Kata Pengantar TIM PENYUSUN Data Badan Narkotika Nasional per April 2013 menunjukkan perkiraan jumlah pengguna Napza di Indonesia, yaitu sebanyak 4 juta orang. Sebagian besar dari jumlah tersebut belum tertangani dengan baik. Kriminalisasi dan pemenjaraan yang sering ditimpakan kepad a para pengguna Napza tidak menjadi solusi yang optimal. Hal ini diperparah dengan tingginya tingkat hunian Pemasyarakatan didalam yang tidak Lembaga memung kinkan untuk dilakukannya upaya pemulihan kepada korban penyalahgunaan Napza. Pertukaran alat suntik di populasi pengguna Napza suntik di Indonesia masih menjadi faktor pendorong tingginya kasus HIV. Layanan rehabilitasi ketergantungan Napza di Indonesia tantangan masih untuk belum mampu memutus menjawab mata rantai penyebaran HIV di kalangan pengguna Napza suntik. Menghadapi hal itu, pada tahun 2009 Penanggung Jawab Dr.Kemal N. Siregar Penasehat Dr.Fonny J.Silfanus, MKes Ketua Pelaksana Mashadi Mulyo Tim Kerja Novrizar Lely Hidayati Ikbal Rakhman Yushadi Mukhlis Patrician Gregorius Basyir Achmad Wiryanto Rachman Lucky Pramitasari Hanny Hermawan Iwan Hartono Dudi Rohadi Rondi Muhamad Didit Malada Sally Atya Sasmi Arif Rachman Wiryawan Santi Editor Erry Wijoyo Priscillia Anastasia Komisi Penanggulangan AIDS Nasional (KPAN) mengembangkan Progran Pemulihan Adiksi Berbasis Masyarakat (PABM). Ini adalah salah satu upaya untuk mengisi tingginya kebutuhan akan pera watan pemulihan adiksi di luar terapi yang telah ada, sekaligus mengintegrasikan upaya pemutusan mata rantai penularan HIV melalui rehabilitasi ketergantungan Napza. Pedoman ini merupakan penyempurnaan d ari pedoman sebelumnya, yang merupakan hasil dari evaluasi proses dan evaluasi outputprogram 1 PABM pada tahun 2009-2012. Perbaikan yang pedoman ini mencakup beberapa hal, seperti dilakukan dalam penambahan masa rawatan dari satu bulan menjadi dua bulan untuk memaksimalkan hasil rawatan inap pasien dan menjamin keberhasilan upaya perubahan perilaku klien. Selain itu dari sisi monitoring, menyertakan beberapa alat ukur yang disempurnakan untuk menentukan metodo logi dan modalitas terapi atau rehabilitasi yang diharapkan lebih sesuai dalam penanganan klien. Buku ini ditujukan terutama untuk para lembaga pelaksana program PABM di bawah koordinasi KPAN, namun tidak menutup kemungkinan untuk digunakan oleh pihak lain, dengan persetujuan dari pihak KPAN. Seluruh materi di dalam pedoman ini, kecuali yang diambil langsung dari sumber hak cip tanya, merupakan domain publik yang dapat dikutip tanpa izin dari pihak KPAN atau penulisnya, dengan menjunjung tinggi etika penulisan karya ilmiah. Namun demikian, publikasi ini tidak dapat diproduksi atau didistribusikan untuk kepentingan komersil tanpa izin resmi dari KPAN. Kami berharap pedoman ini d apat menjadi sumbangsih dalam menjalankan layanan rehabilitasi penyal ahgunaan Napza di Indonesia, sekaligus menekan tingginya angka kasus HIV di kalangan pengguna Napza. Pedoman ini merupakan living document, sehingga tertutup terhadap masukan untuk perbaikan di kemudian hari. Jakarta, Juli 2013 Dr. Kemal N. Siregar Sekretaris KPAN 2 tidak Ucapan Terima Kasih Ucapan terima kasih khusus diucapkan kepada Ibu Dr.Nafsiah Mboi, Sp.A, MPH, mantan Sekretaris KPAN periode 2006 – 2012, yang pada saat diterbitkannya buku pedoman edisi revisi tahun 2013 ini telah menjabat sebagai Menteri Kesehatan Republik Indonesia. Bapak Prof.Irwanto, PhD, Direktur Institute for Research and Community Services dan juga Guru Besar Fakultas Psikologi Universitas Atmajaya; Ibu Dra.Riza Sarasvita, MSi, MHS, PhD, Kasubdit NAPZA Keswa Kementerian Kesehatan RI; Dr.Prasetyawan, Sp.KJ, Rumah Sakit Marzoeki Mahdi; Dr.Bagus Rahmat Prabowo, World Health Indonesia Indonesia (mantan Koordinator Program PABM KPAN periode 2009 – 2011); Risa Aleksander, National Technical Officer of HIV Cooperation for Indonesia; Dr.Monica Cipeaugua, United Nation Officer for Drug and Crime; Dr.Astri Parawita Ayu, Sp.KJ, Fakultas Kedokteran Universitas Atma Jaya; Dr.Siste Kristiana, Sp.KJ, Psikiatri Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia; Ade Aulia, National Programme Officer, United Nations Office on Drugs and Crime; Dr.Adhi Wibowo Hidayat, Sp.KJ, Rumah Sakit Ketergantungan Obat (RSKO); Dr.Ratna Mardiati, Sp.KJ, Psikiater, Angsa Merah; Narendra Narotama, ST, ICACI, Ketua Ikatan Konselor Adiksi Indonesia; Samuel Nugraha, Direktur Rumah Singgah Peka; Achmad, ICACI, Direktur Yayasan Karismaselaku pihak-pihak yang pertama kali menjadi kontributor dari buku pedoman ini di tahun 2009. 3 PABM DAFTAR ISI 1. Pendahuluan 1.1 Latar Belakang 1.2 Tujuan Pedoman 1.3 Sasaran Pedoman 2. Prinsip Terapi Gangguan Penggunaan NAPZA 2.1 Dasar Kebijakan 2.2 Komponen Program 2.2.1 Skrining 2.2.2 Asesmen 2.2.3 Penyusunan Rencana Terapi 2.2.4 Rencana Rujukan 2.2.5 Manajemen Kasus 2.2.6 Konseling Individu 2.2.7 Sesi Kelompok 2.2.8 Kelompok Dukungan 2.3 Pendekatan Terapi 2.3.1 Wawancara Motivasional 2.3.2 Cognitive-Behavioral Therapy (CBT) atau Terapi Kognitif-Perilaku 3. Standar Penyelenggaraan PABM 3.1 Prasyarat Kelembagaan 3.2 Prasyarat Sumber Daya Manusia 3.3 Komponen Pembiayaan / Operasional 4 4 Standar Penatalaksanaan Terapi 4.1 Kriteria Inklusi Klien 4.2 Tahapan Pelaksanaan Program PABM 5 Penerapan Strategi Pencegahan HIV dan Pengurangan Dampak Buruk 5.1 Pengurangan dampak buruk penggunaanNAPZA(harm reduction). 5.2 Kewaspadaan Universal 5.3 Laporan Pajanan 5.4 Konseling dan Tes HIV 5.5 Kebersihan Lingkungan dan Fasilitas 6 Manajemen Krisis 6.1 Krisis Terkait Situasi Penggunaan NAPZA 6.1.1 Situasi Intoksikasi 6.1.2 Situasi Overdosis 6.2 Krisis Terkait Situasi Percobaan Bunuh Diri 6.3 Krisis terkait Situasi Bencana Alam 7 Monitoring dan Evaluasi 7.1 Monitoring 7.2 Evaluasi Lampiran-Lampiran Profil Singkat Lembaga Pelaksana Program PABM Daftar Pustaka 5 PABM DAFTAR TABEL 1. Tabel.1: Contoh Instrumen Skrining Gangguan Penggunaan NAPZA 2. Tabel.2: Model-Model Manajemen Kasus 3. Tabel.3: Mendengarkan Reflektif 4. Tabel.4: Prinsip dan Strategi Wawancara Motivasional 5. Tabel.5: Tantangan dan Kekuatan CBT 6. Tabel.6: Alur Penatalaksanaan Terapi 7. Tabel.7: Pohon Keputusan: Penilaian dan Penanganan Risiko Bunuh Diri 8. Tabel.8: Kerangka Monitoring dan Evaluasi 6 PABM DAFTAR GAMBAR 1. Gambar.1: Kebijakan Terkait Pelaksanaan Terapi Gangguan Penggunaan NAPZA 2. Gambar.2: Posisi Recovery 3. Gambar.3: Alur Monitoring Pengumpulan Data Asesmen 7 DAFTAR ISTILAH GPZ : Gangguan Penggunaan Zat, sebuah akronim untuk mendefenisikan istilah bagi mereka yang memiliki masalah dengan NAPZA. Gangguan Penggunaan Zat: Suatu kategori umum yang meliputi penyalahgunaan zat, ketergantungan fisiologis, dan adiksi Gangguan Mental: Pola atau sindroma psikologis atau perilaku yang terjadi pada seorang individu; Adanya kekurangan atau adanya masalah dalam aspek fungsi yang merupakan suatu respon terhadap stresor atau kesedihan tertentu (misalnya kehilangan orang yang dicintai) atau, terjadi secara budaya terhadap suatu peristiwa (misalnya, keadaan kesurupan dalam ritual agama). Intoksikasi: Kondisi yang timbul akibat menggunakan NAPZA, sehingga terjadi gangguan kesadaran, fungsi kognitif, persepsi, afek/mood, perilaku, hingga atau fungsi dan respon psiko-fisiologis lainnya. Kesehatan Mental: Kesehatan mental adalah suatu kondisi kesejahteraan dimana setiap individu mengetahui potensi dirinya, dapat mengatasi stres kehidupan normal,dapat bekerja produktif dan bermanfaat, dan mampu berkontribusi bagi lingkungannya” Krisis: Suatu keadaan yang berbahaya (dalam menderita sakit); parah sekali, atau keadaan yang genting, situasi gawat darurat. Dalam konteks masalah kesehatan, krisis dapat diartikan sebagai suatu keadaan yang genting dan parah serta membahayakan nyawa atau memiliki kemungkinan memberikan dampak serius terhadap kesehatan seseorang, sehingga perlu mendapatkan bantuan segera. Manajemen Krisis: Rangkaian kegiatan, prosedur ataupun strategi yang dilakukan untuk dapat meminimalisir dan mengurangi risiko terjadinya krisis. Over Dosis: Overdosis adalah suatu kondisi intoksikasi di luar kemampuan adaptasi tubuh individu sehingga dapat menimbulkan bahaya hingga membahayakan keselamatan klien. Terapi: Suatu proses pemulihan dengan memberikan intervensi secara fisik, psikologis maupun sosial kepada residen gangguan penggunaan NAPZA. 8 Rehabilitasi: Suatu proses pemulihan residen gangguan penggunaan NAPZA baik dalam jangka waktu pendek maupun panjang yang bertujuan mengubah perilaku untuk mengembalikan fungsi individu tersebut di masyarakat. Klien: Seseorang yang memiliki masalah Gangguan Penggunaan Zat atau ketergantungan NAPZA, dan sedang menjalani program rehabilitasi. Swadaya Masyarakat: Segenap upaya untuk mencapai suatu tujuan yang diprakarsai dan dijalankan oleh komponen masyarakat. Petugas klinis : Sering disebut juga sebagai konselor, adalah petugas yang membantu klien menjalani proses pemulihan dari hari ke hari dan memiliki otoritas untuk membuat keputusan atas klien tersebut. Petugas jaga : Petugas klinis atau konselor yang bertugas dan bertanggungjawab atas program harian saat itu. ASI: Akronim dari Addiction Severity Index (ASI); instrument asesmen melalui metode wawancara semi-terstruktur untuk penilaian penyalahgunaan zat dan perencanaan perawatan. ASI ini dirancang untuk mengumpulkan informasi berharga tentang bidang kehidupan klien yang mungkin akan menyebabkan masalah penyalahgunaan zat-mereka. Gangguan Bipolar: Gangguankejiwaan yang ditandai dengan perubahan mood (alam perasaan) yang sangat ekstrim, yaitu berupa depresi dan mania. Pengambilan istilah bipolar disorder mengacu pada suasana hati penderitanya yang dapat berganti secara tiba-tiba antara dua kutub (bipolar) yang berlawanan yaitu kebahagiaan (mania) dan kesedihan (depresi) yang ekstrim. Cognitive Behavioral Therapy: Pendekatan psikoterapi yang mengacu pada terapi perilaku, terapi kognitif, dan terapi berdasarkan kombinasi dari prinsip perilaku dan kognitif. CBT berfokus pada masalah dan berorientasi pada aksi. HIV: Akronim dari Human Immunodeficiency Virus; virus yang menyerang sistem sistim kekebalan tubuh manusia sehingga dapat menyebabkan AIDS. AIDS: Akronim dariAcquired Immune Deficiency Syndrom; AIDS sendiri adalah adalah sekumpulan gejala dan infeksi (sindrom) yang timbul karena rusaknya sistem kekebalan tubuh manusia akibat infeksi virusHIV. NAPZA: Narkotika, psikotropika dan Zat Adiktif lainnya. 9 PABM: Pemulihan Adiksi Berbasis Masyarakat. Profilaksis: Suatu posedur kesehatan masyarakat yang bertujuan untuk mencegah daripada mengobati penyakit. Skizofrenia: Gangguan kejiwaan dan kondisi medis yang mempengaruhi fungsi otak manusia, mempengaruhi fungsi normal kognitif, emosional dan tingkah laku.Sering kali diikuti dengan delusi (keyakinan yang salah) dan halusinasi (persepsi tanpa ada rangsang pancaindra). WHOQoL: Akronim dari World Health Organization Quality of Life ;merupakan instrument penilaian kualitas hidup seseorang berdasarkan harapan dan standar yang dimilikinya, yang digunakan sebagai salah satu alat asesmen di dalam program PABM. 10 PENDAHULUAN 1. LATAR BELAKANG Pedoman ini disusun sebagai panduan bagi lembaga pelaksana atau komponen masyarakat lainnya yang berminat menyelenggarakan terapi ketergantungan Napza. berbasis masyarakat. Buku pedoman ini pertama kali disusun pada tahun 2009, bersamaan dengan dimulainya program Pemulihan Adiksi Berbasis Masyarakat (PABM), sebagai acuan bagi para petugas dan para lembaga pelaksana untuk menjalankan aktivitas program dengan tepat. Pada tahun 2013 buku pedoman tersebut direvisi untuk pertama kali, dengan mempertimbangkan berbagai aspek seperti perkembangan situasi di lapangan, ilmu pengetahuan dan bukti praktek terbaik yang dilakukan oleh para lembaga pelaksananya. Sejak awal pembuatannya telah disepakati bersama bahwa buku pedoman ini merupakan sebuah dokumen terbuka (living document) yang dapat secara berkala dilakukan perbaikan terhadap isi, materi dan segala yang tertera di dalamnya, apabila dibutuhkan untuk perbaikan pelaksanaan program. Program PABM yang awalnya khusus ditujukan hanya untuk orang dengan gangguan ketergantungan Napza dengan cara disuntikkan saja (Penasun), kini telah berkembang menjadi lebih terbuka bagi pengguna Napza jenis lain seiring dengan berjalannya waktu, mengikuti situasi epidemi dan tingkat penyalahgunaan Napzayang terjadi di Indonesia. Hal ini dikarenakan setiap pengguna Napza, khususnya yang sudah dalam taraf ketergantungan, dipercaya memiliki risiko tinggi untuk melakukan perilaku berisiko penularan HIV, selain dengan cara bertukar jarum suntik saja. Berbagai buku pedoman terapi pemulihan adiksi Napza berbasis masyarakat di negara-negara maju pada umumnya memasukkan dua jenis pendekatan, yaitu program terapi Napza berorientasi Abstinensia (melalui program rawat jalan bebas Napza ataupun rawat inap bebas Napza) dan melalui pendekatan program terapi 11 1 Napzaberbasis Rumatan (melalui program terapi rumatan metadon, buprenorfin dan rumatan lainnya). Pedoman ini tidak mencakup program terapi Rumatan, mengingat pemerintah – melalui Kementerian Kesehatan – telah mengeluarkan pedoman nasional untuk program terapi rumatan secara khusus. Meskipun demikian program PABM dapat memberikan layanan dukungan psikososial kepada klien yang menjalani program rumatan metadon dengan persetujuan dan pengawasan dari pertugas medis yang bertanggung jawab. Pada pedoman ini antara lain akan dijelaskan tentang alur proses terapi, kerangka waktu, tatanan serta pedoman teknis penyelenggaraan terapi. Secara umum penyelenggaraan meliputi pendekatan medis – psikologis – sosial dan spiritual, sesuai dengan kebutuhan klien. Untuk itu setiap lembaga pelaksana perlu bekerjasama dengan penyedia layanan kesehatan dalam memenuhi kebutuhan medis bagi klien. Mengingat bahwa sebagian besar orang dengan ketergantungan Napza mempunyai masalah dengan kesehatan, dan bahkan sebagian lainnya telah terinfeksi HIV dan AIDS, setiap lembaga pelaksana juga harus membentuk jejaring dengan penyedia layanan kesehatan terkait HIV dan AIDS. Selain persoalan medis, kita memahami bahwa persoalan kekambuhan (relaps) pada orang dengan ketergantungan Napza adalah hal yang umum terjadi. Kekambuhan dapat dipicu oleh kondisi internal dan eksternal orang dengan ketergantungan Napza. Salah satu kondisi eksternal yang sering dialami mereka adalah adanya stigma dan diskriminasi dari keluarga maupun masyarakat, sekalipun mereka telah mengikuti program terapi. Pedoman ini memberi panduan bagaimana melibatkan keluarga dalam proses pemulihan adiksi serta bagaimana lembaga pelaksana diharapkan dapat membangun jejaring dengan berbagai potensi yang dimiliki masyarakat sekitar tempat tinggal klien, baik secara perorangan maupun kelompok, lembaga maupun perusahaan. Jejaring yang terbina diharapkan dapat menjadi jalan untuk pemberdayaan klien setelah klien selesai menjalani programnya. Kerangka waktu dari program terapi bagi orang ketergantungan Napza berbasis masyarakat pada pedoman ini dilaksanakan selama 6 bulan, kombinasi antara rawat inap dan rawat jalan. Hal ini merujuk pada prinsip terapi yang dikeluarkan oleh National Institute on Drug Abuse (NIDA, 2009) yang menyatakan bahwa minimum waktu yang diperlukan bagi penyalahgunaan Napza untuk menjalani program agar perubahan perilaku terlihat bermakna adalah 3 bulan. Diharapkan program terapi bagi 12 2 orang ketergantungan NAPZA berbasis masyarakat ini yang diselenggarakan dalam kerangka waktu yang relatif singkat ini dapat menjamin keajegan program. 1.2 Tujuan Umum: Sebagai acuan bagi lembaga pelaksana yang sedang atau yang akan menjalankan program PABM dalam penanggulangan HIV dan ketergantungan Napza. Khusus: Meningkatkan kemampuan dan kapasitas pelaksana program. Meningkatkan kualitas melalui layanan standar minimum penanganan masalah ketergantungan Napza. 1.3 Sasaran a. Konselor dan Petugas Pelaksana Program PABM. b. Penanggung Jawab Program PABM. c. Pemangku kebijakan terkait Program Pemulihan Adiksi maupun Program Pengurangan Dampak Buruk. d. Lembaga Non-Pemerintah. e. Komponen Masyarakat Peduli. 13 PRINSIP DASAR & KERANGKA KONSEP 2. PRINSIP TERAPI GANGGGUAN PENGGUNAAN NAPZA Prinsip-prinsip terapi Gangguan penggunaan NAPZA yang dikutip dari National Institute on Drug Abuse (NIDA) tahun 2009 dan WHO / UNODC / UNAIDS Discussion Paper 20081 adalah sebagai berikut: 1. Tidak ada satu jenis terapi yang cocok untuk semua individu.Mencocokkan lingkungan terapi, intervensi dan layanan bagi setiap masalah dan kebutuhan individual pasien sangat penting bagi keberhasilan akhir pengembalian pasien ke fungsi produktif dalam keluarga, tempat kerja dan masyarakat. 2. Terapi harus selalu tersedia setiap saat. Karena orang dengan gangguan penggunaan zat mempunyai perasaan beragam mengenai keikutsertaan dalam terapi, maka mengambil kesempatan segera ketika orang dengan GPZ bersedia untuk menjalani terapi adalah suatu hal yang penting untuk dilakukan. Potensi terapi dapat hilang apabila tidak senantiasa tersedia atau tidak mudah dijangkau. 3. Terapi yang efektif memperhatikan berbagai kebutuhan individu dan bukan hanya berfokus pada penggunaan zat atau Napza saja. Agar menjadi efektif terapi harus dapat mengatasi masalah-masalah penggunaan zatnya (Napza) dan setiap masalah terkait seperti masalah medis, psikologis, sosial, vokasional dan hukum. 1 diadaptasi dari U.S. National Institute on Drug Abus. (1999). Principles of drug addiction treatment: A research-based guide (pp. 3–5). Bethesda, MD: Author. 14 4. Rencana terapi dan pelayanan individu harus ditinjau secara berkesinambungan dan dimodifikasi sebagaimana diperlukan untuk meyakinkan bahwa rencana tersebut memenuhi kebutuhan pasien yang berubah-ubah. Klien dapat memerlukan kombinasi layanan terapi selama perjalanan terapi dan pemulihan. Sebagai tambahan terhadap konseling atau psikoterapi, kadangkala klien membutuhkan pengobatan, layanan medik lain, terapi keluarga, pola mengasuh anak, terapi vokasional, dan layanan hukum dan sosial. Adalah penting bahwa pendekatan terapi disesuaikan dengan umur pasien, gender, suku dan budaya. 5. Retensi klien di dalam terapi untuk waktu yang cukup adekuat adalah hal kritis untuk keefektifan perawatan. Durasi yang sesuaibagi individu tergantung pada masalahnya, kebutuhannya dan sumber daya yang tersedia. Riset menunjukkan bahwa ambang batas yang signifikan pada kebanyakan pasien bagi terciptanya peningkatan, dicapai dalam waktu 3 bulan di dalam terapi. Karena orang sering meninggalkan terapi secara prematur, maka program terapi harus mencakup strategi untuk meningkatkan retensi klien dalam terapi. 6. Konseling (individu maupun kelompok) dan terapi perilaku lainnya merupakan komponen kritis dari terapi adiksi. Selama terapi, klien mengatasi isu-isu motivasi, membangun kemampuan untuk menolak penggunaan Napza, mengganti aktivitas penggunaan Napza dengan aktivitas yang konstruktif maupun berharga, dan memperbaiki kemampuan dalam menyelesaikan masalah. Terapi perilaku juga memfasilitasi hubungan interpersonal dan kemampuan individu untuk berfungsi kembali dalam keluarga dan masyarakat. 7. Medikasi (pemberian obat-obatan) adalah unsur penting dalam terapi bagi kebanyakan pasien, terutama bila dikombinasikan dengan konseling dan terapi perilaku lainnya. Terapi metadon yang komprehensif sangat efektif dalam membantu pasien yang adiksi terhadap heroin, untuk menstabilkan hidupnya dan mengurangi penggunaan Napza. Bagi klien dengan gangguan mental, kombinasi terapi perilaku dan obat-obatan menjadi hal yang sangat penting. 