BAB II TINJAUAN PUSTAKA

advertisement
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1
Definisi ISPA
Istilah ISPA adalah singkatan dari infeksi saluran pernafasan akut yang mulai
diperkenalkan sejak tahun 1984 yang dibahas dalam lokakarya Nasional ISPA di
Cipanas. Infeksi Saluran Pernafasan Akut (ISPA) adalah penyakit infeksi akut yang
menyerang salah satu bagian dan atau lebih dari saluran nafas mulai dari hidung
(saluran pernafasan atas) hingga alveoli (saluran bawah) termasuk jaringan
adneksanya, seperti sinus, rongga telinga tengah, dan pleura (Depkes RI, 2002:4).
Penyakit ISPA merupakan penyakit yang sering terjadi pada anak dengan episode
penyakit batuk pilek pada balita di Indonesia diperkirakan sebesar 3 sampai 6 kali
per tahun (Depkes RI, 2002: 9).
Agent penyakit ISPA dapat berupa bakteri, virus, dan riketsia. Bakteri
penyebab ISPA antara lain dari genus streptokokus, stafilokokus, pnemokokus,
hemofilus, bordetella, dan korinebakterium sedangkan virus penyebab ISPA antara
lain dari golongan miksovirus, adenovirus, koronavirus, pikornavirus, mikoplasma,
herpesvirus, dan lain-lain (Depkes RI, 2002:5).
2.2
Definisi Pneumonia
Pneumonia adalah proses infeksi akut yang mengenai jaringan paru-paru
(alveoli) yang pada anak seringkali bersamaan dengan terjadinya proses infeksi akut
pada bronkus yang disebut bronkopneumonia. Dalam pelaksanaan Pemberantasan
7
8
Penyakit ISPA semua bentuk pneumonia disebut “Pneumonia” saja (Depkes RI,
2002:4).
Definisi operasional pneumonia adalah batuk dan atau kesukaran bernafas
disertai peningkatan frekuensi nafas sesuai umur atau penarikan dinding dada bagian
bawah (severe chest indrawing). Frekuensi nafas pada umur 2-11 bulan sebesar 60
kali per menit atau lebih, sedangkan pada umur 1-5 tahun sebesar 40 kali per menit
atau lebih (Depkes RI, 2003:6).
2.3
Etiologi dan Cara Penularan Pneumonia
2.3.1
Etiologi Pneumonia
Di Indonesia etiologi pneumonia pada balita masih sukar ditetapkan karena
pada umumnya dahak sulit diperoleh. Sedangkan prosedur pemeriksaan imunologi
belum memberikan hasil yang memuaskan untuk menentukan adanya bakteri
penyebab pneumonia. Hanya biakan dari aspirat paru serta pemeriksaan specimen
darah yang dapat diandalkan untuk membantu penetapan etiologi pneumonia.
Meskipun pemeriksaan specimen aspirat paru merupakan cara yang sensitif untuk
mendapatkan dan menentukan bakteri penyebab pneumonia pada balita akan tetapi
pungsi paru merupakan prosedur yang berbahaya dan bertentangan dengan etika,
terutama jika hanya dimaksudkan untuk penelitian. Oleh karena alasan di atas maka
penetapan etiologi pneumonia di Indonesia masih didasarkan pada hasil penelitian di
luar Indonesia (Depkes RI, 2002:6).
