6 TINJAUAN PUSTAKA Tanaman Bawang Merah Bawang merah merupakan tanaman semusim, membentuk rumpun dan tumbuh tegak dengan tinggi dapat mencapai 15-50 cm. Perakarannya berupa akar serabut yang tidak panjang dan tidak terlalu dalam tertanam di tanah. Seperti halnya bawang putih, tanaman ini termasuk tidak tahan kekeringan. Daun bawang merah berbentuk silindris seperti pipa dengan bagian ujungnya meruncing yang bewarna hijau muda sampai hijau tua, memiliki batang sejati atau “diskus” yang bentuknya seperti cakram tipis dan pendek sebagai tempat melekatnya perakaran dan mata tunas (titik tumbuh) yang memanjang antara 50-70 cm. Pangkal daun bersatu membentuk batang semu. Batang semu yang berada di dalam tanah akan berubah bentuk dan fungsinya menjadi umbi lapis atau bulbus (Sumarni & Rosliani 1996). Umbinya mempunyai kulit yang ’membranous’, serta memiliki variasi dalam bentuk, ukuran dan warna (Rabinowitch & Brewster 1990). a b Gambar 1. bunga bawang merah (a), biji bawang merah (b) Bunga bawang merah termasuk bunga majemuk yang berbentuk tandan, yang bertangkai, bunga berwarna putihyang terdiri dari 50-200 kuntum bunga. Bunga bawang merah adalah bunga sempurna (hermaphrodite) yaitu memiliki dua organ kelamin yaitu stamen dan stigma dalam satu bunga. Bawang merah pada umumnya terdiri atas 5-6 helai benang sari, satu putik, dengan daun bunga yang berwarna putih, termasuk hypogenous yaitu posisi ovarium berada diatas calix dengan posisi superior. Bakal buah terbentuk dari 3 daun buah yang disebut carpel 7 yang membentuk tiga ruang dan dalam tiap ruang terdapat dua bakal biji (Rabinowitch & Brewster 1990). Pertumbuhan vegetatif bawang merah dibagi menjadi dua tahap yaitu : fase vegetatif yaitu terjadinya perkembangan akar dan daun serta fase generatif yaitu pembungaan dan pertumbuhan umbi. Pada perkembangan akar dan daun terjadi akumulasi karbohidrat yang lebih besar daripada penggunaannya (Brewster 1990). Aktivitas pembentukan umbi meningkat pada pertumbuhan vegetatif dan pembentukan umbi dipengaruhi oleh ketersediaan nitrogen, panjang hari dan suhu. Pembentukan daun terhenti ketika pembentukan umbi dimulai. Pertumbuhan umbi selanjutnya akan ditentukan oleh jumlah daun yang sudah ada sebelumnya. Daun bawang merah berbentuk sederhana dengan permukaan yang sempit sehingga kemampuan untuk berfotosintesis rendah (Splittosser 1978 & Edmond et al. 1983 dalam Abdullatif 1999). Tanaman bawang merah memiliki daya adaptasi luas karena dapat ditanam mulai dari dataran rendah sampai dataran tinggi (1000 m diatas permukaan laut) dan baik diusahakan pada lahan bekas sawah maupun di tanah darat atau lahan kering seperti tegalan, kebun dan pekarangan (Suwandi & Hilman 1997). Tanaman bawang merah dapat tumbuh di dataran rendah sampai ketinggian 800 m dpl. Namun demikian tanaman akan berumur lebih panjang dan hasil umbinya lebih rendah daripada di dataran rendah. Tanaman bawang merah termasuk tanaman hari panjang, menyukai tempat yang terbuka dan cukup mendapat sinar matahari (70%) terutama bila lamanya penyinaran lebih dari 12 jam (Sumarni & Rosliani 1996). Untuk dapat tumbuh dengan baik, tanaman bawang merah memerlukan kondisi perkembangannya. lingkungan Menurut yang Rabinowitch cocok dan untuk Brewster pertumbuhan (1990), dan Inisiasi pembungaan terjadi pada suhu rendah 9-12 0C, sedangkan untuk pembuahan dan pembijiannya diperlukan suhu yang lebih tinggi yaitu 35 0C serta curah hujan sekitar 100-200 mm/bulan. Bawang merah dapat tumbuh dengan baik pada tanah yang gembur, subur, banyak mengandung bahan organik atau humus, aersinya baik, dan tidak becek dengan derajad kemasaman tanah (pH) yang paling baik adalah 6.0-6.8. 