BAB I-V - Fakultas Hukum UNSOED

advertisement
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Anak adalah bagian dari generasi muda sebagai salah satu sumber daya
manusia yang merupakan potensi dan penerus cita-cita perjuangan bangsa
dimasa yang akan datang, yang memiliki peran strategis, dan mempunyai ciri
dan sifat khusus, memerlukan pembinaan dan perlindungan dalam rangka
menjamin perkembangan dan pertumbuhan fisik, mental dan sosial secara
seimbang.
Berhubungan dengan konteks ini, Majelis Permusyawaratan Rakyat
Republik Indonesia (MPR RI) melalui ketetapannya No. 1/1998, tentang
GBHN ditegaskan bahwa Pembinaan anak dan remaja diarahkan pada
penumbuhan kesadaran dan perilaku hidup sehat, jati diri, serta penumbuhan
idealisme, nasionalisme, dan rasa cinta tanah air dalam pembangunan
nasional. Sebagai pengamalan Pancasila dan peningkatan kemampuan
penyesuaian diri dengan lingkungan dan masyarakat. Dilaksanakan melalui
peningkatan pembangunan, keimanan dan ketaqwaan kepada Tuhan Yang
Maha Esa, akhlak yang mulia, budi pekerti luhur, kualitas gizi, penumbuhan
minat belajar, minat membaca, peningkatan daya cipta dan daya nalar serta
kreatifitas.1
1
Ketetapan MPRS RI No. 1 Tahun 1998, tentang GBHN.
2
Hal ini berarti bahwa anak atau remaja Indonesia sebagai pemegang
amanat Proklamasi Kemerdekaan 17 Agustus 1945, diharapkan mampu
mengisi kemerdekaan negara ini dengan semangat perjuangan yang tinggi
yang mengabdi kepada kepentingan bangsanya, gemar menggali ilmu
pengetahuan dan teknologi yang tinggi diimbangi dengan kemampuan diri
sendiri,
kreatif,
jujur
dan
bertindak
sesuai
dengan
norma-norma
kemasyarakatan, norma agama dan hukum, serta bertanggungjawab terhadap
kelangsungan hidup bangsa yang selalu berkembang dan dinamis ini.2
Sekarang ini banyak anak di bawah umur yang melakukan perbuatan
yang dinyatakan terlarang menurut undang-undang maupun peraturan hukum
lain yang hidup dan berlaku dalam masyarakat. Hal ini menyebabkan anak
harus berhadapan dengan hukum. Ada 2 kategori perilaku anak yang
membuat ia harus berhadapan dengan hukum, yaitu :
1) Status Offence, adalah perilaku kenakalan anak yang apabila
dilakukan oleh orang dewasa tidak dianggap sebagai kejahatan,
misalnya tidak menurut, membolos sekolah, atau melarikan diri
dari rumah ;
2) Juvenile Delinquincy, adalah perilaku kenakalan anak yang
apabila dilakukan orang dewasa dianggap kejahatan atau
pelanggaran hukum.3
2 Bunadi Hidayat, Pemidanaan Anak Di Bawah Umur, Surabaya: PT ALUMNI Bandung
2010, 2009, hal 2.
3
Purnianti, Mamik Sri Supatmi, dan Ni Made Martini Tinduk, mengutip Harry E. Allen
and Cliffford E. Simmonsen, dalam Correction in America : An Introduction, Analisa Situasi
Sistem Peradilan Pidana Anak ( Juvenile Justice System ) di Indonesia, UNICEF, Indonesia,
2003, Hal.2
3
Salah satunya yaitu terlibat dalam tindak pidana penyalahgunaan
narkotika. Meskipun narkotika sangat diperlukan untuk pengobatan dan
pelayanan kesehatan, namun apabila disalahgunakan atau digunakan tidak
sesuai dengan standar pengobatan, terlebih jika disertai dengan peredaran
narkotika secara gelap akan menimbulkan akibat yang perseorangan ataupun
masyarakat, khususnya generasi muda. Bahkan dapat menimbulkan bahaya
yang sangat besar bagi kehidupan dan nilai-nilai budaya bangsa yang pada
akhirnya akan melemahkan ketahanan nasional.
Pada beberapa kasus penyalahgunaan narkotika, dilakukan oleh anak di
bawah umur, sebagian dari mereka ada yang beralasan karena rasa ingin
mencoba-coba saja karena pengaruh lingkungan. Penyalahgunaan narkotika
dan obat-obat perangsang yang sejenis oleh kaum remaja erat kaitannya
dengan beberapa hal yang menyangkut sebab, motivasi, dan akibat lain yang
ingin di capai. Secara sosiologis, penyalahgunaan narkotika oleh kaum remaja
merupakan perbuatan yang disadari berdasarkan pengetahuan/pengalaman
sebagai pengaruh langsung maupun tidak langsung dari proses interaksi
sosial. Secara subjektif individual, penyalahgunaan narkotika oleh kaum
remaja merupakan akselerasi upaya individual/subjek agar dapat mengungkap
dan menangkap kepuasan yang belum pernah dirasakan dalam kehidupan
keluarga
yang pada
hakikatnya
merupakan kebutuhan primer dan
fundamental bagi setiap individu, terutama bagi remaja yang sedang tumbuh
dan berkembang dalam segala aspek kehidupannya.4
4
Sudarsono, Kenakalan Remaja, Rineka Cipta, Jakarta, 1990, Hal 67-68.
4
Penyalahgunaan narkotika adalah pemakaian narkotika diluar indikasi
medik, tanpa penunjuk atau resep dokter, dan pemakaiannya bersifat
patologik (menimbulkan kelainan) dan menimbulkan hambatan dalam
aktivitas di rumah, sekolah atau kampus, tempat kerja, dan lingkungan sosial.
Ketergantungan narkotika adalah kondisi yang kebanyakan diakibatkan oleh
penyalahgunaan zat yang disertai dengan adanya toleransi zat (dosis semakin
tinggi) dan gejala putus zat.5
Penyalahgunaan narkotika secara berlebihan dapat mengakibatkan
dampak yang berbahaya, baik terhadap individu tersebut maupun terhadap
masyarakat. Semua narkotika baik yang dipakai secara legal maupun yang
disalahgunakan, mempunyai persamaan yaitu dapat mengubah suasana hati
bagi pemakainya. Misalnya dapat menyebabkan perasaan gelisah, namun
pada beberapa saat kemudian narkotika sanggup menghasilkan khayalankhayalan yang menyenangkan.
Pada
umumnya suasana hati yang ditimbulkan oleh penggunaan
narkotika adalah sebagai berikut :
1. Pelupa, pikiran kabur, acuh tak acuh, dan tertekan.
2. Rasa gelisah, gugup, curiga, merasa dikejar-kejar, dan mudah
tersinggung.
3. Apatis, putus asa, pendiam, bingung dan menyendiri.
4. Sinis, pesimis, dan muram.6
5
6
Mardani, Narkotika, Djambatan, Jakarta, 2008, Hal. 2.
Rachman Hermawan, Narkotika, Alumni, Bandung 1987, Hal. 11.
5
Pemakaian narkotika secara terus menerus akan mengakibatkan orang
itu tergantung pada narkotika secara mental maupun fisik, yang dikenal
dengan istilah kebergantungan mental bila ia selalu terdorong oleh hasrat dan
nafsu yang besar untuk menggunakan narkotika, karena terpikat oleh
kenikmatannya. Kebergantungan mental ini dapat ini dapat mengakibatkan
perubahan perangai dan tingkah laku. Seseorang bisa disebut mengalami
kebergantungan fisik bila ia tidak dapat melepaskan diri dari cengkeraman
narkotika tersebut karena apabila tidak memakai narkotika akan merasakan
siksaan badaniah, seakan-akan dianiaya.
mendorong
seseorang
untuk
Kebergantungan fisik ini dapat
melakukan
kejahatan-kejahatan
untuk
memperoleh uang guna membeli narkotika. Kebergantungan fisik dan mental
lambat laun dapat menimbulkan gangguan kesehatan.
Seseorang yang menderita ketagihan atau ketergantungan pada
narkotika akan merugikan dirinya sendiri, juga merusak masyarakat. Dampak
yang menyangkut pada pemakai sendiri yang pada akhirnya dapat
menimbulkan kematian, yaitu apabila penggunaan narkotika semakin lama
makin bertambah banyak sedangkan daya tahan tubuh semakin lama semakin
berkurang dan dapat mengakibatkan overdosis yang pada akhirnya
mengakibatkan kematian. 7
Di samping itu, dampak yang sering terjadi di tengah masyarakat dari
penyalahgunaan / ketergantungan narkotika antara lain merusak hubungan
kekeluargaan, menurunkan kemampuan belajar dan produktifitas kerja secara
7
Sudarsono, Kenakalan Remaja, Rineka Cipta, Jakarta, 1990, Hal. 74.
6
drastis, sulit membedakan mana perbuatan baik dan mana perbuatan buruk,
perubahan perilaku menjadi perilaku anti sosial (perilaku maladaptif),
gangguan kesehatan (fisik dan mental), mempertinggi jumlah kecelakaan lalu
lintas, tindak kekerasan dan lain sebagainya. Bahaya narkotika benar-benar
sangat merugikan masyarakat, terutama pemakai sendiri. Sedangkan yang
terjadi pada masyarakat Indonesia, penyalahgunaan narkotika tidak hanya
terbatas di kalangan orang tua dan usia dewasa. Dalam kenyataan kaum
remaja (anak di bawah umur) sudah banyak terseret dalam dunia destruktif
yakni penyalahgunaan narkotika. 8
Seorang anak yang terjerumus dalam penyalahgunaan narkotika
disebabkan karena berbagai faktor, baik dari diri anak sendiri maupun
pengaruh lingkungan. Faktor-faktor yang mempengaruhi anak melakukan
tindak pidana narkotika dapat menjadi pertimbangan hukum bagi hakim
dalam menjatuhkan putusannya.
Mengingat permasalahan yang begitu serius mengenai penyalahgunaan
narkotika, Pemerintah tidak henti-hentinya melakukan usaha-usaha yaitu
dengan menerbitkan peraturan perundang-undangan yang baru, yang terakhir
yaitu dengan diundangkannya Undang-Undang No. 35 Tahun 2009 tentang
Narkotika. Undang-undang Narkotika ini diharapkan dapat memberantas
setiap penyalahgunaan narkotika dan prekursor narkotika di Indonesia.
Selain itu, berbagai upaya pencegahan dan penanggulangan kenakalan
anak, perlu segera dilakukan. Salah satu upaya cara pencegahan dan
8
Ibid.
7
penanggulangan kenakalan anak (politik kriminal anak) saat ini mulai
menyelenggarakan sistem peradilan pidana anak. Tujuan sistem peradilan
anak (Juvenile Justice) tidak semata-mata bertujuan untuk menjatuhkan
sanksi pidana kepada anak pelaku tindak pidana, tetapi lebih difokuskan pada
dasar pemikiran bahwa penjatuhan sanksi tersebut sebagai sarana pendukung
mewujudkan kesejahteraan anak pelaku tindak pidana. Dasar pemikiran atau
titik tolak prinsip ini, merupakan ciri khas sistem peradilan pidana anak.
Dengan adanya ciri khas di dalam penyelenggaraan proses pengadilan pidana
bagi anak ini, maka aktivitas pemeriksaan yang dilakukan oleh polisi, jaksa,
hakim, dan pejabat lainnya, tidak meninggalkan pada aspek pembinaan dan
perlindungan, serta didasarkan pada prinsip demi kepentingan anak atau
melihat kriterium apa yang paling baik untuk kesejahteraan anak yang
bersangkutan, tanpa mengurangi perhatian kepada kepentingan masyarakat. 9
Dalam hukum acara pidana tidak terdapat peraturan khusus bagi anakanak. Berarti anak dapat dituntut dan diadili seperti orang dewasa. Dengan
adanya UU No. 3 tahun 1997 tentang Pengadilan Anak, maka pelaksanaan
penegakan hukum kepada anak dapat dilakukan secara khusus dari mulai
penyidikan hingga pelaksanaan putusan.
Pasal 1 Undang-Undang Nomor 23 tahun 2002 tentang Perlindungan
Anak menyatakan:
“Perlindungan anak adalah segala kegiatan untuk menjamin dan
melindungi anak dan hak-haknya agar dapat hidup, tumbuh, berkembang,
dan berpartisipasi, secara optimal sesuai dengan harkat dan martabat
9 Setya Wahyudi,
Implementasi Ide Diversi Dalam Pembaharuan Sistem Peradilan
Pidana Anak di Indonesia, Genta Publishing, Yogyakarta, 2011, Hal 1-2.
8
kemanusiaan, serta
diskriminasi”.
mendapat
perlindungan
dari
kekerasan
dan
Barda Nawawi Arief, mengemukakan bahwa pokok-pokok pikiran
yang terkandung dalam perumusan tujuan pemidanaan adalah :
1.
2.
3.
Pada hakikatnya Undang-Undang merupakan sistem hukum yang
bertujuan sehingga dirumuskan pidana dan aturan pemidanaan dalam
Undang-Undang, pada hakikatnya hanya merupakan sarana untuk
mencapai tujuan;
Dilihat secara fungsional operasional, pemidanaan merupakan suatu
rangkaian proses dan kebijakan yang kokretasinya sengaja
direncanakan melalui 3 (tiga) tahap. Agar ada keterjalinan dan
keterpaduan antara ketiga tahap itu sebagai satu kesatuan sistem
pemidanaan, maka dirumuskan tujuan pemidanaan;
Perumusan tujuan pemidanan dimaksudkan sebagai fungsi
pengendalian kontrol dan sekaligus memberikan landasan filosofis,
dasar rasionalitas dan motivasi pemidanaan yang jelas dan terarah.10
Pemikiran mengenai tujuan dari suatu pemidanaan yang dianut orang
dewasa ini sebenarnya bukan merupakan suatu pemidanaan yang baru,
melainkan sedikit banyak telah mendapat pengaruh dari para penulis beberapa
abad yang lalu, yang telah mengeluarkan pendapat mereka tentang dasar
pembenaran dari suatu pemidanaan baik yang melihat pemidanaan sematamata sebagai pemidanaan saja, maupun yang mengkaitkan dengan
pemidanaan dengan tujuan atau dengan tujuan yang ingin dicapai dengan
pemidanaan itu sendiri. 11
Di wilayah Kabupaten Banyumas terdapat dua Pengadilan Negeri yaitu
Pengadilan Negeri Purwokerto dan Pengadilan Negeri Banyumas. Pengadilan
negeri Banyumas merupakan Pengadilan klas II yang menangani kasus-kasus
10 Barda Nawawi Arief, Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana, PT. Citra Aditya Bakti,
Bandung, 2005, Hal 88.
11 Moeljatno, Asas-asas Hukum Pidana, Rineka Cipta, Jakarta, 2000, Hal. 1.
9
pidana maupun perdata. Pada awal tahun 2012 ini di Pengadilan Negeri
Banyumas terdapat satu kasus narkotika yang pelakunya anak dibawah umur
yang memerlukan perlindungan hukum berbeda dengan orang dewasa pada
umumnya.
Sehubungan dengan fakta-fakta di atas, maka penulis merasa perlu
untuk melakukan penelitian yang terkait dengan Anak Pelaku Tindak Pidana
Narkotika. Dengan latar belakang tersebut di atas maka penulis mengangkat
judul: “PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP ANAK PELAKU
TINDAK PIDANA NARKOTIKA (Studi di Pengadilan Negeri Banyumas)”.
B. Perumusan Masalah
1.
Bagaimana perlindungan hukum terhadap anak pelaku tindak pidana
narkotika di Pengadilan Negeri Banyumas?
2.
Faktor – faktor apa saja yang mempengaruhi anak melakukan tindak
pidana narkotika di wilayah hukum Pengadilan Negeri Banyumas?
C. Tujuan Penelitian
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui :
1.
Perlindungan hukum terhadap anak pelaku tindak pidana narkotika di
Pengadilan Negeri Banyumas.
2.
Faktor-faktor apa saja yang mempengaruhi anak melakukan tindak
pidana narkotika di wilayah hukum Pengadilan Negeri Banyumas.
10
D. Kegunaan Penelitian
Adapun kegunaan yang dapat diperoleh dari penelitian ini adalah sebagai
berikut :
1. Manfaat Teoritis
Penelitian ini diharapkan dapat memberikan sumbangan pengetahuan dan
memberikan tambahan wacana guna pengembagan ilmu pengetahuan pada
umumnya dan ilmu hukum pada khususnya.
2. Manfaat Praktis
a.
Mengembangkan penalaran, membentuk pola pikir sistematis dan
dinamis, sekaligus untuk mengetahui sejauh mana kemampuan
penulis dalam menerapkan ilmu yang diperoleh selama menimba ilmu
di Fakultas Hukum Universitas Jenderal Soedirman Purwokerto.
b.
Melengkapi syarat akademis guna mendapat gelar Sarjana Hukum di
Fakultas Hukum Universitas Jenderal Soedirman Purwokerto.
11
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Hak dan Kewajiban Anak
1.
Pengertian Anak
Anak merupakan seseorang yang dilahirkan dari sebuah hubungan
antara pria dan wanita. Hubungan antara pria dan wanita itu jika terikat
dalam ikatan perkawinan lazimnya disebut sebagai suami istri. Anak yang
dilahirkan dari perkawinan yang sah statusnya disebut sebagai anak sah.
Namun ada juga anak yang dilahirkan diluar perkawinan yang sah
biasanya statusnya disebut anak tidak sah, atau lebih konkritnya disebut
anak haram atau anak jaddah.
Dalam hukum positif di Indonesia anak diartikan sebagai orang yang
belum dewasa (minderjarig / persoon under age), orang yang dibawah
umur atau keadaan dibawah umur (minderjarigheid / inferiority) atau biasa
disebut dengan anak yang berada dibawah pengawasan wali (minderjarige
under voordij). Pengertian anak itu sendiri jika ditinjau lebih lanjut dari
segi usia kronologis menurut hukum dapat berbeda-beda tergantung
tempat, waktu dan untuk keperluan apa, hal ini juga akan mempengaruhi
batasan yang digunakan untuk menentukan umur anak. Menurut Pasal 45
KUHP, seseorang yang berada di bawah umur atau dikategorikan belum
dewasa apabila belum berumur 16 tahun. Pasal 283 KUHP menentukan
12
batas kedewasaan apabila sudah mencapai 17 tahun. Sedangkan menurut
Pasal 287 KUHP, batas usia dewasa bagi seorang wanita adalah 15 tahun.
Pengertian anak pada Pasal 1 Convention On The Rights of The
Child :
anak diartikan sebagai setiap orang dibawah usia 18 tahun, kecuali
berdasarkan hukum yang berlaku terhadap anak, kedewasaan telah
diperoleh sebelumnya. Anak adalah mereka yang belum dewasa dan
menjadi dewasa karena peraturan tertentu mental,fisik masih belum
dewasa.12
Pasal 1 ayat (5) Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 Tentang
Hak Asasi Manusia menjabarkan pengertian anak :
Anak adalah setiap manusia yang berusia dibawah 18 tahun (delapan
belas) dan belum menikah termasuk anak yang masih dalam kandungan
apabila hal tersebut adalah demi kepentingannya.
Pengertian tersebut hampir sama dengan pengertian anak yang
terdapat dalam Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 Pasal 1 ayat (1)
Tentang Perlindungan Anak :
Anak adalah seseorang yang berusia 18 tahun termasuk anak yang masih
dalam kandungan.
Sedangkan dalam Pasal 1 ayat (1) Undang-Undang Nomor 3 Tahun
1997 Tentang Peradilan Anak :
Pengertian anak adalah orang yang dalam perkara anak nakal telah
mencapai umur 8 tahun(delapan) tetapi belum mencapai umur 18 (delapan
belas) tahun dan belum pernah kawin.
Melihat dari hal-hal tersebut dapat diperoleh suatu kesimpulan
bahwa batasan umur anak adalah relatif tergantung kepentingannya.
12
Shanty Dellyana, Wanita dan Anak di Mata Hukum, Liberty, Yogyakarta, 1988, Hal. 50.
13
2.
Hak-hak Anak dan Kewajiban Anak
Anak sebagai generasi penerus perlu dijaga agar jangan sampai
terperosok melakukan kejahatan, maka dalam konteks ini diuraikan
tentang upaya-upaya penanggulangan kejahatan/kenakalan anak. Anak
yang kebetulan melakukan kejahatan tetaplah sebagai anak, oleh karena itu
tetaplah
mendapat
hak-haknya
sebagai
anak
serta
melakukan
kewajibannya sebagai anak.13
Tujuan perlindungan anak adalah untuk menjamin terpenuhinya hakhak anak agar dapat hidup, tumbuh, berkembang, dan berpartisipasi secara
optimal sesuai dengan harkat dan martabat kemanusiaan serta mendapat
perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi, demi terwujudnya anak
Indonesia yang berkualitas, berakhlak mulia, dan sejahtera.14
Hak-hak Anak dan Kewajiban Anak adalah sebagai berikut :
a.
Hak-hak Anak
Hak adalah kekuasaan yang diberikan kepada seseorang untuk
bertindak dalam rangka kepentingannya. Ciri-ciri yang melekat pada
hak adalah :
1) Hak itu dilekatkan kepada seseorang yang kemudian disebut
pemilik hak atau subyek dari hak itu;
2) Hak itu tertuju kepada orang lain, yaitu yang menjadi pemegang
kewajiban, dan antara hak dan kewajiban terjadi hubungan yang
korelatif;
13 Setya Wahyudi,
Implementasi Ide Diversi Dalam Pembaharuan Sistem Peradilan
Pidana Anak di Indonesia, Genta Publishing, Yogyakarta, 2011, Hal. 21.
