maka
VIIF
kelas
yang
tersebut.
memiliki
kelas
bahwa
mengajar
permasalahan
siswa
yang
2. Kemampuan berpikir logis matematis yaitu
menggunakan pembelajaran dengan strategi
suatu proses berpikir yang menggunakan nalar,
TAPPS, dan kelompok kontrol siswa kelas
dan
VIIB sebanyak 38 siswa dengan pembelajaran
sehingga diperoleh suatu kesimpulan yang
konvensional.
diharapkan. Dalam penelitian ini indikator
Pengumpulan data dilakukan melalui tes,
logika
matematika
kemampuan
berpikir
lembar observasi, dan wawancara. Tes yang
memperkirakan
digunakan adalah pretest dan postest. Pretest
Generalisasi;
dilakukan sebelum pelaksanaan pembelajaran
langsung.
dalam penelitian. Postest dilakukan setelah
pembelajaran
dilakukan
dalam
solusi;
(4)
secara
konsisten
logis
adalah
(1)
(2)
Analogi;
(3)
Membuktikan
secara
Data yang diperoleh dari hasil penelitian
penelitian
ini berupa data hasil tes dan non tes. Analisis
selasai, lembar observasi diberikan pada saat
data yang digunakan yaitu data kuantitatif
pembelajaran berlangsung, wawancara.
yang berupa hasil tes kemampuan berpikir
Dalam rangka mendapatkan persamaan
logis matematis siswa. Data yang diperoleh
persepsi dan menghindarkan penafsiran yang
berupa pretest, postest, N-Gain. Selanjutnya,
berbeda dari beberapa istilah dalam penelitian
data kualitatif diperoleh dari analisis lembar
ini,
observasi, wawancara.
maka
peneliti
memberikan
defenisi
operasional sebagai berikut :
Strategi Thinking Aloud Pair Problem Solving 4.
(TAPPS) adalah suatu strategi pembelajaran
4. HASIL DAN PEMBAHASAN
Data
kemampuan
berpikir
logis
pemecahan masalah yang melibatkan dua
matematis diperoleh melalui pretest dan
orang
postest.
siswa
yang
bekerja
sama
untuk
Dari
skor
postest,
selanjutnya
sebagai problem solver dan listener.
berpikir logis matematis baik kelas eksperimen
konvensional
adalah
N-gain
dan
memecahkan masalah, yang memiliki peran
1. Pembelajaran
dihitung
pretest
kemampuan
suatu
maupun kelas kontrol. Rerata N-gain yang
pembelajaran yang biasa dilakukan guru di
diperoleh dari perhitungan ini merupakan
Pendidikan Matematika Universitas Muhammadiyah Purworejo ,
Ruang Seminar UMP, Sabtu, 28 Mei 2016
611
gambaran peningkatan kemampuan berpikir
pembelajaran konvensional. Hasil skor pretest,
logis matematis siswa yang belajar dengan
postest, dan N-gain dapat dilihat pada tabel di
strategi TAPPS dan siswa yang belajar dengan
bawah ini:
Tabel 1
Statistik Deskriptif Kemampuan Berpikir Logis Matematis
Pretest
Kelas
Eksperimen
Kontrol
38
38
2,7
2,5
SB
1,2
1,5
Postest
SB
10,9 2,9
7,7 1,7
N-gain
<g> SB
0,6 0,2
0,4 0,1
Uji perbedaan rata-rata pencapaian kemampuan berpikir logis matematis siswa menggunakan
uji t‟ dengan bantuan Software SPSS V.20 for Windows.
Tabel 2
Data Hasil Uji Perbedaan Rerata Postest Kemampua Berpikir Logis Matematis
t-test for equality of means
T
df
Sig.(2-tailed)
5,961
60,186
0,000
Kesimpulan
Ket
H0 ditolak
Terdapat
perbedaan
Berdasarkan tabel di atas diperoleh nilai
berasal
Sig.(2-tailed) = 0,000 lebih kecil dari α = 0,05.
normal,
Hal ini menunjukkan bahwa H0 ditolak. Ini
hommogenitas. Setelah diuji homogenitas,
berarti terdapat perbedaan yang signifikan
maka didapatkan hasil bahwa varians populasi
antara
data
postest
(pencapaian)
kemampuan
dari
populasi
maka
N-gain
yang
dilanjutkan
kemampuan
berdistribusi
dengan
berpikir
uji
logis
berpikir logis matematis yang signifikan antara
matematis siswa kelas eksperimen dan kontrol
siswa kelas eksperimen dan kontrol.
tidak homogen dan dilanjutkan dengan uji t‟
Selanjutnya, Rerata N-gain memberi
dengan rangkuman hasil uji perbedaan rerata
gambaran tentang peningkatan kemampuan
data N-gain pada taraf signifikansi α = 0,05
berpikir logis matematis yang belajar dengan
seperti pada tabel di bawah ini.
pembelajaran strategi TAPPS maupun siswa
yang
belajar
konvensional.
dengan
Pada
pembelajaran
pengujian
hipotesis
penelitian 2, maka terlebih dahulu dilakukan
uji
prasyarat
yaitu
uji
normalitas
dan
homogenitas terhadap skor N-gain pada kedua
kelas. Setelah diuji normalitas, ternyata skor
N-gain iswa kelas eksperimen dan kontrol
612
Prosiding Seminar Nasional Matematika dan Pendidikan Matematika. “Internalisasi Nilainilai Berpikir Matematis Dalam Peranannya di Era Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA)”
Tabel 3
Data Hasil Uji Perbedaan Rerata N-Gain
Kemampuan Berpikir Logis Matematis
t
t-test for equality of means
df
Sig.(2-tailed)
6,205
54,322
0,000
Kesimpulan
Ket
H0 ditolak
Terdapat
perbedaan
Berdasarkan tabel di atas diperoleh nilai
Selanjutnya, data N-gain kemampuan
Sig.(2-tailed) = 0,000 lebih kecil dari α = 0,05.
berpikir logis matematis kelompok tinggi,
Hal ini menunjukkan bahwa H0 ditolak. Hal ini
sedang, dan rendah berdistribusi normal dan
dapat disimpulkan bahwa terdapat perbedaan
homogen.
secara
peningkatan
selanjutnya menggunakan ANOVA satu jalur
kemampuan berpikir logis matematis siswa
dan dilanjutkan dengan uji lanjutan Post Hoc
yang belajar dengan pembelajaran strategi
Multiple Comparison. Uji Post Hoc yang dapat
TAPPS dan siswa yang belajar
digunakan yaitu uji Scheffe karena variansi
signifikan
rerata
dengan
pembelajaran konvensional.
Oleh
karena
itu,
pengujian
kategori KAM homogen. Hasil perhitungannya
dapat disajikan pada tebel 4 berikut ini:
Tabel 4
Data Hasil Uji Scheffe Rerata N-Gain Kemampuan Berpikir Logis Matematis Ditinjau dari
KAM
KAM
(I)
KAM (J)
Perbedan
Rerata
(I-J)
Sig.
Kesimp
ulan
Sedang
0,18307
0,041
Tolak H0
Rendah
0,29273
0,002
Tolak H0
Tinggi
-0,18307
0,041
Tolak H0
Rendah
0,10966
0,298
Terima
H0
Tinggi
-0,29273
0,002
Tolak H0
Sedang
-0,10966
0,298
Terima
H0
Ket
Tinggi
Sedang
Rendah
Terdapat
perbedaan
Terdapat
perbedaan
Terdapat
perbedaan
Tidak
terdapat
perbedaan
Terdapat
perbedaan
Tidak
terdapat
perbedaan
Berdasarkan hasil analisis di atas, dapat
tinggi dan rendah. Namun, pasangan siswa
disimpulkan bahwa perbedaan kemampuan
kelompok sedang dan rendah tidak terdapat
berpikir logis matematis terjadi pada siswa
perbedaan
antara kelompok tinggi dan sedang, kelompok
dikarenakan bahwa pada pasangan kelompok
yang
signifikan.
Hal
Pendidikan Matematika Universitas Muhammadiyah Purworejo ,
Ruang Seminar UMP, Sabtu, 28 Mei 2016
ini
613
sedang dan rendah mempunyai kesamaan
peningkatan yang signifikan, dimana pada
dalam
pertemuan
berpikir
untuk
menyelesaikan
permasalahan.
ini
31
siswa
sudah
mampu
menerapkan strategi TAPPS tetapi lebih
Peningkatan kemampuan berpikir logis
dominanya pada problem solving (pemecahan
matematis yang secara signifikan untuk kelas
masalah). Hal ini juga didukung wawancara
yang belajar dengan pembelajaran strategi
kepada siswa yang menyatakan siswa mampu
TAPPS dapat dilihat dari lembar observasi
memahami materi pada hari ini walaupun
yang menyatakan bahwa pada pertemuan
materinya
pertama, siswa belum bisa menerapkan strategi
sebelumnya. Sealnjutnya, pada pertemuan
TAPPS tetapi hanya 20% dari jumlah siswa
terakhir juga mengalami peningkatan, dimana
yang bisa thinking (berpikir) saja. Pada
93%
pertemuan kedua mengalami peningkatan,
menerapkan strategi TAPPS dengan baik dan
hanya 12 siswa yang mampu menerapakan
didukung juga dari wawancara Peneliti kepada
strategi TAPPS tetapi dominannya pada
siswa yang menyatakan bahwa pembelajaran
thinking
untuk
yang seperti ini bisa membuat mereka
memecahkan permasalahan matematika. Hal
memahami materi dengan baik serta mampu
ini juga didukung oleh wawancara peneliti
mengatasi
kepada siswa yang menyatakan siswa sudah
berbagai permasalahan.
aloud
(berpikir
keras)
dari
lebih
sulit
jumlah
dari
siswa
kesulitan
pertemuan
sudah
dalam
mampu
menghadapi
mulai menyenangi pelajaran matematika pada
Dalam kegiatan implementasi secara
pertemuan hari ini (kedua). Selanjutnya, pada
menyeluruh sudah baik, hanya saja terdapat
pertemuan
7% dari jumlah siswa yang belum sempurna
ketiga
juga
mengalami
peningkatan, dimana pada pertemuan ini hanya
menerapkan strategi TAPPS,
untuk lebih
50% dari jumlah siswa yang sudah mampu
memotivasi siswa agar siswa terbiasa untuk
menerapkan strategi TAPPS tetapi yang lebih
berpikir logis perlu waktu yang banyak agar
dominannya pada thinking aloud (berpikir
siswa mampu menerapkan strategi TAPPS,
keras). Pada pertemuan empat juga mengalami
karena strategi ini merupakan salah satu
peningkatan, dimana pada pertemuan ini hanya
strategi untuk memotivasi siswa mampu
55% dari jumlah siswa yang sudah mampu
berkomunikasi dengan pasangannya, aktif
menerapakan strategi TAPPS. Pada pertemuan
berdiskusi, dan bekerjasama dalam kelompok
kelima mengalami peningkatan, dimana 64%
untuk memecahkan permasalahan yang ada.
dari jumlah siswa sudah mampu menerapkan
strategi TAPPS. Hal ini juga didukung oleh 5.
5. KESIMPULAN
wawancara kepada siswa yang menyatakan 1)
Terdapat
bahwa sebagian besar siswa senang belajar
signifikan
matematika walaupun materinya cukup sulit.
matematis
Pada pertemuan ke-enam juga mengalami
pembelajaran dengan strategi TAPPS dengan
614
perbedaan
pencapaian
yang
berpikir
logis
kemampuan
siswa
yang
memperoleh
Prosiding Seminar Nasional Matematika dan Pendidikan Matematika. “Internalisasi Nilainilai Berpikir Matematis Dalam Peranannya di Era Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA)”
siswa
yang
memperoleh
pembelajaran
konvensional.
2)
Terdapat
perbedaan
signifikan
peningkatan
yang
berpikir
logis
kemampuan
matematis
siswa
yang
memperoleh
pembelajaran dengan strategi TAPPS dengan
siswa
yang
memperoleh
pembelajaran
konvensional.
3)
Terdapat perbedaan peningkatan kemampuan
berpikir
logis
matematis
siswa
yang
memperoleh pembelajaran dengan strategi
TAPPS ditinjau dari kategori KAM (tinggi,
sedang, dan rendah).
REFERENSI
Barkley, E.E., Cross, K.P., Major, C.H. (2005).
Collaborative Learning Techniques. San
Francisco: Jossey-Base.
Incikabi, L., Tuna, A & Biber, A.C. (2013). An
Analysis of Mathematics Teacher Candidate‟
Critical Thinking Dispositions and Their
Logical Thinking Skills. Journal of
International Education Research. 9(3), 257266.
Kati. (2012). Logical Thinking; How to Use Your
Brain to Tour Anvantage? [Online]. Tersedia:
http://bookboon.com/blog/2012/02/logicalthinking-how-to-use-your-brain-to-youradvantage/.[23Maret2015]
Lierde, V. V., Kalpakian, J., Jarid, N. E. (2013).
Students, Logical Thinking and Teaching
Efficiency:A Maroccan Case. An Online
Journal of the African Educational Research
Network. 13(2), 52-60.
Malik, A. (2011). Meningkatkan Kemampuan
Berpikir Logis dan Sikap Positif Siswa
terhadap Matematika melalui Realistic
Mathematics Education (RME) pada Materi
Aritmatika Sosial Siswa Kelas VII MTs Surya
Buana Malang. Jurnal JP3, Vol 1 No 1, 76-84.
Proses
Berpikir
Siswa
dalam
Menyelesaikan Soal Cerita ditinjau
Berdasarkan Kemampuan Matematika.
Jurnal Pendidikan Matematika STKIP
PGRI Sidoarjo, 1(2), 71082.
Riyanto, B. (2014). Meningkatkan Kemampuan
Penalaran dan Prestasi Matematika dengan
Pendekatan Kontruktivisme pada Siswa
Sekolah
Menengah
Atas.
Jurnal
Pendidikan Matematika, 5(2), 111-128.
Saragih, S. (2011). Penerapan Matematika
Realistik dan Kelompok Kecil untuk
meningkatkan Kemampuan Keruangan,
Berpikir Logis, dan Sikap Positif Terhadap
Matematika Siswa kelas VIII. Disertasi SPS
UPI Bandung: Tidak Diterbitkan.
Stice, J.E. (1987). Teaching Problem Solving.
[online].
Tersedia:
http://wwwcsi.unian.it./educa/problemsolvi
ng/Stice_ps.htm.[5Oktober2015]
Sugiyono. (2012). Metode penlitian pendidikan
(pendekatan kuantitatif, kualitatif, dan R &
B). Bandung:Alfabeta.
Sumarmo, U., Hidayat, W., Zulkarnaen, R.,
Hamidah dan Sariningsih, R. (2012).
Kemampuan dan Disposisi Berpikir Logis,
Kritis, dan Kreatif Matematik: Eksperimen
terhadap Siswa SMA menggunakan
Pembelajaran Berbasis Masalah dan
Strategi
Think-Talk-Write.
Jurnal
Pengajaran MIPA, Vol. 17, No.1, 17-33.
Suriasumantri, J. S. (2009). Filsafat Ilmu Sebuah
Pengantar Populer. Jakarta: Pustaka Sinar
Harapan.
Usdiyana, D., Purniati, T., Yulianti, K.,
Harningsih, E. (2009). Meningkatkan
Kemampuan Berpikir Logis Matematis
Siswa
SMP
melalui
Pembelajaran
Matematika Realistik. Jurnal Pengajaran
MIPA, 13 (1), 1412-09172.
Retna, M., Muborakah, L & Suhartatik. (2013).
Pendidikan Matematika Universitas Muhammadiyah Purworejo ,
Ruang Seminar UMP, Sabtu, 28 Mei 2016
615
PENGARUH PAHAM-RANGKUM
TERHADAP KEBERHASILAN BELAJAR SISWA
Aditya Juliant1) , Kurnia Noviartati22)
1
STKIP Al-Hikmah Surabaya
email: [email protected]
2
Universitas Negeri Surabaya)
email: [email protected]
Abstrak
Abstract. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh belajar siswa dengan cara memahami
materi pelajaran kemudian merangkumnya. Metode penelitian ini adalah penelitian eksperimen
dengan desain One-Group Pre-test-Posttest. Populasi penelitian ini adalah siswa kelas X1 SMA
Muhammadiyah Surabaya tahun pelajaran 2015-2016. Analisis data menggunakan melalui uji r
korelasi. Berdasarkan hasil analisis data diperoleh kesimpulan bahwa terdapat pengaruh positif
paham-rangkum terhadap keberhasilan belajar siswa.
Kata Kunci: paham-rangkum, keberhasilan belajar
1.
PENDAHULUAN
Matematika adalah ilmu yang eksak dan
logis. Melalui
matematika
diharapkan
seseorang dapat meningkatkan nalar berpikir
dan
menyelesaikan
permasalahanpermasalahan dalam kehidupan sehari-hari.
Namun pada kenyataan siswa dan siswi di
Indonesia
mengalami
kesulitan
dalam
mempelajari matematika. Hal ini dibuktikan
juga oleh Programme for International Student
Assesment (PISA) di bawah Organization
Economic Cooperation and Development
(OECD) yang dilakukan pada 65 negara di
dunia tahun 2012, mengatakan bahwa
kemampuan matematika siswa-siswi di
Indonesia menduduki peringkat bawah dengan
skor 375. Kurang dari 1 persen siswa
Indonesia yang memiliki kemampuan bagus di
bidang matematika. Padahal terdapat peranperan penting matematika yang tidak secara
langsung akan melatih seseorang untuk
menyelesaikan permasalahan.
Menurut Kustiningsih (2010), banyak guru
yang mengajar secara teaher sentris/tradisional
sehingga banyak siswa yang kesulitan dalam
belajar matematika. Pada jurnal yang
616
dituliskan Linto (2012:83) yaitu dalam
pembelajaran,
siswa
masih
sulit
menghubungkan materi yang mereka pelajari
dengan materi prasyarat yang sudah mereka
kuasai. Konsep yang telah dipelajari tidak
bertahan lama dalam ingatan siswa, akibatnya
koneksi kemampuan mereka belum optimal.
Dua uraian diatas menjelaskan tentang
rendahnya
kemampuan
dan
kurang
pemahaman siswa terhadap pembelajaran.
Padahal, pada dasarnya setiap manusia
mempunyai kapasitas berfikir yang besar, hal
ini diperkuat oleh Buzan (1993) bahwa setiap
manusia memiliki berjuta-juta sel otak untuk
meningkatkan kapasitas berfikirnya. Salah satu
potensi besar untuk berfikir menurut Rose,
Collin dan Malcocm J. (1997) adalah Banyak
membaca, meringkas, dan menyelesaikan
permasalahan di setiap waktu.
Menurut Degeng (1997) mendefinisikan
rangkuman sebagai pernyataan singkat
mengenai isi mata pelajaran yang telah
dipelajari dan contoh-contoh acuan yang
mudah diingat untuk setiap konsep, prosedur,
atau prinsip. Sama halnya dengan Hamid dan
Membraku (1992) yang menggunakan
Prosiding Seminar Nasional Matematika dan Pendidikan Matematika. “Internalisasi Nilainilai Berpikir Matematis Dalam Peranannya di Era Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA)”
rancangan eksperimen menemukan bahwa
pemberian rangkuman terhadap mahasiswa,
lebih meningkatkan perolehan belajar dari
pada tanpa rangkuman. Dalam konteks siswa
di tingkat sekolah, rangkuman dapat dijadikan
sebuah
alternatif
untuk
meningkatkan
keberhasilan belajar siswa. Sehingga pada
penelitian
ini
akan
ditingkatkannya
kemampuan dan pemahaman siswa dengan
merangkum.
Tujuan penelitian ini adalah mengetahui
pengaruh siswa yang diberikan pembelajaran
paham-rangkum. Secara arti yaitu, siswa
diberikan materi hingga paham. Kemudian
mereka merangkumnya dengan bahasanya
sendiri.
2.
KAJIAN LITERATUR DAN PENGEMBANGAN HIPOTESIS
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia
minimal satu siswa yang kurang tepat dalam
Paham
mempunyai
pengertian
yaitu
menjawab pertanyaan. Maka, peneliti menjelas
(memiliki) pengetahuan banyak atau benarkembali materi yang telah disampaikan secara
benar mengetahui akan proses, cara maupun
lebih rinci.
perbuatan. Rangkum adalah singkatan dari
Keberhasilan Belajar menurut pendapat
kata rangkuman. Rangkuman menurut
Kunandar
(2010: 277), adalah hasil yang
Djuharni (2001) merupakan hasil kegiatan
diperoleh siswa setelah mengikuti suatu materi
merangkum. Rangkuman dapat di artikan
tertentu dari mata pelajaran yang berupa data
sebagai suatu hasil merangkum atau meringkas
kualitatif maupun kuantitatif. Indikator
suatu tulisan atau pembicaraan menjadi suatu
keberhasilan belajar berupa nilai post-test yang
uraian yang lebih singkat dengan perbandingan
berada diatas standar nilai KKM.
secara proporsional antara bagian yang
dirangkum dengan rangkumannya. Salah satu
Reder (dalam Degeng:1997) menemukan
hasil kegiatan merangkum adalah menulis.
bahwa rangkuman lebih unggul meskipun ideMenurut Mayer (dalam Armiati:2009) dalam
ide pokok yang terdapat dalam teks yang asli
jurnalnya menulis adalah proses bermakna
telah diberi garis bawah. Walaupun siswa
dimana siswa secara aktif membangun
sudah diberi ide-ide pokok yang tertuang
hubungan antara konsep yang sedang ia
dalam buku teks pelajaran dengan cara
pelajari dengan konsep yang sudah ia pahami.
menggarisbawahi ide-ide pokok tersebut, bila
Dari sini peneliti dapat menyimpulkan
bahwa Paham-Rangkum Materi adalah sebuah
pembelajaran
dimana
sebelum
siswa
merangkum materi, siswa benar-benar diminta
untuk memahami akan materi yang
disampaikan oleh guru. Kemudian, siswa
merangkum dengan bahasanya sendiri dan
tanpa melihat cacatan. Indikator siswa benarbenar paham terhadap materi adalah pertama,
peneliti bertanya kepada semua siswa dikelas,
adakah yang belum memahami materi yang
telah disampaikan. Kedua, peneliti bertanya
hal terkait dengan materi kepada 3 siswa
secara acak dalam kelas, dan ketiganya harus
dapat menjawab pertanyaan itu. Jika ada
dibandingkan dengan siswa yang diberi
rangkuman, hasil belajar lebih unggul terhadap
kelompok siswa yang diberi rangkuman. Salah
satu teknik merangkum adalah membut peta
pikiran. Adirti (2012) menyatakan bahwa peta
pikiran adalah cara termudah untuk
menempatkan informasi ke dalam otak dan
mengambil informasi ke luar dari otak. Cara
tersebut sangatlah efektif untuk memetakan
pikiran secara sederhana.
Temuan lain tentang pengaruh rangkuman
terhadap hasil belajar mahasiswa dikemukakan
oleh Hamid (1992) dengan mengunakan
rancangan eksperimen menemukan bahwa
pemberian rangkuman terhadap mahasiswa,
Pendidikan Matematika Universitas Muhammadiyah Purworejo ,
Ruang Seminar UMP, Sabtu, 28 Mei 2016
617
lebih meningkatkan perolehan belajar dari
pada tanpa rangkuman.
3.
METODE PENELITIAN
Subjek penelitian yang diteliti adalah salah
satu SMA swasta di Surabaya. Sampel yang
digunakan adalah kelas X yang berjumlah 31
siswa.
Metode yang digunakan dalam penelitian
ini adalah penelitian eksperimen dengan desain
One-Group Pretest-Posttest yaitu terdapat satu
kelompok yang digunakan untuk penelitian,
sebelum diberi perlakuan, siswa diminta
mengerjakan soal pre-test kemudian diberi
perlakuan dan pada akhir diberikan soal posttest. Pentingnya diberikan soal post-test adalah
agar dapat membandingkan keadaan sebelum
dan sesudah diberi perlakuan.
One-Group Pre-test-Posttest Design
: Nilai pre-test (sebelum diberi perlakuan)
: Perlakuan
: Nilai post-test (setelah diberi perlakuan)
Adapun prosedur penelitian yang dilakukan
adalah :
mengetahui sejauh mana kemampuan siswa
pada saat pembelajaran.
6. Peneliti
memberi
perlakuan
berupa
pembelajaran secara langsung dengan
deskripsi bahwa siswa harus dipastikan
paham dengan tes pertanyaan langsung
secara lisan yang diajukan kepada 3 sampel
siswa dalam kelas. Kemudian 1 kelas diminta
untuk merangkum dari apa yang telah
disampaikan. Jika tes pertanyaan langsung
secara lisan tidak bisa dijawab min. 3 orang
siswa, maka peneliti akan menjelaskan
kembali apa yang belum dipahami siswa.
Sehingga siswa paham dan akan merangkum
materi dengan bahasanya sendiri.
7. Setelah siswa diberi perlakuan, siswa
diberikan soal post-test dari buku
Matematika SMA Kelas X. Standar Isi KTSP
2006. Penerbit Erlangga sebagai tolak ukur
dari keberhasilan belajar siswa memahami
materi.
8. Dari 2 soal pre-test dan post-test tesebut akan
diuji pengaruh siswa yang sebelum dan
sesudah diberi perlakuan. Salah satu metode
uji yang diujikan adalah uji r (korelasi).
Untuk memudahkan menginterpretasikan
data yang diperoleh, Sarwono memberi
kriteria sebagai berikut
Dengan koefisien nilai, maka
0 = tidak ada korelasi antara dua variabel.
0 – 0,25 = korelasi sangat lemah.
0,25 – 0,5 = korelasi cukup.
0,5 – 0,75 = korelasi kuat
0,75 – 0,99 = korelasi sangat kuat.
1 = korelasi sempurna.
1. Melakukan kunjungan ke salah satu
sekolah swasta untuk meminta kerjasaa
dari pihak sekolah.
2. Konfirmasi kerjasama kepada pihak
sekolah atas kondisi yang akan diteliti.
3. Menentukan waktu yang tepat untuk 4. HASIL DAN PEMBAHASAN
Berikut saya lampirkan daftar nilai pre-test dan
melakukan penelitian pada pihak sekolah
post-test yang diberikan sebelum dan sesudah
4. Observasi untuk melihat kondisi siswa
sebelumnya.
perlakuan. Pada bagian ini juga disampaikan
5. Saat berlangsungnya waktu praktek
bahwa pelajaran ini adalah pelajaran yang
mengajar, peneliti memberikan soal presudah dipelajari dipertemuan sebelumnya dan
test dari Buku Matematika SMA Kelas
diulang dengan perlakuan dari paham-rangkum
X. Standar Isi KTSP 2006. Penerbit
berikut:
Erlangga yang berkaitan dengan materi
kepada
siswa.
Sehingga
peneliti
618
Prosiding Seminar Nasional Matematika dan Pendidikan Matematika. “Internalisasi Nilainilai Berpikir Matematis Dalam Peranannya di Era Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA)”
Tabel 1: Nilai pre-test dan post-test 31 siswa
di sekolah swasta di Surabaya.
PreTest
PostTest
1
40
100
1600
10000
4000
2
20
80
400
6400
1600
3
10
45
100
2025
450
4
10
40
100
1600
400
5
10
30
100
900
300
6
50
65
2500
4225
3250
8
0
65
0
4225
0
9
100
100
10000
10000
10000
10
40
30
1600
900
1200
11
50
100
2500
10000
5000
13
20
50
400
2500
1000
14
20
55
400
3025
1100
17
50
55
2500
3025
2750
18
100
100
10000
10000
10000
19
100
100
10000
10000
10000
20
50
100
2500
10000
5000
21
40
30
1600
900
1200
22
40
65
1600
4225
2600
23
40
75
1600
5625
3000
24
60
10
3600
100
600
28
50
70
2500
4900
3500
29
5
5
25
25
25
31
10
65
100
4225
650
32
0
65
0
4225
0
33
40
65
1600
4225
2600
34
10
40
100
1600
400
35
20
100
400
10000
2000
36
0
70
0
4900
0
37
20
20
400
400
400
38
70
35
4900
1225
2450
40
70
85
4900
7225
5950
1145
1915
68025
142625
81425
No
Tabel tersebut mendeskripsikan nilai siswa
mulai dari sebelum dan sesudah diberikan
perlakuan. Nomor yang tidak disertakan pada
tabel adalah siswa yang tidak mengikuti jam
pelajaran. Maka, pada uji-r ditentukan
Berdasarkan uji-r korelasi berikut, bahwa terdapat
pengaruh positif paham-rangkum terhadap
keberhasilan belajar. Didapatkan hasil
sebesar 0,4274 yang menunjukkan ada
pengaruh dengan “tingkat sedang” terhadap
hasil belajar siswa. Dalam pembelajaran
paham-rangkum ini guru harus bisa
mengkondisikan kelas dan mengajar dengan
penuh variasi. Sehingga, siswa tetap fokus
dan kondusif.
5. KESIMPULAN
Peneliti menyimpulkan bahwa terdapat pengaruh
positif
paham-rangkum
terhadap
keberhasilan belajar siswa. Merupakan
solusi efektif, membangun konstruk berfikir
siswa untuk memahami suatu pengetahuan
dengan bahasanya sendiri.
Berdasarkan simpulan dapat dikemukakan
beberapa saran sebagai berikut:
1) Pembelajaran
paham-rangkum
dapat
dijadikan sebagai salah satu metode dalam
pembelajaran, karena dapat meningkatkan
hasil belajar siswa terhadap matematika.
2) Pembelajaran
paham-rangkum
ini
membutuhkan waktu yang cukup panjang
dikarenakan siswa yang kemampuan
dibawah rata-rata masih mengkonstruk
pemikirannya.
6. REFERENSI
Adiarti, Wulan. 2012. Penerapan Strategi
Mind Mapping untuk Meningkatkan
Pemahaman
Mahasiswa
pada
Mata
Kuliah Metode Pengembangan Kognitif
dan
Kreativitas
Anak
Usia
Dini.
Indonesian Journal of Early Childhood
Education Studies (IJECES). Vol 1 No.1
Armiati. 2009. Komunikasi Matematis dan
Kecerdaasan
Emosional.
Jurnal
Pendidikan Matematika FMIPA UNY.
No 16. Hal 274. 5 Desember 2016
Buzan, Tony. 1993. The Mind Map. London:
Butler & Tanner Ltd.
Degeng, I Nyoman Sudana. 1997. Strategi
Pembelajaran:
Mengorganisasi
Isi
Pendidikan Matematika Universitas Muhammadiyah Purworejo ,
Ruang Seminar UMP, Sabtu, 28 Mei 2016
619
Pembelajaran
dengan
Model
Jurnal Pendidikan Matematika UNP. Vol. 1,
Elaborasi.
Disertasi
Bahasan
No.1 (2012) Part:2. Hal 83-87
Tentang
Temuan
Penelitian.
Membraku. 1992. Pengaruh Review Rangkuman
Malang: IKIP MALANG.
dan Gaya Kognitif terhadap Perolehan
Hamid, A.K. 1992. Pengaruh Pemberian
Belajar dan Retensi dengan Ceramah
Rangkuman
dan
Gaya
Kognitif
Bermedia OHP. Tesis Magister Teknologi
Mahasiswa
terhadap
Perolehan
Pembelajaran, PPS IKIP MALANG, tidak
Belajar. Tesis Magister Teknologi
diterbitkan.
Pembelajaran, PPS IKIP MALANG,
Rose, Collin and Malcolm J. Nicholl. 1997.
tidak diterbitkan.
Accelerated Learning for The 21st Century.
Kunandar. 2010. Langkah Mudah Penelitian
New York: A Dell Trade Paperback.
Tindakan Kelas sebagai Pengembangan
Sarwono,
Jonathan.
Korelasi.
Profesi Guru. Jakarta: Rajawali Press.
http://jonathansarwono.info/korelasi/korelasi
Kustiningsih.
2010.
Optimalitation
the
.htm, diakses pada 10 April 2016; 16:45
Undestanding of Mathematics Content
using Learning Model Barter. Prosiding Sugiyono, 2015. Metode Penelitian Pendidikan
(Pendekatan Kuantitatif, Kualitatif, dan
Seminar Nasional Matematika dan
R&D).Alfabeta. Bandung.
Pendidikan Matematika.
Linto, R., dkk. 2012. Kemampuan Koneksi
Matematis dan Metode Pembelaran
Quantum Teaching dengan Peta Pikiran.
620
Prosiding Seminar Nasional Matematika dan Pendidikan Matematika. “Internalisasi Nilainilai Berpikir Matematis Dalam Peranannya di Era Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA)”
PENERAPAN PEMBELAJARAN THINKING ALOUD PAIR
PROBLEM SOLVING (TAPPS) UNTUK MENINGKATKAN
KEMAMPUAN KOMUNIKASI MATEMATIS SISWA SMP
Norliyana
Sekolah Pascasarjana Universitas Pendidikan Indonesia Bandung
[email protected]
Abstrak
Penelitian ini bertujuan untuk menelaah peningkatan kemampuan komunikasi matematis dan siswa
yang belajar dengan pembelajaran TAPPS dan siswa yang belajar dengan pembelajaran langsung.
Penelitian ini merupakan kuasi eksperimen dengan desain kelompok komtrol non-ekuivalen.
Populasinya adalah seluruh siswa kelas VII salah satu SMP Negeri di Kabupaten Banjar dengan
mengambil sampel siswa kelas VII SMP Negeri 3 Kertak Hanyar, Kabupaten Banjar. Kelas
eksperimen diberi perlakuan dengan pembelajaran TAPPS dan kelas kontrol menggunakan
pembelajaran yang biasa digunakan guru di kelas yaitu pembelajaran langsung. Masalah yang
diteliti yaitu peningkatan kemampuan komunikasi matematis siswa. Instrumen yang digunakan
adalah tes kemampuan komunikasi matematis. Analisis kuantitatif menggunakan uji-t dan uji MannWhitney. Sedangkan analisis kualitatif dilakukan secara deskriptif. Berdasarkan analisa data yang
diperoleh dalam penelitian ini, diperoleh bahwa kemampuan komunikasi matematis siswa yang
belajar dengan pembelajaran TAPPS lebih tinggi dibandingkan siswa yang belajar dengan
pembelajaran langsung.
Kata Kunci: kemampuan komunikasi matematis, pembelajaran TAPPS, pembelajaran langsung
1.
PENDAHULUAN
Komunikasi matematis merupakan suatu
cara bagi siswa untuk bertukar ide dan
merepresentasikan pemahaman matematis
mereka. Melalui komunikasi matematis, siswa
dapat menyampaikan apa yang ia pikirkan dan
mengungkapkan hasil penalarannya.
Hal
ini sejalan dengan pendapat
Sumarmo
(2013) yang menyatakan bahwa komunikasi
matematis merupakan alat untuk bertukar ide
dan pemahaman matematis siswa. Oleh karena
itu, menurut NCTM (2000) kemampuan
komunikasi matematis
perlu menjadi
fokus perhatian
dalam pembelajaran
matematika.
Karena melalui
komunikasi
matematis
siswa
dapat
mengorganisasi dan mengkonsolidasi berpikir
matematis,
menyampaikan
pemikiran
matematika secara koheren, menganalisis dan
mengevaluasi strategi dan berpikir matematis
yang lain, dan dapat mengeksplorasi ide-ide
matematis.
Kimberly (2008) menyatakan bahwa
komunikasi memiliki kaitan erat
dengan
proses pembelajaran. Dalam hal
ini,
komunikasi
matematis
menjadi
kemampuan dasar yang penting dalam
pembelajaran
matematika,
karena
melalui komunikasi matematis
siswa
memiliki kemampuan untuk mengaplikasikan
dan mengeskpresikan pemahaman tentang
konsep dan
proses matematis yang
mereka pelajari. Selain itu, melalui
komunikasi matematis
siswa dapat
mengorganisasikanberpikir matematisnya baik
itu secara lisan maupun tulisan.
Barody (1993) menyatakan bahwa terdapat
paling tidak dua alasan mengapa kemampuan
komunikasi matematis penting dikembangkan
dalam diri siswa. Pertama, mathematics is
language, yang berarti matematik tidak hanya
sekedar alat bantu berpikir, alat untuk
menemukan pola,
menyelesaikan masalah atau mengambil
keputusan.
Namun,
matematika
juga
Pendidikan Matematika Universitas Muhammadiyah Purworejo ,
Ruang Seminar UMP, Sabtu, 28 Mei 2016
621
merupakan alat yang bernilai untuk
mengomunikasikan berbagai ide dengan jelas,
tepat dan cermat. Kedua, mathematics
learning as social activity, artinya sebagai
aktivitas
sosial
dalam
pembelajaran
matematika, juga sebagai wahana interaksi
antar siswa, dan juga komunikasi antara guru
dan siswa.
Pentingnya kemampuan komunikasi
matematis dalam pembelajaran matematika
pada kenyataannya tidak didukung oleh
kondisi di lapangan. Siswa masih belum
memiliki kemampuan komunikasi matematis
sesuai dengan yang diharapkan. Qohar (2010)
dalam penelitiannya menyatakan bahwa
kemampuan komunikasi matematis siswa
masih kurang, baik dalam melakukan
komunikasi secara lisan maupun tulisan.
Hestaliana (2015) menyatakan bahwa
siswa masih lemah dalam komunikasi
matematis.
Jika
diberikan
masalah
yang
tidak
rutin,
siswa
kesulitan
dalam
menyampaikan
ide
dan
mengomunikasikan masalah yang tidak biasa
mereka dapatkan. Siswa belum mampu
menyampaikan ide permasalahan yang
diberikan sehingga mereka tidak mampu
menyelesaikan permasalahan tersebut.
Penelitian
Nurningsih
(2013)
mengungkapkan bahwa respon siswa terhadap
soal-soal komunikasi matematis secara umum
masih kurang. Hal ini dikarenakan soal-soal
pemecahan
masalah
dan
komunikasi
matematis masih jarang diberikan. Demikian
pula penelitian yang dilakukan oleh oleh
Fachrurazi (2011), Izzati dan Suryadi (2012)
mengungkapkan bahwa rata-rata kemampuan
komunikasi matematis siswa berada pada
kualifikasi kurang (rendah).
Pemilihan pembelajaran yang tepat
menjadi sesuatu yang penting dalam rangka
memaksimalkan kemampuan komunikasi
matematis siswa. Hudiono (2005) menyatakan
622
bahwa rendahnya kemampuan komunikasi
matematis bisa dikarenakan pembelajaran
dengan cara biasa belum memungkinkan
untuk
mengembangkan
kemampuan
komunikasi matematis siswa. Suyadi (2013)
menyatakan bahwa pembelajaran yang aktif
dapat memberikan motivasi bagi siswa secara
lebih maksimal sehingga dapat menghindarkan
peserta didik dari sifat malas, mengantuk,
melamun, dan sejenisnya. Pembelajaran ini
bertujuan memberikan kesempatan kepada
siswa untuk berdiskusi bersama siswa yang
lain. Oleh karena itu, dibutuhkan pembelajaran
aktif yang dapat memicu aktifitas siswa secara
lebih maksimal dalam pembelajaran.
Pembelajaran aktif yang diharapkan
mampu
meningkatkan
kemampuan
komunikasi matematis dalah Thinking Aloud
Pair Problem Solving (TAPPS). TAPPS
diartikan
sebagai
pembelajaran
yang
menyelesaikan masalah berpasangan secara
lisan. TAPPS merupakan kombinasi dari
thinking aloud dan teachback techniques.
Jonassen, et al (2003) menyatakan bahwa
TAPPS tidak hanya melihat pemahaman siswa
melalui cara berfikirnya dalam memecahkan
masalah. Tetapi juga melaui cara mengerjakan
kembali apa yang telah mereka pelajari kepada
orang lain.
Aktivitas TAPPS dilakukan dalam
kelompok kecil yang heterogen. Hal ini
memungkinkan terjadinya interaksi yang
positif antar siswa sehingga merasa lebih
nyaman dan percaya diri dalam menyelesaikan
masalah-masalah matematis. Rosyana (2013)
menyebutkan bahwa dalama TAPPS, siswa
yang berpasangan menerima sejumlah
masalah, dimana salah satu siswa berperan
sebagai problem solver yang memecahkan
masalah dan menyampaikan semua gagasan
dan pemikirannya kepada pasangannya,
sedangkan siswa yang lain berperan sebagai
listener yang mengikuti dan mengoreksi
dengan cara mendengarkan seluruh proses
Prosiding Seminar Nasional Matematika dan Pendidikan Matematika. “Internalisasi Nilainilai Berpikir Matematis Dalam Peranannya di Era Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA)”
problem solver. Setelah menyelesaikan
masalah, kemudian bertukar peran sehingga
semua siswa memperoleh kesempatan menjadi
problem solver dan listener.
Berdasarkan kondisi di atas maka dirasa
perlu untuk melakukan penelitian terhadap
efektivitas penerapan pembelajaran TAPPS
dalam meningkatkan kemampuan komunikasi
matematis siswa SMP. Adapun tujuan dari
penelitian ini adalah untuk mengetahui apakah
peningkatan komunikasi matematis siswa yang
belajar dengan pembelajaran TAPPS lebih
tinggi dibandingkan siswa yang belajar dengan
pembelajaran langsung.
2.
kemampuan seseorang menggambarkan proses
pemecahan masalah dan menggambarkan
pemikiran mereka tentang proses pemecahan
masalah tersebut; (2) komunikasi dalam
matematika,
kemampuan
menggunakan
bahasa dan simbol-simbol matematika yang
telah disepakati bersama; (3) komunikasi
dengan
matematika,
kemampuan
menggunakan matematika sebagai alat
pemecahan masalah dan mencari makna dari
masalah-masalah tersebut.
KAJIAN LITERATUR DAN
PEGEMBANGAN HIPOTESIS
a. Komunikasi Matematis
Komunikasi dapat diartikan sebagai suatu
peristiwa saling menyampaikan informasi dari
komunikator kepada komunikan dalam suatu
komunitas. Berkomunikasi dalam matematika
memiliki peran yang cukup penting mencakup
keterampilan atau kemampuan membaca,
menulis, menelaah dan merespon suatu
informasi. Sedangkan komunikasi matematis
menurut Yeager dan Yeager (2008) adalah
kemampuan
untuk
mengomunikasikan
matematika baik secara lisan, visual, maupun
dalam bentuk tertulis dengan menggunakan
kosakata matematika yang tepat dan berbagai
representasi yang sesuai, serta memperhatikan
kaidah-kaidah matematis.
Los Angeles County Office of Education
(LACOE) (Mahmudi, 2009) menyatakan
bahwa komunikasi matematis mencakup
komunikasi tertulis maupun lisan atau verbal.
Komunikasi tertulis dapat berupa penggunaan
kata-kata, gambar, tabel, dan sebagainya yang
menggambarkan proses berpikir siswa.
komunikasi tertulis juga dapat berupa uraian
pemecahan
masalah
atau
pembuktian
matematika
yang
menggambarkan
kemampuan siswa dalam mengorganisasi
berbagai konsep untuk menyelesaikan
masalah.
Brunner (1998) menyatakan bahwa
komunikasi matematis terdiri dari tiga aspek.
Ketiga aspek itu adalah (1) komunikasi
tentang
matematika,
menunjukkan
NCTM (2000) mengemukakan bahwa
komunikasi matematis adalah kemampuan
siswa dalam hal: (a) mengorganisasikan
dan
mengonsolidasikan
pemikiran
matematis mereka melalui komunikasi;
(b)
mengomunikasikan
(menyampaikan)
pemikiran matematis mereka secara jelas dan
terarah kepada teman, guru, atau orang lain;
(c) menganalisis dan mengevaluasi pemikiran
matematis dan strategi yang dibuat orang lain;
(d) menggunakan bahasa matematika untuk
mengungkapkan ide matematika dengan tepat.
Jadi, dalam pembelajaran matematika,
ketika sebuah konsep informasi matematika
diberikan oleh seorang guru kepada siswa
ataupun siswa dilibatkan secara aktif dalam
mengerjakan matematika, memikirkan ide-ide
mereka, menulis atau berbicara dengan dan
mendengarkan siswa lain. Maka, saat itu
sedang terjadi transfer informasi dari
komunikator kepada komunikan atau dapat
dikatakan
sedang
terjadi
komunikasi
matematis.
Pendidikan Matematika Universitas Muhammadiyah Purworejo ,
Ruang Seminar UMP, Sabtu, 28 Mei 2016
623
b. Thinking Aloud Pair Problem Solving
(TAPPS)
Thinking Aloud Pair Problem Solving
(TAPPS) diperkenalkan oleh Claparade yang
kemudian digunakan oleh Bloom dan Broder
dalam penelitiannya untuk meneliti proses
pemecahan masalah pada siswa SMA.
Kemudian Arthur Wimbey dan Jack Lochead
(Stice, 1996) telah mengembangkan model ini
pada pengajaran fisika dan matematika.
TAPPS merupakan salah satu jenis dari
pembelajaran kolaboratif, karena melibatkan
siswa yang berkolaborasi. TAPPS dapat
membantu siswa berpikir tingkat tinggi dalam
memformulasikan gagasan, melatih konsep,
memahami susunan langkah dalam suatu
pengerjaan yang mendasari pemikiran mereka,
dan mengidentifikasi kesalahan dari penalaran
orang lain. Menurut Barkley, Cross dan Major
(2012), “TAPPS juga dapat mendorong
terbentuknya pemahaman yang lebih dalam
dan lebih lengkap”.
Siswa pada pembelajaran TAPPS dibagi
kedalam kelompok-kelompok yang mana
setiap kelompoknya terdiri dari 2 orang
(berpasangan). Satu orang sebagai sebagai
problem solver dan satu orang lagi menjadi
listener. Setiap angota tim memiliki tugas
masing-masing yang akan mengikuti aturan
tertentu (Stice, 1996). Guru mengarahkan
siswa sesuai prosedur yang ditentukan.
Problem solver membacakan soal lalu
mengungkapkan semua hal yang terpikirkan
untuk menyelesaikan masalah dalam soal
tersebut. Listener mengamati langkah yang
diambil problem solver dan menunjukkan bila
terjadi kesalahan tetapi tidak menyebutkan
letak kesalahannya dan listener berusaha untuk
tidak menyelesaikan permasalahan problem
solver. Seorang problem solver mempunyai
tugas untuk membaca soal
dan
kemudian dilanjutkan dengan mengungkapkan
semua hal yang terpikirkan baik berupa
gagasan maupun ide untuk menyelesaikan
624
masalah dalam soal tersebut, mengungkapkan
semua tahap-tahap yang akan dilakukan untuk
memecahkan masalah jangan sampai ada yang
terlewat dari yang kecil, mudah, jelas atau
yang tidak penting untuk diungkapkan,
misalnya: apa yang akan dilakukan, kapan,
mengapa, dan bagaimana, mengemukakan
semua pikiran yang digunakan saat
menyelesaikan masalah.
Seorang
listener
bertugas
untuk
membantu problem solver melihat apa yang
mereka kerjakan, ini berarti seorang listener
harus
membuat
problem
solver
mengungkapkan apa yang problem solver
lakukan. Seorang listener tidak boleh
memberikan jawaban permasalahan yang
sedang dipecahkan oleh problem solver.
Listener memiliki tugas untuk ikut berpikir
bersama problem solver, mengikuti setiap
tahap dan mengerti setiap tahap tersebut.
Setelah problem solver mengidentifikasi dan
mendefinisikan istilah, variabel, aturan dan
prosedur yang penting kemudian yakinkan
apakah problem solver telah melakukan semua
tahapan dengan benar. Jika listener
menemukan kesalahan yang dibuat oleh
problem solver hindarkan untuk mengoreksi,
bantu problem solver memecahkan masalah
dengan cara memberikan pertanyaan penuntun
yang mengarah pada jawaban yang benar.
Peran guru di kelas sangatlah terbatas,
biasanya guru hanya mengamati di antara
pasangan siswa, memonitor aktivitas mereka
dan memberikan perhatian khusus kepada
listener. Selain itu guru dapat berkeliling
memonitor seluruh kelompok dan melatih
listener mengajukan pertanyaan. Hal ini
diperlukan karena keberhasilan TAPPS akan
tercapai bila listener berhasil membuat
problem solver memberikan alasan dan
menjelaskan apa yang mereka lakukan untuk
memecahkan masalah, guru dapat membantu
kelompok tersebut dengan menjadi listener.
Prosiding Seminar Nasional Matematika dan Pendidikan Matematika. “Internalisasi Nilainilai Berpikir Matematis Dalam Peranannya di Era Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA)”
c. Hipotesis Penelitian
Hipotesis yang ingin diuji pada penelitian
ini adalah sebagai berikut:
Peningkatan komunikasi matematis siswa
yang belajar dengan pembelajaran TAPPS
lebih tinggi dibandingkan siswa yang belajar
dengan pembelajaran langsung.
3.
METODE PENELITIAN
Penelitian ini dilaksanakan di SMP
Negeri 3 Kertak Hanyar yang beralamat di Jl.
A. Yani Km.8.200 Kertak Hanyar Kabupaten
Banjar Kalimantan Selatan. Populasi dalam
penelitian ini adalah seluruh siswa pada salah
satu SMP Negeri di Kabupaten Banjar. Sampel
dalam penelitian ini siswa kelas VII SMP
Negeri 3 Kertak Hanyar yang diambil dengan
teknik Purposive Sampling.
Jenis penelitian yang digunakan adalah
penelitian kuasi eksperimen. Sementara
Desain penelitian yang digunakan dalam
penelitian ini adalah non-equivalent control
group design (Ruseffendi, 2005). Desain
tersebut digambarkan sebagai berikut.
instrumen tes. Instrumen tes berupa
seperangkat soal yang mengukur kemampuan
komunikasi matematis siswa. Selain itu juga
diberikan bahan ajar berupa LKS yang
digunakan oleh kelas eksperimen.
Sebelum peneltian dilakukan, peneliti
terlebih dahulu melakukan uji coba instrumen
soal kemampuan komunikasi matematis yang
diberikan pada siswa kelas VIII SMP Negeri 3
Kertak Hanyar. Uji coba ini bertujuan untuk
mengetahui validitas dan reliabilitas tiap butir
soal yang akan digunakan sebagai alat ukur
kemampuan komunikasi matematis. Selain itu
instrumen juga divalidasi oleh dosen
pembimbing dan guru yang bersangkutan agar
instrumen layak untuk digunakan.
Data kemampuan komunikasi matematis
dikumpulkan melalui prates dan pascates.
Prates diberikan kepada kelas eksperimen dan
kelas kontrol sebelum diberi perlakuan.
Pascates diberikan setelah kedua kelas
mendapatkan perlakuan. Analisis kuantitatif
menggunakan uji-t dan uji Mann-Whitney.
Sedangkan analisis kualitatif dilakukan secara
deskriptif.
Definisi operasional dalam penelitian ini
meliputi
Variabel dalam penelitian ini melibatkan
dua jenis variabel yang terdiri dari variabel
bebas dan terikat. Adapun yang merupakan
variabel bebas adalah pembelajaran TAPPS,
variabel
terikatnya
yaitu
kemampuan
komunikasi matematis. Instrumen yang
didigunakan dalam penelitian ini yaitu
a. Think Aloud Pair Problem Solving
(TAPPS)
TAPPS adalah pembelajaran melibatkan
kelompok heterogen yang terdiri atas dua
orang siswa yang saling bekerja sama dalam
menyelesaikan suatu masalah. Dimana salah
satu siswa berperan sebagai problem solver
yang
memecahkan
masalah
dan
menyampaikan
semua
gagasan
dan
pemikirannya kepada pasangannya, sedangkan
siswa yang lain berperan sebagai listener yang
mengikuti dan mengoreksi dengan cara
mendengarkan seluruh proses problem solver.
Setelah menyelesaikan masalah, kemudian
bertukar peran sehingga semua siswa
memperoleh kesempatan menjadi problem
solver dan listener dan guru bertugas
Pendidikan Matematika Universitas Muhammadiyah Purworejo ,
Ruang Seminar UMP, Sabtu, 28 Mei 2016
625
mengarahkan siswa sesuai prosedur yang
ditentukan dan guru dapat membantu
kelompok tersebut dengan menjadi listener.
b. Komunikasi Matematis
Kemampuan komunikasi yang dimaksud
dalam penelitian ini adalah kemampuan
komunikasi siswa secara tertulis yang
mencakup kemampuan representasi dan
menulis dengan indikator kemampuan (1)
menyatakan suatu situasi, gambar, diagram
atau benda nyata ke dalam bahasa simbol, ide,
atau model matematika; (2) mengekspresikan,
mendemonstrasikan dan melukiskan ide-ide
matematika ke dalam bentuk gambar, tabel,
grafik atau model matematika lain.
4.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Tabel 1
Deskripsi Statistik Kemampuan Komunikasi
Matematis
Kelas
Prates
Pascates
s
s
N-G
s
Eksperimen 3.38 2.60 14.58 4.23 0.47 2.77
Kontrol
2,54 2,23 11,00 3,08 0,30 0,09
Skor Maksimum Ideal = 40
Skor N-Gain antara kedua kelompok
pembelajaran digambarkan juga secara grafik
pada gambar di bawah ini.
1) Hasil Penelitian
Penelitian ini melibatkan 48 siswa dimana
24 siswa pada kelas eksperimen yang belajar
dengan pembelajaran TAPPS dan 24 siswa
pada kelas kontrol yang belajar dengan
pembelajaran langsung.
Data pada penelitian ini diperoleh melalui
hasil tes kemampuan komunikasi matematis
yang dilaksanakan pada awal dan akhir
pembelajaran berupa prates dan pascates untuk
kemampuan komunikasi matematis. Setelah
skor prates dan pascates diperoleh maka
dihitunglah nilai gain ternormalisasi (N-Gain)
kemampuan komunikasi matematis dari kedua
kelas tersebut. Rata-rata N-Gain yang
diperoleh
menggambarkan
peningkatan
kemampuan komunikasi matematis siswa
kelas eksperimen dan kelas kontrol.
Hasil prates, pascates dan
dideskripsikan sebagai berikut.
626
N-Gain
Gambar 1. Perbandingan N-Gain
Komunikasi Matematis
a. Analisis skor Prates Kemampuan
komunikasi Matematis
Analisis
skor
prates
kemampuan
komunikasi matematis menggunakan uji
perbedaan rata-rata prates. Hal ini dilakukan
untuk mengetahui apakah terdapat perbedaan
yang signifikan atau tidak antara kelas
eksperimen dan kelas kontrol untuk
kemampuan
komunikasi
matematis.
Sebelumnya dilakukan terlebih dahulu uji
Prosiding Seminar Nasional Matematika dan Pendidikan Matematika. “Internalisasi Nilainilai Berpikir Matematis Dalam Peranannya di Era Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA)”
normalitas
data
prates
melalui
uji
Shapiro-Wilk
dan dihitung menngunakan
SPSS21 yang dapat dilihat pada tabel di bawah
ini.
tabel berikut.
Tabel 3
Hasil Uji Perbedaan Rata-rata Data Prates
SKOR
Tabel 2
Asymp Sig (2-tailed)
0,260
Uji Normalitas Prates
Kelas
Sig.
Eksperimen 0,001
Kontrol
0,000
Kesimpulan
Tidak normal
Tidak normal
Kedua data pada kelas eksperimen dan
kelas kontrol berdistribusi tidak normal maka
pengujian hipotesis menggunakan uji hipotesis
non-parametrik Mann-Whitney.
Hipotesis penelitian yang akan diuji adalah.
“Tidak terdapat perbedaan rata-rata skor prates
komunikasi matematis siswa yang belajar
dengan pembelajaran TAPPS dan siswa yang
belajar dengan pembelajaran biasa.”
Hipotesis
H0
: μe = μk
H1
: μe  μk
Berdasarkan uji Mann-Whitney yang telah
dilakukan, diperoleh nilai Sig. (2-tailed) =
0,260> α = 0,05 sehingga hipotesis H0
diterima, artinya tidak terdapat perbedaan
antara skor prates komunikasi matematis siswa
antara kelas eksperimen dan kelas kontrol pada
taraf signifikansi α = 0,05.
b. Analisis N-Gain Komunikasi Matematis
Rata-rata
N-Gain
menggambarkan
peningkatan komunikasi matematis siswa yang
belajar dengan pembelajaran TAPPS dan
pembelajaran biasa. Uji statistik diperlukan
untuk membuktikan hipotesis, sehingga perlu
dilakukan uji prasyarat yaitu uji normalitas
dan uji homogenitas terhadap N-Gain kedua
kelas tersebut. Secara ringkas hasil pengujian
normalitas dapat dilihat sebagai berikut.
Keterangan:
μe
:
rata-rata skor prates komunikasi
matematis siswa yang belajar dengan
pembelajaran TAPPS
Tabel 4
Uji Normalitas N-Gain
μk
:
rata-rata skor prates komunikasi
matematis siswa yang belajar dengan
pembelajaran langsung
Kelas
Sig.
Eksperimen 0,303
Kontrol
0,078
Kesimpulan
Normal
Normal
Hasilnya secara ringkas dapat dilihat pada
Pendidikan Matematika Universitas Muhammadiyah Purworejo ,
Ruang Seminar UMP, Sabtu, 28 Mei 2016
627
Berdasarkan pada tabel di atas data
berdistribusi normal maka dilakukan uji
homogenitas yang diringkas sebagai berikut.
Tabel 6
Hasil Uji Perbedaan Rata-rata N-Gain
Komunikasi Matematis
Tabel 5
Uji Homogenitas N-Gain
Hasil
<g>
Sig.
Kesimpulan
0,001 Tidak homogen
t-test for Equality of
Means
(variances not assumed)
Sig.2-tailed)
0,000
Hasil yang disajikan pada tabel 5, nilai
Sig. = 0,001 < α = 0,05 yang berarti hipotesis
ditolak. Hal ini menunjukkan bahwa N-Gain
kemampuan komunikasi matematis berasal
dari populasi bervariansi tidak homogen
sehingga dilanjutkan dengan uji t’.
Hipotesis penelitian yang diajukan adalah.
“Peningkatan komunikasi matematis siswa
yang belajar dengan pembelajaran TAPPS
lebih tinggi secara signifikan dibandingkan
siswa yang belajar dengan pembelajaran
biasa.”
Hipotesis
H0 : μe ≤ μk
H1 : μe μk
Keterangan
μe : rata-rata N-Gain komunikasi matematis
siswa yang belajar dengan pembelajaran
TAPPS
μk : rata-rata N-Gain komunikasi matematis
siswa yang belajar dengan pembelajaran
biasa
Adapun hasil uji t’ dapat dilihat secara ringkas
pada tabel berikut.
628
Keterangan
H0 ditolak
Hasil uji t’ menunjukkan bahwa nilai Sig.
(2-tailed) yaitu 0,000 < α = 0,05 sehingga H0
ditolak. Jadi, dapat disimpulkan bahwa
peningkatan komunikasi matematis siswa yang
belajar dengan pembelajaran TAPPS lebih
tinggi secara signifikan dibandingkan siswa
yang belajar dengan pembelajaran langsung.
2) Pembahasan
Kondisi awal siswa yang digambarkan
dengan hasil prates menunjukkan bahwa ratarata hasil kemampuan komunikasi matematis
siswa masih rendah pada kedua kelas. Selain
itu, hal ini menujukkan bahwa kemampuan
awal kedua kelas relatif sama.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa
terdapat peningkatan nilai siswa yang
menggunakan pembelajaran TAPPS sebesar
0,47 yang berarti berada pada kategori sedang.
Sementara untuk kelas kontrol peningkatannya
sebesar 0,30 yang masih berada pada kategori
rendah. Hal ini menunjukkan bahwa
peningkatan untuk kelas eksperimen lebih
tinggi dibandingkan kelas kontrol.
Hasil yang telah didapat menunjukkan
bahwa pembelajaran dengan TAPPS dapat
meningkatkan
kemampuan
komunikasi
matematis siswa. Peningkatan ini dikarenakan
Prosiding Seminar Nasional Matematika dan Pendidikan Matematika. “Internalisasi Nilainilai Berpikir Matematis Dalam Peranannya di Era Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA)”
Karakteristik pembelajaran TAPPS itu sendiri
dimana siswa dituntut untuk berpikir keras
secara berpasangan
dalam menyelesaikan
masalah.
Masalah yang diberikan dapat
melatih siswa dalam melakukan kebiasaankebiasaan matematis yang akan berpengaruh
kepada kemampuan tingkat tinggi siswa.
Kemampuan
yang
dimaksud
seperti
membiasakan
untuk
dapat
mengkomunikasikan
sesuatu
yang
memunculkan
ungkapan-ungkapan
dari
gagasan atau ide-ide matematis yang
ditampilkan siswa dalam upaya mencari solusi
dari masalah yang sedang dihadapinya.
Hartman (1998) mengungkapkan bahwa
metode TAPPS ini telah menjadi suatu cara
yang popular untuk membantu siswa
memikirkan pemecahan dari suatu masalah.
Ini merupakan suatu pemikiran tingkat tinggi,
metode ini juga dapat memonitor siswa
sehingga siswa dapat mengetahui apa yang
dipahami dan apa yang belum dipahaminya.
Pada pembelajaran TAPPS ini guru dapat
mengajarkan kepada siswa untuk memecahkan
masalah,
khususnya
bagaimana
untuk
memecahkan masalah secara berpasangan dan
juga bagaimana untuk berpikir keras serta
menyuarakan pikirannya dalam memecahkan
suatu masalah.
Hasil penelitian di atas menunjukkan
bahwa pembelajaran TAPPS memberikan
peran yang berarti dalam meningkatkan
kemampuan komunikasi matematis. Siswa
belajar matematika melalui LKS yang
diberikan
dan
mengkonstruksi
sendiri
kemampuanya sesuai dengan indikator dalam
pembelajaran TAPPS tersebut.
Pembelajaran berkelompok berpasangan
ini sesuai untuk siswa, karena berdasarkan
pengalaman peneliti sebagai guru, kelompok
yang lebih dari dua orang siswa kurang efisien
dalam pelaksanaannya untuk menyampaikan
ide matematis yang mereka peroleh. Oleh
karena itu, berdasarkan analisis data hasil
penelitian,
diketahui
bahwa
metode
pembelajaran TAPPS ini memberikan
peningkatan hasil belajar siswa. Hal ini
ditunjukkan dengan adanya perbedaan ratarata skor gain ternormalisasi kemampuan
komunikasi matematis yang diperoleh siswa
pada kelompok eksperimen dan kelompok
kontrol setelah diberikan perlakuan. Dimana
hasil pada kelas eksperimen lebih tinggi secara
signifikan dibandingkan kelas kontrol.
5. KESIMPULAN
Berdasarkan
hasil
penelitian
dan
pembahasan yang telah dikemukakan dapat
disimpulkan bahwa peningkatan kemampuan
komunikasi matematis siswa yang belajar
dengan pembelajaran TAPPS lebih tinggi
dibandingkan siswa yang belajar dengan
pembelajaran langsung.
6. REFERENSI
Baroody, A.J. (1993). Problem Solving,
Reasoning, and Communicating, K-8
Helping Children Think Mathematically.
New York: Macmillan Publishing
Company.
Fachrurazi.(2011). “Penerapan Pembelajaran
Berbasis Masalah untuk Meningkatkan
Kemampuan
Berpikir
Kritis
dan
Komunikasi Matematis Siswa Sekolah
Dasar”. Jurnal UPI.[online]. Vol 1,
halaman 76.
Hartman. (1998). Improving Student’s
Problem
Solving
Skills
[Online].
Tersedia:http://www.ccny.cuny.edu/ctl/ha
ndbook/hartman.html [16 Desember
2006].
Hestaliana.
A.
(2015).
Meningkatkan
Kemampuan
Pemecahan
Masalah,
Komunikasi, Dan Self Regulation
Matematis Melalui Penerapan Model
Pendidikan Matematika Universitas Muhammadiyah Purworejo ,
Ruang Seminar UMP, Sabtu, 28 Mei 2016
629
Pembelajaran
Reciprocal
Teaching
Berbasis Saintifik Pada Siswa SMP. Tesis
SPs UPI Bandung: Tidak diterbitkan.
Hudiono. (2005). Peran Pembelajaran
Diskursus Multirepresentasi Terhadap
Perkembangan Kemampuan Matematik
dan Daya Representasi pada Siswa SLTP.
Tesis SPs UPI Bandung: Tidak
diterbitkan.
Izzati, N dan Suryadi, D. (2010). Komunikasi
Rosyana, T. (2013). Strategi Thinking Aloud
Pair Problem Solving (TAPPS) untuk
Meningkatkan Kemampuan Kelancaran
Berprosedur dan Kompetensi Strategis
Matematis Siswa SMP. Tesis SPs UPI
Bandung: Tidak diterbitkan.
Suyadi. (2013). Strategi Pembelajaran
Pendidikan Karakter. Bandung: Remaja
Rosdakarya.
Matematik dan Pendidikan Matematika
Realistik. Makalah Seminar Nasional
Matematika dan Pendidikan Matematika.
UNY. Yogyakarta.
Stice, J. E. (1996). Teaching Problem Solving.
Article. Austin:
The
University
of
Texas.
Tersedia:
http://inst.eecs.berkeley.edu/~ee301/fa13/
Readings/teaching_problem_solving_stic
e.pdf
Mahmudi, A. 2009. “Komunikasi dalam
Pembelajaran Matematika”. Makalah
Termuat
pada
Jurnal
MIPMIPA
UNHALU/ Vol.8 No.1
Yeager, A. dan Yeager, R. (2008. Teaching
through the Mathematical Processe.
[Online].
Tersedia:
gainscamppp.wikispaces.com [17 Juni 2009]
National Council of Teacher of Mathematics
(NCTM).
(2000).
Principles
and
Standards for School Mathematics.
Reston, VA: NCTM.
Nurningsih. 2013. Meningkatkan Kemampuan
Komunikasi
Dan
Berpikir
Kritis
Matematis
Siswa
SMP
Melalui
Pembelajaran Berbasis Masalah Dengan
Strategi
Teams
Assisted
Individualization. Tesis
SPs UPI
Bandung: Tidak diterbitkan.
Qohar,
Abdul.
(2010).
Developing
Mathematical
Undrestanding,
Mathematical
Connection
and
Mathematics Self Regulated Of Secondary
School Students Using Reciprocal
Teaching. Disertasi SPs UPI Bandung:
Tidak diterbitkan.
Ruseffendi, E. T. (2005). Dasar-dasar
Penelitian Pendidikan dan Bidang NonEksakta Lainnya. Bandung : Tarsito.
630
Prosiding Seminar Nasional Matematika dan Pendidikan Matematika. “Internalisasi Nilainilai Berpikir Matematis Dalam Peranannya di Era Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA)”
MENINGKATKAN KEMAMPUAN KOMUNIKASI MATEMATIS SISWA MELALUI
PEMBELAJARAN KOOPERATIF TIPE TWO STAY TWO STRAY
1
Budiono1, Sugeng Sutiarso2.
Pascasarjana Pendidikan Matematika, Universitas Lampung
[email protected]
Abstrak
Artikel ini merupakan hasil kajian tentang pembelajaran kooperatif tipe two stay two stray yang
dapat meningkatkan kemampuan komunikasi matematis siswa. Komunikasi adalah istilah yang
sering didengar dalam kehidupan sehari-hari. Kemampuan komuniasi matematis merupakan salah
satu kemampuan yang harus dimiliki siswa karena komunikasi merupakan bagian yang sangat
penting pada proses pembelajaran matematika. Kemampuan komunikasi merupakan kemampuan
siswa dalam menyampaikan ide/gagasan matematika baik melalui tulisan dengan simbol-simbol,
garfik atau diagram untuk menjelaskan masalah informasi yang diperoleh. Komunikasi matematis
dalam pembelajaran dapat ditimbulkan dalam pembelajaran berkelompok seperti pembelajaran
kooperatif. Pembeljaran kooperatif adalah pembelajaran dalam kelompok-kelompok kecil yang
bertugas untuk memecahkan masalah yang diberikan oleh guru secara berkelompok. Pembelajaran
kooperatif menuntut siswa turut serta aktif dalam pembelajran dikelas, selain itu mengajarkan siswa
untuk menerima perbedaan yang terdapat dalam kelompok. Terdapat banyak model pembelajaran
kooperatis diantaranya adlah pembelajaran kooperatif tipe TSTS. Pembelajaran TSTS adalah model
pembelajran kooperatif yang terdri dari empat orang dengan konsep dua tinggal dan dua berkunjung.
Pembelajaran TSTS terdiri dari beberapa tahapan sebagai berikut;(1) persiapan,(2) presentasi guru,
(3)kegiatan kelompok,(4) formalisai, dan (5) evaluasi kelompok dan penghargaan. Dalam makalah
ini akan dipaparkan pengunaan pembelajaran kooperatif tipe TSTS untuk meningkatkann
kemampuan komunikasi matematis siswa dalam pembelajaran matematika.
Kata Kunci: Komunikasi Matematis, Kooperatif tipe TSTS
1.
PENDAHULUAN
Matematika merupakan salah satu ilmu
mata pelajaran matematika bertujuan agar
dasar bagi perkembangan dan peradaban
peserta didik mempunyai kemampuan untuk
manusia. Matematika juga sangat dibutuhkan
memahami konsep matematika, menggunakan
dalam menyelesaikan masalah yang terjadi
penalaran,
memecahkan
masalah,
dalam kehidupan sehari-hari. Pelajaran
mengkomunikasikan gagasan dengan simbol,
matematika perlu diberikan kepada semua
tabel, diagram atau media lain untuk
peserta didik mulai dari sekolah dasar hingga
memperjelas keadaan atau masalah serta
sekolah menengah. Sebagaimana disebutkan
memiliki sikap menghargai kegunaan matedalam Permendiknas Nomor 22 Tahun 2006,
matika dalam kehidupan. Untuk mencapai
bahwa mata pelajaran matematika perlu
tujuan pembelajaran matematika, salah satu
diberikan di setiap jenjang pendidikan untuk
aspek yang harus dikuasai adalah kemampuan
membekali peserta didik dengan kemampuan
komunikasi matematis.
berpikir logis, kritis, analitis, sistematis, dan
Dalam pembelajaran matematika, komunikasi
kreatif serta kemampuan bekerja sama. Sesuai memang sangat penting karena dalam pembelajaran
dengan tujuan pembelajaran matematika.
matematika siswa ditantang untuk berpikir dan
Tujuan pembelajaran matematika yang mengkomunikasikannya kepada siswa lain sehingga
dirumuskan kurikulum tingkat satuan pendi- mereka memahami. Selain itu, dalam pembelajaran
dikan (Depdiknas, 2006) menyatakan bahwa matematika juga terdapat banyak simbol yang dapat
Pendidikan Matematika Universitas Muhammadiyah Purworejo ,
Ruang Seminar UMP, Sabtu, 28 Mei 2016
631
digunakan untuk menyampaikan informasi. Kegiatan
ini menuntun siswa untuk mengekspresikan ide-ide
matematika ke dalam bahasa yang dapat dimengerti
sehingga siswa belajar untuk mengembangkan
kemampuan komunikasi matematis.
Namun faktanya, kemampuan matematis
siswa di Indonesia belum memuaskan berdasarkan
hasil survey TIMSS 2011 yang menunjukkan
kemampuan matematika Indonesia berada pada
urutan ke-38 dari 42 negara peserta dengan skor
rata-rata kelas VIII SMP 386 dan skor
internasionalnya adalah 500. Laporan hasil studi
TIMMS 2003 (Meliana: 2013) menyebutkan bahwa
Indonesia lemah dalam mengerjakan soal-soal yang
menuntut kemampuan pemecahan masalah, berargumentasi, dan berkomunikasi yaitu hanya 3,0 %
saja dari siswa yang menjawab benar sebagian,
sementara sisanya menjawab salah. Selain TIMMS,
survey terhadap kemampuan peserta didik secara
Internasional dilakukan oleh PISA 2009 dan
didapatkan bahwa Indonesia berada pada urutan ke
61 dari 65 negara dengan skor 371 dan Indonesia
berada di Level 1. Survey PISA dilakukan untuk
menilai kemampuan peserta didik di dalam
memecahkan masalah, kemampuan bernalar, dan
kemampuan berkomunikasi.
Untuk meningkatkan kemampuan komunikasi matematis siswa di kelas, guru harus
membantu siswa ketika mereka berbagi ide-ide
matematika dengan satu sama lain sehingga siswa
lain memahami. Selain itu guru juga harus
membentuk kelompok sehingga siswa bebas
memberikan
pendapat,
menanggapi,
dan
mengeskpresikan ide-ide matematika. Guru pula
harus menerapkan model pembelajaran yang tepat
untuk meningkatkan kemampuan komunikasi di
atas.
