1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Anak adalah bagian dari generasi muda sebagai salah satu sumber daya manusia yang merupakan potensi dan penerus cita-cita perjuangan bangsa dimasa yang akan datang, yang memiliki peran strategis, dan mempunyai ciri dan sifat khusus, memerlukan pembinaan dan perlindungan dalam rangka menjamin perkembangan dan pertumbuhan fisik, mental dan sosial secara seimbang. Berhubungan dengan konteks ini, Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia (MPR RI) melalui ketetapannya No. 1/1998, tentang GBHN ditegaskan bahwa Pembinaan anak dan remaja diarahkan pada penumbuhan kesadaran dan perilaku hidup sehat, jati diri, serta penumbuhan idealisme, nasionalisme, dan rasa cinta tanah air dalam pembangunan nasional. Sebagai pengamalan Pancasila dan peningkatan kemampuan penyesuaian diri dengan lingkungan dan masyarakat. Dilaksanakan melalui peningkatan pembangunan, keimanan dan ketaqwaan kepada Tuhan Yang Maha Esa, akhlak yang mulia, budi pekerti luhur, kualitas gizi, penumbuhan minat belajar, minat membaca, peningkatan daya cipta dan daya nalar serta kreatifitas.1 1 Ketetapan MPRS RI No. 1 Tahun 1998, tentang GBHN. 2 Hal ini berarti bahwa anak atau remaja Indonesia sebagai pemegang amanat Proklamasi Kemerdekaan 17 Agustus 1945, diharapkan mampu mengisi kemerdekaan negara ini dengan semangat perjuangan yang tinggi yang mengabdi kepada kepentingan bangsanya, gemar menggali ilmu pengetahuan dan teknologi yang tinggi diimbangi dengan kemampuan diri sendiri, kreatif, jujur dan bertindak sesuai dengan norma-norma kemasyarakatan, norma agama dan hukum, serta bertanggungjawab terhadap kelangsungan hidup bangsa yang selalu berkembang dan dinamis ini.2 Sekarang ini banyak anak di bawah umur yang melakukan perbuatan yang dinyatakan terlarang menurut undang-undang maupun peraturan hukum lain yang hidup dan berlaku dalam masyarakat. Hal ini menyebabkan anak harus berhadapan dengan hukum. Ada 2 kategori perilaku anak yang membuat ia harus berhadapan dengan hukum, yaitu : 1) Status Offence, adalah perilaku kenakalan anak yang apabila dilakukan oleh orang dewasa tidak dianggap sebagai kejahatan, misalnya tidak menurut, membolos sekolah, atau melarikan diri dari rumah ; 2) Juvenile Delinquincy, adalah perilaku kenakalan anak yang apabila dilakukan orang dewasa dianggap kejahatan atau pelanggaran hukum.3 2 Bunadi Hidayat, Pemidanaan Anak Di Bawah Umur, Surabaya: PT ALUMNI Bandung 2010, 2009, hal 2. 3 Purnianti, Mamik Sri Supatmi, dan Ni Made Martini Tinduk, mengutip Harry E. Allen and Cliffford E. Simmonsen, dalam Correction in America : An Introduction, Analisa Situasi Sistem Peradilan Pidana Anak ( Juvenile Justice System ) di Indonesia, UNICEF, Indonesia, 2003, Hal.2 3 Salah satunya yaitu terlibat dalam tindak pidana penyalahgunaan narkotika. Meskipun narkotika sangat diperlukan untuk pengobatan dan pelayanan kesehatan, namun apabila disalahgunakan atau digunakan tidak sesuai dengan standar pengobatan, terlebih jika disertai dengan peredaran narkotika secara gelap akan menimbulkan akibat yang perseorangan ataupun masyarakat, khususnya generasi muda. Bahkan dapat menimbulkan bahaya yang sangat besar bagi kehidupan dan nilai-nilai budaya bangsa yang pada akhirnya akan melemahkan ketahanan nasional. Pada beberapa kasus penyalahgunaan narkotika, dilakukan oleh anak di bawah umur, sebagian dari mereka ada yang beralasan karena rasa ingin mencoba-coba saja karena pengaruh lingkungan. Penyalahgunaan narkotika dan obat-obat perangsang yang sejenis oleh kaum remaja erat kaitannya dengan beberapa hal yang menyangkut sebab, motivasi, dan akibat lain yang ingin di capai. Secara sosiologis, penyalahgunaan narkotika oleh kaum remaja merupakan perbuatan yang disadari berdasarkan pengetahuan/pengalaman sebagai pengaruh langsung maupun tidak langsung dari proses interaksi sosial. Secara subjektif individual, penyalahgunaan narkotika oleh kaum remaja merupakan akselerasi upaya individual/subjek agar dapat mengungkap dan menangkap kepuasan yang belum pernah dirasakan dalam kehidupan keluarga yang pada hakikatnya merupakan kebutuhan primer dan fundamental bagi setiap individu, terutama bagi remaja yang sedang tumbuh dan berkembang dalam segala aspek kehidupannya.4 4 Sudarsono, Kenakalan Remaja, Rineka Cipta, Jakarta, 1990, Hal 67-68. 4 Penyalahgunaan narkotika adalah pemakaian narkotika diluar indikasi medik, tanpa penunjuk atau resep dokter, dan pemakaiannya bersifat patologik (menimbulkan kelainan) dan menimbulkan hambatan dalam aktivitas di rumah, sekolah atau kampus, tempat kerja, dan lingkungan sosial. Ketergantungan narkotika adalah kondisi yang kebanyakan diakibatkan oleh penyalahgunaan zat yang disertai dengan adanya toleransi zat (dosis semakin tinggi) dan gejala putus zat.5 Penyalahgunaan narkotika secara berlebihan dapat mengakibatkan dampak yang berbahaya, baik terhadap individu tersebut maupun terhadap masyarakat. Semua narkotika baik yang dipakai secara legal maupun yang disalahgunakan, mempunyai persamaan yaitu dapat mengubah suasana hati bagi pemakainya. Misalnya dapat menyebabkan perasaan gelisah, namun pada beberapa saat kemudian narkotika sanggup menghasilkan khayalankhayalan yang menyenangkan. Pada umumnya suasana hati yang ditimbulkan oleh penggunaan narkotika adalah sebagai berikut : 1. Pelupa, pikiran kabur, acuh tak acuh, dan tertekan. 2. Rasa gelisah, gugup, curiga, merasa dikejar-kejar, dan mudah tersinggung. 3. Apatis, putus asa, pendiam, bingung dan menyendiri. 4. Sinis, pesimis, dan muram.6 5 6 Mardani, Narkotika, Djambatan, Jakarta, 2008, Hal. 2. Rachman Hermawan, Narkotika, Alumni, Bandung 1987, Hal. 11. 5 Pemakaian narkotika secara terus menerus akan mengakibatkan orang itu tergantung pada narkotika secara mental maupun fisik, yang dikenal dengan istilah kebergantungan mental bila ia selalu terdorong oleh hasrat dan nafsu yang besar untuk menggunakan narkotika, karena terpikat oleh kenikmatannya. Kebergantungan mental ini dapat ini dapat mengakibatkan perubahan perangai dan tingkah laku. Seseorang bisa disebut mengalami kebergantungan fisik bila ia tidak dapat melepaskan diri dari cengkeraman narkotika tersebut karena apabila tidak memakai narkotika akan merasakan siksaan badaniah, seakan-akan dianiaya. mendorong seseorang untuk Kebergantungan fisik ini dapat melakukan kejahatan-kejahatan untuk memperoleh uang guna membeli narkotika. Kebergantungan fisik dan mental lambat laun dapat menimbulkan gangguan kesehatan. Seseorang yang menderita ketagihan atau ketergantungan pada narkotika akan merugikan dirinya sendiri, juga merusak masyarakat. Dampak yang menyangkut pada pemakai sendiri yang pada akhirnya dapat menimbulkan kematian, yaitu apabila penggunaan narkotika semakin lama makin bertambah banyak sedangkan daya tahan tubuh semakin lama semakin berkurang dan dapat mengakibatkan overdosis yang pada akhirnya mengakibatkan kematian. 7 Di samping itu, dampak yang sering terjadi di tengah masyarakat dari penyalahgunaan / ketergantungan narkotika antara lain merusak hubungan kekeluargaan, menurunkan kemampuan belajar dan produktifitas kerja secara 7 Sudarsono, Kenakalan Remaja, Rineka Cipta, Jakarta, 1990, Hal. 74. 6 drastis, sulit membedakan mana perbuatan baik dan mana perbuatan buruk, perubahan perilaku menjadi perilaku anti sosial (perilaku maladaptif), gangguan kesehatan (fisik dan mental), mempertinggi jumlah kecelakaan lalu lintas, tindak kekerasan dan lain sebagainya. Bahaya narkotika benar-benar sangat merugikan masyarakat, terutama pemakai sendiri. Sedangkan yang terjadi pada masyarakat Indonesia, penyalahgunaan narkotika tidak hanya terbatas di kalangan orang tua dan usia dewasa. Dalam kenyataan kaum remaja (anak di bawah umur) sudah banyak terseret dalam dunia destruktif yakni penyalahgunaan narkotika. 8 Seorang anak yang terjerumus dalam penyalahgunaan narkotika disebabkan karena berbagai faktor, baik dari diri anak sendiri maupun pengaruh lingkungan. Faktor-faktor yang mempengaruhi anak melakukan tindak pidana narkotika dapat menjadi pertimbangan hukum bagi hakim dalam menjatuhkan putusannya. Mengingat permasalahan yang begitu serius mengenai penyalahgunaan narkotika, Pemerintah tidak henti-hentinya melakukan usaha-usaha yaitu dengan menerbitkan peraturan perundang-undangan yang baru, yang terakhir yaitu dengan diundangkannya Undang-Undang No. 35 Tahun 2009 tentang Narkotika. Undang-undang Narkotika ini diharapkan dapat memberantas setiap penyalahgunaan narkotika dan prekursor narkotika di Indonesia. Selain itu, berbagai upaya pencegahan dan penanggulangan kenakalan anak, perlu segera dilakukan. Salah satu upaya cara pencegahan dan 8 Ibid. 7 penanggulangan kenakalan anak (politik kriminal anak) saat ini mulai menyelenggarakan sistem peradilan pidana anak. Tujuan sistem peradilan anak (Juvenile Justice) tidak semata-mata bertujuan untuk menjatuhkan sanksi pidana kepada anak pelaku tindak pidana, tetapi lebih difokuskan pada dasar pemikiran bahwa penjatuhan sanksi tersebut sebagai sarana pendukung mewujudkan kesejahteraan anak pelaku tindak pidana. Dasar pemikiran atau titik tolak prinsip ini, merupakan ciri khas sistem peradilan pidana anak. Dengan adanya ciri khas di dalam penyelenggaraan proses pengadilan pidana bagi anak ini, maka aktivitas pemeriksaan yang dilakukan oleh polisi, jaksa, hakim, dan pejabat lainnya, tidak meninggalkan pada aspek pembinaan dan perlindungan, serta didasarkan pada prinsip demi kepentingan anak atau melihat kriterium apa yang paling baik untuk kesejahteraan anak yang bersangkutan, tanpa mengurangi perhatian kepada kepentingan masyarakat. 9 Dalam hukum acara pidana tidak terdapat peraturan khusus bagi anakanak. Berarti anak dapat dituntut dan diadili seperti orang dewasa. Dengan adanya UU No. 3 tahun 1997 tentang Pengadilan Anak, maka pelaksanaan penegakan hukum kepada anak dapat dilakukan secara khusus dari mulai penyidikan hingga pelaksanaan putusan. Pasal 1 Undang-Undang Nomor 23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak menyatakan: “Perlindungan anak adalah segala kegiatan untuk menjamin dan melindungi anak dan hak-haknya agar dapat hidup, tumbuh, berkembang, dan berpartisipasi, secara optimal sesuai dengan harkat dan martabat 9 Setya Wahyudi, Implementasi Ide Diversi Dalam Pembaharuan Sistem Peradilan Pidana Anak di Indonesia, Genta Publishing, Yogyakarta, 2011, Hal 1-2. 8 kemanusiaan, serta diskriminasi”. mendapat perlindungan dari kekerasan dan Barda Nawawi Arief, mengemukakan bahwa pokok-pokok pikiran yang terkandung dalam perumusan tujuan pemidanaan adalah : 1. 2. 3. Pada hakikatnya Undang-Undang merupakan sistem hukum yang bertujuan sehingga dirumuskan pidana dan aturan pemidanaan dalam Undang-Undang, pada hakikatnya hanya merupakan sarana untuk mencapai tujuan; Dilihat secara fungsional operasional, pemidanaan merupakan suatu rangkaian proses dan kebijakan yang kokretasinya sengaja direncanakan melalui 3 (tiga) tahap. Agar ada keterjalinan dan keterpaduan antara ketiga tahap itu sebagai satu kesatuan sistem pemidanaan, maka dirumuskan tujuan pemidanaan; Perumusan tujuan pemidanan dimaksudkan sebagai fungsi pengendalian kontrol dan sekaligus memberikan landasan filosofis, dasar rasionalitas dan motivasi pemidanaan yang jelas dan terarah.10 Pemikiran mengenai tujuan dari suatu pemidanaan yang dianut orang dewasa ini sebenarnya bukan merupakan suatu pemidanaan yang baru, melainkan sedikit banyak telah mendapat pengaruh dari para penulis beberapa abad yang lalu, yang telah mengeluarkan pendapat mereka tentang dasar pembenaran dari suatu pemidanaan baik yang melihat pemidanaan sematamata sebagai pemidanaan saja, maupun yang mengkaitkan dengan pemidanaan dengan tujuan atau dengan tujuan yang ingin dicapai dengan pemidanaan itu sendiri. 11 Di wilayah Kabupaten Banyumas terdapat dua Pengadilan Negeri yaitu Pengadilan Negeri Purwokerto dan Pengadilan Negeri Banyumas. Pengadilan negeri Banyumas merupakan Pengadilan klas II yang menangani kasus-kasus 10 Barda Nawawi Arief, Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, 2005, Hal 88. 11 Moeljatno, Asas-asas Hukum Pidana, Rineka Cipta, Jakarta, 2000, Hal. 1. 9 pidana maupun perdata. Pada awal tahun 2012 ini di Pengadilan Negeri Banyumas terdapat satu kasus narkotika yang pelakunya anak dibawah umur yang memerlukan perlindungan hukum berbeda dengan orang dewasa pada umumnya. Sehubungan dengan fakta-fakta di atas, maka penulis merasa perlu untuk melakukan penelitian yang terkait dengan Anak Pelaku Tindak Pidana Narkotika. Dengan latar belakang tersebut di atas maka penulis mengangkat judul: “PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP ANAK PELAKU TINDAK PIDANA NARKOTIKA (Studi di Pengadilan Negeri Banyumas)”. B. Perumusan Masalah 1. Bagaimana perlindungan hukum terhadap anak pelaku tindak pidana narkotika di Pengadilan Negeri Banyumas? 2. Faktor – faktor apa saja yang mempengaruhi anak melakukan tindak pidana narkotika di wilayah hukum Pengadilan Negeri Banyumas? C. Tujuan Penelitian Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui : 1. Perlindungan hukum terhadap anak pelaku tindak pidana narkotika di Pengadilan Negeri Banyumas. 2. Faktor-faktor apa saja yang mempengaruhi anak melakukan tindak pidana narkotika di wilayah hukum Pengadilan Negeri Banyumas. 10 D. Kegunaan Penelitian Adapun kegunaan yang dapat diperoleh dari penelitian ini adalah sebagai berikut : 1. Manfaat Teoritis Penelitian ini diharapkan dapat memberikan sumbangan pengetahuan dan memberikan tambahan wacana guna pengembagan ilmu pengetahuan pada umumnya dan ilmu hukum pada khususnya. 2. Manfaat Praktis a. Mengembangkan penalaran, membentuk pola pikir sistematis dan dinamis, sekaligus untuk mengetahui sejauh mana kemampuan penulis dalam menerapkan ilmu yang diperoleh selama menimba ilmu di Fakultas Hukum Universitas Jenderal Soedirman Purwokerto. b. Melengkapi syarat akademis guna mendapat gelar Sarjana Hukum di Fakultas Hukum Universitas Jenderal Soedirman Purwokerto. 11 BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Hak dan Kewajiban Anak 1. Pengertian Anak Anak merupakan seseorang yang dilahirkan dari sebuah hubungan antara pria dan wanita. Hubungan antara pria dan wanita itu jika terikat dalam ikatan perkawinan lazimnya disebut sebagai suami istri. Anak yang dilahirkan dari perkawinan yang sah statusnya disebut sebagai anak sah. Namun ada juga anak yang dilahirkan diluar perkawinan yang sah biasanya statusnya disebut anak tidak sah, atau lebih konkritnya disebut anak haram atau anak jaddah. Dalam hukum positif di Indonesia anak diartikan sebagai orang yang belum dewasa (minderjarig / persoon under age), orang yang dibawah umur atau keadaan dibawah umur (minderjarigheid / inferiority) atau biasa disebut dengan anak yang berada dibawah pengawasan wali (minderjarige under voordij). Pengertian anak itu sendiri jika ditinjau lebih lanjut dari segi usia kronologis menurut hukum dapat berbeda-beda tergantung tempat, waktu dan untuk keperluan apa, hal ini juga akan mempengaruhi batasan yang digunakan untuk menentukan umur anak. Menurut Pasal 45 KUHP, seseorang yang berada di bawah umur atau dikategorikan belum dewasa apabila belum berumur 16 tahun. Pasal 283 KUHP menentukan 12 batas kedewasaan apabila sudah mencapai 17 tahun. Sedangkan menurut Pasal 287 KUHP, batas usia dewasa bagi seorang wanita adalah 15 tahun. Pengertian anak pada Pasal 1 Convention On The Rights of The Child : anak diartikan sebagai setiap orang dibawah usia 18 tahun, kecuali berdasarkan hukum yang berlaku terhadap anak, kedewasaan telah diperoleh sebelumnya. Anak adalah mereka yang belum dewasa dan menjadi dewasa karena peraturan tertentu mental,fisik masih belum dewasa.12 Pasal 1 ayat (5) Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 Tentang Hak Asasi Manusia menjabarkan pengertian anak : Anak adalah setiap manusia yang berusia dibawah 18 tahun (delapan belas) dan belum menikah termasuk anak yang masih dalam kandungan apabila hal tersebut adalah demi kepentingannya. Pengertian tersebut hampir sama dengan pengertian anak yang terdapat dalam Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 Pasal 1 ayat (1) Tentang Perlindungan Anak : Anak adalah seseorang yang berusia 18 tahun termasuk anak yang masih dalam kandungan. Sedangkan dalam Pasal 1 ayat (1) Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997 Tentang Peradilan Anak : Pengertian anak adalah orang yang dalam perkara anak nakal telah mencapai umur 8 tahun(delapan) tetapi belum mencapai umur 18 (delapan belas) tahun dan belum pernah kawin. Melihat dari hal-hal tersebut dapat diperoleh suatu kesimpulan bahwa batasan umur anak adalah relatif tergantung kepentingannya. 12 Shanty Dellyana, Wanita dan Anak di Mata Hukum, Liberty, Yogyakarta, 1988, Hal. 50. 13 2. Hak-hak Anak dan Kewajiban Anak Anak sebagai generasi penerus perlu dijaga agar jangan sampai terperosok melakukan kejahatan, maka dalam konteks ini diuraikan tentang upaya-upaya penanggulangan kejahatan/kenakalan anak. Anak yang kebetulan melakukan kejahatan tetaplah sebagai anak, oleh karena itu tetaplah mendapat hak-haknya sebagai anak serta melakukan kewajibannya sebagai anak.13 Tujuan perlindungan anak adalah untuk menjamin terpenuhinya hakhak anak agar dapat hidup, tumbuh, berkembang, dan berpartisipasi secara optimal sesuai dengan harkat dan martabat kemanusiaan serta mendapat perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi, demi terwujudnya anak Indonesia yang berkualitas, berakhlak mulia, dan sejahtera.14 Hak-hak Anak dan Kewajiban Anak adalah sebagai berikut : a. Hak-hak Anak Hak adalah kekuasaan yang diberikan kepada seseorang untuk bertindak dalam rangka kepentingannya. Ciri-ciri yang melekat pada hak adalah : 1) Hak itu dilekatkan kepada seseorang yang kemudian disebut pemilik hak atau subyek dari hak itu; 2) Hak itu tertuju kepada orang lain, yaitu yang menjadi pemegang kewajiban, dan antara hak dan kewajiban terjadi hubungan yang korelatif; 13 Setya Wahyudi, Implementasi Ide Diversi Dalam Pembaharuan Sistem Peradilan Pidana Anak di Indonesia, Genta Publishing, Yogyakarta, 2011, Hal. 21. 