14 Isi dari Pasal 3 UU No. 23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak
14
3) Hak yang ada pada seseorang itu mewajibkan pihak lain untuk
melakukan (commisio) atau tidak melakukan (ommisio) sesuatu
perbuatan;
Setiap hak menurut hukum itu mempunyai titel, yaitu suatu
peristiwa tertentu yang menjadi alasan melekatnya hak itu pada
pemiliknya.15
Pengaturan hak-hak anak di Indonesia saat ini, pada pokoknya
diatur dalam UU No. 23 tahun 2002 tentang Perlindungan anak dan
Keputusan Presiden No. 36 tahun 1990 tentang Pengesahan
Konvensi Hak-hak Anak. Oleh karena itu sejak tahun 1990
Indonesia terikat secara hukum untuk melaksanakan ketentuan yang
termaktub didalam Konvensi Hak-hak Anak.
Berdasarkan Konvensi Hak-hak Anak 1989 (Resolusi PBB
Nomor 44/25 tanggal 5 Desember 1989), hak-hak anak secara umum
dapat dikelompokkan dalam 4 (empat) kategori hak-hak anak yaitu:
1) Hak untuk kelangsungan hidup (The Right to Survival), yaitu hakhak dalam Konvensi Hak Anak yang meliputi hak-hak untuk
melestarikan dan mempertahankan hidup (the right of life) dan
hak untuk memperoleh standar kesehatan tertinggi dan perawatan
yang sebaik-baiknya (the rights to the highest standart of health
and medical care attainable);
2) Hak terhadap perlindungan (The Right to Protection), yaitu hakhak dalam Konvensi Hak-hak Anak yang meliputi hak
perlindungan dari diskriminasi, tindak kekerasan, dan
keterlantaran bagi anak yng tidak mempunyai keluarga dan bagi
anak-anak pengungsi;
3) Hak untuk tumbuh kembang (The Right to Develop), yaitu hakhak anak dalam Konvensi Hak-hak Anak yang meliputi segala
bentuk pendidikan (formal dan nonformal) dan hak untuk
15
Satjipto Rahardjo, Ilmu hukum, Alumni, Bandung, 1986, Hal. 95.
15
mencapai standar hidup yang layak bagi perkembangan fisik,
mental, dan spiritual, moral, dan sosial anak;
4) Hak untuk partisipasi (The Right to Participation), yaitu hak-hak
anak yang meliputi hak untuk menyatakan pendapat dalam segala
hal yang memengaruhi anak (the rights of a child to express
her/his view freely in all matters affecting the child).16
Hak kelangsungan hidup (survival rights) dalam Konvensi
Hak-hak Anak 1989, diatur dalam Pasal 7, 8, 9, 19, 20, 21, 23, 26,
27, 30, 32, 33, 34, 35, dan Pasal 38. Mengenai ini pasal-pasal diatas,
yang mengatur hak-hak anak, antara lain tentang :
1) Hak anak untuk mendapatkan nama dan kewarganegaraan
semenjak dilahirkan;
2) Hak untuk hidup bersama orang tuanya, kecuali kalau hal ini tidak
sesuai dengan kepentingan terbaiknya;
3) Kewajiban negara untuk melindungi anak-anak dari segala bentuk
salah perlakuan (Abuse);
4) Hak anak-anak penyandang cacat (disable) untuk memperoleh
pengasuhan, pendidikan, dan latihan khusus;
5) Hak anak untuk menikmati standar kehidupan yang memadai, dan
tanggungjawab utama orang tua, kewajiban negara untuk
memenuhinya;
6) Hak anak atas perlindungan dari penyalahgunaan obat bius dan
narkotika;
7) Hak anak atas perlindungan eksploitasi dan penganiayaan seksual,
termasuk prostitusi dan keterlibatan dalam pornografi;
8) Kewajiban negara untuk menjajagi segala upaya guna mencegah
penjualan, penyelundupan, dan penculikan anak.17
Hak terhadap perlindungan (protection rights) dalam Konvensi
Hak-hak Anak, terdiri dari 3 (tiga) kategori, yaitu :
1) Adanya larangan diskriminasi anak, yaitu;
Non diskriminasi terhadap hak-hak anak; hak mendapatkan nama
dan kewarganegaraan; hak anak penyandang cacat.
2) Larangan eksploitasi anak, misalnya;
Hak berkumpul dengan keluarganya; pencegahan penculikan;
kewajiban negara untuk melindungi anak dari segala bentuk salah
16 Mohammad Joni dan Zulchaina Z. Tanamas, Aspek Hukum Perlindungan Anak dalam
Perspektif Konvensi Hak Anak, PT. Citra Adiya Bakti, Bandung, 1999, Hal. 35.
17 Ibid., Hal. 37-39.
16
perlakuan oleh orang tua atau orang lain; perlindungan bagi anak
yatim; kewajiban negara untuk melindungi anak-anak dari
keterlibatan dalam pekerjaan yang mengancam kesehatan,
pendidikan, dan atau perkembangan anak; larangan penyiksaan,
perlakuan, atau hukuman yang kejam, pidana mati, seumur hidup
dan penahanan semena-mena.
3) Kondisi krisis dan keadaan darurat anak, yaitu:
Mengembalikan anak dalam kesatuan keluarga; perlindungan
anak pengungsian; kondisi konflik bersenjata/perang dan
perawatan rehabilitasi.
Hak untuk tumbuh kembang (development rights) pada intinya
terdapat hak untuk memperoleh akses pendidikan dalam segala
bentuk pendidikan, dan hak yang berkaitan dengan taraf hidup anak
secara memadai untuk perkembangan fisik, mental, spiritual, moral
dan sosial anak (the right of standart of living). Beberapa hak-hak
untuk tumbuh kembang, seperti:
1)
2)
3)
4)
Hak untuk memperoleh informasi (the right to information);
Hak memperoleh pendidikan (the right to education);
Hak bermain dan rekreasi (the right to play and recreation);
Hak berpartisipasi dalam kegiatan budaya (the right to
participation in cultural activities);
5) Hak untuk kebebasan berpikir (conscience), dan beragama (the
rights to thought and religion);
6) Hak untuk pengembangan kepribadian (the rights of personality
development);
7) Hak untuk memperoleh identitas (the rights to identity);
8) Hak memperoleh kesehatan dan fisik (the rights of health and
physical development);
9) Hak untuk didengar pendapatnya (the rights to be heard);
10)
Hak untuk/atas keluarga (the right to be family).
Hak untuk berpartisipasi merupakan hak anak mengenai
identitas budaya mendasar bagi anak, masa kanak-kanak dan
pengembangan keterlibatannya didalam masyarakat luas. Hak ini
memberi makna bahwa anak-anak ikut memberikan sumbang peran.
17
Beberapa hak atas partisipasi didalam Konvensi Hak-hak Anak,
seperti:
1) Hak anak untuk berpendapat dan memperoleh pertimbangan atas
pendapatnya;
2) Hak anak untuk mendapatkan dan mengetahui informasi serta
umtuk berekspresi;
3) Hak anak untuk berserikat dan menjalin hubungan untuk
bergabung;
4) Hak anak untuk memperoleh akses informasi yang layak dan
terlindung dari informasi yang tidak sehat;
5) Hak untuk memperoleh informasi tentang Konvensi Hak-hak
Anak.
Hak-hak anak di Indonesia secara umum ditentukan dalam
Pasal 4 sampai dengan Pasal 18 UU No. 23 tahun 2002 tentang
Perlindungan Anak, sebagai berikut :
1) Setiap anak berhak untuk dapat hidup, tumbuh, berkembang dan
berpartisipasi wajar sesuai dengan harkat dan martabat
kemanusiaan, serta mendapatkan perlindungan dari kekerasan
dan diskriminasi.
2) Setiap anak berhak atas suatu nama sebagai identitas dan status
kewarganegaraan.
3) Setiap anak berhak beribadah menurut agamanya, berpikir
sesuai dengan tingkat kecerdasannya dan dalam bimbingan
orang tuanya.
4) Setiap anak berhak mengetahui orang tuanya, dibesarkan dan
diasuh oleh orang tuanya sendiri, atau oleh orang lain bila orang
tuanya tidak dapat menjamin tumbuh kembang anak.
5) Setiap anak berhak memperoleh pelayanan kesehatan dan
jaminan sosial sesuai dengan kebutuhan fisik, mental, spiritual,
dan sosial.
6) Setiap anak berhak memperoleh pendidikan dan pengajaran
sesuai dengan dengan bakat dan minatnya.
7) Bagi anak cacat berhak mendapatkan pendidikan luar biasa, dan
bagi anak yang yang memiliki keunggulan berhak mendapatkan
pendidikan khusus.
8) Setiap anak berhak menyatakan dan didengar pendapatnya,
menerima, mencari dan memberikan informasi sesuai dengan
tingkat kecerdasannya dan usianya demi pengembangan dirinya
sesuai dengan nilai-nilai kesusilaan dan kepatutan.
18
9) Setiap anak berhak untuk beristirahat dan memanfaatkan waktu
luang, bergaul dengan ank sebaya, bermain, berekreasi, dan
berkreasi sesuai dengan minat, bakat, dan tingkat
kecerdasannya.
10) Setiap anak yang menyandang cacat berhak memperoleh
rehabilitasi, bantuan sosial dan pemeliharaan taraf kesejahteraan
sosial.
11) Setiap anak selama pengasuhan orang tua, wali atau pihak lain,
berhak mendapat perlindungan dari perlakuan: diskriminasi,
eksploitasi, penelantaran, kekejaman, kekerasan, dan
penganiayaan, ketidakadilan dan perlakuan salah lainnya.
12) Setiap anak berhak memperoleh perlindungan dari:
penyalahgunaan dalam kegiatan politik, pelibatan dalam
sengketa bersenjata, pelibatan dalam kerusuhan sosial, pelibatan
dalam peristiwa yang mengandung unsur-unsur kekerasan,
pelibatan dalam peperangan.
13) Setiap anak berhak memperoleh perlindungan dari sasaran
penganiayaan, penyiksaan, dan penjatuhan hukuman yang tidak
manusiawi.
14) Penangkapan, penahanan, atau pidana penjara anak hanya
dilakukan apabila sesuai dengan hukum yang berlaku dan hanya
dapat dialkukan sebagai upaya terakhir.
15) Setiap anak yang dirampas kebebasannya berhak untuk
mendapatkan perlakuan secara manusiawi dan penempatannya
dipisahkan dengan orang dewasa; memperoleh bantuan hukum
dan bantuan lainnya.
16) Setiap anak yang menjadi korban atau pelaku kekerasan seksual
atau berhadapan dengan hukum berhak dirahasiakan.
b.
Kewajiban Anak
Kewajiban berarti sesuatu yang wajib diamalkan (dilakukan),
keharusan, tugas yang harus dilakukan. 18 Anak melakukan kewajiban
ini bukan semata-mata beban, tetapi justru dengan melakukan
kewajiban-kewajiban ini menjadikan anak tersebut berpredikat “anak
yang baik”. Anak yang baik tidak hanya meminta hak-haknya saja,
tetapi juga akan melakukan kewajiban-kewajibannya.
18 W.J.S. Poerwadarminta, Kamus Umum Bahasa Indonesia, Edisi ketiga, Jakarta, Balai
Pustaka, 2005, Hal. 1395.
19
Pasal 19 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 Tentang
Perlindungan Anak, ada 5 (lima) kewajiban anak di Indonesia, yaitu :
1) Kewajiban menghormati orang tua, wali, dan guru;
2) Kewajiban mencintai keluarga, masyarakat, dan menyayangi
teman;
3) Kewajiban mencintai tanah air, bangsa, dan negara;
4) Kewajiban menunaikan ibadah sesuai dengan ajaran agamanya;
dan
5) Kewajiban melaksanakan etika dan akhlak mulia.
Anak wajib menghormati orang tua, karena ayah dan ibu lebih
berhak dari segala manusia untuk dihormati dan ditaati. Orang tua
memelihara, mengasuh dan mendidik, menyekolahkan, mencintai
dengan ikhlas agar anak menjadi seorang yang baik, berguna dalam
masyarakat, berbahagia dunia akherat. Anak wajib berbuat baik,
mencintai, dan menghormati keduanya dan jangan membuat marah
mereka, serta mendoakan mereka. Anak muslim meyakini hak kedua
orang tua terhadap dirinya, kewajiban berbakti, taat dan berbuat baik
kepada keduanya. Tidak karena keduanya penyebab keberadaannya
atau karena keduanya memberikan banyak hal kepadanya hingga anak
harus membalas budi kepada keduanya, tetapi karena Allah Azzawa
Jalla mewajibkan taat, menyuruh berbakti dan berbuat baik
kepadanya. Kewajiban anak menghormati guru karena guru telah
mendidik,
melatih otak,
menunjukkan kepada
kebaikan dan
kebahagiaan. Maka patutlah bila anak wajib mencintai dan
menghormatinya.
20
Anak wajib mencintai keluarga seperti saudara, baik saudara
ayah maupun saudara ibu, karena mereka juga ikut menolong
keperluan ayah dan ibu. Kewajiban mencintai masyarakat seperti
tetangga, karena tetangga hidup bersama-sama dengan keluarga (ayah
dan ibu). Demikian terhadap teman karena teman adalah sahabat yang
tolong menolong.
Anak wajib mencintai sebagai tanah air sebagai tempat anak
dilahirkan, tempat tinggal dan hidup, juga segenap kerabat dan sahabat
berada. Air yang kita minum, hasil bumi yang kita makan dan udara
yang kita hirup, maka patutlah untuk mencintai serta membela
kehormatan tanah air kita.
Anak wajib melakasanakan etika dan akhlak mulia. Berdasarkan
perkembangan arti etika, dibagi dua bentuk, yaitu: etika perangai dan
etika moral.19 Etika perangai adalah adat istiadat atau kebiasaan yang
menggambarkan perangai manusia dalam hidup bermasyarakat
didaerah-daerah tertentu, pada wakru tertentu pula. Etika perangai
diakui dan berlaku karena disepakati masyarakat berdasarkan hasil
penilaian perilaku, misalnya berbusana adat, pergaulan muda mudi
perkawinan semenda, upacara adat. Etika moral berkenaan dengan
kebiasaan berperilaku baik dan benar berdasarkan kodrat manusia.
Apabila etika ini dilanggar timbullah kejahatan. Kebiasaan ini berasal
dari kodrat manusia yang disebut moral. Contoh etika moral, seperti
19
Hal. 13.
Abdulkadir Muhammad, Etika Profesi Hukum, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, 1997,
21
berkata jujur, menghargai hak orang lain, menghormati orang tua atau
guru, membela kebenaran dan keadilan, menyantuni anak yatim.
Akhlak ialah institusi yang bersemayam didalam hati tempat
munculnya tindakan-tindakan sukarela, tindakan yang benar atau
salah. Menurut tarbiatnya, institusi akhlak siap menerima pengaruh
pembinaan yang baik atau pembinaan yang salah kepadanya. Jika
institusi tersebut dibina untuk memilih keutamaan, kebenaran, cinta
kebaikan, cinta keindahan, dan benci kenegatifan, maka perbuatanperbuatan baik muncul daripadanya dengan mudah. Itulah akhlak yang
baik, misalnya akhlak lemah lembut, sabar, dermawan, berani, adil,
berbuat baik dan lainnya sebagai penyempurna diri.20
B. Tindak Pidana
1.
Istilah dan Pengertian Tindak Pidana
Istilah tindak pidana merupakan pengganti istilah “strafbaar feit”
yang digunakan dalam hukum pidana Belanda, yakni dalam WvS Belanda.
Dengan dianutnya asas konkordansi oleh hukum pidana Indonesia
terhadap hukum pidana Belanda, maka istilah strafbaarfeit juga berlaku
dalam tata hukum pidana Indonesia.
Secara etimologi strafbaar feit terdiri dari tiga kata yaitu straf yang
berarti pidana, baar yang berarti dapat atau boleh, dan feit yang berarti
perbuatan. Dalam kaitannya dengan istilah strafbaar feit secara utuh, straf
20
Ibid., Hal. 15.
22
diterjemahkan juga dengan kata hukum, sehingga apabila dirangkai secara
utuh, istilah strafbaar feit akan bermakna perbuatan yang dapat dihukum.
Berdasarkan penjabaran istilah di atas, pembentuk undang-undang
Belanda
tidak
mengggunakan
istilah
“perbuatan”
atau
“tindak”
(handeling), melainkan “fakta” (feit-tindak pidana). Penggunaan istilah
tersebut dikarenakan pengertian feit mencakup omne quod fit, artinya
keseluruhan kejadian (perbuatan), baik yang bersifat positif (aktif), negatif
(pasif), termasuk kelalaian serta situasi dan kondisi lainnya yang relevan.21
Menurut Van Hamel, strafbaar feit adalah kelakuan orang
(menslijke gedraging) yang dirumuskan dalam wet, yang bersifat melawan
hukum, yang patut dipidana (straf waardig) dan dilakukan dengan
kesalahan. Sedangkan Simons sebagaimana dikutip oleh M. Haryanto
menyatakan bahwa strafbaarfeit adalah kelakuan (handeling) yang
diancam dengan pidana, yang bersifat melawan hukum, yang berhubungan
dengan kesalahan dan yang dilakukan oleh orang yang mampu
bertanggungjawab.22
Dari definisi tersebut di atas, maka dapat diketahui bahwa
strafbaarfeit mengandung unsur:
a. perilaku manusia (gedragingen);
b. diancam dengan pidana;
21Jan Remmelink, “Hukum Pidana”, Komentar atas Pasal-Pasal Terpenting dari Kitab
Undang-Undang Hukum Pidana Belanda dan Padanannya dalam Kitab Undang-Undang Hukum
Pidana Indonesia, PT Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 2003, hal. 85.
22
M. Haryanto, Strafbaar Feit, Perbuatan Pidana, Tindak Pidana,
http://blogmhariyanto.blogspot.com/2009/07/strafbaar-feit-menurut-bambang-poernomo.html,
diakses tanggal 1 Maret 2012.
23
c. bersifat melawan hukum (wederrechtelijkheid);
d. berhubungan dengan kesalahan (schuld);
e. dilakukan
oleh
orang
yang
mampu
bertanggung
jawab
(toerekeningsvatbaar) atau schuldfahig.23
Menurut M. Haryanto, perumusan strafbaar feit sebagaimana telah
dijabarkan di atas akan menimbulkan konskuensi, yaitu:
“istilah tersebut baru dapat dipakai setelah ada penetapan putusan
hakim yang mempunyai kekuatan hukum tetap, karena untuk
mengetahui orang bersalah atau tidak, melawan hukum atau tidak,
dapat dipertanggungjawabkan atau tidak harus melalui suatu proses
penyelesaian perkara pidana berdasarkan hukum pidana formil yang
berlaku”24
Penggunaan kata pengganti istilah strafbaar feit dalam tata hukum
pidana Indonesia tidak ada keseragaman yang disebabkan karena belum
ada penjelasan yang resmi mengenai definisi istilah tersebut. Dengan
kondisi yang demikian, para ahli hukum mencoba untuk merefleksikan
(memberikan arti dan isi) istilah strafbaar feit untuk memperoleh
gambaran mengenai istilah tersebut.
Istilah-istilah yang pernah digunakan, baik dalam perundangundangan yang ada maupun dalam berbagai literatur hukum sebagai
terjemahan istilah strafbaar feit adalah sebagai berikut.
a. Tindak pidana
Tindak pidana dapat dikatakan sebagai istilah resmi yang
digunakan dalam hukum pidana Indonesia. Hampir seluruh perundang-
23
24
Ibid.
Ibid.
24
undangan pidana menggunakan istilah tindak pidana, seperti dalam
Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1982 tentang Hak Cipta (diganti
dengan Undang-Undang Nomor 19 tahun 2002), Undang-Undang
Nomor 11 PNPS 1963 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Subversi,
Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1971 tentang Pemberantasan Tindak
Pidana Korupsi (diganti dengan Undang-Undang Nomor 31 Tahun
1999), dan perundang-undangan lainnya.
Ahli hukum yang menggunakan istilah tindak pidana antara lain
Jan Remmelink dan Wirjono Prodjodikoro. Menurut Jan Remmelink
tindak pidana adalah perilaku yang pada waktu tertentu dalam konteks
suatu budaya dianggap tidak dapat ditolerir dan harus diperbaiki dengan
mendayagunakan sarana-sarana yang disediakan oleh hukum pidana. 25
Sedangkan menurut Wirjono Prodjodikoro tindak pidana adalah
tindakan yang melanggar berbagai kepentingan yang dilindungi oleh
hukum, dan kepentingan tersebut terdiri dari tiga jenis yaitu
kepentingan individu-individu, kepentingan masyarakat, kepentingan
Negara.26
b. Peristiwa pidana
Istilah peristiwa pidana digunakan oleh beberapa ahli hukum,
seperti R. Tresna, H.J. Van Schravendijk, Zainal Abidin, Utrecht. E.
Menurut R. Tresna dalam Adami Chazawi peristiwa pidana adalah
suatu
25
perbuatan
atau
serangakaian
perbuatan
manusia,
yang
Jan Remmelink, Op. Cit, hal. 61.
Wirjono Prodjodikoro, Tindak-Tindak Pidana Tertentu di Indonesia, PT. Rafika
Aditama, Bandung, 2003, hal.16.
26
25
bertentangan dengan undang-undang atau peraturan perundangundangan lainnya, terhadap perbuatan mana diadakan tindakan
penghukuman. 27 Utrecht dalam Leden Marpaung menggunakan istilah
“peristiwa pidana karena yang ditinjau adalah peristiwa (feit) dari sudut
hukum pidana.28
Menurut Adami Chazawi kata “peristiwa” menggambarkan
pengertian yang luas, yakni mencakup pada seluruh keajadian yang
tidak saja disebabkan oleh adanya perbuatan manusia semata, tetapi
juga oleh alam. Sedangkan dalam hukum pidana, suatu peristiwa baru
dikatakan penting apabila diakibatkan oleh perbuatan manusia. 29
c. Delik
Kata “delik “ berasal dari bahasa Latin, yakni delictum. Dalam
bahasa Jerman disebut delict, dalam bahsa Perancis disebut delit dan
dalam bahasa Belanda disebut delict.30 Dalam Kamus Besar Bahasa
Indonesia, delik diartikan sebagai perbuatan yang dapat dikenakan
hukuman karena merupakan pelanggaran terhadap undang-undang.31
Beberapa ahli hukum pidana menggunakan istilah “delik” dan masingmasing memberi definisi sebagai berikut.32
27 Adami Chazawi, Pelajaran Hukum Pidana (Stelsel Pidana, Tindak Pidana, Teori-Teori
Pemidanaan dan Batas Berlakunya Hukum Pidana), PT Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2005,
hal.72-73.
