01 cover - Perpustakaan UNISBA

advertisement
PERINGATAN !!!
Bismillaahirrahmaanirraahiim
Assalamu’alaikum warahmatullaahi wabarakaatuh
1. Skripsi digital ini hanya digunakan sebagai bahan
referensi
2. Cantumkanlah sumber referensi secara lengkap bila
Anda mengutip dari Dokumen ini
3. Plagiarisme dalam bentuk apapun merupakan
pelanggaran keras terhadap etika moral penyusunan
karya ilmiah
4. Patuhilah etika penulisan karya ilmiah
Selamat membaca !!!
Wassalamu’alaikum warahmatullaahi wabarakaatuh
UPT PERPUSTAKAAN UNISBA
TANDA-TANDA ALTRUISME PERAN YUDA DALAM FILM
MERANTAU
(studi kualitatif dengan pendekatan semiotika roland barthes)
SKRIPSI
Diajukan untuk Menempuh Ujian Sarjana pada Fakultas Ilmu Komunikasi
Universitas Islam Bandung
Oleh :
RANDI YANWANDI
10080005329
BIDANG KAJIAN JURNALISTIK
FAKULTAS ILMU KOMUNIKASI
UNIVERSITAS ISLAM BANDUNG
2010
LEMBAR PENGESAHAN
TANDA-TANDA ALTRUISME PERAN YUDA DALAM FILM
MERANTAU
Studi Kualitatif dengan Pendekatan Semiotika Roland Barthes
SKRIPSI
Salah Satu Syarat Guna Memperoleh Gelar Sarjana Ilmu Komunikasi
Universitas Islam Bandung
Oleh :
RANDI YANWANDI
10080005329
Ilmu Jurnalistik
Menyetujui :
Pembimbing
Yenni Yuniati, Dra., M.Si.
Mengetahui :
Ketua Bidang Kajian Ilmu Jurnalistik
Ema Khotimah, Dra., S.Pd., M.Si.
ABSTRAK
Objek penelitiannya difokuskan pada adegan-adegan tokoh Yuda
(Iko Uwais) saat melakukan aktivitas altruisme. Data penelitian diperoleh
dari Film Merantau yang diproduksi oleh PT Merantau tahun 2009, disutradarai
oleh Gareth Evans melalui nara sumber Intan Melvina sebagai Administrative
Assistant
Dalam menganalisis representasi altruisme, digunakan model signifikasi
tanda dari Roland Barthes, yang mana menurut Barthes melalui proses signifikasi
terhadap suatu tanda, maka akan dapat memunculkan suatu makna dan makna
tersebut dapat berupa makna denotasi dan konotasi.
Teknik pengumpulan data yang dilakukan ialah dengan melakukan
pengamatan langsung secara cermat pada film ini, mengumpulkan data dari
berbagai literatur, buku, tulisan yang berkaitan dengan penelitian ini, serta
melakukan wawancara dengan orang yang berperan dalam pembuatan Film
Merantau dan film maker.
Berkaitan dengan penelitian yang penulis lakukan, formulasi
permasalahan penelitian adalah “Tanda-Tanda Altruisme Dalam Film Merantau”,
sedangkan tujuan penelitian adalah :
1. Untuk mengetahui makna denotatif pada film Merantau dalam tandatanda Altruisme.
2. Untuk mengetahui makna konotatif pada film Merantau dalam tandatanda Altruisme.
Metode penelitian yang digunakan penelitian kualitatif, dengan pendekatan
analisis semiotika. Teknik pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini
adalah wawancara, observasi dan kepustakaan mengenai Tanda-tanda Altruime
pada peran Yuda dalam film Merantau.
Hasil penelitian menunjukan terdapat delapan adegan yang
merepresentasikan altruisme. Dimana tokoh Yuda selalu menolong orang lain
tanpa meminta imbalan apapun dari orang yang ditolong tersebut, dan
mementingkan kepentingan orang lain ketimbang kepentingan dirinya sendiri,
juga siap berkorban demi kepentingan orang lain.
Dengan menganalisis menggunakan metode yang dipaparkan diatas, maka
kita dapat mengetahui adegan-adegan yang merepresentasikan altruisme pada film
Merantau sesuai dengan persepsi yang kita miliki. Tidak tertutup kemungkinan
adanya perbedaan persepsi antara pembuat film dengan khalayaknya. Hal tersebut
juga yang mengilhami penelitian ini dengan tujuan agar selanjutnya dalam
penyampaian pesan dalam bentuk apapun tidak hanya dalam sebuah film, makna
pesan dapat dipersepsikan secara seragam atau setidaknya mengurangi perbedaan
persepsi sehingga tujuan dari komunikasi tersebut dapat tercapai secara efektif
dan efisien.
i
KATA PENGANTAR
Alhamdu lillaahi rabbil’ aalamin penulis ucapkan manakala skripsi ini
akhirnya selesai dibuat. Puji dan syukur selalu penulis panjatkan pada Allah SWT
yang telah senantiasa memberikan rakhmat, hidayah, dan karunia yang tiada henti
kepada kita sekalian. Tak lupa shalawat serta salam penulis sampaikan kapada
Sang pembawa kebenaran dan juga telah menyelamatkan kita dari kegelapan,
Nabi Besar Muhammad SAW.
Skripsi ini penulis sajikan dengan segala ketulusan dan kerendahan hati
guna memenuhi syarat untuk memperoleh gelar sarjana di Fakultas Ilmu
Komunikasi Universitas Islam Bandung.
Pada proses penulisan skripsi ini, penulis menyadari dan tak jarang
menemukan beberapa hambatan dan kesulitan yang musti penulis hadapi. Namun
dengan segala kerendahan hati, penulis selalu mencoba untuk menganggap semua
itu adalah suatu cobaan yang harus dihadapi dan diselesaikan.
Penulis menyadari, tentunya skripsi ini masih banyak kekurangannya dan
sangat jauh dari sempurna. Karena segala kebenaran dan kesempurnaan itu hanya
milik Allah SWT, sedangkan penulis sebagai manusia adalah tempatnya khliaf
dan salah. Untuk itu penulis menerima dengan lapang dada segala saran dan kritik
yang bersifat membangun demi kesempurnaan makalah ini.
Akhirnya penulis berharap semoga skripsi ini dapat bermanfaat khususnya
bagi penulis dan bagi perkembangan ilmu komunikasi pada umumnya. Dalam
ii
proses penyelesaikan skripsi ini, telah banyak dukungan, bimbingan dan bantuan
yang penulis terima, sehingga segala hambatan dan kesulitan dapat teratasi, dari
sejak awal penulisan hingga akhirnya skripsi ini dapat terselesaikan. Kiranya tidak
ada ucapan yang lebih baik yang dapat penulis haturkan, kecuali rasa terima kasih
yang tulus kepada :
1. Yenni Yuniati, Dra, M.Si, selaku pembimbing, dengan kesabarannya
memberikan waktu untuk saya dan memberi petunjuk, masukan, kritik
serta saran-saran untuk membuat skripsi ini mendekati sempurna.
2. Bapak Dr, O.Hasbiansyah, Msi selaku Dekan Fikom Unisba yang telah
membantu untuk mempermudah melakukan perizinan dalam skripsi ini.
3. Dosen wali penulis Tia Muthiah Umar, S.Sos, Msi. Telah membantu
memberikan saran, dan mengambil mata kuliah sehingga penulis bisa
selesai pada waktunya.
4. Ema Khotimah Dra, S.Pd, M.Si sebagai Ketua Bidang kajian Jurnalistik
Fikom Unisba Yang juga telah membimbing penulis dalam menjalankan
kehidupan di Jurnalistik Unisba.
5. Dedeh Fardiah, Dra., M.Si, Septiawan Santana S.Sos Msi, Drs. Alex
Sobur, M.Si serta dosen-dosen Fikom Unisba lainnya yang telah
membantu dalam pendidikan di universitas ini.
6. Seluruh staf dan karyawan di Unisba yang selalu memberikan senyum di
hari-hari yang berat saat menggali ilmu di Unisba.
7. Intan Melvina sebagai Administrative Assistant film Merantau, , Bowie
Budianto, yang telah membantu dalam kelancaran penelitian ini, dan
ikhlas memberikan waktunya untuk membantu penelitian ini.
iii
8. Kedua Orang Tua kandungku Almarhum Papa Wawan Juandi dan Mama
Dewi Anggaraeni Terima Kasih Atas doa dan dorongan semangatnya.
9. kedua orang tuaku angkatku Papi Taufik, Mami Ratna, dan ketiga adiku
Ayu, Bayu dan Taufan. Terima kasih atas segala dukungan yang telah
diberikan, baik berupa bantuan moril, materil, motivasi, doa dan juga kasih
sayang sehingga Skripsi ini berhasil diselesaikan.
10. Kekasih Tersayang, Yani Sri Wahyuni, Terimakasih atas segala dukungan,
baik berupa saran juga kesabaran dalam membuat skripsi ini.
11. Untuk teman-teman seperjuangan penulis dari semester 1 yang pernah
tinggal di taman sari 53 kini hijrah ke taman sari 49 (nyebrang doank),
Gian, Beni, Angga, Badri, Harry, Uga, Nior, Iing, Yudi, Yoyo, Mas Bon,
Vino, double Iwan, double Yogi, Ipank serta teman-teman kelas G 2005
yang tidak mungkin penulis sebutkan satu persatu, terima kasih tuk kalian.
12. Untuk annisa (iris), Lala, Riva, Edu dan semua anak Jurnalistik 2005
terima kasih atas kontribusi selama masa perkuliahan.
13. Untuk Arjuna, Edwan, Heriz, Vina dan semua Keluarga Mahasiswa
Jurnalistik (KMJ) terima kasih telah berbagi pengalaman organisasi
selama di kampus, semoga KMJ selalu maju, Amien....
Penulis menyadari bahwa masih banyak kekurangan dalam penyusunan Skripsi
ini. Oleh karena itu, penulis memohon maaf dan juga pengertian atas segala
kesalahan atau kekeliruan yang tidak disengaja. Besar harapan penulis agar
laporan
ini dapat bermanfaat bagi para pembaca dan pihak-pihak lain yang
berhubungan dengan Skripsi ini.
Wassalamu’alaikum wr.wb
Randi Yanwandi
Penulis
iv
DAFTAR ISI
ABSTRAK ......................................................................................................
i
KATA PENGANTAR ....................................................................................
ii
DAFTAR ISI ...................................................................................................
v
BAB I PENDAHULUAN ...............................................................................
1
1.1 Latar Belakang ..............................................................................
1
1.2 Perumusan Masalah .....................................................................
5
1.3 Identifikasi Masalah .....................................................................
5
1.4 Tujuan Penelitian ..........................................................................
5
1.5 Alasan Pemilihan Masalah ............................................................
6
1.6 Kegunaan Penelitian .....................................................................
6
1.6.1 Kegunaan Teoritis ................................................................
6
1.6.2 Kegunaan Praktis .................................................................
7
1.7 Pembatasan Masalah ....................................................................
7
1.8 Kerangka Pemikiran .....................................................................
7
1.9 Metode Penelitian ...........................................................................
10
1.10 Teknik Pengumpulan Data ..........................................................
14
1.11 Langkah-langkah Penelitian ........................................................
14
1.12 Organisasi Karangan ....................................................................
15
BAB II TINJAUAN PUSTAKA ...................................................................
17
2.1 Komunikasi Massa .........................................................................
17
2.2 Konsep Perfilman ........................................................................................
20
2.2.1 Film Sebagai media Komunikasi Massa ......................................
22
2.2.1.1 Film Sebagai Komunikasi Massa .........................................
23
2.2.1.3 Teknik Pengambilan Gambar ..............................................
27
2.2.2 Sejarah Perfilman ..............................................................................
33
2.3 Altruisme .........................................................................................................
38
v
2.4 Semiotika ..........................................................................................................
45
2.4.1 Semiologi Roland Barthes ...............................................................
49
2.4.2 Semiotika Sinematografi .................................................................
51
BAB III METODE DAN OBJEK PENELITIAN .......................................
56
3.1 Metodologi Penelitian .................................................................................
56
3.1.1 Analisis Semiotika ..............................................................................
56
3.1.2 Kompenen Tanda ...............................................................................
58
3.1.3 Aksis Tanda ..........................................................................................
60
3.1.4 Tingkatan Tanda ................................................................................
61
3.1.5 Realasi Antar tanda ...............................................................
61
3.2 Semiologi Roland Barthes ........................................................................
62
3.3 Obyek Penelitian ............................................................................
63
3.3.1 Merantau Film......................................................................................
63
3.3.2 Komponen Produksi Film Merantau ..........................................
64
3.3.3 Sinopsis Film Film Merantau ........................................................
66
3.3.4 Proses Produksi Film Merantau ..................................................
68
BAB IV PEMBAHASAN ............................................................................
69
4.1 Analisis Representasi Altruisme pada Film Meratau ...................
69
BAB V KESIMPULAN DAN SARAN ....................................................................
93
5.1 Kesimpulan ......................................................................................................
93
5.2 Saran ..................................................................................................................
98
DAFTAR PUSTAKA
LAMPIRAN
vi
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Masalah
Di zaman globalisasi saat ini peranan komunikasi sangatlah penting,
hampir seluruh kegiatan manusia tidak dapat dipisahkan dari komunikasi, baik
itu komunikasi verbal maupun non verbal. Perkembangan komunikasi itu
sendiri dapat kita rasakan berkembang dengan begitu cepat dari waktu ke
waktu, ini semua disebabkan perangkat penunjang komunikasi terus
bermunculan. Sehingga proses komunikasi dapat berjalan lebih efektif dan
efesien.
Informasi yang bersumber dari manusia atau peristiwa dapat diproduksi
menjadi suatu karya artistik yang mengutamakan keindahaan. Informasi yang
ditayangkan pertelivisian di Indonesia kian memegang peranan yang amat
penting. Hal tersebut membuat akibat dari perkembangan satelit komunikasi
yang mampu memberi informasi secara luas dan cepat. Produk informasi yang
disajikan adalah informasi audiovisual gerak yang dapat diproduksi melalui
atau menggunakan CD, Kaset, Film dan Video.
Film dalam pengertian sempit adalah penyajian gambar lewat layar lebar,
tetapi dalam pengertian yang lebih luas bisa juga termasuk yang disiarkan di
TV. Pengemasan sebuah cerita yang dituangkan dalam potongan gambar dan
suara tidaklah semudah yang kita bayangkan. Perpaduan setiap detailnya
haruslah terbangun secara harmonis. Sehingga maksud dari film itu
tersampaikan pada khalayak luas.
Selain alur cerita yang terpapar rapi, kehadiran efek –efek gambar dapat
membantu menyegarkan pendengaran dan penglihatan penontonnya, seolah –
olah khalayak terbawa arus cerita. Selain turut memanjakan indera penglihatan
dan pendengaran, juga turut membantu mengemas pesan yang disampaikan
oleh para pembuat film.
Merantau merupakan salah satu film action yang dikemas dengan simbolsimbol untuk menunjukan tanda keberanian seseorang terhadap lawanlawannya. Pada film ini, keberanian yang dimaksud tidak hanya keberanian
dalam artian sempit yaitu keberanian antara pria yang ingin melindungi pihak
tertindas dengan cara dengan cara kekerasan karena pihak pihak lawan yang
ingin menindas tidak bisa dilawan dengan cara lembut.
