Perbedaan Efikasi Diri Guru Yang Mengajar di SMA Rintisan

advertisement
 BAB II
Kajian Teori
2.1 Efikasi Diri Guru (Teacher’s Self-efficacy)
2.1.1 Pengertian Efikasi Diri Guru
Menurut Bandura (1986) efikasi diri guru adalah keyakinan diri yang
dimiliki oleh seorang guru terhadap kemampuannya dalam hal mempengaruhi
pembuatan keputusan, mengenai pengelolaan kelas, pengorganisasian rangkaian
pelajaran, mengajar, memotivasi siswa untuk belajar dan berkomunikasi dengan
siswa secara efektif untuk menunjang aktivitasnya di sekolah demi tercapainya
tujuan pendidikan. Keyakinan seorang guru akan seluruh kemampuan yang
dimilikinya dapat meliputi kemampuan menyesuaikan diri, kapasitas kognitif,
kecerdasan dan kemampuan mengambil serta memutuskan apa yang seharusnya
dilakukan untuk melaksanakan tindakan-tindakan yang diperlukan, tugas dalam
kegiatan pembelajaran dan membantu siswanya dalam belajar termasuk siswa
yang kurang termotivasi dan sulit.
Keyakinan diri seorang guru dapat menopang dan memberikan landasan
bagi seorang guru untuk berusaha dengan tekun, ulet, menumbuhkan motivasi
yang kuat dan keberanian dalam menghadapi hambatan dalam program
pendidikan demi menunjang aktifitasnya di sekolah. Efikasi diri sangat penting
bagi guru, karena dengan memiliki efikasi diri memberikan penilaian guru untuk
memperkirakan sejauh mana keyakinan akan kemampuannya serta usaha yang
dimilikinya di dalam melaksanakan tugas dan menghadapi berbagai tantangan
yang dilalui, menyelesaikan tugasnya sebagai guru. Efikasi diri guru merupakan
5 pendorong bagi guru yang akan terlihat dari prestasi yang diterima siswa dan juga
akan mempengaruhi motivasi siswa dalam belajar. Keyakinan akan efikasi diri
mempengaruhi pemilihan perilaku, usaha, dan ketekunan seseorang. Efikasi diri
dapat menentukan bagaimana perasaan seseorang, cara berfikir, dan berperilaku.
Bandura (1986) menyatakan bahwa tinggi rendahnya efikasi diri guru
sangat ditentukan pada awal pengajaran. Oleh karena itu, tahun pertama
pengajaran menjadi sangat penting terhadap perkembangan jangka panjang dari
efikasi diri guru. Pada masa ini, guru harus melakukan adaptasi dengan
lingkungan mengajarnya yang baru. Seorang guru harus menyesuaikan diri
dengan beragam karakteristik siswa yang dihadapi, peraturan-peraturan sekolah,
kurikulum yang berlaku di sekolah, dan lingkungan masyarakat.
2.1.2 Aspek Efikasi diri Guru
Menurut Bandura ada 7 aspek efikasi diri guru yaitu :
1) Efikasi diri guru untuk mempengaruhi pembuatan keputusan
Efikasi atau keyakinan seorang guru memberi pengaruh seberapa besar dalam
setiap pembuatan keputusan yang dibuat oleh sekolah dan dalam mengutarakan
pendapat atau pandangan dalam berbagai hal yang penting di sekolah.
2) Efikasi diri guru untuk mempengaruhi sumber daya sekolah
Efikasi atau keyakinan seorang guru untuk mendapatkan bahan dan alat
pembelajaran yang dibutuhkan, mempengaruhi jumlah atau ukuran kelas di
sekolah, keyakinan kemampuan untuk mendekati siswa yang sulit, memajukan
pembelajaran ketika siswa tidak mendapatkan dukungan dari rumah, untuk
membuat siswa tetap pada tugas yang sulit, untuk meningkatkan ingatan siswa
6 tentang materi yang telah diajarkan, untuk selalu memotivasi siswa, dan untuk
menanggulangi pengaruh buruk kondisi masyarakat pada belajar siswa.
3) Efikasi diri guru dalam pembelajaran
Efikasi atau keyakinan akan kemampuan dalam mempengaruhi ukuran kelas di
sekolah, untuk mendekati siswa yang sulit, untuk memajukan pembelajaran
ketika siswa yang diajar tidak memdapat dukungan dari rumah, untuk membuat
siswa tetap pada tugas yang sulit, meningkatkan ingatan siswa terhadap
pelajaran yang telah diajarkan sebelumnya, memberikan motivasi siswa yang
minat belajar rendah, menanggulangi pengaruh buruk kondisi masyarakat pada
belajar siswa, membuat siswa untuk tetap mengerjakan PR.
4) Efikasi diri guru dalam kedisiplinan
Efikasi atau keyakinan dalam kedisiplinan untuk membuat siswa mengikuti
peraturan dalam kelas, untuk mengendalikan perilaku yang mengganggu di
dalam kelas, dan mencegah perilaku bermasalah di lingkungan sekolah.
5) Efikasi diri guru untuk meminta keterlibatan orangtua
Efikasi atau keyakinan dalam meminta keterlibatan orangtua dalam kegiatan
sekolah, untuk membantu orangtua dalam membantu anak mereka berbuat baik
di sekolah, untuk membuat orangtua merasa nyaman untuk datang ke sekolah.
