ANALISIS RUANG TERBUKA HIJAU (RTH) DAN KECUKUPANNYA TERHADAP JUMLAH PENDUDUK DI KOTA BEKASI FEBRIANA WIDIASTUTI A14070024 PROGRAM STUDI MANAJEMEN SUMBERDAYA LAHAN DEPARTEMEN ILMU TANAH DAN SUMBERDAYA LAHAN FAKULTAS PERTANIAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2012 i RINGKASAN FEBRIANA WIDIASTUTI. Analisis Ruang Terbuka Hijau (RTH) dan Kecukupannya Terhadap Jumlah penduduk di Kota Bekasi. Dibimbing oleh SANTUN R.P SITORUS dan DYAH RETNO PANUJU. Ruang Terbuka Hijau (RTH) merupakan unsur utama tata ruang kota. RTH perlu ada di antara struktur bangunan sebagai pelunak dan penyejuk lingkungan. Pemerintah di Indonesia pada umumnya memiliki kesulitan untuk meningkatkan RTH sehingga hanya sekedar mempertahankan luasannya bahkan di sebagian kota target luasan RTH menjadi semakin diperkecil. Kota Bekasi merupakan salah satu bagian integral wilayah Jabodetabek yang memiliki perkembangan pesat. Sebagai kota yang berkembang pesat, maka penggunaan lahan cenderung digunakan untuk lahan-lahan terbangun seperti perumahan, perkantoran, dan perindustrian. Tujuan penelitian ini adalah 1) mengetahui laju perubahan luas RTH dan kecukupannya terhadap jumlah penduduk di kota Bekasi, 2) mengetahui laju pertumbuhan penduduk dan perkembangan wilayah di kota Bekasi, 3) mengetahui faktor-faktor yang mempengaruhi perubahan luas RTH, 4) mengetahui areal yang berpotensi untuk dijadikan RTH dan kecukupannya berdasarkan jumlah penduduk, dan 5) menyusun upaya penambahan RTH di Kota Bekasi. Pada periode tahun 2003 hingga 2010 terjadi penurunan RTH di Kota Bekasi. Hal ini ditandai dengan laju perubahan RTH per tahun yang bernilai negatif, yaitu -0.024. Jumlah penduduk Kota Bekasi terus meningkat dengan ratarata laju pertumbuhan penduduk sebesar 3,8% per tahun dan rata-rata laju kepadatan penduduk sebesar 4% per tahun. Hasil analisis skalogram sederhana tahun 2003 dan 2006 menunjukkan terjadi peningkatan hirarki pada Kota Bekasi yang ditandai dengan bertambahnya kelurahan berhirarki 2 dan berkurangnya kelurahan berhirarki 3. Secara umum laju konversi RTH besar terjadi pada hirarki wilayah 1 dan perubahan luas RTH terbesar terjadi pada wilayah berhirarki 3. Pada tahun 2010, Kota Bekasi tidak mampu mencukupi kebutuhan RTH berdasarkan jumlah penduduk. RTH eksisting pada tahun 2010 sebesar 2.547,59 ha, sedangkan kebutuhan RTH berdasarkan jumlah penduduk sebesar 4.672,98 ha. Upaya penambahan RTH dengan mengidentifikasi areal yang berpotensi untuk RTH dipilih penggunaan berupa lahan kosong (541,686 Ha) tetap tidak dapat mencukupi kekurangan RTH berdasarkan jumlah penduduk. Faktor-faktor yang mempengaruhi perubahan luas RTH adalah jarak ke pusat kota yang membawahi, luas RTH tahun 2003, jarak ke fasilitas sosial, perubahan lahan terbangun, luas lahan kosong tahun 2003, jarak ke fasilitas pendidikan, dan perubahan jumlah fasilitas ekonomi. Upaya-upaya yang dapat dilakukan dalam usaha penambahan RTH adalah 1) mengoptimalkan kinerja badan-badan pengelola RTH dengan koordinasi tugas yang jelas, 2) Peningkatan hubungan kerjasama pemerintah dengan pihak ketiga, 3) Memanfaatkan wilayah Kota Bekasi bagian Selatan yang masih berpotensi tinggi untuk RTH dan optimalisasi lahan di wilayah Utara Kota Bekasi dengan pembangunan vertikal, 4) Pengambilan kebijakan yang tegas dari pemerintah daerah mengenai okupasi pemukiman liar, 5) Optimalisasi kerjasama dengan pihak ketiga untuk penggalangan dana pengelolaan RTH, 6) Pengembangan RTH selain di atas tanah, 7) Memberdayakan masyarakat sekitar ii dalam pemeliharaan RTH yang ada di lingkungan sekitar masyarakat, 8) Mengoptimalkan program insentif dan disinsentif, 9) mengoptimalkan areal jalur di sekitar sisten utilitas kota untuk RTH, 10) Optimalisasi fungsi RTRW sebagai acuan pengendalian RTH, 11) Optimalisasi pengawasan kegiatan pembangunan, 12) Penyusunan anggaran khusus RTH. Kata kunci: RTH (Ruang Terbuka Hijau), Konversi, Jumlah Penduduk iii SUMMARY FEBRIANA WIDIASTUTI. An Analysis of Greenery Open Space (GOS) and Its Adequacy Based on Population in the Bekasi City. Supervised by SANTUN R.P SITORUS and DYAH RETNO PANUJU. Greenery Open Space (RTH) is a major element of urban spatial structure. It should exist among buildings as a buffer of the environment. Government in Indonesia generally have difficulties to increase the greenery open space and they just try to maintaining the area, even the acreage target in some cities is reduced. Bekasi City is part of the Jabodetabek area which develop rapidly. As a fast developing city, built up area such as housing, offices, and industrial accupied the land. The purpose of this study are 1) to determine the change rate of greenery open space and its adequacy based on population of Bekasi City, 2) to examine the rate of population growth and development of urban areas in Bekasi City, 3) to understand factors affecting the changes of greenery open space in Bekasi City, 4) to identify potential area for greenery open space area expansion and to analyze its adequacy based on population, and 5) to formulate efforts increasing the green open space area in Bekasi City. In the period 2003 to 2010, greenery open space decreased slightly in Bekasi City. It was characterized by negative rate at -2% per annum. The population of Bekasi City increased continually with average growth at 3.8% and average density growth at 4% annually. Hierarchy of Bekasi City in 2003 and 2006 was shifting in structure. It was characterized by increasing of hierarchy 2 and decreasing of hierarchy 3. Greenery open space was converted significantly in hierarchy 1 and the largest change was taken place in hierarchy 3. In 2010, Bekasi City can not fulfill minimum acreage of greenery open space based on population. The existing of green open space in 2010 is 2547.59 ha, but the greenery open space required is 4672.98 ha. Potential area to expand greenery open space area are vacant land (541.686 ha). Nonetheless, it is not sufficient. Factors that affecting the change of greenery open space were distance to the district, initial greenery open space area (in 2003), distance to social facilities, growth of built up land, vacant land area in 2003, distance to educational facilities, and increasing economic facilities. The efforts to enlarge greenery open space area can be, 1) optimizing the performance of greenery open space management with explisit coordination, 2) increasing cooperation between government and third-parties, 3) optimizing the Southern of Bekasi City which is potential for greenery open space enlargement and optimizing the Northern area with vertical development, 4) taking strick policy about occupation of illegal settlements, 5) optimizing the cooperation with third parties to increase the funds to develop RTH, 6) developing vertical greenery to increase greenery open space, 7) empowering local communities to maintain greenery open space, 8) optimizing incentive and disincentives program, 9) optimizing the area around city utilities system for greenery open space, 10) optimizing RTRW functions as a reference control for RTH, 11) optimizing control of development activities, 12) formulating special budget for RTH. Keywords : Greenery Open Space, Conversion, Population. iv ANALISIS RUANG TERBUKA HIJAU (RTH) DAN KECUKUPANNYA TERHADAP JUMLAH PENDUDUK DI KOTA BEKASI Febriana Widiastuti A14070024 Skripsi Sebagai Salah Satu Syarat untuk Memperoleh Gelar Sarjana Pertanian Pada Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor POGRAM STUDI MANAJEMEN SUMBERDAYA LAHAN DEPARTEMEN ILMU TANAH DAN SUMBERDAYA LAHAN FAKULTAS PERTANIAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2012 v Judul Skripsi Nama Mahasiswa NRP : Analisis Ruang Terbuka Hijau (RTH) dan Kecukupannya Terhadap Jumlah penduduk di Kota Bekasi : Febriana Widiastuti : A14070024 Menyetujui, Pembimbing 1 Pembimbing 2 Prof. Dr. Ir. Santun R.P Sitorus NIP. 19490721 197302 1 001 Dyah Retno Panuju, S.P, M.Si NIP. 19710412 199702 2 005 Mengetahui, Ketua Departemen Ilmu Tanah dan Sumberdaya Lahan Dr. Ir. Syaiful Anwar, M.Sc. NIP. 1962113 198703 1003 Tanggal lulus: vi RIWAYAT HIDUP Penulis bernama lengkap Febriana Widiastuti, dilahirkan di Trenggalek, Provinsi Jawa Timur pada tanggal 20 Februari 1989. Penulis adalah anak pertama dari tiga bersaudara dari pasangan Bapak Supriyadi dan Ibu Gunarti. Penulis memulai pendidikan formal di TK Dharma Wanita I pada tahun 1994-1995. Kemudian, pada tahun 1995 penulis meneruskan pendidikan di SD Negeri III Karangan dan menyelesaikan pendidikan pada tahun 2001. Pada tahun yang sama penulis diterima di SLTP Negeri I Karangan dan menyelesaikan pendidikannya pada tahun 2004. Penulis melanjutkan pendidikan ke SMA Negeri 1 Trenggalek dan menyelesaikan pada tahun 2007. Pada tahun yang sama, penulis diterima menjadi mahasiswa Institut Pertanian Bogor melalui Program USMI di Departemen Ilmu Tanah dan Sumberdaya Lahan, Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor. Selama menjadi Mahasiswa, penulis aktif menjadi pengurus di beberapa Organisasi, yaitu Badan Eksekutif Mahasiswa Fakultas Pertanian (2008-2009) dan Himpunan Mahasiswa Ilmu Tanah (2009-2010). Penulis pernah menjadi anggota paduan suara mahasiswa Agriaswara IPB selama satu tahun dari tahun 2007 hingga 2008. Penulis juga aktif dalam kegiatan Departemen Ilmu Tanah dan Sumberdaya Lahan dan juga kegiatan kampus lainnya. Dalam kegiatan akademik, penulis pernah berkesempatan menjadi asisten praktikum untuk mata kuliah Perencanaan dan Pengembangan Wilayah pada tahun ajaran 2010-2011. Selama studi di IPB, penulis juga memperoleh beasiswa PPA. vii KATA PENGANTAR Puji syukur kehadirat Allah SWT yang telah melimpahkan rahmat, karunia serta hidayah-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan penulisan skripsi dengan judul ”Analisis Ruang Terbuka Hijau (RTH) dan Kecukupannya Terhadap Jumlah penduduk di Kota Bekasi”. Pada kesempatan ini penulis mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah membantu dalam penulisan skripsi ini, terutama kepada: 1. Bapak Prof. Dr. Ir. Santun R.P Sitorus selaku dosen pembimbing I dan Ibu Dyah Retno Panuju, S.P, M.Si selaku dosen pembimbing II, atas segala bimbingan, kesabaran dan pengarahan yang diberikan kepada penulis. 2. Dr. Suwarli dan Pemerintah Daerah Kota Bekasi yang telah membantu dalam proses pengumpulan data, serta Dr. Ir. Widiatmaka sebagai dosen penguji dalam ujian akhir penelitian ini. 3. Ibunda tercinta Gunarti, Ayahanda Supriyadi, dan adik-adikku Kresna dan Bintang, yang telah memberikan semangat, dukungan, kasih sayang, baik dalam bentuk moril maupun materil serta doa kepada penulis. 4. Dosen dan staf Laboratorium Perencanaan dan Pengembangan Wilayah yang banyak membantu selama penulis melaksanakan penelitian. Farid, Angga, dan Rahmat yang telah membantu dalam survei lapang. 5. Teman-teman seperjuangan (Citra, Nindi, Chitae, Achi, Lili, Ufi, dan Sisharyanto) yang telah berjuang bersama-sama dalam menyelesaikan penelitian kami. Rahmat Hadi Wibowo yang selalu memberikan semangat. Keluarga Gareulis (Woro, Rianda, Viya, Evie, Imas, Dewi, Shinta), dan semua pihak yang telah membantu dalam penelitian ini yang tidak dapat disebutkan satu per satu. Penulis menyadari bahwa masih banyak kekurangan dalam penulisan skripsi ini. Kritik dan saran yang membangun sangat diharapkan dalam penyempurnaan skripsi ini. Bogor, Maret 2012 Febriana Widiastuti viii DAFTAR ISI Halaman DAFTAR TABEL .............................................................................................. ix DAFTAR GAMBAR .......................................................................................... xi DAFTAR LAMPIRAN ...................................................................................... xii BAB I PENDAHULUAN .................................................................................... 1 1.1. Latar Belakang .......................................................................................... 1 1.2. Perumusan Masalah................................................................................... 4 1.3. Tujuan Penelitian ...................................................................................... 4 1.4. Manfaat Penelitian..................................................................................... 4 BAB II TINJAUAN PUSTAKA .......................................................................... 5 2.1. RTH dalam Penataan Ruang Wilayah Perkotaan ....................................... 5 2.2. Ruang Terbuka Hijau ................................................................................ 7 2.3. Klasifikasi Ruang Terbuka Hijau ............................................................... 8 2.4. Fungsi dan Manfaat Ruang terbuka Hijau ................................................ 10 2.5. Penyediaan Ruang Terbuka Hijau di Perkotaan ....................................... 13 2.6. Pertumbuhan Penduduk dan Keterkaitannya Dengan Perubahan Penggunaan lahan ................................................................................... 15 BAB III BAHAN DAN METODE ..................................................................... 17 3.1. Lokasi dan Waktu Penelitian ................................................................... 17 3.2. Jenis Data, Sumber Data dan Alat penelitian ........................................... 18 3.3. Metode Penelitian.................................................................................... 19 3.3.1. Persiapan .......................................................................................... 19 3.3.2. Pengumpulan Data............................................................................ 20 3.3.3. Survei Lapang .................................................................................. 20 3.3.4. Analisis dan Interpretasi Data ........................................................... 20 3.3.4.1. Penentuan Laju Perubahan Luas RTH dan Kecukupan RTH Terhadap Jumlah Penduduk Di Kota Bekasi.............................. 20 3.3.4.2. Penetuan Laju Pertumbuhan Penduduk dan Perkembangan Wilayah di Kota Bekasi ............................................................ 23 3.3.4.3. Menganalisis Faktor-faktor Penentu Perubahan Luas RTH......... 25 3.3.4.4. Mengidentifikasi Areal Yang Berpotensi Untuk RTH ................ 27 ix 3.3.4.5. Menyusun upaya penambahan RTH di Kota Bekasi ................... 27 3.3.5. Penyusunan skripsi ........................................................................... 28 BAB IV KONDISI UMUM DAERAH PENELITIAN ....................................... 29 4.1. Sejarah Kota Bekasi ............................................................................... 29 4.2. Wilayah Administrasi ............................................................................. 29 4.3. Kondisi Geografis .................................................................................. 30 4.4. Topografi ............................................................................................... 31 4.5. Iklim ...................................................................................................... 31 4.6. Morfologi ............................................................................................... 31 4.7. Hidrologi ................................................................................................ 31 4.8. Jenis Tanah dan Geologi......................................................................... 32 4.9. Kondisi Sosial Ekonomi ......................................................................... 32 4.10. Rencana Tata Ruang Wilayah Kota Bekasi (2000-2010) ....................... 34 BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN.............................................................. 36 5.1. Analisis Laju Perubahan RTH Kota Bekasi Tahun 2003-2010 ................ 36 5.2. Analisis Kecukupan RTH Kota Bekasi Berdasarkan Jumlah Penduduk ... 41 5.3. Analisis Laju Pertumbuhan dan Kepadatan Penduduk............................. 42 5.4. Hirarki dan Perkembangan Wilayah Kota Bekasi .................................... 46 5.5. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Perubahan Luas RTH ....................... 52 5.6. Analisis Areal yang Berpotensi untuk Perluasan RTH ............................. 56 5.7. Rekomendasi Upaya Penambahan RTH .................................................. 59 BAB VI KESIMPULAN DAN SARAN ............................................................ 65 6.1. Kesimpulan ............................................................................................ 65 6.2. Saran ...................................................................................................... 66 DAFTAR PUSTAKA ........................................................................................ 67 LAMPIRAN ...................................................................................................... 