BAB II TINJAUAN PUSTAKA II.1 Konsep Investasi Menurut Horngren (1994), investasi yang menyangkut keputusan rencana jangka panjang atas penggunaan modal (capital budgeting) terdiri dari enam tahap proses: (1) indentification stage, yaitu memilih bentuk investasi yang paling sesuai dengan organizational objective, (2) search stage, yaitu mencari alternatif capital investasi yang dapat memenuhi organizational goals, (3) information-acquisition stage, melakukan pencarian data dan analisa kualitatif maupun kuantitatif dari berbagai alternatif capital investasi, (4) selection stage, yaitu memilih salah satu kapital investasi berdasarkan analisa finansial dengan metode: discounted cash flow (cara net present value (NPV) dan internal rate of return (IRR)), payback dan accrual accounting rate or return, (5) financing stage dan (6) implementation and control stage. II.2 Jalan Tol Sesuai dengan Peraturan Pemerintah Republik Indonesia no 15 tahun 2005, jalan tol adalah jalan umum yang merupakan bagian sistem jaringan jalan dan sebagai jalan nasional yang penggunanya diwajibkan membayar tol. Penyelenggaraan jalan tol bertujuan untuk meningkatkan efisiensi pelayanan jasa distribusi guna menunjang peningkatan pertumbuhan ekonomi terutama di wilayah yang sudah tinggi tingkat perkembangannya. Berdasarkan Undang-Undang No. 38 tahun 2004 tentang Jalan dinyatakan bahwa Wewenang penyelenggaraan jalan tol berada pada Pemerintah yang meliputi pengaturan, pembinaan, pengusahaan, dan pengawasan [Pasal 45 (1&2)]. Pengusahaan jalan tol dilaksanakan dengan maksud untuk mempercepat perwujudan jaringan jalan bebas hambatan sebagai bagian jaringan jalan nasional dan dilakukan 5 oleh badan usaha milik negara dan/atau badan usaha milik daerah dan/atau badan usaha milik swasta. Dalam keadaan tertentu yang menyebabkan pengembangan jaringan jalan tol tidak dapat diwujudkan oleh badan usaha, Pemerintah dapat mengambil langkah sesuai dengan kewenangannya. Pemerintah melaksanakan pengadaan lahan untuk pembangunan jalan tol bagi kepentingan umum dengan menggunakan dana yang berasal dari Pemerintah dan/atau badan usaha. Investasi dengan pembangunan jalan tol baru akan menyediakan transportasi yang lebih efisien dan memacu investasi sektor lain yang akan mempercepat pertumbuhan ekonomi dan meningkatkan kesejahteraan. Adapun manfaat strategis pembangunan jalan tol diantaranya adalah sebagai berikut : a. Pembukaan lapangan kerja dalam skala besar. b. Peningkatan penggunaan sumber daya dalam negeri. c. Mendorong kembalinya fungsi intermediasi perbankan ke sektor investasi produktif demi terciptanya pertumbuhan ekonomi yang berkesinambungan. d. Meningkatkan kegiatan ekonomi di daerah yang dilalui jalan tol sebagai pendorong meningkatnya Pendapatan Domestik Regional Bruto (PDRB) dan memperlancar ekspor. e. Memacu kebangkitan sektor riil dengan menciptakan efek multiplier bagi perekonomian nasional. Didalam investasi jalan tol ini terdapat beberapa risiko – risiko ketidakpastian yang dapat mengakibatkan pihak investor kurang tertarik dengan proyek infrastruktur jalan tol yang ditawarkan. 6 II.3 Risiko Ketidakpastian Investasi Infrastruktur Jalan Tol Secara umum risiko dapat di definisikan sebagai kejadian-kejadian yang dapat berpengaruh secara negatif (merugikan) terhadap suatu upaya/usaha yang akan/sedang kita lakukan. Risiko dapat diprediksi dan dalam batas-batas tertentu dikendalikan serta dihindari sedemikian rupa sehingga seminimum mungkin mempengaruhi usaha yang kita jalankan. Upaya-upaya sistimatis untuk meminimalisir risiko dan melindungi diri dari akibatakibat risiko yang tidak sepenuhnya dapat dikendalikan inilah yang kita kenal dengan manajemen risiko (risk management). Langkah-langkah pokok dalam melaksanakan manajemen risiko adalah pengenalan (identifikasi) risiko-risiko yang mungkin terjadi, menganalisis tingkat kemungkinan terjadinya dan berapa kerugian yang mungkin ditimbulkan, serta merumuskan upayaupaya pengamanan terhadap risiko tersebut. Berbagai bentuk pengamanan dapat dipilih untuk meminimalisir atau bahkan meniadakan sama sekali dampak negatif dari risiko-risiko tersebut. Dengan mengenali risiko-risiko yang mungkin terjadi sepanjang perjalanan usaha, kita dapat melakukan berbagai langkah pengendalian dan pengamanan untuk memperkecil kemungkinan terjadinya risiko-risiko tertentu dan juga meminimalisir akibatnya seandainya risiko tersebut tetap terjadi. Kita dapat meniadakan atau meminimalisir kemungkinan terjadinya risiko melalui langkah-langkah preventif antisipasif yang telah dirumuskan dan dimasukkan dalam rencana bisnis (business plan). Kita perlu menganggarkan suatu biaya tertentu guna mengantisipasi terjadinya risiko tersebut. Artinya risiko-risiko tersebut sudah diperhitungkan dalam biaya proyek/investasi kita. Kita dapat juga meniadakan risiko melalui suatu distribusi risiko secara legal dalam perjanjian-perjanjian baik dengan pemberi tugas maupun dengan pihak ketiga. 7 Prinsip dari alokasi risiko adalah bahwa pihak yang paling dapat mengendalikan suatu risiko tertentu hendaknya juga menanggung risiko tersebut. Asuransi adalah suatu bentuk peniadaan risiko melalui distribusi risiko pada pihak ketiga, namun perlu kita ingat juga bahwa peniadaan risiko finansial ini tidak menghilangkan pengaruh negatif terhadap citra usaha yang berdampak buruk pada nilai perusahaan. Risiko-risiko utama dalam investasi jalan tol terkait secara langsung dengan parameter pokok investasi jalan tol yaitu parameter-parameter yang menentukan besarnya biaya investasi (pembebasan lahan, konstruksi/peralatan, operasi dan pemeliharaan serta bunga uang), dan parameter-parameter pendapatan (volume lalulintas dan tarif). II.3.1 Pembebasan lahan Pembebasan lahan sampai saat ini masih merupakan risiko terbesar dalam investasi jalan tol, khususnya mengenai kepastian biaya dan waktu tersedianya lahan. Biaya lahan berkisar antara 10-25% dari biaya investasi sehingga penyimpangan biaya yang terjadi akan berdampak sangat signifikan terhadap kelayakan investasi. Demikian pula masa pembebasannya sangat mempengaruhi selesainya pembangunan jalan tol yang merupakan titik awal masuknya pendapatan tol. II.3.2 Konstruksi Bangunan jalan dan jembatan yang merupakan komponen utama dari jalan tol pada umumnya tidak terlalu sulit untuk direncanakan dengan mendekati kepastian pelaksanaannya. Risiko terbesar terletak pada kondisi medan dimana jalan akan dibangun yaitu kondisi geografis dan geologis. Kondisi medan yang berbukit-bukit membutuhkan timbunan-timbunan tinggi, pemotongan yang dalam, dan / atau jembatan bahkan mungkin juga terowongan. Aliran-aliran sungai, jalan-jalan lokal, jalan kereta api, saluran-saluran irigasi, dan bentuk-bentuk persilangan lainnya merupakan faktorfaktor penambah biaya yang sangat signifikan. 