28 Leden Marpaung, Asas-Teori-Praktik Hukum Pidana, Cetakan Keempat, Sinar Grafika,
Jakarta, 2008, hal. 7
29 Adami Chazawi, Op.Cit.,hal.69.
30 Leden Marpaung, 2008, Op. Cit., hal. 7.
31 Ibid.
32 Ibid., hal. 8.
26
1) Vos
Delik adalah feit yang dinyatakan dapat dihukum berdasarkan
undang-undang.
2) Van Hammel
Delik adalah suatu serangan atau ancaman terhadap hak-hak orang
lain.
3) Simons
Delik dalah suatu tindakan melanggar hukum yang telah dilakukan
dengan sengaja ataupun tidak sengaja oleh seseorang yang
tindakannya tersebut dapat dipertanggungjawabkan dan oleh undangundang telah dinyatakan sebagai suatu perbuatan yang dapat
dihukum.
d. Pelanggaran pidana
Istilah “pelangaran pidana” digunakan oleh M.H. Tirtaamidjaja
dalam bukunya yang berjudul Pokok-Pokok Hukum Pidana.
e. Perbuatan yang boleh dihukum
Istilah “perbuatan yang boleh dihukum” digunakan oleh Karni
dalam buku Ringkasan tentang Hukum Pidana dan Schravendijk dalam
buku Pelajaran tentang Hukum Pidana Indonesia.
Menurut Schravendijk sebagaimana dikutip oleh Adami Chazawi
mengatakan bahwa perbuatan yang boleh dihukum adalah kelakuan
orang yang begitu bertentangan dengan keinsyafan hukum sehingga
kelakuan itu diancam dengan hukuman, asal dilakukan oleh orang yang
karena itu dapat dipersalahkan.33
f. Perbuatan yang dapat dihukum
Istilah “perbuatan yang dapat dihukum” terdapat dalam UndangUndang Nomor 12/Drt/1951 tentang Senjata Api dan Bahan Peledak.
33
Adami Chazawi, Op.Cit., hal. 69.
27
g. Perbuatan pidana
Moeljatno menggunakan istilah “perbuatan pidana” dan memberi
makna perbuatan pidana sebagai perbuatan yang dilarang oleh suatu
aturan hukum larangan mana disertai ancaman (sanksi) yang berupa
pidana tertentu, bagi barang siapa melanggar larangan tersebut.34
Menurut Moeljatno Penggunaan istilah perbuatan pidana lebih tepat
dengan alasan sebagai berikut.35
1) Perbuatan yang dilarang adalah perbuatannya (perbuatan manusia,
yaitu suatu kejadian atau keadaan ang ditimbulkan oleh kelakuan
orang), artinya larangan itu ditujukan pada perbuatannya,
sementara ancaman pidananya ditujukan pada orangnya.
2) Antara larangan (yang ditujukan pada perbuatan) dengan ancaman
pidana (yang ditujukan pada orannya), ada hubungan yang erat.
Oleh Karena itu, perbuatan (yang berupa keadaan atau kejadian
yang ditimbulkan orang tadi, melanggar larangan) dengan orang
yang menimbulkan perbuatan tadi ada hubungan yang erat pula.
3) Untuk menyatakan adanya hubungan yang erat itulah, maka lebih
tepat digunakan istilah perbuatan pidana, suatu pengetian abstrak
yang menunjuk pada dua keadaan konkret, yaitu kejadian tetentu
(perbuatan) dan adanya yang berbuat atau yang menimbulkan
kejadian itu.
Dari pendapat-pendapat tersebut di atas, maka dapat diketahui bahwa
tindak pidana adalah tindakan atau perbuatan yang bertentangan dengan
peraturan perundang-undangan, dimana terhadap pelanggarnya diancam
dengan pidana.
2.
Unsur-Unsur Tindak Pidana
Pemahaman mengenai unsur-unsur tindak pidana merupakan hal
mutlak yang harus dimiliki oleh aparat penegak hukum dalam upaya
34
35
M. Haryanto, Loc. Cit.
Adami Chazawi, Op.Cit., hal.71
28
penegakan hukum pidana. Dengan pemahaman tersebut, maka dapat
diketahui apakah suatu perbuatan/ tindakan dapat dikategorikan sebagai
tindak pidana atau tidak.
Terhadap unsur tindak pidana (delik), terdapat perbedaan istilah.
Tirtaamidjaja menggunakan istilah “elemen-elemen” sedangkan E.
Utrecht menyebutnya dengan istilah “anasir-anasir”. Namun demikian,
istilah yang digunakan pada umumnya adalah “unsur-unsur.”
Menurut doktrin, unsur-unsur tindak pidana (delik) terbagi menjadi
dua bagian, yaitu:
a. Unsur Subjektif
Unsur subjektif adalah unsur yang berasal dari dalam diri pelaku.
Asas hukum pidana menyatakan “tidak ada hukuman bila tidak ada
kesalahan” (An act does not make a person guilty uless the mind is
guilty or actus non facit reum nisi mens sit rea).36 Kesalahan yang
dimaksud di sini adalah kesalahan yang diakibatkan oleh kesengajaan
(intention/ opzet/ dolus) dan kealpaan (negligence or schuld). Pada
umumnya para pakar telah menyetujui bahwa “kesengajaan” terdiri
dari 3 (tiga) bentuk, yakni:
1) kesengajaan sebagai maksud (oogmerk);
2) kesengajaan dengan keinsafan pasti (opzet als zekerheids
bewustzijn);
36
Ibid., hal.9
29
3) kesengajaan
dengan
keinsafan
akan
kemungkinan
(dolus
evantualis).
Kealpaan adalah bentuk kesalahan yang lebih ringan dari
kesengajaan. Kealpaan terdiri atas 2 (dua) bentuk, yakni:
1) tak berhati-hati;
2) dapat menduga akibat perbuatan itu.
b. Unsur Objektif
Unsur objektif merupakan unsur dari luar diri pelaku yang terdiri
atas:
1) Perbuatan manusia, berupa:
a) act, yakni perbuatan aktif atau perbuatan positif;
b) omission, yakni perbuatan pasif atau perbuatan negatif, yaitu
perbuatan yang mendiamkan atau membiarkan.
2) Akibat (result) perbuatan manusia
Akibat
tersebut
membahayakan
atau
merusak,
bahkan
menghilangkan kepentingan-kepentingan yang dipertahankan oleh
hukum, misalnya nyawa, badan, kemerdekaan, hak milik,
kehormatan dansebagainya.
3) Keadaan-keadaan (circumstances)
Pada umumnya keadaan tersebut dibedakan antara lain:
a) keadaan pada saat perbuatan dilakukan;
b) keadaan setelah perbuatan dilakukan.
30
4) Sifat dapat dihukum dan sifat melawan hukum
Sifat dapat dihukum berkenaan dengan alasan-alasan yang
membebaskan si pelaku dari hukuman. Adapun sifat melawan
hukum adalah apabila perbuatan itu bertentangan dengan hukum,
yakni berkenaan dengan larangan atau perintah.
Berbeda
dengan
pendapat di
atas,
Satochid
Kartanegara
sebagaimana telah dikutip oleh Adami Chazawi, unsur delik terdiri atas
unsur subyektif dan unsur obyektif. Unsur obyektif adalah unsur yang
terdapat di luar diri manusia, yaitu berupa:37
a. suatu tindakan;
b. suatu akibat;
c. keadaan (omstandingheid);
Kesemuanya itu dilarang dan diancam dengan hukuman oleh
undang-undang. Unsur subyektif adalah unsur-unsur dari perbuatan yang
dapat berupa:38
a. kemampuan dapat dipertanggungjawabkan (toerekeningsvatbaar heid);
b. kesalahan (schuld).
Sama halnya dengan 2 (dua) pendapat sebelumnya, Lamintang
dalam Leden Marpaung membagi unsur tindak pidana (delik) menjadi 2
(dua), yakni unsur subyektif dan unsur obyektif. Selanjutnya Lamintang
menyatakan sebagai berikut:
37
38
Ibid., hal.10
Ibid.
31
“Yang dimaksud dengan unsur subyektif adalah unsur yang melekat
pada diri si pelaku atau yang berhubungan dengan diri si pelaku dan
termasuk di dalamnya segala sesuatu yang terkandung di dalam
hatinya. Adapun yang dimaksud dengan unsur obyektif adalah unsur
yang ada hubungannya dengan keadaan-keadaan, yaitu dalam
keadaan ketika tindakan-tindakan dari si pelaku itu harus
dilakukan”39
Menurut Moeljatno, tiap-tiap perbuatan pidana harus terdiri atas
unsur-unsur lahir, oleh karena itu perbuatan yang mengandung kelakuan
dan akibat yang ditimbulkan adalah suatu kejadian dalam alam lahir.40
a. sifat melawan hukum atau wederrechtelijkheid;
b. kualitas dari si pelaku;
c. kualitas, yakni hubungan antara suatu tindakan sebagai penyebab
dengan suatu kenyataan sebagai akibat.
3.
Jenis-Jenis Tindak Pidana
Tindak pidana dapat dibeda-bedakan atas dasar-dasar tertentu, yaitu:41
a. Kejahatan dan pelanggaran
Perbedaan
kejahatan
(misdrijven)
dan
pelanggaran
(overtredingen) seringkali dilihat secara kualitatif dan kuantitatif.
Secara kualitatif, kejahatan dipandang sebagai tindak pidana yang sifat
tercelanya tidak semata-mata pada dimuatnya dalam undang-undang,
melainkan memang pada dasarnya telah melekat sifat terlarang
sebelum memuatnya dalam rumusan tindak pidana dalam undangundang. Sebaliknya, dalam pelanggaran sifat tercelanya suatu
perbuatan itu terletak pada setelah dimuatnya sebagai demikian dalam
undang-undang, atau dengan kata lain sumber tercelanya adalah
undang-undang.
Secara kuantitatif, perbedaan antara kejahatan dan pelanggaran
hanya didasarkan pada berat-ringannya tindak pidana yang kemudian
akan mengarah pada berat-ringannya ancaman pidana. Dalam hal ini
kejahatan merupakan bentuk tindak pidana yang lebih berat
dibandingkan dengan pelanggaran.
39
Ibid., hal.11.
Ibid.,hal. 10
41 Sudarto, Hukum Pidana I, Yayasan Sudarto, Semarang, 1990, Hal. 56.
40
32
b. Tindak pidana formil (formeel delicten) dan tindak pidana materiil
(materiel delicten)
Tindak pidana formil (formeel delicten) adalah tindak pidana yang
dirumuskan sedemikian rupa sehingga memberikan arti bahwa inti
larangan yang dirumuskan itu adalah melakukan sesuatu perbuatan
tertentu. Terjadinya tindak pidana tidak tergantung pada timbulnya
suatu akibat, melainkan semata-mata pada perbuatannya. Sedangkan
dalam rumusan tindak pidana materiil (materiele delicten), inti
larangan adalah pada timbulnya akibat yang dilarang.
c. Tindak pidana sengaja (doleus delicten) dan tindak pidana kelalaian
(culpose delicten)
Tindak pidana sengaja adalah tindak pidana yang dalam rumusannya
dilakukan dengan kesengajaan atau mengandung unsur kesengajaan.
sementara tindak pidana culpa adalah tindak pidana yang dalam
rumusannya mengandung unsure culpa.
d. Tindak pidana aktif/positif (delicta commissionis) dan tindak pidana
pasif/negatif (delicta omissionis)
Tindak pidana aktif adalah tindak pidana yang perbuatannya berupa
perbuatan aktif (positif), artinya bahwa untuk mewujudkan tindak
pidana tersebut disyaratkan adanya gerakan dari anggota tubuh orang
yang berbuat. Sedangkan tindak pidana pasif, ada suatu kondisi dan
atau keadaan tertentu yang mewajibkan seseorang dibebani hukum
untuk berbuat tertentu, yang apabila ia tidak melakukan (aktif)
perbuatan itu, ia telah melanggar kewajiban hukumnya.
e. Tindak pidana terjadi seketika dan tindak pidana berlangsung terus
Tindak pidana terjadi seketika adalah tindak pidana yang dirumuskan
sedemikina rupa sehingga untuk terwujudnya atau terjadinya dalam
waktu seketika atau waktu singkat, disebut dengan aflopende delicten.
Sedangkan tindak pidana berlangung terus adalah tindak pidana yang
dirumuskan sedemikian rupa, sehingga terjadinya tindak pidana itu
berlangsung lama, yakni setelah perbuatan dilakukan, tindak pidana itu
masih berlangsung terus, yang disebut juga dengan voortdurende
delicten.
f. Tindak pidana umum dan tindak pidana khusus
Tindak pidana umum adalah semua tindak pidana yang dimuat dalam
KUHP sebagai kodifikasi hukum pidana materiil. Sementara tindak
pidana khusus adalah semua tindak pidana yang terdapat di luar
kodifikasi tersebut.
g. Tindak pidana communia (delicta communia) dan tindak pidana propia
(delicta propia)
Tindak pidana communia adalah tindak pidana yang dapat dilakukan
oleh semua orang, sedangkan tindak pidana propia adalah tindak
pidana yang hanya dapat dilakukan oleh orang yang berkualitas
tertentu.
h. Tindak pidana biasa (gewone delicten) dan tindak pidana aduan (klacht
delicten)
33
Penggolongan tindak pidana ini didasarkan pada proses
penuntutannya. Dalam tindak pidana biasa, untuk dilakukannya
penuntutan pidana terhadap pembuatnya tidak disyaratkan adanya
pengaduan dari yang berhak. Sementara dalam tindak pidana aduan,
untuk dapat dilakukannya penuntutan pidana disyaratkan untuk
terlebih dahulu adanya pengaduan oleh yang berhak.
i. Tindak pidana dalam bentuk pokok, yang diperberat dan diperingan
Dilihat dari berat ringannya, ada tindak pidana tertentu yang dibentuk
menjadi 3 (tiga) bagian, yaitu:
1) bentuk pokok, sederhana atau bentuk standar (eenvoudige
delicten), yaitu tindak pidana dirumuskan secara lengkap dimana
semua unsurnya dicantumkan dalam rumusan;
2) dalam bentuk yang diperberat (gequalificeerde delicten), yaitu
tindak pidana yang dalam rumusannya tidak menyebutkan kembali
unsur-unsur bentuk pokok, namun menyebut kualifikasi bentuk
pokonya atau pasal bentuk pokonya disertai unsur yang bersifat
memberatkan;
3) dalam bentuk ringan (gepriviligieerde delicten), yaitu tindak
pidana yang dalam rumusannya tidak menyebutkan kembali unsurunsur bentuk pokok, namun menyebut kualifikasi bentuk pokonya
atau pasal bentuk pokonya disertai unsur yang
bersifat
meringankan.
j. Tindak pidana berdasarkan kepentingan hukum yang dilindungi
Kepentingan hukum yang hendak dilindungi oleh hukum pidana terdiri
dari 3 (tiga) kelompok besar, yaitu kepentingan hukum individu
(individuale belangen), kepentingan hukum masyarakat (sociale
belangen) dan kepentingan hukum negara (staatsbelangen).
Sistematika pengelompokkan indak pidana bab per bab dalam KUHP
didasarka pada kepentingan hukum yang dilindungi tersebut.
k. Tindak pidana tunggal dan tindak pidana berangkai (samegestelde
delicten)
Tindak pidana tunggal (enkelvoudige delicten) adalah tindak pidana
yang dirumuskan sedemikian rupa sehingga untuk dipandang
selesainya tindak pidana dan dapat dipidananya pelaku, cukup
dilakukan satu kali perbuatan saja. Sementara yang dimaksud dengan
tindak pidana berangkai adalah tindak pidana yang dirumuskan
sedemikian rupa sehingga untuk dipandang sebagai selesai dan dapat
dipidananya pembuat, disyaratkan dilakukan berulang-ulang.
34
C. Tindak Pidana Narkotika
1.
Pengertian Narkotika
Menurut Pasal 1 angka 1 Undang-undang Nomor 35 Tahun 2009
tentang Narkotika, pengertian Narkotika adalah :
“zat atau obat yang berasal dari tanaman atau bukan tanaman baik
sintetis maupun semi sintetis yang dapat menyebabkan penurunan atau
perubahan kesadaran, hilangnya rasa, mengurangi sampai menghilangkan
rasa nyeri, dan dapat menimbulkan ketergantungan, yang dibedakan ke
dalam golongan-golongan sebagaimana terlampir dalam undang-undang
(UU No. 35 Tahun 2009 tentang Narkotika) atau yang kemudian di
tetapkan dengan keputusan menteri kesehatan”.
Secara umum, yang dimaksud narkotika dalah sejenis zat yang
menimbulkan
pengaruh-pengaruh
tertentu
bagi
orang-orang
yang
menggunakannya, yaitu dengan cara memasukannya ke dalam tubuh.
Istilah narkotika yang dipergunakan disini bukanlah “narcotics”
pada farmocologie (farmasi), melainkan sama artinya dengan “drug”,
yaitu sejenis zat yang apabila dipergunakan akan membawa efek dan
pengaruh-pengaruh tertentu pada tubuh si pemakai, yaitu :
a. mempengaruhi kesadaran;
b. memberikan dorongan yang dapat berpengaruh terhadap perilaku
manusia;
c. pengaruh-pengaruh tersebut dapat berupa:
1) Penenang;
2) Perangsang (bukan rangsangan seks)
35
3) Menimbulkan
halusinasi
(pemakainya
tidak
mampu
membedakan antara khayalan dan kenyataan, kehilangan
kesadaran akan waktu dan tempat).42
Menurut Sudarto, dalam bukunya Kapita Selekta Hukum Pidana
mengatakan bahwa:
Perkataan narkotika berasal dari perkataan Yunani “narke”, yang
berarti terbius sehingga tidak merasakan apa-apa.
Sedangkan Smith Kline dan Frech Clinical Staff mengemukakan
definisi tentang narkotika sebagai berikut:
Narkotika adalah zat-zat atau obat yang dapat mengakibatkan
ketidaksadaran atau pembiusan dikarenakan zat-zat tersebut bekerja
memengaruhi susunan syaraf sentral. Dalam definisi narkotika ini sudah
termasuk candu, zat-zat yang dibuat dari candu (morphine, codein,
methadone).
Definisi lain dari Biro Bea dan Cukai Amerika Serikat dalam buku
“Narcotic Identification Manual”, sebagaimana dikutip oleh Djoko
Prakoso, Bambang Riyadi, dan Mukhsin dikatakan:
Bahwa yang dimaksud narkotika ialah candu, ganja, kokain, zat-zat
yang bahan mentahnya diambil dari benda-benda tersebut, yakni
morphine, heroin, codein, hasisch, cocain. Dan termasuk narkotika
sintesis yang menghasilkan zat-zat, obat-obat yang tergolong dalam
Hallucinogen dan Stimulant.
Sedangkan menurut Verdoovende Middelen Ordonantie Staatblad
1972 No. 278 jo. No. 536 yang telah dirubah dan ditambah, yang dikenal
sebagai undang-undang obat bius narkotika adalah “bahan-bahan yang
terutama mempunyai efek kerja pembiusan, atau yang dapat menurunkan
kesadaran. Disamping menurunkan kesadaran juga menimbulkan gejala42
Ibid., Hal.1.
36
gejala fisik dan mental lainnya apabila dipakai secara terus-menerus dan
liar dengan akibat antara lain terjadinya ketergantungan pada bahan-bahan
tersebut”.43
Jadi “narkotika” merupakan suatu bahan yang menumpulkan rasa,
menghilangkan rasa nyeri, dan sebagainya. “Drugs” yang semula berarti
jamu yang berasal dari bahan tetumbuhan yang dikeringkan, kemudian
pengertiannya diperluas ialah obat pada umumnya yang meliputi juga
obat-obat yang dibuat secara sintetis. Sekarang istilah “drugs” digunakan
lebih sempit lagi, khususnya diartikan sebagai bahan yang psikpaktif yang
digunakan diluar pengobatan.44
2.
Jenis-jenis Narkotika
Menurut Undang-Undang No. 35 Tahun 2009 Pasal 6, narkotika
dapat digolongkan menjadi 3 (tiga) golongan, yaitu Narkotika Golongan I,
Narkotika Golongan II dan Narkotika Golongan III.
a.
Narkotika Golongan I
Yang dimaksud dengan Narkotika Golongan I adalah narkotika
yang hanya dapat digunakan untuk tujuan pengembangan ilmu
pengetahuan dan tidak digunakan dalam terapi, serta mempunyai
potensi sangat tinggi mengakibatkan ketergantungan.
Sesuai dengan Lampiran Undang-Undang No. 35 Tahun 2009,
Narkotika Golongan I dapat dirinci sebagai berikut :
43
44
Taufik Makarso, dkk, Tindak Pidana Narkotika, Ghalia Indah, Jakarta, 2003, Hal 17-18.
Sudarto, Kapita Selekta Hukum Pidana, Alumni, Bandung, 1986, Hal 36-37.
37
1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.
8.
9.
10.
11.
12.
13.
14.
15.
16.
Tanaman Papaver Somniferum L dan semua bagian-bagiannya
termasuk buah dan jeraminya, kecuali bijinya.
Opium mentah, yaitu getah yang membeku sendiri, diperoleh
dari buah tanaman Papaver Somniferum L yang hanya
mengalami pengolahan sekedar untuk pembungkus dan
pengangkutan tanpa memperhatikan kadar morfinnya.