Setiap hal yang berhubungan dengan keberanian, tentunya memiliki
perasaan yang ingin melindungi sesuatu Pada film Merantau sang sutradara
menampilkan keberanian untuk melindungi sesama, keberanian tersebut
dilakukan oleh penokohan Yuda yang diperankan oleh Iko Uwais. Iko Uwais
menokohkan seseorang sangat sosial kepada lingkungannya, Yuda menolong
orang-orang yang membutuhkan bantuan darinya, tentunya seorang Yuda
memiliki jiwa yang sosial, dia siap membantu walaupun dia sedang dilanda
masalah juga.
Jiwa sosial saling membantu, saling mengasihi dan siap membantu orang
lain walaupun orang yang menolong tersebut sedang dilanda masalah juga
merupakan sifat altruistik. Sifat altruistik yang diperankan oleh Iko Uwais
sebagai Yuda pada film ini diperankan dengan baik, tetapi sampai sejauh
mana sifat altruistik Yuda yang diperankan oleh Iko Uwais diperagakan.
Masyarakat Melayu banyak menekankan kerjasama, tolong menolong,
perpaduan dan lain-lain yang menjadi ciri gotong royong (Rahman,1993:112).
Gambaran ini berakar dari tradisi di mana pada zaman dahulu banyak
pekerjaan yang dilakukan bersama karena kurangnya teknologi yang
membantu. Maraknya usaha ini menjadikan ikon baru yang segera terpatri
Menjadi budaya nasional.
Namun, semakin lama budaya ini semakin pudar tidak mampu menahan
arus globalisasi yang menggiurkan. Orang hidup secara individual. Semua
tinggal di rumah berpagar tinggi menjulang atau di apartemen. Pagi pergi
terburu-buru ke kantor dan kembali setelah mentari tenggelam. Aktivitas
ekonomi menjadi prime-time sehingga tidak sempat berkumpul tetangga.
Sedangkan Anak-anak sibuk dengan les dan dugem. Ibu-ibu mampir ke arisan
ini dan rapat.
Pudarnya sifat Altruisme di lingkungan kita mendorong kita semua untuk
membangkitkan kembali sifat tersebut berakar jiwa di dalam tubuh kita.
Dalam sejarah Indonesia, Bangsa Indonesia merdeka bukan karena
persenjataan kita yang lengkap dan canggih, melainkan jiwa gotong royong
dan memiliki sifat altruistik yang membangkitkan kobaran api dalam jiwa kita
untuk memperoleh kemerdekaan.
Dalam film Merantau banyak hal moralitas yang penting untuk dipelajari
dari film tersebut, dan film ini menurut penulis sangat menjadi pelajaran bagi
kita semua yang sudah mulai mementingkan dirinya sendiri ketimbang
melihat orang lain, keegoisan pada diri manusia sangat besar. Untuk itu
berdasarkan fenomena yang coba dipaparkan di atas, penulis tertarik
melakukan penelitian makna simbolik mengenai altruisme yang berhubungan
dengan rasa ingin menolong kepada sesama, diperankan oleh Iko Uwais
sebagai Yuda pada film Merantau, agar para penonton dapat lebih menghargai
kasih sayang kepada sesama yang pada kehidupan sebenarnya sangat penting
untuk dijalani.
Merantau merupakan film action yang digarap oleh sutradara Garet Evans.
Dimana dalam film action pasti ada pertempuran peran protagonis dengan
peran antagonis, Iko uwais sebagai pemeran Yuda dalam film merantau ini
memperlihatkan sifat altruisme yang menonjolkan sikap baik seseorang yang
sudah amat jarang seperti yang bisa dilihat disekitar kita.
Kegigihan Yuda untuk menolong Astrid ( Sisca Jesika) dari genggaman
para lelaki hidung belang, sikap altruisme sangat terlihat pada saat adegan
berkelahi melawan anak buah sang komplotan hidung belang, dimana Yuda
sudah kalah tersungkur tetapi dengan kegigihannya ia bangun kembali dan
meporak porandakan seluruh isi “bar”. Sikap altruisme seperti itulah yang
sangat jarang pada jaman sekarang ini maka dari itu maka penulis ingin
menjabarkan altruisme peran yuda pada film merantau.
1.2 Perumusan masalah
Berdasarkan latar belakang diatas, penulis mengangkat sebuah perumusan
masalah, yaitu :
“Bagaimana tanda-tanda altruime peran Yuda pada film merantau?”
1.3 Identifikasi Masalah
Selanjutnya, rumusan masalah diatas dapat diidentifikasikan sebagai berikut :
1. Bagaimana makna denotatif pada film merantaudalam tanda-tanda
Altruime?
2. Bagaimana makna konotatif pada film merantau dalam tanda-tanda
Altruime?
1.4 Tujuan Penelitian
Adapun Adapun tujuan penelitian ini adalah:
1. Untuk mengetahui makna denotatif pada film Merantau dalam tandatanda Altruisme.
2. Untuk mengetahui makna konotatif pada film Merantau dalam tandatanda Altruisme.
1.5 Alasan Pemilihan Masalah
1. Dunia ini penuh dengan artefak-artefak tanda dan simbol. Tanda dan
simbol tersebut tidak berarti tanpa makna yang menyertainya,
sedangkan makna itu juga tidak bisa hadir begitu saja melainkan hasil
dari kesepakatan umum di masyarakat mengenai arti tanda tersebut.
Jadi makna itu bersifat subyektif.
2. Dalam komunikasi, film bisa dikatakan sebagai sebuah pesan yang
disampaikan kepada komunikan, makna tidak terdapat pada pesan,
melainkan pada penerima pesan. Oleh karena itu penonton haruslah
kritis dalam menyimak sebuah film, agar pesan yang disampaikan
tersampaikan.
1.6 Kegunaan Penelitian
1.6.1
Kegunaan Teoritis
Penelitian ini secara teoritis diharapkan berguna sebagai sumbangan
terhadap pengembangan penelitian kualitatif studi semiotika khususnya untuk
media film layar lebar (wide screen) di seluruh Indonesia. Dan akhirnya dari
seluruh proses penelitian mampu memperluas kajian ilmu komunikasi, khususnya
signifikasi (pemaknaan) terhadap media massa film, sehingga mampu
memberikan jalan bagi analisa kritis terhadap media sejenis lainnya.
1.6.2
Kegunaan Praktis
Sedangkan secara praktis penelitian ini diharapkan berguna sebagai
masukan kepada praktisi perfilman Indonesia baik yang berbasis bisnis maupun
independen agar dapat mampu mengembangkan kualitas film yang dihasilkan
sehingga dapat bermanfaat tidak hanya dari segi bisnis namun sebagai
peningkatan kreatifitas..
1.7 Pembatasan Masalah
1. Film yang diteliti yaitu film Merantau yang diproduksi Merantau Film pada
tahun 2009, disutradarai oleh Gareth Evans.
2. Penelitian ini hanya merepresentasikan adegan-adegan yang mengandung
altruisme yang diperankan oleh Iko Uwais sebagai Yuda pada film Merantau.
3. Penelitian ini menggunakan analisis semiotika Roland Barthes.
1.8 Kerangka Pemikiran
Pada dasarnya, Film adalah salah satu jenis komunikasi massa yang dapat
dikelola menjadi suatu komoditi. Di dalamnya memang kompleks, dari produser,
pemain hingga seperangkat kesenian lain yang sangat mendukung seperti musik,
seni rupa, teater, dan seni suara. Semua unsur tersebut terkumpul menjadi
komunikator dan bertindak sebagai agen transformasi budaya (Baksin, 2003:2).
Komunikasi nonverbal adalah proses komunikasi dimana pesan
disampaikan tidak menggunakan kata-kata. Contoh komunikasi nonverbal ialah
menggunakan gerak isyarat, bahasa tubuh, ekspresi wajah dan kontak mata,
penggunaan objek seperti pakaian, potongan rambut, dan sebagainya, simbolsimbol, serta cara berbicara seperti intonasi, penekanan, kualitas suara, gaya
emosi, dan gaya berbicara.
Para ahli di bidang komunikasi nonverbal biasanya menggunakan definisi
"tidak menggunakan kata" dengan ketat, dan tidak menyamakan komunikasi nonverbal dengan komunikasi nonlisan. Contohnya, bahasa isyarat dan tulisan tidak
dianggap sebagai komunikasi nonverbal karena menggunakan kata, sedangkan
intonasi dan gaya berbicara tergolong sebagai komunikasi nonverbal. Komunikasi
nonverbal juga berbeda dengan komunikasi bawah sadar, yang dapat berupa
komunikasi verbal ataupun nonverbal. (wikipedia.com)
Sebuah film adalah sekumpulan dari tanda dan lambang yang ditampilkan
melalui gerak, laku, bahasa, dan sekumpulan hal lain yang adalah merupakan
sekumpulan “tanda”. Hal inilah yang mendasari banyak penganalisaan film
dengan metode melihat tanda atau dapat kita sebut semiotik film.
Pesan yang terkandung dalam sebuah film dapat diuraikan dengan
menggunakan semiotika, pesan-pesan moral seperti halnya altruistik dapat
diungkap dengan menggunakan analisis semiotika.
Pada dasarnya sangat penting sebuah film memasukan unsur moral atau
memiliki pesan, karena film memiliki kekuatan yang cukup besar untuk
mempengaruhi prilaku seseorang. Setiap hal yang terjadi pada film, terkadang
masyarakat menuruti tingkah laku yang dilakukan oleh para aktor di film.
Pada dasarnya dalam mempelajari film sebagai komunikasi massa kita
dapat mendekatinya dengan dua perspektif, yaitu :perspektif proses dan perspektif
semiotik (Fiske dalam Sobur, 1982 : 2-3)
Sifat altruistik sangatlah mulia, film Merantau merupakan contoh film
yang memberikan pesan moral tentang sifat altruistik. Melihat dari sisi dunia kini,
sudah jarang orang memiliki sifat altruistik, oleh karena itu baiknya untuk
ditumbuhkan
kembali
dengan
menggunakan
suntikan-suntikan
dengan
menggunakan media massa, contohnya film.
Film bisa dikupas berdasarkan unsur gramatikalnya, diuraikan menurut
komponen sinematografinya dan cara-cara yang lainya. Jika kita mencoba
memaknai film tersebut secara keseluruhan. Lebih menarik lagi jika yang
melakukan pengamatan atau penelitian mempunyai perceptual filed dan
experience yang berbeda satu sama lain, bisa jadi metode yang digunakan sama
tapi hasil pengamatanya tentu akan berbeda, oleh karena itulah semiotika lebih
bersifat subyektif.
Analisa Semiotik adalah salah satu bagian dari Analisa Teks Media,
semiotik sebagai suatu model dari ilmu pengatahuan sosial memahami dunia
sebagai sistem hubungan yang memiliki unit dasar yang disebut dengan “tanda”
tadi.
Para ahli semiotik juga menganggap bahwa film, seperti layaknya teks
tertulis, juga memiliki tata bahasanya sendiri yang ditujukan melalui atribut-
atribut teknis seperti angle kamera, teknik penyuntingan, skema warna, dan lain
sebagainya.
Dalam menemukan makna simbolisasi dalam Film Merantau analisis
semiotika akan dijadikan sebagai jalur metodologi utama. Dengan analisis ini,
sifat altruistik yang terkandung dalam film Merantau akan dicari.
1.9 Metode Penelitian
Metode penelitian yang digunakan ialah metode kualitatif. Metode
kualitatif yaitu penelitian yang bertujuan untuk menganalisis sebuah fenomena
yang terjadi di masyarakat, penelitian ini tidak mengandalkan bukti berdasarkan
logika matematis, prinsip angka atau metode statistik (Mulyana, 2001:150),
karena metode penelitian ini meyakini bahwa fenomena yang terjadi di
masyarakat tidak bisa dilihat dan ditentukan dengan angka-angka, fenomena yang
terjadi di masyarakat merupakan sebuah akibat dari faktor-faktor yang
mempengaruhinya.
Penelitian kualitatif berakar pada latar alamiah sebagai keutuhan,
mengandalkan manusia sebagai alat penelitian, memanfaatkan metode kualitatif,
mengadakan analisis data secara induktif, mengarahkan sasaran penelitiannya
pada usaha menemukan teori dari dasar, bersifat deskriptif, lebih mementingkan
proses daripada hasil, membatasi studi dengan fokus, memilki seperangkat kriteria
untuk memeriksa keabsahan data, rancangan penelitiannya bersifat sementara,
dan hasil penelitiannya disepakati oleh kedua belah pihak: peneliti dan subjek
penelitian (Maleong, 2002 :27).
Sedangkan pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah
pendekatan semiotika yaitu studi tentang tanda dan segala yang berhubungan
dengannya;
cara
berfungsinya,
hubungannya
dengan
tanda-tanda
lain,
pengirimannya dan penerimannya oleh mereka yang mempergunakannya (Zoes,
1991:5). Pendekatan semiotika yang digunakan ialah pendekatan semiotika
Roland Barthes yang fokus perhatiannya lebih tertuju pada gagasan tentang
signifikasi dua tahap (Sobur, 2001:127).
Dalam menganalisis film Merantau, penulis mengacu pada pemikiran
Roland Barthes (signifikasi dua tahap). Menurut Barthes, bahasa memerlukan
kondisi tertentu untuk dapat menjadi mitos, yaitu secara semiotis dicirikan oleh
hadirnya sebuah tataran signifikasi yang disebut sebagai sistem semiologis tingkat
kedua (the second order semiological order). Maksudnya pada tataran semiologis
tingkat
pertama,
penanda-penanda
berhubungan
dengan
petanda-petanda
sedemikian sehingga menghasilkan tanda. Selanjutnya tanda-tanda pada tataran
pertama ini pada gilirannya hanya akan menjadi penanda-penanda yang
berhubungan pula dengan petanda-petanda pada tataran kedua, pada tataran
signifikasi kedua inilah mitos bercokol (Budiman 2003:63)
Mengingat bangsa kita sebagian besar masih memegang adat dan tradisi
dalam kehidupannya, maka mitos-mitos dan nilai-nilai budaya masih melekat
dalam kehidupannya. Oleh karena itu, penulis menerapkan model signifikasi dua
tahap dari Roland Barthes.
Signifikasi dua tahap Barthes
First order
Reality
second order
signs
culture
Form content
Sumber: John Fiske ( 1990 : 88 ) dalam Sobur, 2001 : 127.
