analisis ruang terbuka hijau (rth) dan

advertisement
ANALISIS RUANG TERBUKA HIJAU (RTH) DAN
KECUKUPANNYA TERHADAP JUMLAH PENDUDUK
DI KOTA BEKASI
FEBRIANA WIDIASTUTI
A14070024
PROGRAM STUDI MANAJEMEN SUMBERDAYA LAHAN
DEPARTEMEN ILMU TANAH DAN SUMBERDAYA LAHAN
FAKULTAS PERTANIAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2012
i
RINGKASAN
FEBRIANA WIDIASTUTI. Analisis Ruang Terbuka Hijau (RTH) dan
Kecukupannya Terhadap Jumlah penduduk di Kota Bekasi. Dibimbing oleh
SANTUN R.P SITORUS dan DYAH RETNO PANUJU.
Ruang Terbuka Hijau (RTH) merupakan unsur utama tata ruang kota.
RTH perlu ada di antara struktur bangunan sebagai pelunak dan penyejuk
lingkungan. Pemerintah di Indonesia pada umumnya memiliki kesulitan untuk
meningkatkan RTH sehingga hanya sekedar mempertahankan luasannya bahkan
di sebagian kota target luasan RTH menjadi semakin diperkecil. Kota Bekasi
merupakan salah satu bagian integral wilayah Jabodetabek yang memiliki
perkembangan pesat. Sebagai kota yang berkembang pesat, maka penggunaan
lahan cenderung digunakan untuk lahan-lahan terbangun seperti perumahan,
perkantoran, dan perindustrian. Tujuan penelitian ini adalah 1) mengetahui laju
perubahan luas RTH dan kecukupannya terhadap jumlah penduduk di kota
Bekasi, 2) mengetahui laju pertumbuhan penduduk dan perkembangan wilayah di
kota Bekasi, 3) mengetahui faktor-faktor yang mempengaruhi perubahan luas
RTH, 4) mengetahui areal yang berpotensi untuk dijadikan RTH dan
kecukupannya berdasarkan jumlah penduduk, dan 5) menyusun upaya
penambahan RTH di Kota Bekasi.
Pada periode tahun 2003 hingga 2010 terjadi penurunan RTH di Kota
Bekasi. Hal ini ditandai dengan laju perubahan RTH per tahun yang bernilai
negatif, yaitu -0.024. Jumlah penduduk Kota Bekasi terus meningkat dengan ratarata laju pertumbuhan penduduk sebesar 3,8% per tahun dan rata-rata laju
kepadatan penduduk sebesar 4% per tahun. Hasil analisis skalogram sederhana
tahun 2003 dan 2006 menunjukkan terjadi peningkatan hirarki pada Kota Bekasi
yang ditandai dengan bertambahnya kelurahan berhirarki 2 dan berkurangnya
kelurahan berhirarki 3. Secara umum laju konversi RTH besar terjadi pada hirarki
wilayah 1 dan perubahan luas RTH terbesar terjadi pada wilayah berhirarki 3.
Pada tahun 2010, Kota Bekasi tidak mampu mencukupi kebutuhan RTH
berdasarkan jumlah penduduk. RTH eksisting pada tahun 2010 sebesar 2.547,59
ha, sedangkan kebutuhan RTH berdasarkan jumlah penduduk sebesar 4.672,98 ha.
Upaya penambahan RTH dengan mengidentifikasi areal yang berpotensi untuk
RTH dipilih penggunaan berupa lahan kosong (541,686 Ha) tetap tidak dapat
mencukupi kekurangan RTH berdasarkan jumlah penduduk. Faktor-faktor yang
mempengaruhi perubahan luas RTH adalah jarak ke pusat kota yang membawahi,
luas RTH tahun 2003, jarak ke fasilitas sosial, perubahan lahan terbangun, luas
lahan kosong tahun 2003, jarak ke fasilitas pendidikan, dan perubahan jumlah
fasilitas ekonomi. Upaya-upaya yang dapat dilakukan dalam usaha penambahan
RTH adalah 1) mengoptimalkan kinerja badan-badan pengelola RTH dengan
koordinasi tugas yang jelas, 2) Peningkatan hubungan kerjasama pemerintah
dengan pihak ketiga, 3) Memanfaatkan wilayah Kota Bekasi bagian Selatan yang
masih berpotensi tinggi untuk RTH dan optimalisasi lahan di wilayah Utara Kota
Bekasi dengan pembangunan vertikal, 4) Pengambilan kebijakan yang tegas dari
pemerintah daerah mengenai okupasi pemukiman liar, 5) Optimalisasi kerjasama
dengan pihak ketiga untuk penggalangan dana pengelolaan RTH, 6)
Pengembangan RTH selain di atas tanah, 7) Memberdayakan masyarakat sekitar
ii
dalam pemeliharaan RTH yang ada di lingkungan sekitar masyarakat, 8)
Mengoptimalkan program insentif dan disinsentif, 9) mengoptimalkan areal jalur
di sekitar sisten utilitas kota untuk RTH, 10) Optimalisasi fungsi RTRW sebagai
acuan pengendalian RTH, 11) Optimalisasi pengawasan kegiatan pembangunan,
12) Penyusunan anggaran khusus RTH.
Kata kunci: RTH (Ruang Terbuka Hijau), Konversi, Jumlah Penduduk
iii
SUMMARY
FEBRIANA WIDIASTUTI. An Analysis of Greenery Open Space (GOS) and
Its Adequacy Based on Population in the Bekasi City. Supervised by SANTUN
R.P SITORUS and DYAH RETNO PANUJU.
Greenery Open Space (RTH) is a major element of urban spatial structure.
It should exist among buildings as a buffer of the environment. Government in
Indonesia generally have difficulties to increase the greenery open space and they
just try to maintaining the area, even the acreage target in some cities is reduced.
Bekasi City is part of the Jabodetabek area which develop rapidly. As a fast
developing city, built up area such as housing, offices, and industrial accupied the
land. The purpose of this study are 1) to determine the change rate of greenery
open space and its adequacy based on population of Bekasi City, 2) to examine
the rate of population growth and development of urban areas in Bekasi City, 3) to
understand factors affecting the changes of greenery open space in Bekasi City, 4)
to identify potential area for greenery open space area expansion and to analyze its
adequacy based on population, and 5) to formulate efforts increasing the green
open space area in Bekasi City.
In the period 2003 to 2010, greenery open space decreased slightly in
Bekasi City. It was characterized by negative rate at -2% per annum. The
population of Bekasi City increased continually with average growth at 3.8% and
average density growth at 4% annually. Hierarchy of Bekasi City in 2003 and
2006 was shifting in structure. It was characterized by increasing of hierarchy 2
and decreasing of hierarchy 3. Greenery open space was converted significantly in
hierarchy 1 and the largest change was taken place in hierarchy 3. In 2010,
Bekasi City can not fulfill minimum acreage of greenery open space based on
population. The existing of green open space in 2010 is 2547.59 ha, but the
greenery open space required is 4672.98 ha. Potential area to expand greenery
open space area are vacant land (541.686 ha). Nonetheless, it is not sufficient.
Factors that affecting the change of greenery open space were distance to the
district, initial greenery open space area (in 2003), distance to social facilities,
growth of built up land, vacant land area in 2003, distance to educational
facilities, and increasing economic facilities. The efforts to enlarge greenery open
space area can be, 1) optimizing the performance of greenery open space
management with explisit coordination, 2) increasing cooperation between
government and third-parties, 3) optimizing the Southern of Bekasi City which is
potential for greenery open space enlargement and optimizing the Northern area
with vertical development, 4) taking strick policy about occupation of illegal
settlements, 5) optimizing the cooperation with third parties to increase the funds
to develop RTH, 6) developing vertical greenery to increase greenery open space,
7) empowering local communities to maintain greenery open space, 8) optimizing
incentive and disincentives program, 9) optimizing the area around city utilities
system for greenery open space, 10) optimizing RTRW functions as a reference
control for RTH, 11) optimizing control of development activities, 12)
formulating special budget for RTH.
Keywords : Greenery Open Space, Conversion, Population.
iv
ANALISIS RUANG TERBUKA HIJAU (RTH) DAN
KECUKUPANNYA TERHADAP JUMLAH PENDUDUK
DI KOTA BEKASI
Febriana Widiastuti
A14070024
Skripsi
Sebagai Salah Satu Syarat untuk Memperoleh Gelar
Sarjana Pertanian
Pada Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor
POGRAM STUDI MANAJEMEN SUMBERDAYA LAHAN
DEPARTEMEN ILMU TANAH DAN SUMBERDAYA LAHAN
FAKULTAS PERTANIAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2012
v
Judul Skripsi
Nama Mahasiswa
NRP
: Analisis Ruang Terbuka Hijau (RTH) dan Kecukupannya
Terhadap Jumlah penduduk di Kota Bekasi
: Febriana Widiastuti
: A14070024
Menyetujui,
Pembimbing 1
Pembimbing 2
Prof. Dr. Ir. Santun R.P Sitorus
NIP. 19490721 197302 1 001
Dyah Retno Panuju, S.P, M.Si
NIP. 19710412 199702 2 005
Mengetahui,
Ketua Departemen Ilmu Tanah dan Sumberdaya Lahan
Dr. Ir. Syaiful Anwar, M.Sc.
NIP. 1962113 198703 1003
Tanggal lulus:
vi
RIWAYAT HIDUP
Penulis
bernama
lengkap
Febriana
Widiastuti,
dilahirkan di Trenggalek, Provinsi Jawa Timur pada tanggal
20 Februari 1989. Penulis adalah anak pertama dari tiga
bersaudara dari pasangan Bapak Supriyadi dan Ibu Gunarti.
Penulis memulai pendidikan formal di TK Dharma
Wanita I pada tahun 1994-1995. Kemudian, pada tahun 1995
penulis meneruskan pendidikan di SD Negeri III Karangan dan menyelesaikan
pendidikan pada tahun 2001. Pada tahun yang sama penulis diterima di SLTP
Negeri I Karangan dan menyelesaikan pendidikannya pada tahun 2004. Penulis
melanjutkan pendidikan ke SMA Negeri 1 Trenggalek dan menyelesaikan pada
tahun 2007. Pada tahun yang sama, penulis diterima menjadi mahasiswa Institut
Pertanian Bogor melalui Program USMI di Departemen Ilmu Tanah dan
Sumberdaya Lahan, Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor.
Selama menjadi Mahasiswa, penulis aktif menjadi pengurus di beberapa
Organisasi, yaitu Badan Eksekutif Mahasiswa Fakultas Pertanian (2008-2009) dan
Himpunan Mahasiswa Ilmu Tanah (2009-2010). Penulis pernah menjadi anggota
paduan suara mahasiswa Agriaswara IPB selama satu tahun dari tahun 2007
hingga 2008. Penulis juga aktif dalam kegiatan Departemen Ilmu Tanah dan
Sumberdaya Lahan dan juga kegiatan kampus lainnya. Dalam kegiatan akademik,
penulis pernah berkesempatan menjadi asisten praktikum untuk mata kuliah
Perencanaan dan Pengembangan Wilayah pada tahun ajaran 2010-2011. Selama
studi di IPB, penulis juga memperoleh beasiswa PPA.
vii
KATA PENGANTAR
Puji syukur kehadirat Allah SWT yang telah melimpahkan rahmat, karunia
serta hidayah-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan penulisan skripsi
dengan judul ”Analisis Ruang Terbuka Hijau (RTH) dan Kecukupannya
Terhadap Jumlah penduduk di Kota Bekasi”.
Pada kesempatan ini penulis mengucapkan terima kasih kepada semua pihak
yang telah membantu dalam penulisan skripsi ini, terutama kepada:
1.
Bapak Prof. Dr. Ir. Santun R.P Sitorus selaku dosen pembimbing I dan Ibu
Dyah Retno Panuju, S.P, M.Si selaku dosen pembimbing II, atas segala
bimbingan, kesabaran dan pengarahan yang diberikan kepada penulis.
2.
Dr. Suwarli dan Pemerintah Daerah Kota Bekasi yang telah membantu dalam
proses pengumpulan data, serta Dr. Ir. Widiatmaka sebagai dosen penguji
dalam ujian akhir penelitian ini.
3.
Ibunda tercinta Gunarti, Ayahanda Supriyadi, dan adik-adikku Kresna dan
Bintang, yang telah memberikan semangat, dukungan, kasih sayang, baik
dalam bentuk moril maupun materil serta doa kepada penulis.
4.
Dosen dan staf Laboratorium Perencanaan dan Pengembangan Wilayah yang
banyak membantu selama penulis melaksanakan penelitian. Farid, Angga,
dan Rahmat yang telah membantu dalam survei lapang.
5.
Teman-teman seperjuangan (Citra, Nindi, Chitae,
Achi, Lili, Ufi, dan
Sisharyanto) yang telah berjuang bersama-sama dalam menyelesaikan
penelitian kami. Rahmat Hadi Wibowo yang selalu memberikan semangat.
Keluarga Gareulis (Woro, Rianda, Viya, Evie, Imas, Dewi, Shinta), dan
semua pihak yang telah membantu dalam penelitian ini yang tidak dapat
disebutkan satu per satu.
Penulis menyadari bahwa masih banyak kekurangan dalam penulisan
skripsi ini. Kritik dan saran yang membangun sangat diharapkan dalam
penyempurnaan skripsi ini.
Bogor, Maret 2012
Febriana Widiastuti
viii
DAFTAR ISI
Halaman
DAFTAR TABEL .............................................................................................. ix
DAFTAR GAMBAR .......................................................................................... xi
DAFTAR LAMPIRAN ...................................................................................... xii
BAB I PENDAHULUAN .................................................................................... 1
1.1. Latar Belakang .......................................................................................... 1
1.2. Perumusan Masalah................................................................................... 4
1.3. Tujuan Penelitian ...................................................................................... 4
1.4. Manfaat Penelitian..................................................................................... 4
BAB II TINJAUAN PUSTAKA .......................................................................... 5
2.1. RTH dalam Penataan Ruang Wilayah Perkotaan ....................................... 5
2.2. Ruang Terbuka Hijau ................................................................................ 7
2.3. Klasifikasi Ruang Terbuka Hijau ............................................................... 8
2.4. Fungsi dan Manfaat Ruang terbuka Hijau ................................................ 10
2.5. Penyediaan Ruang Terbuka Hijau di Perkotaan ....................................... 13
2.6. Pertumbuhan Penduduk dan Keterkaitannya Dengan Perubahan
Penggunaan lahan ................................................................................... 15
BAB III BAHAN DAN METODE ..................................................................... 17
3.1. Lokasi dan Waktu Penelitian ................................................................... 17
3.2. Jenis Data, Sumber Data dan Alat penelitian ........................................... 18
3.3. Metode Penelitian.................................................................................... 19
3.3.1. Persiapan .......................................................................................... 19
3.3.2. Pengumpulan Data............................................................................ 20
3.3.3. Survei Lapang .................................................................................. 20
3.3.4. Analisis dan Interpretasi Data ........................................................... 20
3.3.4.1. Penentuan Laju Perubahan Luas RTH dan Kecukupan RTH
Terhadap Jumlah Penduduk Di Kota Bekasi.............................. 20
3.3.4.2. Penetuan Laju Pertumbuhan Penduduk dan Perkembangan
Wilayah di Kota Bekasi ............................................................ 23
3.3.4.3. Menganalisis Faktor-faktor Penentu Perubahan Luas RTH......... 25
3.3.4.4. Mengidentifikasi Areal Yang Berpotensi Untuk RTH ................ 27
ix
3.3.4.5. Menyusun upaya penambahan RTH di Kota Bekasi ................... 27
3.3.5. Penyusunan skripsi ........................................................................... 28
BAB IV KONDISI UMUM DAERAH PENELITIAN ....................................... 29
4.1. Sejarah Kota Bekasi ............................................................................... 29
4.2. Wilayah Administrasi ............................................................................. 29
4.3. Kondisi Geografis .................................................................................. 30
4.4. Topografi ............................................................................................... 31
4.5. Iklim ...................................................................................................... 31
4.6. Morfologi ............................................................................................... 31
4.7. Hidrologi ................................................................................................ 31
4.8. Jenis Tanah dan Geologi......................................................................... 32
4.9. Kondisi Sosial Ekonomi ......................................................................... 32
4.10. Rencana Tata Ruang Wilayah Kota Bekasi (2000-2010) ....................... 34
BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN.............................................................. 36
5.1. Analisis Laju Perubahan RTH Kota Bekasi Tahun 2003-2010 ................ 36
5.2. Analisis Kecukupan RTH Kota Bekasi Berdasarkan Jumlah Penduduk ... 41
5.3. Analisis Laju Pertumbuhan dan Kepadatan Penduduk............................. 42
5.4. Hirarki dan Perkembangan Wilayah Kota Bekasi .................................... 46
5.5. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Perubahan Luas RTH ....................... 52
5.6. Analisis Areal yang Berpotensi untuk Perluasan RTH ............................. 56
5.7. Rekomendasi Upaya Penambahan RTH .................................................. 59
BAB VI KESIMPULAN DAN SARAN ............................................................ 65
6.1. Kesimpulan ............................................................................................ 65
6.2. Saran ...................................................................................................... 66
DAFTAR PUSTAKA ........................................................................................ 67
LAMPIRAN ...................................................................................................... 69
x
DAFTAR TABEL
Nomor
Teks
Halaman
1. Penyediaan RTH Berdasarkan Jumlah Penduduk ........................................14
2. Hubungan Antara Tujuan Penelitian, Sumber data, dan Teknis Analisis.......18
3. Variabel-variabel Dalam Analisis Skalogram Sederhana .............................24
4. Variabel Bebas Pada Analisis Regresi Berganda .........................................26
5. Matriks SWOT............................................................................................28
6. Dinamika Perubahan Luas RTH di Kota Bekasi Tahun 2003-2010 ..............36
7. Kebutuhan RTH Berdasarkan Jumlah Penduduk dan Kecukupannya ...........41
8. Jumlah dan Kepadatan Penduduk per Kecamatan Periode Tahun 20002004........... .................................................................................................44
9. Jumlah dan Kepadatan Penduduk per Kecamatan Periode Tahun 20052010........................... ..................................................................................45
10. Hirarki Wilayah Berdasarkan Kecamatan di Kota Bekasi Tahun 2003
dan 2006..................................................................................... ...................46
11. Perubahan Hirarki Wilayah di Kota Bekasi Tahun 2003-2006 .....................47
12. Luasan Konversi RTH (ha/tahun) pada Hirarki Wilayah Tahun 2006..........50
13. Hasil Analisis Regresi .................................................................................53
14. Kecukupan RTH Berdasarkan Jumlah Penduduk Dibandingkan dengan
RTH Eksisting dan RTH Arahan Pertambahan ............................................58
15. Matrix Kombinasi Strategi Penambahan RTH di Kota Bekasi .....................62
xi
DAFTAR GAMBAR
Nomor
Teks
Halaman
1. Lokasi Penelitian.........................................................................................17
2. Wilayah Administrasi Kota Bekasi Sebelum dan Setelah Pemekaran ..........30
3. Peta Sebaran RTH Kota Bekasi 2003 ..........................................................38
4. Peta Sebaran RTH Kota Bekasi 2010 ..........................................................39
5. Ruang Terbuka Hijau di Kota Bekasi ..........................................................40
6. Grafik Jumlah dan Kepadatan Penduduk Kota Bekasi Periode Tahun
1997-2010 ...................................................................................................43
7. Grafik Laju Jumlah dan Kepadatan Penduduk Kota Bekasi Periode
Tahun 1997-2010 ........................................................................................44
8. Peta Hirarki Wilayah Kota Bekasi Tahun 2003 ...........................................48
9. Peta Hirarki Wilayah Kota Bekasi Tahun 2010 ...........................................49
10. Boxplot Laju Perubahan RTH per Kelurahan dan Hirarki ............................51
11. Grafik Luasan areal yang Berpotensi Sebagai RTH per Kecamatan
di Kota Bekasi.............................................................................................56
12. Peta Areal yang Berpotensi Sebagai RTH ...................................................57
xii
DAFTAR LAMPIRAN
Nomor
Teks
Halaman
1. Hirarki Wilayah Kota Bekasi Tahun 2003 ......................................................70
2. Hirarki Wilayah Kota Bekasi Tahun 2010 ......................................................72
3. Titik Pengamatan Lapang ...............................................................................74
4. Layout Kuesioner ...........................................................................................76
BAB I
PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Ruang Terbuka Hijau (RTH) merupakan unsur utama tata ruang kota.
Menurut Direktorat Jenderal Penataan Ruang (2006) RTH perlu ada di antara
struktur bangunan (hutan bangunan) sebagai pelunak dan penyejuk lingkungan.
RTH berfungsi sebagai “paru-paru” kota. Pada prinsipnya, RTH dimaksudkan
agar dapat menekan efek negatif yang ditimbulkan lingkungan terbangun di
perkotaan, seperti peningkatan temperatur udara, penurunan tingkat peresapan air,
kelembaban udara, dan polusi. Semakin sedikit RTH secara akumulatif bisa
berakibat fatal, yaitu dicirikan dengan naiknya suhu bumi dan perubahan cuaca
karena kenaikan suhu bumi. Saat ini banyak pohon-pohon di daerah perkotaan
yang di potong atau di tebang oleh pemerintah dengan alasan mengganggu lalu
lintas dan instalasi listrik atau untuk keperluan menambah lebar jalur lalu lintas
kendaraan bermotor. Penebangan pohon-pohon tersebut seringkali tidak diikuti
dengan upaya penanaman kembali dengan pohon yang baru.
Direktorat Jenderal Penataan Ruang (2006) menyatakan berdasarkan
Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) Bumi di Rio de Janeiro, Brazil (1992) dan
dipertegas lagi pada KTT Johannesburg, di Afrika Selatan 10 tahun kemudian,
telah disepakati bersama bahwa sebuah kota idealnya memiliki luas RTH minimal
30% dari total luas kota (Direktorat Jenderal Penataan Ruang, 2006). Begitu pula
dalam UU No 26 tahun 2007, dinyatakan bahwa wilayah kabupaten atau
perkotaan harus membuat rencana penyediaan dan pemanfaatan ruang RTH
sebesar minimal 30% dari luas wilayah. RTH yang dimaksud berupa RTH publik
dan RTH privat dengan proporsi masing-masing 20% dan 10%. Penetapan
besaran luasan RTH ini disebut sebagai bagian dari pengembangan RTH kota.
Upaya penataan wilayah perkotaan sesuai dengan pengembangan kota akan
menciptakan keseimbangan dan keserasian antara lingkungan alam dan
lingkungan binaan.
Permasalahan degradasi lingkungan hidup perkotaan digambarkan dengan
semakin mewabahnya penyakit-penyakit akibat kondisi lingkungan yang
memburuk. Hal ini akibat tidak adanya ruang bagi penampung buangan kegiatan
2
manusia berupa limbah padat maupun limbah cair yang semakin menumpuk dan
tak terkendali sehingga menjadi media pertumbuhan penyakit. Upaya-upaya
pelestarian fungsi lingkungan dilakukan dengan menyisihkan sebagian ruang kota.
Ruang kota tersebut dimaksudkan bukan untuk diproyeksikan untuk permukiman,
seperti sempadan sungai, danau, atau laut.