14 Isi dari Pasal 3 UU No. 23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak 14 3) Hak yang ada pada seseorang itu mewajibkan pihak lain untuk melakukan (commisio) atau tidak melakukan (ommisio) sesuatu perbuatan; Setiap hak menurut hukum itu mempunyai titel, yaitu suatu peristiwa tertentu yang menjadi alasan melekatnya hak itu pada pemiliknya.15 Pengaturan hak-hak anak di Indonesia saat ini, pada pokoknya diatur dalam UU No. 23 tahun 2002 tentang Perlindungan anak dan Keputusan Presiden No. 36 tahun 1990 tentang Pengesahan Konvensi Hak-hak Anak. Oleh karena itu sejak tahun 1990 Indonesia terikat secara hukum untuk melaksanakan ketentuan yang termaktub didalam Konvensi Hak-hak Anak. Berdasarkan Konvensi Hak-hak Anak 1989 (Resolusi PBB Nomor 44/25 tanggal 5 Desember 1989), hak-hak anak secara umum dapat dikelompokkan dalam 4 (empat) kategori hak-hak anak yaitu: 1) Hak untuk kelangsungan hidup (The Right to Survival), yaitu hakhak dalam Konvensi Hak Anak yang meliputi hak-hak untuk melestarikan dan mempertahankan hidup (the right of life) dan hak untuk memperoleh standar kesehatan tertinggi dan perawatan yang sebaik-baiknya (the rights to the highest standart of health and medical care attainable); 2) Hak terhadap perlindungan (The Right to Protection), yaitu hakhak dalam Konvensi Hak-hak Anak yang meliputi hak perlindungan dari diskriminasi, tindak kekerasan, dan keterlantaran bagi anak yng tidak mempunyai keluarga dan bagi anak-anak pengungsi; 3) Hak untuk tumbuh kembang (The Right to Develop), yaitu hakhak anak dalam Konvensi Hak-hak Anak yang meliputi segala bentuk pendidikan (formal dan nonformal) dan hak untuk 15 Satjipto Rahardjo, Ilmu hukum, Alumni, Bandung, 1986, Hal. 95. 15 mencapai standar hidup yang layak bagi perkembangan fisik, mental, dan spiritual, moral, dan sosial anak; 4) Hak untuk partisipasi (The Right to Participation), yaitu hak-hak anak yang meliputi hak untuk menyatakan pendapat dalam segala hal yang memengaruhi anak (the rights of a child to express her/his view freely in all matters affecting the child).16 Hak kelangsungan hidup (survival rights) dalam Konvensi Hak-hak Anak 1989, diatur dalam Pasal 7, 8, 9, 19, 20, 21, 23, 26, 27, 30, 32, 33, 34, 35, dan Pasal 38. Mengenai ini pasal-pasal diatas, yang mengatur hak-hak anak, antara lain tentang : 1) Hak anak untuk mendapatkan nama dan kewarganegaraan semenjak dilahirkan; 2) Hak untuk hidup bersama orang tuanya, kecuali kalau hal ini tidak sesuai dengan kepentingan terbaiknya; 3) Kewajiban negara untuk melindungi anak-anak dari segala bentuk salah perlakuan (Abuse); 4) Hak anak-anak penyandang cacat (disable) untuk memperoleh pengasuhan, pendidikan, dan latihan khusus; 5) Hak anak untuk menikmati standar kehidupan yang memadai, dan tanggungjawab utama orang tua, kewajiban negara untuk memenuhinya; 6) Hak anak atas perlindungan dari penyalahgunaan obat bius dan narkotika; 7) Hak anak atas perlindungan eksploitasi dan penganiayaan seksual, termasuk prostitusi dan keterlibatan dalam pornografi; 8) Kewajiban negara untuk menjajagi segala upaya guna mencegah penjualan, penyelundupan, dan penculikan anak.17 Hak terhadap perlindungan (protection rights) dalam Konvensi Hak-hak Anak, terdiri dari 3 (tiga) kategori, yaitu : 1) Adanya larangan diskriminasi anak, yaitu; Non diskriminasi terhadap hak-hak anak; hak mendapatkan nama dan kewarganegaraan; hak anak penyandang cacat. 2) Larangan eksploitasi anak, misalnya; Hak berkumpul dengan keluarganya; pencegahan penculikan; kewajiban negara untuk melindungi anak dari segala bentuk salah 16 Mohammad Joni dan Zulchaina Z. Tanamas, Aspek Hukum Perlindungan Anak dalam Perspektif Konvensi Hak Anak, PT. Citra Adiya Bakti, Bandung, 1999, Hal. 35. 17 Ibid., Hal. 37-39. 16 perlakuan oleh orang tua atau orang lain; perlindungan bagi anak yatim; kewajiban negara untuk melindungi anak-anak dari keterlibatan dalam pekerjaan yang mengancam kesehatan, pendidikan, dan atau perkembangan anak; larangan penyiksaan, perlakuan, atau hukuman yang kejam, pidana mati, seumur hidup dan penahanan semena-mena. 3) Kondisi krisis dan keadaan darurat anak, yaitu: Mengembalikan anak dalam kesatuan keluarga; perlindungan anak pengungsian; kondisi konflik bersenjata/perang dan perawatan rehabilitasi. Hak untuk tumbuh kembang (development rights) pada intinya terdapat hak untuk memperoleh akses pendidikan dalam segala bentuk pendidikan, dan hak yang berkaitan dengan taraf hidup anak secara memadai untuk perkembangan fisik, mental, spiritual, moral dan sosial anak (the right of standart of living). Beberapa hak-hak untuk tumbuh kembang, seperti: 1) 2) 3) 4) Hak untuk memperoleh informasi (the right to information); Hak memperoleh pendidikan (the right to education); Hak bermain dan rekreasi (the right to play and recreation); Hak berpartisipasi dalam kegiatan budaya (the right to participation in cultural activities); 5) Hak untuk kebebasan berpikir (conscience), dan beragama (the rights to thought and religion); 6) Hak untuk pengembangan kepribadian (the rights of personality development); 7) Hak untuk memperoleh identitas (the rights to identity); 8) Hak memperoleh kesehatan dan fisik (the rights of health and physical development); 9) Hak untuk didengar pendapatnya (the rights to be heard); 10) Hak untuk/atas keluarga (the right to be family). Hak untuk berpartisipasi merupakan hak anak mengenai identitas budaya mendasar bagi anak, masa kanak-kanak dan pengembangan keterlibatannya didalam masyarakat luas. Hak ini memberi makna bahwa anak-anak ikut memberikan sumbang peran. 17 Beberapa hak atas partisipasi didalam Konvensi Hak-hak Anak, seperti: 1) Hak anak untuk berpendapat dan memperoleh pertimbangan atas pendapatnya; 2) Hak anak untuk mendapatkan dan mengetahui informasi serta umtuk berekspresi; 3) Hak anak untuk berserikat dan menjalin hubungan untuk bergabung; 4) Hak anak untuk memperoleh akses informasi yang layak dan terlindung dari informasi yang tidak sehat; 5) Hak untuk memperoleh informasi tentang Konvensi Hak-hak Anak. Hak-hak anak di Indonesia secara umum ditentukan dalam Pasal 4 sampai dengan Pasal 18 UU No. 23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak, sebagai berikut : 1) Setiap anak berhak untuk dapat hidup, tumbuh, berkembang dan berpartisipasi wajar sesuai dengan harkat dan martabat kemanusiaan, serta mendapatkan perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi. 2) Setiap anak berhak atas suatu nama sebagai identitas dan status kewarganegaraan. 3) Setiap anak berhak beribadah menurut agamanya, berpikir sesuai dengan tingkat kecerdasannya dan dalam bimbingan orang tuanya. 4) Setiap anak berhak mengetahui orang tuanya, dibesarkan dan diasuh oleh orang tuanya sendiri, atau oleh orang lain bila orang tuanya tidak dapat menjamin tumbuh kembang anak. 5) Setiap anak berhak memperoleh pelayanan kesehatan dan jaminan sosial sesuai dengan kebutuhan fisik, mental, spiritual, dan sosial. 6) Setiap anak berhak memperoleh pendidikan dan pengajaran sesuai dengan dengan bakat dan minatnya. 7) Bagi anak cacat berhak mendapatkan pendidikan luar biasa, dan bagi anak yang yang memiliki keunggulan berhak mendapatkan pendidikan khusus. 8) Setiap anak berhak menyatakan dan didengar pendapatnya, menerima, mencari dan memberikan informasi sesuai dengan tingkat kecerdasannya dan usianya demi pengembangan dirinya sesuai dengan nilai-nilai kesusilaan dan kepatutan. 18 9) Setiap anak berhak untuk beristirahat dan memanfaatkan waktu luang, bergaul dengan ank sebaya, bermain, berekreasi, dan berkreasi sesuai dengan minat, bakat, dan tingkat kecerdasannya. 10) Setiap anak yang menyandang cacat berhak memperoleh rehabilitasi, bantuan sosial dan pemeliharaan taraf kesejahteraan sosial. 11) Setiap anak selama pengasuhan orang tua, wali atau pihak lain, berhak mendapat perlindungan dari perlakuan: diskriminasi, eksploitasi, penelantaran, kekejaman, kekerasan, dan penganiayaan, ketidakadilan dan perlakuan salah lainnya. 12) Setiap anak berhak memperoleh perlindungan dari: penyalahgunaan dalam kegiatan politik, pelibatan dalam sengketa bersenjata, pelibatan dalam kerusuhan sosial, pelibatan dalam peristiwa yang mengandung unsur-unsur kekerasan, pelibatan dalam peperangan. 13) Setiap anak berhak memperoleh perlindungan dari sasaran penganiayaan, penyiksaan, dan penjatuhan hukuman yang tidak manusiawi. 14) Penangkapan, penahanan, atau pidana penjara anak hanya dilakukan apabila sesuai dengan hukum yang berlaku dan hanya dapat dialkukan sebagai upaya terakhir. 15) Setiap anak yang dirampas kebebasannya berhak untuk mendapatkan perlakuan secara manusiawi dan penempatannya dipisahkan dengan orang dewasa; memperoleh bantuan hukum dan bantuan lainnya. 16) Setiap anak yang menjadi korban atau pelaku kekerasan seksual atau berhadapan dengan hukum berhak dirahasiakan. b. Kewajiban Anak Kewajiban berarti sesuatu yang wajib diamalkan (dilakukan), keharusan, tugas yang harus dilakukan. 18 Anak melakukan kewajiban ini bukan semata-mata beban, tetapi justru dengan melakukan kewajiban-kewajiban ini menjadikan anak tersebut berpredikat “anak yang baik”. Anak yang baik tidak hanya meminta hak-haknya saja, tetapi juga akan melakukan kewajiban-kewajibannya. 18 W.J.S. Poerwadarminta, Kamus Umum Bahasa Indonesia, Edisi ketiga, Jakarta, Balai Pustaka, 2005, Hal. 1395. 19 Pasal 19 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak, ada 5 (lima) kewajiban anak di Indonesia, yaitu : 1) Kewajiban menghormati orang tua, wali, dan guru; 2) Kewajiban mencintai keluarga, masyarakat, dan menyayangi teman; 3) Kewajiban mencintai tanah air, bangsa, dan negara; 4) Kewajiban menunaikan ibadah sesuai dengan ajaran agamanya; dan 5) Kewajiban melaksanakan etika dan akhlak mulia. Anak wajib menghormati orang tua, karena ayah dan ibu lebih berhak dari segala manusia untuk dihormati dan ditaati. Orang tua memelihara, mengasuh dan mendidik, menyekolahkan, mencintai dengan ikhlas agar anak menjadi seorang yang baik, berguna dalam masyarakat, berbahagia dunia akherat. Anak wajib berbuat baik, mencintai, dan menghormati keduanya dan jangan membuat marah mereka, serta mendoakan mereka. Anak muslim meyakini hak kedua orang tua terhadap dirinya, kewajiban berbakti, taat dan berbuat baik kepada keduanya. Tidak karena keduanya penyebab keberadaannya atau karena keduanya memberikan banyak hal kepadanya hingga anak harus membalas budi kepada keduanya, tetapi karena Allah Azzawa Jalla mewajibkan taat, menyuruh berbakti dan berbuat baik kepadanya. Kewajiban anak menghormati guru karena guru telah mendidik, melatih otak, menunjukkan kepada kebaikan dan kebahagiaan. Maka patutlah bila anak wajib mencintai dan menghormatinya. 20 Anak wajib mencintai keluarga seperti saudara, baik saudara ayah maupun saudara ibu, karena mereka juga ikut menolong keperluan ayah dan ibu. Kewajiban mencintai masyarakat seperti tetangga, karena tetangga hidup bersama-sama dengan keluarga (ayah dan ibu). Demikian terhadap teman karena teman adalah sahabat yang tolong menolong. Anak wajib mencintai sebagai tanah air sebagai tempat anak dilahirkan, tempat tinggal dan hidup, juga segenap kerabat dan sahabat berada. Air yang kita minum, hasil bumi yang kita makan dan udara yang kita hirup, maka patutlah untuk mencintai serta membela kehormatan tanah air kita. Anak wajib melakasanakan etika dan akhlak mulia. Berdasarkan perkembangan arti etika, dibagi dua bentuk, yaitu: etika perangai dan etika moral.19 Etika perangai adalah adat istiadat atau kebiasaan yang menggambarkan perangai manusia dalam hidup bermasyarakat didaerah-daerah tertentu, pada wakru tertentu pula. Etika perangai diakui dan berlaku karena disepakati masyarakat berdasarkan hasil penilaian perilaku, misalnya berbusana adat, pergaulan muda mudi perkawinan semenda, upacara adat. Etika moral berkenaan dengan kebiasaan berperilaku baik dan benar berdasarkan kodrat manusia. Apabila etika ini dilanggar timbullah kejahatan. Kebiasaan ini berasal dari kodrat manusia yang disebut moral. Contoh etika moral, seperti 19 Hal. 13. Abdulkadir Muhammad, Etika Profesi Hukum, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, 1997, 21 berkata jujur, menghargai hak orang lain, menghormati orang tua atau guru, membela kebenaran dan keadilan, menyantuni anak yatim. Akhlak ialah institusi yang bersemayam didalam hati tempat munculnya tindakan-tindakan sukarela, tindakan yang benar atau salah. Menurut tarbiatnya, institusi akhlak siap menerima pengaruh pembinaan yang baik atau pembinaan yang salah kepadanya. Jika institusi tersebut dibina untuk memilih keutamaan, kebenaran, cinta kebaikan, cinta keindahan, dan benci kenegatifan, maka perbuatanperbuatan baik muncul daripadanya dengan mudah. Itulah akhlak yang baik, misalnya akhlak lemah lembut, sabar, dermawan, berani, adil, berbuat baik dan lainnya sebagai penyempurna diri.20 B. Tindak Pidana 1. Istilah dan Pengertian Tindak Pidana Istilah tindak pidana merupakan pengganti istilah “strafbaar feit” yang digunakan dalam hukum pidana Belanda, yakni dalam WvS Belanda. Dengan dianutnya asas konkordansi oleh hukum pidana Indonesia terhadap hukum pidana Belanda, maka istilah strafbaarfeit juga berlaku dalam tata hukum pidana Indonesia. Secara etimologi strafbaar feit terdiri dari tiga kata yaitu straf yang berarti pidana, baar yang berarti dapat atau boleh, dan feit yang berarti perbuatan. Dalam kaitannya dengan istilah strafbaar feit secara utuh, straf 20 Ibid., Hal. 15. 22 diterjemahkan juga dengan kata hukum, sehingga apabila dirangkai secara utuh, istilah strafbaar feit akan bermakna perbuatan yang dapat dihukum. Berdasarkan penjabaran istilah di atas, pembentuk undang-undang Belanda tidak mengggunakan istilah “perbuatan” atau “tindak” (handeling), melainkan “fakta” (feit-tindak pidana). Penggunaan istilah tersebut dikarenakan pengertian feit mencakup omne quod fit, artinya keseluruhan kejadian (perbuatan), baik yang bersifat positif (aktif), negatif (pasif), termasuk kelalaian serta situasi dan kondisi lainnya yang relevan.21 Menurut Van Hamel, strafbaar feit adalah kelakuan orang (menslijke gedraging) yang dirumuskan dalam wet, yang bersifat melawan hukum, yang patut dipidana (straf waardig) dan dilakukan dengan kesalahan. Sedangkan Simons sebagaimana dikutip oleh M. Haryanto menyatakan bahwa strafbaarfeit adalah kelakuan (handeling) yang diancam dengan pidana, yang bersifat melawan hukum, yang berhubungan dengan kesalahan dan yang dilakukan oleh orang yang mampu bertanggungjawab.22 Dari definisi tersebut di atas, maka dapat diketahui bahwa strafbaarfeit mengandung unsur: a. perilaku manusia (gedragingen); b. diancam dengan pidana; 21Jan Remmelink, “Hukum Pidana”, Komentar atas Pasal-Pasal Terpenting dari Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Belanda dan Padanannya dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Indonesia, PT Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 2003, hal. 85. 22 M. Haryanto, Strafbaar Feit, Perbuatan Pidana, Tindak Pidana, http://blogmhariyanto.blogspot.com/2009/07/strafbaar-feit-menurut-bambang-poernomo.html, diakses tanggal 1 Maret 2012. 23 c. bersifat melawan hukum (wederrechtelijkheid); d. berhubungan dengan kesalahan (schuld); e. dilakukan oleh orang yang mampu bertanggung jawab (toerekeningsvatbaar) atau schuldfahig.23 Menurut M. Haryanto, perumusan strafbaar feit sebagaimana telah dijabarkan di atas akan menimbulkan konskuensi, yaitu: “istilah tersebut baru dapat dipakai setelah ada penetapan putusan hakim yang mempunyai kekuatan hukum tetap, karena untuk mengetahui orang bersalah atau tidak, melawan hukum atau tidak, dapat dipertanggungjawabkan atau tidak harus melalui suatu proses penyelesaian perkara pidana berdasarkan hukum pidana formil yang berlaku”24 Penggunaan kata pengganti istilah strafbaar feit dalam tata hukum pidana Indonesia tidak ada keseragaman yang disebabkan karena belum ada penjelasan yang resmi mengenai definisi istilah tersebut. Dengan kondisi yang demikian, para ahli hukum mencoba untuk merefleksikan (memberikan arti dan isi) istilah strafbaar feit untuk memperoleh gambaran mengenai istilah tersebut. Istilah-istilah yang pernah digunakan, baik dalam perundangundangan yang ada maupun dalam berbagai literatur hukum sebagai terjemahan istilah strafbaar feit adalah sebagai berikut. a. Tindak pidana Tindak pidana dapat dikatakan sebagai istilah resmi yang digunakan dalam hukum pidana Indonesia. Hampir seluruh perundang- 23 24 Ibid. Ibid. 24 undangan pidana menggunakan istilah tindak pidana, seperti dalam Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1982 tentang Hak Cipta (diganti dengan Undang-Undang Nomor 19 tahun 2002), Undang-Undang Nomor 11 PNPS 1963 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Subversi, Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1971 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (diganti dengan Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999), dan perundang-undangan lainnya. Ahli hukum yang menggunakan istilah tindak pidana antara lain Jan Remmelink dan Wirjono Prodjodikoro. Menurut Jan Remmelink tindak pidana adalah perilaku yang pada waktu tertentu dalam konteks suatu budaya dianggap tidak dapat ditolerir dan harus diperbaiki dengan mendayagunakan sarana-sarana yang disediakan oleh hukum pidana. 25 Sedangkan menurut Wirjono Prodjodikoro tindak pidana adalah tindakan yang melanggar berbagai kepentingan yang dilindungi oleh hukum, dan kepentingan tersebut terdiri dari tiga jenis yaitu kepentingan individu-individu, kepentingan masyarakat, kepentingan Negara.26 b. Peristiwa pidana Istilah peristiwa pidana digunakan oleh beberapa ahli hukum, seperti R. Tresna, H.J. Van Schravendijk, Zainal Abidin, Utrecht. E. Menurut R. Tresna dalam Adami Chazawi peristiwa pidana adalah suatu 25 perbuatan atau serangakaian perbuatan manusia, yang Jan Remmelink, Op. Cit, hal. 61. Wirjono Prodjodikoro, Tindak-Tindak Pidana Tertentu di Indonesia, PT. Rafika Aditama, Bandung, 2003, hal.16. 26 25 bertentangan dengan undang-undang atau peraturan perundangundangan lainnya, terhadap perbuatan mana diadakan tindakan penghukuman. 