6 TINJAUAN PUSTAKA Tanaman Bawang Merah

advertisement
6
TINJAUAN PUSTAKA
Tanaman Bawang Merah
Bawang merah merupakan tanaman semusim, membentuk rumpun dan
tumbuh tegak dengan tinggi dapat mencapai 15-50 cm. Perakarannya berupa akar
serabut yang tidak panjang dan tidak terlalu dalam tertanam di tanah. Seperti
halnya bawang putih, tanaman ini termasuk tidak tahan kekeringan. Daun bawang
merah berbentuk silindris seperti pipa dengan bagian ujungnya meruncing yang
bewarna hijau muda sampai hijau tua, memiliki batang sejati atau “diskus” yang
bentuknya seperti cakram tipis dan pendek sebagai tempat melekatnya perakaran
dan mata tunas (titik tumbuh) yang memanjang antara 50-70 cm. Pangkal daun
bersatu membentuk batang semu. Batang semu yang berada di dalam tanah akan
berubah bentuk dan fungsinya menjadi umbi lapis atau bulbus (Sumarni &
Rosliani 1996). Umbinya mempunyai kulit yang ’membranous’, serta memiliki
variasi dalam bentuk, ukuran dan warna (Rabinowitch & Brewster 1990).
a
b
Gambar 1. bunga bawang merah (a), biji bawang merah (b)
Bunga bawang merah termasuk bunga majemuk yang berbentuk tandan,
yang bertangkai, bunga berwarna putihyang terdiri dari 50-200 kuntum bunga.
Bunga bawang merah adalah bunga sempurna (hermaphrodite) yaitu memiliki dua
organ kelamin yaitu stamen dan stigma dalam satu bunga. Bawang merah pada
umumnya terdiri atas 5-6 helai benang sari, satu putik, dengan daun bunga yang
berwarna putih, termasuk hypogenous yaitu posisi ovarium berada diatas calix
dengan posisi superior. Bakal buah terbentuk dari 3 daun buah yang disebut carpel
7
yang membentuk tiga ruang dan dalam tiap ruang terdapat dua bakal biji
(Rabinowitch & Brewster 1990).
Pertumbuhan vegetatif bawang merah dibagi menjadi dua tahap yaitu :
fase vegetatif yaitu terjadinya perkembangan akar dan daun serta fase generatif
yaitu pembungaan dan pertumbuhan umbi. Pada perkembangan akar dan daun
terjadi akumulasi karbohidrat yang lebih besar daripada penggunaannya (Brewster
1990). Aktivitas pembentukan umbi meningkat pada pertumbuhan vegetatif dan
pembentukan umbi dipengaruhi oleh ketersediaan nitrogen, panjang hari dan
suhu.
Pembentukan
daun
terhenti
ketika
pembentukan
umbi
dimulai.
Pertumbuhan umbi selanjutnya akan ditentukan oleh jumlah daun yang sudah ada
sebelumnya. Daun bawang merah berbentuk sederhana dengan permukaan yang
sempit sehingga kemampuan untuk berfotosintesis rendah (Splittosser 1978 &
Edmond et al. 1983 dalam Abdullatif 1999).
Tanaman bawang merah memiliki daya adaptasi luas karena dapat ditanam
mulai dari dataran rendah sampai dataran tinggi (1000 m diatas permukaan laut)
dan baik diusahakan pada lahan bekas sawah maupun di tanah darat atau lahan
kering seperti tegalan, kebun dan pekarangan (Suwandi & Hilman 1997).
Tanaman bawang merah dapat tumbuh di dataran rendah sampai ketinggian 800
m dpl. Namun demikian tanaman akan berumur lebih panjang dan hasil umbinya
lebih rendah daripada di dataran rendah. Tanaman bawang merah termasuk
tanaman hari panjang, menyukai tempat yang terbuka dan cukup mendapat sinar
matahari (70%) terutama bila lamanya penyinaran lebih dari 12 jam (Sumarni &
Rosliani 1996). Untuk dapat tumbuh dengan baik, tanaman bawang merah
memerlukan
kondisi
perkembangannya.
lingkungan
Menurut
yang
Rabinowitch
cocok
dan
untuk
Brewster
pertumbuhan
(1990),
dan
Inisiasi
pembungaan terjadi pada suhu rendah 9-12 0C, sedangkan untuk pembuahan dan
pembijiannya diperlukan suhu yang lebih tinggi yaitu 35 0C serta curah hujan
sekitar 100-200 mm/bulan.