8 Karena konstruksi sepenuhnya ada di bawah kendali investor maka risiko-risiko yang mungkin terjadi juga sepenuhnya merupakan risiko investor. Antisipasi yang baik melalui proses engineering yang matang serta mitigasi risiko pada pihak ketiga adalah hal yang dapat dilakukan untuk mengendalikan risiko ini. II.3.3 Biaya Uang ( Cost of Money ) Investasi jalan tol umumnya dibiayai melalui kombinasi sumber dana modal sendiri (equity) dan pinjaman (debt). Biaya dari pinjaman adalah yang biasa kita kenal dengan bunga (interest), sementara modal sendiri (equity) memerlukan “biaya” yaitu suatu imbalan (return) yang wajar atau yang biasa disebut dengan keuntungan. Intinya adalah sedapat mungkin memberikan kepastian terhadap besaran bunga yang perlu dibayar dan saat kapan bunga tersebut mulai harus dibayar, yang dikaitkan dengan arus pendapatan tol. II.3.4 Operasi dan Pemeliharaan Dalam masa operasi jalan tol risiko biaya terbesar adalah pemeliharaan rutin maupun periodik diluar apa yang telah diperkirakan semula. Semakin baik mutu konstruksinya, semakin kecil risiko ini. Oleh karena itu salah satu cara mengatasi atau mengurangi risiko ini adalah dengan mengalokasikannya sebagian pada pihak ketiga yaitu pihak kontraktor. II.3.5 Volume Lalu Lintas Volume lalu lintas adalah faktor utama yang menentukan pendapatan jalan tol. Volume lalu lintas yang melalui jalan tol sejak awal operasi sampai akhir masa konsesi harus dapat diprediksi dengan baik oleh investor. Mengingat pentingnya prediksi ini dan kompleksnya faktor-faktor yang mempengaruhinya, maka seyogyanya digunakan tenaga ahli khusus. Prediksi dilakukan dengan mengembangkan suatu model yang memperhitungkan berbagai faktor pengaruh seperti, asumsi-asumsi pengembangan jaringan jalan ke depan, asumsi pengembangan aktivitas ekonomi di wilayah yang bersangkutan, pertumbuhan penduduk, pertumbuhan kendaraan bermotor dan sebagainya. Prediksi 9 ini juga mengkaji hubungan elastisitas antara besarnya tarif dan keinginan untuk menggunakan jalan tol yang bersangkutan. Risiko penyimpangan lalu lintas dapat juga dikurangi dengan menerapkan pasal-pasal dalam perjanjian untuk lebih menjamin konsistensi pengembangan jaringan jalan di masa depan. Ini penting mengingat variasi volume lalulintas adalah diluar kemampuan kendali investor. II.3.6 Tarif Dalam tender investasi, tarif awal adalah parameter yang ditawarkan oleh investor dan merupakan penentu utama untuk menetapkan pemenang. Meskipun tarif awal dan rumusan kenaikannya diperjanjikan dalam Perjanjian Pengusahaan Jalan Tol (PPJT), tidak dapat dipungkiri bahwa pengaruh-pengaruh sosial politik dalam penetapan tarif oleh pemerintah tetap memainkan peran yang tidak kecil. Untuk mengatasi risiko penolakan tarif oleh pihak-pihak tertentu, sosialisasi sejak awal proses investasi mutlak diperlukan. II.3.7 Force Majeure Masa konsesi jalan tol yang cukup panjang (30-40 thn) akan merentangi suatu kurun waktu yang sangat lama dimana perubahan-perubahan sosial dan politik sangat mungkin terjadi. Demikian pula perubahan-perubahan yang terjadi karena kejadiankejadian alam. Semuanya ini jelas perlu diprediksi, baik oleh investor maupun oleh pihak pemberi tugas (pemerintah). II.4 Sistem Pembiayaan Sektor Jalan Pada dasarnya sistem pembiayaan jalan dapat diberikan melalui beberapa cara, yaitu : 1. Melalui anggaran pemerintah (budget); 2. Konsesi (Kerjasama Pemerintah – Swasta/Public – Private Partnership); 3. Road Fund yang dalam pelaksanaanya masih dalam tahap studi lebih lanjut; 10 II.4.1 Pembiayaan Melalui Anggaran Pemerintah Untuk membiayai pembangunan jalan, Pemerintah Indonesia selama ini menggunakan jenis pembiayaan melalui anggaran pemerintah. Dana yang terkumpul dari road user charges (pajak jalan) ditransfer kembali ke sektor jalan melalui mekanisme penganggaran (budget), setiap tahun sekali. Dana yang terkumpul dari pajak jalan, selain digunakan untuk sektor jalan, juga digunakan untuk sektor-sektor lain seperti sektor pertahanan dan keamanan, sosial, pendidikan dan kesehatan. Sistem pembiayaan jalan dengan anggaran pemerintah memiliki beberapa kelemahan, diantaranya : 1. Besarnya anggaran untuk sektor jalan semakin lama semakin menurun sedangkan dana untuk sektor jalan semakin lama semakin besar. 2. Apabila dana yang tersedia untuk sektor jalan semakin kecil maka pemerintah akan semakin sulit untuk membuat suatu perencanaan jangka panjang untuk sektor jalan; 3. Adanya pemisahan antara fungsi penerimaan dan fungsi pengeluaran. Sehingga stakeholder yang terlibat dalam penanganan sektor jalan tidak mengetahui secara tepat berapa banyak dana yang dapat digunakan setiap tahunnya. 4. Kepentingan politis seringkali mempengaruhi pengambilan keputusan sektor mana yang akan didahulukan, membuat sektor jalan sering terabaikan. II.4.2 Pembiayaan Melalui Konsesi (Kerjasama Pemerintah – Swasta) Pembiayaan melalui mekanisme konsesi adalah sistem pembiayaan melalui pembagian risiko antara pemerintah dan swasta. Pemerintah akan memberikan hak kepada organisasi swasta maupun semi swasta untuk membangun, rehabilitasi, memelihara, dan mengoperasikan jalan dalam jangka waktu tertentu (biasanya jangka waktu konsesi adalah 20 hingga 30 tahun). Pengelolaan jalan tol merupakan salah satu cara pelaksanaan dengan melibatkan pihak swasta. Pihak swasta menanggung 11 risiko teknis (saat konstruksi dan pemeliharaan), risiko operasi, risiko komersial, dan risiko keuangan. Mekanisme pengelolaan jalan tol merupakan kerja sama antara sektor Publik dengan swasta. Agar swasta berminat untuk terlibat dalam proyek ini maka pihak swasta harus mendapatkan keuntungan dari proyek yang akan dilaksanakan. Keuntungan dari metode ini antara lain adalah : 1. Merupakan cara untuk mendapatkan sumber dana untuk pembangunan jaringan jalan, karena biaya pembangunannya diperoleh dari pengguna/pemakai langsung (user pay principle); 2. Mengurangi beban pemerintah untuk investasi sektor jalan sehingga dana yang pada awalnya diperuntukkan bagi sektor jalan dapat dipergunakan untuk sektor lain; 3. Penghasilan dari jalan tol dapat dipergunakan untuk subsidi silang bagi pembangunan atau pemeliharaan jaringan jalan lainnya; 4. Pendapatan jalan tol di suatu wilayah tertentu dapat digunakan untuk membantu membangun infrastruktur di wilayah lain yang kekurangan dan untuk pemerataan regional; 5. Karena adanya keterlibatan pihak swasta maka akan menjadi lebih efisien dan efektif karena pihak swasta akan melakukan perhitungan keuntungan dengan lebih cermat. Namun, metode ini juga memiliki beberapa kelemahan, yaitu : 1. Jalan tol merupakan tambahan pajak atau tarif jalan yang hanya diberlakukan pada sebagian dari jaringan jalan. Kendaraan yang melalui jalan tol akan dipungut biaya tambahan sementara itu mereka tetap membayar pajak-pajak lainnya. Namun hal ini juga dapat digantikan dengan alasan penghematan BOK dibandingkan jika melalui jalan biasa; 12 2. Biaya administrasi pengumpulan tol termasuk tinggi dan berkisar antara 10-30% dari pengumpulan dana keseluruhan. II.4.3 Pembiayaan Melalui Road Fund Jika sistem jalan tol hanya dapat diterapkan pada sebagian jaringan jalan, maka harus dicari suatu metode yang dapat diterapkan pada sebagian besar jaringan jalan yang memiliki lalu lintas harian rata-rata dibawah ketentuan untuk jalan tol. Metode baru yang sudah diterapkan pada negara-negara Amerika Latin, Karibia, dan negaranegara Sub Sahara Afrika adalah metode yang dikenal dengan nama road fund atau dana jalan. Komersialisasi jalan artinya adalah memperlakukan jalan sama dengan telepon, listrik, maupun air bersih. Artinya semakin lama orang menggunakan fasilitas tersebut, maka ia harus membayar lebih banyak sedangkan yang tidak menggunakan hanya dikenakan biaya berlangganan saja. Pungutan seperti ini dinamakan fee for services basis. Biaya berlangganan untuk jaringan jalan adalah untuk pembangunan sektor jalan itu sendiri dan dikenakan pada saat