6) Efikasi diri guru untuk meminta keterlibatan masyarakat
Efikasi atau keyakinan untuk mendapatkan keterlibatan masyarakat dalam
bekerja sama dengan pihak sekolah, untuk mendapatkan kesediaan keterlibatan
lembaga keagamaan dengan pihak sekolah.
7 7) Efikasi diri guru untuk membuat iklim sekolah yang positif
Efikasi atau keyakinan untuk membuat sekolah menjadi sebuah tempat yang
aman, membuat para peserta didik senang datang ke sekolah, membuar para
peserta didik percaya dengan guru-gurunya, membantu guru-guru lain dengan
kemampuan mengajar seseorang, meningkatkan kerjasama antar guru dengan
tata usaha untuk membuat sekolah berjalan efektif, untuk mengurangi angka
putus sekolah, mengurangi ketidakhadiraan di sekolah, membuat siswa percaya
bahwa siswa dapat mengerjakan tugas sekolah dengan baik.
2.1.3 Faktor-faktor yang mempengaruhi Efikasi diri Guru
Efikasi diri guru dalam menjalankan tiap tugas sangat bervariasi. Ada
beberapa faktor yang berpengaruh dalam mempersepsikan kemampuan diri
individu. Menurut Bandura (1986), tingkat perbedaan efikasi diri seseorang
dipengaruhi oleh:
1) Sifat dari tugas yang dihadapi individu.
Sifat tugas dalam hal ini meliputi tingkat kesulitan dan kompleksitas dari
tugas yang dihadapi. Semakin sedikit jenis tugas yang dapat dikerjakan dan
tingkat kesulitan tugas yang relatif mudah, maka makin besar kecenderungan
individu untuk menilai rendah kemampuannya sehingga akan menurunkan efikasi
dirinya. Namun apabila seseorang mampu menyelesaikan berbagai macam tugas
dengan tingkat kesulitan yang berbeda, maka individu akan menilai dirinya
mempunyai kemampuan sehingga akan meningkatkan efikasi dirinya.
8 2) Insentif eksternal (reward) yang diterima individu dari orang lain.
Salah satu faktor yang dapat meningkatkan efikasi diri adalah competence
contingent incentif, yaitu insentif atau reward yang diberikan oleh orang lain yang
merefleksikan keberhasilan seseorang dalam menguasai atau melaksanakan tugas
tertentu. Semakin besar insentif atau reward yang diperoleh seseorang dalam
penyelesaian tugas, maka semakin tinggi derajat efikasi dirinya.
3) Status atau peran individu dalam lingkungannya.
Seseorang yang memiliki status yang lebih tinggi dalam lingkungannya
atau kelompoknya akan mempunyai derajat kontrol yang lebih besar pula
sehingga memiliki efikasi diri yang lebih tinggi.
4) Informasi tentang kemampuan diri.
Informasi yang disampaikan orang lain secara langsung bahwa seseorang
mempunyai kemampuan tinggi, dapat menambah keyakinan diri seseorang
sehingga seseorang akan mengerjakan suatu tugas dengan sebaik mungkin.
Namun apabila seseorang mendapat informasi kemampuannya rendah maka akan
menurunkan efikasi diri sehingga kinerja yang ditampilkan rendah.
Informasi ini diperoleh melalui empat sumber :
1) Enactive Attainment (hasil yang dicapai secara nyata)
Hasil kerja yang ditampilkan seseorang dalam menyelesaikan suatu tugas
merupakan sumber informasi yang paling berpengaruh karena didasarkan pada
pengalaman nyata dalam menguasai suatu tugas. Kesuksesan yang sering
didapatkan akan meningkatkan kemampuan diri seseorang, sedangkan
kegagalan yang sering dialami akan merendahkan persepsi seseorang mengenai
9 kemampuannya.
2) Pengalaman keberhasilan (mastery experiences/performances experiences)
merupakan sumber yang paling efektif untuk menciptakan keyakinan kuat pada
efikasi diri. Kesuksesan akan membangun keyakinan yang tetap didalam
personal efficacy seseorang. Sebaliknya kegagalan akan mengurangi keyakinan
itu, terutama jika kegagalan terjadi sebelum efikasi diri benar-benar terbentuk.
3) Pengalaman orang lain (vicarious experiences) adalah dimana keterampilan
tersebut dimodelkan oleh orang lain yang disediakan oleh contoh-contoh sosial.
Ketika seseorang melihat orang lain yang mirip (keadaannya) dengan dirinya
dapat mengalami kesuksesan dengan usaha yang terus-menerus dapat
meningkatkan keyakinan dirinya bahwa seseorang juga memiliki kemampuan
untuk mengatasi kesibukan yang sebanding dan harus pula mengalami
kesuksesan.
4) Persuasi sosial (verbal/social persuasion) adalah sumber keempat dari
penguatan keyakinan setiap orang bahwa seseorang memiliki kemampuan
untuk berhasil. Orang yang akan berhasil adalah orang yang dapat diyakinkan
secara verbal, bahwa seseorang memiliki kemampuan untuk mengatasi
kesibukan yang dihadapi seperti menggerakkan usaha yang besar dan mampu
meneruskannya, dibandingkan dengan orang memiliki keraguan diri dan
bertahan pada kekurangan diri ketika persoalan-persoalan muncul. Potensi
persuasi tergantung pada kredibilitas, kepercayaan dan keahlian dari orang
yang memberi penguatan (Bandura, 1986).