Menurut Said dalam Depkes RI (2010) bahwa dari studi mikrobiologik
ditemukan
penyebab
utama
bakteriologik
pneumonia
anak-balita
adalah
Streptococcus pneumoniae/pneumococcus (30-50 % kasus) dan Hemo philus
9
influenzae type b/Hib (10-30% kasus), diikuti Staphylococcus aureus dan Klebsiela
pneumoniae pada kasus berat. Bakteri lain seperti Mycoplasma pneumonia,
Chlamydia spp, Pseudomonas spp, Escherichia coli (E coli) juga menyebabkan
pneumonia. Pneumonia pada neonatus banyak disebabkan oleh bakteri Gram negatif
seperti Klebsiella spp, E coli di samping bakteri Gram positif seperti S pneumoniae,
grup b streptokokus dan S aureus. Penyebab utama virus adalah Respiratory
Syncytial Virus (RSV) yang mencakup 15-40% kasus diikuti virus influenza A dan
B, parainfluenza, human metapneumovirus dan adenovirus. Di sisi lain menurut
publikasi WHO, penelitian di berbagai negara menunjukkan bahwa di negara
berkembang Streptokokus pneumonia dan Hemofilus influenza merupakan bakteri
yang selalu ditemukan pada dua pertiga dari hasil isolasi, yaitu 73,9% aspirat paru
dan 69,1% hasil isolasi dari specimen darah (Depkes RI, 2002: 6).
2.3.2
Cara Penularan Pneumonia
Pneumonia merupakan salah satu penyakit pernafasan akut bagian bawah
sehingga cara penularannya melalui medium udara, percikan ludah, kontak langsung
lewat mulut, dan melalui kontak benda-benda yang digunakan bersama. Kepadatan
hunian penduduk diperkirakan merupakan faktor risiko utama misalnya rumah padat
penghuni, asrama, dan pengungsian (Achmadi, 2011:124).
2.4
Klasifikasi Pneumonia dan Bukan Pneumonia
Klasifikasi penyakit pneumonia pada balita dibedakan menjadi dua kelompok
umur yaitu kelompok umur 2 bulan - 5 tahun dan kelompok umur dibawah 2 bulan
dengan kriteria sebagai berikut:
10
1. Klasifikasi pneumonia berat didasarkan pada adanya batuk dan atau kesukaran
bernafas disertai sesak atau tarikan dinding dada bagian bawah ke dalam (chest
indrawing) pada anak usia 2 bulan - 5 tahun. Sedangkan untuk kelompok umur
di bawah 2 bulan, pneumonia berat ditandai dengan adanya nafas cepat (fast
breathing).
2. Klasifikasi pneumonia didasarkan pada adanya batuk dan atau kesukaran
bernafas disertai adanya nafas cepat sesuai umur.
3. Klasifikasi batuk bukan pneumonia mencakup kelompok penderita balita dengan
batuk yang tidak menunjukkan gejala peningkatan frekuensi nafas dan tidak
menunjukkan adanya tarikan dinding dada bagian bawah ke dalam. Dengan
demikian klasifikasi bukan pneumonia mencakup penyakit-penyakit ISPA lain di
luar pneumonia seperti : batuk pilek bukan pneumonia (common cold,
pharyngitis, tonsillitis, otitis).
Kriteria nafas cepat pada balita ditampilkan pada tabel 2.1
Tabel 2.1 Kriteria Nafas Cepat Balita Berdasarkan Kelompok Umur
Umur Balita
Hitungan Nafas Per Menit
Kurang dari 2 bulan
60 kali per menit atau lebih
2 bulan sampai 12 bulan
50 kali per menit atau lebih
12 bulan sampai 5 tahun
40 kali per menit atau lebih
Sumber : Dirjen P2PL Departemen Kesehatan RI, 2007.Pneumonia Balita Pedoman Kader
2.5
Diagnosa Pneumonia Balita
Menurut WHO, diagnosa pneumonia pada balita umur 2 bulan - 5 tahun
adalah penderita dengan gejala batuk atau kesulitan bernafas dan ditandai dengan
adanya nafas cepat. Dikatakan nafas cepat bila nafas pada umur 2 bulan- 1 tahun
11
sebanyak 50 kali per menit atau lebih dan pada umur 1 -5 tahun sebanyak 40 kali per
menit atau lebih. Sedangkan diagnosa pneumonia berat pada balita jika muncul
gejala batuk atau sulit bernafas, adanya nafas cepat, tarikan dada bagian bawah
masuk ke dalam, atau stridor (UNICEF & WHO, 2006).
