PERINGATAN !!! Bismillaahirrahmaanirraahiim Assalamu’alaikum warahmatullaahi wabarakaatuh 1. Skripsi digital ini hanya digunakan sebagai bahan referensi 2. Cantumkanlah sumber referensi secara lengkap bila Anda mengutip dari Dokumen ini 3. Plagiarisme dalam bentuk apapun merupakan pelanggaran keras terhadap etika moral penyusunan karya ilmiah 4. Patuhilah etika penulisan karya ilmiah Selamat membaca !!! Wassalamu’alaikum warahmatullaahi wabarakaatuh UPT PERPUSTAKAAN UNISBA TANDA-TANDA ALTRUISME PERAN YUDA DALAM FILM MERANTAU (studi kualitatif dengan pendekatan semiotika roland barthes) SKRIPSI Diajukan untuk Menempuh Ujian Sarjana pada Fakultas Ilmu Komunikasi Universitas Islam Bandung Oleh : RANDI YANWANDI 10080005329 BIDANG KAJIAN JURNALISTIK FAKULTAS ILMU KOMUNIKASI UNIVERSITAS ISLAM BANDUNG 2010 LEMBAR PENGESAHAN TANDA-TANDA ALTRUISME PERAN YUDA DALAM FILM MERANTAU Studi Kualitatif dengan Pendekatan Semiotika Roland Barthes SKRIPSI Salah Satu Syarat Guna Memperoleh Gelar Sarjana Ilmu Komunikasi Universitas Islam Bandung Oleh : RANDI YANWANDI 10080005329 Ilmu Jurnalistik Menyetujui : Pembimbing Yenni Yuniati, Dra., M.Si. Mengetahui : Ketua Bidang Kajian Ilmu Jurnalistik Ema Khotimah, Dra., S.Pd., M.Si. ABSTRAK Objek penelitiannya difokuskan pada adegan-adegan tokoh Yuda (Iko Uwais) saat melakukan aktivitas altruisme. Data penelitian diperoleh dari Film Merantau yang diproduksi oleh PT Merantau tahun 2009, disutradarai oleh Gareth Evans melalui nara sumber Intan Melvina sebagai Administrative Assistant Dalam menganalisis representasi altruisme, digunakan model signifikasi tanda dari Roland Barthes, yang mana menurut Barthes melalui proses signifikasi terhadap suatu tanda, maka akan dapat memunculkan suatu makna dan makna tersebut dapat berupa makna denotasi dan konotasi. Teknik pengumpulan data yang dilakukan ialah dengan melakukan pengamatan langsung secara cermat pada film ini, mengumpulkan data dari berbagai literatur, buku, tulisan yang berkaitan dengan penelitian ini, serta melakukan wawancara dengan orang yang berperan dalam pembuatan Film Merantau dan film maker. Berkaitan dengan penelitian yang penulis lakukan, formulasi permasalahan penelitian adalah “Tanda-Tanda Altruisme Dalam Film Merantau”, sedangkan tujuan penelitian adalah : 1. Untuk mengetahui makna denotatif pada film Merantau dalam tandatanda Altruisme. 2. Untuk mengetahui makna konotatif pada film Merantau dalam tandatanda Altruisme. Metode penelitian yang digunakan penelitian kualitatif, dengan pendekatan analisis semiotika. Teknik pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini adalah wawancara, observasi dan kepustakaan mengenai Tanda-tanda Altruime pada peran Yuda dalam film Merantau. Hasil penelitian menunjukan terdapat delapan adegan yang merepresentasikan altruisme. Dimana tokoh Yuda selalu menolong orang lain tanpa meminta imbalan apapun dari orang yang ditolong tersebut, dan mementingkan kepentingan orang lain ketimbang kepentingan dirinya sendiri, juga siap berkorban demi kepentingan orang lain. Dengan menganalisis menggunakan metode yang dipaparkan diatas, maka kita dapat mengetahui adegan-adegan yang merepresentasikan altruisme pada film Merantau sesuai dengan persepsi yang kita miliki. Tidak tertutup kemungkinan adanya perbedaan persepsi antara pembuat film dengan khalayaknya. Hal tersebut juga yang mengilhami penelitian ini dengan tujuan agar selanjutnya dalam penyampaian pesan dalam bentuk apapun tidak hanya dalam sebuah film, makna pesan dapat dipersepsikan secara seragam atau setidaknya mengurangi perbedaan persepsi sehingga tujuan dari komunikasi tersebut dapat tercapai secara efektif dan efisien. i KATA PENGANTAR Alhamdu lillaahi rabbil’ aalamin penulis ucapkan manakala skripsi ini akhirnya selesai dibuat. Puji dan syukur selalu penulis panjatkan pada Allah SWT yang telah senantiasa memberikan rakhmat, hidayah, dan karunia yang tiada henti kepada kita sekalian. Tak lupa shalawat serta salam penulis sampaikan kapada Sang pembawa kebenaran dan juga telah menyelamatkan kita dari kegelapan, Nabi Besar Muhammad SAW. Skripsi ini penulis sajikan dengan segala ketulusan dan kerendahan hati guna memenuhi syarat untuk memperoleh gelar sarjana di Fakultas Ilmu Komunikasi Universitas Islam Bandung. Pada proses penulisan skripsi ini, penulis menyadari dan tak jarang menemukan beberapa hambatan dan kesulitan yang musti penulis hadapi. Namun dengan segala kerendahan hati, penulis selalu mencoba untuk menganggap semua itu adalah suatu cobaan yang harus dihadapi dan diselesaikan. Penulis menyadari, tentunya skripsi ini masih banyak kekurangannya dan sangat jauh dari sempurna. Karena segala kebenaran dan kesempurnaan itu hanya milik Allah SWT, sedangkan penulis sebagai manusia adalah tempatnya khliaf dan salah. Untuk itu penulis menerima dengan lapang dada segala saran dan kritik yang bersifat membangun demi kesempurnaan makalah ini. Akhirnya penulis berharap semoga skripsi ini dapat bermanfaat khususnya bagi penulis dan bagi perkembangan ilmu komunikasi pada umumnya. Dalam ii proses penyelesaikan skripsi ini, telah banyak dukungan, bimbingan dan bantuan yang penulis terima, sehingga segala hambatan dan kesulitan dapat teratasi, dari sejak awal penulisan hingga akhirnya skripsi ini dapat terselesaikan. Kiranya tidak ada ucapan yang lebih baik yang dapat penulis haturkan, kecuali rasa terima kasih yang tulus kepada : 1. Yenni Yuniati, Dra, M.Si, selaku pembimbing, dengan kesabarannya memberikan waktu untuk saya dan memberi petunjuk, masukan, kritik serta saran-saran untuk membuat skripsi ini mendekati sempurna. 2. Bapak Dr, O.Hasbiansyah, Msi selaku Dekan Fikom Unisba yang telah membantu untuk mempermudah melakukan perizinan dalam skripsi ini. 3. Dosen wali penulis Tia Muthiah Umar, S.Sos, Msi. Telah membantu memberikan saran, dan mengambil mata kuliah sehingga penulis bisa selesai pada waktunya. 4. Ema Khotimah Dra, S.Pd, M.Si sebagai Ketua Bidang kajian Jurnalistik Fikom Unisba Yang juga telah membimbing penulis dalam menjalankan kehidupan di Jurnalistik Unisba. 5. Dedeh Fardiah, Dra., M.Si, Septiawan Santana S.Sos Msi, Drs. Alex Sobur, M.Si serta dosen-dosen Fikom Unisba lainnya yang telah membantu dalam pendidikan di universitas ini. 6. Seluruh staf dan karyawan di Unisba yang selalu memberikan senyum di hari-hari yang berat saat menggali ilmu di Unisba. 7. Intan Melvina sebagai Administrative Assistant film Merantau, , Bowie Budianto, yang telah membantu dalam kelancaran penelitian ini, dan ikhlas memberikan waktunya untuk membantu penelitian ini. iii 8. Kedua Orang Tua kandungku Almarhum Papa Wawan Juandi dan Mama Dewi Anggaraeni Terima Kasih Atas doa dan dorongan semangatnya. 9. kedua orang tuaku angkatku Papi Taufik, Mami Ratna, dan ketiga adiku Ayu, Bayu dan Taufan. Terima kasih atas segala dukungan yang telah diberikan, baik berupa bantuan moril, materil, motivasi, doa dan juga kasih sayang sehingga Skripsi ini berhasil diselesaikan. 10. Kekasih Tersayang, Yani Sri Wahyuni, Terimakasih atas segala dukungan, baik berupa saran juga kesabaran dalam membuat skripsi ini. 11. Untuk teman-teman seperjuangan penulis dari semester 1 yang pernah tinggal di taman sari 53 kini hijrah ke taman sari 49 (nyebrang doank), Gian, Beni, Angga, Badri, Harry, Uga, Nior, Iing, Yudi, Yoyo, Mas Bon, Vino, double Iwan, double Yogi, Ipank serta teman-teman kelas G 2005 yang tidak mungkin penulis sebutkan satu persatu, terima kasih tuk kalian. 12. Untuk annisa (iris), Lala, Riva, Edu dan semua anak Jurnalistik 2005 terima kasih atas kontribusi selama masa perkuliahan. 13. Untuk Arjuna, Edwan, Heriz, Vina dan semua Keluarga Mahasiswa Jurnalistik (KMJ) terima kasih telah berbagi pengalaman organisasi selama di kampus, semoga KMJ selalu maju, Amien.... Penulis menyadari bahwa masih banyak kekurangan dalam penyusunan Skripsi ini. Oleh karena itu, penulis memohon maaf dan juga pengertian atas segala kesalahan atau kekeliruan yang tidak disengaja. Besar harapan penulis agar laporan ini dapat bermanfaat bagi para pembaca dan pihak-pihak lain yang berhubungan dengan Skripsi ini. Wassalamu’alaikum wr.wb Randi Yanwandi Penulis iv DAFTAR ISI ABSTRAK ...................................................................................................... i KATA PENGANTAR .................................................................................... ii DAFTAR ISI ................................................................................................... v BAB I PENDAHULUAN ............................................................................... 1 1.1 Latar Belakang .............................................................................. 1 1.2 Perumusan Masalah ..................................................................... 5 1.3 Identifikasi Masalah ..................................................................... 5 1.4 Tujuan Penelitian .......................................................................... 5 1.5 Alasan Pemilihan Masalah ............................................................ 6 1.6 Kegunaan Penelitian ..................................................................... 6 1.6.1 Kegunaan Teoritis ................................................................ 6 1.6.2 Kegunaan Praktis ................................................................. 7 1.7 Pembatasan Masalah .................................................................... 7 1.8 Kerangka Pemikiran ..................................................................... 7 1.9 Metode Penelitian ........................................................................... 10 1.10 Teknik Pengumpulan Data .......................................................... 14 1.11 Langkah-langkah Penelitian ........................................................ 14 1.12 Organisasi Karangan .................................................................... 15 BAB II TINJAUAN PUSTAKA ................................................................... 17 2.1 Komunikasi Massa ......................................................................... 17 2.2 Konsep Perfilman ........................................................................................ 20 2.2.1 Film Sebagai media Komunikasi Massa ...................................... 22 2.2.1.1 Film Sebagai Komunikasi Massa ......................................... 23 2.2.1.3 Teknik Pengambilan Gambar .............................................. 27 2.2.2 Sejarah Perfilman .............................................................................. 33 2.3 Altruisme ......................................................................................................... 38 v 2.4 Semiotika .......................................................................................................... 45 2.4.1 Semiologi Roland Barthes ............................................................... 49 2.4.2 Semiotika Sinematografi ................................................................. 51 BAB III METODE DAN OBJEK PENELITIAN ....................................... 56 3.1 Metodologi Penelitian ................................................................................. 56 3.1.1 Analisis Semiotika .............................................................................. 56 3.1.2 Kompenen Tanda ............................................................................... 58 3.1.3 Aksis Tanda .......................................................................................... 60 3.1.4 Tingkatan Tanda ................................................................................ 61 3.1.5 Realasi Antar tanda ............................................................... 61 3.2 Semiologi Roland Barthes ........................................................................ 62 3.3 Obyek Penelitian ............................................................................ 63 3.3.1 Merantau Film...................................................................................... 63 3.3.2 Komponen Produksi Film Merantau .......................................... 64 3.3.3 Sinopsis Film Film Merantau ........................................................ 66 3.3.4 Proses Produksi Film Merantau .................................................. 68 BAB IV PEMBAHASAN ............................................................................ 69 4.1 Analisis Representasi Altruisme pada Film Meratau ................... 69 BAB V KESIMPULAN DAN SARAN .................................................................... 93 5.1 Kesimpulan ...................................................................................................... 93 5.2 Saran .................................................................................................................. 