Berdasarkan gambar di atas, seperti dikutip Fiske, Barthes menjelaskan:
signifikasi tahap pertama merupakan hubungan antara signifier dengan signified
di dalam sebuah tanda terhadap realitas eksternal. Barthes menyebutnya sebagai
denotasi, yaitu makna paling nyata dari tanda. Konotasi adalah istilah yang
digunakan Barthes untuk menunjukan signifikasi tahap kedua. Hal ini
menggambarkan interaksi yang terjadi ketika tanda bertemu dengan perasaan atau
emosi dari pembaca serta nilai-nilai kebudayaannya. Konotasi mempunyai makna
yang subjektif atau paling tidak intersubjektif. Pemilihan kata-kata kadang
merupakan pilihan terhadap konotasi, misalnya kata “penyuapan” dengan
“memberi uang pelicin”. Dengan kata lain, denotasi adalah apa yang digambarkan
tanda
terhadap
sebuah
objek;
sedangkan
konotasi
adalah
bagaimana
menggambarkannya. Pada signifikasi tahap kedua yang berhubungan dengan isi,
tanda bekerja melalui mitos (myth). Mitos adalah bagaimana kebudayaan
menjelaskan atau memahami beberapa aspek tentang realitas atau gejala alam.
mitos merupakan produk kelas sosial yang sudah mempunyai suatu dominasi.
Mitos primitif, misalnya, mengenai hidup dan mati, manusia dan dewa, dan
sebagainya. Sedangkan mitos masa kini misalnya mengenai feminimitas,
maskulinitas, ilmu pengetahuan, dan kesuksesan (Fiske dalam Sobur 2001:128).
Selain itu, ada seorang tokoh yang disebut sebagai figur utama dalam
pemikiran semiotik sinematografi, tokoh ini adalah Christian Metz. Metz tidak
secara tersetruktur mengulas teknik semiotika sinematografi namun lebih banyak
mengulas tentang teori film saja terutama tentang bahasa sinematografi.
Menurut Tanete Pong Masak dalam Kumpulan makalah semiotik1
mengatakan bahwa sumbangan Metz dalam teori film adalah usaha untuk
menggunakan baik peralatan konseptual linguistik struktural untuk meninjau
kembali teori film yang sudah ada, yang dalam tahun 1960 membawa kita pada
semiologi klasik, maupun konsep teoritis psikoanalisis freudian-lacanian: untuk
generasi kedua semiologi sinema pada tahun ’70-an’. Dengan kata lain, semiologi
Metz yang dianggap jauh lebih cermat daripada teori/analisis film sebelum dia ini
tidaklah berangkat dari yang baru sama sekali. Metz mengamati berbagai kaitan
dalam semiotik sinematografi ini, seperti : tanda sinematografis, sintaksis dan
sintagmatik, tulisan filmis/bahasa sinematografi, dll. (Masak, Tanate. Kumpulan
Makalah Seminar Semiotik. 2000:281-293).
!
1.10 Teknik Pengumpulan Data
1. Dokumentasi
Melakukan pengamatan secara cermat pada film FILM Merantau.
Khususnya pada adegan sikap Altruisme peran Yuda
2. Studi Kepustakaan
Mengumpulkan data dan mencari literatur yang menunjang dalam
penelitian, baik melalui buku-buku, tulisan dan juga internet.
3. Wawancara
Yaitu teknik pengumpulan data dengan cara mengadakan tanya jawab
pada pihak tertentu guna memperoleh data-data mengenai permasalahan
yang dibahas. Wawancara dilakukan dengan Administrative Assistant PT
Merantau Film yakni Intan Melvina.
1.11 Pengertian Istilah
Berikut langkah-langkah yang akan ditempuh peneliti dalam melakukan
penelitian ini :
Beberapa istilah penting dalam penelitian ini memiliki arti sebagai berikut:
1.
Komunikasi, secara etimologis berasal dari kata dalam bahasa Latin
communicatio, dan perkataan ini bersumber pada kata communis yang berarti
sama, dalam arti kata sama makna, yaitu sama makna mengenai satu hal. Dan
secara terminologis berarti proses penyampaian suatu pernyataan oleh
seseorang kepada orang lain. Dan apabila dilihat dari sudut paradigmatik,
definisi komunikasi adalah : proses penyampaian suatu pesan oleh seseorang
kepada orang lain untuk memberi tahu atau untuk mengubah sikap, pendapat
atau perilaku, baik langsung secara lisan, maupun tidak langsung melalui
media (Onong Uchyana. 1986 : 3-6).
2.
Komunikasi Massa, merujuk pada pendapat Tan dan Wright adalah
merupakan bentuk komunikasi yang menggunakan saluran (media) dalam
menghubungkan komunikator dan komunikan secara massal, berjumlah
banyak, bertempat tinggal yang jauh (terpencar), sangat heterogen, dan
menimbulkan efek tertentu. (Elvinaro Ardianto dan Lukiati. Komunikasi
Massa. 2004 : 3). Sedangkan definisi komunikasi massa yang lebih terperinci
adalah yang dikemukakan oleh Gerbner, yaitu : “Mass Communication is the
technologically and institutionally based production and distribution of the
most broadly shared continuous flow of messages in industrial societies.”
(Elvinaro Ardianto dan Lukiati. Komunikasi Massa. 2004 : 4).
3.
Semiotika/Semiologi, yaitu ilmu yang mempelajari sederatan luas objekobjek, peristiwa-peristiwa, seluruh kebudayaan sebagai tanda (Eco, 1979:6),
dikutip dari Analisis Teks Media (Sobur, 2002:95). Secara Etimologis, istilah
semiotik berasal dari kata Yunani semeion yang berarti “tanda”. Tanda disini
bukan hanya sebatas rupa atau gambar yang diam, namun secara luas diartikan
sebagai sesuatu yang terlihat dan bermaksud untuk dimaknakan. Semiotika
juga berarti ilmu tentang tanda dan kode-kodenya serta penggunaannya dalam
masyarakat (Piliang, 2004 : 25).
4.
Denotasi, adalah hubungan eksplisit antara tanda dengan referensi atau
realitas dalam pertandaan.
5.
Konotasi, adalah aspek makna dalam semiotika yang secara khusus
berkaitan dengan perasaan dan emosi serta nilai-nilai kebudayaan dan
ideologi.
6.
Film, yang dimaksud dengan film disini adalah serangkaian pita selluloid
atau yang sejenis dengan itu, yang mengandung gambar-gambar negatif dan
kemudian dapat diproyeksikan. Gambar-gambar itu adalah merupakan seri
daripada gambar diam yang cukup banyak, yang secara normal berganti
sebanyak 24 gambar dalam sedetik. Serangkaian gambar-gambar ini yang
kemudian membentuk sebuah Film dengan suatu jalan cerita yang bisa
dinikmati oleh khalayak.
7.
Makna, Kecenderungan total untuk menggunakan atau bereaksi terhadap
suatu bentuk bahasa. Terdapat benyak komponen dalam makna yang
dibangkitkan suatu kata atau kalimat (Mulyana, 2001:256).
8.
Tanda, Sesuatu yang atas dasar konvensi sosial yang terbangun sebelumnya,
dianggap mewakili sesuatu yang lain (Eco, 1979:16 dalam Sobur, 2001:95).
9. Representasi, menurut Chandler adalah : “the construction in any medium
(especially the mass media) of aspect of ‘reality’ such as people, places,
objects, events, cultural identities and other abstract concept. Such as
representations may be in speech or writing as well as still moving pictures.
10. Altruisme, tingkah laku yang merefleksikan pertimbangan untuk tidak
mementingkan diri sendiri demi kebaikan orang lain. ( Baron & Byrne, 2003:
92)
11. Scene, adegan dalam scenario. Satu rangkaian adegan tidak tentu panjangnya.
Ada yang panjang atau sama sekali pendek, tergantung konsep dramatik sang
penulis scenario. (Rikrik, 2006: 131)
1. 12 Organisasi Karangan
Dalam penulisan
penelitian ini akan dibahas beberapa bab, yakni
sebagai berikut:
Bab I Pendahuluan
Bab ini memuat latar belakang masalah, rumusan masalah, identifikasi masalah,
alasan dan tujuan masalah, kegunaan penelitian, pengertian istilah, pembatasan
masalah, kerangka pemikiran, kerangka teoritis, metode dan teknik penelitian,
teknik pengumpulan data, serta organisasi karangan.
Bab II Tinjauan Pustaka
Bab ini membahas mengenai Tinjauan pustaka tentang pengertian komunikasi,
komunikasi massa, pengertian media massa, film sebagai komunikasi massa.
Bab III Pembahasan Objek Penelitian
Dalam Bab ini, peneliti menuliskan hal-hal yang terkait dengan film Merantau
antara lain mengenai gambaran film Merantau, dan sekilas produksi film
Merantau
Bab IV Pembahasan
Pembahasan Penelitian disajikan pada Bab ini
BAB V Kesimpulan dan Saran
Merupakan Bab terakhir, yang meliputi kesimpulan dari hasil penelitian dan
saran-saran.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1
Komunikasi Massa
Komunikasi berasal dari kata latin communicatio, dan bersumber dari kata
communis yang berarti sama. Sama di sini berarti sama makna. Saat dua atau lebih
manusia terlibat dalam komunikasi, maka komunikasi itu berlangsung selama ada
kesamaan makna diantara pihak-pihak yang terlibat di dalamnya.
Dilihat dari proses terjadinya komunikasi, Onong dalam bukunya Ilmu
Komunikasi Teori dan Praktek membagi proses komunikasi terbagi menjadi dua
tahap :
1. Proses komunikasi secara primer adalah proses penyampaian pikiran dan
atau perasaan seseorang kepada orang lain dengan menggunakan lambang
(symbol) sebagai media. Lambang sebagai media primer dalam proses
komunikasi adalah bahasa, kial, isyarat, gambar, warna, dan lain
sebagainya yang secara langsung mampu “menerjemahkan” pikiran dan
atau perasaan komunikator kepada komunikan.
2. Proses komunikasi secara sekunder adalah proses penyampaian pesan oleh
seseorang kepada orang lain dengan menggunakan alat atau sarana sebagai
media kedua setelah memakai lambang sebagai media pertama.
Penggunaan media kedua dalam melancarkan komunikasi karena
komunikan sebagai sasarannya berada ditempat yang relatif jauh atau
jumlahnya banyak (Effendy, 2000:11-16).
Dalam kehidupan sehari-hari, yang disebut sebagai media komunikasi
adalah alat komunikasi untuk menyebarkan informasi kepada khalayak luas, akan
tetapi jarang sekali orang yang menganggap bahasa sebagai media komunikasi.
Hal tersebut disebabkan bahasa sebagai lambang beserta isi dari pikiran atau
perasaan merupakan satu kesatuan pesan yang tidak dapat dipisahkan.
Pentingnya peranan media, yaitu media sekunder adalah dalam pencapaian
komunikannya. Dengan menggunakan media, komunikator dapat menyampaikan
pesannya kepada komunikan yang jumlahnya relatif banyak dan juga jaraknya
yang jauh, dengan kata lain komunikasi dengan menggunakan media ini
merupakan kelanjutan dari komunikasi primer dalam menembus ruang dan waktu.
Salah satu bentuk komunikasi diantaranya yaitu komunikasi massa.
Komunikasi massa ini diartikan sebagai komunikasi yang menggunakan media
massa sebagai medianya. Berbeda dengan pendapat para ahli psikologi sosial
yang mengemukakan bahwa komunikasi massa ini tidak selalu terjadi dengan
menggunakan media massa. Oleh karena itu, Para ahli komunikasi membatasi
pengertian komunikasi massa pada komunikasi dengan menggunakan media
massa, misalnya surat kabar, majalah, radio, televisi, atau film. (Effendy,
2001:20)
Menurut Werner I. Severin dan James W. Tankard, Jr. dalam bukunya,
Communication Theories, Origins, Methods, Uses, mengatakan sebagai berikut:
Komunikasi massa adalah sebagian keterampilan, sebagian seni dan
sebagian ilmu. Ia adalah keterampilan dalam pengertian bahwa ia meliputi
teknik-teknik fundamental tertentu yang dipelajari seperti memfokuskan
kamera televisi, mengoperasikan tape recorder, atau mencatat ketika
berwawancara. Ia adalah seni dalam pengertian bahwa ia meliputi
tantangan-tantangan kreatif seperti menulis skrip untuk program televisi,
mengembangkan tata letak yang estetis untuk iklan majalah, atau
menampilkan teras berita yang memikat bagi sebuah kisah berita. Ia
adalah ilmu dalam pengertian bahwa ia meliputi prinsip-prinsip tertentu
tentang bagaimana berlangsungnya komunikasi yang dapat dikukuhkan
dan dipergunakan untuk membuat berbagai hal menjadi lebih baik.
(Effendy, 2001:21)
Selain dari pada pengertian di atas, Joseph A. Devito dalam bukunya
Communicology: An introduction to the study of communication, mengemukakan
definisinya mengenai komunikasi massa dengan lebih tegas, yakni sebagai
berikut:
Pertama, komunikasi massa adalah komunikasi yang ditujukan kepada
massa, kepada khalayak yang luar biasa banyaknya. Ini tidak berarti
bahwa khalayak meliputi seluruh penduduk atau semua orang yang
membaca atau semua orang yang menonton televisi, agaknya ini berarti
bahwa khalayak itu besar dan pada umumnya agak sukar untuk
didefinisikan.
Kedua, komunikasi massa adalah komunikasi yang disalurkan oleh
pemancar-pemancar yang audio dan atau visual. Komunikasi massa
barangkali akan lebih mudah dan lebih logis bila didefinisikan menurut
bentuknya : televisi, radio, surat kabar, majalah, film, buku, dan pita
(Effendy 2000:21).
Dikarenakan komunikasi massa itu ditujukan kepada massa dan dengan
menggunakan media massa, maka komunikasi massa ini mempunyai ciri-ciri
sebagai berikut:
1. Bersifat melembaga, artinya pihak yang mengelola media terdiri dari
banyak orang, yakni mulai dari pengumpulan, pengelolaan sampai pada
penyajian informasi.
2. Bersifat satu arah, artinya komunikasi yang dilakukan kurang
memungkinkan terjadinya dialog antar pengirim dan penerima. Kalau toh
terjadi reaksi atau umpan balik, biasanya memerlukan waktu dan tertunda.
3. Meluas dan serempak, artinya dapat mengatasi rintangan waktu dan jarak,
karena ia memiliki kecepatan. Bergerak secara luas dan simultan, dimana
informasi yang disampaikan diterima oleh banyak orang pada saat yang
sama.
4. Bersifat terbuka, artinya pesannya dapat diterima oleh siapa saja dan
dimana saja tanpa mengenal usia, jenis kelamin dan suku bangsa (Cangara,
2000:131-135).
2.2
Konsep Perfilman
Masyarakat sering menyempitkan arti film atau bahkan salah mengartikan
film hanya pada sebuah hasil produksi yang menghasilkan sebuah tontonan saja.
Bukan pada apa arti film itu sendiri. Sebenarnya berbicara tentang film adalah
berbicara tentang segulung pita selluloid yang secara keseluruhan dipindahkan ke
atas kertas khusus atau ke atas layar khusus sebagai gambar positif (Sunarjo &
Junaengsih. 1995 : 83).
Film adalah sebuah rangkaian gambar statis yang direpresentasikan di
hadapan mata secara berturut-turut dalam kecapatan yang tinggi (Gamble, 1986 :
255). Film atau motion pictures ditemukan dari hasil pengembangan prinsipprinsip fotografi dan proyektor.