Opium masak terdiri dari :
a. Candu, hasil yang diperoleh dari opium mentah melalui
rentetan pengolahan khususnya denegan pelarutan,
pemanasan, dan peragian dengan atau tanpa penambahan
bahan-bahan lain, dengan maksud mengubahnya menjadi
suatu ekstrak yang cocok untuk pemadatan.
b. Jicing, sisa-sisa dari candu setelah dihisap, tanpa
memperhatikan apakah candu itu dicampur dengan daun
atau bahan lain.
c. Jicingko, hasil yang diperoleh dari pengolahan jicing.
Tanaman koka, tanaman dari semua genus Erythroxylon dari
keluarga Eryhroxylaceae termasuk buah dan bijinya.
Daun koka, daun yang belum atau sudah dikeringkan atau dalam
bentuk serbuk dari semua tanaman genus Erythroxylon dari
keluarga Eryhroxylaceae yang menghasilkan kokain secara
langsung atau melalui perubahan kimia.
Kokain mentah, semua hasil-hasil yang diperoleh dari daun
kokain yang dapat diolah secara langsung untuk mendapatkan
kokaina.
Kokaina, metil ester-1-bensoil ekgonina.
Tanaman ganja, semua tanaman genus cannabis dan semua
bagian dari tanaman termasuk biji, buah, jerami, hasil olahan
tanaman ganja atau bagian tanaman ganja termasuk damar ganja
dan hasis.
Tetrahydrocannabinol dan semua isomer serta semua bentuk
stereo kimianya.
Delta 9 tetrahydrocannabinol dan semua bentuk stereo
kimianya.
Asetorfina : 3-0-acetiltetrahidro-7α-(1-hidroksi-1-metilbutil)-6,
14-endoeteno-oripavina.
Acetil-alfa-metilfentamil : N-(1-(α-metilfenetil)-4-piperidi)
asetanilida.
Alfa-metifentanil : N-(1-)1-metilfenetil)-4-piperidil)
propionanilida.
Alfa-metiltiofentanil : N-(1)-1-metil-2(2-tienil) etil(-4 piperidi)
propionanilida.
Beta-hidroksifentanil : N-(1-(beta-hidroksifenetil)-4 piperidi)
propionanilida.
Beta-hidroksi-3-metilfentanil : N-(1-(beta-hidroksi-fenetil)-3metil-4-piperidi) propionanilida.
38
17.
18.
19.
20.
21.
22.
23.
24.
25.
26.
27.
28.
29.
30.
31.
32.
33.
34.
35.
36.
37.
38.
39.
40.
41.
42.
43.
44.
45.
46.
47.
48.
49.
50.
Desomorfina : dihidrodeoksimorfina.
Etorfina : tetrahidro-7α-(1-hidroksi-1-metilbutil)-6, 14.
Heroina : diacetilmorfina.
Ketobemidona : 4-meta-hidroksifenil-1-metil-4propionilpeperidina.
3-metilfentanil:N-(3-metil-1-fentenil-4-piperidil)
propionanilida.
3-metiltiofentanil : N-(3-metil-1-(2-(2-tienil) etil) fenetil 4piperidil) propionanilida.
MPPP : 1-metil-4-fenil-4-pepiridinol propianat (ester)
Para-fluorofentanil : 4-fluoro-N-(1-fenetil-4piperidil)
propionanilida.
PEPAP : 1-fenetil-4-fenil-4-piperidinol asetat (ester).
Tiofentanil : N-(1-(2-(tienil) etil)-4-piperidil) propionanilida.
Brolamfetamina, nama lain DOB : (± -4-Bromo-2,5-dimetoksiametil fenetilamina)
Det : 3-[2-(dietilaminu)etil] indol
DMA : (+)-2,5-dimetoksi-a-metilfenetilamina
DMHP : 3-(1,2-dimetilheptil)-7,8,9,10-tetrahidro-6,6,9-trimetil 6-dibenso [b,d] piran-1-ol
DMT : 3-[2-(dimetilamino)etil] indol
DOET : (±-4-etil-2,5-dimetoksi-a-metilfenetilamina)
Etisiklidina, nama lain PCE : N-etil-1-fenilsikloheksilamina
Etriptamina : 3-(2aminobutil)indole
Katinona : (-)-(S)-2-amonipropiofenon
(+) – lisergida, nama lain LSD,LSD-25 :9,10-didehidero-N,Ndietil-6-metilergolina-8β-karboksamida
MDMA (±)-N,A-dimetil-3,4-(metilendioksi)fenetilamina
Meskalina : 3,4,5-trimetoksifenetilamina
METKATINONA : 2-(metilamino)-1-fenilpropan-1-on
4-metilaminoreks : (±)-sis-2-amino-4-metil-5-fenil-2-oksazolina
MMDA : 5-metoksi-a-metil-3,4-(metilendioksi)fenetilamina
N-etil MDA : (±)-N-etil-a-metil-3,4-(metilendioksi)fenetilamina
N-hidroksi MDA : (±) –N- [a-metil-3,4-(metilendioksi)fenetil]
hidroksilamina
Paraheksil : 3-heksil-7,8,9,10-tetrehidro 6,6,9-trimetil- 6Hdibenzo [b,d] piran-1-ol
PMA : p-metoksi-a-metilfenetilamina
psilosina, psilotsin : 3-[2-(dimetilamino)etil]indol-4-ol
PSILOSIBINA : 3-[2-(dimetilamino)etil]indol-4-il dihidrogen
fosfat
ROLISIKLIDINA , nama lain PHP,PCPY : 1-(1-fenilskloheksil)
pirolidina
STP,DOM : 2,5-dimetoksi-a,4-dimetilfenetilamina
TENAMFETAMINA, nama lain MDA : a-metil-3,4
(metilendioksi) fenetilamina
39
51. TENOSIKLIDINA, nama lain TCP : 1-[1-(2-tienil)sikloheksil]
piperidina
52. TMA : (±)-3,4,5-trimetoksi-a-metilfenetilamina
53. Amfetamina : (±)-a.metilfenetilamina
54. Deksafetamina : (+) -a metilfenetilamina
55. FENETILINA : 7-[2-[(a-metilfenetil)amino]-etil]teofilina
56. FENMETRAZINA : 3-metil-2fenilmorfolin
57. FENSIKLIDINA, nama lain PCP : 1-(1-fenilsikloheksil)
piperidina
58. LEVAMFETAMINA, nama lain LEVAM fetamina : (-) – ®-ametilfenetilamina
59. levometamvetamina : (-)-N,a-dimetilfenetilamina
60. MEKLOKUALON : 3-(o-klorofenil)-2-metil-4(3H)-kuinazolinon
61. METAMFETAMINA : (+)-(S)-N,a.dimetilfenetilamina
62. METAKUALON : 2-metil-3-o-to lil-4(3H)-kuinazolinon
63. ZIPEPPROL : a-(a metoksibenzil)-4- (β-metoksifenetil)-1piperazinetano
64. OPIUM OBAT
65. Campuran atau sediaan opium obat dengan bahan lain bukan
narkotika.
b.
Narkotika Golongan II
Yang disebut narktika golongan II adalah narkotika yang
berkhasiat untuk pengobatan yang digunakan sebagai pilihan terakhir
dan dapat digunakan dalam terapi dan/ atau untuk tujuan
pengembangan ilmu pengetahuan serta mempunyai potensi tinggi
mengakibatkan ketergantungan.
Dikatakan sebagai pilihan terakhir untuk pengobatan, karena
setelah pilihan narkotika golongan III hanya tinggal pilihan
narkotika golongan II. Narkotika golongan I tidak dimungkinkan
oleh
undang-undang
untuk
kepentingan
pengobatan,
karena
golongan ini tidak digunakan untuk terapi dan mempunyai potensi
yang sangat tinggi mengakibatkan ketergantungan. Sangat berbahaya
kalau digunakan untuk pengobatan.
40
Mengenai apa saja macam-macam narkotika golongan II di
bawah ini rinciannya sesuai lampiran Undang-Undang No.35 Tahun
2009, sebagai baerikut:
1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.
8.
9.
10.
11.
12.
13.
14.
15.
16.
17.
18.
19.
20.
21.
22.
23.
24.
25.
26.
27.
Alfasetilmetadol : Alfa-3-asetoksi-6-dimetil amino-4, 4difenilheptana
Alfameprodina:Alfa-3-etil-1-metil-4-fenil-4propionoksipiperidina
Alfametadol : Alfa-6-dimetilamino-4, 4-difenil-3-heptanol
Alfarodina : Alfa-1-, 3-dietil-3-fenil-4-propionoksipiperidina
Alfentanil : N-(1-(2-(4etil-4,5-dihidro)-5-okso-1H-tetrazal-1il) etil)-4-(Metoksimetil)-4-piperidinil-N-fenilpropanamida
Alliprodina : 3-allil-1-metil-4-fenil-4-propionoksi-piperidina
Anileridina : Asam 1-para-aminofenetil-4-fenilpipe-ridina)-4karboksilat etil ester
Asetilmetadol : 3-asetoksi-6-dimetilamino-4,4-defenil-heptana
Benzetidin : Asam 1-(2-benziloksietil)-4-fenilpiperidina-4karboksilat etil ester
Benzilmorfina : 3-benzilmorfina
Betameprodina
:
Beta-3-etil-1-metil-4-fenil-4-propionoksipiperidina
Betametadol : Beta-6-dimetilamino-4, 4-difenil-3-heptanol
Betaprodina
:
Beta-1,3-dimetil-4-fenil-4-propionoksipiperidina
Betasetilmetadol:Beta-3-asetoksi-6-metilamino-4,4difenilheptena
Bezitramida
:
1-(3-siano-3,3-difenilpropil)-4-(2-okso-3propionil- 1-benzimidazolinil)-piperidina
Dekstromoramida : (+)-4-(2-metil-4-okso-3,3-defenil-4-(1pirolidinil)butil)-morfolina
Diampromida
:
N-(2-(metilfenetillamino)-propil)propionanilida
Dietiltiambutena : 3-dietilamino-1,1-di(2`-tietil)-1-butena
Difenoksilat : Asam 1-3-siano-3, 3-difenilpropil)-4fenilpiperidina- 4-karboksilat etil ester
Difenoksin : Asam 1-(3-siano-3, 3-difenilpropil)-4-fenilisonikpekotik
Dihidromorfina
Dimefeptanol : 6-dimetilamino-4,4-difenil-3-heptanol
Dimenoksadol : 6-dimetilaminoetil-1-etoksi 1,1-difenilasetat
Dimetiltiambutena : 3-dimetilamino-1,1-di-(2`-tienil)-1-butena
Dioksafetil butirat : etil-4-morfolino-2,2difenilbutirat
Dipipanona : 4,4-difenil-6-piperidina-3-heptanona
Drobetanol : 3,4-dimetoksi-17-metilferminan-6β,14-diol
41
28.
29.
30.
31.
32.
33.
34.
35.
36.
37.
38.
39.
40.
41.
42.
43.
44.
45.
46.
47.
48.
49.
50.
51.
52.
53.
54.
55.
56.
57.
58.
59.
Ekgonina, termasuk ester dan derivatnya yang setara dengan
ekgonina dan kokaia
Etilmetiltiambutena : 3-etilmetilamino-1,1-di-(2`-tienil)-1butena
Etokseridina
:
asam
1-(2-(2-hidrosietoksi)-etil)-4fenilpiperidina-4 -karboksilat etil ester
Etonitazena
:
1-dietilaminoetil-2-paraetosibenzil-5nitrobenzimedazol
Furetidina
:
asam
1(2-tetrahidrofur-furiloksietil)-4fenilpiperidina- 4-karboksilat etil ester
Hidrokodona : dihidrokodeinona
Hidroksipetidina
:asam
4-meta-hidroksi-fenil-1metilpiperidina-4- karboksilat etil ester
Hidromorfinol : 14-hidroksidihidromorfina
Hidromorfona : dihidromorfinona
Isometadona
:
6-dimetilamino-5-metil-4,4-defenil-3heksanona
Fenadoksona : 6-morfolino-4,4-difenil-3-heptanona
Fenampromida : N-(1-metil-2-piperidinoetil)-propionanilida
Fenazonina : 2’hidroksi-5,9-dimetil-2-fenetil-6,7 benzomorfan
Fenomorfan :3-hidroksi-N-fenetilmorfinan
Fenoperidina
:
asam1-(3-hidroksi-3-fenilpropil)-4feenilpiperidina- 4-karboksilat etil ester
Fentanil : 1 fenetil-4-N-propionila-nilinopiperidina
Klonitazena
:
2-para-klorbenzil-1-dietilaminoetil-5nitrobenzimidazol
Kodoksima : dihidrokodeinona-6-karboksimetiloksima
Levofenasilmorfan : (1)-3-hidroksi-N-fenasil-morfinan
Levomoramide
:
(-)-4-(2-metil-4-okso-3,3-difenil-4-(1pirolidinil)-butir)morfolina
Levometorfan : (-)-3-metoksi-N-metilforminan
Levorfanol : (-)-3-hidroksi-N-metilmorfinan
Metadona : 6-dimetilamino-4,4-difenil-3-heptanona
Metadona
intermediet
:
4-siano-2-dimetilamino-4,4difenilbutana
Metazosina : 2’hidroksi-2,5,9-trimetil-6,7-benzomorfan
Metildesorfina : 6-metil-delta-6-deoksimorfina
Metildihidromorfina : 6-metildihidromorfina
Metopon : 5-metildihidromorfina
Mirofina : miristilbenzilmorfina
Moramida intermediat : asam(2-metil-3-morfolino-1,1difenilpropana karboksilat
Morferidina
:
asam
1(2-morfolinoetil)-4-fenilpropona
karbosilat etil ester
Morfina-N-Oksida
42
60.
61.
62.
63.
64.
65.
66.
67.
68.
69.
70.
71.
72.
73.
74.
75.
76.
77.
78.
79.
80.
81.
82.
83.
84.
85.
86.
c.
Morfin metobromida dan turunan morfina nitrogen pentafalent
lainnya termasuk bagian turunan morfina-N-oksida, salah
satunya kodeina-N-oksida
Morfina
Nikomorfina : 3,6-dinikotilmorfina
Norasimetadol : (±)-alfa-3-asektosi-6-metilamino-4,4-difenilheptana
Norlevorfanol : (-)-3-hidroksimorfina
Normetadona : 6-dimetilamino-4,4-difenil-3-heksanona
Normorfina : dimetilmorfina atau N-dimetilated-morfina
Norpipanona : 4,4-difenil-6-piperidino-3-heksanona
Oksikodona : 14-hidroksidihidrokodeinona
Oksimorfina : 14-hidroksidihidrokodeinona
Petidina intermediet A : 4-siano-1-metil-4-fenilpi-peridina
Petidina intermediet B :asam 4-fenilpiperidina-4-karboksilat
etil ester
Petidina intermediet C : asam 1-metil-4-fenilpiperidina-4karboksilat
Petidina : asam 1-metil-4-fenilpiperidina-4-karboksilat etil
ester
Piminodina : asam 4-fenil-1-(3-fenilaminopropil)-piperidina4-karboksilat etil ester
Piritramida
:
asam
1(3-siano-3,3-difenilpropil)-4-(1piperidino)-piperidina-4-karboksilat amida
Proheptasina
:
1,3-dimetil-4-fenil-4-propionoksiazasikloheptana
Properidina : asam 1-metil-4-fenil-piperidina-4-karboksilat
isopropil ester
Rasemortofan : (±)-3-hidroksi-N-metilmorfinan
Rasemoramida
:
(±)-4-(2-metil-4-okso-3,3-difenil-4-(1pirolidinil) butil)-morfolina
Rasemorfan : (±)-3-hidroksi-N-metilmorfinan
Sufentanil : N(4-(metoksimetil)-1-(2-(2-tienil)-etil)-4-piperidil)
propionanilida
Tebaina
Tebakon : asetildihirokodeinona
Tilidina
:
(±)-etil-trans-2-(dimetilamino)-1-fenil-3sikloheksena-1- karboksilat
Trimeperidina : 1,2,5-trimetil-4-fenil-4-propionoksi-piperidina
Garam-garam dari Nrkotika dalam golongan tersebut di atas
Narkotika Golongan III
Narkotika Golongan III adalah narkotika yang berkasiat
pengobatan dan banyak digunakan dalam terapi dan/atau tujuan
43
pengembangan ilmu pengetahuan serta mempunyai potensi ringan
mengakibatkan ketergantungan.
Dibandingkan dengan narkotika golongan I (ada 26 macam
dan narkotika golongan II ada 87 macam), untuk narkotika golongan
III tidak banyak macamnya, hanya ada 14 macam, sesuai dengan
Lampiran Undang-Undang No. 35 Tahun 2009 sebagai berikut :
1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.
8.
9.
10.
11.
12.
13.
14.
Asetildihidrokodeina
Dekstropropoksifena : -α (+)-4-dimetilamino-1,2-difenil-3metil-2- butanolpropionat
Dihidrokodeina
Etilmorfina : 3-etilmorfina
Kodeina : 3-metilmorfina
Nikodikodina : 6-nikotinildihidrokodeina
Nikokodina : 6-nikotinilkodeina
Norkodeina : N-demetilkodeina
Polkodina : morfoliniletilmorfina
Propiram
:
N-(1-metil-2-piperidinoetil)-N-2piridilpropionamida
Garam-garam dari narkotika dalam golongan tersebut di atas
Campuran atau sediaan opium dengan bahan lain bukan
narkotika
Campuran atau sediaan difenoksin dengan bahan bukan
narkotika
Campuran atau sediaan difenoksilat dengan bahan lain bukan
narkotika.
Jadi dalam Undang-Undang No. 35 Tahun 2009 hanya ada tiga
golongan narkotika, untuk narkotika golongan I tidak digunakan
untuk
kepentingan
pengobatan,
tetapi
kegunaannya
sama.
Psikotropika golongan I hanya untuk kepentingan ilmu pengetahuan.
3.
Pengertian Tindak Pidana Narkotika
Tindak Pidana Narkotika dapat diartikan dengan suatu perbuatan
yang melanggar ketentuan-ketentuan hukum narkotika, dalam hal ini
44
adalah Undang-Undang No. 35 Tahun 2009 Tentang Narkotika dan
ketentuan-ketentuan lain yang termasuk dan atau tidak bertentangan
dengan undang-undang tersebut.
Hal-hal tentang bentuk penyalahgunaan narkotika sebagai berikut :
a.
b.
c.
Narkotika apabila digunakan secara proporsional, artinya sesuai
menurut asas pemanfaatan, baik untuk kesehatan maupun untuk
kepentingan penelitian ilmu pengetahuan, maka hal tersebut tidak
dapat dikwalifisir sebagai tindak pidana narkotika. Akan tetapi
apabila dipergunakan untuk maksud-maksud yang lain dari itu, maka
perbuatan tersebut dapat dikategorikan sebagai perbuatan yang jelas
sebagai perbuatan pidana dan atau penyalahgunaan narkotika
berdasarkan Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009.
Penyalahgunaan terhadap narkotika meliputi pengertian yang lebih
luas, antara lain :
1) membuktikan keberanian dalam melakukan tindakan-tindakan
berbahaya dan mempunyai resiko. Misalnya ngebut-ngebutan di
jalanan, berkelahi, bergaul dengan wanita, dan lain-lain;
2) menentang suatu otoritas, baik terhadap guru, orang tua, hukum,
maupun instansi tertentu;
3) mempermudah penyaluran perbuatan seks;
4) melepaskan diri dari kesepian dan memperoleh pengalamanpengalaman emosional;
5) berusaha agar menemukan arti dari pada hidup;
6) mengisi kekosongan-kekosongan dan perasaan bosan karena tidak
ada kegiatan;
7) menghilangkan rasa frustasi dan gelisah;
8) mengikuti kemauan teman dan tata pergaulan lingkungan;
9) hanya sekedar ingin tahu atau iseng. 45
Kecuali itu, tetapi dapat juga dipergunakan untuk kepentingan
ekonomi atau kepentingan pribadi.
Menurut ketentuan hukum pidana para pelaku tindak pidana pada
dasarnya dapat dibedakan :
1) Pelaku utama.
2) Pelaku peserta.
3) Pelaku pembantu.
Untuk menentukan apakah seorang pelaku tergolong ke dalam
salah satunya perlu ada proses peradilan, sebagaimana diatur oleh
Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana.
45 Buku Pedoman 3, Petunjuk Khusus Tentang Operasi Penerangan Inpres No. 6 Tahun
1976. Hal. 8-9.
45
d.
Bentuk tindak pidana narkotika yang umum dikenal antara lain
berikut ini:
1) Penyalahgunaan/melebihi dosis;
hal ini disebabkan oleh banyak hal, seperti yang telah diutarakan
diatas.
2) Pengedaran narkotika;
karena keterikatan dengan sesuatu mata rantai peredaran
narkotika, baik nasional maupun internasional.
3) Jual beli narkotika;
ini pada umumnya dilatarbelakangi oleh motivasi untuk mencari
keuntungan materil, namun ada juga karena motivasi untuk
kepuasan.46
Penggunaan narkotika ialah penggunaan secara tidak benar, ialah
untuk kenikmatan yang tidak sesuai dengan pola kebudayaan yang normal.
Penggunaan narkotika untuk pengobatan guna menghilangkan rasa nyeri
dan penderitaan tidak termasuk dalam pembicaraan ini. Penggunaan secara
berkali-kali narkotika membuat seseorang dalam keadaan tergantung pada
narkotika. Ketergantungan ini bisa ringan dan bisa berat dapat diukur
dengan kenyataan seberapa jauh ia bisa melepaskan diri dari penggunaan
itu.47
D. Perlindungan Hukum Terhadap Anak
1. Pengertian Perlindungan Anak
Hak anak dan perlindunganannya sering terabaikan akibat dari
kurangnya perhatian dari keluarga sebagai masyarakat terkecil juga
sebagai akibat dari lingkungan sekitar anak. Oleh karena itu pemikiran
tentang jaminan hak anak orang tua yang pada gilirannya anak
menumbuhkan rasa kasih sayang dan cinta maka terbentuklah suatu
46
47
Sudarsono, Tindak Pidana Narkotika, Ghalia Indonesia Jakarta,1990 Hal. 43-45.