Gejala umum yang muncul pada penderita pneumonia balita yaitu demam,
batuk dengan nafas cepat, crackles (ronki) pada auskultasi, kepala terangguk-angguk,
pernafasan cuping hidung, tarikan dinding dada bagian bawah ke dalam, merintih,
dan sianosis (WHO, 2009).
2.6
Faktor Risiko Pneumonia
Faktor risiko kejadian pneumonia secara umum dapat dilihat dari faktor
agent, faktor host, dan faktor lingkungan seperti dalam konsep segitiga epidemiologi.
Agent adalah penyebab penyakit yang dapat berupa bakteri, virus, parasit, dan jamur.
Faktor
agent
kejadian
pneumonia
adalah
bakteri
Streptococcus
pneumoniae/pneumococcus, Hemo philus influenzae type b/Hib, Staphylococcus
aureus, dan Klebsiela pneumoniae. Bakteri lain seperti Mycoplasma pneumonia,
Chlamydia spp, Pseudomonas spp, Escherichia coli (E coli) juga menyebabkan
pneumonia. Sedangkan penyebab utama virus adalah Respiratory Syncytial Virus
(RSV), virus influenza A dan B, parainfluenza, human metapneumovirus, dan
adenovirus (Said, 2010).
Faktor host atau penjamu untuk kejadian pneumonia pada balita antara lain
umur kurang dari 2 bulan, berjenis kelamin laki-laki, status gizi kurang, berat badan
lahir rendah, tidak mendapat ASI memadai, imunisasi yang tidak memadai, perilaku
menyelimuti anak yang berlebihan, defisiensi vitamin A, dan pemberian makanan
tambahan terlalu dini (Depkes RI, 2002: 6). Faktor host di atas merupakan faktor
12
risiko meningkatnya angka kesakitan pneumonia pada balita. Beberapa penelitian
mengenai variabel status gizi, pemberian ASI eksklusif, serta riwayat keluarga
mendapatkan hasil yang signifikan.
1. ASI Eksklusif
ASI diproduksi oleh seorang ibu untuk memenuhi kebutuhan hidup seorang
bayi. Komposisi ASI berubah-ubah pada setiap periode menyusui dan disesuaikan
dengan kebutuan bayi. ASI mengandung anti virus, anti bakteri serta memperkuat
daya tahan tubuh bayi dan merupakan sumber vitamin A. ASI mengandung retinol
dan carotenoid yang cukup baik (40-70 μg/dl retinol dan 20-40 μg/dl) dan mampu
memenuhi kebutuhan vitamin A seorang bayi (Sudiarti & Diah.M.U, 2008). Dengan
demikian bayi atau anak yang mendapat ASI memiliki daya tahan tubuh yang lebih
tinggi dan memiliki risiko infeksi yang rendah serta mampu mencegah penyakit
alergi terhadap makanan dan alergi pernafasan pada anak (Pardede, 2008).
Hasil penelitian yang dilakukan oleh Yulianti, dkk (2000) menunjukkan
adanya hubungan antara pemberian ASI yang tidak memadai dengan kejadian
pneumonia pada balita (OR = 2,2) dimana berarti pada balita dengan riwayat ASI
tidak memadai berisiko 2,2 kali terkena pneumonia dibandingkan dengan balita
dengan ASI yang memadai.
2. Status Gizi
Status gizi mencerminkan derajat kesehatan seseorang. Dukungan gizi sangat
berarti karena gizi yang sesuai kebutuhan dan perkembangan dini ini membentuk
dasar kehidupan yang sehat dan produktif (Kusharisupeni, 2008). Status gizi yang
baik akan membangun ketahanan tubuh seseorang termasuk bayi dan anak balita.