Salah satu model pembelajaran yang tepat
untuk meningkatkan kemampuan komunikasi
matematis siswa adalah model pembelajaran
kooperatif tipe Two Stay Two Stray (TSTS). Model
pembelajaran kooperatif tipe TSTS adalah model
pembelajaran
pengelompokkan
kecil
yang
beranggotakan empat orang dengan konsep “dua
tinggal dua berkunjung”. Model pembelajaran
632
kooperatif
tipe TSTS merupakan
model
pembelajaran yang menuntun siswa untuk aktif
dalam kegiatan pembelajaran di kelas, berpikir
kreatif, dan menerima serta membagikan hasil
diskusi kelompok kepada kelompok lain sehingga
mengembangkan sikap menerima perbedaan
pendapat anatar individu maupun kelompok.
Kemampuan komunikasi matematis
dalam pembelajaran kooperatif tipe TSTS
dapat dikembangkan melalui pengungkapan
ide-ide matematis mereka kepada anggota
kelompok mereka, kemudian mereka tuangkan
berbagai macam ide tersebut kedalam bentuk
tulisan atau ekspresi matematis. Setelah itu
kemampuan komunikasi pada model ini juga
dikembangkan saat siswa dikunjungi oleh
kelompok lain, saat inilah siswa dituntut untuk
membagikan atau mengkomunikasikan hasil
diskusi mereka kepada tamu mereka yang
datang. Kemampuan berinteraksi disini lebih
dikembangkan untuk meningkatkan kemampuan komunikasi matematis siswa.
Dari
tahapan-tahapan
tersebut
kemudian
akan
tercipta
kemampuan
komunikasi
matematis
siswa. Dengan
demikian, kemampuan komunikasi matematis
siswa
dapat
dikembangkan
memalui
pembelajaran kooperatif tipe TSTS
Rumusan Masalah
Berdasarkan uraian di atas, maka permasalahan yang dikaji dalam artikel adalah
1. Apa yang dimaksud dengan kemampuan
komunikasi matematis siswa?
2. Apa yang dimaksud dengan ko-operatif tipe
TSTS?
3. Bagaimana kooperatif tipe TSTS dapat
meningkatkanan kemampuan komunikasi
matematis siswa?
Tujuan
Tujuan penulisan artikel ini adalah
untuk mengetahui kemampuan komunikasi
matematis siswa, kooperatif tipe TSTS, dan
penggunaan kooperatif tipe TSTS untuk
Prosiding Seminar Nasional Matematika dan Pendidikan Matematika. “Internalisasi Nilainilai Berpikir Matematis Dalam Peranannya di Era Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA)”
meningkatkan kemampuan komuniksi
matematis siswa.
Manfaat
Sesuai dengan tujuan yang hendak
dicapai diharapkan berguna sebagai masukan
terhadap perkembangan pembelajaran
matematika terutama terkait kemampuan
komunikasi matematis siswa, kooperatuf tipe
TSTS dan penggunaan kooperatif tipe tsts
untuk meningkatkan kemampuan komunikasi
matematis siswa.
2. PEMBAHASAN
A. Komunikasi Matematis Siswa
Komunikasi adalah istilah yang sering
didengar dalam kehidupan sehari-hari.
Komunikasi merupakan suatu hubungan,
dimana dalam berkomunikasi tersirat adanya
interaksi. Interaksi tersebut terjadi karena ada
sesuatu yang dapat berupa informasi atau
pesan yang ingin disampaikan. Seperti yang
dikemukakan Wiryawan dan Noorhadi dalam
Wardani (2001) bahwa komunikasi diartikan
sebagai proses penciptaan arti terhadap
gagasan atau ide yang disampaikan.
Komunikasi merupakan cara berbagi
gagasan dan mengklasifikasikan pemahaman.
Melalui komunikasi, gagasan menjadi objekobjek refleksi, penghalusan, diskusi, dan
perombakan (Wahyudin, 2008).
Berelson & Steiner dalam Vardiansyah
(2005) mengemukakan bahwa “Komunikasi
adalah suatu proses penyampaian informasi,
gagasan, emosi, keahlian, dan lain-lain melalui
penggunaan simbol-simbol seperti kata-kata,
gambar-gambar, angka-angka, dan lain-lain”.
Berdasarkan uraian-uraian di atas,
disimpulkan bahwa komunikasi adalah usaha
penyampaian pesan, gagasan, atau informasi
dari komunikator kepada komunikan dan
sebaliknya. Komunikasi berperan dalam
proses pembelajaran termasuk pembelajaran
matematika.
Komunikasi merupakan bagian esensial
dalam matematika dan pendidikan matematis
(Turmudi, 2008). Dalam pembelajaran
matematika, siswa dituntut untuk memiliki
kemampuan. Sumarmo (Mustikawati, 2013)
mengemukakan
bahwa
kemampuan
matematika yang diharapkan dimiliki oleh
siswa
pada
jenjang
sekolah,
dapat
diklasifikasikan
dalam
lima
standar
kemampuan: a) mengenal, memahami dan
menerapkan konsep, prosedur, prinsip, dan ide
matematika; b) menyelesaikan masalah
matematis (mathematical problem solving); c)
bernalar matematis (mathematical reasoning);
d)
melakukan
koneksi
matematis
(mathematical
connection),
dan;
e)
komunikasi
matematis
(mathematical
communication).
Kemampuan komunikasi matematis
siswa merupakan salah satu kemampuan yang
sangat penting untuk dimiliki siswa dan
pendidik dalam kegiatan pembelajaran
matematika. Berdasarkan PISA (2012),
komunikasi merupakan salah satu dari tujuh
kemampuan
yang
diperlukan
dalam
pembelajaran matematika. Tujuh kemampuan
tersebut yaitu : a) communication; b)
mathematising;
c)
representation;
d)
reasoning and argument; e) devising
strategies; f) using symbolic, formal and
technical language and operations, dan; g)
using mathematical tools.
Menurut Greenes dan Schulman dalam
Sapa‟at (2006), komunikasi matematis
merupakan: a) kekuatan sentral bagi siswa
dalam merumuskan konsep dan strategi
matematis; b) modal keberhasilan bagi siswa
terhadap pendekatan dan penyelesaian dalam
eksplorasi dan investigasi matematis; c) wadah
bagi siswa dalam berkomunikasi dengan
temannya untuk memperoleh informasi,
membagi pikiran dan penemuan, curah
pendapat, menilai dan mempertajam ide untuk
meyakinkan yang lain.
Greenes dan Schulman dalam Ansari
(2003: 17) mengemukakan bahwa komunikasi
matematis adalah kemampuan menyatakan ide
Pendidikan Matematika Universitas Muhammadiyah Purworejo ,
Ruang Seminar UMP, Sabtu, 28 Mei 2016
633
matematis
melalui
ucapan,
tulisan,
demonstrasi dan melukiskannya secara visual
dalam tipe yang berbeda, memahami,
menafsirkan dan menilai ide yang disajikan
dalam tulisan, lisan atau dalam bentuk visual,
mengonstruksi,
menafsirkan
dan
menghubungkan bermacam-macam reprentasi
ide dan hubungannya.
Schoen, Bean, dan Ziebarth dalam Qohar
(2009) mengemukakan bahwa “Kemampuan
komunikasi matematis adalah kemampuan
siswa dalam hal menjelaskan suatu algoritma
dan cara unik untuk pemecahan masalah,
kemampuan siswa mengkonstruksi dan
menjelaskan sajian fenomena dunia nyata
secara grafik, kata-kata/kalimat, persamaan,
table, dan sajian secara fisik atau kemampuan
siswa memberikan dugaan tentang gambargambar geometri”.
Manfaat dari sebuah komunikasi
dalam pembelajaran matematika yaitu dapat
mendorong siswa belajar konsep baru dalam
matematika, karena dalam belajar matematika
siswa dapat mengunakan alat atau benda,
menggambar, memberikan penjelasan atau
pertimbangan,
menggunakan
diagram,
menulis, dan menggunakan symbol matematika menurut Darhim dalam Amalia (2013).
Ada beberapa faktor yang berkaitan
dengan kemampuan komunikasi matematis
seperti yang diungkapkan Satriawati (2006),
sebagai berikut:
a) Pengetahuan
prasyarat,
merupakan
pengetahuan yang telah dimiliki siswa
sebagai akibat proses belajar sebelumnya.
b) Kemampuan membaca, diskusi, dan
menulis
dapat
membantu
siswa
memperjelas pemikiran dan dapat
mempertajam pemahaman. Diskusi dan
menulis adalah dua aspek penting dari
komunikasi untuk semua level.
c) Pemahaman matematika (mathematical
knowledge).
Adapun aspek-aspek yang
dapat diukur dalam kemampuan komunikasi
634
matematis menurut Baroody (Ansari, 2003)
adalah sebagai berikut :
a. Representasi, bentuk baru sebagai hasil
translasi dari suatu masalah atau ide;
translasi suatu diagram atau model fisik ke
dalam symbol kata-kata.
b. Mendengar, aspek yang sangat penting
untuk dapat terjadinya komunikasi yang
baik.
c. Membaca, aktifitas membaca secara aktif
untuk mencari jawaban atas pertanyaan
yang telah disusun.
d. Diskusi, mendiskusikan sebuah ide
merupakan cara yang baik untuk menjauhi
ketidakkonsistenan,
atau
suatu
keberhasilan kemurnian berpikir.
e. Menulis, aktifitas yang dilakukan dengan
sadar
untuk
mengungkapkan
dan
merefleksikan pikiran. Dengan menulis,
seseorang telah melalui tahap proses
berpikir keras yang kemudian dituangkan
ke dalam kertas.
Berdasarkan NCTM (2000:
268), standar kemampuan komunikasi dari
pra-TK sampai kelas 12 adalah:
a. Mengorganisasikan dan menggabungkan
pemikiran matematis mereka melalui
komunikasi;
b. Mengkomunikasikan pemikiran matematis
mereka dengan jelas kepada teman sebaya,
guru, dan yang lainnya;
c. Menganalisis dan mengevaluasi pemikiran
matematis;
d. Menggunakan bahasa matematika untuk
mengekspresikan ide matematis dengan
tepat.
Adapun
indikator
untuk
mengukur
kemampuan komunikasi matematis menurut
Sumarno dalam Mufrika (2011: 17) adalah :
(1) menyatakan situasi, gambar, diagram ke
dalam bahasa, simbol, ide, model matematika;
(2) menjelaskan ide, situasi, dan relasi
matematis secara tulisan; (3) mendengarkan,
berdiskusi, presentasi, menulis matematika;
(4) membaca representasi matematis; (5)
Prosiding Seminar Nasional Matematika dan Pendidikan Matematika. “Internalisasi Nilainilai Berpikir Matematis Dalam Peranannya di Era Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA)”
mengungkapkan kembali suatu uraian
matematis dengan bahasa sendiri.
Satriawati dalam Mufrika (2011: 17)
membagi kemampuan komunikasi matematis
menjadi tiga yaitu:
1) Written text, yaitu memberikan jawaban
dengan menggunakan bahasa sendiri,
membuat model situasi atau persoalan
menggunakan lisan, tulisan, konkrit, grafik
dan aljabar, menjelaskan dan membuat
pertanyaan tentang matematika yang telah
dipelajari, mendengarkan, mendiskusikan,
dan menulis tentang matematika, membuat
konjektur, menyusun argument dan
generalisasi.
2) Drawing, yaitu merefleksikan bendabenda nyata, gambar, dan diagram ke
dalam ide-ide matematika.
3) Mathematical expressions, yaitu mengekspresikan konsep matematika dengan
menyatakan peristiwa sehari-hari dalam
bahasa atau simbol matematika.
Berdasarkan pengertian, manfaat, aspek,
dan indikator yang telah dibahas sebelumnya ,
dapat disimpulkan bahwa kemampuan
komunikasi merupakan kemampuan siswa
dalam menyampaikan ide/gagasan matematika
baik melalui lisan maupun tulisan dengan
simbol-simbol, grafik atau diagram untuk
menjelaskan masalah dari informasi yang
diperoleh. Komunikasi matematis dalam
pembelajaran dapat ditimbulkan dalam
pembelajaran
berkelompok
seperti
pembelajaran kooperatif.
B. Model Pembelajaran Kooperatif tipe TSTS
Pembelajaran merupakan interaksi
yang terjadi dalam proses belajar dan mengajar
antar siswa dan guru dimana dalam proses
tersebut memungkinkan siswa memperoleh
pengetahuan.
Menurut Trianto (2009),
pembelajaran komunikasi adalah proses
komunikasi fungsional antara peserta didik
dengan guru, dan peserta didik dengan peserta
didik, dalam rangka perubahan pola pikir.
Guru sebagai komunikator dan peserta didik
sebagai komunikan, serta materi yang
disampaikan berupa pesan-pesan berupa ilmu
pengetahuan. Dengan demikian, komunikasi
banyak arah terjadi dalam kegiatan
pembelajaran.
Proses
pembelajaran
merupakan proses yang sistematis karena
dirancang, dilaksanakan, dan dievaluasi agar
tujuan-tujuan pembelajaran tercapai. Keberhasilan proses pembelajaran tidak terlepas dari
kemampuan
guru
memilih
atau
mengembangkan model-model pembelajaran
yang sesuai.
Menurut Slavin (2008), pembelajaran
kooperatif mengandung pengertian bahwa
siswa belajar bersama, saling berbagi ide, dan
bertanggung jawab terhadap pencapaian hasil
belajar baik secara individu maupun
kelompok. Pendapat lain dikemukakan oleh
Johnson & Johnson dalam Isjoni (2009 :17)
bahwa
“cooperative
learning
adalah
mengelempokkan siswa di dalam kelas ke
dalam suatu kelompok kecil agar siswa dapat
bekerja sama dengan kemampuan maksimal
yang mereka miliki dan mempelajari satu
sama lain dalam kelompok tersebut Melalui
pembelajaran
kooperatif
siswa
diberi
kesempatan untuk bekerja sama dengan
sesama siswa dalam tugas-tugas yang
terstruktur.”
Seperti yang diungkapkan oleh
Suherman, dkk. (2003: 260) bahwa
pembelajaran kooperatif mencakup suatu
kelompok kecil siswa yang bekerja sebagai
sebuah tim untuk menyelesaikan masalah,
menyelesaikan suatu tugas, atau mengerjakan
sesuatu untuk mencapai tujuan bersama
lainnya. Pembelajaran kooperatif menuntut
siswa untuk bekerjasama memecahkan
masalah yang diberikan oleh guru dan
menuntut siswa secara aktif selama
pembelajaran berlangsung.
Sedangkan Rifaldi
(2010: 20)
mengungkapkan bahwa kooperatif merupakan
suatu pembelajaran yang didasarkan atas kerja
Pendidikan Matematika Universitas Muhammadiyah Purworejo ,
Ruang Seminar UMP, Sabtu, 28 Mei 2016
635
kelompok, yang menuntut keaktifan siswa
untuk saling bekerjasama dan membantu
dalam menyelesaikan masalah atau tugas yang
diberikan oleh guru. Melalui pembelajaran
kooperatif siswa didorong untuk bekerjasama
secara maksimal sesuai dengan keadaan
kelompoknya. Kerjasama yang dimaksud
dalam pembelajaran kooperatif adalah setiap
anggota kelompok harus saling membantu
menguasai bahan ajar.
Menurut Trianto (2009: 57) Tujuan
pokok belajar kooperatif dalam adalah
memaksimalkan
belajar
siswa
untuk
meningkatkan
prestasi
akademik
dan
pemahaman baik secara individu maupun
secara kelompok. Siswa bekerja dalam satu
tim yang di dalamnya melibatkan siswa
bekerja secara berkolaborasi untuk mencapai
tujuan
bersama.
Dalam
pembelajaran
kooperatif tidak ada perbedaan antar siswa
tetapi siswa bekerja sama untuk tujuan
bersama, sama halnya dengan kehidupan di
dunia ini tidak bisa hidup dengan sendiri tetapi
membutuhkan orang lain.
Berdasarkan penjelasan di atas dapat
disimpulkan, pembelajaran kooperatif adalah
pembelajaran dalam kelompok-kelompok kecil
yang bertugas untuk memecahkan masalah
yang diberikan oleh guru secara berkelompok.
Pembelajaran kooperatif menuntut siswa turut
serta aktif dalam pembelajaran di kelas, selain
itu mengajarkan siswa untuk menerima
perbedaan yang terdapat dalam kelompok.
Terdapat
banyak
model
pembelajaran
kooperatif diantaranya adalah pembelajaran
kooperatif tipe TSTS.
Model pembelajaran kooperatif tipe
two stay two stray (dua tinggal, dua
berkunjung) dikembangkan oleh Spencer
Kagan. TSTS bisa digunakan dengan kepala
bernomor. Teknik ini memberikan kesempatan
kepada siswa untuk membagikan hasil
636
informasi kepada kelompok lain (Isjoni,
2013:113).
Menurut Suprijono (2013: 93-94),
pembelajaran dengan metode TSTS terdiri dari
beberapa tahapan, yaitu:
1. Guru membagi siswa kedalam kelompokkelompok secara heterogen.
2. Setelah
kelompok
terbentuk,
guru
memberikan tugas berupa permasalahanpermasalahan kepada setiap kelompok
kemudian mereka mendiskusikannya.
3. Setelah diskusi kelompok selesai, dua orang
masing-masing kelompok berkunjung ke
kelompok lain untuk menerima hasil kerja
kelompok lain. Sedangkan, dua orang yang
tinggal memiliki tanggung jawab untuk
menerima tamu dan membagikan hasil kerja
kelompoknya kepada yang berkunjung.
Setelah selesai, dua tamu tersebut kembali
ke kelompoknya masing-masing.
4. Setiap
kelompok
membahas
dan
mencocokkan hasil kerja yang mereka
dapatkan.
Menurut Santoso (2011) model pembelajaran kooperatif tipe TSTS terdiri dari beberapa tahapan sebagai berikut. (1) persiapan,
(2) presentasi guru, (3) kegiatan ke-lompok,
(4) formalisasi, dan (5) evaluasi kelompok dan
penghargaan.
Menurut Daryono (2011) model pembelajaran TSTS memiliki kelebihan, diantaranya:
a. memberikan kesempatan terhadap siswa
untuk menentukan konsep sendiri dengan
cara memecahkan masalah; memberikan
kesempatan
kepada
siswa
untuk
menciptakan kreatifitas dalam melakukan
komunikasi dengan teman sekelompoknya;
b. membiasakan siswa untuk bersikap
terbuka terhadap teman;
c. meningkatkan motivasi belajar siswa; dan
d. membantu
guru
dalam
pencapaian
pembelajaran, karena langkah pem-
Prosiding Seminar Nasional Matematika dan Pendidikan Matematika. “Internalisasi Nilainilai Berpikir Matematis Dalam Peranannya di Era Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA)”
belajaran kooperatif mudah diterapkan di
sekolah.
Berdasarkan pengertian dan
penjelasan di atas, pengertian model
pembelajaran
TSTS
adalah
model
pembelajaran kooperatif yang terdiri dari
empat orang dengan konsep dua tinggal dan
dua berkunjung. Langkah-langkah model
pembelajaran TSTS meliputi pembagian
kelompok secara heterogen beranggotakan
empat orang lalu guru membagikan tugas yang
akan didiskusikan kepada kelompok masingmasing. Setelah selesai berdiskusi, dua orang
dari setiap kelompok berkunjung ke kelompok
lain untuk mendapatkan informasi dari
kelompok yang akan dikunjungi. Sedangkan
dua orang tinggal bertanggung jawab untuk
membagikan hasil kerja kelompoknya kepada
dua tamu yang berkunjung. Apabila telas
selesai, dua orang yang bertugas sebagai tamu
kembali
ke
kelompok
masing-masing
kemudian mereka membahas serta mencocokkan hasil kerja dan informasi yang
mereka dapatkan.
C.
Pembelajaran Kooperatif tipe TSTS untuk
Meningkatkan Komunikasi Matematis
Siswa
Pembelajaran matematika adalah proses
belajar mengajar yang melibatkan guru dan
siswa secara simultan, di mana perubahan
tingkah laku siswa diarahkan pada pemahaman
konsep-konsep matematika yang akan
mengantarkan siswa pada berpikir matematis
dan mengembangkan potensi siswa serta
kemampuan matematis siswa. Salah satu
kemampuan
matematis
siswa
adalah
kemampuan komunikasi matematis siswa.
Kemampuan komunikasi matematis dapat
diartikan sebagai kemampuan seorang
komunikator untuk menyampaikan pesan
berupa materi matematika kepada komunikan
yang disajikan dalam berbagai bentuk ide,
symbol, tulisan ataupun diagram. Kemampuan
komunikasi
matematis
siswa
dapat
ditimbulkan dalam pembelajaran berkelompok
seperti pembelajaran kooperatif. Terdapat
banyak model pembelajaran kooperatif
diantaranya adalah pembelajaran kooperatif
tipe TSTS.
Model pembelajaran TSTS adalah
model pembelajaran kooperatif yang terdiri
dari empat orang dengan konsep dua tinggal
dan dua berkunjung. Langkah-langkah model
pembelajaran TSTS meliputi pembagian
kelompok secara heterogen beranggotakan
empat orang lalu guru membagikan tugas yang
akan didiskusikan kepada kelompok masingmasing. Pada saat diskusi, siswa saling
bertukar ide dalam memecahkan masalah yang
dapat mereka tuangkan dalam bahasa
matematis seperti symbol, ataupun diagram.
siswa dituntun untuk mengembangkan
kemampuan komunikasi mate-matisnya disini,
karena
mereka
bekerjasama
mencoba
menghubungkan ide-ide yang didapat dari
masing-masing
siswa.
Setelah
selesai
berdiskusi, dua orang dari setiap kelompok
berkunjung ke kelompok lain untuk
mendapatkan informasi dari kelompok yang
akan dikunjungi.
Dalam kunjungan ke kelompok lain,
komunikasi matematis siswa juga digunakan
karena siswa yang dikunjungi bertanggung
jawab menyampaikan hasil diskusi kelompoknya kepada tamu yang berkunjung.
Apabila telah selesai, dua orang yang bertugas
sebagai tamu kembali ke kelompok masingmasing kemudian mereka membahas serta
mencocokkan hasil kerja dan informasi yang
mereka
dapatkan.
Jadi,
diharapkan
pembelajaran TSTS dapat meningkatkan
kemampuan komunikasi matematis siswa.
3.
SIMPULAN DAN SARAN
Berdasarkan hasil analisis yang telah
dilakukan, pembelajaran tipe TSTS dapat
Pendidikan Matematika Universitas Muhammadiyah Purworejo ,
Ruang Seminar UMP, Sabtu, 28 Mei 2016
637
mebantu meningkatkan kemampuan komunikasi matematis siswa. hal tersenut terliat dari
tahapan-tahapan pada pembelajaran kooperatif
tipe TSTS yang memuat kemampuan dasar
pada proses komunikasi siswa. Dengan
demikian, untuk membantu meningkatkan
kemampuan komunikasi matematis siswa,
dapat menggunakan pembelajaran Kooperatif
tipe TSTS dengan menggunakan masalah yang
disesuaikan dengan kemampuan komunikasi
yang ingin dicapai.
4. REFERENSI
Amalia, Lia. 2013. Pengaruh Penerapan
Quantum Learning Prinsip Tandur
Terhadap Peningkatan Kemampuan
Komunikasi Matematis Pada Siswa.
[online].
Tersedia:
http://repository.upi.edu/view/divisions/PMAT/2013.html. [05 April 2016].
Ansari, Bansu Irianto. 2003. Menumbuh
kembangkan Kemampuan Pemahaman
dan Komunikasi Matematik Siswa
SMU Melalui Strategi Think-Talk
Write.
Daryono.
2011.
Teknik
Pembelajaran
Cooperatif Tipe Two Stay Two Stray.
[online].
Tersedia:
http://ptkguru.com/?darmajaya=index
&daryono=base&action=listmenu&ski
ns=1&id=494&tkt=2.
[04 April
2016].
Departemen Pendidikan Nasional. 2008.
Kamus Besar Bahasa Indonesia. Balai
Pustaka: Jakarta.
Isjoni, Drs. 2013. Pembelajaran Kooperatif.
Pustaka Pelajar.113: Yogyakarta.
Meliana, Dinda. 2013. Penerapan Model
Pembelajaran
Kooperatif
Tipe
Learning Cell Untuk Meningkatkan
Kemampuan Komunikasi Matematik
Pada Siswa SMP. [online]. Tersedia:
http://repository.upi.edu/1678/4/S_MT
638
K_0809095_CHAPTER1.pdf.
April 2016]
[6
Mufrika, Tika. 2011. Pengaruh Model
Pembelajaran Kooperatif Metode
Student Facilitator and Explaining
Terhadap Kemampuan Komunikasi
Metamtika Siswa. [online]. Tersedia:
http://repository.uinjkt.ac.id/dspace/bit
stream/123456789/1255/1/98866TIKA%20MUFRIKA-FITK.pdf.
[6
April 2016].
Mustikawati,
Mega.2013.
Penerapan
Pembelajaran Matematika Dengan
Strategi REACT Dalam Meningkatkan
Kemampuan komunikasi Matematis
Siswa SMP. [online]. Tersedia:
http://repository.upi.edu/view/divisions/PMAT/2
013.html. [6].
NCTM. 2000. Principles and Standars for
School Mathematics. Reston VA:
NCTM.
[online].
Tersedia:
http://www.nctm.org [05 April 2016].
PISA. 2012. PISA 2012. Assesment and
Analitycal Framework: Mathematics,
Reading, Science, Problem Solving
and Financial Literacy. SecretaryGeneral of OECD. [online]. Tersedia:
www.oecd.org. [05 April 2016].
Qohar,
Abdul. 2009.
Mengembangkan
Kemampuan
Pemahaman,
Komunikasi, dan Koneksi Matematis
Siswa SMP Melalui Reciprocal
Teaching. Laporan Akhir Pascasarjana
UPI.
Sagala, Syaiful. 2010. Konsep dan Makna
Pembelajaran. Bandung: Alfabeta.
Sapa‟at, Asep. 2006. Pendekatan Ketrampilan
Metakognitif Untuk Mengembangkan
Kompetensi Matematika Siswa.
Prosiding Seminar Nasional Matematika dan Pendidikan Matematika. “Internalisasi Nilainilai Berpikir Matematis Dalam Peranannya di Era Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA)”
Suherman, E dan Kusumah, Y. S. 2001.
Petunjuk Praktis untuk Melaksanakan
Evaluasi
Pendidikan
Matematika.
Bandung: Wijayakusumah.
Rifaldi, Muamar Agung. 2010. Penerapan
Pembelajaran Kooperatif Model Two
Stay Two Stray Untuk Meningkatkan
Aspek Kognitif dan Aspek Afektif
Siswa Kelas X.5 SMAN 2 Junrejo,
Kota Batu. [online]. Tersedia:
http://www.academia.edu [05 April
2016]
Pendidikan Matematika Universitas Muhammadiyah Purworejo ,
Ruang Seminar UMP, Sabtu, 28 Mei 2016
639
PENGARUH MODEL QUANTUM TEACHING TERHADAP PENINGKATAN
KEMAMPUAN VISUAL THINKING MATEMATIS SISWA SMP
Mira Rosita Dewi
FKIP MIPA, Universitas Pendidikan Indonesia
Email: [email protected]
Abstrak
Penelitian ini difokuskan pada peningkatan kemampuan visual thinking matematis siswa SMP
ditinjau dari kategori gaya belajar siswa (visual, auditori dan kinestetik), dimana selama ini siswa
masih kurang terlatih dalam menerjemahkan masalah kedalam bentuk ganbar, grafik dan yang
lainnya. Siswa kurang berkembang dalam berpikir untuk menyelesaikan suatu masalah secara bebas,
karena siswa selalu di tuntut untuk berpikir secara prosedural. Ini menandakan masih lemahnya
kemampuan visual thinking matematis para siswa. Gaya belajar merupakan cara belajar yang khas
bagi siswa, bersifat individual yang kerapkali tidak disadari siswa. Gaya belajar terbagi tiga yaitu
visual, auditori dan kinestetik. Dalam kegiatan pembelajaran, bukan hanya hasil yang diperhatikan
melainkan prosesnya pun harus diperhatikan. Hal ini berpengaruh kepada hasil belajar. Quantum
teaching merupakan model pembelajaran yang didasari atas perbedaan gaya belajar yang dimiliki
anak dalam belajar, yaitu visual, auditorial dan kinestetik. Kerangka rancangan belajar quantum
teaching dikenal dengan TANDUR. Adapun dalam pengajarannya memodelkan filosofi pengajaran
dan strateginya dengan “maestro” pada konser. Pendekatan yang digunakan adalah kontruktivisme.
Data penelitian ini dikumpulkan melalui tes kemampuan visual thinking matematis dan skala gaya
belajar. Dari hasil analisis disimpulkan: Secara keseluruhan peningkatan kemampuan visual thinking
matematis siswa yang memperoleh pembelajaran quantum teaching lebih baik secara signifikan
dibandingkan dengan siswa yang memperoleh pembelajaran konvensional. Pada kelas eksperimen
yang diberikan pembelajaran quantum teaching, tidak terdapat perbedaan yang signifikan
peningkatan kemampuan visual thinking matematis siswa yang memiliki gaya belajar visual,
auditori dan kinestetik.
Kata Kunci: Quantum Teaching, Kemampuan Visual Thinking Matematis, Gaya Belajar Siswa.
1.
PENDAHULUAN
Di
era
perkembangan
ilmu
pengetahuan dan teknologi, semuanya berubah
dengan cepat. Tenaga otaklah yang sekarang
lebih di pioritaskan, karena dengan otak kita
bisa berpikir bagaimana cara menjalankan
mesin-mesin. Oleh karena itu, dari sejak dini
kemampuan berpikir siswa harus sering
dilatih. Salah satu upaya agar dapat mengatasi
kendala dunia kerja, para siswa harus
diberikan pembelajaran matematis yang lebih
meningkatkan pada proses berpikir tingkat
tinggi, seperti visual thinking.
Visualisasi merupakan bagian penting
yang dibutuhkan dalam pengajaran matematis
untuk mengembangkan kemampuan berpikir
matematis. Kemampuan visual thiking
merupakan kemampuan tahapan dasar yang
640
harus dimiliki siswa dalam pembelajaran
matematis terutama pada materi geometri
(Hadamard
dalam
Thornton.
2001).
Kemampuan visual thinking matamatis siswa
perlu sekali untuk dikembangkan. Ketika
siswa menghadapi masalah yang kompleks
dalam pembelajaran matematis, visual thinking
dapat membuat masalah kompleks mudah
dipahami, mudah mengkomunikasikan bagi
orang lain untuk menyelesaikannya.
Pada bagian ini dijelaskan tujuan
dilaksanakannya penelitian adalah untuk
mengetahui peningkatan kemampuan visual
thinking matematis siswa yang memperoleh
pembelajaran model quantum teaching lebih
baik daripada siswa yang memperoleh
pembelajaran model konvesiona lsertauntuk
Prosiding Seminar Nasional Matematika dan Pendidikan Matematika. “Internalisasi Nilainilai Berpikir Matematis Dalam Peranannya di Era Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA)”
mengetahui peningkatan kemampuan visual
thinking matematis siswa yang memperoleh
pembelajaran model quantum teaching ditinjau
dari gaya belajar siswa.
Tinjauan pustaka: Kemampuan visual
thinking matematis adalah hasil kreasi dari
kemampuan berpikir dan proses berpikir
secara aktif mengenai gambar, image ataupun
diagram dengan menggunakan imajinasi atau
gambaran pada keadaan nyata dalam
memandang suatu permasalahan sehingga
dapat menghubungkan, menggambarkan dan
mengkomunikasikan informasi yang ada
menjadi lebih spesifik dalam memecahkan
suatu masalah. Quantum teaching merupakan
model pembelajaran yang didasari atas
perbedaan gaya belajar anak atau gaya belajar
yang dimiliki anak dalam belajar, yaitu visual,
auditorial dan kinestetik. Kerangka rancangan
belajar quantum teaching dikenal dengan
TANDUR.
Adapun dalam pengajarannya
memodelkan filosofi Meskipun kebanyakan
siswa memiliki ketiga akses gaya belajar yaitu
visual, auditorial dan kinestetik, namun tidak
semua juga yang memiliki kecenderungan
pada salah satu gaya belajar belajar saja. Bisa
visual saja, bisa auditorial saja ataupun
kinestetik saja. Gaya belajar siswa visual
biasanya mereka belajar dengan melihat
sesuatu yang berbentuk gambar atau diagram,
pertunjukan, penayangan video. Gaya belajar
siswa auditori biasanya mereka belajar dengan
mendengarkan sesuatu melalui kaset, ceramah,
diskusi, debat dan intruksi verbal. Gaya belajar
siswa kinestetik biasanya mereka belajar
melalui aktivitas fisik dan keterlibatan
langsung..
2. KAJIAN LITERATUR
a. Kemampuan visual thinking
Visual thinking atau berpikir visual
adalah proses intelektual intuitif dan ide
imajinasi visual, baik dalam pencitraan mental
atau melalui gambar (Brasseur dalam Surya.
2011). Namun visual thinking memerlukan
lebih banyak dari pada visualisasi atau
representasi. John Steiner dalam surya. (2011)
menyatakan visualisai ini adalah mewakili
sensasi pengetahuan dalam bentuk struktur ide,
aliran ide itu bisa sebagai gambar, diagram,
penjelasan model, lukisan yang diatur ide-ide
besar dan penyelesaian sederhana. Pada
hakekatnya belajar matematika adalah berpikir
dan berbuat atau mengerjakan matematika.
Disinilah makna dan strategi pembelajaran
matematika adalah strategi pembelajaran yang
aktif, yang ditandai oleh dua faktor: a)
Interaksi optimal antara seluruh komponen
dalam proses belajar mengajar di antarnya
antara komponen utama yaitu guru dan siswa,
b) Berfungsinya secara optimal seluruh
„‟sense‟‟ yang meliputi indera, emosi, karsa,
karya, dan nalar.
b. Quantum teaching
Menurut De Porter. (2005: 3),
quantum teaching adalah sebuah strategi
pembelajaran yang bertumpu pada prinsipprinsip dan teknik-teknik quantum learning,
yang dalam pelaksanaannya mendukung
prinsip bahwa pembelajaran adalah sebuah
sistem. Hal ini terlihat dari buku “Quantum
Teaching”, mempraktikkan quantum learning
di ruang-ruang kelas. Quantum teaching
mampu mengorganisasi dan memadukan
interaksi-interaksi yang ada di dalam dan
sekitar momen belajar atau dengan kata lain
mengelola unsur-unsur yang terkait dengan
kegiatan
belajar
mengajar
dan
memanfaatkannya untuk mencapai tujuan.
Kerangka
rancangan
quantum
teaching,
tumbuhkan,
alami,
namai,
demonstrasikan, ulangi, rayakan, dapat
disingkat dengan istilah “TANDUR”.
a. Tumbuhkan, menumbuhkan hasrat siswa
untuk belajar. Minat adalah suatu landasan
yang paling meyakinkan demi keberhasilan
suatu proses belajar. Jika seorang siswa
memiliki rasa ingin belajar, dia akan cepat
mengerti dan mengingatnya.
b. Alami, menciptakan dan mendatangkan
pengalaman umum yang dapat dimengerti
semua siswa.
Pendidikan Matematika Universitas Muhammadiyah Purworejo ,
Ruang Seminar UMP, Sabtu, 28 Mei 2016
641
c. Namai, memberi data tepat saat minat
memuncak. Untuk ini dibutuhkan kata
kunci, konsep, model, rumus, strategi yang
bisa menjadi masukan bagi siswa.
d. Demonstrasikan, memberikan kesempatan
bagi siswa untuk mengkaitkan pengalaman
dengan nama baru, sehingga mereka
menghayati dan membuatnya sebagai
pengalaman pribadi.
e. Ulangi, dengan menunjukkan kepada siswa
mengenai caracara mengulang materi dan
menegaskan “Aku tahu bahwa aku memang
tahu ini”.
f. Rayakan, jika layak untuk dipelajari maka
layak juga untuk dirayakan. Setiap usaha
belajar memerlukan sebuah perjuangan,
sehingga hasil yang diperoleh perlu
mendapatkan penghargaan, pengakuan
sebagai hasil dari jerih payah (biasa dengan
pujian, tepuk tangan dan lain sebagainya).
c. Gaya belajar siswa
Setiap siswa memiliki cara belajar
yang berbeda-beda. Cara belajar ini sering
disebut dengan gaya belajar atau gaya belajar.
Menurut DePorter dan Hernacki. (2014) gaya
belajar siswa adalah cara belajar yang khas,
bersifat konsisten dan merupakan kombinasi
dari bagaimana siswa tersebut menyerap dan
mengatur serta mengolah informasi.Pada
penelitian ini akan menggunakan indikator
menurut De Porter. (2014) ketiga gaya belajar
belajar siswa memiliki ciri-ciri sebagai
berikut:Visual memiliki ciri-ciri teratur,
memperhatikan segala sesuatu, menjaga
penampilan, mengingat dengan gambar, lebih
suka membaca daripada dibacakan dan
membutuhkan
gambaran
dan
tujuan
menyeluruh dan menangkap detail: mengingat
apa yang dilihat. Kemudian auditorial
memiliki ciri-ciri perhatiannya mudah
terpecah, berbicara dengan pola berirama,
belajar
dengan
cara
mendengarkan,
menggerakkan bibir/bersuara saat membaca
dan berdialog secara internal dan eksternal.
Selanjutnya kenestetik menyentuh orang dan
berdiri berdekatan, banyak bergerak, belajar
dengan melakukan, menunjuk tulisan saat
membaca, menanggapi secara fisik dan
mengingat sambil berjalan dan melihat.
d. Teori belajar
642
Ide-ide Piaget, Vygotsky, Bruner dan
lain-lain membentuk suatu teori pembelajaran
yang dikenal dengan teori konstruktivis. Ide
utama teori ini adalah: (1) siswa secara aktif
membangun pengetahuannya sendiri; (2) agar
benar-benar dapat memahami dan dapat
menerapkan pengetahuan siswa harus bekerja
memecahkan masalah, menemukan segala
sesuatu untuk dirinya sendiri; (3) belajar
adalah proses membangun pengetahuan bukan
penyerapan atau absorbsi; dan (4) belajar
adalah proses membangun pengetahuan yang
selalu diubah secara berkelanjutan melalui
asimilasi dan akomodasi informasi baru.
e. Hasil penelitian yang relevan
Berdasarkan beberapa penelitian yaitu:
Penelitian Rahmi. (2014) dari Universitas
Pendidikan Indonesia menerangkan penerapan
Model quantum teaching dapat meningkatkan
kemampuan berpikir kritis siswa dan
menurunkan tingkat kecemasan matematika.
Penelitian Gumanti. (2014) dari Universitas
Pendidikan Indonesia menerangkan terdapat
peningkatan kemampuan visual thinking siswa
yang mendapat pembelajaran berbantuan
Geogebra.
3.
METODE PENELITIAN
Sesuai dengan tujuan penelitian , yaitu
untuk mengetahui pengaruh pembelajaran
model quantum teaching terhadap kemampuan
visual thinking matematis siswa SMP selain itu
juga, penelitian ini ditinjau dari gaya belajar
siswa yang terbagi kedalam tiga kategori yaitu
visual, auditori dan kinestetik, maka metode
penelitian yang digunakan adalah metode
kuasi eksperimen.Dalam penelitian ini diambil
dua kelas sebagai sampel, yaitu kelas
eksperimen yang diberi treatment berupa
pembelajaran model quantum teaching dan
kelas kontrol yang menggunakan pembelajaran
model
konvensional.
Populsai
dalam
penelitian ini siswa kelas VIII di suatu SMP
Negeri yang berada dikabupaten Bandung
Barat.
Pre-test diberikan di awal penelitian
dan post-test diberikan di akhir penelitian.
Adapun desain penelitian yang digunakan
adalah desain kelompok kontrol nonekuivalen, yaitu subjek penelitian tidak
dikelompokkan secara acak (Ruseffendi, 2006)
berikut:
Prosiding Seminar Nasional Matematika dan Pendidikan Matematika. “Internalisasi Nilainilai Berpikir Matematis Dalam Peranannya di Era Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA)”
2. Variabel terikat adalah variabel yang
Kelas eksperimen: O
X
O
dipengaruhi oleh variabel bebas. Dalam
-----------------------------penelitian ini yang menjadi variabel
Kelas kontrol
:O
O
terikatnya adalah kemampuan visual
Keterangan:
thinking dan berpikir kreatif matematis.
O : pre-test dan post-test kemampuan visual
3. Variabel kontrol pada penelitian ini yaitu
thinking dan berpikir kreatif
kategori gaya belajar siswa (visual,
X : model quantum teaching
auditorial, kinestetik).
--- : subjek dikelompokan secara acak
Perolehan data dalam penelitian ini
4. HASIL DAN PEMBAHASAN
melalui dua jenis instrumen, yaitu instrumen
Pada bagian ini akan dijabarkan
inti dan instrumen penunjang.Instrumen inti
analisis dan pembahasan dari hasil penelitian
terdiri dari instrumen tes dan instrumen non
tentang pengaruh model quantum teaching
tes. Instrumen tes berupa seperangkat soal tes
terhadap peningkatan kemampuan
visual
untuk mengukur kemampuan visual thinking
thinking matematis.Data kemampuan visual
thinking yang akan diolah dan dianalisis dalam
matematis.Selain instrumen tes, juga ada
penelitian ini meliputi skor pre-test dan skor
instrumen skala gaya belajar siswa dan lembar
post-test. Telah dikemukakan sebelumnya
observasi yang memuat indikator-indikator
bahwa penelitian ini hendak mengetahui
aktivitas guru dan siswa dalam pembelajaran.
sejauh mana pengaruh model pembelajaran
Variabel dalam penelitian ini terdiri
quantum teaching mampu meningkatkan
atas tiga variabel, yaitu variabel bebas,
kemampuan visual thinking matematis siswa.
Hal ini dapat diketahui dengan cara
variabel terikat dan variabel kontrol. Variabel
membandingkan hasil pencapaian kelas
tersebut adalah:
eksperimen dengan kelas kontrol pada saat
1. Variabel bebas adalah variabel yang
sebelum dan sesudah diberi perlakuan yang
mempengaruhi variabel terikat. Dalam
berbeda.
penelitian ini yang menjadi variabel bebas
Hasil penelitian ini secara deskriktif
adalah model quantum teaching.
disajikan pada tabel 1 sebagai berikut:
Tabel 4.1
Statistik Deskriptif Skor Kemampuan Visual ThinkingMatematis
Kategori
Data
Statistik
Visual
SD
N
Auditori
SD
N
Kinestetik
SD
N
Total
SD
N
Eksperimen
Kontrol
NPre-Test
Post-Test
Gain
4,88
13,25
0,66
2,42
3,80
0,25
8
8
8
4,83
13,83
0,77
1,47
2,40
0,26
6
6
6
5,91
12,27
0,78
1,76
2,53
0,24
11
11
11
5,32
12,96
0,74
1,93
2,92
0,24
25
25
25
Skor maksimum ideal = 16
Pada tabel 4.1 terlihat bahwa hasil
rata-rata skor kemampuan visual thinking
matematis siswa pada saat tahap awal kelas
eksperimen dan kelas kontrol adalah 5,32
dan 5,21. Dapat dilihat bahwa selisih dari
Pre-Test
Post-Test
5,35
1,53
17
5,00
1,73
3
4,75
0,96
4
5,21
1,44
24
9,47
1,28
17
9,00
1,73
3
9,00
1,15
4
9,33
1,27
24
NGain
0,38
0,13
17
0,37
0,06
3
0,38
0,06
4
0,38
0,12
24
rata-rata kemampuan visual thinking
matematis siswa pada tahap awal di kelas
eksperimen dan kelas kontrol tidak terlalu
jauh yaitu 0,11. Selanjutnya setelah kegiatan
pembelajaran quantum teaching yang
Pendidikan Matematika Universitas Muhammadiyah Purworejo ,
Ruang Seminar UMP, Sabtu, 28 Mei 2016
643
dilakukan di kelas eksperimen dan
pembelajaran konvensional dikelas kontrol,
terlihat
peningkatan
skor
rata-rata
kemampuan visual thinking matematis
dikedua kelas. Untuk kelas eksperimen
meningkat menjadi 12,96 dan untuk kelas
kontrol meningkat menjadi 9,33.
Berdasatkan hasil penelitian ini
terungkap bahwa secara keseluruhan ratarata post-test kemampuan visual thinking
matematis siswa dikelas eksperimen lebih
baik daripada kelas kontrol. Hasil yang
didapat dari kelas eksperimen adalah ratarata post-testnya 12,96 atau 81% dari skor
maksimal ideal, sedangkan pada kelas
kontrol rata-rata post-testnya adalah 9,33
atau 58% dari skor maksimal idealnya.
.
Pada kelas eksperimen, rata-rata ngain kemampuan visual thinking matematis
siswa yang gaya belajar visual, auditori dan
kinestetik berturut-turut 0,66; 0,77 dan 0,78.
Peningkatan kemampuan visual thinking
matematis siswa pada kelas eksperimen
ditnjau berdasarkan gaya belajar siswa
(visual, auditori dan kinestetik) dengan
menggunakan
uji
kruskal-willis
menunjukkan tidak ada perbedaan secara
signifikan. artinya, quantum teaching sama
baiknya dalam meningkatkan kemampuan
visual thinking matematis untuk setiap gaya
belajar yang dimiliki siswa
Gambar 4.3
Peningkatan Kemampuan Visual Thinking Dilihat Dari Indikator Penelitian
644
Prosiding Seminar Nasional Matematika dan Pendidikan Matematika. “Internalisasi Nilainilai Berpikir Matematis Dalam Peranannya di Era Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA)”
Berdasarkan grafik pada gambar 4.3,
menunjukkan peningkatan kemampuan visual
thinking yang lebih tinggi pada indikator
representation, kemudian pada indikator
showing & telling, lalu imagining dan yang
terakhir dalam indikator looking & seeing.
Pada indikator looking & seeing, peningkatan
kemampuan visual thingking tidak terlalu jauh
antara skor pre-test dan skor post-test. Hal ini
menandakan pada indikator ini siswa sudah
dapat menguasai.
5.
KESIMPULAN
Berdasarkan hasil penelitian dan
pembahasan pada bab IV, maka dapat diambil
kesimpulan
bahwa
pengaruh
model
pembelajaran
quantum
teaching
dapat
menghasilkan peningkatan pada kemampuan
visual thinking matematis siswa. Secara
keseluruhan peningkatan kemampuan visual
thinking matematis siswa yang memperoleh
pembelajaran quantum teaching lebih baik
secara signifikan dibandingkan dengan siswa
yang memperoleh pembelajaran konvensional.
Selanjutnya berdasarkan gaya belajar siswa
diperoleh: (a) Pada kelas eksperimen yang
diberikan pembelajaran quantum teaching,
tidak terdapat perbedaan yang signifikan
peningkatan kemampuan visual thinking
matematis siswa yang memiliki gaya belajar
visual, auditori dan kinestetik. (b) Diperkirakan
tidak terdapat interaksi antara model
pembelajaran
(quantum
teaching
dan
konvensional) dengan faktor gaya belajar
(visual, auditori dan kinestetik) terhadap
kemampuan visual thinking matematis siswa.
Berdasarkan kesimpulan dari penelitian
ini,
selanjutnya dikemukakan saran-saran
sebagai berikut:
1. Quantum teaching dapat dijadikan salah
satu alternatif model pembelajaran yang
dipilih
guru
dalam
pembelajaran
matematika
untuk
meningkatkan
kemampuan visual thinkingmatematis siswa.
2. Perlu diteliti bagaimana pengaruh quantum
teaching pada sekolah level tinggi dan
rendah.
3. Perlu dilakukan penelitian yang lebih lama
misalnya satu semester, untuk melihat
peningkatan kemampuan visual thinking
matematis lebih optimal.
6.
REFERENSI
Arief S. Sadiman dkk (2011). Media
Pendidikan: Pengertian, Pengembangan Dan
Pemanfaatannya. Jakarta: PT. Raja Grafindo
Persada.
Cai,
et.al. (1996). Assesing Students
Mathimatical Communication. Oficial
Journal
of
The
Science
and
Mathematics. 96 (5) 238-246.
De Porter, B., & Hernacki. (2001). Quantum
Learning:
Membiasakan
Belajar
Nyaman
Dan
Menyenangkan.
Penerjemah: Alwiyah Abdurrahman.
Bandung: Kaifa.
De Porter, B. (2005). Quantum Teaching
Mempraktikkan Quantum Learning Di
Ruang-Ruang Kelas. Bandung: Kaifa
Edy Surya, Jozua Sabandar, Yaya S. Kusumah,
Darhim. (2013). Improving of Junior
High
School
Visual
Thinking
Representation Ability in Mathematical
Problem Solving by CTL, IndoMS.
J.M.E Vol. 4 No. 1 Januari 2013,
pp.113-126
Gumanti, Sri. (2014). Pendekatan Saintifik
Berbantuan
Geo
Gebra
dapat
Meningkatkan Pemahaman Matematis
dan Visual Thinking. Tesis SPs UPI
Bandung.
Hake, RR. (1999). Analyzing Change/Gain
Scores.
[online].
Tersedia
http://www.physics.indiana.edu/~sdi/A
nalyzingchange.Gain.Pdf.
Kania, N. (2013). Perbandingan Efektivitas
Pendidikan Matematika Universitas Muhammadiyah Purworejo ,
Ruang Seminar UMP, Sabtu, 28 Mei 2016
645
Penggunaan Alat Peraga konkret
dengan alat peraga maya (virtual
manipulative) terhadap Peningkatan
Visual Thinking Siswa. Tesis SPs UPI
Bandung.
Nurdin, E.(2012). Meningkatkan Kemampuan
Pemecahan Masalah Dan Koneksi
Matematis Siswa Melalui Pendekatan
Pembelajaran Visual Thinking: Kuasi
Eksperimen Pada Siswa Salah Satu Mts
Negeri Di Tembilahan. Tesis Jurusan
Pendidikan Matematika SPs UPI
Bandung.
Presmeg, N. (1986). Visualisation in High
School
Mathematics. Educational
Resources Information Center (ERIC)
Rahmi, H. (2014). Penerapan Model Quantum
Teaching
Dapat
Meningkatkan
Kemampuan Berpikir Kritis Siswa Dan
Menurukan
Tingkat
Kecemasan
Matematika. Tesis SPs UPI Bandung.
Sudjana, N. (1996). Penilaian Hasil Proses
Belajar Mengajar, Bandung: Rosdakarya.
Sugiyanto. (2008). Model-Model Pembelajaran
Inovatif. Surakarta: Panitia Sertifikasi
Guru Rayon 13 Surakarta.
Suherman. (2003). Evaluasi
Matematika. Bandung: JICA
Pembelajaran
Surya, E. (2011). Visual Thinking Dalam
Memaksimalkan
Pembelajaran
Matematika. Jurnal Penelitian dan
Pembelajaran Matematika, 5(1).pp.4150. ISSN 1979-3545 29 Maret 2016.
http://digilib.Unimed.ac.id/id.eprint/81
7
Thornton, (2001), A picture is worth a thousand
word
[onlina].
Tersedia:
http://math.unipa.it/~grain/Athornton25
1.pdf.
Ruseffendi, E.F. (1991). Pengantar Kepada
Guru Mengembangkan Kompetensinya
Dalam Pengajaran Matematika Unuk
Meningkatkan
CBSA.
Bandung:
Tarsito
Ruseffendi, E.F. (2010). Dasar-dasar Penelitian
Pendidikan dan Bidang Non-Eksak
lainnya. Bandung: Tarsito
646
Prosiding Seminar Nasional Matematika dan Pendidikan Matematika. “Internalisasi Nilainilai Berpikir Matematis Dalam Peranannya di Era Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA)”
MENINGKATKAN KEMAMPUAN BERFIKIR KREATIF PESERTA DIDIK
MELALUI MODEL DISCOVERY LEARNING
Ipah Muzdalipah
Fakultas Keguruan dan Ilmu pendidikan, Universitas Siliwangi
[email protected]
Abstrak
Kurikulum Dua Ribu Tiga Belas (Kurtilas) menghendaki materi pembelajaran tidak hanya tersusun
atas hal-hal sederhana yang bersifat hafalan dan pemahaman, tetapi tersusun atas materi yang
kompleks yang memerlukan analisis, aplikasi dan sintesis. Di sisi lain peserta didik memerlukan
suatu pembelajaran yang lebih variatif, inovatif dan konstruktif dalam meningkatkan aktivitas dan
kreativitas peserta didik. Untuk mengembangkan kemampuan berfikir kreatif secara optimal, dalam
tulisan ini penulis mencoba menerapkan Model Discovery Learning . Dicovery learning merupakan
suatu model pembelajaran yang bertujuan untuk membimbing siswa menemukan suatu konsep atau
memecahkan suatu permasalahan sehingga dapat memberikan kesempatan kepada sia tersebut
untuk berinovasi dengan ide-ide dan cara-cara yang berbeda. Di dalam model ini guru membimbing
peserta didik mengkonstruksi pengetahuannya secara aktif melalui stimulation, problem statement,
data collection, data processing, verification dan generalization. Kegiatan-kegiatan ini berkaitan
dengan proses berpikir kreatif peserta didik. Tujuan penelitian ini untuk mengetahui peningkatan
kemampuan berpikir kreatif peserta didik manakah yang lebih baik antara yang menggunakan model
Discovery Learning dengan model pembelajaran konvensional. Pada penelitian ini menggunakan
metode kuasi eksperimen. Berdasarkan hasil analisis data, diperoleh kesimpulan bahwa: (1) Peserta
didik yang memperoleh model dicovery learning memiliki peningkatan kemampuan berpikir kreatif
lebih baik daripada peserta didik yang memperoleh pembelajaran konvensional (  = 5%); (2)
Terdapat asosiasi yang signifikan antara kemampuan awal matematik peserta didik dengan
kemampuan berpikir kreatif peserta didik melalui model discovery learning
Kata Kunci: Model Problem Based Learning, Model Discovery Learning, dan
Berpikir Kreatif Matematik Peserta Didik.
1.
PENDAHULUAN
Pendidikan merupakan aspek yang sangat
penting dalam kehidupan, karena pendidikan
merupakan salah satu upaya untuk mencetak
Sumber Daya Manusia (SDM) yang
berkualitas baik dari segi intelektual, spiritual,
maupun emosional. Sumber daya manusia
yang diharapkan adalah yang menguasai ilmu
pengetahuan dan teknologi agar dapat
memperoleh banyak informasi dengan cepat
dan mudah. Dengan demikian diperlukan
kemampuan pemikiran yang kritis, sistematis,
logis, kreatif, dan kemampuan bekerja sama
yang
efektif.
Kemampuan-kemampuan
tersebut
dapat
dikembangkan
melalui
Kemampuan
pendidikan matematika.
Berlakunya Kurikulum 2013 menuntut
paradigma baru dalam pendidikan dan
pembelajaran, khususnya pada jenis dan
jenjang pendidikan formal (persekolahan).
Salah satu perubahan paradigma pembelajaran
tersebut adalah orientasi pembelajaran yang
semula berpusat pada guru beralih berpusat
pada peserta didik, dengan menggunakan
pendekatan
saintifis
lebih
bersifat
kontekstual. Kurtilas juga menghendaki materi
pembelajaran tidak hanya tersusun atas halhal sederhana yang bersifat hafalan dan
pemahaman, tetapi tersusun atas materi yang
kompleks yang memerlukan analisis, aplikasi
Pendidikan Matematika Universitas Muhammadiyah Purworejo ,
Ruang Seminar UMP, Sabtu, 28 Mei 2016
647
dan sintesis. Untuk itu diperlukan suatu
pembelajaran yang lebih variatif, inovatif dan
konstruktif dalam meningkatkan aktivitas dan
kreativitas peserta didik.
Untuk mengembangkan kemampuan
berpikir kreatif secara optimal, penulis telah
menerapkan model Discovery Learning.
Model Discovery Learning merupakan model
pembelajaran
yang
menekankan
pada
ditemukannya
konsep/prinsip
yang
sebelumnya tidak diketahui oleh peserta didik.
Dalam Discovery Learning, peserta didik
mengorganisasi sendiri bahan pelajaran yang
akan dipelajari oleh mereka, dengan kata lain,
materi pelajaran tidak disajikan dalam bentuk
akhir, tetapi lebih menekankan peserta didik
untuk menemukannya sendiri. Menurut
Kemendikbud (2013:212), “Prinsip belajar
yang tampak jelas dalam Discovery Learning
adalah materi atau bahan pelajaran yang akan
disampaikan tidak disampaikan dalam bentuk
final, akan tetapi siswa sebagai peserta didik
didorong untuk mengidentifikasi apa yang
ingin diketahui dilanjutkan dengan mencari
informasi sendiri kemudian mengorganisasi
atau membentuk (konstruktif) pengetahuan
dalam bentuk akhir”. Melalui tahapan-tahapan
tersebut, kemampuan berpikir kreatif peserta
didik dipercaya bisa dikembangkan lebih baik
dibanding melalui pembelajaran konvensional.
Walaupun sebenarnya kemampuan berpikir
kreatif peserta didik ini tidak hanya
dipengaruhi oleh model atau pendekatan yang
digunakan saja, melainkan juga dipengaruhi
oleh daya dukung, fasilitas belajar, intensitas
belajar di rumah, perkembangan kognisi
termasuk kemampuan awal matematika
peserta didik sendiri.
Berdasarkan seluruh uraian
yang
dikemukakan di atas permasalahan dalam
penelitian ini dirumuskan sebagai berikut:
1. Manakah
peningkatan kemampuan
berpikir kreatif matematik peserta didik
yang lebih baik antara yang menggunakan
model Discovery Learning model
konvensional?;
648
2.
Apakah terdapat asosiasi antara
kualitas kemampuan berpikir kritis
dan kreatif matematik siswa?
2.
a.
KAJIAN PUSTAKA
Berpikir Kreatif Matematik
Menurut
Risnanosanti
(2010:27)
“Berpikir merupakan suatu kegiatan mental
yang dialami seseorang bila mereka
dihadapkan pada suatu masalah atau situasi
yang harus dipecahkan”. Selanjutnya Ruggiero
(Risnanosanti,
2010:28)
mengemukakan
“Berpikir sebagai aktivitas mental untuk
membantu
memformulasikan
atau
memecahkan suatu masalah, membuat suatu
keputusan,
atau
memenuhi
hasrat
keingintahuan (fulfill a desire to understand)”.
Berpikir dapat diartikan sebagai aktivitas
mental seseorang untuk mengetahui segala
sesuatu yang belum diketahuinya dan untuk
mencari solusi dari permasalahan yang sedang
dihadapinya. Menurut Risnanosanti (2010:28)
“Berpikir sebagai suatu kemampuan mental
seseorang dapat dibedakan menjadi beberapa
jenis, yaitu berpikir logis, analitis, sistematis,
kritis, dan kreatif”. Dalam penelitian ini lebih
difokuskan pada berpikir kreatif.
Berpikir kreatif tidak lepas dari istilah
kreativitas. Keduanya selalu berhubungan erat,
namun mempunyai pengertian yang berbeda.
Menurut Puccio dan Murdock (Sumarmo,
Utari, 2014:245) ”Kreativitas merupakan
konstruksi payung sebagai produk kreatif dari
individu yang kreatif, memuat tahapan proses
berpikir kreatif dan lingkungan yang kondusif
untuk berlangsungnya berpikir kreatif”.
Banyak para ahli yang berpendapat mengenai
definisi kreativitas, tetapi tidak ada satu
definisi pun yang dapat diterima secara umum.
Hal ini sejalan dengan pendapat Evans
(Ratnaningsih, Nani, 2007:29) “Tidak ada
definisi kreativitas yang dapat diterima secara
umum”. Definisi kreativitas dapat dilihat dari
berbagai aspek yang saling berhubungan,
tetapi mempunyai tekanan yang berbeda.
Prosiding Seminar Nasional Matematika dan Pendidikan Matematika. “Internalisasi Nilainilai Berpikir Matematis Dalam Peranannya di Era Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA)”
Definisi kreativitas yang dikemukakan para
ahli cenderung merujuk pada satu aspek saja,
sehingga perbedaan definisi kreativitas yang
dikemukakan oleh banyak ahli merupakan
definisi yang saling melengkapi.
Rhodes (Munandar, Utami, 2012:20)
bahwa pada umumnya kreativitas dirumuskan
dalam istilah “Four P’s of Creativity: Person,
Process, Press, Product”. Kreativitas sebagai
pribadi (person) merupakan sifat pribadi
seseorang dalam menciptakan ide-ide baru dan
produk-produk yang baru. Kreativitas sebagai
proses (process) maksudnya kreativitas
merupakan sebuah proses dalam membuat
produk-produk yang baru. Kreativitas sebagai
dorongan
(press)
merupakan
inisiatif
seseorang
yang
diwujudkan
oleh
kemampuannya untuk melakukan sesuatu dan
menghasilkan suatu hasil yang baru.
Kreativitas
sebagai
produk
(product),
maksudnya bahwa kreativitas merupakan
kemampuan untuk menghasilkan sesuatu yang
baru
Guilford (Munandar, Utami, 2012:31)
berpendapat “Kreativitas atau berpikir kreatif
sebagai kemampuan untuk melihat bermacammacam kemungkinan penyelesaian terhadap
suatu masalah”. Pendapat tersebut dapat
diartikan bahwa seseorang dikatakan berpikir
kreatif jika ia mampu menunjukkan
kemungkinan jawaban yang sesuai dan tepat
dalam menyelesaikan suatu permasalahan.
Pendapat lain mengenai definisi Berpikir
kreatif dikemukakan oleh Risnanosanti
(2010:30) “Berpikir kreatif diartikan suatu
kegiatan seseorang untuk membangun ide atau
gagasan yang baru”. Dari definisi kemampuan
berpikir kreatif yang telah dikemukakan di
atas, maka dapat disimpulkan bahwa berpikir
kreatif merupakan suatu aktivitas mental
seseorang dalam menemukan kemungkinan
jawaban dari suatu masalah dan membangun
ide atau gagasan yang baru.
Williams
(Risnanosanti,
2010:33)
mengungkapkan “Ciri kemampuan berpikir
kreatif,
yaitu
kefasihan,
fleksibilitas,
orisinalitas,
dan
elaborasi”.
Menurut
Risnanosanti (2010:33), “Kefasihan adalah
kemampuan untuk menghasilkan pemikiran
atau pertanyaan dalam jumlah yang banyak.
Fleksibilitas adalah kemampuan untuk
menghasilkan banyak macam pemikiran, dan
mudah berpindah dari jenis pemikiran tertentu
pada jenis pemikiran lainnya. Orisinalitas
adalah kemampuan untuk berpikir dengan cara
yang baru atau dengan ungkapan yang unik”.
Selanjutnya Munandar, Utami (2014:359)
mengemukakan ciri-ciri kemampuan berpikir
kreatif, yaitu: Ciri-ciri fluency meliputi: a)
mencetuskan banyak ide, banyak jawaban,
banyak penyelesaian masalah, banyak
pertanyaan dengan lancar; b) memberikan
banyak cara atau saran untuk melakukan
berbagai hal; c) selalu memikirkan lebih dari
satu jawaban. Ciri-ciri flexibility antara lain
adalah: a) menghasilkan gagasan, jawaban,
atau pertanyaan yang bervariasi, dapat melihat
suatu masalah dari sudut pandang yang
berbeda-beda; b) mencari banyak alternatif
atau arah yang berbeda-beda; c) mampu
mengubah cara pendekatan atau cara
pemikiran. Ciri-ciri originality antara lain: a)
mampu melahirkan ungkapan yang baru dan
unik; b) memikirkan cara yang tidak lazim
untuk mengungkapkan diri; c) mampu
membuat kombinasi- kombinasi yang tidak
lazim dari bagian-bagian atau unsur-unsur.
Ciri-ciri elaboration antara lain: a) mampu
memperkaya dan mengembangkan suatu
gagasan atau produk; b) menambah atau
memperinci detail-detail dari suatu obyek,
gagasan, atau situasi sehingga menjadi lebih
menarik.
b. Model Discovery Learning
Discovery Learning pertama
kali
diperkenalkan oleh Bruner, seorang tokoh
pendidikan
dari
Polandia
yang
memperkenalkan
strategi
pembelajaran
melalui pengamatan dan penyelidikan secara
konsisten dan sistematis. Discovery Learning
Pendidikan Matematika Universitas Muhammadiyah Purworejo ,
Ruang Seminar UMP, Sabtu, 28 Mei 2016
649
bisa juga disebut dengan Discovery Strategy
seperti yang diungkapkan oleh Illahi,
Mohammad Takdir (2012:41) “Discovery
Learning atau yang biasa disebut dengan
Discovery Strategy”. Dalam pembelajaran
Discovery (penemuan) kegiatan pembelajaran
dirancang sedemikian rupa, sehingga peserta
didik dapat menemukan konsep-konsep dan
prinsip-prinsip melalui proses mentalnya
sendiri.
Menurut Mulyasa (Illahi, Mohammad
Takdir, 2012:32)
“Discovery
Strategy
merupakan strategi pembelajaran yang
menekankan
pengalaman
langsung
di
lapangan, tanpa harus selalu bergantung pada
teori-teori pembelajaran yang ada dalam
pedoman buku pelajaran”. Selanjutnya
Masarudin Siregar (Illahi, Mohammad Takdir,
2012:30) mengemukakan, “Discovery by
Learning adalah proses pembelajaran untuk
menemukan sesuatu yang baru dalam kegiatan
belajar-mengajar.
Dalam
konteks
ini,
menemukan sesuatu berarti mereka mengenal,
menghayati, dan memahami sesuatu yang
belum pernah diketahui sebelumnya”.
Pada pembelajaran Discovery Learning,
peserta didik dituntut untuk terlibat aktif di
dalam kelas dalam menemukan suatu teori
atau konsep yang belum diketahuinya. Peserta
didik tidak hanya mengacu pada buku
pelajaran yang telah disediakan di sekolah,
tetapi dapat mencari informasi dari beberapa
sumber yang relevan seperti berbagai buku,
internet, percobaan atau observasi
Menurut Syah (Kemendikbud, 2013:216217) Langkah-langkah pembelajaran discovery
adalah sebagai berikut.
1) Stimulasi
Pada tahap ini siswa dihadapkan pada
sesuatu yang menimbulkan kebingungan dan
dirangsang untuk melakukan kegiatan
penyelidikan guna menjawab kebingungan
tersebut.
2) Menyatakan masalah
Pada tahap ini siswa diarahkan untuk
mengidentifikasi sebanyak mungkin masalah
650
yang relevan dengan bahan pelajaran,
kemudian salah satunya dipilih dan
dirumuskan dalam bentuk hipotesis.
3) Pengumpulan data
Pada tahap ini siswa ditugaskan untuk
melakukan kegiatan eksplorasi, pencarian, dan
penelusuran dalam rangka mengumpulkan
informasi yang sebanyak-banyaknya yang
relevan untuk membuktikan benar hipotesis
yang diajukannya
4) Pengolahan data
Pada tahap ini siswa mengolah data dan
informasi yang telah diperolehnya, baik
melalui
wawancara,
observasi,
dan
sebagainya, lalu ditafsirkan
5) Pembuktian
Pada tahap ini siswa melakukan
pemeriksaan
secara
cermat
untuk
membuktikan benar atau tidaknya hipotesis
yang ditetapkan tadi dengan temuan alternatif,
dihubungkan dengan pengolahan data.
6) Menarik Kesimpulan
Pada tahap ini siswa menarik sebuah
kesimpulan yang dapat dijadikan prinsip
umum dan berlaku untuk semua kejadian atau
masalah yang sama, dengan memperhatikan
hasil verifikasi.
3.
METODE PENELITIAN
Penelitian ini merupakan suatu kuasi
eksperimen
dengan
desain
yang
digambarkan sebagai berikut
A O X O
A O
O
dengan
A
O
X
= Pengelompokan subjek secara acak
= Pretes dan postes kemampuan berpikir
kreatif
= Penggunaan model discovery learning
Subjek populasi dalam penelitian ini
adalah seluruh peserta didik SMKN 2 di Kota
Tasikmalaya.
Pengambilan
sampel
menggunakan purposive sampling dan random
sampling. Sampel penelitian yang diambil
Prosiding Seminar Nasional Matematika dan Pendidikan Matematika. “Internalisasi Nilainilai Berpikir Matematis Dalam Peranannya di Era Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA)”
adalah kelas X TKJ. Instrumen yang
digunakan untuk mengukur kemampuan
berpikir kreatif matematik yaitu seperangkat
soal kemampuan berpikir kreatif matematik
yang berbentuk uraian. Sebelum digunakan,
instrumen tersebut terlebih dahulu diuji coba
secara empiris pada peserta didik di luar
sampel, untuk melihat validitas butir soal dan
reliabilitas instrumen. Untuk menguji hipotesis
pertama digunakan uji perbedaan dua rerata
yaitu dengan menggunakan Uji-t sedangkan
hipotesis kedua diuji dengan uji korelasi.
Untuk kepentingan pengujian hipotesis
tersebut seluruh perhitungan statistika dalam
penelitian ini menggunakan perangkat lunak
SPSS 21 dan Microsoft-Office-Excel 2007,
dengan tingkat kepercayaan 95%.
4.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Gambaran umum kualitas kemampuan
berpikir kreatif matematik peserta didik
berdasarkan model Discovery Learning yang
diterapkan, diperoleh rata-rata skor pretes 6,11
dan rata-rata skor postesnya 16,89. Rata-rata
normal gain yang diperoleh di kelas
eksperimen yaitu 0,75 dengan nilai normal
gain terbesar sebesar 1,00 dan nilai normal
gain terkecil sebesar 0,3. Untuk kelas
konvensional diperoleh rata-rata skor pretes
4,31 dan rata-rata skor postesnya 14,72. Ratarata normal gain yang diperoleh di kelas
kontrol yaitu 0,66 dengan nilai normal gain
terbesar sebesar 0,89 dan nilai normal gain
terkecil sebesar 0,38.
Gambaran secara umum menunjukkan
adanya perbedaan yang signifikan. Selanjutnya
dilakukan uji-t, diperoleh ttab = 1,67 dan thit =
10,90, dengan demikian H0 ditolak berarti
terdapat perbedaan yang signifikan antara
kemampuan berpikir kreatif matematik
melalui
model
Discovery
Learning.
Berdasarkan hasil analisis terhadap proses
penyelesaian soal-soal berpikir kreatif
matematika diidentifikasi bahwa pada tahap
fluency dan flexibility, peserta didik belum
mampu menuangkan ide secara beragam.
Hampir setiap ide yang diungkapkan oleh
seluruh peserta didik sama. Setelah diamati
ternyata peserta didik lebih cenderung
menggunakan cara yang diajarkan gurunya
dibanding
menyusun
caranya
sendiri.
Beberapa peserta didik ada yang menuangkan
gagasan berbeda, namun ketika divalidasi
lebih lanjut ternyata cara yang mereka
tuangkan masih berupa konjektur tanpa
mereka pahami pembuktiannya. Dari aspek
originality diidentifikasi bahwa kemampuan
berpikir peserta didik sudah baik, hal ini bisa
dipastikan dari cara mereka menjawab saat
diwawancara oleh penulis berdasarkan
jawaban yang mereka tulis. Aspek elaboration
tidak terjadi secara merata pada seluruh
peserta didik, melainkan hanya berhasil pada
sebagian kecil peserta didik. Setelah
diobservasi lebih lanjut ternyata peserta didik
yang mampu mencapai tahapan ini dengan
baik memiliki kemampuan awal matematika
yang bagus. Artinya sebelum diberikan
pembelajaran, peserta didik yang masuk ke
dalam kelompok ini telah memiliki modal
pengetahuan yang lebih baik.
Hasil analisis kedua menyatakan bahwa
terdapat asosiasi antara kemampuan awal
matematika peserta didik dengan kemampuan
berpikir kreatifnya. Hal ini sesuai dengan hasil
yang digambarkan oleh analisis pertama
bahwa peserta didik yang kemampuan awal
matematiknya lebih tinggi cenderung memiliki
kemampuan berpikir kreatif yang lebih baik.
Hubungan keduanya tergolong kuat dengan
nilai koefisien korelasi r =
0.73 yang
signifikan pada
Hasil penelitian menunjukkan terdapat 2
orang peserta didik yang tergolong ke dalam
data pencilan tetapi tidak dibuang dalam
penelitian ini. Ke dua peserta didik tersebut
memiliki kemampuan awal yang paling rendah
dibanding yang lainnya tetapi memiliki
kemampuan berpikir kreatif yang paling
tinggi. Kasus ini bisa terjadi pada dua
kemungkinan,
pertama
mereka
tidak
Pendidikan Matematika Universitas Muhammadiyah Purworejo ,
Ruang Seminar UMP, Sabtu, 28 Mei 2016
651
mengerjakan tes KAM dengan baik atau
kedua,
mereka
memiliki
kemampuan
mengasimilasi
dan
mengakomodasi
pengetahuan dengan sangat baik. Hal ini
terlihat
bahwa
ketika
pembelajaran
berlangsung, kedua peserta didik ini sangat
aktif.
5.