69 x DAFTAR TABEL Nomor Teks Halaman 1. Penyediaan RTH Berdasarkan Jumlah Penduduk ........................................14 2. Hubungan Antara Tujuan Penelitian, Sumber data, dan Teknis Analisis.......18 3. Variabel-variabel Dalam Analisis Skalogram Sederhana .............................24 4. Variabel Bebas Pada Analisis Regresi Berganda .........................................26 5. Matriks SWOT............................................................................................28 6. Dinamika Perubahan Luas RTH di Kota Bekasi Tahun 2003-2010 ..............36 7. Kebutuhan RTH Berdasarkan Jumlah Penduduk dan Kecukupannya ...........41 8. Jumlah dan Kepadatan Penduduk per Kecamatan Periode Tahun 20002004........... .................................................................................................44 9. Jumlah dan Kepadatan Penduduk per Kecamatan Periode Tahun 20052010........................... ..................................................................................45 10. Hirarki Wilayah Berdasarkan Kecamatan di Kota Bekasi Tahun 2003 dan 2006..................................................................................... ...................46 11. Perubahan Hirarki Wilayah di Kota Bekasi Tahun 2003-2006 .....................47 12. Luasan Konversi RTH (ha/tahun) pada Hirarki Wilayah Tahun 2006..........50 13. Hasil Analisis Regresi .................................................................................53 14. Kecukupan RTH Berdasarkan Jumlah Penduduk Dibandingkan dengan RTH Eksisting dan RTH Arahan Pertambahan ............................................58 15. Matrix Kombinasi Strategi Penambahan RTH di Kota Bekasi .....................62 xi DAFTAR GAMBAR Nomor Teks Halaman 1. Lokasi Penelitian.........................................................................................17 2. Wilayah Administrasi Kota Bekasi Sebelum dan Setelah Pemekaran ..........30 3. Peta Sebaran RTH Kota Bekasi 2003 ..........................................................38 4. Peta Sebaran RTH Kota Bekasi 2010 ..........................................................39 5. Ruang Terbuka Hijau di Kota Bekasi ..........................................................40 6. Grafik Jumlah dan Kepadatan Penduduk Kota Bekasi Periode Tahun 1997-2010 ...................................................................................................43 7. Grafik Laju Jumlah dan Kepadatan Penduduk Kota Bekasi Periode Tahun 1997-2010 ........................................................................................44 8. Peta Hirarki Wilayah Kota Bekasi Tahun 2003 ...........................................48 9. Peta Hirarki Wilayah Kota Bekasi Tahun 2010 ...........................................49 10. Boxplot Laju Perubahan RTH per Kelurahan dan Hirarki ............................51 11. Grafik Luasan areal yang Berpotensi Sebagai RTH per Kecamatan di Kota Bekasi.............................................................................................56 12. Peta Areal yang Berpotensi Sebagai RTH ...................................................57 xii DAFTAR LAMPIRAN Nomor Teks Halaman 1. Hirarki Wilayah Kota Bekasi Tahun 2003 ......................................................70 2. Hirarki Wilayah Kota Bekasi Tahun 2010 ......................................................72 3. Titik Pengamatan Lapang ...............................................................................74 4. Layout Kuesioner ...........................................................................................76 BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Ruang Terbuka Hijau (RTH) merupakan unsur utama tata ruang kota. Menurut Direktorat Jenderal Penataan Ruang (2006) RTH perlu ada di antara struktur bangunan (hutan bangunan) sebagai pelunak dan penyejuk lingkungan. RTH berfungsi sebagai “paru-paru” kota. Pada prinsipnya, RTH dimaksudkan agar dapat menekan efek negatif yang ditimbulkan lingkungan terbangun di perkotaan, seperti peningkatan temperatur udara, penurunan tingkat peresapan air, kelembaban udara, dan polusi. Semakin sedikit RTH secara akumulatif bisa berakibat fatal, yaitu dicirikan dengan naiknya suhu bumi dan perubahan cuaca karena kenaikan suhu bumi. Saat ini banyak pohon-pohon di daerah perkotaan yang di potong atau di tebang oleh pemerintah dengan alasan mengganggu lalu lintas dan instalasi listrik atau untuk keperluan menambah lebar jalur lalu lintas kendaraan bermotor. Penebangan pohon-pohon tersebut seringkali tidak diikuti dengan upaya penanaman kembali dengan pohon yang baru. Direktorat Jenderal Penataan Ruang (2006) menyatakan berdasarkan Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) Bumi di Rio de Janeiro, Brazil (1992) dan dipertegas lagi pada KTT Johannesburg, di Afrika Selatan 10 tahun kemudian, telah disepakati bersama bahwa sebuah kota idealnya memiliki luas RTH minimal 30% dari total luas kota (Direktorat Jenderal Penataan Ruang, 2006). Begitu pula dalam UU No 26 tahun 2007, dinyatakan bahwa wilayah kabupaten atau perkotaan harus membuat rencana penyediaan dan pemanfaatan ruang RTH sebesar minimal 30% dari luas wilayah. RTH yang dimaksud berupa RTH publik dan RTH privat dengan proporsi masing-masing 20% dan 10%. Penetapan besaran luasan RTH ini disebut sebagai bagian dari pengembangan RTH kota. Upaya penataan wilayah perkotaan sesuai dengan pengembangan kota akan menciptakan keseimbangan dan keserasian antara lingkungan alam dan lingkungan binaan. Permasalahan degradasi lingkungan hidup perkotaan digambarkan dengan semakin mewabahnya penyakit-penyakit akibat kondisi lingkungan yang memburuk. Hal ini akibat tidak adanya ruang bagi penampung buangan kegiatan 2 manusia berupa limbah padat maupun limbah cair yang semakin menumpuk dan tak terkendali sehingga menjadi media pertumbuhan penyakit. Upaya-upaya pelestarian fungsi lingkungan dilakukan dengan menyisihkan sebagian ruang kota. Ruang kota tersebut dimaksudkan bukan untuk diproyeksikan untuk permukiman, seperti sempadan sungai, danau, atau laut. Direktorat Jenderal Penataan Ruang (2006) juga menyatakan bahwa kotakota Indonesia pada umumnya memiliki kesulitan untuk meningkatkan RTH kota sehingga hanya sekedar mempertahankan luasannya bahkan di sebagian kota target luasan RTH kota menjadi semakin menyempit. Target luasan RTH yang semakin menyempit itu pun konon sulit untuk direalisasikan akibat terus adanya tekanan pertumbuhan dan kebutuhan sarana dan prasarana kota, seperti struktur fisik bangunan dan panjang jalur jalan yang semakin meningkat sejalan dengan peningkatan jumlah penduduk. Hal ini merupakan salah satu bukti kurang dihargainya eksistensi RTH dan bahkan sering dikorbankan. Padahal sebenarnya RTH mempunyai nilai ekologis dan ekonomis tinggi bagi terwujudnya lingkungan kota yang sehat secara fisik maupun psikologis. Eksistensi RTH di perkotaan sering diabaikan karena dianggap tidak memberikan keuntungan ekonomi secara langsung dan akibatnya luas areal RTH semakin berkurang. Berkurangnya RTH ini terjadi akibat meningkatnya kebutuhan lahan seiring dengan meningkatnya kesejahteraan masyarakat dan pertumbuhan penduduk. Pertumbuhan penduduk yang meningkat dari waktu ke waktu akan memberikan implikasi pada tingginya tekanan pada pemanfaatan lahan sehingga perlu mendapat perhatian khusus terutama berkaitan dengan penyediaan ruang untuk permukiman, fasilitas umum dan sosial serta ruang-ruang publik di perkotaan. Kota Bekasi merupakan salah satu bagian integral wilayah Jabodetabek. Letak Kota Bekasi yang berada di antara DKI Jakarta dan Jawa Barat menjadikan kota ini memiliki letak yang sangat strategis. Kemudahan akses antara Kota Jakarta dan Bekasi menjadikan Kota Bekasi sebagai salah satu daerah penyeimbang Kota Jakarta. Bekasi juga merupakan kota dengan perkembangan yang pesat, termasuk dalam hal industri. 3 Perkembangan kota merupakan hal yang tidak dapat dihindari. Kebijakan pemerintah kota mengenai arahan perkembangan kota perlu diiringi dengan penegakan peraturan. Pembangunan kota perlu disertai dengan pelestarian RTH kota non-pertanian (Putri 2010). Berdasarkan data BAPPEDA Kota Bekasi (2007), ketersediaan RTH di Kota Bekasi hanya sebesar 3,58% dari luas total Kota Bekasi. Bahkan, di Kota Bekasi masih belum terdapat taman kota yang berfungsi sebagai taman bermain serta tempat sosialisasi dan interaksi antar penduduk kotanya. Oleh karena itu, Bekasi saat ini masih kekurangan luas RTH. Ironisnya lagi, meski luas RTH sudah minim sebagian lahan RTH tersebut masih beralih fungsi menjadi kompleks perumahan dan lain sebagainya. Sempitnya RTH terutama di permukiman padat penduduk di perkotaan berdampak pada makin menurunnya kualitas lingkungan dan kenyamanan kota. Hal ini juga membuat warga berebut menggunakan setiap jengkal lahan yang kosong untuk beraktivitas. Bahkan bisa terjadi perebutan ruang terbuka antar warga sehinga menimbulkan perselisihan yang berpotensi pada perkelahian. Direktorat Jenderal Penataan Ruang (2006) menyatakan sehubungan dengan meningkatnya jumlah penduduk dengan segala aktivitas dan keperluan, seperti cukup tersedianya „ruang rekreasiā gratis, maka sebuah kota dimana pun dan bagaimana pun ukuran dan kondisinya pasti memerlukan RTH. RTH tersebut seharusnya memenuhi persyaratan terutama kualitas keseimbangan pendukung keberlangsungan fungsi kehidupan, adanya pengelolaan dan pengaturan sebaik mungkin, serta konsistensi penegakkan hukumnya. Dalam penelitian ini akan dikaji mengenai pengaruh konversi RTH di Bekasi terhadap kenyamanan dan kecukupannya terhadap jumlah penduduk. Kurangnya persentase RTH di Kota Bekasi dapat berujung pada hal-hal yang negatif terhadap kenyamanan dan psikologis masyarakat. Kebutuhan RTH di Kota Bekasi dapat diperkirakan berdasarkan luas kota, jumlah penduduk dengan segala aktivitasnya, dan isu penting yang timbul seperti masalah kekurangan air, kebutuhan oksigen, maupun banjir. 4 1.2. Perumusan Masalah Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan maka perumusan masalah dalam penelitian ini adalah sebagai berikut: 1. RTH kota Bekasi semakin berkurang dari tahun ke tahun sehingga diduga RTH di Kota Bekasi tidak dapat memenuhi kebutuhan warga untuk kegiatan seharihari seperti rekreasi, olah raga, bersosialisasi. 2. Kota Bekasi memiliki perkembangan pesat dengan jumlah penduduk yang terus meningkat yang diduga mempengaruhi ketersediaan RTH. 3. Banyak faktor yang mempengaruhi perubahan luas RTH di Kota Bekasi. 4. Ketersediaan lahan di Kota Bekasi semakin kecil khususnya untuk RTH. 5. Keberhasilan upaya penambahan luas RTH sesuai arahan UU No 26 tahun 200 masih kecil. 1.3. Tujuan Penelitian Berdasarkan pada perumusan masalah tersebut, maka tujuan penelitian ini adalah: 1. Mengetahui laju perubahan luas RTH dan kecukupannya terhadap jumlah penduduk di Kota Bekasi. 2. Mengetahui laju pertumbuhan penduduk dan perkembangan wilayah di Kota Bekasi. 3. Mengetahui faktor-faktor yang mempengaruhi perubahan luas RTH. 4. Mengetahui areal yang berpotensi untuk dijadikan RTH dan kecukupannya berdasarkan jumlah penduduk. 5. Menyusun upaya penambahan RTH di Kota Bekasi. 1.4. Manfaat Penelitian Penelitian ini bermanfaat untuk memberikan informasi mengenai luasan eksisting RTH yang ada di Kota Bekasi, kecukupan luas RTH saat ini terhadap jumlah penduduk Kota Bekasi, dan laju konversi RTH yang terjadi dari tahun 2003-2010. Hasil dari penelitian ini dapat digunakan untuk keperluan menyusun arahan kebijakan pembangunan kota yang berwawasan lingkungan serta dapat menghasilkan rekomendasi-rekomendasi praktis yang relevan. BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. RTH dalam Penataan Ruang Wilayah Perkotaan Perkembangan kota merepresentasikan kegiatan masyarakat yang berpengaruh pada suatu daerah. Suatu daerah akan tumbuh dan berkembang berkaitan dengan penduduk, aktivitas, dan penggunaan lahan. Perencanaan kota yang selama ini menitikberatkan pada aspek fisik semata dirasakan kurang dapat menyelesaikan permasalahan yang dihadapi (Sinulingga, 2005). Lebih lanjut Sinulingga (2005) menyatakan bahwa perkembangan kota yang cepat menuntut adanya pengaturan pemanfaatan ruang perkotaan yang mempertimbangkan sifat lingkungan alam, lingkungan buatan, dan lingkungan sosial budaya. Ruang adalah wadah semua interaksi sistem sosial (kegiatan sosial, ekonomi, dan budaya) dengan ekosistem (sumberdaya alam dan buatan) berlangsung. Interaksi ini tidak selalu secara otomatis berlangsung seimbang dan saling menguntungkan berbagai pihak. Hal ini disebabkan adanya perbedaan kemampuan, kepentingan dan adanya sifat perkembangan ekonomi yang akumulatif. Berdasarkan pada UU No 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang, penataan ruang merupakan suatu sistem proses perencanaan tata ruang, pemanfaatan ruang, dan pengendalian pemanfaatan ruang. Perencanaan tata ruang adalah suatu proses untuk menentukan struktur ruangdan pola ruang yang meliputi penyusunan dan penetapan rencana tata ruang. Pemanfaatan ruang adalah upaya untuk mewujudkan struktur ruang dan pola ruang sesuai dengan rencana tata ruang melalui penyusunan dan pelaksanaan program beserta pembiayaannya. Pengendalian pemanfaatan ruang adalah upaya untuk mewujudkan tertib tata ruang. Penataan ruang adalah usaha untuk merencanakan jumlah penggunaan lahan guna keperluan tertentu dan pada tempat yang tepat. Rencana tata ruang pada hakikatnya mengatur pemanfaatan dan letak elemen-elemen ruang kota, yaitu pusat pelayanan, industri, pemukiman dan ruang terbuka hijau (RTH) serta jaringan jalan untuk mencapai tujuan perencanaan kota. Tujuan dari perencanaan 6 tata ruang kota anatara lain penyediaan ruang yang cukup untuk setiap jenis penggunaan secara efisien untuk kenyamanan bagi lingkungan kegiatan manusia kota (Sinulingga, 2005). Perencanaan tata ruang perkotaan seyogyanya dimulai dengan mengidentifikasi kawasan-kawasan yang secara alami harus diselamatkan (kawasan lindung) untuk menjamin kelestarian fungsi lingkungan dan kawasankawasan yang secara alami rentan terhadap bencana. Kawasan-kawasan inilah yang seharusnya dikembangkan menjadi ruang terbuka hijau. Agar keberadaan RTH di perkotaan dapat berfungsi secara efektif baik secara ekologis maupun planologis. Pengembangan RTH tersebut sebaiknya dilakukan secara berhirarki dan terpadu dengan sistem struktur ruang yang ada di perkotaan (Direktorat Jenderal Penataan Ruang, 2006). Brown dan Jacobson dalam Leitmann (1999) menyatakan bahwa perlindungan sistem lingkungan di perkotaan dapat dilakukan dengan mengalokasikan kawasan lindung. Kota dapat meningkatkan kualitas manusia dan lingkungan alam melalui konservasi sumberdaya maupun tingginya standar kualitas lingkungan. Ruang Terbuka Hijau sebagai ruang alami merupakan bagian yang sangat penting bagi suatu kota berkaitan dengan penanggulangan masalah lingkungan. RTH dapat memberikan kenyamanan dan kesejahteraan bagi warga kota yaitu: sebagai penyumbang ruang bernafas yang segar, paru-paru kota, sumber air tanah, mencegah erosi, keindahan, dan kehidupan satwa, menciptakan iklim, serta sebagai sumber pendidikan. Correa (1988) dalam Utami (2011), dalam penelitiannya menyatakan bahwa apabila diabstraksikan kebutuhan akan hal-hal yang bersifat sosial dapat dikelompokkan unsur utama yaitu: ruang keluarga yang digunakan untuk keperluan pribadi, daerah untuk bergaul/sosialisasi dengan tetangga, daerah tempat pertemuan warga, dan daerah ruang terbuka utama yang digunakan untuk kegiatan bersama seluruh warga masyarakat. Keberadaan RTH sebagai ruang dengan fungsi ekologis menjadikan RTH sebagai salah satu fungsi lahan yang sering kali dikorbankan dalam membangun dan mengembangkan sebuah kota. RTH yang semakin berkurang akan 7 berimplikasi pada suhu kota yang semakin meningkat. Menurut Saputro (2010), suhu udara rata-rata lebih tinggi pada area terbuka dari pada area rumput dan naungan. Hal ini karena pada area terbuka terkena radiasi matahari secara langsung. Radiasi matahari langsung akan segera memanaskan permukaan perkerasan dan selanjutnya memanaskan suhu udara di atasnya. Peningkatan suhu udara pada area yang ternaungi lebih rendah karena kemampuan tajuk pohon yang efektif dalam penyerapan panas dan mengurangi pemantulan. Saputro (2010), dalam penelitiannya juga menyatakan bahwa area parkir pada bangunan-bangunan perkantoran dan perbelanjaan dengan area hijau yang minim kurang efektif dalam menurunkan suhu udara di sekitarnya. Selain itu, semakin besar persentase perkerasan terhadap luasan total menyebabkan suhu udara semakin meningkat, begitu sebaliknya. Pola pemanfaatan ruang terbagi menjadi dua kawasan, yaitu kawasan lindung dan budidaya. Kawasan lindung yang dimaksud adalah kawasan yang berfungsi konservasi serta kawasan budidaya yang dapat berfungsi lindung bagi ekologi kota, termasuk di dalamnya adalah lahan pertanian, taman kota, sempadan sungai, jalur hijau jalan, taman pulau jalan, jalur hijau rel kereta api, jalur hijau bawah tegangan tinggi, dan RTH kota non-pertanian lainnya. Sedangkan kawasan budidaya mencakup kawasan perumahan, kawasan pemerintahan, perdagangan, jasa, pendidikan, kesehatan, industri dan pergudangan, pariwisata dan rekreasi, serta pertahanan dan keamanan (Putri, 2010). Menurut Putri (2010), tingginya proporsi lahan terbangun dalam kawasan dapat mengakibatkan meningkatnya aliran permukaan (run-off) dan berkurangnya debit air yang diresap oleh tanah. Perkembangan kawasan budidaya kota dapat mengakibatkan penyempitan saluran drainase. Hal ini menyebabkan frekuensi dan peluang kejadian banjir yang tinggi pada musim hujan. 2.2. Ruang Terbuka Hijau Menurut Pasal 1 butir 31 UUPR No 26 tahun 2007, ruang terbuka hijau adalah area memanjang/jalur dan/atau mengelompok yang penggunaannya lebih bersifat terbuka, tempat tumbuh tanaman, baik yang tumbuh secara alamiah maupun yang sengaja ditanam. Departemen Arsitektur Lanskap Fakultas 8 Pertanian IPB (2005) dalam makalah lokakarya Pengembangan Sistem RTH di Perkotaan dalam rangkaian acara Hari Bakti Pekerjaan Umum ke 60 menyatakan Ruang Terbuka Hijau (RTH) adalah bagian dari ruang-ruang terbuka (open spaces) suatu wilayah perkotaan yang diisi oleh tumbuhan, tanaman, dan vegetasi (endemik, introduksi) guna mendukung manfaat langsung dan/atau tidak langsung yang dihasilkan oleh RTH dalam kota tersebut yaitu keamanan, kesejahteraan, dan keindahan wilayah perkotaan tersebut. Menurut Sugandhy dan Hakim (2007), dalam konteks pemanfaatan, pengertian ruang terbuka hijau kota mempunyai lingkup lebih luas dari sekedar pengisian hijau tumbuh-tumbuhan. Konsep RTH mencakup pula pengertian dalam bentuk pemanfaatan ruang terbuka bagi kegiatan masyarakat. Lebih lanjut, sesuai dengan Instruksi Menteri Dalam Negeri No. 14 tahun 1988 tentang Penataan Ruang terbuka Hijau di Wilayah Perkotaan, dinyatakan bahwa ruang terbuka hijau (RTH) sebagai ruang dalam kota atau wilayah yang lebih luas, baik dalam bentuk areal/kawasan maupun dalam bentuk memanjang/jalur yang penggunaannya lebih bersifat terbuka yang pada dasarnya tanpa bangunan dengan pengisian hijau tanaman. 