Penetapan status gizi dapat dikelompokkan menjadi 3 yaitu berat badan berdasarkan
umur (BB/U), tinggi badan berdasarkan umur (TB/U), dan berat badan berdasarkan
13
tinggi badan (BB/TB). Status gizi bayi dan anak balita dapat diklasifikasikan
berdasarkan
berat
badan
berdasarkan
umur.
Berdasarkan
WHO-NCHS
diklasifikasikan menjadi gizi buruk (< -3 SD), gizi kurang (< -2 SD), gizi baik (-2
SD s.d 2SD), dan gizi lebih (> 2 SD) (Indrawani, 2008).
Hasil
penelitian
yang
dilakukan
oleh
Sunyataningkamto,
dkk
(2000)
menunjukkan adanya hubungan antara status gizi dengan kejadian pneumonia pada
balita (OR = 2,6) dimana berarti pada balita dengan kondisi status gizi kurang
berisiko 2,6 kali terkena pneumonia dibandingkan dengan balita dengan status gizi
baik. Hasil di atas sependapat dengan penelitian yang dilakukan oleh Yulianti, dkk
(2000) dengan nilai OR = 3,8.
3. Riwayat Keluarga
Salah satu konsep sehat-sakit yang dikenal adalah model roda, di mana
digambarkan roda yang terdiri dari manusia dengan substansi genetik sebagai inti
dan komponen biologi, sosial, dan fisik yang mengelilingi host. Bila peranan inti
genetik ukurannya lebih besar daripada yang lainnya maka penyakit atau masalah
kesehatan yang memungkinkan adalah penyakit keturunan (Adnani, 2010). Pada
penyakit infeksi faktor keturunan tidak berperan langsung, namun dapat berpengaruh
terhadap ketahanan seseorang terhadap infeksi tertentu. Salah satu sifat biologis
manusia adalah keadaan imunitas dan reaksi tubuh terhadap berbagai unsur dari luar
maupun dari dalam tubuh sendiri (Noor, 2008).
Hasil penelitian yang dilakukan oleh Sunyataningkamto, dkk (2000)
menunjukkan adanya hubungan antara riwayat wheezing dengan kejadian pneumonia
pada balita (OR = 4,80) dimana berarti pada balita dengan riwayat wheezing berisiko
4,80 kali terkena pneumonia dibandingkan dengan balita tanpa riwayat penyakit
asma.
14
Lingkungan adalah segala sesuatu yang mengelilingi dan juga kondisi luar
manusia atau hewan yang menyebabkan atau memungkinkan penularan penyakit
(Timmreck, 2004: 8). Sedangkan menurut Utomo (2006), ekosistem merupakan
satuan fungsional dasar yang menyangkut proses interaksi organisme dengan
lingkungan mereka (Achmadi, 2011:10). Organisme yang di lingkungan tersebut
mencakup jasad renik atau mikroorganisme. Di antara mikroorganisme itu, terdapat
plasmodium, virus avian flu, virus influenza, bakteri E.coli, dan lain-lain. Beberapa
di antara mereka hidup dengan bergantung terhadap vektor maupun manusia untuk
keperluan hidup ataupun hanya berganti jenis kelamin dalam sistem aliran darah
manusia. Karena tubuh manusia dengan berbagai organ dan sistemnya bukan
didesain untuk bereproduksi dan tempat mencari makan jasad renik tertentu, maka
kedatangan tamu-tamu tersebut menimbulkan gangguan penyakit (Achamdi,
2011:11).
Keberadaan mikroorganisme seperti virus, bakteri, dan parasit yang tidak
sewajarnya ada dalam tubuh manusia ini yang akan menyebabkan suatu penyakit.
Oleh karena itu komponen lingkungan dikatagorikan memiliki potensi untuk
menimbulkan penyakit jika terdapat mikroorganisme patogen atau jasad renik yang
berbahaya.