Film memiliki beberapa kekuatan dan kelemahan, yaitu :
1. Kekuatannya :
a. Para penonton film terutama di gedung bioskop merupakan penonton yang
seolah-olah terisolir dari pengaruh luar, karena pada saat pemutaran
perhatian penonton memang dengan sengaja dikhususkan hanya untuk
melihat layar bioskop.
b. Komunikasi film lebih sempurna dari komunikasi pers dan radio, karena
memiliki langsung dua hal yang dibutuhkan publik dalam menerima pesan
yaitu audio dan visual.
2. Kelemahannya :
a. para penonton film di bioskop senantiasa bersifat pasif dan menerima saja
apa yang dipertontonkan, pola pikirnya baru akan muncul mungkin pada
saat film selesai atau bahkan lebih lama lagi.
b. Untuk menonton film, dibutuhkan waktu yang khusus dan tidak setiap saat
dapat dilakukan.
Pembuatan film pada dasarnya adalah sebuah proses komunal, yang
melibatkan banyak orang ketimbang hanya satu. Dalam buku Introduction Mass
Communication, pengamat film John L. Fell memperkuat pendapat ini dengan
menyatakan bahwa substansi yang termuat dalam sebuah film akan sangat
tergantung kepada visi dan misi individu-individu yang terlibat didalamnya.
Fell (dalam DeFleur, 1985 : 262-263) mengemukakan tujuh tahap
pembuatan film, yaitu :
1. Conceptualization.
Gagasan untuk membuat sebuah film dapat muncul dari satu atau lebih
orang. Beberapa film merupakan hasil gagasan asli para pembuatnya, sementara
beberapa film lain merupakan adaptasi dari sumber yang sudah ada sebelumnya,
seperti novel, drama, bahkan lagu dan puisi.
2. Direction
Sutradara menentukan scenario film pilihannya, dan menentukan gaya
visual serta suara apa yang akan ia terapkan dalam membuat film tersebut.
3. Visualization.
Perencanaan dan eksekusi sebuah proses pembuatan film sudah tentu
melibatkan piñata kamera, piñata cahaya, dan lai-lainnya.
4. Performance.
Aktor dan artis yang terlibat dalam film dipilih, dan mereka akan segera
mempelajari scenario yang diberikan, untuk menentukan penampilan mereka
dalam film tersebut.
5. Editing.
Proses penyuntingan ini melibatkan pemilihan adegan-adegan yang telah
diambil, dan juga memproses film yang telah jadi.
6. Special Effects.
Semua hal yang melibatkan tipuan kamera dan efek-efek khusus lainnya
yang dikerjakan di luar jadwal shooting termasuk dalam tahap ini.
7. Production.
Untuk
memproduksi
sebuah
film
berarti
sang
produser
harus
mengumpulkan biaya, mengorganisir semua orang yang dibutuhkan, serta
mengatur tampilnya film tersebut di atas layar.
2.2.1 Film Sebagai Media Komunikasi Massa
Sejak keberadaannya, film diakui memiliki fungsi yang utama, yaitu :
fungsi artistik, fungsi ekonomi, dan fungsi komunikasi. (DeFleur & Dennis. 1985
: 258). Namun beberapa ahli dilihat dari sudut pandang menyebutkan ada
beberapa fungsi lain dari film, seperti : Fungsi informatif, fungsi edukatif, bahkan
fungsi persuasif. Hal ini sejalan dengan misi perfilman nasional sejak 1979,
bahwa selain sebagai media hiburan, film nasional dapat digunakan sebagai media
edukasi untuk pembinaan generasi muda dalam rangka nation and character
building (Elvinaro dan Lukiati. 2004 : 136).
Telah disebutkan diatas beberapa fungsi utama dari film, dari semuanya,
fungsi komunikasi adalah yang paling kuat. Hal ini dikarenakan, sejak awal
keberadaannya, film telah digunakan untuk meraih sejumlah besar orang dengan
muatan pesan yang ditujukan untuk mempengaruhi tindakan dan cara berpikir
mereka. Film adalah salah satu alat komunikasi paling signifikan yang pernah ada
sejak munculnya tulisan tujuh ribu tahun yang lalu (Monaco. 2000 : 64).
Dalam sejarah perkembangannya, terdapat salah satu tema yang sangat
penting yaitu film sebagai alat propaganda yang notabene adalah salah satu proses
komunikasi. ( McQuail. 1994 : 14).
Menurut Kotler, efek dari penyampaian sebuah pesan bergantung pada
bagaimana
cara menyampaikannya (Kotler. 2000 : 634). Jadi apabila kita
berbicara mengenai film, pesan yang ingin disampaikannya sangat ditentukan oleh
perpaduan gambar dan suara dan faktor-faktor pendukungnya.
2.2.1.1
Film Sebagai Komunikasi Massa
Berbicara mengenai Film adalah berbicara tentang Komunikasi Massa,
setidaknya itu yang bisa tergambarkan. Sebagai salah satu bentuk dari
Komunikasi Massa Visual, media Film adalah bentuk yang dominan di dunia ini.
Lebih dari ratusan juta orang menonton film di bioskop, film televisi dan film
video setiap minggunya.
Film memiliki semua karakteristik yang dibutuhkan untuk menjadi media
massa, gabungan dari faktor audio dan visual yang dengan segala isinya adalah
sarana yang tepat untuk menyampaikan pesannya kepada para penontonnya.
Meskipun secara historikal, film baru muncul pada akhir abad kesembilan
belas, tetapi apa yang dapat diberikannya sebenarnya tidak terlalu baru dilihat dari
segi isi atau fungsi. Film berperan sebagai sarana baru yang digunakan untuk
menyebarkan hiburan yang sudah menjadi kebiasaan terdahulu, serta menyajikan
cerita, peristiwa, musik, drama, dan sajian lainnya kepada khalayak ramai.
Sebagai salah satu bentuk dari komunikasi massa, film ada dengan tujuan
untuk memberikan pesan-pesan yang ingin disampaikan dari pihak kreator film.
Pesan-pesan itu terwujud dalam cerita dan misi yang dibawa film tersebut serta
terangkum dalam bentuk drama, action, komedi, dan horor. Jenis-jenis film inilah
yang dikemas oleh seorang sutradara sesuai dengan tendensi masing-masing. Ada
yang tujuannya sekedar menghibur, memberi penerangan, atau mungkin keduaduanya.
Bersama dengan radio dan televisi, film termasuk kategori media massa
periodik. Artinya, kehadirannya tidak secara terus-menerus, tetapi berperiode dan
termasuk media elektronik, yakni media yang dalam penyajiaan pesannya sangat
bergantung pada adanya listrik. Sebagai media massa elektronik dan adanya
banyak unsur kesenian lain, film menjadi media massa yang memerlukan proses
lama dan mahal.
Seni film sangat mengandalkan teknologi, baik sebagai bahan baku
produksi maupun dalam hal ekshibisi ke hadapan penontonnya. Film merupakan
penjelmaan keterpaduan antara berbagai unsur, sastra, teater, seni rupa, teknologi,
dan sarana publikasi. Dalam kajian media massa, film masuk dalam jajaran seni
yang ditopang oleh industri hiburan yang menawarkan impian kepada penonton
yang ikut menunjang lahirnya karya film.
Kehadiran film sebagian merupakan respons terhadap ’penemuan’ waktu
luang di luar jam kerja dan jawaban terhadap kebutuhan menikmati waktu
senggang secara hemat da sehat bagi anggota keluarga. Dalam sejarahnya, film
terdiri dari tiga tema besar dan satu atau dua menjadi tonggak sejarah yang
penting.
Tema pertama, adalah pemanfaatan film sebagai sarana propaganda. Tema
ini penting terutama dalam kaitannya dengan pencapaian tujuan nasional dan
masyarakat. Amerika adalah negara yang sengaja atau tidak melakukan
propaganda lewat film-filmnya. Kepahlawanan tentara Amerika ditunjukan dalam
perang dengan setting ”Perang”, seperti pada Film ” Rambo (George F.
Cosmatus)”, ”Platoon (Oliver Stone)”, ”Saving Private Ryan (Steven Spielberg)”,
”Full Metal Jacket (Stanley Kurbick)”, dan lain-lain.
Tujuan dari semua film diatas rata-rata adalah untuk membentuk citra
bahwa Amerika adalah pihak yang benar. Padahal dapat diketahui secara hasilnya,
bahwa sebenarnya Amerika adalah selalu jadi pihak yang kewalahan baik pada
waktu Perang Vietnam atau Perang Irak.
Di Indonesia propaganda lewat film dapat terlihat pada film terbesar
Indonesia yaitu film ” (Arifin C. Noer)” yang wajib ditonton oleh masyarakat
pada masa Orde Baru. Pengkultusan tokoh Soeharto sebagai pahlawan utama
penumpas G 30 S/PKI adalah tujuan utamanya, lepas dari kontroversi siapa yang
salah pada peristiwa G 30 S/PKI yang sampai sekarang masih menjadi tanda
tanya.
Selain memiliki tema sebagai propaganda, tema kedua adalah munculnya
beberapa aliran seni film dan tema ketiga dalam sejarah film adalah munculnya
aliran film dokumentasi sosial. Kedua kecenderungan tersebut merupakan suatu
penyimpangan dalam pengertian bahwa keduanya hanya menjangkau minoritas
penduduk dan berorientasi pada realisme. Terlepas dari hal itu, keduanya
mempunyai kaitan dengan tema ”film sebagai alat propaganda” dan ”film sebagai
alat komunikasi”. Dengan demikian, dipengaruhi juga dengan hadirnya televisi
yang meskipun membawa peralihan perhatian masyarakat dari film, namun justru
membawa sifat khusus bagi film itu sendiri, film dewasa ini berperan sebagai
pembentuk budaya massa, bukannya semata-mata mengharapkan media lainnya
sebagaimana peran film pada masa kejayaannya yang lalu karena peralihan
penonton kepada televisi tadi.
2.2.1.2 Teknik Pengambilan Gambar
Dalam proses pembuatannya, film dan televisi menggunakan beberapa
teknik yang diterapkan berdasarkan suatu konvensi tertentu. Konvensi menurut
oleh para pengamat film disebut sebagai grammar atau tata bahasa film. Daniel
Chandler (2000), dalam makalahnya The Grammar of Television and Film,
menyebutkan beberapa elemen penting yang membangun tata bahasa tersebut.
Menurut Chandler, walaupun konvensi ini bukanlah suatu peraturan baku, telaah
terhadapnya tetap harus dilakukan karena hanya dengan begitulah seseorang akan
mampu mengerti pesan yang ingin disampaikan oleh pembuat film (Chandler,
2000:1).
Menurut Baksin, pengetahuan mengenai teknik pengambilan gambar ini
sebetulnya untuk membekali juru kamera dan juga sutradara bagaimana shot itu
akan dibuat, bagaimana kesan yang timbul, apa latar belakangnya, apakah nanti
shot-nya bisa digabung dengan shot yang lainnya hingga menjadi rangkaian yang
indah. Dalam hal ini, shot diartikan sebagai unsur terkecil dari sebuah struktur
film.
Untuk bisa membedakan antara satu shot dengan shot lainnya, teknik
pengambilan gambar ini dibedakan menjadi empat kategori, yaitu : sudut
pengambilan gambar, ukuran shot, gerakan kamera, dan gerakan objek (Baksin.
2003 : 32).
A. Sudut Pengambilan Gambar
1. Bird Eye View
Teknik ini dilakukan dengan ketinggian kamera di atas ketinggian objek
yang direkam. Hasilnya memperlihatkan lingkungan yang demikian luas
dengan benda-benda lain yang tampak di bawah demikian kecil dan
berserakan tanpa mempunyai makna.
2. High Angle
Artinya, sudut pengambilan dari atas objek sehingga kesan objek jadi
mengecil. Selain itu teknik pengambilan gambar ini mempunyai kesan
dramatis, yakni kesan “kerdil”.
3. Low Angle
Sudut pengambilan dari arah bawah objek sehingga kesan objek jadi
membesar.
Kesan
dramatis
yang
diperoleh
adalah
prominence
(keagungan).
4. Eye Level
Sudut pengambilan gambar sejajar dengan objek. Teknik ini tidak
memberikan kesan dramatis karena dalam kondisi shot yanga biasa saja.
Hasilnya memperlihatkan tangkapan pandangan mata seseorang yang
berditi atau pandangan mata seseorang yang memiliki ketinggian tubuh
tepat tingginya sama dengan objek.
5. Frog Eye View
Teknik yang dilakukan kameraman dengan ketinggian kamera sejajar
dengan dasar (alas) kedudukan objek atau dengan ketinggian yang lebih
rendah dari dasar (alas). Dengan teknik ini dihasilkan satu pemandangan
objek yang besar, mengerikan, dan penuh misteri.
B. Ukuran Gambar
Keberagaman ukuran gambar ini tentunya dikaitkan dengan tujuan
pengambilan gambar, tingkat emosi, situasi, kondisi dari objek gambar.
Ukuran-ukuran gambar itu adalah :
1. Istilah/singkatan : ECU ( Extreme Close Up )
Artinya
: Pengambilan gambar sangat dekat sekali, sampai
pori-poripun terlihat.
Fungsi : Memperlihatkan detail suatu objek secara jelas.
2. Istilah: BCU/VCU/HS ( Big Close Up/Very Close Up/ Head Shot )
Artinya
: Pengambilan gambar dari sebatas kepala
hingga dagu objek.
Fungsi : Menonjolkan objek untuk ekspresi tertentu.
3. Istilah/singkatan : CU ( Close Up)
Artinya
: Pengambilan gambar dari pas atas kepala sampai
bawah leher.
Fungsi : Memberi gambaran objek secara jelas.
4. Istilah/singkatan : BS/MCU ( Bust Shot/ Medium Close Up )
Artinya
: Ukuran gambar sebatas atas kepala sampai dada.
Fungsi
: Menegaskan “profil” seseorang sehingga penonton puas.
5. Istilah/singkatan : WS/MS ( Waist Shot/Mid Shot )
Artinya
: Ukuran gambar sebatas kepala sampai pinggang.
Fungsi
: Memperlihatkan sosok objek dengan “tampangnya”.
6. Istilah/singkatan : KS/MS ( Knee Shot/ Medium Shot )
Artinya
: Ukuran gambar sebatas atas kepala sampai lutut.
Fungsi
: Masih seperti fungsi WS.
7. Istilah/singkatan : FS ( Full Shot )
Artinya
: Pengambilan gambar penuh dari atas kepala hingga kaki.
Fungsi
: Memperlihatkan objek dengan lingkungannya.
8. Istilah/singkatan : LS ( Long Shot )
Artinya
: Pengambilan gambar melebihi FS.
Fungsi
: Memperlihatkan objek dengan latar belakangnya.
9. Istilah/singkatan : 1 S ( One Shot )
Artinya
: Pengambilan gambar satu objek.
Fungsi
: Memperlihatkan seseorang dalam in frame.
10. Istilah/singkatan : 2 S ( Two Shot )
Artinya
: Pengambilan gambar dua orang.
Fungsi
: Memperlihatkan adegan dua orang.
11. Istilah/singkatan : 3 S ( Three Shot )
Artinya
: Pengambilan gambar tiga orang.
Fungsi
: Memperlihatkan adegan tiga orang.