10 5) Kondisi fisiologis dan emosi (physiological and emotional state). Orang juga
mengandalkan kondisi fisiologis dan emosi dalam menentukan kemampuan
seseorang. Seseorang mengartikan reaksi stress dan tekanan sebagai gejala
yang memudahkan penurunan pekerjaan. Dalam kesibukan yang memerlukan
kekuatan dan stamina, orang menilai kelelahan, sakit dan penyakit sebagai
tanda penurunan fisik. Suasana hati juga dinilai orang mempengaruhi personal
efficacy seseorang. Suasana hati yang positif dapat mempertinggi keyakinan
efikasi diri, sebaliknya suasana hati yang sedih dapat mengurangi keyakinan
efikasi diri. Faktor kelima yang memodifikasi keyakinan diri terhadap efficacy
merupakan cara untuk mengurangi reaksi stress setiap orang dan mengubah
kecenderungan emosi negatif seseorang serta kesalahan penafsiran pada
kondisi fisik mereka (Bandura, 1994).
2.1.4 Mengukur Efikasi diri Guru
Ada beberapa instrumen untuk mengukur efikasi diri guru, di antaranya adalah
1) Skala yang disusun oleh Dembo & Gibson 2001 (dalam Anita Woolfolk Hoy)
yang mengukur : efficacy in instructional strategis, efficacy in classroom
management, dan efficacy in student engagement dengan skala 6 angka angka 1
= “sangat setuju”, 2 = “cukup setuju”, 3 = “agak setuju”, 4 = “ragu-ragu”, 5 =
“cukup tidak setuju” sampai 6 = “sangat tidak setuju”
2) Skala yang disusun oleh Tschannen-Moran dan Hoy 2001 (dalam Anita
Woolfolk Hoy) yaitu Teacher’s Sense Efficacy Scale (TSES) yang mengukur :
efficacy in instructional strategis, efficacy in classroom management, dan
efficacy in student engagement. Ketiga dimensi ini menyediakan informasi
11 mengenai teacher sense of personal teaching efficacy. Skala ini terdiri dari 12
item, dengan skala 6 angka untuk angka 1 = “sangat setuju”, 2 = “cukup
setuju”, 3 = “agak setuju”, 4 = “ragu-ragu”, 5 = “cukup tidak setuju” sampai 6
= “sangat tidak setuju”
3) Bandura (1997) menyampaikan bahwa pengertian kepekaan seorang guru
tentang efikasi diri guru tidak terlalu penting untuk diseragamkan baik dari
berbagai tugas yang diberikan maupun materi yang disampaikan. Sebagai
tindak lanjut, Bandura telah membuat alat ukur dengan 30 item dengan tujuh
subskala yaitu: efikasi untuk mempengaruhi membuat keputusan, efikasi untuk
mempengaruhi sumber daya sekolah, efikasi dalam pelajaran, efikasi dalam
disiplin, efikasi untuk meminta keterlibatan orang tua, efikasi untuk meminta
keterlibatan masyarakat, efikasi untuk membuat iklim di sekolah yang positif.
Setiap soal diukur dengan skala 9 angka, titik dengan notasi “tidak ada, sangat
sedikit, sedikit berpengaruh, cukup berpengaruh, sangat berpengaruh.”
Pengukuran ini mencoba untuk menjabarkan berbagai gambaran tentang efikasi
diri guru yang dipercaya selama ini tanpa menjadikan pengukuran terlalu
sempit atau khusus.
Karena sulitnya pengukuran prosentase efikasi diri guru, maka Bandura
(1997) menganjurkan berbagai tingkat permintaan tugas yang memungkinkan
responden untuk mengindikasikan kekuatan
efikasi seseorang (guru) yang
dipercaya selama ini membawa titik terang dari berbagai kesulitan atau
masalah. Meskipun Bandura mengerahkan usaha untuk mengembangkan
pengukuran dari efikasi guru yang memakai pengukuran sendiri-sendiri, yang
12 terkadang tidak dapat dipercaya dan konsepnya tidak dapat dimengerti dari
berbagai segi. Bandura masih menemukan dari kebanyakan pengukuran dari
kepekaan efikasi guru yang sekarang ini terlalu umum. Agar bermanfaat dan
dapat dipakai seterusnya, pengukuran efikasi guru tersebut perlu adanya
keterbukaan pikiran seseorang terhadap kompetensi yang seseorang miliki
meliputi berbagai aktivitas dan tugas-tugas yang dibebankan kepada seseorang.
2.1.5 Cara Meningkatkan Efikasi diri Guru
Adapun cara untuk meningkatkan efikasi diri guru Bandura (1986), yaitu:
1) Umpan balik dari pimpinan (kepala sekolah) terhadap kinerja yang
ditampilkan guru, sejarah masa lalu dan pengaruh sosial.
2) Mengembangkan keterampilan, kemampuan, dan penyelesaian tugas yang
diberikan kepada guru.