15 8. Individu yang menyalahgunaakan atau mengalami adiksi Napza, dan memiliki gangguan mental secara bersamaan (dual diagnosis), perlu memperoleh terapi bagi kedua gangguan tersebut dengan cara yang terintegrasi.Karena gangguan penggunaan Napza dan gangguan mental sering terjadi bersamaan, klien yang memiliki kedua gangguan tersebut harus mendapat asesmen dan terapi untuk keduanya. 9. Detoksifikasi medis hanyalah tahapan pertama dalam terapi adiksi, dan berdiri sendiri, serta hanya berdampak sedikit dalam mengubah penggunaan Napza jangka panjang.Detoksifikasi medis mengelola gejalagejala putus zat akut sehubungan dengan proses penghentian penggunaan Napza secara aman. Meskipun detoksifikasi saja tidak mencukupi untuk menolong seseorang orang dengan GPZ dalam mencapai abstinensia jangka panjang, namun bagi beberapa individu detoksifikasi merupakan unsur yang sangat penitng dalam keberhasilan terapi. 10. Terapi tidak harus dilakukan secara sukarela (atas kehendak sendiri) untuk bisa efektif.Motivasi yang kuat dapat memfasilitasi proses terapi. Bagaimanapun, sanksi-sanksi atau bujukan-bujukan di dalam keluarga, tempat kerja atau sistem hukum dapat meningkatkan jumlah orang yang masuk kedalam terapi, tingkat retensi, dan keberhasilan terapi. 11. Kemungkinan penggunaan Napza selama menjalani terapi harus dimonitor secara terus menerus. Penggunaan Napza (relaps) dapat terjadi selama masa terapi. Tujuan dilakukannya monitoring penggunaan Napza selama terapi dengan cara tes urin atau tes lainnya, dapat membantu orang dengan GPZ menahan dorongan untuk menggunakan Napza. Monitoring tersebut juga dapat memberikan bukti dini penggunaan Napza sehingga rencana terapi individu dapat disesuaikan. Pemberian umpan balik kepada klien yang hasil tesnya positif menggunakan Napza merupakan unsur penting dari monitoring. 12. Program terapi harus menyediakan asesmen atau tes untuk HIV dan AIDS, Hepatitis B dan Hepatitis C, Tuberkulosis, dan penyakit menular lain, disamping konseling untuk membantu pasien memodifikasi atau mengubah perilaku yang dapat menempatkan diri mereka atau orang lain 16 dalam risiko terinfeksi. Konseling dapat membantu pasien menghindari perilaku risiko tinggi. Konseling juga dapat membantu pasien yang sudah terinfeksi untuk mengelola penyakitnya. 13. Pemulihanadiksi dapat merupakan proses jangka panjang dan seringkali membutuhkan beberapa episode terapi. Sebagaimana penyakit kronis lainnya, relapsdapat terjadi selama atau setelah episode terapi yang berhasil. Orang dengan GPZ kadangkala membutuhkan terapi yang lama dan beberapa episode terapi untuk memperoleh kondisi abstinensia jangka panjang dan pulih secara penuh. Partisipasi dalam program bantu diri selama dan setelah terapi seringkali sangat membantu dalam mempertahankan abstinensia. 2.1 Dasar Kebijakan Undang-Undang Narkotika no.35 tahun 2009 Pedoman Penyelenggaraan Sarana & Pelayanan Rehabilitasi NAPZA (Depkes RI, 2002) Peraturan Pemerintah No.25 tahun 2011 tentang Wajib Lapor Pecandu Narkotika Pedoman Nasional Program Terapi Rumatan Metadon (Depkes RI, 2006) Kebijakan & Rencana Strategi Penanggulangan Penyalahgunaan NAPZA (Depkes RI, 2007) Pedoman Penatalaksanaan Medik (Depkes RI, 2008) Pedoman Penanggulangan Adiksi NAPZAKomprehensif berbasis Rumah Sakit (Depkes RI, 2009) Standar Pelayanan Terapi & Rehabilitasi NAPZA (Depkes RI, 2010) Pedoman Terapi NAPZA berbasis masyarakat (KPAN, 2010) Pelayanan & Rehabilitasi Sosial Korban Penyalahgunaan NAPZA (Depsos RI, 2009) PERMENSOS No.03 Tahun 2012 Tentang Standar Lembaga Rehabilitasi Sosial Korban Penyalahgunaan Narkotika dan Zat Adiktif Lainnya PERMENSOS No.26 Tahun 2012 Tentang Standar Rehabilitasi NAPZA Gambar.1 Kebijakan Terkait Pelaksanaan Terapi Gangguan Penggunaan NAPZA 17 Pedoman Rehabilitasi Sosial Korban Penyalahgunaan NAPZA Di dalam Lembaga (2012) 2.2 Komponen Program PABM terdiri dari dua komponen, yaitu sebagai berikut: 1. Partisipasi Positif Masyarakat Yang dimaksud dengan partisipasi positif masyarakat adalah peran dan penerimaan masyarakat dalam upaya pemulihan ketergantungan Napza. Partisipasi positif masyarakat dapat dibangun dengan beberapa cara, yaitu antara lain seperti berikut: a) Melakukan pertemuan dan sosialisasi dengan pemangku kebijakan dan masyarakat sekitar lokasi dilakukannya program PABM, seperti dengan ketua RT, ketua RW, tetangga sekitar, organisasi lokal, satpam, dan tokoh-tokoh masyarakat lain hingga tingkat kelurahan, kecamatan dan kabupaten/kota madya. Hal ini juga dapat dilakukan saat awal ketika hendak mengurus perijinan kegiatan. b) Melibatkan masyarakat sekitar ke dalam sistem pelaksanaan program, seperti merekrut juru masak, penjaga keamanan, tukang kebun, instruktur agama hingga relawan program yang berasal dari warga sekitar. c) Melakukan terapi vokasional atau kerja sosial bagi klien dengan melibatkan warga sekitar, seperti mencuci mobil tetangga, memotong rumput tetangga. d) Melakukan aktivitas bersama dengan warga sekitar, seperti bermain futsal bersama, melakukan senam pagi bersama, melakukan kerja bakti lingkungan hingga menghadiri rapat karang taruna maupun kegiatan warga lainnya. e) Berpartisipasi dalam program pencegahan HIV/AIDS dan NAPZA untuk publik melalui pemberian informasi dan edukasi bagi warga sekitar dalam bentuk seminar, pelatihan, lokakarya maupun pertemuan informal lainnya. Kegiatan dapat dilakukan di fasilitas program PABM milik lembaga, hingga posyandu, sarana ibadah, maupun ruang publik lainnya di lingkungan sekitar. Salah satu kendala terberat dalam pelibatan masyakarat secara aktif adalah masih tingginya stigma dan diskriminasi masyarakat akan masalah terkait Napza, HIV dan AIDS, yang menyebabkan kesadaran mereka akan hal ini 18 juga cukup rendah. Beberapa contoh cara di atas dapat membantu menekan stigma dan diskriminasi yang terjadi di masyarakat. 2. Perawatan pemulihan Dilakukan dalam 2 fase program: a) Fase intensif; klien menginap di fasilitas yang disiapkan oleh lembaga selama minimal 2 bulan. b) Fase non-intensif; klien menjalankan program rawat jalan (tidak menginap)selama minimal 4 bulan. Perawatan pemulihan, baik dalam fase intensif maupun non-intensif, memiliki komponen-komponen terapi, yaitu sebagai berikut: 2.2.1 Skrining Skrining dilakukan dengan menggunakan formulir yang dijelaskan di dalam buku ini. Skrining bertujuan terutama untuk memeriksa sejauh mana klien memenuhi kriteria inklusi yang tersebut di atas. Pemeriksaan kondisi fisik dan psikiatrik harus dilakukan oleh petugas kesehatan. Petugas kesehatan yang dimaksud dapat merupakan individu yang bekerja, baik sebagai pekerja lepas atau harian, pada lembaga penyedia layanan PABM atau bekerjasama dengan institusi kesehatan (dalam hal ini puskesmas/rumah sakit terdekat) dan dokter praktek swasta. Cakupan pemeriksaan kondisi fisik terutama ditujukan untuk menemukan ada tidaknya gejala intoksikasi, overdosis, sindroma putus zat dan komplikasi medis seperti hepatitis, HIV dan AIDS.Cakupan pemeriksaan kondisi psikiatrik terutama ditujukan untuk menemukan adanya gangguan alam perasaan (mood), gangguan prosespikir (kognitif) dan atau gangguan psikomotor. Untuk pemeriksaan barang bawaan (spot check) klien, pemeriksaan harus dilakukan dengan meminta ijin dan dengan persetujuan sebelumnya (informed consent), serta menjaga azas kerahasiaan. Sekalipun tidak diwajibkan, apabila tersedia sumber daya yang cukup, direkomendasi untuk melakukan tes urin atasbeberapa jenis Napza yang diperkirakan dapat mempengaruhi respon klien terhadap terapi yang akan 19 diberikan. Berdasarkan pengalaman sebelumnya, jenis Napza yang dianjurkan untuk dites adalah opiat, metadon (untuk memastikan apabila yang bersangkutan pernah mengikuti program metadon, apakah memerlukan bantuan medis untuk mengatasi gejala putus zatnya), benzodiazepine, ganja dan amfetamin. Pengambilan urin hendaknya dilakukan dengan prosedur standar urinalisis,yaitu sebagai berikut: Perlu dipastikan bahwa urin adalah benar milik klien. Pengambilan sampel urin dapat menggunakan POCT (Point of Care Testing) dengan menggunakan alat tes sederhana yang dapat dibeli di apotik resmi atau melalui tes laboratorium (jika memungkinkan), dengan cara observasi langsung atau diawasi langsung oleh petugas. Cara ini merupakan cara yang cukup ampuh karena dapat menghindari pemalsuan. Disediakan toilet yang bersih dan cukup penerangan, atau minimal ruangan tersendiri yang terjaga privasinya. Klien tidak diperbolehkan buang air kecil ditempat lain, selain tempat yang ditentukan. Tangan petugas harus dalam keadaan kering dan hendaknya menggunakan sarung tangan plastic saat mengambil urin. Pastikan bahwa sampel berada dalam keadaan hangat, sebagai salah satu indikator keaslian urin. Waktu pengambilan disesuaikan dengan waktu zat yang digunakan dikeluarkan dari dalam tubuh setelah melalui proses metabolisme (ekskresi). Waktu ekskresi bersangkutan, Napza lamanya tergantung digunakan dengan (proses struktur kimia akumulasi zat dalam yang tubuh), banyaknya dosis serta proses metabolisme yang sifatnya individual: Jenis heroin akan menghilang di dalam urin dalam waktu 24 jam - 72 jam. Metadon akan bertahan dalam tubuh dalam waktu 72 jam. Benzodiazepin, kurang lebih 2-3 hari tergantung dari jenis benzodiazepin yang digunakan. 20 Amfetamin, metamfetamin, MDMA dan turunannya, rata-rata bertahan dalam tubuh sampai 72-96 jam. Kanabis atau ganja, bisa mencapai2 atau 3 minggubertahan dalam tubuh. Untuk membuat proses skrining dilakukan secara terpadu dan efektif, maka skrining sebaiknya menggunakan alat bantu berupa instrumen khusus sebagai panduan wawancara. Di bawah ini merupakan tabel contoh-contoh instrumen skrining yang dipakai di berbagai program rehabilitasi di dunia, yang dapat dijadikan referensi untuk diterapkan di program PABM. Tabel.1 Contoh-contoh Instrumen Skrining Gangguan Penggunaan Napza Instrumen AUDIT Populasi Deskripsi Akses/Informasi selanjutnya Dewasa, Alat skrining dengan http://www.who.int/ remaja 10butir pertanyaan, substance_abuse/actiivities/sbi/en/ dikembangkan oleh index.html WHO untuk AUDIT: The Alcohol Use Disorders mengidentifikasi orang yang menggunakan alkohol yang Identification Test Guidelines for Use in Primary Care, Second Edition membahayakan kesehatannya. Tersedia dalam bahasa Inggris, http://whqlibdoc.who.int/hq/2001/ WHO_MSD_MSB_01.6a.pdf Slovenia dan Spanyol AUDIT-C Dewasa Tiga pertanyaan http://www.hepatitis.va.gov/vahep pertama dari AUDIT ?page=prtop03-audit_c#S1X fokus pada pengguna alkohol ASSIST (Alcohol, Smoking, and Dewasa, Alat skrining dengan 8 http://www.who.int/substance_abu remaja butir pertanyaan se/activities/assist/en/ dikembangkan untuk WHO oleh kelompok 21 Substance riset penyalahgunaan ASSIST: Guidelines for Use in Involvement zat Internasional untuk Primary Care : Screening mendeteksi dan Test) mengelola penggunaan zat dan masalah terkait http://www.who.int/ substance_abuse/actiivities/en/Dr aft_The_ASSIST_Guidelines.pdf pada tatanan layanan medik primer dan umum. Tersedia dalam bahasa Cina, Farsi, Perancis, Jerman, Hindi, Portugis, Spanyol, Indonesia CAGE Dewasa, Kuesioner English: remaja nonkonfrontatif terdiri dari 4 butir pertanyaan, untuk mendeteksi http://pubs.niaaa.nih.gov/publicatio ns.prg/moreresources/moreresour ces_show.htm?doc_id=503307 masalah alkohol. Pertanyaan dimulai dengan “apakah anda pernah” tetapi dapat juga fokus pada masalah penggunaan alkohol masa kini CRAFFT Remaja Instrumen skrining http://www.projectcork.org/clinical_ (Car, Relax, dengan 6 butir tools/pdf/PKAFFT.pdf Alone, pertanyaan yang Forget, meliputi penggunaan Family or alkohol dan NAPZA Friends, serta situasi yang Trouble) relevan bagi remaja 22 Drug Abuse Dewasa Merupakan adaptasi Instrumen dengan 28 butir Screening dari Michigan Alcohol pertanyaan: : Test (DAST) SPKeening Test, terdiri http://www.projectcork.org/clinical_ dari 28 dan 20 butir, tools/html/DAST.html mendeteksi konsekuensi terkait penyalahgunaan NAPZA yang tidak spesifik untuk zat tertentu,sehingga tidak harus menggunakan Instrumen dengan 20 butir pertanyaan: hhtp://adai.washington.edu/instru ments/pdf/Drug_Abuse_Screening _Test_105.pdf instrument lain yang spesifik bagi setiap zat DAST-A Remaja Instrumen dengan 28 http://www.dbhds.virginia.gov/doc butir pertanyaan untuk uments/sPKn-adol-DAST-A- remaja. Instrument.pdf Original MAST: MAST Dewasa, Instrumen dengan 22 (Michigan remaja. butir pertanyaan yang Alcohol Orang secara umum Screening usia mengukur masalah Test) lanjut keparahan masalah penggunaan alkohol http://www.ncaddsfv.org/downloads/mast_test.pdf Short MAST dengan 13 butir pertanyaan: semasa hidup agar http://www.projectcork.org/clinical_ dapat memilihkan tools/html/AhortMAST.html intensitas terapi dan kebutuhan bimbingan untuk masalah terkait MAST-G: alkohol. Versi http://www.ssc.wisc.edu/wlsresear singkatnya terdiri dari ch/pilot/P01- 13 butir (Short MAST) R01_info/aging_mind/Aging_AppB dan untuk masalah 5_MAST-G.pdf 23 geriatri (MAST-G) MASSIST Dewasa (Modified Instrumen skrining http://www.drugabuse.gov/nidame dengan 1-7 pertanyaan d/quickref/screening_qr.pdf yang diadaptasi oleh Alcohol, Smoking, U.S. National Institute and on Drug Abuse; dariinstrumen ASSIST Substance WHO Involvement Screening Test) POSIT Remaja (ProblemOriented Screening Pertanyaan dengan 139 http://adai.washington.edu/instrum butir pertanyaan untuk ents/pdf/Problem_Oriented_Scree mengidentifikasi ning_Instruments_for_Teenagers_ masalah yang 188.pdf membutuhkan asesmen Instrument lebih dalam dan for berpotensi memerlukan Teenagers) layanan dalam 10 area fungsional, termasuk POSIT versi yang terkomputerisasi dikembangkan oleh Power Train, Inc.: http://positpc.com penggunaan/penyalahg unaan zat, kesehatan jiwa dan fisik, relasi keluarga dan teman sebaya, vokasional dan edukasi khusus TWEAK Dewasa, Skala dengan 5 butir http://adai.washington.edu/instrum (Tolerance, perempu pertanyaan, ents/pdf/TWEAK_252.pdf Worried, an hamil dikembangkan untuk Eye- peminum berisiko openers, selama hamil. Butir- Amnesia, [K] butirnya tidak spesifik 24 Cut down) gender. Detoksifikasi Detoksifikasi merupakan proses yang bertujuan untuk hal-hal berikut: 1) Menghentikan penggunaan zat. 2) Membersihkan tubuh dari zat. 3) Mengelola sindroma putus zat Bilamana perlu (sesuai dengan pertimbangan petugas kesehatan), lakukan detoksifikasi terlebih dahulu. Detoksifikasi bukanlah suatu terapi gangguan penggunaan Napza, melainkan suatu proses intervensi yang ditujukan untuk mengelola intoksikasi akut dan gejala putus zat yang dialami oleh seseorang. (CSAT, 2004) Proses detoksifikasi terdiri dari tiga komponen yang esensial: 1) Evaluasi 2) Stabilisasi 3) Menggiring kesiapan klien untuk menjalani tahap terapi Gangguan penggunaan Napza yang sesungguhnya. Khusus untuk detoksifikasi heroin, dapat dilakukan dengan cara berikut: Tappering off dengan codein: mula-mula klien yang mengalami gejala putus heroin diberikan dosis codein dalam jumlah besar, lalu secara bertahap dosis tersebut dikurangi hingga gejala putus zat dapat menghilang DAN ATAU Terapi simtomatik: kepada klien diberikan obat-obatan yang dapat meringankan gejala putus zat sesuai dengan keluhan . 25 Penjelasan lebih detil untuk penatalaksanaan detoksifikasi dapat mengacu pada Pedoman Penatalaksanaan Medis Gangguan Penggunaan Napzayang dikeluarkan oleh Departemen Kesehatan RI tahun 2008. Detoksifikasi harus dilakukan di bawah pengawasan dokter. Karena itu setiap lembaga wajib bekerjasama dengan sarana kesehatan atau dokter praktek terdekat yang ditunjukkan dengan surat perjanjian kerjasama. The American Society of Addiction Medicine (ASAM) mengklasifikasi standar pelayanan detoksifikasi sebagai berikut (CSAT, 2004): Detoksifikasi rawat jalan tanpa proses monitoring lanjut. Detoksifikasi rawat jalan dengan proses monitoring lanjut di tempat. Detoksifikasi rawat inap dengan tatalaksana klinik. Detoksifikasi rawat inap dengan monitoring medis. Detoksifikasi rawat inap dengan tatalaksana medis intensif. Cold turkey(detoksifikasi dengan cara non medis atau pasang badan) tidak disarankan untuk digunakan di dalam program PABM, khususnya untuk klien dengan komorbiditas (komplikasi) karena tidak dapat dipertanggungjawabkan hasilnya. Seorang klien dapat didetoksifikasi tergantung pada jenis zat dan kondisi klien. Secara umum detoksifikasi atas zat-zat jenis alcohol, benzodiazepine dan opiate membutuhkan detoksifikasi berbasis Rumah Sakit karena pertimbangan keamanan dan kemanusiaan. Jika Rumah Sakit tidak tersedia, maka detoksifikasi atas ketiga jenis zat ini perlu dilakukan pada seting dimana terdapat dukungan medis dan perawatan 24 jam. Selama proses detoksifikasi dapat dimulai proses asesmen yang disesuaikan dengan kondisi klien. Proses asesmen dapat dimulai pada klien dengan kesadaran yang baik serta tidak ada komplikasi fisik dan psikiatrik yang berat. Proses asesmen ini sekaligus perlu digunakan untuk melakukan wawancara motivasional, mengingat data menunjukkan bahwa hanya 15% dari 26 pasien yang selesai menjalani detoksifikasi mengikuti terapi Gangguan penggunaan Napza (CSAT, 2004). Klien yang mengalami gejala putus zat dan kemudian menjalani proses detoksifikasi seringkali berada pada kondisi kontemplasi, sehingga intervensi yang tepat dapat meningkatkan motivasinya untuk terus melanjutkan perawatan terapi gangguan penggunaan Napza. 2.2.2 Asesmen Asesmen adalah proses yang dimulai sejak klien masuk dalam program hingga selepas program. Tujuan utama adalah memperoleh gambaran masalah klien dan menjadi landasan untuk membangun rencana terapi bersama-sama klien. Proses asesmen membutuhkan kerjasama yang baik antara klien dengan konselor. Perlu sekali lagi dipastikan bahwa klien tidak dalam keadaan intoksikasi atau kekacauan pikir yang menghambat proses pemberian informasi secara obyektif. Namun demikian yang paling penting adalah bagaimana konselor dapat membangun hubungan yang terapeutik (positif) dengan klien. Klien perlu merasa yakin terlebih dahulu bahwa petugas sungguh-sungguh ingin membantunya. Tujuan dari asesmen adalah sebagai berikut (Johnson, 2003): 1. Identifikasi gambaran klinis yang akurat dan jelas. 2. Inisiasi atas dialog dan interaksi yang bersifat terapeutik. 3. Promosi peningkatan kesadaran individu agar yang bersangkutan dapat melihat masalahnya secara lebih jernih. 4. Menawarkan umpan balik yang obyektif. 5. Menegakkan diagnosis. 27 6. Membangun rencana terapi. 7. Mendorong perubahan yang positif. Asesmen dilakukan dengan menggunakan formulir, antara lain adalah sebagai berikut: 1. ASI – Addiction Severity Index (terlampir); untuk mengukur derajat keparahan masalah. 2. WHOQoL –World Health Organization Quality of Life (terlampir); untuk mengukur kualitas hidup klien. 