pendaftaran kepemilikan kendaraan. Sedangkan biaya yang disesuaikan dengan pemakaian digunakan untuk pemeliharaan jalan dan ditarik melalui pembayaran tarif BBM. II.5 Public Private Partnership (PPP Schemes) Perlu diketahui bahwa tidak ada definisi yang pasti dari Public Private Partnership (PPP Schemes). Hal ini menimbulkan tantangan untuk mengembangkan perundang – undangan mengenai PPPs. Berikut adalah beberapa definisi mengenai PPPs: Public-private partnerships (PPPs) are contractual agreements, formed between a public agency and private sector entity, which expand on the traditional, private sector role in the delivery of transportation projects (Federal Highway Administration, 2003). Menurut William J. Parente dari USAID Environmental Services Program, (Katahira & Engineers Int’l., 2006) definisi PPP adalah ”an agreement or contract, between a public entity and a private party, under which : (a) private party undertakes 13 government function for specified period of time, (b) the private party receives compensation for performing the function, directly or indirectly, (c) the private party is liable for the risks arising from performing the function and, (d) the public facilities, land or other resources may be transferred or made available to the private party.” PPP—the construction and upgrading of public-sector infrastructure facilities on the basis of private-enterprise financing (HOCHTIEF Position paper, 2008) A public-private partnership (PPP) is an agreement between a government and a private firm under which the firm delivers an aset, a service, or both in return for payments contingent to some extent on the long-term quality or other characteristics of outputs delivered. Agreements may range from service or management contracts to concession agreements and privatization and cover widely varying activities, not just those in infrastructure sectors (Apurva Sanghi, Alex Sundakov, and Denzel Hankinson, 2007) PPPs dibentuk untuk mencapai tujuan yang diinginkan oleh pihak pemilik proyek, yaitu untuk menyediakan pelayanan dengan kualitas yang terbaik dan pada biaya yang paling optimal untuk pihak pemerintah. Meskipun tidak ada satu definisi mengenai PPPs, akan tetapi terdapat beberapa karakteristik umum yang sering dihubungkan dengan PPPs. Karakter – karakter tersebut termasuk didalamnya perjanjian antara sektor publik dan sektor swasta dalam pengembangan dan manajemen infrastruktur, dimana terdapat pembagian risiko antara kedua belah pihak. Risiko ditanggung oleh pihak yang memiliki kemampuan lebih baik dalam mengatur, dalam hal ini meminimalkan risiko biaya. Dalam beberapa tipe PPPs, pemerintah menggunakan pendapatan pajak untuk menyediakan modal investasi, dengan pelaksanaan dilakukan oleh gabungan pemerintah dengan pihak swasta atau dibawah kontrak. Dalam tipe yang lainnya, modal investasi disediakan oleh pihak swasta dibawah kontrak dengan pemerintah untuk menyediakan pelayanan yang telah disetujui. 14 Istilah PPPs meliputi beberapa struktur yang dapat digunakan didalam pelaksanaan sebuah proyek, yaitu: short term management contracts (dengan sedikit atau bahkan tanpa modal); concession contract (yang memungkinkan untuk mencakup design, build and financing untuk seluruh pembangunan proyek infrastruktur dan operasional); joint ventures dan partial privatization dimana terdapat sharing kepemilikan proyek antara sektor public dan sektor swasta. Gambar II.1 menunjukkan bahwa PPPs mengisi antara pengadaan proyek pemerintah yang dilaksanakan menggunakan metode tradisional dan full privatization, dimana pemerintah tidak mempunyai peran terhadap proyek yang sedang berjalan. Dalam pelaksanaannya, PPPs tidak memungkinkan untuk dilaksanakan dalam proyek yang tidak memiliki keuntungan yang cukup. Sumber. Katahira & Engineers Int’l., 2006 Gambar II.1. PPP Structures Pada pendekatan sektor publik tradisional, Pemerintah bertanggung jawab terhadap desain, konstruksi, operasional dan pemeliharaan infrastruktur, serta menentukan tingkat dari kualitas dan standard kualitas pelayanan. Sedangkan pada pendekatan privatisasi, Swastalah yang bertanggung jawab terhadap hal – hal tersebut, selayaknya pihak Pemerintah. Sementara itu, pada pendekatan PPPs pihak Pemerintah bertanggungjawab pada penentuan pelayanan, sedangkan pihak Swasta 15 bertanggungjawab pada desain, konstruksi, operasional dan pemeliharaan infrastruktur. PPPs memastikan pelayanan yang dihasilkan akan memenuhi standar pelayanan umum dengan biaya yang lebih rendah dan kulitas yang lebih baik dengan menggunakan kemampuan manajemen sektor Swasta dan kemampuan keuangannya. Dalam pelaksanaan kerjasama Pemerintah – Swasta melalui mekanisme PPPs, ada beberapa keuntungan yang didapat, yaitu : a. Percepatan dari pembangunan infrastruktur PPP memungkinkan public sector (Pemerintah) untuk merubah pembelanjaan modal diawal proyek menjadi pembayaran yang dilakukan selama proyek berlangsung. Hal ini memungkinkan proyek dapat tetap dilaksanakan walaupun dana pemerintah terbatas. b. Pelaksanaan yang lebih cepat Private Sector (swasta) bertanggung jawab pada tahapan desain dan konstruksi proyek jalan tol, dikombinasikan dengan pembayaran yang terkait dengan ketersediaan pelayanan, menghasilkan dorongan kepada sektor swasta untuk menyampaikan modal proyek dalam kerangka waktu pembangunan yang lebih pendek. c. Mengurangi biaya keseluruhan proyek Proyek PPP memerlukan operasional dan ketetapan pelayanan pemeliharaan, sehingga sektor swasta dapat melakukan penghematan biaya selama proyek berlangsung, sesuatu yang sulit dilakukan dalam pembiayaan sector public yang tradisional. d. Alokasi risiko yang lebih baik Prinsip dasar dari PPPs adalah mengatur alokasi risiko dari kedua belah pihak (baik swasta maupun pemerintah), terutama mengenai risiko biaya. Tujuannya adalah mengoptimalkan perpindahan risiko, untuk memastikan agar tiap pihak mendapatkan keuntungan. 16 e. Memberikan dorongan untuk memberikan kinerja yang lebih baik Managemen risiko dapat memberikan dorongan kepada kontraktor swasta untuk meningkatkan manajemen dan kinerja pada proyek yang didapatkan. Kebanyakan proyek yang menggunakan skema pembiayaan pemerintah – swasta, pembayaran penuh kepada pihak swasta hanya akan terjadi bila standar pelayanan yang ditetapkan oleh pemerintah telah dipenuhi oleh pihak swasta. f. Meningkatkan kualitas pelayanan Pengalaman internasional menunjukkan bahwa kualitas pelayanan yang diperoleh dengan skema PPPs sering kali lebih baik dibandingkan dengan metode pengadaan yang tradisional. Hal ini bisa menunjukkan integrasi pelayanan yang lebih baik dengan aset yang mendukung, pertumbuhan tingkat ekonomi, pengenalan inovasi dalam penyampaian pelayanan, atau dorongan kinerja dan penalty yang termasuk dalam kontrak PPPs. g. Meningkatkan manajemen pihak pemerintah Dengan menempatkan pemerintah sebagai regulator dan fokus kepada perencanaan dan monitoring kinerja. II.5.1 Karakteristik Public – Private Partnership Scheme (PPPs) Karakteristik dari kerjasama ini secara umum adalah membagi investasi, risiko, tanggung jawab dan hasil antara kedua belah pihak. Sedangkan secara khusus adalah: 1. Alokasi risiko antara pemerintah dan sektor swasta, 2. Sektor swasta merancang, membangun, mendanai, merawat dan memperbaiki proyek selama waktu tertentu atau dikenal sebagai periode konsesi, 3. Pemerintah