Direktorat Jenderal Penataan Ruang (2006) juga menyatakan bahwa kotakota Indonesia pada umumnya memiliki kesulitan untuk meningkatkan RTH kota
sehingga hanya sekedar mempertahankan luasannya bahkan di sebagian kota
target luasan RTH kota menjadi semakin menyempit. Target luasan RTH yang
semakin menyempit itu pun konon sulit untuk direalisasikan akibat terus adanya
tekanan pertumbuhan dan kebutuhan sarana dan prasarana kota, seperti struktur
fisik bangunan dan panjang jalur jalan yang semakin meningkat sejalan dengan
peningkatan jumlah penduduk. Hal ini merupakan salah satu bukti kurang
dihargainya eksistensi RTH dan bahkan sering dikorbankan. Padahal sebenarnya
RTH mempunyai nilai ekologis dan ekonomis tinggi bagi terwujudnya lingkungan
kota yang sehat secara fisik maupun psikologis.
Eksistensi RTH di perkotaan sering diabaikan karena dianggap tidak
memberikan keuntungan ekonomi secara langsung dan akibatnya luas areal RTH
semakin berkurang. Berkurangnya RTH ini terjadi akibat meningkatnya
kebutuhan lahan seiring dengan meningkatnya kesejahteraan masyarakat dan
pertumbuhan penduduk. Pertumbuhan penduduk yang meningkat dari waktu ke
waktu akan memberikan implikasi pada tingginya tekanan pada pemanfaatan
lahan sehingga perlu mendapat perhatian khusus terutama berkaitan dengan
penyediaan ruang untuk permukiman, fasilitas umum dan sosial serta ruang-ruang
publik di perkotaan.
Kota Bekasi merupakan salah satu bagian integral wilayah Jabodetabek.
Letak Kota Bekasi yang berada di antara DKI Jakarta dan Jawa Barat menjadikan
kota ini memiliki letak yang sangat strategis. Kemudahan akses antara Kota
Jakarta dan Bekasi menjadikan Kota Bekasi sebagai salah satu daerah
penyeimbang Kota Jakarta. Bekasi juga merupakan kota dengan perkembangan
yang pesat, termasuk dalam hal industri.
3
Perkembangan kota merupakan hal yang tidak dapat dihindari. Kebijakan
pemerintah kota mengenai arahan perkembangan kota perlu diiringi dengan
penegakan peraturan. Pembangunan kota perlu disertai dengan pelestarian RTH
kota non-pertanian (Putri 2010). Berdasarkan data BAPPEDA Kota Bekasi
(2007), ketersediaan RTH di Kota Bekasi hanya sebesar 3,58% dari luas total
Kota Bekasi. Bahkan, di Kota Bekasi masih belum terdapat taman kota yang
berfungsi sebagai taman bermain serta tempat sosialisasi dan interaksi antar
penduduk kotanya. Oleh karena itu, Bekasi saat ini masih kekurangan luas RTH.
Ironisnya lagi, meski luas RTH sudah minim sebagian lahan RTH tersebut masih
beralih fungsi menjadi kompleks perumahan dan lain sebagainya.
Sempitnya RTH terutama di permukiman padat penduduk di perkotaan
berdampak pada makin menurunnya kualitas lingkungan dan kenyamanan kota.
Hal ini juga membuat warga berebut menggunakan setiap jengkal lahan yang
kosong untuk beraktivitas. Bahkan bisa terjadi perebutan ruang terbuka antar
warga sehinga menimbulkan perselisihan yang berpotensi pada perkelahian.
Direktorat Jenderal Penataan Ruang (2006) menyatakan sehubungan
dengan meningkatnya jumlah penduduk dengan segala aktivitas dan keperluan,
seperti cukup tersedianya „ruang rekreasi‟ gratis, maka sebuah kota dimana pun
dan bagaimana pun ukuran dan kondisinya pasti memerlukan RTH. RTH tersebut
seharusnya memenuhi persyaratan terutama kualitas keseimbangan pendukung
keberlangsungan fungsi kehidupan, adanya pengelolaan dan pengaturan sebaik
mungkin, serta konsistensi penegakkan hukumnya.
Dalam penelitian ini akan dikaji mengenai pengaruh konversi RTH di
Bekasi terhadap kenyamanan dan kecukupannya terhadap jumlah penduduk.
Kurangnya persentase RTH di Kota Bekasi dapat berujung pada hal-hal yang
negatif terhadap kenyamanan dan psikologis masyarakat. Kebutuhan RTH di Kota
Bekasi dapat diperkirakan berdasarkan luas kota, jumlah penduduk dengan segala
aktivitasnya, dan isu penting yang timbul seperti masalah kekurangan air,
kebutuhan oksigen, maupun banjir.
4
1.2. Perumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan maka perumusan masalah
dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:
1. RTH kota Bekasi semakin berkurang dari tahun ke tahun sehingga diduga RTH
di Kota Bekasi tidak dapat memenuhi kebutuhan warga untuk kegiatan seharihari seperti rekreasi, olah raga, bersosialisasi.
2. Kota Bekasi memiliki perkembangan pesat dengan jumlah penduduk yang
terus meningkat yang diduga mempengaruhi ketersediaan RTH.
3. Banyak faktor yang mempengaruhi perubahan luas RTH di Kota Bekasi.
4. Ketersediaan lahan di Kota Bekasi semakin kecil khususnya untuk RTH.
5. Keberhasilan upaya penambahan luas RTH sesuai arahan UU No 26 tahun 200
masih kecil.
1.3. Tujuan Penelitian
Berdasarkan pada perumusan masalah tersebut, maka tujuan penelitian ini
adalah:
1. Mengetahui laju perubahan luas RTH dan kecukupannya terhadap jumlah
penduduk di Kota Bekasi.
2. Mengetahui laju pertumbuhan penduduk dan perkembangan wilayah di Kota
Bekasi.
3. Mengetahui faktor-faktor yang mempengaruhi perubahan luas RTH.
4. Mengetahui areal yang berpotensi untuk dijadikan RTH dan kecukupannya
berdasarkan jumlah penduduk.
5. Menyusun upaya penambahan RTH di Kota Bekasi.
1.4. Manfaat Penelitian
Penelitian ini bermanfaat untuk memberikan informasi mengenai luasan
eksisting RTH yang ada di Kota Bekasi, kecukupan luas RTH saat ini terhadap
jumlah penduduk Kota Bekasi, dan laju konversi RTH yang terjadi dari tahun
2003-2010. Hasil dari penelitian ini dapat digunakan untuk keperluan menyusun
arahan kebijakan pembangunan kota yang berwawasan lingkungan serta dapat
menghasilkan rekomendasi-rekomendasi praktis yang relevan.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1. RTH dalam Penataan Ruang Wilayah Perkotaan
Perkembangan kota
merepresentasikan
kegiatan
masyarakat
yang
berpengaruh pada suatu daerah. Suatu daerah akan tumbuh dan berkembang
berkaitan dengan penduduk, aktivitas, dan penggunaan lahan. Perencanaan kota
yang selama ini menitikberatkan pada aspek fisik semata dirasakan kurang dapat
menyelesaikan permasalahan yang dihadapi (Sinulingga, 2005).
Lebih lanjut Sinulingga (2005) menyatakan bahwa perkembangan kota
yang cepat menuntut adanya pengaturan pemanfaatan ruang perkotaan yang
mempertimbangkan sifat lingkungan alam, lingkungan buatan, dan lingkungan
sosial budaya. Ruang adalah wadah semua interaksi sistem sosial (kegiatan sosial,
ekonomi, dan budaya)
dengan ekosistem (sumberdaya alam dan buatan)
berlangsung. Interaksi ini tidak selalu secara otomatis berlangsung seimbang dan
saling menguntungkan berbagai pihak. Hal ini disebabkan adanya perbedaan
kemampuan, kepentingan dan adanya sifat perkembangan ekonomi yang
akumulatif.
Berdasarkan pada UU No 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang,
penataan ruang merupakan suatu sistem proses perencanaan tata ruang,
pemanfaatan ruang, dan pengendalian pemanfaatan ruang. Perencanaan tata ruang
adalah suatu proses untuk menentukan struktur ruangdan pola ruang yang meliputi
penyusunan dan penetapan rencana tata ruang. Pemanfaatan ruang adalah upaya
untuk mewujudkan struktur ruang dan pola ruang sesuai dengan rencana tata
ruang melalui penyusunan dan pelaksanaan program beserta pembiayaannya.
Pengendalian pemanfaatan ruang adalah upaya untuk mewujudkan tertib tata
ruang.
Penataan ruang adalah usaha untuk merencanakan jumlah penggunaan
lahan guna keperluan tertentu dan pada tempat yang tepat. Rencana tata ruang
pada hakikatnya mengatur pemanfaatan dan letak elemen-elemen ruang kota,
yaitu pusat pelayanan, industri, pemukiman dan ruang terbuka hijau (RTH) serta
jaringan jalan untuk mencapai tujuan perencanaan kota. Tujuan dari perencanaan
6
tata ruang kota anatara lain penyediaan ruang yang cukup untuk setiap jenis
penggunaan secara efisien untuk kenyamanan bagi lingkungan kegiatan manusia
kota (Sinulingga, 2005).
Perencanaan
tata
ruang
perkotaan
seyogyanya
dimulai
dengan
mengidentifikasi kawasan-kawasan yang secara alami harus diselamatkan
(kawasan lindung) untuk menjamin kelestarian fungsi lingkungan dan kawasankawasan yang secara alami rentan terhadap bencana. Kawasan-kawasan inilah
yang seharusnya dikembangkan menjadi ruang terbuka hijau. Agar keberadaan
RTH di perkotaan dapat berfungsi secara efektif baik secara ekologis maupun
planologis. Pengembangan RTH tersebut sebaiknya dilakukan secara berhirarki
dan terpadu dengan sistem struktur ruang yang ada di perkotaan (Direktorat
Jenderal Penataan Ruang, 2006).
Brown dan Jacobson dalam Leitmann (1999) menyatakan bahwa
perlindungan sistem
lingkungan di perkotaan dapat
dilakukan dengan
mengalokasikan kawasan lindung. Kota dapat meningkatkan kualitas manusia dan
lingkungan alam melalui konservasi sumberdaya maupun tingginya standar
kualitas lingkungan.
Ruang Terbuka Hijau sebagai ruang alami merupakan bagian yang sangat
penting bagi suatu kota berkaitan dengan penanggulangan masalah lingkungan.
RTH dapat memberikan kenyamanan dan kesejahteraan bagi warga kota yaitu:
sebagai penyumbang ruang bernafas yang segar, paru-paru kota, sumber air tanah,
mencegah erosi, keindahan, dan kehidupan satwa, menciptakan iklim, serta
sebagai sumber pendidikan.
Correa (1988) dalam Utami (2011), dalam penelitiannya menyatakan
bahwa apabila diabstraksikan kebutuhan akan hal-hal yang bersifat sosial dapat
dikelompokkan unsur utama yaitu: ruang keluarga yang digunakan untuk
keperluan pribadi, daerah untuk bergaul/sosialisasi dengan tetangga, daerah
tempat pertemuan warga, dan daerah ruang terbuka utama yang digunakan untuk
kegiatan bersama seluruh warga masyarakat.
Keberadaan RTH sebagai ruang dengan fungsi ekologis menjadikan RTH
sebagai salah satu fungsi lahan yang sering kali dikorbankan dalam membangun
dan mengembangkan sebuah kota. RTH yang semakin berkurang akan
7
berimplikasi pada suhu kota yang semakin meningkat. Menurut Saputro (2010),
suhu udara rata-rata lebih tinggi pada area terbuka dari pada area rumput dan
naungan. Hal ini karena pada area terbuka terkena radiasi matahari secara
langsung. Radiasi matahari langsung akan segera memanaskan permukaan
perkerasan dan selanjutnya memanaskan suhu udara di atasnya. Peningkatan suhu
udara pada area yang ternaungi lebih rendah karena kemampuan tajuk pohon yang
efektif dalam penyerapan panas dan mengurangi pemantulan.
Saputro (2010), dalam penelitiannya juga menyatakan bahwa area parkir
pada bangunan-bangunan perkantoran dan perbelanjaan dengan area hijau yang
minim kurang efektif dalam menurunkan suhu udara di sekitarnya. Selain itu,
semakin besar persentase perkerasan terhadap luasan total menyebabkan suhu
udara semakin meningkat, begitu sebaliknya.
Pola pemanfaatan ruang terbagi menjadi dua kawasan, yaitu kawasan
lindung dan budidaya. Kawasan lindung yang dimaksud adalah kawasan yang
berfungsi konservasi serta kawasan budidaya yang dapat berfungsi lindung bagi
ekologi kota, termasuk di dalamnya adalah lahan pertanian, taman kota, sempadan
sungai, jalur hijau jalan, taman pulau jalan, jalur hijau rel kereta api, jalur hijau
bawah tegangan tinggi, dan RTH kota non-pertanian lainnya. Sedangkan kawasan
budidaya mencakup kawasan perumahan, kawasan pemerintahan, perdagangan,
jasa, pendidikan, kesehatan, industri dan pergudangan, pariwisata dan rekreasi,
serta pertahanan dan keamanan (Putri, 2010).
Menurut Putri (2010), tingginya proporsi lahan terbangun dalam kawasan
dapat mengakibatkan meningkatnya aliran permukaan (run-off) dan berkurangnya
debit air yang diresap oleh tanah. Perkembangan kawasan budidaya kota dapat
mengakibatkan penyempitan saluran drainase. Hal ini menyebabkan frekuensi dan
peluang kejadian banjir yang tinggi pada musim hujan.
2.2. Ruang Terbuka Hijau
Menurut Pasal 1 butir 31 UUPR No 26 tahun 2007, ruang terbuka hijau
adalah area memanjang/jalur dan/atau mengelompok yang penggunaannya lebih
bersifat terbuka, tempat tumbuh tanaman, baik yang tumbuh secara alamiah
maupun yang sengaja ditanam. Departemen Arsitektur Lanskap Fakultas
8
Pertanian IPB (2005) dalam makalah lokakarya Pengembangan Sistem RTH di
Perkotaan dalam rangkaian acara Hari Bakti Pekerjaan Umum ke 60 menyatakan
Ruang Terbuka Hijau (RTH) adalah bagian dari ruang-ruang terbuka (open
spaces) suatu wilayah perkotaan yang diisi oleh tumbuhan, tanaman, dan vegetasi
(endemik, introduksi) guna mendukung manfaat langsung dan/atau tidak langsung
yang dihasilkan oleh RTH dalam kota tersebut yaitu keamanan, kesejahteraan, dan
keindahan wilayah perkotaan tersebut.
Menurut Sugandhy dan Hakim (2007), dalam konteks pemanfaatan,
pengertian ruang terbuka hijau kota mempunyai lingkup lebih luas dari sekedar
pengisian hijau tumbuh-tumbuhan. Konsep RTH mencakup pula pengertian dalam
bentuk pemanfaatan ruang terbuka bagi kegiatan masyarakat. Lebih lanjut, sesuai
dengan Instruksi Menteri Dalam Negeri No. 14 tahun 1988 tentang Penataan
Ruang terbuka Hijau di Wilayah Perkotaan, dinyatakan bahwa ruang terbuka hijau
(RTH) sebagai ruang dalam kota atau wilayah yang lebih luas, baik dalam bentuk
areal/kawasan maupun dalam bentuk memanjang/jalur yang penggunaannya lebih
bersifat terbuka yang pada dasarnya tanpa bangunan dengan pengisian hijau
tanaman.
2.3. Klasifikasi Ruang Terbuka Hijau
Menurut Sugandhy dan Hakim (2007), ruang terbuka hijau kota dapat
diklasifikasikan baik dalam tata letak maupun fungsinya. Berdasarkan letaknya,
ruang terbuka hijau kota bisa berwujud ruang terbuka kawasan pantai (coastal
open spaces), dataran banjir sungai (river flood plain), ruang terbuka pengamanan
jalan bebas hambatan (greenways), dan ruang terbuka pengaman kawasan bahaya
kecelakaan di ujung landasan bandar udara.
Hasni (2009) mengatakan, klasifikasi Ruang Terbuka Hijau dapat dibagi
menjadi: (a) kawasan hijau pertamanan kota, (b) kawasan hijau hutan kota, (c)
kawasan hijau rekreasi kota, (d) kawasan hijau kegiatan olahraga, (e) kawasan
hijau pemakaman, (f) kawasan hijau pertanian, (g) kawasan hijau jalur hijau, (h)
kawasan hijau pekarangan.
Bentuk RTH di perkotaan menurut Dahlan (1992) adalah sebagai berikut:
9
a. Jalur hijau: pohon peneduh jalan raya, jalur hijau dibawah kawat listrik
tegangan tinggi, jalur hijau di tepi jalan kereta api, jalur hijau di tepi
sungai. Jalur ini dapat dikembangkan di dalam kota atau di luar kota
sebagai RTH guna memperbaiki kualitas lingkungan perkotaan.
b. Taman kota: taman dapat diartikan sebagai tanaman yang ditanam dan
ditata sedemikian rupa untuk mendapatkan komposisi yang indah
c. Kebun dan halaman: jenis tanaman yang ditanam di kebun dan halaman
biasanya jenis yang menghasilkan buah serta yang tidak diharapkan
buahnya.
d. Kebun raya, hutan raya, dan kebun binatang: kebun raya. Hutan raya, dan
kebun bunatang, dapat dimasukkan dalam salah satu bentuk RTH.
Tanaman dapat berasal dari daerah setempat, daerah lain, maupun luar
negeri.
e. Hutan lindung: daerah dengan lereng yang curam harus dijadikan
kawasan hutan karena rawan longsor. Demikian pula dengan daerah
pantai yang rawan abrasi air laut, sebaiknya dijadikan hutan lindung.
f. Kuburan dan taman makam pahlawan: tempat pemakaman biasanya
banyak ditanam pepohonan.
Dalam makalah lokakarya pengembangan sistem RTH di perkotaan dalam
rangkaian acara hari bakti Pekerjaan Umum ke 60, Departemen Arsitektur
Lanskap Fakultas Pertanian IPB (2005) menyatakan bahwa berdasarkan bobot
kealamiannya, bentuk RTH dapat diklasifikasikan menjadi (a) bentuk RTH alami
(habitat liar/alami, kawasan lindung) dan (b) bentuk RTH non alami atau RTH
binaan (pertanian kota, pertanaman kota, lapangan olah raga, pemakaman).
Berdasarkan sifat dan karakter ekologisnya, RTH diklasifikasikan menjadi (a)
bentuk RTH kawasan (areal, non linear), dan (b) bentuk RTH jalur (koridor,
linear).
Berdasarkan
penggunaan
lahan
atau
kawasan
fungsionalnya
diklasifikasikan menjadi (a) RTH kawasan perdagangan, (b) RTH kawasan
pendidikan, (c) RTH kawasan permukiman, (d) RTH kawasan pertanian, dan (e)
RTH kawasan-kawasan khusus, seperti pemakaman, hankam, olahraga, alamiah.
10
2.4. Fungsi dan Manfaat Ruang terbuka Hijau
Pada dasarnya RTH dimaksudkan untuk menekan efek negatif yang
ditimbulkan lingkungan terbangun diperkotaan, seperti peningkatan temperatur
udara, penurunan tingkat peresapan air dan kelembaban udara, polusi dan lain
sebagainya. Vegetasi memiliki peranan sangat besar dalam kehidupan. Peranan
penghijauan kota sangat tergantung pada vegetasi yang ditanam. Dari berbagai
peranan vegetasi dan manfaat vegetasi, maka manfaat dan fungsi penghijauan atau
ruang terbuka hijau (RTH), adalah (Amir dalam Hendrawan, 2003):
a. Paru-paru kota: tanaman sebagai elemen hijau pada pertumbuhannya
menghasilkan zat asam (O2) yang sangat diperlukan bagi makhluk
hidup untuk pernapasan.
b. Pengatur lingkungan (mikro): vegetasi akan menimbulkan lingkungan
setempat menjadi sejuk, nyaman, dan segar.
c. Pencipta lingkungan hidup: penghijauan dapat menciptakan ruang bagi
makhluk hidup di alam yang memungkinkan terjadinya interaksi secara
alamiah.
d. Penyeimbang alam (edapis): merupakan pembentukan tempat hidup
alami bagi satwa yang hidup disekitarnya.
e. Oro-hidrologi:
pengendalian
untuk
penyediaan
air
tanah
dan
pencegahan erosi.
f. Perlindungan bagi kondisi fisik alami sekitarnya: seperti angin kencang,
terik matahari, gas, atau debu.
g. Mengurangi polusi udara: vegetasi dapat menyerap polutan tertentu.
h. Vegetasi dapat menyaring debu dengan tajuk dan kerimbunan
dedaunannya.
i. Mengurangi polusi air: vegetasi dapat membantu membersihkan air.
j. Mengurangi polusi suara (kebisingan): vegetasi dapat menyerap suara.
k. Keindahan (estetika): unsur-unsur penghijauan yang direncanakan
dengan baik dan menyeluruh akan menambah keindahan kota.
l. Kesehatan: warna dan karakter tumbuhan dapat digunakan untuk terapi
mata dan jiwa.
11
m. Nilai
pendidikan:
komunitas
vegetasi
yang
ditanam
dengan
keanekaragaman jenis dan karakter akan memberikan nilai ilmiah
sehingga sangat bermanfaat untuk pendidikan, seperti hutan kota adalah
laboratoriium alam.
n. Rekreasi dan pendidikan:
jalur
hijau dengan aneka
vegetasi
mengandung nilai-nilai ilmiah.
o. Sosial, politik, dan ekonomi: tumbuhan mempunyai nilai sosial yang
tinggi.
p. Penghijauan perkotaan:
menjadi
indikator
atau petunjuk
bagi
lingkungan, kemungkinan ada hal-hal yang membahayakan yang terjadi
atas pertumbuhan dan perkembangan kota.
Menurut Hasni (2009), RTH memiliki berbagai fungsi seperti edaphis,
orologis, hidrologis, klimatologis, higienis, edukatif, estetis, dan sosial ekonomis.
Fungsi tersebut dapat dipenuhi oleh semua jenis RTH yang ada di perkotaan,
dengan pengertian sebagai berikut:
a. Fungsi edaphis yaitu sebagai tempat hidup satwa dan jasad renik
lainnya, dapat dipenuhi dengan penanaman pohon yang sesuai.
b. Fungsi hidro-orologis adalah perlindungan terhadap kelestarian tanah
dan air.
c. Fungsi klimatologis adalah terciptanya iklim mikro sebagai efek dari
proses fotosintesis dan respirasi tanaman.
d. Fungsi protektif: melindungi dari gangguan angin, bunyi, dan terik
matahari melalui kerapatan dan kerindangan pohon perdu dan semak.
e. Fungsi higienis adalah kemampuan RTH untuk mereduksi polutan baik
di udara maupun di air.
f. Fungsi edukatif adalah RTH bisa menjadi sumber pengetahuan
masyarakat tentang berbagai hal, misalnya macam dan jenis vegetasi,
asal muasalnya, nama ilmiahnya, manfaat serta khasiatnya.
g. Fungsi estetis adalah kemampuan RTH untuk menyumbangkan
keindahan pada lingkungan sekitarnya, baik melalui keindahan warna,
bentuk, kombinasi tekstur, bau-bauan ataupun bunyi dari satwa liar
yang menghuninya.