Penyakit berbasis lingkungan memiliki pengertian sebagai ilmu yang
mempelajari proses kejadian atau fenomena penyakit yang terjadi pada sebuah
kelompok masyarakat yang berhubungan, berakar (bounded) atau memiliki
keterkaitan erat dengan satu atau lebih komponen lingkungan pada sebuah ruang
sehingga masyarakat tersebut bertempat tinggal atau beraktivitas dalam jangka waktu
tertentu. Penyakit tersebut bisa dicegah atau dikendalikan kalau kondisi lingkungan
yang berhubungan atau diduga berhubungan dengan penyakit tersebut dihilangkan
15
(Achmadi, 2011:18-19). Salah satu ciri penyakit berbasis lingkungan yaitu penyakit
yang diderita pada suatu waktu dalam sebuah komunitas yang hidup atau tinggal
pada pemukiman padat berdesakan dengan sanitasi yang buruk.
Salah satu media transmisi penyakit terutama penyakit pernafasan yaitu
udara. Kondisi udara yang tercemar berpotensi untuk mengganggu kesehatan
manusia yang menghirupnya. Beberapa jenis bahan pencemar yang dianggap
berbahaya adalah PM-10 yang merupakan semua partikel yang berdiameter 10
mikron. Partikel ini mampu masuk ke dalam saluran pernafasan manusia. Namun
partikel yang lebih kecil berukuran di bawah 2,5 mikron mampu masuk ke dalam
alveoli paru-paru dan menimbulkan masalah serius yang termasuk di dalamnya
adalah virus (Achmadi, 2011:70). Di negara tropis virus yang berada di udara dapat
mati oleh sinar ultraviolet. Menurut Sabit et al (2009) dalam Achmadi (2011) PM 2,5
sering diasosiasikan dengan angka kematian bayi. Beberapa gangguan terhadap paruparu akibat pencemaran udara yaitu asthma, bronkhitis, pneumonia (infeksi akibat
melemahnya sistem pertahanan tubuh lokal saluran nafas oleh bahan pencemar), dan
COPD (Chronic Obstructive Pulmonary Disease) (Achmadi, 2011:71).
Menurut Ranuh (1997) dalam Yusup dan Sulistyorini (2004), penyakit atau
gangguan saluran pernafasan dipengaruhi oleh kondisi lingkungan yang buruk yang
dapat berupa kondisi fisik perumahan yang tidak mempunyai syarat seperti ventilasi,
kepadatan penghuni, penerangan, dan pencemaran udara dalam rumah. Kualitas
udara dalam ruangan (indoor air quality) dapat ditentukan secara sengaja atau tidak
oleh penghuni ruangan tersebut. Hal ini dapat dilakukan dengan pengaturan suhu
maupun frekuensi pertukaran udara dengan ventilasi khusus ataupun memanfaatkan
cuaca alamiah. Kualitas udara di dalam ruangan juga dipengaruhi oleh temperatur
dan kelembaban. Apabila terdapat udara yang tidak bebas dalam ruangan, maka
16
bahan pencemar udara dalam konsentrasi cukup memiliki kesempatan untuk masuk
ke dalam tubuh (Keman, 2005).
Menurut UU Republik Indonesia No.4 Tahun 1992, rumah adalah bangunan
yang berfungsi sebagai tempat tinggal atau hunian dan sarana pembinaan keluarga.
Kriteria untuk rumah sehat telah diatur dalam Keputusan Menteri Kesehatan
Republik Indonesia No.829 Tahun 1999. Salah satu faktor yang perlu diperhatikan
dalam membangun sebuah rumah adalah faktor lingkungan baik lingkungan fisik,
lingkungan biologis, maupun lingkungan sosial (Notoatmodjo, 2007:167). Pada
tahap perkembangan balita, sebagian besar waktu dihabiskan di rumah baik bersama
keluarga maupun pengasuhnya. Oleh karena itu lingkungan fisik rumah berperan
dalam kondisi kesehatan maupun kejadian sakit pada balita terutama penyakit
infeksi.