98 DAFTAR PUSTAKA LAMPIRAN vi BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Di zaman globalisasi saat ini peranan komunikasi sangatlah penting, hampir seluruh kegiatan manusia tidak dapat dipisahkan dari komunikasi, baik itu komunikasi verbal maupun non verbal. Perkembangan komunikasi itu sendiri dapat kita rasakan berkembang dengan begitu cepat dari waktu ke waktu, ini semua disebabkan perangkat penunjang komunikasi terus bermunculan. Sehingga proses komunikasi dapat berjalan lebih efektif dan efesien. Informasi yang bersumber dari manusia atau peristiwa dapat diproduksi menjadi suatu karya artistik yang mengutamakan keindahaan. Informasi yang ditayangkan pertelivisian di Indonesia kian memegang peranan yang amat penting. Hal tersebut membuat akibat dari perkembangan satelit komunikasi yang mampu memberi informasi secara luas dan cepat. Produk informasi yang disajikan adalah informasi audiovisual gerak yang dapat diproduksi melalui atau menggunakan CD, Kaset, Film dan Video. Film dalam pengertian sempit adalah penyajian gambar lewat layar lebar, tetapi dalam pengertian yang lebih luas bisa juga termasuk yang disiarkan di TV. Pengemasan sebuah cerita yang dituangkan dalam potongan gambar dan suara tidaklah semudah yang kita bayangkan. Perpaduan setiap detailnya haruslah terbangun secara harmonis. Sehingga maksud dari film itu tersampaikan pada khalayak luas. Selain alur cerita yang terpapar rapi, kehadiran efek –efek gambar dapat membantu menyegarkan pendengaran dan penglihatan penontonnya, seolah – olah khalayak terbawa arus cerita. Selain turut memanjakan indera penglihatan dan pendengaran, juga turut membantu mengemas pesan yang disampaikan oleh para pembuat film. Merantau merupakan salah satu film action yang dikemas dengan simbolsimbol untuk menunjukan tanda keberanian seseorang terhadap lawanlawannya. Pada film ini, keberanian yang dimaksud tidak hanya keberanian dalam artian sempit yaitu keberanian antara pria yang ingin melindungi pihak tertindas dengan cara dengan cara kekerasan karena pihak pihak lawan yang ingin menindas tidak bisa dilawan dengan cara lembut. Setiap hal yang berhubungan dengan keberanian, tentunya memiliki perasaan yang ingin melindungi sesuatu Pada film Merantau sang sutradara menampilkan keberanian untuk melindungi sesama, keberanian tersebut dilakukan oleh penokohan Yuda yang diperankan oleh Iko Uwais. Iko Uwais menokohkan seseorang sangat sosial kepada lingkungannya, Yuda menolong orang-orang yang membutuhkan bantuan darinya, tentunya seorang Yuda memiliki jiwa yang sosial, dia siap membantu walaupun dia sedang dilanda masalah juga. Jiwa sosial saling membantu, saling mengasihi dan siap membantu orang lain walaupun orang yang menolong tersebut sedang dilanda masalah juga merupakan sifat altruistik. Sifat altruistik yang diperankan oleh Iko Uwais sebagai Yuda pada film ini diperankan dengan baik, tetapi sampai sejauh mana sifat altruistik Yuda yang diperankan oleh Iko Uwais diperagakan. Masyarakat Melayu banyak menekankan kerjasama, tolong menolong, perpaduan dan lain-lain yang menjadi ciri gotong royong (Rahman,1993:112). Gambaran ini berakar dari tradisi di mana pada zaman dahulu banyak pekerjaan yang dilakukan bersama karena kurangnya teknologi yang membantu. Maraknya usaha ini menjadikan ikon baru yang segera terpatri Menjadi budaya nasional. Namun, semakin lama budaya ini semakin pudar tidak mampu menahan arus globalisasi yang menggiurkan. Orang hidup secara individual. Semua tinggal di rumah berpagar tinggi menjulang atau di apartemen. Pagi pergi terburu-buru ke kantor dan kembali setelah mentari tenggelam. Aktivitas ekonomi menjadi prime-time sehingga tidak sempat berkumpul tetangga. Sedangkan Anak-anak sibuk dengan les dan dugem. Ibu-ibu mampir ke arisan ini dan rapat. Pudarnya sifat Altruisme di lingkungan kita mendorong kita semua untuk membangkitkan kembali sifat tersebut berakar jiwa di dalam tubuh kita. Dalam sejarah Indonesia, Bangsa Indonesia merdeka bukan karena persenjataan kita yang lengkap dan canggih, melainkan jiwa gotong royong dan memiliki sifat altruistik yang membangkitkan kobaran api dalam jiwa kita untuk memperoleh kemerdekaan. Dalam film Merantau banyak hal moralitas yang penting untuk dipelajari dari film tersebut, dan film ini menurut penulis sangat menjadi pelajaran bagi kita semua yang sudah mulai mementingkan dirinya sendiri ketimbang melihat orang lain, keegoisan pada diri manusia sangat besar. Untuk itu berdasarkan fenomena yang coba dipaparkan di atas, penulis tertarik melakukan penelitian makna simbolik mengenai altruisme yang berhubungan dengan rasa ingin menolong kepada sesama, diperankan oleh Iko Uwais sebagai Yuda pada film Merantau, agar para penonton dapat lebih menghargai kasih sayang kepada sesama yang pada kehidupan sebenarnya sangat penting untuk dijalani. Merantau merupakan film action yang digarap oleh sutradara Garet Evans. Dimana dalam film action pasti ada pertempuran peran protagonis dengan peran antagonis, Iko uwais sebagai pemeran Yuda dalam film merantau ini memperlihatkan sifat altruisme yang menonjolkan sikap baik seseorang yang sudah amat jarang seperti yang bisa dilihat disekitar kita. Kegigihan Yuda untuk menolong Astrid ( Sisca Jesika) dari genggaman para lelaki hidung belang, sikap altruisme sangat terlihat pada saat adegan berkelahi melawan anak buah sang komplotan hidung belang, dimana Yuda sudah kalah tersungkur tetapi dengan kegigihannya ia bangun kembali dan meporak porandakan seluruh isi “bar”. Sikap altruisme seperti itulah yang sangat jarang pada jaman sekarang ini maka dari itu maka penulis ingin menjabarkan altruisme peran yuda pada film merantau. 1.2 Perumusan masalah Berdasarkan latar belakang diatas, penulis mengangkat sebuah perumusan masalah, yaitu : “Bagaimana tanda-tanda altruime peran Yuda pada film merantau?” 1.3 Identifikasi Masalah Selanjutnya, rumusan masalah diatas dapat diidentifikasikan sebagai berikut : 1. Bagaimana makna denotatif pada film merantaudalam tanda-tanda Altruime? 2. Bagaimana makna konotatif pada film merantau dalam tanda-tanda Altruime? 1.4 Tujuan Penelitian Adapun Adapun tujuan penelitian ini adalah: 1. Untuk mengetahui makna denotatif pada film Merantau dalam tandatanda Altruisme. 2. Untuk mengetahui makna konotatif pada film Merantau dalam tandatanda Altruisme. 1.5 Alasan Pemilihan Masalah 1. Dunia ini penuh dengan artefak-artefak tanda dan simbol. Tanda dan simbol tersebut tidak berarti tanpa makna yang menyertainya, sedangkan makna itu juga tidak bisa hadir begitu saja melainkan hasil dari kesepakatan umum di masyarakat mengenai arti tanda tersebut. Jadi makna itu bersifat subyektif. 2. Dalam komunikasi, film bisa dikatakan sebagai sebuah pesan yang disampaikan kepada komunikan, makna tidak terdapat pada pesan, melainkan pada penerima pesan. Oleh karena itu penonton haruslah kritis dalam menyimak sebuah film, agar pesan yang disampaikan tersampaikan. 1.6 Kegunaan Penelitian 1.6.1 Kegunaan Teoritis Penelitian ini secara teoritis diharapkan berguna sebagai sumbangan terhadap pengembangan penelitian kualitatif studi semiotika khususnya untuk media film layar lebar (wide screen) di seluruh Indonesia. Dan akhirnya dari seluruh proses penelitian mampu memperluas kajian ilmu komunikasi, khususnya signifikasi (pemaknaan) terhadap media massa film, sehingga mampu memberikan jalan bagi analisa kritis terhadap media sejenis lainnya. 1.6.2 Kegunaan Praktis Sedangkan secara praktis penelitian ini diharapkan berguna sebagai masukan kepada praktisi perfilman Indonesia baik yang berbasis bisnis maupun independen agar dapat mampu mengembangkan kualitas film yang dihasilkan sehingga dapat bermanfaat tidak hanya dari segi bisnis namun sebagai peningkatan kreatifitas.. 1.7 Pembatasan Masalah 1. Film yang diteliti yaitu film Merantau yang diproduksi Merantau Film pada tahun 2009, disutradarai oleh Gareth Evans. 2. Penelitian ini hanya merepresentasikan adegan-adegan yang mengandung altruisme yang diperankan oleh Iko Uwais sebagai Yuda pada film Merantau. 3. Penelitian ini menggunakan analisis semiotika Roland Barthes. 1.8 Kerangka Pemikiran Pada dasarnya, Film adalah salah satu jenis komunikasi massa yang dapat dikelola menjadi suatu komoditi. Di dalamnya memang kompleks, dari produser, pemain hingga seperangkat kesenian lain yang sangat mendukung seperti musik, seni rupa, teater, dan seni suara. Semua unsur tersebut terkumpul menjadi komunikator dan bertindak sebagai agen transformasi budaya (Baksin, 2003:2). Komunikasi nonverbal adalah proses komunikasi dimana pesan disampaikan tidak menggunakan kata-kata. Contoh komunikasi nonverbal ialah menggunakan gerak isyarat, bahasa tubuh, ekspresi wajah dan kontak mata, penggunaan objek seperti pakaian, potongan rambut, dan sebagainya, simbolsimbol, serta cara berbicara seperti intonasi, penekanan, kualitas suara, gaya emosi, dan gaya berbicara. Para ahli di bidang komunikasi nonverbal biasanya menggunakan definisi "tidak menggunakan kata" dengan ketat, dan tidak menyamakan komunikasi nonverbal dengan komunikasi nonlisan. Contohnya, bahasa isyarat dan tulisan tidak dianggap sebagai komunikasi nonverbal karena menggunakan kata, sedangkan intonasi dan gaya berbicara tergolong sebagai komunikasi nonverbal. Komunikasi nonverbal juga berbeda dengan komunikasi bawah sadar, yang dapat berupa komunikasi verbal ataupun nonverbal. (wikipedia.com) Sebuah film adalah sekumpulan dari tanda dan lambang yang ditampilkan melalui gerak, laku, bahasa, dan sekumpulan hal lain yang adalah merupakan sekumpulan “tanda”. Hal inilah yang mendasari banyak penganalisaan film dengan metode melihat tanda atau dapat kita sebut semiotik film. Pesan yang terkandung dalam sebuah film dapat diuraikan dengan menggunakan semiotika, pesan-pesan moral seperti halnya altruistik dapat diungkap dengan menggunakan analisis semiotika. Pada dasarnya sangat penting sebuah film memasukan unsur moral atau memiliki pesan, karena film memiliki kekuatan yang cukup besar untuk mempengaruhi prilaku seseorang. Setiap hal yang terjadi pada film, terkadang masyarakat menuruti tingkah laku yang dilakukan oleh para aktor di film. Pada dasarnya dalam mempelajari film sebagai komunikasi massa kita dapat mendekatinya dengan dua perspektif, yaitu :perspektif proses dan perspektif semiotik (Fiske dalam Sobur, 1982 : 2-3) Sifat altruistik sangatlah mulia, film Merantau merupakan contoh film yang memberikan pesan moral tentang sifat altruistik. Melihat dari sisi dunia kini, sudah jarang orang memiliki sifat altruistik, oleh karena itu baiknya untuk ditumbuhkan kembali dengan menggunakan suntikan-suntikan dengan menggunakan media massa, contohnya film. Film bisa dikupas berdasarkan unsur gramatikalnya, diuraikan menurut komponen sinematografinya dan cara-cara yang lainya. Jika kita mencoba memaknai film tersebut secara keseluruhan. Lebih menarik lagi jika yang melakukan pengamatan atau penelitian mempunyai perceptual filed dan experience yang berbeda satu sama lain, bisa jadi metode yang digunakan sama tapi hasil pengamatanya tentu akan berbeda, oleh karena itulah semiotika lebih bersifat subyektif. Analisa Semiotik adalah salah satu bagian dari Analisa Teks Media, semiotik sebagai suatu model dari ilmu pengatahuan sosial memahami dunia sebagai sistem hubungan yang memiliki unit dasar yang disebut dengan “tanda” tadi. Para ahli semiotik juga menganggap bahwa film, seperti layaknya teks tertulis, juga memiliki tata bahasanya sendiri yang ditujukan melalui atribut- atribut teknis seperti angle kamera, teknik penyuntingan, skema warna, dan lain sebagainya. Dalam menemukan makna simbolisasi dalam Film Merantau analisis semiotika akan dijadikan sebagai jalur metodologi utama. Dengan analisis ini, sifat altruistik yang terkandung dalam film Merantau akan dicari. 