KESIMPULAN
Berdasarkan hasil pengolahan data
penelitian, dapat disimpulkan bahwa:
1) Peserta didik yang memperoleh model
Discovery
Learning
memiliki
peningkatan kemampuan berpikir kreatif
lebih baik daripada peserta didik yang
memperoleh pembelajaran konvensional (
 = 5%);
2) Terdapat asosiasi yang signifikan antara
kemampuan awal matematik peserta didik
dengan kemampuan berpikir kreatif
peserta didik melalui model Discovery
Learning.
Penulis berharap ada yang peneliti
berikutnya yang mengamati proses berpikir
kreatif matematik peserta didik dilihat dari
tingkat perkembangan kognisinya.
6. REFERENSI
Abidin, Yunus (2014). Desain Sistem
Pembelajaran dalam Konteks
Kurikulum 2013. Bandung: PT. Refika
Aditama
Huda,
Miftahul
(2014).
Model-model
Pengajaran
dan
Pembelajaran.
Yogyakarta: Pustaka Belajar
Illahi,
Mohammad
Takdir.
(2012).
Pembelajaran Discovery Strategy dan
Mental Vocational Skill. Yogyakarta:
DIVA Press
Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan.
(2013).
Materi
Pelatihan
Guru
Implementasi Kurikulum 2013. Jakarta:
Badan Pengembangan Sumber Daya
Manusia Pendidikan dan Kebudayaan
dan Penjaminan Mutu Pendidikan.
652
Kurniasih, Imas dan Berlin Sani. (2014).
Sukses Implementasi Kurikulum 2013.
Yogyakarta: Kata Pena.
Munandar, Utami (2012). Perkembangan
Kreativitas Anak Berbakat. Jakarta:
Rineka Cipta.
Purnama,
Nita
(2014).
“Pengaruh
Penggunaan Model Discovery Learning
Terhadap Kemampuan Berpikir Kreatif
Matematik Peserta Didik”. Skripsi
UNSIL. Tasikmalaya: Tidak diterbitkan.
Risnanosanti (2010). Kemampuan Berpikir
Kreatif Matematis dan Self Efficacy
terhadap Matematika Siswa Sekolah
Menengah
Atas
(SMA)
dalam
Pembelajaran Inkuiri. Disertasi UPI.
Bandung: Tidak diterbitkan.
Rosliana,
Priasti
(2011).
“Pengaruh
Penggunaan Model Problem Based
Learning
Terhadap
Kemampuan
Berpikir Kreatif Matematik Peserta
Didik”. Skripsi UNSIL. Tasikmalaya:
Tidak diterbitkan.
Rusman (2013). Model-Model Pembelajaran
Mengembangkan Profesionalisme Guru.
Jakarta: PT Raja Grafindo Persada
Sani, Ridwan Abdulloh (2014). Pembelajaran
Saintifik untuk Implementasi Kurikulum
2013. Jakarta: Bumi Aksara
Sanjaya, Wina (2010). Strategi Pembelajaran
Berorientasi Standar Proes Pendidikan.
Jakarta: Prenada Media Grup.
Somantri, Ating dan Sambas Ali Muhidin
(2006). Aplikasi Statistika Dalam
Penelitian. Bandung: Pustaka Setia.
Sumarmo, Utari (2014). Kumpulan Makalah
Berpikir dan Disposisi Matematik Serta
Pembelajarannya. Bandung: Tidak
diterbtkan.
TIM MKPBM. (2001). Strategi Pembelajaran
Matematika Kontemporer. Bandung:
JICA UPI.
Prosiding Seminar Nasional Matematika dan Pendidikan Matematika. “Internalisasi Nilainilai Berpikir Matematis Dalam Peranannya di Era Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA)”
GEOMETRI DALAM STUKTUR BANGUNAN CANDI BOROBUDUR UNTUK
PEMBELAJARAN BERBASIS ETNOMATEMATIKA
Almu Noor Romadoni1), Akmal Hi Dahlan22)
1
FKIP, Universitas Sanata Dharma Yogyakarta
email: [email protected]
2
FKIP, Universitas Sanata Dharma Yogyakarta
email: [email protected]
Abstrak
Penelitian ini bertujuan untuk mengungkap etnomatematika terdapat dalam candi Borobudur dan
Penggunaan candi Borobudur untuk pembelajaran di sekolah berbasis etnomatematika. Pada
Penelitian ini digunakan foto sebagai media pembelajaran. Penelitian ini merupakan penelitian
deskriftif kualitatif. Subjek dalam penelitian ini terbagi dua yaitu narasumber yang mengetahui
informasi tentang Candi Borobudur dan siswa kelas VII SMP Pangudi luhur Srumbung, Muntilan,
Magelang, Jawa Tengah yang akan menggunakan model pembelajaran Tipe TSTS dalam
pembelajaran. Objek dalam penelitian ini adalah Candi Borobudur serta unsur-unsur matematika
sederhana yang terdapat dalam candi tersebut. Candi Borobudur dan Sekolah yang berada di dekat
candi Borobudur yang mengetahui, memahami, serta dekat dengan kesaharian dengan candi beserta
budaya di Candi Borobudur dipilih sebagai sumber data penelitian. Hasil penelitian menunjukkan
bahwa etnomatematika baik digunakan untuk pembelajaran disekolah yang dekat dengan kehidupan
nyata siswa. Hasil penelitian menunjukkan bahwa setelah diterapkan pembelajaran berbasis
etnomatematika yang menggunakan model pembelajaran tipe TSTS dapat meningkatkan keaktifan
dan kepercayaan diri siswa dalam mengemukakan pendapat. Saran, sebagai tenaga pengajar
hendaknya menciptakan suatu inovasi yang dapat mengembangkan bakat, menumbuhkan minat dan
meningkatkan kebiasaan belajar siswa, sehingga konsep belajar matematika yang diperolehnya
diharapkan lebih baik dan dipertimbangkan masalah budaya sehingga matematika tidak terlalu jauh
dari kehidupan nyata siswa.
Kata Kunci: Etnomatematika, Budaya, Borobudur
1. PENDAHULUAN
Indonesia memiliki sebuah catatan sejarah
budaya yang dilakukan oleh dua negeri besar di
Benua Asia, dengan tingkat beradabannya yang
tinggi. Kedua negara tersebut adalah India dan
Cina. Jalinan kerjasama ini melalui jalur darat
maupun laut. Salah satu jalur yang
menguntungkan
bagi
Indonesia
adalah
perdagangan melalui jalur laut. Arus lalulintas
yang dilewati India-Cina dalam perdagangan
dan pelayaran adalah selat Malaka. Indonesia
yang terletak pada jalur strategis yaitu posisi
silang dua benua dan dua samudra, serta berada
didekat selat Malaka memiliki keuntungan.
Keterlibatan
bangsa
Indonesia
dalam
perdagangan dan pelayaran internasional
mengakibatkan
timbulnya
percampuran
budaya. Salah satu negara yang memberikan
pengaruh budaya terhadap Indonesia adalah
India. India merupakan negara pertama yang
memberikan pengaruh terhadap Indonesia,
yaitu dalam bentuk budaya Hindu Budha.
Sebaga bukti bercoraknya budaya Budha
adalah dengan adanya berbagai macam
percandian yang tersebar di Indonesia
khusunya di pulau Jawa tidak terkecuali Candi
Borobudur.
Budaya adalah buah atau hasil karya cipta
dan rasa masyarakat (Soelaiman Soemardi dan
Selo Soemardjan). Budaya adalah hasil
perjuangan masyarakat terhadap alam dan
Pendidikan Matematika Universitas Muhammadiyah Purworejo ,
Ruang Seminar UMP, Sabtu, 28 Mei 2016
653
zaman yang membuktikan kemakmuran dan
kejayaan hidup masyarakat yang menyikapi
atau menghadapi kesulitan dan rintangan untuk
mencapai kemakmuran, keselamatan dan
kebahagiaan hidupnya (Ki Hajar Dewantara).
Jadi budaya dapat diartikan sebagai hasil dari
pola hidup yang meliputi unsur-unsur sosial
kegiatan manusia yang didalamnya terdapat
pengetahuan yang berasal dari anggota
masyarakat.
Bermula dari budaya Budha yang
melahirkan sebuah Candi Borobudur, maka jika
diteliti ternyata akan menimbulkan banyak ilmu
pengetahuan yang tersirat dalam pembangunan
itu sendiri, dengan menggunakan berbagai
macam disiplin ilmu kita dapat mengembangan
pengetahuan dari setiap sudut pandang
keilmuan. Misalnya dengan menggunakan
pendekatan matematika.
Perkembangan peradapan manusia itu
sendiri tidak terlepas dari ilmu-ilmu dasar
(Basic Sciences ) sebagai dasar logika berfikir.
Manusia telah banyak belajar matematika
bagaimana untuk mengenal dan menjelaskaan
fenomena-fenomena
yang
terjadi
disekelilingnya. Dengan matematika manusia
dapat
mempelajari
dan
mendapatkan
pengetahuan atas fenomena yang terjadi atau
yang diamati (Ensiklopedia Matematika).
Salah satu pembelajaran matematika yang
inovatif dapat dilakukan melalui pendekatan
budaya atau yang disebut ethnomatematika.
Ethnomatematika bisa didefenisikan sebagai
cara-cara khusus yang dapat dilakukan oleh
suatu kelompok dalam melukan aktivitas
matematika. Bentuk dari ethnomatematika
berupa hasil dari aktivitas matematika yang
dimiliki atau berkembang pada kelompok itu
sendiri, meliputi konsep matematika pada
peninggalan budaya berupa candi dan prasati,
peralatan tradisional, permainan tradisional,
dan berbagai macam hasil aktifitas yang yang
sudah membudaya.
dan berkelanjutan dalam pengetahuan siswa di
ruang kelas pada pembelajaran matematika.
Beberapa ahli telah mengembangkan teori
belajar yang berhubungan dengan budaya yang
relevan dalam proses belajar-mengajar dalam
paradigma kritis dan melalui koneksi eksplisit
antara budaya siswa dan materi pelajaran
sekolah. D‟Ambrosio mengatakan bahwa
etnomatematika
adalah
studi
tentang
matematika yang memperhitungkan budaya
dimana matematika muncul dengan memahami
penalaran dan sistem matematika yang mereka
gunakan.
Sangat
penting
bahwa
ethnomathematics dibahas ketika melakukan
penelitian yang meneliti budaya dan
matematika. "Ethnomathematics digunakan
untuk
menyatakan
hubungan
antara budaya dan matematika "(D'Ambrosio).
Koneksi
ethnomathematics
dalam penelitian ini mengacu pada matematika
seperti yang dipraktikkan di banyak sekolah
dalam kaitannya dengan penggunaan masalah
cerita buku teks tradisional dalam kurikulum.
D'Ambrosio (2001)
Berdasarkan
uraian
latar
belakang
permasalahan tersebut maka masalah yang
diajukan dalam pelelitian ini adalah :
Apa saja unsur matematis geometri sederhana
pada Candi Borobudur?
Bagaimana penerapan ertnomatematika dalam
pembelajaran matematika?
Sesuai dengan rumusan masalah tersebut,
penelitian ini dilakukan dengan tujuan:
Untuk mengetahui unsur matematis pada Candi
Borobudur.
Untuk mengetahui bagaimana penerapan
ertnomatematika
dalam candi Borobudur
dalam pembelajaran matematika
Perubahan penting dalam pembelajaran
matematika memerlukan sebuah tempat untuk
mengakomodasi perubahan yang terus-menerus
654
Prosiding Seminar Nasional Matematika dan Pendidikan Matematika. “Internalisasi Nilainilai Berpikir Matematis Dalam Peranannya di Era Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA)”
2. KAJIAN LITERATUR
Candi Borobudur merupakan candi yang
dibangun sekitar tahun 824 M pada masa
pemerintahan Wangsa Syailendra. Berdasarkan
prasasti Karangtengah dan Kahulungan, JG de
Casparis (peneliti dari Belanda) Borobudur di
dirikan oleh seorang Raja Samaratungga dari
Dinasti Syailendra. Casparis menyimpulkan
bahwa nama lengkap monumen ini adalah
Bhumisambharabhuddhara
yang
berarti
“Gunung himpunan kebijakan sepuluh tingkat
Bodhisatwa”. Bangunan raksasa itu dapat
dirampungkan pada masa pemerintahan
putrinya, Ratu Pramodhawardhani (Casparis:
1950 dalam Hudaya: 2004). Candi Borobudur
juga merupakan objek wisata kebanggaan
bangsa Indonesia dan termasuk dalam tujuh
keajaiban dunia, yang terletak di desa
Borobudur Kecamatan Magelang. Selain
merupakan salah objek wisata yang memiliki
keindahan alam karena letaknya diketinggian
gunung yang menjulang tinggi, candi
Borobudur juga banyak menyimpan nilai-nilai
religius. Salah satunya adalah sebagai tempat
ziarah untuk memberikan tuntunan bagi umat
manusia agar beralih dari alam nafsu duniawi
menuju pencerahan dharma dan kebijaksanaan
(Hudaya: 2004). Bangunan raksasa candi
borobudur tersebut baru dapat di rampungkan
pembangunannya pada masa pemerintahan
Ratu Pramodhawardhani yaitu putrinya raja
Samatungga
sendiri
diperkirakan
menghabiskan waktu sekitar setengah abad.
Geometri adalah cabang matematika yang
bersangkutan dengan pertanyaan bentuk,
ukuran, posisi relatif tokoh, dan sifat ruang.
benda-benda ruang beserta sifat-sifatnya,
ukuran-ukurannya dan hubungan antara satu
dengan yang lain.
Dari beberapa definisi geometri diatas,
dapat disimpulkan bahwa geometri adalah salah
satu cabang matematika yang mempelajari
tentang bentuk, ruang, komposisi beserta sifatsifatnya, ukuran-ukurannya dan hubungan
antara satu dengan yang lain.
Etnomatematika
diperkenalkan
oleh
D'Ambrosio, seorang matematikawan Brasil
pada tahun 1977.
Definisi
etnomatematika
menurut
D'Ambrosio adalah: Secara bahasa, awalan
“ethno” diartikan sebagai sesuatu yang sangat
luas yang mengacu pada konteks sosial budaya,
termasuk bahasa, jargon, kode perilaku, mitos,
dan symbol. Kata dasar “mathema” cenderung
berarti menjelaskan, mengetahui, memahami,
dan
melakukan
kegiatan
seperti
pengkodean,
mengukur, mengklasifikasi.
Sedangkan secara istilah etnomatematika
diartikan
sebagai:
matematika
yang
dipraktekkan diantara kelompok budaya
diidentifikasi seperti masyarakat nasional suku,
kelompok buruh, anak-anak dari kelompok usia
tertentu dan kelas profesional" (D'Ambrosio,
1985).
Dari
definisi
tersebut
maka
ethnomnatematika memiliki pengertian yang
lebih luas dari hanya sekedar ethno (etnik)
maka etnomatematika didefinisikan sebagai
antropology budaya (culture antropology of
mathematics) dari matematika dan pendidikan
matematika.
Muhmmad Fakhri Aulia menyebutkan
bahwa geometri dalam pengertian dasar adalah
sebuah cabang ilmu yang mempelajari
pengukuran bumi dan proyeksinya dalam
sebuah bidang dua dimensi.
Dari definisi tersebut etnomatematika dapat
diartikan sebagai matematika yag dipraktikkan
oleh kelompok budaya, seperti masyarakat
perkotaan dan pedesaan, kelompok buruh,
anak-anak dari kelompok usia tertentu,
masyarakatadat, dan lainnya.
Alders menyatakan bahwa geometri adalah
salah
satu
cabang
matematika
yang
mempelajari tentang titik, garis, bidang dan
D'Ambrosio (1985) menyatakan bahwa
tujuan dari adanya etnomatematika adalah
untuk mengakui bahwa ada cara-cara berbeda
Pendidikan Matematika Universitas Muhammadiyah Purworejo ,
Ruang Seminar UMP, Sabtu, 28 Mei 2016
655
dalam
melakukan
matematika
dengan
mempertimbangkan pengetahuan matematika
akademik yang dikembangkan oleh berbagai
sektor
masyarakat
serta
dengan
mempertimbangkan modus yang berbeda
dimana budaya yang berbeda merundingkan
praktek
matematika
mereka
(cara
mengelompokkan,
berhitung,
mengukur,
merancang bangunan atau alat, bermain
danlainnya).
Dengan demikian, sebagai hasil dari
sejarah budaya matematika dapat memiliki
bentuk yang berbeda-beda dan berkembang
sesuai dengan perkembangan masyarakat
pemakainya. Etnomatematika menggunakan
konsep matematika secara luas yang terkait
dengan berbagai aktivitas matematika, meliputi
aktivitas
mengelompokkan,
berhitung,
mengukur, merancang bangunan atau alat,
bermain, menentukan lokasi, dan lain
sebagainya
Model pembelajaran tipe TSTS (Two Stay
Two Stray) ialah salah satu model pembelajaran
kooperatif yang dikembangkan oleh Spencer
Kagan pada tahun 1990 dan bisa dikembangkan
dengan teknik kepala bernomor dan dapat
digunakan dalam semua mata pelajaran dan
untuk semua tingkatan usia anak didik (Anita
Lie, 2008 : 61).
Pembelajaran kooperatif tipe Two Stay Two
Stray (TSTS)), merupakan salah datu dari
metode pembelajaran kooperatif yang berarti
dalam bahasa adalah metode dua tinggal dua
tamu. Menurut Agus Suprijono (2009:93-94),
pembelajaran dengan metode ini diawali
dengan
pembagian
kelompok.
Setelah
kelompok terbentuk guru memberikan tugas
berupa permasalahan-permasalahan yang harus
mereka diskusikan jawabannya. Setelah diskusi
intrakelompok usai, dua orang dari masingmasing kelompok meninggalkan kelompoknya
untuk bertamu kepada kelompok yang lain.
Anggota kelompok yang tidak mendapat tugas
sebagai tamu mempunyai kewajiban menerima
656
tamu dari suatu kelompok. Tugas mereka
adalah menyajikan hasil kerja kelompoknya
kepada tamu tersebut. Dua orang yang bertugas
sebagai tamu diwajibkan bertamu kepada
semua kelompok. Jika mereka telah usai
menunaikan tugasnya, mereka kembali ke
kelompoknya masing-masing. Setelah kembali
ke kelompok asal, baik siswa yang bertugas
bertamu maupun mereka yang bertugas
menerima tamu mencocokkan dan membahas
hasil kerja yang telah mereka tunaikan serta
membuat laporan.
Problem posing adalah pembelajaran yang
mengharuskan siswa menyusun pertanyaan
sendiri atau memecah suatu soal menjadi
pertanyaan-pertanyaan yang lebih sederhana
yang mengacu pada penyelesaian soal tersebut
Herdian (2009: 1). Suryanto (Nursalam, 2008)
mengemukakan bahwa problem posing
merupakan istilah dalam bahasa Inggris yang
sebagai padanan katanya digunakan istilah
“merumuskan masalah (soal)” atau “membuat
masalah (soal)”. Problem posing adalah suatu
bentuk pendekatan dalam pembelajaran
matematika yang menekankan pada perumusan
soal, yang dapat mengembangkan kemampuan
berpikir matematis atau menggunakan pola
pikir matematis
Menurut Brown dan Walter (1990:15)
informasi atau situasi problem posing dapat
berupa gambar, benda manipulatif, permainan,
teorema atau konsep, alat peraga, soal, atau
selesaian dari suatu soal.
Dari
uraian
ini
kita
dapat
menyimpulkan
bahwa
problem
posing
merupakan suatu pembentukan soal atau
pengajuan soal yang dilakukan oleh siswa
dengan cara membuat soal tidak jauh beda
dengan soal yang diberikan oleh guru ataupun
dari situasi dan pengalaman siswa itu sendiri
baik yang bersumber berupa gambar, alat
peraga, teorema atau gambar, serta bendabenda yang dapat dimanipulatif oleh siswa
sendiri.
Prosiding Seminar Nasional Matematika dan Pendidikan Matematika. “Internalisasi Nilainilai Berpikir Matematis Dalam Peranannya di Era Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA)”
Oleh karena itu pada prinsipnya, model
pembelajaran problem posing adalah suatu
model pembelajaran yang mewajibkan para
siswa untuk mengajukan soal sendiri melalui
belajar soal (berlatih soal) secara mandiri.
metode yang dilakukan dengan cara
mengadakan pengamatan secara teliti serta
pencatatan secara sistematis, (Arikunto,
2011:30).
Observasi
digunakan
untuk
memperoleh data guna memperkuat data yang
diperoleh
3. METODE PENELITIAN
Jenis dari penelitian yang dilakukan yaitu
penelitian kualitatif. Penelitian kualitatif adalah
penelitian yang dilakukan dengan meneliti
suatu masalah secara alamiah dan dilakukan
untuk menganalisis dan mendeskripsikan
masalah tersebut. Penelitian deskriptif kualitatif
adalah penelitian yang menggambarkan secara
tepat sifat, keaadaan, gejala atau kelompok
tertentu. Penelitian ini akan menggambarkan
informasi tentang hasil penelitian.
Observasi merupakan salah satu metode
yang dilakukan untuk menggali informasi
tentang motif candi Borobudur. Obervasi
dilakukan antara lain dengan mencari informasi
tentang struktur candi Borobudur dan menggali
informasi tentang siswa di SMP Pangudi Luhur
Srumbung.
Subjek dalam penelitian ini adalah
narasumber yang mengetahui informasi tentang
Borobudur yaitu salah seorang ahli tentang
sejarah kesenian Indonesia kuno yang juga
merupakan dosen Ilmu sejarah Universitas
Sanata Dharma. Drs.Hb.Herry Santosa, M.Hum
dan siswa kelas vii SMP Pangudi luhur
Srumbung, Muntilan, Magelang, Jawa Tengah
Objek dalam penelitian ini adalah Candi
Borobudur serta unsur-unsur matematika
sederhana yang terdapat dalam candi tersebut.
Bentuk data dalam penelitian ini berupa
data kualitatif yang diperoleh berdasarkan hasil
observasi, wawancara, serta analisis dokumen.
Penelitian ini dilakukan di Candi
Borobudur yang beralamat di desa Borobudur,
Kecamatan Borobudur, Magelang, Jawa
Tengah pada tahun 2015 dan di SMP Pangudi
luhur Srumbung, Muntilan, Magelang, Jawa
Tengah pada tahun 2016.
Metode
pengumpulan
data
yang
digunakan dalam penelitian ini adalah sebagai
berikut:
Metode lain yang digunakan dalam
mencari informasi mengenai Candi Borobudur
yaitu wawancara. Wawancara dilakukan
terhadap narasumber yang
mengetahui
informasi tentang motif Candi Borobudur
berdasarkan pedoman wawancara yang
dipersiapkan peneliti.
Metode analisis dokumen juga dilakukan
untuk mengumpulkan data berupa informasi
Candi Borobudur. Dokumen yang dianalisis
untuk menggali informasi-informasi tersebut
antara lain berupa buku, artikel, karya ilmiah,
arsip atau dokumen lainnya.
Hasil penelitian dari observasi akan lebih
kredibel atau dapat dipercaya apabila didukung
foto-foto, tulisan, atau karya-karya dari
responden yang diteliti. Namun dokumen yang
dipakai haruslah dokumen yang mencerminkan
keadaan yang sebenarnya bukan dokumen yang
dibuat untuk kepentingan tertentu.
Instrumen penelitian adalah alat atau
fasilitas yang digunakan untuk mengumpulkan
data agar pekerjaan lebih mudah dan hasilnya
lebih baik dalam arti lebih cermat, lengkap, dan
sistematis agar mudah diolah, (Arikunto, 2006:
160). Instrumen
dalam penelitian ini
meliputi.
Instrumen
pengumpulan
data
yang
Observasi atau pengamatan adalah suatu
Pendidikan Matematika Universitas Muhammadiyah Purworejo ,
Ruang Seminar UMP, Sabtu, 28 Mei 2016
657
digunakan dalam penelitian ini yaitu foto 4. HASIL DAN PEMBAHASAN
tentang candi Borobudur dan kertas asturo
Berdasarkan hasil kerja siswa yang dilihat
untuk pembuatan poster mini.
dari pembuatan poster mini dan hasil laporan
oleh siswa, diperoleh topik-topik data berupa
aspek matematis geometri sederhana yang
terdapat dalam candi borobudur yang dapat
dilihat pada deskripsi berikut:
Gambar 1
Foto hasil poster mini dari kelompok 1
Tabel 1
Deskripsi hasil poster mini siswa kelompok 1
Kelompok 1
1) Borobudur merupakan tempat
wisata
2) Pemandangan yang mengesankan
3) Termasuk candi Budha
4) Candinya besar
5) Ukirannya indah
6) Tempatnya bersih
7) Unik
8) Merupakan tempat bersejarah
9) Banyak orang berjualan
10) Termasuk Keajaiban dunia
11) Banyak barang oleh-oleh
12) Banyak pepohonan
658
13) Letaknya strategis
14) Bentuk candi berbeda dengan yang
lain
15) Tempat merayakan hari raya waisak
16) Banyak cerita yang terukir di
dalamnya
17) Salah satu keindahan Indonesia
18) Salah satu tujuan orang manca
Negara untuk berwisata
19) Relief yang tergambar di candi
menggambarkan kehidupan di masa
lampau
Prosiding Seminar Nasional Matematika dan Pendidikan Matematika. “Internalisasi Nilainilai Berpikir Matematis Dalam Peranannya di Era Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA)”
1) Harga tiket masuk candi Borobudur
senilai Rp.50.000,2) Pengunjung dalam sehari mencapai
lebih dari 100 orang
3) Wisatawan dari manca Negara
mencapai 68%
4) Wisatawan local mencapai 32%
5) Harga souvenir untuk seluruh
wisatawan Rp.30.000,6) Parkir roda 4 Rp.5.000,7) Parkir roda 2 Rp.2.000,1) Candi Borobudur berbentuk berucut
2) Apa bentuk alas dari kerucut
-Lingkaran
3) Ada berapa sisi yang
terdapat
-2 sisi
5) Ada bangunan yang dari depan
bentuknya persegi panjang, yang
mempunyai rumus panjang x lebar
dan dari atas berbentuk balok, balok
jika dihitung volumenya maka kita
akan menggunakan rumus p x l x t.
6) Terdapat juga relief yang berbentuk
lingkaran yang bediameter 14 cm.
Luas?
Keliling?
a) Luas=
= .7.7= 154 cm
4) Waktu yang ditembuh dari
candi ke rumah
b) Keliling=2
=2
7=44 cm
Gambar 2
Foto hasil poster mini dari kelompok 2
Pendidikan Matematika Universitas Muhammadiyah Purworejo ,
Ruang Seminar UMP, Sabtu, 28 Mei 2016
659
Tabel 2
Deskripsi hasil poster mini siswa kelompok 2
Kelompok II
Yang kami ketahui tentang candi Borobudur
1)
2)
3)
4)
5)
6)
7)
Sebagai tempat wisata di daerah Magelang
Peninggalan sejarah kerajaan Budha
Candi Borobudur pernah masuk 7 keajaiban dunia
Memiliki banyak sejarah
Candi Borobudur adalah salah satu candi yang memiliki punden berundak
Sebagai penarik wisatawan domestic dan mancanegara
Memiliki 10 tingkatan yang berbeda
Permasalahan Matematika
1)
2)
3)
4)
Berapa diameter setiap lingkaran stupa
Stupa candi berbentuk menyerupai kerucut
Batu candi dikombinasikan batu berbentuk kubus dan balok
Patung Dewa bagian lengan berbentuk segitiga
Ilustrasi Permasalahan Geometri
1) Misalkan diameter lingkaran stupa
tersebut 14 m. Berapakah keliling
dan luasnya:
2) K=2
3) L=

Keliling lingkaran=2
Luas lingkaran=
= .7.7= 154 m
2
7= 44 m
Misalkan sisi kubus 25 cm berapakah volume kubusnya
V=s x s x s
= 25 x 25 x 25
=15.625

Misalkan panjang balok 5cm, tinggi balok 7 cm, lebar balok 3 cm, Berapakah volumenya….
V=p x l x t
=5 x 3 x 7
= 115
660
Prosiding Seminar Nasional Matematika dan Pendidikan Matematika. “Internalisasi Nilainilai Berpikir Matematis Dalam Peranannya di Era Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA)”

Misalkan sebuah kerucut dalam stupa candi mempunyai alas 6 m dan tinggi 12m, berapakah
volumenya….

V=
= . 6. 12
= . 72
=24

Misalkan alas segitiga tersebut 5cm, dan tingginya 6 cm, berapakah luasnya…
L= . a. t
= .5. 6
=15 c
Pendidikan Matematika Universitas Muhammadiyah Purworejo ,
Ruang Seminar UMP, Sabtu, 28 Mei 2016
661
Tabel 3
Deskripsi hasil poster mini siswa kelompok 3
Kelompok 3
1.Tuliskan apa yang kalian ketahui tentang candi Bobobudur
1) Candi Borobudur adalah salah satu keajaiban dunia
2) Candi Borobudur adalah peninggalan agama Budha
3) Candi Borobudur terletak di Magelang, Jawa Tengah
4) Candi Borobudur wisata yang banyak dikunjungi turis
5) Candi Borobudur berbeda dengan candi lainnya
6) Candi Borobudur terletak secara strategis
7) Sejarah Candi Borobudur sangat kental adatnya dan bentuknya beraneka ragam dan unik
8) Bentuk candinya lebar dan luas
2. Tuliskan Permasalahan matematika yang kamu ketahui
1) Harga tiket masuk candi Borobudur senilai Rp.50.000,Maka totalnya : 50.000 x 10 orang =5.000.000
2) Jarak Muntilan-Magelang 25 km dengan lama perjalanan 1 jam. Berapa kecepatan kendaraan
untuk mencapai lokasi…
Rumus: V= =
= 25 km 1 jam
3. Tuliskan dab berikan ilustrasipermasalahan geometri yang kalian ketahui di candi Borobudur
Belah ketupat
1.Rusuk belah ketupat ada 4
2.Titik sudut belah ketupat 4
Kubus
1.sisi kubus ada 6
2. volume kubus= s x s x s
3.Luas belah ketupat L=
=8x8x8
= 512
3. rusuk kubus = 12
4. Titik sudut 8
662
Prosiding Seminar Nasional Matematika dan Pendidikan Matematika. “Internalisasi Nilainilai Berpikir Matematis Dalam Peranannya di Era Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA)”
Lingkaran
Luas =
=
=616
Keliling=2
=2
14=88 cm
Gambar 4
Foto hasil poster mini dari kelompok 4
Pendidikan Matematika Universitas Muhammadiyah Purworejo ,
Ruang Seminar UMP, Sabtu, 28 Mei 2016
663
Tabel 4
Deskripsi hasil poster mini siswa kelompok 4
Kelompok 4
 Yang kami ketahui tentang candi Borobudur
1) Borobudur merupakan salah satu peninggalan Budha
2) Menurut penelitian candi Borobudur termasuk dalam keajaiban dunia
3) Candi Borobudur terletak di Magelang
4) Borobudur merupakan peninggalan Majapahit
5) Pemandangan pada sore hari pemandangan yang sangat menarik
 Permasalahan matematika yang kami ketahui
1) Harga tiket masuk candi Borobudur senilai Rp.50.000,2) Setiap hari pengunjung melebihi 100 orang
3) Candi Borobudur memiliki 7 tingkatan
 Permasalahan geometri
1) Batu di candi berbentuk kubus
Misalkan panjang sisi kubus 20 cm, maka volume kubus tersebut:
V= Sisi x sisi x sisi
V=20 x 20 x 20 = 8000
2) Lantai-lantai di candi berbentuk candi Borobudur berbentuk balok
Misalkan panjangnya 15 cm, lebar 5 cm, tinggi 5 cm, maka volumenya :
V= p x l x t
V=15 x 5 x 5
V= 375
3) Bentuk stupa candi Borobudur menyerupai kerucut , kerucut dapat dipandang sebagai limas.
Misalkan luas alas kerucut 75 cm, tinggi 25 cm, maka volumenya:
V=
V=
664
= 625
Prosiding Seminar Nasional Matematika dan Pendidikan Matematika. “Internalisasi Nilainilai Berpikir Matematis Dalam Peranannya di Era Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA)”
Gambar 5
Foto hasil poster mini dari kelompok 5
Pendidikan Matematika Universitas Muhammadiyah Purworejo ,
Ruang Seminar UMP, Sabtu, 28 Mei 2016
665
Tabel 5
Deskripsi hasil poster mini siswa kelompok 5Kelompok 5
1. Sejarah candi Borobudur
1) Borobudur merupakan peninggalan agama Buddha
2) Borobudur dibangun oleh dinasti/wangsa Syeilendra
3) Borobudur dibangan pada tahun 850 masehi
4) Borobudur terletak di Magelang,Jawa Tengah.
5) Borobudur terdapat 3 tingkat dalam dewa
6) Borobudur merupakan candi terbesar di dunia
7) Dulu Borobudur digunakan untuk pemujaan para Dewa
8) Borobudur masuk dalam 7 keajaiban dunia
9) Borobudur banyak dikunjungin wisatawan domestik maupun manca Negara.
2. Permasalahan matematika di Candi Borobudur
1) Harga tiket masuk di Candi Borobudur senilai Rp.50.000,2) Diperkirakan jarak dari Muntilan ke Magelang kurang lebih 25 km
3) Pengunjung candi Borobudur di perkirakan setiap harinya kurang lebih 500 orang
4) Harga tariff untuk menaiki gajah berkeliling lokasi candi seharga Rp.180.000/orang
3. Ilustrasi permasalahan geometri
1) Batu di Candi Borobudur ada yang berbentuk kubus dan balok
Misalkan panjang sisi kubus 8 cm
volume kubus= s x s x s
=8x8x8
= 512
Misalkan panjang balok 10 cm, lebar 4 cm dan tinggi 6 cm
V=p x l x t
=10 x 4 x 6
= 240
2) Batu yang disusun di stupa
misalkan
= 10
L=
=
= 50
Misalkan a=12 cm , b=8 cm, t= 6 cm
L=
666
t=
6 =60
Prosiding Seminar Nasional Matematika dan Pendidikan Matematika. “Internalisasi Nilainilai Berpikir Matematis Dalam Peranannya di Era Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA)”
Pembahasan.
Mula-mula siswa dibagi dalam setiap
kelompok. Pada proses pembelajaran ini
jumlah siswa yang hadir sebanyak 22 orang.
Oleh karena itu, jumlah kelompok yang dibagi
sebanyak 5 kelompok yang beranggotaka 4-5
orang. Setelah pembagian kelompok, siswa
diarahkan untuk memilih topik (gambar) yang
telah di sediakan oleh guru (peneliti).
Kemudian masing-masing kelompok memilih
salah satu topik (gambar) yang disukai oleh
kelompok. Siswa di arahkan untuk memcari
masalah-masalah bedasarkan gambar yang
telah dipilih. Masalah-masalah tersebut dapat
bersifat matematis (Geometris) dan nonmatematis (sejarah, agama, dll).
Siswa mengamati gambar yang telah dipilih
dengan membayangkan kesamaan struktur
bangunan dengan bangun datar maupun
bangun ruang. Selain itu, siswa juga
menyebutkan asal mula candi Borobudur
dibangun serta ritual-ritual yang dilakukan
pada candi tersebut. Hasil kerja kelompok di
tuliskan dalam sebuah poster untuk
ditampilkan dalam pameran mini nanti. Selain
menuliskan hasil dalam kertas asturo, siswa
juga diberikan kebebasan untuk menghias
kertsa tersebut agar bisa menarik perhatian
dari kelompok lain jika dilihat/dikunjungi
Berdasakan hasil pembagian kelompok,
terdapat tiga kelompok beranggotakan 4 orang
dan dua kelompok lainnya beranggotakan 5
orang. Presentasi kelompok dilakukan dalam
bentuk pameran mini. Prosedur presentase
dilakukan dengan membagi dua orang siswa
yang akan bertamu ke kelompok lain untuk
mendengarkan presentase yang dilakukan oleh
kelompok yang didatangi dan sisanya sebagai
pemandu dalam kelompoknya sendiri. Alur
bertamu perwakilan dari setiap kelompok
sebagai berikut:
Waktu presentase yang diberikan guru
(peneliti) untuk setiap kelompok adalah 10
menit. Setiap utusan kelompok akan bertamu
ke kelompok lain secara bergantian hingga
selesai. Utusan kelompok akan berpindah dari
satu kelompok ke kelompok lain dengan
mendengarkan aba-aba (perintah) dari guru.
Setelah semua utusan kelompok selesai
bertamu dan kembali ke kelompoknya masingmasing, kemudian utusan kelompok tersebut
mempresentasikan kembali ke kelompoknya.
Analisis Hasil
Hasil dari setiap kelompok dapat dilihat
sebagai berikut:
Kelompok I
Kelompok I menyebutkan Candi
Borobudur sebagai salah satu tempat wisata di
Indonesia serta merupakan merupakan salah
satu dari tujuh keajaiban dunia. Selain itu
kelopmpok ini juga menyebutkan Candi
Borobudur sebagai salah satu tempat perayaan
hari raya Waisak.
Selain
menyebutkan hal di atas,
kelopok I juga menguraikan unsur matematis
yang terdapat pada Candi Borobudur
diantaranya adalah (a) hubuang antara jarak,
waktu dan kecepatan, (b) bentuk aljabar dan
(c) bentuk geometri.
Sasaran dalam penelitian ini yaitu
siswa mampu menyebutkan struktur bangunan
Pendidikan Matematika Universitas Muhammadiyah Purworejo ,
Ruang Seminar UMP, Sabtu, 28 Mei 2016
667
pada Candi Borobudur yang dapat dieksplor
dalam bentuk geometri. Dari hasil kelompok I
mereka menyebutkan dua bentuk geometri
yaitu balok dan kerucut.
Kelompok II
Kelompok
II
hanya
mampu
menyebutkan Candi Borobudur sebagai salah
satu tempat wisata di Indonesia dan
merupakan merupakan salah satu dari tujuh
keajaiban dunia.
Berdasarkan
hasil
pengamatan
kelompok II, mereka mengidentifikasi masalah
matematis yang terdapat pada Candi
Borobudur diantaranya adalah (a) bentuk
lingkaran pada diameter stupa, (b) stupa Candi
berbentuk Kerucut, (c) dinding pada Candi
berbentuk Kubus dan Balok, dan (d) berbentuk
Segitiga pada bagian lengan Dewa. Dari hasil
identifikasi tersebut kelompok ini juga
mengilustrasikan dalam bentuk rumus untuk
mencari luas, keliling dan volume deri
bangun-bangu tersebut.
Kelompok III
Kelompok III menyebutkan tentang:
letak Candi Borobudur berada, merupakan
merupakan salah satu keajaiban dunia, salah
satu tempat wisata di Indonesia serta
merupaka peninggalan dari agama Budha.
Selain menyebutkan hal di atas,
kelopok III menguraikan unsur matematis
yang terdapat pada Candi Borobudur
diantaranya adalah (a) hubuang antara jarak,
waktu dan kecepatan, (b) bentuk aljabar dan
(c) bentuk geometri. Bedasar hasil pengamatan
kelompok III, menyebutkan terdapat dua
bentuk bangun datar dan satu bentuk bangun
ruang. Bentuk bangun datar yang diperoleh
diantaranya adalah lingkaran dan belah ketupat
sedangkan bentuk bangun ruang yang
diperoleh adalah berupa kubus.
668
Kelompok IV
Kelompok
IV
menyebutkan
diantaranya adalah: letak Candi Borobudur
berada, merupakan merupakan salah satu
keajaiban dunia, keindahan Candi Borobudur
diwaktu sore, serta merupaka peninggalan dari
kerjaan Majapahit.
Bentuk geometri yang diperoleh dari
hasil pengamatan kelompok IV, diantaranya
adalah: (a) batu Candi berbentuk kubus, (b)
lantai Candi berbentuk balok dan (c) bentuk
stupa dari Candi berbentuk kerucut yang
dipandang sebagai limas. Dari hasil
identifikasi tersebut, mereka menyelesaikan
dengan cara menghitung volume dari setiap
bangun tersebut.
Kelompok V
Kelompok V menyebutkan Candi
Borobudur
sebagai:
tempat
wisata,
peninggalan agama Budha, dibangun oleh
dinasti Wangsa Saylendra sekitar tahun 850
Masehi, memiliki tiga tingkat dalam Dewa,
sebagai tempat pemujaan Dewa, serta
merupaka tujuh keajaiban dunia.
Bedasar hasil pengamatan kelompok V,
diperoleh dua bentuk bangun datar dan dua
bentuk bangun ruang. Bentuk bangun datar
yang diperoleh diantaranya adalah jajar
genjang dan belah ketupat sedangkan bentuk
bangun ruang yang diperoleh adalah berupa
kubus dan balok. Selain itu, pada bangun
ruang mereka hanya mengilustrasikan dengan
menghitung volumenya, sedangkan pada
bangun datar mereka hanya mengilustrasikan
dengan cara menghitung luas dari bangun
tersebut
5) KESIMPULAN
Berdasarkan pelaksanaan pembelajaran yang
dilakukan, peneliti dapat mengungkapkan
beberapa hal yaitu:
Prosiding Seminar Nasional Matematika dan Pendidikan Matematika. “Internalisasi Nilainilai Berpikir Matematis Dalam Peranannya di Era Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA)”
Dengan
menerapkan
pembelajaran
menggunakan pendekatan etnomatematika.
sebagian besar siswa merasa bahwa
matematika tidak terlalu jauh dengan
kehidupan
sehari-hari
mereka
candi
Borobudur sendiri merupakan salah satu candi
Budha terbesar. Hampir setiap unsur bangunan
di candi memiliki aspek matematis serta bisa
dikolaborasikan dengan materi pembelajaran
matematika di sekolah
Proses pembelajaran model pembelajaran
tipe TSTS yang meliputi : mengidentifikasikan
topik dan mengatur murid ke dalam kelompok,
merencanakan tugas yang akan dipelajari,
melaksanakan investigasi, menyiapkan laporan
akhir, mempresentasikan laporan akhir, dan
evaluasi.
Saran, sebagai tenaga pengajar hendaknya
menciptakan suatu inovasi yang dapat
mengembangkan bakat, menumbuhkan minat
dan meningkatkan kebiasaan belajar siswa,
sehingga konsep belajar matematika yang
diperolehnya diharapkan lebih baik
Saran khusus untuk pembelajaran berbasis
etnomatematika
kedepannya
perlu
dipersiapkan lebih matang seperti perhitungan
kecukupan waktu pembelajaran, step by step
yang akan di jalani oleh siswa, juga perlu
beberapa inovasi dalam media pembelajaran
agar menumbuhkan rasa senang dan rasa
tertarik pada pembelajaran matematika di
dalam diri peserta didik peserta.
Herdian. (2009). Model Pembelajaran
Problem Posing. jurnal online.
Diakses pada tanggal tanggal 7 Mei
2016
Nursalam. (2008). Meningkatkan Aktivitas
Belajar
Matematika
Melalui
Metode Problem Posing.jurnal online.
Diakses pada tanggal 7 Mei 2016.
Rulam Ahmadi,.2014. Metodologi Penelitian
Kualitatif.
Yogyakarta:
Ar-Ruzz
Media
Stephen I. Brown, Marion I. Walter. (1990).
The Art of Problem Posing. New
Jersey: Lawrence Erlbaum Associates.
Suyono, Harianto, 2012. Belajar dan
Pembelajaran: Teori dan Konsep
Dasar.
Bandung:
Remaja
Rosdakarya.
Ubiratan
D‟Ambrosio.(2006).
Ethnomathematics
Link Between
Traditions and Modernity.Sao Paulo,
Brazil. Ebook online.
Ubiratan
D‟Ambrosio
(2006)
Ethnomathematics And Mathematics
Education Proceedings of the 10th
International
Congress
of
Mathematics
Education.
Copenhagen.Italia
6) REFERENSI
Anita Lie. 2007. Cooperatif Learning:
Mempraktikkan
Cooperatif
Learning Di Ruang-ruang Kelas.
Jakarta: Grasindo.
Arikunto,
Suharsimi.
2010.
Prosedur
Penelitian Suatu Pendekatan Praktik.
Jakarta : PT Rineka Cipta.
Pendidikan Matematika Universitas Muhammadiyah Purworejo ,
Ruang Seminar UMP, Sabtu, 28 Mei 2016
669
670
Prosiding Seminar Nasional Matematika dan Pendidikan Matematika. “Internalisasi Nilainilai Berpikir Matematis Dalam Peranannya di Era Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA)”
PENINGKATAN KEMAMPUAN REPRESENTASI MATEMATIS BERAGAM
SISWA SMP MELALUI PEMBELAJARAN RESIPROCAL TEACHING
MENGGUNAKAN MASALAH KONTEKSTUAL.
Sri Rohma Nurfaida
Pendidikan Matematika, Sekolah Pasca Sarjana, Universitas Pendidikan Indonesia
Email: [email protected]
Abstrak
Tujuan utama dari penelitian ini adalah untuk mengetahui peningkatan kemampuan representasi
matematis beragam siswa SMP melalui pembelajaran matematika dengan pendekatan Reciprocal
Teaching menggunakan masalah kontekstual. Metode penelitian yang digunakan adalah kuasi
eksperimen yang berdesain kelompok kontrol pretes-postes. Populasi dalam penelitian ini adalah
seluruh siswa SMPN 5 Lembang. Banyak sampel 60 siswa yang terdistribusi dalam dua kelas, yaitu
siswa kelas VII A dan VII B SMPN 5 Lembang. Sampel dipilih secara purposive sampling.
Instrumen penelitian terdiri dari tes kemampuan representasi matematis beragam. Analisis data
dalam penelitian menggunakan uji Mann-Whitney dan uji-t. Data untuk kelompok tinggi, sedang,
dan rendah diuji dengan menggunakan ANOVA satu jalur. Hasil penelitian menunjukkan: (1)
terdapat peningkatan yang signifikan pada kemampuan representasi matematis beragam antara yang
belajar dengan pembelajaran Reciprocal Teaching menggunakan masalah kontekstual dan siswa
yang memperoleh pembelajaran konvensional (2) tidak terdapat perbedaan yang signifikan antara
kemampuan representasi matematis beragam yang belajar dengan pembelajaran Reciprocal
Teaching menggunakan masalah kontekstual terhadap KAM (tinggi, sedang, rendah).
Kata Kunci: Pendekatan Pembelajaran Reciprocal Teaching Menggunakan Masalah Kontekstual
dan Representasi Matematis Beragam.
PENDAHULUAN
Sesuai dengan rumusan NCTM (2000)
tentang standar matematika sekolah meliputi
standar isi atau materi (mathematical
content) dan standar proses (mathematical
proces). Standar proses meliputi pemecahan
masalah (problem solving), penalaran dan
pembuktian (reasoning and proof), koneksi
(connection), komunikasi (communication),
dan representasi (representation).
Kemampuan
representasi
sangat
diperlukan dalam mempelajari matematika,
hal ini terkait dengan penelitian yang
dilakukan Jones (2000) yang mengemukakan
tiga alasan yang mendasari representasi
sebagai salah satu standar proses yaitu: (1)
kelancaran dalam melakukan translasi di
antara berbagai jenis representasi yang
berbeda merupakan kemampuan dasar yang
perlu dimiliki siswa untuk membangun suatu
konsep dan berpikir matematik; (2) ide-ide
matematika yang disajikan guru melalui
berbagai representasi akan memberikan
pengaruh yang sangat besar terhadap siswa
dalam mempelajari matematika; (3) siswa
membutuhkan latihan dalam membangun
representasinya sendiri sehingga siswa
memiliki kemampuan dan pemahaman
konsep yang baik dan flekibel yang dapat
digunakan dalam pemecahan masalah.
Pentingnya kemampuan representasi
matematis dijabarkan secara jelas oleh
NCTM (2000) yang menyatakan bahwa
siswa
dapat
membuat
hubungan,
mengembangkan,
dan
memperdalam
pemahaman
mereka
tentang
konsep
matematika dengan menggunakan berbagai
representasi. Representasi seperti bendabenda fisik, gambar, diagram, grafik dan
simbol
juga
membantu
siswa
mengkomunikasikan pemikiran mereka.
NCTM
(2000)
menyatakan
bahwa
penggunaan representasi beragam ide
Pendidikan Matematika Universitas Muhammadiyah Purworejo ,
Ruang Seminar UMP, Sabtu, 28 Mei 2016
671
matematis oleh siswa dapat mendukung dan
memperdalam pengetahuan matematika
siswa itu sendiri.
Pembelajaran matematika tidak sekedar
menyampaikan berbagai informasi seperti
aturan, definisi dan prosedur. Melainkan
mencari hubungan antara pengetahuan dan
kehidupan nyata juga merupakan hal penting,
guru harus melibatkan siswa secara aktif.
Keikutsertaan siswa secara aktif akan
memperkuat
pemahamannya
terhadap
konsep-konsep matematika. Hal ini sesuai
dengan prinsip-prinsip kontruktivisme yakni
pengetahuan dibangun oleh siswa sendiri.
Pada
kenyataannya
kemampuan
representasi yang dimiliki siswa masih
rendah. Hal ini didukung oleh penelitian
Hutagaol (2007) yang menyatakan bahwa
terdapatnya
permasalahan
dalam
penyampaian
materi
pembelajaran
matematika, yaitu kurang berkembangnya
kemampuan representasi siswa, khususnya
pada siswa SMP, siswa tidak pernah diberi
kesempatan
untuk
menghadirkan
representasinya sendiri. Selanjutnya Chen,
dkk (2015) berpendapat bahwa sebagian
besar kesulitan dalam masalah pemecahan
masalah terjadi pada tahap representasi.
Akibatnya, proses menerjemahkan masalah
menjadi representasi internal merupakan
kunci bagi peserta didik agar berhasil
memecahkan masalah.
Penggunaan model pembelajaran yang
tepat akan membantu siswa mencapai tujuan
pembelajaran. Oleh karena itu diperlukan
suatu model pembelajaran yang dapat
meningkatkan motivasi belajar, sehingga
pada akhirnya akan berdampak positif pada
prestasi belajar siswa dan tujuan-tujuan
pembelajarannya akan tercapai. maka
diperlukan pembelajaran yang inovatif,
memperhatikan tugas yang relevan, memberi
peluang siswa lebih aktif melakukan
“reinvention”, diskusi dan berkomunikasi
dengan
sesama
temannya,
untuk
menumbuhkan kemampuan representasi dan
pemecahan masalah matematik (Sumarmo,
2013). Salah satu pendekatan pembelajaran
yang memiliki karakteristik tersebut adalah
pendekatan Resiprokal Teaching. Menurut
pendapat Palinscar dan Brown (1984),
Reciprocal Teaching merupakan suatu
672
prosedur pembelajaran yang didesain untuk
mempertinggi pemahaman dan bernalar
siswa terhadap suatu materi. Pembelajaran
matematika dengan pendekatan Reciprocal
Teaching dapat membantu mengembangkan
kegiatan membaca, menulis, dan pola pikir
matematika
serta dapat
memberikan
kesempatan kepada siswa untuk saling
menjelaskan, mengkomunikasikan ide, saling
berbagi informasi dan bekerja sama
membangun pemahaman matematika dalam
kelompok belajar.
Menurut Alverman dan Phelps (1998),
Reciprocal Teaching mempunyai dua ciri
utama yaitu instruksi dan praktek, dimana
para siswa belajar untuk menggantikan peran
guru dalam membantu mereka membangun
pemahaman. Guru lebih berperan sebagai
model yang menjadi contoh, fasilitator
(memberi fasilitas) yang memberikan
kemudahan
dan
pembimbing
yang
melakukan scaffolding. Scaffolding adalah
bimbingan yang diberikan oleh orang yang
lebih tahu terhadap orang yang kurang atau
belum tahu.
Palinscar dan Brown (1984) menyatakan
bahwa guru mengajar
keterampilanketerampilan kognitif (pengetahuan) yang
penting kepada siswa dengan cara
menciptakan
pengalaman-pengalaman
belajar.
Menurut
Palinscar
(1986),
Reciprocal Teaching dapat disusun dengan
menggunakan empat tahapan yang bisa
diterapkan secara fleksibel yaitu ringkasan,
membuat pertanyaan lanjutan, klarifikasi dan
prediksi.
Pada tahapan ringkasan dan
membuat pertanyaan lanjutan, dua hal
tersebut
dapat
melatih
kemampuan
representasi, sedangkan klarifikasi dan
prediksi
dapat
melatih
kemampuan
representasi
visual
dan
persamaan
matematika.
Penelitian yang dilakukan Wahidin
(2012) bahwa kemampuan berpikir kritis dan
disposisi
matematis
siswa
yang
menggunakan pembelajaran matematika
dengan Reciprocal Teaching lebih baik
daripada
siswa
yang
menggunakan
pembelajaran konvensional. Selain itu
Giangrave (2006), Reciprocal Teaching
efektif dapat meningkatkan kemampuan
membaca dan pemahaman siswa SMP.
Prosiding Seminar Nasional Matematika dan Pendidikan Matematika. “Internalisasi Nilainilai Berpikir Matematis Dalam Peranannya di Era Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA)”
Berdasarkan pengamatan dan penilaian yang
dilakukan terhadap aktivitas siswa selama
mengikuti kegiatan pembelajaran diperoleh:
keaktifan siswa dalam pembelajaran ini
adanya peningkatan persentase aktivitas
siswa secara klasikal. Hasil tersebut
menunjukkan
bahwa
pembelajaran
matematika
dengan
menggunakan
Reciprocal Teaching dapat digunakan
sebagai salah satu alternatif model
pembelajaran
di
kelas.
Penggunaan
Reciprocal Teaching dalam pembelajaran
matematika diharapkan dapat meningkatkan
motivasi,
hasil
belajar
dan
dapat
mengembangkan kemampuan komunikasi
dan disposisi matematis siswa terutama pada
siswa SMP
Kemampuan matematis siswa yang
diklasifikasikan dalam kelompok tinggi,
sedang, dan rendah memberikan kontribusi
pada kemampuan representasi matematis
siswa terhadap matematika sehingga pada
akhirnya dapat memperngaruhi hasil belajar
matematika. Pendapat yang terkait dengan
perbedaan kemampuan yang dimiliki setiap
individu atau siswa dikemukakan oleh
Hamalik
(2009)
mengatakan
perlu
dipertimbangkan dan diperhatikan perbedaan
individual dalam situasi pembelajaran.
Pencapaian tingkat pertumbuhan dan
perkembangan yang diharapkan pada diri
siswa maka guru harus memperhatikan
keadaan individu seperti minat, kemampuan
dan latar belakangnya. Pendapat yang sejalan
dengan hal ini dikemukakan Suherman dkk
(2003) mengatakan perbedaan individu di
kelas berimplikasi bahwa guru diisyaratkan
untuk
mempertimbangkan
bagaimana
menerapkan pembelajaran matematika agar
dapat melayani secara cukup perbedaanperbedaan individu siswa.
Pembelajaran
Reciprocal
Teaching
dimungkinkan
dapat
mengembangkan
kemampuan representasi matematis siswa
kategori sedang bahkan siswa kategori
rendah. Meskipun demikian, masih ada
kemungkinan
pembelajaran
Reciprocal
Teaching berhasil diterapkan pada siswa
berkemampuan matematika tinggi. Jika
dibandingkan
pada
siswa
dengan
kemampuan awal matematis sedang dan
rendah. Oleh karena itu, kemampuan awal
matematis siswa menjadi salah satu aspek
yang dijadikan parameter dalam melihat
peningkatan kemampuan siswa.
Berdasarkan uraian di atas, penulis
tertarik untuk meneliti apakah pembelajaran
Reciprocal Teaching dengan menggunakan
masalah kontekstual dapat mengembangkan
kemampuan representasi matematis beragam.
Oleh karena itu, penulis mengajukan
penelitian dengan judul: “Peningkatan
Kemampuan
Representasi
Matematis
Beragam Siswa SMP Melalui Pembelajaran
Resiprocal Teaching menggunakan Masalah
Kontekstual”
2. KAJIAN
LITERATUR
DAN
PENGEMBANGAN HIPOTESIS
Untuk
dapat
mengkomunikasikan
sesuatu, seseorang perlu representasi baik
berupa gambar, grafik, diagram, maupun
bentuk representasi lainnya. Menurut Pape
& Tchoshanov (Luitel, 2001) ada empat
gagasan yang digunakan dalam memahami
konsep representasi, yaitu: (1) representasi
dapat dipandang sebagai abstraksi internal
dari ide-ide matematika atau skemata
kognitif yang dibangun oleh siswa melalui
pengalaman; (2) sebagai reproduksi mental
dari keadaan mental yang sebelumnya; (3)
sebagai sajian secara struktur melalui
gambar, simbol ataupun lambang; (4)
sebagai pengetahuan tentang sesuatu yang
mewakili sesuatu yang lain. Cai, Lane, dan
Jacabcsin (1996: 243) menyatakan bahwa
ragam representasi yang sering digunakan
dalam mengkomunikasikan matematika
antara lain: tabel, gambar, grafik, pernyataan
matematika, teks tertulis, ataupun kombinasi
semuanya.
Hiebert dan Carpenter (dalam Hudoyo,
2002) mengemukakan bahwa pada dasarnya
representasi dapat dibedakan dalam dua
bentuk, yakni representasi internal dan
representasi eksternal. Berpikir tentang ide
matematika yang kemudian dikomunikasikan
memerlukan representasi eksternal yang
wujudnya antara lain: verbal, gambar dan
benda konkrit. Berpikir tentang ide
matematika yang memungkinkan pikiran
seseorang bekerja atas dasar ide tersebut
merupakan representasi internal.
Schnotz (dalam Gagatsis, 2004) membagi
Pendidikan Matematika Universitas Muhammadiyah Purworejo ,
Ruang Seminar UMP, Sabtu, 28 Mei 2016
673
representasi eksternal dalam dua kelas yang
berbeda yaitu representasi descriptive dan
depictive. Representasi descriptive terdiri
dari simbol dihubungkan dengan isi yang
dinyatakan secara sederhana dengan makna
dari suatu konvensi, yaitu teks. Sedangkan
representasi depictive merupakan tandatanda iconic yang dihubungkan dengan isi
yang dinyatakan melalui fitur structural yang
umum secara konkret atau pada tingkat yang
lebih
abstrak,
yaitu
display
visual.Penggunaan
representasi
yang
beragam akan memperkaya pengalaman
belajar. Sependapat dengan McCoy (Kartini,
2009)
menyatakan
bahwa
dalam
pembelajaran
matematika
di
kelas
representasi tidak harus terkait pada
perubahan satu bentuk ke bentuk lainnya
dalam satu cara, tetapi bisa dua cara atau
multi cara.
Palincsar dan Brown (1984) menjelaskan
bahwa
Reciprocal
Teaching
adalah
pendekatan konstruktivis yang didasarkan
pada prinsip-prinsip membuat pertanyaan,
mengajarkan keterampilan, metakognitif
melalui pengajaran, dan pemodelan oleh
guru untuk meningkatkan keterampilan
membaca dan pemahaman pada siswa yang
berkemampuan rendah. Menurut Palinscar
(1986) Reciprocal Teaching dapat disusun
dengan menggunakan empat tahapan yang
bisa diterapkan secara fleksibel yaitu:
menyimpulkan (summarization), membuat
pertanyaan (question generation), klarifikasi
(clarification) dan prediksi (prediction).
Kegiatan pembelajaran ini siswa dilatih
untuk memahami suatu bacaan materi dan
memberikan penjelasan pada temannya,
sehingga para ahli sering menyebut
Reciprocal Teaching sebagai Peer Practice
(latihan dengan teman sebaya). Dimana
dalam pembelajaran guru berperan sebagai
fasilitator yang melakukan bimbingan secara
bertahap
(scaffolding).
Scaffolding
merupakan bantuan yang diberikan oleh guru
ataupun siswa kepada siswa lainnya untuk
belajar
dan
menyelesaikan
masalah
matematis. Bantuan tersebut dapat berupa
petunjuk, dorongan, pemberian contoh, dan
tindakan-tindakan lain yang memungkinkan
siswa itu belajar mandiri.
674
Langkah-langkah
pembelajaran
Reciprocal Teaching menurut Palinscar dan
Brown (1984) sebagai berikut: (1). Guru
bertanggung jawab dalam melaksanakan
tahapan
Reciprocal
Teaching
yaitu
meringkas,
menyusun
pertanyaan,
mengklarifikasi atau menjelaskan, dan
memprediksi siswa membaca bahan ajar;
(2). Guru menjelaskan bagaimana cara
menyusun pertanyaan, menjelaskan kembali,
memprediksi, dan merangkum setelah
membaca materi yang dipelajari; (3). Guru
memberi bimbingan (scaffolding) kepada
siswa dalam menyelesaikan tugas sesuai
dengan tingkat kemampuan siswa; (4). Siswa
belajar memimpin diskusi dengan atau tanpa
adanya guru; (5). Guru bertindak sebagai
fasilitator dengan memberikan penilaian
berkenaan dengan penampilan siswa dan
mendorong siswa untuk berpartisipasi aktif
dalam tanya jawab ke tingkat yang lebih
tinggi.
Kelebihan Reciprocal Teaching adalah
semua pembelajaran terpusat pada siswa
sehingga siswa terlibat langsung secara aktif
dan akan lebih membuat siswa mengingat
konsep yang dipelajari serta dapat
meningkatkan kemampuan komunikasi siswa
dan kelemahan Reciprocal Teaching adalah
guru
harus
bekerja
ekstra
dalam
membimbing siswa agar tidak salah dalam
memahami konsep yang dipelajari serta tidak
semua materi pelajaran dalam matematika
dapat
diterapkan
dengan
Reciprocal
Teaching. Cara mengatasi kelemahan
penggunaan
pembelajaran
Reciprocal
Teaching,
guru
selalu
memberikan
bimbingan dan pengarahan dalam berbagai
kesempatan.
Pada penelitian ini pembelajaran
Reciprocal
Teaching
yang
dipakai
menggunakan masalah kontekstual. Masalah
kontekstual yang dimaksud adalah dengan
mengambil permasalahan kehidupan seharihari. Bahan ajar yang gunakan oleh peneliti
memuat masalah kontektual yang di
selesaikan dengan tahapan yang ada pada
pembelajaran Resiprocal Teaching.
HIPOTESIS
1. Terdapat
perbedaan
signifikan
peningkatan kemampuan representasi
matematis beragam antara siswa yang
Prosiding Seminar Nasional Matematika dan Pendidikan Matematika. “Internalisasi Nilainilai Berpikir Matematis Dalam Peranannya di Era Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA)”
belajar melalui pembelajaran resiprocal
teaching
menggunakan
masalah
kontekstual dan siswa yang belajar
dengan pembelajaran konvensional.
2. Terdapat
perbedaan
signifikan
peningkatan kemampuan representasi
matematis
beragam
siswa
yang
memperoleh pembelajaran resiprocal
teaching
menggunakan
masalah
kontekstual ditinjau dari kategori
Kemampuan Awal Matematis (tinggi,
sedang, dan rendah).
3. METODE PENELITIAN
Penelitian
ini
merupakan
suatu
eksperimen semu (quasi experiment)
berdesain kelompok kontrol pretes-postes
yang bertujuan untuk menelaah pengaruh
pembelajaran
melalui
pembelajaran
resiprocal teaching menggunakan masalah
kontekstual dan kemampuan awal matematis
siswa terhadap peningkatan kemampuan
representasi matematis beragam.
Penggunaan
quasi
experiment
dikarenakan penelitian dilakukan dalam
setting sosial dan berasal dari suatu
lingkungan yang telah ada yaitu siswa dalam
kelas dan tidak memungkinkan adanya
pemilihan sampel secara acak. Desain
penelitian untuk aspek kognitif
yaitu
kemampuan representasi matematis beragam
menggunakan desain kelompok kontrol nonekuivalen. Penelitian ini menggunakan
desain kelompok Pretest-Posttest Control
Group Design sebagai berikut
.
Kelas eksperimen
Kelas kontrol
PreTest
O
O
Perlakua
n
X
PostTest
O
O
VIIB. Siswa kelas kontrol dan eksperimen
kemudian
dikelompokkan
berdasarkan
kemampuan awal matematis (KAM) siswa
dengan kategori tinggi, sedang, dan rendah.
Untuk menunjang pelaksanaan penelitian ini
digunakan beberapa instrument penelitian,
yaitu: tes KAM dan tes kemampuan
representasi matematis beragam.
Definisi operasional pada penelitian ini
adalah sebagai berikut: Kemampuan
representasi matematis beragam adalah
kemampuan
mengungkapkan
ide-ide
matematika (masalah, pernyataan, solusi,
definisi, dan lain-lain) ke dalam berbagai
bentuk seperti : (1) Gambar, diagram grafik,
atau
tabel;
(2)
Notasi
matematik,
numerik/simbol aljabar; dan (3) Teks
tertulis/kata-kata, sebagai interpretasi dari
pikirannya. Reciprocal Teaching adalah
pendekatan pembelajaran dimana cara guru
menyampaikan bahan ajar pembelajaran
dalam diskusi kelompok kecil yang diawali
dengan tugas membaca bahan ajar dan
dilanjutkan dengan melaksanakan empat
tahapan meliputi merangkum bacaan
(meringkas), membuat atau menyusun
pertanyaan,
memberikan
klarifikasi
(penjelasan), dan prediksi atau membuat
permasalahan lanjutan dan dibahas secara
kelompok melalui bimbingan guru.
Teknik analisis data yang digunakan
dalam penelitian ini adalah uji mann whitney
U dan ANOVA satu jalur. Sebelum
melakukan analisis, dilakukan uji prasyarat
yaitu uji normalitas dan uji homogenitas.
Hasil yang diperoleh menunjukkan bahwa
skor N-gain kemampuan representasi
matematis beragam pada kelas eksperimen
berdistribusi normal, lalu untuk uji
homogenitas
bervasiansi
homogeny
dilanjutnya dengan ANOVA satu jalur.
Keterangan:
O = Pretest dan Posttest kemampuan 4. HASIL DAN PEMBAHASAN
representasi matematis beragam
Penelitian ini dilaksanakan di dua kelas,
X = Pembelajaran matematika menggunakan
yaitu kelas eksperimen pembelajaran
pendekatan Resiprocal Teaching
reciprocal teaching menggunakan masalah
------- = Subjek tidak dipilih secara acak
kontekstual dan kelas kontrol menggunakan
Populasi penelitian ini adalah seluruh
pembelajaran
konvensional.
Berikut
siswa kelas VII tahun ajaran 2015/2016 SMP
disajikan hasil deskripsi dari penelitian yang
N 5 Lembang. Kelas eksperimen dan control
telah dilaksanakan.
dipilih
dengan
menggunakan
teknik
purposive sampling yaitu kelas VIIA dan
Pendidikan Matematika Universitas Muhammadiyah Purworejo ,
Ruang Seminar UMP, Sabtu, 28 Mei 2016
675
Tabel 1
Statistik Deskriptif Kemampuan Representasi Beragam
Kelas
N
Eksperim
en
Kontrol
3
0
3
0
Sko
r
Ide
al
56
56
Mi
n
Pretest
Ma
x
x
S
Mi
n
Postest
Ma
x
x
S
2
16
7,96
3,64
17
46
33,50
8,15
2
27
11,6
0
5,54
14
49
24,30
9,04
Skor ideal: 56
Dari tabel 1 terlihat bahwa rerata
kemampuan
representasi
matematis
beragam siswa sebelum dan sesudah
pembelajaran
masih
rendah
jika
dibandingkan dengan skor ideal. Dari
kedua kelas dapat dilihat memiliki rerata
yang relatif sama, hal ini menunjukkan
bahwa
kedua
kelas
mempunyai
kemampuan yang tidak berbeda secara
signifikan. Kemudian dilihat dari
besarnya standar deviasi diperoleh
kesimpulan bahwa pada pretest dan
posttest kelas kontrol lebih menyebar
daripada kelas eksperimen.
Untuk
menjawab
hipotesis
1
dilakukan uji prasyarat yaitu uji
normalitas adapun rumus hipotesisnya
adalah :
H0 : Data berdistribusi normal
H1 : Data tidak berdistribusi normal
Dengan kriteria uji sebagai berikut :
Jika nilai Sig. (p-value) < α (α = 0,05),
maka H0 ditolak
Jika nilai Sig. (p-value) ≥ α (α = 0,05),
maka H0 diterima
Perhitungan uji normalitas menggunakan
tes Shapiro Wilk pada SPSS 20.0 dan
hasil perhitungan disajikan pada tabel 2
berikut:
676
Prosiding Seminar Nasional Matematika dan Pendidikan Matematika. “Internalisasi Nilainilai Berpikir Matematis Dalam Peranannya di Era Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA)”
Kelas
Tabel 2.
Tests of Normality
Kolmogorov-Smirnova
Statistic
N-Gain Representasi
Statistic
df
Sig.
*
.951
30
.178
.821
30
.000
.122
30
.200
2
.228
30
.000
Tabel 3
Test Statisticsa
N-Gain
Representasi
149.000
614.000
-4.451
.000
Berdasarkan hasil perhitungan dengan
uji mann whitney U diperoleh signfikan 0,00
hasil tersebut lebih kecil dari nilai α = 0,05
itu berarti H0 ditolak. Artinya terdapat
perbedaan peningkatan yang signifikan pada
kemampuan representasi matematis beragam
antara siswa yang belajar
dengan
pembelajaran
Reciprocal
Teaching
menggunakan masalah kontekstual dan siswa
yang
memperoleh
pembelajaran
konvensional.
Jika dilihat langkah-langkah pada
pembelajaran
resiprocal
teaching
n-gain
Sig.
1
Berdasarkan tabel uji normalitas untuk
kelas
eksperimen
memperoleh
nilai
signifikan 0,178 hasil tersebut lebih besar
dari nilai α = 0,05 itu berarti H0 diterima
sehingga
data
berdistribusi
normal.
Sedangkan untuk kelas kontrol memperoleh
nilai signifikan 0,000 hasil tersebut lebih
kecil dari nilai α itu berarti H0 ditolak
sehingga data berdistribusi tidak normal.
Karena salah satu kelas berdistribusi tidak
normal maka dilakukan uji non parametric
yaitu uji mann whitney U yang hasilnya
dapat dilihat pada tabel 3 sebagai berikut:
Mann-Whitney U
Wilcoxon W
Z
Asymp. Sig. (2-tailed)
df
Shapiro-Wilk
menggunakan
masalah
kontekstual
sebagaimana telah dijelaskan sebelumnya,
maka kondisi ini bisa saja terjadi. Siswa yang
belajar dengan pembelajaran
reciprocal
teaching belajar secara berkelompok melalui
proses masalah yang terdapat pada Lembar
Kerja
Siswa
(LKS).
Pada
proses
pembelajaran siswa dibimbing oleh guru
untuk berdiskusi secara kelompok untuk
membaca bahan ajar, lalu diminta untuk
menyimpulkan materi. Lalu siswa diminta
membuat pertanyaan beserta solusi yang
berkaitan dengan materi tersebut dan siswa
diminta untuk mempresentasikan. Dengan
kegiatan tersebut siswa lebih terlatih dan
mulai terbiasa untuk mengembangkan
kemampuan representasi matematisnya.
Kegiatan diskusi kelompok pada penelitian
ini melatih siswa untuk bisa saling
berinteraksi dalam menyampaikan gagasan,
menanggapi dan menjawab pertanyaan dari
kelompok lain. Guru sebagai fasilitator
meluruskan semua pendapat yang berbeda
dari setiap kelompok.
Untuk menjawab hipotesis 2 dilakukan
uji prasyarat yaitu perhitungan uji normalitas
menggunakan tes Shapiro Wilk pada SPSS
20.0 dan hasil perhitungan disajikan pada
tabel 4 berikut
Tabel 4
Tests of Normality
Kolmogorov-Smirnova
Shapiro-Wilk
Statistic
df
Sig.
Statistic
df
,122
30
,200*
,951
30
Sig.
,178
Pendidikan Matematika Universitas Muhammadiyah Purworejo ,
Ruang Seminar UMP, Sabtu, 28 Mei 2016
677
Berdasarkan tabel uji normalitas untuk
kelas
eksperimen
memperoleh
nilai
signifikan 0,178 hasil tersebut lebih besar
dari nilai α = 0,05 itu berarti H0 diterima
sehingga
data
berdistribusi
normal.
Selanjutnya dilakukan uji homogenitas
dengan uji levene adapun rumus hipotesisnya
adalah :
H0 : (varians skor kelompok eksperimen dan
kelompok kontrol homogen)
H1 : (varians skor kelompok eksperimen dan
kelompok kontrol tidak homogen)
Hasil dari perhitungan homogenitas disajikan
pada
tabel
5
sebagai
berikut:
Tabel 5
Test of Homogeneity of Variances
n-gain
Levene Statistic
1,058
df1
df2
2
27
Sig.