12
h. Fungsi sosial ekonomis adalah RTH sebagai tempat berbagai kegiatan
sosial dan tidak menutup kemungkinan memiliki nilai ekonomi seperti
pedagang tanaman hias atau pedagang musiman seperti di lapangan
Gasibu di Bandung pada hari Minggu pagi.
Dalam penelitian Sancho (2005), disebutkan bahwa konsep alun-alun
sebagai ruang terbuka hijau yaitu ruang terbuka berupa taman kota yang selain
memiliki fungsi ekologi dan estetika juga berfungsi sebagai kawasan rekreasi dan
sosialisasi, tempat dimana orang dapat merasakan suasana aman dan damai
melalui suasana indah yang ditimbulkan.
Dalam masalah perkotaan, RTH merupakan bagian atau salah satu
subsistem dari sistem kota secara keseluruhan. RTH sengaja dibangun untuk
memenuhi berbagai fungsi dasar yang secara umum dibedakan menjadi
(Direktorat Jenderal Penataan Ruang, 2006):
1. Fungsi bio-ekologis (fisik), yang memberikan jaminan pengadaan
RTH menjadi bagian dari sistem sirkulasi udara, pengatur iklim
mikro, peneduh, produsen oksigen, penyerap air hujan, penyedia
habitat satwa, penyerap polutan, dan penahan angin.
2. Fungsi sosial, ekonomi (produktif), dan budaya yang mampu
menggambarkan ekspresi budaya lokal. RTH merupakan media
komunikasi warga kota, tempat rekreasi, tempat pendidikan, dan
penelitian.
3. Ekosistem perkotaan; produsen oksigen, tanaman berbunga, berbuah,
dan berdaun indah, serta menjadi bagian dari usaha pertanian dan
kehutanan.
4. Fungsi estetis, meningkatkan kenyamanan, memperindah lingkungan
kota baik dari skala mikro maupun makro.
Peningkatan penutupan vegetasi akan memberikan pengaruh secara
signifikan terhadap penurunan suhu udara dalam taman dan sekitarnya apabila
pada taman tersebut terisi vegetasi yang rapat dan padat. Pada taman dengan
penutupan vegetasi yang minim tidak memberikan pengaruh terhadap penurunan
suhu udara. Oleh karena itu, efektifitas taman menurunkan suhu udara bergantung
kepada dominasi elemen vegetasi yang ada pada taman dan sekitarnya. Semakin
13
jauh jarak dari taman, suhu udara cenderung semakin tinggi, dan sebaliknya
(Harti, 2005).
2.5. Penyediaan Ruang Terbuka Hijau di Perkotaan
Dalam Undang-Undang No. 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang,
perencanaan tata ruang wilayah kota harus memuat rencana penyediaan dan
pemanfaatan ruang terbuka hijau yang luas minimalnya sebesar 30% dari luas
wilayah kota.
Menurut Direktorat Jenderal Penataan Ruang (2006), Ruang Terbuka
Hijau kota merupakan bagian dari wilayah perkotaan yang ditentukan berdasarkan
berbagai pertimbangan. Pertimbangan umum penentuan luas RTH antara lain
bahwa RTH antara kota dalam suatu hamparan kompak setidaknya mempunyai
luas 0,25 hektar, sedangkan proporsi minimal adalah 10% dari wilayah perkotaan
atau disesuaikan dengan kondisi setempat.
Berdasarkan Peraturan Menteri Pekerjaan Umum No: 05/PRT/M/2008
Penyediaan RTH di wilayah perkotaan meliputi:
1. Penyediaan RTH berdasarkan Luas Wilayah
a) Penyediaan RTH berdasarkan luas wilayah di perkotaan adalah
sebagai berikut:
 ruang terbuka hijau di perkotaan terdiri dari RTH Publik dan
RTH privat;
 proporsi RTH pada wilayah perkotaan adalah sebesar minimal
30% yang terdiri dari 20% ruang terbuka hijau publik dan 10%
terdiri dari ruang terbuka hijau privat;
 apabila luas RTH baik publik maupun privat di kota yang
bersangkutan telah memiliki total luas lebih besar dari peraturan
atau perundangan yang berlaku, maka proporsi tersebut harus
tetap dipertahankan keberadaannya.
Proporsi
30%
merupakan
ukuran
minimal
untuk
menjamin
keseimbangan ekosistem kota, baik keseimbangan sistem hidrologi dan
keseimbangan mikroklimat, maupun sistem ekologis lain yang dapat
14
meningkatkan ketersediaan udara bersih yang diperlukan masyarakat,
serta sekaligus dapat meningkatkan nilai estetika kota.
2. Penyediaan RTH Berdasarkan Kebutuhan Fungsi Tertentu
Fungsi RTH pada kategori ini adalah untuk perlindungan atau
pengamanan, sarana dan prasarana misalnya melindungi kelestarian
sumber
daya
alam,
pengaman pejalan
perkembangan penggunaan lahan agar
kaki atau
membatasi
fungsi utamanya tidak
terganggu.
RTH kategori ini meliputi: jalur hijau sempadan rel kereta api, jalur
hijau jaringan listrik tegangan tinggi, RTH kawasan perlindungan
setempat berupa RTH sempadan sungai, RTH sempadan pantai, dan
RTH pengamanan sumber air baku/mata air.
3. Penyediaan RTH Berdasarkan Jumlah Penduduk
Untuk menentukan luas RTH berdasarkan jumlah penduduk, dilakukan
dengan mengalikan antara jumlah penduduk yang dilayani dengan
standar luas RTH per kapita sesuai peraturan yang berlaku seperti yang
tertera pada Tabel 1.
Tabel 1. Penyediaan RTH Berdasarkan Jumlah Penduduk
No
Unit
Lingkungan
Tipe RTH
Luas
minimal/unit
(m2)
Luas
minimal/
kapita (m2)
1
250 jiwa
Taman RT
250
1,0
2
2500 jiwa
Taman RW
1.250
0,5
3
30.000 jiwa
Taman
kelurahan
9.000
0,3
4
120.000 jiwa
Taman
kecamatan
24.000
0,2
Pemakaman
disesuaikan
1,2
Taman kota
144.000
0,3
Hutan kota
disesuaikan
4,0
Untuk fungsifungsi tertentu
disesuaikan
12,5
5
480.000 jiwa
Sumber: Peraturan Menteri Pekerjaan Umum No 05/PRT/M/2008
Lokasi
Di tengah lingkungan
RT
Di pusat kegiatan
RW
Dikelompokan
dengan sekolah/pusat
kelurahan
Dikelompokan
dengan sekolah/pusat
kecamatan
Tersebar
Di pusat
wilayah/kota
Di dalam/kawasan
pinggiran
Disesuaikan
kebutuhan
15
Dahlan dalam Direktorat Jenderal Penataan Ruang (2006) menyatakan
bahwa penetapan luasan RTH (termasuk didalamnya Taman Hutan) kota yang
harus dibangun, ditetapkan sebagai berikut:
a. Berdasarkan proporsi luas kota, RTH dinyatakan menurut perkiraan
kasar (begitu saja mengikuti apa yang telah ada) diharapkan mencapai
luasan 10%, 20%, 25%, 30%, 40%, 50%, dan bahkan ada yang
menetapkan 60%, seperti kota Canberra, ibu kota Australia.
b. Berdasarkan jumlah penduduk, luas RTH kota di beberapa negara
ditentukan sebagai berikut : di Malaysia 1,9 m2 per penduduk dan
Jepang 5 m2 per penduduk. Dewan Kota Lancashire, Inggris
menetapkan 11,5 m2, Amerika 60 m2, Jakarta mengusulkan taman
untuk bermain dan berolahraga 1,5 m2/penduduk.
c. Berdasarkan isu-isu penting, Luas RTH yang harus disediakan sebuah
kota yang kekurangan air bersih, ditetapkan berdasarkan pemenuhan
kebutuhan akan air.
d. Berdasarkan pendekatan kebutuhan oksigen, RTH kota yang harus
disediakan mengacu pada jumlah penduduk dan jumlah kendaraan
bermotor serta jumlah industri.
2.6. Pertumbuhan Penduduk dan Keterkaitannya Dengan Perubahan
Penggunaan Lahan
Fenomena peningkatan jumlah penduduk terus terjadi di sebagian besar
negara di dunia. Pada kondisi normal (tidak terjadi bencana alam) pertumbuhan
penduduk mengikuti pola eksponensial (kurva S). Pada awalnya pertumbuhan
penduduk akan terjadi secara lamban dan semakin meningkat dengan sangat cepat
secara eksponensial, yang pada akhirnya akan tercapai kondisi stabil (seimbang).
Keseimbangan terjadi jika laju kelahiran sama dengan laju kematian (Enger dan
Badly dalam Munibah et al., 2009). Peningkatan jumlah penduduk memiliki
konsekuensi terhadap perkembangan ekonomi yang menuntut kebutuhan lahan
untuk pemukiman, industri, infrastruktur dan jasa. Menurut Hartini et al. (2008),
perkembangan suatu wilayah akan selalu diikuti dengan adanya pertambahan
penduduk di wilayah tersebut.
16
Menurut Munibah et al. (2009) jumlah penduduk akan berpengaruh
terhadap luas lahan permukiman dalam rangka pemenuhan kebutuhan tempat
tinggal (termasuk jasa) dan berpengaruh terhadap luas lahan pertanian dalam
rangka
pemenuhan
kebutuhan
pangan.
Pertumbuhan
penduduk
akan
mempengaruhi pertambahan luas lahan permukiman. Verbist et al. (2004) dalam
penelitiannya mengenai alih guna lahan pada lanskap agroforestri berbasis kopi di
Sumatra menyebutkan bahwa faktor pendorong terjadinya alih guna lahan yang
termasuk faktor eksternal adalah pertumbuhan alami penduduk, migrasi, hujan,
dan harga pasar internasional.
BAB III
BAHAN DAN METODE
3.1. Lokasi dan Waktu Penelitian
Penelitian dilakukan di Kota Bekasi dan kegiatan analisis data dilakukan
di studio bagian Perencanaan Pengembangan Wilayah, Departemen Ilmu Tanah
dan Sumberdaya Lahan, Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor. Penelitian
dilakukan pada bulan Maret 2011-Januari 2012. Gambar 1 menunjukkan lokasi
penelitian ini.
Gambar 1. Lokasi Penelitian
18
3.2. Jenis Data, Sumber Data dan Alat Penelitian
Data yang digunakan dalam penelitian ini merupakan data primer dan data
sekunder. Data primer terdiri dari citra QUICKBIRD Kota Bekasi tahun 2003 dan
2010 dalam bentuk digital yang diakses secara bebas melalui website
earth.google.com dan data survei lapang. Data sekunder meliputi data PODES
(Potensi Desa) Kota Bekasi Tahun 2003 dan 2006 dan beberapa peta penunjang
lainnya (Peta Administrasi Kota Bekasi, Peta RTRW, Peta RTH Kota Bekasi)
diperoleh dari BAPPEDA dan Dinas Tata Ruang Kota Bekasi. Data jumlah
penduduk diperoleh dari Badan Pusat Statistik (BPS) Kota Bekasi.
Citra QUICKBIRD yang digunakan adalah citra tahun 2003 dan 2010
karena diharapkan citra tersebut dapat mempresentasikan keadaan RTH tahun
2003 dan saat ini. Namun, data PODES yang digunakan adalah tahun 2003 dan
2006 karena data tahun ini adalah yang paling relevan dan dapat diperbandingkan.
Data PODES tahun 2006 diharapkan dapat mewakili keadaan pada PODES tahun
2008. Keterkaitan antara tujuan penelitian, sumber data dan teknik analisis data
tertera dalam Tabel 2.
Tabel 2. Hubungan Antara Tujuan Penelitian, Sumber Data, dan Teknik Analisis
No
Tujuan
Jenis data yang digunakan
1
Menganalisis laju
 Cita QUICKBIRD tahun
perubahan luas RTH
2003 dan 2010.
dan kecukupan
 Peta administrasi kota
rasionya terhadap
Bekasi.
jumlah penduduk di  Data jumlah penduduk
kota Bekasi.
kota Bekasi dari tahun
1997-2010 (BPS Kota
Bekasi).
2
Mengetahui laju
pertumbuhan
penduduk dan
perkembangan
wilayah di kota
Bekasi.
Sumber pengumpulan
data
 Website
earth.google.com
 BAPPEDA Kota
Bekasi
 BPS Kota Bekasi
 Data jumlah penduduk
 BPS kota Bekasi
kota bekasi tahun 1997 BAPPEDA Kota
2009.
Bekasi
 Data luas wilayah Kota
Bekasi.
 Data fasilitas pendidikan,
fasilitas ekonomi, fasilitas
kesehatan dan fasilitas
sosial Kota Bekasi
(PODES).
Teknik analisis data
 Analisis spasial
(koreksi geometri,
digitasi citra)
 Deskripsi tabel dan
grafik
 Analisis kecukupan
RTH terhadap
jumlah penduduk
berdasarkan
Peraturan Menteri
Pekerjaan Umum
Nomor:
05/PRT/M/2008
 Analisis skalogram
 Deskripsi tabel dan
grafik
19
Tabel 2. (Lanjutan)
3
4
5
Menganalisis faktor-  Data hasil analisis tujuan  BAPPEDA Kota
faktor yang
1.
Bekasi
mempengaruhi
 Laju kepadatan
 BPS Kota Bekasi
perubahan luas
penduduk.
RTH.
 Laju jumlah penduduk.
 Data fasilitas
pendidikan, fasilitas
ekonomi, fasilitas
kesehatan, fasilitas sosial
Kota Bekasi, dan
aksesibilitas ke pusat
pemerintahan (PODES).
Mengidentifikasi
 Citra QUICKBIRD
 BAPPEDA Kota
areal yang
2010.
Bekasi
berpotensi untuk di  Peta penggunaan lahan
jadikan RTH.
(2010).
 Peta RTRW kota Bekasi.
 Analisis regresi
berganda
Menyusun upaya
 RPJMD 2008-2013,
 Website:
penambahan RTH di
RTRW, Laporan
bekasikota.go.id
Kota Bekasi.
penyusunan rencana
 BAPPEDA Kota
induk penataan,
Bekasi
pengelolaan, dan
 Dinas Tata Ruang
pengendalian RTH Kota
dan Permukiman
Bekasi.
Kota Bekasi
 Analisis SWOT
 Analisis spasial
(Digitasi citra
QUICKBIRD
2010)
Peralatan yang digunakan dalam penelitian ini terdiri dari beberapa
perangkat lunak yaitu Arc GIS 9.3, ArcView GIS 3.3, Microsoft Office 2007,
Statistica 8.0 serta kamera digital, dan GPS.
3.3. Metode Penelitian
Pelaksanaan penelitian ini dibagi dalam lima tahapan, yaitu 1) Persiapan,
2) Pengumpulan Data, 3) Survei Lapang, 4) Analisis dan Interpretasi Data, 5)
Penyusunan skripsi
3.3.1. Persiapan
Pada tahapan ini dilakukan studi pustaka yang berkaitan dengan topik
penelitian dan penyelesaian perizinan untuk pengambilan data. Data penunjang
yang digunakan adalah: buku teks, berbagai jurnal atau artikel ilmiah, dan
prosiding seminar yang terkait dengan tujuan penelitian.
20
3.3.2. Pengumpulan Data
Pada tahapan ini dilakukan pengumpulan data di lapangan dan instansi
terkait yang dibutuhkan untuk penelitian. Data yang dikumpulkan terdiri dari data
spasial, data numerik, dan data pendukung hasil survai lapang. Data spasial
berupa peta RTRW, citra QUICKBIRD, Peta Administrasi Kota Bekasi, dan Peta
penggunaan lahan. Data numerik berupa data-data statistik meliputi data
demografi/jumlah penduduk, dan data jumlah fasilitas (PODES).
3.3.3. Survei Lapang
Survei lapang meliputi pengamatan penggunaan lahan berupa RTH di
Kota Bekasi dan wawancara dengan penduduk (responden) menggunakan
kuesioner tentang riwayat penggunaan lahan di beberapa titik contoh terpilih.
Pemilihan titik-titik contoh didasarkan pada perubahan penggunaan lahan RTH
menjadi penggunaan lahan lain atau sebaliknya dengan luasan relatif besar.
3.3.4. Analisis dan Interpretasi Data
Metode analisis yang digunakan adalah analisis spasial, deskripsi grafik
dan tabel, teknik pendugaan perubahan, analisis skalogram, analisis regresi
berganda dengan metode forward stepwise regression, dan analisis kecukupan
RTH berdasarkan jumlah penduduk sesuai dengan Peraturan Menteri Pekerjaan
Umum no 5 tahun 2008, dan analisis SWOT.
3.3.4.1. Penentuan Laju Perubahan Luas RTH dan Kecukupan RTH
Terhadap Jumlah Penduduk di Kota Bekasi
Laju perubahan RTH dapat diperoleh dengan melakukan analisis spasial
pada citra QUICKBIRD tahun 2003 dan 2010 yang meliputi proses koreksi
geometrik, proses digitasi visual secara on screen, dan overlay untuk
mendapatkan matrix transisi. Kecukupan RTH terhadap jumlah penduduk di Kota
Bekasi diperoleh dari analisis ketercukupan RTH berdasarkan jumlah penduduk
dengan
mengacu
05/PRT/M/2008.
pada
Peraturan
Menteri
Pekerjaan
Umum
Nomor:
21
Analisis Spasial
Proses analisis spasial meliputi proses koreksi geometrik dan proses
digitasi pada citra QUICKBIRD Kota Bekasi dan peta-peta yang dibutuhkan
dengan menggunakan Arc GIS 9.3. Koreksi geometrik bertujuan untuk merujuk
citra QUICKBIRD tersebut pada peta dasar yang telah terkoreksi secara
geometrik sehingga diperoleh citra yang sama atau mirip dengan geometri di bumi
yang sebenarnya. Proses koreksi geometrik tersebut meliputi penentuan titik-titik
kontrol tanah; penentuan sistem referensi koordinat, datum, dan jenis
transformasi; serta proses rektifikasi (Wikantika dan Agus, 2006).
Citra QUICKBIRD 2003 dan 2010 yang telah dikoreksi kemudian
diinterpretasi secara visual berdasarkan kenampakan penutupan lahan khususnya
kenampakan RTH. Proses interpretasi ini disebut dengan interpretasi secara
manual. Interpretasi secara manual adalah interpretasi data penginderaan jauh
yang mendasarkan pada pengenalan ciri/karakteristik objek secara keruangan.
Karakteristik objek dapat dikenali berdasarkan pada sembilan unsur interpretasi
yaitu bentuk, ukuran, pola, bayangan, rona/warna, tekstur, situs, asosiasi, dan
konvergensi bukti (Lillesand dan Kiefer, 1990). Digitasi dilakukan secara on
screen menggunakan Arc GIS 9.3 sehingga menghasilkan peta RTH tahun 2003
dan 2010. Digitasi on screen merupakan proses pengubahan data grafis digital
dalam struktur data vektor yang disimpan dalam bentuk point, line, atau, area.
Interpretasi kenampakan RTH pada penelitian ini adalah sebagai berikut:
a. RTH jalur hijau jalan.
Karakteristik visual: berwarna hijau, memanjang membentuk jalur atau
berbentuk pulau dengan pola teratur, berasosiasi dengan jalan kota dan
jalan tol.
b. RTH sempadan sungai
Karakteristik visual: berwarna hijau, bentuknya seperti jalur memanjang
mengikuti pola sungai yang berkelok-kelok, berasosiasi dengan sungai,
dan tekstur agak kasar
c. RTH olahraga
Karakteristik visual: berwarna hijau, berbentuk mengelompok dan
berasosiasi dengan lapangan olahraga.
22
d. RTH tempat pemakaman umum
Karakteristik visual: berbentuk mengelompok, berasosiasi dengan vegetasi
berwarna hijau hijau, terdapat titik-titik berwarna putih (nisan), pola tidak
teratur, dan tekstur agak kasar.
e. RTH Taman
Karakteristik visual: berwarna hijau, berbentuk mengelompok dengan
luasan tertentu, dan teratur, terletak di tengah kota.
f. RTH privat.
Karakteristik
visual:
berwarna
hijau,
bentuknya tidak
beraturan,
berasosiasi dengan bangunan/permukiman, dan polanya tidak teratur.
Hasil digitasi dari kedua citra tersebut akan menghasilkan data mengenai
luas RTH tahun 2003, luas RTH tahun 2010, dan perubahan luas RTH selama
periode 2003-2010. Untuk memperoleh matrix transisi, dilakukan proses tumpang
tindih (overlay) dengaan peta-peta yang dibutuhkan. Dari hasil matriks ini akan
diperoleh hasil yang kemudian digunakan sebagai data analisis selanjutnya.
Analisis Kecukupan RTH terhadap Jumlah Penduduk Berdasarkan Peraturan
Menteri Pekerjaan Umum Nomor: 05/PRT/M/2008
Luas RTH yang dibutuhkan ditentukan berdasarkan jumlah penduduk,
yaitu dilakukan dengan mengalikan antara jumlah penduduk dengan standar luas
RTH per penduduk. Kebutuhan RTH kota berdasarkan jumlah penduduk
ditetapkan berdasarkan pada Peraturan Menteri Pekerjaan Umum Nomor:
05/PRT/M/2008 tentang Pedoman Penyediaan dan Pemanfaatan RTH di Kawasan
Perkotaan, yaitu dengan total 20 m2/penduduk sebagaimana tertera pada Tabel 1
pada Bab Tinjauan Pustaka. Persamaan untuk menentukan luas RTH berdasarkan
jumlah penduduk adalah sebagai berikut:
𝐑𝐓𝐇 𝐩𝐢 = 𝐏𝐢 × 𝐤
......
m2/orang
Keterangan:
k = Nilai ketentuan luas RTH per penduduk berdasarkan Permen PU no
05/PRT/M/2008.
Pi = Jumlah penduduk pada wilayah i.
23
3.3.4.2. Penetuan Laju Pertumbuhan
Wilayah di Kota Bekasi
Penduduk
dan
Perkembangan
Laju pertumbuhan penduduk diperoleh dengan melakukan analisis
pendugaan perubahan dan analisis deskripsi dan tabel sedangkan perkembangan
wilayah Kota Bekasi di perolah dengan melakukan analisis skalogram sederhana.
Analisis Skalogram
Metode
ini
digunakan
untuk
mengetahui
hirarki
pusat-pusat
pengembangan dan sarana/prasarana pembangunan yang ada di suatu wilayah.
Penetapan hirarki pusat-pusat pertumbuhan dan pelayanan tersebut didasarkan
pada jumlah jenis dan jumlah unit sarana dan prasana pembangunan dan fasilitas
pelayanan sosial ekonomi yang tersedia. Metode ini memberikan hirarki yang
lebih tinggi pada wilayah yang mempunyai perkembangan lebih maju, yaitu yang
memiliki jumlah jenis dan jumlah unit sarana/prasarana pembangunan yang lebih
banyak. Metode ini lebih menekankan kriteria kuantitatif dibandingkan kriteria
kualitatif yang menyangkut derajat fungsi sarana/prasarana pembangunan,
distribusi penduduk, dan jangkauan pelayanan sarana prasarana pembangunan.