1.9 Metode Penelitian Metode penelitian yang digunakan ialah metode kualitatif. Metode kualitatif yaitu penelitian yang bertujuan untuk menganalisis sebuah fenomena yang terjadi di masyarakat, penelitian ini tidak mengandalkan bukti berdasarkan logika matematis, prinsip angka atau metode statistik (Mulyana, 2001:150), karena metode penelitian ini meyakini bahwa fenomena yang terjadi di masyarakat tidak bisa dilihat dan ditentukan dengan angka-angka, fenomena yang terjadi di masyarakat merupakan sebuah akibat dari faktor-faktor yang mempengaruhinya. Penelitian kualitatif berakar pada latar alamiah sebagai keutuhan, mengandalkan manusia sebagai alat penelitian, memanfaatkan metode kualitatif, mengadakan analisis data secara induktif, mengarahkan sasaran penelitiannya pada usaha menemukan teori dari dasar, bersifat deskriptif, lebih mementingkan proses daripada hasil, membatasi studi dengan fokus, memilki seperangkat kriteria untuk memeriksa keabsahan data, rancangan penelitiannya bersifat sementara, dan hasil penelitiannya disepakati oleh kedua belah pihak: peneliti dan subjek penelitian (Maleong, 2002 :27). Sedangkan pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah pendekatan semiotika yaitu studi tentang tanda dan segala yang berhubungan dengannya; cara berfungsinya, hubungannya dengan tanda-tanda lain, pengirimannya dan penerimannya oleh mereka yang mempergunakannya (Zoes, 1991:5). Pendekatan semiotika yang digunakan ialah pendekatan semiotika Roland Barthes yang fokus perhatiannya lebih tertuju pada gagasan tentang signifikasi dua tahap (Sobur, 2001:127). Dalam menganalisis film Merantau, penulis mengacu pada pemikiran Roland Barthes (signifikasi dua tahap). Menurut Barthes, bahasa memerlukan kondisi tertentu untuk dapat menjadi mitos, yaitu secara semiotis dicirikan oleh hadirnya sebuah tataran signifikasi yang disebut sebagai sistem semiologis tingkat kedua (the second order semiological order). Maksudnya pada tataran semiologis tingkat pertama, penanda-penanda berhubungan dengan petanda-petanda sedemikian sehingga menghasilkan tanda. Selanjutnya tanda-tanda pada tataran pertama ini pada gilirannya hanya akan menjadi penanda-penanda yang berhubungan pula dengan petanda-petanda pada tataran kedua, pada tataran signifikasi kedua inilah mitos bercokol (Budiman 2003:63) Mengingat bangsa kita sebagian besar masih memegang adat dan tradisi dalam kehidupannya, maka mitos-mitos dan nilai-nilai budaya masih melekat dalam kehidupannya. Oleh karena itu, penulis menerapkan model signifikasi dua tahap dari Roland Barthes. Signifikasi dua tahap Barthes First order Reality second order signs culture Form content Sumber: John Fiske ( 1990 : 88 ) dalam Sobur, 2001 : 127. Berdasarkan gambar di atas, seperti dikutip Fiske, Barthes menjelaskan: signifikasi tahap pertama merupakan hubungan antara signifier dengan signified di dalam sebuah tanda terhadap realitas eksternal. Barthes menyebutnya sebagai denotasi, yaitu makna paling nyata dari tanda. Konotasi adalah istilah yang digunakan Barthes untuk menunjukan signifikasi tahap kedua. Hal ini menggambarkan interaksi yang terjadi ketika tanda bertemu dengan perasaan atau emosi dari pembaca serta nilai-nilai kebudayaannya. Konotasi mempunyai makna yang subjektif atau paling tidak intersubjektif. Pemilihan kata-kata kadang merupakan pilihan terhadap konotasi, misalnya kata “penyuapan” dengan “memberi uang pelicin”. Dengan kata lain, denotasi adalah apa yang digambarkan tanda terhadap sebuah objek; sedangkan konotasi adalah bagaimana menggambarkannya. Pada signifikasi tahap kedua yang berhubungan dengan isi, tanda bekerja melalui mitos (myth). Mitos adalah bagaimana kebudayaan menjelaskan atau memahami beberapa aspek tentang realitas atau gejala alam. mitos merupakan produk kelas sosial yang sudah mempunyai suatu dominasi. Mitos primitif, misalnya, mengenai hidup dan mati, manusia dan dewa, dan sebagainya. Sedangkan mitos masa kini misalnya mengenai feminimitas, maskulinitas, ilmu pengetahuan, dan kesuksesan (Fiske dalam Sobur 2001:128). Selain itu, ada seorang tokoh yang disebut sebagai figur utama dalam pemikiran semiotik sinematografi, tokoh ini adalah Christian Metz. Metz tidak secara tersetruktur mengulas teknik semiotika sinematografi namun lebih banyak mengulas tentang teori film saja terutama tentang bahasa sinematografi. Menurut Tanete Pong Masak dalam Kumpulan makalah semiotik1 mengatakan bahwa sumbangan Metz dalam teori film adalah usaha untuk menggunakan baik peralatan konseptual linguistik struktural untuk meninjau kembali teori film yang sudah ada, yang dalam tahun 1960 membawa kita pada semiologi klasik, maupun konsep teoritis psikoanalisis freudian-lacanian: untuk generasi kedua semiologi sinema pada tahun ’70-an’. Dengan kata lain, semiologi Metz yang dianggap jauh lebih cermat daripada teori/analisis film sebelum dia ini tidaklah berangkat dari yang baru sama sekali. Metz mengamati berbagai kaitan dalam semiotik sinematografi ini, seperti : tanda sinematografis, sintaksis dan sintagmatik, tulisan filmis/bahasa sinematografi, dll. (Masak, Tanate. Kumpulan Makalah Seminar Semiotik. 2000:281-293). ! 1.10 Teknik Pengumpulan Data 1. Dokumentasi Melakukan pengamatan secara cermat pada film FILM Merantau. Khususnya pada adegan sikap Altruisme peran Yuda 2. Studi Kepustakaan Mengumpulkan data dan mencari literatur yang menunjang dalam penelitian, baik melalui buku-buku, tulisan dan juga internet. 3. Wawancara Yaitu teknik pengumpulan data dengan cara mengadakan tanya jawab pada pihak tertentu guna memperoleh data-data mengenai permasalahan yang dibahas. Wawancara dilakukan dengan Administrative Assistant PT Merantau Film yakni Intan Melvina. 1.11 Pengertian Istilah Berikut langkah-langkah yang akan ditempuh peneliti dalam melakukan penelitian ini : Beberapa istilah penting dalam penelitian ini memiliki arti sebagai berikut: 1. Komunikasi, secara etimologis berasal dari kata dalam bahasa Latin communicatio, dan perkataan ini bersumber pada kata communis yang berarti sama, dalam arti kata sama makna, yaitu sama makna mengenai satu hal. Dan secara terminologis berarti proses penyampaian suatu pernyataan oleh seseorang kepada orang lain. Dan apabila dilihat dari sudut paradigmatik, definisi komunikasi adalah : proses penyampaian suatu pesan oleh seseorang kepada orang lain untuk memberi tahu atau untuk mengubah sikap, pendapat atau perilaku, baik langsung secara lisan, maupun tidak langsung melalui media (Onong Uchyana. 1986 : 3-6). 2. Komunikasi Massa, merujuk pada pendapat Tan dan Wright adalah merupakan bentuk komunikasi yang menggunakan saluran (media) dalam menghubungkan komunikator dan komunikan secara massal, berjumlah banyak, bertempat tinggal yang jauh (terpencar), sangat heterogen, dan menimbulkan efek tertentu. (Elvinaro Ardianto dan Lukiati. Komunikasi Massa. 2004 : 3). Sedangkan definisi komunikasi massa yang lebih terperinci adalah yang dikemukakan oleh Gerbner, yaitu : “Mass Communication is the technologically and institutionally based production and distribution of the most broadly shared continuous flow of messages in industrial societies.” (Elvinaro Ardianto dan Lukiati. Komunikasi Massa. 2004 : 4). 3. Semiotika/Semiologi, yaitu ilmu yang mempelajari sederatan luas objekobjek, peristiwa-peristiwa, seluruh kebudayaan sebagai tanda (Eco, 1979:6), dikutip dari Analisis Teks Media (Sobur, 2002:95). Secara Etimologis, istilah semiotik berasal dari kata Yunani semeion yang berarti “tanda”. Tanda disini bukan hanya sebatas rupa atau gambar yang diam, namun secara luas diartikan sebagai sesuatu yang terlihat dan bermaksud untuk dimaknakan. Semiotika juga berarti ilmu tentang tanda dan kode-kodenya serta penggunaannya dalam masyarakat (Piliang, 2004 : 25). 4. Denotasi, adalah hubungan eksplisit antara tanda dengan referensi atau realitas dalam pertandaan. 5. Konotasi, adalah aspek makna dalam semiotika yang secara khusus berkaitan dengan perasaan dan emosi serta nilai-nilai kebudayaan dan ideologi. 6. Film, yang dimaksud dengan film disini adalah serangkaian pita selluloid atau yang sejenis dengan itu, yang mengandung gambar-gambar negatif dan kemudian dapat diproyeksikan. Gambar-gambar itu adalah merupakan seri daripada gambar diam yang cukup banyak, yang secara normal berganti sebanyak 24 gambar dalam sedetik. Serangkaian gambar-gambar ini yang kemudian membentuk sebuah Film dengan suatu jalan cerita yang bisa dinikmati oleh khalayak. 7. Makna, Kecenderungan total untuk menggunakan atau bereaksi terhadap suatu bentuk bahasa. Terdapat benyak komponen dalam makna yang dibangkitkan suatu kata atau kalimat (Mulyana, 2001:256). 8. Tanda, Sesuatu yang atas dasar konvensi sosial yang terbangun sebelumnya, dianggap mewakili sesuatu yang lain (Eco, 1979:16 dalam Sobur, 2001:95). 9. Representasi, menurut Chandler adalah : “the construction in any medium (especially the mass media) of aspect of ‘reality’ such as people, places, objects, events, cultural identities and other abstract concept. Such as representations may be in speech or writing as well as still moving pictures. 10. Altruisme, tingkah laku yang merefleksikan pertimbangan untuk tidak mementingkan diri sendiri demi kebaikan orang lain. ( Baron & Byrne, 2003: 92) 11. Scene, adegan dalam scenario. Satu rangkaian adegan tidak tentu panjangnya. Ada yang panjang atau sama sekali pendek, tergantung konsep dramatik sang penulis scenario. (Rikrik, 2006: 131) 1. 12 Organisasi Karangan Dalam penulisan penelitian ini akan dibahas beberapa bab, yakni sebagai berikut: Bab I Pendahuluan Bab ini memuat latar belakang masalah, rumusan masalah, identifikasi masalah, alasan dan tujuan masalah, kegunaan penelitian, pengertian istilah, pembatasan masalah, kerangka pemikiran, kerangka teoritis, metode dan teknik penelitian, teknik pengumpulan data, serta organisasi karangan. Bab II Tinjauan Pustaka Bab ini membahas mengenai Tinjauan pustaka tentang pengertian komunikasi, komunikasi massa, pengertian media massa, film sebagai komunikasi massa. Bab III Pembahasan Objek Penelitian Dalam Bab ini, peneliti menuliskan hal-hal yang terkait dengan film Merantau antara lain mengenai gambaran film Merantau, dan sekilas produksi film Merantau Bab IV Pembahasan Pembahasan Penelitian disajikan pada Bab ini BAB V Kesimpulan dan Saran Merupakan Bab terakhir, yang meliputi kesimpulan dari hasil penelitian dan saran-saran. BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Komunikasi Massa Komunikasi berasal dari kata latin communicatio, dan bersumber dari kata communis yang berarti sama. Sama di sini berarti sama makna. Saat dua atau lebih manusia terlibat dalam komunikasi, maka komunikasi itu berlangsung selama ada kesamaan makna diantara pihak-pihak yang terlibat di dalamnya. Dilihat dari proses terjadinya komunikasi, Onong dalam bukunya Ilmu Komunikasi Teori dan Praktek membagi proses komunikasi terbagi menjadi dua tahap : 1. Proses komunikasi secara primer adalah proses penyampaian pikiran dan atau perasaan seseorang kepada orang lain dengan menggunakan lambang (symbol) sebagai media. Lambang sebagai media primer dalam proses komunikasi adalah bahasa, kial, isyarat, gambar, warna, dan lain sebagainya yang secara langsung mampu “menerjemahkan” pikiran dan atau perasaan komunikator kepada komunikan. 2. Proses komunikasi secara sekunder adalah proses penyampaian pesan oleh seseorang kepada orang lain dengan menggunakan alat atau sarana sebagai media kedua setelah memakai lambang sebagai media pertama. Penggunaan media kedua dalam melancarkan komunikasi karena komunikan sebagai sasarannya berada ditempat yang relatif jauh atau jumlahnya banyak (Effendy, 2000:11-16). Dalam kehidupan sehari-hari, yang disebut sebagai media komunikasi adalah alat komunikasi untuk menyebarkan informasi kepada khalayak luas, akan tetapi jarang sekali orang yang menganggap bahasa sebagai media komunikasi. Hal tersebut disebabkan bahasa sebagai lambang beserta isi dari pikiran atau perasaan merupakan satu kesatuan pesan yang tidak dapat dipisahkan. Pentingnya peranan media, yaitu media sekunder adalah dalam pencapaian komunikannya. Dengan menggunakan media, komunikator dapat menyampaikan pesannya kepada komunikan yang jumlahnya relatif banyak dan juga jaraknya yang jauh, dengan kata lain komunikasi dengan menggunakan media ini merupakan kelanjutan dari komunikasi primer dalam menembus ruang dan waktu. Salah satu bentuk komunikasi diantaranya yaitu komunikasi massa. Komunikasi massa ini diartikan sebagai komunikasi yang menggunakan media massa sebagai medianya. Berbeda dengan pendapat para ahli psikologi sosial yang mengemukakan bahwa komunikasi massa ini tidak selalu terjadi dengan menggunakan media massa. Oleh karena itu, Para ahli komunikasi membatasi pengertian komunikasi massa pada komunikasi dengan menggunakan media massa, misalnya surat kabar, majalah, radio, televisi, atau film. (Effendy, 2001:20) Menurut Werner I. Severin dan James W. Tankard, Jr. dalam bukunya, Communication Theories, Origins, Methods, Uses, mengatakan sebagai berikut: Komunikasi massa adalah sebagian keterampilan, sebagian seni dan sebagian ilmu. Ia adalah keterampilan dalam pengertian bahwa ia meliputi teknik-teknik fundamental tertentu yang dipelajari seperti memfokuskan kamera televisi, mengoperasikan tape recorder, atau mencatat ketika berwawancara. Ia adalah seni dalam pengertian bahwa ia meliputi tantangan-tantangan kreatif seperti menulis skrip untuk program televisi, mengembangkan tata letak yang estetis untuk iklan majalah, atau menampilkan teras berita yang memikat bagi sebuah kisah berita. Ia adalah ilmu dalam pengertian bahwa ia meliputi prinsip-prinsip tertentu tentang bagaimana berlangsungnya komunikasi yang dapat dikukuhkan dan dipergunakan untuk membuat berbagai hal menjadi lebih baik. (Effendy, 2001:21) Selain dari pada pengertian di atas, Joseph A. Devito dalam bukunya Communicology: An introduction to the study of communication, mengemukakan definisinya mengenai komunikasi massa dengan lebih tegas, yakni sebagai berikut: Pertama, komunikasi massa adalah komunikasi yang ditujukan kepada massa, kepada khalayak yang luar biasa banyaknya. Ini tidak berarti bahwa khalayak meliputi seluruh penduduk atau semua orang yang membaca atau semua orang yang menonton televisi, agaknya ini berarti bahwa khalayak itu besar dan pada umumnya agak sukar untuk didefinisikan. Kedua, komunikasi massa adalah komunikasi yang disalurkan oleh pemancar-pemancar yang audio dan atau visual. Komunikasi massa barangkali akan lebih mudah dan lebih logis bila didefinisikan menurut bentuknya : televisi, radio, surat kabar, majalah, film, buku, dan pita (Effendy 2000:21). Dikarenakan komunikasi massa itu ditujukan kepada massa dan dengan menggunakan media massa, maka komunikasi massa ini mempunyai ciri-ciri sebagai berikut: 1. Bersifat melembaga, artinya pihak yang mengelola media terdiri dari banyak orang, yakni mulai dari pengumpulan, pengelolaan sampai pada penyajian informasi. 