- Komisi Penanggulangan AIDS

advertisement
Kata Pengantar
TIM PENYUSUN
Data Badan Narkotika Nasional per April 2013
menunjukkan perkiraan jumlah pengguna Napza
di Indonesia, yaitu sebanyak 4 juta orang.
Sebagian besar dari jumlah tersebut belum
tertangani
dengan
baik.
Kriminalisasi
dan
pemenjaraan yang sering ditimpakan kepad a
para pengguna Napza tidak menjadi solusi yang
optimal. Hal ini diperparah dengan tingginya
tingkat
hunian
Pemasyarakatan
didalam
yang
tidak
Lembaga
memung kinkan
untuk dilakukannya upaya pemulihan kepada
korban penyalahgunaan Napza. Pertukaran alat
suntik di populasi pengguna Napza suntik di
Indonesia
masih
menjadi
faktor
pendorong
tingginya kasus HIV.
Layanan rehabilitasi ketergantungan Napza di
Indonesia
tantangan
masih
untuk
belum
mampu
memutus
menjawab
mata
rantai
penyebaran HIV di kalangan pengguna Napza
suntik. Menghadapi hal itu, pada tahun 2009
Penanggung Jawab
Dr.Kemal N. Siregar
Penasehat
Dr.Fonny J.Silfanus, MKes
Ketua Pelaksana
Mashadi Mulyo
Tim Kerja
Novrizar
Lely Hidayati
Ikbal Rakhman
Yushadi Mukhlis
Patrician Gregorius
Basyir Achmad
Wiryanto Rachman
Lucky Pramitasari
Hanny Hermawan
Iwan Hartono
Dudi Rohadi
Rondi Muhamad
Didit Malada
Sally Atya Sasmi
Arif Rachman Wiryawan
Santi
Editor
Erry Wijoyo
Priscillia Anastasia
Komisi Penanggulangan AIDS Nasional (KPAN)
mengembangkan
Progran
Pemulihan
Adiksi
Berbasis Masyarakat (PABM). Ini adalah salah
satu upaya untuk mengisi tingginya kebutuhan
akan pera watan pemulihan adiksi di luar terapi
yang telah ada,
sekaligus mengintegrasikan
upaya pemutusan mata rantai penularan HIV
melalui rehabilitasi ketergantungan Napza.
Pedoman ini merupakan penyempurnaan d ari pedoman sebelumnya,
yang merupakan hasil dari evaluasi proses dan evaluasi outputprogram
1
PABM
pada
tahun
2009-2012.
Perbaikan
yang
pedoman ini mencakup beberapa hal, seperti
dilakukan
dalam
penambahan masa
rawatan dari satu bulan menjadi dua bulan untuk memaksimalkan hasil
rawatan inap pasien dan menjamin keberhasilan upaya perubahan
perilaku klien. Selain itu dari sisi monitoring, menyertakan beberapa
alat ukur yang disempurnakan untuk menentukan metodo logi dan
modalitas terapi atau rehabilitasi yang diharapkan lebih sesuai dalam
penanganan klien.
Buku ini ditujukan terutama untuk para lembaga pelaksana program
PABM di bawah koordinasi KPAN, namun tidak menutup kemungkinan
untuk digunakan oleh pihak lain, dengan persetujuan dari pihak KPAN.
Seluruh materi di dalam pedoman ini, kecuali yang diambil langsung
dari sumber hak cip tanya, merupakan domain publik yang dapat dikutip
tanpa izin dari pihak KPAN atau penulisnya, dengan menjunjung tinggi
etika penulisan karya ilmiah. Namun demikian, publikasi ini tidak dapat
diproduksi atau didistribusikan untuk kepentingan komersil tanpa izin
resmi dari KPAN.
Kami
berharap
pedoman
ini
d apat
menjadi
sumbangsih
dalam
menjalankan layanan rehabilitasi penyal ahgunaan Napza di Indonesia,
sekaligus menekan tingginya angka kasus HIV di kalangan pengguna
Napza.
Pedoman
ini
merupakan
living
document,
sehingga
tertutup terhadap masukan untuk perbaikan di kemudian hari.
Jakarta, Juli 2013
Dr. Kemal N. Siregar
Sekretaris KPAN
2
tidak
Ucapan Terima Kasih
Ucapan terima kasih khusus diucapkan kepada Ibu Dr.Nafsiah Mboi, Sp.A, MPH,
mantan Sekretaris KPAN periode 2006 – 2012, yang pada saat diterbitkannya buku
pedoman edisi revisi tahun 2013 ini telah menjabat sebagai Menteri Kesehatan
Republik Indonesia. Bapak Prof.Irwanto, PhD, Direktur Institute for Research and
Community Services dan juga Guru Besar Fakultas Psikologi Universitas Atmajaya;
Ibu Dra.Riza Sarasvita, MSi, MHS, PhD, Kasubdit NAPZA Keswa Kementerian
Kesehatan RI; Dr.Prasetyawan, Sp.KJ, Rumah Sakit Marzoeki Mahdi; Dr.Bagus
Rahmat Prabowo, World Health Indonesia Indonesia (mantan Koordinator Program
PABM KPAN periode 2009 – 2011); Risa Aleksander, National Technical Officer of
HIV Cooperation for Indonesia; Dr.Monica Cipeaugua, United Nation Officer for Drug
and Crime; Dr.Astri Parawita Ayu, Sp.KJ, Fakultas Kedokteran Universitas Atma
Jaya; Dr.Siste Kristiana, Sp.KJ, Psikiatri Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia;
Ade Aulia, National Programme Officer, United Nations Office on Drugs and Crime;
Dr.Adhi Wibowo Hidayat, Sp.KJ, Rumah Sakit Ketergantungan Obat (RSKO);
Dr.Ratna Mardiati, Sp.KJ, Psikiater, Angsa Merah; Narendra Narotama, ST, ICACI,
Ketua Ikatan Konselor Adiksi Indonesia; Samuel Nugraha, Direktur Rumah Singgah
Peka; Achmad, ICACI, Direktur Yayasan Karismaselaku pihak-pihak yang pertama
kali menjadi kontributor dari buku pedoman ini di tahun 2009.
3
PABM
DAFTAR ISI
1. Pendahuluan
1.1 Latar Belakang
1.2 Tujuan Pedoman
1.3 Sasaran Pedoman
2. Prinsip Terapi Gangguan Penggunaan NAPZA
2.1 Dasar Kebijakan
2.2 Komponen Program
2.2.1 Skrining
2.2.2 Asesmen
2.2.3 Penyusunan Rencana Terapi
2.2.4 Rencana Rujukan
2.2.5 Manajemen Kasus
2.2.6 Konseling Individu
2.2.7 Sesi Kelompok
2.2.8 Kelompok Dukungan
2.3 Pendekatan Terapi
2.3.1 Wawancara Motivasional
2.3.2 Cognitive-Behavioral Therapy (CBT) atau Terapi Kognitif-Perilaku
3. Standar Penyelenggaraan PABM
3.1 Prasyarat Kelembagaan
3.2 Prasyarat Sumber Daya Manusia
3.3 Komponen Pembiayaan / Operasional
4
4
Standar Penatalaksanaan Terapi
4.1 Kriteria Inklusi Klien
4.2 Tahapan Pelaksanaan Program PABM
5
Penerapan Strategi Pencegahan HIV dan Pengurangan Dampak Buruk
5.1 Pengurangan dampak buruk penggunaanNAPZA(harm reduction).
5.2 Kewaspadaan Universal
5.3 Laporan Pajanan
5.4 Konseling dan Tes HIV
5.5 Kebersihan Lingkungan dan Fasilitas
6
Manajemen Krisis
6.1 Krisis Terkait Situasi Penggunaan NAPZA
6.1.1 Situasi Intoksikasi
6.1.2 Situasi Overdosis
6.2 Krisis Terkait Situasi Percobaan Bunuh Diri
6.3 Krisis terkait Situasi Bencana Alam
7
Monitoring dan Evaluasi
7.1
Monitoring
7.2
Evaluasi
Lampiran-Lampiran
Profil Singkat Lembaga Pelaksana Program PABM
Daftar Pustaka
5
PABM
DAFTAR TABEL
1. Tabel.1:
Contoh Instrumen Skrining Gangguan Penggunaan
NAPZA
2. Tabel.2:
Model-Model Manajemen Kasus
3. Tabel.3:
Mendengarkan Reflektif
4. Tabel.4:
Prinsip dan Strategi Wawancara Motivasional
5. Tabel.5:
Tantangan dan Kekuatan CBT
6. Tabel.6:
Alur Penatalaksanaan Terapi
7. Tabel.7:
Pohon Keputusan: Penilaian dan Penanganan Risiko
Bunuh Diri
8. Tabel.8:
Kerangka Monitoring dan Evaluasi
6
PABM
DAFTAR GAMBAR
1. Gambar.1: Kebijakan Terkait Pelaksanaan Terapi Gangguan
Penggunaan NAPZA
2. Gambar.2: Posisi Recovery
3. Gambar.3: Alur Monitoring Pengumpulan Data Asesmen
7
DAFTAR ISTILAH
GPZ : Gangguan Penggunaan Zat, sebuah akronim untuk mendefenisikan istilah
bagi mereka yang memiliki masalah dengan NAPZA.
Gangguan Penggunaan Zat: Suatu kategori umum yang meliputi penyalahgunaan
zat, ketergantungan fisiologis, dan adiksi
Gangguan Mental: Pola atau sindroma psikologis atau perilaku yang terjadi pada
seorang individu; Adanya kekurangan atau adanya masalah dalam aspek fungsi
yang merupakan suatu respon terhadap stresor atau kesedihan tertentu (misalnya
kehilangan orang yang dicintai) atau, terjadi secara budaya terhadap suatu peristiwa
(misalnya, keadaan kesurupan dalam ritual agama).
Intoksikasi: Kondisi yang timbul akibat menggunakan NAPZA, sehingga terjadi
gangguan kesadaran, fungsi kognitif, persepsi, afek/mood, perilaku, hingga atau
fungsi dan respon psiko-fisiologis lainnya.
Kesehatan Mental: Kesehatan mental adalah suatu kondisi kesejahteraan dimana
setiap individu mengetahui potensi dirinya, dapat mengatasi stres kehidupan
normal,dapat bekerja produktif dan bermanfaat, dan mampu berkontribusi bagi
lingkungannya”
Krisis: Suatu keadaan yang berbahaya (dalam menderita sakit); parah sekali, atau
keadaan yang genting, situasi gawat darurat. Dalam konteks masalah kesehatan,
krisis dapat diartikan sebagai suatu keadaan yang genting dan parah serta
membahayakan nyawa atau memiliki kemungkinan memberikan dampak serius
terhadap kesehatan seseorang, sehingga perlu mendapatkan bantuan segera.
Manajemen Krisis: Rangkaian kegiatan, prosedur ataupun strategi yang dilakukan
untuk dapat meminimalisir dan mengurangi risiko terjadinya krisis.
Over Dosis: Overdosis adalah suatu kondisi intoksikasi di luar kemampuan adaptasi
tubuh individu sehingga dapat menimbulkan bahaya hingga membahayakan
keselamatan klien.
Terapi: Suatu proses pemulihan dengan memberikan intervensi secara fisik,
psikologis maupun sosial kepada residen gangguan penggunaan NAPZA.
8
Rehabilitasi: Suatu proses pemulihan residen gangguan penggunaan NAPZA baik
dalam jangka waktu pendek maupun panjang yang bertujuan mengubah perilaku
untuk mengembalikan fungsi individu tersebut di masyarakat.
Klien: Seseorang yang memiliki masalah Gangguan Penggunaan Zat atau
ketergantungan NAPZA, dan sedang menjalani program rehabilitasi.
Swadaya Masyarakat: Segenap upaya untuk mencapai suatu tujuan yang
diprakarsai dan dijalankan oleh komponen masyarakat.
Petugas klinis
: Sering disebut juga sebagai konselor, adalah petugas yang
membantu klien menjalani proses pemulihan dari hari ke hari dan memiliki otoritas
untuk membuat keputusan atas klien tersebut.
Petugas jaga
:
Petugas
klinis
atau
konselor
yang
bertugas
dan
bertanggungjawab atas program harian saat itu.
ASI:
Akronim dari Addiction Severity Index (ASI); instrument asesmen melalui
metode wawancara semi-terstruktur untuk penilaian penyalahgunaan zat dan
perencanaan perawatan. ASI ini dirancang untuk mengumpulkan informasi berharga
tentang bidang kehidupan klien yang mungkin akan menyebabkan masalah
penyalahgunaan zat-mereka.
Gangguan Bipolar: Gangguankejiwaan yang ditandai dengan perubahan mood
(alam perasaan) yang sangat ekstrim, yaitu berupa depresi dan mania.
Pengambilan istilah bipolar disorder mengacu pada suasana hati penderitanya yang
dapat berganti secara tiba-tiba antara dua kutub (bipolar) yang berlawanan yaitu
kebahagiaan (mania) dan kesedihan (depresi) yang ekstrim.
Cognitive Behavioral Therapy: Pendekatan psikoterapi yang mengacu pada terapi
perilaku, terapi kognitif, dan terapi berdasarkan kombinasi dari prinsip perilaku dan
kognitif. CBT berfokus pada masalah dan berorientasi pada aksi.
HIV: Akronim dari Human Immunodeficiency Virus; virus yang menyerang sistem
sistim kekebalan tubuh manusia sehingga dapat menyebabkan AIDS.
AIDS: Akronim dariAcquired Immune Deficiency Syndrom; AIDS sendiri adalah
adalah sekumpulan gejala dan infeksi (sindrom) yang timbul karena rusaknya sistem
kekebalan tubuh manusia akibat infeksi virusHIV.
NAPZA: Narkotika, psikotropika dan Zat Adiktif lainnya.
9
PABM: Pemulihan Adiksi Berbasis Masyarakat.
Profilaksis: Suatu posedur kesehatan masyarakat yang bertujuan untuk mencegah
daripada mengobati penyakit.
Skizofrenia: Gangguan kejiwaan dan kondisi medis yang mempengaruhi fungsi otak
manusia, mempengaruhi fungsi normal kognitif, emosional dan tingkah laku.Sering
kali diikuti dengan delusi (keyakinan yang salah) dan halusinasi (persepsi tanpa ada
rangsang pancaindra).
WHOQoL: Akronim dari World Health Organization Quality of Life ;merupakan
instrument penilaian kualitas hidup seseorang berdasarkan harapan dan standar
yang dimilikinya, yang digunakan sebagai salah satu alat asesmen di dalam program
PABM.
10
PENDAHULUAN
1. LATAR BELAKANG
Pedoman ini disusun sebagai panduan bagi lembaga pelaksana atau komponen
masyarakat lainnya yang berminat menyelenggarakan terapi ketergantungan Napza.
berbasis masyarakat. Buku pedoman ini pertama kali disusun pada tahun 2009,
bersamaan dengan dimulainya program Pemulihan Adiksi Berbasis Masyarakat
(PABM), sebagai acuan bagi para petugas dan para lembaga pelaksana untuk
menjalankan aktivitas program dengan tepat.
Pada tahun 2013 buku pedoman tersebut direvisi untuk pertama kali, dengan
mempertimbangkan berbagai aspek seperti perkembangan situasi di lapangan, ilmu
pengetahuan dan bukti praktek terbaik yang dilakukan oleh para lembaga
pelaksananya. Sejak awal pembuatannya telah disepakati bersama bahwa buku
pedoman ini merupakan sebuah dokumen terbuka (living document) yang dapat
secara berkala dilakukan perbaikan terhadap isi, materi dan segala yang tertera di
dalamnya, apabila dibutuhkan untuk perbaikan pelaksanaan program.
Program PABM yang awalnya khusus ditujukan hanya untuk orang dengan
gangguan ketergantungan Napza dengan cara disuntikkan saja (Penasun), kini telah
berkembang menjadi lebih terbuka bagi pengguna Napza jenis lain seiring dengan
berjalannya
waktu,
mengikuti
situasi
epidemi
dan
tingkat
penyalahgunaan
Napzayang terjadi di Indonesia. Hal ini dikarenakan setiap pengguna Napza,
khususnya yang sudah dalam taraf ketergantungan, dipercaya memiliki risiko tinggi
untuk melakukan perilaku berisiko penularan HIV, selain dengan cara bertukar jarum
suntik saja.
Berbagai buku pedoman terapi pemulihan adiksi Napza berbasis masyarakat di
negara-negara maju pada umumnya memasukkan dua jenis pendekatan, yaitu
program terapi Napza berorientasi Abstinensia (melalui program rawat jalan bebas
Napza ataupun rawat inap bebas Napza) dan melalui pendekatan program terapi
11
1
Napzaberbasis Rumatan (melalui program terapi rumatan metadon, buprenorfin dan
rumatan lainnya). Pedoman ini tidak mencakup program terapi Rumatan, mengingat
pemerintah – melalui Kementerian Kesehatan – telah mengeluarkan pedoman
nasional untuk program terapi rumatan secara khusus. Meskipun demikian program
PABM dapat memberikan layanan dukungan psikososial kepada klien yang
menjalani program rumatan metadon dengan persetujuan dan pengawasan dari
pertugas medis yang bertanggung jawab.
Pada pedoman ini antara lain akan dijelaskan tentang alur proses terapi, kerangka
waktu, tatanan serta pedoman teknis penyelenggaraan terapi. Secara umum
penyelenggaraan meliputi pendekatan medis – psikologis – sosial dan spiritual,
sesuai dengan kebutuhan klien. Untuk itu setiap lembaga pelaksana perlu
bekerjasama dengan penyedia layanan kesehatan dalam memenuhi kebutuhan
medis bagi klien. Mengingat bahwa sebagian besar orang dengan ketergantungan
Napza mempunyai masalah dengan kesehatan, dan bahkan sebagian lainnya telah
terinfeksi HIV dan AIDS, setiap lembaga pelaksana juga harus membentuk jejaring
dengan penyedia layanan kesehatan terkait HIV dan AIDS.
Selain persoalan medis, kita memahami bahwa persoalan kekambuhan (relaps) pada
orang dengan ketergantungan Napza adalah hal yang umum terjadi. Kekambuhan
dapat dipicu oleh kondisi internal dan eksternal orang dengan ketergantungan Napza.
Salah satu kondisi eksternal yang sering dialami mereka adalah adanya stigma dan
diskriminasi dari keluarga maupun masyarakat, sekalipun mereka telah mengikuti
program terapi. Pedoman ini memberi panduan bagaimana melibatkan keluarga
dalam proses pemulihan adiksi serta bagaimana lembaga pelaksana diharapkan
dapat membangun jejaring dengan berbagai potensi yang dimiliki masyarakat sekitar
tempat tinggal klien, baik secara perorangan maupun kelompok, lembaga maupun
perusahaan.
Jejaring
yang
terbina
diharapkan
dapat
menjadi
jalan
untuk
pemberdayaan klien setelah klien selesai menjalani programnya.
Kerangka waktu dari program terapi bagi orang ketergantungan Napza berbasis
masyarakat pada pedoman ini dilaksanakan selama 6 bulan, kombinasi antara rawat
inap dan rawat jalan. Hal ini merujuk pada prinsip terapi yang dikeluarkan oleh
National Institute on Drug Abuse (NIDA, 2009) yang menyatakan bahwa minimum
waktu yang diperlukan bagi penyalahgunaan Napza untuk menjalani program agar
perubahan perilaku terlihat bermakna adalah 3 bulan. Diharapkan program terapi bagi
12
2
orang ketergantungan NAPZA berbasis masyarakat ini yang diselenggarakan dalam
kerangka waktu yang relatif singkat ini dapat menjamin keajegan program.
1.2 Tujuan
Umum:
Sebagai acuan bagi lembaga pelaksana yang sedang atau yang akan menjalankan
program PABM dalam penanggulangan HIV dan ketergantungan Napza.
Khusus:
Meningkatkan kemampuan dan kapasitas pelaksana program.
Meningkatkan kualitas melalui layanan standar minimum penanganan masalah
ketergantungan Napza.
1.3 Sasaran
a. Konselor dan Petugas Pelaksana Program PABM.
b. Penanggung Jawab Program PABM.
c. Pemangku kebijakan terkait Program Pemulihan Adiksi maupun Program
Pengurangan Dampak Buruk.
d. Lembaga Non-Pemerintah.
e. Komponen Masyarakat Peduli.
13
PRINSIP DASAR &
KERANGKA KONSEP
2. PRINSIP TERAPI GANGGGUAN PENGGUNAAN NAPZA
Prinsip-prinsip terapi Gangguan penggunaan NAPZA yang dikutip dari National
Institute on Drug Abuse (NIDA) tahun 2009 dan WHO / UNODC / UNAIDS
Discussion Paper 20081 adalah sebagai berikut:
1. Tidak ada satu jenis terapi yang cocok untuk semua individu.Mencocokkan
lingkungan terapi, intervensi dan layanan bagi setiap masalah dan kebutuhan
individual pasien sangat penting bagi keberhasilan akhir pengembalian pasien
ke fungsi produktif dalam keluarga, tempat kerja dan masyarakat.
2. Terapi harus selalu tersedia setiap saat. Karena orang dengan gangguan
penggunaan zat mempunyai perasaan beragam mengenai keikutsertaan dalam
terapi, maka mengambil kesempatan segera ketika orang dengan GPZ
bersedia untuk menjalani terapi adalah suatu hal yang penting untuk dilakukan.
Potensi terapi dapat hilang apabila tidak senantiasa tersedia atau tidak mudah
dijangkau.
3. Terapi yang efektif memperhatikan berbagai kebutuhan individu dan
bukan hanya berfokus pada penggunaan zat atau Napza saja. Agar menjadi
efektif terapi harus dapat mengatasi masalah-masalah penggunaan zatnya
(Napza) dan setiap masalah terkait seperti masalah medis, psikologis, sosial,
vokasional dan hukum.
1
diadaptasi dari U.S. National Institute on Drug Abus. (1999). Principles of drug addiction treatment: A
research-based guide (pp. 3–5). Bethesda, MD: Author.
14
4. Rencana
terapi
dan
pelayanan
individu
harus
ditinjau
secara
berkesinambungan dan dimodifikasi sebagaimana diperlukan untuk
meyakinkan bahwa rencana tersebut memenuhi kebutuhan pasien yang
berubah-ubah. Klien dapat memerlukan kombinasi layanan terapi selama
perjalanan terapi dan pemulihan. Sebagai tambahan terhadap konseling atau
psikoterapi, kadangkala klien membutuhkan pengobatan, layanan medik lain,
terapi keluarga, pola mengasuh anak, terapi vokasional, dan layanan hukum
dan sosial. Adalah penting bahwa pendekatan terapi disesuaikan dengan umur
pasien, gender, suku dan budaya.
5. Retensi klien di dalam terapi untuk waktu yang cukup adekuat adalah hal
kritis untuk keefektifan perawatan. Durasi yang sesuaibagi individu
tergantung pada masalahnya, kebutuhannya dan sumber daya yang tersedia.
Riset menunjukkan bahwa ambang batas yang signifikan pada kebanyakan
pasien bagi terciptanya peningkatan, dicapai dalam waktu 3 bulan di dalam
terapi. Karena orang sering meninggalkan terapi secara prematur, maka
program terapi harus mencakup strategi untuk meningkatkan retensi klien
dalam terapi.
6. Konseling (individu maupun kelompok) dan terapi perilaku lainnya
merupakan komponen kritis dari terapi adiksi. Selama terapi, klien
mengatasi
isu-isu
motivasi,
membangun
kemampuan
untuk
menolak
penggunaan Napza, mengganti aktivitas penggunaan Napza dengan aktivitas
yang konstruktif maupun berharga, dan memperbaiki kemampuan dalam
menyelesaikan
masalah.