3. BBV-Traq – Blood Borne Virus Transmission Risk Assesment Questionaire(terlampir); untuk menilai risiko terpaparnya virus melalui transmisi darah. Ketiga instrumen di atas ini wajib dipergunakan oleh setiap lembaga pelaksana program PABM, namun tiap-tiap lembaga diperkenankan untuk menggunakan instrumen asesmen lain, untuk kebutuhan lainnya. Instrumen lain yang digunakan sebaiknya sudah divalidasi dan berbasis bukti (evidence-based). Panduan asesmen: Formulir-formulir yang tersedia digunakan sebagai panduan bertanya. Konselor diharapkan mengelaborasi pertanyaan-pertanyaan yang ada, tidak terpaku hanya pada pertanyaan yang tercantum pada formulir. Seluruh pertanyaan harus diisi. Klien dapat menolak menjawab pertanyaan-pertanyaan yang dirasakan tidak membuatnya nyaman. Dalam kasus ini konselor harus menuliskan apapun respon klien pada formulir yang dimaksud. Jangan biarkan pertanyaan tidak diisi. Keseluruhan respon klien sangat penting dalam mendapatkan gambaran utuh klien. 28 2.2.3 Penyusunan Rencana Terapi Asesmen yang menyeluruh merupakan dasar perencanaan terapi. Perencanaan terapi merupakan kerangka individual untuk pelaksanaan terapi dan layanan, berbasis kebutuhan spesifik klien yang diketahui dari proses asesmen. Perencanaan terapi merupakan aktivitas bersama yang melibatkan konselor, klien, penyedia layanan terapi lainnya, dan kadangkala anggota keluarga klien. Perencanaan terapi yang efektif dapat mengenal dan dengan jelas dapat memilah kebutuhan prioritas seperti antara lainadalah sebagai berikut: 1) Akan ditanggulangi segera selama terapi atau proses rehabilitasi. 2) Memerlukan rujukan ke tempat layanan lain. 3) Membutuhkan penundaan untuk sementara. Perencanaan terapi idealnya bersifat individual, fleksibel, realistik dengan tujuan-tujuan perilaku yang dapat dicapai, diamati, diukur dandengan jangka waktu yang jelas (model SMART). Perencanaan terapi disusun bersama dengan klien, atau dengan mempertimbangkan dan melibatkan peran klien. Perencanaan juga sebaiknya disusun dengan sederhana sehingga klien yang mendapat pelayanan, hingga keluarga, dan petugas pelaksana program PABM itu sendiri dapat memahaminya. Sederhana yang dimaksud bukan berarti harus sedikit atau tidak lengkap, namun mencakup antara lain hal-hal berikut: 1) Bermanfaat, dengan indikator-indikator kemajuan yang dapat diukur. 2) Fokus pada solusi dan kekuatan bukan pada faktor negatif (kekurangan, masalah yang dimiliki). 3) Jelas dalam mengidentifikasi tipe dan frekuensi intervensi. 4) Responsif terhadap perubahan dan kemajuan. Langkah pertama perencanaan terapi adalah memutuskan level atau jenis rawatan yang dibutuhkan klien, dan yang dapat diterima klien, termasuk intensitas, durasi dan tatanan. Langkah ini termasuk menetapkanapakah program cukup memadai dalam memenuhi kebutuhan klien atau apakah klien seharusnya dirujuk pada program lain. 29 Perencanaan terapi termasuk di dalamnya menetapkan hal-hal di bawah ini: 1) Apakah program dapat memenuhi kebutuhan klien atau seharusnya dirujuk; 2) Apakah terapi untuk gangguan mental dan medis dibutuhkan; atau 3) Apakah klien membutuhkan detoksifikasi tersupervisi. 2.2.4 Rencana Rujukan Sistem rujukan adalah suatu sistem yang memungkinkan terjadinya penyerahan tanggung jawab secara timbal balik atas timbulnya masalah dari suatu kasus atau masalah kesehatan klien, baik secara vertikal maupun horizontal, kepada yang berwenang dan dilakukan secara rasional. Rujukan dilakukan apabila terdapat klien yang memiliki kebutuhan atau kasus yang tidak dapat dipenuhi oleh lembaga pelaksana PABM. Rujukan dapat dilaksanakan pada saat klien belum maupun hendak masuk menjalani program PABM di lembaga pelaksana, hingga saat proses rehabilitasi dan diakhir masa program (terminasi). Sistem rujukan terbagi dua sebagai berikut : 1. Rujukan Internal: horizontal; antar unit di dalam satu layananlembaga. Contoh: Unit detoksifikasi Unit rawat inap intensif Unit rawat jalan lanjutan. 2. Rujukan Eksternal: horinzontal dan vertikal; kepada layanan eksternal lain. Contoh: Lembaga PABM Puskesmas. Kelompok Dukungan Sebaya. Rujukan eksternal dilakukan apabila lembaga pelaksana program PABM tidak dapat menyediakan layanan dari satu atau beberapa kasus atau kebutuhan khusus klien, baik dalam segi fasilitas, keahlian maupun wewenang. Adapun kebutuhan khusus yang dimaksud antara lain adalah sebagai berikut: a) Klien membutuhkan layanan spesialistik medis khusus seperti munculnya infeksi oportunistik, gagal ginjal, gangguan jantung. 30 b) Klien membutuhkan layanan detoksifikasi medis terkait masalah putus zat yang dialaminya, dimana kondisi klien tidak memungkinkan untuk melewatinya tanpa bantuan medikasi khusus. c) Klien membutuhkan layanan spesialistik kejiwaan atau mental seperti adanya gangguan bipolar, skizofrenia, depresi berat. d) Klien membutuhkan terapi substitusi (metadon atau buprenorfin). e) Klien memiliki kebutuhan khusus non medis lainnya, seperti layanan keluarga, vokasional, pendidikan formal, perumahan, legal/hukum, perawatan anak, keuangan dan kerja. Institusi rujukan dapat merupakan lembaga rehabilitasi medis (PKM, RS, RSJ dll), sosial, vokasional dan bantuan hukum, dimana setiap lembaga pelaksana program PABM diharapkan mampu menbentuk jaringan layanan dengan elemen Masyarakat (LSM, Ormas)maupun institusi lainnya (PKM, Klinik, RS, Lembaga Rehabilitasi). Panduan asesmen: Jika proses rujukan diperlukan maka harus dipertimbangkan prosedurnya dan siapa yang menanggung biaya dari pemeriksaan tambahan tersebut. Jika sudah ada surat perjanjian atau MoU, perlu dijelaskan apa hak-hak yang diperoleh dan kewajiban yang harus dipenuhi. 2.2.5 Manajemen Kasus Manajemen kasus di dalam program gangguan ketergantungan zat sangat berbeda layanan konseling yang biasanya kita kenal, dan juga memiliki perbedaan dengan model manajemen kasus di dalam konteks penanggulangan HIV atau pengurangan dampak buruk. Manajemen kasus berfokus pada bagaimana memperoleh sumber daya yang ada diluar klien, seperti membantu klien mendapatkan tempat tinggal atau bantuan bagi produktivitas klien; sedangkan layanan konseling langsung fokus pada masalah internal, termasuk hubungan dengan orang lain, rencana pencegahan kekambuhan, dan sebagainya. 31 Manajemen kasus dapat dilakukan intra-program atau inter-program, yaitu sebagai berikut: 1) Manajemen kasus intra-program (di dalam program) berarti memfasilitasi layanan dalam organisasi sendiri, seperti membantu klien pindah dari terapi residensial ke rawatan lanjut rawat jalan. 2) Manajemen kasus inter-program (antar-program) berarti memfasilitasi layanan untuk klien melaluiprogram lain di masyarakat-misalnya, merujuk klien untuk program pelatihan kerja, program konseling keluarga. Tujuan dari dilakukannya manajemen kasus: 1) Meningkatkan keterlibatan dan motivasi klien, dengan membuat klien lebih mudah mengakses dan terlibat dalam terapi atau layanan terkait yang dibutuhkannya. 2) Membantu memenuhi kebutuhan klien yang mendesak, yang dapat mengganggu keterlibatan terapi. 3) Memastikan layanan terapi GPZ yang tepat tersedia 4) Manajemen kasus dapat mempersiapkan klien untuk pindah dari dan ke tingkat rawatan yang berbeda (dan seringkali konselor yang berbeda juga), sehingga meningkatkan kepercayaan diri dan mengurangi kecemasan klien. 5) Membantu klien membangun sumber daya-sumber daya yang mereka butuhkan untuk membantu mereka mengelola masalah-masalah kehidupan dan membangun hidup dalam pemulihan. Fungsi manajemen kasus: 1) Asesmen 2) Perencanaan 3) Jejaring / rujukan 4) Monitoring 5) Advokasi 32 Prinsip-prinsip manajemen kasus yang efektif 1) Memiliki satu titik kontak (berpusat). Hal ini membantu klien berurusan dengan bagian lain dari sistem kesehatan dan pelayanan sosial. Hal ini dapat mempromosikan koordinasi. Sebuah pendekatan yang terkoordinasi memastikan kontinuitas. Tidak peduli tahap terapi atau perubahan penyedia layanan, manajer kasus terlibat dari awal sampai akhir terapi. Hubungan yang dihasilkan memberikan klien kemantapan dalam apa yang dapat menjadi proses yang pasif dan membingungkan.Kadang-kadang dua atau lebih manajer kasus bekerja sebagai tim, dan bersama-sama mereka dianggap sebagai satu titik kontak. 2) Berdasarkan dorongan klien dan merespon kebutuhan klien.Peran manajer kasus adalah untuk mengidentifikasi dan menjelaskan pilihan, sedangkanklien yang berperan untuk menentukanpilihan yang ada. Para manajer kasus membantu klien memperoleh layanan yang ia pilih. 3) Advokasi.Manajer kasus perlu mempromosikan minat klien. Hal ini meliputi komunikasi dengan program, sistem hukum, dan badan hukum.Advokasi dapat berhubungan misalnyamemastikan dengan klien klien berkebutuhan perempuan memperoleh khusus, layanan seperti yang dibutuhkan. 4) Keterlibatan masyarakat.Semua pendekatan manajemen kasus sebaiknya berbasis masyarakat, agar membantu klienmendapatkan layanan setempat (lokal). Sebagai contoh, manajer kasus mungkin bekerja dengan klien yang akan beralih dari fasilitas rawat inap ke program rawat jalan berbasis masyarakat. Tentunya peralihan ini memerlukan manajer kasus untuk memastikan kelancaran transisi ke program baru. 5) Pragmatis. Mempertimbangkan prioritas yang harus diambil.Sebagai contoh, klien yang tidak memiliki tempat tinggal mungkin akan lebih perlu mencari tempat menginap sementara, daripada langsung menangani masalah adiksinya. 6) Antisipatif. Para manajer kasus harus mampu memahami perjalanan penyakit adiksi dan pemulihannya, 33 meramalkan masalah potensial, memahami pilihan, dan mengambil tindakan. Manajer kasus bekerja dengan tim terapi untuk merencanakan tindakan berikutnya. 7) Fleksibel. Para manajer kasus tidak hanya harus beradaptasi dengan kebutuhan individu tetapi juga harus mengubah pendekatan berdasarkan sumber daya masyarakat yang tersedia dan yang paling cocok untuk klien tertentu. Fleksibilitas juga berarti mengevaluasi kembali penempatan klien yang tampaknya tidak bekerja dengan baik. 8) Peka budaya. Manajer kasus perlu memperhatikan orientasi budaya klien dan membuatrujukan yang sesuai budaya. 9) Menjaga dan menghormati kerahasiaan.Manajer kasus harus menerapkan pola komunikasi yang baik dengan program lain. Perlu untuk mendapatkan persetujuan klien secara tertulis sebelum membahas kasus mereka dengan orang lain atau program lain. Di beberapa kota atau negara, persetujuan lisan mungkin cukup dalam beberapa situasi. Manajer kasus juga mungkin perlu berkomunikasi dengan orang lain dalam kehidupan klien. Sangat penting bahwa seorang manajer kasus tahu dan mentaati hukum dan peraturan tentang pelaksanaan program dan layanan masyarakat yang ada. Tabel.2 Model-model Manajemen Kasus Model Kekuatan Kekurangan Model Model ini berusaha Perencanaan hanya Perantara/Umum(Brokerage/Generalist) untuk mengidentifikasi terbatas pada kebutuhan dan kontak-kontak awal membantu klien bukan hubungan mengakses sumber intesif jangka daya tersebut. panjang. Perencanaan berfokus Pemantauan untuk menghubungkan lanjutan (jika klien dengan program dilakukan) dilakukan atau layanan lain. dengan singkat dan tidak termasuk 34 Memungkinkan manajer melakukan advokasi kasus untuk secara aktif. memberikan layanan ke lebih banyak klien. Model ini terkadang berfungsi kurang Efektif ketika layanan baik (inferior) karena sosial dan perawatan di adanya keterbatasan suatu wilayah itu hubungan antara terintergrasi dan tidak manajer kasus terlalu membutuhkan denganklien, dan pemantauan dan ketiadaan advokasi advokasi. berlanjut. Memungkinkan Tidak efektif untuk pendekatan respon klien yang memiliki cepat yang memberikan kondisi ekonomi, hasil langsung untuk motivasi serta klien. sumber daya yang memadai. Model Berbasis-Kekuatan (Strength- Memberikan dukungan Awalnya Based) kepada klien untuk dikembangkan untuk mengambil kendali membantu orang dalam mencari sumber dengan gangguan daya-sumber daya, kejiwaan transisi dari seperti perumahan dan layanan berbasis pekerjaan. lembaga menuju ke Mengkaji kekuatan klien dan menentukan asetaset yang dapat mereka gunakan untuk kehidupanmandiri, sehingga belum tentu cocok untuk semua orang (klien). mendapatkan sumber Model ini memberi daya. penekanan pada Membantu klien mengendalikan dan 35 hubungan klien denganmanajer menemukan kekuatan kasus, sehingga mereka, model ini membutuhkan mendorong petugas terlatih yang pemanfaatan berpengalaman. jejaringbantuan informal (daripada menggunakan jaringan kelembagaan/institusi). Model Klinikal/Rehabilitasi Untuk beberapa klien, prosesnya terasa lebih ribet dan lama. Dilakukan oleh orang Umumnya dilakukan petugas yang sama, oleh petugas yang sehingga klien merasa sama (merangkap lebih percaya. tugas), sehingga Telah digunakan secara luas dalam terapi untuk orang yang terdiagnosis rawan akan terjadinya burnout pada petugas. penyalahgunaan zat dan Supervisi menjadi gangguan psikiatri. kurang. Klien hanya memiliki Berisiko menjadi satu kontak poin dalam kurang netral karena program. adanya rangkap tugas dari petugas. Model Terapi Komunitas Asertif Meliputi kontak dengan Tugas manajer kasus (Assertive Community Treatment) klien dirumah dan lebih berat dengan lingkungan sehari- memberikan harinya. berbagai macam Fokus pada masalah hidup sehari-hari. layanan, hingga ke layanan vokasional, keluarga. Advokasi dilakukan 36 secara lebih asertif. Manajer kasus dan klien melakukan kontak Membutuhkan petugas terlatih dan berpengalaman. berulang. Biaya relatif besar. Pendekatan tim diikuti Memiliki batasan dengan berbagi beban waktu dan kasus (caseloads). pencapaian tujuan. Manajer kasus Bukan ditujukan membuat komitmen untuk klien yang jangka panjang dengan memerlukan kliennya. layanan berkelanjutan. 2.2.6 Konseling Individu Pada azasnya, konseling adalah suatu proses pemberdayaan, dimana seorang konselor bekerja untuk hal berikut: Memfasilitasi klien untuk memahami diri dan permasalahannya; Mengajarkan strategi kepada klien anda untuk perubahan dan ketrampilan yang dibutuhkan untuk mengidentifikasi dan memecahkan permasalahan; dan Mendukung klien anda dalam proses perubahannya. Relatif minimnya durasi dari program PABM menyebabkan kuantitas maupun kualitas pengetahuan dan keterampilan yang didapatkan oleh klien selama menjalani program PABM, dirasa masih kurang. Seringkali juga durasi program intensif yang diberikan lebih banyak dihabiskan untuk menangani masalah klien yang lain, seperti meningkatkan kondisi fisik dan berbagai macam urusan lainnya. Untuk itu program PABM menentukan ukuran standar minimal untuk pelaksanaan konseling individu, yaitu sebanyak 8 sesi kontak dengan waktu efektif 45-60 menit per sesinya. Hal ini juga ditujukan sebagai salah satu upaya untuk mengoptimalkan output dari proses terapi klien PABM. 37 Sasaran utama: Koreksi keyakinan dan pola berpikir yang keliru tentang adiksi Napza. Konsep diri. Pola hubungan dengan tokoh otoritas (orangtua, atasan). Pola hubungan yang sehat dengan pasangan. Pengetahuan yang diperlukan: Teori, riset dan literatur berbasis bukti. Pendekatan dalam konseling bagi individu dengan Gangguan Penggunaan Zat. Peran konselor. Konsep transference dan counter-transference. Transference, di dalam konseling, adalah suatu proses dimana klien memindahkan sikap, perasaan dan hasrat kepada konselor (transfer) berdasarkan hubungan personal klien yang berarti khusus. Hal ini terkadang timbul sebagai sebuah proses bawah sadar (unconscious) berdasarkan pengalaman masa kecil klien, dimana perasaan seperti cinta, benci, kebimbangan, kemarahan, dan/atau dimana ketergantungan muncul dan langsung mengarah ke konselor2. Transference dapat menjadi positif maupun negatif, tergantung dari pengalaman masa lalu klien itu sendiri. Sebagai contoh, terkadang transference dapat menjadikan hubungan teraputik menjadi mendalam. Di saat transference muncul, terkadang melibatkan dari salahnya persepsi dari konselor (positif atau negatif), seperti berikut:3 Klien mungkin melihat konselor adalah sosok yang sempurna di segala hal kemudian melihat dirinya sendiri sebagai seseorang yang “selalu merasa kurang” dari sang konselor. 2 Corey, G., Corey, M., & Callanan, P. (2011). Issues and ethics in the helping professions. Pacific Grove, CA: Brooks/Cole. 3 Ibid 38 Klien mungkin melihat konselor sebagai sosok seorang pengasuh yang kemudian membuat klien menjadi “tak berdaya”, ketergantungan berlebihan, dan konselor pun mungkin akan terperangkap ke dalam perasaan kasihan terhadap klien dan tetap berperan sebagai pengasuh. Klien pun akan mulai berharap lebih dari hubungan tersebut atau kemudian menjadi sulit belajar bertanggunjawab secara pribadi. Klien mungkin melihat konselor sebagai figur penguasa dan berprasangka bahwa konselor akan menghakiminya. Klien mungkin akan merasa terintimidasi, menjadi sulit untuk terbuka di saat konseling, dan mungkin merasa gelisah tentang sesi yang dilakukannya tersebut. Hal ini dapat menyebabkan klien menjadi cenderung diam di saat sesi berlangsung, menjadi pasif-agresif dengan konselor (menunjukan gelagat yang tidak ramah terhadap konselor), atau berusaha untuk menyenangkan konselor (takut untuk dipandang rendah oleh konselor). Adalah penting untuk konselor memiliki kewaspadaan tentang transference dari klien, sehingga tidak bereaksi yang dapat berpotensi menjadi kontra-terapeutik terhadap hubungan dengan klien. Counter-transferencemuncul di saat seorang konselor memindahkan sikap, perasaan, dan hasrat terhadap orang lain yang berasal dari pengalaman masa lalunya maupun pengalaman saat ini, kepada klien (transfer balik). Sebagai contoh, seorang konselor yang mempunyai permasalahan di masa mudanya dapat bereaksi dengan kliennya yang masih muda, persis seperti reaksinya terhadap anaknya sendiri. Counter-transference dapat terjadi di saat menanggapi isu klien yang juga merupakan masalah bagi diri konselor itu sendiri. Sebagai contoh, seorang konselor yang mengalami pelecehan di masa kecilnya, mungkin akan mengalami kesulitan untuk tetap obyektif dalam menangani klien yang juga mempunyai permasalahan yang sama terhadap pelecehan. Terlepas dari sifat alamiahnya, counter-transference dapat membahayakan hubungan terapeutik apabila hal ini tidak teridentifikasi dan disadari dengan baik. Counter-transference dapat menyebabkan konselor kehilangan obyektifitas dirinya terhadap klien dan terhadap intervensi yang dikembangkannya, 39 sehingga tidak mencakup kepentingan yang terbaik untuk klien. Counter-transference merupakan hal normal, dimana semua konselor dapat mengalami itu. Isu utama dari konselor adalah bagaimana mampu mengenali hal tersebut dan secara efektif memprosesnya, sehingga tidak berdampak negatif terhadap klien. Untuk mencegah counter-transference, sangat penting bagi konseloruntuk melakukan hal berikut: Mengatasi permasalahan emosional diri, baik di masa lalu maupun saat ini; Waspada mengenai kemungkinan dari counter-transference; Diskusikan perasaan dan sikap anda terhadap klien dengan atasan (supervisor) atau rekan kerja yang terpercaya ataupun ahlinya untuk mengidentifikasi counter-transference sebelum hal ini mengganggu hubungan yang telah dibina. Pengetahuan dan ketrampilan yang dibutuhkan antara lain adalah sebagai berikut: Komunikasi non-verbal, mencakup sikap, kontak mata dan gestur. Mendengarkan aktif, mencakupparaphrasing, refleksi dan menyimpulkan. Mengajukan pertanyaan, mencakup pertanyaan terbuka dan probing. Empati dan bergulir dengan resistensi. Menggunakan otoritas yang sesuai untuk mendukung rencana terapi. Sebagai rangkuman, tugas konselor adalah memastikan bahwa klien memiliki ketrampilan, pengetahuan, dan kepercayaan diri untuk menyelesaikan permasalahannya. Namun pertama-tama, konselor perlu menyusun dan menegakkan hubungan kerja yang terpercaya. Komunikasi Non-Verbal Ekspresi wajah, kontak mata, gerak