memfasilitasi pendanaan proyek baik dari pembayaran bea dari sektor swasta maupun melalui dana yang ditarik oleh sektor swasta dari pengguna, 17 4. Sektor swasta harus mengelola proyek sesuai dengan standar kualitas yang ditetapkan selama periode konsesi, dan 5. Proyek dikembalikan kepada pemerintah di akhir periode konsesi. Pada umumnya kerjasama ini dilaksanakan pada pendanaan, perancangan, konstruksi, operasional dan perawatan infrastruktur publik dan pelayanannnya (Public Private Partnership: A guide for Local Government, 1999). PPPs sendiri dianggap sebagai bentuk yang menguntungkan bagi pemerintah maupun swasta dalam pelaksanaannya. Dengan membagi pada sektor yang mampu melaksanakannya maka operasional dan pelayanan infrastruktur menjadi lebih ekonomis dan efisien (Introduction to Public Private Partnership: Public Private Partnership Guidance Note 1, 2000). Tujuan dari pelaksanaan PPPs adalah untuk menstrukturisasi hubungan antara pemerintah dan swasta sehingga risiko-risiko pembangunan Infrastruktur dikelola oleh pihak yang paling mampu mengontrolnya dan meningkatkan nilai dari pelayanan umum melalui pemberdayaan kompetensi dan kemampuan sektor swasta. Hal ini disebabkan karena masing-masing pihak mempunyai karakteristik tertentu yang membuat kedua pihak mampu menangani aspek-aspek tertentu dari pelaksanaan proyek atau layanannya. Peran dan tanggung jawab setiap pihak akan berbeda pada masing-masing proyek. Akan tetapi, secara keseluruhan peran dan tanggung jawab pemerintah tidak berubah. Dengan adanya PPPs pengambilan keputusan tetap di tangan pemerintah yang juga tetap bertanggung jawab terhadap pengadaan Infrastruktur yang mampu melayani kepentingan umum. Dalam Developing Best Practices for Promoting Private Sector Investment in Infrastructures (2000) dinyatakan mengenai adanya kesepakatan umum bahwa: 1. Pemerintah sebaiknya fokus pada perencanaan, strukturisasi dan regulasi sementara swasta berkonsentrasi pada pengelolaan, investasi, pembangunan dan pendanaan, 2. Pengalihan tanggung jawab kepada sektor swasta dilaksanakan melalui deregulasi dan kompetisi terbuka atau kesepakatan dengan kontrak yang baik 18 dimana didalamnya mencakup kontrak pengelolaan, modal pinjaman, konsesi, penjualan aset dan ijin pengoperasian. 3. Regulasi ekonomi dilaksanakan pada kondisi kurangnya kompetisi, dan regulasi tersebut haruslah transparan dan terprediksi yang mampu mengakomodasi pihak terkait, 4. Sumber pendanaan domestik jangka panjang perlu dikembangkan, dan 5. Risiko komersial diberikan kepada sektor swasta sedangkan risiko lainnya diberikan kepada pihak yang mampu menanganinya. Dari kelima poin di atas maka dapat disimpulkan bahwa dalam pengadaan infrastruktur pemerintah terlibat secara intensif pada tahap perencanaan, strukturisasi dan regulasi. Setelah tahap awal tersebut terdefinisi dengan jelas maka selanjutnya sektor swasta dapat dilibatkan pada pembangunan atau konstruksi, pengelolaan, dan pendanaan. Pengalihan tangggung jawab pemerintah pada konstruksi, pengelolaan, dan pendanaan harus dilaksanakan melalui kompetisi yang transparan. Setelah pemerintah menentukan pihak swasta yang terlibat maka perlu dibuat suatu kontrak kesepakatan yang mencakup hal-hal esensial dari kerjasama tersebut. II.5.2 Tipe – tipe PPPs Jika keseluruhan bentuk PPPs dirangkum maka perbandingan antara bentuk – bentuk tersebut adalah seperti pada Tabel II.1, sedangkan Tabel II.2 menyajikan kelebihan dan kekurangan dari setiap bentuk PPPs. II.6 Pelaksanaan PPPs di Negara –negara lain Skema pembiayaan jalan tol dengan prinsip pembiayaan PPP Scheme (sektor Publik dan swasta) ini telah banyak dilaksanakan di beberapa Negara. United Kingdom Pemerintah Inggris menerapkan dukungan pemerintah berupa shadow toll, yaitu tol dibayar oleh pemerintah berdasarkan kendaraan-km yang dihitung secara otomatis. Dengan dukungan ini, keuntungan yang diperoleh adalah sangat membantu untuk 19 aspek di lapangan, sedangkan kelemahannya adalah kemungkinan untuk menghalangi peralihan ke sistem tol yang sesungguhnya disamping beban akibat ketidakluwesan sistem perpajakan yang berlaku sekarang maupun yang akan datang. Korea Beberapa dukungan pemerintah Korea dalam rangka terlaksananya PPPs • Subsidi konstruksi (kurang dari 30% untuk sektor jalan), pemerintah menyediakan jalan akses dan kereta api. • Minimum Revenue Guarantee (MRG), dukungan ini dilaksanakan setelah krisis keuangan di Asia yang terjadi sekitar tahun 1990-an. • Berbagai keuntungan dari pajak, pemerintah memberikan beberapa pembebasan pajak untuk proyek – proyek infrastruktur tertentu. • Kelonggaran penghentian pembayaran, hal ini diterapkan jika terjadi force majeure dan bangkrut India Pemerintah India melakukan beberapa kegiatan, baik secara administratif, hukum maupun fiskal dalam rangka memajukan Public – Private Partnership pada sektor jalan. Model perjanjian konsesi telah disusun secara investor friendly, dengan alokasi risiko yang lebih wajar dengan ketetapan dukungan pemerintah dalam bentuk grant. Bentuk dukungan pemerintah yang utama adalah: • Pemerintah bertanggung jawab terhadap pembebasan lahan dan aktivitas sebelum konstruksi; • Subsidi modal hingga 40% sehingga proyek menjadi feasible. • Pembebasan pajak 100% selama 10 tahun berturut – turut. • Pembebasan bea import untuk peralatan dan material konstruksi. • Prosedur pengadaan yang transparan dan jelas. 20 Tabel II.1 Perbandingan Tipe-tipe PPPs Tipe Tradisional Bentuk Pendanaan Keterlibatan Swasta Ada pada: • Operasional • Operasional 2 – 10 tahun Swasta Ada pada: • Perancangan • Konstruksi • Operasional • Finansial • • • • 25 – 30 tahun Kesepakatan untuk penjualan seluruh atau sebagian aset infrastruktur kepada pihak swasta (divestasi utuh atau parsial) Swasta Ada pada: • Perancangan • Konstruksi • Operasional • Finansial Kesepakatan dengan swasta untuk membangun dan mengoperasikan fasilitas infrastruktur Sebagian besar swasta Ada pada: • Perancangan • Konstruksi • Operasional • Finansial Pemerintah Kerjasama dimana pemerintah memberikan hak pengoperasian dan perawatan fasilitas kepada pihak swasta Kesepakatan untuk mendapat hak penyediaan jasa Pemerintah pada tahap konstruksi dan swasta pada tahap pengoperasian Divestasi BOT (BuildOperateTransfer) Turnkey 21 • Operasional pengembangan Durasi Kerjasama Sepanjang perancangan dan konstruksi Sepanjang perancangan dan konstruksi 10 – 20 tahun Kontrak dengan swasta untuk merancang dan membangu fasilitas umum Kontrak dengan swasta untuk merancang dan membangun fasilitas umum Kesepakatan penyewaan jangka panjang atau membeli suatu fasilitas yang telah ada oleh pihak swasta untuk mengoperasikan dan mengembangkannya LDO (LeaseDevelopedOperate)/BDO (BuildDevelopedOperate) O (Operation) dan M (Maintenance) Konsesi Dari pemerintah yang diberikan pda swasta setelah proyek selesai Pemerintah pada tahap konstruksi dan swasta pada tahap pengoperasian dan pengembangan Ada pada: • Perancangan • Konstruksi Ada pada • Perancangan • Konstruksi Ada pada: • Operasional dan pengembangan Transfer Risiko • Perancangan • Konstruksi • Perancangan • Konstruksi • • • • • • • • • • • • Sumber:Guidelines for Successful Public Private Partnership (2003) 21 Perancangan Konstruksi Finansial Pengelolaan dan perawatan aset Tingkat penerimaan Perancangan Konstruksi Finansial Pengelolaan dan perawatan aset