Sudarto, Kapita Selekta Hukum Pidana, Alumni, Bandung, 1986, Hal. 41.
46
masyarakat yang memiliki kesejahteraan, ketentraman, dan stabilitas yang
tinggi.
Langkah selanjutnya adalah membuka jalan bagi kemungkinan
pengembangan dan meningkatkan ikut sertanya masyarakat untuk
mengambil peranan secara optimal dalam usaha melindungi anak sebagai
wujudan ketentuan-ketentuan formal hukum positif, ketentuan yang
sifatnya non-formal sebagai perwujudan dari hukum adat dan hukum
agama.
Agar perlindungan hak-hak anak dapat dilakukan secara teratur,
tertib, dan bertanggung jawab maka diperlukan peraturan hukum yang
selaras dengan perkembangan masyarakat Indonesia yang dijiwai
sepenuhnya oleh Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945.
Dalam kaitannya dengan persoalan perlindungan hukum bagi anakanak, maka dalam Undang-Undang Dasar 1945 pada Pasal 34 ayat (1)
telah ditegaskan bahwa : “Fakir miskin dan anak terlantar dipelihara oleh
negara”.
Hal ini menunjukkan adanya perhatian serius dari pemerintah
terhadap hak-hak anak dan perlindungannya. Lebih lanjut pengaturan
tentang hak-hak anak dan perlindungannya ini terpisah dalam berbagai
peraturan perundang-undangan, antara lain :
a.
Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997 Tentang Pengadilan
Anak.
47
b.
Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan
Anak.
Yang dimaksud dengan Perlindungan Anak dalam UndangUndang Nomor 23 Tahun 2002 pada Pasal 1 angka (2) :
“perlindungan anak adalah segala kegiatan untuk menjamin dan
melindungi anak dan hak-haknya agar dapat hidup, tumbuh,
berkembang, dan berpartisipasi, secara optimal sesuai dengan
harkat dan martabat kemanusiaan, serta mendapat perlindungan
dari kekerasan dan diskriminasi”.
Pasal 1 angka (12) mengenai hak anak :
“hak anak adalah bagian dari hak asasi manusia yang wajib
dijamin, dilindungi, dan dipenuhi oleh orang tua, keluarga,
masyarakat, pemerintah, dan negara”.
Pasal 59 mengenai perlindungan khusus, yang rumusannya :
“Pemerintah dan lembaga lainnya berkewajiban dan
bertanggungjawab untuk memberikan perlindungan khusus
kepada anak dalam situasi darurat, anak yang berhadapan
dengan hukum, anak kelompok minoritas dan terisolasi, anak
tereksploitasi secara ekonomi dan/atau seksual, anak yang
diperdagangkan, anak yang menjadi korban penyalahgunaan
narkotika, alkohol, psikotropika, dan zat adiktif lainnya (napza),
anak korban penculikan, penjualan, dan perdagangan, anak
korban kekerasan fisik dan/atau mental, anak yang menyandang
cacat, dan anak koraban perlakuan salah dan penelantaran”.
c.
Dalam bidang kesejahteraan sosial, dengan Undang-Undang
Nomor 4 Tahun 1997 Tentang Kesejahteraan Anak.
d.
Dalam bidang pendidikan dengan Undang-Undang Dasar 1945
dalam Pasal 31 ayat (1) yang rumusannya “Tiap-tiap warga
negara berhak mendapat pengajaran”. Selain itu diatur juga
dalam Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 Tentang Wajib
Belajar.
48
e.
Dalam Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 Tentang Hak
Asasi Manusia, yang dimaksud hak anak pada Pasal 52 ayat (2) :
“hak anak adalah Hak Asasi Manusia dan untuk kepentingannya
hak anak itu diakui dan dilindungi oleh hukum bahkan sejak
dalam kandungan”.
Perundang-undangan diatas hanyalah sebagian besar saja dari
sekian banyak perundang-undangan yang mengatur mengenai
perlindungan hak-hak anak.
2. Pengertian Perlindungan Hukum
Hukum berfungsi sebagai perlindungan kepentingan manusia. Agar
kepentingan manusia terlindungi, hukum harus dilaksanakan. Pelaksanaan
hukum dapat berlangsung secara normal, damai, tetapi dapat juga juga
karena pelanggaran hukum. Dalam hal ini hukum yang telah dilanggar itu
harus ditegakkan. Melalui penegakkan hukum inilah hukum itu menjadi
kenyataan. Dalam menegakkan hukum ada tiga unsur yang selalu harus
diperhatikan, yaitu : kepastian hukum (Rechtssicherheit), kemanfaatan
(Zweckmassigkeit), dan keadilan (Gerechtighkeit).48
Kepastian hukum merupakan perlindungan yang yustiabel terhadap
tindakan sewenang-wenang, yang berarti bahwa seseorang akan dapat
memperoleh sesuatu yang diharapkan dalam keadaan tertentu. Hukum
bertugas menciptakan kepastian hukum karena bertujuan ketertiban
masyarakat. Dan dalam fungsinya sebagai perlindungan kepentingan
manusia mempunyai hukum. Hukum mempunyai sasaran yang hendak
48
Sudikno Mertokusumo, Mengenal Hukum ( Suatu Pengantar ), Liberty, Yogyakarta,
2005, hlm 77.
49
dicapai. Adapun tujuan pokok hukum adalah menciptakan tatanan
masyarakat yang tertib, damai, dan seimbang. Dengan tercapainya
ketertiban didalam masyarakat diharapkan kepentingan manusia akan
terlindungi. Dalam mencapai tujuan itu hukum bertugas membagi hak dan
kewajiban antar perorangan didalam masyarakat, membagi wewenang dan
mengatur cara memecahkan masalah hukum serta memelihara kepastian
hukum.
Mengenai pengertian dari perlindungan hukum, kata perlindungan
itu sendiri menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia memiliki arti “Tempat
berlindung atau hal (perbuatan) memperlindungi”. Sedangkan dalam
kamus hukum karya Simorangkir disebutkan bahwa hukum diartikan
sebagai peraturan-peraturan yang bersifat memaksa yang menentukan
tingkah laku manusia dalam lingkungan masyarakat yang dibuat oleh
badan resmi yang berwajib. Pelanggaran terhadap perbuatan-perbuatan
tadi berakibat diambilnya tindakan hukum tertentu. Arti kata hukum dapat
dipaparkan dari berbagai sumber.49
Pertama menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, “Hukum
merupakan peraturan atau adat yang secara resmi dianggap mengikat, yang
dikukuhkan oleh penguasa atau pemerintah”. Kedua, menurut kamus
hukum, “Hukum merupakan keseluruhan kaidah atau (norma) nilai
mengenai suatu segi kehidupan masyarakat, yang bermaksud mencapai
49
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Balai
Pustaka, Jakarta, 1991.
50
kedamaian dalam masyarakat serta bersifat keadilan dan kemanfaatan”.50
Ketiga, “Hukum merupakan keseluruhan kumpulan peraturan-peraturan
atau kedah-kaedah dalam hidup bersama yang dapat dipaksakan
pelaksanaannya dengan suatu sanksi”.51 Keempat, “hukum merupakan
suatu himpunan peraturan-peraturan hidup yang bersifat memaksa,
berisikan suatu perintah, larangan, atau ijin untuk berbuat atau tidak
berbuat sesuatu, serta dengan maksud untuk mengatur tata tertib dalam
kehidupan masyarakat”.52
Berdasarkan hal tersebut diatas dapat disimpulkan bahwa pengertian
perlindungan hukum yang diberikan kepada subyek hukum dalam bentuk
perangkat-perangkat hukum, baik yang bersifat preventif maupun represif,
baik yang tertulis maupun yang tidak tertulis. Dengan kata lain bahwa
perlindungan hukum sebagai suatu gambaran dari fungsi hukum, yaitu
adalah suatu bentuk ketentraman bagi segala kepentingan manusia yang
ada di dalam masyarakat sehingga didalamnya tercipta keselarasan dan
keseimbangan hidup dalam masyarakat.
50
Andi,Hamzah, Kamus Hukum, Ghalia Indonesia, Jakarta, 1986, Hal. 242.
Sudikno Mertokusumo, Op.cit, hal 37.
52 C.F.G Sunaryati Hartoyo, Pokok-Pokok Hukum Internasional, PT.Citra Aditya Bakti,
Bandung, 1992, Hal. 17.
51
51
BAB III
METODE PENELITIAN
1.
Metode Pendekatan
Metode pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah yuridis
sosiologis, sehingga hukum tidak dikonsepsikan sebagai suatu gejala normatif
yang mandiri (otonom), tetapi sebagai sautu institusi sosial yang dikaitkan
secara riil dengan variabel-variabel sosial yang lain dan dengan menggunakan
analisis yang bersifat empiris-kuantitatif atau disebut juga penelitian hukum
sosiologis (Social legal research).53
Hukum
tidak
dimaknai
sebagai
kaidah-kaidah
normatif
yang
eksistensinya berada secara ekslusif di dalam suatu sistem legitimasi yang
formal,
melainkan sebagai gejala
pengalaman.54 Keajegan-keajegan
empiris yang teramati di alam
(regularities) ataupun keseragaman-
keseragaman (uniformaties) dalam gejala empiris tersebut, berkonsekuensi
pada dapat diamatinya hukum, dan melalui proses induksi, pertalian-pertalian
kausalnya dengan gejala-gejala lain non-hukum di dalam masyarakat akan
dapat disimpulkan.55
Dalam penelitian ini, peneliti akan terfokus pada perlindungan hukum
terhadap anak pelaku tindak pidana narkotika di wilayah Pengadilan Negeri
Banyumas, yakni terkait dengan perlindungan hukum anak pelaku tindak
pidana narkotika selama dalam proses pengadilan di Pengadilan Negeri
53
Ronny Hanitijo Soemitro, Metode Penelitian Hukum dan Jurimetri, Ghalia Indonesia,
Jakarta, 1990, Hal.35.
54 Bambang Sunggono, Metode Penelitian Hukum, Cetakan Keenam, PT. Raja Grafindo
Persada, Jakarta, 2003, Hal.75.
55 Ibid., hal.76.
52
Banyumas dan pembinaan di Rumah Tahanan Negara (RUTAN) Banyumas.
Dilakukannya penelitian ini bertujuan untuk mengetahui perlindungan hukum
terhadap anak pelaku tindak pidana narkotika di Pengadilan Negeri
Banyumas selama proses di Pengadilan dan selama proses pembinaan di
Rumah Tahanan Banyumas.
B. Spesifikasi Penelitian
Spesifikasi penelitian adalah deskriptif yaitu suatu penelitian yang
dimaksudkan untuk memberikan data yang seteliti mungkin dengan manusia,
keadaan atau gejala-gejala lainnya, serta hanya menjelaskan keadaan objek
masalahnya tanpa bermaksud mengambil kesimpulan yang berlaku umum.56
Menurut Bambang Sunggono penelitian deskriptif yaitu:
”penelitian dimana analisis data tidak keluar dari lingkup sample, bersifat
deduktif, berdasarkan teori atau konsep yang bersifat umum yang
diaplikasikan untuk menjelaskan tentang seperangkat data, atau
menunjukkan komparasi atau hubungan seperangkat data dengan
seperangkat data yang lain”57
Spesifikasi penelitian secara deskriptif bertujuan untuk memperoleh
gambaran tentang perlindungan hukum yang dilakukan oleh aparat penegak
hukum dalam upaya perlindungan kepentingan dan hak-hak anak pelaku
tindak pidana di Pengadilan Negeri Banyumas.
C. Lokasi Penelitian
Penelitian dilakukan di dua lokasi, yaitu Pengadilan Negeri Banyumas
dan Rumah Tahanan Negara Banyumas. Lokasi tersebut dipilih dengan
pertimbangan sebagai berikut:
56
57
Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, UII-Press, Jakarta, 1986, Hal.10.
Bambang Sunggono, 2003, Op. Cit. hal.38.
53
1.
Pengadilan Negeri Banyumas dan Rumah Tahanan Banyumas
memiliki kewenangan hukum atas wilayah Kabupaten Banyumas
dalam hal terjadi tindak pidana narkotika.
2.
Pengadilan Negeri Banyumas dan Rumah Tahanan Negara
Banyumas
dianggap
berkompeten
sebagai
informan
guna
memperoleh data-data sesuai dengan kebutuhan penelitian.
3.
Pertimbangan yang lain yaitu efisiensi biaya dan waktu karena
peneliti bertempat tinggal di Banyumas yang jaraknya tidak jauh
dengan Pengadilan Negeri Banyumas dan Rumah Tahanan Negara
Banyumas. Hal ini terkait dengan objek penelitian yang akan dikaji
oleh peneliti.
D. Informan Penelitian
Informan merupakan orang dalam latar penelitian yang dimanfaatkan
untuk memberikan informasi tentang situasi dan kondisi latar penelitian.
Dalam penelitian ini data diperoleh melalui wawancara dengan Ibu Byrna
Mirasari, S.H. yaitu seorang Hakim di Pengadilan Negeri Banyumas, Bapak
Winarso, S.H. yaitu Petugas Rumah Tahanan Negara Banyumas bagian Staff
Pendidikan, dan Andri yaitu seorang anak pelaku tindak pidana narkotika.
54
E. Metode Penentuan Informan
Informan ditentukan dengan cara metode”Purposive Sampling”.
Purposive Sampling yang dimaksud adalah pemilihan sekelompok subjek atas
ciri-ciri atau sifat-sifat populasi yang sudah diketahui sebelumnya. 58
Purposive Sampling yaitu salah satu strategi pengambilan sampel nonacak, yaitu semua anggota atau obyek penelitian tidak mempunyai peluang
yang sama untuk dipilih sebagai sampel. Purposive Sampling digunakan
dengan tujuan mendapatkan informan yang benar mengetahui, dan memiliki
wewenang dalam bidangnya. Dalam Purposive Sampling, pemilihan
sekelompok subjek atas ciri-ciri atau sifat tertentu yang dipandang
mempunyai sangkut paut erat dengan ciri-ciri atau sifat-sifat populasi yang
sudah diketahui sebelumnya. Ciri-Ciri yang dimaksud adalah sebagai berkut:
1.
Semua informan merupakan pihak-pihak yang terkait dalam
pelaksana penegakan hukum di wilayah Kabupaten Banyumas,
sehingga mengetahui perlindungan hukum terhadap anak pelaku
tindak pidana narkotika di wilayah Kabupaten Banyumas.
2.
Semua informan dianggap mengetahui kondisi wilayah Kabupaten
Banyumas terkait dengan tindak pidana narkotika.
Berdasarkan ciri-ciri tersebut di atas, informan dalam penelitian ini
yaitu:
a. Ibu Byrna Mirasari, S.H. yaitu Hakim di Pengadilan Negeri
Banyumas.
58 Amirudin, Pengantar Metode Penelitian Hukum, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta,
2004, Hal. 106.
55
b. Bapak Winarso, S.H. yaitu Petugas Lembaga Pemasyarakatan
Banyumas Bagian Staf Pendidikan.
c. Andri yaitu Anak Pelaku Tindak Pidana Narkotika di wilayah
hukum Pengadilan Negeri Banyumas.
F. Jenis dan Sumber Data
Dalam penelitian ini menggunakan dua sumber data, yaitu :
1. Data Primer
Data primer adalah data yang diperoleh langsung dari masyarakat, dalam
hal ini yaitu data hasil wawancara yang dilakukan oleh peneliti terhadap
informan. Data primer yang digunakan penulis dalam penelitian ini adalah
data yang diperoleh dari hasil uraian yang akan diberikan oleh Hakim di
Pengadilan Negeri Banyumas dan Petugas Lembaga Pemasyarakatan
Banyumas.
2. Data Sekunder
Data sekunder adalah data yang diperoleh melalui bahan-bahan
kepustakaan.
Data sekunder yang digunakan dalm penelitian ini yaitu bahan hukum
primer, bahan hukum sekunder dan bahan hukum tersier. Bambang
Sunggono membedakan ketiga data tersebut yaitu sebagai berikut:59
a.
Bahan hukum primer, yaitu bahan-bahan hukum yang bersifat
mengikat, yang terdiri dari perundang-undangan, bahan hukum yang
59
Bambang Sunggono, 2003. Op. Cit., hal.113-114
56
tidak dikodifikasikan, yurisprudensi, traktat, serta bahan hukum dari
zaman penjajahan yang hingga kini masih berlaku.
Bahan hukum primer yang digunakan dalam penelitian ini adalah
Undang-Undang Dasar Republik Indonesia Tahun 1945, UndangUndang Nomor 1 Tahun 1946 tentang Peraturan Hukum Pidana
(KUHP), Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum acara
Pidana, Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan
Anak, Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan
Anak,
Undang-Undang
Nomor
12
Tahun
1995
Tentang
Pemasyarakatan, Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak
Asasi Manusia, Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang
Narkotika.
b. Bahan hukum sekunder, yaitu bahan hukum yang memberikan
penjelasan mengenai bahan hukum primer. Bahan-bahan hukum
sekunder terdiri dari pustaka di bidang ilmu hukum, rancangan
peraturan perundang-undangan, artikel-artikel ilmiah, baik dari media
massa maupun internet.
c. Bahan hukum tersier, yaitu bahan yang memberikan petunjuk atau
penjelasan terhadap bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder,
misalnya Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) dan Kamus Hukum.
57
G. Metode Pengumpulan Data
1. Data primer diperoleh secara langsung dari lokasi penelitian.
Data primer diperoleh dengan menggunakan metode wawancara dan
observasi.
a.
Wawancara
Wawancara adalah percakapan dengan maksud tertentu.
Percakapan itu dilakukan oleh dua pihak yaitu pewawancara
(interviewer) yang mengajukan pertanyaan dan yang diwawancarai
(interviewee) yang memberikan jawaban atas pertanyaan itu.60
Wawancara menurut Fred N Kerlinger adalah situasi peran
antar pribadi bertatap muka (face to face), ketika seseorang yakni
pewawancara mengajukan pertanyaan-pertanyaan yang dirancang
untuk memperoleh jawaban-jawaban yang relevan dengan masalah
penelitian kepada orang reponden.
Dalam penelitian ini, teknik wawancara yang dipilih adalah
dalam
bentuk “wawancara
terstruktur” dan
“wawancara
tak
terstruktur”.Wawancara terstruktur yaitu menetapkan sendiri masalah
dan pertanyaan-pertanyaan yang diajukan. Sedangkan wawancara tak
terstruktur adalah wawancara dimana peneliti mengajukan pertanyaan
secara lebih bebas dan leluasa, tanpa terikat oleh susunan pertanyaan
yang telah dipersiapkan sebelumnya. 61
60
Lexy J. Moleong, Metodologi Penelitian Kualitatif, Bandung, Rosda Karya, 2002, hal.
135.
61
S.
Nasution.1996,
Kualitatif.Yogyakarta.Rekasarasin.Hal.72
Metode
Penelitian
Naturalistik
58
b.
Observasi
Observasi berarti peneliti melihat dan mengamati apa yang
dilakukan atau dikerjakan oleh obyek penelitian dalam menjalankan
perannya memberikan perlindungan hukum terhadap anak pelaku
tindak pidana narkotika.
Tujuan dari observasi ini adalah untuk mendiskripsikan kegiatan
yang terjadi, orang yang terlibat dalam kegiatan, waktu kegiatan dan
makna yang diberikan oleh para pelaku yang diamati tentang suatu
peristiwa yang bersangkutan.
2. Data sekunder
Data sekunder diperoleh dengan cara melakukan studi pustaka dan
studi dokumen terhadap dokumen peraturan perundang-undangan, bukubuku literatur dan dokumen-dokumen lainnya yang berkaitan dengan
obyek atau materi penelitian. Studi pustaka merupakan cara memperoleh
data-data dengan memfokuskan pada data yang ada pada pustaka-pustaka
baik terorganisir maupun yang tidak. Studi pustaka dimaksudkan untuk
mencari data-data sekunder yang dibutuhkan guna menjelaskan data-data
primer.
Sedangkan studi dokumentasi untuk memperoleh data yang
bersifat dokumen-dokumen resmi baik dari lembaga pemerintah maupun
non pemerintah. Studi dokumen bertujuan menerangkan data primer dan
juga data sekunder.
59
H. Metode Penyajian Data
Data yang diperoleh akan disajikan dalam bentuk teks naratif, yaitu
menguraikan data secara sistematis, logis dan rasional yang diawali dengan
bahan hukum primer, bahan hukum sekunder dan bahan hukum tersier.
Tujuan peenyajian data ini dilakukan agar memudahkan bagi pembaca
secara kronologis memahami isi data yang dapat diungkapkan melalui
penafsiran-penafsiran yang digunakan. Data disajikan dalam bentuk uraianuraian yang disusun secara sistematis, logis, dan rasional. Keseluruhan data
yang diperoleh dalam penelitian ini akan dihubungkan satu dengan yang
lainnya disesuaikan dengan pokok permasalahan yang diteliti sehingga
merupakan suatu kesatuan yang utuh.
I.
Metode analisis Data
Dalam penelitian ini mempergunakan metode kualitatif,
yaitu
menguraikan data secara bermutu, dalam bentuk kalimat yang teratur, runtun,
logis, tidak tumpang tindih dan efektif, dan kemudian dilakukan
pembahasan.Berdasarkan hasil pembahasan diambil kesimpulan secara
induktif sebagai jawaban terhadap permasalahan yang diteliti. 62
62
Sugiono, Metode Penelitian Kuantitatif dan R&D, Alfabeta, Bandung, 2008, Hal 96.
60
Analisa data dalam penelitian ini mempergunakan model interaktif,
seperti skema di bawah ini:
Pengumpulan
a
Penyajian
b2
c
Reduksi data
b1
KesimpulanKesimpulan
d
Gambar Data Kualitatif
Bagan komponen dalam analisa data (interactive model)63
Reduksi data diartikan sebagai proses pemilihan, pemusatan perhatian
pada penyederhanaan, pengabstrakan, dan transformasi data ” kasar” yang
muncul dari catatan tertulis dilapangan, oleh karenanya reduksi data
merupakan suatu bentuk analisis yang menajamkan, menggolongkan,
mengarahkan, membuang yang tidak perlu, dan mengorganisasi data dengan
sedemikian rupa hingga kesimpulan-kesimpulan finalnya dapat ditarik
diversivikasi.64
Display data merupakan cara analisis data lapangan dengan membuat
berbagai macam matriks, grafik, network dan chart, agar dapat diperoleh
gambaran keseluruhan atau bagian-bagian tertentu dari data penelitian.