Bawang merah dapat tumbuh dengan baik pada tanah yang gembur, subur,
banyak mengandung bahan organik atau humus, aersinya baik, dan tidak becek
dengan derajad kemasaman tanah (pH) yang paling baik adalah 6.0-6.8.
8
Tanahyang gembur dan subur akan mendorong perkembangan umbi secara
optimal (Brewster 1990).
Pembungaan
Perubahan dari fase vegetatif ke fase reproduktif cukup dramatis. Pada
masa vegetatif, tanaman secara teratur menumbuhkan daun baru, cabang, dan
akar. Perubahan ketahap pembungaan melibatkan perubahan utama di pola
diferensiasi pada meristem apical pucuk. Perubahan ini sepertinya dipicu oleh
senyawa biokimia (dikenal sebagai florigen) yang dikirim dari bagian akar
kebagian apeks tanaman, terutama dari daun. Jadi pembungaan menggambarkan
struktur kompleks yang sangat terspesialisasi, dimana struktur ini sangat berbeda
dengan bentuk dari bagian vegetatif dan juga berbeda antara spesies yang satu
dengan yang lain (Taiz & Zeiger 1991). Disamping kompleksitas ini, pembungaan
disemua spesies tumbuhan dipengaruhi oleh faktor internal dan eksternal yang
menghubungkan perkembangan reproduktif tanaman dengan lingkungannya.
Faktor internal meliputi umur (Taiz & Zeiger 1991), hormon
pertumbuhan, dan nutrisi (Wareing & Phillips 1970; Berreiet al. 1987). Tanaman
mencapai fase pembungaan pada umur (atau ukuran) yang berbeda. Hormonhormon yang mempengaruhi pembungaan terutama adalah asam giberelin dan
auksin (Bleasdale 1981). Sedangkan faktor eksternal yang mempengaruhi
bervariasi dari suhu, fotoperiodisme (Bleasdale 1981; Berrie et al. 1987), curah
hujan hingga stres air (Wareing & Phillips 1970; Kinet et al. 1985).
Induksi bunga merupakan suatu peristiwa penting dalam proses
pembungaan, yang menandai terjadinya perubahan pola pertumbuhan
dan
perkembangan dari fase vegetatif menuju fase generatif (produktif). Pada fase ini
terjadi perubahan fisiologis dan biokimia pada mata tunas sedangkan secara
secara morfologi belum terjadi perubahan secara visual. Pembungaan juga
merupakan interaksi dari pengaruh dua faktor yaitu faktor eksternal/lingkungan
(cahaya, suhu, kelembaban, curah hujan, dan unsur hara) dan faktor internal
(genetik dan fitohormon) (Gardner et al. 1991).
Proses pembungaan tanaman melalui empat tahapan yaitu induksi,
inisiasi bunga, deferensiasi bunga, pendewasaan bagian-bagian bunga dan
anthesis (Lang 1952). Induksi pembungaan merupakan awal dari fase reproduktif
9
tanaman. Pada tahap induksi terjadi perubahan respon biokimia pada lapisan
sruktur apeks, yang menjadi sinyal utama perubahan dari fase vegetatif ke fase
generatif. Inisiasi bunga merupakan tahap yang penting pada pembungaan
tanaman, karena tahap ini terjadi perubahan morfologis menjadi bentuk kuncup
generatif dan transisi dari tunas vegetatif menjadi kuncup generatif yang dapat
dideteksi dari perubahan bentuk maupun ukuran kuncup, serta proses-proses
selanjutnya yang mulai membentuk organ-organ generatif. Perubahan tunas apikal
dan aksilar dari fase vegetatif menjadi tunas bunga merupakan hasil dari aktivitas
hormonal yang berlangsung pada tanaman tersebut yang umumnya diinduksi oleh
kondisi lingkungan tertentu, seperti suhu dan perubahan panjang hari (lama
penyinaran) (Lang 1952).