,361
Berdasarkan tabel 5 nilai signifikan data
distribusi normal dan variansi homogen,
n-gain kemampuan representasi matematis
maka uji perbedaan rerata kedua kelas yang
adalah 0,361 lebih dari taraf signifikan 0,05,
digunakan adalah uji ANOVA satu jalur,
maka terima H0 yang artinya data n-gain
hasil perhitungan disajikan pada tabel 6
kelas eksperimen mempunyai variansi
sebagai berikut:
homogen. Karena data berasal dari populasi
b
Tabel 6
e
ANOVA
r
n-gain
Sum of Squares
Df
Mean Square
F
Sig.
Between Groups
,032
2
,016
,523
,599
Within Groups
,836
27
,031
Total
,869
29
Berdasarkan tabel 6 nilai signifikan data
siswa kategori sedang dan rendah. Mereka
n-gain kemampuan representasi matematis
membantu menyampaikan pendapat atau ideadalah 0,599 lebih dari taraf signifikan 0,05,
ide disaat diskusi kelas berlangsung maupun
maka terima H0 yang artinya tidak terdapat
disaat
guru
mencoba
mengajukan
perbedaan
yang
signifikan
antara
pertanyaan-pertanyaan untuk mengupayakan
kemampuan representasi matematis beragam
akomodasi kemampuan kognitif siswa.
yang
belajar
dengan
pembelajaran
Dengan seringnya mereka aktif dalam
Reciprocal Teaching menggunakan masalah
diskusi
kelompok
berdampak
pada
kontekstual ditinjau berdasarkan KAM
peningkatan
kemampuan
representasi
(tinggi, sedang, rendah).
matematis beragam.
Berdasarkan hasil penelitian kemampuan
awal matematis siswa pada kelas eksperimen 5. KESIMPULAN
Berdasarkan
analisis
data
dan
tidak berpengaruh terhadap peningkatan
pembahasan
hasil penelitian, diperoleh
kemampuan representasi matematis beragam.
kesimpulan
sebagai
berikut: (1) terdapat
Hal ini terlihat selama pembelajaran
perbedaan peningkatan yang signifikan pada
berlangsung di kelas, siswa kategori tinggi
kemampuan representasi matematis beragam
berperan aktif dalam diskusi dan membantu
678
Prosiding Seminar Nasional Matematika dan Pendidikan Matematika. “Internalisasi Nilainilai Berpikir Matematis Dalam Peranannya di Era Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA)”
antara siswa yang belajar
dengan
pembelajaran
Reciprocal
Teaching
menggunakan masalah kontekstual dan siswa
yang
memperoleh
pembelajaran
konvensional (2) tidak terdapat perbedaan
yang
signifikan
antara
kemampuan
representasi matematis beragam yang belajar
dengan pembelajaran Reciprocal Teaching
menggunakan masalah kontekstual ditinjau
berdasarkan KAM (tinggi, sedang, rendah).
6. REFERENSI
Alverman & Phelps. (1998). Reading
Strategies “Scaffolding Student’s
Interactions With Texts” Reciprocal
Teaching.
[Online].
Tersedia:
http://www.sdcoe.k12.ca.us/score/pr
omising/tips/rec.html.
Cai, Lane, Jacabcsin (1996). “Assesing
Students‟
mathematical
communication”. Official Journal of
Science and Mathematics. vol. 5.
Hal. 96.
Chen, N.S., Hwang, W.Y, Dung, J.J., Yang,
Y. L. (2015). Influence of
Mathematical Representation and
Mathematics Self-Efficacy on the
Learning Effectiveness of Fifth
Graders in Pattern Reasoning.
International Journal of Learning,
Teaching and Educational Research
Vol. 13, No. 1, pp. 1-16,[on-line]
Gagatsis. (2004). The Role of Representasi in
Seconcary Mathematics Education.
Proccedings of 10th International
Congress
on
Mathematical
Education.
Giangrave, A. B. (2006). The Impact of
Reciprocal Teaching on Literacy
Achievement of Seventh Grade Boys.
A Dissertation, Connecticut State
University,
New
Britain,
Connecticut. [Online]. Tersedia:
http://www.cprints.vvsu.edu/Diss22
FT.pdf.
Hudoyo, H (2002). Representasi Belajar
Berbasis
Masalah.
Jurnal
Matematika dan Pembelajarannya.
ISSN: 085-7792. Volume VIII, edisi
khusus.
Hutagaol,
K.
(2007).
Pembelajaran
Matematika
Kontekstual
untuk
Meningkatkan
Kemampuan Representasi Matematis
Siswa Sekolah Menengah Pertama.
Tesis. UPI: Tidak diterbitkan.
Jones, A. D. (2000). The Fifth Process
Standard: An Argument to Include
Representation in Standar 2000.
[Online]:
http://www.math.umd.edu/~dac/650/
jonespaper.html.
Kartini. (2009). Peranan Representasi dalam
Pembelajaran Matematika. [Online].
Tersedia:
http:/eprints.uny.ac.id/7036/1/P22Kartini-pdf.
Luitel, B.C. (2001). Multiple Representations
of Mathematical Learning. [online].
Available:
http://www.
matedu.cinvestav.mx/adalira.pdf
NCTM. (2000). Principles and Standards for
School Mathematics. Reston, VA:
NCTM
Palinscar, A. S. & Brown, A. (1984).
“Reciprocal
teaching
of
Comprehension
Fostering
and
Comprehension
Mentoring Activities”. Cognition and
Instruction, Vol. 1, No. 2 PP. 117175.
Palinscar, A. S. (1986). Reciprocal Teaching.
[Online].
Tersedia:
http://www.ncrel.org/sdrs/areas/issue
s/student/atrisk/at6lk38.html.
Sumarmo, U. (2013). Berpikir dan Disposisi
Matematik Serta Pembelajarannya.
Bandung : Jurdikmat FPMIPA- UPI.
Wahidin, N. (2012). Pengaruh Penggunaan
Strategi
Reciprocal
Teaching
terhadap Kemampuan Berpikir
Kritis dan Disposisi Matematis
Siswa SMP. Tesis UPI: Tidak
Diterbitkan
Pendidikan Matematika Universitas Muhammadiyah Purworejo ,
Ruang Seminar UMP, Sabtu, 28 Mei 2016
679
PENGARUH PENERAPAN
TUTOR SEBAYA TERHADAP HASIL BELAJAR
Imam Mukhlish1), Zainal Abidin2)
1
STKIP Al Hikmah
email: [email protected]
2
STKIP Al Hikmah
email:
Abstrak
Penelitian ini menggambarkan pengaruh metode tutor sebaya terhadap hasil belajar siswa pada
pembelajaran matematika di salah satu SMK di Surabaya yang bertujuan untuk menganalisis apakah
penggunaan metode tutor sebaya berpengaruh terhadap hasil belajar siswa pada pembelajaran mata
pelajaran matematika serta untuk mengetahui perbedaan antara metode tutor sebaya dengan metode
konvensional. Metode yang digunakan yaitu metode eksperimen, dengan jenis one shot case study,
serta menggunakan teknik analisis data dengan uji t. Sampel yang digunakan adalah siswa kelas XI.
Instrument yang digunakan dalam pengumpulan data dilakukan melalui tes dengan bentuk soal
pilihan ganda. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa terdapat perbedaan yang signifikan hasil
belajar mata pelajaran matematika di salah satu SMK di Surabaya, dimana kelas metode tutor
sebaya memiliki hasil belajar lebih tinggi dibandingkan dengan kelas metode konvensional.
Kata Kunci: metode tutor sebaya, metode konvensional, hasil belajar
1.
PENDAHULUAN
Dalam keseluruhan proses pendidikan,
kegiatan belajar mengajar adalah proses pokok
yang harus dilalui oleh seorang pendidik atau
guru. Berhasil dan tidaknya suatu tujuan
pendidikan bergantung kepada bagaimana
proses belajar mengajar dirancang dan
disajikan.
Tenaga kependidikan meruakan suatu
komponen komponen yang penting dalam
penyelenggaraan pendidikan, yang bertugas
menyelenggarakan
kegiatan
mengajar,
melatih, mengembangkan, mengelola dan
memberikan pelayanan teknis dalam bidang
pendidikan. Salah satu unsur tenaga
kependidikan adalah tenaga pengajar yang
tugas utamanya adalah mengajar. Karena
tugasnya adalah mengajar, maka dia harus
mempunyai wewenang mengajar berdasarkan
kualifikasi sebagai tenaga pengajar/guru
(Hamalik, 2007:91).
Matematika adalah mata pelajaran yang
memuat banyak konsep-konsep abstrak
(Fauziah, 2012), biasanya metode yang
digunakan oleh guru adalah metode
680
konvensional yaitu ceramah. Guru dalam
melaksanakan pembelajaran matematika ini
menularkan pengetahuan dan informasi
dengan menggunakan lisan. Kebanyakan guru
yang meggunakan metode ini cenderung tidak
memperhatikan
siswanya,
guru hanya
memberikan materi kemudian eminta siswa
untuk mengerjakan soal. Dari hal ini dapat
dilihat bahwa siswa kurang berperan aktif
dalam pembelajaran, sehingga untuk berpikir
kreatif pun siswa mengalami hambatan, di sisi
lain metode ceramah ini dapat menimbulkan
kebosanan pada siswa (Khanifah,dkk,2012),
sehingga metode ini dirasa kurang efektif.
Oleh karena itu dalam proses belajar mengajar
perlu adanya pendekatan pembelajaran yang
lebih efektif dan mampu menciptakan suasana
yang bisa membuat siswa berperan aktif dalam
pembelajaran khususnya pada mata pelajaran
matematika.
SMK Dharma Bhakti Surabaya adalah
salah satu sekolah swasta dengan status
terakreditasi B. Jika dilihat dari siswa,
kebanyakan siswa dan siswi SMK Dharma
Bhakti Surabaya berasal dari berbagai daerah
Prosiding Seminar Nasional Matematika dan Pendidikan Matematika. “Internalisasi Nilainilai Berpikir Matematis Dalam Peranannya di Era Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA)”
di sekitar Sidoarjo dan Surabaya, hal ini
dikarenakan SMK Dharma Bhakti Surabaya
ini beralamatkan di jl. Menanggal I/32
Surabaya yang dekat dengan terminal
Bungurasih.
Sekilas jika dilihat banyak sekali
permasalahan yang dialami siswa dan
siswinya. Misalnya, banyak dari siswa siswi
SMK Dharma Bhakti Surabaya yang kerja
untuk menyambung hidupnya setiap hari. Kita
ketahui sendiri bahwa di Surabaya dan
Sidoarjo untuk bekerja saja sangatlah keras,
apalagi ditambah mereka harus sekolah dipagi
harinya. Hal ini berimbas pada saat di sekolah
banyak dari mereka yang terlambat, bahkan
lebih banyak dari mereka yang tidak masuk
sekolah karena harus kerja. Selain hal itu
siswa juga mempunya prestasi hasil belajar
yang kurang, jika dilihat dari daftar nilai yang
dihasilkan. Sedikit sekali minat siswa dalam
mengikuti pelajaran, hal ini dapat terlihat dari
keadaan siswa saat menerima pelajaran banyak
yang berbicara sendiri, bahkan terkadang
mereka mengutak ngutik handphone tanpa
memperhatikan guru.
Selain itu jarang sekali siswa yang mau
bertanya saat kegiatan belajar mengajar,
ditambah dari kesuluruhan siswa di kelas yang
harusnya ada 30 siswa, hanya ada sekitar 10
siswa saja yang sering masuk sekolah
sehingga sulit bagi guru agar semua siswa
memenuhi ketuntasan belajar semuanya. Hal
tersebut
yaitu mampu menyelesaikan,
menguasai kompetensi atau mencapai tujuan
pembelajaran minimal 65% dari seluruh tujuan
pembelajaran (Mulyasa, 2004:99).
Berdasarkan hal tersebut, maka dalam
pokok bahasan ini perlu diberikan metode lain
dalam penyampaian materi pelajarannya yaitu
dengan menggunakan metode tutor sebaya
yang mana metode ini dilakukan dengan cara
memberdayakan kemampuan siswa yang
memiliki daya serap tinggi, siswa tersebut
mengajarkan materi kepada teman-temannya
yang belum paham sehingga memenuhi
ketuntasan belajar semuanya. Hal tersebut
yaitu
mampu
menyelesaikan,menguasai
kompetensi menurut standar kompetensi SMK,
pokok bahasan dalam matematika teknik pada
kelas XI semester ganjil. Untuk itulah peneliti
mengambil sampel kelas XI TKJ SMK
Dharma Bhakti Surabaya. Hal tersebut dilihat
dari hasil belajar para siswa yang belum
memuaskan. Hal ini dapat didukung oleh hasil
nilai siswa pada pengajaran konvensional
terhadap
pelajaran
(khususnya
dalam
pembelajaran matematika) sangat jauh
dibawah rata-rata, adapun penyebabnya pada
umumnya terletak pada metodenya kurang
sesuai sehingga anak-anak jenuh mengikuti
pelajaran khususnya pembelajaran matematika
yang ditemui selama ini sangat membosankan
dan masih menekankan pada tuntutan
kurikulum dan penyampaian tekstual semata
dari pada mengembangkan kemampuan belajar
dan membangunkan individu. Kondisi ini
tidak akan menumbuh kembangkan aspek
kemauan dan aktivitas siswa seperti yang
diharapkan.
Dalam kelas tutor sebaya, tugas guru
adalah sebagai fasilitator, mediator, directormotivator, dan evaluator. Disamping itu, guru
juga berperan dalam menyediakan sarana
pembelajaran, agar suasana belajar tidak
monoton
dan
membosankan.
Dengan
kreativitasnya, sang guru dapat mengatasi
keterbatasan sarana, sehingga proses belajar
mengajar tidak terhambat. (Hamalik, 2007:63)
Salah satu model pembelajaran yang dapat
dilakukan untuk mengatasi kendala-kendala
diatas adalah metode pembelajaran tutor
sebaya. Kita tahu bahwa dalam kenyataan
anak yang belajar dari anak-anak lain yang
memiliki status dan umur yang
sama,
kematangan / harga diri yang tidak jauh
berbeda, maka dia tidak akan merasa begitu
terpaksa untuk menerima ide-ide dan sikapsikap dari guru-gurunya tersebut. Sebab gurugurunya, yaitu teman sebayanya itu, tidaklah
Pendidikan Matematika Universitas Muhammadiyah Purworejo ,
Ruang Seminar UMP, Sabtu, 28 Mei 2016
681
begitu lebih bijaksana dan berpengalaman dari
padanya. Anak relatif bebas bersikap dan
berpikir, anak relatif bebas memilih perilaku
yang dapat diterima / tidak diterima oleh
teman- teman sebayanya.anak bebas mencari
hubungan yang bersifat pribadi dan bebas pula
menguji dirinya dengan teman-teman lain.
Dengan perasaan bebas yang dimiliki itu
maka diharapkan anak dapat lebih aktif dalam
berkomunikasi,sehingga dapat mempermudah
mereka dalam memahami konsep / materi
yang sedang diajarkan oleh guru. Dengan
demikian penggunaan model pembelajaran
tutor sebaya ini selain dapat meningkatkan
kecakapan siswa dalam berkomunikasi juga
dapat memberi solusi kepada siswa dalam
memahami suatu konsep mata pelajaran
sehingga dapat meningkatkan hasil belajar
mereka.
Pembelajaran tutor sebaya dapat dilakukan
diberbagai tingkatan pendidikan dan tanpa
terbatas pada pokok bahasan tertentu, sehingga
dalam setiap jenjang pendidikan dapat
diterapkan model pembelajaran tutor sebaya
tanpa harus terpancing pada suatu pokok
bahasan tertentu. Pembelajaran tutor sebaya
adalah salah satu bentuk pembelajaran yang
berdasarkan faham kontruktivis. Pembelajaran
tutor sebaya merupakan strategi belajar dengan
sejumlah siswa sebagai anggota kelompok
kecil yang tingkat kemampuannya berbeda.
Dalam pembelajaran, setiap siswa harus
bekerja sama dan saling membantu dalam
memahami materi pelajaran. Sehingga pada
pembelajaran tutor sebaya ini belajar
dikatakan belum selesai apabila salah satu
teman dalam kelompoknya belum menguasai
materi pelajaran.
Maka dari itu peneliti tertarik untuk
melakukan
penelitian
pembelajaran
matematika dengan pendekatan pembelajaran
tutor sebaya. Dengan berdasarkan pada uraian
di atas maka peneliti mengambil judul:
682
pengaruh penerapan tutor sebaya terhadap
hasil belajar.
Adapun tujuan penelitian ini adalah untuk
mengetahui pengaruh penerapan tutor sebaya
terhadap hasil belajar.Berdasarkan wawancara
yang dilakukan peneliti dengan guru
matematika di SMK tersebut, metode
pembelajaran
tersebut
belum
pernah
diterapkan dalam pembelajaran. Oleh karena
itu peneliti akan menerapkan metode
pembelajaran tutor sebaya dalam pelajaran
matematika materi vektor di SMK tersebut
2.
KAJIAN LITERATUR
Metode berasal dari dua kata yaitu meta
dan hodos. Meta artinya melaui dan hodos
yang artinya jalan atau cara, dengan demikian
definisi metode adalah suatu jalan atau cara
yang harus dilalui untuk mencapai suatu
tujuan. (Nata, 1997:91).
Sumber yang lain menyebutkan bahwa
metode berasal dari kata dalam bahasa Jerman
methodica yang artinya ajaran tentang metode.
Dalam bahasa Yunani metode berasal dari kata
methodos yang artinya jalan. (Hasanuddin,
1996:35).
Dari pengertian tersebut dapat dijabarkan
bahwa metode adaa suatu cara atau jalan yang
digunakan untuk mencapai suatu tujuan.
Adapun manfaat dari penggunaan metode
dalam proses belajar mengajar adalah sebagai
alat untuk mempermudah seorang guru dalam
menyampaikan materi pelajaran. Hal ini
bertujuan untuk memudahkan siswa dalam
menyerap materi yang disampaikan oleh guru
selain itu juga dapat berfungsi sebagai suatu
alat evaluasi pembelajaran.
Pada dasarnya istilah metode telah
tercangkup dalam pengertian metodologi yaitu
sebagai bagian dari kumpulan dari metodemetode di dalam pengajaran. Sebagai mana
yang kita ketahui, bahwa metode mengahar
Prosiding Seminar Nasional Matematika dan Pendidikan Matematika. “Internalisasi Nilainilai Berpikir Matematis Dalam Peranannya di Era Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA)”
merupakan sasaran interaksi antara guru
dengan siswa dalam melakukan kegiatan
belajar mengajar. Dengan demikian yang perlu
diperhatikan adalah ketepatan sebuah metode
mengajar yang dipilih dengan tujuan, jenis dan
juga sifat materi pengajaran, serta kemampuan
guru dalam memahami dan melaksanakan
metode tersebut. Guru hendaknya cermat
dalam memilih dan menggunakan metode
mengajar terutama yang banyak melibatkan
siswa secara aktif.
Pembelajaran adalah proses interaksi
peserta didik dengan pendidik dan sumber
belajar pada suatu lingkungan belajar.
Pembelajaran merupakan bantuan yang
diberikan pendidik agar dapat terjadi proses
pemerolehan
ilmu
dan
pengetahuan,
penguasaan kemahiran dan tabiat, serta
pembentukan sikap dan kepercayaan pada
peserta didik agar dapat belajar dengan baik.
Proses pembelajaran dialami sepanjang hayat
seorang manusia serta dapat berlaku di
manapun dan kapanpun. Pembelajaran
mempunyai pengertian yang mirip dengan
pengajaran, walaupun mempunyai konotasi
yang berbeda. Dalam konteks pendidikan,
guru mengajar supaya peserta didik dapat
belajar dan menguasai isi pelajaran hingga
mencapai sesuatu objektif yang ditentukan
(aspek kognitif), juga dapat mempengaruhi
perubahan sikap (aspek afektif), serta
keterampilan (aspek psikomotor) seorang
peserta didik. Pengajaran memberi kesan
hanya sebagai pekerjaan satu pihak, yaitu
pekerjaan guru saja. Sedangkan pembelajaran
juga menyiratkan adanya interaksi antara guru
dengan peserta didik.
Dalam UU No. 20/2003, Bab I Pasal 1
Ayat
20
dijelaskan
bahwa
istilah
“pembelajaran” sama dengan “instruction atau
“pengajaran”. Pengajaran mempunyai arti cara
mengajar atau mengajarkan. Dengan demikian
pengajaran diartikan sama dengan perbuatan
belajar (oleh siswa) dan mengajar (oleh guru).
Kegiatan belajar mengajar adalah satu
kesatuan dari dua kegiatan yang searah.
Kegiatan belajar adalah kegiatan primer,
sedangkan mengajar adalah kegiatan sekunder
yang dimaksudkan agar terjadi kegiatan secara
optimal. Dapat ditarik kesimpulan bahwa
pembelajaran adalah usaha sadar dari guru
untuk membuat siswa belajar, yaitu terjadinya
perubahan tingkah laku pada diri siswa yang
belajar, dimana perubahan itu dengan
didapatkannya kemampuan baru yang berlaku
dalam waktu yang relatif lama dan karena
adanya usaha. Dengan
demikian dapa
diketahui bahwa kegiaan pembelajaran
merupakan kegiatan yang melibatkan beberapa
komponen: siswa,guru,tujuan,isi pelajarn,
metode,metode,media bahan pengajaran,dan
evaluasi
Jadi dapat disimpulkan bahwa metode
pembelajaran yaitu suatu cara yang digunakan
dalam proses interaksi peserta didik dengan
pendidik dan sumber belajar pada suatu
lingkungan belajar guna mencapai suatu tujuan
secara lebih optimal.
Menurut etimologi tutor adalah guru
pribadi, mengajar ekstra atau memberi
pengajaran. Undang-undang RI Nomor 20
Tahun 2005 tentang guru dan dosen
menyebutkan
pendidik
adalah
tenaga
kependidikan yang berkualifikasi sebagai
guru, dosen, konselor, pamong belajar, tutor,
instruktur, fasilitator dan sebutan lain yang
sesuai
dengan
kekhususannya,
serta
berpartisipasi
dalam
menyelenggarakan
pendidikan.
Tutor merupakan sebutan bagi orang yang
mengajar dalam pendidikan non-formal,
walaupun yang menjadi tutor adalah seorang
guru dalam pendidikan formal. Metode tutorial
merupakan cara penyampaian bahan pelajaran
yang telah dikembangkan dalam bentuk modul
untuk dipelajari siswa secara mandiri. Siswa
dapat mengkonsultasikan tentang masalah-
Pendidikan Matematika Universitas Muhammadiyah Purworejo ,
Ruang Seminar UMP, Sabtu, 28 Mei 2016
683
masalah dan kemajuan yang ditemui secara
periodik.
Para tutor yang telah terlatih dalam
menggunakan pedoman belajar mengajar
membawakannya dengan langkah-langkah
sebagaimana diperintahkan di dalam pedoman
itu, pada jam-jam tertentu yang telah
ditetapkan. Langkah-langkah itu ada beberapa
macam, sesuai dengan sifat bahan pelajaran,
sehingga tutor akan mengajar secara berlainan
pada waktu membawakan bagian modul satu
ke bagian modul yang lain. Amun pola umum
yang dilakukan para tutor adalah meminta
murid-murid membuka buku pelajaran,
menanyakan suatu pelajaran, memuji jawaban
yang benar, meluruskan jawaban yang salah,
menggilir latihan, mengetes, dan meng paraf
pedoman itu ketika selesai diajarkan.
Tutor mengadakan evaluasi pada tiap-tiap
bagian modul yang memang telah diajarkan
guna mengetahui apakah tujuan pengajaran
telah dicapai atau belum. Apabila belum sesuai
dengan apa yang diharapkan, maka seorang
tutor harus mengulang materi sehingga sang
murid dapat menguasai materi secara
keseluruhan atau tidak pindah dari modul satu
ke modul yang lain karena tujuan belum
tercapai.
Menurut Ischak (1987:102) tutor sebaya
artinya siswa yang mengalami kesulitan
belajar diberi bantuan oleh teman-teman
mereka sekelas yang punya umur sebaya
dengan dia. Tutor sebaya adalah seorang
teman atau beberapa orang siswa yang
ditunjuk oleh guru (sesuai kriteria menjadi
tutor sebaya) dan ditugaskan untuk
membantu siswa yang mengalami kesulitan
belajar. Pengajaran dengan tutor sebaya
adalah kegiatan belajar siswa dengan
memanfaatkan
teman
sekelas
yang
mempunyai
kemampuan
lebih
untuk
membantu temannya dalam melaksanakan
suatu kegiatan atau memahami suatu
konsep. (Winataputra, 1999:380)
Berdasarkan definisi tentang tutor
sebaya di atas, maka dapat disimpulkan
bahwa istilah tutor sebaya yang dimaksud
dalam penelitian ini yaitu bagaimana
mengoptimalkan kemampuan siswa yang
berprestasi
Seorang guru disini sebagai pengawas,
mengawasi jalannya pengajaran terprogram,
mereka membantu mengatur kelompok,
menyesuaikan jadwal, membantu mengatasi
kesulitan, menyempurnakan kompetensi yang
belum dicapai secara sempurna dan mengelola
keseluruhan
administrasi
pendidikan
(Muntasir, 1985:64)
dalam satu kelas untuk mengajarkan
atau menularkan kepada teman sebaya
mereka yang kurang berprestasi.Sehingga
siswa yang kurang berprestasi bisa
mengatasi ketertinggalan. Pembimbingan
dalam pelajaran yang diberikan oleh seorang
siswa kepada siswa lain, sedangkan mereka
(antara pembimbing dan yang dibimbing)
adalah teman sekelas atau teman sebangku
yang usianya relatif sama, dan siswa yang
kurang paham bisa bertanya langsung
kepada teman sebangkunya (tutor yang di
tunjuk) sehingga kondisi kelas pun bisa
hidup karena siswa tidak malu bertanya
ketika mereka tidak paham.
Menurut Dedi Supriyadi mengemukakan,
bahwa tutor sebaya adalah seorang atau
beberapa orang siswa yang ditunjuk dan
ditugaskan untuk membantu siswa yang
mengalami kesulitan belajar. (Suherman, dkk,
2003:276)
Ada yang beranggapan, bahwa penilaian
hanya sebagian kecil dalam proses pendidikan,
yang menyatakan penilaian sama artinya
dengan pemberian angka atas prestasi
belajar siswa. Padahal makna penilaian
sangat luas dan merupakan bagian sangat
684
Prosiding Seminar Nasional Matematika dan Pendidikan Matematika. “Internalisasi Nilainilai Berpikir Matematis Dalam Peranannya di Era Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA)”
pentingdalam
upaya
mengetahui hasil
pendidikan. Evaluasi hasil belajar peserta
didik dilakukan
oleh
pendidik
untuk
memantau proses, kemajuan, dan perbaikan
hasil
belajar
peserta
didik
secara
berkesinambungan.
Evaluasi hasil belajar adalah keseluruhan
kegiatan pengukuhan (pengumpulan data
dan Informasi), pengelola, penafsiran dan
pertimbangan untuk membuat keputusan
tentang tingkat hasil belajar yang di capai
oleh siswa setelah melakukan kegiatan belajar
dalam upaya mencapai tujuan pembelajaran
yang telah di tetapkan. Hasil belajar menuju
pada prestasi.
Khusus metode mengajar di dalam
kelas, efektifitas suatu metode dipengaruhi
oleh faktor tujuan, faktor siswa, faktor
situasi, dan faktor guru itu sendiri. Dengan
memiliki
pengetahuan
secara
umum
mengenai sifat berbagai metode, seorang
guru akan lebih mudah menetapkan metode
yang paling sesuai dalam situasi. Dalam
prosespembelajaran
pelajaran matematika,
metode mempunyai kedudukan yang sangat
penting dalam upaya pencapaian tujuan,
termasuk di dalamnya adalah prestasi
belajar siswa. Karena itu, menjadi sarana
yang membermaknakan materi pelajaran
yang tersusun dalam kurikulum pendidikan
sedemikian rupa sehingga dapat di pahami
atau di serap oleh anak didik menjadi
pengertian yang fungsional terhadap tingkah
laku dan prestasi belajar. Tanpa metode,
suatu
materi
pelajaran
tidak
dapat
memproses secara efesien dalam kegiatan
belajar menuju
tujuan
pendidikan,
terhadap
prestasi belajar.
Metode
pembelajaran yang sesuai dengan tujuan
kurikulum dan potensi siswa merupakan
kemampuan dan keterampilan dasar yang
harus dimiliki oleh seorang guru. Hal ini
didasari oleh asumsi, bahwa ketepatan guru
dalam memilih model
dan
metode
pembelajaran akan berpengaruh terhadap
keberhasilan dan hasil belajar siswa, karena
model dan metode pembelajaran yang di
gunakan oleh guru berpengaruh terhadap
kualitas PBM yang di lakukannya. Dalam
pelaksanaan metode Tutor sebaya ini lebih
menekankan pada sistem pembelajaran yang
kreatif, inovati, dan mandiri bagi siswa.
siswa
lebih
banyak
yang
berperan,
sedangkan guru sebagai fasilitator.
Dalam metode ini, siswa bisa leluasa
bertanya, karena yang menjadi tutornya
adalah teman sendiri. adapun kendala
utamanya, selama ini model pembelajaran
kurang menekankan aspek pengembangan
potensi dan kreatifitas siswa. Guru sebenarnya
adalah innovator atau kreator di depan kelas
atau di tempat praktek.
iklim belajar yang berlangsung dalam
suasana keterbukaan dan demokratis akan
memberikan kesempatan yang optimal
bagi siswa untuk memperoleh informasi
yang lebih banyak mengenai materi yang
dipelajari.
Hasil
penelitian
Yuvitta
Indriani,
Wahyudi, H Setyo Budi “penerapan metode
pembelajaran tutor sebaya untuk peningkatan
pembelajaran matematika tentang pecahan
bagi siswa kelas V SDN 1 Bojongsari tahun
2012/2013” yang hasilnya penerapan metode
pembelajaran Tutor sebaya memberikan
kontribusi pada tes hasil belajar siswa.
Sedangkan hasil dari penelitian Evie
Hafizah “pengaruh metode tutor sebaya
terhadap hasil belajar d kelas V sekolah dasar
kota Pontianak” menunjukkan bahwa terdapat
pengaruh yang signifikan antara penggunaan
metode tutor sebaya terhadap hasil belajar
bahasa Indonesia siswa kelas V Sekolah Dasar
Negeri 28 Pontianak Kota.
Ada
penelitian
lain
lagi
Pendidikan Matematika Universitas Muhammadiyah Purworejo ,
Ruang Seminar UMP, Sabtu, 28 Mei 2016
yang
685
menggunakan tutor sebaya sebagai pokok
bahasannya, kali ini adalah penelitian dari
Agung Wicaksono “Persepsi siswa terhadap
penggunaan metode tutor sebaya dalam
pembelajaran seni musik di kelas VIII SMP
Negeri 1 Larangan Brebes” disimpulkan
sebagian besar di kelas
VIII SMP Negeri 1 Larangan Brebes ada 21
dari 40 siswa (52,5%) termasuk dalam
kategori Setuju.
3.
METODE PENELITIAN
Penelitian
ini
dilakukan
dengan
mengambil subjek penelitian dari 15 siswa kelas
XI TKJ SMK Dharma Bhakti Surabaya dengan
metode penelitian kuantitatif untuk menguji
pengaruh penerapan tutor sebaya terhadap hasil
belajar. Metode yang digunakan yaitu metode
eksperimen. Dengan jenis one shot case study
serta menggunakan teknik analisis data uji t.
Peneliti
membuat
perencanaan,
menerapkan pembelajaran dengan menggunakan
tutor sebaya, mengumpulkan data, menganalisis
data serta melaporkan hasil penelitian.
Pada
tahap
perencanaan,
peneliti
merancang pembelajaran materi vektor yang
menggunakan metode pembelajaran tutor
sebaya dan membuat instrumen penelitan. Data
yang dikumpulkan dalam penelitian ini adalah
data yang berhubungan dengan hasil
pembelajaran menggunakan metode tutor
sebaya dan hasil pembelajaran dengan metode
konvensional. Data hasil postes siswa digunakan
untuk melihat apakah penerapan tutor sebaya
berpengaruh pada hasil belajar siswa
Pada tahap penerapan pembelajaran,
peneliti
langsung
menerapkan
metode
pembelajaran tutor sebaya pada pengajarannya,
pada tahap ini seluruh siswa dituntut untuk aktif
dalam pembelajaran. Peneliti tidak berdiam diri
saja, peneliti juga berkeliling mengawasi siswa
siswanya. Pada akhir treatment siswa diberi
686
postes yang akan digunakan untuk melihat
pemahaman siswa dan ketuntasan yang
berpedoman pada nilai KKM sekolah dan mata
pelajaran tersebut.
Pada tahap pengumpulan data peneliti
memberian postes yang terdiri dari 5 soal
dengan alokasi waktu 20 menit setelah
menerapkan treatment. Peneliti menekankan
kepada siswa untuk mengerjakan postes secara
jujur dan tidak bekerja sama satu sama lain. Hal
ini bertujuan agar data yang diperoleh akurat
serta menghindari bias.Instrumen pos test
diambil dari buku matematika XI teknik-SMK
kurikulum KTSP. peneliti berasumsi bahwa
instrumen postes yang diambil dari sumber
tersebut telah valid dan reliabilitas.
Pada tahap analisis data, data dianalisis
dengan langkah-langkah: mendeskripsikan data,
menganalisis secara kuantitaif untuk data berupa
skor, dan menyimpulkan data. Sedangan data
postes dilakukan analisis kuantitatif yaitu
dengan uji-T satu sampel.uji hipotesis ini
menggunakan rumus t-test dengan ketentuan
sebagai berikut:
Hipotesis nol : “penerapan metode
pembelajaran tutor sebaya tidak dapat
meningkatkan hasil belajar siswa yaitu kurang
dari 75 (KKM)”
Hipotesis alternatif : “penerapan metode
pembelajaran tutor sebaya dapat meningkatkan
hasil belajar siswa yaitu lebih dari 75 (KKM)”
Atau dapat ditulis
Dengan :
: rata-rata hasil belajar siswa yang
diberi treatment dengan tutor sebaya
Prosiding Seminar Nasional Matematika dan Pendidikan Matematika. “Internalisasi Nilainilai Berpikir Matematis Dalam Peranannya di Era Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA)”
KKM:
kriteria
Ketuntasan
Minimum
menghitung rata-rata dan simpangan bakunya
Mencari t_tabel dengan derajat kebebasan (dk)
= n-1, dengan n adalah banyak sampel, taraf
signifikan 5 %.
Membandingkan
dengan _tabel
= nilai rata-rata hasil belajar siswa
= jumlah nilai hasil belajar siswa
= banyak siswa
= simpangan baku
= jumlah frekuensi kelas I
dikalikan kuadrat tanda kelas atau nilai tengah
kelas dikurangi nilai rata-rata
Menghitung t_hitung dengan rumus :
Rumusan hipotesis di atas pengujiannya
dilakukan dengan uji pihak kanan, dengan
menggunakan rumus sebagai berikut.
Ho diterima
: _hitung > _tabel
Ho ditolak
: _hitung < _tabel
: skor
eksperimen
: nilai
rata-rata
dari
kelompok
yang dihitung, selanjutnya
disebut hitung
: nilai yang dihipotesiskan
: simpangan baku
: jumlah anggota sampel
_hitung
Menarik kesimpulan berdasarkan hipotesis
yang telah dibuat.
Desain penelitian yang digunakan dalam
penelitian ini adalah “One-Shot case study”
yaitu pemberian perlakuan atau treatment
(variabel Independent) (Sugiyono : 2015), lalu
observasi hasil (variabel dependent) yang
dilakukan dengan pemberian postes. Treatment
dan postes diberikan pada hari yang sama
dengan tujuan menghindari bias dan melihat
pengaruh treatment yang dilakukan yang
kemudian akan dibandingkan dengan KKM
mata pelajaran Matematika.
Pada tahap akhir , laporan dilakukan
setelah penelitian berlangsung
4.
Keterangan :
perhitungan
HASIL DAN PEMBAHASAN
Berikut ini dibahas tentang pelaksanaan
tindakan,
serta
analisis
pembelajaran
menggunakan metode pembelajaran tutor
sebaya.
Penelitian ini hanya terdiri dari satu kali
pertemuan (2 x 45 menit). Pertemuan tersebut
menerapkan pembelajaran vektor dengan
menggunakan metode pembelajaran tutor
sebaya.
Perencanaan meliputi : menyiapkan rencana
pelaksanaan (RPP), menyiapkan materi untuk
presentasi kelas, menyiapkan postes dan
melakukan koordinasi antara peneliti dengan
Pendidikan Matematika Universitas Muhammadiyah Purworejo ,
Ruang Seminar UMP, Sabtu, 28 Mei 2016
687
guru.
Pada saat pembelajaran, peneliti memberikan
review tentang vektor di bidang sebelum
menyampaikan tujuan pembelajaran yaitu
menerapkan konsep vektor pada bangun
ruang,siswa diminta untuk berkumpul bersama
kelompoknya untuk membahas soal yang akan
diberikan peneliti Lalu peneliti memberikan soal
kepada siswa untuk didiskusikan dan nantinya
salah satu siswa diminta siswa untuk maju
menjelaskan hasil pekerjaannya.
Pada saat yang bersamaan, guru memantau
siswa dan berkeliling untuk mengecek jawaban
siswa dan memberikan umpan balik. Siswa
diberi kesempatan untuk memaparkan hasil
pekerjaannya di depan kelas. Di akhir
pembelajaran peneliti memberikan 5 soal postes.
Postes hanya diikuti oleh 15 siswa, hal ini
dikarenakan 5 siswa lain berhalangan hadir atau
izin. Berdasarkan hasil analisis postes diperoleh
data sebagai berikut: sebanyak 11 siswa
mendapat nilai
75, sebanyak 4 siswa
mendapat nilai 75, rata-rata tes akhir tindakan
85, nilai t tabel dengan 15 siswa adalah 2,13
Berdasarkan data hasil analisis postes
diperoleh bahwa t hitung <t tabel, sehingga Ho
diterima yaitu penerapan metode pembelajaran
tutor sebaya dapat meningkatkan hasil belajar
siswa yaitu lebih dari 75 (KKM)
5.
KESIMPULAN
Penerapan metode pembelajaran tutor sebaya
dapat meningkatkan hasil belajar siswa yaitu
lebih dari 75 (KKM).
6.
REFERENSI
Agung.
(2012). metodologi penelitian
pendidikan. singaraja: Fakultas Ilmu
Pendidikan Undiksha.
Hafizah, E. (2013). pengaruh metode tutor
sebaya terhadap hasil belajar di kelas
V Sekolah Dasar kota Pontianak.
688
pontianak: Universitas Tanjungpura
Pontianak.
hamalik, & oemar. (2007). kurikulum
pembelajaran. jakarta: bumi aksara.
hasanuddin. (1996). drama karya dalam dua
dimensi. bandung: angkasa.
indriani, Y. d. (2013). penerapan metode
pembelajaran tutor sebaya untuk
meningkatkan
pembelajaran
matematika tentang pecahan bagi
siswa kelas v SDN 1 Bojongsari tahun
2012/2013. Surakarta: Universitas
Sebelas Maret.
Isa, A. (2010). keefektifan pembelajaran
berbantuan multimedia menggunakan
metode inkuiri terbimbing untung
meningkatkan minat dan pemahaman
siswa. jurnal pendidikan fisika
indonesia, 6(1).
Janwardi, T. (2014). perbedaan hasil belajar
antara pembelajaran tutor sebaya
dengan konvensional siswa kelas X
SMKN 1 Padang pada mata pelajaran
menganalisis
rangkaian
listrik.
Padang: Universitas Negeri Padang.
muntasir. (1985). pengajaran terprogram.
jogjakarta: karya anda.
Sugiyono.
(2015).
metode
penelitian
pendidikan : pendekatan kuantitatif,
kualitatif dan R&D. Bandung:
Alfabeta.
suherman, E. d. (2003). strategi pembelajaran
matematika kontemporer. bandung:
UPI.
wicaksono, A. (2013). persepsi siswa terhadap
penggunaan metode tutor sebaya
dalam pembelajaran seni musik di
SMP Negeri 1 Larangan Brebes.
semarang:
Universitas
Negeri
Semarang.
Khanifah, S., Pukan, K. K., & Sukaesih, S.
(2012). Pemanfaatan Lingkungan
Sekolah sebagai Sumber Belajar untuk
Meningkatkan Hasil Belajar Siswa.
Unnes Journal of Biology Education,
1(1).
Prosiding Seminar Nasional Matematika dan Pendidikan Matematika. “Internalisasi Nilainilai Berpikir Matematis Dalam Peranannya di Era Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA)”
Nasional, S. P. (2003). Undang-Undang
Republik Indonesia Nomor 20 Tahun
2003. Tentang: Sistem Pendidikan
Nasional, Jakarta, Depdiknas.
Pendidikan Matematika Universitas Muhammadiyah Purworejo ,
Ruang Seminar UMP, Sabtu, 28 Mei 2016
689
PROSES BERNALAR SISWA DALAM MENEMUKAN
KONSEP MATEMATIKA BERBASIS LKPD
Teguh Wibowo
Program Studi Pendidikan Matematika, Universitas Muhammadiyah Purworejo
e-mail: [email protected]
Abstrak
Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui proses bernalar siswa dalam menemukan konsep
matematika berbasis lembar kerja peserta didik (LKPD). Metode yang digunakan adalah metode
kualitatif dengan teknik analisis data triangulasi. Konsep matematika dalam penelitian ini dibatasi
pada menemukan konsep pada materi jarak dua garis atau bidang yang sejajar. Hasil penelitian
menunjukkan bahwa proses bernalar siswa dalam menemukan konsep jarak titik ke garis meliputi:
1) memahami keterangan atau informasi yang sudah disediakan untuk menemukan konsep jarak
dua garis atau bidang yang sejajar, 2) menggambar berdasarkan perintah yang ada di LKPD, 3)
memeriksa gambar yang sudah dibuat, 4) mencari hubungan berdasarkan gambar, 5)
menggeneralisasi menggunakan kalimatnya sendiri dan 6) melengkapi kesimpulan dengan kata
yang tepat.
Kata Kunci: Penalaran, LKPD
1.
PENDAHULUAN
Pembelajaran matematika terbentuk dan
berkembang
melalui
proses
penalaran.
Kemampuan memahami konsep merupakan
prasyarat bagi peserta didik untuk bernalar
dengan baik, mengingat penalaran merupakan
bagian yang sangat penting dalam belajar
matematika. Shadiq (2004) mengatakan bahwa
materi matematika dan penalaran matematika
merupakan dua hal yang tidak dapat dipisahkan
yaitu materi matematika dipahami melalui
penalaran dan penalaran dipahami serta dilatih
melalui belajar materi matematika. Oleh karena
itu, kemampuan penalaran peserta didik perlu
dikembangkan agar tujuan pembelajaran
matematika dapat tercapai.
Pada kenyataannya siswa masih banyak
yang belum optimal menggunakan nalarnya
untuk memecahkan masalah matematika. Hal ini
bisa dilihat dari hasil pemecahan masalah
matematika baik secara nasional maupun
internasional
belum
menggembirakan.
Berdasarkan hasil Trends In International
Mathematics And Science Study (TIMSS) dalam
www.kemendikbud.go.id menunjukkan bahwa
hasil belajar matematika siswa kelas VIII di
Indonesia masih berada di bawah rata-rata
internasional. Indonesia menduduki peringkat 34
dari 38 negara pada tahun 1999, kemudian di
690
tahun 2003 menduduki peringkat 35 dari 46
negara, dan di tahun 2007 menduduki peringkat
36 dari 49 negara. Adapun aspek kognitif yang
dinilai yaitu pengetahuan, penerapan, dan
penalaran. Hal ini menunjukkan bahwa tingkat
pengetahuan dan penalaran siswa di Indonesia
masih tergolong rendah. Hanya peserta didik
Indonesia yang mampu mengembangkan dan
mengerjakan pemodelan matematika yang
menuntut keterampilan berpikir dan penalaran
(Wijaya, 2012).
Proses bernalar peserta didik untuk
menemukan sebuah konsep, sejatinya perlu
diperhatikan oleh guru. Banyak cara yang dapat
digunakan guru untuk mengetahui proses
bernalar siswa, salah satunya menggunakan
sumber pembelajaran berupa lembar kerja
peserta didik (LKPD). Pemanfaatan LKPD dapat
membantu guru dalam mengarahkan peserta
didiknya untuk dapat menemukan konsep-konsep
melalui aktivitas sendiri dan dalam kelompok
kerja. Sehingga tujuan penelitian ini adalah untuk
mengetahui proses bernalar siswa kelas X SMA
dalam menemukan konsep matematika berbasis
LKPD.
Prosiding Seminar Nasional Matematika dan Pendidikan Matematika. “Internalisasi Nilainilai Berpikir Matematis Dalam Peranannya di Era Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA)”
2.
PENALARAN MATEMATIS
Menurut Keraf dalam Shadiq (2004)
penalaran atau reasoning adalah proses berpikir
yang berusaha menghubungkan fakta atau
evidensi yang diketahui menuju pada suatu
kesimpulan.
Pada
hakikatnya,
penalaran
merupakan suatu proses atau kegiatan berpikir
berdasarkan pernyataan yang kebenarannya
sudah dibuktikan atau diasumsikan sebelumnya
membentuk suatu kesimpulan.
Ciri utama matematika adalah penalaran
deduktif, yaitu kebenaran suatu konsep atau
pernyataan diperoleh sebagai akibat logis dari
kebenaran sebelumnya (Shadiq, 2009). Namun
demikian, dalam pembelajaran, pemahaman
konsep sering diawali secara induktif melalui
pengalaman peristiwa nyata atau intuisi. Proses
induktif dan deduktif dapat digunakan untuk
mempelajari konsep matematika.
Matematika sebagai ilmu pengetahuan
dengan penalaran deduktif tidak menerima
generalisasi secara umum atau kesimpulan yang
didapat dengan penalaran induktif. Namun
konsep atau pernyataan didasarkan atas
pernyataan sebelumnya. Bernalar secara deduktif
lebih banyak menggunakan logika yang masuk
akal untuk membuktikan bahwa konsep atau
pernyataan itu dianggap benar. Namun tidak
dapat dipungkiri, dalam proses pembelajaran
guru sering menggunakan penalaran induktif
dengan mengaitkan peristiwa nyata dalam
kehidupan sehari-hari untuk memudahkan siswa
memahami konsep baru. Melalui kegiatan
penalaran induktif dan deduktif, siswa dapat
melihat bahwa matematika merupakan kajian
yang masuk akal dan logis.
Indikator-indikator penalaran yang harus
dicapai oleh siswa dalam penelitian ini adalah: 1)
kemampuan menyajikan pernyataan matematika
secara lisan, tertulis, gambar dan diagram, 2)
kemampuan mengajukan dugaan (conjectures),
3)
kemampuan
melakukan
manipulasi
matematika, 4) menarik kesimpulan, menyusun
bukti, memberikan alasan atau bukti terhadap
solusi, 5) kemampuan menarik kesimpulan dari
pernyataan, 6) kemampuan memeriksa kesahihan
suatu argument, 7) menemukan pola atau sifat
dari gejala matematis untuk membuat
generalisasi.
3.
METODE PENELITIAN
Penelitian ini merupakan penelitian
kualitatif, karena menggunakan data kualitatif
yang memaparkan dan mendiskripsikan proses
bernalar peserta didik dalam menemukan konsep
matematika berbasis LKPD. Penelitian ini
dilakukan pada siswa kelas X SMA/ MA di
kabupaten Kebumen. Dalam penelitian ini subjek
penelitian ditentukan berdasarkan purposive
sampling untuk mendapatkan key informan yang
kompeten sesuai dengan tujuan penelitian.
Purposive sampling adalah teknik pengambilan
sampel sumber data dengan pertimbangan
tertentu (Sugiyono, 2014). Sedangkan menurut
Bungin (2007) purposive sampling adalah
menentukan kelompok peserta yang menjadi
informan sesuai dengan kriteria terpilih yang
relevan dengan masalah penelitian tertentu.
Teknik pengumpulan data yang digunakan
peneliti dalam penelitian ini adalah observasi,
wawancara, dokumentasi dan metode pemberian
soal. Data yang terkumpul adalah data primer
dan data sekunder. Data primer adalah data
dalam bentuk verbal atau kata-kata yang
diucapkan secara lisan, gerak-gerik atau perilaku
yang dilakukan oleh subjek yang dapat
dipercaya, dalam hal ini adalah subjek penelitian
(informan) yang berkenaan dengan variabel yang
diteliti (Arikunto, 2013). Sedangkan sumber data
sekunder dapat diperoleh dari dokumendokumen grafis (tabel, catatan), foto-foto, film,
rekaman video, benda-benda dan lain-lain yang
dapat memperkaya data primer.
Teknik analisis data dalam penelitian ini
peneliti menggunakan model Miles dan
Huberman. Miles dan Huberman mengemukakan
bahwa aktivitas dalam analisis data kualitatif
dilakukan secara interaktif dan berlangsung
secara terus menerus sampai tuntas, sehingga
datanya sudah jenuh. Aktivitas dalam analisis
data, yaitu data reduction, data display, dan
conclusion drawing/verivicatio.
Pendidikan Matematika Universitas Muhammadiyah Purworejo ,
Ruang Seminar UMP, Sabtu, 28 Mei 2016
691
4.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Dalam penelitian ini peneliti memilih 3
subjek berdasarkan hasil test pada tahap awal.
Data yang terkumpul dari tiga subjek ini identik,
sehingga cukup satu subjek yang digunakan
dalam pembahasan ini. Ada empat data yang
terkumpul dalam penelitian ini yaitu dari Hasil
Observasi, Hasil Pekerjaan Subjek, Hasil Catatan
Lapangan dan Hasil Wawancara. Empat data ini
akan menjadi tolok ukur untuk menyimpulkan
bagaimana proses bernalar peserta didik dalam
menemukan konsep matematika berbasis LKPD.
Pemberian
LKPD
kepada
Subjek
dilakukan pada hari Sabtu tanggal 8 Agustus
2015 yang dimulai pada pukul 16.00 sampai
16.45. Lalu dilanjutkan wawancara pada tanggal
10 Agustus 2015 yang dimulai pukul 18.30
sampai 19.00. Sub materi pertama yang harus
dikerjaan Subjek dalam LKPD yaitu berkaitan
dengan Kedudukan Titik. Berdasarkan hasil dari
Observasi, Pekerjaan Subjek, Catatan Lapangan
dan Wawancara, proses bernalar Subjek dalam
menemukan
konsep
kedudukan
titik
menggunakan
LKPD
meliputi
1)
mendiskripsikan
objek
gambar,
2)
mengidentifikasi objek gambar, 3) mengubah
bentuk verbal ke bentuk gambar, 4) mencari
hubungan berdasarkan gambar dan 5)
melengkapi kesimpulan dengan kata yang tepat.
Pada submateri ke dua mengenai konsep
jarak, Subjek dihadapkan pada masalah untuk
menemukan konsep jarak. Pada tahapan awal
yang dilakukan subjek untuk menemukan konsep
jarak adalah memahami semua keterangan serta
proses untuk menemukan konsep jarak. Dari data
yang diperoleh menunjukkan bahwa subjek dapat
menemukan konsep mengenai jarak melalui
tahapan 1) memahami keterangan yang ada di
LKPD, 2) kemampuan menemukan hubungan
antar keterangan, 3) kemampuan untuk
mengadakan perbandingan dan 4) kemampuan
untuk melengkapi kesimpulan.
Pada sub materi ketiga berkaitan dengan
jarak titik ke titik, subjek pada tahapan awal
berdasarkan hasil observasi menuliskan apa yang
692
diketahui dari persoalan yang diberikan.
Selanjutnya subjek juga menuliskan apa yang
ditanyakan dari soal. Berdasarkan hasil
penelitian menunjukkan proses bernalar subjek
pada sub materi ini meliputi: 1) menulis apa yang
diketahui dan apa yang ditanyakan, 2)
melengkapi permisalan yang ada di LKPD, 3)
menggambar permasalahan, 4) melengkapi
rumus, 5) melengkapi algoritma penyelesaian
sehingga terbentuk jawaban yang benar dan 6)
melengkapi kesimpulan dengan menggunakan
simbol matematika.
Pada sub materi jarak titik ke garis subjek
dihadapkan pada aktivitas yang menuntut
kemampuan subjek untuk membuat gambar
berdasarkan langkah kerja yang sudah
ditentukan. Berdasarkan analisis data pada
subjek pada sub materi jarak titik ke garis, dapat
disimpulkan bahwa proses bernalar subjek dalam
menemukan konsep jarak titik ke garis meliputi:
1) memahami keterangan atau informasi yang
ada untuk menemukan konsep jarak titik ke
garis, 2) menggambar berdasarkan perintah yang
ada di LKPD, 3) memeriksa gambar yang sudah
dibuat, 4) memperbaiki gambar dengan gambar
baru yang menurut subjek benar, 5) mencari
hubungan
berdasarkan
gambar,
6)
menggeneralisasi menggunakan kalimatnya
sendiri dan 7) melengkapi kesimpulan dengan
kata yang tepat. Temuan lain adalah sifat
kemampuan bernalar, subjek melakukan
beberapa kali pemahaman terhadap gambar yang
dibuatnya sehingga subjek dapat menemukan
kejanggalan dari gambar yang dibuatnya. Subjek
merepresentasikan gambar yang menurut subjek
salah dengan gambar baru yang menurut subjek
benar.
Selanjutnya subjek dihadapkan pada sub
materi jarak titik ke bidang. Subjek dihadapkan
pada aktivitas yang menuntut kemampuan subjek
untuk membuat gambar berdasarkan langkah
kerja yang sudah ditentukan. Berdasarkan
analisis data subjek pada sub materi jarak titik ke
bidang, dapat disimpulkan bahwa proses bernalar
subjek dalam menemukan konsep jarak titik ke
garis meliputi: 1) memahami keterangan atau
Prosiding Seminar Nasional Matematika dan Pendidikan Matematika. “Internalisasi Nilainilai Berpikir Matematis Dalam Peranannya di Era Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA)”
informasi yang sudah disedian untuk menemukan
konsep jarak titik ke bidang, 2) menggambar
berdasarkan perintah yang ada di LKPD, 3)
memeriksa gambar yang sudah dibuat, 4)
mencari hubungan berdasarkan gambar, 5)
menggeneralisasi menggunakan kalimatnya
sendiri dan 6) melengkapi kesimpulan dengan
kata yang tepat.
Pada sub materi berikutnya mengenai
jarak dua garis atau bidang yang sejajar. Subjek
dihadapkan pada aktivitas 3 yang menuntut
kemampuan subjek untuk membuat gambar
berdasarkan langkah kerja yang sudah
ditentukan. Berdasarkan analisis data subjek
pada sub materi jarak dua garis atau bidang yang
sejajar, dapat disimpulkan bahwa proses bernalar
Objek
gambar
Keduduk
an titik
subjek dalam menemukan konsep jarak titik ke
garis meliputi: 1) memahami keterangan atau
informasi yang sudah disedian untuk menemukan
konsep jarak dua garis atau bidang yang sejajar,
2) menggambar berdasarkan perintah yang ada di
LKPD, 3) memeriksa gambar yang sudah dibuat,
4) mencari hubungan berdasarkan gambar, 5)
menggeneralisasi menggunakan kalimatnya
sendiri dan 6) melengkapi kesimpulan dengan
kata yang tepat.
5.
KESIMPULAN
Dari hasil paparan di atas proses bernalar
subjek dalam menemukan konsep menggunakan
LKPD dapat dilihat pada flowchat berikut ini.
Mencari hubungan
berdasarkan
gambar
1.Mendiskripsikan
objek gambar
2.Identifikasi objek
gambar
3.menggambar
Melengkapi
kesimpulan
Ilustrasi gambar
dan kumpulan
keterangan.
Konsep
jarak
Mencari
hubungan
Melengkapi
kesimpulan
1.Memahami keterangan untuk
menemukan konsep jarak
2.mengadakan perbandingan
Jarak
titik ke
titik
LKPD
Jarak
titik ke
garis
Menuliskan
informasi: 1.apa
yang diketahui,
2.apa yang
ditanyakan
1.Melengkapi permisalan
2.Membuat gambar
permasalahan
3.Melengkapi algoritma
penyelesaian
Melengkapi
kesimpulan
Cara kerja untuk
menentukan
konsep jarak titik
ke garis
Menggambar
langkah cara
kerja
Mengecek
gambar yang
sudah dibuat
Memahami
langkah cara
kerja
Mencari hubungan
berdasarkan
gambar yang
dibuat subjek 1
Jarak
titik ke
bidang
Menemukan
konsep
menggunakan
LKPD
Menggambar
kembali
Membuat
kesimpulan
dengan
menggunakan
kalimat sendiri
Cara kerja untuk
menentukan
konsep jarak titik
ke bidang
Menggambar
langkah cara
kerja
Mengecek
gambar yang
sudah dibuat
Melengkapi
kesimpulan
Mencari hubungan
berdasarkan
gambar yang
dibuat subjek 1
Memahami
langkah cara
kerja
Jarak dua
garis atau
bidang yang
sejajar
Cara kerja untuk
menentukan konsep
jarak titik ke bidang
Membuat kesimpulan
dengan
menggunakan
kalimat sendiri
Menggambar
langkah cara
kerja
Mengecek
gambar yang
sudah dibuat
Melengkapi
kesimpulan
Mencari hubungan
berdasarkan
gambar yang
dibuat subjek 1
Memahami
langkah cara
kerja
Membuat kesimpulan
dengan menggunakan
kalimat sendiri
Melengkapi
kesimpulan
Pendidikan Matematika Universitas Muhammadiyah Purworejo ,
Ruang Seminar UMP, Sabtu, 28 Mei 2016
693
DAFTAR PUSTAKA
Arikunto, S. 2013. Prosedur penelitian Suatu
Pendekatan Praktek. Jakarta: PT Rineka
Cipta.
Bungin, B. 2007. Penelitian Kualitatif. Jakarta:
Kencana Prenada Media Group.
Shadiq, F. 2009. “Kemahiran Matematika”.
Diklat
Instruktur
Pengembangan
Matematika
SMA
Jenjang
Lanjut.
Yogyakarta.
Jenjang Dasar Tanggal 6 s.d 19 agustus
2004 di PPPG Matematika.
Sugiyono. 2014. Memahami
Kualitatif. Bandung: Alfabeta.
Penelitian
Tim TIMSS Indonesia. 2007. Survai
Internasional TIMSS. Terdapat dalam
http://litbang.kemdikbud.go.id/index.php/ti
mss diakses pada tanggal 20 November
2014.
Shadiq, F. 2004. “Pemecahan Masalah, Wijaya, A. 2012. Pendidikan Metematika
Penalaran dan Komunikasi”. Diklat
Realistik. Yogyakarta: Graha Ilmu
Instruktur Pengembangan Matematika SMA
694
Prosiding Seminar Nasional Matematika dan Pendidikan Matematika. “Internalisasi Nilainilai Berpikir Matematis Dalam Peranannya di Era Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA)”
PERANCANGAN MODEL PEMBELAJARAN SESUAI TUNTUTAN KURIKULUM
2013 UNTUK MENINGKATKAN PEMAHAMAN KONSEP DAN
KETERAMPILAN BERPIKIR MAHASISWA
CALON GURU MATEMATIKA
Sutji Rochaminah dan Anggraeni
FKIP Universitas Tadulako
[email protected]
Abstrak
Tujuan penelitian ini menghasilkan model pembelajaran sesuai tuntutan Kurikulum 2013
yang dapat meningkatkan pemahaman konsep dan keterampilan berpikir mahasiswa calon
guru matematika. Target khusus penelitian ini untuk mengatasi miskonsepsi atau kesulitan
konseptual yang dialami mahasiswa calon guru matematika dan meningkatkan
keterampilan berpikirnya. Tujuan tersebut dicapai secara bertahap melalui penyusunan,
implementasi, evaluasi dan desiminasi model pembelajaran sesuai tuntutan kurikulum 2013.
Penelitian ini merupakan survey yang bersifat teoritik dan empirik. Studi teoritik
dilaksanakan ketika menyusun model pembelajaran dan studi empirik ketika menganalisis
hasil uji coba pelaksanaan model pembelajaran. Subjek penelitian ini adalah mahasiswa
calon guru matematika Universitas Tadulako. Pada tahap pertama yaitu menyusun model
pembelajaran sesuai tuntutan kurikulum 2013 dan dilanjutkan dengan uji coba terbatas.
Model pembelajaran yang sesuai tuntutan kurikulum 2013 berlandaskan pandangan
konstruktivis yang terdiri atas 7 fase yaitu fase 1) Pengenalan materi, fase 2) Pemberian
stimulus, fase 3) Pengumpulan dan pengolahan data, fase 4) Verifikasi, fase 5) Generalisasi,
fase 6) Pemberian latihan, fase 7) Mengecek pemahaman dan memberikan umpan balik.
Kata Kunci: Model pembelajaran, kurikulum 2013, pemahaman konsep, keterampilan
berpikir
1. PENDAHULUAN
Kurikulum
2013
menekankan
pentingnya keseimbangan kompetensi sikap,
pengetahuan dan keterampilan. Kemampuan
matematika yang dituntut dibentuk melalui
pembelajaran berkelanjutan: dimulai dengan
meningkatkan pengetahuan tentang metodemetode matematika, dilanjutkan dengan
keterampilan menyajikan suatu permasalahan
secara matematis dan menyelesaikannya, dan
bermuara pada pembentukan sikap jujur, kritis,
kreatif, teliti, dan taat aturan (Kemdikbud,
2013).
Program studi pendidikan matematika
Universitas Tadulako diharapkan mendesain
kurikulumnya
yang
mengarah
pada
keterampilan berpikir. Hal ini sejalan dengan
petunjuk Committee on the Undergraduate
Program in Mathematics (CUPM) 2004 dari
Mathematical Association of America
memberikan 6 rekomendasi dasar untuk
jurusan, program dan semua mata kuliah
dalam
matematika.
Salah
satu
rekomendasinya menerangkan bahwa setiap
mata kuliah dalam matematika hendaknya
merupakan aktivitas yang akan membantu
mahasiswa dalam pengembangan analitis,
penalaran kritis, pemecahan masalah dan
keterampilan komunikasi.
Keterampilan
berpikir analitis, penalaran kritis, pemecahan
masalah sangat diperlukan dalam menghadapi
kemajuan IPTEK dan persaingan global.
Tuntutan
kurikulum
2013
dan
rekomendasi CUPM 2004 memerlukan
perhatian dan upaya pembenahan dalam proses
Pendidikan Matematika Universitas Muhammadiyah Purworejo ,
Ruang Seminar UMP, Sabtu, 28 Mei 2016
695
belajar dan mengajar di LPTK yang akan
menghasilkan guru matematika SLTP dan
SLTA. Hal ini dikarenakan dalam proses
pembelajaran, nampaknya belum tercipta
kondisi dan situasi yang memungkinkan
mahasiswa untuk melakukan proses berpikir
yang analitis, logis dan kritis. Hal ini terlihat
dari kegiatan dosen dan mahasiswa pada saat
kegiatan belajar-mengajar. Dosen cenderung
memberikan soal latihan yang bersifat rutin
dan prosedural. Mahasiswa hanya mencatat
atau menyalin dan cenderung menghafal
rumus-rumus atau aturan-aturan matematika
dengan tanpa makna dan pengertian.
Berdasarkan kondisi kegiatan pembelajaran
tersebut, mahasiswa tidak terlatih terampil
berpikir dan cara belajar seperti ini belum
tentu meningkatkan pemahaman mahasiswa
terhadap konsep matematika.
Penelitian
yang
dilakukan
Rochaminah (2012) menunjukkan kemampuan
berpikir kritis mahasiswa mahasiswa program
studi
pendidikan
matematika
kelas
PGMIPABI yang sedang belajar kalkulus II
pada tahun akademik 2011/2012 yang
berjumlah 32 orang masih rendah. Selain itu
investigasi yang dilakukan oleh Rochaminah
(2013) menunjukkan bahwa skor rata-rata
mahasiswa terhadap masalah konseptual lebih
rendah dari pada skor rata-ratanya terhadap
masalah hitungan.
Berdasarkan hasil penelitian ini, perlu
dilakukan penelitian untuk mengidentifikasi
kesulitan konseptual atau miskonsepsi yang
dialami calon guru matematika.
Selain
mengidentifikasi miskonsepsi juga perlu
dikembangkan model pembelajaran sesuai
tuntutan kurikulum 2013 untuk mengatasi
miskonsepsi dan meningkatkan keterampilan
berpikir. Dengan melakukan perbaikan
miskonsepsi dan mengajarkan keterampilan
berpikir kepada calon guru matematika
diharapkan kelak ketika mereka mengajar
696
dapat memberikan pemahaman konsep yang
benar kepada siswanya .
Oleh Karena itu calon guru
matematika harus diberikan pemahaman
konsep dengan benar dengan cara membuat
skenario pembelajaran yang dapat memotivasi
mereka belajar memahami konsep dan
memberikan tugas-tugas konseptual yang
disertai dengan proses berpikir. Pembelajaran
yang menciptakan proses berpikir merupakan
sarana dosen untuk mengajarkan mahasiswa
cara berpikir. Clement dan Lochead (Steven,
1991: 1) menyatakan kita harus mengajar para
siswa bagaimana cara berpikir, daripada
mengajar apa yang harus dipikirkan.
Keterampilan berpikir yang dapat diajarkan
melalui pembelajaran matematika diantaranya
cara berpikir rasional, logis, kritis, kreatif dan
inovatif.
Tujuan diajarkan keterampilan
berpikir tersebut agar mahasiswa menjadi
individu
yang
bisa
mengkategorikan,
mengevaluasi informasi, dan membuat
kesimpulan yang tepat dalam menghadapi
permasalahan hidup serta kemajuan ilmu
pengetahuan dan teknologi.
Selain itu
penanaman keterampilan berpikir bertujuan
supaya mahasiswa menjadi individu yang bisa
membuat
keputusan
dan
siap
mempertanggungjawabkan tiap akibat dari
keputusan yang dibuat.
Berkaitan
dengan
upaya
mengkonstruksi model pembelajaran untuk
mengatasi miskonsepsi serta mengajarkan
keterampilan berpikir, maka penelitian yang
berfokus
pada
perancangan
model
pembelajaran sesuai kurikulum 2013 menjadi
sangat mendesak untuk segera dilakukan.
Melalui penelitian ini dikonstruksi model
pembelajaran matematika sesuai kurikulum
2013.
Sehubungan dengan hal tersebut,
rumuan masalah dalam penelitian ini adalah
bagaimana konstruksi model pembelajaran
sesuai tuntutan kurikulum 2013 yang dapat
meningkatkan pemahaman konsep dan
Prosiding Seminar Nasional Matematika dan Pendidikan Matematika. “Internalisasi Nilainilai Berpikir Matematis Dalam Peranannya di Era Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA)”
keterampilan berpikir mahasiswa calon guru
matematika?
2. KAJIAN LITERATUR
2.1. Pemahaman Konsep
Pemahaman
konsep
merupakan
kompetensi yang ditunjukkan siswa dalam
memahami konsep dan dalam prosedur
(algoritma) secara luwes, akurat, efisien dan
tepat. Untuk memahami sebuah materi secara
benar diperlukan penguasaan pengetahuan
konseptual dan pengetahuan prosedural.
Hiebert dan Carpenter (1992: 78) menyatakan
bahwa
pengetahuan
konseptual
dan
pengetahuan prosedural diperlukan dalam
keahlian matematika. Pengetahuan konseptual
merupakan pengetahuan yang memiliki
banyak keterhubungan antara objek-objek
matematika (fakta, skill, konsep atau prinsip)
yang dapat dipandang sebagai suatu jaringan
pengetahuan yang memuat keterkaitan antara
satu dengan lainnya.
Pemahaman konsep diartikan dari kata
Understanding of concept.
Skemp dan
Pollatsek (Sumarmo, 1987: 24) menyatakan
ada dua jenis pemahaman konsep, yaitu
pemahaman instrumental dan pemahaman
rasional. Pemahaman instrumental dapat
diartikan sebagai pemahaman atas konsep
yang saling terpisah dan hanya rumus yang
dihafal dalam melakukan perhitungan
sederhana, sedangkan pemahaman rasional
termuat satu skema atau strukstur yang dapat
digunakan pada penyelesaian masalah yang
lebih luas. Suatu ide, fakta, atau prosedur
matematika dapat dipahami sepenuhnya jika
dikaitkan dengan jaringan dari sejumlah
kekuatan.
Salah
satu
karakteristik
dari
matematika adalah bahwa konsep-konsep
dalam matematika memiliki keterkaitan yang
kuat. Pemahaman konsep sebelumnya akan
mempengaruhi
pemahaman
konsep
selanjutnya. Setelah siswa memahami konsep,
ia harus hafal simbol, notasi, definisi, aturan,
prosedur, rumus, dan dalil agar penerapan
dalam memecahkan masalah lancar. RittleJhonson dan Alibali (1999) menyatakan bahwa
dalam matematika anak harus belajar konsep
dasar dan prosedur yang benar untuk
menyelesaikan soal. Dengan belajar konsep
anak akan memiliki pengetahuan konseptual.
2.2. Keterampilan Berpikir
Berpikir
umumnya
diasumsikan
sebagai suatu proses koginitif yang tidak dapat
dilihat secara fisik, yaitu berupa suatu aktivitas
mental dalam usaha memperoleh pengetahuan
(Presseisen, 1985). Hasil dari berpikir dapat
berupa ide-ide, pengetahuan, alasan-alasan dan
untuk proses berpikir yang lebih tinggi
hasilnya dapat berupa keputusan. Hal ini
sejalan dengan pendapat Hudoyo (1989 : 62)
yang menyatakan dengan berpikir orang dapat
menyampaikan ide-idenya serta menampilkan
suatu tingkah laku sebagai keterampilan atau
penggambaran atas penguasaan terhadap
sesuatu yang dipelajari
Menurut Galotti (Matlin 1994 : 379),
proses kegiatan berpikir meliputi tiga bagian
yaitu penalaran, pengambilan keputusan, dan
pemecahan masalah. Ketiga proses tersebut
merupakan aktivitas mental yang membentuk
inti berpikir. Proses kognitif tersebut saling
berhubungan yang satu dengan yang lain.
Dalam menghadapi berbagai masalah,
seseorang perlu melakukan penalaran (berpikir
secara cermat) sebelum mengambil keputusan
yang tepat untuk memecahkan masalah
tersebut.
Dalam penelitian ini dikembangkan 4
komponen keterampilan berpikir yaitu (1)
berpikir kritis, meliputi analisis, pembuktikan,
generalisasi,dan evaluasi, (2) berpikir kreatif
meliputi sintesis, (3) pemecahan masalah tidak
Pendidikan Matematika Universitas Muhammadiyah Purworejo ,
Ruang Seminar UMP, Sabtu, 28 Mei 2016
697
rutin dan (4) pengambilan keputusan.
Komponen-komponen tersebut tidak muncul
secara sendiri-sendiri melainkan saling
berkaitan satu sama lain.
2.3. Model Pembelajaran
Model
pembelajaran
merupakan
kerangka atau desain pembelajaran yang
berguna
sebagai
pedoman
dalam
melaksanakan pembelajaran.
Eggen dan
Kauchak (1988: 9) menyatakan model
pembelajaran merupakan petunjuk strategi
pembelajaran
yang
didesain
untuk
melaksanakan suatu tujuan pembelajaran
tertentu.
Bila diibaratkan pembelajaran sebagai
sebuah bangunan, maka model pembelajaran
sama dengan desain (cetak biru) suatu
bangunan.
Penelitian ini berfokus pada
pembuatan model pembelajaran sesuai
tuntutan kurikulum 2013.
3. METODE PENELITIAN
Metode penelitian yang digunakan
adalah mengikuti rangkaian penelitian
pengembangan
(development
research).
Penelitian ini dilakukan dalam dua tahap.
Tahap I adalah tahap studi pendahuluan, tahap
perencanaan, dan tahap pengembangan
terbatas. Sedangkan tahap II adalah tahap
pengembangan secara luas.
Yang menjadi target pengguna
model pembelajaran ini adalah mahasiswa
calon guru matematika Universitas
Tadulako.
Untuk uji terbatas adalah
menggunakan satu kelompok (kelas)
mahasiswa. Sedangkan pada uji lebih
luas menggunakan lebih dari satu kelas.
Instrumen yang digunakan untuk
menjaring data pada kegiatan studi
pendahuluan adalah kuesioner, panduan
observasi kelas, dan panduan wawancara serta
698
tes pemahaman konsep dan keterampilan
berpikir.