8 Tanahyang gembur dan subur akan mendorong perkembangan umbi secara optimal (Brewster 1990). Pembungaan Perubahan dari fase vegetatif ke fase reproduktif cukup dramatis. Pada masa vegetatif, tanaman secara teratur menumbuhkan daun baru, cabang, dan akar. Perubahan ketahap pembungaan melibatkan perubahan utama di pola diferensiasi pada meristem apical pucuk. Perubahan ini sepertinya dipicu oleh senyawa biokimia (dikenal sebagai florigen) yang dikirim dari bagian akar kebagian apeks tanaman, terutama dari daun. Jadi pembungaan menggambarkan struktur kompleks yang sangat terspesialisasi, dimana struktur ini sangat berbeda dengan bentuk dari bagian vegetatif dan juga berbeda antara spesies yang satu dengan yang lain (Taiz & Zeiger 1991). Disamping kompleksitas ini, pembungaan disemua spesies tumbuhan dipengaruhi oleh faktor internal dan eksternal yang menghubungkan perkembangan reproduktif tanaman dengan lingkungannya. Faktor internal meliputi umur (Taiz & Zeiger 1991), hormon pertumbuhan, dan nutrisi (Wareing & Phillips 1970; Berreiet al. 1987). Tanaman mencapai fase pembungaan pada umur (atau ukuran) yang berbeda. Hormonhormon yang mempengaruhi pembungaan terutama adalah asam giberelin dan auksin (Bleasdale 1981). Sedangkan faktor eksternal yang mempengaruhi bervariasi dari suhu, fotoperiodisme (Bleasdale 1981; Berrie et al. 1987), curah hujan hingga stres air (Wareing & Phillips 1970; Kinet et al. 1985). Induksi bunga merupakan suatu peristiwa penting dalam proses pembungaan, yang menandai terjadinya perubahan pola pertumbuhan dan perkembangan dari fase vegetatif menuju fase generatif (produktif). Pada fase ini terjadi perubahan fisiologis dan biokimia pada mata tunas sedangkan secara secara morfologi belum terjadi perubahan secara visual. Pembungaan juga merupakan interaksi dari pengaruh dua faktor yaitu faktor eksternal/lingkungan (cahaya, suhu, kelembaban, curah hujan, dan unsur hara) dan faktor internal (genetik dan fitohormon) (Gardner et al. 1991). Proses pembungaan tanaman melalui empat tahapan yaitu induksi, inisiasi bunga, deferensiasi bunga, pendewasaan bagian-bagian bunga dan anthesis (Lang 1952). Induksi pembungaan merupakan awal dari fase reproduktif 9 tanaman. Pada tahap induksi terjadi perubahan respon biokimia pada lapisan sruktur apeks, yang menjadi sinyal utama perubahan dari fase vegetatif ke fase generatif. Inisiasi bunga merupakan tahap yang penting pada pembungaan tanaman, karena tahap ini terjadi perubahan morfologis menjadi bentuk kuncup generatif dan transisi dari tunas vegetatif menjadi kuncup generatif yang dapat dideteksi dari perubahan bentuk maupun ukuran kuncup, serta proses-proses selanjutnya yang mulai membentuk organ-organ generatif. Perubahan tunas apikal dan aksilar dari fase vegetatif menjadi tunas bunga merupakan hasil dari aktivitas hormonal yang berlangsung pada tanaman tersebut yang umumnya diinduksi oleh kondisi lingkungan tertentu, seperti