2. Bersifat satu arah, artinya komunikasi yang dilakukan kurang memungkinkan terjadinya dialog antar pengirim dan penerima. Kalau toh terjadi reaksi atau umpan balik, biasanya memerlukan waktu dan tertunda. 3. Meluas dan serempak, artinya dapat mengatasi rintangan waktu dan jarak, karena ia memiliki kecepatan. Bergerak secara luas dan simultan, dimana informasi yang disampaikan diterima oleh banyak orang pada saat yang sama. 4. Bersifat terbuka, artinya pesannya dapat diterima oleh siapa saja dan dimana saja tanpa mengenal usia, jenis kelamin dan suku bangsa (Cangara, 2000:131-135). 2.2 Konsep Perfilman Masyarakat sering menyempitkan arti film atau bahkan salah mengartikan film hanya pada sebuah hasil produksi yang menghasilkan sebuah tontonan saja. Bukan pada apa arti film itu sendiri. Sebenarnya berbicara tentang film adalah berbicara tentang segulung pita selluloid yang secara keseluruhan dipindahkan ke atas kertas khusus atau ke atas layar khusus sebagai gambar positif (Sunarjo & Junaengsih. 1995 : 83). Film adalah sebuah rangkaian gambar statis yang direpresentasikan di hadapan mata secara berturut-turut dalam kecapatan yang tinggi (Gamble, 1986 : 255). Film atau motion pictures ditemukan dari hasil pengembangan prinsipprinsip fotografi dan proyektor. Film memiliki beberapa kekuatan dan kelemahan, yaitu : 1. Kekuatannya : a. Para penonton film terutama di gedung bioskop merupakan penonton yang seolah-olah terisolir dari pengaruh luar, karena pada saat pemutaran perhatian penonton memang dengan sengaja dikhususkan hanya untuk melihat layar bioskop. b. Komunikasi film lebih sempurna dari komunikasi pers dan radio, karena memiliki langsung dua hal yang dibutuhkan publik dalam menerima pesan yaitu audio dan visual. 2. Kelemahannya : a. para penonton film di bioskop senantiasa bersifat pasif dan menerima saja apa yang dipertontonkan, pola pikirnya baru akan muncul mungkin pada saat film selesai atau bahkan lebih lama lagi. b. Untuk menonton film, dibutuhkan waktu yang khusus dan tidak setiap saat dapat dilakukan. Pembuatan film pada dasarnya adalah sebuah proses komunal, yang melibatkan banyak orang ketimbang hanya satu. Dalam buku Introduction Mass Communication, pengamat film John L. Fell memperkuat pendapat ini dengan menyatakan bahwa substansi yang termuat dalam sebuah film akan sangat tergantung kepada visi dan misi individu-individu yang terlibat didalamnya. Fell (dalam DeFleur, 1985 : 262-263) mengemukakan tujuh tahap pembuatan film, yaitu : 1. Conceptualization. Gagasan untuk membuat sebuah film dapat muncul dari satu atau lebih orang. Beberapa film merupakan hasil gagasan asli para pembuatnya, sementara beberapa film lain merupakan adaptasi dari sumber yang sudah ada sebelumnya, seperti novel, drama, bahkan lagu dan puisi. 2. Direction Sutradara menentukan scenario film pilihannya, dan menentukan gaya visual serta suara apa yang akan ia terapkan dalam membuat film tersebut. 3. Visualization. Perencanaan dan eksekusi sebuah proses pembuatan film sudah tentu melibatkan piñata kamera, piñata cahaya, dan lai-lainnya. 4. Performance. Aktor dan artis yang terlibat dalam film dipilih, dan mereka akan segera mempelajari scenario yang diberikan, untuk menentukan penampilan mereka dalam film tersebut. 5. Editing. Proses penyuntingan ini melibatkan pemilihan adegan-adegan yang telah diambil, dan juga memproses film yang telah jadi. 6. Special Effects. Semua hal yang melibatkan tipuan kamera dan efek-efek khusus lainnya yang dikerjakan di luar jadwal shooting termasuk dalam tahap ini. 7. Production. Untuk memproduksi sebuah film berarti sang produser harus mengumpulkan biaya, mengorganisir semua orang yang dibutuhkan, serta mengatur tampilnya film tersebut di atas layar. 2.2.1 Film Sebagai Media Komunikasi Massa Sejak keberadaannya, film diakui memiliki fungsi yang utama, yaitu : fungsi artistik, fungsi ekonomi, dan fungsi komunikasi. (DeFleur & Dennis. 1985 : 258). Namun beberapa ahli dilihat dari sudut pandang menyebutkan ada beberapa fungsi lain dari film, seperti : Fungsi informatif, fungsi edukatif, bahkan fungsi persuasif. Hal ini sejalan dengan misi perfilman nasional sejak 1979, bahwa selain sebagai media hiburan, film nasional dapat digunakan sebagai media edukasi untuk pembinaan generasi muda dalam rangka nation and character building (Elvinaro dan Lukiati. 2004 : 136). Telah disebutkan diatas beberapa fungsi utama dari film, dari semuanya, fungsi komunikasi adalah yang paling kuat. Hal ini dikarenakan, sejak awal keberadaannya, film telah digunakan untuk meraih sejumlah besar orang dengan muatan pesan yang ditujukan untuk mempengaruhi tindakan dan cara berpikir mereka. Film adalah salah satu alat komunikasi paling signifikan yang pernah ada sejak munculnya tulisan tujuh ribu tahun yang lalu (Monaco. 2000 : 64). Dalam sejarah perkembangannya, terdapat salah satu tema yang sangat penting yaitu film sebagai alat propaganda yang notabene adalah salah satu proses komunikasi. ( McQuail. 1994 : 14). Menurut Kotler, efek dari penyampaian sebuah pesan bergantung pada bagaimana cara menyampaikannya (Kotler. 2000 : 634). Jadi apabila kita berbicara mengenai film, pesan yang ingin disampaikannya sangat ditentukan oleh perpaduan gambar dan suara dan faktor-faktor pendukungnya. 2.2.1.1 Film Sebagai Komunikasi Massa Berbicara mengenai Film adalah berbicara tentang Komunikasi Massa, setidaknya itu yang bisa tergambarkan. Sebagai salah satu bentuk dari Komunikasi Massa Visual, media Film adalah bentuk yang dominan di dunia ini. Lebih dari ratusan juta orang menonton film di bioskop, film televisi dan film video setiap minggunya. Film memiliki semua karakteristik yang dibutuhkan untuk menjadi media massa, gabungan dari faktor audio dan visual yang dengan segala isinya adalah sarana yang tepat untuk menyampaikan pesannya kepada para penontonnya. Meskipun secara historikal, film baru muncul pada akhir abad kesembilan belas, tetapi apa yang dapat diberikannya sebenarnya tidak terlalu baru dilihat dari segi isi atau fungsi. Film berperan sebagai sarana baru yang digunakan untuk menyebarkan hiburan yang sudah menjadi kebiasaan terdahulu, serta menyajikan cerita, peristiwa, musik, drama, dan sajian lainnya kepada khalayak ramai. Sebagai salah satu bentuk dari komunikasi massa, film ada dengan tujuan untuk memberikan pesan-pesan yang ingin disampaikan dari pihak kreator film. Pesan-pesan itu terwujud dalam cerita dan misi yang dibawa film tersebut serta terangkum dalam bentuk drama, action, komedi, dan horor. Jenis-jenis film inilah yang dikemas oleh seorang sutradara sesuai dengan tendensi masing-masing. Ada yang tujuannya sekedar menghibur, memberi penerangan, atau mungkin keduaduanya. Bersama dengan radio dan televisi, film termasuk kategori media massa periodik. Artinya, kehadirannya tidak secara terus-menerus, tetapi berperiode dan termasuk media elektronik, yakni media yang dalam penyajiaan pesannya sangat bergantung pada adanya listrik. Sebagai media massa elektronik dan adanya banyak unsur kesenian lain, film menjadi media massa yang memerlukan proses lama dan mahal. Seni film sangat mengandalkan teknologi, baik sebagai bahan baku produksi maupun dalam hal ekshibisi ke hadapan penontonnya. Film merupakan penjelmaan keterpaduan antara berbagai unsur, sastra, teater, seni rupa, teknologi, dan sarana publikasi. Dalam kajian media massa, film masuk dalam jajaran seni yang ditopang oleh industri hiburan yang menawarkan impian kepada penonton yang ikut menunjang lahirnya karya film. Kehadiran film sebagian merupakan respons terhadap ’penemuan’ waktu luang di luar jam kerja dan jawaban terhadap kebutuhan menikmati waktu senggang secara hemat da sehat bagi anggota keluarga. Dalam sejarahnya, film terdiri dari tiga tema besar dan satu atau dua menjadi tonggak sejarah yang penting. Tema pertama, adalah pemanfaatan film sebagai sarana propaganda. Tema ini penting terutama dalam kaitannya dengan pencapaian tujuan nasional dan masyarakat. Amerika adalah negara yang sengaja atau tidak melakukan propaganda lewat film-filmnya. Kepahlawanan tentara Amerika ditunjukan dalam perang dengan setting ”Perang”, seperti pada Film ” Rambo (George F. Cosmatus)”, ”Platoon (Oliver Stone)”, ”Saving Private Ryan (Steven Spielberg)”, ”Full Metal Jacket (Stanley Kurbick)”, dan lain-lain. Tujuan dari semua film diatas rata-rata adalah untuk membentuk citra bahwa Amerika adalah pihak yang benar. Padahal dapat diketahui secara hasilnya, bahwa sebenarnya Amerika adalah selalu jadi pihak yang kewalahan baik pada waktu Perang Vietnam atau Perang Irak. Di Indonesia propaganda lewat film dapat terlihat pada film terbesar Indonesia yaitu film ” (Arifin C. Noer)” yang wajib ditonton oleh masyarakat pada masa Orde Baru. Pengkultusan tokoh Soeharto sebagai pahlawan utama penumpas G 30 S/PKI adalah tujuan utamanya, lepas dari kontroversi siapa yang salah pada peristiwa G 30 S/PKI yang sampai sekarang masih menjadi tanda tanya. Selain memiliki tema sebagai propaganda, tema kedua adalah munculnya beberapa aliran seni film dan tema ketiga dalam sejarah film adalah munculnya aliran film dokumentasi sosial. Kedua kecenderungan tersebut merupakan suatu penyimpangan dalam pengertian bahwa keduanya hanya menjangkau minoritas penduduk dan berorientasi pada realisme. Terlepas dari hal itu, keduanya mempunyai kaitan dengan tema ”film sebagai alat propaganda” dan ”film sebagai alat komunikasi”. Dengan demikian, dipengaruhi juga dengan hadirnya televisi yang meskipun membawa peralihan perhatian masyarakat dari film, namun justru membawa sifat khusus bagi film itu sendiri, film dewasa ini berperan sebagai pembentuk budaya massa, bukannya semata-mata mengharapkan media lainnya sebagaimana peran film pada masa kejayaannya yang lalu karena peralihan penonton kepada televisi tadi. 2.2.1.2 Teknik Pengambilan Gambar Dalam proses pembuatannya, film dan televisi menggunakan beberapa teknik yang diterapkan berdasarkan suatu konvensi tertentu. Konvensi menurut oleh para pengamat film disebut sebagai grammar atau tata bahasa film. Daniel Chandler (2000), dalam makalahnya The Grammar of Television and Film, menyebutkan beberapa elemen penting yang membangun tata bahasa tersebut. Menurut Chandler, walaupun konvensi ini bukanlah suatu peraturan baku, telaah terhadapnya tetap harus dilakukan karena hanya dengan begitulah seseorang akan mampu mengerti pesan yang ingin disampaikan oleh pembuat film (Chandler, 2000:1). Menurut Baksin, pengetahuan mengenai teknik pengambilan gambar ini sebetulnya untuk membekali juru kamera dan juga sutradara bagaimana shot itu akan dibuat, bagaimana kesan yang timbul, apa latar belakangnya, apakah nanti shot-nya bisa digabung dengan shot yang lainnya hingga menjadi rangkaian yang indah. Dalam hal ini, shot diartikan sebagai unsur terkecil dari sebuah struktur film. Untuk bisa membedakan antara satu shot dengan shot lainnya, teknik pengambilan gambar ini dibedakan menjadi empat kategori, yaitu : sudut pengambilan gambar, ukuran shot, gerakan kamera, dan gerakan objek (Baksin. 2003 : 32). A. Sudut Pengambilan Gambar 1. Bird Eye View Teknik ini dilakukan dengan ketinggian kamera di atas ketinggian objek yang direkam. Hasilnya memperlihatkan lingkungan yang demikian luas dengan benda-benda lain yang tampak di bawah demikian kecil dan berserakan tanpa mempunyai makna. 2. High Angle Artinya, sudut pengambilan dari atas objek sehingga kesan objek jadi mengecil. Selain itu teknik pengambilan gambar ini mempunyai kesan dramatis, yakni kesan “kerdil”. 3. Low Angle Sudut pengambilan dari arah bawah objek sehingga kesan objek jadi membesar. Kesan dramatis yang diperoleh adalah prominence (keagungan). 4. Eye Level Sudut pengambilan gambar sejajar dengan objek. Teknik ini tidak memberikan kesan dramatis karena dalam kondisi shot yanga biasa saja. Hasilnya memperlihatkan tangkapan pandangan mata seseorang yang berditi atau pandangan mata seseorang yang memiliki ketinggian tubuh tepat tingginya sama dengan objek. 5. Frog Eye View Teknik yang dilakukan kameraman dengan ketinggian kamera sejajar dengan dasar (alas) kedudukan objek atau dengan ketinggian yang lebih rendah dari dasar (alas). Dengan teknik ini dihasilkan satu pemandangan objek yang besar, mengerikan, dan penuh misteri. B. Ukuran Gambar Keberagaman ukuran gambar ini tentunya dikaitkan dengan tujuan pengambilan gambar, tingkat emosi, situasi, kondisi dari objek gambar. Ukuran-ukuran gambar itu adalah : 1. Istilah/singkatan : ECU ( Extreme Close Up ) Artinya : Pengambilan gambar sangat dekat sekali, sampai pori-poripun terlihat. Fungsi : Memperlihatkan detail suatu objek secara jelas. 2. Istilah: BCU/VCU/HS ( Big Close Up/Very Close Up/ Head Shot ) Artinya : Pengambilan gambar dari sebatas kepala hingga dagu objek. Fungsi : Menonjolkan objek untuk ekspresi tertentu. 