3) Pemodelan dan berbagai pengalaman memberikan pengaruh terhadap persepsi
diri tentang efikasi diri. Melihat seseorang yang mempunyai kesamaan dengan
dirinya berhasil dalam melaksanakan tugasnya dapat meningkatkan keyakinan
diri bahwa diri sendiri juga mampu untuk melakukannya dan yakin akan
kemampuan diri untuk berhasil. Dengan melihat orang memperlihatkan
sejumlah perilaku tertentu, individu akan bisa meyakinkan seseorang bahwa
seseorang dapat melakukan seperti apa yang sudah dilakukan oleh orang
tersebut.
4) Verbal persuasion digunakan secara luas untuk mencoba berbicara dengan
orang-orang agar seseorang yakin atau percaya bahwa seseorang mempunyai
kemampuan untuk bisa yakin akan berhasil dalam melaksanakan tugas yang
13 akan dilakukan. Penggunaan persuasi sosial saja kurang mempunyai kekuatan
untuk meningkatkan efikasi diri seseorang terus menerus, tetapi hal itu dapat
memberikan sumbangan atau kontribusi terhadap keberhasilan kerja jika
harapan yang diberikan itu berada pada batasan yang realistik. Menurut
Bandura (1986), tanpa mempersalahkan sampai sejauh mana persuasi verbal
dapat mendorong atau meningkatkan efikasi diri sehingga orang mencoba
dengan
keras
untuk
berhasil;
persuasi
verbal
dapat
meningkatkan
perkembangan keterampilan dan perasaan efikasi diri pada seseorang
(termasuk guru).
5) Physiological arousal atau membangkitkan semangat pada diri juga merupakan
hal yang bisa digunakan untuk meningkatkan efikasi diri guru. Orang pada
umumnya bergantung pada kondisi fisiknya untuk mengatakan sanggup
melakukan pekerjaan atau tidak. Individu membuat penilaian tentang unjuk
kerjanya didasarkan kondisi positif yang dirasakannya.
2.2 Program Rintisan Sekolah Bertaraf Internasional (RSBI)
2.2.1 Pengertian RSBI
Rintisan Sekolah Bertaraf Internasional (RSBI) adalah Sekolah Standar
Nasional (SSN) yang menyiapkan peserta didik berdasarkan Standar Nasional
Pendidikan (SNP) Indonesia dan bertaraf Internasional sehingga diharapkan
lulusannya memiliki kemampuan daya saing Internasional. SMA RSBI perlu
menjalin kerjasama dengan sekolah lain, baik di dalam maupun luar negeri, yang
telah memiliki reputasi internasional sebagai bentuk kegiatan perujukan
(benchmarking). SMA RSBI juga harus mengembangkan program sertifikasi,
14 meningkatkan daya saing dalam lomba tingkat internasional, yaitu penerapan
manajeman mutu ISO 9001-2008.
2.2.2
Tujuan Penyelenggaraan RSBI
Dalam panduan penyelenggaraan Rintisan SMA Bertaraf Internasional,
Jakarta, Dirjenmandikasmen, Depdiknas (2009), tujuan penyelenggaraan RSBI
yaitu :
1) Untuk membina sekolah yang secara bertahap ditingkatkan dan dikembangkan
komponen, aspek, dan indikator SNP dan sekaligus keinternasionalannya;
2) Untuk menghasilkan lulusan yang memiliki kompetensi lulusan dan diperkaya
dengan standar kompetensi pada salah satu sekolah terakreditasi di negara
anggota OECD atau negara maju lain;
3) Merintis lulusan yang mempunyai daya saing komparatif tinggi yang
dibuktikan dengan kemampuan menampilkan unggulan lokal di tingkat
internasional;
4) Merintis lulusan yang memiliki peran aktif secara internasional dalam menjaga
kelangsungan hidup dan perkembangan dunia dari perspektif ekonomi, sosiokultural, dan lingkungan hidup;
5) Merintis
lulusan
yang
menghasilkan
kemampuan
menggunakan
dan
mengembangkan teknologi komunikasi dan informasi secara profesional;
Adalah tidak benar kalau guru Bahasa Indonesia harus menggunakan
Bahasa Inggris dalam memberikan pengantar pelajarannya, walaupun hal
tersebut boleh saja dilakukan, tetapi penggunaan Bahasa Inggris adalah untuk
pembelajaran mata pelajaran kelompok sains, matematika, dan inti kejuruan
15 saja, sebagaimana dalam Bagian Proses Pembelajaran RSBI/SBI dinyatakan
sebagai berikut: ‘’Mutu setiap Sekolah/Madrasah Bertaraf Internasional
dijamin dengan keberhasilan melaksanakan proses pembelajaran yang efektif
dan efisien. Proses pembelajaran disesuaikan dengan bakat, minat, dan
perkembangan fisik serta psikologis peserta didik. Keberhasilan tersebut
ditandai dengan pencapaian indikator kinerja kunci minimal, yaitu memenuhi
Standar Proses.’’ 2.2.3
Pentahapan (Fase) Pengembangan Program Rintisan SMA Bertaraf
Internasional
Tahap pengembangan Rintisan SMA Bertaraf Internasional ada 3 tahap, yaitu:
1) tahap Pengembangan (3 tahun pertama);
2) tahap Pemberdayaan (2 tahun; tahun ke-4 an 5); dan
3) tahap Mandiri (tahun ke-6).