suhu dan perubahan panjang hari (lama penyinaran) (Lang 1952). Pada tahap diferensiasi, struktur primordia bunga terlihat jelas dibawah mikroskop; terdiri atas sepal, petal, stamen, pistil maupun karpelnya. Pada tahap ketiga terjadi pematangan bagian-bagian bunga, seperti jaringan sporogenous, stigma dan pollen. Peristiwa mekarnya bunga dikenal dengan anthesis. Pada tahap ini, bagian-bagian bunga akan mencapai ukuran maksimum, stigma menjadi reseptifserta serbuk sari berkembang sempurna (Lang 1952). Pembentukan buah dimulai dengan proses penyerbukan yang meliputi jatuhnya butir-butir serbuk sari di atas permukaan stigma. Selanjutnya serbuk sari membentuk tabung sari dan masuk ketangkai putik melalui jaringan transmisi tabung sari (Pollen Tube Transmiting Tissue - PTT) untuk mencapai bakal biji. Pembuahan (fertilisasi) terjadi saat serbuk sari (sel jantan) membuahi sel telur di dalam bakal buah. Perkembangan buah dipengaruhi oleh keberhasilan penyerbukan pada stigma sampai pada pembentukan biji pada buah dan banyak proses terjadi yang melibatkan interaksi antara bagian-bagian bunga jantan dan bunga betina (Herrero et al. 1988). Perkembangan buah berlangsung dalam tiga fase yaitu: 1. Perkembangan ovari, fertilisasi dan pembentukan buah, 2. Pembelahan sel, pembentukan biji dan perkembangan awal embrio, 3. Pembesaran sel dan pematangan embrio. Secara garis besar perkembangan buah dari mulai fruitset sampai senescence meliputi beberapa tahapan antara lain pertumbuhan pematangan (maturation), matang 10 fisiologis (physiological maturity), pemasakan (ripening), dan penuaan (senescence) (Gillaspy et al. 1993). Buah dan biji terbentuk dari hasil penyerbukan dan pembuahan yang terjadi pada ovul/bakal biji. Jumlah buah dan biji masak yang terbentuk pada tanaman dipengaruhi beberapa faktor. Banyaknya buah masak yang dapat dipanen ditentukan oleh: (1) Jumlah bunga yang dihasilkan oleh tanaman, (2) Persentase bunga yang mengalami pembuahan, (3) Persentase buah muda yang dapat terus tumbuh hingga menjadi buah masak dan (4) umur buah. Sedangkan kualitas dan kuantitas biji pada buah ditentukan oleh beberapa faktor. Salah satunya adalah kuantitas polen viabel yang berhasil membuahi ovul. Perkembangan buah dan biji sangat dipengaruhi oleh suhu dan lingkungan penyinaran matahari (Goldsworthy 1992). Pada prinsipnya, terdapat tiga faktor utama yang mempengaruhi pembungaan, yaitu : (1) adanya hormon pembungaan atau florigen atau produksi stimulus pembungaan pada daun yang mengalihkan fase vegetatif menjadi reproduktif, (2) adanya kondisi nutrisi yang optimum pada saat yang sama dengan perubahan dalam apeks, (3) terjadinya perubahan biokomia pada apeks yang mengubah dan mengkonversi nutrient sehingga terjadi induksi pembungaan (Ryugo 1990). Pembungaan dan peristiwa-peristiwa reproduktif hingga selesainya pembentukan biji dicapai melalui sejumlah proses penyesuaian termasuk penyesuaian suhu rendah seperti vernalisasi, kepekaan terhadap panjang hari, atau terhadap intensitas sinar matahari yang dapat diterima oleh tanaman. Menurut Barnier et al (1985) terdapat dua teori pembungaan, teori pertama yaitu inisiasi pembungaan tidak akan terjadi kecuali ada yang menstimulasi, sedangkan teori kedua menyatakan bahwa tanaman memiliki potensi untuk berbunga akan tetapi