Penentuan tingkat perkembangan wilayah dibagi menjadi tiga, yaitu:

Hirarki I, jika perkembangan wilayah ke-j ≥ (rataan jumlah jenis
fasilitas wilayah ke -j+ simpangan baku jumlah jenis fasilitas ke-j).

Hirarki
II,
jika
rataan
jumlah
jenis
fasilitas
wilayah
ke-
j<=perkembangan wilayah ke-j<( rataan jumlah jenis fasilitas wilayah
ke -j+ simpangan baku jumlah jenis fasilitas ke-j).

Hirarki III, jika perkembangan wilayah ke-j < rataan jumlah jenis
fasilitas wilayah ke-j.
Data yang digunakan dalam analisis skalogram sederhana ini adalah data
fasilitas ekonomi, fasilitas pendidikan, fasilitas kesehatan, dan fasilitas sosial
sebagaimana tertera dalam Tabel 3.
24
Tabel 3. Variabel-variabel Analisis Skalogram Sederhana
No
Jenis fasilitas
1
Fasilitas pendidikan
2
Fasilitas ekonomi
3
Fasilitas kesehatan
4
Variabel
Jumlah TK
Jumlah SD
Jumlah SLTP
Jumlah SMU
Jumlah SMK
Jumlah PT
Jumlah Wartel
Jumlah Warnet
Jumlah Toko
Jumlah Supermarket
Jumlah tempat makan
Jumlah Penginapan
Jumlah Industri Kerajinan
Jumlah Bank Umum
Jumlah Koperasi
Jumlah Rumah Sakit
Jumlah RSB
Jumlah Poliklinik
Jumlah Puskesmas
Jumlah Puskesmas Pembantu
Jumlah Posyandu
Jumlah Apotik
Jumlah Tempat Praktek Dokter
Jumlah Tempat Praktek Bidan
Jumlah Tempat Peribadatan
Fasilitas sosial
Jumlah Variabel
Jumlah
6
9
9
1
25
Teknik Pendugaan Perubahan
Perubahan secara sistematis dapat diduga dari fungsi pertumbuhan dan
peluruhan. Teknik ini dapat digunakan untuk menduga pertumbuhan ataupun
peluruhan seiring dengan waktu, ukuran atau jarak dari posisi referensi. Rumus
matematis dari teknik pendugaan perubahan adalah:
𝐏𝐞𝐫𝐭𝐮𝐦𝐛𝐮𝐡𝐚𝐧 =
Xto = nilai variabel tahun awal
Xt1 = nilai variabel tahun akhir
𝑿𝒕ı − 𝑿𝒕𝒐
𝑿𝒕𝐨
25
Deskripsi Grafik dan Tabel
Analisis ini merupakan penjabaran data secara deskriptif melaui tabel atau
pun grafik. Melalui metode ini dapat diketahui keadaan wilayah, pola perubahan
ruang terbuka hijau, laju hubungan peluruhan/pertumbuhan ruang terbuka hijau,
laju pertumbuhan penduduk, dan kecukupan RTH kota dengan jumlah penduduk.
3.3.4.3. Menganalisis Faktor-faktor Penentu Perubahan Luas RTH
Faktor-faktor yang mempengaruhi perubahan luas RTH yang terjadi di
Kota Bekasi dilakukan melalui analisis regresi berganda dengan metode forward
stepwise regression. Analisis ini dipilih karena terdapat banyak faktor yang
mempengaruhi dalam menentukan faktor-faktor yang mempengaruhi perubahan
luas RTH. Metode forward stepwise regression dipilih karena jumlah yang
digunakan banyak dan berpeluang asumsi tidak saling berkorelasinya antar
vaiabel bebas tidak akan dapat dipenuhi.
Analisis Regresi Berganda
Regresi berganda adalah suatu metode analisis yang digunakan untuk
menganalisis hubungan antara variabel tujuan (dependent variable) dengan
bebrapa variabel penduga (independent variable). Sasaran dari metode regresi
berganda adalah penggunaan variabel penduga untuk memprediksi variabel
tujuan. Dengan kata lain analisis regrasi berganda digunakan untuk menduga nilai
suatu parameter regresi berdasarkan data yang diamati. Model yang dihasilkan
dapat digunakan sebagai penduga yang baik jika asumsi-asumsi berikut dapat
dipenuhi:
a. E (ei) = 0 untuk setiap i; dimana i = 1,2,...,n; artinya rata-rata galat adalah
nol
b. Kov (ei,ej) = 0, i ≠ j, artinya kovarian pengamatan ke-i dan ke-j = 0,
dengan kata lain tidak ada autokorelasi antara galat pengamatan yang satu
dengan yang lain.
c. Var (ei2) = σ2; untuk setiap i dimana i = 1,2,...,n; artinya setiap galat
pengamatan memiliki ragam yang sama.
26
d. Kov (ei,x1i) = Kov (ei,x2i) = 0; artinya kovarian setiap galat pengamatan
dengan setiap variabel bebas yang tercakup dalam persamaan linier
berganda sama dengan nol.
e. Tidak ada multikolinearitas; artinya tidak ada hubungan linier yang eksak
antara variabel-variabel penjelas, atau variabel penjelas harus saling bebas.
f. Ei ≈ N (0;σ), galat pengamatan menyebar normal dengan rata-rata nol dan
ragam σ2.
Persamaan (model) yang akan dihasilkan adalah:
Y = A0+A1X1+.............+AnXn
Dimana:
Y = Luas perubahan RTH 2003-2010 (ha)
X = Variabel bebas sebagaimana disajikan dalam Tabel 4.
A = Koefisien variabel
Tabel 4. Variabel Bebas Pada Analisis Regresi Berganda
No
1
No
11
Variabel bebas
Jarak ke fasilitas kesehatan (km)
12
Jarak ke fasilitas sosial (km)
13
Alokasi rth dalam RTRW (ha)
14
Luas RTH tahun 2003 (ha)
15
16
*Dummy1 (hirarki)
*Dummy2 (hirarki)
7
Variabel bebas
Perubahan jumlah penduduk 20032009 (jiwa)
Perubahan jumlah fasilitas pendidikan
(unit)
Perubahan jumlah fasilitas ekonomi
(unit)
Perubahan jumlah fasilitas kesehatan
(unit)
Perubahan jumlah fasilitas sosial (unit)
Jarak ke kecamatan yang membawahi
(km)
Jarak ke pusat kota (km)
17
8
Jarak terdekat ke kota lain (km)
18
9
10
Jarak ke fasilitas pendidikan (km)
Jarak ke fasilitas ekonomi (km)
19
20
Perubahan luas lahan terbangun 20032010 (ha)
Perubahan luas lahan kosong 20032010 (ha)
Luas Lahan terbangun tahun 2003 (ha)
Luas lahan kosong tahun 2003 (ha)
2
3
4
5
6
Keterangan: *= hirarki wilayah: hirarki 1 (dummy 1=0, dummy 2=1); hirarki 2 (dummy 1=1, dummy 2=0);
hirarki 3 (dummy 1=1, dummy 2=1).
Dalam analisis regresi berganda ini diasumsikan bahwa Kota Bekasi tidak
mengalami pemekaran sehingga unit analisis ini memakai 10 kecamatan
sebagaimana kondisi administratif Kota Bekasi sebelum adanya pemekaran.
27
3.3.4.4. Mengidentifikasi Areal Yang Berpotensi Untuk RTH
Mengidentifikasi areal yang berpotensi untuk dikembangkan menjadi RTH
dilakukan dengan analisis spasial, yaitu melalui proses digitasi visual secara on
screen pada citra QUICKBIRD 2010 berdasarkan kondisi eksisting penggunaaan
lahan Kota Bekasi berupa lahan kosong yang mempunyai luasan cukup besar.
Proses digitasi tersebut juga didasarkan pada peta penggunaan lahan 2010 untuk
menghindari kemungkinan kesalahan interpretasi. Hasil dari digitasi tersebut
berupa peta arahan areal pertambahan RTH. Peta arahan areal pertambahan RTH
tersebut kemudian di overlay dengan peta administrasi wilayah Kota Bekasi
sehingga dihasilkan luasan areal arahan pertambahan RTH per kecamatan.
Luas areal arahan pertambahan RTH per kecamatan yang diperoleh dari
hasil digitasi kemudian dijumlahkan dengan RTH eksisting tahun 2010 untuk
dihubungkan dengan luas kebutuhan RTH tahun berdasarkan jumlah penduduk
tahun 2010. Dari hubungan tersebut dapat diketahui apakah luas areal
pertambahan RTH tersebut dapat memenuhi kebutuhan RTH berdasarkan jumlah
penduduk atau tidak. Perhitungan ini dilakukan dengan analisis deskripsi grafik
dan tabel.
3.3.4.5. Menyusun Upaya Penambahan RTH di Kota Bekasi
Untuk menyusun upaya-upaya penambahan RTH yang tepat, maka dalam
penelitian ini menggunakan analisis SWOT. Dalam analisis SWOT ini dilakukan
identifikasi faktor internal dan dan faktor eksternal yang berpengaruh terhadap
pengadaan dan pengelolaan RTH di Kota Bekasi.
Analisis SWOT
Penyusunan upaya-upaya penambahan RTH di kota Bekasi dilakukan
berdasarkan analisis SWOT (Strengths, Weaknesses, Opportunities, Threats).
Analisis SWOT adalah identifikasi berbagai faktor secara sistematik untuk
merumuskan strategi yang tepat. Analisis didasarkan pada logika yang dapat
memaksimalkan kekuatan (Strengths) dan Peluang (Opportunities), namun secara
bersamaan meminimalkan kelemahan (Weaknesses) dan ancaman (Threats).
Perencana strategis harus menganalisis faktor-faktor strategis (kekuatan,
28
kelemahan, peluang, dan ancaman) dalam kondisi saat ini yang disebut dengan
analisis situasi (Iskandarini, 2004). Berdasarkan analisis situasi akan terbentuk
matrix yang menghasilkan empat set kemungkinan alternatif strategi sebagaimana
ditunjukkan pada Tabel 5.
Tabel 5. Matriks SWOT
Internal
Eksternal
Opportunities (O)
Tentukan faktor-faktor
peluang eksternal
Threats (T)
Tentukan faktor-faktor
ancaman eksternal

Strengths (S)
Weakness (W)
Tentukan faktor-faktor
kekuatan internal
Tentukan faktor-faktor
kelemahan internal
Strategi SO
Strategi yang menggunakan
kekuatan untuk memanfaatkan
peluang
Strategi ST
Strategi yang menggunakan
kekuatan untuk mengatasi
ancaman
Strategi WO
Strategi yang meminimalkan
kelemahan untuk
memanfaatkan peluang
Strategi WT
Strategi yang meminimalkan
kelemahan dan menghindari
ancaman
Strategi SO
Strategi ini dibuat dengan memanfaatkan seluruh kekuatan untuk
memanfaatkan peluang sebesar-besarnya

Strategi ST
Strategi ini menggunakan kekuatan yang dimiliki untuk mengatasi
ancaman

Strategi WO
Strategi ini diterapkan berdasarkan pemanfaatan peluang yang ada dengan
cara meminimalkan kelemahan yang ada.

Strategi WT
Strategi ini didasarkan ppada kegiatan yang bersifat defensif dan berusaha
meminimalkan kelemahan yang ada serta menghindari ancaman.
3.3.5. Penyusunan skripsi
Penyusunan skripsi dilakukan dengan menggunakan hasil analisis data dan
interpretasinya serta data-data dan informasi-informasi pendukung lainnya
BAB IV
KONDISI UMUM DAERAH PENELITIAN
4.1. Sejarah Kota Bekasi
Berdasarkan Undang-Undang No 14 Tahun 1950, terbentuk Kabupaten
Bekasi. Kabupaten bekasi mempunyai 4 kawedanan, 13 kecamatan, dan 95 desa.
Kecamatan Bekasi yang merupakan salah satu kecamatan di Kabupaten Bekasi
mempunyai perkembangan yang pesat. Pesatnya perkembangan Kabupaten
Bekasi
menuntut
adanya pemekaran Kecamatan Bekasi
menjadi
Kota
Administratif Bekasi. Pembentukan Kota Administratif ini di tuangkan dalam
Peraturan Pemerintah Nomor 48 Tahin 1981. Pada awal pembentukan ini Kota
Administratif Bekasi hanya terdiri dari 4 kecamatan, yaitu kecamatan Bekasi
Timur, Kecamatan Bekasi Barat, Kecamatan Bekasi Utara, dan Kecamatan Bekasi
Selatan yang meliputi 18 kelurahan dan 8 desa. Peresmian Kota Administratif
Bekasi dilakukan oleh Menteri Dalam Negeri pada tanggal 20 April 1982 dengan
walikota pertama adalah H. Soedjono.
Pada
perkembangannya,
Kota
Administratif
Bekasi
mengalami
Perkembangan yang cukup pesat. Oleh karena itu, status Kota Administratif
Bekasi diubah menjadi Kotamadya (Kota) Bekasi. Hal ini diatur dalam UndangUndang Nomor 9 Tahun 1996 (http://bekasikota.go.id).
4.2. Wilayah Administrasi
Sesuai dengan Perda Kota Bekasi Nomor 4 tahun 2004 tentang
pembentukan wilayah Administrasi Kecamatan dan Kelurahan, Kota Bekasi
terbagi atas 12 kecamatan yang terdiri dari 56 kelurahan. Sebelum mengalami
pemekaran pada tahun 2005, Kota Bekasi memiliki 10 kecamatan yang terdiri dari
52 kelurahan. Kota Bekasi mempunyai luas wilayah sekitar 210,49 km2, dengan
Kecamatan Mustika Jaya sebagai wilayah yang terluas (24,73 km2) sedangkan
Kecamatan Bekasi Timur sebagai wilayah terkecil (13,49 km2). Wilayah
administrasi Kota Bekasi sebelum dan setelah mengalami pemekaran tertera pada
Gambar 2 (a) dan Gambar 2 (b).
30
Batas-batas wilayah administrasi wilayah kota bekasi adalah:
Sebelah Utara
: Kabupaten Bekasi
Sebelah Selatan
: Kabupaten Bogor
Sebelah Barat
: Kota Jakarta Timur
Sebelah Timur
: Kabupaten Bekasi
(a)
(b)
Gambar 2. Wilayah Administrasi Kota Bekasi Sebelum (a) dan Setelah Pemekaran (b)
4.3. Kondisi Geografis
Secara geografi Kota Bekasi berada pada posisi 106055‟ Bujur Timur dan
607‟-6015‟ Lintang Selatan, dengan ketinggian 19 m di atas permukaan laut.
Letak Kota Bekasi yang sangat strategis merupakan keuntungan bagi kota Bekasi
terutama dari segi komunikasi dan perhubungan. Kemudahan dan kelengkapan
sarana dan prasarana transportasi di Kota Bekasi menjadi salah satu daerah
penyeimbang DKI Jakarta (BAPPEDA Kota Bekasi, 2010).
31
4.4. Topografi
Wilayah Kota Bekasi terletak pada ketinggian rata-rata kurang 25 m di
atas permukaan air laut. Ketinggian kurang dari 25 meter berada pada Kecamatan
Bekasi Utara, Bekasi Selatan, Bekasi Timur, dan Pondok Gede, sedangkan
ketinggian antara 25-100 meter di atas permukaan air laut berada di Kecamatan
Bantargebang, Jatiasih dan Jatisampurna (BAPPEDA Kota Bekasi, 2005).
4.5. Iklim
Sepanjang tahun 2009 keadaan di Kota Bekasi cenderung panas, curah
hujan tertinggi terjadi pada bulan Januari dan Februari yaitu masing-masing
tercatat 311 mm dan 302 mm dengan hari hujan masing-masing 10 hari. Jumlah
hujan terendah terjadi pada bulan Juli sebesar 0 mm, dengan kata lain tidak ada
hari hujan sama sekali. Jumlah curah hujan yang tercatat sepanjang tahun 2009
adalah 1.518 mm (BAPPEDA Kota Bekasi, 2010).
4.6. Morfologi
Keadaan morfologi wilayah Kota Bekasi umumnya relatif datar dengan
kemiringan lahan bervariasi antara 0-2%. Wilayah Kota Bekasi tidak terdapat
bukit dan secara keseluruhan kondisi morfologi lahannya adalah datar yang
menyebar pada seluruh wilayah kecamatan di Kota Bekasi (BAPPEDA Kota
Bekasi, 2005).
4.7. Hidrologi
Wilayah Kota Bekasi dialiri 3 (tiga) sungai utama yaitu Sungai Cakung,
Sungai Bekasi dan Sungai Sunter, beserta anak-anak sungainya. Sungai Bekasi
mempunyai hulu di Sungai Cikeas yang berasal dari gunung dengan ketinggian
kurang lebih 1.500 meter dari permukaan air laut.
Air permukaan yang terdapat di wilayah Kota Bekasi meliputi sungai/kali
Bekasi dan beberapa sungai/kali kecil serta saluran irigasi Tarum Barat yang
selain digunakan untuk mengairi sawah juga merupakan sumber air baku bagi
kebutuhan air minum wilayah Bekasi (kota dan kabupaten) dan wilayah DKI
Jakarta. Kondisi air permukaan kali Bekasi saat ini tercemar oleh limbah industri
32
yang terdapat di bagian selatan wilayah Kota Bekasi (industri di wilayah
Kabupaten Bogor).
Kondisi air tanah di wilayah Kota Bekasi sebagian cukup potensial untuk
digunakan sebagai sumber air bersih terutama di wilayah selatan Kota Bekasi,
tetapi untuk daerah yang berada di sekitar TPA Bantargebang kondisi air tanahnya
kemungkinan besar sudah tercemar. Kondisi air tanah yang terdapat di Bekasi
Timur sebagian mengandung zat besi (BAPPEDA Kota Bekasi, 2005).
4.8. Jenis Tanah dan Geologi
Struktur geologi wilayah Kota Bekasi didominasi oleh pleistocene
volcanik facies. Struktur aluvium menempati sebagian kecil wilayah Kota Bekasi
bagian utara sedangkan struktur miocene sedimentary facies terdapat di bagian
timur wilayah Kota Bekasi sepanjang perbatasan dengan DKI Jakarta.
Kedalaman efektif tanah sebagian besar di atas 91 cm. Jenis tanah latosol
dan aluvial, serta tekstur tanah didominasi tekstur sedang dan halus. Komposisi
perbandingan berdasarkan luasnya adalah: tekstur halus seluas 17.260 ha (82%),
tekstur sedang seluas 3.368 ha (16%) dan tekstur kasar seluas 421 ha (2%)
(BAPPEDA Kota Bekasi, 2005).
4.9. Kondisi Sosial Ekonomi
Berdasarkan hasil pencacahan sensus penduduk 2010, jumlah penduduk
kota Bekasi angka sementara adalah 2.336.498 orang, yang terdiri1.182.496 lakilaki dan 1.153.993 perempuan. Penyebaran penduduk kota Bekasi masih di
dominasi di empat kecamatan dengan jumlah penduduk terbanyak yaitu
Kecamatan Bekasi Utara sebanyak 310.198 orang (13,28%), Bekasi Barat
sebanyak 270.569 orang (11,58%), Bekasi Timur sebanyak 248.046 orang
(10,62%), dan Kecamatan Pondok Gede sebanyak 246.413 orang (10,55%).
Perbandingan penduduk laki-laki dan perempuan di Kota Bekasi adalah sebesar
102, yang artinya jumlah penduduk laki-laki 2% lebih banyak dibandingkan
jumlah penduduk perempuan. Dengan luas wilayah 210,49 km2 yang didiami oleh
2.336.489 orang, maka rata-rata tingkat kepadatan penduduk Kota Bekasi adalah
sebesar 11.100 jiwa per km2. Wilayah yang paling padat penduduknya adalah
33
Kecamatan Bekasi Timur dimana Kepadatannya mencapai 18.387 jiwa per km2
pada tahun 2010, sedangkan yang paling rendah kepadatan penduduknya adalah
kecamatan Bantargebang yaitu 5.631 jiwa per km2 (BPS Kota Bekasi, 2010).
Upaya perbaikan di bidang pendidikan dilakukan melalui pengadaan
sarana dan prasarana serta menyelenggarakan berbagai program pendidikan untuk
meningkatkan kualitas guru. Jumlah sekolah dan guru bertambah tiap tahunnya.
Data terakhir tercatat terdapat 773 SD/MI dengan jumlah guru 6.542 orang, 292
SLTP/MTs dengan jumlah guru 5.734 orang, 123 SMU/MA dengan jumlah guru
3.240 orang, dan 91 SMK dengan jumlah guru 1.922 orang.
Seiring dengan meningkatnya jumlah penduduk, jumlah tenaga kerja pun
turut meningkat. Berdasarkan catatan Dinas Tenaga Kerja dan Transmigrasi Kota
Bekasi, jumlah pencari kerja terdaftar pada tahun 2008 sebesar 42.376 orang
sedangkan pada tahun 2009 sebesar 45.316 orang. Sebagian besar pekerja tersebut
adalah
mereka
yang
berpendidikan
SLTA
yaitu
28.311
orang
dan
Akademi/Universitas sekitar 14.968 orang (Dinas Tenaga Kerja Kota Bekasi,
2010).
Sektor industri masih merupakan sektor yang memberikan kontribusi
terbesar terhadap pendapatan daerah Kota Bekasi. Pada tahun 2009 jumlah
perusahaan Industri Besar dan Sedang di Kota Bekasi berjumlah 221. Secara
keseluruhan jumlah pekerja di sektor Industri Besar dan Sedang berjumlah 52.669
orang pada tahun 2009, dengan jumlah tenaga kerja di sub sektor Industri
makanan dan minuman menempati jumlah pekerja tertinggi yaitu 8.910 pekerja
(Dinas Tenaga Kerja Kota Bekasi, 2010).
Dilihat dari struktur penduduk menurut mata pencaharian di Kota Bekasi,
dapat diidentifikasikan jumlah penduduk yang bekerja pada tahun 2000 adalah
sebesar 710.741 jiwa atau 42,72% dari jumlah penduduk Kota Bekasi. Pada tahun
2004 mengalami pengurangan yaitu sebesar 651.090 jiwa atau 34,01% dari
jumlah penduduk Kota Bekasi. Jika dilihat dari jenis pekerjaannya pada tahun
2004 maka sektor yang banyak menyerap pekerjaan adalah industri pengolahan
yaitu 193.822 jiwa atau 29,77% diikuti dengan jasa-jasa 151.324 (23,24%),
perdagangan, hotel, dan restoran 127.866 (19,64), dan pengangkutan 86.488
34
(13,28), sedangkan sisanya seperti pertanian, pertambangan, bangunan, bank,
mempunyai proporsi yang kecil (dibawah 5%).