Terapi
perilaku
juga
memfasilitasi
hubungan
interpersonal dan kemampuan individu untuk berfungsi kembali dalam keluarga
dan masyarakat.
7. Medikasi (pemberian obat-obatan) adalah unsur penting dalam terapi bagi
kebanyakan pasien, terutama bila dikombinasikan dengan konseling dan
terapi perilaku lainnya. Terapi metadon yang komprehensif sangat efektif
dalam membantu pasien yang adiksi terhadap heroin, untuk menstabilkan
hidupnya dan mengurangi penggunaan Napza. Bagi klien dengan gangguan
mental, kombinasi terapi perilaku dan obat-obatan menjadi hal yang sangat
penting.
15
8. Individu yang menyalahgunaakan atau mengalami adiksi Napza, dan
memiliki gangguan mental secara bersamaan (dual diagnosis), perlu
memperoleh terapi bagi kedua gangguan tersebut dengan cara yang
terintegrasi.Karena gangguan penggunaan Napza dan gangguan mental
sering terjadi bersamaan, klien yang memiliki kedua gangguan tersebut harus
mendapat asesmen dan terapi untuk keduanya.
9. Detoksifikasi medis hanyalah tahapan pertama dalam terapi adiksi, dan
berdiri
sendiri,
serta
hanya
berdampak
sedikit
dalam
mengubah
penggunaan Napza jangka panjang.Detoksifikasi medis mengelola gejalagejala putus zat akut sehubungan dengan proses penghentian penggunaan
Napza secara aman. Meskipun detoksifikasi saja tidak mencukupi untuk
menolong seseorang orang dengan GPZ dalam mencapai abstinensia jangka
panjang, namun bagi beberapa individu detoksifikasi merupakan unsur yang
sangat penitng dalam keberhasilan terapi.
10. Terapi tidak harus dilakukan secara sukarela (atas kehendak sendiri)
untuk bisa efektif.Motivasi yang kuat dapat memfasilitasi proses terapi.
Bagaimanapun, sanksi-sanksi atau bujukan-bujukan di dalam keluarga, tempat
kerja atau sistem hukum dapat meningkatkan jumlah orang yang masuk
kedalam terapi, tingkat retensi, dan keberhasilan terapi.
11. Kemungkinan
penggunaan
Napza
selama
menjalani
terapi
harus
dimonitor secara terus menerus. Penggunaan Napza (relaps) dapat terjadi
selama masa terapi. Tujuan dilakukannya monitoring penggunaan Napza
selama terapi dengan cara tes urin atau tes lainnya, dapat membantu orang
dengan GPZ menahan dorongan untuk menggunakan Napza. Monitoring
tersebut juga dapat memberikan bukti dini penggunaan Napza sehingga
rencana terapi individu dapat disesuaikan. Pemberian umpan balik kepada klien
yang hasil tesnya positif menggunakan Napza merupakan unsur penting dari
monitoring.
12. Program terapi harus menyediakan asesmen atau tes untuk HIV dan AIDS,
Hepatitis B dan Hepatitis C, Tuberkulosis, dan penyakit menular lain,
disamping
konseling
untuk
membantu
pasien
memodifikasi
atau
mengubah perilaku yang dapat menempatkan diri mereka atau orang lain
16
dalam risiko terinfeksi. Konseling dapat membantu pasien menghindari
perilaku risiko tinggi. Konseling juga dapat membantu pasien yang sudah
terinfeksi untuk mengelola penyakitnya.
13. Pemulihanadiksi dapat merupakan proses jangka panjang dan seringkali
membutuhkan beberapa episode terapi. Sebagaimana penyakit kronis
lainnya, relapsdapat terjadi selama atau setelah episode terapi yang berhasil.
Orang dengan GPZ kadangkala membutuhkan terapi yang lama dan beberapa
episode terapi untuk memperoleh kondisi abstinensia jangka panjang dan pulih
secara penuh. Partisipasi dalam program bantu diri selama dan setelah terapi
seringkali sangat membantu dalam mempertahankan abstinensia.
2.1 Dasar Kebijakan
Undang-Undang Narkotika no.35
tahun 2009
Pedoman Penyelenggaraan Sarana &
Pelayanan Rehabilitasi NAPZA
(Depkes RI, 2002)
Peraturan Pemerintah
No.25 tahun 2011
tentang Wajib Lapor
Pecandu Narkotika
Pedoman Nasional Program Terapi
Rumatan Metadon
(Depkes RI, 2006)
Kebijakan & Rencana Strategi
Penanggulangan Penyalahgunaan
NAPZA
(Depkes RI, 2007)
Pedoman Penatalaksanaan Medik
(Depkes RI, 2008)
Pedoman Penanggulangan Adiksi
NAPZAKomprehensif berbasis Rumah
Sakit
(Depkes RI, 2009)
Standar Pelayanan Terapi &
Rehabilitasi NAPZA
(Depkes RI, 2010)
Pedoman Terapi
NAPZA berbasis
masyarakat
(KPAN, 2010)
Pelayanan & Rehabilitasi
Sosial Korban
Penyalahgunaan NAPZA
(Depsos RI, 2009)
PERMENSOS No.03
Tahun 2012
Tentang Standar
Lembaga Rehabilitasi
Sosial Korban
Penyalahgunaan
Narkotika dan Zat
Adiktif Lainnya
PERMENSOS No.26
Tahun 2012 Tentang
Standar Rehabilitasi
NAPZA
Gambar.1
Kebijakan Terkait Pelaksanaan Terapi Gangguan
Penggunaan NAPZA
17
Pedoman
Rehabilitasi
Sosial Korban
Penyalahgunaan
NAPZA Di dalam
Lembaga (2012)
2.2 Komponen Program
PABM terdiri dari dua komponen, yaitu sebagai berikut:
1.
Partisipasi Positif Masyarakat
Yang dimaksud dengan partisipasi positif masyarakat adalah peran dan
penerimaan masyarakat dalam upaya pemulihan ketergantungan Napza.
Partisipasi positif masyarakat dapat dibangun dengan beberapa cara, yaitu
antara lain seperti berikut:
a) Melakukan pertemuan dan sosialisasi dengan pemangku kebijakan dan
masyarakat sekitar lokasi dilakukannya program PABM, seperti dengan
ketua RT, ketua RW, tetangga sekitar, organisasi lokal, satpam, dan
tokoh-tokoh masyarakat lain hingga tingkat kelurahan, kecamatan dan
kabupaten/kota madya. Hal ini juga dapat dilakukan saat awal ketika
hendak mengurus perijinan kegiatan.
b) Melibatkan masyarakat sekitar ke dalam sistem pelaksanaan program,
seperti merekrut juru masak, penjaga keamanan, tukang kebun, instruktur
agama hingga relawan program yang berasal dari warga sekitar.
c) Melakukan terapi vokasional atau kerja sosial bagi klien dengan
melibatkan warga sekitar, seperti mencuci mobil tetangga, memotong
rumput tetangga.
d) Melakukan aktivitas bersama dengan warga sekitar, seperti bermain futsal
bersama, melakukan senam pagi bersama, melakukan kerja bakti
lingkungan hingga menghadiri rapat karang taruna maupun kegiatan
warga lainnya.
e) Berpartisipasi dalam program pencegahan HIV/AIDS dan NAPZA untuk
publik melalui pemberian informasi dan edukasi bagi warga sekitar dalam
bentuk seminar, pelatihan, lokakarya maupun pertemuan informal lainnya.
Kegiatan dapat dilakukan di fasilitas program PABM milik lembaga, hingga
posyandu, sarana ibadah, maupun ruang publik lainnya di lingkungan
sekitar.
Salah satu kendala terberat dalam pelibatan masyakarat secara aktif adalah
masih tingginya stigma dan diskriminasi masyarakat akan masalah terkait
Napza, HIV dan AIDS, yang menyebabkan kesadaran mereka akan hal ini
18
juga cukup rendah. Beberapa contoh cara di atas dapat membantu menekan
stigma dan diskriminasi yang terjadi di masyarakat.
2.
Perawatan pemulihan
Dilakukan dalam 2 fase program:
a) Fase intensif; klien menginap di fasilitas yang disiapkan oleh lembaga
selama minimal 2 bulan.
b) Fase
non-intensif; klien
menjalankan program
rawat
jalan
(tidak
menginap)selama minimal 4 bulan.
Perawatan pemulihan, baik dalam fase intensif maupun non-intensif, memiliki
komponen-komponen terapi, yaitu sebagai berikut:
2.2.1 Skrining
Skrining dilakukan dengan menggunakan formulir yang dijelaskan di dalam
buku ini. Skrining bertujuan terutama untuk memeriksa sejauh mana klien
memenuhi kriteria inklusi yang tersebut di atas.
Pemeriksaan kondisi fisik dan psikiatrik harus dilakukan oleh petugas
kesehatan. Petugas kesehatan yang dimaksud dapat merupakan individu yang
bekerja, baik sebagai pekerja lepas atau harian, pada lembaga penyedia
layanan PABM atau bekerjasama dengan institusi kesehatan (dalam hal ini
puskesmas/rumah sakit terdekat) dan dokter praktek swasta. Cakupan
pemeriksaan kondisi fisik terutama ditujukan untuk menemukan ada tidaknya
gejala intoksikasi, overdosis, sindroma putus zat dan komplikasi medis seperti
hepatitis, HIV dan AIDS.Cakupan pemeriksaan kondisi psikiatrik terutama
ditujukan untuk menemukan adanya gangguan alam perasaan (mood),
gangguan prosespikir (kognitif) dan atau gangguan psikomotor.
Untuk pemeriksaan barang bawaan (spot check) klien, pemeriksaan harus
dilakukan dengan meminta ijin dan dengan persetujuan sebelumnya (informed
consent), serta menjaga azas kerahasiaan.
Sekalipun tidak diwajibkan, apabila tersedia sumber daya yang cukup,
direkomendasi untuk melakukan tes urin atasbeberapa jenis Napza yang
diperkirakan dapat mempengaruhi respon klien terhadap terapi yang akan
19
diberikan. Berdasarkan pengalaman sebelumnya, jenis Napza yang dianjurkan
untuk dites adalah opiat, metadon (untuk memastikan apabila yang
bersangkutan pernah mengikuti program metadon, apakah memerlukan
bantuan medis untuk mengatasi gejala putus zatnya), benzodiazepine, ganja
dan amfetamin.
Pengambilan
urin
hendaknya
dilakukan
dengan
prosedur
standar
urinalisis,yaitu sebagai berikut:
Perlu dipastikan bahwa urin adalah benar milik klien.
Pengambilan sampel urin dapat menggunakan POCT (Point of Care
Testing) dengan menggunakan alat tes sederhana yang dapat dibeli di
apotik resmi atau melalui tes laboratorium (jika memungkinkan), dengan
cara observasi langsung atau diawasi langsung oleh petugas. Cara ini
merupakan cara yang cukup ampuh karena dapat menghindari pemalsuan.
Disediakan toilet yang bersih dan cukup penerangan, atau minimal ruangan
tersendiri yang terjaga privasinya. Klien tidak diperbolehkan buang air kecil
ditempat lain, selain tempat yang ditentukan.
Tangan
petugas
harus
dalam
keadaan
kering
dan
hendaknya
menggunakan sarung tangan plastic saat mengambil urin. Pastikan bahwa
sampel berada dalam keadaan hangat, sebagai salah satu indikator
keaslian urin.
Waktu pengambilan disesuaikan dengan waktu zat yang digunakan
dikeluarkan dari dalam tubuh setelah melalui proses metabolisme
(ekskresi).
Waktu
ekskresi
bersangkutan,
Napza
lamanya
tergantung
digunakan
dengan
(proses
struktur
kimia
akumulasi
zat
dalam
yang
tubuh),
banyaknya dosis serta proses metabolisme yang sifatnya individual:
Jenis heroin akan menghilang di dalam urin dalam waktu 24 jam - 72 jam.
Metadon akan bertahan dalam tubuh dalam waktu 72 jam.
Benzodiazepin, kurang lebih 2-3 hari tergantung dari jenis benzodiazepin
yang digunakan.
20
Amfetamin, metamfetamin, MDMA dan turunannya, rata-rata bertahan
dalam tubuh sampai 72-96 jam.
Kanabis atau ganja, bisa mencapai2 atau 3 minggubertahan dalam tubuh.
Untuk membuat proses skrining dilakukan secara terpadu dan efektif, maka
skrining sebaiknya menggunakan alat bantu berupa instrumen khusus sebagai
panduan wawancara. Di bawah ini merupakan tabel contoh-contoh instrumen
skrining yang dipakai di berbagai program rehabilitasi di dunia, yang dapat
dijadikan referensi untuk diterapkan di program PABM.
Tabel.1
Contoh-contoh Instrumen Skrining Gangguan Penggunaan Napza
Instrumen
AUDIT
Populasi
Deskripsi
Akses/Informasi selanjutnya
Dewasa,
Alat skrining dengan
http://www.who.int/
remaja
10butir pertanyaan,
substance_abuse/actiivities/sbi/en/
dikembangkan oleh
index.html
WHO untuk
AUDIT: The Alcohol Use Disorders
mengidentifikasi orang
yang menggunakan
alkohol yang
Identification Test Guidelines for
Use in Primary Care, Second
Edition
membahayakan
kesehatannya. Tersedia
dalam bahasa Inggris,
http://whqlibdoc.who.int/hq/2001/
WHO_MSD_MSB_01.6a.pdf
Slovenia dan Spanyol
AUDIT-C
Dewasa
Tiga pertanyaan
http://www.hepatitis.va.gov/vahep
pertama dari AUDIT
?page=prtop03-audit_c#S1X
fokus pada pengguna
alkohol
ASSIST
(Alcohol,
Smoking,
and
Dewasa,
Alat skrining dengan 8
http://www.who.int/substance_abu
remaja
butir pertanyaan
se/activities/assist/en/
dikembangkan untuk
WHO oleh kelompok
21
Substance
riset penyalahgunaan
ASSIST: Guidelines for Use in
Involvement
zat Internasional untuk
Primary Care :
Screening
mendeteksi dan
Test)
mengelola penggunaan
zat dan masalah terkait
http://www.who.int/
substance_abuse/actiivities/en/Dr
aft_The_ASSIST_Guidelines.pdf
pada tatanan layanan
medik primer dan
umum. Tersedia dalam
bahasa Cina, Farsi,
Perancis, Jerman,
Hindi, Portugis,
Spanyol, Indonesia
CAGE
Dewasa,
Kuesioner
English:
remaja
nonkonfrontatif terdiri
dari 4 butir pertanyaan,
untuk mendeteksi
http://pubs.niaaa.nih.gov/publicatio
ns.prg/moreresources/moreresour
ces_show.htm?doc_id=503307
masalah alkohol.
Pertanyaan dimulai
dengan “apakah anda
pernah” tetapi dapat
juga fokus pada
masalah penggunaan
alkohol masa kini
CRAFFT
Remaja
Instrumen skrining
http://www.projectcork.org/clinical_
(Car, Relax,
dengan 6 butir
tools/pdf/PKAFFT.pdf
Alone,
pertanyaan yang
Forget,
meliputi penggunaan
Family or
alkohol dan NAPZA
Friends,
serta situasi yang
Trouble)
relevan bagi remaja
22
Drug Abuse
Dewasa
Merupakan adaptasi
Instrumen dengan 28 butir
Screening
dari Michigan Alcohol
pertanyaan: :
Test (DAST)
SPKeening Test, terdiri
http://www.projectcork.org/clinical_
dari 28 dan 20 butir,
tools/html/DAST.html
mendeteksi
konsekuensi terkait
penyalahgunaan
NAPZA yang tidak
spesifik untuk zat
tertentu,sehingga tidak
harus menggunakan
Instrumen dengan 20 butir
pertanyaan:
hhtp://adai.washington.edu/instru
ments/pdf/Drug_Abuse_Screening
_Test_105.pdf
instrument lain yang
spesifik bagi setiap zat
DAST-A
Remaja
Instrumen dengan 28
http://www.dbhds.virginia.gov/doc
butir pertanyaan untuk
uments/sPKn-adol-DAST-A-
remaja.
Instrument.pdf
Original MAST:
MAST
Dewasa,
Instrumen dengan 22
(Michigan
remaja.
butir pertanyaan yang
Alcohol
Orang
secara umum
Screening
usia
mengukur masalah
Test)
lanjut
keparahan masalah
penggunaan alkohol
http://www.ncaddsfv.org/downloads/mast_test.pdf
Short MAST dengan 13 butir
pertanyaan:
semasa hidup agar
http://www.projectcork.org/clinical_
dapat memilihkan
tools/html/AhortMAST.html
intensitas terapi dan
kebutuhan bimbingan
untuk masalah terkait
MAST-G:
alkohol. Versi
http://www.ssc.wisc.edu/wlsresear
singkatnya terdiri dari
ch/pilot/P01-
13 butir (Short MAST)
R01_info/aging_mind/Aging_AppB
dan untuk masalah
5_MAST-G.pdf
23
geriatri (MAST-G)
MASSIST
Dewasa
(Modified
Instrumen skrining
http://www.drugabuse.gov/nidame
dengan 1-7 pertanyaan
d/quickref/screening_qr.pdf
yang diadaptasi oleh
Alcohol,
Smoking,
U.S. National Institute
and
on Drug Abuse;
dariinstrumen ASSIST
Substance
WHO
Involvement
Screening
Test)
POSIT
Remaja
(ProblemOriented
Screening
Pertanyaan dengan 139
http://adai.washington.edu/instrum
butir pertanyaan untuk
ents/pdf/Problem_Oriented_Scree
mengidentifikasi
ning_Instruments_for_Teenagers_
masalah yang
188.pdf
membutuhkan asesmen
Instrument
lebih dalam dan
for
berpotensi memerlukan
Teenagers)
layanan dalam 10 area
fungsional, termasuk
POSIT versi yang terkomputerisasi
dikembangkan oleh Power Train,
Inc.: http://positpc.com
penggunaan/penyalahg
unaan zat, kesehatan
jiwa dan fisik, relasi
keluarga dan teman
sebaya, vokasional dan
edukasi khusus
TWEAK
Dewasa,
Skala dengan 5 butir
http://adai.washington.edu/instrum
(Tolerance,
perempu
pertanyaan,
ents/pdf/TWEAK_252.pdf
Worried,
an hamil
dikembangkan untuk
Eye-
peminum berisiko
openers,
selama hamil. Butir-
Amnesia, [K]
butirnya tidak spesifik
24
Cut down)
gender.
Detoksifikasi
Detoksifikasi merupakan proses yang bertujuan untuk hal-hal berikut:
1) Menghentikan penggunaan zat.
2) Membersihkan tubuh dari zat.
3) Mengelola sindroma putus zat
Bilamana perlu (sesuai dengan pertimbangan petugas kesehatan), lakukan
detoksifikasi terlebih dahulu.
Detoksifikasi bukanlah suatu terapi gangguan penggunaan Napza,
melainkan suatu proses intervensi yang ditujukan untuk mengelola
intoksikasi akut dan gejala putus zat yang dialami oleh seseorang.
(CSAT, 2004)
Proses detoksifikasi terdiri dari tiga komponen yang esensial:
1) Evaluasi
2) Stabilisasi
3) Menggiring kesiapan klien untuk menjalani tahap terapi Gangguan
penggunaan Napza yang sesungguhnya.
Khusus untuk detoksifikasi heroin, dapat dilakukan dengan cara berikut:
Tappering off dengan codein: mula-mula klien yang mengalami gejala
putus heroin diberikan dosis codein dalam jumlah besar, lalu secara
bertahap dosis tersebut dikurangi hingga gejala putus zat dapat
menghilang
DAN ATAU
Terapi simtomatik: kepada klien diberikan obat-obatan yang dapat
meringankan gejala putus zat sesuai dengan keluhan .
25
Penjelasan lebih detil untuk penatalaksanaan detoksifikasi dapat mengacu
pada Pedoman Penatalaksanaan Medis Gangguan Penggunaan
Napzayang dikeluarkan oleh Departemen Kesehatan RI tahun 2008.
Detoksifikasi harus dilakukan di bawah pengawasan dokter. Karena
itu setiap lembaga wajib bekerjasama dengan sarana kesehatan atau
dokter praktek terdekat yang ditunjukkan dengan surat perjanjian
kerjasama.
The American Society of Addiction Medicine (ASAM) mengklasifikasi
standar pelayanan detoksifikasi sebagai berikut (CSAT, 2004):
Detoksifikasi rawat jalan tanpa proses monitoring lanjut.
Detoksifikasi rawat jalan dengan proses monitoring lanjut di tempat.
Detoksifikasi rawat inap dengan tatalaksana klinik.
Detoksifikasi rawat inap dengan monitoring medis.
Detoksifikasi rawat inap dengan tatalaksana medis intensif.
Cold turkey(detoksifikasi dengan cara non medis atau pasang badan)
tidak disarankan untuk digunakan di dalam program PABM, khususnya
untuk klien dengan komorbiditas (komplikasi) karena tidak dapat
dipertanggungjawabkan hasilnya.
Seorang klien dapat didetoksifikasi tergantung pada jenis zat dan kondisi
klien. Secara umum detoksifikasi atas zat-zat jenis alcohol, benzodiazepine
dan opiate membutuhkan detoksifikasi berbasis Rumah Sakit karena
pertimbangan keamanan dan kemanusiaan. Jika Rumah Sakit tidak tersedia,
maka detoksifikasi atas ketiga jenis zat ini perlu dilakukan pada seting dimana
terdapat dukungan medis dan perawatan 24 jam.
Selama proses detoksifikasi dapat dimulai proses asesmen yang
disesuaikan dengan kondisi klien. Proses asesmen dapat dimulai pada klien
dengan kesadaran yang baik serta tidak ada komplikasi fisik dan psikiatrik yang
berat. Proses asesmen ini sekaligus perlu digunakan untuk melakukan
wawancara motivasional, mengingat data menunjukkan bahwa hanya 15% dari
26
pasien yang selesai menjalani detoksifikasi mengikuti terapi Gangguan
penggunaan Napza (CSAT, 2004).
Klien yang mengalami gejala putus zat dan kemudian menjalani proses
detoksifikasi seringkali berada pada kondisi kontemplasi, sehingga intervensi
yang tepat dapat meningkatkan motivasinya untuk terus melanjutkan
perawatan terapi gangguan penggunaan Napza.
2.2.2 Asesmen
Asesmen adalah proses yang
dimulai
sejak
klien
masuk
dalam program hingga selepas
program. Tujuan utama adalah
memperoleh
gambaran
masalah klien dan menjadi
landasan untuk membangun
rencana terapi bersama-sama
klien.
Proses
asesmen
membutuhkan kerjasama yang
baik antara klien dengan konselor. Perlu sekali lagi dipastikan bahwa klien tidak
dalam keadaan intoksikasi atau kekacauan pikir yang menghambat proses
pemberian informasi secara obyektif. Namun demikian yang paling penting
adalah bagaimana konselor dapat membangun hubungan yang terapeutik
(positif) dengan klien. Klien perlu merasa yakin terlebih dahulu bahwa petugas
sungguh-sungguh ingin membantunya.
Tujuan dari asesmen adalah sebagai berikut (Johnson, 2003):
1. Identifikasi gambaran klinis yang akurat dan jelas.
2. Inisiasi atas dialog dan interaksi yang bersifat terapeutik.
3. Promosi peningkatan kesadaran individu agar yang bersangkutan dapat
melihat masalahnya secara lebih jernih.
4. Menawarkan umpan balik yang obyektif.
5. Menegakkan diagnosis.
27
6. Membangun rencana terapi.
7. Mendorong perubahan yang positif.
Asesmen dilakukan dengan menggunakan formulir, antara lain adalah sebagai
berikut:
1. ASI – Addiction Severity Index (terlampir); untuk mengukur derajat
keparahan masalah.