kadang-kadang tertekan oleh kondisi lingkungan yang tidak sesuai. Dengan mengetahui teori pembungaan, maka pengaturan pembungaan tanaman dapat ditentukan sesuai dengan kebutuhan tanaman Vernalisasi Pembungaan tanaman, sebagaimana perkembangan pertumbuhan tanaman secara keseluruhan atau fenologi, sangat dipengaruhi oleh iklim terutama suhu 11 udara. Pengaruh dari suhu ini berbeda antara masa vegetatif dan masa reproduktif (Penning de Vries et al. 1989). Selain itu, suhu dapat mengubah atau memodifikasi respon terhadap fotoperiode pada spesies dan varietas, banyak spesies yang membutuhkan periode dingin selama 2-6 minggu agar dapat berbunga. Perlakuan dingin ini disebut vernalisasi (Gardner et al. 1991). Istilah vernalisasi pertama kali digunakan pada perlakuan suhu dingin pada benih yang berimbibisi atau semai kecambah, kemudian meluas kepada semua perlakuan yang mempunyai efek yang sama terhadap tanaman seperti halnya perlakuan terhadap umbi sebelum ditanam. Tujuan vernalisasi biasanya adalah untuk mempercepat keluarnya bunga karena suhu dapat merangsang inisiasi bunga. Tunas atau meristem yang lazimnya memberikan respon terhadap suhu rendah dengan cara mengalami vernalisasi. Hanya jika tunas diberi suhu rendahlah, tumbuhan akan berbunga (Salisbury & Ross 1995). Akan tetapi selain dipengaruhi oleh vernalisasi, periode menuju waktu berbunga juga di pengaruhi oleh suhu dan panjang hari selama masa pertumbuhan dan pengaruhnya saling berinteraksi. Banyak tanaman-tanaman dwi musim yang berasal dari daerah subtropik yang memerlukan vernalisasi. Suhu-suhu rendah yang diperlukan oleh tanaman-tanaman subtropik dapat diperoleh secara alami dari daerah asalnya, tetapi untuk daerah tropis suhu yang rendah sukar sekali diperoleh kecuali ditempat-tempat tinggi. Oleh karena itu dibutuhkan suhu rendah secara buatan, yaitu dengan teknik vernalisasi (Peat 1983). Menurut Wareing dan Philips (1981), periode vernalisasi minimal yang dibutuhkan untuk pembungaan berbeda dari spesies ke spesies, tetapi biasanya berlangsung selama beberapa minggu. Sebagian besar spesies suhu antara -1 sampai 10 0C efektif untuk vernalisasi. Berdasarkan tanggap tanaman terhadap vernalisasi maka dapat dibentuk dua kelompok tanaman yaitu (1) tanaman yang memberikan tanggap kuantitatif, artinya perlakuan suhu rendah hanya mempercepat pembungaan dimana tanaman akan berbunga meskipun tanpa perlakuan vernalisasi. Hal ini terjadi pada ”petkus rye” (Secale cereale) yang divernalisasi hanya membutuhkan waktu 7 minggu untuk berbunga dan jika tanpa vernalisasi membutuhkan waktu 14-18 minggu. (2) tanaman yang memberikan tanggap secara kualitatif, artinya kebutuhan akan suhu rendah mutlak diperlukan 12 untuk pembungaan sehingga tanpa perlakuan vernalisasi, tanaman tidak akan berbunga dan ini ditemukan pada tanaman bienial Hyoscyamus niger (Salisbury & Ross 1978). Vernalisasi biasanya terjadi antara suhu -5 hingga 16 0C dengan pengaruh maksimun antara 0 hingga 8 0C (Whyte 1960). Lamanya perlakuan vernalisasi mulai beberapa hari hingga 60 hari hingga lebih lama lagi, tergantung pada spesies dan genotipe tanaman dan suhu yang digunakan. Bawang merah pada fase post-juvenile merespon suhu dingin baik pada saat penyimpanan ataupun pada saat tumbuh dilapangan, dan sensitifitasnya terhadap suhu dingin