Landasan perancangan model
pembelajaran ini sepenuhnya perpijak pada
profil permasalahan, kebutuhan, potensi yang
dimiliki, serta temuan-temuan lain yang
diperoleh pada penelitian tahap pertama (need
assesment). Dengan demikian, pengumpulan
dan penganalisisan data pada fase identifikasi
masalah difokuskan untuk memperoleh
informasi yang cukup dalam penyusunan
model pembelajaran
4. HASIL DAN PEMBAHASAN
Bersdasarkan analisis tes identifikasi
keterampilan berpikir kritis, kemampuan
dalam mengevaluasi suatu permasalahan
matematika masih rendah. Mahasiswa masih
kesulitan dengan soal-soal yang memerlukan
keterampilan berpikir kritis.
Hasil
analisis
literatur,
model
pembelajaran yang sesuai tuntutan kurikulum
2013
berlandaskan
pada
pandangan
konstruktivis yaitu memposisikan mahasiswa
sebagai pusat dari proses pembelajaran.
Dosen tidak secara langsung menerangkan
konsep dan tidak memberikan langsung
definisi, teorema dan aturan. Mahasiswa
dikondisikan mengkonstruksi sendiri definisi,
teorema dan aturan. Dosen berperan sebagai
fasilitator
Karakteristik model pembelajaran
pemahaman konsep dan keterampilan berpikir
yang sesuai tuntutan K13 adalah sebagai
berikut
1)
Pemahaman konsep dan keterampilan
berpikir diperoleh melalui kegiatan
mengamati,
(observing),
menanya
(questioning), mencoba/mengumpulkan
informasi (experimenting/ collecting
information),
mengasosiasi/menalar
(assosiating), dan mengomunikasikan
(communicating)
dan
bukannya
pemahaman konsep itu diberikan dosen.
Prosiding Seminar Nasional Matematika dan Pendidikan Matematika. “Internalisasi Nilainilai Berpikir Matematis Dalam Peranannya di Era Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA)”
2)
Mahasiswa belajar dalam kelompok
sehingga
dapat
berlatih
mengkomunikasikan pendapat dengan
memberikan alasannya, serta dapat
berlatih menanya sesama teman dengan
mengeksplorasi fenomena.
3) Kelompok terdiri atas 4-5 mahasiswa
dengan kemampuan tinggi, sedang dan
rendah dan jenis kelaminnya juga
heterogen. Dengan kemampuan yang
heterogen
4) Melaui
pemberian
stimulus
yang
berbentuk bacaan atau pertanyaanpertanyaan,
dosen
membimbing
mahasiswa memahami konsep dan
mengkondisikan
mahasiswa berpikir
secara dalam.
Berdasar
karakteristik
tersebut
keberhasilan mahasiswa dalam memahami
konsep dan terampil berpikir dengan model
pembelajaran sesuai tuntutan K13 bergantung
pada stimulus yang diberikan dosen.
Pertanyaan-pertanyaan atau bacaan yang
diberikan dosen sangat diperlukan dalam
merangsang mahasiswa melakukan berpikir
(menalar) dan memahami konsep. Dengan
demikian rancangan model pembelajaran yang
sesuai dengan tuntutan kurikulum 2013 adalah
pembelajaran berpusatkan pada mahasiswa.
Pembelajaran mengkondisikan mahasiswa
untuk
kekerja
sama
dalam
memahami/membangun
konsep
melalui
pertanyaan-pertanyaan dosen yang digunakan
untuk membimbing mahasiswa.
Rancangan model pembelajaran yang
sesuai dengan tuntutan kurikulum 2013 terdiri
atas 7 fase. Berikut ketujuh fase tersebut
Fase 1: Pengenalan materi
Pada fase pengenalan materi dosen
menyampaikan judul materi dan sasaran
perkuliahan. Dosen mengingatkan kembali
materi sebelumnya atau prasyarat materi yang
sedang dipelajari.
Dosen
memotivasi
mahasiswa dan mempersiapkan mahasiswa
untuk belajar dengan mengorganisasikan
mahasiswa ke dalam kelompok-kelompok
belajar.
Fase 2: Pemberikan stimulus
Dosen
memberikan
stimulus
berbentuk bacaan atau pertanyaan-pertanyaan,
sesuai dengan materi pembelajaran/topik/tema
yang akan dibahas, sehingga mahasiswa
mendapat pengalaman belajar mengamati
pengetahuan konseptual melalui kegiatan
membaca,
mengamati
situasi
dan
membandingkan
Fase 3 Pengumpulan dan pengolahan data
Mahasiswa mengumpulkan dan mengolah data
untuk memecahkan masalah atau menemukan
prinsip, aturan maupun membentuk definisi.
Fase 4: Verifikasi
Tahapan ini mengarahkan mahasswa untuk
mengecek kebenaran atau keabsahan hasil
pengolahan data, melalui berbagai kegiatan,
antara lain bertanya kepada teman, berdiskusi,
atau mencari sumber yang relevan baik dari
buku atau media, serta mengasosiasikannya
sehingga menjadi suatu kesimpulan.
Fase 5: Generalisasi
Pada kegiatan ini mahasiswa dibimbing untuk
menggeneralisasikan hasil simpulannya pada
suatu kejadian atau permasalahan yang serupa,
sehingga kegiatan ini juga dapat melatih
pengetahuan metakognisi mahasiswa.
Fase 6: Pemberian Latihan
Dosen memberikan latihan soal sebagai bentuk
penerapan definisi suatu konsep atau
mendeskripsikan suatu prinsip, generalisasi
atau aturan yang merefleksikan pemahaman
mereka dan dosen berkeliling untuk
mengamati kerjasama dalam kelompok belajar
serta memberikan bantuan dengan teknik
Pendidikan Matematika Universitas Muhammadiyah Purworejo ,
Ruang Seminar UMP, Sabtu, 28 Mei 2016
699
scafolding.
Fase 7: Mengecek pemahaman
memberikan umpan balik
dan
Pada fase ini dosen berperan mengecek
kemampuan mahasiswa seperti memberi kuis
terkini atau memanggil mahasiswa untuk
memberikan jawaban dan memberi umpan
balik seperti membuka diskusi untuk
mahasiswa
5. KESIMPULAN
. Model pembelajaran yang sesuai tuntutan
kurikulum 2013 adalah pembelajaran yang
bersifat pemahaman konsep dan keterampilan
berpikir
diperoleh
melalui
kegiatan
mengamati,
(observing),
menanya
(questioning),
mencoba/mengumpulkan
informasi
(experimenting/
collecting
information),
mengasosiasi/menalar
(assosiating),
dan
mengomunikasikan
(communicating) dan bukannya pemahaman
konsep itu diberikan oleh dosen.
Model pembelajaran yang sesuai
tuntutan kurikulum 2013 berlandaskan
pandangan konstruktivis yang terdiri atas 7
fase yaitu fase 1 Pengenalan materi, fase 2
Pemberian stimulus, fase 3 Pengumpulan dan
pengolahan data, fase 4 Verifikasi, fase 5
generalisasi, fase 6 Pemberian latihan, fase 7
Mengecek pemahaman dan memberikan
umpan balik.
6. REFERENSI
Eggen, P.D, Kauchak, D.P. (1996). Strateges
for Techer, Teaching Content and
Thingking Skills (Ed 3rd ). USA : Allyn
& Bacon.
Hiebert, James dan Carpenter, Thomas.
(1991). Learning and Teaching with
Understanding. Dalam Douglas A
700
Grouws (Editor). Handbook Research
on Mathematics Teaching and
Learning.
New York: Macmilan
Publishing company.
Hudoyo, H. (1989). Tes Obyektif dalam
Kaitannya dengan Hasil Proses Belajar
Mengajar Matematika.
Forum
Penelitian 1 (1), 61 – 81.
Matlin, M.W. (1994). Cognition. Orlondo :
Hardcourt Publisher.
Presseisen, B.Z. (1985). Thinking Skill :
Meanings and Models. Dalam Arthur
L. Costa (editor). Developing Minds.
A Resource Book for Teaching
Thinking. Virginia : ASCD
Rittle-Jhonson dan Alibali. 1999. Conceptual
and Procedural Knowledge of
Mathematics: Does One Lead to the
Other? Journal of Educational
Psychology, Vol. 91, No. 1, 175-189.
Rochaminah, Sutji.
2013.
Pengetahuan
Konseptual
Dan
Prosedural
Mahasiswa Program Studi Pendidikan
Fisika Universitas Tadulako Dalam
Materi Turunan. Prosiding Seminar
Nasional Penelitian, Pendidikan, dan
Penerapan MIPA,Fakultas MIPA,
Universitas Negeri Yogyakarta, 18Mei
2013 ISBN: 978 – 979 -96880 – 7 – 1,
PM 279.
Rochaminah, Sutji.
2012.
Kemampuan
Berpikir Kritis Matematis Mahasiswa
PGMIPABI
Universitas Tadulako.
Prosiding Seminar Nasional MIPA
dan Pembelajaran 2012 Fakultas
Matematika Dan Ilmu Pengetahuan
Alam Universitas Negeri Malang 13
Oktober 2012, ISBN 978-602-978956-0, 82-85.
Steven
D. Schafersmen (1991).
An
Introduction to Critical Thinking.
Prosiding Seminar Nasional Matematika dan Pendidikan Matematika. “Internalisasi Nilainilai Berpikir Matematis Dalam Peranannya di Era Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA)”
www.
Com/naturalism.html.
Freeinquiry.
Sumarmo,
U.
(1987).
Kemampuan
Pemahaman
dan
Penalaran
Matematik Siswa SMA Dikaitkan
dengan Penalaran Logik Siswa dan
Beberapa Unsur Proses Belajar
Mengajar. Disertasi pada Pascasarjana
IKIP Bandung: tidak diterbitkan.
Pendidikan Matematika Universitas Muhammadiyah Purworejo ,
Ruang Seminar UMP, Sabtu, 28 Mei 2016
701
ANALISIS KESALAHAN MAHASISWA DALAM MENYELESAIKAN MASALAH
KOMBINATORIK
Sri Rahayuningsih1), Cynthia Tri Octavianti2)
Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan, Universitas Wisnuwardhana Malang
email: [email protected]
2
Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan, Universitas Wisnuwardhana Malang
email: [email protected]
1
Abstrak
Analisis kombinatorial memberikan keterampilan menghitung banyak objek sebagai salah satu
kemampuan dasar untuk memecahkan masalah. Kombinatorial dan Peluang Diskrit tanpa kita sadari
juga banyak sekali ditemukan di sekitar kita. Misalnya pada pengambilan undian. Peluang seseorang
akan mendapatkan undian dapat dihitung menggunakan permutasi atau kombinasi tergantung apakah
urutan berpengaruh atau tidak. Oleh karena itu mata kuliah ini cenderung membingungkan
mahasiswa, sehingga membuat mereka merasa bahwa kapan soal diselesaikan dengan permutasi dan
kapan soal diselesaikan dengan menggunakan kombinasi. Dosen perlu mengetahui jenis, penyebab,
serta alternatif pemecahan yang dihadapi mahasiswa sehingga pada akhirnya dosen dapat membantu
menyelesaikan masalah kesalahan belajar mahasiswa. Melihat seberapa besar pentingnya
kombinatorial dari berbagai macam ilmu, baik dalam bidang sains maupun teknologi, penelitian ini
bermaksud untuk menelusuri jenis kesalahan yang dialami mahasiswa pendidikan matematika
semester III di Universitas Wisnuwardhana Malang dalam menyelesaikan soal kombinatorik.
Pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah pendekatan kualitatif, karena pendekatan ini
lebih mementingkan proses mahasiswa dalam menyelesaiakan soal kombinatorik daripada hasil
yang diperoleh. Hasil penelitian menunjukkan bahwa letak kesalahan mahasiswa dalam
menyelesaikan masalah kombinatorik terdiri dari kesalahan konsep, kesalahan prosedur dan
kesalahan pemodelan dalam bentuk matematik.
Kata Kunci: analisis kesalahan, kombinatorik
1.
PENDAHULUAN
Perkuliahan dewasa ini harus dilakukan
tidak lagi berpusat pada dosen, melainkan
berpusat pada mahasiswa seperti pada
pembelajaran di sekolah-sekolah pada
umumnya. Dosen hanya sebagai fasilitator
dalam proses pembelajaran. Dalam proses
pembelajaran perlu juga dilihat, dievaluasi,
dan diperbaiki bahkan ditingkatkan tentang
kualitas proses dan hasil pembelajaran
matematika, sehingga kesulitan belajar
matematika yang terjadi dan dialami
mahasiswa pada materi dan topik bahasan
tertentu dapat dianalisis dan diberikan solusi
atau pemecahannya, sehingga diharapkan akan
terjadi perubahan perilaku dan prestasi belajar
matematika mahasiswa (Ronald, 2014).
Matematika dipandang sebagai ilmu yang
paling sulit dan bagi sebagian besar mahasiswa
702
menganggap matematika sebagai suatu
matakuliah yang paling menakutkan sehingga
minat dan semangat belajar mereka juga
menurun. Hal ini dibuktikan dengan hasil
belajar
mahasiswa
pada
matakuliah
matematika diskrit khususnya pada subpokok
bahasan kombinatorik masih tergolong rendah
dibandingkan dengan hasil belajar mahasiswa
pada matakuliah lain. Meskipun demikian,
mahasiswa harus tetap mempelajarinya karena
subpokok bahasan kombinatorik sangat
berperan penting dalam kehidupan sehari-hari
dan begitu juga dalam disiplin ilmu lainnya.
Oleh karena itu, sedini mungkin kesalahan
mahasiswa dalam menyelesaikan masalah
kombinatorik segera diketahui dan diberikan
solusi yang tepat untuk menyelesaikannnya.
Prosiding Seminar Nasional Matematika dan Pendidikan Matematika. “Internalisasi Nilainilai Berpikir Matematis Dalam Peranannya di Era Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA)”
Hasil belajar yang diperoleh mahasiswa
pada matakuliah matematika diskrit khususnya
pada pokok bahasan kombinatorik terutama
pada materi permutasi dan kombinasi
cenderung rendah. Mahasiswa banyak
mengeluhkan dalam menyelesaikan masalah
matematika yang berhubungan dengan materi
kombinatorik. Setiap kali diberikan kuis yang
berhubungan
dengan
materi
tersebut,
mahasiswa banyak yang melakukan kesalahankesalahan yang sama dari tahun-tahun
sebelumnya.
Tercapainya
tujuan
pembelajaran
matematika, salah satunya dapat dilihat dari
keberhasilan mahasiswa dalam memahami
matematika dan menerapkannya untuk
menyelesaikan masalah dalam kehidupan
sehari-hari.
Kemampuan
matematika
mahasiswa dapat dilihat dari penguasaan
mahasiswa terhadap materi, hal ini juga dapat
dibuktikan
dengan
cara
mengevaluasi
mahasiswa pada setiap subpokok bahasan yang
telah diterima oleh mahasiswa.
Dalam kehidupan sehari-hari kita sering
menghadapi masalah pengaturan suatu obyek
yang terdiri dari beberapa unsur, baik yang
disusun dengan mempertimbangkan urutan
sesuai dengan posisi yang diinginkan maupun
yang tidak. Misalnya menyusun kepanitiaan
yang terdiri dari Ketua, Sekretaris dan
Bendahara dimana urutan untuk posisi tersebut
dipertimbangkan atau memilih beberapa orang
untuk mewakili sekelompok orang dalam
mengikuti suatu kegiatan yang dalam hal ini
urutan tidak menjadi pertimbangan. Dalam
matematika, penyusunan obyek yang terdiri
dari
beberapa
unsur
dengan
mempertimbangkan urutan disebut dengan
permutasi,
sedangkan
yang
tidak
mempertimbangkan urutan disebut dengan
kombinasi.
Menurut Widdiharto (2008), bahwa
dorongan untuk memecahkan masalah
kesalahan siswa merupakan salah satu unsur
dalam pengembangan profesi dosen. Hal ini
dilandaskan pada prisip diagnostis dalam
konteks pemecahan masalah. Dosen perlu
mengetahui jenis, penyebab, serta alternatif
pemecahan yang dihadapi mahasiswa sehingga
pada akhirnya dosen dapat membantu
menyelesaikan masalah kesalahan belajar
mahasiswa. Direktorat Jendral Manajemen
Dikdasmen Direktorat PSMA Depdiknas
(2008)
menyatakan
bahwa
keperluan
pemberian pembelajaran perlu dipilih strategi
dan langkah-langkah yang tepat setelah
terlebih dahulu diadakan diagnosis kesalahan
belajar yang dialami mahasiswa. Berdasarkan
penjelasan tersebut, dosen sebaiknya tidak
hanya mengajar, tetapi juga melakukan
menelusuri kesalahan belajar yang dialami
mahasiswa agar pembelajaran dapat diserap
secara optimal. Mulyadi (2010) menyatakan
bahwa penelusuran kesalahan belajar yang
penting adalah menemukan letak kesalahan
dan jenis kesalahan belajar.
Adanya kesalahan penyelesaian oleh
mahasiswa dalam soal-soal matematika perlu
mendapat perhatian. Kesalahan yang dilakukan
mahasiswa dalam penyelesaian soal perlu di
identifikasi. Identifikasi tersebut bertujuan
untuk mengetahui jenis-jenis kesalahan yang
dilakukan oleh mahasiswa dan faktor-faktor
yang menyebabkan mahasiswa melakukan
kesalahan
dalam
menyelesaikan
soal
matematika. Informasi tentang kesalahan
dalam menyelesaikan soal matematika dapat
digunakan untuk meningkatkan mutu kegiatan
belajar mengajar matematika dan akhirnya
diharapkan dapat meningkatkan prestasi
belajar matematika. Kesalahan mahasiswa
dalam mempelajari kombinatorik terletak pada
bagaimana menyelesaikan masalah yang
berhubungan dengan kombinasi dan permutasi.
Kapan masalah tersebut diselesaikan dengan
permutasi dan kapan masalah diselesaikan
dengan kombinasi.
Pendidikan Matematika Universitas Muhammadiyah Purworejo ,
Ruang Seminar UMP, Sabtu, 28 Mei 2016
703
Dari
uraian
diatas,
mengingat
pentingnya analisis kombinatorik dalam
kehidupan
sehari-hari
maka
peneliti
bermaksud untuk melakukan analisis terhadap
jenis kesalahan yang dialami mahasiswa
pendidikan matematika semester gasal di
universitas Wisnuwardhana Malang dalam
menyelesaikan masalah kombinatorik.
2. KAJIAN LITERATUR
2.1 KESALAHAN DALAM
MATEMATIKA
Kesalahan dalam konteks belajar
mengajar
berarti
kekeliruan
dalam
mempersepsi mata pelajaran atau kealpaan
dalam memproduksi kembali memori belajar.
Seseorang dapat melakukan kesalahan akibat
salah mempersepsi, demikian halnya seseorang
dapat melakukan kesalahan dalam belajar
akibat memorinya tidak mampu lagi
memproduksi ulang pengetahuan yang telah
disimpannya.
Persepsi merupakan proses yang
didahului oleh proses pengindraan, yaitu
merupakan proses diterimanya stimulus oleh
individu melalui alat indra atau juga disebut
proses sensoris (Walgito, 2004). Persepsi juga
dapat diartikan sebagai proses yang
menyangkut masuknya pesan atau informasi
kedalam otak manusia (Slameto, 2003). Maka
kepastian bahwa persepsi benar-benar shahih
akan
memberikan
sumbangan
bagi
berkurangnya kesalahan. Disini mengandung
arti bahwa persepsi bisa benar dan bisa juga
salah, dengan demikian kesalahan mempunyai
kaitan dengan persepsi.
Adapun memori atau ingatan merupakan
daya yang dapat menerima, menyimpan, dan
memproduksi
kembali
kesankesan/tanggapan/pengertian
(Hamadi
&
supriyono, 2008). Sistem memori bisa
merekam sekaligus juga bisa memproduksi
kembali hasil rekamannya. Namun kekuatanya
juga tergantung pada kondisi memori yang
dimiliki oleh setiap orang. Apabila memori
704
tidak mampu merekam atau tidak mampu
memproduksi kembali hasil rekamannya, maka
seseorang akan membuat suatu kesalahan.
2.2 ANALISIS KESALAHAN
Menurut kamus besar Bahasa Indonesia
(1990), pengertian analisis adalah penyelidikan
terhadap suatu peristiwa (karangan, perbuatan
dan sebagainya). Analisis mempunyai tujuan
untuk mengetahui keadaan yang sebenarnya
(sebabnya,
duduk
perkaranya,
dan
sebagainya), penguraian suatu pokok atas
berbagai bagiannya dan penelaahan bagian itu
sendiri serta hubungan antar bagian untuk
memperoleh pengertian yang tepat dan
pemahaman arti keseluruhan. Kesalahan yang
dilakukan siswa perlu dianalisa lebih lanjut,
agar kita mendapatkan gambaran tentang
kelemahan - kelemahan siswa yang kita tes.
Berdasarkan keterangan diatas maka
dalam penelitian ini, analisis kesalahan yang
dilakukan adalah: a) Mengumpulkan data
kesalahan,
b)
Mengidentifikasi
dan
mengklasifikasikan
kesalahan,
dan
c)
Mengoreksi kesalahan.
2.3 KOMBINATORIKA
Kombinatorika adalah studi
tentang
pengaturan objek-objek yaitu pemasangan,
pengelompokan, pengurutan, pemilihan, atau
penempatan
objek-objek
dengan
karakteristik tertentu.
Pembahasan mengenai kombinatorika
diawali dengan pengenalan dua kaidah
pencacahan, yaitu kaidah penjumlahan dan
kaidah perkalian. Kedua kaidah ini sangat
bermanfaat untuk menyelesaikan masalah
yang kompleks dengan cara memecah atau
mengurai masalah tersebut menjadi beberapa
bagian yang lebih sederhana yang selanjutnya
dapat diselesaikan dengan kedua kaidah
tersebut. Misalnya, kaidah pencacahan
bermanfaat untuk menentukan apakah terdapat
cukup nomor telepon atau alamat internet
Prosiding Seminar Nasional Matematika dan Pendidikan Matematika. “Internalisasi Nilainilai Berpikir Matematis Dalam Peranannya di Era Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA)”
protocol
untuk
pelanggan.
memenuhi
permintaan
Terdapat dua kaidah pencacahan, yaitu
kaidah penjumlahan dan kaidah perkalian.
Terdapat dua kaidah pencacahan, yaitu kaidah
penjumlahan dan kaidah perkalian. Kaidah
penjumlahan menganut prinsip umum bahwa
keseluruhan sama dengan jumlah dari bagianbagiannya. Kaidah penjumlahan menganut
prinsip umum bahwa keseluruhan sama
dengan jumlah dari bagian-bagiannya.
Secara
umum,
kaidah
penjumlahan
dijelaskan sebagai berikut. Jika pekerjaan
pertama dapat dilakukan dalam
cara dan
pekerjaan kedua dapat dilakukan dalam
cara, dan kedua pekerjaan tersebut tidak
dapat dilakukan secara simultan, maka
untuk menyelesaikan kedua pekerjaan
tersebut dapat dilakukan dalam
cara.
Contoh 1:
Untuk bepergian ke Cirebon dari
Yogya dapat melalui jalur Purwokerto, jalur
semarang,
atau
melalui
jalur
Temanggung. Dengan menggunakan kaidah
penjumlahan, dapat ditentukan bahwa terdapat
tiga cara bepergian dari Yogya ke Cirebon.
Contoh 2:
Suatu perpustakaan memiliki koleksi 40
buku sosiologi dan 50 buku antropologi.
Dengan
menggunakan
kaidah
penjumlahan dapat
ditentukan banyaknya
kemungkinan bagi siswa dalam memilih
sebuah buku dari kedua jenis buku tersebut
tanpa memperhatikan jenis buku, yaitu 40 + 50
= 90 cara.
Untuk memahami kaidah perkalian,
perhatikan ilustrasi sebagai berikut. Pak Budi
bermaksud membeli sepeda motor. Saat ini di
pasaran terdapat 4 merek sepeda motor yang
terkenal, yakni Scorpio, Alfa, Mercury, dan
Jossa. Tersedia 3 jenis kapasitas silinder untuk
masing-masing sepeda motor tersebut, yaitu
100 cc, 110 cc, dan 125 cc. Masing-masing
sepeda motor menyediakan 2 macam pilihan
warna, yakni hitam dan merah. Berapa macam
pilihan yang dapat dipilih Pak Budi dalam
membeli
sepeda
motor?
Untuk
menggambarkan berbagai pilihan yang dapat
dipilih Pak Budi, perhatikan alur berpikir
sebagai berikut: Mula-mula Pak Budi
menentukan merek sepeda motor yang akan ia
beli, karena hal ini akan mempengaruhi harga
sepeda motor. Dalam hal ini Pak Budi dapat
memilih salah satu dari 4 merek sepeda motor
yang tersedia. Jelasnya, Pak Budi mempunyai
4 pilihan. Setelah menentukan merek, Pak
Budi harus menentukan kapasitas silinder,
karena hal inipun mempengaruhi harga sepeda
motor. Dalam hal ini, pak Budi dapat memilih
3 kapasitas silinder yang tersedia. Jelasnya Pak
Budi mempunyai 3 macam pilihan terakhir,
Pak Budi harus memilih salah satu dari dua
warna yang tersedia. Jelasnya, Pak Budi
mempunyai 2 pilihan. Ketika Pak Budi
memilih merek sepeda motor, pikirannya
bercabang 4. Ketika memilih kapasitas
silinder, pikiran Pak Budi bercabang 3, dan
sewaktu harus memilih warna, pikiran pak
Budi bercabang 2. Jadi
banyaknya semua pilihan adalah
. Kaidah perkalian, yang secara umum
dijelaskan sebagai berikut. Jika kegiatan
pertama dapat dikerjakan dengan cara yang
berbeda, kegiatan kedua dapat dilakukan
dengan cara yang berbeda, kegiatan ketiga
dapat dikerjakan dengan cara yang berbeda,
dan seterusnya maka
banyaknya
cara
untuk melakukan semua kegiatan tersebut
secara berurutan adalah:
cara.
Permutasi
Dari 5 orang yang bersedia menjadi
pengurus suatu organisasi kampus, yakni
Ali, Budi, Cici, Dini, dan Endro, hanya akan
Pendidikan Matematika Universitas Muhammadiyah Purworejo ,
Ruang Seminar UMP, Sabtu, 28 Mei 2016
705
dipilih 2 orang yang akan menempati posisi
(jabatan) sebagai ketua dan wakil ketua.
Banyaknya semua cara yang mungkin dalam
menyusun
permutasi
tersebut
dapat
ditentukan dengan
penggunakan
berikut.
Jabatan
Banyak cara
kaidah
Ketua
5
perkalian
sebagai
Wakil Ketua
Dari 5 pengurus harian Himpunan Mahasiswa
Jurusan Matematika, yakni Anto, Badrun,
Candra, Dini, dan Endro akan ditentukan 2
orang yang akan mewakili organisasi itu untuk
mengikuti pertemuan organisasi-organisasi
mahasiswa tingkat nasional. Ada berapa
kemungkinan susunan wakil organisasi itu?
Beberapa susunan wakil pengurus untuk
mengikuti pertemuan tersebut adalah sebagai
berikut.
4
Anto – Candra
Jadi, banyaknya cara dimaksud adalah 5 x 4 =
20 cara.
Secara matematis kita dapat mengubah
(memanipulasi) cara perhitungan di atas
sebagai berikut.
Candra – Anto
Badrun – Dini
Dini – Badrun
dan sebagainya
Hasil terakhir ini selanjutnya dinotasikan
sebagai berikut.
Perhatikan bahwa susunan Anto – Candra dan
Candra – Anto sesungguhnya sama, yakni
Anto dan Candra yang akan mewakili
organisasi itu. Perhatikan bahwa, dalam hal
ini, urutan tidak diperhatikan.
Perhatikan kembali kemungkinan
susunan 2 pengurus dari 5 orang pengurus
harian organisasi itu.
Perhatikan bahwa ketika kita menentukan
susunan pengurus organisasi tersebut yang
terdiri atas ketua dan wakil ketua dari 5
mahasiswa yang bersedia menjadi pengurus
organisasi tersebut. Dalam hal ini, secara
matematis kita telah menyusun permutasi 2
objek dari 5 objek yang diketahui dan
dinotasikan dengan P(5, 2).
Banyaknya permutasi dua objek dari 5 objek
yang diketahui (yakni 5 pengurus) adalah
P(5, 2). Banyaknya susunan yang sama dari
setiap pasangan 2 objek adalah 2! (misalnya
pasangan Anto – Candra sama dengan
susunan Candra – Anto). Dengan demikian,
banyaknya kombinasi 2 objek dari 5 objek
yang dinotasikan dengan C(5,2) adalah
sebagai berikut.
Kombinasi
Kata kombinasi lebih sering dijumpai
dalam kehidupan sehari-hari daripada kata
permutasi. Perhatikan contoh berikut.
706
Pengambilan k objek dari n objek yang
berbeda menghasilkan permutasi k objek dari n
objek atau P(n, k) . Banyaknya susunan yang
Prosiding Seminar Nasional Matematika dan Pendidikan Matematika. “Internalisasi Nilainilai Berpikir Matematis Dalam Peranannya di Era Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA)”
sama dari pengambilan k objek tadi adalah k!,
sehingga banyaknya kombinasi dari k objek
dari n objek yang berbeda yang dinotasikan
dengan C(n, k) adalah sebagai berikut.
3.
METODE PENELITIAN
Jenis penelitian ini adalah deskriptif
kualitatif. Penelitian ini dilaksanakan pada
mahasiswa Program Studi Pendidikan
Matematika semester gasal tahun akademik
2015/2016 Fakultas Keguruan dan Ilmu
Pendidikan
Universitas
Wisnuwardhana
Malang.
Teknik
yang
digunakan
dalam
pengumpulan data pada penelitian ini adalah
(1) Tes kognitif, (2) Wawancara. Wawancara
dalam penelitian ini menggunakan wawancara
bebas. Dimana dalam menentukan subjek
wawancara yaitu mengambil beberapa
mahasiswa semester gasal yang memperoleh
hasil belajar pada materi kombinatorika
rendah.
Analisis data dalam penelitian ini dimulai
sejak proses pengumpulan data sampai
penyusunan laporan. Data yang terkumpul
dianalisis secara rinci dan apa adanya sesuai
dengan tujuan dalam penelitian ini. Karena
penelitian ini adalah penelitian kualitatif, maka
analisis data yang digunakan disesuaikan
dengan jenis datanya. Selanjutnya, data
tersebut diolah menjadi kalimat yang
bermakna, ilmiah, dan dianalisis secara
kualitatif. Model analisis ini merupakan model
dari Miles dan Huberman (1992) yang terdiri
dari tiga komponen yaitu: kegiatan reduksi
data, paparan data, serta penarikan kesimpulan
dan verifikasi.
Mereduksi
data
adalah
kegiatan
menyeleksi
data,
memfokuskan,
dan
menyederhanakan semua data yang telah
diperoleh mulai dari awal sampai pada saat
menjelang penyusunan laporan. Menurut
Moleong (2007), reduksi data dilakukan
dengan jalan abstraksi. Abstraksi yang
dimaksud adalah usaha membuat rangkuman
inti, proses, dan pernyataan-pernyataan yang
perlu dijaga keberadaannya yang selanjutnya
disusun dalam satuan-satuan. Hal ini
dimaksudkan untuk lebih memudahkan
kegiatan pengolahan data pada langkah
berikutnya. Reduksi data (penyeleksian)
dilakukan secara terus-menerus selama
pengumpulan data sampai penyusunan laporan
akhir selesai dilakukan. Data yang diperoleh
ditulis dalam lembar rekaman data yang telah
disiapkan, kemudian ditulis kembali dengan
menambah dan mengurangi catatan yang ada
tanpa mengubah maksud dan inti yang
diperoleh.
Penyajian
data
dilakukan
dengan
mengorganisasikan data dari hasil reduksi
dalam bentuk naratif, sehingga dapat
menolong peneliti menarik kesimpulan dan
mengambil tindakan yang diperlukan. Data
yang telah disajikan tersebut selanjutnya
ditafsirkan dan dievaluasi. Penafsiran data ini
menurut Moleong (2007) dijabarkan ke dalam;
(1) tujuan, (2) prosedur, (3) peranan hubungan
kunci, (4) peranan interogasi data, dan (5)
langkah-langkah penafsiran data dengan
menggunakan metode analisis komparatif.
Proses ini berlangsung sepanjang penelitian
berjalan.
Penarikan kesimpulan terhadap temuan
penelitian yang berupa kesalahan-kesalahan
mahasiswa dalam menyelesaikan masalaah
kombinatorik. Dari data yang diperoleh
tersebut selanjutnya disusun kesimpulan awal
yang disebut temuan penelitian. Kesimpulan
itu pada awalnya masih bersifat sementara dan
dapat diverifikasi atau dilakukan pengecekan
keabsahan
temuan
selama
penelitian
berlangsung. Dari temuan-temuan yang berupa
Pendidikan Matematika Universitas Muhammadiyah Purworejo ,
Ruang Seminar UMP, Sabtu, 28 Mei 2016
707
indikator-indikator selanjutnya dilakukan
pemaknaan (refleksi) sehingga diperoleh
kesimpulan akhir.
4
4.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Data analisis hasil kuis mata kuliah
matematika
diskrit
pokok
bahasan
kombinatorik khususnya materi permutasi dan
kombinasi diperoleh hasil kesalahan yang
dilakukan mahasiswa seperti pada tabel
berikut.
No
Soal
Jenis kesalahan yang
ditemukan
1
Sebuah
bioskop
mempunyai jajaran
kursi yang disusun
perbaris. Tiap baris
terdiri
dari
6
tempat kursi. Jika
2
orang
akan
duduk,
berapa
banyak pengaturan
tempat duduk yang
mungkin
pada
suatu baris.
Berapa jumlah
kemungkinan
membentuk 3
angka dari 5 angka
berikut: 1, 2, 3, 4,
5 jika tidak boleh
ada pengulangan
angka.
1. Menyelesaikan
soal menggunakan
kombinasi
2. Sudah
menyelesaikan
soal
dengan
permutasi, tetapi
menggunakan
langkah kombinasi
2
3
708
Dalam suatu ujian,
setiap mahasiswa
harus mengerjakan
5 soal dari 8 soal
yang disediakan.
Tentukan:
a)
banyaknya
cara
memilih soal; b)
banyak
cara
memilih 2 soal dari
4 soal pertama dan
1. Memodelkan ke
dalam
bentuk
matematika
2. Menyelesaikan
soal menggunakan
kombinasi
3. Sudah
menyelesaikan
soal
dengan
permutasi, tetapi
menggunakan
langkah kombinasi
1. Menyelesaikan soal
menggunakan
permutasi
2. Sudah
menyelesaikan soal
dengan kombinasi,
tetapi menggunakan
langkah permutasi
3 soal dari 4 soal
kedua
harus
dikerjakan
Sebuah
klub
beranggotakan 8
pria dan 10 wanita.
Berapa
banyak
cara
memilih
panitia yang terdiri
dari
6
orang
dengan
jumlah
wanita
lebih
banyak daripada
pria.
1. Memodelkan ke
dalam
bentuk
matematika
2. Menyelesaikan
soal menggunakan
permutasi
3. Sudah
menyelesaikan
soal
dengan
kombinasi, tetapi
menggunakan
langkah permutasi
Contoh salah satu pekerjaan siswa adalah
sebagai berikut
Gambar 1. Salah satu contoh pekerjaan siswa
yang mengalami kesalahan konsep
Gambar 2. Contoh kesalahan siswa secara
prosedur
Gambar 3. Contoh kesalahan siswa yang
mengalami kesulitan dalam memodelkan
kedalam bentuk matematika
Dari hasil wawancara yang dilakukan
peneliti, kebanyakan dari mahasiswa masih
bingung
dalam
menyelesaikan
soal
menggunakan
permutasi
ataukah
Prosiding Seminar Nasional Matematika dan Pendidikan Matematika. “Internalisasi Nilainilai Berpikir Matematis Dalam Peranannya di Era Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA)”
menggunakan kombinasi. Selain itu dalam
memodelkan ke dalam bentuk matematika
kebanyakan juga masih belum bisa.
Dari data diatas diperoleh beberapa
kesalahan yang dialami oleh mahasiswa dalam
menyelesaikan soal kombinatorika, yaitu
1. Kesalahan konsep
Kesalahan konsep yang dilakukan
adalah cara menyelesaikan soal yang
seharusnya menggunakan permutasi tetapi
dikerjakan dengan cara kombinasi atau
bahkan sebaliknya. Selain itu, dalam
menggunakan rumus permutasi atau
kombinasi kadang-kadang masih terbalik.
Kesulitan pemahaman konsep terjadi
karena siswa cenderung menghafal tanpa
pemahaman konsep secara jelas. Hasil
penelitian ini sejalan dengan penelitian
Fakhrul Jamal (2014: 18) kesulitan siswa
dalam materi peluang adalah kurangnya
pemahaman siswa dalam memahami
konsep peluang, sering salah menggunakan
rumus dalam menyelesaikan soal, juga
kebiasaan guru dalam belajar matematika
hanya dengan cara mencatat saja di papan
tulis,
2. Kesalahan prosedur
Kesalahan prosedur yang sering dilakukan
mahasiswa diantaranya kurang menuliskan
tanda faktorial pada operasi permutasi atau
kombinasi, sehingga diperoleh hasil akhir
salah.
3. Kesalahan dalam memodelkan ke dalam
bentuk matematika
Kesalahan dalam memodelkan ke dalam
bentuk matematika sering dialami siswa
dalam mengerjakan soal nomer 2 dan 4.
Dari hasil wawancara yang telah dilakukan
peneliti, mahasiswa masih bingung dalam
menterjemhakan
kedalam
bentuk
matematika, sehingga dalam macet dalam
mengerjakan langkah berikutnya.
Pemahaman konseptual dan prosedural
yang benar merupakan landasan yang
memungkinkan terbentuknya pemahaman
yang benar terhadap konsep-konsep lain yang
berhubungan, konsep yang lebih kompleks,
fakta, hukum, prinsip dan teori-teori dalam
matematika. Terlebih lagi jika diingat bahwa
salah satu karakteristik dari konsep
matematika adalah adanya saling keterkaitan
dan perkembangan dari konsep yang sederhana
menuju konsep yang lebih kompleks
(Middlecamp dan Kean, 1989; Sastrawijaya,
1988). Pemahaman suatu konsep yang tidak
benar memungkinkan terbentuknya konsepkonsep lain berkaitan yang tidak benar pula.
Menurut Dahar (1989), untuk dapat
memecahkan masalah dalam matematika
seseorang harus mengetahui aturan-aturan
yang relevan dan aturan-aturan ini didasarkan
pada konsep yang diperolehnya. Oleh karena
itu dapat dikatakan bahwa konsep dan
prosedur merupakan pondasi berfikir, sehingga
pemahaman konseptual dan prosedural yang
benar menjadi sangat penting untuk dimiliki.
Pemahaman konseptual dan prosedural yang
benar merupakan landasan dalam memahami
fakta-fakta, hukum-hukum, prinsip-prinsip dan
teori-teori dalam ilmu matematika secara
benar. Selain itu, pemahaman secara benar
akan menghasilkan penerapan konsep yang
benar sebagai landasan untuk memecahkan
masalah dalam kehidupan sehari-hari dan
perkembangan IPTEK.
5. KESIMPULAN
Berdasarkan dari hasil penelitian dan
pembahasan, diperoleh kesimpulan bahwa
letak
kesalahan
mahasiswa
dalam
menyelesaikan masalah kombinatorik terdiri
dari kesalahan konsep, kesalahan prosedur dan
kesalahan
pemodelan
dalam
bentuk
matematika.
6. REFERENSI
Dahar, R.W. 1988. Teori-Teori Belajar.
Jakarta: P2LPTK.
Pendidikan Matematika Universitas Muhammadiyah Purworejo ,
Ruang Seminar UMP, Sabtu, 28 Mei 2016
709
Depdiknas Dirjen Manajemen Dikdasmen
PSMA. 2008. Sistem Penilaian KTSP
Panduan
Penyelenggaraan
Pembelajaran
Remidial.
Makalah
disajikan dalam Workshop Asistensi dan
Sinkronisasi Program RSKM/SSN di
SMA,Dirjen
Manajemen
Dikdasmen,Surabaya,30 Juni-3 Juli
2008
Hamadi, Abu dan Widodo Supriyono.
Psikologi Belajar, Jakarta: PT Asdi
Mahasatya, 2008.
http://www.duniapelajar.com/2012/12/08/kesal
ahan-konseptual-dan-prosedural-siswadalam-belajar-aljabar/ di unduh pada 10
Mei 2016
Mahmudi,
Ali.
Kombinatorika
http://staff.uny.ac.id/sites/default/files/
Matematika%20Diskret%20_Kombinat
orika_.pdf, di unduh pada 10 Mei 2016.
Middlecamp, C. & Kean, E. 1985. Panduan
Belajar Matematika Dasar. Jakarta:
Gramedia.
Milles, M.B. and Huberman, M.A. 1992.
Qualitative Data Analysis. London:
Sage Publication
710
Moleong, Lexy J. 2007. Metodologi Penelitian
Kualitatif-Edisi Revisi. Bandung: PT.
Remaja Rosdakarya.
Mulyadi. 2010. Diagnosis Kesalahan Belajar
dan Bimbingan Terhadap Kesalahan
Belajar Khusus. Yogyakarta: Nuha
Lentera.
Ronald M, Mardiyana, Dewi R. 2014. Analisis
Kesalahan Siswa dalam Menyelesaikan
Soal Persamaan Kuadrat Berdasarkan
Taksonomi Solopada Kelas X SMA
Negeri 1 Plus Di Kabupaten Nabire
Papua.
Diunduh
dari
http://jurnal.fkip.uns.ac.id pada 10 Mei
2016.
Slameto. 2003. Belajar dan Faktor-Faktor
yang
Mempengaruhinya,
Jakarta:
Rineka Cipta.
Walgito, Bimo. Pengantar Psikologi Umum.
Yogyakarta: Andi, 2004.
Widhiharto, Rachmadi. 2008. Diagnosis
Kesalahan Belajar Matematika SMP
dan Alternatif Proses Remidinya.
Jakarta: Depdiknas Direktorat PMPTK
PPPG Matematika.
Prosiding Seminar Nasional Matematika dan Pendidikan Matematika. “Internalisasi Nilainilai Berpikir Matematis Dalam Peranannya di Era Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA)”
PENGEMBANGAN VIDEO PEMBELAJARAN UNTUK IMPLEMENTASI
KURIKULUM 2013 PADA PEMBELAJARAN MATEMATIKA TOPIK SEGI
EMPAT DAN SEGITIGA SMP KELAS VII
Nurafni Retno Kurniasih1), Azmi Yanianti2)
Program Pascasarjana Pendidikan Matematika, Universitas Negeri Yogyakarta
email: [email protected]
2
Program Pascasarjana Pendidikan Matematika, Universitas Negeri Yogyakarta
email: [email protected]
1
Abstrak
Implementasi kurikulum 2013, pendidik mengalami kendala dalam menerapkan pembelajaran
dengan menggunakan pendekatan saintifik dan penilaian autentik. Diperlukan contoh pembelajaran
dengan menggunakan pendekatan tersebut. Salah satu contoh yang diharapkan pendidik adalah
dalam bentuk video pembelajaran. Penelitian ini bertujuan untuk: (1) mengetahui bagaimanakah cara
mengembangkan video pembelajaran,(2) mengetahui seberapa besar tingkat kelayakan video
pembelajaran,(3) mengetahui respon guru terhadap video pembelajaran,dan (4) untuk mengetahui
respon siswa terhadap pembelajaran matematika topik segi empat dan segitiga SMP kelas VII.
Penelitian pengembangan ini menggunakan model ADDIE (Analysis, Design, Development,
Implementation and Evaluation). Langkah-langkah yang harus diikuti meliputi lima langkah yaitu
(1) Analisis, dengan menganalisis kebutuhan, kurikulum, lokasi dan teknologi (2) Desain, dengan
membuat RPP, skenario pembelajaran, treatment, shooting list, reading-rehearsal talent, rencana
anggaran, dan menyusun instrumen penelitian, (3) Pengembangan, dengan melakukan shooting dan
editing video (4) Implementasi, dengan melakukan uji coba video dan (5) Evaluasi .Penelitian
dilaksanakan di SMP N 1 Imogiri. Data penelitian didapat dari wawancara dan angket. Data tersebut
dianalisis secara kuantitatif dan kualitatif untuk keperluan evaluasi media. Penelitian ini telah
mengembangkan video pembelajaran untuk implementasi kurikulum 2013 pada pembelajaran
matematika topik segi empat dan segitiga dengan menggunakan model ADDIE. Hasil penelitian
menunjukkan bahwa kualitas media dan materi video pembelajaran tergolong dalam kategori sangat
baik dengan persentase sebesar 86,89% dan 88,33%. Hasil respon guru tergolong dalam kategori
sangat baik dengan persentase sebesar 86,04% dan respon siswa tergolong dalam kategori baik
dengan persentase sebesar 83,67%. Video pembelajaran matematika untuk implementasi kurikulum
2013 pada pembelajaran matematika topik segi empat dan segitiga dinyatakan layak untuk
digunakan sebagai sumber belajar.
Kata Kunci: video pembelajaran, kurikulum 2013, segi empat
1. PENDAHULUAN
Dalam kehidupan suatu negara, bidang
pendidikan memegang peranan yang sangat
penting, yaitu sebagai faktor penentu
keberhasilan pembangunan suatu negara.
Kegagalan suatu negara dalam pendidikan
dapat mengancam stabilitas nasional serta
keutuhan negara tersebut.
Dalam laporan hasil TIMSS (Trends in
International Mathematics and Science Study)
yaitu studi internasional tentang prestasi
matematika dan sains siswa sekolah lanjutan
tingkat pertama kelas VIII pada tahun 2011,
Indonesia berada pada posisi 5 besar dari
bawah setelah Syria, Maroko, Oman, dan
Ghana. Indonesia mendapat peringkat 38 dari
Pendidikan Matematika Universitas Muhammadiyah Purworejo ,
Ruang Seminar UMP, Sabtu, 28 Mei 2016
711
42 negara dengan nilai 386. (Mullis dkk, 2012:
42).
Kurikulum
yang
dirubah
dan
diperbaharui terus menerus dengan tujuan
untuk perbaikan pendidikan menjadi salah satu
faktor penyebab rendahnya tingkat pendidikan
di Indonesia. Proses untuk beradaptasi dengan
kurikulum baru membutuhkan waktu yang
tidak singkat, ditambah lagi ketika kurikulum
baru
tersebut
belum
sepenuhnya
diimplementasikan ke seluruh Indonesia, sudah
ada kurikulum yang lebih baru lagi.
Berdasarkan wawancara dengan guru
matematika di SMP N 1 Imogiri dan SMP N 14
Yogyakarta, perubahan dari kurikulum lama ke
kurikulum 2013 saat ini serta pada
implementasi kurikulum 2013 didapat kendalakendala sebagai berikut:
1. Perkembangan kurikulum 2013 dirasa sulit
dalam hal persiapan dan pelaksanaannya
bagi sebagian besar pendidik di Indonesia
karena kompetensi ataupun pengetahuan
yang dimiliki para pendidik belum cukup
memadai.
2. Pendidik masih mengalami kendala dan
kesulitan dalam menerapkan pembelajaran
menggunakan pendekatan saintifik dan
penilaian autentik yang ada dalam
kurikulum 2013.
3. Sebagian pendidik belum siap secara mental
dengan kurikulum 2013 ini, karena
kurikulum 2013 menuntut guru untuk lebih
inovatif dan kreatif.
4. Sebelum ini yang dilakukan pendidik dalam
melaksanakan pembelajaran masih bersifat
instan dan belum ada proses penemuan ilmu
pengetahuan.
5. Kurangnya pemahaman konsep dasar pada
topik segi empat dan segitiga serta
aplikasinya dalam kehidupan sehari-hari.
6. Pendidik masih membutuhkan lebih banyak
referensi video pembelajaran matematika
untuk implementasi kurikulum 2013.
7. Pendidik membutuhkan video pembelajaran
matematika
dengan
menggunakan
712
pendekatan
saintifik
yang
dapat
direalisasikan dalam pembelajaran.
Untuk itu, peneliti tertarik untuk
mengembangkan
video
pembelajaran
matematika untuk implementasi kurikulum
2013 pada topik segi empat dan segitiga yang
berisi
contoh
pembelajaran
dengan
menggunakan pendekatan saintifik dan
penilaian autentik sebagai sumber belajar.
Berdasarkan latar belakang masalah diatas,
maka peneliti perlu melakukan penelitian
dengan
judul
”Pengembangan
Video
Pembelajaran Untuk Implementasi Kurikulum
2013 pada Pembelajaran Matematika Topik
Segi Empat dan Segitiga SMP Kelas VII”.
Penelitian ini bertujuan untuk : (1)
mengetahui
bagaimanakah
cara
mengembangkan video pembelajaran, (2)
mengetahui seberapa besar tingkat kelayakan
video pembelajaran, (3) mengetahui respon
guru terhadap video pembelajaran,dan (4)
untuk mengetahui respon siswa terhadap
pembelajaran matematika topik segi empat dan
segitiga SMP kelas VII.
Produk yang diharapkan dalam
penelitian pengembangan berupa video
pembelajaran yang berisi tentang pembelajaran
matematika untuk implementasi kurikulum
2013 pada topik segi empat dan segitiga SMP
kelas VII, kemudian dikemas dalam bentuk
CD.
2. METODE PENELITIAN
Penelitian ini merupakan penelitian
pengembangan media audio visual, yaitu
pengembangan video pembelajaran untuk
implementasi Kurikulum 2013 pada mata
pelajaran matematika topik segi empat dan
segitiga. Model pengembangan yang akan
digunakan dalam mengembangkan video
pembelajaran dalam penelitian ini adalah
dengan menggunakan model ADDIE, Analisis
(Analysis),
Perencanaan
(Design),
Pengembangan (Development), Implementasi
(Implementation) dan Evaluasi (Evaluation)
Endang Mulyatiningsih (2012: 185).
Prosiding Seminar Nasional Matematika dan Pendidikan Matematika. “Internalisasi Nilainilai Berpikir Matematis Dalam Peranannya di Era Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA)”
Langkah-langkah pengembangan video
pembelajaran matematika dilakukan dengan
mengikuti model pengembangan ADDIE
adalah : (1) Analisis (Analysis); Analisis
kebutuhan, Analisis kurikulum, Analisis lokasi,
dan Analisis teknologi. (2) Perencanaan
(Design); membuat rencana pelaksanaan
pembelajaran (rpp), membuat skenario
pembelajaran, membuat treatment, membuat
shooting list, reading – rehearsal talent,
membuat rencana anggaran, dan menyusun
instrumen-instrumen
penelitian.
(3)
Pengembangan (Development); produksi video
pembelajaran, proses editing video, validasi
instrumen dan penilaian kelayakan video. (4)
Implementasi (Implementation); uji
coba
kepada guru dan siswa. (5) Evaluasi
(Evaluation); mengevaluasi hal yang terkait
dengan pengembangan video pembelajaran.
Desain uji coba pada pengembangan
ini terdiri dari 3 tahap, yaitu uji perseorangan,
dilakukan pengujian keterbacaan video oleh
peneliti sendiri; uji kelompok kecil yang
dilakukan pengujian validasi media audio
visual dan materi oleh ahli media dan materi;
uji lapangan untuk mengetahui respon guru
terhadap video pembelajaran yang melibatkan
guru SMP N 1 Imogiri dan guru SMP N 14
Yogyakarta, serta respon siswa SMP N 1
Imogiri terhadap pembelajaran di kelas.
Subjek dalam penelitian ini adalah ahli
materi yaitu dosen matematika UAD di bidang
geometri dan guru matematika kelas VII SMP
N 1 Imogiri, ahli media yaitu ahli media dari
PPPPTK Matematika, produser ADiTV dan
video editor dari ADiTV, guru matematika
SMP N 1 Imogiri dan guru matematika SMP N
14 Yogyakarta, dan siswa kelas VIIB SMP N 1
Imogiri. Objek dalam penelitian ini adalah
video pembelajaran untuk implementasi
kurikulum 2013 pada pembelajaran matematika
topik segi empat dan segitiga serta siswa kelas
VIIB SMP N 1 Imogiri.
Instrumen yang digunakan dalam
penelitian ini adalah berupa pedoman
wawancara dengan guru matermatika, angket
penilaian untuk ahli materi dan media, angket
respon guru terhadap video pembelajaran
matematika, dan angket respon siswa terhadap
pembelajaran matematika.
Teknik analisis data dilakukan untuk
mendapatkan perangkat pembelajaran yang
layak digunakan dan berkualitas. Adapun
langkah-langkah dalam menganalisis produk
yang dikembangkan adalah sebagai berikut :
1. Jenis data yang diambil berupa data
kualitatif, yaitu data yang diperoleh melalui
angket oleh ahli materi, ahli media, guru,
dan siswa. Selanjutnya data kemudian
diubah menjadi kuantitatif dengan ketentuan
yang dapat dilihat dalam tabel berikut:
Tabel 1. Aturan pemberian skor
Pilihan Jawaban
Skor
Pernyataan
Sangat setuju (SS)
5
Setuju (S)
4
Ragu-ragu (R)
3
Tidak setuju (TS)
2
Sangat
(STS)
tidak
setuju
1
Dari hasil penilaian tersebut dihitung skor
rata-rata, dengan rumus sebagai berikut :
Keterangan :
= skor rata-rata
= jumlah skor yang diperoleh
= banyaknya butir pernyataan
2. Mengubah nilai tiap aspek kriteria dalam
masing-masing komponen angket menjadi
nilai kualitatif skala lima dengan kriteria
Pendidikan Matematika Universitas Muhammadiyah Purworejo ,
Ruang Seminar UMP, Sabtu, 28 Mei 2016
713
penilaian ideal merujuk pada Eko Putro
Widyoko (2011: 238)
Tabel 2. Konversi Data Kuantitatif ke Data
Kualitatif dengan Skala Lima
Interval
Tabel 3. Kriteria Kelayakan Media Video
Pembelajaran
No
Skor
Nilai
Kategori
1
Sangat baik
Sangat baik
2
Baik
Baik
3
Cukup
Cukup
4
Kurang
Kurang
5
Sangat Kurang
Sangat Kurang
Tabel 4. Kriteria Kelayakan Materi Video
Pembelajaran
Keterangan :
: rerata skor ideal yang dapat dicari dengan
menggunakan rumus
= x (skor maksimal ideal + skor minimal
ideal)
: simpangan baku ideal yang dapat dicari
dengan rumus
= x (skor maksimal ideal – skor minimal
ideal)
No
Skor
Nilai
1
Sangat baik
2
Baik
3
Cukup
4
Kurang
5
Sangat Kurang
: skor rata-rata
Skor maksimal ideal = ∑ butir kriteria x
skor tertinggi
Tabel 5. Kriteria Respon Guru Terhadap Video
Pembelajaran
Skor minimum ideal = ∑ butir kriteria x
skor terendah
No
3. Menentukan persentase kelayakan video
pembelajaran dari tiap komponen penilaian
dihitung menggunakan rumus:
Dari persentase yang diperoleh kemudian
ditransformasikan ke dalam tabel supaya
pembacaan hasil penelitian menjadi mudah.
Adapun tabel kriteria penilaian yaitu:
714
Skor
Nilai
1
Sangat baik
2
Baik
3
Cukup
4
Kurang
5
Sangat
Kurang
Prosiding Seminar Nasional Matematika dan Pendidikan Matematika. “Internalisasi Nilainilai Berpikir Matematis Dalam Peranannya di Era Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA)”
Tabel 6. Kriteria Respon Siswa Terhadap
Pembelajaran
No
Skor
Nilai
1
Sangat baik
2
Baik
3
Cukup
4
Kurang
5
Sangat Kurang
3. HASIL DAN PEMBAHASAN
Pengembangan video pembelajaran
menggunakan model ADDIE. Berdasarkan
penelitian yang telah dilakukan, diperoleh hasil
penelitian dan pembahasan pada setiap tahap
pengembangan sebagai berikut :
1. Analisis (Analysis)
Dalam penelitian ini dipilih SMP N
1 Imogiri karena SMP tersebut sudah
menerapkan kurikulum 2013 untuk siswa
kelas VII. Kelas yang dipakai untuk
penelitian adalah kelas VIIB dengan jumlah
siswa 31 orang.
Berdasarkan
hasil
wawancara
kepada guru matematika SMP, guru sangat
terbantu dengan adanya video pembelajaran
karena dapat memberikan gambaran nyata
penerapan pembelajaran saintifik serta dapat
menginspirasi guru dalam memilih modelmodel
pembelajaran.
Guru
masih
membutuhkan lebih banyak referensi video
pembelajaran
matematika
untuk
implementasi kurikulum 2013, terutama
video pembelajaran matematika yang ideal
namun bisa diikuti oleh guru dari berbagai
daerah.
Kurikulum yang digunakan adalah
kurikulum 2013. Hasil dari analisis
kurikulum adalah peneliti mendapatkan data
Kompetensi Inti (KI) dan Kompetensi Dasar
(KD) pada Kurikulum 2013.
Pada tahap ini analisis lokasi
dilakukan melalui observasi secara langsung
mengenai
jauh
dekatnya
lokasi,
keterjangkauannya, ada tidaknya sumber
energi, fasilitas ruang kelas yang akan
dipakai, serta properti yang akan digunakan.
Dalam penelitian ini, peneliti memilih SMP
N 1 Imogiri.
Dalam analisis teknologi peneliti
menentukan peralatan apa saja yang dipakai
untuk proses pengambilan gambar, proses
perekaman suara dan proses editing video.
2. Perencanaan (Design)
Tahap persiapan atau perancangan
sebelum produksi sebuah video disebut
tahap pra produksi. Adapun kegiatannya
yaitu: (1) Membuat Rencana Pelaksanaan
Pembelajaran (RPP); Pada tahap ini peneliti
membuat RPP mata pelajaran matematika
untuk kelas VII semester genap. RPP
disusun dengan menerapkan pendekatan
saintifik sesuai model belajar yang relevan
serta merancang penilaian autentik pada
proses dan hasil belajar. (2) Membuat
skenario pembelajaran; Skenario kegiatan
pembelajaran disusun sesuai dengan RPP,
tahapan kegiatan yang dilakukan dalam
pembelajaran
meliputi
kegiatan
pendahuluan, kegiatan inti, dan kegiatan
penutup. (3) Membuat Treatment; dengan
sketsa dari sebuah skenario ini maka
dimungkinkan untuk mengubah urutan
peristiwa hingga ditemukan sebuah ramuan
plot yang proporsional dan tepat. (4)
Membuat Shoting list; daftar shot dibuat
untuk dijadikan acuan mengetahui berapa
jumlah shot pada sebuah scene sehingga
dapat dilihat tempo cerita. (5) Reading –
Rehearsal Talent; Aktivitas ini dilakukan
sebelum masa shooting atau produksi,
dimana talent yang memerankan tokoh
Pendidikan Matematika Universitas Muhammadiyah Purworejo ,
Ruang Seminar UMP, Sabtu, 28 Mei 2016
715
dalam skenario dilatih agar sesuai dengan
apa yang diinginkan. Dalam penelitian ini,
talent adalah peneliti yang berperan sebagai
guru dan siswanya adalah siswa kelas VIIB
SMP N 1 Imogiri. (6) Membuat rencana
anggaran; Dengan merinci kebutuhankebutuhan dalam mengembangkan video
pembelajaran mulai dari tahap pra produksi,
produksi hingga pasca produksi, total biaya
yang dikeluarkan dalam pembuatan video
pembelajaran
untuk
implementasi
kurikulum 2013 ini sebesar Rp. 5.700.000.
(7)
Menyusun
instrumen-instrumen
penelitian;
Instrumen-instrumen
yang
digunakan dalam penelitian ini yaitu
pedoman wawancara, penilaian ahli media,
lembar penilaian ahli materi, angket respon
guru terhadap video pembelajaran, dan
angket respon siswa terhadap pembelajaran.
3. Pengembangan (Development)
Tahap
pengembangan
video
pembelajaran dalam penelitian ini adalah
kegiatan produksi video pembelajaran.
proses pengambilan gambar di lakukan di
lokasi shooting. Proses pengambilan gambar
dilakukan dengan memperhatikan komposisi
framing. Setelah pengambilan gambar
selesai, kemudian masuk ke dalam tahap
pasca produksi. Pada tahap pasca produksi
yang dilakukan adalah proses editing
dimana gambar disusun menjadi sebuah
jalinan cerita yang sesuai skenario.
Pada tahap ini peneliti juga
melakukan validasi instrumen yang telah
disusun. Selanjutnya video dan instrumen
diberikan kepada ahli media dan ahli materi
716
untuk dilakukan penilaian kelayakan dan
mendapatkan saran masukan.
4. Implementasi (Implementation)
Video pembelajaran yang telah
selesai dibuat kemudian dilakukan uji coba.
Pada
tahap
implementasi,
video
pembelajaran di ujicobakan kepada guru.
Uji coba dilaksanakan di SMP N 1 Imogiri
dan SMP N 14 Yogyakarta. Uji coba
dilakukan untuk mengetahui kesesuaian
video pembelajaran yang dikembangkan
dilihat dari komponen kelayakan isi,
kebahasaan, sajian, kegrafisan, pendekatan
saintifik dalam kurikulum 2013 dan
penilaian autentik dalam kurikulum 2013.
Dalam penelitian ini peneliti juga
melakukan uji coba untuk mengetahui
respon siswa terhadap pembelajaran
matematika yang dilihat dari komponen
dalam kegiatan pembelajaran, yaitu kegiatan
pendahuluan, kegiatan inti dan kegiatan
penutup. Responden adalah siswa kelas
VIIB SMP N 1 Imogiri yang berjumlah 31
siswa.
5. Evaluasi (Evaluation)
Pada tahap evaluasi, peneliti
menganalisis kesalahan-kesalahan yang
terjadi selama proses pengembangan video
pembelajaran.
Berdasarkan teknik analisis data yang
digunakan, data yang diperoleh dari penilaian
ahli media, penilaian ahli materi, penilaian
respon guru dan respon siswa diolah dan
hasilnya dapat terlihat dengan lebih spesifik
tiap komponen penilaian pada gambar 1
berikut:
Prosiding Seminar Nasional Matematika dan Pendidikan Matematika. “Internalisasi Nilainilai Berpikir Matematis Dalam Peranannya di Era Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA)”
Gambar 1. Grafik Analisis Angket Kelayakan Media
Dari grafik diatas, dapat terlihat dengan
lebih spesifik hasil analisis kelayakan media
tiap komponen penilaian. Dari komponen
penggunaan font; jenis dan ukuran, desain
tampilan,
pengarahan
sinematografi,
pengarahan artistik, penataan suara, penataan
musik dan pemeranan mendapat nilai dengan
kategori sangat baik. Selanjutnya komponen
penilaian dari komponen lay out atau tata letak,
ilustrasi, gambar, atau foto, dan penyuntingan
mendapat nilai dengan kategori baik.
Berdasarkan perhitungan, diperoleh
rata-rata skor hasil penilaian kelayakan video
pembelajaran oleh ahli media adalah 130,33
dari skor maksimal ideal 150 dan persentase
penilaian kelayakan video pembelajaran
sebesar 86,89%. Hasil tersebut menunjukkan
bahwa video pembelajaran untuk implementasi
kurikulum 2013 pada pembelajaran matematika
topik segi empat dan segitiga termasuk dalam
kategori sangat baik dan layak untuk
digunakan.
Gambar 2. Grafik Analisis Angket Kelayakan Materi
Dari gambar 2 grafik analisis angket
dengan kategori sangat baik.
kelayakan materi diatas, dapat terlihat dengan
Berdasarkan perhitungan, diperoleh
lebih spesifik hasil analisis kelayakan materi
rata-rata skor hasil penilaian kelayakan video
tiap komponen penilaian. Dari komponen
pembelajaran oleh ahli media adalah 132,5 dari
kelayakan isi, kebahasaan, sajian, pendekatan
skor maksimal ideal 150 dan persentase
saintifik dalam kurikulum 2013 dan penilaian
penilaian kelayakan video pembelajaran
autentik dalam kurikulum 2013 mendapat nilai
sebesar 88,83%. Hasil tersebut menunjukkan
Pendidikan Matematika Universitas Muhammadiyah Purworejo ,
Ruang Seminar UMP, Sabtu, 28 Mei 2016
717
bahwa video pembelajaran untuk implementasi
kurikulum 2013 pada
pembelajaran
matematika topik segi empat dan segitiga
termasuk dalam kategori sangat baik dan
layak untuk digunakan.
Gambar 3. Grafik Analisis Angket Respon Guru Terhadap Video Pembelajaran
Dari grafik gambar 3 diatas, dapat
terlihat dengan lebih spesifik hasil analisis
angket
respon
guru
terhadap
video
pembelajaran tiap komponen penilaian. Dari
komponen
kelayakan
isi,
kebahasaan,
kegrafisan dan pendekatan saintifik mendapat
nilai dengan kategori sangat baik. Selanjutnya
komponen penilaian dari komponen sajian dan
penilaian autentik mendapat nilai dengan
kategori baik.
Berdasarkan perhitungan, dapat dilihat
bahwa rata-rata skor hasil penilaian respon guru
terhadap video pembelajaran adalah 137,67 dari
skor maksimal ideal 160 dan persentase
penilaian kelayakan video pembelajaran
sebesar 86,04%. Hasil tersebut menunjukkan
bahwa video pembelajaran untuk implementasi
kurikulum 2013 pada pembelajaran matematika
topik segi empat dan segitiga termasuk dalam
kategori sangat baik dan layak untuk
digunakan.
Gambar 4. Grafik Analisis Angket Respon Siswa Terhadap Pembelajaran
718
Prosiding Seminar Nasional Matematika dan Pendidikan Matematika. “Internalisasi Nilainilai Berpikir Matematis Dalam Peranannya di Era Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA)”
Berdasarkan perhitungan dapat dilihat
bahwa rata-rata skor hasil penilaian respon
siswa terhadap pembelajaran adalah 133,87
dari skor maksimal ideal 160 dan persentase
hasil penilaian sebesar 83,67%. Hasil tersebut
menunjukkan bahwa video pembelajaran
untuk implementasi kurikulum 2013 pada
pembelajaran matematika topik segi empat dan
segitiga termasuk dalam kategori baik dan
layak untuk digunakan.
Dari gambar grafik 4 diatas, dapat
terlihat dengan lebih spesifik hasil analisis
angket respon siswa terhadap pembelajaran
tiap komponen penilaian. Dari komponen
apersepsi dan motivasi, penerapan strategi
pembelajaran yang mendidik dan penutup
pembelajaran mendapat nilai dengan kategori
sangat baik. Selanjutnya komponen penilaian
dari penyampaian kompetensi dan rencana
kegiatan, penguasaan materi pelajaran,
penerapan pendekatan saintifik, pemanfaatan
sumber/media dalam pembelajaran, pelibatan
peserta didik dalam pembelajaran dan
penggunaan bahasa mendapat nilai dengan
kategori baik
Produk akhir dari penelitian ini adalah
sebuah
video
pembelajaran
untuk
implementasi
kurikulum
2013
pada
pembelajaran matematika topik segi empat dan
segitiga yang sudah direvisi dan dikemas
dalam bentuk CD. Pendekatan saintifik dan
penilaian autentik yang sesuai dengan
kurikulum 2013 termuat dalam kegiatan
pembelajaran matematika.
4. KESIMPULAN
Penelitian ini telah mengembangkan
video pembelajaran untuk implementasi
kurikulum 2013 pada pembelajaran
matematika topik segi empat dan segitiga
dengan menggunakan model ADDIE, yaitu
dilakukan melalui 5 tahap yaitu Analisis
(Analysis), Perencanaan (Design),
Pengembangan (Development), Implementasi
(Implementation) dan Evaluasi (Evaluation).
Subyek penelitian adalah dosen ahli materi,
guru ahli materi, ahli media, guru matematika
SMP N 1 Imogiri dan SMP N 14 Yogyakarta ,
dan siswa kelas VIIB SMP N 1 Imogiri.
Pengumpulan data menggunakan pedoman
wawancara dan angket.
Kualitas video pembelajaran yang
dikembangkan yaitu dari kualitas kegrafisan
dan gaya sinematik dengan validator ahli
media diperoleh skor rata-rata 130,33 dari skor
maksimal ideal 150 dan persentase penilaian
kelayakan video pembelajaran sebesar 86,89%
yang menunjukkan kategori sangat baik. Dari
kelayakan isi, kebahasaan, sajian, pendekatan
saintifik kurikulum 2013 dan penilaian
autentik kurikulum 2013 dengan validator ahli
materi diperoleh skor rata-rata 132,5 dari skor
maksimal ideal 150 dan persentase penilaian
kelayakan video pembelajaran sebesar 88,33%
yang menunjukkan kategori sangat baik.
Sehingga
video
pembelajaran
yang
dikembangkan layak untuk digunakan sebagai
sumber belajar.
Respon
guru
terhadap
video
pembelajaran matematika topik segi empat dan
segitiga dalam rangka implementasi kurikulum
2013 pada pembelajaran matematika topik segi
empat dan segitiga dari segi kelayakan isi,
kebahasaan, sajian, kegrafisan, pendekatan
saintifik kurikulum 2013 dan penilaian
autentik kurikulum 2013 diperoleh skor ratarata 137,67 dari skor maksimal ideal 160 dan
persentase hasil 86,04% yang menunjukkan
kategori sangat baik.
Respon siswa terhadap terhadap
pembelajaran matematika topik segi empat dan
segitiga dalam rangka implementasi kurikulum
2013 pada pembelajaran matematika topik segi
empat dan segitiga mulai dari kegiatan
pendahuluan, kegiatan inti, dam kegiatan
penutup diperoleh skor rata-rata 133,87 dari
skor maksimal ideal 160 dan persentase hasil
Pendidikan Matematika Universitas Muhammadiyah Purworejo ,
Ruang Seminar UMP, Sabtu, 28 Mei 2016
719
penilaian sebesar 83,67% yang menunjukkan
kategori baik.
Saran - saran yang dapat disampaikan
berdasarkan hasil kesimpulan penelitian ini
adalah video pembelajaran ini digunakan
sebagai sumber belajar khususnya bagi guru,
sebagai bahan tayang dalam diklat kurikulum
2013, Penelitian lanjutan video pembelajaran
untuk
implementasi
kurikulum
2013
menayangkan
tahap
menanya
dalam
pendekatan saintifik yang kurang tampak
dalam video ini, ada pihak yang mau
mengembangkan lebih lanjut agar video
pembelajaran lebih sempurna lagi, dan
pembaca terinspirasi untuk melakukan
penelitian lanjutan dengan
melakukan
produksi video atau film pendek terkait
implementasi kurikulum 2013.
720
5. REFERENSI
Mullis, Martin, Foy & Arora. 2012. TIMSS
2011 International Results in
Mathematics. Chestnut Hill USA:
Boston Collage.
Mulyatiningsih, Endang. 2011. Riset Terapan
Bidang Pendidikan dan Teknik.
Yogyakarta: UNY Press.
Widyoko, Eko Putro. 2009. Evaluasi Program
Pembelajaran. Yogyakarta: Pustaka
Pelajar.
Prosiding Seminar Nasional Matematika dan Pendidikan Matematika. “Internalisasi Nilainilai Berpikir Matematis Dalam Peranannya di Era Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA)”
KELAS MATEMATIKA BERINSPIRASI UNTUK INOVASI PENDIDIKAN
INDONESIA
Lokana Firda Amrina1), Nurafni Retno Kurniasih2)
Program Pascasarjana Pendidikan Matematika, Universitas Negeri Yogyakarta
[email protected]
2
Program Pascasarjana Pendidikan Matematika, Universitas Negeri Yogyakarta
[email protected]
1
Abstract
Title : Mathematics class is inspire for Indonesian Education Inovasion.
Learning Mathematics is needed the desire and logic power. As a mathematics teacher, many of
them that ignorance to creativity innovation in their class. Focus on the learning but in the created
inspiring class is rare. It is one of obstacle to increase the mathematics study desire. In this paper,
writers make efforts to give creativity advice and knowledge for mathematics class prosess. So, it
can be inspires for the teacher and students. Inspire mathematicsclass will be able to give strong
desire to study mathematics or others subject, so the atmosphere class that expected. This is the
teacher contribution and effort to raise the teacher knowledge provisioning and student readiness in
the global era.
Keyword : Desire of mathematics, logic power, innovation, inspire, creativity class
1.
PENDAHULUAN
Matematika merupakan salah satu ilmu
eksakta yang pasti dipelajari di setiap jenjang
pendidikan. Mulai dari sekolah sebelum
Sekolah Dasar (SD), seseorang sudah
dikenalkan angka-angka. Masuk jenjang SD,
sudah mempelajari mengenai operasi
matematika. Hingga duduk di bangku Sekolah
Menengah baik Pertama maupun Atas,
matematika dipelajari lebih mengembang,
mendalam dan memaknai. Namun sayangnya,
semakin tinggi jenjang pendidikan siswa,
minat belajar matematika justru menurun.