3. Istilah/singkatan : CU ( Close Up) Artinya : Pengambilan gambar dari pas atas kepala sampai bawah leher. Fungsi : Memberi gambaran objek secara jelas. 4. Istilah/singkatan : BS/MCU ( Bust Shot/ Medium Close Up ) Artinya : Ukuran gambar sebatas atas kepala sampai dada. Fungsi : Menegaskan “profil” seseorang sehingga penonton puas. 5. Istilah/singkatan : WS/MS ( Waist Shot/Mid Shot ) Artinya : Ukuran gambar sebatas kepala sampai pinggang. Fungsi : Memperlihatkan sosok objek dengan “tampangnya”. 6. Istilah/singkatan : KS/MS ( Knee Shot/ Medium Shot ) Artinya : Ukuran gambar sebatas atas kepala sampai lutut. Fungsi : Masih seperti fungsi WS. 7. Istilah/singkatan : FS ( Full Shot ) Artinya : Pengambilan gambar penuh dari atas kepala hingga kaki. Fungsi : Memperlihatkan objek dengan lingkungannya. 8. Istilah/singkatan : LS ( Long Shot ) Artinya : Pengambilan gambar melebihi FS. Fungsi : Memperlihatkan objek dengan latar belakangnya. 9. Istilah/singkatan : 1 S ( One Shot ) Artinya : Pengambilan gambar satu objek. Fungsi : Memperlihatkan seseorang dalam in frame. 10. Istilah/singkatan : 2 S ( Two Shot ) Artinya : Pengambilan gambar dua orang. Fungsi : Memperlihatkan adegan dua orang. 11. Istilah/singkatan : 3 S ( Three Shot ) Artinya : Pengambilan gambar tiga orang. Fungsi : Memperlihatkan adegan tiga orang. 12. Istilah/singkatan : GS ( Group Shot ) Artinya : Pengambilan gambar sekelompok orang. Fungsi : Memperlihatkan sekelompok orang dalam adegan. C. Gerakan Kamera Untuk membuat suatu tampilan gambar yang menarik, seorang kameraman bisa menggerakan kamera. Ada beberapa gerakan kamera yang menghasilkan gambar yang berbeda. Gerakan kamera itu adalah : a. Zoom (Kamera tidak bergerak, tetapi menekan fasilitas tombol Zooming). Dalam proses zooming, kamera sama sekali tidak bergerak. Proses ini mengharuskan lensa difokuskan dari sebuah Long Shot menjadi Close Up sementara gambar masih dipertunjukkan. Subjek diperbesar, dan perhatian dikonsentrasikan pada detail yang sebelumnya tidak nampak. Zoom biasa digunakan untuk memberikan kejutan pada penonton, dan menunjukkan beberapa aspek tambahan dalam suatu adegan (misalnya, di mana sang karakter sedang berada, atau dengan siapa ia sedang berbicara) sementara shot itu melebar. b. Panning. (Kamera tidak bergerak, tetapi tripot penyangga kaki tiga-nya digerakan ke kiri dan kanan). Kamera bergerak mengikuti subjek, yang akan menimbulkan efek kedekatan antara penonton dengan subjek tersebut. c. Tilting. Pergerakan kamera secara vertikal – ke atas atau ke bawah – sementara kamera tetap pada posisinya. d. Tracking (dollying). Tracking mengharuskan kamera untuk bergerak secara mulus, menjauhi atau mendekati subjek, dan biasa dibagi menjadi: tracking in, yang akan membawa penonton semakin mendekat dengan sang subjek sementara, dan tracking back, yang akan membawa perhatian penonton pada sisi kiri dan kanan frame. Kecepatan tracking juga dapat menentukan efek perasaan dalam diri penonton (Chandler, 2000:3). Rapid tracking akan meimbulkan efek ketegangan, sedangkan trackin back akan menimbulkan efek relaksasi. e. Crab. Kamera bergerak ke kiri atau ke kanan. f. Follow. Adalah pergerakan kamera mengikuti objek yang bergerak searah. g. Crane Shot. Adalah gerakan kamera yang dipasang di atas mesin beroda (crane) dan bergerak sendiri bersama juru kamera, baik mendekat ataupun menjauh. h. Fading. Adalah pergantian gambar secara perlahan-lahan. Jika gambar muncul perlahan dan menggantikan gambar yang ada pada layar disebut fade in, apabila sebaliknya disebut fade out. i. Framing. Adalah objek memasuki framing shot. Jika objek keluar dari bingkai (frame) shot disebut Frame Out, apabila sebaliknya disebut Frame In. D. Gerakan Objek Ada beberapa gerakan objek tanpa harus menggerakan kamera. Beberapa gerak objek itu adalah : 1. Objek bisa bergerak sejajar dengan kamera, baik ke kiri maupun ke kanan. 2. Objek bisa bergerak mendekati kamera yang disebut walk-in. 3. Objek bisa bergerak menjauh dari kamera yang disebut walk-away. 2.2.2 Sejarah Perfilman Proses film untuk dapat dinikmati publik, bahkan diakui sebagai suatu media yang sangat berpengaruh terhadap pola pikir massa tidaklah berjalan begitu saja. Film mengalami berbagai hal hingga mencapai masa jaya, bahkan dijadikan sebagai kebutuhan. Masyarakat global mengenal beberapa nama terkenal seperti Hollywood, Bollywood, Mandarin Movie, dan lain-lain, adalah hasil dari globalisasi yang awalnya mungkin hanya menjadi sebuah sub-kultur di negara asalnya. Film juga bisa memberikan image tersendiri bagi suatu komunitas, bahkan bisa membentuk komunitas sendiri, karena sifatnya yang universal. Berbagai perjuangan hingga pernah mengalami masa surut dialami orang-orang film dunia. Seratus tahun yang lalu, mungkin para legenda film seperti Porter, Lamiere, Alfa Edison, Griffith, dan lain-lain, mungkin tidak pernah akan membayangkan bahwa film akhirnya bisa seperti sekarang. Menjadi media publik yang bahkan bisa membentuk budaya massa sendiri. Film pertama yang tercatat dalam sejarah dipertontonkan kepada khalayak umum dengan membayar (paying audience) berlangsung di Grand Café Boulevard de Capucines, Paris, Perancis pada tanggal 28 Desember 1895. Peristiwa ini merupakan tonggak sejarah pertama lahirnya film dan bioskop di dunia. Meskipun usaha untuk membuat “citra bergerak” atau film ini sendiri sudah dimulai jauh sebelum tahun 1895, bahkan sejak tahun 130 masehi, namun dunia internasional mengakui bahwa peristiwa di Grand Café inilah yang menandai lahirnya film pertama di dunia (Sobur, 1999 : 144). Pelopornya adalah dua bersaudara Lumiere Louis (1864-1948) dan Auguste (1862-1954). Thomas Alfa Edison juga menyelenggarakan bioskop di New York pada 23 April 1896. Dan meskipun Max dan Emil Skladanowsky muncul lebih dulu di Berlin pada 1 November 1895, namun pertunjukan Lumiere bersaudara inilah yang diakui kalangan internasional. Kemudian film dan bioskop ini terselenggara pula di Inggris (Februari 1896), Uni Soviet (Mei 1896), Jepang (1896-1897), Korea (1903), dan di Italia (1905). Pada tahun 1927 di Broadway Amerika Serikat munculah film bicara pertama meskipun dalam keadaan yang belum sempurna sebagaimana dicita- citakan. Sejak itu sejalan dengan perkembangan teknologi, usaha-usaha untuk menyempurnakan film bicara itu terus dilakukan. Pada tahun 1935 film bicara boleh dikatakan mencapai kesempurnaan. Waktu pemutarannya cukup lama dan ceritanya panjang, karena banyak yang dibuat berdasarkan novel dan buku dan disajikan dengan lebih baik. Di Indonesia, sebenarnya film pertama kali diperkenalkan pada 5 Desember 1900 di Batavia, lima tahun setelah film dan bioskop pertama lahir di Perancis. Pada masa itu film disebut “Gambar Idoep”, dan film pertama di Indonesia ini adalah sebuah film dokumenter yang menggambarkan perjalanan Ratu Olanda dan Raja Hertog Hendrik di kota Den Haag. Dalam lima tahun pertamanya, bioskop-bioskop di masa itu sudah memutar dua film setiap malamnya. Dari catatan sejarah perfilman di Indonesia, film cerita Indonesia pertama yang diputar adalah yang berjudul Lady van Java yang diproduksi di Bandung pada tahun 1926 oleh David. Pada tahun 1927/1928 Krueger Corporation memproduksi film Eulis Atjih, dan sampai tahun1930, masyarakat disuguhi film Lutung Kasarung, Si Conat dan Pareh. Sampai saat itu, film yang disajikan masih berupa film bisu, dan yang mengusahakannya adalah orang-orang Belanda dan Cina. Film bicara yang pertama berjudul “Terang Bulan” yang dibintangi Roekiah dan R. Mochtar berdasarkan naskah seorang penulis Indonesia Saerun. Di penghujung tahun 1941, perang Asia Timur Raya pecah. Dunia filmpun berubah wajah. Perusahaan-perusahaan film, seperti Wong Brothers, South Pacific, dan Multi Film diambil alih Jepang, ketika Pemerintah Belanda sebagai penguasa di Indonesia menyerah kalah kepada balatentara Jepang. NV Multi Film diambil alih oleh Pemerintahan Nippon dan diganti namanya menjadi “Nippon Eiga Sha” di bawah pengawasan Sendenbu, yakni Barisan Propaganda balatentara Jepang. Sudah tentu yang menjadi kepalanya adalah orang Jepang, tetapi wakilnya adalah R.M. Soetarto, seorang Indonesia yang memang banyak pengalaman sebelumnya. Pada tanggal 17 Agustus 1945 bangsa Indonesia memproklamasikan kemerdekaannya. Maka dunia perfilman pun ikut berubah. Nippon Eiga Sha diserahkan secara resmi pada tanggal 6 Oktober 1945 kepada Pemerintah Republik Indonesia yang dalam serah terimanya dilakukan oleh Ishimoto dari pihak Pemerintah Militer Jepang kepada R.M. Soetarto yang mewakili Pemerintah Republik Indonesia. Sejak tanggal 6 Oktober 1945 itu lahirlah Berita Film Indonesia atau B.F.I. Sementara revolusi, B.F.I terpaksa memindahkan kegiatannya ke Surakarta dan berjalan dengan baik, meskipun segalanya serba sederhana. Sementara itu, ketika Pemerintah Republik Indonesia meninggalkan Jakarta dan berpusat di Yogyakarta, maka gedung studio dan laboratorium BFI diduduki oleh tentara NICA. Sejak itu prasarana tersebut dipergunakan oleh Regeerings Film Bedrijf untuk membuat film dokumenter, film berita dan film cerita, bersama-sama dengan South Pacific Film Co. Pada tahun 1950, setelah kedaulatan diserahkan oleh Pemerintah Belanda kepada Pemerintah RI maka Regeerings Film Bedrijf diserahkan kepada Pemerintah Republik Indonesia Serikat (RIS) yang kemudian diberi nama Perusahaan Pilem Negara (PPN) dalam lingkungan Kementerian Penerangan pada waktu itu. Dalam pada itu, bersamaan dengan pindahnya Pemerintah RI dan Yogyakarta ke Jakarta, berpindah pula BFI, kembali ke ibukota negara untuk bergabung dengan PPN. Namanya pun berubah menjadi Perusahaan Film Negara (PFN). Setelah Perfini didirikan oleh Usmar Ismail tadi yang kemudian sering dikenal sebagai Bapak Film Indonesia dengan Darah dan Doa sebagai produksi pertamanya. Film ini memiliki arti penting dalam sejarah film Indonesia, sehingga Dewan Film Nasional dalam konferensinya (11 Oktober 1962) menetapkan hari pengambilan gambar pertama film ini (30 Maret) sebagai Hari Film Nasional. Untuk mempopoulerkan film Indonesia, Djamaludin Malik mendorong membentuk PPFI (Persatuan Perusahaan Film Indonesia) pada tahun 1954, untuk kemudian mengadakan Festival Film Indonesia (FFI) I pada tahun 1955 dengan film Lewat Jam Malam (Usmar Ismail) sebagai film terbaik. Setelah porak poranda karena pemboikotan film-film impor yang melesukan bioskop nasional, pada era 70-an, film Indonesia mencapai masa emasnya. Sebanyak 20 judul film diproduksi pada tahun 1970. Selama kurun 1970-1980 sekitar 604 judul film diproduksi, dengan jumlah paling sedikit pada 1977. Tema-tema komedi, seks, horor, dan musik (dangdut) mendominasi produksi film pada waktu itu. Awal tahun 90-an, perfilman Indonesia kembali terpuruk, terutama karena adanya monopoli dalam bisnis bioskop, munculnya televisi swasta, dan semakin dewasanya penonton dalam memilih film. Hampir semua film bertema seks yang diproduksi sangat asal-asalan. Namun kemunculan Garin Nugroho dalam filmfilmnya seperti Cinta Dalam Sepotong Roti (1991), Bulan Tertusuk Ilalang (1994) dan Daun di Atas Bantal (1996) berhasil membawa gaya baru dan harapan dalam perfilman nasional. Hal ini kembali membawa kepada kondisi kondusif perfilman nasional, terutama dengan pejuang-pejuang mudanya yang berhasil memunculkan film-film dengan kualitas yang sudah tinggi. Penontonpun kembali antusias dengan hal ini. Film-film yang menjadi momentum keemasan kembali itu adalah Petualangan Sherina (Riri Reza/2000), Jelangkung (Rizal Mantovani & Jose Purnomo/2001), Ada Apa Dengan Cinta (Rudi Sudjarwo/2001), Ca-Bau-Kan (Nia diNata/2001), Eiffel …I’m In Love (Nasri Cheppy/2003), Kimat Sudah Dekat (Deddy Mizwar/2003) dan tentunya adalah Arisan! (Nia diNata/2003). 