Pada tahap diferensiasi, struktur primordia bunga terlihat jelas dibawah
mikroskop; terdiri atas sepal, petal, stamen, pistil maupun karpelnya. Pada tahap
ketiga terjadi pematangan bagian-bagian bunga, seperti jaringan sporogenous,
stigma dan pollen. Peristiwa mekarnya bunga dikenal dengan anthesis. Pada tahap
ini, bagian-bagian bunga akan mencapai ukuran maksimum, stigma menjadi
reseptifserta serbuk sari berkembang sempurna (Lang 1952).
Pembentukan buah dimulai dengan proses penyerbukan yang meliputi
jatuhnya butir-butir serbuk sari di atas permukaan stigma. Selanjutnya serbuk sari
membentuk tabung sari dan masuk ketangkai putik melalui jaringan transmisi
tabung sari (Pollen Tube Transmiting Tissue - PTT) untuk mencapai bakal biji.
Pembuahan (fertilisasi) terjadi saat serbuk sari (sel jantan) membuahi sel telur di
dalam bakal buah. Perkembangan buah dipengaruhi oleh keberhasilan
penyerbukan pada stigma sampai pada pembentukan biji pada buah dan banyak
proses terjadi yang melibatkan interaksi antara bagian-bagian bunga jantan dan
bunga betina (Herrero et al. 1988).
Perkembangan buah berlangsung dalam tiga fase yaitu: 1. Perkembangan
ovari, fertilisasi dan pembentukan buah, 2. Pembelahan sel, pembentukan biji dan
perkembangan awal embrio, 3. Pembesaran sel dan pematangan embrio. Secara
garis besar perkembangan buah dari mulai fruitset sampai senescence meliputi
beberapa tahapan antara lain pertumbuhan pematangan (maturation), matang
10
fisiologis
(physiological
maturity),
pemasakan
(ripening),
dan
penuaan
(senescence) (Gillaspy et al. 1993).
Buah dan biji terbentuk dari hasil penyerbukan dan pembuahan yang
terjadi pada ovul/bakal biji. Jumlah buah dan biji masak yang terbentuk pada
tanaman dipengaruhi beberapa faktor. Banyaknya buah masak yang dapat dipanen
ditentukan oleh: (1) Jumlah bunga yang dihasilkan oleh tanaman, (2) Persentase
bunga yang mengalami pembuahan, (3) Persentase buah muda yang dapat terus
tumbuh hingga menjadi buah masak dan (4) umur buah. Sedangkan kualitas dan
kuantitas biji pada buah ditentukan oleh beberapa faktor. Salah satunya adalah
kuantitas polen viabel yang berhasil membuahi ovul. Perkembangan buah dan biji
sangat dipengaruhi oleh suhu dan lingkungan penyinaran matahari (Goldsworthy
1992).
Pada prinsipnya, terdapat tiga faktor utama yang mempengaruhi
pembungaan, yaitu : (1) adanya hormon pembungaan atau florigen atau produksi
stimulus pembungaan pada daun yang mengalihkan fase vegetatif menjadi
reproduktif, (2) adanya kondisi nutrisi yang optimum pada saat yang sama dengan
perubahan dalam apeks, (3) terjadinya perubahan biokomia pada apeks yang
mengubah dan mengkonversi nutrient sehingga terjadi induksi pembungaan
(Ryugo 1990). Pembungaan dan peristiwa-peristiwa reproduktif hingga selesainya
pembentukan biji dicapai melalui sejumlah proses penyesuaian termasuk
penyesuaian suhu rendah seperti vernalisasi, kepekaan terhadap panjang hari, atau
terhadap intensitas sinar matahari yang dapat diterima oleh tanaman. Menurut
Barnier et al (1985) terdapat dua teori pembungaan, teori pertama yaitu inisiasi
pembungaan tidak akan terjadi kecuali ada yang menstimulasi, sedangkan teori
kedua menyatakan bahwa tanaman memiliki potensi untuk berbunga akan tetapi
kadang-kadang tertekan oleh kondisi lingkungan yang tidak sesuai. Dengan
mengetahui teori pembungaan, maka pengaturan pembungaan tanaman dapat
ditentukan sesuai dengan kebutuhan tanaman
Vernalisasi
Pembungaan tanaman, sebagaimana perkembangan pertumbuhan tanaman
secara keseluruhan atau fenologi, sangat dipengaruhi oleh iklim terutama suhu
11
udara. Pengaruh dari suhu ini berbeda antara masa vegetatif dan masa reproduktif
(Penning de Vries et al. 1989). Selain itu, suhu dapat mengubah atau
memodifikasi respon terhadap fotoperiode pada spesies dan varietas, banyak
spesies yang membutuhkan periode dingin selama 2-6 minggu agar dapat
berbunga. Perlakuan dingin ini disebut vernalisasi (Gardner et al. 1991).