Ketiga komponen ini berlaku saling mengait baik sebelum, selama
pelaksanaan, dan sesudah pelaksanaan pengumpulan data secara paralel.
63
Ibid., hal. 97-99.
64
Ibid. hal.16.
61
Model ini secara umum disebut model analisis mengalir (flow model analysis)
ketiga jenis kegiatan analisis dan pengumpulan data itu sendiri merupakan
proses siklus dan interaktif. Semua analisis mendasarkan pada norma-norma
dan teori-teori hukum khususnya teori hukum pidana, sosiologi hukum
pidana, dan kriminologi.65
65
Ibid. hal 97-99
62
BAB IV
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
A. Perlindungan Hukum Terhadap Anak Pelaku Tindak Pidana Narkotika
di Pengadilan Negeri Banyumas
Rasa kasih sayang merupakan kebutuhan yang paling mendasar dalam
kehidupan anak. Terutama kasih sayang diberikan dari orang tua. Tetapi pada
kenyataannya, banyak anak dibesarkan dalam kondisi yang penuh dengan
konflik sehingga seringkali menyebabkan perkembangan jiwa anak tersebut
menjadi tidak sehat. Perkembangan kepribadian anak yang berada dalam
situasi seperti itu dapat mendorong anak untuk melakukan tindakan-tindakan
negatif yang sering dikategorikan sebagai anak nakal.
Sekarang ini, kenakalan anak semakin meningkat dalam kehidupan
bermasyarakat. Bukan hanya meresahkan orang tua si anak nakal, tetapi juga
masyarakat di lingkungan sekitar anak nakal tersebut juga menjadi terganggu
keamanan, kenyamanan, dan ketertiban kehidupannya.
Kenakalan anak tidak hanya merugikan orang tua dan masyarakat di
sekitarnya. Tetapi lebih jauh mengancam masa depan bangsa dan negara,
dimana anak merupakan generasi penerus masa depan bangsa dan negara
Indonesia. Salah satu kenakalan anak yang banyak terjadi saat ini adalah
penyalahgunaan narkotika.
Tindak pidana atau kejahatan narkotika adalah merupakan salah satu
bentuk kejahatan yang dikenal sebagai kejahatan tanpa korban (victimless
crime). Dalam Ilmu Hukum Pidana diuraikan dan dijelaskan bahwa kejahatan
63
tanpa korban biasanya hubungan antara pelaku dan korban tidak terlihat jelas.
Tidak ada sasaran korban, sebab semua pihak adalah terlibat dan termasuk
dalam kejahatan tersebut. Ia menjadi pelaku dan korban sekaligus. Namun
demikian, jika dikaji secara mendalam istilah kejahatan tanpa korban
(victimless crime) ini sebetulnya tidak tepat karena semua perbuatan yang
masuk lingkup kejahatan pasti mempunyai korban atau dampak baik secara
langsung maupun tidak langsung. Oleh karena itu, kejahatan ini lebih tepat
disebut sebagai kejahatan yang disepakati (concensual crimes).66
Penyalahgunaan narkotika adalah pemakaian narkotika di luar indikasi
medik, tanpa petunjuk atau resep dokter, dan pemakaiannya bersifat patologik
(menimbulkan kelainan) dan menimbulkan hambatan dalam aktivitas di
rumah, sekolah atau kampus, tempat kerja, dan lingkungan sosial.
Ketergantungan narkotika adalah kondisi yang kebanyakan diakibatkan oleh
penyalahgunaan zat yang disertai dengan adanya toleransi zat (dosis semakin
tinggi) dan gejala putus obat. Gejala tersebut memaksa orang untuk
mengulangi pemakaian zat tersebut. 67
Semua zat yang termasuk kategori narkotika menimbulkan adiksi
(ketagihan) yang nantinya dapat berakibat dependensi (ketergantungan) yang
memiliki sifat-sifat sebagai berikut :
1.
Keinginan yang tak tertahankan (an overpowering desire) terhadap
zat yang dimaksud);
2.
Kecenderungan untuk menambah takaran (dosis);
66 Moh. Taufik Makarso, dkk, Tindak Pidana Narkotika, Ghalia Indah, Jakarta,
2005, Hal. Vii.
67
Luthfi Baraza, Narkotika, 2001.
64
3.
Ketergantungan psikologis, yaitu apabila pemakaian zat dihentikan
maka akan menimbulkan gejala kejiwaan;
4.
Ketergantungan fisik, yaitu apabila pemakaian zat dihentikan akan
menimbulkan gejala fisik (gejala putus obat).68
Permasalahan penyalahgunaan narkotika dan ketergantungan narkotika
mempunyai dimensi yang sangat luas dan kompleks, baik dari sudut medis,
maupun psikososial (ekonomi, politik, sosial, budaya, kriminalitas, kerusuhan
masal dan lain sebagainya).
Mengingat permasalahan yang begitu serius mengenai penyalahgunaan
narkotika, Pemerintah tidak henti-hentinya melakukan usaha-usaha yaitu
dengan menerbitkan peraturan perundang-undangan yang baru, yang terakhir
yaitu dengan diundangkannya Undang-Undang No. 35 Tahun 2009 tentang
Narkotika. Undang-undang Narkotika ini diharapkan dapat mencegah dan
memberantas setiap penyalahgunaan narkotika dan presekusor narkotika di
Indonesia.
Perlindungan Anak dalam Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 pada
Pasal 1 angka (2) :
“perlindungan anak adalah segala kegiatan untuk menjamin dan
melindungi anak dan hak-haknya agar dapat hidup, tumbuh,
berkembang, dan berpartisipasi, secara optimal sesuai dengan harkat
dan martabat kemanusiaan, serta mendapat perlindungan dari kekerasan
dan diskriminasi”.
68
Ibid.
65
Pasal 1 angka (12) mengenai hak anak :
“hak anak adalah bagian dari hak asasi manusia yang wajib dijamin,
dilindungi, dan dipenuhi oleh orang tua, keluarga, masyarakat,
pemerintah, dan negara”.
Pasal 59 mengenai perlindungan khusus, yang rumusannya :
“Pemerintah dan lembaga lainnya berkewajiban dan bertanggungjawab
untuk memberikan perlindungan khusus kepada anak dalam situasi
darurat, anak yang berhadapan dengan hukum, anak kelompok
minoritas dan terisolasi, anak tereksploitasi secara ekonomi dan/atau
seksual, anak yang diperdagangkan, anak yang menjadi korban
penyalahgunaan narkotika, alkohol, psikotropika, dan zat adiktif lainnya
(napza), anak korban penculikan, penjualan, dan perdagangan, anak
korban kekerasan fisik dan/atau mental, anak yang menyandang cacat,
dan anak koraban perlakuan salah dan penelantaran”.
Hak anak dan perlindungannya sering terabaikan akibat dari kurangnya
perhatian dari keluarga sebagai masyarakat terkecil juga sebagai akibat dari
lingkungan sekitar anak. Oleh karena itu pemikiran tentang jaminan hak anak
dari orang tua yang pada gilirannya akan menumbuhkan rasa kasih sayang
dan cinta maka terbentuklah suatu masyarakat yang memiliki kesejahteraan,
ketentraman, dan stabilitas yang tinggi.
Menurut Bismar Siregar, aspek perlindungan hukum anak lebih
dipusatkan kepada hak-hak anak yang diatur dalam hukum dan bukan
kewajiban, mengingat anak secara yuridis belum dibebani kewajiban. Hal
tersebut merupakan aspek penting untuk bangsa dalam melanjutkan dan
memberikan kesempatan kepada anak-anak untuk menjalankan dan
melanjutkan kehidupan Negara, bila perlindungan anak tidak diberikan secara
baik, seperti tidak diberikannya secara layak hak-hak yang dimiliki maka
anak yang sedang berhadapan dengan hukum akan mengalami rasa
66
ketidakadilan dan tidak adanya rasa aman terhadap proses hukum yang
dihadapinya. Sehingga tujuan dari pidana anak khususnya memberikan
pembinaan yang layak dan baik agar terhadap anak yang bermasalah dengan
hukum dapat merubah dirinya dan dapat menjalani kehidupan yang lebih
baik, oleh karena itu bila anak tidak mendapat perlindungan yang efektif
sebagaimana yang telah diamanatkan oleh peraturan perundang-undangan di
takutkan terhadap anak-anak yang berhadapan dengan hukum tidak akan
mendapatkan pembinaan yang baik, karena anak yang berhadapan dengan
hukum sangat membutuhkan perlindungan terhadap dirinya.
Prinsip-prinsip dasar untuk melindungi hak anak yang terkandung
dalam Undang-Undang No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak yang
diadopsi dari Konvensi Hak Anak meliputi :69
1.
2.
3.
4.
Prinsip nondiskriminasi.
Prinsip kepentingan yang terbaik bagi anak.
Prinsip hak untuk hidup, kelangsungan hidup, dan perkembangan.
Prinsip penghargaan terhadap pendapat anak.
Supeno70 kemudian mengembangkan prinsip-prinsip perlindungan anak
tersebut menjadi 13 prinsip keadilan bagi anak, yaitu :
1.
Pelaku kenakalan anak adalah korban.
2.
Setiap anak berhak agar kepentingan terbaiknya dijadikan sebagai
pertimbangan utama.
3.
69
Tidak mengganggu tumbuh kembang anak.
Pasal 2 Undang-Undang No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak.
Hadi Supeno, Kriminalisasi Anak: Tawaran Gagasan Radikal Peradilan Anak Tanpa
Pemidanaan, Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 2010, hal. 90-91.
70
67
4.
Setiap anak berhak untuk diperlakukan adil dan setara, bebas dari
segala bentuk diskriminasi.
5.
Setiap anak berhak mengekspresikan pandangan mereka dan
didengar pendapatnya.
6.
Setiap anak berhak dilindungi dari perlakuan salah, kekerasan, dan
eksploitasi.
7.
Setiap anak berhak diperlakukan dengan kasih sayang dan
penghargaan akan harkat dan martabat sebagai manusia yang
sedang tumbuh kembang.
8.
Setiap anak berhak atas jaminan kepastian hukum.
9.
Program pencegahan kenakalan remaja dan pencegahan terhadap
perlakuan salah, kekerasan, dan eksploitasi secara umum harus
menjadi bagian utama sistem peradilan anak.
10. Perenggutan kebebasan dalam bentuk apapun harus selalu
digunakan sebagai upaya terakhir dan apabila terpaksa dilakukan
hanya untuk jangka waktu paling singkat.
11. Perhatian khusus hanya diberikan kepada kelompok yang paling
rentan dari anak, seperti anak korban konflik senjata, anak didaerah
konflik sosial, nak didaerah bencana, anak tanpa pengasuh utama,
anak dari kelompok minoritas, anak yang cacat, anak yang terimbas
migrasi, dan anak yang terinveksi HIV/AIDS.
12. Pendekatan peka gender harus diambil disetiap langkah. Stigmasi
dari kerentanan khas yang dialami anak perempuan dalam sistem
68
peradilan harus diakui sebagai sebuah problem nyata yang banyak
berkaitan dengan status dan peran gendernya sebagai anak
perempuan.
13. Mengembangkan perspektif futuristis dengan meniadakan penjara
anak.
Meskipun telah melakukan tindak pidana, seorang anak harus tetap
dilindungi hak-haknya. Berdasarkan hasil wawancara penulis dengan Ibu
Byrna Mirasari yaitu hakim Pengadilan Negeri Banyumas yang biasa
menangani perkara anak, mengatakan bahwa :
“Perlindungan Hukum terhadap anak adalah segala kegiatan untuk
menjamin dan melindungi anak dan hak-haknya agar dapat hidup,
tumbuh, berkembang dan berpartisipasi secara optimal sesuai dengan
harkat dan martabat kemanusiaan, serta mendapat perlindungan dari
kekerasan dan diskriminasi. Untuk melaksanakan hal tersebut
(pembinaan dan perlindungan anak), diperlukan dukungan, baik yang
menyangkut kelembagaan maupun perangkat hukum yang lebih mantap
dan memadai. Oleh karena itu, ketentuan mengenai penyelenggaraan
pengadilan bagi anak dilakukan secara khusus.71
Agar mengetahui seperti apa bentuk perlindungan hukum terhadap anak
pelaku tindak pidana narkotika dalam proses pengadilan di Pengadilan Negeri
Banyumas dan selama menjalani hukuman di Rumah Tahanan Banyumas,
penulis telah mewawancarai 2 (dua) orang informan, yaitu dari hakim
Pengadilan Banyumas dan Bagian Staf Pendidikan Rumah Tahanan
Banyumas. Hasil wawancara disajikan dalam bentuk matrik di bawah ini.
71
Hasil wawancara dengan Byrna Mirasari,S.H. selaku Hakim Pengadilan Negeri
Banyumas, Senin 19 Maret 2012.
69
Matrik 1 : Bentuk Perlindungan Hukum Terhadap Anak
No.
Nama Informan
1
Byrna
Mirasari,
S.H. (Hakim Anak
di
Pengadilan
Negeri Banyumas)
2
Hasil Wawancara
”Perlindungan
Hukum
terhadap
anak terletak pada
proses persidangan
dan
didalam
penjatuhan
putusannya,
yaitu
berupa
putusan
ringan, karena hakim
berpendapat bahwa
seorang anak yang
terlalu lama berada
didalam
RUTAN,
hanya akan membuat
anak semakin nakal
dan
akan
menghilangkan efek
jera
dari
pemidanaan”.
Winarso
(Bagian ”Perlindungan
Staff Pendidikan)
terhadap anak yaitu
dengan
perlakuan
yang
dibedakan
dengan napi dewasa,
yaitu
napi
anak
dipisahkan
selnya
dengan napi dewasa
dan
tidak
dipekerjakan”.
Subtansi
Tema
Tindakan
Hakim
dalam
menangani
perkara
anak nakal.
Melaksanan
ketentuan
UndangUndang
Perlakuan
terhadap
narapidana
anak
didalam
Rumah
Tahanan
Melaksanan
ketentuan
UndangUndang
Sumber : Data primer yang diolah
Putusan Pengadilan Negeri Banyumas terhadap anak pelaku tindak
pidana narkotika berupa putusan pidana penjara, pidana penjara semata-mata
hanya menimbulkan efek jera dan efek derita terhadap terpidana anak.
Sekarang ini maksud dijatuhkannya pidana penjara adalah bahwa dengan
pidana penjara itu dapat dilakukan pembinaan sedemikian rupa sehingga
70
setelah terpidana selesai menjalani pidananya diharapkan menjadi orang yang
lebih baik dari sebelumnya. Namun, dalam kenyataannya makin lama pidana
penjara dijalani, maka kecenderungan untuk menjadi narapidana secara
sempurna, memiliki kecenderungan untuk melakukan tindak pidana lebih
lanjut setelah dia keluar dari penjara.
Efek jera belum mengacu pada tujuan perlindungan hukum terhadap
anak sebagaimana diatur dalam Pasal 1 angka (2) Undang-Undang Nomor 23
Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak, yaitu :
“perlindungan anak adalah segala kegiatan untuk menjamin dan
melindungi anak dan hak-haknya agar dapat hidup, tumbuh,
berkembang, dan berpartisipasi, secara optimal sesuai dengan harkat
dan martabat kemanusiaan, serta mendapat perlindungan dari kekerasan
dan diskriminasi.”
Efek jera tersebut masih jauh dari tujuan perlindungan anak.
Pertimbangan utama hakim mengadili dan menjatuhkan putusan terhadap
anak adalah kepentingan terbaik bagi anak yang berorientasi kepada keadilan,
bukan atas kekakuan hukum pidana atau hukum acara. Terhadap anak yang
terbukti melakukan kejahatan, hakim harus mengambil keputusan bijak
dengan memperhatikan latar belakang kehidupan anak, latar belakang
kehidupan keluarga anak, faktor-faktor pencetus terjadinya kejahatan, dan
yang terpenting, kemampuan mental dan kesehatan fisik seorang anak yang
akan menanggung beban pemidanaan (jika dijatuhi pidana).
Harus diingat, kekakuan dan formalitas proses peradilan pidana
merupakan beban tersendiri bagi seorang anak yang harus diperhatikan dalam
penjatuhan putusan. Anak pelaku kejahatan dapat saja tidak dijatuhi pidana,
71
yaitu dikenai tindakan sebagaimana dimaksud Pasal 22 dan Pasal 24 UndangUndang Nomor 3 Tahun 1997 tentang Peradilan Anak. Penjatuhan pidana
perampasan kemerdekaan terhadap seorang anak pelaku kejahatan harus
dilakukan oleh hakim sebagai hal ultimum remedium (pilihan terakhir), dan
hanya untuk kepentingan anak. Bagaimanapun penjara bukan tempat yang
baik bagi anak. Di sisi lain hakim harus memperhatikan keseimbangan dan
tuntutan keadilan dari masyarakat yang terkena dampak kejahatan. Upaya
paksa (penahanan, perampasan hak-hak tertentu) jika tidak mengganggu
proses peradilan pidana selayaknya tidak dilakukan.
Proses persidangan perkara anak dilakukan dalam suasana kekeluargaan,
yaitu hakimnya hakim tunggal yang khusus menangani perkara anak, hakim
dan petugas lainnya tidak menggunakan toga, anak didampingi orang tua atau
kuasa hukum dan Pembimbing Kemasyarakatan, dengan tujuan agar anak
tidak merasa takut/tertekan dan tidak menyebabkan jiwanya tergoncang.
Dalam menjatuhkan putusan, hakim sangat memperhatikan hal-hal yang
meringankan bagi anak, sehingga hakim menjatuhkan hukuman yang lebih
ringan demi rasa keadilan, kemanfaatan, dan kepastian hukum bagi anak dan
masyarakat.
Apabila dilihat dari sudut pandang sosiologis, peradilan merupakan suatu
lembaga kemasyarakatan atau suatu institusi sosial yang berproses untuk
mencapai keadilan. Peradilan juga disebut sebagai lembaga sosial yang
merupakan himpunan kaidah-kaidah dari segala tingkatan yang berkisar pada
suatu kebutuhan pokok dalam kehidupan masyarakat.
72
Kaidah-kaidah tersebut meliputi peraturan yang secara hierarki tersusun
dan berpuncak pada pengadilan yang mempunyai peran untuk memenuhi
kebutuhan pokok dalam kehidupan masyarakat, yaitu kebutuhan untuk bisa
hidup secara tertib dan tenteram.
Menurut Sudikno Mertokusumo sebagaimana telah dikutip oleh
Romli Atmasasmita dalam bukunya yang berjudul Peradilan Anak di
Indonesia, peradilan adalah suatu pelaksanaan hukum dalam hal konkrit
adanya tuntutan hak, yang fungsinya dijalankan oleh suatu badan yang berdiri
sendiri dan diadakan oleh negara serta bebas dari pengaruh apapun atau
siapapun dengan cara memberikan putusan yang bersifat mengikat dan
mencegah “eigenrichting” (premanisme).72
Penggunaan kata “anak” dalam Peradilan Anak menunjukkan batasan
terhadap perkara yang ditangani, yaitu perkara anak.
Dengan demikian, proses memberi keadilan berupa rangkaian tindakan
yang dilakukan oleh Badan Peradilan tersebut juga harus disesuaikan dengan
kebutuhan anak. Adapun dalam Pasal 1 ayat (1) Undang-Undang Nomor 3
Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak, ditentukan mengenai anak yang
disidangkan dalam Peradilan Anak berumur 8 (delapan) tahun tetapi belum
mencapai umur 18 (delapan belas) tahun dan belum pernah kawin.
Peradilan Anak merupakan suatu pengkhususan pada lingkaran
Peradilan Umum, sebagaimana tercantum dalam ketentuan Pasal 2 UndangUndang Nomor 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak, dengan kualifikasi
72
51.
Romli Atmasasmita, Peradilan Anak di Indonesia, Bandung, Bandar Maju, 1997, Hal.
73
perkara yang sama jenisnya dengan yang dilakukan oleh orang dewasa dalam
hal melanggar ketentuan dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana
(KUHP).
Oleh karena hal tersebut, maka secara sistematis hukum (recht
sistematisch) isi kewenangan Peradilan Anak tidak akan dan tidak boleh :73
1. Melampaui kompetensi absolut (absolute competentis) Badan
Peradilan Umum;
2. Memeriksa, mengadili, dan memutus perkara-perkara yang telah
menjadi kompetensi absolut lingkungan badan peradilan lain.
Pada permulaan persidangan, Hakim Anak menanyakan kepada
Penuntut Umum tentang orang tua/wali/ orang tua asuh, apakah hadir dalam
persidangan atau tidak. Kehadiran orang tua/wali/ orang tua asuh anak sangat
diperlukan untuk mengetahui latar belakang kehidupan anak dan motif anak
melakukan tindak pidana penyalahgunaan narkotika. Bila orang tua/wali/
orang tua asuh tidak hadir, maka sidang ditunda sampai mereka menghadiri
persidangan.
Menurut Byrna Mirasari, perbedaan pertimbangan hakim dalam
memeriksa dan memutus perkara anak, yaitu dilengkapi dengan laporan BISPA
(Bimbingan Kemasyarakatan dan Pengentasan Anak). Kehadiran Petugas
BISPA tidak diharuskan dalam persidangan yang terpenting adanya laporan
tentang latarbelakang kehidupan si anak, dan lain-lain. Apabila laporan dari
BISPA belum ada maka hakim anak di Pengadilan Negeri Banyumas tetap
73
Ibid., Hal. 52.