12. Istilah/singkatan : GS ( Group Shot )
Artinya
: Pengambilan gambar sekelompok orang.
Fungsi
: Memperlihatkan sekelompok orang dalam adegan.
C. Gerakan Kamera
Untuk membuat suatu tampilan gambar yang menarik, seorang kameraman
bisa menggerakan kamera. Ada beberapa gerakan kamera yang menghasilkan
gambar yang berbeda. Gerakan kamera itu adalah :
a. Zoom (Kamera tidak bergerak, tetapi menekan fasilitas tombol Zooming).
Dalam proses zooming, kamera sama sekali tidak bergerak. Proses ini
mengharuskan lensa difokuskan dari sebuah Long Shot menjadi Close Up
sementara gambar masih dipertunjukkan. Subjek diperbesar, dan perhatian
dikonsentrasikan pada detail yang sebelumnya tidak nampak. Zoom biasa
digunakan untuk memberikan kejutan pada penonton, dan menunjukkan
beberapa aspek tambahan dalam suatu adegan (misalnya, di mana sang
karakter sedang berada, atau dengan siapa ia sedang berbicara) sementara
shot itu melebar.
b. Panning. (Kamera tidak bergerak, tetapi tripot penyangga kaki tiga-nya
digerakan ke kiri dan kanan). Kamera bergerak mengikuti subjek, yang
akan menimbulkan efek kedekatan antara penonton dengan subjek
tersebut.
c. Tilting. Pergerakan kamera secara vertikal – ke atas atau ke bawah –
sementara kamera tetap pada posisinya.
d. Tracking (dollying). Tracking mengharuskan kamera untuk bergerak
secara mulus, menjauhi atau mendekati subjek, dan biasa dibagi menjadi:
tracking in, yang akan membawa penonton semakin mendekat dengan
sang subjek sementara, dan tracking back, yang akan membawa perhatian
penonton pada sisi kiri dan kanan frame. Kecepatan tracking juga dapat
menentukan efek perasaan dalam diri penonton (Chandler, 2000:3). Rapid
tracking akan meimbulkan efek ketegangan, sedangkan trackin back akan
menimbulkan efek relaksasi.
e. Crab. Kamera bergerak ke kiri atau ke kanan.
f. Follow. Adalah pergerakan kamera mengikuti objek yang bergerak searah.
g. Crane Shot. Adalah gerakan kamera yang dipasang di atas mesin beroda
(crane) dan bergerak sendiri bersama juru kamera, baik mendekat ataupun
menjauh.
h. Fading. Adalah pergantian gambar secara perlahan-lahan. Jika gambar
muncul perlahan dan menggantikan gambar yang ada pada layar disebut
fade in, apabila sebaliknya disebut fade out.
i. Framing. Adalah objek memasuki framing shot. Jika objek keluar dari
bingkai (frame) shot disebut Frame Out, apabila sebaliknya disebut Frame
In.
D. Gerakan Objek
Ada beberapa gerakan objek tanpa harus menggerakan kamera. Beberapa
gerak objek itu adalah :
1. Objek bisa bergerak sejajar dengan kamera, baik ke kiri maupun ke kanan.
2. Objek bisa bergerak mendekati kamera yang disebut walk-in.
3. Objek bisa bergerak menjauh dari kamera yang disebut walk-away.
2.2.2
Sejarah Perfilman
Proses film untuk dapat dinikmati publik, bahkan diakui sebagai suatu
media yang sangat berpengaruh terhadap pola pikir massa tidaklah berjalan begitu
saja. Film mengalami berbagai hal hingga mencapai masa jaya, bahkan dijadikan
sebagai kebutuhan.
Masyarakat global mengenal beberapa nama terkenal seperti Hollywood,
Bollywood, Mandarin Movie, dan lain-lain, adalah hasil dari globalisasi yang
awalnya mungkin hanya menjadi sebuah sub-kultur di negara asalnya.
Film juga bisa memberikan image tersendiri bagi suatu komunitas, bahkan
bisa membentuk komunitas sendiri, karena sifatnya yang universal. Berbagai
perjuangan hingga pernah mengalami masa surut dialami orang-orang film dunia.
Seratus tahun yang lalu, mungkin para legenda film seperti Porter, Lamiere, Alfa
Edison, Griffith, dan lain-lain, mungkin tidak pernah akan membayangkan bahwa
film akhirnya bisa seperti sekarang. Menjadi media publik yang bahkan bisa
membentuk budaya massa sendiri.
Film pertama yang tercatat dalam sejarah dipertontonkan kepada khalayak
umum dengan membayar (paying audience) berlangsung di Grand Café
Boulevard de Capucines, Paris, Perancis pada tanggal 28 Desember 1895.
Peristiwa ini merupakan tonggak sejarah pertama lahirnya film dan bioskop di
dunia. Meskipun usaha untuk membuat “citra bergerak” atau film ini sendiri
sudah dimulai jauh sebelum tahun 1895, bahkan sejak tahun 130 masehi, namun
dunia internasional mengakui bahwa peristiwa di Grand Café inilah yang
menandai lahirnya film pertama di dunia (Sobur, 1999 : 144).
Pelopornya adalah dua bersaudara Lumiere Louis (1864-1948) dan
Auguste (1862-1954). Thomas Alfa Edison juga menyelenggarakan bioskop di
New York pada 23 April 1896. Dan meskipun Max dan Emil Skladanowsky
muncul lebih dulu di Berlin pada 1 November 1895, namun pertunjukan Lumiere
bersaudara inilah yang diakui kalangan internasional. Kemudian film dan bioskop
ini terselenggara pula di Inggris (Februari 1896), Uni Soviet (Mei 1896), Jepang
(1896-1897), Korea (1903), dan di Italia (1905).
Pada tahun 1927 di Broadway Amerika Serikat munculah film bicara
pertama meskipun dalam keadaan yang belum sempurna sebagaimana dicita-
citakan. Sejak itu sejalan dengan perkembangan teknologi, usaha-usaha untuk
menyempurnakan film bicara itu terus dilakukan.
Pada tahun 1935 film bicara boleh dikatakan mencapai kesempurnaan.
Waktu pemutarannya cukup lama dan ceritanya panjang, karena banyak yang
dibuat berdasarkan novel dan buku dan disajikan dengan lebih baik.
Di Indonesia, sebenarnya film pertama kali diperkenalkan pada 5
Desember 1900 di Batavia, lima tahun setelah film dan bioskop pertama lahir di
Perancis. Pada masa itu film disebut “Gambar Idoep”, dan film pertama di
Indonesia ini adalah sebuah film dokumenter yang menggambarkan perjalanan
Ratu Olanda dan Raja Hertog Hendrik di kota Den Haag. Dalam lima tahun
pertamanya, bioskop-bioskop di masa itu sudah memutar dua film setiap
malamnya.
Dari catatan sejarah perfilman di Indonesia, film cerita Indonesia pertama
yang diputar adalah yang berjudul Lady van Java yang diproduksi di Bandung
pada tahun 1926 oleh David. Pada tahun 1927/1928 Krueger Corporation
memproduksi film Eulis Atjih, dan sampai tahun1930, masyarakat disuguhi film
Lutung Kasarung, Si Conat dan Pareh. Sampai saat itu, film yang disajikan masih
berupa film bisu, dan yang mengusahakannya adalah orang-orang Belanda dan
Cina. Film bicara yang pertama berjudul “Terang Bulan” yang dibintangi Roekiah
dan R. Mochtar berdasarkan naskah seorang penulis Indonesia Saerun.
Di penghujung tahun 1941, perang Asia Timur Raya pecah. Dunia filmpun
berubah wajah. Perusahaan-perusahaan film, seperti Wong Brothers, South
Pacific, dan Multi Film diambil alih Jepang, ketika Pemerintah Belanda sebagai
penguasa di Indonesia menyerah kalah kepada balatentara Jepang.
NV Multi Film diambil alih oleh Pemerintahan Nippon dan diganti
namanya menjadi “Nippon Eiga Sha” di bawah pengawasan Sendenbu, yakni
Barisan Propaganda balatentara Jepang. Sudah tentu yang menjadi kepalanya
adalah orang Jepang, tetapi wakilnya adalah R.M. Soetarto, seorang Indonesia
yang memang banyak pengalaman sebelumnya.
Pada tanggal 17 Agustus 1945 bangsa Indonesia memproklamasikan
kemerdekaannya. Maka dunia perfilman pun ikut berubah. Nippon Eiga Sha
diserahkan secara resmi pada tanggal 6 Oktober 1945 kepada Pemerintah
Republik Indonesia yang dalam serah terimanya dilakukan oleh Ishimoto dari
pihak Pemerintah Militer Jepang kepada R.M. Soetarto yang mewakili Pemerintah
Republik Indonesia. Sejak tanggal 6 Oktober 1945 itu lahirlah Berita Film
Indonesia atau B.F.I. Sementara revolusi, B.F.I terpaksa memindahkan
kegiatannya ke Surakarta dan berjalan dengan baik, meskipun segalanya serba
sederhana.
Sementara itu, ketika Pemerintah Republik Indonesia meninggalkan
Jakarta dan berpusat di Yogyakarta, maka gedung studio dan laboratorium BFI
diduduki oleh tentara NICA. Sejak itu prasarana tersebut dipergunakan oleh
Regeerings Film Bedrijf untuk membuat film dokumenter, film berita dan film
cerita, bersama-sama dengan South Pacific Film Co.
Pada tahun 1950, setelah kedaulatan diserahkan oleh Pemerintah Belanda
kepada Pemerintah RI maka Regeerings Film Bedrijf diserahkan kepada
Pemerintah Republik Indonesia Serikat (RIS) yang kemudian diberi nama
Perusahaan Pilem Negara (PPN) dalam lingkungan Kementerian Penerangan pada
waktu itu.
Dalam pada itu, bersamaan dengan pindahnya Pemerintah RI dan
Yogyakarta ke Jakarta, berpindah pula BFI, kembali ke ibukota negara untuk
bergabung dengan PPN. Namanya pun berubah menjadi Perusahaan Film Negara
(PFN).
Setelah Perfini didirikan oleh Usmar Ismail tadi yang kemudian sering
dikenal sebagai Bapak Film Indonesia dengan Darah dan Doa sebagai produksi
pertamanya. Film ini memiliki arti penting dalam sejarah film Indonesia, sehingga
Dewan Film Nasional dalam konferensinya (11 Oktober 1962) menetapkan hari
pengambilan gambar pertama film ini (30 Maret) sebagai Hari Film Nasional.
Untuk mempopoulerkan film Indonesia, Djamaludin Malik mendorong
membentuk PPFI (Persatuan Perusahaan Film Indonesia) pada tahun 1954, untuk
kemudian mengadakan Festival Film Indonesia (FFI) I pada tahun 1955 dengan
film Lewat Jam Malam (Usmar Ismail) sebagai film terbaik.
Setelah porak poranda karena pemboikotan film-film impor yang
melesukan bioskop nasional, pada era 70-an, film Indonesia mencapai masa
emasnya. Sebanyak 20 judul film diproduksi pada tahun 1970. Selama kurun
1970-1980 sekitar 604 judul film diproduksi, dengan jumlah paling sedikit pada
1977. Tema-tema komedi, seks, horor, dan musik (dangdut) mendominasi
produksi film pada waktu itu.
Awal tahun 90-an, perfilman Indonesia kembali terpuruk, terutama karena
adanya monopoli dalam bisnis bioskop, munculnya televisi swasta, dan semakin
dewasanya penonton dalam memilih film. Hampir semua film bertema seks yang
diproduksi sangat asal-asalan. Namun kemunculan Garin Nugroho dalam filmfilmnya seperti Cinta Dalam Sepotong Roti (1991), Bulan Tertusuk Ilalang (1994)
dan Daun di Atas Bantal (1996) berhasil membawa gaya baru dan harapan dalam
perfilman nasional.
Hal ini kembali membawa kepada kondisi kondusif perfilman nasional,
terutama dengan pejuang-pejuang mudanya yang berhasil memunculkan film-film
dengan kualitas yang sudah tinggi. Penontonpun kembali antusias dengan hal ini.
Film-film yang menjadi momentum keemasan kembali itu adalah Petualangan
Sherina (Riri Reza/2000), Jelangkung (Rizal Mantovani & Jose Purnomo/2001),
Ada Apa Dengan Cinta (Rudi Sudjarwo/2001), Ca-Bau-Kan (Nia diNata/2001),
Eiffel …I’m In Love (Nasri Cheppy/2003), Kimat Sudah Dekat (Deddy
Mizwar/2003) dan tentunya adalah Arisan! (Nia diNata/2003).
2.3 Altruisme
Altruisme adalah suatu doktrin etis yang memegang bahwa individu
mempunyai suatu kewajiban etis untuk membantu, melayani, atau bermanfaat
bagi orang lain, jika perlu pengorbanan diri. Versi Auguste Comte tentang
Altruisme telah disetujui oleh para ahli yang lain. Orang yang bersangkutan
dengan etika ini disebut sebagai " Altruisme."
Istilah altruisme kadang-kadang digunakan secara bergantian dengan
tingkah laku prososial, tetapi altruisme sejati adalah kepedulian yang tidak
mementingkan diri sendiri melainkan untuk kebaikan orang lain. (Sobur, 2003:
93)
Manusia merupakan makhluk sosial yang saling membutuhkan sehingga
mereka saling tolong menolong. Perilaku altruisme merupakan perilaku menolong
yang tidak mengharapkan imbalan yang dimotivasi untuk mensejahterakan orang
lain.
Kata " Altruisme" berasal dari kata perancis, atrui yang artinya Adalah
orang lain, telah diciptakan
Auguste Comte, Pendiri paham positivisme, dalam
rangka menguraikan doktrin etis yang ia dukung. Ia percaya bahwa individu
mempunyai suatu kewajiban moral untuk meninggalkan kepentingan diri dan
mengharapkan orang lain. Comte mengatakan, dalam teori Catechisme Positiviste
nya, bahwa:
“sudut pandang sosial tidak boleh mentoleransi tanggapan-tanggapan
hak dikarenakan tanggapan ini berdasarkan individualisme. Kita
dilahirkan di bawah kewajiban yang sangat banyak, yang telah
ditinggalkan oleh pendahulu dan para leluhur kita, untuk itu para
generasi yang hidup di jaman sekarang memiliki kewajiban untuk
meningkatkan, Diwaktu yang tersisa ini sebelum kembali untuk
memperbaikinya… ini “ untuk kebutuhan kehidupan orang lain”
rumusan yang paling sahih untuk kesusilaan manusia memberikan kebenaran
langsung secara eksklusif yang memiliki naluri sifat kebaikan, kewajiban kita
untuk menolong sesama manusia, merupakan tugas kita seluruh umat manusia.
Berbagai ahli filsafat menggambarkan doktrin etis dalam berbagai jalan,
tetapi semua definisi biasanya berbelit-belit, diantara suatu kewajiban moral yang
bermanfaat bagi orang lain atau moral untuk menghargai melayani orang lain
dibanding dirinya sendiri. Ahli filsafat C.D. Board Altruisme seperti " doktrin
yang masing-masing dari kita mempunyai suatu kewajiban khusus untuk
bermanfaat bagi orang lain." Ahli filsafat W.G. Maclagan menggambarkan " suatu
tugas untuk membebaskan kesusahan dan mempromosikan kebahagiaan tentang
pertolongan...