Tingkat penerimaan Perancangan Konstruksi Finansial Politis Pengelolaan dan perawatan aset Tingkat penerimaan 25 – 30 tahun 25 – 30 tahun Tabel II.2 Kelebihan dan Kekurangan Tipe-tipe PPPs Bentuk Kelebihan Kekurangan Tradisional • Adanya pengalihan risiko • Dapat mempercepat durasi, menekan biaya dan mengembangkan inovasi pada konstruksi Turnkey • Adanya pengalihan risiko • Dapat mempercepat konstruksi • Dapat meningkatkan kualitas konstruksi jika dilaksanakan pengalihan operasional • Efisiensi di tahap konstruksi LDO atau BDO • Pemerintah mendapatkan sejumlah uang dari penyewaan atau pembelian fasilitas • Pemerintah tidak perlu mengeluarkan modal untuk pengembangan atau peningkatan fasilitas • Risiko finansial dialihkan pada pihak swasta • Kedua belah pihak dapat menarik pendapatan dari kerjasama ini • Kualitas pelayanan meningkat sejalan dengan peningkatan fasilitas • Peningkatan mutu dan efisiensi biaya serta waktu yang dilaksanakan selama pengembangan fasilitas • Berpotensi meningkatkan kualitas pelayanan dan efisiensi yang dapat menekan biaya • Ada keleluasaan dalam strukturisasi kontrak O&M Divestasi BOT • Pemerintah hanya bertindak sebagai regulator • Pada divestasi parsial pemerintah masih memiliki control terhadap aset • Menarik sektor swasta dalam bidang finansial • Meningkatkan efisiensi pengelolaan aset serta menjaga kepentingan public • Adanya pengalihan sebagian risiko • Dapat mempercepat konstruksi • Dapat meningkatkan kualitas operasional dan perawatan • Efisiensi yang mengakibatkan penghematan • Tetap adanya kendali pemerintah • Aset tetep dimiliki pemerintah • Adanya risiko operasional • Tidak diperhitungkannya analisis siklus hidup • Tidak menarik minat swasta • • Lebih rumitnya prosedur yang perlu dilaksanakan pada saat penentuan pemenang tender • Adanya biaya tambahan jika terjadi perubahan dalam pengoperasian fasilitas setelah kontrak ditetapkan • Adanya risiko finansial dari pihak pemerintah • Pemerintah dapat kehilangan kontrol terhadap fasilitas yang ada • Sulitnya menentukan nilai aset saat penyewaan atau pembelian • Munculnya biaya tambahan pengadaan kembali jika kinerja swasta tidak dapat dipertanggungjawabkan • Berkurangnya kontrol pemerintah dan kemampuannya dalam merespon adanya perubahan kebutuhan public • Dapat terjadinya monopoli dalam pentarifan • Adanya kesulitan penggantian pihak swasta yang tidak kompeten • Kompleknya kontrak • Perlu adanya sistem pengelolaan kontrak Sumber:Guidelines for Successful Public Private Partnership (2003) 22 Dari bentuk – bentuk dukungan tersebut, dapat dilihat rangkuman pelaksanaan PPPs di negara lain yang mungkin dapat diterapkan di Indonesia seperti terlihat pada Tabel II.3 Tabel II.3 Rangkuman Pelaksanaan PPPs di Negara lain Bentuk Dukungan Pembebasan Lahan Subsidi Modal Minimum revenue guarantee Pembebasan Pajak Pembebasan bea import Shadow toll II.7 United Kingdom Tidak ada Tidak ada Tidak ada Korea India Tidak ada Tidak ada 65 – 75 % 100% Hingga 40 % Tidak ada Tidak ada Tidak ada Ada Ada Tidak ada Tidak ada 100 % Ada Tidak ada Pelaksanaan PPPs Pada Sektor Jalan Tol di Indonesia Di Indonesia, sejatinya konsep PPP ini dipilih sebagai alternatif oleh pemerintah semenjak pembangunan infrastruktur mulai agak tersendat karena datangnya krisis moneter. Baru pada tahun 2005, Pemerintah mulai serius untuk menerapkan konsep PPP. Diawali dengan diselenggarakannya Indonesia Infrastructure Summit I pada pertengahan Januari 2005. Saat itu, ada sebanyak 91 proyek yang ditawarkan pemerintah kepada investor swasta untuk menjadi proyek kerjasama PemerintahSwasta. Sedangkan pada Indonesia Infrastructure Summit II (Indonesia Infrastructure Conference and Exhibition 2006) pemerintah menawarkan 111 proyek (termasuk 10 model proyek yang diunggulkan). Ternyata, untuk ”mengawal” proyekproyek tersebut supaya layak dikerjasamakan membutuhkan kerja super keras pemerintah. Banyak hal yang harus diperbaiki atau dibentuk. Secara garis besar, terdapat tiga hal yang harus segera diselesaikan pemerintah. Kesatu, membentuk kelembagaan baru yang mendukung pelaksanaan PPP; kedua, melakukan harmonisasi, reformasi dan revisi terhadap berbagai aturan yang saling bertentangan dan yang menghambat masuknya investasi; dan ketiga, meningkatkan kualitas sumber daya manusia. 23 Untuk tugas pertama, pemerintah telah membentuk apa yang disebut dengan Komite Kebijakan Percepatan Penyediaan Infrastruktur (KKPPI) yang diketuai oleh Menteri Koordinator Perekonomian pada Mei 2005. Komite ini mempunyai tugas: a. Merumuskan strategi dalam rangka koordinasi pelaksanaan percepatan penyediaan infrastruktur; b. Mengkoordinasikan dan memantau pelaksanaan kebijakan percepatan penyediaan infrastruktur oleh Menteri Terkait dan Pemerintah Daerah; c. Merumuskan kebijakan pelaksanaan kewajiban pelayanan umum (Public Service Obligation) dalam percepatan penyediaan infrastruktur; d. Menetapkan upaya pemecahan berbagai permasalahan yang terkait dengan percepatan penyediaan infrastruktur. Selain KKPPI, beberapa institusi pendukung dalam rangka PPP juga sedang dan telah dibentuk seperti : • Departemen Keuangan telah membentuk Pusat Pengelolaan Risiko Fiskal (Risk Management Unit) dan Badan Investasi Pemerintah. • Departemen Perhubungan, Departemen Pekerjaan Umum dan Departemen Energi dan Sumber Daya Mineral masing-masing telah membentuk Simpul PPP (PPP Node). • Pemerintah juga membentuk Pusat Pengembangan PPP (PPP Center). Selanjutnya, pemerintah melakukan harmonisasi, reformasi dan revisi terhadap berbagai aturan yang tidak market friendly, baik itu berbentuk Undang-Undang maupun Perda, termasuk aturan pelaksanaannya. Beberapa contoh kongkritnya adalah: • Terbitnya Perpres Nomor 67 Tahun 2005 tentang Kerjasama Pemerintah dan Badan Usaha dalam Penyediaan Infrastruktur (sebagai revisi atas Keppres Nomor 7 Tahun 1998) ; 24 • Terbitnya Perpres Nomor 65 Tahun 2006 tentang Perubahan atas Perpres Nomor 36 Tahun 2005 tentang Pengadaan Tanah bagi Pelaksanaan Pembangunan untuk Kepentingan Umum • Keluarnya Permenkeu Nomor 38 Tahun 2006 tentang Petunjuk Pelaksanaan Pengendalian dan Pengelolaan Risiko atas Penyediaan Infrastruktur. Perkembangan pembangunan jalan tol yang cukup lambat diakibatkan dari kurangnya kerangka peraturan dan makro ekonomi serta kondisi politis yang membuat pihak swasta tidak berminat untuk melakukan investasi. Sampai dengan tahun 1978, pemerintah Indonesia telah membangun jalan tol sepanjang 59 km, yang dalam pengoperasiannya dilakukan oleh perusahaan milik pemerintah. Kemudian, sampai dengan saat ini, telah beroperasi jalan tol sepanjang 650 km, dimana 22,8% (148,30 km) mendapatkan investasi dan dikelola oleh 6 perusahaan swasta nasional, sedangkan sisanya, yaitu 501,70 km (67,2 %) mendapatkan investasi dan dikelola oleh perusahaan milik pemerintah, meliputi pembangunan jalan tol dan pengoperasian dengan masa konsesi bervariasi, dari 20 sampai 30 tahun (Indonesian Status Paper, Bangkok, 2006). Indonesia memperkenalkan perusahaan swasta nasional untuk melakukan investasi dan pengoperasian jalan tol di Indonesai dimulai pada tahun 1983. Pemerintah Indonesia mempergunakan Public – Private Partnership (PPP) Scheme untuk mendapatkan alternatif pembiayaan pembangunan jalan tol. Program pengembangan jalan tol saat ini merencanakan pembangunan jalan tol baru sepanjang 1,978 km. Partisipasi dalam program jalan tol ini dapat berupa pinjaman lunak kepada pemerintah, manajemen operasi dan pemeliharaan, kerjasama strategis dengan pembiayaan hutang kepada investor yang ada dengan komersialisasi jalan tol atau masuk sebagai investor baru dengan mengikuti standar prosedur pengadaan yang ada. Berikut adalah beberapa jalan tol di Indonesia: 25 Tabel II.4 Daftar Beberapa Jalan Tol di Indonesia dan Sumber Pendanaannya No. 1. 