Beberapa penelitian yang pernah dilakukann menemukan beberapa faktor
lingkungan fisik yang dapat mempengaruhi kejadian pneumonia pada balita.
1. Pencahayaan Alami
Rumah yang sehat adalah rumah dengan pencahayaan yang cukup.
Pencahayaan yang kurang terutama dari sinar matahari dapat menimbulkan
ketidaknyamanan serta merupakan tempat yang baik untuk hidup dan
berkembangnya bibit penyakit. Sebaliknya pencahayaan alami yang berlebihan
dapat menyilaukan mata. Sebagian energi pancaran sinar matahari terdiri atas
cahaya ultraviolet yang pendek tersaring di atmosfer bumi (lapisan ozon) dan
polutan atmosfer, dengan demikian radiasi ultraviolet menjadi terbatas kisarannya
yaitu 280-390 nm. Jadi dapat disimpulkan bahwa sinar matahari pada keadaan
tertentu memiliki kapasitas membunuh bakteri (Radji, M, 2010:60)
17
Pencahayaan alami sangat penting untuk membunuh bakteri-bakteri patogen
dalam rumah seperti bakteri TBC. Selain itu bakteri streptococcus pneumoniae
memiliki sifat mampu bertahan selama beberapa hari dalam pembenihan biasa dan
mati oleh sinar matahari langsung (Radji, M, 2010:159). Idealnya proporsi jalan
masuknya cahaya alami ke dalam rumah adalah 15-20% dari luas lantai yang
terdapat di dalam ruangan (Notoatmodjo,2007: 171). Menurut Keputusan Menteri
Republik Indonesia No.829/Menkes/SK/VII/ 1999 pencahayaan alami dan atau
buatan langsung maupun tidak langsung menerangi seluruh ruangan dengan
intensitas cahaya minimal 60 lux serta tidak menyilaukan mata (Keman, 2005 : 37).
Adapun hasil penelitian yang dilakukan oleh Sinaga, dkk (2008) di Wilayah
Kerja Puskesmas Sentosa Baru Kota Medan menunjukkan adanya hubungan antara
pencahayaan alami dengan kejadian pneumonia pada balita (OR=2,9) dimana balita
dengan tingkat pencahayaan alami yang tidak memenuhi syarat memiliki risiko 2,9
kali terkena pneumonia dibandingkan balita dengan tingkat pencahayaan alami
yang memenuhi syarat. Hasil yang sama juga ditunjukkan pada penelitian yang
dilakukan oleh Wijo Basuki (2004) dengan nilai OR =22 dan nilai p = 0,0001.
2. Luas Ventilasi
Ventilasi memiliki fungsi yang penting terutama untuk menjaga agar aliran
udara dalam rumah tetap segar dan keseimbangan O2 yang dibutuhkan oleh
penghuni tetap terjaga. Kurangnya ventilasi akan menyebabkan kurangnya O2
dalam rumah yang berarti kadar CO2 yang bersifat racun bagi para penghuninya
menjadi meningkat (Notoatmodjo, 2007: 170). Selain itu kurangnya ventilasi
berpengaruh terhadap peningkatan kelembaban dalam ruangan yang merupakan
media yang baik untuk tempat hidup bakteri dan patogen. Fungsi lain ventilasi
18
adalah untuk membebaskan udara ruangan dari bakteri-bakteri dan menjaga
ruangan dalam kelembaban optimum (Notoatmodjo, 2007: 170).
Ada dua macam ventilasi, yakni ventilasi alamiah dan ventilasi buatan. Prinsip
kerja ventilasi alamiah adalah terjadinya pertukaran udara dalam ruangan secara
alamiah melalui pintu, jendela, lubang angin, maupun lubang-lubang pada dinding.