74
menunggu laporan dari BISPA, guna melengkapi pertimbangan hakim dalam
memeriksa dan memutuskan perkara anak dalam sidang anak di Pengadilan
Negeri Banyumas.74
Sejak adanya sangkaan atau diadakannya penyidikan sampai diputuskan
pidananya dan menjalani putusan tersebut, anak harus didampingi oleh petugas
social yang membuat Case Study tentang anak dalam sidang oleh petugas
BISPA (Bimbingan Kemasyarakatan dan Pengentasan Anak). Adapun yang
tercantum dalam case study ialah gambaran keadaan si anak berupa : masalah
sosial, kepribadiannya, dan latar belakang kehidupannya : misalnya riwayat
sejak kecil, pergaulan di luar dan di dalam rumah, keadaan rumah tangga si
anak, hubungan antara bapak, ibu dan si anak, hubungan si anak dengan
keluarganya, dan lain-lain. Latar belakang saat dilakukannya tindak pidana
tersebut.
Sebelum sidang dibuka, Hakim Anak memerintahkan Pembimbing
Kemasyarakatan untuk menyampaikan Laporan Penelitian Kemasyarakatan.
Setelah laporan dibacakan, Hakim membuka sidang dan dinyatakan tertutup
untuk umum. Kemudian terdakwa dipanggil masuk ke dalam ruang sidang
dengan didampingi orang tua/wali/ orang tua asuh, Penasehat Hukum dan
Pembimbing Kemasyarakatan.
Bentuk Perlindungan Hukum terhadap anak dalam sidang anak
meliputi:
74
Hasil wawancara dengan Byrna Mirasari,S.H. selaku Hakim Pengadilan Negeri
Banyumas, Senin 19 Maret 2012.
75
1. Sidang dibuka dan dinyatakan tertutup untuk umum (Pasal 8
angka (1) Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997 tentang
Pengadilan Anak);
2. Pemeriksaan dalam sidang pengadilan dilakukan dalam suasana
kekeluargaan, oleh karena itu Hakim, Jaksa dan petugas lainnya
tidak memakai toga serta atribut/tanda kepangkatan masingmasing (Pasal 6 Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997 tentang
Pengadilan Anak);
3. Adanya keharusan pemisahan persidangan dengan orang
dewasa, baik yang berstatus sipil maupun
militer (Pasal 7
Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan
Anak);
4. Balai Pemasyarakatan turut serta membuat Laporan Penelitian
terhadap anak;
5. Hakim memeriksa dan memutus perkara anak dalam tingkat
pertama,banding, dan kasasi adalah hakim tunggal (Pasal 11,
Pasal 14 angka (1), Pasal 18 angka (1) Undang-Undang Nomor
3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak)
6. Hukuman lebih ringan (Pasal 26 Undang-Undang Nomor 3
Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak)
Sesuai ketentuan dalam Pasal 58 Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997
tentang
Pengadilan Anak,
pada
waktu
pemeriksaan
saksi,
Hakim
memerintahkan agar terdakwa dibawa keluar ruang sidang. Tetapi orang
76
tua/wali/
orang
tua
asuh,
Penasehat
Hukum,
dan
Pembimbing
Kemasyarakatan, untuk tetap hadir dipersidangan.
Hal tersebut dimaksudkan untuk menghindari adanya hal yang dapat
mempengaruhi jiwa anak. Hakim harus cermat dan teliti terhadap keadaan
terdakwa, untuk dapat menentukan anak harus keluar sidang pengadilan atau
tidak pada saat pemeriksaan saksi. Jika diperkiraan keterangan saksi dapat
mempengaruhi jiwa anak, maka anak yang bersangkutan harus dikeluarkan
dalam rangka perlindungan anak.
Setelah pemeriksaan saksi, kemudian dilanjutkan dengan pemeriksaan
terdakwa. Dalam melakukan pemeriksaan, Hakim dan petugas lainnya tidak
memakai pakaian seragam dengan tujuan untuk menghilangkan rasa takut
dalam diri anak (terdakwa).
Berdasarkan ketentuan dalam Pasal 59 Undang-Undang Nomor 3
Tahun 1997 tentang Peradilan Anak, maka sebelum Hakim memberi
kesempatan kepada orang tua/wali/orang tua asuh untuk mengemukakan hak
ikhwal yang bermanfaat bagi anak.
Dalam Pasal 24 Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997 tentang
Peradilan Anak, diatur mengenai tindakan yang dapat dijatuhkan kepada
Anak Nakal, yang meliputi :
1.
2.
3.
Mengembalikan kepada orang tua/wali/orang tua asuh.
Menyerahkan kepada negara untuk mengikuti pendidikan,
pembinaan, dan latihan kerja.
Menyerahkan kepada Depatemen Sosial atau organisasi sosial
kemasyarakatan yang bergerak di bidang, pembinaan, dan
latihan kerja.
77
Selama proses peradilan, hak-hak anak harus dilindungi, yang meliputi
asas praduga tidak bersalah, hak untuk memahami dakwaan, hak untuk diam,
hak untuk menghadirkan orang tua/wali/orang tua asuh, hak untuk
berhadapan dan menguji silang kesaksian atas dirinya dan hak untuk banding.
Penerapan hak-hak anak dalam proses peradilan merupakan suatu hasil
interaksi antara anak dengan keluarga, masyarakat, serta penegak hukum
yang saling mempengaruhi untuk meningkatkan kepedulian terhadap
perlindungan anak demi kesejahteraan anak.
Dalam Pasal 1 angka 8 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1995 tentang
Pemasyarakatan, terdapat batasan pengertian mengenai Anak Didik
Pemayarakatan, yaitu :
1. Anak Pidana
Anak yang berdasarkan putusan pengadilan menjalani pidana
di Lapas Anak paling lama sampai berumur 18 (delapan belas)
tahun;
2. Anak Negara
Anak yang berdasarkan putusan pengadilan diserahkan pada
negara untuk dididik dan ditempatkan di Lapas Anak paling
lama sampai berumur 18 (delapan belas) tahun;
3. Anak Sipil
Anak yang atas permintaan orang tua atau walinya memperoleh
penetapan pengadilan untuk dididik di Lapas Anak paling lama
sampai berumur 18 (delapan belas) tahun.
Dari ketiga jenis Anak Didik Pemasyarakatan tersebut, berdasarkan
Pasal 22 ayat (1), Pasal 29 ayat (1), serta Pasal 36 ayat (1) Undang-Undang
Nomor 12 Tahun 1995 tentang Pemayarakatan, masing-masing anak didik
memiliki hak yang hampir sama, yaitu :
1.
Melakukan ibadah sesuai dengan agama dan kepercayaannya;
78
2.
3.
4.
5.
6.
7.
8.
9.
Mendapatkan perawatan, baik perawatan jasmani maupun
rohani;
Mendapatkan pendidikan dan pengajaran;
Mendapatkan pelayanan kesehatan dan makanan yang layak;
Menyampaikan keluhan;
Mendapatkan bahan bacaan dan mengikuti siaran media massa
lainnya yang tidak dilarang;
Menerima kunjungan keluarga, penasehat hukum, atau orang
tertentu lainnya;
Mendapatkan kesempatan berasimilasi, termasuk cuti
mengunjungi keluarga;
Mendapatkan hak-hak lain sesuai peraturan perundangundangan yang berlaku;
Sedangkan untuk perbedaan hak dari ketiga jenis Anak Didik
Pemasyarakatan itu, adalah :
1.
Anak Negara mempunyai penambahan hak untuk mendapatkan;
a. Pembebasan bersyarat.
b. Cuti menjelang bebas.
2.
Anak Pidana mempunyai penambahan hak untuk mendapatkan;
a. Pembebasan bersyarat.
b. Cuti menjelang bebas.
c. Pengurangan masa pidana (remisi).
Dalam Pasal 60 ayat (1) Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997 tentang
Peradilan Anak juga mengatur mengenai hak anak yang di tempatkan di
Lapas, meliputi hak untuk memperoleh pendidikan dan pelatihan sesuai
dengan bakat dan kemampuannya, serta hak lain sesuai dengan peraturan
perundang-undangan
yang
berlaku.
Ketentuan
tersebut
kemudian
dicantumkan secara lebih jelas mengenai hak-hak Anak Pidana, Anak Negara,
serta Anak Sipil dalam Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1995 tentang
Pemasyarakatan.
79
Menurut Winarso, pidana penjara bagi anak pelaku tindak pidana
narkotika lebih efektif dari pada hukuman lainnya. Hal ini di karenakan
melihat maraknya peredaran narkoba dan pergaulan bebas yang ada di
masyarakat, dengan pidana penjara maka akan menjadikan contoh bagi anakanak yang lain untuk tidak mencoba apa yang namanya narkoba. Dengan
tetap memperhatikan hak-hak anak sehingga diharapkan peran hakim dalam
memutus perkara anak tidak mengabaikan hak-hak anak karena anak masih
memiliki masa depan (penjatuhan hukuman ringan sebagai efek jera).75
Hal tersebut merupakan fungsi hukum sebagai upaya preventif, yaitu
upaya-upaya pencegahan terhadap terjadinya pelanggaran-pelanggaran norma
hukum. Pengaruh ini tidak hanya ada apabila sanksi pidana benar-benar
diterapkan terhadap pelanggaran yang konkrit, akan tetapi sudah ada karena
sudah tercantum dalam peraturan hukum.
Pembinaan atau pembimbingan merupakan sarana yang mendukung
keberhasilan negara dalam menjadikan narapidana menjadi anggota
masyarakat yang baik. Lembaga Pemasyarakatan Anak ikut berperan dalam
pembinaan narapidana yang mempunyai tugas untuk memperlakukan
narapidana agar menjadi baik.
Dalam pembinaan itu hal yang perlu dibina adalah pribadi narapidana
dengan membangkitkan rasa
harga diri dan mengembangkan rasa
tanggungjawab untuk menyesuaikan diri dengan kehidupan yang tenteram
75
Hasil wawancara dengan Winarso, S.H. Staf Bagian Pendidikan RUTAN Banyumas,
Selasa 20 Maret 2012.
80
dan sejahtera dalam masyarakat sehingga setelah mereka keluar dari Lapas
bisa menjadi manusia yang berpribadi baik dan bermoral tinggi.
Selanjutnya agar penulis mengetahui usia anak pelaku tindak pidana
narkotika dan tingkat (angka) tindak pidanan narkotika di Pengadilan Negeri
Banyumas, penulis telah mewawancarai hakim anak, yaitu Ibu Byrna
Mirasari. Hasil wawancara disajikan dalam bentuk matrik dibawah ini.
Matrik 2 : Bentuk Perlindungan Hukum Terhadap Anak
No.
Tahun
Jumlah
Usia
1.
2009
1
17 Tahun
2.
2010
2
15 Tahun & 16 Tahun
3.
2011
2
15 Tahun & 17 Tahun
4.
2012
1
16 Tahun
Sumber : Data primer yang telah diolah
Menurut Bu Byrna Mirasari, “pada kurun waktu tahun 2009 sampai
awal tahun 2012 rata-rata anak pelaku tindak pidana narkotika berusia antara
15-17 tahun dan masih usia sekolah. Secara umum penyalahgunaan narkotika
dikalangan anak dan remaja mengalami peningkatan, namun kasus yang
masuk ke Pengadilan Negeri Banyumas masih sangat sedikit, hanya 1-2 kasus
per tahunnya.”76
Saat ini masalah penyalahgunaan narkotika pada anak dan remaja
adalah masalah yang sangat kompleks sehingga perlu pendekatan yang
seimbang antara penegakan hukum dan pencegahan. Penegakan hukum
76
Hasil wawancara dengan Byrna Mirasari,S.H. selaku Hakim Pengadilan Negeri
Banyumas, Senin 19 Maret 2012.
81
terhadap aturan-aturan hukum tentang penyalahgunaan narkotika tidak
terbatas pada tindakan dengan menghukum atau memasukan pelanggar ke
dalam penjara sebanyak-banyaknya, akan tetapi yang lebih substansial adalah
bagaimana upaya pemerintah dapat membimbing warga masyarakat agar
tidak kecanduan untuk melakukan penyalahgunaan narkotika. Oleh karena itu
kerjasama dengan masyarakat sangat diperlukan. Hal ini pun sudah
ditegaskan dalam Undang-Undang Nomor 35 tahun 2009 sebagaimana
dirumuskan dalam Pasal 104 yang merumuskan :
Masyarakat mempunyai kesempatan yang seluas-luasnya untuk
berperan serta membantu pencegahan dan pemberantasan
penyalahgunaan dan peredaran gelap Narkotika dan Prekursor
Narkotika.
Tindakan-tindakan preventif (pencegahan) dapat dilakukan dalam 2
(dua) cara, yaitu :77
1. Cara moralistik, yaitu cara-cara mencegah melalui memperkuat
mental dan moral masyarakat menjadi kebal (iman) terhadap
bujukan narkotika melalui pembinaan kesadaran mental masyarakat
seperti kesadaran beragama dan melalui pendekatan penerangan
dalam bentuk penyuluhan-penyuluhan tentang bahaya narkotika baik
terhadap pemakai, masa depan anak-anak remaja dan bahayanya
terhadap negara.
2. Cara abolisionistik, yaitu cara menaggulangi gejala tertentu melalui
usaha
77
menghilangkan
faktor-faktor
penyebabnya
Soedjono D., Narkotika, Karya Ananda, Jakarta, 1973, Hal. 113
dalam
hal
82
narkotika yaitu dilakukan oleh para ahli seperti ahli medis,
psyikolog, sosiolog, ahli kebudayaan, kriminolog dan lain-lain.
Program-program
pencegahan
penyalahgunaan
narkotika
dapat
digolongkan ke dalam 3 (tiga) bentuk program pencegahan yaitu Pencegahan
primer, Pencegahan sekunder dan Pencegahan tertier.78
1. Pencegahan Primer
Bertujuan mencegah untuk menghindarkan diri dari pengaruh
lingkungan kehidupan penyalahgunana Narkotika.
Sasaran pencegahan primer ditujukan terutama kepada para anakanak dan generasi muda yang belum menyalahgunakan Narkotika,
baik di dalam lingkungan sekolah/lembaga pendidikan maupun
diluar lingkungan sekolah / lembaga pendidikan.
Kegiatan-kegiatan pencegahan primer terutama dilaksanakan dalam
bentuk penyuluhan, penerangan dan pendidikan seperti :
-
Penyuluhan tatap muka : ceramah dan diskusi, sarasehan,
seminar.
-
Media masa cetak (surat kabar, leaflet, brosur, bulletin, poster,
sticker dll)
-
Penyuluhan dengan mengintegrasikan informasi tentang bahaya
masalah narkotika kealam kegiatan-kegiatan masyarakat seperti
PKK, organisasi pemuda, arisan, pengajian, pertemuan rutin
tokoh masyarakat, pertemuan rutin di sekolah, dll.
78
Sudarsono, Kenakalan Remaja, Rineka Cipta, Jakarta, 1990, Hal. 73-74
83
-
Pendidikan pencegahan dengan mengintegrasikan pendidikan
(drug education) ke dalam kurikulum SD, SMP dan SMU ke
dalam mata ajaran seperti IPA, Biologi, Pendidikan Jasmani dan
Kesehatan (Penjaskes) dan Pendidikan Agama.
-
Pendidikan para orang tua tentang mengasuh anak yang baik dan
pencegahan penyalahgunaan narkotika.
2. Pencegahan Sekunder
Bertujuan untuk menghindarkan diri dari pengaruh lingkungan
kehidupan penyalahgunaan Narkotika.
Pencegahan sekunder ditujukan terutama kepada para anak-anak
yang sudah mulai mencoba-coba narkotika, baik di dalam
sekolah/lembaga pendidikan maupun di luar sekolah, serta sektorsektor masyarakat yang dapat membantu anak-anak agar berhenti
dari penyalahgunaan narkotika.
Kegiatan pencegahan sekunder menitikberatkan pada kegiatan
deteksi secara dini terhadap anak yang menyalahgunakan narkotika,
kenseling perorangan dan keluarga bermasalah penyalahgunaan
narkotika, bimbingan sosial melalui kunjungan rumah. Juga
penerangan dan pendidikan pencegahan tentang bahaya narkotika
dan pendidikan pengembangan individu (life skills) seperti
ketrampilan berkomunikasi, ketrampilan menolak tekanan teman
sebaya dan ketrampilan mengambil keputusan yang baik.
3. Pencegahan Tertier
84
Pengobatan korban narkotika dan pemulihan kondisi fisik, psikis,
mental, moral dan sosial bekas korban penyalahgunaan narkotika
dengan tujuan untuk mencegah jangan sampai mereka kambuh atau
relapse dan terjerumus kembali ke dalam masalah penyalahgunaan
narkotika.
Pencegahan ini dilaksanakan untuk membantu korban narkotika
kembali kepada masyarakat dengan keadaan sehat dan produktif
sehingga dapat menjalankan fungsi sosialnya kembali dalam
masyarakat.
Pencegahan tertier ditujukan terutama kepada korban narkotika dan
bekas korban narkotika dan sektor-sektor masyarakat yang bisa
membantu bekas korban narkotika untuk menghindarkan diri
melanjutkan penyalahgunaan narkotika.
Kegiatan pencegahan tertier terutama dilaksanakan dalam bentuk
bimbingan sosial dan konseling terhadap yang bersangkutan dan
keluarga serta kelompok sebayanya; penciptaan lingkungan sosial
dan pengawasan sosial yang menguntungkan bekas korban untuk
mantapnya
kesembuhan,
pengembangan
minat,
bakat
dan
ketrampilan bekerja bekas korban narkotika, bantuan pelayanan
penempatan kerja, pembinaan orang tua, keluarga, teman sebaya,
para guru dan masyarakat di mana korban tinggal, agar siap
menerima bekas korban dengan baik, memperlakukannya dengan
85
wajar dan turut membina dan mengawasinya jangan sampai bekas
korban kembali ke dalam penyalahgunaan narkotika.
Selain
memberikan
upaya
pengawasan
perlindungan
dan
khusus
pencegahan
kepada
anak
pemerintah
yang
dalam
melakukan
penyalahgunaan narkotika juga dilakukan upaya perawatan. Upaya perawatan
ini diberikan oleh pemerintah untuk para penyalahgunaan narkotika maupun
pecandu narkotika. Upaya tersebut dilakukan dengan cara melakukan
melakukan pelaporan kepada institusi wajib lapor yang diatur oleh Peraturan
Pemerintah No. 25 Tahun 2011 tentang Pelaksaan Wajib Lapor Pecandu
Narkotika. Yang mana terhadap pecandu narkotika diberikan perawatan yang
telah disediakan oleh pemerintah dalam hal ini kementrian kesehatan.
Pemerintah menunjuk instansi puskesmas, rumah sakit, dan balai rehabilitasi
medis dan rehabilitasi sosial untuk melakukan pengobatan dan perawatan
terhadap pengguna dan pecandu narkotika. Kegunaan dan kepentingan
perawatan adalah sebagai bagian dari pencegahan penyalahgunaan narkotika
dan untuk memulihkan pra pengguna dan pecandu narkotika agar kelak
pecandu tersebut sembuh dari ketergantungan dan dapat hidup lebih baik dan
bisa diterima oleh masyarakat.
Perlindungan khusus yang diberikan kepada anak dalam Pasal 61 ayat
(1) juga memuat mengenai rehabilitasi. Rehabilitasi yang dapat dilakukan
oleh pemerintah dan masyarakat adalah berupa rehabilitasi medis dan
rehabilitasi sosial. Berdasarkan Undang-Undang No. 35 Tahun 2009 tentang
Narkotika, yaitu Pasal 1 angka 16 dan 17 menjelaskan bahwa Rehabilitasi
86
Medis adalah suatu proses kegiatan pengobatan secara terpadu untuk
membebaskan pecandu dari ketergantungan narkotika. Rehabilitasi sosial
adalah suatu proses kegiatan pemulihan secara terpadu, baik fisik, mental,
maupun sosial, agar bekas pecandu narkotika dapat kembali melaksanakan
fungsi sosial dalam kehidupan masyarakat. Rehabilitasi medis dilakukan di
rumah sakit yang telah ditunjuk pemerintah. Hal ini agar para pecandu
narkotika
dapat
pulih
dari
ketergantungan
dan
dapat
beraktifitas
melaksanakan fungsi sosial dengan baik di masyarakat. Terhadap anak
pecandu narkotika dibawah umur yang belum mencapai 18 tahun maka
pelapor rehabilitasi medis dan sosial dilakukan oleh orang tua/wali dari
pecandu tersebut. Hal ini didasarkan pada Pasal 55 ayat (1) Undang-Undang
No. 35 Tahun 2009 tentang Narkotika.
Agar mengetahui faktor-faktor penghambat perlindungan terhadap anak
pelaku tindak pidana narkotika di wilayah Pengadilan Negeri Banyumas
ditinjau dari segi hukumnya, penulis telah mewawancarai terhadap 2 (dua)
informan yang disajikan dalam bentuk matrik di bawah ini :
Matrik 3 : Faktor
Penghambat
Perlindungan
Hukum
Terhadap Anak Pelaku Tindak Pidana Narkotika di
Wilayah Hukum Pengadilan Negeri Banyumas dari
segi undang-undang.
No.
Nama Informan
Hasil Wawancara
Tema
1
Byrna Mirasari,
S.H.
Hakim
Pengadilan
Negeri
Banyumas
”Ketentuan
peraturan
perundang-undangan
yang ada sudah cukup
melindungi kepentingan
anak, namun dalam
pelaksanaanya
hakim
lebih berperan aktif
Faktor
eksterna
l
Implikasi
Tidak
menghambat
87
dalam menggali nilainilai
didalam
masyarakat,
karena
peratuan
perundangundangan tidak harus
dijalankan secara saklek.
Dan
memperhatikan
pilar
hukum
yaitu
Keadilan, Kemanfaatan,
dan Kepastian Hukum.
2
Winarso, S.H. ”Menurut saya ketentuan Faktor
(Staf
Bagian peraturan
perundang- eksterna
Pendidikan
undangan tidak menjadi l
RUTAN
kendala karena sudah
Banyumas)
sangat jelas mengatur
tentang
hak
dan
kewajiban
serta
kedudukan anak di dalam
Lembaga
Pemasyarakatan”.