2. WHOQoL –World Health Organization Quality of Life (terlampir); untuk
mengukur kualitas hidup klien.
3. BBV-Traq – Blood Borne Virus Transmission Risk Assesment
Questionaire(terlampir); untuk menilai risiko terpaparnya virus melalui
transmisi darah.
Ketiga instrumen di atas ini wajib dipergunakan oleh setiap lembaga pelaksana
program PABM, namun tiap-tiap lembaga diperkenankan untuk menggunakan
instrumen asesmen lain, untuk kebutuhan lainnya. Instrumen lain yang
digunakan sebaiknya sudah divalidasi dan berbasis bukti (evidence-based).
Panduan asesmen:
Formulir-formulir yang tersedia digunakan sebagai panduan
bertanya.
Konselor diharapkan mengelaborasi pertanyaan-pertanyaan yang
ada, tidak terpaku hanya pada pertanyaan yang tercantum pada
formulir.
Seluruh pertanyaan harus diisi.
Klien dapat menolak menjawab pertanyaan-pertanyaan yang
dirasakan tidak membuatnya nyaman. Dalam kasus ini konselor
harus menuliskan apapun respon klien pada formulir yang
dimaksud. Jangan biarkan pertanyaan tidak diisi.
Keseluruhan respon klien sangat penting dalam mendapatkan
gambaran utuh klien.
28
2.2.3
Penyusunan Rencana Terapi
Asesmen
yang
menyeluruh
merupakan
dasar
perencanaan
terapi.
Perencanaan terapi merupakan kerangka individual untuk pelaksanaan terapi
dan layanan, berbasis kebutuhan spesifik klien yang diketahui dari proses
asesmen. Perencanaan terapi merupakan aktivitas bersama yang melibatkan
konselor, klien, penyedia layanan terapi lainnya, dan kadangkala anggota
keluarga klien.
Perencanaan terapi yang efektif dapat mengenal dan dengan jelas dapat
memilah kebutuhan prioritas seperti antara lainadalah sebagai berikut:
1) Akan ditanggulangi segera selama terapi atau proses rehabilitasi.
2) Memerlukan rujukan ke tempat layanan lain.
3) Membutuhkan penundaan untuk sementara.
Perencanaan terapi idealnya bersifat individual, fleksibel, realistik dengan
tujuan-tujuan perilaku yang dapat dicapai, diamati, diukur dandengan jangka
waktu yang jelas (model SMART). Perencanaan terapi disusun bersama
dengan klien, atau dengan mempertimbangkan dan melibatkan peran klien.
Perencanaan juga sebaiknya disusun dengan sederhana sehingga klien yang
mendapat pelayanan, hingga keluarga, dan petugas pelaksana program PABM
itu sendiri dapat memahaminya. Sederhana yang dimaksud bukan berarti harus
sedikit atau tidak lengkap, namun mencakup antara lain hal-hal berikut:
1) Bermanfaat, dengan indikator-indikator kemajuan yang dapat diukur.
2) Fokus pada solusi dan kekuatan bukan pada faktor negatif (kekurangan,
masalah yang dimiliki).
3) Jelas dalam mengidentifikasi tipe dan frekuensi intervensi.
4) Responsif terhadap perubahan dan kemajuan.
Langkah pertama perencanaan terapi adalah memutuskan level atau jenis
rawatan yang dibutuhkan klien, dan yang dapat diterima klien, termasuk
intensitas, durasi dan tatanan. Langkah ini termasuk menetapkanapakah
program cukup memadai dalam memenuhi kebutuhan klien atau apakah klien
seharusnya dirujuk pada program lain.
29
Perencanaan terapi termasuk di dalamnya menetapkan hal-hal di bawah ini:
1) Apakah program dapat memenuhi kebutuhan klien atau seharusnya dirujuk;
2) Apakah terapi untuk gangguan mental dan medis dibutuhkan; atau
3) Apakah klien membutuhkan detoksifikasi tersupervisi.
2.2.4 Rencana Rujukan
Sistem
rujukan
adalah
suatu
sistem
yang
memungkinkan
terjadinya
penyerahan tanggung jawab secara timbal balik atas timbulnya masalah dari
suatu kasus atau masalah kesehatan klien, baik secara vertikal maupun
horizontal, kepada yang berwenang dan dilakukan secara rasional.
Rujukan dilakukan apabila terdapat klien yang memiliki kebutuhan atau kasus
yang tidak dapat dipenuhi oleh lembaga pelaksana PABM. Rujukan dapat
dilaksanakan pada saat klien belum maupun hendak masuk menjalani program
PABM di lembaga pelaksana, hingga saat proses rehabilitasi dan diakhir masa
program (terminasi).
Sistem rujukan terbagi dua sebagai berikut :
1. Rujukan Internal: horizontal; antar unit di dalam satu layananlembaga.
Contoh: Unit detoksifikasi
Unit rawat inap intensif
Unit rawat jalan
lanjutan.
2. Rujukan Eksternal:
horinzontal dan vertikal; kepada layanan eksternal
lain.
Contoh: Lembaga PABM
Puskesmas.
Kelompok Dukungan Sebaya.
Rujukan eksternal dilakukan apabila lembaga pelaksana program PABM tidak
dapat menyediakan layanan dari satu atau beberapa kasus atau kebutuhan
khusus klien, baik dalam segi fasilitas, keahlian maupun wewenang.
Adapun kebutuhan khusus yang dimaksud antara lain adalah sebagai berikut:
a) Klien membutuhkan layanan spesialistik medis khusus seperti munculnya
infeksi oportunistik, gagal ginjal, gangguan jantung.
30
b) Klien membutuhkan layanan detoksifikasi medis terkait masalah putus zat
yang dialaminya, dimana kondisi klien tidak memungkinkan untuk
melewatinya tanpa bantuan medikasi khusus.
c) Klien membutuhkan layanan spesialistik kejiwaan atau mental seperti
adanya gangguan bipolar, skizofrenia, depresi berat.
d) Klien membutuhkan terapi substitusi (metadon atau buprenorfin).
e) Klien memiliki kebutuhan khusus non medis lainnya, seperti layanan
keluarga,
vokasional,
pendidikan
formal,
perumahan,
legal/hukum,
perawatan anak, keuangan dan kerja.
Institusi rujukan dapat merupakan lembaga rehabilitasi medis (PKM, RS, RSJ
dll), sosial, vokasional dan bantuan hukum, dimana setiap lembaga pelaksana
program PABM diharapkan mampu menbentuk jaringan layanan dengan
elemen Masyarakat (LSM, Ormas)maupun institusi lainnya (PKM, Klinik, RS,
Lembaga Rehabilitasi).
Panduan asesmen:
Jika proses rujukan diperlukan maka harus dipertimbangkan prosedurnya
dan siapa yang menanggung biaya dari pemeriksaan tambahan tersebut.
Jika sudah ada surat perjanjian atau MoU, perlu dijelaskan apa hak-hak
yang diperoleh dan kewajiban yang harus dipenuhi.
2.2.5 Manajemen Kasus
Manajemen kasus di dalam program gangguan ketergantungan zat sangat
berbeda layanan konseling yang biasanya kita kenal, dan juga memiliki
perbedaan
dengan
model
manajemen
kasus
di
dalam
konteks
penanggulangan HIV atau pengurangan dampak buruk. Manajemen kasus
berfokus pada bagaimana memperoleh sumber daya yang ada diluar klien,
seperti membantu klien mendapatkan tempat tinggal atau bantuan bagi
produktivitas klien; sedangkan layanan konseling langsung fokus pada masalah
internal, termasuk hubungan dengan orang lain, rencana pencegahan
kekambuhan, dan sebagainya.
31
Manajemen kasus dapat dilakukan intra-program atau
inter-program, yaitu
sebagai berikut:
1) Manajemen kasus intra-program (di dalam program) berarti memfasilitasi
layanan dalam organisasi sendiri, seperti membantu klien pindah dari terapi
residensial ke rawatan lanjut rawat jalan.
2) Manajemen kasus inter-program (antar-program) berarti memfasilitasi
layanan untuk klien melaluiprogram lain di masyarakat-misalnya, merujuk
klien untuk program pelatihan kerja, program konseling keluarga.
Tujuan dari dilakukannya manajemen kasus:
1) Meningkatkan keterlibatan dan motivasi klien, dengan membuat klien lebih
mudah mengakses dan terlibat dalam terapi atau layanan terkait yang
dibutuhkannya.
2) Membantu memenuhi kebutuhan klien yang mendesak, yang dapat
mengganggu keterlibatan terapi.
3) Memastikan layanan terapi GPZ yang tepat tersedia
4) Manajemen kasus dapat mempersiapkan klien untuk pindah dari dan ke
tingkat rawatan yang berbeda (dan seringkali konselor yang berbeda juga),
sehingga meningkatkan kepercayaan diri dan mengurangi kecemasan klien.
5) Membantu klien membangun sumber daya-sumber daya yang mereka
butuhkan untuk membantu mereka mengelola masalah-masalah kehidupan
dan membangun hidup dalam pemulihan.
Fungsi manajemen kasus:
1) Asesmen
2) Perencanaan
3) Jejaring / rujukan
4) Monitoring
5) Advokasi
32
Prinsip-prinsip manajemen kasus yang efektif
1) Memiliki satu titik kontak (berpusat). Hal ini membantu klien berurusan
dengan bagian lain dari sistem kesehatan dan pelayanan sosial. Hal ini
dapat mempromosikan koordinasi. Sebuah pendekatan yang terkoordinasi
memastikan kontinuitas. Tidak peduli tahap terapi atau perubahan penyedia
layanan, manajer kasus terlibat dari awal sampai akhir terapi. Hubungan
yang dihasilkan memberikan klien kemantapan dalam apa yang dapat
menjadi proses yang pasif dan membingungkan.Kadang-kadang dua atau
lebih manajer kasus bekerja sebagai tim, dan bersama-sama mereka
dianggap sebagai satu titik kontak.
2) Berdasarkan dorongan klien dan merespon kebutuhan klien.Peran
manajer kasus adalah untuk mengidentifikasi dan menjelaskan pilihan,
sedangkanklien yang berperan untuk menentukanpilihan yang ada. Para
manajer kasus membantu klien memperoleh layanan yang ia pilih.
3) Advokasi.Manajer kasus perlu mempromosikan minat klien. Hal ini meliputi
komunikasi dengan program, sistem hukum, dan badan hukum.Advokasi
dapat
berhubungan
misalnyamemastikan
dengan
klien
klien
berkebutuhan
perempuan
memperoleh
khusus,
layanan
seperti
yang
dibutuhkan.
4) Keterlibatan masyarakat.Semua pendekatan manajemen kasus sebaiknya
berbasis masyarakat, agar membantu klienmendapatkan layanan setempat
(lokal). Sebagai contoh, manajer kasus mungkin bekerja dengan klien yang
akan beralih dari fasilitas rawat inap ke program rawat jalan berbasis
masyarakat. Tentunya peralihan ini memerlukan manajer kasus untuk
memastikan kelancaran transisi ke program baru.
5) Pragmatis. Mempertimbangkan prioritas yang harus diambil.Sebagai
contoh, klien yang tidak memiliki tempat tinggal mungkin akan lebih perlu
mencari tempat menginap sementara, daripada langsung menangani
masalah adiksinya.
6) Antisipatif. Para manajer kasus harus mampu memahami perjalanan
penyakit
adiksi dan
pemulihannya,
33
meramalkan
masalah
potensial,
memahami pilihan, dan mengambil tindakan. Manajer kasus bekerja dengan
tim terapi untuk merencanakan tindakan berikutnya.
7) Fleksibel. Para manajer kasus tidak hanya harus beradaptasi dengan
kebutuhan individu tetapi juga harus mengubah pendekatan berdasarkan
sumber daya masyarakat yang tersedia dan yang paling cocok untuk klien
tertentu. Fleksibilitas juga berarti mengevaluasi kembali penempatan klien
yang tampaknya tidak bekerja dengan baik.
8) Peka budaya. Manajer kasus perlu memperhatikan orientasi budaya klien
dan membuatrujukan yang sesuai budaya.
9) Menjaga
dan
menghormati
kerahasiaan.Manajer
kasus
harus
menerapkan pola komunikasi yang baik dengan program lain. Perlu untuk
mendapatkan persetujuan klien secara tertulis sebelum membahas kasus
mereka dengan orang lain atau program lain. Di beberapa kota atau negara,
persetujuan lisan mungkin cukup dalam beberapa situasi. Manajer kasus
juga mungkin perlu berkomunikasi dengan orang lain dalam kehidupan klien.
Sangat penting bahwa seorang manajer kasus tahu dan mentaati hukum
dan peraturan tentang pelaksanaan program dan layanan masyarakat yang
ada.
Tabel.2
Model-model Manajemen Kasus
Model
Kekuatan
Kekurangan
Model
Model ini berusaha
Perencanaan hanya
Perantara/Umum(Brokerage/Generalist)
untuk mengidentifikasi
terbatas pada
kebutuhan dan
kontak-kontak awal
membantu klien
bukan hubungan
mengakses sumber
intesif jangka
daya tersebut.
panjang.
Perencanaan berfokus
Pemantauan
untuk menghubungkan
lanjutan (jika
klien dengan program
dilakukan) dilakukan
atau layanan lain.
dengan singkat dan
tidak termasuk
34
Memungkinkan manajer
melakukan advokasi
kasus untuk
secara aktif.
memberikan layanan ke
lebih banyak klien.
Model ini terkadang
berfungsi kurang
Efektif ketika layanan
baik (inferior) karena
sosial dan perawatan di
adanya keterbatasan
suatu wilayah itu
hubungan antara
terintergrasi dan tidak
manajer kasus
terlalu membutuhkan
denganklien, dan
pemantauan dan
ketiadaan advokasi
advokasi.
berlanjut.
Memungkinkan
Tidak efektif untuk
pendekatan respon
klien yang memiliki
cepat yang memberikan
kondisi ekonomi,
hasil langsung untuk
motivasi serta
klien. sumber daya yang
memadai.
Model Berbasis-Kekuatan (Strength-
Memberikan dukungan
Awalnya
Based)
kepada klien untuk
dikembangkan untuk
mengambil kendali
membantu orang
dalam mencari sumber
dengan gangguan
daya-sumber daya,
kejiwaan transisi dari
seperti perumahan dan
layanan berbasis
pekerjaan.
lembaga menuju ke
Mengkaji kekuatan klien
dan menentukan asetaset yang dapat mereka
gunakan untuk
kehidupanmandiri,
sehingga belum
tentu cocok untuk
semua orang (klien).
mendapatkan sumber
Model ini memberi
daya.
penekanan pada
Membantu klien
mengendalikan dan
35
hubungan klien
denganmanajer
menemukan kekuatan
kasus, sehingga
mereka, model ini
membutuhkan
mendorong
petugas terlatih yang
pemanfaatan
berpengalaman.
jejaringbantuan
informal (daripada
menggunakan jaringan
kelembagaan/institusi).
Model Klinikal/Rehabilitasi
Untuk beberapa
klien, prosesnya
terasa lebih ribet dan
lama.
Dilakukan oleh orang
Umumnya dilakukan
petugas yang sama,
oleh petugas yang
sehingga klien merasa
sama (merangkap
lebih percaya.
tugas), sehingga
Telah digunakan secara
luas dalam terapi untuk
orang yang terdiagnosis
rawan akan
terjadinya burnout
pada petugas.
penyalahgunaan zat dan
Supervisi menjadi
gangguan psikiatri.
kurang.
Klien hanya memiliki
Berisiko menjadi
satu kontak poin dalam
kurang netral karena
program.
adanya rangkap
tugas dari petugas.
Model Terapi Komunitas Asertif
Meliputi kontak dengan
Tugas manajer kasus
(Assertive Community Treatment)
klien dirumah dan
lebih berat dengan
lingkungan sehari-
memberikan
harinya.
berbagai macam
Fokus pada masalah
hidup sehari-hari.
layanan, hingga ke
layanan vokasional,
keluarga.
Advokasi dilakukan
36
secara lebih asertif.
Manajer kasus dan klien
melakukan kontak
Membutuhkan
petugas terlatih dan
berpengalaman.
berulang.
Biaya relatif besar.
Pendekatan tim diikuti
Memiliki batasan
dengan berbagi beban
waktu dan
kasus (caseloads).
pencapaian tujuan.
Manajer kasus
Bukan ditujukan
membuat komitmen
untuk klien yang
jangka panjang dengan
memerlukan
kliennya.
layanan
berkelanjutan.
2.2.6 Konseling Individu
Pada azasnya, konseling adalah suatu proses pemberdayaan, dimana seorang
konselor bekerja untuk hal berikut:
Memfasilitasi klien untuk memahami diri dan permasalahannya;
Mengajarkan strategi kepada klien anda untuk perubahan dan ketrampilan
yang dibutuhkan untuk mengidentifikasi dan memecahkan permasalahan; dan
Mendukung klien anda dalam proses perubahannya.
Relatif minimnya durasi dari program PABM menyebabkan kuantitas maupun
kualitas pengetahuan dan keterampilan yang didapatkan oleh klien selama
menjalani program PABM, dirasa masih kurang. Seringkali juga durasi program
intensif yang diberikan lebih banyak dihabiskan untuk menangani masalah klien
yang lain, seperti meningkatkan kondisi fisik dan berbagai macam urusan
lainnya. Untuk itu program PABM menentukan ukuran standar minimal untuk
pelaksanaan konseling individu, yaitu sebanyak 8 sesi kontak dengan waktu
efektif 45-60 menit per sesinya. Hal ini juga ditujukan sebagai salah satu upaya
untuk mengoptimalkan output dari proses terapi klien PABM.
37
Sasaran utama:
Koreksi keyakinan dan pola berpikir yang keliru tentang adiksi Napza.
Konsep diri.
Pola hubungan dengan tokoh otoritas (orangtua, atasan).
Pola hubungan yang sehat dengan pasangan.
Pengetahuan yang diperlukan:
Teori, riset dan literatur berbasis bukti.
Pendekatan dalam konseling bagi individu dengan Gangguan Penggunaan
Zat.
Peran konselor.
Konsep transference dan counter-transference.
Transference, di dalam konseling, adalah suatu proses dimana klien
memindahkan
sikap,
perasaan
dan
hasrat
kepada
konselor
(transfer)
berdasarkan hubungan personal klien yang berarti khusus. Hal ini terkadang
timbul sebagai sebuah proses bawah sadar (unconscious) berdasarkan
pengalaman
masa
kecil
klien,
dimana
perasaan
seperti
cinta,
benci,
kebimbangan, kemarahan, dan/atau dimana ketergantungan muncul dan
langsung mengarah ke konselor2. Transference dapat menjadi positif maupun
negatif, tergantung dari pengalaman masa lalu klien itu sendiri. Sebagai contoh,
terkadang
transference
dapat
menjadikan
hubungan
teraputik
menjadi
mendalam.
Di saat transference muncul, terkadang melibatkan dari salahnya persepsi dari
konselor (positif atau negatif), seperti berikut:3
Klien mungkin melihat konselor adalah sosok yang sempurna di segala hal
kemudian melihat dirinya sendiri sebagai seseorang yang “selalu merasa
kurang” dari sang konselor.
2
Corey, G., Corey, M., & Callanan, P. (2011). Issues and ethics in the helping professions. Pacific
Grove, CA: Brooks/Cole.
3
Ibid
38
Klien mungkin melihat konselor sebagai sosok seorang pengasuh yang
kemudian membuat klien menjadi “tak berdaya”, ketergantungan berlebihan,
dan konselor pun mungkin akan terperangkap ke dalam perasaan kasihan
terhadap klien dan tetap berperan sebagai pengasuh. Klien pun akan mulai
berharap lebih dari hubungan tersebut atau kemudian menjadi sulit belajar
bertanggunjawab secara pribadi.
Klien mungkin melihat konselor sebagai figur penguasa dan berprasangka
bahwa konselor akan menghakiminya. Klien mungkin akan merasa
terintimidasi, menjadi sulit untuk terbuka di saat konseling, dan mungkin
merasa gelisah tentang sesi yang dilakukannya tersebut. Hal ini dapat
menyebabkan klien menjadi cenderung diam di saat sesi berlangsung,
menjadi pasif-agresif dengan konselor (menunjukan gelagat yang tidak ramah
terhadap konselor), atau berusaha untuk menyenangkan konselor (takut
untuk dipandang rendah oleh konselor).
Adalah penting untuk konselor memiliki kewaspadaan tentang transference dari
klien, sehingga tidak bereaksi yang dapat berpotensi menjadi kontra-terapeutik
terhadap hubungan dengan klien.
Counter-transferencemuncul di saat seorang konselor memindahkan sikap,
perasaan, dan hasrat terhadap orang lain yang berasal dari pengalaman masa
lalunya maupun pengalaman saat ini, kepada klien (transfer balik). Sebagai
contoh, seorang konselor yang mempunyai permasalahan di masa mudanya
dapat bereaksi dengan kliennya yang masih muda, persis seperti reaksinya
terhadap anaknya sendiri.
Counter-transference dapat terjadi di saat menanggapi isu klien yang juga
merupakan masalah bagi diri konselor itu sendiri. Sebagai contoh, seorang
konselor yang mengalami pelecehan di masa kecilnya, mungkin akan mengalami
kesulitan untuk tetap obyektif dalam menangani klien yang juga mempunyai
permasalahan yang sama terhadap pelecehan. Terlepas dari sifat alamiahnya,
counter-transference dapat membahayakan hubungan terapeutik apabila hal ini
tidak teridentifikasi dan disadari dengan baik. Counter-transference dapat
menyebabkan konselor kehilangan obyektifitas dirinya terhadap klien dan
terhadap
intervensi
yang
dikembangkannya,
39
sehingga
tidak
mencakup
kepentingan yang terbaik untuk klien. Counter-transference merupakan hal
normal, dimana semua konselor dapat mengalami itu. Isu utama dari konselor
adalah bagaimana mampu mengenali hal tersebut dan secara efektif
memprosesnya, sehingga tidak berdampak negatif terhadap klien.
Untuk mencegah counter-transference, sangat penting bagi konseloruntuk
melakukan hal berikut:
Mengatasi permasalahan emosional diri, baik di masa lalu maupun saat ini;
Waspada mengenai kemungkinan dari counter-transference;
Diskusikan perasaan dan sikap anda terhadap klien dengan atasan
(supervisor) atau rekan kerja yang terpercaya ataupun ahlinya untuk
mengidentifikasi counter-transference sebelum hal ini mengganggu hubungan
yang telah dibina.
Pengetahuan dan ketrampilan yang dibutuhkan antara lain adalah sebagai
berikut:
Komunikasi non-verbal, mencakup sikap, kontak mata dan gestur.
Mendengarkan aktif, mencakupparaphrasing, refleksi dan menyimpulkan.
Mengajukan pertanyaan, mencakup pertanyaan terbuka dan probing.
Empati dan bergulir dengan resistensi.
Menggunakan otoritas yang sesuai untuk mendukung rencana terapi.
Sebagai rangkuman, tugas konselor adalah memastikan bahwa klien memiliki
ketrampilan,
pengetahuan,
dan
kepercayaan
diri
untuk
menyelesaikan
permasalahannya. Namun pertama-tama, konselor perlu menyusun dan
menegakkan hubungan kerja yang terpercaya.