2.3 Altruisme Altruisme adalah suatu doktrin etis yang memegang bahwa individu mempunyai suatu kewajiban etis untuk membantu, melayani, atau bermanfaat bagi orang lain, jika perlu pengorbanan diri. Versi Auguste Comte tentang Altruisme telah disetujui oleh para ahli yang lain. Orang yang bersangkutan dengan etika ini disebut sebagai " Altruisme." Istilah altruisme kadang-kadang digunakan secara bergantian dengan tingkah laku prososial, tetapi altruisme sejati adalah kepedulian yang tidak mementingkan diri sendiri melainkan untuk kebaikan orang lain. (Sobur, 2003: 93) Manusia merupakan makhluk sosial yang saling membutuhkan sehingga mereka saling tolong menolong. Perilaku altruisme merupakan perilaku menolong yang tidak mengharapkan imbalan yang dimotivasi untuk mensejahterakan orang lain. Kata " Altruisme" berasal dari kata perancis, atrui yang artinya Adalah orang lain, telah diciptakan Auguste Comte, Pendiri paham positivisme, dalam rangka menguraikan doktrin etis yang ia dukung. Ia percaya bahwa individu mempunyai suatu kewajiban moral untuk meninggalkan kepentingan diri dan mengharapkan orang lain. Comte mengatakan, dalam teori Catechisme Positiviste nya, bahwa: “sudut pandang sosial tidak boleh mentoleransi tanggapan-tanggapan hak dikarenakan tanggapan ini berdasarkan individualisme. Kita dilahirkan di bawah kewajiban yang sangat banyak, yang telah ditinggalkan oleh pendahulu dan para leluhur kita, untuk itu para generasi yang hidup di jaman sekarang memiliki kewajiban untuk meningkatkan, Diwaktu yang tersisa ini sebelum kembali untuk memperbaikinya… ini “ untuk kebutuhan kehidupan orang lain” rumusan yang paling sahih untuk kesusilaan manusia memberikan kebenaran langsung secara eksklusif yang memiliki naluri sifat kebaikan, kewajiban kita untuk menolong sesama manusia, merupakan tugas kita seluruh umat manusia. Berbagai ahli filsafat menggambarkan doktrin etis dalam berbagai jalan, tetapi semua definisi biasanya berbelit-belit, diantara suatu kewajiban moral yang bermanfaat bagi orang lain atau moral untuk menghargai melayani orang lain dibanding dirinya sendiri. Ahli filsafat C.D. Board Altruisme seperti " doktrin yang masing-masing dari kita mempunyai suatu kewajiban khusus untuk bermanfaat bagi orang lain." Ahli filsafat W.G. Maclagan menggambarkan " suatu tugas untuk membebaskan kesusahan dan mempromosikan kebahagiaan tentang pertolongan... Jika seseorang melakukan suatu tindakan demi kepentingan orang lain untuk mendapatkan keuntungan diri sendiri, maka hal itu bukanlah aktivitas bermotivasi altruistik. Ada beberapa perspektif berbeda dalam membedakan “benefit” (atau “kepentingan”). Keuntungan materi (misalnya, uang, imbalan bersifat fisik/hadiah, dll) jelas merupakan suatu benefit, sementara hal-hal yang termasuk dalam keuntungan materi dan imateri (perhatian, kehormatan, kebahagiaan, kepuasan, dll) merupakan keuntungan yg bersifat filosofi. Berdasarkan egoisme filosofi (philosophically egoism), ketika orang-orang melakukan aktivitas altruistik, mereka tidak memiliki motivasi altruistik. Mereka yang biasanya melakukan hal ini ketika dalam hidupnya melakukan suatu hal demi kepentingan orang lain tanpa mendapatkan timbal balik secara materi (atau berkorban materi) bagi diri mereka sendiri, motivasi dasar mereka melakukan hal adalah semata-mata demi kepuasan batin mereka sendiri. dengan kata lain, tidak dapat dibuktikan karena keuntungan imateri seperti “rasa puas” tidak dapat diukur atau dibuktikan ketika orang melakukan tindakan altruistik. Hipotesis altruisme-empati (Empathy-altruism) menyatakan bahwa ketika seorang individu merasakan empati terhadap seseorang yang memerlukan, individu tersebut secara altruistik termotivasi untuk membantu orang tersebut; secara naluri sang individu peduli terhadap kesejahteraan orang lain, bukan untuk dirinya sendiri. Mengalami empati yang lebih murni yang memotivasi perilaku altruistik.. mereka yang mengambil perspektif “ membayangkan self”. Juga mengalami empati; di samping itu, perasaan akan tekanan meningkatkan motif egoistik atau kepentingan pribadi yang dapat mempengaruhi altruisme. Empati meliputi komponen afektif dan kognitif (Duan,2000). Secara afektif, orang yang berempati merasakan apa yang orang lain rasakan (Darley, 1993). Secara kognitif, orang yang berempati memahami apa yang orang lain rasakan dan mengapa (Azar, 1997). Jadi, empati berarti tidak hanya seperti pernyataan popular Presiden Clinton “ saya merasakan penderitaanmu”, tetapi juga , “saya mengerti penderitaanmu”. Secara umum, altruisme berarti menolong sesama tanpa mengharapkan imbalan (secara fisik) dari orang tersebut, hanya demi mendapatkan “rasa senang”, kepuasan, pernghargaan terhadap diri sendiri, pemenuhan kewajiban (agama, atau ideology atau semata-mata karena panggilan hati) dan sebagainya. Oleh karena itu, seseorang tidak perlu berspekulasi terhadap motivasi altruistik. Manusia tidak hanya bersifat altruistik kepada anggota keluarga, rekan kerja, namun dapat juga bersikap altruistik terhadap orang-orang yang justru tidak mereka kenal dan belum pernah bertemu, contohnya beberapa orang menyumbang untuk suatu badan amal internasional atau menjadi sukarelawan untuk orangorang yang kurang beruntung. Cukup masuk akal jika diklaim bahwa para pelaku altruistik ini melakukan sikap altruistik untuk mendapatkan timbal balik. Analisis game theory dari strategi ‘berjaga-jaga’ ini, prinsipnya adalah menolong setiap orang jika seandainya ia mendapatkan sesuatu sebagai balasan. Disebut sebagai non-optimal strategy, dimana usaha yang dikeluarkan (timbal) jauh lebih banyak daripada keuntungan yang didapatkan (balik). www.wikipedia.org Fakta bahwa banyak aspek dari kepribadian terlihat dalam tingkah laku prososial telah menyebabkan para peneliti menyatakan bahwa suatu kombinasi dari factor-faktor yang relevan menentukan apa yang disebut sebagai kepribadian altruistik. Untuk memilah-milah komponen-komponen kepribadian altruistik, Bierhoff, Klein, dan Kramp (1991) memilih beberapa variable kepribadian yang sebelumnya telah ditemukan untuk memprediksi tingkah laku prososial dan kemudian menguji kekuatan prediktifnya dengan membandingkan orang-orang yang menolong pada situasi darurat di kehidupan nyata dengan orang-orang yang tidak menolong. Faktor disposisional yang menyusun kepribadian altruistik (altruistic personality) adalah sebagai berikut: 1. Empati. Seperti yang mungkin telah anda duga, mereka yang menolong ditemukan mempunyai empati lebih tinggi dari pada mereka yang tidak menolong. Partisipan yang paling altruistik menggambarkan diri mereka sebagai bertanggung jawab, bersosialisasi, menenangkan, toleran, memiliki self-control, dan termotivasi untuk membuat impresi yang baik. 2. mempercayai dunia yang adil. Orang yang menolong mempersepsikan dunia sebagai tempat yang adil dan percaya tingkah laku yang baik diberi imbalan dan tingkah laku yang buruk diberi hukuman. Kepercayaan ini mengarah pada kesimpulan bahwa menolong orang yang membutuhkan adalah hal yang tepat untuk dilakukan dan adanya pengharapan bahwa orang yang menolong akan mendapat keuntungan dari melakukan sesuatu yang baik. 3. tanggung jawab sosial. Mereka yang paling menolong mengekspresikan kepercayaan bahwa setiap orang bertanggung jawab untuk melakukan yang terbaik untuk menolong orang yang menolong. 4. locus of control internal. Ini merupakan kepercayaan individual bahwa dia dapat memilih untuk bertingkah laku dalam cara yang memaksimalkan hasil akhir yang baik dan meminimalkan yang buruk. Mereka yang menolong memiliki locus of control internal yang tinggi. Mereka yang tidak menolong, sebaliknya, cenderung memiliki locus of control eksternal dan percaya bahwa apa yang mereka lakukan tidak relevan, karena apa yang terjadi diatur oleh keuntungan, takdir, orang-orang yang berkuasa, dan faktor-faktor tidak terkontrol lainnya. 5. egosentrisme rendah. Mereka yang tidak menolong tidak bermaksud untuk menjadi egosentris, self-absorbed, dan kompetitif. ( Sobur, 2003: 117) Lima karekteristik kepribadian ini ditemukan di antara orang-orang di eropa yang secara aktif di tahun 1940-an menyelamatkan yahudi dari pembunuhan Nazi (Oliner & Oliner, 1998) Penjelasan Teoritis Untuk Tingkah Laku Altruisme Hipotesis empati altruisme mengapa terjadi Motivasi untuk Alasan menolong & %' $ "# $% &%# % % # $ % Cialdini dan kolega-koleganya (1997) menyetujui bahwa empati menimbulkan perilaku altruistik tetapi berpendapat bahwa ini hanya terjadi ketika partisipan mempersepsikan suatu tumpang tindih antara self dengan orang lain.jika orang lain mempunyai tumpang tindih dengan dirinya maka sebagai akibatnya, hal ini menjadi bagian dari self-concept, di mana partisipan yang membantu sebenarnya sedang menolong dirinya sendiri. Peniliti-peniliti ini menunjukan bukti bahwa tanpa adanya perasaan ini, perasaan empati tidak meningkatkan pertolongan. Batson dan kolega-koleganya (1997) merespons dengan bukti tambahan yang mengindikasikan bahwa persepsi tumpang tindih (overlapping) tidaklah perlu, empati mengarah kepada pertolongan bahkan ketika tidak ada perasaan satu (oneness) 2.4 Semiotika Semiotika adalah ilmu tanda, telah dibahas sejak Ferdinand de Saussure yang menyebutnya semiologie. Semiotika kemudia berkembang dan diterapkan dalam berbagai pengkajian ketika segala hasil kebudayaan manusia dianggap sebagai teks : dari teks tertulis sampai bangunan, dari upacara sampai sinema. Pengertian tanda mempunyai sejarah yang panjang yang bermula dalam tulisan-tulisan Yunani Kuno. Namun, yang sekarang berpengaruh adalah para ilmuwan yang menulis dalam abad ke -19, dan pengaruh itu pun baru dirasakan pada pertengahan abad ke-20 ini. Untuk teori tanda, terdapat dua istilah, yaitu semiologi dan semiotik yang sebenarnya mengacu pada hal yang sama. Secara etimologis, istilah semiotik berasal dari kata Yunani semeion yang berarti “tanda”. Tanda itu sendiri didefinisikan sebagai sesuatu yang atas dasar konvensi sosial yang terbangun sebelumnya, dapat dianggap mewakili sesuatu yang lain (Eco dalam Sobur. 2002:95). Istilah semeion nampaknya diturunkan dari kedokteran hipokratik atau asklepiadik dengan perhatiannya pada simtomatologi dan diagnostik inferensial (Sinha dalam Kurniawan dalam Sobur. 2002 : 95). Perbedaan istilah itu menunjukan perbedaan orientasi. Semiologi mengacu pada tradisi Eropa yang bermula pada Ferdinand de Saussure (1857-1913), sedangkan Semiotik mengacu pada tradisi Amerika yang bermula pada Charles Sanders Pierce (1839-1914). Penerus Saussure yang berpengaruh antara lian adalah Louis Hjemslev (1899-1965), sedangkan penerus Pierce adalah antara lian Charles Morris (1901-1979). Dengan Roman Jakobson (1896-1982) kita berhadapan dengan seorang pakar yang berpengaruh pada perkembangan linguistik, sosiolinguistik, antroplogi, dan semiotik itu sendiri dengan model komunikasinya. Disamping tokoh-tokoh tersebut, perlu disebutkan pula dua tokoh yang berpengaruh pada perkembangan teori semiotika, yaitu Roland Barthes (1915-1980) dan Umberto Eco (1932-….). Menurut Masinambow dalam pengantar kumpulan makalah seminar semiotik, perbedaan pokok antara Saussure dan Pierce adalah dalam hal peranan yang diberikan kepada realitas. Untuk Saussure sekali realitas berdampak pada batin (mind), atau pikiran, selanjutnya eksistensinya berlanjut terlepas dari realitas itu yang pada gilirannya berpengaruh pada persepsi dari realitas itu. Untuk Pierce, realitas itu berada diluar batin, dan merupakan dua hal yang saling berpisah. Dengan Morris yang memberikan warna behavioristik pada teori Pierce, realitas eksternal diberikan pengaruh yang dominan, artinya tidak ada dualisme antara yang eksternal dan yang internal. Proses yang tampak eksternal tidak berbeda dari yang terjadi secara internal. (Semiotik Kumpulan Makalah Seminar. 2000:12). Dilihat dari sudut orientasi akademis, Pierce mengembangkan sistemnya dalam kerangka filsafat, sedangkan Saussure dalam kerangka linguistik. Oleh karena itu, sistem semiotik yang dikembangkan Pierce secara terperinci mempersoalkan sifat dan hakikat tanda (sign) dalam kaitan dengan keseluruhan realitas sebagai permasalahan teori pengetahuan atau epistimologi. Saussure memusatkan perhatian pada pertalian antar tanda dan pertalian itu dianggapnya unsur pembentuk makna. Tanda untuk semiotik adalah sesuatu yang mengacu atau menggantikan sesuatu yang lain, dan “yang sesuatu” itu secara potensial mencakupi semua unsur dari realitas. Memang semiotika selalu identik dengan perbedaan antara pola pikir kedua tokoh ini. Namun perbedaan yang muncul tidak seharusnya menjadi hal yang membuat perseteruan. Saussure dan Pierce justru sebenarnya memperlihatkan suatu yang saling mengisi dan melengkapi. Saussure yang lalu identik dengan semiotika signifikasi (Semiotics of Signification) dan Pierce yang diidentikan dengan semiotika komunikasi (Semiotics of Communication). Semiotika signifikasi yang berakar pada pemikiran linguistik Saussure, meskipun lebih menaruh perhatian pada tanda sebagai suatu sistem dan struktur, akan tetapi tidak berarti mengabaikan penggunaan tanda secara konkret oleh individu-individu di dalam konteks sosial. Semiotika komunikasi yang mempunyai jejaknya pada pemikiran Pierce, meskipun menekankan ‘produksi tanda’ secara sosial dan proses interpretasi yang tanpa akhir (semiosis), akan tetapi tidak berarti mengabaikan sistem tanda. Kedua semiotika justru hidup dalam relasi saling mendinamisasi. Apa yang secara epistimologis disebut “semiotika signifikasi”, pada prinsipnya adalah semiotika pada tingkat langue (analisis bahasa sebagai sebuah sistem), sementara “semiotika komunikasi”, adalah semiotika pada tingkat parole (bahasa sebagaimana ia digunakan secara nyata oleh individu-individu dalam berkomunikasi secara sosial). Van Zoest dalam Sobur mengatakan bahwa manusia adalah homo semioticus. Namun, meskipun dalam semiotika manusia disebut sebagai homo semioticus Erns Cassirer dan Susanne Langer dalam kepustakaan filsafat, manusia disebut animal simbolicum (Sobur. 2003 : 14). Tanda-tanda (signs) adalah basis dari seluruh komunikasi (Littlejohn, 1996 : 64). Manusia dengan perantaraan tanda-tanda, dapat melakukan komunikasi dengan sesamanya. Banyak hal bisa dikomunikasikan di dunia ini. Semiotika adalah suatu ilmu atau metode analisis untuk mengkaji tanda. Tanda-tanda adalah perangkat yang kita pakai dalam upaya berusaha mencari jalan di dunia, di tengah-tengah manusia dan bersama-sama manusia. Semiotika pada dasarnya hendak mempelajari bagaimana kemanusiaan (humanity) memaknai hal-hal (things). Memaknai (to sinify) dalam hal ini tidak dapat dicampuradukan dengan mengkomunikasikan (to communicate). Pengggunann metode semiotika dalam berbagai penelitian terkait, harus didasrkan pada pemahaman yang komprehensif mengenai elemen-elemen dasar semiotika. Elemen-elemen itu adalah : • Komponen Tanda (Penanda/Petanda). • Aksis Tanda (Sintagma/Sistem). • Tingkatan Tanda (Denotasi/Konotasi). • Relasi Antar Tanda (Metapora/Metonimi). 