4.10. Rencana Tata Ruang Wilayah Kota Bekasi (2000-2010)
Secara umum, pengembangan kawasan terbangun di Kota Bekasi
diarahkan untuk menarik perkembangan fisik kota ke bagian Selatan yang selama
ini belum terbangun sehingga dapat mewadahi kegiatan-kegiatan fungsional kota
yang akan dikembangkan, baik perumahan, perdagangan dan jasa serta industri.
Pada bagian Utara (dari jalan tol Jakarta-Cikampek) lebih merupakan pemantapan
terhadap fungsi-fungsi yang telah ada.
Pengembangan struktur tata ruang Kota Bekasi diarahkan terbentuknya
empat wilayah pengembangan (WP) atau bagian wilayah kota (BWK), yaitu:
BWK Pusat kota (Bekasi Timur, Bekasi Barat, Bekasi Selatan, Bekasi Utara),
BWK Pondok Gede (Pondok Gede dan Jati Asih), BWK Bantar Gebang (Bantar
Gebang dan sekitarnya), BWK Jati Sampurna (Jati Sampurna).
Secara umum pengembangan perumahan di Kota Bekasi diarahkan pada
terbentuknya kawasan-kawasan perumahan baru yang didasarkan pada intensitas
pemanfaatan lahannya. Perumahan kepadatan tinggi dikembangkan terutama di
BWK Pusat Kota dan sebagian BWK Pondok Gede yang selama ini sudah
Berkembang. Perumahan Kepadatan sedang dikembangkan di sebagian BWK
Pondok Gede, sebagian BWK Bantar Gebang, dan sebagian BWK Jati Sampurna.
Perumahan Kepadatan rendah dikembangkan di sebagian BWK Bantar Gebang
dan sebagian BWK Jati Sampurna.
Secara spasial, pemanfaatan ruang kawasan terbangun di Kota Bekasi
yang dikembangkan pada masa yang akan datang mempunyai pola pemanfaatan
ruang yang berbeda yaitu:
1. Pola perkembangan linear (koridor) Barat-Timur pada BWK Pusat
Kota dan BWK Pondokgede dengan intensitas pemanfaatan ruang
yang makin tinggi ke Pusat Kegiatan Kota yang selama ini telah
berkembang. Pola pemanfaatan ruang pada kawasan ini menjadi
kesatuan yang tak terpisahkan dari perkembangan poros barat-timur
dalam wilayah Jabotabek, yang menjadikan jaringan jalan arteri
35
primer yang menghubungkan Pusat Kota Bekasi dengan DKI Jakarta
dan Pusat Kota Bekasi dengan Cikarang sebagai porosnya.
2. Pola linear Utara-Selatan diterapkan pada BWK Bantar Gebang dan
Jati Sampurna. Dalam hal ini jaringan jalan kolektor yang ada pada
kedua BWK tersebut merupakan poros perkembangan kawasan
terbangun kota. Di BWK Jatisampurna (koridor PondokgedeJatisampurna), kawasan perdagangan dan jasa dikembangkan sejalan
dengan pengembangan kawasan-kawasan perumahan baru yang
menggunakan koridor tersebut sebagai akses utamanya. Di BWK
Bantar Gebang, kegiatan industri akan menjadi penarik perkembangan
linear pada koridor Selatan tersebut yang diikuti oleh perdagangan dan
jasa untuk melayani kebutuhan lokal kawasan-kawasan perumahan
yang dikembangkan di sekitarnya.
Pola pemanfaatan ruang kawasan/ruang terbuka hijau di Kota Bekasi
ditujukan untuk meningkatkan mutu lingkungan hidup perkotaan yang nyaman,
segar, indah, bersih dan sebagai sarana pengaman lingkungan perkotaan, serta
menciptakan keserasian lingkungan alam dan lingkungan binaan yang berguna
untuk
kepentingan
masyarakat.
Kawasan
hijau
pertamanan
kota
pengembangannya diarahkan secara tersebar dikaitkan dengan peruntukan pada
kawasan terbangun kota sehingga tercipta keserasian dan keseimbangan
lingkungan. Kawasan hijau rekreasi dan olahraga (lapangan olah raga)
pengembangannya diarahkan tersebar sesuai dengan jenis dan skala pelayanannya.
Kawasan hijau pemakaman pengembangannya diarahkan pada bagian Selatan
kota (BWK Bantar Gebang dan Jati Sampurna). Kawasan hijau jalur hijau
pengembangannya diarahkan sepanjang jalur sungai (berfungsi sebagai garis
sempadan sungai) jalan utama kota dan jalur rel kereta api. Kawasan hijau
pekarangan pengembangannya diarahkan pada kawasan perumahan kepadatan
sedang dan perumahan berkepadatan rendah (BAPPEDA Kota Bekasi, 2005).
BAB V
HASIL DAN PEMBAHASAN
5.1.
Analisis Laju Perubahan RTH Kota Bekasi Tahun 2003-2010
Laju perubahan RTH di Kota Bekasi dianalisis berdasarkan hasil digitasi
Citra QUICKBIRD 2003 dan 2010. Tabel 6 menunjukkan dinamika perubahan
luas RTH di Kota Bekasi tahun 2003-2010.
Tabel 6. Dinamika Perubahan Luas RTH di Kota Bekasi Tahun 2003-2010
Kecamatan
Bekasi Barat
Bekasi Selatan
Bekasi Timur
Bekasi Utara
Jati Asih
Medan Satria
Rawalumbu
Jati Sampurna
Pondok Gede
Pondok Melati
Bantar Gebang
Mustika Jaya
Jumlah
RTH
2003
(ha)
143,38
173,35
107,17
110,57
540,85
64,20
193,10
475,84
258,67
*
995,51
*
3062,64
%
RTH
2010
(ha)
%
4,68
5,66
3,50
3,61
17,66
2,10
6,31
15,54
8,45
*
32,51
*
100,00
106,50
139,80
97,30
90,74
411,84
67,12
174,75
321,90
105,92
126,82
366,58
538,32
2547,59
4,18
5,49
3,82
3,56
16,17
2,63
6,86
12,64
4,16
4,98
14,39
21,13
100,00
Luas
Perubahan
RTH (ha)
-36,88
-33,54
-9,87
-19,83
-129,01
2,92
-18,35
Laju Perubahan
RTH 20032007 (per
tahun)
-0,04
-0,03
-0,01
-0,03
-0,03
0,01
-0,01
**-179,87
**-0,03
***-90,61
***-0,01
-515,05
-0,02
Keterangan: *=kecamatan pemekaran dari kecamatan urutan sebelumnya; **=dihitung dari penjumlahan
Kecamatan Jati Sampurna, Pondok Gede, dan Pondok Melati; ***=dihitung dari penjumlahan
Kecamatan Bantar Gebang dan Mustika Jaya.
Pada tahun 2003, luasan RTH di Kota Bekasi sebesar 3.062,64 ha,
sedangkan luasan RTH pada tahun 2010 sebesar 2.547,59 ha. Terjadi penurunan
luas RTH di Kota Bekasi selama tahun 2003 hingga 2010 sebesar 515,05 ha.
Penurunan luas RTH ini salah satunya disebabkan oleh peningkatan jumlah
penduduk sehingga lahan-lahan RTH privat terutama lahan-lahan kebun campuran
milik warga digunakan untuk pembangunan perumahan. RTH publik yang berupa
jalur hijau jalan, taman, dan jalur hijau sempadan sungai luasannya bertambah
namun dengan luasan relatif kecil sehingga tidak mampu mengkompensasi
penurunan luasan RTH privat yang telah terpakai.
Laju perubahan RTH Kota Bekasi dari tahun 2003 hingga 2010 negatif
sebesar -2% tiap tahunnya. Dari nilai tersebut diketahui bahwa dari tahun 2003
37
hingga 2010 telah terjadi penurunan luas RTH setiap tahun. Kecamatan yang
mengalami laju pengurangan RTH paling tinggi setiap tahunnya adalah
Kecamatan Bekasi Barat (-4%). Hal ini diduga karena Kecamatan Bekasi Barat
mempunyai pekembangan wilayah yang cepat karena kecamatan ini merupakan
salah satu pusat kegiatan kota sehingga lahan RTH juga cepat terkonversi menjadi
penggunaan lain. Kecamatan Medan Satria memiliki laju perubahan RTH bernilai
positif yaitu 1% per tahun. Hal ini menunjukkan bahwa kecamatan tersebut
mengalami peningkatan luasan RTH. Peningkatan luasan RTH di Medan Satria
terjadi karena terbangunnya Banjir Kanal Timur (BKT), sehingga di sekitar BKT
difungsikan sebagai RTH. Untuk mengkonsistenkan satuan di wilayah yang
mengalami pemekaran pada tahun 2004, maka di wilayah pemekaran tersebut
perhitungan laju perubahan luas RTH disatukan. Pada gabungan Kecamatan
Pondok Gede, Pondok Melati, dan Jati Sampurna, laju perubahan RTH yang
terjadi negatif sebesar -3% per tahun. Laju penurunan RTH tersebut terjadi karena
perubahan penggunaan lahan RTH terutama RTH privat milik warga menjadi
jalan tol. Laju perubahan RTH di Bantar Gebang dan Mustika Jaya juga dihitung
secara bersama menghasilkan laju perubahan RTH sebesar -1% per tahun.
Pada tahun 2003 kecamatan yang memiliki RTH terbesar adalah
Kecamatan Bantar Gebang dengan luasan sebesar 995,51 ha kemudian diikuti
oleh kecamatan jati asih dengan luas RTH sebesar 540,85 ha. Luasan RTH terkecil
dimiliki oleh Kecamatan Medan Satria dengan luasan sebesar 64,20 ha.
Kecamatan Bantar Gebang memiliki luasan RTH terbesar diduga karena masih
banyak RTH terutama RTH privat berupa kebun-kebun milik warga yang
dilestarikan. Selain itu, Kecamatan Bantar Gebang memiliki kepadatan penduduk
yang rendah dibandingkan dengan kecamatan-kecamatan lain. Lokasi kecamatan
yang berada di luar dan berbatasan dengan Kabupaten Bogor serta kurang
berkembangnya aksesibilitas menyebabkan laju perkembangan wilayah kurang
pesat sehingga laju pertumbuhan fasilitas tidak terlalu cepat. Kecamatan Medan
Satria memiliki luas wilayah yang relatif kecil dibandingkan dengan luas wilayah
kecamatan lain, sehingga luasan RTH yang ada juga kecil. Selain itu, kecamatan
ini berbatasan dengan wilayah Jakarta Timur sehingga memiliki perkembangan
38
wilayah yang tinggi yang bisa mengakibatkan beralihnya penggunaan lahan RTH
menjadi penggunaan lahan terbangun.
Pada tahun 2010 kecamatan yang memiliki luasan RTH terbesar adalah
Kecamatan Jati Asih dengan luasan sebesar 411,84 ha dan yang terkecil adalah
Kecamatan Medan Satria. Meskipun terjadi peningkatan luas RTH di Kecamatan Medan
Satria namun kecamatan ini tetap memiliki proporsi RTH yang kecil dibandingkan
dengan kecamatan lainnya. Peta sebaran RTH tahun 2003 dan 2010 tertera pada
Gambar 3 dan 4. Gambar 5 menunjukkan RTH di Kota Bekasi yang diperoleh dari
hasil pengecekan lapang.
Gambar 3. Peta Sebaran RTH Kota Bekasi 2003
39
(b)
Gambar 4. Peta Sebaran RTH Kota Bekasi 2010
40
Gambar 5. Peta Piktorial Sebaran Ruang Terbuka Hijau di Kota Bekasi
41
5.2.
Analisis Kecukupan RTH Kota Bekasi
Penduduk
Berdasarkan Jumlah
Untuk bisa melakukan aktifitas dengan nyaman, penduduk membutuhkan
luas RTH sebesar 20 m2 sebagaimana tertera dalam Permen PU No. 5 tahun 2008.
Tong Yiew dalam Direktorat Jenderal Penataan Ruang (2006) menyatakan bahwa
di Malaysia luas RTH per penduduk yang ditetapkan sebesar 1,9 m2 dan Jepang 5
m2 per penduduk. Dewan Kota Lancashire, Inggris menetapkan kebutuhan RTH
per penduduk sebesar 11,5 m2, Amerika 60 m2 , Jakarta mengususlkan taman
untuk bermain dan berolahraga 1,5 m2 per penduduk (Rifai dalam Direktorat
Jenderal Penataan Ruang, 2006). Tabel 7 menunjukkan kecukupan RTH di Kota
Bekasi terhadap jumlah penduduk di Kota Bekasi pada tahun 2010.
Tabel 7. Kebutuhan RTH Berdasarkan Jumlah Penduduk dan Kecukupannya
Kecamatan
Jumlah
Penduduk
(jiwa)
Luas
Lahan
(ha)
proporsi
RTH 20%
luas
kecamatan
(ha)
RTH Per
Kecamatan
Menurut
Permen PU
No 5 tahun
2008
RTH
eksisting
Selisih RTH
Dengan Proporsi
Menurut Permen
PU No 5 Tahun
2008 (ha)
Bantar Gebang
Bekasi Barat
Bekasi Selatan
Bekasi Timur
Bekasi Utara
95.957
270.569
203.596
248.046
310.198
1.704
1.889
1.496
1.349
1.965
340,80
377,80
299,20
269,80
393,00
191,91
541,13
407,19
496,09
620,40
366,58
106,50
139,80
97,30
90,74
174,67
-434,64
-267,39
-398,79
-529,66
Jati Asih
Jati Sampurna
Medan Satria
Mustika Jaya
Pondok Gede
Pondok Melati
199.496
103.513
161.617
160.381
246.413
129.219
2.200
1.449
1.471
2.473
1.629
1.857
440,00
289,80
294,20
494,60
325,80
371,40
398,99
207,03
323,23
320,76
492,83
258,44
411,84
321,90
67,12
538,32
105,92
126,82
12,85
114,88
-256,11
217,56
-386,91
-131,62
Rawalumbu
207.484
1.567
313,40
414,97
174,75
-240,22
2.336.489
21.049
4209,80
4672,98
2547,59
-2125,39
Jumlah
Dari Tabel 7 diketahui bahwa RTH yang ada di Kota Bekasi pada tahun
2010 sebesar 2547,59 ha, sedangkan luas RTH yang di butuhkan oleh penduduk
sebesar 4672,98 ha. Dari nilai tersebut dapat diketahui bahwa Kota Bekasi belum
bisa mencukupi kebutuhan ruang terbuka hijau berdasarkan jumlah penduduk.
Untuk mencukupi kebutuhan RTH berdasarkan jumlah penduduk maka perlu
diadakan penambahan RTH sebesar 2.125,39 ha. Kemungkinan sangat sulit untuk
mencukupi kekurangan kebutuhan RTH berdasarkan jumlah penduduk karena
42
secara umum lahan di Kota Bekasi telah banyak berubah menjadi lahan terbangun
seperti perumahan, industri, perdagangan, perkantoran, dan jasa, sedangkan
penduduk selalu meningkat setiap tahunnya.
Berdasarkan Tabel 7 tampak bahwa luas kebutuhan RTH berdasarkan 20%
luas wilayah Kota Bekasi (4209,80 ha) juga belum bisa dipenuhi oleh Kota Bekasi
bahkan luasan tersebut lebih kecil daripada luas kebutuhan RTH berdasarkan
jumlah penduduk (4672,98 ha). Karena luasan kebutuhan RTH berdasarkan 20%
luas wilayah Kota Bekasi lebih kecil dan juga merupakan ketentuan yang tertuang
dalam UU No 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang maka target luasan ini
harus dicapai lebih dulu. Setelah Mencapai luasan tersebut, dilakukan perluasan
areal RTH sehingga dapat mencapai luasan kebutuhan RTH berdasarkan jumlah
penduduk untuk menunjang kenyamanan penduduk dalam beraktifitas.
5.3.
Analisis Laju Pertumbuhan dan Kepadatan Penduduk
Sejak Kota Bekasi terbentuk pada 10 Maret 1997, jumlah penduduk di
Kota Bekasi terus mengalami peningkatan. Pertumbuhan yang terjadi cukup tinggi
tiap tahunnya. Pada tahun 2010 penyebaran penduduk Kota Bekasi masih
didominasi oleh 4 kecamatan, yaitu Kecamatan Bekasi Utara sebanyak 310.198
jiwa, Kecamatan Bekasi Barat sebanyak 270.569 jiwa, Kecamatan Bekasi Timur
sebanyak 248.046 jiwa, dan Kecamatan Bojong Gede sebanyak 246.413 jiwa.
Penyebaran penduduk Kota Bekasi lebih banyak terkonsentrasi di wilayah
Barat dan pusat kota (Pondok Gede dan Bekasi Barat) yang berbatasan dengan
DKI Jakarta serta di bagian Utara dan Timur (Bekasi Utara dan Bekasi Timur)
yang berbatasan dengan Kabupaten Bekasi. Hal ini disebabkan oleh akses
jaringan jalan yang baik di kedua wilayah karena dilalui oleh jalan negara dan
jalan tol serta dilengkapi dengan jalan kota. Wilayah Barat dan pusat memiliki
lokasi yang sangat strategis karena berbatasan dengan DKI Jakarta dan masih
dalam wilayah tarikan pelayanan DKI Jakarta. Sementara itu, wilayah Timur dan
Utara memiliki ketersediaan fasilitas dan prasarana penunjang perkotaan yang
lengkap.
Jumlah penduduk Kota Bekasi secara agregat pada tahun 1997 sebanyak
1.471.477 jiwa, sedangkan pada tahun 2010 sebanyak 2.336.489 jiwa.
Sejak
43
tahun 1997 hingga 2010 laju pertumbuhan penduduk Kota Bekasi berfluktuasi,
dengan rata-rata 3,8% per tahun. Laju pertumbuhan tertinggi terjadi pada tahun
1999-2000, yaitu sebesar 7%. Laju pertumbuhan penduduk terendah terjadi pada
1998-1999 dan 2009-2010, yaitu sebesar 1%.
Kepadatan penduduk Kota Bekasi dari tahun 1997-2010 terus mengalami
peningkatan. Peningkatan ini disebabkan oleh terus meningkatnya jumlah
penduduk namun tidak disertai dengan pertambahan luas wilayah. Pada tahun
1997 kepadatan penduduk Kota Bekasi sebesar 6.991 jiwa/km2 dan pada tahun
2010 meningkat menjadi 11.100 jiwa/km2.
Laju pertumbuhan kepadatan penduduk Kota Bekasi dari tahun 1997-2010
bernilai positif meskipun terjadi kenaikan atau penurunan. Nilai positif tersebut
menunjukkan bahwa kepadatan penduduk Kota Bekasi selalu meningkat tiap
tahun walaupun dengan laju yang berbeda-beda. Laju kepadatan penduduk
tertinggi terjadi pada tahun 2001-2002 yaitu mencapai 6% sedangkan kepadatan
penduduk terendah terjadi pada tahun 1998-1999 dan 2009-2010 yaitu sebesar 1
%. Laju pertumbuhan kepadatan penduduk rata-rata Kota Bekasi dari tahun 19972010 adalah sebesar 4% per tahun. Gambar 6 menunjukkan mengenai jumlah dan
kepadatan penduduk Kota Bekasi periode tahun 1997-2010 sedangkan Gambar 7
menunjukkan laju pertumbuhan jumlah dan kepadatan penduduk periode tahun
1997-2010.
Gambar 6. Grafik Jumlah dan Kepadatan Penduduk Kota Bekasi Periode 19972010
44
Gambar 7. Grafik Laju Jumlah dan Kepadatan Penduduk Kota Bekasi Periode
1997-2010
Pada tahun 2004 terjadi pemekaran wilayah Kota Bekasi sehingga jumlah
penduduk sebelum dan setelah pemekaran menjadi berkurang secara drastis untuk
beberapa kecamatan yang mengalami pemekaran. Kecamatan yang mengalami
pemekaran adalah Kecamatan Pondok Gede, Kecamatan Jati Sampurna,
Kecamatan Jati Asih dan Kecamatan Bantar Gebang. Pada Tabel 8 dan Tabel 9
berturut-turut tertera jumlah dan kepadatan penduduk tiap kecamatan di Kota
Bekasi tahun 2000-2004 dan 2005-2010.
Tabel 8. Jumlah dan Kepadatan Penduduk per Kecamatan Periode 2000-2004
luas
area
(km²)
2000
2001
2002
2003
2004
2000
2001
2002
2003
2004
Pondok gede
24,37
242.082
214.875
227.598
232.110
242.054
9934
8817
9339
9524
9932
Jati sampurna
22,48
73.603
96.134
101.882
103.952
108.507
3274
4276
4532
4624
4827
Jati asih
24,49
153.331
165.188
175.280
179.038
182.461
6261
6745
7157
7311
7450
Bantar gebang
41,78
134.104
148.940
157.492
160.371
166.078
3210
3565
3770
3838
3975
Bekasi timur
13,49
217.675
159.772
201.322
205.150
214.074
16136
11844
14924
15208
15869
Rawalumbu
15,67
139.617
190.237
169.274
172.668
178.765
8910
12140
10802
11019
11408
Bekasi selatan
14,96
161.417
176.020
186.247
189.761
196.990
10790
11766
12450
12685
13168
Bekasi barat
18,89
222.273
205.131
217.599
222.206
229.772
11767
10859
11519
11763
12164
Medan satria
14,71
121.736
133.369
140.945
143.446
149.811
8276
9067
9582
9752
10184
Bekasi utara
19,65
215.964
218.671
231.667
236.303
245.804
10991
11128
11790
12026
12509
Kecamatan
jumlah penduduk (jiwa)
Kepadatan Penduduk (jiwa/km²)
45
Tabel 9. Jumlah dan Kepadatan Penduduk per Kecamatan Periode 2005- 2010
luas
area
(km²)
2005
2006
2007
2009
2010
2005
2006
2007
2009
2010
Pondok gede
16,29
196.318
210.999
224.176
231.389
246.413
12051
12953
13762
14204
15127
Jati sampurna
14,49
69.759
71.750
73.744
86.936
103.513
4814
4952
5089
6000
7144
Jati asih
22,00
168.210
168.896
165.520
183.461
199.496
7646
7677
7524
8339
9068
Bantar gebang
17,05
72.114
77.680
78.224
102.563
95.957
4230
4556
4588
6015
5628
Bekasi timur
13,49
243.552
270.256
276.496
266.277
248.046
18054
20034
20496
19739
18387
Rawalumbu
15,67
185.640
174.205
184.380
229.326
207.484
11847
11117
11766
14635
13241
Bekasi selatan
14,96
185.776
200.790
207.744
175.231
203.596
12418
13422
13887
11713
13609
Bekasi barat
18,89
259.308
276.879
287.989
294.342
270.569
13727
14657
15246
15582
14323
Medan satria
14,71
147.030
150.628
160.152
169.097
161.617
9995
10240
10887
11495
10987
Bekasi utara
19,65
274.968
268.673
273.512
340.244
310.198
13993
13673
13919
17315
15786
Pondok melati
18,56
101.456
111.056
118.935
100.621
129.219
5466
5984
6408
5421
6962
Mustika jaya
24,73
97.768
89.632
92.932
140.051
160.381
3953
3624
3758
5663
6485
Kecamatan
jumlah penduduk (jiwa)
Kepadatan penduduk (jiwa/km²)
Pada tahun 2000 hingga 2010, terdapat empat kecamatan yang
penduduknya sangat padat, yaitu Kecamatan Bekasi Utara, Kecamatan Bekasi
Barat, Kecamatan Bekasi Selatan, dan Kecamatan Bekasi Utara. Keempat
kecamatan tersebut mempunyai kepadatan penduduk yang tinggi karena
merupakan pusat kegiatan kota sehingga penduduk tertarik untuk tinggal di daerah
tersebut. Selain itu, keempat kecamatan tersebut mempunyai akses yang baik dan
dilalui oleh jalan negara, propinsi, dan kota.