Pada tahap pengembangan yaitu tahun ke-1 sampai dengan ke-3 sekolah
didampingi oleh tenaga dari lembaga professional independent dan/atau lembaga
terkait dalam melakukan persiapan, penyusunan dan pengembangan kurikulum,
penyiapan SDM, modernesasi manajemen dan kelembagaan, pembiayaan, serta
penyiapan sarana prasarana.
Sedangkan pada tahap pemberdayaan yaitu tahun ke- 4 dan ke-5 adalah
sekolah melaksanakan dan meningkatkan kualitas hasil yang sudah dikembangkan
pada tahap pendampingan, oleh karena itu dalam proses ini hal terpenting adalah
dilakukannya
refleksi
terhadap
pelaksanaan
16 kegiatan
untuk
keperluan
penyempurnaan serta realisasi program kemitraan dengan sekolah mitra dalam
dan luar Negeri serta lembaga sertifikasi pendidikan internasional.
Pada tahap mandiri pada tahun ke-6 adalah sudah sekolah sudah berubah
predikatnya dari rintisan bertaraf internasional (RSBI) menjadi Sekolah Bertaraf
Internasional (SBI) dengan catatan semua profil yang diharapkan telah tercapai.
2.3 Sekolah Standar Nasional (SSN)
2.3.1
Pengertian SSN
Sekolah Standar Nasional (SSN) adalah sekolah yang sudah atau hampir
memenuhi SNP, yaitu standar kompetensi lulusan, standar isi, standar proses,
standar sarana dan prasarana, standar tenaga pendidik dan kependidikan, standar
manjemen, standar pembiayaan, dan standar penilaian. Peraturan Pemerintah
Nomor 19 Tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan (SNP) pasal 11
menjelaskan bahwa beban belajar untuk SMA/MA/SMLB, SMK/MAK atau
bentuk lain yang sederajat pada jalur pendidikan formal ketegori mandiri
dinyatakan dalam satuan kredit semester/SKS. Beban belajar minimal dan
maksimal bagi satuan pendidikan yang menerapkan SKS ditetapkan oleh
peraturan menteri/Permen berdasarkan usul dari Badan Standar Nasional
Pendidikan (BSNP). Pada ayat ini dijelaskan bahwa sekolah khususnya
SMA/MA/SMLB, SMK/MAK atau bentuk lain yang sederajat dikelompokkan
menjadi dua kategori, yaitu sekolah kategori standar dan sekolah kategori mandiri.
Pengkategorian ini didasarkan pada tingkat terpenuhinya SNP. Oleh karena itu
Pemerintah dan Pemerintah Daerah berupaya agar sekolah/madarasah yang berada
dalam kategori standar meningkat menjadi sekolah/madarasah kategori mandiri.
17 Proses dan edaran dibuat Direktorat SMA yang telah disosialisasikan pada
kegiatan bimbingan dan teknis (bintek) KTSP 2008 di seluruh wilayah Indonesia.
Dalam Permendiknas nomor 41 tahun 2007 dinyatakan bahwa kegiatan
pembelajaran inti mencakup tiga hal, yakni eksplorasi, elaborasi, dan konfirmasi.
Artinya, bahwa kegiatan inti itu mesti memperlihatkan adanya langkah-langkah
kegiatan
penjajakan
atau
penjelajahan
informasi
seluas-luasnya
tentang
materi/bahan ajar (eksplorasi). Kemudian, pada kegiatan inti juga tampak adanya
penggarapan yang sungguh-sungguh atau tekun atas materi/bahan ajar yang telah
ditemukan (elaborasi), untuk seterusnya perlu langkah-langkah kegiatan
pembenaran, penegasan, dan pengesahan materi/bahan ajar yang telah didapatkan.
Jadi, adanya tuntutan pembelajaran yang mesti bisa menyikapi kegiatan tatap
muka, tugas mandiri, dan penugasan mandiri nonstruktur di satu sisi, dan harus
pula bisa menyikapi kegiatan-kegiatan pembelajaran yang mesti eksploratif,
elaboatif, dan konfirmatif bukanlah sesuatu hal yang ambivalen. Sekolah Sekolah
Standar nasional (SSN) adalah sekolah yang hampir atau sudah memenuhi
Standar Nasional Pendidikan.
2.3.2 Kriteria SSN
Berdasarkan penjelasan PP No. 19 Tahun 2005 Pasal 11 ayat (2) bahwa ciri
Sekolah Kategori Mandiri/Sekolah Standar Nasional adalah terpenuhinya standar
nasional
pendidikan
dan
mampu
menjalankan
18 sistem
kredit
semester.
Dari ciri tersebut Sekolah Kategori Mandiri/Sekolah Standar Nasional memiliki
profil sebagai persyaratan minimal yang meliputi :
a. Dukungan Internal:
1) Kinerja Sekolah indikator terakreditasi A, rerata nilai UN tiga tahun terakhir
minimum 7,00, persentase kelulusan UN ≥ 90 % untuk tiga tahun terakhir,
animo tiga tahun terakhir > daya tampung, prestasi akademik dan non
akademik yang diraih, melaksanakan manajemen berbasis sekolah, jumlah
siswa per kelas maksimal 32 orang, ada pertemuan rutin pimpinan dengan
guru, ada pertemuan rutin sekolah dengan orang tua.