27 Utrecht dalam Leden Marpaung menggunakan istilah “peristiwa pidana karena yang ditinjau adalah peristiwa (feit) dari sudut hukum pidana.28 Menurut Adami Chazawi kata “peristiwa” menggambarkan pengertian yang luas, yakni mencakup pada seluruh keajadian yang tidak saja disebabkan oleh adanya perbuatan manusia semata, tetapi juga oleh alam. Sedangkan dalam hukum pidana, suatu peristiwa baru dikatakan penting apabila diakibatkan oleh perbuatan manusia. 29 c. Delik Kata “delik “ berasal dari bahasa Latin, yakni delictum. Dalam bahasa Jerman disebut delict, dalam bahsa Perancis disebut delit dan dalam bahasa Belanda disebut delict.30 Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, delik diartikan sebagai perbuatan yang dapat dikenakan hukuman karena merupakan pelanggaran terhadap undang-undang.31 Beberapa ahli hukum pidana menggunakan istilah “delik” dan masingmasing memberi definisi sebagai berikut.32 27 Adami Chazawi, Pelajaran Hukum Pidana (Stelsel Pidana, Tindak Pidana, Teori-Teori Pemidanaan dan Batas Berlakunya Hukum Pidana), PT Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2005, hal.72-73. 28 Leden Marpaung, Asas-Teori-Praktik Hukum Pidana, Cetakan Keempat, Sinar Grafika, Jakarta, 2008, hal. 7 29 Adami Chazawi, Op.Cit.,hal.69. 30 Leden Marpaung, 2008, Op. Cit., hal. 7. 31 Ibid. 32 Ibid., hal. 8. 26 1) Vos Delik adalah feit yang dinyatakan dapat dihukum berdasarkan undang-undang. 2) Van Hammel Delik adalah suatu serangan atau ancaman terhadap hak-hak orang lain. 3) Simons Delik dalah suatu tindakan melanggar hukum yang telah dilakukan dengan sengaja ataupun tidak sengaja oleh seseorang yang tindakannya tersebut dapat dipertanggungjawabkan dan oleh undangundang telah dinyatakan sebagai suatu perbuatan yang dapat dihukum. d. Pelanggaran pidana Istilah “pelangaran pidana” digunakan oleh M.H. Tirtaamidjaja dalam bukunya yang berjudul Pokok-Pokok Hukum Pidana. e. Perbuatan yang boleh dihukum Istilah “perbuatan yang boleh dihukum” digunakan oleh Karni dalam buku Ringkasan tentang Hukum Pidana dan Schravendijk dalam buku Pelajaran tentang Hukum Pidana Indonesia. Menurut Schravendijk sebagaimana dikutip oleh Adami Chazawi mengatakan bahwa perbuatan yang boleh dihukum adalah kelakuan orang yang begitu bertentangan dengan keinsyafan hukum sehingga kelakuan itu diancam dengan hukuman, asal dilakukan oleh orang yang karena itu dapat dipersalahkan.33 f. Perbuatan yang dapat dihukum Istilah “perbuatan yang dapat dihukum” terdapat dalam UndangUndang Nomor 12/Drt/1951 tentang Senjata Api dan Bahan Peledak. 33 Adami Chazawi, Op.Cit., hal. 69. 27 g. Perbuatan pidana Moeljatno menggunakan istilah “perbuatan pidana” dan memberi makna perbuatan pidana sebagai perbuatan yang dilarang oleh suatu aturan hukum larangan mana disertai ancaman (sanksi) yang berupa pidana tertentu, bagi barang siapa melanggar larangan tersebut.34 Menurut Moeljatno Penggunaan istilah perbuatan pidana lebih tepat dengan alasan sebagai berikut.35 1) Perbuatan yang dilarang adalah perbuatannya (perbuatan manusia, yaitu suatu kejadian atau keadaan ang ditimbulkan oleh kelakuan orang), artinya larangan itu ditujukan pada perbuatannya, sementara ancaman pidananya ditujukan pada orangnya. 2) Antara larangan (yang ditujukan pada perbuatan) dengan ancaman pidana (yang ditujukan pada orannya), ada hubungan yang erat. Oleh Karena itu, perbuatan (yang berupa keadaan atau kejadian yang ditimbulkan orang tadi, melanggar larangan) dengan orang yang menimbulkan perbuatan tadi ada hubungan yang erat pula. 3) Untuk menyatakan adanya hubungan yang erat itulah, maka lebih tepat digunakan istilah perbuatan pidana, suatu pengetian abstrak yang menunjuk pada dua keadaan konkret, yaitu kejadian tetentu (perbuatan) dan adanya yang berbuat atau yang menimbulkan kejadian itu. Dari pendapat-pendapat tersebut di atas, maka dapat diketahui bahwa tindak pidana adalah tindakan atau perbuatan yang bertentangan dengan peraturan perundang-undangan, dimana terhadap pelanggarnya diancam dengan pidana. 2. Unsur-Unsur Tindak Pidana Pemahaman mengenai unsur-unsur tindak pidana merupakan hal mutlak yang harus dimiliki oleh aparat penegak hukum dalam upaya 34 35 M. Haryanto, Loc. Cit. Adami Chazawi, Op.Cit., hal.71 28 penegakan hukum pidana. Dengan pemahaman tersebut, maka dapat diketahui apakah suatu perbuatan/ tindakan dapat dikategorikan sebagai tindak pidana atau tidak. Terhadap unsur tindak pidana (delik), terdapat perbedaan istilah. Tirtaamidjaja menggunakan istilah “elemen-elemen” sedangkan E. Utrecht menyebutnya dengan istilah “anasir-anasir”. Namun demikian, istilah yang digunakan pada umumnya adalah “unsur-unsur.” Menurut doktrin, unsur-unsur tindak pidana (delik) terbagi menjadi dua bagian, yaitu: a. Unsur Subjektif Unsur subjektif adalah unsur yang berasal dari dalam diri pelaku. Asas hukum pidana menyatakan “tidak ada hukuman bila tidak ada kesalahan” (An act does not make a person guilty uless the mind is guilty or actus non facit reum nisi mens sit rea).36 Kesalahan yang dimaksud di sini adalah kesalahan yang diakibatkan oleh kesengajaan (intention/ opzet/ dolus) dan kealpaan (negligence or schuld). Pada umumnya para pakar telah menyetujui bahwa “kesengajaan” terdiri dari 3 (tiga) bentuk, yakni: 1) kesengajaan sebagai maksud (oogmerk); 2) kesengajaan dengan keinsafan pasti (opzet als zekerheids bewustzijn); 36 Ibid., hal.9 29 3) kesengajaan dengan keinsafan akan kemungkinan (dolus evantualis). Kealpaan adalah bentuk kesalahan yang lebih ringan dari kesengajaan. Kealpaan terdiri atas 2 (dua) bentuk, yakni: 1) tak berhati-hati; 2) dapat menduga akibat perbuatan itu. b. Unsur Objektif Unsur objektif merupakan unsur dari luar diri pelaku yang terdiri atas: 1) Perbuatan manusia, berupa: a) act, yakni perbuatan aktif atau perbuatan positif; b) omission, yakni perbuatan pasif atau perbuatan negatif, yaitu perbuatan yang mendiamkan atau membiarkan. 2) Akibat (result) perbuatan manusia Akibat tersebut membahayakan atau merusak, bahkan menghilangkan kepentingan-kepentingan yang dipertahankan oleh hukum, misalnya nyawa, badan, kemerdekaan, hak milik, kehormatan dansebagainya. 3) Keadaan-keadaan (circumstances) Pada umumnya keadaan tersebut dibedakan antara lain: a) keadaan pada saat perbuatan dilakukan; b) keadaan setelah perbuatan dilakukan. 30 4) Sifat dapat dihukum dan sifat melawan hukum Sifat dapat dihukum berkenaan dengan alasan-alasan yang membebaskan si pelaku dari hukuman. Adapun sifat melawan hukum adalah apabila perbuatan itu bertentangan dengan hukum, yakni berkenaan dengan larangan atau perintah. Berbeda dengan pendapat di atas, Satochid Kartanegara sebagaimana telah dikutip oleh Adami Chazawi, unsur delik terdiri atas unsur subyektif dan unsur obyektif. Unsur obyektif adalah unsur yang terdapat di luar diri manusia, yaitu berupa:37 a. suatu tindakan; b. suatu akibat; c. keadaan (omstandingheid); Kesemuanya itu dilarang dan diancam dengan hukuman oleh undang-undang. Unsur subyektif adalah unsur-unsur dari perbuatan yang dapat berupa:38 a. kemampuan dapat dipertanggungjawabkan (toerekeningsvatbaar heid); b. kesalahan (schuld). Sama halnya dengan 2 (dua) pendapat sebelumnya, Lamintang dalam Leden Marpaung membagi unsur tindak pidana (delik) menjadi 2 (dua), yakni unsur subyektif dan unsur obyektif. Selanjutnya Lamintang menyatakan sebagai berikut: 37 38 Ibid., hal.10 Ibid. 31 “Yang dimaksud dengan unsur subyektif adalah unsur yang melekat pada diri si pelaku atau yang berhubungan dengan diri si pelaku dan termasuk di dalamnya segala sesuatu yang terkandung di dalam hatinya. Adapun yang dimaksud dengan unsur obyektif adalah unsur yang ada hubungannya dengan keadaan-keadaan, yaitu dalam keadaan ketika tindakan-tindakan dari si pelaku itu harus dilakukan”39 Menurut Moeljatno, tiap-tiap perbuatan pidana harus terdiri atas unsur-unsur lahir, oleh karena itu perbuatan yang mengandung kelakuan dan akibat yang ditimbulkan adalah suatu kejadian dalam alam lahir.40 a. sifat melawan hukum atau wederrechtelijkheid; b. kualitas dari si pelaku; c. kualitas, yakni hubungan antara suatu tindakan sebagai penyebab dengan suatu kenyataan sebagai akibat. 3. Jenis-Jenis Tindak Pidana Tindak pidana dapat dibeda-bedakan atas dasar-dasar tertentu, yaitu:41 a. Kejahatan dan pelanggaran Perbedaan kejahatan (misdrijven) dan pelanggaran (overtredingen) seringkali dilihat secara kualitatif dan kuantitatif. Secara kualitatif, kejahatan dipandang sebagai tindak pidana yang sifat tercelanya tidak semata-mata pada dimuatnya dalam undang-undang, melainkan memang pada dasarnya telah melekat sifat terlarang sebelum memuatnya dalam rumusan tindak pidana dalam undangundang. Sebaliknya, dalam pelanggaran sifat tercelanya suatu perbuatan itu terletak pada setelah dimuatnya sebagai demikian dalam undang-undang, atau dengan kata lain sumber tercelanya adalah undang-undang. Secara kuantitatif, perbedaan antara kejahatan dan pelanggaran hanya didasarkan pada berat-ringannya tindak pidana yang kemudian akan mengarah pada berat-ringannya ancaman pidana. Dalam hal ini kejahatan merupakan bentuk tindak pidana yang lebih berat dibandingkan dengan pelanggaran. 39 Ibid., hal.11. Ibid.,hal. 10 41 Sudarto, Hukum Pidana I, Yayasan Sudarto, Semarang, 1990, Hal. 56. 40 32 b. Tindak pidana formil (formeel delicten) dan tindak pidana materiil (materiel delicten) Tindak pidana formil (formeel delicten) adalah tindak pidana yang dirumuskan sedemikian rupa sehingga memberikan arti bahwa inti larangan yang dirumuskan itu adalah melakukan sesuatu perbuatan tertentu. Terjadinya tindak pidana tidak tergantung pada timbulnya suatu akibat, melainkan semata-mata pada perbuatannya. Sedangkan dalam rumusan tindak pidana materiil (materiele delicten), inti larangan adalah pada timbulnya akibat yang dilarang. c. Tindak pidana sengaja (doleus delicten) dan tindak pidana kelalaian (culpose delicten) Tindak pidana sengaja adalah tindak pidana yang dalam rumusannya dilakukan dengan kesengajaan atau mengandung unsur kesengajaan. sementara tindak pidana culpa adalah tindak pidana yang dalam rumusannya mengandung unsure culpa. d. Tindak pidana aktif/positif (delicta commissionis) dan tindak pidana pasif/negatif (delicta omissionis) Tindak pidana aktif adalah tindak pidana yang perbuatannya berupa perbuatan aktif (positif), artinya bahwa untuk mewujudkan tindak pidana tersebut disyaratkan adanya gerakan dari anggota tubuh orang yang berbuat. Sedangkan tindak pidana pasif, ada suatu kondisi dan atau keadaan tertentu yang mewajibkan seseorang dibebani hukum untuk berbuat tertentu, yang apabila ia tidak melakukan (aktif) perbuatan itu, ia telah melanggar kewajiban hukumnya. e. Tindak pidana terjadi seketika dan tindak pidana berlangsung terus Tindak pidana terjadi seketika adalah tindak pidana yang dirumuskan sedemikina rupa sehingga untuk terwujudnya atau terjadinya dalam waktu seketika atau waktu singkat, disebut dengan aflopende delicten. Sedangkan tindak pidana berlangung terus adalah tindak pidana yang dirumuskan sedemikian rupa, sehingga terjadinya tindak pidana itu berlangsung lama, yakni setelah perbuatan dilakukan, tindak pidana itu masih berlangsung terus, yang disebut juga dengan voortdurende delicten. f. Tindak pidana umum dan tindak pidana khusus Tindak pidana umum adalah semua tindak pidana yang dimuat dalam KUHP sebagai kodifikasi hukum pidana materiil. Sementara tindak pidana khusus adalah semua tindak pidana yang terdapat di luar kodifikasi tersebut. g. Tindak pidana communia (delicta communia) dan tindak pidana propia (delicta propia) Tindak pidana communia adalah tindak pidana yang dapat dilakukan oleh semua orang, sedangkan tindak pidana propia adalah tindak pidana yang hanya dapat dilakukan oleh orang yang berkualitas tertentu. h. Tindak pidana biasa (gewone delicten) dan tindak pidana aduan (klacht delicten) 33 Penggolongan tindak pidana ini didasarkan pada proses penuntutannya. Dalam tindak pidana biasa, untuk dilakukannya penuntutan pidana terhadap pembuatnya tidak disyaratkan adanya pengaduan dari yang berhak. Sementara dalam tindak pidana aduan, untuk dapat dilakukannya penuntutan pidana disyaratkan untuk terlebih dahulu adanya pengaduan oleh yang berhak. i. Tindak pidana dalam bentuk pokok, yang diperberat dan diperingan Dilihat dari berat ringannya, ada tindak pidana tertentu yang dibentuk menjadi 3 (tiga) bagian, yaitu: 1) bentuk pokok, sederhana atau bentuk standar (eenvoudige delicten), yaitu tindak pidana dirumuskan secara lengkap dimana semua unsurnya dicantumkan dalam rumusan; 2) dalam bentuk yang diperberat (gequalificeerde delicten), yaitu tindak pidana yang dalam rumusannya tidak menyebutkan kembali unsur-unsur bentuk pokok, namun menyebut kualifikasi bentuk pokonya atau pasal bentuk pokonya disertai unsur yang bersifat memberatkan; 3) dalam bentuk ringan (gepriviligieerde delicten), yaitu tindak pidana yang dalam rumusannya tidak menyebutkan kembali unsurunsur bentuk pokok, namun menyebut kualifikasi bentuk pokonya atau pasal bentuk pokonya disertai unsur yang bersifat meringankan. j. Tindak pidana berdasarkan kepentingan hukum yang dilindungi Kepentingan hukum yang hendak dilindungi oleh hukum pidana terdiri dari 3 (tiga) kelompok besar, yaitu kepentingan hukum individu (individuale belangen), kepentingan hukum masyarakat (sociale belangen) dan kepentingan hukum negara (staatsbelangen). Sistematika pengelompokkan indak pidana bab per bab dalam KUHP didasarka pada kepentingan hukum yang dilindungi tersebut. k. Tindak pidana tunggal dan tindak pidana berangkai (samegestelde delicten) Tindak pidana tunggal (enkelvoudige delicten) adalah tindak pidana yang dirumuskan sedemikian rupa sehingga untuk dipandang selesainya tindak pidana dan dapat dipidananya pelaku, cukup dilakukan satu kali perbuatan saja. Sementara yang dimaksud dengan tindak pidana berangkai adalah tindak pidana yang dirumuskan sedemikian rupa sehingga untuk dipandang sebagai selesai dan dapat dipidananya pembuat, disyaratkan dilakukan berulang-ulang. 34 C. Tindak Pidana Narkotika 1. Pengertian Narkotika Menurut Pasal 1 angka 1 Undang-undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika, pengertian Narkotika adalah : “zat atau obat yang berasal dari tanaman atau bukan tanaman baik sintetis maupun semi sintetis yang dapat menyebabkan penurunan atau perubahan kesadaran, hilangnya rasa, mengurangi sampai menghilangkan rasa nyeri, dan dapat menimbulkan ketergantungan, yang dibedakan ke dalam golongan-golongan sebagaimana terlampir dalam undang-undang (UU No. 35 Tahun 2009 tentang Narkotika) atau yang kemudian di tetapkan dengan keputusan menteri kesehatan”. Secara umum, yang dimaksud narkotika dalah sejenis zat yang menimbulkan pengaruh-pengaruh tertentu bagi orang-orang yang menggunakannya, yaitu dengan cara memasukannya ke dalam tubuh. Istilah narkotika yang dipergunakan disini bukanlah “narcotics” pada farmocologie (farmasi), melainkan sama artinya dengan “drug”, yaitu sejenis zat yang apabila dipergunakan akan membawa efek dan pengaruh-pengaruh tertentu pada tubuh si pemakai, yaitu : a. mempengaruhi kesadaran; b. memberikan dorongan yang dapat berpengaruh terhadap perilaku manusia; c. pengaruh-pengaruh tersebut dapat berupa: 1) Penenang; 2) Perangsang (bukan rangsangan seks) 35 3) Menimbulkan halusinasi (pemakainya tidak mampu membedakan antara khayalan dan kenyataan, kehilangan kesadaran akan waktu dan tempat).42 Menurut Sudarto, dalam bukunya Kapita Selekta Hukum Pidana mengatakan bahwa: Perkataan narkotika berasal dari perkataan Yunani “narke”, yang berarti terbius sehingga tidak merasakan apa-apa. Sedangkan Smith Kline dan Frech Clinical Staff mengemukakan definisi tentang narkotika sebagai berikut: Narkotika adalah zat-zat atau obat yang dapat mengakibatkan ketidaksadaran atau pembiusan dikarenakan zat-zat tersebut bekerja memengaruhi susunan syaraf sentral. Dalam definisi narkotika ini sudah termasuk candu, zat-zat yang dibuat dari candu (morphine, codein, methadone). Definisi lain dari Biro Bea dan Cukai Amerika Serikat dalam buku “Narcotic Identification Manual”, sebagaimana dikutip oleh Djoko Prakoso, Bambang Riyadi, dan Mukhsin dikatakan: Bahwa yang dimaksud narkotika ialah candu, ganja, kokain, zat-zat yang bahan mentahnya diambil dari benda-benda tersebut, yakni morphine, heroin, codein, hasisch, cocain. Dan termasuk narkotika sintesis yang menghasilkan zat-zat, obat-obat yang tergolong dalam Hallucinogen dan Stimulant. Sedangkan menurut Verdoovende Middelen Ordonantie Staatblad 1972 No. 278 jo. No. 536 yang telah dirubah dan ditambah, yang dikenal sebagai undang-undang obat bius narkotika adalah “bahan-bahan yang terutama mempunyai efek kerja pembiusan, atau yang dapat menurunkan kesadaran. Disamping menurunkan kesadaran juga menimbulkan gejala42 Ibid., Hal.1. 36 gejala fisik dan mental lainnya apabila dipakai secara terus-menerus dan liar dengan akibat antara lain terjadinya ketergantungan pada bahan-bahan tersebut”.43 Jadi “narkotika” merupakan suatu bahan yang menumpulkan rasa, menghilangkan rasa nyeri, dan sebagainya. “Drugs” yang semula berarti jamu yang berasal dari bahan tetumbuhan yang dikeringkan, kemudian pengertiannya diperluas ialah obat pada umumnya yang meliputi juga obat-obat yang dibuat secara sintetis. Sekarang istilah “drugs” digunakan lebih sempit lagi, khususnya diartikan sebagai bahan yang psikpaktif yang digunakan diluar pengobatan.44 2. Jenis-jenis Narkotika Menurut Undang-Undang No. 35 Tahun 2009 Pasal 6, narkotika dapat digolongkan menjadi 3 (tiga) golongan, yaitu Narkotika Golongan I, Narkotika Golongan II dan Narkotika Golongan III. a. Narkotika Golongan I Yang dimaksud dengan Narkotika Golongan I adalah narkotika yang hanya dapat digunakan untuk tujuan pengembangan ilmu pengetahuan dan tidak digunakan dalam terapi, serta mempunyai potensi sangat tinggi mengakibatkan ketergantungan. Sesuai dengan Lampiran Undang-Undang No. 35 Tahun 2009, Narkotika Golongan I dapat dirinci sebagai berikut : 43 44 Taufik Makarso, dkk, Tindak Pidana Narkotika, Ghalia Indah, Jakarta, 2003, Hal 17-18. Sudarto, Kapita Selekta Hukum Pidana, Alumni, Bandung, 1986, Hal 36-37. 37 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10. 11. 12. 13. 14. 15. 