meningkat, yaitu semakin tua umur bibit maka membutuhkan induksi dingin lebih sedikit. Saragih (1994) dalam penelitiannya terhadap lobak menunjukkan bahwa tanaman lobak yang divernalisasi, lebih cepat berbunga dibandingkan tanaman yang tidakdivernalisasi. Suhu dingin dapat menginduksi pembungaan namun sebaliknya suhu yang tinggi (28-30 0 C) dapat memperlambat pembungaan (Kamenetsky & Rabinowitch 2002). Suhu yang tinggi selama penyimpanan tidak hanya menghambat pembungaan namun juga menunda umur berbunga, mengurangi jumlah bunga serta menekan munculnya rangkaian bunga yang telah terinisiasi (Krontal et al. 2000). Giberelin Hormon tanaman merupakan senyawa-senyawa kimia yang terjadi secara alamiah di dalam tanaman yang berperan dalam mengatur pertumbuhan dan perkembangan tanaman secara aktif pada konsentrasi yang rendah. Hormon tanaman adalah senyawa organik bukan nutrisi yang aktif dalam jumlah kecil (106 – 10-5Mm), yang diseintesis pada bagian tertentu dari tanaman dan pada umumnya diangkut kebagian lain tanaman dimana zat tersebut menimbulkan tanggapan secara biokimia, fisiologis dan morfologis (Wattimena 1988). Bahan kimia sintetik yang mempunyai peranaan sama dengan hormon tanaman disebut zat pengatur tumbuh tanaman sintetik. Fitohormon yang secara umum dikenal adalah auksin, giberelin, sitokinin, asam absisat dan etilen (Slisbury & Ross 1995). Penggunaan zat pengatur tumbuh dalam bidang hortikultura sudah banyak dilakukan. Zat pengatur tumbuh diberikan pada tanaman dengan tujuan untuk mengontrol dan memodifikasikan pertumbuhan tanaman agar diperoleh hasil yang 13 secara ekonomis menguntungkan. Keuntungan tersebut meliputi: peningkatan hasil dan memperbaiki kualitas produksi (Wattimena 1988). Selain faktor genotipe dan lingkungan, zat pengatur tumbuh yang berperan mempengaruhi pembungaan diantaranya adalah asam giberelat (GA3). Giberelin (GA3) adalah senyawa tetrasiklik diterpenoid dengan sistem cincin ent-giberelan yang ditemukan pada tahun 1926 olek E. Kurosawa, ilmuan Jepang yang menemukan cendawan penyebab elongasi pada batang padi. Kemudian cendawan tersebut diberi nama Gibberella fujikuroi. Giberelin (GA3) merupakan salah satu zat pengatur tumbuh yang diketahui dapat mendorong terjadinya pembungaan. Giberelin dapat menggantikan kondisi lingkungan spesifik guna mengendalikanpembentukan bunga. Induksi pembungaan yang disebabkan oleh giberelin merupakan peran pengganti hari panjang dan menginduksi pembungaan pada tanaman hari pendek (Sponsel 1995). Giberelin terdapat pada berbagai organ dan jaringan tanaman seperti akar, tunas, mata tunas, daun, bunga, bintil akar, buah dan jaringan halus. Giberelin berpengaruh terhadap pertambahan panjang batang, memperbesar luas daun dari berbagai jenis tanaman serta bunga dan buah. Giberelin memacu pemanjangan sel, pertumbuhan serta pembesaran sel. Hormon ini meningkatkan hidrolisi pati dan fruktan menjadi fruktosa dan glukosa. Heksosa-heksosa hasil dari hidraksi pati tersebut merupakan sumber energi terutama untuk pembentukan sel dan menyebabkan potensial air menjadi rendah yang menyebabkan penurunan potensial air kemudian air dari luar sel mudah berdifusi masuk ke dalam sel, sehingga sel dapat membesar. Pembesaran sel yang disebabkan oleh GA3 dapat mencapai 15 kali lebih besar dari sel yang tidak diberi