2) Kurikulum, dengan indikator memiliki kurikulum Sekolah Kategori Mandiri,
beban studi dinyatakan dengan satuan kredit semester, mata pelajaran yang
ditawarkan ada yang wajib dan pilihan, panduan/dokumen penyelenggaraan,
memiliki pedoman pembelajaran, memiliki pedoman pemilihan mata pelajaran
sesuai dengan potensi dan minat, memiliki panduan menjajagi potensi peserta
didik dan memiliki pedoman penilaian.
3) Kesiapan
sekolah,
dengan
indikator
Sekolah
menyatakan
bersedia
melaksanakan Sistem Kredit Semester, Persentase guru yang menyatakan ingin
melaksanakan SKS ≥ 90%, Pernyataan staf administrasi akademik bersedia
melaksanakan
SKS,
Kemampuan
staf
administrasi
akademik
dalam
menggunakan komputer.
4) Sumber Daya Manusia, dengan indikator persentase guru memenuhi kualifikasi
akademik ≥ 75%, relevansi guru setiap mata pelajaran dengan latar belakang
pendidikan (90 %), rasio guru dan siswa, jumlah tenaga administrasi akademik
19 memadai, tersedia guru bimbingan konseling/ karir. Fasilitas di sekolah,
dengan indiktor memiliki ruang kepala Sekolah, ruang wakil kepala sekolah,
ruang guru, ruang bimbingan, ruang Unit Kesehatan, tempat Olah Raga, tempat
ibadah,
lapangan
bermain,
komputer
untuk
administrasi,
memiliki
laboratorium: Bahasa, Teknologi informasi/komputer, Fisika, Kimia, Biologi,
Multimedia, IPS, Perpustakaan yang memiliki koleksi buku setiap mata
pelajaran, memberikan Layananan bimbingan karir
b. Dukungan Eksternal
Untuk menyelenggarakan SKM/SSN berasal dari dukungan komite
sekolah,
orang
tua
peserta
didik,
dukungan
dari
Dinas
Pendidikan
Kabupaten/Kota, dukungan dari tenaga pendamping pelaksanaan SKS.
2.4 Sekolah Potensial
2.4.1 Pengertian Sekolah Potensial
Sekolah
potensial
yaitu
sekolah
yang
masih
relatif
banyak
kekurangan/kelemahan untuk memenuhi kriteria sekolah yang sesuai dengan
Standar Nasional Pendidikan sebagaimana diamanatkan dalam UUSPN Tahun
2003 pasal 35 maupun dalam PP nomor 19 Tahun 2005. Kedelapan SNP adalah
standar kompetensi lulusan, standar isi, standar proses, standar sarana dan
prasarana, standar tenaga pendidik dan kependidikan, standar manajemen, standar
pembiayaan, dan standar penilaian. Ditegaskan dalam penjelasan PP Nomor 19
Tahun 2005 pasal 11 ayat 2 dan 3 bahwa kategori sekolah potensial adalah
sekolah yang belum memenuhi (masih jauh) dari SNP.
20 2.4.2
Kriteria Sekolah Potensial
1) Variasi sekolah umumnya sangat tinggi. Ada sekolah yang secara kuantitas
masih banyak kekurangan apabila dibandingakn dengan SSN, sebgaian kecil
baru memenuhi SNP, setengahnya lagi telah memenuhi SNP dan sisanya
belum memenuhi SNP.
2) Secara kualitas juga bervariasi dan relatif rendah, baik ditinjau dari kualitas
lulusan atau prestasi akademik/non akademik siswa, SDM, sarana dan
prasarana, dan aspek pendidikan lainnya.
3) Ditinjau dari manajemen sekolah juga belum memenuhi SNP.
4) Sumber dana dan pendanaan relatif rendah.
5) Dari letak geografisnya banyak sekolah di daerah pinggiran dan terpencil,
terpencar dan terisolir.
6) Dari input peserta didik, sekolah potensial rata-rata peserta didiknya dari
masyarakat denga kemampuan akademiknya lebih rendah dari peserta didik
sekolah
Standar
Nasional
(SSN)
(http://www.slideshare.net/J321_M/manajemen-sekolah-bermutu-dalamkajian-sekolah-potensial).
2.4.3 Aspek-aspek Pengembangan Sekolah Potensial
Pada dasarnya aspek-aspek pendidikan yang dikembangkan sekolah
potensial untuk menjadi sekolah standar nasional secara garis besar meliputi
delapan aspek SNP serta diperluas juga dnegan program, cakupan program,
variasi
program
dan
kecepatan
dalam
21 pencapaian
hasil.
Pencapaian
pengembangan dekolah potensial dapat terlaksana dengan maksimal sangat
ditentukan oleh kemampuan sekolah masing-masing.
2.4.4 Menentukan Standarisasi Keberhasilan Pengembangan Sekolah
Potensial
Sebelum pengembangan berikutnya berdasarkan aspek-aspek yang akan
dikembangkan pada sekolah potensial, seyogyanya sekolah dapat merumuskan
tentang apa saja yang akan dihasilkan (output), baik yang bersifat kuantitatif
maupun kualitatif dan dalam waktu yang telah ditentukan. Manfaat yang akan
diperoleh atas tolok ukur keberhasilan tersebut antara lain :
1) Sekolah dapat mempergunakannya sebagai target yang harus dicapai dari
sekolah potensial sehingga menjadi SSN.