16. Tanaman Papaver Somniferum L dan semua bagian-bagiannya termasuk buah dan jeraminya, kecuali bijinya. Opium mentah, yaitu getah yang membeku sendiri, diperoleh dari buah tanaman Papaver Somniferum L yang hanya mengalami pengolahan sekedar untuk pembungkus dan pengangkutan tanpa memperhatikan kadar morfinnya. Opium masak terdiri dari : a. Candu, hasil yang diperoleh dari opium mentah melalui rentetan pengolahan khususnya denegan pelarutan, pemanasan, dan peragian dengan atau tanpa penambahan bahan-bahan lain, dengan maksud mengubahnya menjadi suatu ekstrak yang cocok untuk pemadatan. b. Jicing, sisa-sisa dari candu setelah dihisap, tanpa memperhatikan apakah candu itu dicampur dengan daun atau bahan lain. c. Jicingko, hasil yang diperoleh dari pengolahan jicing. Tanaman koka, tanaman dari semua genus Erythroxylon dari keluarga Eryhroxylaceae termasuk buah dan bijinya. Daun koka, daun yang belum atau sudah dikeringkan atau dalam bentuk serbuk dari semua tanaman genus Erythroxylon dari keluarga Eryhroxylaceae yang menghasilkan kokain secara langsung atau melalui perubahan kimia. Kokain mentah, semua hasil-hasil yang diperoleh dari daun kokain yang dapat diolah secara langsung untuk mendapatkan kokaina. Kokaina, metil ester-1-bensoil ekgonina. Tanaman ganja, semua tanaman genus cannabis dan semua bagian dari tanaman termasuk biji, buah, jerami, hasil olahan tanaman ganja atau bagian tanaman ganja termasuk damar ganja dan hasis. Tetrahydrocannabinol dan semua isomer serta semua bentuk stereo kimianya. Delta 9 tetrahydrocannabinol dan semua bentuk stereo kimianya. Asetorfina : 3-0-acetiltetrahidro-7α-(1-hidroksi-1-metilbutil)-6, 14-endoeteno-oripavina. Acetil-alfa-metilfentamil : N-(1-(α-metilfenetil)-4-piperidi) asetanilida. Alfa-metifentanil : N-(1-)1-metilfenetil)-4-piperidil) propionanilida. Alfa-metiltiofentanil : N-(1)-1-metil-2(2-tienil) etil(-4 piperidi) propionanilida. Beta-hidroksifentanil : N-(1-(beta-hidroksifenetil)-4 piperidi) propionanilida. Beta-hidroksi-3-metilfentanil : N-(1-(beta-hidroksi-fenetil)-3metil-4-piperidi) propionanilida. 38 17. 18. 19. 20. 21. 22. 23. 24. 25. 26. 27. 28. 29. 30. 31. 32. 33. 34. 35. 36. 37. 38. 39. 40. 41. 42. 43. 44. 45. 46. 47. 48. 49. 50. Desomorfina : dihidrodeoksimorfina. Etorfina : tetrahidro-7α-(1-hidroksi-1-metilbutil)-6, 14. Heroina : diacetilmorfina. Ketobemidona : 4-meta-hidroksifenil-1-metil-4propionilpeperidina. 3-metilfentanil:N-(3-metil-1-fentenil-4-piperidil) propionanilida. 3-metiltiofentanil : N-(3-metil-1-(2-(2-tienil) etil) fenetil 4piperidil) propionanilida. MPPP : 1-metil-4-fenil-4-pepiridinol propianat (ester) Para-fluorofentanil : 4-fluoro-N-(1-fenetil-4piperidil) propionanilida. PEPAP : 1-fenetil-4-fenil-4-piperidinol asetat (ester). Tiofentanil : N-(1-(2-(tienil) etil)-4-piperidil) propionanilida. Brolamfetamina, nama lain DOB : (± -4-Bromo-2,5-dimetoksiametil fenetilamina) Det : 3-[2-(dietilaminu)etil] indol DMA : (+)-2,5-dimetoksi-a-metilfenetilamina DMHP : 3-(1,2-dimetilheptil)-7,8,9,10-tetrahidro-6,6,9-trimetil 6-dibenso [b,d] piran-1-ol DMT : 3-[2-(dimetilamino)etil] indol DOET : (±-4-etil-2,5-dimetoksi-a-metilfenetilamina) Etisiklidina, nama lain PCE : N-etil-1-fenilsikloheksilamina Etriptamina : 3-(2aminobutil)indole Katinona : (-)-(S)-2-amonipropiofenon (+) – lisergida, nama lain LSD,LSD-25 :9,10-didehidero-N,Ndietil-6-metilergolina-8β-karboksamida MDMA (±)-N,A-dimetil-3,4-(metilendioksi)fenetilamina Meskalina : 3,4,5-trimetoksifenetilamina METKATINONA : 2-(metilamino)-1-fenilpropan-1-on 4-metilaminoreks : (±)-sis-2-amino-4-metil-5-fenil-2-oksazolina MMDA : 5-metoksi-a-metil-3,4-(metilendioksi)fenetilamina N-etil MDA : (±)-N-etil-a-metil-3,4-(metilendioksi)fenetilamina N-hidroksi MDA : (±) –N- [a-metil-3,4-(metilendioksi)fenetil] hidroksilamina Paraheksil : 3-heksil-7,8,9,10-tetrehidro 6,6,9-trimetil- 6Hdibenzo [b,d] piran-1-ol PMA : p-metoksi-a-metilfenetilamina psilosina, psilotsin : 3-[2-(dimetilamino)etil]indol-4-ol PSILOSIBINA : 3-[2-(dimetilamino)etil]indol-4-il dihidrogen fosfat ROLISIKLIDINA , nama lain PHP,PCPY : 1-(1-fenilskloheksil) pirolidina STP,DOM : 2,5-dimetoksi-a,4-dimetilfenetilamina TENAMFETAMINA, nama lain MDA : a-metil-3,4 (metilendioksi) fenetilamina 39 51. TENOSIKLIDINA, nama lain TCP : 1-[1-(2-tienil)sikloheksil] piperidina 52. TMA : (±)-3,4,5-trimetoksi-a-metilfenetilamina 53. Amfetamina : (±)-a.metilfenetilamina 54. Deksafetamina : (+) -a metilfenetilamina 55. FENETILINA : 7-[2-[(a-metilfenetil)amino]-etil]teofilina 56. FENMETRAZINA : 3-metil-2fenilmorfolin 57. FENSIKLIDINA, nama lain PCP : 1-(1-fenilsikloheksil) piperidina 58. LEVAMFETAMINA, nama lain LEVAM fetamina : (-) – ®-ametilfenetilamina 59. levometamvetamina : (-)-N,a-dimetilfenetilamina 60. MEKLOKUALON : 3-(o-klorofenil)-2-metil-4(3H)-kuinazolinon 61. METAMFETAMINA : (+)-(S)-N,a.dimetilfenetilamina 62. METAKUALON : 2-metil-3-o-to lil-4(3H)-kuinazolinon 63. ZIPEPPROL : a-(a metoksibenzil)-4- (β-metoksifenetil)-1piperazinetano 64. OPIUM OBAT 65. Campuran atau sediaan opium obat dengan bahan lain bukan narkotika. b. Narkotika Golongan II Yang disebut narktika golongan II adalah narkotika yang berkhasiat untuk pengobatan yang digunakan sebagai pilihan terakhir dan dapat digunakan dalam terapi dan/ atau untuk tujuan pengembangan ilmu pengetahuan serta mempunyai potensi tinggi mengakibatkan ketergantungan. Dikatakan sebagai pilihan terakhir untuk pengobatan, karena setelah pilihan narkotika golongan III hanya tinggal pilihan narkotika golongan II. Narkotika golongan I tidak dimungkinkan oleh undang-undang untuk kepentingan pengobatan, karena golongan ini tidak digunakan untuk terapi dan mempunyai potensi yang sangat tinggi mengakibatkan ketergantungan. Sangat berbahaya kalau digunakan untuk pengobatan. 40 Mengenai apa saja macam-macam narkotika golongan II di bawah ini rinciannya sesuai lampiran Undang-Undang No.35 Tahun 2009, sebagai baerikut: 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10. 11. 12. 13. 14. 15. 16. 17. 18. 19. 20. 21. 22. 23. 24. 25. 26. 27. Alfasetilmetadol : Alfa-3-asetoksi-6-dimetil amino-4, 4difenilheptana Alfameprodina:Alfa-3-etil-1-metil-4-fenil-4propionoksipiperidina Alfametadol : Alfa-6-dimetilamino-4, 4-difenil-3-heptanol Alfarodina : Alfa-1-, 3-dietil-3-fenil-4-propionoksipiperidina Alfentanil : N-(1-(2-(4etil-4,5-dihidro)-5-okso-1H-tetrazal-1il) etil)-4-(Metoksimetil)-4-piperidinil-N-fenilpropanamida Alliprodina : 3-allil-1-metil-4-fenil-4-propionoksi-piperidina Anileridina : Asam 1-para-aminofenetil-4-fenilpipe-ridina)-4karboksilat etil ester Asetilmetadol : 3-asetoksi-6-dimetilamino-4,4-defenil-heptana Benzetidin : Asam 1-(2-benziloksietil)-4-fenilpiperidina-4karboksilat etil ester Benzilmorfina : 3-benzilmorfina Betameprodina : Beta-3-etil-1-metil-4-fenil-4-propionoksipiperidina Betametadol : Beta-6-dimetilamino-4, 4-difenil-3-heptanol Betaprodina : Beta-1,3-dimetil-4-fenil-4-propionoksipiperidina Betasetilmetadol:Beta-3-asetoksi-6-metilamino-4,4difenilheptena Bezitramida : 1-(3-siano-3,3-difenilpropil)-4-(2-okso-3propionil- 1-benzimidazolinil)-piperidina Dekstromoramida : (+)-4-(2-metil-4-okso-3,3-defenil-4-(1pirolidinil)butil)-morfolina Diampromida : N-(2-(metilfenetillamino)-propil)propionanilida Dietiltiambutena : 3-dietilamino-1,1-di(2`-tietil)-1-butena Difenoksilat : Asam 1-3-siano-3, 3-difenilpropil)-4fenilpiperidina- 4-karboksilat etil ester Difenoksin : Asam 1-(3-siano-3, 3-difenilpropil)-4-fenilisonikpekotik Dihidromorfina Dimefeptanol : 6-dimetilamino-4,4-difenil-3-heptanol Dimenoksadol : 6-dimetilaminoetil-1-etoksi 1,1-difenilasetat Dimetiltiambutena : 3-dimetilamino-1,1-di-(2`-tienil)-1-butena Dioksafetil butirat : etil-4-morfolino-2,2difenilbutirat Dipipanona : 4,4-difenil-6-piperidina-3-heptanona Drobetanol : 3,4-dimetoksi-17-metilferminan-6β,14-diol 41 28. 29. 30. 31. 32. 33. 34. 35. 36. 37. 38. 39. 40. 41. 42. 43. 44. 45. 46. 47. 48. 49. 50. 51. 52. 53. 54. 55. 56. 57. 58. 59. Ekgonina, termasuk ester dan derivatnya yang setara dengan ekgonina dan kokaia Etilmetiltiambutena : 3-etilmetilamino-1,1-di-(2`-tienil)-1butena Etokseridina : asam 1-(2-(2-hidrosietoksi)-etil)-4fenilpiperidina-4 -karboksilat etil ester Etonitazena : 1-dietilaminoetil-2-paraetosibenzil-5nitrobenzimedazol Furetidina : asam 1(2-tetrahidrofur-furiloksietil)-4fenilpiperidina- 4-karboksilat etil ester Hidrokodona : dihidrokodeinona Hidroksipetidina :asam 4-meta-hidroksi-fenil-1metilpiperidina-4- karboksilat etil ester Hidromorfinol : 14-hidroksidihidromorfina Hidromorfona : dihidromorfinona Isometadona : 6-dimetilamino-5-metil-4,4-defenil-3heksanona Fenadoksona : 6-morfolino-4,4-difenil-3-heptanona Fenampromida : N-(1-metil-2-piperidinoetil)-propionanilida Fenazonina : 2’hidroksi-5,9-dimetil-2-fenetil-6,7 benzomorfan Fenomorfan :3-hidroksi-N-fenetilmorfinan Fenoperidina : asam1-(3-hidroksi-3-fenilpropil)-4feenilpiperidina- 4-karboksilat etil ester Fentanil : 1 fenetil-4-N-propionila-nilinopiperidina Klonitazena : 2-para-klorbenzil-1-dietilaminoetil-5nitrobenzimidazol Kodoksima : dihidrokodeinona-6-karboksimetiloksima Levofenasilmorfan : (1)-3-hidroksi-N-fenasil-morfinan Levomoramide : (-)-4-(2-metil-4-okso-3,3-difenil-4-(1pirolidinil)-butir)morfolina Levometorfan : (-)-3-metoksi-N-metilforminan Levorfanol : (-)-3-hidroksi-N-metilmorfinan Metadona : 6-dimetilamino-4,4-difenil-3-heptanona Metadona intermediet : 4-siano-2-dimetilamino-4,4difenilbutana Metazosina : 2’hidroksi-2,5,9-trimetil-6,7-benzomorfan Metildesorfina : 6-metil-delta-6-deoksimorfina Metildihidromorfina : 6-metildihidromorfina Metopon : 5-metildihidromorfina Mirofina : miristilbenzilmorfina Moramida intermediat : asam(2-metil-3-morfolino-1,1difenilpropana karboksilat Morferidina : asam 1(2-morfolinoetil)-4-fenilpropona karbosilat etil ester Morfina-N-Oksida 42 60. 61. 62. 63. 64. 65. 66. 67. 68. 69. 70. 71. 72. 73. 74. 75. 76. 77. 78. 79. 80. 81. 82. 83. 84. 85. 86. c. Morfin metobromida dan turunan morfina nitrogen pentafalent lainnya termasuk bagian turunan morfina-N-oksida, salah satunya kodeina-N-oksida Morfina Nikomorfina : 3,6-dinikotilmorfina Norasimetadol : (±)-alfa-3-asektosi-6-metilamino-4,4-difenilheptana Norlevorfanol : (-)-3-hidroksimorfina Normetadona : 6-dimetilamino-4,4-difenil-3-heksanona Normorfina : dimetilmorfina atau N-dimetilated-morfina Norpipanona : 4,4-difenil-6-piperidino-3-heksanona Oksikodona : 14-hidroksidihidrokodeinona Oksimorfina : 14-hidroksidihidrokodeinona Petidina intermediet A : 4-siano-1-metil-4-fenilpi-peridina Petidina intermediet B :asam 4-fenilpiperidina-4-karboksilat etil ester Petidina intermediet C : asam 1-metil-4-fenilpiperidina-4karboksilat Petidina : asam 1-metil-4-fenilpiperidina-4-karboksilat etil ester Piminodina : asam 4-fenil-1-(3-fenilaminopropil)-piperidina4-karboksilat etil ester Piritramida : asam 1(3-siano-3,3-difenilpropil)-4-(1piperidino)-piperidina-4-karboksilat amida Proheptasina : 1,3-dimetil-4-fenil-4-propionoksiazasikloheptana Properidina : asam 1-metil-4-fenil-piperidina-4-karboksilat isopropil ester Rasemortofan : (±)-3-hidroksi-N-metilmorfinan Rasemoramida : (±)-4-(2-metil-4-okso-3,3-difenil-4-(1pirolidinil) butil)-morfolina Rasemorfan : (±)-3-hidroksi-N-metilmorfinan Sufentanil : N(4-(metoksimetil)-1-(2-(2-tienil)-etil)-4-piperidil) propionanilida Tebaina Tebakon : asetildihirokodeinona Tilidina : (±)-etil-trans-2-(dimetilamino)-1-fenil-3sikloheksena-1- karboksilat Trimeperidina : 1,2,5-trimetil-4-fenil-4-propionoksi-piperidina Garam-garam dari Nrkotika dalam golongan tersebut di atas Narkotika Golongan III Narkotika Golongan III adalah narkotika yang berkasiat pengobatan dan banyak digunakan dalam terapi dan/atau tujuan 43 pengembangan ilmu pengetahuan serta mempunyai potensi ringan mengakibatkan ketergantungan. Dibandingkan dengan narkotika golongan I (ada 26 macam dan narkotika golongan II ada 87 macam), untuk narkotika golongan III tidak banyak macamnya, hanya ada 14 macam, sesuai dengan Lampiran Undang-Undang No. 35 Tahun 2009 sebagai berikut : 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10. 11. 12. 13. 14. Asetildihidrokodeina Dekstropropoksifena : -α (+)-4-dimetilamino-1,2-difenil-3metil-2- butanolpropionat Dihidrokodeina Etilmorfina : 3-etilmorfina Kodeina : 3-metilmorfina Nikodikodina : 6-nikotinildihidrokodeina Nikokodina : 6-nikotinilkodeina Norkodeina : N-demetilkodeina Polkodina : morfoliniletilmorfina Propiram : N-(1-metil-2-piperidinoetil)-N-2piridilpropionamida Garam-garam dari narkotika dalam golongan tersebut di atas Campuran atau sediaan opium dengan bahan lain bukan narkotika Campuran atau sediaan difenoksin dengan bahan bukan narkotika Campuran atau sediaan difenoksilat dengan bahan lain bukan narkotika. Jadi dalam Undang-Undang No. 35 Tahun 2009 hanya ada tiga golongan narkotika, untuk narkotika golongan I tidak digunakan untuk kepentingan pengobatan, tetapi kegunaannya sama. Psikotropika golongan I hanya untuk kepentingan ilmu pengetahuan. 3. Pengertian Tindak Pidana Narkotika Tindak Pidana Narkotika dapat diartikan dengan suatu perbuatan yang melanggar ketentuan-ketentuan hukum narkotika, dalam hal ini 44 adalah Undang-Undang No. 35 Tahun 2009 Tentang Narkotika dan ketentuan-ketentuan lain yang termasuk dan atau tidak bertentangan dengan undang-undang tersebut. Hal-hal tentang bentuk penyalahgunaan narkotika sebagai berikut : a. b. c. Narkotika apabila digunakan secara proporsional, artinya sesuai menurut asas pemanfaatan, baik untuk kesehatan maupun untuk kepentingan penelitian ilmu pengetahuan, maka hal tersebut tidak dapat dikwalifisir sebagai tindak pidana narkotika. Akan tetapi apabila dipergunakan untuk maksud-maksud yang lain dari itu, maka perbuatan tersebut dapat dikategorikan sebagai perbuatan yang jelas sebagai perbuatan pidana dan atau penyalahgunaan narkotika berdasarkan Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009. Penyalahgunaan terhadap narkotika meliputi pengertian yang lebih luas, antara lain : 1) membuktikan keberanian dalam melakukan tindakan-tindakan berbahaya dan mempunyai resiko. Misalnya ngebut-ngebutan di jalanan, berkelahi, bergaul dengan wanita, dan lain-lain; 2) menentang suatu otoritas, baik terhadap guru, orang tua, hukum, maupun instansi tertentu; 3) mempermudah penyaluran perbuatan seks; 4) melepaskan diri dari kesepian dan memperoleh pengalamanpengalaman emosional; 5) berusaha agar menemukan arti dari pada hidup; 6) mengisi kekosongan-kekosongan dan perasaan bosan karena tidak ada kegiatan; 7) menghilangkan rasa frustasi dan gelisah; 8) mengikuti kemauan teman dan tata pergaulan lingkungan; 9) hanya sekedar ingin tahu atau iseng. 45 Kecuali itu, tetapi dapat juga dipergunakan untuk kepentingan ekonomi atau kepentingan pribadi. Menurut ketentuan hukum pidana para pelaku tindak pidana pada dasarnya dapat dibedakan : 1) Pelaku utama. 2) Pelaku peserta. 3) Pelaku pembantu. Untuk menentukan apakah seorang pelaku tergolong ke dalam salah satunya perlu ada proses peradilan, sebagaimana diatur oleh Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana. 45 Buku Pedoman 3, Petunjuk Khusus Tentang Operasi Penerangan Inpres No. 6 Tahun 1976. Hal. 8-9. 45 d. Bentuk tindak pidana narkotika yang umum dikenal antara lain berikut ini: 1) Penyalahgunaan/melebihi dosis; hal ini disebabkan oleh banyak hal, seperti yang telah diutarakan diatas. 2) Pengedaran narkotika; karena keterikatan dengan sesuatu mata rantai peredaran narkotika, baik nasional maupun internasional. 3) Jual beli narkotika; ini pada umumnya dilatarbelakangi oleh motivasi untuk mencari keuntungan materil, namun ada juga karena motivasi untuk kepuasan.46 Penggunaan narkotika ialah penggunaan secara tidak benar, ialah untuk kenikmatan yang tidak sesuai dengan pola kebudayaan yang normal. Penggunaan narkotika untuk pengobatan guna menghilangkan rasa nyeri dan penderitaan tidak termasuk dalam pembicaraan ini. Penggunaan secara berkali-kali narkotika membuat seseorang dalam keadaan tergantung pada narkotika. Ketergantungan ini bisa ringan dan bisa berat dapat diukur dengan kenyataan seberapa jauh ia bisa melepaskan diri dari penggunaan itu.47 D. Perlindungan Hukum Terhadap Anak 1. Pengertian Perlindungan Anak Hak anak dan perlindunganannya sering terabaikan akibat dari kurangnya perhatian dari keluarga sebagai masyarakat terkecil juga sebagai akibat dari lingkungan sekitar anak. Oleh karena itu pemikiran tentang jaminan hak anak orang tua yang pada gilirannya anak menumbuhkan rasa kasih sayang dan cinta maka terbentuklah suatu 46 47 Sudarsono, Tindak Pidana Narkotika, Ghalia Indonesia Jakarta,1990 Hal. 43-45. Sudarto, Kapita Selekta Hukum Pidana, Alumni, Bandung, 1986, Hal. 41. 46 masyarakat yang memiliki kesejahteraan, ketentraman, dan stabilitas yang tinggi. Langkah selanjutnya adalah membuka jalan bagi kemungkinan pengembangan dan meningkatkan ikut sertanya masyarakat untuk mengambil peranan secara optimal dalam usaha melindungi anak sebagai wujudan ketentuan-ketentuan formal hukum positif, ketentuan yang sifatnya non-formal sebagai perwujudan dari hukum adat dan hukum agama. Agar perlindungan hak-hak anak dapat dilakukan secara teratur, tertib, dan bertanggung jawab maka diperlukan peraturan hukum yang selaras dengan perkembangan masyarakat Indonesia yang dijiwai sepenuhnya oleh Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945. Dalam kaitannya dengan persoalan perlindungan hukum bagi anakanak, maka dalam Undang-Undang Dasar 1945 pada Pasal 34 ayat (1) telah ditegaskan bahwa : “Fakir miskin dan anak terlantar dipelihara oleh negara”. Hal ini menunjukkan adanya perhatian serius dari pemerintah terhadap hak-hak anak dan perlindungannya. Lebih lanjut pengaturan tentang hak-hak anak dan perlindungannya ini terpisah dalam berbagai peraturan perundang-undangan, antara lain : a. Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997 Tentang Pengadilan Anak. 47 b. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak. Yang dimaksud dengan Perlindungan Anak dalam UndangUndang Nomor 23 Tahun 2002 pada Pasal 1 angka (2) : “perlindungan anak adalah segala kegiatan untuk menjamin dan melindungi anak dan hak-haknya agar dapat hidup, tumbuh, berkembang, dan berpartisipasi, secara optimal sesuai dengan harkat dan martabat kemanusiaan, serta mendapat perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi”. Pasal 1 angka (12) mengenai hak anak : “hak anak adalah bagian dari hak asasi manusia yang wajib dijamin, dilindungi, dan dipenuhi oleh orang tua, keluarga, masyarakat, pemerintah, dan negara”. Pasal 59 mengenai perlindungan khusus, yang rumusannya : “Pemerintah dan lembaga lainnya berkewajiban dan bertanggungjawab untuk memberikan perlindungan khusus kepada anak dalam situasi darurat, anak yang berhadapan dengan hukum, anak kelompok minoritas dan terisolasi, anak tereksploitasi secara ekonomi dan/atau seksual, anak yang diperdagangkan, anak yang menjadi korban penyalahgunaan narkotika, alkohol, psikotropika, dan zat adiktif lainnya (napza), anak korban penculikan, penjualan, dan perdagangan, anak korban kekerasan fisik dan/atau mental, anak yang menyandang cacat, dan anak koraban perlakuan salah dan penelantaran”. c. Dalam bidang kesejahteraan sosial, dengan Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1997 Tentang Kesejahteraan Anak. d. Dalam bidang pendidikan dengan Undang-Undang Dasar 1945 dalam Pasal 31 ayat (1) yang rumusannya “Tiap-tiap warga negara berhak mendapat pengajaran”. Selain itu diatur juga dalam Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 Tentang Wajib Belajar. 48 e. Dalam Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 Tentang Hak Asasi Manusia, yang dimaksud hak anak pada Pasal 52 ayat (2) : “hak anak adalah Hak Asasi Manusia dan untuk kepentingannya hak anak itu diakui dan dilindungi oleh hukum bahkan sejak dalam kandungan”. Perundang-undangan diatas hanyalah sebagian besar saja dari sekian banyak perundang-undangan yang mengatur mengenai perlindungan hak-hak anak. 2. Pengertian Perlindungan Hukum Hukum berfungsi sebagai perlindungan kepentingan manusia. Agar kepentingan manusia terlindungi, hukum harus dilaksanakan. Pelaksanaan hukum dapat berlangsung secara normal, damai, tetapi dapat juga juga karena pelanggaran hukum. Dalam hal ini hukum yang telah dilanggar itu harus ditegakkan. Melalui penegakkan hukum inilah hukum itu menjadi kenyataan. Dalam menegakkan hukum ada tiga unsur yang selalu harus diperhatikan, yaitu : kepastian hukum (Rechtssicherheit), kemanfaatan (Zweckmassigkeit), dan keadilan (Gerechtighkeit).48 Kepastian hukum merupakan perlindungan yang yustiabel terhadap tindakan sewenang-wenang, yang berarti bahwa seseorang akan dapat memperoleh sesuatu yang diharapkan dalam keadaan tertentu. Hukum bertugas menciptakan kepastian hukum karena bertujuan ketertiban masyarakat. Dan dalam fungsinya sebagai perlindungan kepentingan manusia mempunyai hukum. Hukum mempunyai sasaran yang hendak 48 Sudikno Mertokusumo, Mengenal Hukum ( Suatu Pengantar ), Liberty, Yogyakarta, 2005, hlm 77. 49 dicapai. Adapun tujuan pokok hukum adalah menciptakan tatanan masyarakat yang tertib, damai, dan seimbang. Dengan tercapainya ketertiban didalam masyarakat diharapkan kepentingan manusia akan terlindungi. Dalam mencapai tujuan itu hukum bertugas membagi hak dan kewajiban antar perorangan didalam masyarakat, membagi wewenang dan mengatur cara memecahkan masalah hukum serta memelihara kepastian hukum. Mengenai pengertian dari perlindungan hukum, kata perlindungan itu sendiri menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia memiliki arti “Tempat berlindung atau hal (perbuatan) memperlindungi”. Sedangkan dalam kamus hukum karya Simorangkir disebutkan bahwa hukum diartikan sebagai peraturan-peraturan yang bersifat memaksa yang menentukan tingkah laku manusia dalam lingkungan masyarakat yang dibuat oleh badan resmi yang berwajib. Pelanggaran terhadap perbuatan-perbuatan tadi berakibat diambilnya tindakan hukum tertentu. Arti kata hukum dapat dipaparkan dari berbagai sumber.49 Pertama menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, “Hukum merupakan peraturan atau adat yang secara resmi dianggap mengikat, yang dikukuhkan oleh penguasa atau pemerintah”. Kedua, menurut kamus hukum, “Hukum merupakan keseluruhan kaidah atau (norma) nilai mengenai suatu segi kehidupan masyarakat, yang bermaksud mencapai 49 Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Balai Pustaka, Jakarta, 1991. 50 kedamaian dalam masyarakat serta bersifat keadilan dan kemanfaatan”.50 Ketiga, “Hukum merupakan keseluruhan kumpulan peraturan-peraturan atau kedah-kaedah dalam hidup bersama yang dapat dipaksakan pelaksanaannya dengan suatu sanksi”.51 Keempat, “hukum merupakan suatu himpunan peraturan-peraturan hidup yang bersifat memaksa, berisikan suatu perintah, larangan, atau ijin untuk berbuat atau tidak berbuat sesuatu, serta dengan maksud untuk mengatur tata tertib dalam kehidupan masyarakat”.52 Berdasarkan hal tersebut diatas dapat disimpulkan bahwa pengertian perlindungan hukum yang diberikan kepada subyek hukum dalam bentuk perangkat-perangkat hukum, baik yang bersifat preventif maupun represif, baik yang tertulis maupun yang tidak tertulis. Dengan kata lain bahwa perlindungan hukum sebagai suatu gambaran dari fungsi hukum, yaitu adalah suatu bentuk ketentraman bagi segala kepentingan manusia yang ada di dalam masyarakat sehingga didalamnya tercipta keselarasan dan keseimbangan hidup dalam masyarakat. 50 Andi,Hamzah, Kamus Hukum, Ghalia Indonesia, Jakarta, 1986, Hal. 242. Sudikno Mertokusumo, Op.cit, hal 37. 52 C.F.G Sunaryati Hartoyo, Pokok-Pokok Hukum Internasional, PT.Citra Aditya Bakti, Bandung, 1992, Hal. 17. 51 51 BAB III METODE PENELITIAN 1. Metode Pendekatan Metode pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah yuridis sosiologis, sehingga hukum tidak dikonsepsikan sebagai suatu gejala normatif yang mandiri (otonom), tetapi sebagai sautu institusi sosial yang dikaitkan secara riil dengan variabel-variabel sosial yang lain dan dengan menggunakan analisis yang bersifat empiris-kuantitatif atau disebut juga penelitian hukum sosiologis (Social legal research).53 Hukum tidak dimaknai sebagai kaidah-kaidah normatif yang eksistensinya berada secara ekslusif di dalam suatu sistem legitimasi yang formal, melainkan sebagai gejala pengalaman.54 Keajegan-keajegan empiris yang teramati di alam (regularities) ataupun keseragaman- keseragaman (uniformaties) dalam gejala empiris tersebut, berkonsekuensi pada dapat diamatinya hukum, dan melalui proses induksi, pertalian-pertalian kausalnya dengan gejala-gejala lain non-hukum di dalam masyarakat akan dapat disimpulkan.55 Dalam penelitian ini, peneliti akan terfokus pada perlindungan hukum terhadap anak pelaku tindak pidana narkotika di wilayah Pengadilan Negeri Banyumas, yakni terkait dengan perlindungan hukum anak pelaku tindak pidana narkotika selama dalam proses pengadilan di Pengadilan Negeri 53 Ronny Hanitijo Soemitro, Metode Penelitian Hukum dan Jurimetri, Ghalia Indonesia, Jakarta, 1990, Hal.35. 54 Bambang Sunggono, Metode Penelitian Hukum, Cetakan Keenam, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2003, Hal.75. 55 Ibid., hal.76. 52 Banyumas dan pembinaan di Rumah Tahanan Negara (RUTAN) Banyumas. Dilakukannya penelitian ini bertujuan untuk mengetahui perlindungan hukum terhadap anak pelaku tindak pidana narkotika di Pengadilan Negeri Banyumas selama proses di Pengadilan dan selama proses pembinaan di Rumah Tahanan Banyumas. B. Spesifikasi Penelitian Spesifikasi penelitian adalah deskriptif yaitu suatu penelitian yang dimaksudkan untuk memberikan data yang seteliti mungkin dengan manusia, keadaan atau gejala-gejala lainnya, serta hanya menjelaskan keadaan objek masalahnya tanpa bermaksud mengambil kesimpulan yang berlaku umum.56 Menurut Bambang Sunggono penelitian deskriptif yaitu: ”penelitian dimana analisis data tidak keluar dari lingkup sample, bersifat deduktif, berdasarkan teori atau konsep yang bersifat umum yang diaplikasikan untuk menjelaskan tentang seperangkat data, atau menunjukkan komparasi atau hubungan seperangkat data dengan seperangkat data yang lain”57 Spesifikasi penelitian secara deskriptif bertujuan untuk memperoleh gambaran tentang perlindungan hukum yang dilakukan oleh aparat penegak hukum dalam upaya perlindungan kepentingan dan hak-hak anak pelaku tindak pidana di Pengadilan Negeri Banyumas. C. Lokasi Penelitian Penelitian dilakukan di dua lokasi, yaitu Pengadilan Negeri Banyumas dan Rumah Tahanan Negara Banyumas. Lokasi tersebut dipilih dengan pertimbangan sebagai berikut: 56 57 Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, UII-Press, Jakarta, 1986, Hal.10. Bambang Sunggono, 2003, Op. Cit. hal.38. 53 1. Pengadilan Negeri Banyumas dan Rumah Tahanan Banyumas memiliki kewenangan hukum atas wilayah Kabupaten Banyumas dalam hal terjadi tindak pidana narkotika. 2. Pengadilan Negeri Banyumas dan Rumah Tahanan Negara Banyumas dianggap berkompeten sebagai informan guna memperoleh data-data sesuai dengan kebutuhan penelitian. 3. Pertimbangan yang lain yaitu efisiensi biaya dan waktu karena peneliti bertempat tinggal di Banyumas yang jaraknya tidak jauh dengan Pengadilan Negeri Banyumas dan Rumah Tahanan Negara Banyumas. Hal ini terkait dengan objek penelitian yang akan dikaji oleh peneliti. D. Informan Penelitian Informan merupakan orang dalam latar penelitian yang dimanfaatkan untuk memberikan informasi tentang situasi dan kondisi latar penelitian. Dalam penelitian ini data diperoleh melalui wawancara dengan Ibu Byrna Mirasari, S.H. yaitu seorang Hakim di Pengadilan Negeri Banyumas, Bapak Winarso, S.H. yaitu Petugas Rumah Tahanan Negara Banyumas bagian Staff Pendidikan, dan Andri yaitu seorang anak pelaku tindak pidana narkotika. 54 E. Metode Penentuan Informan Informan ditentukan dengan cara metode”Purposive Sampling”. Purposive Sampling yang dimaksud adalah pemilihan sekelompok subjek atas ciri-ciri atau sifat-sifat populasi yang sudah diketahui sebelumnya. 58 Purposive Sampling yaitu salah satu strategi pengambilan sampel nonacak, yaitu semua anggota atau obyek penelitian tidak mempunyai peluang yang sama untuk dipilih sebagai sampel. Purposive Sampling digunakan dengan tujuan mendapatkan informan yang benar mengetahui, dan memiliki wewenang dalam bidangnya. Dalam Purposive Sampling, pemilihan sekelompok subjek atas ciri-ciri atau sifat tertentu yang dipandang mempunyai sangkut paut erat dengan ciri-ciri atau sifat-sifat populasi yang sudah diketahui sebelumnya. Ciri-Ciri yang dimaksud adalah sebagai berkut: 1. Semua informan merupakan pihak-pihak yang terkait dalam pelaksana penegakan hukum di wilayah Kabupaten Banyumas, sehingga mengetahui perlindungan hukum terhadap anak pelaku tindak pidana narkotika di wilayah Kabupaten Banyumas. 2. Semua informan dianggap mengetahui kondisi wilayah Kabupaten Banyumas terkait dengan tindak pidana narkotika. Berdasarkan ciri-ciri tersebut di atas, informan dalam penelitian ini yaitu: a. Ibu Byrna Mirasari, S.H. yaitu Hakim di Pengadilan Negeri Banyumas. 58 Amirudin, Pengantar Metode Penelitian Hukum, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2004, Hal. 106. 55 b. Bapak Winarso, S.H. yaitu Petugas Lembaga Pemasyarakatan Banyumas Bagian Staf Pendidikan. c. Andri yaitu Anak Pelaku Tindak Pidana Narkotika di wilayah hukum Pengadilan Negeri Banyumas. F. Jenis dan Sumber Data Dalam penelitian ini menggunakan dua sumber data, yaitu : 1. Data Primer Data primer adalah data yang diperoleh langsung dari masyarakat, dalam hal ini yaitu data hasil wawancara yang dilakukan oleh peneliti terhadap informan. Data primer yang digunakan penulis dalam penelitian ini adalah data yang diperoleh dari hasil uraian yang akan diberikan oleh Hakim di Pengadilan Negeri Banyumas dan Petugas Lembaga Pemasyarakatan Banyumas. 2. Data Sekunder Data sekunder adalah data yang diperoleh melalui bahan-bahan kepustakaan. Data sekunder yang digunakan dalm penelitian ini yaitu bahan hukum primer, bahan hukum sekunder dan bahan hukum tersier. Bambang Sunggono membedakan ketiga data tersebut yaitu sebagai berikut:59 a. Bahan hukum primer, yaitu bahan-bahan hukum yang bersifat mengikat, yang terdiri dari perundang-undangan, bahan hukum yang 59 Bambang Sunggono, 2003. Op. Cit., hal.113-114 56 tidak dikodifikasikan, yurisprudensi, traktat, serta bahan hukum dari zaman penjajahan yang hingga kini masih berlaku. Bahan hukum primer yang digunakan dalam penelitian ini adalah Undang-Undang Dasar Republik Indonesia Tahun 1945, UndangUndang Nomor 1 Tahun 1946 tentang Peraturan Hukum Pidana (KUHP), Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum acara Pidana, Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak, Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak, Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1995 Tentang Pemasyarakatan, Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia, Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika. b. Bahan hukum sekunder, yaitu bahan hukum yang memberikan penjelasan mengenai bahan hukum primer. Bahan-bahan hukum sekunder terdiri dari pustaka di bidang ilmu hukum, rancangan peraturan perundang-undangan, artikel-artikel ilmiah, baik dari media massa maupun internet. c. Bahan hukum tersier, yaitu bahan yang memberikan petunjuk atau penjelasan terhadap bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder, misalnya Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) dan Kamus Hukum. 57 G. Metode Pengumpulan Data 1. Data primer diperoleh secara langsung dari lokasi penelitian. Data primer diperoleh dengan menggunakan metode wawancara dan observasi. a. Wawancara Wawancara adalah percakapan dengan maksud tertentu. Percakapan itu dilakukan oleh dua pihak yaitu pewawancara (interviewer) yang mengajukan pertanyaan dan yang diwawancarai (interviewee) yang memberikan jawaban atas pertanyaan itu.60 Wawancara menurut Fred N Kerlinger adalah situasi peran antar pribadi bertatap muka (face to face), ketika seseorang yakni pewawancara mengajukan pertanyaan-pertanyaan yang dirancang untuk memperoleh jawaban-jawaban yang relevan dengan masalah penelitian kepada orang reponden. Dalam penelitian ini, teknik wawancara yang dipilih adalah dalam bentuk “wawancara terstruktur” dan “wawancara tak terstruktur”.Wawancara terstruktur yaitu menetapkan sendiri masalah dan pertanyaan-pertanyaan yang diajukan. Sedangkan wawancara tak terstruktur adalah wawancara dimana peneliti mengajukan pertanyaan secara lebih bebas dan leluasa, tanpa terikat oleh susunan pertanyaan yang telah dipersiapkan sebelumnya. 61 60 Lexy J. Moleong, Metodologi Penelitian Kualitatif, Bandung, Rosda Karya, 2002, hal. 135. 61 S. Nasution.1996, Kualitatif.Yogyakarta.Rekasarasin.Hal.72 Metode Penelitian Naturalistik 58 b. Observasi Observasi berarti peneliti melihat dan mengamati apa yang dilakukan atau dikerjakan oleh obyek penelitian dalam menjalankan perannya memberikan perlindungan hukum terhadap anak pelaku tindak pidana narkotika. Tujuan dari observasi ini adalah untuk mendiskripsikan kegiatan yang terjadi, orang yang terlibat dalam kegiatan, waktu kegiatan dan makna yang diberikan oleh para pelaku yang diamati tentang suatu peristiwa yang bersangkutan. 2. Data sekunder Data sekunder diperoleh dengan cara melakukan studi pustaka dan studi dokumen terhadap dokumen peraturan perundang-undangan, bukubuku literatur dan dokumen-dokumen lainnya yang berkaitan dengan obyek atau materi penelitian. Studi pustaka merupakan cara memperoleh data-data dengan memfokuskan pada data yang ada pada pustaka-pustaka baik terorganisir maupun yang tidak. Studi pustaka dimaksudkan untuk mencari data-data sekunder yang dibutuhkan guna menjelaskan data-data primer. Sedangkan studi dokumentasi untuk memperoleh data yang bersifat dokumen-dokumen resmi baik dari lembaga pemerintah maupun non pemerintah. Studi dokumen bertujuan menerangkan data primer dan juga data sekunder. 59 H. Metode Penyajian Data Data yang diperoleh akan disajikan dalam bentuk teks naratif, yaitu menguraikan data secara sistematis, logis dan rasional yang diawali dengan bahan hukum primer, bahan hukum sekunder dan bahan hukum tersier. Tujuan peenyajian data ini dilakukan agar memudahkan bagi pembaca secara kronologis memahami isi data yang dapat diungkapkan melalui penafsiran-penafsiran yang digunakan. Data disajikan dalam bentuk uraianuraian yang disusun secara sistematis, logis, dan rasional. Keseluruhan data yang diperoleh dalam penelitian ini akan dihubungkan satu dengan yang lainnya disesuaikan dengan pokok permasalahan yang diteliti sehingga merupakan suatu kesatuan yang utuh. I. Metode analisis Data Dalam penelitian ini mempergunakan metode kualitatif, yaitu menguraikan data secara bermutu, dalam bentuk kalimat yang teratur, runtun, logis, tidak tumpang tindih dan efektif, dan kemudian dilakukan pembahasan.Berdasarkan hasil pembahasan diambil kesimpulan secara induktif sebagai jawaban terhadap permasalahan yang diteliti. 62 62 Sugiono, Metode Penelitian Kuantitatif dan R&D, Alfabeta, Bandung, 2008, Hal 96. 60 Analisa data dalam penelitian ini mempergunakan model interaktif, seperti skema di bawah ini: Pengumpulan a Penyajian b2 c Reduksi data b1 KesimpulanKesimpulan d Gambar Data Kualitatif Bagan komponen dalam analisa data (interactive model)63 Reduksi data diartikan sebagai proses pemilihan, pemusatan perhatian pada penyederhanaan, pengabstrakan, dan transformasi data ” kasar” yang muncul dari catatan tertulis dilapangan, oleh karenanya reduksi data merupakan suatu bentuk analisis yang menajamkan, menggolongkan, mengarahkan, membuang yang tidak perlu, dan mengorganisasi data dengan sedemikian rupa hingga kesimpulan-kesimpulan finalnya dapat ditarik diversivikasi.64 Display data merupakan cara analisis data lapangan dengan membuat berbagai macam matriks, grafik, network dan chart, agar dapat diperoleh gambaran keseluruhan atau bagian-bagian tertentu dari data penelitian. Ketiga komponen ini berlaku saling mengait baik sebelum, selama pelaksanaan, dan sesudah pelaksanaan pengumpulan data secara paralel. 63 Ibid., hal. 97-99. 64 Ibid. hal.16. 