perlakuan GA3 (Davies 1995). Pada beberapa jenis tanaman tertentu menghasilkan GA3 yang berbeda. Pada kondisi tertentu tanaman menghasilkan GA3 endogen yang berlebih. Sementara pada kondisi lainnya tanaman menghasilkan GA3 dalam jumlah yang rendah. Tidak semua GA3 yang terdapat pada tanaman aktif. Oleh karena itu, pemberian GA3 pada tanaman harus disesuaikan dengan waktu yang diinginkan oleh tanaman. Pemberian GA3 pada saat kandungan GA3 eksogen rendah akan memberikan pengaruh yang signifikan pada tanaman, namun kadang tidak cukup 14 untuk merangsang (Wattimena 1988). Menurut Annis et al (1992), pada tanaman Craspedia globosa pemberian GA3 dengan penyemprotan pada konsentrasi 0 dan 500 mg/l merangsang pembungaan. Namun pemberian GA3 pada tanaman ini tidak meningkatkan produksi bunga, meningkatkan tinggi tanaman dan pemanjangan batang. Menurut Chaari-Rkhis et al (2006) pemberian GA3 10 mg/l dapat menginduksi pembungaan tanaman zaitun (Olive). Pertumbuhan dan pembungaan philodendron dapat meningkat dengan pemberian konsentrasi GA3 125 mg/l hingga 1.000 mg/l (Chen et al. 2003). Yursak (2003) dalam penelitiannya menyatakan hal yang sama bahwa pemberian GA3 selain meningkatkan pertumbuhan tinggi dan jumlah ruas batang juga merangsang pembungaan lily. Selain itu, Wuryaningsih dan Sutater (1993) melaporkan bahwa pemberian 230 ppm GA3 sebanyak tiga kali pada tanaman krisan meningkatkan tinggi tanaman sampai dengan minggu ke 12 dan produksi bunga dan panjang tangkai lebih dari 60 cm serta kesegaran bunga 5 hari. Auksin Auksin merupakan hormon pertama yang ditemukan dalam tanaman dan merupakan penanda utama yang mengontrol perkembangan tanaman. Bentuk alami auksin umumnya adalah IAA (indole -3-acetic acid). Auksin mengatur pertumbuhan dan gerak tropisme, selain itu berperan dalam dominasi apikal, inisiasi akar lateral, absisi daun, diverensiasi vascular, pembentukan tunas bunga dan perkembangan buah (Taiz dan Zeiger 2002). Istilah auksin digunakan pada sekelompok senyawa kimia yang memiliki fungsi utama mendorong pemanjangan kuncup yang sedang berkembang. Beberapa auksin dihasilkan secara alami oleh tumbuhan, misalnya IAA (indoleacetic acid), PAA (Phenylacetic acid), 4-chloroIAA (4-chloroindole acetic acid) dan IBA (indolebutyric acid) dan beberapa lainnya merupakan auksin sintetik, misalnya NAA (napthalene acetic acid), 2,4 D (2,4 dichlorophenoxyacetic acid) dan MCPA (2-methyl-4 chlorophenoxyacetic acid) (Ratna 2008). 15 Auksin berperan penting dalam meningkatkan pembelahan dan pembesaran sel. Pembelahan dan pembesaran sel mengakibatkan buah aktif tumbuh dan membesar, akibatnya buah yang terbentuk akan memiliki sink strength yang tingi. Semakin tinggi sink strength maka semakin tinggi kemampuan buah untuk memmobilisasi asimilat kebuah tersebut. Dengan demikian buah akan tumbuh dan berkembang mencapai ukuran yang optimum. Buah yang rontok memiliki kandungan auksin yang rendah sehingga sink strength-nya rendah. Tingkat ketersediaan asimilat yang lebih tinggi selama perkembangan buah sangat diperlukan untuk memperoleh retensi buah yang tinggi (Taiz & Zeiger 2002). Menurut Salisbury dan Ross (1995) menyatakan bahwa NAA bekerja lebih efektif daripada IAA, tampaknya NAA tidak dirusak oleh IAA oksidase atau enzim lain sehingga bisa bertahan lebih