Jika seseorang melakukan suatu tindakan demi kepentingan orang lain
untuk mendapatkan keuntungan diri sendiri, maka hal itu bukanlah aktivitas
bermotivasi altruistik. Ada beberapa perspektif
berbeda dalam membedakan
“benefit” (atau “kepentingan”). Keuntungan materi (misalnya, uang, imbalan
bersifat fisik/hadiah, dll) jelas merupakan suatu benefit, sementara hal-hal yang
termasuk dalam keuntungan materi dan imateri (perhatian, kehormatan,
kebahagiaan, kepuasan, dll) merupakan keuntungan yg bersifat filosofi.
Berdasarkan egoisme filosofi (philosophically egoism), ketika orang-orang
melakukan aktivitas altruistik, mereka tidak memiliki motivasi altruistik. Mereka
yang biasanya melakukan hal ini ketika dalam hidupnya melakukan suatu hal
demi kepentingan orang lain tanpa mendapatkan timbal balik secara materi (atau
berkorban materi) bagi diri mereka sendiri, motivasi dasar mereka melakukan hal
adalah semata-mata demi kepuasan batin mereka sendiri. dengan kata lain, tidak
dapat dibuktikan karena keuntungan imateri seperti “rasa puas” tidak dapat diukur
atau dibuktikan ketika orang melakukan tindakan altruistik.
Hipotesis altruisme-empati (Empathy-altruism) menyatakan bahwa ketika
seorang individu merasakan empati terhadap seseorang yang memerlukan,
individu tersebut secara altruistik termotivasi untuk membantu orang tersebut;
secara naluri sang individu peduli terhadap kesejahteraan orang lain, bukan untuk
dirinya sendiri.
Mengalami empati yang lebih murni yang memotivasi perilaku altruistik..
mereka yang mengambil perspektif “ membayangkan self”. Juga mengalami
empati; di samping itu, perasaan akan tekanan meningkatkan motif egoistik atau
kepentingan pribadi yang dapat mempengaruhi altruisme.
Empati meliputi komponen afektif dan kognitif (Duan,2000). Secara
afektif, orang yang berempati merasakan apa yang orang lain rasakan (Darley,
1993). Secara kognitif, orang yang berempati memahami apa yang orang lain
rasakan
dan mengapa (Azar, 1997). Jadi, empati berarti tidak hanya seperti
pernyataan popular Presiden Clinton “ saya merasakan penderitaanmu”, tetapi
juga , “saya mengerti penderitaanmu”.
Secara umum, altruisme berarti menolong sesama tanpa mengharapkan
imbalan (secara fisik) dari orang tersebut, hanya demi mendapatkan “rasa
senang”, kepuasan, pernghargaan terhadap diri sendiri, pemenuhan kewajiban
(agama, atau ideology atau semata-mata karena panggilan hati) dan sebagainya.
Oleh karena itu, seseorang tidak perlu berspekulasi terhadap motivasi altruistik.
Manusia tidak hanya bersifat altruistik kepada anggota keluarga, rekan
kerja, namun dapat juga bersikap altruistik terhadap orang-orang yang justru tidak
mereka kenal dan belum pernah bertemu, contohnya beberapa orang menyumbang
untuk suatu badan amal internasional atau menjadi sukarelawan untuk orangorang yang kurang beruntung.
Cukup masuk akal jika diklaim bahwa para pelaku altruistik ini melakukan
sikap altruistik untuk mendapatkan timbal balik. Analisis game theory dari
strategi ‘berjaga-jaga’ ini, prinsipnya adalah menolong setiap orang jika
seandainya ia mendapatkan sesuatu sebagai balasan. Disebut sebagai non-optimal
strategy, dimana usaha yang dikeluarkan (timbal) jauh lebih banyak daripada
keuntungan yang didapatkan (balik). www.wikipedia.org
Fakta bahwa banyak aspek dari kepribadian terlihat dalam tingkah laku
prososial telah menyebabkan para peneliti menyatakan bahwa suatu kombinasi
dari factor-faktor yang relevan menentukan apa yang disebut sebagai kepribadian
altruistik.
Untuk
memilah-milah
komponen-komponen
kepribadian
altruistik,
Bierhoff, Klein, dan Kramp (1991) memilih beberapa variable kepribadian yang
sebelumnya telah ditemukan untuk memprediksi tingkah laku prososial dan
kemudian menguji kekuatan prediktifnya dengan membandingkan orang-orang
yang menolong pada situasi darurat di kehidupan nyata dengan orang-orang yang
tidak menolong. Faktor disposisional yang menyusun kepribadian altruistik
(altruistic personality) adalah sebagai berikut:
1. Empati. Seperti yang mungkin telah anda duga, mereka yang menolong
ditemukan mempunyai empati lebih tinggi dari pada mereka yang tidak
menolong. Partisipan yang paling altruistik menggambarkan diri mereka
sebagai bertanggung jawab, bersosialisasi, menenangkan, toleran,
memiliki self-control, dan termotivasi untuk membuat impresi yang baik.
2. mempercayai dunia yang adil. Orang yang menolong mempersepsikan
dunia sebagai tempat yang adil dan percaya tingkah laku yang baik diberi
imbalan dan tingkah laku yang buruk diberi hukuman. Kepercayaan ini
mengarah pada kesimpulan bahwa menolong orang yang membutuhkan
adalah hal yang tepat untuk dilakukan dan adanya pengharapan bahwa
orang yang menolong akan mendapat keuntungan dari melakukan sesuatu
yang baik.
3. tanggung jawab sosial. Mereka yang paling menolong mengekspresikan
kepercayaan bahwa setiap orang bertanggung jawab untuk melakukan
yang terbaik untuk menolong orang yang menolong.
4. locus of control internal. Ini merupakan kepercayaan individual bahwa dia
dapat memilih untuk bertingkah laku dalam cara yang memaksimalkan
hasil akhir yang baik dan meminimalkan yang buruk. Mereka yang
menolong memiliki locus of control internal yang tinggi. Mereka yang
tidak menolong, sebaliknya, cenderung memiliki locus of control eksternal
dan percaya bahwa apa yang mereka lakukan tidak relevan, karena apa
yang terjadi diatur oleh keuntungan, takdir, orang-orang yang berkuasa,
dan faktor-faktor tidak terkontrol lainnya.
5. egosentrisme rendah. Mereka yang tidak menolong tidak bermaksud untuk
menjadi egosentris, self-absorbed, dan kompetitif. ( Sobur, 2003: 117)
Lima karekteristik kepribadian ini ditemukan di antara orang-orang di eropa yang
secara aktif di tahun 1940-an menyelamatkan yahudi dari pembunuhan Nazi
(Oliner & Oliner, 1998)
Penjelasan Teoritis Untuk Tingkah Laku Altruisme
Hipotesis empati altruisme
mengapa terjadi
Motivasi untuk
Alasan
menolong
&
%'
$ "#
$%
&%#
%
% #
$
%
Cialdini dan kolega-koleganya (1997) menyetujui bahwa empati
menimbulkan perilaku altruistik tetapi berpendapat bahwa ini hanya terjadi ketika
partisipan mempersepsikan suatu tumpang tindih antara self dengan orang
lain.jika orang lain mempunyai tumpang tindih dengan dirinya maka sebagai
akibatnya, hal ini menjadi bagian dari self-concept, di mana partisipan yang
membantu sebenarnya sedang menolong dirinya sendiri. Peniliti-peniliti ini
menunjukan bukti bahwa
tanpa adanya perasaan ini, perasaan empati tidak
meningkatkan pertolongan. Batson dan kolega-koleganya (1997) merespons
dengan bukti tambahan yang mengindikasikan bahwa persepsi tumpang tindih
(overlapping) tidaklah perlu, empati mengarah kepada pertolongan bahkan ketika
tidak ada perasaan satu (oneness)
2.4 Semiotika
Semiotika adalah ilmu tanda, telah dibahas sejak Ferdinand de Saussure
yang menyebutnya semiologie. Semiotika kemudia berkembang dan diterapkan
dalam berbagai pengkajian ketika segala hasil kebudayaan manusia dianggap
sebagai teks : dari teks tertulis sampai bangunan, dari upacara sampai sinema.
Pengertian tanda mempunyai sejarah yang panjang yang bermula dalam
tulisan-tulisan Yunani Kuno. Namun, yang sekarang berpengaruh adalah para
ilmuwan yang menulis dalam abad ke -19, dan pengaruh itu pun baru dirasakan
pada pertengahan abad ke-20 ini. Untuk teori tanda, terdapat dua istilah, yaitu
semiologi dan semiotik yang sebenarnya mengacu pada hal yang sama.
Secara etimologis, istilah semiotik berasal dari kata Yunani semeion yang
berarti “tanda”. Tanda itu sendiri didefinisikan sebagai sesuatu yang atas dasar
konvensi sosial yang terbangun sebelumnya, dapat dianggap mewakili sesuatu
yang lain (Eco dalam Sobur. 2002:95). Istilah semeion nampaknya diturunkan dari
kedokteran hipokratik atau asklepiadik dengan perhatiannya pada simtomatologi
dan diagnostik inferensial (Sinha dalam Kurniawan dalam Sobur. 2002 : 95).
Perbedaan istilah itu menunjukan perbedaan orientasi. Semiologi mengacu
pada tradisi Eropa yang bermula pada Ferdinand de Saussure (1857-1913),
sedangkan Semiotik mengacu pada tradisi Amerika yang bermula pada Charles
Sanders Pierce (1839-1914). Penerus Saussure yang berpengaruh antara lian
adalah Louis Hjemslev (1899-1965), sedangkan penerus Pierce adalah antara lian
Charles Morris (1901-1979).
Dengan Roman Jakobson (1896-1982) kita berhadapan dengan seorang pakar
yang berpengaruh pada perkembangan linguistik, sosiolinguistik, antroplogi, dan
semiotik itu sendiri dengan model komunikasinya. Disamping tokoh-tokoh
tersebut, perlu disebutkan pula dua tokoh yang berpengaruh pada perkembangan
teori semiotika, yaitu Roland Barthes (1915-1980) dan Umberto Eco (1932-….).
Menurut Masinambow dalam pengantar kumpulan makalah seminar
semiotik, perbedaan pokok antara Saussure dan Pierce adalah dalam hal peranan
yang diberikan kepada realitas. Untuk Saussure sekali realitas berdampak pada
batin (mind), atau pikiran, selanjutnya eksistensinya berlanjut terlepas dari realitas
itu yang pada gilirannya berpengaruh pada persepsi dari realitas itu.
Untuk Pierce, realitas itu berada diluar batin, dan merupakan dua hal yang
saling berpisah. Dengan Morris yang memberikan warna behavioristik pada teori
Pierce, realitas eksternal diberikan pengaruh yang dominan, artinya tidak ada
dualisme antara yang eksternal dan yang internal. Proses yang tampak eksternal
tidak berbeda dari yang terjadi secara internal. (Semiotik Kumpulan Makalah
Seminar. 2000:12).
Dilihat dari sudut orientasi akademis, Pierce mengembangkan sistemnya
dalam kerangka filsafat, sedangkan Saussure dalam kerangka linguistik. Oleh
karena itu, sistem semiotik yang dikembangkan Pierce secara terperinci
mempersoalkan sifat dan hakikat tanda (sign) dalam kaitan dengan keseluruhan
realitas sebagai permasalahan teori pengetahuan atau epistimologi. Saussure
memusatkan perhatian pada pertalian antar tanda dan pertalian itu dianggapnya
unsur pembentuk makna. Tanda untuk semiotik adalah sesuatu yang mengacu
atau menggantikan sesuatu yang lain, dan “yang sesuatu” itu secara potensial
mencakupi semua unsur dari realitas.
Memang semiotika selalu identik dengan perbedaan antara pola pikir kedua
tokoh ini. Namun perbedaan yang muncul tidak seharusnya menjadi hal yang
membuat perseteruan. Saussure dan Pierce justru sebenarnya memperlihatkan
suatu yang saling mengisi dan melengkapi. Saussure yang lalu identik dengan
semiotika signifikasi (Semiotics of Signification) dan Pierce yang diidentikan
dengan semiotika komunikasi (Semiotics of Communication).
Semiotika signifikasi yang berakar pada pemikiran linguistik Saussure,
meskipun lebih menaruh perhatian pada tanda sebagai suatu sistem dan struktur,
akan tetapi tidak berarti mengabaikan penggunaan tanda secara konkret oleh
individu-individu di dalam konteks sosial. Semiotika komunikasi yang
mempunyai jejaknya pada pemikiran Pierce, meskipun menekankan ‘produksi
tanda’ secara sosial dan proses interpretasi yang tanpa akhir (semiosis), akan
tetapi tidak berarti mengabaikan sistem tanda. Kedua semiotika justru hidup
dalam relasi saling mendinamisasi.
Apa yang secara epistimologis disebut “semiotika signifikasi”, pada
prinsipnya adalah semiotika pada tingkat langue (analisis bahasa sebagai sebuah
sistem), sementara “semiotika komunikasi”, adalah semiotika pada tingkat parole
(bahasa sebagaimana ia digunakan secara nyata oleh individu-individu dalam
berkomunikasi secara sosial).
Van Zoest dalam Sobur mengatakan bahwa manusia adalah homo semioticus.
Namun, meskipun dalam semiotika manusia disebut sebagai homo semioticus
Erns Cassirer dan Susanne Langer dalam kepustakaan filsafat, manusia disebut
animal simbolicum (Sobur. 2003 : 14).
Tanda-tanda (signs) adalah basis dari seluruh komunikasi (Littlejohn, 1996 :
64). Manusia dengan perantaraan tanda-tanda, dapat melakukan komunikasi
dengan sesamanya. Banyak hal bisa dikomunikasikan di dunia ini.
Semiotika adalah suatu ilmu atau metode analisis untuk mengkaji tanda.
Tanda-tanda adalah perangkat yang kita pakai dalam upaya berusaha mencari
jalan di dunia, di tengah-tengah manusia dan bersama-sama manusia. Semiotika
pada dasarnya hendak mempelajari bagaimana kemanusiaan (humanity)
memaknai hal-hal (things). Memaknai (to sinify) dalam hal ini tidak dapat
dicampuradukan dengan mengkomunikasikan (to communicate).
Pengggunann metode semiotika dalam berbagai penelitian terkait, harus
didasrkan pada pemahaman yang komprehensif mengenai elemen-elemen dasar
semiotika. Elemen-elemen itu adalah :
•
Komponen Tanda (Penanda/Petanda).
•
Aksis Tanda (Sintagma/Sistem).
•
Tingkatan Tanda (Denotasi/Konotasi).
•
Relasi Antar Tanda (Metapora/Metonimi).
2.4.1 Semiologi Roland Barthes
Menurut Yasraf Piliang dalam wawancara dengan penulis, Roland Barthes
dikenal sebagai salah seorang pemikir yang hidup di dua era yaitu strukturalis dan
post-strukturalis yang sangat giat mempraktikan model linguistik dan semiologi
Saussurean. Ia juga intelektual dan kritikus sastra Perancis yang ternama. Barthes
berpendapat bahasa adalah sebuah sistem tanda yang mencerminkan asumsiasumsi dari suatu masyarakat tertentu dalam waktu tertentu.