61 Model ini secara umum disebut model analisis mengalir (flow model analysis) ketiga jenis kegiatan analisis dan pengumpulan data itu sendiri merupakan proses siklus dan interaktif. Semua analisis mendasarkan pada norma-norma dan teori-teori hukum khususnya teori hukum pidana, sosiologi hukum pidana, dan kriminologi.65 65 Ibid. hal 97-99 62 BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN A. Perlindungan Hukum Terhadap Anak Pelaku Tindak Pidana Narkotika di Pengadilan Negeri Banyumas Rasa kasih sayang merupakan kebutuhan yang paling mendasar dalam kehidupan anak. Terutama kasih sayang diberikan dari orang tua. Tetapi pada kenyataannya, banyak anak dibesarkan dalam kondisi yang penuh dengan konflik sehingga seringkali menyebabkan perkembangan jiwa anak tersebut menjadi tidak sehat. Perkembangan kepribadian anak yang berada dalam situasi seperti itu dapat mendorong anak untuk melakukan tindakan-tindakan negatif yang sering dikategorikan sebagai anak nakal. Sekarang ini, kenakalan anak semakin meningkat dalam kehidupan bermasyarakat. Bukan hanya meresahkan orang tua si anak nakal, tetapi juga masyarakat di lingkungan sekitar anak nakal tersebut juga menjadi terganggu keamanan, kenyamanan, dan ketertiban kehidupannya. Kenakalan anak tidak hanya merugikan orang tua dan masyarakat di sekitarnya. Tetapi lebih jauh mengancam masa depan bangsa dan negara, dimana anak merupakan generasi penerus masa depan bangsa dan negara Indonesia. Salah satu kenakalan anak yang banyak terjadi saat ini adalah penyalahgunaan narkotika. Tindak pidana atau kejahatan narkotika adalah merupakan salah satu bentuk kejahatan yang dikenal sebagai kejahatan tanpa korban (victimless crime). Dalam Ilmu Hukum Pidana diuraikan dan dijelaskan bahwa kejahatan 63 tanpa korban biasanya hubungan antara pelaku dan korban tidak terlihat jelas. Tidak ada sasaran korban, sebab semua pihak adalah terlibat dan termasuk dalam kejahatan tersebut. Ia menjadi pelaku dan korban sekaligus. Namun demikian, jika dikaji secara mendalam istilah kejahatan tanpa korban (victimless crime) ini sebetulnya tidak tepat karena semua perbuatan yang masuk lingkup kejahatan pasti mempunyai korban atau dampak baik secara langsung maupun tidak langsung. Oleh karena itu, kejahatan ini lebih tepat disebut sebagai kejahatan yang disepakati (concensual crimes).66 Penyalahgunaan narkotika adalah pemakaian narkotika di luar indikasi medik, tanpa petunjuk atau resep dokter, dan pemakaiannya bersifat patologik (menimbulkan kelainan) dan menimbulkan hambatan dalam aktivitas di rumah, sekolah atau kampus, tempat kerja, dan lingkungan sosial. Ketergantungan narkotika adalah kondisi yang kebanyakan diakibatkan oleh penyalahgunaan zat yang disertai dengan adanya toleransi zat (dosis semakin tinggi) dan gejala putus obat. Gejala tersebut memaksa orang untuk mengulangi pemakaian zat tersebut. 67 Semua zat yang termasuk kategori narkotika menimbulkan adiksi (ketagihan) yang nantinya dapat berakibat dependensi (ketergantungan) yang memiliki sifat-sifat sebagai berikut : 1. Keinginan yang tak tertahankan (an overpowering desire) terhadap zat yang dimaksud); 2. Kecenderungan untuk menambah takaran (dosis); 66 Moh. Taufik Makarso, dkk, Tindak Pidana Narkotika, Ghalia Indah, Jakarta, 2005, Hal. Vii. 67 Luthfi Baraza, Narkotika, 2001. 64 3. Ketergantungan psikologis, yaitu apabila pemakaian zat dihentikan maka akan menimbulkan gejala kejiwaan; 4. Ketergantungan fisik, yaitu apabila pemakaian zat dihentikan akan menimbulkan gejala fisik (gejala putus obat).68 Permasalahan penyalahgunaan narkotika dan ketergantungan narkotika mempunyai dimensi yang sangat luas dan kompleks, baik dari sudut medis, maupun psikososial (ekonomi, politik, sosial, budaya, kriminalitas, kerusuhan masal dan lain sebagainya). Mengingat permasalahan yang begitu serius mengenai penyalahgunaan narkotika, Pemerintah tidak henti-hentinya melakukan usaha-usaha yaitu dengan menerbitkan peraturan perundang-undangan yang baru, yang terakhir yaitu dengan diundangkannya Undang-Undang No. 35 Tahun 2009 tentang Narkotika. Undang-undang Narkotika ini diharapkan dapat mencegah dan memberantas setiap penyalahgunaan narkotika dan presekusor narkotika di Indonesia. Perlindungan Anak dalam Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 pada Pasal 1 angka (2) : “perlindungan anak adalah segala kegiatan untuk menjamin dan melindungi anak dan hak-haknya agar dapat hidup, tumbuh, berkembang, dan berpartisipasi, secara optimal sesuai dengan harkat dan martabat kemanusiaan, serta mendapat perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi”. 68 Ibid. 65 Pasal 1 angka (12) mengenai hak anak : “hak anak adalah bagian dari hak asasi manusia yang wajib dijamin, dilindungi, dan dipenuhi oleh orang tua, keluarga, masyarakat, pemerintah, dan negara”. Pasal 59 mengenai perlindungan khusus, yang rumusannya : “Pemerintah dan lembaga lainnya berkewajiban dan bertanggungjawab untuk memberikan perlindungan khusus kepada anak dalam situasi darurat, anak yang berhadapan dengan hukum, anak kelompok minoritas dan terisolasi, anak tereksploitasi secara ekonomi dan/atau seksual, anak yang diperdagangkan, anak yang menjadi korban penyalahgunaan narkotika, alkohol, psikotropika, dan zat adiktif lainnya (napza), anak korban penculikan, penjualan, dan perdagangan, anak korban kekerasan fisik dan/atau mental, anak yang menyandang cacat, dan anak koraban perlakuan salah dan penelantaran”. Hak anak dan perlindungannya sering terabaikan akibat dari kurangnya perhatian dari keluarga sebagai masyarakat terkecil juga sebagai akibat dari lingkungan sekitar anak. Oleh karena itu pemikiran tentang jaminan hak anak dari orang tua yang pada gilirannya akan menumbuhkan rasa kasih sayang dan cinta maka terbentuklah suatu masyarakat yang memiliki kesejahteraan, ketentraman, dan stabilitas yang tinggi. Menurut Bismar Siregar, aspek perlindungan hukum anak lebih dipusatkan kepada hak-hak anak yang diatur dalam hukum dan bukan kewajiban, mengingat anak secara yuridis belum dibebani kewajiban. Hal tersebut merupakan aspek penting untuk bangsa dalam melanjutkan dan memberikan kesempatan kepada anak-anak untuk menjalankan dan melanjutkan kehidupan Negara, bila perlindungan anak tidak diberikan secara baik, seperti tidak diberikannya secara layak hak-hak yang dimiliki maka anak yang sedang berhadapan dengan hukum akan mengalami rasa 66 ketidakadilan dan tidak adanya rasa aman terhadap proses hukum yang dihadapinya. Sehingga tujuan dari pidana anak khususnya memberikan pembinaan yang layak dan baik agar terhadap anak yang bermasalah dengan hukum dapat merubah dirinya dan dapat menjalani kehidupan yang lebih baik, oleh karena itu bila anak tidak mendapat perlindungan yang efektif sebagaimana yang telah diamanatkan oleh peraturan perundang-undangan di takutkan terhadap anak-anak yang berhadapan dengan hukum tidak akan mendapatkan pembinaan yang baik, karena anak yang berhadapan dengan hukum sangat membutuhkan perlindungan terhadap dirinya. Prinsip-prinsip dasar untuk melindungi hak anak yang terkandung dalam Undang-Undang No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak yang diadopsi dari Konvensi Hak Anak meliputi :69 1. 2. 3. 4. Prinsip nondiskriminasi. Prinsip kepentingan yang terbaik bagi anak. Prinsip hak untuk hidup, kelangsungan hidup, dan perkembangan. Prinsip penghargaan terhadap pendapat anak. Supeno70 kemudian mengembangkan prinsip-prinsip perlindungan anak tersebut menjadi 13 prinsip keadilan bagi anak, yaitu : 1. Pelaku kenakalan anak adalah korban. 2. Setiap anak berhak agar kepentingan terbaiknya dijadikan sebagai pertimbangan utama. 3. 69 Tidak mengganggu tumbuh kembang anak. Pasal 2 Undang-Undang No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak. Hadi Supeno, Kriminalisasi Anak: Tawaran Gagasan Radikal Peradilan Anak Tanpa Pemidanaan, Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 2010, hal. 90-91. 70 67 4. Setiap anak berhak untuk diperlakukan adil dan setara, bebas dari segala bentuk diskriminasi. 5. Setiap anak berhak mengekspresikan pandangan mereka dan didengar pendapatnya. 6. Setiap anak berhak dilindungi dari perlakuan salah, kekerasan, dan eksploitasi. 7. Setiap anak berhak diperlakukan dengan kasih sayang dan penghargaan akan harkat dan martabat sebagai manusia yang sedang tumbuh kembang. 8. Setiap anak berhak atas jaminan kepastian hukum. 9. Program pencegahan kenakalan remaja dan pencegahan terhadap perlakuan salah, kekerasan, dan eksploitasi secara umum harus menjadi bagian utama sistem peradilan anak. 10. Perenggutan kebebasan dalam bentuk apapun harus selalu digunakan sebagai upaya terakhir dan apabila terpaksa dilakukan hanya untuk jangka waktu paling singkat. 11. Perhatian khusus hanya diberikan kepada kelompok yang paling rentan dari anak, seperti anak korban konflik senjata, anak didaerah konflik sosial, nak didaerah bencana, anak tanpa pengasuh utama, anak dari kelompok minoritas, anak yang cacat, anak yang terimbas migrasi, dan anak yang terinveksi HIV/AIDS. 12. Pendekatan peka gender harus diambil disetiap langkah. Stigmasi dari kerentanan khas yang dialami anak perempuan dalam sistem 68 peradilan harus diakui sebagai sebuah problem nyata yang banyak berkaitan dengan status dan peran gendernya sebagai anak perempuan. 13. Mengembangkan perspektif futuristis dengan meniadakan penjara anak. Meskipun telah melakukan tindak pidana, seorang anak harus tetap dilindungi hak-haknya. Berdasarkan hasil wawancara penulis dengan Ibu Byrna Mirasari yaitu hakim Pengadilan Negeri Banyumas yang biasa menangani perkara anak, mengatakan bahwa : “Perlindungan Hukum terhadap anak adalah segala kegiatan untuk menjamin dan melindungi anak dan hak-haknya agar dapat hidup, tumbuh, berkembang dan berpartisipasi secara optimal sesuai dengan harkat dan martabat kemanusiaan, serta mendapat perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi. Untuk melaksanakan hal tersebut (pembinaan dan perlindungan anak), diperlukan dukungan, baik yang menyangkut kelembagaan maupun perangkat hukum yang lebih mantap dan memadai. Oleh karena itu, ketentuan mengenai penyelenggaraan pengadilan bagi anak dilakukan secara khusus.71 Agar mengetahui seperti apa bentuk perlindungan hukum terhadap anak pelaku tindak pidana narkotika dalam proses pengadilan di Pengadilan Negeri Banyumas dan selama menjalani hukuman di Rumah Tahanan Banyumas, penulis telah mewawancarai 2 (dua) orang informan, yaitu dari hakim Pengadilan Banyumas dan Bagian Staf Pendidikan Rumah Tahanan Banyumas. Hasil wawancara disajikan dalam bentuk matrik di bawah ini. 71 Hasil wawancara dengan Byrna Mirasari,S.H. selaku Hakim Pengadilan Negeri Banyumas, Senin 19 Maret 2012. 69 Matrik 1 : Bentuk Perlindungan Hukum Terhadap Anak No. Nama Informan 1 Byrna Mirasari, S.H. (Hakim Anak di Pengadilan Negeri Banyumas) 2 Hasil Wawancara ”Perlindungan Hukum terhadap anak terletak pada proses persidangan dan didalam penjatuhan putusannya, yaitu berupa putusan ringan, karena hakim berpendapat bahwa seorang anak yang terlalu lama berada didalam RUTAN, hanya akan membuat anak semakin nakal dan akan menghilangkan efek jera dari pemidanaan”. Winarso (Bagian ”Perlindungan Staff Pendidikan) terhadap anak yaitu dengan perlakuan yang dibedakan dengan napi dewasa, yaitu napi anak dipisahkan selnya dengan napi dewasa dan tidak dipekerjakan”. Subtansi Tema Tindakan Hakim dalam menangani perkara anak nakal. Melaksanan ketentuan UndangUndang Perlakuan terhadap narapidana anak didalam Rumah Tahanan Melaksanan ketentuan UndangUndang Sumber : Data primer yang diolah Putusan Pengadilan Negeri Banyumas terhadap anak pelaku tindak pidana narkotika berupa putusan pidana penjara, pidana penjara semata-mata hanya menimbulkan efek jera dan efek derita terhadap terpidana anak. Sekarang ini maksud dijatuhkannya pidana penjara adalah bahwa dengan pidana penjara itu dapat dilakukan pembinaan sedemikian rupa sehingga 70 setelah terpidana selesai menjalani pidananya diharapkan menjadi orang yang lebih baik dari sebelumnya. Namun, dalam kenyataannya makin lama pidana penjara dijalani, maka kecenderungan untuk menjadi narapidana secara sempurna, memiliki kecenderungan untuk melakukan tindak pidana lebih lanjut setelah dia keluar dari penjara. Efek jera belum mengacu pada tujuan perlindungan hukum terhadap anak sebagaimana diatur dalam Pasal 1 angka (2) Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak, yaitu : “perlindungan anak adalah segala kegiatan untuk menjamin dan melindungi anak dan hak-haknya agar dapat hidup, tumbuh, berkembang, dan berpartisipasi, secara optimal sesuai dengan harkat dan martabat kemanusiaan, serta mendapat perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi.” Efek jera tersebut masih jauh dari tujuan perlindungan anak. Pertimbangan utama hakim mengadili dan menjatuhkan putusan terhadap anak adalah kepentingan terbaik bagi anak yang berorientasi kepada keadilan, bukan atas kekakuan hukum pidana atau hukum acara. Terhadap anak yang terbukti melakukan kejahatan, hakim harus mengambil keputusan bijak dengan memperhatikan latar belakang kehidupan anak, latar belakang kehidupan keluarga anak, faktor-faktor pencetus terjadinya kejahatan, dan yang terpenting, kemampuan mental dan kesehatan fisik seorang anak yang akan menanggung beban pemidanaan (jika dijatuhi pidana). Harus diingat, kekakuan dan formalitas proses peradilan pidana merupakan beban tersendiri bagi seorang anak yang harus diperhatikan dalam penjatuhan putusan. Anak pelaku kejahatan dapat saja tidak dijatuhi pidana, 71 yaitu dikenai tindakan sebagaimana dimaksud Pasal 22 dan Pasal 24 UndangUndang Nomor 3 Tahun 1997 tentang Peradilan Anak. Penjatuhan pidana perampasan kemerdekaan terhadap seorang anak pelaku kejahatan harus dilakukan oleh hakim sebagai hal ultimum remedium (pilihan terakhir), dan hanya untuk kepentingan anak. Bagaimanapun penjara bukan tempat yang baik bagi anak. Di sisi lain hakim harus memperhatikan keseimbangan dan tuntutan keadilan dari masyarakat yang terkena dampak kejahatan. Upaya paksa (penahanan, perampasan hak-hak tertentu) jika tidak mengganggu proses peradilan pidana selayaknya tidak dilakukan. Proses persidangan perkara anak dilakukan dalam suasana kekeluargaan, yaitu hakimnya hakim tunggal yang khusus menangani perkara anak, hakim dan petugas lainnya tidak menggunakan toga, anak didampingi orang tua atau kuasa hukum dan Pembimbing Kemasyarakatan, dengan tujuan agar anak tidak merasa takut/tertekan dan tidak menyebabkan jiwanya tergoncang. Dalam menjatuhkan putusan, hakim sangat memperhatikan hal-hal yang meringankan bagi anak, sehingga hakim menjatuhkan hukuman yang lebih ringan demi rasa keadilan, kemanfaatan, dan kepastian hukum bagi anak dan masyarakat. Apabila dilihat dari sudut pandang sosiologis, peradilan merupakan suatu lembaga kemasyarakatan atau suatu institusi sosial yang berproses untuk mencapai keadilan. Peradilan juga disebut sebagai lembaga sosial yang merupakan himpunan kaidah-kaidah dari segala tingkatan yang berkisar pada suatu kebutuhan pokok dalam kehidupan masyarakat. 72 Kaidah-kaidah tersebut meliputi peraturan yang secara hierarki tersusun dan berpuncak pada pengadilan yang mempunyai peran untuk memenuhi kebutuhan pokok dalam kehidupan masyarakat, yaitu kebutuhan untuk bisa hidup secara tertib dan tenteram. Menurut Sudikno Mertokusumo sebagaimana telah dikutip oleh Romli Atmasasmita dalam bukunya yang berjudul Peradilan Anak di Indonesia, peradilan adalah suatu pelaksanaan hukum dalam hal konkrit adanya tuntutan hak, yang fungsinya dijalankan oleh suatu badan yang berdiri sendiri dan diadakan oleh negara serta bebas dari pengaruh apapun atau siapapun dengan cara memberikan putusan yang bersifat mengikat dan mencegah “eigenrichting” (premanisme).72 Penggunaan kata “anak” dalam Peradilan Anak menunjukkan batasan terhadap perkara yang ditangani, yaitu perkara anak. Dengan demikian, proses memberi keadilan berupa rangkaian tindakan yang dilakukan oleh Badan Peradilan tersebut juga harus disesuaikan dengan kebutuhan anak. Adapun dalam Pasal 1 ayat (1) Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak, ditentukan mengenai anak yang disidangkan dalam Peradilan Anak berumur 8 (delapan) tahun tetapi belum mencapai umur 18 (delapan belas) tahun dan belum pernah kawin. Peradilan Anak merupakan suatu pengkhususan pada lingkaran Peradilan Umum, sebagaimana tercantum dalam ketentuan Pasal 2 UndangUndang Nomor 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak, dengan kualifikasi 72 51. Romli Atmasasmita, Peradilan Anak di Indonesia, Bandung, Bandar Maju, 1997, Hal. 73 perkara yang sama jenisnya dengan yang dilakukan oleh orang dewasa dalam hal melanggar ketentuan dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP). Oleh karena hal tersebut, maka secara sistematis hukum (recht sistematisch) isi kewenangan Peradilan Anak tidak akan dan tidak boleh :73 1. Melampaui kompetensi absolut (absolute competentis) Badan Peradilan Umum; 2. Memeriksa, mengadili, dan memutus perkara-perkara yang telah menjadi kompetensi absolut lingkungan badan peradilan lain. Pada permulaan persidangan, Hakim Anak menanyakan kepada Penuntut Umum tentang orang tua/wali/ orang tua asuh, apakah hadir dalam persidangan atau tidak. Kehadiran orang tua/wali/ orang tua asuh anak sangat diperlukan untuk mengetahui latar belakang kehidupan anak dan motif anak melakukan tindak pidana penyalahgunaan narkotika. Bila orang tua/wali/ orang tua asuh tidak hadir, maka sidang ditunda sampai mereka menghadiri persidangan. Menurut Byrna Mirasari, perbedaan pertimbangan hakim dalam memeriksa dan memutus perkara anak, yaitu dilengkapi dengan laporan BISPA (Bimbingan Kemasyarakatan dan Pengentasan Anak). Kehadiran Petugas BISPA tidak diharuskan dalam persidangan yang terpenting adanya laporan tentang latarbelakang kehidupan si anak, dan lain-lain. Apabila laporan dari BISPA belum ada maka hakim anak di Pengadilan Negeri Banyumas tetap 73 Ibid., Hal. 52. 