Wilayah yang kepadatan penduduknya rendah berada di wilayah Selatan
Kota yaitu Kecamatan Bantar Gebang, Kecamatan Jati Asih, Kecamatan Jati
Sampurna, dan Kecamatan hasil pemekaran (Kecamatan Pondok Melati dan
Kecamatan Mustika Jaya). Rendahnya kepadatan penduduk di wilayah tersebut di
sebabkan kurang terbangunnya wilayah itu serta akses jaringan jalan yang belum
cukup baik.
Semakin padat penduduk di suatu wilayah maka dibutuhkan semakin
banyak lahan untuk permukiman, fasilitas-fasilitas umum, dan sarana prasarana
pemenuh kebutuhan masyarakat. Semakin tinggi laju kepadatan penduduk maka
akan dibutuhkan lebih banyak lahan. Hal ini dapat berakibat pada konversi ruang
terbuka hijau di wilayah tersebut menjadi kawasan terbangun, baik untuk
permukiman, fasilitas-fasilitas umum, maupun sarana prasarana umum.
46
5.4. Hirarki dan Perkembangan Wilayah Kota Bekasi
Hirarki dan perkembangan wilayah ditentukan dengan menggunakan
analisis skalogram. Tingkat perkembangan suatu wilayah dinyatakan dalam
Hirarki 1, Hirarki 2, dan Hirarki 3. Hirarki 1 menyatakan wilayah dengan tingkat
perkembangan
maju.
Hirarki
perkembangan sedang.
2
Hirarki 3
menyatakan
wilayah
dengan
tingkat
menyatakan wilayah dengan tingkat
perkembangan rendah.
Perhitungan skalogram menggunakan data-data sarana dan prasarana serta
fasilitas umum yang diambil dari data PODES Kota Bekasi 2003 dan 2006. Dari
pengolahan data PODES dengan analisis skalogram, diperoleh data
hirarki
wilayah dan perubahan hirarki seperti tertera pada Tabel 10 dan Tabel 11.
Tabel 10. Hirarki Wilayah Berdasarkan Kecamatan di Kota Bekasi Tahun 2003
dan 2006
Tahun 2003
Kecamatan
Hirarki 1
Hirarki 2
Bantar Gebang
0
2
Bekasi Barat
1
Bekasi Selatan
Tahun 2006
Hirarki 1
Hirarki 2
Hirarki 3
6
0
1
3
1
3
0
5
0
1
2
2
2
3
0
Bekasi Timur
3
1
0
3
1
0
Bekasi Utara
0
4
2
0
3
3
Jatiasih
0
2
4
0
2
4
Jati Sampurna
0
0
5
0
1
4
Medan satria
1
3
0
0
4
0
Pondok Gede
1
4
0
1
3
1
Rawalumbu
0
1
3
0
3
1
*Mustika Jaya
0
0
4
*Pondok Melati
1
0
3
7
26
23
Kota Bekasi
7
Hirarki 3
20
25
*Kecamatan setelah mengalami pemekaran pada tahun 2005
Berdasarkan Tabel 10, pada tahun 2003 hampir separuh dari jumlah
kelurahan di Kota Bekasi memiliki hirarki 3, yaitu sebanyak 25 kelurahan.
Kelurahan yang memiliki hirarki 2 sebanyak 20 kelurahan dan kelurahan yang
memiliki hirarki 1 hanya 7 kelurahan. Pada tahun 2006 terlihat adanya
peningkatan perkembangan wilayah di Kota Bekasi. Hal ini terlihat dari
bertambahnya jumlah kelurahan yang berhirarki 2, meskipun masih banyak juga
47
kelurahan yang berhiarki 3, yaitu 23 kelurahan. Kelurahan yang berhirarki 1
berjumlah sama seperti pada tahun 2003 yaitu 7 kecamatan. Kelurahan yang
berhirarki 2 bertambah cukup signifikan yaitu dari dari 20 kelurahan menjadi 26
kelurahan.
Tabel 11. Perubahan Hirarki Wilayah di Kota Bekasi Tahun 2003-2006
Peningkatan Hirarki
Kecamatan
Kelurahan
Pondok Gede
Jatiwaringin
Bekasi Selatan
Penurunan Hirarki
Perubahan
Hirarki
Perubahan
Hirarki
Kecamatan
Kelurahan
21
Bekasi Barat
Kranji
12
Kayuringin Jaya
21
Bekasi Selatan
Pekayon Jaya
12
Bekasi Timur
Aren Jaya
21
Bekasi Timur
Duren Jaya
12
Bekasi Selatan
Jaka Setia
31
Medan Satria
Medan Satria
12
Bekasi Barat
Bintara Jaya
32
Bekasi Utara
Marga Mulya
23
Bekasi Barat
Jaka Sampurna
32
Jati Asih
Jatikramat
23
Bekasi Barat
Kota Baru
32
Jati Asih
Jatirasa
23
Jati Asih
Jatiasih
32
Mustika Jaya
Mustikajaya
23
Jati Asih
Jatisari
32
Jati Sampurna
Jatisampurna
32
Bekasi Selatan
Marga Jaya
32
Rawa Lumbu
Bojong Menteng
32
Rawa Lumbu
Bojong Rawalumbu
32
Pada Tabel 10, perubahan jumlah hirarki terjadi pada beberapa kecamatan.
Hal ini dapat dijelaskan melalui Tabel 11. Sebagian besar terjadi peningkatan
hirarki, antara lain perubahan hirarki 2 ke hirarki 1, hirarki 3 ke hirarki 1, dan
hirarki 3 ke hirarki 2. Peningkatan hirarki ini dapat terjadi karena adanya
penambahan jumlah dan jenis fasilitas. Kecamatan Bekasi Selatan memiliki 2
kelurahan yang hirarkinya meningkat menjadi hirarki 1, yaitu Kelurahan
Kayuringin Jaya dan Kelurahan Jaka Setia. Hal ini karena pada kelurahan ini
terjadi penambahan jumlah dan jenis fasilitas yang disediakan untuk masyarakat,
terutama restoran dan pertokoan. Hal ini juga ditunjang oleh letak kelurahan
Kayuringin Jaya dan Jaka Setia yang dilalui jalan arteri dan jalan kolektor yang
memberi dampak pada perkembangan wilayah itu sendiri.
Selain peningkatan hirarki, terdapat pula beberapa kelurahan yang
mengalami penurunan hirarki, yaitu dari hirarki 1 ke hirarki 2 dan dari hirarki 2 ke
hirarki 3. Hal ini diduga terjadi karena kelurahan-kelurahan tersebut sudah jenuh
48
dan tidak ada lagi tempat yang dapat digunakan untuk menambah fasilitas atau
prasarana. Fasilitas-fasilitas yang tersedia tidak mampu untuk melayani penduduk
yang terus meningkat. Selain itu, diduga adanya pemekaran wilayah bisa
mengakibatkan fasilitas dan prasarana yang ada sebelumnya tidak tersebar merata
sehingga tidak mampu untuk melayani masyarakat yang ada di wilayah
pemekaran tersebut. Sebaran spasial hirarki wilayah Kota Bekasi tahun 2003 dan
tahun 2006 tertera pada Gambar 8 dan Gambar 9.
Gambar 8. Sebaran Spasial Hirarki Wilayah Kota Bekasi Tahun 2003
Kecamatan Bekasi Barat, Bekasi Selatan, Bekasi Timur, Medan Satria,
dan Pondok Gede memiliki kelurahan berhirarki 1. Hal ini menunjukkan bahwa
perkembangan wilayah kecamatan-kecamatan tersebut lebih tinggi dibandingkan
dengan kecamatan-kecamatan lainnya. Kelima kecamatan tersebut memiliki
kelurahan-kelurahan berhirarki 1 diduga karena wilayah kecamatan-kecamatan
49
tersebut dilalui oleh akses jaringan jalan yang baik, yaitu jalan negara, jalan tol,
dan jalan kota. Pondok Gede dan Bekasi Barat berbatasan dengan DKI Jakarta
dan masih dalam wilayah tarikan pelayanan DKI Jakarta. Bekasi Timur dan
Bekasi Utara berbatasan dengan Kabupaten Bekasi. Wilayah di kedua kecamatan
tersebut merupakan kawasan permukiman dan ditunjang dengan fasilitas dan
prasarana penunjang kota yang lengkap. Diantara kelima kecamatan berhirarki 1
tersebut, Kecamatan Bekasi Timur adalah kecamatan yang paling berkembang
diantara kelima kecamatan lainnya karena terdapat 3 kelurahan yang mempunyai
hirarki 1.
Gambar 9. Sebaran Spasial Hirarki Kota Bekasi Tahun 2006
Berdasarkan sebaran spasial hirarki wilayah di Kota Bekasi tahun 2003
dan 2006, wilayah Utara Kota Bekasi didominasi oleh wilayah berhirarki 1 dan
berhirarki 2. Wilayah berhirarki 3 secara umum berada di wilayah Selatan, yaitu
Kecamatan Bantar Gebang, Kecamatan Jati Asih, dan Kecamatan Jati Sampurna.
50
Kecamatan-Kecamatan ini masih memiliki hiararki wilayah yang rendah karena
wilayahnya belum didukung oleh aksesibilitas yang baik.
Perkembangan
wilayah
ditandai
dengan
adanya
peningkatan
perekonomian, penambahan jumlah fasilitas, dan semakin lengkapnya jenis
fasilitas
yang
tersedia.
Pembangunan
fasilitas-fasilitas
tersebut
tentu
membutuhkan lahan. Hal ini dapat berimbas pada konversi ruang terbuka hijau
karena mengingat keberadaan lahan ini mempunyai land rent yang rendah dan
dianggap tidak memiliki fungsi ekonomis yang tinggi. Selain itu, keberadaan
lahan kosong dan strategis untuk pembangunan fasilitas makin sempit dan terbatas
sehingga kemungkinan untuk mengorbankan keberadaan ruang terbuka hijau juga
semakin besar. Hubungan antara luasan konversi RTH di Kota Bekasi dengan
hirarki wilayah tertera pada Tabel 12.
Tabel 12. Luasan Konversi RTH (ha/tahun) pada Hirarki Wilayah Tahun 2006
Kecamatan
Bantar Gebang
Bekasi Barat
Bekasi Selatan
Bekasi Timur
Bekasi Utara
Jati Asih
Hirarki
I
II
III
*
*
-1,71
-0,21
*
*
-1,14
-1,18
-0,26
-0,47
-0,65
-0,91
-1,52
-1,09
-0,67
*
-0,30
Jati Sampurna
Medan Satria
*
*
*
-0,59
-3,06
-1,88
0,33
Mustika Jaya
Pondok Gede
*
*
-1,78
-2,86
Pondok Melati
Rawalumbu
*
-2,16
-1,15
-0,33
*
*
-1,57
-0,73
Rata-rata
-1,11
-0,74
-1,38
Keterangan : * = hirarki wilayah yang bersangkutan tidak dimiliki oleh kelurahan tertentu.
Pada hirarki wilayah 1, kecamatan yang mengalami koversi RTH paling
besar adalah Kecamatan Pondok Gede. Pada hirarki wilayah 2, kecamatan yang
mengalami konversi RTH paling besar adalah Kecamatan Bekasi Barat. Pada
hirarki wilayah 3, kecamatan yang mengalami konversi RTH paling besar adalah
Kecamatan Jati Asih. Secara agregat, konversi RTH di Kota Bekasi pada hirarki
wilayah 1 sebesar -1,11 ha per tahun, pada hirarki wilayah 2 sebesar -0,74 ha per
51
tahun, dan pada hirarki wilayah 3 mengalami konversi luas RTH paling besar
yaitu sebesar -1,38 ha per tahun.
Jika dilihat dari wilayah administratifnya, Kecamatan Pondok Gede dan
Kecamatan Bekasi Barat berbatasan dengan wilayah Jakarta Timur. Kedekatan
dengan Jakarta Timur ini diduga mengakibatkan perkembangan wilayah di
wilayah tersebut cukup tinggi karena beberapa kelurahan masih berada dalam
tarikan pelayan wilayah Jakarta Timur. Hal tersebut berakibat pada luasnya
konversi RTH per tahun di kedua kecamatan ini. Kecamatan Jati Asih mengalami
konversi RTH per tahun paling besar pada daerah dengan kategori hirarki wilayah
3. Hal ini disebabkan oleh adanya pembangunan jalan tol (JORR) di wilayah ini
yang sebagian menggunakan lahan RTH terutama RTH privat milik warga. Laju
perubahan RTH dengan hirarki wilayah di Kota Bekasi dan sebaran datanya
ditunjukkan pada Gambar10.
Gambar 10. Boxplot Laju Perubahan RTH per Kelurahan dan Hirarki
Pada hirarki wilayah 1, luas RTH secara umum terkonversi dengan nilai
tengah laju penurunan sebesar 4,2% per tahun. Terdapat kelurahan yang memiliki
laju positif sebesar 0,3% per tahun yaitu Kelurahan Margahayu, Kecamatan
Bekasi Timur. Laju konversi RTH terbesar pada hirarki 1 terjadi di Kelurahan Jati
Waringin, Kecamatan Pondok Gede sebesar 6,2% per tahun. Pada hirarki wilayah
2, secara umum luas RTH terkonversi dengan nilai tengah laju penurunan sebesar
2,6% per tahun. Laju konversi terbesar terjadi pada Kelurahan Jati Bening,
Kecamatan Pondok Gede dengan laju penurunan sebesar 6,5% per tahun.
Kelurahan Margajaya, Kecamatan Bekasi Selatan memiliki laju positif sebesar
52
1,5% per tahun. Pada hirarki wilayah 2 terdapat kelurahan yang memiliki
peningkatan laju perubahan RTH yang cukup besar (5,9%) yaitu Kelurahan
Medan Satria, Kecamatan medan Satria. Peningkatan laju perubahan RTH
tersebut diduga karena adanya refungsionalisasi lahan kosong menjadi RTH
terutama yang berada di sekitar banjir kanal timur (BKT). Pada hirarki wilayah 3,
secara umum luas RTH terkonversi dengan nilai tengah laju penurunan sebesar
2,5% per tahun. Laju konversi terbesar terjadi pada Kelurahan Jati Kramat,
Kecamatan Jati Asih dengan laju penurunan sebesar 5,1% per tahun. Pada hirarki
3 ini terdapat dua pencilan yang memiliki laju penurunan luas RTH yang sangat
besar yaitu sebesar 7,1% per tahun pada Kelurahan Jati Warna, Kecamatan
Pondok Melati dan 8% per tahun pada Kelurahan Jati Bening Baru, Kecamatan
Pondok Gede. Besarnya konversi RTH pada kedua kecamatan tersebut karena
terkonversinya RTH menjadi permukiman dan JORR (jalan tol), terutama RTH
privat berupa kebun milik warga.
Laju konversi RTH terbesar terjadi pada hirarki wilayah 1, kemudian diikuti
oleh hirarki wilayah 2 dan 3. Secara umum, luas konversi atau perubahan RTH
per tahun paling besar terjadi pada hirarki wilayah 3, namun laju konversi atau
perubahan RTH per tahun paling besar terjadi pada hirarki wilayah 1. Hal ini
menunjukkan bahwa secara keseluruhan luasan RTH pada wilayah yang
berhirarki 3 lebih besar dibandingkan dengan luasan RTH pada wilayah berhirarki
2 atau 1. Oleh karena itu, walaupun luas konversi RTH per tahun pada wilayah
berhirarki 3 paling besar namun laju yang dihasilkan tidak besar karena luas
perubahan RTH tersebut diperbandingkan dengan luasan RTH yang lebih besar.
Pada wilayah berhirarki 1, luas RTH yang terkonversi tiap tahun relatif kecil
namun memiliki laju yang besar. Hal ini karena luas RTH yang ada pada wilayah
berhirarki 1 kecil namun terus terjadi konversi RTH menjadi penggunaan lahan
lain sehingga laju yang dihasilkan terlihat besar.
5.5. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Perubahan Luas RTH
Perubahan luas RTH yang terjadi di Kota Bekasi pada periode tahun 20032010 dipengaruhi oleh beberapa faktor. Untuk menentukan faktor-faktor yang
mempengaruhi perubahan luas RTH di Kota Bekasi dilakukan dengan
53
menggunakan analisis regresi berganda dengan metode stepwise regression.
Variabel yang digunakan dalam membuat regresi bertatar berjumlah 21 variabel,
yaitu satu variabel tujuan (Y) dan 20 variabel penduga (X). Hasil analisis regresi
tertera pada Tabel 13.
Tabel 13. Hasil Analisis Regresi
Regression Summary for Dependent Variable: perubahan RTH
R= ,770 R²= ,593 Adjusted R²= ,529 F(7,44)=9,1893 p
Variabel/Intersep
Intersep
Beta
Std.Err.
B
Std.Err.
t(44)
p-level
1,140
2,648
0,431
0,669
Jarak ke pusat kota
-0,262
0,134
-0,389
0,198
-1,960
0,056
Luas RTH tahun 2003
-0,399
0,154
-0,080
0,031
-2,588
0,013
0,089
0,134
0,541
0,817
0,663
0,511
-0,514
0,139
-0,227
0,061
-3,700
0,001
Luas lahan kosong tahun 2003
0,376
0,126
0,099
0,033
2,973
0,005
Jarak ke fasilitas pendidikan terdekat
0,216
0,110
2,378
1,205
1,973
0,055
Perubahan jumlah fasilitas ekonomi
-0,146
0,109
-0,011
0,008
-1,343
0,186
Jarak ke fasilitas sosial terdekat
Perubahan lahan terbangun 2003-2010
Tabel 13 menjelaskan bahwa persamaan regresi yang dihasilkan memiliki
nilai R-square (R2) sebesar 0,59. Dari nilai R-square tersebut, diketahui bahwa
terdapat 41% ragam di luar variabel-variabel bebas yang digunakan dalam analisis
ini yang mempengaruhi perubahan RTH.
Berdasarkan Tabel 10 tersebut, variabel penduga yang yang berpengaruh
sangat nyata (p-level < 0,05) adalah luasan RTH pada tahun 2003, perubahan
lahan terbangun 2003-2010, dan luasan lahan kosong pada tahun 2003. Variabel
yang berpengaruh nyata adalah jarak ke kabupaten yang membawahi, jarak ke
fasilitas sosial, jarak ke fasilitas pendidikan, dan perubahan jumlah fasilitas
ekonomi.
Secara lebih rinci, faktor- faktor yang mempengaruhi perubahan luas RTH
di Kota Bekasi adalah sebagai berikut:
1. Jarak ke pusat kota
Hasil regresi menunjukkan bahwa jarak ke pusat kota bernilai negatif
dengan koefisien sebesar -0,262. Hal ini menunjukkan bahwa penambahan
satu satuan jarak ke kabupaten maka potensi penurunan luas RTH sebesar
0,2 satuan (ha). Semakin jauh jarak ke kabupaten maka penurunan luas
54
RTH semakin besar. Hal tersebut terjadi pada Kota Bekasi diduga karena
semakin jauh dari kabupaten, perkembangan wilayahnya pun belum cukup
pesat sehingga luas RTH yang tersedia lebih besar. Hal ini memungkinkan
untuk menggunakan lahan ini menjadi area terbangun dalam upaya
pengembangan kota.
2. Luas RTH tahun 2003
Hasil Regresi menunjukkan bahwa variabel luas RTH tahun 2003 bernilai
negatif dengan koefisien sebesar -0,399. Penambahan satu satuan luas
RTH tahun 2003 maka potensi penurunan luas RTH sebesar 0,39 satuan
(ha). Kota Bekasi bagian Selatan mempunyai RTH privat berupa kebun
warga yang cukup luas dibandingkan dengan luasan RTH privat di seluruh
kota bekasi. Penggunaan lahan tersebut rawan digunakan menjadi
penggunaan lain karena warga dan pembangun cenderung menggunakan
lahan tersebut untuk digunakan sebagai perumahan atau bangunanbangunan lain.
3. Jarak ke fasilitas sosial
Hasil regresi yang bernilai positif dengan koefisiensi 0,089 menunjukkan
bahwa penambahan satu satuan jarak ke fasilitas sosial maka potensi
penambahan luas RTH sebesar 0,089 satuan (ha). Hal ini diduga karena
pembangunan fasilitas sosial ini tidak disertai dengan pengalokasian
sebagian lahannya untuk RTH. Semakin jauh jarak ke fasilitas sosial dapat
diartikan bahwa potensi penggunaan lahan-lahan untuk RTH semakin
besar.
4. Perubahan lahan terbangun tahun 2003-2010
Hasil analisis regresi menunjukkan bahwa perubahan lahan terbangun
2003-2010 bernilai negatif dengan koefisien sebesar -0,514. Hal ini
menunjukkan bahwa penambahan satu satuan lahan terbangun periode
2003-2010 maka potensi penurunan RTH sebesar 0,514 satuan (ha).
Semakin besar pertumbuhan lahan terbangun maka luas RTH yang
tersedia semakin sedikit. Kondisi ini menggambarkan bahwa Kota Bekasi
dalam melakukan pembangunan banyak menggunakan lahan-lahan RTH
55
karena minimnya lahan yang tersedia. Dalam kasus ini RTH yang paling
banyak digunakan adalah RTH privat berupa kebun-kebun milik warga.
5. Lahan kosong tahun 2003
Hasil analisis regresi menunjukkan bahwa lahan kosong 2003 bernilai
positif dengan koefisiensi sebesar 0,376. Hal ini menunjukkan bahwa
penambahan satu-satuan luas lahan kosong tahun 2003 maka potensi
penambahan luas RTH sebesar 0,37 satuan (ha). Masih tersedianya lahan
kosong bisa menyelamatkan keberadaan RTH karena pembangunan yang
terjadi kemungkinan besar akan menggunakan lahan kosong terlebih dulu.
Terdapat juga kemungkinan lahan-lahan kosong difungsikan menjadi
ruang terbuka hijau dalam upaya meningkatkan areal RTH.
6. Jarak ke fasilitas pendidikan
Hasil analisis regresi variabel jarak ke fasilitas pendidikan yang bernilai
positif dengan koefisien sebesar 0,216 menunjukkan bahwa penambahan
satu satuan jarak ke fasilitas pendidikan maka potensi penambahan luas
RTH sebesar 0,216 satuan (ha). Hal ini diduga karena pembangunan
fasilitas pendidikan ini tidak disertai dengan pengalokasian sebagian
lahannya untuk RTH. Semakin jauh jarak ke fasilitas pendidikan dapat
diartikan bahwa potensi penggunaan lahan-lahan untuk RTH semakin
besar.