2. 3. Ruas Jalan Tol Jakarta - Bogor – Ciawi Jakarta – Cikampek Tol Dalam Kota Jakarta Sumber Dana/PPP Pemerintah Pemerintah Pemerintah/PT Jasa Marga 5. Harbour Road swasta (BOT) 6. Jakarta – Tangerang Pemerintah 7. Tangerang – Merak Swasta (BOT) 9. Serpong - Pd Aren Swasta (BOT) 10. 11. 12 13 14 Padalarang – Cileunyi Cikampek – Padalarang Gresik – Wonokromo Belawan - Medan - Tg Morawa Semarang Dalam Kota Pemerintah Pemerintah Pemerintah Pemerintah Pemerintah Operator PT Jasa Marga PT Jasa Marga PT Jasa Marga PT. Citra Marga Nusaphala Persada PT Jasa Marga PT Mandala Sakti PT. Bintaro Serpong Damai PT Jasa Marga PT Jasa Marga PT Jasa Marga PT Jasa Marga PT Jasa Marga Sumber. Toll Road Investment Opportunities in Indonesia, BPJT, 2008 (olahan). II.8 Peraturan Terkait Pelaksanaan PPPs II.8.1 Peraturan Presiden No. 67 Tahun 2005 Untuk mempercepat pembangunan infrastruktur, pemerintah memandang perlu untuk mengambil langkah-langkah komprehensif guna menciptakan iklim investasi untuk mendorong keikutsertaan badan usaha dalam penyediaan infrastruktur. Pemerintah menerbitkan Peraturan Presiden Nomer 67 Tahun 2005 tentang Kerjasama Pemerintah dan Badan Usaha dalam Penyediaan Infrastruktur. Pasal 3 Perpres 67 /2005 disebutkan: Mendorong digunakannya prinsip pengguna membayar pelayanan yang diterima, namun juga dalam hal-hal tertentu mempertimbangkan kemampuan membayar pengguna. 26 Pasal 4 Perpres 67 /2005 menyebutkan: (1). Jenis Infrastruktur yang dapat dikerjasamakan dengan Badan Usaha mencakup : a. infrastruktur transportasi, meliputi pelabuhan laut, sungai atau danau, bandar udara, jaringan rel dan stasiun kereta api; b. infrastruktur jalan, meliputi jalan tol dan jembatan tol; c. infrastruktur pengairan, meliputi saluran pembawa air baku; d. infrastruktur air minum yang meliputi bangunan pengambilan air baku, jaringan transmisi, jaringan distribusi, instalasi pengolahan air minum; e. infrastruktur air limbah yang meliputi instalasi pengolah air limbah, jaringan pengumpul dan jaringan utama, dan sarana persampahan yang meliputi pengangkut dan tempat pembuangan; f. infrastruktur telekomunikasi, meliputi jaringan telekomunikasi; g. infrastruktur ketenagalistrikan, meliputi pembangkit, transmisi atau distribusi tenaga listrik; dan h. infrastruktur minyak dan gas bumi meliputi pengolahan, penyimpanan, pengangkutan, transmisi, atau distribusi minyak dan gas bumi. (2). Infrastruktur sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dikerjasamakan sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku di sektor bersangkutan. Berdasarkan pasal 6 Perpres 67 /2005, maka kerjasama penyediaan infrastruktur antara Menteri/Kepala Lembaga/Kepala Daerah dengan Badan Usaha dilakukan dengan prinsip adil, terbuka, transparan, bersaing (berarti pemilihan Badan Usaha melalui proses pelelangan), saling menguntungkan, saling membutuhkan dan saling mendukung. Peraturan Presiden No. 67 Tahun 2005 tentang ketetapan PPP dari infrastruktur menyediakan guidelines pemerintah dalam manajemen risiko dan dukungan pemerintah seperti pembebasan pajak, subsidi dll. 27 II.8.2 Peraturan Pemerintah Republik Indonesia No. 1 Tahun 2008 Peraturan Pemerintah No. 1 Tahun 2008 menjelaskan tentang Investasi Pemerintah. Pada BAB 1 yang berisi mengenai Ketentuan Umum pada: Pasal 1 point 5, menyebutkan bahwa Pemberian Pinjaman adalah bentuk Investasi Pemerintah pada Badan Usaha, Badan Layanan Umum (BLU), Pemerintah Provinsi/Kabupaten/Kota, dan Badan Layanan Umum Daerah (BLUD) dengan hak memperoleh pengembalian berupa pokok pinjaman, bunga, dan/atau biaya lainnya. Pasal 4 point a, kerjasama investasi antara Badan Investasi Pemerintah dengan Badan Usaha dan/atau BLU dengan pola kerjasama pemerintah dan swasta (Public Private Partnership) II.8.3 Peraturan Menteri Keuangan No. 38 Tahun 2006 Peraturan Menteri Keuangan No. 38 Tahun 2006 ini menjelaskan mengenai Petunjuk Pelaksanaan Pengendalian dan Pengelolaan Risiko Atas Penyediaan Infrastruktur. Dalam peraturan ini pada: Pasal 1, menyebutkan bahwa: Dukungan Pemerintah adalah kompensasi finansial dan/atau kompensasi dalam bentuk lain yang diberikan oleh Pemerintah kepada Badan Usaha melalui skema pembagian risiko dalam rangka pelaksanaan proyek kerjasama penyediaan infrastruktur; Risiko Permintaan (Demand Risk) adalah risiko yang ditimbulkan akibat lebih rendahnya permintaan atas barang/jasa yang dihasilkan oleh proyek kerjasama dibandingkan dengan yang diperjanjikan. Pasal 4, menjelaskan mengenai ruang lingkup pengendalian dan pengelolaan risiko atas penyediaan infrastruktur meliputi kegiatan dan tanggung jawab atas: a. perencanaan, penilaian kelayakan proyek secara teknis dan finansial, dilakukan oleh departemen teknis/lembaga; 28 b. evaluasi kelayakan dan prioritas proyek sesuai prioritas pembangunan nasional dilakukan oleh KKPPI; c. evaluasi risiko keuangan dan fiskal, monitoring dan pelaporan pemenuhan kewajiban Pemerintah sehubungan dengan pemberikan dukungan Pemerintah dilakukan oleh Departemen Keuangan c.q Unit Pengelola Risiko. Pasal 6, menjelaskan mengenai jenis risiko dan bentuk dukungan Pemerintah, yaitu: (1) jenis risiko yang perlu diatur skema pembagian risikonya antara Pemerintah dan Badan Usaha dalam penyediaan infrastruktur adalah: a. Risiko Politik; b. Risiko Kinerja Proyek; dan c. Risiko Permintaan. (2) Dalam skema pembagian risiko untuk risiko politik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a, dapat diperjanjikan untuk pemberian kompensasi kepada pemilik aset/Badan Usaha. (3) Dalam skema pembagian risiko untuk Risiko Kinerja Proyek sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b, dapat diperjanjikan untuk: a. risiko lokasi, dalam hal terjadi: 1) Keterlambatan pengadaan tanah, dapat diberikan perpanjangan masa konsesi dan/atau memberikan kompensasi dalam bentu lain yang disetujui oleh Menteri Keuangan sepanjang keterlambatan tersebut disebabkan oleh pihak Pemerintah. 2) Kenaikan harga tanah, dapat diberikan perpanjangan masa konsesi kepada Badan Usaha, menanggung kelebihan harga tanah dengan presentasi yang disepakati dengan Badan Usaha dan/atau memberikan kompensasi dalam bentuk lain yang disetujui oleh Menteri Keuangan. 29 b. Risiko operasional, dalam hal terjadi: 1) Keterlambatan dalam penetapan pengoperasian, keterlambatan dalam penyesuaian tarif, pembatalan penyesuaian tarif, atau penetapan tarif awal yang lebih rendah dari pada yang diperjanjikan, dapat diberikan perpanjangan masa konsesi pada Badan Usaha dan/atau memberikan kompensasi dalam bentuk lain yang disetujui Menteri Keuangan. 