Istilah vernalisasi pertama kali digunakan pada perlakuan suhu dingin
pada benih yang berimbibisi atau semai kecambah, kemudian meluas kepada
semua perlakuan yang mempunyai efek yang sama terhadap tanaman seperti
halnya perlakuan terhadap umbi sebelum ditanam. Tujuan vernalisasi biasanya
adalah untuk mempercepat keluarnya bunga karena suhu dapat merangsang
inisiasi bunga. Tunas atau meristem yang lazimnya memberikan respon terhadap
suhu rendah dengan cara mengalami vernalisasi. Hanya jika tunas diberi suhu
rendahlah, tumbuhan akan berbunga (Salisbury & Ross 1995). Akan tetapi selain
dipengaruhi oleh vernalisasi, periode menuju waktu berbunga juga di pengaruhi
oleh suhu dan panjang hari selama masa pertumbuhan dan pengaruhnya saling
berinteraksi. Banyak tanaman-tanaman dwi musim yang berasal dari daerah
subtropik yang memerlukan vernalisasi. Suhu-suhu rendah yang diperlukan oleh
tanaman-tanaman subtropik dapat diperoleh secara alami dari daerah asalnya,
tetapi untuk daerah tropis suhu yang rendah sukar sekali diperoleh kecuali
ditempat-tempat tinggi. Oleh karena itu dibutuhkan suhu rendah secara buatan,
yaitu dengan teknik vernalisasi (Peat 1983).
Menurut Wareing dan Philips (1981), periode vernalisasi minimal yang
dibutuhkan untuk pembungaan berbeda dari spesies ke spesies, tetapi biasanya
berlangsung selama beberapa minggu. Sebagian besar spesies suhu antara -1
sampai 10 0C efektif untuk vernalisasi. Berdasarkan tanggap tanaman terhadap
vernalisasi maka dapat dibentuk dua kelompok tanaman yaitu (1) tanaman yang
memberikan tanggap kuantitatif, artinya perlakuan suhu rendah hanya
mempercepat pembungaan dimana tanaman akan berbunga meskipun tanpa
perlakuan vernalisasi. Hal ini terjadi pada ”petkus rye” (Secale cereale) yang
divernalisasi hanya membutuhkan waktu 7 minggu untuk berbunga dan jika tanpa
vernalisasi membutuhkan waktu 14-18 minggu. (2) tanaman yang memberikan
tanggap secara kualitatif, artinya kebutuhan akan suhu rendah mutlak diperlukan
12
untuk pembungaan sehingga tanpa perlakuan vernalisasi, tanaman tidak akan
berbunga dan ini ditemukan pada tanaman bienial Hyoscyamus niger (Salisbury &
Ross 1978).