7. Perubahan jumlah fasilitas ekonomi
Hasil analisis regresi untuk perubahan fasilitas ekonomi menunjukkan nilai
negatif dengan koefisien sebesar -0,146. Hal ini menunjukkan bahwa
penambahan satu satuan jumlah fasilitas ekonomi maka potensi penurunan
luas RTH sebesar 0,146 satuan (ha). Semakin banyak fasilitas ekonomi
maka luas RTH yang terpakai semakin besar. Hal ini diduga karena
pembangunan fasilitas-fasilitas ekonomi menggunakan lahan-lahan RTH
karena lahan-lahan kosong yang strategis telah minim jumlahnya.
Berdasarkan hasil penelitian sebelumnya yang dilakukan oleh Suwarli
(2011), menunjukkan bahwa salah satu variabel penting yang mempengaruhi
terjadinya perubahan luas RTH adalah jumlah penduduk. Namun, hasil analisis
dalam penelitian ini menunjukkan bahwa variabel tersebut tidak memiliki peran
56
penting. Perbedaan prosedur penelitian serta unit analisis tidak mengkonfirmasi
pentingnya peranan variabel jumlah penduduk. Dalam penelitian sebelumnya, unit
analisis adalah tahun, sementara dalam penelitian ini unit analisis adalah wilayah
administrasi, yaitu kelurahan. Artinya, pada penelitian sebelumnya aspek
keberagaman pengamatan relatif tidak berperan karena unit analisis merupakan
agregasi dari seluruh wilayah, keberagaman jumlah penduduk secara spasial tidak
tergambarkan dan tidak mempengaruhi hasil analisis. Untuk mendukung
penjelasan tersebut dilakukan analisis korelasi antara variabel jumlah penduduk
dengan perubahan luas RTH. Hasilnya menunjukkan bahwa hasil korelasi antara
perubahan jumlah penduduk tahun 2003-2009 dengan perubahan luas RTH tahun
2003-2010 sebesar -0,006. Kecilnya korelasi antara jumlah penduduk di berbagai
wilayah keluarahan dengan luas perubahan RTH antar kelurahan mengindikasikan
rendahnya peranan jumlah penduduk dalam analisis regresi berganda yang
melibatkan beberapa variabel lainnya.
5.6. Analisis Areal yang Berpotensi untuk Perluasan RTH
Pembuatan peta arahan areal yang berpotensi untuk dijadikan perluasan
lahan RTH ditentukan berdasarkan kondisi eksisting penggunaan lahan Kota
Bekasi pada Tahun 2010, yaitu berupa lahan kosong. Dipilih penggunaan lahan
kosong karena penggunaan lahan jenis ini memungkinkan untuk dikembangkan
menjadi penggunaan lain tanpa mengganggu penggunaaan lahan lainnya. Sebaran
spasial areal yang berpotensi untuk dijadikan RTH dan luasannya tertera pada
Gambar 11 dan Gambar 12.
Gambar 11. Grafik Luasan Areal yang Berpotensi Sebagai RTH per Kecamatan di
Kota Bekasi
57
Gambar 12. Sebaran Areal Potensial untuk Pertambahan RTH
Terdapat lima kecamatan yang mempunyai luas areal yang besar untuk
dijadikan RTH, yaitu Kecamatan Mustika Jaya, Jati Sampurna, Medan Satria,
Bantar Gebang, dan Jati Asih. Kelima kecamatan ini secara umum mempunyai
kepadatan penduduk yang rendah dibanding dengan kecamatan-kecamatan
lainnya sehingga masih memiliki cukup lahan untuk bisa dikembangkan menjadi
RTH. Kecamatan-kecamatan dengan kepadatan penduduk tinggi seperti
Kecamatan Bekasi Utara, Bekasi Timur, Bekasi Barat, dan Pondok Gede memiliki
areal perluasan RTH yang kecil. Hal ini dikarenakan lahan di kecamatankecamatan tersebut telah menjadi lahan terbangun sehingga kecil kemungkinan
untuk menambah lahan RTH. Pada Tabel 14 tertera luas RTH eksisting dan RTH
arahan pertambahan dibandingkan dengan luas kebutuhan RTH berdasarkan
jumlah penduduk.
58
Tabel 14. Kecukupan RTH Berdasarkan Jumlah Penduduk Dibandingkan dengan
RTH Eksisting dan RTH Arahan Pertambahan.
Jumlah
Penduduk
(jiwa)
Kecamatan
Luas
Lahan
(ha)
RTH per
Kecamatan
Menurut
Permen PU
no 5 tahun
2008
RTH
eksisting
Luas
areal
arahan
pertamba
han RTH
Luas RTH
eksisting
dan areal
arahan
pertambah
an RTH
Selisih RTH
(eksisting dan
arahan) Dengan
Proporsi Menurut
Permen PU No 5
Tahun 2008 (Ha)
Bantar Gebang
Bekasi Barat
95.957
270.569
1.704
1.889
191,91
541,14
366,58
106,50
71,921
17,717
438,50
124,21
246,59
-416,93
Bekasi Selatan
Bekasi Timur
Bekasi Utara
Jati Asih
Jati Sampurna
Medan Satria
203.596
248.046
310.198
199.496
103.513
161.617
1.496
1.349
1.965
2.200
1.449
1.471
407,19
496,09
620,40
398,99
207,03
323,23
139,80
97,30
90,74
411,84
321,90
67,12
40,884
24,350
39,343
60,300
103,228
84,233
180,69
121,65
130,08
472,14
425,13
151,36
-226,51
-374,44
-490,31
73,15
218,10
-171,88
Mustika Jaya
Pondok Gede
Pondok Melati
Rawalumbu
160.381
246.413
129.219
207.484
2.473
1.629
1.857
1.567
320,76
492,83
258,44
414,97
538,32
105,92
126,82
174,75
54,467
15,902
16,457
12,885
592,78
121,82
143,28
187,63
272,02
-371,01
-115,16
-227,34
2.336.489
21.049
4672,98
2547,59
541,686
3089,27
-1583,71
Jumlah
Berdasarkan hasil analisis, luas areal lahan kosong yang berpotensi untuk
dijadikan RTH sebesar 541,686 ha. Luasan tersebut masih belum bisa mencukupi
kekurangan RTH berdasarkan jumlah penduduk di Kota Bekasi. Kekurangan
luasan pertambahan RTH tersebut masih sangat besar, yaitu 1.583,71 ha. Hal
tersebut disebabkan oleh minimnya lahan kosong sehingga sulit untuk melakukan
perluasan lahan RTH di Kota Bekasi. Terdapat beberapa kecamatan yang telah
dapat memenuhi kebutuhan RTH berdasarkan jumlah penduduknya (Bantar
Gebang, Jati Asih, Jati Sampurna, dan Mustika Jaya), namun kecamatankecamatan tersebut merupakan kecamatan-kecamatan yang memang telah
terpenuhi kebutuhan RTH-nya walaupun luasan RTH-nya belum ditambahkan
dengan luas arahan pertambahan RTH. Meskipun demikian, penambahan luas
RTH sangat berarti untuk perkotaan walaupun tidak menyebar rata pada seluruh
wilayah kota karena bagian kota yang berupa RTH umumnya suhunya 2-5 derajat
lebih rendah dibandingkan dengan bagian lahan-lahan terbangun. Perbedaan suhu
antara bagian kota tersebut dapat menyebabkan terjadinya aliran udara sehingga
dapat menurunkan rata-rata suhu udara di perkotaan (Direktorat Jenderal Penataan
Ruang, 2006). Saputro (2010) dalam penelitiannya juga menyatakan bahwa
59
peningkatan suhu udara pada area yang ternaungi lebih rendah sekitar 0,33 oC0,84oC. Arahan ini dapat diimplementasikan namun harus mempehatikan faktorfaktor lain seperti kepemilikan lahan (milik pemerintah daerah atau bukan), biaya
yang dibutuhkan, dan kebijakan-kebijakan pemerintah daerah.
5.7. Rekomendasi Upaya Penambahan RTH
Penyusunan upaya penambahan RTH di Kota Bekasi dilakukan
berdasarkan pada hasil analisis SWOT. Faktor internal dan eksternal yang diduga
mempengaruhi keberadaan RTH di Kota Bekasi adalah sebagai berikut:
1. Strengths (Kekuatan)
a. Terdapat pembagian tugas dalam pengelolaan RTH. Dinas yang
bertanggung jawab dalam pengelolaan RTH Kota Bekasi adalah
Bappeda (Badan Perencanaan dan Pembangunan Daerah), Distarkim
(Dinas Tata Ruang dan Permukiman), Disbertaman (Dinas Kebersihan
dan Pertamanan), dan DPLH (Dinas Pengelolaan Lingkungan Hidup).
b. Di Kota Bekasi Bagian Selatan masih banyak lahan kosong yang
belum dimanfaatkan sehingga ke depannya dapat dikembangkan
menjadi RTH.
c. Sistem utilitas Kota Bekasi seperti IPAL (Instalasi Pengolahan Air
Limbah Industri), IPLT (Instalasi Pengolahan Limbah Tinja), dan TPA
(Tempat Pembuangan Akhir) dapat memberikan kontribusi terhadap
keberadaan RTH.
d. Disbertaman memiliki program yaitu melakukan penghijauan kota
melalui antisipasi pohon yang mati dan mengganti dengan yang baru,
penghijauan terhadap lahan bekas pembangunan, dan penyiraman
tanaman.
e. Kegiatan Gerakan Rehabilitas Lahan Kritis Tahun 2005 oleh DPLH.
Kegiatan ini adalah program penanaman pohon/penghijauan yang
diprioritaskan pada daerah aliran sungai, sempadan jalan, lahan kosong
milik petani dan milik pemerintah seperti fasum dan fasos, dan TPA
Bantar Gebang.
60
f. Kegiatan Bekasi Teduh Tahun 2007 oleh DPLH. Kegiatan ini
merupakan penggalakan penanaman pohon di seluruh Kota Bekasi.
g. Program pengendalian RTH melalui insentif dan disinsentif kepada
lembaga swasta dan perorangan yang dapat memberi penyediaan RTH
publik. Contoh insentif yang ditawarkan adalah kemudahan prosedur
perizinan dan keringanan pajak sedangkan contoh disinsentif yang
diberikan adalah pengenaan pajak lebih tinggi dan penyediaan RTH di
tempat lain.
h. Pemerintah Kota Bekasi, dalam RPJMD 2008-2013, menuangkan
program
pengelolaan
Ruang
Terbuka
Hijau
dengan
target
pengembangan luasan RTH publik menjadi 15,5 % dari luas kota pada
tahun 2013.
2. Weaknesses (Kelemahan)
a. Hanya sebagian kecil dari kegiatan pembangunan di Kota Bekasi, baik
kegiatan pemerintahan, perdagangan dan jasa, permukiman, dan
industri yang menyediakan pertamanan dengan proporsi memadai.
b. Belum adanya koordinasi yang baik antara dinas-dinas yang
bertanggung jawab dalam pengelolaan RTH sehingga menimbulkan
tumpang tindih pekerjaan, program, atau untuk beberapa jenis RTH
tidak ada yang mengelola secara rutin. Contohnya, berdasarkan hasil
wawancara dengan pihak Disbertaman yang tercantum dalam laporan
penyusunan rencana induk penataan, pengelolaan, dan pengendalian
ruang terbuka hijau Kota Bekasi, Sampai saat ini belum ada koordinasi
dari instansi-instansi tertentu seperti dalam proyek pelebaran jalan,
sehingga proyek pelebaran jalan sering kali menebang pohon dan tidak
memperhatikan keberadaan sempadan jalan untuk RTH. Pihak
Disbertaman selaku
dinas
yang
bertanggung
jawab terhadap
keberadaan RTH tidak bisa melakukan apa-apa karena bentuk
pengendalian RTH belum jelas dan belum ada koordinasi antara Dinas
PU selaku pihak pembangun dan Disbertaman. Selain itu Disbertaman
61
selama ini hanya bersifat menunggu kebijakan dari BAPPEDA, seakan
tidak memiliki kewenangan dalam penataan RTH Kota Bekasi.
c. Dana untuk pembangunan dan pemeliharaan RTH minim bahkan
belum memiliki anggaran khusus untuk pengelolaan RTH sehingga
tidak mencukupi untuk membangun taman-taman baru berskala kota.
d. Sumberdaya manusia sebagai pelaksana pemeliharaan RTH secara
kuantitas dan kualitas kurang sehingga ada RTH-RTH yang menjadi
tidak terawat. SDM yang ada baru untuk tahap pemeliharaan harian
dan tidak pada semua lokasi, sedangkan untuk pengawasan dan
pengendalian belum dilakukan secara rutin.
e. Hampir semua situ yang ada di Kota Bekasi tidak mempunyai daerah
pengaman situ, baik berupa sempadan situ yang merupakan ruang
terbuka hijau pada radius 200 m dari pinggir situ maupun ruang
terbuka hijau yang berfungsi sebagai daerah resapan air.
f. RTRW Kota Bekasi bersifat terlalu umum sehingga acuan terhadap
pengendalian RTH kurang begitu jelas.
3. Opportunities (Peluang)
a. Terdapat beberapa pihak ketiga (swasta/badan usaha) yang bekerja
sama dengan pemerintah Kota Bekasi dalam pengelolaan RTH.
b. Terdapat keterlibatan pihak developer perumahan dan masyarakat yang
berdampak positif pada kondisi taman yang ada di sekitar lingkungan
taman.
c. Berdasarkan pengembangan wilayah Bekasi bagian Utara dan Tengah,
kantong-kantong permukiman tidak teratur akan diremajakan menjadi
hunian vertikal dan campuran jasa komersial untuk efisiensi lahan,
menciptakan RTH, dan pembukaan akses kawasan.
d. Berdasarkan UU No 26 tahun 2007, wilayah kabupaten atau perkotaan
harus membuat rencana penyediaan dan pemanfaatan ruang RTH
sebesar minimal 30% dari luas wilayah.
62
4. Threats (Ancaman)
a. Kepadatan (11.100 jiwa/km2 pada tahun 2010) dan laju pertumbuhan
jumlah penduduk (3,8 % per tahun) di Kota bekasi yang diperkirakan
semakin meningkat akan mempengaruhi kebutuhan RTH baik secara
luasan maupun jenis komponen RTH.
b. Bagian Utara Kota Bekasi mengalami pertumbuhan kota yang sangat
pesat dan merupakan kawasan terbangun yang padat sehingga tidak
banyak dijumpai ruang hijau.
c. Lahan yang ada makin sempit dan harga lahan mahal sehingga secara
ekonomi lebih dimanfaatkan untuk kegiatan pembangunan.
Dari hasil identifikasi faktor eksternal dan internal, maka dapat disusun
kerangka SWOT sebagaimana tercantum dalam Tabel 15.
Tabel 15. Matriks Kombinasi Strategi Penambahan RTH di Kota Bekasi
Strengths (Kekuatan)
Opportunities Strategi SO
(Peluang)
Threats
(Ancaman)
1. Mengoptimalkan kinerja badanbadan pengelola RTH dengan
sistem koordinasi pembagian tugas
yang jelas.
2. Peningkatan hubungan kerja sama
pemerintah dengan pihak ketiga.
3. Memanfaatkan
wilayah
Kota
Bekasi Bagian Selatan yang masih
berpotensi tinggi untuk RTH dan
Optimalisasi lahan di wilayah
Utara Kota
Bekasi dengan
pembangunan vertikal.
4. Pengambilan kebijakan tegas dari
pemerintah untuk mewujudkan
target luasan RTH sesuai dengan
UU No 26 tahun 2007 dan
RPJMD 2008-2013
Strategi ST
Weaknesses (Kelemahan)
Strategi WO
1. Optimalisasi kerja sama dengan
pihak
ketiga
untuk
penggalangan dana pengelolaan
RTH.
2. Pengembangan RTH selain di
atas tanah.
3. Memberdayakan
masyarakat
sekitar dalam pemeliharaan
RTH di lingkungan sekitar
masyarakat.
Strategi WT
1. Mengoptimalkan program insentif 1. Optimalisasi fungsi RTRW
dan disinsentif terutama di wilayah
sebagai acuan pengendalian
Utara Kota Bekasi.
RTH.
2. Mengoptimalkan areal atau jalur di 2. Optimalisasi
pengawasan
sekitar sistem utilitas kota untuk
kegiatan pembangunan.
RTH.
3. Penyusunan anggaran khusus
RTH.
63
Hasil akhir dari analisis SWOT merupakan formulasi strategi dari faktorfaktor internal dan eksternal Kota Bekasi yang telah diidentifikasi sehingga
menghasilkan dua belas strategi dalam mengupayakan penambahan RTH di Kota
Bekasi, yaitu:
1. Mengoptimalkan
kinerja
badan-badan
pengelola
RTH
dengan
mengkoordinasikan tugas masing-masing secara jelas sehingga tidak
terjadi tumpang tindih dalam upaya pengelolaan RTH dan tidak terjadi
penelantaran RTH yang ada akibat dari ketidakjelasan badan mana yang
bertanggung jawab.
2. Peningkatan hubungan kerja sama pemerintah daerah dengan pihak ketiga
(swasta/badan usaha) dalam upaya pengadaan dan pemeliharaan RTH.
3. Memanfaatkan wilayah Selatan Kota Bekasi (Jati Sampurna, Jati Asih,
Bantar Gebang, dan Mustika Jaya) yang pembangunannya masih relatif
belum banyak dan masih banyak ditemukan lahan-lahan belum terbangun
sehingga pengembangan RTH dengan luasan memadai masih dapat
direalisasikan. Untuk wilayah Utara Kota Bekasi yang mayoritas
merupakan kawasan terbangun, dapat dilakukan optimalisasi lahan dengan
menganjurkan pada developer untuk melakukan pembangunan vertikal.
4. Pengambilan kebijakan tegas dari pemerintah daerah untuk mewujudkan
target luasan RTH sesuai dengan UU No 26 tahun 2007 dan RPJMD
2008-2013, contohnya dengan cara refungsionalisasi dan pengamanan
jalur-jalur hijau alami dari okupasi pemukiman liar, seperti di sepanjang
tepian jalan raya, jalan tol, bawah jalan layang, bantaran sungai,saluran
teknik irigasi, tepian pantai, bantaran rel kereta api, jalur SUTET, tempat
pemakaman umum, dan lapangan olahraga
5. Mengoptimalkan kerja sama dengan pihak ketiga (swasta/badan usaha)
dalam usaha penggalangan dana untuk pengelolaan dan penyediaan RTH.
6. Pengembangan RTH selain di atas tanah untuk kawasan-kawasan yang
sudah terbangun, seperti RTH di atas bangunan, di dalam bangunan, atau
di bawah bangunan sehingga dapat mengkompensasi lahan-lahan yang
telah telanjur digunakan sebagai lahan terbangun.
64
7. Memberdayakan masyarakat sekitar dalam pemeliharaan RTH di
lingkungan sekitar masyarakat.
8. Mengoptimalkan program insentif dan disinsentif pada pihak yang akan
mendirikan bangunan sebagai upaya pengendalian agar penggunaan lahan
dapat sesuai dengan rencana tata ruang wilayah Kota Bekasi.
9. Optimalisasi areal atau jalur di sekitar sistem utilitas kota untuk RTH,
seperti IPAL, IPLT, dan TPA yang seharusnya memiliki buffer yang
membatasi daerah tersebut dengan aktifitas di luarnya. Buffer ini dapat
berupa salah satu jenis RTH yang dapat berkontribusi bagi RTH Kota
Bekasi keseluruhan.
10. Mengoptimalisasi fungsi RTRW sebagai acuan pengendalian RTH
sehingga
ada
pedoman-pedoman
yang
tepat
dalam
pelaksanaan
penyelenggaraan dan pengelolaan RTH.
11. Optimalisasi pengawasan kegiatan pembangunan agar setiap kegiatan
pembangunan yang ada baik kegiatan pemerintahan, perdagangan dan
jasa, permukiman, dan industri dapat menyediakan lahan pertaman yang
memadai sebagai RTH privat.
12. Penyusunan anggaran khusus untuk RTH sehingga rencana-rencana
pengelolaan dan penyelenggaraan RTH dapat berjalan dengan baik.
BAB VI
KESIMPULAN DAN SARAN
6.1.
Kesimpulan
1. Analisis laju perubahan RTH di Kota Bekasi menunjukkan bahwa terjadi
penurunan Luas RTH selama periode tahun 2003 hingga 2010 sebesar 515,049
ha dengan laju penurunan RTH sebesar 2 % per tahun.
2. RTH yang ada di Kota Bekasi belum mencukupi kebutuhan RTH berdasarkan
jumlah penduduk dengan kekurangan sebesar 2.125,39 ha. Kemungkinan untuk
mencukupi kekurangan kebutuhan RTH penduduk tersebut sangat kecil karena
mayoritas lahan di Kota Bekasi telah banyak berubah menjadi lahan terbangun.
3. Penduduk Kota Bekasi terus meningkat sejak tahun 1997 hingga 2010 dengan
laju pertumbuhan penduduk rata-rata sebesar 3,8% per tahun dan laju
pertumbuhan kepadatan penduduk rata-rata sebesar 4 % per tahun.
4. Hasil analisis skalogram data PODES tahun 2003 dan 2006 menunjukkan
bahwa terjadi peningkatan hirarki kelurahan pada Kota Bekasi yang ditandai
dengan bertambahnya kelurahan berhirarki 2 dan berkurangnya kelurahan
berhirarki 3. Hasil boxplot menyatakan ada keterkaitan antara laju perubahan
RTH dengan hirarki wilayah, dimana secara umum laju konversi RTH besar
terjadi pada hirarki wilayah 1. Perubahan luas RTH terbesar terjadi pada
wilayah berhirarki 3.
5. Faktor-faktor yang mempengaruhi perubahan luas RTH adalah jarak ke
kabupaten yang membawahi, luas RTH tahun 2003,jarak ke fasilitas sosial,
perubahan lahan terbangun, luas lahan kosong tahun 2003, jarak ke fasilitas
pendidikan, dan perubahan jumlah fasilitas ekonomi.
6. Luas areal arahan pertambahan RTH yang dihasilkan sebesar 541,686 ha.
Luasan
arahan pertambahan RTH tersebut masih belum bisa mencukupi
kebutuhan RTH berdasarkan jumlah penduduk di Kota Bekasi. Kekurangan
luasan pertambahan RTH yang dibutuhkan untuk bisa memenuhi kebutuhan
RTH berdasarkan jumlah penduduk adalah sebesar 1.583,71 ha.
7. Upaya-upaya yang dapat dilakukan dalam usaha penambahan RTH adalah 1)
mengoptimalkan kinerja badan-badan pengelola RTH dengan koordinasi tugas
66
yang jelas, 2) Peningkatan hubungan kerjasama pemerintah dengan pihak
ketiga, 3) Memanfaatkan wilayah Kota Bekasi bagian Selatanyang masih
berpotensi tinggi untuk RTH dan optimalisasi lahan di wilayah Utara Kota
Bekasi dnegan pembangunan vertikal, 4) Pengambilan kebijakan yang tegas
dari pemerintah daerah mengenai okupasi pemukiman liar, 5) Optimalisasi
kerjasama dengan pihak ketiga untuk penggalangan dana pengelolaan RTH, 6)
Pengembangan RTH selain di atas tanah, 7) Memberdayakan masyarakat
sekitar dalam pemeliharaan RTH di lingkungan sekitar masyarakat, 8)
Mengoptimalkan program insentif dan disinsentif, 9) mengoptimalkan areal
jalur di sekitar sisten utilitas kota untuk RTH, 10) Optimalisasi fungsi RTRW
sebagai acuan pengendalian RTH, 11) Optimalisasi pengawasan kegiatan
pembangunan, 12) Penyusunan anggaran khusus RTH,
6.2.