Sedangkan ventilasi buatan berupa pertukaran udara dengan bantuan alat-alat
khusus seperti kipas angin atau mesin penghisap udara.
Kelemahan ventilasi
alamiah yaitu peluang masuknya vektor seperti lalat, nyamuk, dan lainnya lebih
tinggi dibandingkan ventilasi buatan. Menurut
Keputusan Menteri Kesehatan
No.829 Tahun 1999 , luas lubang ventilasi alamiah yang permanen adalah minimal
10% luas lantai (Keman, 2005: 38).
Adapun hasil penelitian yang dilakukan oleh Yuwono (2008) di Wilayah Kerja
Puskesmas Kawunganten Kabupaten Cilacap menunjukkan adanya hubungan
bermakna antara ventilasi rumah dengan kejadian pneumonia pada anak balita
(OR=6,3) dimana anak balita dengan kondisi ventilasi yang tidak memenuhi syarat
memiliki risiko 6,3 kali terkena pneumonia dibandingkan anak balita dengan
ventilasi yang memenuhi syarat. Hasil penelitian yang dilakukan oleh Sinaga, dkk
(2008) juga menunjukkan adanya hubungan bermakna antara ventilasi dengan
kejadian pneumonia pada balita (OR=2,9) hal ini menunjukkan kondisi rumah
balita yang memiliki ventilasi tidak memenuhi syarat memiliki risiko 2,9 kali
terkena pneumonia dibandingkan balita dengan ventilasi rumah yang memenuhi
syarat. Sedangkan pada penelitian yang dilakukan oleh Siti Zuraidah (2002) di
Kota Salatiga serta Nurjazali dan Retno Widyaningtyas (2008) kondisi ventilasi
yang buruk memiliki hubungan yang signifikan terhadap kejadian pneumonia pada
balita yaitu masing-masing dengan OR = 21,208 dan OR = 33.
19
3. Jenis Lantai
Lantai merupakan bagian dari suatu rumah yang berpotensi sebagai tempat
tinggal bakteri penyebab penyakit. Syarat lantai yang baik adalah tidak berdebu
pada musim kemarau dan tidak basah pada musim hujan karena lantai yang basah
dan berdebu menimbulkan sarang penyakit (Notoatmodjo, 2007: 169). Pada
umumnya lantai tanah bersifat lembab karena tidak bisa memantulkan sinar. Oleh
karena itu pemilihan jenis lantai yang tepat dan sesuai dengan lingkungan
merupakan salah satu syarat rumah sehat.
Hasil penelitian yang dilakukan oleh Yuwono (2008) di Wilayah Kerja
Puskesmas Kawunganten Kabupaten Cilacap menunjukkan adanya hubungan
antara jenis lantai rumah dengan kejadian pneumonia pada balita (OR uji bivariat=
3,9 dan OR uji multivariat = 6,19) dimana berarti pada uji bivariat balita dengan
kondisi jenis lantai yang tidak memenuhi syarat berisiko 3,9 kali terkena
pneumonia dibandingkan dengan balita dengan kondisi jenis lantai yang memenuhi
syarat. Sedangkan pada uji multivariat balita dengan kondisi jenis lantai yang tidak
memenuhi syarat berisiko 6,19 kali terkena pneumonia dibandingkan dengan balita
dengan kondisi jenis lantai yang memenuhi syarat.
4. Kelembaban
Kelembaban kandungan uap air yang dipengaruhi oleh sirkulasi udara dan
pencahayaan yang masuk dalam rumah. Kelembaban udara dalam rumah yang
meningkat berpotensi sebagai tempat hidup bakteri-bakteri penyebab penyakit
(Notoatmodjo, 2007:170). Berdasarkan Keputusan Menteri Kesehatan No.829
Tahun 1999, tingkat kelembaban udara dalam rumah yang dianggap baik adalah
sebesar 40-70% (Keman, 2005: 38).