Komunikasi Non-Verbal
Ekspresi wajah, kontak mata, gerak tubuh, sikap tubuh, dan posisi spasial (jarak
antara satu orang dengan yang lainnya) dapat “mengatakan” sebanyak kata-kata
yang diucapkan (bahkan faktanya dapat lebih banyak). Kebanyakan komunikasi
non-verbal kita tidak disadari. Kita mempelajari komunikasi non-verbal di saat
masa kecil, dari teman sepergaulan, dan budaya kita. Konselor, bagaimanapun
juga harus belajar untuk memberikan perhatian pada petunjuk-petunjuk non40
verbal dari klien, dan mawas diri untuk memberi makna pada segala petunjuk
tersebut.Posisi spasial juga perlu diperhatikan untuk menjaga kenyamanan.
Tabel.3
Mendengarkan Reflektif
Tipe dari Mendengarkan
Penjelasan dan Contoh
Reflektif
Merefleksikan pernyataan klien dalam bentuk
yang netral.
Dapat menggunakan kata-kata yang sama
seperti yang diucapkan klien atau dapat di
parafrasekan.
Mengakui dan memvalidasi apa yang klien
Refleksi Sederhana
katakan.
Klien: Saya tidak berencana untuk berhenti
dalam waktu dekat ini.
Kamu
Konselor:
tidak
melihat
abstinensia
sebagai rencana jangka pendek kamu.
Klien: Iya…benar!
Merefleksikan pernyataan klien dalam bentuk
yang dikembangkan/dilebihkan namun tidak
sarkastik.
Dapat
menuju
mendorong
perkembangan
perubahan
positif,
klien
daripada
menimbulkan resistensi.
Refleksi yang Dikuatkan
Klien: Saya tidak tahu mengapa istri saya
khawatir tentang masalah saya. Saya tidak
minum sebanyak teman-teman saya
Konselor: Jadi sebenarnya tidak ada alasan bagi
istri kamu untuk menjadi khawatir terhadap hal itu.
41
Klien: Sebenarnya, saya mengerti kenapa istri
saya sedikit khawatir terhadap hal itu.
Mengakui apa yang dikatakan oleh klien,
namun juga menyatakan hal yang bertolak
belakang mengenai pernyataan masa lalunya.
Mensyaratkan penggunaan informasi yang
dikatakan klien sebelumnya, meskipun hal itu
diungkapkan tidak pada sesi yang sama.
Refleksi Dua Sisi
Mungkin
Klien:
seharusnya
saya
berhenti
menggunakan sepenuhnya, namun saya tidak
akan melakukan itu!
Konselor: Di satu sisi kamu dapat melihat bahwa
ada masalah, namun berhenti sepenuhnya bukan
merupakan hal yang ingin kamu lakukan. Di sisi
lainnya, kamu juga menyatakan bahwa kamu
khawatir terhadap efek penggunaanmu terhadap
anak-anakmu. Hal itu pasti membuatmu bingung.
Pertanyaan Terbuka
Penting untuk diketahui bahwa terdapat kelemahan dalam mengajukan
pertanyaan. Konselor sering mengajukan pertanyaan dengan maksud untuk
mendengarkan dengan baik. Terkadang konselor sering mengajukan banyak
pertanyaan untuk menemukan jawaban yang tepat dari semua masalah klien.
Namun faktanya, pertanyaan yang intensif justru dapat mengganggu alur
spontanitas komunikasi. Tentu saja, konselor tidak perlu mencoba memperoleh
informasi yang klien tidak ingin bagi atau ceritakan.
Ciri-ciri pertanyaan terbuka adalah sebagai berikut:
Tidak dapat dijawab “ya” atau “tidak”;
Tidak dapat dijawab dengan satu atau dua kata;
Membutuhkan penjelasan;
42
Memprovokasi pemikiran;
Bukan hal yang retorikal (pertanyaan yang diajukan lebih mengarah untuk
dapat memberikan penjelasan, bukan mengharapkan jawaban);
Kadangkala dirangkai tidak seperti sebuah pertanyaan. Sebagai contoh,
daripada mengajukan pertanyaan: “Kapan terakhir kamu menggunakan
kokain?”, konselor dapat mengatakan: “Ceritakan mengenai saat terakhir
kamu menggunakan heroin?” Hal ini bertujuan untuk memperoleh informasi
lebih dari sekedar waktu kejadian saja.
Tentu saja, pertanyaan terbuka tidak selalu merupakancara yang terbaik.
Sebagai contoh, penggunaan pertanyaan: “Ceritakan mengenai tempat
dimana kamu tinggal”.
Pertanyaan terbuka akan membantu konselor untuk hal berikut:
Membantu konselor memahami sudut pandang klien.
Membangkitkan perasan klien terhadap topik atau situasi yang diberikan.
Memfasilitasi dialog karena pertanyaan terbuka tidak dapat dijawab dengan
sebuah kalimat atau kata-kata singkat dan jawabannya luas (berbeda-beda).
Menyediakan informasi tambahan dalam cara yang netral.
Mendorong klien untuk lebih banyak berbicara.
Membantu konselor menghindari praduga.
Mempertahankan komunikasi agar terus berkembang.
Afirmasi
Afirmasi adalah membuat pernyataan mengenai seseorang secara tulus dan
positif. Afirmasi seperti melakukan pujian, namun lebih mendalam dari sekedar
memuji seperti “Rambutmu terlihat indah!” Salah satu efek paling penting yang
dihasilkan dari afirmasi adalah mendorong tumbuhnya perasaan efikasi diri (selfefficacy) klien. Afirmasi juga dapat memperkuat hubungan yang membantu
menunjukkan kepada klien bahwa konselor memahami kesulitan klien dan
menghargai (memvalidasi) pengalaman dan perasaan mereka. Penekanan
43
(fokus) pada pengalaman klien akan kekuatan, kesuksesan dan keberdayaan,
dapat mencegah terjadinya keputusasaan.
Berikut adalah beberapa contoh dari pernyataan afirmasi:
Saya
menghargai
bagaimana
beratnya
tantanganmu
untuk
dapat
memutuskan datang kemari; kamu telah mengambil langkah besar.
Saya terkesan bahwa kamu mampu mengatakan “tidak” kepada kakakmu.
Itu merupakan usul yang baik.
Rangkuman
Rangkuman adalah mengambil inti dari apa yang dinyatakan klien, atau hal yang
terjadi di dalam sesi konseling, untuk kemudian mengkomunikasikan kembali
kepada klien. Berbeda dari refleksi sederhana, rangkuman tidak merefleksikan
suatu pernyataan namun merangkum keseluruhan dari percakapan atau sesi
konseling.
Rangkuman membantu klien untuk hal berikut:
Menguatkan apa yang dikatakannya;
Mendemonstrasikan
bahwa
konselor
mendengarkan
dengan
penuh
perhatian;
Membantu mereka mempertimbangkan respon dan pengalamannya;
Mempersiapkan mereka untuk melangkah maju.
Rangkuman yang dapat menghubungkan antara perasaan positif dan negatif
klien terkait penggunaan Napza dapat membantu klien melihat sisi ambivalensi
dari dirinya dan adanya kesenjangan (diskrepansi) antara perilaku penggunaan
zat dengan tujuan yang ingin dicapai. Ambivalensi dan diskrepansi akan
dibicarakan lebih lanjut di modul lainnya.
Rangkuman juga dapat menjadi sebuah cara yang baik untuk mengulas sesi
sebelumnya dan untuk mengakhiri sesi yang sedang berlangsung. Rangkuman
berguna untuk digunakan dalam sesi individual maupun kelompok, dan
menghubungkan antara sesi terakhir dengan yang sesi berikutnya.
Rangkuman dapat digunakan untuk hal berikut:
44
Menegaskan perkembangan yang dibuat oleh klien atau kelompok;
Mengingatkan klien mengenai komitmen-komitmen yang pernah mereka buat;
Menguatkan klien untuk mengerjakan tugas rumah.
Sebagai contoh, konselor dapat mengkoreksi rangkuman sesi dan laporan
mengenai klien dengan cara seperti ini:
“Kita membahas banyak hal hari ini, Richard. Kita membicarakan tentang
kesuksesanmu dalam menolak tawaran menggunakan kokain dari kakakmu.
Meskipun saat itu kamu sempat merasakan frustasi, namun sekarang kamu
merasa nyaman dengan dirimu. Kita juga membicarakan beberapa masalah
tentang manajemen waktu, dan Anda setuju untuk menuliskan jadwal untuk
seminggu kedepan dan melihat bagaimana hal itu bisa bekerja untuk Anda”.
Rangkuman juga dapat memberikan tujuan strategis, yaitu konselor dapat
memilih informasi yang layak dan tidak layak untuk disampaikan. Dalam hal ini
konselor dapat menguatkan hal yang positif dan meminimalisasi hal yang negatif.
Bergulir dengan Resistensi
Konsep ini dikenalkan oleh Miller dan Rollnick’s melalui pendekatan wawancara
motivasional (motivational interviewing)4. Dalam hal ini kita membicarakannya
sebagai keterampilan inti. Namun dikarenakan hal ini merupakan konsep yang
sangat berguna dan juga sebagai sebuah tatanan keterampilan, hal ini juga
merepresentasikan perubahan pola pikir dalam memandang resistensi klien.
Pandangan masa lampau menyatakan resistensi sebagai sebuah perilaku klien
yang menantang atau menyangkal. Dalam menanggapinya, konselor seringkali
melakukan konfrontasi atau argumen. Sementara pandangan terbaru yang lebih
konstruktif memandang bahwa resistensi hanyalah indikator dari ambivalensi,
dan ambivalensi merupakan hal yang normal dari proses perubahan. Seorang
konselor
yang
baik
akan
membantu
kliennya
dalam
menggoyahkan
ketidakseimbangan motivasionalnya.
Resistensi
juga
dapat
berarti
bahwa
konselor
harus
mengubah
arah
pembicaraannya atau mendengarkan klien dengan lebih seksama.
4
Miller, W. R., & Rollnick, S. (1991). Motivational interviewing: Preparing people to change addictive behavior.
New York: Guilford Press
45
Miller dan Rollnick mendefinisikan empat tipe resistensi, yaitu berdebat,
menginterupsi, menyangkal dan mengacuhkan.5
Bergulir dengan resistensi mirip dengan cara sederhana dalam menghindari
argumen, namun juga memberikan kesempatan untuk mengekspresikan empati,
dengan cara mempertahankan sikap menghargai dan tidak menghakimi serta
mendorong klien untuk berbicara dan tetap terlibat dalam sesi.
Teknik-teknik yang dapat digunakan untuk bergulir dengan resistensi adalah
sebagai berikut:
Mengubah fokus (shifting focus);
Menyetujui dengan sedikit perbedaan (agreement with a twist);
Merangkai kembali (reframing);
Meningkatkan kontrol dan pilihan diri (emphasizing personal choice and
control).
MembangkitkanMinat Klien untuk Berbicara Mengenai Perubahan
a) Ajukan Pertanyaan yang Evokatif
Pertanyaan yang diajukan bersifat terbuka, sehingga jawaban yang timbul
akan berupa pembicaraan yang mengarah ke perubahan, misalnya:
Mengapa kamu ingin membuat perubahan ini? (keinginan);
Bagaimana
kamu
bisa
menjalaninyasehingga
bisa
berhasil?
(kemampuan);
Apa tiga alasan kamu yang paling kuat sehingga mau melakukan ini?
(alasan);
Seberapa penting perubahan ini untuk kamu? (kebutuhan);
Bagaimana kamu yakin kamu bisa melakukan semua ini? (komitmen).
b) Minta untuk Dijabarkan (Elaborasi)
Ketika pembicaraan mengarah ke tema yang bermakna, tanyakan lebih rinci
antara lain dengan cara berikut:
5
Ibid
46
Dalam segi apa?
Ceritakan lebih lanjut.
Apa yang kamu pikirkan tentang hal itu?
c) Mengingat Kembali
Tanyakan mengenai waktu:
Apakah kamu ingat kapan hal itu terjadi...?
Bagaimana situasi yang kamu alami sebelum ...?
d) Melihat Ke Depan
Tanyakan kemungkinan apa yang akan terjadi apabila rencana berjalan
sesuai dengan harapan:
Apabila kamu sukses 100% dalam membuat perubahan seperti yang
kamu inginkan, apa yang kemudian menjadi berbeda dalam hidup kamu?
Apa yang kamu harapkan berbeda dalam hidup kamu?
Kehidupan seperti apa yang kamu harapkan dalam 5 tahun ke depan?
e) PertanyaanEkstrem
Hal terburuk apa yang akan terjadi bila kamu tidak bisa membuat
perubahan ini?
Hasil terbaik apa yang dapat kamu bayangkan apabila...?
f) Eksplorasi Tujuan dan Nilai
Tanyakan nilai-nilai yang klien anut. Apa yang ia inginkan dalam hidupnya?
Menggunakankartu seperti kartu tentang nilai-nilai tertentu dapat membantu
klien
dalam
memahaminya.
Tanyakan
bagaimana
kaitan
perilaku
penggunaanNapza dengan nilai dan tujuan dirinya. Apakah hal itu
membantunya mencapai nilai dan tujuan dirinya, terganggu dengan hal itu
atau hal itu tidak berhubungan?
47
g) Munculkan Ketidaksetujuan Dalam Berbagai Cara
Ungkapkan secara langsung sisi negatif (status-quo yang terjadi saat itu) dari
ambivalensi, untuk mendorong klien tidak setuju dengan Anda dalam
berbagai cara, seperti berikut :
Tampaknyasangat penting untuk kamu sehingga kamu tidak mau
menyerah, tidak peduli apapun konsekuensi yang akan terjadi.
Mungkin kamu benar. Kamu hanya tidak mampu untukmengatakan tidak
kepada saudaramu.
Penjelasan secara detil tentang konseling individual pada gangguan penggunaan
Napza dapat mengacu pada Modul Konseling Adiksi yang dikeluarkan oleh
Kementerian Kesehatan (2010), Badan Narkotika Nasional (2009) dan Asian
Center for Certification and Education of Addiction Professionals, Colombo Plan
(2011).
2.2.7 Sesi Kelompok
Sesi kelompok dapat dilakukan dalam terapi gangguan penggunaan zat karena
dapat memberi kesempatan kepada klien untuk mengembangkan ketrampilan
komunikasi dan berpartisipasi dalam kegiatan kemasyarakatan. Kegiatankegiatan ini sangat bermanfaat bagi individu yang selama ini hanya bergaul
terbatas di lingkungan pengguna Napza saja.
Sebagai prinsip, ada beberapa hal yang perlu diperhatikan dalam sesi
kelompok:
Pelaku dan korban kekerasan domestik harus dipisahkan, tak boleh dalam
satu kelompok.
Tetangga, teman, sanak, pasangan suami-isteri atau orang bermakna
lainnya di dalam kehidupan klien, jangan disatukan di dalam kelompok yang
sama, kecuali dalam pelaksanaan terapi keluarga.
Perlu dibicarakan dan dibuat persiapan terkait masalah kerahasiaan.
Perlu ditentukan aturan main yang disepakati oleh anggota kelompok
sebelum dimulainya sesi kelompok.
48
Jumlah anggota kelompok yang optimal adalah 8-15 orang. Sesi kelompok
biasanya menghabiskan waktu tidak lebih dari 1,5 jam karena orang sulit untuk
tetap fokus dalam waktu yang lama.
Format kegiatan dan topik-topik yang sebaiknya diberikan dalam kegiatan / sesi
kelompok program PABM mencakup antara lain sebagai berikut:
Adiksi Dasar atau Ilmu Pengetahuan Adiksi
Farmakologi
Kesehatan Dasar
HIV dan infeksi menular lainnya
Pencegahan kekambuhan
Harm Reduction
Life Skill (contoh: komunikasi, problem solving, anger management)
Kelompok Dukungan (contoh: NA meeting, female meeting, close meeting)
Diskusi kelompok
Vokasional dan kewirausahaan
Pelayanan sosial
Penjelasan secara detil tentang sesi kelompok pada Gangguan penggunaan
Napza dapat mengacu pada Modul Konseling Adiksi yang dikeluarkan oleh
Kementerian Kesehatan (2010), Badan Narkotika Nasional (2009) dan Asian
Center for Certification and Education of Addiction Professionals, Colombo
Plan(2011).
2.2.8 Kelompok Dukungan
Kelompok dukungan atau kelompok bantu-diri merupakan sebuah kelompok
informal yang bertujuan untuk saling mendukung atau saling bantu dalam
mengatasi masalah pemulihan, dimana para anggotanya memiliki kesamaan
permasalahan hidup yang dialami. Kegiatan yang dilakukan di dalam kelompok
bantu-diri ini biasanya berisi tentang penguatan-penguatan maupun informasi
dan edukasi terkait masalah yang dihadapi. Unsur terapeutik diberikan oleh
49
peserta melalui berbagi cerita, baik untuk yang membagi cerita maupun yang
mendengarkannya.
Jenis-jenis kelompok dukungan atau kelompok bantu-diri terkait GPZ yang
umum ada di Indonesia, antara lain seperti Narcotics Anonymous Meeting,
Aftercare Group.
Kelompok bantu-diri merupakan program yang umumnya dilakukan di
masyarakat dan bukan merupakan komponen terapi yang wajib dilakukan di
dalam fasilitas program, namun sangat disarankan untuk para lembaga
pelaksana mengenalkan kelompok bantu-diri ini kepada klien di dalam program
PABM, untuk mempersiapkan klien ketika sudah selesai menjalankan program
PABM.
2.3 Pendekatan Terapi
2.3.1 Wawancara Motivasional
Wawancara
Motivasional
(WM)
merupakan bagian penting di dalam
penerapan
maupun
asesmen,
konseling.
wawancara
Salah
satu
proses yang paling penting untuk
penerapan teknik WM adalah pada tahap rekrutmen klien.Seringkali kita berpikir
bahwa yang menentukan bagus tidaknya suatu terapi adalah sejauhmana klien
mengharapkan keberhasilan dalam proses terapinya. Pandangan ini sesungguhnya
keliru, sebab penelitian menunjukkan bahwa ada 4 faktor utama yang menentukan
efektivitas suatu program (Tomlin and Richardson, 2004), yaitu sebagai berikut:
Klien itu sendiri.
Hubungan terapeutik antara klien dengan pelaksana program.
Harapan klien dan harapan konselor.
Orientasi teoritis (teknik penatalaksanaan).
50
Dari keempat hal di atas, faktor klien dan hubungan yang berkembang antara
klien dan konselor adalah hal yang paling menentukan hasil terapi. Sementara
orientasi teoritis atau teknik penatalaksanaan berkontribusi hanya sepertiga dari
keberhasilan terapi.
WM adalah suatu pendekatan konseling yang diadaptasi dari beberapa teori seperti
Rogerian, Cognitive Behavioral Therapy (CBT) dan social learning models of
counseling. WM menekankan strategi pada kerangka waktu tertentu, merancang
strategi yang dirasakan sesuai untuk situasi yang dihadapi dan bagaimana
mengaplikasikan strategi tersebut. WM memaksimalkan efektivitas keterampilan ini
pada setiap sesi yang ada untuk mendukung perubahan klien. WM adalah
pendekatan filosofis yang mencakup konseling dan gaya komunikasi. Pendekatan ini
dapat digabungkan dengan pendekatan terapeutik lainnya.
Lakukan wawancara motivasional pada kondisi berikut:
Klien tidak dalam kondisi intoksikasi (rujuk detoksifikasi):
”Keadaan intoksikasi adalah suatu kondisi peralihan yang timbul akibat
menggunakan Napza sehingga terjadi gangguan kesadaran, fungsi kognitif,
persepsi, afek dan perilaku, atau fungsi dan respons psikofisiologis lainnya.”
Klien tidak berada dalam kondisi putus zat berat (rujuk detoksifikasi):
“Keadaan putus Napza adalah sekelompok gejala dengan aneka bentuk dan
keparahan yang terjadi pada penghentianpemberian Napza secara absolut
atau relatif sesudah penggunaan Napza yang terus menerus dalam jangka
panjangdan/atau dosis tinggi.”
Klien berada pada kondisi pra-kontemplasi (belum memikirikan tentang
perubahan) atau kontemplasi (bimbang untuk melakukan perubahan).
Intervensi berdasarkan tahapan perubahan perilaku klien
Tahapan perubahan perilaku adalah suatu proses dimana umumnya dialami oleh
seseorang ketika mereka merubah perilaku mereka yang bersifat problematik,
diantaranya perilaku penyalahgunaan Napza. Dikemukakan oleh Prochaska dan
DiClemente pada tahun 1982, model ini digunakan secara luas di seluruh dunia.
51
Tahapan perilaku berikut ini tidak berarti dialami secara berurutan, dapat pula terjadi
loncatan dari satu tahapan ke tahapan lainnya. Ada lima tahapan perubahan
perilaku:
a. Tahap Pra-kontemplasi
Pada tahap ini seseorang tidak melihat perilakunya bermasalah. Masukan orang
lainpun
tidak
akan
serta
merta
membuat
mereka
mempertimbangkan
perilakunya. Kalimat-kalimat yang umumnya diutarakan pada tahapan ini adalah:
“Saya nggak punya masalah dengan putaw … semuanya baik-baik saja” atau
“Saya bisa kontrol pemakaian ekstasi saya…”.
b. Tahap Kontemplasi
Seseorang pada tahap ini mengakui bahwa perilaku penggunaan zatnya
menimbulkan masalah, tetapi mereka merasa ragu-ragu untuk merubah
perilakunya. Hal yang paling menandai tahap kontemplasi adalah timbulnya
“keragu-raguan” (ambivalensi). Klien mengakui perlunya untuk melakukan
perubahan tetapi mereka tidak yakin ingin sungguh-sungguh berubah. Kalimatkalimat yang sering diutarakan pada tahapan ini adalah: “Saya pengen berubah,
tapi mungkin nggak sekarang…” atau “Waktu ketangkep kemaren bener-bener
bikin hidup saya kacau, tapi akan lebih kacau lagi kalo saya nggak make..”
c. Tahap Persiapan (Determinasi)
Pada tahap ini umumnya seseorang sudah membuat keputusan untuk berubah.
Kalimat-kalimat yang sering muncul adalah: “Saya udah mantap berhenti
sekarang” atau “Saya yakin hidup saya akan lebih bagus kalo saya berubah..”.
Pada tahap ini klien membutuhkan bantuan untuk membuat rencana konkrit
yang dapat menggiringnya membuat perubahan yang berarti.
d. Tahap Aksi
Seseorang menunjukkan perubahan perilaku yang sangat signifikan ketika
berada pada tahap aksi ini. Sesuai dengan artinya, aksi berarti klien
menerapkan rencana-rencana perubahannya. Umumnya individu pada tahap ini
membutuhkan banyak pengakuan dan dukungan positif agar individu tersebut
semakin mantap.
52
e. Tahap Rumatan
Pada tahap ini seseorang yang telah melakukan perubahan perilaku pada
umumnya sudah merasa nyaman dengan perilaku barunya. Agar dapat bertahan
pada tahap ini, klien perlu secara ajeg memonitor konsekuensi positif yang
ditimbulkan akibat perilaku barunya dan mengikuti strategi-strategi yang sesuai
untuk menghindari timbulnya kekambuhan. Tidak jarang individu yang berada
pada tahap ini kehilangan pegangan atas strategi pencegahan kambuh dan
kembali pada perilaku lamanya. Jika hal tersebut terjadi namun seseorang
mengkaji strategi pencegahan kambuhnya dan mengambil langkah-langkah
nyata yang dibutuhkan untuk merumat perilaku barunya, maka ia tetap
dikategorikan dalam tahapan rumatan.
Di luar kelima tahap di atas, ada kondisi kekambuhan yang diakui sebagai
bagian yang mewarnai proses perubahan. Sepanjang klien menganggap
kekambuhan sebagai landasan untuk kembali memperbaiki diri dan merubah
perilaku maka individu tersebut tetap berada dalam siklus tahap perubahan.