2.3. Klasifikasi Ruang Terbuka Hijau Menurut Sugandhy dan Hakim (2007), ruang terbuka hijau kota dapat diklasifikasikan baik dalam tata letak maupun fungsinya. Berdasarkan letaknya, ruang terbuka hijau kota bisa berwujud ruang terbuka kawasan pantai (coastal open spaces), dataran banjir sungai (river flood plain), ruang terbuka pengamanan jalan bebas hambatan (greenways), dan ruang terbuka pengaman kawasan bahaya kecelakaan di ujung landasan bandar udara. Hasni (2009) mengatakan, klasifikasi Ruang Terbuka Hijau dapat dibagi menjadi: (a) kawasan hijau pertamanan kota, (b) kawasan hijau hutan kota, (c) kawasan hijau rekreasi kota, (d) kawasan hijau kegiatan olahraga, (e) kawasan hijau pemakaman, (f) kawasan hijau pertanian, (g) kawasan hijau jalur hijau, (h) kawasan hijau pekarangan. Bentuk RTH di perkotaan menurut Dahlan (1992) adalah sebagai berikut: 9 a. Jalur hijau: pohon peneduh jalan raya, jalur hijau dibawah kawat listrik tegangan tinggi, jalur hijau di tepi jalan kereta api, jalur hijau di tepi sungai. Jalur ini dapat dikembangkan di dalam kota atau di luar kota sebagai RTH guna memperbaiki kualitas lingkungan perkotaan. b. Taman kota: taman dapat diartikan sebagai tanaman yang ditanam dan ditata sedemikian rupa untuk mendapatkan komposisi yang indah c. Kebun dan halaman: jenis tanaman yang ditanam di kebun dan halaman biasanya jenis yang menghasilkan buah serta yang tidak diharapkan buahnya. d. Kebun raya, hutan raya, dan kebun binatang: kebun raya. Hutan raya, dan kebun bunatang, dapat dimasukkan dalam salah satu bentuk RTH. Tanaman dapat berasal dari daerah setempat, daerah lain, maupun luar negeri. e. Hutan lindung: daerah dengan lereng yang curam harus dijadikan kawasan hutan karena rawan longsor. Demikian pula dengan daerah pantai yang rawan abrasi air laut, sebaiknya dijadikan hutan lindung. f. Kuburan dan taman makam pahlawan: tempat pemakaman biasanya banyak ditanam pepohonan. Dalam makalah lokakarya pengembangan sistem RTH di perkotaan dalam rangkaian acara hari bakti Pekerjaan Umum ke 60, Departemen Arsitektur Lanskap Fakultas Pertanian IPB (2005) menyatakan bahwa berdasarkan bobot kealamiannya, bentuk RTH dapat diklasifikasikan menjadi (a) bentuk RTH alami (habitat liar/alami, kawasan lindung) dan (b) bentuk RTH non alami atau RTH binaan (pertanian kota, pertanaman kota, lapangan olah raga, pemakaman). Berdasarkan sifat dan karakter ekologisnya, RTH diklasifikasikan menjadi (a) bentuk RTH kawasan (areal, non linear), dan (b) bentuk RTH jalur (koridor, linear). Berdasarkan penggunaan lahan atau kawasan fungsionalnya diklasifikasikan menjadi (a) RTH kawasan perdagangan, (b) RTH kawasan pendidikan, (c) RTH kawasan permukiman, (d) RTH kawasan pertanian, dan (e) RTH kawasan-kawasan khusus, seperti pemakaman, hankam, olahraga, alamiah. 10 2.4. Fungsi dan Manfaat Ruang terbuka Hijau Pada dasarnya RTH dimaksudkan untuk menekan efek negatif yang ditimbulkan lingkungan terbangun diperkotaan, seperti peningkatan temperatur udara, penurunan tingkat peresapan air dan kelembaban udara, polusi dan lain sebagainya. Vegetasi memiliki peranan sangat besar dalam kehidupan. Peranan penghijauan kota sangat tergantung pada vegetasi yang ditanam. Dari berbagai peranan vegetasi dan manfaat vegetasi, maka manfaat dan fungsi penghijauan atau ruang terbuka hijau (RTH), adalah (Amir dalam Hendrawan, 2003): a. Paru-paru kota: tanaman sebagai elemen hijau pada pertumbuhannya menghasilkan zat asam (O2) yang sangat diperlukan bagi makhluk hidup untuk pernapasan. b. Pengatur lingkungan (mikro): vegetasi akan menimbulkan lingkungan setempat menjadi sejuk, nyaman, dan segar. c. Pencipta lingkungan hidup: penghijauan dapat menciptakan ruang bagi makhluk hidup di alam yang memungkinkan terjadinya interaksi secara alamiah. d. Penyeimbang alam (edapis): merupakan pembentukan tempat hidup alami bagi satwa yang hidup disekitarnya. e. Oro-hidrologi: pengendalian untuk penyediaan air tanah dan pencegahan erosi. f. Perlindungan bagi kondisi fisik alami sekitarnya: seperti angin kencang, terik matahari, gas, atau debu. g. Mengurangi polusi udara: vegetasi dapat menyerap polutan tertentu. h. Vegetasi dapat menyaring debu dengan tajuk dan kerimbunan dedaunannya. i. Mengurangi polusi air: vegetasi dapat membantu membersihkan air. j. Mengurangi polusi suara (kebisingan): vegetasi dapat menyerap suara. k. Keindahan (estetika): unsur-unsur penghijauan yang direncanakan dengan baik dan menyeluruh akan menambah keindahan kota. l. Kesehatan: warna dan karakter tumbuhan dapat digunakan untuk terapi mata dan jiwa. 11 m. Nilai pendidikan: komunitas vegetasi yang ditanam dengan keanekaragaman jenis dan karakter akan memberikan nilai ilmiah sehingga sangat bermanfaat untuk pendidikan, seperti hutan kota adalah laboratoriium alam. n. Rekreasi dan pendidikan: jalur hijau dengan aneka vegetasi mengandung nilai-nilai ilmiah. o. Sosial, politik, dan ekonomi: tumbuhan mempunyai nilai sosial yang tinggi. p. Penghijauan perkotaan: menjadi indikator atau petunjuk bagi lingkungan, kemungkinan ada hal-hal yang membahayakan yang terjadi atas pertumbuhan dan perkembangan kota. Menurut Hasni (2009), RTH memiliki berbagai fungsi seperti edaphis, orologis, hidrologis, klimatologis, higienis, edukatif, estetis, dan sosial ekonomis. Fungsi tersebut dapat dipenuhi oleh semua jenis RTH yang ada di perkotaan, dengan pengertian sebagai berikut: a. Fungsi edaphis yaitu sebagai tempat hidup satwa dan jasad renik lainnya, dapat dipenuhi dengan penanaman pohon yang sesuai. b. Fungsi hidro-orologis adalah perlindungan terhadap kelestarian tanah dan air. c. Fungsi klimatologis adalah terciptanya iklim mikro sebagai efek dari proses fotosintesis dan respirasi tanaman. d. Fungsi protektif: melindungi dari gangguan angin, bunyi, dan terik matahari melalui kerapatan dan kerindangan pohon perdu dan semak. e. Fungsi higienis adalah kemampuan RTH untuk mereduksi polutan baik di udara maupun di air. f. Fungsi edukatif adalah RTH bisa menjadi sumber pengetahuan masyarakat tentang berbagai hal, misalnya macam dan jenis vegetasi, asal muasalnya, nama ilmiahnya, manfaat serta khasiatnya. g. Fungsi estetis adalah kemampuan RTH untuk menyumbangkan keindahan pada lingkungan sekitarnya, baik melalui keindahan warna, bentuk, kombinasi tekstur, bau-bauan ataupun bunyi dari satwa liar yang menghuninya. 12 h. Fungsi sosial ekonomis adalah RTH sebagai tempat berbagai kegiatan sosial dan tidak menutup kemungkinan memiliki nilai ekonomi seperti pedagang tanaman hias atau pedagang musiman seperti di lapangan Gasibu di Bandung pada hari Minggu pagi. Dalam penelitian Sancho (2005), disebutkan bahwa konsep alun-alun sebagai ruang terbuka hijau yaitu ruang terbuka berupa taman kota yang selain memiliki fungsi ekologi dan estetika juga berfungsi sebagai kawasan rekreasi dan sosialisasi, tempat dimana orang dapat merasakan suasana aman dan damai melalui suasana indah yang ditimbulkan. Dalam masalah perkotaan, RTH merupakan bagian atau salah satu subsistem dari sistem kota secara keseluruhan. RTH sengaja dibangun untuk memenuhi berbagai fungsi dasar yang secara umum dibedakan menjadi (Direktorat Jenderal Penataan Ruang, 2006): 1. Fungsi bio-ekologis (fisik), yang memberikan jaminan pengadaan RTH menjadi bagian dari sistem sirkulasi udara, pengatur iklim mikro, peneduh, produsen oksigen, penyerap air hujan, penyedia habitat satwa, penyerap polutan, dan penahan angin. 2. Fungsi sosial, ekonomi (produktif), dan budaya yang mampu menggambarkan ekspresi budaya lokal. RTH merupakan media komunikasi warga kota, tempat rekreasi, tempat pendidikan, dan penelitian. 3. Ekosistem perkotaan; produsen oksigen, tanaman berbunga, berbuah, dan berdaun indah, serta menjadi bagian dari usaha pertanian dan kehutanan. 4. Fungsi estetis, meningkatkan kenyamanan, memperindah lingkungan kota baik dari skala mikro maupun makro. Peningkatan penutupan vegetasi akan memberikan pengaruh secara signifikan terhadap penurunan suhu udara dalam taman dan sekitarnya apabila pada taman tersebut terisi vegetasi yang rapat dan padat. Pada taman dengan penutupan vegetasi yang minim tidak memberikan pengaruh terhadap penurunan suhu udara. Oleh karena itu, efektifitas taman menurunkan suhu udara bergantung kepada dominasi elemen vegetasi yang ada pada taman dan sekitarnya. Semakin 13 jauh jarak dari taman, suhu udara cenderung semakin tinggi, dan sebaliknya (Harti, 2005). 2.5. Penyediaan Ruang Terbuka Hijau di Perkotaan Dalam Undang-Undang No. 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang, perencanaan tata ruang wilayah kota harus memuat rencana penyediaan dan pemanfaatan ruang terbuka hijau yang luas minimalnya sebesar 30% dari luas wilayah kota. Menurut Direktorat Jenderal Penataan Ruang (2006), Ruang Terbuka Hijau kota merupakan bagian dari wilayah perkotaan yang ditentukan berdasarkan berbagai pertimbangan. Pertimbangan umum penentuan luas RTH antara lain bahwa RTH antara kota dalam suatu hamparan kompak setidaknya mempunyai luas 0,25 hektar, sedangkan proporsi minimal adalah 10% dari wilayah perkotaan atau disesuaikan dengan kondisi setempat. Berdasarkan Peraturan Menteri Pekerjaan Umum No: 05/PRT/M/2008 Penyediaan RTH di wilayah perkotaan meliputi: 1. Penyediaan RTH berdasarkan Luas Wilayah a) Penyediaan RTH berdasarkan luas wilayah di perkotaan adalah sebagai berikut: ļ· ruang terbuka hijau di perkotaan terdiri dari RTH Publik dan RTH privat; ļ· proporsi RTH pada wilayah perkotaan adalah sebesar minimal 30% yang terdiri dari 20% ruang terbuka hijau publik dan 10% terdiri dari ruang terbuka hijau privat; ļ· apabila luas RTH baik publik maupun privat di kota yang bersangkutan telah memiliki total luas lebih besar dari peraturan atau perundangan yang berlaku, maka proporsi tersebut harus tetap dipertahankan keberadaannya. Proporsi 30% merupakan ukuran minimal untuk menjamin keseimbangan ekosistem kota, baik keseimbangan sistem hidrologi dan keseimbangan mikroklimat, maupun sistem ekologis lain yang dapat 14 meningkatkan ketersediaan udara bersih yang diperlukan masyarakat, serta sekaligus dapat meningkatkan nilai estetika kota. 2. Penyediaan RTH Berdasarkan Kebutuhan Fungsi Tertentu Fungsi RTH pada kategori ini adalah untuk perlindungan atau pengamanan, sarana dan prasarana misalnya melindungi kelestarian sumber daya alam, pengaman pejalan perkembangan penggunaan lahan agar kaki atau membatasi fungsi utamanya tidak terganggu. RTH kategori ini meliputi: jalur hijau sempadan rel kereta api, jalur hijau jaringan listrik tegangan tinggi, RTH kawasan perlindungan setempat berupa RTH sempadan sungai, RTH sempadan pantai, dan RTH pengamanan sumber air baku/mata air. 3. Penyediaan RTH Berdasarkan Jumlah Penduduk Untuk menentukan luas RTH berdasarkan jumlah penduduk, dilakukan dengan mengalikan antara jumlah penduduk yang dilayani dengan standar luas RTH per kapita sesuai peraturan yang berlaku seperti yang tertera pada Tabel 1. Tabel 1. Penyediaan RTH Berdasarkan Jumlah Penduduk No Unit Lingkungan Tipe RTH Luas minimal/unit (m2) Luas minimal/ kapita (m2) 1 250 jiwa Taman RT 250 1,0 2 2500 jiwa Taman RW 1.250 0,5 3 30.000 jiwa Taman kelurahan 9.000 0,3 4 120.000 jiwa Taman kecamatan 24.000 0,2 Pemakaman disesuaikan 1,2 Taman kota 144.000 0,3 Hutan kota disesuaikan 4,0 Untuk fungsifungsi tertentu disesuaikan 12,5 5 480.000 jiwa Sumber: Peraturan Menteri Pekerjaan Umum No 05/PRT/M/2008 Lokasi Di tengah lingkungan RT Di pusat kegiatan RW Dikelompokan dengan sekolah/pusat kelurahan Dikelompokan dengan sekolah/pusat kecamatan Tersebar Di pusat wilayah/kota Di dalam/kawasan pinggiran Disesuaikan kebutuhan 15 Dahlan dalam Direktorat Jenderal Penataan Ruang (2006) menyatakan bahwa penetapan luasan RTH (termasuk didalamnya Taman Hutan) kota yang harus dibangun, ditetapkan sebagai berikut: a. Berdasarkan proporsi luas kota, RTH dinyatakan menurut perkiraan kasar (begitu saja mengikuti apa yang telah ada) diharapkan mencapai luasan 10%, 20%, 25%, 30%, 40%, 50%, dan bahkan ada yang menetapkan 60%, seperti kota Canberra, ibu kota Australia. b. Berdasarkan jumlah penduduk, luas RTH kota di beberapa negara ditentukan sebagai berikut : di Malaysia 1,9 m2 per penduduk dan Jepang 5 m2 per penduduk. Dewan Kota Lancashire, Inggris menetapkan 11,5 m2, Amerika 60 m2, Jakarta mengusulkan taman untuk bermain dan berolahraga 1,5 m2/penduduk. c. Berdasarkan isu-isu penting, Luas RTH yang harus disediakan sebuah kota yang kekurangan air bersih, ditetapkan berdasarkan pemenuhan kebutuhan akan air. d. Berdasarkan pendekatan kebutuhan oksigen, RTH kota yang harus disediakan mengacu pada jumlah penduduk dan jumlah kendaraan bermotor serta jumlah industri. 2.6. Pertumbuhan Penduduk dan Keterkaitannya Dengan Perubahan Penggunaan Lahan Fenomena peningkatan jumlah penduduk terus terjadi di sebagian besar negara di dunia. Pada kondisi normal (tidak terjadi bencana alam) pertumbuhan penduduk mengikuti pola eksponensial (kurva S). Pada awalnya pertumbuhan penduduk akan terjadi secara lamban dan semakin meningkat dengan sangat cepat secara eksponensial, yang pada akhirnya akan tercapai kondisi stabil (seimbang). Keseimbangan terjadi jika laju kelahiran sama dengan laju kematian (Enger dan Badly dalam Munibah et al., 2009). Peningkatan jumlah penduduk memiliki konsekuensi terhadap perkembangan ekonomi yang menuntut kebutuhan lahan untuk pemukiman, industri, infrastruktur dan jasa. Menurut Hartini et al. (2008), perkembangan suatu wilayah akan selalu diikuti dengan adanya pertambahan penduduk di wilayah tersebut. 16 Menurut Munibah et al. (2009) jumlah penduduk akan berpengaruh terhadap luas lahan permukiman dalam rangka pemenuhan kebutuhan tempat tinggal (termasuk jasa) dan berpengaruh terhadap luas lahan pertanian dalam rangka pemenuhan kebutuhan pangan. Pertumbuhan penduduk akan mempengaruhi pertambahan luas lahan permukiman. Verbist et al. (2004) dalam penelitiannya mengenai alih guna lahan pada lanskap agroforestri berbasis kopi di Sumatra menyebutkan bahwa faktor pendorong terjadinya alih guna lahan yang termasuk faktor eksternal adalah pertumbuhan alami penduduk, migrasi, hujan, dan harga pasar internasional. BAB III BAHAN DAN METODE 3.1. Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian dilakukan di Kota Bekasi dan kegiatan analisis data dilakukan di studio bagian Perencanaan Pengembangan Wilayah, Departemen Ilmu Tanah dan Sumberdaya Lahan, Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor. Penelitian dilakukan pada bulan Maret 2011-Januari 2012. Gambar 1 menunjukkan lokasi penelitian ini. Gambar 1. Lokasi Penelitian 18 3.2. Jenis Data, Sumber Data dan Alat Penelitian Data yang digunakan dalam penelitian ini merupakan data primer dan data sekunder. Data primer terdiri dari citra QUICKBIRD Kota Bekasi tahun 2003 dan 2010 dalam bentuk digital yang diakses secara bebas melalui website earth.google.com dan data survei lapang. Data sekunder meliputi data PODES (Potensi Desa) Kota Bekasi Tahun 2003 dan 2006 dan beberapa peta penunjang lainnya (Peta Administrasi Kota Bekasi, Peta RTRW, Peta RTH Kota Bekasi) diperoleh dari BAPPEDA dan Dinas Tata Ruang Kota Bekasi. Data jumlah penduduk diperoleh dari Badan Pusat Statistik (BPS) Kota Bekasi. Citra QUICKBIRD yang digunakan adalah citra tahun 2003 dan 2010 karena diharapkan citra tersebut dapat mempresentasikan keadaan RTH tahun 2003 dan saat ini. Namun, data PODES yang digunakan adalah tahun 2003 dan 2006 karena data tahun ini adalah yang paling relevan dan dapat diperbandingkan. Data PODES tahun 2006 diharapkan dapat mewakili keadaan pada PODES tahun 2008. Keterkaitan antara tujuan penelitian, sumber data dan teknik analisis data tertera dalam Tabel 2. Tabel 2. Hubungan Antara Tujuan Penelitian, Sumber Data, dan Teknik Analisis No Tujuan Jenis data yang digunakan 1 Menganalisis laju ļ· Cita QUICKBIRD tahun perubahan luas RTH 2003 dan 2010. dan kecukupan ļ· Peta administrasi kota rasionya terhadap Bekasi. jumlah penduduk di ļ· Data jumlah penduduk kota Bekasi. kota Bekasi dari tahun 1997-2010 (BPS Kota Bekasi). 2 Mengetahui laju pertumbuhan penduduk dan perkembangan wilayah di kota Bekasi. Sumber pengumpulan data ļ· Website earth.google.com ļ· BAPPEDA Kota Bekasi ļ· BPS Kota Bekasi ļ· Data jumlah penduduk ļ· BPS kota Bekasi kota bekasi tahun 1997ļ· BAPPEDA Kota 2009. Bekasi ļ· Data luas wilayah Kota Bekasi. ļ· Data fasilitas pendidikan, fasilitas ekonomi, fasilitas kesehatan dan fasilitas sosial Kota Bekasi (PODES). Teknik analisis data ļ· Analisis spasial (koreksi geometri, digitasi citra) ļ· Deskripsi tabel dan grafik ļ· Analisis kecukupan RTH terhadap jumlah penduduk berdasarkan Peraturan Menteri Pekerjaan Umum Nomor: 05/PRT/M/2008 ļ· Analisis skalogram ļ· Deskripsi tabel dan grafik 19 Tabel 2. (Lanjutan) 3 4 5 Menganalisis faktor- ļ· Data hasil analisis tujuan ļ· BAPPEDA Kota faktor yang 1. Bekasi mempengaruhi ļ· Laju kepadatan ļ· BPS Kota Bekasi perubahan luas penduduk. RTH. ļ· Laju jumlah penduduk. ļ· Data fasilitas pendidikan, fasilitas ekonomi, fasilitas kesehatan, fasilitas sosial Kota Bekasi, dan aksesibilitas ke pusat pemerintahan (PODES). Mengidentifikasi ļ· Citra QUICKBIRD ļ· BAPPEDA Kota areal yang 2010. Bekasi berpotensi untuk di ļ· Peta penggunaan lahan jadikan RTH. (2010). ļ· Peta RTRW kota Bekasi. ļ· Analisis regresi berganda Menyusun upaya ļ· RPJMD 2008-2013, ļ· Website: penambahan RTH di RTRW, Laporan bekasikota.go.id Kota Bekasi. penyusunan rencana ļ· BAPPEDA Kota induk penataan, Bekasi pengelolaan, dan ļ· Dinas Tata Ruang pengendalian RTH Kota dan Permukiman Bekasi. Kota Bekasi ļ· Analisis SWOT ļ· Analisis spasial (Digitasi citra QUICKBIRD 2010) Peralatan yang digunakan dalam penelitian ini terdiri dari beberapa perangkat lunak yaitu Arc GIS 9.3, ArcView GIS 3.3, Microsoft Office 2007, Statistica 8.0 serta kamera digital, dan GPS. 3.3. Metode Penelitian Pelaksanaan penelitian ini dibagi dalam lima tahapan, yaitu 1) Persiapan, 2) Pengumpulan Data, 3) Survei Lapang, 4) Analisis dan Interpretasi Data, 5) Penyusunan skripsi 3.3.1. Persiapan Pada tahapan ini dilakukan studi pustaka yang berkaitan dengan topik penelitian dan penyelesaian perizinan untuk pengambilan data. Data penunjang yang digunakan adalah: buku teks, berbagai jurnal atau artikel ilmiah, dan prosiding seminar yang terkait dengan tujuan penelitian. 20 3.3.2. Pengumpulan Data Pada tahapan ini dilakukan pengumpulan data di lapangan dan instansi terkait yang dibutuhkan untuk penelitian. Data yang dikumpulkan terdiri dari data spasial, data numerik, dan data pendukung hasil survai lapang. Data spasial berupa peta RTRW, citra QUICKBIRD, Peta Administrasi Kota Bekasi, dan Peta penggunaan lahan. Data numerik berupa data-data statistik meliputi data demografi/jumlah penduduk, dan data jumlah fasilitas (PODES). 3.3.3. Survei Lapang Survei lapang meliputi pengamatan penggunaan lahan berupa RTH di Kota Bekasi dan wawancara dengan penduduk (responden) menggunakan kuesioner tentang riwayat penggunaan lahan di beberapa titik contoh terpilih. Pemilihan titik-titik contoh didasarkan pada perubahan penggunaan lahan RTH menjadi penggunaan lahan lain atau sebaliknya dengan luasan relatif besar. 