Vernalisasi biasanya terjadi antara suhu -5 hingga 16 0C dengan pengaruh
maksimun antara 0 hingga 8 0C (Whyte 1960). Lamanya perlakuan vernalisasi
mulai beberapa hari hingga 60 hari hingga lebih lama lagi, tergantung pada
spesies dan genotipe tanaman dan suhu yang digunakan. Bawang merah pada fase
post-juvenile merespon suhu dingin baik pada saat penyimpanan ataupun pada
saat tumbuh dilapangan, dan sensitifitasnya terhadap suhu dingin meningkat, yaitu
semakin tua umur bibit maka membutuhkan induksi dingin lebih sedikit. Saragih
(1994) dalam penelitiannya terhadap lobak menunjukkan bahwa tanaman lobak
yang
divernalisasi,
lebih
cepat
berbunga
dibandingkan
tanaman
yang
tidakdivernalisasi. Suhu dingin dapat menginduksi pembungaan namun
sebaliknya suhu yang tinggi (28-30
0
C) dapat memperlambat pembungaan
(Kamenetsky & Rabinowitch 2002). Suhu yang tinggi selama penyimpanan tidak
hanya menghambat pembungaan namun juga menunda umur berbunga,
mengurangi jumlah bunga serta menekan munculnya rangkaian bunga yang telah
terinisiasi (Krontal et al. 2000).
Giberelin
Hormon tanaman merupakan senyawa-senyawa kimia yang terjadi secara
alamiah di dalam tanaman yang berperan dalam mengatur pertumbuhan dan
perkembangan tanaman secara aktif pada konsentrasi yang rendah. Hormon
tanaman adalah senyawa organik bukan nutrisi yang aktif dalam jumlah kecil (106
– 10-5Mm), yang diseintesis pada bagian tertentu dari tanaman dan pada
umumnya diangkut kebagian lain tanaman dimana zat tersebut menimbulkan
tanggapan secara biokimia, fisiologis dan morfologis (Wattimena 1988). Bahan
kimia sintetik yang mempunyai peranaan sama dengan hormon tanaman disebut
zat pengatur tumbuh tanaman sintetik. Fitohormon yang secara umum dikenal
adalah auksin, giberelin, sitokinin, asam absisat dan etilen (Slisbury & Ross
1995). Penggunaan zat pengatur tumbuh dalam bidang hortikultura sudah banyak
dilakukan. Zat pengatur tumbuh diberikan pada tanaman dengan tujuan untuk
mengontrol dan memodifikasikan pertumbuhan tanaman agar diperoleh hasil yang
13
secara ekonomis menguntungkan. Keuntungan tersebut meliputi: peningkatan
hasil dan memperbaiki kualitas produksi (Wattimena 1988).
Selain faktor genotipe dan lingkungan, zat pengatur tumbuh yang berperan
mempengaruhi pembungaan diantaranya adalah asam giberelat (GA3). Giberelin
(GA3) adalah senyawa tetrasiklik diterpenoid dengan sistem cincin ent-giberelan
yang ditemukan pada tahun 1926 olek E. Kurosawa, ilmuan Jepang yang
menemukan cendawan penyebab elongasi pada batang padi. Kemudian cendawan
tersebut diberi nama Gibberella fujikuroi. Giberelin (GA3) merupakan salah satu
zat pengatur tumbuh yang diketahui dapat mendorong terjadinya pembungaan.
Giberelin
dapat
menggantikan
kondisi
lingkungan
spesifik
guna
mengendalikanpembentukan bunga. Induksi pembungaan yang disebabkan oleh
giberelin merupakan peran pengganti hari panjang dan menginduksi pembungaan
pada tanaman hari pendek (Sponsel 1995).
Giberelin terdapat pada berbagai organ dan jaringan tanaman seperti akar,
tunas, mata tunas, daun, bunga, bintil akar, buah dan jaringan halus. Giberelin
berpengaruh terhadap pertambahan panjang batang, memperbesar luas daun dari
berbagai jenis tanaman serta bunga dan buah. Giberelin memacu pemanjangan sel,
pertumbuhan serta pembesaran sel. Hormon ini meningkatkan hidrolisi pati dan
fruktan menjadi fruktosa dan glukosa. Heksosa-heksosa hasil dari hidraksi pati
tersebut merupakan sumber energi terutama untuk pembentukan sel dan
menyebabkan potensial air menjadi rendah yang menyebabkan penurunan
potensial air kemudian air dari luar sel mudah berdifusi masuk ke dalam sel,
sehingga sel dapat membesar. Pembesaran sel yang disebabkan oleh GA3 dapat
mencapai 15 kali lebih besar dari sel yang tidak diberi perlakuan GA3 (Davies
1995).