Penekanan wawancara motivasional
Ada dua fase utama dalam menerapkan MW:
Fase 1: membangun motivasi untuk berubah.
Fase 2: memperkuat komitmen untuk berubah.
Setiap
fasememerlukanketrampilan-
ketrampilan
dan
strategi-strategi
spesifik yang dapat mendukung prinsip
dan penerapan MW dan memperkuat
bagaimana konselor berinteraksi dengan
klien.
Ada empat ketrampilan pada Fase 1
yang disingkat sebagai OARS yang
berarti
(pertanyaan
open-ended
terbuka),
questions
affirmation
(penegasan), reflections (mencerminkan ulang pernyataan klien) dan summary
(menyimpulkan). Keempat ketrampilan ini secara empirik telah terbukti menurunkan
53
sikap resisten klien karena mereka merasa didengar, dimengerti dan diakui
pendapat-pendapatnya.
Strategi pada Fase 2 umumnya melanjutkan teknik OARS dan menambahkan
strategi untuk
rekapitulasi
menilai
dan
kesiapan
menanyakan
(readiness to
klien
pertanyaan-pertanyaan
change), membuat
kunci
(transitional
summary and key questions), menawarkan informasi dan nasehat (information
and advice) serta melakukan negosiasi atas rencana perubahan (negotiating a
change plan) untuk membantu klien bergerak maju pada tahap-tahap perubahan
yang ada.
Tabel berikut ini dapat memberi gambaran konkrit tentang Fase 1 dan Fase 2 pada
WM (sumber: Tomlin dan Richardson, 2004):
Tabel.4
Prinsip dan Strategi Wawancara Motivasional
Prinsip-prinsip WM
Ketrampilan/Strategi
Ketrampilan/Strategi
Fase 1
Fase 2
Empati
Open-ended
Readiness to
Berkomunikasi dengan cara
questions
change
penerimaan melalui
Cara bertanya ini
Menilai kesiapan
mendengar yang bersifat
mengembangkan
klien untuk berubah
reflektif. Hal ini dapat
hubungan yg baik
sangat penting
membantu klien
dengan klien karena
daam rangka
mengeksplorasi dan
mendorong klien
menentukan
menyelesaikan
untuk menjawab
intervensi apa yang
kebingungannya. Ia
lebih dari sekedar “ya
dibutuhkan klien.
dapatmulai
atau tidak”.
mempertimbangkan
perubahan tanpa rasa
khawatir bahwa akan
dipermalukan.
Intervensi yg tidak
Contoh: “Apa yg
tepat dapat
mendorong kamu
meningkatkan
datang hari ini?” atau
resistensi klien.
“Bagaimana saya
bisa membantu Anda
saat ini?”
54
Develop
Affirmation
Transitional
DiscrepancyMengembangkan
Menegaskan secara
summary and key
positif apa yang telah
questions
dinyatakan klien atas
Secara umum, dua
niatnya untuk
strategi ini akan
berubah, atas
sangat bermanfaat
konsekuensi negatif
bagi klien yang
yang ditimbulkan
berada pada tahap
perilakunya selama,
transisi antara
atas kekuatan-
kontemplasi dan
kekuatan yang
persiapan.
perbedaan antara pandangan
klien yang lama
dengankenyataan yang ada
dapat mendorong klien masuk
pada tahap kontemplasi
dimana ia mulai merasa raguragu dengan perilaku lamanya
dan mempertimbangkan
perubahan.
Dengan teknik ini, klien
dimilikinya yang
umumnya akan
dapat mendorongnya
mengkonfrontasi dirinya
untuk berubah.
sendiri yang merupakan suatu
bentuk konfrontasi yang paling
efektif.
Kesimpulan transisi
termasuk informasi
tentang pandangan
Afirmasi membantu
klien tentang situasi,
klien membentuk
penilaian konselor,
perasaan percaya
informasi yang
diri dan
obyektif dan
meningkatkan
komentar klien yang
keyakinannya
mengindikasikan
Contoh kalimat:
“Saya tahu kalau
hasrat untuk
berubah.
kamu mampu
melakukan ini”
“Memang berat,
tetapi nampaknya
kamu mampu
melaluinya dengan
baik”
Rolling with resistance
Reflective listening
55
Information and
Menurunkan resistansi dapat
Mendengar reflektif
menggiring hasil terapi yang
adalah hal yang
lebih baik.
sangat mendasar
Mengikuti prinsip bergulir
bersama resistensi, klien
dalam
mempraktekkan WM.
Advice
Meskipun konselor
diharapkan tidak
memberikan
nasehat, namun
seringkali mulai berdebat atas
Refleksi adalah
tidak dapat
kebutuhannya untuk berubah.
pernyataan yg
dipungkiri bahwa
diucapkan konselor
pada waktu-waktu
yang
tertentu klien
mengindikasikan
membutuhkan
bahwa konselor
informasi dan
mendengar apa yang
nasehat
Hubungan klien – konselor
merupakan suatu kondisi yang
vital. Bila timbul suatu
resistensi, itu tandanya
konselor perlu mengkaji ulang
strategi dan pola komunikasi
disampaikan klien.
Ada waktu dimana
yang dilakukannya dan
Teknik ini menuntut
klien sunguh-
menyesuaikan diri dengan
konselor untuk
sungguh tidak tahu
strategi yang lebih tepat untuk
mengenyampingkan
pilihan-pilihan yang
mengurangi resistensi
berbagai praduga
ada dan
tersebut.
atau stereotipi atas
membutuhkan
klien dan fokus pada
informasi obyektif
pemahaman akan
dari konselor. Yang
apa yang klien
paling penting dan
sampaikan, baik
harus dihindari
verbal maupun non-
adalah menghindari
verbal.
memberitahu klien
Contoh:
Klien: “Bapak yg
menyuruh saya
kesini. Saya suka
minum dan pake
ganja kadangkadang, tapi saya
nggak tau apa saya
56
apa yang harus
dilakukannya.
mau berubah atau
enggak”
Konselor: “Bapak
menginginkan kamu
berubah, tapi kamu
sendiri belum
membuat keputusan”
Support Self-Efficacy
Summary
Negotiating a
Self-efficacy berarti keyakinan
Pernyataan
Change Plan
seseorang bahwa ia mampu
kesimpulan
Merencanakan
mengatasi suatu keadaan atau
diperlukan untuk
perubahan
mengerjakan suatu tugas
merumuskan
merupakan hal yang
(Miller & Rollnick)
keseluruhan
penting dan akan
informasi yang
meningkatkan
diperoleh dalam
kemungkinan untuk
hubungan yang
mencapai
bersifat terapeutik.
keberhasilan.
Kesimpulan
Konselor dapat
menggarisbawahi
menolong klien
apa yg menjadi fokus
bernegosiasi atas
klien,
rencana perubahan
mengekspresikan
dengan
keragu-raguan klien
membantunya
akan suatu
merencanakan
perubahan, serta
secara hati-hati,
memberi gambaran
meyakinkan bahwa
adanya perbedaan
rencana tersebut
antara apa yang klien
bersifat praktis dan
nyatakan dengan
realistis.
apa yang klien
perbuat
57
2.3.2 Cognitive-Behavioral Therapy (CBT) atau Terapi Kognitif-Perilaku
Teknik ini didasari dari penggabungan 2 model terapi, yaitu cognitive therapy dan
behavioral therapy.
Terapi kognitif, aslinya dikembangkan oleh Aaron Beck untuk mengobati depresi,
berdasarkan teori bahwa orang seringkali memiliki keyakinan, asumsi, dan pikiranpikiran otomatis yang mempengaruhiperilaku mereka, tetapi mungkin tidak
menolong dan tidak realistis.Kognitif terapi mengemukakan bahwa pikiran-pikiran
dan
interpretasi
seeorang
menyebabkan
terjadinya
perasaan
dan
perilaku.Keyakinan inti dalam kognitif terapi adalah seseorang dapat memperbaiki
cara berpikirnya(dan merasa dan berbuat), bahkan walaupun situasi tidak berubah.
Terapi perilaku, pertama kali dikonsep oleh Pavlov dan disempurnakan oleh B.F.
Skinner dan rekan lainnya, menerapi gangguan emosional dan perilaku sebagai
sebuah respon yang dipelajari yang dapat diganti dengan sesuatu yang lebih sehat
dengan pelatihan yang cocok. Terapi perilaku membantu seseorang mengenal
perilaku yang tidak dapat menolong dirinya sendiri dan mencoba cara-cara
berperilaku baru.Terapi perilaku dapat mencakup suatu rentang relaksasi dan teknikteknik penanggulangan masalah (coping skill).
CBT berdasarkan pada keyakinan bahwa seorang klien dapat dibantu untuk
mengenali dan membuang pikiran, emosi dan perilaku yang merugikan sehingga
menyebabkan disfungsi dalam hidupnya.Meskipun model-model terapi lain juga
mencoba untuk mengatasi pertanyaan “mengapa seseorang (klien) melakukan apa
yang dia lakukan (perilaku adiktif)”, pertanyaan utama dalam CBT adalah sebagai
berikut:
Apa yang membuat mereka tetap melakukan hal yang sama?
Bagaimana mereka dapat berubah?
Pertanyaan “apa” tersebut menanggulangi penguat-penguat yang mempertahankan
pola-pola pikiran, suasana perasaan, dan perilaku. Pertanyaan “Bagaimana” terkait
dengan membangun keterampilan.
58
Pendekatan CBT untuk menerapi gangguan penggunaan zat (GPZ) fokusnya adalah
mengajarkan klien keterampilan-keterampilan yang dapat membantu mereka
mengenal
dan
mengurangi
risiko
relapse,
mempertahankan
abstinen,
menyelesaikan masalah-masalah, dan menguatkan efikasi diri (kemampuan klien
untuk mengenal kekuatan-kekuatannya dan meyakini bahwa perubahan adalah
sesuatu yang mungkin).
Di dalam program PABM, teknik ini cocok untuk digunakan dan telah banyak
digunakan oleh para lembaga pelaksanan, meskipun mungkin sebagian besar dari
mereka belum menyadari atau tidak menyebutkan secara spesifik mengenai
penerapan teknik ini. Hal ini dapat dilihat dari beberapa laporan evaluasi dan
monitoring yang dilakukan selama beberapa tahun pelaksanaan program PABM ini.
Konsep-konsep dasar dari pendekatan CBT telah diinternalisasikan dalam kegiatan
programnya. Konseling Pengurangan Risiko atau Behavior Drug Risk Resistance
Counseling (BDRRC) yang dikembangkan oleh Prof. Marek, dan sempat diajarkan
kepada para petugas pelaksana program PABM melalui pelatihan-pelatihan teknis,
juga merupakan pengembangan pendekatan CBT modern.
Teknik-Teknik Utama CBT
Teknik-teknik khusus yang dapat membantu klien menanggulangi GPZ adalah
sebagai berikut:
Menanyakan pertanyaan-pertanyaan dan mengajarkan klien untuk menanyakan
kepada diri mereka pertanyaan-pertanyaan untuk mendalami hubungan pikiran
mereka dengan respon-respon emosional yang terjadi.
Menggali konsekuensi-konsekuensi negatif dan positif dari penggunaan zat yang
dilakukan terus menerus.
Mengajarkan klien keterampilan monitoring diri untuk mengenali sugesti atau
kondisi ingin pakai (craving) sedini mungkin, dan untuk mengenali situasi risiko
tinggi pencetus relaps.
Mengembangkan strategi-strategi untuk koping dan menghindari risiko tinggi
yang memicu hasrat untuk menggunakan.
Mengantisipasi masalah yang mungkindapat memicu slip atau relaps.
59
Mengembangkan strategi koping yang efektif (seperti teknik relaksasi) terhadap
tantangan hidup sehari-hari yang dapat memicu GPZ.
Mengajarkan keterampilan-keterampilan menyelesaikan masalah.
Pekerjaan rumah adalah bagian utama pendekatan CBT. Klien diberikan tugas
membaca, diminta untuk tetap mempertahankan perilaku dan pikiran-pikiran
tertentu, atau diminta untuk mempraktekkan keterampilan-keterampilan baru.CBT
juga dipakai untuk tantangan lain dalam pemulihan, seperti memperbaiki hubunganhubungan dan penanggulangan emosi.
Salah satu tipe khusus dari pendekatan CBT adalah cognitive-behavioral copingskills therapy, yang asalnya dikembangkan untuk membantu klien dengan gangguan
penggunaan
alkohol.6Coping
skills
therapy
adalah
pendekatan
terstruktur,
berdasarkan pada suatu panduan. Setiap sesi coping skills therapy mencakup
diskusi mengenai jalan pikirannya,pedoman keterampilan khusus, bermain peran
(role-play) untuk melatih perilaku spesifik, dan latihan-latihan untuk topik-topik
tertentu, termasuk hal berikut:
Mengendalikan pikiran-pikiran tentang NAPZA dan penggunaannya.
Menyelesaikan masalah.
Keterampilan menolak.
Membuat rencana menghadapi situasi kegawat-daruratan dan penanggulangan
penggunaan kembali (lapse).
Keputusan-keputusan yang kelihatannya tidak relevan.
Tabel.5
Kekuatan dan Tantangan CBT
Kekuatan
Tantangan
CBT secara aktif mengikat klien dalam
Klien yang sulit membaca atau
terapi dan pembelajaran eksperensial
keterampilan kognitifnya buruk,
(melalui penggalian pengalaman)
membutuhkan alternatif-alternatif untuk
6
U.S. National Institute on Alcohol Abuse and Alcoholism. (1995). Cognitive-behavioral coping skills therapy
manual: A clinical research guide for therapists treating individuals with alcohol abuse and dependence. Project
MATCHMonograph Series, Volume 3. Bethesda, MD: Author.
60
tugas-tugas tertulis
CBT cocok untuk klien dari berbagai
Pendekatan ini membutuhkan
latarbelakang dan variasi riwayat
pelatihan konselor yang spesifik dalam
penggunaan alkohol dan NAPZA
prinsip-prinsip dan teknik-teknik CBT
CBT menyediakan metode-metode
Motivasi klien sangat pentingkarena
terstruktur untuk memahami pemicu
banyaknya tugas-tugas pekerjaan
relaps dan menyiapkan diri untuk
rumah
situasi yang dapat menimbulkan relaps
CBT dapat membantu klien
CBT dikembangkan awalnya sebagai
menghadapi sejumlah situasi
pendekatan konseling individual, tidak
kehidupan
untuk kelompok.
Pekerjaan
rumah
membolehkan
mempraktekkan
perilaku
baru
yang
klien
banyak
untuk
dan
mengevaluasi
dalam
lingkungannya
sendiri
61
3. STANDAR
PENYELENGGARAAN
PROGRAM
3.1 Prasyarat Kelembagaan
Standar ini sejauh mungkin dipenuhi kriteria minimumnya oleh setiap lembaga
pelaksana. Minimum dalam arti tidak harus memiliki ruangan khusus yang spesifik
dan terpisah, namun dapat menyatu sebagai ruang multifungsi (contoh: ruang
rekreasi yang berfungsi juga sebagai ruang seminar, ruang kamar tidur yang
dialihfungsikan menjadi ruang konseling). Namun untuk bangunan utama ruangan
harus tersedia khusus dan terpisah.
Sarana Bangunan Utama
Bangunan
utama
terdiri
dari
ruangan-ruangan
yang
memadai
untuk
penyelenggaraan program PABM:
1) Ruang Administrasi
Ruang
Administrasi
sangat
penting
dimiliki
untuk
keperluan
registrasi,
administrasi dan penyimpanan data/dokumen yang terkait dengan klien, staf
maupun pusat penyelenggaraan program TC itu sendiri. Ruangan ini perlu
dilengkapi dengan peralatan yang menunjang keperluan administrasi dan
penyimpanan dokumen serta nomer-nomer kontak penting untuk keadaan
darurat maupun rujukan.
2) Ruang Tamu
Klien maupun staf dapat menerima tamu di ruangan khusus yang disediakan.
Ruang ini penting sekali tidak hanya untuk menjaga privacy namun juga
untukkeamanan klien.Ukuran ruang tamu dapat beragam, dan dilengkapi dengan
kursi serta meja yang memadai, serta pencahayaan yang cukup.
62
3) Ruang Kegiatan atau Serbaguna
Ruang ini dapat digunakan untuk penyelenggaraan program harian, pertemuan,
seminar, rekreasi ataupun acara lainnya. Seperti layaknya ruang pertemuan,
ruang serbaguna sebaiknya dilengkapi dengan perlengkapan seperti white
board/screen, flip chart, sistem audiovisual, kursi dan meja dan karpet (jika tidak
ada meja dan kursi). Bilamana mungkin, peralatan musik dan bahan-bahan
bacaan perlu disiapkan pada ruangan ini.
4) Ruang Rapat Petugas
Ruang rapat petugas sebaiknya berada terpisah dari ruangan kegiatan lainnya.
Hal ini penting untuk menindaklanjuti hasil kegiatan yang dilakukan kepada para
klien. Tindak lanjut program, ataupun diskusi kasus dapat dilakukan di tempat ini.
Fasilitas yang perlu disiapkan, tentunya adalah meja, kursi, white board dan
lemari.
5) Ruang Konseling
Untuk menjaga privasi klien, ruang konseling sebaiknya ditempatkan di lokasi
yang sesuai. Ukuran ruangan dapat disesuaikan dengan kebutuhan, namun
fasilitas yang perlu disediakan adalah sofa/kursi yang nyaman, meja dan lemari.
6) Kamar Klien
Penggunaan ruangan dapat disesuaikan dengan kebutuhan, baik kamar yang
bersifat lebih pribadi (1 – 3 orang) ataupun secara bersamaan (seperti bangsal)
lebih dari 3 orang per kamar. Kamar klien perlu dilengkapi dengan perlengkapan
tidur yang memadai, dan dengan sirkulasi udara yang baik.
7) Kamar Mandi / WC
Kamar mandi yang terawat, dan sebaiknya menggunakan pancuran (shower)
dibandingkan dengan menggunakan bak. Bak mandi sebaiknya tidak digunakan
untuk memperkecil risiko kecelakaan dan upaya bunuh diri, selain tentunya dapat
menghemat penggunaan air.
8) Dapur
Harus terpisah dan bangunan merupakan fungsi khusus dari dapur itu sendiri.
9) Ruang Makan
Sarana yang perlu disiapkan dalam ruang makan tentunya adalah meja dan kursi
makan yang sesuai dengan jumlah klien dan konselor yang ada.
63
10) Kamar Konselor atau Petugas
Diperuntukan bagi petugas yang berjaga malam atau untuk ruangan konselor
beristirahat. Letak kamar konselor perlu dipertimbangkan untuk faktor keamanan,
keselamatan dan kenyamanan mereka.
11) Ruang Pengobatan
Ruangan ini perlu disediakan untuk pemeriksaan kesehatan bagi klien dan
ruangan untuk klien yang masih menjalani program detoksifikasi ataupun
pemulihan fisik. Perlengkapan minimal adalah tempat tidur periksa dan lemari
penyimpanan obat (khususnya obat untuk P3K), perlengkapan tes diagnostik
seperti tensimeter, thermometer, stetoskop serta tabung oksigen. Jika tidak
memungkinkan diadakannya ruangan dan perlengkapan tersebut, maka minimal
terdapat tempat atau ruangan untuk penyimpanan obat yang terpisah dan terjaga
keamanannya, untuk menghindari penyalahgunaan obat-obatan. Sistem rujukan
terintegrasi harus dimiliki apabila belum dapat memenuhi standar ini.
Bangunan Penunjang
Kegiatan-kegiatan harian perlu ditunjang oleh sarana dan prasarana lain:
1) Ruang/Lapangan olah raga
2) Mushola/tempat ibadah
3) Perpustakaan
4) Ruang cuci
5) Gudang
Sumber Daya Manusia
1) Pimpinan sarana pelayanan rehabilitasi/Direktur Program
2) Penanggung jawab Teknis/Manajer Program
3) Petugas Administrasi dan Keuangan
4) Konselor Adiksi
5) Konselor sebaya/Staf Pendukung
6) Relawan
64
7) Petugas keamanan
8) Tenaga lain sesuai kebutuhan ataupun bersifat rujukan dokter, psikolog, pembina
spiritual, pelatih keterampilan.
Persiapan Organisasi/Lembaga
LSM harus melakukan pekerjaan rumahnya dahulu, yaitu mempersiapkan
kelengkapan organisasinya.
a) Memenuhi berbagai persyaratan organisasi/kelembagaan yang dikeluarkan oleh
Kementerian Kesehatan dan Kementerian Sosial.
b) Memperhitungkan jenis layanan yang akan diselenggarakan:
c) Memperoleh dukungan dari masyarakat sekitar. Ini dilakukan dengan cara
advokasi sederhana;
d) Membangun kerjasama antar lembaga, sektor pemerintah maupun swasta di
bidang pelayanan kesehatan, pendanaan dan bidang lainnya.
3.2 Prasyarat SDM/Staf Pelaksana
Semua petugas atau staf pelaksana yang terlibat di dalam program PABM harus
dalam kondisi abstinensia atau bebas dari pengaruh NAPZA ilegal. Ilegal berarti
adalah semua jenis NAPZA yang dipergunakan tidak atas anjuran dokter resmi,
digunakan tidak sesuai dosis dan aturannya, maupun didapatkan dengan cara yang
tidak legal (mencuri, membeli di distributor tidak resmi tanpa ijin, dll). Metadon,
bufrenorfin dan terapi subtitusi resmi lainnya yang legal, dilakukan dengan ketentuan
yang berlaku atau sesuai anjuran dokter, tidak termasuk sebagaikategori NAPZA
ilegal. Minuman beralkohol, meskipun beberapa jenis diperjualbelikan secara legal di
Indonesia,
namun
tetap
para
petugas
pelaksana
program
PABM
tidak
diperkenankan untuk mengkonsumsinya.
3.3 Komponen Pembiayaan / Operasional
Untuk memastikan terselenggaranya berbagai kegiatan dalam program pemulihan
adiksi berbasis masyarakat di sebuah lembaga, maka dibutuhkan beberapa
komponen yang harus tersedia secara memadai. Seperti halnya sebuah lembaga
65
yang menyediakan sebuah layanan kesehatan, maka bisa saja kebutuhannya
berbeda-beda antara satu lembaga dengan lembaga lainnya. Perbedaan itu terjadi
disebabkan karena lokasi layanan, ketersediaan layanan pendukung, situasi
perekonomian di daerah pelaksanan PABM, dsb.nya. Untuk membantu lembaga
dalam mempersiapkan maupun menjalankan kegiatannya, maka komponen
pembiayaan yang harus tersedia adalah sebagai berikut :
Operasional Kantor
Konsumsi dan akomodasi klien
Keamanan di lokasi layanan pemulihan
Sosialisasi layanan pemulihan
Honor dan tunjangan staf
Biaya kesehatan dasar
Beban biaya yang harus ditanggung dalam pelaksanaan layanan pemulihan adiksi
ini dapat dipenuhi yang berasal dari berbagai sumber, seperti swadaya ( biaya
ditanggung sendiri oleh klien), kerja sama dengan pemerintah, lembaga donor,
lembaga sosial/keagamaan, donatur pribadi/partisipasi masyarakat, swasta.
Dalam
proses
menjalani
seorang
sebuah
klien
program
pemulihan, terkadang muncul biayabiaya
tambahan
kebutuhan
klien.
terkait
dengan
Pihak
lembaga
pelaksana PABM sebaiknya mampu
untuk menjalin kerja sama seluasluasnya dengan berbagai pihak.