74 menunggu laporan dari BISPA, guna melengkapi pertimbangan hakim dalam memeriksa dan memutuskan perkara anak dalam sidang anak di Pengadilan Negeri Banyumas.74 Sejak adanya sangkaan atau diadakannya penyidikan sampai diputuskan pidananya dan menjalani putusan tersebut, anak harus didampingi oleh petugas social yang membuat Case Study tentang anak dalam sidang oleh petugas BISPA (Bimbingan Kemasyarakatan dan Pengentasan Anak). Adapun yang tercantum dalam case study ialah gambaran keadaan si anak berupa : masalah sosial, kepribadiannya, dan latar belakang kehidupannya : misalnya riwayat sejak kecil, pergaulan di luar dan di dalam rumah, keadaan rumah tangga si anak, hubungan antara bapak, ibu dan si anak, hubungan si anak dengan keluarganya, dan lain-lain. Latar belakang saat dilakukannya tindak pidana tersebut. Sebelum sidang dibuka, Hakim Anak memerintahkan Pembimbing Kemasyarakatan untuk menyampaikan Laporan Penelitian Kemasyarakatan. Setelah laporan dibacakan, Hakim membuka sidang dan dinyatakan tertutup untuk umum. Kemudian terdakwa dipanggil masuk ke dalam ruang sidang dengan didampingi orang tua/wali/ orang tua asuh, Penasehat Hukum dan Pembimbing Kemasyarakatan. Bentuk Perlindungan Hukum terhadap anak dalam sidang anak meliputi: 74 Hasil wawancara dengan Byrna Mirasari,S.H. selaku Hakim Pengadilan Negeri Banyumas, Senin 19 Maret 2012. 75 1. Sidang dibuka dan dinyatakan tertutup untuk umum (Pasal 8 angka (1) Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak); 2. Pemeriksaan dalam sidang pengadilan dilakukan dalam suasana kekeluargaan, oleh karena itu Hakim, Jaksa dan petugas lainnya tidak memakai toga serta atribut/tanda kepangkatan masingmasing (Pasal 6 Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak); 3. Adanya keharusan pemisahan persidangan dengan orang dewasa, baik yang berstatus sipil maupun militer (Pasal 7 Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak); 4. Balai Pemasyarakatan turut serta membuat Laporan Penelitian terhadap anak; 5. Hakim memeriksa dan memutus perkara anak dalam tingkat pertama,banding, dan kasasi adalah hakim tunggal (Pasal 11, Pasal 14 angka (1), Pasal 18 angka (1) Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak) 6. Hukuman lebih ringan (Pasal 26 Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak) Sesuai ketentuan dalam Pasal 58 Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak, pada waktu pemeriksaan saksi, Hakim memerintahkan agar terdakwa dibawa keluar ruang sidang. Tetapi orang 76 tua/wali/ orang tua asuh, Penasehat Hukum, dan Pembimbing Kemasyarakatan, untuk tetap hadir dipersidangan. Hal tersebut dimaksudkan untuk menghindari adanya hal yang dapat mempengaruhi jiwa anak. Hakim harus cermat dan teliti terhadap keadaan terdakwa, untuk dapat menentukan anak harus keluar sidang pengadilan atau tidak pada saat pemeriksaan saksi. Jika diperkiraan keterangan saksi dapat mempengaruhi jiwa anak, maka anak yang bersangkutan harus dikeluarkan dalam rangka perlindungan anak. Setelah pemeriksaan saksi, kemudian dilanjutkan dengan pemeriksaan terdakwa. Dalam melakukan pemeriksaan, Hakim dan petugas lainnya tidak memakai pakaian seragam dengan tujuan untuk menghilangkan rasa takut dalam diri anak (terdakwa). Berdasarkan ketentuan dalam Pasal 59 Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997 tentang Peradilan Anak, maka sebelum Hakim memberi kesempatan kepada orang tua/wali/orang tua asuh untuk mengemukakan hak ikhwal yang bermanfaat bagi anak. Dalam Pasal 24 Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997 tentang Peradilan Anak, diatur mengenai tindakan yang dapat dijatuhkan kepada Anak Nakal, yang meliputi : 1. 2. 3. Mengembalikan kepada orang tua/wali/orang tua asuh. Menyerahkan kepada negara untuk mengikuti pendidikan, pembinaan, dan latihan kerja. Menyerahkan kepada Depatemen Sosial atau organisasi sosial kemasyarakatan yang bergerak di bidang, pembinaan, dan latihan kerja. 77 Selama proses peradilan, hak-hak anak harus dilindungi, yang meliputi asas praduga tidak bersalah, hak untuk memahami dakwaan, hak untuk diam, hak untuk menghadirkan orang tua/wali/orang tua asuh, hak untuk berhadapan dan menguji silang kesaksian atas dirinya dan hak untuk banding. Penerapan hak-hak anak dalam proses peradilan merupakan suatu hasil interaksi antara anak dengan keluarga, masyarakat, serta penegak hukum yang saling mempengaruhi untuk meningkatkan kepedulian terhadap perlindungan anak demi kesejahteraan anak. Dalam Pasal 1 angka 8 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1995 tentang Pemasyarakatan, terdapat batasan pengertian mengenai Anak Didik Pemayarakatan, yaitu : 1. Anak Pidana Anak yang berdasarkan putusan pengadilan menjalani pidana di Lapas Anak paling lama sampai berumur 18 (delapan belas) tahun; 2. Anak Negara Anak yang berdasarkan putusan pengadilan diserahkan pada negara untuk dididik dan ditempatkan di Lapas Anak paling lama sampai berumur 18 (delapan belas) tahun; 3. Anak Sipil Anak yang atas permintaan orang tua atau walinya memperoleh penetapan pengadilan untuk dididik di Lapas Anak paling lama sampai berumur 18 (delapan belas) tahun. Dari ketiga jenis Anak Didik Pemasyarakatan tersebut, berdasarkan Pasal 22 ayat (1), Pasal 29 ayat (1), serta Pasal 36 ayat (1) Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1995 tentang Pemayarakatan, masing-masing anak didik memiliki hak yang hampir sama, yaitu : 1. Melakukan ibadah sesuai dengan agama dan kepercayaannya; 78 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. Mendapatkan perawatan, baik perawatan jasmani maupun rohani; Mendapatkan pendidikan dan pengajaran; Mendapatkan pelayanan kesehatan dan makanan yang layak; Menyampaikan keluhan; Mendapatkan bahan bacaan dan mengikuti siaran media massa lainnya yang tidak dilarang; Menerima kunjungan keluarga, penasehat hukum, atau orang tertentu lainnya; Mendapatkan kesempatan berasimilasi, termasuk cuti mengunjungi keluarga; Mendapatkan hak-hak lain sesuai peraturan perundangundangan yang berlaku; Sedangkan untuk perbedaan hak dari ketiga jenis Anak Didik Pemasyarakatan itu, adalah : 1. Anak Negara mempunyai penambahan hak untuk mendapatkan; a. Pembebasan bersyarat. b. Cuti menjelang bebas. 2. Anak Pidana mempunyai penambahan hak untuk mendapatkan; a. Pembebasan bersyarat. b. Cuti menjelang bebas. c. Pengurangan masa pidana (remisi). Dalam Pasal 60 ayat (1) Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997 tentang Peradilan Anak juga mengatur mengenai hak anak yang di tempatkan di Lapas, meliputi hak untuk memperoleh pendidikan dan pelatihan sesuai dengan bakat dan kemampuannya, serta hak lain sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Ketentuan tersebut kemudian dicantumkan secara lebih jelas mengenai hak-hak Anak Pidana, Anak Negara, serta Anak Sipil dalam Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1995 tentang Pemasyarakatan. 79 Menurut Winarso, pidana penjara bagi anak pelaku tindak pidana narkotika lebih efektif dari pada hukuman lainnya. Hal ini di karenakan melihat maraknya peredaran narkoba dan pergaulan bebas yang ada di masyarakat, dengan pidana penjara maka akan menjadikan contoh bagi anakanak yang lain untuk tidak mencoba apa yang namanya narkoba. Dengan tetap memperhatikan hak-hak anak sehingga diharapkan peran hakim dalam memutus perkara anak tidak mengabaikan hak-hak anak karena anak masih memiliki masa depan (penjatuhan hukuman ringan sebagai efek jera).75 Hal tersebut merupakan fungsi hukum sebagai upaya preventif, yaitu upaya-upaya pencegahan terhadap terjadinya pelanggaran-pelanggaran norma hukum. Pengaruh ini tidak hanya ada apabila sanksi pidana benar-benar diterapkan terhadap pelanggaran yang konkrit, akan tetapi sudah ada karena sudah tercantum dalam peraturan hukum. Pembinaan atau pembimbingan merupakan sarana yang mendukung keberhasilan negara dalam menjadikan narapidana menjadi anggota masyarakat yang baik. Lembaga Pemasyarakatan Anak ikut berperan dalam pembinaan narapidana yang mempunyai tugas untuk memperlakukan narapidana agar menjadi baik. Dalam pembinaan itu hal yang perlu dibina adalah pribadi narapidana dengan membangkitkan rasa harga diri dan mengembangkan rasa tanggungjawab untuk menyesuaikan diri dengan kehidupan yang tenteram 75 Hasil wawancara dengan Winarso, S.H. Staf Bagian Pendidikan RUTAN Banyumas, Selasa 20 Maret 2012. 80 dan sejahtera dalam masyarakat sehingga setelah mereka keluar dari Lapas bisa menjadi manusia yang berpribadi baik dan bermoral tinggi. Selanjutnya agar penulis mengetahui usia anak pelaku tindak pidana narkotika dan tingkat (angka) tindak pidanan narkotika di Pengadilan Negeri Banyumas, penulis telah mewawancarai hakim anak, yaitu Ibu Byrna Mirasari. Hasil wawancara disajikan dalam bentuk matrik dibawah ini. Matrik 2 : Bentuk Perlindungan Hukum Terhadap Anak No. Tahun Jumlah Usia 1. 2009 1 17 Tahun 2. 2010 2 15 Tahun & 16 Tahun 3. 2011 2 15 Tahun & 17 Tahun 4. 2012 1 16 Tahun Sumber : Data primer yang telah diolah Menurut Bu Byrna Mirasari, “pada kurun waktu tahun 2009 sampai awal tahun 2012 rata-rata anak pelaku tindak pidana narkotika berusia antara 15-17 tahun dan masih usia sekolah. Secara umum penyalahgunaan narkotika dikalangan anak dan remaja mengalami peningkatan, namun kasus yang masuk ke Pengadilan Negeri Banyumas masih sangat sedikit, hanya 1-2 kasus per tahunnya.”76 Saat ini masalah penyalahgunaan narkotika pada anak dan remaja adalah masalah yang sangat kompleks sehingga perlu pendekatan yang seimbang antara penegakan hukum dan pencegahan. Penegakan hukum 76 Hasil wawancara dengan Byrna Mirasari,S.H. selaku Hakim Pengadilan Negeri Banyumas, Senin 19 Maret 2012. 81 terhadap aturan-aturan hukum tentang penyalahgunaan narkotika tidak terbatas pada tindakan dengan menghukum atau memasukan pelanggar ke dalam penjara sebanyak-banyaknya, akan tetapi yang lebih substansial adalah bagaimana upaya pemerintah dapat membimbing warga masyarakat agar tidak kecanduan untuk melakukan penyalahgunaan narkotika. Oleh karena itu kerjasama dengan masyarakat sangat diperlukan. Hal ini pun sudah ditegaskan dalam Undang-Undang Nomor 35 tahun 2009 sebagaimana dirumuskan dalam Pasal 104 yang merumuskan : Masyarakat mempunyai kesempatan yang seluas-luasnya untuk berperan serta membantu pencegahan dan pemberantasan penyalahgunaan dan peredaran gelap Narkotika dan Prekursor Narkotika. Tindakan-tindakan preventif (pencegahan) dapat dilakukan dalam 2 (dua) cara, yaitu :77 1. Cara moralistik, yaitu cara-cara mencegah melalui memperkuat mental dan moral masyarakat menjadi kebal (iman) terhadap bujukan narkotika melalui pembinaan kesadaran mental masyarakat seperti kesadaran beragama dan melalui pendekatan penerangan dalam bentuk penyuluhan-penyuluhan tentang bahaya narkotika baik terhadap pemakai, masa depan anak-anak remaja dan bahayanya terhadap negara. 2. Cara abolisionistik, yaitu cara menaggulangi gejala tertentu melalui usaha 77 menghilangkan faktor-faktor penyebabnya Soedjono D., Narkotika, Karya Ananda, Jakarta, 1973, Hal. 113 dalam hal 82 narkotika yaitu dilakukan oleh para ahli seperti ahli medis, psyikolog, sosiolog, ahli kebudayaan, kriminolog dan lain-lain. Program-program pencegahan penyalahgunaan narkotika dapat digolongkan ke dalam 3 (tiga) bentuk program pencegahan yaitu Pencegahan primer, Pencegahan sekunder dan Pencegahan tertier.78 1. Pencegahan Primer Bertujuan mencegah untuk menghindarkan diri dari pengaruh lingkungan kehidupan penyalahgunana Narkotika. Sasaran pencegahan primer ditujukan terutama kepada para anakanak dan generasi muda yang belum menyalahgunakan Narkotika, baik di dalam lingkungan sekolah/lembaga pendidikan maupun diluar lingkungan sekolah / lembaga pendidikan. Kegiatan-kegiatan pencegahan primer terutama dilaksanakan dalam bentuk penyuluhan, penerangan dan pendidikan seperti : - Penyuluhan tatap muka : ceramah dan diskusi, sarasehan, seminar. - Media masa cetak (surat kabar, leaflet, brosur, bulletin, poster, sticker dll) - Penyuluhan dengan mengintegrasikan informasi tentang bahaya masalah narkotika kealam kegiatan-kegiatan masyarakat seperti PKK, organisasi pemuda, arisan, pengajian, pertemuan rutin tokoh masyarakat, pertemuan rutin di sekolah, dll. 78 Sudarsono, Kenakalan Remaja, Rineka Cipta, Jakarta, 1990, Hal. 73-74 83 - Pendidikan pencegahan dengan mengintegrasikan pendidikan (drug education) ke dalam kurikulum SD, SMP dan SMU ke dalam mata ajaran seperti IPA, Biologi, Pendidikan Jasmani dan Kesehatan (Penjaskes) dan Pendidikan Agama. - Pendidikan para orang tua tentang mengasuh anak yang baik dan pencegahan penyalahgunaan narkotika. 2. Pencegahan Sekunder Bertujuan untuk menghindarkan diri dari pengaruh lingkungan kehidupan penyalahgunaan Narkotika. Pencegahan sekunder ditujukan terutama kepada para anak-anak yang sudah mulai mencoba-coba narkotika, baik di dalam sekolah/lembaga pendidikan maupun di luar sekolah, serta sektorsektor masyarakat yang dapat membantu anak-anak agar berhenti dari penyalahgunaan narkotika. Kegiatan pencegahan sekunder menitikberatkan pada kegiatan deteksi secara dini terhadap anak yang menyalahgunakan narkotika, kenseling perorangan dan keluarga bermasalah penyalahgunaan narkotika, bimbingan sosial melalui kunjungan rumah. Juga penerangan dan pendidikan pencegahan tentang bahaya narkotika dan pendidikan pengembangan individu (life skills) seperti ketrampilan berkomunikasi, ketrampilan menolak tekanan teman sebaya dan ketrampilan mengambil keputusan yang baik. 3. Pencegahan Tertier 84 Pengobatan korban narkotika dan pemulihan kondisi fisik, psikis, mental, moral dan sosial bekas korban penyalahgunaan narkotika dengan tujuan untuk mencegah jangan sampai mereka kambuh atau relapse dan terjerumus kembali ke dalam masalah penyalahgunaan narkotika. Pencegahan ini dilaksanakan untuk membantu korban narkotika kembali kepada masyarakat dengan keadaan sehat dan produktif sehingga dapat menjalankan fungsi sosialnya kembali dalam masyarakat. Pencegahan tertier ditujukan terutama kepada korban narkotika dan bekas korban narkotika dan sektor-sektor masyarakat yang bisa membantu bekas korban narkotika untuk menghindarkan diri melanjutkan penyalahgunaan narkotika. Kegiatan pencegahan tertier terutama dilaksanakan dalam bentuk bimbingan sosial dan konseling terhadap yang bersangkutan dan keluarga serta kelompok sebayanya; penciptaan lingkungan sosial dan pengawasan sosial yang menguntungkan bekas korban untuk mantapnya kesembuhan, pengembangan minat, bakat dan ketrampilan bekerja bekas korban narkotika, bantuan pelayanan penempatan kerja, pembinaan orang tua, keluarga, teman sebaya, para guru dan masyarakat di mana korban tinggal, agar siap menerima bekas korban dengan baik, memperlakukannya dengan 85 wajar dan turut membina dan mengawasinya jangan sampai bekas korban kembali ke dalam penyalahgunaan narkotika. Selain memberikan upaya pengawasan perlindungan dan khusus pencegahan kepada anak pemerintah yang dalam melakukan penyalahgunaan narkotika juga dilakukan upaya perawatan. Upaya perawatan ini diberikan oleh pemerintah untuk para penyalahgunaan narkotika maupun pecandu narkotika. Upaya tersebut dilakukan dengan cara melakukan melakukan pelaporan kepada institusi wajib lapor yang diatur oleh Peraturan Pemerintah No. 25 Tahun 2011 tentang Pelaksaan Wajib Lapor Pecandu Narkotika. Yang mana terhadap pecandu narkotika diberikan perawatan yang telah disediakan oleh pemerintah dalam hal ini kementrian kesehatan. Pemerintah menunjuk instansi puskesmas, rumah sakit, dan balai rehabilitasi medis dan rehabilitasi sosial untuk melakukan pengobatan dan perawatan terhadap pengguna dan pecandu narkotika. Kegunaan dan kepentingan perawatan adalah sebagai bagian dari pencegahan penyalahgunaan narkotika dan untuk memulihkan pra pengguna dan pecandu narkotika agar kelak pecandu tersebut sembuh dari ketergantungan dan dapat hidup lebih baik dan bisa diterima oleh masyarakat. Perlindungan khusus yang diberikan kepada anak dalam Pasal 61 ayat (1) juga memuat mengenai rehabilitasi. Rehabilitasi yang dapat dilakukan oleh pemerintah dan masyarakat adalah berupa rehabilitasi medis dan rehabilitasi sosial. Berdasarkan Undang-Undang No. 35 Tahun 2009 tentang Narkotika, yaitu Pasal 1 angka 16 dan 17 menjelaskan bahwa Rehabilitasi 86 Medis adalah suatu proses kegiatan pengobatan secara terpadu untuk membebaskan pecandu dari ketergantungan narkotika. Rehabilitasi sosial adalah suatu proses kegiatan pemulihan secara terpadu, baik fisik, mental, maupun sosial, agar bekas pecandu narkotika dapat kembali melaksanakan fungsi sosial dalam kehidupan masyarakat. Rehabilitasi medis dilakukan di rumah sakit yang telah ditunjuk pemerintah. Hal ini agar para pecandu narkotika dapat pulih dari ketergantungan dan dapat beraktifitas melaksanakan fungsi sosial dengan baik di masyarakat. Terhadap anak pecandu narkotika dibawah umur yang belum mencapai 18 tahun maka pelapor rehabilitasi medis dan sosial dilakukan oleh orang tua/wali dari pecandu tersebut. Hal ini didasarkan pada Pasal 55 ayat (1) Undang-Undang No. 35 Tahun 2009 tentang Narkotika. Agar mengetahui faktor-faktor penghambat perlindungan terhadap anak pelaku tindak pidana narkotika di wilayah Pengadilan Negeri Banyumas ditinjau dari segi hukumnya, penulis telah mewawancarai terhadap 2 (dua) informan yang disajikan dalam bentuk matrik di bawah ini : Matrik 3 : Faktor Penghambat Perlindungan Hukum Terhadap Anak Pelaku Tindak Pidana Narkotika di Wilayah Hukum Pengadilan Negeri Banyumas dari segi undang-undang. No. Nama Informan Hasil Wawancara Tema 1 Byrna Mirasari, S.H. Hakim Pengadilan Negeri Banyumas ”Ketentuan peraturan perundang-undangan yang ada sudah cukup melindungi kepentingan anak, namun dalam pelaksanaanya hakim lebih berperan aktif Faktor eksterna l Implikasi Tidak menghambat 87 dalam menggali nilainilai didalam masyarakat, karena peratuan perundangundangan tidak harus dijalankan secara saklek. Dan memperhatikan pilar hukum yaitu Keadilan, Kemanfaatan, dan Kepastian Hukum. 