20
Adapun hasil penelitian yang dilakukan oleh Yuwono (2008) di Wilayah Kerja
Puskesmas Kawunganten Kabupaten Cilacap menunjukkan adanya hubungan
antara tingkat kelembaban dengan kejadian pneumonia pada balita (OR=2,8)
dimana balita dengan kondisi kelembaban yang tinggi berisiko 2,8 kali terkena
pneumonia dibandingkan balita dengan kondisi kelembaban normal. Beberapa
penelitian yang juga menunjukkan adanya hubungan antara tingkat kelembaban
dengan kejadian pneumonia adalah penelitian yang dilakukan oleh Yulianti,dkk
(2000) dengan OR=2,9 yang berarti balita dengan kondisi kelembaban tinggi
berisiko 2,9 kali terkena pneumonia dibandingkan balita dengan kondisi
kelembaban normal.
5. Kepadatan Hunian
Proporsi antara luas bangunan dan jumlah penghuni juga merupakan salah satu
syarat rumah sehat. Luas bangunan yang tidak sebanding dengan jumlah penghuni
akan menimbulkan rasa sesak. Hal ini dapat mengganggu kesehatan sebagai akibat
kurangnya konsumsi O2 dalam ruangan dan meningkatkan risiko penularan
penyakit bila ada salah satu penghuni yang menderita penyakit infeksi. Luas
bangunan yang optimum adalah apabila dapat menyediakan 2,5-3 m2 untuk setiap
orang (Notoatmodjo, 2007: 172). Berdasarkan Keputusan Menteri Kesehatan
Republik Indonesia No.829 Tahun 1999
tentang kriteria rumah sehat bahwa
kepadatan hunian yang dianggap baik yaitu luas tempat tidur minimal 8 m2 untuk
dua orang (Keman, 2005: 38).
Hasil penelitian yang dilakukan oleh Yulianti, dkk (2000) di Kota Banjarmasin
menunjukkan adanya hubungan antara tingkat kepadatan hunian dengan kejadian
pneumonia pada anak balita (OR=3,06) dimana anak balita dengan tingkat
kepadatan tinggi berisiko 3,06 kali terkena pneumonia dibandingkan dengan anak
21
balita dengan tingkat kepadatan yang ideal. Hasil yang sama mengenai hubungan
antara tingkat kepadatan hunian dengan kejadian pneumonia pada balita juga
didapatkan dalam penelitian Sinaga, dkk (2008) yaitu dengan OR=6,9 dan Yuwono
(2008) yaitu dengan OR= 2,7.
6. Paparan Asap Rokok
Adanya anggota keluarga yang merokok di dalam ruangan dan di dekat balita
tidak baik untuk kesehatan terutama kesehatan saluran pernafasan. Merokok pasif
yang didapat balita dari kebiasaan orang tuanya dapat mengganggu pernafasan
anak. Polusi udara yang diakibatkan paparan asap rokok secara terus menerus
mengakibatkan peningkatan infeksi saluran pernafasan, asma, penurunan fungsi
paru, dan infeksi telinga.
Adapun hasil penelitian yang dilakukan oleh Sunyataningkamto, dkk (2000) di
beberapa Puskesmas di Wilayah Banjarnegara, Jepara, Kebumen, dan Pekalongan
menunjukkan adanya hubungan antara kebiasaan anggota keluarga merokok
dengan kejadian pneumonia pada balita (OR=1,63) yang berarti balita dengan
paparan asap rokok memiliki risiko 1,63 kali terkena pneumonia dibandingkan
dengan balita tanpa paparan asap rokok. Hasil yang sama juga ditunjukkan pada
penelitian yang dilakukan oleh Yulianti, dkk (2000) yaitu dengan OR=3,81, Ratna
Sulistyowati (2010) yaitu dengan OR= 4,4, dan Yuwono (2008) yaitu dengan
OR=5,48.
Download