3.3.4. Analisis dan Interpretasi Data Metode analisis yang digunakan adalah analisis spasial, deskripsi grafik dan tabel, teknik pendugaan perubahan, analisis skalogram, analisis regresi berganda dengan metode forward stepwise regression, dan analisis kecukupan RTH berdasarkan jumlah penduduk sesuai dengan Peraturan Menteri Pekerjaan Umum no 5 tahun 2008, dan analisis SWOT. 3.3.4.1. Penentuan Laju Perubahan Luas RTH dan Kecukupan RTH Terhadap Jumlah Penduduk di Kota Bekasi Laju perubahan RTH dapat diperoleh dengan melakukan analisis spasial pada citra QUICKBIRD tahun 2003 dan 2010 yang meliputi proses koreksi geometrik, proses digitasi visual secara on screen, dan overlay untuk mendapatkan matrix transisi. Kecukupan RTH terhadap jumlah penduduk di Kota Bekasi diperoleh dari analisis ketercukupan RTH berdasarkan jumlah penduduk dengan mengacu 05/PRT/M/2008. pada Peraturan Menteri Pekerjaan Umum Nomor: 21 Analisis Spasial Proses analisis spasial meliputi proses koreksi geometrik dan proses digitasi pada citra QUICKBIRD Kota Bekasi dan peta-peta yang dibutuhkan dengan menggunakan Arc GIS 9.3. Koreksi geometrik bertujuan untuk merujuk citra QUICKBIRD tersebut pada peta dasar yang telah terkoreksi secara geometrik sehingga diperoleh citra yang sama atau mirip dengan geometri di bumi yang sebenarnya. Proses koreksi geometrik tersebut meliputi penentuan titik-titik kontrol tanah; penentuan sistem referensi koordinat, datum, dan jenis transformasi; serta proses rektifikasi (Wikantika dan Agus, 2006). Citra QUICKBIRD 2003 dan 2010 yang telah dikoreksi kemudian diinterpretasi secara visual berdasarkan kenampakan penutupan lahan khususnya kenampakan RTH. Proses interpretasi ini disebut dengan interpretasi secara manual. Interpretasi secara manual adalah interpretasi data penginderaan jauh yang mendasarkan pada pengenalan ciri/karakteristik objek secara keruangan. Karakteristik objek dapat dikenali berdasarkan pada sembilan unsur interpretasi yaitu bentuk, ukuran, pola, bayangan, rona/warna, tekstur, situs, asosiasi, dan konvergensi bukti (Lillesand dan Kiefer, 1990). Digitasi dilakukan secara on screen menggunakan Arc GIS 9.3 sehingga menghasilkan peta RTH tahun 2003 dan 2010. Digitasi on screen merupakan proses pengubahan data grafis digital dalam struktur data vektor yang disimpan dalam bentuk point, line, atau, area. Interpretasi kenampakan RTH pada penelitian ini adalah sebagai berikut: a. RTH jalur hijau jalan. Karakteristik visual: berwarna hijau, memanjang membentuk jalur atau berbentuk pulau dengan pola teratur, berasosiasi dengan jalan kota dan jalan tol. b. RTH sempadan sungai Karakteristik visual: berwarna hijau, bentuknya seperti jalur memanjang mengikuti pola sungai yang berkelok-kelok, berasosiasi dengan sungai, dan tekstur agak kasar c. RTH olahraga Karakteristik visual: berwarna hijau, berbentuk mengelompok dan berasosiasi dengan lapangan olahraga. 22 d. RTH tempat pemakaman umum Karakteristik visual: berbentuk mengelompok, berasosiasi dengan vegetasi berwarna hijau hijau, terdapat titik-titik berwarna putih (nisan), pola tidak teratur, dan tekstur agak kasar. e. RTH Taman Karakteristik visual: berwarna hijau, berbentuk mengelompok dengan luasan tertentu, dan teratur, terletak di tengah kota. f. RTH privat. Karakteristik visual: berwarna hijau, bentuknya tidak beraturan, berasosiasi dengan bangunan/permukiman, dan polanya tidak teratur. Hasil digitasi dari kedua citra tersebut akan menghasilkan data mengenai luas RTH tahun 2003, luas RTH tahun 2010, dan perubahan luas RTH selama periode 2003-2010. Untuk memperoleh matrix transisi, dilakukan proses tumpang tindih (overlay) dengaan peta-peta yang dibutuhkan. Dari hasil matriks ini akan diperoleh hasil yang kemudian digunakan sebagai data analisis selanjutnya. Analisis Kecukupan RTH terhadap Jumlah Penduduk Berdasarkan Peraturan Menteri Pekerjaan Umum Nomor: 05/PRT/M/2008 Luas RTH yang dibutuhkan ditentukan berdasarkan jumlah penduduk, yaitu dilakukan dengan mengalikan antara jumlah penduduk dengan standar luas RTH per penduduk. Kebutuhan RTH kota berdasarkan jumlah penduduk ditetapkan berdasarkan pada Peraturan Menteri Pekerjaan Umum Nomor: 05/PRT/M/2008 tentang Pedoman Penyediaan dan Pemanfaatan RTH di Kawasan Perkotaan, yaitu dengan total 20 m2/penduduk sebagaimana tertera pada Tabel 1 pada Bab Tinjauan Pustaka. Persamaan untuk menentukan luas RTH berdasarkan jumlah penduduk adalah sebagai berikut: ššš š©š¢ = šš¢ × š¤ ...... m2/orang Keterangan: k = Nilai ketentuan luas RTH per penduduk berdasarkan Permen PU no 05/PRT/M/2008. Pi = Jumlah penduduk pada wilayah i. 23 3.3.4.2. Penetuan Laju Pertumbuhan Wilayah di Kota Bekasi Penduduk dan Perkembangan Laju pertumbuhan penduduk diperoleh dengan melakukan analisis pendugaan perubahan dan analisis deskripsi dan tabel sedangkan perkembangan wilayah Kota Bekasi di perolah dengan melakukan analisis skalogram sederhana. Analisis Skalogram Metode ini digunakan untuk mengetahui hirarki pusat-pusat pengembangan dan sarana/prasarana pembangunan yang ada di suatu wilayah. Penetapan hirarki pusat-pusat pertumbuhan dan pelayanan tersebut didasarkan pada jumlah jenis dan jumlah unit sarana dan prasana pembangunan dan fasilitas pelayanan sosial ekonomi yang tersedia. Metode ini memberikan hirarki yang lebih tinggi pada wilayah yang mempunyai perkembangan lebih maju, yaitu yang memiliki jumlah jenis dan jumlah unit sarana/prasarana pembangunan yang lebih banyak. Metode ini lebih menekankan kriteria kuantitatif dibandingkan kriteria kualitatif yang menyangkut derajat fungsi sarana/prasarana pembangunan, distribusi penduduk, dan jangkauan pelayanan sarana prasarana pembangunan. Penentuan tingkat perkembangan wilayah dibagi menjadi tiga, yaitu: ļ· Hirarki I, jika perkembangan wilayah ke-j ≥ (rataan jumlah jenis fasilitas wilayah ke -j+ simpangan baku jumlah jenis fasilitas ke-j). ļ· Hirarki II, jika rataan jumlah jenis fasilitas wilayah ke- j<=perkembangan wilayah ke-j<( rataan jumlah jenis fasilitas wilayah ke -j+ simpangan baku jumlah jenis fasilitas ke-j). ļ· Hirarki III, jika perkembangan wilayah ke-j < rataan jumlah jenis fasilitas wilayah ke-j. Data yang digunakan dalam analisis skalogram sederhana ini adalah data fasilitas ekonomi, fasilitas pendidikan, fasilitas kesehatan, dan fasilitas sosial sebagaimana tertera dalam Tabel 3. 24 Tabel 3. Variabel-variabel Analisis Skalogram Sederhana No Jenis fasilitas 1 Fasilitas pendidikan 2 Fasilitas ekonomi 3 Fasilitas kesehatan 4 Variabel Jumlah TK Jumlah SD Jumlah SLTP Jumlah SMU Jumlah SMK Jumlah PT Jumlah Wartel Jumlah Warnet Jumlah Toko Jumlah Supermarket Jumlah tempat makan Jumlah Penginapan Jumlah Industri Kerajinan Jumlah Bank Umum Jumlah Koperasi Jumlah Rumah Sakit Jumlah RSB Jumlah Poliklinik Jumlah Puskesmas Jumlah Puskesmas Pembantu Jumlah Posyandu Jumlah Apotik Jumlah Tempat Praktek Dokter Jumlah Tempat Praktek Bidan Jumlah Tempat Peribadatan Fasilitas sosial Jumlah Variabel Jumlah 6 9 9 1 25 Teknik Pendugaan Perubahan Perubahan secara sistematis dapat diduga dari fungsi pertumbuhan dan peluruhan. Teknik ini dapat digunakan untuk menduga pertumbuhan ataupun peluruhan seiring dengan waktu, ukuran atau jarak dari posisi referensi. Rumus matematis dari teknik pendugaan perubahan adalah: ššš«šš®š¦šš®š”šš§ = Xto = nilai variabel tahun awal Xt1 = nilai variabel tahun akhir šæšÄ± − šæšš šæššØ 25 Deskripsi Grafik dan Tabel Analisis ini merupakan penjabaran data secara deskriptif melaui tabel atau pun grafik. Melalui metode ini dapat diketahui keadaan wilayah, pola perubahan ruang terbuka hijau, laju hubungan peluruhan/pertumbuhan ruang terbuka hijau, laju pertumbuhan penduduk, dan kecukupan RTH kota dengan jumlah penduduk. 3.3.4.3. Menganalisis Faktor-faktor Penentu Perubahan Luas RTH Faktor-faktor yang mempengaruhi perubahan luas RTH yang terjadi di Kota Bekasi dilakukan melalui analisis regresi berganda dengan metode forward stepwise regression. Analisis ini dipilih karena terdapat banyak faktor yang mempengaruhi dalam menentukan faktor-faktor yang mempengaruhi perubahan luas RTH. Metode forward stepwise regression dipilih karena jumlah yang digunakan banyak dan berpeluang asumsi tidak saling berkorelasinya antar vaiabel bebas tidak akan dapat dipenuhi. Analisis Regresi Berganda Regresi berganda adalah suatu metode analisis yang digunakan untuk menganalisis hubungan antara variabel tujuan (dependent variable) dengan bebrapa variabel penduga (independent variable). Sasaran dari metode regresi berganda adalah penggunaan variabel penduga untuk memprediksi variabel tujuan. Dengan kata lain analisis regrasi berganda digunakan untuk menduga nilai suatu parameter regresi berdasarkan data yang diamati. Model yang dihasilkan dapat digunakan sebagai penduga yang baik jika asumsi-asumsi berikut dapat dipenuhi: a. E (ei) = 0 untuk setiap i; dimana i = 1,2,...,n; artinya rata-rata galat adalah nol b. Kov (ei,ej) = 0, i ≠ j, artinya kovarian pengamatan ke-i dan ke-j = 0, dengan kata lain tidak ada autokorelasi antara galat pengamatan yang satu dengan yang lain. c. Var (ei2) = σ2; untuk setiap i dimana i = 1,2,...,n; artinya setiap galat pengamatan memiliki ragam yang sama. 26 d. Kov (ei,x1i) = Kov (ei,x2i) = 0; artinya kovarian setiap galat pengamatan dengan setiap variabel bebas yang tercakup dalam persamaan linier berganda sama dengan nol. e. Tidak ada multikolinearitas; artinya tidak ada hubungan linier yang eksak antara variabel-variabel penjelas, atau variabel penjelas harus saling bebas. f. Ei ≈ N (0;σ), galat pengamatan menyebar normal dengan rata-rata nol dan ragam σ2. Persamaan (model) yang akan dihasilkan adalah: Y = A0+A1X1+.............+AnXn Dimana: Y = Luas perubahan RTH 2003-2010 (ha) X = Variabel bebas sebagaimana disajikan dalam Tabel 4. A = Koefisien variabel Tabel 4. Variabel Bebas Pada Analisis Regresi Berganda No 1 No 11 Variabel bebas Jarak ke fasilitas kesehatan (km) 12 Jarak ke fasilitas sosial (km) 13 Alokasi rth dalam RTRW (ha) 14 Luas RTH tahun 2003 (ha) 15 16 *Dummy1 (hirarki) *Dummy2 (hirarki) 7 Variabel bebas Perubahan jumlah penduduk 20032009 (jiwa) Perubahan jumlah fasilitas pendidikan (unit) Perubahan jumlah fasilitas ekonomi (unit) Perubahan jumlah fasilitas kesehatan (unit) Perubahan jumlah fasilitas sosial (unit) Jarak ke kecamatan yang membawahi (km) Jarak ke pusat kota (km) 17 8 Jarak terdekat ke kota lain (km) 18 9 10 Jarak ke fasilitas pendidikan (km) Jarak ke fasilitas ekonomi (km) 19 20 Perubahan luas lahan terbangun 20032010 (ha) Perubahan luas lahan kosong 20032010 (ha) Luas Lahan terbangun tahun 2003 (ha) Luas lahan kosong tahun 2003 (ha) 2 3 4 5 6 Keterangan: *= hirarki wilayah: hirarki 1 (dummy 1=0, dummy 2=1); hirarki 2 (dummy 1=1, dummy 2=0); hirarki 3 (dummy 1=1, dummy 2=1). Dalam analisis regresi berganda ini diasumsikan bahwa Kota Bekasi tidak mengalami pemekaran sehingga unit analisis ini memakai 10 kecamatan sebagaimana kondisi administratif Kota Bekasi sebelum adanya pemekaran. 27 3.3.4.4. Mengidentifikasi Areal Yang Berpotensi Untuk RTH Mengidentifikasi areal yang berpotensi untuk dikembangkan menjadi RTH dilakukan dengan analisis spasial, yaitu melalui proses digitasi visual secara on screen pada citra QUICKBIRD 2010 berdasarkan kondisi eksisting penggunaaan lahan Kota Bekasi berupa lahan kosong yang mempunyai luasan cukup besar. Proses digitasi tersebut juga didasarkan pada peta penggunaan lahan 2010 untuk menghindari kemungkinan kesalahan interpretasi. Hasil dari digitasi tersebut berupa peta arahan areal pertambahan RTH. Peta arahan areal pertambahan RTH tersebut kemudian di overlay dengan peta administrasi wilayah Kota Bekasi sehingga dihasilkan luasan areal arahan pertambahan RTH per kecamatan. Luas areal arahan pertambahan RTH per kecamatan yang diperoleh dari hasil digitasi kemudian dijumlahkan dengan RTH eksisting tahun 2010 untuk dihubungkan dengan luas kebutuhan RTH tahun berdasarkan jumlah penduduk tahun 2010. Dari hubungan tersebut dapat diketahui apakah luas areal pertambahan RTH tersebut dapat memenuhi kebutuhan RTH berdasarkan jumlah penduduk atau tidak. Perhitungan ini dilakukan dengan analisis deskripsi grafik dan tabel. 3.3.4.5. Menyusun Upaya Penambahan RTH di Kota Bekasi Untuk menyusun upaya-upaya penambahan RTH yang tepat, maka dalam penelitian ini menggunakan analisis SWOT. Dalam analisis SWOT ini dilakukan identifikasi faktor internal dan dan faktor eksternal yang berpengaruh terhadap pengadaan dan pengelolaan RTH di Kota Bekasi. Analisis SWOT Penyusunan upaya-upaya penambahan RTH di kota Bekasi dilakukan berdasarkan analisis SWOT (Strengths, Weaknesses, Opportunities, Threats). Analisis SWOT adalah identifikasi berbagai faktor secara sistematik untuk merumuskan strategi yang tepat. Analisis didasarkan pada logika yang dapat memaksimalkan kekuatan (Strengths) dan Peluang (Opportunities), namun secara bersamaan meminimalkan kelemahan (Weaknesses) dan ancaman (Threats). Perencana strategis harus menganalisis faktor-faktor strategis (kekuatan, 28 kelemahan, peluang, dan ancaman) dalam kondisi saat ini yang disebut dengan analisis situasi (Iskandarini, 2004). Berdasarkan analisis situasi akan terbentuk matrix yang menghasilkan empat set kemungkinan alternatif strategi sebagaimana ditunjukkan pada Tabel 5. Tabel 5. Matriks SWOT Internal Eksternal Opportunities (O) Tentukan faktor-faktor peluang eksternal Threats (T) Tentukan faktor-faktor ancaman eksternal ļ· Strengths (S) Weakness (W) Tentukan faktor-faktor kekuatan internal Tentukan faktor-faktor kelemahan internal Strategi SO Strategi yang menggunakan kekuatan untuk memanfaatkan peluang Strategi ST Strategi yang menggunakan kekuatan untuk mengatasi ancaman Strategi WO Strategi yang meminimalkan kelemahan untuk memanfaatkan peluang Strategi WT Strategi yang meminimalkan kelemahan dan menghindari ancaman Strategi SO Strategi ini dibuat dengan memanfaatkan seluruh kekuatan untuk memanfaatkan peluang sebesar-besarnya ļ· Strategi ST Strategi ini menggunakan kekuatan yang dimiliki untuk mengatasi ancaman ļ· Strategi WO Strategi ini diterapkan berdasarkan pemanfaatan peluang yang ada dengan cara meminimalkan kelemahan yang ada. ļ· Strategi WT Strategi ini didasarkan ppada kegiatan yang bersifat defensif dan berusaha meminimalkan kelemahan yang ada serta menghindari ancaman. 3.3.5. Penyusunan skripsi Penyusunan skripsi dilakukan dengan menggunakan hasil analisis data dan interpretasinya serta data-data dan informasi-informasi pendukung lainnya BAB IV KONDISI UMUM DAERAH PENELITIAN 4.1. Sejarah Kota Bekasi Berdasarkan Undang-Undang No 14 Tahun 1950, terbentuk Kabupaten Bekasi. Kabupaten bekasi mempunyai 4 kawedanan, 13 kecamatan, dan 95 desa. Kecamatan Bekasi yang merupakan salah satu kecamatan di Kabupaten Bekasi mempunyai perkembangan yang pesat. Pesatnya perkembangan Kabupaten Bekasi menuntut adanya pemekaran Kecamatan Bekasi menjadi Kota Administratif Bekasi. Pembentukan Kota Administratif ini di tuangkan dalam Peraturan Pemerintah Nomor 48 Tahin 1981. Pada awal pembentukan ini Kota Administratif Bekasi hanya terdiri dari 4 kecamatan, yaitu kecamatan Bekasi Timur, Kecamatan Bekasi Barat, Kecamatan Bekasi Utara, dan Kecamatan Bekasi Selatan yang meliputi 18 kelurahan dan 8 desa. Peresmian Kota Administratif Bekasi dilakukan oleh Menteri Dalam Negeri pada tanggal 20 April 1982 dengan walikota pertama adalah H. Soedjono. Pada perkembangannya, Kota Administratif Bekasi mengalami Perkembangan yang cukup pesat. Oleh karena itu, status Kota Administratif Bekasi diubah menjadi Kotamadya (Kota) Bekasi. Hal ini diatur dalam UndangUndang Nomor 9 Tahun 1996 (http://bekasikota.go.id). 4.2. Wilayah Administrasi Sesuai dengan Perda Kota Bekasi Nomor 4 tahun 2004 tentang pembentukan wilayah Administrasi Kecamatan dan Kelurahan, Kota Bekasi terbagi atas 12 kecamatan yang terdiri dari 56 kelurahan. Sebelum mengalami pemekaran pada tahun 2005, Kota Bekasi memiliki 10 kecamatan yang terdiri dari 52 kelurahan. Kota Bekasi mempunyai luas wilayah sekitar 210,49 km2, dengan Kecamatan Mustika Jaya sebagai wilayah yang terluas (24,73 km2) sedangkan Kecamatan Bekasi Timur sebagai wilayah terkecil (13,49 km2). Wilayah administrasi Kota Bekasi sebelum dan setelah mengalami pemekaran tertera pada Gambar 2 (a) dan Gambar 2 (b). 30 Batas-batas wilayah administrasi wilayah kota bekasi adalah: Sebelah Utara : Kabupaten Bekasi Sebelah Selatan : Kabupaten Bogor Sebelah Barat : Kota Jakarta Timur Sebelah Timur : Kabupaten Bekasi (a) (b) Gambar 2. Wilayah Administrasi Kota Bekasi Sebelum (a) dan Setelah Pemekaran (b) 4.3. Kondisi Geografis Secara geografi Kota Bekasi berada pada posisi 106055ā Bujur Timur dan 607ā-6015ā Lintang Selatan, dengan ketinggian 19 m di atas permukaan laut. Letak Kota Bekasi yang sangat strategis merupakan keuntungan bagi kota Bekasi terutama dari segi komunikasi dan perhubungan. Kemudahan dan kelengkapan sarana dan prasarana transportasi di Kota Bekasi menjadi salah satu daerah penyeimbang DKI Jakarta (BAPPEDA Kota Bekasi, 2010). 31 4.4. Topografi Wilayah Kota Bekasi terletak pada ketinggian rata-rata kurang 25 m di atas permukaan air laut. Ketinggian kurang dari 25 meter berada pada Kecamatan Bekasi Utara, Bekasi Selatan, Bekasi Timur, dan Pondok Gede, sedangkan ketinggian antara 25-100 meter di atas permukaan air laut berada di Kecamatan Bantargebang, Jatiasih dan Jatisampurna (BAPPEDA Kota Bekasi, 2005). 4.5. Iklim Sepanjang tahun 2009 keadaan di Kota Bekasi cenderung panas, curah hujan tertinggi terjadi pada bulan Januari dan Februari yaitu masing-masing tercatat 311 mm dan 302 mm dengan hari hujan masing-masing 10 hari. Jumlah hujan terendah terjadi pada bulan Juli sebesar 0 mm, dengan kata lain tidak ada hari hujan sama sekali. Jumlah curah hujan yang tercatat sepanjang tahun 2009 adalah 1.518 mm (BAPPEDA Kota Bekasi, 2010). 4.6. Morfologi Keadaan morfologi wilayah Kota Bekasi umumnya relatif datar dengan kemiringan lahan bervariasi antara 0-2%. Wilayah Kota Bekasi tidak terdapat bukit dan secara keseluruhan kondisi morfologi lahannya adalah datar yang menyebar pada seluruh wilayah kecamatan di Kota Bekasi (BAPPEDA Kota Bekasi, 2005). 