Anggapan dari lingkungan dan diri siswa
bahwa matematika adalah pelajaran paling
sulit, hingga anggapan itu pun terpatri kuat
dalam benak dan pikirannya.
Berbagai kurikulum yang telah diujikan
oleh pemerintah, sebagai upaya memperbaiki
dan meningkatkan kualitas pendidikan,
ternyata justru tidak mengurangi kondisi awal
siswa. Hingga tahun-tahun berikutnya
berganti generasi, anggapan matematika sulit
seolah terkader dengan baik. Selain itu,
berbagai model dan metode pembelajaran
yang dilakukan oleh guru dikelas, sudah
sangat baik jika dilakukan secara berkala.
Sekalipun
menguras
energi
untuk
berkreativitas
dalam
pembelajaran.
Kreativitas guru dalam memanfaatkan model
dan metode pembelajaran matematika, sudah
barang tentu menyenangkan siswa-siswanya.
Matematika menjadi sangat menyenangkan.
Namun, anggapan bahwa matematika
mudah dan menyenangkan tentu akan
kembali pada posisi sebelumnya, matematika
Pendidikan Matematika Universitas Muhammadiyah Purworejo ,
Ruang Seminar UMP, Sabtu, 28 Mei 2016
721
sulit, ketika hasil pekerjaan maupun ulangan
matematika masih mendapatkan nilai yang
belum memuaskan. Untuk itulah, perlunya
kesadaran dalam belajar matematika dan
membangun semangat dari dalam diri siswa.
Seorang guru dapat berperan aktif
membangun semangat dalam diri siswa.
Sebagai seorang guru matematika yang
kreatif
dapat
memberikan
motivasi,
memberikan
trik-trik
menyelesaikan
persoalan matematika juga menjadikan
lingkungan belajar yang mendukung nuansa
matematika.
Dalam tulisan ini penulis berupaya
menyalurkan wawasannya terkait dengan
kelas yang inspiratif matematika yaitu kelas
yang bernuansa matematika sehingga
matematika akan bersemayam lama dalam
benak siswa sekalipun pelajaran matematika
telah berlalu. Dari berbagai literature atau
referensi, observasi dan diskusi yang
dilakukan oleh penulis, memberikan stimulus
yang menyenangkan bagi siswa akan
memberikan respon yang baik terhadap
pelajaran matematika khususnya. Belajar
matematika membutuhkan selera dan logika1
sehingga selera pembelajaran baik lingkungan
maupun perilaku belajar perlu dibangun
sehingga konsentrasi dalam meningkatkan
logika berpikir menjadi lebih maksimal.
KAJIAN LITERATUR
Menjadikan kelas penuh dengan kehidupan
manusia yang haus akan ilmu tidaklah mudah.
Menuntut kreatifitas guru mengajar, menuntut
orang tua untuk memperhatikan anak-anaknya
serta menuntut kita semua untuk menciptakan
situasi belajar yang lebih kondusif. Sebelum
kita membahas lebih jauh terkait dengan kelas
inspirasi, kita harus memahami input anak
dan latar belakang anak. Karena dalam kelas
inspirasi, seorang guru pun harus memahami
keadaan anak didiknya.
a. Lingkungan dalam keluarga
722
Peran orang tua dalam mengasuh anak
tentu menjadi hal yang utama dan pertama,
terutama
seorang
ibu.
Mulai
dari
memperhatikan ibadah, kegiatan sehari-hari
anak dan gizi. Dibawah ini beberapa hal yang
direkomendasikan perlu diperhatikan oleh
orang tua si anak-anak untuk meningkatkan
daya konsentrasi sebelum belajar disekolah
yaitu :
1) Memperhatikan gizi anak
2) Memperbanyak air putih
3) Menyediakan fasilitas atau buku-buku
yang dibutuhkan anak-anak
4) Memperhatikan perkembangan anak
Empat hal pokok sederhana tersebut
merupakan hal penting yang sering kali
dilewatkan oleh para orang tua. Sehingga
dalam meningkatkan konsentrasi dan gairah
belajar dari dalam diri siswa.
b. Kreatifitas guru mengajar
Charles & Lester (1982) dalam Al
Krismanto, bahwa “Banyak siswa tumbuh
tanpa menyukai matematika sama sekali.
Mereka merasa minder dan kesulitan saat
dihadapkan dengan persoalan matematika
yang belum terpecahkan. Apalagi dihadapkan
guru yang kurang menyenangkan dan
keadaan kelas yang sangat tidak kondusif
untuk belajar.”
Dalam meningkatkan rasa minat atau
selera belajar siswa, tentu guru harus
menghidangkan pembelajaran dengan penuh
bumbu
kreativitas.
Mengajar
adalah
penggilan hati, dimana mengajar harus siap
menghadirkan hati juga harus mencurahkan
kreativitas model dan metode yang cocok
pada aktivitas materi yang hendak
disampaikan.
Talmagae dan Hart (1977) dalam Al
Krismanto (2003), Mereka menemukan
bahwa “kelas dengan suasana investigasi
mendorong siswa untuk mau menggali dan
memperdalam cara mereka berpikir dengan
Prosiding Seminar Nasional Matematika dan Pendidikan Matematika. “Internalisasi Nilainilai Berpikir Matematis Dalam Peranannya di Era Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA)”
menemukan berbagai alternative berpikir,
menganalisis data dan belajar menerima
masukan dari orang lain atau lingkungannya.”
c. Bagaimana otak menerima pembelajaran
yang unik?
Ketika orang tua sudah memikirkan dan
mencukupi kebutuhan input sang anak,
maka kewajiban guru adalah memikirkan
dan mencukupi gizi otak anak didik. Guru
harus
mampu
membuat
konsep
pembelajaran yang matang sehingga pada
outputnya, guru mampu menghasilkan
anak didik lebih dari yang diharapkan
karena mendidik antara orang tua dan
guru saling bekerja sama. Saling
berkomunikasi dan saling mencukupi
kebutuhan anak sesuai dengan prioritas
dan kapasitas sebagai orang tua.
Otak Reptil, menurut ilmu kesehatan
bahwa otak reptile merupakan pengendali
aktivitas fisik manusia. Segala informasi
yang diterima oleh otak lainnya akan
melalui otak reptile. Sehingga kita harus
mampu menghadirkan stimulus yang baik
terhadap otak tersebut supaya arus
informasi tersampaikan dengan baik dan
cepat. Salah satunya adalah mendesain
lingkungan belajar supaya rasa puas
dalam benak siswa mampu menghadirkan
stimulus yang baik pula terhadap otak.
Otak limbik, merupakan otak pengendali
emosi. Otak ini juga berpengaruh
terhadap
ingatan
manusia
karena
melibatkan emosi yang mendalam.
Sehingga emosional yang mempengaruhi
diri siswa harus memberikan energi
positif supaya emosional stimulus dapat
merespon ingatan yang kuat terhadap
informasi yang diterima.
Otak neokorteks, merupakan otak yang
berfungsi dalam rangsangan berpikir,
berbicara, menciptakan dan melihat.
Sehingga sudah dipastikan bahwa otak ini
mencakup segala kecerdasan anak dan
segala informasi yang tidak dapat
diterima oleh pancaindra, karena otak
berpengaruh terhadap intuisi anak. Ketika
stimulus baik atau positif maka intuisi
yang timbul akan positif juga, begitu
sebaliknya.
Setelah kita memahami input dan keadaan
semestinya anak didik kita, maka kita akan
lebih mengenal untuk memperhatikan anak
didik kita. Beberapa literature dan
pengamatan yang kita wacanakan, bahwa
kelas yang memiliki keunikan tersendiri
mampu menghadirkan gairah belajar yang
berbeda pula daripada kelas yang polos
tanpa sedikitpun inspirasi yang dihadirkan.
a. Kelas yang selalu hidup
Kelas yang selalu hidup bukanlah
kelas yang hanya pembelajarannya yang
aktif namun juga kelas yang selalu
memberikan inspiratif pada desain atau
displaynya. Hidup karena kelas tersebut
selalu memperbincangkan hal yang
positif. Mulai dari tempelan kata mutiara,
doa-doa dan kisah inspiratif yang sangat
menstimulus siswa, yang tertempel rapi di
setiap sudut kelas. Pohon cita-cita dan
berbagai catatan kecil siswa yang
tertempel pada dinding dan terbaca oleh
siswa yang lain atau bahkan guru yang
mengajar,
akan
mendorong
dan
menstimulus inspirasi dalam diri siswa.
1) Dukungan dari lingkungan sekitar
Menurut Fraser dan Fisher (1983)
dalam Al Krismanto (2003) bahwa
hasil belajar siswa akan lebih baik
jika suasana belajar sesuai dengan
yang mereka harapkan, bahkan
banyak pendidik yang sependapat
bahwa perubahan suasana sesuai
Pendidikan Matematika Universitas Muhammadiyah Purworejo ,
Ruang Seminar UMP, Sabtu, 28 Mei 2016
723
harapan siswa mempengaruhi hasil
belajar siswa.
Lingkungan
sekitar
adalah
lingkungan sekolah. Ini merupakan
lingkungan yang dapat membantu
kelas inspirasi. Semua wewenang
kelas
merupakan
bagian
dari
kebijakan sekolah. Oleh karena itu
sekolah harus mendukung terciptanya
kelas inspirasi tersebut.
2) Menciptakan Kelas Inspirasi
Menciptakan kelas yang berinspirasi
matematika memang tidaklah mudah
namun juga tidak begitu rumit. Hal
tersebut dapat disinergikan antara
guru matematika dan siswa. Hal
tersebut meliputi :
a) Kata motivasi matematika
Ini berisi terkait hal-hal yang
mengasumsikan
bahwa
matematika
mudah,
menyenangkan, menantang, dan
sebagainya.
Hal
ini
akan
menstimulus otak bahwasannya
matematika bukanlah salah satu
pelajaran
yang
menakutkan.
Sekalipun ia bukan siswa yang
pandai, namun pola berpikir
positif matematika setidaknya
terbangun dengan baik.
b) Curhat matematika
Dalam mempelajari suatu hal,
tentu siswa mengalami berbagai
problematika baik yang berkaitan
erat dengan matematika maupun
yang lainnya. Persoalan tersebut
dapat dicurhatkan melalui catatan
kecil dan ditempel dalam kolom
yang sudah disediakan. Disini
adalah
forum
guru
untuk
menjawab persoalan tersebut. Jika
persoalan bersifat rahasia boleh
724
c)
d)
e)
f)
jadi dibuatkan kotak surat untuk
guru yang mengajar. Sehingga
persoalan yang dialami siswa akan
terjawab.
Menulis rumus matematika
Menulis rumus matematika tidak
harus tulisan yang kemudian
ditempel.
Tulisan
tersebut
disajikan dalam bentuk kertas
yang unik dan penyajian yang unik
pula. Misalnya diagram, label atau
semacam
macam-macam
kendaraan, segala sesuatu yang
berbau unik tentunya akan
menarik simpati tersendiri pada
siswa.
Membuat bentuk matematika
Bentuk matematika ini dapat pula
dimodelkan dalam relaistik di
ruang kelas. Misalnya adalah
bentuk bangun ruang yang
termodelkan beserta rumus yang
ada, dimanfaatkan untuk tempat
spidol, kapur, lampu kelas atau
bahkan hanya hiasan gantungan
biasa. Gantungan yang melayang
pada
ruang
kelas
akan
memberikan
nada
tersendiri
didalam kelas.
Papan Inspiratif
Papan ini berisi tentang “apa yang
kita
dapat
dari
pelajaran
matematika hari ini” hal ini perlu
peranan guru dalam mendorog
siswa-siswanya
untuk
mengungkapkan. Setidaknya guru
akan lebih mengenal siswa saat
pelajaran berlangsung.
Tokoh matematika
Tokoh ini dapat di pajang pada
dinding-dinding kelas. Hal ini
untuk menumbuhkan rasa cinta
dan
bangga
siswa
pada
matematika. Tokoh ini sedikit
diulaskan terkait temuan-temuan
oleh tokoh matematika tersebut
Prosiding Seminar Nasional Matematika dan Pendidikan Matematika. “Internalisasi Nilainilai Berpikir Matematis Dalam Peranannya di Era Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA)”
sehingga secara tidak langsung
lainnya
juga
untuk
belajar
akan
memberikan
wawasan
bersosialisasi dengan baik.
matematika diluar materi yang
5) Tema
desain
kelas
inspirasi
diajarkan.
matematika
3) Kolom ide
Desain yang dibuat tentu tidak
Anak-anak tentunya memiliki rasa
sembarangan
atau
acak-acakan.
yang ingin tersalurkan, minimal apa
Namun harus di buat tema sehingga
yang ia pikirkan dapat didengar dan
suasana ketika masuk kelas benardihargai oleh orang lain, baik orang
benar berubah dan menstimulus.
tua atau guru dan teman sebayanya.
Misalnya membuat tema Paris, maka
Kolom ide ini sangat memungkinkan
kelas didesain seolah ketika kita
anak untuk mencurahkan segala idemasuk dalam kelas maka suasana
ide unik yang secara umum akan
seperti di Paris. Ini akan menciptakan
tersampaikan dengan baik. Segala
suasana yang baru dan lebih
jenis ide dituliskan pada kertas-kertas
menyenangkan.
Kemudian
kecil kemudian ditempel pada papan
menyisipkan
dunia
matematika,
yang telah disediakan di kelas. Ini
sehingga
seolah
kita
belajar
berguna untuk memberikan ide pada
matematika di kota Paris. Suasana ini
orang lain, kreatifitas dan mensurvei
akan terasa sangat santai dan rileks
anak yang aktif memproduksi ide dan
sehingga pembelajaran matematika
kreatifitas dalam dirinya.
tidak terkesan menegangkan.
4) Membuat nama dan syiar kelas
6) Membuat aturan kelas
Nama
kelas
juga
berfungsi
Aturan kelas didesain bersama dan
memberikan stimulus terhadap otak.
ditaati bersama pula. Ini demi
Misalnya,
kelas
diberi
nama
kenyamanan
bersama
sehingga
CERDAS BERHITUNG. Maka akan
mindset
diri
harus
saling
menciptakan endapan yang baik yaitu
diungkapkan. Misalnya peraturan
anggapan bahwa dirinya mampu
kerapian kelas, kebersihan kelas, dan
menyelesaikan masalah matematika.
sikap di dalam kelas. Sehingga siswa
Sugesti yang baik ini memang
belajar menata diri dan mengimbangi
sebaiknya ditimbulkan supaya arah
sesama sesuai dengan harapan sikap
pemikiran atau kinerja otak selalu
matematika. Peraturan ini disepakati
mengarah pada sugesti yang telah
bersama dan ditempel dalam kelas,
diciptakan.
jika perlu mendapat persetujuan wali
Syiar kelas, atau biasa disebut dengan
kelas untuk menjadikan kontroling
yel-yel kelas. Hal ini akan
siswa.
memberikan semangat dan saling
menyemangati
antar
teman.
Kekompakan dalam belajar akan
2. HASIL DAN PEMBAHASAN
timbul sehingga kesenjangan sosial
Berdasarkan hasil literature yang kami
antar siswa sedikit mungkin tidak
himpun dari beberapa referensi buku dan
akan terjadi. Ini tentu menciptakan
jurnal serta observasi yang kami lakukan
dunia kelas yang penuh kedamaian
dikelas, bahwa menciptakan kelas inspiratif
dan ketenangan untuk belajar
dalam pembelajaran matematika diperlukan
matematika maupun mata pelajaran
kelas yang di desain secara kreatif dan
Pendidikan Matematika Universitas Muhammadiyah Purworejo ,
Ruang Seminar UMP, Sabtu, 28 Mei 2016
725
pembelajaran
yang
kreatif,
akan
matematika siswa sehingga persoalan
meningkatkan selera belajar matematika yang
matematika sedikit demi sedikit
meningkat. Sehingga selain memberikan
mampu di terima dan di hadapi oleh
pengajaran yang Aktif Kreatif Efektif dan
siswa.
Menyenangkan, desain kelas inspirasi
matematika mampu menghadirkan rasa
matematika sehingga anak lebih siap dan 4. REFERENSI
tertantang untuk menerima persoalan
Krismanto. (2003). Beberapa teknik, model
matematika daripada anak yang belum
dan strategi dalam pembelajaran
dihadirkan rasa matematika dalam dirinya.
matematika. Yogyakarta : PPPPTK.
3. KESIMPULAN
 Orang tua berkewajiban memenuhi
kebutuhan anak secara gizi tubuh dan
fasilitas belajar serta mendukung atau
memotivasi anak.
 Pembelajaran yang aktif tidak cukup
untuk membuat anak kreatif dan
menyukai matematika namun harus
dicukupkan dengan desain kelas yang
menyenangkan.
 Desain kelas sangat membantu
meningkatkan
selera
belajar
726
Deporter, Bobbi dan Mike. (2002). Quantum
Learning. Bandung : Kaifa PT Mizan
Pustaka.
Joice, dkk. (2013). Pengaruh Lingkungan
Kelas Terhadap Sikap Siswa Untuk
Pembelajaran Matematika. Surabaya :
Prosiding.
Chatib, Munif dan Irma. (2013). Kelasnya
Manusia. Bandung : Kaifa.
Prosiding Seminar Nasional Matematika dan Pendidikan Matematika. “Internalisasi Nilainilai Berpikir Matematis Dalam Peranannya di Era Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA)”
METAKOGNITIF DALAM KEBERHASILAN BELAJAR MATEMATIKA
Sri Ulfa Insani1), Danu Jati Pradipta2)
Pascasarjana, Universitas Negeri Yogyakarta
[email protected]
2
Pascasarjana, Universitas Negeri Yogyakarta
[email protected]
1
Abstrak
Dalam menentukan keberhasilan siswa dalam belajar, tentunya salah satu poin penting yang harus
dimiliki adalah kemampuan kognitif. Perkembangan kognitif dipandang sebagai penentu
kecerdasan intelektual siswa, terlebih terhadap pembelajaran matematika. Ketika seseorang
menggunakan kemampuan kognitif, maka dibutuhkan kemampuan lain untuk mengontrolnya.
Karena itu diperlukan kesadaran kemampuan berpikir. Kemudian dalam belajar terkadang siswa
juga mengalami hambatan dalam mengingat atau memikirkan sesuatu. Untuk menghadapi
permasalahan tersebut dibutuhkan kemampuan metakognisi. Metakognisi didefinsikan sebagai
memikirkan kembali apa yang telah dipikirkan. Metakognisi dapat juga dipahami sebagai kognisi
tentang kognisi, pengetahuan tentang pengetahuan atau berpikir tentang berpikir. Makalah ini
bertujuan untuk memberikan gambaran bagaimana penerapan metakognisi dan bagaimana
seharusnya belajar dilakukan di dalamnya. Dengan mengembangkan metakognisi siswa, berarti
guru dapat membangun fondasi untuk belajar secara aktif. Karena keberhasilan seseorang dalam
belajar dapat dipengaruhi oleh kemampuan metakognisinya.
Kata Kunci: Pembelajaran matematika, keberhasilan belajar, metakognisi.
belajar siswa.
1. PENDAHULUAN
Dalam proses belajar mengajar, tentunya
kemampuan kognitif merupakan hal yang
memiliki peran penting bagi siswa dalam
memahami suatu materi ajar. Perkembangan
dan kemampuan kognitif siswa akan
berkembang sejalan dengan perkembangan
otak dan proses pendidikan serta pembelajaran
yang diperoleh siswa.
Dalam menerima suatu pengetahuan tak
jarang siswa memiliki beberapa hambatan,
misalnya siswa kurang memahami informasi
yang disajikan atau bahkan tidak mengerti
maksud dari informasi yang disampaikan
tersebut. Kesulitan yang dialami siswa dalam
menerima suatu informasi bisa saja disebabkan
oleh kemampuan berpikir siswa yang masih
kurang baik, sehingga menyebabkan siswa
kurang dapat mencapai tujuan pembelajaran.
Hal ini tentunya berpengaruh terhadap hasil
Terlebih
lagi
terhadap
pelajaran
matematika yang memiliki banyak rumus dan
menuntut siswa agar mampu menyelesaikan
permasalahan matematis yang ada. Terkadang
dalam belajar matematika siswa merasa sulit
untuk memahami maksud dari soal atau
permasalahan yang disediakan, apalagi untuk
menyelesaikannya. Kemudian banyaknya
rumus yang digunakan, bahkan terkadang
siswa kurang memahami manfaat dari
mempelajari matematika itu sendiri. Siswa
merasa matematika itu abstrak dan sulit
dicerna serta tidak memahami apa maknanya
serta keterkaitannya dalam kehidupan seharihari.
Untuk itu diperlukan suatu cara untuk
mendukung
perkembangan
kemampuan
kognitif siswa dan pemahaman siswa dalam
belajar matematika. Salah satu cara yang dapat
Pendidikan Matematika Universitas Muhammadiyah Purworejo ,
Ruang Seminar UMP, Sabtu, 28 Mei 2016
727
dilakukan untuk meningkatkan keberhasilan
siswa dalam belajar adalah dengan
mengembangkan kemampuan metakognitif
siswa.
Metakognitif
mengacu
pada
pengontrolan kesadaran yang disengaja pada
aktivitas kognitif (Brown, 1980; Matlin, 2009
dalam (Schunk, 2012)).
Metakognisi berperan dalam berbagai
aktivitas
kognitif,
termasuk
dalam
mengkomunikasikan informasi secara oral,
persuasi oral, pemahaman oral, pemahaman
bacaan, menulis, kemahiran berbahasa,
persepsi, perhatian, memori, pemecahan soal,
kognisi sosial, dan berbagai jenis pengajaran
diri dan kontrol diri (Flavell, 1985 dalam
(Schunk, 2012)). Dalam hal ini metakognisi
merupakan kognitif seseorang dan bagaimana
kognitif tersebut bekerja serta bagaimana
mengaturnya. Kemampuan ini sangat penting
terutama untuk keperluan kognitif ketika
menyelesaikan masalah.
Dari sejumlah pandangan di atas, maka
penulis menganggap bahwa penting untuk
melakukan kajian tentang bagaimana aktivitas
metakognisi dapat dilakukan sebagai salah
satu cara untuk meningkatkan keberhasilan
siswa dalam belajar matematika. Diharapkan
dengan
menggunakan
pengetahuan
metakognitifnya, siswa dapat meningkatkan
hasil belajarnya, terutama hasil belajar
matematika.
Hal
ini
penting
untuk
mengarahkan mereka agar bisa secara sadar
mengontrol
proses
berpikir
dalam
pembelajaran matematika.
2. KAJIAN LITERATUR
a. Belajar
Belajar menurut Trianto (2010) secara
umum diartikan sebagai perubahan pada
individu yang terjadi melalui pengalaman, dan
bukan
karena
pertumbuhan
atau
perkembangan tubuhnya atau karakteristik
728
seseorang sejak lahir. Sementara itu menurut
Reber (dalam Agus, 2010: 3) Belajar dapat
diartikan sebagai proses mendapatkan
pengetahuan.
Kemudian Sanjaya (2008) mengatakan
bahwa belajar pada dasarnya adalah suatu
proses aktivitas mental seseorang dalam
berinteraksi dengan lingkungannya sehingga
menghasilkan perubahan tingkah laku yang
bersifat positif baik perubahan aspek
pengetahuan, sikap, maupun psikomotor.
Dimyati and Mudjiono (2009) mengatakan
bahwa belajar merupakan tindakan dan prilaku
siswa yang kompleks. Sebagai tindakan, maka
belajar hanya dialami oleh siswa itu sendiri,
karena siswa adalah penentu terjadinya proses
belajar.
Dari pendapat di atas dapat disimpulkan
bahwa belajar merupakan perubahan yang
terjadi pada seseorang baik berupa tingkah
laku,
pemahaman,
pengetahuan,
dan
kemampuan yang dimiliki untuk dapat
berinteraksi dengan lingkungan sekitarnya.
b. Pembelajaran matematika
Keberhasilan sebuah pembelajaran tidak
hanya diperoleh dari hasil belajar atau prestasi
siswa di sekolah, namun pembelajaran yang
berhasil adalah pembelajaran yang mampu
mengembangkan apa yang telah dipelajari di
sekolah dan mengaplikasikan ke dalam
kehidupan sehari-hari.
Sudjana (2008) mengatakan hasil belajar
adalah kemampuan-kemampuan yang dimiliki
siswa setelah ia menerima pengalaman
belajarnya. Menurut Suprijono (2010) hasil
belajar adalah perubahan perilaku secara
keseluruhan bukan hanya salah satu aspek
potensi kemanusiaan saja. Hasil belajar adalah
pola-pola perbuatan, nilai-nilai, pengertianpengertian, sikap-sikap, apresiasi, dan
keterampilan.
Prosiding Seminar Nasional Matematika dan Pendidikan Matematika. “Internalisasi Nilainilai Berpikir Matematis Dalam Peranannya di Era Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA)”
Pembelajaran Matematika merupakan
proses pemberian pengalaman belajar kepada
siswa melalui serangkaian kegiatan yang
terencana sehingga siswa memperoleh
kompetensi tentang bahan matematika yang
dipelajari. Sehingga dapat disimpulkan bahwa
pembelajaran matematika juga mengarah pada
bagaimana siswa memahami dengan baik
materi matematika yang akan diajarkan,
memanfaatkan cara belajar matematika yang
efektif, dan menerapkan serta memanfaatkan
media sebagai alat bantu belajar matematika.
c. Keberhasilan Belajar Matematika
Keberhasilan belajar menurut Djamarah
and Zain (2006) suatu bahan pengajaran dapat
dikatakan
berhasil
apabila
Tujuan
Instruksional Khusus (TIK)-nya dapat dicapai
oleh peserta didik. Dengan demikian, dapat
disimpulkan bahwa keberhasilan belajar
merupakan kecakapan dari suatu usaha atau
latihan pengalaman dalam bentuk perubahan
tingkah laku yang mengandung pengetahuan
(kognitif), keterampilan (psikomotor), sikap
(afektif) serta nilai-nilai yang konstruktif
(value)
Keberhasilan
belajar
matematika
merupakan prestasi peserta didik yang dicapai
dalam proses belajar mengajar matematika.
Untuk mengatahui keberhasilan belajar
tersebut terdapat beberapa indikator yang
dapat dijadikan petunjuk bahwa proses belajar
mengajar tersebut dianggap berhasil atau
tidak.
Djamarah and Zain (2006) mengemukakan
bahwa indikator keberhasilan belajar, di
antaranya yaitu: (1) daya serap terhadap bahan
pengajaran yang diajarkan mencapai prestasi
tinggi, baik secara individual maupun
kelompok, dan (2) perilaku yang digariskan
dalam Tujuan pengajaran Instruksional
Khusus (TIK) telah dicapai oleh peserta didik,
baik secara individual maupun kelompok.
Ketika siswa mampu mencapai prestasi
yang baik dalam belajar matematika, misalnya
siswa memperoleh hasil tes yang bagus,
terampil dalam menggunakan konsep atau
rumus matematika dan siswa mampu
mengungkapkan ide atau pemikirannya
terhadap materi yang diajarkan, maka siswa
dapat dikatakan berhasil dalam belajar
matematika.
Berdasarkan uraian di atas, maka indikator
keberhasilan belajar siswa dapat diketahui dari
kemampuan atau pemahaman siswa terhadap
materi ajar atau pengajaran yang telah
diajarkan atau dapat dikatakan bahwa siswa
mampu memecahkan masalah matematika
dengan benar sesuai dengan pamahamannya
serta dari sikap atau perilaku siswa yang telah
ditentukan dalam tujuan pembelajaran, baik
secara indvidual maupun kelompok.
d. Metakognitif
Flavell (1979) mengatakan bahwa
metakognitif merujuk pada pengetahuan dan
aturan-aturan dari aktivitas kognitif seseorang
dalam proses pembelajaran (Veenman, Van
Hout-Wolters,
&
Afflerbach,
2006).
Metakognitif sering digambarkan secara
sederhana sebagai berpikir tentang pikiran kita
sendiri (Stillman & Mevarech, 2010). Secara
lebih
sederhana
metakognisi
dapat
didefinisikan sebagai berpikir mengenai
berpikir atau kognisi seseorang mengenai
kognisi. Misalnya seorang guru yang tahu
bahwa ia tidak mampu mengingat nama
dengan baik, ia akan menugaskan siswanya
untuk menggunakan name tag untuk beberapa
hari.
Metakognisi merupakan proses sekuensial
atau serangkaian urutan dari proses yang
digunakan untuk mengontrol aktivitas kognitif
dan juga untuk memastikan bahwa tujuan
kognitif telah dipenuhi (misalnya memahami
suatu teks) (Ghasempour, Bakar, &
Jahanshahloo, 2013). Proses ini membantu
untuk mengatur dan mengawasi belajar, dan
Pendidikan Matematika Universitas Muhammadiyah Purworejo ,
Ruang Seminar UMP, Sabtu, 28 Mei 2016
729
terdiri dari perencanaan dan monitoring
kegiatan kognitif, serta memeriksa hasil dari
kegiatan tersebut. Metakognitif sendiri secara
naluriah diperoleh dari keluarga seperti
orangtua, teman sekelas, maupun guru.
Keterampilan metakognisi merupakan
kesadaran berpikir, berpikir tentang apa yang
dipikirkan dan bagaimana proses berpikirnya,
yaitu aktivitas individu untuk memikirkan
kembali apa yang telah terpikir serta berpikir
dampak sebagai akibat dari buah pikiran
terdahulu (Ormrod, 2008 dalam (Windrianti,
2013)).
Mengembangkan
keterampilan
metakognisi
dalam
matematika
dapat
dilakukan dengan cara siswa memprediksi,
merencanakan, memonitor, dan mengevaluasi
pembelajaran yang diberikan.
sesuatu dan kita melakukannya dengan sadar
(Santrock, 2013).
Kemudian pengetahuan prosedural adalah
pengetahuan yang berkaitan dengan prosedur.
pengetahuan prosedural ini merujuk pada
pengetahuan tentang cara mengerjakan
sesuatu. Menurut Slavin (2009) pengetahuan
prosedural adalah kemampuan mengingat
kembali cara melakukan sesuatu, khususnya
tugas fisik. Pengetahuan prosedural ini terdiri
dari konsep-konsep, aturan-aturan dan
algoritma (Schunk, 2012).
Metakognisi terdiri dari 2 kemampuan
yang saling berhubungan. Pertama, seseorang
harus memahami kemampuan, strategi, dan
sumber yang dibutuhkan dalam mengerjakan
tugas. Kedua, seseorang harus tahu bagaimana
dan kapan menggunakan kemampuankemampuan dan strategi tersebut untuk
memastikan agar tugas bisa diselesaikan
dengan sempurna.
Selanjutnya pengetahuan kondisional
merupakan pengetahuan yang mengetahui
kapan dan mengapa menggunakan bentukbentuk pengetahuan deklarasi dan prosedural.
Dalam hal ini pengetahuan kondisional
digunakan untuk mencocokkan antara konsep
yang dipelajari dengan prosedur kerja yang
sesuai. Pengetahuan kondisional merupakan
kesadaran kondisi yang mempengaruhi belajar
dan mengetahui alasan mengapa menggunakan
suatu strategi tertentu dan mengapa melakukan
sesuatu. Ketika siswa mengerjakan tugas,
mereka menaksirkan kemajuan dalam tugas
(misalnya, tingkat pemahaman mereka)
dengan menggunakan proses metakognitif
(Schunk, 2012). Ketika pemahaman masalah
telah didapatkan, siswa mengubah strategi
mereka berdasarkan pengetahuan kondisional
mengenai apa yang bisa terbukti lebih efektif.
Aktivitas
metakognisi
merupakan
pencerminan
penerapan
strategi
dari
pengetahuan deklaratif, prosedural dan
kondisional terhadap tugas-tugas. Pengetahuan
deklaratif disebut sebagai “pengetahuan
bahwa/apa”, yang mana pengetahuan ini
adalah rekoleksi atau pengingatan kembali
informasi secara sadar, seperti fakta spesifik
atau kejadian yang dapat dikomunikasikan
secara verbal. Ingatan yang kita munculkan
kembali ke kesadaran untuk digunakan dengan
sengaja, artinya ketika berusaha mengingat
Kesadaran metakognisi dipengaruhi oleh
variabel-variabel yang terkait dengan variabel
pembelajar, variabel tugas-tugas, dan variabel
strategi (Duell, 1986; Flavell & Wellman,
1977 dalam (Schunk, 2012)). Pada variabel
pembelajar, tingkat perkembangan siswa
mempengaruhi metakognisi mereka. Siswa
yang lebih tua akan lebih memahami dan
memiliki kemampuan mengingat yang lebih
baik daripada siswa yang lebih muda. Mereka
juga menyadari bahwa kemampuan memori
mereka berbeda dari tiap konteks. Namun
Sehingga dapat
metakognisi adalah
disimpulkan
bahwa
kesadaran tentang
kognitif diri sendiri dan bagaimana kita
mengontrolnya serta bagaimana kognitif
kita bekerja dan bagaimana cara
mengaturnya. Kemampuan ini sangat
berguna
dalam
menyelesaikan
permasalahan.
730
Prosiding Seminar Nasional Matematika dan Pendidikan Matematika. “Internalisasi Nilainilai Berpikir Matematis Dalam Peranannya di Era Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA)”
siswa dengan usia yang sama akan
menunjukkan
berbagai
variasi
dalam
kemampuan mengingat. Misalnya siswa
dengan usia 8-10 tahun akan lebih akurat
dalam mengingat semua hal yang harus
mereka ingat dan berbagai informasi yang
harus diingat dibandingkan dengan siswa usia
5-7 tahun.
Kemudian variabel tugas, yang mana
tingkat kesulitan dari tiap materi tentunya
berbeda-berbeda. Maka ketika siswa mampu
menarik informasi penting dari tugas tersebut
itu
juga
merupakan
kesadaran
dari
metakognitif. Misalnya ketika diberi tugas
untuk menamai dan mengidentifikasi ciri-ciri
bangun datar seperti persegi, layang-layang,
segitiga siku-siku, segitiga sembarang,
jajargenjang dan lainnya. Siswa akan lebih
mudah ketika menamai bangun tersebut
dengan
mengelompokkan
mana
yang
merupakan bangun datar segiempat dan mana
bangun datar segitiga, tentunya dengan
pengelompokan tersebut membantu siswa
dalam mengingat atau mengidentifikasi dari
masing-masing bangun tersebut. Biasanya
siswa dengan usia yang lebih tua akan
meyakini bahwa ketika suatu pembahasan
disusun secara terorganisir, maka ia akan lebih
mudah diingat dari pada terpisah.
Selanjutnya variabel strategi, dimana
metakognitif juga bergantung dari strategi
belajar yang digunakan. Penggunaan strategi
yang tepat dapat membantu siswa dalam
mengingat berbagai hal. Oleh sebab itu guru
harus bisa membimbing siswa merancang
kegiatan belajar mengajar yang mampu
memberikan
kesempatan
untuk
mengembangkan metakognisi siswa.
e. Peran Metakognitif dalam Keberhasilan
Belajar Matematika
Flavell (1979) menganggap bahwa
metakognisi sebagai prediktor yang kuat dari
kinerja belajar. Lebih jauh lagi Flavell
menyatakan bahwa metakognisi berperan
penting dalam komunikasi lisan, pemahaman
lisan, pemahaman dalam membaca, menulis,
kemahiran berbahasa, perhatian memori,
penyelesaian masalah, kognisi sosial, dan tipe
lainnya dari pengontrolan diri.
Pada tahap awal pemecahan masalah,
keterampilan metakognitif berperan penting
dalam perencanaan dan orientasi pencegahan
siswa dari pendekatan trial and error dan
mengarahkan siswa untuk menggunakan prior
knowledge (pengetahuan yang sudah dimiliki)
dalam jalan strategis dengan menentukan
informasi apa yang telah diberikan dan apa
yang dinyatakan (Stel, Veenman, Deelen, &
Haenen, 2009).
Keterampilan
metakognitif
berupa
pemantauan dan evaluasi, memfasilitasi siswa
untuk
menghindari
atau
memperbaiki
kesalahan-kesalahan
selama
proses
penyelesaian masalah matematika, mendeteksi
perkembangan
yang
disusun
dan
membandingkan jawaban yang diperoleh
dengan persoalannya. Dengan kata lain,
metakognisi hadir disetiap pemecahan masalah
matematis.
Kemampuan mengontrol diri dalam
metakognitif
membantu
siswa
dalam
pembelajaran. Metakognitif berpotensi untuk
mengurangi
beban
belajar
siswa,
meningkatkan self-efficacy, dan meningkatkan
kemandirian belajar
Peran metakognitif dalam keberhasilan
belajar matematika dapat kita lihat dari
sejumlah penelitian yang telah dilakukan oleh
sejumlah peneliti. Berikut diantaranya,
berdasarkan paper “Aktivitas Metakognisi
Sebagai Salah Satu Alat Untuk Meningkatkan
Kemampuan Siswa dalam Pemecahan
Masalah Matematika”, diperoleh bahwa self
regulasi merupakan komponen aktivitas
Pendidikan Matematika Universitas Muhammadiyah Purworejo ,
Ruang Seminar UMP, Sabtu, 28 Mei 2016
731
metakognisi yang dapat digunakan sebagai alat
untuk meningkatkan kemampuan siswa dalam
pemecahan masalah matematika.
Selanjutnya penelitian oleh Laily Agustina
Mahromah dan Janet Trineke Manoy tentang
“Identifikasi Tingkat Metakognisi Siswa
dalam Memecahkan Masalah Matematika
Berdasarkan Perbedaan Skor Matematika”. Di
sini peneliti melakukan penelitian terhadap
siswa kelas VII-B di SMP Muhammadiyah 6
Surabaya dengan memberikan serangkaian tes
yang terdiri dari tes I secara tertulis dan tes II
(tes pemecahan masalah) serta mengadakan
wawancara. Berdasarkan hasil data tes I (tes
awal) dapat digolongkan kriteria skor
matematika sebagai berikut:
 Kategori skor tinggi, semua siswa dengan
nilai: x ≥ 72 yang terdiri dari 4 orang
 Kategori skor sedang, semua siswa dengan
nilai: 38 < x < 72 yang terdiri dari 22 orang
 Kategori skor rendah, semua siswa dengan
nilai: x ≤ 38 yang terdiri dari 5 orang
Berdasarkan tingkat skor matematika
siswa dan pertimbangan guru matematika,
maka diperoleh 6 siswa yang dijadikan subjek
penelitian, yaitu 2 orang siswa dengan kategori
skor tinggi, 2 orang siswa skor sedang, dan 2
orang skor rendah. Dari hasil penelitian
tersebut terdapat aktivitas metakognisi yang
berbeda dari masing-masing subjek.
Dua siswa dengan skor tertinggi
menunjukkan
bahwa
mereka
dapat
menyelesaikan
permasalahan
dan
mengungkapkannnya dengan jelas serta
mampu memberikan alasan yang mendukung
terhadap proses berpikir.
Dua siswa dengan kemampuan sedang
mengalami kesulitan untuk memikirkan
konsep (rumus) yang digunakan (karena
bingung terhadap cara apa yang akan
dikerjakan setelah memahami soal), namun
mampu mengungkapkan masalah yang
diberikan dengan jelas (karena dapat
mengungkapkan apa yang dicari dan informasi
apa yang diketahui pada soal), dan menyadari
kesalahan konsep (rumus) yang telah
digunakan namun tidak dapat memperbaikinya
732
(karena
menyadari
kesalahan
dalam
pengubahan satuan namun tidak dapat
membenarkannya).
Kemudian dua siswa dengan kemampuan
rendah tidak dapat menjelaskan masalah yang
diberikan dengan jelas (karena bingung dan
tidak mengetahui informasi apa yang diketahui
dan ditanya dari soal), tidak menyadari apa
saja yang dipantau serta tidak menyadari
kesalahan konsep (rumus) yang telah
digunakan dan tidak menyadari kesalahan
hasil jawabannya (karena mengerjakan soal
dengan asal coba). Selain itu, siswa tidak
melakukan evaluasi terhadap kedua hasil
jawabannya (karena cara yang digunakan asal
coba sehingga siswa bingung mengapa bisa
memperoleh hasil jawaban seperti yang
dikerjakannya).
Dari penelitian yang telah dilakukan, maka
solusi yang ditawarkan untuk melatih
kemampuan penggunaan fungsi metakognisi
siswa adalah sebaiknya guru sering meminta
siswa untuk menjelaskan setiap jawaban yang
diperolehnya baik secara lisan maupun tertulis.
Selanjutnya penelitian yang dilakukan
oleh Maria Gerrin Windrianti dengan judul
“Penerapan Challenge Based Learning (CBL)
dengan Pendekatan Keterampilan Metakognisi
Terhadap Hasil Belajar Matematika Pada
Materi Persegi Kelas VII SMP Kristen 2
Salatiga”. Peneliti melakukan penelitian quasi
eksperimen dengan subyek kelas VIIA sebagai
kelas eksperimen dan kelas VIIC sebagai kelas
kontrol.
Kedua kelas berdistribusi normal dan
homogen. Untuk kedua kelas diberikan tes
pretest dan posttest. Rata-rata hasil pretest
untuk kelas VIIA adalah 46,35 dan untuk kelas
VIIC adalah 46,04. Namun terhadap hasil
posttest kedua kelas tersebut memiliki
perbedaan rata-rata yang cukup signifikan,
yaitu kelas yang menggunakan penerapan
CBL dengan pendekatan keterampilan
metakognisi (VIIA) mempunyai rata-rata
74.87 dan kelas dengan pembelajaran
Prosiding Seminar Nasional Matematika dan Pendidikan Matematika. “Internalisasi Nilainilai Berpikir Matematis Dalam Peranannya di Era Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA)”
konvensional (VIIC) mempunyai rata-rata
52,83.
Kelas VIIA dengan menggunakan
penerapan
CBL
dengan
pendekatan
keterampilan metakognisi mempunyai ratarata hasil belajar yang lebih tinggi dari kelas
VIIC yang menggunakan pembelajaran
konvensional. Dari penelitian tersebut dapat
disimpulkan bahwa terdapat perbedaan hasil
belajar antara siswa yang diajar menggunakan
penerapan
CBL
dengan
pendekatan
keterampilan
metakognisi
dengan
pembelajaran konvensional.
Penelitian lainnya yang meneliti mengenai
“Pengaruh
Penggunaan
Pertanyaan
Metakognisi Diri Terhadap Kemampuan
Pemecahan
Masalah
dan
Kecemasan
Matematika”, yang dilakukan oleh Kramarski,
Weisse dan Kolsher menunjukkan bahwa
kemampuan pemecahan masalah siswa yang
dibimbing secara metakognitif lebih baik dari
pada siswa pada kelas kontrol (tidak
dibimbing secara metakognitif). Selain itu
kecemasan matematika siswa yang dibimbing
secara metakognitif lebih rendah dari pada
siswa pada kelas kontrol (Stillman &
Mevarech, 2010).
Penelitian tersebut menunjukkan bahwa
pengetahuan
metakognitif
mampu
meningkatkan kemampuan siswa dalam
pemecahan masalah serta mampu mengurangi
kecemasan matematika siswa. Dengan
demikian pengetahuan metakognitif dapat
membantu siswa dalam mencapai keberhasilan
dalam belajar matematika.
Metakognisi sangat berperan dalam
keberhasilan belajar, hal ini dapat didukung
dengan melakukan serangkaian aktivitasaktvitas seperti mengembangkan suatu rencana
kegiatan belajar; kemudian mengidentifikasi
kelebihan dan kekurangan yang berkenaan
dengan kegiatan belajar; setelah itu menyusun
suatu program belajar seperti konsep,
keterampilan, dan ide-ide yang baru. Siswa
juga dapat mengidentifikasi dan menggunakan
pengalaman sehari-hari sebagai sumber
belajar. Hal ini juga hendaknya didukung
dengan memanfaatkan teknologi modern
sebagai sumber belajar siswa. Kemudian siswa
mampu memimpin dan berperan serta pada
diskusi dan pemecahan masalah dalam
kelompok. Siswa juga dapat memanfaatkan
pengalaman belajar dari orang-orang tertentu
yang telah berhasil dalam bidang tertentu serta
memahami
faktor-faktor
pendukung
keberhasilan belajarnya.
3. KESIMPULAN
Metakognisi dapat menjadi salah satu
alternatif bagi guru untuk mengembangkan
kemampuan siswa terhadap keberhasilan
belajar matematika. Metakognisi merupakan
aktivitas kognitif dari siswa dalam memahami
sesuatu. Dan ini merupakan salah satu cara
untuk membantu siswa memahami apa yang
mereka pikirkan.
Terhadap proses belajar matematika guru
dapat melatih keterampilan metakognisi siswa.
Salah satu caranya adalah dalam penyelesaian
tantangan, dapat dilihat ketika siswa diminta
untuk mengemukakan ide-ide matematika,
atau berdiskusi dalam kelompok.
Selanjutnya keterampilan metakognisi yang
baik adalah ketika siswa dapat memahami
masalah,
kemudian
siswa
mampu
merencanakan strategi penyelesaian, setelah
itu membuat keputusan terhadap apa yang
akan dilakukan, serta melaksanakan keputusan
tersebut. Siswa juga memonitoring dan
mengecek kembali apa yang telah dikerjakan.
4.
REFERENSI
Dimyati, & Mudjiono. (2009). Belajar dan
Pembelajaran. Jakarta: Rineka Cipta.
Pendidikan Matematika Universitas Muhammadiyah Purworejo ,
Ruang Seminar UMP, Sabtu, 28 Mei 2016
733
Djamarah, S. B., & Zain, A. (2006). Strategi
Belajar Mengajar. Jakarta: Rineka Cipta.
Ghasempour, Z., Bakar, M. N., &
Jahanshahloo, G. R. (2013). Innovation in
Teaching and Learning through Problem
Posing Tasks and Metacognitive
Strategies. Int. J. Ped. Inn, 1(1), 53-62.
Sanjaya, W. (2008). Kurikulum dan
Pembelajaran: Teori dan Praktik
Pengembangan Kurikulum Tingkat
Satuan Pendidikan (KTSP). Jakarta:
Kencana Prenada Media Group.
Santrock, J. W. (2013). Psikologi Pendidikan
(T. Wibowo, Trans. Second ed.).
McGraw: Hill Company.
Schunk, D. H. (2012). Teori-teori
Pembelajaran: Perspektif Pendidikan (E.
Hamdiah & R. Fajar, Trans. Sixth ed.).
Upper Saddler River, NJ: Pearson
Education.
Slavin, R. E. (2009). Psikologi Pendidikan:
Teori dan Praktik (M. Samosir, Trans.
Ninth ed.). Upper Saddler River, NJ:
Pearson Education.
Stillman, G., & Mevarech, Z. (2010).
Metacognition research in mathematics
education: from hot topic to mature field.
Zdm, 42(2), 145-148. doi:
10.1007/s11858-010-0245-x
Sudjana, N. (2008). Penilaian Hasil Proses
Belajar Mengajar. Bandung: PT Remaja
Rosdakarya.
Suprijono, A. (2010). Cooperatif Learning
Teori dan Aplikasi PAIKEM. Yogyakarta:
Pustaka Pelajar.
Trianto. (2010). Mendesain Model
Pembelajaran Inovatif-Progresif. Jakarta:
Kencana Prenada Media Group.
Veenman, M. V., Van Hout-Wolters, B. H., &
Afflerbach, P. (2006). Metacognition and
learning: Conceptual and methodological
consideration. Metacognition and
learning, 1(1), 3-14.
Windrianti, M. (2013). Penerapan Challenge
Based learning (CBL) dengan
Pendekatan Keterampilan Metakognisi
Terhadap hasil Belajar Matematika Pada
Materi Persegi Kelas VII SMP Kristen 2
Salatiga. Universitas Kristen Satya
Wacana.
Stel, M., Veenman, M. V. J., Deelen, K., &
Haenen, J. (2009). The increasing role of
metacognitive skills in math: a crosssectional study from a developmental
perspective. Zdm, 42(2), 219-229. doi:
10.1007/s11858-009-0224-2
.
734
Prosiding Seminar Nasional Matematika dan Pendidikan Matematika. “Internalisasi Nilainilai Berpikir Matematis Dalam Peranannya di Era Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA)”
KEMAMPUAN PENALARAN DAN KOMUNIKASI MATEMATIS SISWA DALAM
AKTIVITAS WRITING TO LEARN
Fauziah Artanti1), Tria Utari2)
PPs Pendidikan Matematika, Universitas Negeri Yogyakarta
email: [email protected]
2
PPs Pendidikan Matematika, Universitas Negeri Yogyakarta
email: [email protected]
1
Abstrak
Artikel ini bertujuan untuk mengkaji kemampuan bernalar dan berkomunikasi siswa secara
matematis dalam aktivitas writing to learn. Penalaran adalah suatu proses belajar berfikir dengan
menghubung-hubungkan bukti, fakta, petunjuk menuju pada suatu kesimpulan. Kegiatan penalaran
dan pembuktian dalam latihan dibagi menjadi tiga kelompok, yakni membuat dan menyelidiki
rumus, mengembangkan dan mengevaluasi pernyataan, serta kegiatan pembuktian lainnya. Dalam
pembelajaran matematika, siswa dikatakan memiliki kemampuan komunikasi matematika apabila,
siswa mampu memenuhi tiga indikator, yakni: 1) mengartikulasikan ide dan pemikiran matematika
menggunakan kemampuan komunikasi oral dan tertulis, menggunakan penalaran kuantitatif dan
abstrak dengan memperhatikan ketelitian, mengkonstruksikan argumen aktif dan menganalisa
penalaran lainnya 2) secara berpasangan dengan temannya mendengarkan hasil penalaran satu sama
lain dengan efektif; 3) bekerja secara efisien dan secara bertanggung jawab dalam tim heterogen,
mengartikulasi pemikiran dan ide matematika secara efektif, menggunakan kemampuan komunikasi
oral, tertulis dan nonverbal, mendemonstrasikan bagaimana matematika digunakan untuk model
masalah sosial. Aktivitas writing to learn dalam matematika yaitu aktivitas dimana siswa
menjelaskan konsep matematika dengan bahasa sendiri, membuat suatu kalimat matematika menjadi
suatu model matematika, dan menginterprestasikan grafik. Aktivitas tersebut mengajak siswa untuk
menerapkan, memanipulasi dan membuat ulang struktur pengetahuan untuk digunakan dan
menerapkannya sebagai suatu pengetahuan sebelumnya, konsep dan kepercayaan. Dari kajian teori
disimpulkan bahwa, kegiatan penjelasan konesep matematika dalam writing to learn secara
langsung memberi kesempatan siswa mengembangkan kemampuan komunikasi matematis melalui
artikulasi ide dan pikiran yang kemudian dikembangkan menjadi model matematika. Dalam
pengkonstruksian argumen, siswa melakukan kegiatan penalaran. Hal ini menunjukkan bahwa
kegiatan writing to learn juga memberikan kesempatan siswa mengembangkan kemampuan
penalaran.
Kata Kunci: Penalaran, Komunikasi, Writing to Learn
PENDAHULUAN
Menulis merupakan kemampuan yang
harus dimiliki setiap manusia, terlebih para
ilmuwan karena para ilmuwan harus
mendeskripsikan hasil pemikirannya melalui
tulisan. Tulisan para ilmuwan tersebut akan
menjadi dasar pemikiran-pemikiran lainnya di
generasi yang akan datang sehingga
pengetahuan tidak akan hilang begitu saja.
Sejak kecil setiap manusia memiliki
kemampuan menulis tetapi ada beberapa dari
mereka yang mengembangkannya dengan baik
dan ada juga yang mengabaikannya. Di
Indonesia,
kemampuan
menulis
masih
sangatlah jauh dibanding dengan negara-negara
tetangga. Kemampuan menulis sangatlah
penting diasah sejak dini dengan harapan dapat
memajukan pengetahuan suatu bangsa.
Kemampuan menulis identik dengan
kemampuan berbahasa yang baik dan benar.
Banyak diantara penulis yang masih kurang
dalam hal berbahasa, itulah salah satu penyebab
Pendidikan Matematika Universitas Muhammadiyah Purworejo ,
Ruang Seminar UMP, Sabtu, 28 Mei 2016
735
rendahnya kemampuan menulis di Indonesia.
Untuk itu di sekolah pada setiap pembelajaran
sebaiknya
diselipkan
aktivitas
menulis
sehingga sedikit demi sedikit kemampuan
menulis siswa akan berkembang.
Banyak masyarakat yang mengganggap
bahwa kemampuan meulis dalam matematika
tidaklah penting karena dalam matematika yang
terpenting hanyalah kemampuan berhitung.
Anggapan tersebut jelas sekali tidak benar
karena kemampuan menulis secara tidak
langsung tersirat dalam tujuan mata pelajaran
matematika. Tujuan mata pelajaran matematika
yaitu agar peserta didik memiliki kemampuan
untuk memahami konsep, menggunakan
penalaran,
memecahkan
masalah,
mengkomunikasikan gagasan dan memiliki
sikap menghargai matematika.
David pugalee (2005), menyatakan bahwa
menulis
dapat
mendukung
penalaran
matematika dan pemecahan masalah serta
membantu
siswa
menginternalisasi
karakteristik dari komunikasi yang efektif.
David juga menyarankan kepada guru dengan
membaca tulisan siswa sebagai bukti dari
konklusi yang logis, pembenaran dari jawaban
dan proses, dan menggunakan fakta untuk
menjelaskan pemikiran mereka.
Berpikir matematika dengan bahasa dapat
mempengaruhi bagaimana suatu materi
diajarkan dan dipelajari. Ketika mempelajari
bahasa maka yang akan kita lakukan adalah
berbicara, membaca, mendengarkan, menulis.
Hal ini akan membuat kita membangun konsep
yang akan menjadi dasar dari ide-ide lainnya
sehingga kita dapat mengkomunikasikannya
dengan pengertian. Dalam aktivitas menulis
tentunya siswa terlebih dahulu akan berpikir
mengenai apa isi tulisannya, hal ini siswa akan
menggunakan
kemampuan
penalarannya
kemudian siswa akan berpikir bagaimana cara
mengkomunikasikan hasil penalarannya dengan
tepat sehingga nantinya semua pembaca akan
paham mengenai apa yang ia tulis.
736
KAJIAN LITERATUR
A. Penalaran
Menurut Lohman dan Lakin (2009)
penalaran adalah pengeratan secara terpadu
dengan daerah asal lainnya dari penemuan di
psikologi. Penalaran dapat didefinisikan
sebagai penggunaan berpikir secara logis untuk
membuat kepekaan dari sebuah situasi atau ide.
(sumber: www.learner.org). Artinya, ada proses
koneksi antara ide/ situasi lama dan baru yang
terimplementasi dalam berpikir logis.
Penalaran matematis adalah kemampuan
mengkritisi dimana memungkinan siswa untuk
membuat penggunaan dari semua kemampuan
matematika lainnya dengan pengembangan dari
penalaran matematika. Dalam hal ini, siswa
belajar bagaimana untuk mengevaluasi situasi,
memilih
strategi
pemecahan
masalah,
menggambarkan konklusi secara logis,
mengembangkan dan mendeskripsikan solusi,
dan mengetahui bagaimana solusi mereka bisa
diaplikasikan (NJMCF, 1996). Penalaran
matematika
memiliki
6
subkategori:
mengembangkan notasi dan perbendaharaan
kata,
mengembangkan
algoritma,
menggeneralisasikan, menduga, memberikan
alasan dan pembuktian, dan pengaksiomaan.
(Thompson, Senk & Johnson, 2012:280)
B. Komunikasi Matematis
National
Education
Assosiation
mengemukakan bahwa komunikasi merupakan
mengartikulasikan pemikiran dan ide secara
efektif menggunakan kemampuan komunikasi
oral, tertulis, dan nonverbal dalam suatu variasi
bentuk dan konteks, komunikasi juga dapat
diartikan mendengar secara efektif untuk
menguraikan makna, termasuk pengetahuan,
nilai, sikap dan perhatian. Dalam pembelajaran
matematika, komunikasi merupakan alat untuk
proses mediasi antara subyek dan obyek,
sedangkan komunikasi matematika merupakan
suatu cara untuk mempelajari matematika dan
mengembangkan keterampilan. (Santos &
Semana ,2015:66). Artinya, komunikasi
Prosiding Seminar Nasional Matematika dan Pendidikan Matematika. “Internalisasi Nilainilai Berpikir Matematis Dalam Peranannya di Era Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA)”
merupakan bentuk artikulasi ide yang menjadi
cara dalam mempelajari matematika.
Komunikasi dalam menulis dapat secara
khusus
efisien
dalam
pengembangan
pemahaman matematika (Santos & Semana,
2015:66). National Education Assosiation
mengemukakan bahwa Komunikasi digunakan
untuk suatu tujuan (co: menginformasikan,
menginstruksi, memotivasi, dan meyakinan),
Dalam penerapannya, komunikasi perlu
menggunakan teknologi dan media yang banyak
dan mengetahui bagaimana menaksir dampak
dan efektivitas pemikiran. Salah satu hal yang
perlu kita perhatikan dalam pembelajaran ialah,
bagaimana komunikasi yang efektif dalam
lingkungan
yang
beragam
(termasuk
multibahasa dan multikultural).
Dalam pembelajaran matematika, siswa
dikatakan memiliki kemampuan komunikasi
matematika apabila, siswa mampu memenuhi
tiga indikator, yakni: 1) mengartikulasikan ide
dan pemikiran matematika menggunakan
kemampuan komunikasi oral dan tertulis,
menggunakan penalaran kuantitatif dan abstrak
dengan
memperhatikan
ketelitian,
mengkonstruksikan
argumen
aktif
dan
menganalisa penalaran lainnya 2) secara
berpasangan dengan temannya mendengarkan
hasil penalaran satu sama lain dengan efektif;
3) bekerja secara efisien dan secara
bertanggung jawab dalam tim heterogen,
mengartikulasi pemikiran dan ide matematika
secara efektif, menggunakan kemampuan
komunikasi oral, tertulis dan nonverbal,
mendemonstrasikan bagaimana matematika
digunakan untuk model masalah sosial.
(NCTM & MAA, 2011)
C. Aktivitas Writing to Learn
Menulis menjadi aktivitas yang
penting dalam penalaran dan komunikasi
siswa. Menulis dapat diartikan sebagai
tindakan umum yang mendukung siswa
seperti menganalisis, menggabungkan
fakta dan mensintesis informasi (Farrell
dalam Lim & David, 2003). Menurut
definisi lain, menulis adalah kemampuan
untuk menulis teks yang efektif untuk
tujuan dan pembaca yang berbeda.
(Vicki,2009). Writing to learn adalah
strategi
dimana
siswa
bisa
mengembangkan ide, kemampuan berpikir
kritis dan kemampuan menulis (Robinson &
Psarovarkas, 2013). Dapat disimpulkan bahwa
menulis merupakan kegiatan penting bagi
siswa dalam pengembangan ide dan
kemampuan keterampilan berpikir.
Menulis merupakan alat penilaian yang
berharga. Russek (1998) menyatakan bahwa
menulis digunakan untuk menilai sikap,
kepercayaan, kemampuan matematika, dan
kemampuan untuk mengekspresikan ide
secara jelas. Menulis juga bisa digunakan
sebagai refleksi siswa pada pekerjaan mereka
sendiri, seperti dalam pembuatan portofolio.
Proses menulis adalah refleksi dari proses
kognitif, biasanya digunakan untuk menilai
kemampuan pembelajaran yang lebih tinggi
dan kemampuan berpikir kritis (sumber:
web.csulb.edu). Artinya, menulis juga
memiliki
peran
lain
selain
sebagai
pengembangan kemampuan, yakni sebagai
alat ukur kemampuan yang lebih tinggi.
D. Penalaran dan Komunikasi dalam
Writing to Learn
Berdasarkan landasan teori yang telah
dikemukakan sebelumnya, dapat dilihat
hubungan erat antara penalaran, komunikasi
dan writing to learn. Hubungan tersebut dapat
digambarkan dalam dua arah. Kegiatan
pembelajaran matematika tidak terlepas dari
proses penalaran yang menjadi pusat
kegiatannya. Hasil penalaran ini kemudian
disampaikan melalui media komunikasi
matematis dengan cara menulis. Ini
merupakan bentuk hubungan dari arah
pertama.Dari arah kedua, bisa dilihat
hubungan ketiga komponen tersebut dengan
Pendidikan Matematika Universitas Muhammadiyah Purworejo ,
Ruang Seminar UMP, Sabtu, 28 Mei 2016
737
cara memposisikan menulis sebagai alat
penilaian dari pengekspresian ide matematika.
Dimana, ide tersebut didapatkan dari proses
pengkomunikasian dan penalaran
.
Penalaran
Memerlukan media
Sumber ide
Komunikasi
Dilakukan dengan cara
Alat Penilaian Ide
Writing to Learn
Gambar 1. Bagan Hubungan Dua Arah
Penalaran, komunikasi dan Writing to Learn
Berdasarkan landasan teori, juga dapat
disimpulkan, bahwa Writing to learn mendukung
siswa dalam menganalisis, menggabungkan
fakta dan mensintesis informasi yang selaras
dengan proses penalaran yakni koneksi ide.
Ide ini kemudian diartikulasikan dan
dikembangkan dengan komunikasi dalam
bentuk aktivitas writing to learn.
masing komponen. Dari fungsi tersebut
dapat disimpulkan bahwa terdapat
pengembangan kemampuan komunikasi
matematis dan penalaran dalam aktivitas
writing to learn.
KESIMPULAN
Kegiatan penjelasan dalam konsep
matematika dalam writing to learn secara
langsung memberi kesempatan kepada siswa
untuk
mengembangkan
kemampuan
komunikasi matematis yang dimiliki melalui
artikulasi ide dan pikiran yang kemudian
dikembangkan menjadi model matematika.
Sedangkan dalam kegiatan pengkonstruksian
argumen, siswa melakukan kegiatan dengan
bernalar. Hal ini menunjukkan bahwa
kegiatan writing to learn juga memberikan
kesempatan
siswa
mengembangkan
kemampuan penalaran.
REFERENSI
Russek, Bernadette. 1998. Writing to
learn mathematics. Journal Writing
Across the Curriculum vol. 9:
agustus 1998. 36-45.
web.csulb.edu/divisions/aa/gwar/faculty/
documents/WritingtoLearnActivities.
Writing to Learn
Sebagai bentuk
Komunikasi
Mendukung
Media
Penalaran
Gambar 2. Bagan Hubungan Fungsional
Penalaran, Komunikasi dan Writing to
Learn
Lim, louis dan Pugalee, Dr. David K..
2003. Using Journal Writing to
Explore “They Communicate to
Learn Mathematics and They Learn
to Communicate Mathematically”: 2
Urquhart, Vicky. 2009. Using Writing in
Mathematics to Deepen Student
Learning. www.mcrel.org.
. Writing to Learn. Strategies for
Enganging for 21st Century Learner.
2013. 1.
New Jersey Mathematics Curriculum
Framework, 1996 New Jersey
Mathematics Coalition.
Kedua hubungan antara penalaran,
komunikasi dan aktivitas writing to learn
www.learner.org
telah menjelaskan apa fungsi masingProsiding Seminar Nasional Matematika dan Pendidikan Matematika. “Internalisasi Nilai738
nilai Berpikir Matematis Dalam Peranannya di Era Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA)”
Lohman, David F. dan Lakin, Joni M.
2009. Reasoning and Intelligence.
New York: Cambridge University
Press.
National
Education
Association.
Preparing 21st century students for
global society: An educator‟s guide
to the “Four Cs”.
Santos, L & Semana, S. (2015).
Developing mathematics written
communication through expository
writing supported by assessment
strategies.
Educational Study
Mathematics, 88, 65-87.
Thompson, D.R., Senk, L.S., & Johnson,
G.J. (2012). Oppurtunities to learn
reasoning and proof in high school
mathematics textbooks. Journal for
Research in Mathematics Education,
43, 253-295.
National Council of Teachers of
Mathematics
&
Mathematical
Association of Amerika. (2011). 21st
century skills map.
Pendidikan Matematika Universitas Muhammadiyah Purworejo ,
Ruang Seminar UMP, Sabtu, 28 Mei 2016
739
MEDIA MINDMANAGER UNTUK MENINGKATKAN HASIL BELAJAR
MATEMATIKA SISWA
Novalinda Puspita Ayu
Pendidikan Matematika, Program Pasca Sarjana Universitas Negeri Yogyakarta
[email protected]
Abstrak
Media pembelajaran digunakan dalam rangka upaya meningkatkan mutu proses kegiatan belajar
mengajar. Agar pembelajaran tidak lagi menggunakan metode konvensional. Namun ketika memilih
media yang digunakan untuk kepentingan pengajaran, hendaknya disesuaikan dengan kebutuhan
materi yang akan diajarkan. Ini dikarenakan banyaknya media yang dapat digunakan untuk
memperoleh suatu pengetahuan. Media pembelajaran yang banyak digunakan saat ini adalah media
pembelajaran berbasis komputer, salah satunya yang diperkenalkan dalam pendidikan adalah
membuat peta pikir yaitu MindManager dengan tujuan untuk meningkatkan hasil belajar siswa.
Penggunaan MindManager dalam proses belajar siswa khususnya dalam kegiatan mencatat akan
meransang siswa secara individual untuk mengorganisasi informasi mengenai konsep tertentu secara
terstruktur dan sistematis. Pola pencatatan ini membentuk skema (jejaring) informasi ke dalam
struktur dua dimensi yang dapat mengakomodir bentuk keseluruhan dari suatu topik, kepentingan
serta hubungan relatif antar masing-masing komponen dan mekanisme penghubungnya. Sehingga
siswa dapat melihat gambaran mengenai konsep tertentu secara lebih utuh. Oleh karena itu,
penggunaan media MindManager dalam proses pembelajaran matematika dikelas dapat
meningkatkan hasil belajar siswa dengan berbagai macam keunggulan dan manfaat dari
MindManager itu sendiri.
Kata Kunci: Media pembelajaran matematika, Media Pembelajaran Berbasis Komputer,
MindManager, Hasil Belajar Matematika.
1.
PENDAHULUAN
Salah satu masalah yang sedang dihadapi
dalam dunia pendidikan saat ini adalah
masalah lemahnya proses pembelajaran.
Dalam proses pembelajaran, anak kurang
didorong untuk mengembangkan kemampuan
berpikir. Proses pembelajaran di dalam kelas
diarahkan kepada kemampuan anak untuk
menghafal informasi, otak anak dipaksa untuk
mengingat dan menimbun berbagai informasi
tanpa dituntut untuk memahami informasi
yang diingatnya dan menghubungkannya
dengan kehidupan sehari-hari. Akibatnya,
ketika anak didik kita lulus dari sekolah,
mereka pintar secara teoritis, tetapi mereka
kurang dalam hal aplikasi.Ketika proses
pembelajaran berlangsung, seseoang anak
dapat memperoleh pengetahuannya dari
berbagai macam proses. Dalam hal ini proses
pembelajarannya dipengaruhi oleh bebergai
740
macam faktor pendukung lainnya, misalnya
alat bantu belajar, bahan ajar, media dan lainlain.
Peranan dari media pembelajaran
sangatlah
penting
dalam
proses
mentransformasi ilmu pengetahuan yang
dimiliki, sehingga pembelajaran menjadi lebih
bermakna dan efisien. Jika dikaitkan dengan
teknologi, untuk menciptakan suatu media
dapat digunakan media yang berbasis
komputer.
Untuk
penggunaan
media
pembelajaran dengan meciptakan peta pikir
diperkenalkan software MindManager untuk
menampilkan
materi
pelajaran
untuk
kemudian disampaikan kepada peserta didik.
MindManager merupakan salah satu program
yang mempunyai kelebihan yaitu mengatur
informasi dan pola pikir dengan membentuk
peta konsep, dapat memuat data berupa
gambar, catatan atau teks, dapat di link ke
program web dan powerpoint sehingga dapat
Prosiding Seminar Nasional Matematika dan Pendidikan Matematika. “Internalisasi Nilainilai Berpikir Matematis Dalam Peranannya di Era Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA)”
meningkatkan minat, motivasi siswa, dan
dapat mengaktifkan siswa pada saat proses
pembelajaran berlangsung.
Penggunaan MindManager dalam proses
belajar siswa khususnya dalam kegiatan
mencatat akan merangsang siswa secara
individual untuk mengorganisasi informasi
mengenai konsep tertentu secara terstruktur
dan sistematis. Pola pencatatan ini membentuk
skema (jejaring) informasi ke dalam struktur
dua dimensi yang dapat mengakomodir bentuk
keseluruhan dari suatu topik, kepentingan
serta hubungan relatif antar masing-masing
komponen dan mekanisme penghubungnya.
Sehingga siswa dapat melihat gambaran
mengenai konsep tertentu secara lebih utuh.
Ada beberapa penelitian yang telah
membuktikan bahwa dengan menggunakan
software
MindManager
akan
dapat
meningkatkan hasil belajar siswa, yaitu:
a. Berdasarkan penelitian yang dilakukan
Yooke Tjuparmah terhadap siswa kelas XI
IPS 2 SMA Negeri 1 Banjar, Jawa Barat,
diungkapkan bahwa: (1) Pengolaan konsep
menggunakan software MindManager
mendorong
peningkatan
pemahaman
konsep siswa, (2) Pemahaman siswa
setelah
menggunakan
software
MindManager sudah cukup baik, hasil
tespun menunjukkan bahwa adanya
peningkatan hasil belajar pada mata
pelajaran ekonomi setelah menggunakan
software MindManager, (3) Penggunaan
software MindManager dapat menjadi
media yang tepat digunakan untuk
mengelolah konsep dalam dalam ilmuilmu sosial. Namun penelitian ini
direkomendasikan
untuk
dilakukan
penelitian lebuh lanjut.
b. Tardi mengungkapkan bahwa dampak
penggunaan
pendekatan
kontekstual
bermedia MindManager selama penelitian
berjalan menunjukkan adanya peningkatan
pemahaman
materi
kimia
yang
ditunjukkan perolehan hasil ulangan harian
pra siklus, siklus I dan siklus II selalu
mengalami perkembangan. Pada pra siklus
nilai rata-rata 77,61 dengan ketuntatasan
belajar 87,09 %, siklus I nilai rata-ratanya
78,77 dengan ketuntasan belajar 93,55 %
dan pada siklus II nilai rata-ratanya 80,16
dengan ketuntasan belajar 96,77 % dengan
menggunakan
Kriteria
Ketuntasan
Minimal 75. Kenaikan nilai rata-rata ini
menunjukkan daya serap cukup signifikan
dan terjadi peningkatan prestasi belajar.
Seperti kita ketahui bahwa mata pelajaran
matematika marupakan mata pelajaran adaptif,
rumit, dan terkadang dikatakan sulit bagi
sebagian besar siswa, untuk itulah ada
pemikiran untuk memberikan pembelajaran
matematika melalui media pembelajaran
MindManager. Hal ini didasarkan pada guru
pada umumnya dalam pengajarannya masih
menggunakan metode ceramah. Metode yang
digunakan dalam pembelajaran kemungkinan
salah satu penyebab kurangnya minat dan
pemahaman siswa. Selain itu, pembelajaran
yang
masih
belum
terstandar
yaitu
pembelajaran dengan cara konvensional yang
bersandar pada buku teks, modul, LKS menjadi
penyebab kurangnya pemahaman siswas serta
kurangnya minat dan pemahaman siswa pada
pelajaran matematika. Siwa juga kesulitan
menemukan asalnya rumus yang telah
diberikan guru, kurang memahami penggunaan
rumus tersebut karena selama ini mereka hanya
menghafal saja, apalagi jika dikaitkan dengan
kehidupan sehari-hari. Kesulitan yang dialami
siswa dalam memecahkan masalah sebagian
besar terletak pada ketidakpahaman siswa serta
keterbatasan
verbal
yaitu
kemampuan
memahami soal berbentuk cerita dan
kemampuan mengubah soal verbal menjadi
model matematika.
Oleh karena itu, melalui tulisan ini akan
ditunjukan bahwa jika dalam peroses belajar
mengajar digunakan media MindManager akan
dapat mengatasi kesulitan-kesulitan yang
dihadapi siswa serta dapat meningkatkan hasil
belajar siswa terkait pelajaran matematika, ini
karena media MindManager memiliki beberapa
keunggulan
diantaranya
dapat
memvisualisasikan peta (pikiran) untuk
mengikat, mengatur, mengkomunikasikan ide
dan informasi secara efektif serta menarik
perhatian peserta didik.
1. KAJIAN LITERATUR
A.
Media Pembelajaran
Menurut Azhar (2011:3) , Kata media
berasal dari bahasa Latin medius yang secara
harfiah berarti tengah, perantara atau
Pendidikan Matematika Universitas Muhammadiyah Purworejo ,
Ruang Seminar UMP, Sabtu, 28 Mei 2016
741
pengantar. Dalam pengertian ini, media dalam
proses belajar mengajar diartikan sebagai alatalat grafis, phootografis atau elektronis untuk
menangkap, memproses dan menyusun
informasi yang diterima baik berupa visual
maupun verbal. Heinich dalam Azhar
(2011:4) ,mengatakan bahwa istilah medium
sebagai perantara antara yang mengantar
informasi antara sumber dan penerima.