2.4.1 Semiologi Roland Barthes Menurut Yasraf Piliang dalam wawancara dengan penulis, Roland Barthes dikenal sebagai salah seorang pemikir yang hidup di dua era yaitu strukturalis dan post-strukturalis yang sangat giat mempraktikan model linguistik dan semiologi Saussurean. Ia juga intelektual dan kritikus sastra Perancis yang ternama. Barthes berpendapat bahasa adalah sebuah sistem tanda yang mencerminkan asumsiasumsi dari suatu masyarakat tertentu dalam waktu tertentu. Roland Barthes lahir pada tahun 1915. Ia adalah seorang pengikut Marxian dan Sartrean. Barthes telah banyak menulis buku, yang beberapa diantaranya telah menjadi rujukan penting untuk studi semiotika di Indonesia termasuk penelitian ini yaitu buku Mitologi yang merupakan terjemahan dari buku Barthes yang menjadi sorotan yaitu Mythologies (1957). Bagi Barthes, tanda bersifat polisemis. Makna yang dimiliki oleh tanda bersifat potensial. Oleh karena itu makna tanda memerlukan keterlibatan aktif para pembaca dan kompetensi budaya yang mereka hadirkan di dalam citra teks agar secara temporer ’menetapkan’ makna suatu tanda untuk jadi tujuan tertentu. Jadi interpretasi tanda/teks tergantung kepada kapasitas dan budaya pembaca dan pengetahuan mereka tentang kode-kode sosial. Oleh karena itu tanda dapat ditafsirkan dengan berbagai cara. Tanda tidak pernah memiliki makna yang tetap dan stabil. Di sisi lain ketika makna dinaturalisasikan dan diterima umum sebagai sesuatu yangsudah final dan dianggap sebagai sesuatu yang normal dan alami, maka ia berubah menjadi mitos, menjadi bersifat hegemonik. Ia berubah menjadi peta makna konseptual yang mengarahkan untuk memahami dunianya. Salah satu area penting yang dirambah Barthes dalam studinya tentang tanda adalah peran pembaca ( the reader). Konotasi, walaupun merupakan sifat asli tanda, membutuhkan keaktifan pembaca agar dapat berfungsi. Barthes secara panjang lebar mengulas apa yang sering disebut dengan sistem pemaknaan tataran ke-dua, yang dibangun diatas sistem lain yang telah ada sebelumnya. Sistem kedua ini oleh Barthes disebut dengan konotatif, yang didalam buku Mitologi-nya secara tegas ia bedakandari denotatif atau sistem pemaknaan tataran pertama. Dalam konsep Barthes, tanda konotatif tidak sekadar memiliki makna tambahan namun juga mengandung kedua bagian tanda denotatif yang melandasi keberadaannya. Sesungguhnya, inilah sumbangan Barthes yang sangat berharga bagi penyempurnaan semiologi Saussure, yang berhenti pada tataran denotatif. Dapat dikatakan bahwa dalam tingkat Konotasi yang bisa berupa mitos terdapat dua sistem semiologis, di mana salah satu dari dua sistem tersebut disusun berdasarkan keterpautannya dengan yang lain : sistem linguistik, bahasa (atau cara representasi yang diasimilasikan ke dalamnya) atau yang Barthes bilang sebagai bahasa-objek, sebab ia adalah bahasa yang menjadi sandaran mitos dalam membentuk sistemnya sendiri; dan mitos itu sendiri, juga dapat disebut dengan istilah metabahasa, karena ia adalah bahasa kedua, dimana orang berbicara tentang yang pertama. 2.4.2 Semiotika Sinematografi Saussure dan Pierce boleh dikatakan sebagai Bapak Semiotika Strukturalis, dan walaupun ada banyak usaha di luar pemikiran kontinental tentang semiotika film, tidak dapat dilupakan adanya tokoh lain yang pantas menyandang gelar sebagai figur utama dalam semiotika yang mengkhususkan diri untuk sinematografi, ia adalah Christian Metz dari Ecole des Hautes Etudes et Science Sociales (EHESS) Paris. Berangkat dari pendekatan Metz tentang “Teori Film” (“Theorie du Film”), sumbangan Metz pada teori film adalah usaha untuk menggunakan , baik peralatan konseptual linguistik struktural untuk meninjau kembali teori film yang sudah ada yang membawa kita pada semilogi klasik. Dengan kata lain, semiologi Metz lebih “cermat” daripada teori/analisis film sebelum dia ini tidaklah berangkat dari yang baru sama sekali. Yang membedakan Metz dan Saussure adalah penempatan Langue dalam sinematografi. Saussure secara umum menonjolkan identifikasi signifikasi pada tingkat Langue (bahasa manusia biasa dalam bentuk sistem), sedangkan Metz mencoba menempatkan sinema dapat dikelompokan dalam langage (bahasa pada tingkat umum : bahasa binatang, tanda lalu lintas, dll.). itu semua dikarenakan karena sinema tidak memiliki padanan “artikulasi ganda” (double articulation). Di dalam sinematografi Metz berkesimpulan bahwa sebuah shot lebih dekat dengan kalimat daripada kata. Dia memberi contoh seseorang yang berjalan di jalanan, hal yang sepadan dengan kalimat : seseorang berjalan di jalanan, suatu padanan yang dijelaskan sebagai suatu yang aproksimatif saja (Masak dalam Kumpulan Seminar Semiotik. 2000 : 282). Berbeda dengan permasalahan tanda bahasa dimana hubungan bersifat semena antara tanda dan benda, penanda sinematografis memiliki hubungan penanda dengan alam yang dirujuk. Petanda sinematografis selalu kurang lebih, kata Metz, “beralasan” dan tidak pernah sama. Hubungan motivasi itu berada baik pada tingkat denotatif maupun konotatif. Hubungan denotatif yang beralasan itu lazim disebut analogi, karena memiliki persamaan perseptif/auditf antara penanda/petanda dan rujukan. Metz menggarisbawahi bahwa konotasi sinematografis pada hematnya bersifat simbolis : petanda memotivisir penanda, tetapi melampauinya. Dalam salah satu penelitian permulaan mengenai gejala film yang berorientasikan semiotika, yaitu dalam disertasi J.M. Peters De taal van de film (1950), sudah disinggung sebagai berikut : ”Kita hampir dapat mengatakan bahwa semua penelitian kita telah menjadi suatu teori mengenai tanda ikonis.(van Zoest dalam Sobur. 2003 : 128)”. Sebetulnya, tanda-tanda film itu melakukan sesuatu yang tidak jauh berbeda dengan roman atau novel. Film tersebut menyajikan ”teks” fiksional yang memunculkan dunia (fiktif global) yang mungkin ada. Jika kita hendak menganalisis penyusunan struktur dan aktivitas semiotika film-film ini, menurut van Zoest, konsep-konsepnya dapat kita pinjam dari teori bercerita dan berkisah yang berorientasikan semiotika. Hal ini memang juga terjadi, antara lain dalam analisis yang dilakukan Christian Metz dan, dalam bahasa Belanda, J.M. Peters yang dalam hal ini, telah membela kepentingan studi film. Film menuturkan ceritanya dengan cara khususnya sendiri. Kekhususan film adalah mediumnya, cara pembuatannya dengan kamera dan pertunjukannya dengan proyektor dan layar. Van Zoest mengatakan : ”Semiotika film untuk membuktikan hak keberadaannya-yang dalam halhal penting perilaku anti-sosial dari sintaksis dan semantik teks dalam arti harfiah- harus memberikan perhatian khusus pada kekhususan tersebut.” (Sobur. 2003 : 128). Film juga sebetulnya tidak jauh beda dengan televisi. Namun, film dan televisi memiliki bahasanya sendiri dengan sintaksis dan tata bahasa yang berbeda. Tata bahasa itu terdiri atas semacam unsur yang akrab, seperti pemotongan (cut), pemotretan jarak dekat (close-up), pemotretan dua (two shot), pemotretan jarak jauh (long shot), pembesaran gambar (zoom in), memudar (fade), pelarutan (dissolve), gerakan lambat (slow motion), gerakan yang dipercepat (speeded-up), efek khusus (special effect). Namun, bahasa tersebut juga mencakup kode-kode representasi yang lebih halus, yang tercakup dalam kompleksitas dari penggambaran visual yang harfiah hingga simbol-simbol yang paling abstrak dan arbitrer serta metafora. Begitulah, sebuah film pada dasarnya bisa melibatkan bentuk-bentuk simbol visual dan linguistik untuk mengodekan pesan yang sedang disampaikan. Pada tataran gambar bergerak, kode-kode gambar dapat diinternalisasikan sebagai bentuk representasi mental. Metz juga mendukung stigma tentang sinema bukanlah “kopi realitas”, melainkan kumpulan sistem tanda audio-visual, konsep yang tentunya memberikan kemungkinan kepada kita untuk menata pemahaman yang lebih ilmiah tentang seluruh fenomena estetika film. Dalam tulisan awal Metz : Cinema : Langue ou Langage, menegaskan bahwa sebuah film bagi penontonnya hanyalah “ilusi realitas” yang mungkin lebih tepat disebut “impresi tentang realitas”. (Masak. 2000 : 285). Menurut Metz, yang selalu sangat diutamakan adalah isi tiap “motif” yang difilmkan (dalam oposisi dengan shot sebagai hasil shooting). Seni mulai pada tingkat ini, yang berlangsung terus pada tingkat sekuen dan berbagai shot yang diatur. Pada saat inilah langage sinematografis dimulai. Mengenai bahasa sinematografi, Metz menunjukan bahwa hal itu mempunyai hubungan dialetik dengan gaya. Para sineas, seperti para sastrawan yang membuat ecriture (tulisan), bukanlah ciri utama bahasa sinematografis dan di dalamnya terdapat pula hubungan interpretasi fungsional. Metz mendefinisikan ecriture yang beradsa pada tingkat film sebagai “kumpulan berbagai sistem tekstual”, sedangkan bahasa sinematografis sebagai “kumpulan kode dan subkode sinematografis”. Dengan demikian, hubungan antara ecriture dan bahasa sinematografis dapat dirumuskan sebagai berikut : ecriture dalam arti metamorfisis dan modern, hal yang berada pada tingkat film (bukan sinema) adalah pengolahan bahasa sinematografis yang berupa kode dan sub-kode. Dengan kata lain, ecriture adalah pengolahan kode-kode dalam konstruksi kumpulan sistem tekstual. Kode atau subkode sinematografis berhubungan umpamanya dengan gerakan kamera : travelling, pan, pano-travelling, tilt, zoom in/zoom out, dan lain-lain, tanpa melupakan kode lainnya yang agak sinematografis seperti kode analogi visual dan kode fotografis pada hirearki frame : long shoot, medium shot, close up shoot, extreme close up shot, dan lain-lain. Seluruh teori Metz diatas bukanlah yang paling sempurna, hal ini dapat dibuktikan dengan banyaknya kritik tentang semiologi sinematografi Metz, yang akhirnya mampu mebuat kita sadar bahwa untuk mencapai pematangan teori film, semakin dibutuhkan sumbangan penelitian interdisipliner, bukan hanya linguistik dan psikoanalisis seperti yang ditawarkan Metz, tetapi juga filsafat, sosiologi, antropologi, ekonomi, dan lain-lain. Kelemahan Metz pada ketiadaan pendekatan sosiologis pada kegiatan produksi penanda, yang membawa kita kembali pada konsep Saussure tentang semiotika : “ilmu yang mempelajari kehidupan tandatanda di dalam kehidupan sosial” (Sobur, 2003 : 7). BAB III METODE DAN OBJEK PENELITIAN 3.1. Metodologi Penelitian 3.1.1 Analisis Semiotika Secara etimologis, istilah semiotika berasal dari kata semeion yang berarti ‘tanda’. Sementara tanda itu sendiri berarti sesuatu yang atas dasar konvensi sosial yang terbangun sebelumnya dianggap mewakili sesuatu yang lain (Eco, 1979:16 dalam Sobur 2002:95). Secara terminologis, semiotik dapat didefinisikan sebagai ilmu yang mempelajari sederetan luas objek-objek, peristiwa-peristiwa, seluruh kebudayaan sebagai tanda (Eco, 1979:6 dalam Sobur, 2002:95). Santosa (1993:3 dalam Sobur 2002:96) menyatakan bahwa semiotik adalah ilmu yang secara sistematis mempelajari tanda-tanda dan lambanglambang, sistem-sistemnya dan proses perlambangan. Batasan yang lebih jelas dikemukakan oleh Preminger, yang mengatakan: “Semiotik adalah ilmu tentang tanda-tanda. Ilmu ini menganggap bahwa fenomena sosial/masyarakat dan kebudayaan itu merupakan tanda-tanda. Semiotik itu mempelajari sistem-sistem, aturan-aturan, konvensi-konvensi yang memungkinkan tanda-tanda tersebut mempunyai arti” (Sobur, 2002:96) Selain istilah semiotika, juga ada yang disebut dengan semiologi yang pada dasarnya hampir mirip. Menurut Saussure semiologi ialah sebuah ilmu umum tentang tanda, “suatu ilmu yang mengkaji kehidupan tanda-tanda di dalam masyarakat” (Budiman, 2004:3) Baik istilah semiotika maupun semiologi dapat digunakan untuk merujuk kepada ilmu tentang tanda-tanda tanpa ada perbedaan pengertian yang terlalu tajam. Perbedaan diantara keduanya hanyalah istilah semiologi lebih banyak dipakai di Eropa, sedangkan semiotika digunakan oleh para penutur bahasa inggris. Sampai sekarang ini, bidang-bidang studi semiotika sangatlah beragam, mulai dari komunikasi hewani sampai dengan analisis atas sistem-sistem pemaknaan seperti komunikasi tubuh. Dengan demikian, ruang lingkup studi semiotika sangatlah luas sehingga mungkin akan menimbulkan kesan sebagai suatu ilmu dengan, meminjam istilah Umberto eco (1979:6), ‘imperialisme’ yang arogan. (Budiman, 2004:4) Menurut Charles Morris, semiotika pada dasarnya dapat dibedakan ke dalam tiga cabang penyelidikan (branches of inquiry), yakni sintaktik, semantik, dan pragmatik. 1. 