2) Perubahan spesifikasi output di luar yang telah disepakati, yang dilakukan oleh Menteri/Kepala Lembaga, yang menyebabkan kerugian finansial pada Badan Usaha, dapat diberikan kompensasi dengan memperhitungkan ulang biaya produksi. (4) Dalam skema pembagian risiko untuk risiko permintaan, dapat diperjanjikan dalam hal: a. Realisasi penerimaan lebih rendah daripada jumlah penerimaan minimum yang dijamin oleh Pemerintah yang disebabkan jumlah permintaan atas barang/jasa yang dihasilkan oleh proyek kerjasama lebih rendah dari jumlah permintaan yang diperjanjikan, dapat diberikan kompensasi finansial dan/atau kompensasi dalam bentuk lain yang disetujui oleh Menteri Keuangan; dan b. Realisasi penerimaan lebih tinggi daripada jumlah penerimaan minimum yang dijamin oleh Pemerintah yang disebabkan jumlah permintaan atas barang/jasa yang dihasilkan oleh proyek kerjasama lebih tinggi dari jumlah permintaan yang diperjanjikan, pemerintah mendapatkan manfaat finansial atas kelebihan penerimaan tersebut. II.8.4 Peraturan Menteri Pekerjaan Umum No. 12 Tahun 2008 Permen PU no. 12 Tahun 2008 ini menjelaskan mengenai Tata Cara Pelaksanaan Dukungan Pemerintah Terhadap Pengadaan Tanah. Pada pasal 4 point (2) menjelaskan bahwa: 30 Dukungan diberikan dalam bentuk pendanaan oleh Pemerintah terhadap biaya pengadaan tanah yang melebihi batas biaya pengadaan tanah yang menjadi tanggungan Badan Usaha. Point (3), menjelaskan bahwa: Batas biaya pengadaan tanah yang menjadi tanggungan Badan Usaha sebagaimana dimaksud pada ayat (2) adalah nilai paling besar dari ketentuan sebagai berikut: a. 110% (seratus sepuluh perseratus) dari Biaya Pengadaan Tanah Dalam PPJT, atau b. 100% (seratus per seratus) dari Biaya Pengadaan Tanah dalam PPJT ditambah dengan 2% (dua perseratus) dari Biaya Investasi Dalam PPJT Dalam hal ini, yang dimaksud dengan PPJT adalah Perjanjian Pengusahaan Jalan Tol. II.9 Gambaran Umum Wilayah Study (Tol Solo – Kertosono) Perkembangan socioeconomic yang sangat cepat di bagian selatan dan timur dari Pulau Jawa telah meningkatkan permintaan akan fasilitas transportasi yang jauh lebih baik, termasuk didalamnya infrastruktur jalan. Permintaan ini bervariasi, berkaitan dengan kapasitas regional, karakteristik dan potensi dari daerah tersebut. Jalan tol Solo – Kertosono (termasuk didalam Trans Java Toll Road), berlokasi di wilayah Jawa Tengah dan Jawa Timur yang menghubungkan Jawa Timur dan Jawa Tengah menuju ke Jakarta. Ruas jalan tol ini memiliki panjang total 177.12 km. Proyek jalan tol di Indonesia sebelumnya telah dilaksanakan dengan menggunakan dana dari Pemerintah, pinjaman luar negeri, dana dari Jasa Marga, dan skema BOT. Proyek jalan tol yang layak secara ekonomi tetapi tidak layak secara finansial, tidak dapat dilaksanakan dengan menggunakan skema BOT dan membutuhkan subsidi dari Pemerintah melalui PPPs. Dengan menggunakan PPPs pada studi jalan tol mempunyai beberapa tujuan dan diharapkan akan memberikan beberapa keuntungan, termasuk: 31 • untuk menyediakan pilot project untuk PPPs yang akan membuka pasar untuk partisipasi swasta dalam mendanai proyek infrastruktur pemerintah secara umum. • Untuk mengembangkan dan menyediakan kesempatan bisnis bagi swasta, agar swasta dapat memiliki peran di masa yang akan datang. • Untuk mengurangi hambatan pemerintah dalam membiayai proyek infrastruktur. • Menyediakan pengalaman, kesempatan efisiensi, kepada fleksibilitas swasta dan agar dapat kemajuan menggunakan teknologi dalam menerapkan dan mengoperasikan proyek pemerintah. • Untuk memberikan pelayanan yang lebih baik kepada pengguna jalan dengan biaya yang lebih rendah. Tujuan utama dari pembangunan jalan tol Solo – Kertosono ini adalah: • Untuk meningkatkan aksesibilitas dan kapasitas jaringan jalan dalam pergerakan orang dan angkutan barang sepanjang koridor tersebut. • Untuk meningkatkan perkembangan socio economic nasional dan regional dalam area corridor-impact dan kota sepanjang jalan di bagian timur pulau jawa. • Meningkatkan produktivitas dengan penekanan pada biaya distribusi serta memberikan akses yang lebih baik untuk pasar regional dan internasional. • Menyediakan jaringan transportasi jalan yang efisien di Pulau Jawa dalam mendukung pertumbuhan sosial ekonomi yang cepat. 32 Lokasi jalan tol Solo – Kertosono dapat dilihat pada Gambar II.2 Sumber. Interim Report The Study On PPP Scheme for Trans Java Toll Road Gambar. 2-2 Peta lokasi jalan tol Solo – Kertosono Proyek ini telah dideklarasikan dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah (RPJM) 2005 – 2009 dan telah dinyatakan dalam: - Rencana strategis Departemen Pekerjaan Umum, 2005 – 2009 - Peraturan Menteri Pekerjaan Umum No. 369/KPTS/M/2005 pada Rencana Induk Jaringan Jalan Nasional. - Pemerintah Indonesia telah meluncurkan Program Percepatan Pembangunan Jalan Tol pada Indonesia Infrastruktur Summit I, Januari 2005. Tol Solo-Ngawi-Kertosono, terbagi dua ruas yakni Solo-Ngawi (90,10 km) dan Ngawi-Kertosono (87,02 km), memiliki 8 interchanges (7 segmen untuk bagian Solo – Kertosono). Road carriageway terbagi menjadi2 lajur 2 arah dengan Right of Way (ROW) 60 – 70 m. Tugas yang harus diselesaikan dalam proyek ini meliput: - Detailed Engineering Design - Land Acquisition (pembebasan lahan) - Construction (pembangunan) 33 - Operation (pengoperasian jalan tol) - Maintenance (pemeliharaan) II.9.1 Lalulintas Survei lalulintas dilakukan pada koridor utama transportasi di wilayah yang dilalui jalan tol yang akan distudi. Dalam konteks tersebut, informasi tentang kebutuhan dan karakteristik lalulintas eksisting didapat melalui pengumpulan data di lapangan yang meliputi 3 (tiga) jenis survey, yaitu: 1. Survey perhitungan lalulintas (traffic count survey). 2. Survey lalulintas di persimpangan (intersection traffic counting). 3. Survei kecepatan perjalanan (travel speed survey). Hasil survey perhitungan volume lalulintas (traffic count) untuk ruas jalan tol Solo – Kertosono perhari untuk 2 arah dapat dilihat pada Tabel II.5 Tabel II.5 Volume Lalulintas Ruas Jalan Panjang (km) Volume LL (kend/hari) Solo – Ngawi 90,1 7.725 Ngawi – Kertosono 87,02 9.320 Sumber. Studi Kelayakan dan Pra Desain Tender Investasi Jalan Tol Solo – Kertosono Ditjen Bina Marga Dept. Pekerjaan Umum, PT. Cipta Strada 2006 (olahan). II.9.2 Penentuan Tarif Awal Penentuan tarif awal dilakukan berdasarkan tiga sudut pandang berikut: a. Willingness-to-pay (WTP) Pendekatan teori yang mendasari konsep WTP adalah sejumlah uang atau kompensasi yang siap dibayar/diterima oleh konsumen untuk memperoleh peningkatan/penurunan konsumsi suatu produk (barang/jasa) yang diinginkan. Pendekatan ini dinilai lebih tepat mencerminkan keinginan pengguna jalan tol sehingga permasalahn yang timbul berkaintan dengan penetapan tarif awal dapat dihindari. Dalam studi kelayakan tol Solo - Kertosono yang dilakukan 34 oleh Ditjen Bina Marga tahun 2006, penekanan penentuan tarif awal adalah dengan pendekatan willingness to pay. b. BKBOK (Besar Keuntungan Biaya Operasi Kendaraan) Formula yang digunakan untuk menghitung BKBOK adalah sebagai berikut: BKBOK = [(BOKn x Dn) - (BOKt x Dt) + (Dn/Vn – Dt/Vt)] x Tv…….