2 Winarso, S.H. ”Menurut saya ketentuan Faktor (Staf Bagian peraturan perundang- eksterna Pendidikan undangan tidak menjadi l RUTAN kendala karena sudah Banyumas) sangat jelas mengatur tentang hak dan kewajiban serta kedudukan anak di dalam Lembaga Pemasyarakatan”. Sumber : Data primer yang diolah Tidak menghambat Berdasarkan matrik di atas maka sudah jelas bahwa Faktor undangundang tidak menjadi kendala karena sudah jelas diatur mengenai proses pemidanaan dan pembinaan terhadap anak pelaku tindak pidana narkotika didalam Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997 Tentang Pengadilan Anak, Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 dan Undang-Undang Nomor 15 Tahun 1995 tentang Pemasyarakatan. Menurut keterangan para informan berdasarkan wawancara maka dapat ditarik kesimpulan bahwa faktor peraturan (hukum) sudah sangat jelas dan tidak menghambat penegakan hukum terhadap anak di wilayah Pengadilan Negeri Banyumas. Selanjutnya mengenai faktor penghambat penegak hukum dalam menjalanakan perannya diitinjau dari faktor sarana telah mewawancarai 2 88 orang informan dari BNK Banyumas dan hasilnya di tuangkan dalam bentuk matrik berikut ini : Matrik 4 : Faktor Penghambat Perlindungan Hukum Terhadap Anak Pelaku Tindak Pidana Narkotika di Wilayah Hukum Pengadilan Negeri Banyumas dari segi Sarana prasarana No. Nama Informan 1 Byrna Mirasari, S.H. (Hakim Pengadilan Negeri Banyumas) Hasil Wawancara ”Di Pengadilan Negeri Banyumas belum tersedia ruang tunggu dan ruang sidang khusus untuk anak, di wilayah Banyumas belum tersedia tahanan khusus untuk anak dan belum tersedia balai rehabilitasi narkotika”. 2 Winarso (Staf ”Tidak mendukungnya Bagian sarana penunjang terkait Pendidikan) dengan pendidikan ketrampilan untuk warga binaan di RUTAN Banyumas”. Sumber : Data primer yang diolah Tema Implikasi Faktor eksterna l Menghambat Faktor eksterna l Menghambat Tanpa adanya sarana atau fasilitas tertentu, maka tidak mungkin penegakan hukum akan berlangsung dengan lancar. Sarana atau fasilitas tersebut antara lain mencakup tenaga manusia yang berpendidikan dan terampil, organisasi yang baik, peralatan yang memadai, keuangan yang cukup, gedung kantor, dan seterusnya. Berdasarkan matrik tersebut diatas, maka faktor sarana menjadi penghambat penegak hukum di wilayah Pengadilan Negeri Banyumas dalam menjalankan perannya. 89 Dengan demikian perlindungan hukum terhadap anak pelaku tindak pidana narkotika di Pengadilan Negeri Banyumas belum diterapkan dengan baik karena menurut Ibu Byrna Mirasari, hakim di Pengadilan Banyumas tidak pernah memutus sanksi rehabilitasi terhadap anak pelaku tindak pidana narkotika. Hal tersebut dikarenakan para hakim hanya mengikuti putusanputusan sebelumnya dan tidak berani menjatuhkan putusan rehabilitasi yang menurutnya prosedurnya rumit. Selain itu tidak tersedianya Balai Rehabilitasi Narkotika di Wilayah Banyumas menjadi faktor yang menghambat perlindungan terhadap anak pelaku tindak pidana narkotika. Putusan hakim Pengadilan Negeri Banyumas dalam kasus anak pelaku tindak pidana narkotika selalu berupa putusan pidana penjara. Hal tersebut tidak sesuai dengan tujuan sistem peradilan pidana anak yaitu lebih memperhatikan masa depan dan kepentingan terbaik untuk anak. B. Faktor-faktor yang Memengaruhi Anak Melakukan Tindak Pidana Narkotika di Pengadilan Negeri Banyumas Penggunaan narkoba bukanlah suatu kejadian sederhana yang bersifat mandiri, melainkan merupakan akibat dari berbagai faktor yang secara kebetulan terjalin menjadi fenomena yang sangat merugikan bagi semua pihak yang terkait.79 Secara sosiologis penggunaan narkotika oleh kaum remaja merupakan perbuatan yang disadari berdasarkan pengetahuan dan pengalaman sebagai pengaruh langsung maupun tidak langsung dari proses interaksi sosial. Secara 79 Dwi Yanny L, Narkoba, Pencegahan, dan Penanggulangannya, PT. Gramedia, Jakarta, 2001, Hal. 29 90 subyektif individual penggunaan narkoba sebagai salah satu akselerasi upaya individual/subyek agar dapat mengungkap dan menangkap kepuasan yang belum pernah dirasakan dalam kehidupan keluarga yang hakikatnya menjadi kebutuhan primer dan fundamental bagi setiap individu, terutama bagi anak remaja yang sedang tumbuh dan berkembang dalam segala aspek kehidupannya. Secara obyektif penggunaan narkotika merupakan visualisasi dari proses isolasi yang pasti membebani fisik dan mental sehingga dapat menghambat pertumbuhan yang sehat. 80 Pada umumnya secara keseluruhan faktor-faktor penyebab terjadinya tindak pidana narkotikan dapat dikelompokkan menjadi: 81 1. Faktor internal pelaku Ada berbagai macam penyebab kejiwaan yang dapat mendorong seseorang terjerumus kedalam tindak pidana narkotika, penyebab internal itu antara lain sebagai berikut : a. Perasaan Egois. Merupakan sifat yang dimiliki setiap orang. Sifat ini seringkali mendominir perilaku seseorang secara tanpa sadar, dengan juga bagi orang yang berhubungan dengan narkotika/para pengguna dan pengedar narkotika. Pada suatu ketika rasa egoisnya dapat mendorong untuk memiliki dan menikmati secara penuh apa yang mungkin dihasilkan dari narkotika. b. Kehendak Ingin Bebas. 80 Sudarsono, Kenakalan Remaja, Rineka Cipta, Jakarta, 1995, Hal. 67 Moh. Taufik Makarso, dkk, Tindak Pidana Narkotika, Ghalia Indonesia, Jakarta, 2005, Hal. 53-54 81 91 Sifat ini adalah juga merupakan sifat dasar yang dimiliki manusia. Sementara dalam tata pergaulan masyarakat banyak, normanorma yang membatasi kehendak bebas tersebut. Kehendak ingin bebas ini muncul dan terwujud kedalam perilaku setiap kali seseorang diimpit beban pemikiran maupun perasaan. Dalam hal ini, seseorang yang sedang dalam himpitan tersebut melakukan interaksi dengan orang lain sehubungan dengan narkotika, maka dengan sangat mudah seseoarang itu akan terjerumus pada tindak pidana narkotika. c. Goncangan Jiwa Hal ini terjadi karena salah satu sebab yang secara kejiwaan hal tersebut tidak mampu dihadapi/diatasinya. Dalam keadaan jiwa yang labil, apabila ada pihak-pihak yang berkomunikasi dengannya mengenai narkotika maka ia akan dengan mudah terlibat tindak pidana narkotika. d. Rasa Keingintahuan Perasaan ini pada umumnya lebih dominan pada manusia yang usianya masih muda, perasaan ingin ini tidak terbatas pada hal-hal yang positif, tetapi juga pada hal-hal yang negatif. Rasa ingin tahu tentang narkotika, ini juga mendorong seseorang melakukan perbuatan yang tergolong dalam tindak pidana narkotika. 2. Faktor eksternal pelaku. 92 Faktor-faktor yang datang dari luar banyak sekali, diantaranya yang paling penting adalah berikut ini. a. Keluarga Lingkungan keluarga merupakan unsur yang penting sekali dalam perkembangan jiwa anak. Dalam lingkungan keluarga inilah anak dapat melihat contoh yang diperankan oleh orang tua atau anggota keluarga lainnya. Hubungan dalam keluarga yang tidak serasi akan mengakibatkan perkembangan jiwa anak yang tidak serasi pula. Jika dalam keluarga sering terjadi pertengkaran, maka akibatnya adalah menipisnya rasa sosial serta rasa kemanusiaan anak. Dengan demikian anak akan mengalami kesukarankesukaran dalam menyesuaikan diri dengan lingkungannya, sehingga sering menimbulkan kenakalan anak dan remaja. Menurut S. Soeitoe dalam bukunya, Kesehatan Mental, kenakalan anak-anak dan remaja banyak disebabkan oleh keadaan keluarga sebagai berikut :82 1) Kurangnya perhatian orang tua terhadap anaknya. Hal ini mungkin karena orang tua terlalu sibuk dengan pekerjaannya, atau karena kemewahannya sehingga ia membiarkan anaknya berlaku menurut kemauannya sendiri. 82 Rachman Hermawan, Penyalahgunaan Narkotika oleh Para Remaja, PT. Eresco, Bandung, 1987, Hal. 33-34. 93 2) Ketidaklengkapan orang tua dalam keluarga, baik karena salah satu meninggal dunia ataupun karena perceraian, yang lazim disebut broken home. b. Keadaan Ekonomi Keadaan ekonomi pada dasarnya dapat dibedakan menjadi 2 (dua), yaitu keadaan ekonomi yang baik dan keadaan ekonomi yang kurang atau miskin. Pada ekonomi yang baik maka orangorang dapat mencapai dan memenuhi kebutuhannya dengan mudah. Demikian juga sebaliknya, apabila keadaan ekonomi kurang baik maka pemenuhan kebutuhan sangat sulit adanya, karena itu orang-orang akan berusaha untuk keluar dari himpitan ekonomi tersebut. Dalam hubungannya dengan narkotika, bagi orang-orang yang tergolong dalam ekonomi yang baik akan mempercepat keinginan-keinginan untuk mengetahui, menikmati, dan sebagainya tentang narkotika. Sedangkan bagi yang keadaan ekonominya sulit dapat juga melakukan hal tersebut, tetapi kemungkinannya lebih kecil dari pada yang ekonominya cukup. Berhubung narkotika tersebut terdiri dari berbagai macam dan harganya pun beraneka ragam, maka dalam keadaan ekonomi yang bagaimana pun narkotika dapat beredar dan dengan sendirinya tindak pidana narkotika dapat saja terjadi. c. Pergaulan/Lingkungan. 94 Pergaulan ini pada pokoknya terdiri dari pergaulan/lingkungan tempat tinggal, lingkungan sekolah atau tempat kerja dan lingkungan pergaulan lainnya. Ketiga lingkungan tersebut dapat memberikan pengaruh yang negatif terhadap seseorang, artinya akibat yang ditimbulkan oleh interaksi dengan lingkungan tersebut seseorang dapat melakukan perbuatan yang baik dan dapat pula sebaliknya. Apabila dilingkungan tersebut narkotika dapat diperoleh dengan mudah, maka dengan sendirinya kecenderungan melakukan tindak pidana narkotika semakin besar adanya. d. Kemudahan Kemudahan disini dimaksudkan dengan semakin banyaknya beredar jenis-jenis narkotika di pasar gelap maka akan semakin besarlah peluang terjadinya tindak pidana narkotika. e. Kurangnya pengawasan Pengawasan disini dimaksudkan adalah pengendalian terhadap persediaan narkotika, penggunaan, dan peredarannya. Jadi tidak hanya mencakup pengawasan yang dilakukan pemerintah, tetapi juga pengawasan oleh masyarakat. Pemerintah memegang peranan penting membatasi mata rantai peredaran, produksi, dan pemakaian narkotika. Dalam hal kurangnya pengawasan ini, maka pasar gelap, produksi gelap, dan populasi pecandu narkotika akan semakin meningkat. Pada gilirannya, keadaan semacam itu sulit 95 untuk dikendalikan. Disisi lain, keluarga merupakan inti dari masyarakat seyogyanya dapat melakukan pengawasan intensif terhadap anggota keluarganya untuk tidak terlibat keperbuatan yang tergolong tindak pidana narkotika. Dalam hal kurangnya pengawasan seperti dimaksudkan diatas, maka tindak pidana narkotika bukan merupakan perbuatan yang sulit dilakukan. f. Ketidaksenangan dengan Keadaan Sosial Bagi seseorang yang terhimpit oleh keadaan sosial maka narkotika dapat menjadikan sarana untuk melepaskan diri daroi himpitan tersebut, meskipun sifatnya hanya sementara. Tetapi bagi orang-orang tertentu yang memiliki wawasan, uang, dan sebagainya, tidak saja dapat menggunakan narkotika sebagai alat untuk melepaskan diri dari himpitan keadaan sosial, tetapi lebih jauh dapat dijadikan alat bagi pencapaian tujuan-tujuan tertentu. Kedua faktor tersebut tidak selalu berjalan sendiri-sendiri dalam suatu peristiwa pidana narkotika, tetapi juga merupakan kejadian yang disebabkan karena kedua faktor tersebut saling mempengaruhi secara bersama. Dari hasil wawancara dengan Ibu Byrna Mirasari, yaitu Hakim di Pengadilan Negeri Banyumas, mengatakan bahwa : Faktor yang memengaruhi anak melakukan tindak pidana narkotika di Pengadilan Negeri Banyumas adalah karena kondisi atau keadaan keluarga yang tidak utuh (broken home) sehingga didalam lingkungan keluarga anak merasa kecewa dan mencari pelampiasan atas kekecewaannya di luar rumah, dengan demikian anak menjadi mudah terpengaruh oleh hal-hal yang tidak baik (menggunakan narkotika). 96 Kemudian dari hasil wawancara dengan Andri, yaitu seorang anak pidana yang saat ini menjalani hukuman di RUTAN Banyumas, mengatakan bahwa : Saya menggunakan narkotika (ganja) karena pengaruh teman diluar lingkungan sekolah. Saya mengetahui kalau narkotika itu dilarang digunakan secara bebas dan menyadari perbuatannya tersebut melanggar undang-undang, namun saya merasa dipengaruhi oleh teman-teman dan ingin mencoba merasakan kenikmatan narkotika yang ditawarkan teman-teman. Saya mengkonsumsi ganja sudah lebih dari satu tahun. 83 Berdasarkan hasil penelitian di Pengadilan Negeri Banyumas dan di Rumah Tahanan Banyumas, kedua faktor yaitu faktor internal dan faktor eksternal pelaku anak saling mempengaruhi terjadinya tindak pidana narkotika. Rasa keingintahuan merupakan faktor internal dalam diri anak yang menyebabkan anak terdorong ingin mencoba/merasakan yang namanya narkotika. Faktor eksternal yang memengaruhi anak melakukan tindak pidana narkotika yaitu kurangnya perhatian orang tua terhadap anak dan ketidaklengkapan orang tua dalam keluarga (broken home). Selain itu, faktor pergaulan/lingkungan tempat tinggal dapat memberikan pengaruh yang negatif terhadap anak. 83 Hasil wawancara dengan Andri, anak pelaku tindak pidana yang dijatuhi pidana di RUTAN Banyumas. 97 BAB V PENUTUP A. Simpulan Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan mengenai Perlindungan Hukum Terhadap Anak Pelaku Tindak Pidana Narkotika, maka dapat diambil kesimpulan bahwa : a. Perlindungan Hukum Terhadap Anak Pelaku Tindak Pidana Narkotika di Pengadilan Negeri Banyumas sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak dan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak belum dilaksanakan dengan baik, karena dalam menjatuhkan putusan terhadap anak pelaku tindak pidana narkotika hakim selalu menjatuhkan putusan pidana penjara, hal ini disebabkan karena menurut Byrna Mirasari, hakim dalam memutus perkara hanya mengikuti putusan hakim yang sebelumnya, sehingga terhadap kasus narkotika anak selalu dijatuhkan putusan pidana. Padahal dalam Pasal 64 ayat (3) huruf a Undang-Undang Perlindungan Anak memuat perlindungan khusus yaitu rehabilitasi untuk membebaskan pecandu dari ketergantungan narkotika. Faktorfaktor lain yang menghambat Perlindungan Hukum Terhadap Anak Pelaku Tindak Pidana Narkotika di wilayah hukum Pengadilan Negeri Banyumas yaitu adanya keterbatasan sarana/fasilitas seperti ruang sidang anak, ruang tunggu khusus anak, balai rehabilitasi 98 narkotika, rumah tahanan khusus anak, pelatihan pendidikan dan ketrampilan tepat dan bermanfaat bagi warga binaan RUTAN sekembalinya ke masyarakat nanti. b. Terdapat 2 (dua) faktor yang memengaruhi anak melakukan tindak pidana narkotika di Pengadilan Negeri Banyumas, yaitu faktor internal pelaku dan faktor eksternal. Faktor internal pelaku yaitu adanya rasa keingintahuan terhadap narkotika pada anak yang menyebabkan anak ingin mencoba mengkonsumsi narkotika. Faktor eksternal yang menyebabkan anak melakukan tindak pidana narkotika yaitu kurangnya pengawasan orang tua terhadap anak, kondisi keluarga yang tidak utuh (broken home), dan faktor lingkungan/pergaulan dalam masyarakat yaitu pengaruh temanteman. B. Saran 1. Hakim dalam menjatuhkan putusan dalam perkara anak pelaku tindak pidana narkotika sebaiknya tidak hanya mengikuti putusan yang telah ada sebelumnya, namun harus memperhatikankondisi anak dan berupaya menjatuhkan putusan berupa rehabilitasi, bukan pidana penjara. Sehingga perlu dibangun balai rehabilitasi narkotika di wilayah Banyumas yang mendukung upaya Perlindungan Hukum terhadap anak pelaku tindak pidana narkotika. 99 2. Di Pengadilan Negeri Banyumas perlu dibuat ruang tunggu khusus anak dan ruang sidang anak dan di wilayah hukum Pengadilan Negeri Banyumas perlu dibangun rumah tahanan khusus anak. 3. Kepada orang tua, guru, dan warga masyarakat untuk lebih memperhatikan pergaulan anak-anaknya dan memberikan landasan agama yang kuat sehingga anak tidak mudah terjerumus dalam penyalahgunaan narkotika. 100 DAFTAR PUSTAKA A. Buku Teks Abdussalam. 2007. Perlindungan Anak. Jakarta: Restu Agung. Amirudin. 2004. Pengantar Metode Penelitian Hukum. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada. Dellyana, Shanty. 1988. Wanita dan Anak di Mata Hukum. Yogyakarta: Liberty. Gultom, Maidin. 2008. Perlindungan Hukum Terhadap Anak dalam Sistem Peradilan Pidana Anak di Indonesia. Bandung: PT. Rafika Aditama. Hidayat Bunadi. 2009. Pemidanaan Anak di Bawah Umur. Surabaya: PT. Alumni Bandung. J. Moleong, Lexy. 2002. Metodologi Penelitian Kualitatif. Bandung: Rosda Karya, Meliala, A., Syamsudin, dan E., Sumaryono. 1985. Kejahatan Anak Suatu Tinjauan dari Psikologis dan Hukum. Yogyakarta: Liberty Mertokusumo, Sudikno. 2005. Mengenal Hukum ( Suatu Pengantar ). Yogyakarta: Liberty. Moeljatno. 2000. Asas-asas Hukum Pidana. Jakarta: Rineka Cipta. Mulyadi, Lilik. 2005. Pengadilan Anak di Indonesia Teori, Praktek, dan Permasalahannya. Bandung: Mandar Maju. Nawawi, Arief Barda. 2005. Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana. Bandung: Citra Aditya Bakti Purniati, dkk. Mengutip Harry E. Allen and Cliffford E. Simonsen, dalam Correction in America. 2003. An Intoduction, Analisa Situasi Sistem Peradilan Anak ( Juvenile Justice System ) di Indonesia, UNICEF, Indonesia, Soekamto, Soerjono. 1984. Pengantar Penelitian Hukum. Jakarta: Universitas Indonesia Press. Soekamto, Soerjono. 1982. Sebab Musabab dan Pemecahannya Remaja dan Masalahnya. Yogyakarta: Kanisius Sudarsono. 1990. Kenakalan Remaja. Jakarta: Rineka Cipta 101 Sudarto. 1990. Hukum Pidana I. Semarang: Yayasan Sudarto, . 1986. Kapita Selekta Hukum Pidana. Bandung: Alumni, Sunggono, Bambang. 2003. Metode Penelitian Hukum. Jakarta: Cetakan Keenam, PT. Raja Grafindo Persada. Wadong, Maulana Hasan. 2000. Pengantar Advokasi dan Hukum Perlindungan Anak. Jakarta: Grasindo. Wahyudi, Setya. 2009. Diversi dalam Sistem Peradilan Anak. Semarang: Badan Penerbit Universitas Diponegoro. . 2011. Implementasi Ide Diversi dalam Pembahaharuan sistem Peradilan Pidana Anak Indonesia. Yogyakarta: Genta Publishing. Wologito, Bimo, Kenakalan Remaja (Juvenile Deliquency), Fakultas Psikologi UGM, Yogyakarta. B. Peraturan Perundang-Undangan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945 Tap MPRS RI Nomor 1 Tahun 1998 tentang GBHN Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3850) Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1981 Nomor 76) Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997 Tentang Pengadilan Anak (Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3668) Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2002 Nomor 109) Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 Tentang Hak Asasi Manusia (Tambahan lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3886) Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 Tentang Narkotika (Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 5062) Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1995 Tentang Pemasyarakatan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1995 Nomor 77)