66
4. Standar Penatalaksanaan Terapi
4.1 Kriteria Inklusi Klien
Kriteria inklusi adalah kondisi-kondisi klien yang dapat mengikuti program PABM,
yaitu antara lain sebagai berikut:
1) Tidak mengalami gangguan fisik berat, seperti gagal ginjal, payah jantung,
infeksi oportunistik yang mengganggu keikutsertaan dalam program, dan lainlain. Klien dengan gangguan fisik yang berat perlu dirujuk ke Puskesmas atau
Rumah Sakit terdekat untuk dinilai apakah klien ini dapat mengikuti program atau
tidak.Untuk klien yang mengalami gangguan fisik tapi dapat mengikuti program,
perlu disiapkan sistim rujukan bila sewaktu-waktu diperlukan (bekerjasama
dengan Puskesmas atau Rumah Sakit terdekat).
2) Tidak mengalami gangguan mental berat seperti psikotik, halusinasi, waham,
kekeliruan identifikasi, gangguan psikomotor, afek yang abnormal. Apabila
terdapat gejala gangguan mental yang berat seperti contoh, mohon dirujuk ke
Puskesmas atau Rumah Sakit terdekat untuk dinilai apakah klien ini dapat
mengikuti program atau tidak.Untuk klien yang mengalami gangguan jiwa tapi
dapat mengikuti program, tetap disiapkan sistim rujukan bila sewaktu-waktu
diperlukan (bekerjasama dengan Puskesmas atau Rumah Sakit terdekat).
3) Usia 18 tahun ke atas, pertimbangannya adalah agar calon klien dapat
mengakses layanan tanpa harus meminta persetujuan keluarga (orangtua).
Namun apabila tidak memungkinkan, lembaga dapat melayani klien di bawah
usia 18 tahun dengan syarat ada informed consent dan surat kuasa dari orang
tuanya. Dalam penatalaksanaannya, pihak penyelenggara layanan perlu
melakukan memberikan intervensi yang tepat bagi klien tersebut dan upayaupaya semaksimal mungkin agar keluarga dapat terlibat pada proses
pemulihannya.
Beberapa hal yang perlu digarisbawahi oleh petugas pelaksana program dalam
menerima klien adalah sebagai berikut:
1) Klien memiliki KTP yang masih berlaku. Jika tidak memiliki, maka di dalam
perencanaan program harus dimasukkan rencana untuk membuat KTP. Ini
67
diperlukan untuk mengantisipasi jika klien memerlukan akses bantuan medis,
seperti Jamkesda, SKTM, dan lain-lain.
2) Klien didampingi orang tua, atau minimal wali klien yang peduli dan mau
bertanggung jawab atas kondisi klien selama menjalani program.
4.2 Tahapan Pelaksanaan Program
Tabel.6
Alur Penatalaksanaan Terapi
Tahapan
Rekrutmen
dan Skrining
Kegiatan
Waktu
1) Kriteria Inklusi.
1 – 2 hari
2) Pemeriksaan medik & mental.
Keterangan
Di lokasi yang
ditentukan
3) Intake & Skrining :
Surat perjanjian masuk
Informed concent
Biodata awal
Orientasi
1) Detoksifikasi
1 – 14 hari
(bila perlu)
Sarana kesehatan
terdekat atau
Pengenalan mengenai
lembaga
program.
rehabilitasi namun
Mendiskusikan dan
di bawah
merancang rencana terapi
pengawasan
petugas medis
Fase Intensif 1) Asessment (ASI, WHOQOL,
IRA/BBV-traq).
6–8
minggu
2) Kegiatan Kelompok : (80 jam).
3) Seminar.
4) Morning Meeting.
5) Kelompok Dukungan.
6) Diskusi Kelompok.
7) Konseling individual (8 jam)
8) KonselingKeluarga (Jika
memungkinkan)
68
Lembaga
Rehabilitasi
Fase Non-
1) Asessment (WHOQOL)
15 minggu
WHOQOL
Intensif
2) Kegiatan Kelompok : (12jam)
dilakukan setelah
3) Seminar
klien
4) Kelompok Dukungan
menyelesaikan
5) Diskusi Kelompok
fase intensif
6) Konseling individual (12 jam)
7) KonselingKeluarga (Jika
Diperlukan)
8) Vokasional
9) Community Service
Terminasi
1) Asessment (ASI, WHOQOL)
1 minggu
ASI dan
2) Resume kondisi klien
WHOQOL
3) Kelompok dukungan (NA /
dilakukan di bulan
Support group)
ke-6 atau sebelum
4) Identifikasi keberhasilan yang
telah dicapai klien
5) Menyusun catatan
keberhasilan
6) Pertemuan klien terkait
rencana terminasi
7) Pertemuan keluarga klien
terkait rencana terminasi
8) Pemeliharaan program terapi
klien di masyarakat
9) Pemberdayaan klien di
masyarakat
69
klien diterminasi
5. PENERAPAN
STRATEGI
PENGURANGAN
DAMPAK BURUK
5.1 Pengurangan dampak buruk
penggunaan NAPZA(harm
reduction)
Sebuah konsep yang digunakan
dalam wilayah
kesehatan masyarakat, yang
bertujuan untuk mencegah atau mengurangi konsekuensi negatif kesehatan yang
berkaitan dengan perilaku berisiko, seperti perilaku penggunaan NAPZA dengan
jarum suntik dan perilaku seks tidak aman. Komponen pengurangan dampak buruk
NAPZA merupakan intervensi yang holistik/komprehensif yang bertujuan untuk
mencegah penularan HIV dan infeksi lainnya yang terjadi melalui penggunaan
perlengkapan menyuntik untuk menyuntikan NAPZA yang tidak steril dan digunakan
secara bersama-sama.
Konsekuensi kesehatan di atas meliputi kesehatan fisik ,
sosial dan mental.
Strategi pengurangan dampak buruk diterapkan, terutama, apabila klien belum mau
untuk berhenti atau berusaha untuk mencapai abstinensia, dan apabila klien
mengalami drop-out (mengundurkan diri atau kabur) dari program. Hal ini bertujuan
agar apabila klien masih menggunakan dapat mengurangi dampak buruk dari
penggunaannya, dan agar klien tetap berada atau terpapar layanan. Untuk itu maka
program-program pemberian informasi dan edukasi mengenai strategi dampak
buruk, mencakup informasi layanan LJSS dan layanan drop-in center, hal ini harus
dilakukan dan diterapkan di dalam kegiatan harian program PABM.
Prinsip-prinsip penerapan strategi pengurangan dampak buruk NAPZAyang dapat
diterapkan pada program PABM adalah sebagai berikut:
1) Penasun didorong untuk berhenti memakai NAPZA; baik dengan wawancara
motivasional, pemberian media KIE hingga diskusi kelompok terpadu (focused
group discussion).
70
2) Jika Penasun bersikeras untuk tetap menggunakan NAPZA, maka didorong
untuk tidak menggunakan dengan cara suntik.
3) Apabila tetap bersikeras, maka klien didorong dandipastikan untuk menggunakan
peralatan suntik baru, sekali pakai dan tidak bertukar alat suntik.
4) Jika tetap terjadi penggunaan bersama peralatan jarum suntik, maka
didorongdan dilatih untuk dapat menyucihamakan peralatan suntik. Namun hal ini
merupakan jalan terakhir yang sebaiknya dihindari.
5.2 Kewaspadaan Universal
Kewaspadaan universal adalah sebuah upaya pencegahan penularan infeksi dari
klien ke petugas layanan dan atau ke klien lainnya yang berasal dari risiko penularan
kuman patogen, yaitu melalui udara, darah dan cairan tubuh. Hal ini ditujukan agar
aktivitas layanan dan sarana yang digunakan di dalam program PABM merupakan
dimensi pemulihan, dan bukan sebaliknya menjadi sumber infeksi. Pada prinsipnya
kewaspadaan universal adalah“Memberlakukan Setiap Cairan Tubuh, Darah, dan
Jaringan Tubuh Manusia Sebagai Bahan Infeksius”.
Penerapan kewaspadaan universal juga merupakan upaya pengendalian infeksi
nosokomial dan infeksi HIV/AIDS dalam sarana program PABM yang akan
memberikan perlindungan terhadap klien lain, petugas layanan dan pengunjung
terhadap infeksi nosokomial dan HIV/AIDS. Hal ini akan memberikan rasa aman
dalam memberikan layanan, termasuk kepada klien yang menderita infeksi
HIV/AIDS.Semua fihak yang terlibat diharuskan melaksanakan kewaspadaan
Universal
termasuk
pimpinan,
staf
pelaksana
pelayanan
penunjangnya, staf administrasi, pengguna layanan dan pengunjung.
Kewaspadaan universal meliputi antara lain sebagai berikut:
1) Kebersihan tangan; cuci tangan
2) Pengelolaan alat kesehatan
3) Pengelolaan limbah
4) Kecelakaan kerja
5) Kewaspadaan khusus berdasarkan risiko penularan
71
termasuk
staf
5.3 Laporan Pajanan
Laporan pajanan adalah adanya suatu laporan atau pemberitahuan secara cepat
apabila seseorang telah terpapar darah atau cairan infeksius lainnya. Setiap pajanan
harus diperlakukan sebagai keadaan darurat oleh karena petugas yang terpajan
segera melaporkan kepada atasan langsung atau bagian keselamatan dan
kesehatan kerja (K3). Laporan sangat diperlukan agar pemberian profilaksis pasca
pajanan dapat dimulai secepat mungkin dalam waktu kurang dari 4 jam dan tidak
lebih dari 72 jam. Semakin cepat pemberian profilaksis pasca pajanan, semakin
bermanfaat dan sebaliknya.
5.4 Konseling dan Tes HIV
Sebagai tempat penyedia layanan terapi gangguan penggunaanNAPZA, program
PABM sebaiknya juga harus dapat menyelanggarakan layanan konseling dan tes
HIV baik yang dilakukan secara sukarela atas keinginan klien ataupun yang
diinisiasikan oleh layanan (Provider Initiated Testing and Counseling/PITC) bagi para
klien-kliennya
yang
belum
mengetahui
statusnya, dan kepada klien yang pernah
namun memiliki risiko tinggi untuk terpapar
setelahnya. Konseling dan Test HIV
dalam
pelaksanaannya dapat bekerja sama dengan
semua pihak yang terkait (Puskesmas, Rumah
Sakit LSM dll). Konseling dan Test HIV
merupakan salah satu strategi kesehatan
masyarakat sebagai pintu masuk ke seluruh
layanan kesehatan HIV/AIDS berkelanjutan.
Untuk
memudahkan
pelaksanaannya,
Konseling dan Test HIV sebaiknya dilakukan
sekaligus beberapa klien dengan cara petugas
Konseling dan Test HIV datang ke fasilitas program PABM (mobile VCT).
Pelaksanaannya dapat pula dilakukan secara statis, dimana klien yang datang ke
pusat layanannya.
72
Program Konseling dan Test HIV dapat dilakukan berdasarkan kebutuhan individu
klien dengan memberikan layanan dini dan memadai baik kepada mereka dengan
HIV positif maupun negatif.
Adapun prinsip-prinsip pelaksanaan Konseling dan Test HIV adalah sebagai berikut
(KMK 1507):
1) Sukarela dalam melaksanakan test,
kerelaan,
pemeriksaan
HIV didasarkan pada
tanpa paksaan dan tanpa tekanan serta keputusan ada di tangan
klien.
2) Saling mempercayai dan terjaminnya konfidensialitas, layanan harus bersifat
profesional menghargai hak dan martabat
klien.
Semua
informasi yang
disampaikan pada klien harus dijaga kerahasiannya oleh konselor dan semua
petugas layanan tidak diperkenankan didiskusikan diluar konteks kepentingan
klien.
Semua informasi yang berhubungan dengan Konseling dan Test HIV
harus disimpan pada tempat yang tidak dapat dijangkau oleh fihak yang
berkepentingan.
3) Mempertahankan hubungan positif antara klien dan konselor,
klien didorong
untuk mengikuti konseling pasca test agar mengurangi perilaku berisiko.
Di
dalam pertemuan dengan kien dibicarakan juga respon dan perasaan klien
dalam menerima hasil test dan tahapan penerimaan hasil test.
Pelaksanaan Konseling dan Test HIVselalu diiringi pula dengan konseling pra tes
dan pasca tes yang dilakukan antara konselor Konseling dan Test HIV dengan
klien. Konseling dalam Konseling dan Test HIV adalah kegiatan konseling yang
menyediakan
dukungan
psikologis,
informasi
dan
pengetahuan
HIV/AIDS,
pencegahan penularan HIV, mempromosikan perubahan perilaku yang bertanggung
jawab pengobatan ARV dan membantu pemecahan berbagai masalah terkait
dengan HIV/AIDS.
Terdapat beberapa hal yang perlu diperhatikan dalam penyelenggaraan Konseling
dan Test HIV di dalam program PABM:
1) Jika seorang konselor HIV bukan seorang dokter tidak diperbolehkan melakukan
tindakan medik.
2) Tidak melakukan tugas sebagai pengambil darah klien.
73
3) Tidak memaksa klien untuk melakukan test HIV.
4) Menjaga prinsip kerahasiaan, bahwa informasi yang disampaikan klien
kepadanya adalah bersifat pribadi dan rahasia, serta meminta kesediaan klien
terlebih dahulu (informed consent)
5) Jika seorang konselor berhalangan melaksanakan konseling, dapat dilimpahkan
kepada konselor yang lain dengan persetujuan klien.
5.5 Kebersihan Lingkungandan Fasilitas
Untuk menjaga kebersihan digunakan prosedur yang memadai untuk kebersihan
rutin (harian, mingguan dan bulanan) dan disinfeksi permukaan lingkungan serta
benda lain yang sering disentuh sehingga menjadi kegiatan berkala yang tetap.
Adapun beberapa hal yang mesti menjadi perhatian adalah sebagai berikut:
a) Kasur, bantal dan guling dijemur berkala seminggu sekali (di luar jika terjadi
kejadian khusus, seperti terciprat darah, terkena muntahan)
b) Seluruh lantai ruangan termasuk dapur dan kamar mandi dibersihkan dengan
disinfektan minimal sehari sekali
c) Seluruh sanitasi di dalam fasilitas dilakukan pemeriksaan berkala dan dijaga
kebersihannya.
d) Pastikan semua ruangan mendapat sirkulasi udara yang baik dan cahaya
matahari yang cukup, untuk menekan risiko penyebaran penyakit lainnya.
Kewaspadaan khusus merupakan tambahan dari kewaspadaan universal
yang
terdiri dari kewaspadaan terhadap penularan melalui udara (airborne), kewaspadaan
terhadap penularan melalui percikan (droplet) dan kewaspadaan terhadap penularan
melalui kontak.
74
6. MANAJEMEN KRISIS
Krisis adalah sebuah persepsi atau pengalaman dari sebuah situasi ataupun
peristiwa dengan kesulitan yang tidak dapat ditoleransi, yang melebihi sumber daya
atau mekanisme koping (cara menanggulangi) dari orang tersebut7. Yang perlu
menjadi pemahaman akan situasi krisis di dalam program terapi gangguan
penggunaan NAPZA adalah sebagai berikut:
1) Merupakan sebuah keadaan disorganisasi dan kebingungan dimana klien
menghadapi frustrasi dan gangguan mendalam di dalam hidupnya.
2) Merupakan sebuah situasi mendesak atau periode jangka pendek dimana
banyak emosi mendera, seperti rasa ketidakpastian yang tinggi, ketakutan,
kehilangan, kesedihan, dan lain-lain.
3) Merupakan sebuah keadaan emosional dalam merespon gangguan di dalam
kehidupan klien, namun bukan pada gangguan itu sendiri.
4) Krisis adalah sebuah bahaya—merupakan sebuah ancaman yang dapat
menguasai klien; untuk klien di dalam pemulihan, dan dapat menyebabkan klien
menjadi relapse.
5) Krisis merupakan sebuah kesempatan ketika seorang klien dapat menjadi lebih
terbuka (menerima) pada intervensi teraputik; hal ini dapat menanamkan benih
untuk perubahan yang positif dan pertumbuhan pribadi.
Manajemen krisis adalah serangkaian kegiatan, prosedur ataupun strategi yang
dilakukan untuk dapat meminimalisir dan mengurangi risiko terjadinya krisis. Dalam
pengertian lain, manajemen krisis adalah proses dimana konselor atau petugas
rehabilitasi memfasilitasimaupun memberikan bantuan segera kepada klien yang
berada dalam kondisi krisis, untuk dapat memecahkan masalah yang dia hadapi,
7
James, R. (2008). Crisis intervention strategies, 6th ed. (p.3). Belmont, CA: Thomson.
75
dan untuk membangun kembali stabilitas di dalam hidupnya. Yang mencakup
kondisi krisis itu sendiri adalah suatu keadaan yang berbahaya (menderita sakit);
parah sekali, keadaan yang genting, dan situasi gawat darurat. Dalam kaitannya
dengan masalah kesehatan, krisis dapat diartikan sebagai suatu keadaan yang
genting dan parah serta membahayakan nyawa atau memiliki kemungkinan
memberikan dampak serius terhadap kesehatan seseorang, sehingga perlu
mendapatkan bantuan segera. Manajemen krisis dapat dilakukan mulai dari proses
persiapan, penanganan saat terjadi krisis, tindak lanjut penanganan krisis maupun
fase setelah pemulihan krisis.
Manajemen krisis bersifat segera, jangka pendek, dan dengan waktu yang
terbatas.Konselor dan petugas lain yang membantu harus mengikuti prosedur untuk
memastikan keefektifan terapi klien dan keselamatan keduanya(klien dan konselor).
Manajemen krisis dalam hal ini dilakukan oleh lembaga dan para petugas pelaksana
progam. Di dalam buku panduan ini, manajemen krisis yang dibahas terbatas pada
situasi berikut:
6.1 Krisis terkait penggunaan NAPZA
Yang dimaksud dengan situasi krisis penggunaan NAPZA adalah suatu kondisi
genting atau kejadian gawat darurat, baik fisik maupun psikis, akibat penggunaan
NAPZA yang dapat mengancam kehidupan diri sendiri maupun orang lain. Tujuan
dilakukannya intervensi manajemen krisis ini adalah untuk:
1) Mengatasi keadaan akut (termasuk keadaan gaduh gelisah).
2) Memberikan bantuan hidup dasar.
3) Meminimalkan angka kecacatan.
4) Menurunkan angka kematian akibat kondisi akut yang diderita.
Situasi krisis dapat dibagi menjadi beberapa situasi dan tahapan intervensi:
76
6.1.1 Situasi Intoksikasi NAPZA di Dalam Fasilitas
Intoksikasi dalam konteks ini adalah jika klien, petugas maupun pihak lainnya
terbukti sedang menggunakan NAPZA atau dalam keadaan “mabuk” di dalam
fasilitas program. Hal ini perlu ditindaklanjuti karena menjadi hal kontra-produktif
dengan tujuan terapi, dan dapat berefek negatif pada program atau klien itu sendiri.
Tahapan yang perlu dilakukan antara lain adalah sebagai berikut:
a) Jika terjadi pada klien
Laporkan kepada petugas jaga, konselor atau petugas penanggung jawab
dari klien. Apabila konselor atau petugas bersangkutan tidak berada di
tempat, maka hubungi dan sampaikan mengenai situasi yang terjadi, dan
petugas jaga hari itu menjadi pemegang kewenangan terhadap intervensi
yang akan dilakukan.
Apabila kondisi klien dirasa mengganggu klien lainnya (teler, rusuh, dll),
tempatkan ia di dalam kamar terpisah dari kegiatan klien lainnya dan dengan
supervisi petugas. Biarkan klien istirahat sejenak sampai pengaruh zatnya
hilang (tidak teler lagi). Berikan asupan pendukung (air putih, teh hangat, dll)
jika dibutuhkan. Apabila pengaruh zat telah hilang dan klien dapat diajak
berbicara, maka persuasi dia untuk menceritakan kondisi yang terjadi
(gunakan strategi wawancara motivasional). Ikuti prosedur selanjutnya!
Jika kondisi klien tidak mengganggu (tidak teler, dll), maka lakukan prosedur
“klarifikasi” dengan meminta klien menceritakan atau menulis (bila klien
enggan bicara) tentang alasan, kronologis dan sumber klien bisa mengakses
zat.
Di sisi lain, petugas lain dibantu dengan klien pemegang jabatan (status
holder) membentuk grup diskusi bersama klien untuk membahas kejadian
tersebut. Gali segala sumber terkait yang dapat dijadikan rujukan untuk
mengambil keputusan selanjutnya. Sampaikan kepada klien bahwa grup ini
bersifat anonimus dan tidak untuk dibahas lagi di luar grup.
Lakukan diskusi kasus (case conference) setelah mendapatkan cukup
informasi yang valid. Tentukan mengenai intervensi selanjutnya yang tepat
dan mendidik.
77
INGAT! Prinsip dasar dilakukannya kegiatan ini bukan untuk mencari
kesalahan
semata,
tapi
sebagai
bahan
evaluasi
dan
pencegahan
selanjutnya.
Apabila sudah dilakukan pendekatan dan klien tidak mau mengakui
perbuatannya, maka hubungi orang tua atau walinya, dan minta mereka untuk
menjemput atau memberikan ijin untuk pulang paksa (pulang karena
kemauan klien) tanpa dijemput. Lakukan sesuai dengan prosedur klien
pulang/mengundurkan diri.
b) Jika terjadi pada petugas
Kumpulkan informasi dari pihak-pihak yang mengetahui kronologis kejadian
tersebut. Panggil petugas bersangkutan ke ruangan kerja, lakukan pertemuan
terbatas (petugas bersangkutan, mayor on duty, koordinator program atau
supervisor klinis) untuk membahas situasi tersebut, dengan dipimpin oleh
petugas paling berwenang pada saat itu.
Minta ia menulis “klarifikasi” atas situasi dan perbuatannya tersebut.
Apabila ia masih dalam keadaan teler, lakukan sama seperti strategi dengan
klien di atas. Tunggu sampai pengaruh zat telah hilang dan kemudian baru
panggil ia ke dalam pertemuan terbatas tersebut.
Setelah pertemuan selesai, buat resume atau laporan mengenai pertemuan
tersebut disertai dengan kelengkapan lainnya untuk diserahkan ke pihak
manajemen (wewenang atau posisi di atas koordinator program).
Selama menunggu keputusan keluar dari pihak manajemen, tawarkan kepada
petugas bersangkutan untuk menjalani terapi (detoksifikasi, dll) jika
membutuhkan. Apabila ia tidak mengalami sindrom putus zat, berikan
skorsing (dirumahkan) sementara sampai keputusan keluar.
c) Jika terjadi pada pihak lainnya
Situasi dimaksud adalah ketika ada tamu, pengunjung atau pihak lain yang
sedang ada keperluan di dalam fasilitas rehabilitasi menunjukkan gejala atau
terbukti dalam kondisi intoksikasi zat. Jika ini terjadi maka intervensi yang
dilakukan dapat dengan hal berikut:
78
Minta ia secara baik-baik untuk segera meninggalkan fasilitas.
Jika menolak, maka segera hubungi pihak keamanan setempat atau
kepolisian.
6.1.2 Situasi Overdosis Terkait NAPZA
Tahapan yang perlu dilakukan antara lain adalah sebagai berikut:
a) Jika yang bersangkutan tampak tegang dan panik, (umumya terjadi pada
intoksikasi amfetamin, LSD, ekstasi), maka:
Tenangkan dan yakinkan mereka. Jelaskan bahwa perasaan tegang dan
panik akan hilang dengan sendirinya jika rileks.
Jauhkan dari keramaian, suara bising dan cahaya terang.
Jika terdapat indikasi keadaan hiperventilasi (nafas terengah-engah),
usahakan mereka untuk dapat rileks, dan tarik nafas panjang
b) Jika yang bersangkutan merasa sangat mengantuk (umumnya merupakan risiko
dari penggunaan heroin, alkohol, tranquiliser/obat penenang dan zat yang mudah
menguap), yang perlu dilakukan adalah:
Hubungi ambulans secepatnya.