(2.1) Dimana : BKBOK BOKn BOKt Dn Dt Vn Vt = Besar Keuntungan Biaya Operasi Kendaraan = Biaya Operasi Kendaraan di Jalan Non Tol = Biaya Operasi Kendaraan di Jalan Tol = Jarak Tempuh di Jalan Non Tol = Jarak Tempuh di Jalan Tol = Kecepatan Kendaraan di Jalan Non Tol = Kecepatan Kendaraan di Jalan Tol (Rp) (Rp/km) (Rp/km) (km) (km) (km/jam) (km/jam) c. Pengembalian Investasi Dari sisi investor maka besarnya investasi dan panjangnya masa konsesi akan menentukan besarnya tarif yang akan dikenakan. Dasar pemikirannya adalah tarif yang dikenakan adalah keseluruhan biaya yang dikeluarkan untuk membangun dan memelihara serta keuntungan yang kesemuanya dibebankan kepada pengguna jalan. Proyeksi kelayakan investasi yang antara lain terdiri dari nilai investasi, tingkat bunga, prediksi lalulintas, proyeksi tarif, biaya operasi dan pemeliharaan, masa konsesi dan keuntungan wajar. Hal lain yang berpengaruh antara lain : frekuensi pengguna jalan dan analisis kembali modal (break even point – BEP). Tarif awal rata-rata didasarkan pada besarnya biaya investasi, biaya operasi dan pemeliharaan + keuntungan, jumlah kendaraan, dan panjang jalan. Metode biaya investasi juga memerlukan pengkajian yang lebih mendalam misalnya untuk menentukan besarnya biaya konstruksi, pembebasan lahan, biaya finansial dan sebagainya. 35 Usulan tarif tol Solo – Kertosono (berdasarkan studi kelayakan tol Solo – Kertosono oleh Ditjen Bina Marga tahun 2006) dapat dikemukakan sebagai berikut: Ruas Solo – Mantingan: Tabel II.6 Usulan Tarif Tol Rata-rata Ruas Solo - Mantingan Jenis Kendaraan Usulan Tarif per Km Gol I Rp 201-513 atau Rata-rata Rp 357 Gol II A Rp 293-662 atau Rata-rata Rp 480 Gol II B Rp 221-942 atau Rata-rata Rp 581 Ruas Mantingan – Ngawi: Tabel II.7 Usulan Tarif Tol Rata-rata Ruas Mantingan - Ngawi Jenis Kendaraan Usulan Tarif per Km Gol I Rp 238-593 atau Rata-rata Rp 339 Gol II A Rp 262-594 atau Rata-rata Rp 428 Gol II B Rp 124-959 atau Rata-rata Rp 541 Ruas Ngawi – Kertosono: Tabel II.8 Usulan Tarif Tol Rata-rata Ruas Ngawi - Kertosono Jenis Kendaraan Usulan Tarif per Km Gol I Rp 238-593 atau Rata-rata Rp 339 Gol II A Rp 262-594 atau Rata-rata Rp 428 Gol II B Rp 124-959 atau Rata-rata Rp 541 36 Penentuan tarif awal pada ruas-ruas ini merupakan hasil analisa dari usulan tarif tol rata-rata di ke-tiga ruas tersebut. Perhitungan tarif awal dilakukan dengan menyesuaikan tarif tahun 2006 menjadi tarif tahun 2010 dengan eskalasi inflasi 7%. II.9.3 Estimasi Biaya Biaya pembebasan lahan diperkirakan dari survai harga tanah pada rute alinyemen dan area sekitar rute. Biaya pembebasan lahan yang telah diperkirakan sesuai dengan harga pasar untuk bangunan, tanaman, dan utilitas, sementara untuk lahan diperlakukan berbeda, yaitu dengan biaya perkiraan sama dengan rata – rata harga pasar dan pajak. Tabel II.9 Biaya Pembebasan Lahan (Rp. Juta) Solo – Ngawi Kebutuhan Biaya EBPT : 1. Tanah 2. Bangunan 3. Tanaman Pohon 4. Utilitas 5. Hutan Jati II. Kebutuhan Biaya P2T III. Biaya Operasional IV. Contigency 10% dari EBPT V. Total Biaya Dibulatkan Ngawi - Kertosono I. 556.930.538 163.110.903 7.910.407 212.673 2.680.000 19.887.197 72.816.452 823.548.169 823.600.000 437.653.347 53.563.996 7.263.348 457.270 520.477 3.350.000 12.305.000 49.945.844 565.059.320 565.100.000 Sumber. Studi Kelayakan dan Pra Desain Tender Investasi Jalan Tol Solo – Kertosono Ditjen Bina Marga Dept. Pekerjaan Umum, PT. Cipta Strada 2006 (olahan). Biaya operation and maintenance dihitung berdasarkan nilai operasional jalan tol yang serupa, yaitu 5% dari biaya konstruksi yang telah direvisi dan 10% untuk operation and periodic maintenance. Asumsi yang digunakan adalah dalam studi kelayakan yang dilakukan oleh Bina Marga, Departemen Pekerjaan Umum adalah: • Umur proyek : 35 tahun • Tingkat harga : 2006 37 Jadual implementasi proyek berdasarkan studi kelayakan adalah sebagai berikut: • 2006 : pembebasan lahan dan detailed design. • 2007 : lanjutan pembebasan lahan dan konstruksi 25% dari total proyek • 2008 : penyelesaian pembebasan lahan dan konstruksi 50% dari total proyek • 2009 : penyelesaian konstruksi • 2010 : pengoperasian Karakteristik tol Solo – Kertosono berdasarkan studi kelayakan yang dilakukan oleh Katahira (2007) dapat dilihat pada Tabel II.10 Tabel II.10 Karakteristik Utama Proyek Jalan Tol Solo - Kertosono Biaya (Rp M) Panjang Volume LL (km) (kend/hari) Lahan Konstruksi Solo – Ngawi 90,10 7.725 823,60 2.226,90 Ngawi – Kertosono 87,02 9.320 565,1 1.875,40 Ruas Jalan Sumber. Studi Kelayakan dan Pra Desain Tender Investasi Jalan Tol Solo – Kertosono Ditjen Bina Marga Dept. Pekerjaan Umum, PT. Cipta Strada 2006 (olahan). II.9.4 Realisasi Jalan Tol Solo – Kertosono Jalan tol Solo – Kertosono saat ini telah selesai ditenderkan, dan dimenangkan oleh PT. Thiess Contractor Indonesia. Proses pembebasan lahan dilakukan seluruhnya oleh Pemerintah dan dibebankan kepada APBN 2008, bentuk dukungan lain yang diberikan oleh pemerintah adalah pembangunan sebagian ruas jalan tol Solo – Kertosono. Pada ruas ini Thiess mendapatkan konsesi selama 35 tahun dengan tarif dasar tol Rp 500 per kilometernya. Tabel II.11 menunjukkan besar investasi jalan tol Solo – Kertosono. 38 Tabel II.11 Investasi dan Kelayakan Jalan Tol Solo – Kertosono Dengan PPPs No Ruas Jalan 1 Solo – Ngawi 2 Ngawi – Panjang Lahan Konstruksi TOTAL IRR (Km) (Rp M) (Rp M) Investast On (Rp B) Project 90.10 823.60 2,226.90 4,438.63 17.40% 87.02 565.10 1,875.40 3,609.51 17.5% Kertosono Sumber. Bussiness Plan Solo – Kertosono Toll Road 2009 (olahan). II.10 Metoda Delphi Dalam penelitian ini, proses pencarian data dilaksanakan dengan melakukan jajak pendapat atau kuisioner terhadap para stakeholder yang terkait dengan proyek infrastruktur jalan tol. Proses pencarian datanya dengan menggunakan metoda Delphi. Metoda Delphi dikembangkan oleh perusahaan RAND pada akhir tahun 1940-an, dan telah digunakan untuk mempelajari konsensus (pencapaian persetujuan) dalam berbagai bidang. Teknik/Metoda Delphi merupakan sebuah pendekatan penelitian yang digunakan untuk mencapai konsensus melalui rangkaian survey kuisioner, umumnya dua atau tiga, dimana informasi dan hasil adalah umpan balik bagi anggota panel antara masing – masing putaran. Rangkaian survey yang dilakukan bertujuan untuk merestrukturisasi proses komunikasi kelompok individu dalam menghadapi sebuah masalah. Metoda Delphi ini menggunakan input para ahli, metode Delphi dapat memfasilitasi konsensus dimana terdapat kontradiksi atau informasi yang tidak memadai untuk membuat keputusan yang efektif. Prosedur Delphi mempergunakan sekelompok ahli yang dipilih berdasarkan bidang keahlian yang diperlukan/dibutuhkan. Tanggapan mereka terhadap serangkaian kuisioner dilakukan dengan tanpa nama dan selanjutnya mereka akan diberikan kesimpulan pendapat keseluruhan kelompok sebelum mereka menjawab kuisioner 39 selanjutnya. Hal ini diyakini agar sekelompok tersebut akan menghasilkan tanggapan yang terbaik melalui proses konsensus. Dalam mekanisme kebijakan Delphi terdapat enam fase proses komunikasi, yaitu: • Memformulasikan isu apakah yang harus dipertimbangkan dan bagaimana menyatakan isu tersebut. • Menentukan pilihan, dengan isu tersebut, kebijakan apa yang harus diambil. • Dengan keadaan isu tersebut, mana yang harus disetujui dan bagian mana yang harus dibuang, serta apa yang menjadi ketidaksetujuan diantara responden. • Menggali dan mencari sebab ketidaksetujuan, asumsi apa yang mendasarinya, pandangan atau faktor apa yang digunakan masing – masing individu untuk menyatakan ketidaksetujuannya tersebut. • Evaluasi terhadap sebab – sebab tersebut, bagaimana pandangan grup tersebut dalam membedakan argument – argument dan bagaimana mereka membandingkan satu dengan lainnya, dan • Evaluasi pilihan, reevaluasi berdasarkan pada pandangan yang telah diambil sebelumnya. Kebijakan Delphi secara luas bekerja dengan pernyataan, argumen, komentar dan diskusi. 40