4.7. Hidrologi Wilayah Kota Bekasi dialiri 3 (tiga) sungai utama yaitu Sungai Cakung, Sungai Bekasi dan Sungai Sunter, beserta anak-anak sungainya. Sungai Bekasi mempunyai hulu di Sungai Cikeas yang berasal dari gunung dengan ketinggian kurang lebih 1.500 meter dari permukaan air laut. Air permukaan yang terdapat di wilayah Kota Bekasi meliputi sungai/kali Bekasi dan beberapa sungai/kali kecil serta saluran irigasi Tarum Barat yang selain digunakan untuk mengairi sawah juga merupakan sumber air baku bagi kebutuhan air minum wilayah Bekasi (kota dan kabupaten) dan wilayah DKI Jakarta. Kondisi air permukaan kali Bekasi saat ini tercemar oleh limbah industri 32 yang terdapat di bagian selatan wilayah Kota Bekasi (industri di wilayah Kabupaten Bogor). Kondisi air tanah di wilayah Kota Bekasi sebagian cukup potensial untuk digunakan sebagai sumber air bersih terutama di wilayah selatan Kota Bekasi, tetapi untuk daerah yang berada di sekitar TPA Bantargebang kondisi air tanahnya kemungkinan besar sudah tercemar. Kondisi air tanah yang terdapat di Bekasi Timur sebagian mengandung zat besi (BAPPEDA Kota Bekasi, 2005). 4.8. Jenis Tanah dan Geologi Struktur geologi wilayah Kota Bekasi didominasi oleh pleistocene volcanik facies. Struktur aluvium menempati sebagian kecil wilayah Kota Bekasi bagian utara sedangkan struktur miocene sedimentary facies terdapat di bagian timur wilayah Kota Bekasi sepanjang perbatasan dengan DKI Jakarta. Kedalaman efektif tanah sebagian besar di atas 91 cm. Jenis tanah latosol dan aluvial, serta tekstur tanah didominasi tekstur sedang dan halus. Komposisi perbandingan berdasarkan luasnya adalah: tekstur halus seluas 17.260 ha (82%), tekstur sedang seluas 3.368 ha (16%) dan tekstur kasar seluas 421 ha (2%) (BAPPEDA Kota Bekasi, 2005). 4.9. Kondisi Sosial Ekonomi Berdasarkan hasil pencacahan sensus penduduk 2010, jumlah penduduk kota Bekasi angka sementara adalah 2.336.498 orang, yang terdiri1.182.496 lakilaki dan 1.153.993 perempuan. Penyebaran penduduk kota Bekasi masih di dominasi di empat kecamatan dengan jumlah penduduk terbanyak yaitu Kecamatan Bekasi Utara sebanyak 310.198 orang (13,28%), Bekasi Barat sebanyak 270.569 orang (11,58%), Bekasi Timur sebanyak 248.046 orang (10,62%), dan Kecamatan Pondok Gede sebanyak 246.413 orang (10,55%). Perbandingan penduduk laki-laki dan perempuan di Kota Bekasi adalah sebesar 102, yang artinya jumlah penduduk laki-laki 2% lebih banyak dibandingkan jumlah penduduk perempuan. Dengan luas wilayah 210,49 km2 yang didiami oleh 2.336.489 orang, maka rata-rata tingkat kepadatan penduduk Kota Bekasi adalah sebesar 11.100 jiwa per km2. Wilayah yang paling padat penduduknya adalah 33 Kecamatan Bekasi Timur dimana Kepadatannya mencapai 18.387 jiwa per km2 pada tahun 2010, sedangkan yang paling rendah kepadatan penduduknya adalah kecamatan Bantargebang yaitu 5.631 jiwa per km2 (BPS Kota Bekasi, 2010). Upaya perbaikan di bidang pendidikan dilakukan melalui pengadaan sarana dan prasarana serta menyelenggarakan berbagai program pendidikan untuk meningkatkan kualitas guru. Jumlah sekolah dan guru bertambah tiap tahunnya. Data terakhir tercatat terdapat 773 SD/MI dengan jumlah guru 6.542 orang, 292 SLTP/MTs dengan jumlah guru 5.734 orang, 123 SMU/MA dengan jumlah guru 3.240 orang, dan 91 SMK dengan jumlah guru 1.922 orang. Seiring dengan meningkatnya jumlah penduduk, jumlah tenaga kerja pun turut meningkat. Berdasarkan catatan Dinas Tenaga Kerja dan Transmigrasi Kota Bekasi, jumlah pencari kerja terdaftar pada tahun 2008 sebesar 42.376 orang sedangkan pada tahun 2009 sebesar 45.316 orang. Sebagian besar pekerja tersebut adalah mereka yang berpendidikan SLTA yaitu 28.311 orang dan Akademi/Universitas sekitar 14.968 orang (Dinas Tenaga Kerja Kota Bekasi, 2010). Sektor industri masih merupakan sektor yang memberikan kontribusi terbesar terhadap pendapatan daerah Kota Bekasi. Pada tahun 2009 jumlah perusahaan Industri Besar dan Sedang di Kota Bekasi berjumlah 221. Secara keseluruhan jumlah pekerja di sektor Industri Besar dan Sedang berjumlah 52.669 orang pada tahun 2009, dengan jumlah tenaga kerja di sub sektor Industri makanan dan minuman menempati jumlah pekerja tertinggi yaitu 8.910 pekerja (Dinas Tenaga Kerja Kota Bekasi, 2010). Dilihat dari struktur penduduk menurut mata pencaharian di Kota Bekasi, dapat diidentifikasikan jumlah penduduk yang bekerja pada tahun 2000 adalah sebesar 710.741 jiwa atau 42,72% dari jumlah penduduk Kota Bekasi. Pada tahun 2004 mengalami pengurangan yaitu sebesar 651.090 jiwa atau 34,01% dari jumlah penduduk Kota Bekasi. Jika dilihat dari jenis pekerjaannya pada tahun 2004 maka sektor yang banyak menyerap pekerjaan adalah industri pengolahan yaitu 193.822 jiwa atau 29,77% diikuti dengan jasa-jasa 151.324 (23,24%), perdagangan, hotel, dan restoran 127.866 (19,64), dan pengangkutan 86.488 34 (13,28), sedangkan sisanya seperti pertanian, pertambangan, bangunan, bank, mempunyai proporsi yang kecil (dibawah 5%). 4.10. Rencana Tata Ruang Wilayah Kota Bekasi (2000-2010) Secara umum, pengembangan kawasan terbangun di Kota Bekasi diarahkan untuk menarik perkembangan fisik kota ke bagian Selatan yang selama ini belum terbangun sehingga dapat mewadahi kegiatan-kegiatan fungsional kota yang akan dikembangkan, baik perumahan, perdagangan dan jasa serta industri. Pada bagian Utara (dari jalan tol Jakarta-Cikampek) lebih merupakan pemantapan terhadap fungsi-fungsi yang telah ada. Pengembangan struktur tata ruang Kota Bekasi diarahkan terbentuknya empat wilayah pengembangan (WP) atau bagian wilayah kota (BWK), yaitu: BWK Pusat kota (Bekasi Timur, Bekasi Barat, Bekasi Selatan, Bekasi Utara), BWK Pondok Gede (Pondok Gede dan Jati Asih), BWK Bantar Gebang (Bantar Gebang dan sekitarnya), BWK Jati Sampurna (Jati Sampurna). Secara umum pengembangan perumahan di Kota Bekasi diarahkan pada terbentuknya kawasan-kawasan perumahan baru yang didasarkan pada intensitas pemanfaatan lahannya. Perumahan kepadatan tinggi dikembangkan terutama di BWK Pusat Kota dan sebagian BWK Pondok Gede yang selama ini sudah Berkembang. Perumahan Kepadatan sedang dikembangkan di sebagian BWK Pondok Gede, sebagian BWK Bantar Gebang, dan sebagian BWK Jati Sampurna. Perumahan Kepadatan rendah dikembangkan di sebagian BWK Bantar Gebang dan sebagian BWK Jati Sampurna. Secara spasial, pemanfaatan ruang kawasan terbangun di Kota Bekasi yang dikembangkan pada masa yang akan datang mempunyai pola pemanfaatan ruang yang berbeda yaitu: 1. Pola perkembangan linear (koridor) Barat-Timur pada BWK Pusat Kota dan BWK Pondokgede dengan intensitas pemanfaatan ruang yang makin tinggi ke Pusat Kegiatan Kota yang selama ini telah berkembang. Pola pemanfaatan ruang pada kawasan ini menjadi kesatuan yang tak terpisahkan dari perkembangan poros barat-timur dalam wilayah Jabotabek, yang menjadikan jaringan jalan arteri 35 primer yang menghubungkan Pusat Kota Bekasi dengan DKI Jakarta dan Pusat Kota Bekasi dengan Cikarang sebagai porosnya. 2. Pola linear Utara-Selatan diterapkan pada BWK Bantar Gebang dan Jati Sampurna. Dalam hal ini jaringan jalan kolektor yang ada pada kedua BWK tersebut merupakan poros perkembangan kawasan terbangun kota. Di BWK Jatisampurna (koridor PondokgedeJatisampurna), kawasan perdagangan dan jasa dikembangkan sejalan dengan pengembangan kawasan-kawasan perumahan baru yang menggunakan koridor tersebut sebagai akses utamanya. Di BWK Bantar Gebang, kegiatan industri akan menjadi penarik perkembangan linear pada koridor Selatan tersebut yang diikuti oleh perdagangan dan jasa untuk melayani kebutuhan lokal kawasan-kawasan perumahan yang dikembangkan di sekitarnya. Pola pemanfaatan ruang kawasan/ruang terbuka hijau di Kota Bekasi ditujukan untuk meningkatkan mutu lingkungan hidup perkotaan yang nyaman, segar, indah, bersih dan sebagai sarana pengaman lingkungan perkotaan, serta menciptakan keserasian lingkungan alam dan lingkungan binaan yang berguna untuk kepentingan masyarakat. Kawasan hijau pertamanan kota pengembangannya diarahkan secara tersebar dikaitkan dengan peruntukan pada kawasan terbangun kota sehingga tercipta keserasian dan keseimbangan lingkungan. Kawasan hijau rekreasi dan olahraga (lapangan olah raga) pengembangannya diarahkan tersebar sesuai dengan jenis dan skala pelayanannya. Kawasan hijau pemakaman pengembangannya diarahkan pada bagian Selatan kota (BWK Bantar Gebang dan Jati Sampurna). Kawasan hijau jalur hijau pengembangannya diarahkan sepanjang jalur sungai (berfungsi sebagai garis sempadan sungai) jalan utama kota dan jalur rel kereta api. Kawasan hijau pekarangan pengembangannya diarahkan pada kawasan perumahan kepadatan sedang dan perumahan berkepadatan rendah (BAPPEDA Kota Bekasi, 2005). BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1. Analisis Laju Perubahan RTH Kota Bekasi Tahun 2003-2010 Laju perubahan RTH di Kota Bekasi dianalisis berdasarkan hasil digitasi Citra QUICKBIRD 2003 dan 2010. Tabel 6 menunjukkan dinamika perubahan luas RTH di Kota Bekasi tahun 2003-2010. Tabel 6. Dinamika Perubahan Luas RTH di Kota Bekasi Tahun 2003-2010 Kecamatan Bekasi Barat Bekasi Selatan Bekasi Timur Bekasi Utara Jati Asih Medan Satria Rawalumbu Jati Sampurna Pondok Gede Pondok Melati Bantar Gebang Mustika Jaya Jumlah RTH 2003 (ha) 143,38 173,35 107,17 110,57 540,85 64,20 193,10 475,84 258,67 * 995,51 * 3062,64 % RTH 2010 (ha) % 4,68 5,66 3,50 3,61 17,66 2,10 6,31 15,54 8,45 * 32,51 * 100,00 106,50 139,80 97,30 90,74 411,84 67,12 174,75 321,90 105,92 126,82 366,58 538,32 2547,59 4,18 5,49 3,82 3,56 16,17 2,63 6,86 12,64 4,16 4,98 14,39 21,13 100,00 Luas Perubahan RTH (ha) -36,88 -33,54 -9,87 -19,83 -129,01 2,92 -18,35 Laju Perubahan RTH 20032007 (per tahun) -0,04 -0,03 -0,01 -0,03 -0,03 0,01 -0,01 **-179,87 **-0,03 ***-90,61 ***-0,01 -515,05 -0,02 Keterangan: *=kecamatan pemekaran dari kecamatan urutan sebelumnya; **=dihitung dari penjumlahan Kecamatan Jati Sampurna, Pondok Gede, dan Pondok Melati; ***=dihitung dari penjumlahan Kecamatan Bantar Gebang dan Mustika Jaya. Pada tahun 2003, luasan RTH di Kota Bekasi sebesar 3.062,64 ha, sedangkan luasan RTH pada tahun 2010 sebesar 2.547,59 ha. Terjadi penurunan luas RTH di Kota Bekasi selama tahun 2003 hingga 2010 sebesar 515,05 ha. Penurunan luas RTH ini salah satunya disebabkan oleh peningkatan jumlah penduduk sehingga lahan-lahan RTH privat terutama lahan-lahan kebun campuran milik warga digunakan untuk pembangunan perumahan. RTH publik yang berupa jalur hijau jalan, taman, dan jalur hijau sempadan sungai luasannya bertambah namun dengan luasan relatif kecil sehingga tidak mampu mengkompensasi penurunan luasan RTH privat yang telah terpakai. Laju perubahan RTH Kota Bekasi dari tahun 2003 hingga 2010 negatif sebesar -2% tiap tahunnya. Dari nilai tersebut diketahui bahwa dari tahun 2003 37 hingga 2010 telah terjadi penurunan luas RTH setiap tahun. Kecamatan yang mengalami laju pengurangan RTH paling tinggi setiap tahunnya adalah Kecamatan Bekasi Barat (-4%). Hal ini diduga karena Kecamatan Bekasi Barat mempunyai pekembangan wilayah yang cepat karena kecamatan ini merupakan salah satu pusat kegiatan kota sehingga lahan RTH juga cepat terkonversi menjadi penggunaan lain. Kecamatan Medan Satria memiliki laju perubahan RTH bernilai positif yaitu 1% per tahun. Hal ini menunjukkan bahwa kecamatan tersebut mengalami peningkatan luasan RTH. Peningkatan luasan RTH di Medan Satria terjadi karena terbangunnya Banjir Kanal Timur (BKT), sehingga di sekitar BKT difungsikan sebagai RTH. Untuk mengkonsistenkan satuan di wilayah yang mengalami pemekaran pada tahun 2004, maka di wilayah pemekaran tersebut perhitungan laju perubahan luas RTH disatukan. Pada gabungan Kecamatan Pondok Gede, Pondok Melati, dan Jati Sampurna, laju perubahan RTH yang terjadi negatif sebesar -3% per tahun. Laju penurunan RTH tersebut terjadi karena perubahan penggunaan lahan RTH terutama RTH privat milik warga menjadi jalan tol. Laju perubahan RTH di Bantar Gebang dan Mustika Jaya juga dihitung secara bersama menghasilkan laju perubahan RTH sebesar -1% per tahun. Pada tahun 2003 kecamatan yang memiliki RTH terbesar adalah Kecamatan Bantar Gebang dengan luasan sebesar 995,51 ha kemudian diikuti oleh kecamatan jati asih dengan luas RTH sebesar 540,85 ha. Luasan RTH terkecil dimiliki oleh Kecamatan Medan Satria dengan luasan sebesar 64,20 ha. Kecamatan Bantar Gebang memiliki luasan RTH terbesar diduga karena masih banyak RTH terutama RTH privat berupa kebun-kebun milik warga yang dilestarikan. Selain itu, Kecamatan Bantar Gebang memiliki kepadatan penduduk yang rendah dibandingkan dengan kecamatan-kecamatan lain. Lokasi kecamatan yang berada di luar dan berbatasan dengan Kabupaten Bogor serta kurang berkembangnya aksesibilitas menyebabkan laju perkembangan wilayah kurang pesat sehingga laju pertumbuhan fasilitas tidak terlalu cepat. Kecamatan Medan Satria memiliki luas wilayah yang relatif kecil dibandingkan dengan luas wilayah kecamatan lain, sehingga luasan RTH yang ada juga kecil. Selain itu, kecamatan ini berbatasan dengan wilayah Jakarta Timur sehingga memiliki perkembangan 38 wilayah yang tinggi yang bisa mengakibatkan beralihnya penggunaan lahan RTH menjadi penggunaan lahan terbangun. Pada tahun 2010 kecamatan yang memiliki luasan RTH terbesar adalah Kecamatan Jati Asih dengan luasan sebesar 411,84 ha dan yang terkecil adalah Kecamatan Medan Satria. Meskipun terjadi peningkatan luas RTH di Kecamatan Medan Satria namun kecamatan ini tetap memiliki proporsi RTH yang kecil dibandingkan dengan kecamatan lainnya. Peta sebaran RTH tahun 2003 dan 2010 tertera pada Gambar 3 dan 4. Gambar 5 menunjukkan RTH di Kota Bekasi yang diperoleh dari hasil pengecekan lapang. Gambar 3. Peta Sebaran RTH Kota Bekasi 2003 39 (b) Gambar 4. Peta Sebaran RTH Kota Bekasi 2010 40 Gambar 5. Peta Piktorial Sebaran Ruang Terbuka Hijau di Kota Bekasi 41 5.2. Analisis Kecukupan RTH Kota Bekasi Penduduk Berdasarkan Jumlah Untuk bisa melakukan aktifitas dengan nyaman, penduduk membutuhkan luas RTH sebesar 20 m2 sebagaimana tertera dalam Permen PU No. 5 tahun 2008. Tong Yiew dalam Direktorat Jenderal Penataan Ruang (2006) menyatakan bahwa di Malaysia luas RTH per penduduk yang ditetapkan sebesar 1,9 m2 dan Jepang 5 m2 per penduduk. Dewan Kota Lancashire, Inggris menetapkan kebutuhan RTH per penduduk sebesar 11,5 m2, Amerika 60 m2 , Jakarta mengususlkan taman untuk bermain dan berolahraga 1,5 m2 per penduduk (Rifai dalam Direktorat Jenderal Penataan Ruang, 2006). Tabel 7 menunjukkan kecukupan RTH di Kota Bekasi terhadap jumlah penduduk di Kota Bekasi pada tahun 2010. Tabel 7. Kebutuhan RTH Berdasarkan Jumlah Penduduk dan Kecukupannya Kecamatan Jumlah Penduduk (jiwa) Luas Lahan (ha) proporsi RTH 20% luas kecamatan (ha) RTH Per Kecamatan Menurut Permen PU No 5 tahun 2008 RTH eksisting Selisih RTH Dengan Proporsi Menurut Permen PU No 5 Tahun 2008 (ha) Bantar Gebang Bekasi Barat Bekasi Selatan Bekasi Timur Bekasi Utara 95.957 270.569 203.596 248.046 310.198 1.704 1.889 1.496 1.349 1.965 340,80 377,80 299,20 269,80 393,00 191,91 541,13 407,19 496,09 620,40 366,58 106,50 139,80 97,30 90,74 174,67 -434,64 -267,39 -398,79 -529,66 Jati Asih Jati Sampurna Medan Satria Mustika Jaya Pondok Gede Pondok Melati 199.496 103.513 161.617 160.381 246.413 129.219 2.200 1.449 1.471 2.473 1.629 1.857 440,00 289,80 294,20 494,60 325,80 371,40 398,99 207,03 323,23 320,76 492,83 258,44 411,84 321,90 67,12 538,32 105,92 126,82 12,85 114,88 -256,11 217,56 -386,91 -131,62 Rawalumbu 207.484 1.567 313,40 414,97 174,75 -240,22 2.336.489 21.049 4209,80 4672,98 2547,59 -2125,39 Jumlah Dari Tabel 7 diketahui bahwa RTH yang ada di Kota Bekasi pada tahun 2010 sebesar 2547,59 ha, sedangkan luas RTH yang di butuhkan oleh penduduk sebesar 4672,98 ha. Dari nilai tersebut dapat diketahui bahwa Kota Bekasi belum bisa mencukupi kebutuhan ruang terbuka hijau berdasarkan jumlah penduduk. Untuk mencukupi kebutuhan RTH berdasarkan jumlah penduduk maka perlu diadakan penambahan RTH sebesar 2.125,39 ha. Kemungkinan sangat sulit untuk mencukupi kekurangan kebutuhan RTH berdasarkan jumlah penduduk karena 42 secara umum lahan di Kota Bekasi telah banyak berubah menjadi lahan terbangun seperti perumahan, industri, perdagangan, perkantoran, dan jasa, sedangkan penduduk selalu meningkat setiap tahunnya. Berdasarkan Tabel 7 tampak bahwa luas kebutuhan RTH berdasarkan 20% luas wilayah Kota Bekasi (4209,80 ha) juga belum bisa dipenuhi oleh Kota Bekasi bahkan luasan tersebut lebih kecil daripada luas kebutuhan RTH berdasarkan jumlah penduduk (4672,98 ha). Karena luasan kebutuhan RTH berdasarkan 20% luas wilayah Kota Bekasi lebih kecil dan juga merupakan ketentuan yang tertuang dalam UU No 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang maka target luasan ini harus dicapai lebih dulu. Setelah Mencapai luasan tersebut, dilakukan perluasan areal RTH sehingga dapat mencapai luasan kebutuhan RTH berdasarkan jumlah penduduk untuk menunjang kenyamanan penduduk dalam beraktifitas. 