Apabila media itu membawa pesan-pesan atau
informasi yang bertujuan instruksional untuk
mengandung maksud-maksud pengajaran
maka media itu disebut media pembelajaran.
Menurur Nana Sudjana dan Ahmad
Rivai (2009:4-5) Dalam memilih media untuk
kepentingan
pengajaran
sebaiknya
memperhatikan
kriteria-kriteria
sebagai
berikut:
1. Ketepatannya dengan tujuan pengajaran;
artinya media pengajaran dipilih atas dasar
tujuan tujuan instruksional yang telah
ditetapkan.
2. Dukungan terhadap isi bahan pelajaran;
artinya bahan pelajaran yang sifatnya
fakta, prinsip konsep dan generalisasi
sangat memerlukan bantuan media agar
mudah dipahami siswa.
3. Kemudahan memperoleh media; artinya
media yang diperlukan mudah diperoleh,
setidak-tidaknya mudah dibuat oleh guru
pada waktu mengajar.
4. Keterampilan
guru
dalam
menggunakannya; apapun jenis media
yang diperlukan syarat utamanya adalah
guru dapat menggunakannya dalam proses
pengajaran.
5. Tersedia waktu untuk menggunakannya;
sehingga media tersebut dapat bermanfaat
bagi siswa selama pengajaran berlangsung.
6. Sesuai dengan taraf berfikir siswa;
memilih media untuk pendidikan dan
pengajaran harus sesuai dengan taraf
berfikir siswa, sehingga makna yang
terkandung di dalamnya dapat dipahami
oleh para siswa.
Terdapat banyak cara atau media yang
dapat digunakan untuk menuntut ilmu karena
semuanya memiliki tujuan yang sama yakni
untuk mendapatkan ilmu pengetahuan. Lebih
khusus dapat dikatakan bahwa dalam
pembelajaran dapat pula digunakan berbagai
742
media sebagai sumber untuk memperoleh ilmu
pengetahuan.
B.
Media
Pembelajaran
Berbasis
Komputer
Pada saat ini, pemanfaaran teknologi
komputer
telah
banyak
memberikan
kontribusi terhadap proses pembelajaran salah
satunya
adalah
dengan
penerapan
pembelajaran berbasis komputer. Penggunaan
komputer
dalam
pembelajaran
memungkinkan
berlangsungnya
proses
pembelajaran secara individual (individual
learning) dengan menumbuhkan kemandirian
dalam proses belajar, sehingga siswa akan
mengalami proses yang jauh lebih bermakna
dibanding dengan pembelajaran konvensional.
Menurut
Arsyad
dalam
Rusman
(2012:128), adapun manfaat komputer untuk
tujuan pendidikan, yaitu:
a. Komputer dapat mengakomodasi siswa
yang lamban menerima pelajaran karena
ia dapat memberikan iklim yang lebih
bersifat efektif dengan cara yang lebih
individual, tidak pernah lupa, tidak
pernah bosan, sangat sabar dalam
menjalankan instruksi seperti yang
diinginkan program yang digunakan.
b. Komputer dapat merangsang siswa untuk
mengerjakan latihan, melakukan kegiatan
laboraturium atau simulasi karena
tersedianya animasi grafik, warna dan
musik yang dapat menambah realisme.
c. Kendali berada di tangan siswa, sehingga
tingkat kecepatan belajar siswa dapat
disesuaikan
dengan
tingkat
penguasaannya. Dengan kata lain,
komputer dapat berinteraksi dengan
siswa secara individual misalnya dengan
bertanya atau menilai jawaban.
d. Kemampuan merekan aktivitas selama
menggunakan program pembelajaran,
memberi kesempatan lebih baik untuk
pembelajaran secara perorangan dan
perkembangan setiap siswa selalu dapat
dipantau.
e. Dapat berhubungan dengan,
dan
mengendalikan peralatan lain seperti CD
interaktif, vidio, dan lain-lain dengan
program pengendali dengan komputer.
Pada masa sekarang ini aplikasi-aplikasi
pada komputer terus berkembang bahkan
pemakai
komputer
atau
user
juga
Prosiding Seminar Nasional Matematika dan Pendidikan Matematika. “Internalisasi Nilainilai Berpikir Matematis Dalam Peranannya di Era Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA)”
dimungkinkan untuk dapat melakukan
interaksi langsung dengan sumber informasi
baik secara online maupun offline. Salah satu
jenis produk aplikasi komputer sebagai
langkah inovatif adalah pembelajaran berbasis
komputer, baik itu berupa CAI, CBI, maupun
e-learning.
Dalam
dunia
pendidikan
diperkenalkan software untuk membuat peta
pikir yaitu MindManager.
C.
1.
Media MindManager
Asal Media MindManager
Konsep Mind Map ala Tony Buzan
sedikit banyak membutuhkan kemampuan dan
waktu untuk menggambar. Dan usaha ini
tentunya memakan waktu yang tidak sedikit.
Namun,tidak perlu kuatir akan hambatan ini
karena telah hadir aplikasi MindManager
yang akan membantu bekerja dengan kreatif
namun dengan waktu yang relatif singkat.
Menurut Jubilee Enterprise (2008:11), dengan
penggunaan
yang
relatif
mudah,
MindManager ini akan membantu membuat
peta pikiran yang interaktif dan terorganisir
sehingga mampu menyampaikan ide serta
informasi secara efektif, menarik dan mudah
dipahami. Dengan kata lain bahwa software
MindManager ada karena adanya Mind Map,
kendala yang muncul pada saat membuat peta
pikir berupa kemampuan dan waktu untuk
menggambar
maka
dimunculkan
MindManager untuk mempercepat proses
pembuatan peta pikir dan menambah inovasi
dalam pembuatannya.
2.
Pengertian MindManager
Berdasarkan (Anonim,2013) “Secara
harfiah kata MindManager berasal dari
penggabungan kata Mind yang berarti
”semangat; hati; ingatan” dan manager
”pengurus; pemimpin” . Berdasarkan makna
harfiah tersebut maka dapat dikatakan bahwa
MindManager bermakna sebagai pengurus
(pengatur) pikiran. MindManager adalah
sebuah software peta (pikiran) visual
interaktif untuk mengikat, mengatur, dan
mengkomunikasikan ide dan informasi secara
efektif. Informasi disajikan dalam format peta
sehingga sangat mudah untuk diatur,
dimengerti
dan
dipanggil
kembali).
(Anonim,2013) Software ini menyediakan
bentuk intuitif sebuah interface visual yang
mampu mempercepat proses mengikat,
mengatur, dan membagi ide dan informasi.
3. Penggunaan
MindManager
dalam
Pembelajaran
Penggunaan MindManager dalam proses
belajar siswa khususnya dalam kegiatan
mencatat akan meransang siswa secara
individual untuk mengorganisasi informasi
mengenai konsep tertentu secara terstruktur
dan sistematis. Pola pencatatan ini
membentuk skema (jejaring) informasi ke
dalam struktur dua dimensi yang dapat
mengakomodir bentuk keseluruhan dari suatu
topik, kepentingan serta hubungan relatif
antar
masing-masing
komponen
dan
mekanisme penghubungnya. Sehingga siswa
dapat melihat gambaran mengenai konsep
tertentu secara lebih utuh.
Struktur
informasi
menggunakan
software
MindManager
ini
melibatkan beberapa komponen utama, yakni
:
1) Central topic (Topik Sentral) merupakan
tema utama atau judul peta pikiran yang
akan dibuat. Langsung muncul secara
otomastis ketika siswa membuat halaman
peta baru. Bagian Central Topic ini
mewakili
tema/judul
utama
materi/konsep yang sedang dipelajari
yang selanjutnya akan menurunkan
secara otomatis topik-topik turunan
secara terstruktur.
2) Main topics (Topik utama) merupakan
ide mayor yang mewakili tema.
Diturunkan dari Central Topic dan akan
menyusun informasi secara otomatis
searah dengan arah jarum jam. Berisi
topik-topik utama yang mewakili tema
utama.
3) Subtopics (sub topik) merupakan detail
mengenai topik. Rincian lebih khusus
dari hal-hal yang berhubungan dengan
informasi pada Mind Topic. Subtopic ini
secara otomatis menysusun informasi
secara terstruktur dari arah atas menurun
ke bawah.
4) Callout (balok kata-kata) merupakan
informasi tambahan untuk topik yang
spesifik atau keterhubungan tertentu.
Pendidikan Matematika Universitas Muhammadiyah Purworejo ,
Ruang Seminar UMP, Sabtu, 28 Mei 2016
743
Berisi keterangan untuk memperjelas
informasi.
5) Floating topic (topik pengembangan)
merupakan topik yang berbeda namun
masih
memiliki
keterhubungan.
Berfungsi untuk mencatat informasi yang
tidak terkait langsung dengan topik
utama yang pencatatannya bila disatukan
akan
mempengaruhi
keutuhan
pemahaman konsep yang sedang
dipelajari. Floating topic dapat dibuat
dengan bebas dimanapun di area latar
belakang peta utama.
Selain informasi yang terstruktur secara
alami, siswa dapat memahami suatu konsep
tak hanya dengan melakukan pencatatan
materi dalam bentuk kata-kata saja tetapi juga
dapat melengkapi informasinya dengan
simbol, gambar, arti emosional, dan warna
dalam struktur logis yang memetakan persis
seperti cara otak memprosesnya. Beberapa
fasilitas yang dapat digunakan untuk hal ini
dianataranya :
1) Boundary, informasi ditandai dengan
sebuah bulatan sebagai kelompok atau
menandakan kesimpulan tertentu.
2) Relationship, untuk menandai hubungan
antara dua informasi atau lebih.
3) Library, berisi beragam simbol (icon),
gambar (image) dan latar belakang
(background) untuk peta Anda.Map
Markers, berfungsi dalam pengaturan
dan penggunaan penanda (markers)
untuk pengkodean topik peta.
4) My Maps untuk menorganisasikan peta
terpilih (favorit) dengan akses yang
cepat.
5) Search untuk penelusuran peta dengan
mengisikan teks yang spesifik.
6) Task Info untuk menandai informasi
tugas atau pekerjaan pada topik.
7) Map
Parts
untuk
menerapkan,
mengorganisasikan, dan menciptakan
struktur peta dengan menggunakan
struktur topik yang telah disediakan,
serta menghubungkannya ke RSS feeds
dan pelayanan Web lainnya.
744
4. Manfaat Media MindManager
Menurut (Sonnleitner Erik & Schauer
Hannes,2003).
Manfaat
utama
dari
MindManager, yaitu:
1) Menangkap ide-ide; pemetaan secara
grafis untuk pendokumentasian ide-ide.
2) Membuat pemetaan secara visual;
menggambar hubungan-hubungan antara
ide-ide,
menambahkan
penamaanpenamaan dan warna untuk menyorot
informasi penting, mengelompokkan ideide yang sama dengan batas-batas dan
memasukkan ikon-ikon serta gambar.
3) Menbuat
presentasi;
gunakan
MindManager Presentation Mode atau
mengekspor
isi-isi
pemetaan
ke
Microsoft Power Point.
4) Integrasi dengan Microsoft Office;
memungkinkan impor dan ekspor data ke
produk Microsoft.
5) Web-Ability; meng-emaikan pemetaan
dan mempublikasikannya melalui HTML
dan mengerkspor ke internet atau WWW.
Sedangkan untuk kepentingan akademis,
MindManager
menurut
(Wiwit
Siswoutomo,2005) dapat digunakan untuk:
1) Memperbaiki proses membuat kursus
online.
2) Membuat silabus dan mengomunikasikan
silabus dengan jelas dan efektif.
3) Mempresentasikan konsep dengan peta
pikiran.
4) Menagkap informasi dengan cepat.
5.
Keunggulan Media MindManager
Menurut
(Anton
Pranata,
2012),
kekuatan nyata yang ada pada sofware
MindManager adalah:
1) Meningkatkan produktivitas individu dan
tim.
2) Mengakselerasi proyek dan perencanaan
proses.
3) Mengembangkan kualitas berpikir yang
strategis.
4) Untuk menginovasi gambaran (capture)
dalam berpikir dan isi (content) dari peta
pikiran.
5) Untuk mengorganisasi informasi dan ide.
6) Saling bertukar peta pikiran (sharing
map) dengan sesama partner.
7) Kemudahan dalam membuat mapping
dengan software MindManager.
Prosiding Seminar Nasional Matematika dan Pendidikan Matematika. “Internalisasi Nilainilai Berpikir Matematis Dalam Peranannya di Era Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA)”
8) Menampilkan dan membangun ide yang
besar.
D. Hasil Belajar
Mulyono Abdurrahman (2003:37-38)
berpendapat bahwa hasil belajar merupakan
kemampuan yang diperoleh anak setelah
melalui kegiatan belajar. Belajar itu sendiri
merupakan suatu proses dari seseorang yang
berusaha untuk memperoleh suatu bentuk
perubahan perilaku yang relatif menetap.
Dalam kegiatan belajar yang terprogram dan
terkontrol yang disebut kegiatan pembelajaran
atau kegiatan instruksional, tujuan belajar
ditetapkan lebih dahulu oleh guru. Siswa yang
berhasil dalam belajar ialah yang berhasil
mencapai tujuan-tujuan pembelajaran atau
tujuan-tujuan instruksional. Sehinnga, dapat
disimpulkan bahwa hasil belajar merupakan
hal yang ditekankan setelah melalui proses
belajar. Hasil belajar terdiri dari dua kata,
yaknin “hasil” dan belajar”. Dalam kamus
lengkap bahasa Indonesia, Poerwadarminta
(2002:384),mengemukakan
bahwa
hasil
adalah sesuatu yang diperoleh setelah
berusaha. Sedangkan Sahabudin (2008:82),
mendifinisikan belajar sebagai suatu proses
kegiatan yang menimbulkan kelakuan baru
atau mengubah kelakuan lama sehingga
seseorang lebih mampu memecahkan dan
menyesuaian diri terhadap situasi-situasi yang
dihadapi dalam hidupnya.
Perumusan aspek-aspek kemampuan
yang menggambarkan output peserta didik
yang dihasilkan dari proses pembelajaran
dapat digolongkan ke dalam tiga klasifikasi
berdasarkan taksonomi Bloom. Menurut
Bloom dalam Rusman (2012:125), tujuan
pembelajaran dapat diklasifikasikan ke dalam
tiga ranah (domain), yaitu:
a. Domain kognitif; berkenaan dengan
kemampuan dan kecakapan-kecakapan
intelektual berpikir;
b. Domain afektif; berkenaan dengan sikap
kemampuan dan penguasaan segi-segi
emosional, yaitu perasaan, sikap dan nilai;
c. Domain Psikomotor; berkenaan dengan
suatu keterampilan-keterampilan atau
gerakan-gerakan fisik.
Terkait
dengan
pembelajaran
matematika, hasil belajar Matematika
merupakan proses hasil belajar yang diperoleh
dari taraf kemampuan aktual yang bersifat
terukur,
beberapa
penguasaan
ilmu
pengetahuan, keterampilan dan sikap yang
dicapai peserta didik. Selain itu, menurut
Ramli (2010:32) hasil belajar Matematika
juga berhubungan dengan kreativitas dan
minat belajar siswa dan beberapa faktor lain
sehingga dapat menunjang pemahaman dan
penyerapan bahan pelajaran yang dipelajari.
Hasil belajar matematika merupakan hasil
belajar yang dicapai oleh siswa setelah
mengikuti
proses
belajar
mengajar
matematika dalam selang waktu tertentu.
Hasil belajar juga dapat diartikan sebagai
suatu tingkat keberhasilan yang dicapai pada
akhir suatu kegiatan pembelajaran. Jadi hasil
belajar matematika dapat diartikan sebagai
hasil belajar yang dicapai oleh siswa setelah
mengalami kegiatan belajar mengajar pada
mata pelajaran matematika.
2.
METODE PENELITIAN
Pada tulisan ini, metode penelitian yng
digunakan adalah mengkaji literatur dan studi
kasus sehubungan penelitian dengan judul
diatas Untuk ruang lingkup dalam tulisan ini
adalah seluruh siswa baik itu siswa SD, SMP,
ataupun SMA. Jadi, seluruh siswa dapat
menggunakan software MindManager dalam
proses pembelajaran matematika didalam
kelas. Penggunaan media pembelajaran
dengan software MindManager dapat
menggunakan alat atau bahan yang sangat
sederhana dan mdah didapatkan dimana saja
dan sangat terjangkau, yaitu dengan
menggunakan alat peraga sederhana dari
karton.
Definisi Operasional
A. Penggunaan Media MindManager
Penggunaan media MindManager yang
dimaksud adalah media pembelajaran berbasis
komputer dengan menggunakan software
MindManager
sebagai visualisasi peta
(pikiran) untuk mengikat, mengatur, dan
mengkomunikasikan ide dan informasi secara
efektif. Informasi disajikan dalam format peta
pikir. Untuk peningkatan hasil belajar, maka
dapat digunakan media MindManager dalam
kegiatan mencatat akan meransang siswa
secara individual untuk mengorganisasi
informasi mengenai konsep tertentu secara
terstruktur dan sistematis. Dimana guru
Pendidikan Matematika Universitas Muhammadiyah Purworejo ,
Ruang Seminar UMP, Sabtu, 28 Mei 2016
745
menyajikan
materi
dengan
media
pembelajaran yang telah dibuat menggunakan
software MindManager. Penggunaan media
MindManager dapat
menggunakan alat
peraga sederhana yang terbuat dari kertas
karton.
B.
Hasil Belajar Siswa
Menurut
Rusman(2012:123),
hasil
belajar adalah sejumlah pengalaman yang
diperoleh siswa yang mencakup ranah
kognitif, afektif, dan psikomotorik. Belajar
tidak hanya penguasaan konsep teori mata
pelajaran saja, tetapi juga penguasaan
kebiasaan, persepsi, kesenangan, minat-bakat,
penyesuaian sosial, macam-macam keinginan,
cita-cita, keinginan dan harapan.Senada
dengan hal tersebut, Oemar Hamalik dalam
Rusman (2012:123) menyatakan bahwa “hasil
belajar itu dapat terlihat dari terjadinya
perubahan dari persepsi dan perilaku,
termasuk juga perbaikan perilaku”. Jadi yang
dimaksud dengan hasil belajar di sini adalah
perubahan persepsi atau perilaku siswa
setelah mengikuti mata pelajaran matematika
yang ditunjukkan siswa dengan jawaban
terhadap evaluasi yang diberikan guru setelah
proses pembelajaran.
Dengan demikian secara operasional
yang dimaksudkan dari tulisan ini adalah
suatu kajian tentang pengaruh media
MindManager
terhadap
hasil
belajar
matematika siswa. Hasil belajar siswa yang
diukur pada penelitian ini adalah ranah
kognitif siswa.
Untuk hasil kesimpulan pada tulisan ini
diperoleh dengan menyimpulkan hasil studi
kasus penelitian yang relevan dengan kajian
pada tulisan ini.
3.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Dengan mengkaji penelitian yang relevan
(
penelitian
menggunakan
software
MindManager dalam pembelajaran ekonomi
dan kimia) ,maka dapat diperoleh hasil bahwa
dengan menggunakan software MindManager
dalam proses pembelajaran matematika akan
dapat meningkatkan hasil belajar matematika
siswa.
Berdasarkan
yang
dijelaskan
sebelumnya pada literatur, bahwa hasil belajar
yang diteliti bukan hanya berdasarkan tes
hasil belajar siswa tetapi juga hasil belajar
dalam bentuk perubahan tingkah laku. Ini
746
dikarenakan, dengan software MindManager
siswa akan mudah dalam memahami materi
yang diajarkan, dan paradigma bahwa
pembelajaran matematika menakutkan dapat
terpatahkan. Apabila dikaitkan dengan
manfaat serta keunggulan dari software
MindManager tersebut, maka pembelajaran
dapat menjadi menarik dan menyenangkan,
sebab pembelajaran konvensional yang sering
digunakan dalam proses pembelajaran telah
berubah menjadi pembelajaran yang kreatif
dengan menggunakan media yang inovatif.
Namun, dalam proses pembelajaran tidaklah
selalu sesuai dengan harapan, ada beberapa
faktor yang mempengaruhinya.
Seperti telah diabahas diawal tulisan ini,
banyak faktor yang menjadi kendala guru
dalam menyampaikan materi ajar kepada anak
didik secara tuntas. Ini merupakan masalah
yang cukup sulit bagi seorang guru. Hal ini
dikarenakan anak didik bukan hanya sebagai
individu dengan
segala
keunikannya,
mealinkan mereka juga berasal dari latar
belakang
yang
berbeda-beda.
Guru
merupakan faktor ekstrinsik yang memiliki
peranan yang sangat penting dalam proses
belajar mengajar. Namun tak jarang keluhankeluhan seorang guru sering terlontar hanya
karena masalah sukarnya mengelola kelas.
Akibat kegagalan seorang guru dalam
mengelola kelas, tujuan pengajarsn pun sukar
tercapai. Mengaplikasikan beberapa prinsip
pengelolaan kelas adalah upaya lain yang
tidak bisa diabaikan.Media pembelajaran
yang tepat dapat memberikan efek yang
sangat bagus kepada siswa sehingga dapat
meningkatkan hasil belajar siswa. Dan guru
harus lebih peka terhadap kemampuan siswa
yang diajarnya agar siswa yang cenderung
memiliki hasil belajar yang rendah dapat
ditangani dengan tepat sehingga siswa
tersebut tidak mengalami kegagalan. Selain
itu seorang guru harus lebih jeli dalam
memilih media pembeajaran yang sesuai
dengan materi dan kondisi anak didik yang
dihadapinya.
Media MindManager merupakan media
pembelajaran yang memberikan guru suatu
kemudahan dalam mevisualisasikan materi
yang akan diajarkan, guru dapat dengan
mudah menyampaikan materi tanpa harus
mencatat secara manual di papan tulis
sehingga tidak banyak waktu yang terbuang.
Prosiding Seminar Nasional Matematika dan Pendidikan Matematika. “Internalisasi Nilainilai Berpikir Matematis Dalam Peranannya di Era Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA)”
Model pembelajaran ini juga bisa dijadikan
alat untuk menumbuhkan minat dan motivasi
siswa di dalam kelas karena pada dasarnya
media pembelajaran ini menuntut keaktifan
siswa dalam proses belajar.
4. KESIMPULAN
Berdasarkan hasil pemabahasan diatas,
dapat disimpulkan bahwa penggunaan media
MindManager pada pembelajaran matematika
akan dapat memudahkan guru dalam
penyampaian materi yang akan disajikan dan
dapat meminimalisir efektivitas penggunaan
waktu, sehingga siswa pun termotivasi untuk
lebih aktif dalam kegiatan pembelajaran dan
dapat mengkondtruk sendiri pemikiran
mereka. Oleh karena itu, akan dapat
meningkatkan hasil belajar matematika siswa.
5. REFERENSI
Abdurrahman, M. (2003). Pendidikan Bagi
Anak Berkesulitan Belajar (II ed.).
Jakarta: Rineka Cipta.
Anonim. (2012). Berfikir Sistematis dan
Terstruktur Menggunakan Software
MindManager. Retrieved 13, 2012,
from
http://cafeajar.wordpress.com/2009/0
9/24/berfikir-sistematik-danterstruktur-menggunakan-softwaremindmanager/.
Tjuparmah, Y. (2009). Studi tentang Software
Mindmanager untuk Meningkatkan
Pemahaman Siswa terhadap Ilmu
Sosial Laporan Hasil Penelitian
Pusat Penelitian UPI (pp. 1).
Bandung: UPI.
Enterprise, J. (2008). Seni Berpikir Cerdas
dengan MIndmanager 7 (1 ed.).
Jakarta: Alex Media Komputindo
Ramli. (2010). Kontribusi Kreativitas dan
Minat Belajar Matematika terhadap
Hasil Belajar Matematika Siswa
Kelas VIII SMP Negeri 4 Makassar
(pp. 32). Makassar: SMP Negeri 4
Makassar.
Sahabuddin. (2007). Mangajar dan Belajar.
Makassar: Badan Penerbit UNM.
Siswoutomo, W. (2005). Teknik Jitu
Mengelola Kreativitas Menggunakan
MindManager. Jakarta: Elex Media
Komputindo.
Sudjana, N., & Rivai, A. (2009). Media
Pengajaran (VII ed.). Bandung: Sinar
Baru Algesindo.
Sonnleitner, E., & Schauer, H. (2003).
Computer Support for Enhancement of
Creativity.
Tardi. (2011). Peningkatan Prestasi Belajar
Kimia Larutan Melalui Pendekatan
Kontekstual Bermedia Mindjet
Penelitian Tindakan Kelas Guru SMK
Negeri 2 Wonogiri (pp. 1). Wonogiri:
SMK Negeri 2 Wonogiri.
Poerwadarminta. (Ed.) (2002) Kamus Umum
Bahasa Indonesia (XVII ed.). Jakarta:
Balai Pustaka.
Pranata, A. (2012). Benefit Mapping dengan
MindManager. Retrieved 13
Desember, 2012, from
http://finance.dir.groups.yahoo.com/g
roup/TheProfec/message/25806
Pendidikan Matematika Universitas Muhammadiyah Purworejo ,
Ruang Seminar UMP, Sabtu, 28 Mei 2016
747
PENGEMBANGAN MEDIA PERMAINAN BALOK PECAHAN
DI KELAS IV SEKOLAH DASAR
Dwi Ardi Meylana1), Santhy Hawanti2), Sony Irianto3)
1
FKIP, Universitas Negeri Yogyakarta
[email protected]
2
FKIP, Universitas Muhammadiyah Purwokerto
[email protected]
3
FKIP, Universitas Muhammadiyah Purwokerto
[email protected]
Abstrak
Penggunaan media dalam pembelajaran matematika dapat membantu siswa memahami materi
pelajaran. Penelitian ini menggunakan pendekatan penelitian dan pengembangan (Research and
Development). Tujuan penelitian ini untuk mengembangkan media permainan balok pecahan dalam
pembelajaran matematika di sekolah dasar, mengetahui kelayakan media permainan balok pecahan,
mengetahui pengaruh media permainan balok pecahan terhadap prestasi belajar matematika, dan
mengetahui respon guru dan siswa terhadap media permainan balok pecahan. Tahapan penelitian dan
pengembangan ini mengacu pada model pengembangan media menurut Susilana dan Riyana (2011:
28). Data diperoleh melalui teknik tes berupa pretest dan posttest dan nontes berupa angket.
Eksperimen dalam penelitian ini dilakukan pada skala terbatas yaitu di kelas IV di salah satu SD
UPK Purwokerto Selatan dengan desain eksperimen the true control group design. Hasil penelitian
menunjukkan bahwa media permainan balok pecahan dapat dikembangkan lebih efektif untuk
pembelajaran matematika materi pecahan di sekolah dasar. Hal tersebut dibuktikan dengan rata-rata
hasil validasi ahli yaitu 4,35 yang menunjukkan bahwa media permainan balok pecahan layak
digunakan dalam proses pembelajaran. Hasil penelitian juga menunjukkan bahwa terdapat pengaruh
media permainan balok pecahan terhadap prestasi belajar matematika materi pecahan. Hasil respon
guru dan siswa sangat baik dengan rata-rata respon guru 4,7 dan respon siswa 3,51.
Kata Kunci: matematika, materi pecahan, media pembelajaran, permainan balok pecahan
PENDAHULUAN
Pembelajaran matematika merupakan
kegiatan belajar yang membutuhkan daya
nalar
dan
keterampilan
dari
siswa.
Kemampuan matematika siswa di Indonesia
masih tergolong rendah dibandingkan dengan
negara lain. Hal ini didukung oleh hasil
Programme
for
International
Student
Assessment (PISA) tahun 2012 yang
menunjukkan skor rata-rata matematika atau
mean mathematics score dari 64 negara. Pada
hasil tersebut, Indonesia memperoleh rata-rata
paling rendah setelah Peru. Observasi awal di
salah satu Sekolah Dasar (SD) di Unit
Pendidikan Kecamatan (UPK) Purwokerto
Selatan Kabupaten Banyumas menunjukkan
bahwa penggunaan media pembelajaran pada
748
pembelajaran matematika di sekolah masih
kurang optimal. Pembelajaran masih bersifat
konvensional, yaitu masih berpusat pada guru
(teacher centered) dan belum terciptanya
pembelajaran yang menyenangkan bagi siswa
melalui penggunaan media. Kondisi ini
menyebabkan siswa merasa cepat jenuh.
Dilihat dari sikap siswa selama mengikuti
pembelajaran, beberapa dari mereka kurang
memperhatikan penjelasan guru, kurang aktif,
dan belum melaksanakan instruksi guru
dengan baik.
Pembelajaran matematika pada dasarnya
harus melalui tahapan-tahapan yang urut. Tim
Direktorat Pembinaan Sekolah Dasar (2011: 1)
menyatakan tahapan aktivitas penguasaan
Prosiding Seminar Nasional Matematika dan Pendidikan Matematika. “Internalisasi Nilainilai Berpikir Matematis Dalam Peranannya di Era Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA)”
materi pelajaran matematika yaitu penanaman
konsep, pemahaman konsep, pembinaan
keterampilan, dan penerapan konsep. Untuk
menanamkan konsep kepada siswa, guru dapat
menggunakan alat peraga yang konkret.
Penggunaan alat peraga mulai dikurangi pada
tahap pemahaman konsep. Tahap selanjutnya
adalah pembinaan keterampilan untuk
mengembangkan keterampilan siswa dalam
mengoperasikan
konsep
yang
telah
dipelajarinya. Dalam pembinaan keterampilan,
guru dapat memberikan suatu simulasi atau
permainan
agar
siswa
memperoleh
pengalaman baru dan termotivasi dalam proses
pembelajaran. Menurut Neville dkk (2005:
171-172) permainan menyediakan pengalaman
relevan dan bermakna yang memungkinkan
anak-anak menyelenggarakan otonomi dan
bertanggung jawab atas pembelajaran mereka
sendiri.
Dengan
penjelasan
tersebut,
permainan memiliki peran penting dalam
memberikan kesan yang menarik dalam proses
pembelajaran. Setelah tahap pembinaan
keterampilan, siswa dapat menerapkan konsep
yang sudah dipelajarinya pada soal cerita
maupun dalam persoalan yang dijumpainya
sehari-hari.
Hasil wawancara dengan salah satu guru
kelas IV SD (Guru R) di UPK Purwokerto
Selatan
terkait
penggunaan
media
pembelajaran matematika masih sangat
sederhana dan kurang menarik perhatian
siswa. Guru R juga menjelaskan bahwa siswa
masih merasa kesulitan pada mata pelajaran
matematika materi pecahan. Lebih lanjut
dijelaskan bahwa media permainan kartu
domino pecahan yang pernah digunakan dalam
pembelajaran masih belum mampu dilalui
dengan baik oleh siswa. Berdasarkan hasil
wawancara tersebut, penulis melakukan
evaluasi bersama guru terhadap media kartu
domino pecahan yang pernah digunakan
dengan mengacu pada kriteria evaluasi media
menurut Susilana dan Riyana (2011: 227).
Beberapa kriterianya meliputi kesesuaian
media
dengan
tujuan
pembelajaran,
ketersediaan waktu penggunaannya, dan
kemudahan memperoleh media. Hasil evaluasi
menunjukkan
bahwa
masih
terdapat
kekurangan pada media kartu domino pecahan,
diantaranya media tidak menggunakan
beragam warna untuk menarik perhatian
siswa, kurang awet karena bahan medianya
terbuat dari kertas, jumlah soal terbatas hanya
sampai dua buah, dan tidak tersedia lembar
petunjuk
penggunaan,
baik
untuk
pembelajaran konsep maupun permainannya.
Dari hasil evaluasi tersebut, penulis
bermaksud mengembangkan media permainan
kartu domino menjadi media permainan balok
pecahan. Pengembangan didasarkan pada
konsep belajar dan bermain melalui learning
by doing maupun learning by playing sehingga
dapat membuat siswa lebih bersemangat dalam
belajar dan bisa memahami suatu materi
dengan baik. Ada beberapa penelitian yang
relevan dengan penelitian yang dilakukan oleh
penulis. Penelitian yang diperoleh dijadikan
pula pertimbangan oleh penulis dalam
melakukan penelitian. Penelitian yang
dimaksud dilakukan oleh Bainuddin Yani
tahun 2009 tentang “Pembelajaran Pecahan Di
Kelas III SD melalui Model Pembelajaran
Kooperatif dan Metode Permainan”. Dalam
penelitiannya, siswa yang diajarkan dengan
menggunakan model pembelajaran kooperatif
dan metode permainan berupa media model
kartu domino memperoleh prestasi belajar
yang lebih baik daripada siswa yang diajarkan
dengan model pembelajaran kooperatif saja.
Penelitian lainnya dilakukan oleh
Budiman tahun 2013 tentang “Pembelajaran
Pecahan Di Kelas III SD melalui Pendekatan
Kontekstual dan Metode Permainan”. Hasil
penelitiannya menunjukkan bahwa proses
pembelajaran
menggunakan
pendekatan
kontekstual
dan
metode
permainan
memberikan efek positif terhadap pemahaman
pecahan sederhana dan perbandingan dua
Pendidikan Matematika Universitas Muhammadiyah Purworejo ,
Ruang Seminar UMP, Sabtu, 28 Mei 2016
749
pecahan. Hasil analisis datanya juga
menunjukkan bahwa siswa yang diajarkan
menggunakan pendekatan kontekstual dan
metode permainan melalui media model kartu
domino memperoleh prestasi belajar yang baik
daripada siswa yang diajarkan dengan metode
konvensional. Dari penjelasan di atas, rumusan
masalah pada penelitian ini meliputi:
bagaimana bentuk pengembangan media
permainan
balok
pecahan
dalam
mengembangkan
keterampilan
mengoperasikan
pecahan?
bagaimana
kelayakan media permainan balok pecahan
dalam
mengembangkan
keterampilan
mengoperasikan
pecahan?
bagaimana
pengaruh media permainan balok pecahan
terhadap
prestasi
belajar
matematika?
bagaimana respon guru terhadap media
permainan
balok
pecahan
dalam
mengembangkan
keterampilan
mengoperasikan pecahan? dan bagaimana
respon siswa terhadap media permainan balok
pecahan dalam mengembangkan keterampilan
mengoperasikan pecahan?
Tujuan dilakukannya penelitian ini antara
lain untuk mengetahui bentuk pengembangan
media permainan balok pecahan dalam
mengembangkan
keterampilan
mengoperasikan pecahan, media permainan
balok pecahan layak digunakan dalam
mengembangkan
keterampilan
mengoperasikan pecahan, terdapat pengaruh
media permainan balok pecahan terhadap
prestasi belajar matematika, dan respon guru
dan siswa baik terhadap media permainan
balok pecahan dalam mengembangkan
keterampilan
mengoperasikan
pecahan.
Hipotesis penelitiannya meliputi media
permainan balok pecahan dapat dikembangkan
dalam pembelajaran matematika materi
pecahan, pengembangan media permainan
balok pecahan layak digunakan dalam
pembelajaran matematika materi pecahan,
prestasi belajar siswa meningkat setelah
menggunakan media permainan balok
750
pecahan, respon guru dan siswa baik terhadap
penggunaan media permainan balok pecahan
pada pembelajaran matematika materi
pecahan.
METODE PENELITIAN
Penelitian ini termasuk ke dalam jenis
penelitian dan pengembangan atau Research
and Development (R&D) karena penulis
melakukan penelitian terhadap media kartu
domino pecahan dan mengembangkan media
permainan balok pecahan untuk meningkatkan
keterampilan siswa kelas IV SD pada materi
pecahan. Sebelum proses penelitian dilakukan,
penulis melakukan ujicoba 10 soal untuk
menganalisis instrumen tesnya, meliputi
validitas, reliabilitas, daya pembeda, dan
tingkat kesukaran. Ujicoba tersebut dilakukan
di salah satu kelas IV B di UPK Sokaraja.
Setelah terpilih lima buah soal yang akan
digunakan untuk pretest dan posttest, penulis
menentukan kelas yang berperan sebagai kelas
kontrol dan eksperimen. Ujicoba media
permainan balok pecahan dilakukan pada
siswa kelas IV di salah satu SD di UPK
Purwokerto Selatan. Kelas tersebut menjadi
kelas eksperimen sedangkan untuk kelas
kontrolnya dilangsungkan di salah satu kelas
IV A di UPK Sokaraja.
Teknik pengumpulan data bertujuan
untuk
mengumpulkan
informasi
yang
disajikan
dalam
data-data
pendukung
penelitian. Teknik pengumpulan data pada
penelitian ini melalui non-tes dan tes. Teknik
non-tes meliputi pemberian angket kepada
validator ahli, guru, dan siswa. Angket validasi
meliputi angket validator ahli media, materi,
dan bahasa. Pada penelitian ini, skala
penelitian yang digunakan adalah 1 sampai 5
dimana 1 sebagai skor terendah dan 5 sebagai
skor tertinggi. Penentuan rentang dapat
diketahui melalui rumus berikut (Riduwan dan
Akdon, 2009: 36).
Rentang Skala = skor max – min
Prosiding Seminar Nasional Matematika dan Pendidikan Matematika. “Internalisasi Nilainilai Berpikir Matematis Dalam Peranannya di Era Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA)”
jumlah kelas
= 5 – 1 = 4 = 0,8
5
5
Berdasarkan penentuan rentang di atas
diperoleh rentang 0,8 sehingga kriteria respon
guru yang digunakan dapat dilihat pada rubrik
penilaian berikut (Mundir, 2013: 51).
Tabel 1. Rubrik Penilaian Non-Tes
Nilai Rata-Rata
4,2 ≤
Kriteria
Sangat Baik
≤5,0
Baik
3,4 ≤
< 4,2
Cukup Baik
2,6 ≤
< 3,4
Tidak Baik
1,8 ≤
< 2,6
Sangat Tidak Baik
1,0 ≤
< 1,8
Teknik tes yang digunakan meliputi
pretest dan posttest. Pretest diberikan sebelum
berlangsungnya permainan balok pecahan
sedangkan
posttest
diberikan
setelah
permainan dilangsungkan. Pada teknik
pengumpulan
data
non-tes,
penulis
menggunakan angket untuk memperoleh
beberapa informasi. Angket diberikan kepada
validator ahli, guru, dan siswa. Angket
validator ahli diberikan untuk memperoleh
masukan dalam merevisi media yang
dikembangkan sebelum diujicobakan. Angket
respon guru dan siswa diberikan setelah
ujicoba berlangsung di kelas eksperimen.
Angket respon guru dan siswa berfungsi untuk
mengetahui tanggapan mereka terhadap media
permainan balok pecahan.
Tes yang meliputi pretest dan posttest
diberikan untuk siswa di kelas kontrol dan
eksperimen. Soal posttest yang dibuat tidak
jauh berbeda dari soal pretest untuk kedua
kelas. Hasil pretest kedua kelas digunakan
untuk uji homogenitas dan normalitas data
sedangkan hasil posttest kedua kelas
digunakan untuk uji normalitas data. Untuk
menguji hipotesis yang telah dibuat, penulis
membandingkan hasil posttest kedua kelas
menggunakan independent sample t-test.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Pengembangan yang dilakukan oleh
penulis
pada
awalnya
memperhatikan
beberapa kekurangan dari media permainan
kartu domino pecahan yang pernah digunakan
oleh Guru R. Neville dkk (2005: 23)
menyebutkan bahwa permainan adalah
motivator yang penuh daya, mendorong anak
menjadi kreatif dan mengembangkan gagasan,
pemahaman, dan bahasa mereka. Dari
penjelasan tersebut, tujuan pengembangan
yang dilakukan adalah untuk meningkatkan
pemahaman
dan
keterampilan
siswa
mengoperasikan pecahan. Setelah dilakukan
penelitian dan pengembangan, dapat diketahui
kembali bahwa terdapat kesamaan dari
penelitian lain yang relevan dengan penelitian
penulis. Pada hasil identifikasi awal, metode
yang
digunakan
dalam
pembelajaran
matematika khususnya materi pecahan masih
konvensional. Perbedaan dari penelitian lain
yang relevan adalah pada media yang
digunakan. Untuk meningkatkan kualitas
proses dan hasil pembelajaran, kedua
penelitian lain yang relevan lebih memilih
menggunakan media permainan kartu domino
pecahan sedangkan penulis menggunakan
media permainan balok pecahan.
Adapun hasil dan pembahasan dari
penelitian dan pengembangan yang dilakukan
penulis sebagai berikut.
a. Bentuk Pengembangan Media
Pengembangan media yang dilakukan
oleh penulis adalah media permainan kartu
domino pecahan menjadi balok pecahan.
Silvestre dkk (2013: 309) menjelaskan
Pendidikan Matematika Universitas Muhammadiyah Purworejo ,
Ruang Seminar UMP, Sabtu, 28 Mei 2016
751
bahwa permainan domino terdiri dari 28
kartu dengan masing-masing kartu dibagi
menjadi dua bagian yang sama dan dengan
kombinasi yang berbeda dari bilangan bulat
0 sampai 6. Pada media permainan kartu
domino pecahan, dua bagian yang ada di
setiap kartunya berisi soal maupun jawaban
tentang
materi
pecahan.
Bentuk
pengembangan yang dilakukan oleh penulis
pada awalnya memperhatikan beberapa
kekurangan dari media permainan kartu
domino pecahan yang pernah digunakan
oleh Guru R. Pengembangannya meliputi
media tidak menggunakan beragam warna
untuk menarik perhatian siswa, bahan
kurang awet karena terbuat dari kertas,
jumlah soal terbatas sampai dua buah, dan
tidak tersedia lembar petunjuk penggunaan.
Dari hasil evaluasi tersebut, penulis
telah mengembangkan media permainan
balok pecahan untuk meningkatkan
keterampilan
siswa
mengoperasikan
pecahan.
Pengembangannya
meliputi
bentuk media yang diubah dari dua dimensi
menjadi tiga dimensi sehingga berbentuk
balok, jumlah soal pada setiap balok dapat
berjumlah tiga buah, penggunaan warna
balok dan tulisan dibuat lebih beragam agar
lebih menarik, jumlah balok tidak sebanyak
jumlah kartu pada permainan kartu domino
pecahan, dan tersedianya lembar petunjuk
pembelajaran konsep dan permainan.
Dengan
adanya
pengembangan
ini
diharapkan siswa dapat senang dan aktif
dalam pembelajaran matematika materi
pecahan. Seperti yang dijelaskan oleh
Dryden & Vos (2000) dalam (Darmansyah,
2010: 11) bahwa semangat belajar muncul
ketika suasana begitu menyenangkan dan
belajar akan efektif bila seseorang dalam
keadaan
gembira
dalam
belajar.
Pengembangan ini juga telah disesuaikan
dengan karakteristik siswa kelas tinggi
seperti yang dijelaskan oleh Djamarah
(2008: 124-125) bahwa siswa pada masa
752
ini gemar membentuk kelompok sebaya
dan bermain bersama-sama.
b. Kelayakan Media Permainan Balok
Pecahan
Kelayakan media diperoleh setelah
berlangsungnya proses validasi. Selama
proses validasi, penulis telah melakukan
revisi atau perbaikan atas saran tiga
validator ahli. Pada validasi media, penulis
telah mengganti bahan media dari kertas
karton menjadi kayu. Selain lebih awet,
media balok berbahan kayu lebih lebih
efektif dan efisien daripada menggunakan
kertas karton. Perbaikan berikutnya adalah
letak sisi putih yang dijodohkan diletakkan
pada bagian luar agar dapat dilihat dengan
mudah dan semua siswa yang bermain
dapat mengecek kebenaran jawabannya.
Pada aspek kegrafisan, tulisan soal dibuat
lebih besar dengan beragam warna. Adapun
produk media balok pecahan hasil validasi
dapat dilihat pada gambar 1.
.
Gambar 1. Produk Media Hasil
Validasi
Pada validasi materi, penulis telah
menyediakan
petunjuk
pembelajaran
konsep dan permainan balok pecahan.
Perbaikan pada validasi materi adalah
Prosiding Seminar Nasional Matematika dan Pendidikan Matematika. “Internalisasi Nilainilai Berpikir Matematis Dalam Peranannya di Era Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA)”
gambar lembar petunjuk pembelajaran
konsep harus lebih menarik dan teratur.
Kemudian pada validasi bahasa, perbaikan
yang dilakukan adalah pemberian tanda
bold atau italic untuk kata-kata yang
penting pada lembar petunjuk yang dibuat.
Petunjuk pembelajaran konsep dan
permainan balok pecahan dapat dilihat pada
gambar 2 dan gambar 3.
Gambar 3. Petunjuk Permainan
Balok Pecahan
Pada proses validasi, setiap validator
memberikan penilaiannya terkait aspekaspek yang ada pada angket validator ahli.
Beberapa aspek dan penilaiannya dapat
dilihat pada tabel 2.
Tabel 2. Hasil Penilaian Validator Ahli
Gambar 2. Petunjuk Pembelajaran
Konsep Pecahan
Petunjuk
pembelajaran
konsep
pecahan bertujuan untuk membantu siswa
mengingat kembali konsep pecahan yang
pernah dipelajarinya. Setelah selesai
menggunakan
petunjuk
pembelajaran
konsep, siswa dapat melangsungkan
permainan balok pecahan secara kelompok
dengan mengacu petunjuk permainan pada
gambar 3.
Rata- Kriteria
Rata
Sangat
5
Valid
No.
Aspek
1.
Judul Media
2.
Format
3.
Bermanfaat
(validasi media 4,5
dan materi)
Sangat
Valid
4.
Kegrafikaan
4
Valid
5.
Konsep
4
Valid
6.
Cakupan Materi
4
Valid
7.
Bahasa Petunjuk
3,8
Valid
5
Sangat
Valid
Dari tabel di atas dapat diketahui
Pendidikan Matematika Universitas Muhammadiyah Purworejo ,
Ruang Seminar UMP, Sabtu, 28 Mei 2016
753
bahwa seluruh aspek sudah valid. Rata-rata
total untuk keseluruhan aspek yaitu 4,35.
Menurut Mundir (2013: 51) kriteria untuk
skor rata-rata total antara 4,2 sampai 5,0
adalah sangat valid dan layak digunakan
dalam proses pembelajaran.
c. Pengaruh Media terhadap Prestasi
Belajar Matematika
Media yang telah dinyatakan valid
selanjutnya diujicobakan pada proses
pembelajaran. Desain penelitian yang
digunakan untuk ujicoba adalah the true
control group design. Tayibnapis (2008:
88) telah menjelaskan bahwa pada desain
ini terdiri dari dua kelompok, satu
kelompok diberi Program X atau perlakuan
dan satu kelompok tidak. Pada penelitian
ini penulis menggunakan dua kelas, yaitu
kelas kontrol dan eksperimen. Kedua kelas
diberikan pretest dan posttest dengan tipe
soal yang sama. Pengujian yang pertama
kali dilakukan adalah uji homogenitas dan
normalitas data menggunakan data hasil
pretest. Hasil yang diperoleh adalah kedua
kelas dalam kondisi awal yang sama atau
homogen dan berdistribusi normal. Setelah
penelitian selesai dilakukan, uji normalitas
data berikutnya menggunakan data hasil
posttest. Hasilnya menunjukkan bahwa data
posttest kedua kelas berdistribusi normal.
Setelah diketahui bahwa kedua kelas
homogen dan berdistribusi normal,
selanjutnya dilakukan uji hipotesis dengan
membandingkan hasil posttest kedua kelas
menggunakan independent sample t-test.
Pengujian
dilakukan
menggunakan
Statistical Product and Service Solutions
(SPSS).
Tabel 3. Independent Sample T-test
Sig.
(2tailed)
Equal
754
F Sig.
t
,267 ,607 2,127
variances
assumed
Equal
variances
not
assumed
2,128 61,908 ,037
Priyatno (2012: 24) menjelaskan
bahwa dalam pengambilan keputusan
berdasarkan
signifikansi
apabila
signifikansi lebih dari 0,05 maka Ho
diterima sedangkan kurang dari 0,05 maka
Ho ditolak. Dari tabel 3 diperoleh nilai
sig.(2-tailed) adalah 0,037. Hasil tersebut
lebih kecil dari 0,05 sehingga Ho ditolak
atau terdapat pengaruh media permainan
balok pecahan terhadap prestasi belajar
matematika.
Selain mengetahui adanya pengaruh
dari media permainan balok pecahan
terhadap prestasi belajar matematika, ratarata hasil posttest yang diperoleh dari
kedua kelas menunjukkan bahwa kelas
eksperimen memiliki skor rata-rata yang
lebih tinggi daripada kelas kontrol.
Tayibnapis (2008: 82) menjelaskan bahwa
apabila pada akhir program nilai posttest
kelas eksperimen lebih baik secara
signifikan daripada kelas kontrol, maka
dapat dikatakan perbedaan tersebut sebagai
akibat dari program X. Berdasarkan
pendapat tersebut, skor posttest untuk kelas
eksperimen lebih baik karena adanya
pengaruh dari media permainan balok
pecahan. Berbeda dengan kelas kontrol
yang tidak mendapat perlakuan, skor
posttest yang diperoleh lebih rendah.
d. Respon Guru
Respon guru diperoleh setelah
dilakukan ujicoba media dalam proses
pembelajaran. Respon guru bertujuan
sebagai data pendukung tentang tanggapan
terhadap media permainan balok pecahan.
Tabel berikut menunjukkan skor dari setiap
nomor pada angket respon guru.
df
62 ,037
Prosiding Seminar Nasional Matematika dan Pendidikan Matematika. “Internalisasi Nilainilai Berpikir Matematis Dalam Peranannya di Era Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA)”
Tabel 4. Hasil Angket Respon Guru
No.
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
Skor
5
5
5
4
4
4
5
5
5
5
Skor rata-rata yang diperoleh dari 10
aspek yang dinilai yaitu 4,7. Mundir (2013:
51) telah menentukan rentang skor untuk
pengklasifikasian kriteria angket respon
guru. Dari klasifikasi yang ada, kriteria
yang diperoleh untuk skor rata-rata antara
4,2 sampai 5,0 adalah sangat baik.
Mengacu pada ketentuan tersebut, respon
guru dalam penelitian ini adalah sangat
baik
terhadap
penggunaan
media
permainan
balok
pecahan
dalam
pembelajaran matematika materi pecahan.
e. Respon Siswa
Respon siswa diperoleh setelah siswa
menyelesaikan
proses
pembelajaran
menggunakan media permainan balok
pecahan. Respon siswa berfungsi untuk
memperoleh data tentang tanggapan siswa
terhadap media permainan balok pecahan
yang diterapkan dalam pembelajaran.
Tabel 5. Hasil Angket Respon Siswa
Kriteria
Jumlah Siswa
Sangat Baik
25
Baik
6
Tidak Baik
-
Sangat Tidak Baik
-
Dari tabel 5 dapat diketahui jumlah
siswa
yang
telah
memberikan
tanggapannya terhadap penggunaan media
permainan balok pecahan. Rata-rata akhir
untuk empat kriteria respon siswa yaitu
3,51. Mengacu pada pengklasifikasian
kriteria menurut Mundir (2013: 51), respon
siswa
terhadap
penggunaan
media
permainan
balok
pecahan
secara
keseluruhan dinyatakan sangat baik.
KESIMPULAN
Berdasarkan penelitian yang telah
dilakukan maka dapat disimpulkan bahwa:
a. Bentuk pengembangan media permainan
balok pecahan merupakan pengembangan
dari media permainan kartu domino
pecahan. Pengembangan dilakukan karena
terdapat beberapa kekurangan dari media
awal yang digunakan oleh Guru R. Bentuk
pengembangan telah disesuaikan dengan
kebutuhan dan karakteristik siswa, tahapan
pembinaan keterampilan, dan indikator
pada
materi
pecahan.
Bentuk
pengembangan meliputi perubahan bentuk
awal, bahan, warna, jumlah balok,
ketersediaan lembar petunjuk pembelajaran
konsep dan petunjuk permainan.
b. Kelayakan media permainan balok pecahan
diperoleh dari hasil analisis angket validasi
ahli. Angket diberikan kepada validator
ahli media, materi, dan bahasa. Setelah
dianalisis, diperoleh rata-rata total untuk
keseluruhan aspek yaitu 4,35. Dari hasil
tersebut, media permainan balok pecahan
dinyatakan layak digunakan dalam proses
pembelajaran.
c. Terdapat pengaruh media permainan balok
pecahan
terhadap
prestasi
belajar
matematika. Dari hasil uji hipotesis
menggunakan independent sample t-test
menunjukkan bahwa signifikansi yang
diperoleh adalah 0,037. Hasil tersebut lebih
kecil dari 0,05 sehingga Ho ditolak atau
terdapat pengaruh media permainan balok
pecahan
terhadap
prestasi
belajar
matematika.
d. Respon guru terhadap media permainan
balok pecahan yang digunakan dalam
proses pembelajaran adalah sangat baik.
Hal ini ditandai dengan rata-rata angket
respon guru yang diperoleh dari 10 aspek
pernyataan yaitu 4,7.
e. Respon siswa sangat baik terhadap
penggunaan media permainan balok
pecahan dalam proses pembelajaran. Hal
Pendidikan Matematika Universitas Muhammadiyah Purworejo ,
Ruang Seminar UMP, Sabtu, 28 Mei 2016
755
ini terbukti dari hasil rata-rata akhir respon
siswa adalah 3,51.
REFERENSI
Budiman. (2013). Pembelajaran Pecahan di
Kelas III SD melalui Pendekatan
Kontekstual dan Metode Permainan. Jurnal
Pendidikan Serambi Ilmu. 14 (2), 77.
Darmansyah. (2010). Strategi Pembelajaran
Menyenangkan dengan Humor. Jakarta: PT
Bumi Aksara.
Djamarah, Syaiful B. (2008). Psikologi
Belajar. Jakarta: Rineka Cipta.
Mundir.
(2013).
Statistik
Pendidikan:
Pengantar Analisis Data untuk Penulisan
Skripsi dan Tesis. Yogyakarta: Pustaka
Pelajar.
Neville, dkk. (2005). Mengajar Lewat
Permainan Pemikiran Para Guru dan
Praktik di Kelas. Jakarta: PT Grasindo
Anggota Ikapi.
PISA 2012 Results in Focus: What 15-yearolds know and what they can do with what
they know. OECD.
756
Priyatno, D. (2012). Belajar Praktis Analisis
Parametrik dan Non Parametrik dengan
SPSS. Yogyakarta: Gava Media.
Riduwan dan Akdon. (2009). Rumus dan Data
dalam Analisis Statistika. Bandung:
Alfabeta.
Silvestre, dkk. (2013). The Domino Game and
The Euler Cycle. International Journal of
Computer Science and Information
Technology & Security, 3 (5), 309.
Susilana, Rudi dan Cepi Riyana. (2011).
Media Pembelajaran. Bandung: CV
Wacana Prima.
Tayibnapis, Farida Y. (2008). Evaluasi
Program dan Instrumen Evaluasi untuk
Program Pendidikan dan Penelitian.
Jakarta: Rineka Cipta.
Tim Direktorat Pembinaan Sekolah Dasar.
(2011).
Pedoman
Pembelajaran
Matematika Sekolah Dasar. Jakarta:
Kemendiknas.
Yani, Bainuddin. (2009). Pembelajaran
Pecahan di Kelas III SD melalui Model
Pembelajaran Kooperatif dan Metode
Permainan. Jurnal Pencerahan, 6 (1), 54.
Prosiding Seminar Nasional Matematika dan Pendidikan Matematika. “Internalisasi Nilainilai Berpikir Matematis Dalam Peranannya di Era Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA)”
APLIKASI METODE PEMBELAJARAN KUMON
UNTUK MENINGKATKAN PRESTASI BELAJAR MATEMATIKA MATERI
HUBUNGAN ANTARSATUAN DI KELAS III
SD NEGERI 1 PEKAJA
Desi Setiyadi1, Sony Irianto2
Fakultas Keguruan Dan Ilmu Pendidikan
Universitas Muhammadiyah Purwokerto
email : [email protected]
2
Fakultas Keguruan Dan Ilmu Pendidikan
Universitas Muhammadiyah Purwokerto
1
Abstrak
Penelitian ini bertujuan untuk meningkatkan prestasi belajar matematika materi hubungan
antarsatuan di kelas III SD Negeri 1 Pekaja. Subyek penelitian ini adalah peserta didik kelas III
SD Negeri 1 Pekaja Kecamatan Kalibagor Kabupaten Banyumas yang berjumlah 32 peserta didik
yang
terdiri
dari
15 peserta didik laki-laki dan 17 peserta didik perempuan. Penelitian merupakan penelitian
tindakan kelas yang dilaksanakan dalam 2 siklus di mana setiap siklusnya terdiri dari dua kali
pertemuan. Setiap siklus terdiri dari perencanaan, pelaksanaan, observasi, evaluasi, dan refleksi.
Setiap pertemuan diadakan evaluasi dengan menggunakan tes tertulis. Data hasil penelitian
dianalisis dengan menggunakan analisis deskriptif. Hasil penelitian pada pembelajaran
matematika dengan menggunakan metode pembelajaran Kumon dapat meningkatkan prestasi
belajar peserta didik. Hasil prestasi belajar peserta didik ditandai dengan meningkatnya
presentasi kelulusan dari siklus I ke siklus II yaitu dari 71,87% menjadi 93,75%. Dapat
disimpulkan bahwa metode pembelajaran Kumon dapat meningkatkan hasil prestasi belajar
matematika di kelas III SD Negeri 1 Pekaja Kecamatan Kalibagor Kabupaten Banyumas.
Kata Kunci : Prestasi Belajar, Pembelajaran Kumon, Matematika..
I.
PENDAHULUAN
Pendidikan sangat penting bagi setiap
individu yang dimulai sejak dari individu
berada di kandungan ibunda sampai individu
tersebut meninggal. Pendidikan dimulai dari
lingkungan keluarga, yaitu pendidikan yang
didapat dari orang tua, dan anggota keluarga
yang lain seperti kakak, paman, bibi dan
kakek nenek. Ketika individu sudah mulai
berkembang
maka
selanjutnya
dari
lingkungan sekitar yaitu berupa pendidikan
formal maupun non formal. Setiap individu
yang berada di sekolah maka ada yang
bertanggungjawab
untuk
membimbing
menjadi seorang yang menjadi lebih dewasa
yaitu pendidik.
Matematika masih dianggap sebagai
mata pelajaran yang sulit. Bahkan dalam
fenomena yang ada menunjukan bahwa
proses belajar yang tidak menggunakan
media dan metode pembelajaran yang
menyenangkan akan mengakibatkan anak
menjadi lebih pasif untuk mempelajari mata
pelajaran matematika.
Heruman
(2007:
1)
berpendapat
matematika didefinisikan secara akurat pada
umumnya
mempunyai
satu
cabang
matematika elementer disebut aritmatika
Pendidikan Matematika Universitas Muhammadiyah Purworejo ,
Ruang Seminar UMP, Sabtu, 28 Mei 2016
757
atau ilmu hitung yang secara informal dapat
bahwa metode pembelajaran sangat penting
diartikan sebagai ilmu tentang berbagai
dalam pembelajaran berlangsung.
bilangan yang diperoleh dari bilangan bulat
Tujuan dari penelitian sebagai berikut
0, 1, 2, 3,.., dst, yang melalui operasi
ini : a) Mengkaji metode pembelajaran
matematika
pertambahan,
Kumon pada mata pelajaran matematika
pengurangan, perkalian, dan pembagian.
materi Hubungan Antarsatuan siswa kelas
Observasi yang telah membuktikan bahwa
III SD Negeri 1 Pekaja, b) Meningkatkan
kelas III B di SD Negeri 1 Pekaja
prestasi
menggunakan alat peraga yang sangat
Hubungan Antarsatuan siswa kelas III SD
sederhana
Negeri
yaitu
yaitu
penggaris
dan
jam.
belajar
1
matematika
Pekaja
Pembelajaran dengan alat peraga yang
pembelajaran Kumon.
minim akan membuat hasil pembelajaran
TINJAUAN PUSTAKA
tidak bisa maksimal.
Peneliti
melalui
materi
metode
a. Prestasi Belajar
langsung
Slameto (2010 : 2) berpendapat
pembelajaran yang ada, dan mendapatkan
bahwa belajar adalah suatu proses usaha
hasil
yang
ulangan
telah
melihat
pada
materi
Hubungan
dilakukan
seseorang
untuk
Antarsatuan dengan Kriteria Ketuntasan
memperoleh suatu perubahan tingkah laku
Minimal (KKM) sebesar 63 sebagai berikut.
yang baru secara keseluruhan, sebagai hasil
Tabel 1.1 Hasil Ulangan Materi Hubungan
Antarsatuan Tahun Ajaran 2011/ 2012
Jml
siswa
16
Tahun
Ajaran
2011/
2012
Tuntas
56,25
%
Tidak
Tuntas
43,75%
RataRata
65,31
yang diharapkan bisa meningkatkan hasil
materi
Hubungan
Antarsatuan.
Metode pembelajaran Kumon dapat
meningkatkan
kecepatan
intelegensi,
dalam
berpikir
kreativitas,
karena
dalam
lingkungannya.
interaksi
Poerwodarminto
belajar yaitu penguasaan pengetahuan atau
solusi yaitu metode pembelajaran Kumon
matematika
dengan
sendiri
(1994 : 769) berpendapat bahwa prestasi
untuk itu peneliti akan memberikan sebuah
belajar
pengalamannya
di
dalamnya mengacu siswa agar cepat dan
tanggap menghadapi soal yang diberikan
guru, jika salah diperbaiki sendiri oleh
siswa, jika siswa salah sebanyak lima kali
keterampilan yang dikembangkan melalui
mata
pelajaran,
lazimnya
ditunjukkan
dengan nilai tes atau angka nilai yang
diberikan oleh guru.
Berdasarkan beberapa pendapat di
atas dapat disimpulkan bahwa prestasi
belajar merupakan suatu keberhasilan yang
diperoleh seseorang dari proses perubahan
yang
terjadi
pada
seseorang
karena
berinteraksi dengan lingkungan sebagai
hasil dari pengalaman yang dinamakan
sebagai poses belajar.
guru membimbing. Maka dapat disimpulkan
758
Prosiding Seminar Nasional Matematika dan Pendidikan Matematika. “Internalisasi Nilainilai Berpikir Matematis Dalam Peranannya di Era Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA)”
b.
Pengertian Metode Pembelajaran Kumon
digunakan
pembelajaran
dengan
Metode Kumon adalah suatu metode
menggunakan beberapa langkah, antara lain
belajar dari Jepang dan dikembangkan
sebagai berikut : 1) Guru menyajikan
pertama kali oleh Toru Kumon, seorang
konsep dan siswa memperhatikan penyajian.
guru matematika SMU yang pada awalnya
2) Siswa mengambil buku saku yang telah
ingin
matematika
disediakan, menyerahkan lembar kerja PR
anaknya yang bernama Takeshi Kumon
yang sudah dikerjakannya di rumah, dan
waktu itu masih duduk di kelas 2 SD.
mengambil
membantu
pelajaran
Maftukhi (2011) berpendapat bahwa
lembar
kerja
yang
telah
dipersiapkan guru untuk dikerjakan siswa
metode Kumon adalah sistem belajar yang
pada
memberikan
mengerjakan lembar kerjanya. 4) Setelah
program
belajar
secara
hari
tersebut.
3)
lembar
mulai
selesai
masing-masing, yang memungkinkan siswa
diserahkan kepada guru untuk diperiksa dan
menggali
potensi
mengerjakan,
Siswa
perseorangan sesuai dengan kemampuan
kerja
dirinya
dan
diberi nilai. Di sisi lain, siswa berlatih
kemampuannya
secara
dengan alat bantu belajar. e) Setelah lembar
maksimal dan menambahkan pembelajaran
kerja selesai diperiksa dan diberi nilai, guru
Kumon
mencatat hasil belajar hari itu pada “Daftar
mengembangkan
adalah
pembelajaran
yang
mengaitkan antarkonsep, keterampilan, kerja
Nilai”.
individual dan menjaga suasana nyaman
penyusunan program belajar berikutnya.
menyenangkan.
f) Bila ada bagian yang masih salah, siswa
Maka
dapat
Hasil
tersebut
dianalisa
untuk
metode
diminta untuk membetulkan bagian tersebut
Kumon adalah belajar perseorangan. Siswa
hingga semua lembar kerjanya memperoleh
mulai dari level yang dikerjakan sendiri
nilai 100, agar siswa menguasai pelajaran
dengan mudah, tanpa kesalahan. Lembar
dan tidak mengulangi kesalahan yang sama.
kerja dibuat sedemikian rupa sehingga siswa
g) Jika siswa sampai mengulang lima kali,
dapat
bagaimana
maka guru melakukan pendekatan kepada
menyelesaikan soalnya. Jika siswa terus
siswa dan menanyakan tentang kesulitan-
belajar dengan kemampuannya sendiri, ia
kesulitan yang dihadapi. h) Setelah selesai,
akan mengejar bahan pelajaran yang setara
siswa mengikuti latihan secara lisan.
dengan tingkatan kelasnya bahkan maju d.
Pengertian Matematika
memahami
disimpulkan
sendiri
melampauinya.
c.
dalam
Penggunaan
Hamzah dan Kuadrat (2009: 109)
Metode
Kumon
dalam
Maftukhi (2011) berpendapat bahwa
Kumon
bahwa
sebagai suatu
Pembelajaran
metode
berpendapat
adalah
metode
yang
matematika
bidang
ilmu
adalah
yang
merupakan alat pikir, berkomunikasi, alat
untuk
memecahkan
berbagai
persoalan
Pendidikan Matematika Universitas Muhammadiyah Purworejo ,
Ruang Seminar UMP, Sabtu, 28 Mei 2016
759
praktis, yang
unsur-unsurnya logika dan
konsep matematika, menjelaskan keterkaitan
intuisi, analisis, dan kontruksi, generalitas
antar konsep atau alogaritma, secara luwes,
dan individualitas dan mempunyai cabang-
akurat, dan
cabang antara lain aritmatika,
pemecahan
geometri dan
(Suwansih
aljabar,
analisis. Sedangkan Kline
dan
Tiurlina,
dalam
masalah.
b) Menggunakan penalaran pada pola dan
4)
sifat, melakukan manipulasi matematika
berpendapat bahwa matematika itu bukan
dalam membuat generalisasi, menyusun
pengetahuan
bukti,
menyendiri
2006:
efisien, dan tepat
yang
dapat
atau
menjelaskan
gagasan
dan
sempurna karena dirinya sendiri, tetapi
pernyataan matematika. c) Memecahkan
adanya matematika itu terutama untuk
masalah
membantu dalam memakai dan menguasai
memahami masalah, merancang metode
permasalahan sosial, ekonomi, dan alam.
matematika, menyelesaikan metode dan
Maka
dapat
disimpulkan
bahwa
yang
menafsirkan
meliputi
solusi
yang
kemampuan
diperoleh.
matematika adalah ilmu deduktif yang
d) Mengkomunikasikan gagasan dengan
teroranisasikan dari unsur-unsur yang tidak
simbol, tabel, diagram, atau media lain
didefinisikan dan dapat digunakan untuk
untuk memperjelas keadaan atau masala.
membantu
e) Memiliki sikap menghargai kegunaan
dalam
memberikan
cara
menyelesaikan berbagai persoalan.
matematika dalam kehidupan yaitu memiliki
Tujuan mata pelajaran matematika
rasa ingin tahu, perhatian dan minat
dalam KTSP 2006 di SD/ MI (BNSP, 2006:
mempelajari matematika serta sikap ulet dan
148)
percaya diri dalam memecahkan masalah.
agar
peserta
didik
memiliki
kemampuan sebagai berikut : a) Memahami
e.
Materi Hubungan Antarsatuan
a.
Panjang
km
hm dam
: 10
Setiap naik 1
tangga dibagi 10
x 10 Setiap turun 1
m
tangga dikalikan 10
dm
cm
b. Waktu
760
Catatan :
1 km = 1.000 m
1m
= 100 cm
1 dm = 10 cm
1 cm = 10 mm
mm
c. Berat
1) Satu tahun ada 12 bulan.
1) 1 kg
= 1000 gram
2) Satu bulan ada 30 hari.
2) 1 kg
= 10 ons
3) Satu minggu ada 7 hari.
3) 1 ons
= 100 gram
Prosiding Seminar Nasional Matematika dan Pendidikan Matematika. “Internalisasi Nilainilai Berpikir Matematis Dalam Peranannya di Era Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA)”
II.
METODE PENDEKATAN
a. Data dan Cara Pengambilan
Penelitian ini dibutuhkan data
kualitatif dan kuantitatif sehingga
digunakan metode pengumpulan data
sebagai berikut : 1) Metode Observasi
yaitu digunakan untuk mengumpulkan
data kualitatif yang berkaitan dengan
perilaku anak didik selama proses
pembelajaran
berlangsung.
Proses
pengumpulan data ini dilakukan oleh
pengamat, dengan mengisi lembar
observasi yang telah disiapkan. 2)
Metode Tes yaitu digunakan untuk
memperoleh data prestasi anak didik,
untuk mengukur tingkat penguasaan
materi sesudah diberi tindakan. 3)
Metode Wawancara merupakan cara
III.
untuk memperoleh data kuantitatif dan
mengetahui apabila ada anak didik yang
bermasalah
sesudah
dilakukan
pelaksanaan tindakan berakhir.
b. Metode Analisis Data
Data yang dikumpulkan pada
setiap
kegiatan
observasi
dari
pelaksanaan siklus penelitian dianalisis
secara deskriptif dengan menggunakan
teknik
persentase
untuk
melihat
kecenderungan yang terjadi dalam
kegiatan
pembelajaran.
1) Prestasi belajar adalah menganalisis
nilai rata-rata ulangan harian. Kemudian
dikategorikan dalam klasifikasi tinggi,
sedang,
dan
rendah.
2) Aktivitas peserta didik dalam proses
belajar mengajar matematika yaitu
dengan menganalisis tingkat keaktifan
peserta didik dalam proses belajar
mengajar
matematika.
Kemudian
dikategorikan dalam kategori tinggi,
sedang dan rendah. 3) Implementasi
pembelajaran metode Kumon yaitu
dengan manganalisis tingkat keberhasilan
implementasi metode Kumon kemudian
dikategorikan dalam klasifikasi berhasil
dan tidak berhasil.
c. Indikator Keberhasilan
Penelitian ini dinyatakan berhasil
apabila memenuhi indikator-indikator
sebagai berikut : 1) Sekurang-kurangnya
85% jumlah peserta didik telah
memenuhi
KKM
mata
pelajaran
matematika
materi
Hubungan
Antarsatuan
yaitu
71.
2) Adanya peningkatan prestasi peserta
didik pada materi hubungan antar satuan
dengan menggunakan metode Kumon
sekurang-kurangnya 85% dari skor
maksimal
seluruh
peserta
didik.
3) Metode Kumon dikatakan berhasil jika
kedua indikator di atas sudah tercapai.
HASIL DAN PEMBAHASAN
a. Siklus I
Siklus I ini dilakukan dalam dua kali
pertemuan. Berikut hasil pada siklus I: 1)
Sudah
ditemukannya
metode
pembelajaran matematika yang mampu
membuat suasana pembelajaran yang
aktif dan menyenangkan dengan
melibatkan peserta didik dalam proses
pembelajaran, yaitu dengan metode
Kumon. Terbukti pada saat kami
melaksanakan
pembelajaran
menggunakan metode Kumon ditambah
dengan media “Tangga Ceritaku”,
peserta didik kelas III SD Negeri 1
Pekaja terlihat sangat antusias dan sangat
senang pada saat proses pembelajaran.
2) Dalam proses pembelajaran peserta
didik masih bingung karena belum
terbiasa dengan metode pembelajaran
Kumon. Dengan kata lain proses
pembelajaran
yang
selama
ini
dilaksanakan pada kelas III SD Negeri 1
Pekaja
masih
konvensional.
3) Memperbaiki pembelajaran guru
dalam penyampaian materi tentang
matematika di kelas III SD Negeri 1
Pekaja. 4) Saat pelaksanaan siklus I,
sudah terlihat adanya peningkatan
Pendidikan Matematika Universitas Muhammadiyah Purworejo ,
Ruang Seminar UMP, Sabtu, 28 Mei 2016
761
prestasi dan minat peserta didik kelas III
pada mata pelajaran matematika materi
Hubungan Antarsatuan. Walaupun tidak
semua peserta didik tuntas, akan tetapi
persentase ketuntasan sudah mencapai
71,87% dibandingkan nilai sebelumnya
yang hanya 43,75%. 5) Rata-rata
perolehan hasil tes peserta didik terhadap
materi pembelajaran masih tergolong
sedang, yaitu hanya mencapai 85,94. 6)
Karena pelaksaan siklus I belum
mencapai indikator keberhasilan, maka
dilaksanakan siklus II.
b. Siklus II
Siklus II ini dilakukan dalam dua
kali pertemuan. Berikut hasil pada siklus
II : Sudah ditemukannya metode
pembelajaran matematika yang mampu
membuat suasana pembelajaran yang
aktif dan menyenangkan dengan
melibatkan peserta didik dalam proses
pembelajaran, yaitu dengan metode
Kumon. Terbukti pada saat kami
melaksanakan
pembelajaran
menggunakan metode Kumon ditambah
dengan media “Tangga Ceritaku”,
IV.
peserta didik kelas III SD Negeri 1
Pekaja terlihat sangat antusias dan sangat
senang pada saat proses pembelajaran.