Roland Barthes
lahir pada tahun 1915. Ia adalah seorang pengikut
Marxian dan Sartrean. Barthes telah banyak menulis buku, yang beberapa
diantaranya telah menjadi rujukan penting untuk studi semiotika di Indonesia
termasuk penelitian ini yaitu buku Mitologi yang merupakan terjemahan dari buku
Barthes yang menjadi sorotan yaitu Mythologies (1957).
Bagi Barthes, tanda bersifat polisemis. Makna yang dimiliki oleh tanda
bersifat potensial. Oleh karena itu makna tanda memerlukan keterlibatan aktif
para pembaca dan kompetensi budaya yang mereka hadirkan di dalam citra teks
agar secara temporer ’menetapkan’ makna suatu tanda untuk jadi tujuan tertentu.
Jadi interpretasi tanda/teks tergantung kepada kapasitas dan budaya pembaca dan
pengetahuan mereka tentang kode-kode sosial. Oleh karena itu tanda dapat
ditafsirkan dengan berbagai cara. Tanda tidak pernah memiliki makna yang tetap
dan stabil.
Di sisi lain ketika makna dinaturalisasikan dan diterima umum sebagai
sesuatu yangsudah final dan dianggap sebagai sesuatu yang normal dan alami,
maka ia berubah menjadi mitos, menjadi bersifat hegemonik. Ia berubah menjadi
peta makna konseptual yang mengarahkan untuk memahami dunianya.
Salah satu area penting yang dirambah Barthes dalam studinya tentang
tanda adalah peran pembaca ( the reader). Konotasi, walaupun merupakan sifat
asli tanda, membutuhkan keaktifan pembaca agar dapat berfungsi. Barthes secara
panjang lebar mengulas apa yang sering disebut dengan sistem pemaknaan tataran
ke-dua, yang dibangun diatas sistem lain yang telah ada sebelumnya. Sistem
kedua ini oleh Barthes disebut dengan konotatif, yang didalam buku Mitologi-nya
secara tegas ia bedakandari denotatif atau sistem pemaknaan tataran pertama.
Dalam konsep Barthes, tanda konotatif tidak sekadar memiliki makna
tambahan namun juga mengandung kedua bagian tanda denotatif yang melandasi
keberadaannya. Sesungguhnya, inilah sumbangan Barthes yang sangat berharga
bagi penyempurnaan semiologi Saussure, yang berhenti pada tataran denotatif.
Dapat dikatakan bahwa dalam tingkat Konotasi yang bisa berupa mitos
terdapat dua sistem semiologis, di mana salah satu dari dua sistem tersebut
disusun berdasarkan keterpautannya dengan yang lain : sistem linguistik, bahasa
(atau cara representasi yang diasimilasikan ke dalamnya) atau yang Barthes bilang
sebagai bahasa-objek, sebab ia adalah bahasa yang menjadi sandaran mitos dalam
membentuk sistemnya sendiri; dan mitos itu sendiri, juga dapat disebut dengan
istilah metabahasa, karena ia adalah bahasa kedua, dimana orang berbicara
tentang yang pertama.
2.4.2 Semiotika Sinematografi
Saussure dan Pierce boleh dikatakan sebagai Bapak Semiotika
Strukturalis, dan walaupun ada banyak usaha di luar pemikiran kontinental
tentang semiotika film, tidak dapat dilupakan adanya tokoh lain yang pantas
menyandang gelar sebagai figur utama dalam semiotika yang mengkhususkan diri
untuk sinematografi, ia adalah Christian Metz dari Ecole des Hautes Etudes et
Science Sociales (EHESS) Paris.
Berangkat dari pendekatan Metz tentang “Teori Film” (“Theorie du
Film”), sumbangan Metz pada teori film adalah usaha untuk menggunakan , baik
peralatan konseptual linguistik struktural untuk meninjau kembali teori film yang
sudah ada yang membawa kita pada semilogi klasik. Dengan kata lain, semiologi
Metz lebih “cermat” daripada teori/analisis film sebelum dia ini tidaklah
berangkat dari yang baru sama sekali.
Yang membedakan Metz dan Saussure adalah penempatan Langue dalam
sinematografi. Saussure secara umum menonjolkan identifikasi signifikasi pada
tingkat Langue (bahasa manusia biasa dalam bentuk sistem), sedangkan Metz
mencoba menempatkan sinema dapat dikelompokan dalam langage (bahasa pada
tingkat umum : bahasa binatang, tanda lalu lintas, dll.). itu semua dikarenakan
karena sinema tidak memiliki padanan “artikulasi ganda” (double articulation).
Di dalam sinematografi Metz berkesimpulan bahwa sebuah shot lebih
dekat dengan kalimat daripada kata. Dia memberi contoh seseorang yang berjalan
di jalanan, hal yang sepadan dengan kalimat : seseorang berjalan di jalanan,
suatu padanan yang dijelaskan sebagai suatu yang aproksimatif saja (Masak dalam
Kumpulan Seminar Semiotik. 2000 : 282).
Berbeda dengan permasalahan tanda bahasa dimana hubungan bersifat
semena antara tanda dan benda, penanda sinematografis memiliki hubungan
penanda dengan alam yang dirujuk. Petanda sinematografis selalu kurang lebih,
kata Metz, “beralasan” dan tidak pernah sama.
Hubungan motivasi itu berada baik pada tingkat denotatif maupun
konotatif. Hubungan denotatif yang beralasan itu lazim disebut analogi, karena
memiliki persamaan perseptif/auditf antara penanda/petanda dan rujukan. Metz
menggarisbawahi bahwa konotasi sinematografis pada hematnya bersifat simbolis
: petanda memotivisir penanda, tetapi melampauinya.
Dalam salah satu penelitian permulaan mengenai gejala film yang
berorientasikan semiotika, yaitu dalam disertasi J.M. Peters De taal van de film
(1950), sudah disinggung sebagai berikut : ”Kita hampir dapat mengatakan bahwa
semua penelitian kita telah menjadi suatu teori mengenai tanda ikonis.(van Zoest
dalam Sobur. 2003 : 128)”.
Sebetulnya, tanda-tanda film itu melakukan sesuatu yang tidak jauh
berbeda dengan roman atau novel. Film tersebut menyajikan ”teks” fiksional yang
memunculkan dunia (fiktif global) yang mungkin ada. Jika kita hendak
menganalisis penyusunan struktur dan aktivitas semiotika film-film ini, menurut
van Zoest, konsep-konsepnya dapat kita pinjam dari teori bercerita dan berkisah
yang berorientasikan semiotika. Hal ini memang juga terjadi, antara lain dalam
analisis yang dilakukan Christian Metz dan, dalam bahasa Belanda, J.M. Peters
yang dalam hal ini, telah membela kepentingan studi film.
Film menuturkan ceritanya dengan cara khususnya sendiri. Kekhususan
film adalah mediumnya, cara pembuatannya dengan kamera dan pertunjukannya
dengan proyektor dan layar. Van Zoest mengatakan :
”Semiotika film untuk membuktikan hak keberadaannya-yang dalam halhal penting perilaku anti-sosial dari sintaksis dan semantik teks dalam arti
harfiah- harus memberikan perhatian khusus pada kekhususan tersebut.”
(Sobur. 2003 : 128).
Film juga sebetulnya tidak jauh beda dengan televisi. Namun, film dan
televisi memiliki bahasanya sendiri dengan sintaksis dan tata bahasa yang
berbeda. Tata bahasa itu terdiri atas semacam unsur yang akrab, seperti
pemotongan (cut), pemotretan jarak dekat (close-up), pemotretan dua (two shot),
pemotretan jarak jauh (long shot), pembesaran gambar (zoom in), memudar
(fade), pelarutan (dissolve), gerakan lambat (slow motion), gerakan yang
dipercepat (speeded-up), efek khusus (special effect). Namun, bahasa tersebut
juga mencakup kode-kode representasi yang lebih halus, yang tercakup dalam
kompleksitas dari penggambaran visual yang harfiah hingga simbol-simbol yang
paling abstrak dan arbitrer serta metafora.
Begitulah, sebuah film pada dasarnya bisa melibatkan bentuk-bentuk
simbol visual dan linguistik untuk mengodekan pesan yang sedang disampaikan.
Pada tataran gambar bergerak, kode-kode gambar dapat diinternalisasikan sebagai
bentuk representasi mental.
Metz juga mendukung stigma tentang sinema bukanlah “kopi realitas”,
melainkan kumpulan sistem tanda audio-visual, konsep yang tentunya
memberikan kemungkinan kepada kita untuk menata pemahaman yang lebih
ilmiah tentang seluruh fenomena estetika film. Dalam tulisan awal Metz : Cinema
: Langue ou Langage, menegaskan bahwa sebuah film bagi penontonnya
hanyalah “ilusi realitas” yang mungkin lebih tepat disebut “impresi tentang
realitas”. (Masak. 2000 : 285).
Menurut Metz, yang selalu sangat diutamakan adalah isi tiap “motif” yang
difilmkan (dalam oposisi dengan shot sebagai hasil shooting). Seni mulai pada
tingkat ini, yang berlangsung terus pada tingkat sekuen dan berbagai shot yang
diatur. Pada saat inilah langage sinematografis dimulai.
Mengenai bahasa sinematografi, Metz menunjukan bahwa hal itu
mempunyai hubungan dialetik dengan gaya. Para sineas, seperti para sastrawan
yang membuat ecriture (tulisan), bukanlah ciri utama bahasa sinematografis dan
di dalamnya terdapat pula hubungan interpretasi fungsional. Metz mendefinisikan
ecriture yang beradsa pada tingkat film sebagai “kumpulan berbagai sistem
tekstual”, sedangkan bahasa sinematografis sebagai “kumpulan kode dan subkode
sinematografis”.
Dengan demikian, hubungan antara ecriture dan bahasa sinematografis
dapat dirumuskan sebagai berikut : ecriture dalam arti metamorfisis dan modern,
hal yang berada pada tingkat film (bukan sinema) adalah pengolahan bahasa
sinematografis yang berupa kode dan sub-kode. Dengan kata lain, ecriture adalah
pengolahan kode-kode dalam konstruksi kumpulan sistem tekstual. Kode atau
subkode sinematografis berhubungan umpamanya dengan gerakan kamera :
travelling, pan, pano-travelling, tilt, zoom in/zoom out, dan lain-lain, tanpa
melupakan kode lainnya yang agak sinematografis seperti kode analogi visual dan
kode fotografis pada hirearki frame : long shoot, medium shot, close up shoot,
extreme close up shot, dan lain-lain.
Seluruh teori Metz diatas bukanlah yang paling sempurna, hal ini dapat
dibuktikan dengan banyaknya kritik tentang semiologi sinematografi Metz, yang
akhirnya mampu mebuat kita sadar bahwa untuk mencapai pematangan teori film,
semakin dibutuhkan sumbangan penelitian interdisipliner, bukan hanya linguistik
dan psikoanalisis seperti yang ditawarkan Metz, tetapi juga filsafat, sosiologi,
antropologi, ekonomi, dan lain-lain. Kelemahan Metz pada ketiadaan pendekatan
sosiologis pada kegiatan produksi penanda, yang membawa kita kembali pada
konsep Saussure tentang semiotika : “ilmu yang mempelajari kehidupan tandatanda di dalam kehidupan sosial” (Sobur, 2003 : 7).
BAB III
METODE DAN OBJEK PENELITIAN
3.1. Metodologi Penelitian
3.1.1 Analisis Semiotika
Secara etimologis, istilah semiotika berasal dari kata semeion yang berarti
‘tanda’. Sementara tanda itu sendiri berarti sesuatu yang atas dasar konvensi sosial
yang terbangun sebelumnya dianggap mewakili sesuatu yang lain (Eco, 1979:16
dalam Sobur 2002:95). Secara terminologis, semiotik dapat didefinisikan sebagai
ilmu yang mempelajari sederetan luas objek-objek, peristiwa-peristiwa, seluruh
kebudayaan sebagai tanda (Eco, 1979:6 dalam Sobur, 2002:95).
Santosa (1993:3 dalam Sobur 2002:96) menyatakan bahwa semiotik
adalah ilmu yang secara sistematis mempelajari tanda-tanda dan lambanglambang, sistem-sistemnya dan proses perlambangan.
Batasan yang lebih jelas dikemukakan oleh Preminger, yang mengatakan:
“Semiotik adalah ilmu tentang tanda-tanda. Ilmu ini menganggap bahwa
fenomena sosial/masyarakat dan kebudayaan itu merupakan tanda-tanda.
Semiotik itu mempelajari sistem-sistem, aturan-aturan, konvensi-konvensi
yang memungkinkan tanda-tanda tersebut mempunyai arti”
(Sobur, 2002:96)
Selain istilah semiotika, juga ada yang disebut dengan semiologi yang
pada dasarnya hampir mirip. Menurut Saussure semiologi ialah sebuah ilmu
umum tentang tanda, “suatu ilmu yang mengkaji kehidupan tanda-tanda di dalam
masyarakat” (Budiman, 2004:3)
Baik istilah semiotika maupun semiologi dapat digunakan untuk merujuk
kepada ilmu tentang tanda-tanda tanpa ada perbedaan pengertian yang terlalu
tajam. Perbedaan diantara keduanya hanyalah istilah semiologi lebih banyak
dipakai di Eropa, sedangkan semiotika digunakan oleh para penutur bahasa
inggris.
Sampai sekarang ini, bidang-bidang studi semiotika sangatlah beragam,
mulai dari komunikasi hewani sampai dengan analisis atas sistem-sistem
pemaknaan seperti komunikasi tubuh.
Dengan demikian, ruang lingkup studi semiotika sangatlah luas sehingga
mungkin akan menimbulkan kesan sebagai suatu ilmu dengan, meminjam istilah
Umberto eco (1979:6), ‘imperialisme’ yang arogan. (Budiman, 2004:4)
Menurut Charles Morris, semiotika pada dasarnya dapat dibedakan ke
dalam tiga cabang penyelidikan (branches of inquiry), yakni sintaktik, semantik,
dan pragmatik.
1.
2.
Sintaktik (syntactics): suatu cabang penyelidikan semiotika yang
mengkaji hubungan formal diantara satu tanda dengan tanda-tanda
yang lain”. Dengan kata lain, karena hubungan-hubungan formal ini
merupakan kaidah-kaidah yang mengandalikan tuturan dan interpretasi,
pengertian sintaktik kurang lebih adalah semacam ‘gramatika’.
Semantik (semantics): suatu cabang penyelidikan semiotika yang
mempelajari “hubungan diantara tanda-tanda dengan designata atau
objek-objek yang diacunya”. Bagi Morris, yang dimaksudkan dengan
designata ialah makna tanda-tanda sebelum digunakan dalam tuturan
tertentu.
Pragmatik (pragmatics): suatu cabang penyelidikan semiotika yang
mempelajari “hubungan diantara tanda-tanda dengan interpreterinterpreter atau para pemakainya”. Pragmatik secara khusus berurusan
dengan aspek-aspek komunikasi, khususnya fungsi-fungsi situasional
yang melatari tuturan.