5.3. Analisis Laju Pertumbuhan dan Kepadatan Penduduk Sejak Kota Bekasi terbentuk pada 10 Maret 1997, jumlah penduduk di Kota Bekasi terus mengalami peningkatan. Pertumbuhan yang terjadi cukup tinggi tiap tahunnya. Pada tahun 2010 penyebaran penduduk Kota Bekasi masih didominasi oleh 4 kecamatan, yaitu Kecamatan Bekasi Utara sebanyak 310.198 jiwa, Kecamatan Bekasi Barat sebanyak 270.569 jiwa, Kecamatan Bekasi Timur sebanyak 248.046 jiwa, dan Kecamatan Bojong Gede sebanyak 246.413 jiwa. Penyebaran penduduk Kota Bekasi lebih banyak terkonsentrasi di wilayah Barat dan pusat kota (Pondok Gede dan Bekasi Barat) yang berbatasan dengan DKI Jakarta serta di bagian Utara dan Timur (Bekasi Utara dan Bekasi Timur) yang berbatasan dengan Kabupaten Bekasi. Hal ini disebabkan oleh akses jaringan jalan yang baik di kedua wilayah karena dilalui oleh jalan negara dan jalan tol serta dilengkapi dengan jalan kota. Wilayah Barat dan pusat memiliki lokasi yang sangat strategis karena berbatasan dengan DKI Jakarta dan masih dalam wilayah tarikan pelayanan DKI Jakarta. Sementara itu, wilayah Timur dan Utara memiliki ketersediaan fasilitas dan prasarana penunjang perkotaan yang lengkap. Jumlah penduduk Kota Bekasi secara agregat pada tahun 1997 sebanyak 1.471.477 jiwa, sedangkan pada tahun 2010 sebanyak 2.336.489 jiwa. Sejak 43 tahun 1997 hingga 2010 laju pertumbuhan penduduk Kota Bekasi berfluktuasi, dengan rata-rata 3,8% per tahun. Laju pertumbuhan tertinggi terjadi pada tahun 1999-2000, yaitu sebesar 7%. Laju pertumbuhan penduduk terendah terjadi pada 1998-1999 dan 2009-2010, yaitu sebesar 1%. Kepadatan penduduk Kota Bekasi dari tahun 1997-2010 terus mengalami peningkatan. Peningkatan ini disebabkan oleh terus meningkatnya jumlah penduduk namun tidak disertai dengan pertambahan luas wilayah. Pada tahun 1997 kepadatan penduduk Kota Bekasi sebesar 6.991 jiwa/km2 dan pada tahun 2010 meningkat menjadi 11.100 jiwa/km2. Laju pertumbuhan kepadatan penduduk Kota Bekasi dari tahun 1997-2010 bernilai positif meskipun terjadi kenaikan atau penurunan. Nilai positif tersebut menunjukkan bahwa kepadatan penduduk Kota Bekasi selalu meningkat tiap tahun walaupun dengan laju yang berbeda-beda. Laju kepadatan penduduk tertinggi terjadi pada tahun 2001-2002 yaitu mencapai 6% sedangkan kepadatan penduduk terendah terjadi pada tahun 1998-1999 dan 2009-2010 yaitu sebesar 1 %. Laju pertumbuhan kepadatan penduduk rata-rata Kota Bekasi dari tahun 19972010 adalah sebesar 4% per tahun. Gambar 6 menunjukkan mengenai jumlah dan kepadatan penduduk Kota Bekasi periode tahun 1997-2010 sedangkan Gambar 7 menunjukkan laju pertumbuhan jumlah dan kepadatan penduduk periode tahun 1997-2010. Gambar 6. Grafik Jumlah dan Kepadatan Penduduk Kota Bekasi Periode 19972010 44 Gambar 7. Grafik Laju Jumlah dan Kepadatan Penduduk Kota Bekasi Periode 1997-2010 Pada tahun 2004 terjadi pemekaran wilayah Kota Bekasi sehingga jumlah penduduk sebelum dan setelah pemekaran menjadi berkurang secara drastis untuk beberapa kecamatan yang mengalami pemekaran. Kecamatan yang mengalami pemekaran adalah Kecamatan Pondok Gede, Kecamatan Jati Sampurna, Kecamatan Jati Asih dan Kecamatan Bantar Gebang. Pada Tabel 8 dan Tabel 9 berturut-turut tertera jumlah dan kepadatan penduduk tiap kecamatan di Kota Bekasi tahun 2000-2004 dan 2005-2010. Tabel 8. Jumlah dan Kepadatan Penduduk per Kecamatan Periode 2000-2004 luas area (km²) 2000 2001 2002 2003 2004 2000 2001 2002 2003 2004 Pondok gede 24,37 242.082 214.875 227.598 232.110 242.054 9934 8817 9339 9524 9932 Jati sampurna 22,48 73.603 96.134 101.882 103.952 108.507 3274 4276 4532 4624 4827 Jati asih 24,49 153.331 165.188 175.280 179.038 182.461 6261 6745 7157 7311 7450 Bantar gebang 41,78 134.104 148.940 157.492 160.371 166.078 3210 3565 3770 3838 3975 Bekasi timur 13,49 217.675 159.772 201.322 205.150 214.074 16136 11844 14924 15208 15869 Rawalumbu 15,67 139.617 190.237 169.274 172.668 178.765 8910 12140 10802 11019 11408 Bekasi selatan 14,96 161.417 176.020 186.247 189.761 196.990 10790 11766 12450 12685 13168 Bekasi barat 18,89 222.273 205.131 217.599 222.206 229.772 11767 10859 11519 11763 12164 Medan satria 14,71 121.736 133.369 140.945 143.446 149.811 8276 9067 9582 9752 10184 Bekasi utara 19,65 215.964 218.671 231.667 236.303 245.804 10991 11128 11790 12026 12509 Kecamatan jumlah penduduk (jiwa) Kepadatan Penduduk (jiwa/km²) 45 Tabel 9. Jumlah dan Kepadatan Penduduk per Kecamatan Periode 2005- 2010 luas area (km²) 2005 2006 2007 2009 2010 2005 2006 2007 2009 2010 Pondok gede 16,29 196.318 210.999 224.176 231.389 246.413 12051 12953 13762 14204 15127 Jati sampurna 14,49 69.759 71.750 73.744 86.936 103.513 4814 4952 5089 6000 7144 Jati asih 22,00 168.210 168.896 165.520 183.461 199.496 7646 7677 7524 8339 9068 Bantar gebang 17,05 72.114 77.680 78.224 102.563 95.957 4230 4556 4588 6015 5628 Bekasi timur 13,49 243.552 270.256 276.496 266.277 248.046 18054 20034 20496 19739 18387 Rawalumbu 15,67 185.640 174.205 184.380 229.326 207.484 11847 11117 11766 14635 13241 Bekasi selatan 14,96 185.776 200.790 207.744 175.231 203.596 12418 13422 13887 11713 13609 Bekasi barat 18,89 259.308 276.879 287.989 294.342 270.569 13727 14657 15246 15582 14323 Medan satria 14,71 147.030 150.628 160.152 169.097 161.617 9995 10240 10887 11495 10987 Bekasi utara 19,65 274.968 268.673 273.512 340.244 310.198 13993 13673 13919 17315 15786 Pondok melati 18,56 101.456 111.056 118.935 100.621 129.219 5466 5984 6408 5421 6962 Mustika jaya 24,73 97.768 89.632 92.932 140.051 160.381 3953 3624 3758 5663 6485 Kecamatan jumlah penduduk (jiwa) Kepadatan penduduk (jiwa/km²) Pada tahun 2000 hingga 2010, terdapat empat kecamatan yang penduduknya sangat padat, yaitu Kecamatan Bekasi Utara, Kecamatan Bekasi Barat, Kecamatan Bekasi Selatan, dan Kecamatan Bekasi Utara. Keempat kecamatan tersebut mempunyai kepadatan penduduk yang tinggi karena merupakan pusat kegiatan kota sehingga penduduk tertarik untuk tinggal di daerah tersebut. Selain itu, keempat kecamatan tersebut mempunyai akses yang baik dan dilalui oleh jalan negara, propinsi, dan kota. Wilayah yang kepadatan penduduknya rendah berada di wilayah Selatan Kota yaitu Kecamatan Bantar Gebang, Kecamatan Jati Asih, Kecamatan Jati Sampurna, dan Kecamatan hasil pemekaran (Kecamatan Pondok Melati dan Kecamatan Mustika Jaya). Rendahnya kepadatan penduduk di wilayah tersebut di sebabkan kurang terbangunnya wilayah itu serta akses jaringan jalan yang belum cukup baik. Semakin padat penduduk di suatu wilayah maka dibutuhkan semakin banyak lahan untuk permukiman, fasilitas-fasilitas umum, dan sarana prasarana pemenuh kebutuhan masyarakat. Semakin tinggi laju kepadatan penduduk maka akan dibutuhkan lebih banyak lahan. Hal ini dapat berakibat pada konversi ruang terbuka hijau di wilayah tersebut menjadi kawasan terbangun, baik untuk permukiman, fasilitas-fasilitas umum, maupun sarana prasarana umum. 46 5.4. Hirarki dan Perkembangan Wilayah Kota Bekasi Hirarki dan perkembangan wilayah ditentukan dengan menggunakan analisis skalogram. Tingkat perkembangan suatu wilayah dinyatakan dalam Hirarki 1, Hirarki 2, dan Hirarki 3. Hirarki 1 menyatakan wilayah dengan tingkat perkembangan maju. Hirarki perkembangan sedang. 2 Hirarki 3 menyatakan wilayah dengan tingkat menyatakan wilayah dengan tingkat perkembangan rendah. Perhitungan skalogram menggunakan data-data sarana dan prasarana serta fasilitas umum yang diambil dari data PODES Kota Bekasi 2003 dan 2006. Dari pengolahan data PODES dengan analisis skalogram, diperoleh data hirarki wilayah dan perubahan hirarki seperti tertera pada Tabel 10 dan Tabel 11. Tabel 10. Hirarki Wilayah Berdasarkan Kecamatan di Kota Bekasi Tahun 2003 dan 2006 Tahun 2003 Kecamatan Hirarki 1 Hirarki 2 Bantar Gebang 0 2 Bekasi Barat 1 Bekasi Selatan Tahun 2006 Hirarki 1 Hirarki 2 Hirarki 3 6 0 1 3 1 3 0 5 0 1 2 2 2 3 0 Bekasi Timur 3 1 0 3 1 0 Bekasi Utara 0 4 2 0 3 3 Jatiasih 0 2 4 0 2 4 Jati Sampurna 0 0 5 0 1 4 Medan satria 1 3 0 0 4 0 Pondok Gede 1 4 0 1 3 1 Rawalumbu 0 1 3 0 3 1 *Mustika Jaya 0 0 4 *Pondok Melati 1 0 3 7 26 23 Kota Bekasi 7 Hirarki 3 20 25 *Kecamatan setelah mengalami pemekaran pada tahun 2005 Berdasarkan Tabel 10, pada tahun 2003 hampir separuh dari jumlah kelurahan di Kota Bekasi memiliki hirarki 3, yaitu sebanyak 25 kelurahan. Kelurahan yang memiliki hirarki 2 sebanyak 20 kelurahan dan kelurahan yang memiliki hirarki 1 hanya 7 kelurahan. Pada tahun 2006 terlihat adanya peningkatan perkembangan wilayah di Kota Bekasi. Hal ini terlihat dari bertambahnya jumlah kelurahan yang berhirarki 2, meskipun masih banyak juga 47 kelurahan yang berhiarki 3, yaitu 23 kelurahan. Kelurahan yang berhirarki 1 berjumlah sama seperti pada tahun 2003 yaitu 7 kecamatan. Kelurahan yang berhirarki 2 bertambah cukup signifikan yaitu dari dari 20 kelurahan menjadi 26 kelurahan. Tabel 11. Perubahan Hirarki Wilayah di Kota Bekasi Tahun 2003-2006 Peningkatan Hirarki Kecamatan Kelurahan Pondok Gede Jatiwaringin Bekasi Selatan Penurunan Hirarki Perubahan Hirarki Perubahan Hirarki Kecamatan Kelurahan 2ļ 1 Bekasi Barat Kranji 1ļ 2 Kayuringin Jaya 2ļ 1 Bekasi Selatan Pekayon Jaya 1ļ 2 Bekasi Timur Aren Jaya 2ļ 1 Bekasi Timur Duren Jaya 1ļ 2 Bekasi Selatan Jaka Setia 3ļ 1 Medan Satria Medan Satria 1ļ 2 Bekasi Barat Bintara Jaya 3ļ 2 Bekasi Utara Marga Mulya 2ļ 3 Bekasi Barat Jaka Sampurna 3ļ 2 Jati Asih Jatikramat 2ļ 3 Bekasi Barat Kota Baru 3ļ 2 Jati Asih Jatirasa 2ļ 3 Jati Asih Jatiasih 3ļ 2 Mustika Jaya Mustikajaya 2ļ 3 Jati Asih Jatisari 3ļ 2 Jati Sampurna Jatisampurna 3ļ 2 Bekasi Selatan Marga Jaya 3ļ 2 Rawa Lumbu Bojong Menteng 3ļ 2 Rawa Lumbu Bojong Rawalumbu 3ļ 2 Pada Tabel 10, perubahan jumlah hirarki terjadi pada beberapa kecamatan. Hal ini dapat dijelaskan melalui Tabel 11. Sebagian besar terjadi peningkatan hirarki, antara lain perubahan hirarki 2 ke hirarki 1, hirarki 3 ke hirarki 1, dan hirarki 3 ke hirarki 2. Peningkatan hirarki ini dapat terjadi karena adanya penambahan jumlah dan jenis fasilitas. Kecamatan Bekasi Selatan memiliki 2 kelurahan yang hirarkinya meningkat menjadi hirarki 1, yaitu Kelurahan Kayuringin Jaya dan Kelurahan Jaka Setia. Hal ini karena pada kelurahan ini terjadi penambahan jumlah dan jenis fasilitas yang disediakan untuk masyarakat, terutama restoran dan pertokoan. Hal ini juga ditunjang oleh letak kelurahan Kayuringin Jaya dan Jaka Setia yang dilalui jalan arteri dan jalan kolektor yang memberi dampak pada perkembangan wilayah itu sendiri. Selain peningkatan hirarki, terdapat pula beberapa kelurahan yang mengalami penurunan hirarki, yaitu dari hirarki 1 ke hirarki 2 dan dari hirarki 2 ke hirarki 3. Hal ini diduga terjadi karena kelurahan-kelurahan tersebut sudah jenuh 48 dan tidak ada lagi tempat yang dapat digunakan untuk menambah fasilitas atau prasarana. Fasilitas-fasilitas yang tersedia tidak mampu untuk melayani penduduk yang terus meningkat. Selain itu, diduga adanya pemekaran wilayah bisa mengakibatkan fasilitas dan prasarana yang ada sebelumnya tidak tersebar merata sehingga tidak mampu untuk melayani masyarakat yang ada di wilayah pemekaran tersebut. Sebaran spasial hirarki wilayah Kota Bekasi tahun 2003 dan tahun 2006 tertera pada Gambar 8 dan Gambar 9. Gambar 8. Sebaran Spasial Hirarki Wilayah Kota Bekasi Tahun 2003 Kecamatan Bekasi Barat, Bekasi Selatan, Bekasi Timur, Medan Satria, dan Pondok Gede memiliki kelurahan berhirarki 1. Hal ini menunjukkan bahwa perkembangan wilayah kecamatan-kecamatan tersebut lebih tinggi dibandingkan dengan kecamatan-kecamatan lainnya. Kelima kecamatan tersebut memiliki kelurahan-kelurahan berhirarki 1 diduga karena wilayah kecamatan-kecamatan 49 tersebut dilalui oleh akses jaringan jalan yang baik, yaitu jalan negara, jalan tol, dan jalan kota. Pondok Gede dan Bekasi Barat berbatasan dengan DKI Jakarta dan masih dalam wilayah tarikan pelayanan DKI Jakarta. Bekasi Timur dan Bekasi Utara berbatasan dengan Kabupaten Bekasi. Wilayah di kedua kecamatan tersebut merupakan kawasan permukiman dan ditunjang dengan fasilitas dan prasarana penunjang kota yang lengkap. Diantara kelima kecamatan berhirarki 1 tersebut, Kecamatan Bekasi Timur adalah kecamatan yang paling berkembang diantara kelima kecamatan lainnya karena terdapat 3 kelurahan yang mempunyai hirarki 1. Gambar 9. Sebaran Spasial Hirarki Kota Bekasi Tahun 2006 Berdasarkan sebaran spasial hirarki wilayah di Kota Bekasi tahun 2003 dan 2006, wilayah Utara Kota Bekasi didominasi oleh wilayah berhirarki 1 dan berhirarki 2. Wilayah berhirarki 3 secara umum berada di wilayah Selatan, yaitu Kecamatan Bantar Gebang, Kecamatan Jati Asih, dan Kecamatan Jati Sampurna. 50 Kecamatan-Kecamatan ini masih memiliki hiararki wilayah yang rendah karena wilayahnya belum didukung oleh aksesibilitas yang baik. Perkembangan wilayah ditandai dengan adanya peningkatan perekonomian, penambahan jumlah fasilitas, dan semakin lengkapnya jenis fasilitas yang tersedia. Pembangunan fasilitas-fasilitas tersebut tentu membutuhkan lahan. Hal ini dapat berimbas pada konversi ruang terbuka hijau karena mengingat keberadaan lahan ini mempunyai land rent yang rendah dan dianggap tidak memiliki fungsi ekonomis yang tinggi. Selain itu, keberadaan lahan kosong dan strategis untuk pembangunan fasilitas makin sempit dan terbatas sehingga kemungkinan untuk mengorbankan keberadaan ruang terbuka hijau juga semakin besar. Hubungan antara luasan konversi RTH di Kota Bekasi dengan hirarki wilayah tertera pada Tabel 12. Tabel 12. Luasan Konversi RTH (ha/tahun) pada Hirarki Wilayah Tahun 2006 Kecamatan Bantar Gebang Bekasi Barat Bekasi Selatan Bekasi Timur Bekasi Utara Jati Asih Hirarki I II III * * -1,71 -0,21 * * -1,14 -1,18 -0,26 -0,47 -0,65 -0,91 -1,52 -1,09 -0,67 * -0,30 Jati Sampurna Medan Satria * * * -0,59 -3,06 -1,88 0,33 Mustika Jaya Pondok Gede * * -1,78 -2,86 Pondok Melati Rawalumbu * -2,16 -1,15 -0,33 * * -1,57 -0,73 Rata-rata -1,11 -0,74 -1,38 Keterangan : * = hirarki wilayah yang bersangkutan tidak dimiliki oleh kelurahan tertentu. Pada hirarki wilayah 1, kecamatan yang mengalami koversi RTH paling besar adalah Kecamatan Pondok Gede. Pada hirarki wilayah 2, kecamatan yang mengalami konversi RTH paling besar adalah Kecamatan Bekasi Barat. Pada hirarki wilayah 3, kecamatan yang mengalami konversi RTH paling besar adalah Kecamatan Jati Asih. Secara agregat, konversi RTH di Kota Bekasi pada hirarki wilayah 1 sebesar -1,11 ha per tahun, pada hirarki wilayah 2 sebesar -0,74 ha per 51 tahun, dan pada hirarki wilayah 3 mengalami konversi luas RTH paling besar yaitu sebesar -1,38 ha per tahun. Jika dilihat dari wilayah administratifnya, Kecamatan Pondok Gede dan Kecamatan Bekasi Barat berbatasan dengan wilayah Jakarta Timur. Kedekatan dengan Jakarta Timur ini diduga mengakibatkan perkembangan wilayah di wilayah tersebut cukup tinggi karena beberapa kelurahan masih berada dalam tarikan pelayan wilayah Jakarta Timur. Hal tersebut berakibat pada luasnya konversi RTH per tahun di kedua kecamatan ini. Kecamatan Jati Asih mengalami konversi RTH per tahun paling besar pada daerah dengan kategori hirarki wilayah 3. Hal ini disebabkan oleh adanya pembangunan jalan tol (JORR) di wilayah ini yang sebagian menggunakan lahan RTH terutama RTH privat milik warga. Laju perubahan RTH dengan hirarki wilayah di Kota Bekasi dan sebaran datanya ditunjukkan pada Gambar10. Gambar 10. Boxplot Laju Perubahan RTH per Kelurahan dan Hirarki Pada hirarki wilayah 1, luas RTH secara umum terkonversi dengan nilai tengah laju penurunan sebesar 4,2% per tahun. Terdapat kelurahan yang memiliki laju positif sebesar 0,3% per tahun yaitu Kelurahan Margahayu, Kecamatan Bekasi Timur. Laju konversi RTH terbesar pada hirarki 1 terjadi di Kelurahan Jati Waringin, Kecamatan Pondok Gede sebesar 6,2% per tahun. Pada hirarki wilayah 2, secara umum luas RTH terkonversi dengan nilai tengah laju penurunan sebesar 2,6% per tahun. Laju konversi terbesar terjadi pada Kelurahan Jati Bening, Kecamatan Pondok Gede dengan laju penurunan sebesar 6,5% per tahun. Kelurahan Margajaya, Kecamatan Bekasi Selatan memiliki laju positif sebesar 52 1,5% per tahun. Pada hirarki wilayah 2 terdapat kelurahan yang memiliki peningkatan laju perubahan RTH yang cukup besar (5,9%) yaitu Kelurahan Medan Satria, Kecamatan medan Satria. Peningkatan laju perubahan RTH tersebut diduga karena adanya refungsionalisasi lahan kosong menjadi RTH terutama yang berada di sekitar banjir kanal timur (BKT). Pada hirarki wilayah 3, secara umum luas RTH terkonversi dengan nilai tengah laju penurunan sebesar 2,5% per tahun. Laju konversi terbesar terjadi pada Kelurahan Jati Kramat, Kecamatan Jati Asih dengan laju penurunan sebesar 5,1% per tahun. Pada hirarki 3 ini terdapat dua pencilan yang memiliki laju penurunan luas RTH yang sangat besar yaitu sebesar 7,1% per tahun pada Kelurahan Jati Warna, Kecamatan Pondok Melati dan 8% per tahun pada Kelurahan Jati Bening Baru, Kecamatan Pondok Gede. Besarnya konversi RTH pada kedua kecamatan tersebut karena terkonversinya RTH menjadi permukiman dan JORR (jalan tol), terutama RTH privat berupa kebun milik warga. Laju konversi RTH terbesar terjadi pada hirarki wilayah 1, kemudian diikuti oleh hirarki wilayah 2 dan 3. Secara umum, luas konversi atau perubahan RTH per tahun paling besar terjadi pada hirarki wilayah 3, namun laju konversi atau perubahan RTH per tahun paling besar terjadi pada hirarki wilayah 1. Hal ini menunjukkan bahwa secara keseluruhan luasan RTH pada wilayah yang berhirarki 3 lebih besar dibandingkan dengan luasan RTH pada wilayah berhirarki 2 atau 1. Oleh karena itu, walaupun luas konversi RTH per tahun pada wilayah berhirarki 3 paling besar namun laju yang dihasilkan tidak besar karena luas perubahan RTH tersebut diperbandingkan dengan luasan RTH yang lebih besar. Pada wilayah berhirarki 1, luas RTH yang terkonversi tiap tahun relatif kecil namun memiliki laju yang besar. Hal ini karena luas RTH yang ada pada wilayah berhirarki 1 kecil namun terus terjadi konversi RTH menjadi penggunaan lahan lain sehingga laju yang dihasilkan terlihat besar. 5.5. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Perubahan Luas RTH Perubahan luas RTH yang terjadi di Kota Bekasi pada periode tahun 20032010 dipengaruhi oleh beberapa faktor. Untuk menentukan faktor-faktor yang mempengaruhi perubahan luas RTH di Kota Bekasi dilakukan dengan 53 menggunakan analisis regresi berganda dengan metode stepwise regression. Variabel yang digunakan dalam membuat regresi bertatar berjumlah 21 variabel, yaitu satu variabel tujuan (Y) dan 20 variabel penduga (X). Hasil analisis regresi tertera pada Tabel 13. Tabel 13. Hasil Analisis Regresi Regression Summary for Dependent Variable: perubahan RTH R= ,770 R²= ,593 Adjusted R²= ,529 F(7,44)=9,1893 p Variabel/Intersep Intersep Beta Std.Err. B Std.Err. t(44) p-level 1,140 2,648 0,431 0,669 Jarak ke pusat kota -0,262 0,134 -0,389 0,198 -1,960 0,056 Luas RTH tahun 2003 -0,399 0,154 -0,080 0,031 -2,588 0,013 0,089 0,134 0,541 0,817 0,663 0,511 -0,514 0,139 -0,227 0,061 -3,700 0,001 Luas lahan kosong tahun 2003 0,376 0,126 0,099 0,033 2,973 0,005 Jarak ke fasilitas pendidikan terdekat 0,216 0,110 2,378 1,205 1,973 0,055 Perubahan jumlah fasilitas ekonomi -0,146 0,109 -0,011 0,008 -1,343 0,186 Jarak ke fasilitas sosial terdekat Perubahan lahan terbangun 2003-2010 Tabel 13 menjelaskan bahwa persamaan regresi yang dihasilkan memiliki nilai R-square (R2) sebesar 0,59. Dari nilai R-square tersebut, diketahui bahwa terdapat 41% ragam di luar variabel-variabel bebas yang digunakan dalam analisis ini yang mempengaruhi perubahan RTH. Berdasarkan Tabel 10 tersebut, variabel penduga yang yang berpengaruh sangat nyata (p-level < 0,05) adalah luasan RTH pada tahun 2003, perubahan lahan terbangun 2003-2010, dan luasan lahan kosong pada tahun 2003. Variabel yang berpengaruh nyata adalah jarak ke kabupaten yang membawahi, jarak ke fasilitas sosial, jarak ke fasilitas pendidikan, dan perubahan jumlah fasilitas ekonomi. Secara lebih rinci, faktor- faktor yang mempengaruhi perubahan luas RTH di Kota Bekasi adalah sebagai berikut: 1. Jarak ke pusat kota Hasil regresi menunjukkan bahwa jarak ke pusat kota bernilai negatif dengan koefisien sebesar -0,262. Hal ini menunjukkan bahwa penambahan satu satuan jarak ke kabupaten maka potensi penurunan luas RTH sebesar 0,2 satuan (ha). Semakin jauh jarak ke kabupaten maka penurunan luas 54 RTH semakin besar. Hal tersebut terjadi pada Kota Bekasi diduga karena semakin jauh dari kabupaten, perkembangan wilayahnya pun belum cukup pesat sehingga luas RTH yang tersedia lebih besar. Hal ini memungkinkan untuk menggunakan lahan ini menjadi area terbangun dalam upaya pengembangan kota. 2. Luas RTH tahun 2003 Hasil Regresi menunjukkan bahwa variabel luas RTH tahun 2003 bernilai negatif dengan koefisien sebesar -0,399. Penambahan satu satuan luas RTH tahun 2003 maka potensi penurunan luas RTH sebesar 0,39 satuan (ha). Kota Bekasi bagian Selatan mempunyai RTH privat berupa kebun warga yang cukup luas dibandingkan dengan luasan RTH privat di seluruh kota bekasi. Penggunaan lahan tersebut rawan digunakan menjadi penggunaan lain karena warga dan pembangun cenderung menggunakan lahan tersebut untuk digunakan sebagai perumahan atau bangunanbangunan lain. 3. Jarak ke fasilitas sosial Hasil regresi yang bernilai positif dengan koefisiensi 0,089 menunjukkan bahwa penambahan satu satuan jarak ke fasilitas sosial maka potensi penambahan luas RTH sebesar 0,089 satuan (ha). Hal ini diduga karena pembangunan fasilitas sosial ini tidak disertai dengan pengalokasian sebagian lahannya untuk RTH. Semakin jauh jarak ke fasilitas sosial dapat diartikan bahwa potensi penggunaan lahan-lahan untuk RTH semakin besar. 