Dalam proses pembelajaran pertemuan
pertama, peserta didik mulai terbiasa
dengan metode pembelajaran Kumon.
Dan pada pertemuan kedua, peserta didik
sudah lancar dan mengetahui bagaimana
langkah-langkah metode pembelajaran
Kumon.
V.
2) Meningkatkan kualitas standar
kompetensi dalam mata pelajaran
matematika di kelas III SD Negeri 1
Pekaja. Saat pelaksanaan siklus II, sudah
terlihat adanya peningkatan prestasi dan
minat peserta didik kelas III pada mata
pelajaran matematika materi Hubungan
Antarsatuan dari siklus I ke siklus II.
Walaupun tidak semua peserta didik
tuntas, akan tetapi persentasi ketuntasan
sudah mencapai 93,75% dibandingkan
762
nilai sebelumnya pada siklus I yang
hanya 71,87% . 3) Rata-rata perolehan
hasil tes peserta didik terhadap materi
pembelajaran masih tergolong tinggi,
yaitu mencapai 88,75. 4) Karena
pelaksaan siklus II sudah mencapai
indikator keberhasilan, maka dapat
dinyatakan
bahwa
pembelajaran
matematika
dengan
menggunakan
metode Kumon sudah berhasil.
Gambar 1. Diagram Siklus
KESIMPULAN
Aplikasi
metode
pembelajaran
Kumon dapat meningkatkan prestasi
belajar matematika materi Hubungan
Antarsatuan
di
kelas
III
SD Negeri 1 Pekaja. Preastasi meningkat
dari 71,87% di siklus I menjadi 93,75%
di siklus II.
REFERENSI
Badan Standar Nasional Pendidikan. 2006.
Standar
Kompetensi
dan
Kompetensi Dasar. Jakarta
Hamzah dan Kuadrat, M. 2009. Mengelola
Kecerdasan dalam Pembelajaran
sebuah
Konsep
Pembelajaran
Berbasis Kecerdasan. Jakarta: PT
Bumi Aksara.
Heruman. 2007. Metode Pembelajaran
Matematika di Sekolah Dasar.
Bandung : PT Remaja Rosdakarya.
Prosiding Seminar Nasional Matematika dan Pendidikan Matematika. “Internalisasi Nilainilai Berpikir Matematis Dalam Peranannya di Era Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA)”
Maftukhi. 2011. Metode Pembelajaran
Kumon. Tersedia di http://muvtukhi.blogspot.com/2011/02/Metode
-pembelajaran-kumon.html diakses
pada tanggal 19 Maret 2013.
Poerwodarminto. 1994. Kamus Besar
Bahasa Indonesia. Yogyakarta :
IKIP.
Slameto. 2010. Belajar dan Faktor–faktor
yang Mempengaruhinya. Jakarta:
Rineka Cipta.
Suwangsih, E dan Tiurlina. 2006. Model
Pembelajaran
Matematika.
Bandung: UPI PRES
Pendidikan Matematika Universitas Muhammadiyah Purworejo ,
Ruang Seminar UMP, Sabtu, 28 Mei 2016
763
PENINGKATAN KREATIFITAS MAHASISWA DALAM PENERAPAN PRINSIP
KALKULUS MELALUI MODEL PEMBELAJARAN IMPROVE
Eka Nurdini1), Iffah Ulyalina2)
Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam, Universitas Negeri Semarang
email: [email protected]
2
Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam, Universitas Negeri Semarang
email: [email protected]
1
Abstrak
Sumber daya manusia merupakan faktor yang harus dikembangkan untuk menghadapi MEA.
Sabella dan Redish (2011) menyatakan bahwa kebanyakan mahasiswa memiliki pemahaman yang
dangkal dan tidak lengkap tentang konsep dasar dalam kalkulus. Kalkulus merupakan cabang ilmu
yang mendasari teknik pemodelan untuk menyelesaikan suatu masalah di kehidupan sehari-hari.
Sehingga peneliti menghadirkan suatu model pembelajaran yaitu IMPROVE dengan tujuan untuk
meningkatkan pemahaman serta kreatifitas mahasiswa dalam menerapkan prinsip kalkulus.
Penelitian ini merupakan penelitian tindakan kelas dengan responden adalah mahasiswa jurusan
matematika FMIPA Unnes sebanyak 50 orang yang dibagi menjadi 2 kelas dengan perlakuan yang
berbeda. Peneliti membandingkan model presentasi dan model IMPROVE dengan menggunakan
analisis data kualitatif. Hasil penelitian menunjukkan bahwa model IMPROVE dapat meningkatkan
pemahaman dan kreatifitas mahasiswa dalam menerapkan prinsip kalkulus untuk menyelesaikan
masalah kehidupan sehari-hari.
Kata Kunci: Model IMPROVE, Model Presentasi, Pemahaman, Kreatifitas, Penerapan Kalkulus
PENDAHULUAN
Menurut laporan dari UNDP tahun 2014,
dilihat dari Human Development Indeks (HDI)
atau Indeks Pembangunan Manusia (IPM),
Indonesia berada pada peringkat ke 108 dari
187 negara. Kita berada di bawah negaranegara tetangga seperti Singapura (peringkat
18), Malaysia (peringkat 64), Thailand
(peringkat 103), dan Filipina (peringkat 114).
Data tersebut menunjukkan bahwa kesiapan
Indonesia untuk menghadapi MEA masih
belum matang.
Disebutkan di dalam NCTM (2000) bahwa
barangsiapa mengerti dan dapat menerapkan
matematika akan memiliki kesempatan dan
pilihan yang signifikan untuk membentuk masa
depan mereka. Kompetensi matematika
membuka pintu untuk masa depan yang
produktif.
Peneliti telah melakukan observasi kegiatan
perkuliahan dan pengumpulan data kuesioner di
764
jurusan
matematika
FMIPA
Unnes.
Berdasarkan
hasil
tersebut,
diketahui
mahasiswa mengalami kesulitan memahami
materi kalkulus serta belum ada upaya
eksplorasi mengenai penerapan kalkulus.
Salah satu model pembelajaran mata kuliah
kalkulus yang diterapkan di jurusan matematika
FMIPA Unnes adalah model presentasi. Model
presentasi mendorong mahasiswa untuk
memelajari materi kalkulus secara mandiri dan
memungkinkan mahasiswa saling berinteraksi
satu sama lain, tetapi model ini sering kali tidak
menjadikan mahasiswa paham terhadap materi
yang sedang dipelajari. Banyak mahasiswa
yang mendapat sedikit pemahaman dan
memelajari materi yang sekiranya dapat
disampaikan di depan kelas. Pemahaman yang
kurang terhadap mata kuliah kalkulus
menjadikan mahasiswa memiliki rasa ingin
tahu yang rendah terhadap penerapan kalkulus
sehingga mahasiswa kurang mengekspor
keberadaan penerapan kalkulus. Sehingga
Prosiding Seminar Nasional Matematika dan Pendidikan Matematika. “Internalisasi Nilainilai Berpikir Matematis Dalam Peranannya di Era Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA)”
kreativitas mahasiswa
kalkulus rendah.
terkait
penerapan
Berdasarkan uraian di atas, perlu diadakan
penelitian yang bertujuan meningkatkan
pemahaman sekaligus kreativitas mahasiswa
dalam penerapan kalkulus melalui model
pembelajaran IMPROVE.
Permasalahan pada penelitian ini adalah (1)
apakah pemahaman mahasiswa terhadap materi
kalkulus melalui model IMPROVE dapat
terbentuk?; (2) apakah kreativitas mahasiswa
terhadap penerapan materi kalkulus melalui
model IMPROVE dapat terbentuk?.
Tujuan penelitian ini adalah (1) untuk
mengetahui
peningkatan
pemahaman
mahasiswa terhadap materi kalkulus melalui
penerapan model IMPROVE; (2) untuk
mengetahui peningkatan kreativitas mahasiswa
terhadap penerapan materi kalkulus melalui
penerapan model IMPROVE.
KAJIAN LITERATUR DAN
PEGEMBANGAN HIPOTESIS
Model IMPROVE
Model
IMPROVE
adalah
model
pembelajaran
yang
mendorong
siswa
menemukan sendiri suatu konsep dengan
bimbingan dari fasilitator. Mavarech dan
Kramarski (1997: 365-394) menyebutkan
bahwa IMPROVE merupakan akronim dari
Introducing the new concepts, Metacognitive
questioning, Practicing, Reviewing and
reducing difficulties, Obtaining mastery,
Verification, and Enrichment.
Berdasarkan akronim tersebut, maka
metode ini dapat dijabarkan sebagai berikut.
a. Menghantarkan
konsep-konsep
baru
(Introducing the new concepts) Pada tahap
ini guru berperan sebagai fasilitator untuk
membimbing siswa menemukan konsep
secara mandiri. Hal ini dicirikan dengan
guru tidak memberikan begitu saja hasil
akhir dari suatu konsep. Guru membimbing
siswa menemukan suatu konsep dengan
memberikan pertanyaan-pertanyaan yang
mengarah pada penemuan suatu konsep.
b. Mengajukan
pertanyaan
metakognitif.
Menurut Kramarski (2003:170) pertanyaan
metakognitif itu sebagai berikut. 1)
Pertanyaan pemahaman masalah Pertanyaan
yang mendorong siswa membaca soal,
menggambarkan konsepnya dengan katakata sendiri dan mencoba memahami makna
konsepnya. Contoh: “Keseluruhan masalah
ini menggambarkan tentang apa?” 2)
Pertanyaan strategi Pertanyaan yang
didesain untuk mendorong siswa agar
mempertimbangkan strategi yang cocok
untuk memecahkan masalah yang diberikan
dan memberikan alasannya. Contoh:
“Strategi, taktik, atau prinsip apa yang
cocok untuk memecahkan masalah tersebut?
Mengapa?”
3)
Pertanyaan
koneksi
Pertanyaan yang mendorong siswa untuk
melihat persamaan dan perbedaan suatu
konsep atau permasalahan. Contoh: “Apa
persamaan
atau
perbedaan
antara
permasalahan
sekarang
dengan
permasalahan yang telah dipecahkan waktu
lalu? Mengapa ?” Pada tahap ini guru
berperan sebagai fasilitator dalam membuat
pertanyaan-pertanyaan metakognitif dan
mengarahkan siswa untuk menjawab
pertanyaan tersebut.
c. Berlatih (Practicing) Pada tahap ini guru
memberikan latihan kepada siswa secara
kelompok dalam bentuk soal-soal.
d. Mengulas
dan
mereduksi
kesulitan
(Reviewing and reducing difficulties) Pada
tahap ini guru melakukan pengulasan atau
pembahasan terhadap kesulitan-kesulitan
yang dialami siswa sewaktu memahami
materi atau menjawab soal-soal. Guru dapat
melakukan hal ini dengan diskusi kelas.
Selanjutnya guru memberikan solusi guna
menjawab kesulitan-kesulitan yang dialami
siswa.
e. Penguasaan materi (Obtaining mastery)
Pada tahap ini guru akan mengetahui tingkat
penguasaan materi siswa secara individu
atau keseluruhan. Hal ini dapat dilakukan
dengan memberikan tes kepada siswa sesuai
dengan materi yang telah dipelajari.
f. Melakukan verifikasi (Verification) Pada
Pendidikan Matematika Universitas Muhammadiyah Purworejo ,
Ruang Seminar UMP, Sabtu, 28 Mei 2016
765
tahap ini guru mengidentifikasi siswa yang
telah memahami atau menguasai materi dan
siswa yang belum menguasai materi dengan
melihat hasil tes yang telah diberikan pada
tahap sebelumnya.
g. Pengayaan (Enrichment) Pada tahap ini guru
memberikan respon terhadap hasil verifikasi
yaitu dengan memberikan soal pengayaan
kepada siswa.
Teori Metakognisi
Menurut Tim MKPBM (2001: 95)
metakognisi adalah suatu bentuk kemampuan
untuk melihat pada diri sendiri sehingga apa
yang dia lakukan dapat terkontrol secara
optimal. Penerapan teori metakognisi pada
proses pembelajaran dapat menjadikan
mahasiswa mengerti sejauh mana mereka
memahami materi, apa yang belum dipahami,
apa faktor penghambat pemahaman, serta
strategi apa yang harus dilakukan.
Model Presentasi
Model presentasi yang peneliti maksud
adalah presentasi yang dilakukan oleh
mahasiswa kepada teman sekelasnya. Pada
awal mula pertemuan, mahasiswa dibagi
menjadi beberapa kelompok kecil dan setiap
kelompok diberi tugas untuk mempresentasikan
sebuah bab secara bergiliran dalam satu
semester.
Penelitian Model IMPROVE yang Pernah
Dilakukan Sebelumnya
Penelitian terdahulu tentang model
IMPROVE adalah penelitian oleh Jesyich
Anjras
Purnamadewi
(2013)
tentang
Keefektifan Pembelajaran Metode Improve
dengan
Pendekatan
Pmri
Terhadap
Kemampuan Pemecahan Masalah Siswa KelasVii Materi Segiempat. Hasil penelitian tersebut
menyatakan bahwa rata-rata hasil belajar siswa
pada aspek kemampuan pemecahan masalah
model IMPROVE dengan pendekatan PMRI
lebih baik daripada menggunakan pembelajaran
766
ekspositori. Karena pembelajaran dilaksanakan
dalam bentuk kelompok-kelompok kecil
sehinggan siswa dapat berdiskusi dalam
menyelesaikan masalah.
Selain itu, hasil penelitian oleh Hawa
Liberna
(2011)
tentang
Peningkatan
Kemampuan Berpikir Kritis Matematis
Siswa Melalui Penggunaan Metode Improve
pada Materi Sistem Persamaan Linear Dua
Variabel menyatakan bahwa penerapan metode
Improve
untuk
meningkatkan
kemampuan berpikir kritis terhadap hasil
belajar matematika lebih baik dengan metode
konvensional.
METODE PENELITIAN
Penelitian ini merupakan penelitian
kualitatif. Peneliti mengadakan penelitian
dengan responden adalah mahasiswa jurusan
matematika FMIPA Unnes sebanyak 50 orang
yang dibagi menjadi 2 kelas dengan perlakuan
yang berbeda. Subjek penelitian ditentukan
secara
purposive
dengan
memberikan
pertanyaan dalam bentuk kuisioner. Untuk
memperoleh kelengkapan data digunakan
instrumen penunjang berupa lembar observasi.
Deskripsi hasil penelitian menggunakan
analisis data kualitatif yang meliputi 3 langkah
yaitu (1) Observasi; (2) Dokumentasi; (3)
Triangulasi
dan
penarikan
kesimpulan
(Sugiyono, 2015)
HASIL DAN PEMBAHASAN
Berdasarkan penelitian yang dilakukan,
diperoleh hasil bahwa sebanyak 73,83%
mahasiswa setuju menggunakan model
pembelajaran IMPROVE dan sebanyak 26,17%
mahasiswa setuju menggunakan model
pembelajaran presentasi.
Sebanyak 96% dari mahasiswa yang
dikenai model pembelajaran IMPROVE merasa
dapat memahami materi dengan baik,
sedangkan sebanyak 8% dari mahasiswa yang
Prosiding Seminar Nasional Matematika dan Pendidikan Matematika. “Internalisasi Nilainilai Berpikir Matematis Dalam Peranannya di Era Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA)”
dikenai model pembelajaran presentasi merasa
dapat memahami materi dengan baik.
Kemudian sebanyak 94% dari mahasiswa
yang dikenai model pembelajaran IMPROVE
merasa lebih terampil mengerjakan latihan
mata kuliah kalkulus dan 28% dari mahasiswa
yang dikenai model pembelajaran presentasi
merasa lebih terampil mengerjakan latihan
mata kuliah kalkulus.
Mahasiswa setuju menggunakan model
pembelajaran IMPROVE karena dinilai dapat
lebih memahamkan dan memicu kreativitas.
Pemikiran Strategik Mengenai Human
Capital Indonesia. Cetakan Pertama.
Jakarta : Gramedia Pustaka Utama.
National Council of Teachers of Mathematics.
2000. Principles And Standards with
the
Learning
from
Assessment
Materials. Reston, VA: National
Council of Teachers of Mathematics.
Liberna,
Hawa.
2011.
Peningkatan
Kemampuan Berpikir Kritis Matematis
Siswa melalui Penggunaan Metode
Improve
pada
Materi
Sistem
Persamaan Linear Dua Variabel.
Jurnal Formatif 2(3):190-197
Jesyich
Anjras
Purnamadewi.
2013.
Keefektifan Pembelajaran Metode
Improve dengan Pendekatan Pmri
Terhadap Kemampuan Pemecahan
Masalah Siswa Kelas-VII Materi
Segiempat. Skripsi S1 Universitas
Negeri Semarang.
KESIMPULAN
Simpulan penelitian ini adalah model
IMPROVE dapat meningkatkan pemahaman dan
kreativitas mahasiswa dalam menerapkan prinsip
kalkulus
untuk
menyelesaikan
masalah
kehidupan sehari-hari.
Saran dari peneliti adalah pada mata kuliah
kalkulus
perlu
dikembangkan
model
pembelajaran IMPROVE.
REFERENSI
Forum Human Capital Indonesia (2007).
Excellent People Excellent Business,
Mevarech, Z. R. & Kramarski, B. 1997.
IMPROVE:
A
Multidimensional
Method for Teaching Mathematics in
Heterogeneous classroom. American
Educational Reasearch Journal, 34(2).
Kramarski, B. 2003. Enhanching Mathematical
Literacy with the Use of Metacognitive
Guidance in Forum Discussion. Israel:
Bar-Ilan University.
Sugiyono. 2015. Metode Penelitian Pendidikan
: Pendekatan Kuantitatif, Kualitatif,
dan R&D. Bandung: Alfabeta.
Pendidikan Matematika Universitas Muhammadiyah Purworejo ,
Ruang Seminar UMP, Sabtu, 28 Mei 2016
767
MENINGKATKAN KEMAMPUAN KOMUNIKASI MATEMATISSISWA SMP
MELALUI PEMBELAJARAN BERBASIS MASALAH
DENGAN STRATEGI TALKING STICK
Kuasi Eksperimen di SMPN 1 Bulakamba Kab. Brebes
Faizal Ananda Tohara Al Ghazali
Pendidikan Matematika, SPs UPI Bandung
[email protected]
Abstrak
Upaya pemerintah dalam meningkatkan kualitas pendidikan di Indonesia hingga sekarang terus
digalakan. Terlihat dari beberapa perubahan dalam kurikulum yang berusaha untuk menyesuaikan
dengan perkembangan dan kebutuhan masyarakat global. Guru diharapkan mampu menggunakan
model pembelajaran yang dapat mengoptimalisasikan kemampuan siswa. Komunikasi dalam hal ini
sangat penting dalam menggali potensi siswa, baik komunikasi verbal maupun non verbal. Seperti
halnya matematika merupakan bahasa simbol dimana setiap orang yang belajar matematika dituntut
untuk memiliki kemampuan berkomunikasi dengan menggunakan bahasa simbol tersebut. Tujuan
dalam penelitian ini adalah menganalisis perbedaan pencapaian dan peningkatan kemampuan
komunikasi matematis antara siswa yang belajar menggunakan model PBM dengan strategi talking
stick dengan sisiwa yang menggunakan pembelajaran ekspositori secara keseluruhan dan
berdasarkan kemampuan matematika awal. Desain penilitian dalam penelitian ini adalah penelitian
quasi experimental dengan nonequivalent pretest and posttes control group design. Sampel dalam
penelitian ini adalah siswa kelas VIII D dan VIII F SMPN 1 Bulakamba dengan populasi seluruh
siswa SMPN 1 Bulakamba. Hasil dari penelitian ini bahwa terdapat perbedaan pencapaian dan
peningkatan kemampuan komunikasi matematis siswa antara siswa yang belajar dengan PBM TS
dengan siswa yang belajar dengan konvensional. Lebih khusus lagi PBM TS memiliki peran yang
berarti dalam meningkatkan kemampuan komunikasi matematis untuk kategori KMA sedang dan
tinggi pada materi SPLDV
Kata Kunci: Komunikasi matematis, Pembelajaran Berbasis Masalah, Talking Stick
1. PENDAHULUAN
Perkembangan ilmu pengetahuan dan
teknologi tidak terlepas dari peranan
matemaika, baik dalam menemukan suatu
pola, rumusan dan penyelesaian suatu masalah
bahkan hingga prediksi statistik beberapa
bidang ilmu eksak, social dan ekonomi. Selain
matematika sebagai alat yang dapat membantu
untuk
memecahkan
berbagai
masalah
kehidupan
manusia,
matematika
juga
merupakan bahasa universal yang dapat
menyatukan berbagai produk dan disiplin ilmu
lainnya.
768
Kemampuan komunikasi matematis akan
membuat seseorang dapat memanfaatkan
matematika untuk kepentingan diri sendiri
maupun
orang
lain,
sehingga
akan
meningkatkan
sikap
positif
terhadap
matematika baik dari dalam diri sendiri
maupun orang lain. Sumarmo (2006)
mengemukakan bahwa matematika sebagai
bahasa simbol mengandung makna bahwa
matematika bersifat universal dan dapat
dipahami oleh setiap orang kapan dan dimana
saja. Setiap simbol mempunyai arti yang jelas,
dan disepakati secara bersama oleh semua
Prosiding Seminar Nasional Matematika dan Pendidikan Matematika. “Internalisasi Nilainilai Berpikir Matematis Dalam Peranannya di Era Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA)”
orang, seperti simbol untuk angka, operasi
hitung dan variabel yang dapat dimengerti
dalam suatu rumusan aljabar
Pentingnya komunikasi matematis terlihat
dari beberapa standar pendidikan baik dalam
KTSP, Kurikulum 2013 hingga NCTM,
dimana kemampuan ini menjadi tujuan yang
ingin dicapai dalam suatu pembelajaran.
Dalam NCTM (2000: 60), dijelaskan bahwa
komunikasi matematis merupakan bagian
esensial dari matematika dan pendidikan
matematika. Pendapat ini mengisyaratkan
pentingnya komunikasi dalam pembelajaran
matematika. Melalui komunikasi, siswa dapat
menyampaikan ide-idenya kepada guru dan
kepada siswa lainnya. Komunikasi ini
merupakan salah satu dari lima standar proses
yang ditekankan dalam NCTM (2000: 29),
yaitu pemecahan masalah (problem solving),
penalaran dan bukti (reasoning and proof),
komunikasi
(communication),
koneksi
(connections),
dan
representasi
(representation).
Sedangkan pada sekolah yang masih
menggunakan KTSP, dalam pembelajaran
guru masih menggunakan model pembelajaran
konvensional karakteristiknya sama dengan
model pembelajaran ekspositori, yakni
aktivitas belajar mengajar terpusat pada guru,
materi matematika disampaikan melalui
ceramah (chalk-and-talk), siswa pasif,
pertanyaan dari siswa jarang muncul,
berorientasi pada satu jawaban yang benar,
dan kegiatan mencatat masih menyita waktu.
Kegiatan pembelajaran seperti ini kurang
memberi kesempatan yang luas bagi
berkembangannya kemampuan siswa dalam
pemecahan masalah, penalaran, koneksi, dan
komunikasi matematis, karena aktivitas siswa
tergolong rendah dan siswa lebih berperan
sebagai penerima ilmu yang diberikan
langsung oleh guru (Herman, 2007)
Berdasarkan hasil wawancara dengan
beberapa siswa juga menjelaskan bahwa tidak
satupun siswa dari beberapa kelas matematika
pernah diminta untuk menjelaskan bagaimana
dan mengapa mereka memecahkan masalah
dengan cara yang ia pilih. Ini juga
menunjukkan bahwa guru belum maksimal
dalam mengeksplorasi kemampuan matematis
siswa dalam pembelajaran
Pemerintah dalam hal ini Kemdikbud,
telah memperbarui kurikulum sekolah.
Perubahan dilakukan tidak saja dalam
restrukturisasi substansi matematika yang
dipelajari, namun yang sangat mendasar
adalah paradigma dari bagaimana guru
mengajar ke bagaimana siswa belajar dan
pembelajaran berpusat pada siswa. Meskipun
implementasi kurikulum 2013 masih bertahap
dan berjenjang terlihat dalam observasi
peneliti bahwa beberapa sekolah model yang
menerapkan system dan model pembelajaran
yang ada pada kurikulum 2013 masih belum
maksimal mengaktifkan siswa terlihat dari:
siswa tidak siap dalam memecahkan masalah
secara
mandiri,
siswa
tidak
dapat
mengkomunikasikan ide/gagasan, siswa tidak
paham dengan apa yang harus dilakukan,
sedikit siswa yang berpartisipasi dan sebagian
lainnya hanya diam bahkan bercanda.
Disadari
pentingnya
kemampuan
komunikasi matematis dan hubungannya
dengan kondisi sekarang, salah satu cara
konkrit adalah dengan pembelajaran yang
menekankan pada belajar siswa aktif. Hal
tersebut
mengindikasikan
diperlukannya
model pembelajaran yang fokus pada
pembelajaran siswa bukan pengajaran guru.
Pembelajaran dalam hal ini lebih menanamkan
pemahaman akan konsep matematika dan
mengaktifkan komunikasi matematis siswa.
Menurut Safery & Duffy (dalam Juandi &
Jupri, 2013) Salah satu pendekatan belajarmengajar yang berpotensi memberikan banyak
kesempatan untuk mengaktifkan siswa dalam
diskusi, komunikasi, dan memfasilitasi
Pendidikan Matematika Universitas Muhammadiyah Purworejo ,
Ruang Seminar UMP, Sabtu, 28 Mei 2016
769
pengembangan representasi matematis adalah
PBL. PBL adalah pendekatan pembelajaran
yang berdasarkan konstruktivisme, yang
mengasumsikan bahwa pemahaman akan
muncul melalui interaksi dengan lingkungan
belajar, dan konflik kognitif.
Barrow (Ismaimuza, 2010) mendefinisikan
Pembelajaran Berbasis Masalah (Problem
Based Learning/ PBL) sebagai “pembelajaran
yang diperoleh melalui proses menuju
pemahaman akan resolusi suatu masalah.
Masalah tersebut dipertemukan pertama-tama
dalam proses pembelajaran”. Jadi fokusnya
adalah pada pembelajaran siswa dan bukan
pada pengajaran guru.
Menurut Silver dkk (2007) bahwa PBL
bukan merupakan pembelajaran minim
bimbingan, namun syarat dengan scaffolding
sehingga mengurangi beban kognitif dan
memungkinkan siswa untuk belajar dari
sumber yang banyak. PBL mencakup
pengetahuan konten praktek dan soft skill
termasuk koaborasi dan kemandirian belajar.
Sejalan dengan PBM, untuk lebih
mengaktifkan komunikasi matematis dan self
confidence siswa, Talking stick merupakan
strategi pembelajaran kelompok dengan
bantuan tongkat. Kelompok yang memegang
tongkat terlebih dahulu wajib menjawab
pertanyaan dari guru dalam proses PBM
maupun setelah mereka mempelajari materi
pokoknya. Kegiatan ini diulang terus-menerus
sampai semua kelompok mendapat giliran
untuk menjawab pertanyaan guru.
Prosedur strategi talking stick diharapkan
mampu
membiasakan
siswa
dalam
mengkomunikasikan ide dan pemahamannya
didepan kelas, sehingga siswa memiliki
kepercayaan
diri
dalam
pembelajaran
matematika dikelas. Dengan kepercayaan diri
berkomunikasi matematis, guru dapat menilai
pemahaman dan komunikasi matematis dari
bahasa yang mereka gunakan.
770
Tujuan dalam penelitian ini adalah
menganalisis perbedaan pencapaian dan
peningkatan
kemampuan
komunikasi
matematis antara siswa yang belajar
menggunakan model PBM dengan strategi
talking stick dengan sisiwa yang menggunakan
pembelajaran
konvensional
(ekspositori)
secara
keseluruhan
dan
berdasarkan
kemampuan matematika awal.
2. KAJIAN LITERATUR
A. Komunikasi Matematis
Keterampilan
komunikasi
matematis
sangat diperlukan ketika memperoleh suatu
pemahaman
maupun
mengembangkan
pemahaman tersebut menjadi lebih kritis guna
mendapatkan suatu pembelajaran yang
bermakna.
Menurut
Wood
(2012)
“Mathematical communication is the ability to
communicate
mathematical
knowledge
properly and effectively”. Menggunakan
komunikasi matematika secara benar dan
efektif sangat bergantung pada bahasa
matematika, yang merupakan notasi dan
kosakata matematika yang digunakan untuk
mewakili ide-ide abstrak
Hal ini dijelaskan juga oleh Wahyudin
(2008; 500), dalam suatu bahasa, kita
mengekspresikan gagasan dengan simbolsimbol yang disebut kata-kata, yang disusun
dalam bentuk pola-pola untuk membentuk
kalimat-kalimat. Didalam matematika, kita
mengekspresikan gagasan dengan simbolsimbol matematis, yang disusun dalam polapola bermakna yang disebut kalimat
matematis. Kumpulan dari kalimat matematis
yang koheren yang menjelaskan suatu maksud
yang perlu diajarkan kepada siswa sehingga
dapat
berkomunikasi
melalui
bahasa
matematis baik lisan maupun tertulis Bahasa
matematika yang dikenal sebagai bahasa yang
tepat dan bebas dari ambiguitas, dalam
hubungan kata-kata sebagai terminology
bukan merupakan kosakata yang samar
(Baber, 2011). Dengan demikian bahasa
Prosiding Seminar Nasional Matematika dan Pendidikan Matematika. “Internalisasi Nilainilai Berpikir Matematis Dalam Peranannya di Era Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA)”
matematika sangat penting untuk komunikasi
matematika yang secara alami mendominasi
dengan jelas. Kemudahan bahasa merupakan
prasyarat untuk memahami dan menerapkan
matematika secara efektif, oleh karena itu
tidak heran siswa mengalami kesulitan dengan
matematika ketika mereka tidak sepenuhnya
memahami
bahasanya.
“Creating
understanding and developing language must
exist together because they spur each other on
to produce greater growth” (Huang &
Normandia, 2009). Bahasa merupakan cara
dimana individu membuat makna dan
mendapatkan pengetahuan karena bahasa
adalah landasan komunikasi.
Sebagaimana dikatakan Pressini dan
Bassett
(NCTM,1966)
bahwa
tanpa
komunikasi matematika kita akan memiliki
sedikit keterangan, data dan fakta tentang
pemahaman siswa dalam melakukan proses
dan aplikasi matematika. Dalam bagian
lainnya, Lindquist berpendapat, “Jika kita
sepakat bahwa matematika itu merupakan
suatu bahasa dan bahasa tersebut sebagai
bahasan terbaik dalam komunitasnya, maka
mudah
dipahami
bahwa
komunikasi
merupakan esensi dari mengajar, belajar dan
meng-assess matematika”. Jadi jelaslah bahwa
komunikasi dalam matematika merupakan
kemampuan penting yang harus dimiliki
pelaku dan pengguna matematika selama
belajar,
mengajar
dan
meng-assess
matematika.
Kemampuan
komunikasi
matematis
merupakan kemampuan siswa membaca
wacana matematika dengan pemahaman,
mampu menggunakan bahasa dan simbol
matematika
sehingga
dapat
mengkomunikasikan secara lisan maupun
tertulis, mampu menggambarkan secara visual
dan merefleksikan gambar atau diagram ke
dalam ide matematika. Namun fokus dalam
penelitian ini adalah kemampuan komunikasi
tertutlis. Jordak et al. (Kosko & Wilkins,
2012) menambahkan bahwa kemampuan
komunikasi matematika secara tertulis akan
membantu siswa untuk mengekspresikan
pemikiran mereka dalam menjelaskan strategi,
meningkatkan pengetahuan mereka dalam
menulis algoritma dan umumnya untuk
meningkatkan kemampuan kognitif. Oleh
karena
itu
kemampuan
komunikasi
matematis
yang
dimaksud
dalam
penelitian
ini
adalah
kemampuan
komunikasi tertutlis yang meliputi ;
menghubungkan benda nyata, gambar dan
diagram ke dalam ide matematika;
menjelaskan ide, situasi, dan relasi
matematika secara tertulis dengan benda
nyata, gambar, dan aljabar; serta
menyatakan peristiwa sehari-hari dalam
bahasa atau simbol matematika
B. Pembelajaran Berbasis Masalah dengan
Strategi Talking Stick
Pembelajaran berbasis masalah merupakan
suatu model pembelajaran yang memicu siswa
belajar bagaimana memperoleh informasi yang
diperlukan
untuk
mempelajari
dan
menyelesaikan masalah, yang diberikan pada
awal pertemuan sebagai pemicu, serta untuk
memperoleh pemahaman konsep yang esensial
dari materi pelajaran.
Selanjutnya Barrow (Ismaimuza, 2010)
mengungkapkan bahwa masalah dalam
PBM adalah masalah yang tidak terstruktur
(ill-structure), atau kontekstual dan menarik
(contextual and engaging),
sehingga
meransang siswa untuk bertanya dari
berbagai
perspektif. Menurut
Slavin
(Ismaimuza, 2010) karakteristik lain dari PBM
meliputi pengajuan pertanyaan terhadap
masalah, fokus pada keterkaitan antar
disiplin, penyelidikan authentik, kerja sama,
dan menghasilkan produk atau karya yang
Pendidikan Matematika Universitas Muhammadiyah Purworejo ,
Ruang Seminar UMP, Sabtu, 28 Mei 2016
771
harus dipamerkan.
Menurut Paul (Corputty, 2012) mengatkan
bahwa pengetahuan hanya dapat diperoleh
dengan berfikir, dan pengetahuan hanya
merupakan alat untuk berbagi keperluan
seperti
menerangkan,
mengklarifikasi,
menentukan/ menetapkan, menyelesaikan
masalah,
memberikan
informasi
dan
sebagainya. Demikianlah, melalui langkahlangkah dalam PBM siswa diharapkan dapat
meneruskan proses pembelajaran mereka
untuk mendapatkan informasi baru dengan
menggunakan masalah sebagai pemicu diawal
pembelajaran
PBM terbagi atas 5 fase utama, yakni:
1) Orientasi
siswa
pada
masalah;
menjelaskan
tujuan
pembelajaran,
motivasi siswa dan mengajukan masalah
2) Mengorganisasikan siswa; Membantu
siswa
mengidentifikasikan
dan
mengorganisasikan tugas belajar yang
berhubungan dengan masalah tersebut
3) Membimbing penyelidikan individu dan
kelompok Mendorong siswa untuk
mengumpulkan informasi yang sesuai,
melaksanakan
eksperimen
untuk
mendapatkan penjelasan dan pemecahan
masalah.
Fase dalam menerapkan penyelidikan:
a. Mengidentifikasi pertanyaan.
Guru
atau
(idealnya)
siswa
mengidentifikasi satu pertanyaan yang
akan coba dijawab siswa
b. Membuat hipotesis
Siswa membuat hipotesis yang
berusaha menjawab pertanyaan.
c. Mengumpulkan & menganalisis data
Siswa mengumpulkan data terkait
dengan hipotesis dan menyusun serta
menampilkannya supaya dat itu bias
dianalisis
772
d. Menilai hipotesis dan membuat
generalisasi
Guru memandu diskusi tentang hasil
dan sejauh mana hasil-hasil itu
mendukung hipotesis. Juga siswa
melakukan generalisasi terhadap hasil
berdasarkan
asesmen
terhadap
hipotesis
4) Mengembangkan dan menyajikan hasil
karya
5) Menganalisa dan mengevaluasi proses
pemecahan masalah
Agar siswa dapat aktif dalam setiap fase
PBM, maka strategi talking stick diaplikasikan
dalam penelitian ini. Talking stick (tongkat
berbicara) adalah metode yang pada mulanya
digunakan oleh penduduk asli Amerika untuk
mengajak semua orang berbicara atau
menyampaikan pendapat dalam suatu forum
(pertemuan antar suku). talking stick (tongkat
berbicara) telah digunakan selama berabadabad oleh suku-suku Indian sebagai alat
menyimak secara adil dan tidak memihak.
Tongkat berbicara sering digunakan kalangan
dewan untuk memutuskan siapa yang
mempunyai hak berbicara. Pada saat pimpinan
rapat mulai berdiskusi dan membahas
masalah, ia harus memegang tongkat. Tongkat
akan pindah ke orang lain apabila ia ingin
berbicara atau menanggapinya. Dengan cara
ini tongkat berbicara akan berpindah dari satu
orang ke orang lain jika orang tersebut ingin
mengemukakan pendapatnya. Apabila semua
mendapatkan giliran berbicara, tongkat itu lalu
dikembalikan lagi ke ketua/pimpinan rapat.
Dari penjelasan di atas bahwa talking stick
dipakai sebagai tanda seseorang mempunyai
hak suara (berbicara) yang diberikan secara
bergiliran/bergantian
Menurut Fujiko (2015) “The talking stick
was a method used by native Americans, to let
everyone speak their mind during a council
meeting, a type of tribal meeting. According to
the indigenous American's tradition, the stick
Prosiding Seminar Nasional Matematika dan Pendidikan Matematika. “Internalisasi Nilainilai Berpikir Matematis Dalam Peranannya di Era Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA)”
was imbued with spiritual qualities, that called
up the spirit of their ancestors to guide them in
making good decisions. The stick ensured that
all members, who wished to speak, had their
ideas heard. All members of the circle were
valued equally”.
Strategi pembelajaran talking stick
termasuk salah satu model pembelajaran
kooperatif. Strategi pembelajaran ini dilakukan
dengan bantuan tongkat, siapa yang
memegang
tongkat
wajib
menjawab
pertanyaan dari guru setelah peserta didik
mempelajari materi pokoknya. Pembelajaran
talking stick sangat cocok diterapkan bagi
peserta didik SD, SMP, dan SMA/SMK.
Selain untuk melatih berbicara, pembelajaran
ini akan menciptakan suasana yang
menyenangkan dan membuat peserta didik
aktif dan lebih percaya diri
Strategi inilah yang diadopsi dalam suatu
pembelajaran, namun perubahannya pada
pemegang stick bukan menjadi subjek yang
memiliki hak bersuara karena semua siswa
berhak
untuk
bersuara
dalam
mengkomunikasikan untuk memperoleh suatu
pemahaman, tetapi pemegang stick dalam
pembelajaran ini menjadi objek yang memiliki
kewajiban untuk menjawab suatu pertanyaan
dari guru maupun siswa lainnya dalam suatu
pembelajaran. Strategi ini dimaksudkan untuk
mengaktifkan siswa dalam suatu model
pembelajaran, karena kebanyakan siswa
memiliki kepercayaan diri (self-confidence)
yang rendah untuk ikut berperan aktif dalam
suatu pembelajaran sehingga harus dengan
intervensi aturan yang mendorong mereka
untuk berperanserta sehingga diharapkan akan
terbiasa dalam merepresentasikan ide mereka.
Dalam hal ini PBM ditunjang dengan
strategi talking stick untuk lebih menggali
kemampuan baik kognitif maupun avektifnya.
Adapun implementasi PBM dengan strategi
Talking Stick menyatu dalam setiap fase.
Model dan strategi ini berbasis kooperatif
learning. Oleh sebab itu, guru dapat memulai
kegiatan pembelajaran dengan membentuk
kelompok-kelompok siswa dimana masingmasing kelompok akan memilih dan
memecahkan masalah yang berbeda. Prinsipprinsip
pengelompokan
siswa
dalam
pembelajaran kooperatif dapat digunakan
dalam konteks ini seperti: kelompok harus
heterogen, pentingnya interaksi antar anggota,
komunikasi yang efektif, adanya tutor sebaya,
dan sebagainya.
C. Pembelajaran Konvensional
Pembelajaran konvensional merupakan
pembelajaran yang biasa diterapkan dalam
populasi
penelitian.
Pembelajaran
konvensional dalam penelitian ini adalah
pembelajaran ekspositori. Menurut Sunarto,
Sumarni dan Suci (2008) bahwa pembelajaran
ekspositori merupakan metode mengajar yang
bertujuan untuk menjabarkan pengetahuan
guru kepada siswa secara tepat. Materi yang
diajarkan kepada siswa telah disusun guru
secara sistematik dan dipersiapkan secara baik,
sehingga yang terjadi dalam proses
pembelajaran adalah guru memberikan
penjelasan kepada siswa tentang fakta dan
informasi penting.
Philip R. Wallace (dalam Sunarto, 2009)
memandang pembelajaran ekspositori adalah
proses
pembelajaran
yang
dilakukan
sebagaimana umumnya guru membelajarkan
materi kepada peserta didiknya. Guru
mentransfer ilmu pengetahuannya kepada
peserta didik, sedangkan peserta didik lebih
banyak
sebagai
penerima.
System
pembelajaran konvensional (faculty teaching)
cenderung
kental
dengan
suasana
instruksional.
Meskipun
pembelajaran
ekspositori
menggabungkan metode ceramah, tanya jawab
dan penugasan, namun masih berpusat pada
Pendidikan Matematika Universitas Muhammadiyah Purworejo ,
Ruang Seminar UMP, Sabtu, 28 Mei 2016
773
guru (teacher center). Guru sebagai sumber
utama pemberi informasi mendominasi
pembelajaran, sedangkan siswa hanya
mendengarkan sehingga proses membangun
pengetahuan oleh guru.
Dengan demikian, dalam penelitian ini
pembelajaran konvensional yang dimaksud
adalah pembelajaran ekspositori yaitu metode
penyampaian materi pelajaran yang
meliputi gabungan dari metode ceramah,
metode tanya jawab dan metode
penugansan agar siswa dapat menguasai
materi pelajaran secara optimal.
3. METODE PENELITIAN
Desain penilitian dalam penelitian ini
adalah penelitian quasi experimental dengan
nonequivalent pretest and posttes control
group design. Pada penelitian ini, subjek tidak
dikelompokkan secara acak, tetapi peneliti
menerima keadaan subjek apa adanya
(Ruseffendi, 2010). Pertimbangan penggunaan
desain ini untuk merngefektifkan waktu
penelitian agar tidak membentuk kelas baru
yang akan menyebabkan perubahan jadwal
yang telah ada karena akan mengganggu
kegitan belajar mengajar di Sekolah tersebut.
Sampel yang digunakan terdiri dari dua
kelompok, yaitu kelompok pertama meupakan
kelompok
eksperimen
yang
belajar
menggungakan model Pembelajaran Berbasis
Masalah dengan stategi Talking Stick, dan
kelompok kedua yaitu kelompok kontrol yang
belajar menggunakan model konvensional
(ekspositori).
Kemudian untuk melihat peningkatan
kemampuan komunikasi matematis maka
masing-masing kelompok diberi pre test dan
post test. Desain rencana penilitian yang akan
digunakan dalam penelitian ini adalah
penelitian
quasi
experimental
dengan
nonequivalent pretest and posttes control
group design. Menurut Cresswell (2010, hlm
242):
774
Kelas eksperimen
O
Kelas kontrol
O
X
O
O
Keterangan:
X :
perlakuan
pembelajaran
dengan
menggunakan model PBM dengan strategi
talking stick
O : pretest dan posttest
komunikasi matematis
kemampuan
…. : Subjek tidak dikelompokan secara acak
menyeluruh
Untuk melihat lebih mendalam pengaruh
penggunaan model PBM dengan strategi
Talking
Stick
terhadap
kemampuan
komunkiasi matematis siswa, maka dalam
penelitian ini dilibatkan kategori kemampuan
awal matematis siswa (tinggi, sedang dan
rendah).
Selanjutnya pemilihan siswa SMP sebagai
responden sampel penelitian didasarkan pada
pertimbangan ; 1) Tingkat perkembangan
kognitif siswa SMP sudah pada tahap
peralihan dari operasi konkrit ke operasi
formal sehingga ingin dilihat bagaimana
penerapan pembelajaran matematika dengan
model PBM dengan Talking Stick bagi siswa
SMP; 2) Tingkatan sekolah ini yang menjadi
lingkup peneliti dalam menjalankan profesinya
sehingga diharapkan akan mendukung dan
bermanfaat pada peningkatan kualitas dalam
pendidikan nasional.
Sehingga dengan pertimbangan inilah
maka dipilih populasi pada penelitian ini
adalah siswa SMP Negeri 1 Bulakamba
Kabupaten Brebes yang terdiri atas 24 kelas
sebanyak 918 siswa. Alasan pemilihan ini
adalah 1) Sekolah tersebut termasuk dalam
klasifikasi sedang (Balitbang, 2015); 2) Nilai
penerimaan peserta didik baru relative sama;
3) Kelas tidak diklasifikasikan berdasarkan
nilai akademis, kriteria penempatan siswa
dalam tiap kelas secara merata dengan
Prosiding Seminar Nasional Matematika dan Pendidikan Matematika. “Internalisasi Nilainilai Berpikir Matematis Dalam Peranannya di Era Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA)”
kemampuan cenderung heterogen berdasarkan
nilai UN SD untuk kelas VII, dan berdasarkan
nilai raport sebelumnya untuk kelas VIII dan
IX. Setiap rombel terdiri atas siswa yang
memiliki kemampuan akademis tinggi, sedang
dan rendah.
Pengambilan sampel pada penelitian ini
ditentukan dengan teknik cluster random
sampling. Dari delapan kelas VIII yang ada di
SMP Negeri 1 Bulakamba yang setiap
kelompok kelasnya memiliki karakteristik
yang sama, dipilih dua kelas secara acak
dengan, sehingga terpilih kelas VIII D sebagai
kelas
kontrol
dengan
pembelajaran
konvensional dan kelas VIII F sebagai kelas
eksperimen dengan PBM TS.
Instrumen tes terdiri atas soal pretes dan
postes kemampuan komunikasi matematis
yang mencakup 3 indikator kemampuan
komunikasi matematis tertulis. Soal pretes
diberikan sebelum kedua kelas memperoleh
pembelajaran, sedangkan postes diberikan
setelah pembelajaran. Baik pretes maupun
postes memiliki bobot soal yang sama.
Definisi Operasional
a. Kemampuan Komunikasi Matematis
adalah kemampuan komunikasi tertulis
yang meliputi ; menghubungkan benda
nyata, gambar dan diagram ke dalam ide
matematika; menjelaskan ide, situasi, dan
relasi matematika secara tertulis dengan
benda nyata, gambar, dan aljabar; serta
menyatakan peristiwa sehari-hari dalam
bahasa atau simbol matematika
b. Pembelajaran Berbasis Masalah dengan
Strategi Talking Stick (PBM TS)
adalah model pembelajaran PBM yang
memanfaatkan
stick
sebagai
alat
penunjang strategi mengaktifkan siswa
dengan kesepakatan/aturan bahwa siswa/
kelompok yang mendapat giliran sebagai
pemegang stick berkewajiban menjawab
pertanyaan yang muncul dalam setiap
sintak
yang
berkaitan
dengan
mengkonstruksi/ membangun maupun
pengecekan pemahaman konsep dalam
kegiatan belajar mengajar.
c. Pembelajaran Konvensional
Dalam penelitian ini pembelajaran
konvensional yang dimaksud adalah
pembelajaran ekspositori yaitu metode
penyampaian materi pelajaran yang
meliputi gabungan dari metode ceramah,
metode tanya jawab dan metode
penugansan agar siswa dapat menguasai
materi pelajaran secara optimal.
Teknik Analisis Data
Data hasil pretes, postes dan n-gain
kemampuan komunikasi matematis diolah
dengan menggunakan statistik deskriptif untuk
melihat
gambaran
umum
pencapaian
kemampuan komunikasi matematis. Statistik
deskriptif terdiri dari rata-rata dan simpangan
baku. Selanjutnya, dilakukan uji inferensial
untuk menguji hipotesis menggunakan uji
parametrik ataupun non parametrik untuk
melihat hasil pencapaian dan peningkatan
kemampuan komunikasi matematis siswa
secara keseluruhan maupun berdasarkan
KMA.
Adapun untuk lebih jelasnya tahapan
pengolahan dan analisis data hasil pretes dan
postes adalah sebagai berikut:
a. Pengelompokkan
siswa
berdasarkan
Kemampuan Matematik Awal (KMA).
Kategori ini dikelompokkan menjadi tiga,
yaitu siswa yang berkemampuan rendah,
sedang dan tinggi. Penentuan KMA
berdasarkan rata-rata nilai UAS dan hasil
tes uji prasyarat
b. Memberikan skor jawaban siswa sesuai
dengan alternatif jawaban dan rubrik
penskoran yang digunakan
c. Membuat tabel skor pretes, postes dan ngain yang terjadi di kelas PBM TS dan
kelas PE secara keseluruhan maupun
Pendidikan Matematika Universitas Muhammadiyah Purworejo ,
Ruang Seminar UMP, Sabtu, 28 Mei 2016
775
berdasarkan KMA siswa
d. Membandingkan skor pretest dan posttest
untuk mencari peningkatan (gain) yang
terjadi sesudah pembelajaran pada masingmasing kelompok kemudian menentukan
skor gain ternormalisasi (n-gain)
e. Menetapkan tingkat kesalahan atau tingkat
signifikansi yaitu 5% (α = 0,05)
f. Sebelum dilakukan uji hipotesis, perlu
dilakukan uji normalitas dan uji
homogenitas variansi data
g. Hipotesis penelitian diuji menggunakan
statistik inferensia. Hipotesis yang diuji
adalah :
1) Terdapat
perbedaan
pencapaian
kemampuan komunikasi matematis antara
siswa yang menggunakan model PBM
strategi talking stick dengan siswa yang
menggunakan
model
pembelajaran
konvensional
2) Terdapat
perbedaan
peningkatan
kemampuan komunikasi matematis antara
siswa yang menggunakan model PBM
strategi talking stick dengan siswa yang
menggunakan
model
pembelajaran
konvensional
3) Terdapat
perbedaan
peningkatan
kemampuan komunikasi matematis antara
siswa yang menggunakan model PBM
strategi talking stick dengan siswa yang
menggunakan
model
pembelajaran
konvensional untuk siswa kategori KMA
rendah
4) Terdapat
perbedaan
peningkatan
kemampuan komunikasi matematis antara
siswa yang menggunakan model PBM
strategi talking stick dengan siswa yang
menggunakan
model
pembelajaran
konvensional untuk siswa kategori KMA
sedang
5) Terdapat
perbedaan
peningkatan
kemampuan komunikasi matematis antara
siswa yang menggunakan model PBM
strategi talking stick dengan siswa yang
menggunakan
model
pembelajaran
konvensional untuk siswa kategori KMA
tinggi
4. HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1 HASIL
a. Deskripsi pencapaian dan peningkatan
kemampuan komunikasi komunikasi
matematis siswa
Data kemampuan komunikasi matematis
siswa diperoleh melalui pretes, postes dan ngain. Rangkuman deskripsi hasil pretes,
postes, dan n-gain siswa yang menggunakan
Pembelajaran Berbasis Masalah dengan
strategi Talking Stick (PBM TS) dan siswa
yang memperoleh pembelajaran konvensional
(PK) pada Tabel 4.1
Tabel 4.1
Statistik Deskriptif Kemampuan
Komunikasi Matematis
Kel
as
Pretes
KMA
N-Gain
N
S
S
S
Rendah
8
28
5,9
5
68,
63
9,7
8
0,
57
0,
12
Sedang
2
6
38,
54
9,5
8
83
9,9
6
0,
72
0,
17
6
51,
33
3,2
7
93
8,3
4
0,
86
0,
17
Keseluru
han
4
0
38,
35
10,
70
81,
63
12,
06
0,
71
0,
18
Rendah
4
35,
50
8,1
9
60,
50
12,
56
0,
37
0,
23
Sedang
2
3
36,
96
8,0
1
69,
17
10,
81
0,
51
0,
16
Tinggi
1
2
48
12,
74
81,
25
12,
93
0,
65
0,
24
Keseluru
han
3
9
40,
21
10,
82
72
13,
20
0,
54
0,
21
PB
M
Tinggi
TS
PK
Postes
Skor maksimal pada penelitian ini
adalah 12, namun dalam penyajiannya sudah
diolah dalam skala 100. Pencapaian
kemampuan komunikasi matematis siswa pada
776
Prosiding Seminar Nasional Matematika dan Pendidikan Matematika. “Internalisasi Nilainilai Berpikir Matematis Dalam Peranannya di Era Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA)”
kedua kelas dapat dilihat pada hasil postes.
Secara umum kondisi kemampuan siswa
setelah pembelajaran mengalami peningkatan.
Berdasarkan Tabel 4.1 terlihat bahwa rata-rata
postes kemampuan komunikasi matematis
siswa pada kelas PBM TS 81,63 dan kelas PK
72,00 terdapat selisih 9,63 yang menunjukkan
bahwa pencapaian kemampuan komunikasi
matematis siswa kelas PBM TS cenderung
lebih tinggi dibandingkan kelas PK atau
terdapat perbedaan pencapaian kemampuan
komunikasi matematis pada kelas PBM TS
dan PK. Namun untuk menguji asumsi
tersebut perlu dilakukan pengujian statistik
terhadap hasil postes kedua kelas.
Pada Tabel 4.1 memperlihatkan bahwa
sebelum
pembelajaran,
skor
rata-rata
kemampuan awal komunikasi matematis siswa
yang belajar menggunakan PBM TS sebesar
38,35 kemudian skor rata-rata kemampuan
akhir sebesar 81,63. Berdasarkan nilai pretes
dan postes tersebut, terdapat peningkatan
sebesar 43,28 % dengan kualitas (
0,71 yang termasuk dalam klasifikasi tinggi,
sedangkan
kelas
yang
menggunakan
pembelajaran konvensional, rata-rata nilai
kemampuan awal komunikasi matematis siswa
mencapai 40,21 dan rata-rata nilai kemampuan
akhir sebesar 72,00. Dengan demikian,
peningkatan
kemampuan
komunikasi
matematis siswa sebesar 31,79 % dengan
kualitas 0,54 yang termasuk dalam klasifikasi
sedang.
Perbedaan
rata-rata
kemampuan
komunikasi
matematis
dari
kedua
kelompok pembelajaran secara grafik
diperlihatkan pada Gambar 4.1 berikut
Gambar 4.1 Perbandingan Rata-rata
Nilai Pretes dan Postes Kemampuan
Komunikasi Matematis
Berdasarkan diagram batang pada gambar
4.1 terlihat bahwa nilai pretes kelas PBM TS
dan PK tidak berbeda jauh. Setelah
pembelajaran dilaksanakan terjadi peningkatan
pada kemampuan komunikasi matematis siswa
yang ditunjukkan oleh nilai postes.
b. Analisis Kemampuan Awal Komunikasi
Matematis
Sebelum dilakukan uji perbedaan rerata,
terlebih dahulu dilakukan uji normalitas,
sebagai prasyarat dalam menentukan uji
statistik yang akan digunakan. Untuk melihat
apakah data berdistribusi normal, dilakukan uji
normalitas dengan menggunakan uji statistik
Shapiro Wilk. Hipotesis uji normalitas nilai
pretes kemampuan komunikasi matematis
kelas PK dan kelas PBM TS pada masingmasing KMA (rendah, sedang, tinggi) adalah:
H0 : data berdistribusi normal
Ha : data berdistribusi tidak normal
Dengan kriteria, tolak H0 jika nilai Sig. <
α = 0,05. Hasil rangkuman uji normalitas
disajikan pada Tabel 4.2
Pendidikan Matematika Universitas Muhammadiyah Purworejo ,
Ruang Seminar UMP, Sabtu, 28 Mei 2016
777
Tabel 4.2
Hasil Uji Normalitas Skor Pretes
Kemampuan Komunikasi Matematis
Shapiro Wilk
Kela
s
KMA
Keseluruh
an
Rendah
Sedang
Tinggi
Kesimpul
an
Statist
ic
Sig
PB
M
TS
0,944
0,046
H0
Ditolak
PK
0,947
0,065
H0
Diterima
PB
M
TS
0,962
0,027
H0
Ditolak
serta kategori KMA tinggi kelas PBM TS.
Selanjutnya karena setiap kategori terdapat
data berdistribusi tidak normal, maka pada
semua kategori KMA dilanjutkan pada uji
perbedaan rata-rata ranking skor pretes dengan
menggunakan uji statistik Mann-Whitney pada
keseluruhan dan
masing-masing ketiga
kategori.
Hipotesis penelitian yang akan diuji
adalah “Tidak terdapat perbedaan rata-rata
rangking
nilai
pretes
kemampuan
komunikasi matematis siswa yang
menggunakan PBM TS dengan siswa yang
menggunakan
pembelajaran
konvensional.”
Hipotesis
PK
0,864
0,276
H0
Diterima
PB
M
TS
0,931
0,005
H0
Ditolak
PK
0,920
0,012
H0
Ditolak
PB
M
TS
0,776
0,000
H0
Ditolak
PK
0,931
0,110
H0
Diterima
H0
:
=
Ha
:
≠
dengan
: rata-rata rangking nilai pretes
kemampuan komunikasi matematis
siswa yang menggunakan PBM TS
(kelas eksperimen)
: rata-rata rangking nilai pretes
kemampuan komunikasi matematis
siswa
yang
menggunakan
pembelajaran konvensional (kelas
kontrol)
Kriteria pengujian
Dari tabel 4.6 diperoleh nilai signifikansi
semua kategori terdapat kelas yang Sig < α =
0,05. Pada keseluruhan PBM TS (0,046),
kategori rendah kelas PBM TS (0,027),
kategori sedang kedua kelas PE (0,012) dan
PBM TS (0,005), serta pada kategori tinggi
kelas PBM TS (0,000) masing-masing Sig < α
= 0,05. Sehingga H0 ditolak, artinya data
berdistribusi tidak normal pada keseluruhan
kelas PBM TS, kategori rendah kelas PBM
TS, kategori sedang kelas PK dan PBM TS,
778
Tolak H0 jika nilai Sig. < α = 0,05 dan terima
H0 untuk lainnya. Hasil rangkuman uji
perbedaan disajikan pada Tabel 4.3
Tabel 4.3
Uji Mann-Whitney Kemampuan Awal
Komunikasi Matematis Siswa
KMA
Keseluruha
n
Kela
s
PB
M
Asymp
. Sig.
(Sig 2
tailed)
0,463
Kesimpula
n
Keteranga
n
H0
diterima
Tidak
terdapat
Prosiding Seminar Nasional Matematika dan Pendidikan Matematika. “Internalisasi Nilainilai Berpikir Matematis Dalam Peranannya di Era Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA)”
TS
><
PK
PB
M
TS
><
PK
PB
M
TS
><
PK
Rendah
Sedang
perbedaan
rerata
H0
diterima
0,567
H0 diterima
Tidak
terdapat
perbedaan
Tidak
terdapat
perbedaan
PB
M
TS
><
PK
Tinggi
0,126
0,487
H0
diterima
Tidak
terdapat
perbedaan
Berdasarkan uji Mann-Whitney, diperoleh
nilai signifikansi kelas PBM TS dan PK baik
secara keseluruhan maupun berdasarkan KMA
siswa memiliki nilai signifikansi yang lebih
besar dari α = 0,05. Hal ini menunjukkan
bahwa H0 diterima, artinya baik secara
keseluruhan maupun berdasarkan kategori
KMA rendah, sedang dan tinggi, siswa yang
memperoleh pembelajaran PBM TS dengan
siswa yang menggunakan pembelajaran
konvensional memiliki kemampuan yang
sama.
c. Analisis Kemampuan Akhir Komunikasi
Matematis
Berdasarkan pengolahan terhadap kedua
kelas data nilai postes, diperoleh sebagai
berikut.
Tabel 4.4
Hasil Postes Kemampuan Komunikasi
Matematis
postes pada kelas PBM TS dan kelas PK
memiliki perbedaan. Persentase nilai kelas
PBM TS 9,65% lebih tinggi daripada kelas
PK. Rata-rata skor postes atau pencapaian
kemampuan komunikasi matematis siswa
kelas PBM TS lebih tinggi dari kelas PK.
Namun, perlu dilakukan uji perbedaan rerata
untuk menunjukkan bahwa rerata skor porstes
kedua kelas berbeda atau tidak secara
signifikan. Uji perbedaan rerata ini dilakkukan
unuk menjawab pertanyaan penelitian terkait
dengan hipotesis penelitian 1. Sebelum
dilakukan uji perbedaan rerata, terlebih dahulu
dilakukan uji normalitas, sebagai persyaratan
dalam menentukan uni statistik yang
digunakan, rangkuman hasil uji normalitas dan
homogenitas dapat dilihat pada lampiran.
Untuk mengetahui secara signifikansi
adanya perbedaan pencapaian tersebut maka
diajujkan hipotesis berikut:
Hipotesis 1
H0: Tidak terdapat perbedaan nilai postes
kemampuan komunikasi matematis siswa
yang menggunakan pembelajaran PBM
TS dengan siswa yang menggunakan
pembelajaran konvensional
HA:
Terdapat perbedaan nilai postes
kemampuan komunikasi matematis siswa
yang menggunakan pembelajaran PBM
TS dengan siswa yang menggunakan
pembelajaran konvensional
Krieteria pengujian
Kela
s
Jumla
h
Siswa
PBM
TS
40
Nila
i
Idea
l
Pretes
S
58
100
81,6
3
11,9
6
50
100
71,9
8
13,1
7
100
PK
39
Tabel 4.4 menunjukkan bahwa rerata hasil
Tolak H0 jika nilai Sig. < α = 0,05 dan
terima H0 untuk lainnya
hasil rangkuman uji perbedaan rata-rata data
postes kemampuan komunikasi matematis
disajikan pada Tabel 4.5
Tabel 4.5
Pendidikan Matematika Universitas Muhammadiyah Purworejo ,
Ruang Seminar UMP, Sabtu, 28 Mei 2016
779
Uji Mann-Whitney Kemampuan Akhir
Komunikasi Matematis Siswa
Data
Postes
Asymp.
Sig.
(Sig 2
tailed)
0,002
Kesimpulan
Keterangan
H0 ditolak
Terdapat
perbedaan
rerata
Nilai signifikansi uji Mann- Whitney untuk
skor postes adalah 0,002, nilai ini lebih kecil
daripada taraf signifikansi α = 0,05 sehingga
H0 ditolak, Jadi dapat disimpulkan bahwa
terdapat perbedaan pencapaian kemampuan
komunikasi matematis antara siswa yang
meggunakan PBM TS dengan siswa yang
menggunakan pembelajaran konvensional.
d. Analisis Peningkatan
Komunikasi Matematis
Kemampuan
Untuk melihat peningkatan kemampuan
komunikasi matematis yang dicapai oleh siswa
digunakan data gain ternormalisasi (N-gain).
Sehingga data yang dianalisis dalam penelitian
ini adalah gain yang telah ternormalisasi.
Berikut adalah rata-rata n-gain kemampuan
komunikasi matematis baik dengan PBM TS
maupun dengan PE pada masing-masing
KAM. Berikut ini disajikan rekapitulasi rerata
N-gain beserta klasifikasinya.
Tabel 4.6
Rata-rata N-gain Kemampuan Komunikasi
Matematis
Pembela
jaran
Kate
gori
S
Rend
ah
PBM TS
Seda
ng
0,
57
0,
71
Tingg
i
Konvens
780
Rend
0,
72
0,
18
0,
86
0,
0,
0,
ah
ional
54
37
21
3
ng
Seda
ng
0,
51
0,
16
2
3
Seda
ng
Tingg
i
0,
65
0,
24
1
2
Seda
ng
Kategori N-gain : g ≥ 0,7 (Tinggi); 0,7> g ≥0,3
(Sedang); g < 0,3 (Rendah)
Pada tabel 4.13 menunjukkan bahwa rata-rata
n-gain seluruh siswa PBM TS lebih tinggi dari
seluruh siswa kelas PE dengan selisih 0,17.
Peningkatan
kemampuan
komunikasi
matematis siswa KMA rendah kelas PBM TS
lebih tinggi dari pada siswa KMA rendah kelas
konvensional dengan selisih 0,20, siswa KMA
sedang kelas PBM TS lebih tinggi dari pada
siswa KMA sedang kelas konvensinonal
dengan selisih 0,21, dan siswa KMA tinggi
kelas PBM TS lebih tinggi dari pada siswa
KMA tinggi kelas konvensional dengan selisih
0,21. Namun, perlu dilakukan uji perbedaan
rata-rata untuk menunjukkan bahwa rata-rata
n-gain kedua kelas berbeda atau tidak secara
signifikan. Untuk mengetahui signifikansi
perbedaan peningkatan kemampuan penalaran
matematis siswa secara keseluruhan, perlu
dilakukan perhitungan pengujian statistik
dengan menggunakan uji perbedaan rata-rata
dua kelompok
Sebelum dilakukan uji perbedaan rata-rata,
terlebih dahulu dilakukan uji normalitas dan
uji homogenitas terhadap n-gain pada kedua
kelas, sebagai persyaratan dalam menentukan
uji statistik yang akan digunakan dapat dilihat
pada lampiran.
N
Kate
gori
0,
12
8
Seda
ng
0,
17
2
6
Tingg
i
Untuk mengetahui secara signifikansi
adanya perbedaan peningkatan tersebut maka
diajujkan hipotesis berikut:
0,
17
6
Tingg
i
Hipotesis 2
0,
4
Seda
H0: Tidak terdapat perbedaan peningkatan
kemampuan komunikasi matematis siswa
Prosiding Seminar Nasional Matematika dan Pendidikan Matematika. “Internalisasi Nilainilai Berpikir Matematis Dalam Peranannya di Era Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA)”
yang menggunakan pembelajaran PBM
TS dengan siswa yang menggunakan
pembelajaran konvensional
HA:
kelompok rendah
HA:
Terdapat
perbedaan
peningkatan
kemampuan komunikasi matematis siswa
yang menggunakan pembelajaran PBM
TS dengan siswa yang menggunakan
pembelajaran konvensional
Terdapat
perbedaan
peningkatan
kemampuan komunikasi matematis siswa
yang menggunakan pembelajaran PBM
TS dengan siswa yang menggunakan
pembelajaran
konvensional
untuk
kelompok rendah
Krieteria pengujian
Krieteria pengujian
Tolak H0 jika nilai Sig. < α = 0,05 dan terima
H0 untuk lainnya
Tabel 4.7 Hasil Uji Perbedaan Rata-rata
Data N-Gain Kemampuan Komunikasi
Matematis Siswa Kelas PBM TS dan Kelas
PE
3,864
Df
Sig(2tiled)
77
0,000
Tabel 4.8 Hasil Uji Perbedaan Rata-rata
Data N-Gain Kemampuan Komunikasi
Matematis Siswa Kelas PBM TS dan Kelas
PE Kategori KMA Rendah
t-tes for Equality of
Means
t-tes for Equality
of Means
T
Tolak H0 jika nilai Sig. < α = 0,05 dan terima
H0 untuk lainnya
Keterangan
Kesimpulan
H0 Ditolak
Terdapat
perbedaan
Dari tabel 4.7 didapat nilai signifikansi
sebesar 0,000 lebih kecil dari α = 0,05.
Sehingga dapat disimpulkan bahwa hipotesis
nol ditolak, atau dapat dikatakan bahwa
terdapat perbedaan peningkatan kemampuan
komunikasi matematis antara siswa yang
menggunakan pembelajaran PBM TS dengan
siswa yang menggunakan pembelajaran
konvensional.
Hipotesis 3
H0: Tidak terdapat perbedaan peningkatan
kemampuan komunikasi matematis siswa
yang menggunakan pembelajaran PBM
TS dengan siswa yang menggunakan
pembelajaran
konvensional
untuk
T
df
Sig(2tiled)
1,924
10
0,083
Keteran
gan
Kesimpulan
H0
Diterima
Tidak terdapat
perbedaan
Dari tabel 4.8 hasil uji independent
samples t-test didapat nilai signifikansi sebesar
0,083 lebih besar dari α = 0,05. Sehingga
dapat disimpulkan bahwa H0 diterima. Dengan
demikian, dapat disimpulkan bahwa tidak
terdapat perbedaan peningkatan kemampuan
komunikasi matematis antara siswa yang
menggunakan model PBM TS dengan siswa
yang menggunakan model pembelajaran
konvensional untuk siswa kategori KMA
rendah.
Hipotesis 4
H0: Tidak terdapat perbedaan peningkatan
kemampuan komunikasi matematis siswa
yang menggunakan pembelajaran PBM
TS dengan siswa yang menggunakan
pembelajaran
konvensional
untuk
Pendidikan Matematika Universitas Muhammadiyah Purworejo ,
Ruang Seminar UMP, Sabtu, 28 Mei 2016
781
Tolak H0 jika nilai Sig. < α = 0,05 dan
terima H0 untuk lainnya
kelompok sedang
HA:
Terdapat
perbedaan
peningkatan
kemampuan komunikasi matematis siswa
yang menggunakan pembelajaran PBM
TS dengan siswa yang menggunakan
pembelajaran
konvensional
untuk
kelompok sedang
Tabel 4.10 Uji Perbedaan Rata-rata Data
N-Gain
Kemampuan
Komunikasi
Matematis Siswa Kelas PBM TS dan Kelas
PE Kategori KMA Tinggi
Data
Asymp
Sig (Sig.
2 tailed)
Kesimp
ulan
Keterangan
Ngain
0,096
H0
diterima
Tidak terdapat
perbedaan ratarata
Krieteria pengujian
Tolak H0 jika nilai Sig. < α = 0,05 dan terima
H0 untuk lainnya
Tabel 4.9 Hasil Uji Perbedaan Rata-rata
Data N-Gain Kemampuan Komunikasi
Matematis Siswa Kelas PBM TS dan Kelas
PE Kategori KMA Sedang
Dari tabel 4.10 uji Mann-Whitney ,
Dari tabel 4.9 didapat nilai signifikansi
sebesar 0,000 lebih kecil dari α = 0,05.
Sehingga dapat disimpulkan bahwa H0 ditolak.
Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa
terdapat perbedaan peningkatan kemampuan
komunikasi matematis antara siswa yang
menggunakan model PBM TS dengan siswa
yang menggunakan model pembelajaran
konvensional untuk siswa kategori KMA
sedang.
Hipotesis 5
H0: Tidak terdapat perbedaan peningkatan
kemampuan komunikasi matematis siswa
yang menggunakan pembelajaran PBM
TS dengan siswa yang menggunakan
pembelajaran
konvensional
untuk
kelompok tinggi
HA:
Terdapat
perbedaan
peningkatan
kemampuan komunikasi matematis siswa
yang menggunakan pembelajaran PBM
TS dengan siswa yang menggunakan
pembelajaran
konvensional
untuk
kelompok tinggi
Krieteria pengujian
782
t-tes for Equality of
Means
T
-4,350
df
Sig(2tiled)
47
0,000
Ketera
ngan
H0
Ditolak
Kesimpulan
Terdapat
perbedaan
diperoleh nilai signifikansinya adalah 0,096.
Nilai tersebut lebih besar dari taraf signifikansi
α = 0,05. Sehingga H0 diterima, artinya tidak
terdapat perbedaan peningkatan kemampuan
komunikasi matematis antara siswa yang
menggunakan model PBM dengan strategi
talking stick dengan siswa yang menggunakan
model pembelajaran konvensional untuk siswa
kategori KMA tinggi
4.2 PEMBAHASAN
Hasil analisis pretes menunjukkan kedua
kelas sampel bereda pada kondisi yang sama
sebelum pembelajaran. Pada pelaksanaan
pembelajaran, pertemuan pertama hingga akhir
berdasarkan pengamatan, siswa mengalami
peningkatan tingkat kepercayaan diri/ self
confidence dan komunikasi secara verbal.
Prosiding Seminar Nasional Matematika dan Pendidikan Matematika. “Internalisasi Nilainilai Berpikir Matematis Dalam Peranannya di Era Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA)”
Terlihat
dari
aktifitas
siswa
dalam
menyampaikan pendapat, mengungkapkan ide,
dan
meningkatnya
antusias
dalam
mempresentasikan hasil karya.
Strategi talking stick yang awalnya
bertujuan untuk mengaktifkan siswa dalam
model pembelajaran, yaitu mendorong siswa
untuk menjawab atau mempresentasikan hasil
karyanya, justru setelah beberapa pertemuan
pada kelas eksperimen yang menggunakan
model PBM dengan strategi talking stick ini
bukan lagi untuk menentukan siswa/kelompok
yang berkewajiban menjawab pertanyaan dari
guru/ kelompok penyaji, namun untuk
menentukan siswa/ kelompok yang berhak
menjawab/ mempresentasikan hasil karya.
Tingginya antusias ini disebabkan karena
meningkatnya self confiden
Download