2) Sekolah dapat menyelenggarakan secara bertahap pelaksanaan pendidikan
dengan perbaikan atau peningkatan berbagai aspek sehingga menjadi SSN
dalam jangka waktu yang pendek.
3) Dinas pendidikan Kabupaten/kota dan propinsi dapat mempergunakan untuk
melakukan pembinaan secara konkrit pada aspek-aspek apa saja yang masih
belum memenuhi syarat atau kekurangan sekolah pada setiap tahunnya.
4) Pihak-pihak lain yang terkait dapat ikut serta melakukan pembinaan dalam
rangka mempercepat pencapaian SSN.
22 2.5 Perbedaan Efikasi diri Guru yang Mengajar di SMA Rintisan Sekolah
Bertaraf Internasional (RSBI) dengan SMA Sekolah Standar Nasional
(SSN)
Efikasi diri guru adalah keyakinan diri yang dimiliki oleh seorang guru
terhadap kemampuannya dalam hal mempengaruhi pembuatan keputusan,
mengenai pengelolaan kelas, pengorganisasian rangkaian pelajaran, mengajar,
memotivasi siswa untuk belajar dan berkomunikasi dengan siswa secara efektif
untuk menunjang aktivitasnya di sekolah demi tercapainya tujuan pendidikan.
Bandura (1986) menjelaskan bahwa terdapat 4 faktor yang berperan dalam
menentukan tingkat perbedaan efikasi diri seseorang, yaitu sifat dari tugas yang
dihadapi, insentif eksternal (reward) yang diterima individu dari orang lain, status
atau peran individu di lingkungan, serta informasi mengenai kemampuan diri
yang dapat diperoleh melalui enactive attainment, vicarious model, verbal
persuasion, psychological and emotional arousal. Keempat faktor ini dapat
membentuk lingkungan yang berbeda. Di Indonesia, lingkungan sekolah yang
berbeda salah satunya dapat dilihat pada SMA RSBI dan SMA lainnya (SMA
SSN). Perbedaan antara kedua jenis SMA ini terletak pada ciri serta tujuan yang
dirancang secara khusus oleh pemerintah untuk SMA RSBI dan tidak untuk SMA
SSN. Dengan adanya ciri serta tujuan yang berbeda ini mungkin akan
menimbulkan perbedaan lingkungan mengajar dan diasumsikan dapat berdampak
pada perbedaan tingkat efikasi diri para guru yang mengajar di kedua jenis
sekolah tersebut.
23 Salah satu perbedaan yang dihadapi guru SMA RSBI dan SMA SSN dapat
terlihat dari karakteristik siswa sekolah tersebut. SMA RSBI secara khusus
dirancang untuk memiliki ciri khusus, yaitu siswa berbakat, dengan tingkat
kecerdasan yang tinggi. Hal ini membuat sebagian besar peserta didik di SMA
RSBI memiliki kemampuan yang tinggi. Lain halnya dengan SMA SSN yang
tidak secara khusus dirancang untuk memiliki ciri khusus seperti RSBI ini.
Terdapat kemungkinan siswa di SMA SSN memiliki kemampuan yang berbeda
dengan siswa SMA RSBI. Kemampuan siswa dapat berpengaruh pada sifat tugas
yang dihadapi oleh para guru. Menurut Bandura (dalam Woolfolk, 2004),
memiliki siswa dengan kemampuan yang tinggi dapat membuat tugas para guru
yang mengajar mereka menjadi tidak mudah. Para guru harus selalu
menyesuaikan strategi pembelajaran dengan kemampuan siswanya. Guru juga
harus mengenali setiap bakat dari peserta didiknya untuk menciptakan
kesempatan belajar sesuai dengan tingkat kemampuan mereka. Adanya
karakteristik siswa (seperti kemampuan belajar, prestasi akademik, dll) yang
berbeda antara SMA RSBI dan SMA SSN diasumsikan dapat menimbulkan
perbedaan efikasi diri guru pada kedua sekolah tersebut.
Perbedaan lainnya antara SMA RSBI dan SMA SSN terletak pada sarana
dan prasarana yang tersedia untuk para guru. Pada Pedoman Pengelolaan SMA
RSBI, tertulis bahwa diharapkan SMA RSBI memiliki sarana dan prasarana
memadai, seperti laboratorium, media belajar yang lengkap, proyektor dalam
setiap kelas dan sebagainya. Sarana dan prasarana yang diharapkan terdapat pada
SMA RSBI ini dapat mendukung kegiatan belajar mengajar yang dilakukan oleh
24 guru dan siswa. Dengan adanya sarana dan prasarana yang lengkap, akan lebih
mudah bagi para guru untuk mencari bahan ajar dan perlengkapan yang
dibutuhkan dalam mengajar. Hal ini dapat membuat tugas mengajar guru menjadi
lebih ringan. Selain itu, insentif berupa training atau pelatihan dan seminar yang
dapat diikuti dengan mudah oleh guru SMA RSBI juga menjadi ciri yang berbeda
antara guru SMA RSBI dengan guru SMA SSN. Perbedaan insentif yang diterima
oleh para guru ini kemungkinan dapat berdampak pada perbedaan tingkat efikasi
diri para guru.