4. Perubahan lahan terbangun tahun 2003-2010 Hasil analisis regresi menunjukkan bahwa perubahan lahan terbangun 2003-2010 bernilai negatif dengan koefisien sebesar -0,514. Hal ini menunjukkan bahwa penambahan satu satuan lahan terbangun periode 2003-2010 maka potensi penurunan RTH sebesar 0,514 satuan (ha). Semakin besar pertumbuhan lahan terbangun maka luas RTH yang tersedia semakin sedikit. Kondisi ini menggambarkan bahwa Kota Bekasi dalam melakukan pembangunan banyak menggunakan lahan-lahan RTH 55 karena minimnya lahan yang tersedia. Dalam kasus ini RTH yang paling banyak digunakan adalah RTH privat berupa kebun-kebun milik warga. 5. Lahan kosong tahun 2003 Hasil analisis regresi menunjukkan bahwa lahan kosong 2003 bernilai positif dengan koefisiensi sebesar 0,376. Hal ini menunjukkan bahwa penambahan satu-satuan luas lahan kosong tahun 2003 maka potensi penambahan luas RTH sebesar 0,37 satuan (ha). Masih tersedianya lahan kosong bisa menyelamatkan keberadaan RTH karena pembangunan yang terjadi kemungkinan besar akan menggunakan lahan kosong terlebih dulu. Terdapat juga kemungkinan lahan-lahan kosong difungsikan menjadi ruang terbuka hijau dalam upaya meningkatkan areal RTH. 6. Jarak ke fasilitas pendidikan Hasil analisis regresi variabel jarak ke fasilitas pendidikan yang bernilai positif dengan koefisien sebesar 0,216 menunjukkan bahwa penambahan satu satuan jarak ke fasilitas pendidikan maka potensi penambahan luas RTH sebesar 0,216 satuan (ha). Hal ini diduga karena pembangunan fasilitas pendidikan ini tidak disertai dengan pengalokasian sebagian lahannya untuk RTH. Semakin jauh jarak ke fasilitas pendidikan dapat diartikan bahwa potensi penggunaan lahan-lahan untuk RTH semakin besar. 7. Perubahan jumlah fasilitas ekonomi Hasil analisis regresi untuk perubahan fasilitas ekonomi menunjukkan nilai negatif dengan koefisien sebesar -0,146. Hal ini menunjukkan bahwa penambahan satu satuan jumlah fasilitas ekonomi maka potensi penurunan luas RTH sebesar 0,146 satuan (ha). Semakin banyak fasilitas ekonomi maka luas RTH yang terpakai semakin besar. Hal ini diduga karena pembangunan fasilitas-fasilitas ekonomi menggunakan lahan-lahan RTH karena lahan-lahan kosong yang strategis telah minim jumlahnya. Berdasarkan hasil penelitian sebelumnya yang dilakukan oleh Suwarli (2011), menunjukkan bahwa salah satu variabel penting yang mempengaruhi terjadinya perubahan luas RTH adalah jumlah penduduk. Namun, hasil analisis dalam penelitian ini menunjukkan bahwa variabel tersebut tidak memiliki peran 56 penting. Perbedaan prosedur penelitian serta unit analisis tidak mengkonfirmasi pentingnya peranan variabel jumlah penduduk. Dalam penelitian sebelumnya, unit analisis adalah tahun, sementara dalam penelitian ini unit analisis adalah wilayah administrasi, yaitu kelurahan. Artinya, pada penelitian sebelumnya aspek keberagaman pengamatan relatif tidak berperan karena unit analisis merupakan agregasi dari seluruh wilayah, keberagaman jumlah penduduk secara spasial tidak tergambarkan dan tidak mempengaruhi hasil analisis. Untuk mendukung penjelasan tersebut dilakukan analisis korelasi antara variabel jumlah penduduk dengan perubahan luas RTH. Hasilnya menunjukkan bahwa hasil korelasi antara perubahan jumlah penduduk tahun 2003-2009 dengan perubahan luas RTH tahun 2003-2010 sebesar -0,006. Kecilnya korelasi antara jumlah penduduk di berbagai wilayah keluarahan dengan luas perubahan RTH antar kelurahan mengindikasikan rendahnya peranan jumlah penduduk dalam analisis regresi berganda yang melibatkan beberapa variabel lainnya. 5.6. Analisis Areal yang Berpotensi untuk Perluasan RTH Pembuatan peta arahan areal yang berpotensi untuk dijadikan perluasan lahan RTH ditentukan berdasarkan kondisi eksisting penggunaan lahan Kota Bekasi pada Tahun 2010, yaitu berupa lahan kosong. Dipilih penggunaan lahan kosong karena penggunaan lahan jenis ini memungkinkan untuk dikembangkan menjadi penggunaan lain tanpa mengganggu penggunaaan lahan lainnya. Sebaran spasial areal yang berpotensi untuk dijadikan RTH dan luasannya tertera pada Gambar 11 dan Gambar 12. Gambar 11. Grafik Luasan Areal yang Berpotensi Sebagai RTH per Kecamatan di Kota Bekasi 57 Gambar 12. Sebaran Areal Potensial untuk Pertambahan RTH Terdapat lima kecamatan yang mempunyai luas areal yang besar untuk dijadikan RTH, yaitu Kecamatan Mustika Jaya, Jati Sampurna, Medan Satria, Bantar Gebang, dan Jati Asih. Kelima kecamatan ini secara umum mempunyai kepadatan penduduk yang rendah dibanding dengan kecamatan-kecamatan lainnya sehingga masih memiliki cukup lahan untuk bisa dikembangkan menjadi RTH. Kecamatan-kecamatan dengan kepadatan penduduk tinggi seperti Kecamatan Bekasi Utara, Bekasi Timur, Bekasi Barat, dan Pondok Gede memiliki areal perluasan RTH yang kecil. Hal ini dikarenakan lahan di kecamatankecamatan tersebut telah menjadi lahan terbangun sehingga kecil kemungkinan untuk menambah lahan RTH. Pada Tabel 14 tertera luas RTH eksisting dan RTH arahan pertambahan dibandingkan dengan luas kebutuhan RTH berdasarkan jumlah penduduk. 58 Tabel 14. Kecukupan RTH Berdasarkan Jumlah Penduduk Dibandingkan dengan RTH Eksisting dan RTH Arahan Pertambahan. Jumlah Penduduk (jiwa) Kecamatan Luas Lahan (ha) RTH per Kecamatan Menurut Permen PU no 5 tahun 2008 RTH eksisting Luas areal arahan pertamba han RTH Luas RTH eksisting dan areal arahan pertambah an RTH Selisih RTH (eksisting dan arahan) Dengan Proporsi Menurut Permen PU No 5 Tahun 2008 (Ha) Bantar Gebang Bekasi Barat 95.957 270.569 1.704 1.889 191,91 541,14 366,58 106,50 71,921 17,717 438,50 124,21 246,59 -416,93 Bekasi Selatan Bekasi Timur Bekasi Utara Jati Asih Jati Sampurna Medan Satria 203.596 248.046 310.198 199.496 103.513 161.617 1.496 1.349 1.965 2.200 1.449 1.471 407,19 496,09 620,40 398,99 207,03 323,23 139,80 97,30 90,74 411,84 321,90 67,12 40,884 24,350 39,343 60,300 103,228 84,233 180,69 121,65 130,08 472,14 425,13 151,36 -226,51 -374,44 -490,31 73,15 218,10 -171,88 Mustika Jaya Pondok Gede Pondok Melati Rawalumbu 160.381 246.413 129.219 207.484 2.473 1.629 1.857 1.567 320,76 492,83 258,44 414,97 538,32 105,92 126,82 174,75 54,467 15,902 16,457 12,885 592,78 121,82 143,28 187,63 272,02 -371,01 -115,16 -227,34 2.336.489 21.049 4672,98 2547,59 541,686 3089,27 -1583,71 Jumlah Berdasarkan hasil analisis, luas areal lahan kosong yang berpotensi untuk dijadikan RTH sebesar 541,686 ha. Luasan tersebut masih belum bisa mencukupi kekurangan RTH berdasarkan jumlah penduduk di Kota Bekasi. Kekurangan luasan pertambahan RTH tersebut masih sangat besar, yaitu 1.583,71 ha. Hal tersebut disebabkan oleh minimnya lahan kosong sehingga sulit untuk melakukan perluasan lahan RTH di Kota Bekasi. Terdapat beberapa kecamatan yang telah dapat memenuhi kebutuhan RTH berdasarkan jumlah penduduknya (Bantar Gebang, Jati Asih, Jati Sampurna, dan Mustika Jaya), namun kecamatankecamatan tersebut merupakan kecamatan-kecamatan yang memang telah terpenuhi kebutuhan RTH-nya walaupun luasan RTH-nya belum ditambahkan dengan luas arahan pertambahan RTH. Meskipun demikian, penambahan luas RTH sangat berarti untuk perkotaan walaupun tidak menyebar rata pada seluruh wilayah kota karena bagian kota yang berupa RTH umumnya suhunya 2-5 derajat lebih rendah dibandingkan dengan bagian lahan-lahan terbangun. Perbedaan suhu antara bagian kota tersebut dapat menyebabkan terjadinya aliran udara sehingga dapat menurunkan rata-rata suhu udara di perkotaan (Direktorat Jenderal Penataan Ruang, 2006). Saputro (2010) dalam penelitiannya juga menyatakan bahwa 59 peningkatan suhu udara pada area yang ternaungi lebih rendah sekitar 0,33 oC0,84oC. Arahan ini dapat diimplementasikan namun harus mempehatikan faktorfaktor lain seperti kepemilikan lahan (milik pemerintah daerah atau bukan), biaya yang dibutuhkan, dan kebijakan-kebijakan pemerintah daerah. 5.7. Rekomendasi Upaya Penambahan RTH Penyusunan upaya penambahan RTH di Kota Bekasi dilakukan berdasarkan pada hasil analisis SWOT. Faktor internal dan eksternal yang diduga mempengaruhi keberadaan RTH di Kota Bekasi adalah sebagai berikut: 1. Strengths (Kekuatan) a. Terdapat pembagian tugas dalam pengelolaan RTH. Dinas yang bertanggung jawab dalam pengelolaan RTH Kota Bekasi adalah Bappeda (Badan Perencanaan dan Pembangunan Daerah), Distarkim (Dinas Tata Ruang dan Permukiman), Disbertaman (Dinas Kebersihan dan Pertamanan), dan DPLH (Dinas Pengelolaan Lingkungan Hidup). b. Di Kota Bekasi Bagian Selatan masih banyak lahan kosong yang belum dimanfaatkan sehingga ke depannya dapat dikembangkan menjadi RTH. c. Sistem utilitas Kota Bekasi seperti IPAL (Instalasi Pengolahan Air Limbah Industri), IPLT (Instalasi Pengolahan Limbah Tinja), dan TPA (Tempat Pembuangan Akhir) dapat memberikan kontribusi terhadap keberadaan RTH. d. Disbertaman memiliki program yaitu melakukan penghijauan kota melalui antisipasi pohon yang mati dan mengganti dengan yang baru, penghijauan terhadap lahan bekas pembangunan, dan penyiraman tanaman. e. Kegiatan Gerakan Rehabilitas Lahan Kritis Tahun 2005 oleh DPLH. Kegiatan ini adalah program penanaman pohon/penghijauan yang diprioritaskan pada daerah aliran sungai, sempadan jalan, lahan kosong milik petani dan milik pemerintah seperti fasum dan fasos, dan TPA Bantar Gebang. 60 f. Kegiatan Bekasi Teduh Tahun 2007 oleh DPLH. Kegiatan ini merupakan penggalakan penanaman pohon di seluruh Kota Bekasi. g. Program pengendalian RTH melalui insentif dan disinsentif kepada lembaga swasta dan perorangan yang dapat memberi penyediaan RTH publik. Contoh insentif yang ditawarkan adalah kemudahan prosedur perizinan dan keringanan pajak sedangkan contoh disinsentif yang diberikan adalah pengenaan pajak lebih tinggi dan penyediaan RTH di tempat lain. h. Pemerintah Kota Bekasi, dalam RPJMD 2008-2013, menuangkan program pengelolaan Ruang Terbuka Hijau dengan target pengembangan luasan RTH publik menjadi 15,5 % dari luas kota pada tahun 2013. 2. Weaknesses (Kelemahan) a. Hanya sebagian kecil dari kegiatan pembangunan di Kota Bekasi, baik kegiatan pemerintahan, perdagangan dan jasa, permukiman, dan industri yang menyediakan pertamanan dengan proporsi memadai. b. Belum adanya koordinasi yang baik antara dinas-dinas yang bertanggung jawab dalam pengelolaan RTH sehingga menimbulkan tumpang tindih pekerjaan, program, atau untuk beberapa jenis RTH tidak ada yang mengelola secara rutin. Contohnya, berdasarkan hasil wawancara dengan pihak Disbertaman yang tercantum dalam laporan penyusunan rencana induk penataan, pengelolaan, dan pengendalian ruang terbuka hijau Kota Bekasi, Sampai saat ini belum ada koordinasi dari instansi-instansi tertentu seperti dalam proyek pelebaran jalan, sehingga proyek pelebaran jalan sering kali menebang pohon dan tidak memperhatikan keberadaan sempadan jalan untuk RTH. Pihak Disbertaman selaku dinas yang bertanggung jawab terhadap keberadaan RTH tidak bisa melakukan apa-apa karena bentuk pengendalian RTH belum jelas dan belum ada koordinasi antara Dinas PU selaku pihak pembangun dan Disbertaman. Selain itu Disbertaman 61 selama ini hanya bersifat menunggu kebijakan dari BAPPEDA, seakan tidak memiliki kewenangan dalam penataan RTH Kota Bekasi. c. Dana untuk pembangunan dan pemeliharaan RTH minim bahkan belum memiliki anggaran khusus untuk pengelolaan RTH sehingga tidak mencukupi untuk membangun taman-taman baru berskala kota. d. Sumberdaya manusia sebagai pelaksana pemeliharaan RTH secara kuantitas dan kualitas kurang sehingga ada RTH-RTH yang menjadi tidak terawat. SDM yang ada baru untuk tahap pemeliharaan harian dan tidak pada semua lokasi, sedangkan untuk pengawasan dan pengendalian belum dilakukan secara rutin. e. Hampir semua situ yang ada di Kota Bekasi tidak mempunyai daerah pengaman situ, baik berupa sempadan situ yang merupakan ruang terbuka hijau pada radius 200 m dari pinggir situ maupun ruang terbuka hijau yang berfungsi sebagai daerah resapan air. f. RTRW Kota Bekasi bersifat terlalu umum sehingga acuan terhadap pengendalian RTH kurang begitu jelas. 3. Opportunities (Peluang) a. Terdapat beberapa pihak ketiga (swasta/badan usaha) yang bekerja sama dengan pemerintah Kota Bekasi dalam pengelolaan RTH. b. Terdapat keterlibatan pihak developer perumahan dan masyarakat yang berdampak positif pada kondisi taman yang ada di sekitar lingkungan taman. c. Berdasarkan pengembangan wilayah Bekasi bagian Utara dan Tengah, kantong-kantong permukiman tidak teratur akan diremajakan menjadi hunian vertikal dan campuran jasa komersial untuk efisiensi lahan, menciptakan RTH, dan pembukaan akses kawasan. d. Berdasarkan UU No 26 tahun 2007, wilayah kabupaten atau perkotaan harus membuat rencana penyediaan dan pemanfaatan ruang RTH sebesar minimal 30% dari luas wilayah. 62 4. Threats (Ancaman) a. Kepadatan (11.100 jiwa/km2 pada tahun 2010) dan laju pertumbuhan jumlah penduduk (3,8 % per tahun) di Kota bekasi yang diperkirakan semakin meningkat akan mempengaruhi kebutuhan RTH baik secara luasan maupun jenis komponen RTH. b. Bagian Utara Kota Bekasi mengalami pertumbuhan kota yang sangat pesat dan merupakan kawasan terbangun yang padat sehingga tidak banyak dijumpai ruang hijau. c. Lahan yang ada makin sempit dan harga lahan mahal sehingga secara ekonomi lebih dimanfaatkan untuk kegiatan pembangunan. Dari hasil identifikasi faktor eksternal dan internal, maka dapat disusun kerangka SWOT sebagaimana tercantum dalam Tabel 15. Tabel 15. Matriks Kombinasi Strategi Penambahan RTH di Kota Bekasi Strengths (Kekuatan) Opportunities Strategi SO (Peluang) Threats (Ancaman) 1. Mengoptimalkan kinerja badanbadan pengelola RTH dengan sistem koordinasi pembagian tugas yang jelas. 2. Peningkatan hubungan kerja sama pemerintah dengan pihak ketiga. 3. Memanfaatkan wilayah Kota Bekasi Bagian Selatan yang masih berpotensi tinggi untuk RTH dan Optimalisasi lahan di wilayah Utara Kota Bekasi dengan pembangunan vertikal. 4. Pengambilan kebijakan tegas dari pemerintah untuk mewujudkan target luasan RTH sesuai dengan UU No 26 tahun 2007 dan RPJMD 2008-2013 Strategi ST Weaknesses (Kelemahan) Strategi WO 1. Optimalisasi kerja sama dengan pihak ketiga untuk penggalangan dana pengelolaan RTH. 2. Pengembangan RTH selain di atas tanah. 3. Memberdayakan masyarakat sekitar dalam pemeliharaan RTH di lingkungan sekitar masyarakat. Strategi WT 1. Mengoptimalkan program insentif 1. Optimalisasi fungsi RTRW dan disinsentif terutama di wilayah sebagai acuan pengendalian Utara Kota Bekasi. RTH. 2. Mengoptimalkan areal atau jalur di 2. Optimalisasi pengawasan sekitar sistem utilitas kota untuk kegiatan pembangunan. RTH. 3. Penyusunan anggaran khusus RTH. 63 Hasil akhir dari analisis SWOT merupakan formulasi strategi dari faktorfaktor internal dan eksternal Kota Bekasi yang telah diidentifikasi sehingga menghasilkan dua belas strategi dalam mengupayakan penambahan RTH di Kota Bekasi, yaitu: 1. Mengoptimalkan kinerja badan-badan pengelola RTH dengan mengkoordinasikan tugas masing-masing secara jelas sehingga tidak terjadi tumpang tindih dalam upaya pengelolaan RTH dan tidak terjadi penelantaran RTH yang ada akibat dari ketidakjelasan badan mana yang bertanggung jawab. 2. Peningkatan hubungan kerja sama pemerintah daerah dengan pihak ketiga (swasta/badan usaha) dalam upaya pengadaan dan pemeliharaan RTH. 3. Memanfaatkan wilayah Selatan Kota Bekasi (Jati Sampurna, Jati Asih, Bantar Gebang, dan Mustika Jaya) yang pembangunannya masih relatif belum banyak dan masih banyak ditemukan lahan-lahan belum terbangun sehingga pengembangan RTH dengan luasan memadai masih dapat direalisasikan. Untuk wilayah Utara Kota Bekasi yang mayoritas merupakan kawasan terbangun, dapat dilakukan optimalisasi lahan dengan menganjurkan pada developer untuk melakukan pembangunan vertikal. 4. Pengambilan kebijakan tegas dari pemerintah daerah untuk mewujudkan target luasan RTH sesuai dengan UU No 26 tahun 2007 dan RPJMD 2008-2013, contohnya dengan cara refungsionalisasi dan pengamanan jalur-jalur hijau alami dari okupasi pemukiman liar, seperti di sepanjang tepian jalan raya, jalan tol, bawah jalan layang, bantaran sungai,saluran teknik irigasi, tepian pantai, bantaran rel kereta api, jalur SUTET, tempat pemakaman umum, dan lapangan olahraga 5. Mengoptimalkan kerja sama dengan pihak ketiga (swasta/badan usaha) dalam usaha penggalangan dana untuk pengelolaan dan penyediaan RTH. 6. Pengembangan RTH selain di atas tanah untuk kawasan-kawasan yang sudah terbangun, seperti RTH di atas bangunan, di dalam bangunan, atau di bawah bangunan sehingga dapat mengkompensasi lahan-lahan yang telah telanjur digunakan sebagai lahan terbangun. 64 7. Memberdayakan masyarakat sekitar dalam pemeliharaan RTH di lingkungan sekitar masyarakat. 8. Mengoptimalkan program insentif dan disinsentif pada pihak yang akan mendirikan bangunan sebagai upaya pengendalian agar penggunaan lahan dapat sesuai dengan rencana tata ruang wilayah Kota Bekasi. 9. Optimalisasi areal atau jalur di sekitar sistem utilitas kota untuk RTH, seperti IPAL, IPLT, dan TPA yang seharusnya memiliki buffer yang membatasi daerah tersebut dengan aktifitas di luarnya. Buffer ini dapat berupa salah satu jenis RTH yang dapat berkontribusi bagi RTH Kota Bekasi keseluruhan. 