Sembari menghubungi ambulans, buat klien tetap dalam keadaan sadar, tapi
jangan mengguncang tubuhnya atau mengagetkannya, terutama jika dia
mengkonsumsi lem atau solven lainnya.
Tempatkan klien pada posisi recovery (terdapat pada lampiran) dan ajak dia
bicara.
Jangan pernah memberikan kopi (atau kafein lainnya) untuk merangsang
kesadarannya, karena bisa membuat zat yang dikonsumsi bekerja lebih
cepat.
Jangan pernah memberikan atau menyuntikkan larutan garam, memaksa
untuk meminum air, menyundut rokok maupun memukul-mukul bagian tubuh
orang yang sedang mengalami overdosis. Hal itu hanyalah mitos dan justru
akanmembahayakan kondisinya!
79
PERHATIAN!!! Tahapan berikut ini hanya dilakukan oleh petugas kesehatan
maupun petugas terlatih lainnya
Posisi recovery
Jika klien pingsan namun masih bernafas:
a) Naikkan salah satu lengan ke arah atas,
b) tekuk salah satu kaki sementara kaki yang lain lurus
c) (dalam keadaan berbaring) Balikkan posisi klien ke samping, lengan yang lain
letakkan di bawah pipi.
d) Tetap bersamanya, awasi napasnya, dan minta orang lain untuk menghubungi
ambulans.
e) Jangan lakukan posisi recovery ini pada klien yang mengalami cedera leher atau
kepala
80
Gambar.2
Posisi Recovery
Jika suhu tubuh klien meninggi dan mengalami dehidrasi (kekurangan cairan):
Beberapa jenis zatdapatmempengaruhi kontrol suhu tubuh. Jika terindikasi tandatanda seperti kram, pingsan, sakit kepala dan lelah secara tiba-tiba, maka yang perlu
dilakukan adalah:
1) Pindahkan klien ke tempat yang sepi dan sejuk (bawa keluar kadang lebih baik).
2) Lepaskan pakaian yang berlebihan dan dinginkan suhu tubuhnya.
3) Dorong klien untuk minum air putih sedikit demi sedikit.
4) Jika gejala masih muncul, panggil ambulans secepatnya dan pastikan ada orang
yang menemani.
81
Kuncinya adalah menyeimbangkan antara intake cairan dan banyaknya cairan
yang keluar, sehingga sekaligus menurunkan suhu tubuh!
Jika klien pingsan dan kehilangan kesadaran
Yang perlu dilakukan:
1) Tempatkan mereka pada posisi recovery
2) Periksa nafasnya. Persiapkan diri untuk memberikan nafas buatan (resusitasi
mulut ke mulut)
3) Hubungi ambulans secepatnya
4) Hangatkan tubuhnya, tapi jangan terlalu panas
5) Jika klien tidak sadarkan diri, jangan berikan cairan karena kemungkinan bisa
tersedak!
Jika klien tidak bernafas atau denyut jantung dan nadi lemah
Pada saat klien ditemukan dalam keadaan tidak bernafas, Anda harus bertindak
cepat. Secepat mungkin panggil ambulans, untuk meningkatkan kemungkinan
selamat. Sementara menunggu datangnya ambulans, anda dapat meningkatkan
kemungkinan klien bertahan dengan cara membersihkan jalan napasnya kemudian
bantu untuk memperlancar aliran darah dengan memasukkan oksigen ke seluruh
tubuh untuk mengaktifkan fungsi organ vital. Ini disebut dengan Pijat Jantung
(cardiac massage), yaitu dengan cara berikut:
1) Bersihkan jalan napas
Panggil ambulans secepatnya
Baringkan klien
Cepat buka mulutnya dan keluarkan benda asing yang mungkin ada di dalam
mulut dan usahakan untuk dimuntahkan
Donggakkan kepalanya, angkat dagu perlahan untuk membuka jalan napas
2) Pijat Jantung (cardiac massage)
Letakkan kedua tangan tepat di atas tulang dada turun ke arah tulang iga
(kira-kira di antara kedua puting susu)
82
Tekan dengan kuat dan lembut kira-kira sekitar 80 kali per menit
Pijat jantung sangatlah melelahkan, jadi dapat dilakukan bergantian setiap
beberapa menit
Anda dapat memberikan napas buatan setelah setiap 30 tekanan pada
jantung (cardiac compressions) sampai ambulans datang dan mengambil alih
3) Pemberian Napas Buatan
Tutup cuping hidung klien dengan jari-jari anda
Tarik napas panjang dan letakkan mulut anda ke mulutnya
Tiup kan udara ke mulutnya sampai dadanya mengembang
Ulangi beberapa kali
Hal-hal yang tidak boleh dilakukan pada orang yang mengalami overdosis adalah
sebagai berikut:
1. Mencoba mendirikan dan menariknya untuk berjalan.
2. Menyiram dan memandikan dengan air.
3. Menyuntikkan cairan apapun ke dalam tubuh .
4. Meninggalkan seorang diri.
PERHATIAN!
Hal ini dilakukan hanyaoleh petugas terlatih yang sudah pernah mendapatkan
pelatihan terkait hal ini sebelumnya. Jika tidak memungkinkan, maka pangil
bantuan medis dan lakukan langkah dasar sederhana saja, sementara menunggu
bantuan datang.
6.2 Situasi Percobaan Bunuh Diri
Percobaan bunuh diri adalah usaha yang dilakukan untuk mengakhiri hidup
seseorang. Upaya ini bisa melalui berbagai cara, mulai dari memotong urat nadi,
menggantung diri, meminum insektisida ataupun obat-obatan dalam jumlah banyak
dan lain-lain. Percobaan bunuh diri merupakan hal yang paling dikhawatirkan dari
kondisi depresi yang dialami seseorang.
Tujuan dilakukannya intervensi ini adalah sebagai berikut:
83
Mempersiapkan petugas untuk tanggap dalam menangani kejadian percobaan
bunuh diri.
Menekan tingkat risiko bunuh diri, salah satunya melalui sarana dan prasarana
yang mungkin dapat menjadi alat dalam melakukan usaha percobaan bunuh diri.
Mengevaluasi kegiatan dalam program klien, yang mungkin terlewat atau kurang
mendapatkan perhatian lebih sehingga memberikan dampak bagi klien.
Tahapan yang Harus Diketahui:
a. Pelajari tanda-tanda peringatan bunuh diri
Umumnya
seseorang
memberikan
tanda-tanda
peringatan
sebelum
dia
melakukan upaya bunuh diri, namun terkadang orang lain di sekitarnya
mengabaikan tanda-tanda ini. Tanda-tanda peringatan ini diantaranya adalah
sebagai berikut:
Ada wacana untuk mengakhiri hidup
Selalu bicara mengenai kematian
Memberi komentar yang mengindikasikan keputus-asaan, ketidakberdayaan,
tidak berguna dan lain-lain
Bicara seperti misalnya: “semua lebih baik, jika saya tidak ada” atau “ saya
ingin mati saja”
Perasaan sedih yang mendalam (depresi)
Perubahan drastis dan tiba-tiba merasa sangat sedih, kemudian berubah
menjadi tenang atau bahkan terlihat senang.
Ada keinginan untuk mati dan bertindak mengarah pada kematian misalnya
menyetir ugal-ugalan
Untuk itu hal yang harus dilakukan antara lain adalah hal berikut:
Jangan pernah anggap remeh tanda-tanda peringatan tersebut
Dengarkan apa yang dikatakannya
Beranikan diri untuk menanyakan apa rencana mereka, tapi jangan berdebat
Biarkan dia tahu bahwa ada orang lain yang peduli akan keadaannya
84
Cari bantuan professional
Dukungan sesama sangat penting
b. Jika klien ditemukan telah melakukan percobaan bunuh diri dan masih
menunjukkan tanda kehidupan, maka perlu segera dilakukan hal berikut:
1) Periksa jalan napas (terutama jika klien berusaha menggantung dirinya,
lepaskan semua ikatan, dan jika perlu berikan napas buatan)
2) Prosedur intoksikasi NAPZA (jika klien mengkonsumsi insektisida atau
NAPZA dalam jumlah banyak)
3) Periksa jika ada perdarahan hebat (terutama bagi klien yang berusaha
memotong urat nadi):
Balut dengan kain pada bagian yang luka
Pastikan balutan cukup kuat untuk menghentikan pendarahan
Usahakan menekan balutan sekitar 10 menit
Jika kain yang dipakai dipenuhi dengan darah, jangan lepas balutan, ambil
kain yang lain untuk menambah balutan.
Usahakan posisi luka berada lebih tinggi dari jantung untuk menghindari
lebih banyaknya pendarahan. Jika perlu baringkan klien.
Jika pendarahan tidak berhenti, tekan bagian luka lebih kuat lagi dan
bahkan tambahkan menekan di titik-titik yang lain, seperti misalnya jika
pendarahan di pergelangan tangan, maka tekan lengan bagian atas.
Waspadai terjadinya tersedak.
Segera panggil ambulans dan rujuk ke Rumah sakit atau fasilitas
pelayanan kesehatan terdekat
c. Jika klien ditemukan telah bunuh diri dan tidak lagi menunjukkan tanda
kehidupan, perlu segera dilakukan hal berikut:
1) Kontak
petugas
keamanan
dan
petugas
kepolisian
segera,
jangan
memindahkan mayat sebelum mendapatkan izin dari petugas kepolisian.
2) Jaga jangan sampai barang bukti hilang atau rusak.
85
3) Buat berita acara kematian.
4) Lakukan pertemuan kelompok untuk mengatasi perasaan shock yang
mungkin dialami para klien lainnya. Biarkan setiap anggota, baik staf maupun
klien menumpahkan perasaannya agar peristiwa bunuh diri tersebut tidak
membawa dampak psikologis yang berkepanjangan.
5) Bagi klien yang tinggal sekamar dengan pelaku bunuh diri, dapat dipindahkan
sementara waktu atau ditemani oleh klien senior maupun petugas lainnya
yang dalam kondisi stabil, sehingga dampak psikologis dapat dikendalikan
seoptimal mungkin.
86
Tabel.7
Pohon Keputusan: Penilaian dan Penanganan Risiko Bunuh Diri
Tanda-tanda peringatan
Faktor-faktor risiko
Tidak
ya
Ya
Monitor tanda peringatan disaat
terindikasi secara klinis
Pengumpulan informasi
Risiko terkini
Tidak
Ya/mungkin
Akses regular
Akses segera
Supervisi - Konsultasi
Supervisi - Konsultasi
Ambil tindakan yang tepat
Monitor
berkelanjutan dan
Perkuat factor
protektif sepanjang
terapi
Perluas Tindakan yang tepat
Sumber: Center for Substance Abuse Treatment. (2009). Addressing suicidal thoughts and behaviors
in substance abuse treatment.Treatment Improvement Protocol (TIP) Series 50.HHS Publication No.
(SMA) 09-4381. Rockville, MD: Substance Abuse and Mental Health Services Administration.
87
6.3 Situasi Perkelahian atau Tindak Kekerasan
Prosedur penanganan situasi perkelahian atau tindak kekerasan adalah usaha untuk
mencegah dan mengatasi klien maupun petugas di dalam fasilitas yang terlibat
dalam tindak perkelahian atau tindak kekerasan lainnya yang dapat mengganggu
keberlangsungan
program.
Penanganan
yang
dilakukan
diharapkan
dapat
mengatasi respons marah klien dan membatasi agar respons tersebut tidak meluas.
Tahapan pelaksanaan
1) Bersikaplah selalu tenang dan sesantai mungkin.
2) Membuat kontak mata dengan klien maupun petugas yang agresif, karena
kontak mata menunjukkan keseriusan kita dalam menangani permasalahannya.
3) Katakan bahwa Anda mencoba untuk membantunya dalam mengatasi
kemarahan dan kegelisahannya, mintalah klien atau pelaku tersebut untuk
mengatakan apa yang dirasakannya.
4) Segera setelah kondisi lebih tenang, lakukan pembicaraan lebih lanjut.
5) Apabila yang bersangkutan tidak dapat lebih tenang dan mengamuk, lakukan
fiksasi, dengan membawanya pada ruangan yang aman tanpa ada benda tajam
atau benda-benda lain yang memungkinkan terjadinya bunuh diri atau melukai
orang lain.
6) Pada beberapa kasus dibutuhkan farmakoterapi untuk membantu dalam
menenangkan
diri.
Lakukan
konsultasi
dokter
untuk
penatalaksanaan
farmakoterapi.
7) Apabila agresivitas telah berhasil diatasi, lakukan konseling lanjutan, gali
permasalahan yang utama, dan waspadai kemungkinan masalah-masalah
kejiwaan yang dialaminya.
6.4 Situasi Bencana Alam
Prosedur evakuasi bencana adalah serangkaian usaha atau strategi yang dilakukan
untuk memindahkan korban dari lokasi yang tertimpa bencana ke wilayah yang lebih
aman untuk mendapatkan pertolongan. Mengingat letak geografisnya, Indonesia
88
merupakan wilayah yang rawan terhadap terjadinya bencana alam, baik itu gempa
bumi, Tsunami
dan
gunung
meletus.
Berbagai
perbuatan
manusia
yang
mengakibatkan bencana seperti banjir, kebakaran dan tanah longsor pun sering kali
dialami. Oleh sebab itu seluruh staf, dan residen perlu dipersiapkan untuk
mengantisipasi terjadinya bencana. Tujuan dibuatnya prosedur evakuasi bencana
adalah sbb.:
1) Mempersiapkan langkah-langkah yang harus dilakukan pada saat terjadinya
bencana
2) Mempersiapkan seluruh penghuni pusat penyelenggaraaan program TC untuk
dapat saling memberikan bantuan terhadap orang lain di sekitarnya.
3) Mengetahui dan mempersiapkan sarana dan prasarana untuk antisipasi
terjadinya bencana
Tahapan pelaksanaan
a. Perlu disepakati bersama titik evakuasi sebagai tempat berkumpul pada saat
terjadinya bencana. Titik evakuasi harus berada di lapangan terbuka atau di luar
gedung atau fasilitas yang lebih minim risiko akan runtuhnya bangunan.
b. Prosedur evakuasi standar harus dibuat secara tertulis dan ditempatkan di
tempat-tempat yang mudah dibaca semua orang.
c. Memiliki alarm, lonceng atau minimal peluit sebagai tanda khas bahaya bila
bencana datang. Bunyikan tanda bahaya untuk memberi tanda dilakukannya
prosedur penyelematan bencana.
d. Memiliki dan mencatat nomor telepon penting sebagai rujukan dalam meminta
bantuan. Minta bantuan kepada petugas terkait.
e. Sosialisasi dan latihan simulasi evakuasi bencana perlu dilakukan secara
berkala.
f. Seluruh sarana dan prasarana pencegahan bencana sudah dipersiapkan dan
diperiksa kelayakannya (misalnya, tabung pemadam kebakaran, perahu karet)
g. Di setiap lantai gedung perlu dibuat jalur evakuasi yang cukup lebar untuk
menampung banyak orang berlari dalam satu waktu.
89
7. MONITORING DAN
EVALUASI
Monitoring dan evaluasi merupakan 2 (dua) kegiatan yang berbeda, namun saling
berkaitan satudengan lainnya. Kerangka kerja monitoring dan evaluasi terdiri dari
input (terkait ketersedian sumber daya), process (pelaksanaan kegiatan), output
(hasil langsung dari kegiatan), outcome (hasil jangka menengah) dan outcome (hasil
jangka panjang).
Monitoring merupakan proses yang terus menerus untuk mendapatkan umpan balik
secara teratur tentang kemajuan pelaksanaan kegiatan dan pencapaian output
dalam rangka pencapaian tujuan. Indikator-indikator monitoring terutama adalah
yang menunjukan hasil langsung (output) dari suatu kegiatan. Tujuan monitoring
adalah
untuk
memastikan
bahwa
pelaksanaan
berjalan
sesuai
dengan
perencanaannya. Data yang diperoleh dari monitoring dapat menjadi landasan
dalam mengambil keputusan atau tindakan selanjutnya yang diperlukan. Tindakan
tersebut diperlukan seandainya hasil monitoring menunjukkan adanya hal atau
kondisi yang tidak sesuai dengan yang direncanakan semula.
Evaluasi adalah penilaian yang sitematis dan independen, yang dilakukan saat
setelah kegiatan selesai atau pada tengah kegiatan yang sedang berlangsung.
Manfaatnya untuk menentukan sejauh mana efektifitas program. Indikator-indikator
evaluasi adalah yang menggambarkan hasil jangka menengah (outcome) ataupun
hasil jangka panjang (impact).
Sebagai gambaran, di bawah ini adalah skema kerangka Monitoring & Evaluasi
PABM.
90
Tabel.8
Kerangka Monitoring dan Evaluasi
Input
Proses
- Lembaga
penyelenggara PABM
-Pengembangan
sistem rujukan
-Kebijakan lokal yg
tersedia utk penguatan
implementasi program
PABM
- Promosi , sosialisasi
dan advokasi terkait
PABM
-Yankes yg
menyediakan jejaring
dg layanan PABM
-Pelatihan kapasitas
petugas PABM
-Kegiatan terapi yang
dilaksanakan
-Kegiatan
pemberdayaan klien
dan keluarga yang
dlaksanakan
-Kegiatan terminasi
dan pasca rawat yang
dilaksanakan
-Supervisi dan bimtek
-Pedoman PABM
Output
Outcome
Impact
Komponen 1:
•Jml stakeholders yg
mengikuti sosialisasi dan
edukasi PABM
•Jml LSM yg menjalankan
PABM
•Jml lembaga/institusi
menampung klien setelah
program
•Jml rujukan yg
terbangun
Meningkatya
Pengetahuan
-Adiksi,
-Napza
-HIV&AIDS
Meningkatnya
Keterampilan hidup:
-Manajemen resiko diri
-Komunikasi
-Pemecahan masalah
dan pengambilan
keputusan
Meningkatnya Perilaku
Aman
-Penggunaan Napza
-Perilaku aman pada
setiap hub seks beresiko
Peningkatan
kualitas hidup
dan kesehatan
pada penasun
(psikososial dan
klinis)
Komponen 2:
•Jumlah klien yang
menyelesaikan fase
intensif
•Jumlah klien yang
menyelesaikan fase non
intensif
•Jumlah klien yang
dirujuk ke layanan lainnya
•Jml tenaga pelaksana
PABM yang dilatih
•Jml lembaga yang
disupervisi
Lingkungan yg
kondusif
7.1 Monitoring
Dalam pelaksanaan program PABM, kegiatan monitoring dilakukan melalui
pengumpulan data yang terdiri dari hal-hal berikut:
1. Pengumpulan data jumlah klien yang menyelesaikan fase intensif dan jumlah
klien yang menyelesaikan fase non-intensif serta jumlah klien yang dirujuk ke
layanan lain, pada setiap bulan pelaporan. Data ini ditampung oleh form 1.1G
(terlampir) yang setiap bulannya dilaporkan ke KPA Provinsi maupun KPA
Nasional. Periode pelaporan setiap bulannya adalah dari tanggal 26 bulan
sebelumnya sampai dengan tanggal 25 bulan pelaporan. Data di form 1.1G
merujuk pada data base klien PABM yang ada di setiap lembaga mitra
pelaksana PABM.
2. Data base klien PABM yang dikelola setiap lembaga. Di dalamnya setiap
klien memiliki informasi: Identitasklien, Jenis NAPZA yang paling sering
digunakan dalam 30 hari sebelum masuk PABM, pengalaman ikut terapi lainnya,
tanggal mulai dan selesai fase intensif maupun fase non-intensif, hasil
91
pengukuran WHOQoL (skala 1-100), ASI dan BBV TRAQ (sebelum masuk fase
intensif), berikut jumlah total rujukan dan keterangan terkait. Data ini ditampung
oleh (soft-copy) form rekapitulasi data PABM.xls (terlampir) yang dikelola oleh
setiap lembaga PABM. Data ini sebaiknya diperbaharui minimal setiap bulan
selama masa program berlangsung.
3. Laporan narasi yang dibuat setiap 3 (tiga) bulan kalender. Kerangka penulisan
laporan ini mengacu pada file laporan narasi tiga bulanan.doc. (terlampir).
Laporan ini dilengkapi dengan lampiran-lampiran form 1.1G (setiap bulan) dan
form rekapitulasi data PABM (terbaharui), dikirim ke KPAP dan KPAN, baik softcopy maupun hard-copy sebelum tanggal 30 (cap pos).
Pengumpulan data monitoring yang menggunakan instrumen standar (WHO
QoL, ASI dan BBV TRAQ) dan kapan dilakukannya, dapat dilihat pada skema di
bawah ini.
Gambar.3
Alur Monitoring Pengumpulan Data Asesmen
Awal Prog PABM
Akhir Prog PABM
Fase Intensif
(2 bulan)
0 bulan
Fase Non-Intensif
(4 bulan)
Setelah bulan ke 2
Bulan ke 6
Individual & Grup Konseling
dan layanan lainnya
Penapisan
Riwayat Penggunaan Napza
Riwayat Perawatan
WHO QoL
WHO QoL
ASI
WHO QoL
ASI
BBV Traq
Penyimpanan laporan, catatan dan dokumen tertulis dilaksanakan oleh petugas
layanan/lembaga layanan, wajib disimpan pada tempat atau lemari khusus yang
dapat menjaga keamanan laporan tersebut. Laporan (dokumen hidup) tersebut
disimpan sekurang-kurangnya selama 3 (tiga)tahun terhitung dari tanggal
92
pembuatan. Setelah melwati masa tersebut, semua laporan dapat dimusnahkan
dengan tetap menyimpannyadengan format elektronik (soft copy).
7.2 Evaluasi
Untuk dapat melihat gambaran pelaksanaan program hingga luaran program
terhadap perilaku klien, maka diperlukan suatu evaluasi proses dan evaluasi hasil.
Tujuan Evaluasi
Mengkaji cakupan program, standar pelaksanaan dan kebijakan program,
persepsi klien dan staf
Mengkaji persepsi pemangku kepentingan di bidang NAPZA dan HIV/AIDS
terhadap PABM
Evaluasi hasil ditujukan untuk:
Memberikan gambaran retensi klien dalam program PABM
Mengukur perubahan kualitas hidup klien & derajat keparahan adiksi klien
Memberikan gambaran perilaku berisiko
Evaluasi dilakukan setiap 2 tahun sekali. Evaluasi dilakukan dengan menganalisis
data primer maupun data sekunder. Data primer diperoleh dari responden evaluasi,
sedangkan data sekunder diperoleh dari lembaga pelaksana PABM, khususnya data
base klien PABM. Data yang diambil adalah data tentang:
World Health Organization’s Quality of Life (WHOQoL, skala 1-100)
Addiction Severity Index (ASI), baik skala derajat keparahan maupun skor
komposit
BBV TRAQ
Data demografis
Selain pada klien PABM, evaluasi juga dilakukan pada konselor, penanggungjawab
PABM, untuk mengukur sikap konselor terhadap program pemulihan adiksi NAPZA,
mengukur tingkat kepuasan kerja, mendokumentasi pelaksanaan program dan
kebijakan yang berlaku. Evaluasi juga dilakukan pada pemangku kepentingan untuk
mengukur persepsi terhadap PABM.
93
PENUTUP
Buku panduan ini disusun untuk memudahkan petugas dalam melaksanakan
program PABM yang berdampak pada peningkatan kualitas layanan program,
melindungi keamanan petugas, klien maupun program itu sendiri. Semoga buku ini
dapat memberikan manfaat seluas-luasnya bagi semua pihak.