2. Sintaktik (syntactics): suatu cabang penyelidikan semiotika yang mengkaji hubungan formal diantara satu tanda dengan tanda-tanda yang lain”. Dengan kata lain, karena hubungan-hubungan formal ini merupakan kaidah-kaidah yang mengandalikan tuturan dan interpretasi, pengertian sintaktik kurang lebih adalah semacam ‘gramatika’. Semantik (semantics): suatu cabang penyelidikan semiotika yang mempelajari “hubungan diantara tanda-tanda dengan designata atau objek-objek yang diacunya”. Bagi Morris, yang dimaksudkan dengan designata ialah makna tanda-tanda sebelum digunakan dalam tuturan tertentu. Pragmatik (pragmatics): suatu cabang penyelidikan semiotika yang mempelajari “hubungan diantara tanda-tanda dengan interpreterinterpreter atau para pemakainya”. Pragmatik secara khusus berurusan dengan aspek-aspek komunikasi, khususnya fungsi-fungsi situasional yang melatari tuturan. (Budiman, 2004:5) 3. Sintaktik Semantik Pragmatik Sifat Penelitian tentang struktur tanda Penelitian makna tanda Penelitian mengenai efek tanda Elemen Penanda/petanda Struktural Reception Sintagma/sistem Kontekstual Exchange Konotasi/denotasi Denotasi Discourse Metafora/metonimi Konotasi Efek (psikologi, ekonomi, sosial, gaya hidup) (ideologi/mitos) Dalam penggunaan metoda semiotika harus didasarkan pada pemahaman yang komperehensif mengenai elemen-elemen dasar semiotika, yaitu komponen tanda (penanda/petanda), aksis tanda (sintagma/sistem), tingkatan tanda (denotasi/konotasi), serta relasi tanda (metafora/metonimi) 3.1.2. Komponen Tanda Dalam konteks semiotik ada hal yang paling penting menurut pemikiran Ferdinand de Saussure, yaitu mengenai tanda. Saussure meletakkan tanda dalam konteks komunikasi manusia dengan melakukan pemilahan antara apa yang disebut signifier (penanda) dan signified (petanda). Saussure menyebut signifier sebagai bunyi atau coretan yang bermakna, sedangkan signified adalah gambaran mental atau konsep sesuatu dari signifier. Hubungan antara keberadaan fisik tanda dan konsep mental tersebut dinamakan signification. Dengan kata lain signification adalah upaya dalam memberi makna terhadap dunia (Fiske, 1990:44 dalam Sobur, 2001:125). Saussure menggambarkan tanda yang terdiri atas signifier dan signified itu sebagai berikut: Gambar 1. Elemen-elemen Makna Saussure Signs composed of signification signifier plus reality signified (physical (mental existence concept) external of meaning of the sign) Sumber: John Fiske (1990:44 dalam Sobur, 2001:125) Pada dasarnya apa yang dimaksud dengan signifer dan signified adalah sebuah produk kultural. Hubungan antara keduanya bersifat arbitrer (manasuka) dan hanya berdasarkan konvensi (Sobur, 2001:125). Jadi dengan kata lain hubungan antara signifer dan signified tidak dapat dijelaskan melalui penalaran, hanya dapat dijelaskan berdasarkan nilai-nilai atau kaidah-kaidah yang hidup di lingkungan sekitarnya. 3.1.3. Aksis Tanda Di dalam strukturalisme bahasa, tanda tidak dapat dilihat hanya secara individu, akan tetapi dalam relasi dan kombinasinya dengan tanda-tanda yang lain dalam sebuah sistem. Menurut Saussure (Piliang, 2003:259) aturan pengkombinasian ini terdiri dari dua aksis yaitu aksis paradigma dan aksis sintagma. Paradigma adalah satu perangkat tanda (kamus, perbendaharaan kata) yang melaluinya pilihan-pilihan dibuat, dan hanya satu unit dari pilihan tersebut yang dapat dipilih. Sedangkan yang dimaksud dengan sintagma ialah kombinasi tanda dengan tanda lainnya dari perangkat yang ada berdasarkan aturan tertentu, sehingga menghasilkan ungkapan bermakna. Berdasarkan aksis bahasa yang dikembangkan oleh Saussure, Roland Barthes mengembangkan sebuah model relasi antara apa yang disebut sistem, yaitu perbendaharaan tanda (kata, visual, gambar, benda) dan sintagma yaitu cara pengkombinasian tanda berdasarkan aturan main tertentu. 3.1.4. Tingkatan Tanda Roland Barthes mengembangkan dua tingkatan pertandaan, yang memungkinkan dihasilkannya makna yang juga bertingkat-tingkat, yaitu tingkat denotasi dan konotasi. (Piliang, 2003:261) Denotasi adalah tingkat pertandaan yang memiliki makna yang eksplisit, langsung dan pasti. Denotasi adalah tanda yang penandanya mempunyai tingkat konvensi atau kesepakatan yang tinggi. Sedangkan konotasi ialah tingkat pertandaan yang mempunyai makna tidak eksplisit, tidak langsung dan tidak pasti (terbuka terhadap berbagai kemungkinan). Ia membentuk makna-makna lapis kedua ketika dikaitkan dengan perasaan atau emosi seseorang. Barthes juga melihat makna yang lebih dalam lagi tingkatannya tetapi lebih bersifat konvensional yaitu mitos. 3.1.5. Relasi Antar Tanda Bentuk interaksi diantara tanda-tanda ini sangat terbuka luas, tetapi ada dua bentuk interaksi utama yang dikenal, yaitu metafora dan metonimi. (piliang, 2003:262) Metafora adalah sebuah model interaksi tanda yang di dalamnya sebuah tanda dari sebuah sistem digunakan untuk menjelaskan sebuah sistem lainnya (Piliang, 2003:262). Misalnya penggunaan kata kepala batu untuk menjelaskan seseorang yang sulit untuk diubah pikirannya. Metonimi adalah interaksi tanda yang di dalamnya sebuah tanda diasosiasikan dengan tanda lain, yang di dalamnya terdapat hubungan bagian dengan keseluruhan (Piliang, 2003:262). Misalnya tanda botol (bagian) untuk mewakili pemabuk (total). Relasi metafora ini banyak digunakan untuk menjelaskan makna-makna secara tidak langsung. 3.2 Semiologi Roland Barthes Roland Barthes merupakan salah seorang pemikir strukturalis yang aktif mempraktekkan model linguistik Saussurean dan semiologinya. Roland Barthes dilahirkan pada tahun 1915 dari keluarga kelas menengah di Cherbourg dan di besarkan di Bayonne, sebuah kota kecil di dekat pantai Atlantik sebelah barat daya Perancis dan Paris. Ia telah ditinggalkan ayahnya yang gugur dalam tugas saat usianya baru mencapai satu tahun. Pendekatan semiotik Roland Barthes tertuju kepada suatu suatu tataran signifikasi yang disebut dengan signifikasi dua tahap (two order signification) Denotasi merupakan signifikasi tahap pertama yang merupakan makna paling nyata dari tanda. Sedangkan konotasi ialah signifikasi tahap kedua dimana makna yang terbentuk dikaitkan dengan perasaan, emosi atau keyakinan. Misalnya, tanda bunga mengkonotasikan kasih sayang. Pada signifikasi tahap kedua yang berhubungan dengan isi, tanda bekerja melalui mitos (myth). Mitos adalah bagaimana kebudayaan menjelaskan atau memahami beberapa aspek tentang realitas atau gejala alam. Mitos merupakan produk kelas sosial yang sudah mempunyai suatu dominasi. Mitos primitif misalnya, mengenai hidup dan mati, manusia dan dewa dan sebagainya. Sedangkan mitos masa kini misalnya mengenai femininitas, maskulinitas, ilmu pengetahuan dan kesuksesan (Fiske, 1990:88 dalam Sobur, 2001:128). 1.3 Objek Penelitian 1.3.1 Merantau Film Merantau Films adalah sebuah rumah produksi di Jakarta, Indonesia, yang berkecimpung pada produksi feature film bergenre action untuk audience internasional dan domestik. Dilahirkan pada tahun 2008, filosofi Merantau Films adalah membuat setiap produksinya dengan baik dan sungguh-sungguh dari awal sampai rampung dan release untuk dunia. PT. Merantau Films diawali oleh filmmaker Inggris Gareth Evans, sutradara feature film Footsteps (2006), dokumentari “Land of Moving Shadows; Pencak Silat” untuk Christine Hakim Films dan feature film perdana Merantau (2009) Director Rangga Maya Barrack-Evans adalah Production Manager pada dokumenter silat di tahun 2006, Managing Director pada taman bermain Doraemon Dreamland pada hari ulang tahun 50 tahun hubungan baik antara negara Jepang dan Indonesia pada tahun 2008, dan sebagai Executive Producer film Merantau pada tahun 2009. Dari pengalaman mengerjakan dokumenter silat bersama, mereka bertujuan untuk memproduksi beberapa feature film yang didedikasikan untuk memperlihatkan bakat para pesilat dan berharap dapat mempromosikan seni bela diri tradisional Indonesia tersebut. Selain itu juga menciptakan dan menjaga minat pada tradisi Indonesia untuk semua generasi dunia yang menjadi audience feature film. Telah berpengalaman pada berbagai iklan televisi Indonesia dan luar negri sebagai Producer dan Co-Director, juga sebagai Technical Operations dan Studio Manager untuk MTV Indonesia, Producer Ario Sagantoro disegani oleh banyak network talent-talent artist dan crew. Dalam naungan MNC Pictures pada tahun 2008, beliau memproduksi berbagai film televisi dan televisi seri untuk RCTI dan film televisi Indonesia Movie Track untuk Global TV. Di tahun 2009, Merantau menandai feature film perdananya. 1.3.2 Komponen Produksi Film Merantau 1. Sutradara (Gareth Evans) Pria kelahiaran Wales, 06 April 1980 mempunyai pengalaman mengerjakan dokumenter silat bersama (MayaBarack Evans & Gareth Huw Evans) bertujuan untuk memproduksi beberapa feature film yang didedikasikan untuk memperlihatkan bakat para pesilat dan berharap dapat mempromosikan seni bela diri tradisional Indonesia tersebut. Selain itu juga menciptakan dan menjaga minat pada tradisi Indonesia untuk semua generasi dunia yang menjadi audience feature film. 2. Producer Ario Sagantoro Telah berpengalaman pada berbagai iklan televisi Indonesia dan luar negri sebagai Producer dan Co-Director, juga sebagai Technical Operations dan Studio Manager untuk MTV Indonesia, Producer Ario Sagantoro disegani oleh banyak network talent-talent artist dan crew. Dalam naungan MNC Pictures pada tahun 2008, beliau memproduksi berbagai film televisi dan televisi seri untuk RCTI dan film televisi Indonesia Movie Track untuk Global TV. Di tahun 2009, Merantau menandai feature film perdananya. 3. Crew • Penulis cerita : Gareth Huw Evans • Penata Fotografi: Matt Flannery & Dimas Imam Subhono • Penata desain suara: Satrio Budiono • Penata artistik: Tommy D Setianto • Penyunting gambar: Gareth Huw Evans • Ilustrasi musik : Fajar Yuskemal & Aria Prayogi • Producer pelaksana: Ario sagantoro • Koordinator produksi 1 & 2: Yuli Budi Santoso & Johanes Rymba • Asisten produksi: Intan Melvina • Asisten sutradara: Yudhianto Purwana • Cameramen: Matt Flannery & Dimas Imam Subhono • Asisten penata kamera: Arnand Pratikto & Wahyudi fourestig • Asisten penata cahaya: Hartono • Penata suara: Suhadi • Penata kostum: Sutomo TS & Endy Nayangga • Penata Rias: • Fotografer: Panji Laksmana • Casting director: Dimas Wibisono & Aji Muslim • Koordinator pasca produksi: Nanung Nugroho 1.3.3 Sinopsis Film Film Persilatan Indonesia kembali bangkit dengan gebrakan koreografi yang sangat mengagumkan. Sungguh diluar dugaan saya bilamana meremehkan perfilman indonesia mengenai dunia persilatan. Karena selama saya menonton film indonesia yang berbau action, biasanya kurang menegangkan dalam adegan berantem, efek yang kurang dan minimnya teknik beladiri yang di tampilkan. Tapi di Film Merantau memiliki nuansa berbeda. Rentetan action yang sampai sekarang belum pernah di sajikan di layar lebar indonesia kini tlah hadir. Film Merantau ini dimulai dengan Adat istiadat Minangkabau, propinsi Sumatera Barat. Setiap anak laki – laki yang berasal dari Suku Minangkabau harus menjalankan tradisi untuk merantau di tempat lain untuk mencari jati diri sebagai pria sejati dan pengalaman hidup. Lakon utamanya adalah Yuda ( yg diperankan oleh Iko Uwais ) yang mana menguasai beladiri Silat Harimau dan bersiap – siap untuk memulai perantauan. Yuda meninggalkan keluarganya yaitu Ibu yang disayanginya bernama Wulan ( yang diperankan oleh Christine Hakim ) dan adiknya Yayan ( diperankan oleh Donny Alamsyah ). Tujuan utama yang dicari Yuda saat ini adalah Kota Jakarta. Setelah sampai di kota Jakarta, takdir mempertemukan Yuda dengan Adit yg mana seorang anak yatim piatu ( diperankan oleh Yusuf Aulia ) dan Astri ( diperankan oleh Sisca Jessica ). Saat itu Yuda sedang menelpon dan memergoki Astri sedang di siksa oleh segerombolan organisasi jual beli manusia. Organisasi itu dipimpin seseorang yang bernama Ratger ( diperankan oleh Mads Koudal ) dan seorang tangan kanan yang bernama Luc ( diperankan oleh Laurent Buson ). Saat itu Ratger berusaha keras mencari Astri yang hendak dijual, tetapi Astri berhasil di selamatkan oleh Yuda dengan mudahnya menghajar Johni ( Alex Abbad ). Astri, Adit dan Yuda dikejar – kejar oleh mucikari dan preman yang berusaha mengambil alih “barang” yang dimaksud. Setiap langkah yang diambil membuat Yuda harus berkelahi mati – matian untuk melarikan diri di tengah rimbanya kota Jakarta. Akhirnya karena merasa capek dengan semua itu, Yuda ingin merasakan kebebasan dan berusaha menolong Astri dan Adit dari tangan orang jahat, Yuda akhirnya membuat perhitungan dengan melawan mereka. semua adegan yang disajikan tidak akan membuat anda beranjak dari tempat duduk. Tetapi bagi yang tidak menyukai kekerasan harap menghindari film ini. Film Merantau ini merupakan garapan dari sang sutradara dan penulis Gareth Evans. Dan banyak dibintangi pemain – pemain baru yang tidak diragukan kualitas aktingnya yakni Iko Uwais, Sisca Jesica, Christine Hakim, Donny Alamsyah, Yusuf Aulia, Laurent Buson, Alex Abbad, dan Mads Koudal. 1.3.4 Proses Produksi Film Merantau Dimulai dengan Ide cerita (penulisan, translasi & adaptasi : January ’08 – Juni ’08 dilanjutkan Pre Produksi: Juni 2008 – November 2008 lalu Produksi : November 2, 2008 – Maret 7, 2009 Post Produksi & Promo: Maret 8 2009 – agustus 11 2009 Premier : Agustus 06 2009 FULLTEXT TIDAK BISA DITAMPILKAN SEMUA DIKARENAKAN UKURAN FILENYA BESAR