10. Mengoptimalisasi fungsi RTRW sebagai acuan pengendalian RTH sehingga ada pedoman-pedoman yang tepat dalam pelaksanaan penyelenggaraan dan pengelolaan RTH. 11. Optimalisasi pengawasan kegiatan pembangunan agar setiap kegiatan pembangunan yang ada baik kegiatan pemerintahan, perdagangan dan jasa, permukiman, dan industri dapat menyediakan lahan pertaman yang memadai sebagai RTH privat. 12. Penyusunan anggaran khusus untuk RTH sehingga rencana-rencana pengelolaan dan penyelenggaraan RTH dapat berjalan dengan baik. BAB VI KESIMPULAN DAN SARAN 6.1. Kesimpulan 1. Analisis laju perubahan RTH di Kota Bekasi menunjukkan bahwa terjadi penurunan Luas RTH selama periode tahun 2003 hingga 2010 sebesar 515,049 ha dengan laju penurunan RTH sebesar 2 % per tahun. 2. RTH yang ada di Kota Bekasi belum mencukupi kebutuhan RTH berdasarkan jumlah penduduk dengan kekurangan sebesar 2.125,39 ha. Kemungkinan untuk mencukupi kekurangan kebutuhan RTH penduduk tersebut sangat kecil karena mayoritas lahan di Kota Bekasi telah banyak berubah menjadi lahan terbangun. 3. Penduduk Kota Bekasi terus meningkat sejak tahun 1997 hingga 2010 dengan laju pertumbuhan penduduk rata-rata sebesar 3,8% per tahun dan laju pertumbuhan kepadatan penduduk rata-rata sebesar 4 % per tahun. 4. Hasil analisis skalogram data PODES tahun 2003 dan 2006 menunjukkan bahwa terjadi peningkatan hirarki kelurahan pada Kota Bekasi yang ditandai dengan bertambahnya kelurahan berhirarki 2 dan berkurangnya kelurahan berhirarki 3. Hasil boxplot menyatakan ada keterkaitan antara laju perubahan RTH dengan hirarki wilayah, dimana secara umum laju konversi RTH besar terjadi pada hirarki wilayah 1. Perubahan luas RTH terbesar terjadi pada wilayah berhirarki 3. 5. Faktor-faktor yang mempengaruhi perubahan luas RTH adalah jarak ke kabupaten yang membawahi, luas RTH tahun 2003,jarak ke fasilitas sosial, perubahan lahan terbangun, luas lahan kosong tahun 2003, jarak ke fasilitas pendidikan, dan perubahan jumlah fasilitas ekonomi. 6. Luas areal arahan pertambahan RTH yang dihasilkan sebesar 541,686 ha. Luasan arahan pertambahan RTH tersebut masih belum bisa mencukupi kebutuhan RTH berdasarkan jumlah penduduk di Kota Bekasi. Kekurangan luasan pertambahan RTH yang dibutuhkan untuk bisa memenuhi kebutuhan RTH berdasarkan jumlah penduduk adalah sebesar 1.583,71 ha. 7. Upaya-upaya yang dapat dilakukan dalam usaha penambahan RTH adalah 1) mengoptimalkan kinerja badan-badan pengelola RTH dengan koordinasi tugas 66 yang jelas, 2) Peningkatan hubungan kerjasama pemerintah dengan pihak ketiga, 3) Memanfaatkan wilayah Kota Bekasi bagian Selatanyang masih berpotensi tinggi untuk RTH dan optimalisasi lahan di wilayah Utara Kota Bekasi dnegan pembangunan vertikal, 4) Pengambilan kebijakan yang tegas dari pemerintah daerah mengenai okupasi pemukiman liar, 5) Optimalisasi kerjasama dengan pihak ketiga untuk penggalangan dana pengelolaan RTH, 6) Pengembangan RTH selain di atas tanah, 7) Memberdayakan masyarakat sekitar dalam pemeliharaan RTH di lingkungan sekitar masyarakat, 8) Mengoptimalkan program insentif dan disinsentif, 9) mengoptimalkan areal jalur di sekitar sisten utilitas kota untuk RTH, 10) Optimalisasi fungsi RTRW sebagai acuan pengendalian RTH, 11) Optimalisasi pengawasan kegiatan pembangunan, 12) Penyusunan anggaran khusus RTH, 6.2. Saran Analisis kecukupan RTH pada penelitian ini hanya ditentukan berdasarkan jumlah penduduk. Oleh sebab itu, perlu dilakukan kajian mengenai kecukupan RTH perkotaan berdasarkan pada kebutuhan oksigen kota, dan kebutuhan air. Demikian juga disarankan juga pembuatan skenario yang lebih detil mengenai arahan penambahan RTH kota agar kebutuhan RTH dapat terpenuhi. Luasan kebutuhan RTH berdasarkan 20% luas wilayah Kota Bekasi lebih kecil dari pada luasan kebutuhan RTH berdasarkan jumlah penduduk dan juga merupakan ketentuan yang tertuang dalam UU No 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang, maka target luasan ini harus dicapai lebih dulu. Setelah Mencapai luasan tersebut, dilakukan perluasan areal RTH sehingga dapat mencapai luasan kebutuhan RTH berdasarkan jumlah penduduk untuk menunjang kenyamanan penduduk dalam beraktifitas. DAFTAR PUSTAKA Anonim. 2007. Undang-undang Republik Indonesia Nomor 26 Tahun 2007 Tentang Penataan Ruang. [BAPPEDA] Badan Perencanaan Pembangunan Daerah Kota Bekasi. 2005. Laporan Peninjauan Kembali RTRW Kota Bekasi Tahun 2000-2010. Kota Bekasi. [BAPPEDA] Badan Perencanaan Pembangunan Daerah Kota Bekasi. 2007. Laporan Penyusunan Rencana Induk Penataan, Pengelolaan, dan Pengendalian Ruang Terbuka Hijau Kota Bekasi. Kota Bekasi [BAPPEDA] Badan Perencanaan Pembangunan Daerah Kota Bekasi. 2010. Kota Bekasi Dalam Angka 2009. Kota Bekasi. [BAPPEDA] Badan Perencanaan Pembangunan Daerah Kota Bekasi. 2010. Kota Bekasi Dalam Angka 2009. Kota Bekasi. [BPS] Badan Pusat Statistik Kota Bekasi. 2010. Hasil Sensus Penduduk 2010. Kota Bekasi Dahlan E. N. 1992. Hutan Kota untuk Pengelolaan dan Peningkatan kualitas Lingkungan Hidup. Asosiasi Pengusahaan Hutan Indonesia (APHI). Jakarta Departemen Arsitektur Lanskap Fakultas Pertanian IPB. 2005. Ruang Terbuka Hijau (RTH) Wilayah Perkotaan. makalah lokakarya Pengembangan Sistem RTH di Perkotaan dalam rangkaian acara hari bakti Pekerjaan Umum ke 60. Direktorat Jenderal Penataan Ruang Departemen Pekerjaan Umum. Dinas Tenaga Kerja Kota Bekasi. 2010. Kota Bekasi Dalam Angka 2009. Kota Bekasi Direktorat Jenderal Penataan Ruang. 2006. Ruang Terbuka Hijau Sebagai Unsur Utama Tata Ruang Kota. Direktorat Jenderal Penataan Ruang. Departemen Pekerjaan Umum. Jakarta Direktorat Jenderal Penataan Ruang Departemen Pekerjaan Umum. 2008. Peraturan Menteri Pekerjaan Umum Nomor: 05/PRT/M/2008 tentang Pedoman Penyediaan dan Pemanfaatan Ruang Terbuka Hijau di Kawasan Perkotaan. Departemen Pekerjaan Umum. Jakarta Harti C. I. 2005. Pengaruh Taman Lingkungan Terhadap Suhu Udara di Dalam Taman dan Sekitarnya. Jurnal Landskap Indonesia. 1(1): 7-13. Hartini S, Harintaka, dan Istarno. 2008. Analisis Konversi Ruang Terbuka Hijau Menjadi penggunaan Perumahan di Kecamatan Tembalang Kota Semarang. Media Teknik. 4(30): 470-478. Hasni. 2009. Ruang Terbuka Hijau Dalam Rangka Penataan Ruang. Jurnal Hukum. 4(2): 39-65 68 Hendrawan A. 2003. Optimalisasi Ruang Terbuka Hijau Untuk Remaja (Studi Kasus: Empat Ruang Terbuka Hijau di DKI Jakarta).PSIL PPS UI. Jakarta. Http://bekasikota.go.id. diakses tanggal 30 Januari 2012. Iskandarini. 2004. Analisis Pemecahan Masalah dan Pengambilan Keputusan. Universitas Sumatra Utara. http://repository.usu.ac.id:6 Maret 2012 Leitmann J. 1999. Sustaining Cities: Environmental Planning and Management in Urban Design. Mc Graw-Hill. New York. Lillesand T. M. dan Kiefer R.W. 1990. Penginderaan Jauh dan Interpretasi Citra. Terjemahan. Gajah Mada University Press. Jogyakarta Munibah K, Sitorus S.R.P., Rustiadi E, Gandasasmita K, dan Hartisari. 2009. Model Hubungan Antara Jumlah Penduduk dengan Luas Lahan Pertanian dan Permukiman. Jurnal Tanah dan Lingkungan. 11(1): 31-39 Putri P. 2010. Analisis Spasial dan Temporal Perubahan Luas Ruang Terbuka Hijau di Kota Bandung. Jurnal landskap Indonesia. 2(2): 111-117. Sancho S. H. 2005. Studi Tentang Alun-Alun Bandung Sebagai Ruang Terbuka Hijau. Jurnal Landskap Indonesia. 1(1): 1-3. Saputro T.H. 2010. Studi Pengaruh Area Perkerasan Terhadap Perubahan Suhu Udara. Jurnal Landskap Indonesia. 2(2): 74-80. Sinulingga B. D. 2005. Pembangunan Kota: Tinjauan regional dan lokal. Pustaka Sinar Harapan. Jakarta Sugandhy A. dan Hakim R. 2007. Prinsip Dasar Kebijakan Pembangunan Berkelanjutan Berwawasan Lingkungan. Bumi Aksara. Jakarta. Suwarli. Dinamika Perubahan Penggunaan Lahan dan Strategi Pengalokasian Ruang Terbuka Hijau Berdasarkan Penganggaran Daerah Berbasis Lingkungan (Studi Kasus Kota Bekasi). [Disertasi] Sekolah Pasca Sarjana, Institut Pertanian Bogor. Utami R. 2011. Analisis Kebutuhan Taman Pemakaman Umum Sebagai Pendukung Ruang Terbuka Hijau Di Kota Medan. WAHANA HIJAU Jurnal Perencanaan dan Pengembangan Wilayah. 6(3):167-176. Verbist B., Putra A.E., dan Budidarsono S. 2004. Penyebab Alih Guna Lahan dan Akibatnya Terhadap Fungsi Daerah Aliran Sungai (DAS) Pada Lansekap Agroforestri Berbasis Kopi di Sumatra. Agrivita. 26(1):29-38. Wikantika K. dan Agus S. S. A. 2006. Analisis Perubahan Luas Pertanian Lahan Kering Menggunakan Transformasi Tasseled Cap Studi Kasus: Kawasan Puncak-Jawa Barat. Infrastuktur dan Lingkungan Binaan. 2(1): 29-35. LAMPIRAN 70 Lampiran 1. Hirarki Wilayah Kota Bekasi Tahun 2003 Kecamatan Kelurahan Bekasi Timur Medan Satria Pondokgede Bekasi Timur Bekasi Timur Bekasi Selatan Bekasi Barat Pondokgede Medan Satria Bekasi Selatan Pondokgede Bantargebang Medan Satria Pondokgede Medan Satria Rawalumbu Jatiasih Bekasi Utara Bantargebang Pondokgede Bekasi Utara Jatiasih Bekasi Utara Bekasi Timur Bekasi Barat Bekasi Selatan Bekasi Utara Bekasi Barat Bekasi Selatan Rawalumbu Jatiasih Rawalumbu Bekasi Selatan Jatiasih Bekasi Barat Jatiasih Bekasi Utara Rawalumbu Jatisampurna Jatisampurna Bekasi Utara Margahayu Medan Satria Jatirahayu Bekasi Jaya Duren Jaya Pekayon Jaya Kranji Jatiwaringin Pejuang Kayuringin Jaya Jatibening Bantargebang Kali Baru Jatimakmur Harapan Mulya Sepanjang Jaya Jatirasa Harapan Jaya Mustika Jaya Jatiwarna Teluk Pucung Jatikramat Kaliabang Tenga Aren Jaya Bintara Jaka Mulya Marga Mulya Jaka Sampurna Jaka Setia Pengasinan Jatimekar Bojong Rawalumbu Marga Jaya Jatiasih Kota Baru Jatisari Harapan Baru Bojong Menteng Jatikarya Jatisampurna Perwira Jumlah Jumlah Jenis Fasilitas Fasilitas 353 24 959 23 557 23 429 22 1210 21 1159 21 896 21 1176 20 1104 20 1011 20 402 20 1101 19 1003 19 935 19 924 19 588 19 565 19 526 19 523 19 450 19 437 19 388 19 653 18 463 18 454 18 418 18 260 18 1165 17 985 17 907 17 720 17 674 17 588 17 447 17 246 17 231 17 165 17 1155 16 774 16 412 16 195 16 Hirarki Hirarki 1 Hirarki 1 Hirarki 1 Hirarki 1 Hirarki 1 Hirarki 1 Hirarki 1 Hirarki 2 Hirarki 2 Hirarki 2 Hirarki 2 Hirarki 2 Hirarki 2 Hirarki 2 Hirarki 2 Hirarki 2 Hirarki 2 Hirarki 2 Hirarki 2 Hirarki 2 Hirarki 2 Hirarki 2 Hirarki 2 Hirarki 2 Hirarki 2 Hirarki 2 Hirarki 2 Hirarki 3 Hirarki 3 Hirarki 3 Hirarki 3 Hirarki 3 Hirarki 3 Hirarki 3 Hirarki 3 Hirarki 3 Hirarki 3 Hirarki 3 Hirarki 3 Hirarki 3 Hirarki 3 71 Lampiran 1. (Lanjutan) Kecamatan Kelurahan Bekasi Barat Bantargebang Jatisampurna Jatisampurna Jatisampurna Bantargebang Jatiasih Bantargebang Bantargebang Bantargebang Bantargebang Bintara Jaya Padurenan Jatimurni Jatiranggon Jatirangga Mustika Sari Jatiluhur Cikiwul Cimuning Ciketingudik Sumur Batu Jumlah Jumlah Jenis Fasilitas Fasilitas 123 16 1052 15 335 15 195 14 71 14 764 13 232 13 113 13 191 11 170 10 440 9 Hirarki Hirarki 3 Hirarki 3 Hirarki 3 Hirarki 3 Hirarki 3 Hirarki 3 Hirarki 3 Hirarki 3 Hirarki 3 Hirarki 3 Hirarki 3 72 Lampiran 2. Hirarki Wilayah Kota Bekasi Tahun 2010 Kecamatan Kelurahan Bekasi Timur Bekasi Selatan Pondok Melati Bekasi Timur Pondok Gede Bekasi Selatan Bekasi Timur Bekasi Selatan Rawa Lumbu Bekasi Barat Bantar Gebang Bekasi Barat Medan Satria Rawa Lumbu Pondok Gede Bekasi Timur Bekasi Utara Bekasi Utara Medan Satria Jati Asih Bekasi Barat Pondok Gede Medan Satria Medan Satria Bekasi Barat Jati Sampurna Pondok Gede Bekasi Utara Bekasi Selatan Bekasi Selatan Bekasi Barat Jati Asih Rawa Lumbu Pondok Melati Bekasi Utara Jati Asih Jati Sampurna Rawa Lumbu Jati Asih Jati Asih Margahayu Kayuringin Jaya Jatirahayu Bekasi Jaya Jatiwaringin Jaka Setia Aren Jaya Pekayon Jaya Bojong Rawalumbu Bintara Bantargebang Jaka Sampurna Medan Satria Sepanjang Jaya Jaticempaka Duren Jaya Harapan Jaya Teluk Pucung Pejuang Jatisari Kota Baru Jatimakmur Kali Baru Harapan Mulya Kranji Jatisampurna Jatibening Kaliabang Tengah Marga Jaya Jaka Mulya Bintara Jaya Jatiasih Bojong Menteng Jatiwarna Marga Mulya Jatirasa Jatikarya Pengasinan Jatimekar Jatikramat Jumlah Fasilitas 952 725 837 544 1267 1175 559 1389 1138 567 397 352 220 178 1247 723 602 481 459 452 375 331 309 284 277 238 874 706 432 349 295 266 242 376 281 266 201 201 364 360 Jumlah Jenis Fasilitas 25 25 24 24 22 22 22 21 21 21 21 21 21 21 20 20 20 20 20 20 20 20 20 20 20 20 19 19 19 19 19 19 19 18 18 18 18 18 17 17 Hirarki Hirarki 1 Hirarki 1 Hirarki 1 Hirarki 1 Hirarki 1 Hirarki 1 Hirarki 1 Hirarki 2 Hirarki 2 Hirarki 2 Hirarki 2 Hirarki 2 Hirarki 2 Hirarki 2 Hirarki 2 Hirarki 2 Hirarki 2 Hirarki 2 Hirarki 2 Hirarki 2 Hirarki 2 Hirarki 2 Hirarki 2 Hirarki 2 Hirarki 2 Hirarki 2 Hirarki 2 Hirarki 2 Hirarki 2 Hirarki 2 Hirarki 2 Hirarki 2 Hirarki 2 Hirarki 3 Hirarki 3 Hirarki 3 Hirarki 3 Hirarki 3 Hirarki 3 Hirarki 3 73 Lampiran 2. (lanjutan) Kecamatan Kelurahan Pondok Melati Mustika Jaya Pondok Gede Bekasi Utara Bekasi Utara Pondok Melati Jati Asih Mustika Jaya Jati Sampurna Mustika Jaya Mustika Jaya Bantar Gebang Bantar Gebang Jati Sampurna Jati Sampurna Bantar Gebang Jatimurni Mustikajaya Jatibaru Perwira Harapan Baru Jatimelati Jatiluhur Mustikasari Jatiranggon Cimuning Padurenan Cikiwul Ciketingudik Jatiraden Jatirangga Sumur Batu Jumlah Fasilitas 359 213 199 198 188 312 302 105 206 125 212 217 199 141 79 151 Jumlah Jenis Hirarki Fasilitas 17 Hirarki 3 17 Hirarki 3 17 Hirarki 3 17 Hirarki 3 17 Hirarki 3 16 Hirarki 3 16 Hirarki 3 16 Hirarki 3 15 Hirarki 3 15 Hirarki 3 14 Hirarki 3 13 Hirarki 3 13 Hirarki 3 12 Hirarki 3 12 Hirarki 3 11 Hirarki 3 74 Lampiran 3. Titik Pengamatan Lapang Kecamatan Kelurahan Perubahan x y Bekasi Utara Bantar Gebang Medan Satria Medan Satria Bekasi Selatan Bekasi Selatan Bekasi Timur Medan Satria Mustika Jaya Bekasi Selatan Pondok Gede Jati Asih Rawalumbu Bekasi Selatan Rawalumbu Jati Asih Jati Sampurna Bekasi Selatan Bantar Gebang Medan Satria Jati Asih Bekasi Selatan Jati Asih Bekasi Selatan Jati Asih Pondok Gede Bantar Gebang Medan Satria Bekasi Timur Jati Asih Pondok Gede Mustika Jaya Bekasi Timur Mustika Jaya Jati Asih Bantar Gebang Rawalumbu Bekasi Timur Bekasi Utara Bantar Gebang Bekasi Barat Harapan Baru Bantar Gebang Medan Satria Medan Satria Kayuringin Jaya Marga Jaya Bekasi Jaya Medan Satria Padurenan Jaka Mulya Jati Bening Jati sari Bojong Menteng Marga Jaya Pengasinan Jati Mekar Jati Ranggon Jaka Mulya Sumur Batu Medan Satria Jati Luhur Kayuringin Jaya Jati Asih Jaka Mulya Jati Asih Jati Bening Ciketing Udik Harapan Mulya Margahayu Jati sari Jati Bening Mustika Sari Aren Jaya Cimuning Jati Luhur Ciketing Udik Bojong Menteng Margahayu Teluk Pucung Sumur Batu Kota Baru badan air-->badan air industri-->industri industri-->rth pr jalan-->rth-p jalur hijau jalan lahan kosong-->industri lahan kosong-->perkantoran dan jasa lahan kosong-->permukiman lahan kosong-->rth pr lahan kosong-->rth pr lahan kosong-->rth-p jalur hijau jalan lahan kosong-->rth-p jalur hijau jalan lahan kosong-->rth-p sempadan sungai lahan kosong-->rth-p sempadan sungai lahan kosong-->rth-p taman perkantoran dan jasa-->perkantoran dan jasa permukiman-->lahan kosong permukiman-->rth pr permukiman-->rth-p jalur hijau jalan rth pr-->badan air rth pr-->industri rth pr-->industri rth pr-->industri rth pr-->jalan rth pr-->jalan tol rth pr-->jalan tol rth pr-->lahan kosong rth pr-->lahan kosong rth pr-->perkantoran dan jasa rth pr-->perkantoran dan jasa rth pr-->permukiman rth pr-->permukiman rth pr-->permukiman rth pr-->permukiman rth pr-->rth pr rth pr-->rth pr rth pr-->rth pr rth pr-->rth pr rth pr-->rth-p jalur hijau jalan rth pr-->rth-p jalur hijau jalan rth pr-->sawah rth pr-->sungai 723579,29 718943,61 717977,05 722259,31 720238,76 720570,43 721912,51 718638,90 721530,49 716716,29 713654,65 716000,18 720686,70 721268,98 722338,64 715074,36 713561,44 716681,16 721441,39 718651,89 715812,12 720119,94 716775,95 716720,14 716211,97 713204,01 719016,60 720495,12 722141,46 714136,17 714670,37 722309,78 724615,22 724782,47 716076,55 718371,38 720584,76 723674,60 723992,99 721759,26 718042,66 9312679,85 9300740,31 9315089,55 9309166,89 9309373,54 9309924,04 9310479,53 93151491,97 9302202,32 9305741,50 9307972,46 9297812,72 9303121,53 9309629,68 9307801,72 9302929,84 9298592,48 9317885,49 9297483,17 9312965,79 9301527,69 9310325,32 9303839,18 9306345,15 9303530,87 9307768,60 9297747,65 9310633,01 9308400,00 9297887,28 9307238,19 9304340,73 9309739,02 9301893,66 9301326,18 9297756,20 9302633,50 9308215,37 9312963,38 9299403,58 9312306,24 Bantar Gebang Sumur Batu rth pr-->TPA 721359,12 9297897,21 75 Lampiran 3. (Lanjutan) Kecamatan Kelurahan Perubahan x y Bekasi Selatan Kayuringin Jaya rth-p hijau olahraga-->fasilitas olahraga 720273,103 9309905,013 Bekasi Selatan Pondok Gede Kayuringin Jaya Jati Makmur rth-p hijau olahraga-->rth-p hijau olahraga rth-p jalur hijau jalan-->jalan 720415,928 713152,397 9310406,497 9306090,715 Bekasi Selatan Bekasi Barat Pekayon Jaya Jakasampurna rth-p jalur hijau jalan-->jalan rth-p jalur hijau jalan-->jalan tol 718456,479 716532,113 9308163,158 9308135,409 Pondok Melati Jati Asih Bekasi Barat Bekasi Selatan Rawalumbu Bekasi Barat Jati Rahayu Jati Luhur Bintara Jaya Pekayon Jaya Pengasinan Jakasampurna rth-p jalur hijau jalan-->lahan kosong rth-p jalur hijau jalan-->permukiman rth-p jalur hijau jalan-->permukiman rth-p jalur hijau jalan-->rth-p jalur hijau jalan rth-p jalur hijau jalan-->rth-p jalur hijau jalan rth-p jalur hijau jalan-->rth-p jalur hijau jalan 712004,022 714678,015 715806,819 719643,394 723034,915 718101,222 9304073,815 9301551,927 9310582,363 9308574,394 9307323,765 9309100,491 Pondok Gede Bekasi Timur Pondok Gede Rawalumbu Medan Satria Rawalumbu jati Bening Baru Duren jaya Jati Cempaka Bojong Rawalumbu Kali Baru Pengasinan rth-p jalur hijau jalan-->rth-p jalur hijau jalan rth-p sempadan sungai-->lahan kosong rth-p sempadan sungai-->permukiman rth-p sempadan sungai-->rth-p sempadan sungai rth-p sempadan sungai-->sungai rth-p taman-->rth-p taman 716222,820 723566,861 710764,904 719382,929 719385,871 722297,551 9308071,618 9310920,135 9307530,186 9305819,190 9312040,519 9307782,586 Bekasi Timur Jati Asih Jati Asih Rawalumbu Duren jaya Jati Asih Jati Rasa Pengasinan rth-p TPU-->rth-p TPU sawah-->rth-p jalur hijau jalan sawah-->sawah sungai-->rth-p sempadan sungai 723789,802 716240,590 716931,571 721427,901 9310382,020 9303676,779 9301767,820 9306298,146 76 Lampiran 4. Layout Kuesioner Hari/ Tanggal Koordinat x Koordinat y Kecamatan Kelurahan Penggunaan lahan 2003 Penggunaan lahan 2010 Penggunaan lahan eksisting Intensitas penggunaan lahan Elevasi Kepemilikan Tahun Berubah Informasi lain terkait