Pada beberapa jenis tanaman tertentu menghasilkan GA3 yang berbeda.
Pada kondisi tertentu tanaman menghasilkan GA3 endogen yang berlebih.
Sementara pada kondisi lainnya tanaman menghasilkan GA3 dalam jumlah yang
rendah. Tidak semua GA3 yang terdapat pada tanaman aktif. Oleh karena itu,
pemberian GA3 pada tanaman harus disesuaikan dengan waktu yang diinginkan
oleh tanaman. Pemberian GA3 pada saat kandungan GA3 eksogen rendah akan
memberikan pengaruh yang signifikan pada tanaman, namun kadang tidak cukup
14
untuk merangsang (Wattimena 1988). Menurut Annis et al (1992), pada tanaman
Craspedia globosa pemberian GA3 dengan penyemprotan pada konsentrasi 0 dan
500 mg/l merangsang pembungaan. Namun pemberian GA3 pada tanaman ini
tidak meningkatkan produksi bunga, meningkatkan tinggi tanaman dan
pemanjangan batang.
Menurut Chaari-Rkhis et al (2006) pemberian GA3 10 mg/l dapat
menginduksi pembungaan tanaman zaitun (Olive). Pertumbuhan dan pembungaan
philodendron dapat meningkat dengan pemberian konsentrasi GA3 125 mg/l
hingga 1.000 mg/l (Chen et al. 2003). Yursak (2003) dalam penelitiannya
menyatakan hal yang sama bahwa pemberian GA3 selain meningkatkan
pertumbuhan tinggi dan jumlah ruas batang juga merangsang pembungaan lily.
Selain itu, Wuryaningsih dan Sutater (1993) melaporkan bahwa pemberian 230
ppm GA3 sebanyak tiga kali pada tanaman krisan meningkatkan tinggi tanaman
sampai dengan minggu ke 12 dan produksi bunga dan panjang tangkai lebih dari
60 cm serta kesegaran bunga 5 hari.
Auksin
Auksin merupakan hormon pertama yang ditemukan dalam tanaman dan
merupakan penanda utama yang mengontrol perkembangan tanaman. Bentuk
alami auksin umumnya adalah IAA (indole -3-acetic acid). Auksin mengatur
pertumbuhan dan gerak tropisme, selain itu berperan dalam dominasi apikal,
inisiasi akar lateral, absisi daun, diverensiasi vascular, pembentukan tunas bunga
dan perkembangan buah (Taiz dan Zeiger 2002).
Istilah auksin digunakan pada sekelompok senyawa kimia yang memiliki
fungsi utama mendorong pemanjangan kuncup yang sedang berkembang.
Beberapa auksin dihasilkan secara alami oleh tumbuhan, misalnya IAA
(indoleacetic acid), PAA (Phenylacetic acid), 4-chloroIAA (4-chloroindole acetic
acid) dan IBA (indolebutyric acid) dan beberapa lainnya merupakan auksin
sintetik,
misalnya
NAA
(napthalene
acetic
acid),
2,4
D
(2,4
dichlorophenoxyacetic acid) dan MCPA (2-methyl-4 chlorophenoxyacetic acid)
(Ratna 2008).
15
Auksin
berperan
penting
dalam
meningkatkan
pembelahan
dan
pembesaran sel. Pembelahan dan pembesaran sel mengakibatkan buah aktif
tumbuh dan membesar, akibatnya buah yang terbentuk akan memiliki sink
strength yang tingi. Semakin tinggi sink strength maka semakin tinggi
kemampuan buah untuk memmobilisasi asimilat kebuah tersebut. Dengan
demikian buah akan tumbuh dan berkembang mencapai ukuran yang optimum.
Buah yang rontok memiliki kandungan auksin yang rendah sehingga sink
strength-nya rendah. Tingkat ketersediaan asimilat yang lebih tinggi selama
perkembangan buah sangat diperlukan untuk memperoleh retensi buah yang
tinggi (Taiz & Zeiger 2002).