tubuh, sikap tubuh, dan posisi spasial (jarak antara satu orang dengan yang lainnya) dapat “mengatakan” sebanyak kata-kata yang diucapkan (bahkan faktanya dapat lebih banyak). Kebanyakan komunikasi non-verbal kita tidak disadari. Kita mempelajari komunikasi non-verbal di saat masa kecil, dari teman sepergaulan, dan budaya kita. Konselor, bagaimanapun juga harus belajar untuk memberikan perhatian pada petunjuk-petunjuk non40 verbal dari klien, dan mawas diri untuk memberi makna pada segala petunjuk tersebut.Posisi spasial juga perlu diperhatikan untuk menjaga kenyamanan. Tabel.3 Mendengarkan Reflektif Tipe dari Mendengarkan Penjelasan dan Contoh Reflektif Merefleksikan pernyataan klien dalam bentuk yang netral. Dapat menggunakan kata-kata yang sama seperti yang diucapkan klien atau dapat di parafrasekan. Mengakui dan memvalidasi apa yang klien Refleksi Sederhana katakan. Klien: Saya tidak berencana untuk berhenti dalam waktu dekat ini. Kamu Konselor: tidak melihat abstinensia sebagai rencana jangka pendek kamu. Klien: Iya…benar! Merefleksikan pernyataan klien dalam bentuk yang dikembangkan/dilebihkan namun tidak sarkastik. Dapat menuju mendorong perkembangan perubahan positif, klien daripada menimbulkan resistensi. Refleksi yang Dikuatkan Klien: Saya tidak tahu mengapa istri saya khawatir tentang masalah saya. Saya tidak minum sebanyak teman-teman saya Konselor: Jadi sebenarnya tidak ada alasan bagi istri kamu untuk menjadi khawatir terhadap hal itu. 41 Klien: Sebenarnya, saya mengerti kenapa istri saya sedikit khawatir terhadap hal itu. Mengakui apa yang dikatakan oleh klien, namun juga menyatakan hal yang bertolak belakang mengenai pernyataan masa lalunya. Mensyaratkan penggunaan informasi yang dikatakan klien sebelumnya, meskipun hal itu diungkapkan tidak pada sesi yang sama. Refleksi Dua Sisi Mungkin Klien: seharusnya saya berhenti menggunakan sepenuhnya, namun saya tidak akan melakukan itu! Konselor: Di satu sisi kamu dapat melihat bahwa ada masalah, namun berhenti sepenuhnya bukan merupakan hal yang ingin kamu lakukan. Di sisi lainnya, kamu juga menyatakan bahwa kamu khawatir terhadap efek penggunaanmu terhadap anak-anakmu. Hal itu pasti membuatmu bingung. Pertanyaan Terbuka Penting untuk diketahui bahwa terdapat kelemahan dalam mengajukan pertanyaan. Konselor sering mengajukan pertanyaan dengan maksud untuk mendengarkan dengan baik. Terkadang konselor sering mengajukan banyak pertanyaan untuk menemukan jawaban yang tepat dari semua masalah klien. Namun faktanya, pertanyaan yang intensif justru dapat mengganggu alur spontanitas komunikasi. Tentu saja, konselor tidak perlu mencoba memperoleh informasi yang klien tidak ingin bagi atau ceritakan. Ciri-ciri pertanyaan terbuka adalah sebagai berikut: Tidak dapat dijawab “ya” atau “tidak”; Tidak dapat dijawab dengan satu atau dua kata; Membutuhkan penjelasan; 42 Memprovokasi pemikiran; Bukan hal yang retorikal (pertanyaan yang diajukan lebih mengarah untuk dapat memberikan penjelasan, bukan mengharapkan jawaban); Kadangkala dirangkai tidak seperti sebuah pertanyaan. Sebagai contoh, daripada mengajukan pertanyaan: “Kapan terakhir kamu menggunakan kokain?”, konselor dapat mengatakan: “Ceritakan mengenai saat terakhir kamu menggunakan heroin?” Hal ini bertujuan untuk memperoleh informasi lebih dari sekedar waktu kejadian saja. Tentu saja, pertanyaan terbuka tidak selalu merupakancara yang terbaik. Sebagai contoh, penggunaan pertanyaan: “Ceritakan mengenai tempat dimana kamu tinggal”. Pertanyaan terbuka akan membantu konselor untuk hal berikut: Membantu konselor memahami sudut pandang klien. Membangkitkan perasan klien terhadap topik atau situasi yang diberikan. Memfasilitasi dialog karena pertanyaan terbuka tidak dapat dijawab dengan sebuah kalimat atau kata-kata singkat dan jawabannya luas (berbeda-beda). Menyediakan informasi tambahan dalam cara yang netral. Mendorong klien untuk lebih banyak berbicara. Membantu konselor menghindari praduga. Mempertahankan komunikasi agar terus berkembang. Afirmasi Afirmasi adalah membuat pernyataan mengenai seseorang secara tulus dan positif. Afirmasi seperti melakukan pujian, namun lebih mendalam dari sekedar memuji seperti “Rambutmu terlihat indah!” Salah satu efek paling penting yang dihasilkan dari afirmasi adalah mendorong tumbuhnya perasaan efikasi diri (selfefficacy) klien. Afirmasi juga dapat memperkuat hubungan yang membantu menunjukkan kepada klien bahwa konselor memahami kesulitan klien dan menghargai (memvalidasi) pengalaman dan perasaan mereka. Penekanan 43 (fokus) pada pengalaman klien akan kekuatan, kesuksesan dan keberdayaan, dapat mencegah terjadinya keputusasaan. Berikut adalah beberapa contoh dari pernyataan afirmasi: Saya menghargai bagaimana beratnya tantanganmu untuk dapat memutuskan datang kemari; kamu telah mengambil langkah besar. Saya terkesan bahwa kamu mampu mengatakan “tidak” kepada kakakmu. Itu merupakan usul yang baik. Rangkuman Rangkuman adalah mengambil inti dari apa yang dinyatakan klien, atau hal yang terjadi di dalam sesi konseling, untuk kemudian mengkomunikasikan kembali kepada klien. Berbeda dari refleksi sederhana, rangkuman tidak merefleksikan suatu pernyataan namun merangkum keseluruhan dari percakapan atau sesi konseling. Rangkuman membantu klien untuk hal berikut: Menguatkan apa yang dikatakannya; Mendemonstrasikan bahwa konselor mendengarkan dengan penuh perhatian; Membantu mereka mempertimbangkan respon dan pengalamannya; Mempersiapkan mereka untuk melangkah maju. Rangkuman yang dapat menghubungkan antara perasaan positif dan negatif klien terkait penggunaan Napza dapat membantu klien melihat sisi ambivalensi dari dirinya dan adanya kesenjangan (diskrepansi) antara perilaku penggunaan zat dengan tujuan yang ingin dicapai. Ambivalensi dan diskrepansi akan dibicarakan lebih lanjut di modul lainnya. Rangkuman juga dapat menjadi sebuah cara yang baik untuk mengulas sesi sebelumnya dan untuk mengakhiri sesi yang sedang berlangsung. Rangkuman berguna untuk digunakan dalam sesi individual maupun kelompok, dan menghubungkan antara sesi terakhir dengan yang sesi berikutnya. Rangkuman dapat digunakan untuk hal berikut: 44 Menegaskan perkembangan yang dibuat oleh klien atau kelompok; Mengingatkan klien mengenai komitmen-komitmen yang pernah mereka buat; Menguatkan klien untuk mengerjakan tugas rumah. Sebagai contoh, konselor dapat mengkoreksi rangkuman sesi dan laporan mengenai klien dengan cara seperti ini: “Kita membahas banyak hal hari ini, Richard. Kita membicarakan tentang kesuksesanmu dalam menolak tawaran menggunakan kokain dari kakakmu. Meskipun saat itu kamu sempat merasakan frustasi, namun sekarang kamu merasa nyaman dengan dirimu. Kita juga membicarakan beberapa masalah tentang manajemen waktu, dan Anda setuju untuk menuliskan jadwal untuk seminggu kedepan dan melihat bagaimana hal itu bisa bekerja untuk Anda”. Rangkuman juga dapat memberikan tujuan strategis, yaitu konselor dapat memilih informasi yang layak dan tidak layak untuk disampaikan. Dalam hal ini konselor dapat menguatkan hal yang positif dan meminimalisasi hal yang negatif. Bergulir dengan Resistensi Konsep ini dikenalkan oleh Miller dan Rollnick’s melalui pendekatan wawancara motivasional (motivational interviewing)4. Dalam hal ini kita membicarakannya sebagai keterampilan inti. Namun dikarenakan hal ini merupakan konsep yang sangat berguna dan juga sebagai sebuah tatanan keterampilan, hal ini juga merepresentasikan perubahan pola pikir dalam memandang resistensi klien. Pandangan masa lampau menyatakan resistensi sebagai sebuah perilaku klien yang menantang atau menyangkal. Dalam menanggapinya, konselor seringkali melakukan konfrontasi atau argumen. Sementara pandangan terbaru yang lebih konstruktif memandang bahwa resistensi hanyalah indikator dari ambivalensi, dan ambivalensi merupakan hal yang normal dari proses perubahan. Seorang konselor yang baik akan membantu kliennya dalam menggoyahkan ketidakseimbangan motivasionalnya. Resistensi juga dapat berarti bahwa konselor harus mengubah arah pembicaraannya atau mendengarkan klien dengan lebih seksama. 4 Miller, W. R., & Rollnick, S. (1991). Motivational interviewing: Preparing people to change addictive behavior. New York: Guilford Press 45 Miller dan Rollnick mendefinisikan empat tipe resistensi, yaitu berdebat, menginterupsi, menyangkal dan mengacuhkan.5 Bergulir dengan resistensi mirip dengan cara sederhana dalam menghindari argumen, namun juga memberikan kesempatan untuk mengekspresikan empati, dengan cara mempertahankan sikap menghargai dan tidak menghakimi serta mendorong klien untuk berbicara dan tetap terlibat dalam sesi. Teknik-teknik yang dapat digunakan untuk bergulir dengan resistensi adalah sebagai berikut: Mengubah fokus (shifting focus); Menyetujui dengan sedikit perbedaan (agreement with a twist); Merangkai kembali (reframing); Meningkatkan kontrol dan pilihan diri (emphasizing personal choice and control). MembangkitkanMinat Klien untuk Berbicara Mengenai Perubahan a) Ajukan Pertanyaan yang Evokatif Pertanyaan yang diajukan bersifat terbuka, sehingga jawaban yang timbul akan berupa pembicaraan yang mengarah ke perubahan, misalnya: Mengapa kamu ingin membuat perubahan ini? (keinginan); Bagaimana kamu bisa menjalaninyasehingga bisa berhasil? (kemampuan); Apa tiga alasan kamu yang paling kuat sehingga mau melakukan ini? (alasan); Seberapa penting perubahan ini untuk kamu? (kebutuhan); Bagaimana kamu yakin kamu bisa melakukan semua ini? (komitmen). b) Minta untuk Dijabarkan (Elaborasi) Ketika pembicaraan mengarah ke tema yang bermakna, tanyakan lebih rinci antara lain dengan cara berikut: 5 Ibid 46 Dalam segi apa? Ceritakan lebih lanjut. Apa yang kamu pikirkan tentang hal itu? c) Mengingat Kembali Tanyakan mengenai waktu: Apakah kamu ingat kapan hal itu terjadi...? Bagaimana situasi yang kamu alami sebelum ...? d) Melihat Ke Depan Tanyakan kemungkinan apa yang akan terjadi apabila rencana berjalan sesuai dengan harapan: Apabila kamu sukses 100% dalam membuat perubahan seperti yang kamu inginkan, apa yang kemudian menjadi berbeda dalam hidup kamu? Apa yang kamu harapkan berbeda dalam hidup kamu? Kehidupan seperti apa yang kamu harapkan dalam 5 tahun ke depan? e) PertanyaanEkstrem Hal terburuk apa yang akan terjadi bila kamu tidak bisa membuat perubahan ini? Hasil terbaik apa yang dapat kamu bayangkan apabila...? f) Eksplorasi Tujuan dan Nilai Tanyakan nilai-nilai yang klien anut. Apa yang ia inginkan dalam hidupnya? Menggunakankartu seperti kartu tentang nilai-nilai tertentu dapat membantu klien dalam memahaminya. Tanyakan bagaimana kaitan perilaku penggunaanNapza dengan nilai dan tujuan dirinya. Apakah hal itu membantunya mencapai nilai dan tujuan dirinya, terganggu dengan hal itu atau hal itu tidak berhubungan? 47 g) Munculkan Ketidaksetujuan Dalam Berbagai Cara Ungkapkan secara langsung sisi negatif (status-quo yang terjadi saat itu) dari ambivalensi, untuk mendorong klien tidak setuju dengan Anda dalam berbagai cara, seperti berikut : Tampaknyasangat penting untuk kamu sehingga kamu tidak mau menyerah, tidak peduli apapun konsekuensi yang akan terjadi. Mungkin kamu benar. Kamu hanya tidak mampu untukmengatakan tidak kepada saudaramu. Penjelasan secara detil tentang konseling individual pada gangguan penggunaan Napza dapat mengacu pada Modul Konseling Adiksi yang dikeluarkan oleh Kementerian Kesehatan (2010), Badan Narkotika Nasional (2009) dan Asian Center for Certification and Education of Addiction Professionals, Colombo Plan (2011). 2.2.7 Sesi Kelompok Sesi kelompok dapat dilakukan dalam terapi gangguan penggunaan zat karena dapat memberi kesempatan kepada klien untuk mengembangkan ketrampilan komunikasi dan berpartisipasi dalam kegiatan kemasyarakatan. Kegiatankegiatan ini sangat bermanfaat bagi individu yang selama ini hanya bergaul terbatas di lingkungan pengguna Napza saja. Sebagai prinsip, ada beberapa hal yang perlu diperhatikan dalam sesi kelompok: Pelaku dan korban kekerasan domestik harus dipisahkan, tak boleh dalam satu kelompok. Tetangga, teman, sanak, pasangan suami-isteri atau orang bermakna lainnya di dalam kehidupan klien, jangan disatukan di dalam kelompok yang sama, kecuali dalam pelaksanaan terapi keluarga. Perlu dibicarakan dan dibuat persiapan terkait masalah kerahasiaan. Perlu ditentukan aturan main yang disepakati oleh anggota kelompok sebelum dimulainya sesi kelompok. 48 Jumlah anggota kelompok yang optimal adalah 8-15 orang. Sesi kelompok biasanya menghabiskan waktu tidak lebih dari 1,5 jam karena orang sulit untuk tetap fokus dalam waktu yang lama. Format kegiatan dan topik-topik yang sebaiknya diberikan dalam kegiatan / sesi kelompok program PABM mencakup antara lain sebagai berikut: Adiksi Dasar atau Ilmu Pengetahuan Adiksi Farmakologi Kesehatan Dasar HIV dan infeksi menular lainnya Pencegahan kekambuhan Harm Reduction Life Skill (contoh: komunikasi, problem solving, anger management) Kelompok Dukungan (contoh: NA meeting, female meeting, close meeting) Diskusi kelompok Vokasional dan kewirausahaan Pelayanan sosial Penjelasan secara detil tentang sesi kelompok pada Gangguan penggunaan Napza dapat mengacu pada Modul Konseling Adiksi yang dikeluarkan oleh Kementerian Kesehatan (2010), Badan Narkotika Nasional (2009) dan Asian Center for Certification and Education of Addiction Professionals, Colombo Plan(2011). 2.2.8 Kelompok Dukungan Kelompok dukungan atau kelompok bantu-diri merupakan sebuah kelompok informal yang bertujuan untuk saling mendukung atau saling bantu dalam mengatasi masalah pemulihan, dimana para anggotanya memiliki kesamaan permasalahan hidup yang dialami. Kegiatan yang dilakukan di dalam kelompok bantu-diri ini biasanya berisi tentang penguatan-penguatan maupun informasi dan edukasi terkait masalah yang dihadapi. Unsur terapeutik diberikan oleh 49 peserta melalui berbagi cerita, baik untuk yang membagi cerita maupun yang mendengarkannya. Jenis-jenis kelompok dukungan atau kelompok bantu-diri terkait GPZ yang umum ada di Indonesia, antara lain seperti Narcotics Anonymous Meeting, Aftercare Group. Kelompok bantu-diri merupakan program yang umumnya dilakukan di masyarakat dan bukan merupakan komponen terapi yang wajib dilakukan di dalam fasilitas program, namun sangat disarankan untuk para lembaga pelaksana mengenalkan kelompok bantu-diri ini kepada klien di dalam program PABM, untuk mempersiapkan klien ketika sudah selesai menjalankan program PABM. 2.3 Pendekatan Terapi 2.3.1 Wawancara Motivasional Wawancara Motivasional (WM) merupakan bagian penting di dalam penerapan maupun asesmen, konseling. wawancara Salah satu proses yang paling penting untuk penerapan teknik WM adalah pada tahap rekrutmen klien.Seringkali kita berpikir bahwa yang menentukan bagus tidaknya suatu terapi adalah sejauhmana klien mengharapkan keberhasilan dalam proses terapinya. Pandangan ini sesungguhnya keliru, sebab penelitian menunjukkan bahwa ada 4 faktor utama yang menentukan efektivitas suatu program (Tomlin and Richardson, 2004), yaitu sebagai berikut: Klien itu sendiri. Hubungan terapeutik antara klien dengan pelaksana program. Harapan klien dan harapan konselor. Orientasi teoritis (teknik penatalaksanaan). 50 Dari keempat hal di atas, faktor klien dan hubungan yang berkembang antara klien dan konselor adalah hal yang paling menentukan hasil terapi. Sementara orientasi teoritis atau teknik penatalaksanaan berkontribusi hanya sepertiga dari keberhasilan terapi. WM adalah suatu pendekatan konseling yang diadaptasi dari beberapa teori seperti Rogerian, Cognitive Behavioral Therapy (CBT) dan social learning models of counseling. WM menekankan strategi pada kerangka waktu tertentu, merancang strategi yang dirasakan sesuai untuk situasi yang dihadapi dan bagaimana mengaplikasikan strategi tersebut. WM memaksimalkan efektivitas keterampilan ini pada setiap sesi yang ada untuk mendukung perubahan klien. WM adalah pendekatan filosofis yang mencakup konseling dan gaya komunikasi. Pendekatan ini dapat digabungkan dengan pendekatan terapeutik lainnya. Lakukan wawancara motivasional pada kondisi berikut: Klien tidak dalam kondisi intoksikasi (rujuk detoksifikasi): ”Keadaan intoksikasi adalah suatu kondisi peralihan yang timbul akibat menggunakan Napza sehingga terjadi gangguan kesadaran, fungsi kognitif, persepsi, afek dan perilaku, atau fungsi dan respons psikofisiologis lainnya.” Klien tidak berada dalam kondisi putus zat berat (rujuk detoksifikasi): “Keadaan putus Napza adalah sekelompok gejala dengan aneka bentuk dan keparahan yang terjadi pada penghentianpemberian Napza secara absolut atau relatif sesudah penggunaan Napza yang terus menerus dalam jangka panjangdan/atau dosis tinggi.” Klien berada pada kondisi pra-kontemplasi (belum memikirikan tentang perubahan) atau kontemplasi (bimbang untuk melakukan perubahan). Intervensi berdasarkan tahapan perubahan perilaku klien Tahapan perubahan perilaku adalah suatu proses dimana umumnya dialami oleh seseorang ketika mereka merubah perilaku mereka yang bersifat problematik, diantaranya perilaku penyalahgunaan Napza. Dikemukakan oleh Prochaska dan DiClemente pada tahun 1982, model ini digunakan secara luas di seluruh dunia. 51 Tahapan perilaku berikut ini tidak berarti dialami secara berurutan, dapat pula terjadi loncatan dari satu tahapan ke tahapan lainnya. Ada lima tahapan perubahan perilaku: a. Tahap Pra-kontemplasi Pada tahap ini seseorang tidak melihat perilakunya bermasalah. Masukan orang lainpun tidak akan serta merta membuat mereka mempertimbangkan perilakunya. Kalimat-kalimat yang umumnya diutarakan pada tahapan ini adalah: “Saya nggak punya masalah dengan putaw … semuanya baik-baik saja” atau “Saya bisa kontrol pemakaian ekstasi saya…”. b. Tahap Kontemplasi Seseorang pada tahap ini mengakui bahwa perilaku penggunaan zatnya menimbulkan masalah, tetapi mereka merasa ragu-ragu untuk merubah perilakunya. Hal yang paling menandai tahap kontemplasi adalah timbulnya “keragu-raguan” (ambivalensi). Klien mengakui perlunya untuk melakukan perubahan tetapi mereka tidak yakin ingin sungguh-sungguh berubah. Kalimatkalimat yang sering diutarakan pada tahapan ini adalah: “Saya pengen berubah, tapi mungkin nggak sekarang…” atau “Waktu ketangkep kemaren bener-bener bikin hidup saya kacau, tapi akan lebih kacau lagi kalo saya nggak make..” c. Tahap Persiapan (Determinasi) Pada tahap ini umumnya seseorang sudah membuat keputusan untuk berubah. Kalimat-kalimat yang sering muncul adalah: “Saya udah mantap berhenti sekarang” atau “Saya yakin hidup saya akan lebih bagus kalo saya berubah..”. Pada tahap ini klien membutuhkan bantuan untuk membuat rencana konkrit yang dapat menggiringnya membuat perubahan yang berarti. d. Tahap Aksi Seseorang menunjukkan perubahan perilaku yang sangat signifikan ketika berada pada tahap aksi ini. Sesuai dengan artinya, aksi berarti klien menerapkan rencana-rencana perubahannya. Umumnya individu pada tahap ini membutuhkan banyak pengakuan dan dukungan positif agar individu tersebut semakin mantap. 