Tentu juga proses penyusunan maupun segala yang terkandung di dalam buku ini
tidak luput dari segala kekurangan maupun kekeliruannya, untuk itu kami memohon
maaf atas kekhilafan yang terjadi.
Demikian dan semoga tingkat penyalahgunaan Napza dan jumlah kasus HIV
maupun AIDS di Indonesia dapat semakin menurun setiap tahunnya, sehingga
semakin banyak generasi penerus bangsa Indonesia yang dapat diselamatkan.
94
95
96
97
98
99
100
101
102
103
104
105
106
107
108
109
110
111
5. Form BBV Traq
A. PERILAKU BERISIKO (BBV-TRAQ)
Instruksi
Perhatikan pertanyaan berikut ini dengan seksama dan jawablah setiap pertanyaan dengan cermat dan
sejujurnya sebagaimana yang anda alami. Seluruh pertanyaan mengacu pada perilaku anda selama 30 hari
terakhir sebelum anda diwawancarai ini
Seluruh informasi yang anda berikan sepenuhnya bersifat rahasia.
Subbag 1: PERILAKU MENYUNTIK
Lingkarilah jawaban anda atas pilihan jawaban yang menurut anda paling sesuai dengan keadaan diri anda
pada kurun waktu 30 hari terakhir sebelum anda diwawancarai ini
R.1.1 Dalam 30 hari terakhir, berapa kali anda memegang jarum/tabung suntik bekas orang lain (untuk
membuang, melepas jarum dari tabungnya) sewaktu anda mempunyai luka/borok di jari atau tangan
anda?
Sama sekali tidak
Sekali
Dua kali
3 - 5 kali
6 - 10 kali
Lebih dr 10 kali
R.1.2 Dalam 30 hari terakhir, berapa kali anda menghisap atau menjilat sisa heroin anda dari sendok atau
tempat pencampur lainnya yang juga telah digunakan oleh orang lain?
Sama sekali tidak
Sekali
Dua kali
3 - 5 kali
6 - 10 kali
Lebih dr 10 kali
R.1.3 Dalam 30 hari terakhir, berapa kali anda menjilat atau menghisap filter yang juga telah digunakan oleh
orang lain?
Sama sekali tidak
Sekali
Dua kali
3 - 5 kali
6 - 10 kali
Lebih dr 10 kali
R.1.4 Dalam 30 hari terakhir, berapa kali anda menjilat atau menghisap pemompa tabung suntik yang telah
digunakan oleh orang lain?
Sama sekali tidak
R.1.5
Dua kali
3 - 5 kali
6 - 10 kali
Lebih dr 10 kali
Dalam 30 hari terakhir, berapa kali anda menyuntikkan Napza yang telah difilter dengan filter orang
lain?
Sama sekali tidak
R.1.6a
Sekali
Sekali
Dua kali
3 - 5 kali
6 - 10 kali
Lebih dr 10 kali
Dalam 30 hari terakhir, berapa kali anda menyuntikkan Napza yang dipersiapkan dengan sendok
bekas atau tempat pencampur bekas orang lain?
Sama sekali tidak
Sekali
Dua kali
3 - 5 kali
6 - 10 kali
Lebih dr 10 kali
(Langsung ke pertanyaan R.1.7)
R.1.6b
Pada kejadian tersebut di atas, seberapa sering anda membersihkan sendok atau tempat pencampur
lain sebelum menggunakannya?
Tdk pernah
R.1.7
Kadang-kadang
Seringkali
Setiap kali
Dalam 30 hari terakhir, berapa kali anda menyuntikkan Napza yang dipersiapkan dengan air yang
telah digunakan oleh orang lain?
Sama sekali tidak
R.1.8
Jarang
Sekali
Dua kali
3 - 5 kali
6 - 10 kali
Lebih dr 10 kali
Dalam 30 hari terakhir, berapa kali anda menyuntikkan Napza yang telah terkontaminasi dengan jarum
dan tabung suntik bekas orang lain?
Sama sekali tidak
Sekali
Dua kali
3 - 5 kali
112
6 - 10 kali
Lebih dr 10 kali
R.1.9a
Dalam 30 hari terakhir, berapa kali anda menyuntikkan Napza yang dipersiapkan segera setelah
‘membantu’ orang lain menyuntik (menyuntikkan mereka, memegang lengan mereka, memegang
jarum & tabung suntik bekas, menyentuh tempat penyuntikan untuk meraba vena, mengusap darah
atau untuk menghentikan darah)?
Sama sekali tidak
Sekali
Dua kali
3 - 5 kali
6 - 10 kali
Lebih dr 10 kali
(Langsung ke pertanyaan R.1.10a)
R.1.9b
Pada kejadian itu, seberapa sering anda mencuci tangan anda sebelum menyiapkan peralatan &
heroin/putau anda?
Tdk pernah
Jarang
Kadang-kadang
Seringkali
Setiap kali
R.1.10a Dalam 30 hari terakhir, berapa kali anda menyuntikkan heroin yang dipersiapkan oleh orang lain yang
telah menolong atau menyuntikkan orang lainnya lagi?
Sama sekali tidak
Sekali
Dua kali
3 - 5 kali
6 - 10 kali
Lebih dr 10 kali
(Langsung ke pertanyaan R.1.11a)
R.1.10b Pada waktu itu, seberapa sering orang yang mempersiapkan peralatan & heroin/putau tersebut
mencuci tangannya terlebih dahulu sebelum mempersiapkan peralatan?
Tdk pernah
Jarang
Kadang-kadang
Seringkali
Setiap kali
R.1.11a Dalam 30 hari terakhir, berapa kali anda disuntikkan oleh orang lain yang telah menyuntikkan atau
menolong orang lain menyuntik?
Sama sekali tidak
Sekali
Dua kali
3 - 5 kali
6 - 10 kali
Lebih dr 10 kali
(Langsung ke pertanyaan R.1.12a)
R.1.11b Pada waktu itu, seberapa sering orang tersebut mencuci tangannya sebelum menyuntikkan anda?
Tdk pernah
Jarang
Kadang-kadang
Seringkali
Setiap kali
R.1.12a Dalam 30 hari terakhir, berapa kali anda disuntikkan dengan menggunakan jarum & tabung suntik
yang telah dipegang atau disentuh oleh orang lain yang telah menyuntik?
Sama sekali tidak
Sekali
Dua kali
3 - 5 kali
6 - 10 kali
Lebih dr 10 kali
(Langsung ke pertanyaan R.1.13a)
R.1.12b Pada waktu itu, seberapa sering mereka mencuci tangannya sebelum memegang jarum & tabung
suntik yang anda gunakan?
Tdk pernah
R.1.13a
Jarang
Kadang-kadang
Seringkali
Setiap kali
Dalam 30 hari terakhir, berapa kali anda menyuntik dengan jarum & tabung suntik bekas orang lain?
Sama sekali tidak
Sekali
Dua kali
3 - 5 kali
6 - 10 kali
Lebih dr 10 kali
(Langsung ke pertanyaan R.1.14)
R.1.13b
Pada waktu itu, seberapa sering anda membilasnya dengan kombinasi pemutih konsentrasi penuh
(mis. bayclean, sunklin, dll) dan air (mis. dengan metode ‘2x2x2’) sebelum anda menggunakannya?
113
Tdk pernah
R.1.14
Kadang-kadang
Seringkali
Setiap kali
Dalam 30 hari terakhir, berapa kali anda menyuntik dengan jarum & tabung suntik setelah orang lain
menyuntikkan sebagian isinya pada dirinya terlebih dahulu?
Sama sekali tidak
R.1.15a
Jarang
Sekali
Dua kali
3 - 5 kali
6 - 10 kali
Lebih dr 10 kali
Dalam 30 hari terakhir, berapa kali anda menyentuh daerah penyuntikkan anda (misal untuk meraba
vena, membersihkan darah atau menghentikan pendarahan) segera setelah ‘menolong’ orang lain
dalam masalah penyuntikkan ( mis. menyuntikkan mereka, memegang lengan mereka, memegang
jarum &tabung bekas mereka; menyentuh tempat penyuntikan mereka utk meraba vena, menghapus
darah atau menghentikan pendarahan)?
Sama sekali tidak
Sekali
Dua kali
3 - 5 kali
6 - 10 kali
Lebih dr 10 kali
(Langsung ke pertanyaan R.1.16a)
R.1.15b
Pada kejadian itu, seberapa sering anda cuci tangan anda sebelum menyentuh daerah
penyuntikkan?
Tdk pernah
R.1.16a
Jarang
Kadang-kadang
Seringkali
Setiap kali
Dalam 30 hari terakhir, berapa kali orang lain pernah menyentuh tempat penyuntikan anda (mis. utk
meraba vena, untuk menghapus darah atau menghentikan pendarahan)?
Sama sekali tidak
Sekali
Dua kali
3 - 5 kali
6 - 10 kali
Lebih dr 10 kali
(Langsung ke pertanyaan R.1.17)
R.1.16b
Pada kejadian tersebut, seberapa sering orang tersebut mencuci tangannya sebelum mereka
menyentuh tempat penyuntikan anda?
Tdk pernah
R.1.17
Setiap kali
Sekali
Dua kali
3 - 5 kali
6 - 10 kali
Lebih dr 10 kali
Sekali
Dua kali
3 - 5 kali
6 - 10 kali
Lebih dr 10 kali
Dalam 30 hari terakhir, berapa kali anda tertusuk secara tidak sengaja oleh jarum suntik yang telah
digunakan orang lain?
Sama sekali tidak
R.1.20a
Seringkali
Dalam 30 hari terakhir, berapa kali anda pernah menggunakan pengikat/torniket/pembebat (mis.
torniket medis, tali, dasi, ikat pinggang, dll) yang telah digunakan orang lain?
Sama sekali tidak
R.1.19
Kadang-kadang
Dalam 30 hari terakhir, berapa kali anda menyeka/mengelap daerah penyuntikan anda dengan
benda-benda (mis. kapas, tissue, saputangan, handuk, dll) yang telah digunakan oleh orang lain?
Sama sekali tidak
R.1.18
Jarang
Sekali
Dua kali
3 - 5 kali
6 - 10 kali
Lebih dr 10 kali
Dalam 30 hari terakhir, berapa anda menggunakan ulang jarum & tabung suntik yang diambil dari
tempat pembuangan bersama?
Sama sekali tidak
Sekali
Dua kali
3 - 5 kali
6 - 10 kali
Lebih dr 10 kali
(Langsung ke Subbag 2:Perilaku Seksual)
R.1.20b
Pada kejadian itu, seberapa sering anda membilasnya dengan pemutihkonsentrasi penuh (mis.
bayclean, sunklin, dll) sebelum menggunakannya kembali?
Tdk pernah
Jarang
Kadang-kadang
114
Seringkali
Setiap kali
Subbag 2: PERILAKU SEKSUAL
Pilihlah jawaban untuk setiap pertanyaan dengan melingkari pilihan jawaban yang Anda anggap paling sesuai
dengan apa yang Anda alami selama 30 hari terakhir
R.2.1
Dalam 30 hari terakhir, berapa kali anda melakukan hubungan seks vaginal yang tidak terlindungi
(tidak pakai kondom) dengan orang lain (mis. penetrasi penis ke dalam vagina)?
Sama sekali tidak
R.2.2
Dua kali
3 - 5 kali
6 - 10 kali
Lebih dr 10 kali
Sekali
Dua kali
3 - 5 kali
6 - 10 kali
Lebih dr 10 kali
Sekali
Dua kali
3 - 5 kali
6 - 10 kali
Lebih dr 10 kali
Sekali
Dua kali
3 - 5 kali
6 - 10 kali
Lebih dr 10 kali
Sekali
Dua kali
3 - 5 kali
6 - 10 kali
Lebih dr 10 kali
Dalam 30 hari terakhir, berapa kali anda melakukan hubungan seks manual yang tidak terlindungi
dengan orang lain (mis. jari dan tangan kontak dengan vagina, penis dan/atau anus) setelah
menyuntik?
Sama sekali tidak
R.2.8
Sekali
Dalam 30 hari terakhir, berapa kali anda melakukan hubungan seks manual yang tidak terlindungi
dengan orang lain (mis. jari dan tangan kontak dengan vagina, penis dan/atau anus) selama
menstruasi?
Sama sekali tidak
R.2.7
Lebih dr 10 kali
Dalam 30 hari terakhir, berapa kali anda melakukan hubungan seks oral yang tidak terlindungi dengan
orang lain (mis. bibir dan lidah kontak dengan vagina, penis dan atau anus)?
Sama sekali tidak
R.2.6
6 - 10 kali
Dalam 30 hari terakhir, berapa kali anda melakukan hubungan seks anal yang tidak terlindungi dengan
orang lain (mis. penetrasi penis ke dalam anus)?
Sama sekali tidak
R.2.5
3 - 5 kali
Dalam 30 hari terakhir, berapa kali anda melakukan hubungan seks vaginal yang tidak terlindungi
dengan orang lain (mis. penetrasi penis ke dalam vagina) tanpa pelumas?
Sama sekali tidak
R.2.4
Dua kali
Dalam 30 hari terakhir, berapa kali anda melakukan hubungan seks vaginal yang tidak terlindungi
dengan orang lain (mis. penetrasi penis ke dalam vagina) selama menstruasi?
Sama sekali tidak
R.2.3
Sekali
Sekali
Dua kali
3 - 5 kali
6 - 10 kali
Lebih dr 10 kali
Dalam 30 hari terakhir, berapa kali anda melakukan hubungan seks manual yang tidak terlindungi
dengan orang lain (mis. jari dan tangan kontak dengan vagina, penis dan/atau anus) tanpa pelumas?
Sama sekali tidak
Sekali
Dua kali
3 - 5 kali
6 - 10 kali
Lebih dr 10 kali
Subbag 3: PERILAKU PENETRASI KULIT LAINNYA
Pilihlah jawaban untuk setiap pertanyaan dengan melingkari pilihan jawaban yang Anda anggap paling sesuai
dengan apa yang Anda alami dalam 30 hari terakhir
R.3.1
Dalam 30 hari terakhir, berapa kali anda kontak dengan darah orang lain (mis. melalui perkelahian,
luka iris, melukai diri sendiri, kecelakaan, luka karena olahraga, pekerjaan, jerawat, hidung berdarah,
dll)?
Sama sekali tidak
R.3.2
Sekali
Dua kali
3 - 5 kali
6 - 10 kali
Lebih dr 10 kali
Dalam 30 hari terakhir, berapa kali anda ditatto oleh seseorang yang bukan pentatto profesional?
Sama sekali tidak
Sekali
Dua kali
3 - 5 kali
115
6 - 10 kali
Lebih dr 10 kali
R.3.3
Dalam 30 hari terakhir, berapa kali anda ditindik (mis. telinga atau badan) oleh seseorang yang bukan
penindik profesional?
Sama sekali tidak
R.3.4
3 - 5 kali
6 - 10 kali
Lebih dr 10 kali
Sekali
Dua kali
3 - 5 kali
6 - 10 kali
Lebih dr 10 kali
Dalam 30 hari terakhir, berapa kali anda menggunakan sikat gigi orang lain?
Sama sekali tidak
R.3.6
Dua kali
Dalam 30 hari terakhir, berapa kali anda menggunakan pisau cukur orang lain? (mis. pisau cukur
sekali pakai, silet)?
Sama sekali tidak
R.3.5
Sekali
Sekali
Dua kali
3 - 5 kali
6 - 10 kali
Lebih dr 10 kali
Dalam 30 hari terakhir, berapa kali anda anda telah menggunakan peralatan kebersihan personal
orang lain (mis. gunting kuku, kikir kuku, sisir, sikat gigi)?
Sama sekali tidak
Sekali
Dua kali
3 - 5 kali
116
6 - 10 kali
Lebih dr 10 kali
INFORMASI LEMBAGA PELAKSANA PROGRAM PABM 2013
1. Ar Rahman, Palembang
Jl. Tegal Binangun RT 35/10, Plaju Darat, Palembang 30267, Sumatera Selatan.
Telp/Fax: +62 711 540 421
Email: [email protected]
2. Medan Plus, Medan
Jl. Bunga Kantil No. 45, Pasar VII, Padang Bulan, Medan 20154, Sumatera Utara
Telp: +62 61 8211 911
Email: [email protected]
3. KARISMA, Jakarta
Jl. Kikir No. 72/56, Kampung Ambon, Pulogadung, Jakarta Timur 10270, DKI
Jakarta (Kantor Manajemen).
Telp/Fax: +62 21 7098 5480 / +62 21 475 6039
Jl. Layur Selatan No. 21, Jati, Pulogadung, Jakarta Timur, 13220, DKI Jakarta
(Drop-in & Fasilitas Rehabilitasi Rawat Inap)
Telp/Fax: +62 21 475 8242
Email: [email protected]
Website: www.karisma.or.id
4. Karya Peduli Kita (KAPETA), Jakarta
Jl. Warga No.5, Ulujami Raya, Jakarta Selatan 12250, DKI Jakarta (Kantor
Manajemen)
Telp/Fax: +62 21 735 9984
Jl. Pluto Dalam 1 No. 8, Villa Cinere Mas, Cinere (Fasilitas Rehabilitasi Rawat
Inap).
Telp/Fax: +62 21 964 89587
Jl. Asia Afrika Stadion Tenis I, Komplek GBK, Senayan, Jakarta Selatan 10270,
DKI Jakarta (Drop-in & Fasilitas Rawat Jalan)
Telp/Fax: +62 21 572 3868
Email: [email protected]
Website: www.kapeta.org
117
5. Perkumpulan Komunitas Pemulihan Adiksi (PEKA), Bogor
Jl. Sindang Barang Jero – Cifor No.50, Bogor 16117, Jawa Barat
Telp/Fax: +62 251 8629430
Email: [email protected]
Website: www.rumahpeka.org
6. Yayasan Harapan Permata Hati Kita (YAKITA), Ciawi
Jl. Ciasin No. 21 – RT 01/ RW 10, Desa Bendungan, Ciawi, Bogor, Jawa Barat
Telp/Fax: +62 251 824 3069/+62 251 824 3005
Email: [email protected]
Website: www.yakita.org
7. Rumah Cemara, Bandung
Jl. Gegerkalong Girang No.52, Bandung 40154, Jawa Barat
Telp/Fax: +62-22-70794750/+62-22-2011550
Email: [email protected]
Website: www.rumahcemara.org
8. YAKITA, Surabaya
Jl. Taman Indah V No.31, Sidoarjo 60234, Jawa Timur
Telp: +62 819 3818 0949
9. Yayasan Kesehatan Bali (YAKEBA), Bali
Jl. Ciung Wanara IVB No.2, Renon, Denpasar 80226, Bali
Telp/Fax: +62 361 223110
Email: [email protected]
Website: www.yakeba.org
10. YAKITA, Bali
Jl. Mohamad Yamin IX No. 9A, Denpasar 80226, Bali
Telp/Fax: +62 361 231 879
Email: [email protected]
118
11. ORBIT, Surabaya
Jl. Bratang Binangun 5C No.54, Surabaya 60284, Jawa Timur.
Telp/Fax: +62 31 5044 014
Email: [email protected]
Website: www.orbit.or.id
12. AKSI NTB, Mataram
Jl. Jember III / 19b, BTN Taman Baru, Mataram 83127, Nusa Tenggara Barat.
Telp/Fax: +62 370 635 526
Email: [email protected]
Website: www.aksintb.com
119
DAFTAR PUSTAKA
1. American Psychiatric Association. (2010). Definition of a mental disorder:
Proposed revision. APA DSM-V Development Website. Retrieved February 3,
2012 from http://www.dsm5.org
2. Asian Centre for Certification and Education of Addiction Professionals (ACCE),
Colombo Plan (2011). Participant Manual Curriculum 4, Core Counseling Skill for
Addiction Professionals.
3. Asian Centre for Certification and Education of Addiction Professionals (ACCE),
Colombo Plan (2011). Participant Manual Curriculum 6, An Overview of Case
Management for Addiction Professionals.
4. Centre for Substance Abuse Treatment. 2006. Detoxification and Substance
Abuse Treatment. Treatment Improvement Protocol (TIP) Series 45. DHHS
Publication No. (SMA) 08-4131. Rockville, MD: Substance Abuse and Mental
Health Services Administration.
5. Hayes, H.R., & Queler, J.M. (2007). The social consequences of drug and
alcohol abuse. In J.E. Lessenger & Roper, G.F. (eds). The Drugs Courts: A new
approach to treatment and rehabilitation. New York: Springer (p.135).
6. IASC Guideline on Mental Health and Psychosocial Support in Emergency
Setting, 2007.
7. Johnson, S.L. 2003. Therapist’s Guide to Substance Abuse Intervention. San
Diego, California: Academic Press an imprint of Elsevier science.
8. Kementerian Kesehatan, 2010. Kepmenkes RI no. 420/MENKES/SK/III/2010
tentang Pedoman Terapi dan Rehabilitasi Komprehensif pada Gangguan
Penggunaan NAPZA berbasis Rumah Sakit.
9. Kementerian Kesehatan, 2010. Kepmenkes RI no. 421/MENKES/SK/III/2010
tentang Standar Pelayanan Terapi dan Rehabilitasi Gangguan Penggunaan
Napza.
10. Kementerian Kesehatan, 2007. Pedoman Teknis Penanggulangan Krisis
Kesehatan Akibat Bencana, Departemen Kesehatan RI.
120
11. Kementerian
Kesehatan
Direktorat
Jendral
Pengendalian
Penyakit
dan
Penyehatan Lingkungan (2006). Pedoman Pelaksanaan Pengurangan Dampak
Buruk Penggunaan Narkotika, Psikotropika dan Zat Adiktif (NAPZA).
12. Martin, P.R., Weinberg, B.A., & Bealer, B.K. (2007). Healing Addiction. An
integrated pharmacopsychosocial approach to treatment. Hoboken, N. Jersey:
John Wiley & Sons, Inc. (p. 211-213).
13. MODUL 16, Pencegahan dan Penanganan Pertama Kejadian Over Dosis Heroin,
Pelatihan Pemulihan NAPZA dan HIV Terpadu, UNODC, Bogor, 2010.
14. Pedoman Pemulihan Adiksi Berbasis Masyarakat, Komisi Penanggulangan AIDS
Nasional 2011.
15. Pedoman Pelaksanaan Kewaspadaan Nasional di Pelayanan Kesehatan,
Departemen Kesehatan Republik Indonesia, Direktorat Jendral Pemberantasan
Penyakit Menular dan Penyehatan Lingkungan, Cetakan ke III, 2010.
16. Petunjuk
Pelaksanaan
Kesejahteraan
Rakyat
Lampiran
Indonesia
Peaturan
No
Menteri
Koordinator
2/Per/Menko/Kesra/I/2007
Bidang
tentang
Kebijakan Nasional Penanggulangan HIV/AIDS Melalui Pengurangan Dampak
Buruk Penggunaan Narkotika Psikotropika dan Zat Adiktif Suntik.
17. Pedoman Pelaksanaan Pengurangan Dampak Buruk Penggunaan Narkotika,
Psikotropika dan Zat Adiktif (NAPZA), Departemen Kesehatan Direktorat Jendral
Pengendalian Penyakit dan Penyehatan Lingkungan, 2006.
18. Tomlin, K.M, and Richardson, H. 2004. Motivational Interviewing and Stages of
Change: Integrating Best Practices for Substance Abuse Proffesionals.
Minnesota: Hazelden.
19. WHO. (2007). What is mental health? Retrieved on December 12, 2010, from
http://www.who.int/features/qa/62/en/index.html.
20. WHO Western Pacific Region. 2006. Integration of Harm Reduction Into
Abstinence-based Therapeutic Communities: a case study of We Help
Ourselves, Australia. Geneva: WHO
121
Download