Menurut Salisbury dan Ross (1995) menyatakan bahwa NAA bekerja
lebih efektif daripada IAA, tampaknya NAA tidak dirusak oleh IAA oksidase atau
enzim lain sehingga bisa bertahan lebih lama. Auksin berperan penting dalam
perkembangan bunga dan auksin adalah kunci regulasi dalam penyusun sel pada
primordia bunga. Auksin dalam konsentrasi tinggi dapat mengganggu atau
menghambat pembungaan tanaman (Weaver 1997). Penghambatan pembentukan
bunga akibat penggunaan auksin disebabkan oleh produksi etilen yang dirangsang
oleh auksin tersebut. Penghambatan pembungaan tanaman merupakan salah satu
pengaruh mekanisme alami etilen (Metzger 1987).
Peranan auksin selain berpengaruh terhadap perkembangan bunga, auksin
juga dapat menghambat gugur bunga dan buah, karena auksin merangsang
aktivitas fotosintesis melalui peningkatan pembukaan stomata, fosforilasi dan
fiksasi CO2. Dengan meningkatnya aktivitas fotosintesis akan meningkatkan
suplai asimilat, sehingga buah akan tumbuh dan berkembang dengan baik
(Bangerth 2000). Secara fisiologis gugur buah berkorelasi dengan suplai
terbatasnya fotosintat (Marshner 1986). Rendahnya asimilat yang diterima buah
dapat menginduksi terjadinya kerontokan buah (Stopar et al. 2001). Konsentrasi
auksin yang cukup akan menjaga zona absisi tidak peka terhadap etilen. Kepekan
zona absisi terhadap etilen disebabkan karena kandungan auksin yang rendah,
ditandai dengan meningkatnya aktivitas enzim hidrolitik. Peningkatan aktivitas
enzim hidrolitik menyebabkan kerusakan dinding sel pada zona absisi dan
menyebabkan terpisahnya organ tanaman dari induknya (Bangerth 2000).
16
Menurut Aneja dan Gianfagna (1999) asam absisat dan etilen
mempercepat proses absisi bunga cacao, proses tersebut dapat dicegah dengan
pemberian NAA pada saat bunga mekar penuh. pemberian hormon tumbuh seperti
GA3 dan auksin sintetis dapat memperkuat sink strength, sehingga buah lebih kuat
menarik fotosintat, dengan demikian buah dapat tumbuh dan berkembang
mencapai ukuran yang optimum (Taiz & Zeiger 2002). Aplikasi auksin sintetis
pada tanaman leci dapat mengurangi gugur buah (Stern & Gazit 1997).
Aplikasi Zat Pengatur Tumbuh
Tanaman secara alamiah mengandung hormon pertumbuhan yang
disebut hormon endogen. Namun, hormon ini kurang optimum mempengaruhi
proses pertumbuhan vegetatif dan reproduktif tanaman. Penambahan Zat Pengatur
Tumbuh (ZPT) secara eksogen sering kali dilakukan untuk mengoptimalkan
pertumbuhan vegetatif dan reproduktif tanaman misalnya giberelin yang mampu
mempercepat pertumbuhan dan pembungaan, serta menggantikan suhu rendah
dalam menginisiasi pembungaaan (Gardner et al. 1991).
Giberelin atau GA3 adalah salah satu ZPT tanaman golongan terpenoid,
yang berperan tidak hanya memacu pemanjangan batang, tetapi juga dalam proses
pengaturan perkembangan tanaman. Haryantini (2000) dan Budiarto (2007)
menyatakan bahwa salah satu jenis GA3 yang bersifat stabil dan mampu memacu
pertumbuhan dan pembungaan tanaman (meningkatkan pembungaan dan
memperkecil kerontokan bunga), selain itu GA3 mampu meningkatkan aktivitas
pertumbuhan tanaman dalam hal pemanjangan batang, dan jumlah biji.
Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan oleh Zuhriyah (2004), GA3 pada
konsentrasi 200 ppm mampu meningkatkan pertumbuhan (tinggi tanaman, jumlah
daun, dan luas daun) dan perkembangan (masa primordia bunga, masa panen,
diameter bunga, dan panjang tangkai bunga) tanaman krisan. Frekuensi
penyemprotan berdasarkan umur tanaman juga mempengaruhi jumlah cadangan
makanan yang nantinya akan menentukan kesiapan tanaman untuk berbunga.