52 e. Tahap Rumatan Pada tahap ini seseorang yang telah melakukan perubahan perilaku pada umumnya sudah merasa nyaman dengan perilaku barunya. Agar dapat bertahan pada tahap ini, klien perlu secara ajeg memonitor konsekuensi positif yang ditimbulkan akibat perilaku barunya dan mengikuti strategi-strategi yang sesuai untuk menghindari timbulnya kekambuhan. Tidak jarang individu yang berada pada tahap ini kehilangan pegangan atas strategi pencegahan kambuh dan kembali pada perilaku lamanya. Jika hal tersebut terjadi namun seseorang mengkaji strategi pencegahan kambuhnya dan mengambil langkah-langkah nyata yang dibutuhkan untuk merumat perilaku barunya, maka ia tetap dikategorikan dalam tahapan rumatan. Di luar kelima tahap di atas, ada kondisi kekambuhan yang diakui sebagai bagian yang mewarnai proses perubahan. Sepanjang klien menganggap kekambuhan sebagai landasan untuk kembali memperbaiki diri dan merubah perilaku maka individu tersebut tetap berada dalam siklus tahap perubahan. Penekanan wawancara motivasional Ada dua fase utama dalam menerapkan MW: Fase 1: membangun motivasi untuk berubah. Fase 2: memperkuat komitmen untuk berubah. Setiap fasememerlukanketrampilan- ketrampilan dan strategi-strategi spesifik yang dapat mendukung prinsip dan penerapan MW dan memperkuat bagaimana konselor berinteraksi dengan klien. Ada empat ketrampilan pada Fase 1 yang disingkat sebagai OARS yang berarti (pertanyaan open-ended terbuka), questions affirmation (penegasan), reflections (mencerminkan ulang pernyataan klien) dan summary (menyimpulkan). Keempat ketrampilan ini secara empirik telah terbukti menurunkan 53 sikap resisten klien karena mereka merasa didengar, dimengerti dan diakui pendapat-pendapatnya. Strategi pada Fase 2 umumnya melanjutkan teknik OARS dan menambahkan strategi untuk rekapitulasi menilai dan kesiapan menanyakan (readiness to klien pertanyaan-pertanyaan change), membuat kunci (transitional summary and key questions), menawarkan informasi dan nasehat (information and advice) serta melakukan negosiasi atas rencana perubahan (negotiating a change plan) untuk membantu klien bergerak maju pada tahap-tahap perubahan yang ada. Tabel berikut ini dapat memberi gambaran konkrit tentang Fase 1 dan Fase 2 pada WM (sumber: Tomlin dan Richardson, 2004): Tabel.4 Prinsip dan Strategi Wawancara Motivasional Prinsip-prinsip WM Ketrampilan/Strategi Ketrampilan/Strategi Fase 1 Fase 2 Empati Open-ended Readiness to Berkomunikasi dengan cara questions change penerimaan melalui Cara bertanya ini Menilai kesiapan mendengar yang bersifat mengembangkan klien untuk berubah reflektif. Hal ini dapat hubungan yg baik sangat penting membantu klien dengan klien karena daam rangka mengeksplorasi dan mendorong klien menentukan menyelesaikan untuk menjawab intervensi apa yang kebingungannya. Ia lebih dari sekedar “ya dibutuhkan klien. dapatmulai atau tidak”. mempertimbangkan perubahan tanpa rasa khawatir bahwa akan dipermalukan. Intervensi yg tidak Contoh: “Apa yg tepat dapat mendorong kamu meningkatkan datang hari ini?” atau resistensi klien. “Bagaimana saya bisa membantu Anda saat ini?” 54 Develop Affirmation Transitional DiscrepancyMengembangkan Menegaskan secara summary and key positif apa yang telah questions dinyatakan klien atas Secara umum, dua niatnya untuk strategi ini akan berubah, atas sangat bermanfaat konsekuensi negatif bagi klien yang yang ditimbulkan berada pada tahap perilakunya selama, transisi antara atas kekuatan- kontemplasi dan kekuatan yang persiapan. perbedaan antara pandangan klien yang lama dengankenyataan yang ada dapat mendorong klien masuk pada tahap kontemplasi dimana ia mulai merasa raguragu dengan perilaku lamanya dan mempertimbangkan perubahan. Dengan teknik ini, klien dimilikinya yang umumnya akan dapat mendorongnya mengkonfrontasi dirinya untuk berubah. sendiri yang merupakan suatu bentuk konfrontasi yang paling efektif. Kesimpulan transisi termasuk informasi tentang pandangan Afirmasi membantu klien tentang situasi, klien membentuk penilaian konselor, perasaan percaya informasi yang diri dan obyektif dan meningkatkan komentar klien yang keyakinannya mengindikasikan Contoh kalimat: “Saya tahu kalau hasrat untuk berubah. kamu mampu melakukan ini” “Memang berat, tetapi nampaknya kamu mampu melaluinya dengan baik” Rolling with resistance Reflective listening 55 Information and Menurunkan resistansi dapat Mendengar reflektif menggiring hasil terapi yang adalah hal yang lebih baik. sangat mendasar Mengikuti prinsip bergulir bersama resistensi, klien dalam mempraktekkan WM. Advice Meskipun konselor diharapkan tidak memberikan nasehat, namun seringkali mulai berdebat atas Refleksi adalah tidak dapat kebutuhannya untuk berubah. pernyataan yg dipungkiri bahwa diucapkan konselor pada waktu-waktu yang tertentu klien mengindikasikan membutuhkan bahwa konselor informasi dan mendengar apa yang nasehat Hubungan klien – konselor merupakan suatu kondisi yang vital. Bila timbul suatu resistensi, itu tandanya konselor perlu mengkaji ulang strategi dan pola komunikasi disampaikan klien. Ada waktu dimana yang dilakukannya dan Teknik ini menuntut klien sunguh- menyesuaikan diri dengan konselor untuk sungguh tidak tahu strategi yang lebih tepat untuk mengenyampingkan pilihan-pilihan yang mengurangi resistensi berbagai praduga ada dan tersebut. atau stereotipi atas membutuhkan klien dan fokus pada informasi obyektif pemahaman akan dari konselor. Yang apa yang klien paling penting dan sampaikan, baik harus dihindari verbal maupun non- adalah menghindari verbal. memberitahu klien Contoh: Klien: “Bapak yg menyuruh saya kesini. Saya suka minum dan pake ganja kadangkadang, tapi saya nggak tau apa saya 56 apa yang harus dilakukannya. mau berubah atau enggak” Konselor: “Bapak menginginkan kamu berubah, tapi kamu sendiri belum membuat keputusan” Support Self-Efficacy Summary Negotiating a Self-efficacy berarti keyakinan Pernyataan Change Plan seseorang bahwa ia mampu kesimpulan Merencanakan mengatasi suatu keadaan atau diperlukan untuk perubahan mengerjakan suatu tugas merumuskan merupakan hal yang (Miller & Rollnick) keseluruhan penting dan akan informasi yang meningkatkan diperoleh dalam kemungkinan untuk hubungan yang mencapai bersifat terapeutik. keberhasilan. Kesimpulan Konselor dapat menggarisbawahi menolong klien apa yg menjadi fokus bernegosiasi atas klien, rencana perubahan mengekspresikan dengan keragu-raguan klien membantunya akan suatu merencanakan perubahan, serta secara hati-hati, memberi gambaran meyakinkan bahwa adanya perbedaan rencana tersebut antara apa yang klien bersifat praktis dan nyatakan dengan realistis. apa yang klien perbuat 57 2.3.2 Cognitive-Behavioral Therapy (CBT) atau Terapi Kognitif-Perilaku Teknik ini didasari dari penggabungan 2 model terapi, yaitu cognitive therapy dan behavioral therapy. Terapi kognitif, aslinya dikembangkan oleh Aaron Beck untuk mengobati depresi, berdasarkan teori bahwa orang seringkali memiliki keyakinan, asumsi, dan pikiranpikiran otomatis yang mempengaruhiperilaku mereka, tetapi mungkin tidak menolong dan tidak realistis.Kognitif terapi mengemukakan bahwa pikiran-pikiran dan interpretasi seeorang menyebabkan terjadinya perasaan dan perilaku.Keyakinan inti dalam kognitif terapi adalah seseorang dapat memperbaiki cara berpikirnya(dan merasa dan berbuat), bahkan walaupun situasi tidak berubah. Terapi perilaku, pertama kali dikonsep oleh Pavlov dan disempurnakan oleh B.F. Skinner dan rekan lainnya, menerapi gangguan emosional dan perilaku sebagai sebuah respon yang dipelajari yang dapat diganti dengan sesuatu yang lebih sehat dengan pelatihan yang cocok. Terapi perilaku membantu seseorang mengenal perilaku yang tidak dapat menolong dirinya sendiri dan mencoba cara-cara berperilaku baru.Terapi perilaku dapat mencakup suatu rentang relaksasi dan teknikteknik penanggulangan masalah (coping skill). CBT berdasarkan pada keyakinan bahwa seorang klien dapat dibantu untuk mengenali dan membuang pikiran, emosi dan perilaku yang merugikan sehingga menyebabkan disfungsi dalam hidupnya.Meskipun model-model terapi lain juga mencoba untuk mengatasi pertanyaan “mengapa seseorang (klien) melakukan apa yang dia lakukan (perilaku adiktif)”, pertanyaan utama dalam CBT adalah sebagai berikut: Apa yang membuat mereka tetap melakukan hal yang sama? Bagaimana mereka dapat berubah? Pertanyaan “apa” tersebut menanggulangi penguat-penguat yang mempertahankan pola-pola pikiran, suasana perasaan, dan perilaku. Pertanyaan “Bagaimana” terkait dengan membangun keterampilan. 58 Pendekatan CBT untuk menerapi gangguan penggunaan zat (GPZ) fokusnya adalah mengajarkan klien keterampilan-keterampilan yang dapat membantu mereka mengenal dan mengurangi risiko relapse, mempertahankan abstinen, menyelesaikan masalah-masalah, dan menguatkan efikasi diri (kemampuan klien untuk mengenal kekuatan-kekuatannya dan meyakini bahwa perubahan adalah sesuatu yang mungkin). Di dalam program PABM, teknik ini cocok untuk digunakan dan telah banyak digunakan oleh para lembaga pelaksanan, meskipun mungkin sebagian besar dari mereka belum menyadari atau tidak menyebutkan secara spesifik mengenai penerapan teknik ini. Hal ini dapat dilihat dari beberapa laporan evaluasi dan monitoring yang dilakukan selama beberapa tahun pelaksanaan program PABM ini. Konsep-konsep dasar dari pendekatan CBT telah diinternalisasikan dalam kegiatan programnya. Konseling Pengurangan Risiko atau Behavior Drug Risk Resistance Counseling (BDRRC) yang dikembangkan oleh Prof. Marek, dan sempat diajarkan kepada para petugas pelaksana program PABM melalui pelatihan-pelatihan teknis, juga merupakan pengembangan pendekatan CBT modern. Teknik-Teknik Utama CBT Teknik-teknik khusus yang dapat membantu klien menanggulangi GPZ adalah sebagai berikut: Menanyakan pertanyaan-pertanyaan dan mengajarkan klien untuk menanyakan kepada diri mereka pertanyaan-pertanyaan untuk mendalami hubungan pikiran mereka dengan respon-respon emosional yang terjadi. Menggali konsekuensi-konsekuensi negatif dan positif dari penggunaan zat yang dilakukan terus menerus. Mengajarkan klien keterampilan monitoring diri untuk mengenali sugesti atau kondisi ingin pakai (craving) sedini mungkin, dan untuk mengenali situasi risiko tinggi pencetus relaps. Mengembangkan strategi-strategi untuk koping dan menghindari risiko tinggi yang memicu hasrat untuk menggunakan. Mengantisipasi masalah yang mungkindapat memicu slip atau relaps. 59 Mengembangkan strategi koping yang efektif (seperti teknik relaksasi) terhadap tantangan hidup sehari-hari yang dapat memicu GPZ. Mengajarkan keterampilan-keterampilan menyelesaikan masalah. Pekerjaan rumah adalah bagian utama pendekatan CBT. Klien diberikan tugas membaca, diminta untuk tetap mempertahankan perilaku dan pikiran-pikiran tertentu, atau diminta untuk mempraktekkan keterampilan-keterampilan baru.CBT juga dipakai untuk tantangan lain dalam pemulihan, seperti memperbaiki hubunganhubungan dan penanggulangan emosi. Salah satu tipe khusus dari pendekatan CBT adalah cognitive-behavioral copingskills therapy, yang asalnya dikembangkan untuk membantu klien dengan gangguan penggunaan alkohol.6Coping skills therapy adalah pendekatan terstruktur, berdasarkan pada suatu panduan. Setiap sesi coping skills therapy mencakup diskusi mengenai jalan pikirannya,pedoman keterampilan khusus, bermain peran (role-play) untuk melatih perilaku spesifik, dan latihan-latihan untuk topik-topik tertentu, termasuk hal berikut: Mengendalikan pikiran-pikiran tentang NAPZA dan penggunaannya. Menyelesaikan masalah. Keterampilan menolak. Membuat rencana menghadapi situasi kegawat-daruratan dan penanggulangan penggunaan kembali (lapse). Keputusan-keputusan yang kelihatannya tidak relevan. Tabel.5 Kekuatan dan Tantangan CBT Kekuatan Tantangan CBT secara aktif mengikat klien dalam Klien yang sulit membaca atau terapi dan pembelajaran eksperensial keterampilan kognitifnya buruk, (melalui penggalian pengalaman) membutuhkan alternatif-alternatif untuk 6 U.S. National Institute on Alcohol Abuse and Alcoholism. (1995). Cognitive-behavioral coping skills therapy manual: A clinical research guide for therapists treating individuals with alcohol abuse and dependence. Project MATCHMonograph Series, Volume 3. Bethesda, MD: Author. 60 tugas-tugas tertulis CBT cocok untuk klien dari berbagai Pendekatan ini membutuhkan latarbelakang dan variasi riwayat pelatihan konselor yang spesifik dalam penggunaan alkohol dan NAPZA prinsip-prinsip dan teknik-teknik CBT CBT menyediakan metode-metode Motivasi klien sangat pentingkarena terstruktur untuk memahami pemicu banyaknya tugas-tugas pekerjaan relaps dan menyiapkan diri untuk rumah situasi yang dapat menimbulkan relaps CBT dapat membantu klien CBT dikembangkan awalnya sebagai menghadapi sejumlah situasi pendekatan konseling individual, tidak kehidupan untuk kelompok. Pekerjaan rumah membolehkan mempraktekkan perilaku baru yang klien banyak untuk dan mengevaluasi dalam lingkungannya sendiri 61 3. STANDAR PENYELENGGARAAN PROGRAM 3.1 Prasyarat Kelembagaan Standar ini sejauh mungkin dipenuhi kriteria minimumnya oleh setiap lembaga pelaksana. Minimum dalam arti tidak harus memiliki ruangan khusus yang spesifik dan terpisah, namun dapat menyatu sebagai ruang multifungsi (contoh: ruang rekreasi yang berfungsi juga sebagai ruang seminar, ruang kamar tidur yang dialihfungsikan menjadi ruang konseling). Namun untuk bangunan utama ruangan harus tersedia khusus dan terpisah. Sarana Bangunan Utama Bangunan utama terdiri dari ruangan-ruangan yang memadai untuk penyelenggaraan program PABM: 1) Ruang Administrasi Ruang Administrasi sangat penting dimiliki untuk keperluan registrasi, administrasi dan penyimpanan data/dokumen yang terkait dengan klien, staf maupun pusat penyelenggaraan program TC itu sendiri. Ruangan ini perlu dilengkapi dengan peralatan yang menunjang keperluan administrasi dan penyimpanan dokumen serta nomer-nomer kontak penting untuk keadaan darurat maupun rujukan. 2) Ruang Tamu Klien maupun staf dapat menerima tamu di ruangan khusus yang disediakan. Ruang ini penting sekali tidak hanya untuk menjaga privacy namun juga untukkeamanan klien.Ukuran ruang tamu dapat beragam, dan dilengkapi dengan kursi serta meja yang memadai, serta pencahayaan yang cukup. 62 3) Ruang Kegiatan atau Serbaguna Ruang ini dapat digunakan untuk penyelenggaraan program harian, pertemuan, seminar, rekreasi ataupun acara lainnya. Seperti layaknya ruang pertemuan, ruang serbaguna sebaiknya dilengkapi dengan perlengkapan seperti white board/screen, flip chart, sistem audiovisual, kursi dan meja dan karpet (jika tidak ada meja dan kursi). Bilamana mungkin, peralatan musik dan bahan-bahan bacaan perlu disiapkan pada ruangan ini. 4) Ruang Rapat Petugas Ruang rapat petugas sebaiknya berada terpisah dari ruangan kegiatan lainnya. Hal ini penting untuk menindaklanjuti hasil kegiatan yang dilakukan kepada para klien. Tindak lanjut program, ataupun diskusi kasus dapat dilakukan di tempat ini. Fasilitas yang perlu disiapkan, tentunya adalah meja, kursi, white board dan lemari. 5) Ruang Konseling Untuk menjaga privasi klien, ruang konseling sebaiknya ditempatkan di lokasi yang sesuai. Ukuran ruangan dapat disesuaikan dengan kebutuhan, namun fasilitas yang perlu disediakan adalah sofa/kursi yang nyaman, meja dan lemari. 6) Kamar Klien Penggunaan ruangan dapat disesuaikan dengan kebutuhan, baik kamar yang bersifat lebih pribadi (1 – 3 orang) ataupun secara bersamaan (seperti bangsal) lebih dari 3 orang per kamar. Kamar klien perlu dilengkapi dengan perlengkapan tidur yang memadai, dan dengan sirkulasi udara yang baik. 7) Kamar Mandi / WC Kamar mandi yang terawat, dan sebaiknya menggunakan pancuran (shower) dibandingkan dengan menggunakan bak. Bak mandi sebaiknya tidak digunakan untuk memperkecil risiko kecelakaan dan upaya bunuh diri, selain tentunya dapat menghemat penggunaan air. 8) Dapur Harus terpisah dan bangunan merupakan fungsi khusus dari dapur itu sendiri. 9) Ruang Makan Sarana yang perlu disiapkan dalam ruang makan tentunya adalah meja dan kursi makan yang sesuai dengan jumlah klien dan konselor yang ada. 63 10) Kamar Konselor atau Petugas Diperuntukan bagi petugas yang berjaga malam atau untuk ruangan konselor beristirahat. Letak kamar konselor perlu dipertimbangkan untuk faktor keamanan, keselamatan dan kenyamanan mereka. 11) Ruang Pengobatan Ruangan ini perlu disediakan untuk pemeriksaan kesehatan bagi klien dan ruangan untuk klien yang masih menjalani program detoksifikasi ataupun pemulihan fisik. Perlengkapan minimal adalah tempat tidur periksa dan lemari penyimpanan obat (khususnya obat untuk P3K), perlengkapan tes diagnostik seperti tensimeter, thermometer, stetoskop serta tabung oksigen. Jika tidak memungkinkan diadakannya ruangan dan perlengkapan tersebut, maka minimal terdapat tempat atau ruangan untuk penyimpanan obat yang terpisah dan terjaga keamanannya, untuk menghindari penyalahgunaan obat-obatan. Sistem rujukan terintegrasi harus dimiliki apabila belum dapat memenuhi standar ini. Bangunan Penunjang Kegiatan-kegiatan harian perlu ditunjang oleh sarana dan prasarana lain: 1) Ruang/Lapangan olah raga 2) Mushola/tempat ibadah 3) Perpustakaan 4) Ruang cuci 5) Gudang Sumber Daya Manusia 1) Pimpinan sarana pelayanan rehabilitasi/Direktur Program 2) Penanggung jawab Teknis/Manajer Program 3) Petugas Administrasi dan Keuangan 4) Konselor Adiksi 5) Konselor sebaya/Staf Pendukung 6) Relawan 64 7) Petugas keamanan 8) Tenaga lain sesuai kebutuhan ataupun bersifat rujukan dokter, psikolog, pembina spiritual, pelatih keterampilan. Persiapan Organisasi/Lembaga LSM harus melakukan pekerjaan rumahnya dahulu, yaitu mempersiapkan kelengkapan organisasinya. a) Memenuhi berbagai persyaratan organisasi/kelembagaan yang dikeluarkan oleh Kementerian Kesehatan dan Kementerian Sosial. b) Memperhitungkan jenis layanan yang akan diselenggarakan: c) Memperoleh dukungan dari masyarakat sekitar. Ini dilakukan dengan cara advokasi sederhana; d) Membangun kerjasama antar lembaga, sektor pemerintah maupun swasta di bidang pelayanan kesehatan, pendanaan dan bidang lainnya. 3.2 Prasyarat SDM/Staf Pelaksana Semua petugas atau staf pelaksana yang terlibat di dalam program PABM harus dalam kondisi abstinensia atau bebas dari pengaruh NAPZA ilegal. Ilegal berarti adalah semua jenis NAPZA yang dipergunakan tidak atas anjuran dokter resmi, digunakan tidak sesuai dosis dan aturannya, maupun didapatkan dengan cara yang tidak legal (mencuri, membeli di distributor tidak resmi tanpa ijin, dll). Metadon, bufrenorfin dan terapi subtitusi resmi lainnya yang legal, dilakukan dengan ketentuan yang berlaku atau sesuai anjuran dokter, tidak termasuk sebagaikategori NAPZA ilegal. Minuman beralkohol, meskipun beberapa jenis diperjualbelikan secara legal di Indonesia, namun tetap para petugas pelaksana program PABM tidak diperkenankan untuk mengkonsumsinya. 3.3 Komponen Pembiayaan / Operasional Untuk memastikan terselenggaranya berbagai kegiatan dalam program pemulihan adiksi berbasis masyarakat di sebuah lembaga, maka dibutuhkan beberapa komponen yang harus tersedia secara memadai. Seperti halnya sebuah lembaga 65 yang menyediakan sebuah layanan kesehatan, maka bisa saja kebutuhannya berbeda-beda antara satu lembaga dengan lembaga lainnya. Perbedaan itu terjadi disebabkan karena lokasi layanan, ketersediaan layanan pendukung, situasi perekonomian di daerah pelaksanan PABM, dsb.nya. Untuk membantu lembaga dalam mempersiapkan maupun menjalankan kegiatannya, maka komponen pembiayaan yang harus tersedia adalah sebagai berikut : Operasional Kantor Konsumsi dan akomodasi klien Keamanan di lokasi layanan pemulihan Sosialisasi layanan pemulihan Honor dan tunjangan staf Biaya kesehatan dasar Beban biaya yang harus ditanggung dalam pelaksanaan layanan pemulihan adiksi ini dapat dipenuhi yang berasal dari berbagai sumber, seperti swadaya ( biaya ditanggung sendiri oleh klien), kerja sama dengan pemerintah, lembaga donor, lembaga sosial/keagamaan, donatur pribadi/partisipasi masyarakat, swasta. Dalam proses menjalani seorang sebuah klien program pemulihan, terkadang muncul biayabiaya tambahan kebutuhan klien. terkait dengan Pihak lembaga pelaksana PABM sebaiknya mampu untuk menjalin kerja sama seluasluasnya dengan berbagai pihak. 