Perbedaan lainnya antara guru SMA RSBI dengan SMA SSN terletak pada
status yang mereka miliki. Mereka yang mengajar di SMA kategori RSBI akan
menyandang status sebagai guru SMA RSBI, begitu pula sebaliknya. SMA RSBI
dikenal sebagai SMA yang memiliki reputasi baik di mata masyarakat. Menurut
Bandura (1986), salah satu hal yang berperan terhadap perkembangan efikasi diri
adalah status atau peran individu dalam lingkungannya. Seseorang yang memiliki
status yang lebih tinggi dalam lingkungannya atau kelompoknya akan mempunyai
derajat kontrol yang lebih besar pula sehingga memiliki efikasi diri yang lebih
tinggi (Bandura, 1986). Berdasarkan hal ini diasumsikan bahwa perbedaan status
yang dimiliki antara guru SMA RSBI dan guru SMA SSN kemungkinan dapat
berdampak pada perbedaan efikasi diri mereka. Keberhasilan siswa dalam setiap
lomba yang diikuti merupakan salah satu hasil nyata yang dicapai oleh para guru
dan siswa dalam kegiatan belajar mengajar. Hasil nyata yang dicapai seseorang
menurut Bandura (1986) dapat memberikan informasi mengenai kemampuan diri
yang berdampak pada perkembangan efikasi dirinya. Semakin sering seseorang
25 berhasil dalam melaksanakan tugasnya, maka efikasi diri yang mereka miliki akan
semakin meningkat (Bandura, 1986). Berbeda dengan SMA SSN, pada SMA
RSBI, keberhasilan siswa dalam setiap perlombaan menjadi salah satu tujuan
yang dirancang secara khusus oleh pemerintah. Adanya tujuan khusus ini dapat
menjadi faktor yang membedakan SMA RSBI dan SMA SSN yang mungkin
dapat berperan dalam perkembangan efikasi diri guru di kedua sekolah tersebut.
Berdasarkan uraian di atas dapat diketahui bahwa lingkungan mengajar,
seperti ciri dan tujuan sekolah dapat berperan dalam perkembangan efikasi diri
seorang guru. Perbedaan lingkungan mengajar ini dapat terlihat antara SMA RSBI
dengan SMA SSN. Oleh karena itu penelitian ini melihat perbedaan tingkat
efikasi diri pada guru yang berada di dua lingkungan mengajar berbeda yang
menyebabkan terjadinya tuntutan kualitas seorang guru itu sendiri, yaitu guru
SMA RSBI dengan guru SMA SSN.
2.6 Penelitian yang Relevan
Penelitian yang dilakukan oleh Johari (2009) kepada 350 orang guru di 22
sekolah menengah di Sabah Malaysia dengan tujuan untuk mengetahui perbedaan
efikasi diri guru menurut jenis kelamin, jenis pelatihan guru dan subjek
pengajaran dengan menggunakan Teacher’s Sense of Efficacy Scale dengan teknik
analisis uji perbedaan Annova. Hasil menunjukkan bahwa efikasi diri guru
berbeda secara signifikan menurut jenis kelamin, jenis pelatihan guru dan subjek
pengajaran.
Penelitian yang dilakukan Setiadi (2007) kepada 40 orang guru SMP di
Bandung dengan tujuan untuk mengetahui hubungan efikasi diri dan kinerja guru
26 serta hasil belajar literasi siswa dengan menggunakan TSES. Hasil penelitian ini
menunjukkan bahwa efikasi diri guru berkorelasi dignifikan dengan penilaian diri
guru terhadap kinerja guru (r= .732), namun kedua variabel ini tidak memiliki
korelasi yang kuat dengan kemampuan membaca siswa (r= -.139) dan
kemampuan menulis (r= .094).
Selanjutnya adalah penelitian yang dilakukan oleh Ismail, dkk (2009)
tentang pengaruh tipe pelatihan guru dan pengalaman mengajar terhadap efikasi
diri guru sekolah menengah di Sabah kepada 928 orang guru di 22 sekolah
menengah dengan menggunakan alat ukur TSES dengan teknik analisis ANOVA.
Analisis ANOVA menguji hipotesis pertama menemukan ada perbedaan negatif
yang signifikan dalam efikasi diri guru menurut jenis pelatihan guru. Strategi
pengajaran ditemukan pada tingkat p< .05 [F (3,890) = 5.713, p= .001] dan
managemen kelas [F (3,890) = 4.439), p= .04], dimensi keterlibatan siswa [F
(1,861) = 16.466, p= .000] dengan signifikansi tingkat p< .01. Hasil analisis
ANOVA untuk hipotesis kedua menunjukkan ada perbedaan yang signifikan
dalam kelompok pengalaman mengajar pada tingkat p< .01 untuk keterlibatan
siswa [F (4,927) = 10.736, p= .001], strategi pengajaran [F (4,927) = 12.447, p=
.001], managemen kelas [F (4,927) = 20.046, p= .001].
2.7 Hipotesis Penelitian
Hipotesis yang diajukan dalam penelitian ini adalah ada perbedaan yang
signifikan efikasi diri guru yang mengajar di SMA Rintisan Sekolah Bertaraf
Internasioanal (RSBI) dengan SMA Sekolah Standar Nasional (SSN) Kota
Salatiga.
27 
Download