(Budiman, 2004:5)
3.
Sintaktik
Semantik
Pragmatik
Sifat
Penelitian tentang
struktur tanda
Penelitian makna tanda Penelitian
mengenai efek
tanda
Elemen
Penanda/petanda
Struktural
Reception
Sintagma/sistem
Kontekstual
Exchange
Konotasi/denotasi
Denotasi
Discourse
Metafora/metonimi
Konotasi
Efek (psikologi,
ekonomi, sosial,
gaya hidup)
(ideologi/mitos)
Dalam penggunaan metoda semiotika harus didasarkan pada pemahaman
yang komperehensif mengenai elemen-elemen dasar semiotika, yaitu komponen
tanda (penanda/petanda), aksis tanda (sintagma/sistem), tingkatan tanda
(denotasi/konotasi), serta relasi tanda (metafora/metonimi)
3.1.2. Komponen Tanda
Dalam konteks semiotik ada hal yang paling penting menurut pemikiran
Ferdinand de Saussure, yaitu mengenai tanda. Saussure meletakkan tanda dalam
konteks komunikasi manusia dengan melakukan pemilahan antara apa yang
disebut signifier (penanda) dan signified (petanda). Saussure menyebut signifier
sebagai bunyi atau coretan yang bermakna, sedangkan signified adalah gambaran
mental atau konsep sesuatu dari signifier. Hubungan antara keberadaan fisik tanda
dan konsep mental tersebut dinamakan signification. Dengan kata lain
signification adalah upaya dalam memberi makna terhadap dunia (Fiske, 1990:44
dalam Sobur, 2001:125). Saussure menggambarkan tanda yang terdiri atas
signifier dan signified itu sebagai berikut:
Gambar 1. Elemen-elemen Makna Saussure
Signs
composed of
signification
signifier plus
reality
signified
(physical
(mental
existence
concept)
external
of meaning
of the sign)
Sumber: John Fiske (1990:44 dalam Sobur, 2001:125)
Pada dasarnya apa yang dimaksud dengan signifer dan signified adalah
sebuah produk kultural. Hubungan antara keduanya bersifat arbitrer (manasuka)
dan hanya berdasarkan konvensi (Sobur, 2001:125). Jadi dengan kata lain
hubungan antara signifer dan signified tidak dapat dijelaskan melalui penalaran,
hanya dapat dijelaskan berdasarkan nilai-nilai atau kaidah-kaidah yang hidup di
lingkungan sekitarnya.
3.1.3. Aksis Tanda
Di dalam strukturalisme bahasa, tanda tidak dapat dilihat hanya secara
individu, akan tetapi dalam relasi dan kombinasinya dengan tanda-tanda yang lain
dalam
sebuah
sistem.
Menurut
Saussure
(Piliang,
2003:259)
aturan
pengkombinasian ini terdiri dari dua aksis yaitu aksis paradigma dan aksis
sintagma. Paradigma adalah satu perangkat tanda (kamus, perbendaharaan kata)
yang melaluinya pilihan-pilihan dibuat, dan hanya satu unit dari pilihan tersebut
yang dapat dipilih. Sedangkan yang dimaksud dengan sintagma ialah kombinasi
tanda dengan tanda lainnya dari perangkat yang ada berdasarkan aturan tertentu,
sehingga menghasilkan ungkapan bermakna.
Berdasarkan aksis bahasa yang dikembangkan oleh Saussure, Roland
Barthes mengembangkan sebuah model relasi antara apa yang disebut sistem,
yaitu perbendaharaan tanda (kata, visual, gambar, benda) dan sintagma yaitu cara
pengkombinasian tanda berdasarkan aturan main tertentu.
3.1.4. Tingkatan Tanda
Roland Barthes mengembangkan dua tingkatan pertandaan, yang
memungkinkan dihasilkannya makna yang juga bertingkat-tingkat, yaitu tingkat
denotasi dan konotasi. (Piliang, 2003:261)
Denotasi adalah tingkat pertandaan yang memiliki makna yang eksplisit,
langsung dan pasti. Denotasi adalah tanda yang penandanya mempunyai tingkat
konvensi atau kesepakatan yang tinggi. Sedangkan konotasi ialah tingkat
pertandaan yang mempunyai makna tidak eksplisit, tidak langsung dan tidak pasti
(terbuka terhadap berbagai kemungkinan). Ia membentuk makna-makna lapis
kedua ketika dikaitkan dengan perasaan atau emosi seseorang. Barthes juga
melihat makna yang lebih dalam lagi tingkatannya tetapi lebih bersifat
konvensional yaitu mitos.
3.1.5. Relasi Antar Tanda
Bentuk interaksi diantara tanda-tanda ini sangat terbuka luas, tetapi ada
dua bentuk interaksi utama yang dikenal, yaitu metafora dan metonimi. (piliang,
2003:262)
Metafora adalah sebuah model interaksi tanda yang di dalamnya sebuah
tanda dari sebuah sistem digunakan untuk menjelaskan sebuah sistem lainnya
(Piliang, 2003:262). Misalnya penggunaan kata kepala batu untuk menjelaskan
seseorang yang sulit untuk diubah pikirannya.
Metonimi adalah interaksi tanda yang di dalamnya sebuah tanda
diasosiasikan dengan tanda lain, yang di dalamnya terdapat hubungan bagian
dengan keseluruhan (Piliang, 2003:262). Misalnya tanda botol (bagian) untuk
mewakili pemabuk (total). Relasi metafora ini banyak digunakan untuk
menjelaskan makna-makna secara tidak langsung.
3.2
Semiologi Roland Barthes
Roland Barthes merupakan salah seorang pemikir strukturalis yang aktif
mempraktekkan model linguistik Saussurean dan semiologinya. Roland Barthes
dilahirkan pada tahun 1915 dari keluarga kelas menengah di Cherbourg dan di
besarkan di Bayonne, sebuah kota kecil di dekat pantai Atlantik sebelah barat
daya Perancis dan Paris. Ia telah ditinggalkan ayahnya yang gugur dalam tugas
saat usianya baru mencapai satu tahun.
Pendekatan semiotik Roland Barthes tertuju kepada suatu suatu tataran
signifikasi yang disebut dengan signifikasi dua tahap (two order signification)
Denotasi merupakan signifikasi tahap pertama yang merupakan makna
paling nyata dari tanda. Sedangkan konotasi ialah signifikasi tahap kedua dimana
makna yang terbentuk dikaitkan dengan perasaan, emosi atau keyakinan.
Misalnya, tanda bunga mengkonotasikan kasih sayang.
Pada signifikasi tahap kedua yang berhubungan dengan isi, tanda bekerja
melalui mitos (myth). Mitos adalah bagaimana kebudayaan menjelaskan atau
memahami beberapa aspek tentang realitas atau gejala alam. Mitos merupakan
produk kelas sosial yang sudah mempunyai suatu dominasi. Mitos primitif
misalnya, mengenai hidup dan mati, manusia dan dewa dan sebagainya.
Sedangkan mitos masa kini misalnya mengenai femininitas, maskulinitas, ilmu
pengetahuan dan kesuksesan (Fiske, 1990:88 dalam Sobur, 2001:128).
1.3 Objek Penelitian
1.3.1
Merantau Film
Merantau Films adalah sebuah rumah produksi di Jakarta, Indonesia, yang
berkecimpung pada produksi feature film bergenre action untuk audience
internasional dan domestik. Dilahirkan pada tahun 2008, filosofi Merantau Films
adalah membuat setiap produksinya dengan baik dan sungguh-sungguh dari awal
sampai rampung dan release untuk dunia.
PT. Merantau Films diawali oleh filmmaker Inggris Gareth Evans,
sutradara feature film Footsteps (2006), dokumentari “Land of Moving Shadows;
Pencak Silat” untuk Christine Hakim Films dan feature film perdana Merantau
(2009) Director Rangga Maya Barrack-Evans adalah Production Manager pada
dokumenter silat di tahun 2006, Managing Director pada taman bermain
Doraemon Dreamland pada hari ulang tahun 50 tahun hubungan baik antara
negara Jepang dan Indonesia pada tahun 2008, dan sebagai Executive Producer
film Merantau pada tahun 2009.
Dari pengalaman mengerjakan dokumenter silat bersama, mereka
bertujuan untuk memproduksi beberapa feature film yang didedikasikan untuk
memperlihatkan bakat para pesilat dan berharap dapat mempromosikan seni bela
diri tradisional Indonesia tersebut. Selain itu juga menciptakan dan menjaga minat
pada tradisi Indonesia untuk semua generasi dunia yang menjadi audience feature
film.
Telah berpengalaman pada berbagai iklan televisi Indonesia dan luar negri
sebagai Producer dan Co-Director, juga sebagai Technical Operations dan Studio
Manager untuk MTV Indonesia, Producer Ario Sagantoro disegani oleh banyak
network talent-talent artist dan crew. Dalam naungan MNC Pictures pada tahun
2008, beliau memproduksi berbagai film televisi dan televisi seri untuk RCTI dan
film televisi Indonesia Movie Track untuk Global TV. Di tahun 2009, Merantau
menandai feature film perdananya.
1.3.2
Komponen Produksi Film Merantau
1. Sutradara (Gareth Evans)
Pria kelahiaran Wales, 06 April 1980 mempunyai pengalaman
mengerjakan dokumenter silat bersama (MayaBarack Evans & Gareth
Huw
Evans) bertujuan untuk memproduksi beberapa feature film yang didedikasikan
untuk memperlihatkan bakat para pesilat dan berharap dapat mempromosikan seni
bela diri tradisional Indonesia tersebut. Selain itu juga menciptakan dan menjaga
minat pada tradisi Indonesia untuk semua generasi dunia yang menjadi audience
feature film.
2. Producer Ario Sagantoro
Telah berpengalaman pada berbagai iklan televisi Indonesia dan luar negri
sebagai Producer dan Co-Director, juga sebagai Technical Operations dan Studio
Manager untuk MTV Indonesia, Producer Ario Sagantoro disegani oleh banyak
network talent-talent artist dan crew. Dalam naungan MNC Pictures pada tahun
2008, beliau memproduksi berbagai film televisi dan televisi seri untuk RCTI dan
film televisi Indonesia Movie Track untuk Global TV. Di tahun 2009, Merantau
menandai feature film perdananya.
3. Crew
•
Penulis cerita : Gareth Huw Evans
•
Penata Fotografi: Matt Flannery & Dimas Imam Subhono
•
Penata desain suara: Satrio Budiono
•
Penata artistik: Tommy D Setianto
•
Penyunting gambar: Gareth Huw Evans
•
Ilustrasi musik : Fajar Yuskemal & Aria Prayogi
•
Producer pelaksana: Ario sagantoro
•
Koordinator produksi 1 & 2: Yuli Budi Santoso & Johanes
Rymba
•
Asisten produksi: Intan Melvina
•
Asisten sutradara: Yudhianto Purwana
•
Cameramen: Matt Flannery & Dimas Imam Subhono
•
Asisten penata kamera: Arnand Pratikto & Wahyudi fourestig
•
Asisten penata cahaya: Hartono
•
Penata suara: Suhadi
•
Penata kostum: Sutomo TS & Endy Nayangga
•
Penata Rias:
•
Fotografer: Panji Laksmana
•
Casting director: Dimas Wibisono & Aji Muslim
•
Koordinator pasca produksi: Nanung Nugroho
1.3.3
Sinopsis Film
Film Persilatan Indonesia kembali bangkit dengan gebrakan koreografi
yang sangat mengagumkan. Sungguh diluar dugaan saya bilamana meremehkan
perfilman indonesia mengenai dunia persilatan. Karena selama saya menonton
film indonesia yang berbau action, biasanya kurang menegangkan dalam adegan
berantem, efek yang kurang dan minimnya teknik beladiri yang di tampilkan. Tapi
di Film Merantau memiliki nuansa berbeda. Rentetan action yang sampai
sekarang belum pernah di sajikan di layar lebar indonesia kini tlah hadir.
Film Merantau ini dimulai dengan Adat istiadat Minangkabau, propinsi
Sumatera Barat. Setiap anak laki – laki yang berasal dari Suku Minangkabau
harus menjalankan tradisi untuk merantau di tempat lain untuk mencari jati diri
sebagai pria sejati dan pengalaman hidup. Lakon utamanya adalah Yuda ( yg
diperankan oleh Iko Uwais ) yang mana menguasai beladiri Silat Harimau dan
bersiap – siap untuk memulai perantauan. Yuda meninggalkan keluarganya yaitu
Ibu yang disayanginya bernama Wulan ( yang diperankan oleh Christine Hakim )
dan adiknya Yayan ( diperankan oleh Donny Alamsyah ). Tujuan utama yang
dicari Yuda saat ini adalah Kota Jakarta.
Setelah sampai di kota Jakarta, takdir mempertemukan Yuda dengan Adit
yg mana seorang anak yatim piatu ( diperankan oleh Yusuf Aulia ) dan Astri (
diperankan oleh Sisca Jessica ). Saat itu Yuda sedang menelpon dan memergoki
Astri sedang di siksa oleh segerombolan organisasi jual beli manusia.
Organisasi itu dipimpin seseorang yang bernama Ratger ( diperankan oleh Mads
Koudal ) dan seorang tangan kanan yang bernama Luc ( diperankan oleh Laurent
Buson ). Saat itu Ratger berusaha keras mencari Astri yang hendak dijual, tetapi
Astri berhasil di selamatkan oleh Yuda dengan mudahnya menghajar Johni ( Alex
Abbad ).
Astri, Adit dan Yuda dikejar – kejar oleh mucikari dan preman yang
berusaha mengambil alih “barang” yang dimaksud. Setiap langkah yang diambil
membuat Yuda harus berkelahi mati – matian untuk melarikan diri di tengah
rimbanya kota Jakarta. Akhirnya karena merasa capek dengan semua itu, Yuda
ingin merasakan kebebasan dan berusaha menolong Astri dan Adit dari tangan
orang jahat, Yuda akhirnya membuat perhitungan dengan melawan mereka.
semua adegan yang disajikan tidak akan membuat anda beranjak dari
tempat duduk. Tetapi bagi yang tidak menyukai kekerasan harap menghindari
film ini. Film Merantau ini merupakan garapan dari sang sutradara dan penulis
Gareth Evans. Dan banyak dibintangi pemain – pemain baru yang tidak diragukan
kualitas aktingnya yakni Iko Uwais, Sisca Jesica, Christine Hakim, Donny
Alamsyah, Yusuf Aulia, Laurent Buson, Alex Abbad, dan Mads Koudal.
1.3.4
Proses Produksi Film Merantau
Dimulai dengan Ide cerita (penulisan, translasi & adaptasi : January ’08 – Juni
’08 dilanjutkan Pre Produksi: Juni 2008 – November 2008 lalu Produksi
:
November 2, 2008 – Maret 7, 2009 Post Produksi & Promo: Maret 8 2009 –
agustus 11 2009 Premier : Agustus 06 2009
FULLTEXT TIDAK BISA DITAMPILKAN SEMUA
DIKARENAKAN UKURAN FILENYA BESAR
Download