66 4. Standar Penatalaksanaan Terapi 4.1 Kriteria Inklusi Klien Kriteria inklusi adalah kondisi-kondisi klien yang dapat mengikuti program PABM, yaitu antara lain sebagai berikut: 1) Tidak mengalami gangguan fisik berat, seperti gagal ginjal, payah jantung, infeksi oportunistik yang mengganggu keikutsertaan dalam program, dan lainlain. Klien dengan gangguan fisik yang berat perlu dirujuk ke Puskesmas atau Rumah Sakit terdekat untuk dinilai apakah klien ini dapat mengikuti program atau tidak.Untuk klien yang mengalami gangguan fisik tapi dapat mengikuti program, perlu disiapkan sistim rujukan bila sewaktu-waktu diperlukan (bekerjasama dengan Puskesmas atau Rumah Sakit terdekat). 2) Tidak mengalami gangguan mental berat seperti psikotik, halusinasi, waham, kekeliruan identifikasi, gangguan psikomotor, afek yang abnormal. Apabila terdapat gejala gangguan mental yang berat seperti contoh, mohon dirujuk ke Puskesmas atau Rumah Sakit terdekat untuk dinilai apakah klien ini dapat mengikuti program atau tidak.Untuk klien yang mengalami gangguan jiwa tapi dapat mengikuti program, tetap disiapkan sistim rujukan bila sewaktu-waktu diperlukan (bekerjasama dengan Puskesmas atau Rumah Sakit terdekat). 3) Usia 18 tahun ke atas, pertimbangannya adalah agar calon klien dapat mengakses layanan tanpa harus meminta persetujuan keluarga (orangtua). Namun apabila tidak memungkinkan, lembaga dapat melayani klien di bawah usia 18 tahun dengan syarat ada informed consent dan surat kuasa dari orang tuanya. Dalam penatalaksanaannya, pihak penyelenggara layanan perlu melakukan memberikan intervensi yang tepat bagi klien tersebut dan upayaupaya semaksimal mungkin agar keluarga dapat terlibat pada proses pemulihannya. Beberapa hal yang perlu digarisbawahi oleh petugas pelaksana program dalam menerima klien adalah sebagai berikut: 1) Klien memiliki KTP yang masih berlaku. Jika tidak memiliki, maka di dalam perencanaan program harus dimasukkan rencana untuk membuat KTP. Ini 67 diperlukan untuk mengantisipasi jika klien memerlukan akses bantuan medis, seperti Jamkesda, SKTM, dan lain-lain. 2) Klien didampingi orang tua, atau minimal wali klien yang peduli dan mau bertanggung jawab atas kondisi klien selama menjalani program. 4.2 Tahapan Pelaksanaan Program Tabel.6 Alur Penatalaksanaan Terapi Tahapan Rekrutmen dan Skrining Kegiatan Waktu 1) Kriteria Inklusi. 1 – 2 hari 2) Pemeriksaan medik & mental. Keterangan Di lokasi yang ditentukan 3) Intake & Skrining : Surat perjanjian masuk Informed concent Biodata awal Orientasi 1) Detoksifikasi 1 – 14 hari (bila perlu) Sarana kesehatan terdekat atau Pengenalan mengenai lembaga program. rehabilitasi namun Mendiskusikan dan di bawah merancang rencana terapi pengawasan petugas medis Fase Intensif 1) Asessment (ASI, WHOQOL, IRA/BBV-traq). 6–8 minggu 2) Kegiatan Kelompok : (80 jam). 3) Seminar. 4) Morning Meeting. 5) Kelompok Dukungan. 6) Diskusi Kelompok. 7) Konseling individual (8 jam) 8) KonselingKeluarga (Jika memungkinkan) 68 Lembaga Rehabilitasi Fase Non- 1) Asessment (WHOQOL) 15 minggu WHOQOL Intensif 2) Kegiatan Kelompok : (12jam) dilakukan setelah 3) Seminar klien 4) Kelompok Dukungan menyelesaikan 5) Diskusi Kelompok fase intensif 6) Konseling individual (12 jam) 7) KonselingKeluarga (Jika Diperlukan) 8) Vokasional 9) Community Service Terminasi 1) Asessment (ASI, WHOQOL) 1 minggu ASI dan 2) Resume kondisi klien WHOQOL 3) Kelompok dukungan (NA / dilakukan di bulan Support group) ke-6 atau sebelum 4) Identifikasi keberhasilan yang telah dicapai klien 5) Menyusun catatan keberhasilan 6) Pertemuan klien terkait rencana terminasi 7) Pertemuan keluarga klien terkait rencana terminasi 8) Pemeliharaan program terapi klien di masyarakat 9) Pemberdayaan klien di masyarakat 69 klien diterminasi 5. PENERAPAN STRATEGI PENGURANGAN DAMPAK BURUK 5.1 Pengurangan dampak buruk penggunaan NAPZA(harm reduction) Sebuah konsep yang digunakan dalam wilayah kesehatan masyarakat, yang bertujuan untuk mencegah atau mengurangi konsekuensi negatif kesehatan yang berkaitan dengan perilaku berisiko, seperti perilaku penggunaan NAPZA dengan jarum suntik dan perilaku seks tidak aman. Komponen pengurangan dampak buruk NAPZA merupakan intervensi yang holistik/komprehensif yang bertujuan untuk mencegah penularan HIV dan infeksi lainnya yang terjadi melalui penggunaan perlengkapan menyuntik untuk menyuntikan NAPZA yang tidak steril dan digunakan secara bersama-sama. Konsekuensi kesehatan di atas meliputi kesehatan fisik , sosial dan mental. Strategi pengurangan dampak buruk diterapkan, terutama, apabila klien belum mau untuk berhenti atau berusaha untuk mencapai abstinensia, dan apabila klien mengalami drop-out (mengundurkan diri atau kabur) dari program. Hal ini bertujuan agar apabila klien masih menggunakan dapat mengurangi dampak buruk dari penggunaannya, dan agar klien tetap berada atau terpapar layanan. Untuk itu maka program-program pemberian informasi dan edukasi mengenai strategi dampak buruk, mencakup informasi layanan LJSS dan layanan drop-in center, hal ini harus dilakukan dan diterapkan di dalam kegiatan harian program PABM. Prinsip-prinsip penerapan strategi pengurangan dampak buruk NAPZAyang dapat diterapkan pada program PABM adalah sebagai berikut: 1) Penasun didorong untuk berhenti memakai NAPZA; baik dengan wawancara motivasional, pemberian media KIE hingga diskusi kelompok terpadu (focused group discussion). 70 2) Jika Penasun bersikeras untuk tetap menggunakan NAPZA, maka didorong untuk tidak menggunakan dengan cara suntik. 3) Apabila tetap bersikeras, maka klien didorong dandipastikan untuk menggunakan peralatan suntik baru, sekali pakai dan tidak bertukar alat suntik. 4) Jika tetap terjadi penggunaan bersama peralatan jarum suntik, maka didorongdan dilatih untuk dapat menyucihamakan peralatan suntik. Namun hal ini merupakan jalan terakhir yang sebaiknya dihindari. 5.2 Kewaspadaan Universal Kewaspadaan universal adalah sebuah upaya pencegahan penularan infeksi dari klien ke petugas layanan dan atau ke klien lainnya yang berasal dari risiko penularan kuman patogen, yaitu melalui udara, darah dan cairan tubuh. Hal ini ditujukan agar aktivitas layanan dan sarana yang digunakan di dalam program PABM merupakan dimensi pemulihan, dan bukan sebaliknya menjadi sumber infeksi. Pada prinsipnya kewaspadaan universal adalah“Memberlakukan Setiap Cairan Tubuh, Darah, dan Jaringan Tubuh Manusia Sebagai Bahan Infeksius”. Penerapan kewaspadaan universal juga merupakan upaya pengendalian infeksi nosokomial dan infeksi HIV/AIDS dalam sarana program PABM yang akan memberikan perlindungan terhadap klien lain, petugas layanan dan pengunjung terhadap infeksi nosokomial dan HIV/AIDS. Hal ini akan memberikan rasa aman dalam memberikan layanan, termasuk kepada klien yang menderita infeksi HIV/AIDS.Semua fihak yang terlibat diharuskan melaksanakan kewaspadaan Universal termasuk pimpinan, staf pelaksana pelayanan penunjangnya, staf administrasi, pengguna layanan dan pengunjung. Kewaspadaan universal meliputi antara lain sebagai berikut: 1) Kebersihan tangan; cuci tangan 2) Pengelolaan alat kesehatan 3) Pengelolaan limbah 4) Kecelakaan kerja 5) Kewaspadaan khusus berdasarkan risiko penularan 71 termasuk staf 5.3 Laporan Pajanan Laporan pajanan adalah adanya suatu laporan atau pemberitahuan secara cepat apabila seseorang telah terpapar darah atau cairan infeksius lainnya. Setiap pajanan harus diperlakukan sebagai keadaan darurat oleh karena petugas yang terpajan segera melaporkan kepada atasan langsung atau bagian keselamatan dan kesehatan kerja (K3). Laporan sangat diperlukan agar pemberian profilaksis pasca pajanan dapat dimulai secepat mungkin dalam waktu kurang dari 4 jam dan tidak lebih dari 72 jam. Semakin cepat pemberian profilaksis pasca pajanan, semakin bermanfaat dan sebaliknya. 5.4 Konseling dan Tes HIV Sebagai tempat penyedia layanan terapi gangguan penggunaanNAPZA, program PABM sebaiknya juga harus dapat menyelanggarakan layanan konseling dan tes HIV baik yang dilakukan secara sukarela atas keinginan klien ataupun yang diinisiasikan oleh layanan (Provider Initiated Testing and Counseling/PITC) bagi para klien-kliennya yang belum mengetahui statusnya, dan kepada klien yang pernah namun memiliki risiko tinggi untuk terpapar setelahnya. Konseling dan Test HIV dalam pelaksanaannya dapat bekerja sama dengan semua pihak yang terkait (Puskesmas, Rumah Sakit LSM dll). Konseling dan Test HIV merupakan salah satu strategi kesehatan masyarakat sebagai pintu masuk ke seluruh layanan kesehatan HIV/AIDS berkelanjutan. Untuk memudahkan pelaksanaannya, Konseling dan Test HIV sebaiknya dilakukan sekaligus beberapa klien dengan cara petugas Konseling dan Test HIV datang ke fasilitas program PABM (mobile VCT). Pelaksanaannya dapat pula dilakukan secara statis, dimana klien yang datang ke pusat layanannya. 72 Program Konseling dan Test HIV dapat dilakukan berdasarkan kebutuhan individu klien dengan memberikan layanan dini dan memadai baik kepada mereka dengan HIV positif maupun negatif. Adapun prinsip-prinsip pelaksanaan Konseling dan Test HIV adalah sebagai berikut (KMK 1507): 1) Sukarela dalam melaksanakan test, kerelaan, pemeriksaan HIV didasarkan pada tanpa paksaan dan tanpa tekanan serta keputusan ada di tangan klien. 2) Saling mempercayai dan terjaminnya konfidensialitas, layanan harus bersifat profesional menghargai hak dan martabat klien. Semua informasi yang disampaikan pada klien harus dijaga kerahasiannya oleh konselor dan semua petugas layanan tidak diperkenankan didiskusikan diluar konteks kepentingan klien. Semua informasi yang berhubungan dengan Konseling dan Test HIV harus disimpan pada tempat yang tidak dapat dijangkau oleh fihak yang berkepentingan. 3) Mempertahankan hubungan positif antara klien dan konselor, klien didorong untuk mengikuti konseling pasca test agar mengurangi perilaku berisiko. Di dalam pertemuan dengan kien dibicarakan juga respon dan perasaan klien dalam menerima hasil test dan tahapan penerimaan hasil test. Pelaksanaan Konseling dan Test HIVselalu diiringi pula dengan konseling pra tes dan pasca tes yang dilakukan antara konselor Konseling dan Test HIV dengan klien. Konseling dalam Konseling dan Test HIV adalah kegiatan konseling yang menyediakan dukungan psikologis, informasi dan pengetahuan HIV/AIDS, pencegahan penularan HIV, mempromosikan perubahan perilaku yang bertanggung jawab pengobatan ARV dan membantu pemecahan berbagai masalah terkait dengan HIV/AIDS. Terdapat beberapa hal yang perlu diperhatikan dalam penyelenggaraan Konseling dan Test HIV di dalam program PABM: 1) Jika seorang konselor HIV bukan seorang dokter tidak diperbolehkan melakukan tindakan medik. 2) Tidak melakukan tugas sebagai pengambil darah klien. 73 3) Tidak memaksa klien untuk melakukan test HIV. 4) Menjaga prinsip kerahasiaan, bahwa informasi yang disampaikan klien kepadanya adalah bersifat pribadi dan rahasia, serta meminta kesediaan klien terlebih dahulu (informed consent) 5) Jika seorang konselor berhalangan melaksanakan konseling, dapat dilimpahkan kepada konselor yang lain dengan persetujuan klien. 5.5 Kebersihan Lingkungandan Fasilitas Untuk menjaga kebersihan digunakan prosedur yang memadai untuk kebersihan rutin (harian, mingguan dan bulanan) dan disinfeksi permukaan lingkungan serta benda lain yang sering disentuh sehingga menjadi kegiatan berkala yang tetap. Adapun beberapa hal yang mesti menjadi perhatian adalah sebagai berikut: a) Kasur, bantal dan guling dijemur berkala seminggu sekali (di luar jika terjadi kejadian khusus, seperti terciprat darah, terkena muntahan) b) Seluruh lantai ruangan termasuk dapur dan kamar mandi dibersihkan dengan disinfektan minimal sehari sekali c) Seluruh sanitasi di dalam fasilitas dilakukan pemeriksaan berkala dan dijaga kebersihannya. d) Pastikan semua ruangan mendapat sirkulasi udara yang baik dan cahaya matahari yang cukup, untuk menekan risiko penyebaran penyakit lainnya. Kewaspadaan khusus merupakan tambahan dari kewaspadaan universal yang terdiri dari kewaspadaan terhadap penularan melalui udara (airborne), kewaspadaan terhadap penularan melalui percikan (droplet) dan kewaspadaan terhadap penularan melalui kontak. 74 6. MANAJEMEN KRISIS Krisis adalah sebuah persepsi atau pengalaman dari sebuah situasi ataupun peristiwa dengan kesulitan yang tidak dapat ditoleransi, yang melebihi sumber daya atau mekanisme koping (cara menanggulangi) dari orang tersebut7. Yang perlu menjadi pemahaman akan situasi krisis di dalam program terapi gangguan penggunaan NAPZA adalah sebagai berikut: 1) Merupakan sebuah keadaan disorganisasi dan kebingungan dimana klien menghadapi frustrasi dan gangguan mendalam di dalam hidupnya. 2) Merupakan sebuah situasi mendesak atau periode jangka pendek dimana banyak emosi mendera, seperti rasa ketidakpastian yang tinggi, ketakutan, kehilangan, kesedihan, dan lain-lain. 3) Merupakan sebuah keadaan emosional dalam merespon gangguan di dalam kehidupan klien, namun bukan pada gangguan itu sendiri. 4) Krisis adalah sebuah bahaya—merupakan sebuah ancaman yang dapat menguasai klien; untuk klien di dalam pemulihan, dan dapat menyebabkan klien menjadi relapse. 5) Krisis merupakan sebuah kesempatan ketika seorang klien dapat menjadi lebih terbuka (menerima) pada intervensi teraputik; hal ini dapat menanamkan benih untuk perubahan yang positif dan pertumbuhan pribadi. Manajemen krisis adalah serangkaian kegiatan, prosedur ataupun strategi yang dilakukan untuk dapat meminimalisir dan mengurangi risiko terjadinya krisis. Dalam pengertian lain, manajemen krisis adalah proses dimana konselor atau petugas rehabilitasi memfasilitasimaupun memberikan bantuan segera kepada klien yang berada dalam kondisi krisis, untuk dapat memecahkan masalah yang dia hadapi, 7 James, R. (2008). Crisis intervention strategies, 6th ed. (p.3). Belmont, CA: Thomson. 75 dan untuk membangun kembali stabilitas di dalam hidupnya. Yang mencakup kondisi krisis itu sendiri adalah suatu keadaan yang berbahaya (menderita sakit); parah sekali, keadaan yang genting, dan situasi gawat darurat. Dalam kaitannya dengan masalah kesehatan, krisis dapat diartikan sebagai suatu keadaan yang genting dan parah serta membahayakan nyawa atau memiliki kemungkinan memberikan dampak serius terhadap kesehatan seseorang, sehingga perlu mendapatkan bantuan segera. Manajemen krisis dapat dilakukan mulai dari proses persiapan, penanganan saat terjadi krisis, tindak lanjut penanganan krisis maupun fase setelah pemulihan krisis. Manajemen krisis bersifat segera, jangka pendek, dan dengan waktu yang terbatas.Konselor dan petugas lain yang membantu harus mengikuti prosedur untuk memastikan keefektifan terapi klien dan keselamatan keduanya(klien dan konselor). Manajemen krisis dalam hal ini dilakukan oleh lembaga dan para petugas pelaksana progam. Di dalam buku panduan ini, manajemen krisis yang dibahas terbatas pada situasi berikut: 6.1 Krisis terkait penggunaan NAPZA Yang dimaksud dengan situasi krisis penggunaan NAPZA adalah suatu kondisi genting atau kejadian gawat darurat, baik fisik maupun psikis, akibat penggunaan NAPZA yang dapat mengancam kehidupan diri sendiri maupun orang lain. Tujuan dilakukannya intervensi manajemen krisis ini adalah untuk: 1) Mengatasi keadaan akut (termasuk keadaan gaduh gelisah). 2) Memberikan bantuan hidup dasar. 3) Meminimalkan angka kecacatan. 4) Menurunkan angka kematian akibat kondisi akut yang diderita. Situasi krisis dapat dibagi menjadi beberapa situasi dan tahapan intervensi: 76 6.1.1 Situasi Intoksikasi NAPZA di Dalam Fasilitas Intoksikasi dalam konteks ini adalah jika klien, petugas maupun pihak lainnya terbukti sedang menggunakan NAPZA atau dalam keadaan “mabuk” di dalam fasilitas program. Hal ini perlu ditindaklanjuti karena menjadi hal kontra-produktif dengan tujuan terapi, dan dapat berefek negatif pada program atau klien itu sendiri. Tahapan yang perlu dilakukan antara lain adalah sebagai berikut: a) Jika terjadi pada klien Laporkan kepada petugas jaga, konselor atau petugas penanggung jawab dari klien. Apabila konselor atau petugas bersangkutan tidak berada di tempat, maka hubungi dan sampaikan mengenai situasi yang terjadi, dan petugas jaga hari itu menjadi pemegang kewenangan terhadap intervensi yang akan dilakukan. Apabila kondisi klien dirasa mengganggu klien lainnya (teler, rusuh, dll), tempatkan ia di dalam kamar terpisah dari kegiatan klien lainnya dan dengan supervisi petugas. Biarkan klien istirahat sejenak sampai pengaruh zatnya hilang (tidak teler lagi). Berikan asupan pendukung (air putih, teh hangat, dll) jika dibutuhkan. Apabila pengaruh zat telah hilang dan klien dapat diajak berbicara, maka persuasi dia untuk menceritakan kondisi yang terjadi (gunakan strategi wawancara motivasional). Ikuti prosedur selanjutnya! Jika kondisi klien tidak mengganggu (tidak teler, dll), maka lakukan prosedur “klarifikasi” dengan meminta klien menceritakan atau menulis (bila klien enggan bicara) tentang alasan, kronologis dan sumber klien bisa mengakses zat. Di sisi lain, petugas lain dibantu dengan klien pemegang jabatan (status holder) membentuk grup diskusi bersama klien untuk membahas kejadian tersebut. Gali segala sumber terkait yang dapat dijadikan rujukan untuk mengambil keputusan selanjutnya. Sampaikan kepada klien bahwa grup ini bersifat anonimus dan tidak untuk dibahas lagi di luar grup. Lakukan diskusi kasus (case conference) setelah mendapatkan cukup informasi yang valid. Tentukan mengenai intervensi selanjutnya yang tepat dan mendidik. 77 INGAT! Prinsip dasar dilakukannya kegiatan ini bukan untuk mencari kesalahan semata, tapi sebagai bahan evaluasi dan pencegahan selanjutnya. Apabila sudah dilakukan pendekatan dan klien tidak mau mengakui perbuatannya, maka hubungi orang tua atau walinya, dan minta mereka untuk menjemput atau memberikan ijin untuk pulang paksa (pulang karena kemauan klien) tanpa dijemput. Lakukan sesuai dengan prosedur klien pulang/mengundurkan diri. b) Jika terjadi pada petugas Kumpulkan informasi dari pihak-pihak yang mengetahui kronologis kejadian tersebut. Panggil petugas bersangkutan ke ruangan kerja, lakukan pertemuan terbatas (petugas bersangkutan, mayor on duty, koordinator program atau supervisor klinis) untuk membahas situasi tersebut, dengan dipimpin oleh petugas paling berwenang pada saat itu. Minta ia menulis “klarifikasi” atas situasi dan perbuatannya tersebut. Apabila ia masih dalam keadaan teler, lakukan sama seperti strategi dengan klien di atas. Tunggu sampai pengaruh zat telah hilang dan kemudian baru panggil ia ke dalam pertemuan terbatas tersebut. Setelah pertemuan selesai, buat resume atau laporan mengenai pertemuan tersebut disertai dengan kelengkapan lainnya untuk diserahkan ke pihak manajemen (wewenang atau posisi di atas koordinator program). Selama menunggu keputusan keluar dari pihak manajemen, tawarkan kepada petugas bersangkutan untuk menjalani terapi (detoksifikasi, dll) jika membutuhkan. Apabila ia tidak mengalami sindrom putus zat, berikan skorsing (dirumahkan) sementara sampai keputusan keluar. c) Jika terjadi pada pihak lainnya Situasi dimaksud adalah ketika ada tamu, pengunjung atau pihak lain yang sedang ada keperluan di dalam fasilitas rehabilitasi menunjukkan gejala atau terbukti dalam kondisi intoksikasi zat. Jika ini terjadi maka intervensi yang dilakukan dapat dengan hal berikut: 78 Minta ia secara baik-baik untuk segera meninggalkan fasilitas. Jika menolak, maka segera hubungi pihak keamanan setempat atau kepolisian. 