Terdapat berbagai macam teknik aplikasi yang digunakan untuk
pertumbuhan dan perkembangan tanaman. Menurut Weaver (1972), ada tiga
metode aplikasi yang sering digunakan antara lain :
17
1. Comercial Powder Preparations (Pasta)
2. Dilute Solution Soaking Method (Perendaman)
3. Concentrated Solution Dip Method (Pencelupan cepat)
Perendaman umbi kentang selama 30 menit dalam larutan GA3
meningkatkan tinggi tunas (Mandang 2003). Hal ini disebabkan giberelin
meningkatkan pembelahan dan pemanjangan sel yang selanjutnya meningkatkan
jumlah sel dan panjang sel (Taiz & Zeiger 1991). Giberelin berperan pada enzimenzim yang melemahkan dinding-dinding sel dan mendorong enzim-enzim
proteolitik yang diduga melepaskan triptotan yang merupakan prekursor auksin.
Peningkatan kandungan auksin selanjutnya akan menghambat proses absisi bunga
karena bila kadar auksin rendah maka bunga akan cepat menua dan akan
terbentuk zona absisi bunga sehingga menyebabkan bunga akan gugur sebelum
waktunya (Taiz & Zeiger 1991). Pemanjangan sel dapat terjadi karena hidrolisis
pati yang dikatalisis enzim α-amilase yang didorong giberelin. Akibatnya terjadi
peningkatan gula yang akan meningkatkan tekanan osmotik cairan sel dan
mengakibatkan air masuk serta cenderung menyebabkan pembesaran sel (Weaver
1972).
Perendaman umbi bibit bawang merah dalam larutan GA3 dapat
merangsang pembungaaan. GA3 mampu mempercepat pembungaan tanaman
melalui pengaktifan gen meristem bunga dengan menghasilkan protein yang akan
menginduksi ekspresi gen-gen pembentukan organ bunga (seperti corolla, calix,
stamen, dan pistillum). Giberelin juga mampu meningkatkan perbandingan C/N.
Semakin tinggi perbandingan C/N, tanaman akan mengalami peralihan dari masa
vegetatif ke reproduktif. Hal tersebut menyebabkan waktu inisiasi bunganya lebih
cepat. Harbaugh dan Wilfret (1979) juga melaporkan bahwa perendaman umbi 3
kultivar Caladium hortulanum dalam larutan 250 ppm GA3 selama 8-16 jam
meningkatkan jumlah bunga yang diproduksi per tanaman. Perlakuan GA3 (100400 ppm) menyebabkan peningkatan pembungaan Aglaonema commutatum tetapi
tidak dapat mempercepat munculnya bunga (Henny 1983). Perlakuan GA3 400
ppm meningkatkan jumlah bunga yang diproduksi paling banyak dibandingkan
perlakuan lainnya. Aplikasi GA3 konsentrasi 100, 200, dan 400 ppm
meningkatkan pembungaan Homalonema lindenii lebih dari 10 infloresen
18
sementara tanaman yang tidak diperlakukan tidak berbunga (Henny 1988).
Katsura et al (1989) melaporkan bahwa GA3 berperan penting dalam pembungaan
tanaman Colocasia esculenta.
Perkembangan bunga lebih lanjut akan diatur oleh pemberian auksin
dengan aplikasi penyemprotan sebelum dan sesudah antesis, dimana auksin dalam
bunga akan meningkat dengan pemberian giberelin maupun auksin secara
eksogen. Peningkatan produksi auksin dalam bunga berperan dalam pengangkutan
asimilat dari daun ke bunga. Hal itu diperlukan untuk perkembangan buah dan
biji. Sehubungan dengan itu, maka pemberian GA3 dan auksin selain memacu
produksi auksin dalam bunga, juga dapat menghambat gugur bunga. Apabila
kadar GA3 dan auksin yang diberikan tidak sesuai maka banyak bunga yang akan
gugur dan akhirnya fruitset serta hasil biji akan rendah (Leopold & Kriedemann
1979).
Download