Sumber : Data primer yang diolah
Tidak
menghambat
Berdasarkan matrik di atas maka sudah jelas bahwa Faktor undangundang tidak menjadi kendala karena sudah jelas diatur mengenai proses
pemidanaan dan pembinaan terhadap anak pelaku tindak pidana narkotika
didalam Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997 Tentang Pengadilan Anak,
Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 dan Undang-Undang Nomor 15
Tahun 1995 tentang Pemasyarakatan.
Menurut keterangan para informan berdasarkan wawancara maka dapat
ditarik kesimpulan bahwa faktor peraturan (hukum) sudah sangat jelas dan
tidak menghambat penegakan hukum terhadap anak di wilayah Pengadilan
Negeri Banyumas.
Selanjutnya mengenai faktor penghambat penegak hukum dalam
menjalanakan perannya diitinjau dari faktor sarana telah mewawancarai 2
88
orang informan dari BNK Banyumas dan hasilnya di tuangkan dalam bentuk
matrik berikut ini :
Matrik 4 : Faktor
Penghambat
Perlindungan
Hukum
Terhadap Anak Pelaku Tindak Pidana Narkotika di
Wilayah Hukum Pengadilan Negeri Banyumas dari
segi Sarana prasarana
No.
Nama Informan
1
Byrna Mirasari,
S.H.
(Hakim
Pengadilan
Negeri
Banyumas)
Hasil Wawancara
”Di Pengadilan Negeri
Banyumas belum tersedia
ruang tunggu dan ruang
sidang khusus untuk anak,
di wilayah Banyumas
belum tersedia tahanan
khusus untuk anak dan
belum
tersedia
balai
rehabilitasi narkotika”.
2
Winarso (Staf ”Tidak
mendukungnya
Bagian
sarana penunjang terkait
Pendidikan)
dengan
pendidikan
ketrampilan untuk warga
binaan
di
RUTAN
Banyumas”.
Sumber : Data primer yang diolah
Tema
Implikasi
Faktor
eksterna
l
Menghambat
Faktor
eksterna
l
Menghambat
Tanpa adanya sarana atau fasilitas tertentu, maka tidak mungkin
penegakan hukum akan berlangsung dengan lancar. Sarana atau fasilitas
tersebut antara lain mencakup tenaga manusia yang berpendidikan dan
terampil, organisasi yang baik, peralatan yang memadai, keuangan yang
cukup, gedung kantor, dan seterusnya.
Berdasarkan matrik tersebut diatas, maka faktor sarana menjadi
penghambat penegak hukum di wilayah Pengadilan Negeri Banyumas dalam
menjalankan perannya.
89
Dengan demikian perlindungan hukum terhadap anak pelaku tindak
pidana narkotika di Pengadilan Negeri Banyumas belum diterapkan dengan
baik karena menurut Ibu Byrna Mirasari, hakim di Pengadilan Banyumas
tidak pernah memutus sanksi rehabilitasi terhadap anak pelaku tindak pidana
narkotika. Hal tersebut dikarenakan para hakim hanya mengikuti putusanputusan sebelumnya dan tidak berani menjatuhkan putusan rehabilitasi yang
menurutnya prosedurnya rumit. Selain itu tidak tersedianya Balai Rehabilitasi
Narkotika di Wilayah Banyumas menjadi faktor yang menghambat
perlindungan terhadap anak pelaku tindak pidana narkotika. Putusan hakim
Pengadilan Negeri Banyumas dalam kasus anak pelaku tindak pidana
narkotika selalu berupa putusan pidana penjara. Hal tersebut tidak sesuai
dengan tujuan sistem peradilan pidana anak yaitu lebih memperhatikan masa
depan dan kepentingan terbaik untuk anak.
B. Faktor-faktor yang Memengaruhi Anak Melakukan Tindak Pidana
Narkotika di Pengadilan Negeri Banyumas
Penggunaan narkoba bukanlah suatu kejadian sederhana yang bersifat
mandiri, melainkan merupakan akibat dari berbagai faktor yang secara
kebetulan terjalin menjadi fenomena yang sangat merugikan bagi semua
pihak yang terkait.79
Secara sosiologis penggunaan narkotika oleh kaum remaja merupakan
perbuatan yang disadari berdasarkan pengetahuan dan pengalaman sebagai
pengaruh langsung maupun tidak langsung dari proses interaksi sosial. Secara
79
Dwi Yanny L, Narkoba, Pencegahan, dan Penanggulangannya, PT. Gramedia, Jakarta,
2001, Hal. 29
90
subyektif individual penggunaan narkoba sebagai salah satu akselerasi upaya
individual/subyek agar dapat mengungkap dan menangkap kepuasan yang
belum pernah dirasakan dalam kehidupan keluarga yang hakikatnya menjadi
kebutuhan primer dan fundamental bagi setiap individu, terutama bagi anak
remaja yang sedang tumbuh dan berkembang dalam segala aspek
kehidupannya. Secara obyektif penggunaan narkotika merupakan visualisasi
dari proses isolasi yang pasti membebani fisik dan mental sehingga dapat
menghambat pertumbuhan yang sehat. 80
Pada umumnya secara keseluruhan faktor-faktor penyebab terjadinya
tindak pidana narkotikan dapat dikelompokkan menjadi: 81
1. Faktor internal pelaku
Ada berbagai macam penyebab kejiwaan yang dapat mendorong
seseorang terjerumus kedalam tindak pidana narkotika, penyebab
internal itu antara lain sebagai berikut :
a. Perasaan Egois.
Merupakan sifat yang dimiliki setiap orang. Sifat ini seringkali
mendominir perilaku seseorang secara tanpa sadar, dengan juga
bagi orang yang berhubungan dengan narkotika/para pengguna
dan pengedar narkotika. Pada suatu ketika rasa egoisnya dapat
mendorong untuk memiliki dan menikmati secara penuh apa yang
mungkin dihasilkan dari narkotika.
b. Kehendak Ingin Bebas.
80
Sudarsono, Kenakalan Remaja, Rineka Cipta, Jakarta, 1995, Hal. 67
Moh. Taufik Makarso, dkk, Tindak Pidana Narkotika, Ghalia Indonesia, Jakarta, 2005,
Hal. 53-54
81
91
Sifat ini adalah juga merupakan sifat dasar yang dimiliki manusia.
Sementara dalam tata pergaulan masyarakat banyak, normanorma yang membatasi kehendak bebas tersebut. Kehendak ingin
bebas ini muncul dan terwujud kedalam perilaku setiap kali
seseorang diimpit beban pemikiran maupun perasaan. Dalam hal
ini, seseorang yang sedang dalam himpitan tersebut melakukan
interaksi dengan orang lain sehubungan dengan narkotika, maka
dengan sangat mudah seseoarang itu akan terjerumus pada tindak
pidana narkotika.
c. Goncangan Jiwa
Hal ini terjadi karena salah satu sebab yang secara kejiwaan hal
tersebut tidak mampu dihadapi/diatasinya. Dalam keadaan jiwa
yang labil, apabila ada pihak-pihak yang berkomunikasi
dengannya mengenai narkotika maka ia akan dengan mudah
terlibat tindak pidana narkotika.
d. Rasa Keingintahuan
Perasaan ini pada umumnya lebih dominan pada manusia yang
usianya masih muda, perasaan ingin ini tidak terbatas pada hal-hal
yang positif, tetapi juga pada hal-hal yang negatif. Rasa ingin tahu
tentang narkotika, ini juga mendorong seseorang melakukan
perbuatan yang tergolong dalam tindak pidana narkotika.
2. Faktor eksternal pelaku.
92
Faktor-faktor yang datang dari luar banyak sekali, diantaranya yang
paling penting adalah berikut ini.
a. Keluarga
Lingkungan keluarga merupakan unsur yang penting sekali dalam
perkembangan jiwa anak. Dalam lingkungan keluarga inilah anak
dapat melihat contoh yang diperankan oleh orang tua atau anggota
keluarga lainnya. Hubungan dalam keluarga yang tidak serasi
akan mengakibatkan perkembangan jiwa anak yang tidak serasi
pula. Jika dalam keluarga sering terjadi pertengkaran, maka
akibatnya adalah menipisnya rasa sosial serta rasa kemanusiaan
anak. Dengan demikian anak akan mengalami kesukarankesukaran dalam menyesuaikan diri dengan lingkungannya,
sehingga sering menimbulkan kenakalan anak dan remaja.
Menurut S. Soeitoe dalam bukunya, Kesehatan Mental, kenakalan
anak-anak dan remaja banyak disebabkan oleh keadaan keluarga
sebagai berikut :82
1) Kurangnya perhatian orang tua terhadap anaknya. Hal
ini mungkin karena orang tua terlalu sibuk dengan
pekerjaannya, atau karena kemewahannya sehingga ia
membiarkan anaknya berlaku menurut kemauannya
sendiri.
82
Rachman Hermawan, Penyalahgunaan Narkotika oleh Para Remaja, PT. Eresco,
Bandung, 1987, Hal. 33-34.
93
2) Ketidaklengkapan orang tua dalam keluarga, baik
karena salah satu meninggal dunia ataupun karena
perceraian, yang lazim disebut broken home.
b. Keadaan Ekonomi
Keadaan ekonomi pada dasarnya dapat dibedakan menjadi 2
(dua), yaitu keadaan ekonomi yang baik dan keadaan ekonomi
yang kurang atau miskin. Pada ekonomi yang baik maka orangorang dapat mencapai dan memenuhi kebutuhannya dengan
mudah. Demikian juga sebaliknya, apabila keadaan ekonomi
kurang baik maka pemenuhan kebutuhan sangat sulit adanya,
karena itu orang-orang akan berusaha untuk keluar dari himpitan
ekonomi tersebut.
Dalam hubungannya dengan narkotika, bagi orang-orang yang
tergolong dalam ekonomi yang baik akan mempercepat
keinginan-keinginan
untuk
mengetahui,
menikmati,
dan
sebagainya tentang narkotika. Sedangkan bagi yang keadaan
ekonominya sulit dapat juga melakukan hal tersebut, tetapi
kemungkinannya lebih kecil dari pada yang ekonominya cukup.
Berhubung narkotika tersebut terdiri dari berbagai macam dan
harganya pun beraneka ragam, maka dalam keadaan ekonomi
yang bagaimana pun narkotika dapat beredar dan dengan
sendirinya tindak pidana narkotika dapat saja terjadi.
c. Pergaulan/Lingkungan.
94
Pergaulan ini pada pokoknya terdiri dari pergaulan/lingkungan
tempat tinggal, lingkungan sekolah atau tempat kerja dan
lingkungan pergaulan lainnya. Ketiga lingkungan tersebut dapat
memberikan pengaruh yang negatif terhadap seseorang, artinya
akibat yang ditimbulkan oleh interaksi dengan lingkungan
tersebut seseorang dapat melakukan perbuatan yang baik dan
dapat pula sebaliknya. Apabila dilingkungan tersebut narkotika
dapat diperoleh dengan mudah, maka dengan sendirinya
kecenderungan melakukan tindak pidana narkotika semakin besar
adanya.
d. Kemudahan
Kemudahan disini dimaksudkan dengan semakin banyaknya
beredar jenis-jenis narkotika di pasar gelap maka akan semakin
besarlah peluang terjadinya tindak pidana narkotika.
e. Kurangnya pengawasan
Pengawasan disini dimaksudkan adalah pengendalian terhadap
persediaan narkotika, penggunaan, dan peredarannya. Jadi tidak
hanya mencakup pengawasan yang dilakukan pemerintah, tetapi
juga pengawasan oleh masyarakat. Pemerintah memegang
peranan penting membatasi mata rantai peredaran, produksi, dan
pemakaian narkotika. Dalam hal kurangnya pengawasan ini, maka
pasar gelap, produksi gelap, dan populasi pecandu narkotika akan
semakin meningkat. Pada gilirannya, keadaan semacam itu sulit
95
untuk dikendalikan. Disisi lain, keluarga merupakan inti dari
masyarakat seyogyanya dapat melakukan pengawasan intensif
terhadap anggota keluarganya untuk tidak terlibat keperbuatan
yang tergolong tindak pidana narkotika. Dalam hal kurangnya
pengawasan seperti dimaksudkan diatas, maka tindak pidana
narkotika bukan merupakan perbuatan yang sulit dilakukan.
f. Ketidaksenangan dengan Keadaan Sosial
Bagi seseorang yang terhimpit oleh keadaan sosial maka
narkotika dapat menjadikan sarana untuk melepaskan diri daroi
himpitan tersebut, meskipun sifatnya hanya sementara. Tetapi
bagi orang-orang tertentu yang memiliki wawasan, uang, dan
sebagainya, tidak saja dapat menggunakan narkotika sebagai alat
untuk melepaskan diri dari himpitan keadaan sosial, tetapi lebih
jauh dapat dijadikan alat bagi pencapaian tujuan-tujuan tertentu.
Kedua faktor tersebut tidak selalu berjalan sendiri-sendiri dalam suatu
peristiwa pidana narkotika, tetapi juga merupakan kejadian yang disebabkan
karena kedua faktor tersebut saling mempengaruhi secara bersama.
Dari hasil wawancara dengan Ibu Byrna Mirasari, yaitu Hakim di
Pengadilan Negeri Banyumas, mengatakan bahwa :
Faktor yang memengaruhi anak melakukan tindak pidana narkotika di
Pengadilan Negeri Banyumas adalah karena kondisi atau keadaan
keluarga yang tidak utuh (broken home) sehingga didalam lingkungan
keluarga anak merasa kecewa dan mencari pelampiasan atas
kekecewaannya di luar rumah, dengan demikian anak menjadi mudah
terpengaruh oleh hal-hal yang tidak baik (menggunakan narkotika).
96
Kemudian dari hasil wawancara dengan Andri, yaitu seorang anak
pidana yang saat ini menjalani hukuman di RUTAN Banyumas, mengatakan
bahwa :
Saya menggunakan narkotika (ganja) karena pengaruh teman diluar
lingkungan sekolah. Saya mengetahui kalau narkotika itu dilarang
digunakan secara bebas dan menyadari perbuatannya tersebut
melanggar undang-undang, namun saya merasa dipengaruhi oleh
teman-teman dan ingin mencoba merasakan kenikmatan narkotika yang
ditawarkan teman-teman. Saya mengkonsumsi ganja sudah lebih dari
satu tahun. 83
Berdasarkan hasil penelitian di Pengadilan Negeri Banyumas dan di
Rumah Tahanan Banyumas, kedua faktor yaitu faktor internal dan faktor
eksternal pelaku anak saling mempengaruhi terjadinya tindak pidana
narkotika. Rasa keingintahuan merupakan faktor internal dalam diri anak
yang menyebabkan anak terdorong ingin mencoba/merasakan yang namanya
narkotika. Faktor eksternal yang memengaruhi anak melakukan tindak pidana
narkotika yaitu kurangnya perhatian orang tua terhadap anak dan
ketidaklengkapan orang tua dalam keluarga (broken home). Selain itu, faktor
pergaulan/lingkungan tempat tinggal dapat memberikan pengaruh yang
negatif terhadap anak.
83
Hasil wawancara dengan Andri, anak pelaku tindak pidana yang dijatuhi pidana di
RUTAN Banyumas.
97
BAB V
PENUTUP
A. Simpulan
Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan mengenai Perlindungan
Hukum Terhadap Anak Pelaku Tindak Pidana Narkotika, maka dapat diambil
kesimpulan bahwa :
a. Perlindungan Hukum Terhadap Anak Pelaku Tindak Pidana
Narkotika di Pengadilan Negeri Banyumas sebagaimana diatur
dalam Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan
Anak dan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang
Perlindungan Anak belum dilaksanakan dengan baik, karena dalam
menjatuhkan putusan terhadap anak pelaku tindak pidana narkotika
hakim selalu menjatuhkan putusan pidana penjara, hal ini disebabkan
karena menurut Byrna Mirasari, hakim dalam memutus perkara
hanya mengikuti putusan hakim yang sebelumnya, sehingga
terhadap kasus narkotika anak selalu dijatuhkan putusan pidana.
Padahal dalam Pasal 64 ayat (3) huruf a Undang-Undang
Perlindungan Anak memuat perlindungan khusus yaitu rehabilitasi
untuk membebaskan pecandu dari ketergantungan narkotika. Faktorfaktor lain yang menghambat Perlindungan Hukum Terhadap Anak
Pelaku Tindak Pidana Narkotika di wilayah hukum Pengadilan
Negeri Banyumas yaitu adanya keterbatasan sarana/fasilitas seperti
ruang sidang anak, ruang tunggu khusus anak, balai rehabilitasi
98
narkotika, rumah tahanan khusus anak, pelatihan pendidikan dan
ketrampilan tepat dan bermanfaat bagi warga binaan RUTAN
sekembalinya ke masyarakat nanti.
b. Terdapat 2 (dua) faktor yang memengaruhi anak melakukan tindak
pidana narkotika di Pengadilan Negeri Banyumas, yaitu faktor
internal pelaku dan faktor eksternal. Faktor internal pelaku yaitu
adanya rasa keingintahuan terhadap narkotika pada anak yang
menyebabkan anak ingin mencoba mengkonsumsi narkotika. Faktor
eksternal yang menyebabkan anak melakukan tindak pidana
narkotika yaitu kurangnya pengawasan orang tua terhadap anak,
kondisi keluarga yang tidak utuh (broken home), dan faktor
lingkungan/pergaulan dalam masyarakat yaitu pengaruh temanteman.
B. Saran
1. Hakim dalam menjatuhkan putusan dalam perkara anak pelaku tindak
pidana narkotika sebaiknya tidak hanya mengikuti putusan yang telah ada
sebelumnya, namun harus memperhatikankondisi anak dan berupaya
menjatuhkan putusan berupa rehabilitasi, bukan pidana penjara. Sehingga
perlu dibangun balai rehabilitasi narkotika di wilayah Banyumas yang
mendukung upaya Perlindungan Hukum terhadap anak pelaku tindak
pidana narkotika.
99
2. Di Pengadilan Negeri Banyumas perlu dibuat ruang tunggu khusus anak
dan ruang sidang anak dan di wilayah hukum Pengadilan Negeri
Banyumas perlu dibangun rumah tahanan khusus anak.
3. Kepada orang tua, guru, dan warga masyarakat untuk lebih memperhatikan
pergaulan anak-anaknya dan memberikan landasan agama yang kuat
sehingga anak tidak mudah terjerumus dalam penyalahgunaan narkotika.
100
DAFTAR PUSTAKA
A. Buku Teks
Abdussalam. 2007. Perlindungan Anak. Jakarta: Restu Agung.
Amirudin. 2004. Pengantar Metode Penelitian Hukum. Jakarta: PT. Raja Grafindo
Persada.
Dellyana, Shanty. 1988. Wanita dan Anak di Mata Hukum. Yogyakarta: Liberty.
Gultom, Maidin. 2008. Perlindungan Hukum Terhadap Anak dalam Sistem
Peradilan Pidana Anak di Indonesia. Bandung: PT. Rafika Aditama.
Hidayat Bunadi. 2009. Pemidanaan Anak di Bawah Umur. Surabaya: PT. Alumni
Bandung.
J. Moleong, Lexy. 2002. Metodologi Penelitian Kualitatif. Bandung: Rosda
Karya,
Meliala, A., Syamsudin, dan E., Sumaryono. 1985. Kejahatan Anak Suatu
Tinjauan dari Psikologis dan Hukum. Yogyakarta: Liberty
Mertokusumo, Sudikno. 2005. Mengenal Hukum ( Suatu Pengantar ).
Yogyakarta: Liberty.
Moeljatno. 2000. Asas-asas Hukum Pidana. Jakarta: Rineka Cipta.
Mulyadi, Lilik. 2005. Pengadilan Anak di Indonesia Teori, Praktek, dan
Permasalahannya. Bandung: Mandar Maju.
Nawawi, Arief Barda. 2005. Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana. Bandung:
Citra Aditya Bakti
Purniati, dkk. Mengutip Harry E. Allen and Cliffford E. Simonsen, dalam
Correction in America. 2003. An Intoduction, Analisa Situasi Sistem
Peradilan Anak ( Juvenile Justice System ) di Indonesia, UNICEF,
Indonesia,
Soekamto, Soerjono. 1984. Pengantar Penelitian Hukum. Jakarta: Universitas
Indonesia Press.
Soekamto, Soerjono. 1982. Sebab Musabab dan Pemecahannya Remaja dan
Masalahnya. Yogyakarta: Kanisius
Sudarsono. 1990. Kenakalan Remaja. Jakarta: Rineka Cipta
101
Sudarto. 1990. Hukum Pidana I. Semarang: Yayasan Sudarto,
. 1986. Kapita Selekta Hukum Pidana. Bandung: Alumni,
Sunggono, Bambang. 2003. Metode Penelitian Hukum. Jakarta: Cetakan Keenam,
PT. Raja Grafindo Persada.
Wadong, Maulana Hasan. 2000. Pengantar Advokasi dan Hukum Perlindungan
Anak. Jakarta: Grasindo.
Wahyudi, Setya. 2009. Diversi dalam Sistem Peradilan Anak. Semarang: Badan
Penerbit Universitas Diponegoro.
. 2011. Implementasi Ide Diversi dalam Pembahaharuan sistem
Peradilan Pidana Anak Indonesia. Yogyakarta: Genta Publishing.
Wologito, Bimo, Kenakalan Remaja (Juvenile Deliquency), Fakultas Psikologi
UGM, Yogyakarta.
B. Peraturan Perundang-Undangan
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945
Tap MPRS RI Nomor 1 Tahun 1998 tentang GBHN
Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 3850)
Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 1981 Nomor 76)
Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997 Tentang Pengadilan Anak
(Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3668)
Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2002 Nomor 109)
Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 Tentang Hak Asasi Manusia
(Tambahan lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3886)
Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 Tentang Narkotika (Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 5062)
Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1995 Tentang Pemasyarakatan
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1995 Nomor 77)
Download