6.1.2 Situasi Overdosis Terkait NAPZA Tahapan yang perlu dilakukan antara lain adalah sebagai berikut: a) Jika yang bersangkutan tampak tegang dan panik, (umumya terjadi pada intoksikasi amfetamin, LSD, ekstasi), maka: Tenangkan dan yakinkan mereka. Jelaskan bahwa perasaan tegang dan panik akan hilang dengan sendirinya jika rileks. Jauhkan dari keramaian, suara bising dan cahaya terang. Jika terdapat indikasi keadaan hiperventilasi (nafas terengah-engah), usahakan mereka untuk dapat rileks, dan tarik nafas panjang b) Jika yang bersangkutan merasa sangat mengantuk (umumnya merupakan risiko dari penggunaan heroin, alkohol, tranquiliser/obat penenang dan zat yang mudah menguap), yang perlu dilakukan adalah: Hubungi ambulans secepatnya. Sembari menghubungi ambulans, buat klien tetap dalam keadaan sadar, tapi jangan mengguncang tubuhnya atau mengagetkannya, terutama jika dia mengkonsumsi lem atau solven lainnya. Tempatkan klien pada posisi recovery (terdapat pada lampiran) dan ajak dia bicara. Jangan pernah memberikan kopi (atau kafein lainnya) untuk merangsang kesadarannya, karena bisa membuat zat yang dikonsumsi bekerja lebih cepat. Jangan pernah memberikan atau menyuntikkan larutan garam, memaksa untuk meminum air, menyundut rokok maupun memukul-mukul bagian tubuh orang yang sedang mengalami overdosis. Hal itu hanyalah mitos dan justru akanmembahayakan kondisinya! 79 PERHATIAN!!! Tahapan berikut ini hanya dilakukan oleh petugas kesehatan maupun petugas terlatih lainnya Posisi recovery Jika klien pingsan namun masih bernafas: a) Naikkan salah satu lengan ke arah atas, b) tekuk salah satu kaki sementara kaki yang lain lurus c) (dalam keadaan berbaring) Balikkan posisi klien ke samping, lengan yang lain letakkan di bawah pipi. d) Tetap bersamanya, awasi napasnya, dan minta orang lain untuk menghubungi ambulans. e) Jangan lakukan posisi recovery ini pada klien yang mengalami cedera leher atau kepala 80 Gambar.2 Posisi Recovery Jika suhu tubuh klien meninggi dan mengalami dehidrasi (kekurangan cairan): Beberapa jenis zatdapatmempengaruhi kontrol suhu tubuh. Jika terindikasi tandatanda seperti kram, pingsan, sakit kepala dan lelah secara tiba-tiba, maka yang perlu dilakukan adalah: 1) Pindahkan klien ke tempat yang sepi dan sejuk (bawa keluar kadang lebih baik). 2) Lepaskan pakaian yang berlebihan dan dinginkan suhu tubuhnya. 3) Dorong klien untuk minum air putih sedikit demi sedikit. 4) Jika gejala masih muncul, panggil ambulans secepatnya dan pastikan ada orang yang menemani. 81 Kuncinya adalah menyeimbangkan antara intake cairan dan banyaknya cairan yang keluar, sehingga sekaligus menurunkan suhu tubuh! Jika klien pingsan dan kehilangan kesadaran Yang perlu dilakukan: 1) Tempatkan mereka pada posisi recovery 2) Periksa nafasnya. Persiapkan diri untuk memberikan nafas buatan (resusitasi mulut ke mulut) 3) Hubungi ambulans secepatnya 4) Hangatkan tubuhnya, tapi jangan terlalu panas 5) Jika klien tidak sadarkan diri, jangan berikan cairan karena kemungkinan bisa tersedak! Jika klien tidak bernafas atau denyut jantung dan nadi lemah Pada saat klien ditemukan dalam keadaan tidak bernafas, Anda harus bertindak cepat. Secepat mungkin panggil ambulans, untuk meningkatkan kemungkinan selamat. Sementara menunggu datangnya ambulans, anda dapat meningkatkan kemungkinan klien bertahan dengan cara membersihkan jalan napasnya kemudian bantu untuk memperlancar aliran darah dengan memasukkan oksigen ke seluruh tubuh untuk mengaktifkan fungsi organ vital. Ini disebut dengan Pijat Jantung (cardiac massage), yaitu dengan cara berikut: 1) Bersihkan jalan napas Panggil ambulans secepatnya Baringkan klien Cepat buka mulutnya dan keluarkan benda asing yang mungkin ada di dalam mulut dan usahakan untuk dimuntahkan Donggakkan kepalanya, angkat dagu perlahan untuk membuka jalan napas 2) Pijat Jantung (cardiac massage) Letakkan kedua tangan tepat di atas tulang dada turun ke arah tulang iga (kira-kira di antara kedua puting susu) 82 Tekan dengan kuat dan lembut kira-kira sekitar 80 kali per menit Pijat jantung sangatlah melelahkan, jadi dapat dilakukan bergantian setiap beberapa menit Anda dapat memberikan napas buatan setelah setiap 30 tekanan pada jantung (cardiac compressions) sampai ambulans datang dan mengambil alih 3) Pemberian Napas Buatan Tutup cuping hidung klien dengan jari-jari anda Tarik napas panjang dan letakkan mulut anda ke mulutnya Tiup kan udara ke mulutnya sampai dadanya mengembang Ulangi beberapa kali Hal-hal yang tidak boleh dilakukan pada orang yang mengalami overdosis adalah sebagai berikut: 1. Mencoba mendirikan dan menariknya untuk berjalan. 2. Menyiram dan memandikan dengan air. 3. Menyuntikkan cairan apapun ke dalam tubuh . 4. Meninggalkan seorang diri. PERHATIAN! Hal ini dilakukan hanyaoleh petugas terlatih yang sudah pernah mendapatkan pelatihan terkait hal ini sebelumnya. Jika tidak memungkinkan, maka pangil bantuan medis dan lakukan langkah dasar sederhana saja, sementara menunggu bantuan datang. 6.2 Situasi Percobaan Bunuh Diri Percobaan bunuh diri adalah usaha yang dilakukan untuk mengakhiri hidup seseorang. Upaya ini bisa melalui berbagai cara, mulai dari memotong urat nadi, menggantung diri, meminum insektisida ataupun obat-obatan dalam jumlah banyak dan lain-lain. Percobaan bunuh diri merupakan hal yang paling dikhawatirkan dari kondisi depresi yang dialami seseorang. Tujuan dilakukannya intervensi ini adalah sebagai berikut: 83 Mempersiapkan petugas untuk tanggap dalam menangani kejadian percobaan bunuh diri. Menekan tingkat risiko bunuh diri, salah satunya melalui sarana dan prasarana yang mungkin dapat menjadi alat dalam melakukan usaha percobaan bunuh diri. Mengevaluasi kegiatan dalam program klien, yang mungkin terlewat atau kurang mendapatkan perhatian lebih sehingga memberikan dampak bagi klien. Tahapan yang Harus Diketahui: a. Pelajari tanda-tanda peringatan bunuh diri Umumnya seseorang memberikan tanda-tanda peringatan sebelum dia melakukan upaya bunuh diri, namun terkadang orang lain di sekitarnya mengabaikan tanda-tanda ini. Tanda-tanda peringatan ini diantaranya adalah sebagai berikut: Ada wacana untuk mengakhiri hidup Selalu bicara mengenai kematian Memberi komentar yang mengindikasikan keputus-asaan, ketidakberdayaan, tidak berguna dan lain-lain Bicara seperti misalnya: “semua lebih baik, jika saya tidak ada” atau “ saya ingin mati saja” Perasaan sedih yang mendalam (depresi) Perubahan drastis dan tiba-tiba merasa sangat sedih, kemudian berubah menjadi tenang atau bahkan terlihat senang. Ada keinginan untuk mati dan bertindak mengarah pada kematian misalnya menyetir ugal-ugalan Untuk itu hal yang harus dilakukan antara lain adalah hal berikut: Jangan pernah anggap remeh tanda-tanda peringatan tersebut Dengarkan apa yang dikatakannya Beranikan diri untuk menanyakan apa rencana mereka, tapi jangan berdebat Biarkan dia tahu bahwa ada orang lain yang peduli akan keadaannya 84 Cari bantuan professional Dukungan sesama sangat penting b. Jika klien ditemukan telah melakukan percobaan bunuh diri dan masih menunjukkan tanda kehidupan, maka perlu segera dilakukan hal berikut: 1) Periksa jalan napas (terutama jika klien berusaha menggantung dirinya, lepaskan semua ikatan, dan jika perlu berikan napas buatan) 2) Prosedur intoksikasi NAPZA (jika klien mengkonsumsi insektisida atau NAPZA dalam jumlah banyak) 3) Periksa jika ada perdarahan hebat (terutama bagi klien yang berusaha memotong urat nadi): Balut dengan kain pada bagian yang luka Pastikan balutan cukup kuat untuk menghentikan pendarahan Usahakan menekan balutan sekitar 10 menit Jika kain yang dipakai dipenuhi dengan darah, jangan lepas balutan, ambil kain yang lain untuk menambah balutan. Usahakan posisi luka berada lebih tinggi dari jantung untuk menghindari lebih banyaknya pendarahan. Jika perlu baringkan klien. Jika pendarahan tidak berhenti, tekan bagian luka lebih kuat lagi dan bahkan tambahkan menekan di titik-titik yang lain, seperti misalnya jika pendarahan di pergelangan tangan, maka tekan lengan bagian atas. Waspadai terjadinya tersedak. Segera panggil ambulans dan rujuk ke Rumah sakit atau fasilitas pelayanan kesehatan terdekat c. Jika klien ditemukan telah bunuh diri dan tidak lagi menunjukkan tanda kehidupan, perlu segera dilakukan hal berikut: 1) Kontak petugas keamanan dan petugas kepolisian segera, jangan memindahkan mayat sebelum mendapatkan izin dari petugas kepolisian. 2) Jaga jangan sampai barang bukti hilang atau rusak. 85 3) Buat berita acara kematian. 4) Lakukan pertemuan kelompok untuk mengatasi perasaan shock yang mungkin dialami para klien lainnya. Biarkan setiap anggota, baik staf maupun klien menumpahkan perasaannya agar peristiwa bunuh diri tersebut tidak membawa dampak psikologis yang berkepanjangan. 5) Bagi klien yang tinggal sekamar dengan pelaku bunuh diri, dapat dipindahkan sementara waktu atau ditemani oleh klien senior maupun petugas lainnya yang dalam kondisi stabil, sehingga dampak psikologis dapat dikendalikan seoptimal mungkin. 86 Tabel.7 Pohon Keputusan: Penilaian dan Penanganan Risiko Bunuh Diri Tanda-tanda peringatan Faktor-faktor risiko Tidak ya Ya Monitor tanda peringatan disaat terindikasi secara klinis Pengumpulan informasi Risiko terkini Tidak Ya/mungkin Akses regular Akses segera Supervisi - Konsultasi Supervisi - Konsultasi Ambil tindakan yang tepat Monitor berkelanjutan dan Perkuat factor protektif sepanjang terapi Perluas Tindakan yang tepat Sumber: Center for Substance Abuse Treatment. (2009). Addressing suicidal thoughts and behaviors in substance abuse treatment.Treatment Improvement Protocol (TIP) Series 50.HHS Publication No. (SMA) 09-4381. Rockville, MD: Substance Abuse and Mental Health Services Administration. 87 6.3 Situasi Perkelahian atau Tindak Kekerasan Prosedur penanganan situasi perkelahian atau tindak kekerasan adalah usaha untuk mencegah dan mengatasi klien maupun petugas di dalam fasilitas yang terlibat dalam tindak perkelahian atau tindak kekerasan lainnya yang dapat mengganggu keberlangsungan program. Penanganan yang dilakukan diharapkan dapat mengatasi respons marah klien dan membatasi agar respons tersebut tidak meluas. Tahapan pelaksanaan 1) Bersikaplah selalu tenang dan sesantai mungkin. 2) Membuat kontak mata dengan klien maupun petugas yang agresif, karena kontak mata menunjukkan keseriusan kita dalam menangani permasalahannya. 3) Katakan bahwa Anda mencoba untuk membantunya dalam mengatasi kemarahan dan kegelisahannya, mintalah klien atau pelaku tersebut untuk mengatakan apa yang dirasakannya. 4) Segera setelah kondisi lebih tenang, lakukan pembicaraan lebih lanjut. 5) Apabila yang bersangkutan tidak dapat lebih tenang dan mengamuk, lakukan fiksasi, dengan membawanya pada ruangan yang aman tanpa ada benda tajam atau benda-benda lain yang memungkinkan terjadinya bunuh diri atau melukai orang lain. 6) Pada beberapa kasus dibutuhkan farmakoterapi untuk membantu dalam menenangkan diri. Lakukan konsultasi dokter untuk penatalaksanaan farmakoterapi. 7) Apabila agresivitas telah berhasil diatasi, lakukan konseling lanjutan, gali permasalahan yang utama, dan waspadai kemungkinan masalah-masalah kejiwaan yang dialaminya. 6.4 Situasi Bencana Alam Prosedur evakuasi bencana adalah serangkaian usaha atau strategi yang dilakukan untuk memindahkan korban dari lokasi yang tertimpa bencana ke wilayah yang lebih aman untuk mendapatkan pertolongan. Mengingat letak geografisnya, Indonesia 88 merupakan wilayah yang rawan terhadap terjadinya bencana alam, baik itu gempa bumi, Tsunami dan gunung meletus. Berbagai perbuatan manusia yang mengakibatkan bencana seperti banjir, kebakaran dan tanah longsor pun sering kali dialami. Oleh sebab itu seluruh staf, dan residen perlu dipersiapkan untuk mengantisipasi terjadinya bencana. Tujuan dibuatnya prosedur evakuasi bencana adalah sbb.: 1) Mempersiapkan langkah-langkah yang harus dilakukan pada saat terjadinya bencana 2) Mempersiapkan seluruh penghuni pusat penyelenggaraaan program TC untuk dapat saling memberikan bantuan terhadap orang lain di sekitarnya. 3) Mengetahui dan mempersiapkan sarana dan prasarana untuk antisipasi terjadinya bencana Tahapan pelaksanaan a. Perlu disepakati bersama titik evakuasi sebagai tempat berkumpul pada saat terjadinya bencana. Titik evakuasi harus berada di lapangan terbuka atau di luar gedung atau fasilitas yang lebih minim risiko akan runtuhnya bangunan. b. Prosedur evakuasi standar harus dibuat secara tertulis dan ditempatkan di tempat-tempat yang mudah dibaca semua orang. c. Memiliki alarm, lonceng atau minimal peluit sebagai tanda khas bahaya bila bencana datang. Bunyikan tanda bahaya untuk memberi tanda dilakukannya prosedur penyelematan bencana. d. Memiliki dan mencatat nomor telepon penting sebagai rujukan dalam meminta bantuan. Minta bantuan kepada petugas terkait. e. Sosialisasi dan latihan simulasi evakuasi bencana perlu dilakukan secara berkala. f. Seluruh sarana dan prasarana pencegahan bencana sudah dipersiapkan dan diperiksa kelayakannya (misalnya, tabung pemadam kebakaran, perahu karet) g. Di setiap lantai gedung perlu dibuat jalur evakuasi yang cukup lebar untuk menampung banyak orang berlari dalam satu waktu. 89 7. MONITORING DAN EVALUASI Monitoring dan evaluasi merupakan 2 (dua) kegiatan yang berbeda, namun saling berkaitan satudengan lainnya. Kerangka kerja monitoring dan evaluasi terdiri dari input (terkait ketersedian sumber daya), process (pelaksanaan kegiatan), output (hasil langsung dari kegiatan), outcome (hasil jangka menengah) dan outcome (hasil jangka panjang). Monitoring merupakan proses yang terus menerus untuk mendapatkan umpan balik secara teratur tentang kemajuan pelaksanaan kegiatan dan pencapaian output dalam rangka pencapaian tujuan. Indikator-indikator monitoring terutama adalah yang menunjukan hasil langsung (output) dari suatu kegiatan. Tujuan monitoring adalah untuk memastikan bahwa pelaksanaan berjalan sesuai dengan perencanaannya. Data yang diperoleh dari monitoring dapat menjadi landasan dalam mengambil keputusan atau tindakan selanjutnya yang diperlukan. Tindakan tersebut diperlukan seandainya hasil monitoring menunjukkan adanya hal atau kondisi yang tidak sesuai dengan yang direncanakan semula. Evaluasi adalah penilaian yang sitematis dan independen, yang dilakukan saat setelah kegiatan selesai atau pada tengah kegiatan yang sedang berlangsung. Manfaatnya untuk menentukan sejauh mana efektifitas program. Indikator-indikator evaluasi adalah yang menggambarkan hasil jangka menengah (outcome) ataupun hasil jangka panjang (impact). Sebagai gambaran, di bawah ini adalah skema kerangka Monitoring & Evaluasi PABM. 90 Tabel.8 Kerangka Monitoring dan Evaluasi Input Proses - Lembaga penyelenggara PABM -Pengembangan sistem rujukan -Kebijakan lokal yg tersedia utk penguatan implementasi program PABM - Promosi , sosialisasi dan advokasi terkait PABM -Yankes yg menyediakan jejaring dg layanan PABM -Pelatihan kapasitas petugas PABM -Kegiatan terapi yang dilaksanakan -Kegiatan pemberdayaan klien dan keluarga yang dlaksanakan -Kegiatan terminasi dan pasca rawat yang dilaksanakan -Supervisi dan bimtek -Pedoman PABM Output Outcome Impact Komponen 1: •Jml stakeholders yg mengikuti sosialisasi dan edukasi PABM •Jml LSM yg menjalankan PABM •Jml lembaga/institusi menampung klien setelah program •Jml rujukan yg terbangun Meningkatya Pengetahuan -Adiksi, -Napza -HIV&AIDS Meningkatnya Keterampilan hidup: -Manajemen resiko diri -Komunikasi -Pemecahan masalah dan pengambilan keputusan Meningkatnya Perilaku Aman -Penggunaan Napza -Perilaku aman pada setiap hub seks beresiko Peningkatan kualitas hidup dan kesehatan pada penasun (psikososial dan klinis) Komponen 2: •Jumlah klien yang menyelesaikan fase intensif •Jumlah klien yang menyelesaikan fase non intensif •Jumlah klien yang dirujuk ke layanan lainnya •Jml tenaga pelaksana PABM yang dilatih •Jml lembaga yang disupervisi Lingkungan yg kondusif 7.1 Monitoring Dalam pelaksanaan program PABM, kegiatan monitoring dilakukan melalui pengumpulan data yang terdiri dari hal-hal berikut: 1. Pengumpulan data jumlah klien yang menyelesaikan fase intensif dan jumlah klien yang menyelesaikan fase non-intensif serta jumlah klien yang dirujuk ke layanan lain, pada setiap bulan pelaporan. Data ini ditampung oleh form 1.1G (terlampir) yang setiap bulannya dilaporkan ke KPA Provinsi maupun KPA Nasional. Periode pelaporan setiap bulannya adalah dari tanggal 26 bulan sebelumnya sampai dengan tanggal 25 bulan pelaporan. Data di form 1.1G merujuk pada data base klien PABM yang ada di setiap lembaga mitra pelaksana PABM. 2. Data base klien PABM yang dikelola setiap lembaga. Di dalamnya setiap klien memiliki informasi: Identitasklien, Jenis NAPZA yang paling sering digunakan dalam 30 hari sebelum masuk PABM, pengalaman ikut terapi lainnya, tanggal mulai dan selesai fase intensif maupun fase non-intensif, hasil 91 pengukuran WHOQoL (skala 1-100), ASI dan BBV TRAQ (sebelum masuk fase intensif), berikut jumlah total rujukan dan keterangan terkait. Data ini ditampung oleh (soft-copy) form rekapitulasi data PABM.xls (terlampir) yang dikelola oleh setiap lembaga PABM. Data ini sebaiknya diperbaharui minimal setiap bulan selama masa program berlangsung. 3. Laporan narasi yang dibuat setiap 3 (tiga) bulan kalender. Kerangka penulisan laporan ini mengacu pada file laporan narasi tiga bulanan.doc. (terlampir). Laporan ini dilengkapi dengan lampiran-lampiran form 1.1G (setiap bulan) dan form rekapitulasi data PABM (terbaharui), dikirim ke KPAP dan KPAN, baik softcopy maupun hard-copy sebelum tanggal 30 (cap pos). Pengumpulan data monitoring yang menggunakan instrumen standar (WHO QoL, ASI dan BBV TRAQ) dan kapan dilakukannya, dapat dilihat pada skema di bawah ini. Gambar.3 Alur Monitoring Pengumpulan Data Asesmen Awal Prog PABM Akhir Prog PABM Fase Intensif (2 bulan) 0 bulan Fase Non-Intensif (4 bulan) Setelah bulan ke 2 Bulan ke 6 Individual & Grup Konseling dan layanan lainnya Penapisan Riwayat Penggunaan Napza Riwayat Perawatan WHO QoL WHO QoL ASI WHO QoL ASI BBV Traq Penyimpanan laporan, catatan dan dokumen tertulis dilaksanakan oleh petugas layanan/lembaga layanan, wajib disimpan pada tempat atau lemari khusus yang dapat menjaga keamanan laporan tersebut. Laporan (dokumen hidup) tersebut disimpan sekurang-kurangnya selama 3 (tiga)tahun terhitung dari tanggal 92 pembuatan. Setelah melwati masa tersebut, semua laporan dapat dimusnahkan dengan tetap menyimpannyadengan format elektronik (soft copy). 