lama. Auksin berperan penting dalam perkembangan bunga dan auksin adalah kunci regulasi dalam penyusun sel pada primordia bunga. Auksin dalam konsentrasi tinggi dapat mengganggu atau menghambat pembungaan tanaman (Weaver 1997). Penghambatan pembentukan bunga akibat penggunaan auksin disebabkan oleh produksi etilen yang dirangsang oleh auksin tersebut. Penghambatan pembungaan tanaman merupakan salah satu pengaruh mekanisme alami etilen (Metzger 1987). Peranan auksin selain berpengaruh terhadap perkembangan bunga, auksin juga dapat menghambat gugur bunga dan buah, karena auksin merangsang aktivitas fotosintesis melalui peningkatan pembukaan stomata, fosforilasi dan fiksasi CO2. Dengan meningkatnya aktivitas fotosintesis akan meningkatkan suplai asimilat, sehingga buah akan tumbuh dan berkembang dengan baik (Bangerth 2000). Secara fisiologis gugur buah berkorelasi dengan suplai terbatasnya fotosintat (Marshner 1986). Rendahnya asimilat yang diterima buah dapat menginduksi terjadinya kerontokan buah (Stopar et al. 2001). Konsentrasi auksin yang cukup akan menjaga zona absisi tidak peka terhadap etilen. Kepekan zona absisi terhadap etilen disebabkan karena kandungan auksin yang rendah, ditandai dengan meningkatnya aktivitas enzim hidrolitik. Peningkatan aktivitas enzim hidrolitik menyebabkan kerusakan dinding sel pada zona absisi dan menyebabkan terpisahnya organ tanaman dari induknya (Bangerth 2000). 16 Menurut Aneja dan Gianfagna (1999) asam absisat dan etilen mempercepat proses absisi bunga cacao, proses tersebut dapat dicegah dengan pemberian NAA pada saat bunga mekar penuh. pemberian hormon tumbuh seperti GA3 dan auksin sintetis dapat memperkuat sink strength, sehingga buah lebih kuat menarik fotosintat, dengan demikian buah dapat tumbuh dan berkembang mencapai ukuran yang optimum (Taiz & Zeiger 2002). Aplikasi auksin sintetis pada tanaman leci dapat mengurangi gugur buah (Stern & Gazit 1997). Aplikasi Zat Pengatur Tumbuh Tanaman secara alamiah mengandung hormon pertumbuhan yang disebut hormon endogen. Namun, hormon ini kurang optimum mempengaruhi proses pertumbuhan vegetatif dan reproduktif tanaman. Penambahan Zat Pengatur Tumbuh (ZPT) secara eksogen sering kali dilakukan untuk mengoptimalkan pertumbuhan vegetatif dan reproduktif tanaman misalnya giberelin yang mampu mempercepat pertumbuhan dan pembungaan, serta menggantikan suhu rendah dalam menginisiasi pembungaaan (Gardner et al. 1991). Giberelin atau GA3 adalah salah satu ZPT tanaman golongan terpenoid, yang berperan tidak hanya memacu pemanjangan batang, tetapi juga dalam proses pengaturan perkembangan tanaman. Haryantini (2000) dan Budiarto (2007) menyatakan bahwa salah satu jenis GA3 yang bersifat stabil dan mampu memacu pertumbuhan dan pembungaan tanaman (meningkatkan pembungaan dan memperkecil kerontokan bunga), selain itu GA3 mampu meningkatkan aktivitas pertumbuhan tanaman dalam hal pemanjangan batang, dan jumlah biji. Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan oleh Zuhriyah (2004), GA3 pada konsentrasi 200 ppm mampu meningkatkan pertumbuhan (tinggi tanaman, jumlah daun, dan luas daun) dan perkembangan (masa primordia bunga, masa panen, diameter bunga, dan panjang tangkai bunga) tanaman krisan. Frekuensi penyemprotan berdasarkan umur tanaman juga mempengaruhi jumlah cadangan makanan yang nantinya akan menentukan kesiapan tanaman untuk berbunga. Terdapat berbagai macam teknik aplikasi yang digunakan untuk pertumbuhan dan perkembangan tanaman. Menurut Weaver (1972), ada tiga metode aplikasi yang sering digunakan antara lain : 17 1. Comercial Powder Preparations (Pasta) 2. Dilute Solution Soaking Method (Perendaman) 3. Concentrated Solution Dip Method (Pencelupan cepat) Perendaman umbi kentang selama 30 menit dalam larutan GA3 meningkatkan tinggi tunas (Mandang 2003). Hal ini disebabkan giberelin meningkatkan pembelahan dan pemanjangan sel yang selanjutnya meningkatkan jumlah sel dan panjang sel (Taiz & Zeiger 1991). Giberelin berperan pada enzimenzim yang melemahkan dinding-dinding sel dan mendorong enzim-enzim proteolitik yang diduga melepaskan triptotan yang merupakan prekursor auksin. Peningkatan kandungan auksin selanjutnya akan menghambat proses absisi bunga karena bila kadar auksin rendah maka bunga akan cepat menua dan akan terbentuk zona absisi bunga sehingga menyebabkan bunga akan gugur sebelum waktunya (Taiz & Zeiger 1991). Pemanjangan sel dapat terjadi karena hidrolisis pati yang dikatalisis enzim α-amilase yang didorong giberelin. Akibatnya terjadi peningkatan gula yang akan meningkatkan tekanan osmotik cairan sel dan mengakibatkan air masuk serta cenderung menyebabkan pembesaran sel (Weaver 1972). Perendaman umbi bibit bawang merah dalam larutan GA3 dapat merangsang pembungaaan. GA3 mampu mempercepat pembungaan tanaman melalui pengaktifan gen meristem bunga dengan menghasilkan protein yang akan menginduksi ekspresi gen-gen pembentukan organ bunga (seperti corolla, calix, stamen, dan pistillum). Giberelin juga mampu meningkatkan perbandingan C/N. Semakin tinggi perbandingan C/N, tanaman akan mengalami peralihan dari masa vegetatif ke reproduktif. Hal tersebut menyebabkan waktu inisiasi bunganya lebih cepat. Harbaugh dan Wilfret (1979) juga melaporkan bahwa perendaman umbi 3 kultivar Caladium hortulanum dalam larutan 250 ppm GA3 selama 8-16 jam meningkatkan jumlah bunga yang diproduksi per tanaman. Perlakuan GA3 (100400 ppm) menyebabkan peningkatan pembungaan Aglaonema commutatum tetapi tidak dapat mempercepat munculnya bunga (Henny 1983). Perlakuan GA3 400 ppm meningkatkan jumlah bunga yang diproduksi paling banyak dibandingkan perlakuan lainnya. Aplikasi GA3 konsentrasi 100, 200, dan 400 ppm meningkatkan pembungaan Homalonema lindenii lebih dari 10 infloresen 18 sementara tanaman yang tidak diperlakukan tidak berbunga (Henny 1988). Katsura et al (1989) melaporkan bahwa GA3 berperan penting dalam pembungaan tanaman Colocasia esculenta. Perkembangan bunga lebih lanjut akan diatur oleh pemberian auksin dengan aplikasi penyemprotan sebelum dan sesudah antesis, dimana auksin dalam bunga akan meningkat dengan pemberian giberelin maupun auksin secara eksogen. Peningkatan produksi auksin dalam bunga berperan dalam pengangkutan asimilat dari daun ke bunga. Hal itu diperlukan untuk perkembangan buah dan biji. Sehubungan dengan itu, maka pemberian GA3 dan auksin selain memacu produksi auksin dalam bunga, juga dapat menghambat gugur bunga. Apabila kadar GA3 dan auksin yang diberikan tidak sesuai maka banyak bunga yang akan gugur dan akhirnya fruitset serta hasil biji akan rendah (Leopold & Kriedemann 1979).