Saran
Analisis kecukupan RTH pada penelitian ini hanya ditentukan berdasarkan
jumlah penduduk. Oleh sebab itu, perlu dilakukan kajian mengenai kecukupan
RTH perkotaan berdasarkan pada kebutuhan oksigen kota, dan kebutuhan air.
Demikian juga disarankan juga pembuatan skenario yang lebih detil mengenai
arahan penambahan RTH kota agar kebutuhan RTH dapat terpenuhi. Luasan
kebutuhan RTH berdasarkan 20% luas wilayah Kota Bekasi lebih kecil dari pada
luasan kebutuhan RTH berdasarkan jumlah penduduk dan juga merupakan
ketentuan yang tertuang dalam UU No 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang,
maka target luasan ini harus dicapai lebih dulu. Setelah Mencapai luasan tersebut,
dilakukan perluasan areal RTH sehingga dapat mencapai luasan kebutuhan RTH
berdasarkan jumlah penduduk untuk menunjang kenyamanan penduduk dalam
beraktifitas.
DAFTAR PUSTAKA
Anonim. 2007. Undang-undang Republik Indonesia Nomor 26 Tahun 2007
Tentang Penataan Ruang.
[BAPPEDA] Badan Perencanaan Pembangunan Daerah Kota Bekasi. 2005.
Laporan Peninjauan Kembali RTRW Kota Bekasi Tahun 2000-2010. Kota
Bekasi.
[BAPPEDA] Badan Perencanaan Pembangunan Daerah Kota Bekasi. 2007.
Laporan Penyusunan Rencana Induk Penataan, Pengelolaan, dan
Pengendalian Ruang Terbuka Hijau Kota Bekasi. Kota Bekasi
[BAPPEDA] Badan Perencanaan Pembangunan Daerah Kota Bekasi.
2010. Kota Bekasi Dalam Angka 2009. Kota Bekasi.
[BAPPEDA] Badan Perencanaan Pembangunan Daerah Kota Bekasi. 2010. Kota
Bekasi Dalam Angka 2009. Kota Bekasi.
[BPS] Badan Pusat Statistik Kota Bekasi. 2010. Hasil Sensus Penduduk 2010.
Kota Bekasi
Dahlan E. N. 1992. Hutan Kota untuk Pengelolaan dan Peningkatan kualitas
Lingkungan Hidup. Asosiasi Pengusahaan Hutan Indonesia (APHI).
Jakarta
Departemen Arsitektur Lanskap Fakultas Pertanian IPB. 2005. Ruang Terbuka
Hijau (RTH) Wilayah Perkotaan. makalah lokakarya Pengembangan
Sistem RTH di Perkotaan dalam rangkaian acara hari bakti Pekerjaan
Umum ke 60. Direktorat Jenderal Penataan Ruang Departemen Pekerjaan
Umum.
Dinas Tenaga Kerja Kota Bekasi. 2010. Kota Bekasi Dalam Angka 2009. Kota
Bekasi
Direktorat Jenderal Penataan Ruang. 2006. Ruang Terbuka Hijau Sebagai Unsur
Utama Tata Ruang Kota. Direktorat Jenderal Penataan Ruang. Departemen
Pekerjaan Umum. Jakarta
Direktorat Jenderal Penataan Ruang Departemen Pekerjaan Umum. 2008.
Peraturan Menteri Pekerjaan Umum Nomor: 05/PRT/M/2008 tentang
Pedoman Penyediaan dan Pemanfaatan Ruang Terbuka Hijau di Kawasan
Perkotaan. Departemen Pekerjaan Umum. Jakarta
Harti C. I. 2005. Pengaruh Taman Lingkungan Terhadap Suhu Udara di Dalam
Taman dan Sekitarnya. Jurnal Landskap Indonesia. 1(1): 7-13.
Hartini S, Harintaka, dan Istarno. 2008. Analisis Konversi Ruang Terbuka Hijau
Menjadi penggunaan Perumahan di Kecamatan Tembalang Kota
Semarang. Media Teknik. 4(30): 470-478.
Hasni. 2009. Ruang Terbuka Hijau Dalam Rangka Penataan Ruang. Jurnal
Hukum. 4(2): 39-65
68
Hendrawan A. 2003. Optimalisasi Ruang Terbuka Hijau Untuk Remaja (Studi
Kasus: Empat Ruang Terbuka Hijau di DKI Jakarta).PSIL PPS UI.
Jakarta.
Http://bekasikota.go.id. diakses tanggal 30 Januari 2012.
Iskandarini. 2004. Analisis Pemecahan Masalah dan Pengambilan Keputusan.
Universitas Sumatra Utara. http://repository.usu.ac.id:6 Maret 2012
Leitmann J. 1999. Sustaining Cities: Environmental Planning and Management in
Urban Design. Mc Graw-Hill. New York.
Lillesand T. M. dan Kiefer R.W. 1990. Penginderaan Jauh dan Interpretasi Citra.
Terjemahan. Gajah Mada University Press. Jogyakarta
Munibah K, Sitorus S.R.P., Rustiadi E, Gandasasmita K, dan Hartisari. 2009.
Model Hubungan Antara Jumlah Penduduk dengan Luas Lahan Pertanian
dan Permukiman. Jurnal Tanah dan Lingkungan. 11(1): 31-39
Putri P. 2010. Analisis Spasial dan Temporal Perubahan Luas Ruang Terbuka
Hijau di Kota Bandung. Jurnal landskap Indonesia. 2(2): 111-117.
Sancho S. H. 2005. Studi Tentang Alun-Alun Bandung Sebagai Ruang Terbuka
Hijau. Jurnal Landskap Indonesia. 1(1): 1-3.
Saputro T.H. 2010. Studi Pengaruh Area Perkerasan Terhadap Perubahan Suhu
Udara. Jurnal Landskap Indonesia. 2(2): 74-80.
Sinulingga B. D. 2005. Pembangunan Kota: Tinjauan regional dan lokal. Pustaka
Sinar Harapan. Jakarta
Sugandhy A. dan Hakim R. 2007. Prinsip Dasar Kebijakan Pembangunan
Berkelanjutan Berwawasan Lingkungan. Bumi Aksara. Jakarta.
Suwarli. Dinamika Perubahan Penggunaan Lahan dan Strategi Pengalokasian
Ruang Terbuka Hijau Berdasarkan Penganggaran Daerah Berbasis
Lingkungan (Studi Kasus Kota Bekasi). [Disertasi] Sekolah Pasca Sarjana,
Institut Pertanian Bogor.
Utami R. 2011. Analisis Kebutuhan Taman Pemakaman Umum Sebagai
Pendukung Ruang Terbuka Hijau Di Kota Medan. WAHANA HIJAU
Jurnal Perencanaan dan Pengembangan Wilayah. 6(3):167-176.
Verbist B., Putra A.E., dan Budidarsono S. 2004. Penyebab Alih Guna Lahan dan
Akibatnya Terhadap Fungsi Daerah Aliran Sungai (DAS) Pada Lansekap
Agroforestri Berbasis Kopi di Sumatra. Agrivita. 26(1):29-38.
Wikantika K. dan Agus S. S. A. 2006. Analisis Perubahan Luas Pertanian Lahan
Kering Menggunakan Transformasi Tasseled Cap Studi Kasus: Kawasan
Puncak-Jawa Barat. Infrastuktur dan Lingkungan Binaan. 2(1): 29-35.
LAMPIRAN
70
Lampiran 1. Hirarki Wilayah Kota Bekasi Tahun 2003
Kecamatan
Kelurahan
Bekasi Timur
Medan Satria
Pondokgede
Bekasi Timur
Bekasi Timur
Bekasi Selatan
Bekasi Barat
Pondokgede
Medan Satria
Bekasi Selatan
Pondokgede
Bantargebang
Medan Satria
Pondokgede
Medan Satria
Rawalumbu
Jatiasih
Bekasi Utara
Bantargebang
Pondokgede
Bekasi Utara
Jatiasih
Bekasi Utara
Bekasi Timur
Bekasi Barat
Bekasi Selatan
Bekasi Utara
Bekasi Barat
Bekasi Selatan
Rawalumbu
Jatiasih
Rawalumbu
Bekasi Selatan
Jatiasih
Bekasi Barat
Jatiasih
Bekasi Utara
Rawalumbu
Jatisampurna
Jatisampurna
Bekasi Utara
Margahayu
Medan Satria
Jatirahayu
Bekasi Jaya
Duren Jaya
Pekayon Jaya
Kranji
Jatiwaringin
Pejuang
Kayuringin Jaya
Jatibening
Bantargebang
Kali Baru
Jatimakmur
Harapan Mulya
Sepanjang Jaya
Jatirasa
Harapan Jaya
Mustika Jaya
Jatiwarna
Teluk Pucung
Jatikramat
Kaliabang Tenga
Aren Jaya
Bintara
Jaka Mulya
Marga Mulya
Jaka Sampurna
Jaka Setia
Pengasinan
Jatimekar
Bojong Rawalumbu
Marga Jaya
Jatiasih
Kota Baru
Jatisari
Harapan Baru
Bojong Menteng
Jatikarya
Jatisampurna
Perwira
Jumlah
Jumlah Jenis
Fasilitas
Fasilitas
353
24
959
23
557
23
429
22
1210
21
1159
21
896
21
1176
20
1104
20
1011
20
402
20
1101
19
1003
19
935
19
924
19
588
19
565
19
526
19
523
19
450
19
437
19
388
19
653
18
463
18
454
18
418
18
260
18
1165
17
985
17
907
17
720
17
674
17
588
17
447
17
246
17
231
17
165
17
1155
16
774
16
412
16
195
16
Hirarki
Hirarki 1
Hirarki 1
Hirarki 1
Hirarki 1
Hirarki 1
Hirarki 1
Hirarki 1
Hirarki 2
Hirarki 2
Hirarki 2
Hirarki 2
Hirarki 2
Hirarki 2
Hirarki 2
Hirarki 2
Hirarki 2
Hirarki 2
Hirarki 2
Hirarki 2
Hirarki 2
Hirarki 2
Hirarki 2
Hirarki 2
Hirarki 2
Hirarki 2
Hirarki 2
Hirarki 2
Hirarki 3
Hirarki 3
Hirarki 3
Hirarki 3
Hirarki 3
Hirarki 3
Hirarki 3
Hirarki 3
Hirarki 3
Hirarki 3
Hirarki 3
Hirarki 3
Hirarki 3
Hirarki 3
71
Lampiran 1. (Lanjutan)
Kecamatan
Kelurahan
Bekasi Barat
Bantargebang
Jatisampurna
Jatisampurna
Jatisampurna
Bantargebang
Jatiasih
Bantargebang
Bantargebang
Bantargebang
Bantargebang
Bintara Jaya
Padurenan
Jatimurni
Jatiranggon
Jatirangga
Mustika Sari
Jatiluhur
Cikiwul
Cimuning
Ciketingudik
Sumur Batu
Jumlah
Jumlah Jenis
Fasilitas
Fasilitas
123
16
1052
15
335
15
195
14
71
14
764
13
232
13
113
13
191
11
170
10
440
9
Hirarki
Hirarki 3
Hirarki 3
Hirarki 3
Hirarki 3
Hirarki 3
Hirarki 3
Hirarki 3
Hirarki 3
Hirarki 3
Hirarki 3
Hirarki 3
72
Lampiran 2. Hirarki Wilayah Kota Bekasi Tahun 2010
Kecamatan
Kelurahan
Bekasi Timur
Bekasi Selatan
Pondok Melati
Bekasi Timur
Pondok Gede
Bekasi Selatan
Bekasi Timur
Bekasi Selatan
Rawa Lumbu
Bekasi Barat
Bantar Gebang
Bekasi Barat
Medan Satria
Rawa Lumbu
Pondok Gede
Bekasi Timur
Bekasi Utara
Bekasi Utara
Medan Satria
Jati Asih
Bekasi Barat
Pondok Gede
Medan Satria
Medan Satria
Bekasi Barat
Jati Sampurna
Pondok Gede
Bekasi Utara
Bekasi Selatan
Bekasi Selatan
Bekasi Barat
Jati Asih
Rawa Lumbu
Pondok Melati
Bekasi Utara
Jati Asih
Jati Sampurna
Rawa Lumbu
Jati Asih
Jati Asih
Margahayu
Kayuringin Jaya
Jatirahayu
Bekasi Jaya
Jatiwaringin
Jaka Setia
Aren Jaya
Pekayon Jaya
Bojong Rawalumbu
Bintara
Bantargebang
Jaka Sampurna
Medan Satria
Sepanjang Jaya
Jaticempaka
Duren Jaya
Harapan Jaya
Teluk Pucung
Pejuang
Jatisari
Kota Baru
Jatimakmur
Kali Baru
Harapan Mulya
Kranji
Jatisampurna
Jatibening
Kaliabang Tengah
Marga Jaya
Jaka Mulya
Bintara Jaya
Jatiasih
Bojong Menteng
Jatiwarna
Marga Mulya
Jatirasa
Jatikarya
Pengasinan
Jatimekar
Jatikramat
Jumlah
Fasilitas
952
725
837
544
1267
1175
559
1389
1138
567
397
352
220
178
1247
723
602
481
459
452
375
331
309
284
277
238
874
706
432
349
295
266
242
376
281
266
201
201
364
360
Jumlah Jenis
Fasilitas
25
25
24
24
22
22
22
21
21
21
21
21
21
21
20
20
20
20
20
20
20
20
20
20
20
20
19
19
19
19
19
19
19
18
18
18
18
18
17
17
Hirarki
Hirarki 1
Hirarki 1
Hirarki 1
Hirarki 1
Hirarki 1
Hirarki 1
Hirarki 1
Hirarki 2
Hirarki 2
Hirarki 2
Hirarki 2
Hirarki 2
Hirarki 2
Hirarki 2
Hirarki 2
Hirarki 2
Hirarki 2
Hirarki 2
Hirarki 2
Hirarki 2
Hirarki 2
Hirarki 2
Hirarki 2
Hirarki 2
Hirarki 2
Hirarki 2
Hirarki 2
Hirarki 2
Hirarki 2
Hirarki 2
Hirarki 2
Hirarki 2
Hirarki 2
Hirarki 3
Hirarki 3
Hirarki 3
Hirarki 3
Hirarki 3
Hirarki 3
Hirarki 3
73
Lampiran 2. (lanjutan)
Kecamatan
Kelurahan
Pondok Melati
Mustika Jaya
Pondok Gede
Bekasi Utara
Bekasi Utara
Pondok Melati
Jati Asih
Mustika Jaya
Jati Sampurna
Mustika Jaya
Mustika Jaya
Bantar Gebang
Bantar Gebang
Jati Sampurna
Jati Sampurna
Bantar Gebang
Jatimurni
Mustikajaya
Jatibaru
Perwira
Harapan Baru
Jatimelati
Jatiluhur
Mustikasari
Jatiranggon
Cimuning
Padurenan
Cikiwul
Ciketingudik
Jatiraden
Jatirangga
Sumur Batu
Jumlah
Fasilitas
359
213
199
198
188
312
302
105
206
125
212
217
199
141
79
151
Jumlah Jenis
Hirarki
Fasilitas
17 Hirarki 3
17 Hirarki 3
17 Hirarki 3
17 Hirarki 3
17 Hirarki 3
16 Hirarki 3
16 Hirarki 3
16 Hirarki 3
15 Hirarki 3
15 Hirarki 3
14 Hirarki 3
13 Hirarki 3
13 Hirarki 3
12 Hirarki 3
12 Hirarki 3
11 Hirarki 3
74
Lampiran 3. Titik Pengamatan Lapang
Kecamatan
Kelurahan
Perubahan
x
y
Bekasi Utara
Bantar Gebang
Medan Satria
Medan Satria
Bekasi Selatan
Bekasi Selatan
Bekasi Timur
Medan Satria
Mustika Jaya
Bekasi Selatan
Pondok Gede
Jati Asih
Rawalumbu
Bekasi Selatan
Rawalumbu
Jati Asih
Jati Sampurna
Bekasi Selatan
Bantar Gebang
Medan Satria
Jati Asih
Bekasi Selatan
Jati Asih
Bekasi Selatan
Jati Asih
Pondok Gede
Bantar Gebang
Medan Satria
Bekasi Timur
Jati Asih
Pondok Gede
Mustika Jaya
Bekasi Timur
Mustika Jaya
Jati Asih
Bantar Gebang
Rawalumbu
Bekasi Timur
Bekasi Utara
Bantar Gebang
Bekasi Barat
Harapan Baru
Bantar Gebang
Medan Satria
Medan Satria
Kayuringin Jaya
Marga Jaya
Bekasi Jaya
Medan Satria
Padurenan
Jaka Mulya
Jati Bening
Jati sari
Bojong Menteng
Marga Jaya
Pengasinan
Jati Mekar
Jati Ranggon
Jaka Mulya
Sumur Batu
Medan Satria
Jati Luhur
Kayuringin Jaya
Jati Asih
Jaka Mulya
Jati Asih
Jati Bening
Ciketing Udik
Harapan Mulya
Margahayu
Jati sari
Jati Bening
Mustika Sari
Aren Jaya
Cimuning
Jati Luhur
Ciketing Udik
Bojong Menteng
Margahayu
Teluk Pucung
Sumur Batu
Kota Baru
badan air-->badan air
industri-->industri
industri-->rth pr
jalan-->rth-p jalur hijau jalan
lahan kosong-->industri
lahan kosong-->perkantoran dan jasa
lahan kosong-->permukiman
lahan kosong-->rth pr
lahan kosong-->rth pr
lahan kosong-->rth-p jalur hijau jalan
lahan kosong-->rth-p jalur hijau jalan
lahan kosong-->rth-p sempadan sungai
lahan kosong-->rth-p sempadan sungai
lahan kosong-->rth-p taman
perkantoran dan jasa-->perkantoran dan jasa
permukiman-->lahan kosong
permukiman-->rth pr
permukiman-->rth-p jalur hijau jalan
rth pr-->badan air
rth pr-->industri
rth pr-->industri
rth pr-->industri
rth pr-->jalan
rth pr-->jalan tol
rth pr-->jalan tol
rth pr-->lahan kosong
rth pr-->lahan kosong
rth pr-->perkantoran dan jasa
rth pr-->perkantoran dan jasa
rth pr-->permukiman
rth pr-->permukiman
rth pr-->permukiman
rth pr-->permukiman
rth pr-->rth pr
rth pr-->rth pr
rth pr-->rth pr
rth pr-->rth pr
rth pr-->rth-p jalur hijau jalan
rth pr-->rth-p jalur hijau jalan
rth pr-->sawah
rth pr-->sungai
723579,29
718943,61
717977,05
722259,31
720238,76
720570,43
721912,51
718638,90
721530,49
716716,29
713654,65
716000,18
720686,70
721268,98
722338,64
715074,36
713561,44
716681,16
721441,39
718651,89
715812,12
720119,94
716775,95
716720,14
716211,97
713204,01
719016,60
720495,12
722141,46
714136,17
714670,37
722309,78
724615,22
724782,47
716076,55
718371,38
720584,76
723674,60
723992,99
721759,26
718042,66
9312679,85
9300740,31
9315089,55
9309166,89
9309373,54
9309924,04
9310479,53
93151491,97
9302202,32
9305741,50
9307972,46
9297812,72
9303121,53
9309629,68
9307801,72
9302929,84
9298592,48
9317885,49
9297483,17
9312965,79
9301527,69
9310325,32
9303839,18
9306345,15
9303530,87
9307768,60
9297747,65
9310633,01
9308400,00
9297887,28
9307238,19
9304340,73
9309739,02
9301893,66
9301326,18
9297756,20
9302633,50
9308215,37
9312963,38
9299403,58
9312306,24
Bantar Gebang
Sumur Batu
rth pr-->TPA
721359,12
9297897,21
75
Lampiran 3. (Lanjutan)
Kecamatan
Kelurahan
Perubahan
x
y
Bekasi Selatan
Kayuringin Jaya
rth-p hijau olahraga-->fasilitas olahraga
720273,103
9309905,013
Bekasi Selatan
Pondok Gede
Kayuringin Jaya
Jati Makmur
rth-p hijau olahraga-->rth-p hijau olahraga
rth-p jalur hijau jalan-->jalan
720415,928
713152,397
9310406,497
9306090,715
Bekasi Selatan
Bekasi Barat
Pekayon Jaya
Jakasampurna
rth-p jalur hijau jalan-->jalan
rth-p jalur hijau jalan-->jalan tol
718456,479
716532,113
9308163,158
9308135,409
Pondok Melati
Jati Asih
Bekasi Barat
Bekasi Selatan
Rawalumbu
Bekasi Barat
Jati Rahayu
Jati Luhur
Bintara Jaya
Pekayon Jaya
Pengasinan
Jakasampurna
rth-p jalur hijau jalan-->lahan kosong
rth-p jalur hijau jalan-->permukiman
rth-p jalur hijau jalan-->permukiman
rth-p jalur hijau jalan-->rth-p jalur hijau jalan
rth-p jalur hijau jalan-->rth-p jalur hijau jalan
rth-p jalur hijau jalan-->rth-p jalur hijau jalan
712004,022
714678,015
715806,819
719643,394
723034,915
718101,222
9304073,815
9301551,927
9310582,363
9308574,394
9307323,765
9309100,491
Pondok Gede
Bekasi Timur
Pondok Gede
Rawalumbu
Medan Satria
Rawalumbu
jati Bening Baru
Duren jaya
Jati Cempaka
Bojong Rawalumbu
Kali Baru
Pengasinan
rth-p jalur hijau jalan-->rth-p jalur hijau jalan
rth-p sempadan sungai-->lahan kosong
rth-p sempadan sungai-->permukiman
rth-p sempadan sungai-->rth-p sempadan sungai
rth-p sempadan sungai-->sungai
rth-p taman-->rth-p taman
716222,820
723566,861
710764,904
719382,929
719385,871
722297,551
9308071,618
9310920,135
9307530,186
9305819,190
9312040,519
9307782,586
Bekasi Timur
Jati Asih
Jati Asih
Rawalumbu
Duren jaya
Jati Asih
Jati Rasa
Pengasinan
rth-p TPU-->rth-p TPU
sawah-->rth-p jalur hijau jalan
sawah-->sawah
sungai-->rth-p sempadan sungai
723789,802
716240,590
716931,571
721427,901
9310382,020
9303676,779
9301767,820
9306298,146
76
Lampiran 4. Layout Kuesioner
Hari/ Tanggal
Koordinat x
Koordinat y
Kecamatan
Kelurahan
Penggunaan lahan 2003
Penggunaan lahan 2010
Penggunaan lahan eksisting
Intensitas penggunaan lahan
Elevasi
Kepemilikan
Tahun Berubah
Informasi lain terkait
Download