7.2 Evaluasi Untuk dapat melihat gambaran pelaksanaan program hingga luaran program terhadap perilaku klien, maka diperlukan suatu evaluasi proses dan evaluasi hasil. Tujuan Evaluasi Mengkaji cakupan program, standar pelaksanaan dan kebijakan program, persepsi klien dan staf Mengkaji persepsi pemangku kepentingan di bidang NAPZA dan HIV/AIDS terhadap PABM Evaluasi hasil ditujukan untuk: Memberikan gambaran retensi klien dalam program PABM Mengukur perubahan kualitas hidup klien & derajat keparahan adiksi klien Memberikan gambaran perilaku berisiko Evaluasi dilakukan setiap 2 tahun sekali. Evaluasi dilakukan dengan menganalisis data primer maupun data sekunder. Data primer diperoleh dari responden evaluasi, sedangkan data sekunder diperoleh dari lembaga pelaksana PABM, khususnya data base klien PABM. Data yang diambil adalah data tentang: World Health Organization’s Quality of Life (WHOQoL, skala 1-100) Addiction Severity Index (ASI), baik skala derajat keparahan maupun skor komposit BBV TRAQ Data demografis Selain pada klien PABM, evaluasi juga dilakukan pada konselor, penanggungjawab PABM, untuk mengukur sikap konselor terhadap program pemulihan adiksi NAPZA, mengukur tingkat kepuasan kerja, mendokumentasi pelaksanaan program dan kebijakan yang berlaku. Evaluasi juga dilakukan pada pemangku kepentingan untuk mengukur persepsi terhadap PABM. 93 PENUTUP Buku panduan ini disusun untuk memudahkan petugas dalam melaksanakan program PABM yang berdampak pada peningkatan kualitas layanan program, melindungi keamanan petugas, klien maupun program itu sendiri. Semoga buku ini dapat memberikan manfaat seluas-luasnya bagi semua pihak. Tentu juga proses penyusunan maupun segala yang terkandung di dalam buku ini tidak luput dari segala kekurangan maupun kekeliruannya, untuk itu kami memohon maaf atas kekhilafan yang terjadi. Demikian dan semoga tingkat penyalahgunaan Napza dan jumlah kasus HIV maupun AIDS di Indonesia dapat semakin menurun setiap tahunnya, sehingga semakin banyak generasi penerus bangsa Indonesia yang dapat diselamatkan. 94 95 96 97 98 99 100 101 102 103 104 105 106 107 108 109 110 111 5. Form BBV Traq A. PERILAKU BERISIKO (BBV-TRAQ) Instruksi Perhatikan pertanyaan berikut ini dengan seksama dan jawablah setiap pertanyaan dengan cermat dan sejujurnya sebagaimana yang anda alami. Seluruh pertanyaan mengacu pada perilaku anda selama 30 hari terakhir sebelum anda diwawancarai ini Seluruh informasi yang anda berikan sepenuhnya bersifat rahasia. Subbag 1: PERILAKU MENYUNTIK Lingkarilah jawaban anda atas pilihan jawaban yang menurut anda paling sesuai dengan keadaan diri anda pada kurun waktu 30 hari terakhir sebelum anda diwawancarai ini R.1.1 Dalam 30 hari terakhir, berapa kali anda memegang jarum/tabung suntik bekas orang lain (untuk membuang, melepas jarum dari tabungnya) sewaktu anda mempunyai luka/borok di jari atau tangan anda? Sama sekali tidak Sekali Dua kali 3 - 5 kali 6 - 10 kali Lebih dr 10 kali R.1.2 Dalam 30 hari terakhir, berapa kali anda menghisap atau menjilat sisa heroin anda dari sendok atau tempat pencampur lainnya yang juga telah digunakan oleh orang lain? Sama sekali tidak Sekali Dua kali 3 - 5 kali 6 - 10 kali Lebih dr 10 kali R.1.3 Dalam 30 hari terakhir, berapa kali anda menjilat atau menghisap filter yang juga telah digunakan oleh orang lain? Sama sekali tidak Sekali Dua kali 3 - 5 kali 6 - 10 kali Lebih dr 10 kali R.1.4 Dalam 30 hari terakhir, berapa kali anda menjilat atau menghisap pemompa tabung suntik yang telah digunakan oleh orang lain? Sama sekali tidak R.1.5 Dua kali 3 - 5 kali 6 - 10 kali Lebih dr 10 kali Dalam 30 hari terakhir, berapa kali anda menyuntikkan Napza yang telah difilter dengan filter orang lain? Sama sekali tidak R.1.6a Sekali Sekali Dua kali 3 - 5 kali 6 - 10 kali Lebih dr 10 kali Dalam 30 hari terakhir, berapa kali anda menyuntikkan Napza yang dipersiapkan dengan sendok bekas atau tempat pencampur bekas orang lain? Sama sekali tidak Sekali Dua kali 3 - 5 kali 6 - 10 kali Lebih dr 10 kali (Langsung ke pertanyaan R.1.7) R.1.6b Pada kejadian tersebut di atas, seberapa sering anda membersihkan sendok atau tempat pencampur lain sebelum menggunakannya? Tdk pernah R.1.7 Kadang-kadang Seringkali Setiap kali Dalam 30 hari terakhir, berapa kali anda menyuntikkan Napza yang dipersiapkan dengan air yang telah digunakan oleh orang lain? Sama sekali tidak R.1.8 Jarang Sekali Dua kali 3 - 5 kali 6 - 10 kali Lebih dr 10 kali Dalam 30 hari terakhir, berapa kali anda menyuntikkan Napza yang telah terkontaminasi dengan jarum dan tabung suntik bekas orang lain? Sama sekali tidak Sekali Dua kali 3 - 5 kali 112 6 - 10 kali Lebih dr 10 kali R.1.9a Dalam 30 hari terakhir, berapa kali anda menyuntikkan Napza yang dipersiapkan segera setelah ‘membantu’ orang lain menyuntik (menyuntikkan mereka, memegang lengan mereka, memegang jarum & tabung suntik bekas, menyentuh tempat penyuntikan untuk meraba vena, mengusap darah atau untuk menghentikan darah)? Sama sekali tidak Sekali Dua kali 3 - 5 kali 6 - 10 kali Lebih dr 10 kali (Langsung ke pertanyaan R.1.10a) R.1.9b Pada kejadian itu, seberapa sering anda mencuci tangan anda sebelum menyiapkan peralatan & heroin/putau anda? Tdk pernah Jarang Kadang-kadang Seringkali Setiap kali R.1.10a Dalam 30 hari terakhir, berapa kali anda menyuntikkan heroin yang dipersiapkan oleh orang lain yang telah menolong atau menyuntikkan orang lainnya lagi? Sama sekali tidak Sekali Dua kali 3 - 5 kali 6 - 10 kali Lebih dr 10 kali (Langsung ke pertanyaan R.1.11a) R.1.10b Pada waktu itu, seberapa sering orang yang mempersiapkan peralatan & heroin/putau tersebut mencuci tangannya terlebih dahulu sebelum mempersiapkan peralatan? Tdk pernah Jarang Kadang-kadang Seringkali Setiap kali R.1.11a Dalam 30 hari terakhir, berapa kali anda disuntikkan oleh orang lain yang telah menyuntikkan atau menolong orang lain menyuntik? Sama sekali tidak Sekali Dua kali 3 - 5 kali 6 - 10 kali Lebih dr 10 kali (Langsung ke pertanyaan R.1.12a) R.1.11b Pada waktu itu, seberapa sering orang tersebut mencuci tangannya sebelum menyuntikkan anda? Tdk pernah Jarang Kadang-kadang Seringkali Setiap kali R.1.12a Dalam 30 hari terakhir, berapa kali anda disuntikkan dengan menggunakan jarum & tabung suntik yang telah dipegang atau disentuh oleh orang lain yang telah menyuntik? Sama sekali tidak Sekali Dua kali 3 - 5 kali 6 - 10 kali Lebih dr 10 kali (Langsung ke pertanyaan R.1.13a) R.1.12b Pada waktu itu, seberapa sering mereka mencuci tangannya sebelum memegang jarum & tabung suntik yang anda gunakan? Tdk pernah R.1.13a Jarang Kadang-kadang Seringkali Setiap kali Dalam 30 hari terakhir, berapa kali anda menyuntik dengan jarum & tabung suntik bekas orang lain? Sama sekali tidak Sekali Dua kali 3 - 5 kali 6 - 10 kali Lebih dr 10 kali (Langsung ke pertanyaan R.1.14) R.1.13b Pada waktu itu, seberapa sering anda membilasnya dengan kombinasi pemutih konsentrasi penuh (mis. bayclean, sunklin, dll) dan air (mis. dengan metode ‘2x2x2’) sebelum anda menggunakannya? 113 Tdk pernah R.1.14 Kadang-kadang Seringkali Setiap kali Dalam 30 hari terakhir, berapa kali anda menyuntik dengan jarum & tabung suntik setelah orang lain menyuntikkan sebagian isinya pada dirinya terlebih dahulu? Sama sekali tidak R.1.15a Jarang Sekali Dua kali 3 - 5 kali 6 - 10 kali Lebih dr 10 kali Dalam 30 hari terakhir, berapa kali anda menyentuh daerah penyuntikkan anda (misal untuk meraba vena, membersihkan darah atau menghentikan pendarahan) segera setelah ‘menolong’ orang lain dalam masalah penyuntikkan ( mis. menyuntikkan mereka, memegang lengan mereka, memegang jarum &tabung bekas mereka; menyentuh tempat penyuntikan mereka utk meraba vena, menghapus darah atau menghentikan pendarahan)? Sama sekali tidak Sekali Dua kali 3 - 5 kali 6 - 10 kali Lebih dr 10 kali (Langsung ke pertanyaan R.1.16a) R.1.15b Pada kejadian itu, seberapa sering anda cuci tangan anda sebelum menyentuh daerah penyuntikkan? Tdk pernah R.1.16a Jarang Kadang-kadang Seringkali Setiap kali Dalam 30 hari terakhir, berapa kali orang lain pernah menyentuh tempat penyuntikan anda (mis. utk meraba vena, untuk menghapus darah atau menghentikan pendarahan)? Sama sekali tidak Sekali Dua kali 3 - 5 kali 6 - 10 kali Lebih dr 10 kali (Langsung ke pertanyaan R.1.17) R.1.16b Pada kejadian tersebut, seberapa sering orang tersebut mencuci tangannya sebelum mereka menyentuh tempat penyuntikan anda? Tdk pernah R.1.17 Setiap kali Sekali Dua kali 3 - 5 kali 6 - 10 kali Lebih dr 10 kali Sekali Dua kali 3 - 5 kali 6 - 10 kali Lebih dr 10 kali Dalam 30 hari terakhir, berapa kali anda tertusuk secara tidak sengaja oleh jarum suntik yang telah digunakan orang lain? Sama sekali tidak R.1.20a Seringkali Dalam 30 hari terakhir, berapa kali anda pernah menggunakan pengikat/torniket/pembebat (mis. torniket medis, tali, dasi, ikat pinggang, dll) yang telah digunakan orang lain? Sama sekali tidak R.1.19 Kadang-kadang Dalam 30 hari terakhir, berapa kali anda menyeka/mengelap daerah penyuntikan anda dengan benda-benda (mis. kapas, tissue, saputangan, handuk, dll) yang telah digunakan oleh orang lain? Sama sekali tidak R.1.18 Jarang Sekali Dua kali 3 - 5 kali 6 - 10 kali Lebih dr 10 kali Dalam 30 hari terakhir, berapa anda menggunakan ulang jarum & tabung suntik yang diambil dari tempat pembuangan bersama? Sama sekali tidak Sekali Dua kali 3 - 5 kali 6 - 10 kali Lebih dr 10 kali (Langsung ke Subbag 2:Perilaku Seksual) R.1.20b Pada kejadian itu, seberapa sering anda membilasnya dengan pemutihkonsentrasi penuh (mis. bayclean, sunklin, dll) sebelum menggunakannya kembali? Tdk pernah Jarang Kadang-kadang 114 Seringkali Setiap kali Subbag 2: PERILAKU SEKSUAL Pilihlah jawaban untuk setiap pertanyaan dengan melingkari pilihan jawaban yang Anda anggap paling sesuai dengan apa yang Anda alami selama 30 hari terakhir R.2.1 Dalam 30 hari terakhir, berapa kali anda melakukan hubungan seks vaginal yang tidak terlindungi (tidak pakai kondom) dengan orang lain (mis. penetrasi penis ke dalam vagina)? Sama sekali tidak R.2.2 Dua kali 3 - 5 kali 6 - 10 kali Lebih dr 10 kali Sekali Dua kali 3 - 5 kali 6 - 10 kali Lebih dr 10 kali Sekali Dua kali 3 - 5 kali 6 - 10 kali Lebih dr 10 kali Sekali Dua kali 3 - 5 kali 6 - 10 kali Lebih dr 10 kali Sekali Dua kali 3 - 5 kali 6 - 10 kali Lebih dr 10 kali Dalam 30 hari terakhir, berapa kali anda melakukan hubungan seks manual yang tidak terlindungi dengan orang lain (mis. jari dan tangan kontak dengan vagina, penis dan/atau anus) setelah menyuntik? Sama sekali tidak R.2.8 Sekali Dalam 30 hari terakhir, berapa kali anda melakukan hubungan seks manual yang tidak terlindungi dengan orang lain (mis. jari dan tangan kontak dengan vagina, penis dan/atau anus) selama menstruasi? Sama sekali tidak R.2.7 Lebih dr 10 kali Dalam 30 hari terakhir, berapa kali anda melakukan hubungan seks oral yang tidak terlindungi dengan orang lain (mis. bibir dan lidah kontak dengan vagina, penis dan atau anus)? Sama sekali tidak R.2.6 6 - 10 kali Dalam 30 hari terakhir, berapa kali anda melakukan hubungan seks anal yang tidak terlindungi dengan orang lain (mis. penetrasi penis ke dalam anus)? Sama sekali tidak R.2.5 3 - 5 kali Dalam 30 hari terakhir, berapa kali anda melakukan hubungan seks vaginal yang tidak terlindungi dengan orang lain (mis. penetrasi penis ke dalam vagina) tanpa pelumas? Sama sekali tidak R.2.4 Dua kali Dalam 30 hari terakhir, berapa kali anda melakukan hubungan seks vaginal yang tidak terlindungi dengan orang lain (mis. penetrasi penis ke dalam vagina) selama menstruasi? Sama sekali tidak R.2.3 Sekali Sekali Dua kali 3 - 5 kali 6 - 10 kali Lebih dr 10 kali Dalam 30 hari terakhir, berapa kali anda melakukan hubungan seks manual yang tidak terlindungi dengan orang lain (mis. jari dan tangan kontak dengan vagina, penis dan/atau anus) tanpa pelumas? Sama sekali tidak Sekali Dua kali 3 - 5 kali 6 - 10 kali Lebih dr 10 kali Subbag 3: PERILAKU PENETRASI KULIT LAINNYA Pilihlah jawaban untuk setiap pertanyaan dengan melingkari pilihan jawaban yang Anda anggap paling sesuai dengan apa yang Anda alami dalam 30 hari terakhir R.3.1 Dalam 30 hari terakhir, berapa kali anda kontak dengan darah orang lain (mis. melalui perkelahian, luka iris, melukai diri sendiri, kecelakaan, luka karena olahraga, pekerjaan, jerawat, hidung berdarah, dll)? Sama sekali tidak R.3.2 Sekali Dua kali 3 - 5 kali 6 - 10 kali Lebih dr 10 kali Dalam 30 hari terakhir, berapa kali anda ditatto oleh seseorang yang bukan pentatto profesional? Sama sekali tidak Sekali Dua kali 3 - 5 kali 115 6 - 10 kali Lebih dr 10 kali R.3.3 Dalam 30 hari terakhir, berapa kali anda ditindik (mis. telinga atau badan) oleh seseorang yang bukan penindik profesional? Sama sekali tidak R.3.4 3 - 5 kali 6 - 10 kali Lebih dr 10 kali Sekali Dua kali 3 - 5 kali 6 - 10 kali Lebih dr 10 kali Dalam 30 hari terakhir, berapa kali anda menggunakan sikat gigi orang lain? Sama sekali tidak R.3.6 Dua kali Dalam 30 hari terakhir, berapa kali anda menggunakan pisau cukur orang lain? (mis. pisau cukur sekali pakai, silet)? Sama sekali tidak R.3.5 Sekali Sekali Dua kali 3 - 5 kali 6 - 10 kali Lebih dr 10 kali Dalam 30 hari terakhir, berapa kali anda anda telah menggunakan peralatan kebersihan personal orang lain (mis. gunting kuku, kikir kuku, sisir, sikat gigi)? Sama sekali tidak Sekali Dua kali 3 - 5 kali 116 6 - 10 kali Lebih dr 10 kali INFORMASI LEMBAGA PELAKSANA PROGRAM PABM 2013 1. Ar Rahman, Palembang Jl. Tegal Binangun RT 35/10, Plaju Darat, Palembang 30267, Sumatera Selatan. Telp/Fax: +62 711 540 421 Email: [email protected] 2. Medan Plus, Medan Jl. Bunga Kantil No. 45, Pasar VII, Padang Bulan, Medan 20154, Sumatera Utara Telp: +62 61 8211 911 Email: [email protected] 3. KARISMA, Jakarta Jl. Kikir No. 72/56, Kampung Ambon, Pulogadung, Jakarta Timur 10270, DKI Jakarta (Kantor Manajemen). Telp/Fax: +62 21 7098 5480 / +62 21 475 6039 Jl. Layur Selatan No. 21, Jati, Pulogadung, Jakarta Timur, 13220, DKI Jakarta (Drop-in & Fasilitas Rehabilitasi Rawat Inap) Telp/Fax: +62 21 475 8242 Email: [email protected] Website: www.karisma.or.id 4. Karya Peduli Kita (KAPETA), Jakarta Jl. Warga No.5, Ulujami Raya, Jakarta Selatan 12250, DKI Jakarta (Kantor Manajemen) Telp/Fax: +62 21 735 9984 Jl. Pluto Dalam 1 No. 8, Villa Cinere Mas, Cinere (Fasilitas Rehabilitasi Rawat Inap). Telp/Fax: +62 21 964 89587 Jl. Asia Afrika Stadion Tenis I, Komplek GBK, Senayan, Jakarta Selatan 10270, DKI Jakarta (Drop-in & Fasilitas Rawat Jalan) Telp/Fax: +62 21 572 3868 Email: [email protected] Website: www.kapeta.org 117 5. Perkumpulan Komunitas Pemulihan Adiksi (PEKA), Bogor Jl. Sindang Barang Jero – Cifor No.50, Bogor 16117, Jawa Barat Telp/Fax: +62 251 8629430 Email: [email protected] Website: www.rumahpeka.org 6. Yayasan Harapan Permata Hati Kita (YAKITA), Ciawi Jl. Ciasin No. 21 – RT 01/ RW 10, Desa Bendungan, Ciawi, Bogor, Jawa Barat Telp/Fax: +62 251 824 3069/+62 251 824 3005 Email: [email protected] Website: www.yakita.org 7. Rumah Cemara, Bandung Jl. Gegerkalong Girang No.52, Bandung 40154, Jawa Barat Telp/Fax: +62-22-70794750/+62-22-2011550 Email: [email protected] Website: www.rumahcemara.org 8. YAKITA, Surabaya Jl. Taman Indah V No.31, Sidoarjo 60234, Jawa Timur Telp: +62 819 3818 0949 9. Yayasan Kesehatan Bali (YAKEBA), Bali Jl. Ciung Wanara IVB No.2, Renon, Denpasar 80226, Bali Telp/Fax: +62 361 223110 Email: [email protected] Website: www.yakeba.org 10. YAKITA, Bali Jl. Mohamad Yamin IX No. 9A, Denpasar 80226, Bali Telp/Fax: +62 361 231 879 Email: [email protected] 118 11. ORBIT, Surabaya Jl. Bratang Binangun 5C No.54, Surabaya 60284, Jawa Timur. Telp/Fax: +62 31 5044 014 Email: [email protected] Website: www.orbit.or.id 12. AKSI NTB, Mataram Jl. Jember III / 19b, BTN Taman Baru, Mataram 83127, Nusa Tenggara Barat. Telp/Fax: +62 370 635 526 Email: [email protected] Website: www.aksintb.com 119 DAFTAR PUSTAKA 1. American Psychiatric Association. (2010). Definition of a mental disorder: Proposed revision. APA DSM-V Development Website. Retrieved February 3, 2012 from http://www.dsm5.org 2. Asian Centre for Certification and Education of Addiction Professionals (ACCE), Colombo Plan (2011). Participant Manual Curriculum 4, Core Counseling Skill for Addiction Professionals. 3. Asian Centre for Certification and Education of Addiction Professionals (ACCE), Colombo Plan (2011). Participant Manual Curriculum 6, An Overview of Case Management for Addiction Professionals. 4. Centre for Substance Abuse Treatment. 2006. Detoxification and Substance Abuse Treatment. Treatment Improvement Protocol (TIP) Series 45. DHHS Publication No. (SMA) 08-4131. Rockville, MD: Substance Abuse and Mental Health Services Administration. 5. Hayes, H.R., & Queler, J.M. (2007). The social consequences of drug and alcohol abuse. In J.E. Lessenger & Roper, G.F. (eds). The Drugs Courts: A new approach to treatment and rehabilitation. New York: Springer (p.135). 6. IASC Guideline on Mental Health and Psychosocial Support in Emergency Setting, 2007. 7. Johnson, S.L. 2003. Therapist’s Guide to Substance Abuse Intervention. San Diego, California: Academic Press an imprint of Elsevier science. 8. Kementerian Kesehatan, 2010. Kepmenkes RI no. 420/MENKES/SK/III/2010 tentang Pedoman Terapi dan Rehabilitasi Komprehensif pada Gangguan Penggunaan NAPZA berbasis Rumah Sakit. 9. Kementerian Kesehatan, 2010. Kepmenkes RI no. 421/MENKES/SK/III/2010 tentang Standar Pelayanan Terapi dan Rehabilitasi Gangguan Penggunaan Napza. 10. Kementerian Kesehatan, 2007. Pedoman Teknis Penanggulangan Krisis Kesehatan Akibat Bencana, Departemen Kesehatan RI. 120 11. Kementerian Kesehatan Direktorat Jendral Pengendalian Penyakit dan Penyehatan Lingkungan (2006). Pedoman Pelaksanaan Pengurangan Dampak Buruk Penggunaan Narkotika, Psikotropika dan Zat Adiktif (NAPZA). 12. Martin, P.R., Weinberg, B.A., & Bealer, B.K. (2007). Healing Addiction. An integrated pharmacopsychosocial approach to treatment. Hoboken, N. Jersey: John Wiley & Sons, Inc. (p. 211-213). 13. MODUL 16, Pencegahan dan Penanganan Pertama Kejadian Over Dosis Heroin, Pelatihan Pemulihan NAPZA dan HIV Terpadu, UNODC, Bogor, 2010. 14. Pedoman Pemulihan Adiksi Berbasis Masyarakat, Komisi Penanggulangan AIDS Nasional 2011. 15. Pedoman Pelaksanaan Kewaspadaan Nasional di Pelayanan Kesehatan, Departemen Kesehatan Republik Indonesia, Direktorat Jendral Pemberantasan Penyakit Menular dan Penyehatan Lingkungan, Cetakan ke III, 2010. 16. Petunjuk Pelaksanaan Kesejahteraan Rakyat Lampiran Indonesia Peaturan No Menteri Koordinator 2/Per/Menko/Kesra/I/2007 Bidang tentang Kebijakan Nasional Penanggulangan HIV/AIDS Melalui Pengurangan Dampak Buruk Penggunaan Narkotika Psikotropika dan Zat Adiktif Suntik. 17. Pedoman Pelaksanaan Pengurangan Dampak Buruk Penggunaan Narkotika, Psikotropika dan Zat Adiktif (NAPZA), Departemen Kesehatan Direktorat Jendral Pengendalian Penyakit dan Penyehatan Lingkungan, 2006. 18. Tomlin, K.M, and Richardson, H. 2004. Motivational Interviewing and Stages of Change: Integrating Best Practices for Substance Abuse Proffesionals. Minnesota: Hazelden. 19. WHO. (2007). What is mental health? Retrieved on December 12, 2010, from http://www.who.int/features/qa/62/en/index.html. 20. WHO Western Pacific Region. 2006. Integration of Harm Reduction Into Abstinence-based Therapeutic Communities: a case study of We Help Ourselves, Australia. Geneva: WHO 121